Bagian 2
"Ayah....! Ibu....!"
Melihat Sama Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dara itu dari pekarangan sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apapun juga. Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!
Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulunya seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang. Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari suaminya, namun, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh lebih muda daripada usianya yang sesungguhnya. Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja.
Seperti telah kita ketahui, dua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka. Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang demikian mengherankan dan mengkhawatirkan.
Suami isteri itu menyambut Suma Hai dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee bersikap tenang-tenang saja, tidak demikian dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak, "Apa-apaan engkau ini, Hui-ji? Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana Ciang Bun?"
"Nanti dulu," kata Kian Lee. "Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang bersamamu ini."
Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya. "Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng."
"Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?" Kim Hwee Li berseru girang.
"Hemm, kalau begitu masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk dan bicara di dalam," kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.
Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri pendekar itupun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu. Maka diapun cepat menjura dengan hormat. Sebenarnya dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.
"Terima kasih, locianpwe."
Merekapun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini, "Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi."
"Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita...." Suma Hui mengeluh, "peristiwa yang amat buruk...."
"Setiap peristiwa yang terjadipun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya menipiskan kewaspadaan," kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. "Ceritakan saja selengkapnya dan jangan menilai."
Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka! "Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?"
Karena maklum akan watak ibnnya yang dikenalnya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan kesabaran, maka iapun langsung saja menceritakan inti semua peristiwa dengan kata-kata lirih, "Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!"
Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan tabah, tidak mengenal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat! Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.
"Tidak....! Tidak mungkin.. ..! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, kupatahkan kaki tangannya!" Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.
Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tak sadar ini merasakan hawa yang hangat menggetar memasuki kedua lengannya dan iapun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya. Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.
"Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya. ..." katanya lirih sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.
Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya yang bergoyang sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetespun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.
"Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu," Kian Lee berkata dengan suara yang lirih dan lesu. Untuk kedua kalinya, pertama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang penyerbuan para datuk, tentang kedatangan Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya. Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.
"Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama saja," demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.
"Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka sekarang." Cin Liong merendahkan diri.
"Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?" tanya Kim Hwee yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik ke dalam ingatannya.
"Betul, ibu," kata Suma Hui. "Akupun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong."
"Mudah saja engkau bicara," kata Suma Kian Lee. "Mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Pula, nama Hek-i Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun."
"Aku juga pergi!" kata Kim Hwee Li. "Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es."
Kian Lee tidak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap hormat, "Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ceng Liong."
"Tugasmu sebagai jenderal?" tanya Kim Hwee Li tertarik.
"Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat."
Kian Lee mengangguk-angguk. "Kalau memang begitu, tidak sepatutnya kami menahanmu, Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas segala bantuanmu, baik terhadap keluarga Pulau Es maupun terhadap Hui-ji."
"Saya kira tidak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya mohon diri, locianpwe." Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian menghadapi Suma Hui.
"Bibi Hui, selamat tinggal...."
"Cin Liong.. ..!" kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, "Bagaimana dengan urusan kita....?"
"Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku," bisik Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba.
Malam itu Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar gadis itu. "Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?"
Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya teguran ibunya.
Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang. "Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?"
Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama berturut-turut ini, kini ia merasa aman sentausa dalam rangkulan ibu kandungnya.
Kembali sunyi sejenak. Dan kini kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan, "Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!"
Biarpun ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka iapun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka iapun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.
"Akan tetapi dia itu lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Dia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, dia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia pula yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!"
"Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi, kalaupun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan."
Mendengar ini, Suma Hui bangkit dan memandang ibunya penuh harapan. "Kalau begitu, ibu setuju?"
Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk. "Ibu sih setuju saja."
"Ibuuu....!" Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya.
"Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu."
Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, ia tidak begitu malu menitikkan air mata walaupun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.
"Jangan bergirang-girang dahulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, jatuh hati kepada Ceng Ceng, akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa engkau saling mencintai dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya."
"Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!" kata Suma Hui, sikapnya keras.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. Ia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walaupun pendiam dan tenang, namun juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.
"Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu."
"Terima kasih, ibu.. .. engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!" Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir.
Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.
"Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tidak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!" Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.
"Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu," isterinya mencoba untuk membantah.
"Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga daripada nyawa!" Makin bicara, makin marahlah Kian Lee.
"Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!"
"Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biarkan ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanyapun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Kalau benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu."
"Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!" kata pula Kian Lee semakin panas.
Isterinya lalu merangkulnya. "Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua makin pemarah, sungguh tak baik itu. Sudahlah, mari kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun."
Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Namun, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itupun tertidur.
Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya, "Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan."
"Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ah, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia."
"Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana daripada membiarkan ia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw-twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula."
"Tapi.... bagaimanapun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?"
"Hal itu tidak perlu khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji."
"Ahhh....!" Kim Hwee Li mengerutkan alisnya. Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas."Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka berkesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?"
Percakapan dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada timbuh semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim. Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain-main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorangpun yang akan menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin. Tek Ciang terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat pelacuran itu, maka ayahnya sendiripun tidak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat pelesir itu. Juga dia tidak tahu bahwa biarpun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walaupun dia memang royal dengan uangnya.
Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu. Kunjung- mengunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya semakin maju karena para murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, menjadi gentar melihat hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Karena hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat.
Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini dan pada suatu pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.
"Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!" kata guru silat itu dengan ramah. "Silahkan masuk dan duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini."
"Terima kasih, Louw-twako," kata Suma Kian Lee dan merekapun duduk menghadapi minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.
"Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berkabung?" Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.
Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang malapetaka yang menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.
"Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin...."
"Ah, Siocia sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!" teriak guru silat itu dengan kagum.
"Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia."
"Ahhh....!" Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada pendekar itu sambil berkata, "Maafkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik."
"Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami dapat menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi malapetaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang...."
"Ahhh!" Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. "Suma-kongcu hilang? Ke mana dan bagaimana?"
"Dia tercebur ke lautan, terpisah dari encinya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang dia."
"Siancai....! Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana malapetaka menimpa demikian berturut-turut?"
"Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan antara puteri kami dan puteramu."
Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biarpun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.
"Bagaimanakah kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh puteri taihiap yang mulia."
"Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan kelebihan seseorang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, akan tetapi.... maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh."
Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa. "Ah, biar saya latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan dapat menandingi tingkat Suma-siocia."
"Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Akan tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu bahwa puteraku dalam ilmu silat jauh lebih pandai daripada puteramu. Akan tetapi kulihat puteramu itupun memiliki bakat yang baik sekali, maka andaikata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui-ji, alangkah akan baiknya itu...."
Louw-kauwsu cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat. "Laksaan terima kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!"
"Jangan beritahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako," kata Suma Kian Lee berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang. Melihat pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.
"Ah, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan terimalah hormat saya," katanya ramah.
"Terima kasih, Tek Ciang," jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya selalu rapi dan bagus.
"Tek Ciang, cepat engkau berlutut kepada Suma-taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu sebagai muridnya!" kata Louw-kauwsu dengan girang.
Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya akan terangkat dan tak seorangpun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut "Suhu!" berkali-kali.
Kian Lee membangunkan pemuda itu dan berkata, "Tek Ciang, engkau merupakan murid pertama dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Kini, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat."
"Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung tinggi."
"Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan ayahmu."
Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, diapun berkata, "Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan mereka. Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan ke dua, mereka akan dapat saling berkenalan sebelum perjodohan itu diumumkan. Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?"
Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!
"Kalau begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw- twako. Dan selama kami pergi dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan."
"Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian."
Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu cepat menyuruh puteranya berkemas dan dia memberi banyak nasihat kepada puteranya itu. "Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang jauh lebih berharga daripada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah. Suma-taihiap menghendaki agar engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia, karena gurumu itu bersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan engkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jaga rumah itu seperti rumah sendiri, bersikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akan membikin malu aku sebagai ayahmu."
Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasihat kepada seorang anak kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhunya suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita! Akan tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan diapun mengangguk taat. "Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasihatmu."
Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.
"Ayah," Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum dikenalnya itu.
"Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?"
Ayahnya mengerutkan alis. "Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw-kauwsu adalah seorang sahabat baikku, dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itupun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sin-kang dan samadhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sin-kang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau
dia berlatih."
Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh itu, Suma Hui mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagaimanapun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.
Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap amat menghormat, Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan. Pemuda itu sedikitpun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu.
"Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui," kata Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang "siasat" suaminya untuk mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.
"Terima kasih, subo," kata Tek Ciang sambil memandang kepada suhunya dengan ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah suhunya. Melihat ini, diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!
"Bangkit dan duduklah, Tek Ciang," katanya halus. Baru pemuda itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya.
"Terima kasih, subo." Kemudian dia baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walaupun baru melihat sekelebatan saja, kemudian diapun cepat menjura kepada dara itu.
"Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia."
Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat. Tentu saja ia segera menekan perasaannya karena dugaan itupun masih membuat ia ragu. Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang sedemikian merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.
"Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw)," katanya.
"Hemm, buang saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!" Suma Kian Lee berkata sambil tersenyum. "Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biarpun dia murid baru, akan tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biarpun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya suheng dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji." Kembali Louw Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata, "Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walaupan sesungguhnya saya tidak berani lancang."
Bagaimanapun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan. Maka iapun menjura dan berkata manis, "Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?"
"Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subomu akan pergi merantau untuk beberapa lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan dasar untuk mempelajari sin-kang dan samadhi. Harus kauperhatikan baik-baik karena dasar latihan sin-kang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkaupun tidak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di sini ada sumoimu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau merasa ragu-ragu."
"Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari sumoi, untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu."
"Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya," jawab Suma Hui yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini. Hanya Kim Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.
"Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, kemudian kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sin-kang," kata pula Suma Kian Lee. "Hui-ji, suruh pelayan datang untuk mengantar suhengmu ke kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu."
"Baik, ayah." Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira. Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itupun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.
Demikianlah, dalam beberapa hari itu dengan sungguh-sungguh Suma Kian Lee memberi dasar latihan sin-kang kepada Tek Ciang. Biarpun pemuda ini pernah mempelajari samadhi dan latihan sin-kang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhunya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar-benar. Memang pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga biarpun latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini dan iapun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri.
Seminggu kemudian, berangkatlah suami isteri itu meninggalkan rumah mereka, memulai dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba di dalam kegelapan. Bagaimanapun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasihat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinyapun berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.
Louw-kauwsu seringkali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai "gagal" menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasaan hatinya sendiri diapun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!
"Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkaupun pura-pura tidak tahu sajalah. Aku menceritakannya kepadamu agar engkau pandai-pandai membawa diri." Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.
Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tidak ada alasan sedikitpun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sin-kang itu dengan baik.
******
"Hyaaaaatttt, ahh! Hyaaaaatttt, ahh!"
Lengkingan ini terdengar berkali-kali, menggema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu, dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu. Itulah bukit Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang dan Cing-hai. Sebuah pondok kayu yang nampaknya masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang pernah kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek-i Mo-ong yang dibantu oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong! Puing-puing itu adalah bekas sarang Hek-i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang pernah dipimpinnya akan tetapi yang dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim Hong Bu (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN), bahkan kemudian bekas sarang itu dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.
Karena tempat itu sunyi dan indah, Hek-i Mo-ong mengajak muridnya tinggal di situ, membangun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biarpun sederhana dan mulailah dia melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh tahun lebih itu.
Lengkingan nyaring berulang-ulang yang terdengar dari belakang pondok itu adalah lengking suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah daratan di belakang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa berani mengunjungi tempat itu? Sebelum Hek-i Mo-ong pulang ke situpun tidak ada orang yang berani mendekat. Rakyat yang membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka terhadap gerombolan yang sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah
membakar, merekapun cepat-cepat pergi, tidak berani berlama-lama di situ apalagi ketika mereka mendengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah Hek-i-mo-pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di belakang pondok batu itu.
Apakah yang sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu? Mereka sedang berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak sedang bersamadhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Samadhi jungkir balik ini memang tidak mengherankan dan sudah banyak dilakukan orang, yaitu dengan kepala di atas tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan menopang kepala. Samadhi seperti ini amat baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan memperlancar jalannya darah ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidakseimbangan antara hawa Im dan Yang di dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain daripada yang lain. Kepalanya memang di bawah dan kedua kakinya tegak lurus ke atas, akan tetapi kepalanya itu, tidak berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya bersedakap di depan dadanya, dan diapun tidak berjungkir balik dengan diam saja, melainkan tubuhnya yang berjungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu meloncat dan hinggap di atas sebuah tengkorak lain dan demikian seterusnya, berpindahan dari tengkorak yang satu ke tengkorak yang lain. Semua terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah dengan membentuk garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan tiga buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah tengkorak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu,
terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak berikutnya, seperti seorang anak kecil bermain loncat-loncatan.
Tak jauh dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya. Setiap kali berteriak "hyaaaaaatt!" dia berlari menyerbu ke arah sepotong tulang, baik itu tulang kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan begitu tiba dia berteriak "ahh!" dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak melengkung seperti cakar, mencengkeram ke arah tulang-tulang itu. Dan tulang-tulang itupun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil bekas cengkeraman jari-jari tangannya! Itulah Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat keji karena selain jari-jari tangan itu dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan jari itu membawa hawa beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Biarpun masih kecil, Ceng Liong adalah putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber tenaga sakti dari mendiang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi Hek-i Mo-ong untuk menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya untuk mempelajari ilmu-ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa artinya ilmu bersih dan ilmu kotor, hanya merasa suka kalau diberi pelajaran ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.
Agaknya kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka tiba-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun dan kini dia berdiri dengan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya yang berlatih itu. Kakek itu nampak mengerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa itu nampak kuat dan kokoh, pakaiannya serba hitam sampai ke sepatunya sehingga rambutnya yang putih nampak menyolok.
"Cukup, Ceng Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat penting." Berkata demikian, kakek ini lalu mengumpulkan tengkorak-tengkorak di tempat itu dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun teratur dengan tengkorak-tengkorak itu seperti saling mengisap tengkuk tengkorak di atasnya dan semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah, lalu di atasnya sembilan buah, terus delapan buah, dan seterusnya setiap tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah tengkorak saja.
"Latihan bagaimana, Mo-ong?" Ceng Liong bertanya. Memang anak ini tidak menyebut suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis) begitu saja karena dia memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan tetapi tidak mau menyebut suhu dan tidak mau mempelajari kejahatan. Dan bagi seorang datuk kaum sesat yang berwatak aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan Mo-ong sebaliknya daripada suhu ini bahkan menggembirakan hatinya. Makin aneh keadaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan berbangga kalau orang-orang lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu saja, tanda keanehan mereka yang lain daripada orang lain!
"Aku hendak berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir. Selama aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andaikata ada musuh datang menyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh karena itu, engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku berlatih. Ingat, selama hawa api itu masih di luar badan dan belum kutarik kembali, berarti aku masih tak berdaya dan engkau harus melindungiku dari serangan lain dari luar."
"Tapi, siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?"
"Memang tidak ada, akan tetapi siapa tahu? Di dunia ini lebih banyak musuh daripada sahabat. Dan siapa tahu malapetaka datang selagi aku berlatih. Kau jagalah baik-baik dan hentikan latihanmu."
"Baik, Mo-ong. Aku akan menjagamu," anak itu berjanji, ia lalu dia berdiri di bawah pohon tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang dengan hati tertarik sekali karena dia tahu bahwa gurunya itu memang amat lihai dan memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.
"Nah, kau siaplah!" kata Hek-i Mo-ong. Dia sendiri lalu mengatur pakaiannya, menggulung lengan bajunya, mempererat ikat pinggang, membetulkan ikatan pita rambutnya, kemudian dia berdiri tegak dan mengambil napas dalam-dalam sampai beberapa lamanya. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya itu meloncat ke atas tumpukan tengkorak, berjungkir balik dan kepalanya hinggap di atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Karena tengkorak ini, seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut tengkorak itu seperti mengecup tengkuknya.
Setelah tubuhnya yang berjungkir balik itu tegak lurus dan sedikitpun kakinya tidak bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas dalam dan keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak lama kemudian, Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar dari mulut kakek itu yang terbuka! Dan dia yang berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah mulai merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi, melainkan berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan melayang maju dan makin memanjang ada kalanya tertarik kembali mendekati mulut.
Ceng Liong memandang dengan penuh perhatian. Biarpun dia masih kecil, namun sudah banyak melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan diapun telah mempelajari teori-teori ilmu yang tinggi lari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat tinggi dan di antara ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sin-kang yang panas, yaitu Hwi-yang Sin-kang yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya dipergunakan melalui gerakan pukulan. Dan Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu melalui pernapasannya, dikeluarkan dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung dipergunakan untuk menyerang musuh!
Kini, uap putih yang tebal itu makin lama semakin tebal dan semakin panjang, sampai melayang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas dari mulut yang terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter lebih, baru akan menjadi senjata yang amat berbahaya bagi lawan. Dan agaknya, dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh dan napasnya mulai terengah. Padahal, uap itu baru melayang sejauh satu setengah meter. Terpaksa dia menghentikan dorongan dari dalam itu dan uap itu kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda keras saja.
Pada saat itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada enam puluhan tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya banyak bayangan orang di sekitar tempat itu. Tentu saja dia bersikap waspada dan siap sedia melindungi gurunya.
Mula-mula tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i Mo-ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba saja dia mengirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke arah punggung Raja Iblis itu!
"Desss. ...!" Tubuh tosu itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada anak berusia sepuluh tahun yang tiba-tiba menangkis pukulannya tadi dan membuatnya terhuyung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Dia adalah seorang yang memiliki sin-kang kuat, dan ketika anak kecil tadi menangkis, dia merasa adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia terhuyung dan anak itu hanya mundur dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat! Tentu saja dia menjadi penasaran dan marah, dan menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja Iblis itu memiliki murid kecil yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia harus lebih dulu menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimanapun juga, di depan banyak orang dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap, dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong. Ceng Liong mengelak, menangkis dan membalas, dan dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun yang pada waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu terheran-heran karena serangannya luput dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim serangkain balasan yang cukup cepat.
Bagaimanapun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Gerakannya belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biarpun dia mudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar sehingga belum dapat mempergunakan sumber tenaga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia mulai dihajar tunggang-langgang oleh tamparan, pukulan dan tendangan tosu itu.
"Plakkk!" Keras sekali pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang ketika dia melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras dan akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi, Ceng Liong merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya terancam bahaya. Kalau orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung tempat itu turun tangan, tak mungkin dia dapat melindungi gurunya.
"Mo-ong, sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!" Ceng Liong mulai berteriak-teriak menyadarkan gurunya. Teriakannya itu tentu saja membuat si tosu dan orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu itupun meragu mendengar seruan anak itu. Tidak mungkin murid si raja iblis kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja. Bagaimanapun juga, dia khawatir kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah menyerangnya maka dengan gemas tosu inipun melakukan serangan dahsyat sekali.
"Bresss....!" Tubuh Ceng Liong kini terlempar sampai empat meter lebih terkena tendangan kilat tosu itu. Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi telah tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng Liong!
Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka diapun teringat akan ilmu yang baru saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci, maka dia mengangkat tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.
"Crottt....! Aughhh....!" Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan diapun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.
"Trakkk....!" Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiripun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Diapun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Sementara itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.
"Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?" Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam diapun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mau apa begini banyak orang sakti yang dia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Akan tetapi mereka ini jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.
"Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur."
"Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekalipun!"
Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dahulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka kini perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.
"Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama."
Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biarpun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana! Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.
"Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi." Dia menudingkan telunjukya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian. Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.
"Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?"
"Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apapun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!" kata Yang I Cinjin.
Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa! Maka diapun melangkah mundur dan berkata, "Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi." Mendengar ucapan ini, para tokoh lainnya juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimanapun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu. "Ha ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!"
Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
"Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kaumainkan tadi sudah baik akan tetapi kurang kuat. Kaulihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!"
"Iblis busuk lihat pedang!" Tiba-tiba tosu itu membentak dan pedangnya diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berobah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu.
Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok ketika kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.
Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seolah-olah memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tidak ada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi "hati" dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba kakek itu berseru, "Ceng Liong, lihat Coan-kut-ci ini!" Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.
"Haaaiiiiittt.... ah....!" Tangan kirinya bergerak mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan "ahh!" tadi.
"Krekkk!" Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!
"Haaiiiiittt, ahh!" Tangan kanan menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.
"Krakkk....!" Tosu itu mengeluh dan ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulit saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking, "Haiiiiitttt, ah!" Dan cengkeraman tangan kiriya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mujijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena kini cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.
"Haiiiiittt! Ahhh!" Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.
"Crotttt....!" Lima jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.
Semua orang yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu. Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!"
"Omitohud!" kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. "Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!"
Hek-i Mo-ong tertawa. "Hah, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong dan ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?"
"Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!" kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.
"Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!" kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itupun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.
Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura. "Hek-i Mo-ong, setelah utusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemuan. Bagaimana, dapatkah undangan kami diterima?"
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. "Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan muridku ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?"
Ceng Liong mengangguk. Dia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian mudah dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. "Memang harus begitu, Mo-ong. Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!" Tentu saja semua orang merasa heran sekali mendengar ucapan bocah itu terhadap gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan menyebut gurunya Mo-ong begitu saja.
"Kalau begitu, marilah kita berangkat!" kata pula Thong�ciangkun.
Hek-i Mo-ong mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada saat itu terdengar teriakan dan tangis orang. Kiranya seorang pemuda tanggung yang usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi mayat Yang I Cinjin, kemudian memondong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum pergi dia menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Peristiwa ini mengejutkan semua orang dan seorang di antara mereka yang berada di situ berkata, "Itu adalah muridnya...."
Mendengar ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. "Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tidak akan membunuhmu, memberi waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak datang mencari aku atau muridku ini, ha-ha-ha!"
Di dalam hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, diapun hanya memandang kepada anak itu dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakannya kelak. Dia melihat sebuah tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan ini menjadi tanda yang takkan pernah dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, anak itu sambil menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya dan pergi dari tempat itu.
Bagaimanapun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan diapun cepat merobah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i Mo-ong. "Karena akan menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-sahabat ini kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak dari Raja Nepal untuk menghadap Yong-taijin."
"Hemm, Koksu Nepal? Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin...." kata Hek-i Mo-ong.
"Saudara Lakshapadma? Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena mengalami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa dia bekerja sama denganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong."
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar segalanya dan dia percaya bahwa tentu orang inipun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa Seng jin dahulu. Seperti diceritakan dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN, Sam-ok Ban Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah menjadi Koksu Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan bentrok dengan para pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.
"Dan saudara ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk berunding dengan Gubernur Yong."
Hek-i Mo-ong dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian mereka berangkat menuju ke kota Li-tan yang letaknya di dekat perbatasan antara Tibet, Ching-hai dan Propinsi Uighur yang kemudian menjadi daerah yang disebut Sin-kiang (Daerah baru). Pasukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga mereka itu dianggap sebagai tamu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat.
Di dalam sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Guberur Yong. Pembesar ini bernama Yong Ki Pok peranakan Uighur yang memperoleh kedudukannya melalui ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para pembesar, maka pembersihan diadakan sampai ke daerah ini dan Gubernur Yong merasa tersinggung ketika menerima teguran dari para pejabat pemeriksa. Maka, diam-diam gubernur ini lalu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang menentang kekuasaan kaisar. Apalagi ketika dia mendengar pergerakan pasukan Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet, dianggapnya itulah kesempatan baik untuk bersekutu dengan pasukan asing agar kedudukanya menjadi lebih kuat. Maka dia lalu mengutus Thong�ciangkun, orang kepercayaannya untuk menghubungi pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan antara wakil-wakil semua pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.
Mereka sudah berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah. Meja besar diatur memanjang sehingga semua orang dapat duduk di sekelilingnya. Agak lucu melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja dengan gubernur dan tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu dan janggal. Akan tetapi ini merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari muridnya. Tak ada seorangpun di antara mereka itu pernah menduga seujung
rambutpun bahwa bocah itu adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Entah apa akan menjadi reaksinya kalau hal ini mereka ketahui. Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan memperhatikan orang-orang yang duduk semeja dengannya itu.
Dengan sinar matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir dan sinar matanya seperti menilai dan mengukur kelihaian mereka itu. Yang hadir di tempat itu memang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai. Panglima Thong Su adalah tangan kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam puluh tahun ini, yang tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang yang berpengalaman. Biarpun ilmu silat atau kekuatan pribadinya tidaklah demikian hebat, namun dalam gerakan perang, orang seperti dia amat diperlukan untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.
Thai Hong Lama, pendeta dari Tibet yang kepalanya gundul dan jubahnya merah itu nampak menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, sepasang telinganya lebar sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan sikap alim seperti sepatutnya menjadi sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip di pinggang, tertutup jubah. Akan tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi ambisi yang amat besar. Pada waktu itu, Tibet termasuk wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh Kaisar Kian Liong dan sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang pembesar yang bekerja sama dengan para pendeta Lama yang berpengaruh. Thai Hong Lama tidak kebagian tempat karena pendeta ini, biarpun memiliki kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang penyeleweng ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang wanita di kuilnya. Maka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk menggulingkan mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang nomor satu yang paling berkuasa di daerah itu. Ilmu silatnya tinggi dan sin-kangnya sudah sedemikian kuatnya sehingga dengan tenaga khi-kang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat menyerang lawan dengan suara suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari tangan kirinya seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya merupakan senjata yang ampuh.
Kemudian Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek-bin Tok�ong. Dia sudah tahu akan kelihatan orang ini. Pek-bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang luas itu. Dia berpakaian pertapa, serba putih dan longgar, rambutnya putih panjang dan kadang-kadang dibiarkan terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara sembarangan saja. Tubuhnya kurus tinggi dan mukanya putih seperti kapur, karena muka yang putih itulah maka dia dijuluki Raja Racun Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah dapat menduga bahwa tokoh ini adalah seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun. Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai racun saja dia lihai, juga ilmu silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-ilmunya yang semua dilatih dengan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat, melainkan juga mengandung racun mengerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat hebat, seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).
Orang lain yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi besar dan tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih hitam itu dibalut kain kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan tenaganya dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Walaupun dia kurus, namun nampak tinggi besar karena tulang-tulangnya memang besar dan kokoh kuat. Dia bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli gulat dan pandai pula ilmu sihir.
Biarpun tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, akan tetapi mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh Mongol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja Mongol yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Diapun lihai sekali dan bertenaga gajah. Juga dia pandai berlari sangat cepat seperti larinya kuda dan juga amat pandai menunggang kuda, bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar. Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula dengan ilmu silat dan gulat Mongol. Seperti diketahui, Bangsa Mongol pernah menjajah daratan
Tiongkok dan mendirikan Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan Tiongkok, termasuk ilmu silatnya. Maka raksasa Mongol inipun tidak asing dengan ilmu silat yang telah dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa sebatang tongkat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat lagi, yaitu sebuah tongkat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari pada kayu dari batang semacam pohon yang dinamakan pohon besi.
Hek-i Mo-ong sudah pernah mendengar banyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari Tibet dan Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang Siwananda dan Tailucin, maka diapun hanya dapat menduga-duga saja sampai di mana kehebatan kedua orang ini.
"Kami merasa gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja bahwa kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu kami, bukan?" Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong .
Hek-i Mo-ong menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian dengan suara lantang diapun menjawab, "Taijin, terus terang saja tadinya saya sedikitpun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk mencampuri urusan pergerakan dan pemberontakan terhadap pemerintah. Resiko dan bahayanya terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Akan tetapi, karena saya sejak dahulu tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal, dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup membantu, akan tetapi hanya dengan satu syarat...." Hek-i Mo-ong menghentikan kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir satu demi satu, seolah-olah hendak melihat apakah ada yang menentang atau merasa tidak setuju dengan ucapannya itu. Akan tetapi semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi pada wajah mereka, hanya Gubernur Yong mengerutkan alisnya karena pembesar ini diam-diam mengkhawatirkan bahwa syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan terlampau memberatkan dirinya.
"Syarat apakah itu? Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya? Harap lo-sicu suka memberitahu." Gubernur Yong yang pandai mempergunakan tenaga orang-orang kuat ini berkata dengan nada suara ramah.
"Taijin, sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati. Oleh karena itu, tanpa imbalan yang pantas, tentu saja saya segan untuk melakukannya. Imbalan atau syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya menjadi penasihat utama dan kalau kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi koksu."
Semua orang terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam sebuah pemerintahan karena koksu memiliki kekuasaan yang amat besar, hanya di bawah kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak setelah memperoleh nasihat dan persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gembira.
"Ah, tanpa syarat itupun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau lo-sicu suka menjadi pembantu dan penasihat utama kami. Tentu saja syarat itu kami terima dengan segala senang hati!"
Tiba-tiba Thong-ciangkun, panglima yang sudah belasan tahun mengabdi kepada gubernur itu dan menjadi kepercayaan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan, "Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Terutama sekali harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong-taijin yang menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang amat penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan menasihati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi daripada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Oleh karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu."
Wajah Hek-i Mo-ong berobah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu. "Hemm...., Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu? Kalau begitu, majulah dan mari kita memperebutkan kedudukan itu!" berkata demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.
Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. "Ah, satu di antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang perajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikitpun aku tidak akan menandingimu."
Hek-i Mo-ong tersenyum "Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!"
Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Jangan salah sangka, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali aku tidak percaya akan kepandaianmu. Akan tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan penting itu berarti kauperoleh terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur."
"Dengan cara bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?" tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.
"Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?"
Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Sungguh bagus sekali usul itu! Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan."
Hek-i Mo-ong segera menjawab, "Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara yang gagah ini melakukan ujian terhadap diri saya." Ucapan ini setengah merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!
Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang sepeti kebanyakan para tokoh kang-ouw selalu "haus" akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali. "Kalau hanya merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!" Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka diam-diam diapun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!
Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing diapun berseru, "Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?" Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau menga mbil tindakan se mbrono. Dia tidak mau
menyinggung hati seorang di antara mereka yang dianggap menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya dalam pergerakan negaranya.
Thai Hong Lama masih memutar tasbehnya ketika dia berkata, "Omitohud....! Kekerasan tidak akan mengatasi persoalan! Masalah ujian kepandaian ini dapat saja dilakukan tanpa kekerasan, yaitu dengan jalan menguji ketangkasan yang menjadi inti dari ilmu kepandaian silat. Entah Hek-i Mo-ong setuju ataukah tidak dengan pendapat pinceng ini."
"Ha-ha-ha! Thai Hong Lama memang pandai. Akan tetapi bagiku, diuji secara bagaimanapun juga aku tentu setuju saja, untuk memenuhi harapan Yong-taijin. Nah, katakanlah, bagaimana usulmu itu, Lama?"
"Menggunakan sepasang sumpit untuk menjepit makanan, merupakan hal yang amat mudah dan seorang anak kecil sekalipun akan mampu melakukannya. Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, tenaga dalam tangan yang memegang sumpit haruslah seimbang dan tidak boleh terganggu, karena kalau terganggu, banyak bahayanya makanan yang dijepit sumpit akan terlepas. Kalau Mo-ong mempertahankan makanan yang dijepit di antara dua batang sumpitnya agar jangan sampai terlepas ketika menghadapi serangan sampai sepuluh jurus dari kami masing-masing, maka dapat dianggap dia menang. Akan tetapi, pinceng peringatkan kepada Mo-ong bahwa amatlah sukar mempertahankan makanan itu sampai sepuluh jurus serangan karena selain tenaganya harus dibagi, juga kalau dia terlalu mempertahankan makanan itu, tubuhnya terbuka dan dapat menjadi sasaran serangan. Kalau makanan itu terlepas, dia kalah, juga kalau sampai ada serangan yang menyentuh sasaran di tubuhnya, dia dapat dianggap kalah."
Hek-i Mo-ong yang menghadapi syarat berat ini, tidak menjadi khawatir malah tertawa bergelak. "Bagus! Bagus! Usulmu itu baik dan cerdik sekali, Lama! Nah, aku sudah siap! Siapa yang bendak menguji lebih dulu? Ataukah kalian berempat hendak maju berbarengan?" tantangnya dan tangan kanannya yang memegang sepasang sumpit itu telah menjepit sepotong daging dari dalam panci masakan.
"Ah, tidak adil kalau maju berbareng. Seyogianya satu demi satu." Tiba-tiba Thong-ciangkun berkata dan memang perwira ini cerdik sekali. Selain ingin menguji kemampuan Hek-i Mo-ong, juga ia tidak ingin membuat Raja Iblis itu tidak senang kepadanya karena usulnya tentang ujian tadi, maka kini dia cepat mencela kalau empat orang penguji itu maju semua. "Dan pula, karena yang boleh menyerang hanya pihak penguji sedangkan Mo-ong sendiri hanya mempertahankan dan tidak boleh membalas, maka terlalu berat bagi yang mempertahankan kalau sampai sepuluh jurus. Lima juruspun sudah cukup baik kalau dia mampu mempertahankan diri."
Gubernur Yong sudah memiliki kepercayaan mutlak kepada pembantunya ini, maka biarpun dia tidak paham tentang ilmu silat, dia tahu bahwa tentu Thong-ciangkun mempunyai alasan kuat dengan pendapat-pendapatnya itu. Maka diapun mengangguk dan berkata, "Benar sekali seperti yang dikatakan oleh Thong-ciangkun. Harap maju satu demi satu dan menggunakan lima jurus saja!"
Karena meja di mana mereka duduk itu penuh hidangan, maka Thong-ciangkun lalu mengatur sebuah meja kecil dengan dua bangku berhadapan, terhalang meja. Di atas meja itu hanya ditaruh semangkok masakan dan dua pasang sumpit. Kini Hek-i Mo-ong sambil tersenyum-senyum memandang rendah, duduk di atas sebuah bangku dan memegang sepasang sumpit. Orang-orang lain masih duduk di tempat masing-masing dan memandang dengan penuh perhatian. Tailucin sudah bangkit dari tempat duduknya dan kini raksasa ini duduk di atas bangku, berhadapan dengan Hek-i Mo-ong terhalang meja.
Hek-i Mo-ong lalu menggunakan sumpitnya, menjumput sepotong daging, kemudian mengacungkan daging itu ke depan sambil berkata kepada Tailucin, "Nah, saudara Tailucin, engkau coba rampas daging ini kalau mampu. Pergunakan sepasang sumpitmu itu!"
Akan tetapi Tailucin hanya memandang ke arah sepasang sumpit yang menggeletak di depannya tanpa menyentuhnya, lalu menggeleng kepala. "Biarpun banyak bangsaku sudah ikut-ikut makan dengan sumpit, akan tetapi aku sendiri lebih suka makan dengan menggunakan tangan. Oleh karena itu, bagaimana kalau aku mencoba merampas daging itu dari sumpitmu menggunakan tangan saja, Mo-ong?"
Tentu saja kalau lawan menggunakan tangan, keadaan ini amat tidak menguntungkan bagi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena tokoh ini memang angkuh dan memandang rendah lawan, diapun mengangguk. "Boleh saja, akan tetapi, makan dengan tangan tanpa mencuci tangan lebih dulu, amatlah tidak sehat!" Ucapan ini sama saja dengan mengejek lawan yang memiliki kebiasaan makan tanpa sumpit!
"Mo-ong, jaga seranganku!" Raksasa Mongol itu membentak tanpa memperdulikan ejekan orang dan tangan kanannya yang besar dan lebar itu terbuka jari-jarinya menyambar ke arah daging di ujung sumpit dengan cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin keras.
"Wuuuutttt....!" Raksasa itu tercengang karena sumpit yang disambarnya itu tiba-tiba saja lenyap dan sambarannya hanya mengenai angin kosong belaka. Tak disangkanya bahwa lawan dapat bergerak sedemikian cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran dan dengan bentakan nyaring, kini kedua tangannya menyambar dari kanan kiri!
"Ha-ha-ha, agaknya Tailucin biasa makan dengan kedua tangan!" Hek-i Mo-ong tertawa dan seperti tadi, dia cepat menggerakkan tangan kanannya, mengelak dari sambaran kedua tangan dari kanan kiri itu.
"Plakk!" Kedua telapak tangan besar itu bertemu seperti bertepuk dan untuk kedua kalinya serangan itu gagal. Wajah raksasa itu menjadi merah karena kembali terdengar Hek-i Mo-ong mentertawakannya.
Karena tadi dia mendengar bahwa usaha merampas daging itu boleh dilakukan dengan menyerang maka kini dia menggunakan lengannya yang panjang dan kuat itu untuk menonjok ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sambaran ke arah ujung sumpit. Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-i Mo-ong mengelak dari pukulan itu tanpa menarik tubuhnya dan juga tangan yang memegang sumpit itu mengelak tepat pada saat tangan kiri lawan menyambar dari kiri.
Melihat usahanya gagal lagi, si Raksasa Mongol sudah melanjutkan serangannya, kini mencengkeram dengan tangan kanan ke arah pundak Hek-i Mo-ong dan tangan kirinya menghantam ke arah lengan kanan yang memegang sumpit. Hebat serangan yang keempat kalinya ini dan amat berbahaya bagi Hek-i Mo-ong. Kalau dia hanya mengelak dari cengkeraman itu, tentu lengannya akan diancam bahaya pukulan yang seperti palu godam datangnya itu. Akan tetapi, Raja Iblis ini dengan tenang saja menerima cengkeraman itu
dengan pundaknya sambil menarik tangan yang memegang sumpit sehingga terhindar dari hantaman. Ketika cengkeraman tiba, si raksasa Mongol sudah merasa girang karena cengkeramannya itu tentu akan membuat lengan kanan itu lumpuh dan sumpitnya akan terlepas! Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram itu meleset seperti mencengkeram bola baja yang amat licin saja. Hanya terdengar kain robek, yaitu baju Hek-i Mo-ong yang hitam itu di bagian pundaknya robek terkena cengkeraman yang amat kuat.
"Ha-ha, engkau sudah menyerang empat jurus, Tailucin!" Hek-i Mo-ong memperingatkan sambil tertawa lagi. Tiba-tiba semua orang menahan napas karena tanpa menjawab, tahu-tahu kedua tangan orang Mongol itu telah berhasil menangkap lengan kanan Hek-i Mo�ong! Ternyata raksasa Mongol itu mengeluarkan ilmu gulatnya dan dengan kecepatan kilat tahu-tahu kedua tangan dan jari-jari tangan yang panjang dan kuat berotot itu telah menangkap lengan Hek-i Mo�ong, mencengkeramnya dengan keras hendak memaksanya melepaskan sumpit! Terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan. Buku-buku jari tangan raksasa Mongol itu berkerotokan dan otot-ototnya menggembung. Akan tetapi, lengan Hek-i Mo-ong yang nampak kecil dibandingkan dengan lawannya itu, sama sekali tidak terguncang dan sepasang sumpit di tangannya itu masih tetap menjepit potongan daging, bahkan jari-jari tangan itu masih dapat mempermainkan sumpit itu sehingga bergerak ke sana-sini! Selain itu, dari wajah Raja Iblis itu dapat dilihat bahwa dia sama sekali tidak merasa nyeri, seolah-olah himpitan dan cengkeraman jari-jari tangan yang amat kuat itu tidak terasa sama sekali olehnya! Dan terjadilah keanehan ketika tiba-tiba raksasa Mongol itu melepaskan cengkeraman kedua tangannya, menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang kepanasan lalu dia bangkit dan menjura ke arah Hek-i Mo-ong sambil berkata, "Aku terima kalah!" Lalu dia kembali ke tempat duduknya di meja besar. Ternyata kedua telapak tangannya itu nampak merah sekali seperti baru saja dekat dengan benda panas. Rakasa itu lalu mengambil arak dan membasahi kedua tangannya dengan arak! Dan memang sesungguhnya, tadi Hek-i Mo-ong memperlihatkan kepandaiannya dengan penyaluran tenaga sin-kang yang mengeluarkan hawa panas sehingga raksasa Mongol itu merasa seolah-olah telapak kedua tangannya dibakar maka terpaksa dia melepaskan cengkeramannya.
"Omitohud! Nama besar Hek-i Mo-ong ternyata bukanlah kosong belaka. Biarlah pinceng yang bodoh mencoba-coba." Sambil berkata demikian, Thai Hong Lama lalu bangkit dan menghampiri meja kecil, duduk berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, dan mengeluarkan suling dan tasbehnya. "Maaf, Mo-ong, biarpun pinceng biasa makan dengan sumpit, akan tetapi tidak biasa mempergunakannya untuk menguji. Maka, kalau engkau tidak berkeberatan, pinceng hendak mempergunakan tasbeh dan suling untuk menguji. Bagaimana?"
Hek-i Mo-ong mengangguk sambil tersenyum. "Boleh saja, Lama. Suling adalah alat musik untuk menghibur hati lara, sedangkan tasbeh adalah alat pemusatan pikiran. Kedua benda itu tentu tidak akan menyakitkan aku, ha-ha-ha!"
Pendeta Lama itu lalu menoleh ke arah meja besar dan berkata, "Harap taijin dan ciangkun suka menggunakan kedua tangan untuk menutupi kedua telinga rapat-rapat jangan sampai suara suling pinceng kedengaran oleh ji-wi."
Mendengar ini gubernur itu menoleh dan memandang kepada Thong-ciangkun dengan heran, akan tetapi melihat panglimanya itu mengangguk dan panglima itu mengunakan kedua telapak tangan menutupi kedua telinganya sendiri, diapun melakukan hal serupa. Sementara itu, Pek-bin Tok-ong, Siwananda dan Tailucin sudah mengatur pernapasan dan mengerahkan sin-kang karena mereka maklum apa yang akan dilakukan oleh rekan mereka itu. Hanya Ceng Liong yang tidak mengerti dan anak ini hanya memandang kepada gurunya yang amat dikagumi karena gurunya tadi telah mengalahkan lawan dengan baik sekali.
"Ceng Liong, kau tutup kedua telingamu dengan tangan, atau untuk sementara keluarlah eugkau dari ruangan ini," kata Hek-i Mo-ong kepada muridnya.
"Aku ingin nonton, Mo-ong!" Ceng Liong membantah dan gurunya tertawa. Anak itu sungguh tabah dan membanggakan hati yang menjadi gurunya. Sementara itu, Thai Hong Lama telah mulai meniup suling dengan tangan kanannya. Terdengar suara melengking nyaring, makin lama makin tinggi dan halus sekali, memasuki anak telinga seperti jarum menusuk-nusuk! Itulah suara suling yang ditiup dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat.
Hek-i Mo-ong melempar pandang sekali lagi ke arah muridnya, akan tetapi dia tidak bicara lagi karena diapun harus mengerahkan sin-kangnya untuk menghadapi serangan suara ini. Dia merasa tubuhnya agak tergetar dan maklumlah dia bahwa suara suling itu sungguh berbahaya dan kalau dia tidak hati-hati, maka pertahanannya dapat dibobolkan sekali ini oleh Lama yang lihai itu.
"Rrrrtttt....!" Tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dan tasbeh di tangan kiri kakek gundul itu telah menyambar ke arah sepasang sumpit yang menjepit daging. Hek-i Mo-ong terkejut dan cepat menarik tangan kiri mengelak, akan tetapi dia merasa betapa jari tangannya tergetar, tanda bahwa pertahanannya sudah goyah oleh suara suling itu. Urat-urat halus di jari-jari tangan yang memegang sumpit itu terpengaruh dan keadaannya berbahaya sekali.
"Rrrrkkkkkkk!" Kembali tasbeh menyambar, sekali ini ke arah pergelangan tangan yang memegang sumpit.
"Trikkkkk!" Hek-i Mo-ong terpaksa melempar daging itu ke atas, menggunakan sumpitnya menangkis tasbeh dan ketika daging itu meluncur turun, disambutnya dengan sepasang sumpitnya lagi! Sungguh indah sekali pertahanan ini sampai Thai Hong Lama mengangguk sedikit tanpa menghentikan permainan sulingnya. Memang hebat Raja Iblis ini, pikirnya. Akan tetapi dia masih mempunyai tiga jurus lagi.
Sementara itu, ketika suling mulai ditiup, Ceng Liong mendengarkan dengan penuh perhatian. Ada getaran halus yang menyerang telinganya, membuat tubuhnya tergetar, akan tetapi tanpa disadarinya, sumber tenaga sin-kang yang amat kuat, yang berada di pusarnya, bergerak sendiri naik dan melindungi tubuhnya yang segera terasa hangat dan suara suling itu sama sekali tidak mempengaruhi telinga, jantung maupun syarafnya. Hanya anak ini merasa tidak senang sekali oleh suara itu, yang dianggapnya sumbang dan tidak enak seperti orang mendengarkan kaleng diseret. Maka, kegemasan mendengar suara tidak enak ini mendorong Ceng Liong untuk memukul-mukulkan sumpit gading di bibir mangkok kosong di atas meja di depannya sehingga terdengarlah bunyi tang-ting-tang�ting nyaring.
Suara tang-ting-tang-ting ini berlawanan dengan suara suling, dan karena Ceng Liong memukulnya dengan sengaja untuk mengacaukan suara suling yang dianggapnya tidak enak itu, maka terdengarlah paduan suara yang sumbang dan tidak karuan! Mula-mula suara ini membuat Thai Hong Lama terheran, akan tetapi perhatiannya segera tertarik dan suara sulingnya tersendat-sendat seperti dihalangi oleh suara pukulan mangkok itu. Tentu saja kekuatan dalam suara suling menjadi terpecah dan kehilangan banyak daya serangnya.
Hal ini terasa oleh Hek-i Mo-ong dan Raja Iblis inipun tertawa, suara ketawanya mengandung khi-kang dan segera sisa tenaga dalam suara suling itu lenyap oleh suara ketawa ini.
"Ha-ha-ha, Lama apakah engkau sudah lupa akan sisi seranganmu?"
Diejek demikian, tanpa mengandalkan suara sulingnya lagi, Thai Hong Lama lalu menggunakan suling yang sudah dilepas dari mulutnya itu untuk menotok ke arah pundak lawan sedangkan tasbehnya menyambar ke arah daging di sumpit.
"Wirrr.... wuuuutt!" Kembali serangan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Hek-i Mo-ong yang kini telah terbebas dari gangguan suara suling sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mempertahankan daging di ujung sumpit.
Dua kali lagi berturut-turut Lama itu menyerang, akan tetapi, selain sumpit itu selalu dapat dihindarkan dari benturan, juga kini tangan kiri Hek-i Mo-ong membantu dan melakukan penangkisan. Pada serangan terakhir, tiba-tiba tangan kiri Hek-i Mo-ong menyambar sepotong bakso di dalam mangkok dan sekali menyentilkan bakso itu dengan telunjuk kirinya, "peluru" ini meluncur cepat dan memasuki lubang suling. Kalau tadinya suling yang digerakkan itu mengeluarkan suara, kini tiba-tiba saja suara itu terhenti seperti jengkerik terpijak! Serangan terakhir itu menjadi kacau dan tidak berhasil menjatuhkan daging dari jepitan suling di tangan Hek-i Mo�ong.
"Sungguh Hek-i Mo-ong amat lihai, pinceng mengaku kalah," kata pendeta berjubah merah itu yang segera kembali ke tempat duduknya semula.
Kini Pek-bin Tok-ong mempersilahkan Siwananda untuk maju akan tetapi Siwananda yang merasa bahwa dia adalah wakil pemerintah Nepal, seorang wakil koksu negara, bersikap tenang dan berkata, "Silahkan Tok-ong maju memperlihatkan kepandaian, kami ingin memperluas pengetahuan dengan menjadi saksi saja."
Terpaksa Pek-bin Tok-ong maju dan menghampiri Hek-i Mo-ong. Kakek iblis ini tertawa dan mengganti daging baru yang diambilnya dari dalam mangkok. "Ha-ha-ha. Tok-ong, terhadap engkau aku akan menghormati dengan daging baru, dan juga harus berhati-hati. Jangan-jangan semua ototku akan putus dan tulang-tulangku akan terlepas!" Jelaslah bahwa dengan kata-kata itu Hek-i Mo-ong hendak menyindir calon lawan ini dengan Ilmu Hun-kin Coh-kut-ciang yang dimiliki Si Raja Racun itu. Pek-bin Tok-ong tersenyum. Tokoh Go-bi pertapa ini sudah pandai menyimpan perasaannya dan wajahnya nampak sabar dan tenang walaupun sesungguhnya orang ini memiliki kekejaman yang luar biasa. "Mo-ong, aku selalu tidak percaya bahwa ada ilmu lain dapat menandingi ilmu barumu Tok-hwe-ji itu. Marilah kita coba-coba dalam kesempatan ini!" Sambil berkata demikian, kakek ini menyingkap jubah putihnya, menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang kurus panjang seperti tulang terbungkus kulit saja. Akan tetapi, begitu dia menggerak-gerakkan kedua lengannya, kulit lengan yang tadinya putih pucat itu berobah menjadi agak biru seperti warna baja matang! Biru mengkilap dan kelihatan keras sekali. Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lawannya ini ternyata telah melatih sin-kang yang amat kuat, yang membuat kedua lengan itu menjadi seperti baja dan jari-jari tangan itu tentulah amat kuat pula sehingga mampu memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan. Maka, diam-diam diapun mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan diri dengan ilmunya yang mujijat, yaitu Ilmu Tok-hwe-ji yang mengerikan itu.
Dengan tubuh tegak di bangkunya, tangan kanan memegang sumpit yang menjepit daging baru, tangan kiri siap di atas meja di depan dadanya, Hek-i Mo-ong memandang lawan dengan mata beringas. Dari pandang matanya saja keluar tenaga mujijat dan walaupun dia tidak bermaksud mempergunakan ilmu sihirnya di dalam ujian itu, namun tenaga ilmu hitam keluar dari matanya dan membuat Pek-bin Tok-ong bergidik. Tokoh inipun maklum bahwa kalau saja pertandingan ilmu ini bukan hanya sekedar ujian dan main-main, dia akan berpikir beberapa kali sebelum menentang seorang seperti Raja Iblis ini.
"Mo-ong, jagalah seranganku!" Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar ke arah lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di antara mereka. Kedua tangannya itu menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang pisau yang amat kuat dan cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan Mo-ong. Terdengar suara bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa angin yang dingin sekali bertiup. Itulah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat itu.
Namun, Hek-i Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis atau mematikan serangan pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak untuk mengelak. Serangannya belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari tangan yang dia tahu amat
ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa menarik kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal. Selanjutnya, dia menyerang lagi dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan Tok-hwe-ji yang menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat ampuh itu. Hebatnya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya jari-jari tangannya yang amat hebat, dapat menembus tulang, akan tetapi juga dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan inilah yang membuat Pek-bin Tok-ong merasa kewalahan. Beberapa kali kedua lengan bertemu, bahkan jari-jari tangan mereka sempat bertemu, akan tetapi selalu pertemuan itu mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar. Setelah lewat lima jurus dia menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya penuh keringat dan mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat dari serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe-ji!
"Hebat.... engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!" kata kakek muka putih itu sambil menjura dan kembali ke tempat duduknya.
Melihat kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan merasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i Mo-ong sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat Siwananda yang menjadi seorang diantara sekutunya yang terpenting. Bukankah kakek berkulit kehitaman ini wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan akan dapat memperkuat kedudukannya kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja? Maka, Gubernur Yong lalu berkata sambil tersenyum, "Sekarang tiba giliran saudara Wakil Koksu Nepal untuk menguji calon pembantu kami."
Siwananda bangkit berdiri dengan sikap angkuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata, "Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi sudah mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji sampai di mana kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang koksu yang baik."
Gubernur Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan adu kekuatan sihir. Dia mengangguk gembira dan berkata, "Silahkan, saudara Siwananda."
Kakek Gurkha yang tinggi besar ini segera menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong telah menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya saling berpandang mata. Biarpun bagi orang lain mereka itu hanya saling pandang, namun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengukur tenaga dan kekuatan batin mereka masing-masing melalui pandang mata itu! Terjadilah adu kekuatan mujijat melalui sinar mata mereka dan diam-diam Siwananda terkejut. Diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai ilmu sihir, akan tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata itu demikian kuatnya! Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi berlipat ganda dengan kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biarpun mereka yang hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling mengukur tenaga batin, namun mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi ruangan itu, yang membuat mereka merasa tegang dan juga seram.
"Hek-i Mo-ong, yang kaupegang dengan sumpit itu seekor burung hidup!" Tiba-tiba terdengar suara Wakil Koksu Nepal itu. Semua orang memandang ke arah potongan daging yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong dan terbelalaklah mereka ketika melihat bahwa daging itu kini benar-benar telah menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan sayapnya berusaha untuk lolos dari jepitan sepasang sumpit. Kalau burung itu sampai lolos, maka berarti Hek-i Mo-ong kalah karena bukankah ujian itu untuk merampas daging dari jepitan sumpitnya? Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan jepitan sumpit saja.
"Biarpun burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?" tiba-tiba terdengar suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi. Dan burung yang tadinya menggeleparkan sayapnya itu tiba -tiba saja kehilangan kekuatannya dan sayap itu benar-benar telah kehilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat digerak-gerakkan naik turun dengan lemah saja!
"Hek-i Mo-ong, sepasang sumpitmu itu adalah sepasang ular!" Dan semua orang terbelalak kaget dan heran karena begitu Siwananda mengeluarkan teriakan ini, sepasang sumpit di tangan Raja Iblis itu benar-benar berobah menjadi dua ekor ular, sedangkan burung tadi telah berobah pula menjadi sepotong daging!
"Sepasang ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!" Hek-i Mo-ong menyambung, dan dua ekor ular itu kini "menari�nari" berlenggak-lenggok, akan tetapi daging itu mereka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mungkin terlepas lagi.
Siwananda tertawa dan bangkit sambil menjura. "Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami mengucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon koksu yang amat pandai!" Kakek Gurkha ini lalu memberi hormat kepada Gubernur Yong. Pembesar ini merasa girang sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong daging dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke mulut, lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Ceng Liong merasa bangga dan girang. Dia menghampiri gurunya dan berkata, "Mo-ong, aku mengucapkan selamat atas pengangkatanmu sebagai koksu!" Dan dengan hati setulusnya anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat!
"Ha-ha-ha, terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru calon saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku benar-benar menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bangsawan, murid koksu. Ha-ha-ha!"
Tailucin, Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok-ong juga mengucapkan selamat atas kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu, dan Thai Hong Lama yang tadi merasa betapa suara sulingnya dikacaukan oleh anak itu sehingga memudahkan Hek-i Mo-ong memperoleh kemenangan atas dirinya, menambahkan, "Omitohud.... Mo-ong, muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia akan lebih hebat dan lebih jahat daripada gurunya!"
Dikatakan jahat bagi seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima pujian! Maka diapun tertawa bergelak. Akan tetapi Ceng Liong memandang pendeta Lama itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.
"Lama, jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan menjadi seorang penjahat biarpun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!"
Tentu saja semua orang menjadi heran mendengar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-ong tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang ditimbulkan oleh sikap muridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak muridnya, semakin sukalah hati Hek-i Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan adalah keanehan dan sifat yang lain daripada orang lain, dan menerjang semua hukum-hukum yang telah ada tanpa memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.
Gubernur Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini akan tetapi terpaksa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan bantuan mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang sesungguhnya merupakan acara inti dari pertemuan itu. Sebagai seorang yang mengharapkan kedudukan koksu dan pembantu utama gubernur yang hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga Ceng Liong, walaupun belum dapat menangkap seluruh maksud dari percakapan itu, mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa apa yang didengarnya itu amat penting baginya.
Dengan panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong menceritakan rencana mereka bersama. Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang kuat dan besar untuk menyerang Tibet. Serbuan ini diharapkan dapat berhasil dalam waktu yang tidak terlalu lama dan mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan diatur oleh Thai Hong Lama.
"Jangan khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan sewaktu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pendeknya, dengan bantuan kami, bala tentara Nepal tentu tidak akan suka untuk menduduki Tibet." Demikian Thai Hong Lama mengutarakan isi hatinya. Menurut perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan Nepal, Thai Hong Lama yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara taklukan dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu, yaitu dengan mencegah datangnya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng. Dengan demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amatlah penting karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan sukarlah daerah itu direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh panglima-pang lima pandai seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah membuat tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang lalu (baca KISAH SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN).
Kemudian, setelah mereka berhasil merebut Tibet, barulah mereka akan mengadakan pasukan gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di barat dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan melakukan penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.
"Akan tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan menanti saat yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memiliki banyak panglima yang pandai dan pasukan yang kuat," kata sang gubernur.
"Ha-ha-ha, harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang dan membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman-teman, bahkan para penghuni Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!" Akan tetapi, ketika bicara sampai di situ, Hek-i Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang mendelik kepadanya. Dia menoleh dan terkejut melihat bahwa orang yang melotot kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para tokoh di situ menjadi terbelalak.
"Apa katamu? Para penghuni Pulau Es....?" kata Pek-bin Tok-ong kaget.
"Omitohud....! Kaumaksudkan bahwa engkau telah berhasil membunuh Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" tanya pula Thai Hong Lama yang menganggap berita itu seperti petir menyambar di siang hari panas.
Hek-i Mo-ong menjadi serba salah. Dia tahu bahwa di depan muridnya, amat tidak baik membicarakan tentang kebinasaan para penghuni Pulau Es, akan tetapi dia telah terlanjur bicara dan takkan dapat ditariknya kembali. Maka diapun menarik napas panjang.
"Manusia mana di dunia ini yang sanggup mengalahkan Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es? Bahkan dewa sekalipun akan sukar mengalahkannya. Tidak, kami tidak berani melawan Pendekar Super Sakti. Kami hanya melawan isteri-isterinya dan hal itupun mengakibatkan tewasnya banyak anak buah dan hampir semua kawan-kawanku. Mereka itu sungguh hebat bukan main. Aku sendiri nyaris binasa. Bagaimanapun juga, kini Pulau Es telah terbakar habis berikut para penghuninya, dan kami akan terus melakukan sampai semua pendekar yang menentang kami lenyap dari permukaan bumi. Bukankah kalau sudah begitu, gerakan taijin akan lebih mudah dilakukan?"
Gubernur Yong mengangguk-angguk, akan tetapi Pek-bin Tok-ong agaknya masih penasaran mengenai Pulau Es. "Mo-ong, kaukatakan bahwa Pulau Es terbakar habis berikut para penghuninya. Benarkah itu? Apakah engkau dan kawan-kawanmu yang telah berhasil membakar pulau itu?"
Kalau saja dia tidak teringat kepada kehadiran muridnya, tentu dengan senang dan bangga sekali Hek-i Mo-ong akan membual dan mengaku bahwa dialah yang telah menghancurkan dan membakar Pulau Es. Akan tetapi, kehadiran Ceng Liong membuat dia tidak mungkin dapat membohong. Watak muridnya ini aneh sekali, siapa tahu muridnya akan membuatnya malu dan menyangkalnya kalau dia berbohong.
"Tidak, kami sisa para penyerbu telah meninggalkan pulau ketika kami melihat dari jauh pulau itu terbakar habis." Karena tidak ingin mereka itu mendesak lebih lanjut tentang Pulau Es dan kini sikap Ceng Liong telah biasa kembali, Hek-i Mo-ong lalu berkata cepat, "Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kita. Lebih baik kita sekarang melihat halangan dan hambatan apa yang kiranya akan mengganggu gerakan kita dan kita lenyapkan halangan itu."
Semua orang mengangguk setuju dan Wakil Koksu Nepal lalu berkata, "Memang benar apa yang dikatakan Mo-ong. Kita harus menghalau semua hambatan dan ada beberapa hal yang membuat kami merasa gelisah. Pertama-tama adalah negara tetangga kami yang kecil, yakni Bhutan. Negara kecil itu menjadi penghalang besar bagi gerakan kami menyerbu Tibet karena sampai sekarang Bhutan tidak mau tunduk, bahkan tidak memiliki sikap bersahabat dengan kami. Karena itu, setiap gerakan kami yang melanggar wilayah mereka, tentu akan mereka tentang dan hal ini sungguh memusingkan dan membuang banyak tenaga kalau kami harus menggempur Bhutan lebih dulu."
"Bhutan? Negara yang demikian kecilnya?" Gubernur Yong memandang rendah. "Apa sih kekuatan negara kecil itu? Mengapa tidak ditundukkan saja lebih dulu? Hal itu tentu jauh lebih mudah daripada menundukkan Tibet."
"Agaknya Yong-taijin belum mendengar. Bhutan sekarang tidak dapat disamakan dengan Bhutan belasan tahun yang lalu. Biarpun negara itu kecil, akan tetapi memiliki pasukan pilihan yang amat kuat, di bawah pimpinan Puteri Syanti Dewi yang lihai dan suaminya yang lebih lihai lagi. Tidak, menyerbu Bhutan sama dengan mencari penyakit," kata Siwananda, orang Gurkha yang menjadi Wakil Koksu Nepal itu dan sikapnya nampak jerih. Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa heran. Wakil koksu itu sendiri demikian lihai, akan tetapi kelihatan jerih ketika menyebutkan nama seorang Puteri Bhutan dan suaminya.
"Omitohud, pinceng pernah mendengar tentang mereka dan kabarnya suami isteri itu memang luar biasa lihainya. Kabarnya, puteri itu pandai menghilang saking cepatnya ia dapat bergerak, sedangkan suaminya adalah seorang Han yang pada belasan tahun yang lalu pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Kalau tidak salah, dia berjuluk Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Sang puteri kabarnya tidak mau menggantikan ayahnya dan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang saudara laki-laki, sedangkan ia sendiri bersama suaminya menjadi panglima-panglima yang memimpin bala tentara Bhutan. Benarkah demikian, saudara Siwananda?" Yang ditanya mengangguk membenarkan.
"Dan halangan lain, apakah itu, saudara Siwananda?" tanya sang gubernur.
"Selain adanya Bhutan yang menjadi penghalang, juga kini banyak terdapat tokoh-tokoh pertapa di Himalaya yang kabarnya diam-diam juga mengamati gerak-gerik kami. Mereka itu kadang-kadang mengambil sikap bermusuh dan agaknya mereka tentu akan ikut menentang kalau kami menyerbu Tibet. Semua ini adalah gara-gara Jenderal Kao Cin Liong yang dahulu pernah menentang kami dan di sana dia telah mempunyai banyak sahabat yang siap membantunya dan menentang kami."
Semua orang merasa khawatir dengan berita yang tidak baik ini. "Ah, kalau begitu.... gerakan kita menghadapi ancaman yang berat." kata Gubernur Yong, kemudian ia teringat akan Hek-i Mo-ong yang menjadi pembantu utamanya, maka diapun menoleh kepada Raja Iblis itu. "Lo-sicu, kita menghadapi rintangan yang cukup berat, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?"
Pertanyaan ini selain memancing, juga agaknya sang gubernur ingin melihat kegunaan dari orang lihai ini.
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk sambil mengerutkan sepasang alisnya yang sudah beruban, seperti seorang ahli pikir yang sedang mengerjakan otaknya yang cerdik. "Hal itu sudah saya pikirkan sejak mendengar dari saudara Siwananda tadi, taijin. Harap taijin jangan khawatir. Kalau yang menjadi penghalang itu berupa pasukan besar, tentu saja yang harus menghalaunya juga pasukan yang lebih kuat lagi. Akan tetapi kalau yang dikhawatirkan itu perorangan, seperti suami isteri bangsawan Kerajaan Bhutan itu atau tokoh-tokoh pertapa di Himalaya, serahkan saja kepada saya, tentu akan dapat saya enyahkan mereka!"
Sang gubernur mengangguk-angguk girang. "Lalu, sekarang apa yang hendak sicu lakukan?"
"Perkenankan saya dan murid saya pergi ke Bhutan dan Himalaya untuk melakukan penyelidikan dan saya akan membasmi setiap orang yang hendak menentang gerakan kita dari Nepal ke Tibet lalu ke timur."
Omitohud....! Itulah yang terbaik!" kata Thai Hong Lama. "Kalau Mo-ong mau membantu, nanti akan pinceng tunjukkan siapa-siapa orangnya yang patut dibasmi. Kita dapat bekerja sama, Mo-ong."
"Akupun mengenal mereka yang berpihak kepada Kerajaan Ceng!" kata Pek-bin Tok-ong. "Dan engkau bisa mendapatkan bantuanku untuk menghantam para pertapa itu, Mo-ong."
Hek-i Mo-ong mengangguk. "Baik, kalau perlu, aku akan menghubungi kalian di sana. Akan tetapi, agaknya untuk melaksanakan pekerjaan ringan ini aku tidak akan membutuhkan bantuan orang lain."
"Dan kami akan mempersiapkan pasukan kami di perbatasan utara dan Tibet. Harap saudara Siwananda selalu mengirim kurir penghubung agar kami selalu dapat mengikuti sampai di mana majunya gerakan dari Nepal," kata Tailucin.
"Baik, kami tentu selalu menghubungi pasukanmu, saudara Tailucin, jangan khawatir," jawab orang Gurkha itu.
Perjamuan dilanjutkan dengan meriah dan gembira. Kemudian sang gubernur dengan royal lalu membagi-bagi hadiah berupa barang-barang berharga kepada mereka semua sebelum mereka bubaran. Hek-i Mo-ong menerima sekantung uang emas sebagai bekal, juga dua ekor kuda yang amat baik. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong telah berangkat menunggang kuda menuju ke barat.
******
"Sumoi, engkau lihat bagaimana dengan kemajuan latihanku? Telah empat bulan lamanya aku berlatih menurut petunjuk suhu, aku khawatir masih belum sempurna," kata Louw Tek Ciang, pemuda yang diambil murid dan diambil calon mantu oleh Suma Kian Lee itu, pada suatu pagi kepada Suma Hui yang bertugas mengawasi dan membimbingnya. Mereka berada di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah sudah berapa puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui menganggap pertanyaan itu lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda itu sengaja bertanya agar kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal yang amat disuka oleh pemuda itu.
"Dua pekan yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau tentu sudah paham benar," jawab Suma Hui yang sedang memotongi daun-daun bunga yang ditempeli telur belalang.
"Maukah engkau mencoba dan mengukur latihan dasar sin-kang yang kupelajari, sumoi?" Tek Ciang memohon dan seperti biasa, Suma Hui tidak menolaknya. Biarpun tadinya ia merasa tidak puas melihat ayahnya menerima pemuda ini sebagai murid, akan tetapi setelah bergaul selama empat bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan, sehingga tidak ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walaupun hal itu bukan berarti bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin sikap yang terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga dan belum penuh kepercayaan hatinya kepada suhengnya ini.
"Tentu saja. Nah, marilah kita mulai!" kata Suma Hui. Dengan girang Tek Ciang Lalu memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan suhunya, menggerakkan kedua lengannya ke atas bawah lalu bersilang dan pada saat itu mendorongkan kedua lengannya ke depan dengan tangan terbuka sambil mengerahkan tenaga. Suma Hui yang berdiri di depannya menyambut tangan yang didorongkan itu dengan kedua tangannya sendiri.
"Plakkk!" Kedua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang merasakan telapak tangan yang lunak, halus dan hangat, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Suma Hui mengerutkan alisnya. Pemuda ini memang berbakat dan agaknya telah menguasai tehnik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sin-kang yang kemudian dapat dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Akan tetapi, seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan yang hanya terjadi kalau pemuda itu kurang memusatkan perhatian pada getaran melalui telapak tangan itu. Ini menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang atau terkacau oleh sesuatu.
"Suheng, engkau sudah berhasil baik, hanya masih saja engkau belum dapat memusatkan seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendorong. Aku merasakan adanya kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kaupikirkan setelah engkau melakukan gerakan mendorong itu?"
Apa lagi yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk berkata demikian lancang, maka diapun mengambil sikap menyesal. "Ah, dasar aku yang bodoh, sumoi. Aku selalu merasa ragu-ragu akan kemampuan sendiri sehingga pada saat aku mendorong, aku merasa khawatir kalau-kalau salah."
"Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkaupun sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sin-kang dari keluarga kami. Aku mengucapkan selamat, suheng."
"Dan engkau terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat baik hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling cantik jelita, yang pernah kukenal."
"Suheng....!" Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya berobah merah. Bagaimanapun juga, suhengnya ini hanya memujinya, jadi, tidak ada alasan baginya untuk marah-marah.
"Aku hanya bicara apa adanya, sumoi...." Tek Ciang melanjutkan rayuannya.
"Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang diriku...."
"Tapi, sebaliknya aku suka sekali...."
Pada saat itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu dari luar. Keduanya mengangkat muka memandang.
"Siapa engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?" Tek Ciang membentak marah akan tetapi dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoinya berobah menjadi amat gembira.
"Cin Liong....!" Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.
"Hui-i....!" Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi diapun berhenti berdiri saja sambil memandang kepada pemuda tampan bermuka putih dan pesolek itu, yang tidak dikenalnya.
Melihat sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Suma Hui lalu memperkenalkan, "Cin Liong, dia ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan diangkatnya."
"Ahhh....!" Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, lalu teringat bahwa menurut kedudukan, dia lebih rendah, maka diapun menjura dengan sikap hormat kepada pemuda itu sambil berkata, "Susiok....!"
Kini giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini menyebutnya susiok (paman guru)! "Sumoi.... siapakah orang ini....?" tanyanya gagap dan bingung.
"Suheng, dia bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... eh, seorang keponakanku."
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong bergantian dengan sinar mata tidak percaya. "Keponakan....? Tapi.... tapi mana mungkin....!"
Suma Hui tersenyum. Kegembiraannya melihat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar untuk dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang. "Sudahlah, suheng. Engkau tidak mengerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Biarlah lain kali saja kuceritakan dan sekarang kuharap engkau suka meninggalkan kami dan membiarkan kami bercakap-cakap."
Tek Ciang merasa terpukul. Dia menunduk dengan muka merah, sekali lagi mengerling ke arah Cin Liong lalu berkata, "Baiklah, sumoi, baiklah...." dan diapun pergi dari situ menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kamarnya di dekat lian-bu-thia, yakni ruangan berlatih silat.
Melihat pemuda itu sudah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak basah. Selama ini dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa seolah-olah kehidupan menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang tiba-tiba itu membuat hidup seolah-olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar kebahagiaan. "Cin Liong, mari bicara di dalam...." ajaknya dengan gembira dan iapun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu. Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi juga membuatnya ragu-ragu dan takut.
"Ayah ibumu....?" bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandeng dalam pertemuan antara jari-jari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaan rindu dan sayang.
"Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum kembali. Di rumah kosong tidak ada orang...."
"Dan susiok tadi?"
"Ah, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri dengan dasar sin-kang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin Liong...." Mereka bergandeng tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu.
Begitu mereka tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.
"Hui...." bisik Cin Liong.
"Cin Liong.. .." Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.
"Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini...." bisik Cin Liong.
Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul karena kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
"Dan engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?"
Suma Hui hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegang di atas meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang kepada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.
"Ah, bagus sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walaupun mereka masih merasa takut-takut untuk melakukan pe minangan atas dirimu."
"Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Ia setuju sepenuhnya, akan tetapi ibu menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju."
"Lalu bagaimana dengan ayahmu?" tanya Cin Liong khawatir.
"Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal itu dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah...."
"Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju.. .."
Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya dan mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata, "Baik ayah maupun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan dapat menghalangiku berjodoh denganmu!"
Cin Liong memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang tidak mungkin ditekuk sampai bagaimanapun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan malapetaka di dalam keluarga itu.
"Kita harus tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui, andaikata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain, melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar."
Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang! Biarpun mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah. Gelora asmara yang mengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum kedua orang muda itu memasuki ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga.
"Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i...."
"Hishh, masa engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!" sela Suma Hui.
Cin Liong tersenyum, "Ah, segala macam sebutan dalam hubungan keluarga yang jauh masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui).. .."
"Kenapa mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!"
"Tapi kalau terdengar orang...."
"Perduli apa dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?"
Cin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung."
"Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu."
"Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu."
Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju keluar. Cin Liong lalu meninggalkan kekasihnya yang mengantarnya dengan pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari jauh! Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan bahwa yang membayanginya itu adalah Lonw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari Suma Hui dan yang disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam? Ah, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang setolol itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seolah-olah hendak "melindungi" sumoinya? Bagaimanapun juga, Cin Liong tidak mau membuat "susioknya" itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata "susiok" itu telah lenyap dan diapun tersenyum sendiri.
Dengan napas terengah-engah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya dilakukan sambil berlari cepat, Tek Ciang menghadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.
"Wah, celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!"
"Hushhh....!" Louw-kauwsu terkejut bukan main, menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya. "Ucapan apa itu?" bentaknya ketika dia berada aman di dalam kamar bersama puteranya.
"Siapa sudi menikah dengan gadis seperti itu? Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran dengan keponakannya sendiri!" Dengan suara mengandung kemarahan Tek Ciang lalu menceritakan semua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pemuda bernama Kao Cin Liong datang berkunjung ke rumah suhunya.
Bukan main kaget dan herannya hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh merupakan hal yang amat aneh dan sukar dapat dipercaya. "Benarkah ceritamu itu? Benarkah pemuda itu keponakannya?" Kalau Suma Hui mempunyai seorang pacar, hal itu masih dianggapnya biasa walaupun tentu saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran dengan seorang keponakan sendiri? Mustahil rasanya!
"Akupun tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu mengaku keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok."
"Jangan-jangan hanya murid keponakan saja, bukan keluarga."
"Dia menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi gurunya. Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!"
"Tolol! Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk menggagalkan hubungan mereka, dan aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan antara puterinya dan keponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang. Bukankah dia sudah memilih engkau untuk menjadi calon
mantunya? Pula, kurasa hubungan itu hanya hubungan akrab antara bibi dan keponakannya saja."
"Hubungan akrab? Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan, saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta, tidur bersama....!" kata Tek Ciang marah.
"Hushh....! Tahan mulutmu. Pemuda itupun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani bermain gila dengan bibi sendiri? Tek Ciang, kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah muridnya yang ditugaskan menemani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu datang mengacau, kita harus melindungi kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh pemuda tidak sopan itu. Di mana dia?" Louw-kauwsu tentu saja marah dan khawatir sekali melihat bahaya kegagalan ikatan jodoh antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan hancurnya semua kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang amat terkenal itu.
"Tadi aku membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang berada di bagian kiri."
"Baik, engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya jalan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu. Nah, kau kembalilah ke rumah suhumu dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu."
"Tapi, ayah....!" Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena sudah tertanam rasa tak senang bahkan benci terhadap diri Suma Hui yang mengecewakan hatinya.
"Diam! Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi masa depanmu sendiri, tahu?" Tek Ciang tidak berani membantah lagi lalu kembalilah dia ke rumah keluarga Suma.
Bagaimanapun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan diapun diundang untuk makan bersama, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma Hui menikmati masakan gadis itu dan biarpun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap mereka sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara mereka, namun Tek Ciang merasa sekali adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara mereka. Tentu saja hatinya terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam saja. Akan tetapi begitu selesai makan, diapun berpamit dengan alasan untuk berlatih di dalam kamarnya.
Cin Liong bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal beberapa hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan berita tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan. Mereka bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seperti yang hanya dapat dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul bahwa hubungan mereka akan ditentang oleh ayah gadis itu, dapat mereka lenyapkan dengan kebulatan tekad mereka bahwa apapun yang akan terjadi, mereka berdua akan menghadapinya bersama dan tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat menghalangi hubungan mereka dan niat mereka untuk menjadi suami isteri!
Senja telah berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya. Bagaimanapun juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan, dan diapun tidak berani terlalu malam bertamu walaupun hatinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia berjalan menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati penuh rasa bahagia. Biarpun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun baru dua kali inilah Cin Liong jatuh cinta. Pertama kali, cintanya terhadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami kegagalan karena cintanya tidak terbalas dan semenjak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta lagi sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di hatinya membuat pemuda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda remaja mengalami cinta pertama saja.
Cin Liong adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di antara perajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk yang menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia selalu pergi dengan pakaian preman, seperti seorang pemuda pelajar biasa. Hanya ketika memimpin pasukan sajalah dia berpakaian seragam seorang panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena memudahkan dia dalam tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.
Itulah sebabnya, walaupun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja, akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang mengenalnya sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu. Demikian pula Louw Kam atau Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang sejak tadi membayanginya, sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak diserang itu adalah seorang panglima kerajaan yang ternama, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti. Andaikata Louw-kauwsu tahu akan hal ini, tentu dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani menggunakan tindakan menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.
Penyerangan itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan golok dan pedang, Cin Liong cepat mengelak dan melompat ke depan, lalu membalikkan tubuhnya. Penyerangan gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa oleh peristiwa seperti ini. Dia dalam tugasnya, sudah seringkali dia menghadapi penyerangan gelap yang dilakukan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu kaki tangan pemberontak, atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha membunuhnya dengan jalan membokong. Diapun tidak merasa heran ketika melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal tiga orang ini.
Sementara itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Tadinya sudah dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali serang saja. Maka diapun lalu membentak marah, "Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan pedangku!" Dan diapun sudah menyerang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah dada Cin Liong. "Wirrr....!" Cin Liong mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan orang. Biasanya, kalau dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hnbungannya dengan tugas dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang dengan tuduhan menjadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali.
"Eh, nanti dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!" bantahnya.
Akan tetapi, dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri, menggunakan golok mereka. Serangan mereka itu jelas serangan untuk membunuh dengan gerakan yang cepat kuat dan keji sekali. Memang dua orang ini adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang disewa oleh Louw Kam untuk membantunya membunuh pemuda yang dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.
Karena menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya berkelebat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia bergerak seperti kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan kanannya.
"Bukkk! Dessss....!" Dua orang itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka terpental dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang lututnya, dan orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.
Melihat ini, Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang walaupun tidak memiliki ilmu silat terlalu tinggi, akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja mereka sudah roboh dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap sebagai makanan lunak itu. Karena sudah terlanjur, guru silat yang ambisius ini lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Cin Liong dapat mengenal jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih baik dan lebih tangguh dibandingkan dua orang pertama tadi, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ke tiga inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan membiarkan tusukan itu lewat di samping tubuhnya dan dengan perlahan dia mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat menahan hawa dorongan dahsyat itu dan diapun terjengkang!
Akan tetapi, Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal ini tidak diselidiki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang anggauta keluarga Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi! Kenekatan Louw Kam membuat dia dapat meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Biarpun baru diserang beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenal dasar gerakan silat Siauw-lim-pai ini maka diapun mengelak lagi, merasa ragu menjatuhkan atau melukai lawan.
"Nanti dulu, sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Mengapa engkau menyerangku?"
Makin jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pemuda ini benar-benar seorang ahli silat yang pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya. Dia merasa makin menyesal akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus terang. Terus terang sama saja artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan satu-situnya hanyalah membunuh orang ini. Dia menyerang lagi tanpa menjawab dan kini dia menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar ketika menyambar ke depan, dibarengi bentakannya yang nyaring.
Cin Liong menjadi marah. Diapun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng scndiri. Maka tentu orang di depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad, atau bukan murid Siauw-lim-pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat membongkar rahasia penyerangan ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh lawannya.
"Bressss....!" Serangan Louw Kam disambut oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan kilat yang amat dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah. Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan main. Kalau bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serangan pedangnya tadi dengan tendangan yang membuatnya terlempar? Dia merasa sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang iganya yang patah. Akan tetapi, tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti akan mencelakakan namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian Lee bahwa dia mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu keponakan pendekar itu, sungguh dia tidak berani membayangkan apa yang akan menjadi akibatnya sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri pendekar sakti itu! Satu-satunya jalan hanyalah melawan dan berusaha sedapat mungkin untuk membunuh pemuda ini. Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula, biarpun dengan terpincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran
itu juga memegang teguh janji mereka dan biarpun mereka sudah terluka, melihat betapa Louw-kauwsu melawan terus, merekapun mencoba untuk membantunya.
Diam-diam Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang ini, akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan membencinya? Tentu ada sebabnya, dan mungkin juga hanya suatu kesalahpahaman belaka. Maka, ketika mereka menerjang lagi, diapun cepat bergerak dan mendorong mereka sampai mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam tidak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri mengalami patah tulang pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak ada artinya. Pemuda itu sungguh terlampau kuat
untuk dilawan olehnya. Dan dia tahu bahwa pemuda itu agaknya hendak menangkapnya dan hendak memaksanya mengaku mengapa dia dan dua orang temannya melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw Kam menjadi bingung sekali. Akan tetapi tiba-tiba dia memperoleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya dan juga untuk menjatuhkan fitnah buruk terhadap pemuda yang menjadi penghalang kebahagiaan puteranya ini. Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak tidak jauh dari tempat dia
roboh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali dia menusuk dan pedangnya menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah muncrat dan mereka berkelojotan sekarat.
"Heiiii!" Cin Liong berseru kaget bukan main melihat perbuatan laki-laki murid Siauw-lim-pai itu. Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tidak mau membiarkan orang itu lari. "Tunggu dulu, jangan lari!" bentaknya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul. Akan tetapi, tiba-tiba Louw Kam membalik dan menggunakan pedang di tangannya menggorok leher sendiri.
"Celaka....!" Cin Liong berteriak dan cepat kakinya menendang lengan yang memegang pedang. Namun karena perbuatan guru silat itu sama sekali tidak pernah diduganya, biarpun tendangan itu tepat mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she Louw itu sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama kemudian!
Sejenak Cin Liong termenung, memandangi tiga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang jahat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia merobohkan lawan, tentu dia mengenal siapa lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya. Akan tetapi, tiga orang ini menyerangnya tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa mereka begitu nekat? Mengapa pemimpin mereka itu sampai tega membunuh kawan-kawan sendiri kemudian membunuh diri? Hanya satu jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati daripada menyerah dan tertangkap! Cin Liong lalu pergi mengunjungi perwira yang menjadi komandan keamanan di kota Thian-cin. Ketika Cin Liong malam-malam datang ke rumah komandan ini dan memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut sekali dan dengan gugup melakukan penyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong, panglima muda yang amat terkenal dan yang datang dengan pakaian preman itu.
Cin Liong menceritakan tentang penyerangan tiga orang itu. "Harap ciangkun suka melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku mati-matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an."
Coa-ciangkun, komandan itu, mengangguk-angguk. "Baik, Kao-goanswe, akan saya laporkan besok. Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaiknya tidak bermalam saja di rumah kami? Daripada di rumah penginapan umum itu...."
Akan tetapi Cin Liong menggoyang tangan. "Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan melakukan perjalanan dengan diam-diam untuk dapat melakukan pengamatan dan penyelidikan dengan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiranku di kota ini."
Biarpun kehadiran jenderal muda itu dirahasiakan sehingga tidak ada yang tahu, namun peristiwa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang dikenal sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran, telah tewas di tepi jalan tanpa diketahui siapa pembunuhnya! Tentu saja Tek Ciang menjadi terkejut sekali dan pemuda ini menangisi jenazah ayahnya. Hanya dialah seorang yang tahu benar mengapa ayahnya tewas dan dia dapat menduga siapa pembunuh ayahnya itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membuka mulut mengatakan kepada siapapun juga karena hal itu akan membuka rahasia ayahnya yang hendak membunuh Cin Liong dan juga membuka rahasia dirinya sendiri.
"Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan kematian ayah kepada Kao Cin Liong itu, apapun jalannya!" Begitulah dia berbisik dalam hati ketika dia menyembahyangi peti mati ayahnya. Suma Hui yang mendengar berita itupun terkejut sekali dan dara ini menyatakan duka citanya atas malapetaka yang menimpa diri ayah suhengnya. Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia pun mewakili mereka untuk datang melayat dan bersembahyang di depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tidak tahu betapa selagi ia bersembahyang, sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh dendam dan kemarahan yang ditahan-tahan.
Sementara itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa adanya mereka. "Kami tidak dapat mengetahui mengapa mereka itu menyerang paduka," demikian kata komandan Coa. "Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu adalah dua orang pembunuh bayaran dan siapapun akan mereka serang dan bunuh asalkan mereka diberi uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari keterangan mengapa dia minta bantuan dua
orang penjahat itu untuk menghadang dan menyerang paduka. Putera tunggalnya juga tidak tahu, apalagi karena sudah beberapa bulan ini putera tunggalnya tinggal bersama Suma-taihiap...."
"Suma-taihiap?" Cin Liong bertanya kaget. "Suma-taihiap siapa?"
"Pendekar Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap dan memang ada jalinan persahabatan antara Suma-taihap dan Louw-kauwsu."
"Ahhh....!" Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah dia bergegas ke rumah Suma Hui.
Gadis itu menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu. "Cin Liong, telah terjadi malapetaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbunuh orang!"
Akan tetapi, bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang memandang dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang saja, bahkan menjawab, "Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sendiri."
"Apa.... apa maksudmu....?"
Cin Liong menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk ke dalam rumah. "Mari kita bicara di dalam."
Setelah mereka berada di dalam rumah, Cin Liong lalu menceritakan semua pengalamannya malam tadi sudah meninggalkan rumah kekasihnya. "Aku berusaha untuk mengetahui sebab-sebab mengapa mereka menyerangku kalang-kabut tanpa alasan, dan aku sudah berhati-hati agar tidak sampai membunuh mereka. Maka aku hanya merobohkan mereka dengan mematahkan tulang pundak saja.
Siapa kira, orang itu membunuh kedua orang temannya dengan tusukan pedang, kemudian melarikan diri. Ketika aku mengejarnya, tiba-tiba dia menggorok leher sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Komandan Coa yang kuperintahkan menyelidiki, juga tidak dapat menerangkan mengapa guru silat Louw itu hendak membunuhku." Suma Hui merasa demikian kaget dan heran sehingga tak dapat berkata-kata sampai beberapa lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang. "Sungguh mati kejadian itu amat aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan bertanya kepada Louw-suheng pagi tadi, akupun berada di sana melayat. Louw-suheng tidak dapat memberi keterangan apa-apa, karena diapun sama sekali tidak tahu dan sudah empat bulan selalu berada di rumah ini."
Cin Liong mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari kemarin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.
"Aku ingin dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak kenal denganku itu demikian membenciku dan ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu ada sebab-sebab yang amat penting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak mungkin kalau puteranya tidak tahu."
Suma Hui memandang khawatir. "Akan tetapi, suheng tidak tahu bahwa yang menyebabkan kematian ayahnya adalah engkau! Perlukah hal itu diberitahukan kepadanya?"
Cin Liong tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya. "Hui-moi, kenapa engkau? Bukankah itu sudah seharusnya? Seorang gagah tidak akan memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan membunuh diri karena tidak mau kutangkap. Dan serangan-serangan itupun dimulai dari pihaknya terhadap diriku tanpa alasan. Betapapun pahitnya, Louw Tek Ciang harus berani
menghadapi kenyataan ini, dan kalau dia menganggap aku sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam, dia bukan seorang gagah dan tidak patut menjadi suhengmu!"
Suma Hui sadar dan iapun mencengkeram tangan kekasihnya. "Engkau benar, Cin Liong, engkau benar dan memang seharusnya hal ini dibicarakan dengan terus terang kepadanya. Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku. Agaknya ayahku tidak akan keliru memilih sahabat."
"Akupun sudah mendengar pelaporan Coa-ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa sesungguhnya yang menjadi sebab sehingga dia membenciku. Apakah dia telah tersesat menjadi kaki tangan pemberontak? Dan ada satu hal lagi yang amat mengganggu pikiranku. Sebelum roboh dan sebelum membunuh diri, orang itu pernah memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak gadis orang!"
"Ehhh....?" Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti. Kekasihnya dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang? Sungguh aneh, lucu dan membuat orang menjadi penasaran! Kekasihnya seorang jenderal muda, seorang panglima yang terhormat, seorang pendekar sakti yanug berilmu tinggi dan gagah perkasa!
"Itulah sebabnya yang mendorongku untuk bicara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat membantu memecahkan persoalan yang membingungkan ini."
Terpaksa Cin Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan diapun memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi. Setelah penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhunya dengan pakaian berkabung, Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek Ciang masih pucat ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.
"Louw-suheng, Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai ayahmu," Suma Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.
Tek Ciang mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong, kemudian menoleh kepada Suma Hui. "Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku telah meninggal...." suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.
"Louw-susiok," kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati Suma Kian Lee biarpun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu. "Apakah engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?"
Tek Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam. "Dia dibunuh penjahat, apa lagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!" Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi beringas. Tentu saja hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang tidak enak ini.
"Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri kelehernya."
Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Karena akulah orangnya yang kaunamakan penjahat tadi." Wajah itu semakin pucat dan matanya semakin terbelalak.
"Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!" Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.
"Suheng, tenang dan duduklah lagi!"
Tek Ciang menoleh kepada sumonya, lalu menjatuhkan diri duduk kembali, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.
"Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula."
"Aku sudah mendengar akan kematian ayah!" Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata. "Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!"
"Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kaupercaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong."
Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoinya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran, "Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri."
"Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kaucoba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka. Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri. Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?"
Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itupun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biarpun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela! Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati?
Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu."
Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!
Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir. "Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?"
"Ahhh....! Itukah sebabnya?" Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya. "Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, Kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?"
"Suheng, jangan menuduh sembarangan!" Tiba-tiba Suma Hui membentak suhengnya dengan muka merah karena marah.
Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum "Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka."
"Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan diapun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?"
Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan kemudian terbuka rahasianya.
"Ahhh....!" keluhnya lirih. "Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa akan tetapi agaknya ayah menyangka engkau penjahat itu."
Cin Liong mengangguk-angguk. "Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang ada. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau...." Cin Liong berhenti.
"Atau kemungkinan apa lagi?" Suma Hui mendesak.
"Tidak ada lagi," kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.
"Bagaimanapun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!" teriak Tek Ciang. "Aku takkan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya."
Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya. Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui! Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka diapun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!
Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil. Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila! Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya? Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih namun masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat
pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.
"Siapakah engkau....?" Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.
Laki-laki yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang lalu tersenyum. "Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah aku, lalu engkau mau apa?"
Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat! Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah C in Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.
"Hemm, setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu hanya pura-pura saja?"
"Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga mulutmu!" Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan penjahat palsu.
Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga menjadi marah. "Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku, keparat!" Pemuda ini lalu menerjang ke depan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya, menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.
Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan dan akibatnya tubuh Tek Ciang terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak! Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat. Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
"Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan akupun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!"
Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
"Siapakah engkau....?" Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
"Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!"
Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri. Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan diapun tidak mau berhenti sampai di situ saja. Diam-diam dia melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan
kemudian diapun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya. Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang amat baik dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong. Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.
Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biarpun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.
"Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya," katanya hati-hati, "akan tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?"
"Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkaupun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!" Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinyapun menggelinding keluar. Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, iapun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon, "Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku...."
Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa ge mbira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, diapun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari penga matan Jai-hwa Siauw-ok, walaupun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.
"Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!" kata Jai-hwa Siauw-ok. "Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?"
Tek Ciang menggeleng kepala. "Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe."
"Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi," katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang kini mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu. Pakaiannya masih utuh akan tetap kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang, merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya. Tadi, dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali. Berkali-kali ia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.
Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja diapun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, kemudian mempermainkan wanita itu dan menghinanya. Sesaat timbul nafsu berahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan. Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya!
Tek Ciang menggeleng kepala. "Tidak, locianpwe. Aku.. .. aku tidak ingin...."
Siauw-ok menyeringai. "Siapa bilang tidak ingin? Nafsu berahimu membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!"
Setelah berkata demikian, Siauw-ok mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai. "Manis, ke sinilah engkau!"
Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah ia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.
"Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut...." kata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.
"Ahh, jangan lari, manis!" Siauw-ok berkata, suaranya masih halus, tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
"Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!" Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
"Uhhh....!" Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya. Terdengar suara kain robek berkali-kali disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, kemudian diapun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu. Mendengar rintihan yang memelas itu, dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh dendam dan kebencian!
Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa senang dan puas melihat penderitaan orang lain. Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa malapetaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak. Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan baru ini sudah tidak peka lagi?
Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara. Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita. Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini?
Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, pada saat kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah kesemuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan aku yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan maupun kesukaan orang lain.
Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.
"Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!"
Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan diapun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya. Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perobahan, hanya mukanya agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yaug pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam. Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi memperdulikan gadis itu.
"Nah, sekarang kita bicara tentang urusan kita." kata Siauw-ok, juga sikapnya sama sekali tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.
"Locianpwe telah tahu mengapa aku mendendam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku belum tahu mengapa locianpwe juga memusuhinya." Tek Ciang memulai. Untuk bekerja sama dengan seseorang, dia harus tahu lebih dulu dasar yang mendorong orang itu untuk bekerja sama.
"Kao Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah banyak menghancurkan dan membunuh golongan kita, bahkan suboku dan semua supek dan susiokku juga tewas di tangan dia dan kawan-kawannya."
"Lalu apa maksud locianpwe untuk mengajakku bekerja sama? Aku bukan tandingan Cin Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, mengapa mengajak kerja sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?"
"Kita dapat saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah mengenalmu, mengetahui segala hal mengenai dirimu dan rahasia ayahmu. Karena itu, engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku. Beberapa patah kata saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau akan dapat terus menjadi murid Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya."
Diam-diam Tek Ciang terkejut. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat licik, curang dan kejam sekali, juga amat lihai. "Locianpwe, sebelum kita berunding, aku ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan kerja sama kita ini."
Siauw-ok tertawa. "Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik daripada ayahmu yang tolol itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong."
"Harap locianpwe tidak membawa-bawa ayahku yang sudah meninggal, dan katakan keuntungan apa yang dapat kuperoleh."
"Keuntungannya? Wah, banyak sekali bagimu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid Suma Kian Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan dapat membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara, terputus hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi oleh keluarga Suma. Ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan menjadi musuh yang saling menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku ini!"
Tentu saja hati Tek Ciang tertarik sekali. Begitu banyak hal-hal yang menguntungkan baginya. Akan tetapi dia masih menawar, "Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat mampus di depan kakiku?"
"Oho-ho-ho-ho, bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat sekali dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan ilmu-ilmunya yang hebat. Aku sendiripun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Kalau dia tidak sampai terbunuh oleh siasatku ini, kelak engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri. Bukankah engkau menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es? Nah, kelak masih banyak kesempatan bagimu kalau hendak membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi, mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam permusuhan dengan keluarga Suma dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu."
"Baik, locianpwe, aku setuju untuk bekerja sama. Nah, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Mendekatlah dan dengar baik-baik...." kata Siauw-ok. Tek Ciang mendekat dan datuk sesat itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat terdengar oleh mereka yang berada di dalam ruangan itu.
Sampai lama mereka berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah selesai bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mereka berjalan ke arah pintu depan. Tiba-tiba Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah terlentang. Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan dan mukanya miring, matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan lehernya.
"Bagaimana dengan perempuan itu? Ia mungkin mendengar semua percakapan kita," kata Tek Ciang."Dibiarkanpun ia akan mati, tapi lebih aman begini!" Tiba-tiba Siauw-ok menggerakkan lengannya berputar, dan ketika dia melakukan gerakan memukul dengan jari terbuka ke arah gadis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan tubuhnya terkulai. Di dadanya, di antara buah dadanya, nampak guratan merah yang mengeluarkan darah seolah-olah dada itu baru saja ditusuk pedang. Itulah Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga kekasihnya. Melihat ini, Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh dengan pukulan sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan luka seperti ditusuk pedang, baru sekali ini dilihatnya, bahkan belum pernah didengarnya.
"Engkau sungguh hebat, locianpwe."
"Ha-ha, kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan berkeberatan kelak mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang bawalah tubuh itu berikut semua pakaiannya, kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang akan menjadi tempat pertemuan kita."
Tek Ciang menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua robekan pakaiannya, kemudian meugikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat sunyi, jauh dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pakaiannya ke dalam sebuah jurang yang amat dalam sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat itu akan ditemukan orang. Kemudian mereka berdua berpisah dan mengambil jalan masing-masing tanpa banyak cakap lagi karena semua rencana siasat mereka telah mereka bicarakan sampai jelas sekali malam tadi.
******
Dendam merupakan racun bagi batin yang amat berbahaya. Dendam dapat menciptakan perbuatan-perbuatan yang amat keji dan kejam, amat kotor dan hina. Dendam membuat kita mau melakukan apa saja, betapapun kotornya, untuk melampiaskan dendam itu. Dendam menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam adalah kebencian dan penyakit batin ini sudah umum diderita oleh kita semua. Kalau perasaan benci dan dendam menyerang batin kita dan kita lalu bersikap waspada, mengamati perasaan kita sendiri,
maka akan nampaklah dengan jelas rangkaian-rangkaiannya, sebab-sebabnya dan timbulnya benci. Mula-mula kebencian timbul kalau si aku merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang, dikecewakan, pendeknya yang membuat si aku merasa rugi, baik lahir maupun batin. Dari perasaan tidak senang inilah timbulnya kebencian. Kalau hanya sampai di situ, kalau kita mengamati dengan penuh kewaspadaan, mengamati dengan batin kosong tanpa menilai, maka kebencian akan berakhir pula sampai di situ. Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu bekerja dengan sibuknya, menilai perasaan benci ini, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan. Sebagian pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik, sebagian pikiran pula membela perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya, yaitu karena dirugikan. Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik dan tarik-menarik dari penilaian itu, dan konflik ini bahkan menambah pupuk bagi kebencian itu sendiri. Yang benci adalah aku, kebencian adalah aku, yang menilai, mencela dan membela adalah aku pula, yakni kesibukan pikiran sendiri. Dengan demikian, kebencian takkan mungkin lenyap. Bisa saja dikendalikan dan ditekan dan NAMPAKNYA saja lenyap, namun sesungguhnya hanya merupakan penundaan sementara saja, api kebencian itu masih membara, seperti api dalam sekam, nampaknya padam namun di sebelah dalam membara dan sewaktu-waktu pasti akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakar!
Pupuk yang membuat suburnya kebencian itulah yang harus lenyap dari batin kita. Penilaian, pengendalian, celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya mengamati saja kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa menilai, bukan AKU yang mengamati karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran belaka yang menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya. Yang ada hanya pengamatan saja penuh kewaspadaan, perhatian yang menyeluruh terhadap kebencian yang mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu, kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api kehabisan bahan bakarnya.
Benci pribadi, atau kebencian yang timbul karena keluarga, demi golongan, demi bangsa, semua itu pada hakekatnya sama saja, yang menjadi peran utama adalah si aku yang dapat saja diperluas menjadi keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya.
Louw Tek Ciang pulang ke rumah suhunya dengan dendam yang sudah digodok matang dengan rencana siasat keji yang diatur oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng!
Dua hari kemudian, pada suatu sore, seperti biasa Cin Liong datang mengunjungi kekasihnya, disambut dengan gembira oleh Suma Hui. Mereka lalu duduk di ruangan tamu dan pada sore hari itu, seperti sudah dijanjikan, Cin Liong harus makan malam di situ karena sudah dipersiapkan oleh kekasihnya. Dan baru pada waktu makan itulah, setelah lewat beberapa hari, Cin Liong berkesempatan jumpa dengan Tek Ciang. Dia memandang tajam dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah berobah. Tidak muram atau pucat lagi, bahkan hormat dan ramah kepadanya.
"Kao-taihiap, aku minta maaf atas segala kesalahanku...."
"Ah, Louw-susiok mengapa menyebutku taihiap segala?"
"Suheng, engkau kenapa sih? Kenapa menyebut taihiap kepada Cin Liong?" Suma Hui juga menegur sambil tersenyum, merasa geli oleh sikap baru ini.
Tek Ciang menarik napas panjang. "Ahh, aku ingin menampar pipi sendiri kalau berani menyebut nama begitu saja."
"Ih, kenapa begitu, suheng? Cin Liong ini memang masih terhitung keponakanku, maka sudah sepatutnya dia menyebutmu susiok dan engkau menyebut namanya begitu saja. Bukankah yang sudah-sudah engkaupun menyebut namanya saja?"
"Karena aku belum mengenal siapa dia! Kalau dia seorang biasa yang lemah seperti aku masih mending. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal, dan jauh lebih tua dariku. Kalau aku menyebut namanya begitu saia tentu aku akan menjadi buah tertawaan orang. Tidak, aku harus menyebut taihiap atau aku tidak akan berani menyebut sama sekali."
Cin Liong tersenyum, di dalam hatinya dia membenarkan Suma Hui yang menceritakan kepadanya bahwa pemuda itu selalu ramah dan  hormat. "Baiklah,  Louw-susiok, sesukamulah. Apa artinya dalam sebuah sebutan? Akan tetapi, mengapa engkau minta maaf?"
"Karena aku telah bersikap kasar selama ini terhadap taihiap, juga menyangka yang bukan-bukan berhubung dengan kematian ayah, dan juga.... ketika pertama kali taihiap datang, aku.... aku telah membayangimu sampai ke rumah penginapan, maklumlah, aku.... aku ketika itu menaruh curiga kepadamu."
Cin Liong tertawa. "Aku sudah tahu akan hal itu dan tak perlu dirisaukan, susiok. Eh, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang jai-hwa-cat itu?"
Tek Ciang menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Agaknya aku masih terlalu bodoh, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat menemukan jejaknya, walaupun beberapa kali aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali di wuwungan rumah-rumah. Bahkan aku mendengar berita akan hilang terculiknya seorang gadis dari keluarga Ciong di ujung barat kota. Aku yakin bahwa ayah benar, yakni bahwa ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini."
Cin Liong mengangguk. "Akupun sudah mendengar berita itu dari komandan kota. Karena kebetulan aku sendiri sedang berada di kota ini, biarlah aku akan melakukan penyelidikan malam ini."
"Aku juga akan melakukan penyelidikan sedapatku, taihiap. Pendeknya, aku takkan berhenti menyelidiki sebelum penjahat itu tertangkap atau terbunuh!" Tek Ciang berkata penuh semangat. Setelah makan selesai, Tek Ciang yang "tahu diri" lalu mundur dan memasuki kamarnya sendiri, membiarkan sepasang kekasih itu asyik berdua saja di kamar tamu.
Dan memanglah, setiap kali mereka bertemu berdua saja, Cin Liong dan Suma Hui tentu menumpahkan rindu dan sayangnya melalui suasana yang akrab dan santai, romantis dan mesra. Mereka bercakap-cakap, bersendau-gurau, kadang-kadang berangkulan dan berciuman.
"Hui-moi, kalau ayah bundaku sudah melamar, dan kalau orang tuamu setuju, aku ingin kita tidak lama-lama menunda pernikahan. Aku ingin segera menikah denganmu, tinggal di kota raja dan aku akan mengajukan permohonan kepada sri baginda kaisar agar ditugaskan di kota raja saja, agar tidak banyak berkeliaran meninggalkan rumah seperti sekarang. Dengan demikian, kita akan dapat setiap hari berjumpa dan berkumpul."
"Ihh, kenapa tergesa-gesa amat menikah?" Suma Hui menggoda sambil tersenyum dan kedua pipinya merah. Cin Liong mencubit dagunya. "Masa tidak mengerti? Aku aku sudah ingin.... eh, selalu di sampingmu, Hui-moi."
Sejenak mereka bermesraan. Tiba-tiba Suma Hui menarik napas panjang. "Bagaimana audaikata.... ayahku tidak setuju?"
Cin Liong mengerutkan alisnya. "Kalau begitu.... tinggal terserah kepadamu. Tentu saja aku tidak berani menentang orang tuamu, Hui-moi, akan tetapi demi engkau, apapun juga akan kulakukan, kalau perlu menghadapi orang tuamu."
"Kalau aku.... jika ayah melarang dan menentang, aku akan pergi meninggalkan rumah ini, aku akan pergi bersamamu.... maukah engkau, Cin Liong?"
"Tentu saja! Dan aku akan melindungimu, membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mudah-mudahan tidak sampai sejauh itu, Hui-moi, aku percaya akan kebijaksanaan ayahmu sebagai seorang pendekar sakti yang berpemandangan luas."
Demikianlah, mereka bercakap-cakap, kadang-kadang gembira, kadang-kadang gelisah kalau membayangkan halangan besar yang mungkin timbul dalam hubungan mereka karena penentangan ayah gadis itu. Kemudian pemuda itu menyatakan bahwa sebaiknya kalau dia pergi dulu ke kota raja, selain untuk urusan tugas, juga untuk menanti datangnya ayah bundanya.
Suma Hui terkejut mendengar kekasihnya akan pergi. "Apakah engkau tidak dapat menanti sampai pulangnya ayah dan ibu?" Gadis ini membayangkan betapa hidup akan terasa sunyi dan tidak menyenangkan kalau kekasihnya ini pergi dari Thian-cin.
"Agaknya tidak baik kalau di waktu orang tuamu tidak ada di rumah, aku setiap hari datang mengunjungimu, Hui-moi. Apa akan kata orang nanti? Pula, orang tuaku sudah berjanji bahwa kalau mereka pergi ke Thian-cin, mereka akan singgah dulu di kota raja."
Biarpun hatinya terasa berat, namun Suma Hui tidak dapat membantah kekasihnya. Ia hanya bertanya muram, "Kapan engkau akan pergi?"
"Sebaiknya besok atau lusa, Hui-moi. Sudah agak lama aku berada di sini."
Malam itu, ketika Cin Liong hendak meninggalkan Suma Hui, gadis itu merangkulnya dan suaranya penuh kesedihan ketika ia berkata, "Cin Liong, jangan terlalu lama meninggalkan aku.... aku akan merasa kesepian dan tidak betah di rumah ini...."
Cin Liong merangkul dan menciumnya. Karena mereka berdua maklum bahwa besok mereka akan berpisah, maka rangkulan dan ciuman mereka lebih hangat dan mesra daripada biasanya. Cin Liong yang merasa betapa gairah berahi menyerangnya, cepat mendorong tuhuh Suma Hui dengan halus sambil berkata dan tersenyum.
"Ah, Hui-moi. Kenapa engkau bersedih? Kita berpisah hanya untuk beberapa bulan saja. Bagaimanapun juga, engkau adalah calon isteriku, apapun yang akan terjadi, bukan? Engkau adalah punyaku...." Mereka berdekapan lagi.
"Aku punyamu dan engkau milikku, Cin Liong.. .. hanya kematian yang akan memisahkan kita...."
"Aku cinta padamu, Hui-moi.... aku cinta padamu...."
Dengan kata-kata yang diucapkan suara tergetar ini masih terngiang di telinganya, Suma Hui mengantar kekasihnya yang meninggalkan rumahnya itu. Cin Liong juga merasa berat sekali meninggalkan Suma Hui, walaupun besok sebelum berangkat dia tentu akan singgah untuk berpamit dulu. Dia tidak langsung ke rumah penginapan karena teringat akan cerita yang didengarnya tentang gadis yang lenyap diculik penjahat. Kalau memang benar ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini, sebelum dia pergi, dia harus dapat menangkapnya lebih dulu. Adanya seorang penjahat cabul di Thian-cin sama dengan memandang rendah kepada keluarga Suma! Maka diapun mulai melakukan penyelidikan pada malam hari itu.
******
Malam itu Suma Hui tidak dapat tidur, gelisah saja di atas pembaringannya. Ia memerintahkan pelayan rumah untuk menutup semua pintu dan jendela setelah kekasihnya pergi dan setelah membersihkan diri, iapun memasuki kamarnya. Ia tahu bahwa suhengnya tidak ada, seperti katanya tadi ketika makan bersama, suhengnya itu akan melanjutkan usahanya mencari jejak jai-hwa-cat. Juga kekasihnya akan ikut membantu dalam pengusutan dan pencarian jejak penjahat itu. Akan tetapi ia sendiri tidak perduli. Hati dan pikirannya sudah penuh dengan masalahnya sendiri, penuh dengan kekhawatiran bahwa ayahnya akan menentang perjodohannya.
Akhirnya pikiran yang sibuk itu membuatnya lelah dan mulailah dara itu terlelap. Lapat-lapat ia seperti mendengar suara suhengnya perlahan-lahan bicara dengan pelayan di belakang. Suhengnya sudah pulang agaknya, demikian pikirannya yang terakhir. Lalu ia mencium bau harum yang aneh. Sejenak ia terlena dan bau harum itu membuat ia sadar dan curiga akan bau harum ini. Cepat ia membuka mata dan bangkit. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa kepalanya pening begitu ia membuka mata dan bangkit. Pada saat itu, sesosok bayangan yang amat ringan gerakannya meloncat masuk kamar melalui jendela yang dipaksanya terbuka dari luar.
Biarpun kepalanya pening, akan tetapi kewaspadaan seorang pendekar silat masih ada pada Suma Hui, membuat dara ini cepat membalikkan tubuh dan siap menghadapi lawan. Akan tetapi orang itu ternyata lihai bukan main, sekali mengulur tangannya dia telah mengirim totokan-totokan secara beruntun. Suma Hui mencoba untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena totokan, disusul totokan pada lehernya yang membuat ia tiba-tiba menjadi lemas dan tak dapat mengeluarkan suara. Dalam keadaan lemas dan setengah terbius, juga dalam cuaca dalam kamar yang remang-remang, ia tidak mengenal orang ini, hanya melihat bentuk tubuh seorang pria yang bertubuh sedang dan tegap.
"Cin.... Cin Liong.. .." Hatinya berbisik karena ia tidak mampu bersuara setelah urat gagunya tertotok. Karena ia kini direbahkan dengan muka menghadap ke dinding dalam keadaan miring, ia tidak melihat apa yang dilakukan oleh orang yang menotoknya itu. Hatinya penuh dengan keheranan dan juga kemarahan. Orang itu bentuk tubuhnya seperti Cin Liong dan melihat kelihaiannya, agaknya pantaslah kalau ia menduga orang itu kekasihnya. Akan tetapi, mungkinkah Cin Liong melakukan hal aneh ini? Ia tidak tahu bahwa orang itu berkelebat keluar dari lubang jendela. Waktu rasanya berjalan amat lambat bagi Suma Hui yang tidak mampu bergerak itu. Bau harum masih memasuki hidungnya dan kepalanya terasa semakin berat dan mengantuk, tubuhnya tak dapat digerakkan dalam keadaan lemas seperti orang tidur dan iapun tidak mampu membuka mulut. Asap harum yang mengandung obat bius itu makin menguasainya, membuat pandang matanya semakin suram.
Tiba-tiba ia menjadi kaget setengah mati ketika merasa betapa sepasang lengan memeluknya. Ia berusaha membuka mata melihat, akan tetapi cuaca terlalu gelap dan pandang matanya juga sudah kabur. Ia hanya merasa ada orang yang memeluknya ketat, lalu ada orang yang menciumi mukanya, menciumi bibirnya. Ia hanya mendengar desahnya napas memburu, lalu mendengar bisikan-bisikan lembut.
"Hui-moi.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu...." Cin Liong! Demikian hatinya berteriak. Akan tetapi ia merasa betapa pikirannya pusing, dunia seperti berputar dan kiamat rasanya ketika ia merasa betapa jari-jari tangan meraba dan membelainya, membuka pakaiannya.
"Tidak....! Tidak....! Jangaaaannn....!" Hatinya menjerit-jerit akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Ingin ia menjerit,
ingin ia meronta dan mengamuk, ingin ia menangis. Akan tetapi hanya air matanya saja yang menetes-netes dalam tangis tanpa suara.
"Hui-moi.... engkau calon isteriku...." demikian suara itu berbisik-bisik dan selanjutnya Suma Hui bergidik ngeri merasakan apa yang akan menimpa dirinya dan pada saat terakhir, iapun tidak ingat apa-apa lagi, tak sadarkan diri karena tidak dapat menahan guncangan batin yang terjadi melihat kenyataan bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang dicintanya tanpa mampu mencegah, melawan atau bahkan berteriak.
Ketika ia siuman kembali, Suma Hui masih belum mampu menggerakkan tubuhnya. Hancur luluh rasa hatinya, dunianya seperti kiamat. Ia dapat merasakan apa yang telah menimpa dirinya, malapetaka terbesar bagi seorang wanita, terutama bagi seorang gadis. Aib telah menimpa dirinya, aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa, dicuci dengan darah. Yang membuat ia merasa semakin sedih adalah kenyataan bahwa yang melakukan hal itu adalah Cin Liong, pria yang dikasihinya, yang dicintanya, calon suaminya, calon ayah dari anak-anaknya! Cin Liong telah memperkosanya! Padahal, tanpa diperkosa sekalipun, kalau waktunya telah tiba, ia akan menyerahkan segala-galanya kepada pemuda itu. Akan tetapi, Cin Liong telah merusaknya, menghancurkan kebahagiaannya dengan perbuatannya yang keji dan hina!
"Ya Tuhan....!" Dalam hatinya Suma Hui mengeluh dan merintih. Ia teringat kepada ayah ibunya dan kembali air matanya bercucuran. Gadis ini biasanya keras hati dan tidak mudah baginya mengucurkan air mata, akan tetapi sekali ini, dirinya telah tertimpa malapetaka yang amat hebat, yang lebih berat daripada kematian sendiri. Ia lalu teringat bahwa dalam keadaan tertotok, ia harus dapat menenteramkan batinnya agar dapat membuka jalan darah melalui kekuatan Swat-im Sin-kang. Dengan segala kekuatan dan kemauan yang ada, iapun lalu memejamkan matanya, mengheningkan cipta. Perlahan-lahan, setelah ia dapat melupakan segala peristiwa yang menimpanya, ia mulai merasakan gerakan hawa dalam tian-tan di pusarnya. Ia membiarkan hawa itu bergerak perlahan, makin lama makin cepat dan makin terasa kekuatannya, Dengan kemauannya yang membaja, akhirnya ia dapat menggerakkan hawa itu naik, membuka jalan darah yang masih dipengaruhi totokan.
Dapat juga ia membebaskan diri dari totokan sebelum waktunya. Akan tetapi, karena pengaruh obat bius masih membuat kepalanya pening, iapun dengan hati-hati bangkit berdiri, turun dari pembaringan dan bersila di atas lantai dekat jendela yang dibukanya, lalu menghadap keluar dan membersihkan diri melalui pernapasan, mengumpulkan hawa pagi yang murni.
Malam telah hampir terganti pagi ketika akhirnya ia sadar sama sekali dan bebas dari pengaruh obat bius. Mulailah dia meneliti dirinya dan ia mengepal tinju dengan kemarahan memuncak ketika melihat betapa sebagian pakaiannya bernoda darah. Tanpa melihat tanda inipun ia sudah tahu apa yang menimpa dirinya, yaitu bahwa ia telah diperkosa orang, atau lebih tepat lagi, diperkosa Cin Liong ketika ia tak sadar. Dengan menahan tangis ia lalu berganti pakaian, akan tetapi makin lama, kemarahan makin memuncak dan menusuk-nusuk hatinya seperti jarum beracun. Makin panaslah ia dan tanpa disadarinya ia lalu mengamuk! Meja kursi dipukuli dan ditendanginya, kasur dirobek dan diawut-awut dan mulutnya memaki-maki.
"Jahanam! Keparat bedebah engkau! Manusia laknat, aku bersumpah untuk membunuhmu, memusuhimu sampai tujuh turunan!" Terdengar suara hiruk-pikuk yang mengejutkan dari dalam kamarnya, membuat pelayan dan Tek Ciang datang berlari-larian.
"Brakkkk!" Kini daun pintu kamar itu pecah tertendang oleh Suma Hui, hampir saja menimpa Tek Ciang dan si pelayan yang sudah tiba di luar pintu. Untung Tek Ciang bergerak cepat, menarik tangan si pelayan dan meloncat ke belakang ketika daun pintu ambrol. Keduanya berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Suma Hui yang muncul dengan rambut awut-awutan, pakaian kusut dan mata beringas.
"Nona....!" Pelayan itu menjerit kaget.
"Sumoi....! Ada apakah, sumoi? Apakah yang telah terjadi....?" Louw Tek Ciang juga menegur sambil melangkah maju. "Ingatlah, sumoi, ingatlah. Apa yang telah terjadi denganmu, sumoi....?"
Suma Hui yang seperti kesetanan itu, tiba-tiba terbelalak memandang Tek Ciang dan pelayannya. Mendengar suara Tek Ciang yang halus dan penuh perhatian itu, tiba-tiba saja ia memperoleh pelepasan dan gadis itu tidak dapat menahan lagi tangisnya.
"Suheng.... ah, suheng.... hu-hu-huuuhhh...." Ia terhuyung dan Tek Ciang cepat memegang pundaknya. Karena Tek Ciang merupakan satu-satunya orang yang dekat dengannya, Suma Hui lalu menangis mengguguk dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan pemuda itu, menangis sambil menyandarkan muka di dada Tek Ciang. Pemuda ini mengelus kepala Suma Hui sambil menghiburnya dengan kata-kata yang tenang dan ramah.
"Sumoi, segala hal dapat diurus dengan baik. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Sumoi, apakah yang telah terjadi...."
Akan tetapi, Suma Hui makin mengguguk dalam tangisnya sehingga Tek Ciang membiarkannya saja, malah berkata halus, "Menangislah, sumoi. Menangislah sepuasmu kalau tangis dapat meringankan hatimu, sumoi...."
Dan memang tangis saja yang dapat meringankan hati yang sedang sesak oleh kedukaan bercampur kemarahan. Setelah menangis terisak-isak dan menumpahkan banyak air mata, Suma Hui dapat menguasai dirinya lagi. Tentu saja ia tidak mau menceritakan malapetaka apa yang menimpa dirinya. Ia melepaskan diri dari pelukan Tek Ciang, memandang kepada suhengnya itu dengan berterima kasih.
"Maafkan kelemahanku, suheng...."
"Sumoi, engkau sungguh membuat aku terkejut dan khawatir sekali. Apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau mengamuk?" Dia memandang ke dalam kamar yang kalang-kabut itu.
"Nampaknya seperti ada perkelahian di dalam kamarmu. Engkau berkelahi dengan siapakah?"
Suma Hui menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu dia siapa. Tapi, suheng, apakah semalam engkau tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat orang memasuki rumah kita?"
Tek Ciang menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut. "Aku baru pulang menjelang pagi, bahkan belum dapat tidur ketika tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari kamarmu. Semalam aku keliling kota melakukan penyelidikan dan kebetulan sekali aku melihat perkelahian yang amat hebat antara Kao-taihiap dan seorang yang tidak kukenal.. .."
Seketika perhatian Suma Hui tertarik. "Dia....? Dia.... berkelahi? Di mana dan siapa lawannya? Bagaimana....?" Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dengan gagap.
"Aku sedang melakukan penyelidikan ke lorong-lorong gelap ketika aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang meloncat ke atas genteng. Aku terkejut sekali dan menyelinap ke tempat gelap sambil mengintai. Tiba-tiba aku melihat Kao-taihiap juga meloncat ke atas sambil membentak. Mereka lalu berkelahi di atas genteng, bahkan lalu keduanya meloncat turun dan melanjutkan perkelahian di atas tanah. Orang itu lihai sekali dan agaknya menjadi tandingan yang seimbang dari Kao-taihiap. Keduanya berkelahi tanpa menggunakan senjata. Entah berapa lama dan siapa yang unggul aku tidak dapat mengikuti saking cepatnya mereka bergerak. Akan tetapi akhirnya, lawan Kao-taihiap melarikan diri dikejar oleh Kao-taihiap. Aku berusaha mengejar pula dan mencari-cari, akan tetapi mereka lari terlampau cepat dan aku kehilangan jejak mereka. Aku terus mencari sampai hampir pagi tanpa hasil, kemudian aku pulang. "Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati tertarik. Siapakah yang berkelahi melawan Cin
Liong? Dan apakah sesudah berkelahi itu Cin Liong lalu memasuki kamarnya?
"Apakah engkau tidak melihat bagaimana wajah lawannya itu, suheng? Bagaimana pula bentuk tubuhnya?"
"Keadaannya amat gelap, sukar mengenal wajahnya. Akan tetapi pakaiannya mewah dan agaknya dia setengah tua, tubuhnya sedang...."
"Ah, tentu dia Jai-hwa Siauw-ok!" Suma Hui berseru.
"Mungkin, karena ketika mengejar, Kao-taihiap juga berseru begini: Jai-hwa-cat, jangan lari!"
Suma Hui termenung. "Mengasolah, suheng. Akupun hendak istirahat...."
"Tapi, sumoi.... apa yang terjadi di sini? Engkau belum menceritakan kepadaku."
Suma Hui menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Ada yang memasuki kamarku. Kami berkelahi, akan tetapi dia keburu pergi tanpa aku dapat mengenalinya. Sudahlah, suheng, aku lelah dan hendak istirahat." Suma Hui memasuki kamarnya dan mengangkat pintu yang jebol itu, menutupkannya begitu saja.
Sejenak Tek Ciang bengong di depan pintu, lalu mengangkat pundak dan memberi isyarat kepada pelayan yang juga ikut bengong itu untuk pergi dan membiarkan nona itu beristirahat dalam kamarnya yang awut-awutan.
Suma Hui memandang sekeliling kamarnya. Meja kursi hancur berantakan oleh amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi ia tidak perduli dan ia menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya sudah robek-robek itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi. Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Ia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadap dirinya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ah, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti ia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan malapetaka yang begini hebat atas dirinya?
Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya, dan kelihaian pemerkosa itupun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya. Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu berahi? Tak mungkin! Ketika mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, iapun dapat merasakan gairah berahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri. Cin Liong bukan seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah.... Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia bangkit duduk, mengepal tinju, apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?
"Tidak!" Ia mendesis. "Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!"
Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tidak disadari kalau ia sedang marah.
"Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!" Dan iapun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!
"Sumoi....!"
Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui dan pemuda itu memandang penuh kegelisahan ke arah punggung sumoinya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoinya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.
"Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.. .. mau apakah engkau....?"
Suma Hui mengerutkan alisuya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin, "Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorangpun boleh mencampuri." Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.
"Hui-moi....!"
Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong dan dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.
"Singggg....!" Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.
"Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!" bentaknya dan dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui sudah menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.
"Heiiii....!" Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu dan saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak. Â Â "Crottt....!" Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadinya dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!
"Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku...." "Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah dan ditebus dengan nyawamu, manusia hina-dina!" Dan kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya semakin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.
"Eh, Hui-moi, nanti dulu....!" Cin Liong menjadi bingung sekali.
"Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!" Suma Hui menyerang bertubi-tubi, sepasang pedangnya itu menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan dengan cepat.
"Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!" teriaknya penasaran. "Apa salahku?" Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.
Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main. Biarpun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja amat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.
"Hui-moi, kita bicara dulu....!"
"Engkau atau aku yang harus mampus!" bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.
"Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!" Berkali-kali Tek Ciang juga menasihati sumoinya, akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.
"Sing-singgg.... wuuutttt....!" Segumpal rambut kuncir dari Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara. Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara, akan tetapi dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.
"Ah, Hui-moi.... Hui-moi...." keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.
"Jahanam jangan lari!" Suma Hui membentak akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.
"Sumoi, jangan kejar....!" Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu. Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suhengnya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok. Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.
"Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu."
Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu.
Setelah tiba di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya, "Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan hendak membunuh Kao-taihiap?"
Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suhengnya lalu berkata, "Louw-suheng, aku mengharap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapapun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!" Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.
Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang maupun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja karena gadis itu sama sekali tidak pernah mau menemaninya latihan lagi.
Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui merangkulnya sambil menangis.
"Bun-te.... ah, Bun-te, syukur engkau selamat....!" katanya sambil merang kul Ciang Bun yang juga merasa terharu. Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.
"Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?"
"Engkau kenapakah, Hui-ji?" tanya pula ayahnya.
"Dan mukamu agak pucat," sambung ibunya.
Dihujani pertanyaan oleh ayah ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang, "Tidak apa-apa, ah, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kauceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu."
Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan subonya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee memandang girang.
"Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sutemu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu."
"Eh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?" tiba-tiba Hwee Li yang waspada itu bertanya.
Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-tiba membasahi kedua matanya. "Suhu, subo, teecu dilanda malapetaka besar dan mohon petunjuk suhu berdua...."
"Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?"
"Ayah.... ayah teecu terbunuh...."
"Ehhh....? Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?" Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar ucapan itu.
Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoinya, akan tetapi Suma Hui diam saja dan hanya memandang kepadanya dengan sinar mata kosong.
"Mendiang ayah tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini."
"Ihhh....!" Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. "Penjahat cabul mana yang begitu berani mengacau di Thian-cin?"
"Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia berkelahi melawan Kao Cin Liong.. .."
"Heh, bagaimana pula ini?" Hwee Li berteriak. "Kao Cin Liong datang ke sini dan dia berkelahi dengan Louw kauwsu?"
Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. "Tek Ciang, ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!"
"Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah," kata Suma Kian Lee yang dapat menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang. Mereka lalu masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.
"Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Pada suatu malam, ayah bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tidak dapat menang dan akhirnya ayah tewas...."
Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan iapun tahu mengapa suhengnya tidak menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian berarti pengecut.
Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. "Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andaikata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat berjumpa kelak!"
"Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela Pulau Es secara mati-matian. Tak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang yang tidak berdosa. Eh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi sehingga Cin Liong sampai berkelahi dan membunuh Louw-kauwsu?"
Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.
Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya. "Aku tidak tahu, ibu," jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak, "Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang bersama ayah dan ibu."
Tek Ciang masih berdebar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan subonya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat. "Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa."
Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda ini yatim-piatu. "Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggauta keluarga kami sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan."
Tentu saja ucapan suhunya ini membesarkan hati Tek Ciang dan diapun duduk kembali namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan. Ciang Bun lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik dan kakek mereka itu.
"Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan ayah dan ibu." Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.
"Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun," sambung Kim Hwee Li. "Padahal kami berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun."
Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walaupun ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik. Akan tetapi, biarpun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang rahasia sekalipun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong?
Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka. "Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji," demikian antara lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. "Ia menderita sesuatu."
"Sungguh tidak baik hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka."
"Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberitahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau guncangan batin yang hebat. Aku khawatir ia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang."
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, akan tetapi diapun tidak dapat membantah isterinya. Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati isterinya. "Baiklah, dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji."
******
Suma Hui sendiri tidak tahu bahwa pada malam harinya ketika terjadi penyerangannya terhadap Cin Liong, diam-diam Cin Liong mendatangi rumahnya dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Cin Liong berhasil menemui Tek Ciang. Sebelum Tek Ciang mampu bersuara, Cin Liong telah menotok urat gagunya dan juga membuatnya lemas, lalu memanggul pemuda itu pergi dari rumah itu menuju ke tempat sunyi.
Setelah tiba di tempat sunyi, Cin Liong membebaskan totokannya pada tubuh Tek Ciang dan diam-diam pendekar ini merasa heran dan juga kecewa melihat betapa pucat wajah pemuda itu dan tubuhnya menggigil ketakutan! Orang penakut begini diangkat menjadi murid pendekar sakti seperti Suma Kian Lee? Sungguh mengecewakan sekali. Akan tetapi pikiran itu hanya sekilas saja memasuki benaknya yang sudah sarat dengan masalahnya sendiri yang membuatnya bingung, penasaran dan berduka itu.
"Maafkan aku; Louw-susiok. Terpaksa aku menggunakan jalan ini karena aku ingin sekali bicara denganmu tanpa diketahui oleh Hui-moi."
Tek Ciang menarik napas lega dan kentara sekali bahwa baru saja dia terlepas dari himpitan rasa takut yang hebat. "Aahhhh, taihiap, sungguh engkau membikin aku kaget setengah mati. Perkara apakah yang ingin kaubicarakan?"
"Tidak lain hanya perkara Hui-moi. Engkau melihat sendiri pagi tadi bagaimana ia menyerangku dan serangan-serangannya itu sungguh-sungguh. Ia berniat keras untuk membunuhku dengan penuh kebencian. Louw-susiok yang baik, apakah artinya semua itu? Mengapa ia hendak membunuhku dan demikian membenciku? Apakah yang telah terjadi malam tadi?"
Tek Ciang memandang bingung dan mengangkat pundaknya. "Bagaimana aku tahu, taihiap?"
Cin Liong penasaran dan memandang tajam penuh selidik. "Louw-susiok, engkau tinggal serumah dengan Hui-moi, agaknya tidak mungkin kalau terjadi hal-hal yang hebat engkau tidak mengetahuinya."
"Malam tadi hampir semalam aku tidak berada di rumah, taihiap."
"Hemm, ke mana saja engkau pergi?"
"Sudah kukatakan kepadamu kemarin sore bahwa aku hendak menyelidiki penjahat cabul yang menyebabkan ayahku tewas itu. Dan aku melihat ketika engkau berkelahi dengan penjahat itu! Ternyata memang benar ada penjahat yang berkeliaran, buktinya engkau menyerangnya dan berkelahi dengannya. Benarkah orang yang berkelahi denganmu itu penjahat cabul?"
"Jadi engkau melihatnya? Benar, dia adalah penjahat cabul terbesar di dunia hitam. Lalu bagaimana?"
"Aku bersembunyi dan nonton sampai penjahat itu lari dan kaukejar. Akupun lalu ikut mengejar, akan tetapi sebentar saja kalian berdua sudah lenyap. Aku terus mencari berputar-putar sampai hampir pagi. Karena tidak berhasil menemukan penjahat itu maupun engkau yang mengejarnya, aku lalu pulang dan langsung memasuki kamarku. Belum juga aku pulas, terdengar suara hiruk-pikuk dari kamar sumoi. Aku dan pelayan terkejut, lalu lari kekamarnya. Di dalam kamar itu sumoi mengamuk, menghancurkan perabot-perabot kamarnya dan katanya ada penjahat memasuki kamarnya dan penjahat itu melarikan diri tanpa sumoi dapat mengenal wajahnya."
Cin Liong mendengarkan dengan alis berkerut. "Lalu apa katanya kepadamu setelah ia menyerangku pagi tadi?"
Tek Ciang menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali. "Ia tidak mau bicara apa-apa, taihiap. Bahkan ketika aku mencoba bertanya mengapa ia mengamuk dan menyerangmu, ia marah-marah dan minta kepadaku agar aku tidak lagi menanyakan hal ini atau bicara tentang itu dengan siapapun juga. Ah, aku khawatir sekali, taihiap. Sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu...."
"Aku harus menemuinya dan minta keterangan tentang sikapnya itu!" Cin Liong berkata penasaran.
"Ah, bijaksanakah itu, Kao-taihiap? Aku melihat sumoi sedang dalam keadaan tidak wajar, marah sekali dan juga amat berduka. Melihat keadaannya, aku yakin bahwa setiap kali taihiap muncul, tentu akan diserangnya tanpa banyak kata lagi. Watak sumoi keras sekali dan sementara waktu ini percuma saja kalau mengajaknya bicara. Kalau taihiap muncul, akibatnya hanya akan membuat ia semakin marah."
Cin Liong mengepal tinju dan alisnya berkerut. "Habis bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya? Aih, kenapa ada urusan yang begini aneh?"
"Kao-taihiap, kalau taihiap suka mendengar pendapatku, sebaiknya malah kalau sementara ini taihiap menjauhkan diri. Sejauh mungkin karena agaknya sumoi masih terus merasa penasaran dan hendak mencari taihiap untuk dibunuh. Susah payah aku membujuknya agar bersabar dan akhirnya baru ia mau berhenti setelah kuperingatkan bahwa segala urusan harus diselesaikan dengan tenang. Kalau taihiap menampakkan diri, tentu kemarahannya memuncak dan berkobar lagi. Biarlah sampai ia dingin dan tenang dulu, baru kelak taihiap boleh menemuiku, dua tiga bulan lagi, dan aku akan memberitahu taihiap kalau keadaan sudah mendingin."
Cin Liong tidak mengira bahwa pemuda ini sedemikian baiknya. Dia memegang pundak pemuda itu. "Louw-susiok, engkau sungguh seorang yang berhati mulia. Aku amat mengharapkan bantuanmu dalam urusanku dengan sumoimu ini."
Tek Ciang mengangguk. "Aku mengerti, taihiap, aku tahu bahwa ada hubungan batin antara kalian dan sekarang agaknya sedang terjadi kesalahpahaman di pihak sumoi. Engkau sebagai laki-laki sepatutnya mengalah dan bersabar."
Cin Liong mengangguk-angguk. "Tapi, apa yang harus kulakukan sementara menanti ia bersabar itu? Sungguh aku binguug sekali dan baru sekarang dunia seolah-olah gelap bagiku, membuat aku tak berdaya."
"Taihiap, kurasa sudah pasti ada hubungannya antara perkelahianmu melawan penjahat malam itu dengan sikap sumoi ini...."
"Si keparat Jai-hwa Siauw-ok!" Cin Liong mengepal tinjunya.
"Nah, bagaimana taihiap pikir kalau taihiap mencari orang itu sampai dapat tertangkap dan taihiap menuntut keterangan dari dia?"
"Ah, benar sekali! Andaikata jahanam itu tidak tahu apa-apa tentang Hui-moi, tetap saja dia harus ditangkap dan dihukum. Baiklah, susiok. Banyak terima kasih atas semua bantuan dan nasihatmu. Aku pergi dan harap engkau membantuku menyelidiki apa sebabnya Hui-moi marah-marah kepadaku dan bahkan hendak membunuhku. Dua tiga bulan lagi aku datang ke sini dan menemuimu sebelum aku mencoba menemuinya."
Tek Ciang mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, aku akan membantumu, Kao-taihiap dan mudah-mndahan semuanya akan berjalan dengan lancar."
Demikianlah pertemuan rahasia antara Kao Cin Liong dan Louw Tek Ciang, yang tidak diketahui orang lain. Juga ada pertemuan lain lagi di malam berikutnya yang lebih dirahasiakan oleh Tek Ciang. Seorang diri dia pergi menganjungi makam ayahnya di luar kota pada malam hari itu. Setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya dia lalu melanjutkan perjalanannya di malam gelap itu menuju ke sebuah kuil tua yang letaknya terpencil di tempat sunyi. Seperti sikap seorang maling, pemuda itu menyelinap di tempat-tempat gelap, memandang ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya, barulah dia meloncat masuk ke dalam kuil tua.
Sesosok bayangan orang yang gerakannya amat ringan dan cepat seperti setan menyambutnya. Orang itu Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. "Bagus, bagus! Engkau amat hati-hati dan memang begitulah seharusnya, waspada dan hati-hati, begitulah sikap seorang jai-hwa-cat tulen!" Datuk sesat itu tertawa bergelak.
Tek Ciang merasa betapa mukanya menjadi panas. "Tapi.... locianpwe.... aku.... bukan jai-hwa...."
"Ha-ha-ha, memang belum, baru calon saja! Akan tetapi seorang calon yang amat baik dan kelak engkau bisa menggantikan aku kalau engkau suka belajar dengan tekun. Ha-ha-ha, sekarang ceritakan semua, bagaimana hasilnya siasat kita?"
Tek Ciang tersenyum dan wajahnya berseri. Cuaca di dalam kuil itu remang-remang saja karena Jai-hwa Siauw-ok hanya menyalakan sebatang lilin kecil. Dia melihat betapa wajah yang masih ganteng dari kakek itu berseri-seri dan diam-diam dia kagum sekali. Memang kakek ini hebat. Selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga memiliki kecerdikan seperti setan.
"Semua berjalan dengan baik sekali, locianpwe. Terima kasih kepada locianpwe."
"Aha, setelah aku membuat dara itu tidak berdaya dengan asap bius dan totokan, melihat ia rebah tak berdaya seperti menantang itu, timbul seleraku, akan tetapi aku ingat kepadamu, orang muda. Bagaimana, berhasilkah engkau memperkosanya?"
Pertanyaan itu diajukan dengan sikap wajar seperti orang menanyakan suatu hal yang lumrah saja. Akan tetapi bagi Tek Ciang merupakan hal yang membuatnya merasa jengah dan malu. Dia mengangguk tanpa menjawab.
"Hemm, engkau menyesal setelah berhasil?"
"Tidak, tidak, locianpwe. Sebaliknya, aku merasa girang sekali."
"Dan engkau sudah merasa puas?"
Pemuda itu menggeleng kepala. "Belum, ia belum menjadi isteriku dan akupun belum mewarisi ilmu Pulau Es dan belum membalas dendam terhadap jenderal itu."
"Ha-ha-ha, tidak perlu tergesa-gesa. Yang penting, engkau telah berhasil memperkosanya dan ia tidak mengenalmu?"
"Tidak. Tempatnya gelap dan ia berada dalam keadaan setengah sadar. Aku sudah sangat berhati-hati dalam menirukan suara Cin Liong."
"Bagus! Dan hasilnya?"
"Hasilnya baik sekali. Ketika Cin Liong datang, dia diserang dan akan dibunuh oleh sumoi." Pemuda itu lalu menceritakan semua yang telah terjadi sampai ketika dia diculik oleh Cin Liong untuk dimintai keterangan. Semua ini didengarkan oleh Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum girang, hanya dia merasa agak khawatir mendengar pemuda itu diculik oieh Cin Liong.
"Untung engkau cerdik. Jadi engkau berhasil memancingnya agar menjauhkan diri dulu dari gadis itu dan agar dia mencari aku? Baik sekali. Engkau telah menjalankan rencana siasatku dengan baik. Ha-ha-ha, kita berdua sudah mengecap hasilnya. Engkau telah menikmati tubuh dara itu dan aku.... ha-ha-ha, girang hatiku melihat permusuhan antara keluarga Suma dan keluarga Kao itu mulai tumbuh. Tentu kelak akan menjadi permusuhan keluarga yang hebat sekali. Akan tetapi engkau harus hati-hati, Tek Ciang. Engkau sebagai orang di belakang layar yang memainkan semua ini, jangan sekali-kali menonjolkan diri. Tahan dulu nafsumu kalau engkau ingin memiliki tubuh gadis itu sepenuhnya. Kita harus cerdik. Aku akan memancing agar Cin Liong makin menjauhi tempat ini."
"Baik, aku akan mentaati semua pesanmu, locianpwe."
"Kelak, sewaktu-waktu aku berada di daerah ini, engkau boleh menemui aku di sini untuk menerima beberapa macam ilmu dariku seperti yang telah kujanjikan padamu."
Dengan girang Tek Ciang menghaturkan terima kasih. Dia menganggap bahwa datuk sesat ini telah berjasa besar kepadanya. Mereka lalu berpisah dan meninggalkan kuil yang sunyi itu, kuil tua yang menyeramkan karena baru saja dijadikan tempat oleh para iblis dan setan untuk mengusik hati dua orang manusia yang tersesat. Iblis dan setan yang suka mengusik hati orang tak pernah jauh dari kita sendiri. Suaranya selalu berbisik-bisik dalam batin kita, mendorong kita untuk selalu mendambakan kesenangan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Tercipta oleh pikiran kita sendiri, pikiran yang mengumpulkan dan menumpuk semua pengalaman dalam hidup lahiriah yang yang praktis. Secara teknis pikiran dibutuhkan untuk mengingat, bekerja dan segala gerak hidup lahiriah. Akan tetapi, dalam komunikasi dengan manusia lain, dengan benda, dengan hal-hai batiniah, pikiran yang masuk hanya akan menimbulkan nafsu, kebencian, keserakahan, dan sebagainya. Jadi setan datangnya bukan dari luar, melainkan dari dalam batin kita sendiri!
******
Dua orang yang memasuki kota Thian-cin pada sore hari itu menarik perhatian orang. Mereka adalah sepasang pria dan wanita yang sudah berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak gagah perkasa dan sehat, juga wajah mereka jauh lebih muda daripada usia mereka yang sebenarnya. Pria itu berpakaian sederhana namun berisi dan cukup rapi, rambutnya sudah bercampur sedikit uban, namun masih segar dan panjang, dikuncir tebal dan kepalanya terlindung sebuah caping lebar. Biarpun pria ini hanya berlengan satu karena lengan kirinya buntung di atas siku, namun sikapnya gagah dan langkahnya tegap dan tenang. Terutama sekali sepasang matanya amat mengejutkan orang karena mata itu, biarpun lembut dan tenang namun mengeluarkan sinar mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!
Yang wanita juga amat menarik perhatian. Usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak jelas kecantikan membayang di wajahnya. Pakaiannya juga sederhana, namun bersih dan rapi. Di punggungnya nampak sepasang pisau belati bersilang, tertutup oleh jubahnya. Wajahnya selalu riang gembira, sinar matanya membayangkan semangat yang tak kunjung padam.
Mereka adalah Sang Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya yang bernama Wan Ceng. Suami isteri pendekar ini tinggal jauh di utara, di padang pasir, di dalam sebuah istana tua yang jarang kedatangan manusia lain. Hanya beberapa tahun sekali suami isteri ini suka berpesiar ke selatan, kadang-kadang sampai ke kota raja. Akan tetapi mereka selalu menjauhkan diri daripada segala keributan dan karena mereka tinggal di tempat jauh dan jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw, maka jarang ada yang mengenal mereka ketika bertemu di jalan. Padahal, nama mereka sudah dikenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai datuk yang berilmu tinggi. Naga Sakti Gurun Pasir mempunyai nama yang sama tenarnya dengan keluarga Pulau Es. Dan sesungguhnya pendekar ini amat sakti. Dialah satu-satunya orang yang telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari Dewa Bongkok dari Go-bi-san yang bernama Bu Beng Lojin. Biarpun lengan kirinya buntung, namun buntungnya sebelah lengan itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan buntungnya lengan kiri ini membuat dia dapat menguasai Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat lihai kalau dimainkan dengan satu lengan saja. Isterinya, Wan Ceng, juga bukan wanita sembarangan. Ia masih cucu dari nenek Lulu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dan wanita ini selain telah mempelajari banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga telah menerima bimbingan suaminya sehingga kelihaiannya juga meningkat.
Suami isteri yang saling mencinta ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kao Cin Liong. Sejak anak itu masih kecil, mereka berdua telah menggemblengnya dan karena Cin Liong seorang anak tunggal, tentu saja mereka amat menyayangnya. Hampir semua ilmu kepandaian mereka telah mereka turunkan kepada Cin Liong. Ketika pemuda itu menarik perhatian istana karena perbuatan-perbuatannya yang gagah perkasa dan kepadanya ditawarkan kedudukan dalam kemiliteran, terjadilah perbantahan antara suami isteri ini.
"Menjadi tentara hanya menjadi alat pembunuh bagi kepentingan ambisi orang-orang atasan saja. Apa baiknya? Aku ingin puteraku menjadi seorang pendekar, tidak berfihak siapapun kecuali berfihak kepada mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menindas," kata Wan Ceng penuh semangat.
Suaminya menarik napas panjang. "Sudahlah, isteriku. Yang penting adalah perasaan Cin Liong sendiri. Biarkan dia yang menentukan pilihannya. Apakah engkau lupa bahwa kakeknya adalah seorang jenderal besar, seorang panglima dan pahlawan besar yang amat perkasa? Siapa tahu dia menuruni darah kakeknya itu. Pula, dia sudah kita beri gemblengan dasar dan dia dapat melihat mana yang benar dan mana yang tidak. Aku percaya bahwa dia berjiwa pendekar dan biarpun dia menjadi tentara, tentu dia tidak akan membuta mentaati perintah atasan kalau perintah itu melawan hati nuraninya sebagai pendekar."
Akhirnya Wan Ceng mengalah setelah melihat kenyataan, bahwa memang puteranya suka sekali menjadi perajurit. Kemudian ternyata bahwa Kao Cin Liong telah membuat kemajuan pesat dalam bidang kemiliteran ini. Jasa-jasanya menumpas para pemberontak di perbatasan dan daerah-daerah amat besar sehingga dalam usia muda dia sudah diangkat menjadi seorang jenderal, bahkan menjadi seorang kepercayaan Kaisar Kian Liong. Suami isteri ini sudah lama sekali mendambakan seorang mantu dan seorang cucu, akan tetapi selalu putera mereka menolaknya kalau mereka menganjurkan dia agar segera menikah. Cin Liong mengemukakan alasan bahwa belum ada wanita yang menarik hatinya. Tentu saja suami isteri itu maklum akan kegagalan puteranya dalam jalinan asmara bersama seorang gadis yang bernama Bu Ci Sian sehingga putera mereka itu menjadi patah hati dan sampai berusia tiga puluh tahun kurang sedikit masih juga belum mempunyai seorang isteri.
Dan pada suatu hari, betapa girang hati mereka ketika putera mereka itu datang mengunjungi mereka dan menyatakan bahwa putera mereka itu telah memperoleh pilihan hati, saling mencinta dengan seorang gadis dan Cin Liong minta kepada mereka untuk mengajukan pinangan! Akan tetapi, dalam kegembiraan itu mereka merasa khawatir sekali ketika mendengar penjelasan Cin Liong siapa adanya gadis yang saling mencinta dengan putera mereka itu. Gadis itu puteri Suma Kian Lee!
"Aihhh....!" Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu, matanya terbelalak dan mukanya berobah. "Puteri.... paman Suma Kian Lee? Cin Liong, lupakah engkau siapa adanya Suma Kian Lee itu? Dia adalah paman kakekmu sendiri dan puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!"
Cin Liong menarik napas panjang dan mengangguk. "Hal itu telah kami sadari sepenuhnya, ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun."
"Tapi.... engkau tahu ia bibimu dan engkau masih nekat?" teriak Wan Ceng.
Cin Liong tersenyum menenangkan hati ibunya yang terguncang. "Bukan nekat, ibu. Aku jatuh cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan iapun cinta kepadaku. Hubungan keluarga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga, itupun hanya keluarga tiri saja, sudah berlainan nama keluarga."
"Tapi.... tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!"
Sejak tadi Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh seperti itu, diapun memejamkan mata, teringat akan riwayat isterinya di waktu muda dahulu. Bukankah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng? Dan setelah mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini berarti bahwa Suma Kian Lee masih memegang teguh adat istiadat tentang larangan berjodoh antara keluarga sendiri!
"Tapi.... tapi.... bagaimana mungkin engkau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong? Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu kecuali seorang bibimu?" Suara Wan Ceng terdengar seperti hampir menangis.
Cin Liong mengerutkan alisnya. "Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini aku gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak mau gagal sampai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka melamarkan Suma Hui untukku atau tidak." Suara pemuda itu tegas akan tetapi tidak mengandung kemarahan.
"Cin Liong, aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang kehendakmu. Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh paman Suma Kian Lee yang kami tahu masih memegang teguh adat-istiadat kekeluargaan."
"Benar apa yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah menyetujui ikatan jodoh ini?" Cin Liong menggeleng kepala. "Mereka belum tahu, jadi akupun tidak dapat menduga bagaimana sikap mereka terhadap hubungan kami."
"Aihhh.... kalau mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan pinangan? Anakku yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan meminang saja aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana mukaku?" Wan Ceng berkata sambil mengepal tangan kanannya, hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Rasa gelisahnya jauh lebih besar daripada rasa gembira karena akhirnya putera mereka minta dilamarkan seorang gadis.
"Ibu, kalau tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu setuju ataukah tdak? Pula, kenapa mesti takut mengajukan pinangan? Meminang anak gadis orang merupakan suatu hal yang terhormat dan menghormati keluarga gadis yang dilamar. Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang adalah hak kita. Kalau ibu tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus melamarnya sendiri?"
"Liong-ji, engkau tidak boleh mendesak ibumu seperti itu!" Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka diapun cepat menghampiri ibunya dan berlutut.
"Ibu, maafkan aku...." Wan Ceng merangkulnya. "Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan perasaan hatimu kalau sampai kami ditolak."
"Sudahlah, bagaimanapun juga, kita harus berani menghadapi kenyataan yang bagaimana pahitpun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan itu?"
"Sebaiknya dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali dulu ke kota raja dan kuharap ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan perjalanan ke Thian-cin."
Demikianlah, dua bulan kemudian, suami isteri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong kosong dan menurut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan tugas dan sudah beberapa pekan meninggalkan kota raja. Seperti kita ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin, kemudian terjadi peristiwa dia hampir dibunuh oleh kekasihnya, kemudian dia berusaha mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok, maka dia tidak sempat kembali ke kota raja sehingga gedungnya kosong ketika orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka tidak berada di rumah dan agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.
Pada sore hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami isteri yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan mereka, masih saja menarik perhatian banyak oramg yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah pendekar-pendekar yang lihai. Apalagi ketika mereka nnendengar sepasang suami isteri ini menanyakan di mana letak rumah keluarga Suma, dugaan bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang lihai lebih meyakinkan lagi.
Dengan mudah suami isteri ini dapat memperoleh keterangan tentang rumah keluarga Suma Kian Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah keluarga Suma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.
Tak lama kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapuya, yaitu Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun. Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah, sedangkan kedua orang anak mereka menyambut dengan sikap hormat walaupun dengan pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih puteranya itu, walaupun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah atau galak. Juga Kao Kok Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar mata yang tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali. Hanya Kim Hwee Li seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat.
"Aih, Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari manakah yang meniup kalian sampai terbang ke sini?" tegur Kim Hwee Li dengan gembira.
Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut "paman" dan "bibi".
"Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang terkenal itu." Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya. Suma Hui dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya dibalas pula oleh Kao Koh Cu dan isterinya.
"Silahkan masuk, kita bicara di ruangan dalam," Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah akan tetapi wajahnya dingin. Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.
"Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap berdua dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat penting." Demikian Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang menghidangkan minuman.
Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar ia yang bicara. Nyonya ini tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee kini telah banyak berobah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka, dengan hati-hati iapun berkata.
"Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua, maka kami harap kedua adik ini...." Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang Bun.
"Mereka adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka." Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang hendak dibicarakan itu. Tiada lain tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Mengingat akan pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya yang tentu saja akan menolak keras.
Mendengar ucapan tuan rumah yang memotong itu, kembali Wan Ceng saling lirik dengan suaminya. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar ia melanjutkan bicaranya. Maka setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.
"Sesungguhnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... eh, Suma Hui ini." Sukar rasanya menyebut "adik" kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi mantunya. "Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami." Sampai di sini ia berhenti seperti kehabisan keberanian dan akal, bahkan lalu menundukkan mukanya ketika bertemu pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong tanda kemarahan.
Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan diapun cepat menyambung keterangan isterinya, "Terus terang saja, betapa berat rasa hati kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao Cin Liong."
"Tidak.... tidak pantas....!" Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan. Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, lebih mementingkan hati puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.
"Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?"
Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi, sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami."
"Brakkkk!" Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan. "Tidak! Ini penghinaan namanya!"
Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan perobahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama makin memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat menahannya lagi.
"Akupun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!"
Semua orang meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget sekali.
Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.
"Enci Hui....!" Suma Ciang Bun berteriak kaget.
"Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!" Kim Hwee Li menegur puterinya.
"Hui-ji, engkau harus mempertanggungjawankan ucapanmu dan mengemukakan alasan mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!" Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada alasanuya yang kuat sekali.
"Dia.... dia telah menodaiku....!" Hanya sekian saja Suma Hui dapat bicara karena ia sudah menangis sesenggukan. Â "Ahhhh....!" Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis sesedih ini.
"Anakku.... apakah yang telah terjadi....?" tanyanya penuh kegelisahan.
"Hui-ji, ucapanmu itu harus dijelaskan!" bentak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang tinjunya. Adapun Kao Kok Cu dan isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah merekapun berobah agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu hebat, terlalu keji!
Suma Hui menyembunyikan mukanya di dada ibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.
"Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya. Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku...."
"Engkau tahu benar siapa pelakunya?" Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu amarah yang ditahan-tahan.
"Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!"
Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya. "Hemmmm, pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!"
Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar puteranya diancam dan mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika ia berhadapan dengan Suma Kian Lee. "Bohong! Aku tidak percaya! Tidak mungkin puteraku melakukan perbuatan hina seperti itu."
Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu Suma Kian Lee agak tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya. Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu.
"Keterangan anakku kaukatakan bohong?" bentaknya marah.
"Kalau tidak bohong ia tentu salah lihat!" Wan Ceng membantah "Suma Hui, apakah engkau benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu adalah Cin Liong?"
"Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi suaranya.... dan bicaranya.... dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi."
"Fitnah....!" Wan Ceng membentak.
"Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tak tahu malu, tidak becus mendidik anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang, dan sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku membohong? Sungguh tak tahu malu!" Kim Hwee Li marah sekali dan ia sudah menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng. Akan tetapi, wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat iapun sudah menangkis dan membalas dengan menampar pula.
"Dukkk....! Wuiiitttt!" Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya. Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.
"Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Mempergunakan kekerasan bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki dan dipecahkan."
Melihat sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga menahan dirinya, walaupun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.
"Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!"
"Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang tuanya berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah dia melakukan perbuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani mempertanggungjawabkannya dan kami yang akan menghukumnya." Berkata demikian, pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi merah. Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia sendiripun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini? Bagaimanapun juga, mereka menjadi prihatin sekali.
Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu lalu menarik lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.
Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui lalu menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!" Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itupun ia tidak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu! Kim Hwee Li dapat merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu inipun merangkulnya sambil menangis pula.
Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi malapetaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda? Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu? Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.
"Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia kekamarnya dan biarkan aku sendiri di sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!" kata pendekar itu dengan wajah lesu.
Kim Hwee Li mengerti bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka iapun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri. Dia
menahan langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang encinya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada encinya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu pemuda yang menjadi suhengnya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa itu. Dia sendiri masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa encinya! Dia mengenal betul jenderal muda itu, seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah membela Pulau Es mati-matian, bahkan telah menyelamatkan encinya dari malapetaka ketika encinya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kemudian Cin Liong sendiri yang memperkosa encinya? Akan tetapi, diapun tahu bahwa encinya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang
sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau encinya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itupun sukar untuk diragukan lagi. Sungguh membingungkan!
Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman. "Ah, sute, apakah tamunya sudah pulang?"
Ciang Bun masih termenung dan hanya mengangguk. "Siapakah tamunya, sute?"
"Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya dan mereka datang untuk meminang enci Hui!" Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah suhengnya itu dengan tajam. "Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin Liong."
"Ahhh....!" Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang. Ciang Bun mengerti bahwa tentu suhengnya ini tidak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya.
Ciang Bun lalu menghampiri suhengnya. "Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu."
Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sutenya dengan heran. "Bicara apakah, sute?"
"Tentang.... Cin Liong!"
"Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?"
"Dia telah membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa matinya ayahmu?"
Pemuda itu menarik napas panjang, nampak bersedih. "Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingannya dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah."
"Engkau percaya akan keterangan itu?"
"Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah."
"Engkau tidak mendendam?"
Tek Ciang nampak bingung. "Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, akan tetapi akupun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.
"Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?"
"Apa....? Ah, entahlah, sute, aku menjadi bingung...."
Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otaknya bagaimana untuk dapat membongkar rahasia terpendam yang mungkin diketahui oleh suhengnya ini, sedangkan Tek Ciang bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pertanyaan sutenya.
"Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah. Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?"
Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sutenya yang masih remaja dan yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.
"Suheng, apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin Liong?"
"Sesuatu yang aneh? Apakah yang kaumaksudkan, sute?"
"Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?"
"Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis."
"Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!"
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia tersenyum. "Ah, bagaimana mungkin aku berani menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku."
"Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?"
"Itulah yang membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!" Tek Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga. Memang aneh kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru) kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya maupun tingkat kepandaiannya.
"Sekarang harap kaujawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka bertengkar?"
Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.
"Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tidak berani bicara kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?"
Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara. "Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!"
"Berkelahi?"
"Sehenarnya bukan berkelahi, melainkan sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba melerai akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tidak berhasil menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu."
"Hemm, begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main saja ataukah hanya untuk menguji?"
"Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap."
"Hemm, sungguh aneh. Apa sebabnya enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?"
Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut bersedih. "Aku tidak tahu mengapa, sute. Ketika kutanya, sumoi juga tidak mau menceritakan."
"Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?" Tek Ciang menggeleng kepala.
"Malam itu engkau berada di mana, suheng?"
"Aku? Ah, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat persembunyian tidak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar akan tetapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri bertanya-tanya
dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?"
Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. "Tidak tahulah, suheng, tidak tahulah...." dan pemuda remaja inipun meninggalkan suhengnya dengan hati yang tidak puas karena semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalannya. Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa encinya, kemudian setelah mereka bertemu pagi itu, encinya lalu mati-matian menyerangnya? Dia menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib encinya yang malang.
******
"Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah...." Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.
Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis daripada encinya di waktu kecil. Bahkan diam-diam ia sering merasa heran mengapa puterinya berhati baja seperti seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.
"Ibu.. .. ibu.... rasanya aku ingin mati saja...." Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bertangisan. Baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis karena iapun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!
"Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapapun besar malapetaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?"
Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata, "Sekarang coba kauceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan."
Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas. Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya dan mengeluarkan suara kutukan perlahan. Setelah puterinya selesai bercerita, ia bertanya.
"Begitu gelapkah cuaca malam itu dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?"
"Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu."
"Asap yang berbau harum seperti hio?"
"Benar."
"Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berobah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita manapun kiranya akan bisa dia dapatkan!"
"Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!"
"Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?"
"Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ah, ibu.... sungguh dia bukan manusia...." Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali. "Aku.... aku mencintanya, dan diapun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia melakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?" Gadis itu menangis lagi. Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagaimana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa malapetaka itu. Ia tahu bahwa kalau tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.
Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biarpun hanya puteri angkat dan iapun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Ia baru berobah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (baca KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI). Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua menjadi suami isteri!
"Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji."
"Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!"
"Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengar, bukankah engkau amat mencintanya?"
"Itu dulu sebelum...."
"Dan diapun mencintamu....?"
"Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan...."
"Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apapun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi dan satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong.. .."
"Tidak....! Tidak....!"
"Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai mantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka semua sebagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menikahimu...."
"Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku daripada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berobah benci oleh perbuatannya yang keji itu!"
"Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita."
"Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, akupun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini."
"Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!"
"Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Diapun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!"
"Hui-ji! jangan putus asa seperti itu, anakku....!" Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali. Akan tetapi ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.
Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap Cin Liong, dalam seketika dapat saja berobah menjadi kebencian yang amat mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya. Tanpa kita sadari, kita sekarangpun hanya memiliki cinta yang macam ini saja. Kita mencinta seseorang, tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya, kedudukannya atau lain hal lagi. Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan ORANGNYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah. Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berobah atau hilang, cinta kitapun luntur dan berobah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita DISENANGKAN, kini kita merasa DISUSAHKAN. Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya berobah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itupun berobah menjadi benci setengah mati!
Yang beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta berahi saja, atau keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita sendiripun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati "cinta" kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka akan nampak nyata betapa "mengerikan" wajah dari cinta kita itu.
Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng.
Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itupun tertebus dan aibpun terhapus. Hanya satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak. Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biarpun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan diapun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.
"Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya."
"Tapi....!" Isterinya membantah dengan kaget. "Mana mungkin itu terjadi setelah.. ..? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ah, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tidak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal."
Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya. "Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak."
"Apa? Ilmu keluarga kita akan kauwariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?" isterinya bertanya, penasaran.
"Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak."
Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena iapun mengerti betapa kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.
"Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?"
"Kalau dia menolak, dia tidak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi." Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong. Andaikata puterinya mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik itulah.
"Sekarang juga kita hadapi dia," kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk datang menghadap. Suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.
"Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapapun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin kami," demikian katanya dengan sikap tegas.
Ciang Bun menoleh sejenak kepada suhengnya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera menemui encinya, yang berada di ruangan belakang.
Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan suhonya.
"Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang," kata Kian Lee sambil menunjuk sebuah kursi di seberang meja.
"Teecu tidak berani...."
"Diperintah guru berani membantah masih mengatakan tidak berani?" Kim Hwee Li membentak dan pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya, apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang sekarang menatap wajahnya dengan penuh perhatian dan seperti orang menyelidik. Kalau saja Hwee Li tahu betapa jantung pemuda tu berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa hormat.
"Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu." Kian Lee mulai bicara.
"Teecu siap mendengarkan dan mentaati, suhu," jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu teramat baik itu. Hwee Li mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau kepalsuan itu.
"Beginilah, Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita tentang hal itu kepadamu?"
Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subonya, memandang kepada wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggeleng kepala. "Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu."
"Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga sama sekali, sekarang aku terpaksa yang memberitahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang." Berkata demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian. Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berobah merah dan dia menundukkan mukanya, tidak berani memandang kepada suhunya atau subonya! Sungguh seperti seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!
Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya. "Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu, Tek Ciang?"
"Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu? Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu? Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua...."
Kalau tidak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapapun juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.
"Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?" tanya pula Kian Lee menegaskan.
Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut terhadap mereka dan menangis! Kim Hwee Li tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu menangis dan bercucuran air mata, iapun tercengang.
"EH, kenapa engkau menangis?" bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan heran.
"Teecu.... teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ah, teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu...."
Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang dan berhati lembut dan berbudi luhur?
"Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kaudengar selanjutnya."
Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan dan pemuda itu menyusut air matanya dan duduk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.
"Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?" tanya Kian Lee.
"Teecu berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali tentu saja teecu setuju dengan sepenuh hati teecu."
"Baik, sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?"
"Teecu mengerti dan siap mendengarkan."
"Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoimu, atau juga tunanganmu itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?"
"Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil."
"Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?" tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.
"Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu bertanya-tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberitahu kepada teecu."
Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi, "Malam itu ada seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoimu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin Liong dan...."
"Ahhh....!" Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.
"....dan.... dan sumoimu terkena asap pembius dan.... sumoimu diperkosa olehnya...."
"Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau teecu ada kemampuan!" Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.
"Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami," kata pendekar sakti itu.
"Maaf, suhu...." Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis membayangkan kebencian yang mendalam.
"Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoimu, tunanganmu itu kini telah ternoda, apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini? Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?" Di dalam suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu. Hwee Li tahu bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biarpun tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang. Kalau pemuda ini nenolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka. Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik!
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas, "Kenapa teecu tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu."
Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpemandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.
"Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!" Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih, suhu, terima kasih!"
Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu. "Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?"
"Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali," kata Suma Kan Lee.
Tek Ciang bangkit dan duduk, mukanya merah karena malu mendengar ucapan subonya tadi, malu akan tetapi girang. Subonya yang biasanya bersikap galak itupun kini bersikap manis kepadanya!
"Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merobah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi...." Dia tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.
Hwee Li saling pandang dengan suaminya dan ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya? Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu
sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua peristiwa perkosaan itu, dan kalau sampai sekarang menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Panggil dia ke sini sekarang juga!" katanya memerintah kepada Tek Ciang.
"Baik, suhu." Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoinya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.
"Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga," katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perobahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.
"Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?"
"Suhu tidak memberitahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam," jawab Tek Ciang dengan suara biasa.
Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya, menarik napas panjang lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak meperkenankan siapapun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan ia dapat melihat bahwa suhengnya itu memang baik sekali. Dan kini suhengnya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!
Agak berdebar jugalah hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.
"Duduklah di situ, Hui-ji," kata Suma Kian Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang.
Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, diantara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang...."
"Ayah....!"
"Dengar dulu!" Ayahnya memotong dan Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi, dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang ia memandang ayahnya.
"Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberitahu tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak menanyakan lebih dulu pendapatmu."
Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya. "Perlu apa dibicarakan lagi, ayah? Hal itu sudah berlalu dan kini tidak mungkin dilanjutkan!" katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan dan mengakibatkan tercemarnya nama dan kehormatan keluarga Suma. Sama dengan membongkar dan memperlihatkan aib sendiri.
"Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu, juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu, akupun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang malapetaka...."
"Ayah....!" Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.
Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang. "Tenang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahitpun juga. Dia tidak menyalahkanmu, Hui-ji. Manusia keparat itulah yang terkutuk dan dia memaklumi keadaanmu, dan dia dengan sukarela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi."
"Tidak mungkin....!" kata Suma Hui.
"Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat."
Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat kebenaran kata-kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormatannya sepertinya itu! Tapi.... tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biarpun ia sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.
"Ohh, ibuuuu....!" Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis. Ibunya merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu bangkit dan duduk kembali.
"Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh Kao Cin Liong."
"Aku akan membantumu, sumoi!" tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.
Suma Hui menoleh dan memandang kepada suhengnya atau tunangannya yang duduk di sebelah kanannya itu, lalu mendengus. "Engkau jangan ikut campur urusanku ini!" Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suhengnya amat rendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suhengnya yang belum ada seperempatnya.
"Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang," kata Suma Kian Lee menegur puterinya.
"Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia bisa mengalahkan aku dalam ilmu silat!"
"Hui-ji....!" ibunya menegur.
"Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku?" balas puterinya menantang.
"Baiklah!" kata Suma Kian Lee. "Akan tetapi ingat, seorang gagah takkan menjilat kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!"
"Saya tidak akan mengingkari janji!" bantah Suma Hui. "Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba kepandaiannya kepadaku!"
"Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!" Akan tetapi Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.
Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada Tek Ciang, "Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun agar dalam waktu singkat engkau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!"
Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi melihat encinya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang menangis. Karena khawatir akan keadaan encinya, pemuda ini nekat memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada suhengnya itu. Hatinya merasa tak senang mendengar ayahnya hendak mengajarkan ilmu kepada suhengnya agar dapat melampaui encinya dalam waktu singkat. Apa artinya itu?
"Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?"
"Ciang Bun, mulai hari ini, encimu telah menjadi tunangan suhengmu," Suma Kian Lee berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.
"Ahhh....?" Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa suhengnyalah yang akan menjadi suami encinya, padahal encinya sudah mengalami aib. Melihat puteranya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur.
"Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada calon ci-humu (kakak iparmu)!"
Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan diapun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang sambil berkata, "Suheng, kionghi (selamat)!"
"Terima kasih, sute," jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.
Malam itu Suma Hui tidak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, iapun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiripun tahu harus bagaimana untuk menghibur hati puterinya. Maka iapun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, ia akan bicara dan menghiburnya.
Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian, meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit tulisan yang ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!
Suma Kian Lee menjadi marah. "Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa Tek Ciang dan ia masih bertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan dapat dilakukannya?"
"Biar aku menyusul dan membujuknya pulang," kata isterinya.
"Hemm, kaukira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya? Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga," bantah suaminya dan Hwee Li tak dapat membantah. Memang iapun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya ia dapat mencarinya, hal yang tentu saja amat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang. Kekecewaan demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu ketika tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga encinya, pemuda remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi untuk mencari encinya! Sungguhpun benar Ciang Bun pergi untuk mencari encinya, akan tetapi yang mendorongnya pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat encinya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda inipun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan. Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan. Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas
tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?
Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.
Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.
Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali. Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biarpun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya. Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya. Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu ataupun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.
Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman. Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, diapun lalu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu jai -hwa Siauw-ok tidak muncul, dia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subonya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan. Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih samadhi seperti yang diajarkan oleh suhunya kepadanya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya. bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan
menghimpun tenaga sin-kang. Bahkan kini dia mulai dapat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es! Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi di kuil itu merupakan tempat yang amat baik untuk bersamadhi menghimpun tenaga dalam, selain tempatnya sunyi, juga malam itu dingin sekali, cocok untuk berlatih.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itupun dapat didengarnya dan diapun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul. Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!
Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, diapun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.
"Siapa....?" bentaknya sambil meloncat berdiri.
"Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!"
"Locianpwe....!" teriak Tek Ciang dengan girang ketika mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.
"Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini...." Suara itu berbisik.
Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Diapun cepat keluar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.
"Locianpwe, ada apakah....?" tanyanya heran.
"Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong.. .."
"Apa....? Di.... di mana dia....?" Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.
"Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga."
"Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?" tanya Tek Ciang penasaran.
"Ah, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biarpun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang."
Otak pemuda itu bekerja dengan cepat. "Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan sayapun memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan manakah dia datang mengejar?"
"Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!" Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan. Tek Ciang tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong.
Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang. Dia tidak dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka diapun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin Liong. Dia melarikan diri dengan cepat dan karena dia sering datang ke hutan ini, dia mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap diantara pohon-pohon dan semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang lain dari tempat Jai-hwa Siauw-ok bersembunyi.
Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah tahun dan menurut suhunya, dia memperoleh kemajuan pesat yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dikejar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.
Maka dia lalu menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat ke depan, menyerang Cin Liong dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-Ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!
Cin Liong yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.
"Dukk!" Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.
"Hwi-yang Sin-ciang....!" serunya kaget akan tetapi lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.
"Tahan....!" katanya.
Tek Ciang juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.
"Louw-susiok....!"
"Kao-taihiap....!" Tek Ciang berseru dan mendahului.
"Kukira tadinya penjahat cabul itu....!"
"Ehh? Justeru aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama, jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?"
"Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu itu...."
"Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok! " kata Cin Liong. "Lalu bagaimana? Kemanakah dia?"
"Aku melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka akupun menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu, "Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja" dan diapun lenyap. Eh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!"
"Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya di sana!"
"Kao-taihiap, bagaimana engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?" Tek Ciang bertanya, suaranya mengandung kekaguman.
"Ah, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari. Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... eh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?"
"Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?"
Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala. "Aku tidak berani mendekati keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja, berkeliaran saja mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani."
"Ah, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah."
"Apakah yang telah terjadi, susiok?" Cin Liong mendesak. "Apakah paman kakek Suma Kian Lee belum pulang?"
"Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun."
"Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?"
"Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya."
"Benarkah?" Jantung Cin Liong berdebar tegang. "Lalu bagaimana?"
"Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu."
"Lalu....?"
"Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada hubungan keluarga."
Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walaupun dia sudah dapat menduga akan hal itu. Pula, setelah kini Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak membunuhnya, apa lagi artinya andaikata pinangan diterima juga?
"Kemudian bagaimana?"
"Kemudian.... kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan sumoi dan aku...."
"Hemm, begitukah? Lalu....?"
"Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan.. .."
"Dan engkau....?"
"Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid. Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar perjodohan itu dilanjutkan?"
"Hemmm...."
"Di lain fihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan sumoi...."
"Ya....?"
"Terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik kalian itu?"
Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik. "Ah, terima kasih, susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walaupun sekarang baru dalam taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?"
"Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma."
Cin Liong mergangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan ayah ibunya.
"Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-susiok!"
"Selamat jalan, taihiap!"
Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama dia termenung dan berusaha menenteramkan perasaanya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!
"Bagus.... bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!"
Pemuda itu terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu. "Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?"
"Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!"
Legalah hati Tek Ciang dan diapun tertawa. "Yang belum kuat harus menggunakan kecerdikannya, locianpwe."
"Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih hebat daripada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara."
Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati lukanya.
"Apakah yang telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?"
Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka dalam keadaan terluka sekalipun dia masih bisa tertawa gembira.
"Kaukira orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah, Tek Ciang. Betapapun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai daripada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!" Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pe mbius dan berhasil menculik wanita itu. Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapapun lihainya, karena memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil membawa wanita itu.
"Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku tak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan, ia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka."
Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa menyenangkan hal itu.
"Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?"
Kakek itu mengangguk dan menyumpah. "Memang aku sedang sialan! Dalam perjalanan menuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu karena aku sedang terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat melawan sepenuhnya karena luka ku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku."
Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.
"Tek C iang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan ilmu-ilmuku kepadamu."
Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut. "Locianpwe maksudkan untuk mengambil saya sebagai murid?"
"Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, melainkan sebagai anakku!"
"Anak....?"
"Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah. Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?"
Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima daripada menolak.
"Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?"
"Engkau mau? Mau menjadi puteraku?"
"Tentu saja aku mau."
"Bagus! Hayo kausebut ayah padaku!"
"Ayah!"
"Ha-ha-ha!" Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, merangkul pemuda yang sedang berlutut itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berobah menjadi setengah menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok Ciang mengkirik serem.
"Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau, setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Kesinikan lenganmu!"
Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar. Tek Ciang terkejut akan tetapi pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andaikata datuk itu hendak membunuhnya sekalipun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka diapun pasrah dan sedikitpun tidak nampak takut. Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiripun sudah luka tergores dan berdarah pula. Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.
"Hayo minum darah di lenganmu itu!" katanya. Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai bersih.
"Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua ilmu-ilmuku."
Demikianlah, mulai saat itu, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu saja dia menjadi semakin lihai. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma Kian Lee dan isterinya yang cerdik itupun sama sekali tidak pernah menduganya.
Biarpun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai, namun karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah mengherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-daerah yang terpencil. Kaisar Kian Liong dengan pasukan-pasukannya yang kuat berhasil menundukkan semua daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat. Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di barat itu maka agak terlambatlah Kaisar Kian Liong mengetahui bahwa diam-diam terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat yang diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet dan kemudian menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang Kerajaan Ceng. Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.
Pihak Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong! Setelah menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan menjanjikan kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting. Datuk itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya. Dia ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal kemudian bersama-sama kekuatan gabungan persekutuan itu membentuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.
Bhutan merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur Nepal dan hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka dapat melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet hanya melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang oleh Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.
Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran yang subur, lembah-lembah yang indah dan Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.
Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi, puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasihatnya yang paling utama.
Para pembaca cerita seri SULING EMAS tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik. Kemudian dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan. Suaminya itu bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut. Ketika dua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat. Akan tetapi akhirnya, biarpun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali. Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan dan selama itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.
Karena semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih menjadi pangeran, maka tentu saja kini ia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han. Tidaklah aneh kalau garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar
dan lebih berharga daripada upeti yang dikirimkan.
Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga pembesar-pembesar. Maka, Hek-i Mo-ong juga diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka untuk berfihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi "koksu" dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik, dia harus menyamar. Tidak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu. Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih maupun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya. Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah. Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, kini pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan diapun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.
"Kita melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?"
"Baik, kong-kong," jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong. "Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?" Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka diapun mengerti akan tugas gurunya.
Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. "Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan."
Karena Ceng Liong tidak mengerti, diapun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak pergi ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan baik, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.
Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di daerah ini, di Propinsi Se-cuan. Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang sudah berusia empat puluh dua tahun ini. Dia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP. Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.
Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang aseli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aselinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aselinya dengan tenang.
Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.
Kemudian diapun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagaimanapun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan. Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan ataupun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu. Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.
Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal. Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan diapun sudah siap membantunya.
Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali. Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, iapun akan minta pengobatan.
Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan ketika dia menyulap sepotong batu berobah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, "Bagus! Bagus....!"
Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.
Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya. Biarpun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu. Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur. Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan. Akan tetapi, pada saat kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.
Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta, dan begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir. Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda dan menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengawal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian. Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!
Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berobah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.
"Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu," katanya.
Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. "Ah, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia," kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!
"Engkau anak yang baik sekali!" kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong dan anak inipun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biarpun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.
"Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?" Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.
"Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?"
Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.
"Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong."
"Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong," perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.
Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. "Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini."
Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.
"Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit," demikian tambahnya.
Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah "membuka praktek" di pasar itu. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya pintu gubernuran terbuka baginya.
"Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit," katanya dan diapun cepat menyuruh cucunya berkemas, dan tak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali, sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang sudah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu, dan semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.
Setelah tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.
"Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya," Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.
"Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri," tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. "Apakah engkau bisa menolongku?"
Sinshe Phang menjura. "Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?"
"Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja."
Sinshe Phang mengangguk-angguk. "Maaf, hamba harus memeriksanya lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya."
Gubernur Yung Hwa yang mencinta isterinya itu berkata, "Mari, silahkan masuk ke kamar, Sinshe Phang."
Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, "Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik."
"Biar Kui Lan menemaninya," kata nyonya itu dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walaupun dia merasa sungkan dan juga malu.
Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. "Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah."
Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, "Ah, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?"
Sang gubernur tertawa. "Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw, yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu diapun telah kaugembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!"
Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimanapun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu. Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu. Tentu saja gubernur dan selirnya itu merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang kini telah bersahabat dengannya.
"Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat." Di waktu bermain-main Kui Lan berkata. Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.
"Kenapa engkau berkata demikian, nona?"
"Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap kasar, sombong padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukan anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!"
Ceng Liong tertawa. "Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya."
Kui Lan menarik napas panjang. "Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?"
"Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon manapun bebas!"
Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. "Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!"
"Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana bisa dibandingkan dengan aku?"
"Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ih, masih ngeri kalau aku mengingatnya."
Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus diapun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.
"Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamananpun baik?" Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.
Kakek itu mengerutkan a lisnya, bersikap pura-pura keberatan untuk menyatakan pendapatnya. Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, "Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur dan engkaupun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!" Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.
"Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah."
Gubernur itu menghela napas. "Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Sudah tentu mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna."
Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikitpun rasa dendam dalam ucapan itu.
"Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang terjadi di mana-mana?"
Gubernur itu mengerutkan alisnya. "Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andaikata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara."
Kini yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa agar tidak percuma semua jerih payah yang telah  diperhitungkan dan direncanakannya.
"Bagaimanapun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas."
"Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silahkan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat."
Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. "Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini."
Gubernur itu nampak kecewa. "Ah, mengapa begitu tergesa-gesa?"
"Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan...." Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walaupun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.
"Ke Bhutan....? Ah, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?"
"Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan diapun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba sudah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan."
"Apakah itu, Phang-sinshe?"
"Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu."
"Ah, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana."
Bukan main girangnya hati kakek itu. "Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin."
Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditandatanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.
Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya.
******
Biarpun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga maupun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.
Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka dan pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.
Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tidak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas daripada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana maupun di luar istana.
Biarpun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, akan tetapi pendekar ini disebut pangeran dan dia bersama isterinya merupakan penasihat-penasihat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini. Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jerih. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Tak mungkin ada yang sempurna di dunia ini karena setiap ada yang menganggapnya baik tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung daripada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah. Maka, kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tenta saja karena dianggapnya menguntungkan bagi fihak itn, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik karena merasa dirugikan. Mereka yang diam-diam menganggapnya tdak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas. Sudah jamak di satu pemerintahan negara manapun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidakpuasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak mernperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir maupun batin. Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.
Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal. Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasihat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.
Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit. Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar, mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang, dua
kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan. Anak ini sungguh cantik, gerakannya lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan, tangan kiri memegang busur kecil, tangan kanan memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi. Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga biarpun usianya baru sembilan tahun, namun Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar. Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan dan sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai mempergunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.
"Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!" Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.
"Di hutan ini mana ada puteri-puteri segala macam?" Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigapnya di antara semak-semak belukar.
"Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!" teriak sutara wanita ke dua. Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya dan menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tehtu saja dua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.
"Sungguh sialan benar kita hari ini." Anak itu mengomel. "Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekorpun rusa atau binatang lain!"
"Nona, sebaiknya kita kembali ke kota. Kita sudah hampir sampai di perbatasan!" seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.
"Tidak, kita belum memperoleh seekorpun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil," bantah Hong Bwee.
"Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan...."
"Tak tahu malu!" Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu.
"Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!"
"Ihhh.... jangan ke sana!" seru pengawal beralis tebal.
"Kenapa?"
"Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada biruang-biruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!"
"Aku tidak takut!"
"Tapi.... tapi biruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya." Hong Bee memandang kepada dua orang pengawalnya sambil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan. "Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang menemaniku sekarang ini? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor biruang yang meanjadi korban anak panah atau pedangku!" Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya sudah hilang dan ia berlari-lari
sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya lalu cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.
Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Merekapun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.
Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Kalau mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah. Maka merekapun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pemburu-pemburu yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak panahnya dari balik semak-semak. Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu. Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina inipun indah dan rusa inipun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berobah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina. Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.
"Wuuuutt.... singggg.... ceppp!"
Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan itu tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadipun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.
Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantang yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.
Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas. Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Diapun kena kutuk dan roboh tewas. Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walaupun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.
Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.
"Nona, jangan kejar....!" teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa merekapun mengejar secepat mungkin.
Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya. Ketika anak ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor biruang hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor biruang hitam kecil, anaknya yang baru sebesar anjing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu dengan Hong Bwee. Kini Hong Bwee sudah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke arah si biruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan biruang dan memperoleh kesempatan merobohkan seekor biruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.
"Prattt.... wirrrr.... ceppp....!" Anak pauah itu menyambar dan anak biruang itupun roboh terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan khawatir sekali.
Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Biruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak biruang kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat biruang besar lari maju, dengan tabah iapun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya. Anak panah itu meluncur dan menyambar ke arah biruang betina. Akan tetapi ketika anak panah itu mengenai pundak biruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka kecil saja. Kulit biruang itu dilindungi bulu yang kuat! Dua orang pengawal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi biruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian diapun menyerang dan menubruk ke depan.
"Nona, cepat lari....!" teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang. Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan biruang itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi biruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungj bulu yang kuat dan pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu. Biruang itu menerjang terus dan tamparan-tamparan kedua tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tak dapat bangkit kembali dan hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee. Akan tetapi anak inipun bukan sembarangan bocah. Biarpun ia hanya merupakan seorang anak perempuan yang usianya belum genap sepuluh tahun, namun ia sejak kecil telah mengalami gemblengan lahir batin oleh ayahnya yang sakti sehingga biarpun ia melihat dua orang pengawalnya sudah roboh dan kini biruang itu menyerangnya, ia masih dapat bersikap tenang dan tidak gugup sama sekali. Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil melolos pedangnya. Ia tahu bahwa menyerang biruang itu sama dengan mencari celaka karena biruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya. Kini Bwee Hong tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sedapat mungkin ia hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.
Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, biruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke arah muka biruang itu.
"Braaakkk....!" Pohon itu tumbang dilanda tubuh biruang yang menubruk sekuat tenaga tadi. Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika biruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata biruang! Biruang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah, akan tetapi dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya dan menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.
"Trakkk!" Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling. Pada saat itu biruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua buah kaki meluncur cepat menghantam dada biruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.
"Bukkkk....!" Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada biruang. Binatang itu tidak terjengkang, akan tetapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini dapat memperoleh kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.
Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan terhadap amukan seekor biruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya, anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya. Ceng Liong memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum, sedikitpun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang diancam oleh biruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat menggembirakan hatinya, ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.
Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong dan tanpa memperdulikan gurunya yang diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan Hong Bwee.
Pada saat itu terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut, membentuk corong lalu mengeluarkan pekik melengking. Tak lama kemudian berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.
"Ayah, biruang itu berbahaya sekali!" teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya datang.
Sementara itu, biruang yang marah itu kini sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Biruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.
"Plakk! Plakk!"
Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala biruang itu, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Biruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan berkelojotan lalu mati!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan biruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di dada dan kepala biruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata. Maka diapun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!
"Ayah....! Kau hebat....!" Hong Bwee meloncat menghampiri biruang yang mati itu dan memandang kepada ayahnya dengan wajah berseri.
"Hong Bwee, engkau terluka....!" kata Tek Hoat sambil meraih puterinya. Ternyata anak perempuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri. Untung ia cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu dengan tangan biruang.
"Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman biruang." kata Hong Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.
Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia menoleh, memandang Ceng Lion penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya, kemudian dia memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan.
Entah nampak pada sinar mata yang tajam berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.
"Dua pengawalku telah roboh terluka oleh biruang. Aku mempertahankan diri dengan pedang dan anak panah, akan tetapi akupun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat dan menendang dada biruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!" Hong Bwee memang luar biasa. Tadi dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan, ternyata ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang biruang.
Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-orang tua yang sakti, maka diapun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.
"Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari malapetaka."
Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu. "Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh biruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka."
Tentu saja Tek Hoat mengangguk membolehkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat. Phang-sinshe tanpa membuang waktu lagi cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya, akan tetapi ia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka diapun merasa semakin girang.
Pada waktu itu, selosin pemburu yang kesemuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang mempunyai kesenangan merantau dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.
"Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan."
"Apakah anak itu murid sinshe?" tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.
"Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya."
"Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan...."
Kakek itu memperlihatkan muka terkejut dan sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia berkata, "Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan.... apakah.... apakah.... taihiap orangnya....?"
Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan kalau kakek ini dalam perantauannya di Himalaya mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk. "Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi."
"Ah, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat," Phang-sinshe segera memberi hormat, akan tetapi Tek Hoat membalasnya.
"Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilahkan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke istana menjadi tamu kehormatan kami."
Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu dan kini, tanpa disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu
mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!
"Terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!" katanya berulang-ulang sambil memberi hormat. "Sejak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Sekarang taihiap mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima kasih sekali!"
Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.
"Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!" Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya. Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, diapun tidak mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu. Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Melihat Ceng Liong telah duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.
Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rambongan itu lalu berangkat meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, setelah melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira. Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk. Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor biruang hitam besar dan anaknya, rakyat menyambut sambil mengeluarkan pujian.
Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.
Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itupun mengagumi keindahan istana tua itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira, tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur. Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, di bagian bangunan sebelah kanan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka, Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung di depan ibu anak perempuan itu.
Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan tubuhnya, tentu berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun lebih muda. Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun! Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda. Seperti diceritakan dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN, Syanti Dewi pernah mendapatkan obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Dan setelah ia menikah dengan Wan Tek Hoat, sebelumnya ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, biarpun ia sudah tidak memakai obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.
Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya kepada Syanti Dewi yang segera mengucapkan selamat datang dan juga terima kasih kepada kakek itu. Kemudian Phang-sinshe dan Ceng Liong dipersilahkan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.
Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga Pangeran Wan Tek Hoat.
Berkat "nasib" baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan para pejabat yang benar-benar setia dan jujur, bahkan pada suatu hari, setelah sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta sedang duduk di kamarnya ketika pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon untuk bertemu.
Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar inipun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilahkan duduk dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.
"Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai."
Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan sehat, sedikitpun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Ciangkun menderita penyakit apakah?"
Brahmani tersenyum. "Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati penyakit."
"Bantuan dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya." Phang-sinshe memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.
"Saya mendengar bahwa sinshe adalah seorang yang banyak merantau dan sudah berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu sudah menjelajahi daerah-daerah utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai, bukan?"
Karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.
"Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh besar yang bernama...." Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan, "Hek-i Mo-ong?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa ada perobahan sedikitpun pada air mukanya dan diapun bertanya perlahan-lahan, "Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?" Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau perlu untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau mengetahuinya?
Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, akan tetapi karena dia sudah memperoleh keterangan dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum diapun berkata, "Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar tentang dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini."
Phang-sinshe mengangguk-angguk. "Hemm, apa buktinya?"
Brahmani lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata, "Akupun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku sudah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani mendekati sinshe."
Kini Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik. Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu Nepal!
Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. "Kalau persiapannya sudah begitu masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?" tanyanya.
Brahmani menarik napas panjang. "Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan dicinta rakyat dan bahkan pasukan-pasukan Bhutan, membuat penyerbuan atau pemberontakan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itupun akan enggan melakukan perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi, sinshe karena satu-satunya cara untuk melemahkan pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan dari sini."
Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur Syah dan para pembantunya agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur.
******
"Ceng Liong, mari kita berlumba menangkap kelinci itu!" Hong Bwee berteriak sambil melompat ke depan ketika ia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak. Melihat kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan "matang" di depan gadis cilik ini.
"Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya saja!" diapun berseru dan mengejar. Karena kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari, dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.
Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-engah dan keringatnya membasahi leher baju. Keadaannya sama dengan kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil. Ceng Liong menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh terpelanting.
"Aduhhh....!"
Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tibapun terpelanting dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.
"Engkau tidak apa-apa?" Ceng Liong membantu gadis itu bangkit. Hong Bwee menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku terluka oleh batu.
"Aku sudah menangkapnya untukmu!" kata Ceng Liong menuding ke depan.
Hong Bwee memandang dan terbelalak, lalu lari menghampiri bangkai binatang itu. Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.
"Ceng Liong, engkau kejam!" Lalu diusapnya bulu kelinci itu. "Kelinci yang malang, engkau telah menjadi korban kekejaman orang...."
Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu. "Nona, kenapa engkau mengatakan aku kejam?" Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam!
"Eh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi dan setelah aku membantumu menangkapnya, engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?"
Akan tetapi Hong Bwee tidak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut, lalu ia berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci itu.
Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tetapi tidak luput dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!
"Apakah nona hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa...."
Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan diapun makin heran, sampai terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!
Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan "upacara" sembahyang itu dan duduk di atas akar pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walaupun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.
Ceng Liong yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia menekan perasaannya agar suaranya tidak terdengar marah. "Nona, sungguh aku merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah kepadaku, mengapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di depan kuburannya. Apa artinya semua ini?"
Kini Hong Bwee memandang dan alisnya berkerut. "Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?"
"Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?"
"Memang, akan tetapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!"
Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci yang terbunuh? Apa-apaan ini?
"Tapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa banyak binatang? Ketika kita bertemu untuk pertama kalinya, engkaupun membunuh anak biruang, bahkan mencoba untuk membunuh induknya. Binatang buruan memang untuk dibunuh!"
"Membunuh dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya dan engkau membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!"
"Wah, membunuh pakai aturan?" Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. "Nona, tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?" Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.
"Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh," kata gadis cilik itu bersungut-sungut. "Nah, kau dengar baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita terancam bahaya, untuk mempertahankan nyawa dan keselamatan diri, tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam keselamatan kita, baik ia binatang atau manusia. Pembunuhan ini namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini benar adanya." Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Adalagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk mengenyangkan perut atau untuk memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami, yaitu membunuh tanpa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita, tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai santapan. Engkau membunuhnya seperti pembunuhan ke tiga tadi, kejam dan kelinci itu mati sia-sia!"
Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, dilemparkan dan dibuang begitu saja.
"Tapi, nona...." Dia membantah untuk "meringankan" dosanya. "Ketika aku merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan dagingnya."
"Benarkah itu? Hong Bwee memandang tajam. Sinar mata lembut namun tajam itu seolah-olah berubah menjadi ujung pedang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh. "Tentu saja benar."
"Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoapun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?" Kini wajah yang manis itu menjadi terang dan berseri kembali, senyumnya mengembang lagi seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.
Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan diapun tersenyum. "Maaf, karena tidak tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona."
"Hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum, bukan?"
Ceng Liong mengangkat dadanya. "Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!" Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, "Ah, aku hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itupun masih dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari."
"Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke Bhutan, begitu jauhnya...."
"Ah, engkau hanya menduga saja, nona."
"Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala macam!"
"Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani...."
"Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona."
"Baik, non.... eh Hong Bwee."
Nona kecil itu tersenyum geli. "Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!"
"Nona.... eh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat membuktikan kepandaianku mengobati?"
"Bukan itu, yang satunya lagi."
"Main sulap? Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah, sekarang batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!" Ceng Liong membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga mengaburkan pandang mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena ilmu sulap gurunya adalah ilmu sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi dengan kecepatan gerak tangannya, dia dapat memindahkan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri tanpa dapat terlihat oleh Hong Bwee. "Lihat batu ini!" Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang tadi tergenggam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di situ terdapat sehelai daun hijau.
"Ah, tidak aneh! Biarpun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu kanak-kanak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksudkan."
"Habis, yang mana lagi? Aku tidak bisa apa-apa."
"Jangan engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar engkau mempertunjukkan ilmu silatmu."
"Aku tidak bisa...."
"Bohong, nah aku akan mengujimu!" Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat dan memukulkan tinjunya ke arah dada Ceng Liong. Tentu saja, sebagai anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, dengan otomatis tubuh Ceng Liong bergerak mengelak. Hong Bwee menyerang terus dengan pukulan, tendangan, tamparan bahkan ia mempergunakan pula cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali berkat ilmu silat yang dipelajarinya dari Wan Tek Hoat. Melihat gerakan gadis ini mainkan Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi kagum. Diapun tahu bahwa ayah gadis ini, seperti yang pernah dituturkan oleh ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan dari ayahnya sendiri, keponakan tiri, masih agak jauh hubungan darah antara dia dengan Wan Tek Hoat, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek Hoat adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan demikian, Wan Tek Hoat adalah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih terhitung keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan Suma Hui. Gadis cilik ini adalah cucu buyut nenek Lulu.
Agaknya Hong Bwee memang sungguh-sungguh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia mendesak terus, mengirim serangan bertubi-tubi.
Diam-diam Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka diapun tidak berani main-main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pukul dan dia tidak mau hal ini sampai terjadi. Harga dirinya sebagai laki-laki akan turun kalau sampai dia terkena pukulan atau tendangan yang bertubi-tubi itu. Maka diapun segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya ilmu keluarga Pulau Es yang sudah dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru dipelajari teorinya saja dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya dengan matang itu cukup hebat. Kini keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong menangkis dan balas menyerang, repotlah Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa mempergunakan langkah-langkah mundur. Hal ini membuatnya penasaran. Sejak kecil
Hong Bwee memang memiliki watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng Liong hanya sebaya dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang obat perantau. Tidak mungkin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak laki-laki ini.
"Heiiiiittt....!" Tiba-tiba saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang dikuncir hitam tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hidung Ceng Liong.
"Ehhh....!" Ceng Liong terkejut sekali dan biarpun dia sudah menarik tubuh atasnya ke belakang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.
"Plakk!" Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.
"Sudahlah, engkau yang menang," katanya.
Wajah Hong Bwee menjadi kemerahan. "Tidak.... sebetulnya aku yang kalah. Kaumaafkan aku, Ceng Liong."
Pada saat itu muacullah enam orang, kesemuanya memakai topeng yang menutupi muka mereka dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan. Melihat keadaan mereka yang bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat buruk maka diapun sudah siap siaga untuk melawan, menyelamatkan diri sendiri dan juga Hong Bwee. Biarpun masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki kecerdikan dan pandai menarik kesimpulan, maka diapun menduga bahwa mereka ini datang untuk mengganggu Hong Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di situ dan tidak mempunyai harga untuk diganggu.
Dugaannya memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan berkata dalam bahasa Bhutan, "Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil." Tanpa menanti jawaban, orang yang bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak menangkap pundak Hong Bwee.
"Siapa kau, manusia jahat?" Hong Bwee membentak marah sambil mengelak. Gerakan gadis cilik ini memang lincah, maka terkaman itupun luput. Orang bertopeng itu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Diapun lalu menubruk lagi, sekali ini dengan kasar dan lebih cepat.
"Plakk!" Hong Bwee menangkis sambil mengelak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu tidak berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan tendangan, akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Melihat kawannya sukar menangkap anak perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru saja dia menubruk ke depan, dari samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu terkejut dan berusaha membalik sambil memutar lengan, akan tetapi dia terlambat.
"Desss. ...!" Lambungnya kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras sekali karena tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke arah kakinya yang menendang. Orang itu terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting roboh!
Ceng Liong hendak mengamuk untuk melindungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat dan menghadangnya. Ceng Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendangan, menyambut lawan yang menghadangnya ini. Akan tetapi, terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia bahwa orang ini lihai sekali, maka diapun segera mengeluarkan Ilmu Silat Sin-coa-kun dan mendesak. Orang yang menjadi lawannya itu hanya menangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-diam memancing Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat orang bertopeng! Tentu saja dalam waktu singkat sang puteri telah dapat diringkus dan dibawa pergi.
"Ceng Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!" Akan tetapi seorang di antara mereka membungkamnya dan mengikatkan saputangan di depan mulut anak perempuan itu sehingga tidak lagi mampu berteriak.
Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat tangguh dan biarpun lawannya belum pernah membalas serangannya, diapun sudah tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.
"Ceng Liong, hentikan perlawananmu."
"Mo-ong....!" Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. "Apa artinya ini? Mengapa Hong Bwee ditawan....?"
"Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee. Mereka...."
"Mereka itu siapa? "
"Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Engkau tentu masih ingat akan pembicaraanku dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau setidaknya jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanya adanya pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Kalau Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang tuanya."
Selagi gurunya bicara Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka diapun mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama sekali tidak senang akan siasat keji ini.
"Siasat itu bagus sekali." Dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.
"Kami sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini."
"Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu, kasihan ia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga orang tuanya amat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus dibalas dengan kejahatan?"
"Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?"
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia sama sekali tidak dapat menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menolong Hong Bwee!
"Begitukah? Akupun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan kepadanya."
"Ha-ha-ha, aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis cantik, ha-ha-ha!"
Wajah Ceng Liong menjadi merah. Kalau bukan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah diserangnya. "Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia amat baik kepadaku."
"Aku tahu, dan akupun yakin engkau akan dapat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penyakit, suatu tanda kelemahan yang akan mendatangkan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja. Kita kembali ke istana dan kita menghadap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa sang puteri telah diculik oleh enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari pulang, engkau bertemu denganku di tengah jalan karena aku sedang berbelanja obat, mengerti?" Ceng Liong mengangguk.
"Untuk membuktikan bahwa engkau telah melakukan perlawanan mati-matian untuk membela sang puteri, engkau harus menderita luka. Bersiaplah menerima beberapa pukulanku, Ceng Liong!" Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong menerima pukulan itu.
"Plak! Plakk!"
Ceng Liong terpelanting, tapi hanya merasakan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itupun nampak merah kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang cukup keras. Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng Liong. Dan kakek itupun diam-diam gembira sekali melihat sikap Ceng Liong yang tenang saja menerima pukulan itu, tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak hanyut oleh perasaan.
"Mari kita pergi!" ajaknya dan merekapun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu menuju ke Kota Raja Bhutan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima laporan guru dan murid itu. "Kami datang membawa kabar buruk, taihiap," demikian Phang-sinshe mulai dengan pelaporannya. "Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan murid saya yang tubuhnya bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa puteri paduka, nona Wan Hong Bwee telah diculik orang...." Kakek itu memandang ke arah keranjang berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, bahan-bahan obat yang sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.
"Apa yang telah terjadi dengan anakku? Bagaimana ia sampai diculik orang?" Wan Tek Hoat bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan. Selama dia berada di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, kecuali tentu saja para penjahat yang dibersihkannya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti Dewi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan muka pucat. Ia melihat betapa pipi kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat itu, Phang-sinshe juga menyingkap baju Ceng Liong agar kulit pundak yang matang biru itu nampak.
"Ceng Liong, kauceritakanlah." Kakek itu menyuruh muridnya.
Ceng Liong menelan ludah sebelum mulai bicara. Untung bahwa dia tidak disuruh membohong, biarpun ada beberapa bagian yang harus dirahasiakannya. "Kami berdua sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng yang memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua mengadakan perlawanan, akan tetapi saya.... saya tidak berhasil melindungi nona Hong Bwee. Ia dilarikan dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya...." Suara Ceng Liong terdengar sedih karena memang hatinya gelisah dan sedih memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu amat ketakutan sekarang ini.
"Apa engkkau tidak mengenal seorang di antara mereka? Suaranya? Perawakannya?" tanya Wan Tek Hoat sambil memandang tajam.
"Tidak, taihiap. Mereka semua memakai topeng yang menyembunyikan muka dari hidung ke bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya, karena mereka berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama dengan orang-orang di sini, agak asing bagi pendengaran saya yang belum faham benar dalam Bahasa Bhutan."
Tek Hoat lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah menerima penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersama isterinya lalu berangkat ke tempat itu untuk mencari jejak para penculik. Sementara itu, Ceng Liong dan Phang-sinshe dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama Ceng Liong yang harus menjadi penunjuk jalan. Mereka tiba di dalam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa karena sukarlah mencari jejak tapak kaki di tanah yang tertutup daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu. Tek Hoat dan isterinya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan gurunya pura-pura ikut mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon diri bahkan membujuk suami-isteri itu untuk pulang dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian.
"Isteriku, engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia mengerahkan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu mencari, malam ini juga. Aku sendiri akan terus mencoba mencari jejak mereka di hutan ini."
Syanti Dewi mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah hatinya, wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Melihat gerakan ini, diam-diam Phang-sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat sekali sehingga dia sendiripun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan nyonya itu. Juga Cong Liong terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu. Guru dan murid ini tentu saja tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah mewarisi ilmu gin-kang dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui murid dari seorang pendeta wanita sakti yang telah menguasai ilmu gin-kang luar biasa, yaitu Kim Sim Nikouw (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN).
Phang-sinshe dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata, "Mo-ong, rencanamu itu memang baik sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan nona Hong Bwee, tentu Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet. Akan tetapi, jangan main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau sampai puteri mereka itu terganggu sedikit saja, mereka akan mengamuk dan kalau ketahuan bahwa kita mencampuri urusan penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi mereka mati-matian."
"Ha-ha-ha, jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan pula, siapa yang akan mengganggu nona Hong Bwee? Ia diculik hanya untuk mengalihkan perhatian dan juga sebagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap, tidak mencampuri penyerbuan Nepal ke Tibet."
"Rencanamu memang bagus, akan tetapi apakah orang-orang Nepal itu boleh dipercaya? Ingat, Mo-ong, aku sudah banyak mendengar tentang kebiadaban orang-orang Nepal terhadap wanita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai ia terganggu, kitapun harus bertanggung jawab."
Kakek itu mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan muridnya itu terjadi, akan menimbulkan kesulitan kelak.
"Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?" tanyanya ragu-ragu.
"Mo-ong, serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang menjaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan melaporkan kepada ayah bundanya bahwa ketika ditawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah pengawasanku, ia tidak akan mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku daripada kepada orang-orang kasar itu. Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong Bwee, melainkan juga untuk melancarkan jalannya siasatmu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita langsung ke sana!"
Ceng Liong tidak merasa heran ketika dia diajak memasuki kota raja oleh gurunya kemudian masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal seorang perwira tinggi! Dia memang sudah dapat menduga bahwa tentu ada "orang-orang dalam" yang ikut memegang peranan dalam persekutuan busuk itu.
Perwira Brahmani, mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup menjadi perwira tinggi di Kerajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.
"Anak ini.... dia...."
Hek-i Mo-ong menggerakkan tangannya ke atas. "Cocok dengan rencana kita, Brahmani." Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira tinggi yang menjadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan sikapnya juga sebagai seorang atasan. "Dengan begitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami. Nah, sekarang di mana nona kecil itu? Sudah dapat diamankan di tempat rahasia?"
Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di ruangan dalam. "Jangan khawatir. Anak itu telah berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapapun tidak akan mencari ke sini. Siapa yang akan menuduh aku menjadi penculik puteri Pangeran Wan?" Brahmani tertawa puas ketika Hek-i Mo-ong mengangguk dan memuji kecerdikannya.
"Ketahuilah, Brahmani. Muridku ini memang sengaja mengambil sikap melindungi anak itu. Hal ini amat penting untuk menghindarkan kecurigaan kepada kami. Dan sekarang, aku berpendapat bahwa sebaiknya kalau muridku yang melakukan penjagaan terhadap puteri Wan Tek Hoat itu, atau setidaknya, muridku inilah yang diperbolehkan menjenguknya sewaktu-waktu."
Brahmani mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, sinshe, anak itu sudah dijaga siang malam oleh selosin anak buahku yang cukup lihai. Ia tidak mungkin dapat lolos dari tempat tahanannya, dan tidak ada seorangpun dari luar tahu bahwa di rumah ini terdapat kamar rahasia bawah tanah, apalagi mengetahui bahwa puteri itu berada di sini. Penjagaan sudah cukup kuat!"
"Bukan kekuatan itu yang kumaksudkan, akan tetapi dari segi keamanan. Kalau muridku yang ikut mengamati, anak perempuan itu tidak akan ketakutan dan memberontak. Bayangkan kalau sampai anak itu mogok makan dan rewel terus sampai jatuh sakit, bukankah hal itu berbahaya sekali? Kalau sampai ia mati, tentu akibatnya amat besar, mengingat akan kesaktian dan kekuasaan Wan Tek Hoat. Muridku dapat menghiburnya dan menenteramkan hatinya."
Brahmani mengangguk-angguk walaupun dia masih memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata ragu-ragu dan curiga, teringat betapa pemuda cilik ini tadi merobohkan seorang anak buahnya dan membuat anak buahnya nyaris tewas oleh tendangan yang amat keras itu.
Mereka bertiga lalu menjenguk keadaan Hong Bwee. Ternyata di dalam ruangan tidur perwira itu, terdapat sebuah lubang di balik almari, lubang yang merupakan terowongan bawah tanah dan berhenti pada sebuah kamar di bawah tanah. Tempat itu cukup luas dan hawanya masuk dari lubang-lubang angin yang dipasang secara bersembunyi, juga memperoleh penerangan dari lampu yang bernyala siang malam. Biarpun demikian, tentu saja orang yang disekap di dalamnya akan menderita karena tak dapat melihat keluar dan tidak terkena sinar matahari. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil, sebuah meja, sebuah kursi. Dua buah lampu tergantung di dinding dan ada lukisan-lukisan cukup indah ditempel di atas dinding. Cukup menyenangkan dan bersih.
Hong Bwee sedang duduk dengan wajah muram di atas dipan ketika tiga orang itu masuk. Pintu besi yang atasnya terdapat ruji yang kokoh kuat itu terbuka dan masuklah Brahmani, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Melihat anak laki-laki itu, Hong Bwee meloncat turun dan memandang dengan mata terbelalak, dan wajahnya menjadi cerah dan gembira ketika ia mengenal Phang-sinshe.
"Phang-sinshe....! Ceng Liong.. ..!" Anak itu lari ke depan dan merangkul Ceng Liong sambil menangis saking lega dan girang hatinya, terbebas secara mendadak dari rasa khawatir, takut, dan marah semenjak ia ditawan.
Ceng Liong memeluk anak perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya, menghibur akan tetapi dia membiarkan Hong Bwee melepaskan semua kegelisahannya melalui air mata. Sementara itu, Hek-i Mo-ong dan Brahmani saling pandang, kemudian diam-diam meninggalkan kamar, memesan kepada para penjaga agar Ceng Liong diperbolehkan keluar masuk kamar tahanan itu.
Ketika Hong Bwee sudah puas menangis, mengangkat mukanya dari dada Ceng Liong dan memandang, gadis cilik ini terkejut karena Phang-sinshe sudah tidak berada di situ lagi dan pintu kamar tahanan itu sudah tertutup lagi.
"Ceng Liong.. ..!" teriaknya kaget. "Apakah engkau ditawan juga? Dan gurumu?"
"Tenanglah, nona.... eh, Hong Bwee, tenanglah. Memang engkau dijadikan tawanan atau sandera, akan tetapi aku menjamin bahwa engkau tidak akan diganggu. Sedangkan aku.... aku dan guruku tidak ditawan. Eh, terus terang saja, aku malah ditugaskau untuk menjagamu...."
"Ihhh....? Berarti engkau dan gurumu telah berkhianat dan memusuhi keluargaku?" Gadis cilik itu marah sekali dan mengepal kedua tinju tangannya.
"Tenanglah dan dengarkan ucapanku baik-baik. Mari kita duduk di sana." Ceng Liong mengajak anak perempuan itu duduk di atas dipan. Mereka duduk bersandingdan sambil memandang ke arah daun pintu karena takut kalau-kalau ada yang mengintai atau mendengarkan, dia berbisik-bisik.
"Ada persekutuan rahasia di Bhutan yang menentang kebijaksanaan sri baginda. Mereka itu bersekutu dengan Nepal dan mereka tidak ingin melihat Bhutan campur tangan kalau Nepal menyerbu ke Tibet. Akan tetapi mereka takut kepada ayahmu, maka mereka menawanmu di sini untuk melumpuhkan ayahmu. Jadi, engkau hanya ditawan dan tidak akan diganggu. Aku tanggung jawab akan hal itu."
Sepasang mata yang indah itu masih terbelalak dan mukanya merah karena kemarahan. "Akan tetapi engkau.... dan gurumu ikut dalam persekutuan busuk itu! Padahal ayahku telah menerima kalian sebagai tamu terhormat! Beginikah kalian membalas budi orang?"
"Ssstt, jangan keras-keras bicara, Hong Bwee. Dengarlah, engkau bukan anak kecil lagi dan aku tahu engkau tidak bodoh. Harus pandai bersiasat. Menggunakan kekerasan saja kita berdua mampu berbuat apakah? Akan tetapi engkau yakinlah bahwa selama ada aku di sini, engkau tidak akan diganggu. Aku harus pura-pura mentaati mereka, akan tetapi aku akan mencari jalan agar engkau dapat bebas dengan aman. Tapi engkau harus menurut semua pesanku. Bagaimuna, percayakah engkau kepadaku?"
Mereka saling berhadapan muka dan melihat betapa pipi anak laki-laki itu masih bengkak, Hong Bwee teringat betapa Ceng Liong telah mencoba untuk melindunginya ketika enam orang bertopeng itu muncul. Maka iapun mengangguk.
"Habis, kita barus berbuat apa? Dan di mana aku sekarang? Aku dibawa ke sini dengan kedua mata ditutup saputangan hitam."
"Engkau berada dalam kamar bawah tanah dari gedung tempat tinggal perwira Brahmani."
"Ah, dia mengenal baik orang tuaku!"
"Tentu saja karena dia mata-mata Nepal yang diselundupkan di sini. Engkau tenang-tenang saja dan jaga kesehatanmu baik-baik. Makan dan minumlah agar engkau tidak jatuh sakit. Aku akan mencari jalan bagaimana baiknya untuk menolongmu. Percayalah bahwa biarpun aku murid Phang-sinshe, akan tetapi aku tidak sudi bersekongkol dan melakukan kejahatan. Akan tetapi, untuk menentang dengan kekerasan tentu saja aku tidak berani."
"Ceng Liong, tolong engkau beritahukan ayah, tentu mereka akan dihajar dan aku akan dibebaskan."
"Hemm, tidak semudah itu, Hong Bwee. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sudah nekat dan mereka itu akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka. Engkau dijadikan sandera, maka kalau ayahmu datang menyerbu, mungkin sekali keselamatanmu terancam. Kita harus pakai siasat. Aku akan mencari akal itu agar mereka dapat dihancurkan akan tetapi engkaupun harus dapat diselamatkan. Sementara ini, engkau bersikaplah tenang, tidur dan makan minum secukupnya agar jangan sampai jatuh sakit. Aku akan mencari akal agar dapat membawamu keluar dari sini dan mengabarkan kepada ayahmu tentang semua ini. Aku harus hati-hati agar guruku dan persekutuan itu tidak menaruh curiga kepadaku. Maka, di depan mereka, kalau aku bersikap kasar terhadap dirimu, harap engkau tidak salah sangka."
Anak perempuan itu mengangguk-angguk dan memandang ke atas meja di mana terdapat hidangan yang belum dijamahnya. Memang perutnya lapar sekali dan tenggorokannya haus, akan tetapi dengan keras hati ia tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya. Kini, mendengar omongan Ceng Liong, dan setelah hatinya merasa lega karena di situ terdapat Ceng Liong yang akan menolongnya, iapun baru merasakan kelaparan dan kehausan itu. Diraihnya cangkir teh dan diminumnya sedikit.
"Nah, kau makanlah, aku harus keluar dulu. Tak baik berlama-lama di sini," kata Ceng Liong sambil bangkit berdiri.
"Jangan terlalu lama meninggalkan aku sendirian saja di sini," kata anak perempuan itu dengan suara sedih.
"Tentu saja tidak, aku akan sering menengokmu dan memberi kabar tentang perkembangan selanjutnya." Ceng Liong lalu keluar, diikuti pandang mata Hong Bwee yang hanya mengharapkan bantuannya untuk dapat keluar dengan selamat dari dalam kamar tahanan itu. Oleh para pengawal, pintu dibuka dan setelah pemuda itu keluar, daun pintu ditutup dan dikunci lagi dari luar. Wajah dua orang penjaga nampak di luar jeruji besi, memandang kepada Hong Bwee yang sedang makan itu sambil menyeringai menakutkan. Hong Bwee membuang muka, tidak sudi bertemu pandang dengan mereka dan terdengar mereka itu tertawa mengejek. Para pengawal itu menyampaikan keadaan anak perempuan yang ditawan kepada Brahmani, bahwa anak itu sudah mau makan minum dan tidur nyenyak semenjak Ceng Liong masuk ke situ dan bercakap-cakap cukup lama. Hal ini menggirangkan hati Brahmani dan dia mulai percaya penuh kepada murid Hek-i Mo-ong yang tadinya dicurigainya itu. Dan dia makin kagum akan kecerdikan Hek-i Mo-ong yang menyuruh muridnya itu pura-pura melindungi puteri Pangeran Wan itu sehingga memperoleh kepercayaan dari si anak perempuan. Karena, kalau sampai puteri itu mogok makan minum dan jatuh sakit, rencana siasat mereka akan menjadi rusak dan mereka bahkan dalam keadaan berbahaya. Seorang sandera harus berada dalam keadaan segar bugar, baru ada harganya, karena kalau sampai mati, sandera itu tidak ada artinya lagi.
Hek-i Mo-ong sendiri sangat girang dengan hasil pendekatan muridnya ini dan semenjak itu, Ceng Liong memperoleh kepercayaan besar untuk menghibur dan menemani Hong Bwee. Dia sering datang bercakap-cakap di dalam kamar tahanan Hong Bwee, dan diceritakannya semua perkembangan di luar tempat tahanan itu kepada gadis cilik ini.
Ternyata siasat yang diatur oleh persekutuan itu berjalan dengan lancar dan berhasil baik sekali. Sepucuk surat diterima oleh Wan Tek Hoat yang mengerahkan semua pasukan mencari puterinya dengan sia-sia. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya berada tidak jauh dari istana, dalam gedung seorang perwira tinggi! Maka ketika dia menerima sepucuk surat dari Siwananda, Koksu Nepal, dia hanya dapat membaca dengan muka kemerahan saking marahnya. Bagaimanapun juga ini menyangkut keselamatan puterinya, dan juga kewibawaan Kerajaan Bhutan, dua hal yang saling bertentangan. Maka dibawanyalah surat itu
menghadap raja, bersama isterinya.
Raja Badur Syah mengerutkan alisnya ketika Wan Tek Hoat memperlihatkan surat dari Siwananda itu. Isinya ringkas saja, yaitu bahwa Nepal tidak bermaksud memusuhi Bhutan, hanya minta agar diperbolehkan melewati daerah Bhutan sebelah utara untuk pasukan Nepal yang mengadakan penyerbuan ke Tibet. Agar Bhutan tidak mencampuri urusan itu dan sebagai tanda terima kasih, Nepal akan menjaga Puteri Gangga Dewi baik-baik dan akan mengantarkannya kembali dalam keadaan sehat dan selamat.
"Keparat!" Raja Badur Syah membentak marah. "Tak kusangka Kerajaan Nepal akan mempergunakan kecurangan yang begini tidak tahu malu! Menculik anak kecil untuk memaksakan kehendaknya kepada kerajaan kita!"
"Bagaimana baiknya, rakanda?" tanya Syanti Dewi sambil meremas-remas tangan sendiri. "Kami ayah dan ibu dihadapkan kepada dua masalah yang sama pentingnya bagi kami. Di satu fihak, masalah keselamatan anak tunggal kami dan di lain fihak masalah wibawa kerajaan yang terancam!"
Raja Badur Syah mengangguk-angguk dan diapun tahu bahwa suami isteri di depannya ini merupakan tulang punggung pemerintahannya. Tak mungkin kiranya membiarkan Gangga Dewi terancam bahaya maut. Akan tetapi, kalau dia membiarkan pasukan Nepal menyerbu Tibet dengan mengambil jalan lewat Bhutan, hal inipun akan besar akibatnya. Pertama, Bhutan akan dianggap musuh oleh Tibet, dan terutama sekali, Kerajaan Ceng-tiauw tentu akan menganggap Bhutan bersekutu dengan Nepal. Akibat ini lebih hebat lagi bagi kerajaaanya.
"Serba salah.... serba salah memang." akhirnya raja itu berkata. "Memang, bagi Nepal, jalan satu-satunya menuju ke Tibet hanya melalui daerah kita sebelah utara. Menurut catatan, dahulu pernah Nepal menyerang ke Tibet melalui daerah mereka sendiri di utara, akan tetapi Nepal kehilangan banyak perajurit yang tewas dalam perjalanan karena perjalanan itu melalui puncak-puncak yang tinggi dan jurang-jurang yang curam, amat sukar dilalui manusia. Kita berdiri di tengah-tengah, antara dua negara yang sedang bermusuhan. Kalau kita membiarkan Nepal melewati daerah kita, kita dapat dianggap bersekongkol dan menentang Kerajaan Ceng. Sebaliknya kalau kita menolak permintaan Nepal, kita dapat dianggap menentangnya. Serba salah, serba susah!"
"Menurut surat itu, kita masih mempunyai waktu dua pekan. Selama dua pekan ini kami akan mencari jejak anak kami, kalau perlu, kami atau saya sendiri akan memasuki Nepal, mencari di mana anak kami itu ditawan," Tek Hoat berkata sambil mengepal tinju.
"Kami amat mencinta anak kami dan tentu saja mengutamakan keselamatannya, akan tetapi, rakanda, kami juga tahu bahwa kewibawaan Kerajaan Bhutan tidak mungkin dibiarkan untuk diinjak-injak secara begitu saja oleh Nepal. Suamiku berkata benar, masih ada waktu dua pekan sebelum pasukan Nepal mempergunakan daerah kita untuk lewat menyerbu Tibet. Kalau dalam waktu itu kita sudah berhasil menemukan Gangga Dewi dengan selamat, maka kita akan menolak permintaan itu! Kalau andaikata kami tidak....berhasil terserah saja kepada keputusan rakanda!"
Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan lain. Raja ini lalu melepas kepergian suami isteri itu sambil berulang kali menghela napas panjang. Tak disangkanya bahwa kerajaannya yang makmur dan tenteram itu kini dilanda ancaman malapetaka, bahkan yang langsung terkena adalah adik tirinya, Puteri Syanti Dewi.
******
Sepekan lagi hari yang disebutkan oleh fihak Nepal untuk menyeberang ke Tibet melalui Bhutan tiba. Dan selama itu, Tek Hoat belum juga berhasil menemukan puterinya yang hilang. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk berdua pergi ke Nepal dengan cara menyelundup karena merasa yakin bahwa anak mereka tentu ditawan di kerajaan itu. Akan tetapi, sebelum mereka berangkat yang menurut rencana akan mereka lakukan pada keesokan harinya pagi-pagi benar, malam itu Ceng Liong menghadap mereka.
"Locianpwe, saya mau bicara penting sekali!" kata anak itu sambil celingukan ke kanan kiri. Melihat sikap anak itu yang telah mereka kenal kecerdikannya, Tek Hoat lalu menarik tangannya diajak masuk ke ruangan dalam. Syanti Dewi cepat mengikuti setelah puteri ini merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat anak laki-laki itu memasuki istana.
"Apa yang hendak kaubicarakan, Ceng Liong? Di mana Phang-sinshe?" tanya Tek Hoat sambil memandang tajam penuh selidik.
"Locianpwe, ada persekutuan yang hendak mengacau malam ini. Mereka bahkan berusaha untuk menduduki istana sri baginda!"
"Apa?" Tak Hoat terkejut sekali sambil memegang pundak anak itu, lupa akan tenaganya sendiri dan terkejutlah Tek Hoat ketika dari pundak anak itu keluar tenaga penolak yang hebat. Dia cepat menarik kembali tangannya dan memandang anak itu dengan mata terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa anak ini memiliki tenaga sin-kang yang sedemikian hebatnya. Ceng Liong tahu bahwa sumber tenaganya itu kembali telah bergerak otomatis, maka dia merasa tidak enak sekali. "Apa yang terjadi?" tanya Tek Hoat, lebih ingin tahu tentang persekutuan itu daripada tentang kekuatan tersembunyi di tubuh Ceng Liong.
"Locianpwe, bebarapa orang pembesar dan panglima telah bersekongkol dengan orang Nepal, malam ini akan melakukan pengacauan dan penyerbuan ke istana untuk memancing perhatian, agar semua kekuatan ditujukan untuk menghadapi kekacauan itu sehingga tentara Nepal dapat melewati daerah utara dengan aman."
Tek Hoat semakin terkejut. Teringatlah dia akan pemberontakan yang duhulu dilakukan oleh Mohinta, putera mendiang Panglima Tua Sangita yang berhasil dia hancurkan ketika dia membela Bhutan (bacaKISAH JODOH RAJAWALI). Apakah kini terulang lagi peristiwa pemberontakan itu? Panglima Jayin telah tiada, telah meninggal dunia karena usia tua, dan kini para panglima Bhutan adalah muka-muka baru, walaupun mereka itu sejak muda sudah mengabdi kepada kerajaan.
"Hemm, ceritakan semua apa yang kauketahui dan bagaimana engkau bisa tahu!" bentak Tek Hoat, belum mau percaya begitu saja keterangan anak itu.
"Saya mendengar sendiri percakapan mereka dalam rapat sore tadi locianpwe, bahkan saya hadir pula bersama guru saya...."
"Phang-sinshe? Dia ikut bersekongkol?"
Ceng Liong menarik napas panjang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan itu. "Benar, locianpwe. Dia bersekongkol dengan perwira Brahmani dan yang lain-lain."
"Brahmani orang Nepal itu? Keparat! Dan engkau sendiri? Engkaukan murid Phang-sinshe?"
"Memang saya muridnya, akan tetapi murid untuk mempelajari ilmu kepandaian, bukan murid untuk mempelajari kejahatan."
"Biarkan dia bercerita terus. Ceng Liong, ceritakanlah sejelasnya dan apakah engkau tahu pula di mana Gangga Dewi anakku?"
"Di mana ia?" Tek Hoat membentak dan sudah mencengkeram lagi ke arah pundak Ceng Liong. Akan tetapi dari samping, isterinya memegang pergelangan tangan suamimya, "Sabar dulu, mungkin dialah yang akan dapat menyelamatkan anak kita." tegurnya.
"Harap locianpwe berdua jangan khawatir. Selama ini saya telah menghibur dan menemaninya."
"Bocah setan! Engkau dan gurumu telah menerima budi kebaikan orang, akan tetapi membalasnya dengan perbuatan keji. Kenapa tidak sejak dahulu engkau memberitahukan kami tentang anak kami? Begitu jahatkah kalian?" Tek Hoat membentak lagi.
"Lebih baik cepat katakan di mana anakku agar kami dapat menyerbu dan membebaskannya!" Syanti Dewi juga berkata dengan hati penuh kegelisahan dan ketegangan.
"Jangan, jangan lakukan itu. Itulah sebabnya mengapa saya tidak sejak kemarin memberitahu kepada ji-wi locianpwe. Kalau locianpwe mempergunakan kekerasan menyerbu tentu dengan mudah mereka akan membunuh puteri locianpwe. Mereka adalah orang-orang kejam. Harus diatur dengan baik agar puteri locianpwe dapat diselamatkan, dan juga agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan."
Tek Hoat seketika sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang amat cerdik dan berpemandangan luas. Seperti seorang dewasa saja anak ini, pikirnya kagum.
"Baiklah, bagaimana keadaannya yang sebenarnya? Dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan anak kami?"
"Mereka terdiri dari mata-mata Nepal, yaitu perwira Brahmani, beberapa orang pejabat tinggi dan beberapa orang panglima pasukan, juga.... guru saya ikut di dalamnya. Malam ini, menjelang tengah malam, mereka akan melakukan penyerbuan dan kini mereka sudah berkumpul di markas yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan."
"Panglima Ram Rohan?" Tek Hoat terkejut sekali karena panglima itu masih saudara sepupu dari mendiang Mohinta, putera Panglima Tua Sangita yang pernah memberontak itu. Inilah akibatnya kalau raja terlalu lunak terhadap mereka. Setiap kali ada kesempatan, hati yang membenci itu tentu kambuh pula dan mereka ini akan mudah melakukan pemberontakan untuk membalas dendam atas kesalahan mereka yang lalu.
"Saya memberi tahu locianpwe agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan, sedangkan mengenai nona Hong Bwee, sayalah yang akan melarikannya dari tempat tahanan. Mereka semua percaya kepada saya sebagai murid Phang-sinshe. Dan untuk keperluan ini, saya hanya minta dibekali seguci arak terbaik yang sudah dicampuri obat bius untuk membuat selosin penjaga di dalam itu lumpuh. Kemudian saya akan mencoba membawanya keluar dari gedung itu melampaui para pengawal yang berjaga di luar."
Melihat gawatnya suasana, Tek Hoat tidak membuang banyak waktu lagi. Dia segera berunding dengan isterinya. Dia sendiri akan  cepat melapor kepada sri baginda, mempersiapkan pasukan yang kuat untuk mengepung dan menghancurkan markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan, menghancurkan persekutuan itu, sedangkan isterinya akan membantu Ceng Liong dan membayanginya dari belakang, melindunginya kalau sampai dua orang anak itu diancam oleh para penjaga di luar gedung di mana anak perempuan itu disekap. Kepada Ceng Liong lalu diberikan seguci arak merah yang wangi dan sudah dicampuri obat bius oleh Tek Hoat yang pernah mempelajari ilmu pengobatan bahkan memiliki kepandaian membuat racun perampas ingatan yang diwarisinya dari Pulau Neraka.
Sebelum berangkat, Ceng Liong membalik dan berkata, "Locianpwe, saya minta obat penawarnya."
"Eh? Untuk apa? "
"Siapa tahu para penjaga itu curiga kepada saya dan tidak mau minum arak ini, maka kalau mereka memaksa saya ikut minum, sebelum saya menjaga diri dengan obat penawarnya, kan celaka...."
Tek Hoat mengangguk-angguk dan semakin kagum kepada anak kecil ini. Diambilnya dua butir pel merah. "Telanlah ini dan biarpun engkau harus menghabiskan seguci arak itu, engkau tidak akan mabok atau terbius."
Ceng Liong menerimanya dengan girang, lalu pergi dari situ diam-diam dibayangi oleh Syanti Dewi. Sedangkan Wan Tek Hoat sendiri secepatnya pergi menghadap sri baginda. Karena dia yang datang, maka para pengawal berani melaporkan ke dalam bahwa pangeran itu minta ijin menghadap raja karena ada keperluan yang amat penting dan gawat.
Sementara itu, Ceng Liong segera pergi membawa guci arak menuju ke gedung perwira Brahmani, bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi menghampiri para penjaga. Para penjaga di luar gedung sudah mengenal anak ini dengan baik dan mereka semua sudah tahu bahwa anak ini adalah murid Phang-sinshe yang dipercaya sebagai satu-satunya orang yang boleh memasuki kamar tahanan di mana Puteri Gangga Dewi ditahan.
"Hei, Ceng Liong, engkau membawa arak baik ya?"
"Beri kita sedikit ah!"
Ceng Liong tersenyum kepada mereka dengan sikap ramah. "Mana aku berani? Arak ini adalah pesanan Brahmani tai-ciangkun, kalau berkurang sedikit saja aku akan celaka! Biar nanti kucarikan untuk kalian yang lain saja. " Sambil berkata demikian dia menyelinap ke dalam gedung tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun.
Dua belas orang pengawal pilihan yang berjaga di luar kamar tahanan Hong Bwee mengira bahwa Ceng Liong membawakan makanan atau minuman untuk anak yang ditawan, akan tetapi melihat anak laki-laki itu membawa guci arak, mereka menjadi heran.
"Eh, Ceng Liong, untuk siapa engkau membawa seguci besar arak itu?" tegur komandan jaga. Tentu saja mengherankan melihat anak itu membawakan seguci arak untuk tawanan, seorang anak perempuan yang jarang minum arak.
Ceng Liong tertawa. "Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kakak-kakak sekalian? Melihat kakak sekalian siang malam berjaga tak mengenal lelah, aku merasa kasihan dan tadi aku melihat arak berlimpahan dalam pertemuan para panglima. Maka aku minta kepada suhuku untuk diperkenankan membawa seguci arak wangi untuk dihadiahkan kepada kalian."
Dua belas orang pengawal itu bersorak gembira dan banyak tangan menerima guci arak itu. Tutup guci dibuka dan terciumlah keharuman arak yang amat sedap, membuat mereka bergegas mencari cawan. Akan tetapi, komandan jaga cepat membentak.
"Jangan sentuh dulu arak itu!"
Para anak buahnya terkejut dan kecewa. Mereka memandang kepada komandan mereka dengan alis berkerut. "Kenapa? Apa salahnya dengan arak ini?"
"Kita sudah bersusah payah, sudah selayaknya menerima hadiah minuman baik!"
Akan tetapi komandan jaga itu tidak menghiraukan omelan anak buahnya. Dia menghampiri guci arak, mencium-cium dan memeriksa isinya. Diam-diam Ceng Liong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa kepala jaga ini orangnya demikian cerdik dan banyak curiga. Akan tetapi, dia bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum.
Semua pengawal melihat komandan mereka menuangkan arak dari guci ke dalam sebuah cawan dan mereka mengilar melihat arak merah yang jernih dan wangi itu. Akan tetapi komandan itu tidak minum arak ini, melainkan menyodorkan cawannya kepada Ceng Liong sambil berkata, "Ceng Liong, kau minumlah arak ini!"
Semua pengawal memandang heran dan Ceng Liong juga mengambil sikap seperti orang merasa kaget dan heran. "Akan tetapi, aku sengaja membawa arak ini untuk kakak sekalian!" bantahnya.
"Hemm, bagaimana kami tahu bahwa arak ini tidak beracun kalau engkau tidak mau minum dulu secawan?" kata si komandan dengan muka berseri, merasa bangga memperlihatkan kecerdikannya. Kini para anak buahnya, pengawal-pengawal yang berpengalaman, terkejut dan timbul pula kecurigaan mereka. Beramai-ramai mereka lalu mendesak kepada Ceng Liong untuk minum arak dalam cawan itu.
"Hemm, aku tidak pernah atau jarang sekali minum arak, akan tetapi untuk memuaskan hati kakak sekalian, apa boleh buat, akan kuminum arak ini. Akan tetapi, tolonglah aku nanti kalau sampai mabok." Tanpa meragu lagi, Ceng Liong lalu mengangkat cawan arak itu, menempelkan kemulutnya dan menenggaknya sekaligus sampai habis! Dia menjilati bibirnya, nampak keenakan sekali dan mengangguk-angguk.
"Wah, belum pernah aku minum arak seenak ini. Bolehkah aku minta secawan lagi?"
Begitu Ceng Liong berkata demikian, para pengawal itu segera berebut mengisi cawan arak mereka dari guci itu tanpa memperdulikan permintaan Ceng Liong, sambil tertawa-tawa dan si komandan jaga juga tidak lagi melarang mereka, bahkan diapun menuntut agar diberi lebih dahulu. Tentu saja dua belas orang pengawal itu kini percaya sepenuhnya bahwa arak itu tidak mengandung sesuatu yang tidak baik setelah anak itu berani minum secawan dan tidak kelihatan ada akibat yang mencurigakan. Memang arak itu arak tua yang harum dan lezat, maka merekapun seperti berlumba, minum sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, baru menghabiskan dua cawan saja, mereka sudah roboh terguling, terbius dan tidur pulas atau pingsan, malang-melintang tidak teratur di tempat penjagaan di luar kamar tahanan itu.
Ceng Liong tidak mau membuang terlalu banyak waktu lagi. Diambilnya kunci pintu kamar tahanan itu dari saku baju komandan jaga, dan dibukanya pintu kamar tahanan. Hong Bwee sudah mendengar akan kedatangan Ceng Liong dan mendengar percakapan antara Ceng Liong dan para penjaga, mendengar betapa mereka minum arak dan tertawa-tawa. Kini, anak perempuan itu merasa heran sekali mengapa suasana di luar kamar tahanan begitu sunyi seolah-olah semua penjaga telah pergi dan nampak Ceng Liong masuk sendirian saja.
"Ceng Liong, apa yang telah terjadi?"
"Ssttt, diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini," kata Ceng Liong sambil menaruh telunjuk di depan mulutnya. Biarpun semua penjaga di luar kamar tahanan telah roboh, akan tetapi masih banyak pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-hati untuk dapat membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.
Ketika ia digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas orang penjaga itu malang-melintang dalam keadaan seperti sudah tewas saja, Hong Bwee terkejut dan merasa ngeri. "Apa yang terjadi dengan mereka?" bisiknya.
"Mereka hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari kita pergi melalui pintu belakang."
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi. Ceng Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa orang pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan. Kesempatan ini dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar dari gedung, menyusup ke dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri. Ternyata di luar gedung memang terjadi keributan. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadinya membayanginya, telah mengamuk dan menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang memberontak itu.
Para penjaga melawan dengan hati kecut, karena mereka tahu siapa adanya puteri ini, akan tetapi merekapun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di rumah Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja. Akan tetapi, para penjaga yang berjumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri Syanti Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu? Cepat bukan main sang Puteri bergerak di antara mereka, merobohkan mereka dengan tamparan atau tendangan. Sang puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut Ceng Liong ditawan di dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira Brahmani yang ternyata adalah mata-mata Nepal itu.
Akan tetapi, setelah para penjaga itu berantakan dan sebagian besar melarikan diri tidak berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai menghilang itu, dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tidak dapat menemukan lagi puterinya. Kamar tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di luar kamar. Dan Ceng Liongpun tidak nampak di situ. Sang puteripun tahu bahwa anaknya sudah diajak lari keluar gedung oleh murid Phang-sinshe, maka iapun cepat pergi meninggalkan gedung itu untuk membantu suaminya yang sedang mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum pemberontak yang berkumpul di markas Panglima Ram Rohan.
******
Tentu saja para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!
Melalui seorang penantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat memerintahkan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan. "Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!"
Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung. "Ah, tentu ada yang membocorkan rahasia kita," kata Phang-sinshe. "Tentu ada pengkhianat di antara kita!"
"Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!" bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.
"Siapa? Siapa pangkhianatnya?" tanya semua orang yang berada di situ.
"Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?" kata Brahmani. "Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?"
"Jangan menuduh sembarangan!" bentak Phang-sinshe.
"Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?"
"Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!" bentak Brahmani marah.
"Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!" Kini Phang-sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiripun mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.
"Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri," kata Panglima Ram Rohan. "Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam."
Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidak berbantahan lagi dan merekapun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti. Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan permerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak. Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti inipun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah. Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali perajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya. Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan. Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
"Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?" bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang. Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!"
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.
"Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!" sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan Tek Hoat menyerang dengan pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
"Cring! Cring! Tranggg....!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong momeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali. Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih menang sedikit, akan tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu, maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat diapun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berobah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing. Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani. Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang seperti terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
"Tranggg....!" Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biarpun sang puteri itu memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung. Kakek itupun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka diapun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walaupun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.
Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan marah. "Haiiiiiitttt!" Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat. Terdengar jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur. Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak, "Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!"
"Siapkan anak panah!" Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali membentak, "Tahan semua senjata!"
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.
"Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?" Tek Hoat bertanya dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya. Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman maut.
"Tidak mungkin....!" Tek Hoat berseru marah.
"Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!" Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Jangan ganggu anakku!"
"Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman," jawab Ceng Liong tenang.
Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
"Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?"
"Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bahkan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan."
Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak perajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?
"Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!" katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga. "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!"
"Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, engkau akan dikutuk!" Tek Hoat masih membantah.
"Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!"
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi nyaring, "Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!"
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi. "Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman."
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang, "Biar kan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!"
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu. "Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga."
Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih, "Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?"
Ceng Liong mengangguk. "Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi."
"Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?"
Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata agak ketus, "Pergilah cepat!"
Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata, "Mo-ong, mari kita pergi."
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!" Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani menghalanginya, pertama karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya, dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.
Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.
Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ketempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.
Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biarpun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keingginannya memperoleh sesuatu. Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampaklah dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanya merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi daripada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan bahagia kepada mereka! Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, biarpun yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biarpun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas daripada segala keinginan memperoleh apapun juga.
Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir maupun batin. Dan bentuk pencarian, betapapnn agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita menghalalkan segala cara. Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan untuk atau demi cita-cita!
Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu. Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat sendiri di seluruh penjuru dunia dan di negara manapun juga. Sebaliknya, walaupun tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!
Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan "hal-hal baik" yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik! Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu dan amat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya daripada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik atau buruk. Perbuatan apapun di dunia ini yang didasari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!
Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu mulailah dia menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.
Ceng Liong merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu dengan bermacam orang yang lihai-lihai, dan para pertapa itu hampir semua suka kepadanya, melihatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak pelit untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong. Anak ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak mungkin untuk memetik hasil dari pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya dalam waktu beberapa hari, maka diapun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk yang diterimanya dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan semua teori itu dilatih dan dipraktekkan.
Ceng Liong bukan hanya menerima banyak petunjuk dan menambah pengalamannya dalam hal ilmu silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib dan mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seorang pertapa berbangsa India. Dia tidak memperdulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak mau mencampurinya, melainkan tekun belajar dari para pertapa yang sakti.
Hek-i Mo-ong adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta dan pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran dan berhasil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalahpahaman antara para tokoh sakti di pegunungan itu dan walaupun mereka itu belum sampai saling serang secara terbuka, namun setidaknya mereka telah saling tidak percaya dan kehilangan persatuan sehingga ketika bala tentara Nepal melintasi pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, merekapun diam saja dan tidak memperdulikannya.
Berkat usaha Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur, akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyerbu Tibet dan menduduki Tibet. Penguasa Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta Lama yang menjadi boneka Nepal.
Kaisar Kian Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan Nepal. Marahlah kaisar. Tibet menupakan daerah yang biarpun tidak dijajah, namun merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan Tibet oleh pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tamparan bagi muka kerajaannya dan sebagai tantangan. Maka kaisar lalu memanggil Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk menghadap. Setelah kaisar yang juga memanggil para panglima lain
mengadakan perundingan, diperintahkannya agar Jenderal Muda Kao Cin Liong membawa pasukan besar membebaskan Tibet dari cengkeraman pasukan Nepal dan juga agar memberi hajaran kepada Kerajaan Nepal yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan Ceng.
Berangkatlah bala tentara yang besar dari Kerajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara bala tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pasukan Nepal untuk memperebutkan Tibet. Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang sudah lama saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana perang itu terjadi. Jika sebuah dusun diduduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal. Kalau tentara Nepal mundur dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang dianggap kaki tangan Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya. Bangsa Tibet tidak dapat memilih, karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang. Mereka harus mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan dan isteri-isteri yang masih muda. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada yang dapat melindungi mereka. Hanya doa mereka saja yang semakin banyak dan semakin kuat dilontarkan kepada para dewa yang agaknya tidak juga mau mendengarkan dan memenuhi permintaan dalam doa-doa mereka.
Perang antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak korban jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima harus mengerahkan tenaga karena pihak musuh bukanlah pasukan lemah, melainkan pasukan terlatih yang sudah berhasil melintasi Pegunungan Himalaya yang demikian sukarnya. Akan tetapi, akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan kerajaannya sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin Liong pernah terluka dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan sembuh, dia memimpin lagi pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal!
Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal, berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua tahun lamanya! Dan perang, seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai sekarang, merupakan malapetaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda musnah, banyak nyawa melayang dengan sia-sia, kekejaman-kekejaman yang mengerikan terjadi di mana-mana, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit jumlahnya. Dan semua itu hanya untuk mencapai apa yang disebut kemenangan! Kemenangan yang sementara saja, karena sementara itu yang kalah selalu mencari kesempatan untuk bangkit kembali, untuk membalas dendam. Rakyat menjadi permainan beberapa gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, beberapa gelintir pemimpin inipun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing, menjadi korban permainan ambisi.
******
Bersambung ke bagian 3 ...