Jilid 1

PEGUNUNGAN yang berderet sepanjang sembilan puluh kilometer itu memang patut dengan namanya yang diberikan orang sejak ribuan tahun kepadanya, yaitu Gunung Api. Mentakjubkan kalau melihat pegunungan yang berkilauan merah seperti api membara itu. Baru melihat bentuk dan warnanya saja sudah menimbulkan perasaan panas, seperti orang melihat gunung yang terbakar membara. Apalagi kalau mengingat bahwa di kaki pegunungan itu sebelah selatan adalah daerah Turfan, daerah yang dikenal sebagai daerah yang paling panas di seluruh daratan Cina.

Daerah Turfan merupakan daerah berlekuk seperti mangkuk yang amat rendah letaknya. Kalau para musafir kelana atau rombongan pedagang yang melawat ke atau datang dari See-thian (dunia barat, yang dimaksudkan India) lewat di daerah Turfan yang mereka takuti ini dan memandang ke utara, mereka semua selalu menganggap bahwa hawa panas itu tentu datang dari Gunung Api itu!

Sesungguhnya tidaklah demikian. Pegunungan ini tidak mengandung api, bukan pula gunung berapi. Akan tetapi pegunungan ini terdiri dari batu padas yang warnanya merah seperti api membara. Tingginya sekitar lima ratus meter dari permukaan laut dan tidaklah begitu panas hawanya, sungguhpun pegunungan padas itu nampak gundul karena jarang ada tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup di sana.

Hanya binatang unta dan kuda dari daerah itu yang sanggup membawa rombongan kafilah melintasi daerah Turfan. Kadang-kadang, di tengah hari hawanya demikian panas menyengat, bahkan lebih panas dari pada hawa di Gurun Gobi.

Namun, tanpa memikirkan hal-hal yang merugikan dan membahayakan manusia, pemandangan alam di daerah itu memang amatlah indahnya, keindahan yang tidak bisa didapatkan di daerah lain. Pantaslah kalau tempat ini oleh penduduk sekitar daerah yang lebih subur di wilayah itu, daerah Turfan dianggap sebagai tempat tinggal Dewa Api dan keluarganya.

Menurut dongeng, Dewa Api telah melakukan kesalahan di kahyangan dan oleh Yang Maha Kuasa lalu dibuang ke Gunung Api, menjadi penunggu pegunungan itu. Indah dan agung, pegunungan membara yang melintang tiada putusnya, seolah menjadi benteng penghalang bagi para pedagang dari timur dan barat.

Di sepanjang jalan yang dibuat oleh kafilah, terdapat tulang rangka manusia dan binatang berserakan, tanda bahwa sudah banyak korban jatuh ketika melewati daerah Turfan. Maka timbullah kepercayaan bahwa Dewa Api telah menyuruh anak buahnya untuk membantai orang-orang berdosa yang kebetulan melewati daerah itu. Makin jarang kafilah melalui daerah ini, dan kalau ada yang berani, tentu rombongan itu dikawal oleh sepasukan pengawal yang gagah berani dan berkepandaian tinggi.

Matahari telah menggeser ke barat ketika rombongan yang cukup besar itu memasuki daerah Turfan. Sepuluh ekor unta, limabelas ekor kuda, membawa tujuhbelas orang dan banyak barang dagangan. Mereka datang dari timur, hendak menuju ke barat. Dua orang yang bertubuh gemuk dan menunggang unta-unta terbesar, adalah dua orang pedagang berbangsa Han. Lima belas orang berkuda adalah orang-orang Kasak yang terkenal gagah perkasa dan pandai menunggang kuda dan pada jaman itu, orang-orang Kasak yang terkenal jagoan mendapat banyak keuntungan dari pekerjaan mereka sebagai pengawal-pengawal yang boleh diandalkan.

Dua orang pedagang Bangsa Han itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka adalah pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman, akan tetapi biasanya mereka berdagang ke Tibet, Bhutan dan Nepal. Baru sekali ini mereka menuju ke See-thian untuk berdagang dan membawa barang dagangan yang amat berharga, antara lain sutera dan batu-batu mulia yang mempunyai harga tinggi di dunia barat. Begitu memasuki Turfan, mereka disambut sengatan matahari yang membuat mereka mengeluh dan mereka beberapa kali menoleh kepada pasukan pengawal untuk mencari tempat teduh dan beristirahat.

Kepala pasukan pengawal, seorang Kasak yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, mengangkat tangan dan menggoyangnya sebagai tanda tidak setuju.

"Kita harus dapat melewati Turfan sebelum malam tiba!" Dan diapun membunyikan cambuknya di belakang dua ekor onta itu, membuat dua ekor onta itu terkejut dan melangkah lebih cepat. Dua orang pedagang di atas punggung onta terangguk-angguk dan tidak berani membantah karena dalam perjalanan yang berbahaya itu, mereka harus tunduk kepada kepala pasukan pengawal yang mengatur keamanan perjalanan itu. Mereka hanya dapat minum air teh jeruk untuk melarutkan ketidaksenangan hati mereka. Setelah hati mereka sejuk kembali, dua orang saudagar itu terangguk-angguk melenggut di atas unta, sengatan matahari membuat mereka mengantuk.

Tiba-tiba dua orang pedagang itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Ketika mereka membuka mata, mereka melihat betapa sepuluh orang pengawal berkuda sudah mengelilingi mereka dengan sikap siaga, sedangkan lima orang lain, dipimpin kepala pengawal berhadapan dengan seorang laki-laki asing yang berdiri dengan sikap angkuh. Laki-laki itu berusia hampir enam puluh tahun, tubuhnva tinggi tegap dengan dada yang bidang. Kedua lengan baju yang digulung sampai siku membuat sepasang lengan itu nampak, kekar dan dihias otot melingkar-lingkar. Rambutnya sudah bercampur uban, diikat ke atas dan tertutup sebuah caping lebar yang melindungi wajahnya dari sengatan matahari. Telinganya yang lebar, bukit hidung yang tinggi, mata sipit yang kedua ujungnya menurun, bentuk pakaiannya, jelas menunjukkan bahwa pria itu adalah Bangsa Uigur. Suku Uigur dan suku Kasak merupakan dua suku bangsa yang paling banyak berada di daerah Sin-kiang atau daerah barat ini.

Dua orang saudagar itu melihat betapa kepala pengawal marah-marah, dan mengusir orang Uigur itu, agar tidak menghalang di jalan. Akan tetapi, orang Uigur itu hanya tertawa saja, suara ketawanya lantang dan bernada meremehkan.

Kepala pasukan makin marah dan bersama empat orang anak buahnya, dia lalu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan menyerang orang Uigur tinggi besar itu dengan golok mereka. Penghadang itu tidak bersenjata, namun tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok yang menyambar-nyambar. Mengherankan dan mengagumkan sekali melihat tubuh yang tinggi besar itu dapat bergerak seringan itu, dengan kecepatan gerak seperti seekor burung walet saja.

"Siapa dia dan mengapa mereka berkelahi?" Saudagar gendut yang kepalanya botak bertanya kepada seorang anggauta pengawal terdekat.

"Orang itu perampok."

"Ahhh .......!" Dua orang saudagar memandang terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali.

"Tidak perlu khawatir. Sebentar lagi dia tentu dapat dibunuh," pengawal itu menghibur. Akan tetapi, melihat betapa perampok itu belum juga dapat dirobohkan dan gerakannya seperti seekor burung walet saja, sepuluh orang pengawal yang bertugas melindungi dua orang pedagang itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan mereka semua telah mencabut senjata golok melengkung.

Setelah belasan jurus lewat tanpa ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya, perampok tinggi besar itu tertawa bergelak, kemudian kaki tangannya bergerak cepat dan dia mulai membalas serangan para pengeroyoknya. Dia memainkan ilmu silat yang aneh, kakinya berloncatan ke sana sini dan kedua tangannya diputar-putar, seperti gerakan seekor burung. Akan tetapi akibatnya bukan main!

Empat orang pengeroyok roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali karena di kepala mereka terdapat luka berlubang bekas ditembusi jari tangan perampok itu! Bahkan kepala pengawal juga hanya mampu menghindarkan maut setelah dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

Kepala pengawal meloncat berdiri dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Dia menudingkan goloknya ke arah perampok itu. "Siapakah engkau? Orang Uigur biasanya tidak saling mengganggu dengan kami Bangsa Kasak. Kenapa engkau hendak mengganggu pekerjaan kami?"

"Ha ha ha! Kalian orang-orang Kasak yang pelit! Aku hanya menghendaki batu-batu giok (kemala) itu. Serahkan kepadaku dan kalian boleh ambil semua sisa barangnya. Dua ekor babi gemuk ini kita sembelih saja!" kata si perampok yang tinggi besar itu.

"Orang rendah! Kami adalah orang-orang Kasak yang gagah! Kami bukan sahabat orang Han, akan tetapi sekali kami menerima tugas dan tanggung jawab, akan kami bela sampai mati! Jangan harap engkau akan dapat mengambil sepotongpun benda yang kami lindungi sebelum kami menggeletak sebagai mayat!" pimpinan pengawal Kasak itu berteriak lantang dengan sikap gagah.

Kemudian dia menoleh ke arah anak buahnya. "Bentuk barisan pedang bintang!"

Sepuluh orang pengawal yang telah melindungi dua orang pedagang, kini berloncatan mengepung perampok itu bersama kepala pasukan, dan mereka membentuk barisan pedang bintang yang memiliki gerakan teratur, mengelilingi si perampok sambil berlarian dan sambil memainkan golok yang digerak-gerakkan dari atas ke bawah, lalu diputar ke atas kembali. Gerakan ini mendatangkan sinar berkilauan karena tertimpa sinar matahari.

Akan tetapi, perampok tinggi besar itu tidak menjadi gentar, bahkan tertawa. Kemudian dia mendengarkan suara melengking nyaring, menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua perampok melihat betapa kedua lengan yang berkulit kecoklatan terbakar sinar matahari itu kini berubah menjadi merah seperti api membara! Melihat ini, kepala pengawal terkejut bukan main,

"Kau ...... kau ...... Datuk Besar Tangan Api?" Dia tergagap.

"Bukankah engkau sudah mengundurkan diri bahkan tinggal di daerah kami Bangsa Kasak dan diterima dengan baik?"

"Ha ha ha, matamu masih awas. Nah, serahkan kemala-kemala itu dan aku akan mengampuni kalian!" Si Tangan Api itu berkata.

"Bukan watak kami Bangsa Kasak untuk menyerah tanpa melawan!" kepala pengawal itu berseru. "Kami adalah orang-orang yang setia kepada tugas sampai mati!"

"Bagus, kalau begitu kalian akan mati!" bentak Si Tangan Api.

Barisan bintang yang terdiri dari sebelas orang itupun sudah menggerakkan golok mereka dan melakukan penyerangan dengan serentak dan teratur. Yang mereka sebut Barisan Pedang Bintang itu sesungguhnya adalah barisan pedang yang teratur rapi dan mereka mempelajarinya dari seorang perwira Bangsa Mongol ketika pasukan Mongol menyerbu ke Barat. Akan tetapi karena mereka biasa menggunakan senjata golok, maka mereka bukan memainkan pedang, melainkan golok.

Melihat senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan teratur. Si Tangan Api bersikap tenang saja, bahkan senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Dia menggunakan kedua tangannya yang telanjang sampai ke siku, kedua lengan yang kulitnya kemerahan seperti api membara, seperti Gunung Api yang nampak dari situ. Ketika dia menggerakkan kedua lengan menangkis, maka terdengar suara berdenting seolah-olah kedua lengan itu terbuat dari pada baja! Dan setiap kali lengannya menangkis, pada saat golok lawan terpental, secepat kilat tangan kedua menyambar.

"Bukk!" Yang terpukul berteriak, tubuhnya terjengkang dan tak mampu bergerak lagi. Bagian tubuh yang terkena pukulan tangan terbuka itu seperti terbakar dan ada bekas telapak tangan di bagian itu, dan orangnya tewas seketika!

Teriakan susul menyusul dan sebelas orang pengeroyok itu roboh satu demi satu! Si Tangan Api menyapu dengan pandang matanya. Melihat lima belas orang Kasak itu sudah roboh semua dan tidak ada yang bargerak lagi, diapun mengangkat muka ke atas lalu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh.

Dua orang saudagar yang menjadi ketakutan, sudah merosot turun dari onta mereka dan melihat seluruh pengawal mereka tewas, mereka lalu melarikan diri. Perut mereka yang gendut bergayutan dan karena tidak biasa bekerja keras apalagi lari, mereka jatuh bangun dan belum ada seratus langkah, mereka sudah terengah-engah kehabisan napas. Melihat mereka lari, Si Tangan Api mengangkat tangan kanan ke atas dan dia berteriak lantang, suara�nya berpengaruh.

"Heiii ....! Kalian berdua, berhenti .....!!"

Mendadak saja dua orang yang lari terhuyung-huyung itu berhenti, seolah kaki mereka mendadak melekat pada tanah yang mereka injak.

"Kembalilah kalian ke sini!" teriak pula Si Tangan Api. Teriakan itu membuat mereka semakin ketakutan. Mereka ingin melarikan diri secepatnya, ingin meninggalkan tempat itu sejauhnya. Akan tetapi sungguh aneh. Kaki mereka bukan saja tidak mau diajak berlari, bahkan kini kaki itu membawa mereka membalik dan berlawanan dengan kehendak mereka, kedua kaki mereka melangkah menghampiri perampok yang telah membunuh semua pengawal mereka.

Tentu saja kedua orang ini menggigil ketakutan ketika berdiri di depan perampok yang memandang kepada mereka sambil tersenyum itu. Mereka merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka merasa seperti dalam mimpi dan tidak dapat menguasai lagi tubuh mereka. "Berlututlah kalian!" teriak pula Si Tangan Api.

Kini kedua orang itu menjatuhkan diri berlutut. Bukan saja karena kaki mereka menghendaki demikian, akan tetapi juga karena rasa takut yang menghantui hati. Si Tangan Api menggunakan kakinya menendang dua batang golok yang banyak berserakan di situ, ke arah dua orang saudagar itu. "Kalian ambil golok itu!"

Sungguh aneh. Perintah ini tak mungkin dapat dibantah. Dua orang pedagang itu, di luar kemauan mereka, menjulurkan tangan mengambil golok pada gagangnya.

"Nah, sekarang kalian bunuh diri dengan golok itu! Penggal leher kalian sendiri!"

Perintah yang aneh. Tentu saja dalam hati kecil mereka, dua orang saudagar ini menentang dan tidak mau, akan tetapi, kekuatan yang amat besar mendorong dalam benak mereka, dan tanpa dapat dicegah lagi, tangan yang memegang golok itu mengayun golok dan dua orang pedagang itu menebas leher sendiri dengan golok di tangan masing-masing. Mereka tak sempat mengeluarkan suara, roboh mandi darah yang bercucuran keluar dari luka parah di leher mereka!

"Ha ha ha, bagus! Ilmu silatku, tenagaku, dan ilmu sihirku, semua masih ampuh, ha ha ha!"

Sambil tertawa-tawa dia lalu memeriksa semua barang bawaan, mengambil kantung terisi perhiasan emas permata dan terutama sekali ukiran batu giok (kemala), memilih tiga ekor kuda, meloncat ke atas punggung seekor kuda dan menarik tali kendali dua ekor yang lain lalu dia melarikan kuda meninggalkan tempat itu.

Sunyi senyap di tempat pembantaian manusia itu. Sunyi yang mencekam dan mengerikan. Tiga ekor burung semacam rajawali terbang lalu dan mereka mengeluarkan bunyi mencicit panjang. Agaknya tiga ekor burung itu ikut merasa ngeri dan prihatin menyaksikan akibat ulah manusia yang dikenal sebagai mahluk paling mulia dan paling tinggi derajatnya di seluruh permukaan bumi.

Bagi burung-burung itu, tidak ada mahluk yang lebih ganas dari pada manusia. Manusia membunuhi mahluk lain hanya demi mengejar kepuasan dan kesenangan, bukan karena kebutuhan mutlak. Hawa udara yang biasanya memang amat panas itu menjadi semakin panas. Nafsu adalah api yang paling panas, yang dapat membakar segala dengan liar, apabila tidak terkendali. Bahkan matahari bersembunyi di balik segumpal awan, seolah merasa malu melihat apa yang terjadi di daerah Turfan itu.

Hanya untuk sekantung emas permata, seorang manusia tega membunuh tujuh belas orang manusia lain dengan hati dan tangan dingin. Hanya untuk merampas sekantung benda mati, karena benda itu dianggap akan dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan bagi gairah nafsunya.

Kurang lebih sejam setelah Si Tangan Api pergi, muncul tiga orang pria lain di daerah yang panas itu. Usia mereka sekitar lima puluh tahun dan mereka berpakaian seperti pendeta atau pertapa, pakaian yang amat sederhana dari kain kasar berwarna putih dan kuning.

Di daerah barat ini, di mana terdapat banyak pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan ramai, kehadiran tiga orang ini tentu bukan merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi kalau mereka berada di timur, dunia persilatan akan mengenal mereka dengan baik karena mereka ini merupakan tiga orang manusia sakti yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa)!

Biarpun mereka bertiga itu tidak pernah muncul berbareng selama ini di dunia persilatan, namun karena ketiganya merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, maka mereka mendapat julukan Sam Sian. Mereka juga jarang sekali muncul di dunia ramai semenjak mereka mengundurkan diri belasan tahun yang lalu.

Ciu-sian (Dewa Arak) diberikan sebagai julukan Tong Kui yang bermuka selalu kemerahan seperti orang mabok. Wataknya ugal-ugalan seperti mabok, perutnya gendut walaupun tubuhnya tidak terlalu gemuk sehingga dia nampak seperti kanak-kanak bertubuh besar yang berpenyakit cacingan. Pakaiannya penuh tambalan.

Dilihat sepintas lalu, tidak ada apa-apanya yang mengesankan. Namun, orang ini memiliki ilmu kepandaian silat tangan kosong yang sukar ditemukan keduanya, dan diapun memiliki sin-kang (tenaga sakti) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dahsyat.

Orang ke dua bernama Louw Sun. Dia dijuluki Kiam-sian (Dewa Pedang) karena memang ilmu pedangnya sukar dikalahkan, bahkan belum pernah ada yang mampu menandinginya selama ini. Mukanya kekuningan tubuhnya tinggi kurus.

Biarpun julukannya Dewa Pedang, namun tidak nampak dia membawa pedang seperti para pendekar lainnya yang menaruh pedang di punggung atau di pinggang. Selain ilmu pedang dia juga ahli banyak macam ilmu silat, ahli pula tentang filsafat Agama To, kepalanya dilindungi sebuah caping lebar dan pakaiannya yang juga sederhana itu nampak bersih.

Orang ke tiga bernama Thio Ki dan dia dijuluki Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Entah mengapa, sejak berusia tigapuluh tahun rambutnya telah berubah putih semua. Wajahnya tampan dan dia selalu tersenyum ramah sehingga rambut yang kesemuanya putih itu tidak membuat dia nampak tua. Tubuhnya kurus sedang dengan pakaian yang terbuat dari kain sederhana akan tetapi potongannya rapi walaupun tetap longgar seperti pakaian pendeta. Di pinggangnya terselip sebuah kipas bergagang gading, lagak dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan atau setidaknya terpelajar.

Penampilannya menunjukkan seorang yang lemah. Akan tetapi justeru penampilannya ini yang menyembunyikan kepandaian hebat. Selain ahli silat yang tingkatnya tidak di bawah dua orang rekannya. Dewa Rambut Putih inipun memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!

Tiga orang sakti itu segera melihat beberapa ekor kuda yang berlarian liar. Kuda-kuda itu masih dipasangi kendali. Tentu saja mereka merasa penasaran, bahkan mereka dapat menduga bahwa para penunggangnya tentu akan kehilangan. Dan peristiwa ini membuktikan adanya kejadian yang tidak wajar. Merekapun tanpa bicara lagi lalu menggunakan ilmu berlari cepat, menuju ke arah dari mana datangnya kuda-kuda itu.

Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat pembantaian tadi. Mereka menghampiri dan sejenak mengamati mayat-mayat itu dan tahu bahwa mereka itu menjadi korban pembantaian.

"Siancai (damai) .....! Di mana-mana nafsu menguasai manusia sehingga terjadi kejahatan keji! Sungguh menyedihkan sekali, siancai......!"

Kiam-sian Louw Sun menarik napas panjang. "Pek-mau-sian, engkau pernah bilang bahwa seluruh alam mayapada ini berputar karena keseimbangan antara Im (negatif) dan Yang (positif). Kalau tidak ada malam, mana ada siang? Kalau tidak ada kejahatan, mana ada kebajikan? Yang disebut baik baru ada kalau ada keburukan. Nah, kenapa sekarang engkau merasa bersedih?"

"Ha ha ha ha!" Ciu-sian Tong Kui tertawa sambil berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan dan barang-barang dagangan yang serba mahal juga berserakan, di antaranya gulungan sutera-sutera indah. "Mati bukan persoalan, semua manusia mesti mati. Hanya, cara kematian itulah yang penting! Mereka semua ini mati konyol namanya, mati penasaran dan roh-roh mereka menjadi setan penasaran!"

Tiba-tiba Dewa Arak itu berhenti tertawa. "Ihhh ....! Dia ini belum mati," teriaknya. Dua orang rekannya berkelebat cepat dan kini mereka bertiga sudah berjongkok dekat tubuh kepala pengawal. Dia memiliki tubuh yang lebih kuat dari pada kawan-kawannya, maka kalau semua anak buahnya mati seketika terkena hantaman lawan, dia roboh dan masih dapat bertahan.

Setelah tiga orang sakti itu memeriksanya sejenak, tahulah mereka bahwa orang ini tidak mungkin dapat diselamatkan pula. Ciu-sian Tong Kui menotok jalan darah di tengkuk dan kedua pundak, mengurut dada dan kepala pengawal itu mengeluh lirih, membuka kedua matanya dan memandang tiga wajah di atasnya itu dengan mata kuyu.

"Apa yang terjadi ? Siapa yang membunuh kalian?" tanya Dewa Pedang.

Si kepala pengawal memejamkan mata, mengerahkan tenaga terakhir, membuka matanya lagi dan dengan sukar mulutnya bergerak mengeluarkan suara yang parau setelah dia muntah darah menghitam. "Si ...... Tangan ....... Api ....."

Dia terkulai dan matanya terpejam. Tiga orang itu terbelalak dan kelihatan bersemangat ketika mendengar disebutnya nama Si Tangan Api. Melihat keadaan orang yang terluka parah itu, Dewa Rambut Putih segera mengerahkan kekuatan batinnya, mengusap muka dan dada orang itu. Dan, sungguh aneh, kepala pengawal yang tadi kelihatan sudah putus napasnya itu membuka matanya yang sudah kosong sinar, seperti orang mimpi saja.

"Cepat katakan, di mana Si Tangan Api?" kata Dewa Rambut Putih, suaranya tidak wajar, melengking dan penuh getaran yang berwibawa. Kiranya orang sakti ini sedang mempergunakan seluruh tenaga dan kekuatan sihirnya untuk memberi dorongan semangat sehingga pada saat terakhir orang yang sudah sekarat itu masih akan dapat memberi keterangan yang diinginkannya.

"......... di ..... Yin-ning .... Yi-li ......" Hanya sekian orang itu dapat bicara. Dia terkulai dan tewas. Akan tetapi, disebutnya Yin-ning dan Yi-li itu saja sudah cukup bagi Tiga Dewa. Sudah berbulan-bulan mereka berkeliaran di daerah barat ini, bahkan menjelajahi Tibet dan Sin-kiang untuk mencari satu orang saja, yaitu Si Tangan Api! Mereka tahu bahwa Yin-ning adalah sebuah kota yang terdapat di daerah Yi-li, daerah yang menjadi pusat tempat tinggal orang-orang Kasak.

Siapakah Tiga Dewa dan apa hubungan mereka dengan Si Tangan Api? Seperti telah kita ketahui, Tiga Dewa adalah tiga orang tokoh persilatan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sebetulnya sejak belasan tahun yang lalu, mereka telah menarik diri dari dunia persilatan, tekun bertapa untuk memajukan perkembangan jiwa mereka.

Akan tetapi, akhirnya mereka keluar juga ketika mereka mendengar bahwa di dunia persilatan terjadi kegemparan. Di dunia persilatan muncullah seorang jagoan, seorang datuk kaum sesat yang berjuluk Si Tangan Api.

Bukan saja datuk ini menguasai dunia kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan), akan tetapi juga dia menggunakan ilmu kepandaiannya yang hebat untuk menalukkan para pimpinan perguruan perguruan silat besar seperti Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Kong-thong-pai, bahkan berani menghina pimpinan Siauw-lim-pai! Mendengar akan hal ini, Tiga Dewa terpaksa keluar dari tempat pertapaan mereka dan memenuhi permintaan para pimpinan perguruan-perguruan silat itu untuk menghadapi Si Tangan Api!

Akan tetapi, mereka terlambat. Si Tangan Api telah melarikan diri setelah melakukan hal yang amat menggemparkan, yaitu dia telah memasuki gudang pusaka dari istana kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka!

Tentu saja Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama Dinasti Beng menjadi amat marah dan melalui para jagoan-jagoan istana dan penasihatnya, Kaisar Thai-cu juga minta bantuan Tiga Dewa untuk menangkap Si Tangan Api dan merampas kembali benda-benda pusaka itu.

Demikianlah, Tiga Dewa lalu melakukan penyelidikan dan mereka mengikuti jejak Si Tangan Api yang memboyong keluarganya ke barat. Akan tetapi, di barat, mereka kehilangan jejak. Mereka mencari-cari sampai berbulan-bulan lamanya, namun belum juga berhasil menemukan datuk sesat yang mereka cari itu.

Kalau di timur, dunia persilatan mengenal Si Tangan Api sehingga akan mudah mencari jejaknya. Akan tetapi di daerah barat ini, agaknya tak seorangpun mengenal namanya. Akhirnya, tibalah mereka di Turfan, dan secara kebetulan saja mereka melihat korban keganasan tangan Si Tangan Api dan kebetulan pula seorang di antara para korban itu masih sempat memberi keterangan kepada mereka sebelum mati.

Setelah mendengar keterangan dari kepala pengawal itu, tiga orang sakti saling pandang, kemudian Ciu-sian Tong Kui tertawa bergelak-gelak.

"Ha ha ha ha, akhirnya Tuhan berkenan mengulurkan bantuan kepada kita!"

"Hwe-siang-kwi (Iblis Tangan Api), sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!" kata pula Kiam-sian Louw Sun sambil meraba gagang pedang yang tak pernah meninggalkan pinggangnya. Tidak nampak dari luar dia membawa pedang, namun sesungguhnya, sebatang pedang yang aneh, pedang yang lentur tipis, melilit pinggang dalam sarung pedang dari kulit ular.

Pek-mou-sian Thio Ki tersenyum lebar dan menengadah memandang langit.

"Pohon yang buruk, cepat atau lambat, pasti akan menghasilkan buah yang buruk pula. Setiap kejahatan membawa hukumannya sendiri, seperti setiap kebaikan membawa pahalanya sendiri. Tuhan Maha Adil dan Maha Kuasa."

"Bagaimana dengan mayat-mayat ini? Kita tidak mungkin dapat meninggalkan mereka begini saja," kata Dewa Arak. "Engkau benar, Ciu-sian. Akupun tidak tega membiarkan mereka seperti itu," Dewa Pedang membenarkan. " Entah bagaimana pendapat Pek-mou-sian,"

"Tentu saja kita harus mengubur mayat-mayat itu lebih dulu." jawab Dewa Rambut Putih.

"Kenapa tidak dibakar saja, Pek-mou-sian?" tanya Ciu-sian Si Dewa Arak.

"Sama saja. Jasmani kita terdiri dari empat unsur, api, air, tanah, dan udara. Setelah jasmani ditinggalkan jiwa, dia kembali ke asalnya, empat unsur Air kembali kepada sumbernya. Dalam keadaan seperti ini, paling mudah dan tepat kalau kita mengubur mereka. Untuk membakar mereka, kita kekurangan bahan bakar dan akan makan waktu, sedangkan kita perlu segera mencari Si Tangan Api ke daerah Yi-li."

Dua orang yang lain mengangguk setuju. Di antara mereka bertiga, memang Dewa Rambut Putih yang paling pandai mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan. Tiga orang sakti itu lalu bekerja dengan cepat menggali lubang yang besar, menggunakan golok-golok yang berserakan di situ. Sebelum senja tiba, mereka sudah selesai mengubur tujuh belas mayat itu ke dalam sebuah lubang yang besar dan menimbuni lubang itu.

Kemudian merekapun meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran terhadap Si Tangan Api. Dewa Arak tidak lupa untuk mengambil beberapa meter sutera putih dan kuning untuk pengganti pakaian mereka kelak kalau ada kesempatan untuk membuatnya.

0oo0

Daerah Yi-li adalah nama yang diberikan kepada daerah subur di lembah Sungai Yi-li yang letaknya di perbatasan Cina bagian barat laut. Lembah itu amat subur. Terbentang luas padang yang hijau dan subur, indah permai. Padang inilah yang disebut daerah Yi-li, termasuk daerah Sin-kiang dan di daerah ini menjadi pusat tempat tinggal Suku Bangsa Uigur dan Kasak.

Dua suku bangsa ini merupakan penghuni yang paling besar jumlahnya dan yang sudah turun-temurun tinggal di daerah itu. Masih banyak lagi terdapat suku-suku bangsa yang kecil-kecil jumlahnya, seperti Suku Mongol, Hui, Mancu, Usbek, Tatar, Sipo, dan lain-lain. Bahkan ada pula Suku Han yang merupakan suku terbesar dan mengaku sebagai pribumi di Cina.

Namun di daerah Yi-li, Bangsa Han merupakan kelompok kecil saja walaupun tentu saja mereka terpandang karena setelah kekuasaan Mongol jatuh, kini Cina kembali dikuasai oleh kerajaan baru yang disebut Dinasti Beng (Terang), dipimpin oleh orang-orang Han. Pada hal, kalau ditelusur benar-benar silsilah seseorang, sukarlah dipastikan bahwa seseorang itu benar-benar aseli!

Pernikahan antar suku sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, apa lagi dalam sebuah negara yang daerahnya luas dan memiliki suku yang puluhan banyaknya. Akan tetapi, rupa-rupanya kaum peranakan, keturunan dari hasil kawin campuran itu tetap mempertahankan kelas mereka dan mengaku sebagai Suku Han, karena agaknya cap pribumi mendatangkan semacam perasaan unggul dan bangga. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah bermacam suku, hasil pernikahan nenek moyang mereka dengan suku-suku lain, baik dari pihak nenek moyang ayah maupun ibu.

Di daerah Yi-li, yang paling kuat karena terbanyak jumlahnya adalah Suku Kasak dan Suku Uigur. Mereka hidup berkelompok dan berpisah, namun dalam kehidupan sehari-hari. karena kebutuhan, mereka bergaul. Di dalam pasar mereka bersatu, juga warung-warung teh dan rumah-rumah makan menjadi tempat pertemuan dan pergaulan antar suku yang tidak membeda-bedakan.

Kota Yin-ning adalah sebuah kota di daerah Yi-li yang dihuni sebagian besar oleh orang-orang Kasak. Namun di kota inipun tinggal banyak orang dari suku bangsa lain, terutama Suku Bangsa Uigur yang sebagian besar beragama Islam. Biarpun ada kemiripan pada wajah dan kulit mereka, namun mudah membedakan mereka dari pakaian mereka, terutama pelindung kepala. Orang-orang Uigur yang beragama Islam yang pria hampir semua mengenakan semacam peci berwarna putih atau hitam atau juga belang-belang seperti kulit harimau, sedangkan wanitanya sebagian besar berkerudung dengan warna-warni indah.

Suku Kasak ada pula yang berpeci, akan tetapi banyak yang memakai kain pembungkus kepala. juga pakaian mereka berbeda, dan topi para wanitanya terbuat dari bulu. Para prianya, banyak pula yang mengenakan topi bulu domba, dan Suku Kasak ini terkenal tangkas dan pandai menunggang kuda. Sebaliknya Suku Uigur lebih ahli memelihara ternak domba dan bertani.

Selain kota Yin-ning, di daerah Yi-li terdapat banyak kota lain seperti Cau-su, Capu-cai, Sui-ting dan lain-lain. Akan tetapi kota Yin-ning terletak di lereng bukit yang indah pemandangan alamnya dan sejuk hawanya. Pegunungan di sana menghasilkan rumput yang baik dan padang-padang rumput terbentang luas di lereng-lereng bukit, di antara pohon-pohon cemara yang rimbun dan menjulang tinggi. Sungguh merupakan tempat yang menguntungkan sekali bagi para pemelihara ternak. Maka, terkenallah bulu-bulu domba yang gemuk dan halus dari daerah Yi-li, sehingga bulu domba merupakan hasil besar yang dikirim ke barat dan ke timur.

Juga hasil panen gandum dari sawah ladang, dan buah-buahan dari kebun-kebun, membuat penduduk daerah Yi-li pada umumnya dan kota Yin-ning pada khususnya, hidup berkecukupan, bahkan boleh dibilang makmur untuk ukuran kehidupan di daerah pegunungan.

Penghuni pegunungan tidak dikejar banyak kebutuhan. Bagi mereka, asalkan keluarga dalam keadaan sehat cukup makan dan pakaian, mempunyai rumah yang kokoh, mereka merasa kecukupan. Untuk bergembira, mereka secara berkelompok seringkali mengadakan pertemuan, menikmati hasil panen, makan hidangan berupa masakan sendiri dan buah-buahan dari kebun sendiri, minuman buatan sendiri, dan mereka menari dan bernyanyi di bawah sinar bulan. Apa lagi yang dikehendaki seseorang dalam hidupnya?

Keluarga Si Tangan Api tinggal di sudut kota Yin-ning, memiliki pekarangan dan kebun yang luas. Si Tangan Api datang kurang lebih setahun yang lalu, bersama seorang isteri dan seorang anak laki-laki, dan dia membeli rumah besar dengan pekarangan besar itu, lalu tinggal di situ sebagai orang yang dianggap kaya. Si Tangan Api ini adalah keturunan Uigur yang belum beragama Islam, melainkan Agama Hindu karena sejak muda dia merantau ke India dan berguru kepada orang-orang sakti di India.

Namanya Se Jit Kong dan setelah pulang dari India, dia langsung mengembara ke daratan Cina sebelah timur dan muncul sebagai seorang jagoan, seorang datuk! Dia malang melintang di sepanjang perjalanan dari daerah barat ke timur, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja Nan-king.

Dia bukan saja terkenal dengan ilmu silatnya dan juga tenaganya yang dahsyat, akan tetapi terkenal pula dengan ilmu sihirnya. Kemenangan demi kemenangan membuat dia tekebur dan sombong, bahkan dia mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia bahkan berani mendatangi partai-partai persilatan besar seperti Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai bahkan Siauw-lim-pai untuk menantang para pimpinan perguruan silat, dan telah membunuh beberapa orang tokoh penting di dunia persilatan.

Para pendekar menjadi marah, namun sebegitu jauh belum ada seorangpun pendekar yang mampu menandingi Si Tangan Api. Akhirnya, karena maklum bahwa dia dimusuhi para pendekar dia mengambil keputusan untuk kembali ke barat. Apa lagi dia sudah mulai tua, sudah hampir enam puluh tahun usianya dan dia ingin hidup tenang di kampung halamannya, yaitu di daerah Yi-li.

Akan tetapi, bukan Si Tangan Api kalau dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan nama besar dan perbuatan yang menggemparkan. Dia menyelundup ke dalam gudang pusaka milik Kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka yang amat berharga. Gegerlah kota raja, dan berita tentang perbuatan Si Tangan Api ini segera terdengar di seluruh dunia kang-ouw.

Di Yin-ning, Se Jit Kong terkenal sebagai seorang hartawan, bahkan dia segera memperlihatkan kepandaiannya dan ditakuti orang.

Nama julukannya Si Tangan Api segera dikenal orang di seluruh Yi-li. Akan tetapi, berkat permintaan isterinya, di Yi-li dia tidak pernah melakukan kejahatan dan hidup tenang tenteram seperti yang diidamkannya.

Isteri Se Jit Kong adalah seorang wanita, yang jauh lebih muda, berusia duapuluh delapan tahun dan memiliki kecantikan yang khas Suku Uigur. Wanita Uigur memang memiliki kecantikan yang khas, manis dan anggun.

Se Jit Kong amat sayang kepada isterinya ini, dan hal ini nampak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan datuk itu memanjakan isterinya, membelikan banyak pakaian sutera yang indah-indah, juga perhiasan yang mahal-mahal. Dan wanita itupun kelihatan mencinta suaminya, walaupun ia pendiam dan tidak pernah mau bercerita tentang keadaan keluarganya.

Suami isteri ini mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun, diberi nama Sin Wan oleh ayahnya. Datuk besar itu amat sayang kepada Sin Wan dan sejak berusia lima tahun, anak itu telah digembleng oleh ayahnya sehingga kini dalam usia sepuluh tahun dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kuat dan pandai bersilat.

Akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan watak ayahnya. Kalau ayahnya seorang datuk yang keras hati dan suka mencari musuh, ingin menonjol dan paling jagoan, sebaliknya Sin Wan seorang anak yang pendiam dan sama sekali tidak bengal, bahkan penurut sekali, terutama terhadap ibunya. Mungkin dia mewarisi watak ibunya yang juga pendiam dan lembut, wanita yang tidak pernah kelihatan marah, dan tidak pernah pula kelihatan ribut dengan suaminya.

Tentu saja sebagai suami isteri, pernah Ju Bi Ta ribut dengan suaminya. Hanya karena ia seorang wanita yang sopan dan lembut, ia tidak pernah mau ribut di depan orang lain, bahkan tidak mau ribut dengan suaminya di depan anak mereka. Kalau sudah di kamar berdua, barulah wanita yang lembut ini menegur dan memprotes suaminya dan kalau sudah begitu, biasanya datuk besar yang keras hati dan keras kepala ini selalu tunduk dan mengalah!

Setelah setahun tinggal di Yin-ning dan hidup dengan tenteram, pada suatu hari Se Jit Kong pergi meninggalkan rumahnya. Dia berpamit kepada isterinya bahwa dia hendak pergi mengunjungi sahabat-sahabat lamanya di daerah Turfan, di sekitar pegunungan Api.

"Ilmuku Tangan Api kudapatkan di pegunungan itu pula. Aku ingin melihat apakah guruku masih berada di sana, dan aku ingin menjenguk teman-temanku."

Se Jit Kong pergi selama sebulan dan ketika dia kembali, dia disambut oleh isteri dan puteranya dengan gembira. Akan tetapi malam hari itu, setelah Sin Wan tidur di kamarnya sendiri dan suami isteri itu tinggal, berdua saja di kamar mereka, Ju Bi Ta nampak marah-marah kepada suaminya.

"Bukankah engkau sudah berjanji bahwa engkau akan cuci tangan, tidak lagi melakukan kejahatan di sini? Lupakah engkau akan janjimu kepadaku? Di timur engkau telah mengganas dan terkenal sebagai seorang datuk besar, tidak pantang melakukan segala bentuk kekejaman. Akan tetapi di sini, kita berada di antara bangsa sendiri. Aku akan merasa malu sekali kalau di sini aku dikenal sebagai isteri seorang penjahat besar!"

"Ah, kekasihku, isteriku yang manis. Kenapa engkau marah-marah? Lihat, kepergianku untuk mencarikan benda-benda yang amat indah untukmu. Lihat emas permata dan batu-batu giok ini. Tak ternilai harganya. Semua ini kuserahkan kepadamu, semua untukmu, sayang."

"Tidak sudi aku!"

Ju Bi Ta yang biasanya kelihatan pendiam dan lembut itu, kini benar-benar marah, mukanya kemerahan dan matanya bersinar-sinar menatap wajah suaminya, lalu melihat ke arah peti hitam terbuka yang berisi emas permata dan batu kemala itu. Ia menuding ke arah peti itu. "Dari mana engkau mencuri atau merampok benda-benda ini? Aku seperti melihat barang-barang itu bergelimang dan berlepotan darah! Kembalikan, aku tidak sudi menerimanya!"

"Bi Ta, isteriku yang kucinta, jangan begitu. Sungguh mati, aku tidak merampasnya dari orang-orang di sini. Aku sudah memenuhi janji, tidak membikin ribut di sini. Aku merampasnya dari kafilah orang Han di dekat Gunung Api sana, tidak ada orang tahu."

Wanita cantik itu mengerutkan alisnya. "Tidak ada orang tahu? Apakah engkau ini bukan orang? Iblis barangkali? Dan bagaimanapun juga, Tuhan melihat dan mengetahuinya! Ya Allah! Sampai kapankah engkau akan menyadari semua kesalahanmu? Sampai kapankah engkau akan bertaubat dan minta ampun kepada Allah?"

"Sudahlah, kalau engkau belum mau menerimanya, maafkan aku, isteriku. Biar kusimpan dulu benda-benda ini, akan tetapi jangan kau marah kepadaku. Aku hanya merampas benda-benda ini untuk menyenangkan hatimu, sayang,"

"Se Jit Kong, kalau engkau ingin menyenangkan hatiku, jangan lakukan kejahatan lagi, bertaubatlah kepada Allah, bahkan pergunakan kepandaian yang kaumiliki untuk melakukan darma bakti kepada Allah, untuk menolong sesama umat manusia, menderma kepada fakir miskin, menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Kalau engkau mau bersikap seperti itu, sungguh hatiku akan senang sekali."

"Baiklah ........ baiklah, aku berjanji. Isteriku manis, coba kauingat saja, bukankah selama sepuluh tahun ini aku selalu

memegang janjiku terhadap dirimu? Bagaimana sikapku terhadap dirimu, dan terhadap anak kita Sin Wan? Pernahkah aku melanggar janji?"

Wanita itu termenung di tepi pembaringannya dan beberapa kali ia menarik napas panjang, "Kalau engkau tidak memegang janji, apakah kaukira aku masih suka hidup sampai sekarang? Engkau memang memenuhi janjimu itu, akan tetapi di luaran, engkau tiada hentinya menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendakmu. Bahkan di sinipun, biar engkau tidak melakukan kejahatan, akan tetapi engkau memamerkan kepandaian sehingga sebentar saja semua orang Kasak tahu belaka bahwa engkau adalah Si Tangan Api yang ditakuti itu."

Se Jit Kong menarik napas panjang dan menyimpan kembali peti hitam itu. Dia sendiri seringkali merasa heran mengapa terhadap isterinya ini, dia seperti kehilangan semua kekerasan hatinya, kehilangan semua keangkuhannya, bahkan kehilangan semangat.

Dia tahu bahwa tanpa Ju Bi Ta, hidupnya tidak ada artinya. Bahkan dia harus mengakui dalam hati bahwa semua perbuatan yang dia lakukan, untuk menjadi orang gagah nomor satu di kolong langit, mengumpulkan benda-benda pusaka dan benda berharga, semua itu dia lakukan demi isterinya, dan menyenangkan hati isterinya!

"Baiklah, isteriku yang baik. Mulai saat ini aku akan mentaati semua kehendakmu. Engkau lihatlah, mulai sekarang, harimau yang ganas ini akan berubah menjadi domba yang lemah dan jinak."

Dia menghampiri isterinya dan merangkul. Ju Bi Ta memejamkan matanya dan seperti biasa, ia tidak pernah menolak menerima tumpahan kasih sayang suaminya. Ia seorang isteri yang baik, yang tidak pernah mengurangi kewajibannya, dan biarpun baru saja ia menegur dan marah kepada suaminya, kini ia siap melayani suaminya dengan pasrah.

Malam itu, Sin Wan asyik dengan oleh-oleh ayahnya, yaitu sebuah kitab dongeng sejarah. Sejak kecil, oleh ibunya Sin Wan diharuskan mempelajari ilmu sastera, sehingga dalam usia sepuluh tahun, dia sudah pandai baca tulis.

Ketika mereka tinggal di timur, ibunya mengundang sasterawan untuk mengajarnya. Selain itu, Ju Bi Ta juga mengharuskan dia membaca kitab-kitab Agama Buddha, kitab-kitab guru besar Khong Cu, juga ibu yang bijaksana ini mengajarkan pembacaan ayat kitab Al Quran. Ibunya mengajarkan budi pekerti, sehingga biarpun sejak kecil anak itu digembleng ilmu silat oleh ayahnya, namun dia tetap berwatak lembut, percaya dan memuja Tuhan Allah, pencipta seluruh alam mayapada berikut isinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncul belasan orang di pekarangan rumah keluarga Se Jit Kong. Mereka adalah belasan orang laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun dan semua kelihatan gagah perkasa. Dari sikap, pakaian dan senjata yang ada pada mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang di dunia kang-ouw (sungai telaga) orang-orang yang sudah biasa hidup keras mengandalkan kepandaian silat, ketebalan kulit dan kekerasan tulang.

"Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api) Se Jit Kong, keluarlah dari tempat persembunyianmu!" teriak seorang di antara tiga belas orang itu yang usianya sudah lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermata satu karena mata kirinya buta.

Se Jit Kong masih tidur pada pagi hari itu karena dia memang masih lelah karena habis melakukan perjalanan jauh. Isterinya sudah sejak pagi subuh tadi bangun dan sibuk di dapur mempersiapkan sarapan untuk suami dan anaknya, sedangkan Sin Wan juga sudah tekun melanjutkan pembacaan kitabnya.

Mendengar teriakan yang melengking lantang sekali karena didorong kekuatan khi-kang, baik Sin Wan maupun ibunya terkejut bukan main. Teriakan yang melengking itu menebus sampai ke seluruh bagian rumah itu, bahkan terdengar ke seluruh kota Yin-ning.

Ju Bi Ta berlari keluar dari dalam dapur, hampir bertabrakan di ruangan tengah dengan puteranya kemudian mereka berdua cepat menuju ke pintu depan. Ketika mereka membuka pintu depan, mereka melihat tiga belas orang yang sikapnya bengis dan mengancam itu.

Sin Wan adalah seorang anak yang lembut hati dan pendiam, akan tetapi sejak kecil oleh ibunya ditekankan tentang susila dan sopan santun. Oleh karena itu, melihat sikap tiga belas orang itu, dia merasa tak senang.

"Cuwi (anda sekalian) adalah orang-orang tua yang kelihatan gagah, akan tetapi kenapa datang sebagai tamu tak diundang yang bersikap kurang ajar! Bersikaplah sopan kalau menjadi tamu!"

Tiga belas orang itu memandang kepada Sin Wan dan ibunya, dan tiga belas pasang mata itu memandang kepada Ju Bi Ta dengan kagum dan pandang mata liar, dan mereka memandang kepada Sin Wan dengan marah.

Seorang di antara mereka, yang bertubuh pendek dan berkepala botak memaki, "Bocah setan, jaga mulutmu itu, aku akan merobeknya!"

Berbareng dengan kata terakhir, si botak pendek itu sudah menggerakkan tangan kirinya dan meluncurlah sinar menyilaukan sebatang hui-to (pisau terbang) ke arah mulut Sin Wan! Kalau anak lain yang menghadapi serangan ini, tentu pisau itu benar-benar akan merobek mulutnya. Namun, sejak kecil Sin Wan sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya. Menghadapi serangan itu, dia sama sekali tidak menjadi gugup. Tangan kanannya bergerak dan dia telah menangkap pisau itu diantara jari-jari tangan yang menjepitnya kemudian tanpa banyak cakap lagi. Sin Wan melontarkan pisau itu ke arah penyambitnya!

"Ehhh ......?" Si pendek botak terkejut, akan tetapi diapun lihai, dan dapat menangkap lagi senjata rahasianya.

Pada saat itu terdengar suara lantang dari dalam rumah. "Anjing-anjing dari mana sudah bosan hidup dan ingin menjadi bangkai?"

Muncullah Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong dari dalam rumah dengan pakaian dan rambut yang sudah rapi. Agaknya dia tadi mendengar pula kedatangan tiga belas orang itu, akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan berganti pakaian, mencuci muka dan menyisir rambut lebih dahulu. Melihat suaminya muncul dan mendengar suaranya yang mengancam, isteri datuk itu segera berkata dengan nada suara yang serius. "Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membunuh orang!"

Sin Wan melihat ayahnya menatap wajah ibunya dan tampak ragu-ragu, dan belum juga menjawab ucapan isterinya itu.

"Berjanjilah!" desak pula Ju Bi Ta kepada suaminya. Datuk besar itu menghela napas lalu mengangguk. "Baik, aku berjanji tidak akan membunuh orang. Kalau anjing-anjing ini kurang ajar, aku hanya akan memberi ajaran kepada mereka agar tidak berani datang mengganggu lagi."

Ju Bi Ta kelihatan lega dan iapun memegang tangan puteranya.

"Sin Wan mari kita masuk. Biar ayahmu yang menghadapi mereka itu." Sin Wan juga mengenal ketegasan dan perintah dalam suara ibunya yang lembut. Dia mengangguk dan mereka berdua lalu masuk kembali ke dalam rumah. Wanita itu melanjutkan pekerjaannya di dapur, sedangkan Sin Wan mencoba untuk melanjutkan bacaannya, akan tetapi sia-sia karena ingatannya melayang ke luar rumah.

Akhirnya dia tidak dapat menahan perasaan hatinya dan diapun keluar dari ruangan itu, menuju ke depan dan mengintai dari balik pintu depan, melihat bagaimana ayahnya menghadapi tiga belas orang kasar dan tidak sopan itu.

Agaknya ketika dia masuk tadi, tiga belas orang itu telah memperkenalkan diri kepada ayahnya karena kini dia melihat ayahnya tertawa bergelak sampai perutnya terguncang dan mukanya menengadah. Betapa gagahnya sikap ayahnya menghadapi tiga belas orang kasar yang nampak bengis mengancam itu.

"Ha ha ha ha, kiranya kalian ini yang di daerah pantai Pohai dikenal dengan julukan Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis Tanpa Tanding)? Ha ha ha, sungguh tekebur, mempergunakan julukan seperti itu. Dahulupun aku sudah mendengar akan nama kalian, akan tetapi setelah mendengar bahwa kalian hanyalah penjahat-penjahat kecil yang menjadi antek para bajak laut Jepang, akupun tidak perduli. Sekarang kalian datang mencari aku, ada urusan apakah?"

Kalau saja tidak ingat akan pesan isterinya, tentu datuk besar ini tidak sudi banyak cakap lagi dan sejak tadi dia sudah turun tangan membunuh mereka ini!

Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus dan nampak tenang, usianya lima puluh tahun lebih dan di punggungnya terdapat sepasang pedang, melangkah maju dan agaknya dialah pemimpin rombongan itu. Sepasang matanya tajam mencorong, sikapnya angkuh dan dia memandang tuan rumah itu seperti seorang atasan memandang bawahan.

"Hwe-ciang-kwi, ketika engkau merajalela di timur sana, kami masih mendiamkan saja karena kita dari satu golongan dan seperti kami, engkau juga memusuhi para pendekar. Kami menganggap engkau orang segolongan maka kami tidak mencampuri. Akan tetapi, engkau telah mencuri pusaka istana. Engkau seorang Suku Bangsa Uigur yang liar telah berani melarikan pusaka-pusaka istana. Hemm, kami sebagai orang-orang Han tidak bisa membiarkan saja perbuatanmu ini. Kembalikan pusaka-pusaka itu kepada kami"

"Wah ... wah, sungguh bebat. Kalau aku tidak mau mengembalikan, kalian mau apa?" tantang Se Jit Kong sambil tersenyum mengejek.

"Terpaksa kami tidak akan memandang segolongan lagi, dan kami akan menangkap dan menyeretmu ke istana agar menerima hukuman sebagai pencuri!"

Kembali So Jit Kong tertawa bergelak. "Ha ha ha, sungguh lucu sekali! Bu-tek Cap-sha-kwi sudah biasa membantu para bajak laut Jepang, sekarang tiba-tiba ingin menjadi pahlawan? Kamu yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) itu, dan yang memimpin gerombolan tigabelas orang ini? Katakan saja bahwa kalian menginginkan pusaka-pusaka itu untuk kalian sendiri, bukan untuk dikembalikan kepada Kaisar! Bukankah begitu, Cap-sha-kaw (tiga belas ekor anjing)?"

Sengaja datuk besar itu mengubah julukan Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis) menjadi Tiga belas Anjing!

Si pendek botak yang tadi menyerang Sin Wan, menjadi marah sekali. Dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Se Jit Kong, "Iblis sombong, berani kau menghina kami? Sekarang, bukan saja semua pusaka harus kau serahkan kepada kami, juga wanita cantik tadi. Ia isterimu, bukan? Iapun harus diserahkan kepadaku, sebagai hukuman atas sikapmu ini!"

Seketika wajah Se Jit Kong menjadi merah. Dia sudah biasa mendengar ucapan kasar menghina, dan hal itu dianggap lumrah. Akan tetapi ada suatu pantangan baginya. Siapapun juga di dunia ini tidak boleh menghina isterinya tersayang!

Sinar matanya seperti berapi dan panas ketika dia menatap wajah si pendek botak itu. Si botak ini memang berwatak mata keranjang. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara berjuluk Bu-tek Sam-coa (Tiga Ular Tanpa Tanding) yang masuk menjadi anggauta kelompok Tiga belas Iblis Tanpa Tanding.

Semua anggauta gerombolan ini menggunakan julukan Bu Tek (Tanpa tanding) yang menunjukkan kesombongan watak mereka. Dan di daerah Po-yang, di sepanjang pantai laut timur, mereka memang amat ditakuti, apalagi setelah mereka bergabung dengan para bajak laut Jepang yang selalu mengganggu keamanan di perairan laut timur dan di sepanjang pantai, "Jahanam busuk, aku harus menghancurkan mulutmu," bentaknya dan tiba-tiba saja tubuh Se Jit Kong yang tinggi tegap itu sudah melayang ke depan, ke arah si pendek botak.

Biarpun dia pendek, namun si botak ini terkenal dengan kecepatan gerakannya dan juga tenaganya yang besar. "Engkau yang akan mampus di tanganku!" bentaknya dan diapun sudah melolos rantai yang kedua ujungnya dipasangi pisau seperti pisau terbang yang biasa dia pergunakan sebagai senjata rahasia.

Begitu Se Jit Kong meloncat dekat, dia sudah menyambut dengan serangan rantainya. Dua batang pisau itu menyambar-nyambar dahsyat dan terdengar suara bersiutan nyaring. Diam-diam Se Jit Kong menilai gerakan lawan dan tahulah dia bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang remeh. Apa lagi ketika dua orang saudara si botak juga maju mengeroyoknya. Mereka bersenjata golok besar dan gerakan merekapun dahsyat.

Se Jit Kong yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatnya, mempergunakan kelincahan gerakannya untuk mengelak, berloncatan menyelinap di antara gulungan sinar rantai dan golok. Namun, dia tidak membalas kepada dua orang yang lain, karena perhatiannya dia tujukan kepada si botak pendek untuk melaksanakan ancamannya. Dia harus menghancurkan mulut yang telah berani menghina isterinya itu!

Setelah lewat belasan jurus dikeroyok tiga orang yang berjuluk Tiga Ular Tanpa Tanding itu. Se Jit Kong melihat kesempatan baik. Ketika kedua ujung rantai yang dipasangi pisau itu menyambar kepadanya dengan berbareng, satu dari atas dan satu lagi dari samping, dia tidak mengelak melainkan menyambut kedua batang pisau yang amat tajam berkilauan itu dengan kedua tangannya.

Dia berhasil menangkap dan mencengkeram kedua batang pisau itu, menangkap rantainya dan sebelum si botak tahu apa yang terjadi, kedua lengannya telah terbelit rantai dan tubuhnya terangkat dari atas tanah lalu diputar-putar menyambut golok kedua orang saudaranya. Tentu saja dua orang itu, terkejut dan menarik kembali golok mereka, bahkan meloncat ke belakang karena khawatir kalau golok mereka akan melukai saudara sendiri.

Se Jit Kong menghentikan putaran tubuh si pendek botak yang kedua lengannya telah terbelit rantai, menurunkannya dan sekali dia menggerakkan tangan kiri, jari-jari tangannya yang panjang dan besar, yang kuat bagaikan baja mentah, sudah menampar ke arah mulut si botak.

"Prakkk.....!"

Tubuh si botak terpelanting dan diapun roboh dengan muka mandi darah karena mulutnya telah remuk. Tulang rahang berikut semua giginya hancur dan biarpun dia tidak akan tewas dengan luka itu, namun sukar dibayangkan bagaimana dia akan mampu bicara dan bagaimana pula dia akan mengirim makanan ke dalam perutnya!

Se Jit Kong selalu teringat akan janjinya kepada isterinya, maka ketika tangannya menampar tadi, dia membatasi tenaganya agar jangan membikin hancur kepala botak itu.

Melihat betapa si botak itu roboh dengan muka bagian bawah remuk, tentu saja duabelas orang lainnya menjadi marah sekali. Bu-tek Kiam-mo yang memimpin gerombolan itu segera mengeluarkan bentakan dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian bersama rekan-rekannya dia lalu mengepung Se Jit Kong yang berdiri dcngan tenang dan tegak di tengah-tengah, tanpa memegang senjata apapun.

Biarpun demikian, dia tetap waspada karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian para pengepungnya ini samasekali tidak boleh disamakan dengan kepandaian limabelas orang Kasak yang dibunuhnya baru-baru ini ketika dia merampas barang berharga dari kafilah itu. Kini yang mengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar.

Sin Wan yang menonton perkelahian itu, memandang dengan hati bangga dan kagum. Biarpun dia sendiri berwatak lembut dan ibunya selalu menekankan bahwa mempergunakan kekerasan untuk melukai, apa lagi membunuh orang lain, merupakan perbuatan yang jahat dan tidak baik, namun kini melihat ayahnya dikeroyok dan ayahnya menghadapi orang-orang yang jahat itu, dia merasa bangga. Apa lagi ketika melihat ayahnya bergerak sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya tak nampak lagi. Yang nampak hanya bayangan berkelebatan di antara sambaran banyak senjata, kemudian terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para pengeroyok seorang demi seorang.

Dalam waktu tidak lebih dari setengah jam, tigabelas orang tokoh sesat yang terkenal di dunia kang-ouw itu telah roboh semua. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tewas. Ada yang patah tulang pundaknya, patah tulang kaki atau lengan, ada yang bocor kepalanya, ada yang pingsan, akan tetapi tidak ada yang tewas.

"Cap-sha-kwi, dengar baik-baik. Kalian harus berterima kasih kepada isteriku, karena kalau tidak ada dia, kalian sekarang sudah menjadi bangkai semua! Nah, pergilah dan jangan injak lagi daerah ini!"

Bu-tek Kiam-mo sendiri hanya patah tulang pundak kanannya. Dia masih dapat berjalan dan menggerakkan lengan kiri. Karena maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan mampu menyerang lagi, dia lalu memimpin kawan-kawannya untuk saling bantu dan dengan terpincang-pincang, ada yang memapah kawan, ada pula yang menggotong teman yang pingsan, mereka meninggalkan kota Yin-ning diikuti sorak dan ejekan dari para penghuni Kota yang tadi sempat menyaksikan pertempuran di pekarangan rumab Si Tangan Api itu.

Sin Wan lari ke dalam menemui ibunya di dapur. Dengan gembira dia menceritakan kepada ibunya betapa ayahnya dengan gagah perkasa berhasil mengusir tigabelas orang kasar itu.

"Ayah hebat sekali, ibu," kata Sin Wan. "Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan mereka semua bersenjata, sedangkan ayah yang dikeroyok tidak memegang senjata. Namun, mereka semua roboh dengan luka-luka. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang dibunuh ayah."

Ibunya mengangguk, akan tetapi wajahnya tidak kelihatan gembira. Bagaimana ia akan dapat menikmati hidup tenteram kalau setelah pindah begini jauh, masih saja suaminya didatangi orang-orang yang memusuhinya? Semua ini adalah akibat cara hidup suaminya yang lalu, cara hidup yang penuh kekerasan, penuh perkelahian dan permusuhan.

"Sin Wan, kuharap kelak setelah dewasa, engkau tidak mempunyai banyak musuh seperti ayahmu."

"Aku tidak suka bermusuhan, ibu, akan tetapi di dunia ini banyak orang jahat. Kalau aku diserang orang, seperti tadi, tentu aku harus membela diri. Ayah tadipun hanya membela diri. Orang-orang itulah yang datang mencari perkara dan menyerang ayah."

Wanita itu diam-diam mengeluh dalam hatinya. Puteranya itu tidak tahu orang apa sebenarnya ayahnya itu. Sin Wan tidak tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk besar dunia sesat yang terkenal amat kejam dan tidak pantang melakukan kejahatan bagaimanapun juga. Dia hanya tahu bahwa ayahnya seorang yang sakti, memiliki banyak ilmu yang dahsyat, dan bahwa ayahnya amat mencinta ibunya dan amat sayang kepadanya!

"Sudahlah. Sin Wan, Aku sedang sibuk masak, dan aku tidak ingin bicara tentang perkelahian itu."

Sin Wan meninggalkan dapur dan mencari ayahnya. Se Jit Kong berada di kamarnya dan sedang mengagumi benda-benda yang dikeluarkan dari dalam sebuah peti hitam besar. Ketika Sin Wan memasuki kamar, dia menoleh dan tersenyum. "Masuklah, dan mari kau lihat benda-benda pusaka ini, Sin Wan. Benda-benda ini tak ternilai harganya!"

Benda-benda itu ada yang indah, ada yang aneh pula bagi Sin Wan. Ada patung Dewi Kwan-Im yang amat indah, terbuat dari gading terukir halus. Ada pula mainan dari batu giok yang juga diukir indah sekali, berbentuk naga, ada pula yang seperti bentuk burung Hong. Juga terdapat dua batang pedang. Yang sebuah memiliki sarung dan gagang yang terbuat dari pada mas terukir indah sekali, bahkan sarung dan gagang itu dihias intan permata yang berkilauan. Akan tetapi ada pula sebatang pedang yang sarungnya terbuat dari kulit yang kasar, dan gagangnya juga sederhana sekali.

"Sudah pergikah semua orang kasar tadi, ayah?" Sin Wan bertanya sambil duduk di kursi dekat ayahnya, mengamati benda-benda indah dan aneh itu.

"Ha ha ha, engkau melihat mereka tadi? Dan engkau sudah menghalau serangan hui-to (pisau terbang), ya? Bagus! Mereka sudah kuusir pergi, pencoleng-pencoleng cilik tak tahu diri itu. Kalau bukan ibumu yang melarangku, tentu mereka semua itu sudah kubunuh!"

"Mengapa mereka itu datang memusuhi ayah?"

"Tikus-tikus tak tahu diri itu ingin merampas benda-benda pusaka ini, Sin Wan."

Kini perhatian Sin Wan tertarik kepada benda-benda itu. Memang ada yang indah, banyak yang aneh, akan tetapi mengapa orang-orang datang memusuhi ayahnya untuk merampas benda-benda ini?

"Apa sih hebatnya benda-benda ini sampai mereka datang hendak merampasnya darimu?"

"Ha ha ha ha, anak bodoh! Kau tahu, semua orang kang-ouw siap mempertaruhkan nyawa untuk dapat memiliki sebuah saja dari benda-benda pusaka ini!"

"Hemmm, alangkah anehnya," Sin Wan memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. "Memang ada yang indah menarik, akan tetapi seperti pedang ini, apa sih bagusnya? Sebuah pedang yang sarungnya butut, gagangnya juga kasar, seperti pisau dapur saja. Kenapa ayah menyimpan pedang macam ini?"

"Ha ha ha ha, engkau tidak tahu, anakku. Bagiku, di antara semua benda pusaka ini, yang paling bernilai adalah pedang butut yang kau remehkan itul"

"Ah, benarkah itu, ayah? Boleh aku mencabut dan melihatnya?"

"Lakukanlah. Tidak banyak orang di dunia, ini yang pernah melihatnya, dan seluruh pendekar di dunia ini ingin sekali mendapat kesempatan untuk melihatnya."

Dengan hati tertarik sekali Sin Wan lalu menghunus pedang yang gagangnya dan sarungnya butut itu. Dia menduga bahwa biarpun sarung dan gagangnya butut, tentu pedang yang dianggap sebagai pusaka amat bernilai oleh ayahnya itu tentu merupakan pedang yang amat baik, tajam dan berkilauan, terbuat dari pada baja terbaik. Akan tetapi, setelah pedang itu dia hunus, Sin Wan mengerutkan alisnya dan hatinya kecewa.

Pedang itu sama sekali tidak menarik, bukan saja buatannya kasar seperti tempaan yang belum jadi, akan tetapi juga pedang itu tidak tajam dan tidak runcing. Pedang yang tumpul! Warnanya gelap kehijauan seperti pedang dari semacam batu karang yang warnanya hijau saja. Dan pedang itupun tidak panjang, merupakan pedang pendek yang tumpul dan tidak menarik!

"Aih, ayah mempermainkan aku! Pedang ini hanyalah pedang yang belum jadi, tumpul dan jelek, bagaimana ayah sampai memuji-mujinya seperti itu?"

"Ha ha ha ha, engkau tidak tahu, Sin Wan! Pedang ini terbuat dari pada Batu Dewa Hijau, dan tidak ada senjata di dunia ini yang mampu mengalahkan keampuhannya! Pedang ini mempunyai kisah yang amat menarik, Sin Wan, dan kalau engkau sudah tahu riwayatnya, tentu akan kau hargai pula sebagai sebuah pusaka yang langka dan ampuh."

Sin Wan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya dan memasukkan ke dalam peti. "Ayah, ceritakanlah kisah itu, aku ingin sekali tahu riwayatnya."

"Kau tahu, kurang lebih seratus tahun yang lalu, pedang ini adalah milik Kaisar Jenghis Khan, pendiri dari Kerajaan Goan-tiauw yang baru saja jatuh. Dan jatuhnya Dinasti Mongol itupun sebagian gara-gara tidak menghargai pusaka ini!"

Tentu saja Sin Wan menjadi semakin tertarik. Dia memang suka sekali membaca atau mendengar riwayat-riwayat kuno yang menarik.

"Ketika Jenghis Khan belum menjadi kaisar, dia telah menemukan batu mustika yang disebut Batu Dewa Hijau atau Batu Asmara, dan batu bintang itu lalu dibikin menjadi sebatang pedang yang diberi nama Pedang Asmara. Semenjak memiliki pedang itu, bintangnya terus menjadi terang sampai akhirnya dia berhasil menjadi kaisar. Walaupun pedang itu pernah lepas dari tangannya, terjatuh ke tangan orang jahat, namun akhirnya dapat kembali kepadanya sehingga dinasti Mongol menjadi semakin jaya. Akan tetapi, keturunan Jenghis Khan tidak dapat menghargai pedang yang bernama Pedang Asmara itu karena mereka menganggap pedang itu melemahkan, membuat orang menjadi budak nafsu asmara.

Pedang itu lalu dibawa ke seorang pembuat pedang yang paling ahli di seluruh daratan Cina, dan akhirnya, dengan susah payah pedang itu dilebur lagi dan dihilangkan sarinya yang mempunyai pengaruh berahi pada pemiliknya. Akhirnya, sisa leburan itu dibuat lagi dan menjadi pedang ini. Tidak bisa ditajamkan dan diruncingkan saking kerasnya. Karena buruk, pedang ini tidak dihargai dan hanya menjadi penghuni gudang pusaka saja. Nah, bukankah menarik sekali riwayatnya?"

Sin Wan mengangguk-angguk. Memang amat menarik dan entah bagaimana, dia merasa kasihan dan sayang kepada pedang yang seolah disia-siakan itu. Dia juga tidak bertanya dari mana ayahnya memperoleh pedang yang tadinya milik Kaisar Jenghis Khan yang amat terkenal dalam sejarah yang pernah dibacanya itu. Baginya, ayahnya adalah seorang sakti dan tidak aneh kalau benda-benda pusaka yang ampuh dan amat besar nilainya itu terjatuh ke tangan ayahnya.

                              0ooo0

Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, tiga orang pria memasuki pekarangan rumah Se Jit Kong. Mereka itu bukan lain adalah Tiga Dewa, Ciu-sian Tong Kui, Kiam-sian Louw Sun, dan Pek-mau-sian Thio Ki. Kemarin mereka bertemu dengan rombongan Cap-sha-kwi dan dari rombongan inilah mereka mendapat kepastian babwa orang yang mereka cari, yaitu Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong memang benar berada di Yin-ning.

Setelah memperoleh keterangan ini, Tiga Dewa mempercepat perjalanan menuju ke kota Yin-ning dan pada pagi hari itu, mereka bertiga memasuki pekarangan rumah datuk yang mereka cari-cari selama hampir setahun ini.

Kepada seorang pelayan yang sedang menyapu pekarangan, mereka bertanya dengan sikap halus apakah tuan rumah berada di rumah, dan kalau ada, mereka minta agar pelayan itu memberitahukan majikannya tentang kedatangan mereka. Karena sikap tiga orang itu lembut, si pelayan tidak menaruh curiga.

Sikap mereka ini tidak seperti sikap tigabelas orang yang datang tiga hari yang lalu. Pelayan itu lalu memberi laporan ke

dalam. Akan tetapi, pada saat itu Se Jit Kong sedang bersamadhi, maka dia memberi laporan kepada nyonya majikannya.

"Nyonya, di depan ada tiga orang tamu yang ingin bertemu dengan tuan majikan," kata pelayan itu.

Ju Bi Ta mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak. "Mereka siapakah?"

Pelayan itu menggeleng kepala. "Mereka tidak memberitahukan nama, akan tetapi mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua yang bersikap ramah dan lembut, dan pakaian mereka seperti pakaian pendeta atau pertapa."

"Tuan majikan sedang bersamadhi, aku tidak berani mengganggunya. Biar kutemui mereka," kata Ju Bi Ta.

Sin Wan yang juga berada di situ segera bangkit dan menemani ibunya. Ketika mereka tiba di luar, mereka melihat tiga orang

berpakaian tosu (pendeta Agama To) berdiri di luar pintu. Tiga orang itu begitu melihat yang muncul seorang wanita cantik dan seorang anak laki-laki, segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk.

"Nyonya muda, harap maafkan kami bertiga kalau kami mengganggu nyonya dengan kedatangan kami," kata Pek-mau-sian Thio Ki yang menjadi juru bicara mereka karena dia yang paling pandai bicara, juga sikapnya halus dan sopan, tidak seperti Ciu-sian yang biarpun pandai bicara pula, namun ugal-ugalan dan terbuka.

Melihat sikap mereka yang sopan, Ju Bi Ta juga membalas penghormatan mereka.

"Tidak mengapa, akan tetapi siapakah sam-wi to-tiang (bapak pendeta bertiga) dan ada keperluan apakah dengan kami?"

"Kami datang berkunjung untuk bertemu dengan saudara Se Jit Kong karena kami mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan dia. Adapun saya bernama Thio Ki, dua orang saudara ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami datang dari jauh, dari timur, dari kota raja Nan-king." kata pula Dewa Rambut Putih.

"Hemm, apakah sam-wi (anda bertiga) datang untuk merampas benda-benda pusaka milik ayah ?" tiba-tiba Sin Wan bertanya dengan suara lantang dan terlambatlah ibunya untuk mencegah dia mengajukan pertanyaan yang dianggapnya tidak sopan itu.

"Ha ha ha ha, anak baik. Apakah engkau putera Se Jit Kong?"

"Benar, aku puteranya, namaku Sin Wan." kata anak itu dengan tabah. "Kalau sam-wi datang untuk merampas pusaka, lebih baik sam-wi segera pergi lagi saja, jangan sampai dihajar oleh ayahku seperti tigabelas orang tempo hari."

"Ha ha ha ha, sungguh hebat. Engkau jujur dan juga lembut, menyenangkan sekali, Sin Wan. Anak baik, apakah kau lihat kami bertiga ini seperti perampok-perampok?" kata pula Dewa Arak sambil tersenyum lebar, perutnya yang gendut terguncang dan mukanya menjadi semakin merah dan cerah.

Sin Wan memandang wajah si gendut itu, juga wajahnya yang penuh tawa dan nampak gembira dan lucu. "Terus terang saja, totiang (bapak pendeta), kalau melihat totiang ini bukan seperti perampok, lebih mirip seperti seorang pemabok."

"Sin Wan ......!" ibunya menegur lagi. Heran ia mengapa puteranya yang biasanya lembut itu kini nampak seperti orang yang tidak sabaran. Hal ini ditimbulkan karena peristiwa tiga hari yang lain.

"Wah, ha ha ha! Engkau ini kecil-kecil sudah pandai melihat sampai ke dasarnya! Memang aku pemabok, memang aku tukang minum arak, ha ha!" kata pula Ciu-sian Tong Kai sambil tertawa bergelak. Suara ketawanya yang lepas itu setengah disengaja, mengandung khi-kang sehingga suaranya bergema sampai ke dalam rumah.

Akalnya ini berhasil. Suara ketawa yang amat nyaring ttu menyusup sampai ke dalam kamar dan ke dalam telinga Se Jit Kong, menggugahnya dari samadhi. Se Jit Kong mengerutkan alisnya, merasa terganggu oleh suara tawa bergelak itu dan diapun tahu bahwa kembali ada orang yang datang hendak mengganggunya. Mukanya menjadi kemerahan dan dia pun segera bangkit, berganti pakaian baru dan keluar dari dalam kamar, langsung menuju keluar.

Dan begitu melihat pria tinggi besar yang gagah perkasa itu keluar. Tiga Dewa yang belum pernah berjumpa dengan Si Tangan Api itu, segera memberi hormat kepadanya. "Hemm, apa yang terjadi di sini ?" tanya Se Jit Kong tanpa memperdulikan penghormatan yang diberikan tiga orang tosu itu. Dia tidak membalas penghormatan mereka dan mengajukan pertanyaan yang mengandung teguran itu. Isterinya berkata dengan nada lembut dan menyabarkan.

"Tiga orang totiang ini datang dari timur, dari Nan-king dan mereka mempunyai urusan untuk dibicarakan denganmu. Harap kau sambut tamu-tamu jauh ini dengan baik-baik."

Se Jit Kong mengerutkan alisnya dan mengangguk. Hatinya masih mendongkol karena merasa terganggu, akan tetapi diam-diam dia, terkejut juga mendengar bahwa mereka datang dari Nan-king, dan segera dia dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka ini ada hubungannya dengan benda-benda pusaka yang dicurinya dari gedung pusaka kaisar di Nan-king.

"Aku tidak mengenal sam-wi (anda bertiga) ......." katanya dengan setengah hati.

"Ayah, mereka bilang tidak datang sebagai perampok yang hendak merampas benda-benda pusaka milik ayah," tiba-tiba Sin Wan berkata.

"Sebaiknya kalau ada urusan dibicarakan di dalam Sam-wi to-tiang, mari silakan masuk ke ruangan tamu," kata Ju Bi Ta dengan sikap ramah.

Tiga orang tosu itu memandang kepada tuan rumah. "Terima kasih, nyonya, kami suka sekali kalau saja sicu (orang gagah) Se Jit Kong memperbolehkan," kata Thio Ki ragu-ragu. "Hemm, isteriku sudah mempersilakan kalian masuk, kenapa masih bertanya lagi? Masuklah dan cepat ceritakan apa maksud kedatangan kalian."

Tiga orang tosu itu mengikuti tuan dan nyonya rumah memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri depan. Ruangan yang cukup luas, di mana terdapat meja kursi yang nyaman.

Ji Bi Ta sengaja tidak meninggalkan suaminya sekali ini, karena ia tidak ingin suaminya membuat ribut dan perkelahian lagi. Ia merasa yakin bahwa kalau ada terjadi keributan, hanya ia seoranglah yang akan mampu mengendalikan suaminya dan mencegah terjadinya keributan. Karena ia tetap di ruangan tamu, Sin Wan juga mendapatkan kesempatan untuk ikut pula hadir dan mendengarkan. Dan biarpun Se Jit Kong merasa tidak senang dengan kehadiran isteri dan puteranya, dia tidak berani mengusir isterinya dan kemarahannya dia tumpahkan kepada tiga orang tamunya.

"Nah, cepat bicara. Siapa kalian dan mau apa kalian mencariku!" katanya ketus.

Sikap Se Jit Kong ini berwibawa sekali, dan biasanya para calon lawannya sudah merasa gentar dibuatnya, seperti wibawa seekor harimau kalau mengaum dan dengan wibawa auman itu sudah mampu melumpuhkan korbannya. Akan tetapi, tiga orang tosu itu nampak tenang saja.

Dewa Arak bersikap acuh, memandang ke sekeliling seperti mengagumi keindahan hiasan ruangan Itu, lalu mengambil guci arak yang diselipkan di gendongannya dan mengguncangnya untuk mengetahui isinya. Diteguknya arak dari mulut guci dan wajahnya nampak gembira sekali seperti menikmati araknya yang sedap. Si Dewa Pedang nampak tenang, menatap wajah tuan rumah dan diam saja, karena seperti juga Dewa Arak, dia menyerahkan pembicaraan kepada rekannya, yaitu Dewa Rambut Putih.

Jilid 2

PEK-MAU-SIAN THIO Ki tersenyum ramah. "Sicu (orang gagah), maafkan kalau kunjungan kami mengganggu. Saya bernama Thio Ki, dan kedua orang teman saya ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami bertiga datang berkunjung dengan dua tugas."

"Aku tidak mengenal kalian, tidak mempunyai urusan dengan kalian. Persetan dengan tugas kalian, tidak ada sangkut pautnya dengan aku!" Se Jit Kong memotong dengan ketus pula.

"Justeru kedua tugas kami ini mempunyai hubungan erat denganmu, sicu, sebagai akibat dari apa yang telah sicu lakukan."

Sepasang mata yang seperti mata harimau itu berkilat. Tak salah dugaannya, mereka ini tentu datang karena urusan pusaka-pusaka dari istana! Marahlah dia dan kalau saja di situ tidak ada isterinya, tentu sudah diterjangnya tiga orang itu tanpa banyak peraturan lagi. Akan tetapi, ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya memandang kepadanya dan dalam pandang mata itu seperti dilihatnya isterinya menggeleng kepala melarang dia membuat keributan.

"Perduli apa kalian dengan apa yang kulakukan? Cepat katakan, apa urusan itu, tidak perlu bicara berbelit-belit seperti nenek-nenek yang bawel!" bentaknya.

"Heh-heh, Dewa Rambut Putih, menghadapi seorang kasar seperti Se Jit Kong ini, percuma engkau menggunakan segala macam tata-susila. Katakan saja dengan singkat dan padat apa yang menjadi keperluan kita!" Si Dewa Arak mencela sambil tertawa.

Pek-mau-sian Thio Ki juga memperlebar senyumnya dan seperti seorang yang kegerahan, dia membuka kipasnya dan mengipasi tubuh bagian leher. Pada hal, sesungguhnya dia bukan hanya mengipas untuk mencari angin, melainkan gerakan itu disertai kekuatan batin untuk menolak sihir yang diam-diam dilancarkan oleh Se Jit Kong untuk menyerangnya.

Tuan rumah ahli silat dan ahli sihir itu ingin memaksanya bicara menurut kehendak hati Se Jit Kong yang tidak ingin mereka bicara sesukanya di depan isterinya! Se Jit Kong merasa betapa kekuatan sihirnya buyar seperti asap yang disambar angin dari kipas.

"Hayo bicara, jangan seperti kanak-kanak!" bentaknya semakin penasaran dan marah.

"Dengarlah baik-baik, Se Jit Kong. Tugas kami yang pertama merupakan tugas yang kami terima dari Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, dan inilah tanda kekuasaan yang diberikan kepada kami."

Dewa Rambut Putih mengeluarkan sebuah tek-pai (bambu tanda kuasa) dan memperlihatkannya kepada Se Jit Kong yang memandang sambil lalu saja.

Dewa Rambut Putih menyimpan kembali tek-pai itu di saku bajunya.

"Adapun tugas itu adalah untuk mencari dan merampas kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana. Maka kami datang berkunjung dan minta kepada sicu untuk menyerahkan benda-benda pusaka itu kepada kami."

Ju Bi Ta memandang kepada suaminya dengan kedua mata terbelalak.

"Ya Allah! Engkau mencuri pusaka dari istana kaisar? Kalau benar, kembalikan barang-barang haram itu!"

Se Jit Kong memandang kepada isterinya dan sungguh aneh, ketika dia bicara, lenyap semua kekerasannya dan suaranya terdengar lembut.

"Ju Bi Ta, harap engkau tidak mencampuri urusan ini." Cepat dia menoleh kepada tiga orang tamunya. "Cepat katakan, apa tugas kedua agar aku dapat segera memberi keputusan dan jawaban!"

Si Dewa Rambut Putih Thio Ki memandang dengan wajah cerah. Datuk besar yang amat jahat ini ternyata mempunyai kelemahan yang sama sekali tidak disangkanya, yaitu takut dan tunduk kepada isterinya yang muda dan cantik! Mungkin kelemahan datuk ini akan membuat tugas mereka semakin mudah dan ringan, kalau bisa bahkan tanpa kekerasan!

"Tugas kedua datang dari para ketua partai persilatan, di antaranya dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang minta bantuan kepada kami untuk mengundangmu menghadiri pertemuan yang akan mereka adakan, di mana sicu diminta untuk mempertanggung jawabkan kematian dan terlukanya banyak tokoh mereka."

Se Jit Kong mengepal kedua tangannya, mukanya menjadi merah sekali dan matanya seperti memancarkan api, bahkan kedua tangannya perlahan-lahan berubah menjadi merah seperti baja membara dan mengepulkan uap putih! Akan tetapi, begitu melirik kepada isterinya, kemarahannya menurun seperti api yang tidak mendapat udara, akan tetapi suaranya masih ketus ketika dia berkata kepada tiga orang tamunya.

"Untuk kedua urusan itu, jawabanku hanya satu. Benda-benda pusaka itu kudapatkan dengan kepandaian. Kalau kalian ingin mendapatkannya, kalian harus mampu merampasnya dariku! Dan kedua, kalau kalian ingin membawa aku ke timur, kalian harus mampu meringkusku. Pendeknya, kalian bertiga harus dapat mengalahkan aku!"

"Heh, heh, sudah kuduga. Berurusan dengan datuk sesat tak mungkin menggunakan cara damai," kata pula Dewa Arak dan tiga orang tosu itu sudah bangkit berdiri. Juga Se Jit Kong bangkit berdiri.

"Aku tidak menghendaki kalian membikin ribut di dalam rumah ini!" kata Ju Bi Ta dengan suara mengandung kekhawatiran.

Sedangkan Sin Wan hanya memandang saja. Diam-diam dia terkejut mendengar bahwa ayahnya telah mencuri benda-benda pusaka dari istana kaisar. Kini tahulah dia bahwa benda-benda pusaka yang demikian dibanggakan ayahnya itu adalah barang-barang curian.

Pada hal, ibunya selalu mengharamkan barang curian! Tentu hal itu dilakukan di luar tahu ibunya. Dan ayahnya telah membunuh dan melukai para tokoh partai-parta persilatan besar sehingga kini mereka mengutus tiga orang tosu ini untuk menangkap ayahnya.

Pek-mau-sian Thio Ki menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Se Jit Kong. Terpaksa kami menuruti keinginanmu dan kami akan mengalahkanmu agar engkau suka mengembalikan pusaka-pusaka istana itu dan ikut dengan kami menghadap para pimpinan partai persilatan. Akan tetapi, kami menghormati isterimu dan kami tidak ingin membikin ribut di rumah ini, bahkan tidak ingin membikin ribut di kota ini. Kami akan menantimu di luar kota sebelah timur. Kami percaya bahwa Si Tangan Api bukan seorang pengecut yang melanggar janji dan melarikan diri."

Dia memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Mereka memberi hormat kepada tuan rumah dan isterinya, kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar dari rumah dan terus keluar dari kota itu pula, berhenti menanti di luar kota sebelah timur yang sunyi.

"Biar kubereskan mereka. Aku pergi takkan lama." kata Se Jit Kong kepada isterinya dan diapun melangkah pergi.

"Se Jit Kong, jangan bunuh mereka!" Ju Bi Ta berseru dan suaminya berhenti, menengok dan mengangguk, kemudian sekali berkelebat diapun lenyap.

"Ibu, aku ingin nonton pertandlngan itu," kata Sin Wan yang ingin sekali melihat bagaimana ayahnya akan melawan tiga orang tosu itu.

"Jangan, Sin Wan. Untuk apa nonton orang berkelahi? Berkelahi merupakan perbuatan jahat. Di antara sesama manusia harus saling mengasihi, bukan saling bermusuhan. Bermusuhan dan berkelahi hanya pekerjaan Iblis."

Sin Wan merasa kecewa sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ibunya. Dia selalu taat kepada ibunya, seperti juga ayahnya. Hanya bedanya, kalau dia mentaati Ibunya karena dia sayang dan kasihan kepada ibunya, tidak ingin menyebabkan hati ibunya, sedangkan Se Jit Kong taat kepada isterinya karena takut isterinya marah kepadanya.

"Ibu, kalau ibu tidak berada di sana, bagaimana kalau nanti ayah lupa diri dan membunuh tiga orang tosu yang kelihatan sopan dan baik itu?" tiba-tiba Sin Wan berkata.

"Ah, engkau benar juga! Mari kita melihat ke sana, aku harus mencegah ayahmu melakukan pembunuhan lagi!" Ju Bi Ta menggandeng tangan puteranya dan Sin Wan diam-diam tersenyum girang. Mereka berjalan secepatnya menuju ke timur, keluar dari kota Yin-ning.

"Tosu-tosu lancang, sombong dan busuk. Apakah kalian sudah bosan hidup? Tidak tahukah kalian siapa aku?"

Kini, setelah seorang diri saja berhadapan dengan tiga orang tosu itu, Se Jit Kong menumpahkan seluruh kemarahannya. Isterinya tidak ada iagi di situ untuk mengendalikannya.

"Heh ... heh ... heh, Se Jit Kong. Tentu saja kami tahu benar siapa engkau. Engkau adalah Se Jit Kong, peranakan Uigur yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, akan tetapi menjadi hamba iblis dan tidak pantang melakukan segala macam kejahatan demi mencari nama besar dan harta kekayaan. Engkau berjuluk Si Tangan Api, Iblis Tangan Api karena engkau memiliki ilmu yang membuat kedua tanganmu mengandung panasnya api. Engkau telah mengacau di timur, membunuh banyak tokoh pendekar, mengalahkan para pimpinan partai persilatan, mengaduk-aduk dunia persilatan dengan kekejaman dan kecongkakanmu," kata Ciu-sian Tong Kui.

"Engkaupun ahli pedang yang sukar dikalahkan. Entah berapa ratus orang roboh oleh tangan dan pedangmu. Entah berapa banyak darah yang telah diminum pedangmu. Engkau bukan manusia, melainkan ibiis sendiri, karena itu engkau harus bertanggung jawab terhadap para pimpinan partai-partai persilatan besar," kata Kiam-sian Louw Sun.

"Se Jit Kong, engkau menggunakan sihir untuk mencuri pusaka dari gudang pusaka istana. Engkau berdosa besar, bukan saja terhadap kaisar, akan tetapi juga terhadap negara dan bangsa. Baru saja Kaisar Thai-cu telah membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mongol. Sepatutnya kita berterima kasih dan bergembira. Akan tetapi engkau bahkan mengganggu dengan pencurian pusaka. Engkau memang keturunan bangsa biadab yang tidak tahu terima kasih." Pek-mau-Sian Thio Ki yang biasanya halus itupun kini mencela dengan kata-kata yang keras.

Hal ini tidaklah mengherankan. Pemimpin rakyat Cu Goan Ciang yang berasal dari rakyat petani biasa, telah berhasil memberontak terhadap pemerintah Mongol, bahkan kemudian berhasil menghancurkan dan menghalau penjajah Mongol yang telab menguasai Cina selama seratus tahun. Tentu saja Cu Goan Ciang dianggap pahlawan besar ketika dia mendirikan Kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisarnya yang pertama berjuluk Kaisar Thai-cu (1368-1398).

Kini Se Jit Kong yang tertawa bergelak dan suara tawanya itu amat dahsyat, karena bukan saja mengandung tenaga khi-kang yang hebat, juga mengandung kekuatan sihir yang membuat tiga orang tosu itu harus mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) mereka untuk melindungi diri agar tidak terpengaruh.

"Ha-ha-ha, kalian tiga orang tosu jahanam. Sudah tahu betapa semua pimpinan partai persilatan besar tidak ada yang mampu menandingiku, dan kalian tiga orang tosu tak ternama berani mencariku sampai ke sini? Ha-ha-ha, kalau mencari mampus, kenapa susah-susah dan jauh-jauh sampai ke sini?"

Tentu saja Se Jit Kong tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan tiga orang sakti yang selama puluhan tahun memang tidak pernah muncul di dunia persilatan sehingga ketika dia merajalela di timur, dia tidak pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi, dia merasa terkejut juga ketika melihat betapa tiga orang tosu itu tenang-tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat tadi. Pada hal, tidak banyak orang yang akan mampu bertahan, baik terhadap pengaruh khi-kang maupun ilmu sihir yang terkandung dalam tawanya tadi.

"Se Jit Kong, ketahuilah bahwa kami tidak biasa dan tidak suka membunuh orang. Oleh karena itu, mari kita membuat perjanjian. Kalau kami kalah bertanding denganmu, terserah kepadamu mau diapakan kami ini. Kalau engkau hendak membunuh kamipun terserah. Kami tahu akan resiko tugas kami. Akan tetapi, kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan kembali semua pusaka istana, dan engkau harus dengan suka rela mengikuti kami untuk menghadap para pimpinan partai persilatan." kata Pek-mau-sian Thio Ki.

"Bagus! Kalian memang sudah bosan hidup. Nah, kalian hendak main satu demi satu atau dengan keroyokan? Bagiku sama saja!" Ucapan ini saja sudah menunjukkan watak yang takbur dari datuk itu, akan tetapi di balik itu juga mengandung kecerdikan, karena ucapan itu, kalau diterima oleh orang-orang yang merasa diri mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu akan mendatangkan rasa malu dan tidak enak untuk maju bersama dan melakukan. pengeroyokan.

"Kami bukan orang-orang pengecut yang suka melakukan pengeroyokan, Se Jit Kong," jawab Dewa Rambut Putih. "Kami mendengar bahwa engkau memiliki tiga ilmu yang hebat. Pertama ilmu silat tangan kosong, gin-kang dan sin-kang yang sukar dicari bandingnya. Kedua, engkau ahli pedang yang hebat pula. Dan ketiga, engkau memiliki Ilmu sihir yang kuat. Nah, kau akan kami imbangi dengan ilmu-ilmu itu. Pertama, engkau akan ditandingi Dewa Arak dalam ilmu silat tangan kosong. Kedua, engkau akan dihadapi Dewa Pedang dalam ilmu pedang, dan terakhir, aku sendiri yang akan mencoba kekuatan sihirmu.

"Bagaimana pendapatmu ? Kalau dua orang di antara kita kalah, biarlah kami mengaku kalah."

Tentu saja syarat ini amat menguntungkan bagi Se Jit Kong. Dia tidak dikeroyok, dan kalau dapat mengalahkan dua orang, biarpun andaikata yang seorang menang, dia tetap keluar sebagai pemenang.

"Bagus! Nah, majulah kau, tosu pemabok! Aku akan membuat perut gendutmu menjadi kempis!" ejeknya sambil menghadapi Ciu-sian Tong Kui.

"Heh-heh-heh, perut ini berisi hawa arak, bagaimana engkau akan mampu membikin kempis tanpa terkena gasnya? Heh .. heh .. heh!" Biarpun dia membadut, namun Dewa Arak tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang amat lihai dan licik.

Benar saja, belum habis dia tertawa, tubuh tinggi besar itu telah menyerangnya secara curang dan dahsyat sekali. Kalau saja dia lengah dan belum siap, siaga, setidaknya serangan itu tentu akan membuat Dewa Arak kelabakan! Namun, dia telah siap siaga dan dengan cepat kakinya bergeser secara aneh dan cepat sekali, dan dia telah berhasil menghindarkan diri dari terkaman lawan, bahkan sambil memutar tubuh dia membalas dengan totokan ke arah lambung lawan. Se Jit Kong menangkis sambil mengerahkan sin-kang untuk mematahkan tulang lengan lawan, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan sin-kang lawannya yang gerakannya aneh dan seperti ugal-ugalan itu. Dewa Arak justeru mengharapkan tangkisannya karena diapun ingin mengadu sin-kang. Bukankah mereka berdua memang bertanding mengadu sin-kang dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh ) sambil menguji pula ilmu silat tangan kosong masing-masing?

"Dukkkk!!!"

Keduanya terdorong ke belakang. Se Jit Kong terdorong sampai tiga langkah, sedangkan Dewa Arak terdorong mundur dua langkah. Dari akibat adu tenaga ini saja sudah dapat diketahui bahwa Dewa Arak masih lebih kuat sedikit! Tentu saja Se Jit Kong menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawan yang cacingan perutnya ini memiliki tenaga yang demikian kuatnya.

Dia tidak tahu bahwa Ciu-sian Tong Kui adalah seorang ahli sin-kang yang telah menguasai Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi)! Dia mangeluarkan teriakan marah dan kini dia mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk menyerang lawan. Gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar.

Namun, kembali Dewa Arak mengeluarkan suara tawanya yang nyaring dan diapun mengimbangi dengan gerakan kaki yang berloncatan, bergeseran dan semua serangan lawan dapat dielakkannya. Kalau gerakan lawan amat cepat, gerakannya sendiri amat aneh, seolah-olah setiap gerakan kaki yang bergeser ke sana sini dan berloncatan itu seperti sepasang kaki burung yang amat lincahnya. Dan memang si gendut ini menguasai ilmu meringankan tubuh atau ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-niauw-poan-soan (Burung Terbang Berputaran).

Pada saat itu, Ju Bi Ta dan Sin Wan sudah berada tak jauh dari situ, menjadi penonton pertandingan Hanya mereka berdualah yang menjadi penonton karena tempat itu sepi dan tidak ada orang lain yang berada disitu. Ju Bi Ta sengaja berdiri di tempat terbuka agar suaminya dapat melihatnya, karena dia ingin agar suaminya tahu akan kehadirannya sehingga suaminya tidak akan bertindak keterlaluan, tldak akan melakukan pembunuhan seperti yang telah dipesannya tadi.

Dan memang Se Jit Kong tentu saja sudah melihat kehadiran isterinya dan puteranya. Hal ini membuat dia kurang leluasa bergerak. Biasanya, kalau bertanding, apa lagi melawan seorang yang demikian lihainya, dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membunuh lawan. Akan tetapi sekarang, isterinya hadir dan tadi isterinya berpesan agar dia tidak membunuh tiga orang tosu itu!

Hal ini membuat serangannya tidak begitu ganas. Dia hanya ingin merobohkan dan mengalahkan lawan, tidak mau membunuhnya karena kalau hal ini terjadi, isterinya tentu akan marah. Sejak dia memperisteri Ju Bi Ta, dia begitu sayang kepada isterinya. Dia merasa amat berbahagia kalau isterinya bersikap manis kepadanya, akan tetapi sorga berubah menjadi neraka baginya kalau isterinya marah dan tidak menyambutnya dengan manis.

Setiap orang pria yang normal, siapapun dia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, dari kaisar sampai buruh kecil, yang sudah dewasa, pasti mempunyai suatu kerinduan akan seorang wanita yang dapat dicintanya sepenuh hati. Seorang wanita yang akan membangkitkan kejantanannya, yang akan berbahagia oleh cintanya, seperti tanah subur bagi benih cintanya yang akan bersemi dan tumbuh dengan suburnya.

Pria akan selalu merasa bangga kalau ada wanita yang menghargai cintanya, membuat dia merasa jantan, perkasa dan mampu membahagiakan wanita. Demikian pula dengan Se Jit Kong. Biarpun dia seorang datuk besar kaum sesat, diapun seorang pria normal. Sudah kerap kali dia menikah, namun selalu pernikahannya gagal, walaupun kegagalan ini disebabkan oleh wataknya sendiri yang kasar dan kejam.

Akan tetapi, sejak dia memperisteri Ju Bi Ta kurang lebih sebelas tahun yang lalu, atau sepuluh tahun lebih, dia benar-benar menemukan seorang wanita yang memenuhi segala keinginannya. Karena itu, diapun takut akan kehilangan sikap isterinya, dan ini membuat dia menjadi taat karena takut kalau isterinya marah kepadanya.

Tentu saja keadaan Se Jit Kong yang demikian itu menguntungkan Dewa Arak. Memang ilmu silat tangan kosong, ilmu meringankan tubuh dan tenaga sakti mereka berimbang, atau Dewa Arak lebih menang sedikit. Kini dengan hadirnya Ju Bi Ta yang membuat Se Jit Kong tidak leluasa bergerak, membuat Dewa Arak lebih unggul.

Akan tetapi sebaliknya, Dewa Arak juga tidak ingin membunuh datuk besar itu. Biarpun dia seorang yang berwatak riang gembira dan ugal-ugalan seperti orang yang selalu mabuk arak, namun dia adalah seorang pertapa yang sudah melepaskan nafsu-nafsunya, terutama sekali nafsu ingin menang dan nafsu membenci dan ingin mencelakai orang lain. Dia tidak mau membunuh, bahkan kalau bisa hanya menangkan pertandingan itu tanpa membuat lawan terluka parah.

Limapuluh jurus telah lewat dan pertandingan tangan kosong itu masih berlangsung semakin seru dan hebat. Biarpun mereka berdiri agak jauh. Ju Bi Ta dan Sin Wan dapat merasakan sambaran angin pukulan yang membuat ranting-ranting pohon dl sekeliling tempat itu seperti diamuk angin kuat, bahkan daun-daun kering yang berserakan di bawah beterbangan ketika dua pasang kaki itu bergerak dan berloncatan dengan amat cepatnya!

Sukar bagi Ju Bi Ta untuk membedakan mana suaminya dan mana orang lain dari dua bayangan yang berkelebatan itu.

Sin Wan yang sejak berusia lima tahun sudah digembleng ilmu oleh ayahnya, sudah dilatih siu-lian (samadhi) sehingga memiliki ketajaman pandangan, biarpun dapat mengikuti gerakan mereka, tetap saja dia tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Gerakan mereka terlalu cepat.

Akan tetapi diam-diam Se Jit Kong mengeluh. Kedua lengannya sudah berubah merah seperti baja membara, dan dia sudah mengeluarkan ilmu silatnya, namun lawannya sungguh tangguh. Lengannya yang mengandung hawa panas membakar itu bertemu dengan sepasang lengan yang kadang keras, kadang lunak. akan tetapl selalu dingin dan tidak terbakar oleh tangan apinya!

Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, andaikata dia tidak kalahpun dia akan kebabisan tenaga, pada hal dia masih harus bertanding melawan dua orang lagi yang tentu juga amat lihai seperti Si Dewa Arak ini. Mulailah dia ragu-ragu.

Dewa Arak melihat keraguannya ini dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengerahkan llmu gin-kangnya dan kakinya bergeser aneh ke depan, bahkan seolah hendak menerima tamparan tangan kanan Se Jit Kong yang melayang dari atas ke arah kepalanya. Namun, secepat kilat tubuhnya menyelinap ke bawah dan tiba-tiba Se Jit Kong terhuyung ke belakang karena lambungnya telah didorong oleh telapak tangan Dewa Arak.

Kalau Dewa Arak menghendaki, dorongan itu dapat saja menjadi pukulan maut yang akan merusak isi perut lawan. Akan tetapi dia hanya mendorong, membuat lawan terhuyung untuk membuktikan bahwa dia menang dalam pertandingan itu.

Akan tetapi Se Jit Kong bukanlah orang yang mau mengaku kalah begitu saja. Bahkan selama hidupnya, dia belum pernah mengaku kalah! Sejak dia berguru kepada seorang pertapa sakti di India, dia merasa dirinya tak terkalahkan, bahkan dia tidak pernah mau percaya bahwa dia dapat dikalahkan!

Kesombongan merupakan penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar, paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita ini hanya alat!

Seluruh tubuh dan hati akal pikiran ini hanya untuk hidup sebagai manusia, alat yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni diri kita. Akan tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya rendah sehingga kita dibawa menyeleweng.

Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa, diambil alih oleh nafsu, diperalat oleh nafsu sehingga apapun yang dilakukan tubuh dan hati akal pikiran, selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya rendah atau setan selalu mengejar kesenangan, memperalat dan menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri, kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.

Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kita itu hanya alat-alat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka akan sirnalah semua kepandaian yang kita banggakan semula!

Demikianpun kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat. Padahal, tubuhpun hanya alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh, kekuatan yang dibanggakan itupun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan!

Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan membisikkan kesombongan kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang. yang sadar akan hal inl, tidak akan berani memuji diri sendiri yang hanya alat, melainkan memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberi semua itu kepada kita sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Esa!

Karena merasa terdesak, sebelum dia dirobohkan, Se Jit Kong sudah meloncat lagi dan kini tangannya memegang sebatang pedang terhunus yang mengeluarkan sinar berkilauan. saking tajamnya. Itulah Gin-kong-pokiam (Pedang Pusaka Sinar Perak), sebuah di antara benda pusaka yang dicurinya dari gudang pusaka istana.

"Tranggg....l" Sebatang pedang lain menangkis pedang bersinar perak yang menyambar ke arah Dewa Arak. Ternyata Dewa Pedang telah meloncat dan menangkis pedang yang menyambar ke arah rekannya itu. Kini, Dewa Pedang dan Se Jit Kong berhadapan, dengan pedang di tangan. Pedang di tangan Dewa Pedang juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Pedang ltupun sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari).

"Heh .. heh .. heh, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong, engkau sudah kalah dalam pertandingan pertama denganku! Lihat saja baju lambungmu," kata Dewa Arak yang sudah meloncat jauh ke belakang, mengambil guci araknya dan minum arak dari gucinya beberapa teguk.

Se Jit Kong maklum akan kebenaran ucapan itu dan dia tidak mau lagi melirik ke arah baju di lambungnya yang berlubang sebesar telapak tangan lawan. Diapun maklum bahwa kalau Dewa Arak menghendaki, tentu bukan hanya bajunya yang berlubang, melainkan lambungnya dan tentu dia telah tewas.

Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang itu, hanya diam-diam dia merasa heran mengapa ada orang setolol itu, mendapat kesempatan baik tidak mau mempergunakannya! Karena merasa kalau dalam pertandingan pertama, dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memenangkan dua pertandingan yang lain.

Dia merasa yakin akan menang karena dia memiliki ilmu pedang yang hebat, campuran dari ilmu pedang Bangsa Kazak yang ahli bertempur itu, dan ilmu pedang dari India. Dia telah mengolah ilmu-ilmu yang dikuasai itu menjadi ilmu pedang yang ampuh sekali, yang. selama ini belum terkalahkan.

Biarpun ketika dia mengadu ilmu pedang dengan tokoh Kun-lun-pai, kemudian tokoh Bu-tong-pai, dia tidak dapat menang dan hanya dapat mengimbangi ilmu pedang lawan, namun diapun tidak dikalahkan. Dan dia menang dalam perkelahian itu dengan bantuan ilmu sihirnya dan ilmu pukulan Tangan Api.

"Hyaaaatttt ......!"

Dia mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia sudah kalah dalam pertandingan pertama, kini Se Jit Kong melupakan pesan isterinya, lupa bahwa isterinya berada tak jauh dari situ menjadi penonton. Dia tidak perduli lagi karena kalau dia tidak mampu menang berarti dia kalah dan dia harus menepati janjinya.

Menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu tidak begitu besar artinya bagi dia, akan tetapi kalau dia menyerah untuk ditangkap dan dibawa ke timur hal, itu sungguh merupakan penghinaan besar dan juga belum tentu para tokoh partai persilatan itu akan suka memaafkannya. Dia pasti akan dihukum mati oleh mereka. Oleh karena itu, dia harus memenangkan dua pertandingan berikutnya dan dia akan mamaksakan kemenangan itu, kalau. perlu membunuh lawannya!

Dari gerakan serangan itu tahulah Kiam-sian Louw Sun bahwa lawannya nekat dan mengirim serangan maut. Maka, diapun memutar Jit-kong�kiam untuk melindungi tubuhnya, kemudian membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Dua orang ahli pedang itu segera terlibat dalam pertandingan yang lebih menegangkan dari pada tadi, karena kini dua pedang itu berkelebatan, lenyap bentuknya menjadi gulungan dua sinar yang menyilaukan mata, saling belit dan merupakan kilat yang membawa maut.

Ilmu pedang yang dimainkan Se Jit Kong memang aneh sekali dan juga amat berbahaya, Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang ahli pedang yang sakti, yang bahkan mempunyai julukan Dewa Pedang. Dari julukan ini saja mudah diketahui bahwa tentu Dewa Pedang memiliki ilmu pedang yang sudah mencapai tingkat yang amat tlnggi.

Apalagi pedang di tangan tosu yang sakti itupun merupakan pedang pusaka ampuh. Kalau Se Jit Kong tidak memegang pedang pusaka dari gudang istana kaisar, pedang lain tentu akan mudah patah kalau bertemu dengan Jit-kong-kiam.

llmu pedang yang dimainkan Dewa Pedang itu selain cepat, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dapat menekan, membelit dan menempel. Itulah Ilmu pedang Jit-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang cahaya Matahari) yang selama ini belum terkalahkan.

Dua orang itu memang setingkat. Pedang mereka sama-sama kuat dan ampuh sebagai pedang pusaka pilihan. Ilmu pedang mereka pun dahsyat dan aneh, sedangkan dalam hal tenaga, merekapun seimbang. Sampai seratus jurus lebih, belum juga ada yang nampak kalah atau menang.

Mereka saling serang sambil mengerahkan segala kemampuan mereka. Sinar pedang menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing dan kadang bercuitan dan daun-daun pohon di dekat mereka berhamburan seperti disayat-sayat.

Sejak tadi, Ju Bi Ta dan Sin Wan melihat pertandingan dengan hati tegang. Sin Wan mulai merasa khawatir. Tiga orang yang menjadi lawan ayahnya itu, walaupun tidak main keroyokan seperti belasan orang beberapa hari yang lalu, namun masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah oleh ayahnya.

Tadipun ketika selesai bertanding tangan kosong dengan tosu berperut gendut, dia melihat betapa baju ayahnya di bagian lambung berlubang sebesar telapak tangan. Dia mengerti bahwa hal itu menjadi pertanda bahwa ayahnya teiah kalah, dan diapun kagum bahwa si pemenang itu tidak membunuh ayahnya, bahkan melukainya. pun. tidak. Dan kini, orang kedua dapat memainkan pedang sedemikian cepatnya, mengimbangi permainan ayahnya.

Se Jit Kong mulai merasa lelah. Uap putih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya dan napasnya mulai terengah-engah. Tentu saja daya tahannya kalah dibandingkan Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun adalah seorang pertapa yang sejak duapuluhan tahun hidup bersih, tubuhnya tidak terlalu diperalat nafsu sehingga tubuhnya menjadi kuat, tidak seperti Se Jit Kong yang hidupnya bergelimang nafsu.

Karena dia merasa lelah sedangkan lawannya masih nampak segar. Se Jit Kong tahu bahwa kalau dilanjutkan. akhirnya dia kalah karena kehabisan napas dan tenaga. Maka, diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, matanya mencorong tajam dan tiba-tiba dia membentak dengan suaranya yang mengandung kekuatan sihir.

"Robohlah kau .........!!"

Kiam-sian Louw Sun terkejut sekali karena tiba-tlba tubuhnya seperti terdorong kuat dan biarpun dia sudah mempertahankan diri, tetap saja dia terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang jatuh kalau saja tidak dengan cepatnya Pek-mau-sian Thio Ki menangkap lengannya.

"Tangan Api, engkau kembali menggunakan kecurangan! Engkau bertanding pedang dengan Dewa Pedang, bukan bertanding sihir. Kalau engkau hendak memamerkan ilmu sihirmu, akulah lawanmu. Dalam hal ilmu pedang, engkaupun tadi kalah, buktinya engkau hampir putus napas dan kau menggunakan ilmu sihir dengan curang!" tegur Dewa Rambut Putih.

Dalam keadaan terhimpit Se Jit Kong berusaha untuk mencapai kemenangan dengan satu kali pukulan. Dia mengerahkan seluruh tenaga ilmu sihirnya, matanya mencorong, tubuhnya menggigil dan dia membentangkan kedua lengan lalu berkata dengan suara yang lantang dan menggetar, "Kalian semua belum mengenal siapa aku! Lihatlah baik-baik, aku adalah Naga Api yang datang untuk membasmi kalian semua!!"

Dia memekik, suara pekikannya melengking nyaring menggetarkan seluruh orang yang berada di situ. Sin Wan yang belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu, terkejut dan ketika dia memandang dengan penuh perhatian, dia terbelalak. Ayahnya telah lenyap dan di tempat dia berdiri tadi nampak seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.

Naga itu sebesar orang dewasa, dan panjangnya puluhan kaki! Matanya mencorong, lidahnya yang terjulur keluar itu seperti api membara dan dari mulutnya keluar api bernyala-nyala bercampur asap, juga dari hidungnya keluar api. Sungguh merupakan mahluk yang mengerikan sekali. Naga Api!

Ketika dia menoleh kepada ibunya, agaknya ibunya juga melihatnya, akan tetapi ibunya tidak nampak heran, hanya ngeri dan takut. Melihat ibunya ketakutan, Sin Wan lalu memegang tangan ibunya dan merasa betapa jari-jari tangan ibunya mencengkeram tangannya dan tangan ibunya itu amat dingin.

Dewa Arak dan Dewa Pedang sudah duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang melakukan samadhi. Mereka mengerahkan tenaga dan batin agar tidak terpengaruh dan terseret oleh ilmu sihir yang kuat itu, dan dengan memejamkan mata mereka melawan getaran sihir. Akan tetapi, Dewa Rambut Putih berdiri berhadapan dengan Se Jit Kong yang sudah "berubah" menjadi naga api itu.

"Ha-ha-ha, Se Jit Kong, permainan kanak-kanak ini tidak ada artinya bagiku!"

Dewa Rambut Putih lalu mengeluarkan sulingnya dan dia meniup sulingnya. Terdengar lengking suara yang turun naik, terdengar aneh dan mengandung getaran kuat sekali.

Sin Wan memandang dengan mata terbelalak, dan biarpun hatinya tegang, namun dia ingin tahu kelanjutannya bagaimana terjadinya pertandlngan adu ilmu sihir yang aneh ini.

Naga Api itu menggereng-gereng dan suara suling melengking-lengking. Akan tetapi, gerengan naga api itu semakin lemah dan akhirnya, nampak asap mengepul dan lenyaplah naga jadi-jadian itu, dan nampak tubuh Se Jit Kong. Suara sulingpun terhenti dan muka Se Jit Kong menjadi merah sekali saking marahnya.

"Pek-mau-sian, aku atau engkau yang mampus!" bentaknya dan dia mengangkat pedangnya tlnggi-tinggi di atas kepala, mulutnya berkemak kemik dan dia berseru lantang, "Pek-mau-sian, nagaku ini akan membunuhmu!" Dan dia melontarkan pedang itu ke atas.

Terdengar suara keras seperti ledakan dan pedang itu lenyap, berubah menjadi seekor naga lagi, walaupun tidak begitu menyeramkan seperti naga api tadi, namun naga ini bergerak dengan lincahnya seperti burung terbang dan berputaran di atas, seperti sedang mengintai korban.

Melihat ini, Pek-mau-sian Thio Ki tertawa lagi. "Udara jernih menjadi keruh, langit terang menjadi gelap, munculnya naga jadi-jadian yang jahat perlu diberantas!"

Ucapannya terdengar seperti bernyanyi dan diapun melontarkan serulingnya ke atas. Terdengar lengkingan suara meninggi dan suling itupun berubah bentuknya menjadi seekor naga putih kekuningan seperti warna suling bambu itu. Kedua naga itu bertemu di udara dan terjadilah pertandingan dan pergulatan yang hebat.

Namun, tidak lama, karena terdengar suara Pek-mau-sian lantang.

"Pedang curian harus kembali ke pemiliknya!" Dan kedua "naga" itupun meluncur ke bawah, ke arah Dewa Rambut Putih dan lenyap berubah menjadi suling dan pedang yang kini berada di kedua tangan tosu itu.

Wajah Se Jit Kong menjadi pucat. Dia maklum bahwa dalam ilmu sihirpun dia tidak mampu menandingi Pek-mau-sian Thio Ki.

Dalam ilmu pedang dia kewalahan melawan Kiam-sian Louw Sun, dan dalam ilmu silat tangan kosong dan tenaga sin-kang, diapun terdesak oleh Ciu-sian Tong Kui. Tiga orang lawan itu memang tangguh sekali dan kalau dilanjutkanpun akhirnya dia akan mendapat malu dan akan roboh.

Dia mencabut sebatang pisau dari pinggangnya. Melihat ini, tiga orang tosu yang kesemuanya sudah bangkit berdiri itu siap siaga, mengira bahwa Se Jit Kong akan mengamuk dan melawan mati-matian. Akan tetapi Se Jit Kong memandang kepada mereka penuh kebencian dan suaranya terdengar kaku penuh kemarahan.

"Sam Sian (Tiga Dewa), kalian sudah mampu menandingi dan mengalahkan aku, akan tetapi jangan harap aku akan sudi mengembalikan benda-benda pusaka itu dan menyerah untuk kalian tangkap. Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang boleh membuat aku menyerah dan memaksaku! Ha .. ha ... ha .. ha!"

Sambil tertawa bergelak, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong lalu menggerakkan pisau itu. Tiga orang tosu terbelalak keget. Mereka tidak mengira sama sekall bahwa Tangan Api itu akan mengambil keputusan demikian nekad. Pisau itu, di tangan ahli Se Jit Kong, telah menyelinap di bawah tulang iga dan langsung menembus jantungnya sendiri! Dia masih tertawa bergelak ketika roboh dengan mata terbelalak dan begitu suara tawanya terhenti, diapun sudah menghembuskan napas terakhir!!

"Ayaaaahhhh .......!" Sin Wan menjerit dan lari menghampiri tubuh ayahnya yang menggeletak telentang tak bernyawa lagi itu.

"Ayah ........! Ayah .....!" Dia menubruk dan merangkul tubuh yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat itu. Dia tidak perduli tangan dan bajunya terkena darah yang bercucuran keluar dari lambung ayahnya.

Setelah mengguncang-guncang tubuh ayahnya dan memanggil-manggil akan tetapi ayahnya tetap tak bergerak, mati dengan mata melotot, Sin Wan maklum bahwa ayahnya telah tewas. Dengan terisak dia lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk menutup kedua pelupuk mata yang terbelalak itu sehingga sepasang mata itu kini terpejam. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi tiga orang tosu yang memandang dengan sikap tenang.

"Kalian .... tiga orang pendeta yang kelihatannya saja alim dan baik, akan tetapi kalian telah membunuh ayahku! Aku bersumpah kelak aku akan ......."

"Sin Wan, diam kau .......!!" Tiba-tiba ibunya membentak dan ternyata ibunya telah berada di sisinya. Sin Wan tidak melanjutkan ucapan sumpahnya yang hendak membalas dendam, dan dia menoleh kepada ibunya, lalu merangkul pinggang ibunya.

"Ibuuuu....... ayah telah tewas .....!" isaknya.

"Aku tahu, anakku."

"Ayah telah dibunuh oleh tiga orang jahat itu ......."

"Hushh, diam kau, Sin Wan. Bukan mereka yang membunuh. Ayahmu bunuh diri, kita juga melihatnya tadi."

"Tapi, dia bunuh diri karena tersudut oleh mereka, ibu. Kenapa ibu tidak menyalahkan mereka, dan tidak membela ayah?"

"Sin Wan, ayahmu tewas karena ulahnya sendiri ......"

Wanita itu lalu berlutut dan menggunakan kedua tangan untuk mencabut pisau yang masih menancap di lambung suaminya. Pisau itu berlumuran darah, akan tetapi kini tidak banyak lagi darah mengucur keluar dari luka di lambung.

"Ibuuu ........!"

Sin Wan berseru kaget melihat ibunya mencabut pisau yang berlumuran darah, dan dia melihat ibunya bercucuran air mata, menangis. Diapun merasa terharu dan sedih, mengira ibunya menangisi kematian ayahnya.

"Ibu, ayah mati karena mereka, bagaimana kita tidak menjadi sakit hati? Ibu, jangan menangis, kelak anakmu yang akan ...."

"Husssh, Sin Wan, jangan blcara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya. "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."

Sepasang mata anak itu terbelalak. "Ibu ..... Apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan menyayangku, dan ibupun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian ayahku?"

"Sin Wan, dia ini bukan ayahmu."

"Heeeii .....! Ibu ....! Apa ....... apa maksudmu?" Wajah anak itu berubah pucat dan dia memandang ibunya dengan mata terbelalak. Tiga orang tosu itupun saling pandang dan mereka diam saja, hanya kini mereka duduk bersila, untuk memulihkan tenaga dan juga, untuk tidak mengganggu ibu dan anak itu.

"Sin Wan, anakku, sekaranglah saatnya ibumu membuka semua rahasia ini, di depan jenazah Se Jit Kong ini. Dengarkan baik-baik dan ingat semua kata-kataku, anakku. Sepuluh tahun lebih yang lalu, ketika itu usiaku baru delapanbelas tahun, namaku Jubaidah dan aku hidup berbahagia di samping suamiku yang baru setahun lebih menjadi suamiku. Suamiku. bernama Abdullah dan dia putera seorang kepala dusun di perkampungan bangsa kita, yaitu bangsa Uigur. Ketika itu, engkau telah berada di dalam kandunganku, Sin Wan, berumur tiga empat bulan."

"Aahhhhh ....., jadi ayahku ..... ayah kandungku, yang bernama Abdullah itu .......?" Suara Sin Wan berbisik lirih dan dia menoleh ke arah wajah Se Jit Kong, orang yang selama ini dianggap ayahnya, "Mendiang Abdullah, anakku. Pada suatu hari, Se Jit Kong ini datang ke dusun kami dan dia .... dia menginginkan diriku, dia membunuh ayah kandungmu, mendiang Abdullah suamiku itu ........."

"Ya Tuhan .......!!" Sin Wan menjadi lemas, wajahnya semakin pucat dan matanya seperti tidak bersinar lagi mengamati wajah Se Jit Kong. Orang yang menyayangnya dan disayangnya seperti ayah ini kiranya bahkan pembunuh ayah kandungnya!

"Tenanglah Sin Wan. Engkau harus mendengarkan penuh perhatian dan ingat baik-baik semua keteranganku ini. Suamiku, Abdullah dibunuh oleh Se Jit Kong ini, dan aku diculiknya. Aku adalah seorang wanita beragama yang taat. Aku sudah bersuami dan biarpun suamiku tewas, aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada pria lain, apalagi kalau pria itu pembunuh suamiku. Menurut suara hatiku, semestinya aku membunuh diri pada saat suamiku dibunuh itu. Akan tetapi, semoga Tuhan mengampuni aku, aku .... aku tidak tega karena engkau berada di dalam perutku, anakku. Kalau aku bunuh diri, berarti aku membunuhmu pula. Aku ingin engkau terlahir dan hidup, anakku. Aku ingin engkau menjadi saksi tunggal bahwa aku sama sekali bukan wanita yang begitu saja mudah melupakan suami dan menyeleweng dengan penyerahan diri kepada pria lain ......"

Wanita itu memejamkan mata dan menahan agar tangisnya tidak datang lagi.

Sin Wan tidak mengeluarkan suara, hanya memegang tangan ibunya, menggenggam tangan itu seolah memberi kekuatan kepada ibunya. Tangan kiri ibunya dingin sekali, sedangkan tangan kanan wanita itu masih memegang gagang pisau yang berlumuran darah Se Jit Kong.

Agaknya sentuhan tangan puteranya memberi kekuatan kepada Ju Bi Ta atau Jubaidah ini dan ia melanjutkan bicaranya.

"Dia ini memaksaku menjadi isterinya. Dia tidak memaksa dengan kekerasan, melainkan membujuk dengan lembut dan dia nampaknya amat sayang kepadaku. Aku lalu menyerah, akan tetapi, demi Tuhan, semua ini kulakukan untuk menyelamatkan anak dalam kandunganku. Aku menyerah dengan syarat bahwa dia harus menanti sampai anak dalam kandungan terlahir, kemudian syarat kedua adalah bahwa dia harus menganggap anakku seperti anak sendiri, menyayangnya, dan kalau sampai kelak dia melanggar Janji, aku akan membunuh diri. Dan dia ..... ya Tuhan ampunkan hamba, dia begitu sayang kepadaku, dia memenuhi semua permintaanku, tak pernah melanggar syarat-syaratku. Setelah engkau terlahir, dia begitu sayang kepadamu dan akan merasa benar bahwa dia amat cinta padaku. Maka, terpaksa sekali, walaupun di dalam hati aku menangis dan mohon ampun dan pengertian dari mendiang suamiku, aku menyerah dan menjadi isterinya ......."

Kembali wanita ini menghentikan ceritanya, berulang kali menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan. Sin Wan memandang bingung. Dia belum cukup dewasa untuk dapat menyelami keadaan ibunya, menjadi bingung dan tidak dapat mempertimbangkan baik buruknya keadaan itu.

"Akan tetapi, betapapun besar cintanya kepadaku dan sayangnya kepadamu, bagaimana aku dapat mencinta seorang seperti dia, anakku? Bukan saja dia telah membunuh suamiku dan menculikku, akan tetapi dia ..... ohh, dia jahat sekali. Dia seorang datuk besar dunia hitam, dia tidak pantang melakukan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Hanya satu yang tidak pernah dia lakukan, yaitu mengganggu wanita setelah dia mempunyai aku sebagai isterinya. Hal inipun karena permintaanku. Aku berulangkali membujuk, namun dia melakukan segala macam kejahatan secara diam-diam, di luar pengetahuanku. Bahkan kabarnya dia menjadi jagoan nomor satu dengan mengalahkan semua tokoh di timur. Dia jahat sekali, anakku, ahh, bagaimana mungkin aku dapat membalas cintanya? Aku hanya ingin mati, akan tetapi, aku khawatir bahwa kalau aku mati dia lalu bersikap jahat terhadap dirimu. Aku harus menjagamu ..... dan untuk melindungimu, aku rela menderita lahir batin ........"

"Ibu ......!" Sin Wan kini merangkul ibunya, dapat merasakan benar betapa besar pengorbanan ibunya terhadap dirinya.

"Akhirnya aku dapat membujuk dia untuk kembali ke barat sini. Aku tidak tahu bahwa dia telah mencuri benda-benda pusaka dari istana. Aku hanya Ingin agar engkau menjadi remaja dan cukup kuat untuk meninggalkan dia, melarikan diri dan selamat dari jangkauannya. Aku baru mau mati kalau engkau benar-benar terbebas dari tangannya, Sin Wan. Dan sekarang, karena ulahnya sendiri, akhirnya dia tewas. Kita bebas, Sin Wan. Engkau bebas, tidak terancam bahaya lagi, dan aku bebas ...... aku bebas menebus dosaku selama ini, aku bebas untuk pergi menyusul suamiku, untuk mengadukan semua ini kepadanya. Ya Allah, ampunilah dosa hamba ....... Abdullah suamiku, tunggulah aku ........."

Tiba�tiba saja wanita itu lalu menggunakan pisau yang masih berlumuran darah itu untuk menusuk dadanya sendiri sekuat tenaga.

"Ibuuuuuu ......!" Sin Wan menjerit dan menangkap tangan ibunya, akan tetapi karena tadinya dia tidak menduga sama sekali bahwa ibunya akan senekad itu, dia lerlambat. Pisau itu sudah menancap di dada ibunya, sampai ke gagang dan ibunya terkulai datam rangkulannya, mandi darah. "Ibuuu ....... ibuuuu ...... ya Allah, tolonglah ibu ...... " Sin Wan meratap dan menangis,

Wanita itu membuka mata, dan senyum lemah menghias bibir yang pucat, kedua tangannya bergerak lemah ke atas, mengusap air mata dari pipi Sin Wan.

"Sin Wan ...... anakku ..... biarkan ibumu menebus dosa ....... engkau berjanjilah ....... akan menjadi mamusia yang baik ..... taat kepada Allah ..... tidak jahat, jangan seperti Se Jit Kong ....." Suaranya semakin lemah sehingga berbisik-bisik.

Di antara tangis sesenggukan, Sin Wan mengangguk ..... "aku ...... berjanji ........, ibu ........" Kemudian, melihat ibunya

terkulai lemas dia pun menjerit dan pingsan di atas dada ibunya.

Tiga orang tosu yang duduk bersila itu membuka mata mereka. Pek-mau-sian Thio Ki, Si Dewa Rambut Putih, menghela napas panjang dan diapun bersanjak dengan suara lembut.

"Sependek suka

sepanjang duka

sejumput manis

setumpuk pahit

ada gelap ada terang

ada senang ada susah

yang tidak mengejar kesenangan

takkan bertemu kesusahan!"

Tiga orang tosu itu lalu menyadarkan Sin Wan, dan membantu anak itu mengangkat jenazah Se Jit Kong dan Ju Bi Ta, dibawa ke rumah keluarga mereka. Kepada para tetangga, tiga orang tosu itu mewakill Sin Wan untuk memberitahu bahwa kematian suami isteri itu karena terbunuh musuh yang tidak mereka ketahui siapa.

Dua buah peti mati Itu berada di ruang depan, namun terpisah jauh, seperti yang dikehendaki Sin Wan. Peti mati Se Jit Kong berada di sudut kiri ruangan itu, sedangkan peti jenazah Ju Bi Ta berada di sudut kanan. Sin Wan berlutut di depan peti mati ibunya, kadang menangis lirih, kadang termenung Seperti kehilangan semangat. Hanya karena peringatan dari tiga orang tosu yang membantunya mengurus jenazah. Sin Wan memaksa diri untuk membalas penghormatan para pengunjung, yaitu para tetangga yang memberi hormat terakhir kepada suami isterl yang tewas secara aneh itu. Mereka hanya mendengar bahwa suami isteri itu tewas di tangan musuh mereka, akan tetapi mereka tidak tahu siapa musuh itu dan merekapun tidak ingin mencampuri urusan itu.

Setelah yang datang melayat berkumpul, dua peti jenazah lalu diangkut ke tempat pemakaman. Juga atas permintaan yang sangat dari Sin Wan, dua peti jenazah itu dikubur secara terpisah pula, di kedua ujung yang berlawanan dari tanah pekuburan itu. Para pelayat pulang meninggalkan dua gundukan tanah kuburan yang baru, dan yang tinggal kini hanya Sin Wan bersama tiga orang tosu Sam Sian (Tiga Dewa), masih menunggu karena mereka belum selesai dengan tugas mereka.

Mereka belum mengambil kembali benda-benda pusaka, dan mereka menanti sampai Sin Wan selesai berkabung dan sudah tenang kembali.

Sin Wan kini menangis di depan makam ibunya, merasa kesepian, merasa khawatir karena secara tiba-tiba dia dihadapkan dengan kenyataan yang amat pahit. Pertama, melihat ayahnya bunuh diri dan tewas, lalu mendengar keterangan ibunya bahwa orang yang dianggap ayahnya itu sama sekali bukan ayahnya, bahkan seorang datuk penjahat besar yang telah membunuh ayah kandungnya dan memaksa ibu kandungnya menjadi isteri.

Berarti bahwa sebenarnya Se Jit Kong adalah musuh besarnya! Kemudian disusul pula dengan kematian ibunya yang membunuh diri pula. Kini dia kehilangan segalanya! Perubahan mendadak yang membuat anak berusia sepuluh tahun itu menjadi nanar dan gelap, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Suara tangis Sin Wan tidak keras lagi karena dia sudah kehabisan suara dan tenaga, akan tetapi masih sesenggukan dan penuh kesedihan. Makin diingat keadaan dirinya yang sebatang kara di dunia ini, makin pedih hatinya, dan makin mengguguk tangisnya.

Sunyi senyap di tanah kuburan itu. Hanya tangis Sin Wan merupakan satu-satunya suara yang hanyut dalam kesunyian. Bahkan pohon-pohon di sekitar tanah kuburan itu tidak ada yang bergerak. Angin berhenti bertiup, entah sedang beristirahat di mana. Agaknya segala sesuatu ikut pula prihatin melihat duka nestapa yang dltanggung remaja itu. Tiba-tiba suara tangis lirih itu ditimpa suara tawa bergelak. Suara tawa yang lepas dan tidak ditahan-tahan sehingga terdengar janggal karena suasana berkabung itu menurut umum tidak sepantasnya diisi suara tawa sebebas itu!

Aneh sekali mendengar suara tangis yang kini dibarengi suara tawa itu. Dewa Rambut Putih Thio Ki mengerutkan alisnya dan menengok ke arah rekannya, Dewa Arak Tong Kui yang mengeluarkan suara tawa itu.

"Dewa Arak, apa yang kautawakan ini?" tegurnya dengan alis berkerut.

"Ha ... ha ... ha ... ha, apa yang kutawakan ? Dan apa pula yang ditangiskan anak itu? Apa pula yang membuat kalian berdua berwajah demikian serius dan muram? Ha ... ha ... ha, tangis dan tawa sama-sama menggerakkan mulut, kenapa tidak memilih tawa dari pada tangis? Tangis itu tidak sehat dan membuat wajah kelihatan buruk, sebaliknya orang berwajah jelekpun akan menjadi menarik kalau tertawa, juga menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!" Si Dewa Arak tertawa lagi, kemudian meneguk arak dari gucinya.

"Aku mentertawakan semua kepalsuan ini. Kenapa kalau ada kematian lalu ada tangisan? Apa yang ditangisi? Bukankah yang bersangkutan, yang mati malah tidak menangis dan wajahnya nampak tenang dan penuh damai! Sebaliknya, kelahiran disambut tawa gembira, sedangkan yang bersangkutan, begitu terlahir menangisi kelahirannya sampai menjerit-jerit. Ha .. ha .. ha ..!"

Mendengar ucapan itu, seketika Sin Wan berhenti menangis. Semua ucapan itu memasuki benak dan hatinya dan berkesan sekali. Dia memang suka sekali membaca kitab-kitab kuno, sejarah, dongeng dan filsafat, juga pelajaran tentang hidup dalam kitab-kitab agama. Belum pernah dia mendengar orang bicara tentang kematian seperti yang diucapkan Dewa Arak itu, apa lagi mendengar ada orang tertawa-tawa menghadapi kematian, seolah-olah kematian merupakan peristiwa yang menyenangkan, bukan merupakan peristiwa duka. Dia merasa penasaran sekali dan setelah menghentikan tangisnya, dia lalu memandang kepada Dewa Arak.

"Maaf, lo-cianpwe (orang tua gagah). Lo-cianpwe mencela saya menangis. Salahkah saya kalau menangisi kematian ibu saya yang tercinta?' suaranya lantang dan menuntut. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih diam-diam tersenyum. Dewa Arak memang pintar sekali, dapat mengalihkan kesedihan anak itu.

"Ha .. ha .. ha ..ha, kulihat dulu mengapa kau menangis? Coba katakan, mengapa engkau menangis, anak baik? Namamu Sin Wan, bukan? Nah, katakan, Sin Wan, kenapa engkau menangis, maka aku akan tahu apakah tangismu itu wajar ataukah palsu."

"Saya menangis karena ibu saya meninggal dunia, lo-cianpwe. Bukankah itu wajar?"

"Ya, akan tetapi kenapa kalau ibumu mati engkau menangis? Yang kautangisi itu ibumu ataukah dirimu sendiri?"

"Apa ...... apa maksud lo-cianpwe?"

"Katakan saja, bagaimana isi hatlmu. Jenguk isi hatimu dan katakan sebenarnya yang membuat engkau menangis. Karena engkau kehilangan orang yang kausayang? Karena engkau ditinggal seorang diri dan merasa kesepian? Karena meninggalnya orang kau sayang itu mendatangkan kesedihan karena engkau tidak akan menikmati lagi kesenangan dari orang yang meninggal?"

Sin Wan mengerutkan alisnya, berpikir-pikir lalu mengangguk. "Memang demikianlah, lo-cianpwe. Hati siapa yang tidak akan bersedih ditinggal mati ibunya yang tercinta? Apa lagi setelah mendengar bahwa ayah kandung saya telah tiada. Saya hanya hidup berdua dengan ibu, dan sekarang, ibu meninggalkan saya seorang diri."

"Bagus, jadi engkau menangisi keadaan dirimu sendiri, bukan? Nah, itu namanya jawaban jujur. Air matamu itu kaucucurkan karena engkau merasa kehilangan, karena engkau merasa iba kepada diri sendiri. Air mata itu air mata karena iba diri, karenanya air mata seorang yang lemah! Lemah sekali hatinya, cengeng dan penakut!"

Sejak kecil Sin Wan digembleng oleh seorang datuk besar seperti Tangan Api. Biarpun ibu kandungnya selalu menekannya dan mengharuskan dia menjauhi kekerasan, namun bagaimanapun juga, dia digembleng sikap pemberani dan watak gagah seorang ahli silat oleh gurunya yang tadinya dianggap ayahnya sendiri itu.

Kini, dicela sebagai orang yang hatinya lemah, cengeng dan penakut, tentu saja mukanya yang tadinya pucat itu berubah kemerahan, matanya mengeluarkan sinar tajam dan hal ini membuat tiga orang sakti itu memandang dengan wajah berseri.

"Lo-cianpwe, kenapa lo-cianpwe begitu kejam? Lo-cianpwe mengetahui bahwa baru saja saya kehilangan ibu, bahkan kehilangan ayah yang ternyata tak pernah saya lihat itu, kehiiangan segalanya dan lo-cianpwe malah mentertawakan saya. Saya bukan lemah, cengeng apa lagi penakut!"

"Ha .. ha .. ha, bagus sekali!" Dewa Arak itu tertawa. "Aku tidak mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan kepalsuan yang dilakukan oleh sebagian besar orang di dunia ini. Kalau engkau tidak cengeng dan lemah, hapus air matamu dan jangan tenggelam ke dalam iba diri. Dan tidak perlu engkau menangisi ibumu yang sudah tiada. Bahkan kalau bisa tertawalah, tertawa gembira karena ibumu baru saja terbebas dari pada kedukaan hidup. Ingat betapa ibumu menderita lahir batin sejak kematian ayah kandungmu, dan baru sekarang ibumu terbebas dari himpitan penderitaan. Kenapa harus ditangisi?"

"Saya tidak menaagisi kematiannya itu sendiri, melainkan terharu dan kasihan kalau mengenang betapa selama ini ibu telah menderita hebat dan mengorbankan diri karena saya."

"Heii, Dewa arak, apakah engkau masih mabuk?" teriak Dewa Pedang Louw Sun. "Anak itu belum juga dewasa, sudah kau ajak bicara tentang hal-hal yang begitu mendalam. Dia bersedih, itu manusiawi, karena dia manusia yang memiliki perasaan. Tidak seperti engkau yang sudah tidak lumrah lagi. Semua orang di dunia ini kalau kematian menangis, apa salahnya dengan itu? Akan tetapi engkau menganjurkan anak ini agar tertawa-tawa ketika ibunya mati. Apa kau ingin dia dianggap orang gila? Kalau mau gila, engkau sendiri saja, jangan ajak-ajak anak kecil."

"Ha .. ha .. ha, lebih baik mabuk dan bicara secara terbuka dari pada tidak mabuk dan bicaranya selalu palsu, bersembunyi di balik kedok sopan-santun dan peraturan yang pada hakekatnya hanya menonjolkan diri sendiri. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, kalian sendiri bukan orang-orang yang dicengkeram nafsu, kenapa nampak murung seperti orang berduka? Benarkah kalian berduka karena kematian Se Jit Kong dan ibu anak ini? Terharu setelah mendengar pengakuan ibu Sin Wan?"

"Aih, Dewa Arak, bagaimana orang-orang seperti kita masih terpengaruh perasaan hati dan mudah diombang-ambingkan antara suka dan duka? Tidak, Ciu-sian, pinto (aku) tidak murung, tidak berduka, hanya termenung heran mengapa orang-orang seperti mereka ini dengan cepat terbebas dari kurungan, sedangkan kita masih harus terhukum entah untuk berapa lama lagi," Dia menghela napas panjang. Dewa Arak memandang Dewa Pedang yang baru saja bicara itu dengan heran.

"Siancai (damai) ......! Engkau ini tosu (pendeta To) macam apa? Baru sekarang aku mendengar pendeta To bicara sepertl ini! Bukankah biasanya para pendeta To bahkan berlumba mencari obat ajaib untuk membuat kalian berusia panjang sampai seribu tahun atau bahkan tidak akan mati selamanya?"

"Pinto tidak termasuk mereka yang suka berkhayal dan bermimpi yang muluk-muluk. Pinto juga tidak menyesal, hanya merasa heran akan rahasia alam yang amat gaib ini, saudaraku."

"Bagaimana dengan engkau, Dewa Rambut Putih? Engkaupun tidak nampak tersenyum seperti biasanya. Di mana perginya senyum simpulmu yang manis itu? Apakah engkau juga ikut prihatin dan berkabung?" Suara Si Dewa Arak mengandung ejekan.

Pek-mau-sian Thio Ki menggerakkan bibir ke arah senyum, matanya menatap wajah rekannya dengan tajam dan dia menggerakkan telunjuknya menuding muka rekan itu. "Dewa Arak, engkau selalu ugal-ugalan, akan tetapi terbuka hati dan mulutmu. Seperti juga kalian, aku tidak mau terbelenggu nafsu dan perasaan, tidak mau terikat oleh apapun. Aku hanya termenung memikirkan kebodohan wanita itu. Ia telah mengambil jalan sesat. Bagaimana mungkin ia menebus dosa dengan cara membunuh diri? Itu namanya bukan menebus dosa, melainkan menambah dosa menjadi semakin besar lagi!"

Sejak tadi Sin Wan mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Tiga orang tua itu mempunyai pandangan yang aneh-aneh, yang berbeda dengan umum, namun diam-diam dia menemukan kebenaran dalam ucapan mereka yang janggal itu. Akan tetapi. mendengar ucapan Pek-mau-sian Thio Ki, dia merasa terkejut dan penasaran, juga ingin sekali tahu.

"Maaf, lo-cianpwe. Kenapa lo-cianpwe mengatakan bahwa dengan membunuh diri, ibuku berdosa? Bukankah ibuku seorang wanita yang berhati bersih, yang tidak akan sudi diperisteri pembunuh suaminya kalau saja tidak ingin menyelamatkan aku? Setelah aku tidak terancam lagi, ibu menebus semua aib itu dengan membunuh diri, kenapa lo-cianpwe menganggap ia berdosa?"

"Ha .. ha .. ha .. ha!" Dewa Arak tertawa, "Anak baik, aku tidak tahu apakah dia berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang tahu! Akan tetapi aku tahu bahwa ia bodoh. Picik sekali orang yang membunuh diri! Kita tidak mampu menghidupkan, bagaimana boleh mematikan? Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi bunuh diri merupakan kematian yang dipaksakan, karena itu, rohnya akan menjadi penasaran! Bodoh sekali ibumu, Sin Wan, tidak boleh kau. tiru perbuatannya itu."

Sin Wan masih penasaran dan dia menoleh kepada dua orang pendeta yang lain. Dewa Pedang mengelus jenggot dan menggeleng kepala, menarik napas panjang. "Bunuh diri merupakan perbuatan sesat. Bagaimana mungkin persoalan dapat diselesaikan dengan bunuh diri? Bunuh diri adalah perbuatan yang penuh nafsu dan nafsu akan melekat terus merupakan pengganggu yang tiada habisnya selama dalam kehidupan ini kita tidak mampu membebaskan diri dari ikatan dan cengkeraman nafsu, ibumu patut dikasihani, anak baik."

Sin Wan merasa semakin sedih. "Sejak muda sekali, sejak berusia delapanbelas tahun, baru saja setahun mengecap kebahagiaan bersama suaminya, ibumu direnggut dari kebahagiaan dan sejak itu menderita siksaan lahir batin, dan sekarang setelah mati masih menanggung dosa!"

Dia masih penasaran dan menoleh kepada Dewa Rambut Putih yang pertama kali mengatakan bahwa ibunya telah melakukan dosa karena membunuh diri.

"Lo-cianpwe, mendiang ibuku adalah seorang wanita yang saleh, selalu taat kepada Allah, dan juga tak pernah melakukan kejahatan terhadap orang lain. Ia menyerahkan diri kepada pembunuh suaminya dengan hanya satu tujuan mulia, yaitu menyelamatkan nyawa anaknya. Apakah itu dapat dikatakan salah dan dosa?"

Karena anak itu bicara sambil memandang kepadanya, Dewa Rambut Putih tersenyum. "Sin Wan. ibumu telah terjebak ke dalam kekeliruan pendapat yang disilaukan oleh tujuan sehingga ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Tujuannya adalah menyelamatkan anak dalam kandungan, kemudian menyelamatkan anaknya setelah terlahir Memang hal itu merupakan kewajiban seorang ibu, memelihara anaknya! Akan tetapi, baik buruk dan benar salahnya bukan terletak dalam tujuan, melainkan dalam caranya atau pelaksanaannya. Karena silau oleh tujuannya, ia memejamkan mata dan menempuh cara yang tidak selayaknya ia lakukan. Bagaimana mungkin cara yang salah dapat mencapai tujuan yang benar, cara yang kotor dapat mencapai tujuan yang bersih? Cara merupakan pohonnya, dan tujuan merupakan buahnya. Pohon yang buruk, mana dapat menghasilkan buah yang baik?"

Sin Wan tertegun. Ucapan kakek rambut putih ini merupakan tusukan yang paling dalam dan membuka mata hatinya. Kasihan ibunya. Ibunya tidak sengaja melakukan perbuatan yang kotor dan salah. Dia harus sedapat mungkin membela lbunya!

"Akan tetapi, lo-cianpwe, bukankah ibu telah berhasil menyelamatkan aku? Andaikata ibu menolak kehendak pembunuh suaminya, bukankah hal itu berarti ibu membunuh aku pula? Padahal, yang terutama baginya adalah menyelamatkan anaknya!"

"Sian-cai ....! Anak baik, mati hidup berada di tangan Tuhan. Kalau Dia menghendaki engkau mati, siapa yang akan sanggup menyelamatkanmu? Sebaliknya, kalau Dia menghendaki engkau hidup. siapa pula yang akan dapat membunuhmu?"

Kalimat terakhir ini segera disambar dan dipegang oleh Sin Wan sebagai bahan pembelaan terhadap lbunya dan juga hiburan dalam hatinya.

"Kalau begitu, lo-cianpwe, kematian ibuku tentu juga telah dihendaki oleh Tuhan. Benarkah?"

"Tentu saja!" jawab Pek-mau-sian Thio Ki dengan pasti. "Kalau tidak dikehendaki Tuhan, tentu ia tidak akan mati."

"Nah, kalau begitu, ibu tidak berdosa! Ibu hanya melakukan sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan!" kata anak itu dengan nada penuh kemenangan.

Tiga orang pertapa itu saling pandang dan ketiganya lalu tertawa. Sin Wan memandang kepada mereka bergantian dengan heran.

"Mengapa samwi (anda bertiga) tertawa? Apakah aku mengeluarkan kata-kata yang tidak benar?"

"Siancai ...... engkau ini seorang anak yang berpemandangan luas dan memiliki bakat baik untuk mempelaiari ilmu tentang kehidupan, Sin Wan," kata Dewa Pedang. "Tidak keliru memang bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan karena memang Tuhan yang menentukan segalanya. Adapun sikap menyerah dan pasrah kepada Tuhan merupakan sikap yang sudah sepatutnya dilakukan manusia. Akan tetapi, bukan berarti menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa-apa! Bukan berarti mempersekutu Tuhan, atau bahkan menuntut agar Tuhan bekerja demi kepentingan kita! Tuhan menciptakan kita terlahir di dunia ini lengkap dengan semua alat untuk hidup, untuk bekerja, untuk berihtiar mempertahankan hidup, untuk memuja Tuhan melalui segala perbuatan kita. Kalau kita tidak berbuat apa-apa, itu berarti kita melalaikan tugas hidup kita. Karena kita diberi hati akal pikiran, diberi pengertian tentang baik buruk, tentu saja menjadi tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia ini. Berarti kita membantu pekerjaan Tuhan! Bagaimana Tuhan dapat membantu kita kalau kita tidak berusaha membantu diri kita sendiri?"

"Maksud lo-cianpwe?"

"Contohnya, untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu, Tuhan telah menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman pangan untuk kita. Akan tetapi, untuk dapat mempertahankan hidup dengan makan, kita harus mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan setelah itu, tugas kita belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan kalau sudah menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti bagaimana cara yang terbaik untuk mendapatkan makanan, yaitu dengan bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Dalam pelaksanaannya itulah menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja. Kitapun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam mayapada ini, baik yang bergerak maupun yang tidak hidup tumbuh dan bekerja ? Pohonpun tiada hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya. Mengertikah engkau, Sin Wan ?"

Anak itu mengangguk, lalu menundukkan kepalanya. Tiga orang pertapa itu seperti menguak kesadarannya, membuka hatinya dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran yang Dapat dia rasakan. Ibunya telah meninggal. Musuh besarnya juga telah meninggal. Semua itu sudah dikehendaki Tuhan, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ibuku, demikian pikirnya dan teringat akan ajaran ibunya tentang agama Islam, yaitu agama ibunya, diapun menggumam lirih.

"Innalilahi wainna illahi rojiun ......"

"Hemm, apa artinya ucapan itu, Sin Wan?" tanya Pek-mau sian Thio Ki.

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, demikianlah yang diajarkan ibu kepadaku dalam menghadapi kematian."

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan! Ha .. ha .. ha .., bagus sekali itu, Sin Wan!" kata Dewa Arak. "Itu merupakan penyerahan yang mutlak atas kekuasaan Tuhan. Bagus sekali!"

"Siancai, semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan, semua agama mengajarkan bahwa ADA SESUATU YANG MAHA KUASA, yaitu yang kita sebut Tuhan. Sekarang, setelah engkau mengerti, kami ingin mengajak engkau pulang ke rumahmu karena ada sebuah urusan penting yang akan kami bicarakan denganmu, Sin Wan." kata Pek-mau-sian Thio Ki.

Sin Wan memandang kepada pertapa rambut putih itu. "Lo-cianpwe tentu maksudkan benda-benda pusaka yang dicuri .... ayah tiriku dari gudang pusaka istana kaisar itu bukan?"

"Hemm, engkau memang anak yang cerdik," kata Dewa Pedang dengan kagum. "Memang benar, kami adalah utusan dari Sribaginda Kaisar untuk membawa kembali benda-benda pusaka yang dicuri Se Jit Kong itu."

"Sebentar Lo-cianpwe. Aku belum memberi penghormatan terakhir kepada ayah tiriku."

Sin Wan lalu berlari menuju ke makam Se Jit Kong yang berada di ujung yang berlawanan dari tanah kuburan itu, dan dengan sikap hormat dia memberi penghormatan di depan makam itu. Tiga orang tosu mengikutinya dan memandang perbuatan Sin Wan itu dengan sinar mata yang kagum dan mereka mengangguk-angguk.

Setelah selesai, Sin Wan menghadapi mereka. "Mari, sam-wi lo-cianpwe, akan kuserahkan peti terisi benda-benda pusaka itu kepada sam-wi."

Mereka berjalan meninggalkan tanah kuburan, dan karena tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk mengenal isi hati Sin Wan, Dewa Arak lalu bertanya, "Sin Wan, kenapa engkau tadi memberi hormat kepada makam Se Jit Kong? Bukankah dia telah membunuh ayah kandungmu dan juga telah menculik dan memaksa ibumu?"

Sambil melangkah Sin Wan menundukkan kepalanya dan menggelengnya, lalu menjawab, "Aku harus menghormatinya karena aku teringat akan kebaikannya. Dia selalu baik kepadaku, dan kulihat dia baik pula kepada ibuku."

"Ha .. ha .. ha .. ha, engkau sama juga dengan yang lain, Sin Wan, menilai kebaikan dari keadaan lahir saja. Kebaikan macam itu palsu adanya."

"Ehh? Bagaimana lo-cianpwe mengatakan palsu? Aku yang merasakan sendiri dan memang dia amat baik kepada ibu dan aku. Dia lembut dan mentaati ibu, dia menyayangku dan mengajarku dengan sepenuh hati."

"Ha .. ha .. ha, tentu saja! Tentu saja dia baik kepadamu karena dia harus berbaik, kalau tidak, tentu ibumu tidak akan sudi menyerahkan diri kepadanya. Kebaikan macam itu datangnya dari nafsu, hanya merupakan akal-akalan saja karena kebaikan macam itu berpamrih. Itu bukan kebaikan namanya, melainkan cara yang licik untuk mendapatkan hasil sesuatu, ha .. ha .. ha!"

Biarpun masih kecil, Sin Wan sudah membaca banyak macam kitab, maka dia dapat mengerti apa yang menjadi inti ucapan Dewa Arak. Dia menjadi semakin kagum kepada tiga orang tua itu dan dia ingin sekali dapat menjadi murid mereka. Kalau dia berguru kepada mereka, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat, akan tetapi juga lima pengetahuan tentang hidup. Mereka melanjutkan perjalanan memasuki kota Yin-ning karena tanah kuburan itu berada di luar kota. Matahari sudah condong rendah ke barat.

Ketika tiga orang pertapa dan Sin Wan tiba di pekarangan rumah itu, mereka terkejut melihat seorang di antara para pelayan mereka rebah di ruangan depan dalam keadaan terluka parah. Sin Wan cepat berlutut dekat pelayan itu. "Apa yang terjadi?" tanyanya dan Pek-mau-sian Thio Ki yang pandai ilmu pengobatan segera menolong pelayan itu.

"Celaka .... tuan muda .... lima orang datang dengan kereta, kami kira tamu ..... mereka menyerbu dan melarikan peti hitam."

"Itu peti benda-benda pusaka!" kata Sin Wan kaget. "Mari kita kejar mereka !" kata Ciu-sian dan dia lalu menyambar tubuh Sin Wan dan berlari cepat seperti terbang saja. Di antara mereka bertiga, memang Dewa Arak ini yang paling tinggi tingkat ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang dimilikinya, maka dia yang memondong tubuh Sin Wan. Dua orang tosu lainnya juga lari mengejar dan sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Yin-ning mengikuti jejak kereta yang meninggalkan jalur rodanya di tanah yang agak basah.

Karena tiga orang itu melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan ilmu berlari cepat mereka yang membuat tubuh mereka seperti terbang saja, maka tak lama kemudian mereka sudah dapat menyusul sebuah kereta yang berada tak jauh di depan, di luar sebuah hutan. Agaknya kereta itu hendak memasuki hutan dan bersembunyi sambil melewatkan malam di tempat gelap itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati lima orang yang berada di kereta ketika tiba-tiba mereka melihat tiga orang dan seorang anak laki-laki berdiri menghadang di depan kereta. Seorang di antara mereka, yang menjadi kusir segera membentak dan mencambuki dua ekor kudanya. Dua ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, menubruk ke arah Tiga Dewa dan Sin Wan!

Dewa Arak tertawa, menyambar tubuh Sin Wan dan dia sudah meloncat tinggi melewati kuda dan hinggap di atas kereta, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih menyambut dua ekor kuda itu dengan menangkap kendali di dekat mulut dan sekali tarik, dua ekor kuda itupun jatuh berlutut dengan kaki depan mereka dan tidak mampu berkutik lagi!

Lima sosok bayangan hitam berloncatan dari kereta itu dan ternyata mereka adalah lima orang berpakaian hitam yang rata-rata nampak kokoh dan menyeramkan, berusia antara empatpuluh tahun sampai limapuluh tahun. Sebatang golok besar terselip di punggung mereka.

Dewa Arak meloncat turun lagi dan kini tiga oraag kakek itu berdiri menghadapi lima orang berpakaian hitam. Sin Wan berdiri agak di belakang Sam Sian, memandang penuh perhatian kepada lima orang itu.

Seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang sekepal sebelah, melangkah maju dan dengan sikap gagah dan suara menggeledek dia mengajukan pertanyaan sambil menudingkan dua jari tangan kiri ke arah tiga orang kakek.

"Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan kami Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam)?"

Ciu Sian Si Dewa Arak tertawa. "Ha .. ha .. ha, banyak benar naga di jaman ini! Sekali muncul sampai ada lima ekor! Padahal, di jaman dahulu, naga merupakan mahluk dewa, dipuja sebagai penguasa lautan dan penguasa hujan! Hek I Ngo-liong, nama kami tidak ada harganya untuk kalian ketahui. Yang penting kami harap kalian mempertahankan julukan naga sebagai mahluk sakti yang membantu pekerjaan Tuhan dan kembalikanlah peti yang kalian curi dari rumah Se Jit Kong!"

Lima orang itu otomatis menoleh ke arah kereta sehingga mudah diduga bahwa peti itu tentu disimpan di dalam kereta. Si kumis melintang mengerutkan alisnya mendengar olok-olok kakek yang mukanya merah dan sikapnya seperti pemabukan itu.

"Agaknya kalian bertiga adalah orang-orang yang mengenal peraturan di dunia kangouw. Se Jit Kong mencuri pusaka, dan kami mencurinya dari dia. Semua itu menggunakan kekerasan. Dan kalian ingin minta begitu saja dari kami?"

Jilid 3

"EH .. HEH .. HEH, gagahnya! Lalu apa yang harus kami lakukan untuk dapat menerima peti terisi pusaka-pusaka istana itu?" tanya pula Dewa Arak.

"Kalian harus dapat mengalahkan golok kami!"

Setelah berkata demikian, lima orang itu menggerakkan tangan kanan ke belakang.

"Sing-sing-sing-sing-sing .....!!"

Nampak lima sinar berkelebatan dan Hek I Ngo-liong telah mencabut golok besar mereka. Golok di tangan mereka itu lebar dan putih berkilauan saking tajamnya, ujungnya melengkung ke belakang dan runcing, gagangnya dihias ronce-ronce kuning. Dari gerakan mereka mencabut golok saja sudah dapat diketahui bahwa mereka berlima adalah ahli-ahli golok yang tangguh.

Kini lima orang itu berbaris setengah lingkaran menghadapi tiga orang kakek, tubuh agak direndahkan, kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, lengan kiri lurus dengan jari telunjuk menuding ke arah lawan, golok di tangan kanan diangkat di belakang kepala dengan lengan melengkung dan golok itu lurus menunjuk ke arah lawan di depan pula. Gagah sekali kuda-kuda mereka ini, dan melihat pasangan itu, Dewa Pedang mengangguk-angguk.

"Agaknya ini yang dikenal dengan sebutan Ngo-liong To-tin (Barisan Golok Lima Naga) itu, ya? Bagus, tentu cukup baik untuk pinto (aku) berlatih pedang!"

Tidak terdengar suara apa-apa, hanya ada kilat menyambar dan tahu-tahu Kiam-sian Louw Sun yang tinggi kurus itu, yang tadi tidak nampak membawa pedang kini telah memegang sebatang pedang yang tipis, pedang yang tali melilit pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari)! Kakek ahli pedang ini bahkan tidak melepas jubahnya, tidak melepas capingnya yang menutupi kepala dan menyembunyikan mukanya.

Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih juga sudah siap membantu Dewa Pedang, namun Kiam-sian Louw Sun berkata, "Kalian berdua menjadi penonton sajalah. Aku ingin sekali berlatih dan kebetulan ada mereka yang menjadi teman berlatih baik sekali!"

Mengertilah Ciu-sian dan Pek-mau-sian bahwa rekan mereka ltu sedang ketagihan bermain pedang sehingga timbul kegembiraannya menghadapi Barisan Golok Lima Naga itu, untuk melatih dan menguji ilmu pedangnya tentu saja. Maka, merekapun mundur ke belakang dan hanya menjadi penonton saja.

Sin Wan juga berdiri menonton dengan hati agak tegang. Dia mulai melihat kenyataan betapa kehidupan orang-orang yang menjadi ahli silat selalu terisi penuh pertentangan. Ayahnya sendiri selain dimusuhi orang dan kini tiga orang pendeta inipun demikian. Dan kalau bentuk kehidupan sudah sedemikian rupa, agaknya orang harus mengandalkan kepandaian silatnya untuk dapat bertahan, untuk dapat menang, bahkan untuk dapat hidup lebih lama.

Dia mulai penasaran! Dia teringat akan cerita ibunya. Ayahnya, atau orang yang tadinya dianggapnya sebagai ayahnya, adalah seorang jahat. Dan tiga orang pendeta ini adalah orang-orang yang baik. Akan tetapi kenapa sama saja?

Baik ayahnya maupun tiga orang kakek ini, selalu dihadapi musuh yang setiap kali siap mengadu nyawa! Tak dapat dia menahan perasaan penasaran di hatinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan perasaan ini menjadi pertanyaan kepada mereka.

Hek I Ngo-liong menjadi marah sekali karena mereka merasa diremehkan. Mereka adalah Hek I Ngo-liong yang sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw (sungai telaga, daerah persilatan), sehingga orang-orang kangouw yang tidak memiliki tingkat yang tinggi jarang ada yang berani menentang mereka.

Akan tetapi sekarang laki-laki berpakaian pendeta ini, melarang kawan-kawannya untuk membantunya dan hendak menghadapi Barisan Golok Lima Naga mereka seorang diri saja! Ini namanya penghinaan!

"Tosu sombong, engkau memang sudah bosan hidup!" bentak si kumis melintang dan dia mengelebatkan goloknya. Gerakan ini merupakan isyarat atau aba-aba kepada empat orang rekannya dan merekapun bergerak secara aneh, berputaran dan membentuk lingkaran mengepung Kiam-sian Louw Sun. Setelah mengepung, mereka terus berlari mengitari Si Dewa Pedang, hanya berhenti untuk berganti posisi kedua tangan dan lari lagi.

Dewa Pedang yang berada di tengah-tengah, berdiri tegak lurus dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk. Dia membuat kuda-kuda yang disebut Menunggang kuda. Kedua lengan, bersilang depan dada, pedang di tangan kanan, berada di luar dan pedangnya tegak lurus pula. Dia tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak, melirik ke kanan kiri dengan tenang namun tak pernah berkedip mengikuti gerakan lima orang lawannya.

Tiba-tiba si kumis melintang mengeluarkan bentakan nyaring dan pada saat itu dia berada di belakang Dewa Pedang. Bentakannya disusul menyambarnya golok besar di tangannya ke arah tengkuk Dewa Pedang.

"Syuuuuttt ........!" Namun, biarpun golok menyambar dari belakang ke arah tengkuk, tubuh belakang Kiam�sian Louw Sun seolah mempunyai mata. Dengan tenang saja dia merendahkan tubuhnya sehingga golok menyambar lewat di atas kepalanya. Pada detik berikutnya, seorang lawan dari kiri sudah membacokkan goloknya pula, kini golok itu menyambar dengan babatan ke arah kedua kakinya!

Dewa Pedang, dengan tubuh masih ditekuk rendah, melompat ke atas menghindarkan babatan pedang, hanya untuk menerima bacokan susulan dari kanan. Dia menggerakkan pedang menangkis.

"Tranggg ........!" Bunga api berpijar. Dewa Pedang memutar tubuh, kini pedang yang menangkis tadi menggunakan tenaga pentalan tangkisan, melindungi tubuhnya dari dua serangan lain dari golok berikutnya secara beruntun.

"Singgg ........ trang-tranggg........!" Lebih banyak lagi bunga api berpijar.

Kiranya barisan lima batang golok itu menggunakan jurus yang mereka namakan Lima Rajawali Mengepung Ular. Sang lawan diibaratkan ular dan mereka mengepung lalu mengirim serangan bertubi-tubi dan beruntun secara teratur sekali. Setiap serangan yang dihindarkan lawan, disusul serangan dari orang kedua, ketiga dan selanjutnya' sehingga lawan yang dikepung tidak diberi kesempatan sama sekali untuk membalas!

Kiam-sian Louw Sun adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah kenyang dengan pengalaman. Sebelum dia menjadi pertapa dan tidak pernah atau jarang lagi terjun di dunia persilatan, dia sudah menjadi petualang dan menghadapi lawan yang tangguh dengan bermacam ilmu yang aneh-aneh. Oleh karena itu, dalam segebrakan saja, tahulah dia bahwa dia dalam keadaan yang  berbahaya dan tidak menguntungkan.

Biarpun dia mampu melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedangnya, namun lima orang lawannya bukan orang lemah dan mereka memegang golok yang tidak mudah dirusak oleh pedang pusakanya. Kalau dia harus selalu mengelak dan menangkis, tanpa dapat membalas, berarti dia terdesak dan terancam bahaya.

Tiba-tiba Dewa Pedang mengeluarkan suara melengking tinggi, pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, tubuhnya tertutup benteng sinar pedang sehingga lima orang lawannya sukar untuk menembus sinar pedang itu dan tubuhnya lalu meloncat ke atas, lalu berjungkir balik membuat salto sampai tujuh kali baru dia turun dan sudah berada di luar kepungan!

Dengan cara demikian, Dewa Pedang berhasil membuyarkan kepungan barisan golok itu. Dia tidak mau dikepung lagi dan untuk mencegah hal ini terjadi, dia mendahului mereka dengan serangannya! Karena pedangnya memang lihai bukan main, orang yang diserang menjadi terhuyung dan baru dapat terhindar dari ciuman ujung pedangnya kalau dibantu oleh satu doa orang rekan.

Begitu gagal menyerang, Dewa Pedang sudah membalik dan meloncat untuk menyerang pengeroyok lain! Dengan demikian, lima orang itu sama sekali tidak sempat untuk melakukan pengepungan seperti tadi.

Barisan golok itu kembali membuat bentuk barisan lain atas isyarat si kumis melintang. Mereka menggunakan siasat Dua Golok Tiga Perisai untuk menghadapi gerakan Dewa Pedang itu. Mereka berkelompok dan setiap serangan Dewa Pedang, selalu dihadapi oleh tiga orang pengeroyok yang saling bantu untuk menghalau serangan pedang, seolah-olah tiga orang itu membentuk tiga perisai melindungi diri dan pada saat itu, dua orang pengeroyok lain sudah menyerang Dewa Pedang dari belakang atau kanan kiri!

Siasat ini akhirnya merepotkan Kiam-sian Louw Sun pula. Serangan-serangannya selalu gagal karena dihadapi tiga orang sekali gus, sedangkan dua orang yang lain selalu membalas dengan cepat sehingga dia tidak mungkin dapat melanjutkan serangan tanpa membahayakan diri sendiri.

Sin Wan melihat betapa dua orang kakek lain kini malah duduk bersila dan menjadi penonton. Sedikitpun tidak bergerak membantu kawan yang nampaknya terdesak dan terancam bahaya itu. Hal ini membuat Sin Wan penasaran.

"Kenapa ji-wi lo-cianpwe (dua orang tua gagah) tidak cepat membantu lo-cianpwe yang terancam bahaya itu, malah enak-enak menonton dan tersenyum-senyum?" tegurnya sambil memandang kepada Dewa Arak yang kini bahkan meneguk arak dari guci sambil tersenyum senang seperti orang yang menikmati pertunjukan wayang di panggung saja!

"Heh .. heh .. heh. Sin Wan, apa kau ingin melihat Dewa Pedang marah-marah kepada kami? Kalau kami membantunya. Dia akan menganggap itu suatu penghinaan dan dia bahkan akan menyambut bantuan kami dengan sambaran pedangnya yang lihai! kata si Dewa Arak.

"Ah, kenapa begitu?" Sin Wan bertanya, tak percaya.

Dewa Rambut Putih yang kini berkata seperti orang bersajak. "Seorang bijaksana memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak. Seorang pendekar menaruh kehormatan lebih tinggi dari pada nyawa. Seorang gagah memegang janjinya sampai mati dan selamanya takkan menyesali perbuatannya!"

"Ha-ha. ha, dan si Dewa Pedang adalah seorang bijaksana dan seorang pendekar yang gagah!" Dewa Arak menyambung.

Sin Wan mengerti, mengangguk kagum dan diapun memandang kembali ke arah pertandingan. Dia kini mengerti bahwa ketika maju menghadapi lima orang itu, pertapa berpedang itu telah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka, dan tindakannya melawan mereka itu merupakan suatu keputusan bahwa dia akan menghadapi segala akibatnya seperti sebuah janji yang takkan dijilatnya kembali dan tidak akan menyesal andaikata dia kalah dan tewas... Karena itu, kalau dia dibantu, dia tentu akan menjadi marah karena bantuan kawan-kawannya itu sama dengan merendahkan dia!

Begitu memandang ke arah pertandingan, Sin Wan menjadi kagum. Kiranya kini pertapa itu sama sekali tidak terdesak lagi. Gerakannya demikian cepatnya seperti seekor burung walet dan pedangnya menjadi gulungan sinar menyilaukan mata dan karena dia terus berloncatan ke sana sini, maka lima orang pengeroyoknya mendapatkan kesukaran untuk menyudutkannya.

Terpaksa merekapun mengejar ke sana sini dengan kacau dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membentuk atau mengatur barisan. Menghadapi seorang lawan seperti ini, mereka merasa seperti menghadapi lawan yang lebih banyak jumlahnya.

Memang benar seperti yang dikatakan Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih tadi. Sebelum menghadapi lima orang itu seorang diri saja, Kiam-sian Louw Sun memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka. Dari gerakan mereka ketika meloncat turun dari kereta, ketika mereka mencabut golok dan memasang barisan, dia sudah dapat mengukur sampai di mana kira-kira kekuatan mereka.

Kini, setelah dia berhasil keluar dari himpitan barisan golok, Dewa Pedang meloncat jauh ke kiri, ke lawan yang paling ujung dan begitu lawan ini menyambutnya dengan bacokan golok, dia menangkis sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) disalurkan lewat pedang sehingga ketika pedang bertemu golok, pedang itu seperti mengandung semberani yang amat kuat, menyedot dan menempel golok. Si pemegang golok terkejut ketika tidak mampu melepaskan goloknya dari tempelan pedang dan pada saat itu, tangan Kiam-sian Louw Sun meluncur ke depan.

"Cratt ......." Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas dan dia meloncat ke belakang, memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan yang tercium tangan kiri Kiam-sian tadi terluka dan berdarah seperti ditusuk pedang! Ternyata dengan tangan kirinya si Dewa Pedang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kalau dia menggunakan ilmu itu, tangan kirinya seperti pedang saja, dapat melukai lawan!

Empat orang pengeroyok lain maju serentak, namun Dewa Pedang sudah menghindarkan diri dengan gerakannya yang amat cepat, meloncat ke samping, lalu meloncat ke atas membuat salto tiga kali dan ketika tubuhnya melayang turun, dia sudah menyerang orang yang berada di paling ujung!

Bagaikan seekor garuda menerkam dari atas, pedangnya meluncur dan orang yang diserangnya cepat mengangkat golok menangkis. Akan tetapi, pada saat golok bertemu pedang, orang itu berteriak dan roboh, pundaknya berdarah terkena tusukan tangan kiri Kiam-sian Louw Sun.

Berturut-turut Dewa Pedang melukai lima orang lawannya, bukan luka berat, akan tetapi cukup untuk membuat mereka jerih karena yang terluka adalah tangan, lengan atau pundak kanan mereka. Mengertilah Hek I Ngo-liong bahwa mereka berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya. Tentu saja mereka merasa kecewa dan menyesal bukan main.

Peti terisi pusaka-pusaka istana telah terjatuh ke tangan mereka dengan mudah dapat mereka curi dari rumah Si Tangan Api selagi pemilik rumah tidak berada di rumah. Mereka lari ketakutan, takut kalau sampai Iblis Tangan Api dapat menyusul mereka. Kiranya bahkan tiga orang pertapa ini yang mengalahkan mereka dan yang akan merampas pusaka-pusaka itu. Baru melawan seorang saja dari tiga pertapa itu, mereka tidak mampu menang. Apa lagi kalau mereka bertiga itu maju semua!

Si kumis melintang mewakili teman-temannya, membungkuk ke arah tiga orang itu dan berkata, "Kami Hek I Ngo-liong mengaku kalah. Harap sam-wi (anda bertiga) suka memperkenalkan nama agar kami tahu oleh siapa kami dikalahkan."

"Ho .. ho .. ho, kami tidak perlu memperkenal diri, tidak ingin dikenal. Hanya ketahuilah bahwa kami yang berhak atas pusaka-pusaka itu, maka kami melarang kalian mencurinya," kata Dewa Arak.

"Lo-cianpwe (orang tua gagah), berlakulah adil antara sesama orang kang-ouw. Pusaka itu cukup banyak dan kami akan berterima kasih sekali kalau lo-cianpwe memberi kepada kami seorang sebuah saja."

"Hemm, tidak boleh, tidak boleh ......"

"Kalau begitu empat buah saja ..... atau tiga buah ......"

Melihat Dewa Arak masih menggeleng kepala, si kumis melintang menurunkan permintaannya. "Sudahlah, dua buah saja, lo-cianpwe .... atau sebuah saja untuk kami berlima!"

Dewa arak menghentikan tawanya dan memandang dengan mata melotot. "Kami adalah utusan Sribaginda Kaisar untuk mendapatkan kembali pusaka pusaka itu! Semestinya kalian kami tangkap dan kami seret ke kota raja agar dihukum. Sekarang kalian masih berani rewel minta bagian?"

Mendengar ucapan itu, Hek I Ngo-liong terkejut dan ketakutan. Tanpa banyak cakap lagi mereka mengambil golok masing-masing dan hendak berloncatan ke kereta mereka. Akan tetapi Dewa Arak berseru.

"Berhenti! Kami telah memaafkan kalian dan tidak menangkap kalian, dan untuk itu kalian harus dihukum sebagai penggantinya. Kereta dan kuda itu kami butuhkan. Nah, kalian pergilah......, eh, nanti dulu. Kami harus memeriksa dulu apakah pusaka itu masih lengkap!"

Dewa Arak lalu sekali berkelebat meloncat ke dalam kereta dari jarak yang cukup jauh sehingga mengejutkan lima orang itu. Peti itu berada di dalam kereta dan setelah membuka tutup peti dan melihat bahwa isinya masih lengkap, dia menjenguk keluar.

"Kalian berlima boleh pergi sekarang dan sekali lagi bertemu dengan kami, tentu kalian akan kami tangkap dan seret ke kota raja agar dihukum."

Lima orang itu saling pandang, dalam batin menyumpah-nyumpah, akan tetapi karena maklum bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu, merekapun segera lari meninggalkan tempat itu.

Sam Sian mengajak Sin Wan naik kereta rampasan itu lalu mereka kembali ke rumah anak itu. Para pelayan yang terluka oleh Hek I Ngo-liong mendapat pengobatan dari Sam Sian. Untung mereka tidak terluka parah dan setelah mendapat pengobatan, mereka tidak menderita lagi. Sam Sian selalu membawa bekal obat-obat luka yang amat manjur.

Malam itu, Sam Sian mengajak Sin Wan bercakap-cakap di ruangan tamu. Mereka merasa suka dan juga kasihan kepada anak itu yang kini sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini. Ayah kandungnya telah lama tewas oleh Se Jit Kong, ibunya dan ayah tirinya juga tewas. Tidak ada sanak kadang, tidak ada handai taulan, hidup sebatang kara di dunia dalam usia sepuluh tahun! Mereka sudah sepakat untuk menolong anak itu.

"Sin Wan, besok kami akan pergi mengantar pusaka ke kota raja. Kami ingin sekali mengetahui, apa rencanamu sekarang?" tanya Pek-mau-sian Thio Ki dengan suara lembut.

Pertanyaan ini seperti menyeret Sin Wan kembali kepada kenyataan hidup yang pahit, menyadarkannya dari lamunan. Sejak tadi dia. memang sedang memikirkan keadaan dirinya. Besok tiga orang kakek ini meninggalkannya, lalu apa yang harus dia lakukan?

Tetap tinggal di rumah besar peninggalan Se Jit Kong dengan segala harta kekayaaanya itu? Bagaimana dia akan mampu mengurus rumah tangga seorang diri saja, mengepalai tujuh orang pelayan itu? Dan dia tahu betapa di dunia ini lebih banyak terdapat orang jahat dari pada yang baik.

Pengalamannya dalam beberapa hari ini saja sudah membuka matanya betapa orang-orang yang kelihatannya baik, ternyata adalah orang yang amat jahat. Seperti ayah tirinya itu! Seperti Bu-tek Cap-sha-kwi, tigabelas orang yang mencoba untuk merampas pusaka, kemudian Hek I Ngo-liong.

Pertanyaan Dewa Rambut Putih itu justeru merupakan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.

"Lo-cianpwe, saya ..... saya tidak tahu. Kalau sam-wi lo-cianpwe mengijinkan, saya ingin ikut saja dengan sam-wi (anda bertiga)."

Tiga orang pertapa itu saling lirik. "Kami bertiga hanyalah orang-orang yang tidak biasa berada di tempat ramai, kami hanya pertapa-pertapa Mau apa engkau ikut kami, Sin Wan?" Dewa Arak memancing.

"Kalau sam-wi sudi menerima saya, saya akan bekerja sebagai apa saja, sebagai bujang, kacung atau apa saja. Sam-wi lo-cianpwe adalah orang-orang yang sakti, pandai dan budiman. Saya akan dapat memetik banyak pelajaran kalau menghambakan diri kepada sam-wi. Hanya sam-wi yang saya percaya di dunia ini."

Senang hati tiga orang kakek itu mendengar ucapan anak itu. Seperti yang telah mereka duga, anak ini selain memiliki bakat yang baik untuk belajar silat juga mempunyai budi pekerti yang baik menurut didikan mendiang ibunya, sama sekali tidak mirip ayah tirinya, Iblis Tangan Api yang kejam dan jahat itu.

"Siancai ....!" kata Kiam-sian. "Agaknya sudah dikehendaki Tuhan engkau berjodoh dengan kami, Sin Wan. Bagaimana kalau engkau ikut kami sebagai murid kami?"

Anak itu tertegun, matanya terbelalak, lalu wajahnya menjadi cerah gembira dan dengan gugup dan gemetar dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu.

"Terima kasih kalau suhu bertiga sudi menerima teecu (murid) sebagai murid. Sebetulnya, tidak ada yang lebih teecu inginkan daripada menjadi murid sam-wi suhu (guru bertiga), akan tetapi teecu tentu saja tidak berani minta menjadi murid ...... "

"Hemm, kenapa tidak berani, Sin Wan? Kukira engkau bukan seorang anak penakut!" cela Dewa Arak.

"Maaf, suhu, bagainanapun juga, sam-wi mengetahui bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong dan semenjak bayi teecu telah dididik olehnya. Teecu khawatir kalau sam-wi suhu menganggap teecu bukan anak yang terdidik baik-baik. Akan tetapi siapa kira, sam-wi suhu yang mengambil teecu sebagai murid. Terima kasih kepada Allah Yang Maha Kasih ....."

Tiga orang pertapa itu mengangguk-angguk. Anak ini tidak berani minta dijadikan murid bukan karena merasa takut, melainkan karena merasa rendah diri sebagai putera seorang datuk besar yang kejam seperti iblis.

"Bangkit dan duduklah, Sin Wan. Kalau engkau ikut dengan kami, lalu bagaimana dengan rumah dan harta peninggalan Se Jit Kong ini?" tanya si Dewa Arak.

"Teecu tidak menginginkan sedikitpun dari harta peninggalan Se Jit Kong. Ayah kandung teecu sendiri tidak meninggalkan apa-apa ketika tewas, demiklan pula ibuku. Teecu akan meninggalkan rumah dan seluruh harta ini kepada para pelayan. Teecu akan pergi mengikuti suhu bertiga tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian teecu."

Kembali tiga orang pendeta itu saling pandang dan mereka menjadi semakin kagum. Baru berusia sepuluh tahun akan tetapi Sin Wan tidak terikat oleh harta benda! Ini membuktikan bahwa anak itu memiliki keberanian dan harga diri. Anak seperti ini kelak kalau sudah dewasa tidak akan mudah dicengkeram dan dipermainkan nafsu yang timbul oleh daya benda yang amat kuat.

Harta benda yang mendorong sebagian besar manusia menjadi lupa diri, dan dalam pengejaran terhadap harta benda, manusia terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan jahat. Mencuri, merampok, menipu dan lain macam perbuatan jahat lagi demi mengejar harta benda. Harta benda pula yang membuat manusia yang memilikinya menjadi sombong, merasa berkuasa dan merendahkan orang lain.

"Bagus! Kalau begitu malam ini juga harus dilakukan penyerahan harta benda itu agar besok pagi kita dapat berangkat," kata si Dewa Arak. Tujuh orang pelayan itu lalu dipanggil dan dikumpulkan di ruangan tamu, juga kepala kampung yang mengepalai daerah tempat tinggal Se Jit Kong diundang menjadi saksi. Di depan kepala kampung, Sin Wan menerangkan bahwa dia akan pergi merantau dan seluruh harta kekayaan yang berada di rumah itu, berikut rumahnya, dia berikan kepada tujuh orang pelayan.

Tentu saja semua orang merasa terkejut dan terheran, akan tetapi tujuh orang pelayan itupun menjadi gembira bukan main. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Wan dan berulang-ulang menghaturkan terima kasih mereka. Biar dibagi tujuh sekalipun, mereka akan mendapat bagian yang akan membuat masing-masing pelayan menjadi orang yang kaya!

Juga kepala kampung terkejut dan terheran, akan tetapi ketika si Dewa Arak yang mewakili Sin Wan mengatur semua urusan itu mengatakan bahwa sebagai saksi dan pengawas agar pembagian dilakukan seadil-adilnya, kepala kampung mendapat pula upah yang cukup layak, kepala kampung menjadi gembira pula.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Wan dan tiga orang gurunya meninggalkan rumah Se Jit Kong di Yin-ning itu dengan kereta rampasan mereka. Tujuh orang pelayan mengantarkan sampai di luar pintu gerbang, dan setelah kereta membalap di luar kota.

Sin Wan menghela napas panjang, seolah dia terlepas dari belenggu yang amat tidak menyenangkan hatinya. Belenggu itu terasa olehnya, sejak dia mendengar keterangan ibunya bahwa Se Jit Kong bukan ayah kandungnya, bahkan pembunuh ayah kandungnya, dan bahwa ibunya menjadi isteri Se Jit Kong karena terpaksa untuk menyelamatkannya! Sejak saat itu, rumah dan harta milik Se Jit Kong itu seperti sebuah penjara baginya, lantai rumah terasa seperti api membara, harta kekayaan itu seperti lintah-lintah bergayutan di tubuhnya.

Kini dia merasa bersih dan ringan, dan dia dapat memandang ke depan dengan wajah cerah penuh harapan. Akan tetapi teringat akan penderitaan ibunya, kedua matanya menjadi basah dan cepat dia menghapus air matanya. Ibunya sudah meninggal dunia, berarti sudah terbebas dari penderitaan hidup di dunia yang penuh kepalsuan. Dia hanya dapat berdoa dengan diam-diam semoga Allah Maha Pengampun sudi mengampuni semua dosa ibunya.

Semua keindahan pemandangan alam yang terbentang luas disekelilingnya menghilangkan semua kenangan sedih tentang ibunya. Baru sekarang Sin Win melakukan perjalanan jauh, melalui daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Dan tiga orang pendeta itupun merupakan pencinta alam. Setiap kali terdapat pemandangan yang amat indah, si Dewa Arak yang duduk di tempat kusir bersama Dewa Pedang, menghentikan kuda penarik kereta dan mereka berhenti, menikmati keindahan alam.

Sin Wan memperhatikan mereka dan segera melihat perbedaan di antara mereka kalau menghadapi keindahan alam yang mempesona itu. Dewa arak menikmati keindahan alam sambil meneguk araknya, Dewa Pedang melihat ke sekeliling seperti orang terpesona dan termenung, sedangkan Dewa Rambut Putih, kalau tidak meniup sulingnya tentu bersajak!

Belasan hari lewat tanpa ada gangguan diperjalanan dan pada suatu senja, kereta berhenti di puncak sebuah bukit. Puncak itu datar dan dari tempat itu, pemandangan alam amatlah indahnya. Apalagi mereka dapat melihat matahari senja mengundurkan diri di atas kaki langit di barat, hampir menyembunyikan diri di balik bayangan gunung-gunung.

Melihat matahari senja memang merupakan suatu pengalaman yang mempesonakan. Langit di barat berwarna kemerahan, diseling warna perak, biru dan ungu, ada sebagian yang warnanya keemasan. Matahari sendiri berwarna merah cerah namun tidak menyilaukan, seperti tersenyum memberi ucapan selamat berpisah, seperti hendak mengucapkan selamat tidur.

Matahari menjadi bola merah yang besar, perlahan namun pasti makin menyelam ke balik bukit-bukit. Angin senja semilir menggoyang pucuk-pucuk ranting pohon, membuat pohon itu seperti kekasih�kekasih yang ditinggal orang yang dicintanya dan melambai-lambai mengucapkan selamat jalan untuk bersua kembali esok hari.

Burung-burung terbang melayang, berkelompok sambil mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk, sekelompok mahluk yang setelah sehari rajin bekerja. kini pulang ke sarang mereka yang hangat, atau berlindung di ranting-ranting pohon berselimutkan daun-daun yang melindungi.

Tanpa diperintah lagi, setelah mendapat pengalaman selama beberapa hari dan tahu apa yang harus dilakukannya, Sin Wan mencari kayu dan daun kering dan menumpuknya di atas tanah, tak jauh dari kereta. Dia harus mengumpulkan cukup banyak kayu bakar untuk membuat api unggun malam ini. Kalau mereka tidur di tempat terbuka, harus ada api unggun yang selalu dapat memberi penerangan, juga dapat mengusir nyamuk dan binatang lain. Dapat pula mengusir hawa dingin yang dibawa angin malam.

Tiga orang pendeta itupun turun dari kereta, duduk bersila untuk memulihkan tenaga setelah kelelahan melakukan perjalanan dengan kereta sehari penuh. Sin Wan mengambil sebuah buntalan yang berisi bekal makanan dan minuman yang dibeli tiga orang suhunya di dusun yang mereka lewati siang tadi.

Tanpa banyak bicara, mereka lalu makan malam di dekat api unggun yang sudah dibuat oleh Sin Wan. Tiga orang kakek itu makin suka kepada murid mereka. Biarpun sejak kecil hidup sebagai putera orang kaya raya, ternyata Sin Wan tidak manja, tidak cengeng, berani menghadapi kesukaran dan rajin, tidak canggung melakukan pekerjaan kasar.

Setelah makan malam, mereka duduk dekat api unggun dan Dewa Arak berkata kepada Sin Wan. "Sin Wan, sekarang engkau sudah menjadi murid kami. Kami ingin melihat apa saja yang pernah kaupelajari dari Iblis Tangan Api. Nah, cobalah engkau mainkan ilmu-ilmu silat yang pernah kaupelajari darinya."

Sin Wan mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak suka memainkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari pembunuh ayahnya. Akan tetapi, untuk membantah perintah gurunya dia tidak berani. Melihat keraguan anak itu, dan kerut di alisnya, Kiam-sian bertanya, "Kenapa, Sin Wan? Engkau kelihatan tidak suka memainkan ilmu yang pernah kaupelajari dari Se Jit Kong?"

"Maaf, suhu, Se Jit Kong adalah seorang datuk sesat yang amat kejam dan jahat. Teecu ingin melupakan saja semua yang pernah teecu pelajari darinya karena kalau orangnya jahat, ilmunya pasti juga jahat."

"Siancai, engkau tidak boleh berpendapat seperti itu, Sin Wan. Ilmu adalah ilmu pengetahuan dan merupakan alat bagi manusia dalam kehidupannya. Ilmu, seperti alat-alat hidup yang lain, tidak ada sangkut pautnya dengan sifat jahat atau baik. Jahat atau baiknya ilmu, seperti jahat atau baiknya alat, tergantung dari pada orang yang menggunakannya. Kalau orang itu berniat jahat, segala macam alat apa saja, ilmu apa saja, dapat dia pergunakan untuk berbuat jahat, Yang jahat bukan ilmunya, melainkan orangnya! Andaikata di waktu hidupnya Se Jit Kong mempergunakan semua ilmunya untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, apakah engkau akan mengatakan bahwa ilmu-ilmunya jahat?"

Mendengar ucapan Kiam-sian ini, Sin Wan segera menjadi sadar dan diapun memberi hormat kepada Dewa Pedang itu. "Maafkan teecu, suhu, Pandangan teecu tadi memang keliru dan picik. Baiklah, teecu akan memainkan semua ilmu silat yang pernah teecu pelajari dari Se Jit Kong."

Anak itu lalu bersilat, diterangi sinar api unggun, dan ditonton ketiga orang gurunya.

Se Jit Kong memang seorang datuk besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sejak Sin Wan berusia empat tahun, anak itu telah digemblengnya. Bahkan tubuh anak itu telah dibikin kuat dengan obat-obat gosok maupun minum. Sejak berusia enam tahun, Sin Wan sudah diajar melakukan siulian (semadhi) dan latihan pernapasan untuk menghimpun teraga sakti. Tidak mengherankan ketika berusia sepuluh tahun. Sin Wan telah menjadi seorang anak yang cukup lihai, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh orang dewasa biasa, betapapun kuatnya orang itu.

Sin Wan tidak hendak menyembunyikan sesuatu. Dia bersilat sepenuh hatinya, memainkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, bahkan mengerahkan tenaga sin-kang seperti yang pernah diajarkan Se Jit Kong kepadanya. Dan perlahan-lahan, dari kedua tangan anak itu mengepul uap panas!

Tiga orang pertapa itu mengangguk-angguk. Dalam usia sepuluh tahun, Sin Wan telah dapat mencapai tingkat seperti itu. Sungguh hebat, walaupun dia belum sepenuhnya menguasai ilmu Tangan Api, namun kedua tangannya telah mengepulkan uap panas, dan pukulan-pukulannya mengandung hawa panas. Setelah anak itu selesai bersilat dan mengatur kembali pernapasannya yang agak terengah, Kiam-sian bertanya, "Pernahkah diajari ilmu pedang?"

Sin Wan mengangguk dan Dewa Pedang menggerakkan tangan kirinya ke arah pohon yang berada di dekat mereka. Diam-diam dia mengerahkan Kiam-ciang (Tangan Pedang), ilmu pukulan yang mengandung sin-kang amat kuat, dan terdengar suara gaduh ketika dua batang cabang pohon itu runtuh. Dia mengambil dua batang cabang itu, membersihkan daunnya dan menyerahkan sebatang kepada muridnya.

"Nah, pergunakan pedang ini dan serang aku!" katanya dan diapun memegang kayu cabang yang kedua.

"Baik, suhu." Kata Sin Wan dan anak ini lalu memutar-mutar kayu itu bagaikan sebatang pedang, dan mulai melakukan serangan-serangan dengan sepenuh hati kepada gurunya.

Sambil mengamati gerakan muridnya, Kiam-sian menangkis dan balas menyerang. Dengan cara mengajak muridnya bertanding seperti ini, lebih mudah baginya untuk mengukur dalamnya ilmu yang telah dimiliki muridnya, dari pada kalau hanya melihat anak itu bersilat pedang seorang diri saja.

Setelah semua jurus dimainkan habis dan Sin Wan meloncat ke belakang menghentikan serangannya, Kiam-sian mengangguk-angguk. "Duduklah kembali, Sin Wan."

Sin Wan duduk bersila lagi menghadapi api unggun. Tiba-tiba Dewa Arak telah berada di belakangnya, juga duduk bersila dan gurunya ini berkata sambil tersenyum. "Sin Wan, coba kau kerahkan seluruh tenaga sin-kang yang pernah kau latih."

Setelah berkata demikian, tangan kirinya ditempelkan di pundak, tangan kanan melingkari perut dan menempel di pusar.

Sin Wan tidak membantah. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas, dengan telapak tangan tengadah. Gerakan ini oleh mendiang Se Jit Kong dinamakan "Menyambut Api Dari Langit". Kedua tangan yang tengadah itu menggetar kemudian perlahan-lahan turun ke bawah, kini kedua telapak tangan menempel dengan tanah. Ini yang dinamakan "Menyedot Api Dari Bumi".

Dia menghimpun tenaga seperti yang diajarkan Se Jit Kong, merasakan betapa ada hawa panas memasuki pusarnya, berputaran dan seperti yang biasa dilatihnya, dia mencoba untuk menguasai hawa yang berputaran itu agar dapat dia salurkan ke arah kedua lengannya. Akan tetapi, tiba-tiba ada hawa sejuk masuk ke dalam pusar, dan ketika tenaga panas yang disalurkan ke lengan tiba di pundak, hawa itu terhenti dan kembali ke pusar.

"Cukup, hentikan latihanmu," terdengar suara lembut dan baru dia teringat bahwa Dewa Arak bersila di belakangnya.     "Siancai, murid kita ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang sifatnya ganas. Akan tetapi, jangan dilupakan begitu saja ilmu-ilmu itu, Sin Wan. Engkau berhak menguasainya, dan kalau pandai mempergunakannya untuk berbuat kebaikan, maka ilmu-ilmu itu akan hilang keganasannya dan berubah menjadi ilmu yang amat bermanfaat bagimu," kata Dewa Rambut Putih.

"Teecu akan mentaati semua nasihat dan petunjuk suhu bertiga," jawab Sin Wan dengan kesungguhan hati.

Malam itu mereka beristirahat dan pada keesokan harinya, ketika mereka hendak melanjutkan perjalanan. Sin Wan minta ijin tiga orang gurunya untuk mencari sumber air atau anak sungai untuk mandi. Tiga orang pertapa itu tersenyum dan Dewa Arak berkata sambil tertawa.

"Ha .. ha .. ha, kami sudah biasa bertapa tanpa mandi tanpa makan tanpa tidur sampai berbulan, maka pagi hari ini kamipun tidak membutuhkan air. Akan tetapi engkau terbiasa mandi setiap hari dan kemarin engkau sudah mengeluh karena sehari tidak mandi. Pergilah, kurasa di sebelah kiri sana ada anak sungai yang airnya cukup jernih, Sin Wan."

Pemuda kecil itu berterima kasih, membawa ganti pakaian dan lari ke kiri. Benar saja, tak lama kemudian, dia melihat sebuah anak sungai yang airnya cukup jernih karena seperti anak sungai di pegunungan, dasar sungai terdapat banyak pasir dan batunya sehingga airnya tersaring jernih.

Dengan girang Sin Wan menanggalkan pakaiannya, menaruhnya di tepi anak sungai bersama pakaian bersih yang dibawanya tadi, kemudian dengan bertelanjang bulat Sin Wan memasuki sungai kecil yang airnya jernih itu. Airnya sejuk segar dan Sin Wan memilih bagian yang dalamnya mencapai dadanya, mandi dengan gembira. Tubuhnya terasa nyaman bukan main ketika berendam di air itu. Dia menggunakan sebuah batu halus untuk menggosok-gosok kulit tubuhnya dan membersihkan debu-debu yang menempel.

Dia tidak melihat atau mendengar betapa dua orang lain yang juga sedang mandi tak jauh dari tempat dia mandi akan tetapi tidak nampak dari situ karena berada di balik belokan sungai, menjadi marah sekali ketika mendengar ada orang turun ke sungai dan mandi di hulu tak jauh dari mereka. Perbuatan itu dengan sendirinya mengotorkan air yang mengalir ke arah mereka. Dengan bersungut-sungut, keduanya naik ke tepi sungai dan cepat mereka mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian.

Mereka itu adalah dua orang wanita, yang seorang berusia sekitar tigapuluh tahun akan tetapi masih nampak seperti gadis duapuluh tahun saja, cantik jelita dan anggun akan tetapi sinar matanya keras dan tajam, dan seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih baru sembilan tahun akan tetapi sudah kelihatan cantik manis!

"Subo (ibu guru), mari kita lihat siapa orangnya. Dia harus dihajar!" kata anak perempuan itu dengan wajah bersungut-sungut.

Wajah yang manis itu kulitnya kemerahan karena digosok-gosoknya ketika mandi tadi dan ia memang seorang anak perempuan yang manis. Rambutnya hitam dan gemuk sekali, dibiarkan panjang sampai ke punggung dan diikat pita merah. Wajahnya yang bentuknya bulat itu memiliki mata yang seperti sepasang bintang, hidungnya mancung dan mulutnya kecil, dagunya meruncing.

Wanita cantik itu tersenyum dan nampak lesung di kedua pipinya melekuk manja. Yang paling mempesona pada diri wanita ini adalah mulutnya. Mulut itu berbentuk demikian indah, dengan bibir yang merah membasah, penuh dan seperti gendewa terpentang, kalau tersenyum nampak kilatan gigi yang berderet putih seperti mutiara, kalau bicara kadang nampak rongga mulut yang merah dan ujung lidah yang jambon. Bibir yang bawah dapat bergerak-gerak hidup, penuh gairah dan memiliki daya pikat yang kuat sekali.

"Li Li, jangan terburu nafsu. Kita lihat dulu apakah sikapnya buruk. Dia mandi di sana disengaja ataukah tidak. Kalau sikapnya buruk, baru kita hajar dia!"

Dan di dalam suaranya yang merdu itu tersembunyi ancaman yang akan membuat orang yang mendengarnya menjadi ngeri. Wanita itu memang cantik sekali. Rambutnya yang halus dan hitam panjang digelung seperti model rambut seorang puteri bangsawan dan dihias dengan tusuk sanggul emas permata berbentuk burung Hong dan bunga teratai.

Ketika mandi tadi, walaupun ia hanya mengenakan pakaian dalam, ia membenamkan dirinya sampai ke leher dan menjaga agar rambutnya tidak sampai basah, tidak seperti anak perempuan yang mencuci rambutnya. Kini setelah berpakaian, wanita itu makin nampak seperti wanita bangsawan. Pakaiannya serba indah dan mewah. Lehernya memakai kalung dan kedua lengannya dihias gelang emas. Alisnya melengkung hitam di atas sepasang mata yang bersinar tajam dan Kadang amat keras sehingga nampak galak.

Hidungnya juga mancung dan manis, namun daya tarik yang paling memikat adalah mulutnya. Di dahinya nampak anak rambut halus berjuntai ke bawah, dan di depan telinga terdapat untaian rambut yang melengkung indah.

"Mari kita ke sana, subo!" anak perempuan itu nampak tergesa karena ia sudah marah sekali, merasa mandinya terganggu orang. Ia juga mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera mahal, walaupun bentuknya sederhana, tidak ada kesan mewah seperti pakaian wanita cantik yang disebutnya subo. Anak ini hanya memakai sepasang gelang batu giok (kumala) sebagai perhiasannya.

Guru dan murid itu lalu mengitari semak-semak belukar di belokan sungai dan tak lama kemudian mereka melihat Sin Wan yang sedang mandi. Anak laki-laki itu dengan gembiranya membenamkan kepalanya ke air berulang kali.

"Kiranya hanya seorang bocah. Tentu dia anak nakal sekali," anak perempuan yang disebut Li Li tadi mengomel.

"Dia harus diberi hukuman atas kelancangannya yang sudah mengganggu kita."

Dengan gerakan yang cepat sekali ia meloncat ke arah tumpukan pakaian Sin Wan. la menyambar tumpukan dua stel pakaian kotor dan bersih itu, meninggalkan sebuah celana pendek saja dan meloncat kembali ke belakang semak-semak di mana subonya menunggu.

Biarpun gerakan anak perempuan itu cepat sekali, bagaikan seekor kelinci, namun Sin Wan masih dapat melihat bayangan orang berkelebat. Dia menengok dan melihat bayangan itu lenyap ke balik semak belukar. Akan tetapi yang membuat dia terkejut, ketika dia menengok ke arah tumpukan pakaiannya, tumpukan itu telah lenyap, hanya tinggal sepotong baju atau celana di sana.

"Heiiiii .......!" Dia berteriak dan hendak keluar dari sungai itu. Akan tetapi dia ingat bahwa dia bertelanjang bulat, maka dia meragu, lalu kembali dia berteriak. "Heii, siapapun yang berada di daratan! Aku akan keluar dari sungai dalam keadaan telanjang bulat. Kembalikan pakaianku!"

Akan tetapi tidak terdengar suara dari balik semak, juga tidak ada gerakan apapun. Tentu pencuri pakaian itu telah melarikan diri jauh-jauh, pikir Sin Wan. Dia lalu melompat ke atas daratan, dan menyambar celana dalamnya yang masih tertinggal di tempat tumpukan yang lenyap tadi. Dipakainya celana dalam itu, sebuah celana yang hanya menutup dari pinggang sampat ke paha, dan larilah dia ke belakang semak untuk mengejar orang yang mencuri pakaiannya.

Dan dia hampir saja menabrak seorang wanita cantik dan seorang anak perempuan manis yang berdiri di belakang semak belukar itu. "Eh, maaf!" kata Sin Wan dan cepat dia melempar diri ke kanan sehingga bergulingan akan tetapi dia tidak sampai menabrak orang. Ketika dia bangkit berdiri lagi, dia melihat bahwa pakaiannya masih dipegang oleh anak perempuan yang manis itu, yang kini berdiri di situ memandang kepadanya dengan senyum mengejek dan pandang mata penuh kemarahan.

Guru dan murid itupun memandang kepadanya. Kalau anak perempuan itu memandang dengan senyum geli dan mengejek, wanita itu wajahnya berubah kemerahan dan ia membuang muka sambil berkata ketus, "Anak laki-laki tak tahu malu!"

Sin Wan merasa penasaran. Tentu saja dia pun merasa canggung dan malu harus berdiri dalam keadaan tiga perempat telanjang di depan dua orang wanita yang tidak dikenalnya ini. Akan tetapi, yang membuat dia hampir telanjang itu adalah anak perempuan ini! Bukan dia yang tidak tahu malu atau kurang ajar, melainkan anak perempuan itu yang telah mencuri pakaiannya selagi dia mandi.

Biarpun dia menjadi marah dan ingin memaki, ingin menampar anak perempuan itu, namun pendidikan mendiang ibunya membuat dia mampu menahan diri. Dia menekan perasaannya yang marah dan penasaran, lalu membungkuk depan anak perempuan itu dan berkata, "Nona, harap dikembalikan pakaianku itu!" katanya, biarpun kata-katanya dan sikapnya sopan, namun suaranya keras mengandung kemarahan yang tertahan.

Akan tetapi, anak perempuan itu membelalakan matanya. "Apa kaubilang? Engkau tidak cepat berlutut minta ampun atas kesalahanmu. malah menuntut dikembalikanya pakaianmu? Hemm, engkau memang anak yang kurang ajar, nakal dan tak tahu diri!"

Sikap dan ucapan anak perempuan itu bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api bernyala. Sin Wan marah bukan main. Dia malah dimaki-maki oleh anak yang mencuri pakaiannya! Aturan apa macam ini?

"Nona sungguh tak tahu diri!" katanya, biarpun marah masih menjaga kata-katanya. "Nona telah mencuri pakaianku, sedangkan selama hidupku, aku tidak pernah bertemu denganmu, tak pernah mengganggumu. Dan sekarang dengan hormat aku minta dikembalikan pakaianku yang nona curi, nona malah memaki-maki aku!"

"Siapa bilang engkau tidak mengganggu kami? Guruku dan aku sedang enak-enak mandi di situ," ia menuding ke sebelah hilir, "dan engkau mengotori air dengan mandi di sebelah atas! Setan kurang ajar, sepatutnya engkau dihajar. Akan tetapi cukup engkau minta maaf kepada kami dan kehilangan pakaian ini!" Anak perempuan itu lalu merobek-robek semua pakaian Sin Wan yang berada di tangannya!

Saking marahnya, Sin Wan sampai tidak menyadari bahwa sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali bagi seorang anak perempuan dapat merobek-robek pakaiannya seolah-olah pakaian itu terbuat dari pada kertas saja! Dia terlalu marah untuk ingat akan hal itu.

"Engkau sungguh tidak tahu aturan!" bentaknya.

"Andaikata benar tuduhanmu tadi bahwa aku mandi di sebelah hulu dan membuat air menjadi keruh, hal itu kulakukan tanpa kusadari. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ada orang mandi di hilir. Dan engkau kini malah merobek-robek pakaianku. Sungguh engkau kurang ajar. Kalau tidak ingat engkau ini anak perempuan, tentu hemmm ........."

Anak perempuan itu melangkah, maju sampai berdiri dekat sekali di depan Sin Wan, hanya dalam jarak kurang dari satu meter.

"Hemmm apa? Hemmm apa? Hayo katakan, mau apa kau?"

"Kalau bukan anak perempuan. tentu kupukul kau agar tahu aturan!" Sin Wan terpaksa melanjutkan ancamannya karena diapun merasa penasaran dan marah sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang anak perempuan senakal dan segalak ini!"

"Apa? Kamu? Mau memukul aku? Pukullah ...., hayo pukullah ....!" anak perempuan itu maju lagi sehingga dadanya membentur dada Sin Wan dan kedua tangannya bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.

"Aku bukan pengecut yang suka memukul anak perempuan cengengl" Sin Wan menghardik.

Anak perempuan itu menjadi semakin marah. Kedua matanya yang lebar itu terbelalak, hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kuda marah. "Kau bilang aku cengeng? Setan iblis jahanam keparat kamu, ya? Hayo pukul, kalau kau tidak mau pukul, aku yang akan memukulmu!"

Akan tetapi Sin Wan tidak perduli lagi dan melangkah mundur untuk pergi saja dari situ, tidak mau melayani anak perempuan yang galaknya melebih ayam bertelur itu. Melihat dia tidak mau memukul dan malah mundur, anak perempuan itu makin marah.

"Kau tidak mau pukul, kaulihat pukulanku ini ...." Dan iapun menerjang maju dan tangannya memukul ke arah dada Sin Wan, juga kakinya bergerak menyambar dari pinggir, menyapu kedua kaki Sin Wan.

Tadinya Sin Wan menganggap bahwa pukulan seorang anak perempuan tentu tidak ada artinya. Apa lagi dia kebal dan tubuhnya sudah terlatih. Dia bahkan ingin diam-diam membuat anak perempuan itu menderita karena kegalakannya dan dia mengeraskan dadanya yang terpukul untuk menyambut pukulan dan membuat tangan yang memukul itu kesakitan.

"Dukk ..... bressss ......!"

Sin Wan terpelanting dan terjengkang! Terpelanting karena kedua kakinya disapu dari pinggir oleh sebuah kaki kecil yang amat kuat, dan pukulan pada dadanya membuat dia terjengkang! Pukulan itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali dan biarpun dia tidak terluka dan juga tidak menderita nyeri terlalu hebat, namun dia terjengkang sampai terguling-guling! Dia meloncat bangkit kembali dan melihat betapa orang yang dipukulnya tidak menderita apa-apa, bahkan mampu bangkit dengan cepat, anak perempuan itu merasa penasaran dan meloncat memberi serangan yang lebih hebat lagi. Gerakannya cepat dan kedua tangannya

mengandung tenaga sehingga tiap kali digerakkan, terdengar suara angin.

Tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang anak perempuan yang sama sekali tidak lemah, bahkan pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang kuat. Maka, begitu melihat anak perempuan itu menerjangnya, diapun cepat mengelak dan menangkis. Tangkisannya yang disertai tenaga membuat lengan anak perempuan itu terpental dan hal ini membuatnya semakin galak dan ganas lagi. Serangan datang bertubi-tubi, bahkan kini kakinya juga menyambar-nyambar.

Sin Wan sama sekali tidak ingin membalas, karena dia tetap berpendapat bahwa amat memalukan bagi seorang anak laki-laki untuk memukul perempuan. Biarpun dia terdesak, dia hanya menangkis dan mengelak saja. Akan tetapi, anak perempuan itu ternyata bukan hanya mengerti sedikit ilmu silat. Sama sekali tidak! Bahkan andaikata dia sungguh-sungguh melawan dan membalas, belum tentu dia akan mampu mendapatkan kemenangan dengan mudah! Anak ini telah mendapat gemblengan dari seorang yang sakti, mungkin seperti mendiang Se Jit Kong saktinya!

"Desss ......" Kembali dia terjengkang ketika sebuah tendangan yang tak disangka-sangka memasuki pertahanannya dan menghantam perut yang untung dapat dia keraskan sehingga tidak terluka.

Ketika dia meloncat bangkit kembali, dia melihat anak perempuan itu membuat gerakan dengan kedua tangan, mirip gerakan menghimpun sin-kang seperti yang pernah dilatihnya, yaitu "Menyambut Api Dari Langit", akan tetapi ketika turun, lanjutannya berbeda. Kedua tangan anak itu melengkung ke kanan kiri, kemudian ketika kedua tangan itu membuat gerakan mendorong terdengar suara yang seperti ular mendesis. Kedua tangan itu seperti kepala dua ekor ular menghantam ke arah dadanya. Sin Wan cepat mengumpulkan tenaga sin-kang dari pusarnya dan menyambut pukulan yang dia tahu merupakan pukulan berbahaya itu dengan kedua tangannya sendirl.

"Desss ......!!" Kini tubuh anak perempuan itu yang terpental dan terhuyung, bahkan ia tentu akan roboh kalau saja lengannya tidak disambar oleh wanita cantik yang menjadi gurunya.

"Kau tidak apa-apa?" Wanita cantik itu bertanya sambil meraba dada muridnya. Ailsnya berkerut ketika ia merasakan ada suatu ketidakwajaran pada muridnya.

"Subo, tangannya panas sekali .......!" kata anak perempuan itu yang segera duduk bersila dan mengatur pernapasan.

Wanita itu memandang kepada Sin wan dan melihat betapa kedua tangan anak laki-laki itu masih mengeluarkan uap tipis. Sekali tubuhnya bergerak, wanita itu sudah meloncat dan berada di depan Sin Wan, membuat anak ini terkejut sekali. Gerakan wanita itu seperti menghilang saja!

"Katakan, apa hubunganmu dengan Iblis Tangan Api?" wanita itu kini membentak, suaranya tetap halus namun mendesis seperti ular, dan dingin seperti salju, dan ketika Sin Wan memandang, sepasang mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng.

"Tidak ada hubungan apa-apa," jawabnya singkat dan dia memutar tubuh hendak pergi dari tempat itu. "Tunggu! Engkau tidak boleh pergi begitu saja setelah memukul muridku."

Sin Wan menghadapi wanita itu dengan penasaran. "Bibi, aku sama sekali tidak memukulnya."

"Hemm, coba kaupukul aku seperti-gerakanmu tadi."

"Sungguh, aku tidak memukulnya, aku hanya menangkis pukulannya!" Sin Wan memrotes.

"Kalau begitu, kau tangkis pukulanku ini!" Wanita itu lalu menggerakkan kedua tangan, cepat sekali, seperti yang dilakukan muridnya tadi, ke arah dada Sin Wan. Terpaksa, untuk menjaga diri, Sin Wan menyambut dengan dorongan kedua tangannya seperti tadi.

"Desss ....... !!"

Kini tubuh Sin Wan yang terjengkang, bahkan terbanting keras dan dia merasa betapa dadanya sesak dan sukar bernapas. Ketika dia bangkit duduk, dia muntahkan darah segar dan merasa betapa dadanya nyeri. Dengan terhuyung Sin Wan bangkit berdiri memandang kepada wanita itu dan bertanya, "Bibi, kenapa engkau memukulku ? Apakah engkau akan membunuhku?" Pertanyaan itu mengandung keheranan dan penasaran, sama sekali tidak membayangkan perasaan takut sedikitpun.

"Aku belum membunuhmu agar engkau dapat memberitahu kepada Se Jit Kong bahwa aku akan membunuhnya!"

Mendengar bahwa wanita ini musuh Se Jit Kong, berkurang rasa tak senang dalam hati Sin Wan.

"Bibi siapakah?"

"Katakan saja bahwa Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) yang memukulmu!"

Sin Wan lalu membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dalam keadaan hampir telanjang, hanya memakai celana dalam yang pendek.

Tentu saja tiga orang kakek itu terkejut dan heran melihat murid mereka kembali ke situ dalam keadaan hampir telanjang, bahkan terluka dalam sehingga mukanya pucat dan bibirnya berlepotan darah.

"Siancai ...... apa yang terjadi padamu?" tanya Dewa Pedang, sedangkan Dewa Arak tanpa bicara lagi segera memeriksa tubuh muridnya. Melihat betapa muridnya terluka dalam karena guncangan tenaga sin-kang yang kuat, dia lalu menyuruh muridnya duduk bersila, dan diapun bersila di depannya dan menempelkan telapak tangan kirinya ke dada muridnya, Sementara itu, Pek-mau-sian si Dewa Rambut Putih membantu dengan beberapa kali totokan dan tekanan pada punggung dan kedua pundak Sin Wan. Dalam waktu singkat saja kesehatan Sin Wan pulih kembali.

"Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu," kata Dewa Pedang.

Sin Wan menarik napas panjang dan memakai pakaian yang diambilkan oleh Dewa Rambut Putih, kemudian menjawab, "Teecu sendiri masih merasa bingung dan heran, suhu. Ketika teecu mandi di anak sungai, ada seorang anak perempuan mencuri pakaian teecu, hanya meninggalkan sebuah celana pendek. Teecu naik ke darat, mengenakan celana pendek dan mengejar anak perempuan yang mencuri pakaian itu. Kiranya ia seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang nakal dan lihai. Ia merobek-robek pakaian teecu dan menuduh teecu mengotorkan air karena mereka tadi mandi di sebelah hilir. Teecu tidak melihat mereka karena terhalang belokan sungai. Anak itu kemudian menantang. Teecu tidak melayani, akan tetapi ia menyerang bertubi-tubi sampai beberapa kali teecu jatuh. Ketika ia menyerang dengan pukulan yang mengandung sin-kang, teecu terpaksa menangkis dan iapun terhuyung. Lalu gurunya memukul teecu ........"

"Hemm, sungguh sewenang-wenang memukul anak kecil. Siapa gurunya itu?" tanya Dewa Arak dengan alis berkerut.

"Akulah yang memukulnya. Kalian mau apa?"

Mendengar suara merdu itu, tiga orang pertapa segera memutar tubuh dan memandang. Mereka tertegun, sama sekali tidak mengira bahwa guru anak perempuan seperti yang diceritakan Sin Wan tadi adalah seorang gadis cantik yang nampaknya baru berusia duapuluh tahun walaupun sikapnya menunjukkan bahwa ia jauh lebih tua dari pada nampaknya. Seorang gadis yang berpakaian mewah seperti wanita bangsawan.

"Siancai ....! nona, kenapa engkau memukul seorang anak kecil yang tidak berdosa?" Dewa Arak berseru.

"Pertama, karena ia mengotori air tempat kami mandi. Kedua, karena dia telah membuat muridku terhuyung hampir jatub. Ketiga, karena dia mempunyai ilmu pukulan Tangan Api! Di mana Se Jit Kong? Apakah kalian anak buahnya? Suruh dia keluar untuk menerlma kematian!" Wanita itu berkata dengan suara galak.

Tiga orang pertapa itu saling pandang, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih tersenyum, akan tetapi Dewa Arak tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, sungguh engkau memandang remeh kepada kami kalau menganggap kami anak buah Se Jit Kong! Anak ini memang pernah belajar ilmu dari Se Jit Kong, akan tetapi sekarang dia menjadi murid kami dan Se Jit Kong telah meninggal dunia!"

Wanita cantik itu mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung panjang dan hitam itu. "Mati? Dia sudah mampus? Hemm ........ akan sia-sia sajakah perjalananku ini?"

Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang nyaring, "Subo, pusaka-pusaka itu berada di dalam peti, di kereta ini!"

Semua orang menoleh ke arah kereta! Sebuah kepala terjulur keluar dari tirai kereta, kepala anak perempuan yang dipanggil Li Li.

"Ihhh! Kiranya kalian telah membunuhnya dan merampas pusaka-pusaka istana? Kalau begitu, serahkan nyawa dan pusaka!"

"Heiii, nona! Ketahuilah bahwa kami adalah utusan kaisar dan kami akan membawa kembali pusaka itu ke istana di kota raja!" Dewa Arak berteriak.

"Pusaka dan nyawa kalian harus diserahkan!" Wanita itu membentak dan tiba-tiba ia sudah bergerak maju, jari tangannya meluncur dengan membentuk kepala ular menotok ke arah leher Dewa Arak.

"Haiii .... ah, sungguh berbahaya dan galak!" Dewa Arak melempar tubuh ke belakang ketika melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Dari gerakan tangan itu saja dia tahu bahwa lawannya ini, biarpun masih muda, namun ganas dan lihai sekali. Benar dugaannya, begitu dia melempar tubuh ke belakang, wanita itu sudah menerjangnya lagi dengan serangan susulan. Gerakan kedua lengannya seperti dua ekor ular yang menyambar-nyambar, menimbulkan suara bercuitan, dan diam-diam Dewa Pedang

terkejut karena dia mengenal ilmu pukulan yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan ilmu pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang dikuasainya. Dewa Arak juga tahu akan hal ini, diapun kini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk menghadapi desakan itu dan balas menyerang.

Wanita itupun kelihatan terkejut melihat betapa lawannya tidak seperti yang disangkanya semula. Lawannya memiliki gerakan yang amat lincah biarpun perutnya gendut, dan ketika menangkis, ia mendapat kenyataan bahwa orang itupun memiliki sin�kang yang kuat! Melihat dua orang lain berdiri di pinggir, ia lalu mendapat akal. Ia harus merobohkan mereka yang paling lemah lebih dahulu karena kalau mereka itu keburu mengeroyoknya, mungkin ia akan kewalahan!

Tiba-tiba saja tubuhnya menyambar ke kiri. ke arah Dewa Rambut Putih, dan begitu ia menggerakkan tangan kiri, tujuh batang jarum secara bertubi-tubi menyambar ke arah tiga orang kakek itu, dan yang dijadikan sasaran adalah dada dan tenggorokan, tempat-tempat yang paling lemah!

"Siancai ....!" Dewa Rambut Putih berseru dan seperti dua orang rekannya, diapun berhasil mengebut jarum-jarum itu sehingga runtuh. Kembali wanita itu terkejut. Serangan jarumnya dapat diruntuhkan dengan mudahnya oleh tiga orang kakek itu!

"Mampuslah!" Ia menubruk ke kiri, menyerang Dewa Rambut Putih dengan dahsyatnya, mulutnya mendesis dan kedua tangan yang membentuk kepala ular itu kini terbuka dan mencengkeram, seperti ular-ular yang menggigit, sedangkan kuku-kuku jari tangannya berubah menghijau!

"Hemmm, sungguh ganas ........!" Dewa Rambut Putih melompat ke belakang menghindar, kemudian kipas di tangan kirinya mengebut. Angin keras menyambar ke arah wanita itu yang menjadi gelagapan dan terkejut karena ia mendapat kenyataan betapa kakek rambut putih ini tidak kalah lihainya dibandingkan kakek perut gendut.

"Wirrr ..........!" Tiba-tiba saja tangannya merenggut ke kepalanya sendiri dan semua tusuk sanggul telah direnggut dan dimasukkan saku, rambutnya yang panjang sampai ke pinggul itu terlepas dan begitu ia menggerakkan kepala, gumpalan rambut hitam yang harum dan panjang menyambar ke arah Si Dewa Rambut Putih.

"Hebat .......!" Kembali Pek-mau-sian Thio Ki berseru dan kebutan kipasnya ternyata tidak mampu menangkis rambut yang terus meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik lima kali baru berhasil terhindar dari sergapan rambut panjang.

Wanita itu marah bukan main. Wajahnya yang cantik berubah kemerahan, matanya mencorong, mulutnya mendesis-desis dan dengan rambut riap-riapan, biarpun ia masih amat cantik, namun ada sesuatu yang menyeramkan karena ia seperti berubah menjadi iblis yang cantik, atau siluman ular yang cantik namun berbahaya sekali.

Ia memang marah karena begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut sebatang pedang dari balik bajunya. Pedang itupun aneh gagang dan pedangnya menjadi satu, gagangnya merupakan ekor ular yang melingkar tebal, ujung pedangnya berbentuk kepala seekor ular yang menjulurkan lidahnya. Lidah itu yang amat runcing, dan sisik-sisik ular itu tajam. Sebatang pedang mirip ular! Dengan pedang aneh ini ia menyerang ke arah Kiam-sian!

Si Dewa Pedang tentu saja maklum akan kelihaian lawan. Diapun sudah mencabut pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan menangkis sambaran pedang ular.

"Cringgg .......!!" nampak banyak bunga api berpijar dan berhamburan. Keduanya terkejut dan memeriksa pedang masing-masing. Kiranya kedua pedang itu sama kuatnya dan tidak menjadi rusak.

Wanita itu menjadi semakin penasaran. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada atau jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandinginya, maka dengan penuh keyakinan diri ia memastikan bahwa Iblis Tangan Api pasti akan tewas ditangannya, dan pusaka istana akan terjatuh ke tangannya. Akan tetapi, siapa sangka, kini bertemu dengan tiga orang pendeta ini, ia tidak mampu mengalahkan seorang saja di antara mereka walaupun ia sudah mencoba menyerang dengan ilmu pukulan beracun yang ampuh, jarum-jarum beracun, rambutnya, dan bahkan pedangnya!

Ia lalu mengamuk dengan pedang dan rambutnya dan sepak terjangnya memang menggiriskan sekali. Kalau bukan Sam Sian yang diamuknya, tentu sudah jatuh korban di antara mereka. Tiga orang pendeta itu membela diri dan sengaja tidak mau merobohkan wanita itu, apa lagi membunuh atau melukainya.

Sementara itu, ketika melihat betapa anak perempuan yang nakal dan galak itu sudah berada di kereta, agaknya ketika subonya muncul tadi, kesempatan itu dipergunakan oleh si anak perempuan untuk menyusup ke atas kereta, cepat lari menghampiri kereta.

"Engkau pencuri kecil! Engkau hendak mencuri apa lagi di situ? Hayo cepat turun atau ......"

"Atau apa, hah?" Anak perempuan itu kini membuka tirai dan berdiri di dalam kereta sambil bertolak pinggang dan memandang galak, "Atau apa? Mau apa kamu kalau aku tidak mau turun?"

Sin Wan memandang gemas. Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya. Anak ini keterlaluan sekali. Akan tetapi, Sin Wan masih teringat bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Tidak pantas seorang anak laki-laki menyerang dan memukul anak perempuan. Bagaimana sikapnya andaikata anak itu adiknya yang nakal?

"Akan kuseret kau turun dari kereta dan kupukul pinggulmu lima kali biar kau tahu rasa!" Sin Wan mengancam, menganggap anak perempuan itu adik sendiri yang perlu dihajar. Hal ini menolong meredakan kemarahannya, karena kalau dia tidak menganggap anak perempuan itu adik sendiri, tentu akan timbul kemarahan yang melahirkan kebencian.

Akan tetapi jawaban itu bahkan membuat si anak perempuan membelalakkan mata saking kaget dan marahnya, "Apa .....? Kamu ..... kamu ......, kurang ajar, berani hendak menyeretku dan memukuli pinggulku? Engkau agaknya sudah bosan hidup, ya?" teriaknya dan iapun meloncat turun, bukan sembarang meloncat, melainkan meloncat sambil menerkam seperti seekor burung garuda yang menyerang seekor domba!

Sin Wan mengelak dan ketika tubuh anak itu lewat, dia mencoba untuk menangkap lengan anak itu. Dia berhasil menangkap lengan kiri anak itu dengan tangan kanannya dan selagi dia hendak meringkusnya, tiba-tiba anak itu membalik tangan kanan yang membentuk kepala ular meluncur ke arah matanya dan lengan yang dipegangnya tadi, licin bagaikan ular, sudah dapat melepaskan diri dan mencengkeram ke arah lehernya! Sungguh merupakan serangan yang amat hebat, biarpun dilakukan dua tangan anak perempuan!

"Ihh, kau ular kecil!" Sin Wan memaki sambil meloncat ke belakang. Gerakan kedua lengan anak itu mengingatkan dia akan gerakan ular.

Dimaki ular kecil, anak perempuan itu semakin marah. "Kuhajar kau, kubunuh kau!"

Dan ia lalu mengamuk, menyerang bertubi-tubi dan saking marahnya, serangannya banyak ngawur dan tidak menurut gerakan silat lagi, melainkan gerakan seorang perempuan yang marah, mencakar, mencengkeram, menampar dan menjambak!

Menghadapi anak perempuan yang mengamuk itu, Sin Wan menjadi kewalahan bahkan pipi kirinya sudah kena dicakar kuku jari tangan anak itu sehingga lecet dan berdarah! Namun akhirnya dia dapat menangkap kedua pergelangan tangan anak itu. Anak itu meronta, kemudian menggigit lengan Sin Wan.

"Aduh!" Sin Wan merenggut lengannya lepas dan kulit lengannya juga lecet berdarah.

"Kau anak liar!" bentaknya dan berhasil menelikung kedua lengan anak itu ke belakang. Ditariknya anak itu mendekati kereta. Dia lalu duduk di anak tangga kereta dan memaksa anak perempuan itu menelungkup melintang di atas pahanya, kemudian, dengan tangan kanan memegang kedua pergelangan tangan anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi, dia menggunakan telapak tangan kirinya untuk menampari pinggul yang menonjol ke atas itu.

"Engkau mencakar dan menggigit, hukumannya kutambah menjadi sepuluh kali pukulan!" Dan tangan Sin Wan menampari pinggul anak perempuan itu, berulang-ulang.

"Plak .. plak .. plak .......!"

Anak perempuan itu menjerit-jerit, bukan karena sakit pada pantatnya, melainkan sakit pada hatinya. Ia merasa dihina bukan main oleh anak laki-laki itu.

"Plak .. plak .. plak ......" Setelah sepuluh kali, baru Sin Wan menghentikan tamparannya. Telapak tangannya terasa panas setelah sepuluh kali menampar itu.

"Subo ..... tolong .....!" Anak perempuan itu menjerit-jerit dan menangis!

"Hemm, engkau bersalah, pantas dihukum, kenapa menangis?" Sin Wan melepaskan anak itu dan memandang dengan hati mulai merasa kasihan. Bagaimanapun galaknya, ia hanya seorang anak perempuan kecil.

Dia mulai merasa malu atas perbuatannya sendiri, akan tetapi ketika melihat lengan dan pipinya berdarah, penyesalannya menghilang dan dia bahkan merasa geli melihat anak itu menggunakan kedua tangan mengusap-usap pinggulnya yang ditampari tadi.

Anak perempuan itu menoleh kepada subonya untuk minta bantuan. Akan tetapi, ia tertegun melihat subonya terlempar dan jatuh terjengkang!

Wanita itu bangkit, maklum bahwa ia tidak akan menang melawan mereka bertiga, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, kedua tangan mulai menyanggul rambutnya yang awut-awutan, tiada hentinya memandang kepada tiga orang itu dan bertanya, "Siapakah kalian bertiga?" Suaranya tetap merdu akan tetapi mengandung kemarahan tertahan.

Dewa Arak mewakili rekan-rekannya berkata, "Hemmm, kepandaianmu hebat sekali, nona, akan tetapi sayang, engkau sungguh ganas dan kejam! Kami adalah tiga orang tua yang tidak suka mencari permusuhan. Aku Si Tukang Mabuk, dia ini Si Tukang Pedang dan yang itu Si Rambut Putih!" Mereka bertiga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai dewa seperti yang dikatakan orang-orang kang-ouw untuk menghormati mereka, walaupun kadang-kadang untuk mengejek mereka saling menyebut dewa!

Wanita itu terbelalak. Kini ia telah selesai menyanggul rambutnya, walaupun masih kasar dan kacau kusut. "Aih, kiranya aku berhadapan dengan Huang-ho Sam Sian (Tiga Dewa Sungai Kuning)? Baiklah Sam Sian, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi akan tiba saatnya aku mencari kalian untuk menebus kekalahan ini!"

"Hei, kamu! Siapa namamu agar kelak aku membalas penghinaan ini!" anak perempuan itupun bertanya kepada Sin Wan.

"Aku tidak punya nama," jawab Sin Wan yang tidak ingin anak itu mengingat namanya sebagai musuh dan kelak mencarinya seperti yang dikatakan wanita itu terhadap ketiga orang gurunya.

"Kau tidak bernama? Kau kerbau sapi kuda babi anjing kucing ......! Yang mana di antara itu namamu?" Anak perempuan yang galak itu memaki saking marahnya. "Semua itu namaku," jawab Sin Wan sambil tersenyum.

"Kau jahat .......!" anak perempuan itu mengepal tinju dan hendak menyerang lagi.

"Li Li, mari kita pergi!" kata gurunya, dan wanita cantik itu berkelebat, menyambar lengan muridnya dan iapun lari seperti terbang cepatnya meninggalkan tempat itu.

"Siancai ..... seorang gadis yang amat berbahaya!" kata Pek-mau-sian Thio Ki.

"Benar, ilmu pedangnyapun hebat. Kelak ia pasti akan merupakan lawan yang amat sukar dikalahkan," sambung Kiam-sian Louw Sun.

"Sayang, kita tidak tahu siapa wanita itu," kata pula Ciu-sian Tong Kui.

"Suhu, teecu tahu siapa namanya .....!" Sin Wan menghampiri tiga orang gurunya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda dan dua ekor kuda di depan kereta itu roboh!

Tiga orang pendeta itu cepat meloncat ke dekat kereta, untuk menjaga agar peti pusaka tidak diambii orang, dan mereka masih melihat berkelebatnya bayangan wanita tadi yang kini melarikan diri amat cepatnya.

Mereka memeriksa dan dua kuda itu sudah mati. Leher mereka ditembusi pisau kecil yang beracun, tepat mengenai jalan darah besar sehingga racun cepat membunuh dua ekor binatang itu.

"Hemm, ia membunuh kuda kita," kata Dewa Arak.

"Pinto tahu maksudnya. Tentu ia bermaksud agar perjalanan kita ke kota raja membawa pusaka�pusaka itu menjadi lambat," sambung Dewa Pedang.

"Siancai ......!" Benar sekali. Ini berarti bahwa wanita ganas itu masih ingin mencoba untuk merampas pusaka. Ia lihai, kalau ia membawa teman�teman yang banyak, bisa berbahaya. Kita harus mencari jalan agar dapat menyelamatkan pusaka-pusaka ini. Kalau sampai terjatuh ke tangan golongan sesat, akan sukarlah merampasnya kembali," kata Dewa Rambut Putih.

"Aku tahu jalannya!" Dewa Arak berseru sambil tersenyum gembira. "Tidak jauh dari sini terdapat benteng pasukan penjaga keamanan tapal batas. Kalau kita datang ke sana dan memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) tentu komandan pasukan itu akan suka memberi pasukan untuk mengawal keamanan pusaka untuk dikirim kembali ke kota raja."

"Itu bagus sekali!" kata Kiam-sian, "Kalau begitu, mari kita cepat bawa pusaka itu ke sana!"

Mereka lalu membuka peti pusaka, mengambil isinya dan membagi belasan buah benda pusaka itu menjadi tiga bagian, menyimpan dalam bungkusan masing-masing dan menggendongnya di punggung.

"Kau tadi mengatakan bahwa engkau mengetahui nama wanita itu. Siapakah namanya, Sin Wan?" tanya Dewa Rambut Putih.

"Ketika ia memukul teecu, ia mengatakan bahwa ia tidak membunuh teecu agar teecu dapat memberitahu Se Jit Kong bahwa wanita itu yang bernama Bi-coa Sian-li akan membunuh Se Jit Kong!"

"Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik)?" Dewa Arak berkata sambil tertegun. "Belum pernah aku mendengar julukan itu. Akan tetapi melihat kelihaiannya, mungkin sekali masih ada hubungannya dengan See-thian Coa-ong (Raja Ular Daerah Barat)!"

"Siancai ......" Dewa Pedang berseru. "Raja Ular itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi dia bukanlah golongan sesat, bukan orang jahat walaupun dia merupakan datuk yang memiliki watak luar biasa."

"Wanita tadipun belum tentu jahat walaupun ia ganas dan kejam. Buktinya, ia mencari Se Jit Kong untuk dibunuhnya. Siapa yang memusuhi Se Jit Kong, agaknya tidak dapat digolongkan sesat."

Tiga orang kakek itu lalu melakukan perjalanan cepat. Bahkan Sin Wan digendong bergantian oleh mereka agar perjalanan dapat dilakukan secepat mungkin. Hal ini dilakukan agar mereka dapat segera tiba di benteng pasukan penjaga keamanan, sebelum tiba serangan dari orang-orang yang hendak merampas pusaka istana.

Perhitungan mereka memang tepat. Setelah dilakukan perjalanan sehari penuh, pada sore harinya mereka tiba di benteng itu. Dan komandan benteng menyambut mereka dengan penuh kehormatan ketika tiga orang itu memperlihatkan tek-pai dan memberi keterangan bahwa mereka adalah utusan kaisar untuk mencari dan merampas kembali pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana.

Setelah bermalam satu malam di benteng itu, pada keesokan harinya, mereka berangkat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi sekali ini, perjalanan dilakukan dengan kereta dan dikawal oleh seratus orang perajurit!

Tentu saja orang-orang golongan sesat yang tadinya hendak menghadang dan merampas pusaka, menjadi mundur teratur melihat pengawalan yang ketat itu. Menghadapi Sam Sian saja adalah merupakan usaha yang berbahaya dan berat, apa lagi ditambah pasukan seratus orang perajurit! Andaikata mereka memberanikan diri menyerbu pasukan itu, mereka akan dicap pemberontak dan selanjutnya kehidupan mereka tidak akan aman lagi, menjadi orang-orang buruan atau musuh pemerintah!

Tiga orang pertapa itu bersama Sin Wan merasa tenang dan mereka dapat tiba di Nan-king, kota raja yang baru dari Dinasti Beng-tiauw dengan selamat.

                                 ***

Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng adalah Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama atau pendiri dari Dinasti Beng-tiauw. Pendiri Kerajaan Beng (Terang) ini berasal dari keluarga petani. Dia dilahirkan dalam tahun 1328 di dusun yang terletak antara Sungai Huai dan Sungai Kuning, di daerah pertanian, dari keluarga petani biasa.

Ketika dia berusia enam tahun, di dusun tempat tinggalnya berjangkit wabah yang membunuh banyak keluarga para petani di dusun itu. Keluarga anak yang kini menjadi Kaisar Thai-cu, dan yang dulu bernama Chu Goan Ciang ini pun terbasmi habis. Ayah ibunya, saudara-saudaranya, mati semua oleh wabah. Hanya tinggal Chu Goan Ciang seorang diri yang tinggal. Dia menjadi seorang anak berusia enam tahun yang yatim piatu dan hidup sebatang kara!

Riwayat kaisar pertama Dinasti Beng ini ketika masih kecilnya memang amat menarik, hidupnya selain miskin juga penuh dengan kesengsaraan! Setelah hidup seorang diri, sebatang kara, dia lalu bekerja sebagai penggembala kerbau. Kemudian dia bahkan mengikuti seorang hwesio tua ke kuil dan menjadi seorang hwesio kecil berkepala gundul.

Bertahun-tahun dia mempelajari ilmu bun dan bu (sastera dan silat) di kuil itu, berguru kepada para hwesio (pendeta Buddha) sehingga dia menjadi pandai, bukan saja bertubuh kuat dan pandai ilmu silat, bersemangat, juga pandai dalam hal ilmu membaca dan menulis.

Namun, kehidupan sebagai pendeta di kuil tidak memuaskan hatlnya. Dia meninggalkan kuil, hidup terlunta-lunta dan dalam usia belasan tahun itu, dia bahkan pernah mengikuti seorang pengemis sakti, hidup sebagai seorang pengemis!

Akhirnya, karena kegagahan dan kepandaiannya, karena bakatnya menjadi pemimpin, setelah bertualang di dunia kang-ouw, dia berhasil diangkat menjadi seorang beng-cu (pemimpin rakyat). Dia telah menjadi dewasa, berpengalaman dan berpengetahuan luas, sudah lenyap sama sekali bekas-bekas kehidupan petani di pedesaan.

Dia memperkuat kedudukannya, memperkuat para pengikut yang dihimpunnya menjadi pasukan, melatihnya dan dalam usia duapuluh delapan tahun, dia sudah demikian kuatnya dan memperoleh dukungan dari rakyat jelata, dari golongan rendah sampai menengah, memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Mongol yang telah menjajah Cina selama hampir seratus tahun. Dia memimpin pasukan rakyatnya menyerbu dan menguasai Nan-king yang kemudian menjadi pusat kekuasaannya, bahkan kemudian menjadi kotarajanya. Dan

dalam tahun 1368, dalam usia empatpuluh tahun, dia telah berhasil menguasai seluruh wilayah kekuasaan Mongol di daratan Cina. Dia lalu mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti Beng dan dia menjadi kaisar pertamanya yang bernama Kaisar Thai-cu.

Semenjak itu, Kaisar Thai-cu terus mengadakan pembersihan, mengirim pasukan di bawah pimpinan Jenderal Su Ta, yaitu seorang panglima yang menjadi tangan kanannya, jauh ke utara dan barat untuk mengejar sisa-sisa pasukan Mongol dan bahkan membakar kotaraja Karakorum, kota raja lama yang dulu menjadi pusat kekuasaan pendiri Kerajaan Mongol, yaitu Jenghis Khan.

Jilid 4

KETIKA Sam Sian dan Sin Wan diperkenankan menghadap kaisar untuk menyerahkan pusaka-pusaka yang berhasil ditemukan kembali oleh Tiga Dewa itu, Kaisar Thai-cu telah tujuh tahun menjadi kaisar (1375). Tentu saja Kaisar Thai-cu gembira bukan main ketika menerima Sam Sian dan melihat betapa semua pusaka yang dicuri maling itu telah dapat ditemukan kembali. Kaisar yang sebelum menjadi kaisar sudah banyak bertualangan di dunia kang-ouw ini tahu benar bahwa mengandalkan pasukan saja, akan sulit untuk dapat menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang. Oleh karena itulah maka dia mengutus Sam Sian untuk mencari dan membawa kembali pusaka-pusaka itu. Saking gembiranya Kaisar Thai-cu menawarkan kedudukan kepada mereka bertiga. Ketika Sam Sian menolaknya dengan halus, Kaisar Thai-cu yang sudah mengenal watak-watak para tokoh dan datuk persilatan, tidak menjadi marah.

"Kalau begitu, kalian pilih sebuah di antara pusaka-pusaka yang dapat ditemukan kembali ini. Pilihlah sebuah yang paling disukai, dan kami hadiahkan pusaka itu kepada kalian."

Karena seorang demi seorang yang ditawari, Dewa Arak berkata, "Hamba tidak membutuhkan pusaka, karena kesukaan hamba hanyalah minum arak."

Kaisar Thai-cu tertawa dan dia lalu mengutus seorang petugas untuk mengambilkan sebuah guci arak yang merupakan benda pusaka pula karena guci itu terbuat dari semacam batu kumala yang berkhasiat. Bukan saja arak yang disimpan dalam guci itu akan menjadi semakin lezat, juga kalau ada racun terkandung dalam minuman atau makanan, begitu dimasukan ke dalam guci yang warnanya putih kebiruan itu akan menjadi hitam! Tentu saja Dewa Arak merasa gembira sekali menerima guci arak yang ada gantungannya itu, apalagi guci itu diisi arak yang paling tua di istana. Dia cepat menghaturkan terima kasih.

Ketika tiba giliran Dewa Rambut Putih, dia memberi hormat, "Hamba juga tidak membutuhkan pusaka, karena kesukaan hamba hanyalah membaca kitab dan meniup suling membuat sajak."

Kaisar Thai-cu mengangguk-angguk senang dan memandang kagum. Lalu dia mengutus petugas lain untuk mengambilkan sebuah kitab kumpulan huruf-huruf (semacam kamus) dan sebuah suling yang terbuat dari perak dan mempunyai suara yang amat nyaring dan merdu. Mendapatkan hadiah yang baginya lebih bernilai dari pada segala macam pusaka. Dewa Rambut Putih menghaturkan terima kasih dengan hati gembira.

Tinggal Dewa Pedang yang ditawari memilih sebuah di antara pusaka yang ditemukan kembali. Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, tentu saja ia mengincar pedang yang dianggapnya paling hebat di antara pusaka-pusaka itu, yaitu Gin-kong-kiam (Pedang Sinar Perak) yang pernah dipergunakan mendiang Se Jit Kong melawan pedangnya, yaitu Jit-kong-kiam dan ternyata pedang pusaka kerajaan itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan pedangnya sendiri.

Akan tetapi, dia teringat akan Sin Wan. Pernah Sin Wan bercerita kepadanya tentang Pedang Tumpul, yaitu pedang buruk yang pernah dilihat anak itu dan bahkan Se Jit Kong pernah menceritakan riwayat pedang itu kepada Sin Wan. Sin Wan mengatakan kepadanya bahwa anak itu amat suka dengan Pedang Tumpul. Ketika ditanya mengapa menyukai pedang tumpul yang tentu kurang bermanfaat sebagai pedang, anak itu membantah.

"Suhu, teecu sudah bersumpah kepada ibu bahwa teecu tidak akan menjadi jahat dan kejam seperti mendiang Se Jit Kong. Bahkan teecu di depan makam ibu bersumpah tidak akan melakukan pembunuhan. Pedang tumpul itu cocok sekali untuk teecu. Karena tidak tajam, dan tidak runcing, maka pedang itu tidak berbahaya bagi nyawa lawan, akan tetapi cukup baik untuk dipakai membela diri. Apa lagi menurut mendiang Se Jit Kong, pedang itu dahulunya bernama Pedang Asmara yang sudah dirombak, pedang yang menjadi lambang kasih sayang."

Kini, ketika Kaisar Thai-cu menawarkan sebuah di antara pusaka-pusaka itu untuk dipilihnya, diapun memberi hormat. "Kalau paduka mengijinkan, hamba mohon diberi hadiah Pedang Tumpul ini." Dia menunjuk ke arah pedang di antara tumpukan pusaka itu.

"Apa? Pedang yang buruk ini pilihanmu, totiang (bapak pendeta)?" Kaisar bertanya sambil mengangkat pedang yang amat buruk itu, kemudian menghunusnya. "Aih, pedang ini bukan saja gagang dan sarungnya amat sederhana, akan tetapi pedangnya sendiri tumpul dan buruk!"

"Ampun, Sribaginda. Keburukan melahirkan kebaikan, dan kebaikan melahirkan keburukan, keduanya tak terpisahkan. Akan tetapi hamba memilih yang buruk kulitnya akan tetapi baik isinya, daripada yang baik kulitnya akan tetapi buruk isinya."

Kaisar Thai-cu tertawa senang. "Ha-ha-ha, totiang benar. Pedang ini memang gagal pembuatannya sehingga nampak buruk, akan tetapi kabarnya pedang ini terbuat dari pada batu bintang hijau. Nah, terimalah, totiang, dan mudah-mudahan bukan saja isinya yang baik, akan tetapi juga kegunaannya."

Kiam-sian menerima pedang itu dengan gembira dan menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka mendapat ijin untuk mengundurkan diri. Diam-diam Sin Wan yang diajak guru-gurunya menghadap kaisar, kagum bukan main. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat gedung yang demikian indah seperti istana itu, dan melihat perabot-perabot dan barang�barang yang luar biasa sehingga dia merasa seperti dalam mimpi saja.

Ketika Sam Sian dan Sin Wan keluar dari pintu gerbang istana yang terakhir dan menghadap ke jalan umum, di luar pintu gerbang itu terdapat seorang anak perempuan yang ditemani seorang wanita setengah tua. Begitu melihat Sam Sian, anak perempuan itu segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah di tepi jalan.

"Sam-wi lo-cianpwe (tiga orang tua gagah), saya Lim Kui Siang mohon agar diterima sebagai murid sam-wi."

Tentu saja tiga orang kakek itu saling pandang dan merasa heran. Mereka mengamati anak perempuan itu. Seorang anak perempuan yang usianya sembilan atau sepuluh tahun, wajahnya yang cantik manis dengan kulit putih mulus itu nampak berduka, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang anak bangsawan atau hartawan.

"Nona kecil, jangan begitu. Kami tidak menerima murid, dan jangan berlutut di tepi jalan, nanti menjadi tontonan orang." kata Dewa Arak dan menghampiri anak itu hendak mengangkatnya bangun.

"Sam-wi lo-cianpwe, sebelum sam-wi menerima saya sebagai murid. Saya akan tetap berlutut di sini sampai mati!"

Tentu saja ucapan ini membuat tiga orang kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi mereka lalu tersenyum dan di dalam hati mereka tidak percaya bahwa anak perempuan yang jelas anak seorang bangsawan ini akan benar-benar senekat itu.

"Nona, sudah kami katakan bahwa kami tidak menerima murid. Bangkitlah dan pulanglah, nona," kata pula Dewa Arak dan kepada wanita setengah tua yang berpakaian pelayan itu diapun berkata, "Ajaklah nonamu pulang. Tidak baik membiarkan ia bersikap seperti ini di tempat umum."

Akan tetapi wanita pelayan itu memberi hormat dan berkata dengan suara sedih. "Sudah sejak di rumah tadi saya mencoba untuk membujuk siocia (nona), bahkan paman-paman dan bibi-bibinya membujuk. Akan tetapi siocia berkeras hati."

"Kalau begitu, biarkan sajalah kalau ia ingin berlutut di sini sampai mati," kata pula Dewa Arak dan diapun memberi isyarat kepada dua orang rekannya untuk meninggalkan pintu gerbang itu, tidak mau menoleh lagi.

Sin Wan yang beberapa kali menoleh! Melihat betapa anak itu masih tetap berlutut, tidak bergerak sama sekali, dia merasa kasihan sekali.

"Kenapa suhu bertiga membiarkan ia berlutut di sana terus? Bagaimana kalau ia benar-benar tidak mau bangkit lagi dan akan berlutut terus di sana sampai mati seperti yang ia katakan tadi?"

"Ha .. ha .. ha!" Dewa Arak berkata, "Ia anak bangsawan yang tentu sejak kecil dimanja dan setiap keinginannya harus dipenuhi. Ia hanya menggertak saja."

"Siancai ..... pinto (aku) belum pernah mendengar, apalagi melihat ada anak sekecil itu demikian teguh hati akan berlutut terus sampai mati kalau tidak dipenuhi permintaannya," kata Kiam-sian si Dewa Pedang.

"Ia tentu dibuai khayal, mendengar bahwa kita telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu, dan ia bermimpi untuk kelak menjadi seorang pendekar wanita. Seorang anak bangsawan yang biasa hidup mewah dan senang, mana mungkin dapat menghadapi kehidupan sulit di pertapaan?" kata pula Si Dewa Rambut Putih.

Akan tetapi Sin Wan tidak setuju dengan pendapat tiga orang gurunya. Dia tadi melihat betapa anak perempuan itu nampak bersedih dan sinar matanya seperti orang yang putus harapan. Dalam keadaan seperti itu tidak akan aneh kalau anak itu berlaku nekat dan benar-benar akan berlutut di sana sampai mati!

"Suhu, hati teecu merasa tidak enak. Bagaimana kalau ia benar-benar berlutut di sana sampai mati? Kalau hal itu terjadi, apakah suhu bertiga tidak akan merasa berdosa dan menyesal?"

Tiga orang kakek itu berhenti melangkah. Pintu gerbang istana itu sudah tertinggal jauh dan tidak nampak lagi, akan tetapi mereka menengok ke belakang seolah hendak melihat apakah anak perempuan itu masih berlutut di sana.

"Hemmm, Sin Wan., Apakah engkau hendak mengatakan bahwa kami harus menerima anak itu menjadi murid?" tanya Dewa Pedang sambil menatap tajam wajah Sin Wan.

Wajah Sin Wan menjadi kemerahan dan dia menjawab, "Tentu saja keputusan itu terserah kepada suhu bertiga. Teecu hanya hendak mengatakan bahwa anak itu bersikap seperti tadi tentu ada alasan dan sebabnya yang kuat. Setidaknya, alangkah baiknya kalau suhu bertiga mengetahui sebabnya, dan sebelum kita meninggalkannya, kita dapat membujuk agar ia tidak bersikap nekat seperti itu."

Tiga orang kakek itu saling pandang. Mereka bukanlah orang-orang yang bersikap acuh dan kejam. Merekapun tertarik melihat sikap anak perempuan itu, akan tetapi mereka tadi bersikap seolah-olah mereka acuh justeru untuk menguji dan mengetahui bagaimana Sin Wan menghadapi peristiwa itu.

"Ha .. ha .. ha, kalau begitu, biar kita tunggu dan lihat nanti. Kalau ia hanya berlutut selama semalam ini saja, kurasa ia tidak akan mati karena itu. Besok pagi-pagi baru kita lihat apakah ia masih berada di sana. Ha .. ha .. ha agaknya memang sudah takdir bahwa kita harus tinggal semalam lagi di kota raja."

Mereka tidak mau bermalam di rumah penginapan. Berita tentang mereka yang berhasil menemukan kembali pusaka istana yang hilang tentu sudah tersiar dan kalau mereka bermalam di tempat umum, tentu hanya akan menarik perhatian orang.

Dewa Arak yang banyak pengalamannya di kota raja lalu mengajak dua rekannya dan Sin Wan melewatkan malam itu di sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, terletak di daerah pinggiran yang terpencil. Kuil tua itu kini menjadi tempat bermalam para pengemis dan mereka yang tidak mempunyai rumah, atau pendatang dari luar kota raja yang tidak mampu membayar sewa kamar yang mahal.

Malam itu Sin Wan gelisah tidak dapat pulas. Bukan karena tempatnya yang buruk.

Semenjak mengikuti tiga orang gurunya, dia sudah terbiasa hidup seadanya, tidur di mana saja, bahkan di tempat terbuka. Bukan karena tempat itu yang membuat dia tidak dapat tidur, melainkan dia selalu teringat kepada anak perempuan itu! Akan tetapi, tiga orang gurunya tidur dengan nyenyaknya!

Dia tidak bermaksud melakukan sesuatu di luar tahu guru-gurunya. Akan tetapi mereka sudah pulas dan dia tidak ingin mengganggu mereka. Maka, dengan hati-hati Sin Wan meninggalkan ruangan di bagian belakang kuil itu, mengambil jalan dari samping agar tidak mengganggu mereka yang tidur di ruangan tengah dan depan, lalu meninggalkan kuil itu, pergi menuju ke arah istana!

Begitu dia keluar, hujan turun rintik-rintik, akan tetapi Sin Wan melanjutkan perjalanannya melalui pinggir rumah ke rumah sehingga tidak basah kuyup pakaiannya. Akhirnya, dia tiba di depan pintu gerbang istana yang menghadap jalan raya.

Anak perempuan itu masih di sana! Jantungnya seperti ditusuk karena haru dan iba. Anak perempuan itu masih berlutut seperti tadi siang!

Pelayan wanita setengah tua tadipun masih di belakangnya, kini memegang sebuah payung terbuka untuk memayungi anak perempuan itu, melindunginya dari air hujan rintik-rintik. Akan tetapi, anak perempuan itu tidak perduli, masih berlutut pada hal air hujan telah menggenangi tempat ia berlutut sehingga kaki dan pakaiannya menjadi basah dan kotor oleh lumpur.

"Siocia marilah kita pulang dulu. Hari sudah malam, hujan turun. Besok, boleh siocia lanjutkan lagi," berulang kali pelayan itu membujuk dengan suara hampir menangis.

Akan tetapi anak perempuan itu sama sekali tidak bergerak atau menjawab.

Sebuah kereta berhenti di dekat tempat itu dan empat orang turun dari kereta. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, berpakaian seperti hartawan. Empat orang itu menghampiri si gadis kecil dan merekapun membujuk-bujuk, mengajak anak perempuan. itu pulang.

Akan tetapi anak itu tetap tak bergerak dan tidak menjawab. Ketika dua orang pria yang menyebutkan diri sendiri sebagai paman kepada anak perempuan itu hendak memaksanya, menarik lengannya untuk dipaksa pulang, pelayan wanita ini mencegah dengan suara memohon.

"Harap siocia jangan dipaksa. Tadi siocia mengatakan kepada saya bahwa kalau ia dipaksa pulang, sampai di rumah siocia akan, membunuh diri!"

Mendengar ucapan itu, dua orang pria itu terkejut dan melepaskan tangan anak perempuan itu yang terus berlutut dan menundukkan mukanya. Akhirnya, karena hujan turun semakin deras, dua pasang suami isteri itu naik ke dalam kereta dan kereta itupun meninggalkan tempat itu. Anak perempuan itu masih, berlutut dan pembantunya masih berdiri di belakangnya sambil memayunginya.

Sin Wan tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun nekat menempuh hujan, menghampiri anak perempuan itu. Dilihatnya anak itu masih berlutut seperti arca, sama sekali tidak bergerak dan mukanya menunduk. Biarpun wanita itu memayunginya, namun angin membuat air hujan menyiram dari samping dan pakaian anak itu sudah basah kuyup, demikian pula rambutnya dan air menetes-netes dari dagunya yang hampir menempel dada.

"Nona, kenapa engkau berkeras hendak menjadi murid tiga orang lo-cianpwe itu?"

Anak perempuan itu diam saja, mengangkat mukapun tidak, apa lagi menjawab.

"Nona, tidak baik menyiksa diri seperti ini. Engkau bisa masuk angin dan jatuh sakit. Kalau hanya ingin belajar ilmu silat, bukankah di kota raja ini terdapat banyak guru silat? Kenapa nona berkeras hendak belajar dari tiga orang lo-cianpwe itu?" Sin Wan kembali bertanya, suaranya lembut. Namun yang ditanyanya tidak menjawab, bergerakpun tidak.

"Orang muda, harap jangan ganggu siocia. Siapapun yang mengajaknya bicara, ia tidak akan mau menjawab, kecuali kalau tiga orang kakek tadi yang datang bicara dengannya," kata pelayan yang memayungi.

Akhirnya Sin Wan meninggalkan anak itu, di dalam hatinya mencela tiga orang gurunya yang dianggap kejam dan acuh terhadap seorang anak yang mempunyai tekad sedemikian hebatnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Sin Wan yang sama sekali tidak tidur malam itu, sudah menyambut tiga orang gurunya yang baru bangun dengan permintaan agar mereka segera menengok anak perempuan yang berlutut di depan pintu gerbang istana!

"Marilah, suhu. Kasihan anak perempuan yang berlutut semalam suntuk di sana, pada hal semalam hujan turun ....."

Dewa Arak tertawa. "Ha .. ha .. ha. bagaimana engkau tahu bahwa ia masih berada di sana, Sin Wan ? Siapa tahu semalam ia sudah pulang dan tidur nyenyak di kamarnya yang indah dan hangat."

"Tidak suhu. Ia memang semalam suntuk berlutut di sana, Maaf, semalam teecu menengok ke sana. Teecu tidak dapat memberi tahu kepada suhu bertiga karena suhu sudah tidur pulas. Teecu bahkan membujuknya agar ia menghentikan kenekatannya, namun sia-sia. Ia tidak akan mau bangkit sebelum suhu bertiga datang dan mengajaknya seperti yang dikatakannya kemarin."

Tentu saja tiga orang sakti sudah mengetahui akan semua ini. Semalam mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk membayangi murid mereka, dan merekapun melihat semuanya. Kalau kini mereka berpura-pura, hal itu mereka lakukan untuk menguji sampai di mana kejujuran murid mereka.

"Hemm, baiklah. Mari kita pergi ke sana," kata Dewa Rambut Putih dan Sin Wan ingin bersicepat, bahkan berjalan paling dulu untuk segera tiba di pintu gerbang itu.

Benar saja. Anak perempuan itu masih berlutut di situ! Pelayan wanita juga masih di sana, menangis! Dan mulailah banyak orang datang merubung karena tentu saja amat menarik melihat seorang anak perempuan bangsawan berlutut di situ, apa lagi mendengar bahwa anak itu berlutut disitu sejak kemarin siang, dan semalam bahkan berhujan-hujan di situ!

Sam Sian menghampiri anak itu dan Dewa Arak menyentuh kepala anak perempuan itu. "Hemm, engkau sungguh keras hati, anak baik. Marilah kita bicara tentang dirimu sebelum kami mengambil keputusan. Mari, bangkitlah!" Dewa Arak memegang tangan anak itu dan menariknya berdiri.

Anak itu sudah lemas dan tentu akan roboh kalau tangannya tidak digandeng Dewa Arak. Wajahnya yang manis itu agak pucat, akan tetapi matanya bersinar cerah ketika ia memandang kepada tiga orang kakek itu. Ia menurut saja ketika dibimbing menuju ke sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi menjual sarapan bubur ayam dan teh panas.

Dewa Arak memesan bubur ayam untuk dia, Sin Wan, anak perempuan itu dan pelayan wanita yang terus mengikuti nonanya, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih memesan bubur tanpa daging ayam.

"Makanlah dulu, baru kita bicara," kata Dewa Arak kepada anak perempuan itu yang tanpa membantah segera makan bubur ayam. Sarapan hangat ini penting sekali bagi kesehatannya, setelah ia berlutut sejak kemarin, semalam berhujan-hujan di tempat terbuka, tidak makan tidak minum.

Setelah mereka makan, barulah Dewa Arak bertanya, "Nah, sekarang katakan mengapa engkau bersikap seperti itu? Siapakah engkau dan mengapa pula engkau ingin menjadi murid kami?"

Anak itu ingin menjawab, akan tetapi hanya bibirnva yang bergerak gemetar dan iapun menundukkan mukanya, menangis! Pelayannya yang duduk di sebelahnya merangkul nonanya dan iapun mewakili nonanya menceritakan riwayat anak itu.

"Siocia (nona) bernama Lim Kui Siang, berusia hampir sepuluh tahun. Saya adalah pelayan dan pengasuhnya sejak ia masih bayi. Siocia ini puteri dari keluarga Lim, bangsawan dan pejabat tinggi yang tadinya menjabat sebagai pengurus gudang pusaka istana.

Ketika terjadi pencurian pusaka-pusaka itu, Lim-taijin (pembesar Lim) tewas pula dibunuh pencuri. Ibunya, yang sedang menderita sakit, terkejut mendengar akan tewasnya suaminya, apalagi keluarga Lim harus bertanggung jawab mengenai kehilangan itu. Maka, kedukaan akhirnya membuat ibu siocia ini meninggal pula."

"Hemm ......, apa hubungannya semua itu dengan kenekatannya untuk menjadi murid kami?" Dewa Arak bertanya.

"Saya tidak tahu ...... nona, ceritakanlah sendiri mengapa nona bersikeras untuk belajar ilmu dari mereka ......."

Anak perempuan itu, Lim Kui Siang, sudah dapat menguasai kesedihannya dan iapun mengangkat muka memandang kepada tiga orang pendeta itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan sinar matanya penuh harapan.

"Saya telah menjadi yatim piatu. Kedua orang paman saya, adik dari ibu saya, bersikap baik, akan tetapi saya tahu bahwa mereka itu berbaik kepada saya karena menghendaki harta warisan orang tua saya. Saya muak dengan kepalsuan mereka semua itu. Kematian ayah dan ibu membuat saya kehilangan segala-galanya. Saya mendendam kepada pembunuh ayah yang menjadi pembunuh ibuku pula. Saya mendengar bahwa Sam-wi lo-cianpwe telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu. Ini berarti bahwa sam-wi lebih pandai dari pada pencuri itu. Maka saya bertekad untuk berguru kepada sam-wi!" katanya dengan suara mantap dan tegas.

"Ho .. ho .. ha .. ha .. ha !" Dewa Arak tertawa. "Kalau engkau ingin bersusah payah mempelajari ilmu untuk membalas dendam, jerih-payahmu itu akan sia-sia belaka, nona. Ketahuilah bahwa orang yang kau musuhi itu, pencuri yang membunuh ayahmu itu, dia telah mati!"

Akan tetapi anak perempuan itu tidak kelihatan kaget. "Biarpun dia telah mati, saya tetap ingin mempelajari ilmu dari sam-wi lo-cianpwe," katanya tegas.

"Ehh? Untuk apa seorang anak perempuan bangsawan seperti engkau mempelajari ilmu silat, sedangkan orang yang kau musuhi itu sudah tidak ada?" tanya Dewa Arak, tertarik oleh kekerasan dan kesungguhan hati anak itu.

"Ayahku tewas karena dia tidak pandai ilmu silat, ibuku juga meninggal dunia karena tubuhnya lemah. Saya ingin menjadi orang yang pandai silat sehingga saya dapat membela diri, melindungi orang-orang yang tidak bersalah, menentang penjahat-penjahat keji, dan saya ingin mempunyai tubuh kuat tidak seperti ibu. Nah, saya mohon sam-wi sudi menerima saya sebagai murid."

Dan kembali anak perempuan itu menjatuhkan diri berlutut. "Sekali ini saya tidak akan nekat berlutut seperti kemarin, akan tetapi kalau sam-wi menolak, selamanya saya akan menganggap sam-wi tidak mempunyai belas kasihan kepada seorang anak yatim piatu seperti saya."

Tiga orang kakek itu saling pandang. Anak ini memang lain dari pada yang lain. Kecuali keras hati dan bersemangat, juga pandai bicara!

"Siancai .....! Kami suka saja menjadi gurumu, akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan rumah peninggalan orang tuamu? Tentu banyak sekali harta peninggalan orang tuamu. Kalau kau tinggalkan, bagaimana dengan semua warisan itu?"

"Saya tidak perduli! Paman-paman saya dan keluarga mereka sudah selalu mengincar harta itu. Biarlah mereka bagi-bagi. Saya tidak butuh harta, saya butuh ilmu dari sam-wi suhu (guru bertiga)!"

"Ha .. ha .. ha, sungguh aneh mendengar ucapan itu keluar dari mulutmu, nona kecil. Kalau bagi kami bertiga, memang kami tidak membutuhkan harta karena kami suka hidup di tempat sunyi, tldak membutuhkan apa-apa lagi. Akan tetapi, engkau adalah seorang anak perempuan, puteri seorang bangsawan. Kelak engkau akan membutuhkan untuk keperluan hidupmu. Kebetulan aku mempunyai seorang kenalan di kota raja, yaitu Ciang-ciangkun. Biar kutitipkan semua harta peninggalan orang tuamu itu kepadanya untuk dilindungi, agar kelak engkau dapat menerimanya kembali darinya."

Anak perempuan itu memandang kepada tiga orang kakek itu dengan wajah berseri. "Ini berarti bahwa sam-wi suhu menerima saya sebagai murid!"

Tiga orang itu saling pandang dan tersenyum, lalu mengangguk. Jarang ditemukan seorang anak perempuan seperti itu. Mereka sudah mengambil Sin Wan sebagai murid, tidak apa ditambah seorang murid perempuan lagi.

"Suhu .......!" Anak perempuan itu lalu memberi hormat kepada mereka bertiga secara bergantian. Lalu ia bangkit dan merangkul wanita setengah tua yang menjadi pengasuhnya sejak ia masih kecil.

"Kiu-ma, engkau sudah mendengar sendiri. Aku diterima menjadi murid ketiga orang suhu ini dan aku akan pergi mengikuti mereka. Kiu-ma, engkau pulanglah dan kalau engkau masih suka, tinggallah di rumah keluargaku. Kalau tidak, engkau boleh pulang ke dusun dan semua yang kuberikan kepadamu itu dapat kaubawa pulang."

"Siocia .....ah, siocia ......!" Wanita itu merangkul dan menangis sedih.

"Sudahlah Kiu-ma. Peristiwa ini amat membahagiakan hatiku, kenapa engkau sambut dengan tangis? Jangan mendatangkan kesedihan bagiku, Kiu-ma. Kalau aku sudah selesai belajar ilmu kelak, tentu kau akan kucari dan kita akan dapat bertemu kembali."

Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya pelayan yang setia ini meninggalkan nonanya dan menyerahkan buntalan pakaian yang memang sudah dipersiapkan lebih dulu oleh Kui Siang. Anak perempuan ini memang sudah mengambil keputusan tetap, maka ketika meninggalkan rumah untuk menghadang tiga orang kakek itu di depan pintu gerbang, ia telah membawa bekal, bahkan sudah meninggalkan banyak emas kepada Kiu-ma, pelayannya yang setia.

Pada keesokan harinya, Dewa Arak mengajak Kui Siang pergi ke gedung Ciang-ciangkun (perwira Ciang), seorang komandan pasukan yang terkenal gagah perkasa. Perwira ini pernah ketika terjadi perang menumbangkan kekuasaan Mongol, dan dia sedang memimpin pasukannya, dia terjepit dan terkepung musuh. Dia dengan belasan orang pengawalnya saja dikepung ratusan orang perajurit Mongol dan kalau tidak muncul Dewa Arak yang menyelamatkannya, sukarlah bagi perwira itu untuk menghindarkan diri dari kematian. Inilah sebabnya mengapa Dewa Arak mengenal perwira Ciang itu.

Kunjungannya pada pagi hari itu diterima oleh Ciang-ciangkun yang kini berusia empatpuluh tahun itu dengan penuh kehormatan dan kegembiraan. Biarpun kini dia sudah memperoleh kedudukan tinggi, panglima ini tidak melupakan orang yang pernah merenggutnya dari cengkeraman maut.

Ketika Dewa Arak menerangkan bahwa Lim Kui Siang, puteri dari mendiang bangsawan Lim akan ikut dengan dia menjadi muridnya, dan bahwa Dewa Arak menitipkan harta kekayaan anak itu sebagai peninggalan orang tuanya dalam pengawasan Ciang-ciangkun, perwira itu menerimanya dengan penuh kesungguhan hati.

"Jangan khawatir, totiang. Saya mengenal baik mendiang Lim-taijin, seorang pembesar yang baik dan jujur. Memang amat malang nasibnya, akan tetapi sungguh beruntung puterinya dapat menjadi murid totiang. Saya akan menjaga semua harta milik nona Lim Kui Siang dan kelak, kalau ia sudah kembali ke sini tentu akan saya serahkan semua hak miliknya kepadanya."

Anak perempuan itu lalu disuruh membuat pernyataan tertulis mengangkat perwira Ciang menjadi kuasanya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta peninggalan orang tuanya Setelah itu, Dewa Arak mengajak muridnya meninggalkan perwira Ciang dan mereka bergabung dengan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, bersama Sin Wan meninggalkan kota raja.

Ketika Kui Siang dan Sin Wan saling bertemu dan saling pandang, Sin Wan tersenyum dan berkata, "Sumoi, aku girang sekali kita dapat menjadi saudara seperguruan."

"Aku juga girang sekali, suheng."

Hanya itulah ucapan mereka karena mereka belum saling mengenal. Kelak kalau mereka sudah akrab, keduanya semakin merasa suka karena memiliki nasib yang sama, yaitu keduanya sudah yatim piatu. Akan tetapi ketika menceritakan riwayatnya kepada sumoi (adik seperguruan) itu, Sin Wan tidak pernah menyinggung tentang Se Jit Kong, hanya menceritakan bahwa ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Jubaedah, keduanya Bangsa Uigur dan sudah meninggal dunia.

Sam Sian atau Tiga Dewa membawa dua orang murid mereka ke sebuah puncak yang diberi nama Pek-ln-kok (Lembah Awan Putih), satu di antara lembah Pegunungan Ho-lan-san yang terletak di pantai barat Sungai Kuning. Pek-in-kok inilah yang menjadi tempat Sam Sian mengasingkan diri selama ini.

Lembah yang berada dekat puncak ini berhawa sejuk dan bertanah subur. Akan tetapi untuk mencapai tempat itu merupakan hal yang amat sulit karena melalui dinding karang yang terjal dan sulit didaki orang biasa. Ini sebabnya maka tempat itu tidak pernah dikunjungi orang luar dan menjadi tempat pertapaan yang benar-benar amat tenang dan tenteram.

Di sebeIah timur kaki Pegunungan Ho-lan-san terdapat sebuah kota di tepi Sungai Kuning. Kota ini cukup besar dan ramai, yaitu kota Yin-coan dan sedikitnya sebulan sekali, Sin Wan dan Kui Siang mendapat kesempatan turun gunung dan berkunjung ke kota ini untuk membeli keperluan untuk mereka berlima. Selain itu, mereka tidak pernah berhubungan dengan orang luar dan setiap hari, kedua orang anak itu menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dari tiga orang guru mereka.

                                 ***

Waktu merupakan suatu kenyataan yang amat aneh. Segala sesuatu di dalam kehidupan manusia di dunia ini, akhirnya menyerah kepada sang waktu kesemuanya, satu demi satu akan menyerah untuk ditelan habis oleh Sang Waktu! Waktu merupakan bukti akan kekuasaan Tuhan, merupakan bahwa segala sesuatu di permukaan bumi ini tidak abadi adanya. Hanya Tuhan yang abadi, tanpa awal tanpa akhir. Segala sesuatu akan berubah menjadi permainan sang waktu.

Apabila tidak diperhatikan, sang waktu melesat cepat melebihi cahaya, melebihi kecepatan apapun juga sehingga seorang kakek yang mengenang masa kanak-kanaknya akan merasa betapa sang waktu lewat sedemikian cepatnya sehingga puluhan tahun bagaikan baru kemarin dulu saja! Sebaliknya, kalau orang menanti sesuatu dan memperhatikan sang waktu akan merangkak atau merayap seperti seekor siput.

Waktu juga mempermainkan pikiran dengan pembagiannya sebagai kemarin, hari ini dan esok atau masa lalu, saat ini dan masa depan. Pikiran yang mengenang masa lalu hanya mendatangkan dendam, duka den penyesalan. Sedangkan pikiran yang membayangkan masa depan hanya mendatangkan rasa malu, rasa takut dan khayalan muluk. Masa lalu sudah lewat, hanya kenangan, masa depan belum ada, hanya khayalan. Menghadapi saat ini, detik demi detik, berarti menghadapi kenyataan dan itulah hidup.

Hidup merupakan tantangan setiap saat yang harus kita hadapi, yang hanya kita tanggulangi. Bagi yang hidup, dari saat ke saat bebas dari masa lalu dan masa depan. Saat ini adalah pelaksanaan hidup, saat ini adalah cara hidup, jalan hidup, sedangkan besok hanyalah ambisi, khayalan. Yang lalu sudah mati, yang kelak belum datang. Sekarang benar, nantipun benar. Benar dan tidak terletak pada saat sekarang ini!

Tuhan sudah menciptakan kita dalam keadaan sempurna, serba lengkap dengan perabot dan alat yang dapat kita pergunakan untuk menghadapi dan menanggulangi hidup, lengkap dengan jasmani yang serba lengkap, panca indera, hati dan akal budi. Semua itu masih ditambah lagi dengan kekuasaan Tuhan yang meliputi diri kita luar dan dalam, kekuasaan Tuhan yang melindungi, membimbing, asal kita mendasari semua ikhtiar dengan penyerahan kepada Tuhan Maha Kasih dengan sabar, tawakal dan ikhlas! Semua kehendak Tuhan jadilah!

Tanpa terasa lagi sepuluh tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan di bagian depan. Pagi itu udara amat cerah di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) biarpun sinar matahari pagi masih terlampau lunak untuk dapat mengusir hawa yang dingin sejuk dan terasa menusuk tulang bagi mereka yang tidak biasa tinggal di tempat yang berhawa dingin.

Sudah sejak subuh tadi Sin Wan dan Kui Siang meninggalkan lembah dan pergi ke kota Yin-coan. Tahun baru tinggal sebulan lagi dan tiga orang guru mereka menyuruh mereka pergi ke Yin-coan untuk membeli pakaian baru untuk kedua orang murid itu.

"Akan tetapi, suhu. Untuk apa teecu berdua harus membeli pakaian baru?" tanya Sin Wan yang kini telah menjadi seorang pemuda berusia duapuluh tahun.

Pemuda ini bertubuh tegap dan sedang, dengan dada lebar dan kaki tangan kokoh kuat. Dahinya lebar, rambutnya hitam panjang digelung ke atas, alisnya tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang besar dan bersinar cerah. Hidungnya mancung agak besar, dan mulutnya membayangkan keramahan dengan dagu yang berlekuk membayangkan keteguhan hati. Seorang pemuda yang gagah dan ganteng, dengan kulit yang agak gelap.

"Teecu juga heran. Kenapa teecu berdua diharuskan berbelanja pakaian baru? Pakaian teecu masih baik dan masih cukup banyak." Kui Siang juga membantah.

Dewa Arak yang mewakili dua orang rekannya menyuruh dua orang murid itu, tersenyum. Tiga orang pertapa yang di juluki Sam Sian (Tiga Dewa) itu kini telah tua. Usia mereka sudah enampuluh tahun lebih, akan tetapi mereka masih nampak sehat dan kuat. Terutama sekali Ciu-sian Tong Kui. Dewa Arak yang memiliki pembawaan gembira ini nampak lebih muda dari dua orang rekannya. Usianya yang enampuluh dua tidak meninggalkan bekas. Nampaknya dia belum ada limapuluh tahun!

"Sin Wan dan Kui Siang, kalian adalah orang-orang muda. Kalian sudah sepatutnya hidup penuh gairah, mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. Menjelang tahun baru ini, kalian harus mempunyai pakaian baru untuk dipakai pada hari-hari tahun baru!"

"Tapi, suhu. Teecu sudah sepuluh tahun berada di sini dan teecu tidak pernah mengikuti tahun baru seperti para penduduk di bawah lembah," bantah Sin Wan.

"Dan pula, untuk apa teecu mengenakan pakaian baru di hari tahun baru? Hendak dipamerkan kepada siapa? Teecu tidak saling berkunjung dengan keluarga," bantah pula Kui Siang.

"Siancai, murid-muridku yang baik," kata Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun ini termasuk orang yang berpakaian paling bersih di antara Tiga Dewa itu. "Mengenakan pakaian baru di hari tahun baru bukan sekedar untuk berpamer, melainkan mempunyai arti yang mendalam. Tahun baru mengingatkan kita bahwa usia kita bertambah setahun lagi. Kita wajib mawas diri, menyadari semua kesalahan di tahun yang lewat, mengubur semua kenangan masa lalu sehingga tidak ada tertinggal dendam di hati. Hati harus bersih, seolah tahun baru membawa pula kehidupan baru yang ditandai dengan pakaian baru. Jadi, pakaian baru melambangkan hati yang baru, cara hidup yang baru, yang bersih seperti juga pakaian yang baru. Bersih itu pangkal sehat, bukan? Nah, siapa bilang mengenakan pakaian baru di hari tahun baru hanya untuk pamer belaka?"

Karena alasan yang demikian kuat, dua orang murid itu tidak mampu membantah lagi. Pula, di sudut paling dalam di hati mereka, harus mereka akui bahwa pakaian baru juga menarik dan menyenangkan hati mereka. Hal itu menandakan bahwa memang ada gairah dalam hati dua orang muda ini, hal yang wajar bagi orang muda.

Ketika Sin Wan dan Kui Siang pertama kali naik ke Pek-in-kok, mereka baru baru usia kurang lebih sepuluh tahun. Kini mereka telah dewasa. Sin Wan telah menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan ganteng, sedangkan Kui Siang juga telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis. Tubuhnya sedang dan langsing berisi mengarah montok, kulitnya putih mulus.

Wajahnya bulat telur dengan dagu runcing dan di dagu kanan terhias tahi lalat hitam kecil. Matanya lembut akan tetapi kadang sinarnya mencorong. Bibirnya merah segar. Mata dan mulutnya merupakan daya tarik terbesar pada diri gadis ini. Sikapnya halus dan anggun dan pembawaan ini mungkin karena ia adalah puteri bangsawan yang ketika kecilnya terbiasa melihat sikap yang demikian.

Pada waktu dua orang muda kakak beradik seperguruan itu menuruni lembah di bagian timur, di luar tahu mereka tentu saja, dari barat terdapat dua orang yang mendaki lembah bukit itu dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali. Mereka itu adalah seorang wanita cantik berpakaian mewah yang kelihatan baru berusia tigapuluhan tahun, dan seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang lebih cantik lagi. Wanita itu bukan lain adalah Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In. sedangkan gadis manis itu adalah muridnya yang bernama Tang Bwe Li dan yang biasa dipanggil Lili oleh gurunya.                                  ***

Seperti telah diceritakan di bagian depan, guru dan murid yang keduanya galak ini pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana yang dibawa oleh Sam Sian, namun Dewi Ular Cantik itu tidak mampu mengalahkan Sam Sian. Terpaksa ia mengajak muridnya pergi dengan marah dan hatinya penuh dendam kepada Sam Sian yang telah mengalahkannya.

Apalagi ketika ia mendengar bahwa pusaka-pusaka itu oleh Sam Sian telah dikembalikan kepada kaisar. Ia segera mengajak muridnya pergi ke barat untuk mengunjungi ayahnya, yaitu seorang datuk besar bernama Cu Kiat dan berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat). Datuk besar ini tinggal di puncak Bukit Ular di Pegunungan Himalaya ujung timur dan sudah belasan tahun dia tidak lagi terjun ke dunia ramai.

Namun nama besar See-thian Coa-ong pernah menggemparkan dunia persilatan karena wataknya yang aneh dan ilmunya yang tinggi. Dia seorang datuk aneh, tidak condong kepada golongan sesat, tidak pula condong kepada para pendekar. Dia berdiri di tengah-tengah dan menentang siapa saja yang tidak cocok dengan seleranya.

Kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In mengadukan kekalahannya terhadap Sam Sian dan ia ingin memperdalam ilmunya agar dapat menebus kekalahannya itu.

Kakek yang tinggi kurus itu mengelus jenggotnya dan mulutnya yang biasanya selalu dibayangi senyum mengejek itu kini tertawa. Matanya yang sipit dengan lindungan alis hitam tebal itu semakin sipit ketika dia tertawa, matanya yang tajam bersinar-sinar gembira.

"Ha .. ha .. ha, engkau dikalahkan Sam Sian bertiga? Ha .. ha .. ha, Sui In, engkau tidak perlu penasaran. Ayahmu sendiripun tidak akan menang kalau maju sendiri menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Mereka itu masing-masing memiliki ilmu yang khas dan lihai sekali. Pusaka-pusaka itu telah dikembalikan kepada kaisar. Sudahlah, tak perlu dibuat kecewa."

"Tapi, ayah. Aku merasa terhina sekali. Aku harus membalas kekalahan itu, dan aku ingin memperdalam ilmuku. Karena itulah aku datang menghadap ayah!" kata wanita cantik itu dengan tegas.

"Teecu juga harus membalas penghinaan yang teecu alami dari Si Kerbau-sapi-kuda-anjing-kucing anak setan sialan itu!" kata pula Tang Bwe Li atau Lili, tak kalah marah dan galaknya dibanding gurunya. Datuk yang usianya sekitar limapuluh lima tahun itu memandang kepada Lili dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya dan bertanya.

"Siapakah bocah ini?"

"Ia muridku bernama Tang Bwe Li, ayah."

"Sukong (kakek guru), aku Lili menghaturkan hormat kepada sukong!" kata Bwe Li atau Lili sambil menjatuhkan diri berlutut di depan ayah dari subonya itu.

"Hemm, Sui In! Kalau engkau akan mengambil murid, kenapa tidak memilih seorang murid laki-laki? Anak perempuan seperti ini, mana mampu mewarisi ilmu kita yang tinggi?" tegur kakek itu sambil memandang kepada Lili dengan alis berkerut dan mulut mengejek.

Sebelum Dewi Ular Cantik menjawab, Lili sudah mengangkat muka memandang kepada kakek itu dengan mata bersinar penuh kemarahan, kemudian terdengar jawabannya lantang. "Kenapa sukong berkata begitu? Lupakah sukong bahwa subo, puteri sukong, juga seorang wanita? Apakah sukong hendak mengatakan bahwa subo juga tidak mampu mewarisi ilmu dari sukong?"

Cu Sui In tenang saja mendengar bantahan muridnya kepada ayahnya itu. Ia sudah mengenal benar watak muridnya. Justeru watak yang keras, berani dan jujur itulah yang membuat ia suka sekali kepada Lili. Akan tetapi tidak demikian dengan datuk besar See-thian Coa-ong Cu Kiat. Kakek ini terbelalak, mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sinar matanya membayangkan perasaan kaget, penasaran dan juga kagum.

"Hemm, hendak kulihat apakah engkau benar bernyali naga, ataukah hanya berlagak saja!" katanya dan dari mulutnya keluar suara mendesis, tak lama kemudian, terdengar suara desis yang sama dari dalam rumah dan muncullah seekor ular yang besar sekali. Ular itu panjangnya ada lima meter, besarnya sepaha orang dewasa. Ular itu keluar sambil mendesis-desis. See-thian Coa-ong si Raja Ular itu terus mengeluarkan desis yang makin meninggi seperti bersiul dan tiba-tiba ular itu lalu bergerak maju menyerang Lili!

Anak perempuan berusia sembilan tahun itu tidak nampak terkejut ataupun takut. Ia sudah meloncat berdiri dan begitu ular menyerangnya, ia sudah melompat ke samping dan ketika kepala ular meluncur lewat, ia menggerakkan kaki menendang ke arah kepala ular dari samping belakang.

"Plakkl" Kepala ular kena ditendang, akan tetapi kepala ular itu keras sekali sehingga Lili merasa kaki di dalam sepatunya nyeri.

Ular itu terkejut, membalik dan dengan moncongnya yang dibuka lebar dia menerjang lagi. Dengan gesit, Lili meloncat lari ke samping. Akan tetapi la tidak sempat menendang lagi karena kepala ular itu sudah membalik dan melanjutkan serangannya yang bertubi-tubi. Bukan hanya kepalanya saja yang menyerang, juga ular itu menggerakkan ekornya untuk menyambar kaki anak perempuan itu. Lili terpaksa harus meloncat ke sana sini dan ia menjadi marah sekali.

"Ular keparat, kaukira aku takut padamu?" bentaknya dan ketika ular itu menyerang lagi dengan moncongnya. ia mengelak ke kiri, kemudian ia meloncat dan menerkam leher ular itu dari belakang, mencengkeram leher itu dengan kedua tangannya! Gerakan ini selain tangkas, juga berani sekali. Hal ini tidak begitu mengherankan. Lili adalah murid Dewi Ular Cantik, seorang yang biasa bermain dengan ular.

Sejak kecil Lili sudah dibiasakan oleh gurunya untuk bermain dengan ular yang menjadi dasar dari ilmu-ilmunya, maka Lili tidak pernah takut berhadapan dengan ular. Hanya belum pernah berkelahi dengan ular sebesar itu!

Biarpun dua buah tangan itu kecil saja, dengan jarl-jari yang mungil dan tidak panjang, namun cekikan kedua tangan pada leher ular itu cukup kuat. Ular itu meronta-ronta hendak melepaskan leher yang dicekik. Demikian kuat ular itu meronta sehingga tubuh Lili terbawa dan terbanting, terguncang ke kanan-kiri.

Namun, bagaikan seekor lintah, anak perempuan itu tak pernah mau mengendurkan, apa lagi melepaskan cekikannya. Ular itu kini menggerakkan ekornya dan tubuh ular yang panjang besar dan licin dingin itu membelit-belit tubuh Lili! Lilitan ular itu kuat sekali.

Seorang laki-laki dewasapun takkan dapat tahan kalau dililit ular itu, akan patah-patah dan remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi, desis yang keluar dari mulut Raja Ular merupakan isyarat atau perintah yang amat dipatuhi ular besar itu. Lilitannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat anak perempuan itu tidak mampu bergerak. Seluruh tubuh anak itu dililit ular, kedua kaki dan kedua lengannya pula. Akan tetapi, kedua tangannya masih tetap mencekik leher ular, walaupun tenaganya banyak berkurang karena kedua lengannya dililit ular. Lili tidak mampu bergerak lagi.

"Subo!" ia memandang subonya, akan tetapi wanita cantik itu acuh saja seolah muridnya tidak terancam bahaya. Lili hanya satu kali memanggil, tanpa berkata minta tolong.

"Ha .. ha .. ha, anak bandel! Menangislah, minta ampunlah, dan ular ini tentu akan melepaskanmu," kata See-thian Coa-ong Cu Kiat penuh kemenangan.

Akan tetapi, biarpun lilitan ular itu semakin kuat dan membuat dadanya terasa sesak, Lili bertahan dan memandang kepada kakek gurunya dengan mata bersinar-sinar. "Sukong, subo tidak pernah mengajarkan aku untuk merengek dan menangis dengan cengeng! Aku tidak bersalah apa-apa, aku tidak akan menangis, tidak akan minta ampun!"

"Hemm, kalau begitu, ularku akan membunuhmu!"

"Aku tidak percaya. Subo akan melarangnya, dan sukong juga tidak mungkin membunuh cucu murid sendiri. Andaikata dibunuh juga, aku tidak takut!"

Kembali kakek itu mengeluarkan suara mendesis dan lilitan ular itu semakin kuat.

Lili sudah tidak mampu menggerakkan kaki tangan. Akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia masih dapat menggerakkan lehernya. Melihat betapa dadanya semakin sesak, ia lalu menunduk dan membuka mulutnya, dan menggigit leher ular yang berada di dagunya, menggigit dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Giginya yang kuat itu menembus kulit ular dan lidahnya segera merasakan darah yang asin amis!

Ular itu terkejut kesakitan dan lilitannya mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lili untuk meronta, melepaskan diri dan meLoncat keluar dari lilitan ular itu. Ia meloncat ke dekat subonya.

"Subo, tolong teecu (murid) pinjam pedangnya sebentar untuk membunuh ular keparat itu teriaknya kepada subonya.      "Hushh!", bentak Cu Sui In. "Kalau ayah menghendaki, sudah sejak tadi engkau mati, tulang tulangmu remuk dalam lilitan ular. Atas perintah sukongmu, ular itu hanya mengujimu, bukan hendak membunuhmu, dan engkau malah menggigit dan melukai lehernya!"

Mendengar keterangan gurunya, Lili terkejut. Ia memandang dan melihat kakek itu dengan penuh sikap menyayang, memeriksa luka di leher ular dan mengobatinya dengan obat bubuk putih. Ia merasa bersalah dan segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan See-thian Coa-ong Cu Kiat.

"Sukong, aku bersalah. Kalau sukong hendak menghukum dan membalas dengan menggigit leherku, silakan!"

Raja Ular Itu memandang kepadanya, lalu tertawa bergelak. "Ha ha ha, Sui In. Sekarang aku mengerti mengapa engkau memilih setan cilik ini sebagai murid. Ia memang pantas menjadi muridmu. bahkan patut menjadi muridku, ha ha ha!"

Mendengar ini, Cu Sui In tersenyum. "Lili, cepat kau menghaturkan terima kasih kepada suhumu. Mulai saat ini engkau menjadi murid ayah, dan aku menjadi sucimu (kakak seperguruanmu)!"

Lili adalah seorang wanita yang cerdas sekali. Ia segera memberi hormat dan menyebut suhu kepada Si Raja Ular yang tertawa bergelak karena girangnya memperoleh seorang murid yang menyenangkan. Dan mulai saat itu, Lili menyebut suci kepada bekas ibu gurunya. Hal itu amat menyenangkan hati Sui In, wanita yang selalu nampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya, dan yang selalu ingin dianggap muda. Dengan tekun See-thian Coa-ong Cu Kiat menggembleng Tang Bwe Li atau Lili dengan ilmu-ilmunya, dan juga Sui In memperdalam ilmunya di bawah bimbingan ayahnya. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia sembilan belas tahun dan menjadi seorang dara yang cantik manis, Lili telah menguasai ilmu-ilmu dari Si Raja Ular. Bahkan dibandingkan dengan tingkat

kepandaian bekas guru yang kini menjadi sucinya, ia hanya kalah pengalaman saja dan selisihnya tidak jauh!

Demikianlah, pada saat Sin Wan dan Kui Siang menuruni lembah Pek-in-kok di bagian timur, di pagi hari itu, Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan bekas murid yang kini menjadi sumoinya (adik seperguruannya) mendaki lembah bukit dari barat. Sui In dan Lili mempergunakan ilmu berlari cepat dan bagaikan melayang saja mereka mendaki lembah bukit yang bagi orang biasa merupakan daerah yang amat sukar dilalui itu.

Mereka mendaki Pek-in-kok hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk membalas atau membalas kekalahan mereka sepuluh tahun yang lalu. Dewi Ular Cantik Cu Sui In memiliki watak seperti ayahnya, yaitu tidak pernah dapat menelan kekalahan dari orang lain. Oleh karena itu, ketika dalam usaha memperebutkan pusaka-pusaka istana ia kalah oleh Sam Sian, ia merasa terhina dan hatinya sakit sekali.

Urusan pusaka sudah tidak diingatnya lagi, akan tetapi kekalahan yang dideritanya selalu menghantuinya dan ia tidak akan merasa tenang sebelum dapat membalas dan menebus kekalahannya itu. Dan agaknya Lili yang kini menjadi sumoinya, juga tidak pernah dapat melupakan penghinaan yang dialaminya dari anak laki-laki yang agaknya murid Sam Sian itu.

Anak laki-laki yang tidak dikenal namanya itu, yang dinamakannya Si Kerbau-sapi-kuda-anjing-kucing-babi itu, telah menangkapnya, memaksanya menelungkup di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya sepuluh kali seolah-olah seorang ayah yang menghukum anaknya yang nakal saja! Sampai mati ia tidak akan dapat melupakan penghinaan itu! Ia akan membalas penghinaan itu dengan pukulan sampai seratus kali biar pantat orang itu hancur menjadi bubur! Setiap kali membayangkan peristiwa itu, muka Lili menjadi merah sekali dan kemarahan seolah-olah membuat matanya berkilat dan napas yang keluar dari hidung dan mulutnya mengandung api!

Ketika dua orang wanita cantik itu tiba di depan pondok-pondok bambu yang sederhana namun rapi dan bersih itu, Sam Sian sedang duduk bersila di depan pondok, menikmati sinar matahari pagi yang hangat dan udara pagi yang segar. Mereka duduk bersila di atas batu-batu datar yang halus, menghadap ke timur, ke arah matahari pagi yang masih lembut sinarnya. Ketika dua orang wanita itu muncul dan berloncatan ke depan mereka, tiga orang kakek itu memandang dengan heran.

Melihat mereka dapat naik ke Pek-in-kok saja sudah dapat mereka ketahui bahwa dua orang wanita itu bukanlah orang-orang lemah, dan yang membuat mereka heran adalah sikap dan wajah mereka, terutama sinar mata mereka yang membayangkan kemarahan besar.

Tiga orang pertapa itu adalah orang-orang yang sudah dapat membebaskan diri dari kekuasaan nafsu, maka tiada lagi dendam atau ganjalan dalam hati dan pikiran mereka. Tidak ada lagi kenangan yang hanya menimbulkan suka duka, dendam dan budi. Maka, tentu saja mereka tidak ingat lagi siapa adanya dua orang wanita cantik ltu. Bahkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih sudah memejamkan mata dan menundukkan muka, tidak memperdulikan dua orang wanita yang muncul sebagai pengganggu ketenteraman mereka. Hanya Dewa Arak yang memandang mereka dengan mulut tersenyum ramah. Seperti biasa, dalam menghadapi urusan apa saja, Ciu-sian Tong Kui ini selalu mengandalkan araknya. Dia meneguk arak dari guci yang selalu berada di dekatnya, guci arak pusaka pemberian kaisar yang isinya tentu saja sudah habis karena arak yang diterima dari kaisar sepuluh tahun yang lalu itu sudah dihabiskannya dalam waktu kurang dari seminggu! Kini tinggal gucinya yang diisi arak biasa.

"Heh .. heh .. heh, angin apakah yang meniup kalian dua orang wanita cantik ke Pek-in-kok ?"

"Angin dari Bukit Ular Pegunungan Himalaya." jawab Sui In dengan singkat dan ketus.

"Bukit Ular di Himalaya? Wah ..wah .. wah, bagaimana kabarnya dengan sobat See-thian Coa-ong Cu Kiat? Kalian diutus oleh Raja Ular itu, bukan?" Dewa Arak meneguk kembali guci araknya.

"Ayahku tidak ada sangkut-pautnya dengan kedatanganku ini. Aku datang untuk urusan pribadi dengan Sam Sian!"

"Ho .. ho .. ho, kami tiga orang tua bangka tidak pernah mempunyai urusan pribadi, apa lagi dengan wanita muda dan cantik." kata Dewa Arak dengan sikapnya yang seenaknya.

"Mudah-mudahan saja Sam Sian yang terkenal sebagai pini sepuh dunia persilatan itu bukan hanya pengecut-pengecut yang pura-pura melupakan apa yang mereka lakukan. Sam Sian, ingatkah kalian peristiwa sepuluh tahun yang lalu? Aku, Bi-coa Sian-li Cu Sui In pernah kalian kalahkan. Nah, inilah aku, datang untuk menantang kalian, untuk membalas kekalahanku yang dulu. Sekali ini, mudah-mudahan saja Sam Sian bukan tiga orang laki-laki licik dan curang yang main keroyokan terhadap lawannya seorang wanita. Aku tantang kalian untuk main satu demi satu mengadu kepandaian!"

"Wah ..wah .. wah, engkau terlambat nona. Dahulu engkau menantang kami untuk merebut pusaka-pusaka istana itu, bukan? Sekarang, pusaka-pusaka itu telah kami kembalikan kepada kaisar. Kalau engkau menginginkannya, datanglah ke kota raja dan minta saja kepada kaisar. Kami tidak tahu menahu lagi ......"

"Aku tidak butuh pusaka! Aku datang untuk menebus kekalahanku sepuluh tahun yang lalu. Aku sudah cukup kaya, akan tetapi kalian telah menghinaku sepuluh tahun yang lalu, meruntuhkan nama dan kehormatanku. Hari ini kalian harus membayarnya!"

"Siancai ..... , kalau ada yang terang, mengapa memilih yang gelap? Ada yang jernih mengapa memilih yang keruh? Ada yang tenang, mengapa memilih kekacauan?" Yang berkata itu adalah Dewa Pedang. Kemudian terdengar Dewa Rambut Putih juga bicara dengan suara�nya yang lembut sambil tersenyum ramah.

"Nona, sepuluh tahun yang lalu, ketika berhadapan denganmu, kami adalah petugas-petugas utusan kaisar untuk mendapatkan kembali pusaka yang tercuri. Setelah pusaka itu kami kembalikan, kami sudah mencuci tangan dan mengundurkan diri, dan bagi kami, peristiwa dengan nona sepuluh tahun yang lalu sudah tidak ada lagi," kata-katanya lembut, lalu disusul kakek ini menyanyikan ayat-ayat yang diambilnya dari kitab To-tik-keng, yaitu kitab suci Agama To.

"Tariklah tali gendewa anda sepenuhnya gendewa dapat patah dan sesalpun tiada guna.

Asahlah pedang anda setajam-tajamnya mata pedang dapat aus dan takkan bertahan lama.

Tumpuklah emas permata di kamar anda dan anda akan bersusah payah menjaganya.

Membanggakan kekayaan dan kehormatan harga diri hanya menyebar benih kehancuran pribadi.

Undurlah sesudah tugas terlaksana demikian cara Langit bekerja."

"Hemm, apa yang kaumaksudkan dengan nyanyianmu itu?" Dewi Ular Cantik bertanya dengan suara mengejek. "Aku datang kesini bukan untuk mendengarkan khotbah!"

Dewa Arak tertawa. "Nona, Dewa Rambut Putih telah menyanyiken ayat suci dari Agama To, kenapa nona tidak mengerti? Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan ini, seyogyanya kita tidak berlebihan dalam segala hal, memenuhi tugas dan kewajiban dan tidak mabok kemenangan atau keberhasilan. Mengenal batas dan tahu diri. Nona agak berlebihan, terburu nafsu sehingga peristiwa sepuluh tahun yang lalu disimpan dalam hati sebagai dendam. Bukankah berarti nona meracuni diri sendiri selama sepuluh tahun ini? Dan semua itu untuk apa? Hanya untuk menebus kekalahan! Hanya untuk menang!

"Sudahlah, tak perlu berkhotbah. Aku datang untuk menantang kalian. Mau atau tidak kalian harus menerima tantanganku, karena kalau kalian tidak mau menandingiku, aku akan menyerang dan kalian akan mati konyol!"

"Nanti dulu, suci!" kata Lili. "Jangan bunuh dulu mereka ini sebelum memberitahu kepadaku. Hei, ketiga totiang. Aku mencari anak setan kurang ajar itu. Di mana dia?"

"Anak setan yang mana? Di sini tidak ada anak setan, yang ada hanya anak manusia, nona," kata Dewa Arak.

"Aku mencari Si Kerbau-sapi-kuda-anjing-kucing-babi itu!" kata pula Lili sambil mengepal tinju.

Dewa Arak melongo, memandang kepada gadis cantik itu dan hatinya berkata, "Sungguh sayang, nona begini cantik otaknya miring!"

Melihat kakek itu bengong saja, Lili membentak marah. "Jangan pura-pura! Aku mencari anak laki-laki yang sepuluh tahun lalu bersama kalian. Dia tentu murid kalian! Di mana si keparat itu?"

"Ooohhh, kaumaksudkan Sin Wan? Dia sedang pergi."

"Sudahlah, sumoi. Nanti kita cari musuhmu itu, sekarang aku akan membereskan dulu tiga orang ini!" kata Si Dewi Ular dan ia sudah mencabut pedangnya, lalu berkata kepada tiga orang pertapa itu. "Sam Sian, aku Bi-coa Sian-li Cu Sui In menantang Sam Sian maju satu demi satu, tidak main keroyokan seperti pengecut-pengecut liar!"

Tiga orang kakek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa mereka itu merasa enggan untuk berkelahi walaupun sedikitpun tidak merasa takut. Bagi mereka, melayani tantangan Dewi Ular Cantik itu sama saja dengan ikut menjadi gila. Di antara mereka dan wanita itu sebetulnya tidak ada permusuhan apapun. Dahulu mereka memang memperebutkan pusaka, akan tetapi sekarang pusaka itu telah kembali kepada pemiliknya, dan tentang kalah menang dalam pertandingan, bagi orang-orang dunia persilatan adalah hal biasa dan tidak pernah mendatangkan sakit hati dan dendam.

"Suci, percuma menantang pengecut. Mereka takut!" kata Lili mengejek.

Sui In mengerutkan alisnya. "Sam Sian, kalau kalian takut, kalian harus berlutut minta ampun kepadaku, baru akan kupertimbangkan untuk mengampuni nyawa kalian!"

Ucapan ini sengaja dikeluarkan Sui In untuk menyudutkan mereka. Tentu saja ia tahu bahwa orang-orang seperti Tiga Dewa itu tidak akan merasa takut menghadapi tantangan siapapun. Ia sengaja memanaskan hati mereka agar mereka segera menyambut tantangannya. Dan usahanya berhasil. Pantangan bagi semua tokoh dunia persilatan kalau dikatakan takut.

"Siancai ....! Bi-coa Sian-li memaksa orang. Baiklah, karena engkau telah mencabut pedang, pinto (aku) akan melayanimu sejenak." kata Kiam-sian Louw Sun sambil meraba pinggangnya.

Akan tetapi, alisnya berkerut dan dia segera teringat bahwa tidak ada lagi pedang di pinggangnya. Pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari), yang biasanya dililitkan di pinggang, kini tidak terdapat lagi di pinggangnya karena sudah dia berikan kepada muridnya, Lim Kui Siang! Sedangkan Pedang Tumpul yang diterimanya dari Kaisar, telah dia berikan kepada Sin Wan.

Tadinya, pedang-pedang itu hanya dipergunakan oleh kedua orang murid itu untuk latihan ilmu pedang, akan tetapi kemudian Si Dewa Pedang memberikan pedang-pedang itu kepada mereka karena dia sendiri tidak membutuhkan pedang. Baru sekarang dia teringat, akan tetapi dia tersenyum dan sama sekali tidak menjadi panik.

"Bi-coa Sian-li, maaf, aku tidak mempunyai pedang. Biarlah kupergunakan sebatang ranting pohon saja untuk melayanimu bermain pedang," katanya dan diapun menghampiri sebatang pohon dan mematahkan ranting yang panjang dan besarnya seperti pedang. Dia kembali menghadapi wanita itu dengan pedang kayu di tangan!

Wajah wanita itu berubah merah dan ia marah sekali. "Dewa Pedang, engkau sungguh menghina dan berani memandang rendah kepadaku. Baik, kau akan menebus penghinaan ini dengan nyawamu!"

Cu Sui In sudah menggerakkan pedangnya sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Sinar pedang menyambar ganas dan Dewa Pedang cepat meloncat untuk menghindarkan diri, sambil mengelebatkan pedang kayunya, menusuk atau menotok ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Namun, Dewi Ular Cantik itu cepat menarik kembali tangannya, memutar pergelangan pedang dan pedang itu sudah meluncur lagi dengan tusukan dahsyat yang membuat Dewa Pedang terkejut dan terpaksa meloncat lagi ke samping untuk menghindarkan diri.

Dewi Ular mendesak terus, pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan dari gulungan sinar itu terdengar suara bercuitan melengking. Dewa Pedang yang memutar pedang kayunya sambil mempergunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, diam-diam terkejut bukan main.

Dari gerakan pedang lawan, tahulah dia bahwa wanita ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Kini ilmu pedangnya matang dan mantap, gerakannya cepat dan ringan sekali sedangkan tenaga sin-kang yang terkandung dalam pedang itu kuat bukan main, membuat pedang kayunya selalu terpental dan tangannya tergetar. Tahulah Dewa Pedang bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh!

Penglihatan Dewa Pedang memang tidak keliru. Selama sepuluh tahun ini, Cu Sui In telah menggembleng diri di bawah bimbingan ayahnya sehingga selain ilmu-ilmunya menjadi matang, juga gin-kang dan sin-kang yang dikuasainya menjadi semakin kuat. Selain ini, ayahnya mengajarkan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya, yang diberi nama Hek-coa Kiam-sut (Ilmu Pedang Ular Hitam). Si Raja Ular Cu Kiat menciptakan ilmu pedang ini berdasarkan gerakan seekor ular hitam beracun, yaitu seekor Cobra hitam, kalau binatang itu marah dan menyerang.

Untuk menyempurnakan ciptaannya, dia telah mengorbankan entah beratus ekor cobra hitam dan musang yang diadunya untuk dia tangkap inti sari gerakan ular hitam itu. Akhirnya, dia berhasil menciptakan Hek-coa Kiam-sut yang terdiri dari delapan belas jurus yang ampuh sekali. Dan ketika puterinya menggembleng diri selama sepuluh tahun, dia mengajarkan ilmu pedang ini kepada puterinya dan kepada muridnya, yaitu Tang Bwe Li.

Sepuluh tahun yang lalu, tingkat kepandaian Sui In masih kalah setingkat dibandingkan tingkat seorang di antara Sam Sian. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berubah sama sekali. Kalau Sui In selama sepuluh tahun menggembleng diri dan tekun berlatih, sebaliknya Tiga Dewa jarang berlatih kecuali hanya kalau mengajar dua orang murid mereka.

Sekarang, tingkat kepandaian Sui In sudah sejajar dengan kepandaian Kiam-sian (Dewa Pedang) atau Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Hanya Ciu-sian Si Dewa Arak yang diam-diam telah merangkai sebuah ilmu yang dia ambil dari inti sari kepandaian mereka bertiga. Biarpun nampaknya ugal-ugalan dan suka main-main, namun sesungguhnya Dewa Arak memiliki kecerdikan luar biasa.

Selama sepuluh tahun ini otaknya bekerja dan dia minta kepada dua orang rekannya untuk membuat dasar dari ilmu masing-masing, kemudian dia menggabung inti sari ilmu mereka bertiga, dijadikan sebuah ilmu yang setiap hari masih terus disempurnakannya. Dua orang rekannya yang tidak serajin Dewa Arak, mengetahui akan hal itu akan tetapi tidak ada niat untuk ikut mempelajarinya.

Merekapun tahu bahwa Dewa Arak sengaja menciptakan ilmu yang diambil dari inti sari ilmu mereka bertiga digabung menjadi satu, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dua orang murid mereka, yaitu Sin Wan dan Kui Siang. Setelah berhasil menciptakan ilmu ini, diam-diam Dewa Arak memutuskannya menjadi sebuah kitab dan tahun demi tahun, dia menyempurnakan ilmu itu dan sampai saat itu belum mengajarkannya kepada Sin Wan maupun Kui Siang.

Hal ini adalah karena untuk dapat mempelajari dan melatih ilmu itu, harus memiliki dasar yang amat kuat, dan tenaga sin-kang yang cukup. Kalau tidak, ilmu yang aneh ini bahkan dapat menimbulkan bahaya besar, dapat mengakibatkan luka dalam yang parah kepada yang melatihnya. Akan tetapi, dengan sendirinya tingkat kepandaian Dewa Arak meningkat dengan dikuasainya ilmu baru itu.

Pertandingan antara Dewa Pedang dan Dewi Ular Cantik berjalan dengan semakin seru. Dewa Rambut Putih dan Dewa Arak diam-diam menyayangkan bahwa rekan mereka telah memberikan Pedang Tumpul kepada Sin Wan dan Pedang Sinar Matahari kepada Kui Siang. Kalau saja rekan mereka itu memegang satu di antara dua buah senjata pusaka itu, tentu akan lain keadaannya.

Akan tetapi, Dewa Pedang hanya bersenjatakan sebatang ranting pohon. Kalau menghadapi lawan lain, mungkin sebatang ranting itu sudah cukup ampuh karena tangan Dewa Pedang yang mengandung tenaga sin-kang kuat itu dapat membuat ranting itu menjadi senjata yang cukup tangguh. Akan tetapi yang dihadapinya kini adalah Dewi Ular Cantik yang ternyata memiliki kepandaian yang demikian tingginya.

Setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Dewa Pedang terdesak hebat oleh lawannya. Dua kali ujung ranting yang dipergunakan sebagai pedang itu terbabat putus ujungnya oleh pedang di tangan Bi-coa Sian-li Cu Sui In yang makin lama semakin ganas mendesak lawannya itu.

Tiba-tiba Cu Sui In mengeluarkan suara mendesis seperti desis seekor ular cobra dan ia telah mengubah gerakan pedangnya dan mulai memainkan ilmu pedang baru yang amat dahsyat, yaitu Hek-coa Kiam-sut! Dan begitu ia memainkan ilmu pedang ini, Dewa Pedang terkejut karena dia mengenal ilmu pedang orang amat aneh dan amat berbahaya!

Pedang lawan itu gerakannya seperti seekor ular cobra yang menyerang lawan. Dia berusaha untuk membentuk parisai dengan sinar ranting yang diputarnya cepat, namun tetap saja pedang lawan dapat menerobos masuk dan biarpun dia sudah melempar tubuh ke belakang, tetap saja pundak kirinya tertusuk ujung pedang lawan.

Kiam-sian Louw Sun tidak mengeluh, akan tetapi dia terhuyung ke depan dan saat itu, Dewi Ular Cantik sudah menerjang lagi ke depan, pedangnya berkelebat menyilaukan mata dan terpaksa Dewa Pedang meloncat jauh ke atas untuk menghindarkan diri dari ilmu pedang yang seperti gerakan ular itu! Untuk melindungi diri dari ilmu pedang yang seperti ular itu, satu-satunya cara terbaik adalah berloncatan ke atas seperti seekor burung rajawali kalau menghadapi ular.

Akan tetapi, Dewi Ular Cantik sudah dapat menduga taktik ini dan iapun ikut meloncat ke atas. Mereka mengadu pedang dan ranting di udara ketika berlompatan. Keduanya turun lagi dan kembali ujung pedang Cu Sui In telah dapat mencium pangkal lengan kanan Dewa Pedang sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka berdarah.

Keduanya kini sudah sampai ke puncak pertandingan, saling mengerahkan tenaga sekuatnya dan mereka lalu meloncat lagi seperti terbang, saling terjang di udara. Namun, tiba-tiba dari gagang pedang Cu Sui In meluncur jarum-jarum hitam. Serangan jarum-jarum ini merupakan rangkaian serangan pedangnya yang ganas.

Dewa Pedang sudah mencoba untuk memutar ranting melindungi dirinya, akan tetapi biarpun dia berhasil memukul runtuh semua jarum beracun, dia tidak mampu menghindarkan tusukan pedang lawan yang mengenai lambungnya. Kembali mereka berdua melompat turun dalam jarak yang cukup jauh. Dewa Pedang dapat turun dengan berdiri tegak, akan tetapi perlahan-lahan darah mengalir keluar dari celah-celah jari tangan ketika tangan kirinya mendekap lambung yang terluka.

"Hyaaaattt .......!" Dia menggerakkan tangan kanan sambil membalik ke arah Dewi Ular Cantik. Ranting di tangannya itu meluncur seperti anak panah ke arah lawan. Cu Sui In terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka parah itu masih mampu menyerangnya sehebat itu. Ia menggerakkan pedang menangkis dan ranting itu meluncur cepat ke arah pohon dan menancap ke batang pohon seperti anak panah yang dilepas dari dekat! Akan tetapi itu merupakan serangan balasan terakhir dari Kiam-sian Louw Sun karena dia sudah terkulai roboh.

Dewa Arak cepat menghampiri rekannya dan menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah mengalir keluar. Akan tetapi setelah memeriksanya, tahulah Dewa Arak bahwa luka yang diderita rekannya itu terlampau parah dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Pedang Dewi Ular Cantik bukan hanya merobek kulit dan daging saja, melainkan melukai anggauta badan sebelah dalam sehingga tidak mungkin lagi Dewa Pedang dapat ditolong dan diselamatkan. Sementara itu, melihat rekannya roboh, Pek-mou-sian Thio Ki meloncat ke depan wanita cantik itu. "Siancai ....., hatimu sungguh ganas dan kejam, Bi-coa Sian-li. Kami dahulu mengalahkanmu tanpa melukai, akan tetapi sekarang engkau berusaha membunuh kami."

"Pek-mou-sian! Terluka atau tewas dalam pertandingan sudah menjadi resiko semua orang di dunia persilatan. Hal itu biasa dan wajar, kenapa banyak ribut lagi! Kalau tadi aku yang kalah, tentu aku yang terluka dan mungkin tewas. Nah, sekarang majulah, aku sudah siap!" tantang wanita cantik itu.

"Suci, engkau sudah lelah. Biarkan aku maju mewakilimu menghadapi dia!" Tang Bwe Li melompat ke depan, akan tetapi, Cu Sui In mengerutkan alisnya dan membentak.

"Sumoi, mundur kau! Ingat, jangan mencampuri urusan ini. Ini urusan pribadiku, kau tahu? Biar andaikata aku terdesak dan terancam maut sekalipun, engkau tidak boleh turun tangan!"

Lili mundur. Ia maklum akan watak kakak seperguruan, bekas gurunya ini. Cu Sui In wataknya persis ayahnya, yaitu See-thian Coa-ong Cu Kiat. Watak yang keras dan gagah, juga tinggi hati dan pantang dianggap curang atau penakut. Karena itulah ia tidak menghendaki sumoinya mencampuri pertandingannya melawan Sam Sian, apalagi melihat betapa Tiga Dewa itu tidak mengeroyoknya.

Kalau tadi Lili mencoba untuk mewakili sucinya, hal itu adalah karena ia tahu benar betapa sucinya itu sudah lelah karena tadi harus mengerahkan tenaga sepenuhnya ketika melawan Kiam-sian, walaupun sucinya keluar sebagai pemenang. Dan ia dapat menduga bahwa tingkat kepandaian kakek rambut putih itu tentu setinggi tingkat Dewa Pedang pula.

Dengan hati khawatir Lili melangkah mundur dan kembali menjadi penonton saja, tidak berani membantu karena kalau ia lancang melakukan hal ini, sucinya tentu akan marah bukan main karena perbuatannya itu dapat dianggap menghina dan merendahkan harga diri sucinya itu!

Pek-mou-sian Thio Ki maklum akan kelihaian lawan. Tadi dia mengikuti pertandingan antara rekannya Dewa Pedang melawan wanita ini dengan teliti dan dia tahu bahwa yang amat berbahaya adalah ilmu pedang yang gerakannya seperti gerakan ular cobra tadi. Rekannya saja, yang dijuluki Dewa Pedang dan ahli dalam ilmu pedang, tidak mampu menandingi ilmu pedang ular itu.

Akan tetapi, Dewa Rambut Putih tidak menjadi gentar sama sekali. Bagi dia, hidup atau mati bukan hal yang paling penting. Yang terpenting adalah bagaimana dia dapat selalu mengambil jalan yang benar. Kalau sudah benar, mati atau hidup sama saja! Mati karena membela yang benar jauh lebih baik dari pada hidup mempertahankan kejahatan!

"Siancai .....!" Ingat, Bi-coa Sian-li, adalah engkau yang datang mencari dan menantang kami. Baik kalah atau menang, akibatnya adalah tanggunganmu. Kami hanya melayani permintaanmu."

"Aku datang bukan untuk berdebat. Keluarkan senjatamu, kalau memang engkau tidak takut menyambut tantanganku!" bentak Cu Sui In.

Dewa Rambut Putih mengeluarkan kipas dan sulingnya. Kipas itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan sulingnya dengan tangan kanan. Dia bersikap tenang walaupun waspada, karena dia maklum bahwa orang seperti wanita ini tidak segan menggunakan siasat yang betapa ganaspun, seperti tadi ia menyerang Dewa Pedang dengan jarum beracun yang keluar dari gagang pedangnya.

"Bi-coa Sian-li, aku sudah siap, katanya. Baru saja kata-katanya habis, pedang ditangan Cu Sui In sudah menerjangnya dengan dahsyat bukan main. Dewa Rambut Putih me ngebutkan kipasnya dan menggunakan sulingnya menangkis.

"Tranggg ........!" Suling menangkis pedang dan kipasnya mengebut ke arah muka lawan. Cu Sui In cepat mengelak dari sambaran angin kipas itu, akan tetapi tiba-tiba kipas itu tertutup dan gagangnya menotok ke arah pundak Sui In. Totokan dengan gagang kipas itu nampaknya lemah saja, namun sesungguhnya dibalik gerakan yang lembut itu terkandung tenaga yang dahsyat. Tahulah Cu Sui In bahwa lawannya amat lihai. sesuai dengan filsafah Agama To yang selalu menekankan bahwa "yang kosong itu berisi", bahkan yang kosong itulah intinya karena segala hal baru dapat berarti kalau ada bagiannya yang kosong.

Lo-cu, nabi Agama To, membuka kesadaran manusia untuk menghargai yang kosong atau bahkan "yang tidak ada" dengan mengatakan bahwa sebuah roda baru dapat dipergunakan karena ada bagian kosong di antara jerujinya. Sebuah cawan baru dapat berguna karena ada bagian kosong di dalamnya, dan sebuah rumah baru dapat berguna karena ada bagian yang kosong di dalamnya dan lubang-lubang di pintu dan jendelanya.

Inilah inti dari ilmu silat yang kini dimainkan Dewa Rambut Putih, nampak lembut namun sesungguhnya amat kuat!. Karena maklum bahwa lawannya ini tidak kalah berbahaya dibandingkan Dewa Pedang, Cu Sui In tidak mau membuang banyak tenaga. Ia sudah mulai merasa lelah karena tadi ketika melawan Dewa Pedang ia sudah mengerahkan banyak tenaga sin-kang.

"Ssssshhhhh ........!!" terdengar ia mendesis dan gerakan pedangnya kini berubah menjadi seperti gerakan ular cobra. Pek-mau-sian Thio Ki sudah siap siaga dan begitu pedang lawan menusuk seperti gerakan ular mematuk, dia pun cepat menangkis dengan sulingnya sambil mengerahkan sin-kang.

"Cringgg .......!!" Pek-mau-sian terkejut karena tenaga yang terkandung dalam ilmu pedang ular itu bukan main hebatnya, mempunyai tenaga seperti membelit dan menempel sehingga ketika dia menarik sulingnya lepas, dia terhuyung. Namun, cepat kipasnya mengebut ke depan sehingga dia mampu menghalangi penyerangan susulan karena bagaimana pun juga, Cu Sui In tidak berani memandang ringan gerakan kipas itu.

Dewa Rambut Putih maklum bahwa ilmu pedang ular itu mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat sekali, maka diapun segera mengerahkan tenaga sin-kang yang biasa dia pergunakan untuk ilmu sihirnya. Dalam adu kepandaian ini, dia tidak mau mempergunakan sihir karena selain belum tentu seorang sakti seperti Dewi Ular Cantik itu dapat terpengaruh sihir, juga dia tidak mau berlaku curang dengan menggunakan sihir. Bukankah mereka sedang mengadu ilmu silat? Dia hanya membela diri, sama sekali tidak haus akan kemenangan, maka dia merasa malu kalau harus mempergunakan sihir. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga sin-kang Pek-in (Awan Putih) dari kedua telapak tangan, juga ubun-ubun kepalanya, mulai mengepulkan uap putih!

Melihat ini, Cu Sui In mendesis-desis semakin keras dan gerakannya cepat sekali, pedangnya bagaikan seekor ular cobra, mematuk-matuk dan mengirim serangan bertubi-tubi!

"Siancai ....!" Dewa Rambut Putih berseru kagum dan dia harus cepat memutar suling dan mengibaskan kipasnya untuk melindungi dirinya. Wanita cantik itu memang berbahaya sekali. Bukan saja pedangnya yang berbahaya, juga kuku-kuku jari tangan kiri ikut menyambar-nyambar dan dia maklum bahwa kuku yang kini berubah menghitam itu mengandung racun yang berbahaya, yaitu racun ular cobra hitam. Sekali saja kulit tergores kuku sampai terobek dan berdarah, racunnya akan memasuki tubuh lewat jalan darah dan akibatnya sama saja dengan kalau orang digigit ular cobra hitam!

Karena memang tingkat kepandaian Dewa Rambut Putih sama tingginya dengan tingkat Dewa Pedang, maka kembali terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan bagi Cu Sui In, lawannya yang kedua ini lebih tangguh. Hal ini karena tadi Dewa Pedang tidak memegang pedang, hanya mempergunakan ranting pohon sebagai senjata, sebaliknya Dewa Rambut Putih memegang sepasang senjatanya sendiri yang pernah membantunya membuat nama besar selama puluhan tahun.

Karena tidak mungkin membela diri hanya dengan mengelak atau menangkis saja kalau berhadapan dengan lawan yang tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan tingkatnya sendiri, maka Dewa Rambut Putih juga menggunakan cara membela diri yang paling baik, yaitu dengan cara balas menyerang. Bagi Tiga Dewa, kalau tidak terpaksa, mereka tidak akan mau menyerang orang, apa lagi membunuh atau melukai. Kini, berhadapan dengan Dewi Ular Cantik, terpaksa dia melawan dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaganya, balas menyerang dengan dahsyat. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga sakti Awan Putih, tentu Pek-mau-sian Thio Ki tidak akan mampu bertahan sampai puluhan jurus.

Jilid 5

SUI IN yang memang sudah lelah, kini dipaksa untuk menguras tenaganya. Wanita ini semakin lelah, leher dan dahinya basah oleh keringat, napasnya agak memburu walaupun permainan pedangnya tidak berkurang ganasnya dan gerakan tubuhnya tidak berkurang gesitnya. Dibandingkan lawannya, seorang pertapa yang usianya sudah enampuluh dua tahun lebih, ia menang dalam beberapa hal. Pertama, ia lebih muda, ke dua ia lebih terlatih dan ke tiga ia lebih bersemangat dan nekat!

Ketika untuk ke sekian kalinya pedang bertemu suling dengan amat kuatnya, membuat keduanya terdorong dan melangkah ke belakang, Sui In mengubah gerakan serangannya. Ia tidak lagi menyerang dengan gerakan yang lincah seperti tadi, melainkan ia menyerang dengan gerakan yang lambat dan berat. Hal ini bukan berarti bahwa ia telah kehabisan tenaga atau napas.

Sama sekali tidak! Hanya, kalau tadi ia mengandalkan kecepatan untuk mencoba mengatasi lawan, kini ia mencurahkan seluruh daya serangnya dengan andalan tenaga sin-kang dari Ilmu Pedang Ular Hitam. Pedangnya menyambar dengan gerakan lambat dan berat sekali, namun mengandung angin yang menyambar dengan dahsyat!

Dewa Rambut Putih maklum akan perubahan siasat lawan. Diapun tidak berani lengah dan sambaran pedang itu, walaupun datangnya lambat, dia elakkan dengan loncatan jauh ke samping dan diapun membalas dengan serangan yang sama sifatnya, lambat dan berat. Sulingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang kehitaman itu, didahului oleh sambaran kipasnya ke arah muka. Gerakannya mengandung sinkang yang kuat pula. Sui In juga mengelak dan mereka serang menyerang dengan gerakan lambat sehingga bagi orang yang tidak paham limu silat tinggi, tentu akan menganggap bahwa keduanya hanya main-main dan tidak berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi Dewa Arak dan Lili maklum bahwa kini perkelahian itu telah tiba pada keadaan yang gawat dan mati-matian.

Ketika dalam pertemuan antara pedang dan suling yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya membuat Dewi Ular Cantik terhuyung ke belakang, Dewa Rambut Putih mendapatkan kesempatan untuk balas mendesak lawan. Dia tahu betapa berbahayanya wanita ini dan dia harus mampu mengalahkannya kalau ingin dia dan Dewa Arak, mungkin juga dua orang murid mereka, selamat.

Melihat lawan terhuyung dalam posisi yang tidak menguntungkan, Pek-mau-sian lalu menerjang dengan suling dan kipasnya. Kedua senjata ampuh ini menyambar dari atas, kipasnya rnenotok pergelangan tangan yang memegang pedang sedangkan suling di tangan kanannya menotok ke arah pundak untuk merobohkan lawan tanpa melukainya.

Akan tetapi pada saat itu, tubuh Dewi Ular Cantik yang terhuyung itu tiba-tiba tegak kembali dan ketika ia menggerakkan kepalanya, rambut yang hitam panjang itu bagaikan seekor ular telah menyambar ke arah suling, menangkis dan terus melibatnya, dan pedangnya bergerak menyambar arah kipas. Pedangnya merobek kipas dan terjepit di antara gagang kipas!

Kedua senjata Dewa Rambut Putih tidak dapat digerakkan lagi dan pada saat itu, Dewi Ular Cantik yang tadi membuat gerakan terhuyung hanya sebagai siasat saja, menggerakkan tangan kirinya yang membentuk cakar dan kuku-kuku jari tangannya menyambar ke arah tenggorokan Pek-mau-sian Thio Ki!

Tentu saja Dewa Rambut Putih terkejut sekali. Untuk menangkis tidak mungkin karena kedua senjatanya telah melekat pada rambut dan pedang, dan untuk mengelak, jaraknya sudah terlampau dekat. Serangan itu amat ganas dan licik, sama sekali tidak disangkanya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah menarik tubuh atas ke belakang dan untuk menyelamatkan diri, dia mengangkat kaki menendang.

"Crokkk ....! Desssss ........" Cengkeraman tangan kiri dengan kuku hitam itu memasuki dada Pek-mau-sian, pada detik yang sama dengan tendangan kaki Dewa Rambut Putih itu yang mengenai lambung Dewi Ular Cantik. Tubuh Pek-mau-sian Thio Ki terjengkang pada saat tubuh Bi-coa Sian-li Cu Sui In terlempar ke belakang sampai dua meter jauhnya. Dewa Arak lari menghampiri rekannya yang roboh terjengkang, sedangkan Lili meloncat menghampiri sucinya yang tidak roboh, akan tetapi ketika tubuhnya turun, ia terhuyung dan muntahkan darah segar!

Dewa Arak sekali pandang saja tahu bahwa rekannya, Dewa Rambut Putih, telah tewas seketika. Dadanya menjadi hitam oleh pengaruh racun dari kuku tangan kiri lawan dan rekannya itu tewas tanpa menderita, lebih beruntung dibandingkan Dewa Pedang yang tewas setelah tadi menderita beberapa lamanya. Dua rekannya telah tewas.

Dewa Arak menarik napas panjang dan sambil meneguk araknya dia memandang ke arah wanita cantik itu. Wanita cantik itu mengibaskan tangan Lili yang hendak menolongnya, dan kini telah berdiri tegak walaupun wajah yang cantik itu kini pucat sekali.

Ia hendak bicara kepada Dewa Arak, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya darah lagi, maka iapun segera duduk bersila, mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati luka di bagian dalam tubuhnya yang terguncang akibat tendangan Dewa Rambut Putih tadi. Tendangan itu mengandung hawa atau tenaga sakti Awan Putih, maka dapat mengguncang isi perut wanita itu.

"Suci, biar aku yang menghadapi tua bangka yang seorang lagi itu." kata Lili yang sudah siap untuk menyerang Dewa Arak yang masih enak-enak minum arak dari gucinya.

Wanita yang duduk bersila itu membuka matanya, memandang kepada sumoinya. Sejenak ia tidak bicara karena sedang mengatur pernapasan, setelah agak reda, iapun berkata lirih. "Sumoi, sudah kukatakan jangan kau ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku. Sekarang aku tidak mungkin dapat menantang Dewa Arak, biarlah hari ini kubiarkan dia hidup. Lain hari akan kucari dia! Kecuali kalau dia hendak menuntut balas atas kematian dua orang rekannya!"

Mendengar ini, Dewa Arak tertawa bergelak. "Ha .. ha .. ha, Dewi Ular, apakah engkau mulai merasa menyesal karena membunuh mereka? Ha .. ha, engkau sudah begitu berjasa terhadap dua orang sahabatku, dan engkau menyuruh aku membalas dendam kepadamu? Ha-ha-ha, sayang engkau terluka, nona. Kalau tidak, tentu akupun akan kaubebaskan dari pada kurungan hidup yang palsu ini. Masih untung ada arak, kalau tidak, betapa menjemukan, apalagi setelah dua orang sahabatku pergi."

Cu Sui In bangkit berdiri. Napasnya tidak terengah lagi walaupun mukanya masih pucat. "Kalau engkau hendak membalas dendam, biar terluka aku akan melayanimu, Dewa Arak. Kalau tidak, jangan kira bahwa aku melarikan diri takut oleh pembalasanmu."

"Ha .. ha .. ha, engkau memang wanita gagah Dewi Ular. Agaknya engkau hendak menutupi semua kesengsaraan hatimu dengan sikap gagah dan tidak mau kalah dengan mengangkat harga diri setinggi mungkin. Aih, aku kasihan kepadamu, Dewi Ular!"

Mendengar ini, Lili mengerutkan alisnya lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu, "Hei, tua bangka pemabok! Jangan semnbarangan bicara engkau! Katakan kepada muridmu si Kerbau-sapi-kuda itu bahwa sekali waktu, aku akan mencarinya untuk membalas penghinaannya kepadaku sepuluh tahun yang lalu!"

"Sudahlah, sumoi. Dia pemabok akan tetapi ucapannya benar. Mari kita pergi!" kata Cu Sui In. Lili tidak berani membantah dan dua orang wanita itu lalu menuruni lembah itu, diikuti pandang mata Dewa Arak yang menggeleng kepalanya.

                                 0oo0

Setelah matahari naik tinggi, dari lereng sebelah timur nampak dua orang muda mendaki puncak memasuki Lembah Awan Putih sambil membawa bermacam barang belanjaan. Mereka adalah Sin Wan dan Kui Siang yang baru pulang dari kota Yin-coan mana mereka berbelanja bermacam barang untuk menyambut datangnya tahun baru seperti yang diusulkan guru-guru mereka.

Dengan gembira mereka berlari mendaki tebing yang curam itu. Mereka membeli pakaian, bukan hanya untuk mereka berdua, juga untuk tiga orang suhu mereka. Juga mereka membeli roti kering, daging kering, bumbu-bumbu masak, bahkan membeli pula lima ekor ayam dan telur asin.

Ketika mereka tiba di lembah, mereka melihat suasana di situ sunyi sekali. Biasanya, tiga orang guru mereka itu berada di luar pondok pada tengah hari seperti itu dan ada saja yang mereka kerjakan. Akan tetapi, kini suasana di luar pondok sunyi. Ketika mereka menghampiri pondok, mereka mendengar suara Dewa Arak bicara dengan suara lantang.

"Aih, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, sungguh aku merasa iri kepadamu! Kalian mendapat kesempatan untuk lebih dahulu pergi meninggalkan dunia yang telah menjadi tempat kotor karena ulah manusia ini, terbebas dari sengsara badan dan batin. Kalian tewas sebagai orang-orang gagah, dan mendapat kehormatan tewas di tangan lawan yang berilmu tinggi. Kalian tidak kecewa, akan tetapi aku? Aihhh, siapa tahu kelak aku mati digerogoti kuman-kuman kecil. Ah, sungguh aku iri sekali kepada kalian!"

Mendengar ucapan itu, tentu saja Sin Wan dan Kui Siang menjadi heran, akan tetapi juga terkejut sekali. Mereka lalu berlari masuk seperti berlomba dan mereka sejenak terpukau, berdiri saja memandang tubuh dua orang kakek yang terbujur kaku di atas pembaringan masing-masing! Dua orang guru mereka itu telah menjadi jenazah!

"Suhuuu .....!!" Kui Siang menjerit dan melompat, menubruk dua jenazah itu bergantian sambil menangis dan memanggil-manggil. Gadis ini memang amat sayang kepada tiga orang guru mereka, yang seolah menjadi pengganti orang tuanya. Dan kini ia mendapatkan dua orang di antara tiga gurunya tewas begitu saja. Pada hal ketika pagi tadi ia berangkat ke kota Yin coan bersama Sin Wan dua orang gurunya itu masih dalam keadaan sehat, tidak sakit apapun.

Sin Wan berdiri sambil menundukkan kepalanya, memejamkan matanya dan dengan suara lirih diapun berdoa. "Ya Allah, mereka berasal dariMu dan kini Engkau berkenan memanggil mereka kembali kepadaMu. Semoga Allah Maha Kasih menerima mereka dan memberi tempat yang penuh bahagia abadi."

Kemudian dia menghampiri Kui Siang yang masih sesenggukan menangisi kematian dua orang gurunya, menyentuh pundaknya dan berkata, "Sumoi, amat tidak baik menangisi dua orang guru kita yang sudah meninggal dunia. Tidak baik untuk mereka. Hentikan tangismu sumoi."

Kui Siang mengangkat mukanya yang basah air mata. "Aduh, suheng ..... bagaimana aku tidak boleh menangis? Hatiku hancur melihat dua orang suhu meninggal dunia dengan mendadak ....... Tiba-tiba gadis itu meloncat berdiri dan membalik, memandang Dewa Arak yang masih menghadapi guci arak dan masih tersenyum-senyum itu.

"Aku harus membalas kematian mereka! Suhu, siapa yang membunuh mereka? Katakanlah, siapa yang membunuh mereka?" Dewa Arak tersenyum memandang kepada muridnya itu. "Kui Siang, kalau engkau tahu siapa yang membunuh mereka, lalu engkau mau apa?"

"Teecu (murid) akan membalas dendam kematian suhu berdua! Teecu akan mencari pembunuh itu dan kubunuh dia!" kata gadis itu sambil mengepal tinju dan meraba gagang pedang Jit-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya.

"Kau mau tahu yang membunuh mereka? Yang membunuh adalah Tuhan." Kui Siang memandang kepada gurunya itu dengan mata terbelalak "Tuhan? Suhu, apa maksud suhu? Teecu tidak mengerti......!"

"Ha..ha..ha..ha!" Dewi Arak meneguk lagi arak dari gucinya, Sin Wan mendekati sumoinya.

"Sumoi, suhu berkata benar. Kematian kedua orang suhu, atau kematian siapapun juga di dunia ini, baru dapat terjadi kalau dikehendaki Tuhan! Tanpa kehendak Tuhan, siapa yang akan mampu membunuh siapa? Segala kehendak Tuhanpun jadilah, sumoi!"

"Ha..ha..ha, suhengmu benar, Kui Siang. Nah, kalau yang membunuh dua orang gurumu ini Tuhan, apakah engkau juga mendendam kepada Tuhan dan hendak membunuhnya untuk membalas dendam?"

Kui Siang tertegun dan menjadi bingung. "Tapi ..... tapi ..... bagaimana Tuhan membunuh kedua guruku ini? Teecu bingung, suhu, tidak mengerti dan mohon penjelasan. Apa yang telah terjadi sampai kedua orang suhu ini meninggal dunia?"

"Duduklah dengan tenang, Kui Siang. Hentikan tangismu dan mari kita antar kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian dengan percakapan tentang kematian agar engkau mengerti. Sin Wan, kalau ada yang terlewat, kaulengkapi keteranganku kepada sumoimu. Nah, Kui Siang. Setiap manusia dilahirkan dan kemudian mengalami kematian. Kelahiran dan kematian setiap orang berada di tangan Tuhan, sudah dikehendaki oleh Tuhan! Tentu saja, seperti juga segala peristiwa di dunia ini, kelahiran dan kematianpun ada penyebabnya yang hanya menjadi jalan atau lantaran saja. Tentu saja Tuhan tidak mengulurkan tangan seperti kita untuk mencabut nyawa seseorang, melainkan melalui suatu sebab. Ada kematian karena penyakit, ada kematian karena bencana alam, ada kematian karena bunuh membunuh, dalam perang atau dalam perkelahian. Kita harus menghadapi setiap kematian sebagai suatu hal yang wajar, sebagai bukti bahwa hidup di dunia ini tidak abadi, dan bukti bahwa Tuhan Maha Kuasa dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan mampu menghindarkan kita dari kematian kalau Tuhan sudah menghendakinya. Sebaliknya, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat membunuh kita kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati! Nah, kalau kematian itu ditentukan oleh Tuhan, maka setiap kematian, kalau ditanya pembunuhnya, maka pembunuhnya adalah Tuhan! Kalau, kita hendak mendendam, maka kepada Tuhanlah dendam itu ditujukan dan itu merupakan dosa yang teramat besar!"

"Tapi, suhu! Yang melakukan pembunuhan adalah manusia lain, walaupun kematian itu di tangan Tuhan!" bantah Kui Siang, "Kalau ada orang membunuh orang lain yang tidak berdosa, maka si pembunuh itulah yang bertanggung jawab dan dia harus dihukum!"

"Ha..ha..ha, tentu saja! Dan kau bicara tentang hukum. Setiap dosa tidak akan dapat bebas dari hukuman Tuhan, dan ada pula hukuman manusia, yaitu hukum yang diadakan oleh negara, oleh masyarakat, oleh agama. Tapi, membalas dendam tidak termasuk dalam hukum apapun, kecuali hukum nafsu setan, hukum kebencian, Andaikata kedua orang gurumu ini mati karena penyakit, karena kuman, apakah engkau juga akan membalas dendam kepada kuman, kepada penyakit? Andaikata kedua orang gurumu ini mati karena banjir, apakah engkau akan mendendam kepada air? Kalau mati karena terbakar, apakah engkau akan mendendam kepada api? Dan masih banyak lagi penyebab kematian yang banyak menjadi lantaran saja."

Kui Siang tertegun dan bengong. Ia merasa bulu tengkuknya meremang, melihat kenyataan yang sama sekali tak pernah dipikirkan sebelumnya.

"Tapi ...... tapi ..... kalau dua orang suhu dibunuh orang jahat, apakah teecu harus mendiamkan saja orang jahat itu membunuh dua orang suhuku? Apakah teecu harus mendiamkan pula penjahat itu merajalela menyebar maut, membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?"

"Sumoi, bukan begitu maksud suhu. Tentu saja kita harus menentang setiap perbuatan jahat. Kalau kita melihat penjahat yang telah membunuh dua orang guru kita, atau membunuh siapapun juga, atau penjahat lain yang manapun juga, kalau kita melihat dia melakukan kejahatan, sudah menjadi kewajiban kita untuk mencegah perbuatan jahat itu dilakukan. Akan tetapi, kita menentang dan memberantas kejahatan berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, bukan demi membalas dendam karena kebencian atau sakit hati."

Kui Siang mengangguk-angguk. Baru sekarang setelah mendengarkan penjelasan suhengnya, ia teringat akan ajaran-ajaran dari dua orang gurunya yang kini telah rebah telentang, tanpa nyawa itu.

"Nah, engkau mulai mengerti agaknya, Kui Siang. Kita harus mengetahui bahwa budi dan dendam, keduanya merupakan belenggu pengikat kita kepada hukum karma. Hukum karma merupakan mata rantai yang tiada berkeputusan selama kita terikat oleh belenggu tadi."

"Suhu, mohon dijelaskan tentang karma."

"Hukum karma adalah hukum sebab akibat, Kui Siang. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan akibat itu dapat menjadi sebab baru lagi sehingga mata rantai itu sambung menyambung tiada berkeputusan. Kalau engkau menendang sebuah batu dari puncak bukit, batu itu menjadi sebab tergelincirnya batu ke dua. Akibat ini menjadi sebab lain lagi karena batu ke dua menimpa batu ke tiga dari selanjutnya."

"Kalau begitu, kita tidak berdaya, suhu. Kita menjadi permainan karma, menjadi permainan hukum sebab dan akibat."

"Kalau kita membiarkan diri terikat, memang demikian, Kui Siang. Akan tetapi, Tuhan Maha Kasih kepada kita. Tuhan telah memberi alat yang serba lengkap kepada kita manusia, selain dengan nafsu-nafsu untuk mempertahankan hidup, dengan hati dan akal pikiran, juga menyertakan pula kesadaran jiwa. Kekuasaan Tuhan akan membimbing kita, Kui Siang, menyadarkan kita sehingga kita dapat mematahkan ikatan belenggu sebab akibat dan tidak terseret oleh berputarnya roda karma."

"Mohon penjelasan, suhu, berilah contohnya."

"Sin Wan, aku ingin mendengar apakah engkau sudah mengerti benar. Coba engkau yang menerangkan kepada sumoimu."

"Baik, suhu. Akan tetapi kalau ada kekeliruan harap suhu suka membetulkan dan memberi penjelasan. Sebelumnya, teecu harap suhu suka memberitahu, bagaimana kedua orang suhu ini sampai, tewas, agar dapat teecu pergunakan sebagai contoh tentang ikatan belenggu karma."

Dewa Arak menarik napas panjang. "Ketika kalian turun dari lembah tadi, dan kami bertiga duduk di luar pondok menikmati sinar matahari pagi, muncullah Bi-coa Sian-li Cu Sui In bersama seorang gadis yang disebutnya sumoi."

"Siapakah Bi-coa Sian-li Cu Sui In itu?" Kui Siang bertanya.

"Sumoi, ia seorang tokoh kang-ouw wanita yang sepuluh tahun lalu pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana dari tangan guru-guru kita." Kata Sin Wan yang masih ingat kepada wanita galak itu, juga ingat kepada anak perempuan yang ketika itu mengaku sebagai murid Dewi Ular Cantik.

"Nah, wanita itu sepuluh tahun yang lalu gagal merampas pusaka dari kami, dan kekalahan sepuluh tahun yang lalu itu membuat ia menaruh dendam. Ia datang mencari kami dan menantang kami untuk bertanding satu lawan satu untuk menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja kami tidak menanggapi, akan tetapi ia memaksa dan akan membunuh kami kalau kami tidak mau menyambut tantangannya. Tentu saja kami tidak mau dibunuh begitu saja dan mati konyol. Maka Dewa Pedang lalu menyambut tantangannya."

"Tapi, Louw-suhu (guru Louw) sudah mengatakan tidak akan bertanding lagi, dan beliau menyerahkan Jit-kong-kiam kepada teecu dan Pedang Tumpul kepada suheng!" seru Kui Siang, lalu ia menoleh dan memandang ke arah wajah jenazah Kiam-sian Louw Sun.

Dewa Arak tersenyum. "Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, setiap benda berbentuk pedang dapat saja menjadi senjata pengganti pedang. Dia melawan Dewi Ular itu dengan sebatang ranting pohon."

"Ahhh ......! Dan Louw-suhu melawannya dengan ranting, sedangkan lawan menggunakan pedang pusaka?" teriak Kui Siang.

"Bukan hanya karena itu. Akan tetapi memang harus kami akui bahwa ilmu kepandaian Dewi Ular Cantik tidak dapat disamakan dengan tingkatnya sepuluh tahun yang lalu. Ia lihai bukan main dan akhirnya, setelah melalui pertandingan yang seru dan hebat, guru kalian Kiam-sian Louw Sun tewas di tangan Dewi Ular Cantik."

Wajah Kui Siang menjadi merah, akan tetapi ia masih menahan kemarahannya. "Apakah Thio-suhu (guru Thio) juga tewas oleh iblis betina itu, suhu?"

Dewa Arak mengangguk. "Setelah Dewa Pedang roboh. Dewa Rambut Putih maju melawan Dewi Ular Cantik. Pertandingan antara mereka lebih seru dan sebetulnya Dewi Ular sudah kehabisan tenaga. Akan tetapi ia memang lihai dan mempunyai banyak siasat. Akhirnya, dengan menggunakan rambutnya sebagai senjata. Dewi Ular berhasil merobohkan dan menewaskan Dewa Rambut Putih walaupun ia sendiri terkena tendangan Pek-mau-sian dan menderita luka dalam yang cukup parah. Dalam keadaan terluka ia dan sumoinya pergi."

"Iblis betina keparat!" Kui Siang bangkit lagi kemarahannya yang sejak tadi ditahannya.

"Hemm, mau apa engkau, Kui Siang?" bentak Dewa Arak, sekali ini tidak tertawa lagi. Kui Siang sadar, lalu membalik dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya sambil menangis. "Suhu, ampunkan teecu ...." katanya di antara isaknya.

"Suhu, Maafkan sumoi," kata Sin Wan. "Teecu sendiri juga merasa panas di hati. Suhu, teecu berdua hanyalah manusia-manusia biasa yang tidak mungkin dapat begitu saja membebaskan diri dari pada nafsu perasaan. Teecu berdua amat menyayang Louw-suhu dan Thio-suhu, tentu hati ini sakit sekali mendengar ada orang membunuh mereka. Teecu sendiri mengerti bahwa perasaan ini hanya permainan nafsu dan tidak benar menurutkannya, akan tetapi mungkin sumoi belum mengerti benar."

"Heh .. heh, karena itu, kaujelaskan padanya tentang karma tadi, Sin Wan."

"Begini sumoi. Kalau kita mau menelusuri, maka kematian dua orang guru kita yang tercinta hanya merupakan akibat dari pada sebab-sebab yang lalu. Kalau kita telusuri, maka sebab-sebab itu kait-mengait seperti mata rantai. Mereka tewas sebagai akibat pembalasan dendam Dewi Ular Cantik yang pernah mereka kalahkan, dalam perkelahian pertama. Perkelahian pertama itu menjadi sebab perkelahian ke dua ini. Dan perkelahian pertama itupun akibat dari pada sebab lain, yaitu karena guru-guru kita bertugas merampas kembali pusaka dari istana. Tugas itupun mempunyai sebab, yaitu karena guru-guru kita adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang dimintai tolong oleh kaisar dan ketua perkumpulan persilatan. Nah, kalau ditelusuri terus, sebab-sebab yang menjadi mata rantai itu tiada habisnya, sumoi."

"Ha..ha..ha, mungkin yang menjadi sebab pertama adalah karena ...... kami bertiga dahulu dilahirkan di dunia ini! Kalau kami tidak dilahirkan, mana akan terjadi semua itu? Ha..ha..ha!"

"Demikianlah, sumoi. Sebab akibat yang disebut karma ini merupakan mata rantai yang tiada putusnya, dan masih akan berkepanjangan kalau kita tidak menghentikannya agar mata rantai itu putus. Contohnya begini. Kematian kedua orang guru kita menjadi akibat yang dapat menjadi sebab lain, yaitu apabila kita menaruh dendam sakit hati. Mungkin kita lalu mencari Dewi Ular Cantik dan kita berusaha membunuhnya untuk membalas dendam atas kematian,kedua orang guru kita. Katakanlah kita berhasil dan ia mati di tangan kita, mata rantai itu tidak akan habis. Mungkin ada saudaranya, gurunya, atau muridnya, yang menjadi sakit hati dan mendendam, lalu mencari kita untuk menuntut balas, demikian seterusnya."

"Heh..heh..heh, kemudian muridnya, atau anaknya, saling mendendam dan saling membalas. Saling bermusuhan, maka timbullah perang! Nafsu itu seperti api, kalau dibiarkan merajalela, dari sepercik bunga api dapat menjadi lautan api yang membakar dunia ha..ha..ha!"

"Begitulah, sumoi. Biarpun hati kita panas, namun pengertian ini harus kita laksanakan, dalam kehidupan. Kita hentikan rangkaian karma ini sampai di sini saja. Kita patahkan mata rantai agar kita tidak terikat belenggu karma. Kita tidak seharusnya menaruh dendam kebencian kepada Dewi Ular Cantik."

"Aku mengerti. Suheng." Kata Kui Siang dan kini suaranya terdengar tenang. "Akan tetapi apakah kita harus mendiamkan saja orang-orang jahat dan kejam seperti Dewi Ular Cantik itu berkeliaran begitu saja menyebar maut di antara orang-orang yang tidak berdosa? Kita berpeluk tangan begitu saja ?"

"Ha..ha..ha, anak manis. Tentu saja tidak! Kalau kalian diam saja, lalu untuk apa kalian menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari Ilmu dari Sam Sian? Kalian harus turun tangan, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang benar dan yang lemah tertindas, menentang yang jahat dan yang lalim, akan tetapi, ingat. Yang kalian tentang bukanlah pribadinya, melainkan perbuatannya. Kalian menentang orang jahat berdasarkan jiwa pendekar, bukan karena sakit hati, bukan karena dendam, dan sama sekali bukan karena membenci seseorang karena perbuatan yang dasarnya kebencian adalah perbuatan yang terdorong oleh nafsu, dan semua perbuatan yang terdorong nafsu tentu akan menjadi mata rantai hukum karma."

"Terima kasih, suhu, teecu mulai mengerti. Teecu juga masih ingat akan semua ajaran budi pekerti yang pernah teecu terima dari mendiang Louw-suhu dan Thio-suhu. Teecu harus menjadi seorang pendekar yang selalu mengambil jalan benar, taat kepada perintah Tuhan yang diperuntukkan manusia lewat agama dan ajaran-ajaran para budiman, teecu harus berprikemanusiaan, harus menjunjung keadilan, menolong sesamanya, berpribudi baik dan hidup rukun dan saling bantu, harus ........"

"Kui Siang, dan kau juga Sin Wan. Segala ajaran memang baik, akan tetapi kalian ingatlah baik-baik. Pokok dari pada semua ajaran itu adalah bahwa kita harus. berTUHAN! BerTuhan bukan hanya di mulut, melainkan ber Tuhan dengan seluruh jiwa raga, tercermin di dalam hati akal pikiran, dalam kata-kata dan dalam perbuatan. Ber Tuhan bukan berarti munafik, melainkan kita menyembah dan berbakti kepada Tuhan setiap saat, setiap detik ingat kepada Tuhan sehingga segala apa yang kita pikir, kita katakan, kita lakukan selalu dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih. Orang yang ber.Tuhan, benar-benar ber Tuhan, sudah pasti dia itu berprikemanusiaan, sudah pasti dia itu adil, berpribudi baik, tolong-menolong dan hidup rukun dengan sesama, sudah pasti dia itu tidak kejam. Pendeknya, orang yang ber Tuhan sudah pasti hatinya bersih dan baik!

Sebaliknya, orang yang berbuat baik, yang mengaku berprikemanusiaan, mengaku adil, belum tentu ber Tuhan, Kalau demikian keadaannya, maka semua kebaikannya itu berdasarkan nafsu, semua kebaikannya itu munafik dan palsu, karena tentu didasari pamrih demi keuntungan dan kepentingan diri pribadi! Namun, seorang yang ber Tuhan, melakukan segala sesuatu demi baktinya kepada Tuhan, sebagai dharma sehingga semua perbuatannya itu tanpa dikotori pamrih demi keuntungan diri pribadi. Mengertikah

kalian?"

"Teecu mengerti, suhu," kata Sin Wan dan Kui Siang hanya mengangguk, karena pengertiannya belum mendalam, bahkan ia masih agak bingung. Sejak kecil ia telah banyak menderita, yaitu sejak ia berusia sepuluh tahun. Ayahnya dibunuh penjahat yang mencuri pusaka isiana, ibunya tak lama kemudian meninggal pula karena duka dan jatuh sakit. Para paman dan bibinya hanyalah orang-orang yang berambisi untuk mengambil bagian dari harta warisan orang tuanya. Sejak kecil ia menderita dan kecewa.

Dan kini, setelah selama sepuluh tahun ia hidup bersama tiga orang gurunya, menyayangi mereka seperti orang tua sendiri, dua di antara tiga orang gurunya kembali dibunuh orang! Dan kalau ia menderita sakit hati dan mendendam, hal itu tidaklah benar! Terjadi perang dalam batinnya yang membuat ia ragu dan bingung.

Tiba-tiba Dewa Arak tertawa. "Ha..ha..ha..ha, sudah cukup kita bicara seperti pendeta-pendeta tua perenung! Kalian harus membuat persiapan. Kita kubur jenazah Kiam-sian dan Pek-mau-sian di lembah ini, kemudian kalian ikut dengan aku pergi meninggalkan Pek-in-kok."

"Meninggalkan Pek-in-kok? Kita akan pergi ke mana suhu?" tanya Sin Wan yang merasa heran.

"Kita pergi ke tempat lain yang tidak diketahui orang, agar Dewi Ular Cantik tidak akan dapat menemukan kita."

"Tapi, suhu!" Kui Siang berkata dengan penasaran sekali. "Kenapa kita harus melarikan diri dari iblis betina itu? Memang kita tidak perlu mendendam kepadanya, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita takut kepadanya sehingga kita harus lari dan menyembunyikan diri!"

Sekali ini, Sin Wan juga berpihak sumoinya. Walaupun dia tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya terhadap Dewa Arak juga menuntut penjelasan.

"Heh..heh, kaukira aku takut menghadapi Dewi Ular Cantik? Sama sekali tidak takut, juga aku tidak suka melihat kalian takut kepadanya atau kepada siapapun juga. Rasa takut kita harus kita tujukan hanya kepada Tuhan saja, takut kalau sampai kita terseret nafsu melakukan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Tuhan! Tidak, aku mengajak kalian pergi dari sini agar kalian dapat melatih ilmu kami secara tekun dan tenang tanpa ada gangguan selama satu tahun. Setelah kalian menguasai Sam-sian Sin ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), baru hatiku tenteram dan kalian boleh turun gunung."

"Sam-sian Sin-ciang ?" tanya Kui Siang. "Belum pernah teecu mendengarnya dari suhu bertiga."

"Itulah hasil ketekunanku selama beberapa tahun ini. Sayang Kiam sian dan Pek-mau-sian terlalu malas untuk mempelajari dan melatih ilmu itu. Andaikata mereka menguasainya, bagaimana mungkin Dewi Ular Cantik mampu mengalahkan mereka!"

Dewa Arak dan dua orang muridnya lalu mengubur dua jenazah itu di Lembah Awan Putih, kemudian menyembahyangi dua makam itu dengan hormat walaupun sederhana.

Setelah tiga hari mereka mengubur jenazah itu. Pada hari ke empat mereka meninggalkan Pek-in-kok, menuju ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh Dewa Arak sendiri. Di situ dia menggembleng dua orang muridnya, mengajarkan ilmu baru yang selama bertahun-tahun disusunnya dari inti sari ilmu Tiga Dewa.

Dalam Sam-sian Sin-ciang ini termasuk unsur-unsur dari llmunya sendiri seperti Ciu-sian Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak), Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan Hui-nio Poan-soan (Langkah Berputaran Burung Terbang) dan dari ilmu silat Kiam-sian dia mengambil inti sari dari Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Cahaya Matahari) dan ilmu menotok jalan darah Kiam-ci (Jari Pedang). Dari Pek-mau-sian dia mengambil inti sari Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih) dan Sin-siauw Kun-hoat (Silat Suling Sakti).

Dari semua ilmu ini, yang diambil inti sarinya, dia menciptakan Sam-sian Sin-ciang dan ilmu inilah yang dia ajarkan kepada Sin Wan dan Kui Siang. Kalau yang mempelajari ilmu Sam-sian Sin-ciang ini orang lain, betapapun pandainya dia, tentu akan makan waktu bertahun-tahun saking sulitnya. Akan tetapi karena dua orang muda itu sudah mengenal semua ilmu yang digabungkan menjadi ilmu silat sakti itu, tentu saja lebih mudah bagi mereka dan dalam waktu setahun, setelah berlatih dengan tekun, mereka dapat menguasai ilmu itu sebaiknya.

                                 0oo0

Harus diakui oleh sejarah bahwa semenjak kekuasaan penjajah Mongol dienyahkan oleh pasukan rakyat yang dipimpin oleh pemuda petani Cu Goan Ciang yang kemudian mendirikan Dinasti Beng dan menjadi Kaisar Thai-cu, Cina dapat dipersatukan kembali. Di bawah pimpinan Jenderal Shu Ta, tangan kanan Kaisar Thai-cu, sisa-sisa pasukan Mongol yang masih berada di wilayah Cina, dapat dipukul mundur sampai mereka kembali ke tempat asal mereka, di utara, yaitu daerah Mongol.

Setelah tiba di daerah mereka sendiri, barulah orang�orang Mongol dapat mempertahankan diri. Daerah yang keras dan sukar itu menyulitkan pasukan yang dipimpin Jenderat Shu Ta sehingga dia hanya mampu membersihkan daerah kekuasaannya dari orang-orang Mongol, namun tidak mampu menumpas Bangsa Mongol di daerah mereka sendiri.

Kaisar Thai-cu, walaupun berasal dari keluarga petani, namun setelah menjadi kaisar, ternyata memiliki kemampuan memimpin yang mengagumkan. Hal ini karena dia amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang yang ahli dalam bidang masing-masing, menghargai para cerdik pandai sehingga dengan bantuan orang-orang yang ahli, dia mampu mengendalikan pemerinlahan dengan baik.

Yang membuat kedudukan kaisar ini kuat adalah karena dia merupakan orang yang telah mampu dan berhasil menghancurkan kekuasaan penjajah Mongol sehingga mengembalikan harga diri dan kedaulatan bangsa. Jasa ini saja sudah membuat dia dikagumi dan dihormati seluruh rakyat, tidak perduli dari golongan maupun suku bangsa apa saja, karena bukankah dia yang telah membebaskan rakyat semua suku dan golongan itu dari penindasan penjajah Mongol?

Juga Kaisar Thai-cu yang dahulunya bernama Cu Goan Ciang ini memanfaatkan akar dari pohon pemerintahannya, yaitu balatentara dan rakyat jelata. Dia merangkul keduanya. Dia menghargai jasa balatentaranya, menjamin kehidupan keluarga mereka, menambah daya kekuatan mereka dengan menggembleng semua perajurit dengan ilmu-ilmu perang, tidak pelit membagi-bagi hadiah, pandai menghargai jasa setiap orang perajurit. Juga kaisar ini merangkul rakyat, memperhatikan kehidupan rakyat jelata, menyuburkan

perdagangan dengan membuka pintu selebarnya.

Dia membangkitkan semangat membangun dalam segala bidang karena semangat rakyat harus disalurkan dan penyaluran yang paling sehat dan menguntungkan bangsa hanyalah semangat membangun! Di samping itu, Kaisar Thai-cu juga menggunakan tangan besi untuk menertibkan keamanan, menjaga ketenteraman kehidupan rakyat dan menumpas semua golongan yang sifatnya hanya menjadi

perusak dan penghalang pembangunan.

Pada masa itu, gangguan yang terbesar bagi kerajaan baru Beng-tiauw adalah rongrongan orang-orang Mongol yang tentu saja masih merasa penasaran dan ingin menegakkan kembali kekuasaan mereka yang hancur. Mereka melakukan gangguan di sepanjang perbatasan barat dan utara.

Di samping gangguan dari orang-orang Mongol ini, yang tidak segan-segan mempergunakan segala daya untuk bersekutu dan membujuk pejabat-pejabat daerah untuk memberontak, juga pemerintah menghadapi rongrongan dari para bajak laut yang merajalela di lautan timur. Mereka ini kebanyakan adalah orang-orang Jepang yang terkenal sebagai bajak laut yang tangguh.

Karena sukar untuk membasmi bajak laut ini yang mempunyai daerah pelarian yang luas di lautan apabila dikejar, Kaisar Thai-cu bersama para penasihatnya memperlihatkan perhatian yang serius terhadap keadaan rakyat di pantai-pantai yang menjadi sasaran para bajak laut. Para penduduk pantai itu ditampung dan dlpindahkan ke daerah pedalaman sehingga menyulitkan para bajak laut untuk mengganggu mereka.

Demikianlah, di bawah pimpinan Kaisar Thai-cu yang bijaksana, tentu saja sebagian besar rakyat mendukungnya dan Kerajaan Beng (Terang) menjadi benar-benar gemilang. Tentu saja, tidak ada yang sempurna di dunia yang dwimuka ini. Demikian pula dengan keberhasilan yang dicapai Kaisar Thal-cu. Ada saja golongan yang merasa tidak puas. Mereka ini sebagian besar adalah mereka yang di waktu pemerintahan penjajah berhasil menduduki pangkat yang tinggi dan kehidupan yang mewah dan mulia. Setelah Kerajaan Goan-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mongol runtuh, runtuh pula kedudukan mereka, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi korban perang, sebagai pihak yang membela kerajaan penjajah yang kalah.

Ada pula golongan yang tidak puas kerena merasa tidak mendapatkan bagian dari hasil kemenangan pemerintah Beng-tiauw. Ada pula golongan hitam dan kaum sesat yang merasa tersudut karena pemerintah menggunakan tangan besi menentang kejahatan dan memberi hukuman berat kepada para pengacau. Adapula pejabat daerah yang merasa bahwa jasanya lebih besar dari pada kedudukan yang mereka peroleh sehingga mereka ini condong untuk merasa tidak puas dan mudah dihasut golongan yang tidak suka kepada pemerintah baru.

Golongan-golongan itulah, orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan negara dan bangsa, yang mudah dibujuk oleh orang-orang Mongol untuk mengadakan persekutuan! Akan tetapi, golongan rakyat yang menentang pemerintahan ini diimbangi dengan golongan para pendekar yang mendukung pemerintah!

Maka bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan yang saling bertentangan, yaitu perkumpulan golongan sesat atau para penjahat yang dipergunakan oleh para pembesar yang berniat memberontak, dan golongan para pendekar yang membantu pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Tentu saja golongan para pendekar ini mendapatkan dukungan rakyat jelata yang tidak ingin melihat kehidupan mereka dirusak kembali oleh para pengacau. Juga mereka baru saja terbebas dari perang yang amat mengerikan

dan menjatuhkan banyak korban, dan mereka tidak ingin timbul perang baru yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata belaka. Pada suatu pagi, dua orang wanita cantik mendayung perahu mereka yang kecil mungil ke darat sungai Kuning di sebelah utara kota besar Lok-yang. Mereka, menarik. perahu ke darat. memanggil seorang diantara para nelayan yang berada di pantai.

"Paman, maukah engkau menyimpan perahu ini untuk kami? Boleh paman pakai untuk keperluan paman, akan tetapi sewaktu-waktu kami datang membutuhkannya, paman harus mengembalikan kepada kami," kata wanita yang muda. Nelayan itu memandang heran, akan tetapi karena perahu itu biarpun kecil cukup kokoh dan indah, dia mengangguk.

"Baiklah, nona. Biar anakku yang merawatnya dan dia pula yang menggunakan untuk sekadar mencari ikan, Namaku A Liok, nona. Kelak kalau nona hendak mengambilnya kembali, tanyakan saja kepada orang di sini."

Gadis itu mengangguk, kemudian dua orang wanita yang cantik itu pergi meninggalkan pantai sungai, menuju ke barat, melalui jalan raya yang menuju ke kota Lok-yang.

Dua orang wanita itu adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan Tang Bwe Li! Setahun lebih yang lalu, mereka datang ke Pek-in-kok dan Si Dewi Ular itu telah berhasil membunuh Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, walaupun ia sendiri juga terluka parah. Namun, sekarang ia telah sembuh sama sekali dan biarpun usianya kini sudah empatpuluh tahun lebih, Cu Sui In masih nampak cantik jelita seperti belum ada tigapuluh tahun usianya.

Rambutnya masih digelung tinggi, dan rambut itu masih hitam panjang, gelungnya model sanggul para puteri bangsawan dengan dihias emas permata berbentuk burung Hong dan bunga teratai. Pakaiannya juga indah, terbuat dari sutera mahal berkembang dan wajahnya yang cantik jelita itu bertambah cantik dengan olesan bedak tipis dan pemerah bibir dan pipi. Alisnya kecil melengkung dan hitam karena ditata dengan cukuran dan penghitam alis, sepasang matanya, tajam dan mengandung sesuatu yang dingin dan menyeramkan.

Hidungnya mancung, akan tetapi yang paling menggairahkan hati pria adalah mulutnya. Mulut itu memang indah bentuknya, bahkan tanpa pemerah bibirpun sebetulnya sepasang bibir itu sudah merah membasah karena sehat, sepasang bibir yang hidup dan dapat bergerak-gerak pada ujungnya, penuh dan tipis lembut.

Akan tetapi semua kecantikan itu menjadi keren dengan adanya sebatang pedang yang bergagang dan bersarung indah tergantung di punggungnya, tertutup buntalan pakaian dan sutera kuning.

Tang Bwe Li yang kini berusia duapuluh tahun, tidaklah secantik dan seanggun gurunya yang kini menjadi sucinya itu. Namun, dara ini jauh lebih manis! Lesung di pipinya, kerling tajam pada matanya, senyum sinis pada mulutnya, hidung yang dapat kembang kempis itu, ditambah gayanya yang lincah jenaka dan galak, membuat hati setiap orang pria yang melihatnya menjadi gemas-gemas sayang.

Beberapa bulan yang lalu, Tang Bwe Li atau yang biasa dipanggil Lili, pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Himalaya dimana suhunya, See-thian Coa-ong Cu Kiat dan sucinya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In, tinggal. Dara ini telah melakukan perjalanan seorang diri untuk mencari Dewa Arak dan muridnya, anak laki-laki yang pernah menampari pinggulnya sampai panas dan merah, yang tidak diketahui namanya akan tetapi amat dibencinya itu.

Ia hendak mewakili sucinya yang sedang mengobati luka dalam karena tendangan Pek-mau-sian. Akan tetapi, Lili tidak berhasil menemukan Dewa Arak di Pek-in-kok. Ia hanya melihat dua buah makam, yaitu makam Kiam-san dan Pek-mau-sian. Ia mencari ke sekitar lembah itu, namun sia-sia dan dengan marah-marah terpaksa ia kembali ke rumah suhunya dan melapor kepada sucinya.

Dewi Ular juga menjadi kecewa sekali, maka setelah ia sembuh sama sekali, ia mengajak sumoinya turun gunung. Mereka berdua selain hendak mencari Dewa Arak dan muridnya, juga ingin memenuhi pesan See-thian Coa-ong Cu Kiat. Datuk ini sudah mendengar Akan perubahan besar yang terjadi sejak penjajah Mongol diusir dari Cina. Dia merasa sudah tua dan tidak semestinya mengasingkan diri di Pegunungan Himalaya.

"Sekarang tiba waktunya bagi kita untuk mencari kedudukan, karena kaisarnya adalah bangsa sendiri." katanya.

"Apakah ayah bercita-cita untuk menjadi seorang pembesar?" tanya Dewi Ular heran.

"Ha..ha..ha, siapa ingin menjadi pejabat? Kalau menjadi pejabat, aku harus menjadi kaisar! Ah, tidak, Sui In. Kita adalah orang-orang dunla persilatan. Aku mendengar bahwa sekarang para orang gagah di dunia kang-ouw, mendapat angin baik dari pemerintah yang baru. Aku ingin menjadi beng-cu (pemimpin) dari rimba persilatan!"

"Suhu, dalam perjalananku mencari Dewa Arak, akupun mendengar bahwa tahun ini, pada akhir tahun, akan ada pertemuan besar antara para pimpinan partai persilatan, dan mungkin dalam pertemuan itu akan dilakukan pemilihan ketua atau pemimpin baru," kata Lili.

"Bagus! Akhir tahun masih lama, masih sembilan bulan lagi. Kalian berangkatlah lebih dulu, menyusun kekuatan dan sedapat mungkin membentuk sebuah perkumpulan yang kuat untuk menjadi anak buah kita. Kelak, pada saatnya, aku akan muncul di tempat pertemuan puncak itu. Bwe Li, di mana pertemuan itu diadakan? Biasanya, pertemuan semacam itu diadakan di Thai-san"

"Menurut yang kudengar memang akan diadakan di puncak Thai-san, suhu," kata gadis itu.

"Nah, kalau begitu, kalian berangkatlah. Menurut sejarah, dahulu perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan yang amat kuat dan memiliki anak buah paling banyak di antara semua perkumpulan. Bahkan partai pengemis di utara pernah menjadi penghalang bagi penjajah Mongol ketika hendak menyerbu ke selatan. Akan tetapi, karena adanya pengkhianatan di antara para pimpinan, partai pengemis dapat dikuasai orang-orang Mongol dan akhirnya diadu domba dan pecah belah. Bahkan ketika jaman penjajahan Mongol, partai itu dilarang sehingga anak buahnya cerai berai. Sekarang, setelah penjajah lenyap, kurasa mereka tentu membangun kembali partai pengemis. Kalau kalian dapat menguasai mereka, kalau kalian dapat menjadi pimpinan kai-pang (partai pengemis), tentu kedudukan kita akan menjadi kuat dan disegani."

Demikianlah, dua orang wanita itu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu, mereka turun dari perahu dan menuju ke Lok-yang. Mereka mendengar dalam perjalanan mereka bahwa memang kini kai-pang mulai nampak kuat kembali, di mana-mana diadakan persatuan pengemis dan pusatnya berada di tiga tempat.

Pengemis utara berpusat di Pe-king, pengemis barat berpusat di Lok-yang dan pengemis timur dan selatan berpusat di Nan-king, kota raja. Itulah sebabnya, dua orang wanita itu kini menuju ke Lok-yang. Kalau saja mereka dapat menguasai cabang barat di Lok-yang ini, akan memudahkan mereka menuju kepada kedudukan puncak yang berpusat di Nan-king.

Ketika mereka memasuki Lok-yang, Lili yang jarang melihat kota besar, menjadi kagum. Kota Lok-yang merupakan bekas kota raja, maka selain besar dan ramai, juga indah, banyak bangunan indah bekas istana di sana, juga gedung-gedung besar yang dahulu menjadi tempat tinggal para pembesar tinggi. Toko-toko besar penuh barang dagangan, juga terdapat banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar.

Akan tetapi, setelah berjalan-jalan di kota itu, Sui In yang tidak heran melihat keramaian kota karena ia sudah sering berkunjung ke kota-kota besar, berkata, "Sungguh luar biasa!"

"Apanya yang luar biasa, suci? Memang kota ini ramai dan indah......"

"Bukan itu maksudku. Coba kaulihat sumoi, tidak ada seorangpun pengemis nampak di kota ini. Padahal, menurut keterangan, Lok-yang merupakan pusat dari para pengemis daerah barat."

"Ah, benar juga, suci. Tentu telah terjadi sesuatu, atau mungkin mereka itu sudah pindah ke kota lain?"

"Andaikata benar mereka pindahpun, kenapa di kota besar seperti ini tidak nampak seorangpun pengemis? Ini sungguh aneh!" kata Dewi Ular. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan. Karena baru saja mereka melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, mereka beristirahat siang itu dan setelah mandi sore, Dewi Ular mengajak sumoinya untuk keluar mencari makanan dan juga untuk berjalan-jalan melihat keadaan dan menyelidiki tentang para pengemis.

Kota Lok-yang di malam hari memang makin semarak. Toko-toko dibuka dengan lampu-lampu gantung yang terang, juga jalan raya diterangi lampu-lampu. Banyak orang lalu lalang, berjalan-jalan atau berbelanja di toko, di warung-warung, bahkan di taman kota yang indah, yang di waktu jaman penjajahan hanya untuk kaum bangsawan atau pembesar saja, kini dibuka untuk umum dan ramai sekali.

Dua orang wanita itu ikut merasa gembira dengan ramainya suasana. Langit cerah dan bulan mulai muncul membuat suasana semakin gembira. Sui In dan Bwe Li kini duduk di sebuah kedai nasi, duduk di meja paling luar sambil menonton keramaian di jalan raya, memesan makanan dan air teh.

Selagi mereka makan, tiba-tiba Bwe Li menyentuh lengan sucinya dan dengan pandang mata ia memberi isyarat ke sebelah kanan. Sui In menengok dan ia melihat seorang pengemis datang rnenghampiri kedai itu.

Seorang pengemis yang usianya sekitar tigapuluh tahun, tubuhnya tegap dan sehat, pakaiannya serba hitam, bahkan rambutnya yang panjang juga diikat dengan pita hitam. Melihat perawakannya, sungguh tidak pantas seorang pria muda yang masih kuat dan tidak cacat itu menjadi pengemis! Juga gerak-geriknya tidak seperti orang pemalas, melainkan sigap dan langkahnya lebar. Akan tetapi, wajahnya membayangkan kekerasan dan matanya liar.

Dua orang wanita itu kini menunda makan dan mengikuti gerak gerik pengemis itu dengan pandang mata mereka. Pengemis muda itu kini menghampiri sebuah meja paling depan dekat pintu kedai, di mana duduk tiga orang laki-laki yang sedang makan bakmi.

"Tuan-tuan, bagilah sedikit rejeki untukku dan, beri sedekah untukku." kata pengemis itu, sikap dan suaranya angkuh seperti orang menagih hutang saja.

Tiga orang yang sedang makan itu nampak terganggu, akan tetapi yang paling tua di antara mereka agaknya tidak ingin ribut-ribut, mengambil sepotong uang kecil dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada si pengemis. Pengemis baju hitam itu menerima uang kecil, mengamatinya dan diapun mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang itu dengan marah.

"Kalian hanya memberi sekeping tembaga ini? Untuk membeli semangkok bakmi juga tidak cukup! Kalian berani menghinaku, ya?" Pengemis itu membanting uang kecil itu ke atas meja. Uang itu menancap di meja depan tiga orang itu yang menjadi terkejut sekali.

Pria yang tertua itu berkata, "Engkau tidak mau diberi sebegitu? Lalu, berapa yang kauminta?"

Pengemis itu menggapai ke arah pelayan yang kebetulan berada di dekat situ, lalu dia bertanya, "Coba hitung, berapa harga semua hidangan tiga orang ini."

Pelayan itu memandang heran. Benarkah pengemis ini hendak membayar makanan tiga orang itu maka menanyakan harganya? Dia menghitung-hitungkan lalu berkata, "Semua sekeping uang perak," jawabnya.

Pengemis itu lalu menjulurkan tangannya ke arah tiga orang tamu itu. "Nah, berikan sekeping perak kepadaku!"

Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mana ada pengemis minta sedekah sebanyak harga makanan mereka bertiga? Dengan paksaan pula! Dan pelayan itupun kini mengerti bahwa pengemis baju hitam ini mencari gara-gara. Pada waktu itu. keadaan kota Lok-yang aman dan hampir tidak pernah ada gangguan kejahatan. Hal ini membuat pelayan itupun berani menentang, merasa bahwa ada pasukan keamanan di Lok-yang.

"Bung, harap jangan memaksa dan membuat ribut di kedai ini, jangan mengganggu tamu kami." bujuknya.

Pengemis baju hitam itu menoleh. memandang kepada pelayan itu, lain tangannya meraih ujung meja, mencengkeramnya dan ujung meja dari kayu keras itu remuk dalam cengkeraman si pengemis! "Apakah kepalamu lebih keras dari pada kayu meja ini?" katanya lirih namun penuh seram.

Pelayan itu mundur dengan muka pucat, dan tiga orang tamu juga menjadi pucat. Tamu tertua segera mengambil sekeping perak dan menyerahkannya kepada pengemis itu. Tanpa bicara lagi, pengemis itu menerima uang sekeping perak, lalu meninggalkan meja itu. Ketika dia memandang kepada Sui In dan Bwe Li, matanya terbelalak dan mulut yang tadinya kaku dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar secara kurang ajar. Dia kini menghampiri meja Sui In dan Bwe Li.

Agaknya sikap pengemis muda itu semakin berani ketika dia melihat wanita cantik yang lebih tua memandang kepadanya dengan tenang dan tidak malu-malu, sedangkan gadis yang manis itu bahkan memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum!

"Aih, nona-nona yang cantik manis seperti bidadari kahyangan, berilah sedekah kepadaku, kudoakan semoga kalian semakin cantik dan semakin menggairahkan!" kata pengemis itu. Sikap dan suaranya sama sekali bukan lagi seperti seorang pengemis yang minta-minta, melainkan seperti seorang laki-laki mata keranjang menggoda wanita.

Sui In tidak sudi melayani orang itu dan melanjutkan makan dan seolah-olah pengemis itu hanya seekor lalat saja. Akan tetapi Bwe Li yang diam-diam menjadi marah karena pengemis itu berani mengeluarkan ucapan kurang ajar terhadap ia dan sucinya, bertanya. "Hemm apa yang kau minta, pengemis?"

Kalau tadi pengemis itu memperlihatkan kekerasan dan paksaan ketika minta kepada tiga orang tamu, Sui In dan Bwe Li hanya memandang saja dan sama sekali tidak perduli. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Akan tetapi sekarang, pengemis itu langsung mengganggu mereka!

Pengemis itu tersenyum semakin lebar dan matanya bermain dengan kedipan penuh arti. "Perhiasan di rambut enci itu indah sekali, berikan kepadaku sebagai sedekah." Katanya sambil memandang kepada perhiasan burung hong dan teratai terbuat dari emas permata di rambut Sui In.

Bwe Li mendongkol bukan main. Perhiasan sucinya itu adalah sebuah benda yang amat mahal harganya, apalagi itu pemberian suhunya dan menurut sucinya, benda itu dahulu pernah menjadi perhiasan rambut seorang puteri kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol. Maka, selain mahal, juga benda itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya, dan kini seorang jembel minta benda ini begitu saja sebagai sedekah!

Ingin Bwe Li tertawa karena menganggap hal ini amat lucu. Ia melirik kepada sucinya yang masih tenang dan enak-enak makan saja, maka ia tahu bahwa sucinya tidak sudi melayani pengemis itu.

"Kalau tidak kami berikan, lalu kau mau apa?" tanya Bwe Li, mengira bahwa pengemis itu tentu akan menjual lagak lagi dengan mempertontonkan kekuatan tangannya mencengkeram hancur ujung meja. Akan tetapi, sekali ini pengemis itu agaknya tidak ingin menunjukkan kehebatannya. Dia mendekatkan mukanya kepada Bwe Li dan berkata lirih, "Kalau tidak kalian berikan, boleh sebagai gantinya engkau ikut dengan aku dan melayaniku semalam ini, nona manis."

Bwe Li terbelalak. Mukanya berubah merah dan terasa panas bukan main. Akan tetapi hanya sebentar. Ia sudah menerima gemblengan seorang datuk besar seperti See-thian Coa-ong, maka tentu saja la sudah dapat menguasai perasaannya.

"Haii, kalian lihat ada monyet menari-nari!" teriaknya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menggerakkan sisa kuah yang berada di mangkoknya. Kuah itu mengandung saos tomat dan bubuk merica yang pedas.

Demikian cepatnya gerakan tangan Bwe Li sehingga sama sekali tidak disangka oleh si pengemis dan dia tidak sempat mengelak. Kuah dengan sambalnya itu tepat mengenai mukanya, memasuki hidung dan matanya.

Dan seketika pengemis baju hitam itu berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari-nari, persis seperti yang diteriakkan Bwe Li atau Lili tadi! Semua orang menengok dan terdengar ada yang tertawa, terutama sekali tiga orang yang tadi kena diperas sekeping perak oleh si pengemis.

Hanya orang yang pernah terkena merica pada mata dan hidungnya yang dapat menceritakan bagaimana rasanya. Pengemis itu berjingkrak-jingkrak, menggosok mata dan hidungnya, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, lalu berbangkis-bangkis dengan air mata bercucuran. Makin digosok, makin pedas rasa matanya dan makin hebat "tangisnya".

Saking nyeri, pedih dan panasnya, dia membuat gerakan seperti monyet menari-nari, berlenggang-lenggok dengan kaki naik-turun, tubuh berputar-putar dan kedua lengan membuat gerakan yang lucu dan aneh-aneh. Akhirnya, dibawah suara tawa para penonton, pengemis itu dapat membuka matanya yang menjadi merah, juga semua merica agaknya sudah keluar melalui bangkis-bangkis tadi, akan tetapi alr matanya masih bercucuran dari kedua mata yang masih terasa panas dan pedas! Dia memandang kepada Lili dengan mata mendelik, walaupun harus sering berkedip menahan pedas!.

Lili dan Sui In masih melanjutkan makan, bahkan Sui In sudah selesai dan Lili juga sudah hampir selesai. Pengemis itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah dan para penonton sudah tidak berani tertawa lagi, dan kini memandang dengan hati tegang. Apa lagi mereka yang tadi melihat betapa kuat tangan pengemis itu menghancurkan ujung meja. Mereka mengkhawatirkan nasib dua orang wanita cantik itu.

Mendengar suara gerengan itu, Lili menoleh memandang, "Ih, anjlng geladak ini sungpuh tak tahu aturan" kata Lili sambil tersenyum mengejek. "Sudah diberi kuah, masih tidak puas dan menggereng-gereng minta lagi. Cepat pergilah dari sini, memualkan perut dan mengurangi selera makan saja. Kau bau!"

Dapat dibayangkan betapa marahnya pengemis baju hitam itu. Dia menggereng lagi dan dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan terbuka, dia menubruk ke arah Lili, hendak menangkap wanita itu. Lili tidak bangkit dari duduknya, hanya kakinya mencuat dengan kecepatan kilat ketika tubuh orang itu sudah dekat dan kedua tangan itu sudah hampir menyentuh pundaknya.

"Ngekkkl" Ujung sepatu itu tepat memasuki perut di bawah ulu hati dan tubuh si pengemis baju hitam terjengkang, dan pantatnya terbanting keras ke atas tanah. Sejenak dia hanya mampu bangkit duduk, tangan kiri menekan perut yang seketika terasa mulas, dan tangan kanan meraba-raba pantat yang nyeri karena ketika terbanting tadi, pantatnya menjatuhi sebuah batu sebesar kepalan tangan.

Dia menyeringai, akan tetapi seringainya tidak seperti tadi ketika dia menggoda dua orang wanita itu. Dia menyeringai kesakitan, akan tetapi juga bercampur kemarahan. Orang yang biasa mengagulkan diri sendiri memang tidak tahu diri, selalu meremehkan orang lain sehingga pelajaran yang diterimanya tadi tidak cukup membuat dia sadar, bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran.

"Keparat, kubunuh kau ......!" bentaknya dan kini tangannya sudah memegang sebatang golok kecil yang tadi disembunyikan di bawah bajunya. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar menyambar dari samping, ke arah muka pengemis itu.

"Crottt ...... aughhhh .....!" Pengemis itu terpelanting, goloknya terlepas dan kedua tangannya meraba mukanya dengan mata terbelalak. Sebatang sumpit bambu telah menembus muka dari pipi kanan ke pipi kiri! Sumpit itu memasuki kulit pipi, menembus geraham kanan sampai keluar dari kulit pipi yang lain sehingga muka itu seperti disate!

"Suci .....!" kata Lili memandang sucinya.

"Aku mendahului, agar engkau tidak membunuhnya. Kita butuh keterangan darinya ........." Tiba-tiba dua orang wanita itu terkejut mendengar pengemis itu mengeluarkan suara aneh. Ketika mereka memandang, tubuh pengemis itu berkelojotan dalam sekarat. Tentu saja Sui In kaget. Ia tadi menyerang dengan sambitan sumpit tidak dengan niat membunuh dan ia yakin bahwa orang itu hanya terluka dan tidak akan mati. Kenapa kini tahu-tahu orang itu berkelojotan sekarat? Tentu ada penyerang lain, pikirnya.

Akan tetapi pada saat itu, muncul dua orang pengemis berpakaian hitam. Mereka adalah orang-orang yang berusia kurang lebih limapuluh tahun, sikap mereka berwibawa dan gerakan mereka ringan karena tahu-tahu mereka telah berkelebat dan muncul di situ. Mereka memandang ke arah tubuh pengemis yang berkelonjotan, lalu mereka menghadapi Cu Sui In dan Tang Bwe Li, mengamati dua orang wanita itu sejenak, kemudian mereka menghampiri meja dua orang wanita itu.

"Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang merobohkan dia?" tanya seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus sambil menuding ke arah tubuh pengemis yang masih berkelonjotan.

"Aku yang melukainya dengan sumpit," kata Sui In tenang dan suaranya acuh saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang perlu diributkan.

Lili yang galak segera berkata pula. "Anjing geladak ini perlu dihajar. Apakah kalian pemeliharanya? Kenapa tidak kalian ajar adat kepadanya?"

Dua orang pengemis tua itu saling pandang, kemudian mereka melangkah maju mendekat. Si tinggi kurus mengangkat kedua tangan depan dada, sedangkan orang ke dua yang bertubuh gemuk pendek juga mengangkat kedua tangan depan dada. Mereka lalu memberi hormat kepada Sui In dan Lili.

"Kami dari Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) mohon maaf kepada nona," kata si tinggi kurus.

"Kami berterima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada anggauta kami," kata si gemuk pendek. Dua orang pengemis tua itu memberi hormat. Sui In dan Bwe Li tersenyum mengejek. Tanpa berdiri, sambil duduk, mereka pun mengangkat kedua tangan ke depan dada, membalas penghormatan itu.

Dua orang pengemis itu tadi bukan sembarang menghormat saja, melainkan mengerahkan tenaga sakti yang disalurkan melalui lengan mereka dan ketika mereka menggerakkan tangan memberi hormat. Sebetulnya mereka telah melakukan penyerangan jarak jauh untuk menguji kepandaian dua orang wanita yang telah merobohkan anak buah mereka itu. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika dari gerakan tangan kedua orang wanita itupun menyambar tenaga dahsyat yang menyambut tenaga mereka dan membuat tenaga mereka membalik dan merekapun terhuyung!

Pada saat itu, terdengar suara orang. "Ciangkun lihat saja, di mana-mana anggauta pengemis Baju Hitam membikin kekacauan!"

Nampak serombongan orang datang ke tempat itu. Pasukan yang terdiri dari belasan orang dikepalai seorang perwira datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang juga mengenakan pakaian tambal-tambalan. Akan tetapi pakaiannya bukan berwarna hitam seperti pengemis yang lain, melainkan berkembang-kembang! Dialah yang tadi bicara dengan lantang kepada komandan pasukan kecil itu.

Melihat yang datang rombongan penjaga keamanan, dua orang pengemis baju hitam yang sudah dapat menguasai diri mereka karena terkejut mendapat sambutan dua orang wanita itu, lalu memberi hormat kepada komandan pasukan dan pengemis baju kembang.

"Sobat dari Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), kenapa menuduh yang bukan�bukan kepada kami segolongan?" kata pengemis baju hitam yang tinggi kurus.

Pengemis baju kembang yang tinggi besar dan bermuka hitam itu tersenyum mengejek. "Sobat-sobat dari Hek I Kai-pang, aku bukan menuduh yang tidak-tidak kepada orang segolongan. Akan tetapi, semua orang di kedai ini tahu belaka betapa anggauta kalian ini tadi memaksa ketika minta sedekah, kemudian bahkan menggoda dua orang nona ini. Bukankah itu berarti bahwa para pengemis Hek I Kai-pang adalah orang-orang yang suka membuat kekacauan?"

Dua orang pengemis baju hitam memandang ke sekeliling dan melihat betapa semua orang mengangguk dan membenarkan ucapan pengemis baju kembang, mereka menghela napas dan pengemis tinggi kurus berkata, "Anggauta perkumpulan kami telah membuat kesalahan. Akan tetapi dia sudah menebus dengan nyawanya, sudah terhukum. Biarlah ini menjadi peringatan bagi kami agar kami lebih ketat mengawasi anak buah kami. Ciangkun, maafkan, kami akan membawa pergi mayat anggauta kami."

Setelah berkata demikian, si gemuk pendek memondong tubuh pengemis yang telah mati itu, dan setelah keduanya memandang sejenak kepada Sui In dan Bwe Li, mereka lalu pergi dari situ dengan cepat.

"Ciangkun, seharusnya mereka berdua tadi ditangkap saja untuk dihadapkan ke pengadilan." kata pengemis baju kembang kepada perwira yang memimpin pasukan penjaga keamanan.

Perwira itu menggeleng kepala. "Yang bersalah sudah mati. Dua orang pengemis baju hitam itu tidak melakukan kesalahan apapun, bagaimana kami dapat menangkapnya? Sudahlah, selama ini tidak ada pengemis baju hitam yang membuat kekacauan."

Sui In segera membayar harga makanan, dan memberi isyarat kepada sumoinya untuk cepat meninggalkan tempat itu. Ketika sucinya mengajak ia berlari menyelinap dalam kegelapan, Bwe Li bertanya lirih, "Ada apakah, suci?"

"Ssttt, kita membayangi para pengemis baju hitam itu," kata Sui In. Mereka berdua mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan sebentar saja mereka telah dapat menyusul dua orang pengemis baju hitam yang memondong tubuh anak buah mereka yang telah menjadi mayat itu.

Dua orang baju hitam itu keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah barat dan kurang lebih tiga li kemudian dari kota, mereka memasuki sebuah perkampungan di mana terdapat rumah-rumah yang cukup besar. Kiranya Hek I Kai-pang mempunyai perkampungan para pengemis baju hitam di situ, dan di tengah perkampungan berdiri sebuah gedung yang cukup besar dan cukup megah, dikelilingi rumah-rumah yang lebih kecil.

Ketika dua orang pengemis itu masuk memondong mayat seorang pengemis baju hitam, gegerlah perkampungan itu. Mereka semua mengikuti dua orang pengemis itu menuju ke gedung besar dan memasuki ruangan yang luas di mana telah menunggu ketua mereka yang sudah lebih dulu dlberitahu.

Karena mereka semua mencurahkan perhatian kepada dua orang pengemis yang memondong mayat seorang rekan mereka, maka para pengemis baju hitam itu menjadi lengah. Hal ini tentu saja memudahkan Sui In dan Lili yang mempergunakan ilmu kepandaian mereka menyelinap memasuki perkampungan itu dan mereka sudah mengintai ke dalam ruangan dari atas atap.

Lebih dari duapuluh orang berada di ruangan itu. tentu mereka ini adalah tokoh-tokoh Hek I Kai-pang, pikir Sui In, karena ia melihat betapa lebih banyak lagi pengemis yang berada di luar ruangan itu. Di sebuah kursi yang agak tinggi duduk seorang kakek pengemis yang usianya kurang lebih enampuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kegagahan, mukanya berbentuk persegi dan matanya lebar, kumis dan jenggotnya teratur rapi walaupun pakaiannya sederhana sekali, yaitu dari kain berwarna hitam. Kalau ada perbedaan dengan para anak buahnya, perbedaan itu hanya karena di ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat hitam yang panjangnya tiga kaki dan besarnya seibu jari kaki.

"Ceritakan apa yang terjadi," kata ketua itu kepada dua orang pengemis yang tadi membawa mayat pengemis muda berbaju hitam ke dalam ruangan itu. Mayat itu kini rebah telentang di depan mereka.

Si pengemis tinggi kurus bercerita singkat. "Ketika kami berdua lewat di depan kedai nasi itu, kami melihat anak buah kita ini dirobohkan seorang di antara dua wanita yang sedang makan di kedai. Kami mendekat dan ternyata dia ini sudah berkelonjotan sekarat, kedua pipi ditembusi sebatang sumpit. Dengan hati�hati kami menguji kepandaian mereka dan ternyata mereka itu amat lihai. Dalam menguji dengan sin-kang (tenaga sakti), kami bukan tandingan dua orang wanita itu. Dan pada saat itu, sebelum kami bergerak lebih jauh, muncul Lui-pangcu (ketua Lui), seorang di antara tokoh Hwa I Kai-pang. Dia datang bersama sepasukan penjaga keamanan dan dia menuduh kita sebagai kai-pang yang suka membikin kacau. Bahkan kemudian dia mengatakan bahwa anak buah kita ini telah melakukan pemerasan di kedai itu, dan mengganggu kedua orang tamu wanita itu. Semua orang yang berada di sana membenarkan keterangan itu, maka kami segera minta maaf dan membawa jenazah ini ke sini untuk menerima petunjuk dari pangcu (ketua)."

Pengemis tinggi besar itu adalah ketua umum dari Hek I Kai-pang. Namanya Souw Kiat dan dialah ketua umum yang menguasai seluruh anggauta Hek I Kai-pang di daerah barat dan merupakan seorang di antara empat pemimpin kai-pang terbesar di empat penjuru. Sikapnya tenang dan berwibawa, dan mendengar laporan itu tidak timbul emosinya. Dia tetap tenang, lalu memandang ke arah mayat yang rebah di atas lantai.

"Hemm, sumpit yang menembus kedua pipi itu tidak mungkin membunuhnya. Ji-pangcu (ketua Ji ), coba periksa, apa yang menyebabkan dia mati," perintah ketua umum itu kepada seorang di antara ketua cabang yang dia tahu ahli dalam hal pengobatan.

Seorang pengemis tua bertubuh kurus kering segera berjongkok dan memeriksa jenazah itu. Diperiksanya muka yang ditembusi sumpit dari pipi yang satu ke pipi yang lain itu dan dia membenarkan pendapat ketua umum bahwa sumpit itu bukan yang menyebabkan kematian. Dia lalu merobek baju di bagian dada untuk memeriksa. Dan, tepat di bawah, tenggorokan, di dada bagian atas, nampak tanda seperti tiga bintik kecil yang warnanya biru menghitam.

"Pangcu, yang menyebabkan kematiannya adalah tiga batang jarum yang menembus bajunya dan memasuki dadanya," Ji-pangcu melapor kepada atasannya.

"Hemm, melihat sumpit itu, jelas bahwa penyambitnya seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi kenapa ia menggunakan jarum beracun pula untuk membunuhnya? Kalau sambitan itu dinaikkan sedikit saja, tentu orang inipun akan tewas seketika!" kata Souw-pangcu dengan alis berkerut.

Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di tengah ruangan itu sudah berdiri dua orang wanita cantik. Melihat Sui In dan Bwe Li, dua orang pengemis yang tadi membawa jenazah itu pulang, terkejut bukan main.

"Kami tidak menggunakan jarum beracun!" kata Sui In dengan suara lantang namun lembut.

"Pangcu..... mereka ..... mereka inilah dua orang tamu di kedai itu .......," kata pengemis tinggi kurus.

Souw Kiat sejenak memandang kepada dua orang wanita itu penuh perhatian dan diam-diam dia kagum dan terkejut. Dua orang wanita ini memasuki ruangan seperti siluman saja.

Dia sendiri yang biasanya amat peka dan hati-hati, sama sekali tidak tahu akan kedatangan mereka. Dan mereka ini masih muda, wanita pula, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian luar biasa. Dia lalu membentak para pembantunya yang nampak siap siaga dengan sikap menantang ketika mendengar bahwa dua orang wanita ini pembunuh anak buah mereka, "Kalian semua mundur dan sediakan tempat duduk untuk kedua lihiap (pendekar wanita) ini!"

Setelah berkata demikian, Souw Kiat lalu memberi hormat kepada Sui In dan Bwe Li, memberi hormat dengan sungguh, bukan seperti dua orang pembantunya tadi yang memberi hormat untuk menguji kekuatan.

"Selamat datang di tempat tinggal kami, ji-wi li-hiap (pendekar wanita berdua). Saya Souw Kiat ketua Hek I Kai-pang, merasa girang sekali bahwa ji-wi sudi datang berkunjung. Tentu ji-wi akan memberi penjelasan tentang peristiwa yang terjadi di kedai nasi itu, bukan?"

Melihat sikap gagah dan sopan dari ketua itu, baik Sui In maupun Bwe Li merasa senang dan tidak jadi marah yang tadi timbul melihat sikap para pimpinan pengemis di situ yang memandang marah dan siap mepgeroyok itu. Sui In mengangguk.

"Bukan hanya memberi penjelasan, juga kami minta penjelasan tentang kai-pang pada umumnya." suara Sui In tenang, lembut namun penuh wlbawa.

"Silakan duduk, ji-wi li-hiap," kata Souw Kiat yang disambungnya setelah mereka duduk. "Bolehkah kami mengetahui siapa nama ji wi dan dari partai mana?"

"Cukup kau ketahui bahwa aku she Cu dan ini sumoi ku she Tang. Souw-pangcu, seperti diceritakan dua orang pembantumu tadi, pengemis ini tadi mengganggu kami di kedai nasi ketika kami sedang makan. Karena dia kurang ajar sekali, maka aku telah melukainya dengan sumpit. Akan tetapi, bukan aku yang membunuhnya dengan jarum beracun walaupun aku memiliki pula jarum beracun, dan untuk membuktikan, dapat dibandingkan jarumku dengan jarum yang membunuh itu."

Tiba-tiba nampak tangan kiri Sui In bergerak, tidak terlihat ia melemparkan jarum, akan tetapi ketika semua orang memandang, di dada mayat yang bajunya masih terbuka itu nampak pula tiga titik baru di dekat tiga titik yang lama.

Akan tetapi kalau tiga titik yang lama itu dikelilingi warna kehitaman pada titik-titik yang baru itu nampak jelas betapa kulit dan daging yang tertembus jarum itu mencair seperti terbakar! Tentu saja semua orang terkejut bukan main.

"Ahhh ..... jarum-jarummu mengandung racun yang lebih dahsyat lagi, Cu-lihiap!" seru ketua itu.

Sui In tersenyum dingin, "Ini hanya untuk membuktikan bahwa aku bukan pembunuh anak buahmu, pangcu. Dan sekarang, sebelum bicara lebih lanjut, aku ingin sekali mengetahui bagaimana pertanggungan jawabanmu kalau ada anak buahmu yang begini menjemukan, melakukan kekerasan ketika mengemis, dan mengganggu wanita, mengandalkan kepandaiannya yang masih amat dangkal itu!"

Wajah Souw Kiat berubah kemerahan. Ucapan itu walaupun lembut, namun sungguh tajam seperti pedang menusuk ulu hatinya. Sinar matanya menjadi keras dan marah ketika dia memandang ke sekeliling, ke arah para pembantunya. "Kalian semua lihat baik-baik, anak buah siapa jahanam yang membikin malu nama Hek I Kai-pang ini!"

Duapuluh empat orang ketua cabang itu segera menghampiri mayat dan melakukan pemeriksaan dengan teliti. Akan tetapi, satu demi satu mereka mundur lagi dan menggelengkan kepala. Akhirnya, duapuluh empat orangi itu semua menyangkal dan tidak ada yang mengakui mayat itu sebagai bekas anggauta mereka. Melihat ulah itu, Lili yang nakal dan galak lalu berkata kepada sucinya, cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

"Suci, pernahkah engkau mendengar ada orang berani mengakui cacat cela dan kesalahannya? Aku sendiri belum pernah!"

Sui In menjawab dengan suara dingin, "Yang berani melakukan pengakuan seperti itu hanyalah orang-orang gagah saja, sumoi."

Mendengar ini, wajah Souw Kiat menjadi semakin merah. Matanya melotot dan dia memandang kepada dua orang wanita itu. "Ji-wi li-hiap, bukan watak kami untuk menyangkal kesalahan yang kami lakukan. Kalau para pembantuku ini mengatakan tidak, berarti memang tidak! Kami bukan pengecut! Akan tetapi kalau ji-wi tidak percaya, kamipun tidak dapat memaksa."

Cu Sul In adalah seorang tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan-ia terkenal amat cerdik. Dengan tajam matanya tadi menatap semua wajah pimpinan para pengemis ketika mereka satu demi satu memeriksa mayat itu, dan iapun mengamati wajah Hek I Kai-pangcu dengan seksama.

Ia percaya bahwa mereka memang tidak berpura-pura, dan ia teringat akan peristiwa yang terjadi di kedai itu. Sikap pengemis baju hitam yang tewas itu terlalu menyolok, terlalu berani dan tidak sesuai dengan kepandaiannya yang tidak berapa hebat, seolah-olah dia sengaja hendak menarik perhatian dengan perbuatan dan sikapnya yang jahat dan membuat kekacauan.

Kemudian muncul pengemis baju kembang dan sepasukan penjaga keamanan yang agaknya sengaja memburukkan pengemis baju hitam. Dan pembunuhan rahasia terhadap pengemis yang mengacau itu! Semua itu merupakan serangkaian peristiwa yang kait mengait dan pasti ada apa-apanya.

"Pangcu, apakah Hek I Kai-pang di Lok-yang mempunyai musuh-musuh?" tiba-tiba Sui In bertanya. Souw Kiat dan para pembantunya memandang wanita cantik itu dengan heran.

Bersambung ke Jilid 6 ....