Bagian Kedua
Bagian 31
Pada kisah yang terdahulu, diceritakan tentang Lau It Cou, murid Tiat Pwe Cong Liong Liu Tay Hong tiba-tiba merasa kepalanya pusing setelah makan kue kering bersama si Thay-kam cilik, Wi Siau Po.
Bahkan ketika bocah nakal itu menendangnya berkali-kali, Lau It Cau tidak merasakan apa-apa lagi, Siau Po langsung memperlihatkan senyum penuh kebanggaan. Dia membuka ikat pinggang Lau It Cou kemudian digunakannya untuk membelenggu tangan orang itu. Di dekat sebatang kayu ada sebuah batu besar Siau Po berusaha menggesernya, kebetulan di bawah batu besar itu ada sebuah lubang, karena itu Siau Po menggesernya terus sehingga mulut lubang itu terbuka lebar Setelah itu dia mengeluarkan bebatuan yang terdapat di dalam lubang itu dan menggali tanahnya sehingga lubang itu menjadi bertambah dalam dan lebar.
"Hari ini Lohu akan menguburmu hidup-hidup di dalam lubang ini." kata Siau Po sembari tertawa, meskipun dia bicara seorang diri, Kemudian ia mengangkat tubuh Lau It Cou, dimasukkannya ke lubang itu dengan posisi berdiri dan punggung bersandar pada dinding lubang. Setelah itu dia menimbuni lubang itu kembali dengan pasir dan bebatuan sampai batas leher Lau It Cou.
Sekali lagi Siau Po tertawa senang, Tampaknya dia puas sekali dengan hasil kerjanya sendiri, Perlahan-lahan dia berjalan ke tepi sungai, dibukanya jubah luarnya kemudian dicelupkannya ke dalam air. Dia berjalan balik kembali, lalu berhenti di depan anak muda yang sedang tidak sadarkan diri itu. Siau Po mengangkat jubah basah itu tinggi-tinggi kemudian diperasnya sehingga airnya mengalir turun dan membasahi seluruh kepala dan wajah Lau It Cou. Dengan demikian, lambat laun Lau It Cou siuman, Dia kebingungan matanya jelalatan ke sekitarnya, Dia ingin menggerakkan kaki dan tangannya tapi tidak ada kesanggupan sama sekali. Hal ini membuat hatinya tercekat Dia mulai menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya. Di hadapannya duduk bersila Siau Po dengan wajah penuh senyuman, bahkan sekali-sekali tampak dia tertawa geli, kedua tangannya berpangku di atas lututnya.
Pasti aku telah di akali olehnya... pikir Lau It Cou dalam hati, Dia menyesal dirinya sendiri yang ceroboh, tapi dia berusaha menenangkan dirinya.
"Hai, saudara kecil, jangan main-main!" katanya sambil tertawa, Sia-sia dia berusaha mengerahkan tenaganya untuk memutuskan ikat pinggang yang membelenggunya.
"Oh, dasar bangsat gila perempuan!" maki Siau Po. "Tahukah kau betapa pentingnya urusan yang sedang aku hadapi? Kau kira aku ada waktu bergurau dengan engkau, si bangsat bau!" Bocah ini memang luar biasa, Sembari memaki, kakinya mengayun pula menendang rahang pemuda itu sehingga darah bercucuran. Mulutnya tidak berhenti mencaci.
"Nona Pui itu istriku, Orang seperti kau berpikir untuk menikahinya? Hm! Bangsat bau! Kau sudah menghajar lohu sehingga lohu kesakitan serta menderita, sekarang lohu akan menuntut balas padamu! Pertama-tama aku akan memotong telingamu kemudian menebas hidungmu, Iya, aku akan mengerat satu per satu!" Selesai berkata Siau Po mencabut pisau belatinya, lalu dia membungkuk dan mengacung-acung-kan pisaunya di depan wajah Lau It Cou dengan tampang mengancam. Bukan kepalang terkejutnya hati Lau It Cou.
"Oh, saudara,., saudara Wi yang baik," katanya, "Wi hiocu, sudilah kau memandang keluarga Bhok dan berlaku murah hati"
"Bagus sekali kau, ya!" maki Siau Po. "Manusia macam apa engkau ini? Dari dalam tahanan di istana aku menolong dirimu sehingga mendapatkan kebebasan kembali seperti sekarang ini. Mengapa kau membalas air susu dengan air tuba? Kenapa kau ingin membunuhku? Hm, orang yang kepandaiannya seperti kau ini, mana mungkin sanggup membunuh aku seorang tokoh besar? sekarang kau malah meminta aku memandang muka keluarga Bhok, tapi bagaimana ketika kau meringkusku? Mengapa kau sendiri tidak memandang muka Tian Te hwe kami?"
"Iya, aku telah berbuat kekeliruan..." sahut Lau It Cou mengakui.
"Aku akan membacok kepalamu sebanyak tiga ratus enam puluh kali." kata Siau Po.
"Dengan cara demikian, barulah hilang rasa penasaran dihatiku." Siau Po menarik kuncir It Cou kemudian di tebasnya dengan pisau belati sehingga putus, setelah itu dia mengayunkan pisaunya bolak-balik dan dalam sekejap mata rambut di kepala Lau It Cou jadi tidak karuan bentuknya, Sebagian besar botak dan di beberapa bagian tersisa rambutnya sedikit-sedikit. Rupanya hati Siau Po masih panas.
"Bangsat gundul kepingin mampus!" makinya untuk kesekian kali.
"Hati lohu paling panas kalau melihat biksu (pendeta), apalagi yang gundulnya kepalang tanggung, Kemarahan di dalam dada ini seakan-akan meluap-luap, karena itu tidak bisa tidak, aku harus membunuhmu!" Meskipun takut setengah mati, Lau It Cou masih berusaha untuk tertawa. Dia berharap anak nakal itu hanya bergurau dengannya.
"Oh, Wi hiocu yang baik, cayce (aku yang rendah) bukan pendeta," sahutnya. Dia berusaha menentramkan hatinya yang terguncang keras.
"Setan alas!" bentak Siau Po.
"Bagaimana kau berani mengatakan bahwa dirimu bukan pendeta? Lalu mengapa kepalamu di cukur plontos seperti itu? Apakah kau ber maksud mendustai aku tuan besarmu ini?" Li it Cou menjadi bingung, Hatinya juga cemas sekali, Kuncirnya sudah hilang dan
kepalanya tiga per empat botak, Dalam hatinya dia mengeluh.
"Kan kau yang memotong rambutku, mengapa kau malah memaki-maki aku? Tapi dia masih menyayangi jiwanya sendiri, tidak berani dia menyahut karena takut Siau Po akan semakin marah, Dia berusaha tertawa dan berkata.
"Wi hiocu, seribu salah selaksa kekeliruan, semuanya aku yang melakukannya, Wi hiocu, kau adalah seorang yang berbudi luhur, aku mohon sudilah kiranya kau bersikap murah hati..!" Kali ini It Cou mengucapkan kata-kata yang merendah Dia sudah kewalahan menghadapi bocah yang luar biasa ini, Dia sangat menyayangi jiwanya dan tidak sudi mati konyol dengan cara sedemikian rupa.
"Baiklah!" kata Siau Po kemudian "Sekarang aku ingin bertanya dulu kepadamu, Kau kenal Nona Pui Ie, bukan? Jawablah, istri siapa nona itu?" Bukan main bingungnya hati It Cou.
"Dia... dia..." ucapannya terputus-putus, Dia tidak dapat melanjutkan ucapannya seperti orang yang kehabisan kata-kata saking takut dan cemas. Baginya sulit sekali menduga isi hati Siau Po. Dia sedang bergurau atau benar-benar marah?
"Dia... dia... apa?" bentak Siau Po.
"Lekas jawab!" Kembali pisau belatinya yang tajam di gerak-gerakkan di depan muka Lau It Cou. It Cou semakin bingung, Dia berpikir keras, Celaka kalau sampai dia kehilangan telinga atau hidungnya, urusannya bisa gawat Selain sakit, dia juga harus menderita malu.
"Dia... dia tentu istrimu, Wi hiocu!" katanya dengan susah payah, Siau Po tertawa.
"Dia... siapa?" tanyanya sekali lagi, "Bicara yang jelas! Siapa dia yang kau katakan? Lohu ingin mendapatkan kepastian darimu!"
"Aku.... Maksudku... Pui sumoay." sahut Lau It Cou dengan terpaksa, "Dia adalah istri Wi hiocu." Siau Po tertawa lagi.
"Sekarang kita bicara blak-blakan." katanya, "Lekas kau katakan, apakah aku ini sahabatmu?" Lega juga hati Lau It Cou mendengar nada suara Siau Po yang sudah mulai lunak, Lekas-lekas dia menjawab.
"Sebenarnya siaujin (orang yang hina ini) tidak berani mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, siaujin tidak pantas mengagulkan diri, Tapi kalau Wi hiocu sudi menganggap siaujin sebagai sahabat, siaujin ibarat mendapatkan rembulan jatuh...."
"Baik! Aku suka menjadi temanmu." kata Siau Po kemudian "Di dalam dunia kang ouw, orang harus mengingat istri sahabatnya sendiri. Lain kali, bila kau berani main gila lagi, awas! Jaga botak kepalamu baik-baik! sekarang coba kau bersumpah dan buktikan bahwa kau benar-benar sudah tobat, Aku ingin mendapat keyakinan bahwa lain kali kau tidak berani main gila lagi. Bersumpahlah!" Di dalam hatinya, Lau It Cou mengeluh. Hebat sekali desakan si bocah nakal ini. Dia menyesali dirinya yang begitu bodoh sehingga kena diakali olehnya dan berbalik kena ditawan.
"Tidak apa-apa kalau kau tidak sudi bicara." Kata Siau Po.
"Memang aku sudah tahu lagak setanmu. Kau mengandung maksud buruk. Di dalam hatimu kau sudah mengatur rencana untuk mempermainkan istriku." Tanpa kepalang tanggung lagi, Siau Po langsung saja menyebut Pui Ie sebagai istrinya, It Cou ngeri melihat pisau belati Siau Po masih terus digerak-gerakkan.
"Tidak! Tidak!" katanya, "Terhadap Nyonya Wi hiocu, tentu aku tidak berani main gila...."
"Awas!" ancam Siau Po, "Tapi bagaimana kelak? Bagaimana bila kau menatapnya terus dan mengajaknya bicara, meskipun hanya sepatah kata?" Bocah ini masih mendesak terus..
"Tidak mungkin aku melupakannya," sahut Lau It Cou, "Aku bersumpah, kalau aku sampai melakukannya, biarlah aku dihukum Langit (Thian atau Tuhan) dan di kutuk Bumi."
"Kalau kau berani melakukan hal itu, kaulah si kura-kura, kaulah si manusia hina!" kata Siau Po.
"Ya, ya.,." sahut Lau It Cou dengan wajah meringis, "Iya, iya apanya?" tanya si bocah yang selalu iseng itu.
"Iya," sahut Lau It Cou, "Kalau kelak aku mendekati Pui sumoay atau mengajaknya bicara, akulah si kura-kura, Akulah manusia hina!" Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, baiklah." katanya, "Aku akan mengampunimu. Tapi kau harus merasakan air kencingku terlebih dahulu!" Sembari berkata, Siau Po pura-pura akan membuka celananya, Tepat pada saat itulah terdengar suara seruan seseorang.
"Me... mengapa kau terlalu menghina orang?" Terkejut sekali hati Siau Po, terlebih-lebih dia mengenati suara perempuan itu,
Sekejap kemudian dia merasa senang sekali, Segera dia menoleh ke arah hutan dari mana suara itu berasal. Tampak tiga orang muncul dari dalam hutan, yang berjalan paling depan adalah Pui Ie, adik seperguruan Lau It Cou, Yang nomor dua adalah Bhok Kiam Peng, Siau kuncu dari Bhok onghu, sedangkan orang yang berjalan paling belakang bukan lain daripada Ci Tian Coan, Ah... ternyata di belakangnya mengiringi dua orang Iainnya, Mereka adalah Gouw Lip Sin beserta muridnya Go Piu. Kiranya sudah cukup lama mereka berlima berdiam dalam hutan dan menyaksikan serta mendengar semua yang berlangsung antara Siau Po dan Lau It Cou, Dan ketika Siau Po hendak menyiram wajah pemuda itu dengan air kencingnya, terpaksa Pui Ie mengeluarkan suara memperingatkannya lalu menampilkan diri. Dengan demikian, Kiam Peng, Tian Coan, Gouw Lip Sin dan Go Piu terpaksa mengikutinya.
"Oh, rupanya kalian sudah ada disini?" kata Siau Po. Dia merasa gembira sekali, "Baiklah! Dengan memandang Gouw loya cu, aku akan membebaskanmu dari guyuran air kencing." Tian Coan tidak mengatakan apa-apa, Dia segera berjalan ke depan It Cou dan menolongnya ke luar dari lubang itu, It Cou merasa malu sekali, Dia hanya berdiam diri dengan kepala di tundukkan.
"Keponakanku!" kata Lip Sin kepada pemuda she Lau itu, "Mengapa kau membalas kebaikan dengan kejahatan? Bukankah jiwa kita sama-sama telah diselamatkan olehnya? Mengapa kau yang lebih tua justru menghina yang muda? Mengapa kau meringkusnya? Bagaimana kalau gurumu sampai mengetahui urusan ini?" Gouw Lip Sin menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil menarik nafas panjang, Hal ini membuktikan bahwa hatinya kecewa sekali melihat tindak-tanduk Lau It Cou.
"Kita yang berkecimpung di dalam dunia kang ouw." katanya kembali suaranya tawar dan tidak enak didengar oleh Lau It Cou. "Yang harus kita utamakan adalah Gi Ki (menyayangi sesamanya dan mencintai negara, Dengan kata lain berjiwa sportif atau berjiwa patriot), Sebagai tokoh dalam dunia kang ouw, apalagi dari golongan lurus, kita harus berbudi luhur. Mengapa jiwamu justru demikian rendah, suka berprasangka dan sirik? Mengapa kau menurunkan tangan jahat terhadap orang sendiri? Mengapa kau
melupakan budi dan menyia-nyiakan kepribadianmu? sikapmu yang demikian, bahkan tidak pantas disamakan dengan babi atau pun anjing." Gouw Lip Sin membuang ludah saking marahnya.
"Kau telah menelikung tangan Wi hiocu, kau bahkan mengancam tenggorokannya dengan senjata tajam!" kata orang tua itu kembali dengan nada sengit, "Bagaimana kalau kau berbuat sedikit kesalahan dengan menggerakkan tanganmu tadi dan Wi hiocu jadi terluka karenanya? Bagaimana kalau jiwanya sampai melayang karena perbuatanmu yang konyol itu? Coba jawab!" It Cou merasa malu sekali Tiba-tiba hatinya jadi panas dan dia pun lupa diri.
"Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa!" teriaknya keras, "Aku akan mengganti jiwanya itu!" Lip Sin semakin marah melihat sikap pemuda itu.
"Hm!" terdengar dia mendengus dingin. "Enak saja kau bicara! Apakah dirimu seorang eng hiong (pahlawan) atau hohan (orang gagah)? Dengan selembar jiwamu, kau kira dapat menggantikan jiwa Wi hiocu dari Tian Te hwe? Lagipula, bicara tentang jiwamu,.. dari mana datangnya jiwa yang masih menyangkut dalam tubuhmu itu? mungkinkah kau masih hidup sampai sekarang ini kalau kau tidak di tolong oleh Wi hiocu? Kau melupakan budi besar orang, kau bukan membalasnya saja sudah merupakan sikap yang tidak terpuji Apalagi kau melakukan perbuatan yang demikian rendah. perbuatanmu itu sungguh terkutuk...."
It Cou menyesal Dia jadi malu berbareng kesal. Dia sadar bahwa apa yang dilakukannya memang salah, Tapi dia menganggap paman gurunya itu terlalu mendikte, Lagipula, rahasianya telah di ketahui oleh Pui Ie. Mereka pasti telah mendengar pembicaraannya dengan Siau Po. Dia juga ditegur sedemikian rupa oleh Gouw Lip Sin di depan Pui Ie dan yang lainnya, Karena menderita malu besar, di tidak memandang lagi paman gurunya.
"Gou susiok (paman guru Gouw), semuanya telah terjadi, ibarat nasi telah menjadi bubur. katanya nyaring, "Apalagi yang dapat kulakukan sekarang? Bukankah orang she Wi itu dalam keadaan baik-baik saja? Bagiku, memang tidak ada jalan lain lagi, silahkan susiok sendiri saja yang melakukan!" Lip Sin sampai berjingkrak-jingkrak saking marahnya, Tangannya menuding wajah
Lau It Co dengan gemetar.
"Lau It Cou!" bentaknya keras, "Begini rupanya kau memperlakukan paman gurumu? Tentunya di matamu tidak ada lagi orang yang lebih tua atau lebih muda dari padamu! Apakah kau ingin bertarung dengan aku?"
"Aku tidak berkata demikian dan aku juga bukan tandinganmu." sahut Lau It Cou.
"Lalu... kalau kau merasa dirimu cukup hebat untuk menandingi aku, maka kau pasti akan melawan aku, bukan?" kata Gouw Lip Sin dengan suara menyindir "Lau It Cou, perbuatanmu sungguh tidak pantas! Selama di dalam istana saja, kau sudah menunjukkan sikap tamak akan kehidupan, sebaliknya takut menghadapi kematian. Begitu mendengar kepalamu akan dipenggal, cepat-cepat kau memohon pengampunan dan menyebut namamu, Karena memandang Liu suko, aku tidak memberitahukan soal kepengecutanmu itu padanya, Tapi sekarang? Hm! Syukur kau bukan muridku, nasibmu masih cukup bagus." Dengan kata-katanya, Gouw Lip Sin seakan bermaksud mengatakan, seandainya Lau It Cou adalah muridnya, tentu dia sudah mengambil tindakan dengan menghukum mati pemuda itu.
It Cou menundukkan kepalanya, Dia merasa malu sekali, Dia tidak menyangka paman gurunya akan membuka rahasia tentang kepengecutannya ketika berada dalam istana, wajahnya menjadi pucat pasi dan terbungkam. Siau Po melihat keadaannya sudah menang di atas angin, dia segera tertawa dan berkata dengan nada manis.
"Sudah! Sudah! Gouw loyacu, Lau toako dengan aku hanya bergurau saja, kami bukan bersungguh-sungguh, Gouw loyacu, aku mohon kepadamu Segala urusan yang sudah lalu, harap jangan kau sampaikan kepada Liu loyacu!"
"Kalau demikian kemauanmu, Wi hiocu, aku tinggal menurut saja." sahut Gouw Lip Sin. Kemudian dia menoleh kepada Lau It Cou dan berkata, "Nah, kau lihat! Betapa luhur kepribadian Wi hiocu. perbuatannya selalu mengagumkan dan hatinya juga luar biasa sabar." Siau Po tidak ingin urusan ini semakin panjang. Dia sengaja mengalihkan pokok pembicaraan dengan menoleh pada Kiam Peng serta Pui Ie.
"Bagaimana kalian bisa sampai di sini?" tanyanya sambil tersenyum. Bhok Kiam Peng belum sempat menjawab, Pui Ie sudah mendahuluinya.
"Kau ke mari!" katanya kepada Siau Po.
"Aku ingin berbicara denganmu." Siau Po memperlihatkan senyuman yang manis ketika dia menghampiri gadis itu, Hati Lau It Cou semakin panas menyaksikan keakraban Pui Ie dengan si bocah nakal, Rasa cemburunya meluap tanpa dapat ditahan lagi, Biar bagaimana, nona itu adalah tunangannya, Karena itu tangannya segera meraba gagang golok dengan niat menghunusnya segera....
Tiba-tiba.... Plokkk! Terdengar sebuah suara yang nyaring sekali Siau Po terkejut setengah mati dan pipinya terasa sakit. Ternyata Pui Ie sudah menempelengnya. Dia langsung melompat mundur sambil membekap pipinya.
"Kau... mengapa kau memukul aku?" tegurnya pada Pui Ie. Hatinya langsung saja menjadi panas. Pui Ie menatapnya dengan sorotan tajam, wajahnya pun garang sekali. Tapi kulit wajahnya merah padam karena sekaligus dia juga merasa jengah.
"Kau menganggap aku orang macam apa?" tanyanya sinis.
"Apa yang kau katakan pada Lau suko? Di belakang orang, mengapa kau suka bicara tidak karuan?"
"Tidak." sahut Siau Po.
"Aku tidak membicarakan hal yang buruk tentang dirimu."
"Kau masih berani menyangkal?" bentak Piu Ie.
"Aku telah mendengar semuanya dengan jelas, Kamu berdua... Iya... kamu berdua memang bukan manusia baik-baik." Sembari berkata, air mata Pui Ie telah mengucur dengan deras membasahi pipinya.
Ci Tian Coan sejak tadi diam saja, Dia merasa dirinya tidak boleh berpihak pada siapa pun. Dia harus menganggap muda-mudi itu sedang bergurau sebagaimana biasanya orang yang tengah dilanda asmara, sebentar baik, sebentar bertengkar Dan hal ini harus dihentikan apabila tidak ingin menjadi persoalan yang berlarut-larut, Dia juga harus menjaga agar tidak terjadi pertikaian antara Tian Te hwe dan keluarga Bhok hanya karena urusan muda-mudi ini, Karena itu dia segera tertawa dan berkata.
"Wi hiocu, Lau suheng, kalian telah sama-sama merasakan sedikit penderitaan, sebaiknya urusannya diselesaikan sampai di sini saja, Aku si orang she Ci ini sudah tua, perutku tidak kuat menahan lapar, Ayolah kita cari sebuah rumah makan untuk mengisi perut dam minum arak sampai puas!"
Seiring dengan ucapan orang tua itu, tiba-tiba saja angin bertiup kencang dari barat daya dan tetesan air hujan sekonyong-konyong berjatuhan dari langit.
"Aneh!" kata Toan Coan, "Sekarang kan bulan sepuluh, mengapa tidak karu-karuan turun hujan?" Dia segera menolehkan kepalanya ke arah barat daya. Di kejauhan tampak angin sedang berhembus mengarak gumpalan awan-awan hitam, "Mungkin hujan akan turun deras sekali, Cepat kita cari tempat berlindung!" Semua orang setuju dengan usul Ci Tian Coan, pembicaraan pun dihentikan untuk sementara. Dengan tergesa-gesa mereka segera meninggalkan tempat itu dan menuju barat mengikuti jalan besar.
Pui Ie dan Kiam Peng dalam keadaan belum sehat menemui kesulitan Mereka tidak dapat berjalan cepat sebaliknya sang hujan turun semakin deras. Tian Coan mengerti kesulitan yang dihadapi kedua nona itu, karenanya dia tidak berani berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Siau Po dan yang lainnya juga terpaksa mengimbangi kedua orang nona itu. Celakanya di tempat itu tidak tampak apa-apa. jangan kata rumah penduduk, sebuah gubuk atau sebuah tempat persinggahan yang biasanya suka tersedia di pinggir jalan pun tidak ada. Tidak berapa lama kemudian, mereka basah kuyup, Meskipun demikian, semuanya tetap berjalan perlahan-lahan mengimbangi Pui Ie dan Kiam Peng. Mungkin hanya Siau Po sendiri yang tidak merasa kesal atau bingung, Dengan berjalan bersama kedua nona manis itu, hatinya malah senang sehingga berulang kali dia tertawa,
"Lebih baik kita jalan perlahan-Iahan, Bagi kita toh sama saja, sudah kepalang tanggung, jalan perlahan-lahan, basah, jalan cepat, basah juga." Tian Coan semua berdiam diri, Tidak ada yang memberikan komentar apa-apa. Tapi mereka memang tidak tergesa-gesa lagi. Tidak berapa lama kemudian, telinga rombongan itu mendengar suara gemericiknya air yang sedang mengalir. Dalam sekejap mereka sudah tiba di tepi sebuah sungai. Mereka segera berjalan menyusun tepi sungai tersebut. Berjalan kurang lebih setengah li. Mata Siau Po dan yang lainnya melihat ada sebuah perkampungan di hadapan mereka, Karena itu semuanya menjadi gembira sekali Tanpa terasa, mereka mempercepat langkah kaki, Tapi setelah mendekat, mereka menjadi kecewa.
Rupanya rumah yang mereka lihat dari kejauhan tadi, merupakan rumah berhala yang tersebar di sana sini dan keadaannya sudah tua serta rusak, Apa lagi bagian pintunya, sudah keropos dan bobrok, Tapi meskipun demikian, tempat itu masih lumayan untuk dipakai sebagai peneduh dari air hujan. Mereka segera memilih salah satu kuil yang keadaannya agak baik, Begitu mereka sampai di dalam, hidung Pui Ie langsung mencium bau lembab yang tidak enak, Mendadak gadis itu mengernyitkan sepasang alisnya, Karena memaksakan diri berjalan terlalu cepat, luka di dadanya terasa sakit kembali. Dia berdiam diri sambil menggertakkan giginya. Tian Coan memang sudah tua, tapi orangnya rajin, Dia segera mencari kayu bakar. Orang tua itu tidak menemukan kesulitan sama sekali, sebab di sana terdapat banyak meja dan kursi bobrok. Dia segera mengambil beberapa buah dan dipatah-patahkannya kaki-kaki meja serta kursi tersebut Kemudian dia menumpukkannya di tengah-tengah ruangan lalu dinyalakannya. Sesaat kemudian, api unggun mulai berkobar Mereka segera duduk berkeliling di sekitarnya agar pakaian mereka cepat kering dan tubuh mereka terasa hangat. Di luar kuil, udara semakin gelap dan hujan semakin menjadi-jadi, Ci Tian Coan
memang pandai bekerja, Dia segera mengeluarkan ransum kering kemudian dibagi-bagikan kepada setiap orang, Dengan demikian, paling tidak perut mendapat sedikit ganjalan serta tidak menjadi sakit karenanya. Sembari mengunyah kue kering, Kiam Peng menatap Siau Po seraya tertawa.
"Apa yang kau lakukan pada kue Lau suka tadi?" tanyanya. Siau Po mengedipkan matanya pada gadis cilik itu.
"Tidak." katanya, "Aku tidak melakukan apa-apa."
"Kau masih menyangkal?" kata si nona, "Lalu, kenapa tiba-tiba Lau suko tidak sadarkan diri seperti orang yang kena Bong Hoan Yok?"
"Oh, dia kena Bong Hoan Yok?" Siau Po balik bertanya dengan sikap pura-pura bodoh, "Kapan dia terkena obat bius itu? Mengapa aku tidak tahu? Ah! Tidak mungkin! Bukankah barusan dia masih baik-baik saja dan duduk menghangatkan tubuhnya?"
"Hm!" Kiam Peng mendengus dingin, "Sudahlah! Kau memang pandai berpura-pura, Aku tidak sudi berbicara denganmu!" Pui Ie duduk berdiam diri, telinganya mendengar percakapan kedua orang itu. otaknya terus berputar, hatinya bimbang dan menduga-duga. Pertama-tama ketika Lau It Cou meringkus Siau Po, jarak Pui Ie masih jauh dari kedua orang itu, Dia tidak dapat melihat dengan tegas, Setelah keduanya duduk berdampingan di bawah pohon dan berbincang-bincang, Pui Ie baru mengendap-endap mendekati sehingga dia dapat melihat keadaan kedua orang itu serta dapat mendengar pembicaraan yang berlangsung dengan jelas. Dia melihat dengan tegas kue kering itu dikeluarkan dari buntalan milik Lau It Cou. Kemudian Lau It Cou selalu mengawasi Siau Po agar tidak melarikan diri, Yang aneh justru tiba-tiba saja Lau It Cou terkulai roboh.
Sementara itu, Siau Po tertawa dan berkata.
"Mungkinkah Lau suko mengidap semacam penyakit seperti ayan yang dapat membuatnya pingsan sewaktu-waktu?" Mendengar ucapan Siau Po, Lau It Cou gusar sekali Dia langsung menjingkrak bangun.
"Kau... kau...!" bentaknya hanya sepatah kata saja, Pui Ie mendelik kepada si bocah nakal.
"Kemari kau!" panggilnya.
"Apakah kau ingin menampar aku lagi?" tanya Siau Po.
"Aku tidak sudi dekat denganmu!"
"Bukan!" sahut Pui Ie.
"Lain kali kau jangan bicara yang bukan-bukan lagi di hadapan Lau suko. Kau masih kecil, kau harus hati-hati dengan kata-katamu, Dari mulut juga, orang bisa mendapatkan kesan baik di dirimu!" Siau Po meleletkan lidahnya, Dia membungkam.
It Cou merasa puas melihat Pui Ie telah membelanya sebanyak dua kail Di dalam hatinya dia berkata.... Setan cilik ini benar-benar busuk, justru hati Pui sumoay baik sekali... Di dalam rombongan itu, usia Ci Tian yang paling tua. Tapi dia terhitung bawahan Siau Po. Karena itu dia tidak berani turut campur Gouw Lip Sin dan Go Piu juga lebih tua dari Siau Po, namun mereka telah berhutang budi sehingga tidak leluasa mengatakan apa pun. Nona Bhok sendiri sudah mengatakan dia tidak sudi berbicara banyak lagi dengan si bocah, Maka di tempat itu, hanya Pui Ie seorang yang bisa mengendalikannya dan meredakan suasana yang tidak enak pada kedua pihak.
Ketujuh orang itu tetap duduk mengelilingi api unggun, Cuaca tetap gelap dan hujan masih mengucur deras, Karena kuil itu sudah tua sekali, terdapat kebocoran di sana sini yang membuat lantainya menjadi basah, Hampir tidak ada bagian yang kering, Tiba-tiba air hujan menetes membasahi bahu Siau Po sehingga dia terpaksa menggeser sedikit, namun disitu pun bocor.
"Kemari kau!" panggil Pui Ie.
"Disini tidak bocor." Siau Po tidak menyahut Hanya matanya saja yang melirik ke arah si nona.
"Kemari!" Panggil Pui Ie sekali lagi.
"Jangan takuti Aku tidak akan memukulmu lagi." Siau Po tertawa kecil, Perlahan-lahan dia pindah ke samping gadis itu. Pui Ie segera membisiki Kiam Peng dan gadis cilik itu pun menganggukkan kepalanya sambil tertawa. Kemudian dia membisiki Siau Po.
"Barusan Pui suci mengatakan bahwa dia dan engkau adalah orang sendiri itulah sebabnya dia berani memukul dan memarahi dirimu, Dia juga berharap selanjutnya kau jangan mengganggu Lau suko lagi. Dan Pui suci meminta aku menanyakan kepadamu, apakah kau sudah mengerti maksudnya?" Siau Po mengawasi Siau kuncu dengan pandangan termangu-mangu.
"Apa sih artinya orang sendiri?" tanyanya dengan berbisik-bisik juga di telinga si nona yang kulitnya putih serta lembut "Aku tidak mengerti...." Kiam Peng sendiri tidak tahu apa artinya, karena itulah dia berbisik lagi kepada Pui Ie untuk menanyakannya. Mendengar pertanyaan yang diajukan si bocah nakal, Pui Ie mendelikkan matanya, tapi dia berbisik juga kepada Kiam Peng.
"Kau katakan kepadanya bahwa aku telah bersumpah dan sumpah itu berlaku untuk seumur hidup. Karena itu dia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi!"
"Kembali Kiam Peng membisiki Siau Po apa yang dikatakan Pui Ie.
"Baik!" sahut Siau Po.
"Jadi Nona Pui dengan aku adalah orang sendiri? Lalu, bagaimana dengan dirimu?" Wajah Siau kuncu jadi merah padam ditanya sedemikian rupa.
"Fuh!" Sebelah tangannya langsung melayang. Siau Po menghindar dengan gesit, kemudian tertawa dan menoleh kepada Pui Ie.
Dia menganggukkan kepalanya kepada gadis itu. Pui le membalas tatapannya, merasa agak jengah tapi hatinya senang sekali wajahnya semakin cantik dan mempesona sementara itu, Lau It Cou hanya memperhatikan tingkah laku ketiga remaja itu, Dia tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, Duduknya memang agak jauh dan mereka berbicara dengan berbisik-bisik pula.
Apa yang sempat tertangkap oleh telinganya hanya kata-kata "Lau suko" dan "orang sendiri" Rupanya mereka menganggap aku orang luar... pikirnya, Hatinya panas sekali. Mendadak saja rasa cemburu memenuhi dadanya, Dalam pandangannya, Pui Ie itu
tetap kekasihnya.
"Coba kau tanyakan kepadanya," bisik Pui Ie kepada Kiam Peng, "Sebenarnya akal apa yang digunakan olehnya sehingga Lau suko jadi tidak berdaya?" Nona Bhok menurut Dia menanyakannya kepada Siau Po. Bocah nakal itu memperhatikan Pui Ie. Dia mendapat kenyataan gadis itu ingin sekali mengetahui persoalan yang sebenarnya, Karena melihat nona itu tidak marah lagi, Siau Po pun mau menjelaskannya, Dia berbisik di telinga Siau kuncu.
"Ketika aku membuang air kecil, aku membelakanginya, Aku menggunakan tangan kiri untuk menaburkan Bong Hoan Yok pada kue keringnya, sedangkan kue yang kumakan, kugenggam dengan tangan kananku, karenanya tidak terkena obat bius itu, Nah, sekarang kau sudah mengerti, bukan?" sahutnya sambil tersenyum.
"Oh, rupanya demikian." kata Kiam Peng yang langsung menyampaikan penjelasan Siau Po kepada Pui Ie.
"Dari mana kau mendapatkan obat bius itu?" tanya Kiam Peng kemudian.
"Aku mendapatkannya dari salah seorang siwi di istana." kata Siau Po menjelaskan.
"Justru obat bius itu pula yang digunakan ketika aku menyelamatkan Lau suko meloloskan diri dari istana." Kiam Peng mengangguk sekarang dia benar-benar sudah mengerti. Pada saat itu hujan masih turun, bahkan semakin deras, Suara di atas genting bising sekali, Karena itu, Siau Po terpaksa mengeraskan suaranya ketika membisiki si gadis. It cou masih memperhatikan bagaimana kedua nona itu saling berbisik kemudian Siau kuncu berbisikan lagi dengan Siau Po. Dia menjadi gelisah sendiri. Akhirnya dia berjingkrak bangun untuk berdiri, lalu menyenderkan tubuhnya pada sebuah tiang dengan keras karena perasaannya sengit sekali, sekonyong-konyong terdengar suara derakan yang keras dari atas genteng, rupanya beberapa genteng jatuh karena goncangan pada tiang tadi.
"Celaka!" teriak Ci Tian Coan, "Kuil ini akan rubuh, cepat keluar!" Semua orang merasa terkejut Tidak terkecuali Lau It Cou sendiri ia memang sudah mengelak ketika beberapa genteng terjatuh tadi. semuanya langsung melonjak bangun dan berhamburan lari ke luar dari kuil tua itu. Belum seberapa jauh mereka berlari, tiba-tiba terdengarlah suara yang bergemuruh dan memekakkan telinga. Ternyata seluruh sisa bangunan kuil itu ambruk sehingga tidak berbentuk lagi. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dari kejauhan terdengar suara samar-samar derap kaki kuda datang ke arah mereka, Kalau ditilik dari suaranya, kemungkinan jumlahnya mencapai belasan ekor, dan datangnya dari arah timur laut Bahkan dalam sekejap mata, belasan penunggang kuda itu pun sudah tiba di hadapan mereka. Terdengar suara seseorang yang usianya sudah lanjut berkata,
"Sayang sekali! Di sini ada sebuah kuil yang cukup besar, tapi sudah roboh."
"Hai, sahabat!" mendadak salah seorang penunggang kuda menegur Ci Tian Coan yang masih berkumpul menjadi satu dengan rekan-rekannya karena mereka memang belum sempat ke mana-mana, "Sedang apa kalian di sini?"
"Barusan kami meneduh di dalam kuil," sahut Ci Tian Coan.
"Apa mau dikata, tiba-tiba kuil itu roboh terlanda hujan deras dan angin kencang, Hampir saja kami semua mati tertimpanya."
"Kurang ajar benar!" Terdengar gerutuan penunggang kuda yang ketiga.
"Sudah hujan besar, tempat meneduh pun tidak ada! Lihat saja, kuil yang lainnya pun tidak ada yang utuh!"
"Tio losam, bagaimana sekarang?" Terdengar suara orang ke empat, "Kuil di sini sudah rubuh semuanya, apakah masih ada tempat meneduh yang lainnya?" Tempat untuk meneduh sih ada, tapi tidak berbeda jauh dengan kuil-kuil rusak itu..." kata orang tua yang pertama.
"Yang betul, ada atau tidak?" bentak seorang lainnya, Ditilik dari suaranya, tampaknya orang yang satu ini lebih berangasan.
"Ada. Letaknya di sebelah barat daya, Di dalam lembah." sahut orang yang di tegur.
"Sebenarnya tempat itu merupakan sebuah rumah hantu. Hantu yang menghuni di dalamnya juga jahat sekali, Tidak ada seorang pun yang berani berdiam di tempat itu. Itulah sebabnya aku mengatakan tidak berbeda dengan kuil-kuil rusak itu...."
Mendengar kata-kata si orang tua, beberapa temannya langsung tertawa terbahak-bahak. Beberapa teman yang lain mencaci dan menggerutu.
"Lohu tidak takut setan!" teriak seseorang.
"Malah lebih bagus kalau ada hantunya," teriak seorang lainnya lagi, "Kita tangkap saja dan kita jadikan hidangan pengisi perut!"
"Lekas tunjukkan jalannya! Kita toh bukan sedang mandi, untuk apa kita berdiam di sini lama-lama? Memangnya enak ditimpa air hujan terus-terusan?" Orang yang dipanggil Tio losam berkata kembali.
"Tuan-tuan, aku yang tua tidak menyayangi selembar jiwa ini tetapi sesungguhnya aku tidak berani Tuan-tuan, aku ingatkan, kita jangan pergi ke tempat itu. Lebih baik kita menuju utara saja, kurang lebih tiga puluh li lagi ada sebuah pasar...."
"Hujan begini lebat kita harus menempuh perjalanan sejauh tiga puluh li lagi?" bentak beberapa penunggang kuda serentak "Sudahlah, jangan banyak bacot! jumlah kita toh banyak, mengapa kita harus takut kepada setan?"
"Baiklah kalau begitu!" kata Tio losam.
"Mari kita pergi ke barat daya, setelah membelok ditikungan bukit sana, kita memasuki Iembah. Disana hanya ada sebuah jalan, tidak mungkin kita ke-sasar!" Para penunggang kuda lainnya tidak menunggu kata-katanya selesai, mereka segera melarikan kuda-kudanya ke arah yang disebutkan tadi. Tio losam justru sebaliknya. Dia menunggang keledai, setelah ragu-ragu sejenak, dia memutar balik keledainya ke arah tenggara, arah mereka datang tadi.
"Gouw jiko, Wi hiocu!" panggil Ci Tian Coan, "Bagaimana kita?"
"Menurut aku..." sahut Gouw Lip Sin yang langsung menghentikan kata-katanya. Sebab dia merasa seharusnya Siau Po menentukan keputusan yang harus mereka ambil, Karena itu dia melanjutkan "Sebaiknya Wi hiocu saja yang mengambil keputusan...."
Siau Po memang aneh. Dia cerdas dan berani, tetapi terhadap setan atau hantu, justru paling takut, Mungkin karena usianya masih terlalu muda dan pengaruh sejak kecil sering ditakut-takuti cerita setan.
"Biar paman Gouw saja yang memutuskan.,." sahutnya cepat.
"Sebenarnya apa sih yang dinamakan setan?" kata Gouw Lip Sin.
"Itu toh hanya ocehan orang kampung yang pikirannya masih bodoh, Kalau pun benar ada setan, kita pun tidak perlu takut, Kita pasti bisa melawan!"
"Bukan begitu..." kata Siau Po.
"Ada setan yang tidak berwujud dan tahu-tahu muncul di depan kita sehingga kita tidak sempat lari lagi..." Lau It Cou merasa tidak puas mendengar ucapan Siau Po, saingannya, Karena itu dia segera menukas dengan suara keras.
"Kita berkecimpung di dalam kang ouw, mana ada yang takut terhadap hantu atau setan? Mana bisa kita kehujanan terus seperti ini? Bisa-bisa kita semua jatuh sakit...." Tubuh Kiam Peng menggigil Kebetulan Siau Po melihatnya, pikirannya segera terbuka.
"Baiklah! Mari kita pergi kesana! Tapi, aku ingatkan kalian agar berhati-hati apabila bertemu dengan setan!" Kemudian mereka bertujuh pun berjalan menuju barat daya seperti yang dikatakan Tio losam tadi, Cuaca masih gelap, agak sukar bagi mereka menemukan jalanan, Untung saja mereka melihat sesuatu yang berkilauan Rupanya sebuah saluran air.
"Kalau kita tidak berhasil menemukan jalanan..." kata Siau Po.
"Ini yang dinamakan "Setan menghajar tembok" artinya, setan telah menyesatkan langkah kita."
"Tapi saluran ini justru menunjukkan jalan," kata Tian Coan, "Kita tinggal mengikutinya saja!"
"Benar!" Sahut Lip Sin yang segera mendahului lainnya. Mereka bertujuh pun berjalan mengikuti saluran air itu. Meskipun lambat, tapi mereka toh bisa meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian, dari arah sebelah kiri yang terdapat banyak pepohonan lebat, terdengar suara ringkikan kuda. Mereka yakin itulah suara kuda-kuda rombongan tadi.
"Entah siapa orang-orang itu,.," tanya Tian Coan dalam hatinya, Hatinya diliputi kecurigaan Tapi ada Gouw Lip Sin bersama kami, meskipun seandainya mereka berniat jahat, asal kepandaiannya tidak terlalu tinggi, maka tidak perlu terlalu dicemaskan. Karena itu dia pun jalan terus tanpa mengutarakan perasaannya. Mereka tetap berjalan terus mengikuti aliran sungai, Tapi sekarang arahnya menuju dalam hutan, jalanan di sana tidak rata, kadang-kadang tinggi, kadang-kadang rendah.
Begitu melangkah ke dalam lembah, mereka dapat merasakan kegelapan yang terlebih parah, Tiba-tiba telinga mereka mendengar suara gedoran pintu, Hal ini membuktikan bahwa di sana memang terdapat rumah penduduk. Siau Po terkejut sekaligus senang, Dia terkejut bila mengingat tentang setan yang dikatakan Tio losam tadi. Hatinya senang karena mengetahui adanya rumah untuk
berteduh. Tiba-tiba Siau Po merasa ada sebuah tangan yang menjamahnya. Tangan yang halus dan lembut itu langsung menariknya kemudian telinganya mendengar suara yang merdu.
"Jangan takut!" Siau Po segera mengenalinya sebagai suara Pui Ie. Suara gedoran pintu masih terdengar Hal ini menandakan bahwa pintu masih belum dibukakan juga, Siau Po dan yang lainnya maju terus. Akhirnya mereka tiba di dekat rombongan itu. Mungkin karena kesal menunggu, sekarang mereka pun berteriak-teriak.
"Lekas bukakan pintu! Cepat! Kami orang-orang yang kehujanan dan ingin numpang berteduh. Teriakan itu tidak mendapat jawaban. Pintu tetap tidak dibukakan, Dari dalam rumah tidak terdengar suara apa pun. Keadaan di tempat itu tetap sunyi senyap.
"Rupanya rumah itu kosong, Tidak ada penghuninya!" teriak seseorang. Tio losam sudah mengatakan bahwa inilah rumah hantu." kata seseorang.
"Mungkin dia benar. Siapa yang berani sembarangan masuk ke dalam rumah ini? Mungkin kita harus melompat lewat tembok apabila ingin masuk ke dalamnya." Seiring dengan ucapan itu, tampak dua berkas cahaya berkelebat. Rupanya dua orang segera melompat naik ke atas tembok pagar sembari menghunus golok masing-masing. Sesaat kemudian pintu pekarangan sudah terpentang lebar karena di buka oleh kedua orang tadi, Dengan demikian semua orang yang ada di luar bisa masuk kedalam. Begitu masuk, tampaklah sebuah halaman, Ci Tian Coan mengajak rekan-rekannya masuk ke dalam. Diam-diam dia berpikir.
"Mereka orang-orang dari dunia kang ouw, tapi kalau di tilik dari gerak-geriknya, kepandaian mereka tidak seberapa tinggi."
Di hadapan mereka terdapat sebuah pendopo yang luas, Rombongan itu segera masuk ke dalam. Salah seorang dari penunggang kuda itu membuka buntalannya dan mengeluarkan batu api kemudian menyulut lilin yang terdapat di atas meja, Dalam sekejap mata ruangan itu jadi terang. perasaan setiap orang pun terasa lebih lega.
Meja dan kursi yang terdapat dalam ruangan itu terbuat dari kayu cendana, Hal ini membuktikan bahwa bekas penghuni rumah itu seseorang yang berperasaan halus, Seleranya untuk perabotan rumah tangga pun cukup tinggi. Tian Coan memperhatikan keadaan di dalam ruangan itu, dalam hatinya dia berpikir.
"Meja dan kursi-kursi di sini bersih tanpa debu sedikit pun. Lantai pun tersapu bersih. Mengapa rumah ini tidak ada penghuninya?" Ternyata bukan hanya Tian Coan saja yang berpikiran demikian Salah seorang dari penunggang kuda itu pun mengeluarkan seruan heran.
"Rumah ini bersih sekali, pasti ada penghuninya!"
"Hai! Hai!" teriak seseorang lainnya, "Hai! Apakah ada orang yang menghuni rumah ini? Apakah ada orang di dalam?" Ruangan pendopo itu besar serta tinggi, Suara teriakan orang tersebut langsung berkumandang ke mana-mana menimbulkan gema, Tapi lambat laun suara itu menghilang dan kesunyian kembali melanda, Hanya suara air hujan yang berderai jatuh di atas genteng menimbulkan kebisingan yang mencekam. Untuk sesaat orang-orang dari rombongan itu berdiam diri dan saling memperhatikan Mimik wajah mereka menyiratkan perasaan heran. Kemudian salah satunya yang sudah lanjut usia dan rambutnya penuh uban menegur Ci Tian Coan.
"Tuan-tuan sekalian, apakah kalian orang-orang dunia Kang ouw?" Ci Tian Coan hanya menggelengkan kepalanya.
"Aku yang rendah she Kho." sahutnya kemudian "Rombongan kami terdiri dari sanak saudara dan keluarga, Kami ingin pergi ke Shoa say untuk menjenguk famili, sayangnya hujan turun dengan deras sehingga kami terpaksa singgah di sini, Bagaimana dengan
tuan-tuan sendiri? siapakah she dan nama tuan besar yang mulia?" Orang itu menganggukkan kepalanya, tapi dia tidak langsung memberikan jawaban Diam-diam dia memperhatikan rombongan Ci Tian Coan, Dia mendapat kenyataan bahwa di antaranya ada beberapa wanita dan ada bocah cilik pula. Dia tidak merasa curiga sedikit pun. Tapi dia tetap tidak memberikan jawaban dan hanya berkata dengan suara menggumam.
"Rumah ini aneh sekali!" Kembali terdengar seseorang lainnya berteriak lantang.
"Hai! Apakah di dalam rumah ada penghuninya? Atau para penghuninya sudah mampus semua?" Tak perlu diragukan lagi kalau orang itu sudah kesal sekali sehingga tegurannya jadi sengit. Beberapa menit kembali berlalu, tetap saja tidak ada jawaban dari dalam rumah. Akhirnya orang tua tadi menunjuk enam orangnya seraya memerintahkan.
"Kalian berenam masuk terus sampai ke dalam dan lihat, apakah rumah ini benar-benar kosong?" Orang tua itu langsung menghampiri sebuah kursi dan duduk di sana, Enam orang yang ditunjuknya segera mengiyakan, Mereka mencabut senjatanya masing-masing lalu terus melangkah ke dalam. Salah satu diantaranya membawa sebatang lilin sebagai penerangan Ketika mereka berjalan ke dalam, langkah mereka perlahan sekali, Agaknya mereka bersikap hati-hati dan teliti. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan Setelah masuk jauh ke dalam, terdengarlah suara panggilan dan gedoran
dari keenam orang itu, Rupanya mereka memeriksa setiap ruangan dan mencoba memanggil-manggil untuk meyakinkan bahwa dalam rumah itu tidak ada penghuninya. Setelah lewat beberapa detik, suara panggilan dan gedoran pun tidak terdengar lagi. Tentunya keenam orang itu sudah pergi jauh ke belakang. Sambil menantikan, si orang tua menunjuk kepada empat orang lainnya sambil memerintahkan.
"Kalian pergi mencari kayu untuk obor, kemudian susul mereka ke dalam!" Mereka menuruti perintah itu, Keempat orang itu segera ke luar melaksanakan tugas yang di perintahkan itu. Siau Po dan yang lainnya tidak mengambil tindakan apa-apa. Dia hanya memperhatikan gerak-gerik rombongan penunggang kuda itu. Mereka duduk berkumpul di bawah jendela besar ruangan pendopo, semuanya memang sengaja memisahkan diri dari rombongan tersebut. Dengan kepergian sepuluh orang tadi, dalam ruangan itu masih tersisa delapan orang dari rombongan tersebut Mereka semua mengenakan pakaian yang serupa, Kemungkinan seragam dari suatu perkumpulan tertentu. Mungkin juga para piau su (pegawai sebuah ekspedisi) yang sedang menjalankan tugas mengawal semacam barang. Cukup lama Siau Po berdiam diri, akhirnya dia bertanya juga kepada Pui Ie.
"Cici, coba kau katakan, apakah benar rumah ini berhantu?"
"Kemungkinan memang ada." sahut gadis itu.
"Mana sih ada rumah yang belum pernah kematian penghuninya?" Tubuh Siau Po bergidik Dia meringkukkan tubuhnya sedikit padahal dia tidak pernah takut terhadap apa pun, tetapi mendengar setan, nyalinya langsung ciut.
"Para setan di dunia ini paling benci kepada orang yang menghina seseorang yang berhati baik dan suka terhadap orang yang benar-benar jahat. Apalagi bocah tanggung, Sebab kalau orang dewasa hawanya hangat, setan jadi takut Bahkan segala setan, baik yang mati dibunuh atau pun yang menggantung diri, jarang berani mendekati orang dewasa!" kata Lau It Cou menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya... Diam-diam Pui Ie menjulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Siau Po.
"Manusia takut kepada setan, tapi setan lebih takut lagi kepada manusia, Asal ada cahaya api atau terang, setan pasti akan lari ketakutan." katanya menghibur hati Siau Po. Kemudian terdengar suara langkah kaki yang riuh, Ternyata ke enam orang yang pertama pergi tadi sudah muncul kembali Tampak jelas wajah mereka menyiratkan perasaan yang heran tidak kepalang tanggung, Hampir serentak mereka memberikan laporannya.
"Tidak tampak seorang pun di mana-mana, tapi setiap ruangan terawat dengan baik."
"Seluruh tempat tidur di alasi sprei dan kelambu, semuanya bersih, Di depan setiap pembaringan ada sepasang sandal wanita."
"Di dalam lemari yang ada dalam setiap ruangan, penuh dengan pakaian wanita, Tidak tampak sepotong pun pakaian pria."
Tiba-tiba Lau It Cou berteriak dengan nyaring.
"Setan perempuan! Setan perempuan! Tidak salah lagi rumah ini dihuni oleh setan perempuan!" Suaranya begitu keras sehingga pandangan semua mata tertuju padanya, tapi tidak ada seorang pun yang memberikan komentar. Setelah hening sejenak, si orang tua baru mengajukan pertanyaan.
"Ada barang apa saja yang terdapat di dapur?"
"Piring-piring dan mangkok-mangkok telah tercuci bersih." sahut salah seorang bawahannya, "Tetapi tidak ada sebutir beras pun di dalam pendaringan." Tepat pada saat itu, dari dalam rumah terdengar suara berisik keempat orang yang menjadi rombongan kedua tadi, Mereka berteriak-teriak aneh sambil berlari serabutan, Ketika masuk ke dalam, mereka semua membawa obor yang masih menyala, sekarang obor mereka telah padam semua.
"Orang mati! Banyak orang mati!" Terdengar suara teriakan mereka yang jelas, Wajah mereka menyiratkan perasaan terkejut sekaligus takut.
"Kalian hanya membuat keributan! Aku kira kalian telah bertemu dengan lawan yang tangguh." tegur si orang tua.
"Ternyata kalian hanya melihat orang mati. Kalau hanya mayat, apa yang perlu di takuti?"
"Bukan takut" sahut orang-orang itu, "Kami hanya merasa aneh."
"Apanya yang aneh?" tanya orang tua itu kembali "Cepat katakan!"
"Di ruang sebelah timur... terdapat banyak leng tong (meja abu orang mati), Di mana-mana ada, entah berapa banyak jumlahnya..." sahut seseorang.
"Apakah ada jenasah atau peti matinya?" tanya si orang tua kembali. Dua orang yang terakhir langsung saling lirik.
"Tidak... tidak jelas..." sahut mereka.
"Rasanya tidak ada...."
"Kalau begitu, cepat kalian persiapkan obor-obor lagi! Kita masuk bersama-sama. Kemungkinan tempat ini merupakan sebuah rumah abu. Bukan-kah tidak mengherankan kalau banyak leng tong-nya?" Cara bicara si orang tua enak sekali, tapi nadanya mengandung sedikit kebimbangan. Rupanya dia sendiri ikut terpengaruh bahwa tempat itu bukan rumah sembarangan.
Orang-orang dari rombongan itu segera bekerja, Tidak sulit bagi mereka untuk membuat obor, sebab mereka tinggal mematahkan kaki meja dan kursi, Dalam sekejap mata pekerjaan mereka pun selesai Beramai-ramai mereka masuk ke dalam.
"Biar aku ikut pergi melihat!" kata Tian Coan "Gouw toako, harap kalian tunggu dulu di sini!" selesai berkata, Ci Tian Coan segera menyusul orang-orang rombongan itu.
"Suhu," tanya Go Pi kepada gurunya.
"Siapakah orang-orang dari rombongan itu?"
"Entahlah!" sahut Gouw Lip Sin.
"Aku tidak mengenali atau membedakan orang-orang dari golongan mana mereka itu. Kalau ditilik dari aksen-nya, tampaknya, mereka orang-orang dari Ki barat. Tampang mereka juga tidak mirip dengan pembesar sipil Mungkinkah mereka rombongan orang-orang yang sering menyelundupkan barang gelap? Tapi mereka semua berkosong tangan Tidak ada yang membawa apa pun."
"Rombongan itu bukan orang-orang yang perlu diperhatikan secara istimewa." terdengar suara Lau It Cou menukas, "Yang perlu dikhawatirkan justru para hantu perempuan di rumah ini. Mereka tentunya lihay-lihay sekali." Pemuda ini selalu menyebut-nyebut soal setan, seakan sengaja ingin menimbulkan perang dingin dengan Siau Po. Rupanya dia masih merasa panas dan mendendam dalam hati. Sembari berbicara, Lau It Cou melirik ke arah si bocah sambil menjulurkan lidahnya dan membelalakkan matanya, wajahnya menunjukkan seakan dia pun ketakutan. Siau Po bergidik, Dia menggenggam tangan Pui Ie erat-erat. Telapak tangannya terasa dingin sekali, karena itu Pui Ie juga menggenggamnya erat-erat agar dia bisa merasakan sedikit kehangatan.
"Lau... suko!" panggil Kiam Peng, "Kau jangan menakut-nakuti orang!" Tentu saja dia dapat menduga maksud hati pemuda itu. sedangkan dia sendiri pun merasa agak takut.
"Siau kuncu, kau tidak perlu khawatir!" kata Lau It Cou. "Kau putri seorang bangsawan, setan apa pun tidak akan berani mendekatimu. Setiap setan yang melihat kau pasti akan lari terbirit-birit Mereka tidak akan berani mengganggumu, Kau tahu,
setan jahat paling sebal melihat thay-kam yang perempuan bukan, laki-laki pun bukan." Sepasang alis Pui Ie langsung menjungkit ke atas, Dia mendongkol sekali melihat tingkah kakak seperguruannya yang semakin konyol Hampir saja dia membuka
mulutnya memaki Untung saja dia masih bisa mengekang diri. Tidak lama kemudian, terdengarlah suara ramai langkah kaki yang mendatangi Ternyata orang-orang yang masuk kedalam tadi sudah ke luar kembali. Melihat tampang orang-orang itu, hati Siau Po menjadi agak lega, sehingga dia menarik nafas panjang.
"Memang benar." kata Tian Coan kepada rombongannya dengan suara perlahan sekali "Di dalam setiap kamar ada empat puluh meja abu. Dan disetiap meja dirawat enam atau tujuh buah leng wi (Tempat abu jenasah), Rupanya di atas setiap meja disimpan abu jenasah sebuah keluarga...."
"Hm! Hm!" Lau It Cou memperdengarkan suaranya yang tawar, "Dengan demikian, berarti di dalam rumah ini terhuni beberapa ratus setan jahat?" Tian Coan menggeleng-gelengkan kepalanya, Seumur hidupnya, baru kali ini dia menghadapi pengalaman yang demikian aneh, Sesaat kemudian dia baru berkata kembali dengan nada sabar.
"Yang anehnya, di atas setiap meja terpasang lilin...." Kiam Peng, Siau Po, dan Pui Ie merasa heran sehingga serentak mengeluarkan seruan terkejut.
"Ketika kami sampai di ruangan dalam tadi, lilin itu masih belum dinyalakan." salah seorang dari rombongan penunggang kuda yang tadi masuk kedalam memberikan keterangan.
"Apa kau tidak salah ingat?" tanya si orang tua. Keempat pengikut itu saling memandang sejenak, kemudian sama-sama menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, kita bukan bertemu dengan setan." kata si orang tua setelah lewat sejenak, "Sebaliknya, kita justru bertemu dengan orang-orang yang lihay sekali Bukan hal yang mudah apabila ingin menyalakan lilin dari empat puluh buah leng tong, siapakah kiranya orang yang demikian hebat? Kho loyacu, bagaimana pendapatmu, benar atau tidak apa yang kukatakan ini?"
Pertanyaan itu ditujukan kepada Ci Tian Coan yang mengaku dirinya she Kho. Ci Tian Coan berlagak tolol.
"Kemungkinan kita telah melanggar peraturan tuan rumah tanpa setahu kita." sahutnya.
"Tidak ada salahnya kalau kita memberi hormat dihadapan leng tong-leng tong itu...."
"Hm!" Orang tua itu mendengus dingin, Sesaat kemudian dia baru berkata dengan suara lantang.
"Tuan-tuan yang terhormat! Kami sedang melakukan perjalanan Ketika lewat di tempat tuan ini, kami terhalang oleh hujan deras, oleh karena itu kami lancang masuk ke rumah Tuan ini untuk berlindung, Tuan yang terhormat apakah Tuan sudi menemui kami?" Sesaat kembali berlalu, meskipun suara si orang tua lantang sekali, bahkan menggaung di dalam rumah, tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Si orang tua menggeleng-gelengkan kepalanya, Dia menunggu lagi beberapa saat, lalu berkata lagi dengan suara yang lebih keras.
"Kalau tuan rumah tidak bersedia bertemu dengan kami yang hanya terdiri dari orang-orang kasar ini, harap Tuan sudi memaafkan kami yang lancang berlindung di sini. sebentar lagi, apabila hujan sudah reda, kami semua akan berangkat melanjutkan perjalanan." Sembari berkata, orang tua itu menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada rekan-rekannya agar jangan membuka suara, Dengan demikian mereka bisa sama-sama memasang telinga.
Bagian 32
Akan tetapi, sampai sekian lama tetap saja tidak ada jawaban atau pun teguran.
"Ciong losam," kata seseorang.
"Perduli apa dia manusia atau hantu, kita tunggu saja sampai pagi, lalu kita pergi saja dari sini. sebaiknya sebelum kita berangkat, kita bakar saja dulu tempat ini sampai ludes." Tampaknya orang yang satu ini agak berangasan dan tidak sabaran.
Si orang tua menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Urusan penting kita masih belum terlaksanakan, jangan kita mencari kesulitan lain." katanya, "Marilah kita duduk bersama!"
Mereka pun duduk beristirahat Pakaian mereka basah kuyup, Mereka duduk mengitari api unggun untuk mengeringkan pakaiannya, Salah satu orang dari rombongan itu mengeluarkan poci araknya, Dibukanya tutup poci itu kemudian diserahkannya kepada orang tua tadi untuk meneguknya agar perutnya hangat. Setelah menenggak beberapa teguk arak, si orang tua kembali menolehkan kepalanya ke arah rombongan Siau Po. Sinar matanya berhenti pada diri Ci Tian Coan.
"Kho loyacu, tadi kau mengatakan bahwa kalian terdiri dari orang-orang sendiri, tetapi mengapa aksen bicara kalian berlainan?" tanyanya. Ci Tian Coan tertawa.
"Loyacu, telingamu sangat tajam." pujinya. "Anda tentunya seorang tokoh dunia kang ouw yang sudah banyak pengalaman dan luas pengetahuannya. sebenarnya keponakanku ini telah menikah di propinsi In Lam. sedangkan adik perempuanku yang kedua menikah di propinsi Shoa Say. Begitulah kami terpencar Satu di timur, satu di barat. Selama belasan tahun juga sukar mendapatkan kesempatan untuk bertemu." Orang tua itu menganggukkan kepalanya, kembali dia meneguk arak yang ada dalam poci. Sekali-sekali matanya masih melirik kearah rombongan Ci Tian Coan.
"Apakah Tuan-tuan ini datang dari Pe King?" tanyanya kembali.
"Betul." sahut Tian Coan.
"Numpang tanya, selama dalam perjalanan apakah kalian melihat seorang thay-kam muda yang usianya sekitar lima belas tahun?" tanya orang tua itu pula. Mendengar pertanyaan itu, jantung Ci Tian Coan langsung berdegup keras. Untung saja dia sudah berpengalaman menghadapi bahaya sebesar apa pun sehingga dia dapat menyembunyikan perasaan hatinya dengan baik. Orang tua itu tidak menaruh curiga apa-apa meskipun pada saat itu sedang menatapnya. Sebaliknya, wajah Go Piu dan Kiam Peng langsung berubah hebat, Untungnya, justru tidak ada orang yang memperhatikan mereka.
"Thay-kam?" Tanya Ci Tian Coan berlagak pilon.
"Di kerajaan thay kam-thay kam memang banyak sekali, Ada yang tua dan ada juga yang muda, aku sendiri sempat bertemu dengan beberapa di-antaranya."
"Yang aku tanyakan ialah yang kau temui dalam perjalanan menuju ke sini." kata si orang tua menjelaskan "Bukan yang ada di Kotaraja."
"Oh, loyacu, pertanyaanmu itu benar-benar tidak tepat." kata Ci Tian Coan yang terus memainkan peranannya, "Menurut peraturan dari pemerintah Ceng kita yang agung, sekali saja seorang thay kam berani melangkahkan kakinya ke luar dari Kotaraja, dia akan segera mendapat hukuman mati. Thay-kam jaman sekarang tidak bisa dibandingkan dengan thay kam kerajaan Beng yang lagaknya sok benar. Karena itu pula, sekarang tidak ada seorang thay-kam pun yang berani meninggalkan Kotaraja dengan sembarangan." Sengaja Ci Tian Coan memuji kerajaan Ceng yang agung dan mencela kerajaan Beng.
"Oh!" seru si orang tua yang langsung sadar bahwa dia telah salah bicara. Cepat-cepat dia menambahkan "Siapa tahu dia ke luar dengan cara menyamar?" Tian Coan menggelengkan kepalanya dengan penuh keyakinan.
"Tidak mungkin!" katanya.
"Mana ada thay kam yang nyalinya begitu besar? Tapi, eh.... Loyacu, mohon tanya, bagaimana tampang thay-kam muda yang kau maksudkan itu? Siapa tahu sekembalinya dari Shoa say, aku bisa membantu mencari tahu tentang dirinya...."
"Hm!" orang tua itu mendengus dingin, "Terima kasih, Entah pada saat itu, umurnya masih panjang atau sudah terputus!"
Diam-diam otak Ci Tian Coan langsung berputar.
"Dia mencari thay kam cilik, Mungkinkah Wi hiocu yang di maksudkannya? Rombongan orang tua ini bukan orang-orang dari pihak Tian Te hwe atau Bhok onghu, sudah pasti mereka mempunyai maksud buruk, sebaiknya aku meminta penjelasan dari mereka, Tapi aku harus hati-hati agar mereka jangan sampai curiga, Lebih baik aku memancingnya dengan akal saja..." Dengan membawa pikiran demikian, Ci Tian Coan segera berkata.
"Loyacu, mengenai thay-kam cilik di kerajaan hanya ada satu yang terkenal sekali Namanya tersohor sampai ke mana-mana. Mungkin kau juga pernah mendengar tentang dirinya, Dialah si thay-kam cilik yang memotong leher Go Pay dan sudah membangun jasa besar sekali." Orang tua itu membelalakkan matanya Iebar-lebar.
"Oh? Apakah yang kau maksudkan itu thay kam cilik yang bernama Siau Kuicu?"
"Kalau bukan dia, siapa lagi?" sahut Tian Coan seenaknya, "Nyali bocah itu sungguh besar, ilmu silatnya juga lihay sekali, Pokoknya, dia bukan sembarang orang."
"Bagaimana tampang bocah itu?" tanya si orang tua.
"Apakah kau pernah melihatnya?"
"Ya!" sahut Tian Coan, "Kui kong kong itu paling sering mondar-mandir di dalam kota Pe King. Aku rasa hampir setiap orang yang tinggal di Kotaraja pernah melihatnya. Kui kong kong itu berkulit hitam, tubuhnya gemuk pendek dan usianya paling sedikit sudah ada delapan belasan, pasti tidak ada yang percaya bahwa usianya baru lima belasan." Ketika itu Pui Ie masih menggenggam tangan Siau Po erat-erat, sedangkan sikut Kiam Peng menempel di punggung bocah itu, Meskipun agak tegang, tapi hampir saja mereka tertawa geli mendengar lukisan Ci Tian Coan tentang Siau Po. Otak Siau Po sendiri sedang berputaran Kalau tadi dia selalu memikirkan soal setan, sekarang dia malah memikirkan sikap orang tua she Ciong itu.
"Oh, begitu?" kata si orang tua, "Tapi menurut yang aku dengar, justru kebalikannya, Kabarnya usia Kui kong kong baru empat belas atau lima belas tahunan, hanya saja otaknya cerdas dan licik, Menurut aku malah ada sedikit kemiripan dengan keponakanmu itu...." Sembari berkata, si orang tua tertawa terbahak-bahak dan matanya menatap tajam kearah Siau Po. Orang tua itu menyebut Siau Po keponakan Ci Tian Coan, karena memang demikianlah pengakuan tokoh Tian Te hwe tersebut sedangkan Gouw Lip Sin diakui sebagai moayhu, suami adik perempuannya. Tepat pada saat itulah, terdengar Lau It Cou ikut berbicara.
"Menurut apa yang kudengar, Kui kong kong itu orangnya jelek, hina dina, dan tidak tahu malu, Dia juga pandai menggunakan Bong Hoan Yok. Ketika membinasakan Go Pay, sebelumnya dia sudah membiusnya dulu, Kalau tidak, mana mungkin bangsat bernyali kecil dan takut setan itu sanggup menghabisi nyawa orang itu!" Dia langsung menoleh kepada Siau Po dan berkata dengan wajah menunjukkan kegembiraan "Piaute (saudara misan), coba kau katakan, bukankah apa yang kuucapkan ini benar adanya?" Gouw Lip Sin marah sekali, mendadak sebelah tangannya melayang untuk menampar pipi pemuda itu. Tapi It Cou sudah terbebas dari belenggu Siau Po. Dia dapat melihat datangnya serangan dan berhasil mengelakkan diri, Setelah itu dia langsung berjingkrak bangun. Lip Sin juga bangkit. Dia ingin melakukan penyerangan kembali. Secara berturut-turut dia mengerahkan tipu jurus Tiau Thian Cui (Menghadap kaisar) dan "Kim Ma Su Hong" (Kuda emas meringkik di antara hembusan angin), Kedua jurus itu merupakan ilmu keluarga Bhok, Dia melakukannya tanpa perpikir panjang lagi karena hatinya panas mendengar Lau It Cou menghina tuan penolongnya. Meskipun demikian, Lau It Cou tetap dapat menghindarkan diri tanpa melakukan serangan balasan Dan saat itu, justru orang tua she Ciong itu langsung mencelat bangun dari kursinya dan tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Bagus!" serunya, "Tuan-tuan sekalian, sungguh sempurna penyamaran kalian!" Begitu orang tua itu bangun, kawan-kawannya yang lain pun langsung ikut bangkit. Gouw Lip Sin terkejut setengah mati. Dia mengerti bahaya, Karena itu, dia segera menghunus golok pendeknya lalu langsung di tebaskan ke arah kiri, kepala salah satu orang dari rombongan itu segera terlepas dari batang lehernya. Setelah itu dia menusuk ke kanan sehingga seorang lagi tertembus tenggorokannya dan mati seketika. Menyaksikan hal itu, si orang tua segera meraba pinggangnya, mengeluarkan sepasang poan koan pit (senjata pendek dengan ujung runcing seperti potlot), Kedua senjata itu diadukan satu dengan lainnya sehingga menimbulkan suara dentingan yang memekakkan telinga, Siapa saja yang mendengar suara itu pasti merasa giginya ngilu. Setelah membentrokkan senjatanya, si orang tua tidak hanya berdiri diam, Dia segera bergerak dan melakukan penyerangan dengan sepasang senjatanya yang istimewa itu, Dengan pit kiri dia mengincar tenggorokan Gouw Lip Sin, sedangkan pit kanannya mengancam dada Ci Tian Coan. Serangan bukan serangan biasa, tampaknya seperti tusukan, tapi sebenarnya merupakan sebuah totokan. Sungguh hebat orang tua ini, dalam waktu yang bersamaan, dia telah mengirimkan serangan sekaligus kepada dua orang. Ci Tian Coan dapat menghindarkan diri dari serangan yang lebih pantas disebut bokongan itu, sementara itu, tangan kirinya langsung meluncur ke mata salah seorang lawannya, sedangkan tangan kanannya menyambar ke tangan orang itu untuk merampas goloknya. Orang yang mendapat serangan mendadak itu panik sekali, Tahu-tahu goloknya sudah berpindah tangan dan menjerit histeris sebab di saat itu, golok itu sendiri sudah amblas ke dalam perutnya. Setelah berhasil merobohkan orang itu, Ci Tian Coan membinasakan seorang musuh lagi yang menerjang ke arahnya, Dia merasa sudah kepalang tanggung, Gouw Lip Sin tidak dapat menahan kesabaran sehingga rahasia mereka terbongkar. Terpaksa dia pun harus memberikan perlawanan Dia tahu jumlah pihak lawan lebih besar, sedangkan di pihaknya sendiri, ada dua orang yang terluka dan tidak dapat diandalkan. Pada saat itu, Go Piu juga sudah turun tangan, sedangkan Lau It Cou sempat ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya dia mengeluarkan juga joan piannya (Sejenis ruyung yang
sifatnya tunak) dan turun ke arena pertarungan. Siau Po juga sempat bimbang, Dia juga ikut terjun ke arena, tapi hatinya merasa ngeri terhadap si orang tua. Disamping itu, dia yakin dirinya sanggup melayani yang lainnya, Siau Po segera bersiap sedia dengan pisau mustikanya, Tapi, ketika bermaksud maju, Pui Ie menarik tangannya.
"Pihak kita pasti menang, kau tidak perlu ikut campur!" katanya kepada si bocah. Mendengar kata-katanya, Siau Po berpikir dalam hati.
"Aku juga sudah menduga pihak kita yang akan menang, justru karena itu aku mau turun tangan agar perkelahian ini dapat diselesaikan dengan cepat Kalau gelagatnya pihak kita yang akan kalah, tentu aku sudah memikirkan cara untuk meninggalkan tempat ini." Tiba-tiba terdengar suara yang melengking, ternyata si orang tua menggesekkan sepasang poan koan pitnya dan tampaklah rekan-rekannya segera berlarian menghampirinya. Dalam sekejap mata semuanya sudah berkumpul dan terbentuklah sebuah tim atau barisan. Mereka tidak berhimpitan satu dengan yang lainnya, melainkan posisinya agak berjauhan. Ci Tian Coan dan Gouw Lip Sin merasa heran, keduanya lantas mundur satu langkah, Mata mereka memperhatikan pihak lawan lekat-lekat.
Go Piu penasaran Dia maju ke depan. Tiba-tiba dia diserang oleh empat orang lawannya, Yang dua membacok ke arah bahunya sedangkan dua yang lainnya segera menerjang ke arahnya untuk menangkis serangan goloknya. Go Piu menjerit keras sebab salah satu golok lawannya telah berhasil mengenai bahunya.
"Anak Piu, mundur!" teriak Gouw Lip Sin. Muridnya itu segera mencelat ke belakang, Hanya dalam waktu sekejap mata saja, keadaan jadi terbalik sekarang pihak lawanlah yang lebih unggul. Ci Tian Coan berdiri di depan Siau Po dan kedua gadis itu. Maksudnya untuk melindungi mereka sembari bersiaga menghadapi serangan tawan. Matanya melirik ke sana ke mari. Orang tua dari pihak lawan mengangkat senjatanya tinggi-tinggi sambil berseru.
"Ang kaucu selaksa tahun tetap awet muda. Untuk selama-lamanya merasakan kebahagiaan ibarat para dewata! Umurnya sama dengan Thian!" Suara itu begitu keras sehingga seisi rumah itu seakan bergetar karena nya. sedangkan tingkahnya lebih mirip orang kalap. Thian Coan merasa terkejut juga bingung, Apa sebenarnya yang sedang di lakukan oleh orang tua itu? Sebaliknya, Siau Po justru terkejut mendengar orang tua itu menyebut nama Ang kuacu, Mendadak dia ingat terhadap kaucu itu. Tanpa dapat dipertahankan lagi dia berteriak.
"Sin Liong kau! Mereka adalah anggota dari Sin Liong kau!" Kali ini, bukan hanya pihaknya sendiri, bahkan orang tua dan rekan-rekannya juga terkejut mendengar seruannya itu. Wajah si orang tua langsung berubah pucat pasi.
"Eh, kau juga tahu tentang Sin Liong kau?" tanyanya heran, Tapi dia tidak menunggu jawaban dari Siau Po. Dia segera berseru lagi, malah lebih keras dari sebelumnya, "Kepandaian Ang kaucu sungguh luar biasa! Setiap kali bertarung setiap kali pula kita meraih kemenangan. Tak ada benteng sekokoh apa pun yang tidak dapat kami hancurkan! Tidak ada musuh yang tidak dapat dikalahkan! Bagai angin topan yang melanda, musuh-musuh lari ketakutan dan kabur sejauh-jauhnya!" Kembali Tian Coan dan yang lainnya dilanda kebingungan bahkan hati mereka menjadi ngeri. Mereka merasa musuh-musuh yang dihadapi kali ini aneh sekali, Belum pernah ada musuh seperti ini. Berhadapan dengan lawan sambil berteriak seperti sedang membaca mantera.
"Mereka mengerti ilmu sesat." kata Siau Po memperingatkan "Awas! jangan sampai terpengaruh Cepat kita maju serentak!" Suara orang tua yang sedang membaca mantera aneh itu semakin lama semakin keras. Bahkan sekarang di ikuti oleh kawan-kawannya.
"Di bawah bimbingan Ang kaucu, para murid mempunyai kegagahan seratus kali lipat Satu orang dapat menghadapi seratus lawan, Seratus orang dapat menghadapi selaksa lawan, Mata Ang kaucu laksana mata dewa, seperti cahaya mentari yang menerangi empat penjuru angin, Seluruh murid berdaya membasmi musuh, Ang kaucu sendiri yang akan menaikkan pangkat atau kedudukannya, seluruh murid rela mati membela agamanya, semuanya akan naik ke langit menuju surga!" Kali ini, setelah berteriak, merekapun melakukan penyerangan serentak. Tian Coan dan yang lainnya segera maju menyambut. Tapi mereka merasa bukan main herannya. Berbeda dengan semula, pihak musuh tiba-tiba berubah jauh lebih gagah dan perkasa, Setiap serangan dan bacokan mereka hebat sekali, Seakan dalam waktu singkat, kepandaian mereka telah mengalami kemajuan dua kali lipat Mereka bertempur dengan kalap.
Baru beberapa jurus saja, Go Piu dan Lau It Cou sudah berhasil dirobohkan, Menyusul Siau Po, Kiam peng, dan Pui Ie terhajar jatuh, Kiam Peng terluka di bagian lengan, sedangkan Pui Ie terhajar di bagian kakinya dan Siau Po terpukul di bagian punggung. Untung saja dia mengenakan baju mustikanya sehingga tidak terluka parah, Hanya merasakan sedikit nyeri saja, Tubuhnya bergulingan diatas tanah, Sejenak kemudian, Gouw Lip Sin dan Ci Tian Coan juga dapat dirobohkan dengan mudah. Kedua orang itu ditotok oleh musuhnya yang sudah tua. Setelah itu, si orang tua kembali berkaok-kaok dengan nyaring.
"Kepandaian Ang kaucu sungguh luar biasa, Usianya sama dengan usia langit" Namun, berbeda dengan tadi, setelah berteriak-teriak kali ini, orang-orang itu langsung jatuh terduduk dengan keringat bercucuran di dahi, Nafas mereka tersengal-sengal sebagai bukti bahwa mereka baru saja menguras tenaga habis-habisan. Padahal, pertempuran tadi hanya memakan waktu yang singkat sekali, tapi keadaan mereka seperti baru saja bertarung selama berjam-jam.... Untung Siau Po dan yang lainnya tidak terluka parah, Diam-diam si bocah berpikir dalam hatinya.
"Rupanya mereka menggunakan ilmu gaib, Mereka pandai ilmu siluman, pantas saja bibi To ketakutan mendengar disebutnya nama Sin Liong kau. Kenyataannya, mereka memang luar biasa lihay!" Si orang tua duduk bersila untuk beristirahat, matanya di pejamkan Tetapi tidak lama kemudian, dia bangkit kembali. Mula-muIa dia menyusutkan keringatnya, kemudian berjalan mondar-mandir dalam ruangan pendopo. Beberapa saat kemudian, teman-temannya yang lain ikut berdiri pula, Terdengar si orang tua berkata kepada Ci Tian Coan.
"Kalian semua ikut aku membaca doa. Pertama-tama kalian harus dengarkan dulu baik-baik. Aku membaca sepatah, kalian mengikuti Nah! Kita mulai sekarang! Ang kaucu kepandaiannya sungguh luar biasa dan usianya seperti usia langit." Tapi Ci Tian Coan bukannya membaca doa seperti yang di perintahkan dia malah membuka mulut memakinya.
"Kalian semua bangsa siluman! Kalian ingin berlagak menjadi dewa atau kaum dedemit, itu terserah kalian. Tapi kalau meminta lohu menuruti lagakmu yang konyol itu, sama saja kalian sedang bermimpi di tengah hari bolong." Orang tua itu menjadi gusar, Dengan Poan koan pitnya, dia mengetok dahi Tian Coan sampai mengucurkan darah, Tapi Ci Tian Coan tetap memaki.
"Bangsat anjing! Turunan siluman!" Orang tua itu tidak memperdulikannya. Kali ini dia menoleh kepada Gouw Lip Sin.
"Bagaimana engkau? Kau mau membaca doa yang ku ajarkan atau tidak?" tanyanya. Orang tua ini memang benar-benar aneh, belum lagi Gouw Lip Sin memberikan jawabannya, dahinya juga sudah kena ketokannya, Setelah itu dia langsung menoleh kepada Go Piu.
"Usia nenekmu sama dengan umur anjing!" Teriak Go Piu sebelum si orang tua bertanya kepadanya, Pemuda itu sama sekali tidak takut meskipun dia sudah melihat contoh yang ditunjukkan si orang tua di hadapannya, Orang tua itu marah sekali, langsung menghajar Go Pui dengan senjatanya yang khas. Bahkan kali ini dia mengerahkan tenaga se-kuatnya sehingga pemuda itu roboh seketika dan tidak sadarkan diri.
"Begitukah cara dan tingkah laku seorang laki-laki sejati?" teriak Gouw Lip Sin gusar.
"Oh, ibumu bau! Lebih baik bunuh saja aku!" Orang tua itu tetap tidak menghiraukannya, Dia juga tidak memukul Gouw Lip Sin lagi, senjatanya di angkat ke atas tinggi-tinggi dan di tudingkannya kepada Lau It Cou.
"Bagaimana engkau? Kau mau membaca doa atau tidak?"
"Aku... aku..." pemuda itu kebingungan.
"Ayo baca!" bentak orang tua itu.
"Kepandaian Ang kaucu sungguh luar biasa, usianya sama dengan usia langit."
"Ang kaucu.... Ang kaucu..." kata Lau It Cou dengan suara terputus-putus. Orang tua itu langsung menggerakkan senjatanya mengetok dahi Lau It Cou.
"Baca terus!" perintahnya bengis, "Cepat!"
"Iya... iya..." sahut Lau It Cou gugup, "Ang kaucu... usianya seperti usia langit." Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Beginilah orang yang mengenal selatan." pujinya.
"Begini baru patut disebut sebagai orang gagah. Bocah cilik, dengan demikian kau tidak usah merasakan banyak penderitaan!"
Sekarang si orang tua mendekati Siau Po.
"Hai, setan cilik! Kau mau membaca doa atau tidak?"
"Tidak usah!" sahut Siau Po.
"Tidak usah?" tanya si orang tua heran, "Kenapa?"
"Sebab Wi kaucu lihay luar biasa, usianya seperti usia langit, Untuk selama-lamanya dia akan mendapat kebahagiaan abadi dan rejekinya menyerupai sang dewa, Setiap kali berperang, Wi kaucu tidak pernah kalah, Kekalahan tidak pernah terjadi karena tidak ada perang. Menyerang dia tidak pernah kalah, mengalahkan dia tidak perlu menyerang, Wi kaucu mengangkat kalian semuanya naik ke surga bersama-sama." Sengaja Siau Po mengganti kata-kata Ang kaucu dengan "Wi kaucu", Selesai berdoa dia selalu berdehem dan pembacaan doanya dilakukan dengan cepat sekali sehingga orang tidak mendengar perbedaan ucapannya.
"Anak ini cerdas sekali." puji orang tua itu senang, "Anak pintar." Kemudian orang tua itu menghampiri Pui Ie. Dia meraba-raba dagu gadis itu, "Oh, anak manis, wajahmu tidak ada celanya." katanya, "Kau ikutlah aku membaca doa!"
"Aku tidak mau!" kata Pui Ie sambil membuang muka. Orang tua itu mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan siap di ketokkan, tapi tiba-tiba dia membatalkannya karena tertarik pada kecantikan Pui Ie. Dia mengarahkan poan koan pitnya pada pipi si gadis yang halus.
"Kau mau membaca doa atau tidak?" tanya si orang tua sekali lagi.
"Biar aku saja yang mewakilinya," Tukas Siau Po, "Aku jamin doaku lebih enak didengar daripada doanya."
"Siapa sudi kau yang mewakilkan?" bentak si orang tua. Dia mengetok bahu Pui Ie sehingga gadis cantik itu menjerit kesakitan
Justru pada saat itulah salah seorang rekan orang tua itu mengeluarkan suara tertawa yang menyakitkan telinga dan berkata,
"Ciang samya, kalau gadis itu tidak mau berdoa, kita buka saja pakaian nya!"
"Bagus! Bagus!" seru yang lainnya. "Ide itu bagus sekali."
"Eh, mengapa kalian menghina seorang anak perempuan? Bukankah kalian ingin mencari si thay kam cilik? Aku tahu di mana dia berada." kata Lau It Cou.
"Kau tahu?" tanya si orang tua cepat "Di mana dia? Lekas katakan!"
"Asal kau berjanji untuk tidak mengganggu gadis itu, aku akan mengatakannya kepadamu." sahut Lau It Cou. Tapi kalau tidak, meskipun kau bunuh aku, aku tidak akan membuka mulut."
"Suko!" teriak Pui Ie dengan setengah menjerit "Jangan kau perdulikan aku!" Orang tua itu tertawa.
"Baik!" sahutnya.
"Aku berjanji tidak akan mengganggu gadis itu."
"Apakah kata-katamu itu dapat di percaya ?" tanya Lau It Cou.
"Apa yang pernah tercetus dari mulutku, Ciong samya, pasti benar." jawab si orang tua.
"Thay-kam yang ku maksudkan ialah thay-kam yang telah membinasakan Go Pay. Namanya Siau Kui Cu. Kau benar-benar tahu di mana dia berada?" It Cou menganggukkan kepalanya.
"Benar!" sahutnya.
"Dia itu jauh di ujung langit, dekat di depan mata." Si orang tua senang bukan main sehingga hampir saja dia berjingkrakan, Kemudian telunjuknya menunjuk kepada Siau Po.
"Diakah yang kau maksudkan?" Pui Ie segera ikut bicara.
"Bocah cilik seperti dia ini mana mungkin sanggup mengalahkan Go Pay?" katanya.
"Jangan kau dengarkan ocehannya!"
"Memang dialah orangnya!" seru It Cou dengan nada ingin meyakinkan Dengan berani dia menentang perkataan Pui Ie yang pernah menjadi pacarnya.
"Dia pandai menggunakan Bong Hoan Yok. Tanpa obat bius itu, tentu dia tidak sanggup membunuh Go Pay si orang gagah nomor satu dari bangsa Boan Ciu." Orang tua itu tampak bimbang sejenak, Kalau dia harus percaya, memang kelihatannya Siau Po masih kecil sekali Tapi nada bicara Lau It Cou begitu serius.
"Benarkah kau yang membunuh Go Pay?" tanya si orang tua kepada Siau Po.
"Benar," sahut bocah cilik itu, "Lalu, kau mau apa? Dan kalau bukan aku yang membunuhnya, apa pula yang akan kau lakukan?"
"Nenek moyangmu bejat!" maki si orang tua.
"Tampaknya kau ada sedikit keturunan sesat, Ayo geledah tubuhnya!" Dua orang anak buahnya segera menghampiri Siau Po. Mereka merebut buntalan Siau Po dan menuangkan isinya di atas meja, Si orang tua merasa heran dan kagum sekali, Di dalam buntalan Siau Po ternyata terdapat banyak mutiara, intan permata, uang perak, dan uang emas.
"Aih! ini pasti barang-barang dari istana." katanya.
"Dan ini...." Dia melihat setumpuk Goan pio atau cek yang nilai setiap lembarannya paling rendah lima ratus tail. Jumlahnya mungkin mencapai laksaan tail, "Tidak salah lagi. Dia pasti Siau Kui cu!" Kemudian dia juga melihat dua jilid kitab ilmu silat, Orang tua ini langsung mengucapkan seruan.
"Sedikit pun tidak salah. Lihatlah.... ini kitab warisan Hay kong kong, kitab ilmu tenaga dalam dari Kong Tong pai. Nah, bawa dia ke kamar sana, aku ingin memeriksa lebih lanjut!" Seseorang langsung memondong tubuh Siau Po, di bawa nya ke dalam, Dua orang lainnya membungkus kembali buntalan yang ada di atas meja, sedangkan orang yang keempat menyalakan lilin untuk dipakai menerangi jalan. Mereka menuju kamar sebelah timur
"Kamu semua boleh mundur duIu." kata si orang tua setelah masuk ke dalam kamar. Keempat orang itu langsung mengundurkan diri dan pintu kamar pun dirapatkan, Tampaknya si orang tua gembira sekali, Dia berjalan mondar-mandir dalam kamar itu sambil memainkan tangannya. wajahnya berseri-seri, dia menggumam seorang diri.
"Dicari sampai sepatu besi rusak, tidak bisa ditemukan Sekalinya sudah jodoh, begitu mudah bertemunya, Tidak perlu mengeluarkan tenaga, tanpa perlu membuang waktu, Kui kong kong, hari ini aku dapat bertemu denganmu di sini, benar-benar seperti sudah mati dan hidup kembali." Siau Po tertawa.
"Aku juga beruntung sekali dapat bertemu denganmu di sini." katanya dengan berani "Aku seperti hidup kembali untuk keenam kalinya, iya,., malah seperti hidup kembali untuk kesembilan kalinya." Dalam hatinya Siau Po berpikir, barangnya toh sudah dilihat, percuma bila dia menyangkal terus, Sekarang, yang paling penting baginya hanya mencari akal untuk melarikan diri, Dia harus melihat-lihat situasi dalam mengambil tindakan, Atau seperti pepatah orang yang sedang berperang, prajurit datang, panglima menghadang, Banjir datang, ambil tanah untuk menguruknya.
Si orang tua menjadi bingung mendengar jawaban Siau Po, Apa sih artinya hidup kembali untuk keenam atau kesembilan kalinya? Tanyanya dalam hati, Tapi otaknya bekerja dengan cepat Dia langsung bertanya kepada Siau Po.
"Kui kong kong, bukankah kau sedang menuju kuil Ceng Liang si di gunung Ngo Tay san?" Siau Po sengaja memperlihatkan tampang kagum dan heran. "Apa saja kau tahu, benar-benar orang yang sulit dihadapi," pikirnya dalam hati, Tapi dia segera tertawa geli dan berkata, "Tuan, kau benar-benar hebat ilmunya tinggi sekali, kau juga pandai menjampi sehingga melebihi kehebatan seorang imam yang berasal dari gunung Mau san. pantas saja nama perkumpulan agama kalian, yakni Sin Liong kau terkenal sampai ke seantero dunia, Sudah lama aku yang rendah mendengar tentang ilmu perkumpulan kalian yang sakti, Hari ini aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri Aku benar-benar kagum sekali." Demikianlah Siau Po yang cerdik mengalihkan bahan pembicaraan. Tanpa disadari, orang tua itu terbawa arus.
"Dari mana kau tahu tentang Sin Liong kau?" tanya si orang tua.
"Aku mendengarnya dari putera Gouw Sam Kui, yakni Gouw Eng Him." sahut Siau Po seenaknya, "Gouw Eng Him datang ke Kota raja karena menerima perintah ayahnya untuk mengantarkan upeti. Dia mempunyai seorang bawahan yang bernama Yo Ek Ci, orangnya gagah sekali, Mereka telah merundingkan urusan membasmi Sin Liong kau. Mereka tahu di dalam Sin Liong kau ada seorang Ang kaucu yang kepandaiannya tinggi sekali, Kaucu itu juga mempunyai pengikut yang banyak sekali, Tapi mereka tidak takut Mereka telah mendapatkan sebuah kitab yang berjudul Si Cap Ji Cin Keng yang menurut mereka hebat sekali, Kitab itu didapatkan dari seorang kepala pemimpin bendera sulam biru." Mendengar keterangannya, si orang tua semakin heran, Dia pernah mendengar kedua nama Gouw Eng Him dan Yo Ek Ci. Dan memang benar, ada seorang anggota Sin Liong kau yang menjadi pemimpin bendera sulam biru, Hal itu dia ketahui secara kebetulan kurang lebih satu bulan yang lalu. Ketika itu dia mendengar disebut-sebutnya nama kitab Si Cap Ji Cin Keng itu, tetapi mengenai isinya, dia tidak tahu sedikit pun. Karena itu, hatinya menjadi tertarik mendengar keterangan Siau Po.
"Antara Peng Si Ong dengan pihak Kami tidak ada permusuhan apa-apa, mengapa dia ingin menimbulkan masalah? Mengapa dia ingin menumpas kami? Bukankah itu berarti dia sudah bosan hidup?"
"Menurut Gouw Eng Him," kata Siau Po.
"Memang benar di antara Peng Si Ong dan Sin Liong kau tidak ada permusuhan apa-apa. Bahkan mereka sangat mengagumi kepandaian Ang kaucu, persoalannya terletak pada Sin Liong kau yang sudah berhasil mendapatkan kitab Si Cap Ji Cin Keng, Menurutnya, kitab itu sangat aneh dan berharga, biar bagaimana kitab itu harus dirampas, Bukankah di dalam perkumpulan kalian ada seorang wanita yang tubuhnya gemuk dan namanya Liu Yan? Bukankah dia sekarang berada di dalam istana?" Orang tua itu semakin heran.
"Eh, bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?" Siau Po sebetulnya sedang mengaco belo, tapi apa yang dikatakannya memang beralasan.
"Aku kenal dengan Liu toaci itu," katanya mengarang terus, "Kami merupakan sahabat baik. Pada suatu hati, Liu toaci melakukan kesalahan terhadap ibu suri, karena itu Hong thay hou ingin membunuhnya, Untung saja aku berhasil mengetahui hal tersebut. Aku segera menolongnya, aku menyembunyikan Liu toaci di bawah kolong tempat tidur, Dengan demikian, sia-sia belaka ibu suri mencarinya di seluruh istana, Karena kejadian itu, Liu taoci merasa bersyukur sekali Dia juga menasehati aku untuk
masuk saja menjadi anggota Sin Liong kau. Menurutnya, kaucu Sin Liong kau sangat suka terhadap anak kecil dan pasti akan menyukai aku, Kalau hal itu sampai terjadi, maka aku akan memperoleh banyak keuntungan."
"Oh!" seru si orang tua yang dengan sendirinya semakin percaya terhadap apa yang diocehkan oleh Siau Po.
"Coba kau katakan, mengapa ibu suri ingin membunuh Liu Yan?"
"Menurut keterangan yang aku dengar dari Li taoci, urusannya menyangkut sebuah rahasia besar." sahut Siau Po.
"Dia mau mengatakannya kepadaku, apabila aku berjanji tidak akan mengatakannya atau memberitahukan kepada siapa pun juga. itulah sebabnya sekarang aku tidak bisa mengatakannya kepadamu Tapi secara singkat aku dapat memberitahukan bahwa urusannya berhubungan dengan kedatangan seorang laki-Iaki yang menyamar sebagai dayang dalam istana dan orang itu ternyata berkepala gundul."
"Eh? itulah Teng Peng Lam!" seru si orang tua tanpa sadar "Jadi kau juga tahu urusan Teng toako yang menyelinap ke dalam istana?" Sungguh kebetulan bagi Siau Po. Jadi si dayang palsu itu rupanya kakak seperguruan si orang tua ini, Tapi Siau Po tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Dia hanya tersenyum dan berkata kembali.
"Ciong samya, hal ini menyangkut rahasia yang besar sekali jangan sampai kau bocorkan kepada orang lain. Kalau tidak, kau akan menghadapi ancaman bahaya yang besar sekali Tidak apa-apalah kalau kita bicara berdua, tapi kalau sampai ada orang lain mendengarnya, bisa gawat. Meskipun kepada orang yang paling kau percaya, kau tetap harus berhati-hati! Kalau rahasia ini sampai bocor dan diketahui oleh Ang kaucu, aku yakin kau sendiri tidak sanggup bertanggung jawab." Setelah berdiam di dalam istana sekian lama, Siau Po sudah paham apa yang disebut rahasia, yakni sesuatu yang sekali-sekali tidak boleh dibocorkan taruhannya berat Bahkan batang leher juga bisa dipenggal, atau setidak-tidaknya pangkat bisa copot sekarang dia menggunakannya untuk menggertak si orang tua, ternyata dia berhasil. Tapi si orang tua she Ciong ini sendiri mempunyai pikiran yang lain.
"Mengapa aku begitu bodoh bicara secara terbuka dengan bocah ini?", pikirnya dalam hati. Ternyata banyak urusan mengenai perkumpulan kami yang diketahuinya, Ah! Biar bagaimana, dia sebaiknya disingkirkan saja. Meskipun sudah mempunyai pemikiran demikian, dia tidak segera turun tangan. Dia masih ingin mengorek keterangan dari Siau Po.
"Apa yang kau bicarakan dengan Teng toako?" tanyanya sambil pura-pura tertawa.
"Mengenai pembicaraanku dengan Teng toako-mu itu," sahut Siau Po.
"Antara lainnya adalah pesannya kepadaku, bila kelak aku mendapat kesempatan bertemu dengan Ang kaucu, maka aku harus menceritakan semuanya sampai jelas."
"Oh, begitu?" kata si orang tua, Dalam hatinya dia kebingungan apakah dia harus mempertemukan bocah ini dengan kaucunya? Lalu dia ingat dengan tugasnya sendiri Kaucu memerintahkan dia untuk mencari seseorang, Karena itu dia berpikir lagi, Untuk menemukan orang itu, mungkin aku bisa berhasil lewat perantara bocah ini. Dia segera memasang wajah ramah dan suara yang manis untuk berkata kepada Siau Po. "Saudara kecil, kau hendak pergi ke Ngo Tay san, di sana kau pasti bertemu dengan Sui Tong yang pangkatnya Hu congkoan, bukan?" Mendengar pertanyaan itu, Siau Po berpikir dengan cepat -- Dia tahu aku hendak pergi ke Ngo Tay san dan dia juga tahu perihal Sui Tong, semua ini pasti diketahuinya dari si nenek sihir, Thay hou menyuruh si laki-laki berkepala gundul itu menyamar sebagai dayang dan ternyata laki-laki itu seorang anggota Sin Liong kau dan bahkan kakak seperguruan orang tua ini pula, Dengan demikian, sudah terang Thay hou juga anggota Sin Liong kau! sekarang aku terjatuh ke tangan orang-orang dari perkumpulan ini, kemungkinanku untuk dapat hidup jauh lebih tipis dari pada kesempatan untuk mati, aku harus pandai-pandai membawa diri Dia sengaja menunjukkan mimik wajah orang yang terkejut sekali.
"Oh, Ciong samya, sumber beritamu hebat sekali!" katanya memuji.
"Rupanya kau juga tahu tentang Sui Hu cong koan?" Si orang tua tersenyum Rupanya hatinya senang sekali mendapat pujian dari Siau Po.
"Malah aku juga tahu perihal orang yang kedudukannya lebih tinggi berlaksa kali lipat dibandingkan dengan Sui Tong."
-- Aih! Celaka, celaka --, Siau Po mengeluh dalam hati, rupanya persoalan apa pun sudah dibeberkan oleh si nenek sihir, Kecuali kaisar Sun Ti, siapa lagi yang kedudukannya demikian tinggi? -- Terdengar si orang tua berkata kembali,
"Saudara kecil, sebaiknya kau jangan menutupi urusan apa pun dariku, sekarang kau katakan padaku, kepergianmu ke Ngo Tay san ini disebabkan mendapat perintah atau untuk urusanmu pribadi?" Siau Po menjawab dengan cepat.
"Aku toh seorang thay kam dalam istana, Tanpa perintah, mana berani aku lancang meninggalkan kerajaan? Apakah kau pikir aku ini sudah bosan hidup?"
"Dengan demikian, berarti kau menerima titah dari Sri Baginda, bukan?" Siau Po memperlihatkan tampang keheranan.
"Sri Baginda?" tanyanya menegaskan "Sri Baginda katamu? Ha... ha... ha... Kali ini berita yang kau terima tidak benar. Sri Baginda mana tahu urusan di Ngo Tay san?" Orang tua itu menatap Siau Po dengan tajam.
"Kalau bukan Sri Baginda, lalu siapa?"
"Nah, coba kau terka!" kata Siau Po yang senang mempermainkan orang tua itu.
"Mungkinkah kau dititah oleh ibu suri?" tanya orang tua itu kembali. Siau Po tertawa.
"Ternyata Ciong samya pintar sekali!" pujinya, "Sekali tebak saja langsung mengenai sasaran, Di dalam istana, orang yang mengetahui urusan di Ngo Tay san ini cuma ada dua orang dan satu setan." Ciong samya merasa heran.
"Dua orang dan satu setan?"
"Betul! Dua orang dan satu setan." sahut Siau Po memberikan kepastian.
"Siapa-siapa saja mereka itu?" tanya si orang tua kembali.
"Dua orang itu, yakni ibu suri dan aku sendiri." sahut Siau Po.
"Dan setan yang kau katakan?"
"Setan itu, tentu saja arwah penasarannya Hay kong kong." sahut Siau Po.
"Dia kena pukulan Hoa Kut Bian Ciangnya ibu suri." Si orang tua terkejut setengah mati.
"Hoa Kut Bian Ciang?" tanyanya, "Kau bilang Hoa Kut Bian Ciang?"
"Iya, tidak salah." sahut Siau Po, "Memang Hoa Kut Bian Ciang."
"Jadi kau diutus oleh ibu suri?" tanya si orang tua kembali, "Apa yang harus kau lakukan?" Siau Po tersenyum.
"Thay hou dan kau orang tua terhitung orang sendiri, maka sebaiknya kau tanyakan saja kepadanya!" Si orang tua terdiam, Hatinya menjadi bingung.
"Oh, jadi ibu suri yang menyuruh kau ke gunung Ngo Tay san?" dia menggumam seorang diri seakan sedang mengajukan pertanyaan kepada Siau Po.
"Thay hou juga berkata padaku," kata Siau Po kembali.
"Katanya, urusan ini telah dibicarakan dengan Ang koucu dan Ang kaucu setuju sekali. Thay hou juga berpesan kepadaku agar aku bekerja hati-hati, Asal aku berhasil maka aku akan mendapatkan hadiah besar dan Ang kaucu sendiri akan memberikan aku sesuatu yang sangat berharga." Sengaja berkali-kali Siau Po menyebutkan nama Ang kaucu, Dia menduga si orang tua takut sekali terhadap ketuanya dan kalau dia sering menyebutnya, mungkin orang tua ini tidak berani mencelakainya..."
Kenyataannya, meskipun dalam Ciong samya meragukan kata-kata Siau Po, tapi dia tidak berani sembarang bertindak Dia merasa lebih baik dirinya percaya daripada tidak sama sekali, Karena itu, dia tidak segera turun tangan.
"Keenam orang yang ada di luar itu, apakah semuanya bawahanmu?" tanya orang tua itu kembali.
"Mereka semua orang-orang dari istana," sahut Siau Po. "Kedua gadis itu merupakan dayang-dayangnya Thay hou, sedangkan keempat laki-laki yang ikut bersamaku adalah para gi cian siwi, pengawal-pengawal pribadi Thay hou, ibu suri pula yang memerintahkan mereka ikut aku melaksanakan tugas ini. Tapi mereka tidak tahu menahu urusan Sin Liong kau, karena ini merupakan rahasia besar. Tidak mungkin Thay hou memberitahukan urusan ini kepada mereka." Ketika berbicara, Siau Po sempat melihat orang tua itu tertawa mengejek, hatinya langsung mempunyai dugaan yang buruk, Maka dia lantas bertanya.
"Kenapa? Kau tidak percaya keteranganku ini?" Orang tua itu memperdengarkan suara tertawa dingin.
"Orang-orangnya Bhok onghu dari In Lam setia sekali terhadap kerajaan Beng, mana mungkin menjadi Gi cian siwi dari kerajaan kami? Kalau kau hendak membual, carilah alasan yang lebih tepat!" katanya. Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" tanya si orang tua. Dia tidak tahu bahwa dirinya telah berhasil memecahkan kebohongan orang, Karena itu, Siau Po sengaja tertawa terbahak-bahak agar orang tua itu menjadi bimbang kembali. Siau Po masih tertawa, Sesaat kemudian dia baru berkata.
"Orang yang paling dibenci oleh keluarga Bhok bukan Thay hou atau Sri Baginda, mungkin kau sendiri tidak tahu."
"Mana mungkin aku tidak tahu? Yang paling dibenci oleh keluarga Bhok sudah pasti Gouw Sam Kui." Sekali lagi Siau Po menunjukkan mimik kagum.
"Hebat!" serunya, "Ciong samya memang benar-benar lihay." Tanpa menunggu komentar dari orang tua itu, dia segera melanjutkan kata-katanya.
"Ciong samya, biarlah aku berkata terus terang kepadamu. Orang Bhok ongya bekerja pada Thay hou, tujuan utamanya adalah untuk mencelakai Gouw Sam Kui agar dihukum mati beserta seluruh keluarganya. Kalau perlu, segala anjing dan ayam peliharaannya pun tidak ketinggalan jangankan di dalam istana kaisar, di dalam istana Peng Si Ong pun ada orangnya Bhok onghu, sebetulnya ini merupakan rahasia besar, tapi tidak apa-apa aku memberitahukan kepadamu, asal kau jangan membocorkannya saja!" Ciong samya menganggukkan kepalanya.
"Oh, rupanya begitu." katanya, Tapi di dalam hati dia hanya percaya setengahnya saja, Diam-diam dia mengambil keputusan -- sekarang biar aku periksa dulu beberapa orang yang di luar itu untuk mendapat kenyataan Aku ingin tahu apakah pengakuan kedua belah pihak sama atau tidak, sebaiknya aku mulai dari si nona muda, anak masih bau kencur begitu biasanya jarang berdusta." Karena itu dia segera membuka pintu dan melangkah ke luar, Siau Po terkejut setengah mati.
"Eh, kau mau ke mana? ini kan rumah hantu. jangan kau tinggal aku sendirian di sini!"
"Aku akan segera kembali." sahut si orang tua meneruskan langkah kakinya. Siau Po benar-benar bingung, Sesaat kemudian terdengar suara teguran yang nyaring.
"Hei! Kalian semua pergi ke mana?" Kembali Siau Po terkejut hatinya, Dia mengenali suara si orang tua yang mengandung kekhawatiran.
"Apakah me... reka semua tidak... ada di depan?" tanyanya.
"Ke mana kalian?" teriak si orang tua kembali "Kalian ada di mana?" Pertanyaan itu diajukan dengan suara yang lebih keras lagi, tetapi keadaan tetap sunyi senyap, tidak terdengar jawaban dari seorang pun. Sesaat kemudian, Siau Po mendengar suara langkah kaki berlari-lari, lalu suara pintu ditendang dan terakhir kembali terdengar suara langkah kaki yang berlari, tapi arahnya kembali ke tempat semula, Dan ternyata pada saat itu juga tampak si orang tua menerobos masuk. Hati Siau Po terkejut Dia melihat wajah orang tua itu berubah menjadi pucat pasi, seakan tidak ada setetes pun darah yang mengalir di dalamnya, Matanya membelalak dam menyiratkan sinar kebingungan.
"Me... reka... semua te... lah lenyap!" Akhirnya orang tua itu dapat bersuara juga setelah berdiri terpaku sekian lama.
"Apa... kah mere... ka dilarikan setan?" tanya Siau Po dengan nada takut, "Ce... pat! Cepat kita tinggalkan tempat ini!"
"Mana bisa?" bentak si orang tua, Tangannya bertumpu pada meja dan meja itu bergetar Hal ini menandakan betapa khawatir dan bingungnya hati orang tua itu. Kemudian dia melangkah ke arah pintu dan melongok ke luar.
"Hei! Di mana kalian? Di mana kalian semua?" Meskipun dia mengulangi lagi pertanyaan itu, tetap saja tidak terdengar adanya jawaban, Tapi si orang tua masih memasang telinga, Kesunyian masih mencekam rumah itu. Walaupun usianya sudah tua dan pengalamannya banyak, tetap saja hatinya gelisah, Sekian lama dia berdiri terpaku, akhirnya dia melangkah mundur ke dalam, pintu kamar dirapatkan lalu dipalangkan. Matanya melirik kearah Siau Po yang sedang ketakutan. Siau Po menatap orang tua itu lekat-lekat, Tampak dia menggertakkan giginya erat-erat dan kulit wajahnya berubah-ubah, Sekilas tampak pucat pasi, sekejap kemudian kebiru-biruan. Sebetulnya hujan sudah berhenti cukup lama, tetapi tiba-tiba menjadi deras kembali seperti ada berputuh-puluh ember air yang dijatuhkan dari langit.
"Oh! Hujan lagi?" terdengar orang tua itu menggumam seorang diri. Tampaknya dia terkejut sekali. Sesaat kemudian, terdengar suara seseorang dari arah ruangan pendopo, Meskipun hujan lebat sekali, tapi suara itu bisa terdengar jelas.
"Ciong losam, kemarilah!" Suara itu suara seorang wanita dan terdengar merdu sekali, Tapi Siau Po dapat mengenali bahwa itu bukan suara Kim Peng atau pun Pui Ie.
"Setan perempuan!" teriak Siau Po dalam kagetnya, Rasa takutnya muncul kembali.
"Siapa yang memanggil aku si orang tua?" tanya orang tua itu sengaja mengeraskan suaranya. Namun tidak terdengar suara sahutan dari arah pendopo, hanya suara tetesan air hujan yang membisingkan. Si orang tua menolehkan wajahnya menatap Siau Po. Si bocah juga sedang memperhatikannya, Untuk sesaat mereka saling menatap, Keduanya berdiam diri, Seluruh bulu kuduk mereka seakan meremang. Namun kesunyian tidak berlangsung lama, kembali terdengar suara wanita tadi.
"Ciong losam, ke luarlah!" Demikian katanya, Suara itu membuat perasaan menjadi tidak enak. Dalam keadaan seperti itu, si orang tua masih dapat menabahkan hatinya, Mendadak dia menendang pintu kamar sehingga menjublak, Setelah itu dia mencelat ke luar. Rupanya dia ingin menyusul suara panggilan itu agar orangnya tidak keburu menghilang.
"Jangan ke luar!" teriak Siau Po. Tapi orang itu sudah menghilang di balik pintu, sesampainya di ruangan pendopo, orang tua itu tertegun, Keadaan di sana tetap sunyi senyap, Tidak ada seorang pun yang ada di sana, Tidak terdengar suara apa pun, juga suara langkah kaki orang yang sedang berlari. Kalau toh ada suara yang masuk, hanyalah suara angin yang membawa tampiasan air hujan, Hawa dalam ruangan itu menjadi dingin sekali. Siau Po sampai menggigil seluruh tubuhnya, dia bermaksud berteriak tapi tidak berani. Suasana mencekam di sekitarnya membuat hatinya takut.
Braakkk! Tiba-tiba terdengar suara menggabruk. Rupanya pintu pendopo itu tertutup sendiri karena hembusan angin yang kencang, Keduanya terdiam, mata mereka membelalak tapi otak mereka bekerja. Dalam hati mereka menduga-duga Suara siapakah yang terdengar tadi? Dari mana datangnya? Dan ke mana orangnya menghilang? Pikiran Siau Po sendiri ikut melayang-layang.
-- Ah! Aku tahu sekarang Setan hanya menganggu orang dewasa, tidak mengganggu anak kecil -- hiburnya sendiri Atau... sudah banyak manusia yang mereka makan sehingga perut mereka sudah kenyang, Aih! Yang penting hari cepat pagi... - Sekonyong-konyong berhembus lagi angin yang dingin tadi Lilin dalan ruangan itu sampai padam sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Siau Po ketakutan sehingga dia menjerit-jeri, tiba-tiba dalam ruangan itu bertambah lagi satu setan...
Dalam pandangan Siau Po, setan itu berdiri tepat di depannya. Ruangan itu memang gelap dan tubuh setan itu bagai sesosok bayangan hitam.
"Eh, jangan... jangan kau ganggu aku!" katanya gugup, "A... ku sendiri juga sudah menjadi setan seperti engkau, Kita adalah orang sendiri.... Tak ada gunanya kau...."
"Jangan takut!" kata setan itu dengan nada dingin, "Aku tidak akan mengganggumu." Terdengar jelas bahwa suara itu ke luar dari mulut seorang wanita, Mendengar suara itu, hati Siau Po menjadi agak tenang.
"Kau sudah mengatakan tidak akan menggangguku, aku yakin kau akan memegang janjimu." kata Siau Po.
"Seorang yang gagah harus menjaga ucapannya, Kalau kau sampai mengganggu artinya kaulah yang setan...."
"Aku bukan setan, aku juga bukan segala macam orang gagah." kata wanita itu, "Aku ingin bertanya kepadamu, di kerajaan, Go Pay yang berpangkat tinggi itu, apakah benar-benar mati di tanganmu?"
"Benarkah kau bukan setan?" tanya Siau Po tanpa menjawab pertanyaan wanita itu.
"Kau musuh Go Pay atau sahabatnya?" Dibalas dengan pertanyaan sedemikian rupa, wanita itu tidak memberikan jawabannya. Itulah sebabnya Siau Po menjadi ragu lagi Benarkah dia bukan setan? Kalau dia musuh Go Pay, paling baik memang berterus terang, tapi kalau dia sahabatnya Go Pay, jiwanya bisa terancam bahaya, otaknya bekerja keras memikirkan langkah yang harus diambilnya.
- Aih! Sudahlah! --, pikirnya lebih jauh, -- Biar, aku pertaruhkan nyawaku, Kalau dugaanku benar, dia tentu akan menganggap aku sebagai seoran pahlawan, Sebaliknya, kalau aku salah, paling-paling selembar nyawaku ini akan melayang di tangan nya. --
Dengan membawa pikiran demikian, dia segera berkata dengan suara lantang.
"Memang benar Lohulah yang membunuh Go Pay. Apa yang kau inginkan? Dengan satu tikaman di perutnya, lohu mengirim dia pulang ke alam baka, Rohnya langsung menghadap Raja Akherat, Kau ingin membalaskan dendamnya? Silahkan! Kalau lohu sampai mengernyitkan kening sedikit saja, aku bukannya seorang eng hiong atau hohan." Wanita itu tidak menjawab, dia malah bertanya ragu, suaranya masih dingin seperti sebelumnya.
"Mengapa kau membunuh Go Pay?" Kembali pikiran Siau Po bergerak dengan cepat, -- Kalau kau memang sahabat Go Pay, biar pun aku timpakan kesalahan pada Sri Baginda, tidak ada gunanya juga, kau pasti tidak akan mengampuni aku. Kalau kau musuhnya, hm.... - Dengan membawa pikiran demikian, dia segera menjawab dengan berani.
"Go Pay mengangkangi pemerintahan tidak terhitung banyaknya rakyat yang mati gara-gara dia. Oleh karena itu, meskipun aku masih muda sekali, aku sangat membencinya. Kebetulan sekali dia berbuat kesalahan terhadap Sri Baginda, maka aku menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. Seorang laki-laki, berani berbuat, berani pula bertanggung jawab, Aku akan mengatakan terus terang kepadamu, walaupun seandainya Go Pay tidak berbuat kesalahan terhadap raja, aku tetap akan mencari kesempatan untuk membunuhnya, Demi membalaskan sakit hati rakyat." Apa yang diucapkan Siau Po sebenarnya hanya meniru kata-kata para anggota Ceng Bok Tong. Untuk membunuh Go Pay, dia mendapat perintah dari raja, Apa yang terjadi berlainan dengan ceritanya.
Mendengar keterangan Siau Po, untuk sesaat wanita itu membungkam, jantung Siau Po berdegup-degup, hatinya bertanya-tanya, Dia sebetulnya musuh atau sahabat Go Pay? Dugaannya tepat atau salah? Sesaat kemudian terasa ada angin yang berhembus lewat, tampak wanita itu, entah setan atau bukan, melesat ke luar dari kamar itu. Siau Po berusaha menggerakkan tubuhnya, di terkejut setengah mati, ternyata dia tidak bisa berkutik sedikit pun. Rupanya wanita itu telah menotoknya. Celaka! pikirnya dalam hati, Sekarang, setelah ditinggal sendirian, Siau Po dapat berpikir dengan tenang, Dia yakin wanita itu bukan setan, melain kan seorang manusia seperti dirinya, Tiba-tiba serangkum angin menghembus kembali, tubuhnya menggigil kedinginan sebab pakaiannya belum kering sama sekali.
Ketika hatinya dilanda kegelisahan dan kebingungan, tiba-tiba ia melihat sinar api yang sedang menuju ke arahnya dengan perlahan-lahan Dia segera memperhatikan dengan seksama, Hati nya tercekat.
"Setan jangkung! Setan jangkung!" serunya lirih. Dia berdiam diri dan menatap ke arah api itu lekat-lekat. Semakin lama api itu semakin mendekat, cahayanya tidak terlalu tajam, hatinya menjadi agak lega, Ternyata hanya sebuah lentera yang ditenteng oleh seorang perempuan atau setan bergaun putih Meskipun demikian, cepat-cepat dia merapatkan kedua matanya, dia tidak berani memperhatikan terlalu lama. Meskipun sepasang matanya telah dipejamkan tapi telinganya masih dapat mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat dan akhirnya berhenti tepat di depannya, jantung Siau Po berdegup semakin kencang.
Tiba-tiba Siau Po mendengar suara tawa seorang gadis yang kemudian bertanya kepadanya.
"Eh, kenapa kau memejamkan matamu?" Suara itu halus dan merdu.
"Jangan kau takut-takuti diriku!" kata Siau Po dengan suara gemetar "Aku tidak berani melihat ke arahmu." Setan perempuan itu kembali tertawa.
"Apakah kau takut melihat darah mengalir dari hidung dan mataku? Atau kau takut melihat lidahku yang menjulur ke luar?" tanyanya, "Cobalah beranikan dirimu melihat aku sebentar saja...!"
"Aku tidak akan kena diperdayakan olehmu!" teriak Siau Po.
"Pasti rambutmu riap-riapan dan wajahmu penuh dengan noda darah, apanya yang bagus dilihat?" Setan perempuan itu tertawa geli. Tiba-tiba dia meniup Siau Po. Mula-mula Siau Po terkejut, kemudian dia merasa angin yang timbul dari hembusan mulut perempuan itu terasa hangat sebagaimana umumnya ke luar dari mulut manusia, Hidungnya juga mencium bau harum yang tipis, ia merasa heran, karena itu dia membuka matanya sedikit untuk mengintip. Apa yang dilihatnya? Wajah penuh noda dengan rambut panjang beriap-riap? Tidak! Justru kebalikannya, Dia melihat selembar wajah putih halus, alis bak bulan sabit dan bibir yang mungil Wajah yang cantik dan penuh dengan senyuman yang manis. Siau Po mengintip lagi. Dia membuka sepasang matanya lebar-lebar. sekarang dia dapat melihat dengan tegas, bahwa yang di pikirnya sebagai setan perempuan, ternyata seorang nona cilik yang wajahnya manis sekali Siau Po menduga usianya paling banter empat belas atau lima belas tahunan, wajahnya cantik, Rambutnya digelung menjadi dua. Nona itu sedang menatapnya dengan bibir tersenyum.
Bagian 33
"Kau benar-benar bukan hantu?" tanyanya kemudian. Nona itu tertawa.
"Aku setan." sahutnya, "Setan yang menggantung diri." Siau Po memperhatikannya kembali dengan seksama, Nona itu tertawa lagi dan berkata.
"Kau sanggup membunuh seorang penjahat, dapat dikatakan nyalimu besar sekali, Mengapa kau justru takut menghadapi setan yang mati menggantung diri? Mengapa nyalimu jadi begitu kecil?" Siau Po menarik nafas untuk melegakan hatinya.
"Aku tidak takut pada manusia, Aku hanya takut kepada setan." Lagi-lagi nona itu tertawa geli.
"Kau tahu jalan darah mana pada tubuhmu yang tertotok?" tanyanya.
"Mana aku tahu?" sahut Siau Po. Nona muda itu menekan bahu Siau Po beberapa kali, kemudian menepuk pinggangnya sebanyak tiga kali. Setelah itu, Siau Po dapat menggerakkan kaki dan tangannya kembali Dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Hatinya senang sekali sehingga dia tertawa lebar.
"Rupanya kau pandai ilmu menotok, bagus!" katanya.
"Belum lama aku mempelajarinya," sahut si nona, "Malah hari ini baru pertama kali aku mempraktekkannya." Sembari berkata, nona itu menekan lagi ketiak Siau Po dan pinggangnya sehingga bocah itu berjingkrakan karena kegelian.
"Jangan! Jangan!" katanya sembari tertawa geli. Kedua kakinya juga sudah dapat bergerak dengan leluasa.
"Kau menggetitiki aku sampai aku kegelian." katanya, "Sekarang aku akan membalas menggelitikmu." Dia benar-benar melangkah maju mendekati nona itu. Gadis cilik itu melangkah mundur dan menjulurkan lidahnya, Dia bermaksud menyaru sebagai setan untuk menakut-nakuti Siau Po, tapi dia gagal. Tampangnya justru lucu sekali, dan menarik hati, Siau Po menjulurkan tangannya untuk menarik lidah gadis itu, tapi gadis itu menghindarkan diri, dia tertawa.
"Nah, kau sekarang tidak takut lagi pada setan gantung diri!"
"Kau mempunyai bayangan dan hawa yang ke luar dari mulutmu terasa hangat." kata Siau Po.
"Jadi kau manusia biasa, bukan setan?" Nona itu memperhatikannya lekat-lekat.
"Aku kuntilanak, bukan setan biasa." katanya. Siau Po tertegun Dia memperhatikan gadis itu, wajahnya cantik, halus dan kulitnya mulus.
"Bukan!" katanya, "Kuntilanak tidak bisa berbicara dan kakinya tidak dapat ditekuk." Nona itu tertawa.
"Kalau begitu, aku siluman musang." katanya kembali. Siau Po juga tertawa.
"Aku tidak takut siluman musang." katanya, Tapi dalam hati ia sempat ragu, - Benarkah dia siluman musang? --, diam-diam dia berjalan ke belakang nona itu dan memperhatikan pinggulnya. Kembali nona itu tertawa.
"Aku adalah siluman musang yang sudah berusia seribu tahun, ilmuku sudah mencapai kesempurnaan karenanya aku tidak mempunyai ekor lagi." katanya. Siau Po tersenyum.
"Kalau aku dipermainkan oleh siluman musang secantik engkau, mati pun aku tidak menyesal." Wajah si nona menjadi merah padam. Dia menjadi jengah, "Ah, kau genit" katanya, "Tadi kau takut setan, sekarang kau malah jadi nakal." Siau Po memang takut terhadap setan penasaran atau kuntilanak, tapi dia tidak begitu takut kepada siluman musang. Sebaliknya, dia suka sekali terhadap nona cilik yang baru dikenalnya ini. Dia mendapat kenyataan bahwa nona ini lebih menarik dari pada Kiam Peng atau pun Pui Ie. Rasanya dia langsung saja akrab dengannya.
"Nona, siapakah namamu?"
"Namaku Song Ji." sahut nona itu, Song artinya sepasang.
"Bagus!" kata Siau Po.
"Tapi, sepasang kaki yang harum atau sepasang kaos kaki yang bau?" Si nona tidak marah, malah tertawa.
"Kaki yang harum atau kaos kaki yang bau, sama saja." katanya, "Terserah engkau sendiri! Tapi Kui kong kong, pakaianmu basah kuyup, pasti tidak enak dikenakan silahkan kau pergi ke sana untuk mengeringkannya, Tapi kami mempunyai sedikit kesulitan di sini."
"Apa itu?" tanya Siau Po,
"Kami tidak mempunyai pakaian laki-laki." sahut Song Ji. Hati Siau Po kembali terkejut.
- Ah, -- serunya dalam hati. - Apakah rumah ini benar-benar dihuni oleh setan perempuan semua? -- Tentu saja Song Ji tidak dapat menduga jalan pikirannya, Dia segera mengangkat lenteranya tinggi-tinggi.
"Silahkan masuk!" katanya. Siau Po berdiri dengan tegak. Hatinya meras bimbang. Nona itu terus berjalan, sampai di ambang pintu, dia menoleh dan tersenyum.
"Kalau kau memakai baju perempuan, tentu kau takut ketimpa sial, bukan?" katanya.
"Kala tidak, begini saja. Kau naik ke atas tempat tidur dan tunggu di balik selimut mengeringkan pakaian bukan pekerjaan yang memakan waktu lama." Siau Po merasa gadis cilik itu baik sekali dan sarannya juga bagus, Dia tidak bisa menolaknya dia akhirnya dia masuk ke dalam kamar.
"Bagaimana dengan kawan-kawanku yang lain ke mana mereka semuanya?" tanya Siau Po. Song Ji melambatkan langkah kakinya agar mereka bisa berjalan berdampingan.
"Sam nay nay telah berpesan kepadaku agar aku tidak berbicara terlalu banyak denganmu." katanya "Kau sabarlah sebentar, setelah kau mengisi perut nanti Sam nay nay sendiri yang akan mengatakannya kepadamu." Siau Po menganggukkan kepalanya, Memang dia sudah lapar sekali. ingin sekali dia mengisi perutnya dengan makanan Dia juga tidak menanyakan siapa yang dipanggil Sam nay nay itu. Dialah nyonya ketiga yang pernah bertemu dengannya tadi. Song Ji mengajak Siau Po menelusuri sebuah koridor panjang yang gelap, Mereka sampai di dalam sebuah kamar. Di sana mula-mula Song Ji menyulut sebatang lilin,
Tampak kamar itu diperlengkapi dengan sederhana, Hanya ada sebuah meja dan sebuah tempat tidur, Semua terlihat bersih, Tempat tidurnya juga sudah dipasang sprei serta kelambu. Sambil menyingkapkan kelambu, Song Ji berkata.
"Kui siangkong, mari Naiklah ke atas pembaringan setelah itu kau lemparkan pakaianmu kepadaku!" Siau Po sekarang sudah percaya penuh terhadap si nona, dia menurut Dia segera naik ke atas tempat tidur kemudian menurunkan kelambunya, Dia membuka
pakaiannya dan melemparkannya kepada si nona, Dia sendiri menarik sehelai selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Aku akan pergi mencari makanan untukmu sekalian Kau suka makan bacang yang manis atau yang asin?" tanya Song Ji sambil menerima pakaian Siau Po dan berjalan ke arah pintu. Siau Po tertawa.
"Aku sedang kelaparan, makan yang mana pun boleh." sahutnya, "Mungkin bacang tanah lempungpun aku bisa makan saat ini." Nona itu tertawa geli mendengar kata-kata Siau Po. Dia langsung meninggalkan kamar itu. Siau Po tidak perlu menunggu terlalu lama. Sekejap kemudian, hidungnya sudah mencium bau harum daging yang lezat, Song Ji muncul di pintu kamar dan membawa sebuah nampan di tangannya, Dia segera mendekati tempat tidur dan menyingkap kelambunya. Siau Po melihat ada empat buah bacang yang sudah dibuka pembungkusnya, Bukan main senang nya hati si bocah. Segera dia menyambar sumpit dari atas nampan dan digunakan untuk menyumpit bacang itu. Tanpa menunda lebih lama lagi dia segera memasukkan bacang itu ke dalam mulutnya, Di mengunyah dengan cepat, terasa bacang itu lezat sekali.
"Song Ji," katanya setelah menikmati setengah dari bacang itu.
"Bacang ini enak sekali seperti bacang Ouw Ciu." Memang, kalau bicara soal bacang, bacang dari Ouw Ciu Ciat Kanglah yang paling terkenal. Yang-ciu ada orang yang menjual bacang seperti itu. Para tamu yang berpelesir di Li Cun Wan sering menyuruh Siau Po membelinya. Bacang itu terbungkus rapat, tapi setiap kali disuruh, dia mengorek ujungnya untuk mencoba rasanya. Selama tinggal di utara, dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencicipinya lagi. Song Ji heran mendengar kata-kata bocah itu.
"Ah! Rupanya kau kenal juga makanan lezat!" katanya.
"Bagaimana kau bisa tahu ini bacang dari Ouw Ciu?"
"Ah! Jadi ini benar-benar bacang dari Ouw Ciu?" serunya sembari mengunyah "Di tempat ini, di mana bisa membeli bacang seperti ini?"
"Bukannya boleh beli." kata Song Ji tertawa geli Dia merasa bocah itu jenaka sekali "Bacang ini buatan siluman musang." Siau Po pun tertawa.
"Benar-benar seorang siluman musang pandai memasak!" Tiba-tiba dia ingat tingkah Ciong samya, karena itu dia segera menambahkan "Usianya sama seperti usia langit." Song Ji ikut tertawa, Tapi dia segera berkata.
"Nah, kau makanlah perlahan-lahan, aku akan mengeringkan pakaianmu.,,." Dia baru berjalan satu langkah ketika menoleh kembali memandang Siau Po.
"Apakah kau merasa takut?" Rasa takut Siau Po memang sudah berkurang setengahnya.
"Asal kau lekas kembali!" katanya, "Baikl" sahut Song Ji. Dia langsung meninggalkan kamar itu. Siau Po makan bacang dengan perlahan-lahan. Tidak lama kemudian dia mendengar suara langkah kaki, dia mengintai Ternyata si nona telah kembali dengan sebuah setrikaan yang sudah diisi bara arang untuk menyetrika pakaiannya, Dengan demikian, si nona bisa bekerja sembari menemaninya, Dari keempat bacang itu, ada dua yang rasanya manis dan dua lagi rasanya asin, Siau Po menghabiskan tiga biji.
"Apakah kau yang membungkus sendiri bacang ini?" tanyanya setelah kenyang makan.
"Sam nay nay yang membuat bumbunya, aku hanya membantu." sahut Song Ji. Siau Po dapat mengenali aksen nona itu seperti aksen orang Kang Lam. Karena itu dia segera bertanya.
"Apakah kau berasal dari Ouw Ciu?" Song Ji agak ragu menjawab pertanyaan itu, "pakaianmu hampir kering," katanya kemudian. "Sebentar lagi kalau kau bertemu dengan Sam na nay, kau bisa menanyakan kepadanya sendiri sama saja bukan?" Suara itu lembut dan kata-katanya sopan sekali.
"Tentu saja boleh." kata Siau Po cepat.
"Mengapa tidak?" ia menyingkapkan kelambunya dan memperhatikan gadis cilik itu bekerja. Song Ji mengangkat wajahnya dan menoleh. Dia memandang Siau Po seraya tersenyum manis Kemudian dia berkata dengan suara penuh perhatian.
"Kau tidak berpakaian hati-hati masuk angin" Tiba-tiba kambuh lagi penyakit Siau Po yang suka menggoda orang itu, Dia tertawa dan berkata.
"Kalau aku melompat ke luar, meskipun tanpa berpakaian, aku tidak akan masuk angin...." Nona itu terkejut sekali mendengar ucapan Siau Po, dia segera menundukkan kepalanya, kemudian dia melirik sedikit, akhirnya dia tertawa geli, Siau Po tidak melompat turun, tapi dia justru menutup seluruh tubuhnya dari atas kepala sampai ke ujung kaki dengan selimut. Sekejap saja, pekerjaan nona itu sudah selesai Dia membawa pakaian Siau Po ke tempat tidur dan menyodorkannya ke dalam kelambu.
"Cepat kau berpakaian!" katanya. Siau Po menurut Setelah dia mengenakan bajunya kembali, Song Ji membantu mengancinginya, Kemudian dia mengambil sisir.
"Sini! Aku jalin kembali kuncirmu yang sudah kusut itu!" katanya sekali lagi. Siau Po senang sekali Dia membiarkan rambutnya disisir lalu dikepang. Selama itu dia dapat mencium bau harum tubuh seorang gadis.
"0h.... Rupanya siluman musang mempunyai hati yang demikian baik! Kalau semuanya seperti engkau, tentu aku tidak perlu merasa takut lagi." Song Ji tertawa perlahan.
"Kau menyebut-nyebut siluman musang, sungguh tidak enak didengar." katanya.
"Aku toh bukan siluman musang!"
"Oh ya? Kalau kau bukan siluman musang, tentu kau seorang dewi yang agung." kata Siau Po.
"Aku juga bukan dewi." sahut Song Ji tertawa.
"Aku hanya seorang budak cilik."
"Aku seorang thay kam kecil dan kau seorang budak cilik." kata Siau Po.
"Kalau begitu, kita sama-sama bekerja melayani orang, kita benar-benar merupakan pasangan yang cocok."
"Tetapi kita tidak dapat disamakan." sahut Song Ji.
"Kau melayani seorang raja dan aku hanya melayani seorang nyonya, perbedaan kita bagai bumi dan langit." Sementara itu, Song Ji sudah selesai mengepang rambut Siau Po. ia berkata kembali.
"Aku tidak biasa mengepang rambut seorang laki-laki, entah ada kesalahan atau tidak?" Siau Po menarik kuncirnya ke depan kemudia melihatnya sekilas.
"Bagus!" pujinya, "Sebenarnya, aku paling segan menguncir rambutku sendiri Lebih baik lagi kalau kau dapat membantu aku menjalin rambut setiap pagi."
"Aku tidak mempunyai rejeki melayani sian kong." kata Song ji.
"Kau seorang pahlawan besar. Hari ini aku mendapat kesempatan menguncir rambutmu, berarti peruntunganku sudah bagus sekali."
"Aih! jangan suka merendahkan diri sendiri" kata Siau Po.
"Kau seorang gadis yang cantik dan baik hati, Kau mau menjalin rambutku, meskipun hanya satu kali, berarti peruntungankulah yang bagus." Wajah si nona menjadi merah saking jengahnya.
"Aku bicara yang sesungguhnya, mengapa kau justru menggoda aku?"
"Tidak, tidak!" kata Siau Po cepat.
"Aku juga bicara setulus hati." Song Ji tersenyum.
"Sam nay nay berpesan," katanya kemudian, "Kalau Kui siang kong tidak keberatan, nay nay mengundangmu duduk di ruangan belakang."
"Bagus!" kata Siau Po.
"Tapi, apakah sam siau ya (Tuan nomor tiga) mu tidak ada di rumah?" Mendengar pertanyaan itu, Song Ji mengeluarkan seruan tertahan yang perlahan.
"Oh! Sam siau ya sudah menutup mata." katanya. Tiba-tiba saja serangkum perasaan dingin menyelinap dalam hati Siau Po. Dia ingat di dalam rumah itu terdapat banyak meja abu. Tapi dia tidak berani menanyakan apa-apa. Setelah mengiakan, dia mengikuti nona itu menuju ruangan dalam. Mereka tiba di sebuah aula yang tidak seberapa besar Di sana dia dipersilahkan duduk oleh si nona cilik yang langsung menyuguhkan secangkir teh hangat untuknya. Beberapa menit kemudian, terdengarlah suara langkah kaki yang ringan, Lalu disusul dengan munculnya seorang wanita bergaun putih sebagai tanda bahwa dia sedang berkabung.
"Ah, Kui kong kong tentu sudah letih sekali dalam perjalanan." katanya ketika sampai di dalam aula kecil itu. Dia juga menjura dengan sikap yang hormat sekali. Siau Po cepat-cepat berdiri dan membalas penghormatan si nyonya.
"Maaf, cayhe tidak pantas mendapat kehormatan yang semakin tinggi." katanya.
"Kui kong kong, silahkan duduk!" ujar nyonya muda itu.
"Terima kasih!" kata Siau Po. Dia melihat usia nyonya itu paling banter dua puluh lima tahunan. Tanpa memakai bedak pun, wajahnya sudah putih sekali, bahkan menjurus kepucat-pucatan, Kedua matanya merah, hal ini membuktikan bahwa dia baru saja menangis, Di bawah cahaya lentera, tampak bayangan tubuh nyonya muda itu.
-- Dia bukan setan! --, pikir Siau Po dalam hati, Meskipun demikian, ketika duduk, hatinya merasa kurang tenang juga, Dia segera berkata, "Terima kasih atas bacang yang disediakan Nyonya, bacang itu benar-benar lezat."
"Aku tidak berani menerima panggilan itu, Ku kong kong," kata wanita itu, "Suamiku almarhum she Cung. Sudah berapa lamakah Kui kong kon tinggal dalam istana?" Mendengar pertanyaan itu, Siau Po berpikir dalam hatinya.
- Dalam kegelapan tadi ada seorang wanita yang bertanya kepadaku tentang urusan Go Pay, aku telah mengaku terus terang bahwa akulah yang membunuhnya, Kemudian budak Song Ji dititahkan untuk menemui aku dan mengantarkan bacang untuk mengisi perut. Perlakuannya pun ramah, Ternyata dugaanku tidak salah sedikit pun. Karena mendapat pikiran itu, dia segera menjawab, "Baru sekitar dua tahun."
"Kong kong, apakah kau bersedia menceritakan kepadaku lebih jelas jalannya kejadian ketika kau membunuh pengkhianat Go Pay itu?" tanya si nyonya muda kembali. Hati Siau Po tenang mendengar nyonya muda ini menyebut Go Pay sebagai si pengkhianat, karena itu pula dia mau memberikan keterangan yang selengkapnya, Yakni bagaimana raja menitahkan-nya menawan Go Pay, tapi orang itu mengadakan perlawanan Karena itulah para thay-kam yang lainnya segera turun tangan sehingga orang itu berhasil dibekuk dan dibunuh, Mula-mula ia menyiram matanya dengan abu. Dia menutupi urusan kaisar Kong Hi yang ikut mengeroyok. Nyonya Cung mendengarkan dengan penuh perhatian hanya sekali-kali dia mengeluarkan seruan kagum dan heran ketika Siau Po menceritakan bagaimana dia menghempaskan abu ke mata Go Pay, Padahal Siau Po mengisahkannya dengan cara mengikuti lagak si tukang cerita yang sering didengarnya sehingga menarik sekali. Peristiwa itu memang dialaminya sendiri sehingga dapat dimengerti kalau dia dapat menuturkannya dengan baik.
"Kalau demikian, cerita yang tersebar di luaran tidak sepenuhnya benar." kata nyonya Cung.
"Menurut apa yang kudengar, ilmu silat Kui kong kong tinggi sekali, Kong kong telah melayani Go Pay sampai tiga ratus jurus, lalu dengan sebuah tipu jurus yang lihay, akhirnya Kui kong kong baru berhasil menaklukkannya. Memang aneh kalau mengingat Go Pay adalah jago nomor satu bagi bangsa Boan Ciu, tapi ternyata dia bisa dikalahkan dengan mudah. Padahal usia Kui kong kong masih demikian muda, biarpun kepandaian Kong kong lebih tinggi sepuluh kali lipat dari sekarang, tidak mudah juga bagi kong kong untuk merobohkannya." Siau Po tertawa lebar, Kemudian dia berkata.
"Kalau kami berhadapan secara biasa, mungkin seratus orang Siau Kui cu sekali pun belum tentu sanggup membekuknya."
"Lalu, bagaimana si jahanam Go Pay itu sampa menemui kematiannya?" tanya Nyonya Cung, Kembali benak Siau Po bekerja.
- Sudah terang nyonya ini bukan siluman atau setan perempuan, dia pasti seorang tokoh dunia kang ouw yang kepandaiannya tinggi sekali, Kalau aku menyebut nama Tian Te hwe, mungkin akan membawa manfaat baik bagiku, -- Karena itulah Siau Po menjelaskan lebih jauh bahwa raja menyuruhnya menyelidiki perihal Go Pay. Bagaimana kebetulan pihak Tian Te hwe juga mengirim orang-orangnya menyerbu ke dalam istana Kong Cin ong, Tadinya dia menyangka komplotan itu merupakan orang-orangnya Go Pay. Dia menceritakan bagaimana dia menyelundup ke dalam istana dan akhirnya berhasil membunuh Go Pay.
"Kemudian aku baru tahu bahwa komplotan itu juga memusuhi Go Pay dan merupakan anggota-anggota Tian Te hwe, Ketika mengetahui aku telah berhasil membunuh Go Pay, mereka merasa bersyukur sekali sebab orang itu sudah banyak menyebabkan penderitaan bagi rakyat Dan boleh dikatakan aku juga telah membantu mereka membalaskan sakit hati." Nyonya Cung itu menganggukkan kepalanya.
"Jadi, itulah sebabnya Kui kong kong diterima menjadi murid Tan Cong tocu dari Tian Te hwe serta diangkat pula menjadi ketua dari bagian Ceng Bok Tong." katanya.
-- Aih! --, dalam hatinya Siau Po mengeluh, --ternyata urusan apa pun telah kau ketahui, tapi kau masih menanyakannya juga, - Meskipun demikian, dia segera berkata, "Semua itu hanya kebetulan saja, sebenarnya aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa.
Dan aku menjadi ketua bagian Ceng Bok Tong sebetulnya hanya menyandang sebuah nama saja."
Dengan berani Siau Po mengatakan hal itu, meskipun dia belum jelas di pihak manakah si nyonya itu berada. Nyonya Cung berdiam diri sekian lama, Akhirnya dia baru berkata kembali.
"Kui kong kong, ketika kau menyerang Go Pay tempo hari, jurus apakah yang kau gunakan? Dapatkah kong kong menunjukkannya kepadaku?" Siau Po memperhatikan wajah wanita itu sejenak, dia melihat mata Nyonya Cung itu menyorotkan sinar yang tajam sekali, Diam-diam dia berpikir dalam hati.
- Nyonya ini agak aneh, Dia seakan mengerti ilmu sesat, Apabila aku mengoceh sembarangan mungkin dia akan mengetahuinya, Mungkin ada baiknya aku berterus terang saja. -- Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po segera berdiri.
"Sebetulnya seranganku itu tidak patut dianggap sebagai jurus silat." katanya, Dia segera mengerakkan kedua tangannya dan menambahkan "Karena kaget dan bingung, aku menyerangnya secara sembarangan saja. Begini...." Nyonya muda itu menganggukkan kepalanya..
"Kong kong, silahkan duduk kembali!" katanya Kemudian dia menghampiri budaknya, "Eh, Song Ji mengapa kau tidak mengeluarkan kembang gula Kui Hoa tong buatan kita?" Tanpa menunggu jawaban si gadis cilik, ia segera membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam.
-- Dia ingin menghadiahkan kembang gula untukku, tentu dia tidak mengandung niat jahat, --pikir Siau Po dalam hati, Dia hanya mengangguk sedikit ketika nyonya itu meninggalkannya, Namun sesaat kemudian, sebuah ingatan melintas dalam benaknya,
-- Benarkah dia hendak menyuguhkan kembang gula untukku? Bagaimana kalau dalam kembang gula itu dicampur cacing atau binatang serangga lainnya? - sementara itu, Song Ji segera melaksanakan perintah nyonyanya, Dia masuk ke dalam dan sebentar kemudian sudah kembali lagi dengan membawa sebuah nampan di tangan, Di atas nampan itu tampak beberapa macam kembang gula, Dengan bibir menyunggingkan senyuman dia berkata.
"Kui kong kong, silahkan!" Siau Po mengiyakan sampai berkali-kali, tapi tidak menjulurkan tangannya untuk mengambil kembang gula itu. Di dalam hati dia berkata. -- Biar bagaimana, aku tidak boleh rakus. celaka kalau segala macam belatung menari-nari dalam perutku, -- Siau Po hanya berharap agar fajar cepat-cepat menyingsing Lewat sekian lama, Siau Po merasa aneh, Dia mendengar suara berkibarnya ujung pakaian, kemudian secara samar-samar dia mendapatkan banyak pasang mata yang mengintai ke arah nya. Apa yang diinginkan orang-orang itu?
Tepat disaat Siau Po sedang menduga-duga, tiba-tiba dari belakang jendela dia mendengar suara seorang wanita yang usianya pasti tidak muda lagi.
"Kui kongkong, kau telah berhasil membunuh Go Pay, Kau telah membalaskan sakit hati kami yang sedalam lautan, Budimu besar sekali, bagaimana kami harus membalasnya?" Menyusul kata-kata itu, daun jendela pun terpentang lebar-lebar. Di sana tampak berpuluh-puluh wanita yang mengenakan pakaian serba putih sedang menjatuhkan diri berlutut ke arahnya.
"Ah!" seru Siau Po terkejut, Cepat-cepat dia membalas penghormatan itu. Para wanita itu berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya menyembah, dan Siau Po terpaksa mengangguk-angguk juga untuk membalas penghormatan mereka. Setelah saling menyembah, daun jendela mendadak tertutup kembali lalu disusul dengan terdengarnya suara wanita tua tadi, "ln kong (tuan penolong), janganlah In kong memakai banyak peradatan, kami tidak pantas menerima penghormatan In kong itu."
Setelah wanita itu selesai bicara, terdengarlah isak tangis para wanita lainnya, Siau Po merasa heran dipanggil In kong yakni tuan penolong, Diam diam dia merasa bulu romanya meremang, Kemudian suara isak tangis itu semakin kecil dan akhirnya lenyap, rupanya para wanita itu sudah pergi jauh Siau Po merasa dirinya seperti baru terjaga dari mimpi.
- Arwah-arwah siapakah sebenarnya yang kulihat tadi? -, tanyanya kepada dirinya sendiri. Tidak lama kemudian, ketika Siau Po masih termangu-mangu, Nyonya Cung dan Song Ji telah muncul kembali.
"Kui siangkong, aku harap kau jangan heran atau bingung." kata nyonya ketiga itu, "Mereka-mereka yang tinggal di sini, semuanya merupakan korban-korban keganasan Go Pay semasa hidupnya. Mereka berasal dari keluarga orang-orang gagah dan pecinta negara, Rata-rata mereka sudah tidak bersuami, dan si manusia jahat Go Pay itulah yang mencelakai itulah sebabnya mereka datang kemari untuk menyampaikan rasa terima kasih dan bersyukur karena Kui siangkong telah membalaskan sakit hati mereka."
"Kalau begitu," tanya Siau Po yang masih juga merasa bingung, "Apakah Cung samya juga telah menjadi korban keganasan Go Pay?" Yang di maksud dengan Cung samya, sudah pasti almarhum suami Sam nay nay itu. Nyonya Cung menundukkan kepalanya.
"Benar!" katanya dengan suara lirih dan wajahnya menunjukkan perasaan duka yang dalam.
"Di sini, boleh dibilang setiap hari kami menangis sampai mengeluarkan air mata darah memikirkan sakit hati yang belum terbalaskan. Kami benar-benar tidak menyangka si penjahat besar itu akhirnya mati di tangan Kui siangkong dalam waktu yang begitu cepat."
"Sebenarnya aku tidak berjasa apa-apa." kata Siau Po merendah "Boleh dibilang aku berhasil membunuh Go Pay hanya karena kebetulan saja, Kalau benar-benar ingin melakukannya, tentu tidak begitu mudah." Pada saat itu Song Ji yang membawa sebuah buntalan di tangannya segera meletakkannya di atas meja, Siau Po mengenali buntalan itu sebagai miliknya. Terdengar Nyonya Cung berkata kembali.
"Kui siangkong, kau telah berjasa kepada kami, Budimu besar sekali Sudah selayaknya apabila kami melayanimu sebaik-baiknya, Tapi kami yang tinggal di sini, semuanya kaum wanita dan sudah menjadi janda pula, Dengan demikian, banyak sekali kekurangan pada diri kami, Karena itu, setelah kami berunding, kami mengambil keputusan untuk menghadiahkan sedikit barang bingkisan sebagai tanda terima kasih kami terhadap Kui siangkong. Namun dalam hal ini, kami juga menemui sedikit kesulitan, Apa yang harus kami berikan, kalau dilihat dari isi buntalan Kui siangkong, terang kau sudah tidak membutuhkan apa-apa. Dan kami yang merupakan orang-orang desa, mana mempunyai barang berharga untuk diberikan Mengenai kitab ilmu silat dan yang lainnya, Kui siangkong juga tidak membutuhkan karena sudah memiliki seorang guru yang kepandaiannya tinggi seperti Tan congtocu dari Tian Te hwe. Dengan kitab yang siangkong miliki, asal siangkong bisa memahaminya serta giat berlatih, mungkin siangkong bisa menjadi seorang jago tanpa tandingan. Setidaknya lebih dari cukup bagi kong kong kalau hanya untuk membela diri, itulah sebabnya, kami benar-benar bingung bingkisan apa yang harus kami berikan kepada siang-kong...." Siau Po merasa terharu mendengar kata-kata Nyonya Cung, sekarang dia sudah mengerti semuanya.
"Sudahlah, jangan kalian berlaku sungkan!" katanya kemudian, "Bagiku sendiri, sudah lebih dari cukup apabila Sam nay nay bersedia mengatakan di mana kawan-kawanku berada sekarang."
Nyonya Cung merenung sejenak sebelum menjawab "Inkong sudah menanyakan perihal mereka, sesungguhnya tidak berani kami menutupinya." sahut wanita itu, "Hanya ada satu hal yang memberatkan kami, yakni apabila inkong mengetahuinya, maka hanya kerugianlah yang akan inkong dapatkan Maka dari itu, kami hanya menjelaskan secara singkat Mereka adalah sahabat-sahabat In-kong, karena itu kami akan melakukan apa saja agar tidak terjadi apa-apa pada diri mereka itu. Nanti, apabila saatnya sudah sampai, kami akan berusaha agar mereka dapat bertemu lagi dengan inkong."
Mendapat jawaban yang luar biasa itu, Siau Po jadi berpikir ia menganggap sebaiknya dia turuti saja kata-kata wanita itu, Nyonya ini pasti dapat dipercaya, Karena itu dia menganggukkan kepalanya dan matanya menatap ke arah jendela.
- Aih! Hari belum terang juga... -- pikirnya dalam hati, Tampaknya nyonya Cung mengerti apa yang dipikirkan Siau Po.
"lnkong, ke mana tujuan inkong besok?" tanyanya.
"Siau Po berpikir dengan cepat, -- Dia pasti sudah mendengarkan pembicaraanku dengan Ciong losam, tidak mungkin lagi aku membohonginya.... Maka dia segera menjawab, "Aku hendak pergi ke gunung Ngo tay san di propinsi Shoa say."
"Dari sini ke Ngo Tay san bukan perjalanan yang dekat," kata si nyonya, "Dan melakukan perjalanan seorang diri lebih banyak bahayanya, Oleh karena itu, aku berniat menghadiahkan sesuatu kepada inkong dan harap inkong jangan menolaknya." Siau Po tertawa.
"Kalau orang menghadiahkan sesuatu dengan niat baik, mana mungkin aku bisa menolaknya." sahutnya.
"Bagus!" kata Nyonya Cung, Kemudian dia menunjuk kepada Song Ji. "Budak Song Ji ini sudah mengikuti aku sejak lama, sekarang aku hendak menghadiahkannya kepada inkong, Aku harap inkong sudi mengajaknya agar dalam perjalanan ada orang yang mengurus dan melayanimu" Siau Po tidak menyangka akan mendapat hadiah yang demikian. Hatinya terkejut berbareng senang, Sejak pertama bertemu, dia memang sudah menyukai budak ini, Dengan mempunyai seorang pelayan, dia jadi tidak perlu repot-repot, Tapi perjalanan menuju gunung Ngo Tay san cukup jauh, Malah bisa berbahaya, apakah tidak menyulitkan apabila dia membawa gadis cilik itu turut serta dengannya?
"Nyonya..." katanya kemudian, "Aku senang sekali nyonya menghadiahkan Song Ji kepadaku, untuk itu, terlebih dahulu aku mengucapkan terima kasih, tapi...." Song Ji menundukkan kepalanya, namun ekor matanya melirik ke arah Siau Po. wajahnya tampak merah padam saking jengahnya.
"Apakah yang menjadi kesulitanmu, inkong?" tanya Nyonya Cung.
"Aku pergi ke gunung Ngo Tay san untuk menyelesaikan sebuah tugas yang tidak mudah." sahut Siau Po. "Oleh karena itu, aku khawatir diriku jadi kurang leluasa..."
"Kalau hanya itu yang menjadikan keberatan di hati inkong, tidak perlu inkong memusingkannya." kata Nyonya Cung pula, "Meskipun usia Song Ji masih kecil, tapi dia sudah pandai bekerja, Otaknya cerdas dan orangnya lincah, Tidak mungkin dia merepotkan inkong atau menimbulkan kesulitan apa-apa. Mengenai hal ini, sebaiknya inkong tenangkan hati!" Siau Po menoleh kepada Song Ji.
"Song Ji." tanyanya langsung kepada si gadis cilik itu, "Apakah kau bersedia ikut denganku?"
"Sam nay nay telah memerintahkan agar aku mengikuti siangkong supaya dapat memberikan pelayanan." sahut Song Ji.
"Sudah tentu aku harus menuruti perintah itu."
"Bukan begitu." kata Siau Po yang ingin mendapatkan ketegasan "Yang penting kau sendiri apakah kau bersedia atau tidak, Aku khawatir banyak kesulitan yang akan kita temui dan kita hadapi.."
"Aku tidak takut terhadap kesulitan apa pun." sahut si nona cilik tegas.
"Kau baru menjawab pertanyaanku yang kedua tapi yang pertama belum kau jawab." kata Siau Po.
"Kau memang tidak takut bahaya karena Sam nay nay telah menghadiahkan kau untukku, Tapi kau belum mengatakan apakah kau sendiri bersedia ikut denganku atau tidak."
"Kami hanyalah para budak, mana mungkin ada kata untuk menyatakan pikiran kami." sahut Song Ji.
"Siangkong mengajukan pertanyaan seperti ini, artinya siangkong sangat memperhatikan diriku, Nyonya menyuruh aku melayani siangkong, apa pun akan kulakukan agar aku dapat melaksanakan tugasku itu dengan sebaik-baiknya, Kalau siangkong bersikap baik kepadaku berarti nasibku memang baik pula, Sebaliknya, apabila siangkong bersikap buruk kepadaku, artinya nasibku memang buruk...." Mendapat jawaban seperti itu, Siau Po jadi tertawa.
"Sudah pasti nasibmu baik, aku tidak akan membiarkan kau menderita." katanya. Song Ji tersenyum tersipu-sipu. Dalam hatinya dia bersyukur.
"Song Ji.,." terdengar Nyonya Cung berkata pula, "Berilah hormat kepada Kui siangkong dan ucapkan terima kasih. selanjutnya kau merupakan orangnya sendiri." Song Ji mengangkat wajahnya, sepasang matanya tampak merah, Dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Nyonya Cung dan menangis terisak-isak.
"Nyonya... aku... aku... " Dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya karena tenggorokannya serasa tersendat. Nyonya Cung mengusap-usap kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Kui siangkong muda dan gagah, Namanya juga sudah terkenal sekali." katanya, "Kau harus melayaninya baik-baik! Barusan Kui siangkong telah menjanjikan bahwa dia akan memperlakukanmu baik-baik."
"Baik, Nyonya!" sahut Song Ji yang langsung memutar tubuhnya dan berlutut kepada Siau Po.
"Sudah, jangan sungkan-sungkan!" kata Siau Po yang memegang tangan Song Ji dan membangunkannya, Kemudian dia membuka buntalannya dan mengeluarkan seuntai kalung mutiara, Sembari tertawa dia menyerahkan kepada Song Ji.
"Nah, inilah hadiah dariku untuk pertemuan kita yang pertama ini!" Setidaknya mutiara itu berharga empat atau lima ribu tail perak, Kalau dengan harga itu orang ingin membeli budak, maka dia bisa mendapatka beberapa puluh orang. Song Ji menerima dengan kedua tangannya.
"Terima kasih, siangkong!" katanya, Kemudian dia langsung mengenakan mutiara itu di lehernya yang putih, Meskipun dia mengenakan pakaian yang kasar, tapi mutiara itu tetap demikian bercahaya dan membuat wajahnya semakin cantik dan manis.
Nyonya Cung memperhatikan sambil tersenyum. Kemudian dia bertanya kepada Siau Po.
"lnkong, kau hendak menuju gunung Ngo Tay san, bagaimana caramu melakukan tugas di sana, secara terang-terangan atau dirahasiakan?"
"Tentu saja secara rahasia." sahut Siau Po.
"Kalau begitu, sebaiknya inkong bertindak hati-hati dan waspada!" pesan nyonya itu. Di gunung Ngo Tay san, banyak kuil yang terpecah dalam beberapa golongan hijau dan kuning, Di sana juga berdiam orang-orang yang biasa mendapat sebutan harimau tidur atau naga bersembunyi...."
"Aku mengerti." sahut Siau Po.
"Terima kasih atas nasehat Nyonya!" Nyonya Cung segera berdiri.
"Nah, inkong, selamat jalan dan sampai bertemu lagi!" katanya, "Maaf, aku tidak mengantar lebih jauh." Kemudian dia menoleh kepada budak-nya dan berkata.
"Song Ji, begitu kau ke luar dari pintu rumah ini, kau bukan lagi orang keluarga Cung, karena itu, selanjutnya, apa pun yang kau lakukan dan kau ucapkan, tidak ada sangkut pautnya lagi dengan aku, majikan lamamu. Andaikata di luar rumahku ini, kau berani bertindak sembarangan atau main gila, keluarga Cung kita tidak bisa melindungimu lagi" Kata-kata itu diucapkan dengan nada serius dan penuh wibawa.
"Iya!" sahut Song Ji sembari menganggukkan kepalanya. Nyonya rumah itu menoleh kembali kepada Siau Po dan menjura dalam-dalam kemudian membalikkan tubuhnya masuk ke dalam, Siau Po cepat-cepat membalas penghormatan itu lalu memperhatikan nyonya itu pergi. Tidak lama kemudian, pada kertas jendela tampak sinar keputihan, itu tanda sang fajar telah menyingsing Song Ji segera masuk ke dalam untuk mengambil perbekalannya, lalu dia mengambil buntalan Siau Po yang digondolnya menjadi satu.
"Mari kita berangkat!" ajak Siau Po.
"Baik!" sahut nona cilik yang menundukka kepalanya, Tampaknya dia bersedih karena harus meninggalkan rumah yang dihuninya sejak keci Dia juga berduka meninggalkan Nyonya Cung yang telah memperlakukannya dengan baik sekali. Siau Po ke luar dari pintu gerbang dan si nona cilik mengikutinya, Hujan deras sudah lama berhenti tapi air di daerah pegunungan itu masih mengalir dengan cepat. Suaranya terdengar jelas dan berkumandang di mana-mana. Setelah berjalan beberapa tindak, Siau Po menoleh ke belakang, ke arah rumah yang baru saja ditinggalkannya, Dia melihat kabut melayang-layang di depan rumah. Dan dalam waktu yang singkat, seluruh rumah itu tidak tampak lagi karena tertutup kabut yang tebal.
"Aih!" Terdengar bocah itu menarik nafas dalam-dalam.
"Pengalaman tadi malam benar-benar seperti sebuah impian, Song Ji, apa maksud kata-kata terakhir nyonya Cung kepadamu tadi?"
"Sam nay nay menekankan kepadaku, bahwa selanjutnya aku harus melayanimu. Karena itu, segala perbuatanku maupun kata-kata yang kuucapkan tidak ada sangkutannya lagi dengan keluarga Cung."
"Lalu, bagaimana dengan kawan-kawanku sekalian? Ke mana perginya mereka itu? Dapatkah kau memberikan keterangan kepadaku?" tanya Siau Po kembali. Ditanya sedemikian rupa, Song Ji jadi tertegun.
"Kawan-kawan siangkong itu telah ditawan oleh pihak Sin Liong kau." sahutnya selang sejenak, "Tapi nay nay telah berjanji akan berusaha menolong mereka."
"Apakah majikanmu itu pandai ilmu silat?"
"Iya, Bahkan kepandaiannya hebat sekali." sahut Song Ji. Siau Po menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Tubuhnya kelihatan begitu lemah sehingga akan roboh bila tertiup angin yang agak kencang saja, Bagaimana dia bisa berkepandaian tinggi? Dan seandainya dia benar-benar pandai, mengapa Sam siauya bisa terbunuh di tangan Go Pay?" tanya Siau Po tidak mengerti.
"Disaat tuan besar dan tuan ketiga dan yang lainnya terbunuh, jumlah keseluruhannya mungkin ada puluhan jiwa, mereka semua tidak ada yang mengerti ilmu silat," kata Song Ji menjelaskan "Para laki-laki dibawa ke Kota Pe King untuk dihukum mati dan kaum wanitanya dibuang ke Ningkuta untuk dijadikan budak, untunglah di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang tuan penolong, para pengiring yang akan membawa mereka untuk dibuang, berhasil dibunuh dan para perempuan desa kami dibebaskan kemudian dibawa dan ditempatkan di rumah besar tadi, Bahkan Sam nay nay diajar ilmu silat oleh tuan penolongnya..."
Mendengar keterangan itu, Siau Po baru mengerti persoalan yang sebenarnya. Pada saat itu cuaca sudah cerah sekali Matahari telah memperlihatkan kejayaannya di ufuk timur Hujan besar sepanjang malam seakan dedaunan tampak lebih hijau dan pemandangan lebih segar. Hampir saja Siau Po percaya bahwa yang ditemuinya tadi malam adalah para hantu perempuan.
"Di dalam salah satu kamar di rumah Nyonya Cung itu, terdapat banyak meja abu dan abu jenasah." kata Siau Po kemudian "Apakah semua itu abu jenasah dari tuan-tuan tua dan muda kalian?"
"Benar." sahut Song Ji. "Kami tinggal di dalam gunung, Kami tidak pernah berhubungan dengan orang luar. Karena itu, apabila ada orang dusun yang ingin tahu dan datang melongok, kami tidak menghiraukannya, Mula-mula memang ada beberapa orang dusun yang datang dan melihat-lihat tapi mereka kabur sendiri setelah melihat banyak meja abu dalam kamar Kalau ada yang lebih nekat dan ingin mencari tahu, kami pun menyamar sebagai hantu untuk menakut-nakuti mereka agar tidak berani kembali lagi, itulah sebabnya rumah itu kemudian dikenal sebagai rumah hantu dan selama satu tahun belakangan ini, tidak ada orang yang berani menginjakkan kakinya di rumah itu. Di luar dugaan kami, siangkong dan rombongan kalian datang tadi malam Nay nay segera berpesan, sakit hati belum terbalaskan, maka segala sesuatu yang menyangkut diri kita harus dirahasiakan Karena itulah nama-nama di atas meja abu segera disingkirkan katanya tidak baik kalau nama-nama itu sampai diketahui pihak luar."
"Mungkin itulah sebabnya kalian menawan orang-orangku dan juga anggota Sin Liong kau?" tanya Siau Po. Song Ji menganggukkan kepalanya.
"Ketika tadi malam siangkong menanyakan urusan ini kepadaku, aku tidak berani memberikan jawabannya." sahut gadis cilik itu, "Tapi tadi Nay nay telah mengatakan bahwa selanjutnya aku harus melayani dan mengurusi Kui siangkong, karena itu, tidak ada halangannya apabila sekarang aku berkata terus terang." Senang sekali hati Siau Po mendengar kata-kata gadis itu.
"Kau benar!" katanya, "Sekarang aku juga ingin berterus-terang kepadamu. Namaku yang sebenarnya Wi Siau Po dan Kui kong kong itu hanya samaran belaka, Karena itu, sekarang kau adalah orang keluarga Wi, bukan keluarga Kui." Song Ji sendiri senang mendengar keterangan itu.
"Siangkong telah memberitahukan kepadaku she dan nama yang sebenarnya, hal ini membuat aku benar-benar bersyukur ini berarti siangkong percaya penuh kepadaku dan aku berjanji tidak akan membocorkan rahasia siangkong ini." Siau Po tertawa.
"Sebetulnya, nama asliku ini juga bukan suatu yang harus dirahasiakan." Katanya menjelaskan pula.
"Diantara saudara-saudaraku dalam perkumpulan Tian Te hwe, hampir sebagian besar telah mengetahuinya."
"Beberapa orang kawan siangkong itu mula-mula kena diringkus oleh orang-orang Sin Liong kau. Sam nay nay mengetahui hal tersebut dan mengintip jalannya pertarungan Beliau mendapatkan bahwa orang-orang Sin Liong kau memang hebat sekali, Mereka pandai ilmu menjampi...."
"Iya, mereka memang pandai membaca-baca mantera," kata Siau Po sambil tertawa.
"Bunyi manteranya begini Ang kaucu memiliki kepandaian yang luar biasa, Usianya sama dengan usia langit Aku sendiri juga pandai membaca mantera seperti itu..."
"Menurut Sam nay nay, mula-mula dia merasa heran, mengapa setelah menjampi tenaga mereka berubah menjadi semakin kuat Nay nay mengintai dan memasang mata dari luar jendela. Setelah itu nay nay mengambil tindakan Dia menyuruh orang memadamkan api dan kemudian menggunakan jala untuk membekuk mereka."
"Bagus!" Puji Siau Po sembari menepuk paha-nya.
"Tentunya menarik sekali membekuk orang dengan menggunakan jala!"
"Menurut Sam nay nay, sebetulnya kepandaian Ciong losam dan yang lainnya biasa-biasa saja." kata Song Ji yang ikut tertawa, "Di belakang gunung kami ada sebuah telaga besar Diwaktu malam hari kami biasa pergi menjala ke telaga, Ketika masih tinggal di Ouw Ciu, rumah kami juga dekat dengan telaga. Bahkan telaga Thay Ouw yang terkenal sekali, Kami mempunyai banyak perahu yang kami sewakan kepada para nelayan. Nay nay sering memperhatikan bagaimana mereka menebarkan jalanya kemudian dia mempelajarinya."
"Jadi kalian benar-benar orang Ouw Ciu!" kata Siau Po. "Pantas saja bacang buatan kalian lezat sekali! Sekarang coba kau jelaskan lebih terperinci bagaimana duduknya persoalan sehingga Sam siauya kena ditawan dan dibunuh oleh Go Pay?"
"Menurut Sam nay nay, urusan ini menyangkut perkara Bun ji yok." kata Song Ji menjelaskan.
"Bun cu jiok?" seru Siau Po menegaskan.
"Aneh sekali, Masa nyamuk mempunyai daging?" Bun Cu jiok artinya daging nyamuk. Sebetulnya yang dikatakan Song Ji adalah Bun ji yok yakni pelanggaran karena tulisan yang menentang pemerintahan. Jadi ada hubungannya dengan politik, tapi Siau Po yang tidak pernah sekolah mana mungkin mengerti. Dia hanya mengambil kesimpulan dari bunyi lafal yang didengarnya.
"Bukan Bun cu jiok, tapi Bun ji yok." kata Son Ji menjelaskan "Toa siauya kami adalah seorang yang terpelajar Setelah matanya menjadi buta, di menulis sebuah buku yang isinya mencaci maki bangsa Boan Ciu...."
"Hebat betul!" puji Siau Po.
"Sudah buta saja masih bisa menulis karangan, sedangkan aku yang tidak buta, kalau membaca surat malah aku tidak mengenalinya, Rupanya aku ini yang dinamaka buta melek!" Song Ji tersenyum, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Menurut Sam nay nay, jamannya tidak tentu jaman sekarang ini, lebih baik orang buta huruf, dalam rumah kami, setiap orang, baik yang tua maupun yang muda, asalkan kaum pria semuanya berpendidikan tinggi Dan setiap tulisan yang mereka hasilkan,
tidak ada yang tidak terkenal. Tapi justru karena karangannya itu pula, mereka menjadi celaka, Yang laki-laki dihukum mati dan yang perempuan harus dibuang ke Ningkuta untuk dijadikan budak, Tapi, meskipun demikian, Nyonya tetap mengatakan bahwa karena adanya larangan dari pemerintah Boan Ciu yang tidak mengijinkan siapa pun membuat karangan, kita justru harus belajar ilmu sastra lebih giat Dengan demikian, niat pemerintah Boan Ciu yang hendak mengekang kita dan menjadikan kita sebagai bangsa yang bodoh tidak tercapai."
"Bagaimana dengan engkau sendiri?" tanya Siau Po. "Apakah kau juga mengerti ilmu surat dan bisa membuat karangan?" Song Ji tersenyum manis.
"Aih! Siangkong memang pandai bergurau," katanya, "Sebagai seorang budak kecil, mana mungkin aku bisa membuat karangan? Sam nay nay memang mengajari aku ilmu membaca dan menulis, tapi aku baru mempelajari tujuh delapan jilid buku saja."
"Ah!" Siau Po mengeluarkan seruan tertahan "Kalau begitu, kau lebih hebat dibandingkan aku. Kau sudah mempelajari tujuh delapan jilid buku, sedangkan aku hanya mengenal tujuh delapan huruf saja!" Kembali Song Ji tertawa.
"Siangkong tidak mengerti ilmu sastra karena itulah Nyonya menyukaimu" katanya pula, "Menurut Nyonya, hanya anak yang mencelakai keluarganya saja yang belajar ilmu sastra sekarang ini."
"Menurut pandanganku si jahanam Go Pay itu tidak mengerti ilmu sastra." kata Siau Po.
"Jangan-jangan semua perbuatannya hanya merupakan hasutan dari orang-orang yang pandai mengambil muka saja!"
"Memang benar." sahut Song Ji.
"Kitab yang dikarang Toa siauya kami berjudul Beng Si, yakni hikayat kerajaan Beng, Di dalamnya terdapat tulisan yang mencaci maki bangsa Boan Ciu. Konon di kerajaan ada seorang manusia busuk bernama Gou Ci Eng, dia membawa kitab itu dan diserahkannya kepada Go Pay. Dialah yang melaporkan apa yang tersirat di dalam kitab itu, sehingga malapetaka pun terjadi, Beberapa ratus jiwa menjadi korban, Dan penjual buku sampai pembeli dan pembacanya di tangkap, Mereka ditawan kemudian dipenggal kepalanya, Siangkong, selama di kota raja, apakah kau pernah mendengar nama Gouw Ci Eng itu?"
"Tidak, aku belum pernah mendengar nama orang itu apalagi bertemu dengannya." sahut Sia Po.
"Perlahan-lahan saja kita cari dia nanti, Akhir nya pasti akan kita temukan, Eh, Song Ji... aku hendak menukar kau dengan seseorang." Si nona cilik terkejut setengah mati Dia langsung mengangkat wajahnya dan memperhatikan Siau Po lekat-lekat.
"Kau hendak mempersembahkan aku kepada orang lain?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Bukan dipersembahkan tapi ditukar dirimu dengan seorang lainnya." kata Siau Po membetulkan. Nona cilik itu masih menatapnya tajam, Mata-nya merah, hampir saja dia menangis.
"Ditukar dengan seseorang?" tanyanya tidak mengerti "Bagaimana caranya?"
"Begini." kata Siau Po menjelaskan "Sam nay nay menghadiahkan kau untukku. Karena itu aku hendak membalas budinya dengan cara yang sama. Sebab budi seperti ini memang sulit dibalasnya, Sekarang, setelah mendengar ceritamu, aku mungkin bisa mendapat kesempatan. Aku akan berusaha membekuk Gouw Ci Eng untuk dipersembahkan kepada Sam nay nay. Dengan demikian, bukankah aku telah membalas budi kebaikannya?" Mendengar penjelasan Siau Po, hati Song Ji menjadi lega, Dari hampir menangis, dia menjadi tertawa gembira.
"Aih, kau membuat aku terkejut saja!" katanya, Tadinya aku mengira siangkong tidak menyukai aku lagi." Hati Siau Po senang sekali, Dia tersenyum.
"Kalau aku tidak menyukaimu, kau langsung saja menjadi bingung." katanya.
"Sudahlah, kau tidak perlu khawatir Tenangkan saja hatimu. Biar-pun orang meletakkan gunung emas di hadapanku, tidak akan aku menukarnya dengan dirimu." Selagi berbicara, mereka sudah berjalan sampai di kaki bukit Udara tampak cerah sekali, Memang demikianlah halnya kalau habis turun hujan deras, Dunia seakan baru berganti rupa, Suasana jadi berbeda jauh dibandingkan ketika mereka sampai di rumah Nyonya Cung yang disebut rumah hantu. Untuk sejenak, Siau Po sempat merenung dan mengerti mengapa keluarga Cung demikian membenci bangsa Boan Ciu. Dia juga memikirkan rombongan Ci Tian Coan yang tentunya berada di tempat yang berbahaya sekali. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di sebuai pasar, Siau Po segera mencari kedai mi. Mereka masuk ke dalam dan Siau Po langsung duduk di sebuah kursi, Song Ji juga ikut masuk, tapi dia hanya berdiri disamping Siau Po. Melihat sikap gadis cilik itu, Siau Po tertawa.
"Jangan kau sungkan-sungkan!" katanya.
"Mari duduk di sini, kita makan bersama-sama!"
"Tidak bisa!" sahut Song Ji.
"Aku hanya seorang budak, mana boleh aku duduk semeja denganmu Tidak ada aturannya!"
"Perduli amat dengan segala peraturan!" kata Siau Po.
"Kalau aku bilang boleh, tentu saja boleh. Lagipula, kalau kau harus menunggu sampai aku selesai makan, kau baru makan, berapa banyak waktu yang harus tersia-sia karenanya?"
"Bukan begitu, siangkong!" sahut Song Ji. Dia menyadari sekali kedudukannya sebagai seoran budak, "Setelah siangkong selesai makan, kita boleh langsung berangkat Bagiku tidak jadi masalah, aku bisa membeli beberapa biji bakpao dan makan sembari melakukan perjalanan Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang waktu, bukan?" Siau Po menatap Song Ji kemudian menarik nafas panjang.
"Aku mempunyai kebiasaan yang aneh, Kalau aku makan sendirian, perutku ini langsung ngadat, Kalau aku makan tanpa ditemani, sebentar lagi perutku pasti mulas dan sakit sekali." Song Ji tertawa, Terpaksa dia menarik sebuah bangku dan duduk di ujung meja. Siau Po segera memakan minya, Baru dia menyumpit tiga kali, tampak beberapa orang Ihama (pendeta-pendeta yang beragama Buddha di Tibet) memasuki kedai itu dan langsung duduk di meja yang dekat dengan jalan besar.
"Cepat sediakan mi untuk kami! Cepat!" teriak seorang pendeta dengan suara nyaring. sedangkan pendeta yang satu lagi memperhatikan kalung mutiara di leher Song Ji. Kalung itu memang menarik perhatian karena ukurannya besar-besar dan cahayanya menyilaukan mata, Pendeta itu menyikut kawannya yang ketiga dan orang itu pun ikut memperhatikan -- Celaka! -- Keluh Siau Po dalam hati, Dia dapat menduga gerak-gerik orang yang mencurigakan Tanpa menunda waktu lagi dia memanggil pelayan kedai itu dan diberikannya uang sebanyak satu tail serta minta dicarikan kereta yang besar. Dia menyantap minya cepat-cepat. Tidak lama kemudian, kereta pesanannya pun datang, Siau Po segera mengajak Song Ji naik kereta tersebut untuk melanjutkan perjalanan Mereka tidak berjalan kaki Kereta itu dilarikan dengan kencang. Baru menempuh beberapa li perjalanan dari bagian belakang sudah terdengar derap langkah kaki kuda, Mendengar suara itu, Siau Po segera menolehkan wajahnya dan
tampak ketiga pendeta Ihama tadi sedang menghambur ke arah mereka dengan kudanya masing-masing.
"Ketiga manusia jahat itu ingin merampas kalungmu, kau berikan saja." katanya kepada Song Ji "Nanti aku belikan lagi yang lebih besar dan lebih indah!"
"Baik!" sahut Song Ji sambil menganggukkan kepalanya.
"Berhenti! Berhenti!" Segera terdengar suara bentakan berulang-utang dari ketiga lhama tersebut.
"Kusir kereta! Berhenti!" Kusir kereta itu menurut Dia segera menahan gerakan keretanya, Siau Po dan Song Ji juga tidak melarang, Dengan demikian, dalam sekejap mata ketiga lhama tadi sudah maju melewati kereta mereka dan menghadang di depannya.
"Bocah-bocah berdua, turunlah kalian dari kereta!" Terdengar suara bentakan bengis dari salah seorang lhama itu. Siau Po membungkam, tapi dia juga tidak turun dari keretanya, Song Ji segera melepaskan kalung mutiaranya dan menyodorkan nya ke luar kereta.
"Kalian toh cuma mengincar kalung ini. Siang-kongku mengatakan agar aku menyerahkannya kepada kalian, Ambillah!" Salah seorang pendeta yang tubuhnya tinggi besar dan gemuk tidak segera menyambut kalung itu, justru dengan tangannya yang besarnya seperti kipas itu, dia menyambar tangan Song Ji kemudian ditariknya, Gerakannya gesit sekali, Tahu-tahu dia sudah mencekal kedua lengan gadis itu. Siau Po terkejut setengah mati, Dia langsung berteriak.
"Kalian mau uang? Ambillah! jangan kalian bersikap kasar!" Justru ketika dia berkaok-kaok itulah, dia melihat sesosok bayangan besar berwarna kuning berjumpalitan di tengah udara dan melesat cepat sekali.
"Sungguh kepandaian yang lihay sekali!" puji Siau Po. Dia tidak terkejut, hanya merasa kagum saja.
Bagian 34
Tapi aneh, Ihama itu bukan mendarat dengan kaki terlebih dahulu, tapi justru kepalanya yang ada di bagian bawah. Bukankah itu berarti dia akan jatuh nyungsep? Tidak ampun lagi, kepala itu amblas ke dalam tanah yang lembek dan masuk sampai sebatas dada, Yang tampak hanya bagian pinggang dan kedua kakinya yang meronta-ronta. Dari kagum, Siau Po menjadi kaget dan heran, Dia tidak mengerti tipuan apa yang dipamerkan Ihama itu... Kedua Ihama lainnya juga terkejut setengah mati, Mereka segera menerjang ke depan untuk menolong kawannya yang melesak ke dalam tanah, Ketika di angkat ke atas, tampak bagian atas tubuhnya, terutama di bagian wajah dan kepala penuh dengan lumpur hitam, Untung saja hujan deras tadi malam telah membuat tanah di daerah itu menjadi lunak, kalau tidak, kepala Ihama itu pasti sudah pecah terhantam tanah yang keras. Biar bagaimana, Siau Po jadi tertawa menyaksikan hal itu. Tapi ia ingat diri mereka yang masih dalam keadaan berbahaya, Karena itu, dia segera berkata kepada si kusir kereta.
"Kau masih belum melarikan kereta juga?" sementara itu, tangan Song Ji masih menggenggam kalung mutiaranya.
"Siangkong!" katanya kepada Siau Po.
"Apakah kalung ini tetap diberikan kepada mereka?" Belum sempat Siau Po memberikan jawaban. Kedua lhama yang membantu rekannya ke luar dari tanah berlumpur, sudah langsung saja menghunus goloknya dan menghambur ke arah kereta. Song Ji segera merebut cambuk yang dipegan kusir kereta dan dalam sekejap mata, tahu-tahu golok pendeta itu sudah terlilit dan tertarik Son Ji mengulurkan tangan kirinya dan dengan mudah dia berhasil merampas golok tersebut Sedangkan cambuk di tangan kanannya digerakkan kembali Kali ini golok pendeta yang satunya lagi ikut terlepas dari genggaman dan berhasil dirampas olehnya.
Lhama yang ketiga berdiri terpaku, Pandangan matanya menyorotkan sinar kekaguman Sesaat kemudian dia baru berteriak
"Ayo!" Tubuhnya langsung menerjang ke depan dan tahu-tahu ngusruk ke depan kereta karena cambuk Song Ji sudah melilit lehernya, sedang golok ditangannya juga ikut terampas, Hebat sekali penderitaan lhama yang satu ini. Matanya terbelalak yang kelihatan hanya bagian putihnya saja, Lidahnya menjulur ke luar karena Iilitan di lehernya ketat sekali. Kedua lhama lainnya segera bergerak, mereka menyerang dari kiri dan kanan, Tampaknya mereka hendak memberikan pertolongan kepada kawannya yang terlilit cambuk di tangan Song Ji itu, Meskipun diserang dari dua arah, Song Ji segera menyingkir dengan mencelat ke atas, Sebelah kakinya bertumpu pada atap kereta, sedangkan kakinya yang sebelah lagi menginjak kepala salah seorang lhama itu, Song Ji tidak berdiam diri Kakinya langsung terangkat naik dan mendupak kedua lhama lainnya, Mereka langsung terjungkal roboh. sementara itu, Song Ji berjumpalitan di udara, Cambuk di tangan kanannya menghajar lhama yang barusan kepalanya diinjak olehnya. Dalam sekejap mata ketiga lhama itu sudah terkulai tidak sadarkan diri di atas tanah. Siau Po dapat menyaksikan peristiwa itu dengan jelas, hatinya menjadi senang sekali sehingga dia berjingkrakan, Sebab sekarang dia baru mengerti apa yang telah terjadi.
"Oh, Song Ji!" teriaknya. Ternyata kau begitu lihay!" katanya. Nona cilik itu tersenyum, "Kepandaianku belum berarti," sahutnya, "Dasar ketiga pendeta itu saja yang tidak berguna!"
"Kalau tahu begini," kata Siau Po kembali "Tidak perlu aku merasa khawatir atau kebingungan. Barusan aku mencemaskan keselamatanmu." Selesai berkata, Siau Po melompat turun dari keretanya dan menghampiri salah seorang lhama itu kemudian mendupaknya keras-keras.
"Hei, kalian bertiga, apa pekerjaanmu?" Lhama itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, Tentu saja dia tidak bisa menjawab pertanyaan Siau Po. Song Ji juga menghampiri lhama itu kemudian menendang punggungnya, Dengan demikian si lhama itu tersadar dari pingsannya.
"Kau dengar atau tidak?" tanya nona itu.
"Siang-kong bertanya kepadamu, apakah pekerjaan kalian sebenarnya?" Pendeta itu menatap Song Ji lekat-lekat.
"Nona..." katanya.
"Apakah nona mengerti ilmu dewa?" Song Ji tersenyum.
"Cepat katakan!" bentaknya dengan suara garang.
"Apa sebenarnya pekerjaan kalian?"
"Aku,., aku." sahut si lhama dengan suara gugup.
"Kami... adalah para lhama dari kuil Bun Cu I di puncak Ngo Tay san...."
"Apanya lama-lama?" bentak Song Ji.
"tidak menanyakan engkau lama atau sebentar? Mengapa kau mengoceh yang bukan-bukan?"
"Lhama artinya pendeta Agama Buddha di Tibet." kata Siau Po menjelaskan.
"Oh, jadi kalian ini kaum pendeta?" tanya Song Ji kembali, "Kalau memang seorang pendeta, mengapa kau tidak mencukur gundul kepalamu?"
"Kami para Ihama, bukan pendeta." sahut orang yang ditanya.
"Apa? Kau masih membandel juga?" kata Song Ji yang kembali menendang pantat lhama itu. Kali ini dia menendang urat darah orang itu yang membuat dirinya seperti digigit oleh ribuan ekor semut. Tanpa dapat dipertahankan lagi, lhama itu menjerit dan mengerang karena seluruh tubuhnya terasa gatal sekali, suaranya semakin lama semakin lirih.... Kedua lhama lainnya tersadar sendiri mendengar suara erangan kawannya itu. Mereka merasa heran dan terkejut kemudian terdengar mereka berbicara dalam bahasa Tibet Setelah itu, lhama yang menderita kegatalan itu berkata kepada Song Ji.
"Nona... nona yang baik," katanya, "Kami adalah kaum pendeta, Apa pun yang nona katakan, kami akan menurutinya. Tapi, cepat... nona bebaskan jalan darahku ini...!" Song Ji tertawa.
"Apa yang nonamu katakan, tidak ada hitungannya. Apa yang benar adalah perkataannya siang-kongku ini. Nah, siangkong. Apa yang ingin kau katakan?" Siau Po merasa geli sekali, tapi dia menahan tertawanya.
"Kalian adalah orang-orang yang menyucikan diri, mengapa kalian ingin merampas milik orang lain?"
"Iya... kami memang patut mati!" kata salah seorang lhama tersebut.
"Lain kali kami tidak berani lagi..."
"Apa kalian pikir masih ada lain kali?" tanya Siau Po.
"Sekali kami katakan tidak berani, biar pun seratus tahun kemudian, artinya kami tidak berani lagi melakukan hal ini." sahut salah seorang lhama.
"Kalian bukan berdiam di dalam kuil membaca doa di sana, malah keluyuran ke mana-mana, apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Siau Po.
"Kami... kami dititah guru kami turun gunung...."
"Apakah guru kalian menitahkan kalian turun gunung untuk merampas harta benda milik orang lain?"
"Bukan.... Kami akan pergi ke Kotaraja...." Kata-kata si lhama yang gemuk jadi berhenti karena seorang rekannya memberi isyarat dengan memperdengarkan suara terbatuk-batuk.. Siau Po sangat cerdik, mendengar suara batuk batuk itu, dia segera melirik. Dia sempat melihat salah seorang lhama mengedipi kawannya dan mencegahnya bicara lebih lanjut. Tadinya Siau Po menduga pendeta itu ingin merampas kalung mutiara Song Ji sehingga dia ketakutan sebetulnya para lhama pergi ke Kerajaan bukanlah suatu hal yang aneh. Dia tahu para lhama dari Tibet sangat dihormati bangsa Boan Ciu. Kalau didalam istana ada upacara keagamaan, pasti para lhama diundang untuk membaca doa. Karena istana raja sendiri berbuat demikian tentu para pangeran dan menteri lainnya juga menirunya, Hal ini membuat para lhama di Kerajaan raja besar kepala dan sering melakukan hal-hal yang menentang hukum. Siau Po sudah berpikir untuk menyiksa para lhama itu dan memberi mereka pelajaran Setelah itu dia baru membebaskan mereka, Tidak tahunya, ia melihat tingkah laku para lhama itu yang mencurigakan. Dia menduga bahwa mengandung maksud tertentu dan bukan pergi ke Kerajaan hanya untuk membaca doa saja.
"Oh, rupanya kalian bertiga sedang bermain gila!" katanya dengan suara garang.
"Song Ji, tendang lagi mereka masing-masing satu kali, biar mereka menjerit-jerit kesakitan Setelah itu kita baru melanjutkan perjalanan!"
"Baik!" sahut Song Ji. Dia juga mencurigai gerak gerik si lhama gemuk dan segera dia menendang keras-keras. Yang diincarnya jalan darah yang tadi juga. Lhama itu kontan menjerit keras, Song Ji menghampiri lagi lhama yang menjadi korbannya tadi dan siap menendang pula, Lhama itu ketakutan setengah mati. Dia sudah merasakan penderitaannya yang hebat, karena itu, sebelum ditendang, si lhama langsung berkata.
"Jangan tendang aku, jangan tendang aku! Nanti aku akan bicara! Se... benarnya guru kami mengirim kami ke Kerajaan untuk membawa dan menyampaikan sepucuk surat...."
"Surat?"
"Iya...."
"Mana surat itu?"
"Surat itu bukan untukmu, jadi aku tidak dapat menyerahkannya kepada kalian berdua, Kalau guru kami mengetahuinya, kami pasti akan celaka, Kemungkinan kami malah akan dibunuhnya...."
"Keluarkan surat itu!" bentak Siau Po. Dia tidak menghiraukan keberatan lhama itu.
"Kalau tidak, akan kusuruh nona ini menendang lagi jalan darahmu." Siau Po berkata sambil menghampiri lhama itu, Orang itu ketakutan setengah mati. Dia tahu anak muda itu bukan hanya sekedar menggertak. Dia takut jalan darahnya ditendang lagi, Karena itu dia menjadi bingung sekali.
"Jangan tendang aku!" teriaknya panik, "Surat itu tidak ada padaku."
"Jangan banyak bicara Pokoknya, keluarkan surat itu!" Lhama itu ketakutan. Dia segera menghampiri kedua kawannya dan mengajak mereka berbicara dengan bahasa Tibet. Si lhama gemuk juga menjawab dengan bahasa yang sama, Tidak jelas apa yang mereka katakan, tapi Siau Po dapat menduga bahwa si gemuk itu melarang rekannya memberikan surat itu kepada mereka, Siau Po
menjadi sengit sekali, Dihampirinya lhama bertubuh gemuk itu kemudian didupaknya bagian belakang kepalanya dengan keras sehingga orang itu terkulai tidak sadarkan diri.
Pendeta yang ketiga dapat melihat dengan jelas semua yang terjadi di depan matanya, Dia segera merogoh kantongnya dan mengeluarkan surat yang dimaksud Surat itu terbungkus rapi dengan kertas minyak, Dengan kedua tangannya dia menyerahkan surat itu kepada Siau Po. Siau Po segera menerima surat itu dan Song Ji merogoh kantongnya sendiri mengambil sebuah gunting kecil dan digunakannya untuk membantu Siau Po membuka pembungkus surat itu. Memang benar, bungkusan itu berisi surat yang bagian luarnya terdapat dua baris huruf dalam bahasa Tibet.
"Kepada siapa surat ini ditujukan?" tanya Siau Po.
"Untuk paman guru kami." sahut lhama gemuk itu. Siau Po segera merobek amplop surat tersebut. Melihat tindakannya, kedua lhama yang masih sadar langsung mengeluarkan seruan tertahan saking bingungnya. Surat itu ditulis dengan sehelai kertas kuning. Tulisannya menggunakan bahasa Tibet, Di bawahnya ada tulisan panjang yang menggunakan tinta merah seperti hu atau
(kertas penangkal setan), Entah apa bunyinya, jangankan surat itu ditulis dalam bahasa Tibet, meskipun ditulis dalam bahasa Cina sekalipun, Siau Po juga tidak bisa membacanya. Dia segera menyerahkan surat itu kepada Song Ji. Song Ji mengulurkan tangannya menyambut surat itu, Gadis itu melihatnya dengan seksama, tapi dia juga tidak mengerti arti tulisan itu. Namun dia memang cerdas, dia segera menoleh pada si lhama yang pendek dan berkata.
"Siangkong menanyakan arti tulisan dalam surat ini. Apa bunyinya? Kalau kau berbohong, aku akan menendangmu sekali lagi, Dan kali ini, aku tidak akan membebaskan dirimu, kau akan kubiarkan dalam keadaan tertotok untuk selama-lamanya." Sembari berkata, Song Ji menyodorkan surat itu, Si Lhama menerimanya, dan melihatnya berulang kali, tapi tidak membacanya.
"Ini... ini..." katanya dengan gugup.
"Apanya yang ini... ini terus? Cepat bicara!" bentak Siau Po.
"Iya.,, iya," kata si Lhama ketakutan "Surat in berbunyi: Apa... yang kakak tanyakan tentang orang itu...." Baru berkata beberapa patah kata, kawannya yang satu lagi, bukan si gemuk, segera berbicara dengan menggunakan bahasa mereka, Tapi dia juga hanya sempat berbicara beberapa patah kata saja. Tiba-tiba Song Ji menggerakkan kakinya menendang Lhama itu. Meskipun gadis itu tidak mengerti apa yang dikatakan orang itu barusan, tapi dia yakin tujuannya pasti ingin mencegah rekannya berbicara lebih lanjut. Orang yang kena tendangan itu langsung menjerit keras dan berkaok-kaok. Dia ditendang jalan darahnya yang sama, jadi dia juga merasakan penderitaan seperti rekannya tadi. Si Lhama yang membaca isi surat itu jadi ketakutan setengah mati, wajahnya pucat pasi.
"Da... lam... surat itu dikatakan bahwa... orang yang kita cari tidak berhasil ditemukan, karena itu tentu tidak ada di gunung Ngo Tay san...." Siau Po menatap orang itu dengan pandangan tajam. Dia melihat orang itu membaca dengan tersendat-sendat dan matanya terus berputaran ke sana ke mari.
"Aku tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tapi dapat dipastikan bahwa dia sedang berdusta." pikirnya dalam hati.
"Oh, pendeta tolol, berdusta saja tidak bisa!", karena itu dia segera berkata.
"Manusia ini sedang membohongi aku."
"Hai manusia busuk!" teriak Song Ji.
"Dia benar-benar tidak boleh diampuni." Sebelah kakinya langsung diangkat dan menendang jalan darah Thia hoat si Lhama itu sehingga orang itu langsung menjerit sekeras-kerasnya.
"Kau... kau bunuhlah aku. Kakak seperguruan ku tadi sudah mengatakan apabila isi surat itu dibertahukan, maka kami bertiga akan kehilangan nyawa, Maka itu, kau bunuh saja aku!"
"Jangan perdulikan dia! Mari kita pergi!" kata Siau Po, Selesai berkata, Siau Po melompat naik ke atas keretanya, Song Ji mengikutinya. Sementara itu, si kusir benar-benar kagum. Dia telah menyaksikan semuanya, Dia tidak menyangka nona tanggung itu sanggup melawan tiga orang Lhama tersebut. Di atas kereta, Siau Po membisiki Song Ji "Di depan sana, bila kita sampai di sebuah pasar atau pun kota, kau harus mengganti pakaian untuk menyamar sebaiknya kalung mutiara itu kau simpan saja."
"Baik." sahut Song Ji.
"Bagaimana aku harus merubah dandananku?" Siau Po tertawa.
"Kau menyamar menjadi seorang bocah laki-laki!" katanya. Song Ji ikut tertawa. Kereta berjalan kurang lebih tiga puluh li dan sampailah mereka di sebuah pasar. Siau Po turun dari kereta, tidak memperpanjang sewaannya. Setelah mendapatkan penginapan dia memberi uang pada Song Ji dan menyuruhnya membeli pakaian. Nona cilik itu menurut. Tidak lama dia pergi, ternyata dia sudah kembali dengan barang belanjaannya, setibanya di dalam kamar, dia langsung berdandan Sesaat kemudian dia sudah berubah menjadi seorang Sitong atau kacung pelayan seorang sastrawan. Dengan demikian, perjalanan selanjutnya membuat Song Ji tidak lagi menarik perhatian. Namun ada satu hal yang patut disayangkan, meskipun kepandaiannya cukup tinggi, tapi pengalamannya kurang sekali Begitu pula pengetahuan umumnya. Di dalam segala hal, dia selalu menurut apa yang dikatakan Siau Po. Sebaliknya, Siau Po cerdas dan sudah cukup banyak pengalaman tapi dia lemah dalam ilmu membaca dan menulis. Pada suatu hari, tibalah mereka di tapal batas propinsi Shoa Say. Dari tempat ini, dari kecamatan Hu Peng yang masih termasuk wilayah Tit-le, mereka menuju ke barat Setelah melewati tembok besar Ban Li tiang ceng, mereka sampai di kota Liong Ki kwan. inilah jalan untuk menuju ke bagian timur dari gunung Ngo Tay san. jalannya penuh dengan bebatuan. Di sana juga terdapat banyak tebing dan puncak yang tinggi, Kemudian mereka juga mampir di kuil Yong Coan si, untuk mencari keterangan tentang kuil Ceng Liang si. Ngo Tay san luas dan lebar, Kuil Ceng liang si terdapat di antara kedua puncak Lam tay dan Tion tay. Terpisah dari kuil Yong Coan si, letak kuil Cen Liang si sendiri masih cukup jauh. Siau Po bermalam di dusun Lou Ki Cung yang terletak di sisi kuil Yong Coan si, Malam itu, selesai bersantap, dia merenungkan kembali gerak-gerik pendeta Yong Coan si yang melayaninya berbicara. Dia merasa pendeta itu kurang begitu memperhatikannya, Mungkin karena dia hanya seorang kacung yang tidak dihargai Ketika dia meminta keterangan dari si pendeta tentang jalanan menuju kuil Ceng Liang si, hwesio itu mengatakan.
"Jalanan ke sana jauh dan sulit ditempuh, Untuk apa kau pergi ke kuil Ceng Liang si...?"
- Rupanya perjalanan menuju kuil Ceng Lian si agak sulit ditempuh - Demikian pikirnya dalam hati -- Aku harus menemukan jalan keluarnya. Kalau sulit mencapai tempat itu, berarti sukar pula bagiku untuk bertemu dengan kaisar Sun Ti. -- Sembari menikmati teh hangatnya, otak Siau Po terus bekerja.
-- Dengan uang, setan pun dapat diperintah. --pikirnya kemudian - Mustahil para pendeta di kuil Yong Coan si tidak menyukai uang? Aku ingat kisah yang dituturkan tukang cerita yang ambil bagian peranan Lou Ti Cim yang naik ke puncak gunung Ngo Tay san untuk menjadi pendeta dalam kisah Sui Hu Coan. Dalam cerita itu, dikatakan dermawan Tio telah banyak menyumbangkan uang untuk kuil itu. Lou Ti Cim suka mengacau, Dengan seenaknya dia makan daging dan minum arak, tapi si pendeta tua yang menjadi gurunya tidak marah. Mungkin ada baiknya bila aku datang kembali untuk pura-pura melakukan amal Aku akan menyebarkan uang-ku di sana, kemudian aku akan menetap di kuil itu, Mustahil si pendeta tua akan memaksakan diri mengusirku? --
Siau Po sudah memikirkan rencahanya, tapi untuk melaksanakannya masih memerlukan sedikit waktu, Di tempat itu dan sekitarnya, uang goan pio seharga lima ratus tail saja sulit di tukar. Karena itu, terpaksa mereka kembali ke Hu Peng untuk
menukar uang kecil. Mereka juga membeli beberapa perangkat pakaian baru untuk menyalin dandanannya.
- Aku tidak mengerti urusan sembahyang, mungkin aku akan membuka kedokku sendiri --pikirnya lebih jauh, - sebaiknya aku belajar dulu di kuil lain.... --
Dengan membawa pikiran seperti itu, Siau Po segera menuju sebuah kuil yang terdapat di kecamatan Hu Peng. setibanya di sana dia berlutut dan menyembah di depan Pou Sat, setelah itu datang seorang pendeta yang menyodorkan buku derma kepadanya.
-- Aku ingin menderma, tapi apa yang harus kutuliskan? --, tanya Siau Po dalam hatinya, Akhir-nya dia mengeluarkan sehelai goan pio senilai lima puluh tail perak sehingga si pendeta menjadi terkejut setengah mati melihat jumlah yang demikian besar.
-- Tuan ini sungguh murah hati, jarang ada orang yang seperti ia di jaman ini -- pikir pendeta itu. Karena itu, pendeta tersebut segera mengundang Siau Po bersantap dalam kuilnya, Dia mengucapkan terima kasih dan melayani Siau Po dengan baik sekali, Dia duduk menemani dan tidak lupa memuji sang tamu yang dikatakan pasti akan mendapat berkah karena kemurahan hatinya itu. Dia mengatakan tamunya akan mendapat perlindungan dari Pou Sat dan Bodhisatwa, bila sudah dewasa kelak akan berhasil lulus dalam menempuh ujian di istana dan akan hidup bahagia bersama banyak anak cucunya. Di dalam hatinya, Siau Po tertawa geli.
-- Ya, kau boleh saja menepuk-nepuk pinggulku, -- pikirnya. - Aku toh buta huruf, mana mungkin aku lulus dalam ujian, apalagi ujian di Istana! Sama saja kau menyindir aku secara terang-terangan. -- Tapi di luarnya, dia tidak menunjukkan perasaan apa-apa, hanya bertanya.
"Lo suhu, aku berniat mengadakan upacara sembahyang besar di gunung Ngo Tay san, tapi aku tidak mengerti apa-apa tentang hal itu, Karena itu, sudilah kiranya Lo suhu memberikan petunjuknya!"
"Bagus sekali, sicu." kata si pendeta, "Tapi kuil yang memuja sang Buddha ada di mana-mana dan semuanya sama saja, Kalau hanya ingin mengadakan upacara sembahyang, sebaiknya sicu bikin di sini saja. Kuil kami dapat menyiapkan semuanya dengan sempurna. Untuk apa harus melelahkan diri ke gunung Ngo Tay san yang begitu jauh letaknya?" Siau Po segera menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa!" katanya.
"Aku harus bersembahyang di gunung Ngo Tay san, karena itulah janji yang sudah kuucapkan, sekarang begini saja, Lo suhu tolong carikan satu orang untuk menjadi pembantuku Dan tentu saja aku akan memberikan uang sebagai upahnya, ini!" Tidak kepalang tanggung, Siau Po menyodorkan uang sebanyak lima puluh tail perak, Tentu saja pendeta itu menjadi senang sekali.
"Gampang! Gampang!" katanya, Dia ingat saudara misannya yang membantu di kuil. Meskipun bukan seorang pendeta, tapi urusan mengadakan upacara sembahyang saja tidak menjadi masalah baginya. pasti dia dapat membantu tamunya ini. Karena itu, dia langsung memanggil saudara misannya untuk dipertemukan dengan tamunya itu. Saudara misannya itu bernama Le Pat. Dia pandai berbicara, Siau Po senang mendapat pembantu seperti itu, Dia langsung mengajaknya pulang ke penginapan kemudian dia mengeluarkan uang menyuruh Le Pat membelikan segala macam keperluan yang dibutuhkan.
Le Pat pandai berbelanja. Bahkan dia membeli seperangkat pakaian untuk dirinya sendiri Dia juga membelikan pakaian yang mentereng untuk Siau Po. Katanya, sebagai pengikut seorang hartawan dia harus menyesuaikan dirinya, Harga pakaiannya sendiri hanya lima tail. Alasan itu memang masuk akal Siau Po dapa menerimanya, Dia juga menyuruh Le Pat membelikan lagi beberapa perangkat pakaian untuk Song Ji.
Setelah itu bersama-sama mereka berangkat ke Liong Coan Kwan. Sesudah melintasinya mereka langsung menuju selatan, menuju Gunung Ngo Tay san. Barang-barang keperluan bersembahyang digotong oleh delapan orang kuli. Perjalanan ini melalui banyak kuil, malamnya mereka singgah di kuil Le Keng si, keesokan harinya rombongan itu menuju ke utara, Setelah sampai di kuil Kim Kok si, beberapa li di sebelah barat terletak kuil Ceng Lia si yang letaknya di puncak bukit Ceng Liang san.
Siau Po kecewa ketika melihat kuil itu, melihat keadaannya tidak berbeda dengan kuil-kuil lainnya dan jauh sekali dari bayangan Siau Po sebelumnya.
-- Kalau raja tua ingin menyucikan diri, seharusnya beliau memilih kuil yang besar dan namanya tersohor. Masa dia memilih kuil seperti itu? Pasti Hay kong kong mengoceh sembarangan Kemungkinan kaisar Sun Ti tidak berada di sini. -- pikirnya dalam hati.
Le Pat yang pertama-tama masuk ke dalam pintu gerbang kuil, Dia langsung menemui Ti Kek Ceng (Pendeta yang bertugas menyambut tamu), memberitahukan tentang kedatangan seorang hartawan besar dari Kerajaan yang ingin bersembahyang di kuil itu. Pendeta itu senang sekali, dia segera mengabarkan berita itu kepada gurunya, yakni pendeta Teng Kong yang usianya sudah lanjut, Siau Po langsung dipertemukan dengan pendeta itu, pendeta itu menanyakan maksud Siau Po mengadakan upacara sembahyang. Kembali Siau Po merasa kecewa melihat tampang si pendeta. orangnya bertubuh jangkung dan kurus kering, kedua matanya agak tertutup, seperti orang yang tidak mempunyai semangat sedikit pun. Tapi Siau Po tetap menjawab pertanyaannya.
"Aku ingin bersembahyang selama tujuh hari tujuh malam untuk arwahku dan teman-temannya yang telah meninggal dunia." Tampaknya Teng Kong merasa heran mendengar jawaban itu.
"Di Kotaraja terdapat banyak kuil yang besar, mengapa sicu justru datang ke kuil sejauh ini?" tanyanya.
"Tentu saja ada sebabnya, suhu." sahut Siau Po.
"Pada tanggal lima belas bulan yang lalu, ibuku bermimpi bertemu dengan arwah ayahku, Beliau mengatakan agar aku mengadakan upacara sembahyang di kuil Ceng Liang si, Ngo Tay san. Menurut ibuku, ayah mengatakan hal ini demi menebus dosa ayah agar mereka tidak tersiksa lebih lama dalam neraka." Siau Po hanya mengoceh sembarangan Sebab dia sendiri tidak tahu siapa ayahnya dan dia juga tidak tahu apakah ayahnya itu masih hidup atau sudah mati. Ketika memberikan jawaban, dalam hatinya dia tertawa sendiri.
"Oh, begitu rupanya." kata Teng Kong. Tapi ada satu hal yang perlu sicu ketahui, mimpi adalah sesuatu yang sulit dijelaskan. Kebanyakan orang percaya, bila di siang hari kita mengingat sesuatu terlalu dalam, maka malam hari kita akan memimpikannya,
Kita tidak dapat mempercayai sebuah mimpi begitu saja..."
"Tapi, suhu.,." kata Siau Po.
"Masih ada persoalan lainnya, Pepatah mengatakan, lebih baik percaya dari pada tidak, Karena itu, katakanlah impian ibuku itu tidak benar, toh lebih baik aku menyembahyanginya. Bagaimana kalau ternyata impian itu benar dan aku tidak menurut? Bagaimana kalau arwah ayahku di dalam neraka disiksa oleh Gu tau be bin (Mahluk-mahluk berkepala kerbau dan berwajah kuda)? Bagaimana hatiku bisa tenang? Lagipula, aku sedang melaksanakan titah ibuku yang mengatakan bahwa beliau berjodoh dengan kepala pendeta kuil Ceng Liang si. Biar bagaimana, sembahyang besar ini harus dilakukan di sini." Berkata demikian, si anak aneh ini pun berpikir dalam hatinya.
- Kalau kau memang berjodoh dengan ibuku, pergilah ke Li Cun wan di Yang-ciu dan bersenang-senang di sana... Teng Kong segera memperdengarkan suara yang kurang puas.
"Sicu, ada sesuatu hal yang sicu tidak mengerti." katanya, "Sebetulnya kuil kami ini termasuk golongan Sian Cong (Khusus menerima orang-orang yang ingin menyucikan diri), kami tidak biasa melakukan upacara sembahyangan, sembahyang seperti itu biasanya diadakan dalam kuil golongan Ceng Tou Cong. Kuil sejenis itu banyak terdapat di daerah Ngo Tay san ini. Umpamanya kuil Kim Kok si, kuil Pau Ci si, kuil Tay Hud si, dan kuil Yan Keng si. sebaiknya sicu pergi saja kesalah satu kuil tersebut. Siau Po merasa heran pendeta di Hu Peng saja memandang tinggi kuil Ceng Lang si. Di balik semua ini pasti ada sebab-musababnya, Dia mencoba meminta lagi, tapi Teng Kong tetap menolaknya. Bahkan pendeta itu bangkit dan berkata kepada pendeta yang bertugas menyambut tamu.
"Tunjukkanlah jalan pada sicu ini bagaimana mencapai kuil Kin Kok si, Maafkan lolap (panggilan seorang pendeta untuk dirinya sendiri), aku tidak dapat menemani sicu lebih lama lagi." Siau Po jadi kebingungan "Lo suhu, kalau begitu, sudilah kiranya kau menerima barang-barang yang diperlukan para pendeta di sini!" katanya, "Di dalamnya ada jubah, kopiah, serta uang yang hendak kami amalkan..."
"Terima kasih, sicu!" kata Teng Kong yang tampaknya tidak tertarik meskipun barang bawaan Siau Po banyak sekali. Siau Po benar-benar penasaran. Dia berkata kembali "Ibuku berpesan, aku harus menyerahkan barang-barang ini langsung ke tangan setiap suhu yang ada di sini. Tidak terkecuali tukang masak, tukang kebun dan yang lainnya. Semua sudah disediakan bagiannya masing-masing. Barang yang aku sedia kan cukup untuk delapan ratus orang. Kalau masih kurang, aku harus membelinya lagi...."
"Ini pun sudah cukup, sicu, malah kebanyakan. sahut si pendeta, "Jumlah pendeta di dalam kuil kami hanya empat ratus lima puluh orang, Kalau sicu tetap mendesak, baiklah, Sicu tinggalkan saja bagian untuk empat ratus lima puluh orang." Siau Po menganggukkan kepalanya, tapi dia masih berkata.
"Dapatkah Lo suhu memanggilkan semua anggota kuil agar berkumpul di sini? Dengan demikian, aku bisa menyerahkannya dengan kedua tanganku sendiri inilah pesan yang dititipkan ibuku, aku tidak berani melanggarnya." Tiba-tiba Teng Kong mengangkat kepalanya, sekilas tampak matanya menyorotkan sinar berkilau bagai kiiat, tapi hanya sekejap kemudian dia menundukkan kepalanya kembali setelah itu dia merangkapkan sepasang tangannya dan memuji Sang Buddha.
"Baiklah! Aku akan mengiringi kehendak sicu," katanya kemudian. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah ke dalam Siau Po merasa heran. Dia memperhatikan tubuh si pendeta yang tinggi dan kurus. Dia jadi mendongkol sendiri melihat sikap si pendeta itu, dia mengangkat cawan tehnya kemudian meneguknya sampai kering. Le Pat yang berdiri di belakang si bocah tanggung berkata dengan suara perlahan "Seumur hidup aku baru melihat pendeta seaneh itu. pantas saja, meskipun kuilnya besar, tapi tubuh suci Sang Bodhisatwa rusak tidak terurus!" Tidak lama kemudian, terdengar bunyi lonceng, Kemudian si Ti Kek Ceng berkata.
"Sicu, silahkan sicu masuk ke dalam!" Siau Po menganggukkan kepalanya dan langsung melangkah ke dalam. Si pendeta menjadi petunjuk jalan, setibanya di pendopo besar, para pendeta sudah berkumpul di sana, semuanya berbaris dengan rapi, Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po membagi-bagikan hadiahnya. Sembari bekerja, Siau Po memperhatikan wajah para pendeta itu satu persatu. Di dalam hatinya dia berkata: Aku tidak pernah melihat wajah raja Sun Ti, tapi dia toh ayah si raja cilik, kemungkinan tampangnya tidak sama dengan para pendeta lainnya. Atau mungkin saja ada sedikit kemiripan dengan kaisar Kong Hi... Ternyata harapan Siau Po sia-sia belaka, sampai ia selesai membagi-bagikan amalnya, tetap tidak ditemuinya orang yang dicari Bahkan yang mirip pun tidak ada. Saking kecewa, dia berkata dalam hati.
"Tapi, beliau adalah orang agung, mana mungkin dia sudi menerima hadiah seperti ini? Benar-benar sebuah rencana yang bodoh!"
Siau Po masih tetap penasaran, dia bertanya sekali lagi apakah tidak ada hwesio yang ketinggalan menerima hadiah berupa jubah dan kopiah itu.
"Semuanya sudah mendapat bagian, sicu. Dan semuanya berterima kasih sekali terhadap sicu." sahut si pendeta penyambut tamu.
"Benarkah semuanya sudah menerima hadiah?" tanya Siau Po menegaskan "Siapa tahu ada salah seorang di antaranya yang tidak sudi menerima hadiah ini?"
"Sicu bergurau!" kata pendeta itu.
"Mana mungkin ada kejadian seperti itu?"
"Orang yang sudah menyucikan diri tidak boleh berdusta." kata Siau Po.
"Kalau kau membohongi aku, setelah kau mati, di dalam neraka nanti, kau akan disiksa, lidahmu akan dibetot ke luar...." Mendengar kata-kata Siau Po, wajah pendeta itu menjadi pucat pasi, Siau Po melihat dan dapat menerka sebabnya. Karena itu dia segera berkata, "Kalau masih ada yang belum mendapatkan hadiah, lekas undang dia keluar!"
"Hanya guru kepala kami yang belum mendapatkan bagiannya." sahut si pendeta, "Tapi aku rasa sebaiknya beliau tidak usah diundang ke luar." Belum sempat Siau Po mengatakan apa-apa, tampaklah seorang pendeta menghambur ke dalam dan memberikan laporannya dengan sikap gugup.
"Suheng, di luar ada belasan Lhama yang memohon bertemu dengan ketua kita.... mereka membawa senjata, dan berulang kali mengayunkan tinjunya di depan kami. Tampaknya mereka mempunyai niat yang kurang baik." Kata-katanya yang terakhir diucapkan dengan perlahan sekali, Ti Kek Ceng itu mengernyitkan sepasang alisnya.
"Di Gunung Ngo Tay san ini, antara kuil hijau dan kuil kuning, biasanya belum pernah berhubungan." katanya, "Lalu ada apa mereka datang kemari? pergilah kau lapor kepada Hong Tio (ketua), aku akan menemui mereka."
"Maafl" katanya kepada Siau Po kemudian membalikkan tubuhnya untuk bertindak ke luar. Siau Po tertawa, sembari memandangi punggung pendeta itu dia menggumam seorang diri.
"Pasti para Lhama itu sudah datangi Meskipun demikian, Siau Po sama sekali tidak takut. Dia yakin kalau baru belasan Lhama, Song Ji pasti sanggup menghadapinya. Dari arah pintu gerbang segera terdengar suara yang bising, disusul dengan masuknya serombongan orang ke dalam pendopo besar tersebut.
"Mari kita lihat keramaian!" ajak Siau Po. Setibanya di ruang pendopo besar, mereka melihat belasan Lhama sedang mengerumuni di Ti Kek ceng dan berbicara dengan suara yang berisik.
"Tidak bisa tidak! pokoknya kuil ini harus digeledah!" kata salah seorang pendeta yang berasal dari Tibet itu, "Ada orang yang melihat dia masuk ke dalam kuil Ceng Liang si ini."
"Dalam urusan ini, kalianlah yang tidak benar, Tegur Lhama lainnya, "Apakah kalian menyembunyikan orang itu?"
"Sebaiknya kalian serahkan saja orang itu!" kata Lhama yang ketiga, "Kalau tidak, awas!" Siau Po berjalan ke samping pendopo otaknya bekerja, -- Lohu berada di sini, majulah kalian ke mari! --, katanya dalam hati, Tapi tidak ada seorang pendeta pun yang memperdulikannya, Mereka hanya menuding Ti Kek Ceng dengan tuduhan-tuduhan. Tidak lama kemudian, ke luarlah Teng Kong, si kepala pendeta, ia melangkah dengan perlahan.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada sabar.
"Harap Hong Tio ketahui...." Kata-katanya segera terhenti sebab belasan Lhama itu sudah menghampiri Teng Kong dengan posisi mengurung.
"Apakah kau yang menjadi kepala pendeta di sini?" tanya mereka, "Bagus!"
"Lekas serahkan orang itu kepada kami!" bentak Lhama yang kedua.
"Kalau kau tidak bersedia, akan kami bakar kuil ini sampai rata menjadi tanah!"
"Gila! Benar-benar perbuatan gila!" teriak Lhama yang ketiga.
"Apakah setelah menjadi pendeta, orang boleh berbohong?" bentak Lhama yang keempat.
"Para suheng sekalian," kata Teng Kong yang masih bisa menenangkan hatinya, "Lolap mohon tanya, sebenarnya suheng sekalian berasal dari kuil mana dan apa maksudnya datang ke tempat kami ini?" Dia benar-benar pantas menjadi kepala para hwesio di Ceng Liang si, sikapnya penyabar, dia tidak memperdulikan sikap orang yang kasar dan tidak sopan, bahkan dia memanggil mereka suheng (Kakak seperguruan, dalam hal ini mengenai agama) Seorang Lhama yang mengenakan pakaian kuning serta jubah merah segera ke depan dan menjawab.
"Kami datang dari Tibet, Kami sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Buddha Hidup untuk menyelesaikan suatu urusan penting di wilayah Tionggoan, kami datang ke mari untuk mencari seorang hwesio bajingan, sebab dia telah menculik seorang Lhama cilik kami dan disembunyikannya dalam kuil kalian ini. Karena itu, Hong tio cepat kau keluarkan Lhama cilik kami itu. Kalau tidak, kami tidak akan menyudahi urusannya begitu mudah!"
"Urusan ini aneh sekali!" seru Teng Kong.
"Kami dari pihak rumah suci Sian Cong yang putih bersih, selamanya tidak ada hubungan apa pun dengan pihak Bit Cong kalian dari Tibet, Karena itu kalau kalian kehilangan seorang Lhama, mengapa tidak mencarinya di kuil kalian sendiri?" Mendadak si Lhama menjadi gusar.
"Ada orang yang melihat bahwa Lhama cilik kami itu berada di kuil Ceng Liang si ini." katanya.
"Itulah sebabnya mengapa kami datang ke mari dan menanyakannya! Kalau tidak, kalian kira kami kekurangan pekerjaan sehingga
sengaja mencari keributan di sini? Kalau kau tahu diri, cepat kau serahkan anggota cilik kami itu, Dengan demikian taruh kata kami tidak menaruh hormat pada para pendeta di sini, kami tetap akan memandang wajah suci Sang Bodhisatwa dan tidak akan menarik panjang urusan ini." Teng Kong menggelengkan kepalanya, sikapnya tetap sabar.
"Kalau Lhama cilik kalian memang ada dalam kuil ini, meskipun suheng sekalian tidak menanya-kannya ke mari," sahutnya, "Lolap juga tidak akan membiarkan dia berdiam di sini...."
"Sudahlah..." teriak beberapa Lhama lainnya, "Kalau memang betul apa yang kau katakan, kau pasti membiarkan kami menggeledah kuilmu ini!" Kembali Teng Kong menggelengkan kepalanya.
"Tempat ini merupakan kuil suci Sang Buddha, mana boleh sembarangan di geledah?"
"Kalau kau bukan seperti pencuri yang belum apa-apa sudah ciut hatinya, mengapa kau tidak membiarkan kami menggeledah kuil ini? Penolakanmu ini seakan membenarkan bahwa kau memang menyembunyikan Lhama cilik kami itu di kuil ini!" Kembali Teng Kong menggelengkan kepalanya. Dua orang Lhama jadi kehabisan sabar. Mereka menyambar leher jubah kepala pendeta itu dan membentak dengan suara keras.
"Kau mengijinkan kami menggeledah atau tidak?"
"Eh, Pendeta tua," tegur Lhama lainnya, "Mungkinkah kuilmu ini menyembunyikan perempuan baik-baik sehingga kau khawatir rahasiamu itu akan diketahui orang? Kalau tidak, tentu tidak ada halangan bagi kami untuk menggeledah kuil ini, bukan?" Pada saat itu, belasan murid Teng Kong juga sudah muncul di ruangan tersebut. Tapi mereka langsung dihadang para Lhama yang tidak membiarkan mereka mendekati gurunya. Song Ji memperhatikan sejak tadi. Hatinya panas sekali. Dia menganggap para Lhama itu sudah keterlaluan sedangkan Teng Kong kelewat sabar. Karena itu dia segera berbisik kepada tuan mudanya.
"Siangkong, perlukah orang-orang kasar itu diusir pergi?"
"Tunggu dulu!" sahut Siau Po.
"Sabar sebentar!" Meskipun mencegah Song Ji, tapi dalam hatinya si bocah tanggung ini berpikir -- perbuatan para Lhama ini sungguh tidak pantas. Tanpa hujan tanpa angin membuat keonaran di sini. Mana mungkin kuil ini menyembunyikan seorang Lhama cilik seperti yang mereka tuduhkan? Atau... mungkinkah maksud kedatangan mereka sebetulnya sama dengan tujuanku sendiri,
yakni mencari kaisar Sun Ti. Ketika pikirannya masih bekerja, mata Siau Po melihat berkelebatan dua titik cahaya. Ternyata ada dua orang Lhama yang sudah menghunuskan senjatanya masing-masing dan mengancam dada Te Kong.
"Kalau kau tidak mengijinkan kami menggeledah, maka kami akan membunuhmu terlebih dahulu!" Teng Kong tetap sabar, bahkan di wajahnya tidak tersirat rasa takut sedikit pun, Dia merangkapkan sepasang tangannya dan memuji nama Sang Buddha.
"Bukankah kita sama-sama murid Sang Buddha yang maha suci? Mengapa kita harus menggunakan kekerasan di antara orang-orang kita sendiri?" tanyanya. Tampaknya kedua Lhama itu tidak dapat menahan luapan emosi dalam dadanya lagi.
"Eh, pendeta tua, terpaksa kami membuat kesalahan terhadapmu!" bentak mereka sambil menikamkan goloknya ke dada Teng Kong.
Teng Kong menghindarkan diri, Kedua bilah golok itu langsung bersatu dengan lainnya sehingga menimbulkan suara yang nyaring, sedangkan getarannya membuat tubuh kedua Lhama itu terhuyung ke belakang, Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya tenaga kedua Lhama itu sangat kuat. Saking terkejut dan penasarannya, beberapa Lhama lainnya segera berkaok-kaok seperti orang kalap.
"Pendeta kepala kuil Ceng Liang si berbuat kejahatan! Dia menyerang orang! Dia membunuh orang!" Hebat sekali akibat teriakan para Lhama itu, dari luar pendopo segera menerobos masuk tiga puluhan sampai empat puluhan orang. Diantaranya ada Lhama, hwesio, dan beberapa orang lainnya yang mengenakan jubah panjang tapi bukan dari golongan pendeta mana pun. Salah seorang Lhama yang kumis serta janggutnya panjang dan sudah memutih langsung mengajukan pertanyaan.
"Apakah benar Hong Tio dari Ceng Liang yang melakukan kejahatan dan membunuh orang?" Teng Kong segera merangkapkan sepasang telapak tangannya dan menjura kepada tamu yang baru datang itu.
"Orang yang beragama, berpokok pada welas asih, sama sekali tidak boleh sembarangan melanggar pantangan membunuh, biar terhadap seekor binatang sekali pun!" katanya dengan suara halus.
"Para suheng dan sicu sekalian, dari manakah asal kalian?" Selesai bertanya dia menoleh ke arah seorang pendeta atau hwesio yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.
"Rupanya Hong Tio Sim Ke dari Hud Kong si juga ikut datang berkunjung. Harap maafkan lolap yang tidak menyambut dari jauh!" Hud Kong si atau Kuil Cahaya Buddha merupakan salah satu kuil terbesar dan tertua di Gunung Ngo Tay san. Karena itu banyak penduduk sekitarnya yang mengatakan: "Terlebih dahulu ada kuil Hud Kong si, baru ada Gunung Ngo Tay san.
Nama asli gunung Ngo Tay san tadinya ialah Ceng Liang san, tapi karena di puncaknya ada lima bukit tinggi, orang-orang lalu merubahnya menjadi Ngo Tay (lima panggung) dan nama Ngo Tay san digunakan sampai sekarang, Ketika itu Hud Kong si sudah dibangun. Nama kecamatan Ngo Tay juga telah diubah sejak jaman Kerajaan Sui. Karena bentuknya yang besar dan usianya yang sudah tua, kedudukan kuil Hud Kong si jadi lebih tinggi dari usianya yang lebih tua, kedudukan kuil Hud Kong si jadi lebih tinggi dari pada kuil Ceng Liang si. Otomatis ketuanya, Sim Ke juga menjadi pendeta yang sangat terkenal di daerah Ngo Tay san dan sekitarnya.
Sim Ke yang bentuk kepalanya besar, bertubuh gemuk dan wajahnya berminyak ini langsung mengembangkan seulas senyuman dan berkata.
"Teng Kong suheng, mari aku kenalkan kau dengan dua orang sahabat!" Dia menunjuk kepada seorang Lhama dan berkata kembali inilah Lhama besar Bayan yang datang dari Lhasa, Tibet. Dialah Lhama besar yang menjadi kesayangan Buddha hidup dan pengaruhnya besar sekali." Teng Kong menjura pada Lhama itu.
"Sungguh aku yang tua berjodoh dengan Tuan Lhama yang agung!" katanya. Sim Ke kemudian menunjuk kepada orang yang berdandan sastrawan. Dia mengenakan jubah panjang berwarna hijau dan usianya sekitar tiga puluhan tahun.
"Dan ini Honghu Kok sianseng, sastrawan terkenal dari Kwan Tung." katanya memperkenalkan. Sastrawan itu segera memberi hormat kepada Teng Kong dan berkata dengan merendah.
"Sudah lama aku mendengar nama besar Teng Kong taysu dari kuil Ceng Liang si di gunung Ngo Tay san ini, Terutama kedua ilmunya yakni Poan jiak Ciang dan Ki Yap Jiu yang menjagoi dunia persilatan. Karena itu, aku merasa gembira sekali dapat bertemu hari ini, ini merupakan keberuntunganku selama tiga kali penitisan." Teng Kong dan Sim Ke sama-sama menjadi heran.
-- Mengapa dia dapat mengetahui ilmu silatku dengan demikian jelas? -- pikir Teng Kong.
-- Kabarnya Poan Jiak Ciang dan Ki Yap Jiu merupakan dua dari jurus terlihay si Siau Lim Sie yang jumlah keseluruhannya tujuh puluh dua macam. Benarkah hwesio yang tampaknya tidak punya semangat hidup ini menguasai ilmu sehebat itu? Apakah tidak mungkin kalau Honghu siansen hanya menyindir..." pikir Sim Ke. Kembali Teng Kong merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat.
"Usia lolap sudah tua sekali, walaupun ketika muda, aku yang rendah pernah belajar ilmu silat beberapa tahun, tapi sekarang semuanya sudah terlupakan. Sebaliknya, Honghu kisu memiliki kepandaian rangkap yang hebat, baik ilmu silat maupun ilmu sastra, hal inilah yang membuat lolap merasa kagum sekali." katanya merendah. Mendengar pembicaraan kedua belah pihak yang saling merendahkan diri, Siau Po menduga tentu tidak akan terjadi pertempuran. Kemudian terdengar Bayan Lhama berkata kembali.
"Lo taysu, aku datang dari Tibet bersama seorang muridku yang masih kecil, namanya Yin Cu. Menurut kabar yang kami peroleh, dia ditawan oleh orang-orang dari pihakmu, Karena itu, dengan memandang wajah emas dari Buddha hidup, harap kau sudi melepaskannya. Kami semua akan bersyukur terhadap budi kebaikanmu ini!" Teng Kong tersenyum.
"Beberapa suheng ini telah membuat kegaduhan di kuilku, tapi aku tidak mau berpandangan seperti mereka itu." katanya.
"Aku justru merasa heran, taysu adalah seorang yang penuh pengertian mengapa taysu percaya saja dengan perkataan orang yang belum terbukti kebenarannya? semenjak dibangunnya kuil Ceng Liang si, baru hari ini kami mendapat kunjungan kehormatan dari para Lhama yang maha suci, Dari mana datangnya cerita bahwa pihak kami menyimpan muridmu itu?" Lhama Bayan langsung mendelikkan matanya.
"Kau kira kami sembarangan menuduh?" tanyanya bengis.
"Jangan kau tidak minum arak kehormatan justru minum arak dendaan" Bahasa Cina para Lhama memang kurang lancar. Maksudnya, dia ingin mengatakan, "Jangah kau tolak arak kehormatan, namun mengharap arak hukuman" Sim Ke tertawa dan langsung ikut memberikan komentar.
"Tuan-tuan berdua, janganlah kerukunan kalian jadi terusik karena hal ini! Menurut aku, hwesio tua, urusan si Lhama cilik ada atau tidak dalam kuil ini, tidak dapat diselesaikan dengan kata-kata saja. Kata-kata tidak mengandung bukti yang penting menyaksikan dengan mata kepala sendiri! Karena itu, Honghu sianseng dan aku hwesio tua akan menjadi saksi. Marilah kita masuk ke dalam kuil untuk meninjau setiap bagiannya ya indah. Bertemu Sang Buddha, kita menyembah bertemu pendeta kita menjura. Kalau kita sudah melihat setiap ruangan dan bertemu dengan setiap hwesionya, namun si Lhama cilik tetap tidak diketemukan, bukankah urusannya akan beres dengan sendirinya?" Biarpun hwesio itu berbicara dengan halus sopan, namun makna yang tersirat dibaliknya, tentu saja mereka akan menggeledah Ceng Liang si. Oleh karenanya, kesabaran Teng Kong habis juga, namun dia masih berusaha mengendalikan diri untuk berkata dengan sopan.
"Beberapa Tuan Lhama ini datang dari Tibet, karenanya mereka tidak memaklumi peraturan ini, maka kami juga tidak bisa menyalahkannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Sim Ke taysu, Kau adalah seorang tokoh agama yang sudah banyak pengetahuannya dan berbudi luhur, Mengapa taysu mewakili kisu ini berbicara? Sekarang, mengenai Lhama cilik dari Tibet itu, kalau benar dia lenyap di daerah gunung Ngo Tay san, lolap rasa pemeriksaan harus dimulai dari kuil Hud Kong si!" Sim Ke tertawa manis.
"Kalau seluruh Ceng Liang si sudah dilihat dan Lhama kecil itu tetap tidak berhasil ditemukan, dan seandainya para Lhama suci ini ingin melongok Hud Kong si juga, tentu aku akan menyambutnya dengan hati gembira." katanya. Terdengar Lhama Bayan berkata pula.
"Ada orang yang melihat dengan mata kepala sendiri bahwa muridku Yincu disembunyikan dalam kuil Ceng Liang si ini. Itulah sebabnya kami datang ke mari menanyakannya. Kalau tidak ada keterangan tersebut, pasti kami tidak berani lancang datang ke sini dan kami tidak akan berlaku demikian sembrono."
"Siapa orangnya yang katanya melihat dengan mata kepala sendiri itu?" tanya Teng Kong. Bayan menunjuk kepada Honghu sianseng.
"Tuan Honghu inilah orangnya." sahut Lhama tua itu, "Dia merupakan seorang tokoh yang sudah mempunyai nama besar, tidak mungkin dia berbohong." Mendengar keterangan itu, Siau Po langsung berkata dalam hati -- Kalian merupakan orang-orang satu rombongan mana boleh salah satu dari kalian menjadi saksi? -- Karena berpikir demikian dia segera bertanya tanpa dapat mengekang diri lagi.
"Berapa usianya Lhama cilik yang hilang itu?" Sampai sebegitu jauh, Bayan dan rombongannya tidak ada yang memperhatikan Siau Po maupun Song Ji. Tapi begitu Siau Po mengajukan pertanyaan serempak mereka menolehkan kepalanya, Mereka melihat seorang bocah tanggung yang mengenakan pakaian indah, kopiahnya berhias batu kumala dan kancing bajunya terbuat dari mutiara. Sudah barang tentu bahwa dia putra seorang hartawan sedangkan pelayan yang berdiri di sampingnya saja mengenakan pakaian sutera juga.
"Usia Lhama kecil itu hampir sebaya denganmu, Tuan kecil!" sahut Sim Ke sembari tertawa. Siau Po menoleh kemudian berkata.
"Benarlah kalau demikian, sudah jelas tadi aku melihat Lhama kecil itu! Dia masuk ke dalam sebuah kuil yang di atasnya tertera tiga huruf, yakni Hud Kong si!" Mendengar ucapan si bocah, Bayan dan lainnya menjadi heran sekali. Untuk sesaat mereka memandanginya dengan wajah tertegun. Teng Kong menyaksikan hal itu, Hatinya senang sekali. Dia tidak menyangka tamunya akan ikut bicara dan memberi penjelasan seperti itu.
"Kau mengoceh sembarangan!" Bentak Bayan "Ngaco belo!" Siau Po tidak marah, dia malah tertawa.
"Betul! Bicara sembarangan! Mengoceh tidak karuan! Ngaco belo!" katanya berulang-ulang. Bayan menjadi gusar, tiba-tiba dia menjulurkan sebelah tangannya untuk menyambar ke arah dada si bocah tanggung. Justru ketika tangannya bergerak, tangan Teng Kong juga terjulur ke depan. Ujung bajunya berkibaran menimbulkan suara berkesiurnya angin Tangannya meluncur ke arah sikut si Lhama itu. Bayan sempat melihat gerakan si hwesio, Dia berniat menolong dirinya sendiri ketika tangan kanannya ditarik kembali, tangan kirinya bergantian meluncur, kelima jari tangannya tajam bagai kuku garuda dan disambarnya ujung baju Teng Kong. Teng Kong menarik tangannya kembali kemudian mengelakkan diri. Dengan demikian, luputlah serangan si Lhama itu.
"Hai!" teriak Bayan, "Kau sudah menyembunyikan Lhama cilik yang menjadi pesuruh Buddha hidup, kau berani turun tangan pula! Apakah kau benar-benar ingin melanggar pantangan membunuh? Celaka! Celaka!"
"Jangan menggunakan kekerasan. Kalau ada apa-apa, kita bicarakah baik-baik saja!" kata Honghu sianseng, baru selesai orang itu berbicara, tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara teriakan yang riuh.
"Honghu sianseng mengatakan agar jangan menggunakan kekerasan Ada apa-apa, sebaiknya dibicarakan secara baik-baik!" Kalau ditilik dari nadanya, kemungkinan suara itu diteriakkan oleh beberapa ratus orang, Kemungkinan, sejak tadi mereka memang sudah mengepung kuil itu, hanya saja mereka tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Rupanya mereka juga sudah terlatih baik,
sehingga ucapannya juga dicetuskan dengan kompak sekali. Teng Kong mempunyai watak yang sabar dan tenang, tapi mendengar suara itu, tak urung di menjadi terkejut juga. Honghu sianseng tertawa perlahan. "Teng Kong Hongtio," terdengar dia berkata "Kau adalah seorang cianpwe (angkatan tua) yang sudah mempunyai nama besar, orang yang selalu dihormati. Karena itu, apabila Bayan Lhama ingin melihat-lihat kuil, sebaiknya kau ijinkan saja, Hongtio biasa berkelakuan baik dan tindakannya juga benar, Lagipula, dalam kuil Ceng Liang si tidak ada sesuatu yang tidak boleh dilihat orang, bukan karenanya, untuk apa kita mempertaruhkan kerukunan kaum dunia persilatan?" Kata-kata itu sopan dan halus namun mengandung desakan, Di balik ucapannya,
Honghu sianseng bermaksud mengatakan, apabila Teng Kong tidak mengijinkan Bayan Lhama menggeledah kuilnya, maka suatu pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Teng Kong menjadi bingung sekali. Dia memang mengerti ilmu silat, tapi di dalam kuil Ceng Liang si, dia hanya seorang hwesio atau guru agama, Dia tidak pernah mengajarkan ilmu silat kepada para muridnya.
Diantara empat ratus lebih hwesio di dalam kuil Ceng Liang si, hanya ada beberapa orang saja yang mengerti ilmu silat, Karena itu, mau tidak mau dia menjadi gentar juga, barusan dia telah berhadapan dengan Bayan, Dia merasa Lhama yang satu ini lihay sekali, sekarang dia mendengar ucapan Honghu sianseng, dia mendapat kenyataan bahwa tenaga dalam orang ini pasti sudah dilatih sampai mahir sekali, Karena itu dia menganggap, jangan kata ratusan orang yang ada di luar, sedangkan kedua orang
yang ada di hadapannya ini saja sudah sulit dilayani. Honghu sianseng memperhatikan hwesio yang sedang berpikir itu. Sejenak
kemudian, dia tersenyum lalu berkata kembali.
"Seumpamanya di dalam kuil Ceng Liang si benar-benar tersembunyi wanita-wanita cantik, itu toh bukan sesuatu yang buruk. Anggaplah pemandangan yang indah bagi kami semua!" Kali ini berbeda dengan sebelumnya, terang-terangan Honghu sianseng mengeluarkan kata-kata yang ceriwis, terang dia tidak memandang muka Teng Kong lagi. Sementara itu Teng Kong masih berpikir keras, dia yakin ilmu silat Bayan merupakan ilmu partai Bit Cong di Tibet, tetapi entahlah dengan Honghu sianseng ini, dia tidak pernah mendengar atau mengenalnya. Tampaknya orang itu juga tidak gentar terhadap Siau lim pai. Meskipun dia sudah tahu Teng Kong menguasai ilmu partai tersebut, dia tetap tidak memandang sebelah mata, Mengapa Honghu sianseng begitu berani? Saking kerasnya si hwesio memutar otaknya, sampai tidak mendengar suara tawa Sim Ke hwesio dan Bayan Lhama. Mereka tertawa setelah mendengar ucapan Honghu sianseng yang mereka anggap jenaka.
"Hong tio suheng," kata Sim Ke kepada kepala pendeta di kuil Ceng Liang si itu.
"Karena keadaan sudah begini rupa, sebaiknya kau ijinkan saja Baya Lhama melihat-lihat ke dalam kuil!" Sembari berkata, hwesio ini memonyongkan mulutnya kepada Bayan, dan si Lhama yang melihat isyarat itu langsung melangkah ke dalam kuil.
Bagian 35
Teng Kong siansu menarik nafas panjang, Dia berusaha mengendalikan emosinya, dia memperhatikan orang itu melangkah ke dalam kuil kemudian dia mengikuti dengan perlahan-lahan. Bayan beserta Honghu sianseng dan Sim hwesio rupanya telah merundingkan bagaimana orang-orang mereka akan melakukan penggeledahan di dalam kuil Ceng Liang si. Diantara sekian banyaknya hwesio Ceng Liang si, ternyata tidak ada seorang pun yang berani mencegah tindakan Bayan Lhama, Mereka tidak mendapat isyarat apa-apa dari kepala guru mereka. Terpaksa mereka menyaksikan dengan sinar mata menyiratkan kegusaran.
Wi Siau Po dan Song Ji mengintil di belakang Teng Kong. Mereka melihat lengan jubah hwesio itu bergetar. Hal ini menandakan bahwa tangan Teng Kong sedang gemetar karena berusaha menahan hawa marah dalam hati nya. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara yang nyaring.
"Diakah orangnya?" Mendengar kata-kata itu, Honghu sianseng segera berlari ke depan, Tampak dua orang Lhama sedang menangkap atau meringkus seorang hwesio berusia kurang lebih empat puluhan dan tubuhnya kurus kering.
"Mengapa kalian menangkap aku?" tanya hwesio itu bingung. Honghu sianseng menggelengkan kepalanya dan kedua Lhama itu pun langsung melepaskan cekalannya. Sembari tertawa mereka berkata.
"Maaf!" Menyaksikan kejadian itu, Siau Po semakin yakin yang dicari rombongan Bayan bukan seorang Lhama cilik tapi kaisar Sun Ti yang sudah mengundurkan diri, Teng Kong sendiri tertawa tawar ketika bertanya.
"Hwesio muridku ini, apakah dia si Lhama cilik yang kalian cari itu?" Honghu sianseng tidak menjawab, Dia malah memperhatikan arah lainnya, Ketika itu dua orangnya kembali meringkus seorang hwesio berusia setengah baya, Setelah melihat orang itu dengan seksama, kembali dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
- Oh, rupanya kau tahu bagaimana tampang raja Sun Ti? --, kata Siau Po dalam hati, Sejak semula dia selalu memperhatikan Honghu sianseng dan kawan-kawannya, Karena itu, dia berpikir lebih jauh.
-- Kalau mereka mencari dengan cara demikian lama kelamaan mereka pasti akan berhasil menemukan raja Sun Ti. Dia adalah ayahanda dari si raja cilik. Aku harus mencari akal menolongnya.... Tapi, bagaimana aku harus melakukannya? jumlah mereka banyak, kepandaian mereka juga hebat-hebat... Sia-sia saja Siau Po mengasah otaknya, Dalam tempo yang begitu singkat, dia tidak berhasil menemukan jalan yang baik untuk ditempuhnya. Ketika itu, ada beberapa puluh orang yang menggeledah ke arah timur laut, Dimana ada sebuah rumah kecil tempat para pendeta, Letaknya di sebelah depan kuil, Pintu kamarnya tertutup rapat "Buka pintu! Buka pintu!" teriak beberapa orang dengan suara yang garang.
"Itu kamar bersemedi biku kami yang sudah lanjut sekali usianya." kata Teng Kong memberikan keterangannya, "Kamar itu sudah tertutup selama tujuh tahun. Harap sicu sekalian jangan mengganggu semedinya!" Sim Ke tertawa.
"Ini pasti ada orang luar yang masuk dan bersembunyi di dalam kamar, Bukan biku tua yang sedang bersemedi, Kalau tidak, tentu dia telah membuka pintunya sendiri, bukan? Tapi ini bukanlah persoalan bagi kami." katanya. Seorang Lhama bertubuh tinggi besar segera menghampiri pintu rumah tersebut.
"Mengapa pintu ini tidak dibuka? Pasti dia bersembunyi di dalamnya!" katanya sambil menendang pintu rumah itu keras-keras.
Tiba-tiba tubuh Teng Kong berkelebat Dia melompat ke pintu untuk mencegah Lhama itu menendang. Dia tidak ingin pintu rumah itu sampai rusak karena kekasaran orang itu. Dia berhasil tiba di depan pintu, tapi perutnya terkena tendangan Lhama itu sebab dia tidak melindunginya sedikitpun. Tapi mendadak Lhama yang menendang pintu terjungkal roboh ke belakang, Dia yang mengirimkan tendangan, tapi dia pula yang roboh dengan kaki patah. Bayan terkejut setengah mati Dia langsung berkaok-kaok, tubuhnya segera menerjang ke depan ke arah tuan rumah. sedangkan kedua tangannya segera digerakkan dengan gaya seperti cakar ayam yang sedang menggaruk. Teng Kong tetap berdiri di depan pintu ketika serangan itu tiba, ia menghadapi lawannya dengan kedua tangan direntangkan sedangkan lawannya itu juga menyerang dengan dua tangannya, tapi dengan bentrokan keras itu.
"Kepandaianmu ternyata hebat sekali!" puji Hong-hu sianseng, Tangan Honghu sianseng segera menghantam ke depan. Terasa angin menghempas-hempas dari pukulannya ke arah wajah Teng Kong. Teng Kong menghindarkan diri dan di saat yang lain terdengar suara yang keras karena pukulan itu tepat menghajar pintu rumah tersebut.
"Pukulan yang lihay!" puji Teng Kong kembali. Di dalam hatinya, dia merasa terkejut juga, Ternyata kepandaian Honghu sianseng tidak dapat dipandang ringan. Teng Kong segera mempersiapkan diri untuk melayani lebih jauh, Walau pun demikian, dalam hati dia sudah mengambil keputusan. Tujuannya hanya melindungi pintu rumah tersebut tidak ada niatnya untuk mencelakai siapa pun. Kalau keadaan memang mendesak, dia sudah siap mengorbankan jiwanya agar tugasnya sebagai pelindung dapat dijalankan dengan baik. Ternyata Honghu sianseng masih penasaran, dia menyerang kembali. Kali ini dia malah dibantu oleh Bayan. Dikeroyok oleh dua orang, Teng Kong melakukan perlawanan yang dahsyat. Kedua tangannya seakan digerakkan secara sembarangan saja, namun setiap serangannya yang seperti tidak mengandung tenaga itu, justru menimbulkan angin yang kencang.
Puluhan pengikut Honghu sianseng segera bersorak-sorak, Mereka seakan memberikan semangatnya kepada sang pemimpin, namun tidak ada seorang pun diantara mereka yang berani maju ke tengah arena. Rupanya mereka telah mendapat pesan agar tidak lancang maju apabila belum mendapatkan isyarat dari pimpinannya.
Beberapa kali Bayan mendesak, serangannya hebat sekali. Tapi tiap kali dia selalu terpukul mundur Hal itu membuat hatinya gusar Dia merasa penasaran. Satu kali dia berhasil menjambret janggut Teng Kong sehingga segumpal rambut didagu yang putih itu terbang berhamburan. Tapi, di samping itu, bahu kanannya sendiri kena ditepuk oleh lawan, Bayan terkejut hatinya. MuIa-mula dia memang tidak merasakan apa-apa, Tapi beberapa saat kemudian, sebelah lengannya terasa semakin berat dan akhirnya sukar digerakkan lagi, Hatinya mendongkol sekali. Tiba-tiba Lhama itu berteriak keras, lalu mendadak dia mencelat mundur. Sebagai gantinya, empat orang Lhama lainnya yang bersenjatakan golok menerjang ke depan dan menyerang Teng Kong.
Sejak semula Teng Kong sudah meningkatkan kewaspadaannya, Dia melompat ke atas dengan kedua kakinya ditutulkan di atas tanah. Disambutnya kedatangan lawan dengan kedua kaki yang disepakkan secara bersamaan. Dengan demikian, robohlah dua orang lawannya, Setelah itu, dengan tangan kirinya dia menepuk dada si Lhama yang ketiga, Lhama itu terkejut setengah mati dan sambil menjerit, tubuhnya terpental mundur ke belakang. Tepat pada saat itu, sampailah golok Ihama yang keempat, serangan itu disambut Teng Kong dengan mengibaskan ujung lengan jubahnya untuk melilit tangan orang itu. Bayan yang penasaran dan kesal maju kembali. Bukankah keempat orangnya telah mengalami kegagalan? sekarang tangan kanannya dapat digerakkan lagi dan dia melakukan penyerangan dengan kedua lengannya. Teng Kong menghindari serangan itu dengan menggeser tubuhnya agak ke kanan. Tiba-tiba dia mengeluh dalam hati.
-- Celaka! --, tapi terlambat sudah, percuma dia berusaha menepuk lawannya, Tahu-tahu pipi kanannya terasa nyeri dan gatal, Tahulah dia bahwa dirinya telah terkena tutulan jari tangan Honghu sianseng, serangannya sendiri mengenai iga orang sehingga
lengan Honghu sianseng itu tidak sampai patah. Song Ji melihat wajah Teng Kong penuh dengan noda darah.
"Perlukah aku membantunya?" tanya nona cilik itu kepada Siau Po. Dia memang masih kecil, tapi tidak kenal arti kata takut walaupun jumlah musuh begitu banyaknya, mungkin malah mencapai ratusan orang.
"Tunggu sebentar lagi!" kata Siau Po dengan suara lirih, Tadi si nona sendiri berbicara dengannya dengan suara berbisik.
Bocah itu berharap dapat menemui kaisar Sun Ti. Dia merasa percuma seandainya Song Ji bisa menghalau musuh-musuh itu tapi kaisar Sun Ti tidak dapat ditemukan. Sampai saat itu barulah sejumlah pendeta Ceng Liang si turun tangan, Mereka tidak dapat membiarkan Teng Kong siansu diserang secara bergantian sedangkan guru itu sudah terluka wajahnya, Di antara mereka ada yang menggunakan tongkat, toya, maupun besi penyungkit arang. Tapi, sayangnya mereka itu tidak mengerti ilmu silat Dengan demikian, mereka malah terhajar oleh pihak lawan sampai babak belur.
"Semuanya berhenti!" Tiba-tiba terdengar seruan Teng Kong yang berwibawa itu. Bayan sedang gusar sekali, Dia tidak menghiraukan seruan itu.
"Semua maju!" teriaknya kepada orang-orangnya. Tidak usah perdulikan si kepala gundul itu. Bunuh saja!" Benar saja, Mendengar saran itu, para Lhama segera menyerang dengan sadis. Dalam sekejap mata, empat orang hwesio sudah terkapar di atas lantai, Bahkan satu di antaranya mati dengan kepala terpenggal. Sementara itu, Teng Kong melakukan pertarungan dengan pikiran kacau, Dia tidak bisa berkonsentrasi karena hatinya sedih juga bingung, Kembali dia terhajar jari tangan Honghu sianseng, Kali ini dada kanannya yang menjadi sasaran sehingga tampak darah mengalir dengan deras. Menyaksikan serangannya yang membuahkan hasil, Honghu sianseng tertawa senang.
"Rupanya poan Jiak ciang dari Siau Lim pai begini saja!" katanya, "Ayo, hwesio tua, menyerahlah!" Teng Kong menyebut nama Buddha.
"Sicu, dosamu besar sekali!" katanya penuh penyesalan. Tepat pada saat itulah, dua orang Lhama menerjang ke depan untuk membacok kaki Hong Cu itu. Melihat datangnya ancaman bahaya, Teng Kong segera mendahului dengan menendang musuh, tapi tiba-tiba dia merasa dadanya nyeri sekali, kakinya jadi urung diangkat, hanya tangan kirinya yang meluncur ke depan. Tangan itu tepat mengenai kepala kedua Lhama yang menyerang bagian kakinya sehingga mereka roboh tidak sadarkan diri.
"Keledai gundul kepingin mampus!" maki Bayan saking gusarnya, dia lantas menyerang dengan kedua jari tangannya ke bagian bawah, tanpa dapat dipertahankan lagi, cengkeramannya mengenai paha kiri Teng Kong dan hwesio tua yang gagah itu pun terkulai di atas lantai. Menyaksikan keadaan itu, Bayan tertawa terbahak-bahak, Sebelah kakinya segera menendang pintu rumah sehingga menjublak dan terbuka lebar Si lhama itu kembali tertawa nyaring sambil berseri.
"Keluarlah! Aku ingin lihat bagaimana tampangmu yang sebenarnya!" Rumah itu gelap gulita, Tidak tampak seorang pun yang ke luar, malah tidak terdengar suara sedikit juga. Sementara itu, Honghu sianseng menotok beberapa bagian jalan darah Teng Kong
agar hwesio tua itu tidak berkutik lagi, perbuatan itu membuat para hwesio lainnya menjadi gusar, tapi mereka hanya bisa berkaok-kaok dari kejauhan Hal ini disebabkan mereka tidak berani mengadakan perlawanan maupun penyerangan.
"Coba seret dia ke luar!" Bayan memerintahkan beberapa orangnya agar memasuki rumah yang gelap itu lalu menyeret penghuninya ke luar. Dua orang segera tampil ke depan kemudian memasuki rumah. Tiba-tiba tampak sebuah cahaya berwarna kekuningan berkelebatan Rupanya itulah bayangan toya Kim Hong Cu yang digunakan untuk menyambut kedua penerjang itu. Masing masing terhajar bagian kepalanya sehingga terdengarlah suara keras dan nyaring dua kali berturut-turut kemudian disusul robohnya tubuh mereka berdua, Dalam waktu yang bersamaan, cahaya kuning itu telah melesat masuk kembali. Celakalah kedua orang Lhama itu. Kepala mereka pecah remuk dan tubuh mereka terkulai depan pintu. Semua orang merasa tercekat hatinya, tidak terkecuali Bayan, Tetapi pemimpin ini sudah mejadi marah sekali. Kembali dia berteriak keras menyuruh beberapa orangnya yang lain maju kembali tiga orang segera melompat ke luar untuk menerobos ke dalam rumah itu. Para Lhama itu menerjang ke depan dengan golok masing-masing diputar ke atas, maksudnya untuk melindungi bagian kepala, Ternyata penjagaan mereka itu tidak ada gunanya, meskipun mereka menjaga bagian kepala, toya itu berhasil menghajar mereka juga, bahkan lebih parah lagi golok yang sedang berputaran itu terhajar dan menimpa kepala mereka, akibatnya kepala mereka bukan hanya pecah, tapi malah terbacok tidak karuan karena golok di tangan mereka sedang berputaran ketika turun ke bawah. Lhama yang kedua masih berusaha mengadakan perlawanan, tapi akhirnya, dia pun menerima nasib seperti rekannya.
Bagus peruntungan si Lhama yang ketiga, saking terkejutnya, tanpa terasa goloknya terlepas dari tangan. Tubuhnya pun mencelat mundur Karenanya, kepala Lhama itu bebas dari hantaman. Dia hanya mendapat caci maki dari pimpinannya. Meskipun hatinya gusar sekali, Bayan yang licik tidak mau masuk sendiri ke dalam rumah yang gelap itu.
"Naik ke atas genteng!" kata Honghu sianseng memberi perintah ketika melihat kedua serangan itu gagal.
"Buka semua genteng di atas, kemudian timpukkan ke bawah sebagai senjata!" Perintah itu segera dilaksanakan Empat orang lompat naik ke atas genteng dan mulai menyerang dengan senjata yang aneh itu. Honghu sianseng belum puas juga, Dia memerintahkan kembali.
"Bawa batu dan pasir ke mari! Kemudian gunakan untuk melakukan penyerangan!" Perintah itu lagi-lagi diturut dan orang-orangnya pun segera mencari batu serta pasir. Kemudian mereka gunakan untuk menyerang rumah yang gelap itu. Serangan itu hebat sekali. Bagaimana orang bisa menghindarkan diri dari begitu banyaknya genteng, batu, serta pasir? Karena itu, segera terdengarlah sebuah suara yang menggelegar. Kemudian muncul seorang hwesio yang sebelah tangannya memutar toya Kim Hong Cu. Tangannya yang sebelah lagi menarik seorang hwesio lainnya, yang luar biasa adalah tubuhnya yang besar dan tingginya melebihi orang kebanyakan. senjatanya mengeluarkan kilauan cahaya yang berkelebat terus. Keadaannya saat itu mirip seorang malaikat yang sedang menghalau iblis.
"Apakah kalian sudah bosan hidup? Ayo maju semua sekalian saja!" teriaknya dengan suara bengis. Siau Po segera teringat kepada kaisar Sun Ti. Namun perhatian orang-orang lainnya justru tertarik pada raksasa bertubuh besar itu, Selain bentuk tubuhnya yang luar biasa, wajahnya berwarna merah tua dan janggut serta rambutnya kusut seperti tidak pernah diurus, pakaiannya pun rombeng sekali. Dari celah-celah pakaiannya yang rombeng, terlihat ukuran pinggangnya yang besar dan lengan serta jari tangan yang kasar. Tanpa terasa Bayan dan Honghu sianseng langkah mundur. Namun Bayan berteriak dengan suara lantang.
"Jangan takut! Maju terus!" Tapi saat itu juga, Honghu sianseng berteriak.
"Hati-hati! jangan sampai melukai hwesio yang di sampingnya!" Mendengar ucapan Honghu sianseng, otomatis perhatian semua orang tertuju pada hwesio yang dimaksudkan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, Tubuhnya tinggi kurus. Meskipun kulit wajahnya pucat, tapi ketampanannya masih tampak jelas. Hanya saja saat itu dia menundukkan wajahnya dan memejamkan matanya. Dia seakan tidak menghiraukan bahaya yang sedang mengancam dirinya.
- Pasti dialah ayahanda si raja cilik! --, pikir Siau Po dalam hatinya. Biar bagaimana, jantungnya berdebar-debar juga, - Tapi wajahnya kok lain dengan Sri Baginda Kong Hi. Dia malah lebih tampan.... Ketika itu, belasan Lhama sudah menerjang ke arah si hwesio bertubuh tinggi besar. Orang itu tetap melayani dengan memutar toyanya, Setiap kali dia menggerakkan toyanya, pasti ada seorang atau dua orang Lhama yang roboh di tangannya.
Menyaksikan keadaan itu, Honghu sianseng mengeluarkan joan pian atau senjata ruyungnya yang lunak kemudian dia maju menyerang dengan senjatanya yang luar biasa itu. Bayan Lhama turut menerjang dengan menggunakan sepasang gembolan. Mereka melakukan penyerangan dari dua arah yakni kiri dan kanan.
Joan pian di tangan Honghu sianseng langsung mengenai leher si hwesio tinggi besar itu sehingga dia berkaok-kaok. Meskipun begitu, tangannya masih sempat menangkis sepasang gembolan Bayan, Lhama itu terkejut setengah mati. Dia yang melakukan penyerangan, namun tangannya pula yang terasa kesemutan dan sepasang senjatanya pun terlepas dari cekalan.
Justru pada saat itu, joan pian yang seperti dibiarkan terlepas dari leher si hwesio kembali menghajar bahunya, Dari kejadian ini, orang segera beranggapan bahwa ilmu silatnya tampak biasa-biasa saja. Hanya tenaganya yang besar dan berani.
Saking banyaknya Lhama yang melakukan penyerbuan salah seorang diantaranya berhasil menjambret lengan kiri si hwesio setengah baya yang sedang memejamkan matanya. Mulutnya mengeluarkan seruan perlahan, Mungkin dia merasa terkejut atau kesakitan. Tapi matanya tidak dibuka dan tidak terlihat dia meronta.
"Lindungi hwesio itu!" Bisik Siau Po kepada Song Ji.
"Baik." sahut si gadis yang tubuhnya langsung mencelat ke depan, Dengan satu kali lompatan saja dia sudah sampai di depan Lhama yang mencekal lengan si hwesio, sebelum orang itu menyadari apa-apa, pinggangnya sudah terkena totokan Song Ji dan roboh seketika. Setelah Lhama itu terkulai lemas, hwesio itu dengan sendirinya menjadi bebas, tapi Song Ji bukan menolongnya, dia malah membalikkan tubuhnya dan menyerang kepada Honghu sianseng dengan mengirimkan sebuah totokan. Orang she Honghu itu terkejut setengah mati, dia segera menggeser tubuhnya ke kanan sehingga dengan demikian dia dapat menyelamatkan diri. Song Ji tidak menyerangnya lagi atau mendesaknya lebih lanjut ia membalikkan tubuhnya kembali untuk menotok dada Bayan, sebab Lhama itu berada dalam jarak yang dekat sekali dengannya.
"Celaka!" seru Bayan kaget serta gusar. Tapi dia hanya sempat menegakkan sepatah kata itu saja, sebab kemudian tubuhnya sudah jatuh terkulai di atas tanah. Nona cilik itu tidak berhenti sampai di situ saja, dia bukannya mundur, tetapi malah menerjang terus ke depan, dia mengirimkan serangan totokan kepada setiap Lhama yang ada di dekatnya, demikian juga orang-orangnya Honghu sianseng, Setiap orang yang tersentuh jari tangannya pasti roboh terkulai di atas tanah, sehingga dalam waktu yang singkat sudah tidak sedikit lawan yang dijatuhkannya. Sim Ke menjadi heran juga tercekat hatinya.
"Eh, eh, sicu kecil!" panggilnya, rupanya dia ingin berbicara dengan nona itu yang dikiranya seorang hwesio cilik segolongan dengan dirinya.
"Ya, hwesio tua!" sahut Song Ji sambil tertawa, Jari tangannya segera meluncur ke depan mengincar pinggang Sim ke. Honghu sianseng terkejut setengah mati melihat kejadian itu, dia segera memutar joan piannya untuk melindungi dirinya sendiri. Dia pikir, tentu tidak lucu kalau dia sampai tertotok juga, karena itu, dia berusaha membuat jarak kira-kira setombak untuk melindungi dirinya sendiri. Namun Song Ji tidak menghiraukannya, dia terus melakukan penyerangan. Namun sekarang dia berputar ke luar dari lingkungan ujung joan pian yang dapat digunakan seperti cambuk.
Sementara itu, Hong Tio Teng Kong sudah duduk bersila di atas lantai. Dia merasa bingung, diam-diam dia berkata dalam hati.
-- Honghu Kok itu lihay sekali Aku tidak tahu dia berasal dari partai mana, tapi si nona... itu juga aneh, dia sangat lihay, dalam sekejap mata dia berhasil merobohkan lawan, Entah murid siapa di itu? -- Honghu Kok bergerak dengan cepat. Setiap kali ujung senjatanya mengancam tubuh nona cilik itu, setiap kali pula si nona dapat menghindarkan diri.
"Oh, dasar bocah cilik!" teriak Honghu Ko ujung senjatanya kembali mengancam dada si nona. Tampaknya dia merasa penasaran sekali. Karena itu, dia mengerahkan tenaga yang lebih besar. Serangan itu hebat sekali Song Ji mengelakkan diri sembari maju terus ke depan, dia seperti terjembab, tapi sebenarnya, sembari terhuyung ke depan dia menggunakan kesempatan untuk menotok perut lawannya. Honghu Kok tercekat hatinya, Dengan panik dia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis totokan Song Ji Di samping itu, joan piannya juga menyambar ke arah punggung lawannya. Song Ji berusaha menghindarkan diri, tapi joan pian Honghu Kok telah berhasil melilit tubuhnya. Dan ketika joan pian itu dihentakkan, otomatis tubuhnya juga tertarik bahkan terangkat ke atas. Rupanya Honghu sianseng bermaksud mengayunkan tubuh si nona cilik ke arah tembok untuk diadukannya. Dengan tubuh dililit joan pian, Song Ji tidak berdiam diri. Dia berusaha melindungi dirinya, dengan lincah, tangannya berhasil mencengkeram joan pian itu dan menguasainya. Tubuhnya tetap terapung di udara, Namun begitu dia menarik sekali joan pian yang berhasil dicekalnya, tubuhnya jadi terasong ke depan, dan dia menggunakan kesempatan itu untuk mendupak wajah lawannya. Honghu Kok terkejut Setelah mengaduh satu kali, tubuhnya terkulai dengan perlahan-lahan. Song Ji segera melompat turun untuk merebut senjata joan pian lawannya.
"Bagus!" Puji Siau Po merasa gembira dan kagum sekali "Kepandaian yang hebat!" dia segera mengeluarkan pisau belatinya dan menggunakan untuk mengancam mata kiri lawan, "Lekas turunkan perintah. Tidak ada seorang pun yang boleh datang ke mari!" katanya. Bukan main bingungnya perasaan Honghu Kok. Kecuali sudah tidak berdaya, pisau belati yang berkilauan itu mengancam di depan matanya pula. Dalam keadaan demikian, terpaksa dia berteriak kepada orang-orangnya.
"Semua jangan bergerak! Dengarkan baik-baik, jangan ada yang bergerak! jangan ada yang masuk ke dalam rumah ini!" Akibat totokan Song Ji, Honghu Kok sulit mengeluarkan suaranya, kata-katanya itu jadi tidak seberapa nyaring, Si hwesio raksasa menatap Song Ji dengan termangu-mangu.
"Oh, anak yang baik!" katanya kemudian. setelah itu dia membimbing hwesio berusia setengah baya itu kembali ke dalam rumah yang gelap. Siau Po menghambur ke depan, ingin berbicara dengan si hwesio setengah baya, tapi dia ketinggalan. Sementara itu, Song Ji langsung menghampiri Teng Kong, dia segera membebaskannya dari totokan lawan. Sekejap kemudian hwesio itu sudah bisa berdiri kembali. Sembari menolong pendeta itu, Song Ji tersenyum manis.
"Kawanan telur busuk itu sungguh jahat sekali, mereka berani mempermainkan Lo suhu yang maha suci!" Teng Kong memberi hormat dengan merangkapkan sepasang tangannya.
"Terima kasih, sicu!" katanya. "Kau benar-benar lihay sekali dan kau telah menolong kuil kami dari bencana, maafkan lolap yang usianya sudah lanjut dan matanya sudah lamur sehingga sejak semula tidak melihat ada gunung tinggi yang menjulang di depan (Maksudnya tidak mengenali orang yang berkepandaian tinggi)."
"Jangan banyak peradatan, Lo suhu!" sahut si nona, "Kau justru bersikap baik sekali terhadap tuanku." Teng Kong langsung menoleh kepada Siau Po.
"Wi kongcu, bagaimana urusan ini harus diselesaikan sekarang?" tanyanya. Song Ji memang sudah berhasil merobohkan banyak lawan, terutama tiga orang yang menjadi pemimpinnya, Tapi di luar kuil masih banyak teman-teman mereka, biar bagaimana urusan ini memang harus diselesaikan. Siau Po hanya tertawa, Dia segera menghadap Honghu Kok, Bayan dan Sim Ke. Dia tersenyum kepada mereka bertiga dan berkata.
"Tuan-tuan bertiga, bagaimana kalau aku meminta Tuan menyuruh orang-orang kalian mengundurkan diri dari tempat ini?" Honghu Kok menyadari situasi yang mereka hadapi, dia sudah menduga Siau Po atau pihak lawan akan mengajukan permintaan itu. Karena itu, tanpa menunggu si bocah menyelesaikan ucapannya, dia sudah berteriak.
"Kalian semua boleh pergi. Tunggu kami di kaki gunung!"
"Ya!" terdengar sahutan dari beberapa ratus orangnya, disusul dengan suara riuh derap langkah kaki yang berlarian turun gunung. Menyaksikan hal itu, hati Teng Kong menjadi agak lega. Dia segera menghampiri Sim Ke dan tangannya diulurkan, Dia berniat membebaskan totokan pada tubuh Hong Tio dari Hud Kong si itu.
"Hong Tio, sabar sebentar!" kata Siau Po mencegah "Aku masih ingin berbicara denganmu."
"Tetapi beberapa saudara ini masih dalam keadaan tertotok," kata si hwesio yang murah hati, "Kalau terlalu lama membiarkan mereka dalam keadaan tidak bergerak, kaki mereka bisa menjadi kaku dan bahkan bisa mengakibatkan kelumpuhan. Sebaiknya mereka ini dibebaskan terlebih dahulu!"
"Jangan terburu-buru, Hong Tio." kata Siau Po sembari tertawa.
"Waktu kita masih banyak, sebaiknya kita duduk dulu di dalam ruangan pendopo untuk berbincang-bincang sejenak!" Mau tidak mau, Teng Kong terpaksa menurut Dia menganggukkan kepalanya. Kepandaian hwesio tua ini memang tinggi, tapi hatinya lemah. Kalau melakukan sesuatu, dia tidak bisa bersikap tegas.
"Suheng, harap sabar sebentar, nanti aku akan membebaskan totokanmu!" katanya kepada Sim Ke. Selesai berkata, dia mengajak Siau Po ke pendopo sebelah barat.
"Hong Tio, benarkah orang-orang rombongan tadi sedang mencari seorang Lhama cilik?" tanya Siau Po. Teng Kong membungkam. Dia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Hal ini karena dia mengetahui dengan baik tujuan Bayan dan yang lainnya datang ke kuil Ceng Liang si dan dia sulit menjelaskannya kepada Siau Po. Siau Po mengerti kesulitan orang. Dia mendekati telinga hwesio itu dan berkata kepadanya dengan suara berbisik.
"Aku tahu siapa yang mereka cari, mereka mencari pendeta yang tadinya seorang kaisar..." Tubuh Teng Kong bergetar mendengar kata-kata Siau Po. Dia sempat terhuyung-huyung namun dia menganggukkan kepalanya juga.
"Oh, kiranya sicu juga mengetahui urusan ini." katanya, "sebenarnya lolap pun sudah merasa heran dengan kedatangan sicu ke Ceng Liang si untuk bersembahyang, Aku merasa tidak wajar sekali...." Siau Po tidak menanyakan apa-apa lagi tentang kaisar Sun Ti, dia mengalihkan pembicaraannya tentang Bayan dan rombongannya.
"Honghu Kok dan Bayan memang sudah tertawan tapi mereka mendatangkan kesulitan bagi kita! Bukankah mudah membekuk seekor harimau, namun berbahaya apabila kita melepaskannya? Kalau sekarang kita membebaskan mereka, lalu dalam waktu beberapa hari mereka datang lagi, bagaimana? Bukankah kita dilanda kesulitan kembali?"
"Meskipun demikian, kita toh tidak bisa membunuh orang seenaknya!" kata Teng Kong yang hatinya welas asih, "Sekarang saja sudah beberapa orang yang jadi korban! Amitaba Buddha! Omitohud!"
"Membunuh orang juga tidak ada gunanya," kata Siau Po.
"Aku lihat, sebaiknya kita atur begini saja, kau perintahkan beberapa orang untuk meringkus mereka dan kita minta keterangan dari mereka, sebenarnya mereka mempunyai tujuan apa sehingga mencari kaisar yang sudah mengundurkan diri dari tahta kerajaan itu?" Teng Kong merasa serba salah.
"Tempat lolap ini adalah tempat Buddha yang maha suci dan welas asih!" katanya kemudian.
"Kami adalah orang-orang yang beribadat, mana boleh kami meringkus orang dan mengadakan pemeriksaan perbuatan itu sungguh tidak pantas bagi orang yang sudah menyucikan diri."
"Apa yang dikatakan pantas atau tidak pantas?" tanya Siau Po.
"Lalu apakah perbuatan mereka datang ke mari dan melakukan penggeledahan seenaknya dapat disebut sebagai sesuatu yang pantas? Apakah pantas mereka membunuh para hwesio yang menjadi muridmu atau seluruh penghuni kuil ini? Kalau kita tidak memeriksa mereka sampai jelas, kelak mereka pasti berani datang lagi untuk melakukan pembunuhan atau mungkin pembakarn atas kuil Ceng Liang si. Apa yang akan kau lakukan apabila hal itu sampai terjadi?" Teng Kong merenung sejenak, Selang sekian lama, dia baru menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, terserah kepada sicu saja!" sahutnya kemudian Lalu dia menepuk tangannya dua kali. Segera muncul beberapa orang hwesio dari luar pendopo.
"Pergi kau, undang Tuan Honghu itu datang ke mari!" katanya, "Bilang bahwa kami ingin berbicara dengannya untuk mendapatkan beberapa petunjuk.
"Tampaknya orang she Honghu itu agak licik," kata Siau Po.
"Aku khawatir kita tidak akan mendapat keterangan apa-apa. Lebih baik kita minta dulu keterangan Bayan Lhama yang tinggi besar itu!"
"Benar, benar!" kata Teng Kong.
"Mengapa aku tidak berpikir sampai ke sana?" Hwesio itu segera menyuruh muridnya mengundang Bayan Lhama, Tidak lama kemudian, muncullah Bayan dengan dibimbing oleh dua orang hwesio, Begitu sampai di dalam ruangan pendopo, rupanya kedua orang hwesio itu menjadi sengit mengingat beberapa kawannya yang telah menjadi korban si Lhama gemuk ini. Mereka melepaskan bimbingannya dengan setengah mendorong sehingga orang itu jatuh terjerembab dengan keras.
"Aih! Mengapa kalian begitu tidak tahu aturan terhadap seorang Lhama besar?" seru Teng Kong menegur muridnya.
"Maaf, suhu!" sahut kedua orang itu. Mereka segera mengundurkan diri. Siau Po mengambil sebuah kursi, kemudian dia memotong salah satu kakinya dan diraut berulang-ulang dengan pisau belatinya. Dalam sekejap mata kaki meja itu sudah menjadi runcing, dia lalu memotong kaki meja yang lainnya dan melakukan hal yang sama, karena pisau belatinya tajam sekali, beberapa saat saja keempat kaki kursi itu sudah teraut menjadi pasak kayu yang runcing. Teng Kong heran menyaksikan tindak tanduk bocah tanggung itu. Apa yang sedang dilakukannya? Setelah selesai meraut kaki kursi, baru Siau Po menghampiri Bayan, dia mengusap kepala orang itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan nya membolang-balingkan pisau belatinya dengan gaya yang persis seperti dia meraut kaki kursi tadi.
"Jangan!" teriak Bayan yang mengira dirinya akan dibunuh.
"Jangan!" Teng Kong ikut mencegah.
"Jangan apanya?" bentak Siau Po dengan suara garang.
"Aku tahu di Tibet, semua Lhama besar kaum Bit Cong mempelajari semacam ilmu kebal yang dinamakan ilmu kepala besi, orang yang menguasai ilmu itu tidak mempan terhadap tombak maupun golok. Ketika di Pe King, aku pernah membacok kepala seorang Lhama, setengah harian aku membacoknya berulang kali, akhirnya tanganku sampai pegal sendiri, tapi orang itu malah seperti tidak merasakan apa-apa. Golokku tidak mempan terhadapnya. Karena itu, Lhama besar, aku ingin tahu kau ini barang palsu atau barang asli? Tanpa diuji terlebih dahulu, bagaimana aku dapat membuktikannya?" Mendengar kata-kata Siau Po, Song Ji tersenyum-senyum, dia merasa tuan mudanya ini jenaka sekali.
"Aku belum pernah mempelajari ilmu kepala besi." sahut Bayan cepat.
"Kalau kau membacok aku satu kali saja, aku akan mati seketika."
"Ah... belum tentu kau begitu gampang mati." kata Siau Po kembali.
"Kalau baru ditusuk dua tiga dim saja, masa kau bisa mati? Eh, Lhama besar, aku akan membacok kepalamu satu kali saja, yakni dengan membeset kulitnya, aku ingin mengintip otakmu. Pernah aku dengar seseorang berkata, bahwa seorang Lhama yang jujur, otaknya pasti diam saja, tidak ada denyutan sedikit pun. Sebaliknya, kalau Lhama itu suka berbohong, otaknya pasti akan bergolak terus, seperti air yang baru mendidih. Aku hendak berbicara denganmu, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Kalau aku tidak melihat otakmu terlebih dahulu, aku mana tahu kau akan mengatakan yang sejujurnya atau tidak?"
"Jangan kupas kulit kepalaku!" teriak Bayan.
"Aku akan berbicara terus terang kepadamu." Kembali Siau Po mengusap-usap kepala Bayan, malah mengetuknya perlahan-lahan.
"Habis, mana mungkin aku tahu kau bicara yang sebenarnya atau sedang membohongi aku?" tanyanya.
"Kalau aku berdusta, kau boleh mengupas kulit kepalaku dan melihat otakku, Saat itu toh masih belum terlambat." kata Bayan dengan suara bersungguh-sungguh. Siau Po berdiam diri beberapa saat. Tampaknya dia sedang berpikir keras.
"Baiklah!" katanya kemudian, "Sekarang, mari aku tanyakan dulu kepadamu, Siapa yang menyuruh kau datang ke kuil Ceng Liang si ini?"
"Aku diperintahkan oleh Lhama besar Sinlata dari wihara Wajah asli di puncak Bodhisatva."
"Omitohud!" ucap Teng Kong yang merasa heran sekali "Kuil hijau Ngo Tay san selamanya tidak berhubungan dengan kuil kuning. juga belum pernah ada permusuhan apa pun. Mengapa pihak puncak Bodhisatwa justru menitahkan kau datang ke mari melakukan penyerbuan?"
"Kedatangan kami bukan untuk menyerbu atau mengacau." sahut Bayan.
"Kakak Sinlata menitahkan aku mencari seorang biku berusia kurang lebih empat puluhan tahun. Katanya biku itu sudah mencuri kitab pusaka dari Sang Buddha Hidup kami dari Lhasa dan sekarang dia bersembunyi di kuil Ceng Liang si. Karena itulah, kami harus menawannya!"
"Amitabha Buddha!" seru Teng Kong kembali.
"Itu toh tidak mungkin." Siau Po mengancam lagi dengan pisaunya, "Kalau kau berbohong, aku akan mengupas kulit kepalamu!" katanya dengan nada bengis.
"Tidak, aku tidak berbohong." sahut Bayan.
"Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja pada kakak Sinlata, menurut kakakku itu, kami harus mengaku bahwa kami telah kehilangan seorang Lhama cilik, padahal tujuan kami ingin mencari biku tua itu, dia juga mengatakan bahwa Tuan Honghu mengenal biku itu, Kami harus meminta Tuan Honghu menemani kami apabila datang ke kuil Ceng Liang si ini.
Kakak Sinlata juga menegaskan bahwa biku itu sudah mencuri kitab kami, kitab pusaka Sang Buddha puIa, maka ini bukanlah urusan kecil. Padaku, kakak Sinlata menjelaskan apabila aku berhasil membekuk biku itu, maka jasaku besar sekali Apabila aku kembali ke Lhasa nanti, Buddha hidup kami pasti akan memberikan hadiah besar kepadaku." Siau Po menatap wajah Lhama itu lekat-lekat. Dia merasa orang itu tidak berdusta, Lhama ini pasti sudah dikelabuhi orang, Tentu orang yang menyuruhnya tidak
mengatakan dengan terus terang bahwa yang dicarinya adalah kaisar Sun Ti yang sudah mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Dia segera mengeluarkan sepucuk surat dari dalam saku pakaiannya, itulah surat yang ditemukan Song Ji dari Lhama yang berhasil dibekuknya ketika melakukan perjalanan. Dia membeberkan surat itu di hadapan Bayan Lhama.
"Kau baca surat ini agar aku dengar!" Perintahnya, "Apa yang tertulis di dalamnya?"
"Iya, iya." sahut Bayan yang segera mulai membaca. Siau Po menganggukkan kepalanya, "Tidak salah," katanya, "Kau dapat membacanya dengan baik. Tapi bapak kepala pendeta di sini tidak mengerti bahasa Tibet, tolong kau terjemahkan bunyi surat itu dalam bahasa sini!"
"Isi surat ini mengatakan...." Tiba-tiba Bayan Lhama jadi sangsi. Sejenak kemudian dia baru melanjutkan kembali.
"Katanya... orang itu adalah orang besar dan dia berada di kuil Ceng Liang si, Gunung Ngo Tay san. Menurut kabar terakhir yang kami terima, pihak Sin Liong kau ingin mengundangnya, karena itu kami harus mendahuluinya..." Mendengar disebutkan nama perkumpulan Sin Liong kau, Siau Po merasa yakin orang itu tidak sembarangan menerjemahkan arti surat tersebut Tetapi, kembali dia bertanya.
"Apakah surat itu masih mengatakan hal lain nya?" Bayan meneruskan terjemahannya, "Dalam surat dikatakan, bahwa tidak sulit
sebenarnya mengundang orang besar yang berada di kuil Ceng Liang si, Ngo Tay san itu. Yang dikhawatirkan justru pihak Sin Liong kau keburu mendengar berita ini dan datang merebutnya, karena itu, kakak Sinlata meminta kakak seperguruan kami, Dahur
yang berada di kota kerajaan untuk selekasnya mengirim orang-orangnya yang lihay untuk memberikan bantuan...."
"Apakah masih ada yang lainnya lagi?" tanya Siau Po.
"Tidak ada lagi," sahut Bayan.
"Hanya sekian isi surat ini."
"Siapa sebenarnya Honghu Kok itu?" tanya Siau Po kembali.
"Dialah salah seorang pembantu kami yang diundang oleh kakak Sinlata." kata Bayan Lhama menjelaskan.
"Baru tadi malam dia sampai." Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Lo suhu," katanya kepada Teng Kong.
"Sekarang aku hendak memeriksa Hong Tio dari Hud Kong si. Kalau Lo suhu merasa tidak leluasa, silahkan menuju luar jendela dan memasang telinga di sana!"
"Bagus!" kata Teng Kong yang langsung melangkah ke luar sambil menyuruh orangnya membawa Bayan kembali ke depan, dan sebaliknya membawa Sim Ke masuk ke dalam pendopo agar dapat diperiksa oleh si bocah tanggung, dia sendiri langsung kembali ke kamarnya, karena dia tidak mau memasang telinga di luar jendela yang menurutnya merupakan perbuatan yang tidak layak.
Begitu digiring masuk ke dalam ruangan pendopo, dengan wajah berseri-seri Sim Ke langsung mengeluarkan pujian kepada kedua pemuda-pemudi tersebut.
"Kedua sicu, kalian masih muda sekali, tetapi ilmu kalian sudah lihay sekali. Hal ini belum pernah aku si hwesio tua lihat atau dengar sekali pun. Kalianlah anak-anak muda yang gagah perkasa."
"Hebat nenek moyangmu!" maki Siau Po.
"Siapa yang sudi mendengar pujianmu?" Dia mengangkat kakinya dan menyepak selangkangan hwesio itu.
Sim Ke merasa kesakitan tapi dia masih memaksakan dirinya tersenyum.
"Iya, ya.... Memang benar," katanya.
"Seorang laki-laki sejati paling benci mendengar pujian bagi dirinya, Tapi, aku si hwesio tua berkata dengan sungguh-sungguh, aku bukan hanya sekedar memuji...."
"Sekarang aku tanyakan kepadamu," kata Siau Po. Dia tidak menghiraukan kata-kata hwesio itu.
"Kau datang ke kuil Ceng Liang si ini dengan lagakmu yang konyol. Siapa yang menyuruh kau datang ke mari?"
"Sicu bertanya kepadaku, tentu aku harus menjawab yang sebenar-benarnya." sahut hwesio itu.
"Lhama besar Sinlata di Tibet telah mengirim orangnya untuk mengantarkan uang sebanyak dua ratus tail kepadaku, Dia meminta aku menemani adik seperguruannya datang ke kuil Ceng Liang si ini. Katanya untuk mencari seseorang. Aku toh tidak bisa menerima imbalan tanpa melakukan apa-apa. Karena itulah aku menyertai Bayan Lhama datang ke mari."
"Ngaco!" bentak Siau Po.
"Kau ingin membohongi aku? Cepat katakan hal yang sebenarnya!"
"Iya, iya." sahut si hwesio, "Aku tidak akan membohongi kau, sicu, sebetulnya Lhama besar itu memberikan aku uang sebanyak tiga ratus tail..."
"Oh, kau masih berbohong juga?" bentak Siau Po.
"Sudah terang dia memberimu seribu tail."
"Tidak, tidak, sicu!" sahut si hwesio tua.
"Sebenarnya cuma lima ratus tail, kalau sampai lebih dari satu tail saja, anggaplah aku bukan manusia lagi!" Siau Po memperhatikan dengan tajam.
"Dan, mahluk apakah Honghu Kok itu?" tanyanya kembali.
"Dia seorang hina dina, dia bukanlah manusia baik-baik." sahut Sim Ke.
"Bayan Lhama yang membawanya ke mari, kalau sicu membebaskan aku, segera aku akan membawanya ke kantor kecamatan di Ngo Tay san dan meminta bapak camat memberikan hukuman kepadanya, Ceng Liang si adalah tempat suci murid Buddha, mana boleh dikotori manusia busuk seperti dirinya? Sicu kecil, beberapa jiwa korban akan kutimpakan seluruh kesalahan di bahunya." Siau Po memperlihatkan tampang berwibawa.
"Sudah jelas kau yang membunuh mereka, bagaimana kau bisa menimpakan kesalahan itu pada orang lain?" tanyanya.
"Baiklah," kata Sim Ke.
"Sicu kecil, aku harap kau sudi mengampuni aku!" Siau Po menyuruh orang membawa hwesio itu pergi, sekarang giliran Honghu Kok yang dibawa masuk. Orang yang satu ini memang keras kepala. Tidak ada satu pun keterangan yang didapatkan dari orang ini, dia tidak bersedia mengatakan apa-apa. Song Ji segera menotok jalan darah Thian tok orang itu. Dalam sekejap mata dia merasa kegatalan serta sakit. Dia segera menjerit keras-keras. Meskipun demikian, dia tetap berkepala batu. Tidak ada satu pun pertanyaan Siau Po yang dijawabnya.
"Kalau kau memang laki-laki, bunuhlah aku!" tantangnya, "Kau bunuhlah Tuan besarmu ini, Siapa yang hanya pandai menyiksa, bukanlah orang yang gagah." Biar bagaimana, Siau Po menghormati keberanian orang itu.
"Baik, aku tidak akan menyiksamu lagi." katanya. Dia, menyuruh Song Ji membebaskan totokannya. Setelah itu, dia meminta orang membawa Honghu sianseng itu ke luar, sebaliknya Teng Kong diundang masuk kembali. Tidak lama kemudian, Teng Kong sudah datang.
"Urusan ini agak sulit." kata Siau Po kepada kepala pendeta itu.
"Aku rasa, sebaiknya aku berunding dengan orang besar itu." Teng Kong menggelengkan kepalanya.
"Sulit!" katanya.
"Beliau pasti tidak bersedia bertemu dengan orang luar." Siau Po merasa kurang puas mendengar jawaban Teng Kong.
"Mengapa beliau tidak mau bertemu dengan orang luar?" tanyanya.
"Bukankah tadi dia sudah menemuinya? Bukankah beliau akan tertawan dan dibawa pergi, apabila kami lepas tangan tadi? Untuk selanjutnya, beliau tetap tidak akan merasakan kedamaian Beberapa hari kemudian, pasti akan datang lagi orang-orang suruhan si Lhama besar dari kota Pe King. Belum lagi perkumpulan Sin Liong kau dan partai kura-kura lainnya. Mereka tentu tidak sudi menyudahi urusan ini begini saja. Sekalipun kami mau membantu kalian, tapi belum tentu kami sanggup menghadapi lawan sebanyak itu." Teng Kong menganggukkan kepalanya.
"Apa yang dikatakan sicu ada benarnya juga." katanya.
"Karena itu, sebaiknya Lo suhu mendatangi beliau dan ceritakan gentingnya suasana yang dihadapi saat ini. Biar bagaimana, kita harus berunding dan memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri kita semua." Tapi Teng Kong tetap menggelengkan kepalanya.
"Persoalan ini sulit." katanya.
"Lolap telah berjanji, baik lolap sendiri maupun murid-murid lolap di sini, tidak ada yang boleh berbicara dengannya."
"Tidak apa-apalah kalau begitu," kata Siau Po.
"Aku toh bukan hwesio atau anggota kuil kalian, Biar aku saja yang berbicara dengannya!"
"Tidak, tidak bisa, sicu!" cegah Teng Kong.
"Kalau sicu masuk ke dalam rumah pertapaannya, tentu sicu akan dirintangi adik seperguruannya, Heng Tian, Dia seorang hwesio yang tabiatnya keras dan berangasan, bisa-bisa sicu terhajar mati olehnya." Siau Po tertawa.
"Tidak mungkin dia sanggup menghajar aku sampai mati." sahutnya. Teng Kong melirik ke arah Song Ji.
"Meskipun sicu menitahkan pembantumu ini menotok Heng Tian sehingga dia roboh tidak berdaya, Heng Ti sendiri belum tentu sudi berbicara dengan sicu."
"Heng Ti?" tanya Siau Po menegaskan sekali lagi.
"Oh, kiranya itu nama sucinya kaisar Sun Ti."
"Benar! Aku tidak menyangka sicu tidak mengetahui nama sucinya." Siau Po menarik nafas panjang.
"Kalau begitu, habislah dayaku." katanya perlahan.
"Sayang sekali kuil Ceng Liang si yang suci dan sudah tua ini harus musnah di tanganmu, Lo suhu!" Teng Kong terkejut. Dia nampak berduka sekali, untuk sesaat dia menjadi bingung.
"Nanti aku tanyakan kepada Giok Lim suheng," katanya kemudian tampak sepasang alisnya menjungat ke atas seakan sedang berpikir keras, "Suhengku itu mempunyai jalan keluarnya..."
"Siapakah Giok Lim taysu itu?" tanya Siau Po.
"Beliau adalah guru Heng Ti." sahut Teng Kong.
"Bagus!" Kata Siau Po. Dia tampak senang sekali.
"Nah, mari Lo suhu ajak aku menemuinya!" Teng Kong menerima baik permintaan itu. Dia langsung mengajak Siau Po ke ruang belakang yang terdapat sebuah kamar untuk bersemedi. Bahkan di sana tampak seorang pendeta tua sedang duduk bersila dengan mata dipejamkan Pendeta itu sudah putih alis dan janggutnya. Dia tidak tahu ada tiga orang yang memasuki kamarnya.
Teng Kong memberi isyarat dengan kedua tangannya, kemudian dengan hati-hati duduk di sisi hwesio tua itu. Dia memejamkan matanya dan merapatkan sepasang telapak tangannya.
Di dalam hati, Siau Po tertawa menyaksikan tindak tanduk hwesio itu. Tapi dia menurut, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia ikut duduk di sisi hwesio itu.
Seperti ketika mereka masuk, wihara itu demikian hening sehingga tidak terdengar suara sedikit pun. Wihara itu seakan hanya dihuni oleh hwesio tua itu seorang diri. Setelah lewat sekian lama, hwesio itu masih duduk berdiam diri. Dia mirip dengan mayat hidup. Dan Teng Kong juga ikut mematung. Siau Po menjadi kewalahan, dia merasa kaki dan tangannya mulai kesemutan Akhirnya dengan terpaksa, dia bangkit, tapi karena kedua orang itu tetap berdiam diri, dia pun terpaksa duduk kembali. Beberapa kali dia bangkit dan duduk kembali, tetapi kesunyian tetap saja mencekam.
-- Aih, celaka dua belas! --, keluhnya dalam hati, Saking mendongkolnya, dia memaki si hwesio tua dalam hatinya. Dia masih harus menunggu cukup lama, namun akhirnya si hwesio tua membuka matanya dengan perlahan-lahan. Dari mulutnya terdengar suara lirih seperti sedang menarik nafas panjang. Dia melihat ada beberapa orang dalam kamarnya, namun dia tidak menunjukkan perubahan apa-apa, kecuali menganggukkan kepalanya sedikit.
"Suheng." Teng Kong lantas menyapanya, "Jodoh Heng Ti dengan dunia luar rupanya belum selesai. Ada beberapa orang yang datang menjenguknya, harap suheng sudi melepaskannya!" Hwesio yang ternyata Giok Lim taysu itu berkata dengan suara perlahan.
"Suasana disebabkan hati sendiri. Karena itu, untuk membebaskan diri, orang juga harus mengandalkan dirinya sendiri..." Teng Kong menganggukkan kepalanya.
"Hantu dari luar datang bertubi-tubi, Ceng Liang si menghadapi malapetaka yang tidak kepalang besarnya." Dia segera menuturkan usaha Sim Ke, Bayan dan Honghu Kok yang datang mencari Heng Ti dan berusaha menawannya. Untung ada Siau Po datang bersama pembantunya. Mereka memberikan bantuan sehingga Heng Ti terlepas dari ancaman maut. Tapi, di dalam pertempuran, kedua belah pihak sama-sama ada yang jatuh korban jiwa.
"Meskipun demikian, pihak sana masih belum mau menyudahi urusan ini." kata Teng Kong mengakhiri ceritanya. Giok Lim taysu mendengarkan keterangan itu dengan berdiam diri, tidak sekali pun dia menukas, sepasang matanya kembali dipejamkan untuk ber semedi lagi, keheningan pun kembali menceka kamar itu. Menyaksikan keadaan itu, habis rasa sabar Sia Po. Dia segera berjingkrak bangun untuk mencaci. Tapi belum juga sepatah kata ke luar dari mulutnya, Teng Kong sudah menggoyangkan tangannya mencegah. Terpaksa dia menahan sabar dan duduk kembali Kali ini Siau Po harus menunggu lebih lama lagi, sampai dia mencaci dalam hatinya, -- Di kolong langit, yang paling brengsek adalah Hay kong kong dengan si nenek sihir, tapi mereka masih tidak begitu menjemukan seperti si kepala gundul ini! --
Baru si bocah tanggung berpikir demikian, tampak Giok Lim taysu membuka matanya, sembari tertawa dan menganggukkan kepalanya dia bertanya dengan sopan.
"Apakah sicu ini datang dari Pe King?"
"Benar!" sahut Siau Po singkat.
"Apakah di kotaraja sicu bekerja memdampingi Sri Baginda?" tanya Giok Lim taysu kembali. Siau Po merasa heran. Hampir saja dia melonjak bangun saking terperanjatnya.
"Bagaimana... taysu bisa tahu?" tanyanya kembali. Giok Lim taysu tersenyum.
"Lolap hanya menduga-duga saja." Mau tidak mau, Siau Po jadi berpikir dalam hatinya, -- Hwesio ini agak aneh, jangan-jangan dia menguasai ilmu...., Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po segera duduk dengan diam, dia tidak berani mencaci lagi,
meskipun hanya dalam hati. Terdengar Giok Lim taysu bertanya lagi, "Apakah ada sesuatu pesan yang penting sehingga Sri Baginda menitahkan sicu datang ke kuil Ceng Liang si ini?"
- Aih, hwesio ini... --, pikirnya kembali -- Apa pun diketahuinya, karenanya aku tidak bisa sembarangan berbohong.... --, karenanya dia segera menjawab "Sri Baginda mengetahui bahwa Raja tua masih hidup dalam dunia ini, beliau merasa gembira sekaligus berduka, itulah sebabnya aku ditugaskan datang menjenguknya, untuk menyampaikan rasa hormat Sri Baginda sekaligus menanyakan kesehatannya. Dan seandainya.... Sri Baginda raja tua bersedia kembali ke istana, itulah hal yang paling baik."
Sebenarnya kaisar Kong Hi menitahkan Siau Po datang ke gunung Ngo Tay san untuk mencari bukti kebenaran bahwa si raja tua masih hidup di dunia ini. Kalau benar, maka nanti Sri Baginda Kong Hi sendiri yang akan datang ke Ceng Liang si untuk menjenguknya, Tapi Siau Po justru mengubahnya sendiri.
"Apakah Sri Baginda membekali sesuatu sebagai tanda bukti kepada sicu?" tanya Giok Lim taysu kembali Tampaknya hwesio tua ini teliti sekali. Siau Po merogoh ke dalam sakunya untuk mengeluarkan surat yang ditulis oleh kaisar Kong Hi.
"Silahkan taysu baca surat ini!" katanya sembari menyerahkan surat itu yang disodorkan dengan kedua belah tangannya.
Surat ini bukan surat yang ditujukan Sri Baginda untuk ayahandanya. Memang kaisar Kong Hi sudah menulis surat itu, tapi kemudian dia membakarnya. Dia khawatir surat itu terjatuh ke tangan orang lain dan hal ini berbahaya sekali. Sebagai gantinya, kaisar Kong Hi menuliskan sepucuk surat perintah atau firman Raja. Begini bunyi surat perintah tersebut:
"Dengan ini dititahkan kepada Gi cian siwi Hu congkoan Wi Siau Po yang dianugerahkan baju makwa kuning untuk pergi ke gunung Ngo Tay san dan sekitarnya untuk suatu urusan dinas., Dengan demikian semua pembesar sipil dan militer setempat harus melakukan segala perintahnya, ini merupakan firman kaisar." Giok Lim taysu menyambut surat itu kemudia dibacanya dengan seksama. Tidak lupa dia memeriksa cap kerajaan yang tertera di bawahnya Setelah itu dia baru mengembalikannya kepada Siau Po dan berkata.
"Kiranya lolap berhadapan dengan Tuan paduka Gi cian siwi Hu congkoan! Maaf!" Puas hati Siau Po melihat sikap hwesio tua itu serta mendengar nada suaranya yang penuh hormat, Di dalam hati dia berkata.
-- Nah, sekarang kau tentu tidak berani menganggap ringan diriku lagi! --. Meskipun demikian, dia tidak menunjukkan sedikit perubahan pun di-wajahnya, Tapi, ketika dia melihat sikap si hwesio tua itu tidak berubah, hatinya menjadi tawar sendiri.
Terdengar hwesio itu bertanya kembali.
"Wi sicu, kalau menurut sicu, tindakan apa yang harus kita ambil sekarang?"
"Aku ingin menghadap Sri Baginda raja tua untuk mendengarkan perintahnya!" sahut Siau Po.
"Dulu, beliau memang mempunyai kekayaan yang tidak terhitung dan kedudukan yang mulia, tapi sejak menyucikan diri menjadi pendeta, semuanya sudah musnah dan hubungannya dengan dunia luar sudah putus, karena itu, panggilan Sri Baginda raja tua jangan disebut-sebut lagi jangan sampai orang lain yang mendengarnya menjadi kaget dan ketenangannya terganggu karenanya!"
Siau Po diam saja, dia tidak menyatakan komentar apa-apa.
"Sekarang sebaiknya kau pulang saja dan sampaikan kepada Sri Baginda bahwa Heng Ti tidak bersedia menemuimu Heng Ti juga tidak bersedia menemui orang luar, biar siapa pun orangnya!" kata hwesio tua itu.
"Sri Baginda Kong Hi adalah putranya, bukan orang luar," sahut Siau Po dengan berani.
Bagian 36
"Tahukah kau apa artinya Jut-ke?" tanya Giok Lim taysu.... Siau Po memperhatikan hwesio tua itu lekat-lekat Jut-ke artinya ke luar rumah, Tapi dalam arti kiasan, maksudnya menyucikan diri menjadi pendeta.
"Siapa yang sudah menyucikan diri," kata Giok Lim taysu kembali "Rumah sudah bukan rumah lagi, anak dan isteri pun menjadi orang lain." Mendengar kata-katanya, Siau Po segera berpikir - Semua ini tentu kau sendiri yang bermain gila dengan berbagai akal muslihat. Kau ingin menghalang-halangi orang yang ingin menemui kaisar Sun Ti. Andaikan kaisar Sun Ti tidak bersedia kembali ke istana, tidak mungkin dia tidak bersedia bertemu dengan putranya sendiri! - Dia tidak mengutarakan apa yang tersirat dalam hatinya, hanya berkata, "Kalau begitu, aku memanggil pasukan tentara untuk melindungi Sri Baginda raja tua. Mereka bisa melarang siapa pun yang bermaksud melakukan pengacauan di sini." Giok Lim taysu tersenyum.
"Kalau sicu melakukan hal itu, maka Ceng Liangsi langsung berubah menjadi istana kerajaan." katanya.
"Dengan kata lain, Ceng Liang si berubah menjadi istana kantor pembesar negeri. Kalau demikian halnya, bukankah lebih baik Heng Ti kembali saja ke istananya di Pe King? Oh, Wi sicu, dengan demikian berarti juga seorang Gi cian siwi hu congkoan menjadi seorang hamba dalam kuil Ceng Liang si."
"Oh, oh.... Rupanya taysu telah mempunyai daya upaya yang lebih sempurna untuk melindungi keselamatan Baginda... Baginda raja yang tua? Taysu, aku yang muda masih kurang pengalaman sudilah kiranya taysu mengatakan upaya yang baik itu, agar aku dapat menyuci bersih telingaku ini?" Kembali Giok Lim taysu tersenyum.
"Wi sicu," katanya, "Kau memang masih sangat muda, tapi kau benar-benar lihay, tak heran kalau dalam usia yang begini muda kau telah menjabat pangkat yang tinggi." Hwesio itu menghentikan kata-katanya sejenak, kemudian baru melanjutkan kembali "Sebenarnya, daya upaya yang sempurna, lolap belum punya. Yang benar, sebagai orang-orang yang sudah menyucikan diri, kami menghindari perselisihan dan pertikaian, kami menyambut kekerasan dengan kelunakan. Terima kasih atas kebaikan hati sicu yang bersedia melindungi kami. Tapi, seandainya Ceng Liang si harus mengalami bencana, ini yang dinamakan takdir Siapa pun tidak dapat menghindarinya." Sembari berkata, hwesio tua itu kembali merangkapkan sepasang tangannya, kemudian dia memejamkan matanya untuk bersemedi lagi. Melihat keadaan itu, Teng Kong segera berdiri, terus memberi isyarat kepada Siau Po dengan mengedipkan matanya dan menggerakkan tangannya. Setelah itu, dia mengundurkan pintu ke sisi pintu dan menjura kepada Giok Lim taysu. Siau Po menolehkan wajahnya untuk menatap Giok Lim taysu sekali lagi, Kemudian dia memencet hidungnya serta mencibirkan bibirnya sebagai tanda mengejek si hwesio yang diartikan bau sekali. Tapi Giok Lim taysu sudah memejamkan kedua matanya sehingga dia tidak melihat apa-apa. Teng Kong mengajak Siau Po dan pengiringnya ke luar dari kamar itu, sesampainya di luar, dia baru membuka mulutnya.
"Giok Lim taysu adalah seorang hwesio yang berbudi luhur dan usianya juga sudah lanjut sekali." katanya.
"Dia telah mencapai kesempurnaan. Tentunya dia juga sudah mendapatkan suatu petunjuk. sekarang lolap akan membebaskan Sim Ke, Hon Tio dan yang lainnya, Sicu, di sini saja kita berpisah!" Selesai berkala, hwesio itu merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat. Dengan demikian dia mengartikan bahwa Siau Po dilarang masuk lagi ke dalam kuil Ceng Liang si.
Panas sekali hati Siau Po jadinya.
"Bagus!" teriaknya lantang, "Kalian sudah mempunyai upaya yang bagus, dasar aku sendiri yang banyak mulut!" Dia segera menyuruh Song Ji mengajak Le Pat dan yang lainnya turun gunung. Mereka kembali ke kuil Leng Keng si dan bermalam di sana. Dia disambut dengan hormat dan dilayani dengan baik. Mungkin karena malam itu kembali dia menderma sebanyak seratus tail.
Tampak Siau Po berdiam di dalam kamarnya, duduk di samping meja sambil bertopang dagu, perasaannya kacau sekali otaknya bekerja keras. Dalam hatinya dia berkata. -- Sri Baginda raja tua telah berhasil ditemukan, namun dia dalam keadaan yang membahayakan. Lhama dari Tibet hendak membekuknya dan pihak Sin Liong kau ingin menawannya, Di samping itu ada Giok Lim taysu yang banyak macam-macamnya sedangkan kepandaiannya tidak ada. Tinggal Teng Kong seorang, Apa yang dapat dilakukan oleh kepala hwesio ini? Aku khawatir beberapa hari lagi Sri Baginda raja tua akan kena diringkus orang dan dibawa pergi. Kalau hal ini sampai terjadi, bagaimana aku bisa pulang ke Kerajaan dan memberikan pertanggungan jawabku kepada Siau Hian cu? --
Berpikir demikian, Siau Po menoleh kepada Song Ji. Dia mendapatkan gadis itu berdiri diam dengan sepasang alisnya dirapatkan. Tandanya dia sedang berduka sekali atau perasaannya kurang puas.
"Eh, Song Ji, mengapa kau kelihatan kurang puas?" tanyanya.
"Tidak apa-apa." sahut si gadis cilik, Siau Po masih memperhatikan lekat-lekat.
"Kau pasti sedang memikirkan sesuatu," kata-nya.
"Lekas kau beritahukan kepadaku!"
"Aku benar-benar tidak memikirkan apa pun."
"Ah, aku tahu," kata Siau Po.
"Kau tentunya merasa tidak puas karena di Kerajaan aku memangku jabatan tinggi, tapi sejauh ini aku tidak mengatakannya kepadamu." Mata si gadis mejadi merah. Dia seperti hendak menangis.
"Kaisar bangsa Tatcu adalah manusia paling jahat di dunia ini." katanya dengan tersendat-sendat.
"Siangkong, mengapa kau menerima jabatan itu dan sudi menjadi hambanya?" Sembari berbicara, airmata si Song Ji sudah bercucuran di kedua belah pipinya yang halus, Siau Po merasa heran.
"Lalu, mengapa kau malah menangis?" tanyanya.
"Aih, benar-benar anak tolol." Song Ji menangis tersedu-sedu.
"Sam nay nay rela menyerahkan aku pada sian kong, dia berpesan agar aku merawatmu. Mendengar kata-katamu, tapi... tapi...
ternyata kau bekerja di Kerajaan dan menduduki jabatan yang tinggi pula, Padahal ayah ibuku, ketiga orang saudaraku, semuanya mati di tangan para pembesar jahat bangsa Tatcu." Saking sedihnya, Song Ji tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi, Siau Po memang cerdas otaknya, tetapi melihat si gadis menangis demikian sedihnya, mau tidak mau dia jadi bingung. "Ada apa dengan gadis ini?"
"Sudah, sudah!" katanya kemudian.
"Sekarang, aku tidak akan menyembunyikan apa-apa darimu lagi, Biar aku katakan terus terang kepadamu. Memang aku menduduki jabatan yang cukup tinggi di Kerajaan, tapi sebenarnya semua itu hanya sandiwara. Kau tahu, aku sebenarnya menjadi hiocu cabang Ceng Bok Tongnya Tian Te hwe. Mengertikah kau makna dari Tian Te hu bo, Hoan Ceng hok Beng" (Langit dan bumi adalah ayah ibu, Ceng digulingkan Beng bangkit kembali)? Guruku adalah Cong tocu dari Tian Te hwe Tentang hal itu aku telah mengatakannya kepada Sam nay nay. Tujuan utama Tian Te hwe kami adalah menentang pemerintahan Ceng, Suhuku menitahkan aku menyelundup ke dalam istana untuk mencari tahu rahasia pemerintah inilah tugas rahasia, kalau sampai bocor, jiwaku akan terancam maut." Rupanya Song Ji mengerti apa arti kata-kata Tian te hu bo, Hoan Ceng Beng, dia segera mengulurkan tangannya yang halus dan menutup mulut Siau Po.
"Sudahlah, jangan kau berbicara lagi!" katanya.
"Aku lah yang bersalah, Sebelum mengerti apa-apa, sudah sembarangan menuduh, Aku seperti memaksa kau bicara terus terang...." Mendadak dia tertawa dan berkata kembali "Kau orang baik, siangkong. Tidak mungkin kau melakukan perbuatan jahat. Dasar aku memang tolol!" Siau Po tertawa.
"Kau justru anak cerdik!" katanya sembari menarik kedua tangan Song Ji dan diajaknya duduk berdampingan. Kemudian dengan suara berbisik, dia menceritakan hubungan dan urusan yang menyangkut kaisar Sun Ti dengan Sri Baginda Kong Hi.
"Kau tentu pernah mendengar bahwa raja yang sekarang baru berusia belasan tahun," kata Siau Po melanjutkan keterangannya, "Dalam usia yang masih begitu belia, dia telah kehilangan ayahandanya yang telah menjadi hwesio. Kaisar Sun Ti tidak memperdulikannya lagi. Coba kau pikir, tidak patutkah dia dikasihani? Hari ini, orang-orang yang menangkap si raja tua adalah orang-orang jahat. Untung saja kau turun tangan menolongnya!" Song Ji menarik nafas lega.
"Kalau demikian, aku telah melakukan sesuatu yang baik." katanya.
"Namun, ada pepatah yang mengatakan "Mengantar Sang Buddha, harus sampai di langit barat" kata Siau Po.
"Orang-orang itu sudah dilepaskan oleh Teng Kong hwesio, pasti mereka tidak puas. Lain kali mereka akan datang kembali untuk melanjutkan niatnya menawan di raja tua. Coba pikir, kalau mereka berhasil meringkus si raja tua, kemudian membawanya pergi dan memotong-motong tubuhnya untuk dimasak dan dimakan, bukankah celaka dua belas jadinya?" Siau Po tahu hati Song Ji masih polos sekali. Dengan ucapan dia bermaksud membakar hati orang agar si gadis mengerti kesulitan yang dihadapi kaisar Sun Ti dan menaruh kesan baik terhadap raja yang sudah mengundurkan diri itu serta suka memberikan pertolongan lebih jauh. Tampaknya si gadis bergidik mendengarkan kata-kata majikannya.
"Mereka mau makan dagingnya si raja tua?" tanyanya gugup.
"Kenapa begitu dan untuk apa?"
"Pernahkah kau mendengar kisah tentang si hwesio dari kerajaan Tong yang berangkat ke Tanah barat untuk mengambil kitab suci?" Bukannya menjawab, Siau Po malah bertanya.
"Iya, aku pernah mendengarnya." sahut Song Ji.
"Selain hwesio itu, masih ada Sun Go Kong dan Ti Pat Kay...."
"Kau benar. Di sepanjang perjalanan banyak siluman yang ingin makan dagingnya hwesio itu. Menurut cerita itu, hwesio tersebut adalah salah satu dari manusia paling suci di dunia, siapa yang bisa memakan dagingnya, bisa menjadi dewa atau Buddha..."
"Aku mengerti sekarang. Kawanan orang jahat itu ingin menyamakan si raja tua dengan pendeta Tong, kawanan orang jahat itulah para silumannya, sedangkan aku adalah Sun Go Kong dan kau... kau..." Siau Po mengangkat kedua telapak tangannya dan direntangkan di bawah telinga kemudian digoyang-goyangkannya, Song Ji yang melihat lagaknya tidak menjadi marah, dia malah tertawa.
"Oh, kau maksud aku adalah Ti Pat Kay, si siluman babi?" katanya. Siau Po tertawa dan berkata dengan cepat.
"Wajahmu secantik Kwan In Pou sat, tapi kau sedang menjalankan peranan si siluman babi...." Song Ji tersenyum sambil menggoyangkan tangannya.
"Jangan sembarangan menyebut nama Kwan Im Pou sat yang maha suci," katanya mencegah.
"Justru engkau, siangkong, yang mirip dengan Siancay Tong-cu Ang Hay ji yang selalu mendampingi dewi Kwa Im itu, aku sendiri hanya...." Berkata sampai di sini, ucapan si Song Ji jadi berhenti dengan sendirinya, wajahnya menjadi merah padam saking jengahnya. Siau Po tersenyum.
"Tepat, tepat!" katanya, "Aku menjadi Sianca Tongcu Ang Hay ji dan kau adalah Siau Liong! Kita berdua akan selalu bersama-sama, siapa pun tidak bisa memisahkan kita." Siancay Tongcu Ang Hay Ji dan Siau Liong adalah sepasang pelayan laki-laki dan perempuan yang mengikuti dewi Kwan Im. Wajah Song Ji semakin merah.
"Aku pasti akan melayani kau... untuk selama-lamanya..." katanya dengan suara lirih.
"Ke... cuali kau sudah tidak menginginkan... aku lagi dan mengusirku...." Siau Po mengangkat tangannya ke arah leher dan dibuat seakan sebilah pisau yang akan menggorokannya.
"Meskipun batang leherku ini dipotong, tidak mungkin aku mengusirmu, Ke... cuali kau sendiri yang tidak sudi mengikuti aku lagi dan kabur secara diam-diam." Si gadis cilik mengikuti gerakan tangan Siau Po...
"Meskipun batang leherku ini dipotong, aku tidak akan pergi darimu." katanya. Siau Po memperhatikan Song Ji, sedangkan si gadis cilik itu juga menatap ke arahnya. Kemudian keduanya tertawa geli. Semenjak diserahkan oleh Sam nay nay kepada Siau Po, Song Ji selalu pandai membawa dirinya sebagai seorang budak. Dia tidak berani bercanda secara kelewatan atau bergurau dengan majikannya. Sekarang, setelah mengetahui rahasia Siau Po. Dia baru berani bersikap jenaka dan tertawa bersama. Dalam hatinya, dia juga merasa senang. Dia percaya penuh kepada Siau Po. Dengan demikian, otomatis hubungan mereka semakin erat.
"Sudahlah," kata Siau Po kemudian.
"Urusan mengenai kita berdua telah diselesaikan Sekarang, bagaimana caranya kita menolong pendeta Tong?" Yang dimaksudkan tentu saja bukan pendeta Tong yang sebenarnya, tapi kaisar Sun Ti. Song Ji tertawa.
"Menolong pendeta Tong adalah tugas Ci Thian Tayseng." katanya, Ci Thian Tayseng adalah gelar Sun Go Kong yang artinya Nabi besar setara Langit.
"Karena itu, seharusnya Ci Thian Tayseng yang mengutarakan jalan pikirannya, Ti Pat Kay tinggal menurut saja!" Siau Po tertawa.
"Kalau Ti Pat Kay secantik dirimu, aku khawatir pendeta Tong itu tidak mau menjadi hwesio lagi" katanya.
"Kenapa?" tanya Song Ji.
"Karena pendeta Tong itu pasti mengambil T Pat Kay untuk menjadi istrinya." Song Ji tertawa geli.
"Ti Pat Kay adalah siluman babi, siapa yang sudi menikah dengannya?" katanya. Mendengar kata-kata Song Ji, Siau Po langsung terdiam. Dia ingat Jin Som Hok Leng Ti, babi yang dikirim Cian laopan yang di dalamnya berisi Kiam Peng. Otaknya langsung memutar, di mana kira-kira Kiam Peng dan Piu Ie sekarang berada. Apakah keadaan mereka baik-baik saja?
Song Ji heran melihat sikap Siau Po yang tiba-tiba berubah. Gadis itu memperhatikan secara diam-diam Tidak berani dia mengganggunya. Hanya sekejap saja, terdengar bocah tanggung itu berkata kembali.
"Benar! Kita harus memikirkan upaya yang baik, Tidak bisa kita biarkan si raja tua dibekuk oleh orang-orang jahat Nah, Song Ji, coba, aku ingin mendengar pendapatmu, umpamanya kita mempunyai suatu barang yang sangat berharga dan banyak penjahat yang mengincarnya, apa yang harus kita lakukan agar penjahat itu tidak berhasil mencurinya?"
"Kalau kita memergoki para penjahat itu sedang bekerja, kita bekuk saja mereka semua!" sahutnya singkat. Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Akalmu itu kurang sempurna." katanya.
"Seharusnya kita sendiri yang menjadi pencurinya!" Song Ji heran mendengar ucapannya sehingga dia menatap Siau Po dengan tajam.
"Kita sendiri yang menjadi pencurinya?" tanyanya menegaskan.
"Benar!" kata Siau Po tegas.
"Kita mendahului mereka turun tangan, itu baru akal yang bagus!" Song Ji masih belum mengerti juga.
"Kalau kita mendahului orang-orang itu mencurinya, bukankah para penjahat itu tidak bisa mendapatkan apa-apa?" kata Siau Po sambil memperhatikan wajah pelayannya yang cantik itu. Song Ji bertepuk tangan sambit tertawa, sekarang dia baru mengerti maksud Siau Po.
"Aku mengerti sekarang!" serunya.
"Kau bermaksud menyuruh aku menculik si raja tua, bukan?"
"Dugaanmu tepat sekali!" kata Siau Po membenarkan.
"Kita tidak boleh membuang waktu, sebaiknya kita bekerja sekarang juga!" Song Ji setuju, Dia segera berdiri dan bersama-sama Siau Po, keduanya ke luar kamar dan menuju luar kuil Ceng Liang si.
"Cuaca masih belum gelap." kata Siau Po. Dia memperhatikan langit.
"Sebaiknya kita tunggu saja sebentar lagi!" Song Ji menurut saja. Keduanya segera mencari pepohonan yang rimbun untuk tempat menyembunyikan diri. Waktu perlahan-lahan merayap. Akhirnya sang malam yang gelap datang juga, Siau Po mengajak Song Ji ke luar dari tempat persembunyian. Pada saat itu, keadaan di seluruh pegunungan itu sudah sunyi senyap.
"Di dalam kuil hanya Teng Kong Hong tio yang mengerti ilmu silat." kata Siau Po kepada pembantunya.
"Tapi sekarang dia dalam keadaan terluka, dan tampaknya luka hwesio itu tidak ringan Kemungkinan dia sedang beristirahat atau mengobati lukanya dalam kamar. Dengan demikian, tugasmulah melayani si hwesio bertubuh raksasa itu. Kau harus menotoknya sehingga tidak berdaya supaya aku bisa menculik si raja tua. Namun kau harus berhati-hati, senjata Heng Tian si raksasa besar sekali dan berat pula, dia dapat menggunakan senjata itu dengan sempurna...." Song Ji menganggukkan kepalanya.
"Aku mengerti." sahutnya, Tampaknya dia tidak takut sama sekali. Setelah merasa yakin di sekitarnya tidak ada siapa-siapa, Siau Po mengajak Song Ji menghampiri tembok pekarangan wihara tersebut Dengan mudah mereka melompatinya, lalu masuk ke halaman dalam. Mereka langsung menuju rumah tempat Heng Ti bersemedi. Tampak pintu rumah itu sudah ditutup kembali, Hanya bagiannya yang rusak akibat penyerbuan di siang harinya masih belum sempat diperbaiki. Jadi pintu itu seperti untuk menghalangi angin saja. Song Ji berjalan di depan, mendekati pintu rumah kemudian menggesernya ke kiri perlahan-lahan. Baru saja pintu itu bergerak, tiba-tiba berkelebatan bayangan berwarna kuning keemasan. Ternyata toya Kim Hong Cu sudah menyerangnya dengan hebat. Song Ji melihat datangnya bahaya, tapi dia dapat menghindarkan diri dengan mudah. Gadis itu bukannya mencelat mundur, tetapi sepasang kakinya menutul lalu menerjang memasuki rumah. Dengan demikian, dia jadi menghampiri Heng Tian, penyerangnya itu yang tenaganya seperti raksasa. Dengan mudah Song Ji berhasil menotok dada Heng Tian sambil berkata dengan perlahan.
"Maaf!" sedangkan tangannya yang satu lagi digunakan untuk merampas toya hwesio itu. Heng Tian tidak berdaya lagi, Perlahan-tahan tubuhnya terkulai, bahkan sebelah kakinya menindih toyanya sendiri, sebab sulit bagi Song Ji memeganginya terus-terusan. Tepat pada saat itulah, Siau Po menghambur ke depan pintu untuk menyingkirkannya dan masuk ke dalam. Seluruh ruangan itu gelap gulita, meskipun demikian, samar-samar tampak sesosok bayangan yang sedang duduk bersila, Siau Po merasa yakin bahwa orang itulah si raja tua Sun Ti yang telah menjadi hwesio dan mengganti namanya menjadi Heng Ti. Dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio itu dan menyembah kepadanya sambil berkata.
"Lo ongya, budakmu ini bernama Wi Siau Po. Orang yang tadi siang menolong Lo hongya dari ancaman maut, Oleh karena itu, harap Lo hongya tidak terkejut melihatku!" Siau Po bersikap sopan sekali. Dia menyebut hwesio tua itu dengan panggilan Lo hongya atau si raja tua. Heng Ti diam saja. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Siau Po tetap bersabuk. Dia berkata kembali.
"Lo hongya bersemedi di sini, memang bagus sekali ini merupakan tempat suci dan tenang. Tetapi di luar sana banyak orang jahat, mereka ingin menawan Lo hongya. Mereka akan melakukan sesuatu yang merugikan Lo hongya. Karena itu, budakmu ini
bermaksud melindungi Lo hongya, agar Lo hongya dapat pindah ke suatu tempat yang aman. Dengan demikian orang-orang jahat itu tidak dapat menemukan Lo hongya atau pun menawan Lo hongya lagi." Hwesio itu masih berdiam diri saja, "Lo hongya, sudilah kiranya Lo hongya berangkat bersama-sama budakmu ini!" kata Siau Po kembali. Heng Ti masih berdiam diri. Tidak sepatah kata pun ke luar dari mulutnya, Siau Po memperhatikan hwesio itu lekat-lekat. Dia melihat hwesio itu duduk bersila dan gayanya persis dengan Giok Lim taysu. Dia tidak bisa menduga apakah hwesio itu pura-pura tuli atau memang sudah kosong pikirannya.
Setelah menunggu sekian lama dan belum terlihat hasil apa-apa, Siau Po berkata kembali.
"Lo hongya, rahasia Lo hongya telah terbuka. Tidak ada seorangpun dalam kuil Ceng Liang si ini yang dapat melindungi Lo hongya, sedangkan pihak musuh, setelah rombongan yang pertama pergi, pasti datang lagi rombongan yang kedua. Demikianlah seterusnya dan akhirnya, Lo hongya! Karena itu sebaiknya Lo hongya pindah semedi di tempat lain saja!" Heng Ti masih tetap membungkam. Tiba-tiba, Heng Tian yang ditotok oleh Song Ji membuka suaranya.
"Kalian berdua masih kanak-kanak, kalian adalah orang baik-baik." katanya, "Tadi siang kalian sudah menolong aku. Tentang suhengku ini, dia sedang melakukan apa yang dinamakan semedi Ko Sian, karenanya dia tidak boleh berbicara dengan siapa pun, Ke mana kalian hendak membawanya pergi?"
"Kemana pun boleh, asal tempat yang disuka oleh suhengmu ini!" sahut Siau Po cepat.
"Aku akan mengantarkannya. Asal tempat itu aman dan tidak terjangkau oleh orang-orang jahat. Dengan demikian beliau bisa melanjutkan semedinya dengan tenang, kalian pun bisa membaca doa sesuka hati."
"Kami berdua bukan membaca doa!" sahut Heng Ti menjelaskan.
"Baik, bukan baca doa, ya bukan baca doa!" kata Siau Po yang kemudian berkata kepada Song Ji.
"Lekas kau bebaskan totokan taysu ini!" Song Ji menurut. Dia segera menepuk punggung Heng Tian beberapa kali, Dengan demikian totokannya pun terbebas. Dia dapat menggerakkan seluruh tubuhnya lagi. Heng Tian tidak lalu bersikap keras atau garang. Dia memberi tempat kepada kaisar Sun Ti.
"Suheng, kedua bocah ini meminta kita berdua meninggalkan tempat itu untuk sementara!"
"Tapi, suhu tidak menyuruh kita meninggalkan Ceng Liang si." sahut Heng Ti menjawab ucapan adik seperguruannya, padahal ketika Siau Po menyapa nya berulang kali, dia malah diam saja. Baru sekarang Siau Po berhasil mendengar suara Heng Ti yang jelas dan terang.
"Bukannya begitu." kata Heng Tian.
"Kalau musuh datang kembali dengan jumlah yang lebih banyak, kedua bocah ini pasti tidak bisa melindungi kita lagi."
"Suasana itu muncul dari dalam hati." kata Heng Ti.
"Bicara tentang bencana, bencana itu bisa timbul dimana pun juga. Asal hati merasa tenang, dimana pun kita berada, kita akan memperoleh ketenangan." Heng Tian jadi tertegun mendengar kata-katanya.
"Apa yang dikatakan suheng benar juga." katanya kemudian. Kemudian dia menoleh kepada Siau Po dan Song Ji.
"Suheng tidak mau pergi. Kalian sudah mendengarnya sendiri...." Sepasang alis Siau Po menjungkit ke atas.
"Bagaimana kalau musuh-musuh jahat itu datang kembali lalu mereka menawan kalian dan menyiksa kalian berdua? Apa yang dapat kalian lakukan saat itu?"
"Manusia di dalam dunia ini, tidak ada yang tidak mati." sahut Heng Tian.
"Hidup lebih lama beberapa tahun atau kurang beberapa tahun, tidak ada perbedaannya."
"Kalau begitu, semua juga tidak ada perbedaannya." kata Siau Po yang mulai kesal.
"Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati, Orang laki-laki dan orang perempuan juga sama saja, Kalau begitu, apakah tidak ada perbedaan apa-apa antara hwesio, kura-kura atau ayam?"
"Semua makhluk di dunia ini sama, tidak ada yang berbeda dimata Sang Buddha." sahut Heng Tian. Siau Po berdiam diri, Dalam hatinya dia ber-kata.
"Pantas mereka mendapat gelar yang aneh. Yang satu disebut Heng Ti, si dungu dan satunya lagi Heng Tian, si edan. Mereka memang dungu, tolol, gila sekaligus edan. Karena itu, rasanya tidak mungkin memaksakan kehendak pada diri kedua orang ini.
Kalau Heng Ti ditotok sehingga tidak berdaya, kemudian dibawa pergi, perbuatan ini sungguh tidak sopan, lagipula mudah dipergoki orang..." Siau Po menjadi kebingungan dan habis kesabarannya, Dengan sengit dia berkata.
"Kalau semua tidak ada perbedaannya, berarti Hou Kong Honghou dan Toan Keng Hong hou juga sama saja, buat apa menyucikan diri menjadi pendeta?" Tiba-tiba Heng Ti melonjak bangun.
"Kau... apa yang kau katakan barusan?" tanyanya dengan suara bergetar. Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Siau Po menjadi menyesal. Ketika ditanyakan oleh Heng Ti, dia segera menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab.
"Hamba hanya mengoceh sembarangan harap Lo hongya tidak menjadi gusar...." Memang benar, saking sengitnya Siau Po menyebut nama kedua permaisuri raja tua itu.
"Segala yang telah berlalu, sejak lama aku sudah melupakannya." kata Heng Ti.
"LagipuIa, mengapa kau memanggil aku dengan sebutan seperti itu? Lekas kau bangun, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu!"
"Iya," sahut Siau Po yang langsung bangkit. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang. Akhirnya kau kena diakali juga dan bersedia bicara. Mungkin aku akan berhasil...
"Dari mana kau mendengar tentang kedua permaisuri itu?" tanya Heng Ti.
"Budak mendengarnya dari pembicaraan antara Hay Tay Hu dan Thay hou." sahut Siau Po.
"Oh, kau kenal dengan Hay Tay Hu?" tanya mantan raja itu, "Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia telah dibunuh oleh Hong Thay hou." sahut Siau Po.
"Apa? Dia telah mati?" seru Heng Ti saking terkejutnya.
"Dengan pukulan Hoa Kut Bian Ciang, Thay hou telah membinasakannya." sahut Siau Po dengan nada yang jelas.
"Bagaimana kau bisa tahu Hong thay hou mengerti ilmu silat?" tanya Heng Ti dengan perasaan heran.
"Hay Tay Hu dan Hong Thay Hou bertarung di dalam taman bunga Cu Leng kiong, ketika itu budakmu menyaksikannya dengan mata kepala sendiri." sahut Siau Po terus terang.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya mantan raja itu kembali.
"Hamba adalah Gi ri suwi Hu Congkoan, Wi Siau Po." sahut si bocah tanpa menutupi lagi. Rupanya dia merasa kata-katanya itu perlu didukung bukti yang cukup kuat. Karena itu dia segera mengeluarkan surat yang ditulis oleh kaisar Kong Hi.
"Pangkat itu dianugerahkan oleh Sri Baginda yang sekarang. Di sini pun ada sepucuk surat yang ditulis Sri Baginda sendiri."
Siau Po menyodorkan surat itu, Heng Ti hanya berdiri terpaku. Dia tidak menyambut surat yang disodorkan Siau Po.
"Di sini selamanya tidak ada penerangan." kata Heng Tian mewakili suhengnya menjawab. Heng Ti menarik nafas panjang, Kemudian dia baru bertanya.
"Bagaimana keadaan si raja kecil, apakah dia baik-baik saja? Senangkah dia menjadi raja?" Siau Po menjawab dengan cepat.
"Ketika Sri Baginda mengetahui Lo hongya masih hidup, dia menyesali dirinya yang tidak mempunyai sayap agar bisa terbang ke mari secepatnya. Di dalam istana, Sri Baginda menangis menggerung-gerung, tetapi di samping kesedihannya, dia juga merasa gembira, Sri Baginda langsung mengatakan bahwa dia akan datang ke Ngo Tay san ini, namun akhirnya dia membatalkan niatnya karena khawatir urusan pemerintahan jadi berantakan apabila ditinggalkan oleh beliau, itulah sebabnya Sri Baginda mengutus budakmu ini datang terlebih dahulu untuk menjenguk dan menanyakan kesehatan Lo hongya. Nanti, sekembalinya budakmu ke istana, Sri Baginda sendiri yang akan datang ke mari."
"Dia... dia tidak perlu datang!" kata Heng Ti dengan suara bergetar.
"Dia seorang raja yang bijaksana, yang dapat mendahulukan kepentingan negara. Tidak seperti aku..." Sampai di sini, si raja tua menangis terisak-isak. Air matanya mengalir dengan deras sehingga jubahnya basah kuyup. Mendengar suara tangisan itu, tanpa sadar Song Ji juga mengalirkan airmata. Rupanya dia teringat akan kedua orang tuanya dan dirinya yang sudah sebatang kara. Siau Po merasa kesempatan yang baik itu tidak boleh disia-siakan. Bukankah hati si raja tua ini sedang tergugah? Karena itu, dia segera berkata lagi.
"Hay Tay Hu telah mengadakan penyelidikan yang jelas. Mula-mula Hong thayhou menganiaya pangeran Eng Cin Ong sampai mati, Kemudian dia membunuh Toan Keng Honghu dan dia juga membunuh adiknya yakni selir Ceng Hui. Ketika Hong Thayhou mengetahui rahasia telah bocor, dia membunuh Hay Tay Hu sekalian. Terakhir dia mengirim orang-orangnya dalam jumlah yang banyak ke Ngo Tay san ini untuk mencelakai Lo hongya."
"Aih, bicaramu berlebihan.." kata Heng Ti sembari menarik nafas panjang.
"Sudah terang Toan Keng Honghou mati karena sakit, mengapa kau mengatakan Hau Kong Honghou yang membunuhnya?" Siau Po tidak mau kalah bicara.
"Kalau seseorang mati sakit, seluruh tubuhnya tentu akan lurus tanpa cacad sedikit pun." katanya.
"Tidak mungkin tulang belulang di tubuhnya patah dan uratnya putus." Mendengar kata-kata si bocah, Heng Ti membayangkan kembali saat kematian permaisurinya. Ketika itu jari-jemari tangan Toan Keng Hongho tidak dapat digerakkan. Bahkan ketika dia memondongnya, tubuh itu lemas sekali seperti tidak bertulang. Tadinya, dia mempunyai dugaan, hal ini terjadi karena penyakit yang diderita permaisurinya terlalu parah. Sekarang, setelah mendengar keterangan Siau Po, hatinya tercekat. Dia teringat saat-saat yang telah berlalu itu. Tanpa terasa, keringat dingin membasahi keningnya.
"Ya, ya... rasanya memang tidak wajar." katanya lirih. Siau Po menuturkan kembali pembicaraan antara Hay Tay Hu dan Thay hou yang didengarnya malam itu. Dia memang pandai bicara, ceritanya menjadi jelas dan menarik. Kata-katanya meresap dalam hati si raja tua yang sudah menjadi hwesio itu. Kaisar Sun Ti sangat menyayangi Teng gok hui. Setelah selirnya itu menutup mata,
dia tidak sudi lagi menjadi raja, ia meninggalkan kedudukannya yang maha mulia untuk pergi mengasingkan diri dalam ruang yang sunyi senyap serta menjalani hidup dalam kesengsaraan. Meskipun sedang bersemedi bayangan Teng Gok hui masih sering hadir di dalam pelupuk matanya. Sekarang, setelah mendengar cerita Siau Po, dia sampai lupa bahwa dirinya saat ini sudah menjadi biku. Dia merasa sedih serta penasaran, nafasnya jadi sesak membayangkan Hay Tay Hu dan Thay hou. Selesai bercerita, Siau Po menambahkan.
"Hong Thay hou ternyata tidak mau bekerja kepalang tanggung, setelah mencelakai Lo hongya, dia juga berniat membinasakan Sri Baginda, bahkan dia juga bermaksud membongkar kuburan Toan Keng honghou. Dia ingin membakar sampai musnah buku Toan Keng Honghou yang menurutnya isi di dalamnya hanya segala angin busuk. Dia telah mengeluarkan ancaman, barang siapa yang menyimpan buku itu, selain akan disita, seluruh keluarganya pun akan dijatuhi hukuman mati." Kata-kata Siau Po yang belakangan hanya karangan belaka tapi justru menikam hati mantan kaisar Sun Ti. Raja yang telah menjadi hwesio itu langsung dilanda kegusaran yang tidak terkatakan. Sambil menepuk pahanya keras-keras, dia berseru.
"Oh, perempuan hina itu! Seharusnya... aku... aku pecat dia sejak dulu! Tidak disangka, karena kebimbangan sesaat, akibatnya jadi begini...." Dulu, Kaisar Sun Ti memang mempunyai pikiran untuk memecat permaisuri dan mengangkat Teng Gok hui selir kesayangannya sebagai penggantinya, Tapi keinginannya selalu ditentang oleh Hong Thay hou. seandainya Teng Gok Hui tidak menutup mata, mungkin sekarang dialah yang menjadi permaisuri. Siau Po melanjutkan kembali kata-katanya.
"Hati Lo hongya telah tawar sehingga memilih kehidupan seperti sekarang ini, mungkin bagi Lo hongya sekarang, mati atau hidup tidaklah ada perbedaannya, Namun, tidak demikian halnya dengan Sri Baginda yang masih muda, Kuburan Toan Keng honghou tidak boleh di rusak dan buku catatannya sama sekali tidak boleh dimusnahkan!"
"Benar! Apa yang kau katakan memang benar," sahut Heng Ti yang sudah terkena pengaruh cerita si bocah.
"Oleh karena itu, Lo Hongya, sudah seharusnya Lo Hongya berlalu dari tempat ini untuk menyelamatkan diri, Lo hongya harus menyingkir dari tangan jahat Thay hou," kata Siau Po kembali.
"Rencana Hong thay hou yang pertama adalah menyingkirkan Lo hongya, kemudian Sri Baginda yang masih muda. Dan yang terakhir adalah membongkar kuburan Toan Keng honghou. Asal rencananya yang pertama mengalami kegagalan, dia pasti tidak berani mewujudkan rencananya yang lain lagi." Mendengar sampai di sini, habis sudah kesadaran pikiran mantan Kaisar Sun Ti.
"Untung ada engkau," katanya pada si bocah.
"Kalau tidak, semua bisa celaka. Adik, mari kita pergi!"
"Baik." sahut Heng Tian. Tangan kanannya mencekal senjatanya yang berat, sedangkan tangan kirinya menolak daun pintu. Begitu daun pintu terbentang, tampak seorang hwesio berdiri menghadang jalan ke luar itu.
"Siapa?" tegur Heng Tian sebelum sempat melihat wajah orang itu. Malah senjatanya sudah diangkat dan siap digerakkan.
"Mau ke mana kalian?" tanya hwesio itu tanpa memperdulikan teguran Heng Tian, Heng Tian terkejut.
"Oh, suhu!" serunya tertahan dia segera melemparkan senjatanya dan merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat.
"Suhu!" Heng Ti juga segera menyapa hwesio itu yang ternyata Giok Lim taysu.
"Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian," katanya dengan nada sabar. -- oh, celaka --, gerutu Siau Po yang merasa menyesal.
"Urusan penasaran dalam dunia ini harus dipecahkan dengan kesabaran, semuanya harus dihilangkan dan dilupakan," kata Giok Lim taysu kembali.
"Menyingkir bukan jalan keluar yang sempurna. Ada sebab, pasti ada akibat. Sekali dosa sudah menyertai tubuh kita, maka seluruh yang ada dalam diri kita merupakan dosa." Heng Ti menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Giok Lim taysu.
"Suhu benar, tecu (murid) sudah mengerti sekarang." katanya.
"Mungkin masih belum mengerti sekali," kata Giok Lim taysu.
"Kalau bekas istrimu itu datang mencarimu, biarkanlah dia datang. Sang Buddha kita maha Pengasih. Beliau dapat membawa pengikutnya ke tempat yang aman. Katanya dia masih penasaran kepadamu, membencimu, bahkan ingin membunuhmu. Kalau kau menyingkir dosa itu tetap ada. Kalau kau mengutus orang membunuhnya, dosamu semakin berat."
"Iya, benar!" sahut Heng Ti yang tubuhnya basah oleh keringat dingin. - Ah! Dasar bangsat gundul tidak tahu diri! --maki Siau Po dalam hatinya. Dia merasa panas sekali karena hwesio tua ini bermaksud menggagalkan usahanya, -- Kalau aku mencacimu, menghajarmu dan membunuhmu, apakah kau akan membiarkannya? Apakah kau mengijinkan aku memenggal kepalamu yang gundul itu? -- Terdengar Giok Lim taysu berkata kembali.
"Mengenai Lhama dari Tibet yang ingin menawanmu, berarti ia mencari dosa untuk dirinya sendiri. Dia ingin mencelakai rakyat jelata, dia ingin merampas dunia. Dalam hal ini, kita memang tidak boleh membiarkan ia berbuat sesuka hatinya, sekarang ini, kalian tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini sebaiknya kalian ikut aku ke kuil kecil di belakang!" Selesai berkata, Giok Lim taysu langsung membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi Heng Ti dan Heng Tian segera mengikuti di belakang gurunya, Siau Po yang hatinya panas, langsung berpikir - Kalau usahaku ini sampai gagal, sekembalinya kerajaan nanti, aku tidak bisa memberikan pertanggungjawaban kepada-sang raja cilik, percuma aku dianugerahi baju Makwa kuning. sebaiknya aku ikut saja dengan mereka! -- Siau Po mengajak Song Ji berjalan di belakang ketiga hwesio itu. setibanya di kuil kecil yang dimaksudkan, Giok Lim taysu tetap tidak memperdulikan Siau Po dan Song Ji. Malah seakan dia tidak melihat mereka berdua sama sekali. Hwesio itu langsung duduk bersemedi dan Heng Ti pun mengikuti tindakannya itu. Heng Tian melihat ke sekitarnya, dia mencari alas duduk untuk bersemedi tetapi dia tidak berhasil menemukan satu pun. Terpaksa dia duduk bersemedi tanpa alas disamping kakak seperguruannya. Kalau Giok Lim taysu bersemedi dengan memejamkan kedua matanya dan tanpa bergeming sedikit pun, Heng Tian justru sempat celingak-celinguk ke sana ke mari, dan menatap ke atas. Akhirnya dia baru memejamkan kedua matanya dan meletakkan kedua tangannya di atas dengkul kakinya, namun sikapnya tetap tidak bisa khusuk karena sesekali tangannya meraba senjata yang dikhawatirkan akan hilang. Heng Ti sendiri duduk mematung seperti gurunya. Siau Po memberi isyarat kepada Song Ji dengan gaya yang lucu, dia segera duduk bersila di dekat Heng Tian, Song ji menuruti perbuatannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Watak Siau Po memang mirip si Raja kera Sun Go Kong yang tidak pernah biasa diam. Duduk berdiam diri terlalu lama merupakan siksaan yang tak terkatakan baginya. Mungkin lebih menderita dari pada kehilangan jiwanya sekali pun. Dia juga bingung menghadapi perubahan sikap Heng Ti yang dipengaruhi gurunya itu, Setelah duduk berdiam diri sekian lama, akhirnya dia menoleh ke sana ke mari, lalu menarik telapak tangan Song Ji dan digelitikinya.
Song Ji kegelian, tapi gadis itu berusaha untuk menahan dirinya agar jangan sampai tertawa. Sementara itu, Siau Po berpikir kembali dalam hatinya. -- Tampaknya Heng Ti sudah berniat mengikuti ucapan gurunya, bagaimana baiknya sekarang? sebaiknya aku tunggu terus, masa hwesio tua itu tidak ingin membuang air kecil atau air besar? Asal dia pergi, aku akan membujuk Heng Ti agar melarikan diri dari tempat ini.... Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po menguarkan hatinya untuk duduk terus bersama yang lainnya. Ruangan itu sejak semula tetap sunyi senyap. Tidak lama kemudian terdengar suara derap langkah kaki sedang mendatangi. Bahkan semakin lama suara itu semakin jelas. Kalau ditilik dari suaranya, jumlah orang yang datang itu tidak sedikit dan tujuannya sudah pasti kuil Ceng Liang si. Rupanya Heng Tian juga sudah mendengar suara itu. Dia segera menyambar senjatanya dan mementangkan matanya lebar-lebar untuk mengawasi keadaan di luar kuil kecil itu. Tampak Giok Lim taysu, si hwesio tua itu masih duduk bersemedi tanpa bergerak sedikit pun. Ketika Heng Tian melihat sikap gurunya itu, dia segera meletakkan senjatanya kembali dan duduk bersemedi dengan mata terpejam. Sementara itu, Siau Po juga sudah mendengar suara gemuruh langkah kaki orang-orang berlarian ke sana ke mari. Rupanya orang-orang itu sedang mencari sesuatu. Mungkin karena tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya, sampai sekian lama suara itu masih terdengar juga.
-- jelas mereka datang ke kuil Ceng Liang si ini untuk mencari Lo hongya - pikirnya. Kalau mereka tidak berhasil menemukannya dimana-mana, akhirnya mereka pasti mencari ke tempat ini juga. Baiklah, bangsat tua berkepala gunduI! Aku ingin lihat bagaimana caramu menghadapi orang itu nanti! - Keadaan di kuil itu masih demikian mencekam, Giok Lim taysu masih bersemedi dengan tenang. Beberapa saat kemudian, suara berisik itu tidak terdengar lagi. Hanya terdengar langkah kaki orang-orang yang mendatangi kuil kecil itu. Bahkan dalam sekejap mata, mereka pun sudah sampai.
"Geledah kuil itu!" terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang. Heng Tian langsung melompat bangun. Dia menyambar senjatanya kemudian menghambur ke depan pintu kuil serta berdiri tegak di tengah-tengahnya dengan sikap menghadang. Siau Po juga langsung berdiri, lalu berlari ke jendela untuk melihat ke luar. Di bawah cahaya rembulan tampak segerombolan orang yang seakan hanya bagian kepalanya yang terlihat jelas. Bocah tanggung itu menoleh kepada Giok Lim taysu. Tampak Hwesio tua itu bersama Heng Ti tetap duduk tanpa bergeming sedikitpun.
"Bagaimana sekarang?" tanya Song Ji kepada tuan mudanya, Gadis itu juga ikut pergi ke bawah jendela.
"Kita tunggu sampai gerombolan itu menyerbu masuk," kata Siau Po. Ucapannya lirih sekali.
"Setelah itu kita tolong si Raja tua dan kita bawa lari lewat pintu belakang." Song Ji menganggukkan kepalanya, Siau Po melanjutkan kembali kata-katanya.
"Kau ingat, apabila sebentar lagi kita terpaksa berpisah, nanti kita harus berkumpul lagi di kuil Leng Keng si." Kembali Song Ji mengganggukkan kepalanya.
"Tapi... aku khawatir tidak kuat menggendong si Raja tua terlalu lama," katanya.
"Kalau keadaannya terpaksa sekali, kau seret saja.,." kata Siau Po. Tepat pada saat itulah di luar kuil terdengar suara yang berisik.
"Hai, siapa itu yang bergerak sembarangan?"
"Bekuk dia!"
"Jangan biarkan dia lolos!"
"Celaka! Cepat tangkap!" Kemudian Siau Po melihat dua sosok bayangan yang berkelebat melewati Heng Tian dan terus menerobos ke dalam kuil, setibanya di dalam, mereka segera memberi hormat kepada Giok Lim taysu lalu duduk bersemedi di sampingnya.
Ternyata mereka dua orang hwesio berjubah abu-abu. Anehnya, meskipun ada Heng Tian yang tubuhnya begitu tinggi besar, kedua hwesio itu bisa menyusup masuk tanpa menemui kesulitan apa-apa. Tiba-tiba di luar kuil terdengar lagi suara teriakan.
"Ada lagi orang yang datang!"
"Halangi!"
"Cepat bekuk!"
"Buk! Buk!" Yang terdengar belakangan ini adalah suara tubuh orang yang terbanting di atas tanah. Setelah itu, kembali tampak dua sosok berjubah abu-abu menerobos memasuki kuil seperti kedua orang yang pertama, mereka juga memberi hormat kepada Giok Lim taysu lalu duduk bersila di sudut ruangan. Sejak awal hingga akhir tidak terdengar seorang pun dari mereka yang membuka mulutnya. Lalu, setiap kali terdengar suara bentakan yang berisik, pasti ada pasangan hwesio yang menerobos memasuki kuil dan meniru tindakan keempat orang hwesio yang pertama. Dengan demikian, ruang yang kecil itu menjadi sempit pasangan hwesio yang menerobos ke dalam sudah mencapai pasangan ke sembilan jadi jumlah semuanya ada delapan belas orang hwesio. Siau Po segera mengenali, salah satu dari para hwesio itu justru Teng Kong, kepala hwesio di Ceng Liang si. Diam-diam dia menjadi heran juga gembira. Hatinya agak lega, dan kagum melihat kepandaian para hwesio tersebut. Kalau tujuh belas hwesio yang lainnya mempunyai kepandaian yang setaraf dengan Teng Kong saja, biarpun musuh berjumlah lebih banyak lagi, rasanya tidak perlu dikhawatirkan -- pikirnya.
Di luar kuil itu, gerombolan tadi kembali menimbulkan suara yang gaduh, tetapi tidak seorang pun yang berani menerobos ke dalamnya. Mereka hanya berkaok-kaok di luar. Setelah lewat sekian lama, dari luar terdengar suara seseorang yang dapat
dipastikan orangnya sudah berusia lanjut dan berbeda dengan suara-suara yang berkaok-kaok sebelumnya.
"Pihak Siau Lim Sie bersikeras hendak membela kuil Ceng Liang si. Apakah hal ini berarti Siau Lim Pai juga bersedia memikul segala tanggung jawabnya?" Dari dalam kuil tidak terdengar suara sahutan. Sesaat kemudian, terdengar si orang tua berkata kembali.
"Baiklah, Hari ini kami memandang muka terangnya Cap Pek Lohan dari Siau Lim Sie. Nah! Mari kita pergi!" Gemuruh suara diluar menyusul ucapan si orang tua, tetapi hanya sebentar saja, kemudian suasana menjadi hening kembali. Ternyata mereka benar-benar pergi. Sementara itu, secara diam-diam Siau Po memperhatikan ke delapan belas hwesio yang disebut Cap Pek Lohan (delapan belas Lo han) dari Siau Lim Sie oleh orang tua tadi, Hwesio yang tertua berusia sekitar tujuh atau delapan puluh tahun. Dan yang termuda berusia kurang lebih dua puluhan tahun. Tinggi pendek tubuh mereka tidak sama, demikian pula gemuk atau kurusnya. Wajah mereka pun ada yang buruk dan ada yang tampan, jubah mereka agak melembung menandakan bahwa mereka membekal senjata masing-masing. Orang tua tadi menyebut mereka delapan belas lohan, tentunya Teng Kong termasuk salah satu anggota lohan tersebut - pikir Siau Po kembali -- Giok Liam taysu, si keledai gundul merasa yakin akan keselamatan Heng Ti. Dia mengandalkan delapan belas Lohan ini. Rupanya sejak semula dia sudah mengadakan perjanjian dengan pihak Siau Limsi, Entah sampai kapan mereka akan duduk bersemedi seperti itu? Masa aku harus mengikuti cara-cara mereka? --
Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po segera bangkit dan menghampiri Heng Ti. Dia memberi hormat dengan menekuk kedua lututnya.
"Lo suhu, di sini ada Cap Pek Lohan yang menjaga keselamatan Lo suhu, Aku yakin Lo suhu akan baik-baik saja, Karenanya, sekarang aku hendak memohon diri. Apakah Lo suhu mempunyai pesan sesuatu?" Heng Ti membuka kedua matanya, Dia tersenyum.
"Aku sudah merepotkan dirimu," katanya.
"Pulanglah kau ke kerajaan dan sampaikan pada majikanmu bahwa dia tidak perlu datang ke Gunung Ngo Tay san ini karena hanya akan mengganggu ketenanganku saja. Seandainya dia berkeras hendak datang, aku tetap tidak akan menemuinya. Harap kau sampaikan kepadanya. Untuk mencapai keamanan dan ketenangan dalam suatu negara, ada beberapa patah kata yang harus diingatnya baik-baik. Yakni "Jangan menambah pajak untuk selama-Iamanya. Kalau dia dapat menuruti pesanku ini, berarti dia sudah berbakti kepadaku dan hatiku sudah tidak kepalang gembiranya."
"Iya, baik," sahut Siau Po singkat. Heng Ti mengeluarkan sebuah kitab dari balik jubahnya.
"Di sini ada sejilid kitab," katanya.
"Serahkanlah pada majikanmu! Katakan kepadanya bahwa segala urusan di dunia ini sebaiknya biarkan berkembang dengan wajar, jangan sekali-sekali dipaksakan. Paling bagus kalau kita bisa membuat rakyat merasa damai dan sejahtera! Dan, seandainya rakyat di seluruh negeri ini menginginkan kepergian kita, sebaiknya kita pergi dan kembali ke tempat asal kita!" Sembari berkata Heng Ti menepuk bungkusannya perlahan-lahan. Siau Po segera teringat apa yang pernah dikatakan oleh To Hong Eng.
-- Mungkinkah isinya juga sejilid kitab Si Cap Ji Cin keng? Bibi To mengatakan bahwa ketika bangsa Boan Ciu memasuki kota perbatasan, mereka selalu ingat jumlah rakyatnya yang kecil sekali bila dibandingkan dengan bangsa Han yang jumlahnya besar sekali Jadi, bangsa Bong Ciu belum tentu bisa menduduki Tiong goan untuk selamanya. Apabila bangsa Bong Ciu berhasil diusir kembali ke Kwan gwa, kitab Si Cap Ji Cin keng itu sangat diperlukan, karena di dalamnya tertera tempat penyimpanan harta karun yang besar. Asal bisa mendapatkan kembali harta itu, bangsa Bong Ciu dapat hidup sejahtera di negeri asalnya, - Dengan berpikir demikian, Siau Po segera mengulurkan tangannya menyambut kitab tersebut.
"Sekarang kau boleh pergi!" kata Heng Ti setelah Siau Po menerima kitab yang disodorkannya.
"Baik." sahut Siau Po sambil menyembah kembali.
"Tidak berani aku menerima penghormatanmu ini!" kata Heng Ti.
"Sicu, silahkan bangun!" Siau Po bangun kemudian membalikkan tubuhnya. Baru berjalan dua langkah, tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benaknya, timbul sifat kekanak-kanakannya, sifat yang nakal dan jahil. Dia segera berpaling kepada Giok Lim taysu.
"Lo hwesio!" sapanya.
"Kau sudah duduk bersila begitu lama. Apakah kau tidak ingin membuang air kecil?" Giok Lim taysu diam saja. Dia seakan tidak mendengar pertanyaan itu, Siau Po merasa hwesio itu jenaka sekali. Dia melanjutkan langkah kakinya menuju pintu.
"Katakan juga kepada majikanmu," tiba-tiba kembali terdengar suara Heng Ti.
"Apabila ibunya kembali melakukan kejahatan, seorang ibu untuk selamanya tetap merupakan ibu. jangan sekali-sekali dia melanggar peraturan adat dan jangan sekali-sekali merasa penasaran atau menyesalinya!"
"Baik!" sahut Siau Po. Dalam hatinya dia justru meyakinkan dirinya sendiri -- Pesan seperti ini tidak mungkin aku sampaikan kepada Sri Baginda. Sekembalinya ke Leng Keng si, Siau Po langsung masuk kamarnya. Mula-mula dia mengunci pintu, kemudian membuka bungkusan yang diserahkan oleh Heng Ti. Ternyata isinya memang kitab Si Cap Ji Cin keng. Yang satu ini kain pembungkusnya berwarna kuning. Dia segera teringat keterangan yang diberikan oleh To Hong Eng mengenai mantan kaisar tua itu. Tetapi dia mendengar sendiri Heng Ti mengatakan.
"Apabila seluruh rakyat menginginkan kepergian kita, maka kita harus pulang ke tempat asal dari mana kita datang!" Bangsa Boan Ciu berasal dari Kwan gwa, yakni Mancuria. Dari sana mereka menyerbu Tiong goan dan mendudukinya. Apabila mereka pulang tentu tujuannya Kwan gwa. Mantan kaisar itu menepuk-nepuk bungkusannya ketika mengucapkan pesannya. Tentu dia ingin mengatakan bahwa setelah kembali ke Kwan gwa, bangsa Boan ciu bisa mengandalkan kitabnya yang menyebutkan tempat penyimpanan harta karun itu. Siau Po berpikir pula dalam hatinya, -- Lo hongya menyuruh aku menyerahkan kitab ini kepada Siau Hian cu. sekarang tinggal keputusanku sendiri, aku mau menyerahkannya atau tidak? Di tanganku sudah ada enam jilid kitab Si Cap Ji Cin keng ini, ditambah yang satu ini, jumlahnya jadi tujuh. Untuk melengkapkan keseluruhannya yang berjumlah delapan, aku tinggal mencari satu lagi. Kalau kitab ini aku serahkan kepada Siau Hian cu, maka ke enam jilid kitab yang ada padaku menjadi tidak berharga lagi. Bukankah Lo hongya sendiri yang melarang Siau Hian cu datang ke Ngo tay san? Bahkan dia mengatakan apabila Sri Baginda memaksa juga untuk datang, dia juga tidak akan menemuinya. Dengan demikian, berarti sampai mati pun tidak ada saksi, bukan? Bukankah kitab ini seakan diberikan secara sukarela kepadaku ? Maka, kalau aku tidak menelannya sendiri, mungkin sikapku akan dicela oleh leluhur-leluhur keluarga Wi." Meskipun benaknya sudah berpikir panjang lebar, tapi hatinya masih dilanda kebimbangan. Dia ingat perlakuan kaisar Kong Hi kepadanya sangat baik, dia disayang serta dipercaya penuh. Dengan menelan kitab ini, bukankah dia seperti tidak menghargai raja yang merupakan sahabatnya juga? perasaannya benar-benar tidak tenang... Tapi, otaknya kembali berputar untuk menenangkan hatinya yang bimbang.
- Hari ini, kalau aku tidak menyuruh Song Ji menolong si raja tua, pasti dia sudah ditawan oleh para Lhama dari Tibet dan dibawa pergi. Kalau hal itu sampai terjadi, kitab itu pasti dibawa sekalian. Karena itu, perbuatanku mengambil kitab ini sama saja aku boleh merampasnya dari tangan para Lhama itu. Dengan demikian, apa yang kulakukan tidak bisa dikatakan keterlaluan bukan? Boleh juga dikatakan bahwa Lo hongya merasa berterima kasih kepadaku sehingga dia menghadiahkan kitab ini untukku, Pantas, bukan? Lebih penting mana, jiwa atau sejilid kitab? Tentunya jiwa lebih penting seratus kali lipat dari pada sejilid kitab. Dengan memberikan kitab ini saja, Lo hongya baru membalas budiku sebanyak seperseratus bagian, Berarti dia masih berhutang padaku sebanyak sembilan puluh sembilan bagian. Tentu saja kelak dia harus memikirkan cara untuk membalas budiku yang masih tersisa banyak itu -- Setelah berpikir sampai sejauh ini, hati Siau Po baru lega, Karena itu, keesokan hari nya, dia mengajak Song Ji dan Le Pat turun gunung, Dalam perjalanan, hatinya berbunga-bunga. Bukankah dia telah berhasil menemui kaisar Sun Ti bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut? Bukankah dia juga memperoleh kitab yang berharga ini? Di pihak lain, tanpa disangka-sangka dia juga mendapat seorang pembantu selihay dan secantik Song Ji serta menurut?
Mereka baru menempuh perjalanan sejauh sepuluh li. Saat itu mereka masih berada di pegunungan dan tengah berjalan terus, tiba-tiba Siau Po melihat di depannya ada seorang tosu yang bertubuh tinggi sekali sedang berjalan menghampirinya. Tinggi tosu ini sangat luar biasa, hampir seimbang dengan Heng Tian, kecuali tubuhnya yang kurus, Si pendeta kepala Teng Kong sudah terhitung kurus, tapi tosu ini masih lebih kurus lagi, wajahnya demikian cekung seakan hanya terbungkus kulit tanpa daging sedikit pun.
Kedua matanya dalam sekali sehingga mirip mayat hidup, sedangkan jubah yang dikenakannya begitu besar sehingga tampangnya seperti gantungan baju. Biar bagaimana, tercekat juga hati Siau Po melihat tampang tosu itu, dia sampai tidak berani menatapnya, wajahnya sengaja dipalingkan ke arah yang lain. Dia juga jalan di pinggiran dan membiarkan tosu itu melewatinya.
Bagian 37
Lalu, tibalah saat yang mendebarkan hati si bocah tanggung. Tepat di depan Siau Po, tosu itu menghentikan langkah kakinya,
"Apakah kau baru datang dari Ceng Liang si?" Tiba-tiba tosu itu bertanya sambil menatap Siau Po lekat-lekat.
"Bukan," sahut Siau Po cepat.
"Kami datang dari Leng Keng si." Apa yang dikatakannya memang benar. Bukankah semalam dia menginap di Leng Keng si? Sekonyong-konyong tosu itu mengulurkan tangannya untuk memegang bahu kiri Siau Po lalu membalikkan tubuhnya dengan cepat. Dengan demikian mereka jadi berdiri berhadapan dan tidak menyamping seperti sebelumnya.
"Apakah kau Siau Kui Cu, thay-kam dari kerajaan?" tanya tosu itu kembali, (Tosu adalah pendeta agama To), Hati Siau Po tercekat. Apalagi dia merasa cekalan tangan si pendeta yang masih memelihara rambutnya itu membuat seluruh tubuhnya menjadi lemas seakan tidak mengandung tenaga sedikit pun.
"Kau ngaco!" sahutnya dengan berani. Sedangkan mimik wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa-apa.
"Kau lihat sendiri, apakah tampangku ini mirip seorang thay-kam? Aku Wi kongcu dari Yang-ciu." Tepat pada saat itu, Songji pun turut bicara.
"Lekas lepaskan tanganmu!" tegurnya pada tosu itu.
"Mengapa kau begitu tidak tahu aturan terhadap kongcuku?" Tosu itu mengulurkan tangannya yang satu lagi dengan maksud menekan bahu Song Ji.
"Kalau mendengar dari nada suaramu, tampaknya kau juga seorang thay-kam cilik," katanya. Song Ji menggeser tubuhnya sedikit, dengan demikian serangan tosu itu tidak mengenai sasarannya. Di samping itu, dia sendiri mengulurkan tangannya untuk menotok jalan darah Thian Hou di tubuh tosu tersebut Song Ji memang lihay sekali. Sekali saja jari tangannya bergerak, tepat mengenai tubuh si tosu sehingga terdengar suara Tukk! Tapi dalam waktu yang bersamaan pula, Song Ji mengeluarkan seruan tertahan, sebab dia merasa jari tangannya seperti menotok lempengan besi yang keras, jari tangannya sakit sekali serasa seperti mau patah. Tepat pada saat dia mengeluarkan seruan tertahan itulah, bahunya pun terasa nyeri, Sebab di luar dugaannya, tahu-tahu bahunya sudah kena dicengkeram oleh tosu itu. Tangan yang jarinya panjang-panjang dan besarnya seperti kipas.
"Hm! Hm!" Tosu itu mendengus dingin.
"Thay-kam cilik, usiamu masih muda, tapi kepandaianmu sudah tinggi, Ya, kau sudah lihay sekali." Song Ji tidak menyahut, sebelah kakinya membentur benda yang keras dan sakitnya tidak terkatakan.
"Thay-kam cilik, ilmu silatmu benar-benar hebat! Benar-benar hebat!" terdengar tosu itu memuji kembali. Song Ji merasa penasaran, hatinya panas sekali.
"Aku bukan thay-kam ci!ik!" teriaknya marah.
"Kaulah yang thay-kam cilik! Aduh!" Dia menjerit lagi. Tosu itu tertawa.
"Coba kau pandang aku! Apakah aku mirip seorang thay-kam cilik?" tanyanya sambil tertawa lagi.
"Lekas lepaskan cekatan tanganmu!" bentak Song Ji. Dia tidak mau melayani tosu itu berbicara. Meskipun Song Ji kesakitan tapi dia sama sekali tidak takut.
"Kalau kau tidak melepaskan cekalan tanganmu, waspadalah! Aku akan mencaci maki dirimu!" Tosu itu tidak menghiraukan kata-kata Song Ji.
"Kau sudah menotok aku bahkan menendang tulang keringku, tapi aku toh tidak takut. Masa sekarang aku harus takut mendengar caci makimu? ilmu silatmu lihay sekali, tentunya kau orang dari istana. Aku harus menggeledah dirimu terlebih dahulu!" Song Ji memang berani, dia tidak mau kalah bicara.
"Ilmu silatmu lebih lihay dari aku, tentunya engkaulah orang dari istana!" katanya membalikkan kata-kata si tosu.
"Aih! Thay-kam cilik!" tegur si tosu.
"Kenapa kau cerewet sekali?" Selesai berkata, tosu itu naik ke atas gunung, Tangan kirinya mengangkat tubuh Siau Po, sedangkan tangan kanannya menenteng si gadis yang bernyali besar. Langkah kakinya ringan sekali, Dia tidak memperdulikan kedua bocah yang berteriak-teriak itu. Larinya cepat sekali seakan dia tidak membawa beban apa pun.
Le Pat dan yang lainnya berdiri terpaku, Mereka bingung juga takut. Setelah mendaki beberapa tombak, si tosu masih terus berlari. Baginya, jalanan yang mendaki itu seperti jalanan yang datar saja, Dia seakan tidak mengalami kesulitan apa pun.
Siau Po hanya dapat mendengar suara bersiurnya angin. Dalam hati ia berkata. - Tosu ini lihay sekali. Apakah dia malaikat atau siluman gunung ini? -- Setelah berlari sekian larna, tiba-tiba tosu itu melepaskan cekalannya. Kedua tawanannya dilepaskan ke atas tanah, kemudian dia menuding sambil membentak.
"Sekarang kalian bicara! Kalau kalian berkeras kepala, aku akan membawa kalian ke puncak gunung ini kemudian melemparkan kalian ke dalam jurang!" Tosu itu menunjuk ke arah puncak yang tinggi, yang sebagiannya tertutup awan yang tebak.
"Baik, suhu, Aku akan bicara terus terang.
"Dia adalah... aku...."
"Bicara yang benar! Dia, kau apa?" bentak si tosu yang berangasan itu.
"Dia adalah ... istriku." sahut Siau Po terpaksa. Mendengar ucapannya, baik tosu itu maupun Song Ji sama-sama terkejut. Bahkan wajah si gadis cilik menjadi merah padam. Sedangkan si tosu menjadi heran, bagaimana seorang bocah cilik sudah mempunyai istri?
"Apa? Istri?" tanyanya menegaskan. Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Suhu, biarlah aku berbicara terus terang kepadamu," katanya pula, "Sebenarnya aku seorang kongcu, putera seorang hartawan dari Kota Pe King. Aku tertarik kepada nona, putri tetanggaku ini. Karenanya kami telah sama-sama berjanji untuk hidup bersama-sama sampai hari tua, janji itu kami buat secara diam-diam di taman bunga. Ayah nona ini tidak menyetujui hubungan kami, karena itulah aku mengajak nona ini minggat dari rumah, Suhu lihat sendiri, dia seorang gadis. Mana mungkin menjadi thay-kam? Tentu saja dia marah! Kalau suhu tetap tidak percaya, buka saja kopiahnya!" Tosu itu mengikuti perkataan Siau Po. Dia membuka kopiah Song Ji sehingga tampaklah rambutnya yang panjang dan indah. Di jaman kerajaan Ceng, kecuali imam (tosu) atau hwesio, setiap laki-laki harus mencukur bagian depan rambutnya sehingga hanya tersisa bagian belakangnya untuk dijadikan kuncir panjang. Tapi rambut Song Ji lengkap, bagian depannya masih penuh dan bagian belakangnya juga terurai panjang sehingga dapat dipastikan bahwa dia memang seorang perempuan.
"Suhu, aku mohon," kata Siau Po yang pandai bicara, "Janganlah serahkan kami kepada pihak pembesar negeri, sebab aku bisa kehilangan nyawaku Suhu, aku bersedia memberimu uang sebanyak seribu tail asal kau membebaskan kami...."
"Sekarang terbukti sudah bahwa kalian bukan thay-kam," kata tosu itu kemudian.
"Thay-kam tidak mungkin melarikan anak gadis orang. Ha ha ha ha! Kau masih kecil tapi nyalimu sudah besar sekali!" Sembari berkata, tosu itu melepaskan cekalannya pada bahu Siau Po.
"Untuk apa kalian datang ke Ngo Tay san?" tanyanya kembali.
"Kami pergi ke Leng Keng si untuk bersembahyang pada Sang Bodhisatva." sahut Siau Po yang tidak pernah kehilangan akal.
"Kami memohon perlindunganNya, Semoga aku, pemuda yang malang ini berhasil menjadi Conggoan, dan dia... kelak setelah menjadi istriku akan dipanggil It Pin hujin...." Siau Po memang pandai berbicara. Kata-katanya tentang pemuda hartawan yang malang dan mengikat janji di taman bunga, semuanya ia cangkok dari tukang cerita di Kota Yang-ciu, sedangkan Cong goan artinya mahasiswa yang lulus pertama dalam ujian di istana dan It Pin hujin adalah sebutan untuk para isteri seorang menteri atau jenderal. Tosu itu berpikir sejenak.
"Kalau begitu, aku yang salah duga, kalian pergilah!" katanya kemudian. Bukan main senangnya hati Siau Po.
"Terima kasih, suhu, terima kasih!" katanya berulang-ulang, bersama-sama Song Ji, dia memberi hormat kemudian diajaknya turun gunung.
"Aih, tidak benar!" tiba-tiba tosu itu berseru. Setelah kedua pemuda-pemudi itu berjalan beberapa langkah.
"Eh, kalian kembali!" Mau tidak mau, Siau Po terpaksa kembali bersama Song Ji.
"Eh, nona kecil!" Tegur tosu itu.
"llmu silatmu baik sekali. Kau telah menotok dan menendang aku satu kali juga. Sampai sekarang aku masih merasa sakit." Dia
langsung meraba jalan darahnya yang tadi ditotok Song Ji. Kemudian tosu itu bertanya lagi, "Nona, siapakah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu? Tergolong partai manakah kepandaianmu itu?" Wajah Song Ji jadi merah, Gadis itu tidak biasa berbohong sehingga sulit baginya menjawab pertanyaan itu. Dia juga tidak suka menjelaskan golongan partai persilatannya. Karena itu, dia hanya menggelengkan kepalanya. Siau Po yang cerdas, segera mewakili gadis itu menjawab.
"Dia mewarisi ilmu silat keluarganya yang diajarkan turun temurun. Ibunyalah yang mengajarkannya."
"Apa she nona ini?" tanya tosu itu kembali.
"Ini... ini... aih!" sahut Siau Po ragu-ragu.
"Rasa-nya kurang leluasa menyebut she keluarganya...." Si bocah nakal mengembangkan seulas senyuman.
"Apanya yang tidak leluasa?" bentak tosu itu.
"Lekas katakan!"
"Kami dari keluarga Cung." sahut Song Ji mendahului Siau Po.
"Keluarga Cung?" ulang si tosu sambil menggeleng gelengkan kepalanya, "Tidak benar! Kau pasti berbohong! Di kolong langit ini tidak ada keluarga Cung yang ilmu silatnya terkenal. Apalagi mengajarkan seorang anak perempuan sampai begini lihay!"
"Aneh!" kata Siau Po yang menjadi berani dan tertawa lebar.
"Suhu, di kolong langit ini, banyak sekali orang yang pandai ilmu silat. Bagaimana kau bisa mengenal mereka semuanya?"
"Diam kau!" bentak tosu itu dengan nada gusar.
"Aku sedang bertanya kepada si nona kecil ini, jangan kau ikut campur!" Selesai berkata, tosu itu bahkan mendorong tubuh Siau Po dengan perlahan. Si bocah takut terluka, dia tahu tosu ini lihay sekali. Karena itu, sebelum tangan orang itu sempat menyentuhnya, dia sudah menghindarkan diri terlebih dahulu. Dia menggunakan tipu jurus "Hong Heng Cau Yan" (Angin berhembus, rumput rebah) sehingga dia berhasil menyelamatkan dirinya, sementara itu, dia juga menggerakkan kedua tangannya. Tangan kirinya diangkat ke atas untuk melindungi dirinya, sedangkan tangan kanan melancarkan serangan. Tosu itu terkejut setengah mati. Dia mengulurkan tangannya untuk menyambar dada Siau Po. Sebelumnya, dia menghindarkan diri terlebih dahulu dari serangan si bocah. Siau Po cerdik sekali, Gerakannya sangat lincah. Dia memiringkan dadanya ke samping, begitu tubuhnya bebas, tangannya melayang lagi, jurus yang digunakannya kali ini ialah "Leng Coa Jut Tong" (UIar sakti keluar dari goa).
Dia memainkannya dengan bagus sekali. Tidak syak lagi, lehernya tosu itu langsung terkena tamparannya. Namun dalam waktu yang bersamaan, dia pun menjerit sekeras-kerasnya karena tangannya seperti menghantam besi sehingga ia merasa kesakitan.
Mendengar majikannya menjerit kesakitan, Song Ji segera melompat maju untuk menyerang tosu itu. Sementara itu, dada Siau Po sudah terkena sambaran tosu itu. Hal ini karena si tosu gesit sekali, sembari menghindarkan diri, dia balas menjambak dada Siau Po. Dengan demikian, sekaligus juga dia sanggup melayani si nona cilik. Song Ji melakukan pertarungan dengan hati-hati, dia sadar betapa lihaynya lawan yang satu ini. Gadis itu memperlihatkan kegesitan dan kelincahannya. Meskipun demikian, dia tetap kewalahan, sebab tubuh tosu itu kebal terhadap pukulan, ilmu tosu itu bernama Kim Cung Tiau (Tudung lonceng emas) dan Tiat Pou San (Baju besi) sehingga dia tidak usah khawatir terhadap totokan, tinju atau pukulan yang dilancarkan lawan.
Dalam beberapa jurus saja, Song Ji sudah tidak berdaya dibuatnya. Kepandaiannya tidak berarti banyak bagi si tosu, Sesaat kemudian, tosu itu sudah menatap Siau Po lekat-lekat dan bertanya kepadanya.
"Kau mengatakan bahwa kau anak seorang hartawan tapi mengapa kau mengerti ilmu "Kim Na Jiu" dari golongan Sin Liong To di Liau Tong?" Siau Po memang pemberani. Dengan suara lantang dia menjawab.
"Aku toh anak seorang hartawan, lalu mengapa aku tidak boleh mempelajari ilmu Sin Liong To? Apakah hanya anak orang miskin yang boleh mempelajari ilmu itu?" Dia sengaja mengucapkan kata-kata itu untuk memperpanjang waktu. Maksudnya ingin mencari jalan untuk melarikan diri. Diam-diam dia berpikir dalam hati. -- ilmu Sin Liong To di Liau Tong? ilmu apakah itu? Oh... Aku ingat sekarang! Hay Tay Hu si kura-kura tua pernah mengatakan bahwa Thay Hou berusaha menutupi dirinya seakan-akan orang dari Bu Tong Pai, padahal dia sebenarnya memiliki ilmu Coa To yang terletak di Liau Tong. Coa To itu pasti sama dengan Sin Liong To. Apa bedanya naga dan ular? Iya... dapat dipastikan bahwa si nenek sihir itu mempunyai hubungan dengan orang Sin Liong To. Tentu saja, nama ular tidak enak didengar, maka mereka menggantinya dengan nama Sin Liong (naga sakti)! ilmu silat Siau Hian cu diajarkan oleh si nenek sihir. Karena aku sering berlatih bersamanya, sedikit banyaknya aku jadi memahami ilmu Sin Liong To juga --
Begitu bencinya Siau Po kepada Hong Thay Hou sehingga terus-terusan dia menyebutnya sebagai perempuan hina dan si nenek sihir. Sementara itu, terdengar suara bentakan si tosu yang mengandung kegusaran.
"Ngaco! Ayo katakan yang sebenarnya, siapakah gurumu?" Siau Po berpikir cepat. - Kalau aku mengakui bahwa Thay Houlah yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, sama saja aku mengakui diriku seorang thay-kam. - Karena itu dia segera menggunakan alasan yang lain.
"Aku diajarkan ilmu silat oleh teman pamanku.... Dia bernama bibi Liu Yan. orangnya gemuk...."
"Nona Liu Yan?" tanya tosu itu mengulangi kata-kata Siau Po. "Ia sahabat pamanmu? siapakah pamanmu itu?"
"Pamanku itu bernama.... Wi Toa Po," sahut Siau Po sembarangan. Dia mengimbangi Toa Po dengan namanya sendiri, Toa Po artinya mustika besar, sedangkan Siau Po artinya mustika kecil, "Pamanku itu mata keranjang, Di kerajaan kawan wanitanya banyak sekali dan dia termasuk orang royal. Menghamburkan uang sebanyak seribu tail sehari bukan masalah bagi nya. Dia tampan seperti artis pemain sandiwara di panggung pertunjukan. Karena itulah bibi Liu tergila-gila kepadanya sering nona yang gemuk itu datang ke rumah kami pada jam tiga tengah malam dan masuknya melompati tembok taman bunga yang ada di belakang, Memang aku yang merengek-rengek kepadanya agar diajarkan ilmu silat Kemudian aku memang diwarisinya beberapa jurus." Tosu itu ragu-ragu mendengar cerita Siau Po.
"Bagaimana dengan pamanmu sendiri? Apakah dia mengerti ilmu silat?" tanyanya. Siau Po tertawa lebar mendengar pertanyaan itu.
"Pamanku pandai ilmu silat asmara. Dia sering dipiting batang lehernya oleh nona Liu, tapi dia malah kesenangan Bahkan ketika nona itu mengangkat tubuhnya naik turun, dia mendiamkan saja. Tapi pamanku itu memang lucu sekali, Sekali waktu aku pernah mendengarnya mengatakan: "Nah, ini yang dinamakan anak mengangkat ayah", mendengar kata-katanya nona Liu ikut tertawa bahkan membalasnya dengan mengatakan "Ini belum apa-apa, kelak pasti ada cucu yang menenteng kakeknya" Kata-kata Siau Po itu sebenarnya hanya sembarangan mengoceh. Dia sedang mempermainkan tosu itu yang karena peraturan agama tidak boleh berdekatan dengan kaum wanita. Tapi tosu itu tidak gusar. Dia malah minta penjelasan yang lebih lanjut tentang Liu Yan. Dengan senang hati Siau Po melanjutkan ceritanya.
"Bibi Liu Yanku itu senang memakai sepatu sulam merah. Oh, suhu, aku menduga kau pasti mencintainya.... Benar bukan? Kapan saja kalau suhu bertemu dengannya, suhu boleh tidur dengannya dan aku yakin keesokan harinya dia tidak akan bangun lagi untuk selama-lamanya!" Gusar sekali tosu itu mendengar ocehan si bocah, Dia memang tidak tahu Liu Yan sudah mati dan tidak mungkin bisa bangun kembali. Dan bocah itu memang sengaja mempermainkannya.
"Bocah cilik, kau mengoceh sembarangan!" bentaknya. Tapi dia mulai mempercayai keterangan yang diberikan oleh Siau Po. Perlahan-lahan dia menepuk perut Siau Po untuk membebaskannya dari totokan. Dan dia tidak berhasil karena tangannya menyentuh kitab Si Cap Ji Cin Keng yang disimpan Siau Po di balik pakaiannya.
"Eh, barang apa itu?" tanyanya.
"Oh, ini uang yang aku curi dan kubawa kabur dari rumah," sahut Siau Po dengan hati tercekat.
"Ngaco! Mana mungkin kau membawa uang begitu banyak?" Tanpa menunda waktu dia segera mengulurkan tangannya dan merogoh-rogoh tubuh Siau Po dan mengeluarkan bungkusan kitab itu. Ketika dia membukanya, saat itu juga dia jadi tertegun, kemudian wajahnya menjadi berseri-seri.
"Si Cap Ji Cin keng! Si Cap Ji Cin keng!" Kemudian tosu itu membungkus kembali kitab itu sampai rapi lalu dimasukkannya ke dalam saku pakaian. Kembali dia menjambak dada Siau Po dan diangkatnya tinggi-tinggi.
"Dari mana kau mendapatkan kitab ini?" tanyanya dengan suara garang. Sulit sekali menjawab pertanyaan itu, apalagi hati Siau Po sedang terkejut dan khawatir kehilangan kitabnya itu. Tapi untung saja otaknya cerdas sekali. Dia menabahkan hatinya dan berusaha tertawa lebar.
"Kau menanyakan kitabku itu? Oh, ceritanya panjang sekali. Akan memakan waktu lama untuk menceritakannya...." Siau Po terus mengulur waktu. Selain ingin mendapatkan kebebasan, Siau Po juga berharap dapat merebut kitabnya kembali. Karena itu, dia perlu mengasah otaknya untuk mencari keterangan yang masuk akal...
"Cepat katakan! Dari mana kau mendapatkan kitab itu?" bentak tosu itu sekali lagi, "Siapa yang memberikannya kepadamu?" Belum lagi Siau Po sempat menjawab pertanyaan itu, dari kejauhan tampak serombongan hwesio sedang berjalan mendatangi. Tampaknya mereka Cap Pek Lohan dari biara Siau Lim Sie yang membantu Heng Ti mengusir para Ihama dari Tibet. Ketika dia menoleh ke arah barat, ternyata dari sana juga sedang datang beberapa orang hwesio sehingga jumlahnya menjadi belasan orang.
-- Bagus! -- seru Siau Po dalam hatinya. Dia merasa senang -- Tosu bangsat, biar pun kepandaianmu lebih hebat lagi dari sekarang, tidak mungkin kau sanggup melawan Cap Pek Lohan dari Siau Lim Sie! --
"Cepat katakan!" bentak tosu itu.
"Ayo, cepat katakan!" Sekarang tosu itu juga melihat munculnya beberapa orang hwesio dari arah timur, barat dan utara. Dia tidak memperdulikan orang-orang itu tapi dia bertanya kepada Siau Po.
"Mengapa beberapa orang hwesio itu datang ke mari?" Tampaknya Siau Po sudah memikirkan pertanyaan itu. Dengan seenaknya dia
menjawab.
"Para hwesio itu telah mendengar tentang kehebatanmu, sekarang mereka datang untuk mengangkat kau menjadi guru." Sudah sampai di hadapan si tosu dan sepasang muda-mudi itu. Bahkan hwesio yang usianya sudah lanjut dan aliasnya panjang langsung memberi hormat dan menyapa.
"Taysu, apakah taysu ini Poan Toato Ay Cun cia dari Liau Tong?" Ketika itu tubuh Siau Po masih diangkat tinggi-tinggi oleh si taysu, tapi mendengar pertanyaan itu dia jadi tertawa terbahak-bahak. Menurutnya, pertanyaan itu aneh sekali. Poan tauto artinya tosu gemuk, sedangkan Ay Cun cia berarti Cun cia pendek, Cuncia adalah sebutan suci bagi para pengikut Buddha. Tetapi kenyataannya tosu itu bertubuh tinggi kurus, Apakah hwesio itu matanya buta? Tidak! Terang dia bisa melihat Lalu,
mengapa dia menyebut tosu itu dengan sebutan yang demikian menggelikan? Ataukah hwesio itu sengaja mengejeknya? Tosu itu menggelengkan kepalanya.
"Betul! Akulah Poan Tauto Ay Cun cia! Kalian bisa mengetahui namaku. Hal ini berarti kalian bukan orang sembarangan Nah, taysu, siapakah kau sebenarnya?"
"Gelar lolap Teng Sim dari Siau Lim Sie," sahut hwesio beralis panjang itu.
"Kedudukanku di dalam biara sebagai ketua dari ruang Tat Mo Ih. Dan ketujuh belas suhu ini rekan-rekan lolap yang juga anggota ruang Tat Mo Ih." Sedang mendatangi itu dan berseru, "Lebih baik kalian menggelinding pergi dari sini, jangan ganggu aku dengan segala macam kerewelan!" Suaranya yang keras bergema di sekitar lembah itu kedengarannya penuh wibawa. Rombongan ke delapan belas Lohan dari Siai Lim Sie itu tidak menghiraukan seruannya. Mereka seakan tidak mendengar apa-apa. Para Lohan itu terus mendaki ke atas dan tidak lama kemudian.
"Aku tidak pernah menerima murid," katanya. Mendengar pertanyaan itu, tosu itu segera menjawab dengan suara lantang. Kemudian dia menghadap ke arah para hwesio yan
"Oh!" seru tosu itu yang nadanya tidak garang lagi seperti sebelumnya, "Kiranya delapan belas Lohan dari Tat Mo Ih telah berkumpul di sini, Aku hanya seorang diri, tidak bisa aku melayani kalian semua...." Teng Sim segera merangkapkan sepasang tangannya,
"Di antara kita satu dengan yang lain tidak terlibat permusuhan atau persengketaan apa pun, bahkan kita sama-sama merupakan pengikut Buddha. Bagaimana taysu bisa mengatakan soal perkelahian?" katanya dengan nada sabar.
"Kedua Cun cia gemuk dan kurus dari Liau Tong mempunyai nama yang terkenal sekali karena ilmu silatnya yang lihay. Kami justru merasa kagum sekali. Kami juga merasa gembira atas keberuntungan kami dapat bertemu dengan taysu di sini." Setelah Teng Sim selesai berkata, ketujuh belas rekannya yang lain segera memberi hormat sehingga tosu itu repot membalas penghormatan mereka.
"Untuk apakah kalian datang ke Ngo Tay san ini?" tanya tosu itu kemudian. Teng Sim tidak menjawab pertanyaan Ay Cun cia, dia malah menunjuk kepada Siau Po.
"Sicu kecil ini mempunyai hubungan yang erat dengan biara Siau Lim Sie kami, oleh karena itu, kami mohon sudilah kiranya taysu bermurah hati membebaskannya...." Ay Cun cia memperhatikan hwesio itu. Dia tampak ragu-ragu. Tapi pihak lawan adalah ke-delapan belas Lohan yang sudah terkenal dari Siau Lim Sie, sedangkan dia hanya seorang diri, sanggupkah dia melawan mereka? Tentu lain halnya kalau mereka berkelahi satu lawan satu.
"Baiklah," sahutnya kemudian, "Dengan memandang wajah taysu, aku akan melepaskannya," tosu itu langsung menurunkan tubuh Siau Po. Setelah itu dia menepuk perut bocah itu untuk membebaskan totokannya. Begitu berdiri tegak, Siau Po mengulurkan tangannya ke hadapan tosu itu.
"Mana kitabku?" katanya, "Kitab itu merupakan pemberian sahabat dari delapan belas suhu ini agar aku membawanya ke Siau Lim Sie dan akan diserahkan kepada Hong Tio biara itu."
"Apa?" tanya Ay Cun cia gusar "Apa hubungannya kitab ini dengan pihak Siau Lim Sie?"
"Pokoknya kau telah merampas kitab milikku!" sahut Siau Po dengan berani "Kitab itu diserahkan oleh seorang suhu tua yang meminta aku menyerahkannya kepada seseorang. Urusan ini penting sekali. Biar bagaimana kau harus mengembalikan kitab itu!"
"Kau mengoceh tidak karuan!" kata tosu itu yang langsung mencelat ke bawah untuk turun gunung. Tiga orang hwesio Siau Lim Sie segera lompat ke depan dengan tangan terulur guna menyambar orang itu. Ay Cun cia tidak ingin melayani, dia menggeser tubuhnya ke samping untuk menghindarkan diri. Tubuhnya tinggi kurus, meskipun tampaknya kaku tapi gerakannya justru gesit dan lincah sekali walaupun sambaran tangan ke tiga hwesio itu lihay sekali namun tidak mengenai sasarannya! Menyaksikan keadaan itu, empat orang hwesio lainnya segera turun tangan. Mereka menghambur ke depan untuk menghadang dengan merentangkan kedua tangannya. Terdengar seruan nyaring dari mulut Ay Cun cia, kedua tangannya didorongkan ke depan dengan jurus "Ngo Teng Kay san", setelah itu dia mencelat lagi. Keempat hwesio itu berusaha merintangi kembali. Mereka menyerang serentak. Ketika mereka menangkis, merasa tenaga tolakan lawan keras sekali sedangkan si tosu merasa serangan yang dilancarkan keempat hwesio itu berbeda-beda. Dua yang di kiri menyarang dengan tenaga yang kuat, sedangkan dua yang di kanan menyerang dengan tenaga lunak. Begitu lunaknya sehingga mirip membentur tumpukan kapas.
- Ah! --, seru tosu itu dalam hatinya, -- Aku sudah mendengar bahwa ilmu silat Siau Lim Pai lihay sekali, sekarang aku telah membuktikannya sendiri Mereka benar-benar tidak boleh dianggap enteng. Tosu itu segera berusaha membebaskan diri, tapi tiga hwesio lainnya sudah mendesaknya dari belakang. Dia menjejakkan kakinya di atas tanah untuk mencelat ke atas dan menghindarkan diri dari serangan empat kepalan tangan. Sembari melompati dia menolehkan kepalanya ke belakang. Ternyata serangan yang dilancarkan mereka memang berbeda-beda dan dari arah yang berlawanan pula, itulah serangan cengkeraman Naga, Kuku Hari-mau, dan Cakar Garuda. Diam-diam hatinya merasa jeri Dia tidak berani berlaku ayal. Dia memutar tubuh sambil melompat ke arah Siau Po untuk menyambar bocah itu dengan tangan kanannya. Setelah mendarat di atas tanah, dia membentak dengan nada bengis.
"Kalian ingin melihat dia mati atau hidup?" Gerakan tosu itu cepat sekali dan tahu-tahu Siau Po telah tercekal olehnya. Ke delapan belas Lohan dari Siau Lim Sie itu segera mengambil posisi mengurung. Teng Sim merangkapkan sepasang tangannya dan berkata.
"Kitab sicu ini merupakan kitab yang sangat penting, oleh karena itu, kami mohon sudilah taysu mengembalikannya. Dengan demikian taysu telah mendirikan pahala. Atas itu, kami semua juga akan merasa bersyukur dan berterima kasih!" Ay Cun cia mengangkat tubuh Siau Po tinggi-tinggi, tangannya yang sebelah lagi mengancam batok kepala bocah itu, Tosu itu tidak menghiraukan Teng Sim, malah tanpa berkata apa-apa lagi, dia membawa Siau Po lari ke arah utara. Ancaman itu hebat sekali, seandainya pihak Siau Lim Sie memaksakan kehendak mereka untuk meminta kembali kitab Si Cap Ji Ciang Keng, maka dia akan menghajar batok kepala Siau Po agar mati seketika. Dalam keadaan seperti ini, beramai-ramai mereka menyebut nama Sang Buddha
kemudian mundur serempak untuk membuka jalan. Tosu itu langsung berlari sambil membawa Siau Po. Gerakannya gesit dan cepat Tujuannya ke arah utara. Meskipun sempat ragu-ragu, akhirnya ke delapan belas Lo han dari Siau Lim Sie itu menyusul juga, Mereka segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar tidak ketinggalan terlalu jauh atau kehilangan jejak orang yang disusul itu. Pada saat itu, Song Ji juga sudah lari menyusul Dia dibebaskan totokannya oleh salah seorang hwesio. Saking khawatirnya, dia berlari kencang sekali. Tapi dia mengalami kesulitan untuk mengejar apalagi menyusul tosu itu, Hal ini karena dia kalah tenaga dalam disebabkan usianya yang masih muda. Gadis cilik itu bingung sekali sehingga tanpa sadar dia menangis, namun tidak menghentikan langkah kakinya. Sebaliknya, di sebelah depan, para hwesio itu juga belum berhasil mengejar Ay Cun cia. Tidak lama kemudian, baru tampak Ay Cun cia membawa Siau Po mendaki puncak sebelah utara, para hwesio tetap mengejarnya. Hanya ada satu jalan untuk mendaki puncak itu dan sempit pula. Karena itu, mereka terpaksa berlari dengan antri atau berbaris satu per satu. Ketika Song Ji menyusul sampai di kaki bukit itu, tenaganya sudah habis. Dia mendongakkan kepalanya untuk melihat ke atas. Tampak puncak bukit itu bagai menyusup ke dalam gumpalan awan yang tebal. Hatinya khawatir sekali, kalau tosu itu sampai tergelincir tamatlah riwayatnya bersama-sama Siau Po. Tidak jadi masalah kalau hanya tosu itu yang mati, tapi... bagaimana kalau Siau Po yang.... Ketika gadis cilik ini sedang melihat ke atas, tiba-tiba terdengarlah suara yang bergemuruh, disusul dengan berloncatannya para hwesio. Rupanya dari atas bergelindingan puluhan batu yang ukurannya berbeda-beda. Tentunya Ay Cun cia mendupak batu di sana sini agar para hwesio itu mengalami kesulitan mengejarnya.
Di antara para hwesio itu, Teng Kong tertinggal di bagian paling belakang, Lukanya yang terjadi karena bertarung dengan Hong Hu Kok masih belum sembuh betul, tenaganya jadi jauh berkurang.
"HongTio!" teriak Song ji memanggilnya, "Hong Tio!" Teng Kong menoleh, kemudian dia menghentikan langkah kakinya. Dihampirinya Song Ji yang tampaknya sudah letih sekali dan tampangnya menyiratkan kekhawatiran, Teng Kong segera menghiburnya.
"Jangan cemas, tidak mungkin dia mencelakai kongcumu!" katanya, Setelah itu dia menarik tangan gadis cilik itu. Dia tidak merasa jengah, pertama karena usia Song Ji masih belia, kedua gadis itu juga memerlukan bantuannya. Dengan ditarik olehnya,
Song Ji bisa mendaki terus. Bagi Song Ji, keadaan dirinya ibarat seorang yang terombang ambing di tengah lautan dan tiba-tiba menemukan selembar papan untuk dijadikan pegangan sehingga perasaannya menjadi agak lega.
"Hong Tio," kembali Song Ji bertanya, "Benarkah dia tidak akan mencelakai kongcu?"
"Tidak, tidak mungkin," sahut Teng Kong yang terpaksa menjawab demikian meskipun dia tahu watak Ay Cun cia kejam sekali. Puncak yang mereka daki merupakan puncak bagian selatan, Lam tay dari Ngo Tay san. Dapat dimengerti bahwa puncak itu membahayakan tapi untungnya jalan tidak terjal hanya berkelok-kelok sehingga akhirnya Teng kong dapat juga menyusul rekan-rekannya. Tampak mereka tengah mengurung sebuah kuil Dapat dipastikan bahwa Ay Cun cia sudah membawa Siau Po ke dalam kuil tersebut.
Ngo Tay san mempunyai lima puncak dan setiap puncak terdapat sebuah kuil. Di puncak gunung itu bersemayam seorang tokoh Bodhisatva yakni Bun cu Pou sat. Dari sanalah dahulu kala sang Dewi menyiarkan khotbahnya. Ke lima puncak itu masing-masing didiami seorang tokoh Bodhisatva atau Buncu Pou sat yang berlainan. Hal ini karena Bun cu Pou sat memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan sering memperlihatkan wujud yang berlainan di bagian Tong Tay, yakni puncak sebelah timur, ada sebuah kuil yang bernama Bong Hay Si, yang dipuja Cong Beng Bun cu.
Di Tiong Tay, puncak yang terletak di tengah-tengah, yakni puncak Cui Giam Hong, ada kuil bernama Yau Kau si, yang dipuja di sana ialah Ji Tong Bun cu.
Di Si Tay, yakni puncak barat atau lebih terkenal dengan nama puncak Kwa Goat Hong, terdapat kuil Hoat Lui si dan di Lam Tay, puncak selatan atau disebut juga puncak Kim Siau hong, terdapat kuil Pou Ci si dan yang dipuja di sana adalah Ti Hui Bun cu. Yang terakhir inilah yang didatangi para hwesio karena mengikuti jejak Ay Cun cia.
"Kongcu! Kongcu!" teriak Song ji begitu berkumpul dengan para hwesio lainnya. Dari dalam kuil tidak terdengar sahutan apa-apa. Hati Song Ji jadi tegang, Dia mengkhawatirkan keselamatan Siau Po. Karena itu, dia langsung menghambur ke depan untuk memasuki kuil.
"Jangan!" cegah Teng Kong sambil mengulurkan tangannya untuk menarik Song Ji. Tapi Song Ji lincah sekali, Teng Kong tidak berhasil mencekalnya, Dia lari terus ke dalam pendopo, tampak Ay Cun cia sedang berdiri dengan tangan kiri memegang Siau Po.
"Kongcu!" Teriak Song Ji.
"Apakah tosu jahat itu mencelakaimu?"
"Jangan khawatir!" sahut si bocah nakal.
"Tidak mungkin dia berani mengganggu seujung rambut ku." Ay Cun cia marah mendengar kata-katanya.
"Siapa bilang aku tidak berani?" tanyanya dengan suara garang. Siau Po memang pemberani Dia malah tertawa lebar.
"Kalau kau mencelakai aku," katanya.
"Walau pun hanya seujung rambutku saja, nanti kau akan diringkus oleh ke delapan belas Lo han di depan sana dan kau akan dibuat menjadi manusia gemuk dan kate. Kalau hal itu sampai terjadi, celakalah kau seumur hidupmu. Bisa-bisa kau malah pulang ke asalmu." Tampak Ay Cun cia terkejut setengah mati.
"Apa katamu?" tanyanya, "Pulang ke asalku Bagaimana kau bisa tahu?" Siau Po mengawasi tosu di depannya, Sebenarnya dia tidak tahu apa-apa. Kata-katanya tadi hanya ingin mempermainkan si tosu dan menggertaknya saja, Tidak tahunya dia malah mengetahui borok di dalam hati si tosu. Tapi pada dasarnya dia memang pandai melihat mimik wajah orang.
"Tentu saja aku tahu," jawabnya sembarangan. Setelah melihat si tosu cemas sekali. Dia sengaja memperlihatkan senyuman ejekan. Ay Cun cia berusaha menenangkan dirinya.
"Mereka pasti tidak sanggup melakukannya," sahutnya masih dengan nada yang garang. Meskipun demikian, Siau Po dapat merasakan tangan tosu itu agak bergetar.
"Mereka memang tidak tahu, tapi lain halnya dengan Giok Liam taysu." kata Siau Po.
"Asal mereka pergi ke Ceng Liang si untuk menanyakannya, mereka pasti akan tahu." Hati Ay Cun cia semakin tercekat "Giok Lim taysu ada di Ceng Liang si?" tanyanya. Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Kalau kau tidak percaya, pergilah kau ke sana dan buktikan sendiri! Di sana kau akan mendapat kenyataan." Tiba-tiba Ay Cun cia menjadi gusar.
"Untuk apa aku ke sana?" katanya dengan suara keras.
"Walaupun harus mati, aku tidak akan kesana."
"Kitab Si Cap Ji Cin Keng itu, Giok Lim taysu yang memberikannya kepadaku." kata Siau Po.
"Meskipun kau tidak menemuinya, dia pasti akan mencarimu.," Ay Cun cia mendadak bersikap seperti orang kalap. Dengan kaki kanannya, dia mendupak sebuah batu besar yang terdapat di depannya sehingga tembok kuil itu retak dan pasir-pasir berhamburan. Kemudian dia berkaok-kaok dengan keras.
"Kalau Giok Lim taysu datang ke puncak gunung ini, aku yang akan membunuhnya terlebih dahulu. Kata-kataku berat seperti gunung Ngo Ta san ini. Sekali aku mengucapkannya, aku akan melaksanakannya." Di dalam hatinya Siau Po mengeluh -- Celaka! Aku telah salah bicara, Entah mengapa dia begitu membenci Giok Lim taysu. Kalau hwesio itu benar-benar datang ke puncak gunung ini, jangan-jangan jiwaku sendiri sulit dipertahankan lagi! -
"Untuk apa kau ikut ke mari?" tanya Ay Cun cia kepada Song Ji yang sejak tadi mendengarkan percakapan di antara mereka berdua, "Apakah kau juga sudah bosan hidup?"
"Dengan kongcu, aku telah berjanji sehidup semati." sahutnya dengan berani.
"Kalau kau mencelakai dia, aku akan mengadu jiwa denganmu."
"Setan alas!" teriak si tosu.
"Apa sih keanehan bocah ini? Hh, bocah cilik, apakah kau mencintai nya?" Wajah Song Ji menjadi merah padam mendengar pertanyaan tosu. Untuk sesaat gadis itu membungkam, sejenak kemudian dia baru berkata.
"Kongcu orang baik, sedangkan kau jahat." Bersamaan dengan ucapan Song Ji, ke delapan belas Lo han di luar kuil memperdengarkan suara pujian.
"Amitabha! Amitabha! Buddha maha pengasih dan penyayang!" Mendengar pujian itu, wajah si tosu jadi pucat pasi Kembali terdengar suara ke delapan Lo han dari Siau Lim Sie itu, kali ini ditujukan kepada tosu.
"Ay Cun cia! Bebaskanlah sicu kecil itu dan kembalikanlah kitabnya!" Tubuh Ay Cun cia bergetar Tosu itu melepas cekalan tangan kiri nya. Dengan demikian, Siau Po jadi bebas, kemudian dia menutupi kedua telinganya dengan sepasang tangannya, Hal ini karena suara para hwesio itu seakan memekakkan gendang telinganya dan dia tidak suka mendengarnya. Peluang itu digunakan Songji untuk memeluk dan mengangkat tubuh Siau Po yang kemudian dibawanya kabur. Ay Cun cia melihat perbuatan Song Ji. Tosu itu segera mengulurkan tangannya untuk mencengkeram, tapi mengalami kegagalan. Gerakan tubuh Song Ji lincah dan licin seperti seekor belut. Tetapi tosu itu memang lihay sekali Ketika dia menjambak untuk kedua kalinya, Song Ji tidak dapat menghindar lagi, dan langsung mencengkeram. Lagi-lagi terdengar suara pujian para hwesio di luar kuil.
"Amitabha! Amitabha! Buddha maha pengasih dan Penyayang! Ay Cun cia, kau seorang tokoh berkenamaan di dunia Bu lim, sekarang kau melayani seorang gadis cilik, apakah kau tidak takut dirimu akan menjadi bahan tertawaan?" Pertanyaan itu diajukan dengan nada yang penuh kesabaran, Siau Po yang mendengarnya merasa kurang puas. Dia merasa sikap para hwesio itu terlalu lunak. Kembali hati Ay Cun cia bagai ditikam mendengar ucapan itu. Hawa amarah dalam dadanya seakan meluap-luap.
"Kalau kalian tetap menggunakan ilmu siluman itu," teriaknya keras kepada para hwesio itu.
"Awas! Aku tidak akan berlaku sungkan lagi! Aku akan mengambil tindakan tegas! Aku akan membunuh bocah ini kemudian merusak kitabnya, Aku ingin tahu, apa yang dapat kalian lakukan!" Ternyata ancaman itu berhasil. Para hwesio itu langsung berhenti mengeluarkan suara pujiannya.
"Ay Cun cia," terdengar suara Teng Kong bertanya.
"Apa yang kau inginkan agar kau mau melepaskan bocah itu dan mengembalikan kitabnya?"
"Asal kalian berjanji tidak mengganggu aku lagi aku segera melepaskan bocah ini," sahut Ay Cun cia.
"Tetapi mengenai kitabnya, maaf, aku tidak bisa mengembalikannya!" Para hwesio itu membungkam, Tentu mereka sedang berpikir keras. Ay Cun cia kembali menotok jalan darah Siai Po dan Song Ji, kemudian dia melihat ke sekitarnya yang sunyi sekali. Dia ingin mencari jalan untuk meloloskan diri, justru pada saat itulah tampak ke delapan hwesio itu berjalan mendekati tempatnya. Lima orang hwesio memisahkan dirinya di sebelah kiri, lima lainnya di kanan, mereka mengambil sikap mengepung.
Melihat hal itu, Ay Cun cia jadi mendongkol sekali.
"Kalau kalian berani, mari kita bertarung satu lawan satu!" teriaknya.
"Dengan satu per satu, kalian boleh menguji kepandaianku! sekalipun kalian menghadapi aku secara bergiliran, aku tidak takut!" Teng Kong merangkapkan kedua tangannya.
"Maafkan kami!" katanya.
"Maaf kalau sikap kami kurang hormati Kami akan maju bersama-sama." Ay Cun cia mengangkat kaki kirinya untuk dijejakkan di atas kepala Siau Po. Kemudian dia mendengus dingin, "Hm! Hm!" Dia bermaksud memperingatkan, asal hwesio itu maju lagi, terlebih dahulu dia akan membunuh Siau Po. Siau Po tercekat hatinya dan cemas ketika mencium bau busuk dari sepatu tosu itu,
Tiba-tiba saja pikirannya menjadi gelap sehingga dia tidak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri, Totokan tosu itu membuatnya tidak bisa berkutik.
Song ji juga tidak berdaya. Bersama-sama kong-cunya, dia memperhatikan Ay Cun cia yang sedang mengawasi para hwesio dengan tatapan tajam. Semuanya berdiam diri untuk memutar otaknya.
Mata Siau Po jelalatan di sekitar pendopo. Dia ingin mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian tosu dan dengan demikian para hwesio itu dapat maju serentak menolongnya. Dia sengaja menghindarkan diri dari tatapan tosu yang tajam. Tapi, karena kaki tosu itu ada di atas kepalanya, Siau Po tidak leluasa melihat ke sekitarnya kecuali keluar justru pada saat itulah dia melihat sebuah batu besar berbentuk kura-kura di luar kuil. Di punggung arca kura-kura itu terdapat sebuah batu lainnya yang penuh dengan ukiran huruf, Selain itu, dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Tapi dasar otaknya memang cerdas, batu itu saja sudah cukup baginya untuk memikirkan sebuah akal.
"Eh, Ay suhu!" demikian katanya.
"Kau lihat ayahmu tengah mendekam di halaman dengan punggungnya menggendong sebongkah batu besar yang beratnya mungkin mencapai ribuan kati. Tidakkah dia terlalu capek? Kalau kau tidak cepat-cepat menolongnya, kau sungguh anak yang tidak berbakti!"
"Apa yang kau maksudkan dengan ayahmu mendekam di halaman luar?" bentak tosu itu.
"Jangan ngoceh sembarangan!" Siau Po tidak memperdulikannya, dia hanya bertanya.
"Kitab Si Cap Ji Cin Keng terdiri dari delapan jilid, kau hanya mendapatkan satu, masih sisa tujuh lainnya. Apa gunanya kalau hanya memiliki satu jilid saja?"
"Di mana tujuh jilid lainnya?" tanya tosu itu segera.
"Apakah kau mengetahuinya?"
"Tentu saja aku tahu," sahut Siau Po kalem.
"Di mana tempatnya?" tanya tosu itu dengan nada mendesak "Lekas beritahukan kepadaku, kalau tidak aku akan menginjak batok kepalamu biar jadi bubur!"
"Tadinya aku tidak tahu," sahut Siau Po.
"Baru saja aku mengetahuinya."
"Baru saja kau mengetahuinya?" tanya si tosu bingung.
"Apa maksudmu?" Di punggung arca kura-kura itu terdapat banyak ukiran hurufnya. Siau Po tidak tahu apa bunyinya, sebab dia buta huruf, karena itu dia pura-pura membaca dengan perlahan-lahan.
"Kitab Si Cap Ji Cin keng semuanya terdiri dari delapan jilid, Kitab yang pertama terletak di propinsi Ho Lam, entah di kuil apa atau gunung apa, sebab ada beberapa huruf yang tidak aku kenal...."
"Huruf-huruf mana?" tanya Ay Cun cia yang ikut memperhatikan punggung kura-kura itu.
"Toh semua tulisannya jelas sekali..?" Siau Po tidak menjawab pertanyaannya, dia masih memperhatikan punggung kura-kura itu dengan seksama.
"Kitab yang kedua terletak di propinsi Sho Say di gunung Pit Ki san," kembali dia pura-pura membaca.
"Entah dalam wihara apa.... Suhu, dua huruf itu aku tidak kenal, ukirannya pun samar-samar. Kepandaianmu tinggi dan kau pun berpendidikan tinggi, coba kau ke sana melihatnya sendiri..." Ay Cun cia percaya dengan kata-kata Siau Po. Dia mengangkat tubuh bocah itu dan dibawanya ke dekat batu kura-kura itu. Tetapi huruf yang terukir di batu itu adalah huruf Toan Ji. Dia sendiri tidak mengerti huruf model itu.
"Kitab yang ketiga terletak di propinsi Su Coan wilayah kota Seng Tou, tapi apa nama gunungnya aku tidak tahu. Aku tidak kenal huruf-huruf itu... kata Siau Po yang melanjutkan bacaannya. Memang Ay Cun cia pernah mendengar tentang kitab Si Cap Ji Cin Keng yang terdiri dari delapan jilid. Dan ke delapan jilid kitab itu harus disatukan baru ada gunanya, tetapi di mana adanya kitab-kitab tersebut, dia sama sekali tidak tahu, itulah sebabnya dia percaya dengan ocehan Siau Po. Dia segera menggeser kakinya dari kepala si bocah dan membangunkannya.
"Di mana tersimpan kitab ke empat?" tanyanya. Siau Po pura-pura mengawasi batu itu. Dia menolehkan kepala ke kanan ke kiri,
kemudia menggeleng beberapa kali.
"Aku tidak dapat melihat hurufnya dengan tegas..." sahutnya. Ay Cun cia menenteng tubuh bocah itu dan dibawanya maju tiga langkah sehingga jarak mereka dengan batu itu semakin dekat, kemudian dia menatap Siau Po lekat-lekat seakan bertanya dengan sinar matanya.
"Aduh... kepalaku gatal sekali!" teriak Siau Po tiba-tiba.
"Apa katamu?" tanya tosu itu.
"Kuil ini banyak kutunya, ada kutu yang melompat ke atas kepalaku," sahut si bocah yang cerdik.
"Dia menggigit kulit kepalaku sehingga aku kegatalan, Ay Cun cia, coba kau cari dan tangkap kutu itu. Kepalaku gatal sekali sehingga aku tidak dapat melihat dengan jelas...." Ay Cun cia membuka kopiah bocah itu, kemudian mengacak-acak rambut Siau Po dengan jari tangannya yang panjang-panjang. Maksudnya tentu ingin mencari kutu yang dikatakan Siau Po.
"Bagaimana? Apakah gatalnya sudah berkurang?"
"Belum," sahut Siau Po.
"Aih... aih... kutu itu pindah ke sebelah kiri, sedangkan kau menggaruk sebelah kanan. Ya percuma saja, gatalnya semakin bertambah-tambah...." Ay Cun cia menggaruk sebelah kiri.
"Eh, eh!" seru si bocah sekali lagi.
"Eh, dia pindah ke bawah, Di dekat tengkuk, apakah kau melihatnya?" Ay Cun memperhatikan Tosu itu bukan orang tolol, Dia langsung menyadari bahwa Siau Po sedang mempermainkannya. Tapi dia ingin mengetahui bunyi huruf-huruf yang tertera di atas batu itu, karena itu, dia menepuk punggung Siau Pol untuk membebaskan jalan darahnya. Kecuali itu dia pun meletakkan tangan kirinya di atas bahu bocah itu agar dia tidak melarikan diri.
"Nah! Kau garuk saja sendiri!" katanya karena tidak ingin dipermainkan terus oleh Siau Po.
"Aduh! Kutu ini jahat sekali! Mungkin sudah ada tiga tahun dia tidak pernah menghisap darah manusia. Tadinya dia pasti pendek gemuk dan sekarang dia menjadi kurus kering. Sialnya dia menumpahkan kemarahannya kepadaku dan menggigit aku habis-habisan!" Sembari berkata, Siau Po menyusupkan tangan nya ke balik pakaian dan menggaruk di sana sini. Ay Cun cia tahu, secara tidak langsung bocah ini sedang menyindirnya. Tapi dia membiarkan saja Tosu itu pura-pura tidak tahu. Dia hanya bertanya kembali.
"Di mana letaknya kitab yang ke empat?"
"Kitab yang ke empat terletak di propinsi Hi Lam, di gunung Siong." sahut Siau Po yang menghentikan ucapannya sejenak dan berpura-pura memperhatikan ukiran di punggung kura-kura itu dengan serrius, "Entah gunung apa, di dalam kuil Siau Lim Sie,
di Tat... entah apa ih...."
"Apa?" seru Ay Cun cia terkejut "Di simpan dalam kuil Siau Lim Sie, ruang Tat Mo Ih?" Sengaja Siau Po memberikan keterangan yang ngawur itu. Karena dia melihat kenyataan bahwa Ay Cun cia tidak suka terhadap para hwesio dari Siau Lim Sie dan dia yakin tosu itu tidak berani menyatroni ruang Tat Mo Ih yang terdapat dalam kuil Siau Lim Sie.
"Entahlah, pokoknya tulisannya Tat entah apa ih..." sahutnya, "Eh, Ay Cun cia, kalau kau tahu semua tulisan ini, untuk apa kau menyuruh aku membacanya? Kalau kau buta huruf, katakan saja terus terang! Ah, aku tahu sekarang! Tentunya kau sedang menguji aku, bukan? sayangnya banyak huruf yang aku tidak tahu,..." Tosu itu diam saja. Rona wajahnya berubah-ubah. Hal ini membuktikan bahwa dia merasa jengah. Beberapa kali dia melirik ke arah para hwesio dari Siau Lim Sie, tentunya hatinya merasa bimbang. Siau Po memperhatikan sikap tosu dengan seksama. Dia juga melirik ke sekitarnya, lalu diam-diam dia menarik ke luar pisau belatinya dari dalam kaos kakinya untuk disimpan di dalam sakunya, Gerakannya lincah sekali.
"Di mana tersimpan jilid yang ke lima?" tanya Ay cun cia kemudian. Perihal Siau Lim Sie yang merupakan sebuah partai persilatan terbesar yang ada di dunia kangouw, sebenarnya Siau Po mendengar dari mulut Ha Tay Hu. Selain itu, dia juga tahu Bu Tong Pai da Kong Tong Pai pun termasuk partai persilatan yang besar dan ternama. Sebab si nenek sihir pernah berusaha meyakinkan Hay kongkong bahwa dirinya berasal dari partai Bu Tong pai, sedangkan Hay kongkong sendiri berasal dari Kong Tong Pai. Itulah sebabnya dia segera memberitahukan bahwa atas punggung kura-kura itu tertulis bahwa kitab lima ada di partai Bu Tong Pai dan kitab ke enam ada di Kong Tong Pai. Mendengar keterangannya, wajah Ay Cun cia yang sudah muram berubah semakin kelam. Kemudian dia menanyakan tentang kitab yang ke tujuh dan yang terakhir.
"Kitab yang ke tujuh didapatkan oleh keluar Bhok yang ada di Inlam," sahut Siau Po. Dia mmang cerdik, dan tidak kenal takut "Dan kitab yang ke delapan, katanya ada di dalam istana yang sebut Peng Si onghu yang ada di propinsi In lam juga...." Siau Po sengaja menyebut Bhok onghu, karena dia sangat benci kepada Pek Han Hong yang pernah menyakitinya. Dia berharap Ay Cun cia akan datang ke sana dan menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu pula, dia sekalian menyebut Peng Si onghu. Mendengar keterangan tentang tempat tersimpannya kitab ke delapan, Ay Cun cia agak heran.
"Kau mengatakan kitab yang ke delapan ada di dalam istana Peng Si onghu?" tanyanya menegaskan
"Entahlah, Peng si onghu atau bukan..." sahut Siau Po. "Aku tidak begitu kenal dengan huruf-hurufnya...."
"Ngaco!" bentak Ay Cun cia dengan nada garang, "Batu berukiran itu setidaknya sudah berusia seribu tahun, sedangkan berapa usia Go Sam Kui sekarang? Di atas batu berusia seribu tahunan, mana mungkin terukir nama Peng Si Ong?" Memang warna batu serta kura-kura itu sudah tua dan berlumut pula, Dalam hal ini, dasar usia Siau Po masih terlalu muda, dia tidak pernah berpikir sejauh itu, Menyebut nama berbagai partai, memang masih bisa diterima, tapi menyebut namanya Go Sam Kui, lain sekali - Ah, celaka! celaka --, keluhnya dalam hati. Dia insyaf atas kekeliruannya. Dasar otaknya cerdik, dia tidak jadi panik. Dengan tenang dia berkata. "Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak kenal semua huruf itu, kalau sekarang ada Peng Si Ong, mungkin saja jaman dulu ada Kau Si Ong, Miau Si ong atau Ku Si Ong, Oh, Ay Cun cia, biar aku katakan terus terang kepadamu. Huruf-huruf miring ke sana-sini, banyak sekali lekukannya, karnanya jadi sulit dikenali. Kau sendiri mengaku mengerti, mengapa kau tidak membacanya sendiri. Kalau memang tidak tahu, katakan saja tidak tahu, tidak usah berpura-pura. Di depan ada para hwesio yang semuanya berpendidikan tinggi, kalau di depan mereka kau membaca secara serampangan apakah kau tidak takut menjadi bahan tertawaan. Kata-kata Kau, Miau dan Ku yang diucapkan Siau Po tadi artinya anjing, kucing dan kura-kura. Sengaja Siau Po menyebutkan kata-kata itu untuk mempermainkan si tosu. Ay Cun cia membungkam. Rona wajahnya kembali berubah-ubah. Memang benar apa yang dikatakan Siau Po. Kali ini dia tidak menjadi marah. Malah ia menganggukkan kepalanya.
"Memang benar Aku tidak kenal satu huruf-huruf yang seperti cacing itu." ujarnya kemudian, "Jadi, kemungkinan itu bukan huruf Pengsi Ong, lalu bagaimana dengan huruf-huruf selanjutnya?" - Sungguh berbahaya! - keluh Siau Po dalam hatinya, -- Untung aku bisa mengelabuinya. Sekarang aku harus menggunakan kata-kata yang biasa dan ucapan yang manis agar hatinya menjadi tenang. Tadi dia mengatakan tentang pulau Coa yang sama dengan Sin Liong To, dia juga kenal dengan si gendut Liu Yan, kemungkinan dia berasal dari Sin Liong kau... --
Dengan membawa pikiran itu, Siau Po segera menelengkan kepalanya dan berpura-pura memperhatikan batu berukiran itu lagi.
"Huruf-huruf yang ada di bawah mirip dengan tulisan Siu (umur) serta huruf Thian (langit)," katanya kemudian.
"Aih! Thian apa ya?" Tampaknya Ay Cun cia tertarik sekali dengan keterangannya.
"Coba lihat yang tegas!" katanya memerintahkan.
"Huruf Siu dan Thian, lalu apa lagi?"
"Tampaknya mirip dengan huruf Ci..." kata Siau Po.
"Ah! itulah huruf Siu I Thian Ci!" Mendengar keterangan itu, tiba-tiba wajah Ay Cun cia jadi berseri-seri, Siu I Thian Ci artinya berusia panjang seperti langit. Dia sampai menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Benar! Benar!" serunya gembira.
"Apa tulisan lainnya?"
"Huruf-huruf ini sudah tua dan aneh pula," kata tiau Po.
"Sungguh susah mengenalinya, Ya, ya... ada luruf Hong, ada tiga huruf Hong kaucu, ada juga dua huruf Sin dan Liong, Nah, lihat ini! Ada huruf "in Tong Kong Tay (Artinya kepandaian yang dahsyat). Tiba-tiba si tosu berjingkrak kegirangan.
"Benarkah Hong kaucu demikian beruntung sehingga usianya sama dengan usia langit?" katanya, benarkah ukiran ini sudah tua sekali umurnya?"
"Di batu ini terdapat peringatan bagi Kaisar Tong Thay Cong Lie Si Bin. Beliau memerintahkan Cin Siok Po beserta Tia Kau Kim membuat batu peringatan ini. Di sini pun tertera jelas nama guru besar atau penasehat agung jaman dinasti itu, yakni Kunsu Ci Bou Kong yang pandai meramal kejadian yang akan terjadi seribu tahun mendatang atau pun seribu tahun yang telah lalu.
Beliau telah meramalkan bahwa pada seribu tahun kemudian akan muncul seorang Hong kaucu, yakni ketua sekti agama dari Sin Liong kau yang kesaktiannya bagai dewa dan usianya panjang seperti usia langit." Siau Po mengetahui nama-nama kaisar seperti menteri-menteri besar di jalan dahulu kala karena sering menonton pertunjukan wayang orang ketika masih di Yang-ciu. Dia sendiri tidak menyangka ocehannya itu akan berhasil mengelabui tosu itu sedangkan tentang kesaktian dan kesetiaan para pengikut Hong Kaucu, Siau Po mendengarnya di rumah keluarga Cung ketika ciong losam berbicara dengan rekan-rekannya. Ay Cun cia menggaruk-garuk kepalanya denga mulut melongo.
"Entab di belakang batu itu masih terdapat tulisannya atau tidak?" kata Siau Po kemudian.
"Ya, mungkin saja," kata Ay Cun cia yang tertarik sekali. Dia segera berjalan ke belakang batu itu untuk memeriksanya.
Bagian 38
Tepat pada saat itu, Siau Po segera melompat satu tindak untuk mundur ke belakang, Tosu itu terkejut setengah mati. Dia mengulurkan tangannya untuk menjambret bocah itu. Tapi empat orang hwesio dari Siau Lim Sie yang ada di kiri dan kanan segera maju mengibaskan tangannya yang sedang meluncur itu. Dengan demikian, dia terpaksa membela dirinya terlebih dahulu,
Siau Po berhasil lolos, dia segera bersembunyi di belakang para hwesio lainnya, sedangkan empat hwesio lagi segera berhambur ke depan untuk memberikan bantuan kepada para rekannya. Sekarang Ay Cun cia dikepung oleh delapan orang hwesio yang langsung melancarkan serangan kepadanya. Kena atau tidak, dia tetap diserang. Dengan demikian ke delapan hwesio itu seperti bukan menghadapi lawan, mereka seakan sedang mengajak si tosu berlatih silat. Ay Cun cia mengadakan perlawanan sepasang tangannya digunakan untuk melindungi diri dari serangan delapan orang lawan. Kadang kala dia membalas menyerang. Tampaknya dia sanggup mempertahankan diri. Tidak tampak tanda-tanda dia keteter atau kewalahan. Satu kali dia menoleh ke arah batu besar berukiran itu, tangannya langsung terhajar oleh seorang hwesio, tapi dengan lincah dia bisa membalasnya. Hwesio yang satu ini segera mengundurkan diri untuk digantikan oleh seorang kawan nya. Lewat beberapa jurus, paha Ay Cun cia kena tendangan. Dia segera membalas dengan menghantamkan kedua tangannya ke depan berulang-ulang. Dengan demikian ke delapan hwesio itu menyurut mundur.
"Tahan!" teriaknya kemudian. Delapan hwesio itu menyurut mundur lagi dua langkah, kemudian mereka memperhatikan si tosu lekat-lekat.
"Hari ini aku yang hanya seorang diri tidak dapat melawan kalian yang jumlahnya jauh lebih banyak," kata Ay Cun cia terus terang, "kitab ini aku serahkan kepada kalian." Dia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan kitab yang dimaksudkan. Teng Sim mengerahkan tenaga dalam untuk mempersiapkan diri apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian dia baru mengulurkan tangan kanannya untuk menyambut kitab yang disodorkan. Di luar dugaan, ternyata Ay Cun ia benar-benar menyerahkan kitab itu tanpa melakukan tindakan apa-apa, malah tosu itu tersenyum.
"Teng Kong taysu!" katanya.
"Kalian delapan belas Lo han dari Siau Lim Sie mempunyai nama yang telah menggetarkan kolong langit Kalau kalian delapan belas orang menghadapi aku seorang diri, apakah kalian tidak merasa merendahkan diri sendiri?" Teng Kong yang ditegur segera merangkapkan sepasang tangannya.
"Maaf!" katanya sambil membungkuk dalam-dalam.
"Kalau kami menghadapimu satu per satu, terus terang kami bukan tandinganmu," kemudian dia mengulapkan tangan kirinya. Rekan-rekannya yang lain langsung mengundurkan diri melihat isyarat itu. Mereka khawatir si tosu akan mencekal Siau Po lagi. Karenanya, enam orang hwesio segera mengelilinginya dengan maksud melindungi. Ay Cun cia membalikkan tubuhnya ke arah Siau Po.
"Wi sicu," katanya dengan nada sabar.
"Ada sebuah permintaan yang ingin aku ajukan Aku harap kau bersedia mengabulkannya."
"Urusan apa?" tanya Siau Po.
"Aku ingin mengundang kau ke pulau Sin Liong to selama beberapa hari sebagai tamuku." Tosu itu menjelaskan permintaannya,
Siau Po terkejut setengah mati. Para hwesio dari Siau Lim Sie pun heran mendengarnya.
"Apa?" tanya Siau Po.
"Kau ingin mengundang aku ke pulau Sin Liong to? Untuk apa? Tempat itu...."
"Harap kau jangan salah paham, Wi sicu," kata Ay Cun cia, "Aku sudah menyerahkan kitabmu kepada Teng Kong taysu, dengan demikian urusan di antara kita telah selesai. Kalau kau bersedia datang ke Sin Liong to, kami para anggota Sin Liong kau, baik yang tua maupun yang muda akan menerimamu dengan penuh kehormatan. Setelah kau bertemu dengan Hong kaucu, kami akan mengantarkan kau pulang dengan selamat tanpa kurang sesuatu apa pun." Sembari berkata, tosu itu menatap Siau Po lekat-lekat.
Dia sadar bocah itu masih merasa ragu-ragu atau kurang percaya. Cepat-cepat dia melanjutkan kata-katanya.
"Aku harap Teng Kong taysu bersedia menjadi saksi! Kata-kata yang telah diucapkan Ay Cun ci bukan sekedar bualan belaka."
Teng Kong tahu tosu itu memang termasuk golongan sesat, tapi dia tidak pernah melakukan kejahatan besar. Dia bersama sahabatnya yang bertubuh pendek gemuk memang selalu memegang teguh kata-katanya.
"Apa yang Cun cia katakan, memang dapat di percaya. Hal ini diketahui baik oleh semua orang, Tapi, Wi sicu ini sedang mempunyai urusan yang penting. Mungkin untuk sementara belum sempat dia datang ke pulau Sin Liong To..."
"Betul! Aku memang mempunyai urusan yang penting sekali." tukas Siau Po cepat.
"Lain kali apabila aku mempunyai waktu luang, aku pasti akan datang ke pulau Sin Liong to untuk menjenguk Ay Cun cia serta Hong kaucu."
"Kau harus mengatakan Hong kaucu dan Poa tauto sebawahannya," cela Ay Cun cia.
"Di kolong langit ini, tidak ada seorang pun yang boleh ada di atas Hong kaucu, jangan sekali-kali menyebut nama orang lain di depan nama beliau, perbuatan itu benar-benar tidak menghormat dan merupakan hal penting yang harus diingat!" Siau Po tertawa.
"Bagaimana dengan Sri Baginda raja?"
"Tetap Hong kaucu terlebih dahulu baru kaisar." sahut Ay Cun cia, Nadanya jelas dan tegas, seakan sebuah pernyataan yang tidak dapat diganggu gugat.
"Hal kedua yang harus diperhatikan adalah, di hadapan Hong kaucu, tidak boleh memanggil seseorang dengan sebutan Cun Cia atau cin jin. Di dunia ini hanya ada seorang Hong kaucu yang kedudukannya paling tinggi dan agung. Siau Po sampai meleletkan lidahnya saking heran dan kagum.
"Kalau Hong kaucu benar-benar begitu hebat, aku semakin tidak berani menemuinya," katanya.
"Tapi Hong kaucu orangnya penuh welas asih dan penyayang." kata Ay Cun cia menjelaskan.
"Beliau telah melepas budi ke seantero dunia ini, Orang seperti engkau ini, Wi sicu, berotak cerdas, gesit dan masih muda, Hong kaucu pasti senang melihatmu. Kalau kau mengadakan perjalanan ke Sin Liong To, aku yakin sepulangnya kau akan mendapatkan banyak keuntungan. Hong kaucu pasti akan memberikan hadiah yang istimewa buatmu. Hal itu tidak perlu dikatakan lagi. Bahkan, ada kemungkinan, bila hati Hong kaucu sedang gembira, dia akan mengajarkan kau satu dua jurus ilmu yang sakti. Dengan demikian, kelak kau akan menjadi orang yang paling gagah dan jago di kolong langit ini, seumur hidupmu kau akan merasakan kesenangan yang tidak terkirakan." Ay Cun cia bicara dengan tampang serius, perubahan sikapnya ini sungguh mengejutkan. Padahal tadinya dia tidak memandang sebelah mata pada Siau Po, bahkan ingin menginjak kepalanya sehingga hancur lebur seperti bubur. Sekarang dia memuji Siau Po gagah dan cerdas. Dia juga selalu memanggil Siau Po dengan sebutan sicu, malah dia takut suaranya kurang jelas sehingga ketika berbicara dia membungkukkan tubuhnya sedikit agar dekat dengan telinga si bocah. Sementara itu, Siau Po teringat akan pesan To Hong Eng. Terutama ketika berada di rumah keluarga Cung, dia telah melihat gerak gerik Ciong losam dan rekan-rekannya. Dia juga teringat akan ibu suri, Liu Yan serta laki-Iaki yang menyamar sebagai dayang. Karena itu, kesannya terhadap Sin Liong kau memang sudah kurang baik. Tapi dia harus mengakui bahwa di antara para anggota Sin Liong kau yang pernah dia temui, Ay Cun cia inilah terhitung yang paling jujur dan polos. Dia juga sportif, hanya sayang dia juga agak sembrono dan wataknya keras kepala. - Sekarang dia mengundang aku ke Sin Liong To, tampaknya dia mengandung maksud kurang baik....- pikirnya dalam hati, - Kata-katanya sekarang memang manis dan sungkan, mungkin saja karena dia jeri menghadapi ke delapan belas Lo han dari Siau Lim Sie ini. Tapi kalau para hwesio ini sudah pergi, kemungkinan dia akan memperlakukan aku dengan sewenang-wenang! Kalau hal itu sampai terjadi, siapa yang dapat mengendalikannya lagi? Siapa yang dapat menolong aku? --Karena berpikir demikian, dia segera menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak mau pergi," katanya menolak undangan si tosu. Wajah Ay Cun cia langsung berubah kelam dan mengandung penyesalan. Perlahan-lahan tosu itu menegakkan tubuhnya dan matanya menatap ke arah delapan hwesio dari Siau Lim Sie dan berkata dengan suara lirih.
"Sicu kecil," katanya.
"Bagaimana menurut pandanganmu bila ilmu silatku dibandingkan dengan ke delapan belas orang taysu ini?"
"Masing-masing ada kelebihannya." sahut Siau Po.
"Masing-masing ada kelebihannya?" tanyanya mengulangi dengan nada gusar dan mata mendelik.
"Bagaimana kalau mereka disuruh bertarung denganku satu per satu?"
"Kalau satu lawan satu, mungkin kau yang menang," sahut Siau Po.
"Tapi kalau satu lawan delapan belas, sudah pasti kau yang kalah, itulah sebabnya mengapa aku mengatakan kalian mempunyai kelebihan masing-masing. Kalau satu lawan satu masih kau yang kalah juga, apalagi yang harus dibandingkan?" Meskipun ucapan Siau Po selalu berputar balik ke sana ke mari, tapi Ay Cun cia tidak menjadi marah, dia malah tertawa.
"Pernahkah kau melihat orang yang ilmunya setinggi ilmuku?" tanyanya pada Siau Po.
"Tentu saja pernah," sahut Siau Po cepat dan lancar.
"Ilmu kepandaianmu juga biasa-biasa saja: Orang yang kepandaiannya lebih hebat sepuluh kali lipat darimu saja, aku sudah cukup banyak melihatnya." Siau Po masih saja memutar lidahnya yang tajam. Bocah itu memang pandai melihat gelagat sembari berbicara, dia memperhatikan orang tosu itu lekat-lekat. Tidak tampak perasaan takut sedikit pun pada dirinya. Tiba-tiba Ay Cun cian menjadi marah kembali sekonyong-konyong dia menjulurkan tangannya ke depan untuk membekuk Siau Po. Begitu tosu itu melompat ke depan, empat orang hwesio segera mengeluarkan suara pujian kemudian maju menghadang sehingga gagallah serangan si tosu.
"Ayo, katakan!" teriak Ay Cun cia.
"Siapa yang lebih lihay sepuluh kali lipat dari aku?" Sebenarnya Siau Po hanya sembarangan mengoceh saja. Ditanya sedemikian rupa, dia jadi terdiam. Memang dia belum dapat membayangkan siapa orangnya yang lebih jago dari tosu ini. Kemungkinan gurunya sendiri, Tan Kin Lam, belum tentu sanggup mengalahkan Ay Cun cia. Melihat bocah itu terdiam, puaslah hati si tosu, "Lihat!" katanya, "Kau tidak sanggup menyebutkan siapa orangnya, bukan? Kau memang sembarangan mengoceh, bukan?" Siau Po cerdas sekali. Dalam keadaan terdesak, memang dia sempat bingung. Tapi otaknya langsung berputar. Sesaat kemudian, dia segera berkata.
"Siapa bilang aku tidak bisa menyebutkannya? Tadinya aku hanya berpikir tidak ingin memberitahukannya kepadamu Aku khawatir kau akan terkejut setengah mati. Baiklah, sekarang aku akan memberitahukannya kepadamu, Orang yang jauh lebih gagah dan hebat dari padamu yakni Tan Kin Lam, Cong tocu dari Tian Te hwe. Aku pernah menyaksikan dia bertarung melawan empat orang tosu di kota Pe King. Dengan kedua tangannya dia menyambar ke empat tosu itu. Bayangkan saja, setiap tosu beratnya mungkin paling tidak dua atau tiga ratus kati. Tapi begitu menghentakkan kakinya, dia sanggup melompati tembok kota dengan menenteng empat orang tosu itu. Dibandingkan dengan Cong tocu itu kau pasti masih kalah jauh."
"Huh!" Ay Cun cia mendengus dingin. Dia memang pernah mendengar nama besar Tan Kin Lam, tapi dia ragu kalau orang itu demikian lihay sehingga sanggup menenteng empat orang tosu sekaligus sedangkan tangannya hanya sepasang. Apalagi sambil melompati tembok kota. Karena itu dia tertawa mengejek.
"Kau hanya membual!" Orang kedua yang ilmu silatnya tinggi sekali ialah seorang nyonya muda yang disebut Sio Kian (si kaki kecil) dari Kang-lam. Sembari berbicara Siao Po melirik ke arah Song Ji. Gadis itu menggoyang-goyangkan tangannya agar dia jangan melanjutkan kata-katanya. Tapi Siau Po tidak memperdulikannya. "Nyonya muda itu pernah bertarung melawan tiga puluh enam orang tosu dari Bu tong pay. Dia dikurung oleh tiga puluh enam orang tosu itu. Entah apa nama barisan mereka itu..."
"Para tosu itu bertangan kosong atau mengunakan senjata?" tanya Ay Cun cia.
"Pedang." sahut Siau Po.
"Barisan itu dinamakan Cin Bu Kiam Tin, ilmu barisan rahasia dengan pedang Cin Bu." kata Ay Cun-cia menjelaskan.
"Oh, Poan tauto, ternyata pengetahuanmu luas sekali dan kaupun sudah banyak pengalaman, sehingga kau tahu tentang barisan Cin Bu Kiam. Ketiga puluh enam tosu itu mengurung si nyonya muda dengan masing-masing mencekal sebatang pedang. Sedangkan di pihak si nyonya, selain bertangan kosong, dia juga menggendong seorang anak..." Ay Cun ia tertegun mendengar keterangan Si Po.
"Apa ?" tanyanya seakan kurang percaya dengan pendengarannya sendiri. "Nyonya muda itu menggendong seorang anak. Dan dia melakukannya sembari bertarung dengan para tosu dari Bu tong pay?"
"Benar." sahut Siao Po.
"Memang apanya yang aneh? Nyonya muda itu malah menggendong sepasang anak kembar. Kedua-duanya lucu dan montok-montok."
Sengaja Siao Po membual dengan mengangkat tinggi si Nyonya muda. Bahkan anak yang tadinya seorang sekarang malah menjadi sepasang anak kembar. Kemudian dia menambahkan lagi.
"Sembari berkelahi, nyonya muda itu juga harus membujuk kedua anak kembarnya agar jangan menangis. Dia berkata: "Anak-anak manis, jangan menangis. Kalian lihat ibumu bermain sulap!" selesai berkata, nyonya muda itu langsung menerjang ke arah para tosu itu. Gerakannya lincah sekali, tangannya menjulur ke sana kemari dengan cepat. Dalam sekejap mata dia berhasil merampas pedang para tosu itu lalu satu persatu dia menotok mereka sehingga tidak berdaya. Si Nyonya muda membiarkan anaknya membetot-betot janggut dan kumis para tosu itu sehingga mereka menjadi gusar. Sedangkan kedua anaknya justru tertawa kegirangan." Bu Tong Pai sama terkenalnya dengan Siau Lim Pai, mungkin hanya kalah usia saja, ilmu silatnya lihay, karena itu, sengaja Siau Po memilih partai itu sebagai bahan ceritanya sebab dia mendapat kenyataan bahwa Ay Cun cia tidak mungkin sanggup memecahkan barisan Lo han tin.
Ay Cun cia berdiam diri, tampaknya dia sedang berpikir keras, Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam.
"Aih! Di kolong langit ini ternyata ada ilmu silat yang demikian lihay!" katanya kagum dan takluk "Kepandaian nyonya muda itu pasti lebih tinggi daripada Tan Kim Lam yang hanya sanggup menenteng empat orang lawan sambil melompati tembok kota!"
Siau Po merasa puas melihat si tosu percaya dengan ocehannya.
"Biar aku katakan terus terang kepadamu, nyonya muda itu adalah ibu angkatku," katanya kemudian. Sementara itu, hati Song Ji menjadi lega mendengar cerita Siau Po. Tadinya dia mengira Siau Po akan mengatakan tentang nyonya ketiga dari keluarga Cung yang pernah menjadi majikannya. Tapi setelah mendengar kelanjutan cerita Siau Po tentang si nyonya yang mempunyai anak kembar bahkan mengakui si nyonya sebagai ibu angkatnya, dia langsung sadar bahwa Siau Po hanya membual untuk mempermainkan tosu tersebut. Mana mungkin ada nyonya selihay itu di dunia ini?
Ay Cun cia justru percaya penuh dengan ocehan Siau Po. Hatinya menjadi kagum juga tercekat.
"Apa? Nyonya muda itu ibu angkatmu?" tanyanya, "Apakah nyonya muda itu dari keluarga she? Di kolong langit ini ternyata ada seorang nyonya muda yang demikian lihay tapi aku kok belum pernah mendengarnya?" Siau Po tertawa.
"Di dalam dunia persilatan orang yang kepandaiannya tinggi, jumlahnya banyak sekali," katanya.
"Umpama saja istriku ini...." Siau Po menunjuk ke arah Song Ji.
"Kau lihat tubuhnya kecil langsing, tampaknya lemah tetapi tidak disangka dia begitu lihay, bukan?" Wajah Song Ji jadi merah padam.
"Bukan." katanya jengah.
"Wi siauya, jangan kau bicara yang bukan-bukan?" Ay Cun cia menyadari bahwa ilmu silat gadis itu memang hebat sekali. Apabila dia sendiri kurang lihay, mungkin sudah sejak semula dia roboh di tangan Song Ji. Karena kata-kata Siau Po memang ada benarnya, ia pun menganggukkan kepalanya.
"Kau benar," katanya, "Karena Sicu tidak bersedia memenuhi undangan ke pulau Sin Liong To, ya sudahlah Tidak apa-apa. Tuan-tuan sekalian, di sini Poan tauto mengucapkan selamat jalan."
"Taysu, silahkan taysulah yang berangkat terlebih dahulu!" kata Siau Po cepat. Sikap Siau Po sungkan dan penuh hormat padahal dia memang ingin tosu itu berangkat terlebih dahulu atau lekas-lekas mengangkat kaki dari tempat itu. Dengan demikian, kalau si tosu menuju ke timur, dia akan mengambil arah sebelah barat. Dan kalau dia menuju ke utara, Siau Po akan mengambil arah selatan. Dengan kata lain, dia tidak ingin bertemu dengan tosu itu lagi. Tapi Ay Cun cia menggelengkan kepalanya.
"Sicu, silahkan sicu berangkat terlebih dahulu!" katanya.
"Aku ingin mencatat dulu bunyi huruf-huruf yang terukir di atas batu ini." Siau Po yakin ucapannya bukan hanya sekedar dusta. Dia tadinya tidak menyangka si tosu akan percaya sepenuh hati terhadap apa yang diocehkannya. Tanpa menunda waktu lagi, dia segera mengajak Song Ji serta kedelapan hwesio meninggalkan puncak Kim Siu Hong tersebut. Teng Sim mengeluarkan kitab Si Cap Ji Cin keng dan mengembalikannya kepada Siau Po.
"Sicu, apakah sicu benar-benar langsung pulang ke kota Pe King?" tanyanya.
"Benar." sahut si bocah.
"Ada apa, taysu?"
"Kami menerima perintah dari Giok Lim taysu untuk mengantarkan sicu sampai di kerajaan," sahut hwesio itu. Mendengar kata-katanya, Siau Po senang sekali.
"Bagus, Bagus sekali," katanya.
"Aku justru sedang bingung kalau tosu tadi tidak mau menyudahi urusan ini dan mengganggu aku lagi dalam perjalanan. Tapi, kalau taysu sekalian melindungi aku dalam perjalanan, siapa yang menjaga keselamatan Heng Ti taysu?"
"Sicu tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu," kata Teng Sim.
"Giok Lim taysu telah mempunyai rencana tersendiri." Siau Po menganggukkan kepalanya, sekarang dia percaya penuh terhadap Giok Lim taysu, meskipun hwesio itu bersemedi dengan memejamkan mata, tapi dia memang telah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna. Kalau ditilik dari keadaan luarnya, dia bersemedi dengan khusyuk sekali. Mungkin langit runtuh pun dia tidak akan perduli. Tapi sebetulnya dia tenang dan hebat. Satu hal yang pasti, dengan diantar oleh para hwesio ini, dia tidak mengkhawatirkan apa pun lagi. Mereka segera melakukan perjalanan menuju kerajaan. Pada suatu hari, tibalah mereka di luar tembok kerajaan. Di sana kedelapan belas Lohan dari Siau Lim Sie berpamitan dengan Siau Po.
"Sicu, kita sudah sampai di tujuan. sekarang kami akan kembali ke kuil kami," kata Teng Sim.
"Terima kasih, Taysu sekalian!" kata Siau Po.
"Kalian sudah bercapek lelah mengantarkan aku. Kalian baik sekali Nah, terimalah hormatku!" Dia langsung menjatuhkan dirinya berlutut dan menyembah. Teng Sim mengulurkan tangannya membangunkan Siau Po. Dia mencegah anak itu memberi hormat secara berlebihan.
"Perjalanan yang kita lakukan tidak bedanya dengan berpesiar, Sicu. Sedikit pun kami tidak merasa lelah. Sungguh menarik hati melihat pemandangan alam yang indah dari Shoa Say ke kota Pe King ini. Sicu tidak perlu sungkan atau pun banyak peradatan!" Siau Po mempunyai uang dalam jumlah yang banyak sekali. Sejak berangkat dari Ngo Tay san dia sudah menyewa sembilan belas buah kereta. Dia dan Song Ji duduk di atas sebuah kereta, sedangkan para hwesio dari Siau Lim Sie masing-masing menduduki sebuah kereta, Le Pat diperintahkan berangkat sehari sebelumnya untuk mempersiapkan makanan, minuman, atau penginapan. Para hwesio itu dilayani dengan baik sepanjang perjalanan, meskipun mereka semua Cia Cai atau berpantang daging dan makanan sayur mayur saja, tapi mereka merasa puas. Apalagi sepanjang perjalanan Siau Po memberikan tip dengan royal kepada para pelayan rumah makan maupun penginapan. Kedua belah pihak sama-sama berat untuk berpisah. Para hwesio itu sangat menyukai Siau Po yang sikapnya hormat serta pandai membawa diri. Bahkan bicaranya pun selalu menyenangkan. Bocah itu sendiri merasa berat berpisah dengan para hwesio itu, dia sampai mengeluarkan air mata.
"Siancay! Siancay!" Teng Sim mengeluarkan kata pujian "Sicu kecil, janganlah kau bersedih hati. Kalau ada jodoh, sudilah kiranya kau berkunjung ke Siau Lim Sie agar kita dapat berjumpa lagi!"
"Aku pasti akan datang" kata Siau Po sambil menangis terisak-isak.
"Sicu," kata Teng Sim kemudian.
"Kita akan berpisah, ijinkanlah aku berbicara terus terang, Menurut penglihatanku, tampaknya sicu terkena semacam racun. Secara diam-diam aku pernah berusaha mengusir racun itu, tapi tidak berhasil. Karenanya aku jadi heran, apa jenis racun itu sebenarnya?" Siau Po menganggukkan kepalanya. Memang benar, sejak diracuni oleh Hay Tay Hu, sering dia merasakan nyeri di dadanya, atau lambungnya. Dan rasa nyeri itu semakin terasa serta menjadi sering. Kalau datangnya cepat, perginya cepat pula. Karena itu penderitaannya agak berkurang. Namun, sejak dihajar oleh ibu suri, luka itu semakin parah. Tapi dia tidak menghiraukannya. Pertama karena dia masih muda, selain itu pikirannya juga terbuka dan tidak begitu mengkhawatirkannya, Sekarang, setelah mendengar ucapan Teng Sim, dia baru teringat kembali sehingga tanpa sadar dia mengucurkan air mata kembali.
"Aku dicelakai oleh dua orang jahat," katanya menjelaskan "Yang pertama menaburkan racun dalam makananku, yang kedua menghajar aku sehingga terluka parah." Teng Sim berdiam diri sejenak, kemudian dia baru berkata lagi.
"Kalau begitu, sicu, sebaiknya kau harus banyak melakukan amal. Dengan demikian diharapkan segala yang buruk dapat diubah menjadi kebaikan. Mengenai racun yang mengendap dalam tubuh seandainya kau tidak sanggup menyembuhkann silakan kau datang ke Siau Liam si, di sana aku hwesio tua akan berusaha menyembuhkannya!" Senang sekali hati Siau Po mendengar janji ini. Dia berlutut dan menganggukkan kepalanya berkali-kali serta mengucapkan terima kasih.
"Bangunlah, sicu!" kata Teng Sim sembari membangunkannya sekali lagi. Sampai di situ, kedua belah pihak pun berpisah. Sementara itu, Song Ji bingung mendengar pembicaraan kedua orang itu tentang luka serta racun yang mengendap dalam tubuh Siau Po.
"Siauya," katanya dengan merubah panggil nya yang sebelumnya Kongcu itu.
"Ternyata kau keracunan dan terluka pula, Bagaimana keadaan sekarang? Apakah kau masih merasakan sakitnya?" Selesai bertanya, tanpa sempat menunggu jawaban Siau Po, gadis kecil itu sudah menangis tersedu-sedu. Hal ini membuktikan bahwa dia cemas sekali terhadap keselamatan Siau Po. Si bocah tanggung tertawa.
"Eh, kenapa kau menangis?" tanyanya.
"aku tidak merasa sakit sedikit pun." Dia mengangkat lengan bajunya kemudian digunakan untuk menghapus air mata Song Ji. Wajah gadis kecil itu berubah merah padam, ia merasa jengah sekali.
"Siauya," katanya, "Aku rasa sebaiknya beberapa hari lagi kita pergi ke Siau Lim Sie dan minta taysu tadi mengobatimu."
"Baik." kata Siau Po memberikan janjinya.
"Kebetulan Teng Tong si hwesio muda baik sekali kepadaku, aku ingin bermain-main dengannya." Di antara kedelapan belas hwesio dari Siau Lim sie yang tergabung dalam Cap Pek Lo Han, usia Teng Tong yang termuda. Dia baru berumur dua puluh empat tahun. Tetapi dia cerdas, giat, rajin, serta tekun. Belakangan ilmu silatnya mengalami banyak kemajuan sehingga terpilih menjadi salah satu anggota Lo Han Tin. Selama dalam perjalanan, ia memang cocok sekali dengan Siau Po. Begitu tiba di kota kerajaan, Song Ji mendecak kagum. Kota itu begitu ramai dan indah. Dia sampai terpana menyaksikan segalanya. Semasuknya ke Se Mui, pintu kota sebelah barat, Siau Po langsung mengajak Song Ji menuju hotel Ji Kwi. Dia minta disediakan kamar kelas satu dan telah merencanakan untuk membiarkan Song Ji menetap di sana saja. Dengan demikian keesokan harinya, bila dia menemui junjungannya, dia tidak kan mengalami kerepotan. Dia harus memberikan laporan tentang hasil perjalanannya. Malam itu, setelah menyuruh Songj Ji kembali ke kamarnya, gadis itu mendapatkan kamar yang terpisah Siau Po sendiri mulai bekerja, Sejak siang harinya dia memang sudah merencanakan apa yan harus ia lakukan dan semuanya pun telah dipersiapkan. Setelah mengunci pintu, Siau Po mengeluarkan pisau belatinya yang tajam. Setelah menggeser meja, ia membuat lobang di kolong meja itu untuk menyimpan kitabnya. Kitab Si Cap Ji Ci keng telah dibungkus rapih dengan kain minjak dan dimasukkan dalam kotak baju itu segera disimpannya dalam lubang itu. Setelah dimasukkan kitab itu ke dalamnya temboknya pun dipelester kembali dengan semen yang telah disiapkan sebelumnya. Habis menyimpan kitabnya Siau Po dapat mengeluarkan napas lega. Dia berpikir dari suatu perangkat terdiri dari delapan jilid. Dia sudah menyelesaikan tujuh jilid, Maka dia tinggal menyelesaikan satu jilid lagi kemudian dia dapat pergi ke tempat simpanan harta bangsa Boan Ciu guna mencari. Menggali dan mendapatkannya,
"Tetapi aku harus mengelabui kaisar Kong Hi" pikirnya kemudian, "Tegakah aku mendustainya?" Siau Po merasa tidak enak sendiri menipu Kaisar, yang menyayangi dan menyukainya, hingga ia pun menyukainya sebagai sahabat layaknya.
"Dengan susah payah aku mendapatkan kitab ini dari tangan Ay Cun cia. jika tidak diselesaikan tentu kitab ini akan jatuh entah pada tangan siapa. Tak apa toh sekarang kitab ini sudah jatuh ke tanganku." Berpikir demikian, Siau Po dapat menenangkan hatinya, lantas membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba dia merasakan nyeri pada lambungnya.
"Oh celaka si kura-kura dan si moler bangkotan itu." Dia mendamprat dalam hati sebab tiba-tiba saja luka dalam tubuhnya kumat, nyerinya bukan main. Maka dia harus menungkuli diri guna melawan penyakit tersebut. Besok paginya, Siau Po memerintahkan Le Pat pergi dan mencari kereta. Dia ingin mengajak Song Ji makan di rumah makan besar agar gadis itu terbuka matanya. Buat Siau Po sendiri ia ingin membeli pakaian thay-kam lengkap dengan topinya agar ia dapat menghadap raja dengan pakaian baru. Jika pakaian thay-kam sukar didapatkan dia akan berdandan saja selaku siwi, pengawal raja. Kalau ia memasuki istana dengan pakaian sebagai siwi, pasti semua siwi lainnya akan memperhatikannya. Tapi itu tidak mengapa, ia toh siwi sejati, Dan raja sendiri yang mengangkatnya menjadi Gie Cian Siwi Hu Cokoang. Berpikir demikian, lega rasanya dan Song Ji pun girang.
"Ya begini saja," katanya dalam hati, "Buat apa berdandan sebagai Thay-kam, seorang kebiri? Betapa agungnya seorang pengawal pribadi raja, Lohu akan memasuki istana dan keraton dengan memakai baju Makwa kuning." Demikian bersama Song Ji, thay-kam ini menaiki kereta yang dipesannya. Sewaktu berbicara dia juga meniru lagu orang Pakha. Orang kota, bahkan orang kaya raya.
"Lebih dahulu kita pergi ke rumah makan Kweeseng," kata Siau Po pada kusir kereta.
"Masakan di sana semua lezat." Sang kusir menyahut "ya" lantas naik dan duduk di sisinya, Dia memuji keledai penarik kereta yang disewa ini. Keledai semacam ini didapat dari propinsi Soa Sai. Siau Po gembira sekali, ia tidak memperhatikan jalannya kereta, Dan ia baru terkejut setelah kereta itu tiba di luar kota.
"Eh, eh, aku ingin pergi ke See Tan kenapa sekarang keluar kota?"
"Ya, ini sebab si keledai bandel itu," kata sais kereta,
"Setelah sampai di jalan menuju luar kota tak mau ia memutar dan berbalik arah." Siau Po tertawa begitu juga Song Ji. Mereka menganggap binatang itu lucu.
"Ah, sekalipun keledai di kota itu banyak lagaknya," kata Le Pat. Dari gerbong kota, kereta menuju utara, sudah kira-kira satu lie jauhnya, sang keledai tak mau kembali. Demikian melihat Siau Po menjadi curiga.
"Eh, Kusir!" sapanya.
"Jangan main gila! Ayo kembali!" Kusir itu menyahut, lalu membentak keledainya.
"Kembali Tak Jie. Kembali! Ayo kembali!" Tak Jie nama sang keledai, Setelah itu ber-getarlah cambuk itu berulang-ulang kali,
tetapi binatang itu tetap lari ke utara.
"Hai! Keledai busuk!" teriak kusir mengumpat binatang piaraannya itu.
"Aku suruh kau kembali, kenapa kau lari terus? Tak Jie berhenti! Berhenti! Berhenti. Oh, binatang celaka!" Keledai itu kabur terus. Tiba-tiba muncul dua penunggang kuda di tengah-tengah jalan, Dari sisi jalan mereka ingin memotong jalan kereta, tubuh mereka besar dan keren-keren. Siau Po melihat dua penunggang kuda itu.
"Turun tangan!" ia berkata pada Song Ji. Ia sendiri pun sedang bersiap karena adanya gelagat buruk. Memang lagak si kusir sudah mengundang kecurigaannya. Si nona kecil mengerti dan segera bertindak ia menotok pinggang si kusir dan kusir itu pun jatuh terhuyung-huyung dari atas kereta. Sedang mulutnya mengeluarkan jeritan. Hampir dia menimpa si penunggang kuda, Si penunggang kuda melompat dari kudanya untuk naik ke atas kereta. Tanpa banyak bicara Song Ji menyambut orang itu dengan satu totokan, Orang itu rupanya lihay. Dia dapat berkelit sambil ingin menangkap tangan si nona. Si nona berlaku cerdik, dia memutar telapak tangannya dan tangan yang satunya dipakai menepuk muka orang itu. Si penunggang kuda itu menangkis dengan tangan kirinya, dan tangan kanan nya menjulur ke bahu si nona. Sama-sama mereka bertarung di atas kereta Sulit mereka itu bertarung dan tak dapat lebih leluasa. Kereta pun kabur terus.
"Bagaimana, eh?" tanya penunggang kuda yang lain, "Apa yang terjadi?" Pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Sebaliknya terdengar suara menggelebuk disusul denga jatuhnya si teman dari atas kereta, Sebab Song Ji telah menghajar orang itu dengan satu tonjokan keras. Orang itu kaget dan gusar, segera ia menyambuk rambut si nona. Song Ji yang melihat datangnya cambuk itu segera memapak menyambut dengan cekalannya, dan menyusul dengan lemparannya yang membuat sang penunggang kuda itu tersungkur dari punggung kudanya. Saking kaget dan khawatirnya penunggang kuda itu melepaskan cambuknya dan berteriak-teriak. Song Ji tidak menghiraukan ia menyambar tali kendali keledai lalu diserahkannya kepada Le pat seraya berkata, "Kau kendalikan kereta ini!"
"Aku... aku... tak bisa." sahut orang itu. Song Ji ke depan untuk mewakili menjadi kusir sebenarnya ia tak dapat memegang
kendali, namun ia terus mencoba, ia menarik tali kendali seraya berseru, "Tak Ji, Tak Jie!" Seperti si kusir tadi, sedangkan tangan kirinya dikendorkan dan tangan kanannya dikeraskan. Keledai itu pun memutar haluan, sama sekali ia tidak bandel.
Di saat itu tampak penunggang kuda itu menghambur mendatangi suara derap langkah kaki kuda terdengar nyata. Siau Po kaget sekali, ia menarik keretanya untuk dilarikan ke samping. Para penunggang kuda itu pun memutar kudanya lalu mengejar terus.
Tidak lama kemudian kereta keledai itu pun telah dapat dikurung oleh para penunggang kuda yang jumlahnya lebih sepuluh orang. Siau Po melihat belasan penunggang kuda itu masing-masing memegang senjata.
"Sekarang ini hari terang benderang. Di sini pula termasuk tempat kakinya sri baginda raja, Apakah benar kalian berani melakukan perampokan?" Salah seorang penunggang kuda tertawa.
"Kami utusan-utusan yang ditugaskan mengundang tamu-tamu." katanya.
"Kami bukannya kawanan perampok atau berandal, Wie Kong Cu! Tuan kami mengundang kalian untuk minum arak!" Siau Po tetap curiga dan menatap semua penunggang kuda itu.
"Siapa majikan kalian itu?" tanyanya.
"Jikalau Kong cu sudah bertemu, Kong cu pasti mengenalnya." sahut orang itu.
"Jikalau majikan kami bukan sahabat Kong cu, mana dapat Kong cu mengundang minum arak?" Siau Po tetap saja mencurigainya.
"Jikalau kalian tidak menjawab siapa majikan kalian, undangan ini bukan undangan yang setulus nya." katanya. "Nah! Kalian bukalah jalan untuk kami." Seorang lainnya tertawa dan berkata.
"Mudah untuk membuka jalan!" Terus ia menggerakkan tangannya untuk menyerang keledai hingga binatang itu roboh dan mati seketika. Siau Po turun dari kereta, disusul oleh Song Ji. Bahkan Song Ji bergerak cepat lalu menyerang penunggang kuda itu. Nona itu kecil dan kate sedangkan si penunggang kuda itu jangkung maka susah diserangnya. Oleh karena itu ia hanya menotok mata kudanya. Dan serangannya itu dilakukan terus menerus bergantian ke arah kuda yang lainnya. Hingga dalam beberapa waktu saja ramailah suara kuda tak hentinya disusul dengan teriakan si penunggangnya. Sementara jalan besar itu bukanlah jalan sepi, maka banyak pejalan kaki menonton pertarungan yang luar biasa itu. Para penunggang kuda itu berlompatan turun dari kudanya, semuanya menggunakan senjatanya masing-masing menyerang nona Song. Akan tetapi Si nona sangat gesit dan lincah, dia menyerang sambil berlompatan ke segala arah. Menyerang dan berkelebat akhirnya dalam tempo yang pendek delapan lawan sudah roboh, sedangkan empat penunggang kuda yang lainnya tidak lagi berani bergerak hanya saling memandang dengan temannya karena terheran-heran. Tengah keadaan diam itu, kembali terdengar suara roda-roda kereta, ternyata yang datang sebuah kereta kecil, Kereta itu dilarikan dengan cepat, hingga dalam waktu singkat kereta itu pun sudah sampai, dan dari dalam kereta itu segera terdengar teriakan seorang wanita.
"Jangan turun tangan terhadap kawan sendiri!" Siau Po mengenali suara itu, hatinya senang sekali.
"Oh, istriku datang!" serunya gembira. Song Ji beserta ke empat penunggang kuda lainnya segera menoleh. Nona itu merasa heran karena sekali tidak menyangka kalau Siau Po sudah beristri. Meskipun di jaman itu biasa terjadi pernikahan usia dini.
Banyak pemuda-pemudi berusia empat belas atau lima belas tahun yang sudah menikah. Tapi Song Ji merasa heran karena selama ini dia belum pernah mendengar Siau Po membicarakannya. Sementara kereta kecil yang berjalan kencang itu sudah sampai. dari dalamnya muncul seoran gadis, siapa lagi kalau bukan Pui Ie. Dengan wajah berseri-seri, Siau Po menghampiri gadis itu. Dia langsung menyambar tangan gadis dan menggenggamnya erat-erat.
"Oh, kakak yang baik!" serunya.
"Kakak, aku sudah rindu sekali terhadapmu sehingga rasanya ingin mati. Ke mana kakak selama ini?" Pui Ie tersenyum.
"Nanti perlahan-lahan saja kita bicara..." katanya dengan nada sabar.
"Oh ya, mengapa kalian berkelahi?" Dia heran sekali melihat beberapa orang telah roboh di atas tanah dengan darah berceceran. Salah seorang di antaranya menjura dan menjawab.
"Nona Pui Ie, kedatangan kami ke mari sebetulnya untuk mengundang Wi kongcu minum arak. Tapi rupanya sikap kami kurang sopan sehingga menimbulkan kegusarannya. Untung Nona datang sendiri...." Pui Ie masih bingung. Dia menoleh kepada Siau Po.
"Kaukah yang telah merobohkan mereka semua? Oh, tidak disangka ilmu silatmu telah mengalami kemajuan yang pesat sekali!"
"Seandainya ada kemajuan juga tidak mungkin sepesat ini," kata Siau Po terus terang.
"Semua ini dilakukan oleh Nona Song Ji yang telah melindungi diriku. Karena itu pula, dia terpaksa memamerkan kepandaiannya." Siau Po berkata sambil menunjuk kepada kawannya. Pui Ie menolehkan wajahnya untuk melihat Song Ji. Dia merasa heran sekali, Nona cilik itu kemungkinan baru berusia tiga atau empat belas tahun tapi aneh kalau dia sudah sedemikian lihay.
"Adik, kau she apa?" tanyanya. Song Ji tidak kenal dengan gadis yang menyapa-nya itu. Meskipun ketika berada di rumah keluarga Cung, mereka pernah ada dalam satu atap tapi mereka tidak sempat bertemu. Mendengar pertanyaan itu, ia segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pui Ie.
"Nyonya muda, terimalah hormat Song Ji!" katanya. Siau Po tertawa terbahak-bahak mendengar panggilan Song Ji kepada Pui Ie.
sedangkan wajah Pui Ie langsung berubah merah padam saking jengahnya, Dia lekas-lekas menyingkir agar tidak perlu menerima sujud Song Ji sembari mengajukan pertanyaan kembali.
"Eh, kau memanggil apa kepadaku? Aku... aku bukan...." Song Ji berdiri.
"Siauya mengatakan bahwa kau adalah nyonya," sahut si gadis cilik.
"Karena aku melayani Siauya, maka sudah sewajarnya aku memanggil kau nyonya muda." Mendengar jawabannya, Pui Ie langsung membelalakkan matanya kepada Siau Po.
"Orang ini hanya bisa mengoceh yang bukan-bukan!" katanya.
"Jangan kau percaya kata-katanya, Sudah berapa lama kau melayaninya? Masa kau belum kenal sifatnya? Oh ya, aku bernama Pui Ie." Song Ji tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya.
"Baiklah," sahutnya.
"Untuk sementara aku tidak akan memanggil kau nyonya muda, tapi nanti..." Wajah Pui Ie menjadi merah kembali.
"Lain kali..." katanya, tapi kemudian dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya kembali. Sebaliknya, Song Ji memperhatikan Siau Po. Dia melihat pemuda itu senang sekali. Wajahnya berseri-seri dan bibirnya terus menyunggingkan senyuman. Tiba-tiba wajahnya juga berubah merah. Dia ingat apa yang pernah dialaminya ketika berada di Gunung Ngo Tay san. Di sana Siau Po juga pernah menyatakan kepada Ay Cun cia bahwa dia adalah istrinya. Rupanya Siau Po hanya bergurau. Pemuda tanggung itu suka sekali menyebut nona yang masih muda sebagai istrinya.
"Eh, mana istriku yang satu lagi?" tanya Siau Po kemudian. Dia tertawa lebar. Rupanya dia menanyakan si nona cilik, Bhok Kiam Peng. Song Ji yang mendengarnya tidak merasa heran lagi. Tapi Pui Ie justru membelalak lagi kepada Siau Po.
"Sudah lama kita tidak bertemu, kau bukan bicara soal yang serius, malah berkata yang bukan-bukan. Sudah, mari kita berangkat!" katanya. Siau Po tertawa lagi.
"Kalau sejak semula aku tahu kau yang mengundang. Tentu aku menyesal tidak mempunyai sayap agar dapat cepat-cepat terbang menemuimu!" Kembali Pui Ie membelalakkan matanya.
"Dasar kau yang telah melupakan aku!" katanya.
"Tentu kau tidak mengira bahwa aku akan mengundangmu!" Senang sekali hati Siau Po mendengar nada suara si nona. Rasanya manis sekali di dalam hati.
"Mana mungkin aku melupakanmu?" katanya.
"Kalau kau yang mengundang aku, jangankan untuk minum arak, biar untuk minum air kencing kuda sekalipun aku tidak akan menolaknya. Bahkan aku rela meminum racun. Bagiku, kapan saja kau mengundang, aku pasti akan datang." Dengan matanya yang indah, Pui Ie memperhatikan Siau Po.
"Jangan bicara manis-manis!" katanya.
"Bagaimana kalau aku menyuruh kau pergi ke ujung langit atau tepi laut dan minum racun di sana?" Siau Po membalas tatapan gadis itu. Dia melihat Pui Ie bicara setengah serius dan setengah bercanda, hatinya merasa puas, Nona itu tampak semakin cantik dan semakin manis, perasaannya sampai tegang menatapnya.
"Jangankan baru ujung langit atau tepi pantai", sahutnya.
"Biar meski mendaki gunung golok atau terjun ke panci panas aku pasti akan pergi juga."
"Bagus," kata nona Pui Ie.
"Seorang laki-laki sejati, sekali mengeluarkan kata-katanya, kuda apa pun tak dapat mengejarnya." Sengaja nona Pui Ie menggojoki kata-kata yang pernah diucapkan oleh Siau Po. Siau Po menepuk dada.
"Ya." katanya.
"Satu kali seorang laki-laki telah mengeluarkan kata-katanya, kudapun tak dapat menangkapnya." Pui Ie tertawa maka tertawa pula si bocah. Lantas si nona memerintahkan seseorang untuk mengambil seekor kuda buat Siau Po dan seekor lagi buat Song Ji. Song Ji dipersilahkan naik ke atas kereta, sedangkan ia sendiri menunggang kuda untuk bergandeng bersama Siau Po. Mereka mengambil arah menentang matahari, dan semua orang yang tadi datang menjemputnya mengikuti dari belakang.
"Kau lihay," kata Pui Ie sembari berjalan.
"Kepandaian apakah yang kau miliki hingga kau berhasil mendapatkan seorang budak yang demikian lihaynya itu?" Orang yang datang itu berlagak pilon.
"Kepandaian apa?" katanya balik bertanya.
"Tidak sama sekali, Soalnya dia sendiri yang ingin merawat dan mengikutiku." Pui Ie tertawa pula, ia mengerti Siau Po muda usianya tetapi dia sangat cerdas dan banyak uangnya pula, hingga ia dapat menggunakan fasilitas itu dengan leluasa. Maka ia pun menerka Song Ji tentu telah dibelinya. Yang lebih aneh lagi Song Ji sangat lincah. Kemudian Siau Po balik bertanya tentang Cie Than coan serta Bhok Kiam Peng.
"Sewaktu kalian ditawan orang-orang Sin Liong kauw di dalam rumah hantu itu, bagaimanakah kalian dapat meloloskan diri? Apakah Sam Nay Nay dari keluarga Chung yang menolong kalian?" Pui Ie heran mendengar nama Chung Sam Nay Nay disebutkan. Dia pun menggelengkan kepalanya.
"Siapakah Sam Nay Nay dari keluarga Chung itu?" tanyanya.
"Dialah yang memiliki desa keluarga Chung itu" sahut Siau Po.
"Memiliki desa keluarga Chung?" si nona mengulangi.
"Sejak semula hingga akhir, belum pernalh aku mendengar dan melihatnya. sebenarnya orang yang dicari Sin Liong Kauw itu ialah kau sendiri. Terhadapmu mereka tak bermaksud jahat. Dulu Chiang Loo Sam tidak berhasil mencarimu, dia lalu memerdekakan kami semua, Kuncu kecil dan Ci Loo Yat Ju semua berada di sana dan tak lama lagi kita akan bertemu dengan mereka." Berkata begitu si nona menoleh dengan matanya yang jeli lalu menatap Siau Po.
"Yang kau senantiasa ingat dalam hatimu ialah menuju kaucu kecil."
"Baru kita bertemu beberapa saat, kau sudah menanyakan tujuh atau delapan kali." Siau Po tertawa.
"Kapan aku menanya tujuh atau delapan kali tanyanya.
"Sungguh aku penasaran, coba aku bertemu dengannya dan tak melihat engkau. Pasti aku akan menanyakan engkau. Mungkin sampai tujuh atau delapan puluh kali." Pui Ie tersenyum, sekarang sudah tak ada rasa muak atau yang menjemukannya terhadap bocah yang nakal dan beraneka macam ini.
"Meski kau bermulut sepuluh tak mungkin kau menanyakan sampai tujuh atau delapan puluh kali." katanya.
"Namun sekarang, meskipun kau bermulut satu nampaknya kau lebih lihay dari pada bermulut sepuluh!" Siau Po pun tersenyum.
Begitulah sembari berjalan mereka mengobrol satu dengan yang lainnya hingga tak terasa mereka sudah melalui sepuluh lie lebih.
"Apakah kita akan lekas sampai?" tanya Siau Po, walau bagaimana pun dia sudah tak sabar lagi. Mendengar pertanyaan itu, Pui Ie kurang puas.
"Masih jauh sekali," katanya.
"Taruhlah kau rindu pada kuncu kecil tak usah kau menjadi tak sabaran. Kalau aku tahu begini, kubiarkan kuncu kecil memapakmu, supaya kau tak keras memikirkannya sampai begini." Siau Po mengeluarkan lidahnya, dia dapat mengerti kenapa nona ini merasa kurang puas.
"Baiklah," katanya.
"Sepatah kata pun aku tak akan menanyakannya."
"Di mulut kau tak menanyakannya namun di hati lain," kata nona Pui.
"Hatimu tentu tak sabaran, itu membuatmu menjadi dongkol." Siau Po mendengar suara nona yang terang dan jelas itu, Maka ia tertawa dan berkata.
"Jikalau aku tidak sabaran, aku bukan suamimu, aku putramu yang nakal." Mau tak mau si nona tertawa.
"Oh anak..." katanya dalam hati, dan mendadak kata-katanya berhenti untuk menyebut kata itu.
"Oh anak yang manis...." ia mengerti meski kata kata itu hanya bersifat bergurau namun kata-kata itu kurang tepat untuk diucapkan. Perjalanan ditunda sesudah tengah hari, mereka singgah di sebuah tempat yang ramai. Kali ini Siau Po tidak berani menanyakan apa-apa. Ia tidak menanyakan kapan sampai dan bagaimana Kiam Peng, yang terpenting ia sudah jauh dari kerajaan hingga hari itu ia tak dapat bertemu dengan raja.
"Tak apalah aku tak dapat langsung bertemu dengan raja." Demikian pikirnya.
"Aku pun tak memberikan batas waktu pada Siauw Hian cu. Katakanlah aku jalan-jalan di Ngo Tai San atau aku tertahan oleh Ay Cun cia, buatku sama saja." Selanjutnya muda-mudi itu membicarakan hal-hal yang tak penting selama dalam keraton, meski mereka berdua di dalam kamar, sebab mereka bersama Bhok Kiam Peng, Pui Ie mengekang diri. Dia harus dapat menjaga harga dirinya, sekarang ini mereka hanya berdua.
"Mereka berjalan berdampingan dan kuda mereka berjalan berendeng. Demikianlah mereka dapat bergurau dengan bebas. Rombongan pun sengaja berjalan jauh di depan mereka. Siau Po masih muda tetapi pergaulannya membuat mereka mulai mengerti arti asmara. Sering menyebut Pui Ie sebagai istrinya, itu dilakukan sambil bergurau, sekarang ia mendapat anggapan lain, ia tertarik lagak nona itu yang tertawa sebentar cemberut. Sesudah menjalani perjalanan yang cukup jauh, Pui Ie tampak letih, dua belah
pipinya yang halus menjadi merah dan keringat pun mulai bercucuran itu yang membuatnya lebih menarik. Ternyata Siau Po terlena memandangi wajah itu. Nona Pui berpaling pada orang yang mengawasinya dengan mendadak dan ia pun tertawa.
"Eh, eh, kau kenapa?" tanyanya.
"Kenapa kau diam saja?" Siau Po terperanjat dan kaget.
"Oh, kakak, kakak yang baik," katanya sambil tersenyum.
"Kakak, sungguh kau manis sekali di-pandangnya. Aku pikir Aku pikir..."
"Kau pikir apa?" tanya si nona.
"Akan aku jawab tetapi kamu jangan marah, ya.,." sahut Siau Po.
"Asal kau bicara dari hal yang benar pasti aku tak marah," sahut Pui Ie.
"Tetapi jikalau kamu bicara tak karuan tentu aku tidak senang dan marah. sekarang katakanlah apa yang sedang kau pikirkan...?" Siau Po menatap dan ia pun menjawab.
"Aku memikirkan," katanya
"Jika benar kakak menjadi istriku betapa bahagianya hatiku ini." Tiba-tiba saja mata Pui Ie melotot dan wajahnya berubah menjadi bengis. Akan tetapi ia tak berkata apa pun dan ia menoleh ke lain arah. Siau Po menjadi kebingungan.
"Oh kakak..." katanya.
"Oh kakak yang baik, apakah kakak ragu padaku?"
"Pasti aku gusar!" sahut si nona.
"Ya. Aku gusar sekali!"
"Tapi aku.... aku bersungguh-sungguh, kakak!" kata Siau Po.
"Tidak ada kata-kata yang terlebih sungguh-sungguh dari pada itu."
"Tapi kau harus ingat!" kata si nona.
"Selama di dalam keraton aku telah bersumpah bahwa seumur hidupku, aku akan turut padamu, melayanimu, apakah itu palsu belaka? sekarang kau menginap begini, apakah itu berarti bahwa kata-katamu telah berubah?" Mendengar jawaban itu Siau Po girang bukan main. Kalau mereka tidak sedang menunggang kuda, mungkin mereka sudah berpelukan sambil berciuman. Maka itu mereka hanya mengulurkan tangan kanannya dan menarik tangan kirinya untuk berpegang-pegangan dengan erat.
"Mana dapat hatiku berubah?" katanya sambi menatap si nona.
"Seribu tahun, selaksa tahun tak mungkin hatiku dapat berubah."
"Dengan katamu ini, terang kau sudah berubah," kata si Nona.
"Coba saja kamu pikir, mana ada manusia berumur seribu atau selaksa tahun? Kecuali kura..." Mengucap kura itu Pui Ie tidak meneruska menjadi "kura-kura" ia sudah tertawa dan menoleh ke lain arah, tetapi tangan yang dipegang Siau Po dibiarkannya tetap tidak ditarik. Siau Po merasa puas memegang tangannya yang halus dan licin.
"Kau baik sekali padaku kakak," katanya sambil tertawa.
"Karena itu untuk selamanya, aku tak akan menjadi kura-kura yang sangat menjijikkan." Kura-kura itu mempunyai arti lain, bukan binatang kura-kura. sebenarnya seorang suami yang istrinya berlaku serong dengan laki-lain dialah kura-kura, Arti kura-kura sudah sangat umum buat wilayah Kang lam dan Pui Ie mengerti sekali, lantas ia memperhatikan wajah keren.
"Rupanya bagimu sudah tidak ada kata-kata lainnya lagi! Kenapa kata-kata demikian keluar dari mulut anjingmu?" Tetapi Siau Po tertawa.
"Kau ingat kata-kata ayam turut ayam dan anjing menikah dengan anjing." katanya.
"Apakah kau mengharap melihat dari mulut suamimu akan muncul cacing gajah?" Mau tak mau si nona tertawa, dan tangan kirinya balas memegang tangan kanan Siau Po. Demikianlah mereka bergurau di sepanjang jalan, sampai waktu magrib mereka telah sampai pada suatu tempat yang ramai dan megah dan mereka bermalam di tempat itu. Keesokan harinya Siau Po menyuruh Le Pat mencari kereta kuda untuk mereka dan Pui Ie duduk di dalamnya, hingga mereka dapat bergaul dengan leluasa sekali. Saat itu Siau Po telah berani merangkul dan menyiumi Pui Ie dengan tak ada bosan-bosannya. Pui Ie tidak menentangnya, ia membiarkan saja. Tetapi lebih dari itu, ia tidak memberikan balasan, hingga di antara mereka tidak terjadi pertentangan dengan pri kesopanan Siau Po pun puas sampai d situ sebab dalam soal asmara ia belum tahu banyak ia hanya menuruti suara hatinya yang polos. Apa yang diketahui Siau Po agar kereta berjalan terus, jangan berhenti, agar ia dapat berduaan terus dengan si nona manis mungkin sampai langit atau ke ujung laut. Pengalaman itu membuat Siau Po lupa untuk menghadap pada raja guna memberikan laporannya, ia sampai lupa juga pada Si Cap Jie Cing Ken kitab yang penting itu, juga kaisar tua yang berada di Ngo Tay San. Bahkan ia lupa hari, karena sudah beberapa hari dan malam ia sudah lewati di sepanjang jalan itu.
Pada suatu sore, akhirnya kereta sampai pada suatu tempat di tepi laut Di sana Pui Ie mengajak Siau Po turun dari kereta dan menyewa sebuah perahu sambil berpegangan tangan.
"Adikku mari kita ke perahu dan berpesiar empat penjuru laut, guna melewatkan hari-hari ibaratnya kitalah dewa dewinya, bagaimana menurutmu, bukankah bagus begitu?" Menutup kata-katanya, nona menarik tangan Siau Po hingga tubuh mereka rapat, dan ia meletakkan kepalanya di dada Siau Po, hingga mereka tampak mesra sekali. Siau Po merangkul pinggul si nona agar tak jatuh, sedangkan rambut si nona terus bermain di mukanya. Dia lupa bahwa perjalanan di laut banyak bahayanya, hingga tak dapat ia mengeluarkan kata-kata menolak. Di tepi laut itu tengah berlabuh sebuah perahu besar, dan setelah mereka mengetahui kedatangan perahu. Pui Ie segera mereka mengibarkan sapu tangan hijau, pertanda ia akan mengirim perahu kecil untuk menyambut kedatangan Pui Ie dan Siau Po yang naik perahu kecil itu untuk segera naik ke perahu yang besar. Setelah Siau Po menyaksikan ruang dalam kapal tersebut, ia kaget sebab kapal itu dan semua peralatan terbuat dari benda-benda yang berharga, bahkan lantainya dilengkapi dengan permadani perlengkapan kapal ini lebih mirip sebuah pendopo atau tempat raja sedikitnya menteri muda.
"Kakak menyambutku secara begini, tidak mungkin ia menyimpan maksud yang tidak baik atas diriku," pikir Siau Po. Dua orang bujang datang menyerahkan sapu tangan hangat untuk mengusap keringat Dan menyusut dua mangkuk mie guna mengisi perutnya yang dilihatnya begitu nikmat. Di samping itu perahu sudah mulai berlayar. Berada dalam perahu Siau Po merasa puas, Pui Ie menemani makan dan minum arak, sambil bermain tebak-tebakan tangan atau berbicara sambil tertawa ria, sedangkan jika malam telah tiba, Siau Po diantarkan ke tempat tidur, setelah itu Pui Ie baru kembali ke kamarnya sendiri.
Bagian 39
Malam itu Siau Po dapat tidur nyenyak, sedangkan besok paginya begitu ia mendusin, nona Pui sudah datang kepadanya dan membantunya menyisir rambut. Menyaksikan kelakuan si "calon istri", Siau Po tersenyum, Diam-diam dia berpikir dalam hati:
-- sekarang dia belum tahu bahwa aku bukan thay-kam yang sebenarnya, Dia mengira kelak kami akan menjadi suami istri hanya dalam nama saja. Sampai kapan aku baru bisa membuka rahasia ini kepadanya? - Setelah itu, selanjutnya sepasang pemuda mudi itu selalu berduaan di dalam kamar. Mereka duduk berdampingan, makan bersama. Dari jendela perahu mereka dapat melihat keindahan mentari pagi, kecantikan alam. Di permukaan laut terlihat pantulan sang surya yang gemilang bagaikan emas permata.
"Ketika belum lama ini aku masuk ke dalam istana bangsa Boan Ciu untuk membunuh kaisarnya," kata Pui Ie sambil menarik nafas panjang.
"Aku kira aku tidak mungkin hidup lagi, mungkin aku akan kehilangan nyawaku di sana. Tak disangka Tuhan yang Maha Kuasa masih melindungi diriku, Di sana aku bertemu denganmu. Dengan demikian sampai sekarang kita masih bisa menikmati keindahan alam ini. Adikku yang baik, sungguh, mengenal dirimu, sedikit pun aku tidak tahu apa-apa. Dapatkah kau menjelaskan kepadaku bagaimana kau bisa masuk ke dalam istana dan segala hal yang menyangkut ilmu silatmu?" Ditanya demikian, Siau Po tertawa.
"Semua hal itu, justru aku telah berpikir untuk menceritakannya kepada kakak," katanya.
"Hanya aku khawatir, kau nanti akan terkejut sehingga berjingkrak atau mungkin jatuh pingsan saking kagetnya."
Pui Ie menggeser tubuhnya agar rapat dengan pemuda di sisinya.
"Kalau aku mendengar ceritamu, aku pasti akan senang sekali," sahutnya.
"Sekalipun keteranganmu itu merupakan sesuatu yang tidak aku sukai, asal kau tidak berbohong, aku tidak perduli...."
"Baik, kakak," kata Siau Po.
"Baiklah kalau itu yang kakak inginkan, Aku ini kelahiran kota Yang-ciu dan ibuku dari kalangan rumah pelesiran...." Pui Ie terkejut setengah mati sehingga dia memalingkan wajahnya dan menatap Siau Po lekat-lekat.
"Apa kerja ibumu di dalam rumah pelesiran itu?" tanyanya penasaran. Suaranya rada gemetar.
"Apakah ibumu bekerja mencuci pakaian atau memasak nasi di sana? Atau mungkin tukang sapu atau pelayan yang mengantarkan makanan?" Hati Siau Po ikut tegang menyaksikan perubahan wajah si gadis. Terang nona itu memandang hina rumah pelesiran.
-- Kalau aku menjelaskan yang sesungguhnya bahwa ibuku adalah seorang pelacur, dia pasti tidak memandang sebelah mata kepadaku, -- pikirnya dalam hati. -- Dia tentu tidak akan memperlakukan aku dengan baik lagi --, maka itu dia langsung tertawa.
"Selama ibuku berada dalam rumah pelesiran usianya baru enam atau tujuh tahun," sahutnya menerangkan.
"Mana mungkin sekecil itu ibu bisa mencuci pakaian atau memasak nasi?" Mendengar jawaban itu, hati Pui Ie agak lega perasaan tegangnya menjadi lenyap.
"Oh, ibumu baru berusia enam atau tujuh tahun ketika itu?" Dalam hal berdusta, Siau Po memang ahli. Dengan cepat dia dapat memberikan keterangan yang masuk akal.
"Ketika bangsa Boan Ciu berhasil melintas perbatasan San Hay kwan, tidak sedikit penduduk kota Yang-ciu yang menjadi korban. Tahukah peristiwa itu?" Pui Ie menganggukkan kepalanya.
"Iya," sahutnya.
"Kakek luarku seorang pembesar dari dinasti Beng." Siau Po menjelaskan lebih jauh.
"Ketika bangsa Tatcu itu menyerbu dan menghancurkan kota Yang-ciu, kakek luarku roboh sebagai korban. Karena saat itu ibuku masih kecil sekali sehingga terlunta-lunta di dalam rumah pelesiran itu ada seorang tamu yang baik hatinya, dia segera mengajak ibuku pulang dan diambilnya sebagai pelayan. Tatkala tamu itu menanyakan nama serta she keluarga ibuku, ibuku menyebut nama kakek luarku itu. Ternyata tamu itu sangat menghormati kakek dan karena itu, dia mengangkat ibuku sebagai anaknya. Kemudian ibu menikah dengan ayahku, seorang pemuda terkenal dari kota Yang-ciu...."
"Oh, rupanya begitu.,." kata Pui Ie.
"Tadinya aku kaget sekali ketika mendengar kau mengatakan ibumu dari kalangan rumah pelesiran, ternyata ibumu menjadi pelayan di sana dan melayani segala wanita hina yang tidak tahu malu itu..." Tidak puas hati Siau Po mendengar ucapan Pui Ie. Diam-diam dia berpikir dalam hati. -- Apakah kau kira semua wanita yang berasal dari Bhok onghu pasti istimewa dan luar biasa? Aku malah merasa wanita yang tidak tahu malu ada di mana saja... - Karena menyaksikan sikap Pui Ie yang demikian, Siau Po batal menceritakan riwayat hidupnya yang sebenarnya, Sebaliknya, kumat lagi tabiatnya, dia membual panjang lebar dengan mengatakan bahwa ia berasal dari keluarga besar Dan dia menceritakan bahwa rumahnya di Yang-ciu besar sekali serta mewah, Tapi dia menuturkannya dengan mencontoh rumah pelesiran yang ditempati ibunya sekarang. Setelah mendengarkan semuanya, Pui Ie bertanya.
"Apakah keterangan ini yang kau katakan akan membuat aku terkejut setengah mati bahkan bisa berjingkrak atau pingsan?"
"Benar." sahut Siau Po.
"Apakah kau tidak senang mendengarnya?"
"Aku senang," kata Pui Ie. Tapi nadanya tawar sekali, pertanda bahwa dia menjawabnya dengan terpaksa. Mata Siau Po memandang ke luar jendela perahu. Dia memikirkan persoalan lain untuk dijadikan bahan pembicaraan tetapi tiba-tiba dia melihat sebuah daratan di arah timur tenggara. Ketika itu perahu sedang melaju dengan pesat sekali.
"Eh, tempat apakah itu?" tanya Pui Ie dengan nada heran. Dia juga sudah melihat tanah daratan itu. Tepat pada saat itu, dengan cepat perahu sudah melaju mendekati tanah daratan tersebut, sehingga tampak jelaslah pepohonannya dan pesisiran yang penuh dengan pasir putih.
"Mari kita mendarat," ajak si nona.
"Sudah berhari-hari kita berdiam di atas perahu, kepalaku sudah terasa pusing sekali, Bukankah ada baiknya kita turun dan melihat-lihat pulau ini?"
"Aku setuju," sahut Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Rupanya pulau ini cukup besar. Entah ada apanya yang menarik hati untuk dipandang di dalamnya..." Pui Ie memanggil tukang perahu dan menanyakan nama pulau tersebut.
"Nona, inilah pulau Sim Sian To yang terkenal di lautan timur," sahut orang yang ditanya.
"Katanya di atas pulau itu terdapat semacam buah dewa, siapa yang memakan buah itu akan panjang umur, dan hidup sepanjang masa. Tapi, siapa yang berjodoh mendapatkan buah yang langka itu? Entahlah! Tapi, tidak ada halangannya apabila nona dan Wi Kongcu ingin mencoba peruntungannya." Pui Ie menganggukkan kepalanya, Setelah tukang perahu itu mengundurkan diri, Dia berkata kepada Siau Po.
"Aku tidak berharap untuk makan buah dewa yang dapat membuat orang hidup sepanjang masa. Bagiku, hidup sekarang ini sudah memuaskan Aku menganggapnya lebih menyenangkan dari pada kehidupan para dewa." Senang hati Siau Po mendengar kata-kata si nona.
"Oh, kakak yang baik!" katanya.
"Kakak, marilah kita tinggal di pulau ini untuk seumur hidup, Kalau kita dapat menemukan buah mukjijat itu, syukur, tapi kalau tidak, ya sudah! Bagiku sendiri, yang penting aku bisa bersama-sama kakak untuk selama-lamanya."
"Aku juga begitu," kata Pui Ie. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Siau Po. suaranya merdu dan halus. Keduanya segera naik ke atas sebuah perahu kecil untuk menuju tepian daratan. Ketika melangkah di pesisir yang berpasir halus itu, mereka sudah mencium bau segarnya pepohonan yang ada di sana. Semua itu terbawa oleh hembusan angin. Mereka juga mencium bau air.
"Entah pulau ini ada penghuninya atau tidak..." kata Pui Ie kemudian.
"Manusia lainnya tidak ada," kata Siau Po sembari tertawa.
"Yang pasti ada seorang dewi yang cantik dan manis tiada tandingannya dan datang membawa budak-budaknya ke pulau ini." Pui Ie tertawa.
"Oh, Adikku yang baik!" katanya dalam hati berbunga.
"Bagiku asal kelak di kemudian hari kamu tidak menganggapku sebagai seorang budak, dalam mimpiku juga aku dapat tersenyum."
Dengan bergandengan tangan muda mudi itu berjalan memasuki rimba, hingga hidung mereka sudah diserang harum bunga.
"Bunga ini harum baunya, maka sangatlah mustahil kalau pulau ini pulau dewata," kata Siau Po. Pui Ie tersenyum. Keduanya maju terus, tiba-tiba menyusul berbagai suara di rerumputan yang ada di depan mereka, mendadak dari dalam rumput itu ke luar tujuh atau delapan ekor ular yang warnanya kuning mengkilap yang terus menyambar mereka. Siau Po berseru kaget, tangannya menarik tangan Pui Ie untuk diajaknya mundur. Tetapi di depan mereka telah menghadang tujuh atau delapan ular, yang semuanya
menjulurkan lidahnya.
"Lekas menyingkir," kata Nona Pui, yang sedang menghunus belati.
"Nanti aku yang mengitari sarangnya." Siau Po sebaliknya tidak mau lari sendiri, malah menghunus pisau belatinya.
"Mari!" ia mengajak menyingkir dari belasan ular yang ada di depan dan di belakangnya. Baru saja beberapa langkah, Siau Po kaget sekali lehernya telah digigit ular, yang turun dari dahan pohon.
"Celaka!" Siau Po berseru. Pui Ie menyambar tubuh ular itu niatnya untuk ditarik dan dilemparkannya.
"Jangan!" Siau Po berseru mencegahnya. Sudah tentu ular yang ditangan Pui Ie menggigit tangannya, bahkan ular itu tidak segera melepaskan gigitannya. Siau Po khawatir bercampur gusar, ia lalu menghunus pisaunya dan mengiris tubuh ular itu.
Justru di bawah, ular lainnya sudah melilit kaki mereka berdua. Muda-mudi itu merasa kaget Siau Po berhasil menebas ular di betisnya, dan ia pun kaget karena betis yang lain digigit ular juga dan seketika itu juga betisnya beku dan tak dapat digerakkan. Pui Ie bingung hingga ia melepaskan goloknya untuk terus memeluk Siau Po.
"Hari ini kita akan mati sebagai pasangan suami istri di sini...." keluhnya menangis. Siau Po tetap tabah meskipun kakinya beku tetapi tangannya masih dapat bekerja, dia masih dapat menepis setiap ular yang mendekat atau menyambarnya dengan pisau belati yang cukup tajam itu. Namun anehnya ular di dalam rimba itu cukup banyak, mati yang satu datangnya yang lain-lainnya dan semuanya galak-galak. Ketika Siau Po dan Pui Ie telah sampai pada batas rimba, mereka sudah digigit tujuh sampai delapan ular. Selain nyeri kepala mereka sudah mulai terasa pusing bahkan mereka sudah mulai merasa was-was. Sewaktu mereka menatap ke laut, perahu yang mereka tumpangi sudah jauh meninggalkan mereka dan sia-sia saja mereka berteriak memanggil. Buktinya perahu mereka semakin menjauh. Pui Ie menggulung celana Siau Po, ia membungkuk hendak mengisap darah dan racun yang ada di kaki Siau Po.
"Jangan!" teriak Siau Po.
"Jangan!" Mendadak Siau Po mendengar langkah kaki hingga suaranya berhenti, dan menyusul ia mendengar teguran.
"Eh, siapa kalian, buat apa kalian datang ke mari, apakah kalian tidak takut mati?" Siau Po menoleh seraya mengangkat kepalanya. Dengan demikian dia dapat melihat ketiga orang itu dan ketiganya tidak mereka kenal. Usia mereka sekitar pertengahan.
"Paman tolong!" ia lantas memohon.
"Kami digigit ular!" Salah seorang mengeluarkan obat lalu dibubuhkan pada luka bekas gigitan ular di kaki Siau Po.
"Kau... kau tolong dahulu, dan obati dia..." ujar Siau Po kepada orang itu. Pui Ie menerima obat yang diberikan oleh orang itu.
"Kakak..." Siau Po memanggil tetapi belum sempat dia meneruskan kata-katanya, matanya sudah gelap dan tubuhnya roboh ke tanah. Ketika Siau Po sadar ia merasa mulutnya kering dan dadanya nyeri hingga ia merintih saking tak kuatnya menahan sakit, ia pun kemudian mendengar orang berkata.
"Bagus dia telah sadar" Perlahan-lahan Siau Po membuka mata hingga ia melihat orang membawa semangkuk obat untuk diminumnya, ia lalu meminum obat itu walaupun dengan rasa yang kurang enak.
"Terima kasih atas pertolonganmu ini, paman" ujarnya.
"Bagaimana dengan kakakku, apakah ia tidak apa-apa...!"
"Syukur, ia tertolong!" jawab orang yang ditanya.
"Kalau kita terlambat sedikit saja kalian sudah tak dapat tertolong lagi. Kalian bernyali besar kenapa kalian datang ketempat ini?" Siau Po merasa berlega hati mendengar kabar bahwa Pui Ie tidak apa-apa.
"Terimakasih.... terimakasih!" katanya berulang-ulang. Sekarang Siau Po merasa terharu menemukan dirinya terbaring di pembaringan dengan pakaian yang telah dibuka, dan ia ditutupi selimut, kedua kakinya terasa mati, tak dapat digerakkan. Siau Po menghela napas panjang ketika melihat wajah orang yang menolongnya. Wajah orang ini amatlah buruk, namun hatinya penuh rasa kasih sayang.
"Tukang perahu mengatakan pulau ini memiliki buah kemuzijatan, jika seseorang memakan buah itu, dia akan tetap muda," ujar Siau Po.
"Hm!" seru si penolong sambil tertawa dingin.
"Jika memang benar pulau ini memiliki buah yang kamu bilang itu, mustahil tukang-tukang perahu itu tidak ikut mengambilnya."
"Oh! Jika demikian tukang-tukang perahu itu bermaksud jahat, pantas mereka membawa perahu kami pergi, lalu bagaimana dengan kawan-kawan kami yang berada di perahu besar itu? Jangan-jangan mereka jatuh ke tangan orang-orang itu! Paman bagaimana caranya agar kami dapat menolong kawan-kawan kami?" Laki-laki yang bermuka jelek itu pun menggelengkan kepala.
"Mereka sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, kemana mereka harus kita kejar?" katanya. Siau Po menjadi lemas.
"Sudah tiga hari?" tanyanya mengulangi ucapan orang-orang itu, ia menjadi bingung sendiri.
"Ya, Kau telah pingsan selama tiga hari tiga malam." orang-orang itu menjelaskan.
"Jangan heran jika engkau tidak mengetahui itu!" Siau Po terdiam, lalu ingat Song Ji. Ia khawatir benar, sebab meskipun nona itu lihay, namun kurang pengalaman sedangkan ia berada di tengah laut dan bersendiri saja. Mana mungkin ia dapat melawan anak buah kapal yang jumlahnya cukup banyak itu? Makin jauh berfikir Siau Po semakin bingung.
"Sekarang kau bingung dan rasa khawatir itu pun akan datang." hibur sang penolong, yang dapat menerka keadaan hati Siau Po.
"Yang penting sekarang kau istirahat dengan tenang, ular berbisa di pulau ini ganas sekali, paling sedikit kau harus beristirahat selama tujuh hari baru racun itu dapat dikuras habis." Kemudian tuan rumah itu menanyakan she dan nama Siau Po serta ia pun menyebutkan she dan namanya sendiri yaitu Phoa Hiong. Lewat tiga hari barulah Siau Po dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan dengan berpegangan pada dinding. Kemudian Bhoa Kiong mengajaknya menengok Pui Ie yang berada di ruangan bersama seorang wanita yang merawatnya. Setelah bertemu mereka merasa girang sekali kemudian keduanya saling merangkul dan bertangis tangisan karena merasa haru bercampur bahagia. Sejak itu, Siau Po dan Pui Ie selalu bersama dan mereka berbincang-bincang membicarakan ular yang telah membuat mereka pingsan dan sakit beberapa hari.
Pada hari keenam, Siau Po dan Pui Ie didatangi tuan penolongnya.
"Tabib Liok dari pulau kami telah datang pada kami. Dia sengaja kami undang untuk melihat keadaan saudara she."
"Terimakasih, Kakak Phoa!" ucap Siau Po. Tak lama kemudian datang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahunan,
Laki-laki itu mengenakan pakaian pelajar, raut wajahnya ramah dan gerak-geriknya sangat sopan, Laki-laki setengah baya itu bertanya kepada Siau Po tentang masalah ular itu, kemudian ia tertawa.
"Kalian menderita karena kalian tidak mengetahui kebiasaan penduduk di sini, di sini orang tak pernah digigit ular bahkan ular takut mendekati penduduk. Kebiasaan penduduk di sini selalu membawa bekal belerang," katanya.
"Oh." seru Siau Po yang baru tahu.
"Pantas Kakak Phoa dan yang lainnya tak takut ular!" Tabib Liok memeriksa luka-luka Siau Po dan Pui Ie lalu memberikan obat kepada Siau Po seraya berkata.
"Kau makan tiga butir dan yang tiga untuk kawanmu, satu hari makan satu butir saja." Siau Po menerima obat itu sambil mengucapkan terimakasih, kemudian ia menyerahkan uang dua ratus tail.
"Aku minta kiranya Tuan sudi menerima uang yang tak seberapa ini!" ujar Siau Po. Tabib Liok heran, tetapi ia tertawa dan berkata.
"Mana dapat aku memakai uang begini banyak? Buatku sudah cukup kalau Kong Cu memberiku dua tail perak."
"Saya harap agar Tuan tidak menolak!" kata Siau Po mendesak.
"Tuan telah menolong kami, jumlah ini tidaklah berarti, bukan?" Karena dipaksa, tabib itu pun menerima uang itu dan ia pun mengucapkan terimakasih.
"Kong Cu, terpaksa aku menerima uangmu ini. Kalau tidak aku dikira kurang hormat sekarang aku minta Kong Cu beserta kawanmu sudi kiranya datang ke rumahku untuk minum barang secawan arak, Bagaimana?" Siau Po bersyukur dan merasa girang sekali maka ia menerima baik undangan tabib itu. Kembali ia mengucapkan terimakasih. Benarlah di waktu magrib mereka menyiapkan sebuah tandu untuk menyambut kedatangan tamu-nya. Mereka memikul Siau Po dan Pui Ie dengan sebuah tandu dan dibawa jalan melewati kali kecil di kaki gunung yang airnya jernih dan berbunyi nyaring sebab alirannya yang deras, Siau Po dan Nona Pui merasa puas melihat pemandangan di sepanjang kali kecil itu. Akan tetapi mereka merasa takut setelah melihat rerimbunan pohon. Keduanya teringat ketika diserang ular berbisa. Setelah perjalanan tujuh atau delapan lie, mereka sampai didepan sebuah rumah yang tiang dan dindingnya semua terbuat dari bambu, Rumah ini memiliki tiga ruangan yang rapih dan sangat bersih, Buat wilayah Kang Lam dan Hoo Pak, sukar untuk melihat bangunan seperti itu. Tampak laki-laki setengah baya keluar dari rumah itu dengan wajah ramah dan gerak-gerik yang sangat sopan, Laki-Iaki itu Tabib Liok yang telah beberapa saat menunggu kedatangan tamunya. Tabib itu menyambut dan mengajak mereka masuk. Rombongan itu disambut juga oleh seorang wanita berusia tiga puluhan, yaitu nyonya tabib, Dengan ramah sekali nyonya itu mengajak Pui Ie masuk. Tabib Liok mengajak tamu-tamunya ke kamar tulisnya, Di dalam kamar itu banyak buku, kitab-kitabnya, dan lukisan-lukisan yang membuktikan bahwa tuan rumah gemar karya sastra dan seni.
"Tinggal di pulau ini, kami terasing dengan dunia luar." kata tuan rumah dengan ramah dan rendah hati.
"Tidak demikian halnya Kong Cu berdua, yang datang dari dataran luas dan ramai, dan Kong Cu pun dari keluarga besar. Bagaimana pendapat Kong Cu tentang lukisan-lukisan itu." Siau Po merasa sulit menangkap kata-kata tuan rumah ini, Bocah itu tidak terpelajar dan buta huruf, sebaliknya tuan rumah seorang pintar dan halus gerak-geriknya, Dia lalu mengamati lukisan-lukisan yang berupa pesona alam pegunungan burung, dan kura-kura.
"Kura-kura itu bagus," pujinya sambil tertawa. Tabib Liok heran lantas ia menunjuk sebuah gambar.
"Wi Kong Cu," tanyanya
"Bagaimana kau lihat hurup-hurup ini." Siau Po mengamati hurup-hurup itu, dan ia mendapatkan beberapa hurup yang bentuknya melengkung mirip sebuah jimat.
"Bagus," pujinya pula, "Bagus sekali." Tabib Liok menunjuk tulisan yang lainnya.
"Bagaimana dengan yang ini?"
"Ah, ini kurang bagus!" sahutnya sambil ia menggelengkan kepalanya. Tuan rumah segera mengambil sikap hormatnya.
"Jikalau dapat, aku minta Kong Cu menunjukkan mana kelemahannya!" Siau Po tidak mengenal huruf mana yang baik dan mana yang buruk. Dia menjawab seadanya Demikian pula sewaktu ia ditanyakan lukisan yang lainnya. Sampai di situ, adem hatinya, tuan rumah, Ha tuan rumah itu merasa tenang.
"Kiranya Kong Cu tidak kenal satu hurup pun, dan awam tentang lukisan." Tabib itu masih penasaran maka ia menunjuk lukisan lainnya.
"Dan yang ini bagaimana," tanyanya pula. Siau Po mengamati hurup-hurup yang mirip cacing itu.
"Oh, aku kenal beberapa hurup ini!" sahutnya Dirinya merasa pernah melihat hurup semacam itu di Gunung Ngo Tay san.
"Hong Kauw Cu dan Sin Liong Kauw selama tahun tidak pernah tahu dan selamanya memperoleh kebahagiaan bagaikan dewa berilmu sakti. Usianya sama dengan usia langit." Suara Siau Po seperti membaca hurup-hurup itu. Mendengar demikian, tiba-tiba saja tabib Liok menjadi girang sekali.
"Berterimakasihlah pada langit dan bumi. Benar-benar kau mengenal dengan hurup ini," ujarnya dengan girang sehingga bergetar suaranya. Siau Po heran hingga timbul rasa curiganya.
"Kenapa dia begitu girang lantaran aku kenal hurup itu? Apakah dia orang Sin Liong Kauw? Oh celaka ular berbisa! Apakah ini pulau Sin Liong To?" Karena berpikir demikian tak terasa ke luar kata-kata itu, "Ay Cun cia dimana kau?" Tabib Liok terkejut sekali sehingga dia menyurut satu langkah ke belakang.
"Oh... kau telah mengetahuinya?" tanyanya heran. Siau Po menganggukkan kepalanya, walaupun sebenarnya dia tidak tahu apa-apa
mengenai si tosu.
"Bagus kalau kau telah mengetahuinya!" kata tabib Liok, Dia segera menghampiri meja tulisnya lalu mengosok bak tinta serta membeberkan kertasnya, kemudian dia berkata kembali.
"ToIong kau jelaskan setiap huruf yang ada di sini, Yang mana huruf Hong dan yang mana huruf Kau!" Mendengar permintaannya, hati Siau Po tercekat. Diam-diam dia mengeluh dalam hati, wajahnya langsung berubah. Tapi dia memaksakan diri untuk berjalan ke meja tulis dan mengambil pit, Luar biasa caranya memegang pit, karena dia melakukannya seperti orang yang memegang sumpit makan.
Diam-diam tuan rumah jadi mengeluh dalam hati menyaksikan sikap tamunya, Hal itu sampai tampak pada perubahan air mukanya, Tapi dia masih berusaha untuk sabar.
"Sekarang terlebih dahulu kau tuliskan dulu she dan namamu!" katanya. Siau Po langsung berjingkrak bangun untuk berdiri tegak, sedangkan pitnya yang sudah dicelup ke tinta dilemparkannya sehingga tintanya bermuncratan kemana-mana. Kemudian dia berteriak dengan suara lantang.
"Lohu tidak kenal dengan segala huruf anjing. Kentut anjingpun aku tidak tahu bagaimana cara menulisnya! Apa itu Hong kaucu usianya sama dengan usia langit? Lohu hanya mengoceh sembarangan untuk mengelabui si tosu, Kalau kau ingin aku menulis huruf, sebaiknya kau tunggu sampai aku menitis kembali! Kalau kau hendak membunuh Lohu, bunuhlah! Tidak akan aku mengernyit kening, kalau sampai terjadi, aku bukanlah seorang laki-laki sejati!"
"Benarkah kau tidak mengenal huruf sama kali?"
"Memang tidak!" sahut Siau Po tegas.
"Tidak tahu huruf telur busuk!" Saking terdesak, tegang rasanya syaraf Siau Po sehingga dia jadi marah-marah tidak karuan, Dia tidak kenal lagi kata takut meskipun berada di pulau Ular yang sangat beracun ini. Tabib Liok terdiam lalu mengambil pitnya dan menulis beberapa huruf.
"Coba baca, huruf apa ini?" tanyanya.
"Gila!" seru Siau Po.
"Aku bilang aku tidak kenal surat, aku serius! Kau kira aku bohong?" Tabib Liok menganggukkan kepalanya dengan kesal.
"Bagus!" katanya.
"Jadi kau berhasil mempermainkan Ay Cun cia! Tapi urusan ini telah disampaikan kepada Hong kaucu! Oh, kau! Dasar bangsat cilik." Mendadak si tabib melompat ke depan untuk mencekik leher Siau Po, seraya berkata dengan sengit.
"Kau mencelakai kami sehingga kami mendustai kaucu! Sama artinya kau membuat kami mati tanpa tahu di mana kami akan dikuburkan! Karena itu, sebaiknya kita mati bersama-sama saja. Dengan demikian aku tidak perlu mengalami penderitaan dan siksaan!" Siau Po benar-benar tersiksa, wajahnya pucat kebiru-biruan dan lidahnya menjulur keluar. Kalau dia dicekik lebih keras sedikit lagi, pasti nyawanya akan melayang. Tetapi tepat pada saat yang genting itu, tiba-tiba tabib Liok mengendurkan cekikannya dan mendorong tubuh Siau Po sehingga bocah itu terjerambab jatuh lalu dia meninggalkannya. Sesaat kemudian, Siau Po baru sanggup menenangkan dirinya, Setelah benar benar sadar, dia mencaci maki dengan sembarangan.
"Kura-kura mau mampus! ibumu bangsat!" Namun sekarang dia harus berpikir keras, "Aku berada di atas pulau, ke mana aku harus menyingkir? Kala aku kabur ke hutan, hal itu malah akan mempercepat kematianku. Tapi, aku cukup puas kalau bisa mati bersama-sama Pui Ie.,." katanya seorang diri. Kemudian Siau Po pergi ke pintu dan berusaha membukanya, Ternyata pintu itu terkunci dari luar Karena itu dia pergi ke jendela untuk melongok ke luar, Dia mendapat kenyataan bahwa jendela itu menghadap ke arah lembah yang curam, Di sana pun tidak ada jalan untuk meloloskan diri." Siau Po memalingkan wajahnya kembali ke dalam kamar dan memperhatikan beberapa gambar yang tergantung di dinding.
- Apanya yang bagus dari pigura-pigura ini? --pikirnya dalam hati. Saking panasnya hati Siau Po, dia segera mengambil pit tulis kemudian digunakannya untuk mencoreng gambar-gambar yang tergantung di dinding. Lukisan itu diganti dengan gambar kura-kura besar dan sejumlah kura-kura kecil, Tentu saja dia melukis secara sembarangan sehingga banyak lukisan-lukisan yang berharga itu rusak karenanya. Setelah merasakan tangannya pegal, Siau Po melemparkan pit itu terus menjatuhkan diri untuk duduk di atas sebuah kursi. Dia menyenderkan tubuhnya dan melenggut-lenggut. Sesaat kemudian dia sudah tertidur pulas.
Dia tertidur sampai cuaca remang-remang. Tidak ada seorang pun yang datang mengganggunya, sehingga kemudian dia merasa perutnya keroncongan karena minta diisi. - Rupanya kura-kura hijau itu mengharap Lo-hu mati kelaparan di sini! -- pikirnya kemudian, Dia menyebut tuan rumahnya sebagai "kura-kura hijau" dan tetap membahasakan dirinya sebagai Lohu. Tepat pada saat itulah dia mendengar suara langkah kaki dari luar kamar, disusul dengan masuknya cahaya terang api dari sela-sela pintu. Bahkan daun pintu pun segera terbuka dan muncullah tabib Liok dengan sebatang lilin yang menyala di tangannya, Dia melirik si bocah tanpa mengatakan sesuatu pun. Tidak terlihat apakah dia sedang marah atau senang. Mau tidak mau, Siau Po menjadi tidak enak hati dan merasa khawatir. Tabib Liok meletakkan lilin nya di atas meja, kemudian melirik ke arah dinding yang penuh dengan lukisan itu. Tiba-tiba saja dia menjadi gusar sekali.
"Kau! Kau!" teriaknya setengah kalap. Tangannya sudah diangkat tinggi-tinggi dengan maksud ingin menghajar tamunya. Akan tetapi dia tidak meneruskan niatnya itu, sebab dapat menguasai dirinya.
"Kau... kau.-." berhentilah suaranya. Di lain pihak, Siau Po dapat mengendalikan dirinya, justru melihat si tabib gusar, dia
tertawa lebar.
"Nah, lihat!" katanya
"Bagaimana menurut pendapatmu? indah tidak lukisanku itu?" Tabib Liok menarik nafas panjang, Perlahan lahan dia menurunkan tangannya lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi.
"Bagus." katanya kemudian.
"Lukisanmu bagus sekali." Siau Po menjadi heran. Orang itu bukannya menghajar dia lagi tapi malah memujinya. Dia juga menjadi tidak enak hati menyaksikan tuan rumah itu menjadi kesal dan sedih.
"Tuan Liok, maaf... maaf..." katanya kemudian.
"Aku telah membuat lukisanmu menjadi kotor...." Tabib Liok menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangannya.
"Tidak... tidak apa..." sahutnya sabar, Dia memegangi kepalanya lalu mendekam di atas meja. Sesaat kemudian....
"Kau tentunya sudah lapar bukan?" tanyanya lantaran Siau Po diam saja.
"Nah, kau makanlah dulu, nanti kita bicara lagi!" Di ruang tamu sudah disediakan hidangan yang terdiri dari empat macam lauk. Ada ikan, daging, juga ayam. Pui Ie muncul dengan ditemani oleh Nyonya Liok. Mereka berempat duduk mengelilingi meja dan mulai bersantap. Siau Po merasa heran sekali. Diam-diam dia berpikir dalam hati. -- Mungkinkah lukisanku benar-benar demikian indah sehingga hati tabib Liok menjadi senang dan menjamu aku? - Akan tetapi sesaat kemudian dia sudah menyangkal pemikirannya itu. Tidak mungkin! Tidak mungkin orang yang lukisannya dirusak malah menjamunya! Bocah itu bermaksud menanyakannya kepada si tabib, tapi akhirnya dia membatalkannya pula. Dia melihat tampang si tabib yang lesu dan tidak bersemangat, Dia khawatir tabib itu marah. Tanpa banyak bicara mereka terus bersantap. Setelah itu, Tabib Liok kembali membawa Siau Po ke kamar tulisnya. Seorang kacung segera datang untuk mengantarkan teh hangat. Tabib Liok mengambil pit yang dilemparkan Siau Po, lalu menulis tiga huruf "Wi Siau Po" di atas kertas.
"Ini namamu," katanya. "Apakah kau bisa menulisnya?"
"Dia dapat mengenali aku, tapi aku tidak mengenalinya, Mana bisa aku menulis...!"
"Oh!" seru si tabib yang lalu menengok ke luar jendela, agaknya dia berpikir. Kemudian dia mengangkat tempat lilin dan huruf huruf yang berupa anak katak lalu dibawanya ke depan dan dibacanya. Setelah itu dia kembali lagi ke meja untuk mengambil sehelai kertas dan mulai menulis. Tuan rumah itu menulis dengan cepat sekali, setelah itu lalu dibacanya.
"Ketiga huruf itu sama dan aku harus cepat membacanya dan menulis," katanya. Setelah selesai tabib Liok mengoreksi tulisannya, kali ini ia merasa gembira sekali.
"Sekarang baru sempurna," katanya. Siau Po merasa heran dan si tabib tetap diam saja tak bergerak. Kemudian tabib itu kembali mengambil kertas dan mulai menulis. Hanya kali ini ia menulis agak pelan terlihat dengan gelengan-gelengan kepalanya seraya membaca tulisan ini dengan perlahan. Siau Po mendengar dengan samar-samar kata yang diucapkan oleh tabib itu yakni "Sin Liong To yang berarti pulau malaikat atau naga sakti dan kata "Hong Kaucu", serta usianya sama dengan usia langit" dan yang terakhir yaitu kata "Bahagianya pertama di gunung... dan yang ke dua di gunung.. sama sekali tidak menyebutkan nama gunung dimana tempatnya.
"Ah, aku ingat," pikir anak muda itu. Dia berbicara sendiri setelah itu ia berbicara dengan Cun Cia di kuil Pao Ci Si, sewaktu ia ingin loloskan diri, hingga ia berbicara secara sungguh-sungguh, tetapi siapa sangka ia malah mendapatkan pujian, pikirnya pula. Ketika itu aku diajak Ay Cun cia untuk menghadap Hong Kau Ju di Si Liong To. Aku tidak sudi ikut padanya dan ternyata aku dapat sampai pada pulau ini.... Bagaimana jika Hong Kaucu gusar? Jangan-jangan aku dan Pui akan dimasukkan ke dalam lobang ular, dan aku akan dikeroyok oleh ular-ular itu hingga tak tersisa daging dan tulangku..! Mengingat demikian, Siau Po jadi bergidik, ia dapat membayangkan seandainya dirinya dililit beribu-ribu ular. Lalu tampak tabib Liok berpaling, wajahnya terlihat sangat gembira.
"Wi Kong cu kau kenal huruf-huruf yang bagaikan katak itu, kau sungguh menggembirakan dan sepatutnya diberi selamat! itu pun bertanda yang sangat baik bagi Hong kaucu mirip dengan langit dan Tuhan telah menjelmakan engkau sebagai anak gaib karena engkau dapat membaca tulisan pada batu itu," katanya sambil tersenyum. Siau Po merasa tak enak hati.
"Jangan kau permainkan aku!" katanya.
"Sebenarnya aku hanya bicara sembarangan untuk menipu Tautoo cebol. Karena kau telah mengetahui kepalsuanku, sebaiknya kau secepatnya membunuh diriku...!" Tabib Liok tertawa.
"Jangan terlalu merendah Siau Po!" katanya pula. Dia lalu memanggil "Kong Ju" suatu sebutan untuk anak muda hartawan dan berpangkat, "Itu kata-kata yang Kong Ju bacakan di luar kepala sedangkan aku mencatatnya, Kong Ju tunjukkan mana yang salah? Nah dengarkan aku membacakannya!" Benar-benar Tabib Liok membaca tulisan itu.
"Bagaimana ada yang salah atau tidak," tanyanya setelah selesai membaca.
"Itu toh tulisan pada batu pada jaman kerajaan Tong. Bagaimana dapat diketahui yang jelek? Di kemudian hari dapat terjelma seorang Gou Sam Kui yang hidup sebagai raja muda Peng Si Ong?"
"Siang Te Maha cerdas dan maha pandai, tidak ada yang tidak diketahuinya?" jawab si tabib dengan menyebut nama Tuhan Allah yang maha Kuasa (Siang Te).
"Karena bakal ada seorang Hong Kou Cu, pasti akan ada pulau Gou Sam Kui itu." Siau Po tertawa sendiri sambil mengangguk dan berkata.
"Ya, itu benar juga" di dalam hatinya.
"Entahlah apa yang sedang kau pikirkan sebenarnya...." Tabib Liok berpikir dan berkata.
"Tulisan di batu itu tak dapat dibaca asal meskipun hanya satu hurup, Kong Ju cerdas meskipun demikian pasti Kong Cu telah dibantu oleh Siang Te, maka Kong Cu dapat membacanya, Aku pikir Kong Cu membacanya, sebab nanti jika Kong Cu dipanggil Hong Kaucu, Kong Cu dapat membacanya diluar kepala dengan lancar dan jelas, tanpa ada salah, jika itu benar pasti Kong Cu akan mendapatkan hadiah yang sangat besar." Mendengar demikian Siau Po mengerti dan memahaminya bahwa Ay Cun cia dan tabib Liok pasti sudah melaporkan pada Hong Kaucu. Tentang janji itulah sangat berbahaya. Bagaimana kalau rahasianya terbuka? Rupanya mereka jadi khawatir jika nanti terjadi, maka mereka sengaja merencanakan itu. Lalu tabib Liok berkata.
"Sekarang mari aku bacakan, baris demi baris dan kamu mendengarkan lalu yang salah kamu perbaiki, aku tidak ingin ada satu huruf pun yang salah dari tulisanku ini." Mau tidak mau Siau Po harus menurut, sebab ia sedang dalam ancaman maut. Dasar ia cerdas ia dapat membaca, hanya ada beberapa yang salah, tetapi ia membaca terus, sedangkan si tabib mendengarkan dan memperbaikinya maka akhirnya, setelah ia membaca lebih dari sepuluh kali akhirnya tidak terdapat kesalahan lagi. Malam itu Siau Po tidur di rumah tabib Liok. Paginya selesai bersantap ia menghapal kembali kata-kata itu. Tabib Liok gembira mendengar Siau Po dapat membacanya, tapi ia belum merasa puas. Dia menulis lagi dan mengajarkan huruf demi huruf agar ia mengenal mana "wi" dan "Ceng" dan semuanya. Di dalam hati Siau Po mengeluh. Dia harus dapat menyatukan huruf yang satu dengan huruf yang lainnya. Kecuali itu ia tidak tahu apakah tabib Liok menulis sembarangan saja, maksudnya agar nanti dapat menyenangkan hatinya. Lama juga Siau Po mengenali kata demi kata. Sampai siang hari ia baru dapat menghapal enam huruf, sore tujuh huruf dan malamnya enam huruf. Selama itu ia mengalami kesulitan hingga ia melempar penanya, dan tabib Liok mengambilkannya. Sedangkan Pui Ie diminta duduk di dekatnya untuk menemaninya. Sambil mengajari, hati tabib Liok selalu khawatir kalau-kalau ia dipanggil Hong kaucu. Kalau Siau Po belum mengenal huruf-huruf itu ia akan mendapatkan bahaya, begitu juga dengan keluarganya. Dalam belajar Siau Po sangat sulit ia ingin secepatnya dapat memahami kata demi kata, lewat beberapa hari ia baru dapat mengenal seratus huruf dan tiba-tiba dia mendengar suara orang memanggilnya.
"Liok Sin Se, Kau cu memanggil Wi Kongcu datang menghadap." itulah suara Ay Cun cia. Tabib Liok kaget sekali hingga mukanya mendadak kaget dan tangannya bergetar hingga pena yang ada di tangannya jatuh ke bajunya. Habis memanggil, Ay Cun cia lalu masuk. Siau Po menyambutnya sambil tertawa dan berkata.
"Eh, Ay Cun cia, kenapa baru kali ini aku kau jemput? Kau tahu, aku sudah lama menantimu menjemputku!" Sementara itu Ay Cun cia menatap wajah Tabib Liok. Dia menerka ada suatu kesulitan.
"Memang aku mengetahui kau mengacau balau, Kau main gila, tetapi kau ingin membangun jasa besar. Aku khawatir kau nanti akan mati lebih awal." Tabib Liok tertawa dingin dan berkata pula pada si tamu tadi.
"Kau pun sama saja. Aku si orang Si Liok, rumah tanggaku terdiri dari delapan jiwa, biarlah semuanya ikut denganku ke lain dunia...!" katanya. Ay Cun cia menarik napas lalu ia pun berkata.
"Kalau nasib kita begini kita memang sukar untuk meloloskan diri. Tetapi kau harus tahu meski tak ada peristiwa ini, tak mungkin kaucu membiarkan kita hidup lebih lama meski beberapa hari...!" Tabib Liok melirik Siau Po dan berkata.
"Ya kalau nasib apa mau dikata dasar mau mati...." Mendengar suaranya tabib ini merasa putus asa. Ay Cun cia menghela nafas pula dan berkata.
"Aku tadinya mengira, karena dia masih kecil. Dia membawa sukanya kaucu, namun tak disangka..."
"Dia kecil, bahkan masih terlalu kecil." kata tabib Liok. Siau Po bingung, dia tidak dapat membaca perkataan itu dan terdengar pula suara Ay Cun cia.
"Saudara Liok, karena hal ini akan terjadi, apa yang harus kita lakukan. Kita berjanji susah dan senang kita tanggung bersama, bagi laki-laki sejati! Mati ya mati...!" Siau Po menepuk tangan.
"Ay Cun cia benar!" katanya.
"Kalau seorang laki-laki sejati, apa yang harus ditakuti? Aku tidak merasa takut. Oleh karena itu kalian tak perlu takut."
Liok Sin Se tertawa dingin.
"Siau Po tak tahu apa-apa," katanya dengan suara keras.
"Kau tidak tahu langit itu jauh dan bumi itu tebal. Nanti, setelah kau mengetahui apa itu, tentu kau baru berkata itu biasa!" ia lalu menoleh pada Ay Cun cia dan berkata pula.
"Ay Cun cia tunggulah sebentar, aku akan memberikan pesan pada istri dan keluargaku!" Habis berkata ia pun lalu masuk, Ketika le beberapa detik Liok pun ke luar, tampak ada bel air mata di pipi nya. Melihat demikian Ay Cun cia jadi tertawa. "Nyata terkaanku sama dengan terkaan malaikat katanya."
"Aku telah menduga bahwa suatu waktu akan datang hari yang seperti ini dan untuk itu aku tak ingin menikah dan tidak ingin mempunyai anak, jadi bagiku tidak ada yang diberati." Tabib Liok gusar hingga ia mengangkat sebelah tangannya dan mengancam. Siau Po kaget sekali dan ia berseru. Perlahan-lahan tabib Liok menurunkan tangannya yang sudah diangkat. Tampak telapak tangannya sudah berubah warna kecoklatan, itu yang membuat Siau Po menjadi khawatir.
"Apakah pada waktu begini kita masih dapat bergurau?" tanya si tabib. Ay Cun cia malah tersenyum, "Ya. Aku yang salah." ujarnya.
"Saudara Liok, mari bagi aku pil Tok Liong Wan buatanmu barang sebutir...!" Tabib Liok mengangguk dan ia pun merogoh kantung untuk mengambil pil yang diminta itu.
"Asal obat ini sudah masuk ke dalam mulut dan tertelan, orang akan segera mati, untuk itu jangan kau sembarang dalam menggunakannya!" ujarnya. Ay Cun cia mengambil sebutir.
"Terimakasih!" katanya sambil tertawa.
"Poan Tau To juga memandang jiwanya sendiri berharga sekali." Siau Po mengamati gerak-gerik orang itu, ia lalu sadar akan gentingnya suasana itu, selama mengalami perjalanan dari Siau Lim Pai, tampak nyata kegagahannya, akan tetapi saat ini ia meminta pil racun untuk dirinya cuma disebabkan ia takut pada Hong kaucu. Jadi ia pikir orang itu akan membunuh diri bila saatnya telah tiba, baru ia mengerti keadaan dan ia pun takut. Selagi mereka berjalan ke luar rumah Siau Po mendengar samar-samar suara tangis dari dalam rumah itu.
"Apakah Nona Pui tidak ikut bersama mereka?" pertanyaan itu yang didengar dari dalam rumah, dan ia pun ingat pada Pui Ie.
"Kau masih begini kecil tapi sudah pandai bermain asmara." kata Ay Cun cia tertawa.
"Di gunung Ngo Tay san ada Song Ji dan di sini adapula Nona Pui." Selesai berbicara dia memegang tangan Siau Po dengan tangan kirinya dan lalu berkata dengan suara keras.
"Mari berangkat!" Lantas dia berjalan dengan langkah lebar ke arah timur. Liok Sin Se mengikutinya dengan wajah suram dan terus mendampingi si kakek gagah itu. Siau Po menjadi kagum sekali. Tak disangka si tabib yang berbadan lemah itu ternyata mempunyai ilmu silat yang cukup sempurna dan itu terbukti dengan larinya yang sangat cepat sekali. Siau Po lalu berkata sendiri.
"Liok San Se, Ay Cun cia, kalian memiliki ilmu silat yang sangat sempurna, mengapa kalian harus takut pada Hong Kau cu?" Ay Cun cia mengulurkan tangan kanannya untuk membekap mulut Siau Po.
"Di atas pulau Sin Liong to ini kau berani mengeluarkan kata-kata dan kau mendurhakai ini," tegurnya bengis.
"Apakah kau sudah bosan hidup?" Siau Po diam saja, dia hanya dapat mengeluarkan kata-katanya dalam hatinya saja dan merasa dongkol.
"Setan alas! Kau berani menyindir aku secara tajam. Apakah dengan demikian kau dapat disebut seorang enghiong? Kau justru lebih hina dari anjing!"
Mereka bertiga menuju sebuah puncak gunung di sebelah timur pulau, puncaknya tinggi dan ramping. Belum begitu lama mereka berjalan, Siau Po menyaksikan sesuatu yang menggidikkan hatinya, Di segala tempat terdapat ular berbisa tetapi anehnya kesemuanya takut pada Ay Cun Cia dan Liok sin she. Dan setelah berjalan jauh mereka sudah hampir sampai, tampak di depan mereka sebuah bangunan di atas puncak. Bangunan itu terbuat dari bambu dengan atap yang besar. Di sana mereka dibawa dan tetap saja Ay Cun cia dan sang tabib itu berlari seperti semula cepat dan tangkas. Hanya beberapa waktu saja mereka telah sampai pada puncaknya dan mereka disambut oleh empat orang anak muda yang tangannya saling berpegangan dan semuanya menggendong pedang Usia mereka kurang lebih dua puluh tahun.
"Poan Tau To, mau apa bocah cilik ini?" Dia masih muda, tapi memanggil Siau Po, A Cun dan tabib itu bocah. Ay Cun cia menurunkan Siau Po yang sewaktu naik ke puncak digendongnya.
"Kaucu memerintahkan untuk memanggil Siau Po, beliau ingin menanyakan sesuatu kepadanya." Dan dari arah lain datang tiga orang wanita berbaju merah. Mereka datang dengan wajah berseri dan menanyakan kepadanya.
"Eh, Poan Tau To, apakah anak ini yang kau dapatkan dari istrimu yang di luar pernikahan itu." Sambil berkata itu ia pun mencubit pipi Siau Po.
"Ah, Nona bergurau saja!" sahut Ay Cun cia.
"Anak ini sengaja dipanggil kaucu karena ada masalah penting yang akan ditanyakan padanya." Baik anak muda itu maupun wanitanya memanggil "Poan Tau To" pada Ay Cun cia, jelas mereka mengira ia bersenda gurau. Seorang nona mencubit pipi kanan Siau Po sambil berkata.
"Anak ini mempunyai wajah yang tampan dan pasti ini anak dari Poan Tau dengan wanita itu dan tak usah menyangkalnya." Kalau tadi Siau Po diam saja, kali ini sudah tak tahan menerima penghinaan itu dan ia pun berkata.
"Akulah anak di luar pernikahan yang dilahirkan olehmu. Kau telah berlaku serong dan main gila dengan Poan Tau To maka itu lahirlah aku." Semua muda mudi itu diam saja dan mereka berdiri terpaku. Hebat perkataan bocah itu, tetapi hanya sebentar dan mereka semuanya tertawa, lain halnya dengan si nona yang menyapa itu. Wanita itu menjadi marah.
"Cis." Dia meludah dengan suara dongkol.
"Kau mau mampus yah!" Sambil berkata begitu tangannya melayang ke arah Siau Po. Siau Po mengelit dari serangan itu. Dan ketika itu pula, Datanglah segerombolan muda mudi yang mendengar berisik. Mereka lalu mendekat dan menggoda si nona yang berwajah merah sedang menahan amarah, Nona itu menyerang dengan tendangan ke arah pinggul Siau Po.
"Oh, ibu! Mengapa kamu menyerang anakmu?" seru Siau Po yang berkelit dan terus menggodanya. Maka lagi-lagi mereka semua tertawa geli, justru itu mendadak terdengar suara teriakan dan mereka semua berhenti tertawa lalu berlarian menuju rumah bambu.
"Kaucu cia hendak berkotbah." kata Ay Cun cia lalu membimbing Siau Po.
"Sebentar lagi kita akan menghadap kaucu cia dan kuminta agar kau jangan sembarang berbicara!" Siau Po mengangguk, di dalam hatinya merasa kasihan, muda mudi itu tadi sama sekali tak menghormati pada Ay Cun cia. Lalu dari keempat penjuru lari berdatangan ke gubuk bambu itu. Tabib Liok dan Ay Cun cia menuntun Siau Po menuju rumah itu dan memasukinya. Mulanya mereka berjalan di sebuah lorong panjang kemudian sampai di sebuah ruangan. Ruangan itu besar sekali dapat memuat seribu orang.
Sudah lama Siau Po tinggal di istana, tapi tak pernah melihat ruangan yang sebesar itu. Maka mau tak mau dia merasa hormat dan kagum. Di dalam ruangan itu terdapat muda mudi. Mereka semuanya duduk berkelompok menurut warna pakaian mereka yaitu, hitam, kuning, hijau, dan putih. Ada satu lagi yaitu merah, dan itu yang dipakai oleh para wanitanya. Semua muda-mudi itu memegang golok masing-masing, dan setiap kelompok terdiri dari seratus orang atau lebih.
Di tengah-tengah Toa Tia terdapat dua buah kursi. Kursi itu juga terbuat dari bambu, tetapi dihiasi dengan ukiran yang indah dan bagus serta dilapisi dengan alas sulam. Di kanan dan kirinya berbaris puluhan orang laki-laki dan wanita, Usia mereka yang muda kira-kira tiga puluhan, dan yang tua kira-kira lima puluh sampai enampuluh tahun. Hanya mereka tidak memegang senjata. Jumlah yang hadir kira-kira enam ratus orang. Ruangan itu sunyi bahkan yang batuk atau berdehem pun jarang.
Siau Po heran dan berkata dalam hatinya.
"Sungguh gila! Sungguh bertingkah! ini berlebih-lebihan seperti seorang raja saja." Tak lama kemudian terdengar suara gendang dipukul dan bersamaan dengan itu terdengar pula derap suara kaki yang datangnya dari arah ruangan dalam menuju ruangan tengah. Pikir Siau Po dalam hati. "Pastilah yang datang itu si kaucu, Hantu sedang keluar!" Kira-kira yang muncul itu sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan mengenakan pakaian dengan lima warna, Kemudian mereka menempati tempat di samping kursi itu. Lewat beberapa detik kembali terdengar suara gendang, dan kali ini disambut dengan suara kelenongan yang mungkin jumlahnya seratus buah. Setelah suara kelenongan itu berhenti semua yang ada di ruangan itu bertekuk lutut sambil berkata.
"Semoga kaucu berbahagia dan panjang usia sama dengan langit!" Siau Po ikut berlutut hanya tidak ikut dengan puji-pujian itu. Bahkan sebaliknya ia mencuri pandangan hingga ia melihat dari ruang dalam muncul dua orang pria dan wanita yang terus duduk berdampingan pada tempat yang telah disediakan itu. Kembali suara kelenongan dan para hadirin bangun dari berlututnya secara perlahan-lahan.
Si laki-laki berwajah buruk sekali kumis dan janggutnya putih panjang sampai dada serta pada wajahnya terdapat codet bekas luka, Siau Po pun menerka, mungkin ini yang disebut kaucu atau raja agama. Wanita yang mendampingi laki-laki berjanggut panjang itu sangat cantik, genit, penuh senyum dan usianya kira-kira dua puluh limaan. Dalam hati Siau Po berkata. "Wanita itu cantik dan lebih cantik dari kakakku." Lalu di sebelah kirinya tampak seorang laki-laki membacakan sebuah surat dari kertas hijau.
"Membacakan dengan hikmat ajaran Hong kau cu karena pengaruhnya sudah sampai keempat penjuru dunia bunyinya, kemustajaban pil emas sudah tak dapat ditandingi lagi." Serentak para hadirin mengikuti pembacaan itu dengan suara keras. Siau Po heran sekali, dia terkejut dan bagaikan guntur Siau Po mendengar kata-kata itu. Si baju hijau membaca lebih keras lagi.
"Sungguh beruntung kita menemukan guru yang maha pandai, kita diajarkan bersemedi dengan duduk bersila untuk menyingkirkan kesulitan agar kita dapat hidup lebih lama." Di dalam hati Siau Po tertawa.
"Ini mirip pembacaan doa oleh seorang pendeta, apa sih Kaucu." Kembali bacaan itu diulangi oleh para hadirin dengan suara lantang. Selesai membaca itu para hadirin menambahkan lagi.
"Ajaran kaucu selalu kami ingat dalam hati kami dan kami doakan agar kaucu panjang umur." Diam-diam Siau Po memperhatikan para muda mudi. Mereka sangat bersungguh-sungguh. Lain halnya dengan si kaucu, dia tampak tenang saja dan dingin. Yang lebih
aneh lagi para wanitanya, mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh tetapi sambil senyum-senyum. Setelah itu suasana kembali tenang. Dalam saat sunyi itu si wanita terus saja memandang ke barat dan timur, wajahnya berseri dan berkata.
"Hek Liong Su dari Hek Liong Bun hari ini telah tiba hari perjanjian dan untuk itu silahkan kau persembahkan kitab-kitabmu!"
Suara wanita itu tenang tetapi jelas dan juga merdu, sangat indah didengarnya. Kemudian ia menjulurkan tangan kirinya untuk menerima kitab yang ia sebutkan itu. Siau Po mengamati tangan yang putih dan mulus itu hingga tak terasa ia pun berkata dalam hatinya.
"Wanita itu telah berusia cukup tua tetapi tidak ada cacatnya, jika saja ia menjadi istriku... Coba pergi ke Li Cun Wan untuk jadi pelacur, pastil para hidung belang itu pada lari ke tempat itu dan pastilah tempat itu akan penuh oleh orang itu dan kemungkinan pintunya akan jebol karena terlalu banyak orang yang datang." Setelah itu si tua maju dua langkah sembari membungkuk pada si nyonya itu dan melaporkan.
"Harap Hu Jin mengetahui. Menurut berita dari kerajaan, sekarang ini sudah diketahui di mana sebenarnya keempat jilid kitab itu dan sekarang sedang dicari dengan sungguh-sungguh buat menuruti ajaran dari kaucu. Untuk itu kami tak menghiraukan jiwa kami, pasti kitab tersebut akan dicari sampai dapat, guna dihaturkan pada kaucu serta Hu Jin." Orang itu membahas tentang "Hu Jin" nyona yang dimuliakan. Dia berbicara dengan suara bergetar, itu pertanda bahwa ia sangat takut sekali. Si Hu Jin sebaliknya tersenyum dan ia berkata.
"Kaucu sudah menambah waktu tiga hari, Liong Su mengapa kau masih panik? Kenapa kau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh? Bukankah itu bertanda kau tidak setia pada kaucu?" Hek Liong Su menjura dalam dan katanya.
"Hamba telah menerima budi sangat besar dari kaucu dan Hu Jin, biarkanlah tubuh ini hancur lebur, sebab budi itu sukar untuk dibalas, Maka itu hamba tak berani untuk tidak bekerja dengan sungguh-sungguh, sebenarnya hal ini sangat sulit, dari enam orang hamba yang diperintah menyelidiki istana, dan dua diantaranya Song Beng Gi dan Liu Yan telah mengorbankan jiwanya dan untuk itu hamba mohon agar Hu Jin dapat memberikan waktu yang cukup lama lagi."
Bagian 40
Mendengar disebut nama Liu Yan hati Siau Po bergetar. Teranglah Liu Yan orang Sin Liong Kau, entah siapa itu Song Beng Gi apakah ia bukannya si dayang keraton?" Tengah Siau Po berpikir, si nyonya menggapai tangan kirinya memanggil Siau Po sambil tertawa.
"Eh, adik kecil kemarilah!" panggilnya.
"Aku," katanya, ia pun heran sekali. Nyonya itu pun tertawa.
"Benar." sahutnya.
"Aku memanggil engkau." Cepat-cepat ia menoleh pada tabib Liok dan Ay Cun cia yang ada di sampingnya dengan bermain mata sebagai isyarat.
"Hu Jin memanggilmu Cepat kau pergi dan beri hormat!" kata si tabib. Di dalam hati Siau Po berkata-kata.
"Aku tak mau menghormatinya, apa yang akan ia lakukan jika ia tidak memberikan hormat padanya," tetapi ia tetap saja memberikan hormatnya seraya berkata.
"Semoga kaucu dan Hu Jin berbahagia dan panjang umur sama dengan langit!" Hong Hu Jin pun girang sekali.
"Nak kau masih kecil tetapi kau cerdas sekali, Siapa yang mengajari kau kalau disamping kaucu kau juga harus menghormatiku?"
Memang biasanya dalam Sin Liong Kau orang cuma memujikan ketua-nya, dan tak pernah ada orang yang menambahkannya meskipun hanya satu kata, Maka untuk itu Siau Po berlagak lain dari pada yang lain, dalam hati dia merasa tak puas tetapi dia tidak menampakkannya. Dia melihat wanita cantik dan berpengaruh maka sudah selayaknya ia mengalah. Demikian juga bila si nyonya yang cantik itu bertanya ia pun lalu menjawabnya.
"Kaucu, sudah sepantasnyalah jika usia Hu Jin harus sama dengan usia kaucu, jika tidak nanti jika Hu Jin dipanggil yang maha kuasa tentunya kaucu merasa kesepian." Hu Jin tertawa terpingkal-pingkal begitu juga kaucu. Sambil tertawa ia mengusap jenggot dan kumisnya yang putih dan panjang itu. Semua anggota Sin Liong Kau ngeri melihat mereka yang sebagai ketuanya itu,
bagaikan tikus melihat kucing. Mereka sudah ketakutan jikalau mereka salah dalam berbicara. Tetapi melihat kaucu dan Hu Jin tertawa mereka jadi tenang dan ketegangan mereka pun hilang.
"Jadi itulah kata-kata yang kau tambahkan sendiri ?" kata sang ratu.
"Benar Hu Jin," sahut Siau Po.
"Kata-kata itu tak dapat dihindarkan, sebab di dalam tulisan batu yang mirip dengan anak-anak katak itu juga terdapat nama Hu Jin." Liok Sin Si kaget sekali mendengar ocehan Siau Po. Tubuhnya merasa dingin bagaikan es karena si bocah telah menambahkan kata "Hu Jin" itu, ia sendiri sudah menambahkannya, Siau Po benar-benar lancang sekali. Bukankah dengan demikian
rahasianya akan terbongkar? Hong Hu Jin heran mendengar jawaban Siau Po.
"Kau bilang namaku terukir dalam tulisan itu." tanyanya.
"Benar," katanya. Di lain waktu dia sadar dan mengingat perintah yang mengatakan agar ia menghapal kalimat tersebut. Bersyukur sekali Siau Po karena Hu Jin tidak menanyakan lebih jauh lagi.
"Kau Si Wi, datang dari pakia, bukan?" tanya si nyonya.
"Menurut Poan Tou To kau pernah bertemu dengan seorang nyonya gemuk yang disebut Liu Yan, bahkan Liu Yan pernah mengajari mu ilmu silat, benarkah itu?" si nyonya Hu Jin bertanya. Ditanya begitu Siau Po berpikir dengan cepat.
"Apa yang Hu Jin bicarakan dengan Ay Cun cia, Ay Cun cia telah menyampaikan pada kaucu dan Hu Jin. Maka itu aku harus bersikap cepat karena Liu Yan sudah mati dan saksinya tak ada?" Maka ia cepat menjawab.
"Benar, Bibi Liu dulu sahabat kekal pamanku, baik di waktu siang maupun di waktu malam, ia sering ke rumahku." Hong Hu Jin tertawa.
"Mau apakah dia dengan kedatangannya itu?" tanyanya.
"Dia suka bergurau dengan pamanku, sering mereka merangkul satu dengan yang lainnya, mereka menyangka aku tidak melihatnya tetapi aku sering mengintainya." Hu Jin pun tertawa pula. Siau Po pandai sekali berbohong. Dia berpikir semakin banyak berbicara semakin mudah untuknya berbohong, sebab ia mengira orang akan percaya akan kata-katanya yang dilakukan secara wajar. Lagi-lagi Hu Jin tertawa.
"Eh, Nak! Kau cerdik sekaii, begitu beraninya kau mengintip pamanmu yang sedang berciuman dan berpelukan itu." ia lalu menoleh pada He Liong Su dan berkata.
"Nah, kau dengar atau tidak anak ini tak mungkin berdusta." Diam-diam Siau Po melirik pada Hek Liong Su. Dia melihat wajah orang itu menjadi pucat dan menggigil, suatu tanda ia sangat ketakutan. Dia harus menjatuhkan diri dan berlutut sambil mengangguk-angguk.
"Hamba... hamba kurang penilikan... hamba harus mati... hamba mohon kaucu dan Hu Jin dapat memberikan ampunan pada hamba dapat menebus dosa ini...." Siau Po merasa heran juga, Diam-diam dia berpikir dalam hatinya. - Tua bangka ini aneh juga, Aku toh cuma mengatakan bahwa si Liu Yan berpelukan dan berciuman dengan pamanku, apa hubungannya dengan dia ini? Mengapa dia jadi demikian ketakutan? Hong Hu Jin tertawa.
"Membuat jasa guna menebus dosa?" katanya "Jasa apakah yang kau miliki? Aku mengira orang yang kau beri tugas itu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Tak disangka di kota kerajaan dia malah bermain asmara?" Hek Liong Su mengangguk lagi berulang kali, bahkan kepalanya sampai membentur batu sehingga dahinya berdarah. Melihat demikian, Siau Po tidak sampai hati. Akan tetapi dia tidak menemukan kata-kata yang baik untuk meredakan suasana. Hek Liong Su merayap kehadapan kaucu.
"Kaucu" katanya, "Hambamu ini sudah cukup lama mengikuti kaucu bercapek lelah, biar pun tidak berjasa apa-apa, banyak bahaya yang sudah hamba tempuh demi...." Belum lagi kaucu itu memberikan jawaban apa-apa, Hong Hu Jin sudah tertawa dingin.
"Untuk apa kau menyebut-nyebut pekerjaanmu yang dulu-dulu?" tegurnya, "Usiamu sudah begini tua, masih berapa tahun lagi kau sanggup menyumbangkan tenagamu untuk kaucu? Karena itu, ada baiknya kau tidak usah menjabat lagi kedudukanmu sebagai Hek Liong Su. Bukankah demikian lebih menyenangkan?" Hek Liong Su mengangkat kepalanya untuk menatap sang kaucu.
"Kaucu!" katanya dengan suara bergetar "Apakah benar terhadap hambamu yang lama yang sudah seperti saudaramu ini, kau tidak mempunyai sedikit pun rasa menyayangi?" Sejak semula sikap Hong kaucu tetap tenang, dengan tawar dia menjawab.
"Di dalam partai kita banyak sekali orang-orang tua yang kerjanya sudah tidak karuan, maka itu ada baiknya sejak sekarang kita mulai melakukan penertiban." Inilah untuk pertama kalinya Siau Po mendengar suara si kaucu yang perlahan dan kurang tegas, justru ketika otaknya sedang bekerja, terdengar para pemuda pemudi memperdengarkan suaranya yang nyaring dan lantang.
"Ajaran kaucu senantiasa kami ukir dalam hati. Kami akan membangun jasa! Kami akan mengalahkan setiap musuh agar dapat melindungi diri dan hidup panjang umur!" Mendengar suara itu, Hek Liong Su menarik nafas panjang, Dengan tubuh masih bergetar, dia bangkit.
"Inilah yang dinamakan, habis manis sepah dibuang!" katanya.
"Kami merupakan orang-orang yang sudah tua dan tidak berguna, memang sebaiknya kami mati saja!" dia langsung memutar tubuhnya kemudian berkata kembali "Marilah!" Empat pemuda sudah langsung maju ke depan, Tangan mereka masing-masing membawa sebuah nampan kayu yang di atasnya terdapat sebuah kotak yang berisi sejenis kopiah dari bahan kuningan. Mereka maju ke depan dan meletakkan nampan-nampan itu di hadapan Hek Liong Su kemudian mereka kembali lagi ke tempat semula. Begitu juga dengan orang-orang lainnya, mereka masing-masing menyurut mundur dua langkah. Terdengar suara Hek Liong Su yang lantang.
"Ajaran Kaucu senantiasa kami ukir dalam hati! Kami akan membangun jasa! Kami akan mengalahkan setiap musuh agar dapat melindungi jiwa kami dan hidup.... Hm! Tapi, tidak apa-apa meskipun jiwaku yang tua ini tidak dilindungi." Sembari berkata, Hek Liong Su memegang bagian atas dari sebuah kotak, kemudian dia menariknya, Setelah itu dari dalam kotak tampak mencelat bayangan sesuatu benda dan disusul dengan berkelebatnya sinar keputihan. Ternyata cahaya dari sebatang golok yang membacok bayangan yang mencelat tadi sehingga terkutung menjadi dua bagian dan terjatuh ke dalam nampan, namun masih terus berkutik-kutik. Rupanya itulah seekor ular kecil panca warna. Menyaksikan hal itu, Siau Po terkejut setengah mati, Dia bahkan sampai mengeluarkan seruan tertahan. Lalu terdengar suara teriakan banyak orang.
"Siapa? Siapa yang berani menentang atasan. Bekuk dia! Siapa si murid murtad yang berani menentang kaucu?" Menyusul itu, terdengar suara Hong Hu Jin yang keras.
"Ngo Liong Siau Lian! Lekas turun tangan!" Ngo Liong Siau Lian yang dimaksudkannya ialah barisan pemuda "Lima Naga" Ternyata nyonya itu tidak dapat dilihat dari sudut kecantikan ataupun sikapnya yang centil. Begitu dia mengeluarkan suaranya yang keras, suara-suara bising lainnya langsung sirap, sebaliknya para pemuda-pemudi itu langsung bergerak. Hal ini membuktikan, bahwa selain wajahnya yang cantik dan sikapnya yang centil, nyonya itu mempunyai tenaga dalam yang dahsyat. Suaranya mengandung pengaruh yang besar. Begitu mendengar perintahnya, ratusan pemuda-pemudi langsung menghunus pedangnya masing-masing sehingga timbullah suara berdesingan yang riuh. Setelah itu mereka lantas mengurung para orang tua yang tadinya merupakan rekan mereka juga. Semua pemuda-pemudi itu bergerak dengan rapi menurut warna seragamnya masing-masing. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok. Ada lima atau enam orang yang mengepung satu orang tua.
Di bagian lain ada juga yang terdiri dari delapan atau sembilan orang, sedangkan pedang mereka masing-masing mengancam bagian tubuh yang mematikan dari para orang tua itu. Dengan demikian para orang tua itu seakan sudah tidak mempunyai jalan
untuk meloloskan diri lagi.
Tabib Liok dan Ay Cun cia juga tidak terkecuali, mereka juga ikut terancam. Seorang imam berkumis hitam dan usianya kurang lebih lima puluh tahun tertawa.
"Hu Jin." katanya.
"Entah berapa bulan waktu yang kau habiskan untuk melatih barisanmu yang istimewa ini. Tapi kalau tujuannya untuk menghadapi para saudara tuamu ini, sebetulnya tidak perlu kau sampai menggunakan cara ini!" Begitu dia selesai berkata, dua dari delapan orang nona yang mengurungnya segera maju selangkah dan mengancam dada orang itu dengan pedang masing-masing.
"Jangan kau bersikap kurang ajar terhadap Kaucu dan Hu Jin!" katanya garang. Si imam tertawa lagi.
"Hu Jin!" katanya kepada nyonya kaucu itu.
"Sebaiknya aku katakan terus terang bahwa naga Ngo Cay Sin Liong itu, akulah yang membunuhnya." Yang ia maksudkan tentunya ular kecil panca warna tadi namun disebutnya naga.
"Kalau Hu Jin ingin menjatuhkan hukuman atas dosaku itu, silahkan Hu Jin turun tangan kepada diriku! Harap jangan merembet orang lain yang tidak bersalah!" Hong Hu Jin tersenyum.
"Bagus! Kau telah mengakuinya sendiri!" katanya.
"Totiang, bukankah selama ini perlakuan kaucu terhadapmu tidak dapat dikatakan buruk? Bukankah kau telah dipercayakan tugas Cia Lioi Bun, Ciang Bun Su? Bukankah kedudukan itu hanya di bawah kaucu seorang, tapi di atas ribuan orang lainnya? Mengapa sekarang kau justru berkhianat?"
"Aku yang rendah sama sekali tidak berniat mengkhianati" kata si imam, "Hek Liong Su To Yam Goat telah berjasa besar terhadap partai sekarang hanya karena kesalahan kecil yakni kurang waspada terhadap sebawahannya, Hu Jin ingin merampas selembar jiwanya. Tindakan Hu Jin ini benar-benar membuat aku tidak puas. Aku mohon agar kaucu dan Hu Jin memberikan keringan kepadanya!" Hong Hu Jin tertawa kembali.
"Bagaimana kalau aku menolaknya?" Sejak semula selalu si nyonya muda ini yang berbicara, sedangkan kaucunya hanya diam saja.
"Sin Liong Kau dibangun oleh kaucu," sahut Bu Kin Tojin.
"Tetapi, di samping itu, kami ribuan saudara lainnya juga turut berjasa dengan mempertaruhkan nyawa bekerja tanpa menghiraukan marabahaya. Semula jumlah kita semuanya ada seribu dua puluh tiga orang, sampai sekarang orang lama hanya tersisa beberapa ratus saja. Saudara kami yang lainnya telah tiada, ada yang terbinasa di tangan musuh, ada juga yang dihukum mati oleh kaucu sendiri. Karena itu, aku mohon kaucu sudi mengampuni jiwa kami yang sisanya tidak seberapa ini. Pecatlah kami dan keluarkanlah kami dari partai! Apabila kaucu dan Hu Jin sudah jemu melihat kami yang sudah tua-tua ini, serta berniat memakai orang-orang baru, silahkan kaucu dan Hu Jin mengusir kami agar kami berlalu dari sini!" Hong Hu Jin tertawa dingin.
"Semenjak partai Sin Liong Kau didirikan, belum pernah ada orang yang keluar dari partai dalam keadaan hidup-hidup. Karena itu, Bu Kin tojin, tidaklah kata-katamu itu luar biasa sekali?"
"Kalau begitu, apakah berarti Hu Jin tidak sudi menerima baik permintaan kami?" kata Bu Kin tojin.
"Maaf! partai kita tidak mempunyai peraturan seperti itu." sahut si nyonya tegas. Bu Kin Tojin tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, tentunya Hu Jin dan kaucu akan membunuh habis kami semuanya." katanya nyaring. Hong Hu Jin hanya tersenyum.
"Tidak sepenuhnya betul." katanya.
"Para anggota yang sudah tua, asalkan masih setia terhadap kaucu, tetap kami anggap sebagai saudara. Kami tidak mementingkan
usia muda atau tua, yang penting kesetiaannya, Nah, sekarang kalian semua dengar! Siapa yang masih setia kepada kaucu, silahkan angkat tangan!" Si nyonya langsung bertanya kepada para anggota partainya. Para muda-mudi yang jumlahnya ratusan orang itu langsung mengacungkan tangannya. Para orang tua yang terkepung itu pun ikut mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tidak terkecuali Bu Kin tojin. Kemudian terdengar suara teriakan dari para anggota partai itu.
"Kami semua setia terhadap kaucu, Kami tidak akan berhati dua." Bahkan Siau Po pun ikut mengangkat tangannya. Hong Hu Jin yang menyaksikan keadaan itu langsung menganggukkan kepalanya.
"Bagus sekali." katanya gembira.
"Rupanya setiap orang setia terhadap kaucu. Bahkan adik kecil yang baru datang ini pun tidak terkecuali ia juga mengatakan kesetiaannya." Mendengar ucapan si nyonya muda, Siau Po berpikir dalam hati. - sebetulnya aku hanya setia kepada si kura-kura dan si jahanam hina dina, - Hong Hu Jin berkata kembali.
"Semuanya setia kepada kaucu. Kalau begitu, di sini tidak terdapat seorang pengkhianat pun, Benarkah? Bukankah keadaannya jadi tidak tepat? Karena itu, aku harus menanyakannya satu persatu dengan teliti. Saudara sekalian, sudilah kiranya kalian menyerahkan diri di belenggu sementara!"
"Baik." sahut beberapa ratus pemuda-pemudi itu.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar suara lantang seorang pria. Tubuhnya tinggi besar dan orangnya penuh wibawa.
"Hai, Liong Su!" sapa Hong Hu Jin.
"Apakah kau mempunyai pemikiran yang sempurna?"
"Pemikiran yang sempurna memang tidak ada." sahut orang yang ditegur.
"Apa yang hamba pikirkan adalah masalah ketidakadilan."
"Hm! Hm!" Si nyonya muda mengeluarkan suara mengandung keheranan.
"Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa tindakanku ini tidak adil?"
"Hal itu, hamba tidak berani mengatakannya." sahut pria tinggi besar itu.
"Hamba telah mengikuti kaucu selama dua puluh tahun, selama itu persoalan apa pun, hamba selalu ke depan, tidak pernah menyurut mundur. Ketika hamba mempertaruhkan nyawa demi partai ini, bocah-bocah yang hadir di sini pasti belum lahir, Karena itu, mengapa mereka yang masih muda mendapat prioritas dengan dikatakan setia terhadap kaucu, sedangkan kami yang tua tidak?"
"Dengan kata-katamu ini, Pek Liong Su, berarti kau telah membeberkan jasamu sendiri." katanya.
"Sama saja artikan kau mengatakan, bahwa tanpa jasamu Tio Ci Leng si Naga Putih, Sin Liong Kau tidak dapat berdiri sampai sekarang, bukankah begitu?" Orang bertubuh tinggi besar itu memang bernama Tio Ci Leng. Dia segera menjawab.
"Berdiri serta bertahannya Sin Liong kau sampai sekarang ini, semuanya berkat jasa kaucu sendiri. Kami semua hanya memberikan sedikit bantuan, tidak pantas di katakan sebagai jasa. Akan tetapi...."
"Akan tetapi apa?" tukas Hong Hu Jin.
"Akan tetapi, kalau kami yang sudah tua ini dikatakan tidak mempunyai jasa apa-apa, anak-anak yang masih bau kencur ini." sahut Ci Leng dengan berani.
"Usiaku sendiri belum mencapai tiga puluh, apakah aku juga terhitung orang yang belum mempunyai jasa apa-apa. Mendirikan partai dan menjalankannya itu jasa kaucu sendiri." Tidak tampak kegusaran pada mimik wajah Hong Hu Jin. Dia hanya berkata dengan perlahan.
"Kalau semua memang tidak ada jasanya, seandainya kau kubunuh, tentu kau juga tidak akan penasaran, bukan?" Tiba-tiba sinar mata nyonya muda ini menyorotkan kebencian dia berteriak.
"Kalau hanya aku orang she Tio yang di bunuh, tidak apa. Tapi aku khawatir, bila kau membunuh para menteri-menteri yang setia dan sudah lama mengikuti kaucu, maka Sin Liong Kau akan hancur di tanganmu seorang."
"Bagus! Bagus!" seru si nyonya muda, sikapnya masih tenang sekali.
"Aih, aku merasa letih sekali." Kata-kata itu di ucapkan dengan seenaknya. orangnya pun tampak lesu, siapa tahu rupanya itulah isyarat rahasia untuk segera melaksanakan hukuman. Tujuh orang pemuda segera menghunjamkan pedangnya ke tubuh si Naga Putih. Ketika pedang mereka di cabut kembali, darah pun ber-cipratan ke mana-mana.
"Kaucu, kau... tega seka... li!" seru Tio Ci Leng. Hanya sekian kata-katanya dan tubuhnya roboh di atas tanah dengan jiwa melayang, sedangkan ke tujuh pemuda itu sudah kembali ke tempatnya semula. Sebetulnya Tio Ci Leng terhitung salah satu anggota yang lihay sekali dari Sin Liong Kau, tapi ketika ke tujuh pemuda itu menikamnya, dia tidak berdaya sama sekali, Hal ini membuktikan bahwa ilmu ketujuh pemuda itu sudah dilatih sedemikian rupa sehingga mencapai kesempurnaan. Hong Hu Jin menguap, dengan tangan kirinya dia menutup bibirnya yang mungil seperti buah ceri. Tampaknya dia mengantuk serta letih sekali. Bagaimana dengan Hong kaucu? dia tetap berdiam diri seperti tidak melihat bagaimana Tio Leng dibinasakan.
Kemudian dengan sikap seenaknya pula Hong Hu Jin bertanya.
"Chi Liong Su, Oey Liong Su, bagaimana pendapat kalian tentang Pek Liong su yang berani berniat berkhianat? Bukankah dia sudah selayaknya mendapat hukuman atas dosanya itu?" Seorang tua yang tubuhnya pendek segera menjura dan berkata,
"Sebenarnya niat Pek Liong Su berkhianat kepada kaucu dan Hu Jin sudah berlangsung lama. Beberapa kali hamba melaporkan hal ini kepada Hu Jin, tetapi Hu Jin selalu mengatakan, selaku sesama saudara, Hu Jin ingin membiarkan saja agar tersadar dengan sendirinya, Kaucu dan Hu Jin ya berhati mulai masih berharap dia insyaf dengan kesalahannya itu dan dapat memperbaiki diri. Siapa tahu hatinya yang busuk dan tidak selayaknya mendapatkan pengampunan sekarang dia telah menerima hukuman yang pantas baginya, sesungguhnya kami semua bersyukur atas tindakan Hu Jin dan kaucu ini!" Mendengar ucapan si kate itu, Siau Po berpikir dalam hati. -- ini dia yang dinamakan si raja menepuk-nepuk kempolan kuda! -- Hong Hu Jin tersenyum.
"Ternyata Oey Liong Su pandai melihat suasana. Nah, Chi Liong su, bagaimana pikiran Anda?" Seorang tua berusia kurang lebih lima puluhan tahun dan bertubuh tinggi memandang bengis kepada delapan pemuda yang mengurung dan mengancamnya. Dia berkata dengan suara keras.
"Kalian semua mundur! Kalau kaucu hendak membunuh aku, kalian kira aku tidak dapat melakukannya sendiri?" Delapan pemuda itu bukannya menyurut mundur, mereka malah menjulurkan pedangnya sehingga menempel di dada orang. Orang jangkung kurus itu tertawa dingin beberapa kali. Dengan perlahan dia mengangkat tangannya untuk memegang leher bajunya, kemudian dia berkata dengan suara lantang.
"Kaucu! Hu Jin! Dahulu hambamu bersama ke empat Ciang Bun Su Merah, Putih, Hitam, dan Kuning telah mengangkat tali persaudaraan. Kami bersatu hati untuk menjual jiwa demi Sin Liong Kau, tak disangka sekarang bisa ada kejadian seperti hari ini? Kalau Hu Jin ingin membinasakan aku si orang she Kho, sama sekali tidak aneh. Yang aneh ialah kakek tua she In yang memangku jabatan Oey Liong Su ini, dia tamak akan kehidupan, takut menghadapi kematian. Maka barusan dia telah mengucapkan kata-katanya yang hina dan busuk. Dia telah memfitnah saudaranya sendiri." Berkata sampai di situ, tiba-tiba si jangkung kurus merobek bajunya sendiri sehingga koyak menjadi dua bagian kemudian dilepaskannya dan secepat kilat diayunkannya ke depan seperti selembar selendang. Dalam sekejap mata dia sudah berhasil merampas dua batang pedang. Tanpa berhenti sedikit pun, tangannya yang sudah menggenggam pedang digerakkan secepat kilat. Di lain saat ke delapan pemuda yang berdiri di hadapannya dan mengepungnya sudah roboh di atas tanah bermandikan darah dan mati seketika. Gerakannya sungguh hebat dan mengagumkan. Hong Hu Jin terkejut sehingga dia berjingkrak bangun dari kursinya. Dia menepuk kedua belah tangannya, dua puluhan pemuda berseragam hijau dengan pedangnya masing-masing segera menghadang di depan Chi Liong Su, sedangkan beberapa puluh pemuda lainnya langsung mengambil sikap mengepung. Chi Liong Su atau si Naga Hijau tertawa terbahak-bahak.
"Oh, Hu Jin!" serunya nyaring.
"Kawanan bocah asuhanmu ini semuanya dogol sekali. Sungguh kecewa kaucu mengandalkan mereka untuk menghadapi musuh." Sungguh luar biasa juga ketenangan kaucu Sin Liong Kau itu. Tadi, ketika ke tujuh pemudanya membinasakan Pek Liong Su, dia seakan tidak melihatnya, sekarang Chi Liong Su berbalik membunuhi delapan orang anggotanya yang muda, dia juga diam saja, dia seperti tidak menghiraukan kejadian apa pun. Ketika Hong Hu Jin melihat sikap suaminya, dia menjadi jengah sendiri. Akan tetapi, dia menabahkan hatinya dan tetap tersenyum. Kemudian dengan tenang dia duduk kembali di kursinya.
"Chi Liong Su!" katanya.
"Ilmu pedangmu lihay sekali Hari ini aku...." Belum habis ucapan si nyonya, tiba-tiba terdengar suara yang memusingkan suasana yang mencekam, karena beratus-ratus pedang di tangan pemuda pemudi itu terlepas sendiri dan secara aneh sekali berjatuhan di atas tanah. Ketika orang-orang lainnya masih merasa aneh, para pemuda pemudi itu pun terkulai di atas tanah menyusul jatuhnya pedang-pedang mereka. Para anggota yang tenaga dalamnya lebih mahir roboh belakangan dengan tubuh terhuyung-huyung terlebih dahulu. Tiba-tiba saja mereka merasa kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang dan kedua lututnya menjadi lemas seperti orang yang kehabisan tenaga dan tidak sanggup lagi berdiri.
"Ka... lian kenapa?" teriak si nyonya muda yang langsung berjingkrak bangun roboh kembali dan melorot dari atas kursinya. Chi Liong Su tetap berdiri tegak. Kedua pedang yang berhasil direbutnya dari para pemuda tadi masih digenggamnya erat-erat. Dia mengeluarkan suara tertawa dingin kemudian berkata.
"Kaucu! Kau telah membinasakan saudaramu sendiri secara kejam, Siapa sangka akan datang hari seperti ini bagimu." Kata-katanya ditutup dengan dibenturkannya kedua batang pedang di tangan kanan kirinya sehingga menimbulkan suara yang nyaring. Setelah itu, dia berjalan ke depan melewati para pemuda yang terkulai di atas tanah untuk menghampiri ketuanya.
"Hm! Belum tentu!" sahut si ketua yang baru memperdengarkan suaranya kembali. Tangannya segera bergerak, palang kursi yang terdapat bagian belakang tempat duduknya langsung ditarik dan terputus lalu dicekal erat-erat olehnya. Chi Liong Su terkejut setengah mati sehingga tanpa sadar kakinya menyurut mundur satu tindak, diam-diam dia berpikir. -- Hebat kaucu ini! Ternyata dia dapat melawan pengaruh obat! Aku harus mencari jalan membiarkannya agak lama sehingga dia roboh sendiri... -- Karena itu, untuk mengulur waktu, dia sengaja berkata, "Kaucu! Sin Liong Kau begini besar dan berpengaruh tetapi sekarang menjadi hancur lebur seperti ini, sebenarnya siapakah yang menyebabkannya? Tentunya kaucu sudah mengerti sendiri, bukan?"
Hong kaucu mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya merosot jatuh bersama kursinya. Dia terduduk di atas lantai disebabkan kaki kursi itu patah sendiri. Menyaksikan keadaan itu, senang sekali hati Chi Liong Su, Dia langsung menerjang ke depan.
Tepat pada saat itulah, Serrrrr, Sreettt! Sebuah benda menyambar ke arah dada si Naga Hijau ini sehingga dia terkejut setengah mati. Dengan gesit dia menggerakkan pedangnya dan berhasillah dia menyelamatkan diri karena benda itu terpapas kutung olehnya. Ternyata benda itu sebuah pegangan kursi yang ditimpukkan si kaucu dengan tenaganya yang terakhir Karena kayu itu kena dikutungkan ujung yang satunya tetap meluncur Si Naga Hijau yang baru saja merasa lega karena mengira dirinya telah bebas dari ancaman, langsung menjerit ngeri karena dadanya telah tertikam kutungan kayu itu. Enam potong tulang rusuknya patah dan tembus sampai ke paru-parunya. Saking kaget dan nyerinya, Chi Liong Su menjerit keras-keras, namun baru sampai setengah jalan, pernafasannya telah tertutup, mulutnya tidak sanggup menimbulkan suara lagi, dan tubuhnya terhuyung-huyung sesaat kemudian dia pun roboh. Yang sial justru dua orang pemuda yang sedang roboh tidak berdaya, Kedua batang pedang yang tadinya digenggam si Naga Hijau jatuh menancap di tubuh mereka sehingga mereka berkaok-kaok kesakitan namun tidak sanggup bangun atau pun menyelamatkan diri. Para pemuda yang roboh di atas lantai itu menyaksikan kegagahan si kaucu, serentak mereka bersorak kembali menyatakan pujiannya. Hong kaucu berusaha untuk bangun, tangan kanannya menumpu pada lantai, kaki kanannya digerakkan juga, tetapi tetap saja dia tidak sanggup melakukannya. Kedua kakinya terasa lemas sekali. Dia roboh kembali bahkan tubuhnya berguling seperti labu air. Menyaksikan hal itu, sadarlah para pemuda itu bahwa kaucunya telah menjadi korban semaca racun yang digunakan pihak lawan. Tapi yang roboh bukan hanya para pemuda beserta kaucu dan Hu Jinnya saja, orang-orang yang tua pun ikut roboh. Dilain detik, setelah sekian lama yang berdiri tinggal satu orang saja, Dia bertubuh kecil, bahkan termasuk kate, tetapi setelah semuanya roboh di atas lantai, dia justru menjadi orang yang paling jangkung di antara yang lainnya. Dia jadi mirip seekor burung bangau di antara burung-burung kecil lainnya. Dialah Wi Siau Po, thay-kam kita. Mulanya dia berdiri terpaku sebab dia heran sekali atas peristiwa yang berlangsung di hadapannya. Baru kemudian dia sadar lalu cepat-cepat menarik tangan tabib Liok.
"Liok Sin Se, bagaimana ini?" tanyanya bingung. Si tabib sendiri juga heran. Karenanya, dia bukan menjawab malah bertanya.
"Eh, apa kau tidak keracunan?"
"Keracunan?" tanya si bocah.
"Aku... tidak tahu...." Ketika masih merasa heran, Siau Po membantu si tabib bangun dan berdiri. Tetapi kemudian menegakkan tubuhnya sedikit, tabib itu langsung terjatuh kembali. Ketika itu, Chi Liong Su masih belum mati. Dia dapat bergerak dan berusaha bangun. Tubuhnya terhuyung-huyung, mulutnya mengeluarkan suara gumam yang tidak jelas, Dia juga terus terbatuk-batuk. Liok Sin she memperhatikan orang itu.
"Saudara Kho," tanyanya, "Racun apa yang kau gunakan?"
"Sayang... sayang.." sahut orang she Kho itu. Dia bukannya menjawab tapi menggumam seorang diri.
"Sayang usahaku cuma berhasil sebagian, akhirnya toh aku gagal juga... sayang... aku sudah tidak berguna lagi..."
"Apakah kau menggunakan Sip Hiang Joan atau Cian Li Siau Hun?" tanya Liok Sin Se.
"Ataukah itu racun Hoa Hiat Hu Kut Hun?" Ketiga obat yang ditanyakannya semua merupakan racun. Di waktu menyebut nama obat yang terakhir, si tabib jadi menggidik sendiri, terang dia merasa takut sekali. Chi Liong su terluka pada bagian paru-paru kanannya. Dia terus terbatuk-batuk, sebab itu dia tidak dapat menjawab pertanyaan si tabib. Liok Sin si pun menoleh kembali kepada tamunya, si bocah tanggung.
"Eh, eh, Wi Kongcu," tanyanya.
"Mengapa kau tidak terkena racun? Oh, ya." Mendadak dia berhenti berkata, seakan ada suatu ingatan yang melintas dalam benaknya.
"Iya, aku ingat sekarang. Pada ujung pedang pendek itu telah kuolesi obat Pak Hoa Hok. Wi Kong Cu, coba kau cium ujung pedangmu! Bukankah berbau wangi bunga?"
"Ujung pedang itu ada racunnya, mana sudi aku menciumnya." kata Siau Po dalam hati tetapi ia menjawab.
"Sekarang aku mencium wangi bunga yang begitu menyengat." Mendengar jawaban itu, Liok Sin Se menjadi sangat senang.
"Benar-benar Pak Hoa Hok!" serunya.
"Obat itu kalau dipakai dan ditelan serta bercampur dengan darah akan berbau harum yang sangat keras sekali, Sebab yang dipakai sari wangi-wangian. Dan yang menciumnya akan mendapatkan kesegaran dari wanginya itu. Namun kami yang tinggal di pulau ini memakainya untuk mengobati orang yang terkena ular berbisa. Namun sebaliknya, jika wangi-wangain itu tercampur dengan arak warangan, akan menyebabkan orang menjadi lemas selama seharian. Saudara Kho memang bagus sekali dan sebenarnya Pak Hoa Hok itu benda terlarang, Siapa tahu kau telah menyimpannya secara diam-diam. Dan bukankah sudah beberapa bulan ini kau tidak minum Hong Hok Tau Yung Cu itu." Ci Liong Su duduk merebahkan diri di samping seorang anak muda. Atas pertanyaan itu ia menggelengkan kepala dan ia sangat menyesali lalu berkata.
"Perhitungan manusia tak dapat melawan nasib dan takdir. Akhirnya aku pun terkena tangan beracun itu."
"Oh, murid jahanam yang berhati besar." Dia mendamprat anak muda.
"Bagaimana kau berani-beraninya menyebutku dengan nama suci dari kaucu?" Chi Liong Su tertawa dingin sambil perlahan ia bangun dari duduknya, lalu mengambil sebilah pedang, kemudian langkah demi langkah ia mendekati Hong kaucu.
"Apa?" katanya.
"Tak dapatkah kau menyebut nama Hong An Tong? Aku justru akan membinasakannya mengapa aku tak dapat menyebut nama itu?" Lewat beberapa detik terdengarlah suara dari dalam yaitu suara si naga sakti.
"Kakak, jika kau berhasil membunuh Hong An Tong, kami semua akan mengangkatmu menjadi kaucu dari Sin Liong Kau. Mari ramai-ramai kita menyebutkan Khau kaucu, kami setia dan tidak berhati dua!" Hanya sejenak keadaan menjadi sunyi dan tak lama kemudian berkatalah semua yang hadir di situ.
"Kami bersedia menerima perintah dari Khau kaucu, Kami semua akan setia dan tak akan berhati dua!" Suara itu tidak sama, ada yang keras ada pula yang lembek. Chi Liong Su berjalan beberapa langkah, dia luka parah tetapi masih ingin membinasakan ketuanya yang jahat itu. Tiba-tiba Hong Hu Jin tertawa cekikikan.
"Chi Liong su, kau telah kehabisan tenaga, katanya.
"Lihat kakimu sudah mengucurkan darah, begitu pula dadamu, sebentar lagi kau akan kehabisan darah. Duduk, duduklah! Kau hidup pun percuma mendingan kau mati. Kalau kau sudah mati baru kau merasakan enak sekali," katanya. Kau Sou Teng, demikian Ching Liong su memberikan suaranya.
"Oh... Oh..." Beberapa kali ia mengungkapkannya lalu jatuh terduduk dan tak bangkit lagi, Namun pikirannya masih tetap sehat dan cepat sadar karena jika ia tetap duduk saja tak mungkin dapat membunuh Hong kaucu di antara mereka yang jumlahnya ratusan itu, Hong kaucu saja yang tenaganya paling mahir, karena itu pasti hanya dia yang mampu menghilangkan racun itu, dan dia pula yang akan menolong kawan-kawan mereka dari racun itu dan mereka semua akan merasa menjadi tangan kanannya kaucu itu.
"Liok... Liok Sin Se, tolong kau berikan aku pilihan mana yang harus aku jalani karena aku sudah tak dapat bergerak lagi, coba kau tolong pikirkan sesuatu untuk aku!" Liok Sin Se tidak menjawab dan ia hanya berkata pada Siau Po.
"Wi kaucu itu sangat jahat dan kejam kalau dia dapat menghilangkan racun ular itu dari dalam tubuhnya ia akan membinasakan kita semua. Kau pun tak akan dapat hidup lebih lama lagi karena itu kau harus dapat membinasakan kaucu dan istrinya Hu Jin!"
Kata-kata itu telah dapat menginsapkan dirinya dan karena itu ia lalu mengambil pedang dan melangkah dengan ringan sekali ke arah kaucu. Berkata pula Liok Sin si.
"Wi Kong Cu awas dengan Hu Jin ia pandai membuat orang hilang ingatan, jangan pandang wajahnya terutama matanya! jangan percaya dengan kata-katanya karena itu dapat membuatmu menjadi celaka, dan pertama kau datang hadiahkan untuknya sebuah tusukan atau tebasan pedangmu itu!"
"Ya," sahut Siau Po yang maju terus pada Hu Jin. Sementara itu Hu Jin menatap terus anak it terutama matanya.
"Hai anak kecil! Coba kau bilang aku cantik atau tidak," katanya. Suara itu terdengar sangat merdu dan orangnya pun sangat lemah lembut serta gerak-geriknya sangat bagus. Hati Siau Po merasa berdebar dan ia ingin melihat mata dan wajah Hu Jin yang
cantik itu tetapi ia sadar akan teriakan Ay Cun cia.
"Jangan lihat matanya itu mata celaka yang akan menghancurkanmu!" Siau Po terkejut lalu ia memejamkan matanya. Hong Hu Jin tertawa perlahan dan berkata.
"Anak kecil coba kau buka matamu dan lihat mataku! Di mataku ada bayang-bayang dirimu." Siau Po sangat tertarik sekali ingin membuka matanya tetapi ia masih dapat menahan diri untuk tidak melihat. Anak tanggung itu sudah siap menghunjamkan pedangnya, namun tiba-tiba.
"Kakak yang baik jangan bunuh dia!" itu teriakan yang suaranya sangat ia kenali. Sambil membatalkan tikamannya itu ia menoleh mencari arah suara itu. Tampak di sebelah kiri tergeletak seorang nona cantik bergaun merah, Nona itu ternyata Sio Kuncu Bhok Kiam Peng yaitu seorang putri pangeran Bhok dari In Lam, ia sangat terkejut sekali mengapa putri itu ada di markas Sin LiongKau dan dalam keadaan seperti itu pula. Siau Po cepat-cepat menghampiri nona bangsawan itu dan membantunya untuk bangun.
"Eh Nona, mengapa kau berada di sini?" Nona bangsawan itu tidak menjawab pertanyaan Siau Po, malah dengan nada bingung ia berkata.
"Kau tak dapat membinasakan Hu Jin dan kau pun tak dapat membinasakan kaucu...!" Siau Po diam dan ia terus menatap nona itu.
"Apakah kau telah masuk ke dalam Sin Liong Kau?" tanyanya heran.
"Dan mengapa kau bisa jadi begini?" Kiam Peng bersandar pada tubuh Siau Po. Nona itu sangat lemas dan mulutnya yang mungil itu dekat dengan kuping Siau Po dan ia berkata.
"Aku minta pada kakak sudi kiranya kakak mengabulkan permintaanku Yaitu kakak jangan membunuh Hu Jin dan juga kaucu, Jika saja Su Ci ada di sini tentu ia pun memohon padamu untuk tidak membunuhnya."
"Su Ci" adalah kakak seperguruannya yang perempuan. Siau Po terdiam, ia sangat senang sekali karena nona bangsawan itu telah lama tidak berjumpa dan kali ini ia berada dalam dekapannya bahkan mulutnya yang mungil itu berada di telinganya.
"Bagaimana sekarang? Jika aku tak membunuh kaucu, nanti setelah ia terbebas dari racun itu ia yang akan membunuh aku," kata Siau Po yang memeluk nona itu dan berbicara di telinganya.
"Kau menolong kaucu dan Hu Jin, mana mungkin ia mau membunuhmu." Siau Po berpikir, benar juga kata-kata itu namun ia memikirkan tabib Liok, Ay Cun cia dan Bun Kin Tojin. Bukankah ia akan dibinasakan oleh kaucu, Liok Sin Si dan Ay Cun cia adalah sahabat barunya yang baik sedangkan Bun Kin Cun adalah imamnya yang sangat gagah. Tidakkah sangat disayangkan jika mereka itu sampai dibinasakan ole kaucu dan Hu Jin?
"Yang paling baik, jangan membunuh kaucu dan Hu Jin tetapi juga dia harus dapat melindung kawan-kawannya bertiga..." demikian pikirnya.
"Kami semua orang-orang Hu Jin," kata Kiam Peng dengan suara berbisik, "Kalau Chi Liong Su berhasil mempengaruhi yang lainnya dan ia diangkat menjadi kaucu, kita semua pasti tidak bisa hidup lebih lama lagi."
"Kau benar, istriku yang baik!" kata Siau Po "Aku pasti akan membantumu." Dia mencium pipi kiri si nona yang halus. Kiam Peng menjadi jengah sehingga wajahnya merah padam. Tapi matanya menyorotkan cahaya yang menandakan bahwa hatinya senang sekali. Sambil merangkul Kiam Peng, Siau Po berkata kepada kawannya.
"Liok Sin Se, kaucu tidak boleh dibunuh, demikian pula Hu Jin. Bukankah di atas batu berukir telah dinyatakan bahwa kaucu dan Hu Jin akan kekal berbahagia dan usianya sama dengan usia tangit? Mana boleh aku mencelakai mereka? Lagi-pula kedua orang itu sakti sekali, taruh kata ada niat kita mencelakakannya, belum tentu hal itu akan kesampaian." Liok Sin Se bingung sekali.
"Huruf-huruf yang ada di atas batu itu palsu semuanya." katanya, "Mana boleh hal itu dianggap benar? Kita juga tidak boleh berpikir yang tidak-tidak, Lekas kau bunuh kedua orang itu! Kalau tidak, kita semuanya bakal celaka, mungkin kita bisa mati tanpa liang kubur." Berulang kali Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Liok Sin Se, tidak boleh kau mengucapkan kata-kata yang mendurhakai itu," katanya.
"Apakah kau mempunyai obat pemunah racun? Cepat kita tolong kaucu dan Hu Jin!"
"Ya, benar sekali, saudara kecil!" kata Hong Hu Jin. Sekian lama ia berdiam diri mendengarkan pembicaraan mereka.
"Sungguh kau berpemandangan luas. Jelas Tuhan telah mengutus kau yang muda belia turun ke dunia untuk membantu dan menunjang kaucu. Dengan adanya pahlawan muda seperti kau ini, Sin Liong kau pasti akan mencapai masa kejayaannya." Kata-kata itu sepertinya diucapkan dengan sungguh-sungguh, bibirnya juga menyunggingkan senyuman yang manis sekali, suaranya juga merdu di telinga.
"Hu Jin aku bukannya orang Sin Liong Kau," kata Siau Po sambil tertawa. Hong Hu Jin tertawa senang.
"Oh, oh... saudara kecil!" katanya.
"Kau sampai berpikir sejauh itu. sekarang juga kau bisa masuk menjadi anggota Sin Liong Kau dan aku akan menjadi si juru antar kaucu!" Nyonya itu menambahkan pada suaminya.
"Saudara kecil ini sudah memberikan jasa besar sekali bagi partai kita. Coba kau pikir, jabatan apa yang pantas kita berikan
kepadanya!"
"Ciang Bun su dari Pek Liong Bun, Tio Ci Le telah mengkhianati kita dan dihukum mati." sahut si kaucu.
"Karena itu, aku pikir sebaiknya anak muda ini menggantikan kedudukannya sebagai Pek Liong su." Hong Hu Jin tertawa.
"Bagus!" serunya.
"Saudara kecil, orang teragung dalam partai adalah kaucu sendiri. Dibawahnya ada lima naga yang terdiri dari naga Hijau, Merah, Putih, Hitam dan Kuning. Orang seperti kau yang baru masuk langsung diangkat sebagai anggota bahkan menjabat sebagai Liong Su, baru pertama kali ini terjadi. Hal ini membuktikan bahwa kaucu sangat menghargaimu. Saudara, kami tahu kau she Wi, tapi kami ingin mengetahui nama lengkapmu."
"Aku bernama Wi Siau Po." sahut si bocah.
"Di dunia kangouw, orang menyebut aku Siau Pek Liong atau si Naga putih kecil." Bocah itu menyebut nama gelaran tersebut karena tiba-tiba dia teringat julukan yang pernah diberikan oleh Mau Sip Pat. Dia tidak menyangka wanita itu akan menanyakan
namanya. Hong Hu Jin tampak girang sekali.
"Kau lihat!" katanya.
"Ini merupakan suatu hal yang telah diatur oleh Thian Yang Maha Kuasa! Kalau tidak, tak mungkin terjadi kebetulan seperti ini! kaucu bermulut emas, apa yang pernah diucapkannya tak pernah ditarik kembali!" Liok Sin Se mendengarkan semuanya, Hatinya menjadi bingung dan resah.
"Eh, Wi Kongcu! Wi Kongcu!" serunya.
"Jangan sampai dirimu diakali oleh mereka! sekalipun kau diangkat menjadi Pek Liong Su, tapi sekali saja mereka tak menyukaimu, maka akan timbul keinginan membunuh dalam hati mereka. Bila mereka ingin melakukannya, hanya semudah membalikkan telapak tangan, Pek Liong Su Tio Ci Leng menjadi bukti di depan mata. Bagaimana dengan mudah di dibunuh begitu saja, meskipun jasanya sudah banyak terhadap partai ini. Lekas kau bunuh saja kaucu dan Hu Jinnya itu. Nanti kami akan mengangkat dirimu menjadi kaucu!" Mendengar ucapan si tabib, Ay Cun cia, Kh Soat Teng, dan Bu Kin tojin jadi tercekat hatinya. Namun kemudian mereka berpikir. Mulanya mereka memang tak setuju dengan usul itu. Tapi kalau bukan Siau Po yang diangkat menjadi ketua. Di sana tak ada orang lain yang lebih cocok lagi. Bukankah keselamatan jiwa mereka semua ada di tangan anak muda ini?
Yang penting sekarang mereka harus hidup, urusan lainnya bisa dipikirkan kemudian.
"Akur! Akur!" akhirnya seru mereka bersama-sama.
"Kami semuanya mendukung Wi Kongcu menjadi ketua atau kaucu dari Sin Liong Kau!" Tapi Siau Po meleletkan lidahnya waktu mendengar ucapan mereka.
"Aku tidak dapat menjadi kaucu," katanya tertawa.
"Dengan ucapan kalian ini, kalian sudah mengurangi rejekiku. Menurut aku, sebaiknya begini saja, Kaucu beserta Hu Jin dan semua lainnya yang ada di sini hidup akur bersama-sama. Apa yang telah terjadi, kita lupakan saja! Anggap saja tidak pernah terjadi. Harap kaucu sudi melepas dengan melupakan perbuatan Liok Sin Se dan yang lainnya. Bukankah bagus usulku ini?"
Hong kaucu terdiam beberapa saat, ada sesuatu yang tengah dipikirkan.
"Baik," katanya kemudian.
"Keputusanku sudah tetap, Urusan ini kita sudahi sampai di sini saja!"
"Nah, kalian sudah dengar sendiri, Liok Sin Se, Bagaimana pendapatmu?" Liok Sin Se berpikir sejenak. Akhirnya dia merasa memang tak ada jalan lain yang lebih bagus.
"Baiklah," katanya.
"Kami percaya kaucu tak akan menarik kembali kata-katanya sendiri!" Dia langsung mengeluarkan sebotol obat yang kemudian dicampurkan dengan air, lalu diminumkan kepada orang banyak. Kurang lebih satu kentungan kemudian, semuanya sudah membaik, Hong kaucu juga tak menyebut-nyebut lagi kejadian tadi. Dia hanya berkata kepada Siau Po.
"Sekarang siapkan meja upacara! Kita akan mengangkat Wi Siau Po sebagai Pek Liong Su yakni Ciang bunsu dari Pek Liong Bun!"
Perintah itu segera dilaksanakan. Dalam sekejapan mata meja sembahyangan dan keperluan lainnya telah dipersiapkan. Caranya berlainan dengan cara yang dilakukan Tian Te hwe. Di sini Siau Po harus memberi hormat kepada sebuah kotak berisi lima ekor ular dengan warna yang berlainan Setelah itu Hong Hu Jin mengangkat cawan araknya dan berkata, "Kau harus minum tiga cawan arak!" katanya sambil tertawa, "Dengan demikian, ular-ular di pulau ini tidak akan mengganggumu lagi." Siau Po tidak mengatakan apa-apa. Dia meneguk habis tiga cawan arak yang disodorkan Hong Hu Jin. Setelah itu para anggota Sin Liong Kau yang lainnya segera memberi selamat kepada Siau Po. Tidak ketinggalan Liok Sin Se dan yang lainnya. Hong kaucu menanyakan keadaan Chi Liong su. Liok Sin Se menyatakan luka yang diderita saudaranya itu parah sekali, sehingga belum tentu dapat disembuhkan Hong kaucu mengeluarkan sebuah botol kecil dan menuangkan tiga butir isinya."
"Berikan pil ini kepadanya, Obat ini mujarab sekali. Tapi karena lukanya cukup parah, perlu waktu lama apabila keadaannya ingin membaik."
"Oh, ya.,." ujar Hong Hu Jin.
"Pek Liong Su apabila kau kembali ke kotaraja nanti, kau harus menyelidiki tentang Siau Kui cu, apa maksud Sri Baginda mengutusnya datang ke Gunung Ngo Tai san?" Mendengar kata-katanya, Siau Po terkejut setengah mati. Untung saja dia cukup cerdik sehingga tak tampak perubahan pada wajahnya.
"Baik! Baik!" jawabnya.
"Kaucu menginginkan kitab Si Cap Ji Cin Ken kata Hong Hu Jin kemudian.
"Maka itu menjadi tugasmu untuk mendapatkannya. Di dalam kitab itu katanya ada rahasia untuk panjang umur. Pek Lio su, kaucu kami telah mendapatkan berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Sudah selayaknya beliau mendapatkan kitab tersebut. Kalau engkau
berhasil jasamu besar sekali. Kaucu tidak akan melupakannya, Kaucu pasti akan memberikan hadiah besar kepadamu!" Siau Po berdiri, kemudian menjura dalam-dalam kepada kaucu dan Hu Jin.
"Biarpun tulang di tubuh hambamu ini akan hancur tebur, hamba tetap akan bersetia kepada kaucu dan Hu Jin!" katanya.
"Bagus!" kata Hong Hu Jin.
"Kau boleh memilih beberapa orang rekan sebagai teman seperjalananmu nanti, Nah, Pek Liong Su, siapa yang akan kau pilih sebagai rekanmu?"
"Hamba memilih...." Siau Po berpikir sejenak. Matanya memperhatikan orang-orang dalam ruangan itu, kemudian menjawab dengan tegas.
"Hamba memilih Ay tosu dan tabib Liok sebagai rekan dalam perjalanan!"
"Baik!" sahut Hong Hu Jin.
"Aku memberikan tiga butir pil ini untuk ditelan oleh kalian masing-masing, Namanya Tok Liong I Kin Wan!" Ay Cun cia dan Tabib Liok segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan ketuanya. Meskipun tidak mengerti, Siau Po ikut berlutut juga.
Mereka masing-masing menyambut sebutir pil dan mengucapkan terima kasih. Kemudian di depan ketuanya itu, mereka langsung menelan pil tersebut.
"Pek Liok Su, kau menggunakan senjata apa?" tanya Hong Hu Jin tiba-tiba.
"Kepandaian hamba buruk sekali," sahut Siau Po. "Hamba belum pernah belajar menggunakan senjata apapun, kecuali pisau belati kecil ini!" Dia segera mengeluarkan pisau belatinya yang tajam dan memperlihatkannya kepada Hong Hu Jin.
"Oh, pisau yang bagus sekali! Bukan main tajamnya!" gumam Hong Hu Jin setelah memperhatikan pisau itu dengan seksama. "Baiklah! Aku akan mengajarkan tiga jurus ilmu kepadamu Harap kau perhatikan baik-baik! ilmu ini bernama Bi Jin Sam Ciau!"
Tanpa menunggu komentar dari Siau Po, dia langsung menggerakkan kedua tangan dan kakinya serta mulai melangkah. Siau Po cepat-cepat memusatkan perhatiannya untuk menyimak baik-baik. Siau Po merasakan gerakan wanita itu bagus sekali. Dia berusaha mengingat setiap langkah yang dijalankannya. Setelah selesai jurus pertama, Hong Hu Jin menyuruh Siau Po menirukannya. Ternyata Siau Po sanggup meskipun masih banyak kesalahan yang dilakukannya. Selesai jurus pertama, Hong Hu Jin langsung menjalankan jurus kedua dan ketiga, semuanya ditiru baik-baik oleh Siau Po. Hong Hu Jin dengan sabar menunjukkan di
mana letak kesalahan yang dilakukannya. Setelah cukup lama, Siau Po mulai bisa menjalankannya dengan baik. Hong Hu Jin tersenyum.
"Bagus!" katanya, "Pek Liong Su, ternyata otakmu cerdas sekali!"
"Sebetulnya otak hamba tidaklah cerdas, hal ini bisa terjadi karena Hu Jinlah yang pandai mengajarkannya." Hong Hu Jin tertawa senang, Hong kaucu berdiri dari kursinya.
"Karena istriku telah mengajarkan tiga jurus ilmu kepadamu, ada baiknya aku pun mengajarkan satu jurus kepadamu," Dia menoleh kepada istrinya, "Hu Jin, sini sebentar! Kau tangkislah seranganku ini! Dan Pek Liong Su, kau perhatikan baik-baik." Hong Hu Jin memenuhi permintaan suaminya. Dia segera maju ke depan, Hong kaucu segera menggerakkan kedua tangannya dengan perlahan-lahan agar Siau Po dapat melihat gerakannya dengan jelas. Meskipun demikian, ternyata Hong Hu Jin tak sanggup menahan serangan kaucu itu. Siau Po merasa kagum sekali sehingga dia mendecakkan mulutnya. Sebuah jurus yang demikian sederhana saja ternyata begitu ampuh, apalagi ilmu lainnya.
"Ilmu ini terdiri dari banyak jurus dan perubahannya. Yang pertama baiknya kita namakan Ngo Cu Si mengangkat kaki. Dan yang kedua ini.... Ti Cim Poat Liu yaitu Ti Cim mencabut pohon Liu...."
"Bagus!" seru Hong Hu Jin.
"Ti Cim memang seorang gagah. Tapi jurusmu yang ketiga ini tidak mirip dengan perbuatan seorang gagah atau pendekar umumnya!"
"Kau harus tahu, tak semua pendekar terdiri dari orang yang gagah. Tidak jarang yang berjiwa pengecut!" kata Hong kaucu sambil tersenyum. Tapi si nyonya tidak dapat tertawa... karena seakan ditampar wajahnya mendengar sindiran suaminya. Hong An Tong tertawa.
"Mengapa itu tidak dapat dinamakan orang gagah?" dia balik bertanya. Tapi tak apalah, namakan saja Tio Ciang Hoa Bi atau Tio Ci, menyipat alis...." Sembari berkata, dengan tangannya Kaucu memberi contoh dengan pura-pura menyipat istrinya. Hong Hu jin tertawa.
"Kau aneh!" katanya.
"Tio Ciang bukan orang gagah! Apakah dia seorang pendekar yang khusus menolong istrinya menyipat alis?" Hong An Thong tertawa lagi.
"Tapi dia orang gagah dari lain kalangan!" katanya.
"Apakah bukan orang gagah kalau dalam kamar dia sanggup menguasai istrinya dan menyipat alis istrinya itu?" Mau tidak mau, wajah Hong Hu Jin jadi merah padam.
"Kau bisa saja!" katanya. Siau Po berpikir dalam hati. Dia tak tahu siapa itu Tio Ciang. Menurutnya, menyipat alis istri bukan perbuatan laki-laki yang gagah, pasti kaucu itu hanya bergurau. Maka dia turut bicara.
"Kau cu, bukankah lebih tepat kalau jurus itu dinamakan In Ciang atau Siok Po menunggang kuda?"
"Nama itu sebetulnya dapat dipakai, tapi masih kurang tepat," kata Hong Kau cu.
"Apa sebabnya? Sebab kuda Kwan In Tiong itu asalnya milik Lu Pou, sedangkan kudanya sendiri telah dijual. Aku pikir sebaiknya menggunakan nama Tek Ceng Hang Ki saja, sebab Tek Ciang telah menaklukkan kuda naganya."
"Bagus!" seru Hong Hu Jin sembari bertepuk tangan, Tek Ciang adalah seorang pendekar. Dia pernah membuat musuhnya terkejut dan melarikan diri!"
"Sampai di situ, Siau Po kembali mengulangi pelajaran ilmu Bi Jin Sam Ciau itu, dan Hong Hu Jin selalu memberi petunjuk mana yang masih belum sempurna, pelajaran itu sebenarnya sulit, tapi untungnya bocah kita ini bisa mengingat setiap jalannya, sehingga dia dapat berlatih terus. Sementara itu, waktu sudah menjelang tengah hari.
"Pek Liong Su," kata Hong Hu Jin kemudian "Kau sungguh beruntung. Kau tahu, orang dalam partai ini yang mendapat pelajaran langsung dari Kau cu, selain aku sendiri, kau merupakan orang satu-satunya!"
"Itu karena peruntunganku yang bagus!" sahu Siau Po.
"Hambamu sangat berterima kasih kepada Kau cu dan Hu jin!"
"Karena itu," kata Hong Hu Jin kembali.
"Kau harus belajar sungguh dan kelak di kemudian hari harus bisa membalas budi kebaikan Kau cu ini. Terutama, kau harus bekerja sesungguh hati terhadap Kau cu!"
"Iya, Hu Jin!" sahut Siau Po.
"Nah, sekarang kau boleh mengundurkan diri" kata Hong Hu Jin.
"Kau harus mempersiapkan diri agar besok kau bisa mulai menjalankan tugasmu. Besok pagi-pagi kau harus berangkat bersama Po Tauto dan Liok Kho Hian, tanpa perlu berpamit lagi pada kami!" Siau Po mengangguk. Kemudian dia memberi hormat pada ketua dan nyonyanya itu, Setelah itu dia membalikkan tubuh untuk mengundurkan diri. Tetapi ketika sampai di ambang pintu, dia berkata.
Bersambung ...