Bagian 1

"Haaiiiii.... hiiyooooo.... huiiiiii....!"

"Eh, Bu-te (adik Bu), jangan main-main! Angin bertiup begini kencang, lekas duduk dan membantu aku. Gulung layar itu, kita bisa celaka kalau angin sebesar ini dan layar tetap berkembang!"

"Yahuuuuu....! Wah, dengar, Lee-ko (kakak Lee), suara terbawa angin tentu terdengar sampai jauh. Hiyooooohhhhh....!"

Mereka adalah dua orang anak laki-laki yang menjelang dewasa, berusia empat belas tahun, berwajah tampan dan bertubuh tegap kuat. Mereka ini kakak-beradik yang mempunyai ciri wajah berbeda sungguhpun sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tampan. Yang disebut Lee-ko adalah Suma Kian Lee, sedangkan adiknya itu adalah Suma Kian Bu, dan kedua orang anak laki-laki ini bukan anak-anak nelayan biasa yang bermain-main dengan perahu mereka, melainkan putera-putera Pendekar Super Sakti Suma Han atau yang lebih terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es!

Pendekar Super Sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai selama bertahun-tahun, tinggal di Pulau Es bersama dua orang isterinya, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang isteri yang cantik jelita dan mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa raga mereka. Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan betapa suami dengan kedua orang isterinya ini baru berkumpul kembali di pulau itu setelah mereka berusia empat puluh tahun dan hidup bertiga di pulau kosong itu, mengasingkan diri dari dunia ramai dan saling mencurahkan kasih sayang yang terpendam selama belasan tahun berpisah!

Dari curahan kasih sayang yang amat mendalam dan mesra itu, terlahirlah dua orang anak laki-laki itu. Lulu melahirkan puteranya lebih dahulu, dan anak itu diberi nama Suma Kian Lee. Setengah tahun kemudian, Nirahai juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Suma Kian Bu. Tentu saja kelahiran dua orang anak laki-laki itu menambah rasa bahagia di dalam kehidupan mereka bertiga sehingga tidak begitu terasalah kesunyian di pulau itu. Dan setelah kedua orang anaknya terlahir, demi kepentingan dua orang anaknya, Suma Han tidak lagi pantang bergaul dengan orang lain, bahkan seringkali dia mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Pulau Es mengunjungi pulau-pulau lain di dekat daratan besar yang dihuni oleh nelayan-nelayan.

Karena kedua orang anak itu lebih mirip dengan ibu masing-masing, maka biarpun keduanya sama tampan, namun terdapat perbedaan dan ciri khas pada wajah mereka, juga semenjak kecil sudah tampak perbedaan watak mereka yang menyolok sekali. Suma Kian Lee, putera Lulu, berwatak lembut dan halus, sabar dan tidak pernah melakukan kenakalan, juga pendiam. Sebaliknya, Suma Kian Bu, putera Nirahai, amat nakal dan periang, mudah tertawa dan mudah menangis, bandel dan berani, akan tetapi juga amat mencinta kakaknya dan betapapun nakalnya, akhirnya dia selalu tunduk dan taat kepada kakaknya. Padahal dia berani membangkang terhadap

ibunya sendiri, bahkan kadang-kadang dia berani menentang ayahnya!

Pada pagi hari itu, ketika kedua orang ibu mereka sedang sibuk di dapur dan ayah mereka seperti biasa di waktu pagi hari duduk bersamadhi di dalam kamar samadhinya, mereka berdua bermain-main dengan perahu mereka. Kemudian timbul niatan tiba-tiba dalam kepala Suma Kian Bu untuk pergi menggunakan perahu ke daratan besar dan mencari encinya (kakak perempuannya) yang tinggal di kota raja! Memang anak ini mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Puteri Milana. Puteri Nirahai adalah puteri Kaisar Tiongkok yang lahir dari seorang selir, maka anaknya yang pertama, yang bernama Milana, juga seorang puteri, cucu kaisar! Di dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis dituturkan betapa Puteri Milana, kakak Suma Kian Bu ini, oleh ayahnya diharuskan ikut kakeknya, Kaisar Tiongkok, untuk tinggal di istana kaisar dan selanjutnya mentaati semua perintah kakeknya itu. Akhirnya oleh kaisar, Puteri Milana yang cantik jelita itu dijodohkan dengan seorang panglima muda yang juga berdarah

bangsawan, setelah panglima muda ini berhasil keluar dari sayembara yang diadakan oleh Milana. Dara bangsawan itu, cucu kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, hanya mau dijodohkan dengan seorang yang mampu menahan serangannya selama seratus jurus! Dan kalau dia menghendaki, sukarlah ditemukan orang yang dapat menahan seratus jurus serangannya. Akan tetapi ketika Han Wi Kong, panglima muda itu, memasuki sayembara, pemuda perkasa ini berhasil mempertahankan diri dan dialah yang terpilih menjadi

suami puteri jelita dan perkasa itu! Sesungguhnya, hal ini hanya dapat terjadi karena memang Milana memilihnya di antara sekian banyaknya pelamar yang datang memasuki sayembara.

Ketika diadakan pesta pernikahan Puteri Milana, Pendekar Super Sakti bersama kedua orang isteri dan kedua orang puteranya datang pula ke kota raja. Hal ini terjadi ketika kedua orang puteranya masih kecil, baru berusia lima-enam tahun dan itulah pengalaman pertama dari kedua orang anak ini melihat kota raja!

Demikianlah pagi hari itu, Suma Kian Bu membujuk kakaknya untuk pergi menyusul kakak perempuannya di kota raja. Tentu saja Suma Kian Lee menolak dan memperingatkan adiknya bahwa kota raja amatlah jauh dan pergi ke sana tanpa ijin ayah mereka tentu akan membuat ayah mereka marah. Akan tetapi, Suma Kian Bu merengek dan akhirnya Suma Kian Lee yang amat sayang kepada adiknya, terpaksa menyanggupi dan berlayarlah keduanya meninggalkan Pulau Es!

Biarpun kedua orang anak laki-laki itu baru berusia empat belas tahun, akan tetapi sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja mereka tidak dapat disamakan dengan anak-anak lain yang sebaya dengan mereka. Semenjak kecil mereka berdua telah digembleng oleh ayah bunda mereka yang berilmu tinggi sehingga mereka merupakan dua orang anak-anak yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan memiliki tenaga sin-kang latihan Pulau Es yang mujijat. Betapapun juga, mereka hanyalah anak-anak dan sifat anak-anak mereka yang suka bermain-main masih melekat dalam hati mereka. Setelah mereka menjelang dewasa, jiwa petualang yang terdapat dalam hati semua anak laki-laki, bergejolak dan kini dicetuskan oleh Kian Bu yang mengajak kakaknya untuk pergi merantau, menyusul encinya di kota raja.

Perahu mereka telah jauh meninggalkan Pulau Es karena angin di pagi hari itu bertiup kencang sehingga layar yang mereka pasang berkembang penuh. Akan tetapi makin lama angin bertiup makin kencang sehingga Kian Lee merasa khawatir sekali karena perahu mereka sudah miring-miring dan meluncur terlalu cepat. Sebaliknya Kian Bu masih bermain-main, berdiri di kepala perahu, bertolak pinggang dan berteriak-teriak membiarkan suaranya dibawa angin.

"Bu-te, cepat bantu. Berbahaya kalau begini, kurasa akan ada badai!" Kian Lee yang mengemudikan perahu dengan dayungnya berteriak lagi.

Mendengar disebutnya "badai", otomatis Kian Bu menghentikan teriakan-teriakannya dan air mukanya berubah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggulung layar dan membantu kakaknya mendayung sambil berbisik, "Benarkah ada.... badai, Lee-ko?"

"Entahlah, mudah-mudahan saja tidak," jawab kakaknya.

"Dan payahnya, mungkin kita salah jalan, Bu-te. Mengapa belum juga nampak daratan besar?"

Dua orang kakak-beradik ini memang agak gentar terhadap badai. Pernah ayah mereka bercerita betapa hebatnya kalau badai telah mengamuk di daerah lautan ini. Bahkan menurut cerita ayahnya, Pulau Es sendiri pernah diamuk badai sampai tenggelam di bawah permukaan air laut! Betapa mengerikan. Kata ayah mereka, dahulu pulau mereka itu merupakan sebuah kerajaan, akan tetapi semua penghuninya dibasmi habis oleh badai dan hanya tinggal bangunan istananya saja. Biarpun mereka berdua yang sejak kecil tinggal di pulau dan tidak asing dengan lautan, bahkan ahli dalam ilmu renang, pandai pula menguasai perahu, namun mendengar tentang badai sehebat itu, mereka merasa gentar juga. Dan sekarang, berada di tengah lautan, jauh dari Pulau Es, mereka merasa ngeri kalau-kalau ada badai akan mengamuk.

"Lee-ko, bukankah daratan besar letaknya di sebelah barat?"

"Menurut ibu demikian dan tadi aku sudah mengarahkan perahu ke barat. Akan tetapi, angin kencang mengubah haluan dan kita agaknya menyimpang ke utara. Awas, Bu-te, angin makin kencang!"

Kedua orang pemuda tanggung itu kini tidak bicara lagi, melainkan menggerakkan dayung dengan hati-hati untuk mengemudikan perahu mereka yang mulai dipermainkan ombak. Makin lama angin makin kencang bertiup dan ombak makin membesar sehingga perahu mereka diombang-ambingkan seperti sebuah mainan kecil dipermainkan tangan-tangan raksasa! Mereka tidak dapat lagi menentukan arah, hanya mempergunakan tenaga melalui dayung untuk menjaga agar perahu mereka tidak sampai terbalik.

"Tenang saja, Bu-te...." di tengah-tengah amukan ombak itu Kian Lee berkata kepada adiknya.

Kian Bu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Lee-ko, harap jangan khawatir."

Dua orang pemuda tanggung itu memang memiliki nyali yang amat besar. Biarpun keadaan mereka cukup berbahaya, namun keduanya masih tenang saja, percaya penuh akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri.

"Dukk! Dukk!"

"Apa itu....?" Kian Bu berteriak kaget, cepat menggerakkan dayung untuk membantu kakaknya mengatur keseimbangan perahu yang tadi terpental seolah-olah ditabrak sesuatu.

"Hemm, ikan-ikan hiu....! Lihat itu mereka!" Kian Lee berseru sambil menuding ke depan.

Tampaklah sirip-sirip ikan hiu yang berbentuk layar itu meluncur di dekat perahu mereka. Agaknya ikan-ikan itu sudah tahu bahwa perahu kecil itu ditumpangi dua orang yang tentu akan menjadi santapan lezat bagi mereka kalau perahunya dapat terguling. Mereka tadi tidak sengaja menabrak perahu, akan tetapi melihat dua orang di atas perahu, ikan-ikan itu lalu berenang di kanan kiri perahu, agaknya menanti dengan tak sabar lagi sampai dua orang manusia yang akan dijadikan mangsa mereka itu terjatuh ke air dan diperebutkannya.

"Setan air!" Kian Bu memaki. "Lee-ko, jaga perahu, biar kuhajar mereka!"

Tanpa menanti jawaban kakaknya, Kian Bu sudah meloncat keluar dari perahunya, dipandang dengan mata penuh kegelisahan oleh kakaknya. Kakak ini maklum akan keberanian dan kenakalan adiknya, akan tetapi kadang-kadang dia harus menahan napas menyaksikan kenakalan Kian Bu, apalagi sekarang! Kian Bu yang meloncat keluar itu, menggunakan kakinya hinggap di atas sirip seekor ikan hiu besar, sedangkan dayung di tangannya, dayung yang ujungnya dipasangi besi, dihantamkan ke kanan kiri mengenai dua ekor ikan hiu lain, tepat di bagian kepala sehingga kepala dua ekor ikan itu pecah. Segera terjadilah pesta pora, karena dua ekor ikan hiu yang terluka kepalanya dan mengeluarkan darah itu telah dikeroyok oleh belasan ekor ikan hiu lainnya sehingga dalam waktu sebentar saja daging mereka terobek-robek dan ditelan habis. Kian Bu sudah meloncat lagi ke atas perahunya dan sambil tertawa-tawa dia membantu kakaknya untuk mendayung perahu meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi karena gelombang lautan masih amat besar, usaha mereka mendayung perahu itu hanya sedikit sekali hasilnya, perahu mereka tetap saja diombang-ambingkan dan mereka tidak tahu lagi kemana mereka akan dibawa oleh perahu.

"Bu-te, lihat di sana ada pulau!"

Kian Bu menoleh ke kiri dan tampak olehnya sebuah pulau kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak karena perahu mereka masih dipermainkan ombak yang naik turun bergelombang. "Lee-ko, mari kita ke sana!"

Dengan susah payah kedua orang kakak beradik ini mendayung perahu mereka dan akhirnya mereka dapat juga mendarat di pulau kecil itu dan menarik perahu sampai ke atas daratan yang tidak tercapai oleh air yang bergelombang. Tiba-tiba mereka dikejutkan suara riuh rendah seperti ada puluhan ekor anjing menggonggong dan menyalak. Ketika mereka naik ke tengah pulau yang agak tinggi, tampaklah oleh mereka pemandangan yang menakjubkan. Kiranya pulau itu merupakan tempat tinggal atau sarang dari sekawanan anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor!

"Lee-ko, betapa lucunya mereka. Mari kita menangkap seekor anak anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor dan kita bawa pulang!" Kian Bu sudah berlari menuju ke tempat itu.

"Jangan, Bu-te!" Kian Lee melarang, akan tetapi karena adiknya sudah berlari cepat, terpaksa dia mengejarnya.

Rombongan anjing laut itu makin hiruk-pikuk mengeluarkan teriakan-teriakan mereka ketika melihat dua orang manusia yang berlari menuju ke arah mereka itu, dan dalam sekejap mata saja mereka telah terjun ke air dan berenang ke tengah laut. Tampak tubuh mereka itu timbul tenggelam dan suara mereka masih menguik-nguik sebagai tanda kemarahan karena ketenangan mereka terganggu.

"Bu-te, jangan ganggu mereka. Bukankah tujuanmu mencari enci Milana, mengapa kau hendak menangkap anjing laut?" Kian Lee menegur.

Kian Bu tertawa. "Aihhh, aku sudah lupa lagi akan tujuan perjalanan kita, Lee-ko. Padahal, selain kita masih jauh dari kota raja, sekarang kita bahkan tidak tahu lagi di mana kita berada."

Suara gerengan dahsyat yang menggetarkan pulau itu mengejutkan mereka. Ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata di depan mereka telah berdiri seekor binatang yang besar sekali. Besar dan tinggi binatang itu ada satu setengah kali manusia dewasa dan binatang itu adalah seekor biruang es yang bulunya putih seperti kapas, mata dan moncongnya kemerahan. Biarpun jarang mereka bertemu dengan seekor biruang es, namun kedua kakak beradik itu mengerti bahwa binatang itu marah sekali. Mereka sudah siap dan waspada menghadapi segala kemungkinan.

Sekali lagi binatang itu menggereng dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan. Biarpun tubuhnya amat besar dan canggung, namun ternyata binatang itu dapat bergerak dengan cepat sekali, dan dari sambaran angin tahulah dua orang kakak beradik itu bahwa biruang es ini memiliki tenaga yang amat besar.

"Awas, Bu-te!" Kian Lee berseru memperingatkan karena yang terdekat dengan biruang itu adalah Kian Bu, maka pemuda inilah yang lebih dulu menjadi sasaran serangannya.

Kian Bu adalah seorang pemuda yang berani dan agak ugal-ugalan, terlalu mengandalkan kepandaian dan tenaganya sendiri, berbeda dengan kakaknya yang lebih berhati-hati. Melihat biruang itu menubruknya dengan kedua kaki depan diangkat hendak mencengkeramnya dari kanan kiri, Kian Bu cepat menggerakkan kedua tangan menangkis.

"Dukk!"

Tubuh Kian Bu terjengkang dan tenaga dahsyat dari biruang itu membuat dia terguling-guling. Biruang itu agaknya juga merasa nyeri kedua kakinya ketika terbentur oleh lengan pemuda yang mengandung tenaga sin-kang itu, maka dia menggereng lagi penuh kemarahan, kemudian secepat kilat dia menubruk pemuda yang masih bergulingan di atas tanah itu!

Melihat bahaya mengancam adiknya, Kian Lee cepat menyambar dari samping, memukul ke arah kepala biruang sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dahsyat. Dengan tenaga sin-kang istimewa ini, Kian Lee sanggup menghantam remuk batu karang!

Akan tetapi ternyata biruang yang besar itu gesit sekali, kegesitan yang dikuasainya bukan karena ilmu silat melainkan karena keadaan hidupnya yang penuh bahaya setiap saat membuat dia gesit dan waspada. Nalurinya tajam sekali dan perasaannya amat peka, maka begitu pukulan dahsyat itu menyambar, dia sudah dapat mengelakkan kepalanya dan kedua kaki depannya yang tadi menubruk ke arah Kian Bu kini menyimpang dan menghantam pundak Kian Lee.

"Wuuuuttt.... dessss!" Kian Lee cepat mengelak, melempar diri ke kanan, kemudian dari kanan dia sudah menampar dengan telapak tangan kanannya yang tepat mengenai punggung biruang es. Tamparan ini keras sekali, namun agaknya tidak terasa oleh biruang itu yang hanya terhuyung sedikit, menurunkan kedua kaki depannya ke atas tanah, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat dan menubruk orang yang telah menampar pundaknya itu.

"Awas, Lee-ko....!"

Kian Bu yang terkejut melihat serangan biruang itu yang menubruk dengan cepat dan agaknya tak mungkin dapat dielakkan oleh kakaknya karena jaraknya terlalu dekat, sudah berteriak dan menubruk ke depan. Dia merangkul kedua kaki belakang biruang itu dari belakang sehingga biruang yang sedang menubruk itu terguling, membawa tubuh Kian Bu terguling bersamanya! Karena Kian Bu mempergunakan gin-kangnya, membuat tubuhnya ringan dan gerakannya gesit sekali, dia berhasil jatuh di bagian atas, menindih tubuh biruang es itu. Akan tetapi celaka baginya, binatang raksasa itu telah menggunakan kedua kaki depannya yang amat kuat untuk merangkul pinggangnya dan menarik sekuat tenaga, agaknya berusaha untuk mematahkan tulang punggung pemuda itu.

"Auggghhh....!" Kian Bu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, akan tetapi ternyata binatang itu memiliki tenaga kasar yang kuat sekali!

"Plak! Desss!" Tubuh binatang itu terlempar ketika pada saat yang tepat Kian Lee telah menolong adiknya dengan memukul tengkuk binatang itu dari atas, dan tepat pada saat itu juga, Kian Lee telah menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada binatang itu. Menerima pukulan Kian Lee yang dahsyat, seketika pelukan binatang itu mengendur, maka ketika dadanya dihantam, dia terlempar dan bergulingan.

"Bu-te, hati-hati, dia buas sekali!" Kian Lee memegang tangan adiknya dan kini kakak beradik itu berdiri berdampingan, siap untuk mengeroyok binatang yang amat kuat itu. Biruang es itupun berdiri di atas kedua kaki belakang, matanya makin merah menatap kedua orang muda penuh kemarahan, mulutnya mendesis-desis memperlihatkan taringnya, tetapi agaknya dia gentar juga menghadapi dua orang lawan yang cepat itu. Akhirnya, tidak kuat dia menghadapi tatapan pandang mata yang amat tajam dan pantang menyerah dari kedua orang muda itu, biruang ini mundur-mundur, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari situ.

"Bu-te, mari kita lekas kembali ke perahu. Tempat ini berbahaya," kata Kian Lee yang segera lari diikuti oleh adiknya, kembali ke perahu mereka. Mereka cepat menarik perahu ke laut dan ternyata bahwa laut telah mulai tenang. Kini tampaklah sebuah pulau memanjang yang berwarna hitam, tak jauh membentang di depan.

"Agaknya pulau itu tidak seliar tempat ini, Lee-ko. Mari kita ke sana, siapa tahu kita dapat bertemu dengan nelayan dan kita dapat bertanya arah ke daratan besar kepadanya."

Kian Lee setuju dan mereka lalu mengembangkan layar. Angin perlahan meniup layar dan tak lama kemudian mereka telah tiba di pulau yang kelihatan penuh dengan hutan liar itu. Tadinya mereka merasa ragu-ragu untuk mendarat, akan tetapi ketika mereka melihat sebuah perahu kecil berwarna hitam berada di tepi pantai, mereka menjadi girang dan cepat mendaratkan perahu mereka dekat perahu hitam, kemudian mereka meloncat turun.

Akan tetapi baru saja kedua orang kakak beradik ini melangkah menuju ke tengah pulau, tiba-tiba dari dalam hutan tampak belasan orang berlari-larian keluar dan yang mengejutkan hati kedua orang pemuda Pulau Es itu adalah ketika mereka melihat gerakan belasan orang itu. Gerakan mereka ketika berlari amat cepat, tubuh mereka berkelebatan seperti terbang, tanda bahwa belasan orang itu telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi! Yang lebih mengherankan dan menyeramkan lagi adalah seorang yang memimpin rombongan itu, seorang kakek yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar dan dua pasang kaki tangannya yang tampak sebatas lutut dan siku, penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar!

Siapakah mereka itu? Pertanyaan ini mengganggu pikiran kedua kakak beradik itu. Tentu saja mereka tidak tahu dan mereka sama sekali juga tidak pernah menyangka bahwa mereka yang diserang gelombang besar itu ternyata telah kesasar ke Pulau Neraka! Pulau Neraka adalah sebuah pulau yang baru dua-tiga puluh tahun ini terkenal sekali, bahkan sama terkenalnya dengan Pulau Es. Sebetulnya, Pulau Neraka ini menurut riwayatnya masih ada hubungannya dengan Pulau Es (baca ceritera Sepasang Pedang Iblis). Dahulu kala, ratusan tahun yang lalu, ketika di Pulau Es masih terdapat sebuah kerajaan kecil, Pulau Neraka merupakan tempat pembuangan orang-orang yang melakukan dosa besar. Akhirnya, setelah kerajaan di Pulau Es terbasmi habis oleh badai (baca ceritera Bu-kek Sian-su) sehingga seluruh penghuninya tewas, Pulau Neraka dengan penghuninya merupakan daerah yang bebas.

Bahkan di dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis, Lulu isteri Pendekar Super Sakti pernah pula menjadi ketua atau majikan dari Pulau Neraka ini.

Setelah Pulau Neraka kehilangan semua tokohnya dan tidak ada yang memimpin lagi, terjadilah perebutan kekuasaan. Akan tetapi baru tiga tahun yang lalu, Pulau Neraka kedatangan seorang kakek raksasa yang amat sakti, yang dengan kepandaiannya menundukkan semua penghuni Pulau Neraka sehingga otomatis dia diangkat menjadi ketua.

Dia memperkenalkan diri dengan nama julukan Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) dan memang dia pantas memakai nama julukan seperti itu karena selain tubuhnya seperti raksasa dan mukanya yang terhias caling itu seperti iblis, juga dia datang ke Pulau Neraka dengan menunggang seekor burung rajawali hitam! Lebih hebat lagi, di belakang burung rajawali hitam ini terdapat dua ekor burung rajawali lain yang berbulu putih dan bermata emas, akan tetapi dua ekor burung rajawali ini masih muda dan agaknya takluk kepada burung rajawali hitam sehingga dia ikut saja ke mana sang rajawali hitam itu terbang.

Hek-tiauw Lo-mo memang seorang sakti. Dia datang dari daratan negara Kolekok (Korea) dan di sana dia menjadi orang buruan pemerintah karena dia merupakan seorang penjahat yang kejam dan dimusuhi pemerintah dan semua orang gagah. Karena merasa tidak aman berada di negaranya sendiri, Hek-tiauw Lo-mo melarikan diri dengan sebuah perahu ke selatan. Di dunia selatan, dia berhasil menjadi raja suatu bangsa yang masih biadab dan yang tinggal di dalam hutan-hutan pegunungan yang amat liar. Karena kepandaian dan kekuatannya, bangsa biadab ini tunduk kepadanya dan sampai sepuluh tahun dia menjadi raja mereka. Selain dapat memperoleh ilmu-ilmu yang aneh dan tinggi, juga Hek-tiauw Lo-mo ini ketularan kebiasaan dan kesukaan bangsa itu, yaitu

kadang-kadang makan daging manusia, musuh mereka dari lain suku yang menjadi kurban perang! Agaknya kebiasaan memakan daging orang inilah yang kemudian membuat gigi calingnya menonjol keluar, membuat dia kelihatan menyeramkan, seperti seorang iblis.

Setelah tidak kerasan lagi tinggal bersama orang-orang liar dan merasa rindu kepada dunia ramai, Hek-tiauw Lo-mo dengan membekal pengalaman hebat dan ilmu kepandaian yang tinggi, menggunakan perahu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke utara. Kini dia tidak takut lagi dimusuhi oleh siapa pun juga karena dia mempunyai andalan ilmu-ilmu yang tinggi dan sakti. Akan tetapi, ketika dia berlayar mencari negaranya, dia tersesat jalan dan akhirnya dia tiba di sebuah pulau kosong yang tak pernah didatangi manusia. Di tempat ini dia diserang oleh tiga ekor burung rajawali tadi, akan tetapi karena kepandaiannya, dia berhasil menundukkan mereka, bahkan membuat rajawali hitam yang liar dan ganas itu menjadi jinak dan menjadi binatang tunggangannya. Adapun dua ekor rajawali putih yang masih muda, menurut saja kemana pun perginya rajawali hitam, maka sekaligus dia memperoleh tiga ekor binatang peliharaan yang boleh diandalkan!

Setelah memiliki binatang tunggangan yang hebat ini, dia mencari lagi negaranya dengan menunggang rajawali hitam. Akan tetapi kembali dia tersesat, dan kini rajawali itu membawanya turun ke Pulau Neraka! Begitu melihat keadaan pulau ini dan melihat para penghuninya yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi seketika hatinya tertarik. Dia menundukkan mereka semua dengan kepandaiannya dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka. Dan karena selama perantauannya dia sudah membuang nama sendiri, melupakan nama itu yang dianggap sebagai nama buronan yang rendah, maka dia memperkenalkan dirinya sebagai Hek-tiauw Lo-mo. Nama Hek-tiauw diambil dari nama tunggangannya, seekor burung rajawali hitam, dan nama Lo-mo diambilnya karena dia memang merasa sebagai seorang iblis tua yang cocok menjadi ketua Pulau Neraka!

Demikianlah, selama tiga tahun Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua Pulau Neraka, dan dia malah menurunkan ilmu kepada para penghuni Pulau Neraka yang kini hanya tinggal dua puluh orang pria dan tujuh orang wanita itu. Empat orang di antara tujuh orang wanita yang masih muda, biarpun mereka sudah menjadi isteri empat orang penghuni Pulau Neraka, secara paksa diambil oleh Hek-tiauw Lo-mo sebagai selir-selirnya sendiri! Dan dia menganjurkan kepada anak buahnya untuk mencari wanita dari perkampungan nelayan. Dalam tiga tahun itu, bertambahlah penghuni Pulau Neraka dengan tiga puluh orang wanita lagi, wanita-wanita muda yang mereka culik dari perkampungan nelayan di sekitar laut itu.

Kedua kakak-beradik dari Pulau Es yang tadinya merasa girang melihat bahwa di pulau asing itu ada penghuninya, yang menimbulkan harapan bahwa mereka akan dapat menanyakan arah menuju ke daratan besar, kini menjadi terkejut sekali melihat orang-orang ini ternyata berkepandaian tinggi, bersikap liar dan rata-rata mereka mempunyai wajah yang pucat putih seperti dikapur, kecuali wajah kakek raksasa itu. Lebih kaget lagi hati mereka melihat orang-orang itu telah mengurung mereka dengan sikap mengancam.

"Huah-ha-ha-hahh!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak saking girang hatinya melihat dua orang laki-laki muda yang bertubuh tegap sehat dan bersih itu. Mulutnya mengeluarkan air liur ketika seleranya bangkit!

Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali dan memandang dengan hati ngeri melihat betapa kakek raksasa itu ternyata bercaling seperti biruang es yang belum lama ini mereka lawan!

Melihat sikap mereka yang mencurigakan dan mengkhawatirkan itu, Kian Lee sudah mengangkat tangan depan dada, menjura sambil berkata, "Harap Cu-wi sudi memaafkan kami berdua kalau kami mengganggu Cu-wi dan datang di sini tanpa ijin Cu-wi. Kami datang hanya ingin menanyakan sesuatu kepada Cu-wi."

Mendengar cara bicara pemuda tampan itu yang halus dan teratur rapi, Hek-tiauw Lo-mo kembali tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, menarik sekali! Katakanlah, orang muda yang tampan, apa yang hendak kalian tanyakan kepada kami?"

Kian Lee tak ingin berpanjang cerita maka dia berkata singkat, "Kami berdua tersesat jalan karena terbawa gelombang lautan dan kami ingin bertanya kemanakah arah daratan besar."

Hek-tiauw Lo-mo menoleh kanan kiri memandang anak buahnya, tersenyum menyeringai lalu berkata, "Dengarkah kalian? Mereka sudah datang ke daratan sini masih ingin mencari daratan besar. Heh-heh!"

Semua penghuni Pulau Neraka yang kini telah datang berkumpul, tersenyum lebar menyeringai. Dua orang pemuda tanggung itu menjadi makin gelisah dan mulailah mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang tidak baik bagi mereka.

"Kalau Cu-wi tidak mau memberi tahu, biarlah kami pergi lagi saja dan kami tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Marilah, Lee-ko!" kata Kian Bu yang sudah hilang sabarnya menyaksikan sikap mereka.

"Hai, nanti dulu! Kalian hendak pergi kemana?" Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring dan semua anak buahnya sudah bergerak menghadang kedua orang muda itu.

"Kami hendak pergi dari sini!" Kian Bu membentak, marah sudah. Melihat kemarahan adiknya, Kian Lee cepat berkata dengan suara masih penuh kesabaran dan ketenangan, "Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang hendak pergi lagi dengan aman."

"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, orang-orang muda yang baik! Siapapun dia yang sudah mendarat di Pulau Neraka, tidak dapat pergi begitu saja!"

"Pulau Neraka....?" Kedua orang muda itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata ini. Tentu saja mereka telah mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang tua mereka, bahkan Kian Lee tahu pula bahwa ibu kandungnya dahulu adalah ketua Pulau Neraka!

"Aihhh! Jadi kalian ini adalah para penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di Pulau Neraka? Sungguh kebetulan sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.

"Ha-ha-ha, mengapa kaukatakan kebetulan, orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak kecewa mengapa kedua orang pemuda tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau Neraka.

"Karena ibu kami, ibu kandung kakakku ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"

"Bu-te....!" Kian Lee terkejut melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.

Benar saja, kakek itu terkejut sekali, akan tetapi lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau Neraka itu yang kini memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh selidik. Mereka semua tahu bahwa majikan mereka yang dahulu, kini telah menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Hek-tiauw Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan dengan wanita ketua Pulau Neraka itu, bertanya mendesak, "Benarkah demikian?"

Karena adiknya sudah terlanjur bicara, maka Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang, dan sesungguhnya, "Tidak salah ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi sekarang ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua datang dari Pulau Es, kami adalah dua orang putera Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es."

Mendengar ucapan ini, semua penghuni Pulau Neraka terbelalak dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah dua orang pemuda itu! Melihat betapa semua anak buahnya memperlihatkan sikap menghormat kepada dua orang muda yang mengaku datang dari Pulau Es itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah sekali. Dia membanting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah itu ke atas tanah sehingga tanah sekeliling tempat dia berdiri tergetar seperti dilanda gempa bumi!

"Bangun semua! Hayo bangkit semua, yang tidak bangkit akan kubunuh!"

Tentu saja para anak buah Pulau Neraka terkejut dan ketakutan. Cepat mereka bangkit berdiri sungguhpun mereka masih memandang ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan sikap sungkan.

Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa gerakan kakek ini ringan sekali, sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang demikian besarnya.

"Bagus! Jadi kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu Pendekar Super Sakti? Baru sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan kujadikan pesta, daging kalian yang muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi karena kalian adalah orang-orang Pulau Es, biarlah aku menjadikan kalian tahanan di sini. Hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar Super Sakti!"

Tiba-tiba seorang yang tua dan tubuhnya gendut tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di depan ketuanya. "Ji Song, kau mau bicara apa?" Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah karena para anak buahnya tadi memberi penghormatan besar kepada dua orang pemuda itu.

Ji Song adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang boleh dibilang tertua, juga dia lihai sekali dan menjadi orang kedua setelah Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan Pendekar Super Sakti yang amat ditakutinya itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Maka begitu mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan akibatnya, kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan hanya ketua Pulau Neraka, mungkin seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.

"Tocu, harap maafkan saya.... akan tetapi saya harap tocu tidak main-main dengan.... dengan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada saya dan.... dan sebaiknya kalau kedua orang pemuda ini dibebaskan saja agar jangan timbul banyak urusan yang akan memusingkan saja."

Raksasa itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm, kalau bukan engkau yang bicara aku tentu tidak akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut terhadap seorang manusia lain? Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih besar lagi, melihat engkau sendiri begitu takut! Seperti apakah Pendekar Super Sakti?"

"Seperti apa? Kalau dia datang, jangan harap engkau akan dapat hidup lebih lama lagi!" Tiba-tiba Kian Bu berkata dengan suara mengejek. "Pula, tidak perlu ayah datang, kami berduapun tidak takut menghadapi kalian!"

"Bu-te....!" Kian Lee mencela adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua Pulau Neraka itu, "Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan oleh lopek itu tadi benar. Sebaiknyalah kalau di antara kita tidak timbul permusuhan apa-apa. Harap tocu membiarkan kami pergi."

"Nanti dulu, orang muda. Tidak begitu mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha! Boleh jadi ayah kalian itu berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para penghuni Pulau Neraka, akan tetapi aku yang belum pernah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, sama sekali tidak takut!"

"Habis, apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?" Kian Bu membentak lagi saking marahnya. Kalau tidak melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju dan menggunakan kekerasan untuk membebaskan diri dan meninggalkan pulau berbahaya itu.

"Ha-ha-ha, seperti melihat bumi dengan langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan tetapi begitu sama tampan dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan, siapakah nama kalian?"

"Namaku adalah Suma Kian Lee dan dia ini adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku mengharap kebijaksanaan tocu untuk membebaskan kami dan biarlah kami akan menceritakan kepada ayah kami akan kebaikan hatimu itu."

"Oho! Kau hendak menggunakan nama ayahmu untuk menakuti aku?"

"Habis, kau mau apa?" Kian Bu membentak.

"Kalian tidak boleh meninggalkan pulau ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah kalian super sakti dan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali tak mungkin, kalau aku kalah, baru kalian boleh pergi bersama ayahmu."

"Manusia sombong! Aku tidak takut, hendak kulihat bagaimana kau hendak menangkap aku!" Kian Bu membentak lagi dan sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh, kedua kakinya menyilang dan agak ditekuk lututnya, kedua lengan di depan dan di belakang tubuh, sikap yang siap menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang mengurungnya. Kian Lee yang kini maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga sudah bersiap untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh kewaspadaan, cepat dia meloncat di belakang tubuh adiknya sehingga mereka berdua berdiri saling membelakangi dan dengan demikian saling melindungi.

"Heh-heh-heh, luar biasa! Ji Song, perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak kulihat gerakan mereka. Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat mengukur kepandaian ayahnya," kata raksasa itu sambil tertawa penuh kegirangan.

Kedua alis Ji Song berkerut. Dia takut sekali terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering kali dia menyaksikan kehebatan sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan Pulau Es itu. Bahkan bekas ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi, sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan seorang di antara kedua pemuda ini, yang bersikap tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya. Tentu saja dia menjadi jerih sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru ini, yang dia tahu juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat membiarkan kedua orang muda itu pergi, seperti membiarkan kedua ekor singa muda yang masuk ke dalam rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh lima orang pembantunya yang paling lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.

"Tangkap mereka, akan tetapi jangan sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima orang anak buahnya itu. Lima orang itu, tidak berbeda dengan Ji Song, adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka, tentu saja merekapun gentar terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu, bekas ketua mereka. Ngeri rasa hati mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh melawan putera bekas ketua mereka itu! Akan tetapi karena mereka maklum bahwa kalau mereka berani membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan

ragu-ragu membunuh mereka, bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk lalu meloncat maju mengurung dua orang muda itu.

Kian Lee dan Kian Bu tidak bergerak, tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka seperti arca, sedikitpun tidak bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti gerakan lima orang pengurung mereka itu. Seluruh urat syarat di dalam tubuh mereka menegang dan dalam keadaan siap siaga.

Lima orang itu juga tidak berani turun tangan secara sembrono karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka mereka lalu mengurung sambil melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua orang muda itu, saling memberi tanda dengan mata untuk mengatur gerakan mereka. Ternyata mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang) seperti yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat gerakan anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia sudah merasa yakin bahwa dalam beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat diringkus dan ditawan. Tiba-tiba seorang di antara lima penghuni Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang menyayat hati saking tinggi lengkingnya, dan teriakan ini disusul oleh teriakan keempat orang kawannya. Teriakan-teriakan ini mempunyai wibawa yang amat kuat dan dengan teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang kuat sin-kangnya sudah akan dapat dirobohkan!

Harus diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka tidak boleh disamakan dengan dahulu ketika Lulu masih menjadi ketua di situ (bacaaSepasang Pedang Iblis). Ketika Lulu masih menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh tahun yang lalu, kepandaian anak buah Pulau Neraka memang sudah hebat dan tingkat kepandaian atau kekuatan sin-kang mereka ditandai dengan warna muka mereka. Muka mereka sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah menjadi berwarna-warna, ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan sebagainya. Makin muda warna muka mereka, makin tinggilah kepandaian mereka dan makin kuat sin-kang mereka. Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru, dahulu bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka. Akan tetapi sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini telah memberikan latihan baru dan kepandaian para penghuni Pulau Neraka meningkat demikian hebatnya sehingga warna muka mereka telah berubah menjadi putih semua. Putih seperti dikapur! Hal ini bukan merupakan tanda bahwa racun Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka lenyap, sama sekali tidak, bahkan perubahan itu datang karena hawa beracun lain yang lebih hebat memasuki tubuh mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam keselamatan nyawa, melainkan yang mendatangkan tenaga sakti beracun yang hebat!

Mendengar lengking-lengking mengerikan dan menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat mengerahkan sin-kang mereka. Biarpun kedua orang pemuda tanggung ini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak pernah bertempur dengan lawan tangguh, maka kini menghadapi pengeroyokan lima orang yang menggunakan khi-kang untuk merobohkan mereka itu mereka menjadi terkejut sekali. Mereka mampu mempertahankan serangan suara khi-kang ini dengan mudah, namun rasa kaget di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang. Hal ini disalahtafsirkan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda tanggung ini dianggapnya sebagai tanda bahwa sin-kang mereka tidaklah begitu kuat, maka dia tertawa bergelak dan membentak, "Lekas tangkap mereka!"

Mendengar aba-aba yang keluar dari mulut sang ketua sendiri, lima orang itu cepat bergerak. Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian Lee, orang kedua menyerang Kian Bu sedangkan tiga orang yang lain sudah menerjang ke tengah-tengah di antara kedua orang muda itu.

Kian Lee dan Kian Bu dengan mudah dapat menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi ketika melihat tiga orang yang lain menyergap ke bagian kosong di antara punggung mereka, keduanya terkejut dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil mengelak ini, Kian Lee merendahkan tubuhnya, kakinya bergerak menyapu dengan kecepatan kilat dan seorang lawan terpelanting! Kian Bu juga mengelak dengan melompat ke atas, dengan gaya yang amat indah tubuhnya berjungkir balik di udara dan kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala dua orang pengeroyok lain. Gerakannya cepat sekali dan tidak terduga-duga, juga amat ganas karena serangannya adalah serangan yang dapat mendatangkan maut. Kalau jari tangannya menemui sasaran, yaitu ubun-ubun kepala, lawan yang betapa kuatpun tentu akan terancam bahaya maut! Akan tetapi, seorang di antara mereka melempar diri ke belakang sehingga terluput dari serangan itu, yang kedua menangkis dan inilah kesalahannya. Biarpun ditangkis, karena Kian Bu menyerang dari atas dan menggunakan inti tenaga Im-kang yang dingin, tetap saja orang itu mengeluh, tubuhnya menggigil dan roboh terguling! Dia tidak terluka hebat, akan tetapi tubuhnya terbanting dan dia harus cepat bergulingan menyelamatkan diri. Memang keistimewaan sin-kang yang dilatih di Pulau Es adalah sin-kang yang mengandung hawa dingin. Dan seperti gumpalan es yang dingin, sin-kang ini amat kuat terhadap perlawanan dari bawah, amat kuat untuk menekan ke bawah, berbeda dengan Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk mendorong, terutama ke atas, sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.

Dalam segebrakan saja, dua orang pengeroyok telah terguling. Biarpun mereka tidak roboh terluka, namun mereka telah terguling dan barisan mereka telah kacau, hal ini menunjukkan betapa hebatnya dua orang muda itu! Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan melongo. Dia tadi sudah girang menyaksikan gerakan lima orang anak buahnya dan dia melihat pula betapa lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin dengan baiknya. Bahkan gebrakan pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang memancing perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua orang kakak-beradik itu terpisah dan tidak saling melindungi dengan berdiri saling membelakangi. Akan tetapi, biarpun kedua kakak beradik itu kini berpisah, fihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua orang pemuda remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi. Akan tetapi agaknya mereka menganggap hal itu tidak perlu. Dan memang benar. Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para pengeroyok mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika menangkis, gerakan mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini mengerti bahwa untuk menghadapi lima orang ini saja, mereka berdua tidak perlu untuk saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata, "Lee-ko, mundurlah dan biarlah aku main-main dengan mereka ini."

Kian Lee percaya akan kekuatan adiknya, maka dia mengangguk lalu mundur dan berdiri dengan sikap tenang. Hal ini tentu membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran. Benarkah lima orang anak buahnya hanya akan dihadapi oleh seorang pemuda saja? Pemuda itu masih belum dewasa benar, baru lima belas tahun usianya. Biarpun menerima pendidikan orang pandai, tentu belum matang kepandaiannya dan banyak pengalamannya. Hatinya merasa penasaran sekali dan perasaannya menegang ketika dia melihat lima orang anak buahnya sudah menerjang maju dengan gerakan berbareng, dari lima jurusan menubruk dan seperti lima ekor burung rajawali memperebutkan seekor kelinci, mereka itu mengulur lengan dengan jari-jari terbuka, siap hendak mencengkeram dan menangkap.

Kian Bu yang memang merasa penasaran dan marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini menggunakan kepandaiannya dan mengerahkan sin-kangnya. Sengaja dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing, berputar dan sekaligus dia telah dapat menangkis lengan lima orang lawannya dengan keras sekali sehingga lima orang lawannya itu berteriak kaget karena tiba-tiba saja mereka merasa betapa hawa yang amat dingin menjalar melalui lengan yang ditangkis, membuat mereka menggigil! Itulah inti yang dilatihnya di Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut Swat-in Sin-ciang (Inti Salju). Melihat lima orang lawannya dapat dibuatnya mundur dengar tangkisan tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan kedua lengannya meluncur ke arah lima orang itu seperti dua ekor ular yang bergerak ganas dan cepat sekali. Pemuda ini telah mainkan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) yang dipelajarinya dari ibunya, Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua lengannya itu bergerak sehingga sukar diikuti pandangan mata para pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih dahulu.

"Bu-te, jangan lukai orang!" Kian Lee berseru karena dia tidak menghendaki adiknya yang berwatak keras itu menimbulkan keributan dan memperbesar permusuhan dengan Pulau Neraka.

Untung bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa Kian Bu selalu mentaati perintah kakaknya, kalau tidak, tentu mereka itu akan tewas! Mendengar ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya ditujukan kepada jalan darah berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai dada mereka. Tamparan yang tidak begitu keras tetapi akibatnya cukup hebat. Berturut-turut lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan tergulinglah mereka ke atas tanah.

Melihat lima orang anak buahnya menggigil dan muka mereka kebiruan, Ji Song cepat menghampiri mereka dan dengan menempelkan telapak tangannya sebentar dalam gerakan menekan, dia telah menyalurkan sin-kang dan membantu mereka mengusir keluar hawa dingin yang menyesak dada. Lima orang itu maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka mereka lalu mundur mentaati isyarat mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.

Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah terhias uban. Sama sekali tidak diduganya keadaan akan menjadi demikian. Lima orang anak buahnya kalah oleh seorang pemuda tanggung, hanya dalam segebrakan saja! Hal yang tidak mungkin! Akan tetapi jelas telah terjadi! Gerakan dengan pemuda itu tadi amat cepat dan hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Mulai khawatirlah hatinya. Benarkah ayah kedua orang pemuda yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu amat hebat ilmunya? Tidak, tidak bisa dia percaya bahwa di dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu menandinginya.

"Bagus sekali!" Hanya satu kali dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Kian Bu dan Kian Lee. Sejenak dia menatap wajah kedua orang pemuda tanggung itu. "Kalian ternyata memiliki juga sedikit kepandaian. Hendak kulihat apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh jurusme lawanku."

"Tocu, mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua orang muda sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan tocu. Mana kami berani bersikap begitu kurang ajar?" Kian Lee masih berusaha membujuk ketua itu.

"Ha-ha-ha, apakah kalian takut?"

Hati Kian Bu yang sudah merasa tidak puas menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah, kini meledak menjadi kemarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak pinggang dan membentak, "Iblis tua, siapa takut kepadamu?"

Kian Lee terkejut mendengar adiknya memaki, akan tetapi karena memang julukan ketua itu adalah Iblis Tua Rajawali Hitam, maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu, ketua itu tidak menjadi marah, bahkan tertawa. "Kalau tidak takut, lekas maju dan menyerangku."

Kian Bu sudah siap, mengepal kedua tinjunya. "Bu-te, perlahan dulu" kakaknya memperingatkan.

"Ha-ha, orang muda yang halus. Kaupun boleh maju. Majulah kalian berdua dan hendak kulihat apakah kalian berdua sanggup bertahan sampai sepuluh jurus."

"Kakek sombong!" Kian Bu membentak lagi. "Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang dan akan malulah ayah dan ibu kalau kita tidak menyambut tantangannya!"

Kian Lee mengangguk kepada adiknya dan berkata, "Hati-hatilah, Bu-te, jangan sembrono."

Melihat kedua orang pemuda itu sudah siap, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. "Ha-ha-ha, majulah kalian...."

Sejenak mereka saling berpandangan. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Celana yang pendek, hanya sebatas lutut itu membuat dia kelihatan seperti seorang pengemis saja, akan tetapi kedua kakinya kelihatan bersih dan putih kulitnya, walaupun penuh dengan bulu dan otot yang melingkar-lingkar. Juga kedua lengannya yang hanya tertutup baju dengan lengan sampai ke siku, kelihatan kekar dan kuat.

"Hyaaattt....!" Kian Bu yang sudah marah sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan kembali dia menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu sebuah jurus pilihan dari Ilmu Silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa). Mula-mula dia meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya menerjang dengan pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri mencengkeram ke arah pusar, akan tetaoi secara tiba-tiba sekali gerakan yang hanya merupakan pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya menurun dan tahu-tahu pukulannya berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu hati dan menonjok ke arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng (Dewa Arak Menukar Bayangan).

"Ha-ha, bagus!" Kakek itu mengubah kedudukan kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil dia mundur, kini menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di belakang, tubuh agak merendah, kedua lengannya yang berotot bergerak cepat, yang kiri menangkis totokan lawan, yang kanan bergerak menangkap pergelangan tangan kiri Kian Bu.

"Dukkkk!" Pertemuan kedua lengan ketika kakek itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu kuat bukan main, sedangkan tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa dapat dihindarkan lagi karena luar biasa cepatnya gerakan lawan, tahu-tahu telah dicengkeram pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa! Kian Bu mengerahkan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa, seolah-olah tenaga Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam kakek itu juga terkejut bukan main ketika merasa betapa hawa dingin yang tak dapat dilawannya menyusup melalui tangan pemuda itu memasuki lengannya!

Kian Lee lebih hati-hati daripada adiknya. Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang dengan dahsyat, dia diam saja, hanya mendekat dan siap membantu. Dia maklum bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini tentu lihai sekali dan dugaannya ternyata tepat ketika melihat betapa menghadapi serangan adiknya yang amat dahsyat itu, Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya dapat menangkis, bahkan berhasil memegang pergelangan tangan kiri Kian Bu.

"Wuuuuutttt.... plak-plak!"

Kedua pukulan Kian Lee yang mengarah lambung dan tengkuk kakek itu dapat ditangkis dengan tepat oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang mendatangkan angin dingin ini, terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu karena maklum bahwa serangan pemuda kedua inipun hebat sekali. Dia makin penasaran dan mulailah dia mengeluarkan kepandaiannya, tubuhnya bergerak-gerak seperti orang menari, akan tetapi tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu silat kakek ini bersumber kepada tari-tarian bangsa yang masih liar dan belum beradab, dan melihat unsur-unsur ajaib dalam gerakan tari liar ini, dia lalu menciptakan semacam ilmu silat dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat! Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang dikeroyok oleh dua orang pemuda tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau Neraka, bahkan Ji Song sendiri, terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh tiga orang itu berkelebatan, kadang-kadang lenyap terbungkus bayangan lengan mereka, kadang-kadang mencelat ke sana-sini, sehingga bagi mereka sukar sekali menentukan siapa di antara kedua fihak yang mendesak dan siapa pula yang terdesak!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan penuh penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi dia menantang dan mengejek karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia tentu akan berhasil mengalahkan dua orang pemuda tanggung itu dan mampu menawannya. Akan tetapi siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu mengalahkan mereka, bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban kedahsyatan serangan mereka, dan setiap kali bertemu dengan tangan mereka, tentu ada hawa dingin menyusup yang sungguhpun dapat dilawannya dengan sin-kangnya yang amat kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya dingin seperti terkena salju.

Rasa penasaran membuat kakek ini merasa malu dan marah. Malu kepada para anak buahnya dan marah kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut, dia merasa sayang. Selain keinginan makan daging mereka yang timbul melihat daging muda mereka yang menimbulkan seleranya, juga dia ingin menggunakan mereka sebagai pancingan agar orang yang berjuluk Pendekar Super Sakti yang amat ditakuti oleh semua penghuni Pulau Neraka itu datang ke tempat itu.

"Terimalah ini....!"

Kedua tangan kakek itu bergerak. Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek itu tentu menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka. Akan tetapi tiba-tiba tampak benda seperti kabut atau uap tebal mengurung mereka dan ketika mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah sebuah jala yang terbuat dari bahan tipis sekali namun amat ulet dan kuat! Ketika mereka berdua meloncat, tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua terguling. Jala yang aneh itu makin menggulung mereka dan kedua orang pemuda tanggung itu tak dapat meloloskan diri, betapapun mereka meronta-ronta dan menarik-narik jala tipis itu. Penggunaan jala sebagai senjata ini memang luar biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya sehingga tadi dapat dikepal di kedua tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi setelah dilempar dan dikembangkan, dapat menyelimuti tubuh kedua orang pemuda itu. Senjata istimewa ini merupakan sebuah di antara senjata-senjata yang hebat dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja bangsa biadab di dalam hutan liar di selatan, bahannya dibuat dari otot-otot binatang semacam rubah aneh yang hanya terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot binatang ini amat ulet, sukar dibikin putus oleh senjata tajam sekalipun, dan memiliki sifat melar seperti karet.

Setelah menotok jalan darah kedua orang pemuda itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali jalanya dan memerintahkan kepada Ji Song, "Tangkap dan belenggu mereka! Masukkan ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos, akan tetapi perlakukan mereka dengan baik."

Ji Song meneruskan perintah ini kepada anak buahnya dan setelah kedua orang pemuda yang tak dapat bergerak lagi itu digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada Ji Song, "Suruh orang menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan."

"Maaf, tocu. Apakah tocu sudah memikirkan secara mendalam persoalan ini?" Ji Song berkata. "Apa gunanya bermusuh dengan Pendekar Super Sakti? Diapun tidak pernah mengganggu kita. Lebih baik kedua orang pemuda itu dibebaskan saja."

Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya. "Tidak mengganggu kita, ya? Bukankah aku mendengar dari kalian bahwa Pulau Neraka ini dahulunya merupakan tempat pembuangan? Pembuangan dari kerajaan di Pulau Es?"

"Itu adalah sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada, bahkan kabarnya Pendekar Super Sakti pun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau Es."

"Sudah, diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran kalau belum dapat bertemu dengan dia dan mengalahkannya."

"Dia sakti sekali, tocu."

"Aku tidak takut. Aku sudah siap menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan kita, takut apa?"

******

Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan Kian Bu yang tertawan di Pulau Neraka dan dijadikan umpan oleh Hek-tiauw Lo-mo untuk memancing datang Pendekar Super Sakti, dan marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi pada waktu itu, terjadi jauh di sebelah barat daratan besar.

Negara Bhutan berada jauh di selatan Tiongkok, merupakan sebuah kerajaan kecil namun yang rakyatnya memiliki kebudayaan tinggi, menjadi perpaduan dan perantara antara Negara India dan Tiongkok. Karena dihimpit oleh dua buah negara besar yang memiliki kebudayaan tinggi itu, Nepal atau Bhutan mencangkok kebudayaan keduanya dan karenanya di situ terdapat banyak orang-orang pandai dari kedua negara itu.

Daerah Pegunungan Himalaya terkenal sebagai pegunungan yang paling tinggi di seluruh dunia, paling tinggi dan paling luas. Selain amat luas, juga pegunungan ini amat terkenal sebagai tempat yang suci, bahkan bagi yang percaya terdapat keyakinan bahwa para dewa yang tersebut dalam dongeng-dongeng bertempat tinggal di pegunungan inilah! Karena kepercayaan ini agaknya, dan terutama sekali karena keindahan alamnya dan kesunyiannya, maka Pegunungan Himalaya menjadi tempat pelarian para pendeta, pertapa dan manusia-manusia yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai.

Di sebuah dusun tak jauh dari kota raja, di kaki Pegunungan Himalaya, pada suatu pagi yang sejuk, tampaklah belasan orang pria yang bertubuh tegap dan kuat sedang berlatih ilmu silat. Tubuh mereka, dari yang besar sampai yang kecil kurus, kelihatan kuat dan berisi tenaga besar ketika mereka bergerak secara berbareng dengan tubuh atas telanjang, hanya memakai celana panjang dan sepatu, rambut mereka dikuncir semua, mengikuti petunjuk dan aba-aba yang keluar dari mulut seorang kakek berwajah tampan gagah yang bertopi bulu. Kakek ini usianya sudah tua sekali, tentu kurang lebih ada delapan puluh tahun, namun sikapnya masih gagah sungguhpun gerak-geriknya halus dan wajahnya tampan terpelihara.

Suaranya masih lantang ketika dia mengeluarkan aba-aba agar gerakan mereka yang sedang berlatih itu dapat seirama, sedang kaki tangannya masih tangkas ketika dia memberi contoh gerakan.

"Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan! Tu-wa-ga-pat-ma-na m-ju-pan!" Demikian aba-abanya, makin cepat pula gerakan mereka yang sedang berlatih, terdengar angin bersiut dan buku-buku lengan kaki berkerotokan ketika mereka bergerak memukul dan menendang.

"Hemm, mengapa pula engkau, Ceng Ceng?" Kakek itu menghentikan hitungannya, membiarkan para murid itu bergerak dengan irama mereka sendiri, sedangkan dia melangkah ke arah kanan sebelah kiri rombongan pemuda yang sedang latihan itu kemudian berhadapan dengan seorang dara remaja yang tadinya ikut pula berlatih. Dara remaja itu tentu belum ada lima belas tahun usianya, wajahnya cantik manis, bentuk tubuhnya kecil ramping namun juga padat berisi, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang panjang dan gemuk itu dibagi menjadi dua kucir yang besar dan panjang, bergantungan di depan dadanya. Kedua kakinya masih memasang kuda-kuda seperti mereka yang sedang berlatih, akan tetapi kedua lengannya tidak melakukan gerakan memukul-mukul lagi, mulutnya yang kecil mungil itu cemberut dan matanya yang lebar seperti sepasang bintang itu membayangkan kekesalan hati.

Dara itu tidak menjawab teguran kakeknya melainkan mengurut-urut bahu dan lengannya, kepalanya menunduk dan kedua kakinya diluruskannya kembali. Kakek itu menghela napas panjang. "Hahhhh.... kau.... terlalu, Ceng Ceng! Selalu tidak mentaati perintahku. Mula-mula kau akhir-akhir ini tidak mau berlatih dekat para suhengmu...."

"Kong-kong (kakek), bagaimana aku tahan berlatih dekat mereka. Keringat mereka memercik ke sana-sini!" Dara itu membentak.

Kakek itu menahan geli hatinya. Gadis yang menjadi cucunya ini selalu ada saja bahan untuk menyangkal dan membantah, dan selalu menyatakan sesuatu dengan jujur sehingga kadang-kadang lucu. Memang tak dapat dibantah bahwa tubuh-tubuh sehat tanpa baju itu di waktu berlatih mengeluarkan banyak keringat dan gerakan cepat itu membuat keringat mereka memercik ke sana-sini!

"Sekarang, latihan yang amat penting ini kauabaikan juga."

"Habis, kaki tanganku sudah pegal dan kaku semua, kong-kong! Masa untuk satu jurus saja harus diulang sampai limaratus kali!"

"Hemm, kau tidak tahu keganasan jurus istimewa ini. Jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) ini merupakan satu di antara jurus-jurus pilihan dari ilmu silat kita. Diulang sampai limaratus kalipun kalau belum sempurna harus diulang terus!"

"Apa gerakanku belum sempurna?"

"Engkau sudah menguasai gerakan ilmu silat kita, akan tetapi para abangmu itu. Mereka harus diberi semangat, dan dengan melihat gerakanmu, mereka tentu akan lebih tekun. Lihat, betapa besar semangat mereka melatih jurus ini."

Dara yang bernama Ceng Ceng itu menengok dan mulutnya yang tadi merengut kini tersenyum mengejek, cuping hidungnya agak bergerak. "Semangat apa? Mereka semua menoleh ke sini!"

Kakek itu cepat menengok dan benar saja. Mereka itu masih bergerak, akan tetapi mata mereka semua mengerling ke arah dara itu sehingga kelihatannya lucu.

"Ihh, engkau yang menjadi gara-gara!" Kakek itu memaki lirih, kemudian menghampiri lagi ke depan para muridnya dan kembali terdengar hitungannya yang menambah semangat. Kini para murid itu tidak berani lagi mengerling ke arah sumoi mereka. Terpaksa pula Ceng Ceng juga bergerak lagi, akan tetapi biarpun gerakannya lemas dan baik, dia tidak menggunakan tenaga sehingga kalau para suhengnya itu ngotot dengan pengerahan tenaga, dia kelihatan lebih mirip dengan orang menari!

Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dia dahulu bekerja sebagai seorang pengawal kaisar di Tiongkok, memiliki ilmu kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastera. Namun nasib malang menimpa diri kakek ini ketika dia sudah mengundurkan diri sebagai pengawal dengan adanya peristiwa yang menimpa keluarganya sehingga akhirnya dia mengasingkan diri di dusun terpencil di kaki Pegunungan Himalaya ini. Ketika masih berada di Tiongkok, kakek ini sudah kehilangan putera tunggalnya dan mantunya, dan hanya hidup berdua dengan seorang cucunya, cucu wanita yang bernama Lu Kim Bwee. Kurang lebih lima belas tahun yang lalu, peristiwa hebat menimpa diri Lu Kim Bwee ini. Cucunya yang juga telah digemblengnya dengan ilmu silat itu, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya oleh seorang muda dan diperkosa! Akibatnya, Lu Kim Bwee mengandung! Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Sepasang Pedang Iblis.

Melihat penderitaan cucunya itu, Lu Kiong lalu mengajak Lu Kim Bwee untuk pergi meninggalkan Tiongkok dan akhirnya mereka tinggal di dusun kecil di kaki Pegunungan Himalaya itu. Di tempat terpencil dan sunyi ini, Lu Kim Bwee melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi malang sekali, ibu muda itu meninggal dunia ketika melahirkan karena memang dia selalu berduka dan batinnya terhimpit oleh peristiwa yang memalukan dirinya itu. Anak yang terlahir selamat itu diberi nama Lu Ceng dan sesungguhnya anak ini adalah cucu buyut dari kakek Lu Kiong, akan tetapi diaku sebagai cucunya.

Biarpun kini penghidupannya di dalam dusun itu bersama cucu buyutnya dapat dikatakan tenteram dan penuh damai, namun kakek yang tua ini masih selalu gelisah kalau mengingat akan masa depan cucu buyutnya itu. Pernah dia ditekan dan merasa terdesak oleh pertanyaan Ceng Ceng yang berwatak periang, cerdik dan jenaka itu, yaitu pertanyaan mengenai ayah dara itu. Dia tadinya hanya memberi tahu kepada Ceng Ceng bahwa nama ibunya adalah Lu Kim Bwee. Dara yang cerdik itu cepat membantah.

"Tidak mungkin itu, kong-kong!"

"Apanya yang tidak mungkin?"

"Kalau ibu she Lu, mengapa aku juga she Lu?"

"Ahh.... kau sebetulnya.... ah, engkau memang she Lu, cucuku."

"Hemm, kong-kong menyembunyikan sesuatu dariku! Siapakah ayahku? Dan di mana ayah? Apakah dia sudah meninggal? Mengapa pula aku tidak diberi she (nama keturunan) ayahku?"

Dihujani pertanyaan ini, kakek Lu Kiong menjadi sibuk sekali dan akhirnya dia mengaku juga.

"Ayahmu berna ma.... Gak Bun Beng."

"Gak Bun Beng...." Dara itu membisikkan nama itu seolah-olah hendak menanamkan nama itu di dalam hatinya. "Kalau begitu, namaku adalah Gak Ceng, bukan Lu Ceng!"

"Tidak, Ceng Ceng!" Kakek itu membentak dan terkejutlah dara itu karena selamanya belum pernah dia mendengar suara kakeknya mengandung kemarahan seperti itu.

"Mengapa, kong-kong?"

"Namamu tetap Lu Ceng!"

"Tapi ayahku...."

"Tidak! Kau tidak perlu memakai nama keturunan orang itu!"

"Mengapa....?" Wajah Ceng Ceng menjadi berubah agak pucat.

"Dia.... dia.... telah meninggalkan ibumu, membuat ibumu hidup sengsara sehingga meninggal dunia ketika melahirkan kau."

"Ouhhh...." Ceng Ceng kecewa bukan main mendengar ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik itu menduga-duga. Tidak mungkin agaknya ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja tanpa sebab.

"Mengapa ayah meninggalkan ibu?" desaknya lagi.

"Entahlah. Dia bukan orang baik, karena itu kau harus memakai nama keturunan kita, nama keturunan Lu."

"Aku akan mencari ayah, biar kutanya sendiri mengapa dia sampai hati meninggalkan ibu!"

"Jangan....! Takkan ada gunanya, dia.... dia sudah mati...."

"Ouhhh...." Dan kini dara itu terisak menangis. Lu Kiong menarik napas panjang. Hatinya terasa perih mengenangkan semua peristiwa yang menimpa diri cucunya, Lu Kim Bwee, belasan tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak mau membuka rahasia itu, tidak sampai hati dia menceritakan cucu buyutnya ini bahwa ibunya diperkosa orang, bahwa dia adalah seorang anak haram! Dia tidak ingin melihat dara ini menjadi menyesal dan berduka, merasa rendah dan membenci ayahnya sendiri. Biarlah riwayat yang mendatangkan aib itu dikubur bersama meninggalnya Lu Kim Bwee dan Gak Bun Beng. Tentu saja diapun tidak mau menceritakan bahwa Gak Bun Beng, ayah dara ini, tewas di tangan ibunya sendiri, yaitu ketika Lu Kim Bwee mengeroyok Gak Bun Beng dengan wanita-wanita yang lain yang juga menjadi korban keganasan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) itu! Tentu saja kakek ini, juga cucunya, Lu Kim Bwee yang telah meninggal dunia ketika melahirkan Ceng Ceng, sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng, yang mereka sangka telah tewas itu, sebetulnya sama sekali belum tewas (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Untuk mengisi kekosongan hidupnya di dusun yang terpencil di kaki Pegunungan Himalaya itu, kakek Lu Kiong menerima murid-murid untuk dilatih ilmu silat. Tentu saja dia memilih dalam penerimaan murid ini, dan setelah dia kumpulkan, hanya ada lima belas orang pemuda di sekitar daerah itu yang diterimanya menjadi murid-muridnya. Tentu saja karena Ceng Ceng telah digemblengnya sejak kecil sedangkan penerimaan murid dilakukan setelah Ceng Ceng berusia dua belas tahun, maka biarpun Ceng Ceng disebut sumoi (adik perempuan seperguruan) namun dalam hal ilmu silat dara ini jauh lebih pandai daripada semua suhengnya.

Kekesalan hati Ceng Ceng di pagi hari itu bukan hanya karena dia jemu berlatih silat. Sama sekali tidak. Sesungguhnya dia amat gemar berlatih ilmu silat dan bakatnya amat baik. Akan tetapi pagi itu lain lagi. Ada berita menggemparkan bahwa rombongan utusan kaisar Tiongkok akan lewat di dusun itu dalam perjalanan mereka menuju ke kota raja, untuk memboyong puteri Raja Bhutan ke Tiongkok karena puteri itu telah dijodohkan dengan seorang pangeran Mancu yang menguasai Tiongkok di waktu itu. Rombongan utusan kaisar Mancu ini kabarnya membawa pula peralatan dan hadiah-hadiah istimewa sehingga semua penduduk di daerah yang akan dilalui rombongan telah bersiap-siap untuk menonton! Tentu saja Ceng Ceng, seorang dara remaja yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dan haus akan segala yang menarik hati, ingin sekali menonton maka latihan-latihan keras yang diadakan kakeknya pada saat seperti itu membuat hatinya mendongkol.

Betapapun juga, Ceng Ceng tidak mau membantah lagi kepada kong-kongnya, apalagi di depan lima belas orang suhengnya. Dan dia sudah ikut pula berlatih, biarpun hanya dengan setengah hati. Latihan berjalan tertib kembali dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka yang mengikuti pukulan-pukulan tertentu, suara pernapasan dan suara kakek yang menghitung dengan irama yang khas.

Suara tambur yang terdengar tiba-tiba, datang dari jauh dan makin lama makin mendekat, kini terdengar keras diselingi sorak-sorai suara anak-anak, membuat Ceng Ceng hampir menangis. Suara tambur itu seolah-olah mengejeknya, seolah-olah mengiringi gerakannya berlatih. Ketika ia melirik ke arah kong-kongnya dan para suhengnya, mereka itu masih tenggelam ke dalam semangat yang tetap menggelora. Hampir Ceng Ceng terisak-isak dan lari dari tempat itu, akan tetapi ia merasa malu kepada para suhengnya, dan takut kepada kong-kongnya. Betapa besar keinginan hatinya untuk pergi menonton rombongan utusan itu! Utusan raja dari Tiongkok! Banyak sudah dia mendengar tentang kehebatan kota raja di sana, akan tetapi hanya mendengar dari cerita kakeknya, kota raja di Tiongkok seratus kali lebih besar dan lebih megah dibandingkan dengan kota raja dengan istananya dan rumah-rumah besar di Bhutan yang sudah pernah dilihatnya. Dan sekarang, selagi kesempatan tiba dengan datangnya rombongan utusan kaisar, dia tidak bisa menonton, bahkan harus terus berlatih silat! Siapa tidak akan mendongkol hatinya?

Pada saat itu seorang pelayan memasuki kebun tempat berlatih itu, menghadap kakek Lu Kiong dan memberitahukan bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan kakek Lu Kiong. Kakek itu lalu menggapai muridnya yang pertama.

"Kaulanjutkan, wakili aku memimpin latihan ini baik-baik. Aku akan menemui tamu."

"Baik, suhu!"

Kakek itu pergi setelah menoleh ke arah cucunya, kemudian menghela napas dan pergi bersama pelayan itu memasuki rumahnya. Begitu kakek itu lenyap di balik pintu, Ceng Ceng serta merta menghentikan latihannya dan berlari meninggalkan tempat latihan menuju ke pintu samping kebun itu.

"Haiii.... sumoi....! Kau tidak boleh pergi!" kata murid pertama yang mewakili gurunya.

Akan tetapi Ceng Ceng telah tiba di pintu kebun samping, dan mendengar seruan twa-suhengnya (kakak seperguruan pertama), dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan dada, membuka bibir dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek suhengnya itu, kemudian tertawa terkekeh dan lari dari tempat itu. Twa-suhengnya hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap sumoinya yang manja dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah dia bisa dilawan oleh sumoinya, dan tentu saja dia tidak menghendaki hal ini. Dia dan para saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi yang cantik jelita, bengal akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya yang

periang dan jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati sumoinya untuk menonton rombongan utusan kaisar.

******

Hati Ceng Ceng merasa gembira bukan main. Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri dia menonton rombongan yang megah itu lewat di dusun untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari dusun itu. Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para penonton, menuju ke kota raja.

Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu saja tidak diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian ini. Para penjaga dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk memasuki pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar itu terjadi desak-mendesak.

Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat, dipegang pundaknya oleh seorang penjaga. Ketika penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada. Ceng Ceng menjadi marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal! Tiga orang penjaga lain datang, seorang di antara mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.

Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka. Akan tetapi dengan teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira inipun hendak berbuat kurang ajar kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itupun terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!

"Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!" Suara itu terdengar nyaring dan dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia tentulah seorang yang penting. Memang demikian sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak seberapa tinggi, akan tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok. Jenggot itu panjang sekali, dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.

Pengawal berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika dia berkata, "Nona cilik, berani kau membikin kacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada para penjaga untuk ditangkap!"

"Plak-plak-plak-plak!" Sampai empat kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja yang masih berbau kanak-kanak yang dapat menangkis terkamannya sampai empat kali!

"Bagus, kau boleh juga!" Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan.... bagaikan seekor ular hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan darah di leher Ceng Ceng! Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih menjijikkan dan mengerikan hatinya daripada menakutkan itu, membuat diapun menggerakkan kepalanya dan.... dua helai kucirnya yang tadinya tergantung ke belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!

"Plakkkk!" Ujung jenggot bertemu dengan dua ujung kucir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa, sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua!

Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah tiba di pintu gerbang istana itu.

Melihat komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut "sumoi" kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata, "Maaf....!"

Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk menambah ilmu kepandaian silatnya saja. Akan tetapi tentu saja diapun menyebut sumoi kepada Ceng Ceng, sedang dara itupun menyebut suheng kepadanya. Ketika melihat bahwa keributan yang terjadi di luar pintu gerbang itu adalah gara-gara sumoinya, maklumlah dia karena diapun sudah mengenal watak sumoinya yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka dengan suara mencela dia berkata, "Sumoi, apa yang kaulakukan di sini? Mengapa membikin ribut?"

Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata, "Aihh, suheng, siapa yang tidak jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoimu mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar."

Perwira itu maklum akan kecantikan sumoinya dan dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng, maka untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura dan berkata, "Harap maafkan kesalahpahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri."

Pengawal berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata, "Sungguh hebat sekali kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan merasa kagum."

Pertemuan itu ditutup dengan upacara penyambutan pasukan yang dipimpin perwira itu, kemudian rombongan utusan diiringkan memasuki halaman istana yang sudah berada dalam keadaan dan suasana pesta penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira yang menjadi suheng Ceng Ceng itu tentu saja memungkinkan gadis ini untuk diperkenankan ikut memasuki istana! Tentu saja hati Ceng

Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas boleh masuk ke dalam istana dan oleh mereka yang belum mengenalnya, dia tentu dianggap seorang di antara anggauta rombongan utusan sehingga siapapun yang bertemu dengan rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh hormat. Sementara itu hari telah menjadi siang.

Rombongan utusan kaisar itu disambut dengan upacara meriah oleh para pembesar istana dan penyambutan dikepalai oleh pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh karena pada hari itu, raja yang diharapkan sudah pulang dari berburu binatang pada hari kemarin, masih juga belum tiba! Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di dalam hati keluarga raja dan para pembesar, dan sejak kemarin telah dikirim utusan untuk menyusul ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan tetapi utusan itupun belum pulang sampai hari itu!

Karena kedatangan rombongan utusan kaisar itu adalah untuk memboyong puteri, berarti urusan perjodohan, maka tentu saja tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi ayah kandung sang puteri, penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu harus bertemu dan menghadap raja untuk menyampaikan segala pesan kaisar dan menghaturkan semua hadiah perjodohan. Maka oleh pangeran tua, setelah diadakan penyambutan meriah dan dijamu dengan hidangan mewah, rombongan tamu agung ini dipersilahkan mengaso di dalam kamar-kamar istana yang sudah dipersiapkan untuk para tamu yang penting dan terhormat itu. Dengan hati girang Ceng Ceng juga ikut makan minum di meja sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suhengnya. Sambil makan dia menyatakan kekagumannya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu.

Setelah rombongan tamu mengundurkan diri beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak suhengnya ke rumahnya yang terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan tetapi dara ini membantah ketika suhengnya menyuruh dia lekas pulang  agar tidak mengkhawatirkan hati kakeknya.

"Aku ingin sekali menonton sampai sri baginda pulang, aku ingin melihat sang puteri diboyong!"

"Sumoi, engkau tadi mengatakan bahwa kau pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu akan membikin tidak senang hati suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati orang tua itu tidak gelisah."

"Biarpun aku pergi tanpa setahu kong-kong, akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali menonton keramaian, maka dia tentu dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di kota raja bersama suheng. Hati orang tua itu tidak akan menjadi gelisah. Suheng, kalau suheng keberatan aku bermalam di rumah suheng ini, biarlah aku mencari tempat penginapan lain, di kuil atau di mana saja. Pendeknya, aku harus melihat sang puteri diboyong!"

Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu benar akan watak sumoinya ini dan dalam keadaan sibuk dengan kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia tidak ingin ditambah dengan kesibukan mengurus sumoinya yang bengal ini. Maka dia hanya berkata, "Sumoi, tentu saja engkau tahu aku tidak keberatan kau bermalam di sini. Aku hanya ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri yang harus menanggung karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang."

Ceng Ceng tersenyum manis dan memegang tangan suhengnya dengan sikap manja, kemanjaan seorang anak-anak kepada orang yang sepatutnya menjadi ayahnya.

"Suheng yang baik, seorang gagah harus berani mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, bukan?"

Mau atau tidak perwira itu tertawa. Dia sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu dia amat sayang kepada sumoinya ini yang dianggap seperti seorang anaknya sendiri. Isterinya juga amat suka kepada Ceng Ceng yang menyebut isteri suhengnya itu "so-so" (ka kak ipar pere mpuan).

Perwira ini bernama Jayin dan di Kota Raja Bhutan namanya cukup terkenal karena dia merupakan tokoh kedua dalam deretan nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di lingkungan istana dan Kerajaan Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi yang mengepalai pasukan pengawal yang bertugas menjaga keselamatan di kota raja. Tokoh pertama adalah panglima sendiri, yang selain merupakan panglima perang juga selalu mendampingi raja. Panglima itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama pasukan pengawal pilihan lain yang jumlahnya semua dua losin orang. Perwira Jayin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi setelah ilmu silatnya ditambah dengan latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong kepadanya. Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu Kiong, karena kakek itu mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil, setelah kakek itu tertarik melihat watak gagah perkasa dari perwira tinggi itu.

Dapat dibayangkan betapa khawatir dan pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang bertanggung jawab penuh di kota raja di saat raja dan panglima tidak berada di istana, padahal hari itu terjadi peristiwa amat penting dengan kedatangan rombongan utusan kaisar. Kesibukan dan kekhawatiran menghadapi urusan itu membuat dia tidak banyak cerewet lagi menghadapi sumoinya, maka setelah mengajak sumoinya ke rumah dan "menyerahkan" dara bengal itu kepada isterinya, perwira itu bergegas kembali ke

istana untuk menanti kembalinya raja dan rombongannya yang pergi berburu semenjak tiga hari yang lalu.

Sore harinya dia pulang dengan wajah letih lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti pulangnya ternyata masih belum pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul ternyata juga belum kembali dan tidak ada kabar apa-apa dari rombongan raja yang memburu binatang di hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya sebelah barat.

Ceng Ceng tidur dan bermimpi tentang yang indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar, tentang istana yang megah dan mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya sendiri berpakaian seperti seorang puteri raja yang dijemput dan diboyong ke istana kaisar! Akan tetapi tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan terbangun dari tidurnya oleh suara orang bercakap-cakap. Sebagai seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan seluruh urat syarat di tubuhnya berada dalam keadaan siap bergerak, begitu terbangun Ceng Ceng sudah meloncat turun dari pembaringan dan berindap-indap keluar dari kamarnya, mengintai suhengnya yang terdengar bercakap-cakap dengan seorang laki-laki lain. Pada waktu itu telah lewat tengah malam, maka tentu saja Ceng Ceng menjadi curiga dan menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat penting maka pada saat selarut itu suhengnya masih menerima tamu. Ketika Ceng Ceng mendengarkan percakapan mereka, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Kiranya terjadi

hal yang demikian hebat, pikirnya! Pantas saja suhengnya kelihatan sibuk benar dan malam-malam begitu masih menerima tamu dari istana. Tamu itu adalah komandan bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi menyusul rombongan raja. Dan orang ini datang melapor kepada suhengnya bahwa rombongan raja yang dikawal oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu telah mengalami malapetaka! Rombongan raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing yang hendak menawan raja. Terjadi perang kecil. Akan tetapi, biarpun raja dikawal oleh pasukan pengawal pilihan yang dipimpin panglima sendiri, jumlah musuh terlalu besar, sedikitnya ada seratus orang maka tentu saja pasukan pengawal raja menjadi kewalahan. Pasukan pengawal tetap mempertahankan diri sementara raja yang dikawal oleh panglima melarikan diri. Akibatnya, raja berhasil lolos dari kepungan dengan pengawalan panglima yang lihai, sekarang entah bersembunyi di mana, sedangkan dua losin pengawal pilihan itu mempertahankan diri sampai tewas semua, terbasmi oleh fihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu.

"Sekarang juga ciangkun diminta datang ke istana oleh pangeran tua untuk merundingkan urusan ini." Demikian pembantunya mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar pelaporan itu dan dia cepat berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana bersama pembantunya.

Ceng Ceng tidak dapat tidur lagi. Menghadapi peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia bisa tidur? Terlalu hebat peristiwa ini. Betapa kong-kongnya dan para suhengnya akan melongo mendengarkan ceritanya kelak. Raja terancam bahaya! Raja hendak diculik, hendak dibunuh oleh pasukan asing ketika raja dan panglima sedang berburu. Padahal rombongan utusan kaisar sudah tiba! Dan sekarang raja dan panglima tidak tahu berada di mana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus tahu lebih banyak, demikian pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan rambutnya, mencuci muka dan diam-diam dia meninggalkan rumah suhengnya melalui jendela dan berlari menuju ke istana.

Dia sudah mengambil keputusan untuk masuk ke istana, apapun juga yang akan terjadi, diperkenankan atau tidak! Dia harus mengikuti terus perkembangan keadaan, harus tahu apa yang selanjutnya terjadi agar kelak ceritanya kepada kong-kongnya dan kepada suhengnya dapat lengkap! Betapa senangnya nanti menceritakan itu semua, pikirnya.

Tentu saja para penjaga menghadangnya di pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan perintah yang dikeluarkan Perwira Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya tamu agung yang bermalam di istana dan dengan terjadinya hal-hal yang mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh komandan pasukan yang menyusul rombongan raja.

Dara ini tersenyum mengejek, menggeser tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya kelihatan sambil berkata, "Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas hendak mencari ribut lagi dengan aku?"

Mendengar suara wanita dan melihat wajah cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja para penjaga mengenal Ceng Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira Jayin, yang siang tadi membikin ribut di pintu gerbang, merobohnya para penjaga dan dua perwira, bahkan yang berani menandingi pengawal kepala dari rombongan utusan kaisar!

"Eh.... kau lagi.... nona?" Komandan jaga yang mengenalinya berkata gugup.

"Ya, aku! Apakah kau hendak melanjutkan gerakan tombakmu itu?"

Komandan jaga itu cepat-cepat menurunkan tombaknya yang tadi menodong. "Ahh, tidak....! Maafkan, nona, tetapi kami menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh masuk."

"Tentu saja! Kalau kau membiarkan orang asing masuk, suhengku Perwira Jayin tentu tidak akan memberi ampun kepadamu! Akan tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku disuruh oleh so-so, isteri abangku, untuk menyusul suheng yang baru saja masuk ke istana."

Komandan jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari Perwira Jayin dan memang benar baru saja perwira itu masuk ke istana!

"Ada ada urusan apakah, nona? Boleh kami yang menyampaikan...."

"Hushhh! Urusan keluarga, urusan isteri hendak kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah kalian? Akan kulaporkan kepada suheng...."

"Ah, maaf...., maaf.... harap nona tidak marah. Kami bukan berniat buruk...."

"Kalau tidak berniat buruk, mengapa melarang aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih ada lagi penjaga yang hendak kurang ajar kepadaku?"

Komandan jaga itu kewalahan. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua minggir, memberi jalan dan komandan itu berkata, "Baiklah, nona masuk saja. Akan tetapi harap jangan bicara yang bukan-bukan kepada ciangkun."

Ceng Ceng memasuki pintu gerbang itu, menoleh dan tersenyum. "Aku akan melaporkan kepada suheng bahwa komandan jaga malam ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang amat baik hati dan ramah."

Setelah dara itu pergi memasuki halaman istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya itu merabaraba kumisnya, tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng itu sekaligus merobah keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan pelanggaran, kini dia merasa bangga karena telah melakukan jasa.

Niat hati hendak mencari suhengnya di dalam istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal akan keadaan di istana yang demikian besarnya, yang mempunyai banyak lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan hiasannya, membuat dia kesasar ke lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana besar itu. Padahal suhengnya saat itu sedang sibuk terlibat dalam perundingan yang serius dengan Pangeran Tua dan para panglima lainnya yang berlangsung di sebelah kanan bangunan istana. Ceng Ceng tersesat jalan, memasuki daerah yang dihuni oleh para puteri dan semua anggauta wanita dari keluarga kerajaan.

Barulah dara ini sadar akan kesalahan jalan ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga wanita yang sudah bermunculan dari kanan kiri dan mengurungnya!

"Siapa kau?"

"Tangkap dia!"

"Dia tentu mata-mata musuh!"

Para penjaga wanita itu sudah berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng Ceng untuk membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya. Ceng Ceng menjadi marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit dan terpelanting roboh terkena dorongan tangan dan tendangan kakinya.

Ributlah keadaan di situ. Ceng Ceng marah karena para penjaga wanita itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan terus mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu beterbangan di sekelilingnya. Betapapun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa dia berada di dalam istana, maka dia mengatur kaki tangannya agar jangan sampai melukai berat lawan, apalagi membunuh seorang di antara mereka. Namun, karena kaki dan tangan dara ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya mengalami bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar jeritan wanita-wanita yang terpelanting itu.

"Siapa berani main gila di sini?" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng memandang dengan penuh kagum dan tercengang ketika dia melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita. Dara ini cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan jernih, terlindung bulu mata yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk berombak dan dibiarkan terurai di belakang punggungnya, diikat di dekat tengkuk dengan gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan rambut yang dihias dengan seekor burung Hong terbuat daripada emas dan permata. Telinganya terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan tangannya. Pakaiannya juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang cantik jelita dan pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi pada saat itu, dia bukan merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang sedang marah, yang tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula, pedang yang gagangnya terhias emas terukir halus.

Ceng Ceng sejenak memandang kagum dan terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu menghampirinya dan menampar dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras, Ceng Ceng sadar dan cepat dia menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak menangkis, akan tetapi mengingat betapa halus dan putih lengan dara itu, dia merasa tidak tega, maka dia lalu merobah tangkisannya menjadi tangkapan.

"Plakkk....!" lengan tangan kiri dara itu diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang di tangan kanan dara itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, "Harap tahan dulu dan jangan menyerang. Aku bukan orang jahat, aku mencari suhengku, Perwira Jayin!"

Mendengar ini, sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan tangan kanan yang memegang pedang menurun. Ceng Ceng sudah melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu melangkah mundur, berdiri tegak dan memandang dengan penuh kagum.

"Dia....?"

"Benar dia....!" Demikian terdengar beberapa orang penjaga wanita berkata.

Dara jelita berpakaian merah itu melangkah maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik, sinar matanya merayapi tubuh Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki, kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh wibawa, "Apakah engkau sumoi dari Perwira Jayin yang siang tadi menimbulkan geger di pintu gerbang dan yang kabarnya telah berani pula melawan pengawal kaisar sendiri?"

Ceng Ceng tersenyum dan dia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya, "Kalau boleh aku mengetahui, siapakah anda yang begini cantik jelita seperti dewi?"

Dara itu tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah silau oleh kecantikan yang makin menonjol itu. Betapa manis senyum itu, senyum wajar yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh wajah jelita itu, bahkan yang seolah-olah menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!

"Kabarnya engkau berna ma Ceng Ceng dan engkau mengakibatkan geger karena ingin melihat puteri yang akan diboyong oleh rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?"

Ceng Ceng mengangguk.

"Nah, akulah puteri itu."

Mata Ceng Ceng makin melebar dan bibirnya yang kecil mungil dan kemerahan itu terbuka. Sejenak dia tidak dapat berkata apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan diri berlutut. "Ampunkan hamba.... ahhh, hamba tidak tahu...."

Puteri itu tertawa, melempar pedangnya yang disambut oleh seorang di antara para pengawal wanitanya. Kemudian puteri itu maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya berdiri. Mereka itu sebaya, dan perawakan merekapun tidak berselisih banyak.   Mereka berdiri berhadapan, saling memandang dan kemudian keduanya tersenyum dengan rasa suka timbul di hati masing-masing.

"Paduka.... paduka Puteri Syanti Dewi....?"

Puteri itu mengangguk, tersenyum dan memegang tangan Ceng Ceng, digandengnya dan ditariknya dara itu masuk ke dalam kamarnya yang besar dan indah. Puteri itu memberi isyarat kepada semua pelayan dan penjaganya agar tidak mengganggu mereka berdua, kemudian pintu kamarnya ditutupkan dari luar dan dia berkata sambil tersenyum lebar.

"Nah, duduklah dan anggap ini kanarmu sendiri, Ceng Ceng, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau tidak seperti orang Mancu."

"Benar, hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi biasa disebut Ceng Ceng."

"Ah, engkau puteri guru Perwira Jayin yang bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu?"

"Bukan anaknya, melainkan cucunya. Paduka amat baik terhadap hamba, padahal hamba telah mengagetkan paduka dan telah berani memasuki tempat ini...."

"Hushh, kalau kau tidak merobah sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku kepadamu, Ceng Ceng, tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap hari disembah-sembah orang, setiap hari mendengar sebutan paduka tuan puteri atau yang mulia dan lain-lain yang kosong dan palsu, mendengar orang merendahkan diri dan menyebut hamba yang rendah dan sebagainya. Betapa rinduku diperlakukan seperti manusia biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang siluman yang bukan manusia. Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang terbuka, menyebutku dengan kata kau atau anda saja. Akan tetapi begitu kau meniru sikap mereka yang merendahkan diri seperti orang menjilat, aku menjadi tidak senang."

"Habis....?" Ceng Ceng meragu dan terheran, juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang puteri raja yang menyatakan pendapat seperti itu.

"Engkau Ceng Ceng, dan aku Syanti saja. Kau sebut saja namaku."

"Ini.... ini.... mana hamba berani...."

"Kalau tidak berani, lekas kau pergi dari sini dan aku tidak mau bersahabat lagi denganmu."

"Ahhhh...." Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan merasa kecewa sekali. "Hamba ingin sekali.... bersahabat.... hamba kagum dan suka kepada paduka...."

"Hushh! Hanya satu syaratnya, yaitu kau menganggap aku sebagai sahabat atau.... eh, bagaimana kalau sebagai saudara? Berapa usiamu?"

"Kurang lebih lima belas tahun."

"Kalau  begitu sama dengan aku. Nah, untuk menghormatiku biarlah kau menganggap aku lebih tua setengah bulan darimu, dan kau menyebut aku enci (kakak), dan aku menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Selanjutnya kau harus ber-engkau dan ber-aku kepadaku, tidak ada lagi paduka-padukaan atau hamba-hambaan. Bagaimana, maukah kau?"

Ingin Ceng Ceng menari kegirangan. Siapa bisa percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang gadis gunung, diaku sahabat baik, bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang terkenal itu! Duduk berdua sekamar dengan puteri itu, bicara dengan sebutan engkau dan aku! Mana mungkin ini? Hanya dapat terjadi dalam mimpi! Mimpikah dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri.

"Haii, Ceng-moi, apa yang kaulakukan itu ?" Puteri Syanti memandang heran ketika melihat Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri dan meringis karena merasa nyeri.

"Ehh....! Ohhh....! Tidak.... tidak apa-apa.... eh, enci Syanti."

Puteri Syanti tertawa lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga mulut yang merah dan lidah yang kecil yang bergerak hidup dan berwarna merah muda.

"Senang hatiku mendengar kau menyebutku enci! Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak boleh menyimpan rahasia. Aku melihat kau tadi mencubit pahamu sampai kau meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu, mencubit paha sendiri?"

"Habis, tidak ada yang mencubit.... eh, maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar mukanya, apalagi kalau dia seorang pria!"

Jawaban ini membuat sang puteri terkekeh geli. "Bagaimana kalau yang mencubit itu pria kekasihmu?"

"Kekasih?" Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.

"Kekasih?" Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.

"Kekasih, pria yang kaucinta. Bagaimana kalau dia yang mencubit pahamu?"

"Cinta? Aku tidak tahu, aku tidak mengerti apa itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu, berarti dia kurang ajar dan tentu akan kutampar mukanya sampai bengkak-bengkak!"

"Ouhhh....!" Puteri itu menutupi mulutnya dan memandang heran. "Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah berpacaran?"

"Hehh? Berpacaran?"

"Ya, mempunyai teman pria yang kau sukai, dengan siapa engkau bersendau-gurau, bersenang-senang, bermain-main bersama dan sebagainya."

Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri, "Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas di luar, tidak seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri...."

"Enci Syanti, apa yang kaubicarakan ini? Aku tidak mengerti."

"Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah yang beruntung, tidak dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?"

"Karena aku masih tidak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku sedang mimpi, maka kucubit pahaku."

"Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng."

"Dan aku.... aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali padamu."

"Kalau begitu....!" Puteri itu meloncat. "Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Kau tahu, adik Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku, barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!"

"Apa....? Aku....? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?" Jantung di dada Ceng Ceng berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!

"Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran seorang sahabat, seorang saudara yang kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan hatiku ini" Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!

Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat. "Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!"

"Adikku....!" Saking girangnya puteri itu lalu menubruk, memeluk Ceng Ceng dan mencium pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masing-masing yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru sekarang bertemu.

"Akan tetapi bagaimana kalau kong-kong melarangku?" Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya, bertanya ragu.

"Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh kong-kongmu."

Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan, kemudian tidur bersama dalam pembaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai.

******

Benar saja apa yang dikatakan oleh Puteri Syanti Dewi. Setelah puteri ini menyatakan kehendaknya mengangkat Ceng Ceng sebagai pengawal pribadinya, pangeran tua sendiripun tidak berani melarang sehingga Perwira Jayin yang tadinya mendengar akan perbuatan Ceng Ceng dan hendak membawa pulang sumoinya itu, jadi "mundur teratur" dan terpaksa dia mengirim laporan kepada suhunya di dusun tentang keadaan Ceng Ceng yang kini diangkat oleh sang puteri menjadi pengawal pribadi, bahkan sudah ditentukan oleh puteri itu bahwa Ceng Ceng akan mengawalnya kalau tiba saatnya dia diboyong oleh rombongan utusan kaisar!

Sementara itu, pada malam hari itu juga ketika merundingkan persoalan raja yang terancam bahaya dengan para panglima dan pembantunya, pangeran tua mengambil keputusan untuk mengirim pasukan yang terdiri dari seribu orang perajurit, dipimpin oleh Panglima Jayin sendiri untuk mencari raja dan menyelamatkannya dari ancaman bahaya.

Berangkatlah Panglima Jayin menunggang kuda memimpin seribu orang perajurit itu pada malam hari itu juga. Bhutan bukanlah sebuah negara besar dan karena negara itu selalu berada dalam keadaan aman, jarang sekali dilanda perang, maka tentaranya juga tidak terlatih dan tidak banyak jumlahnya. Kalau sekarang dikerahkan seribu orang pasukan adalah karena mereka hendak menolong dan melindungi raja mereka. Obor-obor dipasang mengiringi keberangkatan barisan itu keluar dari benteng kota raja.

Akan tetapi ketika barisan itu tiba di pintu gerbang kota raja, terdengar teriakan penjaga dan Panglima Jayin cepat menengok. Kiranya di antara sinar obor tampak berkelebat bayangan orang yang melompati dinding benteng yang sangat tinggi itu dengan gerakan seperti seorang burung terbang saja.

"Kejar dia! Tangkap! Panah dia!" Panglima Jayin yang merasa curiga sekali memerintah dengan suara nyaring. Beberapa orang perajurit ahli anak panah sudah menyerang bayangan itu, akan tetapi karena gerakan bayangan itu cepat laksana burung terbang, serangan anak-anak panah itu sia-sia belaka dan dalam sekejap mata saja bayangan itu telah lenyap ke dalam kota raja.

Panglima Jayin mengangkat tangan menahan gerakan barisannya, kemudian mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyuruh mereka menahan barisan untuk berhenti di luar tembok kora raja karena dia ada urusan penting. Seorang diri panglima ini lalu membalapkan kudanya kembali ke kota raja, menuju ke istana.

Hati Panglima Jayin mulai merasa curiga terhadap para tamu agung, yaitu para rombongan utusan kaisar. Bukankah malapetaka terjadi ketika rombongan itu di Bhutan? Kebetulan sajakah ini, atau ada apa-apa di balik kedatangan rombongan itu? Mereka datang pada saat raja berburu dan rombongan raja dihadang oleh pasukan musuh yang kini dia tahu adalah orang-orang Mongol dan Tibet yang telah lama sering mengadakan gangguan kepada Pemerintah Bhutan. Orang-orang campuran antara Bangsa Mongol dan Tibet yang sesungguhnya merupakan orang-orang pelarian di negara mereka sendiri ini telah membentuk sebuah perkumpulan besar atau dapat juga dikatakan sebuah "kerajaan" kecil, dipimpin oleh seorang tokoh hitam yang kabarnya berasal dari Tiongkok dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, selama ini, karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah barisan Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan dan sudah lama mereka tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu raja yang sedang berburu, tepat ketika rombongan utusan kaisar tiba?

Bayangan yang dilihatnya meloncat seperti terbang tadi memakai kucir, tanda bahwa bayangan itu adalah seorang dari Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin terhadap rombongan utusan kaisar makin besar, maka dia menahan barisannya dan kini dia kembali ke istana untuk menemui mereka, untuk melihat keadaan dan kalau perlu bertindak. Ketika panglima memasuki pintu gerbang istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan dia berlari-lari masuk ke tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di situ juga sedang dalam keadaan ribut-ribut. Semua tamu itu telah terbangun dan banyak pula para pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika mereka melihat Panglima Jayin, maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang memimpin rombongan utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin dengan muka merah dan alis berkerut.

"Apa yang telah terjadi?" tanya Jayin dengan pandang mata penuh selidik kepada pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu.

Pengawal ini ini bernama Tan Siong Khi, ketika mendengar pertanyaan Jayin dia memandang tajam dan berkata, "Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan ini, panglima!"

Jayin mengerutkan alisnya, terheran akan tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata itu, "Hemm.... apakah sesungguhnya yang telah terjadi?"

"Ada orang menyelundup masuk ke tempat penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku sendiri sudah menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia berhasil melarikan diri dan lenyap."

Tentu saja Jayin terkejut, "Benarkah? Seperti apa orangnya?"

"Keadaan gelap, dan gerakannya gesit. Kami tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan tetapi yang amat mengherankan, mengapa dia dapat memasuki istana yang terjaga kuat dan bagaimana mungkin dia melarikan diri dari istana dan dari dalam kota raja?"

Biarpun ucapan Tan Siong Khi diucapkan seperti orang yang merasa heran dan penasaran, namun di dalamnya terkandung kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk mengimbangi sikap Jayin yang datang-datang memperlihatkan kecurigaan pula.

Jayin mengerutkan alisnya lagi. Memang sukarlah baginya keadaan seperti itu. Kecurigaannya terhadap rombongan utusan ini memang makin besar. Siapa tahu keributan dengan alasan orang luar memasuki tempat penginapan mereka ini hanya sandiwara belaka! Akan tetapi untuk menuduh begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula, mereka ini adalah utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya sendiri sampai mengorbankan puterinya untuk menjadi isteri seorang Pangeran Mancu hanya karena mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan terlindung sebagai keluarga Kerajaan Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok. Akan tetapi Jayin adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman, tidak saja berpengalaman dalam medan perang, akan tetapi juga berpengalaman dalam hal diplomasi. Dengan cerdik dia lalu berkata dengan muka sungguh-sungguh, "Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi urusan besar yang juga menyangkut kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja kami sedang terancam bahaya." Dia lalu menuturkan bagaimana rajanya yang sedang berburu itu diserbu oleh musuh dan kini tidak tahu berada di mana dan bagaimana pula keadaannya.

"Kalau raja kami tidak dapat segera diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan gagal pula. Maka setelah ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk ciangkun yang sudah tentu memiliki kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai pengawal kaisar sebuah negara besar. Saya harap ciangkun tidak akan berkeberatan untuk membantu kami melakukan penyelidikan untuk menolong raja kami."

Tan Siong Khi juga bukanlah seorang pengawal bodoh. Dia mengerti apa artinya permohonan yang diajukan dengan halus oleh Jayin itu. Untuk urusan dalam seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini minta bantuan orang luar. Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan, akan tetapi sebetulnya dia akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini agaknya mencurigai rombongannya! Maka dia tersenyum dan berkata, "Kami diperintahkan untuk menjemput mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang

akan menjadi besan dari kaisar kami terancam bahaya, sudah tentu saya suka membantu."

"Kalau begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam ini juga kita berangkat dan tentaraku sudah siap di luar tembok benteng kota raja." Panglima Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan tak lama kemudian berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda keluar dari kota raja dan memimpin pasukan yang seribu orang besarnya itu. Obor di tangan para perajurit yang bertugas membawa obor dan berada di depan, tengah, dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang menyala-nyala keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke Pegunungan Himalaya, ke arah utara.

Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat mencari raja mereka itu untuk menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi seorang.

Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat. Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih menjadi tengah dan duduknya di sebelah sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu.

Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga menuruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya. Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hal ini menandakan bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang keluar.

Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah "matang", gerak-geriknya tenang, wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya.

Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tongpai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sutenya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi. Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda dan biarpun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang memperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak itu diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu. Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi. Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan fihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggauta Bu-tong-pai. Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin Bu-tongpai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.

Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Hoang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur. Dengan uang yang diperoleh dari Butong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puterinya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan.

Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak ia ia masih dalam kandungan.

"Mengapa, ibu?" tanya anak kecil berusia enam tahun itu. "Mengapa ayahku meninggal dunia?"

Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata, "Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Oleh karena itu, kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat."

Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya. "Siapa yang membunuh ayah?"

"Tak perlu kauketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu."

"Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang...."

"Eh? Mengapa sayang?"

"Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!"

Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun Beng (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), orang yang bagaimanapun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biarpun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biarpun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu namun harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.

"Ibu, siapa namanya?"

"Nama siapa?"

"Nama penjahat yang membunuh ayah itu."

"Namanya? Namanya.... Gak Bun Beng."

"Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu."

"Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati."

"Orangnya sudah mati, akan tetapi namanyakan masih ada. Dan siapakah nama ayahku, ibu?"

Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama keturunan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab, "Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa."

Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.

Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu tentang cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apalagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka, karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya disamping pelajaran menulis dan membaca.

Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat maupun ilmu menulis membaca, sekali dihafal dilatih terus saja bisa. Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itui Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.

"Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?"

Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali. "Pendekar? Aihh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak mudah menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali."

"Ada orang yang lebih pandai dari ibu?" tanya anak berusia empat belas tahun itu.

Ang Siok Bi tertawa. "Baru di Bu-tong-pai saja, tingkat ibu paling banyak hanya menduduki ke empat!" Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai?

"Bu-tong-pai?" Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu.

Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menacuh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata, "Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin."

Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini. "Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?"

"Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi."

"Siapa ketuanya, ibu?"

"Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kong-kongmu sendiri."

"Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?"

"Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja."

Tek Hoat membelalakkan matanya. "Benarkah, ibu?" Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini. "Siapakah mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?"

"Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman."

"Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?"

Ibunya tersenyum. "Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman."

"Pendekar Siluman...." Tek Hoat berkata perlahan.

"Juga Pendekar.... Super Sakti."

"Pendekar Super Sakti...." kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.

"Dia Majikan Pulau Es!"

"Pulau Es.... di manakah Pulau Es itu, ibu?"

"Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya."

"Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?"

"Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?"

"Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!"

"Eh, mau apa kau?"

"Aku mau menantangnya."

"Kau gila?"

"Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Kalau benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai."

Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es."

"Akan tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu."

Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.

"Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh disana...." Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh ke khawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai? Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!

"Ibu, aku akan pergi sekarang juga."

"Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak."

"Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku."

"Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana....?"

Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis. "Ibu, mengapa ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?"

Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biarpun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya. Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa. Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw

yang ditanyanya membelala kkan matanya dengan heran dan takut, akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kong-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguhpun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya.

Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggauta pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.

"Hemm, kami tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi," seorang di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata. "Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi."

Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya sudah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras, "Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?"

Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

"Tidak ada kakekmu yang menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini."

Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!

"Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusat orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!"

"Anak haram!" Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat. Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!

"Plak.... brukkk....!" Tubuh Tek Hoat terbanting keras. Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter dimana dia terbanting keras membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!

Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong. Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang, karena pandang matanya berputar, akan tetapi dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.

"Bocah hina, apakah kau ingin mampus?" Kakek itu berteriak marah.

Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.

"Bressss....!" Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.

"Hemmm.... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!" Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan. Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biarpun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk. "Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!" Kakek itu lalu menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.

Sementara itu, Tek Hoat tadi melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika tiba-tiba kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya "terbang" cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.

"Kakek yang baik, aku ingin menjadi muridmu!" Tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat.

Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.

"Aku tidak akan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tidak akan menerima murid."

Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biarpun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itupun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata, "Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid, mengapa kau tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?"

Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap tertawa. "Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah engkau mencuri sesuatu?"

"Sudahlah, kalau engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong."

"Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?"

"Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Heii.... engkau kenapa?" Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan!

Tentu saja kakek itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Seperti telah diceritakan dalam Sepasang Pedang Iblis, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja. Kakek lumpuh namun lihai ini seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya, Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh.

Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali. Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya Gak Bun Ben, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya merasa sengsara sekali. Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana, meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

"Eh, anak yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?"

Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!

"Apakah engkau Pendekar Siluman?"

"Ha-ha-ha-ha!" Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata. Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biarpun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!

"Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau apakah kau mencari Pendekar Siluman"

"Aku mau menantangnya!"

"Heiiii....? Kau....? Menantangnya...?" Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar mengejutkan.

"Mengapa?"

"Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong langit, aku akan berguru kepadanya."

"Bocah lancang! Kaukira begitu mudah menantang dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih sukar daripada mencari naga di langit. Eh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?"

"Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Bu-tong-pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai tidak baik, malah memukulku."

Kakek itu memandang tajam. "Siapa kakekmu?"

"Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin."

"Ang Lojin....?" Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan (baca ceritera Sepasang Pedang Iblis).

"Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat."

Mata yang biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah memperkosanya!

"Ibumu yang suka memakai pakaian kuning itu....?" Tanyanya di luar kesadarannya karena hatinya yang bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu.

Tek Hoat tercengang. "Kau sudah mengenal ibuku?"

Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus jenggotnya dan termenung. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji. Karena dia sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat kenyataan hebat, tentang terbukanya semua rahasia yang selama ini mengganggu hatinya. Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu! Bukan Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapapun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?

"Anak baik, siapakah nama ayahmu?" Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.

"Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia."

Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?

"Siapa bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?"

"Kakek aneh, siapa lagi kalau bukan ibu yang bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah. Kata ibu, ayah telah meninggal dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu."

Kembali kakek itu mengelus jenggotnya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh kasihan wanita yang bernama Ang Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Anak ini tentu anak yang terlahir akibat perbuatan Wan Keng In yang memperkosa gadis itu! Timbul rasa iba besar di dalam hatinya terhadap anak ini.

"Ang Tek Hoet, aku mau menerima kau sebagai muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus berani hidup sengsara dan kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih ilmu silat selama dua tahun, dan kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut namaku sebagai gurumu. Bagaimana, maukah kau menerima syarat itu?"

Tek Hoat adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di depan kakek lumpuh itu, mengubah sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata, "Suhu, teecu menerima semua syarat itu, dan mohon Suhu sudi memberitahukan nama Suhu."

"Ha-ha-ha, namaku sendiri aku sudah lupa, akan tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama julukan yang dilebih-lebihkan karena singa ini sudah lumpuh!"

Mulai saat itu, Tek Hoat menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan kemanapun juga kakek itu pergi, dia mengikutinya, melayani gurunya dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini menjadi girang sekali lalu mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat. Dia mengajarkan ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya setelah kakek ini mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia mengajarkan sin-kang yang mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil daripada pemberian Nirahai setelah dia menjadi lumpuh kedua kakinya. Makin girang hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu ini. Mereka melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu menghindarkan diri dari persoalan dengan orang lain, bahkan selalu menyembunyikan diri karena memang dia sudah mual dengan persoalan di dunia, apalagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.

Patut disayangkan, dan amat tidak baik bagi Tek Hoat, kakek itu sama sekali tidak mengacuhkan tentang pendidikan. Dia hanya membawa muridnya merantau dan mengajar silat kepadanya, dan tentang pendidikan batin, dia sama sekali tidak mempedulikan. Padahal ketika itu Tek Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang sedang berangkat menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini merupakan usia yang paling gawat karena jiwa petualang yang ada dalam diri anak itu sedang menonjol mencari penyaluran dan pemuasan dari keinginantahunya akan segala macam hal.

Demikianlah, selama dua tahun itu Tek Hoat berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali, tumbuh dengan liar. Dia telah berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian yang hebat dan wataknya aneh, sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya yang tampan itu selalu terbayang senyum dan pandang matanya yang tajam tidak membayangkan perasaan hatinya.

Setelah sekali lagi dia harus berjanji kepada Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan menyebut-nyebut nama kakek ini sebagai gurunya, mereka saling berpisah. Tek Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri dan pemuda ini merasa lega hatinya. Selama dekat dengan gurunya, dia tidak merasa bebas karena biarpun gurunya tidak mempedulikannya, dia mengerti bahwa gurunya tentu akan turun tangan apabila dia melakukan sesuatu yang tidak disukai gurunya. Kini dia bebas, seperti seekor burung terbang di angkasa. Dia tidak mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak membawa hasil apa-apa? Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang tinggi dari Sai-cu Lo-mo, akan tetapi pemuda ini belum merasa puas. Bekal uang yang dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya, hampir habis dan pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi. Dia akan terlantar kalau tidak lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih belum menemukan apa yang dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu Pendekar Siluman! Dan dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan mencoba kepandaiannya lagi melawan kakek Bu-tong-pai yang dulu pernah menghajarnya. Sebelum dapat membalas kepada kakek itu, dia akan selalu merasa penasaran.

Demikianlah, pada pagi hari Tek Hoat tiba di kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja, lalu dia memasuki sebuah rumah makan yang baru buka dan masih kosong belum ada tamu lainnya. Hari masih terlalu pagi untuk makan, akan tetapi Tek Hoat yang melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, bahkan semalam suntuk dia tidak berhenti berjalan, merasa lapar sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah dari gurunya, berpisah di hutan yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya memakan waktu perjalanan tiga hari. Maka dia ingin sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama gurunya, kakek itu tidak pernah mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja. Dari tempat dia duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan orang berlalu lalang di luar rumah makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula kesibukan di sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang mempersiapkan hidangan yang dipesan tamu. Terdengar suara ayam dipotong, suara orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya di sebelah dalam itu. Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan agaknya termasuk rumah makan terkenal di Kota Sen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat melihat bayangan wanita di samping mendengar suara mereka yang merdu.

Pemuda itu makan dengan lahapnya. Masakan rumah makan itu memang terkenal enak dan perutnya lapar sekali, maka dia makan dengan penuh semangat sehingga dia tidak perduli akan masuknya serombongan tamu yang disambut dengan penuh hormat oleh dua orang pelayan. Mereka ini terdiri dari tujuh orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai jagoan silat berikut lagak-lagak mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk mereka menaruh golok dan pedang di atas meja, bicara dengan suara keras, tertawa-tawa, tidak memperdulikan keadaan sekelilingnya. Pendeknya, lagak jagoan-jagoan. Ketika seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah dengan suara menjijikkan, barulah Tek Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia tahu bahwa di sebelah dalam, tak jauh dari pintu tembusan ruangan itu ke dalam, telah duduk tujuh orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia tidak mau perduli lagi kepada mereka dan melanjutkan makan minum.

Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan kota Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari Shen-yang dan nama mereka amat terkenal di daerah itu sampai ke kota raja. Mereka bukanlah penjahat-penjahat atau perampok, sebaliknya malah. Mereka adalah gerombolan orang yang tidak bekerja tetapi menjadi kaya karena kejagoan mereka, mendapat "sumbangan" dari para hartawan yang membutuhkan "perlindungan" mereka. Nama Jit-hui-houw (Tujuh Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi mereka yang kaya dan demi keamanan mereka dan harta mereka, para hartawan ini dengan rela menyerahkan sejumlah sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal ini memang amat menguntungkan mereka karena tidak ada penjahat berani mengganggu hartawan yang "dilindungi" oleh Jit-hui-houw! Akan tetapi, nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan itu mendatangkan kesombongan dalam hati mereka, dan biarpun mereka tidak melakukan perampokan atau kejahatan lain secara terang-terangan, namun sering juga mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan nama besar mereka.

Para pelayan rumah makan tentu saja sudah mengenal mereka biarpun baru beberapa kali Jit-hui-houw makan di tempat ini. Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka akan bersarapan di rumah makan lain yang lebih besar. Dengan suara ribut mereka memesan arak dan bakpauw karena bakpauw buatan rumah makan ini memang terkenal enak. Kemudian mereka menyerang bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi sehingga sebentar saja suara ketawa mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin kotor. Ketika mereka melihat berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan, mereka lalu berbisik-bisik, kemudian dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung karena setengah mabok, menghampiri meja dimana duduk majikan rumah makan itu dan berkata, "Perut kami mulas. Kami hendak ikut ke kamar kecil di belakang."

Pemilik rumah makan itu berubah air mukanya. Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu pucat dan mendapat firasat tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk karena tidak berani melarang, akan tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar menyuruh nyonya dan nona menyingkir. Akan tetapi, kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah masuk mendahului pelayan, semua pelayan yang berada di luar tidak berani masuk, muka mereka pucat sedangkan lima orang jagoan yang masih duduk di luar tertawa bergelak. Ketika kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik, bangkit dan hendak mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang jagoan dan ditariknya ke meja mereka.

"Lopek yang baik, engkau sebagai tuan rumah marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah sahabat-sahabat baik? Ha-ha-ha!"

"Maaf.... saya.... saya...."

"Ahhh, apakah Lopek tidak menghargai ajakan kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum menjadi tanggung jawab kami untuk membayarnya. Ha-ha-ha!"

Tangan yang menggenggam pergelangan kakek itu mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan meringis kesakitan dan tidak berani banyak membantah lagi. Dia duduk akan tetapi mukanya yang pucat selalu menoleh ke dalam.

Tek Hoat sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya tertarik kepada tujuh orang itu. Apalagi ketika dua orang di antara mereka memasuki ruangan dalam dan melihat pula pemilik rumah makan dipaksa duduk menemani lima orang yang lain, dia mengerutkan alisnya, menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu. Karena Tek Hoat sudah mencurahkan perhatiannya, mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat menangkap suara lirih yang keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah makan itu, suara lirih yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran telinga biasa, suara wanita!

"Ampun.... ah, jangan....!" Dan terdengar isak tertahan karena takut.

Cepat sekali tubuh Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan belakang.

"Haiii....!" Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang berkelompok, berdiri ketakutan.

"Di mana mereka?" Tek Hoat bertanya singkat.

Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun pintunya.

"Brakkkk....!" Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat.

Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan kehormatannya dari perkosaan seorang di antara jagoan tadi. Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai dimana seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan kedua. Agaknya, terlambat sedikit saja kedatangan Tek Hoat, kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang

jagoan itu.

"Keparat!" Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang menengok kaget itu.

"Prak! Prak!" Dan dua orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan, yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi, tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat. Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut kedua orang jagoan, menyeretnya ke pintu kamar.

"Haiii.... siapa dia? Hayo seret keluar!"

Lima orang jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh melayang dari dalam dan menerjang mereka.

"Awas....!" Mereka cepat menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.

"Celaka!" teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, kini menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah. Yang mereka pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.

"Kalian juga sudah bosan hidup?" Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini?

Sejenak lima orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan "potongan" jago kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?

"Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?" tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.

"Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku telah turun tangan membunuh mereka. Dan mau tahu namaku? Aku bernama.... Gak Bun Beng." Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan nama itu, karena dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk menggantikan nama aselinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.

"Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?" Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat. Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaiannya mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya, akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya. Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat. Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah tangan! Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sin-kang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pietok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.

Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika.

Empat orang anggauta Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan dahsyat lalu berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penyerangan mereka cukup hebat dan sinar pedang dan golok berkelebatan menyilaukan mata. Para pengawal rumah makan sudah lari cerai berai.

Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat keluar dan mereka melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas. Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat. Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana kemari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan. Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang! Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apapun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya. Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu, Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang. Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian istimewa!

Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk. Melihat dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak, "Lepaskan aku! Biarkan aku mati....!"

"Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tidak perlu begini," Tek Hoat berkata sambil menyingkir dari depan kedua suami isteri yang berlutut itu. "Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?"

"Ta ihiap (pendekar besar).... tolonglah kami.... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri, akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi...." Kakek pemilik rumah makan itu berkata sambil menangis.

"Hemm, apa maksudmu, lopek?" Tek Hoat bertanya, dan hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap. Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!

"Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap." Ajak kakek itu dan Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu hampir menjadi korban perkosaan.

Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata, "Taihiap, anak perempuan saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia merasa malu sekali."

"Ah, bukankah dia tidak sampai diperkosa?" tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia tadi terlambat.

"Memang benar, akan tetapi taihiap mengerti, sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat oleh seorang laki-laki dalam keadaan telanjang bulat.... hal ini menimbulkan rasa malu yang hebat...."

"Mengapa begitu?" Tek Hoat mengerutkan alisnya. "Bukankah penjahat yang hendak memperkosanya tadi telah kubunuh mati?"

"Bukan penjahat itu yang dima ksudkannya, taihiap. Laki-laki itu adalah.... taihiap sendiri."

"Haiii....? Eh, bagaimana pula ini....?"

"Taihiap, bukan hal itu saja yang menyusahkan hati kami, akan tetapi lebih-lebih kenyataan bahwa peristiwa ini tentu akan berekor panjang. Dari fihak petugas keamanan mudah saja diselesaikan karena memang nama Jit-hui-houw terkenal sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan kematian mereka di warungku cukup membuktikan bahwa mereka yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami yakin bahwa mereka tentu akan menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru mereka. Kami tentu akan dibasmi habis...." Dan kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. "Kecuali kalau taihiap menolong kami sekeluarga...."

"Bagaimana aku dapat menolongmu? Ahhhh, mudah saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu tidak akan ada pembalasan dendam lagi!" Sebelum kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari dalam kamar dan ternyata pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di depan, di mana dia tadi meninggalkan empat orang lawannya. Dia sudah membunuh yang tiga, sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja. Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggauta Jit-hui-houw sudah tidak nampak bayangannya lagi sedangkan mayat tiga orang itupun sudah lenyap. Mereka telah melarikan diri sambil membawa mayat ketiga suheng mereka!

Terpaksa Tek Hoat kembali ke kamar dan dengan menyesal berkata kepada pemilik rumah makan. "Sayang sekali mengapa aku tadi tidak membunuh yang empat orang lagi."

"Taihiap, biarpun mereka dapat melarikan diri, kalau taihiap suka membantu kami, hidup kami akan tenteram dan mereka tentu tak akan berani lagi bermain gila."

"Bagaimana aku dapat menolongmu, lopek?"

"Dengan menerima permohonan kami agar taihiap sudi menjadi suami anak kami Siu Li...."

"Hahhh....?" Terbelalak sepasang mata yang tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia mendengarkan juga ketika kakek itu menceritakan keadaan keluarganya. Kakek itu bernama Kam Siok yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia tujuh belas tahun yang bernama Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah me ninggal dunia karena sakit, dan Kam Siok lalu menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan seorang janda muda, yaitu wanita cantik berusia tigapuluh tahun lebih yang tadi hampir diperkosa bersama Siu Li, anak tirinya. Keadaan mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu cukup besar sehingga mereka hidup tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu, hari itu terjadi malapetaka yang hebat dan kalau tidak ada jalan yang baik, tentu mereka akan terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh keluarga mereka.

"Demikianlah, taihiap. Hanya satu jalan bagi kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan Siu Li agar dia tidak menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, maupun untuk kami sekeluarga agar terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw."

Pada saat itu, dua orang wanita yang tadi hampir diperkosa, memasuki kamar. Gadis yang bermuka merah sekali, dengan air mata bercucuran, digandeng tangannya dan agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya dan bersama puterinya itu, wanita cantik isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri di depan Tek Hoat sambil berkata dengan suara merdu halus dan penuh daya membujuk, "Mohon kemurahan hati taihiap agar memenuhi permohonan suami saya karena hanya taihiaplah bintang penolong kami satu-satunya...." Muka yang cantik dengan sepasang mata yang penuh gairah menantang itu diangkat. Tek Hoat diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya, bibirnya yang menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya yang tadi dirobek penjahat masih belum dibetulkan sama sekali. Adapun gadis yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher yang putih halus. Sungguhpun kecantikannya tidak menggairahkan seperti kecantikan ibu tirinya, namun, Siu Li tergolong dara yang cantik manis.

Hati Tek Hoat tertarik, bukan hanya kepada wanita-wanita itu, terutama sekali mengingat akan kekayaan kakek Kam Siok. Dia memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali uang banyak dan pakaian yang indah. Apa salahnya kalau dia menerima penawaran ini?

Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat wajahnya kelihatan makin tampan akan tetapi senyum yang sinis dan mengandung ejekan penuh rahasia. Dia mengangguk. "Baiklah, demi keselamatan kalian sekeluarga, aku menerima usul kalian ini."

Kakek Kam Siok girang bukan main, maju menubruk dan merangkul calon mantunya, "Anak baik.... Thian sendiri yang agaknya menurunkan engkau dari sorga untuk menolong kami....! Kalau begitu, perayaan pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal? Eh, siapa pula namamu? Ha-ha-ha, betapa lucunya. Seorang mertua tidak tahu nama mantunya!"

"Tidak perlu repot-repot, lopek. Aku seorang yang sebatangkara, tiada tempat tinggal tiada keluarga. Namaku.... Gak Bun Beng."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima permintaan mereka. Kam Siok merasa terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa tertebus aibnya apalagi memperoleh suami yang amat tampan dan gagah perkasa, hal yang sama sekali tak pernah dimimpikan karena dia hanyalah anak seorang anak pemilik rumah makan!

Dan ada orang yang diam-diam merasa girang sekali dan memandang hari depan penuh harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok yang masih muda dan cantik. Dengan mata haus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas. Dia tentu saja tidak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua daripada dia dan dia memang mau menjadi isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia. Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya menderita dan matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap kali dia melihat seorang pria muda yang tampan. Dan betapapun hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang kehausan yang tak pernah mendapatkan kepuasan. Akan tetapi sekarang, kesempatan terbuka lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini mantunya?

Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan "Gak Bun Beng" ini mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu itu ingin seka li menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka! Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang entah kemana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.

Ketika sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggauta Jit-hui-houw, tidak saja terbebas dari malapetaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang demikian gagah perkasa dan tampan!

Pada saat para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!

Gegerlah suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan mereka karena meja kursi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari tempat jauh walaupun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di pinggiran.

Dapat dibayangkan betapa paniknya fihak tuan rumah. Biarpun mereka sudah menduga-duga bahwa setiap waktu fihak Jit-hui-houw  tentu akan mengacau dan datang membalas dendam, dan biarpun mereka sudah percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar dengan jantung berdebar tegang.

Tentu saja Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang, yang dekat maupun yang menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.

Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat berkata sambil tersenyum mengejek dan memandang empat orang sisa Jit-hui-houw, "Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian apakah sekarang kalian datang untuk menyerahkan nyawa?"

Empat orang itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik. "Suhu, inilah jahanam yang telah membunuh tiga suheng itu!" kata seorang di antara mereka.

Kakek tua berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sa kti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun, tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal itu.

Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian hebat, dan biarpun tak dapat dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau ini? Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apapun, dia segera membentak kepada empat orang muridnya, "Kalau begitu tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suhengmu!"

Empat orang itu sebetulnya merasa jerih karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini mereka sudah menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek Hoat. Pemuda ini biarpun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali, tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya bergerak dan terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan, kemudian sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong murid-muridnya, Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali, jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari tangan Tek Hoat!

Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas terbelalak kaget dan hampir dia tidak dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh Jit-hui-houw telah tewas semua, dan kesemuanya dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini! Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak, "Bocah kejam! Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan membunuhmu!"

Tek Hoat tersenyum mengejek. "Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun Beng."

"Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian, kakek jembel itu lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang. Karena dia tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan bertangan kosong, menggunakan tongkatnya yang ampuh. Melihat tongkat menyambar-nyambar dan berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat dan berat.

Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari ibunya. Tubuhnya gesit sekali ketika mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.

"Haiit, kau murid Bu-tong-pai!" Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.

Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Melihat pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkali-kali dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat. Itulah ilmu silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas! Sekali ini, Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru! Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.

Tek Hoat juga merasa penasaran. Pemuda ini terlalu mengandalkan dirinya sendiri, terlalu percaya bahwa dia akan sanggup mengalahkan lawannya yang manapun juga, apalagi setelah dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo selama dua tahun. Kini mampu mengalahkan kakek jembel itu biarpun mereka sudah bertanding selama seratus jurus, dia merasa penasaran bukan main. Akan tetapi dia tetap keras kepala, tidak mau menggunakan senjata. Dia harus mampu mengalahkan kakek itu dengan tangan kosong saja!

"Mampuslah....!" Tiba-tiba kakek itu membentak dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.

"Cuat-cuat-cuattttt....!" tiga sinar putih menyambar ke arah tubuh Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengelak dari serangan piauw (senjata runcing yang dilontarkan), akan tetapi tiba-tiba kakinya tersandung bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja Sin-houw Lo-kai menjadi girang sekali. Cepat dia menubruk ke depan dan tongkatnya dihantamkan sekuat tenaganya ke arah kepala lawannya.

"Siuuuuttt.... plakkk!" Tongkat menyambar turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas. Kiranya dia tadi hanya pura-pura jatuh untuk memancing perhatian lawan. Ketika melihat lawannya menghantamkan tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat meloncat dan menangkap tongkat itu di tengah-tengah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang tongkat.

Kakek itu mengeluh dan terpaksa membiarkan tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah membetotnya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat mempertahankan tamparan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat panas, sin-kang yang dilatihnya di bawah bimbingan Sai-cu Lo-mo. Kini Tek Hoat berdiri tegak setelah tadi meloncat ke belakang sambil membawa tongkat rampasannya. Adapun kakek itu telah bersiap untuk bertanding mati-matian, matanya menjadi merah dan mulutnya seolah-olah mengeluarkan uap panas.

"Ha-ha, tongkatmu ini tidak ada gunanya, Sin-houw Lo-kai." Sambil berkata demikian, pemuda itu menekuk-nekuk tongkat baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat itu tertekuk sampai bengkok-bengkok seperti ular!

Dengan senyum mengejek pemuda itu melemparkan tongkat itu ke atas lantai kemudian melangkah maju menghampiri lawannya.

Pucatlah wajah kakek itu. Dia maklum bahwa biarpun lawannya masih muda sekali, namun ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia tahu bahwa dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi setelah pemuda itu membunuh semua muridnya, setelah pemuda itu begitu menghina dan memandang rendah kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati daripada mundur!

Dia mengeluarkan pekik melengking penuh kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan menubruk seperti seekor harimau. Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu Silat Harimau sehingga julukannya Harimau Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya yang tewas itupun terkenal dengan julukan Tujuh Harimau Terbang. Lawan yang ditubruk oleh jurus paling ampuh dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi panik, dan gerakan menubruk ini banyak sekali perkembangannya. Akan tetapi Tek Hoat yang kini sudah merasa yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat daripada kakek itu, memandang rendah serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan lawan dan siap mengadu tenaga! Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, Tek Hoat juga mengembangkan kedua lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu dengan tangannya sendiri.

"Plak! Plak!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan mulailah terjadi adu tenaga sin-kang yang dilakukan tanpa bergerak namun yang kehebatannya tidak kalah dengan adu kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya beringas seperti muka harimau marah, tubuhnya agak merendah, dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat berdiri biasa saja, senyumnya masih menghias mulutnya, matanya tajam bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam dia mengerahkan Yang-kang yang mengandung hawa panas itu. Dua pasang lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu tenaga itu, akan tetapi lambat laun kakek jembel itu sukar dapat mempertahankan diri lagi karena hawa panas itu makin mendesak dan makin membakar seolah-olah hendak membakar seluruh tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan tenaga sin-kang lawan, akan tetapi menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam tubuhnya itu dan membuat dadanya seperti akan meledak, dia merasa tersiksa sekali.

Tek Hoat makin memperkuat dorongannya makin mengerahkan sin-kangnya sehingga dari telapak tangannya mengepul uap panas. Kakek itu meringis, makin menderita dan akhirnya kedua kakinya gemetaran, perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama makin rendah dan akhirnya dia jatuh berlutut dan tubuhnya gemetar semua.

Untuk kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan tenaganya, terutama pada tangan kanannya yang sudah menekan tangan kiri lawan.

"Krekkk....! Aughh....!" Sin-houw Lo-kai memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi lengking mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan tangan kiri lawan dan menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk dan jari tengah, menusuk dan masuk semua ke dalam kepala kakek itu. Tubuh kakek itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat menendangnya, tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat orang muridnya.

Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima orang pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan lega ini merangkul mantunya dengan penuh kebanggaan. Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskannya persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itulah yang datang mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut, apalagi karena Kam Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.

Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama "Gak Bun Beng" terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.

Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan gagah itu, karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Adapun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri! Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini. Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinaan dengan mantu tirinya ini secara

berterang! Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya di depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya! Adapun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada "Gak Bun Beng", dan mereka takut sekali kepada pemuda ini. Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!

Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu ketika sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi keluar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memaki-maki dan menantang-nantang. "Jahanam keparat!" teriaknya nyaring. "Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar! Mengapa membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!"

Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka.

Akan tetapi, kemesraan di antara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan. Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara.

Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biarpun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya di mana dia memuaskan semua kehausannya.

Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!

Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khi-kangnya berteriak keras, "Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?" Dan dia berkali-kali berteriak "Pembunuh!" sampai para tetangga terkejut dan keluar.

Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal adalah pemuda tetangga terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati dengan kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger. Tek Hoat lalu menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan kekasihnya akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.

"Dia lihai sekali!" demikian dia menyambung. "Tentu dialah orangnya yang telah membunuh isteriku, dan yang sekarang kembali datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya.

Bedebah dia! Aku akan mencarinya sampai dapat! Aku tidak akan kembali ke sini sebelum aku dapat membunuh penjahat itu!" Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan nama "Gak Bun Beng" menjadi kenangan mereka di kota itu.

Akan tetapi, banyak di antara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya! Mereka teringat betapa mayat lima orang yang mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati dengan kepala berlubang! Dan si tetangga yang diserahi rumah makan, mendapatkan kenyataan bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, semua harta benda yang berharga telah lenyap!

Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri! Apalagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang memasuki

kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!

Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng, telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak menyenangkan dan amat membosankan hatinya. Tentu saja ketika dia menerima penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu! Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.

Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena perampok yang bagaimana lihaipun, begitu bertemu dengan pemuda ini, tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak pula yang tewas dengan kepala berlubang. Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng! Hal ini adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini! Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya sendiri.

Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!

Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!

"Haiii....! Minggir....!" Penunggang kuda terdepan berseru.

Akan tetapi Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, seorang berpakaian perwira yang berwajah tampan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!

"Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?" Bentak perwira itu sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke samping. Tubuh Tek Hoat meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan gin-kangnya, tubuhnya melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga memiliki kepandaian hebat!

Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan orang tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar ke dalam hutan.

Tak lama kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka sudah turun dari kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput, sedangkan mereka sendiri duduk di bawah pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya, seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah. Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan

main mewah dan indah pakaiannya. Kudanyapun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia hampir berteriak saking kagetnya. Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk! Kuda tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput juga mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga duduk di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.

Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiripun tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apalagi melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama sekali kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang "terbang" turun di depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-mat ian sungguhpun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan mulut penuh taring.

"Bocah lancang! Mundurlah kau!" Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba Tek Hoat merasa pinggangnya seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Biarpun dia berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apalagi hanya seorang wanita, dapat menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu bernyawa dan amat kuatnya!

Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang, pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggutnya lepas sia-sia belaka. Ketika dia menoleh, orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata tajam.

"Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!"

Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga tak mampu berkutik. Ketika tubuh wanita itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan membanting ke bawah.

"Bressss!" Tubuh harimau terguling-guling sampai mendekati seorang di antara pengawal yang duduk di bawah pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.

"Krekkkk!" Tombak itu patah-patah.

"Hati-hati, mundur....!" Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan membantingnya lagi. Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan kebal.

Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.

"Bunuh dia!" Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, lalu menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.

Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.

Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!

"Heiiii....!" Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.

"Plakkk....!" Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa

sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia mengagulkan kepandaiannya dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang! Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman!

Betapa memalukan!

"Hei, bocah lancang! Tunggu....!" Terdengar panglima itu berseru.

"Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian, memang biasanya keras kepala dan sombong!" terdengar wanita itu mencegah.

Tek Hoat berlari makin kencang. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Dia mengepal tinjunya. Dia harus belajar lagi. Dia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!

Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apalagi kepandaian Puteri Milana!

Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.

Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.

"Hemm, jelas dia bukan bocah biasa," kata Milana.

"Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan."

"Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali....!"

Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.

Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sa i-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa? Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!

"Brukkk!" Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.

"Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini," kata seorang di antara mereka.

"Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk," kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.

"Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya?"

"Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha!" kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.

Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!

Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.

"Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!" tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat. Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.

"Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!" kata pula orang ke dua.

Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!

"Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!" Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.

"Huh!" Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.

Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.

"Wirrrr.... trakkk!" Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. "Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!"

Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematah-matahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di balok melintang.

Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!

Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan.... muka mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!

Pada saat itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, "Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat."

Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Pelayan itu terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali. "Jari.... Jari Maut...." Bisiknya, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan mencukilnya dengan pisau.

Dengan hati yang mendongkol sekali Tek Hoat keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan. Kalau saja dia tidak mengingat bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa tinggi kalau dibandingkan dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya dalam hutan, di luar kota raja, tentu dia tadi sudah membunuh empat orang kasar itu. Sekarang dia harus berhati-hati, tidak mencari permusuhan karena kepandaiannya belum tinggi.

"Wan-kangcu....!"

Tek Hoat terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba terdengar di belakang itu demikian nyaringnya, merupakan lengking yang dahsyat tanda bahwa yang bersuara itu memiliki khi-kang yang kuat sekali. Dia cepat menoleh dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu ternyata masih jauh dan kini orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya terbelalak heran dan kagum. Sebentar saja orang itu sudah berada di depannya dan untuk ketiga kalinya Tek Hoat terkejut. Orang ini memang luar biasa sekali. Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis cantik yang dirias bedak dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk, bulat dan serba besar hidung dan bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata orang yang miring otaknya, dan kepalanya gundul, ditumbuhi rambut yang jarang dan layu. Tubuhnya gendut pendek. Akan tetapi yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika melihat betapa dari mulut orang itu ke luar asap tipis putih yang keluar masuk menurutkan jalan napasnya yang agaknya bukan hanya melalui hidung saja, akan tetapi juga melalui mulutnya yang terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu musim dingin, tidaklah aneh. Akan tetapi sekarang hawa sedang panasnya, bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap dengan napasnya? Dan dari dalam perut orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya bedanya, kalau perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang ini mengeluarkan bunyi berkokok seperti katak, hanya agak jarang terdengarnya dan hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.

Sejenak kedua orang ini saling berpandangan. Tek Hoat memandang penuh keheranan sedangkan orang aneh itu memandang dengan mata berputaran dan mulut menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Aha, tidak salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)! Ha-ha-ha, akhirnya dapat juga kita saling bertemu!"

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka dia bersikap hati-hati, tidak segera menyangkal dan dia malah memancing, "Siapakah engkau?"

"Heh-heh-heh, kongcu sudah lupa kepada saya? Masa lupa kepada anak buah sendiri? Saya orang yang paling setia di Pulau Neraka, saya Kong To Tek."

Tentu saja Tek Hoat sama sekali tidak mengenal nama ini, bahkan sebutan Pulau Nerakapun baru sekarang dia mendengarnya. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal, maka dia diam saja dan segera menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon berhadapan dengan si kepala gundul yang aneh ini. Dikeluarkannya daging dan roti yang dibelinya tadi.

"Kau mau makan?" Dia menawarkan.

Kong To Tek girang sekali, lalu tanpa sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan, dia menyerbu daging dan roti itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.

Di dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis diceritakan bahwa Kong To Tek adalah seorang di antara tokoh Pulau Neraka, menjadi pembantu ketua Pulau Neraka yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia bahkan merupakan tokoh pembantu pertama, dan yang kedua adalah Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo. Pulau Neraka ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh Pulau Neraka yang penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sutenya, Bu-tek Siauw-jin, saling bertanding sendiri dan keduanya tewas bersama, kemudian ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk kemudian ikut suaminya, Pendekar Siluman ke Pulau Es. Semua ini diceritakan dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis. Mengapa Kong To Tek bisa berada di tempat itu, berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau Neraka? Biarlah kita dengarkan sendiri penuturannya kepada Tek Hoat.

"Benarkah engkau Kong To Tek tokoh Pulau Neraka?" Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata memancing. "Engkau berubah sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi."

"Ha-ha-heh-heh-heh, di dunia ini masa ada Kong To Tek kedua? Saya adalah Kong To Tek yang tulen, Kongcu. Kong To Tek dari Pulau Neraka yang aseli!" Si gundul itu mengusap sisa makanan di bibir dan menggaruk-garuk kepalanya, matanya memandang liar ke kanan kiri. Diam-diam Te k Hoat merasa ngeri juga menyaksikan sikap liar ini.

"Ka1au engkau betul Kong To Tek yang aseli, coba katakan siapa namaku."

"Wah, masa aku bisa lupa kepadamu, kongcu. Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal Ketua Pulau Neraka."

Tek Hoat terkejut sekali, akan tetapi bersikap tenang. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang disebut Wan Keng In itu sebenarnya adalah ayahnya, ayah kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan bahwa wajahnya memang mirip sekali dengan Wan Keng In.

"Benar, akan tetapi aku belum puas. Coba katakan siapa guruku?"

"Ha-ha, apakah kongcu main-main? Tentu saja guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong.... dan karena pesan mendiang gurumu itulah maka dengan susah payah saya mencari kongcu."

Tek Hoat pura-pura kaget. "Apa? Guruku.... Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia?"

Si gundul itu mengangguk-angguk. "Banyak hal terjadi di Pulau Neraka, semenjak kongcu berlari pergi.... dan tocu (majikan pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah kembali lagi...."

Tek Hoat bisa menggambarkan apa yang diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia disangka putera seorang majikan pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid Cui-beng Koai-ong yang telah meninggal dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau telah pergi dan tidak kembali lagi!

"Kong To Tek lopek (paman tua), coba kau ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka."

Kong To Tek duduk setengah rebah, bersandar pohon dan sikapnya seenaknya biarpun berada di depan majikannya, hal ini menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka adalah orang-orang liar yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun. Akan tetapi dia tidak peduli dan mendengarkan penuturan kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek ini usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, otaknya miring, akan tetapi jelas berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.

Dan cerita Kong To Tek memang aneh. Dia menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat di Pulau Neraka, yaitu matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak beradik seperguruan yang merupakan manusia-manusia sakti jarang ada tandingnya, pada suatu hari dia didatangi oleh Cui-beng Koai-ong Si Mayat Hidup.

"Agaknya gurumu itu telah mempunyai firasat buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari setelah dia mendatangi saya, terjadilah pertandingan hebat antara gurumu dan susiokmu Bu-tek Siauw-jin yang mengakibatkan keduanya tewas!"

"Kong-lopek, apa maksudnya mendiang suhu mendatangimu?" Tek Hoat mendesak, makin tertarik dengan cerita aneh ini.

"Gurumu menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang yang katanya merupakan inti segala ilmu yang dimiliki suhumu dan susiokmu, dengan pesan agar kelak aku menyerahkan semua itu kepadamu."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Tek Hoat. Dia melompat bangun dan menghardik. "Di mana pusaka-pusaka itu?"

Si gundul tertawa. "Jangan khawatir, kongcu. Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang sekali, saya buta huruf dan tidak dapat mempelajari kitab-kitab itu. Padahal, baru melihat-lihat gambar-gambarnya dan meniru dari gambar-gambar itu saja sudah membuat saya memperoleh kemajuan yang hebat ini, kongcu!" Si gundul menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang. Dia memekik dan menubruk pohon itu dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat sekali.

"Heiii....!" Tek Hoat berseru kaget.

"Desss! Brakkkkk....!"

Pohon itu patah dan tumbang, sedangkan si gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut setengah mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang bukan main. Wajahnya tenang saja, bahkan dia mengejek, "Hem, Kong-lopek, apakah engkau hendak menyombongkan diri di depanku?"

Tiba-tiba si gundul berlutut. "Sama sekali tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin membuktikan betapa hanya dengan mempelajari gambar-gambarnya saja, kepandaian saya sudah meningkat hebat."

"Hayo cepat serahkan kitab-kitab dan pedang dari suhu kepadaku!"

"Baik, baik.... mari, kongcu. Benda pusaka itu kusembunyikan di dalam guha yang selama ini menjadi tempat tinggal saya."

Keduanya berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan gin-kangnya dan berlari secepat mungkin, akan tetapi kakek gundul itu sambil tertawa-tawa masih dapat mengimbangi kecepatan larinya. Hebat!

Guha itu berada di daerah berbatu-batu di lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat. Sunyi dan tak pernah dikunjungi manusia. Guha yang cukup besar, dalamnya ada lima meter dan gelap. Ketika akhirnya kakek itu menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang kepadanya, Tek Hoat menjadi girang sekali dan dengan jantung berdebar dia membawa benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang. Dicabutnya pedang itu dan matanya menjadi silau. Sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kebiruan dan mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan begitu tercabut terciumlah bau amis bercampur harum yang memuakkan. Ukiran huruf kecil-kecil di dekat gagang memperkenalkan nama pedang itu. Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa)! Disarungkannya kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia membalik-balik lembaran dua buah kitab itu. Ternyata itu adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat yang mujijat, inti dari semua ilmu silat yang dikuasai oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil ciptaan Bu-tek Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling bertanding sampai mati keduanya, Cui-beng Koai-ong yang agak jerih terhadap sutenya telah berlaku curang, mencuri kitab ke dua dari sutenya. Akan tetapi sebelum dia sempat mempelajari kitab sutenya, keburu mereka bertanding karena masing-masing membela murid (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

"Heh-heh-heh, apakah engkau tidak girang, kongcu?"

Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan mengangguk. "Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali. Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan melupakan jasamu ini."

"Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhumu. Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggungjawabkan kelak kalau aku tidak berhasil menyerahkan semua ini kepadamu."

Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada "gurunya" yang bernama Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya, "Kong-lopek, menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"

Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan. "Jangan.... jangan.... sebut-sebut nama dia.... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti.... ihhh.... aku takut, kongcu."

Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek inipun ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.

"Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka?"

"Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu hebat, mengerikan.... tapi kalau suhumu dan susiokmu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang."

Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab wasiat suhu dan susioknya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman!

Demikianlah, sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam guha bersama Kong To Tek yang melayaninya dan yang selalu menjaga di luar guha di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat. Untuk kedua kalinya, pemuda ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biarpun hanya terhadap kakek gundul itu! Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sin-kang dan bersamadhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.

******

Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mujijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.

Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang perajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para perajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.

Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.

"Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja," kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. "Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?"

"Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh."

Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, "Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku."

"Tentu saja. Mari kita pergi."

Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.

Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.

"Hemm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa rumah itu," kata Panglima Jayin.

"Ssttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarangan obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu."

Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.

"Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...."

Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak. Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!

Akan tetapi fihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.

"Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!" kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk. Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jerih dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi. Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.

Para pengeroyok tadi kini menyerang mereka dari luar benteng obor, dengan menggunakan anak panah! Tentu saja dua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu kemana harus melangkah, kini diserang oleh hujan anak panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kasar untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!

Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara, yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. "Ke kiri melalui tiga obor....!"

Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.

"Maju melalui sebatang obor...." kembali terdengar suara itu. "Lalu ke kanan melalui empat batang obor....!"

Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!

Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu. "Masuklah cepat, untung kalian masih dapat tertolong."

Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh. Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.

Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.

"Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!" kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.

"Berkat pertolongan orang gagah ini," kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. "Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja."

Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. "Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar, bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar."

"Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja."

Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.

"Harap taihiap sudi memaafkan saya yang tidak tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!" Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.

Laki-laki buntung itu menahan senyumnya dan berkata halus, "Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari kita duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini."

Raja Bhutan dan dua orang panglimanya, tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Akan tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!

Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut. Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!

"Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar." Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang ke luar ke arah benteng obor yang dibuatnya. Ketika dia melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.

Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.

"Betapapun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan kalau makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!"

"Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini," kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.

"Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka," berkata Panglima Jayin.

"Bagus kalau begitu!" kata raja. "Kita menanti sampai besok pagi."

"Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak," tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi "menuntun" Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.

"Ah, kalau begitu bagaimana?" Raja bertanya khawatir.

"Bagaimana kalau kita bertiga menerjang ke luar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan?" Jayin mengusulkan.

"Tidak baik," kata Tan-ciangkun. "Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andaikata kita bertiga dapat menyela matkan diri, bagaimana dengan sri baginda?"

Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.

"Taihiap, bagaimana baiknya?" Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. "Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!"

Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, "Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu."

Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu, "Dapatkah disebut perbuatan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apabila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih."

Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!

"Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?" Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.

"Kita menunggu sampai api obor padam." Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja. "Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar." Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!

Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi. Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apabila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biarpun kecil, cukup kuat dan lengkap.

Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak, "Sudah ada di antara obor yang padam!"

Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.

Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata, "Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar kearah kiri. Dalam keadaan gelap, fihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah."

Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, "Bagaimana dengan sri baginda?"

"Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada." Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu daripada mereka?

"Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kiam Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?"

Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku hanya minta apabila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat."

"Tentu saja, taihiap!" Tiba-tiba raja menjawab. "Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka."

"Terima kasih." Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, "Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?"

"Sayang sekali tidak, taihiap."

Kembali pendekar itu menarik napas panjang. "Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda."

Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor. Tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di fihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapapun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam. Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!

Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disabit-sabitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman. Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.

Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, "Harap paduka suka duduk di punggung saya."

Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.

Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi. Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai "menghilang" ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.

Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras, "Cepat serbu kesana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!"

Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang perajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!

Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit. Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!

******

Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itupun tidak me mpunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.

"Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman," kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh daripada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak

segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia. "Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil."

"Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi malapetaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!" kata Nirahai.

"Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang." Lulu menyambung.

"Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?" Pendekar Super Sakti membantah. Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, "Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!"

Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi "orang ke dua"!

"Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja." Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.

"Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!" katanya cepat-cepat.

Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan, hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, "Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?"

Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, "Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es."

"Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana." Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka. Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan diapun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.

"Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?" Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu. Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, "Hemmm...., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupannya yang tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?"

Milana dan suaminya menggelengkan kepala. "Tidak ada, ayah. Aihhh, kemana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...."

"Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihh, kemana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...." Suma Han mengerutkan alisnya.

"Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu....!" Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.

"Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang." kata Milana.

"Rombongan utusan ke Bhutan?" Suma Han bertanya.

"Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan," kata Milana menceritakan, "yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu."

Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangeran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu.

Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya. "Aihh....! Bhutan....? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu,

mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu."

"Bisa jadi!" Panglima Han Wi Kong berseru. "Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka."

"Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan." kata Suma Han dengan tetap.

"Ayah, bolehkah aku ikut?" Tiba-tiba Milana berkata.

Suma Han memandang tajam. "Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana."

Milana menunduk. "Aku.... aku ingin sekali seperti dulu...." Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.

Dia menggeleng kepala. "Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan."

Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana.

"Ayah...."

"Eh, ada apakah, Milana?"

"Ayah...." suaranya lirih sekali, gemetar dan parau,

"pernahkah ayah mendengar tentang.... dia....?" Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, "Aku tidak pernah mendengar.... entah di mana.... kau.... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...." Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru dia berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi diapun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia. Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca cerita Pendekar Super Sakti dan Sepasang Pedang Iblis) kini menimpa pula diri puterinya! Kasihan Milana....!

Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biarpun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.

******

Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan, dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.

Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya. "Lihat itu....!"

Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.

"Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?"

"Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah."

Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. "Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!"

Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi dua orang anggauta Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar. Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu.

Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!

"Lee-ko.... aku.... aku takut...." Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali. Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.

"Bu-te.... kita harus dapat meloloskan diri.... sekarang juga...." bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu!

Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia!

Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.

"Bu-te, sekarang....!" bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan gin-kang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi. Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.

"Rajawali, terbanglah!" Suma Kian Bu membentak. "Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!" Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya. Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!

"Yahuuuuu....!" Suma Kian Bu bersorak kegirangan. "Lee-ko! Kita terbang seperti dewa....!" Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.

"Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar....!" Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk.... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya, dan dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!

"Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!"

Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan.... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!

"Eh-eh, heiiitttt.... kurang ajar!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya. Akan tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?

Kiranya Suma Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia lalu mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya. Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya sehingga dia mengamuk membabi buta, karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam! Adapun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, "Rajawali yang baik, kautolonglah kami berdua...."

Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, diapun membantu dan menyerangnya dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa dan sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!

Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat diapun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.

"Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!" bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya! Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!

Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jerih, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapapun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali put ih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.

Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.

"Aduhh.... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning.... dan pepohonan itu demikian kecil!"

Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biarpun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.

"Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!" Kian Lee berteriak.

"Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas."

Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal daripada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan. Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia "menyetir" burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti kemana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian

Lee tidak sukar lagi menentukan arah.

"Ah, di sana itu, Bu-te...!" Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.

"Benar, mari kita pulang, Lee-ko!" Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana.

Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!

"Ayaaaaaaahhhhh....! Ibuuuuu....!" Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.

Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.

"Kian Lee! Kian Bu!" Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. "Lekas kalian turun....!"

Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapapun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.

"Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun....!" Kian Lee berseru keras ke bawah.

"Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!" Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.

Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah. Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.

"Kian Lee....!"

"Kian Bu....!"

Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.

"Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?"

Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa dan menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata, "Aku telah bersalah, ayah."

"Hayo ceritanya semuanya, kemana kalian pergi dan dengan maksud apa," kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Merekapun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.

Biarpun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal daripada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguhpun jantungnya dicekam rasa jerih. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan "petualangan" kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.

Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. "Kalian ke Pulau Neraka?" serunya dengan alis berkerut. "Apa yang terjadi di sana?"

"Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka." Kian Lee melanjutkan, "dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya."

"Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?" Suma Han bertanya.

Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

"Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!" Nirahai berseru heran.

Mendengar suara ibunya, Kian Bu berani membuka mulut. "Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!" Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik. "Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!" Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee dengan niat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan mereka dengan rantai besi panjang itu.

"Jangan buka belenggu itu!" Tiba-tiba Suma Han berkata. Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka.

Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi, "Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersamadhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!" Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.

"Bukk! Bukk!"

Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.

Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, "Mengapa mereka....?"

"Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal berani saja," kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah. Mereka hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika mereka memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian, sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.

Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.

Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari samadhinya. Melihat ibunya, dia hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.

"Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersamadhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu."

Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan samadhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.

Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak. "Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!" Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khi-kang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang samadhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka. Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, "Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggut kan belenggu itu agar patah."

Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersamadhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sin-kang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sin-kang dan merenggut.

"Krekk! Krekk!" Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!

Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang, "Haiii....! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti makan dan minum?"

Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidakpun dia tidak berani.

"Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum," tiba-tiba Lulu berkata. "Hati siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?"

Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. "Aihhh.... kelemahan hati wanita memang seringkali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan."

Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah. "Eh...., apa.... maksudmu....?"

"Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah dapat mengumpulkan sin-kang sepuluh kali lebih kuat daripada sekarang!"

"Ohhhh....!" Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. "Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya?"

"Tak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh daripada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya."

Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlumba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Adapun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Seringkali kedua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekadar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.

Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!

"Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?" tanya Kian Bu. dengan heran.

"Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, akan tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, akupun tidak akan menyusul sejauh itu." Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan. Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia

menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.

Seperti biasa kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, kini mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.

******

"Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...."

"Aiiih.... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali.... masa kongcu sendiri tidak ingat?"

Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, "Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat daripada ingatanmu!"

"Tentu saja.... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini...."

"Hemm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan menakutkan?"

Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-angguk kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua matanya. "Hebat sekali obat itu.... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhumu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mujijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri.... ah, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kauberi minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiokmu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiokmu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhumu! Nona yang kebal itupun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mujijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu me mbuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai daripada susiokmu."

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. "Ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang, catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin mencoba membuatnya."

Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu, menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata, "Terserah kepadamu, kong-cu. Akan tetapi aku merasa ngeri.... hemm, obat itu hebat sekali dan berbahaya...." Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya. Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya bisa didapatkannya dengan menggali kuburan! Selain itu, apabila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula mantramnya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukanlah racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mujijat dari ilmu hitam!

Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia memandang bubukan berwarna putih yang berada di depannya.

"Terima kasih Cui-beng Koai-ong," bisiknya sambil menengadah. "Aku telah mewarisi sebuah lagi daripada ilmu-ilmu yang kautinggalkan!"

Kemudian pemuda itu termenung. Obat mujijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang! Akan tetapi kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar guha membuat dia tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat penawarnya, dan membawa dua bungkusan itu ke dalam guha. Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam guha, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.

"Kong-lopek....!" Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan guha, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya. Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. "Kau perlu apakah, kongcu?"

"Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!" Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang.

Akan tetapi Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. "Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu?"

Tek Hoat tertawa. "Ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!" Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari guci yang sama.

"Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali."

Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu berulangkali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar guha besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.

"Lopek! Kong-lopek, bangunlah....!"

"Hemmm.... ahhhh.... masih mengantuk.... ehhh, siapa kau....?" Kakek gundul itu membuka matanya, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.

"Di mana aku....? Siapa kau ini orang muda....? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?" Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!

"Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?"

"Orang muda, siapakah engkau? Dan aku.... hemm.... siapa pula aku dan di mana tempat ini? Mengapa aku tidur di guha?"

Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. "Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah.... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?" Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Ang Tek Hoat....? Hemm, terdengar asing akan tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda?"

Tek Hoat menahan ketawanya. "Aku? Namaku Kong To Tek!"

"Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek."

Tek Hoat tertawa. "Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!"

Sehari itu, Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan guha sambil termenung, agaknya bingung dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!

Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.

Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek dan dia akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. "Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun?"

Tegurnya menggoda. Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari

biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa, "Orang muda, siapa engkau? Namaku bukan Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa kau berani memasuki guha rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini?"

Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan guha besar itu. "Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In...."

"Bohong....!" Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. "Biarpun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada di sini?" Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. "Kau...., sudah lamakah berada di sini?"

"Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin...."

"Pedang itu....!" Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat.

"Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka.... di mana kitab-kitab itu? Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo kembalikan!" Dia menubruk maju hendak merampas pedang, akan tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat dia terjengkang.

"Aihhhh....! Kau melawan? Kau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau sudah bosan hidup!"

Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu? Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!

"Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!" Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.

"Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!" Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.

"Wuuuuttt.... dessss....!"

"Aihhh....!" Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sin-kang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.

"Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat cilik!" Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat. Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sin-kang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apalagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!

"Wuuuusssshh....!" Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua kakinya bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian tiba-tiba kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.

Kalau saja Tek Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini. Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam guha itu Tek Hoat telah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga ilmu kepandaiannya menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan dua tahun yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu barunya, melihat serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri.

"Haiiiiittt....!" Kong To Tek meloncat dari kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua lengannya bergerak-gerak, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala sedang yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat!

Namun kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan tenaga sin-kang, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, menerima pukulan tangan kanan lawan.

"Plak! Dessss....!"

Untuk ketiga kalinya tubuh Kong To Tek terdorong dan terjengkang! Kakek itu mendengus keras dan meloncat bangun lagi. Ternyata ujung mulutnya mengucurkan darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam tadi sedemikian hebatnya sehingga dia mengalami luka di dalam tubuhnya!

Melihat hasil tangkisannya, besarlah hati Tek Hoat. Kini dia menghadap terjangan lawan dengan pandang mata mengejek dan sama sekali tidak merasa jerih lagi karena dia telah memperoleh kepercayaan tebal kepada kepandaian sendiri. Ketika kakek itu menerjang dan menyerangnya bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak dan menangkis, kadang-kadang balas memukul. Setiap kali dia membalas, kakek gundul itu pasti terdorong oleh pukulannya yang biarpun tidak mengenai tubuh lawan, namun hawa pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.

"Kong To Tek, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!" bentak Tek Hoat dan tiba-tiba tampak sinar berkilauan ketika dia telah mencabut Cui-beng-kiam!

Melihat pedang ini, Kong To Tek kelihatan gentar, akan tetapi juga marah. Sambil menerjang maju, dia membentak, "Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!"

Terjangannya dahsyat sekali karena dia menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk cakar dan bergerak-gerak mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari perutnya terdengar bunyi berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sin-kangnya yang amat kuat, mulutnya mengeluarkan uap putih.

Melihat terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi banyak, dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan sinar pedang Cui-beng-kiam yang ampuh.

"Singgggg.... crak! Crokk!"

Terdengar suara pekik melengking dan Kong To Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung sebatas siku terbabat pedang Cui-beng-kim yang ampuh!

Melihat tubuh itu berkelojotan dan bergulingan di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk menekan perasaan hatinya yang menyesal. Kakek itu telah melakukan banyak kebaikan kepadanya!

"Hemmm, terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek. Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih kembali ingatanmu!"

Sambil meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat, Kong To Tek bertanya, "Orang muda.... siapakah engkau....?"

"Namaku Ang Tek Hoat. Dengan kebetulan saja aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku bernama Wan Keng In dan engkau menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka kepadaku. Tentu saja aku tidak dapat menolak datangnya keuntungan ini, dan sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau berbahaya bagiku."

"Aughhhh.... kau.... kau.... memang mirip sekali dengan Wan-kongcu...., ahhh, agaknya roh Wan Keng In memasuki dirimu.... agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk dapat membalas musuh-musuhnya...."

"Siapa sih orang yang bernama Wan Keng In itu?" Tek Hoat bertanya, ingin juga dia mengetahui siapa orang yang katanya mirip dengan dia itu.

"Dia...., dia bekas majikanku.... dia kongcu dari Pulau Neraka putera ketua Pulau Neraka...."

Tek Hoat mengangguk-angguk kagum. "Dan siapa itu musuh-musuhnya?"

"Musuhnya adalah.... Gak Bun Beng.... dan.... dan To-cu Pulau Es...."

Tek Hoat merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga musuh besarnya! Dan.... To-cu Pulau Es! "Apakah kaumaksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?"

"Benar.... dia.... dia lihai...."

"Dan Gak Bun Beng, penjahat itu sudah dibunuh mati oleh ibuku!" kata pula Tek Hoat.

Kong To Tek membelalakkan matanya. Darah bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu. Mukanya pucat karena banyak kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan tubuhnya sudah mulai lemah. Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek Hoat itu dan dia bertanya. "Siapa.... siapa ibumu....?"

Biarpun Tek Hoat tidak suka menceritakan keadaan keluarganya, namun melihat bahwa kakek ini tidak akan hidup lebih lama lagi, dia mengaku, "Ibuku.... hem, ibuku seorang pendekar wanita puteri dari ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian Pa dan ibuku bernama Siok Bi...." Tek Hoat menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya.

Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga. "Kau.... kau.... kau anak Siok Bi....? Ahhh.... ah tidak salah lagi.... kau.... kau puteranya.... auhh!" Tubuh itu terguling.

"Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?" Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi mayat.

Tek Hoat bangkit berdiri, termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula.

Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan guha dimana selama dua tahun dia melatih diri. Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.

******

Karena adanya halangan yang hampir merupakan malapetaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi!

Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan "perhitungan" bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai "tanda-tanda" untuk menentukan sesuatu di masa depan. Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar "perhitungan" para "ahli nujum" pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun!

Kaisar menerima surat permohonan itu dan dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apalagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!

Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapun menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!

Biarpun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan diapun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi daripada dia.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apalagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi!

Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan maupun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.

Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan sekali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!

Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.

Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi. yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu. Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biarpun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.

Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biarpun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya! Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.

"Kak Syanti...." dia berbisik. Syanti Dewi menengok.

"Ada apakah, Candra?"

Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi! Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja. Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.

Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok. Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi.

Tak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat dari rombongan utusan itu.

Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biarpun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang, "Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu."

Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.

"Wirrrr....!" Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang! Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah. Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji! Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biarpun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak "memegang" guci yang cukup berat itu membuktikan sin-kang yang amat kuat!

Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya. Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.

Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apa lagi kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang, "Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini."

Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi, "Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!"

Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!

Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata, "Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!"

Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah dan dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disabitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu. Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!

Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat! Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun untuk mengejeknya!

Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena diapun ikut bangga. Betapapun juga, dara itu dia tahu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman. Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.

Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.

Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi! "Eh, suci Syanti.... kau.... kenapakah....?" Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.

"Enci Syanti, mengapa kau menangis?" Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.

Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih. "Adikku.... aihhh.... adikku Candra....!"

Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, kemudian dia berkata, "Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biarpun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?"

Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah mereda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata, "Candra, hati siapa tidak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayanku yang memang kusuruh melakukan penyelidikan di antara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi."

"Berita apakah?"

"Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong...."

"Aihhh, tentang calon suamimu?" Ceng Ceng menahan ketawanya. "Bukankah berita itu menggembirakan?"

"Siapa bilang menggembirakan? Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun.... hu-huuukkk...." Putri itu menangis lagi.

Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya. "Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apalagi kalau dia seorang pangeran," dara ini mencoba menghibur sebisanya. "Tapi.... tapi.... dia mempunyai banyak selir...." kembali puteri itu terisak.

"Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya."

"Tapi.... tapi.... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah olah berangkat mati saja.... kehilangan kebebasanku.... menjadi budak belian!"

"Ihhhh....! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?" Ceng Ceng berseru kaget.

"Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku.... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra....!" Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.

Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budah belian! Diam-diam hatinya memberontak pula.

"Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?"

Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Akan tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya, dengan seorang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu.... berita itu.... dia sudah tua dan banyak selirnya.... hu-hu-huuukkk...."

Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung. "Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kautolak saja sekarang, bagaimana?"

"Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang."

"Ohhh....!" Ceng Ceng terkejut sekali. "Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita.... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci...."

Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan. "Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu."

"Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?"

"Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana."

"Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu."

"Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?"

"Dia harus menyetujui!" Ceng Ceng berkata cemberut. "Aku berasal dari timur sana sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!"

Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberitahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu. Kakek ini terkejut, akan tetapi diapun tida k berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri. Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan.

Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai di perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengoper tugas pengawalan. Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu kelihatan murung, karena mereka tahu bahwa sekali ini, gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan karena gurunya sudah amat tua.

Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik, "Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?"

Laki-laki itu mengerutkan alisnya. "Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sinipun tidak akan mengalami gangguan, apalagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!"

Akan tetapi, kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa, sama sekali bukan pakaian orang berpangkat atau seorang perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.

"Jangan main gila kau!" bentaknya. "Kaukira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!"

Orang itu memandang tajam dan tersenyum. "Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kaulaporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!"

Ucapan ini, apalagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata, "Engkau masih banyak membantah? Pergilah!"

Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.

"Dukkk! " Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!

"Kau berani melawan?" Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang. Namun dengan gerakan gesit sekali, laki-laki berbaju hitam itu mengelak, kedua tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya! Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!

Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.

"Tahan senjata, mundur semua!" Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan. Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur, "Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?"

Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan. "Ah, ah.... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan, untuk menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan."

"Hemmm.... apalagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?"

"Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda."

"Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk...."

"Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus dihadiahkan kepada...."

"Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Hayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!" Panglima Jayin membentak marah.

Orang itu tersenyum tenang saja. "Begitupun baik. Pokoknya surat ini akan terbaca oleh sri baginda di Bhutan."

Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disabitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!

"Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!"

"Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah muncul Tan Siong Khi yang telah meloncat ke depan dan menghadang orang berbaju hitam itu. Orang itu memandang dengan tajam, kemudian mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seperti orang mengejek. Sedangkan Panglima Jayin cepat berkata. "Tan-ciangkun, harap jangan ganggu dia. Dia hanyalah seorang utusan yang menyampaikan surat!"

Panglima ini tentu saja memegang peraturan umum bahwa seorang utusan sama sekali tidak boleh diganggu, maka dia menghalangi Tan Siong Khi melarang orang itu pergi.

"Sayang sekali....!" Tan Siong Khi berkata.

"Huhh!" Laki-laki berjubah hitam itu mendengus lagi dan sekali meloncat, tubuhnya melayang tinggi.

"Enak saja kau pergi....!" Tan Siong Khi menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas, agaknya hendak menghadang tubuh orang itu yang sedang melayang. Akan tetapi, tiba-tiba orang itu berseru keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu berjungkir balik tiga kali dan dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan Siong Khi! Hebat dan indah sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran gin-kang yang luar biasa.

"Bukan main....!" Jayin berkata kepada Tan Siong Khi setelah orang itu pergi jauh. "Dia lihai sekali, kuat sin-kangnya dan lihat gin-kangnya, merupakan lawan yang lihai."

Tan-ciangkun tertawa. "Akan tetapi diapun tidak akan menganggap kita orang lemah!"

"Apa maksudmu, Tan-ciangkun?" Tanya Jayin, akan tetapi Tan Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda Tambolon itu melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot panjangnya melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki orang itu. Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian tubuh yang lebih penting lagi dan yang mematikan!

"Raja Muda Tambolon ini makin menggila saja," katanya sambil berjalan memasuki pintu gerbang bersama Tan-ciangkun. "Dia telah menghimpun semua kekuatan mereka yang bermaksud memberontak kepada Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki dan Mongol. Dia sendiri adalah peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya memiliki ilmu kepandaian yang mujijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan anehnya mengapa yang menjadi utusan adalah orang Pek-lian-kauw."

"Agaknya perkumpulan agama yang tersesat dan menjadi tukang berontak itu kena pula dibujukkan dan menjadi sekutunya," kata Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan kepalanya. Memang dugaan ini tidak meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di luar Sin-kiang, gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang cukup besar. Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang menguasai wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan oleh Pemerintah Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau tunduk dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk bersekutu dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan Ceng dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali.

Ketika Raja Bhutan membaca surat yang dibawa oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan gelisah. Akhirnya dia mengundang semua pembantu dan orang kepercayaannya untuk membicarakan hal itu.

Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena Raja Bhutan tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah Ceng yang akan menjadi besannya.

"Isi surat dari Tambolon ini membujuk agar Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan dengan Pemerintah Mancu, dan mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami memanggil kalian bukan untuk minta pendapat mengenai permintaan mereka itu, karena sudah jelas bahwa kami tidak akan menghentikan hubungan kekeluargaan kami dengan Kerajaan Ceng dan kami tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum pemberontak bekas orang-orang pecundang dan pelarian itu. Akan tetapi perlu kita bicarakan tentang penjagaan dan pembelaan diri yang perlu kita adakan karena mereka tentu tidak akan tinggal diam setelah kami tidak menghiraukan permintaan mereka."

Suasana menjadi hening, dan akhirnya terdengar Tan Siong Khi berkata, "Harap paduka bertenang hati. Hamba mengerti bahwa pemboyongan puteri paduka pasti akan mengalami gangguan dan halangan di jalan, mungkin akan dihadang oleh mereka, akan tetapi hamba dan para pengawal akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawa hamba sekalian!"

"Kami mengerti, Tan-ciangkun. Hanya, perlu diadakan perubahan, karena bukan hanya rombongan itu yang mungkin akan diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan diserang. Karena itu, kami rasa tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang mengawal. Dia perlu untuk memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan harus diperkuat. Inilah yang membingungkan hati kami."

"Harap paduka tidak gelisah," akhirnya Panglima Jayin berkata. "Sudah dipersiapkan pasukan istimewa, lima ratus orang banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena sudah ada suhu Lu Kiong yang memperkuat pengawalan. Apalagi ada Tan-ciangkun dan para pengawal dari rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah terkawal cukup kuat, dan kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kitapun sudah siap untuk memukul hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki pasukan besar, kabarnya paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan merupakan bunuh diri bagi mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum. Biarkan mereka datang hamba bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!"

Kata-kata penuh semangat dari Panglima Jayin ini melegakan hati sri baginda, dan mereka lalu merundingkan tentang keberangkatan sang puteri, dan penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan.

Sementara itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar tentang kedatangan utusan pemberontak, berkata kepada Syanti Dewi, "Enci Syanti, betapapun juga, kurasa jauh lebih baik menjadi isteri seorang Pangeran Kerajaan Ceng daripada jatuh ke tangan pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan saja kalau kau dijodohkan dengan seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di medan perang, bahkan selalu menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu merupakan orang-orang ganas dan liar yang menyeramkan."

Syanti Dewi mengangguk. "Aku akan menyesuaikan diri, adikku. Kurasa, apapun yang akan terjadi atas diriku, aku masih akan terhibur oleh kehadiranmu di sampingku."

******

Bunyi musik paduan suara terompet, tambur dan canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan merecon mengantar dan mengiringkan keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi sampai di luar pintu gerbang. Ketika rombongan sudah mulai meninggalkan kota raja, dari jauh masih terdengar suara riuh gembira ini di belakang mereka. Dari dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap air matanya yang bercucuran. Betapa tidak akan pilu hatinya meninggalkan orang tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk selamanya? Sedikit sekali kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan setelah dia menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong!

Ceng Ceng yang berada sejoli dengan puteri itu menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri, dara ini kelihatan gembira sekali, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Tentu saja dia girang karena memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri dimana dia dilahirkan, dan kepergiannya ini juga bersama kong-kongnya yang berada di luar bersama para pengawal.

Joli itu tidak dipikul, melainkan merupakan kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda. Beberapa orang pelayan wanita pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di sebelah belakang masih ada pula sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti bawaan sang puteri. Para pengawal mengapit tiga buah kereta itu di depan, belakang, kanan dan kiri sehingga sang puteri terkurung rapat dan aman. Pasukan itu megah dan gagah, dikepalai oleh panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu Kiong yang gagah perkasa, diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan teman-temannya. Mereka semua berkuda, dan di sepanjang perjalanan, rombongan ini menjadi tontonan yang mengagumkan dan mengherankan para penduduk dusun.

Dan untuk menenteramkan hati sang puteri, atas perintah panglima komandan pasukan, di sepanjang jalan para perajurit itu bersama-sama menyanyikan lagu-lagu ketentaraan yang terdengar megah dan gagah. Memang megah sekali menyaksikan rombongan ini. Bendera kebesaran berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian lima ratus mulut itu menggegap gempita, diseling ringkik kuda.

Perjalanan selama berhari-hari dilakukan dengan aman dan selamat. Tidak tampak ada penghalang sedikitpun sampai mereka tiba di dekat perbatasan antara wilayah Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari telah lewat dan memang perajurit itu agak lambat karena melalui Pegunungan Himalaya dan pasukan Bhutan itu agaknya ogah-ogahan melepaskan puteri junjungan mereka sehingga memperlambat perjalanan. Betapapun juga ada perasaan berat untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng, karena setelah nanti bertemu dengan pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan Bhutan akan kembali ke Bhutan dan menyerahkan pengawalan itu kepada

pasukan Ceng.

Pada hari ke lima, rombongan tiba di kaki gunung dan tampaklah padang pasir membentang luas di depan. Diduga bahwa pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir di depan. Karena itu, rombongan berhenti di hutan terakhir sebab lebih baik menanti datangnya pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini, karena perjalanan selanjutnya akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan berbatu-batu sampai lembah Sungai Brahmaputera di sebelah utara perbatasan Bhutan.

Pasukan dihentikan dan semua turun dari kuda masing-masing. Di hutan itu terdapat mata air yang jernih, airnya mengalir menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke utara dan agaknya anak sungai ini akan memuntahkan airnya di Sungai Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai besar itu, airnya tidak sejernih ketika keluar dari mata airnya di hutan itu. Mendengar dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya dan ingin sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih. Maka berjalanlah Syanti Dewi ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan kakek Lu Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air sungai itu.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di tengah hutan yang subur itu, mereka tertegun melihat seorang laki-laki sedang tidur di atas rumput, berbantal batu, kedua lengan bersilang depan dada dan mukanya tertutup oleh sebuah caping besar bundar.

Seekor kuda yang kelihatan lelah sekali sedang makan rumput tak jauh dari laki-laki itu.

Panglima pasukan dan kakek Lu Kiong yang memang di sepanjang perjalanan menduga akan datangnya penyerbuan fihak musuh, tentu saja menjadi curiga ketika melihat laki-laki itu. Akan tetapi karena merasa terlalu tinggi untuk menegur, panglima itu memanggil lima orang perajurit yang sedang duduk tak jauh dari situ dengan lambaian tangannya.

"Usir dia pergi! Sang puteri berkenan hendak mandi di mata air ini," katanya.

Lima orang perajurit itu dengan sikap gagah dan galak, langkah lebar menghampiri orang yang sedang tidur. "Heiii! Bangun! Sang puteri hendak mempergunakan tempat ini, kau pergi dan pindahlah tidur di lain tempat!" bentak seorang di antara para perajurit itu.

Akan tetapi orang itu tetap tidur, sama sekali tidak bergerak.

"Haiiii! Tulikah engkau?" bentak perajurit ke dua.

"Apakah kau sudah mati barangkali?" bentak perajurit ke tiga.

"Tak mungkin mati, lihat lututnya bergerak-gerak!"

Memang, orang yang tertidur itu lutut kanannya terangkat dan kini bergerak, akan tetapi terhenti lagi karena dibicarakan orang.

"Haiii, petani....! Lekas bangun dan pergi. Apakah kau ingin diseret?" bentak pula seorang perajurit.

Tetap saja orang itu tidak mau bergerak. Melihat ini seorang perajurit yang berkumis tebal dan memegang sebelah kaki orang itu, lalu menarik sekuat tenaga. Akan tetapi, betapa herannya semua orang melihat bahwa si kuat ini sama sekali tidak mampu membuat orang itu bergerak, bahkan menggerakkan kaki itupun tidak mampu! Seolah-olah bukan orang yang ditarik-tariknya, melainkan patung batu yang luar biasa beratnya. Teman-temannya menjadi heran, dan juga penasaran, lalu maju bersama dan lima orang itu membetot-betot tubuh orang yang tidur itu. Terdengar mereka mengeluarkan suara ah-uh-uh ketika mengerahkan tenaga, namun tetap saja orang yang dikeroyok lima ini tidak dapat digerakkan sedikitpun juga!

"Eh-eh, apakah engkau minta dipukul?" Seorang perajurit membentak dan kuda orang itu menjadi ketakutan melihat dan mendengar ribut-ribut sehingga binatang ini melarikan diri agak jauh dari tempat itu.

Karena orang itu tetap tidur dengan muka ditutup caping, lima orang perajurit itu menjadi hilang sabar, malu dan penasaran. Mereka berlima tidak mampu menggerakkan orang yang tidur ini, dan jelas bahwa orang itu tidak tidur, maka mereka merasa dianggap ringan dan hina. Kini mereka berlima turun tangan menyerang dengan pukulan kalang kabut!

"Plak-plak-plak-duk-dukkk....!"

Aneh bukan main. Tanpa menurunkan topi yang menutupi seluruh mukanya, orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya menangkisi semua pukulan. Bukan saja pukulan-pukulan itu tertangkis, bahkan lima orang perajurit itu akhirnya mundur sambil meringis, memegangi lengan mereka yang menjadi bengkak-bengkak terkena tangkisan orang yang masih tertutup mukanya oleh caping itu!

"Hemmm....!" Panglima sudah memegang gagang pedangnya, akan tetapi dia didahului oleh Ceng Ceng yang sekali melompat telah berada di dekat orang itu sambil berkata, suaranya lantang penuh teguran, "Kalau kau seorang gagah, tentu kau tahu bahwa tempat ini bukan milikmu seorang, dan tentu kau mempunyai kesopanan untuk menyingkir karena ada wanita hendak mandi di sini!"

"Adik Candra.... jangan....!" Tiba-tiba sang puteri berseru dan sudah lari mendatangi dan berkata dengan halus kepada orang yang mukanya masih ditutupi topi itu. "Harap kau suka pergi dari sini dan setelah kami selesai mempergunakan mata air ini, tentu saja kau boleh menempatinya lagi."

Tubuh itu bergerak-gerak sedikit, kemudian tangan kanannya meraba tanah, menepuknya dengan pengerahan tenaga dan tubuhnya mencelat ke atas punggung kudanya yang berada agak jauh dari situ, kemudian kuda itu membalap pergi meninggalkan suara derap kaki dan sedikit debu mengepul. Semua itu dilakukan tanpa membuat capingnya terbuka!

"Hebat....!" Kakek Lu Kiong memuji dengan kagum.

"Mungkin dia mata-mata musuh...." bisik panglima komandan pasukan yang segera pergi dan memerintahkan para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan di sekitar hutan itu.

Kakek Lu Kiong mengerutkan alisnya, termenung dan meraba-raba jenggotnya, lalu berkata kepada panglima itu, "Dia adalah seorang Han, dan melihat gerak-geriknya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Sayang bahwa kita belum dapat melihat wajahnya sebelum dia pergi. Kurasa dia bukanlah mata-mata musuh, karena kalau dia mata-mata musuh, tentu tidak demikian perbuatannya, melainkan menyelidiki kita dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Betapapun juga, dia lihai sekali dan kita harus berhati-hati."

Juga Tan-ciangkun yang diberitahu tentang orang asing bercaping itu, termenung. "Saya mengenal banyak tokoh kang-ouw, dan tentu saja banyak yang bercaping dan berilmu tinggi. Mungkin saya dapat mengenalnya kalau melihat wajahnya. Akan tetapi karena jelas tidak mengganggu, bahkan dalam bentrokan itu dia tidak menewaskan seorangpun perajurit, kurasa dia tidak mempunyai niat buruk terhadap rombongan kita."

Sementara itu, Ceng Ceng dan sang puteri mandi di mata air dan mereka juga membicarakan laki-laki yang aneh tadi.

"Dia tentu orang jahat, kalau tadi dia tidak lekas menyingkir, tentu aku akan menghajarnya!" kata Ceng Ceng yang merasa mendongkol juga karena orang asing itu dipuji-puji dan orang itu mendapat kesempatan untuk memamerkan kepandaiannya. Memang dara ini memiliki watak yang kadang-kadang keras tidak mau kalah, dan dia paling tidak senang melihat orang memamerkan kepandaiannya.

"Ahh, belum tentu, adik Candra. Kurasa, melihat gerak-geriknya, dia bukanlah seorang jahat. Buktinya, dikeroyok demikian banyaknya perajurit, dia tidak membunuh seorangpun di antara mereka, padahal kalau melihat kepandaiannya, tentu dengan mudah dia melakukan hal itu."

"Hemm, dia memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!" bantah Ceng Ceng masih tidak puas. "Kalau saja aku diberi kesempatan, akan kubuktikan bahwa lagaknya itu hanya kosong belaka!"

Maklum akan watak adik angkatnya, puteri itu hanya tersenyum dan tidak menyebut lagi perihal orang aneh itu. Juga para tokoh dalam rombongan itu tidak bicara lagi tentang orang aneh, dan orang itu hanya disebut-sebut dengan bisik-bisik di antara para perajurit. Namun, peristiwa itu mempertinggi kewaspadaan rombongan dan penjagaan dilakukan ketat malam itu. Karena para penjemput belum juga muncul, maka terpaksa mereka bermalam di hutan itu dengan membangun tenda-tenda darurat. Sang puteri dan Ceng Ceng, juga para pelayan wanita, tidur di dalam kereta joli.

Malam itu sunyi sekali setelah lewat tengah malam. Sebagian besar perajurit yang tidak bertugas jaga, tidur nyenyak karena mereka memang sudah lelah sekali. Akan tetapi mereka yang bertugas jaga, tetap berjaga dengan penuh kewaspadaan di tempat masing-masing. Perondaan dilakukan terus-menerus dari tempat penjaga yang satu kepada tempat penjaga yang lain. Juga kakek Lu Kiong, komandan pasukan, dan Tan-ciangkun tidak dapat tidur dan mereka bercakap-cakap di dalam tenda melewatkan waktu malam yang merupakan bahaya bagi mereka itu.

Di dalam kereta joli, Ceng Ceng dan Syanti Dewi juga tidak dapat tidur. Mereka sudah terbiasa dengan kamar yang serba lengkap, dengan pembaringan yang lunak sehingga tidur di kereta joli setengah duduk itu merupakan hal yang sukar dilakukan. Maka keduanya juga setengah berbaring sambil bercakap-cakap. Diam-diam keduanya merasakan sesuatu yang aneh dan seolah-olah ada tanda-tanda rahasia akan datangnya hal yang tidak mereka kehendaki. Setelah munculnya orang aneh siang tadi, segala sesuatu kelihatan penuh rahasia. Suara angin berdesir mempermainkan daun-daun pohon saja terdengar seperti bisikan-bisikan iblis dan siluman. Bayang-bayang pohon yang dibuat oleh sinar lentera penjagaan tampak seperti bayangan raksasa! Keadaan serba menyeramkan dan menegangkan.

"Kulik! Kulik! Kulik!"

Suara burung malam itu terdengar jelas sekali karena suasana yang amat sunyi. Suara itu memecah kesunyian dan Puteri Syanti Dewi menggerakkan kedua pundaknya. Tengkuknya terasa dingin meremang.

"Ihhhh.... menyeramkan sekali....!" Bisiknya. "Adik Candra, hatiku terasa tidak enak sekali. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kita?"

Ceng Ceng juga merasa seram, akan tetapi dia menghibur hati kakak angkatnya dengan senyum lebar. "Apa yang dapat terjadi kepada kita? Engkau dikawal oleh lima ratus perajurit pilihan, enci Syanti."

"Lima ratus orang perajurit di tempat seperti ini tidaklah meyakinkan sekali, adik Candra. Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan ini seringkali muncul gerombolan yang dipimpin oleh Raja Muda Tambolon yang biadab itu."

"Siapakah Raja Muda Tambolon yang terkenal itu, enci?".

Syanti Dewi bergidik. "Aku sendiri belum pernah melihat orangnya. Akan tetapi menurut kabar, dia adalah seorang peranakan Tibet dan Mongol, seorang laki-laki bertubuh raksasa yang amat sakti dan juga amat kejam, terutama sekali terhadap wanita."

"Hemmm, kejam terhadap wanita? Bagaimanakah?"

"Hihh, aku merasa ngeri baru mengingat cerita yang kudengar itu saja. Bayangkan, kalau Tambolon sudah menyerang sebuah dusun, dia akan membunuh semua laki-laki yang tidak mau menyerah, dan tidak ada seorangpun wanita yang dilepaskannya. Semua kanak-kanak dibunuh, dan wanita dari usia empat belas tahun ke atas, semua menjadi korban kebiadabannya. Kabarnya, dia sendiri akan memilih sedikitnya lima orang wanita tercantik untuk dia permainkan sampai bosan. Adapun sisanya, semua diberikan begitu saja kepada para anak buahnya dan terjadilah peristiwa yang lebih mengerikan daripada penyembelihan terhadap kaum pria dan anak-anak. Para wanita itu diperkosa di dalam rumah, di jalan-jalan, di sawah, di mana saja mereka ditemukan, bahkan di antara mayat-mayat suami dan atau saudara-saudara mereka."

"Keparat jahanam!" Ceng Ceng mendesiskan kata-kata ini penuh kebencian.

"Dan beberapa hari kemudian, wanita-wanita tua dibunuh, yang muda digiring sebagai orang tawanan atau lebih tepat lagi, sebagai alat hiburan mereka sampai kaum wanita itu mati atau bunuh diri. Anak-anak yang lahir dari perbuatan laknat ini kelak menjadi anak buah gerombolan. Kabarnya Tambolon sendiri merupakan hasil kelahiran perbuatan biadab seperti itulah."

"Hemm, kalau begitu biarlah mereka muncul. Ingin aku memenggal leher manusia iblis itu dengan pedangku sendiri!" Ceng Ceng berkata lagi.

Tiba-tiba, seolah-olah menjawab kata-kata Ceng Ceng, terdengar suara melengking tinggi berulang-ulang. Mula-mula suara itu datangnya dari arah barat, kemudian disusul dari selatan, timur dan utara. Suara melengking yang agaknya bukan keluar dari leher manusia, melainkan dari semacam alat tiup yang aneh. Segera terdengar teriakan-teriakan dan kegaduhan hebat di luar kereta joli.

"Apa itu....?" Syanti Dewi bertanya kaget dan mukanya pucat.

"Jangan keluar dulu, biar aku yang memeriksa!" Ceng Ceng sudah meloncat keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat ratusan anak panah berapi datang bagaikan hujan menyerang tempat itu! Di sana-sini terjadi kebakaran pada tenda-tenda dan keadaan menjadi kacau. Para perajurit yang baru saja terbangun dari tidur dan dalam keadaan panik, lari ke sana kemari sampai akhirnya teriakan-teriakan kakek Lu Kiong, komandan pasukan, Tan-ciangkun dan beberapa orang perwira lain dapat meredakan kepanikan. Pasukan-pasukan disusun dan dibagi empat, siap menghadapi serangan dari empat penjuru itu.

Tak lama kemudian, muncullah fihak musuh yang menyerang dari empat penjuru, dan terjadi pertempuran yang amat hebat. Perang yang terjadi di dalam gelap itu amat kejam dan dahsyat, namun sungguh tidak menguntungkan pihak pasukan Bhutan. Mereka sebagian besar baru saja bangun tidur, masih nanar dan agaknya fihak penyerang lebih tangkas dan lebih biasa dengan pertempuran di dalam hutan yang gelap. Selain itu, segera didapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa jumlah musuh luar biasa banyaknya, jauh lebih banyak daripada jumlah pasukan Bhutan yang lima ratus orang itu, juga, di fihak musuh banyak terdapat orang-orang pandai dari bermacam suku bangsa. Ada pendeta Lama dari Tibet, ada orang Turki yang bersorban, orang Mongol dan juga orang Han!

Perang tanding mati-matian itu terjadi sampai hampir pagi. Ceng Ceng yang siap dengan pedang di tangan melindungi Syanti Dewi yang juga memegang pedang. Ada beberapa orang musuh dapat menyelundup masuk dan Ceng Ceng sudah merobohkan empat orang musuh, sedangkan Syanti Dewi sendiri yang selama hidupnya belum pernah bertempur, apalagi membunuh orang, terpaksa membunuh seorang laki-laki tinggi besar yang hendak menangkapnya. Kini dengan muka pucat dan tubuh menggigil puteri itu memandang korbannya. Pedangnya tertinggal di dalam perut korban itu karena merasa terlalu ngeri untuk mencabut pedangnya!

Tiba-tiba kakek Lu Kiong datang dengan muka agak pucat. Seluruh pakaian kakek itu berlumur darah, dan mukanya penuh keringat. Pedang di tangan kakek inipun berlepotan darah dan kelihatannya dia lelah sekali. Seperti juga para perajurit dan para pimpinan, kakek ini telah ikut berperang dan mengamuk seperti seekor harimau.

"Ceng Ceng.... cepat persiapkan diri dan tuan puteri! Kita harus melarikan diri, fihak musuh terlalu kuat!"

"Apa? Melarikan diri? Tidak, kong-kong!" Ceng Ceng membantah marah. "Biar kita melawan sampai titik darah terakhir!"

"Hushhhhh! Kaukira kakekmu ini pengecut? Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, kita harus menyelamatkan sang puteri!"

Barulah Ceng Ceng teringat. Dia menoleh dan melihat Syanti Dewi berdiri pucat memandang orang yang telah ditusuk perutnya dengan pedangnya itu. Orang itu masih berkelojotan di depan kakinya!

"Bagaimana kita bisa melarikan sang puteri, kong-kong? Tempat ini sudah terkurung."

"Cepat, kalian berdua pakai pakaian ini dan mari ikut dengan aku!" Kakek Lu Kiong memberikan dua stel pakaian petani kepada Ceng Ceng dengan nada memerintah.

"Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan tuan puteri. Ini sudah diatur oleh kami, komandan pasukan, Tan-ciangkun, dan aku sendiri. Kita berdua harus dapat mengawal dan menyelamatkan puteri keluar dari tempat ini!"

Dua orang gadis itu tidak banyak membantah lagi, lalu mengenakan pakaian petani yang agak kebesaran itu, menutupi pakaian mereka sendiri, menguncir rambut seperti model laki-laki, kemudian tergesa-gesa mengikuti kakek itu menyelinap di antara pohon-pohon gelap. Sang puteri menyerahkan segenggam perhiasan berharga kepada Ceng Ceng untuk membantu membawanya sebagai bekal. Dengan perhiasan di kantung baju yang lebar, dan pedang disembunyikan di bawah baju, mereka bergerak di bawah pohon-pohon. Syanti Dewi telah mendapatkan kembali pedangnya setelah dicabut dari perut penyerangnya tadi dan dibersihkan darahnya pada pakaian korban.

Akan tetapi, di mana-mana mereka bertemu dengan fihak musuh dan beberapa kali terpaksa mereka membuka jalan darah dan merobohkan musuh untuk dapat melanjutkan usaha mereka melarikan diri. Namun, kakek Lu Kiong sedapat mungkin menghindarkan diri dari pertempuran, memilih lowongan-lowongan untuk keluar dari dalam hutan tanpa diketahui musuh.

Akhirnya, setelah matahari pagi tersembul di antara daun-daun pohon, mereka bertiga telah berhasil lolos dan keluar dari dalam hutan di mana masih berlangsung perang yang amat hebat itu. Suara pertempuran masih terdengar jauh di luar hutan. Baru saja hati ketiga orang pelarian itu merasa lega karena dapat lolos, dan memasuki sebuah hutan kecil di antara gurun pasir yang hanya kadang-kadang saja menyelingi gundukan perbukitan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan lima orang sudah berdiri di depan mereka dengan golok terhunus di tangan!

"Ha-ha-ha, sudah kuduga tentu akan ada yang menyelinap ke sini! Eh, kakek tua, apakah kalian ini anggauta rombongan puteri.... ehhhh! Kalian berdua ini begini tampan, persis perempuan.... heiiii, bukankah kalian perempuan?" Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

"Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah me lihatnya, dia Puteri Bhutan!" tiba-tiba terdengar teriak seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju mengurung.

"Ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-haha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!" teriak si muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.

Si muka hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi. "Plak-plak, dess!" Tiga orang itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang, sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.

"Tranggg....! Cringgg....!" Kakek Lu Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biarpun dia terkejut sekali karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali!

Melihat tiga orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya....!"

"Mulut busuk! Aku bukan pelayan!" bentak Ceng Ceng marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.

"Ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka.

Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!"

"Keparat!" Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.

Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapapun lihai ilmu silat mereka. Ceng Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh lawan itu!

Terdengar teriakan keras dan Ceng Ceng melihat kakeknya juga sudah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.

"Kong-kong....!" Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.

"Ceng Ceng, jaga sang puteri....!" kakek itu berteriak.

"Wuuuutttt.... singgg....!" Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.

"Tringggg.... augghhh....!" Tubuh kakek Lu Kiong tersungkur dan dia bergulingan. Ketika menangkis tadi, rasa nyeri menusuk pundak kirinya yang terluka sehingga dia kehilangan tenaga dan hanya dengan jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas dari bacokan golok. Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan, namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, kemudian dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.

"Kakekmu terluka.... bantulah dia, adik Candra....!" Syanti Dewi berkata sambil membacokkan pedangnya ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.

"Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing ini!" Ceng Ceng berseru karena dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka dia cepat memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini dan dengan putaran pedang seperti kitiran cepatnya, akhirnya dia berhasil menendang roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.

"Singggg....!" Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.

"Tranggg....!" Orang yang sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.

"Wuuuutttt.... crotttt....!" Pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya. Orang itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari lehernya yang dicobanya ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti Dewi meloncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian.

Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan hatinya ini.

Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.

"Robohlah....!" Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.

"Kong-kong....!" Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan. Ternyata kakek yang kosen ini biarpun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek lebar!

"Kong-kong....!" Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang terluka hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu.

Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng. "Ceng Ceng, kau.... kau selamatkan puteri.... harus, sekarang juga.... pergilah kau ke kota raja.... jumpai di sana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu lindungi puteri dengan nyawamu sebagai.... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia...." Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.

"Kong-kong....!" Ceng Ceng memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis biarpun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat. "Engkau benar, kong-kong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah, kong-kong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu." Dia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu di antara mayat-mayat lima orang lawan tadi.

"Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!"

"Tapi.... tapi jenazah kakekmu...."

"Tida k apa! Kong-kong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kong-kong tewas di antara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa! Marilah....!" Ceng Ceng menahan tangisnya karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri.

Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu Kiong. "Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku...." Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.

Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur! Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena fihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.

"Lee-ko, mari kita turun dari sini. Lihat itu sepasang rajawali kita beterbangan di atas permukaan laut, agaknya tentu ada sesuatu terjadi. Mungkin ada ikan besar terdampar ke pulau seperti dahulu!" kata Kian Bu sambil menudingkan telunjuknya ke bawah puncak di mana tampak sepasang rajawali itu terbang rendah di permukaan laut.

"Ahh, Bu-te, sekarang bukan waktunya bermain-main. Ingat, hari ini kita harus melatih sin-kang untuk menghimpun Hui-yang-sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) yang amat sukar."

"Memang sukar, Lee-ko. Tidak semudah ketika kita melatih Swat-im-sin-kang."

"Tentu saja, untuk menghimpun Swat-im-sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) kita dibantu oleh hawa dingin dan salju, sedangkan Hui-yang-sin-kang adalah sebaliknya, menyalurkan sin-kang menjadi berhawa panas. Karena sukarnya, maka kita harus giat berlatih, jangan terlalu banyak main-main. Marilah kita berlatih lagi, kurasa di guha itu sudah cukup panas, apinya sudah sejak pagi tadi menyala."

Kian Bu menghela napas kecewa, akan tetapi tidak berani membantah kakaknya dan mereka memasuki sebuah guha di puncak itu. Kalau orang lain yang belum terlatih, baru memasuki guha itu saja tentu tidak akan kuat bertahan. Di situ dinyalakan api arang yang amat besar sehingga hawa menjadi panas luar biasa, baru masuk saja terasa kulit seperti dibakar. Namun kedua orang pemuda yang sudah terlatih itu seolah-olah mereka tidak merasakan hal ini. Mereka berjalan masuk dan duduk bersila, mulai berlatih Hui-yang-sin-kang.

Kedua orang muda putera majikan Pulau Es ini memang selalu tekun berlatih silat semenjak mereka dahulu tersesat ke Pulau Neraka dan terancam bahaya maut. Biarpun mereka dapat terhindar dari malapetaka, bahkan pulang ke Pulau Es membawa sepasang rajawali, namun keduanya maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih belum mencukupi sehingga sekali saja keluar merantau hampir celaka, maka di bawah gemblengan dan bimbingan yang amat keras dari ayah mereka, keduanya berlatih setiap hari sehingga memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

Akan tetapi belum lama mereka melakukan siulian (samadhi) untuk berlatih sin-kang, tiba-tiba telinga Kian Bu menangkap suara rajawali yang melengking panjang. Dia membuka mata memandang keluar guha. Tentu saja dari dalam guha itu dia tidak melihat sepasang rajawali, akan tetapi kembali telinganya menangkap suara lengking panjang dari sepasang rajawali itu.

"Lee-ko....!"

Kian Lee membuka matanya memandang dengan cemberut. "Bu-te, mengapa kau belum juga berlatih? Apa kau ingin mendapat marah dari ayah?"

"Lee-ko dengarkan! Sepasang rajawali kita marah-marah, tentu ada sesuatu!"

Terpaksa Kian Lee mencurahkan perhatiannya pada pendengarannya dan tak lama kemudian dia mendengar lengking panjang dari sepasang rajawali mereka. Tak salah lagi, memang sepasang rajawali itu sedang marah-marah. Hal ini amat mengherankan karena kalau tidak terjadi sesuatu di Pulau Es, mengapa sepasang rajawali itu marah-marah?

"Hemm, mereka marah sekali. Entah apa yang sedang terjadi...." kata pemuda yang bersikap tenang ini.

"Mendengar suara mereka, kalau tidak melihat dulu, mana bisa aku menyatukan tenaga untuk berlatih? Aku mau melihatnya dulu, Lee-ko!" Berkata demikian, Kian Bu sudah menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat keluar dari guha itu. Gerakannya memang hebat sekali karena pemuda ini sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat.

"Tunggu, Bu-te....!" Kian Lee juga meloncat dengan kecepatan yang sama. Kedua orang kakak beradik itu berlari cepat menuruni puncak dan ketika mereka tiba di pantai tampaklah oleh mereka apa yang menyebabkan sepasang rajawali itu beterbangan rendah dan mengeluarkan suara pekik kemarahan. Kiranya Pulau Es kedatangan tamu! Hal yang luar biasa sekali karena selama mereka hidup di Pulau Es, satu kali ini ada orang-orang asing datang di Pulau Es, menggunakan sebuah perahu besar yang berlabuh di tepi pantai.

Kakak beradik itu merasa heran sekali, apalagi ketika melihat bahwa yang datang adalah orang banyak. Ada dua puluh orang yang kini sudah mendarat dan mereka itu berdiri di pantai, berhadapan dengan Suma Han dan kedua orang isterinya! Karena ayah dan ibu mereka telah hadir, kakak beradik ini tidak berani bersuara, hanya melangkah maju dan mendengarkan percakapan yang baru berlangsung. Agaknya orang tua mereka juga baru saja datang ke tempat itu menyambut para pendatang ini. Dua puluh orang itu rata-rata telah berusia lanjut, paling muda empat puluh lima tahun sampai ada yang sudah tua sekali. Akan tetapi yang paling menarik adalah dua orang kakek yang berdiri di depan, karena mereka ini adalah yang paling aneh di antara mereka semua.

Dua orang kakek ini menarik karena wajah mereka serupa benar. Sukarlah membedakan dua wajah itu yang bentuk dan garis-garisnya sama, bahkan rambut mereka yang panjang terurai sampai ke leher juga sama. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat menyolok pada pakaian mereka dan warna muka mereka. Yang seorang bermuka putih, bukan pucat melainkan putih seperti dicat! Kakek ini memakai baju tebal dari bulu, akan tetapi masih kelihatan seperti orang kedinginan, bahkan mukanya yang lebar bulat itu, yang berwarna putih, agak kebiruan seperti orang menderita dingin hampir beku. Adapun kakek ke dua merupakan kebalikan dari kakek pertama ini. Kakek kedua bermuka merah, muka yang seperti orang kepanasan, dan orang kedua ini hanya memakai celana sebatas lutut dan sepatu, sama sekali tidak memakai baju sehingga tubuhnya yang agak kurus dengan tulang iga

menonjol itu kelihatan. Anehnya, biarpun berada di Pulau Es yang dingin sekali, kakek ini masih kelihatan seperti orang kegerahan, mengipas-ngipas tubuhnya yang atas dan telanjang itu dengan sehelai saputangan yang sudah basah oleh keringatnya. Dan ini bukan hanya aksi belaka karena memang lehernya selalu basah oleh keringat!

Delapan belas orang yang lain terdiri dari empat belas orang kakek yang rata-rata kelihatan aneh dan membayangkan ilmu kepandaian tinggi, dan empat orang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun yang masing-masing membawa pedang di punggung mereka. Empat orang wanita ini kepalanya dibalut dengan kain putih seperti orang berkabung dan wajah mereka angker, penuh kebencian ketika mereka memandang kepada Pendekar Super Sakti dan kedua isterinya. Melihat dari bentuk pakaian mereka, jelas bahwa empat orang wanita ini bukanlah wanita Han, sungguhpun wajah mereka seperti wanita Han biasa, akan tetapi pakaian mereka agak lain. Dan memang mereka itu adalah wanita-wanita dari Korea, dan tergolong tokoh-tokoh orang gagah di negeri itu.

Siapakah kedua orang kakek kembar yang agaknya menjadi pimpinan rombongan yang secara tidak terduga-duga datang mendarat di Pulau Es ini? Nama mereka tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, karena memang kedua kakek kembar ini selama puluhan tahun pergi meninggalkan dunia kang-ouw dan merantau di luar negeri. Mereka adalah kakak beradik kembar, berasal dari Taiwan (Formosa) dan pernah mereka menjelajah ke daratan besar dan membuat nama dengan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi, mereka berbeda haluan dengan suheng mereka yang mencari kedudukan dengan menghambakan diri kepada Bangsa Mancu yang menduduki Tiongkok. Suheng mereka kemudian terkenal sebagai Koksu (Guru Negara), yaitu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun (baca Sepasang Pedang Iblis). Mereka berdua merasa kecewa melihat kakak seperguruan yang mereka anggap sebagai pengganti suhu itu menghambakan diri kepada musuh, maka keduanya lalu pergi meninggalkan daratan besar dan mereka berpencar untuk meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu mereka. Yang tua pergi ke utara dan selama puluhan tahun bermukim di daerah Kutub Utara yang amat dingin. Adapun yang muda merantau ke selatan, ke daerah panas di mana matahari lewat tepat di atas kepala. Beberapa tahun yang lalu, kedua orang ini kembali ke daratan besar sebagai dua orang lihai bukan main. Setelah puluhan tahun tinggal di dekat Kutub Utara, kakek tertua menjadi putih mukanya dan selalu berpakaian tebal seperti yang biasa dipakai orang-orang Eskimo di daerah Kutub Utara. Kakek ini kemudian terkenal dengan sebutan Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Utara). Adapun adik kembarnya, sekembalinya dari daerah panas, menjadi merah mukanya dan selalu merasa kegerahan dan tidak pernah berbaju. Dia kini dijuluki Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Selatan). Biarpun baru datang beberapa tahun saja, kelihaian mereka membuat nama Siang Lo-mo (Sepasang Iblis) ini terkenal sekali, terutama pada golongan yang menentang Pemerintah Mancu karena kedua orang inipun terkenal anti kepada Kerajaan Mancu. Memang aneh sekali keadaan kedua orang itu. Lajimnya, orang yang selamanya tinggal di daerah dingin seperti Kutub Utara, kalau datang ke tempat yang lebih panas tentu akan kegerahan, akan tetapi Pak-thian Lo-mo sebaliknya malah, terus-menerus kedinginan! Demikian pula dengan Lam-thian Lo-mo, puluhan tahun dia tinggal di daerah panas, semestinya kini dia akan merasa kedinginan, akan tetapi biarpun berada di Pulau Es, dia masih terus merasa panas!

Sebetulnya mereka tidak pura-pura dan yang menyebabkannya demikian adalah sin-kang mereka. Di Kutub Utara, Pak-thian Lo-mo melatih diri secara liar sehingga dia dapat menghimpun inti tenaga yang mengandung hawa dingin. Memang hebat sekali tenaga ini, namun akibatnya karena dilatih secara liar, dia selalu merasa kedinginan dan harus memakai jubah tebal berbulu dan seringkali minum arak tanpa takaran untuk menghangatkan tubuhnya, demikian pula Lam-thian Lo-mo yang telah melatih dan menghimpun inti tenaga sakti yang amat panas sehingga tubuhnya selalu terasa terlalu panas!

Ketika kakek kembar ini mendengar betapa suheng mereka telah digagalkan semua usahanya memberontak oleh Pendekar Super Sakti, bahkan kabarnya suheng mereka itu tewas di Pulau Es, tentu saja menjadi marah sekali dan menaruh hati dendam kepada Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es. Apalagi ketika mendengar pendekar yang menjadi musuh besar mendiang suheng mereka itu adalah mantu Kaisar Mancu, kebencian mereka makin meluap-luap. Mereka lalu mengumpulkan kawan-kawan sehaluan, yaitu mereka yang menentang Pemerintah Mancu. Di antaranya adalah keempat wanita dari Korea itu. Mereka itu adalah kakak beradik dari Jepang yang telah menikah dengan perwira-perwira Korea. Ketika suami mereka semua gugur dalam perang melawan pasukan Mancu, mereka bersumpah untuk membalas dendam dan menggabung dengan mereka yang anti Pemerintah Mancu sehingga akhirnya mereka dapat bekerja sama dengan Siang Lo-mo. Mendengar bahwa Siang Lo-mo hendak mencari Pulau Es dan menyerang Majikan Pulau Es yang menjadi mantu Kaisar Mancu, tentu saja mereka berempat menjadi girang dan segera menyatakan hendak ikut membantu.

Empat belas kakek yang lainnya sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang merasa dirugikan oleh Pemerintah Mancu, ada pula yang ikut menyerbu Pulau Es semata-mata untuk membalas dendam kepada Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti karena sahabat atau saudara seperguruan mereka pernah roboh di tangan pendekar ini.

Suma Han dan dua orang isterinya yang juga mendengar pekik sepasang rajawali dan melihat sebuah perahu besar mendarat, sudah cepat menyambut dan kini mereka bertiga menanti keluarnya dua puluh orang itu dari perahu. Sikap Suma Han dan dua orang isterinya tenang-tenang saja sungguhpun mereka juga merasa heran sekali melihat rombongan orang asing datang ke pulau mereka dan mereka bertiga sudah dapat menduga bahwa rombongan itu tentulah bukan datang dengan iktikad baik.

Namun, sesuai dengan wataknya yang tenang dan sopan, Suma Han mengangkat kedua tangannya di depan dadanya sebagai tanda penghormatan, lalu bertanya dengan suara halus, "Siapakah cu-wi (anda sekalian) yang telah mendarat di Pulau Es dan apa gerangan keperluan cu-wi?"

Sejenak kedua orang kakek kembar itu tak dapatmenjawab, hanya mata mereka memandang Suma Han penuh perhatian dan penuh selidik, memandang pendekar itu dari rambutnya yang putih semua dan panjang sampai ke pundak sampai kakinya yang tinggal sebelah. Akhirnya Pak-thian Lo-mo menghela napas panjang. Dia merasa heran sekali dan hampir tidak percaya bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kelihatannya lemah, tubuhnya sedang, kakinya tinggal yang kanan dan rambutnya sudah putih semua, bersikap halus dan lemah lembut ini adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang demikian tersohor! Dia tersenyum dan dengan sikap tak acuh tanpa membalas penghormatan tuan rumah, dia bertanya, "Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Super Sakti, to-cu dari Pulau Es?"

"Kalau benar demikian, kau mau apakah?" Tiba-tiba Lulu tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap orang yang sama sekali tidak menghormat suaminya, padahal suaminya telah bersikap sopan dan ramah.

Pak-thian Lo-mo memandang Lulu dan mengangguk-angguk. "Hebat, aku sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri yang kabarnya lihai bukan main dan bahwa yang seorang adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri! Apakah engkau puteri kaisar itu?"

"Kakek tua bangka yang tidak mengenal orang!" Nirahai membentak. "Akulah puteri kaisar yang kautanyakan. Engkau siapakah dan mau apa berlagak di tempat ini dengan membawa banyak anak buah?"

Pak-thian Lo-mo saling pandang dengan adik kembarnya, kemudian mereka berdua tertawa bergelak. Kini Lam-thian Lo-mo yang menjawab, suaranya kering namun nyaring sekali, "Eh, Pendekar Siluman! Kami hendak bertanya, apakah benar suheng kami Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di Pulau Es ini?"

Suma Han dan kedua orang isterinya terkejut. Kiranya dua orang kakek kembar yang aneh itu adalah sute-sute dari mendiang Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun (baca Sepasang Pedang Iblis)! Jelas bahwa kedatangan mereka ini mengandung niat yang tidak baik.

Namun suara Suma Han masih tetap tenang ketika dia menjawab, "Benar, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di tempat ini karena perbuatannya sendiri yang menyalahi kebenaran.

"Kaukah yang membunuhnya?" Pak-thian Lo-mo bertanya, suaranya penuh ancaman.

Sebetulnya, seperti diceritakan dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS , Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun ketika bertanding dengan Gak Bun Beng, terjungkal dari tebing yang amat curam. Akan tetapi bukanlah watak Suma Han untuk menyebutkan kesalahan orang lain hanya untuk melindungi dirinya sendiri, maka jawabnya, "Yang membunuhnya adalah tingkah lakunya sendiri yang tidak benar."

Pak-thian Lo-mo mengangkat tangannya ke pinggang, bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. "Pendekar Siluman, dengarlah baik-baik! Kami berdua adalah Siang Lo-mo, aku disebut Pak-thian Lo-mo dan dia ini adikku Lam-thian Lo-mo. Kami datang untuk menuntut kematian suheng kami! Bukan itu saja, karena engkau adalah mantu kaisar penjajah dan isterimu itu puteri kaisar, maka kami para patriot bergabung untuk membasmi kalian dan mengambil Pulau Es ini sebagai sebuah markas baru!"

"Iblis tua bangka bosan hidup!" Nirahai sudah membentak marah sekali dan hampir berbareng dengan Lulu yang juga marah, kedua orang wanita sakti ini sudah melompat ke depan. Terjangan mereka disambut oleh Pak-thian Lomo dan Lam-thian Lo-mo yang tertawa-tawa menghina dan memandang rendah kedua wanita itu.

"Dessss! Desssss!"

Empat pasang lengan saling bertemu dengan hebatnya, dan akibatnya, Nirahai dan Lulu terlempar ke belakang sedangkan kedua kakek inipun terhuyung! Melihat ketangguhan kedua orang kakek Siang Lo-mo itu, Suma Han berkata kepada kedua orang isterinya yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka, "Biarlah aku menghadapi mereka."

"Pendekar Siluman, tibalah saatnya engkau menebus kematian suheng!" Lam-thian Lo-mo berteriak keras dan bersama saudara kembarnya dia menubruk ke depan dan dari kedua tangannya menyambar hawa yang panas seperti api menyala, sedangkan dari kedua tangan Pak-thian Lo-mo menyambar hawa yang dingin sekali. Namun Suma Han dengan gerakan tenang sudah menggerakkan tongkatnya ke depan, dengan gerakan aneh, tongkatnya berputar seperti mencoret-coret huruf di udara.

"Plak-plak....!" Secara aneh sekali tahu-tahu tongkat itu telah memukul tepat mengenai punggung kedua kakek itu yang cepat melompat ke belakang, saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka kaget bukan main! Sama sekali mereka tidak mengerti bagaimana tongkat di tangan si kaki buntung itu dapat memukul punggung mereka! Namun mereka tidak menjadi jerih dan cepat tangan mereka meraba pinggang dan mereka melolos sabuk mereka, yang ternyata merupakan sebatang senjata cambuk baja hitam!

Suma Han merasa khawatir sekali di dalam hatinya. Kalau kedua orang kakek itu menggunakan senjata yang dia dapat menduga tentu ampuh dan lihai sekali, maka pertandingan akan menjadi sungguh-sungguh dan ada kemungkinan dia kesalahan tangan dan terpaksa membunuh mereka untuk menyelamatkan diri. Biarpun dia tidak merasa takut, namun betapapun juga dia tidak menghendaki dia sekeluarga terpaksa membunuh orang dan mengotori Pulau Es yang sudah beberapa kali dikotori darah manusia yang terbunuh di situ akibat kejahatan-kejahatan mereka. Selama puluhan tahun dia hidup damai, tenteram, dan aman bersama dua orang isterinya dan kedua orang puteranya. Kini dia tidak ingin terjadi pembunuhan.

"Jiwi harap bersabar. Apakah urusan ini tidak dapat diselesaikan dengan damai?" tanyanya tenang. "Pendekar Siluman, jangan kau kira bahwa kami gentar menghadapi tongkatmu! Kami datang untuk menantang engkau berkelahi!" bentak Pak-thian Lo-mo.

Suma Han menahan napas. "Andaikata terpaksa berkelahi juga, apakah tidak sebaiknya kita menggunakan tangan untuk mengukur siapa yang lebih kuat, dan tidak perlu menggunakan senjata?" Sambil berkata demikian, dia menancapkan tongkatnya di depan kaki, tanda bahwa ia tidak akan menggunakan tongkat itu sebagai senjata.

Dua orang kakek itu saling pandang, dan sebagai sepasang saudara kembar, tentu saja hubungan batin mereka lebih erat daripada orang lain sehingga dengan saling pandang saja mereka sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing. Keduanya mengangguk, menyelipkan cambuk di ikat pinggang, kemudian keduanya lalu berpencar, menghampiri Suma Han dari kanan kiri.

"Engkau hendak mengadu tenaga sin-kang, ya?" Lam-thian Lo-mo berseru. "Baiklah! Nah, kauterima pukulan kami ini!"

Kedua orang kakek itu mengeluarkan suara menggereng hebat dari dalam perut mereka, kemudian mereka menggerakkan kedua lengan yang menggetar hebat dan tak lama kemudian, kedua lengan Lam-thian Lo-mo berubah menjadi merah kehitaman dan mengeluarkan uap panas, sedangkan kedua lengan Pak-thian Lo-mo berubah putih pucat seperti lengan mayat dan dari kedua lengan ini juga keluar

uap dingin! Kiranya mereka sudah mengumpulkan dan mengerahkan sin-kang istimewa masing-masing, menyalurkannya ke dalam lengan dan tiba-tiba mereka berseru keras, memukul dengan telapak tangan kanan terbuka ke arah Suma Han dari kanan kiri agak ke depan pendekar berkaki tunggal itu.

Suma Han maklum bahwa kalau dia tidak memperlihatkan kekuatannya tentu tidak akan membuat lawan mundur dan dia tidak ingin kalau harus bertanding mati-matian, maka diam-diam diapun telah mengerahkan tenaga sin-kangnya yang istimewa. Pendekar Super Sakti ini memang terkenal sekali dengan sin-kangnya, karena dia telah menguasai dengan sempurna dua macam tenaga sin-kang yang berlawanan, yaitu Hwi-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api) dan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju). Kini, menghadapi dua serangan yang datang mengandalkan sin-kang yang berlawanan, tentu saja dia sudah siap. Bagi orang lain, betapa kuat sin-kangnya, tentu akan sukar menyelamatkan diri menghadapi serangan dari dua tenaga sin-kang yang berlawanan itu, namun Pendekar Super Sakti dapat dalam satu saat menyalurkan dua tenaga bertentangan itu, lengan kiri penuh dengan tenaga Hwi-yang-sin-kang menyambut telapak tangan Lam-thian Lo-mo yang panas, sedangkan telapak tangan kanannya juga mendorong dan menyambut telapak tangan Pak-thian Lo-mo yang dingin.

"Dess! Dess....!"

Pertemuan tenaga mujijat itu hebat luar biasa. Seolah-olah bumi bergetar dan semua orang yang ada di situ dapat merasakan getaran hawa panas dan dingin berselang-seling sehingga beberapa orang anak buah sepasang kakek kembar itu menggigil penuh kengerian. Baru pertama kali itu selama hidup mereka yang puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw, mereka menyaksikan beradunya tenaga mujijat sehebat itu.

Dan akibatnya juga luar biasa sekali! Tubuh kedua kakek kembar itu terlempar sampai empat meter lebih. Mereka seperti daun kering tertiup angin, terhuyung dan terguling-guling dan ketika mereka berdua dapat meloncat berdiri, tampak darah merah menghias ujung bibir mereka! Benturan tenaga dahsyat tadi telah membuat mereka terluka di sebelah dalam, sungguhpun tidak terlalu berat karena mereka telah membiarkan diri mereka terdorong oleh tenaga lawan yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi, di lain fihak, biarpun Pendekar Super Sakti masih berada di tempatnya tadi, tidak bergeser selangkahpun, namun tubuhnya menjadi kurang tingginya dan kalau orang melihat ke arah kakinya yang tinggal sebelah itu ternyata telah melesak ke dalam tanah sampai hampir selutut! Ternyata bahwa kekuatan kedua orang kakek kembar itu kuat sekali sehingga dalam menahan pukulan mereka, tubuh Suma Han tertekan sedemikian rupa dan biarpun pendekar ini dapat mempertahankan, namun tanah di bawah kakinya tidak dapat menahan sehingga kaki itu masuk ke dalam tanah!

Tadinya kedua kakek kakak beradik itu terkejut bukan main, akan tetapi mereka melihat keadaan lawan, hati mereka menjadi besar. Kiranya keadaan lawan juga tidak lebih baik daripada keadaan mereka. Melihat betapa Pendekar Super Sakti masih berdiri dengan kaki tunggal menancap ke dalam tanah, kedua orang itu sudah mencabut cambuk masing-masing dan dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menerjang maju.

"Tar-tar-tar-tarrr....!" Cambuk hitam mereka meledak-ledak di udara kemudian menyambar ke arah kepala Suma Han.

"Trak-trak-trak-trakkk!"

Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung dan kiranya tongkat yang tadi tertancap di atas tanah di depan kakek Pendekar Siluman, kini telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Biarpun kaki tunggalnya masih menancap di atas tanah, namun pendekar itu dengan tenangnya dapat menangkis semua sambaran sinar berwarna hitam dari kedua cambuk lawan. Kemanapun ujung cambuk menyambar, tentu akan terbendung oleh gulungan sinar tongkat dan membalik seperti seekor ular bertemu api!

Di antara delapan belas orang teman sepasang kakek kembar, empat orang wanita Korea itu merupakan tokoh-tokoh terpandai. Melihat keadaan musuh mereka yang seolah-olah sudah terjebak, mereka mengeluarkan bentakan-bentakan pendek yang nyaring dan ketika tangan mereka bergerak, tampak pedang-pedang panjang melengkung, yaitu pedang samurai model Jepang, berada di kedua tangan mereka. Pedang itu terlalu panjang dan berat bagi mereka, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk memegang gagang pedang, seperti orang memegang toya dan kini mereka memekik sambil berlari ke arah Suma Han dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala mereka.

"Haaaiiiiikkkk....!"

"Trang-cring-cring-cring....!"

Empat orang wanita itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Lulu dan Nirahai yang ternyata telah menghadang mereka dan menangkis samurai-samurai itu dengan pedang mereka. Lulu memegang pedang Pek-kong-kiam yang bersinar putih, sedangkan Nirahai telah menggunakan senjatanya yang luar biasa, yaitu pedang payung. Merasakan tangkisan yang membuat tangan mereka tergetar dan tubuh mereka terhuyung, empat orang wanita Korea itu maklum akan kelihaian dua orang wanita isteri Pendekar Siluman itu, maka mereka lalu serentak maju menyerang sambil mengeluarkan pekik-pe kik dahsyat. Empat belas orang lain juga bergerak maju, hendak mengeroyok Suma Han dan dua orang isterinya.

"Lee-ko, mari....!"

Kian Bu sudah berlari ke medan pertempuran, diikuti oleh kakaknya.

"Manusia-manusia jahat, berani kalian mengacau Pulau Es?" Kian Bu berteriak dan segera dia menyerbu ke depan.

"Haiiiitt!"

"Hyaaaahhh!"

Kedua orang pemuda itu mengamuk dan mereka ternyata hebat sekali. Biarpun mereka hanya bertangan kosong, namun setiap pukulan mereka tentu mengenai seorang lawan yang terjengkang atau terhuyung ke belakang. Biarpun mereka itu dapat bangun kembali, namun amukan kedua orang pemuda ini membuat mereka menjadi kaget dan panik. Apalagi ketika terdengar lengking memanjang dari atas dan dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dan mengamuk pula membantu kedua orang majikan mereka! Keadaan makin menjadi panik dan para pengeroyok itu kini sebaliknya malah menjadi sibuk dan terdesak hebat!Pertandingan antara Suma Han dan dua orang kakek kembar juga makin seru, namun diam-diam kedua orang kakek itu harus mengakui bahwa lawan mereka yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu memang benar-benar amat sakti! Sering kali kedua orang kakek ini menjadi bingung karena secara aneh dan tiba-tiba sekali lawan mereka yang hanya berkaki satu itu lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu lawan itu telah menyerangnya dari atas kepala! Ketika mereka menyambarkan cambuk ke atas, kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah menerjang dari belakang! Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu kesaktian paling cepat gerakannya di dunia ini!

Dia m-diam Suma Han harus mengakui bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek kembar itu hebat sekali, sin-kang mereka kuat dan tubuh mereka kebal, juga mereka merupakan ahli-ahli silat yang sudah berhasil mengumpulkan intisari segala gerakan ilmu silat, diringkas dan dimainkan dasarnya saja sehingga mereka berdua merupakan lawan yang amat ulet dan kuat. Namun, andaikata dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun yang membingungkan mereka, tentu saja dia dapat merobohkan mereka dengan tongkatnya, membunuh atau sedikitnya melukai mereka. Dia tidak menghendaki hal ini. Dia maklum bahwa jalan kekerasan hanya akan berakhir dengan kekerasan pula, dengan dendam dan kebencian yang tak kunjung henti. Maka dia bersikap sabar dan mengalah.

Ketika Suma Han mendengar bentakan, kedua orang isterinya dan kedua orang puteranya dia menengok dan terkejutlah hati Pendekar Super Sakti ini. Dua orang isterinya dan dua orang pemuda itu mengamuk seperti naga-naga marah. Dua orang wanita Korea telah roboh dan tak dapat bertanding lagi karena terluka parah, sedangkan di antara empat belas orang itu, sudah ada delapan orang yang roboh, entah tewas atau pingsan!

Celaka, dia sendiri tidak mau turun tangan keras, isteri-isteri dan anak-anaknya malah mengamuk seperti itu! "Heiii, tahan dan mundur kalian semua!" Teriaknya sambil mencelat ke arah kedua isteri dan anaknya. "Kian Bu, Kian Lee, hayo panggil burung-burung setan itu!" teriaknya pula melihat betapa dua ekor rajawali itupun mengamuk hebat, membuat para lawan menjadi panik dan sibuk mempertahankan diri dari paruh dan cakar yang kuat.

Kedua isterinya mengerutkan alis, namun mereka mengenal suami mereka dan tidak mau membantah. Mereka maklum bahwa suami mereka akan berduka sekali kalau sampai keluarganya menggunakan kekerasan. Juga Kian Lee dan Kian Bu meloncat mundur dan berusaha memanggil sepasang rajawali yang sedang marah dan mengamuk itu. Akan tetapi, pekerjaan itu tidaklah mudah karena sepasang rajawali itu agaknya telah datang kembali sifat liar mereka dan sekali mencium darah, mereka menjadi buas!

Akan tetapi, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Suma Han. Dia sendiri mundur dan menyuruh anak isterinya untuk berhenti bertanding, akan tetapi sepasang kakek itu, dua orang wanita Korea, dan enam orang teman mereka yang masih belum roboh, sudah datang lagi menerjang dengan kemarahan meluap. Suma Han menghela napas panjang. Sedih dia melihat betapa begitu banyak orang ternyata amat membencinya sehingga mereka itu siap mempertaruhkan nyawa untuk membunuh dia!

"Siang Lo-mo dan cu-wi sekalian! Apakah kalian sudah bosan hidup? Lihat.... bukit itu longsor ke sini....!" tiba-tiba Suma Han berteriak, suaranya disertai khi-kang dan mengandung tenaga sakti mujijat yang bergema di seluruh tempat itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau di mana tampak bagian yang menjulang tinggi seperti bukit es yang putih.

Sepasang kakek kembar dan para temannya menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata mereka terbelalak dan muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu pecah-pecah, batu dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju ke tempat itu, disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi yang hebat.

"Celaka....! Lari....!" Pak-thian Lo-mo berteriak sambil menyambar tubuh dua orang pembantu yang terluka.

"Lari...., bawa teman-teman....!" teriak pula Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat wajahnya.

Tentu saja tidak perlu dikomando dua kali karena mereka yang belum roboh, menjadi pucat ketakutan menyaksikan malapetaka itu, bencana alam yang amat hebat dan yang tentu akan menggulung dan membasmi mereka semua kalau mereka terlambat lari dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan akan musnah itu. Mereka cepat menyambar teman yang terluka, lalu bersicepat lari ke arah perahu mereka, berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah laut. Angin segera mendorong layar dan perahu itu melaju cepat meninggalkan Pulau Es.

Suma Han menghela napas lega. Dua orang pemuda yang tadinya berlutut merangkul kedua kaki ibu masing-masing dengan muka pucat, kini menengadah melihat ibu mereka tersenyum, keduanya bangkit berdiri, menoleh ke arah bukit dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa di sana! Padahal tadi, mereka ikut menengok dan melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara bergemuruh, mengancam tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!

"Untung mereka dapat dikelabuhi...." Suma Han berkata perlahan.

"Hemmm, kalau mereka tidak lari, tentu sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!" kata Lulu.

"Mereka itu tidak seberapa kuat, mengapa harus dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)?" kata Nirahai, tidak puas karena tadi sedang "enak-enaknya" membabati musuh. Sudah puluhan tahun puteri kaisar yang gagah perkasa ini tidak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk bertempur, padahal dahulu puteri ini mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu silat. Maka peristiwa tadi sebetulnya amat menggembirakan hatinya, siapa yang tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak membabat musuh

lalu dihentikan?

"Aihhh.... jadi ayah tadi mempergunakan ilmu sihir?" Kian Lee berkata, memandang ayahnya dengan kagum dan heran.

"Akan tetapi.... aku melihat sendiri, bukit itu seperti pecah...."

"Karena kau ikut menengok, maka kau menjadi korban pula kekuasaan ilmu sihir ayahmu," kata Lulu. Dia dan Nirahai yang sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu, tadi tidak menengok dan karenanya tidak terseret. "Wah, hebat sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu kepadaku!" Kian Bu bersorak.

Ayahnya diam saja, hanya memandang sepasang rajawali yang masih terbang berputaran di angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua ekor burung rajawali itu terkejut, lalu menukik turun dan tak lama kemudian dia hinggap di atas tanah, di depan pendekar itu. "Kian Lee, Kian Bu, lihat apa yang berada di paruh mereka itu!" bentak Suma Han.

Kian Lee dan Kian Bu menghampiri sepasang rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka. Kiranya burung rajawali kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di paruhnya, sedangkan burung rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah.... daun telinga manusia!

"Ihhh....! Jari tangan orang!" Kian Lee bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas tanah.

"Haiiii! Ini daun telinga orang....!" Kian Bu juga membuang benda menjijikkan itu.

Suma Han menghela napas, menggunakan tongkatnya membuat lobang di dalam tanah, kemudian menjemput jari tangan dan daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala dia berjalan ke tengah pulau.

"Ayah, ajarkan aku ilmu sihir itu....!" Kian Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya. Akan tetapi tangannya dipegang ibunya.

"Ilmu itu tidak mungkin diajarkan ayahmu kepada siapapun juga," puteri kaisar itu berkata.

"Mengapa tidak mungkin, ibu?"

"Ilmu yang kelihatan seperti ilmu sihir itu dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya karena ayahmu memiliki kekuatan mujijat. Pula, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang ini, tidak perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau akan mampu menghadapi lawan yang bagaimana kuatpun."

"Kian Lee, apa yang diucapkan oleh ibumu Nirahai itu benar sekali," Lulu juga berkata, ditujukan kepada puteranya sendiri.

"Tingkat kepandaian kalian berdua sudah cukup tinggi, dan melihat gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya tingkat kalian tidak berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku masih menjadi ketua Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya masih belum setinggi tingkat kalian sekarang ini."

Nirahai mengangguk-angguk dan menyambung ucapan madunya itu, "Memang benar, apalagi kalau diingat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang sedang kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan makin lemah. Maka jangan kalian berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian yang tidak mungkin dipelajari itu."

Tentu saja hati sepasang pemuda ini menjadi gembira dan girang mendengar pujian Nirahai itu. Kegirangan itu bertambah besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga itu makan malam, Suma Han berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus, "Lee-ji dan Bu-ji, sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk ke luar dari pulau, merantau meluaskan pengetahuan kalian."

Kedua orang pemuda itu hampir bersorak saking girangnya mendengar ini, dan mereka berdua saling pandang dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira mereka sampai tidak melihat betapa sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.

"Akan tetapi ingat, kalian jangan mengira bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan kebebasan liar (semau gue!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam perbuatan sesat. Memang, tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih kurang sekali dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian pergilah ke kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu kalian akan mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali menyebut nama Pulau Es untuk menyombongkan diri. Mengerti?"

Kedua orang pemuda itu mengangguk dan menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati. "Ayah, bolehkah kami membawa sepasang rajawali?"

Suma Han menahan senyumnya. Puteranya yang kedua ini selalu berwatak riang gembira dan biarpun usianya sudah hampir delapan belas tahun, masih kekanak-kanakan sehingga merantaupun ingin membawa rajawali kesayangannya!

"Rajawali jangan dibawa. Sekali ini kalian merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat ramai, apalagi akan memasuki kota raja. Kalau kalian membawa sepasang rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan kekacauan. Ingat kalian harus menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang rajawali yang terbang bebas di angkasa, tidak menggantungkan nasib dan keselamatan kalian pada perlindungan siapapun juga. Seperti sepasang rajawali, kalian harus selalu waspada jangan lengah karena segala kemungkinan dapat saja terjadi, segala bahaya dapat saja datang dari segala penjuru".

Setelah banyak-banyak memberi nasihat kepada kedua orang puteranya sehingga semalam itu mereka hampir tidak tidur, pada keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meninggalkan Pulau Es. Mereka hanya membawa bekal beberapa potong emas dan sejumlah uang perak untuk biaya di jalan, akan tetapi mereka berdua tidak diberi bekal senjata. Perahu layar yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju ke arah yang telah ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka, diikuti pandangan mata kedua ibu mereka yang basah oleh air mata.

Setelah perahu itu lenyap dari pandangan mata, kedua orang wanita itu tidak dapat menahan tangis mereka. Betapa hati mereka tidak akan berkhawatir dan berduka ditinggalkan putera tercinta yang semenjak lahir berada di pulau itu bersama mereka? Suma Han mendiamkan saja kedua isterinya berduka, karena dia dapat menyelami perasaan mereka. Dia hanya berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh lepas ke arah lautan, mencoba untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan laut yang tak bertepi.

Andaikata ada yang bertanya kepada kedua orang ibu itu mengapa mereka menangis dan mengapa mereka berduka karena berpisahan dengan putera mereka, tentu mereka akan menjawab langsung bahwa mereka berduka karena mereka mencinta putera mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka. Jelas bahwa mereka menangis bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda itu bergembira dan tidak perlu ditangisi. Akan tetapi mereka menangis karena mereka ditinggalkan! Mereka menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba diri yang ditinggalkan pergi orang-orang yang dicinta!

"Cinta" yang bersifat pengikatan diri kepada sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini, hanya akan membawa kedukaan. Pengikatan diri kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kemuliaan duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih sejati, melainkan nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka. Segala sesuatu, baik benda hidup ataupun mati, yang dipunyai seseorang secara lahiriah, kalau sampai dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan kesengsaraan. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan. Kalau kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah dan seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika tiba saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah itu, sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan menyakitkan hati!

Mengikatkan diri kepada apapun juga, kepada suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa saja berarti menghambakan diri dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi takut dan khawatir. Takut kalau-ka lau dipaksa berpisah, karena kehilangan, karena kematian dan lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah mengikat dirinya, membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk ini tidak segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertentangan, dan dari pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup!

Kita tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri yang termenung ditinggalkan putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang pemuda itu mulai dengan perantauan mereka seperti sepasang rajawali, dan mari kita menengok kembali keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng.

Seperti telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan. Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap.

Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini, mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati.

Pada suatu senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti di luar dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan daging panggang tanpa bumbu. Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir dusun. Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, di situ terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh di atas meja.

Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan aman.

Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu. "Kabarnya sang puteri lenyap...." kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Ahhhhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?"

"Entah, kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi...."

"Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh"

"Mungkin sekali...."

"Aduh kasihan!"

"Kalau saja kita dapat menolongnya...."

"Wah, orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk melalui kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk."

"Memang celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi."

Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti orang-orang itu adalah sahabat!

Betapa kaget dan heran hati tujuh orang pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang "pemuda" yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.

"Para paman harap berhenti sebentar!" Ceng Ceng berkata. Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng mempergunakan suara aselinya, tujuh orang itu tertegun dan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.

"Kami telah mendengar percakapan paman bertujuh dan percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk meliwati kota Tai-cou, kata pula Ceng Ceng.

"Apa....apa maksudmu.... tuan.... eh, nona....?" seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!

"Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi."

Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!

"Maafkan kami.... hamba tidak mengetahui...." Syanti Dewi cepat berkata, "Harap paman semua bangkit berdiri. Kalau sampai kelihatan orang tentu dicurigai."

Mendengar ini, mereka cepat bangkit berdiri. Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang berhutang budi kepada Pemerintah Bhutan karena mereka diijinkan untuk mengangkut garam dari Bhutan yang mereka jual di daerah pedalaman. Dari Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami gangguan, maka tentu saja mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka bersimpati kepada kerajaan ini dan sebaliknya mereka seringkali mengalami gangguan dari anak buah Raja Muda Tambolon maka tentu saja mereka membenci mereka.

"Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibukota Kerajaan Ceng," kata Syanti Dewi.

"Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua."

Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang! Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati kota Tai-cou dengan selamat.

"Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali," kata si kumis tebal. "Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang di antara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota."

Semua orang menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas!

Perjalanan dari dusun itu menuju ke Tai-cou memakan waktu sehari. Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apabila mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam.

Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak dan brewok. Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga keadaan di situ menjadi ramai sekali.

"Haiiii!" Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali. "Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!"

Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang. "Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan ditambah lagi...."

Perwira komandan itu menyambar kantung uang dan berkata keren, "Hemm.... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, akan tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!"

Si kumis tebal sudah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang di antara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apalagi kalau sampai sang puteri dikenal! Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak, "Hayaaa.... celaka.... siapa menaruh ular-ular ini di keranjangku....? Tentu pedagang garam dari barat, keparat....!"

Terjadilah gaduh dan ribut karena memang tiba-tiba muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah! Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan.... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.

"Basmi semua ular....!" teriaknya kepada para anak buahnya. "Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!" Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal.

Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.

"Haiii, diperiksa dulu.... eihhh, celaka....!" Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor ular hijau melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!

Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggauta rombongan pedagang garam. Apalagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.

Semalam suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar, sungguhpun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka. Dengan mudah mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari sebelah utara dan menempuh perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur. Pada keesokan harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan itu, kemudian berbaring di atas rumput melepaskan lelah.

"Aihhhhh.... bukan main nyamannya rebah begini...." Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat. "Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku dapat menlkmati makan-minum dan tiduran seperti ini!"

Mendengar Ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena di situ tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran. "Eh, kau kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa segembira itu?"

"Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur. Raja itu meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih. Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini?"

Syanti Dewi tertawa juga. "Kausamakan aku dengan raja dalam dongeng? Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Akan tetapi akupun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau tak enak, menyenangkan atau tak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan di luar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri. Lezatnya makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri daripada segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu.... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu."

"Hemm.... lalu bagaimana?" Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.

"Kalau begitu.... tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan.... ah, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!"

Ceng Ceng sudah tak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu sudah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang.

Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih. "Uuhh, kiranya hanya mimpi...." bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.

"Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang....!" Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.

Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri. "Wah, keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!"

"Hushh, jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita enak-enak tidur di sini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku."

Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka. "Aihh, hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!"

Ketika dua orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan, "Lihat itu....!"

Syanti Dewi menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, sudah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.

"Dan di sana itu.... lihat, enci!" Kembali Ceng Ceng berbisik. Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang! Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa. Namun tidak tampak bayangan seorangpun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat bahwa bukan hanya ada dua orang mayat di situ, melainkan ada delapan orang! Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.

"Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita," kata sang puteri.

Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang? Pula, diapun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah fihak musuh.

"Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci," katanya. Syanti Dewi mengangguk dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan di situ terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.

Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja. Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apalagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.

"Ji-wi kouwnio hendak menginap?" tanya seorang pelayan dengan sikap ramah.

Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata, "Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih."

Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Dia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan "atas" kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia menjawab, "Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!"

Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor daripada kamar dapur di istananya!

Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan setengah berbisik.

"Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa seolah-olah kita di sinipun sedang diawasi orang."

Syanti Dewi mengangguk. "Akupun mempunyai perasaan demikian, Candra. Akan tetapi, kurasa orang yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!"

"Perjalanan kita masih amat jauh dan biarpun kita sudah meliwati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kong-kong.... eh, mendiang kong-kong...." Sampai di sini, Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur!

Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata, "Ahhh, kong-kongmu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kong-kongmu itu ...."

Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras, "Jangan berkata begitu, enci!"

Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata, "Engkau adalah seorang dara perkasa, dan di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi aku....! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tak mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Bukan hanya kong-kongmu tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang, engkau adikku yang tercinta, engkaupun harus menderita karena mengawalku!"

Ceng Ceng tertawa. "Siapa bilang aku menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!"

"Apa? Tak usah berpura-pura. Pakaian kitapun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita."

Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri. Aih, jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku? Akupun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu, aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang kong-kong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan di sana kita bisa minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kong-kong."

Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata, "Ah, kiranya tidak percuma pula aku dahulu tekun mempelajari ilmu silat, apalagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, melainkan seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap menghadapi bahaya apapun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm.... haiittt....!" Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki tangannya, seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya lincah dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.

"Bagus! Begitulah seharusnya, enci. Kita seperti sepasang burung yang terbang lepas di udara. Bebas dan kita boleh berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri. Bukankah itu menyenangkan sekali? Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu enci ingin makan roti kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja, tentu akan dilarang oleh sri baginda!"

Kedua orang dara itu bercakap-cakap sambil bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan peristiwa siang tadi di hutan. Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur nyenyak saling berpelukan di atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan ke dua kosong. Dengan berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan aman!

Kurang lebih lewat tengah malam kedua orang gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara gaduh di atas kamar mereka. Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan otomatis dia meloncat turun dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga terbangun dan puteri ini berbisik, "Suara apa itu....?"

Ceng Ceng sudah menyambar bungkusan perhiasan dan topi mereka yang tadi mereka taruh di atas meja, menyimpan bungkusan di dalam saku bajunya yang lebar, menyerahkan topi caping yang sebuah kepada puteri itu sambil berbisik, "Sstttt, ada orang bertempur di atas genting...."

Keduanya sudah siap dan mencurahkan perhatiannya ke atas. Makin jelas kini suara orang bertanding di atas dan menurut dugaan  Ceng Ceng yang lebih tajam pendengarannya, sedikitnya ada lima orang bertanding di atas genteng kamarnya. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi karena biarpun mereka bergerak cepat, namun tidak ada kaki yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang terdengar hanya suara angin menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan kadang-kadang terdengar suara nyaring beradunya senjata tajam.

Tiba-tiba di antara suara beradunya senjata dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam, terdengar suara seorang laki-laki berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak ada artinya, namun bagi sepasang gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki arti penting. Yang mengherankan hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara itu, seperti suara yang telah dikenalnya!

"Sepasang merpati terkurung tiada jalan terbang lari, dihadang depan belakang maut mengintai dari utara di sepanjang lembah sungai!"

"Enci Syanti, mari kita cepat lari....!"

Puteri itu meragu. "Mengapa lari? Di luar.... bukankah lebih berbahaya? Kita berjaga di sini dan kalau ada bahaya baru kita

membela diri."

"Sssttt.... kauturutlah aku, enci. Cepat!" Ceng Ceng sudah menggandeng tangan puteri itu, menariknya keluar dari kamar terus berlari melalui belakang rumah penginapan. Pintu belakang rumah penginapan itu masih tertutup. Ceng Ceng membuka palang pintu, kemudian mereka berdua meloncat ke dalam gelap, melalui pintu belakang dan terus lari tanpa menoleh lagi.

"Kita lari kemana, Candra?" puteri itu bertanya, heran mengapa adik angkatnya ini tanpa ragu-ragu melarikan diri ke arah tertentu.

"Enci, ingat kata-kata terakhir di setiap baris pantun tadi. Lima kata-kata itu adalah terkurung-lari-belakang-utara-sungai! Nah, yang berpantun itu adalah seorang sahabat atau penolong yang menganjurkan kita lari karena kita telah terkurung dan kita dianjurkan lari melalui pintu belakang, menuju ke utara dan kalau aku tidak salah menduga, kita akan tiba di sebuah sungai."

Syanti Dewi terkejut dan juga kagum akan kecerdikan adik angkatnya, akan tetapi juga ingin sekali tahu siapa orang yang berpantun dan yang menolong mereka itu.

"Dia siapa, adik Candra?" tanyanya sambil terus berlari di samping adiknya.

"Entahlah, akan tetapi suaranya seperti.... heiii!" Tiba-tiba Ceng Ceng menghentikan larinya karena dia kini teringat akan suara itu. "Tentu saja dia orangnya!"

"Apa katamu?" Syanti Dewi berusaha menyelidiki muka Ceng Ceng di dalam gelap itu. "Dia siapa?"

"Penolong kita itu, yang berpantun tadi.... suaranya seperti si muka bopeng yang membikin ribut dengan ular-ular di Tai-cou itu dan.... dan.... wah, tidak mungkin salah, tentu dia orang pandai yang menolong kita."

Tiba-tiba Ceng Ceng menarik tangan Syanti Dewi dan dia sendiri sudah melepas topi capingnya, menggunakan benda itu untuk menghantam ke kanan, ke arah bayangan yang berkelebat dan tadi dilihat bayangan itu hendak menangkap Syanti Dewi.

"Prakkkk!"

Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan caping di tangannya itu hancur berantakan. Dara ini kaget bukan main. Dia menyerang bayangan itu dengan caping biasa, akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya sehingga bagi lawan yang ilmunya tidak amat tinggi, serangannya itu sudah cukup hebat dan dapat merobohkan orang. Akan tetapi, bayangan itu menangkis dengan lengannya, akibatnya tidak hanya capingnya yang hancur, juga dia sampai terhuyung saking kuatnya tenaga orang yang menangkisnya itu! Dia teringat akan pesan kong-kongnya bahwa di pedalaman banyak sekali terdapat orang pandai maka tanpa menanti orang tadi bergerak, dia sudah menerjang ke depan, menggunakan sepasang pisau belati yang disimpan di sebelah dalam bajunya.

"Hyaaatttt....!" Dara perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya menerjang cepat dan sepasang pisaunya menyambar dari kanan kiri, yang kanan mengarah lambung, yang kiri mengarah leher. Serangan yang dahsyat dan lihai sekali, apalagi dilakukan dalam cuaca yang gelap!

"Plak-plak.... wuuuutttt....!"

Kembali Ceng Ceng tercengang dan kaget. Orang itu telah dapat menangkis serangan dalam gelap, menangkis lengan kanan kiri bahkan telapak tangan orang itu menyambar hendak mencengkeram ubun-ubun kepalanya. Untung dia dapat mengelak cepat, kalau tidak, sekali kepalanya kena dicengkeram oleh tangan yang dia tahu amat kuat itu, akan celakalah dia! Kini, bayangan itu menerjangnya dengan kecepatan yang mengerikan.

Namun Ceng Ceng tidak menjadi gentar, dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang pisau, melindungi tubuhnya dan sekaligus dia menggerakkan kepalanya sehingga kuncir rambutnya menyambar seperti seekor ular hidup ke arah mata orang itu!

"Sing, sing.... plakk!" Ceng Ceng mengeluarkan teriakan kaget karena selain sepasang pisaunya dapat dielakkan orang, juga kuncirnya hampir saja dapat ditangkap kalau saja dia tidak dapat melepaskan tendangan yang amat kuat dan membuat lawan itu terpaksa menarik kembali tangannya yang akan menangkap kuncir. Akan tetapi tiba-tiba tubuh orang itu mencelat ke depan dan sebelum Ceng Ceng dapat mencegahnya, bayangan itu sudah menangkap Syanti Dewi! Puteri ini memekik dan berusaha memukul, akan tetapi tingkat kepandaian puteri ini masih jauh sekali di bawah tingkat lawannya yang amat lihai, maka sekali orang itu menggerakkan tangan, tubuh itu telah menjadi lemas tertotok dan dia telah dipondong!

"Jahanam, lepaskan dia!" Ceng Ceng sudah menerjang maju dengan lompatan dahsyat. Hatinya marah bukan main dan sedikitpun dia tidak takut menghadapi lawan yang tangguh itu, yang dia khawatirkan adalah Puteri Syanti Dewi, maka begitu menerjang maju dia telah menggunakan sepasang pisaunya untuk menyerang dan berusaha merampas tubuh Syanti Dewi yang telah dipondong orang itu. Akan tetapi, ternyata lawan gelap itu lihai bukan main, gerakannya ringan sekali sehingga dia dapat mengelak dengan melompat

ke kanan kiri. Selain lawan memang lihai, juga Ceng Ceng merasa kurang leluasa gerakannya karena dia takut kalau-kalau senjatanya mengenai tubuh enci angkatnya. Kemudian dengan beberapa lompatan jauh, orang itu melarikan diri meninggalkan Ceng Ceng.

"Iblis, hendak lari ke mana kau?" Ceng Ceng tentu saja mengejar secepatnya. Namun dia kalah cepat dan hal ini terutama sekali disebabkan karena Ceng Ceng belum hafal akan keadaan di situ sehingga tentu saja dalam berlari cepat dia harus berhati-hati agar jangan sampai terjatuh dan ketinggalan makin jauh lagi. Dia sudah mulai gelisah sekali karena orang yang melarikan Syanti Dewi itu makin jauh meninggalkannya ketika tiba-tiba orang itu berteriak dan roboh terguling! Tubuh Syanti Dewi yang masih lemas tertotok, juga ikut terguling, akan tetapi ada tangan menyambarnya dan tubuh itu seketika terbebas dari totokan.

Syanti Dewi mengeluh dan cepat menjauhkan diri sambil terhuyung-huyung dan berpegang kepada sebatang pohon. Ketika Ceng Ceng tiba di tempat itu, orang yang melarikan Syanti Dewi tadi telah lari, dikejar bayangan lain yang agaknya tadi merobohkan penculik itu dan membebaskan totokan Syanti Dewi. Dalam sekejap mata saja dua bayangan yang berkejaran itu telah lenyap dari situ.

"Engkau tidak apa-apa, enci?"

Syanti Dewi menggeleng kepalanya. Ceng Ceng merasa gembira, cepat dia memegang lengan puteri itu dan diajaknya terus lari ke utara, seperti yang dipesankan dalam pantun oleh penolong mereka yang aneh. Siapakah penolong itu? Apakah yang menolong Syanti Dewi dari tangan penculik itupun sama orangnya dengan yang berpantun di atas kamar penginapan sambil bertanding, dan sama pula dengan si muka bopeng yang melepas ular di pintu gerbang Tai-cou? Ceng Ceng merasa heran dan bingung. Kalau benar orangnya hanya satu, tentu orang itu lihai bukan main. Dia tahu betapa orang-orang yang bertanding di atas kamar penginapan itu memiliki gin-kang yang amat tinggi, dan kalau penolongnya hanya seorang, berarti dia itu dikeroyok!

Tadipun dia mendapat kenyataan yang tak mungkin dibantah bahwa penculik Syanti Dewi adalah orang lihai yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada dia. Namun penolong itu dalam segebrakan saja mampu merampas Syanti Dewi!

Selain itu, juga hatinya khawatir sekali. Mudah saja diduga bahwa fihak musuh sudah mengenal penyamaran mereka, sudah tahu bahwa yang menyamar sebagai gadis-gadis petani itu, yang seorang adalah Syanti Dewi. Bahkan di dalam gelap, penculik tadi sudah dapat menentukan mana yang harus diculiknya! Kalau begini, berbahayalah!

"Mari cepat, enci!" Dia berkata dan mereka berlari secepatnya. Namun, betapapun mereka hendak bersicepat, tetap saja mereka menabrak pohon! Apalagi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang penuh pohon. Mereka tidak dapat berlari lagi dengan baik, hanya meraba-raba dan menyelinap di antara pohon-pohon, kadang-kadang hampir terguling karena kaki mereka terjerat akar pohon atau semak-semak.

Dengan napas terengah-engah Syanti Dewi mengeluh, "Aduuhhh.... kita berhenti dulu.... ah, lelah sekali...."

"Jangan, enci. Banyak musuh yang lihai.... mereka sudah mengenal engkau!" Ucapan Ceng Ceng ini me mbuat sang puteri terkejut sekali.

"Be.... benarkah mereka telah mengenalku? Celaka.... hayo.... hayo lari cepat...." Kini Syanti Dewi yang lari lebih dulu, lari dengan nekat karena takut! Dia merasa ngeri kalau sampai tertawan dan dibawa kepada Raja Muda Tambolon.... ah, tidak berani dia membayangkan nasib seperti itu, maka dia lari secepatnya.

"Enci.... hati-hati.... !" Kini Ceng Ceng yang merasa khawatir melihat puteri itu lari cepat dengan nekat tanpa melihat-lihat ke depan.

"Oughhhh....!" Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit, tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang!

"Enci Syanti....!" Ceng Ceng menjerit dan cepat menjatuhkan diri menelungkup, kemudian merangkak mendekati jurang yang hanya kelihatan menghitam di dalam gelap. Dapat dibayangkan, betapa gelisah hatinya. Sang puteri terjerumus ke dalam jurang yang gelap!

"Enci Syanti....!" Dia berteriak ke bawah, ke arah sumur menghitam yang menganga di depannya. Sampai lama tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Akan tetapi selagi dia hendak memanggil lagi, terdengar suara lemah dari bawah, "Adik Candra....!"

Jantung Ceng Ceng berdebar girang, akan tetapi bulu tengkuknya meremang juga. Terjerumus ke dalam jurang segelap itu, benar-benarkah sang puteri masih hidup dan selamat? Jangan-jangan yang memanggil tadi adalah.... arwahnya! Ceng Ceng menggunakan tangan kiri mengusap tengkuknya yang meremang lalu menjulurkan tubuh atasnya ke dalam sambil berteriak lagi, "Enci Syanti.... di mana engkau....?"

"Aku di sini....aku selamat, Candra. Untung ada pohon di sini yang menahan tubuhku. Tidak jauh, aku dapat melihatmu dari sini, mungkin kau tidak dapat melihat karena di bawah gelap. Lekas kau cari tali tidak perlu panjang kurasa sepuluh kaki cukuplah.... aku dapat memanjat ke atas melalui tali...."

Girang sekali rasa hati Ceng Ceng. Kini dia dapat menangkap suara puteri itu dan memang tidak jauh di bawah. Sepuluh kaki? "Enci, hanya sepuluh kaki, mengapa kau tidak meloncat saja?"

"Ah, tidak mungkin. Pohon ini kecil, kalau dipakai landasan meloncat mungkin tidak kuat. Pula, begini gelap, bagaimana aku dapat meloncat dengan tepat ke atas? Lekas cari tali...."

Ceng Ceng bingung lagi. Ke mana harus mencari tali di dalam gelap seperti itu, apalagi di dalam hutan? Akhirnya dia mendapat akal baik. Tanpa ragu-ragu lagi ditanggalkannya semua pakaiannya setelah dia mengeluarkan perhiasan dan uang perak dan emas ke atas tanah. Ditanggalkannya bajunya, celananya, baju dalam dan celana dalam. Seluruh pakaiannya ditanggalkan sehingga dia menjadi telanjang bulat sama sekali! Kemudian, sambil meraba-raba, dia sambung-sambungkan semua pakaian itu setelah  digulungnya sehingga merupakan gulungan kain yang bersambung-sambung, yang kemudian, dengan tubuh telanjang bulat, dia bertiarap di tepi jurang, menggulung-gulungkan kain itu sambil berteriak, "Enci Syanti.... ini talinya....!"

"Ke sini, Candra sebelah sini....!" Terdengar jawaban dari  bawah dan Ceng Ceng mengulur tali ke arah suara itu. Tak lama kemudian tali menegang, telah dapat terpegang oleh Syanti Dewi.

"Eh, dari mana kau memperoleh tali kain ini....?"

"Naiklah, enci. Ujung sini sudah kupegang erat. Hati-hati...."

Ceng Ceng mengerahkan tenaganya menahan ketika Syanti Dewi mulai memanjat naik. Tak lama kemudian, puteri itu sudah meloncat ke atas tanah. Dia menubruk Ceng Ceng dan keduanya saling berpelukan dan menangis! Menangis karena girang dan bersyukur bahwa Syanti Dewi selamat dari bahaya maut yang mengerikan itu.

"Heiii....! Kau.... kau.... telanjang bulat....!" Tiba-tiba Syanti Dewi berseru kaget dan heran sambil meraba-raba tubuh Ceng Ceng. Ceng Ceng menggeliat kegelian dan memegang tangan Syanti Dewi.

"Itulah tali yang memancingmu ke luar jurang, enci!" Syanti Dewi tertawa, dan keduanya tertawa-tawa gembira ketika Ceng Ceng mulai memakai lagi pakaiannya yang tadi telah dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa enci angkatnya. Kini dia merasa tubuhnya panas dingin kalau membayangkan betapa akan jadinya kalau hal itu terjadi di siang hari dan kebetulan ada orang melihat dia bertelanjang bulat seperti seorang bayi tadi!

"Mari kita mencari tempat untuk beristirahat, enci. Malam terlalu gelap. Melanjutkan perjalanan berbahaya sekali, apa lagi kita sudah memasuki hutan di pegunungan. Masih untung Thian melindungimu ketika kau terjerumus tadi. Kalau tidak ada pohon itu, apa jadinya?"

"Ahh, paling-paling mati, adikku! Dan agaknya hal itu lebih baik daripada jatuh ke tangan Tambolon."

"Jangan putus asa, enci. Aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku "

Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan hati-hati sekali dan setelah mereka mendapatkan sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan, yaitu di bawah pohon yang diapit-apit oleh batu gunung yang besar, keduanya berhenti dan duduk beristirahat di atas rumput, bersandar kepada batu gunung. Mereka berusaha untuk melepaskan lelah dan beristirahat secukupnya.

"Tidurlah, enci Syanti, biarlah aku menjaga di sini."

"Hemm, dinginnya bukan main. Mana bisa tidur? Bagaimana kalau kita membuat api unggun?"

"Ah, berbahaya, enci. Api unggun akan menarik perhatian orang, dan pula dapat kelihatan dari tempat jauh."

Tubuh mereka memang dapat beristirahat, akan tetapi hati mereka selalu tegang dan siap siaga menghadapi segala bahaya yang mungkin datang menimpa. Malam itu gelap bukan main, agaknya bintang-bintang di langit dihalangi awan hitam. Dalam keadaan segelap itu, di dalam hutan yang asing, apalagi setelah mengalami hal-hal yang mengerikan, kedua orang dara itu tentu saja merasa khawatir dan gelisah. Mereka duduk berhimpit bersandarkan batu, mata mencoba menembus kegelapan malam dan memandang ke kanan kiri, telinga mereka dicurahkan untuk mendengar apa yang tak dapat dilihat mata. Mereka selalu merasa seolah-olah diikuti oleh sesuatu, entah manusia, binatang atau setan! Bahkan ketika sedang duduk di tempat itu, mereka merasa ada mata yang memandang mereka, ada sesuatu yang memperhatikan mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka. Syanti Dewi adalah seorang puteri yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan seorang diri seperti itu, apalagi malam-malam berkeliaran di dalam hutan gelap! Adapun Ceng Ceng, biar dia seorang dara perkasa yang sejak kecilnya digembleng oleh kakeknya, namun perjalanan seperti inipun baru pertama kali dia alami bersama Syanti Dewi itu.

Mereka makin berhimpitan dan makin siap dengan jantung berdebar tegang sekali ketika di dalam kegelapan malam pekat itu mereka seperti mendengar suara-suara yang aneh. Beberapa kali mereka mendengar suara gerengan dari tempat agak jauh, suara lolong anjing, dan lapat-lapat seperti ada orang bernyanyi! Mula-mula suara aneh itu seperti lewat terbawa angin lalu, akan tetapi kadang-kadang terdengar dekat sekali, bahkan mereka seperti mendengar suara langkah kaki orang di sekeliling mereka!

Tentu saja semalam suntuk mereka tidak mampu tidur sama sekali. Dengan tinju terkepal kedua orang dara itu duduk bersandar batu, seluruh urat syarat mereka menegang karena mereka menduga bahwa sewaktu-waktu tentu akan muncul musuh mereka. Mata dan telinga mereka siap dengan penuh perhatian meneliti keadaan di depan, kanan dan kiri karena mereka tidak mengkhawatirkan musuh akan datang menyerang mereka dari belakang yang terlindung oleh batu gunung yang besar dan tinggi. Akan tetapi, tidak ada sesuatu terjadi! Bahkan menjelang pagi, suara itu lenyap sama sekali.

Setelah sinar matahari pagi mulai mengusir embun dan kegelapan, keduanya bangkit berdiri. "Hayo kita tinggalkan tempat yang menyeramkan ini, enci Syanti," kata Ceng Ceng, lega bahwa malam itu dapat mereka lewatkan dengan selamat.

"Suara apakah semalam, Candra? Menyeramkan sekali!"

"Entahlah, mungkin kita salah memilih tempat. Mungkin di sini sebuah perkampungan siluman yang tentu saja tidak tampak."

Syanti Dewi bergidik, memegang tangan adik angkatnya dan bergegas mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara meninggalkan tempat menyeramkan itu. Tubuh mereka terasa letih dan mengantuk, akan tetapi hati lega karena mereka dapat meninggalkan tempat itu.

"Haiii.... banyak bangkai anjing di sini....!" Tiba-tiba Ceng Ceng berseru heran ketika mereka keluar dari tempat itu dan melihat belasan ekor anjing serigala telah menggeletak malang melintang dalam keadaan mati, ada yang lehernya hampir putus, ada yang kepalanya pecah. Darah yang masih belum kering betul menunjukkan bahwa gerombolan srigala ini dibunuh orang semalam!

"Kalau begitu lolong anjing semalam bukanlah suara siluman, melainkan suara mereka ini!" bisik Syanti Dewi sambil menengok ke kanan kiri.

Juga Ceng Ceng menoleh ke kanan kiri, depan belakang sambil memandang penuh selidik. "Heran sekali, siapa yang membunuh mereka semalam? Aku mendengar suara orang, seperti orang bernyanyi...."

"Aku juga!" kata Syanti Dewi. Semalam ketika mendengar suara-suara itu, keduanya diam saja karena merasa ngeri. "Dan ada suara langkah-langkah kaki orang...."

"Benar, akupun mendengarnya."

"Hemmm, kalau begitu, kita masih terus dibayangi orang, enci."

"Siapa dia gerangan?"

"Tidak perduli siapa, aku tidak takut!" Ceng Ceng menjadi penasaran dan sudah mencabut sepasang pisau belatinya. Dengan mengangkat dadanya yang mulai membusung itu dia berteriak, "Heiii, orang yang membayangi kami, hayo keluar kalau memang engkau seorang gagah! Kalau ada niat busuk, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Akan tetapi dara itu seperti menantang angin karena yang menjawabnya hanya bunyi angin berdesir mempermainkan ujung-ujung ranting pohon. Setelah yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dua orang dara itu melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, kembali mereka tertegun ketika melihat bangkai dua ekor harimau yang besar juga. Seperti juga gerombolan srigala tadi, dua ekor harimau itu belum lama dibunuh orang. Ketika Ceng Ceng memeriksa, diam-diam dia terkejut dan kagum bukan main melihat bahwa dua ekor raja hutan itu mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Dapat dibayangkan betapa kuatnya orang itu, yang membunuh dua ekor harimau itu hanya dengan jari tangan saja! Melihat kenyataan ini, hatinya agak jerih juga dan dia tidak lagi mengulangi tantangannya di dekat bangkai gerombolan srigala tadi, melainkan cepat mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan ke utara.

Pada tengah hari, tibalah mereka di tepi sebuah sungai! Girang hati mereka karena ternyata, nasehat penolong yang berpantun itu ternyata cocok! Mereka tidak mengenal daerah itu dan tidak tahu sungai apakah itu, akan tetapi mereka tahu bahwa mereka sudah berada di daerah yang aman. Mereka harus menyeberangi sungai itu dan melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, tempat ini sunyi sekali. Sungai itu mengalir tenang melalui hutan-hutan dan pegunungan.

Sungai itu adalah Sungai Nu-kiang (Sa lween) yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir ke selatan memasuki Negara Birma. Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu telah tiba di kaki Pegunungan Hengtoan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang di pegunungan ini amat sunyi sehingga sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu agar dapat menyeberang.

Tempat itu jauh sekali dari perka mpungan nelayan.

Akan tetapi, setelah mereka menyusuri sungai sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu kecil di pinggir sungai, sebuah perahu kosong! "Di sana ada perahu, adik Candra!" Syanti Dewi berkata girang sambil menuding ke depan. Ceng Ceng juga sudah melihatnya dan gadis ini memegang tangan kakak angkatnya sambil berkata, "Enci Syanti, karena kita, terutama engkau, adalah orang-orang pelarian yang dikejar-kejar musuh, maka kurasa sebaiknya mulai saat ini engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi sebelum kita selamat di kota raja Kerajaan Ceng."

Syanti Dewi mengangguk-angguk. "Engkau benar, adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya kupergunakan?"

"Bagaimana kalau namamu menjadi Sian Cu? She-nya boleh memakai sheku, yaitu she Lu."

"Lu Sian Cu? Nama yang bagus sekali!" Syanti Dewi atau Sian Cu berkata girang.

"Dengan nama ini, kalau sekali waktu aku lupa dan menyebutmu enci Syanti, biar disangka menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan seperti engkau tahu, namaku adalah Lu Ceng. Kita berdua mengaku sebagai gadis dari daerah perbatasan yang lari mengungsi ke timur."

"Baiklah, adik.... Ceng. Ah, hampir aku menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih manis."

"Nah, mari kita dekati perahu itu. Heran sekali, ke mana tukang perahunya?" Mereka melangkah lagi mendekati perahu dan setelah tiba di dekat tempat di mana perahu itu tertambat di tepi sungai, tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah, berbantal batu yang dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak, terdengar suara dengkurnya yang keras.

Ceng Ceng dan Syanti Dewi atau lebih baik disebut nama barunya yaitu Sian Cu, mendekati tukang perahu yang sedang tidur nyenyak itu dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup tegap dan tampak kuat karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih akan tetapi telah terhias beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian sederhana seorang petani atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang gadis itu. Sukar ditaksir usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan masih muda sekali, akan tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar tak terpelihara membuat muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan yang bodoh yang sederhana dan biasa hidup keras dan sukar!

Ceng Ceng menggunakan ujung bajunya yang lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke lehernya. Rambutnya agak awut-awutan dan karena dia tidak memakai caping lagi, benda itu telah hancur ketika dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari yang lalu itu, mukanya yang putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan oleh sinar matahari.

"Hei, tukang perahu....!" Ceng Ceng berseru memanggil laki-laki yang sedang tidur nyenyak itu.

Si tukang perahu tetap tidur mendengkur, sedikitpun tidak bergerak, juga dengkurnya tidak berubah, tanda bahwa teriakan Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu tidurnya.

"Paman tukang perahu....!" Ceng Ceng berteriak lebih nyaring lagi.

Kini suara mendengkur itu berubah agak perlahan, dan kumis liar di bawah hidung itu bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu diam lagi dan dengkurnya kini menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak keras itu mulai jengkel hatinya.

"Heii, tukang perahu yang malas! Bangunlah....!" Dia berteriak nyaring dan mengomel, "Wah celaka, bertemu seorang pemalas seperti kerbau!"

Tukang perahu itu menggerakkan kedua kakinya, menarik kedua tangan dari bawah kepala, mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan terdengar dia bicara dengan suara ngelindur. "....aduhh.... siluman rase.... ahhh.... siluman ular...." Dan dia lalu membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi lebih keras.

Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya merah dan matanya terbelalak marah. "Kurang ajar! Babi pemalas! Tidak bangun malah memaki-maki orang!"

"Sabarlah, Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia sedang tidur dan tentu mimpi."

"Biarpun mimpi, jelas dia memaki kita. Dia menyebut siluman rase, siluman ular, bukankah itu memaki namanya? Di dongeng manapun juga, siluman rase dan siluman ular selalu menjadi seorang wanita!"

"Tapi jelas dia tidak sengaja, dia sedang tidur."

"Kalau sengaja, tentu sudah kupatahkan semua giginya!" Ceng Ceng berkata lagi, mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah pasir di depannya dan beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher tukang perahu itu. Tukang perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di bawah kepalanya dan dia sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi mulutnya tertutup, kini bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar itu deretan giginya yang putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu menantang dan memperlihatkan giginya untuk

dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng Ceng yang sedang marah itu makin gemas.

"Tukang perahu yang malas seperti kerbau dan babi!" teriaknya lagi. "Hayo bangun, atau.... kulemparkan kau ke dalam sungai!"

Tukang perahu itu tetap tidur. "Enci, mari kita pakai saja perahu itu!"

"Eh, jangan Ceng-moi. Tak baik mencuri barang orang lain," kata Sian Cu.

"Kalau begitu, biar kulempar mukanya dengan batu supaya si pemalas itu bangun!"

"Sttt, jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia, lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu semalam dia tidak tidur! Orang yang terlalu lelah, orang yang terlalu sedih, tentu dapat tidur seperti pingsan saja. Pula, kita berdua tidak pandai mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana kita bisa menyeberang? Siapa tahu, dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota yang berdekatan. Tentu dia lebih mengenal daerah ini."

Ceng Ceng menahan kemarahannya dan kembali dia berteriak, "Tukang perahu malas dan tolol! Lekas bangun, kita hendak menyewa perahumu!"

Kini tukang perahu itu menghentikan suara dengkurnya dan sepasang matanya bergerak-gerak lalu kelopak matanya terbuka. Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang bersinar tajam sekali, akan tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa kali seperti belum sadar benar.

"Paman, bangunlah. Kami hendak menyewa perahumu itu!" kata Sian Cu sambil menuding ke arah perahu. Suaranya lunak dan halus dan memang puteri ini memiliki watak yang jauh lebih halus daripada Ceng Ceng yang keras hati dan jujur.

Tukang perahu itu mengeluh dan bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan ketika dia menurunkan kedua tangan memandang dua orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat berdiri, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil dan dia menudingkan telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil berteriak ketakutan. "Siluman.... eh, siluman.... jangan ganggu aku....!"

"Monyet tua....!" Ceng Ceng sudah bergerak hendak memukul, akan tetapi lengannya dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar dia menghadapi tukang perahu yang masih ketakutan itu.

"Paman, tenanglah. Kami bukan siluman, melainkan dua orang gadis yang ingin menyewa perahumu."

Tukang perahu itu mengangkat kedua tangan di depan dada dan mulutnya masih komat-kamit, terdengar suaranya. "Aduhhh.... selamat.... selamat.... selamat...., Tuhan masih melindungi aku....! Maafkan, ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku mengira bahwa ji-wi adalah siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang amat mengerikan! Hiiiihhh....!" Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan otomatis Ceng Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya semalam.

"Engkau mendengar apakah, paman?" Sian Cu bertanya.

"Semalam.... hihhh, aku tak dapat tidur sama sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan mati dicekiknya, suara aneh-aneh terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua penghuninya, siluman dan iblis, sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih hidup, aku ingin tidur sampai kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku." Tukang perahu itu kembali merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.

"Eh-eh.... jangan tidur lagi, engkau!" Ceng Ceng membentak. "Kami ingin menyewa perahumu!"

Tukang perahu itu bangkit, akan tetapi tidak berdiri, hanya duduk sambil memandang kepada Ceng Ceng. "Nona, melihat pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun biasa, akan tetapi sikapmu seperti seorang puteri pembesar tinggi saja!"

"Cerewet kau! Siapa aku, tak perlu kau pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapapun akan kami bayar!" Dia mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar perak yang berkilauan itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.

Akan tetapi, betapa menjengkelkan sikap tukang perahu itu yang memandang tak acuh lalu berkata, "Aku tidak menyewakan perahuku." Dan dia sudah hendak merebahkan dirinya lagi.

"Paman, tolonglah kami. Kami ingin menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan membayar secukupnya kepadamu."

Tukang perahu itu memandang Sian Cu, lalu melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik marah. "Aku tidak menyewakan perahuku, juga aku tidak butuh uang."

"Kau manusia sombong....!" Ceng Ceng berteriak, akan tetapi Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah dia dengan suara halus kepada si tukang perahu, "Paman tukang perahu, kalau begitu, kami tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya bahwa paman tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami melarikan diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan perjalanan menyeberang sungai."

Suara yang halus dan sopan dari Sian Cu membuat tukang perahu itu kelihatan sungkan juga. Dengan ogah-ogahan dia bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan menguap beberapa kali, lalu memandang ke arah seberang sungai.

"Kalian hendak menyeberang? Mau ke mana menyeberang?"

"Kami hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak menyeberang," kata pula Sian Cu mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah tidak sabar menyaksikan sikap si tukang perahu.

"Menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan? Aihh, apakah kalian mencari mati?"

"Apa katamu?" Ceng Ceng sudah membentak lagi.

"Hemm, kau galak sekali, nona. Aku bilang bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan mengungsi, berarti kalian mencari mati. Di seberang sana hanya terdapat hutan-hutan yang liar dan tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang tak bertepi, dan pegunungan yang sukar sekali dilalui manusia selain penuh dengan binatang-binatang buas dan siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak menyeberang ke sana? Eh-eh....!" Dia lalu memandang tajam kepada dua orang gadis itu, pandang mata penuh selidik. "Benar-benarkah.... eh.... kalian ini manusia, bukan siluman-siluman?"

"Mulut busuk!" Ceng Ceng membentak marah, tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi karena dia sudah marah bukan main. "Kalau kami berdua siluman, maka engkau adalah siluman babi Ti Pat Kai!"

Tukang perahu itu melongo, kemudian tertawa. "Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut, nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat Kai!" Ti Pat Kai adalah tokoh dalam cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang terkenal, pelahap, dan mata keranjang!

"Paman, harap jangan main-main. Kami berdua sudah melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan, bahkan semalam kami, tidak tidur sebentarpun. Kami ingin melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, kami berniat pergi ke Kota Raja Kerajaan Ceng"

"Wahhhh....? Mimpikah aku? Ataukah benar-benar kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi ke kota raja? Tahukah kalian berapa jauhnya kota raja itu? Kalian harus melalui sedikitnya enam propinsi dan ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun di perbatasan hendak pergi ke tempat sejauh itu?"

"Kami berdua hanya ingin menyeberang, dan engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih engkau ini?" Ceng Ceng sudah membentak lagi. Akan tetapi Sian Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan kepada si tukang perahu untuk menanggapi kegalakan Ceng Ceng, "Kami mempunyai seorang bibi di sana. Paman, kalau benar di seberang merupakan daerah yang amat berbahaya dan sukar dilalui maka kami harap kau suka menolong kami dan memberi tahu jalan mana yang harus kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota raja dengan selamat."

Tukang perahu itu menggaruk-garuk belakang telinganya. "Terus terang saja, aku sendiri belum pernah pergi ke kota raja. Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh, jalan satu-satunya ke kota raja hanya menggunakan jalan air, menurutkan aliran Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan darat ke utara sampai Sungai Huang-ho dan mengambil jalan air lagi menurutkan aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai ke kota besar Cin-an, baru menggunakan jalan darat ke utara menuju ke kota raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan kiranya akan menggunakan waktu berbulan!"

Ceng Ceng sudah mengerutkan alisnya. Turun semangatnya mendengar keterangan yang membentangkan kesukaran perjalan itu, akan tetapi Sian Cu berkata, "Terima kasih, paman. Kau baik sekali dan kami akan menggunakan petunjuk itu untuk melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana kita dapat mencapai Sungai Yang-ce-kiang?"

"Dari tempat ini dapat berperahu mengikuti aliran sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana terdapat jalan menuju ke Sungai Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang dan melalui jalan darat ke timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang."

"Ah, terima kasih. Kuharap paman sudi membawa kami ke dusun Kiu-teng."

"Hemmm...."

"Kami akan membayar sewanya, berapa saja yang kau minta, paman."

"Sikapmu halus dan baik sekali, nona. Siapakah namamu?"

"Namaku Lu Sian Cu, paman," jawab Sian Cu sambil menunduk agar tidak tampak perubahan air mukanya.

"Baiklah, Sian Cu. Aku suka mengantarkan engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari sini, memakan waktu hampir sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya?" Dia menuding kepada Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia didahului oleh Sian Cu.

"Dia adalah adikku, namanya Lu Ceng."

"Aku hanya mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng, nona Sian Cu, bahkan tanpa membayar apapun. Akan tetapi dia itu, hemm.... Lu Ceng terlalu galak dan sikapnya tidak menyenangkan, maka...."

"Cerewet! Kalau kau tidak mau akupun tidak membutuhkan bantuanmu, manusia sombong! Kalau aku melemparmu ke dalam sungai dan membawa perahumu, kau mau bisa apa?"

"Ceng-moi, jangan begitu....!" Sian Cu membujuk adik angkatnya, kemudian berkata kepada si tukang perahu. "Paman, kau maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku pergi, diapun harus ada di sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa kami berdua ke Kiu-teng."

Tukang perahu itu bersungut-sungut. "Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu janji."

"Janji apa?" Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji yang kurang ajar, tentu akan dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!

"Bagimu engkau tidak usah melakukan sesuatu, tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi nona Ceng ini, dia harus menurut perintahku, dia harus membantuku kalau aku perlu bantuannya mendayung perahu atau mengatur layar, dan diapun harus menanak nasi, air, atau memanggang ikan untukku setiap kali kukehendaki."

"Setan.... kau kira aku siapa....?"

"Adik Ceng, mengapa ribut-ribut? Bukankah permintaannya itu sudah semestinya? Dia mau menolong kita, apakah sebaliknya kita tidak mau menolong dia hanya dengan pekerjaan ringan seperti itu?"

Dengan menggigit bibir saking gemasnya, Ceng Ceng berkata singkat. "Baiklah!"

Tukang perahu itu tertawa. "Nah, silahkan naik ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu saja kurang enak, jangan nanti kalian menyalahkan aku." Sambil berkata demikian, tukang perahu mengambil buntalannya dan menaruhnya di kepala perahu agar ruangan tengah yang terlindung anyaman bambu itu dapat dipakai oleh kedua orang gadis itu.

Mereka memasuki perahu dan meluncurlah perahu itu ke tengah sungai didayung oleh si tukang perahu yang mulai dengan gayanya yang terang-terangan hendak menghukum Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu. "Eh, nona Ceng, kau masaklah air, itu cereknya, itu batu api, teh di sana.... dan beras ada di ujung sana, masak nasi untuk kita bertiga. Aku akan memancing ikan untuk lauknya."

Ceng Ceng mendelik, akan tetapi jawilan jari tangan Syanti Dewi membuat dia tidak membantah dan dengan bersungut-sungut dia mengerjakan perintah tukang perahu itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti kalau kami tidak membutuhkan lagi perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang diperintahkan seorang tukang perahu miskin yang kurang ajar. Sialan!

Akan tetapi tukang perahu itu pandai sekali mengail. Sebentar saja dia telah mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis. Dia melontarkan ikan-ikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, "Bersihkan ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri itu, dekat kakimu, lalu panggang di atas arang membara. Awas, jangan sampai api menyala, nanti hangus dan tidak enak!"

Lagakmu, Ceng Ceng memaki di dalam hatinya. Kaukira aku tidak tahu caranya masak dan memanggang ikan? Akan tetapi karena dia dan encinya membutuhkan perahu itu, bukan hanya perahu itu akan tetapi tukang perahunya karena mereka berdua tidak tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan melakukan pekerjaan tanpa banyak mengeluarkan suara.

Ceng Ceng adalah seorang dara yang sejak kecil digembleng ilmu silat oleh kakeknya. Wataknya keras, pemberani dan di samping ini, juga harus diakui bahwa dia terlalu dimanja oleh kong-kongnya. Selama dia tinggal bersama kong-kongnya yang merupakan seorang guru terhormat, dia diperlakukan dengan hormat oleh semua orang. Terutama sekali setelah dia menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya naik dan dia makin dihormat. Tidak pernah ada orang berani memandang rendah kepadanya, karena kedudukannya dan juga karena orang maklum akan kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan saja dipandang rendah, bahkan diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang pelayan saja layaknya!

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka bertiga makan, hanya si tukang perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya sedangkan Ceng Ceng tidak dapat menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol sekali. Sikap tukang perahu itu benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap gerak-geriknya seolah-olah mengejeknya, setiap kata-katanya seolah-olah menyindirnya! Mulut yang cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu mentertawakan padanya! Bedebah benar!

Akan tetapi, melihat sikap Sian Cu yang selalu bersabar, Ceng Ceng dapat menahan kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan tubuhnya karena malam tadi sama sekali tidak tidur, malam hari itu dia dapat tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, suara tukang perahu itu sudah berteriak-teriak membangunkan mereka.

"Nona Ceng, bangun! Sudah siang!" teriaknya. Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng yang bangun, juga Sian Cu.

"Siapa bilang sudah siang?" Ceng Ceng bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih pagi se kali, sungguhpun malam memang telah lewat dan sinar matahari mulai mengusir kegelapan.

"Hanya seorang pemalas saja yang mengatakan bahwa sekarang belum siang! " kata tukang perahu. "Aku jelas bukan pemalas karena biasanya pada waktu seperti ini aku sudah bangun tidur dan memasak air dan bubur untuk sarapan pagi."

Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi Sian Cu berbisik, "Kemarin kau memaki dia malas." Teringat akan itu, Ceng Ceng diam saja dan mengerjakan apa yang diperintahkan tukang perahu itu.

Tiba-tiba tukang perahu berkata, "Harap kalian tenang, ada kesukaran di depan!"

Dengan kaget Ceng Ceng dan Sian Cu melihat bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu hitam yang  ditumpangi masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak dua orang tosu tua yang bersikap keren!

"Siapa mereka? Mau apa?" Ceng Ceng bertanya lirih.

"Stttt.... harap kalian diam dan serahkan saja kepadaku menghadapi mereka." Tukang perahu menjawab dan ketenangan sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran. Andaikata mereka itu adalah bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguhpun hal itu menyangsikan karena di antara mereka terdapat dua orang tosu maka sikap tukang perahu itu terlampau tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan menjadi panik dan ketakutan tidak bersikap seolah-olah penuh keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.

Ceng Ceng memberi tanda dengan kedipan mata kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti bahwa dialah yang mungkin menjadi incaran musuh, segera menyembunyikan diri ke dalam perahu. Sedangkan dia melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya berdebar tegang melihat betapa dua buah perahu itu dipalangkan di tengah sungai, agaknya sengaja menghadang perahu yang ditungganginya.

"Haii, tukang perahu!" Terdengar suara bentakan dari dua buah perahu itu. "Hendak ke mana?"

"Kami hendak ke Kiu-teng!" Terdengar jawaban tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.

"Bersama siapa? Membawa apa?" Kembali terdengar pertanyaan yang keren dan berwibawa itu, dan ternyata yang bertanya adalah seorang di antara dua orang tosu yang duduk di dalam perahu pertama.

Tukang perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng yang sedang memasak bubur, lalu berkata, "Bersama isteriku! Kami tidak membawa apa-apa, hendak mencari ikan dan menjualnya ke Kiu-teng!"

Hampir saja Ceng Ceng meloncat dan memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu jahanam itu! Akan tetapi ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia melihat Sian Cu memberi isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut menyuruhnya diam, bahkan Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar yang berada di dalam perahu. Tentu kakak angkatnya itu hendak menolong si tukang perahu yang sudah menyatakan bahwa tukang perahu itu hanya bersama dengan isterinya!

Ketika Ceng Ceng menengok lagi, tentu saja wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua perahu itu, dan terdengarlah suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang bermata lebar berseru sambil tertawa, "Haiiiii, isterimu cantik sekali, tukang perahu! Boleh aku menyewanya?"

"Perahuku tidak disewakan!"

"Heh, tolol! Bukan perahumu, akan tetapi isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam?" Terdengar suara ketawa dari kedua perahu itu. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan hati Ceng Ceng, akan tetapi melihat bahwa kakak angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega mengganggu, diapun ingin sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang perahu gila itu.

"Hemm, berapa kau berani bayar, kawan?" Benar gila! Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah siap untuk menghajar mereka semua. Kedua telinganya mengeluarkan bunyi mengiang-ngiang saking marahnya.

"Ha-ha-ha! Nah, kau terima uang panjarnya dulu, dan kalau kau menolak, ini tambahnya!" Dari dalam sebuah di antara dua perahu itu melayang benda ke dalam perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan ternyata sekantung kecil uang tembaga dan sebatang toya baja yang dilontarkan ke depan kaki tukang perahu itu. Ceng Ceng melirik dengan sudut matanya. Jelas bahwa orang-orang kasar itu memberi uang dan disertai ancaman karena toya itu berarti ancaman kalau permintaan itu ditolak. Si tukang perahu mengambil kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga, juga dia memegang toya dan melihat-lihat benda itu seperti hendak menimbang-nimbang. Kemudian dia berkata, "Wah, penawarannya masih jauh berkurang, sobat! Bagaimana kalau ditambah nyawamu?" Dia lalu melontarkan kembali kantung uang dan toya.

Ceng Ceng terkejut. Betapa beraninya si tukang perahu! Dan dia melihat betapa semua orang di kedua perahu itu merubung dan melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan itu, "Si Jari Maut!" Makin heran lagi hati Ceng Ceng ketika dia melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di perahu mereka dan seorang di antara keduanya menjura dengan membentuk tanda jari-jari tangan depan dada sambil berkata. "Harap sudi memaafkan kelakar anak buah kami dan persilakan lewat disertai salam persahabatan kami!"

Si tukang perahu hanya tersenyum, lalu menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya lewat di antara kedua perahu yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek ke arah mereka, kemudian berkata ke dalam perahu, "Nona Sian Cu, keluarlah, tidak ada bahaya lagi sekarang."

Ceng Ceng membanting panci terisi bubur panas. Dia meloncat bangun dan menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu. "Keparat, mulutmu busuk sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu? Phuah, tak tahu diri, tukang perahu jembel busuk!"

Si tukang perahu mengangkat hidungnya. "Hemm, gadis dusun yang galak! Andaikata benar kau adalah isteriku, maka engkaulah yang untung dan aku yang rugi benar!"

"Jahanam....!" Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang untuk menampar pipi orang itu. Biar kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.

"Wuuuttttt....!" Tamparan yang dilakukan dengan cepat sekali dan disertai tenaga sin-kang yang kuat itu hanya mengenai angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama sekali bahwa tukang perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat mengelak dari tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga dan cepat sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah! Dia menjadi penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar, melainkan memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!

"Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt....!" Semua pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sin-kang yang amat kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!

"Ceng-moi, jangan....!" Sian Cu berseru.

"Biar!" Ceng Ceng membantah marah. "Dia kurang ajar, harus kupukul manusia jahanam ini!"

"Eh-eh-eh, beginikah engkau membalas budi orang?" Tukang perahu itu tersenyum sambil mengejek. "Ditolong balasnya memukul? Ini namanya diberi air susu dibalas dengan air tuba! Benar-benar gadis galak yang tidak mengenal budi!"

"Setan sungai kau!" Ceng Ceng kini menubruk maju, kakinya menendang dan tangannya menyusul dengan tusukan jari tangannya ke arah perut tukang perahu.

"Wuuutttt.... dukkk!" Tubuh Ceng Ceng terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan tangannya. Namun hal itu membuat Ceng Ceng makin marah dan dia menerjang lagi.

"Adik Ceng, jangan....!"

"Biarlah, enci. Dia kurang ajar sekali. Dia tentu manusia busuk!" Dia meloncat dan mengirim pukulan yang amat berbahaya karena dia telah menggunakan jurus pilihan dari ilmu silat kong-kongnya.

Pukulan itu bersiut datang ke arah lambung tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh tukang perahu bergerak dan ternyata dia telah meloncati lewat bilik perahu ke bagian belakang perahu!

"Mau lari ke mana kau!" Ceng Ceng mengejar, juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah mencengkeram dengan kedua tangannya. Namun si tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke bawah, menerobos melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil tertawa-tawa. Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Ceng Ceng dengan kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!

"Ceng-moi.... tahan dulu....!" Sian Cu memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan gadis yang marah itu mengamuk.

"Enci, apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan puas!" Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.

"Heiiittt.... tendangan hebat!" Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.

"Mampuslah....!" Ceng Ceng membalikkan tubuhnya ketika tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.

"Eiiiiihhhh.... hebat, wahhh luput! Sayang sekali....!" Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak. Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biarpun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut dan hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.

"Adik Ceng.... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring.... kita bisa celaka....!"

Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.

"Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia.... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!"

"Jahanam busuk....!" Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. "Engkau harus mampus di tanganku!"

"Adik Ceng....!"

Ceng Ceng yang sudah "mata gelap" saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu

lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si

tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.

"Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!" Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!

Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Dia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, melainkan dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah sungai! Disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.

"Heiii.... jangan....! Wah-wah-wah, celaka.... kau benar-benar liar!" Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali. Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula. "Jangan itu....!" Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.

"Byuurrr....!"

"Wah, celaka....!" Tukang perahu berteriak dan diapun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.

"Byuurr....!" Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.

Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.

"Ceng-moi.... celaka.... perahunya hanyut dan miring....!" Terdengar jerit Sian Cu. Ceng Ceng tersadar dan dia mendekati encinya. Segera diapun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!

"Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?" Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.

"Dayungnya....?" Ceng Ceng terkejut. Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tihang layar yang terbuat dari bambu itu.

"Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!"

Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air. Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ.

Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.

"Minggir....! Perahu hanyut....!"

"Celaka...! Krakkkk....!"

"Braaakkkk! Krakkkk....!"

Teriakan-teriakan terdengar dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!

"Ceng-moi....!" Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.

"Enci Syanti!" Ceng Ceng juga menjerit dan dara itu biarpun belum pernah belajar berenang, namun dia telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, akan tetapi karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.

Orang-orang di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Adapun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-laki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.

Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul dan perahu itu seperti bersayap, tahu-tahu telah "terbang" di atas permukaan air dan terus mendarat! Di atas perahu itu seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi "terbang" melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!

Bersambung ke Bagian 2 ...