BAB I

KEBUDAYAAN

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

  1. PENGERTIAN KEBUDAYAAN

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi, budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni dan bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

  1. UNSUR-UNSUR BUDAYA
  1. Cipta daya imajinasi yang dimiliki oleh manusia dapat menghasilkan beberapa produk pemikiran, ide serta gagasan dalam bentuk sistem nilai, norma, sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
  2. Rasa daya sensorik yang dimiliki manusia dalam bentuk psikis atau pun fisik yang menghasilkan rasa sakit, ngilu, pedih, marah, senang, frustasi, gagal berhasil dll;
  3. Karsa adalah daya yang dimiliki manusia sebagai motorik/ penggerak dari kedua daya yang dimilki oleh manusia yaitu cipta dan rasa
  1. WUJUD BUDAYA
  1. Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

  1. Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

  1. Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

  1. KOMPONEN BUDAYA

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

  1. Kebudayaan material

Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

  1. Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

  1. HUBUNGAN ANTARA UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

  1. Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

  1. alat-alat produktif
  2. senjata
  3. wadah
  4. alat-alat menyalakan api
  5. makanan
  6. pakaian
  7. tempat berlindung dan perumahan
  8. alat-alat transportasi

  1. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

  1. berburu dan meramu
  2. beternak
  3. bercocok tanam di ladang
  4. menangkap ikan
  1. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur masyarakat  bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

  1. Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi :

  1. fungsi umum

bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial.

  1. fungsi khusus

bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

  1. Kesenian

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

  1. Sistem Kepercayaan

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

  1. Sistem Ilmu dan Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

  1. pengetahuan tentang alam
  2. pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
  3. pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
  4. pengetahuan tentang ruang dan waktu

  1. PERUBAHAN  BUDAYA

Perubahan budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan yang dating dari luar ( asing ).

Perubahan budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur budaya dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan budaya:

  1. Tekanan kerja dalam masyarakat
  2. Keefektifan komunikasi
  3. Perubahan lingkungan alam.

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain.

G. PENETRASI KEBUDAYAAN

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

  1. Penetrasi damai

Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.

Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis.

  1. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India.
  2. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru.
  3. Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

  1. Penetrasi kekerasan

Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

KARAWITAN GENDING/GENDINGAN

 

  1. Pengertian

Pengertian gending secara sederhana adalah instrumentalia. Artinya lagu yang diungkapkan oleh nada-nada waditra (alat-alat). Rd. Machyar Anggakusumadinta mengemukakan lebih lanjut tentang pengertian gending ini sebagai berikut:

“Gending nyaeta rinengga suara anu diwangun ku sora-sora tatabeuhan”

(Gending ialah aneka suara yang didukung oleh suara-suara tetabuhan)

 

Dengan keterangan di atas, kiranya dapat kita sederhanakan bahwa gending adalah lagu yang diungkapkan oleh suara tetabuhan. Pengertian dari tetabuhan ini tidak terbatas pada alat-alat gamelan saja, tetapi alat-alat non gamelan pun termasuk di dalamnya, seperti kacapi, calung, angklung dan lain-lain

 

Orientasi gending dalam lagu cenderung pada alat-alat yang bernada. Akan tetapi, disadari pulaselain untuk alat-alat yang bernada, ada pula yang tidak bernada, seperti kendang, dogdog, kohkol dan lain-lain. Khusus untuk untuk alat-alat ini apabila secara mandiri untuk permainan dalam alunan bunyi pada suatu pergelaran, bisa kita sebut Karesmian Padingdangan. Bunyi alu dan lesung telah mempunyai nama tersendiri yang telah dikenal yaitu Tutunggulan..

Beberapa istilah yang menunjukan identitas gendingan adalah lagu yang memakai kata Jipang, seperti Jipang lontang, Jipang Karaton, Jipang Wayang dan sebagainya.

Dari pengertian ini kiranya para leluhur seni pada waktu yang lampau telah secara khusus mengelompokkan lagu-lagu itu menurut fungsi dan pembawaannya. Nama lain yang memberikan identitas gendingan adalah Tatalu. Gending Tatalu sangat populer pada pertunjukan teater rakyat/wayang golek. Biasanya dipergunakan sebagai gending pemula, untuk menghimpun penonton atau iberan dalang dalam wayang golek.

Menurut irama lagu yang dipergunakan, gending terdiri dari dua macam

  1. Gending Irama Merdeka

Dalam gending irama merdika, alat yang bersangkutan lebih menjurus kepada alat-alat yang bersifat individu. Hal ini dapat dimengerti karena justru dengan irama bebas, waditra yang bersangkutan lebih bebas dalam ungkapan-ungkapannya, di mana improvisasi yang penuh dengan mamanis akan lebih terasa memberikan sifatnya yang khas. Apalagi dalam karawitan Sunda, sifat-sifat dari alat-alat yang individu ini sangat terasa menonjol, bahkan terasa menjadi sebagian dari ciri-ciri yang dipunyai karawitan Sunda bila kita bandingkan dengan daerah lain.

 

Alat-alat yang paling kuat dalam gending irama merdeka antara lain Rebab dan Suling, Kacapi dan Gambang memang kuat, tetapi dalam pergelarannya lebih membutuhkan irama yang tandak; hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

a)    Kesan menyambung pada bunyi

b)   Cara menabuh

c)    Jumlah nada-nada yang tertentu

d)   Kurangnya sifat alunan

Dengan demikian alat tiup dan alat gesek mempunyai beberapa kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan alat pukul dan petik.

 

  1. Gending Irama Tandak

Sesuai dengan arti tandak yang mempunyai arti tetap/ajeg, maka pengertian gending tandak adalah gending yang mempunyai aturan ketukan-ketukan dan irama tetap, terutama dalam rubuh frase kenongan dan goongan. Perpindahan tempo dan irama lagu berjalan “mayat” terutama pada bagian-bagian akhir goongan.

Gending tandak banyak dipergunakan untuk mengisi sesuatu, baik sekar maupun tarian. Bentuk-bentuk gending tandak akan didapati pada pergelaran, seperti:

  1. Kacapi, suling
  2.  Gambangan (biasanya dilengkapi dengan ketuk dan kemyang serta gong)
  3.  Pradagan  (senggani) dalam gamelan lengkap, biasanya berlaras salendro atau pelog
  4.  Rebaban (dilengkapi kacapi)m,
  5.  Lagu-lagu ketuk tilu yang terdiri dari rebab, ketuk, kempyang, kempul, kendang dan gong.
  6.  Padingdang (kendang penca) yang terdiri dari tarompet, kendang (terdiri dari kendang anak dan kendang indung dalam cara memainkannya) dan bende/kempul/gong kecil.
  7.  Gending degung yang terdiri dari suling, boning, cempres, panerus, jengglong, kendang dan  gong.
  8.  Calung dan Angklung

  1. Instrumen

Pada dasarnya semua waditra/instrument karawitan Sunda dapat digunakan untuk gendingan/karawitan gending, tetapi pada pembahasan kali ini yang akan dibahas hanyalah waditra/instrument yang populer dan banyak sekali digunakan dalam kehidupan karawitan sehari-hari. Adapun instrument/waditra-waditra itu adalah: Gamelan Pelog-Salendro, Gamelan Degung, Gamelan Renteng, Kacapi :

 

  1. Istilah istilah Karawitan Sunda

Pada karawitan sunda, khususnya karawitan gending terdapat beberapa istilah yang sering dipergunakan sehari-hari.

Adapun istilah-istilah itu antara lain:

  1. Wiletan

Wiletan atau wiramatra identik dengan matra (maat, metrum) pada musik atau pengertian gatra pada karawitan Jawa. RMA Kusumadinata menguatkan arti sebagai berikut:

“Wiletan (wiramatra): tegesna lolongkrang di antara dua wirahma” (Wiletan merupakan jarak di antara dua wirahma)

Jatuhnya  kenongan dan goongan banyak berpangkal kepada wiletan, tergantung pada irama lagu yang dipergunakan, sebagai contoh:

Irama lagu sawilet mempunyai 4 wiletan dengan jumlah ketukan 16, pada gerakan sedeng/panengah. Tiap wiletan mempunyai 4 ketukan. Kenongan lagu jatuh pada ketukan ke-8 dan goongan jatuh pada ketukan ke-16. untuk jelasnya perhatikan bagan di bawah ini:

/         /  

/ . . . . /                   

wiletan = matra         

titik-titik, ketukan yang terdapat dalam matra/wiletan

                    N                        P                      N                       NG

/  0   0    0    0  /  0    0    0    0   /  0    0    0    0  /  0   0     0     0   /  

 Keterangan :               

 P = kempul   N = Kenongan, G = Goongan

Sawilet mempunyai 4 wiletan, di mana pada ketukan ke-8 jatuh kenongan dan pada ketukan ke-16 jatuh goongan dengan mempergunakan irama lagu sedang.

Pembagian daerah wiletan pada irama lagu sawilet terdiri dari:

/    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /

  wiletan pancer    wiletan kenong   wiletan pancer         wiletan gong

 

Pembagian daerah kenongan dan goongan pada matra/wilet, bila dilihat dari segi jalannya lagu:

/    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /

  wiletan gong              wilwtan kenong                         wiletan gong

Untuk lagu-lagu dua wilet pada dasarnya merupakan perkalian dua dari bentuk irama satu wilet, baik dalam jumlah wiletan maupun dalam ketukan, jatuh satu goongan pada irama dua wilet pada ketukan ke-32 atau pada akhir wiletan kedelapan. Pada prakteknya bentuk dua wilet ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu :

  1. Dua Wilet kendor dan;
  2. Dua Wilet gancang.

Para nayaga yang biasa mengiringi lagu-lagu kawih dan sinden cenderung menyebut bentuk dua wilet gancang ini dengan sebutan gerakan satu setengah. Disebutkan lebih lanjut bahwa untuk gerakan satu setengah ini, irama yang dipergunakan dengan ukuran tertentu, yaitu sawilet kendor, duawilet gancang. Irama satu setengah wilet ini sangat disenangi karena terasa sangat leluasa untuk memberikan variasi dan improvisasi, baik untuk sekar maupun untuk juru gending. Sekar dalam kawih paling banyak mempergunakan wiletan satu setengah ini.

Bentuk lagu empat (4) wilet biasa menggunakan gerakan lalamba atau lenyepan. Gong jatuh pada ketukan ke-64 dan kenongan pada ketukan ke-32, dengan jumlah 16 wiletan dalam satu goongan. Lagu lalamba biasa disebut lagu lagu “Ageng”. Hal ini sebenarnya kurang tepat apabila yang menjadi pegangan pada bentuk empat wiletan, karena bisa ditemukan lagu-lagu yang dikategorikan lagu ageng, tetapi dilihat jumlah wiletannya, ternyata ada yang lebih, sebagai contoh kita dapati pada gending Gawil. Suatu keistimewaan yang lain bahwa selain dari jumlah wiletan berbeda dengan lainnya, juga terdapat gong rangkap (gong berturut-turut setelah gong pertama kemudian gong lagi).

 

Lagu lalamba terasa adanya kekuatan dalam menjalin rasa ketenangan; hal ini tampak dari segi lagunya dan tercermin dalam teknis menabuh gamelannya. Dalam adegan wayang golek, lalamba sering digunakan untuk watak-watak yang halus. Suatu hal yang sangat dominant sekali pada lalamba ini ialah waditra rebab, di mana waditra ini dijadikan jejer/pokok yang sangat menonjol sekali dalam membawakan melodi lagu dan dijadikan patokan untuk gerakan tari  yang dibawakan.

 

Gerakan Kering/Gurudugan, wiletan hanya terdiri dari dua matra saja, gong jatuh pada ketukan kedelapan dan kenongan jatuh pada ketukan ke empat. Karena gerakannya yang cepat pada wilet kering ini, hamper tidak ada kesempatan kepada sekar untuk mengisinya. Irama kering biasanya sangat sesuai untuk watak-watak keras dan kasar atau untuk mendukung adegan peperangan.

 

Perubahan antara irama dalam ketukan wiletan dan lagu disebut naek (ditaekeun)atau turun (diturunkeun). Untuk naek dan turun ini waditra kendang mempunyai peranan penting dalam memberi aba-aba dengan pukulan tertentu sehingga para juru gending mengerti akan adanya peralihan dalam lagu gending. Istilah naek (ditaekkeun) terjadi pada wiletan-wiletan terakhir pada lagu. Jalannya lagu bisa menurun pada iramanya, kemudian kira-kira empat ketuk sebelum gongan berjalan datar (cenderung lebih cepat) untuk kemudian masuk pada irama tabuh/lagu yang dituju. Berikut ini tertera peralihan irama lagu dari empat wilet sampai dengan kering. Arah panah menunjukan mulainya aba-aba perpindahan pada irama lagu.

 

 

  1. Pangkat

Pangkat ialah lagu yang pendek, diaminkan/dibawakan oleh salah satu waditra atau sekar/vokal, untuk memulai lagu/gending, baik yang bersifat tandak maupun irama merdeka.

Gunanya pangkat:

  1. Untuk memberi aba-aba dan pengarahan terhadap lagu yang akan dimainkan;
  2. Untuk memberikan irama lagu yang dipergunakan;
  3. Dasar-dasar patetan dan surupan untuk sekar dan gending.

Pada pergelarannya, pangkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:

  1. Pangkat Tabuh

Pangkat ini cenderung mempergunakan laras yang sama untuk lagu yang akan dimainkan. Sangat terima sekali apabila pergelarannya itu merupakan pergelaran gending saja (instrumentalia).

  1. Pangkat Lagu

Pangkat ini lebih banyak berorientasi kepada laras yang dipergunakan oleh lagu sekar. Waditra yang sangat memungkinkan ialah rebab karena rebab bisa mengungkapkan nada-nada dalam berbagai laras. Sebagai contoh, gamelan salendro bila akan mirig lagu sekar dalam laras lain seperti degung, madenda, pelog, maka rebab langsung memainkan laras yang dipergunakan, sedangkan waditra lain tetap menabuh dengan nada-nada salendro. Paduan antara sekar dang ending dalam nada yang sama akan bertemu pada saat kenongan dan goongan dengan bentuk-bentuk yang tumbuk. Yang dimaksudkan dengan tumbuk ialah nada yang sama dalam laras yang berbeda, baik antara waditra dan wanitra maupun waditra dengan sekar/vokal. Sifat iringan yang berbeda laras seperti contoh di atas bisa disebut Panganti.

 

  1. Pangkat Pangjadi

Dalam pangkat pangjadi, pangkat tidak putus sesudah gong saja, tetapi setelah itu masih mempunyai tugas untuk mengarahkan lagu yang akan dimainkan bersma, yang biasanya dibantu pula oleh waditra lain yang berfungsi sebagai pembawa irama lagu, yaitu waditra kendang. Banyaknua matera dalam pangkat pangjadi yang dilaksanakan kemudian setelah gong berkisar pada satu atau dua matera saja. Contoh dalam gending bentuk lalamba sangat jelas terasa adanya pangkat pangjadi.

 

  1.  Pangkat Peralihan

Bentuk dalam pangkat peralihan sebenarnya hampir sama dengan pangkat-pangkat yang lain. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan yang menyolok, yaitu sebagai jembatan peralihan, baik dalam irama lagu maupun posisi tabuhnya.

Sebagai contoh pada iringan tari Anjasmara yang memergunakan tabuh gending Rumiang sebagai patokan gendingnya, diawali dahulu dengan gending “gurudugan” setelah ada aba-aba dengan kendang maka salah satu waditra membuat pangkat peralihan dan memberikan arahan irama dang ending yang akan dibawakan. Dalam iringan-iringan Tari Kursus terasa setelah gerag Baksa (ngabaksaan) beralih kepada tari Lenyepan.

 

 

  1. Posisi (Patokan/Pola) tabuh

Posisi Tabuh diambil atau diolah dari jatuhnya kenongan dan goongan pada nada-nada yang tetap dengan ritme yang sama sebagai bentuk kristalisasi untuk menyerhanakan bentuk. Posisi tabuh bisa dikembangkan menurut

  1. Patet yang dipergunakan

Patet yang digunakan pada suatu gending apabila dirubah maka akan terjadi perubahan baik akan jiwa gendingnya, suasana dan tentu saja merubah nama lagunya. Patokan untuk diperbandingkan biasa berorientasi kepada patet Nem (barang)

  1. Irama lagu yang dipergunakan

Perubahan terjadi pada dasarnya merupakan pengembangan ritme pada jatuhnya kenongan dan goongan, akan menyebabkan pula perubahan suasana, jiwa dan nama lagu. Contoh lagu Gendu sawilet diubah menjadi empat wilet, maka nama lagunya menjadi Tablo.

Nama-nama posisi tabuh dalam patet Nem

(1). Gendu                                        kenongan tabuh         T (G)

(2). Kulu-Kulu                                    kenongan tabuh         L (G)

(3). Banjaran                                     kenongan tabuh         T (L) T (G)

(4). Panglima                                    kenongan tabuh         G (L) G (T)

(5). Karang Nunggal                          kenongan tabuh         L (T) L (G)

(6). Bendrong                                   kenongan tabuh         (T) – (L)

(7). Angle                                          kenongan tabuh                ( T) – (L) – (G)

(8). Renggong Gancang             kenongan tabuh         L (T) P (G)

(9). Samarangan                                kenongan tabuh         (L) – (G)

 

Keterangan:

µ     Nada yang dipakai kurung artinya goongan

µ     Untuk posisi yang seluruhnya memakai kurung, berlaku rangkap, sebagai  kenongan juga sebagai goongan.

µ    T = Tugu, L = Loloran, P = Panelu, G = Galimer, S = Singgul

 

  1. Ciri-Ciri Gending

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian gending dengan segala ragamnya, sehingga dapatlah ditarik suatu kesimpulan yang memberi batasan tentang cirri-ciri karawitan Sunda, khususnya mengenai karawitan gendingnya.

Adapun cirri-cirinya adalah:

  1. Memuai

Gending-gending pada bentuk tradisional sebenarnya sederhana saja. Dari pola-pola yang sederhana ini dapat dikembangkan lebih besar lagi atau lebih diciutkan dalam teknis pergelarannya. Sebagai contoh sebuah kenongan tabuh dalam satu wilet, bisa dikembangkan menjadi dua wilet, lalamba atau empat wilet ataupun kebalikannya, dengan tetap jatuhnya kenongan dan goongan masih tetap pada nada-nada yang sama. Dengan demikian, irama bisa berubah menurut kehendak penabuh yang bersangkutan.

 

Hal ini akan terlihat pada posisi-posisi tabuh, baik yang dimainkan oleh gending gamelan maupun dalam gending kacapi dan alat-alat lain. Perbedaan-perbedaan kadangkala hanya terletak pada nama saja atau patet yang dipergunakan. Sebagai contoh: Kulu-kulu Bem adalah lagu yang mempunyai irama empat wilet (lalamba), sedangkan posisi dasarnya cukup dikenal ddengan nama Kulu-kulu.

Contoh-contoh lain bisa juga terlihat pada jumlah lagu-lagu dalam vokal yang berangkat dari satu posisi saja, tetapi bisa mengiringi bermacam-macam lagu dan laras yang berbeda-beda.

 

Sifat memuai dalam gending Sunda dapat menjangkau beberapa hal, yaitu: Pengembangan Wiletan, Pengembangan Patet, Pengembangan Laras dan Lagu serta Pengembangan Dinamika.

 

  1. Patet Kuat Kedudukannya

Seperti telah diterangkan di atas bahwa sifat muai dalam gending Sunda bisa mengembangkan patet dan dengan pengembangan patet itu terjadi bermacam-macam lagu. Dilihat dari teknis pagelaran, bila gending Sunda bermain dalam satu patet (misalnya mengambil patet barang), maka kedudukan patet tetap pada nada-nada yang telah tertentu. Melagukan gending Banjaran, walaupun berubah-rubah wiletan, kedudukan patet tetap utuh.

 

Perpindahan laras dalam melodi rebab, sama sekali tidak menggoyahkan patet yang dipergunakan dalam gending itu. Begitu pula improvisasi-improvisasi dari waditra lain tetap teguh pada kedudukan jatuhnya nada-nada kenongan dan goongan dalam patet itu.

 

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kuatnya kedudukan patet dalam gending Sunda dapat terlihat dalam gending Sunda, yaitu dalam hal ini:

  1. Kedudukan nama lagu dan posisinya
  2. Sifat polyphone yang jatuh pada arah nada yang sama dalam kenongan dan goongan
  3. Kedudukan tiap wiletan dalam jalannya lagu gending

 

  1. Waditra Fleksible

Kelengkapan dalam jumlah waditra dalam gending Sunda terasa tidak terlalu ketat, kecuali dalam waditra-waditra tertentu, misalnya kendang atau rebab. Ketidak ketatan itu membawa pengaruh lain terhadap waditra-waditra lain sehingga pergantian tugas antar waditra itu sering terjadi dengan mempengaruhi tugas pokok dari waditra yang bersangkutan.

 

Sebagai contoh, tabuh boning sering memborong sekaligus carukan dengan rincik atau demung karena demung atau rincik tidak ada. Hal ini dapat terjadi pada iringan gamelan wayang. Saron 1 dan saron 2 selain bersahutan dalam carukan, sewaktu-waktu mempunyai tugas lain (biasanya saron 2), yaitu dengan menabuh bagian selentem atau rincik. Gamelan yang lengkap ini bisa kita lihat pada bentuk-bentuk kliningan atau iringan untuk sandiwara. Begitu fleksibelnya waditra, sampai-sampai dalam kacapi pantun bisa berfungsi bermacam-macam tabuh, di mana tabuh-tabuh itu kalau kita selidiki secara saksama merupakan bentuk-bentuk tabuh yang ada pada waditra gamelan.

 

Demikian waditra itu tampak selain mempunyai tugas yang khusus, dapat pula menjangkau tugas-tugas lain, terutama dalam mengisi hal-hal yang kosong. Dengan demikian, tidaklah menjadi masalah, apakah gamelan itu lengkap atau tidak karena pada hakikatnya tugas-tugas itu bisa ditanggulangi oleh waditra lain. Tidaklah menjadi heran apabila dalam suatu pagelaran kita hanya melihat gamelan yang mengemukakan hanya dua buah saron, kendang dan gong saja. Hal inilah yang kadangkala menjadi perbedaan dengan gending-gending Jawa yang membutuhkan perlengkapan yang lengkap.

 

Sifat fleksibel dari waditra sebenarnya tidak terlepas pula dari sifat-sifat alat-alat (waditra) pada Karawitan Sunda yang mempunyai sifat individu. Dari sifat individu inilah akhirnya mengembangkan variasi-variasi tabuh yang bisa diolah dari mulai alat yang sederhana sampai pada alat-alat yang lebih sukar. Gending Sunda bisa berjalan dari personal yang sedikit, sampai dalam jumlah yang besar, dengan melakukan gending-gending yang sama mereka berjalan dengan tetap harmonis.

 

  1. Fungsi Kendang dan Rebab Sangat Menonjol

Kendang dan Rebab merupakan alat individu yang mempunyai variasi tabuh yang banyak sekali. Kendang dan Rebab akan menjadi ukuran terhadap keterampilan seseorang nayaga. Ukuran yang dimaksud ialah ukuran yang berhubungan dengan prestise dan prestasi. Prestise banyak berhubungan dengan imbalan yang tersendiri, terutama bila mereka itu menerjunkan diri dalam kancah professional, sedangkan prestasi banyak berhubungan dengan kecekatan dan kecakapan/keterampilan, karena dengan bisa secara mahir menabuh kendang atau rebab, maka yang bersangkutan sudah dianggap mampu memainkan gending dan waditra-waditra lain.

 

Sebenarnya masih ada alat-alat individu yang lain, seperti kacapi dan suling, tetapi dalam pergelarannya jarang disatukan dengan gending gamelan.

 

Kendang dan Rebab, demikian menonjol dalam gending terutama dalam gending wayang dan iringan tari. Hal ini dapat dimengerti karena ada beberapa hal yang memperkuat kedudukan fungsi rebab dan kendang dalam gending, antara lain:

  1. Sifat-sifat individu
  2. Menjadi pembimbing terhadap waditra-waditra lain
  3. Keperluan gending itu sendiri yang lebih menonjolkan kendang dan rebab sebagai pendukung utama
  4. Warna-warna yang berbeda dengan alat pukul lain
  5. Kemungkinan-kemungkinan lain alat itu sendiri yang sangat memungkinkan dapat ikut mendukung dalam pagelarannya.

 

Untuk gending tari dan wayang, begitu pula sekar/vokal, kendang dan rebab sangat terasa dominant sekali. Salah satu cirri dari karawitan tari Sunda telah menonjolkan tepak-tepak kendang dalam mendukung gerak-gerak tari itu, sedangkan rebab banyak dijadikan dasar-dasar lagu dan dijadikan pula patokan dalam tarian yang dibawakan. Pada tari Lalamba akan terasa hambar sekali bila waditra rebab ini tidak ada. Gunung Sari, Gawil, Kawitan adalah nama-nama lagu yang padu dengan nama tarian dan sukar untuk dipisahkan antara lagu dan gerak.

 

Demikian menonjolnya tepak-tepak kendang dalam tari Sunda klasik, sampai-sampai kendang itu menjadi alat yang terkecuali tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan dalam teknis pagelarannya/pertunjukannya.

  1. Nilai-nilai Tersendiri dalam Motif Tabuh

Lagam gending antar waditra gamelan menjadi suatu komposisi yang padu dalam pagelarannya. Lagam-lagam itu mempunyai motif-motif tabuh secara tersendiri, yang berlainan dengan waditra lain.

Dalam gamelan kita mengenal bermacam-macam tabuh, seperti: Dicaruk, Dikemprang, Dipancer, Digumek, Dicacag dan lain-lain.

 

Lagam carukan dalam saron, boning, gambang, teknisnya berlainan walaupun ada persamaan-persamaan motif di dalamnya. Perbedaan-perbedaan lagam gending ini membawa bentuk gending Sunda pada cirri-ciri yang mandiri bila dibandingkan dengan gending-gending daerah lain.

Jelasnya gending Sunda didukung oleh melodi yang berlainan lagam, menjadikan suatu paduan dengan jatuh bersamaan pada patokan-patokan kenongan dan goongan.

BAB II

FUNGSI GENDING

Dari bebagai bentuk gending, baik yang dibawakan secara individu ataupun secara bersama, maka dapatlah diuraikan fungsinya sebagai berikut:

 

  1. Rasa Kalangenan

Seseorang memainkan alat, lagu yang dibawakan mungkin berpola posisi atau improvisasi semata. Dia memainkan alat itu untuk dirinya sendiri apakah untuk mengisi rasa sepi atau pengisi waktu senggangnya. Itulah salah satu cirri gending sebagai rasa kalangenan. Biasanya alat-alat yang digunakan adalah alat individu. Sebagai contoh, dahulu seorang gembala dengan sulingnya. Dia membawakan lagu untuk mengisi rasa sepi saja. Kalau hal ini dikaitkan pula dengan struktur masyarakat Sunda dahulu yang bermasyarakat huma (lading), kiranya gending kalangenan dapat memberi warna dan cirri dari masyarakat huma/lading itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka berkarawitan; mereka lebih banyak bersifat individu, karena cara kerja seharian, tempat tinggal yang berjauhan dan selalu berpindah-pindah. Dari cara-cara ini dapat memberi gambaran bahwa pengaruh struktur masyarakat Sunda zaman dahulu telah memberi arah-arah kemdandirian dari gending-gending Sunda yang lebih banyak penonjolan sifat-sifat individunya. Di kampung-kampung sebenarnya berkalangenan gending itu masih ada, misalnya dengan gambang, kacapi, taleot, empet-empetan, karinding dan lain sebagainya.

 

  1. Iberan

Secara singkat “iberan” bisa diartikan sebagai pemberitahuan. Lebih jauh iberan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada sifat pemberitahuan itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan isyarat-isyarat tertentu. Isyarat-isyarat itu bila diungkapkan oleh gending, biasanya lagu yang dibawakan itu telah mempunyai kebakuan-kebakuan tertentu yang telah terjalin secara khusus. Jalinan itu bisa berorientasi pada dua arah, baik jalinan komposisi daripada lagu/gending itu sendiri maupun jalinan yang berhubungan antara penabuh dan pendengarnya.

Contoh yang sangat sederhana pada kehidupan masyarakat masa lalu di pedesaan pada gending tutunggulan. Tutunggulan pada waktu itu bisa memberikan isyarat bahwa di tempat itu akan ada selamatan. Akan tetapi, tutunggulan itu sendiri bisa memberi isyarat pula bahwa ada gerhana bulan (samagaha-Sunda). Alat yang lebih sedehana lagi, misalnya kentongan (kohkol-Sunda). Dari alat ini, orang-orang yang mendengarnya bisa mengerti tentang isyarat tabuhannya, apakah ada bahaya banjir, kebakaran atau kehilangan sesuatu.

 

RRI Studio Bandung dengan suling tunggalnya dalam lagam tembang memberikan beberapa isyarat, seperti:

  1. Beberapa saat lagi, siaran akan dimulai;
  2. Memberi identitas daerah terutama untuk para pendengar di luar Jawa barat
  3. Memberi warna khas salah satu alat dan lagu dalam karawitan Sunda.
  4. Lebih jauh lagi dapat kita dengar gending lagu Palwa. Palwa sebagai cirri akan dimulainya warta berita dalam bahasa Sunda atau gending Calung untuk siaran pedesaan.

Pada gending tatalu, kiranya isyarat-isyarat itu lebih banyak lagi maksudnya, terutama pada tatalu pagelaran wayang golek. Selain dari fungsinya menarik penonton untuk berkumpul atau tahap-tahap akan dimulainya pagelaran itu sendiri, pada beberapa pergantian lagu secara langsung mengingatkan sang dalang untuk bersiapsiap tampil ke pentas. “Ki Dalang” harus sudah mengerti bahwa pada lagu tertentu harus keluar dan bergabung dengan para nayaga. Apabila lagu itu selesai dengan cempala dan kecreknya dalang memberi isyarat untuk memulai pagelaran wayang golek dan penonton pun dengan riangnya menyambut gembira dimulainya pagelaran.

 

Pada pagelaran Degung, Lagu Jipang Lontang sering dipakai sebagai lagu pembukaan dang ending jiro dipergunakan sebagai gending penutup pagelarannya. Menurut para orang tua, dahulu ada gending khusus untuk menyambut para pembesar Negara. Dengan spontan masyarakat mengerti dan memberikan hormatnya seiring dengan suasana lagu itu.

 

Pada perkembangan sekarang, kiranya gending-gending itu telah berkembang untuk promosi dagang. Orang-orang sudah mengerti apabila mendengar melodi tertentu dari sebuah siaran radio atau TV bahwa yang dimaksud adalah mempromosikan barang tertentu. Hal ini terutama pada musik dan khusus untuk karawitan Sunda hal ini terasa masih jarang sekali. Jadi, gending iberan, merupakan bahasa musik yang mengisyaratkan maksud-maksud tertentu pada komposisinya yang telah mempunyai nilai-nilai kebakuan dalam masyarakat pendukungnya. Ritme, lagu dan tempo masing-masing ikut berbicara menuangkan kedalaman maksud yang terkandung dalam isyarat itu.

 

  1. Penghantar Upacara

Fungsi gending di sini sangat erat bertalian dengan pelaksanaan upacara yang dilaksanakan. Sebagai contoh gending-gending pada Tarawangsa dan Jentreng di Rancakalong Sumedang, merupakan suatu kesatuan dalam upacara “nginepkeun pare”. Demikian pula fungsi gamelan dang ending pada Ajeng dalam upacara pesta laut di pesisir utara Jawa Barat. Demikian lekatnya perpaduan itu sehingga baik alat maupun lagu gending tidak bisa diganti dengan alat-alat lain di luar waditra-waditra itu. Ungkapan contoh di atas merupakan secuil kehidupan karawitan Sunda yang masih erat dengan pertalian upacara yang berhubungan dengan alat atau tradisi. Contoh lain untuk mendukung upacara-upacara yang sacral, tetapi pada perkembangannya sudah jarang ditemukan, yaitu fungsi Gong Renteng dalam perayaan Mauludan, kesenian Buncis pada upacara ngaseuk dan lain-lain.

 

Untuk tidak mengacaukan pengertian upacara-upacara yang berhubungan dengan adapt atau tradisi, dimana kebakuan alat dan lagu telah menjadi suatu kesatuan yang terpadu, hendaknya pengertian upacara itu dipisahkan dengan pengertian upacara khusus sebagai materi seni perkembangan sekarang. Pengertian upacara khusus sekarang merupakan kreasi materi seni yang biasanya bertolak dari upacara yang baku atau mendekatkan suasana pada upacara yang akan berlangsung. Sebagai contoh, upacara khusus “mapag panganten”, pengolahan sekar dang ending banyak berorientasi pada kebakuan, tetapi disana-sini mendapat penataan kembali dalam bentuk kreasi baru. Pendekatan suasana pada upacara yang akan berlangsung, misalnya pada upacara-upacara peresmian sesuatu yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Baik jalan upacara, apalagi gending-gendingnya selain mengambil bentuk tradisi juga ditambah dengan olahan baru. Jelas hantaran gending pada upacara seperti ini tidak mutlak harus dibawakan oleh alat itu saja, sewaktu-waktu bisa dengan alat lain. Iniulah perbedaan yang jelas apabila dibandingkan dengan upacara-upacara yang bersifat adapt atau tradisi, di mana fungsi gending dan alatnya sangat lekat terpadu dengan jalannya upacara.

 

  1. Pengiring/Pririgan

Seperti diketahui bersama, salah satu fungsi gending adalah untuk mengiringi. Dalam kehidupan karawitan Sunda, diketahui pula bahwa gending biasa dipergunakan untuk pengiring sekar/vokal, tari, teater daerah, dan sebagainya.

Untuk Sekar bisa digunakan iringan gamelan pelog-salendro, gamelan degung, kacapi, angklung, calung dan lain-lain. Begitu pula pergelaran tari, lebih banyak digunakan gamelan pelog-salendro dan sekali-kali menggunakan gamelan degung. Namun, pada perkembangan sekarang banyak koreografer-koreografer memanfaatkan waditra lain untuk mengiringi tariannya, misalnya instrument kacapi, suling dan waditra-waditra lainnya.

 

Dalam mengiringi pergelaran wayang, iringannya menggunakan gamelan, yaitu untuk wayang golek purwa menggunakan gamelan pelog-salendro, wayang pakuan dengan gamelan degung, wayang cepak gaya Priangan dengan gamelan pelog dan wayang pantun dengan gamelan salendro (dimana dalam pergelarannya dipakai juga waditra kacapi dengan laras degung)

 

  1. Pemberi Suasana

Kehadiran gending terasa dibutuhkan, misalnya pada penerimaan tamu atau mengisi kesenggangan dalam keadaan yang santai. Kita mendengar ada musik pagi,, musik siang hari, musik malam, inilah pemberi suasana dari kehadiran gending. Bentuk lagunya kebanyakan dibawakan secara instrumentalia/gendingan dan lagu-lagunya disesuaikan pula dengan keadaan waktunya sehingga terasa ada jalinan suasana antara waktu dan lagu.

 

Perkembangan lain beranjak pada pembacaan puisi, gending berfungsi sebagai ilustrasi. Di samping itu, terasa adanya suasana yang akrab antara pembaca puisi dan lagu. Apalagi apabila puisi berbahasa daerah, kemudian karawitan menjadi pendamping suasananya, terasa kepaduan itu terjalin dengan harmonis.

 

Secara tidak disengaja, banyak pula orang yang akan tidur mudah terlena apabila mendengar kacapi suling Cianjuyran. Mungkin saja hal disebabkan oleh lagunya yang melankolis, tetapi dari segi lain kita dapat merasakan bahwa warna kacapi suling (terutama dalam tembang) suasananya sangat erat sekali mendukung suasana malam.

 

  1. Pengungkap Ceritra

Apabila sebuah ceritera diungkapkan melalui bahasa atau dari bahasa diungkapkan lagi dalam sekar sudah menjadi hal yang biasa.  Sebagai contoh dalam Gending Karesmen telah kita dapati. Tetapi apabila jalinan cerita itu diungkapkan dalam komposisi gending hal itu masih merupakan barang langka dalam perkembangan karawitan Sunda. Padahal, sebenarnya lagu-lagu degung instrumental pada zaman dahulu sudah merupakan dasar-dasar kuat dalam bentuk ini.

Di dunia musik, telah banyak dikenal musik programa yang banyak mengungkapkan ide ceritera dalam sebuah komposisi yang besar. Sifat dari bentuk ini merupakan musik total, artinya ungkapan secara penuh diformulasikan untuk musik tanpa kehadiran kata di dalamnya.

Kreasi baru dalam karawitan Sunda dalam mengungkapkan ceritra dalam gending, diawali dengan gending “Hujan Munggaran” karya Mang Koko pada tahun 1967, yang kemudian diangkat ke dalam tari oleh Enoch Atmadibrata. Perkembangan setelah itu pada tahun 1976 dengan judul “Simpay Galindeng Tineung” karya Nano. S dan disambung pada tahun 1979 dengan Karawitan Gending Sangkuriang yang sekaligus merupakan wakil Jawa Barat dalam Pekan Komponis Muda I di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Kekhususan dari karawitan gending seperti yang diungkapkan melalui alat-alat karawitan; pendengar betul-betul diajak berbicara dan berinterpretasi dalam nada-nada waditra dengan keanekaan warna dan larasnya. Warna suara, laras dan berbagai surupannya, demikian pula dengan tempo dan ritme berbicara mengungkapkan isi cerita yang diketengahkan. Pendengar dituntut daya interpretasi dan imajinasinya dalam mencerna ungkapan lagu yang dituangkan dari karawitan gending.

Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi gending di sini sebagai pengungkap interpretasi cerita yang dikomposisikan secara khusus menurut gaya dan citra si seniman itu sendiri. Mengenai interpretasi penonton atau pendengar pada karya cipta ini mungkin saja berbeda-beda dan apabila terjadi hal seperti ini, sang komponis tidak akan mempersoalkannya karena telah demikianlah adanya, di mana ia telah menyusun berdasarkan interpretasi dirinya melalui liku nada dan melodinya.

Top of Form



Bottom of Form

BAB III

Gamelan Pelog Salendro

Gamelan merupakan sebentuk nama alat yang didukung oleh bermacam-macam waditra di dalamnya, yang merupakan satu kesatuan komposisi dalam wujud pergelarannya.

Nama-nama Waditra Gamelan Pelog-Salendro

Adapun waditra-waditra itu tertentu dalam jumlahnya menurut kebutuhan atau teknik dan tradisinya. Waditra-waditranya kebanyakan terdiri dari alat pukul, seperti: dua perangkat saron, peking, demung (panerus), selentem, boang, rincik, kenong, kenong, kendang, kempul dan gong, rebab, gambang.

Dilihat dari segi cara membunyikannya, maka waditra-waditra dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu: alat pukul, alat petik/gesek, alat tiup.

Pada gamelan pelog-salendro sangat jarang sekali dipergunakan alat tiup (misalnya suling) karena lagu (melodi) dipercayakan pada rebab. Sebaliknya pada gamelan degung tidak dipergunakan alat gesek (rebab) karena suling telah berfungsi sebagai pembawa lagu. Bahkan pada pergelaran renteng, suling dan rebab tidak dipergunakan, melodi lagu dibawakan oleh bonang.

 Fungsi Waditra Gamelan Pelog Salendro

Komposisi yang dijalin oleh nada-nada waditra gamelan mempunyai tugas-tugas khusus dalam pergelarannya. Sifat-sifat berdialog dalam jalur melodi lagu yang berbeda-beda antar waditra berjalan bersama menuju daerah kenongan dan goongan menjadikan gending suatu kesatuan tabuh yang kaya dalam ragam gending. Dalam hal inilah salah satu unsur yang membentuk ciri husus dalam gending gamelan Sunda.

Tugas-tugas waditra dalam gending gamelan bisa diuraikan sebagai berikut:

  1. Balunganing gending, Arkuh gending, Rangka gending (cantus firmus) merupakan rangka

dasar gending, diisi oleh waditra Selentem dan atau Demung.

  1. Anggeran wilet an (inter punctie) diisi oleh Kempul, Gong dan Kenong

  1. WADITRA BERPENCLON 

 

  1. BONANG

Pada dasarnya waditra Bonang mengisi ketukan ke satu dan ke tiga dengan nada yang menjadi kenongan dan goongan sedangkan pada ketukan ke empat menabuh nada yang berfungsi sebagai Pancer sebagai tanda perpindahan antar kenongan dan goongan suatu lagu.

Untuk lebih jelasnya lihat bagan di bawah ini

 

 

  1. RINCIK

Tabuh Rincik sifatnya mengambang artinya tidak bersamaan dengan ketukan. ketukan yang dibuntutinya mulai ketukan ke satu sampai selesai. Nada yang ditabuhnya adalah nada yang berfungsi sebagai kenongan dan goongan

Jelasnya ritme tabuh Rincik sebagai berikut :

  1. Melodi Lagu, biasanya diisi oleh waditra Rebab atau Gambang
  2. Pengatur Irama, biasa dibawakan oleh Kendang.
  3. Lililitan melodi oleh Rincik
  4. Lilitan Balunganing Gending diisi oleh waditra-waditra: Saron, Demung dan Bonang.

Tugas-tugas waditra ini sedemikian rupa jalinannya sehingga keharmonisan akan terasa apabila kita menelitinya secara seksama. Mereka hanya bertemu nada yang sama di daerah kenongan dan goongan, sedangkan sebelumnya mereka berjalan teratur secara menyendiri menurut tugasnya masing-masing.

  1. KENONG

Ketukan ke empat atau ketukan terakhir pada setiap matera diisi oleh tabuhan Kenong dan biasanya nada yang ditabuh adalah nada yang berfungsi sebagai Kenongan, Goongan serta Pancer.

  1. SELENTEM

Waditra Selentem mengisi ritme dan nada yang berfungsi sebagai Arkuh Lagu/Balunganing Gending pada ketukan ke dua dan ke empat.

  1. GAMBANG

Waditra Gambang dapat befungsi sebagai melodi lagu dan dapat pula sebagai lilitan melodi lagu. Melodi dibawakan ketika tidak mengiringi sekar dan ketika mengiringi sekar maka Gambang tabuhannya dicaruk dengan ritme motif tabuh sederhana

  1. KEMPUL DAN GONG

Dalam jalannya suatu lagu maka kedua waditra ini merupakan waditra yang memberikan keajegan wiletan atau “ANGGERAN WILETAN” sehingga perubahan suatu irama akan tampak jelas dari kedua waditra ini namun pada dasarnya Kempul akan mengisi ketukan pada bilangan ke dua, tetapi sebagai tanda akan jatuh Goongan maka Kempul menabuh kempul tanggara yang jatuh pada bilangan ke empat matera ke tiga. Sedangkan waditra Goong menabuh pada ketukan ke empat dari bagian akhir lagu pada setiap irama. Lengkapnya:

  1. DEMUNG/PANERUS

Demung mempunyai keunikan tersendiri dalam motif tabuhannya dalam setiap irama. Dalam irama sawilet cara yang dipakai adalah bergerak ke arah kanan atau kiri menuju arah dua nada, kemudian kembali ke nada semula melalui nada yang pernah dilewatinya. Mengenai hubungannya dengan ketukan, Demung ada yang jatuh pada ketukan dan ada yang mengambang     (dalam istilah Sunda :”nyentugan” ). Lebih jelasnya perhatikan ritme dan nada-nadanya berikut ini:

Teknik/Motif Tabuhan Gamelan Pelog Salendro

Pada bahasan di atas telah diuraikan mengenai fungsi waditra gamelan pelog-salendro. Untuk lebih memperjelas tentang fungsi waditranya, maka di bawah ini akan diuraikan mengenai dasar teknik tabuhan dan penempatan nada-nada waditra yang bersangkutan pada daerah-daerah wiletan. Dicontohkan pada irama lagu sawilet.

 

  1. WADITRA BERWILAH
  1. SARON

Saron pada gamelan Sunda ada dua perangkat dimana salah satu sifat dalam lagu dan tabuhannya bersahutan atau istilahnya “dicaruk”. Untuk membedakan kedua saron tersebut, maka diberilah nama Saron 1 (Indung) dan Saron 2 (Anak). Tabuh saron 1 selaku pembawa lagu sedangkan saron 2 mengimbanginya dengan jalan membuat sahutan, kedua saron ini menabuh dengan ketentuannya masing-masing.

Saron 1 menabuh pada tiap ketukan

Saron 2 memebuntutinya serta melingkari dengan tabuh yang khusus dan biasanya pada setiap ketukan keempat jatuh pada nada yang sama dengan Saron 1

Pada prinsipnya tabuh Saron 1 untuk ketukan ke satu, dua dan empat jatuh pada nada yang sama sedangkan untuk ketukan ke tiga melewati satu nada ke arah kanan atau ke arah kiri. Sedangkan untuk Saron 2 dimulai dari nada disebelah kiri atau kanan dari nada Saron 1 dan melewati satu wilah/nada ke sebelah kiri atau kanan.

 

  1. SALENDRO

5

4

3

2

1

5

4

  1. PELOG JAWAR - LIWUNG - SOROG (JATU LIGA SOPA)

5

4

3

3-

2

1

5+

4

3

3-

2

1

5+

 

5

4

3

3-

2

1

5+

5

4

3

3-

2

1

5+

 

 

  1. PEKING

Sampai saat ini patokan tabuh Peking belum ada karena waditra ini pada tabuhannya lebih bersifat improvisasi, yang menjadi patokan adalah jatuhnya kenongan dan goongan. Namun untuk tahap pemula tentu saja harus diberikan salah satu motif, salah satunya motif sbb:

BAB IV

Gamelan Degung

Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau Goong di Banten yaitu Gamelan, Gamelan merupakan sekelompok waditra dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul.

Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)

Ada anggapan lain sementara orang bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, seperti dimaklumi bahwa Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu, misalnya bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan beliaulah yang sempat mendokementasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.

Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung, Agung, Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memberikan gambaran kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.

Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam bentuk pergelarannya degung menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang menjadikan degung seperti sekarang ini.

  1. Nama-nama Waditra

Istilah waditra khususnya dalam degung dan umumnya dalam Karawitan Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan berkesenian. Istilah dalam musik “instrumen”.

  1. Bonang, terdiri dari 14 penclon dalam ancaknya. Berderet mulai dari nada mi alit sampai nada La agend
  2. Saron/Cempres, terdiri dari 14 wilah. Berderet dari nada mi alit sampai dengan La rendah.
  3. Panerus, bentuk dan jumlah nada sama dengan saron/cempres, hanya berbeda dalam oktafnya.
  4. Jengglong terdiri dari enam buah. Penempatannya ada yang digantung dan ada pula yang disimpan seperti penempatan kenong pada gamelan pelog.
  5. Suling, suling yang dipergunakan biasanya suling berlubang empat.
  6. Kendang, terdiri dari satu buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter). Teknis pukulan kendang asalnya dipukul/ditakol dengan mempergunakan pemukul. Dalam perkembangannya sekarang kendang pada gamelan degung sama saja dengan kendang pada gamelan salendro-pelog.
  7. Gong, pada mulanya hanya satu gong besar saja, kemudian sekarang memakai kempul, seperti yang digunakan pada gamelan pelog-salendro.

  1. Fungsi Waditra

Untuk mengetahui fungsi waditra dalam gamelan degung, harus dibagi dahulu bentuk lagu yang dibawakan. Bentuk lagu yang terdapat pada gamelan degung terdiri dari dua bagian besar, yaitu: Lagu-lagu Kemprangan dan Lagu-lagu Gumekan .

 

Lagu kemprangan tiada bedanya dengan bentuk Rerenggongan pada gamelan salendro. Biasanya lagu yang dibawakan berirama satu wilet atau keringan, misalnya lagu Jipang Lontang, Gambir Sawit, Kulu-Kulu, catrik dan lain-lain. Pada dasarnya posisi tabuh sama dengan posisi pada gamelan salendro.

Fungsi waditra pada lagu kemprangan ini adalah sebagai berikut:

·     Jengglong            = balunganing gending

·     Suling                  = pembawa melodi

·     Kendang              = pengatur irama

·     Saron                          = lilitan melodi

·     Bonang                = lilitan balunganing gending

·     Gong                          = paganteb wilet

 

Gumekan sebenarnya nama teknis tabuhan, tetapi di sini bisa diartikan pula sebagai bentuk lagu degung yang khas dalam lagu-lagu ageng. Fungsi waditra pada gumekan sangat berbeda sekali dengan gending-gending lainnya, terutama dalam pembawa melodi lagu.

Fungsi waditra dalam lagu/gending ageng tabuh gumekan:

Nama waditra

Fungsi

Bonang

pembawa melodi

Suling

lilitan melodi

Saron/Cempres

lilitan melodi

Panerus

cantus firmus

Jengglong

balunganing gending

Gong

panganteb wiletan

  1. Teknik/Motif Tabuhan pada Gamelan Degung

Waditra Bonang baik pada lagu-lagu bentuk kemprangan maupun bentuk “Gumekan” memerlukan kedua belah tangan yang dalam menabuhnya antara tangan kanan dan kiri ada yang bersamaan baik swarantara gembyang, kempyung dan Adu laras, bergantian (Sunda, Patembalan) sesuai notasi.

Untuk waditra berwilah pada Degung diperlukan teknik tengkepan yaitu tangan yang satu memukul tepat ditengah wilah panakol tegak dan tangan lainnya “nengkep” (memegang waditra untuk mengurangi efek tabuhan sehingga gelombang nadanya tidak menjadi panjang). Sedangkan waditra Jengglong yang menggunakan dua buah pemukul mempunyai ketentuan yaitu tangan kanan untuk nada: 1, 3, 5 alit dan tangan kiri untuk nada: 1, 4, 5

Waditra Kendang dan Suling disesuaikan dengan teknik masing-masing waditra dan kebutuhan.

 

Kemprangan

Kemprangan adalah cara membunyikan bonang antara tangan kiri dan kanan berjarak satu gembyang, nada gembyang ditabuh bersahut-sahutan.

 

Motif tabuh Bonang untuk nada: 

Motif melodi dapat berbeda-beda, setiap orang dapat membuat melodi masing-masing untuk setiap lagu berdasar Arkuh lagunya dengan prinsip kenongan dan goongan harus sama.

Contoh seperti berikut ini 

  1. Nama-nama Gending Degung

Gending-gending degung kemprangan dalam beberapa hal tidak ada bedanya dengan gamelan salendro, tetapi mempunyai kekhususan tertentu dalam lagunya, yaitu lagu-lagu yang jarang

  1. dipergunakan dalam gamelan salendro. Lagu-lagunya antara lain;
  1. Jipang Lontang,
  2. Jipang Prawa,
  3.  Catrik,
  4.  Gambir Sawit,
  5.  Kulu-Kulu,
  6.  Puspajala, Kunang-Kunang,
  7. Paron, dan lain-lain.
  1. Dalam bentuk gumekan, lagu-lagunya antara lain:
  1. Palwa,
  2. Manintin,
  3. Sang bango,
  4.  ladrak,
  5.  Lalayaran,
  6. Ayun Ambing,
  7. Sunda Mekar,
  8. Kadewan,
  9.  Pajajaran dan sebagainya.

 

KOS WARNIKA (ABAH MEGA)

Bandung, 10 Oktober 1947Komplek Megabrata No. 74Tlp. (022) 7501865

 

Pendidikan formal kesenian diperoleh di Konservatori Karawitan Indonesia jurusan Sunda di Bandung

Pernah mengikuti beberapa organisasi kesenian seperti: Ganda Mekar pimpinan Mang Koko, Guriang (Pemda Tk. I Jawa Barat), Bale Bandung Ayang-Ayanggung (Kodam Siliwangi), Separaga Hotel Panghegar, Gentra Madya pimpinan Nano. S, Arum Ganda Sari, PATRIA pimpinan RAF, Pokja Biro Seni dan Budaya GOLKAR Tk. I Jawa Barat, Staf Teknis Seni dan Budaya Yayasan Artis Safari Jawa Barat pimpinan Tetty Kadi Bawono

 

Misi kesenian ke luar negeri antara lain: Malaysia bersama team kesenian Pemkot Bandung, Taiwan utusan TIM Jakarta, Negara ASEAN bersama KNPI Jawa Barat, Amerika dalam Tournamen of Roses bersama Yayasan Bunga Nusantara, Jepang bersama Gentra Madya, dll.

 

Bertugas sebagai juri untuk beberapa lomba/pasanggiri antara lain : selama kurun waktu 7 tahun berturut-turut dalam Pasanggiri Calung Pemuda baik tingkat Kota maupun Jawa Barat, Anggana/rampak Sekar tingkat SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi/Umum, Purna Drama

 

Mulai tahun 1973 mengajar di Konservatori Karawitan/SMKI/SMKN 10 Bandung. Mata Pelajaran yang diajarkan adalh Keahlian Seni Karawitan dan KKPI (Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi) di SMK Negeri 10/SMKI Bandung, melatih Karawitan untuk berbagai pergelaran, pernah menyutradarai gending karesmen/drama swara karya-karya Mang Koko, Nano. S, Wahyu Wibisana, RAF seperti : Gending Karesmen Si Kabayan jeung Raja Jimbul, Aki Nini Balangantrang, Perang, Ruhak Pajajaran, Samudra, Samagaha, Duel, Bantrok, Ngabungbang. Rangrang Panyawangan, KONSER KARAWITAN, dll.

Wawacan

Wawacan teh carita panjang anu dianggit make patokan pupuh. Jalan caritana loba bagian-bagianana. Kitu deui palaku jeung tempat ngalalakon loba pisan. Atuh mangsa anu kacaturna oge lila. Dina wawacan mah umumna osok aya hal-hal anu pamohalan mungguhing cek akal mah. Upamana palakuna sarakti, lain bae jelema, tapi jin, siluman, buta, dewa, jeung sajabana. Tapi wawacan anu teu ngandung pamohalan oge aya.

                  Wawacan teh dianggit make patokan pupuh. Pupuh geus lila dipake dina sastra Sunda, kurang leuwih ti mimiti abad ka-17. Asalna mah tina sastra Jawa. Dina abad ka-17 rea urang Sunda anu ngarulik kabudayaan Jawa. Pangarang Sunda ngagunakeun patokan pupuh pikeun ngarang wawacan dina basa Sunda. Samemehna, ti abad ka-16 keneh, urang Sunda teh umumna geus ngagem agama Islam. Lantaran kaperluan ngaji Qur'an jeung kitab-kitab, loba anu barisa maca jeung nulis hurup Arab. Tah hurup Arab teh dipake nuliskeun wawacan. Lolobana wawacan anu masih keneh naskah (tulisan leungeun), ditulisna ku huruf Arab. Aya oge anu ditulis ku aksara Sunda Jawa (cacarakan). Nyebarna wawacan ku jalan disalin, tegesna ditulis ku leungeun. Osok aya jalma purah nyalin wawacan. Biasana manehna boga naskah, tuluy eta naskah disalin, salinanana dijual ka nu paresen. Sok sanajan tangtu leukleukna, tapi ku kitu teh kabuktian wawacan nyebar ka mana-mana. Ayeuna oge di pilemburan masih aya nu ngampihan naskah tulisan leungeun. Umumna mah eta naskah teh geus raruksak. Barang geus aya percitakan, loba wawacan anu dicitak, mimitina ku aksara Sunda Jawa, saterusna ku aksara Laten..

   Eusi carita wawacan teh rupa-rupa pisan, nurutkeun asal-usulna bisa digolongkeun jadi:

1.  Anu asalna tina Carita anu geus aya:

  1. Sastra Islam jeung sastra Jawa, Contona Wawacan: Amir Hamzah, Nabi Paras, Gusti Patimah Dibabarkeun, teu kasebut beunang saha-sahana. Wawacan  Sarebu Sawengi beunang R. Haji Muhamad Musa, Wawacan Angling Darma jeung Wawacan Batara Rama beunang RAA Martanagara; Wawacan Rengganis beunang R. Haji Abdussalam; Wawacan Dewa Ruci jeung Wawacan Mintaraga beunang MA Salmun
  2. Dongeng jeung Hikayat, contona Wawacan Lenggang Kancana beunang Tubagus Jayadilaga, Wawacan Purnama Alam beunang R. Suriuadireja, Wawacan Panji Wulung beunang R. Haji Muhamad Musa.
  3. Carita Pantun, contona Wawacan Lutung Kasarung beunang Engkawijaya, Wawacan Ciung Wanara jeung Wawacan Mundinglaya beunang MA Salmun.
  4. Babad contona Wawacan Babad Cirebon teu kasebut saha-sahana, WawacanBabad Sumedang beunang RAA Martanagara, Wawacan Dipati Ukur jeung Wawacan Dipati Imbanagara beunang MK Harjakusumah.

 

2. Anu asalna tina Gambaran Kahirupan di Masarakat

Contona: Wawacan Rusiah nu Geulis beunang Candrapraja, Wawacan Rusiah nu Kasep beunang Hodidjah Mahtum, Wawacan Secanala jeung Wawacan Ali Muhtar beunang R. Haji Muhamad Musa

 

Para pangarang wawacan aya nu kapanggih ngaranna, aya anu henteu. Dina wawacan anu mangrupa naskah tulisan leungeun, langka disebutkeun saha anu ngarangna. Dina wawacan anu dicitak mah, ditetelakeun saha anu ngarang eta wawacan

Daftar isi [sembunyikan]

1 Definisi Budaya

2 Pengertian Kebudayaan

3 Unsur-Unsur

4 Wujud dan komponen

4.1 Wujud

4.2 Komponen

5 Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan

5.1 Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)

5.2 Sistem Mata Pencaharian Hidup

5.3 Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

5.4 Bahasa

5.5 Kesenian

5.6 Sistem Kepercayaan

5.6.1 Agama Samawi

5.6.2 Agama dan Filosofi dari Timur

5.6.3 Agama Tradisional

5.6.4 "American Dream"

5.6.5 Pernikahan

5.7 Sistem Ilmu dan Pengetahuan

6 Perubahan Sosial Budaya

7 Penetrasi Kebudayaan

8 Cara Pandang Terhadap Kebudayaan

8.1 Kebudayaan Sebagai Peradaban

8.2 Kebudayaan sebagai "Sudut Pandang Umum"

8.3 Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi

9 Kebudayaan Diantara Masyarakat

10 Kebudayaan Menurut Wilayah

11 Referensi

12 Daftar pustaka

13 Lihat pula

14 Pranala luar