Bagian 3

Pada saat itu, nampak sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi dari jauh menuju ke tempat itu dan setelah dekat, terdengar suara orang yang datang ini berseru keras. "Siapa berani menghina Suhu?"

Yang datang itu bukan lain adalah Ci Sian! Seperti kita ketahui, Ci Sian ditolong oleh Pendekar Suling Emas Kam Hong, kemudian ketika mereka saling menceritakan pengalaman, Ci Sian bercerita kepada pendekar itu tentang diri Yu Hwi, calon isteri yang dicari-cari oleh pendekar itu. Mendengar ini, Kam Hong menjadi girang sekali dan dia minta kepada Ci Sian untuk mengantarkan dia menemui Yu Hwi di kaki Bukit Lembah Suling Emas. Selain ingin bertemu dengan Yu Hwi, juga Kam Hong tertarik sekali mendengar tentang lembah yang bernama Lembah Suling Emas itu dan ingin menyelidikinya.

Di sepanjang perjalanan, mulailah Kam Hong memberi petunjuk-petunjuk kepada Ci Sian dalam ilmu silat, terutama sekali untuk memberi dasar kepada dara ini agar dapat menerima ilmu-ilmu yang mereka dapatkan bersama dari catatan di tubuh kakek kuno! Bahkan Kam Hong mulai melatih Ci Sian cara memainkan suling, dan untuk memudahkan latihan, Kam Hong membuatkan sebuah suling bambu gading untuk dara itu.

Karena tempat pertapaan See-thian Coa-ong berada di antara perjalanan menuju ke Lembah Suling Emas, maka Ci Sian mengajak Kam Hong untuk singgah di tempat pertapaan kakek itu karena dia hendak menjenguknya. Ketika dari jauh dia melihat suhunya sedang diserang oleh seorang wanita, dan suhunya itu hanya mengelak dan menangkis tanpa membalas, Ci Sian terkejut dan marah sekali, maka berlarilah dia secepatnya ke tempat itu meninggalkan Kam Hong sambil berteriak-teriak marah.

Mendengar teriakan itu, Yu Hwi meloncat ke belakang dan See-thian Coaong berseru girang sekali, "Ci Sian....!"

Sementara itu, Ci Sian sudah mengenal Yu Hwi dan dia berkata, "Hemm, kiranya engkau yang menyerang Suhu? Suhu, mengapa dia menyerang Suhu?"

"Ci Sian, lupakah kau? Hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu dan Gurunya. Syukur engkau datang.. .."

"Ah, kiranya begitu? Bagus, aku sudah datang. Engkau Yu Hwi murid Ciu-beng Sian-li, bukan? Hayo, akulah lawanmu, jangan menghina orang tua!"

Yu Hwi tersenyum mengejek, memandang kepada dara yang cantik itu, cantik dan muda, kelihatan masih hijau maka tentu saja dia tidak gentar. "Bagus, memang engkau yang kucari untuk menentukan guru siapa yang lebih pandai. Aku menyerang Gurumu sebagai penggantimu, gara-gara engkau ketakutan dan melarikan diri setahun yang lalu!"

"Apa? Aku melarikan diri? Aihhh, engkaulah manusia yang paling sombong di dunia ini, yang paling tak tahu diri, kejam dan angkuh!" Ci Sian teringat betapa wanita ini telah meninggalkan Kam Hong dan menyia-nyiakan kesetiaan Kam Hong, membuat pendekar itu selama bertahun-tahun menderita.

Yu Hwi terbelalak, tidak mengerti mengapa dara remaja itu agaknya amat marah dan benci kepadanya! "Hemm, tidak perlu banyak mulut, kalau memang ada kepandaian, kau majulah!" tantangnya.

"Baik, baik! Aku akan melawanmu sampai selaksa jurus!" bentak Ci Sian dan dua orang wanita yang sama-sama cantik manis itu sudah saling terjang, entah siapa yang lebih dulu menyerang karena keduanya sudah sama-sama menyerang! Tentu saja mereka berdua juga terkejut dan kini mereka keduanya mengelak. Terjadilah kini pertempuran yang amat seru dan hebat, jauh bedanya dengan tadi ketika Yu Hwi menyerang See-thian Coa-ong karena kakek itu sama sekali tidak membalas. Kini kedua orang muda itu saling serang dengan dahsyatnya! See-thian Coa-ong sudah duduk bersila dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Kakek ini memang mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali nonton orang bertanding silat dan suka pula bertanding sendiri mengadu kepandaian, bukan bertanding didasari marah atau benci, melainkan semata- mata suka bersilat dan bertanding silat, seperti bertanding olah raga, lupa bahwa bertanding silat sama sekali tidak dapat disamakan dengan pertandingan olah raga atau catur umpamanya karena dalam Ilmu silat terdapat ancaman-ancaman maut yang mengerikan. Sedikit pun tidak ada sikap berat sebelah atau ingin membantu muridnya dalam hati Coa-ong, sungguhpun, seperti seorang botoh adu jago, dia ingin melihat muridnya menang. Baginya, kalah menang, luka atau mati sekalipun dalam adu ilmu silat, bukan apa-apa dan bukan hal yang dapat dibuat sesalan!

"Pertandingan silat itu sungguh hebat bukan main. Setelah menerima petunjuk-petunjuk dari kekasihnya, yaitu Cu Kang Bu, Ilmu kepandaian Yu Hwi meningkat hebat. Dia bersilat dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari subonya, yang memang sengaja dilatihnya dengan tekun untuk menghadapi murid See-thian Coa-ong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun. Di samping mainkan ilmu silat yang banyak ragamnya, yang kedudukan kakinya mengatur kedudukan Pat-kwa ini, Yu Hwi juga mempergunakan tenaga sin-kang untuk melancarkan pukulan dari Ilmu Kiam-to Sin-Ciang sehingga kedua tangannya itu seolah-olah berubah menjadi pedang dan golok! Hebatnya ilmu ini bukan kepalang!

Akan tetapi lawannya, Ci Sian, biar pun masih muda, akan tetapi memang sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat pula. Tidak percuma See-thian Coa-ong menggemblengnya selama empat tahun dan menurunkan Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang (Ilmu Silat Bumi Langit Ular Sakti) yang hebat. Ilmu ini adalah ciptaan See-thian Coa-ong sendiri, digabung dari Ilmu Silat Thian-te-kun dengan gerakan-gerakan binatang ular yang lincah! Karena dia sendiri merupakan seorang pawang ular yang sudah dijuluki Raja Ular, tentu saja dia mengenal baik gerakan-gerakan ular dan dia mengambil bagian-bagian yang amat lincah dari gerakan-gerakan ular yang bertarung dan menciptakan gerakan-gerakan ini menjadi ilmu silat digabungkan dengan Ilmu Silat Thian-te-kun.

Maka kini setelah Ci Sian mainkan Ilmu S ilat Sin-coa Thian-te ciang, gerakan-gerakannya amat aneh, lincah dan tidak menduga-duga sehingga Yu Hwi sendiri sampai menjadi kaget dan kagum. Akan tetapi, andaikata dara remaja ini tidak menerima petunjuk-petunjuk dari Kam Hong, tentu dia akan kalah menghadapi ilmu silat Yu Hwi yang lebih matang. Baiknya, latihan-latihan yang diberikan Kam Hong baru-baru ini telah membangkitkan sin-kang yang luar biasa dalam diri Ci Sian sehingga dia mampu mengimbangi pukulan-pukulan Kiam-to Sin-ciang dari lawan yang amat berbahaya itu. Maka terkejut dan kagumlah Yu Hwi ketika sambaran angin pukulan Kiam-to Sin-ciang darinya dapat terpental kembali oleh hawa yang keluar dari kedua tangan dara remaja itu ketika menangkisnya.

Bukan main serunya pertandingan antara dua orang gadis itu, sehingga Kam Hong sendiri yang nonton dari jauh merasa kagum. Tak disangkanya bahwa Yu Hwi, tunangannya yang bertahun-tahun tak pernah di jumpainya itu, kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan semakin cantik bahkan telah memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi dia juga kagum melihat Ci Sian, kagum dan bangga bahwa dara remaja itu ternyata mampu menghadapi Yu Hwi yang demikian lihainya! Dia melihat bakat yang amat baik pada diri Ci Sian dan mengambil keputusan untuk menurunkan Ilmu-ilmu yang mereka dapat dari tubuh jenazah kuno itu, karena Ci Sian juga berjasa dalam menemukan rahasia ilmu-ilmu itu.

Juga See-thian Coa-ong kegirangan bukan main menyaksikan pertandingan seru itu. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, seperti seorang anak kecil yang nonton adu jago atau adu jangkerik dan tidak dapat menahan emosinya, ikut menjotos jika melihat muridnya menyerang dan ikut mengelak kalau melihat ada pukulan menyambar ke arah muridnya. Sungguh menggelikan dan lucu sekali tingkah kakek yang gila tontonan adu silat ini!

Hanya seorang yang menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Orang ini bukan lain adalah Cu Kang Bu! Dia adalah seorang pendekar sakti dan tentu saja dengan mudah dia dapat mengikuti jalannya pertandingan dan maklum bahwa kekasihnya tidak kalah oleh lawannya. Akan tetapi dia melihat pula bahwa tidak mudahlah bagi kekasihnya untuk mengalahkan lawan, karena dara remaja itu memang lihai sekali, terutama memiliki dasar gin-kang dan sin-kang yang aneh dan kuat. Sebagai seorang yang sedang jatuh cinta dan tergila-gila, tentu saja dia merasa amat khawatir kalau-kalau kekasihnya itu terluka. Membayangkan Yu Hwi terluka mendatangkan rasa ngeri dalam hatinya, maka diam-diam dia lalu mengerahkan khi-kangnya dan bibirnya bergerak-gerak sedikit. Biarpun tidak ada suara yang keluar, namun nampaklah perobahan pada pertempuran itu!

Yu Hwi terkejut ketika tiba-tiba dia mendengarkan bisikan-bisikan di dekat telinganya. Dia tidak tahu suara siapa itu, karena hanya terdengar lirih berbisik-bisik seperti suara angin bermain pada daun-daun pohon, namun jelas sekali tertangkap olehnya dan ketika dia mendengar bahwa bisikan-bisikan itu merupakan petunjuk-petunjuk untuk gerakan-gerakannya selanjutnya, giranglah hatinya karena dia dapat menduga bahwa siapa lagi kalau bukan Kang Bu yang memberi petunjuk kepadanya? Maka dia lalu bergerak mengikuti petunjuk ini dan dalam beberapa jurus saja dia telah berhasil menampar pundak Ci Sian sehingga dara remaja ini terpelanting. Memang tidak tepat benar kenanya, akan tetapi setidaknya dia telah mampu mengenai tubuh lawan, maka dia mendesak lagi dengan penuh semangat sambil mentaati bisikan-bisikan yang memberi petunjuk itu!

Melihat ini, See-thian Coa-ong terkejut dan mengeluh, akan tetapi tiba-tiba dia merasa girang ketika dalam keadaan terdesak dan terhuyung, tiba-tiba saja kaki Ci Sian bergerak sedemikian rupa dan ujung sepatunya dapat mencium betis lawan, membuat Yu Hwi juga terhuyung! Kiranya dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba Ci Sian mendengar suara bisikan yang amat jelas, memberi petunjuk kepadanya dan dia pun tahu bahwa suara itu tentu suara Kam Hong, karena siapakah yang demikian saktinya untuk memberi petunjuk kepadanya? Suhunya tidak mungkin mau melakukan hal itu karena suhunya itu memang luar biasa "sportipnya", tidak mau berlaku curang. Dan memang dugaannya itu benar. Kam Hong amat khawatir menyaksikan keadaannya, apalagi ketika pendekar ini melihat seorang pria muda yang berdiri jauh di belakang Yu Hwi dan dia cepat mengheningkan cipta. Dia dapat merasakan getaran-getaran kuat datang dari pria itu, maka dia terkejut bukan main karena maklumlah dia bahwa pria itu amat lihai dan sedang mengirimkan suara dari jauh untuk membantu Yu Hwi! Maka, dia pun cepat mengerahkan khi-kang untuk membantu Ci Sian sehingga tanpa diduga-duga oleh Yu Hwi, Ci Sian yang kena ditampar pundaknya itu mampu membalas dan dapat menendang betis lawan.

Kini terjadi pertandingan yang semakin hebat. Gerakan-gerakan mereka menjadi semakin aneh, akan tetapi setiap serangan amat hebat dan ganas, menyimpang dari gerakan semula, akan tetapi hebatnya, masing-masing lawan dapat saja menghindarkan diri dan membalas pula dengan serangan yang tidak kalah aneh dan dahsyatnya! Kini See-thian Coa-ong berhenti menggerak-gerakkan kedua tangannya dan matanya terbelalak memandang ke arah pertempuran itu. Mulutnya ternganga karena dia melihat hal yang luar biasa sekali, yang hampir tak dapat dipercayanya. Dia seperti melihat betapa dua orang wanita itu berobah menjadi dua orang lain karena kini pertandingan itu berlangsung dengan hebatnya, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Muridnya itu sama sekali tidak lagi menggerakkan ilmu Sin-coa Thian-te-ciang lagi! Dan gerakan lawan muridnya itu pun amat anehnya!

Yu Hwi dan Ci Sian kini hanya bergerak menurutkan petunjuk bisikan-bisikan itu saja, dan ternyata dengan menurut petunjuk-petunjuk itu, mereka masing-masing dapat selalu menghindarkan diri dari serangan lawan yang amat dahsyat, maka mereka lalu menurut secara membuta, maklum bahwa mereka masing-masing dituntun oleh petunjuk-petunjuk yang dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi daripada mereka!

Cu Kang Bu merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian dara remaja itu. Akan tetapi dia segera melihat Kam Hong berdiri jauh di belakang Ci Sian dan maklumlah dia bahwa ada orang pandai yang melakukan hal yang sama dengan dia, yaitu membantu dara remaja itu dengan melalui Ilmu Coa-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Dia merasa penasaran dan makin memperhebat petunjuknya, akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa dara remaja itu selalu dapat menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya! Juga Kam Hong menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang membantu Yu Hwi itu benar-benar sakti dan luar biasa sekali!

Tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu dan membuat dua orang wanita yang sedang bertanding itu terkejut dan meloncat mundur. Tiba-tiba saja di situ sudah berdiri Cu Han Bu yang tadi mengeluarkan teriakan nyaring, sikapnya tenang, akan tetapi suaranya mengandung penuh wibawa ketika dia berkata. "Hentikan semua pertandingan bodoh ini!"

Semua orang memandang kepada pendekar ini, seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana, bertubuh tegap dan sedang, rambutnya sudah banyak putihnya dan rambut itu digelung ke atas, tidak dikuncir seperti pada umumnya di jaman itu. Inilah Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas), tokoh pertama dari Lembah Suling Emas, dan biarpun pakaian dan sikapnya sederhana, namun sungguh dia berwibawa sekali sehingga Kam Hong yang juga sudah menghampiri tempat itu memandang kagum. Dua orang itu, Cu Han Bu dan Cu Kang Bu, benar-benar merupakan dua orang pria yang hebat, dengan sinar mata yang mencorong membayangkan tenaga dalam yang amat hebat.

Sementara itu, See-thian Coa-ong juga terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki gagah lain, yaitu Cu Kang Bu dan Kam Hong. Cepat dia bangkit berdiri dan menghampiri Cu Han Bu, memandang penuh perhatian lalu menjura dengan hormat.

"Harap maafkan, kalau mataku yang sudah lamur ini tidak salah lihat, apakah saya berhadapan denga Kim-siauw San-kok-cu (Majikan Lembah Gunung Suling Emas) yang berjuluk dan bernama Kim-kong-sian Cu Han Bu?"

Cu Han Bu memandang kepada kakek itu dengan sikap dingin akan tetapi cukup hormat. Dan membalas penghormatan kakek itu dan berkata, suaranya cukup ramah. "Harap See-thian Coa-ong tidak terlalu sungkan. Saya memang Cu Han Bu dan dia itu adik saya Cu Kang Bu." Dia menuding ke arah adiknya agaknya yang tinggi besar dan gagah perkasa itu.

"Aihh, Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati)? Sungguh merupakan penghormatan besar bagiku dapat berjumpa dengan tokoh-tokoh besar Lembah Suling Emas!" kata See-thian Coa-ong dan Kang Bu membalas penghormatan orang dengan sikap bersahaja. Mendengar semua ini, Kam Hong menjadi semakin kagum. Dua orang itu memang hebat, pikirnya dan semakin tertariklah dia mendengar bahwa mereka berdua itu adalah majikan-majikan atau tokoh-tokoh Lembah Suling Emas.

"Coa-ong, kami sudah mendengar akan persaingan seperti kanak-kanak antara engkau dan Toaso kami."

"Wah, wah.... Cui-beng Sian-li memang hebat dan bersemangat sekali, telah membuat perlumbaan yang menggembirakan, sayang dia tidak hadir.... kata kakek itu tersenyum.

"Dia sudah pergi dan tidak berada di daerah lembah lagi, Coa-ong. Oleh karena itu, habislah sudah semua perjanjian dan perlumbaanmu dengan dia. Kami harap agar engkau suka menghentikan persaingan bodoh itu. Engkau dan Toaso telah melakukan permainan berbahaya, sehingga murid-murid diadu, bahkan engkau telah minta bantuan orang pandai. Perbuatanmu itu dapat membuahkan permusuhan-permusuhan!" kata Cu Han Bu dengan suara menegur dan dia menoleh dan memandang ke arah Kam Hong yang sejak tadi memandang kepada mereka dan kepada Yu Hwi yang kini berdiri dekat sekali dengan Kang Bu.

"Minta bantuan orang pandai? Ah, aku tidak minta bantuan siapapun juga....!" See-thian Coa-ong berseru dan kini dia pun memandang kepada Kam Hong yang berdiri dekat Ci Sian dengan heran. Melihat betapa Ci Sian nampaknya akrab dengan pemuda berpakaian sastrawan itu, dia menegur, "Ci Sian, muridku, siapakah, temanmu itu?"

Kini Kam Hong melangkah maju dan dengan penuh hormat dia menjura kepada See-thian Coa-ong dan kepada dua orang pendekar sakti itu. Suaranya halus dan tenang ketika dia berkata. "Harap Sam-wi tidak salah mengerti. Sesungguhya saya tidak hendak mencampuri urusan Locianpwe ini, dan kedatangan saya di sini adalah untuk urusan pribadi. Maafkan saya!" Dia lalu melangkah maju dan berdiri menghadapi Yu Hwi, memandang dengan tajam sampai beberapa lama. Yu Hwi melangkah mudur dan tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan Kang Bu yang menggenggam tangan itu.

"Moi-moi, kuharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka ikut bersamaku." Kam Hong berkata dengan singkat saja karena dia tidak ingin banyak bicara dengan Yu Hwi di depan begitu banyak orang asing.

Wajah Yu Hwi sebentar pucat sebentar merah memandang kepada Kam Hong, kemudian dia menoleh kepada Kang Bu, memegang tangan yang besar itu makin kuat dan dia memandang lagi kepada Kam Hong, lalu berkata suaranya lirih namun tegas, "Aku tidak mau pergi bersamamu!"

Kam Hong mengerutkan alisnya. Tidak mungkin dia bicara banyak di depan banyak orang yang semua memandang kepadanya dan kepada Yu Hwi itu, karena yang akan dibicarakan adalah urusan pribadi. Dia merasa heran mengapa Yu Hwi tidak mau mengerti akan hal ini dan mengapa gadis itu masih bersikap begitu keras kepala seperti seorang anak kecil saja.

"Dinda Yu Hwi, bertahun-tahun aku mencarimu dan setelah kita bertemu, mengapa kau bersikap begini? Aku hanya ingin bicara denganmu, dan orang-orang tua di rumah menanti-nanti."

"Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau bicara lagi tentang urusan kita!" Yu Hwi berkata di dalam suaranya terkandung isak.

"Hwi-moi...." Kam Hong hendak membujuk. Betapapun juga, baik perjodohan itu dilanjutkan atau dibatalkan, mereka harus dibicarakan dengan baik-baik di depan para orang tua yang menjodohkan mereka.

Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring, besar dan kasar akan tetapi mengandung keterbukaan. "Memaksa seseorang yang tidak mau apalagi kalau yang dipaksa itu seorang wanita, merupakan perbuatan rendah dan pengecut!"

Kam Hong yang tadinya memandang kepada Yu Hwi, perlahan-lahan mengalihkan pandangannya dan kini dia memandang kepada wajah yang gagah perkasa itu. Sejenak dua pasang mata yang mencorong seperti mata naga-naga sakti itu saling pandang, seolah-olah dua orang pendekar sakti ini sudah saling serang melalui sinar mata mereka dan keduanya tidak ada yang mau tunduk, keduanya memiliki kekuatan pandang mata yang luar biasa. Kam Hong tersenyum tenang dan suaranya juga halus ketika dia berkata, "Mencampuri urusan pribadi orang lain merupakan perbuatan yang lebih rendah lagi selain tidak sopan sama sekali."

Kembali suasana hening menegangkan setelah terdengar kata-kata yang sama menusuknya ini. Kang Bu nampak terkejut dan dia memandang kepada kekasihnya yang berdiri di dekatnya, lalu bertanya lirih, "Yu Hwi, diakah orangnya....?" Pertanyaan Yang hanya dimengerti oleh mereka berdua dan Yu Hwi mengangguk. Melihat kenyataan, wajah Kang Bu menjadi merah sekali dan tahulah dia bahwa dia yang berada di fihak salah. Pria yang tampan dan lembut berpakaian sastrawan ini kiranya adalah tunangan Yu Hwi! Tentu saja, dia, sebagai orang luar, sama sekali tidak berhak mencampuri pembicaraan atau urusan antara dua orang tunangan! Kang Bu adalah seorang gagah, maka kini dia merasa terpukul dan tidak berani bicara lagi, hanya memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata tak senang dan mengepal tinjunya yang besar, tidak tahu harus berkata apa atau bertindak apa!

Sejak tadi, Ci Sian memperhatikan kesemuanya itu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Kam Hong dan menyesalkan sikap Yu Hwi yang demikian keras kepala. Apa sih hebatnya perempuan ini sehingga berani bersikap demikian angkuh terhadap Kam Hong? Menurut penilaiannya, Yu Hwi belum pantas menjadi calon isteri Kam Hong, sama sekali belum pantas! Lalu dia melihat sikap Kang Bu, melihat betapa Kang Bu dan Yu Hwi saling berpegang tangan dan mengertilah dara ini. Hatinya terasa panas sekali dan tiba-tiba dia terkekeh.

Suara ketawa yang halus nyaring ini tentu saja seperti halilintar memecah kesunyian yang menegangkan itu sehingga semua orang memandang kepadanya. Ci Sian berjebi, bibirnya yang kecil mungil dan merah itu meruncing dan dia memandang kepada Yu Hwi dan Kang Bu, lalu berkata dengan suara mengejek sekali. "Laki-laki yang merebut calon isteri orang dan perempuan yang sudah bertunangan masih bergandeng tangan dengan laki-laki lain, sungguh merupakan pasangan yang setimpal sekali!"

Bukan main hebatnya ejekan ini yang ditujukan kepada Kang Bu dan Yu Hwi.

Wajah Yu Hwi sampai menjadi pucat dan wajah Kang Bu menjadi merah bukan main dan tangan mereka yang saling bergandengan itu tiba-tiba terlepas.

"Ci Sian....!" Kam Hong menegur karena dia merasa betapa ejekan itu melampaui batas, terlalu kasar dan menusuk perasaan walaupun dia mengerti bahwa dara itu melakukan ejekan karena kasihan kepadanya dan marah kepada Yu Hwi dan pria gagah perkasa itu.

"See-thian Coa-ong...." terdengar suara Kang Bu dalam dan berat, menggetar dan membuat jantung yang mendengarnya ikut tergetar, "Kalau engkau tidak mampu menghajar mulut muridmu, biarlah aku yang akan menghajarnya. Dia menghina orang keterlaluan!" Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak ke depan, dan dia sudah menampar ke arah Ci Sian! Betapa pun Ci Sian memiliki, gerakan cepat, namun dia sama sekali tidak mampu mengelak lagi dan hanya terbelalak. Pada saat itu, See-thian Coa-ong meloncat dan menangkis.

"Desss. ...!" Tubuh kakek itu terbanting keras ke atas tanah sampai bergulingan!

"Hemm, engkau malah melindungi muridmu yang kurang ajar itu?" kata pula Kang Bu dan kembali dia hendak menyerang Ci Sian, kini bahkan meloncat ke depan.

Akan tetapi tahu-tahu di depannya sudah berdiri Kam Hong. Kang Bu sengaja tidak mempedulikan orang ini dan tangan kirinya menampar ke arah Ci Sian yang lari berlindung ke belakang Kam Hong. Kam Hong berkata, "Sabarlah, Sobat!" Dan dia pun menangkis.

"Dukkk! " Dua lengan beradu dan akibatnya keduanya bergetar, akan tetapi tubuh Kam Hong sama sekali tidak terguncang dan dia memandang dengan sinar mata dingin.

"Hemm, tadi pun engkau sudah mengajakku main-main, apakah artinya ini? Dara remaja itu tidak salah karena apa yang dikatakan itu adalah kenyataan belaka. Apakah benar-benar engkau hendak mencampuri urusan antara dua orang yang sejak kecil sudah dijodohkan untuk menjadi calon suami isteri?" kata Kam Hong sambil memandang tajam.

Kang Bu merasa serba salah. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur, tidak mau berpura-pura karena sopan santun, dan dia suka bertindak atau mengucapkan apa yang terkandung di dalam hatinya. "Engkau tentu yang bernama Kam Hong, tunangan Yu Hwi, bukan? Nah, terus terang saja, aku sudah mendengar tentang engkau dan ketahuilah bahwa Yu Hwi tidak suka menjadi tunanganmu, dan kami berdua saling mencinta. Aku akan melindunginya, kalau perlu mempertaruhkan nyawaku untuk itu!"

"Hemm, caramu kasar sekali, sobat!" Kam Hong mencela.

"Tidak peduli, aku sudah bicara terus terang! Kalau engkau hendak memaksa dia, nah, biarlah kita memperebutkan dia melalui kepalan atau ujung senjata. Kita adalah laki-laki, tidak perlu kiranya banyak bicara!" Setelah berkata demikian, Kang Bu memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi. Tubuh Cu Kang Bu memang tinggi besar dan kokoh kuat, dan kini dia berdiri dengan tubuh tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya, agak ditekuk sikunya dan nampak jari-jari tangannya menggetar, tanda bahwa tenaga sin-kang dari dalam pusarnya telah mengalir ke seluruh tuhuh, siap untuk dipergunakan menghadapi lawan! Wajahnya membayangkan kemarahan dan kejujuran, kasar namun terbuka sesuai dengan wataknya.

Sebaliknya, Kam Hong sejak kecil telah terdidik dengan budi pekerti dan sopan santun, juga dia telah mendalami kitab-kitab Su-si Ngo-keng, juga pelajaran-pelajaran tentang kebatinan dan kesusastraan. Maka sikap Cu Kang Bu itu terasa amat kasar dan tidak sopan. baginya, sungguhpun sebagai seorang yang berjiwa pendekar dia amat menghargai kejujuran orang itu.

Melihat betapa kekasihnya itu telah memasang kuda-kuda dan menantang Kam Hong berkelahi, hati Yu Hwi merasa khawatir juga. Memang dia tidak mau dijodohkan dengan Kam Hong, akan tetapi hal ini bukan karena dia membenci Kam Hong, melainkan karena kekecewaannya. Dahulu dia tergila-gila kepada Siluman Kecil yang dalam hal ilmu kepandaian jauh lebih tinggi daripada tingkat Siauw Hong atau Kam Hong, maka kenyataan bahwa dia dijodohkan dengan pemuda ini sedangkan dia jatuh cinta kepada Siluman Kecil amat mengecewakan hatinya. Andaikata dia dulu tidak jatuh cinta lebih dulu kepada Siluman Kecil yang dikaguminya, belum

tentu dia akan menolak perjodohan yang ditentukan oleh orang-orang tua itu. Dan kini, dia telah melakukan pilihan hatinya lagi, yaitu kepada Cu Kang Bu, pria yang dianggapnya amat gagah perkasa. Maka melihat betapa Kang Bu menantang Kam Hong, dia merasa khawatir dan dia tidak menghendaki Kang Bu bertempur melawan Kam Hong, yang bagaimanapun juga tidak mempunyai kesalahan apa-apa kepadanya. Wajarlah kalau Kam Hong yang ditunangkan dengan dia kini datang mencarinya dan mengajaknya pulang.

"Sam-susiok....!" Dia berteriak sambil mendekati Kang Bu dan menyentuh lengannya. "Jangan berkelahi....!"

Mendengar ini, Kam Hong menjadi terheran-heran. "Hemm, Susioknya, ya?" katanya dengan suara dingin karena dianggapnya amat aneh dan janggal kalau kini tunangannya itu jatuh cinta dengan susioknya sendiri. Bagi dia yang telah memiliki dasar pelajaran tata susila, seorang susiok (paman guru) tiada bedanya dengan seorang paman sendiri, maka tidaklah pantas kalau terjadi hubungan cinta antara seorang keponakan dan seorang pamannya sendiri.

Mendengar kata-kata yang nadanya mencela atau mengejek itu, Cu Kang Bu memandang kepada tunangan kekasihnya dengan sinar mata mencorong dan dia pun berkata dengan suara lantang. "Benar, dia adalah murid Toaso-ku! Dia adalah murid keponakanku, akan tetapi kami saling mencinta dan kami hendak menikah. Hayo, kalau engkau memang seorang jantan, hadapi aku sebagai laki-laki

sejati!"

Kam Hong tersenyum. "Hemm, lagaknya seperti seorang jagoan tukang pukul di pasar saja, padahal, kalau aku tidak keliru mendengar tadi, engkau adalah seorang tokoh besar dari Lembah Suling Emas yang berjuluk Ban-kin-sian. Tidak tahu apa hubungannya lembah tempat tinggalmu itu dengan Suling Emas! Kalau tokohnya hanya seorang laki-laki yang sekasar engkau, aku menyangsikan apakah suling yang kalian pakai sebagai nama itu benar-benar terbuat daripada emas, ataukah hanya tembaga yang diselaput emas?"

Ucapan Kam Hong ini selain hendak menyelidiki tentang Lembah Suling Emas, juga sebagai ejekan karena hatinya mulai panas melihat orang menantangnya tanpa ada perkaranya, hanya karena orang ini mengaku cinta kepada Yu Hwi.

"Engkau laki-laki cerewet seperti nenek-nenek! Hayo maju kalau engkau berani?" Cu Kang Bu yang tidak pandai bicara itu semakin marah. Akan tetapi pada saat itu, Cu Han Bu sudah melangkah maju dan menjura ke arah Kam Hong. Gerakan kedua tangannya memberi hormat itu mendatangkan suara bersuit nyaring sehingga diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan dia sudah siap menjaga diri dengan mengangkat kedua tangannya pula ke depan dada. Akan tetapi sambaran angin itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan hal ini membuat Kam Hong kagum bukan main. Hanya orang yang sudah amat kuat sin-kangnya saja mampu menguasai gerakan angin tenaga yang keluar dari gerakan tangan semacam itu, maka dia mulai memperhatikan orang ini. Seorang pria yang usianya empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian sederhana sekali seperti seorang petani, bertubuh sedang dan tegap,

rambutnya tidak dikuncir seperti kebiasaan orang-orang pada waktu itu melainkan digelung ke atas dan di kanan kiri kepalanya sudah terdapat banyak uban, akan tetapi sepasang matanya yang bersinar lembut itu mengandung wibawa yang dingin dan kadang-kadang mencorong seperti mata harimau.

"Perkenankan saya Cu Han Bu mintakan maaf terhadap sikap adik saya Cu Kang Bu. Maklumlah, orang yang sedang jatuh cinta kadang-kadang berkurang kesadarannya dan mudah marah kalau orang yang dicintanya terancam atau tersinggung. Akan tetapi, Saudara tadi menyinggung-nyinggung tentang Lembah Suling Emas. Ketahuilah bahwa kami keluarga lembah, sejak turun-temurun adalah orang-orang yang menjunjung tinggi keluarga Suling Emas yang menjadi nenek moyang kami, maka Saudara yang telah berani

meremehkan keluarga Suling Emas, agaknya memiliki kepandaian yang berarti. Maka, biarlah sekarang adikku Cu Kang Bu mencoba kepandaianmu, bukan untuk membela kekasih, melainkan untuk membela nama Lembah Suling Emas. Tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya."

Tadinya Kam Hong sudah hendak minta maaf dan tidak melayani tantangan itu, akan tetapi tak disangkanya sikap sopan dan hormat dari orang itu ditutup dengan ucapan yang kembali mengobarkan kemarahannya. Kalimat "tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya" merupakan tantangan yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Maka tersenyumlah dia, senyum yang pahit.

"Jadi kalian adalah keturunan Suling Emas? Hemm, agaknya keluarga kalian terlalu memandang tinggi kepandaian sendiri, maka mudah saja menantang semua orang. Baiklah, kalau urusannya untuk mempertahankan nama dan menantang pibu, aku menerimanya, asal bukan untuk memperebutkan wanita!" Sambil berkata demikian, dia mengerling ke arah Yu Hwi yang menjadi merah mukanya dan

gadis ini pun lalu melangkah mundur, membiarkan kekasihnya menghadapi tunangannya yang sah itu.

Dua orang pendekar itu sudah saling berhadapan. Kang Bu tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, sedangkan Kam Hong berdiri biasa saja, namun seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan bergetar. Tiba-tiba Ci Sian melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, "Nanti dulu, Paman Kam Hong!"

Suasana yang amat tegang itu menjadi kendur kembali dan semua mata ditujukan kepada dara lincah itu yang telah berani menghentikan dua orang sakti yang hendak mengadu ilmu. "Paman, kita harus berhati-hati menghadapi mereka ini! Orang-orang yang telah berani menggunakan nama orang lain sebagai nenek moyangnya tentu merupakan orang-orang yang tidak boleh dipercaya! Paman hanya seorang diri saja sedangkan mereka ini begini banyak. Jangan, jangan Paman akan dikeroyok nanti, maka sebaiknya diadakan perjanjian lebih dulu. He, orang Lembah Suling Emas! Bagaimana kalau kalian bersumpah dulu bahwa kalian tidak akan mengeroyok Paman Kam Hong?"

Mendengar ucapan ini, See-thian Coa-ong berseru, "Aihh, Ci Sian..... apakah engkau mau mati? Engkau tidak mengenal siapa Kim-siauw-kok-san-cu dan keluarganya! Mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang tak pernah terkalahkan, yang gagah perkasa dan yang tidak pernah mencampuri urusan dunia, nama mereka bersih laksana air gunung!"

Tiba-tiba terdengar suara, "Han-ko, apakah yang telah terjadi?" Dan belum juga gema suara itu lenyap, orangnya sudah nampak di situ seolah-olah dia pandai menghilang saja! Inilah Cu Seng Bu, orang kedua dari keluarga Lembah Suling Emas dan tokoh ini memang memiliki kelebihan diantara saudara-saudaranya dalam hal gin-kang. Gerakannya amat cepat sehingga tadipun suaranya telah datang dan masih bergema ketika tubuhnya tahu-tahu telah berada di situ tanpa nampak bayangan!

Melihat ini, See-thian Coa-ong yang tadi kata-katanya terputus, kini melanjutkan kata-kata yang ditujukan sebagai teguran kepada muridnya itu, "Ah, ah.... kini lengkaplah sudah dan mataku yang memang hari ini untung besar, Ci Sian, lihatlah baik-baik dan kenalilah orang-orang sakti di masa ini. Pemilik Lembah Suling Emas yang pertama itu adalah pendekar Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas), dan yang kedua dan baru datang ini adalah Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan), kemudian yang ketiga dan tinggi besar itu adalah pendekar Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Mereka adalah tiga saudara sakti majikan-majikan Lembah Suling Emas, maka jangan kau bicara sembarangan, mana mungkin akan terjadi pengeroyokan?"

"Ah, Suhu hanya terkesan oleh julukan-julukan! Biarpun julukannya dewa, apa dikira dewa tidak ada yang jahat? Buktinya tadi susiok yang berpacaran dengan murid keponakannya sendiri hendak membunuhku!"

"Ci Sian, sudahlah. Aku percaya bahwa mereka tidak terlalu pengecut untuk mengeroyokku. Pula, siapa yang takut dikeroyok?"

"Bagus!" Ci Sian bertepuk tangan memuji. "Itu baru suara seorang gagah sejati! Hayo, kalian penghuni-penghuni Lembah Suling Emas, kalian keroyoklah Paman Kam Hong kalau kalian memang tebal muka!"

"Bocah bermulut kotor!" Tiba-tiba Yu Hwi membentak dan melotot kepada Ci Sian. "Daripada banyak mulut, mari kita lanjutkan pertempuran tadi sampai seorang diantara kita mampus dan tidak dapat mengoceh lagi!"

"Yu Hwi, kau mundurlah dan jangan layani anak-anak. Sobat Kam Hong, benar seperti yang dikatakan oleh Han ko tadi, mari kita saling menguji kepandaian untuk menebus kelancanganmu merendahkan keluarga kami tadi," kata Cu Kang Bu sambil mendorong ke kasihnya mundur dengan halus. Suaranya kini tenang dan sabar dan hal ini dianggap berbahaya oleh Kam Hong, maka dia pun tidak berani memandang rendah.

"Silakan, aku sudah siap sejak tadi."

"Kang-te (Adik Kang), hati-hatilah, lawanmu ini bukan orang lemah," kata Cu Seng Bu kepada adiknya.

"Aku mengerti, Seng-ko," jawab adiknya.

Dua orang pendekar itu segera saling mendekati dan semua orang memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang, karena betapapun tenang sikap mereka berdua, semua maklum bahwa di balik pibu ini terdapat semacam "perebutan" atas diri Yu Hwi! Yu Hwi sendiri merasakan hal ini dan wajahnya menjadi merah sekali, jantungnya berdebar.... girang dan bangga! Dia merasa bagaikan seorang puteri yang diperebutkan oleh dua orang pahlawan perkasa seperti yang terjadi dalam dongeng! Memang naluri kewanitaan selalu mendorong perasaan hati wanita untuk condong ke arah ingin dicinta, ingin dikagumi, ingin dimanja, ingin diperhatikan dan tentu saja kesemuanya itu memuncak apabila dirinya diperebutkan! Dan dia tidak merasa khawatir karena dia maklum benar akan kelihaian kekasihnya, Cu Kang Bu. Dia sendiri sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini sehingga dia sendiri, yang sejak kecil telah menerima latihan ilmu-ilmu silat tinggi seperti tidak mampu apa-apa berhadapan dengan Cu Kang Bu. Dan apakah kepandaian Kam Hong? Dahulu, ketika dia mengenalnya sebagai Siauw Hong, kepandaian pemuda itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sebelum dia menjadi murid Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, bahkan mungkin dia masih unggul sedikit. Andaikata sekarang kepandaian pemuda itu sudah meningkat maju sekalipun, rasanya tidak mungkinlah kalau akan mampu menandingi ilmu kepandaian Cu Kang Bu yang dia anggap tidak akan kalah oleh Pendekar Siluman Kecil sekalipun!

Kam Hong mengerti bahwa lawannya ini merupakan seorang yang memiliki kepandaian tinggi, merupakan lawan terpandai yang pernah dijumpai dan merupakan orang pertama yang baik sekali untuk dipakai menguji ilmu-ilmu yang baru saja dipelajarinya secara tekun sekali dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno, selama lima tahun di tempat sunyi itu.

"Majulah!" katanya tenang sambil menghadapi dan menatap wajah lawan.

"Tidak, aku mewakili keluarga Lembah Suling Emas sebagai fihak tuan rumah, engkau mulailah, sobat." jawab Kang Bu.

Kam Hong tersenyum. Kalau dia tidak ingat lagi tentang urusan Yu Hwi, tentu dia akan merasa kagum dan suka kepada keluarga yang sikapnya gagah ini. "Nah, sambutlah seranganku!" katanya lalu tubuhnya sudah bergerak ke depan. Dia mulai dengan tamparan tangan kirinya yang dilakukan dengan kecepatan luar biasa sehingga tahu-tahu tangan pendekar ini sudah menyambar ke arah leher lawan.

Sebelum dia mempelajari ilmu-ilmu yang mujijat dari catatan di tubuh jenazah kuno, sebetulnya Kam Hong sudah memiliki kepandaian yang luar biasa. Seperti diketahui, di waktu dia masih remaja telah digembleng oleh seorang tokoh besar dunia persilatan, yaitu Sai-cu Kai-ong yang menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi Khong-sim Sin-ciang sebagai ilmu warisan dari Khong-sim Kai-pang kepadanya, di samping Ilmu Sai-cu Hok-ang yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang pada suara sehingga dapat mengeluarkan suara gerengan singa yang melumpuhkan lawan yang kurang kuat sin-kangnya. Kemudian dia digembleng oleh Sin-siauw Seng-jin, yaitu kakek keturunan pelayan keluarga Suling Emas yang menjadi pemegang pusaka ilmu-ilmu Suling Emas, dan kakek ini dengan penuh kesungguhan menurunkan semua ilmu-ilmu itu kepada Kam Hong sebagai keturunan terakhir keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas. Dari mendiang Sin-siauw Seng-jin ini Kam Hong mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa hebatnya,

yaitu Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hong-hoat, Kim-kong Sin-in, dan Lo-hai San-hoat. Dengan ilmu-ilmu silat yang amat tinggi itu saja sebetulnya dia telah merupakan seorang tokoh yang akan sukar dicari tandingannya, apalagi setelah dia menemukan rahasia peninggalan jenazah kuno pembuat suling emas itu! Kim-siauw Kiam-sut merupakan ilmu pedang yang memang khusus diciptakan oleh pembuat suling itu untuk dimainkan dengan suling emas buatannya sehingga merupakan ilmu pedang yang luar biasa dahsyatnya, sedangkan ilmu meniup suling yang diajarkan melalui catatan rahasia di tubuhnya itu pun merupakan ilmu tinggi yang memperkuat khi-kang hebat pula.

Cu Kang Bu adalah seorang pemuda yang sejak kecil tekun mempelajari ilmu-ilmu warisan keluarganya, ilmu-ilmu silat kuno simpanan yang jarang dilihat di dunia persilatan. Dalam keluarganya, antara kakak beradik yang tiga orang itu, kiranya Cu Han Bu yang lebih tinggi setingkat kepandaiannya, akan tetapi mereka memiliki keistimewaan masing-masing dan Cu Kang Bu terkenal dengan kekuatan tubuhnya yang hebat sehingga dia dijuluki Ban-kin-sian atau Dewa Bertenaga Selaksa Kati, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Biarpun dia merupakan seorang pemuda perkasa yang kasar dan jujur, namun dia bukanlah orang bodoh dan dia tidak memandang rendah lawan karena dia dapat menduga bahwa bekas tunangan kekasihnya ini bukan seorang yang lemah.

Maka begitu melihat tamunya sudah mulai menyerang dengan tamparan tangan kiri yang menyambar cepat kearah lehernya, dia pun sengaja mengerahkan tenaganya yang besar pada lengan kanan dan menangkis sambil membuat gerakan memutar. Maksudnya adalah untuk mengadu tenaga, dan kekuatan yang ditimbulkan oleh lengan yang diputar itu amat dahsyat, dapat mematahkan tulang lengan lawan yang ditangkisnya. Pendeknya dia mengandalkan kekuatannya untuk mengadu tenaga dan mengalahkan lawan dalam segebrakan saja atau setidaknya dia akan dapat mengukur sampai di mana kekuatan Kam Hong.

Melihat tangkisan kasar ini, Kam Hong tersenyum dan tahulah dia apa yang dikehendaki oleh lawan. Dengan tenang dia melanjutkan tamparannya tanpa mempedulikan tangkisan itu.

"Plakk!"

Tangkisan itu keras dan kuat bukan main. Lengan kanan Cu Kang Bu yang menangkis itu seolah-olah berobah menjadi tongkat baja yang keras dan kuat, yang bukan hanya akan dapat mematahkan tulang, bahkan senjata besi pun kiranya akan dapat dibikin patah atau melengkung. Akan tetapi, ketika lengan itu bertemu dengan lengan Kam Hong, wajah Cu Kang Bu berobah, matanya terbelalak karena dia merasa betapa lengannya yang keras bertemu dengan benda yang lunak dan lentur sehingga lengannya itu membalik seolah-olah sepotong besi memukul karet saja! Mengertilah dia dengan kaget bukan main bahwa lawannya telah memiliki tenaga sin-kang yang amat tinggi tingkatnya, yang mampu mempergunakan tenaga lemas sedemikian rupa sehingga, di balik kelunakan itu

terdapat kekuatan dan keuletan yang amat ampuh sehingga dia tidak mungkin lagi dapat mengandalkan kekuatan tenaga besar.

"Bagus!" pujinya dan dia pun kini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya beruntun dan setiap pukulan mengandung hawa pukulan dahsyat, juga kedua tangan yang memukul itu berobah-robah, kadang-kadang terkepal, kadang-kadang terbuka jari-jari tangannya, sedangkan dari kedua tangan itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang keras, kadang-kadang lemas, terasa hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin!

"Hemmm....!" Kam Hong berseru kaget dan juga kagum. Dia memang sudah menyangka akan kelihaian lawan, akan tetapi apa yang diperlihatkan lawan dalam serangkaian serangan ini benar-benar merupakan ilmu yang amat tinggi dan berbahaya. Maka dia pun lalu cepat menyambutnya dengan mainkan ilmu silat tangan kosong Khong-sim Sin-ciang. Ilmu silat warisan dari Khong-sim Kai-pang ini mengandalkan kepada kekosongan untuk melawan yang berisi, atau mengandalkan keluwesan menghadapi kekasaran, mengandalkan kelembutan menghadapi kekerasan. Karena lawannya menyerang dengan kekerasan, maka yang paling tepat baginya untuk menghadapi serbuan itu adalah Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang itulah. Dan memang sesungguhnya, semua serbuan itu seolah-olah tenggelam tak berbekas, semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis dengan mudah sehingga dalam serangkaian serangan yang tidak kurang dari dua puluh jurus banyaknya, Cu Kang Bu sama sekali tidak berhasil mengenai tubuh lawannya.

Tiba-tiba Cu Kang Bu berseru nyaring dan seruan itu melengking seperti suara suling! Kam Hong terkejut bukan main. Itulah suara lengkingan yang didasari khikang yang mirip dengan yang dipelajarinya, hanya tingkatnya masih belum begitu tinggi, namun sudah tentu akan dapat menggetarkan perasaan orang yang kurang kuat sin-kangnya jika diserang oleh suara ini. Kang Bu melengking dan terus menubruk, kini gerakan-gerakannya seperti seekor harimau, kedua lengannya juga ditekuk di bagian siku, pergelangan tangan dan buku-buku jari, persis menyerupai cakar harimau. Itulah semacam Houw-kun (Ilmu Silat Harimau) yang hebat, karena kalau Ilmu Silat Harimau itu biasanya mengandalkan tenaga otot dan jari-jari terlatih saja, kini didasari tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga sebelum "cakaran" datang lebih dulu telah ada hawa pukulan yang menyerang lawan dan hawanya amat panas sehingga dari kedua tangan yang membentuk cakar harimau itu mengepul uap putih!

Kam Hong maklum akan lihainya Ilmu Silat Harimau yang aneh dan lain daripada yang lain itu, sementara itu suara melengking-lengking masih kadang-kadang terdengar dari kerongkongan lawan yang mengiringi setiap tubrukan atau cakaran tangan. Melihat gerakan Cu Kang Bu, lawan yang kurang kuat sin-kangnya tentu akan melihat seolah-olah pemuda tinggi besar itu telah benar-benar berobah menjadi seekor harimau yang amat kuat dan ganas! Kam Hong lalu mengerahkan tenaga dalam pusarnya dan ketika dia menggunakan khi-kang melalui tenggorokan, terdengarlah gerengan singa yang menggetarkan tanah di sekeliling tempat itu! Itulah Sai-cu Ho-kang, ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong, akan tetapi karena tenaga khi-kang di dalam diri Kam Hong sudah jauh maju setelah dia mempelajari ilmu meniup suling dari ilmu rahasia jenazah kuno, maka kekuatannya sudah sedemikian hebatnya sehingga kalau kalau Sai-cu Kai-ong sendiri mendengarnya dia tentu akan merasa terkejut dan heran. Hebatnya ilmu ini adalah hawa suara itu dapat dipusatkan dan diarahkan kepada yang hendak diserang saja, sehingga kalau lain orang di situ hanya merasakan getaran hebat saja, tidaklah demikian dengan Cu Kang Bu. Dia terhuyung dan mukanya agak pucat karena suara gerengan itu seolah-olah memasuki tubuhnya dan menyerang jantungnya, dan selagi dia terhuyung itu Kam Hong sudah

maju dan melakukan tamparan-tamparan dengan Ilmu Khong-sim Sin-ciang yang lembut namun amat berbahaya itu.

Cu Kang Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melindungi dirinya dengan putaran kedua tangan, akan tetapi tetap saja dia didesak dan dihimpit oleh lawan. Bukan main heran dan kagetnya rasa hati pendekar tinggi besar ini. Dia memang tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa lawannya lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya akan sedahsyat ini! Maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring karena dirinya sudah terdesak dan terancam bahaya, tiba-tiba tangannya meraba

ke pinggang dan nampaklah sinar hitam berkelebat disusul suara ledakan yang mengeluarkan asap putih dan tahu-tahu tangan kanan pendekar ini telah memegang sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya. Cambuk baja lemas ini berwarna hitam dan kini meledak-ledak di udara. Akan tetapi, Cu Kang Bu sama sekali tidak menyerang lawan, hanya membunyikan cambuknya di udara tanpa berkata-kata, sikapnya menantang dan penuh rasa penasaran bahwa dia telah dikalahkan oleh bekas tunangan kekasihnya itu dalam adu silat tangan kosong. Di tempatnya dari pinggiran, Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak keheran-heranan melihat betapa "Siauw Hong" yang dulu merupakan kacung dari Pendekar Siluman Kecil itu ternyata kini mampu menandingi seorang pendekar sakti seperti Cu Kang Bu yang menjadi kekasihnya.

Sementara itu, biarpun dia agak pening oleh lengkingan-lengkingan dan gerengan-gerengan yang menggetarkan tadi ditambah mengikuti gerakan mereka yang amat cepat, namun Ci Sian dapat menduga bahwa fihak Kam Hong tentu menang karena kalau tidak, tidak nanti fihak lawan mengeluarkan senjata. Melihat cambuk hitam itu meledak-ledak mengeluarkan asap, hatinya gentar bukan main, akan tetapi sambil tertawa dia berkata, "Paman Kam Hong, lawanmu telah kalah dan kini mengandalkan cambuk kerbau! Hati-hati, jangan kena dicurangi olehnya!"

Tentu saja ucapan Ci Sian ini membikin panas perut Cu Kang Bu dan saudara-saudaranya, akan tetapi tetap saja Cu Kang Bu tidak mau menyerang lawan yang masih bertangan kosong. Katanya dengan suara parau karena menahan kemarahan. "Sobat Kam Hong, ilmu silatmu dengan tangan kosong hebat sungguh, akan tetapi marilah kita main-main dengan senjata sebentar kauhadapi cambukku ini!"

Diam-diam Kam Hong juga kagum. Sukar atau jaranglah mencari orang gagah seperti Cu Kang Bu ini. Ilmu silatnya jelas amat lihai dan tinggi, dan selain tidak sombong, juga sama sekali tidak curang dan tidak mau mempergunakan senjata menyerang dia yang masih bertangan kosong. Betapapun juga, pria ini agaknya tidak akan mengecewakan kalau menjadi suami Yu Hwi dan pilihan Yu Hwi kiranya tidaklah keliru! Akan tetapi, batinnya terasa panas juga kalau mengingat betapa Yu Hwi adalah tunangannya, calon isterinya yang hendak direbut oleh pemuda tinggi besar ini!

"Hemm, kau masih penasaran? Hendak mengadu senjata? Baiklah, akan tetapi aku bukan tukang bunuh atau tukang siksa maka tidak membawa senjata mengerikan. Aku hanya membawa sebuah alat pengusir panasnya badan dan batin ini!" Tangan kirinya bergerak dan seperti main sulap saja, tahu-tahu tangan itu telah memegang sehelai kipas yang dikembangkan dan dipakai mengipasi lehernya seolah-olah dia merasa gerah sekali. Akan tetapi, biarpun kipasnya digerak-gerakkan, tiga pasang mata dari kakak beradik penghuni Lembah Suling Emas itu yang memiliki penglihatan terlatih dan tajam sekali dapat membaca huruf yang tertulis di permukaan kipas yang digoyang-goyangkan itu. Tentu saja untuk dapat melakukan hal ini orang harus memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi sehingga mata mereka sedemikian tajamnya dapat mengikuti gerakan kipas yang bagi mata biasa tentu membuat huruf-huruf itu kabur dan tak terbaca. Diam-diam mereka bertiga memandang dan membaca huruf-huruf itu. Kipas itu permukaannya putih bersih dan huruf-huruf indah itu berwarna hitam, maka jelas sekali bagi mereka.

Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap Hanya yang lembut dapat menerobos yang kasar Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!

"Hemm, khong-sim (hati kosong) Sobat Kam Hong masih mempunyai hubungan apakah dengan yang terhormat Sai-cu Kai Ketua Khong-sim Kai-pang?" tiba-tiba terdengar Cu Han Bu bertanya dengan suara halus. Kam Hong terkejut dan diam-diam kagum akan keluasan pengetahuan orang itu.

"Beliau pernah menjadi Guruku." jawabnya jujur dan sederhana.

"Dia pernah menjadi seorang yang disebut Pangeran Pengemis!" Tiba-tiba Yu Hwi berkata dan di dalam suaranya mengandung cemooh. Kini mulai mengertilah Kam Hong mengapa dara itu tidak setuju menjadi jodohnya. Kiranya latar belakang kehidupannya yang dahulu, pertemuan mereka yang pertama di mana dia menjadi pengemis dan menjadi semacam pelayan dari Siluman Kecil, yang membuat gadis ini memandang rendah kepadanya! Dia tersenyum.

"Benar sekali.... aku hanya seorang pengemis dan sekarang pun bukan majikan yang kaya raya!"

Akan tetapi melihat betapa pemuda itu menyindir kekasihnya, Cu Kang Bu sudah menjadi marah lagi. "Kam Hong, kalau kipas itu merupakan senjatamu, beranikah engkau menghadapi cambuk bajaku dengan kipas itu?"

"Mengapa tidak berani? Aku hanya melayanimu, sobat!" kata Kam Hong sambil tersenyum.

"Hajarlah dia, Paman Kam Hong! Dia belum mengenal kipas mautmu!" Ci Sian berkata lagi, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa kecut sekali melihat senjata pihak lawan yang berupa cambuk hitam panjang terbuat dari baja itu sedangkan "senjata" Kam Hong hanya sebuah kipas yang lebih tepat untuk mengusir kegerahan saja. Namun, kini telah semakin tebal kepercayaannya kepada Kam Hong, maka dia mengusir kekhawatirannya dan diam-diam dia mendekati See-thian Coa-ong, gurunya.

"Suhu.... bagaimana pendapat Suhu....? Apakah Paman Kam Hong akan dapat menang?" bisiknya. Sungguh lucu dara ini. Dia berbisik seolah-olah tidak akan dapat terdengar oleh orang-orang yang berilmu tinggi dia bicara hanya sambil berbisik-bisik, semua orang termasuk juga Yu Hwi, dapat menangkap bisikannya itu, akan tetapi mereka terlalu tegang memandang ke arah dua orang pendekar yang sudah siap untuk bertanding lagi itu dan tidak mempedulikan ulah Ci Sian.

"Apa....?" Kakek hitam botak itu berkata lalu menarik napas panjang. "Aahhhh, aku seperti baru sadar dari mimpi! Sungguh mati, selama hidupku baru ini menyaksikan pertandingan seperti ini! Sungguh beruntung mata ini, dapat menyaksikan pertandingan tingkat atas yang demikian hebatnya. Ternyata Pegunungan Himalaya yang tinggi masih ada yang melebihi tingginya...." kakek itu menarik napas panjang lagi.

"Suhu, bagaimana? Apakah Paman Kam Hong dapat menang?" kembali Ci Sian bertanya sambil mengguncang lengan gurunya yang seperti orang terpesona memandang ke arah dua orang pendekar itu.

"Siapakah aku ini yang dapat menentukan kalah menangnya pertandingan antara dua ekor naga? Kita lihat saja, Ci Sian, kita lihat saja. ..." katanya tanpa mengalihkan pandangannya.

Ci Sian menjadi semakin gelisah dan diam-diam dia lalu duduk bersila dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk memanggil ular-ular sebanyak mungkin ke tempat itu untuk dapat membantu Kam Hong! Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa pencurahan kekuatannya itu membuyar dan terdengar suara See-thian Coa-ong, "Anak bodoh kau, pembelamu itu takkan kalah!"

Ci Sian lalu teringat betapa dia pernah memanggil ular-ular ketika menghadapi isteri-isteri ayah kandungnya, dan akibatnya malah ular-ularnya yang tewas dan dia dimarahi oleh Kam Hong! Maka dia tidak jadi melanjutkan usahanya itu dan kini dia memandang ke arah perkelahian yang sudah mulai berlangsung. "Tar-tar-tarrrr....!" Cambuk hitam itu melayang-layang ke udara kemudian turun meluncur dan melecut sampai tiga kali ke arah kepala Kam Hong, namun dengan tenang pendekar ini mengelak dua kali dan sambaran yang ketiga kalinya dia kebut dengan kipasnya. Aneh sekali ujung cambuk baja itu begitu kena dikebut, lalu menyimpang atau melecut ke samping, menyeleweng seperti sehelai rambut ditiup saja! Dan ujung cambuk itu luput mengenai kepala Kam Hong, menyambar ke bawah dan mengeluarkan ledakan nyaring, mengenai sebuah batu sebesar kepala orang yang pecah berantakan menjadi beberapa potong! Melihat ini, Ci Sian merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan dingin. Batu saja terkena lecutan menjadi pecah berantakan, apalagi kepala manusia!

Akan tetapi Kam Hong tetap bersikap tenang, seolah-olah melihat batu pecah berantakan terkena ujung cambuk itu hanya merupakan permainan anak-anak baginya. Dan kini dia tidak membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan cambuk, melainkan kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah indah dan tahu-tahu dia sudah menyusup dekat melalui gulungan sinar hitam dari cambuk itu dan menggunakan ujung kipas untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah dari ubun-ubun sampai ke lutut lawan! Gerakan kipasnya cepat dan tak terduga-duga datangnya, karena dia telah mainkan ilmu silat kipas Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang merupakan satu di antara ilmu silat warisan nenek moyangnya yaitu Pendekar Suling Emas!

Memang satu-satunya jalan untuk melawan musuh yang menggunakan senjata panjang hanya dengan cara melakukan perkelahian jarak dekat, apalagi kalau dia sendiri hanya bersenjata sebuah kipas yang amat pendek. Kam Hong juga melakukan siasat ini, dia menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-pouw dari Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dan dengan langkah-langkah ini dia dapat selalu mendekati lawan sehingga dapat menyerang dengan kipasnya. Akan tetapi Cu Kang Bu adalah seorang tokoh yang sudah mahir sekali

menggunakan senjata yang diandalkannya itu, maka biarpun senjatanya merupakan senjata untuk menyerang dari jarak jauh, ujung cambuk bajanya itu dapat membalik dan menyerang dari arah belakang, kanan, kiri atau atas bawah! Hebat bukan main gerakan cambuknya dan ujung cambuk itu seolah-olah hidup menurut segala gerakan pergelangan tangannya.

Bukan main serunya perkelahian itu. Kipas di tangan kiri Kam Hong berobah-robah, sebentar terbuka untuk mengebut ujung cambuk lawan, kadang-kadang tertutup untuk menyerang dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang mendesak dan siapa yang terdesak karena mereka seolah-olah saling menukar serangan yang selalu dapat dipecahkan dan dilumpuhkan oleh lawan. Kurang lebih seratus jurus telah lewat dan perkelahian itu diikuti oleh semua orang sambil menahan napas karena memang amat menegangkan hati.

Kam Hong sendiri merasa kagum. Semenjak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong dan dari Sin-siauw Seng-jin, yang telah dikuasainya dengan matang sehingga akan sukarlah mencari lawan yang mampu menandinginya dengan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi, dengan ilmu-ilmu itu dia hanya dapat berimbang saja dengan lawannya ini. Diam-diam dia merasa penasaran juga dan dikumpulkannyalah tenaga khi-kang yang diperolehnya ketika dia mempelajari ilmu pusaka yang tercatat di tubuh jenazah kuno. Dan tiba-tiba saja suara pernapasannya terdengar mencicit nyaring, makin lama makin tinggi sehingga tidak tertangkap oleh telinga, namun bagi Cu Kang Bu, dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya dari tubuh lawannya! Dia terkejut sekali dan berusaha untuk meloncat mundur sambil menggerakkan pecut bajanya. Akan tetapi, kini Kam Hong mendesak ke depan, kipasnya terbuka dan kini begitu kipasnya mengebut, ada angin dingin menyambar ke arah muka lawan dan Cu Kang Bu hampir tidak kuat membuka matanya yang tersambar angin dingin. Begitu matanya berkejap, maka ujung kipas itu telah meluncur dan melakukan totokan-totokan, membuat Kang Bu kaget setengah mati dan terhuyung ke belakang sambil memutar cambuk dan tangan kiri melindungi tubuhnya. Akan tetapi lawannya mendesak dan akhirnya, maklumlah bahwa mempertahankan diri sama dengan mencari mati, Kang Bu meloncat jauh ke belakang lalu turun dan merangkap kedua tangan depan dada.

"Aku Cu Kang Bu mengaku kalah!"

Kam Hong membuka kipas depan dada dan dia merasa semakin kagum dan suka kepada bekas lawannya itu, seorang yang kasar jujur namun juga tidak keras kepala dan mampu menghadapi kekalahan sendiri secara jantan. Seorang yang benar-benar patut, bahkan terlalu baik mungkin, untuk menjadi jodoh Yu Hwi!

"Saudara Cu Kang Bu, kepandaianmu sungguh hebat, aku kagum sekali!" katanya membalas penghormatan orang.

Akan tetapi dengan muka pucat Cu Han Bu melangkah maju. Pendekar ini diam-diam merasa penasaran bukan main melihat kekalahan adiknya. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa adiknya dengan cambuk bajanya dapat dikalahkan lawan yang hanya memegang setangkai kipas! Sungguh kekalahan yang menghancurkan keharuman nama besar keluarga Lembah Suling Emas, apalagi di situ ada orang-orang lain yang menyaksikan seperti See-thian Coa-ong dan terutama sekali dara murid Coa-ong yang pandai bicara itu,

yang tentu akan menyiarkan berita kekalahan keluarga Lembah Suling Emas ke seluruh dunia kang-ouw! Mukanya menjadi pucat karena marah dan penasaran.

"Saudara Kam Hong, harap jangan membikin kami penasaran dan jangan bertindak kepalang-tanggung. Kaukalahkan aku sebagai orang pertama dari Lembah Suling Emas, agar kami yakin benar bahwa di luar lembah ada orang yang lebih pandai daripada kami!" Setelah berkata demikian sambil membungkuk dan memberi hormat, Cu Han Bu melolos sebuah sabuk emas dari pinggangnya. Sikap orang ini sedemikian sungguh-sungguh sehingga Kam Hong maklum bahwa jalan satu-satunya baginya adalah memenuhi tantangan orang pertama dari Lembah Suling Emas ini. Pula, diam-diam dia pun merasa penasaran bahwa dialah yang benar-benar keturunan keluarga Suling Emas dan mereka ini hanya kebetulan saja memakai nama Lembah Suling Emas. Kalau dia dapat menangkan orang pertama dari keluarga lembah yang aneh ini, tentu dia berhak untuk minta dengan hormat kepada mereka agar nama Suling Emas tidak mereka pakai lagi.

Kam Hong maklum bahwa sebagai orang pertama dari keluarga itu, tentu pria yang berpakaian sederhana dan bersikap halus dan dingin ini tentulah memiliki tingkat kepandaian yang hebat dan lebih tinggi daripada tingkat Kang Bu. Padahal, Kang Bu saja sudah demikian lihainya. Maka dia pun tidak boleh main-main lagi dan dia tentu akan harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka, sambil tetap membuka kipasnya dengan tangan kiri, tangan kanannya lalu meraih ke pinggang dan begitu bergerak, nampak sinar emas berkilauan dan tangan kanan itu telah memegang sebatang suling emas yang tadinya tersembunyi di balik jubahnya!

Kalau tadi ketika Cu Han Bu mengeluarkan dan melolos sabuk emas dari pinggangnya nampak sinar keemasan yang menyilaukan mata, kini suling emas di tangan kanan Kam Hong itu mengeluarkan cahaya yang amat gemilang, apalagi karena gerakannya ketika mengeluarkan amat cepat sehingga selain mengeluarkan cahaya yang amat kemilau, juga terdengar suara mendengung seolah-olah suling itu ditiup!

"Silakan!" katanya dengan suara tenang.

Akan tetapi, Cu Han Bu dan dua orang adiknya berdiri seperti kena pesona, mata mereka terbelalak menatap suling emas di tangan Kam Hong dan muka mereka menjadi pucat sekali.

"Suling Emas....!" Tiba-tiba mereka bertiga berseru dengan suara hampir berbareng dan ketiganya sudah melangkah maju menghadapi Kam Hong. Tentu saja Kam Hong bersiap siaga dan alisnya berkerut, karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orang-orang gagah itu akan maju bertiga! Benarkah apa yang dikhawatirkan oleh Ci Sian tadi bahwa orang-orang ini dapat bertindak curang dan hendak mengeroyoknya? Dengan sinar mata mencorong dia memandang mereka dan siap untuk menghadapi mereka

dengan suling dan kipasnya.

Akan tetapi Han Bu malah menyimpan kembali sabuk emasnya dan dengan muka masih pucat dia berkata dengan suara gemetar, "Sobat Kam Hong.... dari mana engkau memperoleh suling itu....?"

Kam Hong memandang kepada suling di tangannya, lalu kepada mereka bertiga dan menjawab tenang, "Suling ini telah ada pada keluargaku semenjak ratusan tahun yang lalu, semenjak jaman Kerajaan Sung tujuh delapan ratus tahun yang lalu...."

"Ahhh....! Keluarga Pendekar Suling Emas....?"

Kam Hong memandang tajam penuh selidik. Dia maklum bahwa keluarganya itu mempunyai banyak musuh di samping sahabat, oleh karena itu banyak pula orang kang-ouw yang berlumba untuk mendapatkan pusaka-pusaka dari nenek moyangnya dan dia terpaksa sampai disembunyikan di waktu kecil sebagai turunan terakhir dari keluarga itu, demikian Sin-siauw Seng-jin bercerita kepadanya. Dia tidak tahu apakah tiga orang kakak beradik yang amat lihai ini merupakan golongan sahabat ataukah musuh. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi mereka, baik sebagai sahabat maupun musuh.

"Benar, aku adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas! Hemm, kalian kelihatan heran, padahal aku sendiri juga merasa amat heran mengapa, di tempat ini ada, keluarga Lembah Suling Emas!"

Pada saat itu, terdengar suara suling yang amat merdu, akan tetapi juga amat nyaring melengking dan di dalam suara itu terkandung kekuatan yang menggetarkan pada pendengarnya. Itu bukanlah suara suling sembarangan, melainkan suara yang diciptakan dengan tiupan yang didasari khi-kang kuat! Semua orang menoleh ke arah datangnya suara suling itu dan tak lama kemudian nampaklah seorang pemuda tampan sekali berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat itu sambil meniup sebatang suling. Suling itu berkilauan dan dari jauh saja sudah nampak bahwa suling itu terbuat daripada emas.

Kam Hong memandang dengan heran dan penuh perhatian. Suling yang ditiup oleh pemuda itu lebih kecil daripada sulingnya, akan tetapi modelnya serupa benar! Dan pemuda yang meniupnya itu juga amat menarik. Wajahnya amat tampan, terlalu tampan malah dan usianya masih tampak amat muda dan caranya meniup suling menunjukkan bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan telah memiliki khi-kang yang lumayan kuatnya.

Setelah pemuda tampan itu tiba dekat, terdengar Cu Han Bu menegur dengan suara halus, di balik suara teguran itu terkandung kasih sayang mendalam.

"Pek In, hentikan tiupan sulingmu yang bodoh itu!"

Dengan gerakan cepat Kam Hong telah menyimpan kembali sulingnya di balik jubah lebarnya dan dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, memainkan suling emas itu di antara jari-jari tangan yang kecil meruncing, diputar-putarnya di antara jari-jari tangannya dengan gerakan yang gagah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan dia memandang kepada Cu Han Bu dengan sikap manja.

"Ayah, mengapa tidak boleh bermain suling? Mengunjungi Suheng tidak boleh, bermain suling sendiri mengusir sunyi juga tidak boleh, aihh, betapa menjemukan hidup ini....!" Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya karena pada saat itu dia baru melihat bahwa ayahnya dan para pamannya sedang berhadapan dengan seorang pria berpakaian sastrawan yang memegang sebatang kipas dan di situ terdapat pula seorang dara jelita, seorang kakek botak kurus dan juga di situ terdapat Yu Hwi, murid Cui-beng Sian-li yang dia tahu berpacaran dengan pamannya dan yang diam-diam tidak disukainya itu.

Akan tetapi Cu Han Bu tidak mempedulikan puterinya, dan dia sudah menjura kepada Kam Hong. "Maafkan gangguan puteriku tadi."

Kam Hong kini mengerti mengapa pemuda itu luar biasa tampan dan halusnya, kiranya seorang dara! "Kulihat puterimu juga mempunyai sebatang suling yang mirip dengan sulingku."

Itulah Saudara Kam Hong! Di antara keluarga kita ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Sudah lama kami mendengar tentang keluarga pendekar Suling Emas, dan kami pernah mencoba mencarinya namun tidak berhasil. Maka, mendengar bahwa engkau adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan melihat bahwa memang engkau yang memiliki suling emas pusaka itu, kami terkejut bukan main. Juga girang, karena yang kami cari-cari ternyata kini malah datang menjenguk kami. Oleh karena itu, kami

persilakan kepadamu untuk berkunjung ke lembah kami di mana kita akan bicara lebih mendalam tentang suling emas agar semua rahasia dapat kita ketahui."

"Paman Kam Hong, hati-hatilah, jangan kena dibujuk mereka. Siapa tahu mereka hendak menjebakmu!" Ci Sian berseru.

"Nona, harap jangan bicara sembarangan!" Cu Seng Bu yang sejak tadi diam saja kini berseru keras. "Kami bukanlah sebangsa pengecut yang suka bermain curang dan suka menjebak orang! Gurumu See-thian Coa-ong, berada di sini dan engkau juga. Kalian berdua dapat menjadi saksi kalau kami bermain curang dan tentu dunia kang-ouw akan mengutuk kami!"

"Ci Sian, tenanglah. Aku percaya kepada mereka, dan pula, siapakah yang takut akan jebakan dan kecurangan. Aku akan pergi mengunjungi mereka." kata Kam Hong dengan sikap tenang dan tersenyum.

"Aku ikut!" Ci Sian, berkata nyaring.

"Ci Sian, jangan kau lancang....!" See-thian Coa-ong menegur muridnya dengan suara khawatir. Dia menganggap muridnya terlalu lancang bersikap seberani itu terhadap keluarga Lembah Suling Emas yang demikian lihainya, akan tetapi diam-diam dia pun merasa amat bangga dan girang bahwa muridnya itu mengenal baik bahkan kelihatan akrab dengan pendekar yang memiliki suling emas dan yang kepandaiannya juga amat luar biasa tingginya itu. Apalagi ketika dia juga mendengar bahwa pria sakti itu adalah

keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas, hati kakek ini sudah menjadi gembira bukan main. Dia merasa beruntung sekali pada hari itu dapat menyaksikan pertandingan hebat dan bertemu dengan orang-orang yang amat hebat, yaitu penghuni Lembah Suling Emas dan bahkan dengan keturunan Pendekar Suling Emas.

"Tidak, Suhu! Paman Kam Hong orangnya terlalu baik hati, terlalu mengalah, maka perlu aku harus menemaninya untuk menjadi saksi apakah benar-benar mereka ini tidak hendak menjebaknya. Kulihat mereka tidak berniat baik, mungkin hendak merampas senjata keramat dari Paman Kam Hong. Biar aku ikut untuk menjadi saksi di dalam lembah, dan Suhu tinggal menanti di sini, sebagai saksi di luar lembah. Kalau Paman Kam Hong dan teecu tidak keluar lagi dari lembah, berarti kami berdua masuk perangkap dan dicelakai mereka, dan Suhu boleh siarkan kepada seluruh dunia bahwa para penghuni lembah ini adalah orang-orang yang curang dan jahat."

"Heiii! Darimana datangnya perempuan liar yang membuka mulut seenaknya memburuk-burukkan keluarga Lembah Suling Emas?" Tiba-tiba Pek In berseru marah dan memandang kepada Ci Sian dengan mata berapi-api. "Kami adalah keluarga baik-baik, tidak seperti engkau ini perempuan siluman yang menggunakan kata-kata buruk untuk memaki orang!"

Ci Sian bersungut-sungut dan memandang kepada Cu Pek In, kemudian tersenyum mengejek. "Memang keluarga Lembah Suling Emas tidak bisa dipercaya. Ada Isteri yang menyeleweng dengan pendekar yang menjadi tamunya! Ada perempuan yang sudah bertunangan melarikan diri dan ditampung di lembah! Ada hubungan gelap antara paman guru dan murid keponakannya sendiri. Dan sekarang muncul lagi seorang.. .. banci! Phuh, sungguh tidak layak dipercaya!"

Wajah Pek In yang putih halus itu seketika berobah merah. Baru sekarang ini selama hidupnya ada orang berani memakinya seperti itu. Dia dinamakan banci! Kalau saja dia memakai pakaian wanita seperti umumnya, kiranya makian ini tidak akan mendatangkan kemarahan di hatinya. Akan tetapi karena memang sejak kecil dia mengenakan pakaian pria, yang mulanya dilakukan oleh ayah bundanya yang menginginkan anak laki-laki sehingga dia menjadi terbiasa dan lebih suka mengenakan pakaian pria setelah dia remaja dan dewasa, maka makian itu sungguh menyentuh dan menyinggung perasaan dan membuat dia marah bukan main!

"Aku bukan banci! Kau perempuan siluman!" Dan dara ini sudah mencabut pula sulingnya yang tadi ditancapkan di ikat pinggang dan dia sudah meloncat dan menyerang Ci Sian.

"Huh, siapa takut padamu?" Ci Sian mengelak dan balas menyerang.

"Tahan!" Cu Han Bu berseru keras. "Pek In, kau mundurlah. Mereka ini adalah tamu-tamu kita, bukan musuh."

"Tapi mulutnya busuk, Ayah. Dia memakiku!"

"Dan kau pun memakiku. Siapa memaki aku perempuan liar dan perempuan siluman? Huh, tak tahu diri!" Ci Sian juga berteriak.

"Ci Sian, harap kau bersabar dan mari kita mengunjungi mereka dan bicara dengan baik-baik." kata Kam Hong kepada Ci Sian.

Seketika lenyaplah kemarahan Ci Sian. Dia tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau tidak akan diperbolehkan mengunjungi lembah menemani Kam Hong, akan tetapi kini Kam Hong mengajaknya! Kegirangan hatinya mengusir semua kemarahan.

"Aku boleh pergi menemanimu, Paman? Baiklah, mari kita pergi dan aku tidak akan banyak cakap lagi."

"Sobat Kam Hong, silakan!" kata Cu Han Bu. Kam Hong mengangguk dan balas memberi hormat, lalu melangkah bersama pihak tuan rumah meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata See-thian Coa-ong yang kelihatan tegang dan girang bukan main. Dia merasa gembira dan bangga sekali menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan pertemuan antara orang-orang sakti yang hebat itu, apalagi karena kini Ci Sian, muridnya, menemani pendekar keturunan Pendekar Suling Emas memasuki lembah itu bersama keluarga Lembah Suling Emas! Betapa hebatnya peristiwa ini dan tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw kalau dia menceritakan diluar.

Melihat Ci Sian berjalan di samping Kam Hong, Yu Hwi dan juga Pek In memandang kepada dara itu dengan sinar mata tidak senang. Apalagi Pek In yang sedang jengkel itu.

Seperti diketahui, kurang lebih empat lima tahun yang lalu, Sim Hong Bu diterima di lembah itu sebagai murid keluarga Cu, atau sebagai ahli waris dari Ouwyang Kwan yang berobah menjadi Yeti, mewarisi pedang Koai-liong-po-kiam dan Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang hanya boleh dipelajari oleh pemuda itu. Semenjak itu, Sim Hong Bu digembleng oleh tiga orang saudara Cu itu secara bergantian sehingga dia memperoleh kemajuan yang amat pesat, apalagi karena memang pada dasarnya Hong Bu mempunyai bakat yang amat baik sekali. Dan di antara pemuda itu dan Pek In pun terjalin hubungan persahabatan yang amat akrab. Melihat ini, dan melihat betapa baiknya bakat dalam diri Sim Hong Bu dan melihat pula bahwa pemuda itu memiliki dasar watak yang gagah perkasa, jujur dan bernyali besar, diam-diam tiga orang saudara Cu itu merasa kagum. Apalagi melihat hubungan yang akrab antara pemuda itu dan puteri tunggalnya, diam-diam timbul dalam hati Cu Han Bu untuk menjodohkan puterinya dengan murid itu.

Dalam waktu hampir empat tahun, berkat ketekunan dan kesungguhan hati tiga orang saudara Cu itu, Sim Hong Bu telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dan sudah memiliki dasar yang cukup kuat untuk mulai dengan pelajaran ilmu peninggalan Ouwyang Kwan! Pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu bahkan jauh melampaui tingkat kepandaian Pek In karena memang selain Hong Bu memiliki dasar atau bakat yang lebih besar, juga tiga orang she Cu itu mencurahkan seluruh perhatian dan harapan mereka kepada pemuda ini untuk kelak mengangkat tinggi nama Lembah Suling Emas! Setelah memiliki dasar yang cukup kuat, ketiga orang gurunya itu lalu menyuruh Hong Bu untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan dalam kulit Yeti-nya, dan untuk keperluan ini, Hong Bu tidak boleh diganggu siapapun juga karena hanya dia seorang yang diperbolehkan mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka, dia diharuskan oleh guru-gurunya untuk belajar sendiri di dalam guha di mana terdapat mayat suami isteri Kam Lok dan Loan Si yang tewas oleh pedang Koai-liong-kiam itu! Di tempat sunyi inilah dia harus mempelajari catatan ilmu-ilmu peninggalan Ouwyang Kwan, terutama Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Hanya beberapa pekan sekali ketiga orang gurunya datang menjenguknya dan melihat muridnya berlatih.

Sementara itu, Cu Pek In memang diam-diam cinta kepada suhengnya itu, kepada Sim Hong Bu dan walaupun dia tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata, namun dalam hubungan mereka yang akrab itu nampak jelas bahwa dara ini memang jatuh cinta. Maka, dapat dibayangkan betapa dara itu merasa kesepian setelah pemuda yang dicintanya itu "bertapa" di luar lembah dan tak pernah dapat dijumpainya. Bahkan ketika dia minta kepada ayahnya untuk menjenguk suhengnya, ayahnya melarangnya dan mengatakan bahwa Sim Hong Bu tidak boleh diganggu untuk waktu sedikitnya satu tahun! Inilah yang membuat dara itu menjadi kesepian dan gelisah, juga jengkel sehingga kejengkelannya itu nampak ketika dia bertemu dengan Ci Sian.

Ketika mereka tiba di tepi jurang lebar yang dijadikan tempat penyeberangan ke lembah, Cu Kang Bu mengeluarkan pekik melengking nyaring untuk memberi tanda kepada para penjaga di seberang sana untuk menarik tambang yang kalau tidak akan dipergunakan lalu diturunkan sehingga lenyap di dalam kabut tebal yang memenuhi jurang. Tak lama kemudian, nampaklah tambang itu dari bawah, makin lama makin naik dan akhirnya menegang, merupakan jembatan yang aneh dan mengerikan.

"Maaf, hanya inilah jembatan yang akan membawa kita ke Lembah Gunung Suling Emas!" kata Cu Kang Bu kepada Kam Hong. "Harap saja Saudara Kam Hong dan Nona tidak merasa sungkan untuk menyeberang dengan menggunakan tambang ini."

Di dalam hatinya, Ci Sian merasa ngeri. Kalau hanya berjalan di atas tambang, tentu saja bukan hal sukar baginya. Disuruh lari pun dia sanggup. Akan tetapi, kalau tambang itu menyeberang di atas jurang yang tak nampak dasarnya seperti itu, penuh kabut, tak dapat diukur betapa dalamnya, tentu saja hatinya terasa ngeri bukan main dan dia merasa mulutnya kering!

"Tidak mengapa, jembatan ini cukup baik." kata Kam Hong dengan tenang. Mendengar ucapan ini, Ci Sian lalu menarik napas panjang dan menenteramkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan dan kengerian itu.

"Cukup baik.... cukup baik...." katanya dan dia tidak berani bicara banyak-banyak, takut kalau-kalau suaranya terdengar menggigil! Akan tetapi tetap saja dia khawatir. Bagaimana kalau dia dan Kam Hong menyeberang tambang itu dan tiba di tengah-tengah lalu pihak tuan rumah membikin putus tambang itu? Ngeri dan membayangkan peristiwa ini, membayangkan dia dan Kam Hong meluncur turun ke bawah jurang! Teringat dia akan pengalamannya ketika terjatuh ke dalam jurang dan nyaris nyawanya melayang kalau saja tidak ada See-thian Coa-ong yang menyelamatkannya. Dara itu merasa jantungnya berdebar, tengkuknya dingin dan rasa takut mencekam hatinya.

Rasa takut memang selalu menguasai kehidupan manusia dari masa kanak-kanak sampai sudah tua sekalipun. Darimanakah timbulnya rasa takut ini? Mengapakah hidup ini penuh dengan rasa takut atau khawatir, cemas dan tidak menentu sehingga kebanyakan dari kita lalu hendak melarikan diri dari rasa takut ini, mencari perlindungan, mencari keamanan, mencari hiburan agar rasa takut atau khawatir terlupa? Takut akan setan, takut tidak lulus ujian sekolah, takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan orang-orang yang dicinta, takut menderita, takut sengsara, takut sakit, takut mati dan selanjutnya. Mengapa kita selalu dikelilingi oleh rasa takut ini? Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut yang seolah-olah menjadi bayangan kita ini? Dapatkan kita menghentikan sumber dari mana timbul rasa takut yang terus-menerus ini? Mengalahkan, rasa takut satu demi satu tidaklah mungkin, karena selama sumber itu masih terus menciptakan rasa takut, maka tidak akan ada habisnya selama kita hidup

dan kita akan harus bergulat mengatasi rasa takut itu satu demi satu. Akan tetapi kalau sumbernya sudah diketahui sehingga sumber itu tidak lagi menciptakan rasa takut, maka kita tidak perlu lagi mengalahkan rasa takut satu demi satu.

Apakah rasa takut itu dan bagaimana timbulnya? Rasa takut adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang mungkin akan mendatangkan kesusahan kepada kita atau akan sesuatu yang mungkin akan merampas kesenangan kita. Rasa takut adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang belum ada atau belum terjadi. Jadi, rasa takut atau khawatir, gelisah, cemas dan sebagainya adalah permainan dari pikiran sendiri. Pikiran selalu mengenang masa lalu, memisah-misahkan pengalaman-pengalaman masa lalu antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan. Kemudian pikiran selalu berusaha untuk mengejar kesenangan, untuk mengulang semua kesenangan yang pernah dialaminya, dan berusaha untuk menolak segala kesusahan yang pernah dialaminya. Dan apabila pikiran melihat masa depan, membayangkan bahwa dia akan ditimpa hal yang tidak menyenangkan, lalu timbul rasa takut! Hal ini dapat kita lihat kalau kita mau membuka mata memandang diri sendiri, kalau sewaktu timbul, rasa takut kita mau menghadapi rasa takut itu TANPA MELARIKAN DIRI, menyelidiki dan mempelajarinya. Jadi, jelaslah bahwa pikiran itu sendiri yang menjadi pencipta rasa takut. Tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang belum terjadi, takkan ada rasa takut itu.

Mungkin ada yang bertanya, apakah kita lalu harus acuh sehingga kita menjadi lengah terhadap sesuatu yang mengancam di masa depan? Tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, mana mungkin kita dapat bersiap-siap menjaga diri dan menghindarkan bencana? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu timbul dari rasa takut itu sendiri!

Sama sekali bukan menjadi tidak acuh. Bahkan kita selalu waspada, bukan waspada yang timbul dari rasa takut, bukan waspada terhadap sesuatu yang mengancam, melainkan waspada setiap saat akan diri sendiri lahir batin dan akan keadaan sekeliling. Sebaliknya, rasa takut yang mencekam hati akan membuat kita melakukan hal-hal yang menyeleweng, membuat kita mungkin saja menjadi pengecut saking takutnya, dan tidak jarang membuat kita menjadi kejam karena dalam usaha melenyapkan hal yang mendatangkan rasa takut itu dapat terjadi perbuatan-perbuatan kejam! Banyak sekali orang-orang yang melakukan hal-hal kejam terhadap manusia lain sebenarnya didorong oleh rasa takut yang mencekam hatinya! Dia selalu merasa terancam dan oleh karena itu, untuk menghalau semacam itu dia tidak segan-segan mendahului dan melenyapkan orang lain yang dianggap menjadi sumber atau penyebab rasa takutnya. Atau karena rasa takut, maka kita lalu melarikan diri mencari hiburan dan dari sinilah timbulnya segala pelarian kepada ilmu klenik dan ramalan-ramalan.

Sebaliknya, kalau kita menghadapi rasa takut itu sebagaimana adanya, bukan ingin mengendalikan atau mengalahkannya, melainkan menghadapinya dan mengamatinya di waktu rasa takut timbul, mempelajarinya, akan nampak jelas bahwa rasa takut itu hanyalah permainan pikiran yang ingin mengulang kesenangan dan ingin menjauhi kesusahan belaka! Dan tanpa permainan pikiran yang mengenang-ngenang masa lalu dan membayang-bayangkan masa depan, yang ada hanyalah kewaspadaan dan kesadaran setiap saat terhadap segala sesuatu yang terjadi! Dan di dalam kewaspadaan ini, perhatian sepenuhnya ini, tidak ada rasa takut, yang ada hanyalah tindakan yang timbul dari kecerdasan dan kewajaran. Jadi, setiap saat timbul rasa takut, khawatir dan sebagainya, kita mengamatinya, menyelidikinya, mempelajarinya. Cobalah!

"Sebagai pihak tuan rumah, silakan Saudara menyeberang lebih dulu." kata Kam Hong dengan nada suara halus kepada Cu Han Bu dan hati Ci Sian lega bukan main. Kiranya Kam Hong juga cerdik, pikirnya.

Cu Han Bu memandang dan tersenyum. "Agaknya sobat Kam Hong masih curiga?" tanyanya akan tetapi dia pun lalu meloncat ke atas tali itu.

"Bukan curiga hanya berhati-hati." jawab Kam Hong tersenyum pula dan dia pun lalu meloncat ke atas tali di belakang Cu Han Bu. Ci Sian juga melangkah ke depan dan menginjak tali itu, melangkah hati-hati di belakang Kam Hong dan dia melihat bahwa di belakangnya melangkah pula pihak tuan rumah. Hatinya lega karena kalau tali putus, mereka semua yang akan jatuh, bukan hanya dia dan Kam Hong!

Lihatlah betapa besar si Aku menguasai batin manusia! Setiap kali tertimpa malapetaka atau tercekam rasa takut, manusia akan merasa terhibur kalau melihat ada orang lain juga tertimpa hal yang sama! Seolah-olah melihat orang lain tertimpa malapetaka, apalagi kalau lebih besar daripada malapetaka yang menimpa dirinya, hal itu menjadi hiburan yang amat manjur! Tangis karena menyedihi malapetaka yang menimpa diri bisa saja berobah tawa ketika melihat orang lain mengalami hal yang sama atau lebih parah! Sebaliknya, si Aku ini selalu tidak rela kalau dalam menerima keuntungan lalu ada orang lain yang juga menerima keuntungan yang sama, apalagi yang lebih besar. Iri hati timbullah! Ah, kalau saja kita mau mengamati diri setiap saat, akan nampaklah segala kekotoran, kemunafikan, kepalsuan, kebencian, iri hati, dalam diri sendiri, dalam si Aku ini! Sayang, kita hanya suka mengamati orang lain, mencela orang lain, tidak pernah mau mengamati diri sendiri, atau kalau mau pun kita hanya mau melihat kebaikan-kebaikan diri sendiri belaka dan itu bukanlah pengamatan namanya!

Mereka semua dapat menyeberang dengan selamat sampai di seberang dan setelah semua orang melompat ke tepi jurang di daerah lembah, tali itu lalu dikendurkan lagi sehingga menghilang tertutup kabut.

"Mari silakan, sobat!" Cu Han Bu mempersilakan ketika mereka tiba di depan sebuah gedung yang cukup megah di tengah-tengah lembah. Dengan tenang Kam Hong bersama Ci Sian mengikuti tuan rumah memasuki gedung itu dan mereka lalu dipersilakan untuk duduk di ruangan dalam yang luas dan di sinilah dua orang tamu ini dijamu oleh pihak tuan rumah. Mereka semua mengelilingi sebuah meja panjang. Kam Hong dan Ci Sian duduk bersanding di tempat kehormatan, kemudian berturut-turut duduk Cu Han Bu, Cu Seng Bu, Cu Kang Bu, lalu Yu Hwi dan Pek In sendiri duduk di dekat ayahnya. Mereka duduk makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat, yang bercakap-cakap adalah Kam Hong dan Cu Han Bu berdua saja, karena yang lain hanya diam mendengarkan. Ci Sian melihat betapa kadang-kadang Yu Hwi mengerling ke arah Kam Hong dan dia menangkap pandang mata penuh kagum dari wanita itu kepada bekas tunangannya. Hati Ci Sian merasa puas. Hemm, perempuan tolol, pikirnya, menolak Kam Hong dan memilih pria tinggi besar itu sama dengan menolak batu intan dan memilih batu karang! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya tidaklah

demikian. Yu Hwi sudah jatuh cinta kepada Kang Bu dan tentu saja baginya tidak ada pria yang lebih hebat daripada kekasihnya itu. Dia memandang kagum kepada Kam Hong adalah karena kekaguman yang sungguh-sungguh, mengingat bahwa dahulu bekas tunangannya ini hanya setingkat dia kepandaiannya, bahkan lebih rendah mungkin. Akan tetapi, sekarang ternyata bukan hanya mampu menandingi Kang Bu, bahkan kini berani memasuki Kim-siauw San-kok dengan sikap demikian tenangnya. Betapa bedanya dibandingkan dengan Siauw Hong dahulu!

Setelah mereka selesai makan minum dan semua mangkok piring telah dibersihkan dari meja, Cu Han Bu lalu berkata kepada Kam Hong, "Nah, sekarang kami harap sudilah kiranya engkau menceritakan tentang nenek moyangmu, keluarga Pendekar Suling Emas, sobat Kam Hong."

Kam Hong tersenyum. "Saudara Cu, bukan aku yang sengaja datang, melainkan karena kalian yang mengundangku, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau lebih dulu menceritakan keadaan keluargamu dan mengapa ada hubungan di antara keluarga kita seperti yang kaukatakan. Apa pula sebabnya tempat ini memakai nama Suling Emas, dan bagaimana puterimu dapat memiliki sebatang suling emas yang serupa dengan sulingku, sungguhpun lebih kecil."

Cu Han Bu juga tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, "Hemm, rahasia keluarga kami tidak boleh diceritakan begitu saja kepada siapapun juga."

"Demikian pun keadaan keluarga nenek moyangku bukan untuk diceritakan kepada pihak lain."

"Betapapun juga, kita berdua mempunyai hubungan melalui suling emas, oleh karena itu terpaksa kita harus saling menceritakan keadaan kita. Dan karena tidak ada jalan untuk menentukan siapa yang harus bercerita lebih dulu, mari kita tentukan dengan menguji kepandai masing-masing, sobat Kam Hong. Adikku telah kalah olehmu, maka aku ingin sekali untuk mengukur sendiri kehebatanmu, dan biarlah ini dijadikan penentu siapa yang lebih dulu menceritakan keadaannya."

"Hemm, aku tidak ingin bertanding, akan tetapi kalau pihak tuan rumah meminta, aku sebagai tamu tidak berani menolak."

"Bagus, sikapmu amat mengagumkan hatiku, sobat!" kata Cu Han Bu yang tadinya khawatir kalau-kalau tamunya akan menolak. Ketika dia melihat adiknya kalah, hatinya sudah dipenuhi rasa penasaran dan ingin sekali dia maju untuk menandingi pemuda itu. Akan tetapi oleh sikap dan kata-kata Ci Sian, pula karena baru saja adiknya kalah, apa pula ditonton oleh See-thian Coa-ong, dia merasa sungkan juga untuk langsung menantang Kam Hong. Juga melihat adanya senjata suling emas itu amat mengejutkan hatinya maka dia tidak berani lancang menantang di tempat itu, di luar lembah. Kini mereka berada di dalam lembah dan dia memperoleh kesempatan untuk menantang Kam Hong dengan cara yang lebih "lunak" dalam suasana persahabatan, sebagai seorang tuan rumah menghidangkan sesuatu kepada tamunya yang terpaksa harus diterimanya. Dalam pertandingan "persahabatan" ini, kalau sampai kalah, tidaklah begitu menjatuhkan nama, tidak seperti dalam pi-bu yang sengaja diadakan untuk menentukan siapa kalah siapa menang, siapa lebih pandai. Kini meja itu disingkirkan dan semua orang duduk di atas kursi yang ditarik ke pinggir dekat dinding sehingga ruangan itu menjadi sebuah tempat terbuka yang cukup luas.

Cu Han Bu sudah mengeluarkan sabuk emasnya dan sambil tersenyum dia melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. "Silahkan, sobat Kam Hong!" katanya. Kam Hong juga melangkah maju dan tanpa sungkan lagi dia pun mencabut suling emasnya. Melihat lawan hanya memegang sebatang senjata, dia pun tidak mengeluarkan kipasnya, sungguhpun dibantu oleh kipasnya, dia akan menjadi semakin lihai.

Kemudian Cu Han Bu berkata lagi, "Saling uji kepandaian ini selain untuk menentukan siapa yang harus lebih dahulu menceritakan keadaan keluarganya, juga biarlah untuk menentukan siapa yang berhak memakai nama Suling Emas."

Kam Hong mengerutkan alisnya, memandang dengan mata mencorong tajam lalu berkata dengan suara lambat namun mengandung tekanan kuat, "Saudara Cu Han Bu, apa maksudmu dengan kata-kata itu?"

"Sobat, engkau memakai julukan Pendekar Suling Emas, atau setidaknya mengaku sebagai keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, sedangkan kami mengaku sebagai keluarga penghuni Lembah Suling Emas dari mana datangnya suling emas yang asli. Oleh karena itu, biarlah kita mengeluarkan ilmu warisan keluarga kita masing-masing untuk menentukan siapa yang aseli dan siapa yang kalah berarti tidak boleh lagi mempergunakan julukan Suling Emas, baik bagi namanya maupun bagi tempat tinggalnya. Jelaskah?"

Suling Emas mengangguk-angguk. Tentu saja di dalam hatinya dia tidak setuju dengan taruhan gila ini, akan tetapi dia pun terpaksa tidak dapat menolak karena seorang pendekar amat memegang kehormatan dan nama "Kalau demikian kehendakmu, baiklah." jawabnya.

"Bagus, sikapmu memang amat mengagumkan. Nah, kausambutlah, sobat Kam Hong"

Cu Han Bu sudah mulai menyerang dan begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya. Sabuk emas yang lemas itu tiba-tiba menjadi kaku seperti sebatang pedang dan ketika Cu Han Bu bergerak menyerang, hampir Kam Hong berseru kaget karena dia mengenal bahwa gerakan itu mirip sekali dengan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang telah dipelajarinya dari catatan jenazah kuno! Memang gerakan itu tidak serupa benar, perkembangan selanjutnya bahkan berbeda, akan tetapi gerakan dasar dan permulaannya tak dapat diragukan lagi adalah Kim-siauw Kiam-sut! Dan bukan main hebat dan dahsyatnya, tenaganya amat besar dan sabuk itu mengeluarkan suara berdesing kemudian mengaung-ngaung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup, sungguhpun tidak melengking terlalu tinggi! Lenyaplah tubuh Cu Han Bu, terbungkus sinar keemasan yang bergulung-gulung!

Kam Hong maklum bahwa dia tidak boleh main-main, maka dia pun lalu menggerakkan sulingnya dengan gerakan panjang dari kanan ke kiri lalu memutar seluruh tubuhnya, dan mulailah dia mainkan Kim-siauw Kiam-sut seperti yang dipelajarinya selama hampir lima tahun ini! Dan begitu dia bergerak dan tubuhnya pun lenyap dibungkus sinar keemasan yang lebih gemilang lagi, Han Bu tak dapat menahan seruan kagetnya. Apalagi ketika mereka berdua sudah saling menyerang dengan hebatnya, keheranan Han Bu makin meningkat. Ternyata pemuda lawannya itu mampu memainkan ilmu silat keturunan keluarganya dengan demikian hebat dan lengkap, dengan perkembangan-perkembangan aneh yang belum pernah dilihat atau didengarnya!

Sementara itu, para penonton, yaitu tiga orang gadis yang tingkat kepandaiannya belum setinggi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, segera menjadi agak pening dan tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat betapa dua orang itu bergerak terlalu aneh dan terlalu cepat sehingga tubuh mereka terbungkus dua sinar yang sama-sama keemasan dan gilang-gemilang, sedangkan suara mendengung-dengung dari sabuk emas di tangan Han Bu itu kini ditambah lagi dengan suara suling melengking-lengking aneh sehingga terdengar amat luar biasa. Suling di tangan Kam Hong itu seolah-olah tidak sedang digerakkan seperti sebatang senjata melainkan sedang ditiup dengan lagu yang aneh melengking-lengking, kadang-kadang tinggi kadang-kadang rendah dan mendatangkan kepeningan kepada yang mendengarnya.

Memang hebat luar biasa perkelahian antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi Kam Hong, semenjak dia meninggalkan gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga Suling Emas, yaitu Sin-siauw Seng-jin, Cu Han Bu ini merupakan lawan yang paling lihai sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi pihak tuan rumah, Kam Hong merupakan lawan paling lihai yang pernah dijumpainya! Setiap serangan mereka disertai sin-kang yang amat kuat, dan setiap jurus serangan dibalas dengan jurus serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu silat mereka sama, dan biarpun yang seorang mempergunakan senjata sabuk emas dan yang lain menggunakan suling emas, namun mereka menggunakan senjata-senjata itu seperti orang memegang sebatang pedang dan ilmu silat yang mereka mainkan juga ilmu silat pedang! Akan tetapi perkembangan gerakan itu yang berbeda dan diam-diam Cu Han Bu harus mengakui bahwa ilmu silat lawan ini benar-benar luar biasa, merupakan ilmu silat pusaka keluarganya akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga dalam hal sin-kang, dia merasa tidak mampu menandingi kekuatan pemuda sastrawan ini.

Akan tetapi, keluarga Cu ini sudah terlampau lama, mungkin sudah beberapa keturunan, merasa bahwa mereka adalah keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang memiliki kepandaian tinggi turun-temurun, maka mereka tidak biasa dengan kekalahan. Hal itu membuat mereka dalam mengasingkan diri selalu memandang rendah orang lain sungguh pun diam-diam keluarga ini amat memperhatikan dan mempelajari orang-orang kang-ouw yang terkenal, bukan hanya mengenal bentuk-bentuk mereka, julukan dan keistimewaan mereka, akan tetapi juga mempelajari keistimewaan mereka itu dan tiga orang saudara itu selalu mencari kelemahan mereka. Akan tetapi mereka belum pernah mendengar tentang Kam Hong ini dan begitu pemuda yang tidak terkenal di dunia kang-ouw ini maju, mereka harus kalah! Tentu saja Cu Han Bu tidak dapat menelan ini, dan dengan penasaran memuncak dia pun melakukan perlawanan mati-matian dalam pertandingan itu.

Setelah lewat hampir dua ratus jurus, tahulah Kam Hong bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, akhirnya tentu seorang di antara mereka akan roboh dengan luka parah, kalau tidak tewas. Dan dia tidak ingin sampai menewaskan tuan rumah, apalagi karena memang tidak terdapat permusuhan apa pun di antara mereka. Di dalam ilmu yang dipelajarinya dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat jurus yang dinamakan Tiang-khing-toan-san (Bianglala Memecahkan Bukit) dan jurus ini khusus untuk mematahkan senjata lawan yang bagaimanapun ampuhnya. Akan tetapi untuk ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga khi-kang yang

dihimpunnya dari latihan meniup suling. Kalau tidak berhasil, berarti dia akan menghamburkan banyak sekali tenaga dalam.

Akan tetapi melihat bahwa itu merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri pertandingan ini tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu mulai memainkan jurus ini.

Cu Han Bu terkejut sekali ketika tiba-tiba gulungan sinar emas dari lawan itu berobah memanjang dan melengkung, dan terdengarlah suara melengking tinggi sekali sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga, namun yang mengandung getaran yang luar biasa, membuat jantungnya terasa perih dan kedua kakinya menggigil! Semua orang yang berada di situ agaknya terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu cepat duduk bersila menghimpun tenaga untuk melawan getaran itu, sedangkan Cu Pek In, Yu Hwi, dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk menutup telinganya rapat-rapat karena mereka merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk! Kam Hong maklum akan hal ini, maka begitu tenaganya sudah terhimpun, dia meluncurkan sulingnya ke atas, seolah-olah hendak menyerang kepala lawan. Cu Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya untuk melindungi kepala dan pada saat itu, dengan gerakan melengkung seperti bianglala, suling emas di tangan Kam Hong melayang dan menghantam ke arah sabuk emas itu.

"Cringggg....! Trakkkk!!"

"Aiihhhh....!" Cu Han Bu meloncat jauh ke belakang, berdiri dengan muka pucat memandang ke arah sabuk emasnya yang telah patah menjadi dua, yang tinggal di tangannya hanya sepotong pendek sedangkan patahannya berada di atas tanah, di bawah kaki lawan.

Cu Han Bu boleh jadi adalah seorang yang berhati keras dan tidak pernah mau kalah oleh orang lain, akan tetapi dia memiliki kegagahan dan tahu bahwa dalam pertandingan ini, betapapun sukar dipercaya, dia telah kalah oleh Kam Hong! Mukanya yang pucat itu menjadi merah sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk emas itu ke atas lantai dan dengan sikap terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam Hong sambil berkata, "Aku Cun Han Bu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul daripada aku, sobat Kam Hong, sungguhpun aku sama sekali tidak mengerti bagaimana engkau dapat mainkan ilmu pusaka keturunan keluarga kami. Akan tetapi biarlah hal itu nanti kita bicarakan. Dalam ilmu silat aku kalah, akan tetapi sesuai dengan nama Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak, biarlah sekarang kita memperlihatkan siapa di antara kita yang lebih tepat memakai

nama itu dengan cara meniup suling. Engkau yang membawa-bawa pusaka suling emas dan keluargamu memakai julukan Suling Emas tentu pandai sekali meniup suling. Maukah engkau melayaniku mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?"

Karena tantangan ini pun mengenai nama keluarganya, maka tentu saja Kam Hong tidak menolak, apalagi karena memang dia ingin melihat sampai dimana kepandaian keluarga yang mengaku sebagai keluarga Suling Emas dan yang ternyata mampu pula memainkan ilmu yang mirip dengan Kim-siauw Kiam-sut itu. "Baik, aku sebagai tamu hanya melayani kehendak tuan rumah."

Cu Han Bu lalu minta suling emas yang dibawa oleh Pek In, kemudian dia mempersilakan Kam Hong duduk sedangkan dia sendiri lalu duduk bersila di atas lantai. Melihat tuan rumah duduk bersila menghadapinya, hanya dalam jarak kurang lebih empat meter mereka duduk bersila saling berhadapan. Sejenak, kedua orang yang sama-sama memegang suling emas yang bentuknya serupa benar itu, hanya suling di tangan Kam Hong agak lebih besar, saling pandang dengan penuh perhatian. Cu Han Bu menggunakan ujung baju lengan kirinya untuk mengusap keringat di dahi dan lehernya. Pertandingan selama dua ratus jurus yang mempergunakan banyak tenaga itu tadi membuat dia merasa lelah sekali dan tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi sebaliknya, Kam Hong hanya berkeringat sedikit saja.

"Saudara Kam Hong, aku kagum sekali kepadamu," akhirnya Cu Han Bu berkata, ucapan yang sejujurnya sungguhpun kekagumannya itu bercampur dengan rasa penasaran. "Kalau ternyata engkau juga mampu mengalahkan aku dalam hal meniup suling, biarlah aku mengaku kalah. Engkau bersiaplah menerima permainan sulingku." Cu Han Bu lalu menoleh kepada puterinya dan berkata kepadanya, "Pek In, bagikan pelindung telinga kepada Nona tamu dan Yu Hwi."

"Baik, Ayah." jawab Cu Pek In dan dia mengeluarkan benda-benda kecil penyumbat telinga berwarna putih terbuat dari karet lalu memberikan sepasang kepada Yu Hwi kemudian dia menghampiri Ci Sian dan diberinya pula sepasang kepada dara ini. Akan tetapi Ci Sian tersenyum mengejek dan menggeleng kepalanya.

"Aku tidak perlu memakai pelindung telinga." katanya. Tentu saja wajah Pek In menjadi merah oleh penolakan ini dan dia sudah menjadi marah, akan tetapi ketika dia memandang kepada ayahnya, Cu Han Bu menggeleng sedikit kepalanya sehingga dia mundur lagi, duduk di tempat semula dan dia pun lalu mengenakan sepasang penyumbat telinga.

"Nona, kau harus memakai pelindung telinga, kalau tidak akan berbahaya bagi keselamatanmu." tiba-tiba Cu Seng Bu berkata karena tokoh ini merasa tidak enak kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut mengadu ilmu kena celaka.

Ci Sian masih tersenyum ketika dia menggeleng kepala. "Mengapa celaka? Andaikata perlu melindungi telinga, bukankah aku masih mempunyai kedua tangan untuk menyumbat kedua telingaku?"

Cu Seng Bu tidak bicara lagi dan bersama Cu Kang Bu, dia pun menyumbat kedua telinganya dengan pelindung telinga karena dia maklum bahwa kakaknya akan mengeluarkan ilmu meniup suling yang mujijat, yang suaranya dapat merobohkan lawan, bahkan dapat membunuhnya!

Sementara itu, Kam Hong terkejut bukan main ketika melihat Ci Sian menolak pemberian pelindung telinga itu. Dia makin menghargai pihak tuan rumah yang ternyata demikian baik hati untuk menawarkan pelindung telinga kepada Ci Sian, akan tetapi celakanya, dara yang keras hati itu menolak dan dia tahu bahwa hal ini berarti bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya maut karena suara tiupan suling yang dilakukan oleh orang yang amat kuat tenaga khi-kangnya dapat merusak telinga atau bahkan membunuhnya. Akan tetapi karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia pun tentu saja tidak mau memaksa gadis itu menarik kembali penolakannya karena hal itu sampai mati pun kiranya tidak akan dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati. Maka dia pun lalu mengambil keputusan untuk melindungi Ci Sian dari bahaya ancaman suara suling Cu Han Bu.

Kini Cu Han Bu sudah mulai menempelkan ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia meniup suling emas itu. Mula-mula terdengar suara suling yang merdu naik turun, akan tetapi kemudian suara suling itu terus menaik dan mulailah Ci Sian merasa tersiksa karena kedua telinganya seperti dikilik-kilik rasanya. Suara suling itu makin meninggi saja dan rasa yang mula-mula hanya geli itu makin nyeri dan telinganya seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian tadinya hendak mempertahankan, akan tetapi akhirnya dia tidak kuat lagi dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi lubang telinganya!

Akan tetapi betapa kaget rasa hati Ci Sian bahwa suara itu masih saja terus mengiang di dalam telinganya, makin lama makin hebat sehingga kini terasa seperti telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya mulai menggigil dan matanya terbelalak memandang ke arah Kam Hong seolah-olah hendak minta tolong.

Pada saat itu, Kam Hong sudah mendekatkan suling di bibirnya dan meniup sulingnya sambil menutup semua lubang suling. Dia tahu bahwa kalau dia menggunakan sulingnya untuk balas menyerang, dia akan dapat membuat lawan celaka, akan tetapi juga Ci Sian akan ikut celaka, maka kini dia meniup sulingnya dengan lembut sekali. Terdengar suara lembut dari sulingnya, suara yang bergelombang halus akan tetapi dapat menggulung suara melengking lirih yang mengandung getaran berbahaya dari suara suling Cu Han Bu dan Ci Sian merasa betapa perlahan-lahan kenyerian di telinganya lenyap, dan dia berani membuka kedua tangannya dan kini yang terdengar olehnya hanya suara suling lembut yang amat merdu dan mendatangkan rasa nikmat! Makin lama, makin lembut suara suling Kam Hong dan akhirnya Ci Sian tidak dapat menahan lagi, tubuhnya terguling dan dia tertidur pulas di atas lantai!

Suara suling dari suling emas yang ditiup Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini setelah dia melihat Ci Sian tidur pulas, dia menambah kekuatan tiupannya dan suara suling itu menggetar halus, biarpun kedua telinga orang-orang yang berada di situ telah ditutup penyumbat telinga dari karet, namun getaran itu masih terus menyerang melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis sehingga akhirnya, berturut-turut Cu Pek In dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!

Melihat ini, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk bersila di atas lantai dan mengerahkan tenaga sin-kang mereka untuk melawan serangan suara suling dari suling Kam Hong. Sementara itu, Cu Han Bu juga memperhebat suara sulingnya untuk menyerang lawan. Namun semua serangan suara sulingnya itu tenggelam di dalam kelembutan itu seperti bara api yang berkobar dijatuhkan ke dalam kubangan air dingin saja. Sedangkan alunan suara suling dari Kam Hong terus bergetar menyerang ketiga orang kakak beradik Cu itu yang kini makin hebat melakukan perlawanan dan mengerahkan sin-kang mereka. Dari ubun-ubun kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu sampai mengepul uap putih dan muka mereka menjadi merah sekali karena keduanya telah mengerahkan sin-kang sekuatnya untuk menahan rasa kantuk hebat yang menyerang mereka. Syaraf mereka seperti diayun atau dibelai oleh suara itu, suara yang mengandung kekuatan mujijat dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan satu-satunya hal yang mereka inginkan saat itu hanyalah tidur, lain tidak!

Memang hebat sekali kekuatan yang terkandung dalam suara suling yang ditiup secara istimewa oleh Kam Hong itu. Suara itu selain dapat menembus pelindung telinga, juga langsung menyerang dan merangsang syaraf-syaraf di kepala menembus kulit kepala yang perasa seperti di pelipis dan bagian lain, terutama sekali merangsang syaraf di pusat pendengaran. Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian dan memiliki tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi dan amat kuat itu. Mereka telah mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu. Akan tetapi lambat laun wajah mereka yang merah menjadi semakin pucat, uap putih yang mengepul di kepala mereka semakin menipis dan akhirnya keduanya tertidur pulas dalam keadaan masih duduk bersila!

Kini tinggal Cu Han Bu seorang yang masih terus melawan sambil meniup sulingnya. Cu Han Bu juga merasa betapa tenaga suara sulingnya itu kini sama sekali tidak dapat menembus suara suling lawan yang seolah-olah merupakan benteng yang amat kuatnya, dan dia pun bahkan mulai merasa betapa gelombang yang hebat menggulung dirinya, membuainya dengan nikmat sekali. Diam-diam dia terkejut, maklum bahwa suara suling Kam Hong benar-benar memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Dia berusaha melawan terus,

kadang-kadang meniup sulingnya amat tinggi, kadang-kadang amat rendah, namun semua usahanya itu gagal karena semua perlawanannya itu membalik dan bahkan agaknya menambah kedahsyatan gelombang getaran dari suara suling Kam Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri, Cu Han Bu juga jatuh pulas dalam keadaan bersila dan sulingnya masih berada dalam genggaman dan masih menempel di bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia seolah-olah telah berobah menjadi patung orang menyuling!

Setelah melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya. Wajahnya agak pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan baru setelah dia mengeluarkan semua tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus membuat tidur semua orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu menggunakan saputangan untuk menyusuti peluhnya.

Setelah kini suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut-turut terjagalah mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya yang terjaga.

"Ahhhh....!" Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah terjadi, maka dia pun meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.

"Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar mengakui keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat maupun dalam hal ilmu meniup suling. Engkau memang berhak memakai julukan Suling Emas!"

Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar yang jelas memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu.

Kam Hong cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata, "Harap Sam-wi tidak merendahkan diri karena terus terang saja, baru sekaranglah saya menemukan keluarga yang memiliki kepandaian sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling Emas."

Pada saat itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan terheran-heran, akan tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she Cu itu amat menghormat Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya. Sedangkan Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.

"Paman, engkau telah menang?"

Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian merasa penasaran dan dia lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang, "Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah memperoleh kemenangan dalam pertandingan ini?"

Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu sudah berkali-kali membikin sakit perasaan, akan tetapi dia tidak dapat mengelak lagi. "Benar, Saudara Kam Hong telah mengalahkan kami."

"Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!"

"Sssst, Ci Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan adalah perbuatan yang bodoh." Kam Hong mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak cakap lagi. Dia seringkali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi kini ditegur di depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan tetapi tidak berani karena dia tahu bahwa kalau dia marah terhadap Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama Kam Hong yang baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat Kam Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.

"Saudara Cu, kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang keluarga Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini...." Kam Hong berkata kepada Cu Han Bu karena memang dia ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan Suling Emas. "Setelah itu, baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas."

Cu Han Bu mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian. "Riwayat keluarga kami adalah rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang pertama yang akan mendengarnya, Saudara Kam Hong, Yu Hwi, biarpun engkau seorang luar, namun mengingat akan hubunganmu dengan Kang-te, berarti engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya. Hanya Nona ini...." Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.

"Dia adalah keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh mendengar, dia pun berhak mendengar pula." Kam Hong berkata cepat-cepat karena dia tahu bahwa kalau sampai dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia marah. Dalam tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari sampingnya, karena hal itu akan amat membahayakan keselamatannya.

Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam Hong tadi. Dia tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar mata menantang!

Cu Han Bu menarik napas panjang. "Kalau begitu baiklah, karena dia Saudara Kam Hong yang menanggung. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami, terutama yang bersangkutan dengan Suling Emas." Mulailah pendekar yang menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang keluarganya.

Menurut cerita turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa seorang di antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu adalah seorang pangeran bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri dari kota raja karena berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri ke lembah Kongmaa La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan petani di tempat ini. Cu Keng Ong adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli dalam hal kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada emas. Ketika berada dalam pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya dia menjadi seorang manusia yang amat lihai, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan hidup tenteram dalam lembah itu.

Karena kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong lalu mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia melebur emas itu dan dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja indah bentuknya akan tetapi terutama sekali dengan ukuran-ukuran sempurna sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan. Karena Cu Keng Ong seringkali bertiup suling di lembah itu, dengan suling emasnya, dan suara sulingnya terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu diberi nama Lembah Suling Emas!

"Demikianlah asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami." Cu Han Bu melanjutkan. "Akan tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu, tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami yang bernama Cu Keng Ong itu dan suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah suling emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu Hak dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita keluarga itu tentang bentuk suling emas aseli buatan Cu Keng Ong. Dan di samping suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan dari suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah kumainkan dengan sabuk emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu dengan suling emasnya, bahkan lebih sempurna daripada saya!" Han Bu menarik napas panjang.

Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini setelah mendengar riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang jenazahnya mereka temukan itu tak salah lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus.

Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi. Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha mencari jenazah kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun sampai tiga orang kakak beradik Cu ini.

"Karena merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami pernah melakukan penyelidikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk mendapatkan keturunannya, namun usaha kami sia-sia saja, seolah-olah keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula, agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih sempurna daripada yang kami warisi sendiri!" Ucapan terakhir itu keluar dengan nada penuh rasa penasaran.

Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa penasaran dan diam-diam dia pun merasa kasihan. Kini mengertilah dia mengapa keluarga Cu ingin sekali mengalahkan dia dan merasa amat penasaran ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang dengan mempergunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biarpun dia tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia merasa sedikit bahwa dia seolah-olah menjadi pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.

"Nah, demikianlah riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam. Sekarang harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang mempergunakan nama Suling Emas, agar kami mengerti bagaimana duduk perkaranya." kata Han Bu. Kam Hong menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa penasaran dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri pusaka dan ilmu! Setelah memandang ke arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata, "Julukan Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau pulalah yang pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga kami diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-tho (Pulau Ular Putih). Kemudian suling emas ini secara turun-temurun dimiliki oleh keluarga Kam dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini sampai kepada saya, keluarga kami menyembunyikan diri. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu Song itu pun menerima dari pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang

baru saja kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu."

Tiga orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya keterangan itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya, entah secara bagaimana tak ada seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling Emas. Dengan demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin sekali mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup yang merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian baiknya, lebih baik daripada yang mereka miliki.

"Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal, yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai ketika menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang saya mainkan dengan suling ketika menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling baru saja saya pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari catatan terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan...."

"Ahhhh....!" Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak karena kaget.

"Jadi engkau malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?" Cu Kang Bu bertanya dengan suara yang mirip bentakan.

Kam Hong mengangguk tenang. "Mungkin saja jenazah itu jenazah Cu Keng Ong seperti yang kalian ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat suling emas dan siapa yang dapat menemukan jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya...."

"Celaka....!" Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat ke depan. Akan tetapi Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata tajam penuh teguran.

"Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus dapat mengendalikan diri dan tidak memalukan leluhur kita!" Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada Kam Hong sambil berkata, "Sungguh aneh sekali mengapa suling pusaka dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu, Saudara Kam Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?"

"Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami hampir saja tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami menemukan jenazah kuno itu dan setelah kami selidiki, jenazah mengandung tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami. Karena kami dianggap sebagai jodoh yang berhak mewarisi Ilmu, dan karena di situ tidak disebut-sebut tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga sejak ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang saya ketahui siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi leluhur penghuni lembah ini...."

"Dan kaupergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!" Cu Kang Bu berteriak lalu menutupi muka dengan kedua tangan. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk di sampingnya lalu memegang tangannya dari kedua tangan mereka saling genggam. Melihat ini, diam-diam Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi, seringkali dia amat merindukan dara itu, seringkali membayangkan wajahnya yang manis dan membayangkan kemesraan bersama calon isterinya itu! Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walaupun pada pertama kalinya dia merasa penasaran dan marah. Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu Hwi itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu Hwi dan sekarang?

Tiba-tiba dia merasa ada tangan halus menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang wajah Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu sinar pandangan, Kam Hong melihat kenyataan yang amat mengejutkan hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari lubuk hatinya, terganti sepenuhnya oleh bayangan Ci Sian! Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan kini, Ci Sian telah menjadi seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak jelas olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.

"Paman, mari kita pergi dari sini...." Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu membuyarkan dunia mimpi aneh dan Kam Hong yang tadi seperti terpesona oleh kenyataan itu.

"Baik, mari kita pergi...." kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, "Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kauambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi."

Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat. "Baiklah, sekali waktu aku akan mengunjungi Kong-kong."

Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat.

"Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?" Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan.

Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata. "Saudara Kam Hong, kami hanya hendak bertanya di mana kautemukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami."

"Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar.. .."

"Dibakar....?" terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.

"Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu dan kukubur di

tempat itu."

"Ahhhh....!" Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong.

Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, lalu berkata dengan suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. "Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu telah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami tidak akan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman! Dan kautunggulah, Kam Hong, biarpun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya bahwa Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!"

Kam Hong menarik napas panjang dan menjura. "Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini."

Cu Han Bu dapat mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura, "Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang." Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas.

"Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?"

Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab, "Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami untuk memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya."

Dalam keadaan biasa, tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan mengejaran kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang.

"Silakan, Saudara Kam Hong." Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan membentang lurus menyeberang jurang.

Melihat tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang meninggalkan tuan rumah yang berada dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali. "Nanti dulu, Paman Kam Hong" katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang. "Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan kalau ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus olehnya?"

Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba-tiba Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang kini matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat.

"Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!" Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah. "Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!"

Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu, Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat.

"Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan."

Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba dia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis.

Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang pundaknya. "Sudahlah, kenapa kau malah menangis?"

Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata. "Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.. .. aku hanya membikin susah padamu saja...."

Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya dekat, "Kau marah oleh teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di sampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun

agar kelak engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai."

Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu. "Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?"

Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak marah, aku menegur agar engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri."

Ci Sian merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong. "Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku...."

Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini cepat-cepat dia dengan halus melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata, "Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam latihan gin-kang menurut ilmu penghimpunan khi-kang dari tiupan suling, maka mari kita lanjutkan latihan gin-kang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan semua tenagamu."

"Baik, Paman, mari kita berlumba!" Ci Sian sudah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan.

Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam hatinya dan dia belum berani menentukannya. Dahulu, sebelum dia bertemu dengan Ci Sian, dia selalu menganggap bahwa dia mencinta calon isterinya, Yu Hwi, sungguhpun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi perhubungan yang akrab, bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi, karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI), dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati "pemuda" itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara! Kenangan inilah yang

mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi.

Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup dan yang membutuhkan perlindungannya! Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian karena dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang sudah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia lari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini?

Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin. Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian.

Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia. Segala macam perasaan tercakup di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih daripada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan berahi belaka.

Akan tetapi, kalau kita tidak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu berahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang dinamakan cinta itu. Berahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia perkembangbiakan manusia, anak beranak. Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu nafsu berahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konfllk dan kesengsaraan. Cinta yang sudah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu berahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, bahkan dapat berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang. Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan berahi pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih.

Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tidak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lain-lain tidak ada lagi! Kiranya setiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sayang!

Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya. Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.

"Dia itu Cu Pek In....!" kata Kam Hong. "Ci Sian, kautunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan menolong Nona Cu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu.

Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirobah namanya menjadi Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung, akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak.

Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat akhirnya Ci Sian terpaksa berhenti di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir. Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang, seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut?

Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulih kembali semangat dan keberaniannya dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai kebarat, dan biarpun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.

Ketika dia tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-aung dari arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, akan tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh!

Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain daripada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.

Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke kiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-aung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok?

Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biarpun dia seringkali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, "Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?"

Karena ketegangan hatinya takut di tinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucunya pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, kalau orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tapi kini dia bertanya apakah ada orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?

"Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu?" kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar.

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam batu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya, "Sumoi, engkaukah itu?"

Bukan main girangnya hatinya. Tentu Kam Hong itu! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Biarpun biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoinya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?

"Benar, Suheng, ini aku!" teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng daripada menyebut paman kepada Kam Hong.

"Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?" kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.

"Mau apa menyusulmu?" Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, kalau tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul? "Bukalah aku mau bicara!" katanya dengan nyaring karena tidak enak kalau berbantahan dari luar dan dalam batu!

"Tunggu sebentar....!"

Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya.

Tiba-tiba batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, akan tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik itu kelihatan lubang hitam yang makin lama makin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam guha yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Kemudian wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.

"Engkau....?"

"Engkau....?" Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. "Bukankah engkau eh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?" Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.

"Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?" Ci Sian menjawab.

"Kau tadi kusangka Sumoi...."

"Dan engkau kusangka Suheng...."

Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau!

"Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?"

Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. "Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!"

Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, "Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoimu yang kau sebut-sebut tadi?"

Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?"

Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pernyataannya bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah...."

"Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... eh, Ci Sian!"

"Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoimu itu?"

"Sumoiku? Ah, Sumoiku bernama Cu Pek In...."

Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berobah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.

"Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!" Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!

"Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?" Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan kiri ketika dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tidak bicara lagi melainkan menyerang semakin ganas.

Harus diketahui bahwa pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sin-kang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu ataupun Cu Seng Bu. Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam guha di mana dia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmunya yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu.

Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran Ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak mau melawan. Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Dia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu, dan kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun dia tidak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja  menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian.

Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tidak ada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.

"Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!" bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang.

Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.

"Dukkkk....!" Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.

Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu.

"Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, menyerang tanpa alasan?" Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu ketika dia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sin-kang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya.

Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaganya dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!

"Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?"

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada suara penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.

"Bukan main nyerinya.... pukulanmu kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?"

Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biarpun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, "Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suhengku dan sudah berjanji takkan lagi memakai nama Suling Emas."

"Eh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang."

Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi guha itu. Ci Sian sudah tidak marah lagi sungguhpun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?

"Nah, sekarang ceritakanlah kepadanya apa artinya semua ini, Ci Sian?"

"Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka." kata Ci Sian.

Hong Bu tersenyum lalu menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biarpun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, namun tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, oleh karena itu biarpun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu!

"Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja." dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. "Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... eh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhuku she Cu itu. Nah,

demikianlah pengalamanku mengapa aku menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?"

"Kalau engkau murid mereka, mengapa engkau sekarang berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?" Ci Sian masih merasa tidak puas.

"Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam guha di balik batu ini, Ci Sian. Karena sudah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam guha itu."

"Dan kausangka.... aku.... Sumoimu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?"

"Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?"

"Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!"

"Banci?" Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.

"Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?"

Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. "Kenapa kau tertawa?"

"Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria.

Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tidak ada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu.

"Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?"

"Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang...."

"Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dulu pernah menolong kita itu? Yang mempergunakan suling emas dan kipas?"

"Benar, dialah orangnya!" kata Ci Sian bangga. "Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu...."

"Ahh....!" Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang.

"Apa ahhh?" Ci Sian menatap tajam.

"Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas."

"Andaikata benar begitu, suling itu telah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga oleh pencipta suling itu diwariskan kepada kami, maka Suhenglah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang aseli.

"Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?" tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.

"Hemm, kalau Suheng tidak memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah...."

"Kalau begitu, mana Suhengmu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kaukira tadi aku Suhengmu itukah?"

"Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... eh, Cu Pek In itulah."

"Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?"

"Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah, setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami me lihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek...."

"Ahhh....!" Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturan ini.

"Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku," kata Ci Sian dengan suara tak senang. "Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya."

"Ah! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!"

"Hemm, kalau aku tahu, apa kaukira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang melakukan pengejaran.

"Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suhengmu menghadapi dua orang kakek itu dan menolong Sumoi."

"Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kaupikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoimu itu dalam keadaan selamat."

"Benarkah? Benarkah Suhengmu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan kubantu Suhengmu?"

"Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini"

Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu ke arah mana sumoinya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?

"Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam guha, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat dingin malam ini di luar sini. Di dalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam."

"Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?"

"Hemm, bukankah Suhengmu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walaupun dia belum pernah memasuki guha ini. Dan andaikata sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suhengmu."

Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki guha itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang guha itu! Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan guha itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam. Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila!

Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur.

Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan guha itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas. Hong Bu berjaga tak jauh di situ sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biarpun di situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia lalu masuk ke dalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun.

Sementara itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya karena dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa dan selain itu memang jarak di antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam Hong akhirnya dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut. Dia belum pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia dapat menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau dia tidak salah, kakek yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek yang berkepala gundul berpakaian hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw siang-cu atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok! Kam Hong telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu dengan mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tak bergerak dipanggul di pundak kakek tinggi kurus itu, dia mempercepat larinya.

Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka menengok dan melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera mempercepat lari mereka! Kam Hong terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang berada di kaki bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuni bertahun-tahun yang lalu karena kuil itu tidak terawat. Mereka berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan keadaan amat sunyi di situ ketika Kam Hong tiba di pekarangan depan kuil yang tidak terawat, yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini, akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin daripada di puncak bukit yang tertiup salju.

Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka tidak boleh disamakan dengan menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa dari tempat dia berdiri itu dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik melalui jurusan manapun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengan bersilang di depan dada, kemudian dia berseru dengan suara tenang dan nyaring.

"Yang berada di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin bicara!"

Hening sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan dari dalam kuil. "Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan keluarga Lembah Gunung Suling Emas?" Suara yang berteriak itu terdengar menggetar penuh dengan tenaga khi-kang yang amat kuat dan tahulah Kam Hong bahwa orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya.

"Aku bukan utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis kalian tawan!" kata Kam Hong terus terang.

"Huh, apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?" terdengar suara orang membentak marah dari dari dalam kuil itu.

"Bukan keluarga bukan teman bukan apa-apa, akan tetapi melihat seorang gadis ditawan dengan paksa apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok, sudah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah sekarang aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah penculik-penculik gadis yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?"

"Sombong....!" Tiba-tiba sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu seorang pendek gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam ke arah dada Kam Hong setelah tadi menggelundung seperti seekor binatang trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main sampai angin pukulan terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan menangkis.

"Dukkk! Bresss!" Tubuh yang pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu menangkis serangannya sehebat itu.

Dugaan Kam Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang lain dan dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini bertemu dengan lima orang yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan Ngo-ok. Orang pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip seekor gorila, gerak-geriknya halus dan biarpun wajahnya mengerikan seperti gorila, namun mulutnya selalu membayangkan senyum ramah! Inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok. Orang ke dua merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu mencorong seperti mata setan, agak kemerahan mengerikan. Inilah Ji-ok Kui bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini. Orang ke tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak, memakai mantel merah dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis. Inilah Sam-ok Ban Hwa Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw siang-cu yang tadi telah menyerang Kam Hong, seorang hwesio pendek gendut yang mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang kini memanggul tubuh Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila. Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu terpejam.

Setelah yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan berkata. "Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang tersohor. Mengingat akan besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka membebaskan gadis ini, dan aku bersedia untuk minta maaf atas gangguanku ini." Kam Hong tidak ingin menanam bibit permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa takut, akan tetapi dia merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan mendatangkan gangguan terus-menerus dalam kehidupannya.

Lima orang itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini tadi menangkis serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan!

"Siapakah engkau?" tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah.

"Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini."

"Hemmm, engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami? Apakah kau bosan hidup? Eh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau membebaskan gadis ini, habis engkau mau apa?" tiba-tiba Su-ok yang merasa penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong.

"Kalau Ngo-wi memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk menyelamatkan gadis ini dengan menggunakan kekerasan." kata Kam Hong.

"Apa? Engkau menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!" Su-ok sudah menerjang dan gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini, selalu tidak segan-segan menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan.

Agaknya dari pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu bukan merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah mempergunakan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis sekali, menyambar ke arah perut Kam Hong!

Namun pemuda ini sudah siap sejak tadi, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan tenang. Cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang waktu perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu, melainkan bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In yang masih berada dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara itu dan dia percaya bahwa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan gin-kangnya yang kini sudah meningkat dengan hebat sekali sejak dia mempelajari ilmu dengan menghimpun khi-kang melalui Ilmu bertiup suling. Maka, sekali mengelak ke kiri, dia sudah menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari situ, tangan kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan tangan kanannya berusaha untuk merampas tubuh Cu Pek In. Serangannya ini dilakukan dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok. Akan tetapi, sayang sekali bahwa justeru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi gin-kangnya di antara para saudaranya, maka biarpun serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si Jangkung itu masih mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu meleset dan saat itu Su-ok sudah datang lagi menubruk dan menghantamnya. Terpaksa Kam Hong menangkis dan melayani Suok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat dia membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang mengeroyoknya! Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan tetapi dara itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih ada tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa kecewa sekali. Kalau begini caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa dia harus mengalahkan mereka lebih dulu!

"Baiklah kalau kalian menghendaki kekerasan!" bentaknya dan segera tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian, cepat gerakannya sehingga para pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan mereka berhadapan dengan lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong mengerahkan tenaga khi-kang sehingga setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah kuat!

Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua kakinya yang panjang dan berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan kalau dia berdiri dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu oleh tenaga khi-kang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama kepada kedua lengannya, dia masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan dia telah berhasil menampar masing-masing satu kali kepada dua orang pengeroyoknya dan biarpun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun cukup membuat mereka menjadi agak jerih dan selanjutnya terus didesaknya dua orang lawan itu dengan hebat. Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang dikeroyok oleh Su-ok dan Ngo-ok itu

merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah mereka kenal maka tentu saja mereka tidak akan merasa penasaran dan heran melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini sama sekali belum mereka kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia kang-ouw ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?

"Tahan....!" Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak Su-ok yang sudah bergulingan itu.

"Dukk!" Sam-ok tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia menangkis untuk menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu tadi, dia menggunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kuda-kudanya tergeser! Bukan main hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.

Karena pihak lawan minta dihentikan perkelahian dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan serangan dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun dengan penuh kewaspadaan karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang paling curang dan paling jahat.

"Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami kenal. Biarpun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menentang kami. Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak kauketahui sama sekali.

"Hemm, apa artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu kalau aku harus mendiamkan saja melihat seorang dara diculik orang?" Jawab Kam Hong dengan suara dingin.

"Ahhh, kau salah paham, sobat muda." kata Sam-ok. dengan nada suara mengejek. "Kami tidak bermaksud mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa ayahnya datang menemui kami...."

"Hemm.... sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling Emas. Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di sana?" Kam Hong mencela. "Mengapa harus menawan puterinya?"

Lima orang itu saling lirik. "Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka dan hendak membela mereka?"

"Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini adalah Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan keluarga Cu di sana."

"Engkau tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri mereka dengan pedang pusaka yang kami kehendaki.. .."

"Hemm, Koai-liong-pokiam yang diperebutkan itu, ya?" Kam Hong sudah mendengar tentang ribut-ribut pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana kaisar. "Aku pun tidak peduli tentang pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja."

"Bocah sombong, engkau sungguh bosan hidup!" Sam-ok sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya. Kam Hong cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama sekali Sam-ok yang lebih lihai daripada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang pengeroyoknya itu telah berada di tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar putih ketika dia mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang diwarisi dari peninggalan nenek moyangnya, dia melawan mereka, dibantu oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokan-totokan dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga. Tentu saja Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tidak mampu mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan kipas itu benar-benar amat dahsyatnya. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan gagang kipas yang sambil menangkis juga langsung menotok jalan darah di pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir tertotok oleh gagang kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar sekali dapat bertahan melawan pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga geram mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu.

"Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan Ngo-te masih tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!"

"Ji-ci, daripada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera diselesaikan!" kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu.

"Hi-hik! Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala. Sungguh sayang!"

"Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!" kata pula Sam-ok karena dia merasa yakin bahwa biarpun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan bocah ini. Kepandaiannya sendiri tidaklah lebih rendah dibandingkan dengan Ji-ok, sungguhpun sampai sekaran dia belum mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun pada umumnya kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok.

"Hi-hik, kaulihat sajalah!" kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan.

"Singggg.... cuiiiiitttt...."

"Ehhh....!" Kam Hong terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sinar kilat ketika telunjuk tangan nenek itu menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat yang amat dahsyatnya.

"Hi-hi-hik, kau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan mempertimbangkan." kata Ji-ok.

Akan tetapi Kam Hong sudah menjadi marah sekali. Tak disangkanya bahwa nama besar Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi itu ternyata sekelompok orang yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan.

"Siapa takut padamu?" bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Ketika mereka melihat betapa kini pemuda yang mereka dikeroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan, mereka terkejut bukan main.

"Suling Emas....!" Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. "Cepat rampas suling pusaka itu!"

Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka mereka serentak menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu.

Akan tetapi, Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara, membentuk huruf Thian (Langit). Empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret ke kanan dari kiri dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan. Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau "menulis" huruf di udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Suok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar.

"Hayo serang dia!" Toa-ok memberi komando, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khi-kangnya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali.

Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, akan tetapi mereka terserang oleh suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hendak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sin-kang untuk melindungi diri dari ancaman suara khi-kang suling itu dan bersiap untuk mengepung, tiba-tiba saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan gin-kangnya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan oleh pemuda itu.

Biarpun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga khi-kang yang terhimpun di dalam tubuhnya, namun para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka, terutama sekali Ngo-ok, memiliki gin-kang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong harus memondong tubuh Cu Pek In dan senja mulai tiba, maka

setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya. Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon. Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat karena kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon

dan batu-batu dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya. Dia teringat, bahwa biarpun dia tidak kelihatan, akan tetapi lima orang itu dapat mengikut inya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka amat penting untuk di jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya.

Harapannya itu memang tidak sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, "Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya."

Dan Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelapnya dan amat berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit- mijit kaki tangannya yang terasa lemas.

"Kiranya engkau malah yang telah menolongku.. .." katanya lirih.

"Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat."

"Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk tak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Eh, di mana dia?"

"Siapa?"

"Anak perempuan itu, eh, Ci Sian...."

"Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan.. .."

"Aku mengenal tempat ini, akan tetapi malam gelap begini tidak mungkin kita melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta bantuannya."

"Suhengmu? Bertapa?"

"Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai dibandingkan Ayah."

Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai Ilmu pusaka yaitu Koali-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan dapat mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka tidaklah aneh andaikata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini memiliki kepandaian tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya.

Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu. "Kau tidurlah Nona. Biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tidak dapat menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh karena kalau kita lakukan Itu tentu mereka akan melihat dan akan datang.

Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan dan kini merasa lega, segera merebahkan diri miring dah tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan. Melihat ini, hanya melihat dengan remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula! Sebetulnya, baik Ci Sian maupun Pek In sudah memiliki kepandaian dan tenaga sin-kang yang cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat mengerahkan sin-kang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Adapun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan penyaluran sin-kangnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun dan dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.

"Engkau sudah bangun?" Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.

"Terima kasih untuk jubahmu ini, kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya. "Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya."

"Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan."

"Aku tahu jalannya, marilah."

Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biarpun Pek In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain.

Matahari pagi telah mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit. "Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa." kata Pek In dengan nada suara girang.

"Lihat, mereka sudah mengejar!" Tiba-tiba Kam Hong berkata. Mari kita cepat lari!"

Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.

"Mari kupondong kau, Nona!" kata Kam Hong.

"Tidak, jangan sentuh aku!" tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan!

"Ahh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain." katanya menghela napas.

Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. "Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari sendiri saja."

"Terserah."

Mereka lalu lari mendaki bukit itu. Akan tetapi, Kam Hong maklum bahwa betapapun lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin dekat.

"Nona, mereka telah datang dekat." kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona itu, sungguhpun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu. Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan.

"Tempat Suheng sudah dekat!"

"Kalau begitu, cepat kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona." kata Kam Hong dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat guha tempat suhengnya "bertapa" dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki guha itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ.

Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya Im-kan Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka. "Im-kan Ngo-ok, kalau kalian berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa kalian adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw!" bentak Kam Hong dengan suara tegas dan penuh wibawa.

"Bocah lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!" bentak Sam-ok sambil memandang ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak kecil melihat sebuah mainan yang amat menarik hatinya. Tentu saja Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar tentang keluarga Suling Emas yang meninggalkan pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mujijat dan kini melihat pemuda ini, perhatian mereka bercabang, sebagian masing menginginkan Koai-liong Pokiam akan tetapi sebagian lagi mengnginkan suling emas pusaka itu!

"Hemm, kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat." kata Kam Hong dan dia pun segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka. Kini dia menerjang lebih dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In yang sudah melanjutkan larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman lima orang ini, dia pun akan mudah meninggalkan mereka.

Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan memang semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka berhadapan lagi dengan pemuda yang amat lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok, Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan merasakan kelihaiannya yang luar biasa, dan kini mereka semua maju, dipimpin oleh Toa-ok mengeluarkan suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong. Mula-mula Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik, berloncatan di atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan gerakan yang gesit dan terlatih. Su-ok sudah merendahkan tubuhnya yang sudah pendek sekali itu sehingga dia nampak seperti seekor katak yang siap hendak menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan Katak Buduk. Adapun Sam-ok Ban Hwa Sengjin, yang biarpun termasuk orang ke tiga dari mereka namun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang paling luas, di antara para saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda kemudian tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari Ilmunya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu pukulan-pukulan dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk tangan berobah berkilauan itu. Dan orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan kiri, kelihatannya seperti tidak memasang kuda-kuda, akan tetapi kakek seperti gorila ini sesungguhnya amat berbahaya.

Melihat mereka berlima sudah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan, Kam Hong menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu paling lihai, sulingnya berobah menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu. Suara itu menyambar ke arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah telinga itu.

"Huhhh....!" Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu menyambar, lengannya menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah leher lawan. Namun Kam Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, siap melanjutkan serangannya dan kipasnya dibuka dan diputar ke kiri untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok sekaligus. Kemudian, dengan mengeluarkan suara berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara secara aneh karena tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara, mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar membentuk segi empat dan sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga empat orang lawan di sekeliling itu disambar sinar suling semua, kecuali Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf Tiong itu, serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti petir menyambar.

"Ohhhh....!" Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling itu dengan Kiam-ci.

"Dessas.... takkkk!"

Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, akan tetapi tetap saja mereka terpelanting dan mengalami kekagetan hebat karena serangan suling tadi seolah-olah mereka rasakan seperti serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi marah dan mulailah mereka menghujankan serangan bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung. Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong tidak berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tiba-tiba gerakan sulingnya berobah. Dia telah menyimpan kipasnya dan kini dia sepenuhnya mengandalkan sulingnya dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang luar biasa hebatnya. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar kuning emas

yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah, amat aneh dan menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya.

Sementara itu, dengan lari secepatnya, akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah guha yang dijadikan tempat berlatih Sim Hong Bu, suhengnya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia melihat suhengnya itu duduk di luar guha yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di depannya duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan keheranannya maka begitu Hong Bu bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan berseru, "Sumoi....!" dia lalu menghampiri dan segera merangkul pundak suhengnya itu dan menangis!

"Eh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?" tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan main. Dia tadi sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari itu dan kini keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoinya menangis, hal yang amat jarang terjadi karena sumoinya adalah seorang dara perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau setidaknya juga tidak secengeng wanita biasa.

"Suheng.... aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah menangkapku.... aku.... aku tertolong oleh...."

"Di mana mereka?" Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi lengking suling itu.

"Penolongku sedang menghadapi mereka.... kaubantulah dia, Suheng...." kata Pek In dan mendengar suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun, "Itu.... itu suling Paman.... eh.... Suhengku Kam Hong.. ..!" Dan dia pun lalu lari ke arah suara suling itu.

Sementara itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoinya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian seperti yang diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki guha, mengambil pedangnya menutup kembali batu depan guha dan menarik tangan sumoinya, "Mari kita bantu dia!" Mereka pun berlari-lari menuju ke arah suara itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.

Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada di situ dan mendengar dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima orang pengeroyok itu.

"Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka kalian yang perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang pemuda, sungguh tak tahu malu. Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut curang, tak berharga! Malu! Malu!

Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang penuh semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar biasa. Akan tetapi dia pun amat kagum menyaksikan sinar kuning emas bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu, dan karena memang sejak pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini diam-diam dia merasa semakin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu. Akan tetapi dia pun terkejut karena maklum bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat ke depan, menghunus pedangnya dan berseru. "Kam-taihiap, biar aku

membantumu!"

Kam Hong sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, akan tetapi juga mulai khawatir. Tadi dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu saja harus dilindunginya! Kemudian muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah perkasa sekali. Ketika dia melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia merasa kaget dan kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia agaknya, pernah bartemu dengan pemuda perkasa ini. Namun dia tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat karena dia sudah dibikin kagum bukan main menyaksikan gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan pula suara mengaung-ngaung yang menandingi lengking suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan Ilmu pedang yang luar biasa.

"Ah, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya diserahkan kepada kita, ha-ha!" Sam-ok tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan rasa khawatirnya menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan itu.

Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang itu, bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa, bergelombang seperti badai mengamuk sehingga tempat itu penuh dengan sinar pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan! Indah bukan main sehingga baik Pek In maupun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan juga menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan suara melengking dari

suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada dua suara saling sahut atau saling mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh sekali.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan mereka berlima itulah yang terkurung dan terdesak oleh sinar pedang dan suling yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok oleh belasan orang lawan! Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal seperti ini, bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang luar biasa dahsyatnya dan masing-masing memegang pusaka-pusaka yang telah di jadikan perebutan oleh dunia kang-ouw. Suling Emas dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang berjungkir balik itu roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan keduanya memegangi pundak dan paha yang berdarah terkena sambaran pedang! Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling yang mengenai pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang membuat nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih beberapa detik saja, sinar pedang dan sinar suling menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah lehernya!

"Tak perlu membunuh!" terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok ujung suling yang mengenai tengkuknya, disusul suara "cringgg!" nyaring sekali disertai muncratnya bunga api ketika suling itu langsung menangkis pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok. Baik Kam Hong maupun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka tidak rusak.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun kata keluar dari mulut mereka.

"Tak usah dikejar, musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri." kata pula Kam Hong melihat Hong Bu hendak mengejar mereka.

Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia lalu menjura. "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di tempat ini, terutama dapat menikmati Ilmu Taihiap yang sungguh mengagumkan sekali."

Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi suheng dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka itu bukanlah omong kosong belaka, "Engkau pun memiliki kepandaian. yang amat mengagumkan hatiku, orang muda...."

"Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang lalu...."

"Hong Bu pernah menolongku ketika Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... eh, Suheng....!" kata Ci Sian dan mendengar sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suhengnya, maka kini menyebutnya suheng. Dan memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu sumoinya, mengingat bahwa mereka berdualah yang berhak menjadi murid kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak

menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka berdua saling menyebut suheng dan sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu menjawab.

"Ya, aku teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu menolongmu dan sekarang pun menolongku pula."

"Ah, Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri, sesungguhnya bukan aku yang menolong Taihiap, melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoiku...."

"Eh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau menyebut-nyebut Taihiap kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar." Ci Sian mencela.

Kam Hong tertawa. "Benar apa yang dikatakan Sumoi. Hong Bu, mulai sekarang, jangan menyebut Taihiap, sebut saja Toako, cukuplah."

"Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena sejak kemarin aku belum pulang. Kauantarlah aku pulang agar Ayah dan para Paman percaya apa yahg telah terjadi." kata Pek In dan dia pun lalu memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi.

"Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sepatutnya kita menghaturkan terima kasih."

"Aku.... aku....!" Pek In memandang bingung dan membuang muka.

Kam Hong maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa. "Sudahlah, di antara kita, perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih segala?"

"Suheng, marilah!" Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci Sian dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan perasaan kecewa dan duka karena mereka harus berpisah itu.

"Ci Sian.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali?" Suara pemuda remaja itu terdengar gemetar penuh perasaan, penuh harapan. Sinar matanya dan suaranya ini tidak terlepas dari perhatian Kam Hong yang berpandangan tajam dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati kepada Ci Sian! Juga Pek In adalah seorang wanita dan biasanya, seorang wanita amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah sekali mengetahui apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar mata penuh kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu. Pada saat yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri dan cepat dia memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?

Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja. terhadap pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tidak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata. "Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah Hong Bu."

Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi amat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharapkan dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata "jodoh" segala! Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suhengnya dan berkata, "Marilah Suheng!"

Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis.

"Dia memang seorang pemuda yang hebat!"

Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan!

"Paman.... eh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... eh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?"

Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, akan tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja boleh, bahkan engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi."

Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, "Eh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?"

"Kenapa bagaimana?"

"Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru saja, sedang dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?"

Kam Hong merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat dia mengerahkan sin-kang untuk menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat mencari alasan untuk sikapnya tadi, "Ah, aku hanya tidak setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti itu...."

"Memang gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada Hong Bu, seolah-olah...."

"Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?" Kam Hong berkata dengan cepat dan agaknya kata-kata ini merupakan berita menyenangkan yang harus disampaikan secepatnya kepada Ci Sian. Dara itu memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak menyenangkan hatinya.

"Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?" tanyanya, tidak rela membayangkan bahwa di antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In.

"Ahh, sudah nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat sikapnya, ketika memandang kepada Hong Bu, ketika bicara, dan cara dia menggandeng tangan pemuda itu...."

"Huh dasar banci tak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta padanya, Suheng."

Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya. Memang demikianlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu agaknya tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang ini. "Entah, Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali...."

"Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-aung ketika aku lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup guha ini. Dan dia mendorong batu besar ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul olehku kemarin...."

"Engkau memukulnya?"

Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia sendiri menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. "Kami memang saling mengenal begitu bertemu muka, Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid keluarga Cu, aku segera menganggapnya musuh dan menyerangnya. Dia tidak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul dadanya sampai dia terpelanting, dan lalu kami berbaik. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya kemarin sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu! Dialah yang mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka...."

"Benar, sekali kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu. Dan melihat cara dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han 8u. Hemm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan tangguh sekali dari Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi."

"Tidak mungkin!"

"Apa maksudmu, Sumoi"

"Tidak mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti keluarga Cu."

Kam Hong menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendenger dara ini memuji diri Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik.

"Mungkin saja dia sendiri tidak, akan tetapi bagaimana kalau masih ada anggauta atau murid keluarga Cu yang lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita!"

"Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!"

"Bagas sekali semangat itu, Sumoi. Akan tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya, yaitu bahwa kita harus mempelajari ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih, Sumoi."

"Baik, Suheng."

"Dan aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?"

"Ke timur....?" Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan mendengar kata-kata ini.

"Kenapa Suheng?"

"Aih, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari Yu Hwi, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan engkau mendengar sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan secara resmi dan terhormat."

"Ke manakah engkau hendak pergi, Suheng?"

"Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah membimbingku sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada hubungan darah. Dia adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek moyangku untuk kemudian diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek Sin-siauw Sengjin kini tinggal pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka mudah bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua."

"Selain mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?"

Kam Hong menggeleng kepala. "Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak pergi meninggalkan daerah yang dingin bersalju ini, ke timur di mana dunia penuh dengan sinar matahari. Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku, Sumoi. Ataukah.... engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu...."

"Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya engkau seoranglah yang kupunyai di dunia ini."

Wajah yang tampan dan biasanya tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. "Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih silat di sepanjang jalan. Mari kita pergi!"

Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang mempunyai nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini yang boleh mereka tumpangi, kini melakukan perjalanan menuju ke timur, meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu.

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila. Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang

ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si Jari Maut Ang Tek Hoat itu!

Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!

Biarpun kelihatannya seperti orang gila, namun pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya di masa muda (baca cerita KISAH SEPASANG RAJAWALIdanJODOH RAJAWALI). Hal ini dapat dibuktikan betapa seringkali dia termenung dan mengeluh panjang pendek, bahkan kadang-kadang terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan hal ini yang membuat orang-orang menyangka dia gila. "Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah bertobat....!"

Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi agar dia memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dia yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila.

Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju ke Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai dia terbawa oleh orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, kemudian bahkan terlibat dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja dia tidak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk

membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya maka dia melakukan perjalanan kembali ke timur.

Biarpun dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang sudah bertaubat benar-benar, tidak pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapapun juga, dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu. Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biarpun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!

Beberapa bukan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya. Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar di tepi kota. Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang bercakap-cakap di atas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah jembatan ada orang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri kalau mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya. Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita lihat atau dengar, baru kita dapat merasakan betapa lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini. Percek-cokan suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percek-cokan diantara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati. Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, merupakan suatu jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran dan kepalsuan. Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat menjadi tidak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya sedemikian untuk sekedar "menghukumnya"!

Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya.

"Kalau dia tidak mau seret saja sudah!" Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah.

"Ah, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja." terdengar suara orang ke dua.

"Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau melukisnya."

"Lima belas tail?" seru suara pertama.

"Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!"

"Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat membujuknya." kata orang ke tiga.

"Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia mau!"

"Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia."

"Aih, harus hati-hati, agar dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?"

Tiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka terdapat seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut!

Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasa melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok tergantung di pinggang dan selain bertubuh besar juga nampak bengis.

Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut dengan sikap menjilat.

Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, "Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?"

"Di.... di sana, paling belakang, akan tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengggnggu tamu kami...."

Sementara itu, Tek Hoat sudah mendahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak yang agaknya tengah digubahnya.

  "....batin kosong tanpa isi....

  .... alam pun sunyi sepi....

  ....hening....diam....suci....

  ....seniman tua asyik

  sepi sendiri....

"Tok-tok!" Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.

"Siapa di luar?"

"Pouw-lo-siucai.... harap buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!"

Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti Pernah kita mengenal sastrawan pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri Milana.

Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. "Hemm, siapakah menjadi siucai? Aku tidak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?"

"Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!" kata suara di luar mendesak.

"Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tak perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka." kata Pouw Toan.

Daun pintu didorong dari luar dan diam-diam Tek Hoat sudah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap melindungi kakek itu kalau-kalau tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan.

Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan alisnya. "Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen."

Seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata, "Pouw-lo-siucai...."

"Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian."

"Eh.... eh, begini, Pouw-sianseng...." katanya gagap karena biarpun kakek itu nampak kurus kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya seperti seorang pendekar gagah perkasa. "Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk...."

"Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang.. .."

"Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng."

"Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekalipun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekalipun, atau setangkai bunga indah sekalipun kalau aku tidak menghendakinya."

Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. "Hei, pelukis tua sombong! Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau takkan bisa memperoleh uang sebanyak itu!"

Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu, dan dia tersenyum sambil menggeleng kepalanya. "Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tidak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan di hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?"

"Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!" bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu. Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena maklum bahwa Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi ancaman itu.

Kakek Pouw Toan adalah orahg yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali menghadapi ancaman malapetaka, maka tentu saja penodongan ini merupakan hal kecil saja baginya. Sungguhpun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.

"Hemm, sungguh untung sekali kau!" Katanya sambil tersenyum kepada penodongnya. Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang suka mempergunakan kekerasan dan ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia untung!

"Ah, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?" bentaknya.

"Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau dia berada di sini, aku terpaksa akan menaruh kasihan kepadamu." Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak menggertak.

"Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak! Kalau mau, mari ikut dengan kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!" Si Tinggi Besar mengancam.

Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri. "Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek."

"Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kaulukis dan menerima upah lima belas tail perak!" kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. "Mari kita berangkat!"

Tiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya, Pouw Toan dengan sikap tenang-tenang saja mengikuti mereka dan sedikit pun tidak kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang pergi "jalan-jalan" bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung! Tak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.

Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw Toan dan mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang "pengantarnya" masuk ke dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa "senjatanya" saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu.

Untuk peristiwa luar biasa yang menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan para selirnya menonton dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman dan hartawan ini duduk di atas kursi empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya. Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu!

Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biarpun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biarpun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Akan tetapi dia tetap menanti di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempat dia bersembunyi, dia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.

Kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri, "Sudah selesai!"

Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biarpun semodel dengan wajah Thio-wangwe, namun mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi! Dan orang bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah berahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila perempuan!

Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya sudah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu lari menghampiri pelukis itu. "Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!" Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berobah merah sekali.

"Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!" teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai.

Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai keinginan melukismu, Wangwe, oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, akan tetapi aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berobah menjadi menyusahkan dan mengecewakan,

membosankan. Karena itu...."

"Pergi!" Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawa dia pergi!" bentak hartawan itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi. Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upahnya kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar.

"Sialan!" katanya kepada teman-temannya. "Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau berikan."

"Kenapa?" tanya Si Tinggi Besar.

"Kau tidak melihat lukisannya?" Yang ditanya menggeleng.

"Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!" kata utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung. Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa.

"Heh, mirip memang!"

"Hushh!" bentak Si Tinggi Besar. "Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan dan kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!" bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu.

"Sabar, kawan." kata temannya. "Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya memukul orang tua lemah seperti dia."

Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidak mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, akan tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan!

Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.

"Eh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?" tanya Pouw Toan.

"Huh, kusuruh melukis!" bentak Si Tinggi Besar.

"Melukis apa?"

"Melukis neraka!"

"Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?"

"Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?"

"Aku pun belum, ha-ha-ha!" Pouw Toan tertawa senang.

"Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya." kata Si Tinggi Besar yang mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi akan tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya.

"Eh, apa yang kaulakukan ini?"

"Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!" Si Tinggi Besar menodongkan goloknya. Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan berkelebat.

"Desss! Aughhhhh.... !" Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tak dapat menahan kesabarannya lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka!

Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis.

"Krek! Krek!" Lengan kedua orang itu patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka mengaduh-aduh dan memegangi lengan yang patah tulangnya.

"Jembel busuk kau bosan hidup!" bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia menyerang dengan goloknya. Akan tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi Besar dengan pecahan golok masih di tangan.

"Creppp!" Kembali Si Tinggi Besar menjerit dan sekali ini, tangan kanannya hancur dengan pecahan goloknya sendiri menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang hancur. Dia merintih-rintih, kemudian bersama dua orang temannya dia melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik Pouw Toan.

Sejenak suasana menjadi sunyi dan dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena kegelapan hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan tertawa bergelak, "Ha-ha, sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari Maut!"

Bukan main kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak tadi dia membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi dia, tidak peduli dan membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia melihat kakek pelukis itu terus mengikutinya, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu turun ke bawah jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di atas jembatan tadi.

"Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan daripada losmen itu!" kata Pouw Toan. "Wan Tek Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?"

Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan mengetahui she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan itu, kebanyakan hanya tahu bahwa she-nya adalah Ang!

"Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai." jawabnya singkat, kemudian disambungnya, "dari mana kau tahu aku she Wan?"

"Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, maka begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak mendengar tentang dirimu dari sahabatku yang teramat baik, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung bibimu sendiri, bukan?"

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi dihubungkan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, biarpun harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti dan pendekar itu adalah kakek tirinya!

"Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!" Setelah berkata demikian, Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas. Diam-diam Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali kepada pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi dan diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang puteri cantik seperti bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada pendekar yang kini menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa mungkin keadaan pendekar ini sampai menjadi begini justeru karena Si Puteri itulah! Dia tidak tahu dan tidak pernah mendengar akan rahasia yang terjadi di balik hubungan antara pendekar ini dengan Puteri Syanti Dewi, akan tetapi dia teringat akan pesan Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan dirinya kepada pendekar ini kalau dia dapat menjumpainya dan kini secara kebetulan sekali dia bertemu dengan pendekar ini! Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh orang jahat kalau tidak muncul Si Jari Maut, yang menyelamatkannya. Bahkan nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu. Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus mengikutinya dan dia dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu. Andaikata dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba dituntun ke pejagalan begitu saja. Melihat pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan tak lama kemudian dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang manusia bebas yang selalu merasa bahagia, dimanapun juga dia berada.

Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah jembatan itu kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang karena tidak terhalang awan. Agak jauh dari bulan sepotong itu nampak berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur itu. Dia masih hafal bunyinya karena amat tertarik.

  "Batin kosong tanpa isi

  alam pun sunyi sepi

  hening diam suci

  seniman tua asyik

  sepi sendiri"

Dia menarik napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu, keheningan yang maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu agaknya menikmati kesunyian yang disebutnya keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian diri, karena kerinduannya yang tak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa seperti bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri, miskin papa dan hina, seperti dia, tidak cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia pun menarik napas panjang lagi. Kalau saja dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal itu akan amat meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada dua pilihan, hidup dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andaikata dia dapat menjumpainya, dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus dan akhirnya seperti pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak!

Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita. Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi. Namun pada hakekatnya, akar daripada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di

mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah "ku" nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.

Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri. Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa

khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas

kecewa, hidup mati dan sebagainya.

Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justeru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya, kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhirnya! Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana

tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.

Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam guha-guha atau di puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat didayaupayakan, dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar cinta kasih.

Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia terbangun. Dan memang Tek Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek Hoat dalam sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak.

"Selamat pagi, Wan-taihiap." kata Pouw Toan.

"Hemm...." Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru sekarang dia mendengar ada orang menyalam selamat pagi padanya.

"Bukan main indah sejuknya pagi ini!" Pouw Toan bangkit berdiri, mengembangkan dadanya dengan membuka kedua lengannya dan menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi itu sebanyaknya.

Mendengar suara yang terdengar amat gembira ini Tek Hoat menoleh dan memandang penuh perhatian. Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena dia tidak melihat sesuatu yang patut untuk membuat orang itu gembira! Sungguh seorang manusia yang amat aneh!

"Siapakah namamu, Paman?" Akhirnya dia bertanya. Dia tidak tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia sudah mampu menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu!

"Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan."

Tek Hoat mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama orang akan tetapi dia masih samar-samat ingat bahwa nama ini banyak disebut orang dengan nada kagum. Melihat pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan lalu berkata, "Agaknya ada sesuatu yang ingin kautanyakan kepadaku? Silakan,"

Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, "Aku ingin sekali tahu tentang arti sajakmu semalam, ketika kau membaca sajak di dalam kamar losmen." Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat mengulang bunyi sajak empat baris itu.

Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya secara iseng-iseng dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian. Sajak itu agaknya mengena benar di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat hebat sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena kerinduan.

"Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada di atas genteng ketika tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak itu sudah begitu jelas, tentang keheningan dan kesepian. Bagian manakah yang kau tidak mengerti?"

"Keadaan yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun ini, akan tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah nampak gembira dan menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat menyusahkan hatimu?"

"Ahhh....!" Pouw Toan memandang dengan penuh iba. "Mengapa aku harus susah? Aku tidak membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, mengapa aku harus susah? Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang hati yang kosong dari segala keinginan berarti telah memiliki segala-galanya dan karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan tetapi engkau, Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa iba diri, kesepian dan sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang kauinginkan tentu dapat terlaksana. Andaikata engkau mencinta seorang wanita dan amat merindukannya, ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri, menyepi dan menjauhkan diri?"

Semua ucapan itu mengenai benar hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah menceritakan semua penderitaannya kepada siapapun juga. Akan tetapi pribadi pelukis ini amat menarik hatinya dan menimbulkan kagum, maka kini mendengar ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas panjang dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang waras.

"Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat mengharapkan balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau mengampuni semua dosaku yang bertumpuk-tumpuk?" Pertanyaan ini seperti diajukannya kepada diri sendirl, tanpa memandang kepada pelukis itu maka Pouw Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi, kadang-kadang ada gerobak atau orang lewat di atas jembatan, memecahkan kesunyian.

"Andaikata dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andaikata mau mengampuniku, belum tentu dia masih mencintaiku. Andaikata dia sudah mati, lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ah, hidupku sudah hampa....!"

"Aih, Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tidak nampak sama sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berobah, matahari akan bersinar kembali! Memang kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih berada dalam cengkeraman suka-duka, tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tidak perlu berbesar kepala selagi terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang telah mengatasi suka-duka sajalah yang bebas.

Kalau engkau belum bebas, mengapa harus menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap penuh kerinduan?"

Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil berkata. "Tidak mungkin.... tidak mungkin...."

"Heiii! Ke mana Taihiap hendak pergi?" Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu sudah mendaki ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula.

"Sungguh keras kepala...." Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong jembatan dan naik ke jalan yang masih sunyi.

"Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!"

Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh berkata, "Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!"

"Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah kautolong malam tadi...."

"Lupakan saja!"

"Wan Tek Hoat setidaknya kaulihatlah lukisan ku ini teriak Pouw Toan sambil membuka gulungan sebuah lukisannya dan dia berdiri menghadang di depan pendekar yang seperti jembel itu. Dengan tidak sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas lukisan yang dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan memandang lukisan dengan mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi! Mata itu, hidung itu, bibir itu....! Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah menyambar ke depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan dan diangkatnya orang itu tinggi ke atas seperti orang menangkap seekor kelinci dengan memegang pada telinganya saja.

"Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!" Dia membentak-bentak dengan muka pucat sekali seperti kertas.

Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, "Pantas saja dia menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk berdekatan dengan orang yang wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?"

Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan sedikit pun tidak gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat, membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan suara seperti orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan dia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang gulungan lukisan dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pouw Toan!

"Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana adanya dia...." Pouw Toan terkejut sekali akan tetapi juga girang. Orang ini sesungguhnya belum kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena kedukaan dan kekecewaan saja yang membuatnya menjadi seperti itu. Maka dia pun cepat membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.

"Puteri Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi seorang seperti bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to...." Dengan singkat Pouw Toan memberitahu letaknya pulau itu. Akan tetapi belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan dengan mata bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali.

"Terima kasih, Paman Pouw, terima kasih...."

"Nanti dulu, belum kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang memberikan lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu...."

"Dia.... dia masih ingat padaku?"

"Ingat? Ah, dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah kudengar dari banyak tokoh kang-ouw."

"Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi...." Dan Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat pergi dari situ untuk segera mencari kekasihnya.

"Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!" Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin sekali menasihati pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu. Pemuda itu sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka kalau tidak mendapat nasihat yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu keadaan hubungan antara dua orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin seorang tua lemah seperti Pouw Toan dapat menyusulnya?

Pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah berdiri menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, "Paman Pouw telah minta kau berhenti!" Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali telah menghadang dan mendorongkan kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang sedang lari.

Bukan main kagetnya hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang amat kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali, akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang saudara kembar!

"Kalian minggirlah!" kata Tek Hoat dan kedua tangannya sudah dipentang untuk mendorong mereka ke kanan kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat mengelak, bahkan lalu menangkap pergelangan tangannya dari kanan kiri!

"Paman Pouw menyuruh kau berhenti!" kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi atau bukan sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama benar. Cara mereka mengelak kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya membuktikan bahwa mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka timbul keinginan dalam hati Tek Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih keluarga pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji mereka.

"Kalian hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!" katanya dan dia pun lalu menggunakan kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun lalu mengirim serangan ke arah mereka dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan terbuka.

Dua orang pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak Goat Kong. Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat karena sejak kecil mereka digembleng oleh ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan Puteri Milana! Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi mereka melihat tamparan-tamparan tangan yang jelas mengandung tenaga sin-kang yang amat tangguh itu. Cepat mereka pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini tentu orang jahat yang entah melakukan apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah perkelahian satu lawan dua yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan dua orang pemuda remaja kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan mereka baginya tidak begitu asing, bahkan seolah-olah ada dasar-dasar yang sama antara ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lomo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun terkejut sekali mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, memiliki ilmu silat tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak.

Sejak tadi Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua orang pemuda kembar itu yang tidak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapapun juga, apalagi kepada orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat adalah seorang pendekar, biarpun sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab. Biarkanlah mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini maklum akan "penyakit" para pendekar yang suka sekali akan

pertandingan ilmu silat, menonton atau ditonton! Setelah membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya Pouw Toan yang tidak mengenal ilmu silat itu merasa khawatir juga. dan dia pun cepat maju, dan berseru keras, "Jangan berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara sendiri, masih keluarga sendiri!"

Tentu saja mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang kepada Tek Hoat dengan terheran-heran. Keluarga sendiri? Mereka sungguh tak dapat menduga siapa adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak mau pedulikan segala hal, kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar mata bertanya.

"Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari Ibu kandung kalian."

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar nama ini dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel seperti ini. Betapapun juga, mereka tidak meragukan keterangan Pouw Toan dan mereka lalu menjura kepada Tek Hoat.

"Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak mengenalmu." kata Jit Kong.

"Wan-taihiap, mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera kembar Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku untuk belajar sastra, ha-ha-ha!"

Giranglah hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu, telah mempunyai putera kembar setampan dan selihai ini.

"Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!"

"Taihiap....!" Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan lenyap dengan cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh....dia manusia aneh.... kasihan sekali...."

"Tapi.... Si Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang kata Ibu tampan dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar...." Goat Kong berkata.

Pouw Toan menghela napas. "Begitulah kehidupan manusia. Manusia boleh saja mempelajari segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa, namun selama dia tidak mampu membebaskan diri dari segala nafsu yang mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka. Kedukaan kadang-kadang membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan yang hebat seperti dia itu."

Bagaimanakah dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita ketahui, lima tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus orang-orang kang-ouw, berkeliaran di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu, usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita ketahui, mereka itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai murid-murid utama Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja. Mereka berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong, akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian sebagai siluman ular lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi Mo-li. Kiranya mereka itu memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu!

Dua orang anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang amat terkenal pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian luar biasa sekali. Biarpun usia mereka baru dua belas tahun, namun di dalam darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka ketika mereka mendengar tentang lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton, jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu diam-diam lalu berunding dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan pengejaran dan pencarian terhadap pencuri pedang itu! Memang lucu sekali kalau diingat betapa mereka itu, biarpun sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang pusaka dari dalam gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini tentulah seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan kepada seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san agar kakek itu suka memberi kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak pergi "merantau" untuk meluaskan pengetahuan!

Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek tetangga itu. Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tidak ada hasilnya. Dua orang anak mereka seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas! Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada yang pernah melihat dua orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar, berpakaian lain dan juga Jit Kong merobah cara dia menggelung rambut dan mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak sama dengan muka adik kembarnya! Baru setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan mereka berpakaian biasa kembali seperti anak kembar.

Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. "Tenanglah, tidak mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup besar dan mereka pun bukan anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan melindungi diri sendiri."

"Tapi mereka itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat amat banyak orang jahat!" kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.

"Betapapun juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup di dunia ramai. Ingat, isteriku, kita pun dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu mengkhawatirkan mereka?"

Puteri Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah memegang kedudukan panglima yang memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi pemberontak-pemberontak, maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita cengeng. Maka biarpun kekhawatiran masih kadang-kadang mencekam hatinya, dia dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang diucapkan suaminya itu memang benar. Betapapun juga, suaminya harus berjanji kepadanya bahwa kalau sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka berdua akan turun gunung mencarinya sendiri!

Demikianlah asal mulanya Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya, terbawa arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlumba mencari pedang pusaka yang jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan kemudian murid-murid mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu. Karena maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka dua orang anak kembar ini tidak melakukan perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur, untuk menjaga agar mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian yang menolong mereka.

Kalau Jit Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan diri. Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka. Kalau kedua orang anak kembar itu menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri. Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan menyerahkan diri saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan terjadi kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan. Tentu saja mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar? Nenek mereka adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah seorang puteri istana aseli, masih terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguhpun neneknya itu puteri selir saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan dari kaisar yang sekarang, malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang akan terjadi dengan mereka, apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana, cucu dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu!

Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah "menolong" mereka dan merusak permainan sandiwara mereka. Betapapun juga, semua pengalaman mereka itu membuka mata mereka bahwa merantau di tempat itu sungguh amat berbahaya dan ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang pandai dan orang-orang jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san, apalagi mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali dengan kepergian mereka.

Dan memang dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka, akan tetapi kemudian mereka pun menerima teguran keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka pergi merantau.

"Bukan kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua, lebih dulu diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang tua. Pula, kalian masih terlalu muda untuk pergi mencari pengalaman di luar." demikian antara lain ayah mereka menegur.

"Ke mana saja engkau pergi selama setengah tahun ini?" Milana bertanya, matanya masih basah akan tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak muram dan gelisah.

"Kami mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya dilarikan maling ke Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan harapan kalau-kalau kami akan dapat menemukan kembali pedang pusaka istana itu." kata Jit Kong.

Milana terbelalak. "Kalian ke Pegunungan Himalaya?" Dan wanita cantik ini tertawa geli. "Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar barat, dan andaikata kalian tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana."

Gak Bun Beng tertawa dan menggeleng-geleng kepala. "Aih, sungguh tidak kunyana, aku yang ingin sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Akan tetapi biarlah, hitung-hitung kalian mewakili aku. Asal saja kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah orang kang-ouw pergi ke sana?"

"Banyak sekali, Ayah. Terdapat banyak sekali orang-orang aneh dan orang-orang pandai." kata Goat Kong.

"Dan bagaimana kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah dite mukan pencurinya dan pedang itu dapat dirampas kembali?" tanya Milana.

Jit Kong menggeleng kepala. "Mereka itu agaknya bukan mencari pedang untuk dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk diri sendiri masing-masing."

"Ahh....!" Milana berseru kecewa.

"Tidak aneh, apa engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?" kata Bun Beng.

"Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang." kata Jit Kong.

Tentu saja keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari tempat duduknya, mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati lima puluh tahun itu menjadi kemerahan. "Ditangkap orang? Siapa yang menangkap kalian dan mengapa kalian ditangkap?"

"Kami ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li...."

"Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?" Milana membentak, marah.

"Aku pun tidak mengenal nama itu." kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama ini tidak pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak mengenal nama-nama baru. "Siapakah mereka itu?" tanyanya kepada dua orang puteranya.

"Menurut yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok...."

"Ah, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?" bentak Bun Beng dan Milana terkejut sekali mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat lihai itu. "Kenapa kalian ditangkap mereka? Apakah kalian tidak melawan?"

"Mereka menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk menghadap Sam-thaihouw. Kami tidak melawan dan membiarkan diri ditangkap karena kami ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana. Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!"

"Sam-thaihouw....?" Milana terbelalak dan dia lalu mengangguk-angguk, "Pantas...., kiranya empat iblis betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!"

Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada isterinya karena banyak hal, dan terutama karena kegagalan pemberontakan dua orang Pangeran Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw dan dia mengerutkan alisnya, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah selamat.

"Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat meloloskan diri dan pulang ke sini." katanya kemudian.

Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka ditangkap, kemudian betapa mereka ditolong oleh seorang gadis cantik bersama kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang mengalahkan Su-bi Mo-li.

"Gadis itu mengacaukan rencana kami, Ayah!" kata Jit Kong.

"Dia itu seperti siluman ular saja. Mengerikan!" kata pula Goat Kong.

"Eh, eh! Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah melawan Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?" tanya Milana.

Dua orang anak kembar itu bersungut-sungut. "Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan diri untuk ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana dengan kami. Kami hanya pura-pura menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur bebas, maka kami lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat yang amat lihai."

"Siapakah gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?" tanya Milana yang merasa tertarik.

"Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman ular itu?" kata Goat Kong.

"Ah, jangan berkata demikian!" Milana membentak. "Apa kaukira asal orang bermain atau mampu mendatangkan ular-ular lalu kauanggap dia jahat dan siluman? Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli tentang ular beracun?"

Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati mereka mengaku bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong mereka itu. Sesungguhnya bukan semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat keganasan ular-ular itu dan juga karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka.

Pada malam harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami isteri pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam keadaan seperti dua orang anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang mencapai puncaknya, maka kalau tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat lagi. Mereka lalu berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di lereng sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang mereka hormati karena sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka itu belajar ilmu tentang hidup dan memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Dan mereka mengenal betul siapa Pouw Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biarpun tidak pernah belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena suka merantau dan yang mengenal hampir semua pendekar sakti di dunia ini.

Demikianlah, beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw Toan di lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja kembali dari perantauannya. Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat mengagumi pendekar dan isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang puteri kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela meninggalkan kemuliaan dan kemewahan memilih hidup sederhana namun tenteram.

Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami isteri ini menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka sampai ke Pegunungan Himalaya! Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang. "Ahhh, sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka itu adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi, tentu saja mempunyai keberanian dan jiwa petualang, dan tentu tertarik mendengar akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini pun amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang itu, sungguhpun aku tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke Himalaya!"

Setelah bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami isteri itu menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu, yaitu untuk menitipkan dua orang putera mereka agar belajar ilmu sastra dan filsafat kepada kakek itu.

"Setelah mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka pergi lagi. Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu kami mohon Pouw Twako suka menerima mereka menjadi murid."

"Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar bahwa Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat kukagumi malah menyerahkan putera Ji-wi kepadaku untuk menjadi murid! Betapapun juga, hati siapa takkan merasa bangga menjadi guru dari cucu Pendekar Super Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya, akan tetapi, untuk mematangkan mereka, bukan hanya harus belajar dari buku-buku melainkan mengajak mereka merantau dan melihat kehidupan di tempat-tempat ramai."

"Terserah kepada Pouw-twako kalau hendak mengajak mereka merantau. Biarlah mereka itu belajar selama dua tiga tahun sebelum mereka mempelajari Ilmu-ilmu silat yang lebih berat dan mendalam. Selain itu, juga kami berdua ingin pergi ke kota raja untuk menyelidiki apa maksudnya menculik anak-anak kami."

Setelah mereka bersepakat, Jit Kong dan Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini menerima dengan girang perintah ayah mereka, apalagi ketika mendengar bahwa mereka selain diajar Ilmu kesusastraan juga akan diajak pergi merantau oleh Paman Pouw yang sudah mereka kenal dan yang mereka kagumi karena kakek itu pandai melukis dan pandai sajak.

Demiklanlah, sejak itu, Jit Kong dan Goat Kong ikut dengan Pouw Toan, bahkan lalu diajak pergi merantau oleh kakek yang tidak betah tinggal terlalu lama di suatu tempat itu. Dan pada hari itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek itu bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia berjumpa dengan Tek Hoat dan ketika dia dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa melukis hartawan Thio, dua orang muridnya itu sedang pergi untuk memberi peringatan atau hajaran kepada seorang penguasa dusun tak jauh dari kota itu yang terkenal sebagai penindas dan pemeras para penduduknya. Memang Pouw Toan tidak melarang, bahkan menganjurkan dua orang muridnya itu untuk mempergunakan ilmu silat yang mereka pelajari dari orang tua mereka untuk melawan kelaliman di manapun mereka berada.

Dan malam itu juga Jit Kong dan Goat Kong pergi membereskan penasaran yang terjadi di dusun itu, mendatangi kepala dusun, menundukkannya, kemudian pada keesokan harinya mereka memaksa kepala dusun untuk mengembalikan sawah ladang yang dirampasnya dari para penduduk tani, dan menyaksikan kepala dusun mengucapkan janji untuk menjadi kepala dusun yang baik di depan para penduduk. Setelah selesai, barulah dua orang remaja kembar yang luar biasa ini meninggalkan dusun dan kembali ke kota di mana mereka melihat gurunya mengejar-ngejar seorang laki-laki jembel.

Setelah pertemuan dengan Wan Tek Hoat itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan bersama dua orang murid kembarnya menuju ke utara, karena dia ingin mengajak dua orang muridnya merantau ke kota raja.

Sementara itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali, hampir tak pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak patah-patah, napasnya seperti hendak putus dan tenaganya sudah habis saking lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan perjalanan sambil berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum, makan dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti Dewi!

Pendekar yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat titik cahaya terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu di Pulau Kim-coa-to sedang dipersiapkan oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui, yang disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan ditakuti karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini berdarah dingin pula dan mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang luar biasa lihainya! Pesta apakah

gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan suka menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi rasa sayangnya kepada Syanti Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya, bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.

"Enci Hui...." bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling menyebut enci dan adik, "Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa sih enaknya dirayakan ulang tahun kita, kalau kita sudah berusia tiga puluh tahun. Kiraku, tidak ada wanita yang suka memamerkan ketuaan umurnya!"

Ouw Yan Hui tersenyum. "Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang kusengaja, dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku, bahwa keramahanmu yang menerima semua persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya. Oleh karena itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, dalam pesta ini akan kujadikan suatu kesempatan

bagimu untuk memilih jodoh."

"Enci....!"

"Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biarpun engkau memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah berusia setengah abad!"

"Lihatlah diriku! Aku memang tetap cantik, akan tetapi apa gunanya semua kecantikan ini? Jangan kausia-siakan hidupmu, Adikku. Maka biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada tandingnya di antara semua pria yang pernah kaukenal. Atau setidaknya, biarlah pangeran mahkota sendiri yang akan mempersuntingmu!"

"Enci....!"

"Adikku, mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang wanita yang dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita berdarah panas yang selalu mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu terhadap kekasihmu yang pertama itu tak pernah padam! Itu menunjukkan betapa panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang yang kaucinta sudah tidak peduli lagi akan dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak, Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku yang amat sayang kepadamu akan menentang ini!"

Menghadapi wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak bicara karena penasaran itu, Syanti Dewi tidak dapat banyak membantah. Betapapun juga, dia pun sayang kepada wanita ini dan dia sudah berhutang budi sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini. Memang, tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa sayang bercampur berahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih suka bercumbu dan bermain cinta dengan sesama wanita karena dia pembenci pria. Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi melayani hasrat berahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan berahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat

atau saudara atau bahkan seorang ibu! Syanti Dewi merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biarpun kasih sayang itu, sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus tahu diri dan tidak boleh selalu membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain itu, diam-diam dia pun melihat kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu dapat diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu menolak cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih! Tepat seperti yang dikatakan oleh Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!

"Tiga puluh tahun! Ah, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka rahasia bahwa aku sudah tua sekali?"

"Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi juga agar mereka semua melihat betapa dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan cantiknya dibanding dengan seorang dara berus ia tujuh belas tahun!"

"Aihh, Enci bisa saja menjawab."

"Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Encimu, bukan?"

Syanti Dewi menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya menjadi merah sekali. "Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini dan engkau hendak mencari pembeli yang berani menawar paling tinggi!"

Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui lalu merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia dirangkul oleh wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan Ouw Yan Hui bermain cinta dengan sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu dan senang dirangkul. Akan tetapi kini, rangkulan Ouw Yan Hui terasa lebih menyeramkan daripada rangkulan seorang pria yang tidak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui juga merasakan betapa tubuh puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil menarik napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu merangkul anaknya.

"Syanti Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa seujung rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau boleh memilih sendiri pria yang cocok, dan bukan karena melihat uangnya, melainkan semuanya. Ya hartanya, ya kedudukannya, ya ketampanannya, ya kegagahannya. Pendeknya, seorang pria pilihan!"

"Terserah kepadamu, Enci!" kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, kemudian meninggalkannya. Dan mulailah persiapan dilakukan, undangan-undangan dibagi dan pengumuman-pengumuman disebar sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus disampaikan kepada Pangeran Mahkota Kian Liong! Juga disampaikan undangan kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk menjadi tamu undangan, pemuda putera para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawan-hartawan dan para pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat. Pendeknya, Ouw Yan Hui akan mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di seluruh daerah yang

dikenalnya, termasuk Sang Pangeran Mahkota sendiri yang memang sudah menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi! Undangan-undangan yang dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu tentu saja hanya berisi undangan untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti Dewi, akan tetapi di samping itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa Sang Puteri cantik itu hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan jodohnya! Berita desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama tergila-gila kepada puteri yang amat cantik jelita seperti bidadari itu.

Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai Huai. Dari tepi pantai hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut sedang tenang, dan kalau orang naik perahu layar, maka dalam waktu empat lima jam akan sampai di pulau itu. Kota Tung-king berada tak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king yang berada di lembah Sungai Huai nampak lebih ramai daripada biasanya. Kota itu memang diramaikan oleh tamu-tamu yang hendak berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!

Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king juga ikut menjadi sibuk karena hari itu Pangeran Kian Liong datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang berjumlah dua losin orang! Sang Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali ini karena menerima undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja dikawal dan mengendarai kereta yang indah. Karena hari telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota Tung-king dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke gedung kepala daerah yang menjadi sibuk bukan main! Pangeran Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk. Akan tetapi alangkah bingung dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi ditemani wanita. Baru sekarang ini selama hidupnya Lu-taijin kepala daerah kota Tung-king itu mendengar bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang mau tidur di kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita! Di samping kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali dan diam-diam dia memperoleh kenyataan akan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah seorang pemuda yang sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya sebagaimana lajimnya para pangeran dan pembesar lainnya.

Tentu saja para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan karena pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka yang berwarna biru dan bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah, selain itu, mereka adalah pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga mendatangkan kesenangan.

Sementara itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang laki-laki yang makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik. Biarpun tiga orang itu berpakaian biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang berpemandangan tajam. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan tahun, pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kanan saja karena yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih panjang hitam itu besar melingkari lehernya. Biarpun orang ini kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun sesungguhnya dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pai karena dia dahulu adalah seorang jagoan yang dipercaya oleh Gubernur Ho-pei. Dia berusia enam puluh satu tahun bernama Liong

Bouw dan julukannya adalah Tok-gan Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal). Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai seorang yang disegani dan di sampinG kegagahannya sebagai pendekar, juga ia masih amat setia kepada kerajaan.

Orang ke dua dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Dua orang tokoh Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa setelah menjadi kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan. Dan biarpun Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki kelakuannya dan kalau murid Siauw-lim-pai itu melanggar larangan-larangan, Siauw-lim-pai berhak untuk mengeluarkan dari perguruan sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak beradik itu, untuk melakukan penyelidikan di kota raja, mereka memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah menguasai isteri orang dengan jalan kekerasan! Memang ada beberapa kali Yung Ceng merampas isteri orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang kecantikannya membuatnya tergila-gila. Maka mereka lalu melaporkan kepada para pimpinan

Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara antara pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi. Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan perjalanan secara menyamar itu.

Memang Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa dan dengan cara ini dia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan mereka, pendapat mereka tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan yang ditujukan kepada kaisar. Dan karena tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka setiap kali terjadi malapetaka yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga orang-orang mulai menanam kepercayaan yang bersifat tahyul, yaitu bahwa pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!

Tiga orang yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka berbisik-bisik dan bicara dengan serius, dengan nada suara penuh khawatir.

"Benarkah penyelidikan kalian itu?" Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut, takut kalau-kalau percakapan mereka didengar orang lain.

"Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu digerakkan oleh Sam-thaihouw...."

"Ssttt.... hati-hati kalau bicara...."

Liong Bouw bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang mencurigakan dan dia pun duduk kembali. "Apa kaubilang? Sam-thaihouw...."

Nama Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat mendatangkan bencana, biarpun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali, dan dia amat bengis sehingga banyak sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus menerima hukuman yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya tidak mampu mencegah segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh. Seorang menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu pernah berani mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang terjadi kemudian? Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang puteranya dan tidak ada seorang pun tahu siapa pembunuhnya! Akan tetapi kaisar tidak memerintahkan penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya bahwa itulah hukuman menteri yang lancang mulut itu! Masih banyak orang-orang yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw sehingga namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.

Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati tertarik, "Apakah yang sesungguhnya terjadi?"

"Agaknya Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu bahwa Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi pribadi Kaisar sendiri. Karena itu, persekutuan antara mereka itu memutuskan untuk mengenyahkan Pangeran itu atau setidaknya membatalkan dia sebagai calon pengganti Kaisar."

"Ah, mana mungkin! Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!" bantah Si Mata Satu.

"Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata telah berobah menjadi seorang pria yang lemah, yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang wanita cantik yang telah membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh Sam-thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar. Dan agaknya kaisar telah setuju untuk menggantikan pangeran mahkota dengan pangeran yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum sesat untuk membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya."

"Aih, berbahaya sekali kalau begitu. Darimana kalian dapat memperoleh semua rahasia kerajaan ini?"

"Seorang murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan menjabat pangkat komandan muda dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang melakukan semua penyelidikan itu untuk kami, karena sebagai murid Siauw-lim-pai dan menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki kelakuan murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu."

Hening sejenak dan tiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu akan adanya bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang berkuasa di istana itu. Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan terjadi dan bahaya apakah yang mengancam diri Pangeran?" Lalu disambungnya dengan nada suara gentar, "Apakah kalian kira Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun tangan?"

Dua orang kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala. "Kami rasa hal itu tidak akan mungkin terjadi." kata Ciong Lun. "Ini bukan urusan kecil, dan mereka itu sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau mereka berani turun tangan sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya dan mereka tentu tidak berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, sungguhpuh sudah dapat dipastikan suruhan mereka itu tentu amat lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga dan berhati-hati."

"Menurut penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?"

"Entah, hal itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa sebelum Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami hanya dapat menangkap bahwa mereka itu membicarakan tentang kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal yang penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan sayembara ilmu silat pula. Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai Pangeran."

"Betapapun juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh sepasukan pengawal yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan setia. Kita harus menyamar sebagai tamu-tamu di Kim-coa-to dan selalu membayangi Pangeran." kata Liong Bouw dan setelah selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, kemudian meninggalkan rumah makan itu dengan berpencar. Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian Liong secara berpencar agar mereka lebih leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui lawan.

Apakah yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tidak mengetahui karena segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan dari luar nampaknya bahwa kehidupan keluarga kaisar itu tenang-tenang saja, bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, selalu riang gembira dan tenggelam dalam hiburan-hiburan. Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau dipandang bukan dengan ukuran kesenangan duniawi, kehidupan keluarga petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan kehidupan keluarga kaisar! Kehidupan keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum dan tata cara sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan kaisar dengan dahi dibentur-benturkan lantai dengan penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya mengucapkan "ban-ban swe" (hidup selaksa tahun)! sebagai pengucapan hormat dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai ujung sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja di balik semua itu menaruh dendam yang amat mendalam! Dan antara keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup menurut adat-istiadat dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap sebagai pakaian saja. Di sebelah dalam terdapat hati yang bermacam-macam, penuh ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.

Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih mempunyai ambisi besar sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka (baca KISAH SEPASANG RAJAWALI ), bahkan yang disusul oleh kematian mereka, diam-diam menikam perasaan Sam-thaihouw yang diwaktu mudanya amat sayang kepada dua pangeran yang menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati ini dipendamnya dalam hati. Oleh karena itu, dia menaruh dendam mendalam kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi kegagalan gerakan dua orang pangeran itu. Juga, dia

ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati Kaisar Yung Ceng. Kaisar ini diwaktu mudanya merupakan seorang pangeran yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah dia menjadi kaisar, setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulailah lenyap sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia

menghambakan diri kepada kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu-nafsu menjadi majikan dari batinnya.

banyak sudah para pemimpin atau pembesar yang menasihatinya dengan halus dan kadang-kadang nasihat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Namun, di samping mereka yang menasihatinya, lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena hanya dengan demikian itu sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah dan mereka itu dapat merajalela! Di antara para penasihatnya, majulah Pangeran Yung Hwa (baca cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI

dan JODOH RAJAWALI), seorang pangeran yang tadinya amat dekat dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Namun, pengaruh nasihat Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar sebagai putera tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya. Dan akibatnya, Pangeran Yung Hwa lalu diangkat menjadi gubernur di barat, di daerah Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi kedudukan, akan tetapi sebetulnya itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana!

Demikianlah keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh Sam-thaihouw itu semakin berani saja, semakin gila sehingga mereka tidak segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan Pangeran Mahkota Kian Liong! Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik, yaitu selir ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir yang cantik jelita dan yang dirampasnya dari tangan seorang pembesar istana pula! Selir ini mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun berambisi untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan kaisar! Dan melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak dapat didekatinya, bahkan yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini, antara Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!

Demikianlah keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat tanpa diketahui oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja di istana yang mengetahui akan hal ini, dan yang mengetahui tidak berani membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu mereka tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa keluarganya pula.

Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam keluarga ayahnya. Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di istana yang dianggapnya sebagai sumber segala kepalsuan, penjilatan, kepura-puraan dan iri hati, di mana setiap saat terjadi persaingan untuk mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang amat memuakkan hatinya. Dia lebih senang merantau, dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata, tanpa pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan cara demikian pangeran ini pernah bekerja membantu nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu saja seringkali dia terancam bahaya, akan tetapi selalu saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.

Ketika pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang berkunjung ke Kim-coa-to, bukan menyamar, sebagai pangeran akan tetapi secara sederhana. Dan dalam pertemuan itu, kedua pihak merasa kagum. Pangeran Kian Liong kagum sekali melihat seorang wanita yang demikian cantik jelita, berdarah bangsawan bahkan puteri Raja Bhutan, dengan kecantikan seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra, pandai menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan pandangan-pandangannya tentang hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini

tertarik untuk bersahabat. Pangeran Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi kecantikan batiniah daripada kecantikan lahiriah, dan kalau dia tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah, bukan kecantikannya semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi, melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan bergurau, kadang-kadang melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi, dan membuat sajak bersama-sama atau bicara tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu silat. Biarpun dia sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja untuk olahraga menjaga kesehatan, namun Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar pembicaraan tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti Dewi dia mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan cocok.

Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biarpun usianya lebih muda namun telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup, dengan amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda dengan semua pria yang mendekatinya. Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu memandang kepadanya dengan mata terpesona dan penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang mata itu terdapat nafsu berahi yang bernyala-nyala, akan tetapi kekaguman yang terpancar keluar dari pandang mata pangeran ini bersih, kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga mawar atau mengagumi langit di waktu matahari terbenam. Oleh karena itu, biarpun usia mereka berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan saling merasa akrab, sama sekali tidak canggung.

Ketika menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia bermaksud untuk melakukan perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan Pengawal Pasukan Garuda, mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang menghadap. Komandan yang sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua pasukan pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan kesetiaan Souw Kee An, maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari pangeran mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.

"Harap sekali ini Paduka sudi mendengarkan nasihat saya dan tidak melakukan perjalanan tanpa dikawal. Saya mendengar banyak desas-desus yang tidak baik dan juga berbahaya bagi keselamatan Paduka, Pangeran." demikian komandan tua itu membujuk.

"Ah, Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun ini aku seringkali pergi merantau sendirian dan menyamar sebagai orang biasa ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dan sampai sekarang aku masih hidup dan selamat." kata Pangeran itu sambil tersenyum.

Souw Kee An menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Akan tetapi berapa kali Paduka terancam bahaya maut dan kalau tidak ada malaikat pelindung berupa orang-orang sakti yang kebetulan melihat Paduka terancam lalu melindungi, apakah tidak berbahaya sekali? Dan pula, sekarang Paduka menerima undangan acara resmi, apa salahnya kalau Paduka juga datang secara resmi sebagai seorang Pangeran pula?"

Setelah dibujuk-buruk dan Souw Kee An menceritakan betapa akan banyaknya hadir tokoh-tokoh kang-ouw, baik dari golongan bersih maupun dari kaum sesat di Kim-coa-to, dan bahwa menurut desas-desus yang didengarnya ulang tahun itu dipergunakan pula untuk memilih suami dan akan dipertandingkan ilmu silat sehingga tentu akan terjadi keributan, akhirnya Pangeran Kian Liong setuju juga untuk pergi dengan dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama dua puluh orang Pasukan Garuda. Souw Kee An lalu memilih anggauta-anggauta yang memiliki kepandaian cukup, dan berangkatlah pangeran setelah mendapat persetujuan kaisar,

pergi ke Kim-coa-to.

Demikianlah, karena hari telah mulai gelap, rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa berhenti di Tung-king.

Souw-ciangkun mengatur penjagaan yang ketat karena dia maklum bahwa semakin dekat mereka tiba di tempat tujuan, semakin gawatlah keadaan dan dia percaya bahwa pada waktu itu tentu banyak terdapat orang-orang kang-ouw di kota Tung-king itu. Dan dugaannya itu memang tidak meleset kalau kita ingat betapa tak jauh dari tempat bermalam Pangeran, di rumah makan kecil di sudut kota itu telah terjadi pertemuan-pertemuan antara tiga orang gagah yang diam-diam melakukan perlindungan pula terhadap keselamatan Pangeran Kian Liong. Souw Kee An sendiri pun maklum akan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh Sam-thaihouw, dan

justru karena itulah dia membujuk Pangeran agar melakukan perjalanan dengan terkawal.

Dan pengawalan Pasukan Garuda yang ketat itu memang ternyata ada hasilnya.

Buktinya, sampai tiba di Tung-king, belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seolah-olah fihak yang mempunyai niat buruk terhadap Pangeran merasa jerih dengan adanya pengawalan pasukan yang terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata hal itu hanya sementara saja dan fihak lawan itu memang ada dan sedang menanti saat baik! Untuk melihat siapa adanya fihak lawan itu marilah kita mengikuti mereka semenjak dari sebuah kamar rahasia di gedung peristirahatan Sam-thaihouw! Di dalam kamar rahasia itu, sebelum Sang Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan untuk ke sekian kalinya dengan Toa-ok, yaitu tokoh pertama dari Im-kan Ngo-ok yang telah menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di situ hadir pula empat orang wanita cantik yang bukan lain adalah Su-bi Mo-li yang memang bekerja sebagai pengawal pribadi Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Su-bi Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok dan empat orang wanita ini pernah menculik Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong akan tetapi usaha mereka itu gagal karena percampuran tangan Ci Sian.

"Maaf, Thaihouw, akan tetapi mengapa tidak mengambil jalan yang mudah saja dan membunuh Pangeran itu?" Dengan sikapnya yang halus, sopan dan ramah Toa-ok berkata kepada nenek yang berpakaian indah itu. Itulah Sam-thaihouw, seorang nenek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun akan tetapi pakaiannya masih mewah sekali dan mukanya juga dibedaki tebal, alisnya sudah habis akan tetapi sebagai gantinya dibuatlah coretan alis hitam kecil dan panjang melengkung! Im-kan Ngo-ok adalah orang-orang yang

terkenal sebagai datuk kaum sesat dan tentu saja Sam-thaihouw tidak sudi berhubungan langsung dengan orang-orang seperti Ji-ok, Su-ok atau Ngo-ok, maka yang dapat mewakili mereka hanyalah Toa-ok yang sopan dan halus sungguhpun mukanya mengerikan seperti gorila. Sebetulnya Sam-ok seoranglah yang pandai bersikap menghadapi orang besar, akan tetapi karena Sam-ok adalah seorang bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh, maka tidak leluasalah bagi Sam-ok untuk bergerak di tempat terbuka, apalagi di kota raja. Oleh karena itu, setiap kali Sam-thaihouw hendak mengadakan perundingan dengan para pembantunya yang istimewa ini, yang telah banyak sekali menerima emas dan permata darinya, selalu Toa-ok yang mewakili, di samping empat orang Su-bi Mo-li yang memang sudah biasa berada di dalam gedung Ibu Suri ini.

"Aih, Lo-enghiong!" Ibu Suri itu selalu menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepada Toa-ok, seolah-olah kakek itu adalah seorang pendekar yang sedang membantu "perjuangannya". "Enak saja kau bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa Pangeran Kian Liong? Kalau engkau melakukan hal itu, tentu engkau akan dimusuhi oleh para pendekar sedunia, kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar tentu akan marah kepadaku. Tidak, bukan pembunuhan yang kumaksudkan!"

"Akan tetapi Paduka tadi mengusulkan agar kami menghancurkan Pangeran...."

"Menghancurkan namanya, kedudukannya, pengaruhnya, bukan orangnya! Sekali namanya rusak, setelah rakyat melihat bahwa dia adalah seorang pangeran yang melakukan hal-hal buruk, nah, namanya tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan akan lebih mudah untuk memindahkan kedudukan pangeran mahkota kepada yang lain. Mengertikah engkau akan maksudku?"

Bukan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok namanya kalau rencana keji sekecil itu saja tidak dimengerti. Dia mengangguk-angguk. "Harap Paduka tenangkan hati. Pekerjaan itu amat mudah dan sudah pasti kami dapat melakukannya dengan baik. Paduka tunggu saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to, Pangeran Kian Liong telah berubah dari seorang pangeran yang disanjung dan dipuji menjadi pangeran yang dikutuk dan dicela, baik oleh rakyat maupun para pejabat."

"Bagus, hadiahmu akan besar sekali, Toa-ok!" kata nenek itu, saking girangnya lupa menyebut Lo-enghiong, akan tetapi hal ini malah menggirangkan Toa-ok yang sesungguhnya tidak suka disebut enghiong-enghiongan segala.

"Harap Paduka tidak melupakan apa yang mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu Paduka dengan taruhan nyawa." Dia memperingatkan dengan suara halus.

"Ah-he-he-he, tentu saja kami tidak lupa, Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan Kaisar berada dalam kekuasaan kami, sudah tentu kami akan mengajukan usul agar kalian berlima diangkat menjadi orang-orang yang berkedudukan tinggi di kota raja!"

Toa-ok merasa puas dengan janji ini, maka dia pun lalu mohon diri dan pergi meninggalkan kamar rahasia itu bersama dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi Mo-li yang akan membantunya melaksanakan rencana yang akan diatur oleh Im-kan Ngo-ok sendiri. Karena Sam-thaihouw melarang mereka menggunakan tangan maut membunuh pangeran, maka harus diambil tindakan yang cerdik untuk menghancurkan nama baik pangeran itu dan dengan kerja sama Im-kan Ngo-ok dengan empat orang murid mereka yang lihai dan cerdik, dibantu pula oleh anak buah mereka, Toa-ok merasa yakin bahwa rencana itu sudah pasti akan berhasil.

******

Pangeran Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke Kim-coa-to itu sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para pendekar yang diam-diam melindungi maupun pihak lawan yang mencari kesempatan untuk menyeretnya ke dalam lumpur.

Oleh karena itu, dengan wajah berseri gembira pada hari berikutnya, Pangeran Kian Liong meninggalkan rumah gedung pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan dikawal oleh Souw Kee An dan dua puluh orang pengawalnya. Karena Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh rakyat di sepanjang perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati, maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai kereta dan duduk sambil bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu. Begitu dia mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betapa kehidupan menjadi berbeda sama sekali. Segala di

sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh kepalsuan, membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia pangeran mahkota, maka semua orang bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum setulusnya, kalau tidak senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka. Setelah kereta itu meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah yang sunyi, barulah pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir memperlambat jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi.

Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai. Sebuah hutan yang sunyi dan tenang. "Aih, sejuk sekali di sini!" kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia dapat lebih banyak menikmati hawa yang sejuk dengan bau daun-daun segar dan rumput hijau setelah tadi mereka melalui dataran terbuka yang panas. Matahari telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, akan tetapi karena daun-daun pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau raksasa yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.

Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda itu roboh. Semua pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena dadanya tertancap anak panah secara dalam sekali, mungkin menembus jantungnya.

"Kepung kereta!"

"Lindungi Pangeran!" teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung dan menjaga kereta.

Pangeran itu duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke kanan kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di antara empat ekor kuda yang menarik keretanya.

Gerakan mereka itu seperti bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Mereka itu terdiri dari dua puluhan orang, semua memakai pakaian serba hitam dan kedua mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam pula, menyembunyikan bentuk wajah aseli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat menduga bahwa beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita. Dan seorang di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi, membentak, "Tinggalkan kereta dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!"

Ini adalah bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok. Orang-orang berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga orang-orang yang menyamar pikir Souw Kee An yang cerdik dan sudah berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.

"Sobat, bukalah matamu baik-baik!" teriaknya nyaring. "Kami adalah Pasukan Pengawal Garuda yang sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian menyingkir dan jangan mengganggu kami yang sedang bertugas!" Teriakan ini diucapkan Souw-ciangkun bukan karena dia takut menghadapi mereka, hanya dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi pengawal dan menjaga keselamatan pangeran.

Akan tetapi wanita berkedok itu berseru nyaring, Pangeran atau Raja atau siapa saja harus membayar pajak jalan kalau lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap pangeran itu untuk minta uang tebusan!"

Melihat lagak para perampok yang dipimpin oleh wanita itu dan mendengar betapa mereka hendak menangkap seorang pangeran mahkota untuk minta uang tebusan, tiba-tiba pangeran itu tidak dapat menahan ketawanya. Keadaan itu dianggapnya amat lucunya.

"Ha-ha-ha-ha! Kalian bukan saja menyaingi pemerintah memungut pajak jalan, bahkan akan menawan pangeran untuk dijadikan sandera guna memeras uang tebusan. Ha-ha-ha, bukan main!"

Semua perampok berkedok itu sejenak tertegun menyaksikan sikap pangeran itu. Seorang pangeran muda yang berwajah tampan dan memiliki sepasang mata yang amat tajam penuh wibawa, dengan suara ketawa wajar dan ramah, bukan dibuat-buat, dengan sikap yang benar-benar mencengangkan karena mereka menduga bahwa tentu pangeran itu ketakutan! Ternyata pangeran itu sama sekali

tidak takut bahkan tertawa geli.

"Serbu....!" Wanita berkedok itu berteriak nyaring memecahkan keheranan para anggauta perampok dan mereka pun menerjang ke depan, disambut oleh pasukan pengawal yang sudah turun dari masing-masing kudanya dan menjaga di sekeliling kereta itu. Para pengawal ini merupakan pasukan pilihan, masing-masing memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dengan gagah mereka menyambut serbuan para perampok itu, dengan keyakinan bahwa dalam waktu singkat saja mereka akan mampu membasmi para perampok itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka mendapat kenyataan bahwa para perampok itu ternyata bukanlah perampok-perampok biasa karena rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang tangguh dan mampu menandingi mereka!

Souw Kee An juga terkejut bukan main ketika dia menandingi wanita berkedok yang memimpin gerombolan itu. Wanita itu mempergunakan pedangnya secara hebat sekali, sama sekali tidak pantas menjadi perampok kasar biasa! Memang Souw Kee An sudah curiga dan menduga bahwa perampok-perampok yang tidak gentar mendengar nama Pasukan Pengawal Garuda dan berani merampok bahkan hendak menculik pangeran mahkota tentulah bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok biasa! Maka dia pun memutar pedangnya dan melawan wanita berkedok itu. Akan tetapi hatinya mulai gelisah melihat betapa di antara para perampok itu terdapat wanita-wanita yang amat lihai dan anak buahnya mulai terdesak hebat, bahkan ada pula yang sudah terluka. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatan pangeran mahkota, maka dia pun cepat meninggalkan lawan untuk meloncat ke dekat kereta, guna melindungi pangeran sampai titik darah terakhir kalau perlu.

"Pangeran, harap sembunyi di dalam kereta, tutup pintu dan jendelanya!" teriak Souw Kee An sambil memutar pedang melindungi. Akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum dan menonton mereka yang sedang berkelahi, seolah-olah semua pertempuran itu baginya hanya merupakan perang-perangan saja! Hal ini bukan sekali-kali menjadi tanda bahwa pangeran itu tolol atau ceroboh, sama sekali bukan, melainkan karena dia tahu bahwa bersembunyi di dalam kereta pun tiada gunanya. Kalau memang semestinya dia menghadapi bahaya, atau tewas sekalipun, biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu dengan mata terbuka! Dan pangeran ini pun tahu bahwa tidak ada orang yang akan membunuhnya. Tidak ada alasannya untuk hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin menawannya, dan mungkin perampok-perampok gila itu benar-benar hendak menggunakannya sebagai sandera untuk minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh, juga menarik menegangkan hatinya!

Akan tetapi kini dua di antara para wanita tangguh itu telah berada dekat kereta dan mendesak Souw Kee An dan dua orang anak buahnya yang menjaga kereta. Keadaan menjadi kritis dan berbahaya sekali! Tiba-tiba, setelah menangkis pedang Souw Kee An dan membuat komandan itu terhuyung, seorang di antara wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas kereta dan tangan kirinya bergerak menyambar hendak menangkap Pangeran Kian Liong.

"Wuuut, plakkk....!" Tiba-tiba di atas kereta itu nampak seorang pria tinggi besar bermata satu yang melayang turun dari pohon dan menangkis tangan wanita itu. Wanita itu terkejut, akan tetapi pria tinggi besar itu sudah menyerangnya dengan sebatang golok tipis. Terpaksa wanita itu menangkis dan terjadilah pertandingan yang amat seru di atas kereta. Pangeran Kian Llong dengan mata terbelalak dan wajah berseri menjulurkan kepalanya dari jendela untuk dapat menyaksikan pertandingan baru di atas keretanya itu. Kereta itu bergerak-gerak. Sungguh luar biasa sekali. pangeran ini. Nyalinya amat besar dan dia sedikit pun tidak merasa takut, bahkan dalam keadaan yang demikian mengancam dia masih mampu untuk tersenyum gembira seperti seorang anak kecil melihat tontonan yang menarik!

Pertempuran di bawah kereta juga mengalami perobahan dengan munculnya dua orang laki-laki yang bukan lain adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak beradik Ciong Tek dan Ciong Lun yang mengamuk, membantu pasukan pengawal tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Mereka berdua menggunakan senjata toya (tongkat) dan memainkan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang memang terkenal tangguh itu. Keadaan pertempuran menjadi berubah dan para anak buah pasukan pengawal memperoleh semangat mereka kembali, mereka mengamuk dan kini mendesak para perampok. Sedangkan pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan wanita berkedok di atas kereta pun berlangsung dengan amat serunya. Ternyata wanita itu memang tangguh sekali sehingga dia dapat mengimbangi permainan golok dari kakek mata satu itu. Hanya dorongan-dorongan tangan kiri kakek itulah yang membuat wanita berkedok itu kewalahan, karena memang dari dorongan itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat dan itulah sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi julukan Tangan Sakti. Kini ada beberapa orang perampok yang roboh terluka dan semangat para pengawal menjadi semakin besar dengan adanya bantuan tiga orang gagah yang tidak mereka kenal itu.

Selagi keadaan amat tidak menguntungkan untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul seorang anggauta perampok lain yang juga berpakaian hitam dan memakai topeng. Perampok ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Begitu perampok ini muncul, sekali meloncat dia sudah tiba di tengah-tengah pertempuran itu dan begitu kaki tangannya bergerak, ada tiga orang pengawal yang tepelanting. Hebat bukan main kepandaian kakek raksasa ini! Semua pengawal mencoba untuk mengeroyoknya, akan tetapi siapa yang berani datang dekat tentu akan terlempar lagi, hanya oleh tamparan tangan atau tendangan kaki sembarangan saja! Melihat

betapa hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong Lun lalu meloncat dan menyerang kakek itu dari kanan kiri, menggunakan toya mereka yang dimainkan dengan dahsyatnya. Namun, melihat gerakan toya ini, kakek raksasa itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah memandang rendah, lalu kedua tangannya berusaha menangkap toya. Ketika dua saudara itu menarik toya agar tidak terampas, kakek itu menampar ke kanan kiri, gerakannya biasa saja akan tetapi dari tamparannya ini datang angin keras yang hebat. Dua orang saudara Ciong terkejut dan menangkis dengan hantaman toya sekuatnya. Dua batang toya bertemu dengan dua buah lengan.

"Dukk! Dukk!" Akibatnya, kedua orang saudara Ciong itu terpelanting dan roboh bergulingan seperti daun kering tertiup angin!

Kini kakek itu melayang ke atas kereta dan dengan sebuah tendangan saja, Tok-goan Sin-ciang Liong Bouw yang sedang bertanding dengan serunya melawan perampok wanita, telah terlempar dari atas kereta karena ketika dia menangkis dengan lengan kiri, tendangan itu memiliki tenaga yang membuat dia terlempar! Wanita itu sudah mengejar dan meloncat sambil membacokkan pedangnya.

"Cringgg!" Untung bagi Liong Bouw bahwa ketika dia terjatuh tadi, dia berjungkir balik dan tidak terbanting jatuh telentang menggunakan pinggulnya menyentuh tanah terus bergulingan sehingga ketika wanita itu menyerangnya, dia mampu menggerakkan golok menangkis lalu melompat berdiri dan kembali dia menghadapi serangan wanita itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak musuh muncul orang tinggi besar itu tidak turun lagi dari atas kereta. Mengapa? Karena tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari belakang kereta itu nampak seorang jembel mendaki sambil tertawa-tawa memandang kepada Si Tinggi Besar yang menjadi terkejut karena suara ketawa itu mengandung tenaga khi-kang yang menggetarkan jantungnya! Tahulah dia bahwa jembel yang mukanya brewokan dan rambutnya awut-awutan ini memiliki kepandaian hebat dan tentu hendak membela pangeran maka dia pun tidak membuang banyak waktu lagi, cepat dia mengirim hantaman dengan tangan kanan disusul tangan kiri. Terdengar suara angin bercuitan saking hebatnya pukulan kedua tangan itu.

"Heh-heh-heh, hebat juga engkau!" kata Si Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia tertawa saja dan kedua tangannya lalu menangkis sambil mengerahkan tenaga. Agaknya Si Jembel ini memang hendak mengukur tenaga orang.

"Dess! Desss!"

Akibat dari adu tangan melalui kedua lengan mereka itu membuat keduanya terkejut karena Si Jembel itu terhuyung dan nyaris terlempar dari atas kereta, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu pun terjengkang dan hampir jatuh! Kereta itu berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk menenangkan tiga ekor kuda yang sudah menjadi panik sejak tadi itu. Akhirnya, kusir itu meloncat turun, dan cepat melepaskan tali yang menghubungkan tiga ekor kuda itu dengan kereta, dan tiga ekor kuda itu meringkik-ringkik, menyepak-nyepak karena mereka dibebani seekor kuda yang sudah mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas sekarang dan berdiri bergoyang-goyang karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si Tinggi besar sudah bertanding lagi dengan hebatnya!

Si Jembel itu tentu saja bukan lain adalah Si Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu tentu saja amat lihai karena dia itu adalah Sam-ok alias Ban Hwa Sengjin, bekas koksu dari Nepal, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok yang amat lihai! Seperti kita ketahui, setelah memperoleh keterangan tentang Syanti Dewi dari pelukis Pouw Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan pada hari itu kebetulan sekali dia tiba di tempat itu, melihat betapa pangeran mahkota terancam perampok-perampok. Tadi, selama para pengawal masih menang angin, apalagi ketika dibantu oleh tiga orang kang-ouw yang perkasa itu, dia pun hanya nonton saja dari jauh. Akan tetapi ketika muncul perampok tinggi besar yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tidak tinggal diam dan cepat dia melindungi pangeran dan naik ke atas kereta untuk menghadapi perampok tinggi besar yang dia tahu tidak dapat ditandingi oleh mereka yang melindungi pangeran.

Pertandingan antara Si Jari Maut melawan Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus diakui bahwa kakek itu memang masih lebih lihai dibandingkan dengan Si Jari Maut. Ban Hwa Sengjin adalah seorang datuk kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian amat hebatnya. Pendeta yang nama aselinya, yaitu nama Nepal adalah Pendeta Lakshapadma ini, selain memiliki banyak ragam ilmu silat yang pernah dipelajarinya, juga memiliki sin-kang yang sukar ditandingi saking kuatnya dan dia pun memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini dimainkan dengan berpusing, yaitu tubuhnya berputaran seperti gasing amat cepatnya sehingga sukarlah bagi lawan untuk mengarahkan serangan mencari sasaran, sedangkan dari tubuh yang berpusing itu kadang-kadang mencuat keluar serangan yang tak terduga-duga dari orang tinggi besar seperti raksasa itu.

Karena Sam-ok memakai kedok dan bercampur dengan para perampok, juga karena tidak berani mengeluarkan ilmunya Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia kang-ouw karena dia takut kalau ketahuan rahasianya sebagai pimpinan yang menyerang pangeran mahkota, maka Tek Hoat tidak mengenalnya. Sebaliknya, Sam-ok tadinya juga tidak mengenal jembel itu, akan tetapi setelah bertanding belasan jurus dan mengadu tenaga, mulailah dia mengenal Si Jari Maut. Dia merasa mendongkol sekali terhadap orang muda ini. Namanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh kaum sesat, bahkan dijuluki Si Jari Maut yang terkenal kejam dan ganas, akan tetapi sudah beberapa kali sepak terjangnya malah membantu pemerintah, membantu para pendekar dan menentang kaum yang dinamakan golongan hltam. Kini, tanpa disangka-sangka, orang ini muncul kembali dan tanpa alasan apa pun juga menentangnya! Tak mungkin kalau Si Jari Maut ini sekarang menjadi pelindung pangeran, apalagi kalau dilihat betapa hidupnya sudah rusak, menjadi jembel yang sama sekali tidak mengurus diri dan jelas nampak sengsara dan terlantar itu!

Maka Sam-ok mendongkol bukan main dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi semua serangannya dapat ditangkis dan ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok tidak berani mengeluarkan Thian-te Hong-i, dia pun tidak mampu mendesak Si Jari Maut ini.

Kembali kedua tengan mereka bertemu, saling dorong dan keduanya menggunakan kekuatan pada kedua kaki mereka. "Krekekkk....!" Tiba-tiba atap kereta yang mereka injak itu retak-retak dan pecah, akan tetapi keduanya, dengan cepat sudah meloncat turun sehingga tidak sampai kejeblos, karena kalau hal ini terjadi, tentu amat berbahaya bagi mereka selagi menghadapi, lawan yang selihai itu. Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka ketika atap kereta pecah itu. Akan tetapi untungnya komandan pengawal Souw Kee An sudah cepat menyambar tubuhnya turun dari kereta. Kiranya, ketika terjadi pertempuran antara Sam-ok melawan Si Jari Maut, pertempuran di bawah kereta banyak yang terhenti dan mereka yang tadi bertempur kini menonton pertandingan yang

amat dahsyat itu.

Sam-ok bukan orang bodoh. Kalau dilanjutkan pertempuran itu dan menjadi pusat perhatian, akhirnya orang akan mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari Maut itu tanpa mempergunakan Thian-te Hong-i, sungguh bukan hal ringan, sedangkan para pembantunya sudah kewalahan menghadapi pasukan pengawal yang dibantu oleh tiga orang pendekar itu. Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi anak buahnya dan mereka semuanya lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau tewas dalam pertempuran itu. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi Souw Kee An yang tidak berani  meninggalkan pangeran segera mengeluarkan aba-aba memanggil mereka kembali. Setelah semua orang berkumpul, dan dicari-cari ternyata tiga orang pendekar yang tadi membantu mereka kiranya tidak nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga orang pendekar  itu tentu melakukan pengejaran, akan tetapi sesungguhnya mereka sudah cepat menyingkirkan diri karena memang mereka tidak ingin memperkenalkan diri dan hanya melindungi pangeran secara sembunyi saja. Hanya jembel yang tadi bertanding dengan hebatnya melawan perampok tinggi besar yang lihai itu, masih berada di situ, diam saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An mengumpulkan orang-orangnya dan ternyata ada dua orang yang terluka berat sedangkan selebihnya hanya terluka ringan saja.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong sudah menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran ini memandang penuh perhatian dan dia melihat bahwa jembel ini sebetulnya memiliki wajah yang gagah dan tampan, hanya muka itu tertutup cambang brewok yang tak terpelihara, juga rambutnya yang panjang awut-awutan itu menutupi sebagian mukanya. Tubuh jembel itu juga nampak tegap dan membayangkan tenaga hebat yang tersembunyi. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang hidup mengasingkan diri dan bersembunyi sebagai seorang jembel yang sengsara. Akan tetapi diam-diam pangeran ini merasa heran mengapa orang yang begini gagah perkasa membiarkan dirinya begitu menderita dan terlantar.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Bolehkah kami mengenalmu dan mengetahui namamu yang terhormat?" Pangeran itu sudah menegur dengan sikap ramah dan halus.

Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dan sejenak mereka saling pandang, keduanya terkejut karena kalau pangeran itu menatap sepasang mata yang mencorong penuh kekuatan, sebaliknya Tek Hoat melihat sepasang mata yang bersinar lembut namun mengandung wibawa yang membuat setiap orang akan tunduk hatinya. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.

"Paduka adalah seorang pangeran yang terhormat dan mengagumkan, sedangkan saya hanyalah seorang jembel hina yang tidak pantas dikenal oleh Paduka. Selamat tinggal dan maafkan saya!" Setelah berkata demikian, kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkelebatlah dia dan lenyap dari tempat itu!

Souw Kee An yang menyaksikan semua ini, cepat mendekati pangeran dan berkata lirih, "Pangeran, sungguh Thian telah selalu melindungi Paduka. Orang yang seperti pengemis tadi tentulah seorang di antara pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya hebat bukan main."

Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu menggumam, "Aku kasihan kepadanya...."

Souw Kee An merasa heran, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya karena pangeran itu seperti bicara pada diri sendiri, maka dia melanjutkan keterangannya, Dan perampok-perampok itu jelas bukan perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng itu amat lihai, apalagi perampok yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah bahwa Thian masih selalu melindungi Paduka."

Akan tetapi pangeran itu tidak kelihatan seperti orang yang baru saja terlepas dari bahaya maut, tidak menjadi lega dan bersyukur seperti komandan pasukan pengawalnya. Dia hanya berkata dengan nada suara gembira, "Ah pengalaman yang mengasyikan sekali tadi itu!"

Kuda yang mati terpanah itu diganti kuda lain dan biarpun atas kereta itu sudah rusak, namun kereta itu masih dapat berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat tengah hari mereka tiba di pantal laut. Ternyata tempat itu, pantai laut dekat muara Sungai Huai, sudah ramai dengan orang-orang yang hendak menyeberang ke Kim-coa-to. Dan di situ telah tersedia sebuah perahu besar yang indah, perahu milik majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja dikirim ke situ untuk menyambut pangeran!

Ouw Yan Hui, majikan Pulau Kim-coa-to, adalah seorang wanita yang amat kaya-raya. Di pulau itu sendiri, terutama di dalam gedung yang seperti istana dan amat besar itu, tidak ada seorang pun laki-laki. Semua pelayannya adalah wanita belaka, wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia tidak mempunyai pembantu-pembantu pria. Mereka itu ada banyak, akan tetapi mereka adalah yang bekerja di bagian luar, yang mengurus perahu, berjaga di tepi pulau dan sebagainya. Tanpa seijin Ouw Yan Hui, tidak boleh mereka itu memasuki gedung, kecuali para penjaga kalau memang ada keperluan penting.

Perahu besar yang dikirim untuk menjemput pangeran itu lengkap dengan anak buahnya, sebuah perahu yang indah dan kokoh kuat. Para anak buahnya berbaris dengan rapi dan pemimpin mereka menyambut Sang Pangeran dengan hormat dan mempersilakan Sang Pangeran untuk segera menaiki perahu.

Akan tetapi, tidak semua pengawal dapat naik ke perahu itu, karena jumlah mereka terlalu banyak. Maka, hanya pangeran bersama Souw Kee An dan dua orang pembantunya yang dapat naik ke perahu itu, sedangkan delapan belas orang pengawal lain termasuk yang terluka, terpaksa mengikuti perahu itu dengan perahu lain. Kehadiran Sang Pangeran di situ menjadi tontonan. Mereka yang hendak pergi ke Kim-coa-to juga menonton dan diam-diam di antara mereka itu yang mempunyai niat mempersunting Sang Puteri di Kim-coa-to menjadi kecil hatinya melihat kehadiran pangeran mahkota. Mana mungkin mereka bersaing melawan pangeran mahkota dari kerajaan? Perbandingan yang tidak adil sama sekali!

Setelah perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain juga mulai meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka sengaja berlayar dekat-dekat dengan perahu besar itu, agaknya untuk "membonceng" kebesaran Sang Pangeran. Ada pula beberapa buah perahu layar kecil, yaitu perahu-perahu nelayan biasa yang berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan keramaian pesta yang diadakan di Pulau Kim-coa-to. Setelah perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya, pangeran yang dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di pulau itu. Kini Souw Kee An dapat duduk dengan hati lega, melihat betapa pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.

Dia melihat ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam perahu dan perahu besar itu mulai oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar perahu yang tiba-tiba saja bocor!

"Ada orang melubangi dasar perahu!" terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan sibuklah mereka. Perahu itu terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi berloncatanlah orang-orang dengan pakaian ringkas, dengan muka bertopeng lagi, ke atas perahu besar! Tentu saja Souw Kee An cepat menyambut dan dengan sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara mereka kembali ke bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah lawan orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.

"Hai, apa yang kaulakukan ini? Lepaskan aku!" terdengar Sang Pangeran membentak. Souw Kee Ang menoleh dan terkejut melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng. Dia meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun terguling, untung ke dalam perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran sudah dibawa loncat oleh penangkapnya ke atas perahu nelayan kecil itu. Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar mereka yang berkembang.

"Kejar....!" Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi hanya menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Loncatan yang dilakukan oleh Souw Kee An tadi adalah loncatan yang jauh dan berbahaya karena kurang semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air yang bergelombang. Juga anak buah perahu besar sudah cepat dapat menggunakan alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam perahu dan menambal dasar perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.

Akan tetapi pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah berapi ke arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu nelayan, juga layar dari perahu besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak dapat maju cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu. Souw Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu dengan cepatnya berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang dikawalnya.

"Celaka, hayo kembali ke darat!" bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu mendayung. Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang ikut kembali ke darat!

Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu lainnya hanya maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba mengejar, akan tetapi mereka inl pun dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang membakar layar mereka.

Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya menemukan dua perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran bersama mereka. Dapat dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang Pangeran, bahkan dia lalu mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala daerah di Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapapun dia hendak merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang luar, sebentar saja berita itu tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting menjadi gempar.

******

Biarpun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu membakar layar-layar dari perahu yang mengejar.

"Kalian sungguh cerdik!" dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguhpun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disa makan dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.

"Biarkan aku menunggang kuda sendiri!" katanya dan para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut membalapkan kuda dengan hati gembira. Dia benar-benar mengalami peristiwa yang menegangkan hatinya, karena belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh. Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para

penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.

Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, "Pangeran,

kami hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri."

Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi, dan rombongannya yang membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para

pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.

Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Dan pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguhpun saat ini dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.

Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman. Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang tipis sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk lalu berteriak, "Apa artinya semua ini? Aku tidak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!"

Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapapun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, "Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!"

Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.

"Hei, Mata Juling!" Pangeran Kian Liong menegur, "Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?" bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat.

"Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami."

"Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kauanggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculikku dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa kalian hendak minta uang tebusan?"

"Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang. Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.

Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka itu masih menyembunyikan kehendak mereka yang sesungguhnya? Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah seringkali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan diam-diam mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang

manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!

"Nah, inilah satu-satunya cara!" kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. "Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran, suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!" Suok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok, "Ngo-te, kaubawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?" tanyanya kepada Si Mata Juling.

"Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana." jawab Si Mata Juling. Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah payah-payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat pangeran itu. "menangkap basah" sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.

Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir kaum hidung belang dari kota-kota sekitarnya!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar, bentakan-bentakan nyaring, "Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!"

Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini lalu menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega. Ketika mereka sedang, mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, akan tetapi karena yang dikejar menunggang kuda semalam suntuk, mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika mereka melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.

Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, "Ngo-ok dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!"

"Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!" kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi.

"Eh, eh.... hemmm, biarkan aku menonton pertandingan ini...." Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.

Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.

"Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!" bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, akan tetapi hatinya penuh penasaran gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, namun nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah

keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu ini sudah terdesak dengan hebat. Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah. Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimanapun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu.

Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabok dan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah.

"Heii, berhenti! Lepaskan dia!" bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang. Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.

"Dess....!" Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.

Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, "Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!"

Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.

"Cringgg....!" Dan pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu. adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw akan tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading.

"Omitohud, di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!"

Su-bi Mo-li cepat memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang pria setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh.

A-hui marah sekali. "Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!"

Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. "Omitohud, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!"

A-hui berteriak nyaring dan menyerang, nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, "Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!" Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.

A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.

"Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kaulawanlah aku, Iblis betina!" wanita itu memaki sembarangan saja, akan tetapi hal ini amat menusuk perasaan A-kiauw karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).

"Mampuslah!" dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu. Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu dengan alis berkerut, dia berkata, "Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!"

Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu. "Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?"

Wajah Su-ok dan Ngo-ok berobah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, toa-so dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ. Adapun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya

dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka. Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu, adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu

terlebih dahulu!

Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Akan tetapi melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demiKian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!

Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.

"Siapakah engkau? Ngo-ok bertanya tanpa melepaskan pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.

Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, dan biarpun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.

"Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu." kata Bu-taihiap dengan suara tenang.

Su-ok tertawa. Dia lebih tenang daripada saudaranya. "Eh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?"

Bu-taihiap menggeleng kepala. "Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia."

Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu! Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka kini dia tidak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!

Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tidak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini. Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali!

"He, sobat, engkau tidak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!"

Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, akan tetapi sedikit pun tidak nampak perobahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. "Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia."

"Kalau kami tidak mau melepaskan dia?" tanya Su-ok juga tersenyum.

Bu-taihiap tertawa. "Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat."

"Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!" Su-ok kini menggunakan gertakan.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. "Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kaukira hidup lebih enak daripada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!"

Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.

"Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah kita menggunakan dia sebagai taruhan?" kata Bu-taihiap.

"Taruhan?" Kini Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari "atas" dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.

"Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?"

Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?

"Hemm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!" kata Ngo-ok marah.

"Ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun tidak bisa mempertahankan kepalaku lagi. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!"

Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh, dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami

kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.

Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, "Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Mari kita layani dia." Mereka lalu mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang sama sekali tidak mempedulikan Sang Pangeran, maka tidak ada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera. Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir dengan harapan akan menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan dapat melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.

Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. "Nah, kalian mulailah!" tantangnya sambil tersenyum. Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya, lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati-hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.

"Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama," tiba-tiba Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. "Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!"

Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. "Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya sheku saja yang masih kuingat. Aku she Bu."

Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan, dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?

"Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!"

Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.

"Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?" bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi. Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.

Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan kedua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh,

apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!

Biarpun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!

Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigapnya sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.

"Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau merobah diri menjadi katak, yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.. .. heeiiitt.... bahaya, tapi luput!" Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah. Dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!

Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, akan tetapi sudah berbeda dari aselinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi juga tidak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat.

Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal. Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sin-kang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.

Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-sifat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia mengenal betul, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, "Apakah kalian hendak terus melawak di sini?"

Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok! Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi

tiba-tiba dia mengeluarkan suara "kekk!" dan tengkuknya sudah dicekik kuat. Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan kini tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biarpun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!

Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan kedua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.

"Heii, hati-hati....!" Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.

"Apa ini....?" Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan kedua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.

"Plakk!" Kedua tangannya, seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.

"Brukkk....!" Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih. Kiranya ketika Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia "berdiri" di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tinding seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.

"Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!"

"Bedebah!" bentak Su-ok.

"Keparat sombong!" Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas daripada tadi. Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah! Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya. Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mujijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah. Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biarpun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, dan di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan kedua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu

menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya. Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.

Ketika dua orang lawan itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat, dari perutnya keluar bunyi dan melalui muulutnya dia mengeluarkan suara melengking, "Hiiaaaattt....!" Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.

"Dessss! Dessss!"

Akibatnya hebat bukan main. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biarpun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang dan terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!

Kini tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, "Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!" Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sialan karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!

"Ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!" Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar. Melihat ini, Bu-taihiap cepat menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran melihat seorang pria setengah tua membersihkan bibir dan dagunya dengan saputangan.

"Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran."

Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. "Ah, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?"

"Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat."

Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. "Benar, kulihat tadi engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aih, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?"

Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. "Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan mereka ini adalah keluarga hamba...." Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga, "mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba." Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.

"Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh...." Sang Pangeran memuji.

Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. "Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat."

Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. "Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!"

Souw Kee An terkejut dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. "Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang telah menyelamatkan Pangeran."

Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran. Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, kemudian Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, "Pangeran, hamba kira ucapan Souw-ciangkun ini tepat, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapapun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.

Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tidak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Kim-coa-to.

Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.

Manusia agaknya merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam daripada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tidak dapat terjangkau oleh alam pikirannya, kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, dunia dan bintang-bintang, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak maupun yang tidak. Manusia dengan akal budi

dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa daripada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau tradisi atau agama masing-masing.

Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah mempersiapkan di bibir selalu sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?

Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Namun pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu!

Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita mengagungkan sebutannya  belaka sehingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.

Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah? Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat daripada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu.

Mengapa demikian? Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan? Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya? Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperikemanusiaan?

Manusia ber-Tuhan, berperikemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperikemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkinlah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, maka itu hanyalah ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing? Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing? Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan. Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan akan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil? Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperikemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lain? Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!

"Harap Paduka suka hati-hati, karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, sebaliknya kalau Paduka memperoleh pengawalan yang kuat." Bu-taihiap memberi nasihat.

Pangeran itu tertawa. "Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to."

"Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka."

"Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal.

Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana."

"Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?"

Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyum. "Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!" Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik. Tidak mengherankan apabila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar! Memang nafsu, apapun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tak pernah mengenal puas. itulah nafsu! Karena itu, sekali menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.

"Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung...." Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari tiga orang isterinya! "Ehh.... ohh berkunjung ke sana megawal Paduka...." sambungnya cepat.

"Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?" Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.

"Huh, tak ada puasnya!" sambung Gu Cui Bi.

"Dasar mata keranjang!" Nandini juga mengomel.

Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berobah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, akan tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, "Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah banyak dan kurasa mereka tidak berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi."

Betapapun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap mempergunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niatnya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.

"Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, dia adalah seorang sahabatku!" Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan tiga orang isterinya memandang girang. "Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi."

Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran." kata Bu-taihiap. "Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana."

Demikianlah, setelah mengawal pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.

Biarpun berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Pulau Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.

Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.

Ketika perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan

pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini. Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapapun juga, pangeran mahkota itu mempunyai nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau sukur-sukur kalau dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.

Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang kiranya patut menjadi calon jodoh murid atau sahabatnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi. Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.

Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi lampu-lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana tiga orang itu duduk menikmati hidangan, minuman sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan

perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.

Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui lalu berkata dengan penuh hormat, "Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti...."

"Ah, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja. ..." Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.

Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. "Kehendak siapapun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami."

Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah merah.

"Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau dengar sendiri, Adikku." Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. "Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Biarpun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?"

Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini "memancing" pendapat Pangeran tentang hal itu.

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini...."

Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, "Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu...."

"Enci Hui....!" Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.

Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. "Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio."

Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.

"Betapapun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasihat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih."

Pangeran itu tersenyum lebar. "Ah, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguhpun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasihat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih."

Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, maka dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan dua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.

Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludu hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, sehingga dipandang sepintas lalu seolah-olah pohon itu berubah benda-benda berkilauan.

Agaknya kedua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.

Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.

"Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya."

"Ah, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia."

"Ah, tidak apa, Enci. Akan tetapi kalau engkau memang tidak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja? "

"Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ah saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!"

"Ah, aku tidak percaya!" pangeran itu berseru heran.

"Tida k percaya yang mana, Pangeran?"

"Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!"

Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. "Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya...."

"Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!"

Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, "Jangan khawatir Pangeran, Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka."

"Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?"

"Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!"

"Ah, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!"

"Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India."

Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andaikata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.

"Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?"

Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya pada saat itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah, jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.

"Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati...." Kemudian Syanti Dewi memberi isarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus.

"Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya. Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.

Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.

"Tapi.... agaknya pria yang kaucinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?"

Syanti Dewi menggeleng kepalanya, "Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya, bagiku...."

"Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?"

Sampai lama Syanti Dewi tidak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan daripada jawaban, "Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapapun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi...."

Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!

"Kalau memang engkau sudah mengambil keputusan, nah, besok kaulakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar kepada Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan

membantumu sedapatku, Enci."

Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. "Ah, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Biarpun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan prikemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkiniah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain...."

Pangeran Kian Liong memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. "Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!"

"Pangeran, harap ampunkan dia...."

"Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, dan juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tidak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa mengecewakan hati Ouw-toanio, dan setelah engkau ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?"

Syanti Dewi terkejut dan juga merasa terharu, sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang amat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!

"Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan...."

"Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk mengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tidak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andaikata aku mengambil sepuluh orang wanita sekalipun."

"Ah, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran."

"Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?"

Pada saat itu nampak dua orang pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu. Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. "Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran." kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu. Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu.

Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.

"Tringgg....!" Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring.

"Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?" Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.

"Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka." Syanti Dewi lalu mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, kemudian dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.

Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat di dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria yang bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu

adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.

"Mari, Pangeran!" Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih maupun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat

orang yang dikeroyok itu, walaupun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, namun dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya bercepat-cepat meninggalkan taman.

"Ahhh....!" Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya. Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu itu, yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.

Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok maupun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.

Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.

"Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi." komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. "Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan. untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu...." Komandan itu menggeleng kepalanya. "Sungguh berbahaya sekali, yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi.

Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran."

Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. "Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tidak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi."

Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.

Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang-orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!

Akan tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. "Aku tidak khawatir." katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. "Biarpun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?" Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang yang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya! Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersendau-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu. Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah dia mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia

sendiri ikut melakukan perondaan!

******

Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar dan ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.

Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justeru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya! Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.

Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.

Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan! Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula! Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapapun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya. Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.

Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berobah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah. Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.

Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar Sang Pangeran dapat menang. Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berobah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi, dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika

mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu kalau saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.

Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena kalau hal itu dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam

keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata- mata demi Syanti Dewi!

Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya, adalah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentu mengambil jalan dari atas wuwungan.

Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, dia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka

terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.

"Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat hendak datang.. .. biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran...." bisik Tek Hoat.

Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, "Baik, cepat kaugantikan aku dan aku...." Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!

"Ah, kenapa Paduka....?"

"Ssasttt...., aku mau nonton!" bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan! Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggeleng kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton, dan bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di

bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti. Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biarpun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk! Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong

dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar. Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia, sudah siap siaga. Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.

Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar. Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. itulah pukulan, jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.

"Wuuuttt.... cettt....!" Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan dapat membunuh lawan seketika! Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thai-houw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka. Maka ketika tiba-tiba "Pangeran" itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!

"Huh!" Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya. Pertempuran sengit terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu

kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, akan tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap!

Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.

"Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!" teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.

Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, akan tetapi dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.   "Paduka Pangeran...."

Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.

"Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa."

Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. "Paduka selamat, Pangeran? Aihh, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?"

Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, "Souw-ciangkun, suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut." Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.

"Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Akan tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.

Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tidak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. "Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!"

"Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung." kata Syanti Dewi.

"Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini."

"Biarkan hamba saja yang menjaga dalam kamar Pangeran." kata Souw Kee An. Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tidak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal!                  

******

Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing. Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Oran ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama ketika diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu. Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua daripada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar. Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah daripada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.

"Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu dan di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku."

Syanti Dewi tersenyum pahit. "Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?" Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biarpun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, namun hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat memilih seorang di antara mereka, maka dia sudah mengambil keputusan untuk "memilih" Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui. Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri.

"Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?"

"Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?"

Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum. Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda.

Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kuih kering. Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu. Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar

biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlumba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu. Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas dan memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.

"Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!" demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan. Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekalipun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki tingkat paling atas dan hal ini saja sudah menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi.

Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.

Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam. Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampaknya menyuram apabila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita dan mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan berahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.

Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguhpun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.

Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biarpun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal daripada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu. Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.

Kemudian hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan diumumkan nama para penyumbangnya. Ketika nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra. Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, "Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!"

Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, "Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri."

Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadap dia, maka dia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi hening, maka terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, "Memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!"

Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah dan dengan muka yang berobah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu. Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu membacakan sajaknya terdengar satu-satu dengan jelas.

"Cantik Indah bagai bunga anggrek

harum semerbak bagaikan bunga mawar

merdu merayu bagaikan sumber air

Gilang gemilang seperti fajar menyingsing

redup syahdu seperti sang senja kala

duhai Bunga Pulau Ular Emas!

Tiada sesuatu mampu kupersembahkan

kecuali seuntai sajak bisikan kalbu

disertai hati yang subur basah

tempat Sang Bunga mekar berseri."

Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukan sepenuhnya perasaannya sehingga seolah-olah dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih menjadi hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji. Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biarpun bunganya sendiri telah lama layu! Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal? Kemudian dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senjakala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang

peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri-seri,

dan keredupan senja kala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat. Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa-apa kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!

Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan!

Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil "memperkenalkan" dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu. Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak "melupakan" Syanti Dewi sehingga hanya beberapa orang saja yang dapat melihat ketika wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.

Setelah beberapa macam tarian disajikan, tiba-tiba Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, "Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!"

Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung. Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini sehingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu mulailah dia menari!

Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka ketika dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening. Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum. Kalau para tamu itu terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana

hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.

"Syanti.... Syanti.... kekasihku...." demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu. Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok kepada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu! Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, dia tuduh telah berjina dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri (baca cerita JODOH RAJAWALI )! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun.

Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak ketika Syanti Dewi mengakhiri tariannya.

Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.

Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, "Atas permintaan dari Ouwyang-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!" Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan. Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, "Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi." Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.

Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya. Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang karena mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan main! Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi!

Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya seperti terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Maka meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Dan kini terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang amat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu percintaan yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati. Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biarpun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tak dapat menguasai lagi keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan air mata! Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan dirinya sendiri yang menjadi korban cinta, maka dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan saputangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam! Dia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, akan tetapi seolah-olah jantungnya mengalir air mata darah.

Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula. Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran. Padahal, dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya. Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki gin-kang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat

cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat?

Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar yang budiman, tak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula. Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, "Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini  dengan pertunjukan ilmu silatnya."

Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu.

Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan dia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong, sambil berkata, "Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang berharga."

Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi semakin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tidak menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak! Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekar ini cukup hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar.

Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung dan ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berobah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan! Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan gerakannya. Banyak para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala, dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak sehingga dia pun mengenal keindahan dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi.

Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan kembali pedangnya lalu memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu. "Cu-wi, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami telah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi."

Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai dan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah pucat. Biarpun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.

Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, "Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya."

Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidak sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton, "Bagaimana menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!"

Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan orang itu.

"Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!" kata Ouw Yan Hui dan karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khi-kang, maka suaranya mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.

"Cu-wi yang mulia! Biarpun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!"

Kembali para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu? Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya. Dan memang benarlah pendapat mereka ini karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau Syanti Dewi tidak menghendakinya, karena gin-kang yang dikuasai oleh Syanti Dewi sudah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk mempergunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui.

Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, "Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!" Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu.

Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun, setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut mengharapkan agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain.

Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui lalu berbisik, "Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!"

Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.

"Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!" Ouw Yan Hui berseru dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang sudah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata, "Silakan mulai, Thio-kongcu."

"Maafkan saya...." Thio Seng Ki lalu mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak. Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu. Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara manapun juga yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak. Karena penasaran, juga karena dia ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biarpun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi. Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput.

Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar. "Waktunya habis, calon pertama telah gagal!" Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat dan Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat.

"Harap Kongcu suka memaafkan saya."

Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, akan tetapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata, "Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona." Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.

"Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!" kembali Ouw Yan Hui berseru.

Sastrawan muda itu tersenyum, bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar.

"Silakan, Yu-siucai." kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini.

Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berobah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan, "Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini." Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat. Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia hanya dapat menjura ke arah pemuda itu.

"Harap maafkan saya...." katanya perlahan.

Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata, "Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai matipun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?"

Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguhpun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih. "Harap maafkan saya...."

Kui Lun Eng tertawa dan menengadah. "Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja." Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak, ke dalam mulutnya!

Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu. Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat. "Ingin saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, akan tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar."

Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari. Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki gin-kang yang jauh lebih tinggi daripada Pendekar Budiman, sehingga andaikata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekalipun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil. Betapapun juga, melihat betapa

Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!

"Ah, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti...." keluhnya.

Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.

"Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio."

Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun. Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, "Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf."

"Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!" kata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tidak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Kalau saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya.

Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi, "Pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!"

Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?

"Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi" demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu.

Syanti Dewi memandang kepada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.

"Sudah siapkah engkau?" Sang Pangeran bertanya.  Syanti Dewi mengangguk. "Silakan, Pangeran."

Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi. Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya. Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk.

Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu, sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat daripada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu? Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguhpun wanita itu tidak nampak lebih tua daripada Sang Pangeran. Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak dan sikapnya garang.

"Sungguh tidak adil sekali!" Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya!

Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, "Siapa berani lantang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?"

Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. "Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?"

"Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapapun juga menjadi jodohnya!" Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini.

"Ha-ha-ha! Kalau memang hendak memilih Pangeran, mengapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw,

mengapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, seorang Pangeran Mahkota malah hendak mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan menangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orangorang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!"

Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran. Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali. Akan tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu.

Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya. "Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?"

"Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi."

Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya, awas benar. "Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota."

"Tidak, bagaimanapun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala-nyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!"

"Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?" Tiba-tiba Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya. "Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw kalau sudah berkumpul, tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut-badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tidak boleh

dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!"

"Sobat engkau sungguh terlalu!" Pendekar Budiman berseru. "Sikapmu sama sekali tidak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu."

"Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!" tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali.

"Lihat seranganku!" Pendekar Budiman sudah menerjang dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.

Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting! Bukan main kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota? Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi segera dia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini sehingga belum, sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran, sudah maju berturut-turut, namun empat lima orang yang maju itu satu demi satu dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu menantang.

"Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?"

Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan kakek itu.

"Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki gin-kang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!"

"Pengacau jahat, menggelindinglah!" bentak Ouw Yan Hui dan wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.

"Hebat, gin-kang yang hebat!" kakek itu memuji, akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Namun, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang amat seru, jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi. Wanita itu memang memiliki gin-kang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sin-kang, Ouw Yan Hui kalah jauh maka biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng. Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.

"Plakk!" Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting. Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring,

"Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!"

Bersambung ke bagian 4...