RUMUSAN SEMENTARA SEMINAR
CYBER CRIME DAN CYBER PORN DALAM PERSPEKTIF HUKUM TEKNOLOGI DAN HUKUM PIDANA
SEMARANG, 6 – 7 JUNI 2007
I. Pokok-pokok Pikiran Sesi 1
A. Prof. Dr. H. Ahmad M Ramli, S.H.,M.H
mengenai Kajian Ratifikasi Convention On Cyber Crime dan Implementasinya di Indonesia;
- Ruang lingkup pengaturan Konvensi
- Pokok-pokok materi muatan Konvensi meliputi:
- Batasan cybercrime
- Prosedur Hukum
- Yurisdiksi
- Kerjasama Internasional
- Ekstradisi
- Spontanitas information
- Mutual assistance
- 24/7 Network
- Status Konvensi Cyber Crime
- Merupakan Konvensi regional yang dapat diterapkan secara global
- Sudah mulai berlaku (entry info force)
- Partisipasi negara maju, misalnya AS telah meratifikasinya pada tahun 2006 dan mulai berlaku 1 Januari 2007.
- Urgensi Indonesia meratifikasi
- Keuntungan
- Memperluas/mempermudah pergaulan internasional (kerjasama)
- Standar legislasi nasional dengan aturan internasional
- Kepastian pengaturan dan penegakan hukum
- Implikasi
- kajian kesiapan dampak hukum dalam konteks hukum nasional
- perlu mengkaji kemungkinan melakukan reservasi atas pasal-pasal tertentu
- peningkatan kapasitas penegak hukum
B. Cahyana Ahmadjayadi
mengenai Kajian Cybercrime dan cyberporn dikaitkan dengan RUU ITE;
- Kejahatan dalam bidang teknologi informasi menimbulkan bebagai kerugian yang luar biasa.
- Bebarapa langkah pemerintah dalam menjaga keamanan informasi dilakukan dengan :
- Departemen Kominfo telah membentuk ID-SIRTI (Indonesian Security Incident Response Team on Information Infrastructure);
- POLRI membentuk Cyber Task Force Center;
- Lembaga independen lainnya adalah ID-CERT, suatu institusi independen yang lainnya yang dibentuk oleh masyarakat TI yang bertujuan melakukan sistem keamanan teknologi informasi.
- Dalam Konvensi Cybercrime di Budapest tahun 2001, pornografi merupakan bentuk kejahatan yang harus diperangi, khususnya pornografi anak-anak (child pornograhy). Oleh karena itu diharapkan agar pengaturan tentang hal tersebut diadopsi dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
- Pengaturan Pornografi pada setiap negara pengaturan berbeda-beda. Pengklasifikasiannya dibedakan menjadi pornografi ringan dan pornografi berat. Secara khusus, Pornografi anak dianggap melanggar hukum di kebanyakan negara, dan pada umumnya negara-negara mempunyai pembatasan menyangkut pornografi yang melibatkan kekerasan atau binatang.
- Kebanyakan negara berusaha membatasi akses anak-anak di bawah umur terhadap bahan-bahan porno berat, misalnya dengan membatasi ketersediaannya hanya pada toko buku dewasa, hanya melalui pesanan lewat pos, lewat saluran-saluran televisi yang dapat dibatasi orangtua, dll. Biasanya toko-toko porno membatasi usia orang-orang yang masuk ke situ, atau kadang-kadang barang-barang yang disajikan ditutupi sebagian atau sama sekali tidak terpampang. Yang lebih lazim lagi, penyebaran pornografi kepada anak-anak di bawah umur dianggap melanggar hukum. Namun banyak dari usaha-usaha ini ternyata tidak mampu membatasi ketersediaan pornografi karena akses yang cukup terbuka terhadap pornografi internet.
- Berbagai bentuk Regulasi Pornografi di Beberapa Negara yang bisa dijadikan referensi diantaranya adalah; Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia, Singapura, Taiwan, Arab Saudi, Filipina, Sri Langka, Kamboja, dan Malaysia
- Dalam kaitannya dengan regulasi Pornografi di Indonesia, pada prinsipnya pornografi di Indonesia ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman. Misal : Pada tahun 1980-an, masyarakat dihebohkan dengan beredarnya kalender bugil dengan model Indonesia. Para model dan juru fotonya diajukan ke pengadilan dan dikenai tuntutan hukum. Namun pada periode 1990-2000-an, pengaruh kemajuan teknologi informasi semakin terasa dan sukar dihindari. Kehadiran parabola televisi, VCD, laser discs, DVD dan internet, semuanya membuat film dan gambar ”panas” semakin mudah ditemukan, baik di kota besar maupun kecil, bahkan sampai ke pedesaan sekalipun.
- Pengaturan Pornografi dalam KUHP.
Dalam KUHP, pornografi diatur daalam Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, diatur dalam Pasal 281 s.d 290
- Rumusan Pornografi dalam RUU ITE
Dalam RUU ITE, pornografi diatur dalam pasal 26 Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang, berbunyi “Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui computer atau system elektronik.”
Sanksi terhadap pelanggaran pasal 26 diatur dalam Pasal 42 ayat (1), berbunyi “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”
- Bahwa orientasi kebijakan keamanan terpenting adalah mengatur tatanan hukum nasional dalam bentuk Undang-undang Dunia Maya (Cyber Law) yang mengatur aktivitas dunia maya, termasuk pemberian sanksi pada aktivitas jahat dan merugikan.
- Bahwa masyarakat peduli keamanan teknologi informasi sangat menaruh perhatian dan kerjasama global dalam menyikapi kejahatan-kejahatan TI yang sudah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi. Hal ini seperti terlihat dalam Convention on Cybercrime 2001 yang digagas oleh Uni Eropa pada tanggal 23 November 2001 di Budapest, Hongaria. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime baik melalui undang-undang maupun kerjasama international.
- Substansi Convention on Cybercrime 2001 mencakup “ekstradisi otomatis”, yang artinya, walau tidak ada perjanjian ektradisi dengan negara tertentu, cukup dengan meratifikasi konvensi ini atau ikut dalam konvensi ini, maka telah dianggap adanya perjanjian ekstradisi dengan negara-negara peserta konvensi, guna mempersempit ruang yurisdiksi suatu negara terhadap negara lainnya khususnya dalam menegakkan hukum cyber secara global.
C. KRMT Roy Suryo
mengenai Kajian Cybercrime, ciberporn dan penanggulangan melalui ICT Security;
- Penanggulangan ICT dan implikasi hukumnya
- Perkembangan teknologi dan aplikasinya
- Konvergensi
- Action Plan WSIS (World Summit on the Information Society)
- Angka pemanfaatan ICT di Indonesia
- Data Internet Abuse
- Permasalahan yang ditimbulkan dalam aplikasi ICT
- Macam-macam kejahatan komputer
- Kejahatan umum dan terorisme yang difalitasi internet
- Computer as tool and target
- Framework Cyber Task Force
- Pembahasan Kasus-kasus
- Cyber crime law in USA, Europ
II. Isu yang Berkembang Dalam Diskusi Sesi 1
- Asas-asas hukum yang dipakai untuk cyber crime dan cyber porn
- Hal-hal yang sudah kita persiapkan dalam meratifikasi konvensi ini
- Kesiapan infrastruktur
- asas hukum kita yang diadopsi agar bisa menunjukkan cita hukum kita sendiri
- asas unus testis nulus testis (satu saksi bukan saksi) tidak bisa diterapkan disinhukum progresif dengan perkembangan cyber crime
- standarisasi alat bukti elektronik dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam persidangan
- belum ada system audit dalam pemakaian system informasi
III. Rekomendasi Sesi 1
- Berkaitan dengan Ratifikasi Convention on Cybercrime:
- Perlunya kajian mendalam mengenai urgensi, manfaat dan implikasi ratifikasi Convention on Cybercrime.
- Mendalami cara dan mekanisme ratifikasi termasuk kemungkinan reservasi
- Mengantisipasi tindak lanjut ratifikasi
- Penyiapan kelembagaan untuk antisipasi impelementasinya
- Masalah Cyber Crime dan Cyber Porn dalam RUU ITE
- Mengingat sifat kegiatan di dunia cyber yang hi-tech dan high crime maka diperlukan high-touch dalam dalam rumusannya pada RUU ITE
- RUU ITE haruslah mengakomodasi perkembangan cyber crime dan cyber porn dan merumuskannya dalam ketentuan-ketentuan RUU ITE
- Guna mengantisipasi ratifikasi Cyber Crime Convention maka ketentuan-ketentuan pada Cyber Crime Convention yang relevan agar dapat diintegrasikan pada rumusan RUU ITE
- Dengan memperhatikan perkembangan pengaturan internasional maka perlu dilakukan penyesuaian ataus asas-asas tertentu dari hukum nasional misalnya perluasan asas teritorial.
- Harmonisasi dengan ”existing law” mutlak dilakukan dalam merumuskan aturan-aturan tentang cyber crime dan cyberporn pada RUU ITE.
- Agar dipertimbangkan penerapan hukum progresif dalam bidang ICT.
- Perlu pertanggungjawaban korporasi dalam cyber crime dan cyber porn
- Penanggulangan Cybercrime dan cyberporn melalui ICT security
- Oleh karena terbukti dapat menyelesaikan masalah, maka ICT dapat digunakan untuk penanggulangan cyber crime dan cyber porn.
- Perlu ada standarisasi alat bukti elektronik yang dapat diterapkan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.
RUMUSAN SEMENTARA SEMINAR
CYBER CRIME DAN CYBER PORN DALAM PERSPEKTIF HUKUM TEKNOLOGI DAN HUKUM PIDANA
SEMARANG, 6 – 7 JUNI 2007
I. Pokok-pokok Pikiran Sesi 2
A. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.
mengenai Kajian Kebijakan Hukum Pidana Menghadapi Perkembangan Delik Kesusilaan di Bidang Cyber;
- Sebagai bagian dari Criminal Policy, Penal Policy pengertiannya dibatasi pada kebijakan penegakan hukum pidana in abstracto (Kebijakan legislasi/formulasi) dan penegakan hukum pidana in concreto (khususnya kebijakan aplikasi/penerapan hukum pidana).
- Dari sudut “criminal policy” upaya penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan cyber crime) tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum pidana, tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral/sistemik sebagai salah satu bentuk dari “Hitech Crime” merupakan hal yang wajar bila upaya penanggulangan cyber crime juga harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevension), pendekatan budaya/kultural, pendekatan edukatif/moral/religius (terlebih untuk delik kesusilaan), pendekatan regulasi administratif, dan bahkan pendekatan global (kerjasama internasional), karena cyber crime dapat melampaui batas-batas negara (bersifat transnasional/transborder).
- Perlu mempertimbangkan Republik Czech dalam membentuk :
- Menko Antar Lembaga ; dan
- Komisi Pemerintah untuk pencegahan kejahatan (the government Comittee for Prevension of Crime) atau istilahnya “Government Committee”, kebijakan pencegahan (Prevention Policy) pada masing-masing departemen membuat “Social Prevension” sehingga terbentuk suatu “Sistem Pencegahan Kejahatan yang integral dengan sasaran utama ”membatasi peluang untuk melakukan kejahatan”. Kebijakan Republik Czech di atas sebetulnya dijadikan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan di Indonesia, baik penanggulangan kejahatan pada umumnya dan khususnya dalam menghadapi cyber crime (cyber sex/cyber porn).
- Kebijakan penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) dengan hukum pidana bukan merupakan sarana kebijakan yang utama/strategis (bukan kebijakan penanggulangan Symfomatik). Kebijakan yang mendasar/strategis adalah mencegah dan meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan kejahatan (merupakan kebijakan kausatif).
- Upaya Peningkatan Efektifitas dan Pembaharuan Orientasi (Reformasi/Rekonstruksi) Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Cyber Crime di Bidang Kesusilaan.
Untuk mengefektifkan hukum pidana positif, perlu kiranya ditempuh beberapa langkah (upaya) antara lain sebagai berikut :
- meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional dalam penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, yang seyogyanya disejajarkan dengan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme dan sebagainya.
- meningkatkan gerakan sosialisasi/kampanye bahaya atau dampak negatif delik kesusilaan di bidang cyber (cyber sex, cyber porn, cyber prostitution, cyber/virtual cohabitation, dsb) terhadap tujuan pembangunan nasional, seperti halnya kampanye anti narkoba, anti korupsi, anti terorisme.
- meningkatkan sosialisasi nilai-nilai dasar dan semangat/jiwa yang terkandung dalam pembukaan UUD’45 serta tujuan (visi dan misi) yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu nilai dasar/semangat untuk menghapuskan penjajahan dalam segala bentuknya (termasuk penjajahan moral dan budaya) serta semangat/jiwa untuk membangun kehidupan kebangsaan yang bebas berlandaskan paradigma moral/budaya nasional.
- meningkatkan sosialisasi dan pemantapan aparat penegak hukum akan tujuan (rambu-rambu umum) dan nilai kesusilaan nasional dalam berbagai UU (antara lain dalam UU Perfilman dan UU Penyiaran).
- melakukan pembaharuan pemikiran/konstruksi juridis (juridical construction reform), antara lain :
- rekonstruksi penegakan hukum (pemikiran hukum) dalam konteks kebijakan pembaharuan sistem hukum dan pembangunan nasional;
- melakukan konstruksi hukum yang konseptual/substansial (substansial legal construction) dalam menghadapi kendala juridis;
- meningkatkan budaya/orientasi keilmuan (scientific culture/scientific approach) dalam proses pembuatan dan penegakan hukum pidana.
Upaya melakukan pembaharuan/rekonstruksi pemikiran yuridis (butir nomor 5.5. di atas) seyogyanya dilakukan untuk semua bidang penegakan hukum pidana. Namun terutama diperlukan dalam menghadapi masalah cyber crime (CC) karena CC tidak dapat disamakan dengan tindak pidana konvensional, sehingga tidak bisa dihadapi dengan penegakan hukum dan pemikiran/konstruksi hukum yang konvensional. Asas-asas konvensional dalam hukum pidana positif dan doktrin selama ini (asas legalitas, asas culpabilitas, asas yurisdiksi, alat bukti dsb.) menghadapi tantangan serius untuk diterapkan dalam kasus-kasus CC.
B. Dr. IBR Supancana
mengenai Kajian Peran Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan dan Penaggulangan Cybercrime;
1. Bahwa perkembangan kuantitas, kualitas, intensitas dan modus operandi cybercrime membawa implikasi internasional sehingga upaya pencegahan dan penanggulangannya harus dilakukan melalui kerja sama internasional. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari cybercrime yang bersifat transnasional.
2. Perkembangan cybercrime dan cyberpornografi membawa tantangan baru dalam aspek pengaturan dan penegakan hukumnya, yang meliputi: masalah jurisdiksi, penetapan lokasi dan identifikasi cybercriminals, pengumpulan alat bukti dan perlindungan infrastruktur.
3. Kerjasama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime antara lain berkaitan dengan harmonisasi ketentuan hukum nasional dengan instrumen hukum internasional terkait, baik yang bersifat hard law, seperti perjanjian-perjanjian internasional, maupun soft law yang tersebar dalam berbagai dokumen seperti Guidelines, Code of Conduct, Model Law, Principles dan lain-lain.
4. Perlunya pengembangan hukum nasional yang berstandar internasional berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberporn untuk memperlancar penanganannya dan mengefektifkan kerjasama internasional.
5. Aspek-aspek kerjasama internasional yang memerlukan perhatian khusus dalam kerangka pencegahan dan penanggulangan cybercrime yaitu masalah ekstradisi, khususnya perluasan extraditable offences dan efektifitas dalam pelaksanaan bantuan hukum timbal balik di bidang pidana.
II. Isu yang Berkembang Dalam Diskusi Sesi 2
- Fokus penanganan Cyber Crime (Cyber porn) dalam kerangka perlindungan anak sebagai aset bangsa.
- Tindak pidana cyber crime diusulkan sebagai pidana biasa.
- Hukum tidak hanya meliputi Undang-undang, tetapi juga nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
- Prinsip kehati-hatian dalam mengadopsi peraturan asing (barat).
- Perumusan delik materil dalam penanganan cyber crime.
- Perbuatan non fisik lebih membahayakan dari perbuatan fisik.
- Pengertian-pengertian dalam KUHP diperluas dalam penanganan cybercrime dan cyberporn.
- Penyikapan terhadap kejahatan korporasi transnasional termasuk pertanggungjawaban korporasi.
III. Rekomendasi Sesi 2
A. Perlu disusun Prevension Program Komisi Pemerintah untuk pencegahan Kejahatan (The Government Committee for Prevensioan of crime) yang disingkat Government Committee.
B. Perlu rekonstruksi cara berpikir dalam memahami KUHP, khususnya terkait dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan pornografi, sehingga KUHP bisa diimplementasikan dalam penanganan cyberporn.
C. Perkembangan kejahatan transnasional yang melibatkan korporasi perlu didikapi secara hokum termasuk menyangkut aspek pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability)
D. Menyangkut kerjasama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cybercrime
1. Kerjasama internasional merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam pencegahan dan penanggulangan cyberpornografi, khususnya child pornografi.
2. Kerjasama internasional perlu dikembangkan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, nilai-nilai budaya serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa merugikan kepentingan sah negara lain.
3. Dalam rangka mengembangkan hukum nasional sebagai upaya pencegahan dan penaggulangan terhadap cybercrime dan cyberporn perlu dipertimbangkan instrumen-instrumen internasional terkait baik hard law maupun soft law agar tercipta hukum nasional yang berstandar internasional.
4. Pilihan yang dapat ditempuh dalam pengembangan hukum nasional dapat berupa: adopsi, adaptasi, modifikasi, atau inovasi/invensi.
5. Dalam penanganan kasus child pornografi perlu disertai dengan saksi ahli yang memahami aspek-aspek psikologis serta ditingkatkannya keperdulian pemerintah terhadap permasalahan ini.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
CYBER CRIME DAN CYBER PORN DALAM PERSPEKTIF HUKUM TEKNOLOGI DAN HUKUM PIDANA
SEMARANG, 6 – 7 JUNI 2007
I. Pokok-pokok Pikiran Sesi 3
A. Setiadi, S.H.,M.H
mengenai Kajian Kesiapan Kepolisian Negara Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime dan cyberporn;
1. Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi Internet membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat yang ada. Internet membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional kini dapat dilakukan dengan menggunakan media komputer secara online.
2. Mencermati hal tersebut dapatlah disepakati bahwa kejahatan IT/ Cybercrime memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban, modus operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan pengaturan khusus di luar KUHP.
3. Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negative penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi.
4. Belum samanya persepsi diantara aparat penegak hukum, barang bukti digital adalah barang bukti dalam kasus cybercrime yang belum memiliki rumusan yang jelas dalam penentuannya sebab digital evidence tidak selalu dalam bentuk fisik yang nyata.
5. Untuk meningkatkan penanganan kejahatan cyber yang semakin hari semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi maka Polri melakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Mengirimkan anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara–negara maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain: CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.
b Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng -up date dan up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi 4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
d. Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim) mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.
B. Dr. Sony Zulhuda
mengenai Kajian Pengalaman Malaysia dan Negara-negara lain Dalam Pencegahan dan Penanggulangan cybercrime dan cyberporn;
1. Beberapa acuan pemahaman dalam menyikapi masalah cybercrime:
- cybercrime adalah suatu tindak pidana,
- cybercrime mempunyai target yang berbeda,
- peranan komputer dalam tindak pidana
2. Resep penyelesaian global terhadap persoalan cybercrime dapat tercermin dalam beberapa instrumen internasional seperti: UN Convention against Transnational Organized Crime, Convention on Cybercrime, EU Initiatives to Combat Cybercrime
3. Acuan pengaturan cybercrime pada beberapa negara
4. Penanganan Cybercrime dan cyberporn di Malaysia, yaitu:
a. Adanya seperangkat aturan yang menjadi dasar hukum seperti Computer Crime Act 1997, Communication and Multimedia Act 1998, Sedition Act, Internal Security Act dan lain-lain.
b. Penyiapan kelembagaan untuk merespons cybercrime, seperti Malaysia’s Cybersecurity Center
c. Perhatian terhadap isu-isu penting: harmonisasi hukum, pembuktian, investigasi, kerjasama internasional
d. Capacity building bagi aparatur penegak hukum.
5. Penaganan cyberpornografi melalui pendekatan “self Regulatory” dengan partisipasi berbagai kalangan, termasuk kalangan industri, melalui pelembagaan “multi media Content Code”, specific online Guidelines
C. Drs. Yasrif Amir Piliang, MA.
mengenai Kajian Cyberporn Dalam Perspektif Budaya dan Agama;
- Cyberspace, kini telah menghapuskan batas-batas tentang mana yang boleh/tidak boleh, pantas/tidak pantas, moral/amoral untuk ditampilkan, dilihat dan ditonton. Dan, Cyberporn adalah sebuah bentuk ‘pelepasan hasrat’ (desiring liberation) di dalam masyarakat ‘telanjang’ dan tanpa sekat (transparent society), yang di dalamnya seakan-akan tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan, ditutup atau disembunyikan.
- Gambar-gambar cyberporn telah memberikan dampak yang luar biasa pada tingkat individu, keluarga, komunitas, mesyarakat-bangsa, bahkan umat manusia secara keseluruhan. Khususnya, cyberporn memberikan dampak yang besar pada dunia kebudayaan dan keberagamaan pada umumnya.
- Kebudayaan dan agama, yang selalu berurusan dengan aturan, norma dan batasan-batasan (tabu, adat, aturan) kini berhadapan dengan sebuah dunia yang di dalamnya tidak ada aturan, norma dan batasan itu sendiri.
- ‘Pornografi’ adalah sebuah istilah yang mempunyai pengertian jamak dan cenderung tak jelas batas-batasnya. Beberapa pengertian pornografi.
- Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, ‘pornografi’ didefinisikan sebagai bentuk “representasi (dalam literatur, filem, video, seni rupa, internet) yang tujuannya adalah untuk menghasilkan kepuasan seksual.
- ‘Pornografi’ didefinisikan pula sebagai “. . .penggunaan representasi perempuan (tulisan, gambar, foto, video, filem) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai ‘obyek seksual’ laki-laki”.
- Jon Huer mendefinisikan ‘pornografi’ sebagai “. . .setiap obyek yang diproduksi dan didistribusikan dengan tujuan memasarkannya untuk memperoleh keuntungan, dengan merangsang gairah seksual kita”.
- Bahwa pengertian-pengertian di atas, terdapat perbedaan penekanan pada tiga definisi tersebut: yang satu berdasarkan kacamata umum, yang kedua feminis, dan yang ketiga ekonomi.
- Cyberspace, yang pada awalnya merupakan ‘saluran komunikasi’ antar manusia dalam skala global, pada perkembangan mutakhirnya telah menjelma menjadi sebuah ‘saluran raksasa’ dari hampir setiap aktivitas manusia, termasuk ‘aktivitas seksual’, mealui cyberporn.
- Perkembangan cyberspace sebagai mesin seks telah menimbulkan berbagai persoalan yang menyangkut definisi, batas dan tujuan seksualitas itu sendiri, yang membawa pergeseran mengenai definisi konvensional tentang ‘tubuh’, ‘seks’, ‘seksualitas’, ‘obyek seksual’, ‘hubungan seksual’ dan ‘kepuasan seksual’
- Di dalam cyberporn terdapat berbagai pintu masuk ke dalam berbagai bentuk simulacrum seks dan seksualitas, berbagai tindak dan adegan seksual (berupa foto, video, dan filem), yang ‘menawarkan’ berbagai aktivitas seksual, seperti :
- ‘melihat’ (voyeurism);
- ‘role playing’ atau memainkan peran seksual tertentu; ‘permainan seksual’ (adult sexual gaming);
- kegiatan seksual ‘terhadap’ internet (cyber-fetishism), dan;
- kegiatan seksual jarak jauh melalui internet (teledildonic).
- Keberadaan cyberporn telah menimbulkan pengaruh yang besar terhadap sistem kebudayaan pada umumnya, yaitu :
- pengetahuan (knowledge) dan sistem pengetahuan (knowledge system); sistem adat (lore);
- sistem keyakinan, ideologi, makna dan relasi inter-subyektivitas;
- sistem kekuasaan; sistem dan kode sosial; sistem ritual; sikap, kebiasaan dan sentimen;
- kode etika (ethics) dan etiket (etiquette).
- Keberadaan cyberporn mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sistem keyakinan keagamaan. Agama pada dasarnya mengatur hubungan sesama manusia dan dengan Tuhan. Dalam hubungan antar manusia, agama mengatur aspek-aspek kehidupan yang juga diatur di dalam ‘sistem kebudayaan’, termasuk aspek penggunaan tubuh di dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, berbeda dengan kebudayaan yang merupakan social contract murni antar manusia, agama merupakan ‘sistem pengaturan’ berdasarkan intervensi wahyu illahiah. Agama khususnya mengatur tubuh, organ tubuh, mata, haati, keterlihatan, hasrat, hati, dan penggunaan tubuh.
II. Isu yang Berkembang Dalam Diskusi Sesi 3
- Cybercrime memberikan pengaruh terhadap budaya dan agama
- Penyikapan hukum terhadap cyberporn tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama setempat
- Problema penegakan hukum terhadap cybercrime dan cyberporn disebabkan berbagai keterbatasan yang ada.
- Persoalan paradigmatik yang menjadi kendala dalam interaksi antara hukum dan budaya
- Kemampuan RUU ITE mengakomodasikan perkembangan cybercrime dan cyberporn
- Persoalan tanggungjawab dan sanksi pidana termasuk sanksi pidana korporasi
- Penyikapan hukum terhadap anak sebagai pelaku dari cybercrime dan cyberporn
- Kemungkinan memasukkan cybercrime dan cyberporn sebagai tindak pidana pokok melalui amandemen KUHP dan KUHAP
III. Rekomendasi Sesi 3
- Perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan, personil, peralatan (termasuk laboratorium forensic) dan p[elatihan dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberpornografi, terutama di wilayah-wilayah dengan di dukung oleh ahli-ahli setempat.
- Perlu ditingkatkan kerjasama di bidang penegakan hukum dalam pemberantasan cyberpornografi, khususnya child pornografi serta menerapkan undang-undang perlindungan anak untuk menjerat pelakunya.
- Pengalaman Malaysia dan negara-negara lainnya dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberporn perlu menjadi acuan dan pertimbangan dalam pengembangan hukum nasional dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
- Pendekatan “self regulatory” di samping “legislasi” menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberporn dengan melibatkan berbagai kalangan, termasuk industri.
- Perlu ‘penguatan komunitas nyata’ (real community). ‘Penguatan komunitas nyata’ dimaksudkan untuk membangun kembali dan memperkuat rasa kebersamaan menyangkut tempat nyata (keluarga, desa, kota, negara) yang di dalamnya berlangsung interaksi sosial secara tatap muka (face to face), yang karena sifatnya yang tak-anonim mendorong setiap orang untuk memperkuat landasan moral dan etik dari setiap tindakan.
- Perlu membangun ulang ‘budaya malu’ (shame culture), yang mulai terkikis di dalam dunia tanpa sekat dan telanjang.
- Perlu membangun cyberwatch yang kuat, yaitu mekanisme ‘pengawasan’ dari komunitas itu sendiri terhadap efek-efek negatif dari cyberporn terhadap setiap warganya.
- Fungsi ‘pengawasan’ (watch) harus dibangun secara bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis (stratified watching system), mulai dari tingkat individu (self-watching), keluarga, rukun tetangga, sekolah, desa, kota, wilayah, dan negara.
- Perlu dibuatkan semacam sistem ‘pemata-mataan’ (surveillance system), yang memungkinkan aktivitas melihat cyberporn dapat dideteksi lebih awal, terutama di tempat-tempat umum seperti warnet. Rasa ‘keterawasan’ (surveilanced) setidak-tidaknya dapat menimbulkan ‘rasa takut terlihat’ atau ‘rasa bersalah’ pada diri setiap orang yang memasuki dunia haram cyberporn itu