Bagian 4
"Heh-heh-heh!" Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari tangan Thian Tok Lama yang memukul tadi. "Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya. "Orang tua, benarkah engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?" Bertanya demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena gentar menyaksikan kelihaian mayat hidup itu, melainkan dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biarpun laki-laki itu seorang kakek. Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal. "Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh
Pengejar Roh)!"
"Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah seranganku!" Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.
"Crokkk!" Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat menancap, dan tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai. Gerakannya cepat dan aneh sekali.
"Aihhhh!" Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, kemudian mengirim serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!
"Plakk!" Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak dengan gerakan yang amat cepat.
"Hayaaaa....! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!" Kakek itu terkekeh memuji. Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang menyerbu! Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan betapa orang-orangnya tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerahkan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari mendahului untuk membantu Thian Tok Lama yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.
Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam pertentangan dengan pemerintah, lalu mengundurkan diri dan pergi dari tempat itu. Adapun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka, sudah menyambut dan terjadilah perang tanding dimana banyak sekali pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu. "Dia telah membunuh orang-orang kita!" Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai. Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal itu. Nirahai menjadi makin penasaran dan tidak mau mengalah begitu saja. Kini pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung, sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi melakukan serangan-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang. "Heeehhh, kau lihai....!" Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapapun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyambar keluar dari kedua tangannya. Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kangnya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sin-kangnya untuk melawan sambaran angin pukulan dahsyat itu. Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tidak berani sembarangan menerimaa pukulan ampuh itu. Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, "Heh-heh-heh, banyak orang hebat!" Maharya menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia membentak, "Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!"
"Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kaka tua, heh-heh!" Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya. "Engkau merasa kakimu lumpuh, rebahlah!"
Bersambung ke bagian 5 ...
"Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?" Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat!
Cui-beng Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para panglima! Betapapun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak. Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan kacau balau. "Aku ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!" Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara ngawur menerjang, membantu twa-suhengnya dan disambut oleh Thian Tok Lama.
Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup tentu lihai sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
"Wah berbahaya...." Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilmu memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olah memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri. "Omitohud....!" Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini. Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya masih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunyai banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya. "Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tidak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan kepadaku!" Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang. Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan. "Tua bangka gila, engkau siapa?" Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit. "Ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa-tawa. Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri segan menghadapi sutenya ini yang biarpun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetepi dia jauh lebih lihai! Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biarpun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sutenya kewalahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan. Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dalam dari Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!
"Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!" Tiba-tiba berkelebat bayangan oreng dan muncullah seorang pemuda tampan. Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan
tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.
Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru. "Singggg.... sratttt!" Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para perajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar! Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancar darah segar.
"Eh, Sam-te, kau terluka?" Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat, menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya. "Heh-heh-heh, ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu...." Kwi-bun Lomo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
"Wuuuttt!" Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
"Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?"
"Heh-heh, Ji-suheng. Kau.... kau pesan apa....?"
"Pesan tempat! Kaupesankan untukku satu tempat yang baik, ya?" Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
"Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh.... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng.... dekat aku...., heh-heh...." Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
"Aihhhh.... Sam-sute, jangan lupa lho....!" Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
"Siuuuutttt.... wessss....!" Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
"Sucouw, mari kita pergi saja!" Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhunya yang masih dikeroyok dua. "Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kauganggu saja!" Kakek telanjang itu mengomel. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian mengajak suhunya melompat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang gelap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, terpaksa Nirahai dan Bhong Ji Kun mundur lagi. "Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi....!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya. Dia ini pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok Lama, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam. "Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!" katanya kepada Bhong Ji Kun.
"Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!" jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok Lama. "Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!" Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar. "Kalian jangan ikut!" Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. "Apakah kalian tidak percaya kepadaku!"
Bhong Ji Kun berkata ke bawah, "Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!" Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu. Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. "Bhong-koksu lihat siapa aku!"
Bukan ma in kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, "Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang."
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. "Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!"
Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas, "Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!"
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. "Wi Siang, hentikan pertempuran!" Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding, dan seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk. Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata "Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!"
Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.
"Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!" kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek." Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. "Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu."
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.
Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit. Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas. "Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bahwa aku turun ke sana." Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tihang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!
Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia setelah menjadi mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini? Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu. Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apalagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang merasa diri paling suci itu?"
Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.
******
Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara, menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat guha itu merupakan tempat persembunyian yang baik. Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.
Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.
Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak. Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh kelaut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.
Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu. "Braaaakkkk....!" Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi. "Haiiiihhhh....!" Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti. Biarpun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekalipun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah.... mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga, ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?
"Iihhh.... hiiihhhh....!" Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang
tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka,
kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa. "Heh-heh-heh-heh-heh!" Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!
Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah mahluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biarpun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur membuat mata itu seperti berwarna putih semua. Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.
Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia! Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang dibumihanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah. Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger! Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sutenya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!
Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumihanguskan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu dengan Kwi Hong.
"Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!" Cui-beng Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biarpun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa.
Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka saya berani mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu...."
"Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!" Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa. Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.
"Locianpwe," jawabnya dengan suara dingin, "saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Locianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mugkin saya mau mengakui Locianpwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!" Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.
"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!" Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mujijat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mujijat itu menyedot dan menahannya dari belakang!
Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sin-kangnya dan dia memaksa diri melangkah ke depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!
"Heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!" Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan, hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga yang dahsyat, yang menariknya, maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memillki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapapun juga, melihat betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah, "Kiranya engkau iblis yang jahat!" Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari
gadis perkasa ini. "Cieeettt.... bukkk....!" Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.
"Ihhh, dingin....! Eh, apakah kau dari Pulau Es?" tanyanya. Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut. "Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!"
Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai dan dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, akan tetapi biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!
"Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Sudah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai di mana kehebatannya!" setelah berkata demikian, kakek itu menyerang!
Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong, kaki tangannya bergerak kacau akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapapun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi lemas lumpuh. "Heh-heh-heh! Tidak seberapa!" Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar. Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan biarpun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan i1mu silat yang ia pelajari dari pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang aseli karena ilmu mujijat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah. Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang
dasarnya memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirobah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.
"Hebat.... hebat.... eh, ilmu apa ini?" Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, "Eh, panas.... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!"
"Plak! Plak! " Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan.... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mujijat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!
"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang. Untung bahwa dara ini memiliki gin-kang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!
"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi kemana?" Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biarpun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!
Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sin-kangnya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh girang mempermainkan dara itu. Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke depan di antara keponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan "terputuslah" tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai terluka. Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan kelihatan tenang-tenang saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!
Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebelah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.
"Kau.... kau.... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es....?" Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar! Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab dan sedang meneliti kakek di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!
"Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!"
Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat, "Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?"
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, "Aku sudah memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka sudah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"
"Locianpwe dari Pulau Neraka?" Suma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali. "Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?"
"Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Suteku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"
Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. "Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"
"Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Suteku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!"
"Nanti dulu, Locianpwe! Setelah Pulau Neraka dibumihanguskan oleh pasukan pe merintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?" Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya. "Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka.... eh, sudahlah, banyak
ngobrol. Hayo kaukalahkan aku!" Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh namun ganas dan dahsyat sekali ke depan, Suma Han mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu debu mengepul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.
"Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!" Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya. Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya. Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andaikata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.
"Desss!" Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.
"Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha!" Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.
"Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biarpun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus saling gempur sendiri?"
"Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang juga!" Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han. Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan derhsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan. "Brakkkk!" Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan. "Bukan main." Suma Han diam-diam memuji, "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi."
Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.
"Bukkk!" Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia!
Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan Ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sin-kang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.
Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.
"Trakkk!" Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pukulan maupun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan lengan tangannya yang biarpun hanya tulang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.
Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini?
Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat. Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya, kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu ke luar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian terkekeh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila. "Aihhhh!" Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal terhadap kekuatan mujijat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan membentak, "Cui-beng Koai-ong, robohlah!" Dengan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata, maupun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mujijat yang amat berpengaruh.
"Heh-heh, nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?" jawab kakek itu dan menyerang terus. Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mujijat dalam dirinya, tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia telah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu
sihir.
Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan saling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung. "Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!" Tiba-tiba kakek itu berkata dan.... dia melempar tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.
"Desss!" Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil menyeringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang! Suma Han menjadi girang karena maklum bahwa dia menemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya mendorong ke atas.
"Wusss.... bukkk!" Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah mempergunakan daya tahan bumi!
Dan kakek itu tertawa, tetap terlentang. "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!" Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik sekali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu membingungkan lawan dan dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah terlentang, tentu saja tubuh bagian belakang terlindung tanah, juga sukar menyerang dari kanan kiri. Satu-satunya tempat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini. Namun Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil "tiduran" seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan turun berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, bagaikan tombak besar dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!
Dua ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sakti yang pernah dilawannya. "Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba sekarang kau terima ini!" Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu menyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh dan Suma Han maklum bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sin-kang, keras lawan keras. Apalagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satunya untuk menentukan kemenangan hanyalah mengadu tenaga sin-kang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es.
Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangannya menerima dorongan kakek itu. "Jieeetttt!" Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk, saling mengerahkan sin-kang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka. Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan siapa kalah kuat tentu akan binasa! Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nyawa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang me lihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Super Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sin-kang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar dan mata mereka saling pandang tanpa berkedip.
Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang dengan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sin-kang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.
Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang mendatangkan hawa yang mujijat itu, tahulah dia bahwa pedang itu merupakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, membarengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran. Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang sedangkan tangan kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong. Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sembil melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!
"Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!" Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sin-kang kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi begitu ia memutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupakan perisai bagi tubuhnya, kakek itu tidak berani menyerangnya.
Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bahwa kakek itu pun terluka.
Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata, "Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!" Biarpun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulungan sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiarkan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.
"Crakkk!" Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!
Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan. "Bresss!" Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar  lagi ke belakang. Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdirinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.
"Trangggg.... aihhhh!" Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera Pulau Neraka.
"Kau....? Keparat....!" Dia membentak. Akan tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, meninggalkan pantai itu. "Tunggu, jahanam....!" Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.
"Kwi Hong, jangan kejar....!" Suma Han berseru. Dara itu berhenti, menengok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Aihhh, Pa man....!" Ia meloncat menghampiri. Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya. "Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannyapun hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya.... coba ambilkan tongkatku...."
Kwi Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya. "Mari kita menemui bibimu Phoa Ciok Lin...." katanya menuding dan dari utara tampak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak membantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh ke khawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun. "Rajawali Pulau Neraka...." katanya tersenyum duka. "Beterbangan bingung kehilangan tempat, dapat kutundukkan.... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian.... aku perlu mengaso...."
Dengan perawatan penuh perhatian dan teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersamadhi. Dia seringkali tampak termenung memikirkan perkembangan hidupnya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah. Di dalam perjalanannya, dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasukan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ. Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang dapat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudian dia menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke Cui-lai-san, di mana diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan Thian-liong-pang. Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya. Maka terbanglah rajawali itu ke utara, dimana dia tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar kekuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.
Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya terancam oleh kakek yang amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah lukanya, akan tetapi kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak tahu kemana perginya dan tak seorangpun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas panjang. "Biarlah, dia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir, dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak bencana. Mudah-mudahan saja tidak demikianlah."
"Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji memiliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pedang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan."
"Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di tangan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di tangan anak itu...." Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!
"Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?" Suma Han mengangguk "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka...."
"Aihhhh....!" Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang. "Putera.... Lulu....?"
Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil adalah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ketika terculik di Pulau Neraka.
"Lalu.... bagaimana baiknya, Taihiap?"
"Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku harus menghajar mereka yang menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu dan Nirahai.... dan aku akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini," kata Suma Han dengan suara tegas.
Ciok Lin menghela napas panjang lagi. "Mudah-mudahan kau berhasil, Taihiap. Terutama sekali.... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan mereka...." Terdengar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan. Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya. "Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung di dalam hatimu, dan aku merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andaikata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka...."
Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehtngga dua titik air mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata. "Taihiap, saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai.... dan saya bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup bahagia bersama mereka."
Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan berterima kasih. "Engkau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin," katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih seperti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang merupakan cinta kasih murni, cinta yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta berbahagia. Phoa Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biarpun semenjak tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apalagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik! Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius.
"Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu sekarang, tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, dan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat ini sebagai buronan yang bersembunyi, amat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?"
"Engkau benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua pusaka dan harta yang dapat kaularikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada mereka agar mereka dapat menggunakannya sebagai modal dan hidup di dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."
"Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan sebentar saja, harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk.... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya.... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya...."
"Ciok Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apalagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan." Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu. Phoa Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulutnya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. "Duhai, Suma Han.... betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?"
Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita berilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!
Kemana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.
Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu Ciok Lin monjaga para anak buah Pulau Es yang mangungai di situ, menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biarpun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang seperti mayat hidup itu, numun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tenaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi. Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat berlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat daripada yang telah dilakukan oleh guru dan pamannya, Pendekar Siluman!
Langkahnya cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan. Anak rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada sinar memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidungnya mancung dan mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat. Pakaiannya terbuat daripada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Betapapun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya. Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!
Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat daripada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam di kota raja? Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya! Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sasterawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapapun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apalagi yang lain-lain itu! Siapa lagi musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi.... eh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu!
Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas kalau teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apalagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangannya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu! Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah restoran di pinggir jalan.
Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es. Mula-mula memang dia marah-marah dan seringkali dia menghajar pemilik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini, makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya mata laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.
"He, Bung Pelayan! Kesinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya. Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aih, pandang mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak, "Heii, mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"
Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung. "Maaf.... maaf.... Lihiap. Kami.... eh, kami tidak apa-apa, hanya kagum melihat kegagahan Lihiap...."
"Hushhh! Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja. "Kressss!" Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung! "Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras daripada kayu ini!" Kwi Hong mendesis lirih, akan tetapi penuh ancaman.
Otomatis tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara,
"Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihiap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali."
Kwi Hong sudah menjadi sabar kembali. "Hemm, buka mata lebar-lebar sebelum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi godok istimewa!"
"Istimewa? Maksud Lihiap....?"
"Bodoh! Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"
"Eh, araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.
"Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apalagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biarpun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh membelakanginya.
Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.
"Siapakah mereka itu?" tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas meja dengan sikap hormat.
"Ah, sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan."
"Mayat-mayat siapa?"
"Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."
"Apakah rombongan itu orang jahat?"
"Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!"
"Hemmm...." Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, akan tetapi sebelum memasukkannya kemulutnya yang kecil dia bertanya lagi, "Rombongan orang apakah itu! Dan apa namanya?"
"Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang...."
"Hem, Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka kemana?"
"Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini, hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu, terpaksa harus meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona. Sungguhpun kami tidak pernah diganggunya, akan tetapi semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang mereka." Pelayan itu pergi dan Kwi Hong menjadi panas hatinya. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki! Malam hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus berloncatan, mengerahkan gin-kangnya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan rumah, kelihatan sunyi sekali.
Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng mempergunakan gin-kang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang. Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua, yang dua orang berpakaian seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liu-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan tetapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka. Mereka tentu bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentu mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat gin-kang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi me-reka tanpa mereka ketahui.
Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggauta rombongan mereka?
Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara mereka, yang berpakaian sasterawan atau pelajar, berseru nyaring, "Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian! Kami bertiga, Sepasang Biruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!"
Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ dan memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa? Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka!
Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian sasterawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi) itu, "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabuhi mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"
"Ha-ha-ha! Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Biruang dari Utara tidak takut kepada siapapun juga!" Seorang di antara kedua orang peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.
"Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!" kembali suara halus tadi menantang.
Tiga orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat daripada besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganya melayang turun kepekarangan belakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan. Akan tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka, bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka dengan senyum mengejek. Kwi Hong cepat menyelinap dekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah sedangkan dua orang Mongol dan sasterawan itu adalah penentang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.
"Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian antara lain pamannya berpesan, "karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan golongan ataupun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja. Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet."
Tidaklah mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apalagi kalau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah Mancu?
Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong. Gerakan Sepasang Biruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Adapun permainan sepasang pit di tangan sasterawan itu halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai
yang dimainkan oleh sasterawan setengah tua itu. Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biarpun mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kakek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apalagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main!
Kwi Hong tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan tadinya diapun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apalagi mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang digenggamnya dan dia berseru ke bawah, "Sia-sia membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, melainkan perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri tidak mau pergi, lebih tolol lagi!"
Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru, "Terima kasih atas pertolongan Lihiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan, tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.
"Manusia sombong yang lancang tangan!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak orang yang dipimpin oleh se orang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.
Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es, kini, melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki "Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!"
"Bocah sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong. Dengan gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biarpun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang kuat!
Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak  kecilnya berlatih sin-kang di pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sin-kang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merobah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.
"Pergilah kalian!" Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan pengerahan sin-kang agar gadis yang berani menghina Thian-liong-pang ini dapat dirobohkan sekali serang. "Desss! Desss!" Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sin-kang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan gin-kang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih-rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main, cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya itu.
Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali secara tiba-tiba ke bawah!
"Aihhh!" Kwi Hong terkejut bukan main. Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu-tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sin-kang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!
"Haiiiitttt!" Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik-menarik! Dara di sebelah bawah meggunakan kedua tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disambut oleh pengeroyokan orang-orang Thian-liong-pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan. Tarik-menarik terjadi. Betapapun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, genteng-gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat
orang-orang Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian-liong-pang yang memukulnya, ia cepat menangkis. "Plak! Plak!"
Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sin-kang yang amat kuat. "Tar-tar-tar-tar!" Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu. Sementara itu, para anggauta Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas. Empat orang anggauta Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apalagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah. "Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"
Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu!
Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.
Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula.
Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biarpun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya? Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok? Hemm, kalau saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
"Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Kalau maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!"
Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah mata-hari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena tidak terdengar sejak lewat tengah malam tadi suara derap kaki kuda yang mengejarnya.
Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biarpun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak. Kwi Hong tersenyum gembira.Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat ge mbira. Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.
Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat itu. Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang. Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apalagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar daripada ketidaksenangannya maka dia lalu berkata nyaring. "Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa kemana peti mati itu?"
Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang. Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"
"Heiii, apa engkau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak marah. "Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?"
"Keparat! Engkaulah yang patut mampus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot. Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!
"Tar! Tar!" Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin-kangnya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!
"Plak! Pla k! Aiiihhh....!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
"Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?" Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biarpun jarak di antara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.
"Wuuuuutttt! Siuuut!" Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, akan tetapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.
"Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.
"Tar-tar-tar-tar!" Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
"Pe.... dang.... Iblis....!" Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
"Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong menantang.
"Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!"
Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru, "Sudahlah, aku mau pergi saja!"
Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan terus lari dengan cepat sekali!
Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Kesanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya? Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekalipun. Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan ia berikan kepada Bun Beng!
Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.
Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini ke dua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut? Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut kalau tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!
Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari darimana datangnya sumber suara ketawa itu.
Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara ketawa dari kuburan kuno? Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, daripada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biarpun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekalipun!
"Heh-heh-heh-heh, hayo.... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!" Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.
"Krik-krik-krik!"
"Krek-krek-krek!"
Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.
"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biarpun kecil merica tua, makin kecil makin tua dan
makin pedas! Ha-ha-ha!"
Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak tangan kirinya! Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau. Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.
Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.
Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkerik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
"Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!" Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkatnya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam! Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkerik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!
"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji. "Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. "Kalau bukan kau datang mengagetkan Si Kecil Merah takkan kalah!"
Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkerik yang kecil begitu mana bisa menang?"
"Siapa bilang tidak bisa menang? Kaukira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!"
"Plak! Plok!"
Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.
"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin-kangnya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!
Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkerik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.
"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak karuan.
"Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. "Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"
Biarpun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkerik kecil maju dan mengalahkan jangkerik besar. Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan. Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap dengan jepitan jari tangan sehelai rambut yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada selakang kakinya. Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak-kemik dekat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan berputar  itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.
"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah. "Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan semangat!" Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkerik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya, "Busssshh!" Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkerik merah.
"Ihhh....!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah "gemblengan" yang diberikan kakek itu pada jangkerik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkerik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!
"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil jangkerik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkerik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkerik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu. "Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hitamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkerik kecil dan berlaku curang.
"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kaukili dia!" kakek itu membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkerik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.
Biarpun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi. Setelah kedua jangkerik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkerik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas. "Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!"
Kembali dia menaruh jangkerik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan "penggemblengan" ke dua terhadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkerik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pedangnya.
Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula dalam adu jangkerik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah. Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing! Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benamkan jangkerik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkerik itu. Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
"Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!" Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan kini dia duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!
"Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!" Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkerik kecil merah itu.
"Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!
Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk. Akan tetapi tiba-tiba jangkerik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkerik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!
"Hebat dia....!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.
Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam semak-semak. Kemudian dia menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!
"Heh-heh, kaukira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!" Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalah-artikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apalagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong!
Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis. "Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan "temangsang" di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?" Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.
Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, "Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.
"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!" Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya itu, mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!
"Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu."
Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"
"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!"
"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?"
"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kaupelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!" kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.
"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"
"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"
"Engkau, kakek sinting, apa kaukira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
"Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!" Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
"Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat. "Atau biru? Hijau? Kuning?"
Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.
"Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede...."
"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kaukira engkau ini masih bocah?"
"Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?"
"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"
"Heh-heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka.... heh-heh-heh... haa? Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh.... pedangmu itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"
Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!
"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"
"Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!"
Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?"
"Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kaupandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah den engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!" Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"
"Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kok tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"
Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata, "Kalau kau yang kalah?"
"Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai."
Kwi Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega. Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun, demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apalagi dia memegang Li-mo kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.
"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.
"Hayaaaa....!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.
Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkerik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.
Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.
Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah "terbang" ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai, "Nah, kau kalah, muridku."
Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."
"Apa kaukira aku tidak tahu? Kauanggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"
Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."
"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"
"Bagaimana? Aku tidak mengerti."
"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apalagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tidak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya mengalahkan muridnya oleh muridku!"
"Tanpa kauberi pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!"
"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kaukira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya."
"Pedang curian!"
"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu menandingi ilmunya?"
"Siauw-jin.... ehh.... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!"
"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha, ha!"
"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempe lajari ilmu yang akan kauberikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kaupergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"
"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tidak kenal. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin-kang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kaukatakan tidak sopan."
"Ilmu tendangan jangkerik?"
"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malapetaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkerik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"
Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kauberikan."
"Bagus, sekarang kaucarilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."
"Mencari peti mati? Kemana?"
"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"
Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!"
"Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kaupergunakan!"
Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!"
"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.
"Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin memerintah.
"Aihhh.... Ji-tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.
"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"
"Kwi Hong, Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.
"Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"
Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?
"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.
"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau takut?" Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!"
Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
"Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, atau engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"
Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?
"Kalau sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?" Dia mencoba menggunakan alasan menolak.
"Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kaukira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."
Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal. "Brakkk!" papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi. "Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.
Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Ia merasa betapa peti mati di mana ia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Adapun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa. Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari "kuburan" itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biarpun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih "aman" menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa. Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!
"Kakek sinting....!" Dia memaki gemas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum mencekik lehermu sampai putus!"
Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari balik kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti sari bumi...."
Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!
"Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang di antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."
Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.
Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu terjadi penyerbuan itu, tidak berada di pulau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.
"Ibu, kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?"
"Pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu dan membawa anak buah melarikan diri," jawab Lulu.
"Ahh, mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"
Lulu memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau sendiri mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai."
"Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut menghadapi mereka?" Keng In membantah. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!"
Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.
"Orang tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"
"Ibu, jangan....!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang Lulu sudah marah sekali, maka begitu dia menyerang, dia telah menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mujijat yang dahulu dia latih bersama kakak angkatnya di Pulau Es.
"Desss! Dessss!" Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek setengah telanjang yang
menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara melengking dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.
"Ibu, jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat kepada Cui-beng Koai-ong yang memandang dengan mulut menyeringai. "Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilarang, jangan dihalangi, biarlah!" Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin penasaran dan marah.
"Plak! Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!
"Suhu, harap jangan bunuh Ibu...." Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap kakek yang amat sakti itu.
Akan tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk menyerang kakek itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh-kekeh senang karena maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.
Sementara itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu, memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi pucat wajahnya. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.
Kini Lulu maklum bahwa sesungguhnya, puteranya tidak sombong kalau mengatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga sin-kangnya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan lawan. Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya uap dari hawa sin-kang, melainkan asap dari telapak tangannya
yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!
"Suhu, harap maafkan Ibuku....!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar dan gurunya berkata, "Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di tanganku, ha-ha-ha!"
Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya makin lama makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?"
Tahu-tahu muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?"
Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya. "Apakah engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?"
tanyanya secara langsung, sedikitpun tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!
"Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka memaafkannya."
Muka Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang demikian aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!" bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.
"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu dan.... menurut Suhu...., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka."
"Wan, Keng In! Engkau anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.
"Aku tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah. "Kau...., lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?"
"Maaf, Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"
"Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biarpun dia telah menderita karena Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu Ibumu sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata. "Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah me mpunyai seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek Siauw-jin mencela suhengnya yang tertawa-tawa tadi.
"Siauw-jin! Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa menca mpurinya? Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!"
"Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggarnya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kaularang juga akan percuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku yang manis ini turun tangan terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawamu."
"Dia benar.... dia benar...., pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.
Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu seberti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka, maka setelah sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Hanya satu tujuan hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kgkak angkatnya juga satu-satunya pria yang dicintanya itu, untuk turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!
Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri. Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti.
Karena kalah dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-kang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!
Ilmu samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mujijat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia "membunuh diri" dengan jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka. Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati, menciptakan ilmu mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini. Tidak sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan mempertaruhkan nyawa. Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ke tiga di dunia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi! Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak berani mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah mengenal dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu, apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak mereka sukar sekali diikuti. Mereka maklum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu diganggu orang. Kalau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari tugas berat ini, kecuali tentu saja kalau ada perintah baru dari kakek pendek yang aneh itu. Pada malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut ketika melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang dipimpin oleh seorang dara remaja yang cantik jelita dan yang mereka kenal sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan. Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggauta rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersikap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai daripada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya karena sambaran tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya. Orang-orang Pulau Neraka yang sedang bertugas menjaga "kuburan" Bu-tek Siau-jin dan muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah, tidak berani mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan  yang amat lihai. Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah muda yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh "ketua" Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng. Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau Neraka. Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh! Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka. Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau meninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembunyi dan tidak menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali. Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir embun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.
"Bagus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupakan sebuah perkumpulan besar yang suka memegang janjinya!" Seorang di antara para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, tangan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata sambil berkata tenang.
"Thian-liong-pang selamanya memegang janji dan sejak dahulu adalah perkumpulan besar yang tiada bandingnya!" Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut. "Memenuhi permintaan para sahabat di dunia kang-ouw untuk mengadakan pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini agar di antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukun manusia lain karena di sini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah datang, apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengadakan pertemuan?"
Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, "Omitohud...., seorang dara remaja yang lembut menyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang!
Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis muda seperti Nona?"
Milana cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya. Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak menang sendiri dari perkumpulan yang dipimpin ibunya, membuat gadis yang memiliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.
"Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat sembarangan hadir dalam setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak datang memimpin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami mewakilkan kepada kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini."
Hwesio itu mengangguk-angguk, namun pada wajahnya yang halus itu masih terbayang ketidakpuasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya disambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!
"Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"
"Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu banyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewakili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!" Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya sudah melintangkan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya menakutkan.
Para hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, "Omitohud...., maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona adalah puteri Thian-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng adalah Ceng Sim Hwesio, murid kepala dari Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai."
"Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut agar diadakan pertemuan dengan pihak kami." Milana cepat bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!
"Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain...."
"Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!" Milana cepat membantah. "Sedangkan mengenai urusan dengan tokoh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."
Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, "Tepat sekali ucapan Noda dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak pertemuan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan sekali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!"
"Harap Lo-suhu suka memberi penjelasan!" Milana berkata halus akan tetapi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibunya dicela orang lain.
"Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki tangan Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kegagahan dan berarti salah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."
Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring. "Kiang-lopek, mundur dan jangan turun tangan sebelum
ada perintah!"
Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa membantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.
"Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah.... mungkin Siauw-lim-pai bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, perampok-perampok yang berkedok pejuang?"
Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, "Perjuangan melawan penjajah, di manapun juga di dunia ini, adalah perjuangan kaum patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji memakai dalih apapun juga. Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pejuang yang kalian anggap sebagai pemberontak, akan tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orang gagah, untuk mundur dan jangan membunuhi rakyat dan bangsa sendiri."
Tentu saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagaimana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah? Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Di dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan kejahatan mereka!
"Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak bolah membantu pemerintah membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak permintaannmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rakyat daripada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak!"
"Kalau begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!" Hwesio bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat.
"Habis, engkau mau apa?" Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di tangan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.
"Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!" Milana berkata.
"Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi! " kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.
"Ilmu kepandaian curian semua!" Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.
"Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena itu, karena kami yang menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah selesai!" Milana berkata marah.
"Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-lim-pai!" Ceng Sim Hwesio berkata. "Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk saling menguji sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian masing-masing. Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"
"Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?" Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.
"Trang-trangg....!" Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!
"Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!"
Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian bersama enam orang pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan pedang di depan dada dan berkata, "Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"
"Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita akhiri dengan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan kami kepada Ketua kami."
"Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!" Kemudian dia menoleh kepada para pembantunya, "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya sekedar menguji ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!"
"Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!" Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.
"Wuuuut.... wuuuutttt!" Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemimpin rombongan, hwesio itu telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di antara mereka. Milana tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan bekerja terlalu keras!
Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menangkis toya Si Lengan Buntung. Namun lawan ini terlalu lemah baginya dan dalam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat mengelak dan sibuk menangkis dengan sepasang senjatanya seolah-olah di tangan Milana bukan terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.
Sementara itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan lima orang pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di tanah kuburan. Melihat bahwa ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada di situ sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.
Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, dibandingkan dengan pertandingan lain di antara kedua rombongan itu. Biarpun lengannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun tidak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersilat dengan amat hati-hati. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang kokoh kuat dan boleh dikata di antara semua ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah karena para pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru mereka. Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya, juga tidak kalah lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling aseli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.
Ceng Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ketua Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerakan mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio.
Ketika dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu menyambar ke arah toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepasang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan menggunakan kesematan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempunyai ilmu dahsyat "telapak tangan golok" itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!
Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya sekali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, sepasang ujung lengan bajunya sudah melibat toya, maka jalan satu-satunya baginya hanyalah miringkan tubuh dan menerima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sin-kangnya. "Desss!"
Hebat bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah menerima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggalnya itu amat dahsyat. Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai membacok putus leher manusia! Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwesio itu tergetar hebat dan biarpun dia tidak terluka karena "bacokan" tangan itu dilawan oleh sin-kangnya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.
"Pinceng sudah kalah, perlu apa menodong dan mengancam? Kalau mau bunuh, lakukanlah, pinceng tidak takut mati!" kata Ceng Sim Hwesio yang merasa terhina dengan penodongan toya di atas dadanya itu.
Milana yang sudah merobohkan lawannya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang pembantunya berturut-turut cepat berseru, "Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!"
Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung toyanya bergerak cepat menotok jalan darah di pundak Ceng Sim Hwesio, membuat hwesio itu mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.
Sementara itu, hwesio muka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggauta Thian-liong-pang yang tadi menerjangnya dengan sebatang pedang, gerakan hwesio ini hebat sekali, dan begitu memandang, tahulah Bok Sam bahwa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai daripada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain. Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal dia, puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yaitu Su Kak Liong yang masih bertanding seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biarpun dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang bersenjata pedang. Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke depan membantu Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan berubah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tandingan Si Lengan Buntung, biarpun senjata mereka serupa dan hwesio itu menggunakan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan lagi, toyanya patah menjadi dua dan dia roboh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka pundaknya.
Bok Sam cepat meloncat dan membantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata hwesio kurus bermuka tengkorak itu benar-benar lihai sekali. Permainan kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampasnya, akan tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat
dipergunakan untuk menotok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan kebutan dengan sambaran-sambaran ke arah kepala lawan. Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai maka dia menjadi heran sekali ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai, bahkan mendekati ilmu silat dari barat! Setelah kini Bok Sam maju membantunya dan menghadapi hwesio yang bersenjata pedang, Milana mendapat kesempatan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu lawan satu dan dengan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, Milana dapat memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tasbih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang seperti seekor burung menyambar ke arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup. Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke tangan lawan! Kini dia sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengirim penyerangan cepat sekali.
"Cringgg!"
Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternyata bahwa tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat! Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung kebutan bergerak cepat sekali seolah-olah berubah menjadi banyak dan mengirim totokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke atas.
"Wuuuuttt.... singgg!" Milana menggunakan gin-kangnya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang dikelebatkan dengan pengerahan sin-kang sehingga tasbih yang melilit pedangnya itu terlepas menyambar ke depan, menangkis ke arah kebutan.
"Wuuuut!" Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya, dan sudah siap untuk menerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.
"Tahan!" Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada. "Siapa engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!"
Hwesio itu tersenyum mengejek, kemudian memandang kepada enam orang hwesio yang semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya membantu dia mengeroyok Milana, telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya tegak lurus di depannya, siap untuk menerjangnya. Enam orang temannya sudah kalah semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong- pang masih ada tiga orang termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.
"Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, pinceng dan para sahabat ini...."
"Aihh, kiranya engkau seorang pemberontak dari Tibet, bukan?" Milana memotong, dan hwesio itu kelihatan terkejut. Â "Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?"
"Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang di antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami. He mm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka urusan antara engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberontak."
"Ha-ha-ha, perempuan sombong! Kaukira pinceng takut....?" Baru sampai di sini ucapannya, terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat, menggerakkan toyanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.
Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangannya yang menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Serangan berbahaya ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih hebat daripada tadi karena kalau tadi masing-masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!
Milana sudah mengukur tingkat kepandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis menyaksikan kelancangan Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang boleh diandalkan, akan tetapi dia khawatir kalau pembantu ibunya itu bukan tandingan Mo Kong Hosiang yang amat lihai. Biarpun hatinya tidak senang menyaksikan kelancangan dan kekerasan hati Bok Sam, namun karena dia tahu bahwa Si Buntung ini mendahuluinya bukan hanya karena keras hati akan tetapi juga karena menyayangnya menghadapi lawan tangguh, maka di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau membiarkan Si Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap sedia untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.
Kiang Bok Sam bukan seorang bodoh. Begitu terjadi saling serang beberapa jurus saja, tahulah dia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim itu membingungkan hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga hud-tim yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku itu membuat dia sukar sekali menduga gerakan serangan lawan. Namun, dia tidak menjadi jerih dan toyanya diputar amat cepatnya ketika dia membalas dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah hebatnya. Permainan toyanya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang kepadanya memang dahsyat sekali, apalagi di balik toya ini tersembunyi lengan tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa. Toya ini selain merupakan senjata, juga merupakan semaca m kedok yang menyembunyikan senjatanya yang paling utama dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan biasanya akan memandang rendah apabila dia kehilangan toyanya, dan hal ini pun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng Sim Hwesio. Mo Kong Hosiang maklum bahwa lawan yang berbahaya adalah Si Buntung ini dan nona muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka baru dia mempunyai harapan untuk keluar dari pertandingan dengan selamat. Maka kini melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang rendah. Si Buntung ini memang amat cepat dan kuat sin-kangnya, namun masih jauh kalau dibandingkan lawannya dengan nona muda yang cantik itu. Dia harus dapat mengalahkan lawannya dengan cepat. Tiba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan melengking sehingga terkejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga khi-kang yang menggetarkan jantung. Pada saat itu, hud-tim di tangan Mo Kong Hosiang meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan kirinya sudah dilontarkannya ke atas dan kiri tasbih itu meluncur turun ke arah kepala lawan selagi lawan masih terkejut dan berusaha membetot toyanya.
"Sinngggg.... tranggg!" Tasbih itu putus dan runtuh ke atas tanah, kesambar pedang yang dilontarkan oleh Milana. Pedang itu pun runtuh ke atas tanah, akan tetapi telah berhasil menyelamatkan Si Lengan Buntung dari ancaman maut!
Pada saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan hal ini dianggap oleh Mo Kong Hosiang sebagai kemenangan. Dia berseru girang walaupun tadi kaget melihat tasbihnya runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam ke arah lawan. Pukulannya cepat dan keras bukan main sehingga didahului oleh hawa pukulan yang kuat. Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari Tibet ini telah salah menduga keadaan lawan. Disangkanya bahwa Si Lengan Buntung itu hanya mengandalkan toyanya, maka begitu toya terlepas dianggapnya Si Lengan Buntung itu menjadi tak berdaya dan lemah. Maka hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok Sam menggerakkan lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.
"Krakkkk....!"
Mo Kong Hosiang berteriak kaget setengah mati ketika pergelangan tangannya terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu bertemu dengan tangan miring lawan.
"Celaka....!" Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung lumpuh karena tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya. Kini dia menggerakkan hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak panah yang besar ke arah Bok Sam!
"Wuuuttt.... wirrrr!" Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa ini telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah di antara senjatanya yang amat lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya! Kini toya itu telah kembali ke tangan pemiliknya yang mengangguk sebagai tanda terima kasih kepada Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya sehingga kalau tidak ditolong Milana, tentu dia akan celaka, setidaknya terluka.
Sambil menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju dan terpaksa dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya buntung, hwesio Tibet ini pun hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.
Maklum bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai ini masih terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi, maka Mo Kong Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, hendak mengadu nyawa dan mengajak lawannya mati bersama! Akan tetapi Bok Sam tentu saja tidak suka nekat seperti lawannya karena dia sudah berada di pihak lebih kuat. Menghadapi terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Desss! Krakkk!" Hud-tim dan hoya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua disusul pekik Mo Kong Hosiang yang roboh terjengkang karena dadanya terkena pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biarpun dengan sin-kangnya dia masih dapat membuat dadanya kebal, namun getaran hebat membuat jantungnya pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini tewas seketika!
Milana cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam orang hwesio Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu. Ceng Sim Hwesio berdiri dengan muka pucat.
"Ceng Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami membunuh Mo Kong Hosiang bukan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai karena menurut pengakuannya sendiri, dia bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai seorang pemberontak. Adapun Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggauta Siauw-lim-pai telah kalah dalam ujian kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah sewajarnya, apalagi kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah pihak Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu tidak akan memutarbalikkan kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai."
Ceng Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang. "Biarpun Mo Kong Hosiang bukan anggauta Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang saudara kami, sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya. Tentang urusan antara kita, hemmm.... kami sudah kalah, tidak perlu banyak bicara lagi! Selamat tinggal, mudah-mudahan dalam pertemuan mendatang kami akan lebih berhasil." Setelah berkata demikian, Ceng Sim Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil menggotong jenazah Mo Kong Hosiang.
Rombongan Pulau Neraka yang bersembunyi sambil menonton, melihat bahwa biarpun pihak Thian-liong-pang memperoleh kemenangan, akan tetapi rombongan itu tidak meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang anggauta yang terluka dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam lagi di tempat itu melakukan penjagaan secara bergiliran.
Kiranya, bukan hanya dari partai persilatan Siauw-lim-pai saja yang datang. Pada keesokan harinya datang pula rombongan orang-orang kang-ouw yang juga mempunyai niat yang sama dengan rombongan Siauw-lim-pai, yaitu mereka menentang Thian-liong-pang yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah menyeleweng dari peraturan kang-ouw, yaitu telah mencampurkan diri dengan urusan politik, bahkan telah mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah. Betapapun juga, partai-partai persilatan besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw itu biar tidak secara terang-terangan memberontak atau menentang pemerintah penjajah, namun di dalam hati mereka masih berpihak kepada orang-orang yang memberontak terhadap kaum penjajah.
Oleh karena itu, mendengar betapa Thian-liong-pang membantu pihak pemerintah, mengejar-ngejar pemberontak dan membasmi mereka, golongan kang-ouw menjadi marah dan sengaja menentang Thian-liong-pang!
Setiap hari terjadilah pertempuran di tanah kuburan itu dan karena di pihak Thian-liong-pang terdapat Si Lengan Buntung yang amat lihai dan puteri Ketua Thian-liong-pang yang sukar menemui tandingan, maka pihak Thian-liong-pang selalu dapat menang dan mengusir musuh-musuh mereka dengan alasan yang sama seperti yang mereka kemukakan kepada Siauw-lim-pai. Pihek yang merasa penasaran mereka lawan dengan mengadu kepandaian.
Rombongan Pulau Neraka sekarang mengerti mengapa Bu-tek Siauw-jin, datuk mereka yang aneh sekali wataknya itu memilih tempat ini untuk berlatih! Kiranya kakek yang tidak lumrah manusia biasa itu agaknya sudah tahu bahwa tempat itu dijadikan gelanggang pertandingan oleh Thian-liong-pang yang menyambut musuh-musuhnya, maka dia sengaja memilih tempat itu yang dianggapnya menarik! Kalau tidak untuk keperluan ini, apa perlunya kakek itu menyuruh belasan orang Pulau Neraka menggotong-gotong peti mati kosong itu sampai ratusan mil jauhnya? Padahal untuk latihan itu, di mana-mana pun ada tanah, di mana-mana pun ada tanah kuburan! Diam-diam para anak buah Pulau Neraka merasa mendongkol sungguhpun tentu saja tidak berani menyatakan ini, karena mereka berada dalam keadaan serba salah, setiap hari harus menyaksikan ketegangan-ketegangan tanpa berani berkutik.
Akhirnya terlewat jugalah jarak waktu sepekan yang dibutuhkan oleh Bu-tek Siauw-jin untuk latihan bersama muridnya! Akan tetapi, tepat pada hari terakhir itu terjadi pula pertandingan antara Thian-liong-pang dan rombongan Hoa-san-pai yang terdiri dari orang-orang pandai sebanyak sepuluh orang! Seperti juga ketika menyambut rombongan Siauw-lim-pai, Milana mewakili ibunya memberi alasan-alasan kuat, dan perbantahan itu berakhir dengan adu kepandaian pula, karena pihak Hoa-san-pai itu adalah murid-murid Thian Cu Cin-jin Ketua Hoa-san-pai yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pertandingan hebat terjadi sampai lewat tengah hari dan berakhir dengan kemenangan pihak Thian-liong-pang, akan tetapi biarpun orang-orang Hoa-san-pai itu dapat diusir pergi dalam keadaan luka-luka, Pihak Thian-liong-pang sendiri kehilangan seorang anggautanya yang terluka terlalu parah sehingga nyawanya tidak tertolong lagi dan tewas tak lama setelah rombongan Hoa-san-pai pergi!
Melihat betapa pihak musuh tiada hentinya datang menantang mereka, Milana merasa penasaran dan juga berduka sekali, apalagi setelah melihat di pihaknya jatuh korban seorang tewas dan lima orang masih luka-luka.
"Lebih baik kita meninggalkan tempat ini membuat laporan kepada Pangcu," katanya kepada Bok Sam.
"Sebaiknya demikian, Nona. Akan tetapi karena kebetulan kita berada di tanah kuburan, sebaiknya kita mengubur jenazah anak buah kita yang tewas itu di tempat ini."
Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi menganggap bahwa memang sebaiknya demikian sehingga mereka tidak perlu membawa-bawa jenazah. "Terserah kepadamu, Kiang-lopek, akan tetapi di tempat jauh dari kota ini, bagaimana kau bisa mendapatkan sebuah peti mati?"
Si Lengan Buntung itu menengok ke kanan kiri yang penuh dengan batu nisan dan gundukan tanah kuburan. "Hemm, banyak tersedia peti mati di sini, mengapa mesti susah-susah mencari tempat jauh? Biar aku mencarikan sebuah peti mati yang masih baik untuk jenazah kawan klta." Si Lengan Buntung ini lalu mengajak beberapa orang anak buahnya mencari kuburan yang masih belum begitu lama sehingga peti mati di dalamnya tentu belum rusak pula. Tentu saja perhatian mereka segera tertarik oleh gundukan tanah yang masih baru, yaitu kuburan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong! Tanah yang digundukkan di situ baru sepekan lamanya.
"Bagus, ini kuburan baru sekali! Tentu peti matinya pun masih baik. Hayo kita gali dan keluarkan peti matinya!" Bok Sam berkata dengan wajah berseri, berbeda dengan biasanya yang selalu kelihatan muram. Memang dia merasa gembira mendapatkan kuburan yang baru itu, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya karena tanah kuburan itu penuh dengan kuburan-kuburan yang sudah tua sekali.
Setelah berkata demikian, Si Lengan Buntung ini mempelopori anak buahnya, menggunakan tangannya menggempur gundukan tanah dan sekali tangan tunggalnya mendorong, gundukan tanah yang baru itu terbongkar dan tampaklah sebuah peti meti di bawahnya, berjajar dengan sebuah peti mati lain yang masih tertutup tanah. Peti mati yang tampak itu adalah peti mati Kwi Hong!
"Heii, keparat! Tahan....!"
Orang-orang Thian-liong-pang terkejut dan mereka semua melihat dengan mata terbelalak ketika belasan orang Pulau Neraka muncul dari kanan kiri. Benar-benar mengejutkan melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu bermunculan di tanah kuburan itu, tidak ubahnya seperti setan-setan kuburan. Si Lengan Satu yang kehilangan lengan kirinya dalam pertandingan melawan orang-orang Pulau Neraka, segera mengenal musuh-musuh lama ini, maka dia terkejut dan marah sekali.
"Gerombolan Iblis Pulau Neraka! Apakah kalian kembali hendak mengganggu urusan Thian-liong-pang?" bentaknya marah sekali.
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang berkepala gundul bermuka merah muda dan bertubuh gendut pendek, menyeringai ketika menjawab. "Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sudah sepekan kami berada di sini menyaksikan sepak terjang kalian dan kami diam-diam saja. Siapa sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak harum? Akan tetapi kalian berani mengganggu kuburan yang kami jaga, tentu saja kami turun tangan. Kuburan yang satu ini berada di bawah pengawasan kami dan tidak ada seorang pun manusia atau iblis boleh mengganggunya. Kalau kalian membutuhkan peti mati, boleh mencari kuburan lain!"
"Kau sudah bosan hidup!" Bok Sam membentak dan langsung menerjang ke depan, disambut oleh Kong To Tek sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara kedua tokoh ini. Ternyata ilmu kepandaian mereka seimbang sehingga pertandingan itu hebat bukan main. Anak buah Thian-liong-pang yang lain sudah pula bertanding melawan anak buah Pulau Neraka.
Perkelahian itu segera terdengar oleh Milana dan anak buahnya, maka dara ini cepat membawa anak buahnya menyerbu dan kembali tempat itu menjadi medan perang kecil-kecilan yang dahsyat sekali. Milana mempunyai rasa tidak suka kepada Pulau Neraka, maka kini melihat betapa orang-orang dengan muka beraneka warna itu bertempur melawan orang-orangnya, dia segera terjun ke medan pertandingan dan sepak terjang dara ini membuat orang-orang Pulau Neraka terdesak hebat. Bok Sam yang bertanding melawan Kong To Tek merupakan tandingan seimbang dan seru, akan tetapi Si Gundul Kong To Tek itu mulai terdesak karena lawannya menggunakan pukulan-pukulan Ilmu Telapak Tangan Golok yang dahsyat bukan main. Kong To Tek terkenal dengan ilmunya memukul sambil berjongkok dan dari mulutnya keluar asap beracun. Namun karena dia pernah mengacau ke Thian-liong-pang dan kepandaiannya ini sudah diketahui oleh Bok Sam, Si Lengan Buntung dapat menjaga diri dan selalu meloncat tinggi melampaui kepala lawan yang berjongkok itu, kemudian membalik dan melancarkan pukulan-pukulan maut dengan lengan tunggalnya yang ampuh bukan main. Adapun orang ke dua yang lihai dalam rombongan Pulau Neraka itu adalah Chi Song, tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar dan berperut gendut. Chi Song ini memiliki dua macam ilmu simpanan yang hebat dan pernah pula dia bersama Kong To Tek mengacau Thian-liong-pang dan akhirnya dikalahkan oleh Gak Bun Beng yang pada waktu itu menyamar sebagai Ketua Thian-liong-pang.
Dua ilmu simpanannya itu memang dahsyat, yaitu Ilmu Pukulan Beracun yang berbahaya sekali. Kalau dia mendorong dengan telapak tangan terbuka, dari telapak tangannya menyambar uap beracun yang dapat merobohkan lawan sebelum pukulannya sendiri mengenai sasaran. Adapun keistimewaannya yang ke dua adalah ilmu tendangan yang dahsyat, yang dilakukan sambil meloncat sehingga dinamakan Tendangan Terbang. Banyak lawan yang dapat menghindarkan diri dari pukulannya yang beracun roboh oleh tendangan dahsyat yang amat cepat dan tidak terduga-duga datangnya ini. Biarpun tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit dibandingkan dengan Kong To Tek, namun Chi Song bukanlah seorang tokoh rendahan saja di Pulau Neraka.
Sial baginya, sekali ini dia bertemu dengan Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang! Betapapun lihainya, dan biarpun dia telah dibantu oleh tiga orang untuk mengeroyok Milana, tetap saja dia dan kawan-kawannya dihajar babak belur oleh tali sutera hitam yang dimainkan sebagai cambuk tangan Milana! Kalau dara remaja ini menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat menyebar maut di antara rombongan orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi biarpun dia puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal berwatak keras dan ganas, pada hakekatnya Milana memiliki watak halus dan tidak tega membunuh orang kalau tidak secara terpaksa sekali. Dia tidak suka kepada orang-orang Pulau Neraka, akan tetapi karena yang mengeroyoknya hanya orang-orang yang tingkatnya jauh lebih rendah daripadanya, dia tidak mau menurunkan tangan maut, dan hanya menghajar mereka dengan lecutan-lecutan tali suteranya sehingga mereka itu terdesak mundur, bahkan beberapa kali Chi Song roboh bergulingan, pakaiannya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet. Sepak terjang Milanna ini hebat sekali, membuat para anak buah Pulau Neraka menjadi kacau balau. Apalagi ketika Bok Sam berhasil melukai pundak Kong To Tek dengan Telapak Tangan Goloknya sehingga tokoh gundul Pulau Neraka itu terpaksa mundur untuk mengobati luka nya dan Si Lengan Buntung itu kini mengamuk secara lebih hebat daripada Milana karena Si Lengan Buntung ini tidak menaruh segan-segan untuk membunuh atau menimbulkan luka parah di antara pengeroyoknya, pihak Pulau Neraka benar-benar terdesak hebat dan hanya main mundur.
Tiba-tiba terdengar pekik dari atas, disusul kelepak sayap dan seekor burung rajawali hitam menyambar turun, langsung mencengkeram ke arah Si Lengan Buntung Kiang Bok Sam yang sedang mengamuk dan menyebar maut di antara orang-orang Pulau Neraka!
"Haiiiitttt!" Bok Sam berseru kaget, cepat dia melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di atas tanah. Burung rajawali mengejar dan menyambar. Tiba-tiba Bok Sam meloncat bangun, tangan kanannya bergerak memukul ke arah sebuah di antara sepasang  cakar yang menyambarnya.
"Desssss!" Burung rajawali itu memekik keras, akan tetapi tubuh Bok Sam juga terlempar bergulingan sampai jauh. Kiranya ketika kaki burung itu bertemu dengan pukulan Telapak Tangan Golok, ada sebuah  tangan lain yang mendorong ke bawah dengan kekuatan yang amat dahsyat, yang selain menyelamatkan kaki burung itu, juga membuat tubuh Si Lengan Buntung bergulingan. Burung itu hinggap di atas tanah dan dari punggungnya meloncat seorang pemuda yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan sekali. Kemudian burung itu terbang ke atas, hinggap di atas cabang pohon.
Su Kak Liong, tokoh Thian-liong-pang yang melihat betapa hampir saja Bok Sam celaka oleh pemuda dengan burung rajawalinya ini, menerjang maju dengan sebatang golok besar. Pemuda itu sedang berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan terjangan Su Kak Liong dengan golok, juga dia tidak meraba gagang pedangnya yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang. Sikapnya tenang sekali, alisnya yang tebal agak berkerut, matanya bergerak ke kanan kiri, mulutnya tersenyum simpul seperti orang mengejek, namun sikapnya angkuh seolah-olah dia memandang rendah kepada semua orang yang berada di sekelilingnya. Golok di tangan Su Kak Liong menyambar dekat, hampir menyentuh lehernya.
Tiba-tiba tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, pemuda itu membalikkan tubuh atas, tangan kirinya bergerak menangkap golok yang sedang menyambar, dijepit di antara jari tangannya sehingga golok itu tiba-tiba terhenti gerakannya. Su Kak Liong memandang dengan mata terbelalak hampir tidak percaya bahwa ada orang mampu menyambut hantaman goloknya dengan jari tangan menjepitnya sedemikian rupa sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan goloknya. Matanya masih tetap terbelalak akan tetapi mulutnya mengeluarkan pekik menyeramkan dan segera disusul menyemburnya darah segar ketika tangan kanan pemuda itu menepuk ulu hatinya dan seketika robohlah Su Kak Liong dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Keparat....! Kau berani membunuhnya? Rasakan pembalasanku!" Bok Sam yang melihat peristiwa ini, menjadi marah bukan main. Biarpun dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali, namun dia tidak menjadi gentar. Ke-marahannya membuat ia lupa diri dan dengan nekat dia menerjang maju, tangan tunggalnya diangkat ke atas kepala dengan telapak tangan terbuka, dia sudah mengerahkan tenaga Telapak Tangan Golok dan siap membacokkan tangannya ke arah kepala pemuda itu. Si Pemuda tetap berdiri dan kini bahkan melongo memandang ke arah Milana yang mengamuk dengan sabuk suteranya, sama sekali tidak mempedulikan makian dan serangan Si Lengan Buntung yang kini menggunakan Ilmu Telapak Tangan Golok sekuatnya itu!
"Plakkk!" ketika tangan kanan Bok Sam itu sudah dekat kepalanya, Si Pemuda tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepala dan menyambut pukulan itu sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat!
Bok Sam mengerahkan seluruh tenaganya, tenaga sin-kang yang istimewa untuk ilmunya Telapak Tangan Golok, namun betapapun dia menekan, tetap saja tangan pemuda itu tidak dapat didorongnya, bahkan dia tidak dapat lagi melepaskan tangannya dari telapak tangan Si Pemuda. Kemarahannya memuncak. Pemuda inilah yang telah membuntungi lengan kirinya maka tadi dia marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaga untuk membalas dendam dan membunuhnya. Siapa kira, kini pukulannya yang istimewa disambut oleh pemuda itu seenaknya saja dan dia tidak mampu menarik kembali tangannya. Dengan kemarahan meluap, Bok Sam lalu menggunakan kepalanya. Untuk menggunakan tangan kiri, dia sudah tidak mempunyai lengan kini, menggunakan kedua kaki, jarak mereka terlalu dekat karena tangan mereka sudah saling melekat, maka satu-satunya yang dapat dia pergunakan untuk menyerang musuh yang paling dibencinya ini adalah menggunakan kepalanya! Dengan menunduk, dia lalu membenturkan kepalanya dengan sekuat tenaga ke arah dada pemuda itu!
Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera dari Ketua Pulau Neraka, murid yang amat lihai dari Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka! Melihat serangan kepala ini, Wan Keng In tetap tenang bahkan dia meloncat sedikit ke atas sehingga kepala lawan tidak mengenai dada, melainkan mengenai perutnya.
"Capppp!" Perut itu mengempis dan kepala itu menancap di perut sampai setengahnya, tak dapat dicabut kembali. Bok Sam merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, seolah-olah telah memasuki tempat perapian. Makin lama makin panas. Dia meronta-ronta akan tetapi karena tangan kanannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu, kepalanya sudah terjepit di rongga perut, yang bergerak hanya pinggul dan kedua kakinya yang menendang-nendang tanah!
"Manusia tak tahu diri, mampuslah!" Pemuda itu menggumam sambil mengerahkan tenaga mujijat di rongga perutnya. Terdengar bunyi keras ketika kepala Bok Sam retak-retak oleh tekanan perut yang amat kuat itu dan ketika Wan Keng In melontarkan tubuh Si Lengan Buntung dengan jalan mengembungkan perutnya, tubuh itu telah menjadi mayat dengan kepalanya retak-retak dan berwarna kehitaman!
Semua ini dilakukan oleh Wan Keng In tanpa mengalihkan pandang matanya dari Milana yang masih menghajar orang-orang Pulau Neraka dengan tali suteranya yang meledak-ledak di udara seperti cambuk.
Pandang matanya menjadi berseri, mulutnya tersenyum ketika ia melangkah dengan tenang, menghampiri tempat pertempuran itu, seolah-olah dia terpesona oleh gerak-gerik tubuh yang tinggi semampai dan lemah gemulai itu, oleh wajah yang amat cantik manis, bahkan amukan Milana pada saat itu menambah kejelitaan dalam pandang mata Wan Keng In ketika ia melangkah terus makin dekat.
"Aduhai, Nona yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Siapakah gerangan engkau?" Para anak buah Pulau Neraka yang terdesak hebat oleh rombongan Thian-liong-pang kini menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya Wan Keng In. Terdengar seruan di antara mereka.
"Siauw-tocu (Majikan Muda Pulau) telah datang!" Ketika mendengar seruan ini, Milana menengok dan kalau tadinya dia terheran mendengar kata-kata yang dianggapnya menyenangkan akan tetapi juga kurang ajar itu kini dia kaget bukan main. Kiranya pemuda ini adalah Majikan Muda Pulau Neraka! Teringat ia akan cerita Bun Beng kepadanya dan marahlah hatinya. Pemuda ini yang telah merampas pedang Lam-mo-kiam dari tangan Bun Beng. Ketika ia memandang, baru sekarang tampak olehnya bahwa Su Kak Liong dan Bok Sam telah menggeletak menjadi mayat! Tahulah dia bahwa dua orang pembantunya yang paling lihai itu telah tewas, dan melihat munculnya pemuda Pulau Neraka ini, mudah diduga bahwa tentu mereka tewas di tangan pemuda ini. Agaknya Wan Keng In dapat menduga isi hati Milana ketika melihat dara jelita itu memandang ke arah mayat ke dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan wajah berubah, maka dia tertawa lalu berkata, "Ha-ha-ha, jangan kaget, Nona manis. Kedua orang itu telah berani menyerangku, terpaksa aku bunuh mereka. Orang-orang macam itu sungguh tidak patut menjadi pembantu-pembantumu. Nona, siapakah engkau? Heran sekali di dunia ini bisa terdapat seorang dara secantik jelita engkau, dan selama ini aku tidak pernah bertemu denganmu. Nona, baru sekali ini hatiku tergetar hebat dengan seorang wanita. Aku yakin, engkaulah satu-satunya wanita yang diciptakan di dunia ini, khusus untuk menjadi pasanganku!"
Bukan main marahnya hati Milana. Tak dapat disangkal lagi, pemuda itu amat tampan menarik, masih muda, sebaya dengannya, pakaiannya indah, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar-sinar, pendeknya dia seorang pemuda yang tampan gagah sukar dicari keduanya. Akan tetapi sinar matanya yang agak aneh itu mengandung sesuatu yang mengerikan, sedangkan kata-kata dan sikapnya membuat Milana merasa muak dan membangkitkan perasaan tidak senang yang mendekatkan kebencian.
"Jadi engkau adalah bocah Pulau Neraka yang amat jahat itu? Engkau yang merampas pedang Lam-mo-kiam milik Gak Bun Beng?"
Wan Keng In mengerutkan alisnya yang tebal hitam. "Eh, engkau mengenal Gak Bun Beng? Dia sudah mati, bukan? Engkau siapa, Nona?"
"Siauw-to-cu, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Dia lihai sekali," seorang anggauta Pulau Neraka tiba-tiba berkata sambil mencoba untuk bangkit. Tulang kakinya pecah terkena cambukan tali sutera Milana tadi.
"Aihhhh, kiranya puteri Ketua Thian-liong-pang? Pantas saja cantik jelita dan lihai. Sungguh tepat kalau begitu. Engkau puteri Ketua Perkumpulan Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, aku pun putera Majikan Pulau Neraka yang tidak kalah terkenalnya. Sungguh merupakan jodoh yang setimpal sekali!"
"Tutup mulutmu yang kotor!" Milana memaki dan tangannya bergerak.
"Tar-tar!" Ujung tali sutera hitam melecut di udara dan menyambar ke arah kedua pelipis kepala Wan Keng In dengan kecepatan kilat. Sekali ini, Milana bukan sekedar menggerakkan senjata untuk menghajar, melainkan dia memberi serangan totokan yang merupakan serangan maut.
Biasanya Wan Keng In memandang rendah kepada semua orang. Akan tetapi begitu bertemu dengan Milana, entah bagaimana, hatinya tertarik seperti besi tertarik oleh besi sembrani. Belum pernah selama hidupnya dia tertarik oleh wanita seperti itu. Dia bukan seorang mata keranjang sungguhpun dia biasa disanjung wanita dan biasanya dia memandang rendah wanita-wanita cantik yang dianggapnya belum cukup untuk duduk berdampingan dengannya! Sekali ini, begitu melihat Milana, dia tergila-gila. Ketika dia menyaksikan gerakan ujung tali sutera, dia menjadi makin gembira dan kagum. Gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
"Engkau hebat, Nona!" Dia memuji akan tetapi cepat ia miringkan kepala untuk menghindarkan totokan maut itu, kemudian tangannya cepat menyambar untuk menangkap ujung tali sutera hitam.
"Cuiittt.... taaar!" Lihai sekali Milana bermain tali sutera yang digerakkan seperti pecut itu. Begitu totokannya pada pelipis yang bertubi-tubi menyerang pelipis kanan-kiri itu tidak mengenai sasaran, bahkan hampir dicengkeram oleh tangan Wan Keng In, dara itu telah membuat gerakan dengan pergelangan tangannya dan ujung tali sutera itu sudah melecut dan menotok ke arah jalan darah di pergelangan tangan yang hendak menangkapnya!
"Trikkkk!"
"Engkau memang hebat, Nona manis!" Keng In kembali memuji sambil tersenyum lebar. Akan tetapi Milana kini terkejut bukan main. Pemuda itu tadi telah menggunakan jari telunjuknya untuk menyentik ujung tali suteranya yang menotok ke arah pergelangan tangan. Gerakan itu demikian tepat mengenai ujung tali sutera sehingga ujung tali terpental. Hanya orang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi saja yang dapat melakukan hal ini!
Namun, tentu saja Milana tidak menjadi jerih. Dia tidak pernah mengenal takut dan dia pun sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biarpun tak mungkin dia dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya yang amat banyak itu, namun kiranya hanya beberapa macam ilmu yang amat tinggi dan terlalu sukar saja yang belum diajarkan ibunya kepadanya dan kalau hanya melawan musuh yang sebaya dengannya saja, kiranya di dunia ini sukar ada yang akan dapat menandinginya.
"Jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya dan kini terdengarlah ledakan-ledakan nyaring ketika ujung tali sutera itu menari-nari di tengah udara, membentuk lingkaran-lingkaran yang besar kecil saling telan, kemudian lingkaran-lingkaran hitam itu berjatuhan ke bawah, susul-menyusul dalam serangkaian serangan maut ke arah tubuh Wan Keng In dengan kecepatan kilat yang menyilaukan mata karena lingkaran itu tidak lagi berupa sabuk atau tali sutera, melainkan tampak seperti sinar hitam saja.
"Bagus sekali....!" Wan Keng In kembali memuji dan tiba-tiba tubuhnya bergerak lenyap, lalu tampak berkelebatan seperti bayangan setan menari-nari di antara sinar hitam yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar! Wan Keng In tidak mau menggunakan pedangnya yang ampuh. Kalau dia menggunakan pedang Lam-mo-kiam, sekali sambar saja tentu akan putus tali sutera hitam itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini, karena selain dia tidak mau menghina Milana, juga dia ingin memamerkan kepandaiannya. Memang hebat sekali pemuda ini. Gerakannya yang cepat itu hanya membuktikan bahwa gin-kangnya (ilmu meringankan tubuh) sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga tubuhnya itu amat ringan dan amat cepat, dapat mengelak dari setiap sambaran sinar tali sutera!
Menyaksikan pertandingan yang amat hebat, luar biasa dan indah dipandang ini, otomatis perkelahian-perkelahian antara rombongan Pulau Neraka dan rombongan Thian-liong-pang terhenti. Mereka menonton karena maklum bahwa pertandingan antara kedua orang muda putera dan puteri ketua masing-masing rombongan itu merupakan pertandingan yang menentukan. Kalah menangnya pertandingan antara kedua orang muda yang lihai bukan main itu berarti kalah menangnya pula perang kecil antara kedua rombongan itu!
Gerakan tali sutera itu makin hebat dan bukan lagi lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu, melainkan bentuk-bentuk segi tiga, segi empat, bahkan ada kalanya sinar itu me mbentuk segi delapan. Ujung sabuk itu menyerang dari delapan penjuru, setiap gerakan merupakan totokan maut dan didasari tenaga sin-kang yang sangat kuat. Bukan hanya amat indahnya sinar hitam itu membentuk segi tiga yang ajaib itu, juga gerakannya mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah-olah sinar hitam itu hidup! Itulah permainan tali sutera atau sabuk yang gerakannya berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) warisan dari kitab-kitab pusaka peninggalan Pendekar Wanita sakti Mutiara Hitam! Nirahai telah menciptakan ilmu dengan tali sutera ini khusus untuk puterinya setelah dia memperoleh kenyataan bahwa puterinya berbakat baik sekali dalam menggunakan sabuk atau tali sutera halus dan lemas sebagai senjata yang ampuh.
Diam-diam Wan Keng In terkejut dan makin kagum. Dia maklum bahwa kalau dia menghadapi permainan tali sutera lawan yang amat lihai ini dengan tangan kosong saja, lama-lama dia terancam bahaya maut. Ternyata tingkat kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang ini benar-benar mengejutkan hatinya. Kalau dia berpedang, agaknya dia masih akan dapat keluar sebagai pemenang dengan membabat putus tali itu. Akan tetapi, kalau dia menggunakan pedang dan terpaksa merusak tali sutera itu, tentu dara yang menjatuhkan hatinya itu akan tersinggung dan marah. Sebaliknya kalau hendak menaklukkan dara ini dengan tangan kosong, benar-benar merupakan hal yang amat sulit, betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya. Dia harus menggunakan akal dan hal ini merupakan kelebihan dalam kepala Wan Keng In dibandingkan dengan orang-orang muda lainnya. Pemuda ini cerdik bukan main, pandai menggunakan siasat-siasat yang tak terduga-duga dalam keadaan darurat seperti saat itu. Ketika ujung sabuk atau tali hitam itu untuk kesekian kalinya menotok ke arah jalan darah Kin-ceng-niat di pundak kiri, tempat yang tidak begitu berbahaya dan yang dapat ia tutup dengan hawa sin-kang, dia sengaja berlaku lambat dan ujung tali sutera itu dengan tepat menotok pundaknya yang sudah ia tutup jalan darahnya dan terlindung oleh sin-kang yang kuat.
"Prattt!"
Tepat pada saat ujung tali sutera itu menotok pundak, tangan kanan Wan Keng In menyambar dan ia berhasil menangkap ujung tali sutera hitam! Milana terkejut bukan main. Tadinya dia sudah merasa girang karena totokannya berhasil, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak menjadi lumpuh, bahkan telah berhasil menangkap ujung tali suteranya! Namun, Milana tidak menjadi panik. Dia mengerahkan sin-kangnya, mainkan pergelangan tangannya dan dengan penyaluran tenaga sin-kang dia menggerakkan tali suteranya dan.... tubuh Wan Keng In terbawa oleh meluncurnya tali sutera itu ke udara! Milana terus menggerakkan tali suteranya, memutar tali itu ke atas, makin lama makin cepat sehingga tubuh Wan Keng In yang masih berada di ujung tali karena pemuda itu tidak mau melepaskan ujung tali sutera, terbawa pula terputar-putar!
Para anak buah rombongan kedua pihak yang menjadi penonton dengan hati diliputi penuh ketegangan itu menonton dengan mata terbelalak. Demikian tegang rasa hati mereka itu menahan napas ketika menyaksikan pertendingan mati-matian yang kelihatannya seperti main-main atau permainan akrobat yang dilakukan oleh dua orang muda-mudi yang elok dan tampan!
Wan Keng In sengaja membiarkan dirinya terbawa oleh tali yang diputar-putar itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan sin-kang dan mengadu kekuatan dengan dara itu memperebutkan tali sutera. Akan tetapi hal ini tentu akan mengakibatkan tali itu putus, hal yang tidak dia kehendaki karena putusnya tali itu bukan berarti bahwa dia telah menang, akan tetapi yang jelas gadis itu tentu akan marah dan benci kepadanya. Tidak, dia tidak menggunakan akal itu, melainkan hendak menggunakan akal lain. Kalau dia dapat merayap melalui tali, makin lama makin dekat, tentu akhirnya dia akan berhadapan dengan dara jelita itu dan kalau sudah begitu, mudahlah baginya untuk membuat dara itu tidak berdaya tanpa melukainya. Dengan hati-hati dan perlahan, mulailah Wan Keng In merayap melalui tali yang panjang itu, sedikit demi sedikit, bergantung dengan mengganti-ganti tangan sambil tubuhnya masih terputar-putar cepat sekali sehingga dalam pandangan orang lain, tubuhnya berubah menjadi banyak sekali!
Mungkin bagi penonton lain tidak ada yang tahu akan usaha Wan Keng In mendekati lawan dengan cara merayap perlahan-lahan melalui tali sutera yang panjang itu, akan tetapi Milana dapat melihat atau lebih tepat lagi dapat merasakan gerakan lawan yang berada di ujung tali sutera itu. Dara ini tidak bodoh, dan maklum bahwa kalau sampai pemuda itu dapat mendekatinya, belum tentu dia akan dapat menandingi pemuda yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Maka begitu melihat pemuda itu perlahan-lahan merayap dekat, diam-diam Milana menggerakkan tangan kirinya dan hanya memutar tali itu dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyusup ke dalam kantung jarumnya dan tampak tiga kali dia menggerakkan tangan kirinya ke depan. Gerakan tangan yang tidak begitu tampak, karena sambitan jarum-jarumnya itu ia lakukan dengan pergelangan tangan dan jari-jari tangan. Namun, tiga kali tampak sinar halus menyambar ke arah tubuh Wan Keng In yang terbawa tali berputaran, sinar kemerahan halus dari jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi)!
"Celaka....!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat menyambarnya sinar halus dan mencium bau harum. Tahulah dia bahwa dia yang sedang diputar-putar seperti kitiran itu kini diserang dengan senjata-senjata rahasia yang amat halus dan mengandung racun yang bahunya harum pula! Namun Wan Keng In selain telah mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi dari ibunya, juga telah menerima gemblengan dari Cui-beng Koai-ong yang sakti, maka biarpun keadaannya itu amat berbahaya, namun dia masih bersikap tenang dan tiba-tiba tubuhnya yang berada di ujung tali sutera itu membuat gerakan berputar pula! Hebat bukan main pemandangan di waktu itu. Tubuh di ujung tali sutera itu berputaran, sedangkan tali itu sendiri berputar cepat. Dengan gerakan berputaran ini, Wan Keng In dapat menyelamatkan diri dan mengelak dari sambaran jarum-jarum Siang-tok-ciam. Namun dia juga telah menemukan akal baru yang luar biasa dan cerdik sekali.
Dengan pengukuran tenaga yang tepat, Wan Keng In dapat mengerahkan sin-kangnya dan memberatkan tubuhnya sehingga tiba-tiba tali sutera yang berputar itu tak dapat dikuasai lagi oleh kedua tangan Milana dan berputar melibat tubuh dara itu.
"Aihhhh....!" Milana menjerit kaget, sadar setelah terlambat karena tali yang berputar cepat itu kini telah membuat beberapa putaran mengelilinginya dan karena tali menurun akibat beratnya tubuh Wan Keng In, maka tali itu membelit-belit tubuhnya, menelikung kedua lengannya sendiri! Terdengar suara Wan Keng In tertawa-tawa sambil terus membuat gerakan mengayun sehingga tali itu biarpun tidak lagi dipegang oleh Milana, masih terus berputar melibat tubuh Milana yang berusaha meronta-ronta.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Bukankah dengan begini berarti engkau telah tertawan olehku seperti tertawannya hatiku olehmu?"
Tiba-tiba terdengar bunyi keras. "Krakkkkk!" dan dari dalam lubang kuburan tampak bayangan berkelebat, didahului sinar kilat menyambar ke arah tali sutera.
"Bretttt!" Tali sutera itu putus dan tubuh Wan Keng In yang masih terayun di ujung tali, tentu saja terpelanting. Untung dia masih dapat berjungkir balik sehingga tidak terbanting ke atas tanah.
Milana mempergunakan kesempatan baik itu untuk melepaskan diri. Ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah seorang wanita muda yang cantik, segera dia mengenal wanita itu sebagai gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang di rumah penginapan. Dia menjadi terkejut dan khawatir sekali, maka menggunakan kesempatan selagi gadis itu berhadapan dengan Wan Keng In, dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Anak buahnya pergi sambil membawa jenazah-jenazah para kawan yang menjadi korban. Rombongan Pulau Neraka tidak mencegah mereka melarikan diri karena merasa jerih terhadap Milana, apalagi kini tuan muda mereka sedang menghadapi lawan baru berupa dara perkasa yang galak, murid dari datuk mereka yang selama sepekan ini berlatih di dalam tanah kuburan bersama datuk mereka, Bu-tek Siauw-jin! Mereka menjadi bingung dan tidak berani turut campur, memandang dengan hati penuh ketegangan.
"Keparat, siapa engkau....? Ehhh, kiranya kau, bocah setan dari Pulau Es? Ha-ha-ha, kukira siapa! Dan Li-mo-kiam masih berada di tanganmu? Bagus....! Kau harus berikan Li-mo-kiam kepadaku, agar dapat kuhadiahkan kepada calon isteri.... haiiii! Kemana dia....!" Wan Keng In menoleh dan ketika dia melihat Mila na sudah tidak berada di situ lagi, dia menjadi bengong dan mencari ke sana-sini dengan pandang matanya.
"Siauw-tocu, mereka telah pergi....!" kata seorang di antara anak buahnya.
"Tolol! Goblok kalian semua! Mengapa boleh pergi? Hayo kita...." belum habis ucapannya Wan Keng In terkejut sekali dan terpaksa dia melempar tubuh terjengkang ke belakang untuk menghindarkan sinar kilat yang menyambar tubuhnya. Kiranya Kwi Hong telah menyerang dengan menusukkan Li-mo-kiam ke arah dadanya. Gerakan gadis ini cepat sekali sehingga hampir saja dia menjadi korban. Marahlah Wan Keng In.
"Kau berani melawan aku? Hemm, apa yang kauandalkan? Pedang itu? Baik, kita lihat siapa yang lebih unggul antara murid Pulau Neraka dan murid Pulau Es!"
Setelah berkata demikian, Wan Keng In menggerakkan tangan kanannya, meraba punggung di balik jubah. Ketika tangannya diangkat, tampak sinar kilat dan Lam-mo-kiam sudah berada di tangannya!
Kwi Hong amat membenci pemuda ini. Kemarahannya memuncak ketika dia melihat Lam-mo-kiam di tangan pemuda itu. Dia tahu bahwa itu adalah pedang Gak Bun Beng yang dirampas oleh Keng In. Semenjak dia masih belum dewasa, bocah Pulau Neraka ini sudah menjadi musuhnya.
"Keparat jahanam! Manusia tidak kenal malu! Pedang curian kaupamerkan di sini. Bukan aku yang harus menyerahkan Li-mo-kiam kepadamu, melainkan engkau yang harus memberikan Lam-mo-kiam itu kepadaku sebelum lehermu putus!"
"Singgggg....!" sinar kilat di tangan Kwi Hong menyambar ke depan, disambut sinar kilat yang sama di tangan Wan Keng In.
"Wuuuuiiiitttt!"
Dua orang itu terkejut bukan main karena pedang mereka tertolak ke belakang sebelum bertemu! Seolah-olah dari sepasang pedang itu timbul hawa yang ajaib yang membuat kedua pedang tidak dapat saling sentuh, melainkan terdorong membalik oleh tenaga mujijat tadi!
Namun Kwi Hong tidak mempedulikan hal ini dan cepat dia menyerang lagi. Terjadilah perang tanding yang amat hebat, lebih menegangkan daripada pertandingan antara Wan Keng In dan Milana tadi, karena kini kedua orang muda itu mempergunakan sepasang pedang yang membuat para penonton merasa tubuhnya panas dingin. Baru sinar dan hawa pedang itu telah membuat mereka yang berada di situ meremang semua bulu di badan dan mengkirik. Hal ini tidaklah mengherankan karena kini yang mengeluarkan sinar adalah Sepasang Pedang Iblis yang memiliki hawa mujijat seolah-olah dikendalikan oleh roh-roh dan iblis-iblis yang haus darah!
Memang hebat sekali pertandingan antara kedua orang muda itu. Hebat, menyilaukan mata dan amat aneh sehingga menyeramkan para penonton. Betapa tidak aneh kalau kedua orang itu bergerak cepat sehingga bayangan mereka tertutup gulungan dua sinar pedang yang seperti kilat berkelebatan, akan tetapi sama sekali tidak pernah terdengar suara beradunya senjata? Seolah-olah tidak pernah ada yang menangkis, padahal ke dua orang itu mainkan pedang secara dahsyat dan ada kalanya untuk menyelamatkan diri, jalan satu-satunya hanya menangkis. Akan tetapi, begitu seorang di antara mereka menggerakkan pedang menangkis, serangan lawan terhalau oleh tangkisan tanpa kedua pedang itu saling bersentuhan karena keduanya tentu terpental oleh tenaga mujijat. Seolah-olah Sepasang Pedang Iblis itu keduanya saling tidak mau bersentuhan.
Sebetulnya, kalau ditilik dasarnya, ilmu silat kedua orang muda ini masih satu sumber. Wan Keng In adalah putera dari Lulu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu dari ibunya ini. Lulu adalah adik angkat Pendekar Super Sakti dan biarpun kemudian Lulu menjadi murid Nenek Maya, namun sumber dari ilmu silatnya masih tetap sama, yaitu yang berasal dari Pulau Es, berasal dari Bu Kek Siansu. Tentu saja karena tingkat kepandaian Pendekar Super Sakti jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Lulu, apa yang diajarkan kepada Kwi Hong sebenarnya bermutu lebih tinggi pula daripada pelajaran yang diterima Wan Keng In dari ibunya. Akan tetapi, setelah Keng In digembleng oleh kakek sakti yang tidak seperti manusia, Cui-beng Koai-ong, kepandaian pemuda itu meningkat secara tidak lumrah sehingga tingkatnya kini bahkan sudah melampaui tingkat kepandaian ibunya sendiri!
Keng In merasa penasaran sekali. Kalau saja tidak mengingat bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dia sudah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang mujijat, yang ia dapatkan dari gurunya. Akan tetapi dia tidak mau membunuh Kwi Hong. Dia ingin menawannya, untuk menunjukkan kepada Majikan Pulau Es yang dibencinya, orang yang telah membikin sengsara hati ibu kandungnya, bahwa dia tidak takut menghadapi Pulau Es, dan dia bahkan ingin mempergunakan nona ini untuk memancing datangnya Pendekar Siluman untuk bertanding!
Tiba-tiba Wan Keng In mengeluarkan suara gerengan yang tidak lumrah manusia. Gerengan yang keluar dari pusarnya, melalui kerongkongan dan mengeluarkan getaran yang seolah-olah membuat bumi tergetar! Kwi Hong sendiri menjadi pucat wajahnya dan biarpun dia telah mengerahkan sin-kang, tetap saja jantungnya tergetar dan gerakannya tidak tetap. Pada saat itu, ilmu pedang yang dimainkan oleh Keng In telah berubah aneh dan ganas bukan main. Kwi Hong merasa gentar, jantungnya berdebar dan melihat pemuda itu menggerakkan pedangnya, ia menjadi pening, seolah-olah ia melihat lawannya menjadi tinggi besar dan menakutkan, gerakannya menjadi luar biasa cepat dan kuatnya! Kalau saja dia tidak sedikit-sedikit memetik gerakan kilat gurunya, tentu saja sudah kena dicengkeram oleh tangan kiri Keng In yang menyelingi gerakan pedangnya!
"Hyaaahhh!" tiba-tiba Keng In membentak, tubuhnya secara mendadak bergulingan dan pedangnya membabat secara bertubi-tubi kearah kedua kaki Kwi Hong. Dara ini cepat meloncat-loncat dan menjauhkan diri, akan tetapi tiba-tiba lawannya bangkit dan memukul dengan tangan kiri terbuka. Serangkum dorongan telapak tangan ini menyambar ke arah dada Kwi Hong.
"Aihhh!" Dara ini cepat melakukan gerak mendorong yang sama, dengan tangan kirinya, didorongkan ke arah tangan lawan sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dilatihnya di Pulau Es.
"Wesss....!" Dua tenaga raksasa bertemu di udara, di antara kedua telapak tangan yang terpisah dua kaki saja. Tenaga panas bertemu dengan dingin dan akibatnya Kwi Hong terjengkang ke belakang karena di saat tenaga itu bertemu kembali Keng In mengeluarkan gerengan yang menggetarkan jantung itu. Sebelum dia sempat meloncat, Keng In sudah menotok punnggungnya dan begitu lengan Kwi Hong lemas, cepat pedang Li-mo-kiam telah dirampasnya! Biarpun tubuhnya sudah menjadi lemah dan lumpuh, Kwi Hong masih dapat menggunakan mulutnya untuk memaki-maki, "Pengecut! Curang engkau! Tak tahu malu! Pencuri busuk, hayo kembalikan pedangku dan kita bertanding secara bersih! Kau menggunakan ilmu siluman, keparat busuk!"
"Ikat dia dan bungkam mulutnya!" Keng In berkata sambil membelakangi Kwi Hong, menyimpan Li-mo-kiam disatukan dengan Lam-mo-kiam, disembunyikan di balik jubahnya. Dia berdiri dengan sikap sombong, menengok ke kanan kiri, tersenyum mengejek sambil berkata, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar sampai jauh. "Haiiii! Pendekar Siluman Si Kaki Buntung! Lihat, muridmu telah kutawan! Kalau kau memang seorang gagah, datanglah dan bebaskan muridmu!"
Wajah para anak buah Pulau Neraka menjadi pucat mendengar tantangan yang keluar dari mulut Majikan Muda itu! Betapapun lihainya Tuan Muda mereka itu, namun tidak selayaknya menantang Pendekar Siluman seperti itu! Baru mendengar nama Pendekar Siluman saja, wajah mereka sudah menjadi pucat, apalagi ditantang oleh majikan mereka! "Kau berani membuka mulut besar karena kau tahu bahwa Pamanku tidak berada di sini! Kalau Pamanku berada di sini, tentu engkau tak berani bernapas! Jangankan dengan Paman, dengan aku pun kalau engkau tidak berlaku curang, menggunakan ilmu siluman, engkau takkan mampu menang. Pengecut busuk, manusia keparat tak tahu malu!"
"Cepat bungkam mulutnya!" Keng In membentak tanpa menoleh. Seorang wanita anggauta Pulau Neraka yang bermuka biru muda, cepat menggunakan sehelai saputangan untuk menutup mulut Kwi Hong, diikatkan ke belakang leher, kemudian dia melanjutkan pekerjaan mengikat tangan Kwi Hong yang dibelenggu dan ditelikung ke belakang punggungnya. Dara itu dalam keadaan setengah lumpuh, tak dapat meronta, hanya membelalakkan mata memandang ke arah punggung Keng In penuh kebencian dan kemarahan.
"Cepat persiapkan orang-orang mengejar rombongan Thian-liong-pang! Puteri Ketua Thian-liong-pang itu harus dapat kutaklukkan!" kata Wan Keng In kepada orang-orangnya. "Bagaimana dengan nona ini, Siauw-tocu....?" Wanita itu bertanya, matanya penuh ketakutan memandang ke arah lubang kuburan ke arah peti yang masih tertutup tanah, peti tempat datuk Pulau Neraka berlatih!
"Bawa dia sebagai tawanan, kalau dia banyak rewel, seret dia! Jangan perbolehkan gadis galak ini banyak tingkah!"
"Siauw-tocu.... akan tetapi.... dia.... dia...."
"Banyak rewel kau!" Wan Keng In membentak, akan tetapi matanya terbelalak kaget melihat wanita yang tadi bicara dan membelenggu serta membungkam mulut Kwi Hong telah roboh terlentang dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan dia melihat Kwi Hong duduk bersila dengan mata dipejamkan dan alis berkerut, seperti orang yang sedang memperhatikan sesuatu. Dan memang pada saat itu, Kwi Hong sedang mendengarkan suara yang berbisik-bisik di dekat telinganya, suara gurunya, Bu-tek Siauw-jin seolah-olah bicara di dekatnya akan tetapi yang sama sekali tidak berada di situ. Ketika tadi dia melihat wanita Pulau Neraka itu tiba-tiba roboh terjengkang dan mendengar suara itu, tahulah ia bahwa gurunya telah turun tangan!
"Bocah tolol, mana patut menjadi muridku kalau tertotok dan terbelenggu seperti itu saja tidak mampu melepaskan diri? Apa sudah lupa akan latihan membangkitkan kekuatan secara otomatis mengandalkan tenaga Inti Bumi yang baru saja kaudapatkan dan yang menjadi dasar dari semua tenaga yang ada?"
Kwi Hong memejamkan mata dan mengerahkan semua perhatian akan petunjuk gurunya yang diberikan lewat bisikan-bisikan itu. Dia mentaati petunjuk itu dan.... tiba-tiba darahnya mengalir kembali dan totokan itu tertembus oleh hawa Inti Bumi dari dalam! Setelah totokan terbebas, sekali mengerahkan tenaga belenggunya yang hanya terbuat dari tali itu putus semua dan sekali renggut dia telah melepaskan saputangan yang menutupi mulutnya, kemudian meloncat berdiri!
Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak. Totokannya adalah totokan yang tidak lumrah, bukan totokan biasa melainkan totokan yang ia latih dari gurunya. Menurut gurunya, tidak ada orang di dunia ini yang akan dapat memulihkan orang yang terkena totokannya karena totokan itu mengandung rahasia tersendiri. Bahkan menurut gurunya, Pendekar Siluman sendiri pun belum tentu mampu membebaskan orang yang tertotok olehnya. Bagaimana sekarang gadis itu, tanpa bantuan, sanggup membebaskan?
Kalau hanya memutuskan belenggu itu, dia tidak merasa heran, akan tetapi dapat membebaskan diri dari totokannya, benar-benar membuat dia menjadi ngeri! Tentu ada yang memberi petunjuk! Otomatis dia menoleh ke kanan kiri dan hatinya menjadi kecut. Jangan-jangan Pendekar Siluman yang ditantangnya telah berada di sekitar situ dan memberi petunjuk kepada gadis itu lewat bisikan yang dikirim melalui tenaga khi-kang!
"Pendekar Siluman! Kalau kau sudah datang, mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Dia menantang sambil meraba gagang pedang di balik jubah.
"Tutup mulutmu yang sombong! Aku masih sanggup melawanmu!" Kwi Hong membentak dan tiba-tiba dia menubruk maju, memukul dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada dan pusar. Pukulan yang hebat karena kalau tangan kirinya dia menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin, tangan kanannya yang menghantam ke pusar dia isi dengan saluran tenaga Hwi-yang Sin-ciang yang panas. Melihat ini, Keng In meloncat ke belakang, akan tetapi tiba-tiba Kwi Hong yang kedua pukulannya luput itu telah jatuh ke atas tanah dengan terbalik, kemudian tanpa disangka-sangka kedua kakinya menendang ke belakang dan tepat mengenai paha dan perut Keng In. Tenaga tendangan model sepak kuda ini bukan main kuatnya sehingga biarpun Keng In sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja terlempar sampai lima meter jauhnya!
"Berhasil....!" Kwi Hong bersorak sambil meloncat bangun. Akan tetapi ia segera kecewa karena mendengar bisikan gurunya mengomel. "Apa artinya kalau hanya mampu membuat dia terlempar? Hayo lawan terus, pergunakan Tenaga Inti Bumi!"
Kwi Hong melihat bahwa Keng In sudah meloncat turun dan biarpun sepasang mata pemuda itu terbelalak penuh keheranan terhadap ilmu tendangan yang aneh dan tidak patut itu, dia tidak terluka dan mukanya yang tampan membayangkan kemarahan.
"Engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tampak sinar kilat berkelebat ketika tangannya mencabut ke luar Li-mo-kiam. Sekali ini dia benar-benar mengambil keputusan untuk membunuh gadis itu dengan pedang gadis itu sendiri yang tadi dirampasnya.
"Aahhh....!" Tiba-tiba Keng In berdiri tak bergerak, pedang yang diangkat ke atas kepala itu tidak jadi dilanjutkan gerak serangannya dan dia memandang ke depan dengan muka pucat. Di depannya telah berdiri Bu-tek Siauw-jin, Si Kakek Pendek yang tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu dengan lengan kiri dilonjorkan, tangan terlentang terbuka seperti orang minta-minta!
"Kembalikan pedang muridku itu!" Sejenak Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan itu. Gadis itu murid susioknya? Teringat dia akan anggauta Pulau Neraka yang tewas secara aneh. Kini mengertilah dia. Tentu Bu-tek Siauw-jin yang telah membunuh wanita yang membelenggu Kwi Hong, dan kakek ini pula yang membuat gadis itu mampu membebaskan diri daripada totokannya!
Keng In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi menghadapi paman gurunya ini yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong sendiri, dia tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah yang membuat dia masih belum menyerahkan pedang yang diminta itu.
"Akan tetapi.... Susiok...."
"Masih berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?" Cepat dan gugup Keng In menyerahkan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek Siauw-jin dan dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong menyambut pedang itu dengan hati girang sekali.
"Maaf, Susiok. Teecu tidak tahu bahwa dia murid Susiok...."
"Hemmm, sekarang sudah tahu!"
"Tapi.... dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman! "
"Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh! Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh, setidaknya Pendekar Siluman adalah Majikan yang tulen dari Pulau Es!"
Mendengar ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa terhina dan marah, akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan ucapan itu, paman gurunya yang ugal-ugalan itu hendak mengingatkan bahwa dia hanyalah putera dari seorang Majikan atau Ketua Boneka dari Pulau Neraka! Sama saja dengan mengatakan bahwa paman gurunya itu masih lebih baik daripada gurunya dalam hal menerima murid dan bahwa keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik daripada putera dari Ketua Boneka Pulau Neraka!
"Susiok....!"
"Kau mau apa?"
"Teecu tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan ini."
"Hemmm, kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai perisai maka engkau adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!"
"Teecu tidak bermaksud mengadu.... hanya...., teecu rasa Susiok telah salah menerima murid...."
"Desssss!" Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter jauhnya. Tidak tampak kakek pendek itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu pemuda itu terlempar! Keng In cepat meloncat berdiri lagi, diam-diam dia terkejut akan tetapi juga lega bahwa susioknya yang aneh itu tidak melukainya.
"Engkau berani memberi kuliah kepadaku tentang bagaimana mengambil murid?" Bu-tek Siauw-jin membentak.
"Maaf, teecu mohon diri....!"
"Pergilah! Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!"
Keng In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti terbang sehingga mengagumkan hati Kwi Hong. Lebih terkejut lagi gadis ini ketika mendengar suara bisikan yang halus dan jelas dari jauh, suara pemuda itu.
"Kita sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini akan dapat menandingiku!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah Pulau Neraka yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut semua. "Lekas kalian pergi dari sini, tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan burung gagak!"
Anak buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Bu-tek Siauw-jin lalu berkata kepada muridnya, suaranya singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang suka berkelakar. "Mari kita pergi!" Kwi Hong menurut dan berjalan mengikuti kakek pendek itu keluar dari tanah kuburan, menuruni bukit kecil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat menahan penasaran hatinya dan berkata, "Suhu, bagaimana engkau bersikap begitu kejam, membiarkan mayat anak buahmu terlantar di sana dan dimakan gagak?"
Mulut kakek itu tidak kelihatan bergerak, akan tetapi terdengar suara ketawanya, seolah-olah suara itu keluar dari perut melalui lubang lain, bukan mulut!
"Heh-heh-heh! Engkau merasa kasihan kepada mayat yang tidak bernyawa lagi, akan tetapi tidak kasihan kepada burung-burung gagak yang kelaparan!"
Kwi Hong terbelalak. "Suhu! Biarpun sudah menjadi mayat yang tak bernyawa, akan tetapi itu adalah mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa bersikap kejam, sejak kecil diajar supaya berperikemanusiaan oleh paman atau guru teecu!"
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin menghentikan langkahnya dan memandang muridnya dengan mata lebar dan mulut menyeringai, kemudian dia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Semenjak kecil, manusia diajar segala macam kebaikan! Manusia mana yang sejak kecilnya tidak diajar dan dijejali segala macam pelajaran tentang kebaikan oleh ayah bunda atau guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya. Ahli-ahli kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka semua berlumba untuk menjejalkan pelajaran tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek. Akan tetapi, adakah seorang saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia, menurut ajaran agama masing-masing, berlumba keras dalam teriakan anjuran agar mencinta sesama manusia, namun di dalam hati masing-masing menanam dan memupuk perasaan saling benci, bahkan yang pertama-tama membenci saingan masing-masing dalam menganjurkan cinta kasih antar manusia! Gilakah ini? Atau aku yang gila? Ha-ha-ha! Muridku, kalau engkau melakukan kebaikan karena ajaran-ajaran itu, bukanlah kebaikan sejati namanya melainkan melaksanakan perintah ajaran itu! Engkau ini manusia ataukah boneka yang hanya bergerak dalam hidup menurut ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk dalam gudang ingatanmu?"
"Engkau sendiri dalam pertandingan, dengan enak saja membunuh manusia lain, sama sekali tidak merasa akan kekejaman perbuatanmu, akan tetapi baru melihat aku meninggalkan mayat agar membikin kenyang perut gagak yang kelaparan, kaukatakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi manusia umumnya, termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang cantik, akan tetapi juga mengenal isi hati dan pikiran kita sendiri yang busuk, jangan hanya mengagumi lekuk lengkung tubuh sendiri yang menggairahkan akan tetapi juga mengenal isi perut yang tidak menggairahkan!"
Kwi Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan manusia lumrah, bukan orang waras. Tentu agak miring otaknya. Sekali bicara tentang hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia diam saja, kemudian melanjutkan langkah kakinya ketika melihat gurunya sudah berjalan kembali dengan langkah pendek.
"Kau tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul mempergunakan Ilmu Menghimpun Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil mewarisi kepandaian Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!"
Kwi Hong cemberut dalam hatinya tidak senang dikatakan bahwa dia tidak akan menang menghadapi Keng In. Kini mendengar disebutnya warna muka pemuda itu dia mengingat-ingat.
"Warna mukanya biasa saja. Mengapa, Suhu?"
"Justru yang biasa itulah yang luar biasa!" Gurunya menjawab dan berjalan terus. Kwi Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti. "Eh, apa maksudmu, Suhu?"
"Begitu bodohkan engkau? Semua murid Pulau Neraka memiliki wajah yang berwarna, apakah engkau lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu sendiri, mukanya berwarna putih seperti kapur! Itulah tanda orang yang memiliki tingkat tertinggi Pulau Neraka yang menjadi akibat himpunan sin-kang yang mengandung hawa beracun pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo Bouw Ek pun mukanya masih berwarna kuning, berarti bahwa ibu bocah itu masih setingkat lebih tinggi dari padanya. Hanya aku dan Suheng Cui-beng Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa mengubah warna muka sesuka hati kami berdua. Hal itu menandakan bahwa kami berdua adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau Neraka, dan tingkat kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa warna kulit mukanya, hal itu berarti bahwa dia pun sudah terbebas dari pengaruh hawa beracun, berarti tingkatnya sudah lebih tinggi dari tingkat ibunya sendiri!"
"Wah, hebat sekali kalau begitu!" Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau benar-benar pemuda itu tingkatnya sudah melampaui tingkat kepandaian Majikan Pulau Neraka, benar-benar merupakan lawan yang berat! "Teecu menerima gemblengan Suhu, jangan-jangan muka teecu akan menjadi berwarna pula!"
"Heh-heh-heh, jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau Neraka, tentu saja engkau akan mengalami keracunan dan mukamu berubah-ubah sesuai dengan tingkatmu sebelum engkau dapat mengatasi hawa beracun itu. Akan tetapi engkau kulatih di luar Pulau Neraka. Pula, engkau telah memiliki dasar sin-kang dari Pulau Es yang amat kuat, kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan setidaknya kalau engkau berlatih di sana, engkau mendapatkan warna putih atau kuning. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus benar-benar mencurahkan perhatian, berlatih dengan tekun. Melihat kemajuan dan tingkat bocah tadi, aku hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepadamu. Ini pun hanya akan dapat kauandalkan untuk memenangkan pertandingan melawan Keng In kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh hati dan mati-matian."
Mereka berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, "Suhu, sebetulnya yang mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?"
Kakek itu berhenti dan menengok kepada muridnya, memandang dengan mata terbelalak kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, habis kaukira siapa?"
"Teecu tidak mempuyai urusan pribadi dan tidak mempunyai permusuhan langsung dengan pemuda Pulau Neraka itu, sungguhpun teecu tidak suka kepadanya. Kalau tidak kebetulan bertemu dengannya, teecu tidak bertempur dengannya dan teecu juga tidak akan mencari-cari dia untuk diajak bertanding. Hal itu berarti bahwa kalau teecu mati-matian mempelajari ilmu sudah tentu bukan dengan tujuan untuk se mata-mata kelak dipergunakan untuk menandingi orang itu."
"Kalau begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu-tahu engkau keluar dan menyerangnya?"
"Karena teecu tidak ingin dia mencelakai dara itu."
"Hemm, bocah puteri Ketua Thian-liong-pang itu! Mengapa engkau membantunya?" Kwi Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika ia membuka peti matinya dan melihat Milana, ia segera mengenal dara itu sebagai Milana, puteri dari pamannya, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi, begitu mendengar bahwa dara itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, dia menjadi ragu-ragu, bahkan teringat bahwa yang hampir mencelakainya ketika dia mengintai di rumah penginapan rombongan Thian-liong-pang, yang menggunakan tali sutera hitam panjang, juga gadis itulah! Benarkah gadis itu Milana? Kalau benar Milana, mengapa disebut puteri Ketua Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak dapat ia menjawabnya sebelum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.
"Teecu.... teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya."
"Ha-ha-ha, cocok dengan semua pelajaran tentang kebaikan yang kauterima sejak kecil dari Pamanmu?" Disindir demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia mendapat kesempatan membalas. "Telah teecu katakan tadi bahwa teecu tidak mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In. Akan tetapi Suhu agaknya bersemangat benar untuk melihat teecu mengalahkan dia! Apakah bukan karena Suhu ingin bersaing dengan Supek Cui-beng Koai-ong?"
Kakek itu melotot, kemudian menghela napas dan membanting-banting kakinya seperti sikap seorang anak-anak yang jengkel hatinya. "Sudahlah! Sudahlah! Engkau benar! Memang demikian adanya. Suheng telah melanggar sumpah, mengambil murid! Maka aku pun memilih engkau sebagai murid untuk kelak kupergunakan menandingi muridnya agar Suheng tahu akan kesalahannya! Nah, katakan bahwa engkau tidak mau membantu aku! Tidak usah berpura-pura!"
Kwi Hong tersenyum. Suhunya ini benar-benar seorang yang amat aneh, luar biasa, agak sinting, sakti seperti bukan manusia lagi, akan tetapi sikapnya menyenangkan hatinya! Biarpun ugal-ugalan, akan tetapi entah bagaimana tidak menjadi benci, malah dia suka sekali. "Suhu, sebagai murid tentu saja teecu akan membantu Suhu karena sebagai seorang guru yang mencinta muridnya, tentu Suhu juga selalu ingin membantu muridnya seperti teecu, bukan?"
"Wah-wah-wah, dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan guru dan murid beberapa kali sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa yang kau ingin kulakukan untuk membantumu agar kelak engkau pun akan suka membantuku?"
Kwi Hong tersenyum lebar. Biarpun kelihatan sinting, gurunya ini ternyata cerdik sekali dan mudah menjenguk isi hatinya. Dia teringat akan urusan Gak Bun Beng, dan teringat akan niatnya meninggalkan pamannya. Dia berniat pergi ke kota raja, membantu Bun Beng menghadapi musuh-musuhnya yang berat, dan juga untuk merampas kembali pedang Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya. Tanpa bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan berhasil menghadapi orang-orang sakti seperti Koksu Negara Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat itu, sepasang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi kalau berhadapan dengan Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir Maharya!
"Suhu, sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi keponakan dan murid Pendekar Super Sakti. Berarti, biarpun teecu berhutang kepada Suhu, akan tetapi teecu juga sudah berhutang budi kepada Pendekar Super Sakti yang belum teecu balas. Benarkah pendapat ini?"
Betapa kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala kuat-kuat! "Tidak benar! Tidak betul! Orang yang melibatkan diri dalam hutang-piutang budi, baik yang berhutang maupun sebagai yang menghutangkan adalah orang bodoh karena hidupnya tidak akan berarti lagi! Katakan saja apa yang akan kaulakukan dan apa yang dapat kubantu tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala macam!"
Kwi Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap menghadapi seorang sinting dan kukoai (ganjil) seperti gurunya ini! Akan tetapi dia teringat akan watak gurunya yang seperti kanak-kanak ketika mengadu jangkerik, yaitu gurunya tidak bisa menerima kekalahan! Gadis yang cerdik ini segara berkata, "Suhu, urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan Suhu mau mengajarkan teecu dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berla tih dengan tekun, apa sih sukarnya mengalahkan bocah sombong itu? Akan tetapi teecu mempunyai beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar dikalahkan, amat sakti, jauh lebih sakti daripada sepuluh orang Wan Keng In. Bahkan, dengan bantuan Suhu sekalipun teecu masih ragu-ragu dan khawatir apakah akan dapat mengalahkan mereka....?"
"Uuuuttt! Sialan kau! Aku sudah maju membantu masih khawatir kalah? Jangan main-main kau! Siapa musuh-musuhmu itu? Asal jangan tiga orang pengawal Tong Sam Cong saja, masa aku tidak mampu kalahkan?"
Yang dimaksudkan oleh kakek itu dengan tiga orang pengawal Tong Sam Cong adalah tiga tokoh sakti dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal Pendeta muda Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu yang melawat ke Negara Barat (India) untuk mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah Si Raja Monyet Sun Go Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.
"Biarpun tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu sungguh tidak berani memastikan apakah dengan bantuan Suhu sekalipun teecu akan dapat mengalahkan mereka. Mereka itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Maharya!" Kwi Hong sengaja tidak menyebut nama Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini tidaklah terlalu berat.
Kakek itu tiba-tiba menjadi bengong. "Kau.... bocah begini muda.... sudah menanam bibit permusuhan dengan orang-orang macam mereka itu?"
"Harap Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jerih dan tidak berani membantu teecu menghadapi mereka teecu pun tidak dapat menyalahkan Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya Paman Suma Han saja kiranya yang akan dapat mengalahkan mereka."
Kakek itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua lengannya digerak-gerakkan ke kanan kiri. Terdengar suara keras dan empat batang pohon di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena pukulan kedua tangannya!
"Siapa bilang aku jerih? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat menandingi mereka, mengapa aku tidak? Haiiii, bocah tolol, kau terlalu memandang rendah Gurumu!
Lihat saja nanti, aku akan membikin empat orang tua bangka itu terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun kepadamu! Haiii! Mengapa kau bermusuh dengan mereka?"
"Pendeta India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung garuda peliharaan dan kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas pedang pusaka yang teecu amat sayang."
"Hemm, aku akan hajar dia dan paksa dia mengembalikan pedang. Wah, kau mempunyai sebuah pedang pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang kau bawa itu? Hati-hati, dengan segala macam pusaka seganas itu, jangan-jangan akan berubah menjadi iblis!"
"Tidak, Suhu. Pedang pusaka itu adalah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh dan bersih."
"Heh-heh-heh! Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus dada orang, merobek perut sampai ususnya keluar, mana bisa dibilang bersih?"
"Adapun Bhong Ji Kun Si Koksu Tengik itu, bersama dua orang pembantunya Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, mereka adalah orang-orang yang memimpin pasukan membakar Pulau Es. Karena itu mereka adalah musuh-musuh besar teecu dan teecu hanya dapat mengandalkan bantuan Suhu untuk dapat menghajar mereka."
"Uuut! Bocah bodoh. Setelah engkau mempelajari ilmu dariku dengan tekun dan berhasil baik, apa sih artinya keledai-keledai tua beberapa ekor itu? Tidak usah kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup untuk mengalahkan mereka."
"Akan tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak bersama Suhu. Karena itu, marilah kita pergi ke kota raja mencari mereka, Suhu."
"Tapi kau harus berlatih...."
"Sambil melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih."
"Tapi aku harus mampir dulu ke kaki Gunung Yin-san, di dekat padang pasir."
"Ihh, tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak ke sana? Tentu di sana tidak ada orangnya."
"Memang tidak ada orangnya karena aku ke sana bukan untuk mencari orang."
"Habis, mencari apa?"
"Mencari kelabang!"
"Ihhhh....!"
"Kenapa ihhh? Engkau tidak tahu, kelabang di sana berwarna merah darah, panjangnya satu kaki, besarnya seribu jari kaki!"
"Ihhhh....!" Kwi Hong mengkirik, makin geli dan jijik.
"Eh, masih belum kagum? Racun kelabang raksasa merah itu tiada keduanya di dunia ini. Mengalahkan semua racun yang berada di Pulau Neraka!"
Kwi Hong menahan rasa jijik dan gelinya agar tidak menyinggung hati gurunya yang kadang-kadang aneh dan pemarah itu, maka dia berkata mengangguk-angguk, "Wah, kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa Suhu mencari Kelabang Raksasa Raja Racun itu?"
"Bulan ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang betina yang akan bertelur. Sebelum telur-telur itu dikeluarkan, harus dapat kutangkap dia, karena telur-telur yang masih berada di dalam perutnya itu mengandung racun yang paling ampuh karena terendam di dalam sumber racun kelabang itu."
"Hemm, menarik sekali," kata Kwi Hong memaksa diri. "Setelah ditangkap, lalu untuk apa, Suhu?"
"Kupotong bagian perut yang penuh telur itu, kemudian kumasak dengan arak merah...."
"Wah, dimasak dengan arak perut penuh telur beracun ganas itu?" Kwi Hong menelan ludah, bukan saking kepingin melainkan untuk menekan rasa muaknya. "Mengapa menyiksa betinanya yang sedang bertelur, Suhu? Bukankah kabarnya kelabang jantan lebih hebat racunnya?"
"Memang demikian biasanya, akan tetapi setelah tiba masa kawin disusul masa bertelur, semua racun berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu, kelabang raksasa di tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan menarik sekali. Di musim kawin, si betina pada saat bersetubuh menggigit leher si jantan dan menghisap darah si jantan berikut racunnya sampai tubuh si jantan itu kering dan mati! Diulanginya perkawinan aneh ini sampai dia menghisap habis darah dan racun lima enam ekor jantan, barulah perutnya menggendut terisi telur. Nah, di tempat telur itulah berkumpulnya semua racun!"
Cuping hidung Kwi Hong bergerak-gerak sedikit karena dia merasa makin muak.
"Suhu mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?" Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya perlahan.
"Bukan....!"
Kwi Hong memandang terbelalak. "Habis, untuk apa....?"
Hatinya sudah tidak enak.
"Untuk kaumakan!"
"Uuuukhhh!" Kwi Hong mencekik leher sendiri menahan agar jangan sampai muntah, matanya terbelalak memandang gurunya yang tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah tolol! Jangan memikirkan jijiknya, akan tetapi pikirkan khasiatnya! Kalau engkau makan itu, segala macam racun di dunia ini tidak akan dapat mempengaruhi tubuhmu, baik racun yang masuk melalui darah atau melalui perutmu!
Dan racun itu cocok sekali untuk membangkitkan tenaga Inti Bumi yang kaulatih!"
Kwi Hong tidak dapat membantah lagi, akan tetapi setiap kali teringat akan perut kelabang penuh telur beracun yang harus dimakannya, perutnya sendiri menjadi mual dan dia kepengin muntah! Hal ini agaknya amat menyenangkan kakek itu, sehingga di sepanjang jalan, Bu-tek Siauw-jin selalu mengulangi godaannya dengan menceritakan tentang segala macam kelabang dan binatang-binatang menjijikkan, hanya untuk membuat muridnya mual, jijik dan ingin muntah! Orang yang aneh luar biasa pula!
Milana melarikan diri bersama sisa anak buahnya. Hatinya kacau dan berduka sekali ketika mereka berhenti di dalam sebuah hutan dan mengubur jenazah Si Lengan Buntung, Su Kak Liong dan lain-lain anak buahnya yang tewas dalam pertempuran melawan anak buah Pulau Neraka. Dia merasa penasaran sekali dan mukanya menjadi merah saking marah dan malu kalau teringat betapa dia dipermainkan oleh pemuda tampan, putera Majikan Pulau Neraka yang amat lihai itu. Dia harus melapor kepada ibunya dan minta pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Untung gadis tadi menolongnya, kalau tidak tentu dia telah menjadi tawanan. Milana bergidik kalau teringat akan hal itu tak dapat dia membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia menjadi tawanan pemuda yang gila itu!
Thian-liong-pang telah mengalami kekalahan dan penghinaan dari Pulau Neraka. Ibunya sendiri harus turun tangan menghajar orang-orang Pulau Neraka.
Setelah selesai mengubur jenazah-jenazah itu, Milana mengajak sisa anak buahnya yang tinggal delapan orang itu untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga. Rombongan ibunya berada di tempat yang tidak jauh lagi dari situ. Tinggal dua hari perjalanan paling lama. Dia tidak akan merasa aman sebelum bertemu dengan rombongan ibunya. Dua orang pembantu utamanya, Si Lengan Buntung dan Su Kak Liong, serta beberapa orang lagi, telah tewas. Dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang dipimpin pemuda lihai itu sebagai musuh, dia merasa kurang kuat.
Akan tetapi, ketika rombongan terdiri sembilan orang ini memasuki sebuah hutan pada keesokan harinya, tiba-tiba tampak banyak orang berloncatan dan mereka telah dikurung oleh belasan orang! Milana terkejut, akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengurung itu adalah orang-orang yang berpakaian seperti orang kang-ouw, dan bercampur dengan beberapa orang hwesio dan tosu, maklumlah dia bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Pulau Neraka seperti yang dikhawatirkannya, melainkan orang-orang kang-ouw!
Milana cepat meloncat maju dan menghunus pedangnya. Tali suteranya telah putus dan ditinggalkan ketika dia hampir tertawan oleh Wan Keng In, maka kini satu-satunya senjata di tangannya hanyalah pedangnya. Melihat bahwa yang memimpin para pengurung itu adalah seorang hwesio tinggi besar bersenjata toya yang berjenggot pendek, dia cepat menghampiri dan berkata, suaranya nyaring.
"Kami rombongan orang Thian-liong-pang sudah meninggalkan tempat yang dijadikan tempat pertemuan, hendak kembali ke tempat kami. Mengapa kalian masih menghadang di sini? Apa kehendak kalian dan siapakah kalian? Dari partai dan golongan apa?"
"Kami adalah sisa rombongan yang telah dipaksa mundur oleh Thian-liong-pang, dan karena kami merasa bahwa perjuangan kami sama, maka kami bergabung dan mengambil keputusan untuk membasmi Thian-liong-pang yang banyak menimbulkan bencana terhadap perjuangan orang-orang gagah." Hwesio itu berkata sambil melintangkan toyanya.
"Hemmm.... perjuangan orang-orang gagah apa? Perbuatan kacau para pemberontak maksudmu?" Milana berkata dengan marah setelah kini dia mendapat kenyataan bahwa sebagian besar di antara orang-orang itu adalah benar anggauta rombongan partai-partai yang telah dikalahkan di tanah kuburan. Bahkan tiga orang hwesio itu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai! "Harap kalian suka tahu diri! Setelah kalian kalah dalam pertandingan mengadu ilmu di tanah kuburan, mengapa kalian tidak pulang dan melaporkan kepada Ketua masing-masing akan tetapi malah diam-diam bergabung dan bersekongkol dengan para pemberontak untuk menghadang kami?"
"Orang-orang Thian-liong-pang penjilat pemerintah asing! Membunuh kalian bagi kami adalah kewajiban orang-orang gagah membunuh anjing-anjing penjilat yang kotor!" Seorang di antara mereka yang berpakaiah seperti orang-orang kang-ouw, yang belum pernah dilihat Milana, membentak dan sudah menerjang dengan bacokan goloknya. Tentu mereka inilah pemberontak-pemberontak yang aseli, sedangkan para hwesio, tosu dan orang-orang partai hanyalah terbawa-bawa saja, terhasut oleh kaum pemberontak yang tentu saja hendak melibatkan partai-partai besar untuk membantu gerakan mereka.
Milana menangkis serangan golok itu dan segera ia dikeroyok oleh enam orang yang menghujankan serangan. Agaknya para pengeroyok itu sudah maklum bahwa dia adalah orang terlihai di antara rombongannya, maka kini yang bertugas mengeroyoknya adalah enam orang yang cukup lihai, bahkan mereka itu semua bersenjata golok besar dan gerakan mereka teratur sekali. Kiranya enam orang itu membentuk sebuah barisan golok yang cukup kuat! Delapan orang anak buahnya sudah lemah dan lelah, apalagi tiga di antara mereka masih belum sembuh dari luka-luka yang diderita dalam pertandingan yang lalu namun kini terpaksa mereka itu
mengangkat senjata melakukan perlawanan.
Milana sendiri sudah lelah dan kurang tidur, akan tetapi, permainan pedangnya membuat enam orang lawan yang membentuk barisan golok dan mengurungnya itu kewalahan. Maka majulah tiga orang hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, ikut mengeroyok dengan senjata mereka. Setelah dikeroyok sembilan barulah Milana merasa sibuk juga. Dia masih ingat bahwa tiga orang hwesio hanya terbawa-bawa saja, maka dia tidak ingin membunuh. Justeru inilah yang membuat dia repot, karena sembilan orang pengeroyoknya itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan semua serangan mereka adalah serangan maut yang jelas membuktikan akan kebencian mereka kepadanya dan mereka bermaksud membunuhya!
Pertandingan yang berjalan berat sebelah itu tidak berlangsung lama karena di antara delapan orang anak buah Thian-liong-pang, sudah roboh lima orang. Hanya tiga orang yang masih melawan mati-matian, sedangkan Milana sendiri yang dikeroyok sembilan orang, berhasil merobohkan tiga orang. Akan tetapi, tiga orang roboh, lima orang datang membantu sehingga dara itu terpaksa harus memutar pedangnya untuk melingkari diri dari hujan senjata sebelas orang yang menyambarnya dari segala jurusan.
Pada saat itu terdengar bunyi lengking yang nyaring dan menyeramkan sekali. Beberapa pengeroyok terhuyung begitu mendengar lengking itu dan dari atas pohon-pohon meluncur sinar-sinar kecil-kecil merah yang menyambar ke bawah, disusul meloncatnya bayangan orang berkerudung. Hanya delapan orang di antara sebelas orang pengeroyok Milana yang berhasil mengelak, sedangkan tiga orang lainnya roboh terkena jarum merah berbau harum yang dilepas oleh orang yang berkedok atau berkerudung itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati semua orang kang-ouw ketika melihat bahwa yang muncul adalah wanita berkerudung yang menyeramkan, Ketua dari Thian-liong-pang! Tak lama kemudian, muncul pula enam orang wanita cantik yang menjadi pengawal atau pelayan Ketua itu, dipimpin oleh Tang Wi Siang!
Orang-orang kang-ouw itu terkejut, akan tetapi mereka tidak takut biarpun maklum bahwa kini keselamatan mereka terancam bahaya maut dengan munculnya Ketua Thian-liong-pang bersama enam orang pelayan. Mereka menjadi nekat dan segera Ketua Thian-liong-pang dan puterinya dikeroyok. Terjadilah pertandingan yang kembali berat sebelah, akan tetapi merupakan kebalikan daripada tadi. Kini biarpun jumlahnya masih tetap lebih banyak, rombongan orang kang-ouw itu yang terdesak hebat dan sebentar saja Ketua Thian-liong-pang yang hanya mengamuk dengan tangan kosong itu telah merobohkan enam orang pengeroyok dengan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat!
Berturut-turut para pengeroyok itu berkurang jumlahnya, bahkan dalam waktu singkat saja Milana dan ibunya telah berhasil merobohkan semua orang yang mengeroyok mereka! Kini yang masih terus melakukan perlawanan hanya tiga orang hwesio Siauw-lim-pai dan tiga orang kang-ouw, termasuk dua orang tosu Hoa-san-pai, yang ditandingi oleh Tang Wi Siang dan teman-temannya. Mereka ini pun sudah terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian akan roboh pula.
Tiba-tiba terdengar bunyi suara melengking yang jauh lebih hebat daripada tadi, disusul suara orang yang berpengaruh dan membuat semua orang tergetar jantungnya.
"Hentikan pertempuran....!"
Ketua Thian-liong-pang terkejut, menghentikan serangan dan menoleh. Demikian pula tiga orang hwesio Siaw-lim-pai, dua orang tosu Hoa-san-pai, dan seorang kang-ouw meloncat mundur dan menoleh. Berdebar hati semua orang ketika melihat seorang laki-laki, entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah mereka, seorang laki-laki yang kaki kirinya buntung, berdiri tegak dengan tongkat kayu sederhana membantu kaki tunggalnya. Seorang laki-laki yang berwajah tampan sekali namun tampak diselimuti awan duka yang membuat goresan mendalam di kulit wajahnya. Dia belum sangat tua, akan tetapi seluruh rambutnya yang dibiarkan berurai di sekeliling kepalanya sampai ke pundak dan punggung, semua telah berwarna putih seperti benang-benang sutera perak.
"Pendekar Super Sakti....!" Seorang tosu Hoa-san-pai berbisik, biarpun bisikannya perlahan karena keluar dari hatinya dan tanpa disengaja, namun karena keadaan di saat itu amat sunyi, tidak ada yang bicara atau bergerak, maka suaranya terdengar jelas.
Laki-laki itu memang Suma Han, atau Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Setelah terdengar suara lirih tosu Hoa-san-pai menyebutkan nama julukan pria yang berwajah penuh duka itu, keadaan menjadi makin sunyi.
"Han Han....!"
Suara ini lebih lirih dan oleh telinga lain hanya terdengar seperti berkelisiknya angin di antara daun-daun pohon. Akan tetapi pendekar sakti itu kelihatan terkejut dan tersentak kaget, memandang ke kanan kiri seperti orang mencari-cari kemudian bengong terlongong. Tidak salahkah telinganya menangkap suara lirih itu? Hanya ada beberapa orang saja yang memanggilnya dengan nama itu, nama kecilnya. Han Han! Dan suara lirih halus merdu itu amat dekat dengan hatinya, seperti suara yang tidak asing baginya, akan tetapi dia tidak yakin suara siapa yang menyebut nama kecilnya semerdu dan sehalus itu! Dia menjadi bingung, kemudian teringat akan orang-orang di sekitarnya. Dia menoleh ke arah wanita berkerudung dan berkata dengan suara keren penuh wibawa.
"Sudah bertahun-tahun aku mendengar di dunia kang-ouw tentang keanehan Thian-liong-pang yang selalu membikin geger dunia kang-ouw, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan berita terakhir mengatakan bahwa Thian-liong-pang membunuhi banyak tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah. Sekarang, kebetulan sekali Pangcu berada di sini dan kebetulan pula aku dapat menyelamatkan nyawa para sahabat ini dari ancaman maut, aku ingin bertanya, apakah maksud Thian-liong-pangcu sebenarnya dengan semua perbuatan itu?"
Sunyi senyap menyambut ucapan pendekar yang ditakuti, dihormati, dan disegani itu. Bahkan Tang Wi Siang sendiri mukanya berubah pucat dan tidak berani mengangkat muka memandang, hanya menundukkan muka saja seolah-olah silau kalau memandang wajah yang mempunyai sepasang mata yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar mata itu!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang bengis dan ketus, suara yang membuat para pendengarnya meremang bulu tengkuknya, karena nadanya dingin melebihi salju, penuh tantangan dan seolah-olah mengandung kebencian yang amat mendalam,
"Memang benar! Semua keributan di dunia kang-ouw itu akulah yang melakukannya! Akulah yang bertanggung jawab! Aku yang memerintahkan anak buahku! Habis, engkau mau apa? Dengarlah baik-baik! Semua perbuatanku itu memang kusengaja untuk menantangmu, agar engkau datang menyerbu ke tempatku. Kalau kau berani!"
Semua orang terkejut mendengar ini. Akan tetapi terdengar suara isak tertahan sehingga semua orang menoleh ke arah Milana. Dara itulah yang tadi terisak seperti orang tersedak. Akan tetapi, dara itu kini menundukkan mukanya dan semua orang kembali memandang ke arah Pendekar Super Sakti dengan hati tegang, ingin mereka melihat apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua orang hebat itu.
Suma Han sendiri sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ucapan Ketua Thian-liong-pang itu demikian ketus dan bengis terhadap dirinya, maka dia terkejut dan heran sekali. "Apa? Menantang dan mengundangku? Mengapa....?"
"Sudah lama aku ingin mencincang hancur engkau! Engkau.... manusia yang tidak berjantung! Manusia tiada perasaan!"
"Ehhh.... heiiii? Mengapa? Apa.... apa maksudmu?"
"Tak perlu banyak cakap lagi kau!"
Ketua Thian-liong-pang itu segera menyerang dengan hebat. Pedang yang telah dicabutnya, padahal tadi ketika pengeroyokan dia sama sekali tidak pernah mencabut pedangnya. Kini bergerak cepat sekali, berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung menerjang ke arah tubuh Pendekar Super Sakti. Sejenak timbul niat di hati Suma Han untuk benar-benar mencoba dan menguji sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia ini dan untuk mengenal sumber ilmu kepandaiannya. Akan tetapi dia menjadi bingung juga ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh wanita berkerudung itu adalah ilmu pedang campuran yang sukar diketahui atau dikenal lagi dasarnya. Segala macam ilmu pedang partai besar di dunia persilatan terdapat dalam gerakan ilmu pedang ini! Belum pernah selamanya dia menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita itu cepat sekali sedangkan desing suara angin yang terbelah oleh pedang itu sendiri menyatakan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki wanita itu! Terpaksa dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang, bukan menyerang sungguh-sungguh, hanya untuk memaksa lawan itu mengeluarkan jurus simpanannya agar dia dapat mengenal dasar ilmu silatnya. Akan tetapi, wanita berkerudung itu benar-benar hebat sekali karena sampai belasan jurus, dalam
serang-menyerang itu, tidak pernah dia memperlihatkan dasar kepandaiannya, melainkan mainkan jurus campuran dari pelbagai ilmu pedang yang sudah "dicurinya" dari para tokoh yang pernah diculiknya. Memang Nirahai amat lihai dan cerdik. Dari ilmu-ilmu silat yang dilihatnya, dia dapat mengambil inti sarinya yang terpenting, kemudian menciptakan gabungan yang amat hebat, tentu saja dengan mendasarkan kepandaiannya sendiri sebagai unsur pokok yang terpenting. Karena itu, kini Suma Han tidak dapat mengenal dasar ilmu pedangnya!
Suma Han memang tidak mempunyai niat untuk bertanding mati-matian. Enam orang kang-ouw masih berada di situ, yaitu tiga orang hwesio, dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang tentu akan terancam keselamatan mereka kalau tidak ditolongnya. Pula, dia sendiri menghadapi banyak urusan besar. Mencari Pedang Hok-mo-kiam saja belum berhasil. Kalau dia harus melayani tantangan Ketua Thian-liong-pang yang galak dan entah mengapa selalu memusuhinya dan agaknya amat membencinya itu, berarti dia akan melibatkan diri dengan banyak urusan yang memusingkan kepala! Apalagi sekarang terdapat kenyataan bahwa Thian-liong-pang yang diketuai oleh wanita aneh ini, aneh dan amat lihai, telah mengabdi kepada pemerintah! Kalau dia melayani tantangannya, berarti akan menjadi berlarut-larut. Padahal tindakan terhadap Koksu dan kaki tangannya yang telah menghancurkan Pulau Es tanpa alasan sama sekali! Pertama, dia harus merampas kembali pedang Hok-mo-kiam. Ke dua, dia harus minta pertanggungan jawab terhadap mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Ke tiga, dia harus mencari tahu bagaimana dengan keadaan Lulu setelah Pulau Neraka dibakar! Ke empat, dia harus menyelidiki pula keadaan isterinya, Puteri Nirahai, yang tidak diketahuinya di mana. Dia sudah merasa amat rindu kepada mereka semua itu. Kepada Lulu, kepada Puteri Nirahai, kepada anaknya dan anak Nirahai yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu!
"Para sahabat kang-ouw, harap lekas pergi dari tempat ini!" Tiba-tiba Suma Han berkata.
"Tahan mereka! Jangan biarkan mereka pergi!" Ketua Thian-liong-pang berteriak pula dari balik kerudungnya dengan suara yang bengis dan nyaring.
"Mengapa tidak biarkan mereka pergi saja....!" Terdengar Milana berkata perlahan. Dara ini semenjak tadi menangis secara diam-diam. Menangis tanpa berani mengeluarkan suara atau air mata, takut kalau ketahuan ibunya. Betapa dia tidak akan menangis, betapa dia tidak akan merasa seperti ditusuk-tusuk pisau jantungnya kalau melihat keadaan seperti itu? Dia tahu bahwa Pendekar Super Sakti itu adalah ayah kandungnya sendiri! Untung bahwa Pendekar Super Sakti tidak mengenalnya, tentu telah lupa karena tentu saja banyak terjadi perbedaan dan perubahan antara dia ketika masih kecil dengan dia sekarang yang telah menjadi seorang dara dewasa! Betapa tidak akan hancur hatinya melihat ibu kandungnya bertanding dan memusuhi bahkan membenci ayah kandungnya sendiri? Ingin sekali dia meloncat, ingin sekali dia terjun ke dalam gelanggang pertandingan itu, untuk memisah mereka, untuk membujuk ibunya. Akan tetapi dia tidak berani. Kalau dia melakukan hal itu, tentu ibunya akan marah bukan main. Dia tidak boleh membuka rahasia ibunya! Karena itulah dia merasa tertekan perasaannya, merasa berduka sekali dan menangis di dalam hatinya, kemudian, tanpa disadarinya, dia mencela ibunya mengapa tidak membiarkan mereka itu pergi saja? Bukan hanya mereka orang-orang kang-ouw itu, akan tetapi terutama sekali ayah kandungnya! Kalau memang ibunya tidak suka kepada ayah kandungnya, mengapa harus memusuhinya, tidak membiarkan saja pergi?
Suma Han mendengar suara gadis itu dan diam-diam ia merasa heran. Tadi dia mendengar gadis itu terisak, biarpun isak yang ditahan, kini mendengar gadis itu berkata demikian. Bukankah gadis itu seorang anggauta Thian-liong-pang yang paling penting, bahkan kalau tidak salah pendengarannya tadi sebelum ia memperlihatkan diri, gadis itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Puteri wanita berkerudung yang kejam itu! Hemm, jalan satu-satunya untuk mengendalikan Thian-liong-pang adalah puterinya ini. Pikiran ini menyelinap di dalam otaknya dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga.
"Trangggg!"
Ketua Thian-liong-pang terkejut sekali karena tahu-tahu lawannya lenyap. Tentu saja dia mengenal Pendekar Super Sakti dan maklum pula bahwa pendekar itu telah menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Gerak Kilat Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi yang membuat dia terkejut adalah ketika melihat bayangan pendekar itu mencelat ke arah puterinya, Milana yang berdiri dengan muka tunduk. Nirahai mengeluarkan keluh perlahan dan otomatis menyimpan pedangnya, berdiri dengan kedua kaki gemetar!
Milana sendiri kaget setengah mati ketika tiba-tiba tangan kanannya disambar dan dipegang oleh tangan kiri Pendekar Super Sakti, kemudian tampak sinar berkelebat ketika ujung tongkat itu telah menodong lehernya.
"Tida k.... tidak.... jangan....!" Milana menjadi pucat, terbelalak memandang laki-laki itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali bukan takut terbunuh melainkan merasa ngeri kalau sampai ayah kandungnya itu tidak mengenalnya dan kesalahan tangan membunuhnya. Sebagai seorang dara perkasa yang telah digembleng kegagahan sejak kecil, mati bukan apa-apa baginya, akan tetapi mati di tangan ayah kandungnya sendiri benar-benar merupakan hal mengerikan!
Suma Han sendiri terbelalak kaget melihat wajah cantik jelita itu, yang tertimpa sinar matahari dan kelihatan pucat sekali. Betapa cantiknya dara ini! Tentu amat disayang oleh ibunya. Ketua Thian-liong-pang yang seperti iblis itu!
"Thian-liong-pangcu, lekas kaubebaskan para sahabat kang-ouw itu, kalau tidak, terpaksa kubunuh anakmu di depan matamu!" Suma Han mengancam.
"Kau....! Kau....!" Nirahai tergagap-gagap sehingga mengherankan hati semua orang. Juga Tang Wi Siang merasa heran sekali. Dialah seorang di antara mereka yang mengenal siapa adanya Ketuanya yang selalu berkerudung itu. Pada waktu Nirahai menguasai Thian-liong-pang, setelah mengalahkan semua tokohnya, pernah dia memperkenalkan diri sehingga Tang Wi Siang tahu bahwa Ketuanya adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar sendiri dan tahu bahwa Milana adalah puterinya. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa ayah Milana dan dia pun tidak berani bertanya, karena bertanya berarti memancing maut! Dia pun tidak berani ketika Nirahai membantu pemerintah membasmi para pemberontak. Akan tetapi mengapa kini sikap Nirahai demikian berubah? Mengapa kelihatan begitu ketakutan setelah puterinya diancam oleh Pendekar Siluman?
"Pangcu, bolehkah saya suruh mereka pergi saja?" Tang Wi Siang mendekati ketuanya dan bertanya penuh hormat. Nirahai mengangguk. "Yaaah, suruh mereka pergi."
"Kalian boleh pergi dari sini!" Tang Wi Siang berkata kepada tiga orang hwesio, dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang berpakaian seperti guru silat itu. Mereka berenam segera menjura ke arah Pendekar Super Sakti untuk menghaturkan terima kasih, akan tetapi Suma Han cepat berkata tanpa menghentikan dorongan tongkatnya dari tenggorokan Milana, "Harap Cu-wi segera pergi!"
Enam orang itu lain membawa jena zah kawan masing-masing dan pergi dari situ dengan cepat. Setelah bayangan mereka lenyap, barulah Suma Han berkata, "Thian-liong-pangcu, terpaksa kulakukan hal ini...."
"Kau.... laki-laki pengecut!"
Suma Han menghela napas panjang. "Benar agaknya, akan tetapi ketahuilah bahwa aku melakukan ini bukan karena takut bertanding melawanmu, melainkan karena aku ingin mengambil jalan damai agar tidak jatuh korban-korban lebih banyak lagi. Sekarang, terpaksa anakmu kubawa dulu, dan baru akan kulepaskan dia, kukembalikan kepadamu kalau Thian-liong-pang sudah menghentikan sepak terjangnya yang mengacaukan dunia kang-ouw!"
"Keparat, kembalikan anakku!" Nirahai membentak.
"Pangcu, selamat berpisah!" Suma Han menotok Milana, disambarnya tubuh dara itu dan dia bersuit keras. Burung rajawali hitam menjawab suitannya dari jauh dan terbang menghampiri.
"Suma Han! Kembali kau!" Nirahai mengejar, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menyusul Suma Han yang berlompatan dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kemudian bahkan meloncat keatas punggung rajawali yang terbang rendah.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Tang Wi Siang dan teman-temannya ketika mereka semua turut mengejar, mereka tidak melihat lagi Pendekar Siluman yang pergi membawa puteri Ketua mereka naik punggung rajawali dan melihat Ketua mereka mendeprok di atas tanah sambil menangis!
Sejenak mereka hanya dapat saling pandang dengan bingung. Akhirnya Tang Wi Siang berlutut dan berkata, "Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu menghendaki, kami seluruh anggauta dan pimpinan Thian-liong-pang sanggup untuk dikerahkan dan mencari serta merampas kembali Nona Milana dari tangan Pendekar Siluman!"
Nirahai mengangkat mukanya yang berkerudung, menahan isak dan bangkit berdiri. Kedatangan anak buahnya membuat dia sadar kembali dan dapat menguasai hatinya. Dia terlalu marah kepada Suma Han. Butakah mata suaminya itu sehingga tidak mengenal anaknya lagi? Ataukah.... Suma Han memang sengaja berpura-pura tidak mengenal Milana dan sengaja membawa Milana pergi untuk mengendalikannya? Betapapun juga, dia menangis bukan karena mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Sama sekali tidak! Dia sudah mengenal siapa adanya orang yang pernah menjadi suaminya itu! Andaikata benar-benar Suma Han lupa bahwa gadis itu anaknya sendiri sekalipun, dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan Milana. Suma Han adalah seorang pria yang boleh dipercaya sepenuhnya! Yang dia tangiskan adalah sikap Suma Han, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, akan tetapi juga menimbulkan sakit hati dan bencinya! "Mari kita pulang," katanya kepada Tang Wi Siang. "Suruh anak buah mengubur semua jenazah itu."
"Semua, Pangcu? Juga jenazah pihak musuh?"
"Semua! Aku hendak pulang lebih dulu. Jangan melibatkan diri dalam pertempuran dengan siapapun juga. Kalau sudah selesai, cepat pulang menyusulku."
"Baik, Pangcu." Akan tetapi belum habis jawaban Wi Siang, tubuh wanita berkerudung itu telah berkelebat dan lenyap dari situ. Tang Wi Siang menarik napas dalam. Dia kagum kepada Ketuanya itu, kagum dan penuh hormat, juga merasa setia dan sayang karena selama ini Nirahai telah bersikap baik sekali kepadanya bahkan memberinya beberapa ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, Â sampai sekarang belum juga dia dapat mengenal watak Ketuanya itu, apalagi tadi ketika Ketuanya itu berhadapan dengan Pendekar Siluman. Dia tahu bahwa Ketuanya amat sakti, semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan yang besar tidak ada yang mampu menandinginya. Dia ingin sekali menyaksikan, siapa yang lebih sakti antara Ketuanya dan Pendekar Siluman! Hal yang benar-benar amat menarik dan membuat dia ingin sekali tahu, sungguhpun hatinya tegang dan gelisah memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan Pendekar Siluman yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar matanya!
Tang Wi Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak buahnya untuk mengubur semua jenazah yang jatuh menjadi korban dalam pertandingan tadi. Baru saja selesai dan mereka habis mencuci kaki dan tangan, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri di depan mereka! Tang Wi Siang dan lima orang gadis cantik para pelayan pembantunya, siap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas pengikut Milana yang tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan cepat seorang di antara mereka berkata,
"Tang-kouwnio, dia.... dia.... adalah putera Majikan Pulau Neraka...."
Tang Wi Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, tidak bicara apa-apa, hanya melangkah maju menghampiri Tang Wi Siang dan lima orang gadis pelayan, matanya memandang penuh selidik lalu menengok ke kanan kiri, seperti orang mencari-cari.
Tadinya enam orang wanita itu mengira bahwa pemuda tampan yang disebut sebagai putera Majikan Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang demi seorang, wajah para wanita ini sudah menjadi merah karena malu dan marah. Akan tetapi ketika melihat pemuda itu seperti mencari-cari, mereka menjadi heran.
"Mana dia....?" Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan kepada mereka semua. Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung sesuatu yang membuat rombongan orang Thian-liong-pang itu bergidik ngeri. Kecuali Tang Wi Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sama sekali tidak takut berhadapan dengan orang yang dikatakan putera Majikan Pulau Neraka. Hanya seorang pemuda remaja, pikirnya.
"Dia siapa yang kaucari?" Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin sekali. Biarpun pangcunya sudah berpesan agar dia tidak membawa orang-orangnya terlibat dalam pertempuran, akan tetapi kalau orang ini tokoh besar Pulau Neraka, tentu saja dia tak tinggal diam.
"Siapa lagi? Nona cantik jelita puteri Ketua Thian-liong-pang! Di mana dia? Kalian ini bukankah orang-orang Thian-liong-pang?" Wan Keng In bertanya lagi.
"Benar kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka mencari Nona Majikan kami, ada keperluan apakah?" Tang Wi Siang membentak marah.
"Hemmm, dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!"
"Jahanam bermulut lancang!" Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya mencelat ke atas lalu turun menyambar dengan serangan dahsyat ke arah kepala Wan Keng In! Wanita itu memang memiliki ilmu kepandaian istimewa berdasarkan gin-kang yang luar biasa, yang diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu Yan-cu-sin-kun. Melihat datangnya serangan yang amat cepat itu, tahu-tahu tangan kiri wanita itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Wan Keng In terkejut juga, cepat ia miringkan kepala sambil melangkah mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun (Silat Sakti Burung Walet) benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya luput, dan tubuhnya melayang, cepat sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir balik dan tahu-tahu kedua tangannya telah memukul lagi dari kanan kiri mengarah kedua pelipis!
"Plak-plak!" Wan Keng In yang kaget sekali cepat menangkis dan tangkisan itu membuat tubuh Tang Wi Siang terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut. Kiranya pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Dia cepat meloncat dan mengirim Pukulan Touw-sin-ciang (Pukulan Menembus Hati) yang mengandung sin-kang kuat.
"Plakk!" kembali Wan Keng In menangkis dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sehingga tubuh Tang Wi Siang terbanting keras.
Marahlah para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya itu melihat wanita kepercayaan Ketua mereka roboh. Cepat mereka mencabut senjata dan menerjang maju, mengeroyok pemuda lihai itu. Tang Wi Siang juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang sudah disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In dikeroyok oleh sembilan orang yang semuanya bersenjata!
Namun pemuda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum, senyum yang membuat wajahnya makin menarik dan tampan. Dia sama sekali tidak mengeluarkan senjata, hanya meloncat ke sana-sini sambil berkata, "Hemm, Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan ini. Baiklah, aku akan membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan katakan bahwa aku akan menyembuhkan kalian kalau puterinya dijodohkan dengan aku. Kalau tidak, kalian akan tewas dan seluruh anggauta Thian-liong-pang akan kubasmi, kecuali puteri Ketua yang harus menjadi isteriku, mau atau tidak!"
Tentu saja kata-katanya itu membuat Tang Wi Siang dan teman-temannya menjadi marah sekali dan mereka tidak dapat menjawab saking marahnya, hanya mempercepat gerakan mereka menyerang dengan pergerahan tenaga sekuatnya. Ingin mereka mencincang hancur tubuh pemuda yang begitu kurang ajar, hendak memaksa nona mereka menjadi isterinya dan mengancam akan membasmi seluruh
anggauta Thian-liong-pang kalau kehendaknya tidak dipenuhi!
Mana di dunia ini ada kesombongan dan kekurangajaran yang sehebat itu?
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti ringkik kuda dan tiga orang yang menyerang paling dekat dengannya tiba-tiba menjadi lemas sehingga mereka tidak mampu mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kiri pemuda itu menepuk punggung mereka, seorang sekali.
"Plak! Plak! Plak!" Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut mereka keluar darah merah. Tang Wi Siang marah sekali, menggerakkan pedangnya dan menyerbu ke arah perut pemuda itu sambil menggerakkan tangan kiri pula untuk memukul dengan mengerahkan tenaga Touw-sim-ciang ke arah dada kiri Wan Keng In.
Pemuda itu mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan tetapi dia agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan tangan kiri Wi Siang yang ampuh itu. Tang Wi Siang merasa girang sekali karena pukulannya mengenai sasaran yang tepat dan betapapun lihainya pemuda itu, pukulannya yang menembus jantung itu tentu akan merobohkahnya, atau sedikitnya melukai isi dadanya.
"Plakkk!"
Betapa kaget hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada kiri pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak merasakan apa-apa dan bahkan kini tangan kanan pemuda itu telah mencengkeram pergelangan tangannya yang memegang pedang dan sekali memutar tubuhnya terbawa membalik dan sebuah tepukan pada punggungnya membuat Tang Wi Siang terguling, kepalanya terasa pening, tenggorokannya gatal membuat dia terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!
Cepat sekali Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun ia telah menepuk punggung lima orang gadis pelayan pembantu Tang Wi Siang sehingga mereka ini hampir tidak tahu apa yang membuat mereka roboh terguling, dan terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Sembilan orang itu, termasuk Tang Wi Siang yang amat lihai, telah roboh dan terluka oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa menit saja! Kalau Tang Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa pukulan Touw-sim-ciang sama sekali tidak dapat menembus kekebalan tubuh Wan Keng In dan kalau wanita itu menggunakan ilmu silatnya untuk mempertahankan diri, kiranya biarpun akhirnya dia akan roboh juga, namun sedikitnya pemuda itu harus menggunakan waktu yang lebih lama. Namun, pemuda itu cerdik sekali dan dia sudah tahu akan kelihaian Tang Wi Siang, maka dia sengaja membiarkan dirinya terpukul untuk dapat merobohkan wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.
"Bibi yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu sebulan dia tidak menerima pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa puterinya telah menjadi tunangan Wan Keng In dari Pulau Neraka, kalian akan mati dan aku akan datang sendiri ke sana untuk mengambil calon isteriku dan membasmi Thian-liong-pang. Akan tetapi kalau dia menerima pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi perkumpulan yang terkuat di dunia ini karena bantuanku!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan.
Tang Wi Siang cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Ia melihat bahwa semua anak buahnya sudah dapat berdiri akan tetapi menyeringai tanda bahwa mereka pun menderita nyeri. Tahulah dia bahwa mereka semua telah terluka di sebelah dalam tubuh oleh tepukan pada punggung tadi.
"Buka bajumu!" Katanya kepada seorang anggauta Thian-liong-pang pria yang tadi telah dirobohkan. Orang itu membuka bajunya, setelah diperiksa ternyata di punggungnya terdapat bekas jari yang berwarna merah!
"Hemmm, pukulan beracun, seperti yang kuduga," kata Tang Wi Siang yang memang sudah menduga bahwa tokoh Pulau Neraka itu tentu menggunakan pukulan beracun. "Manusia sombong itu! Apa dikira Pangcu kita tidak akan dapat menyembuhkan pukulan beracun macam ini saja? Hayo, kita cepat pulang menyusul Pangcu, membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita dan mencari si keparat itu untuk diberi hajaran!" Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang merasa gelisah dan tegang sekali karena dari pertandingan tadi saja dia sudah maklum bahwa pemuda itu benar-benar memiliki kesaktian yang amat luar biasa! Dengan perasaan tertekan sembilan orang itu melakukan perjalanan tergesa-gesa dan tanpa mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua mereka, pikiran mereka tidak pernah terlepas dari tanda tiga buah jari merah yang menempel di punggung mereka dan tersembunyi di bawah baju masing-masing.
"Hu-hu-huukkk....!" Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja dengan Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang tinggi menembus awan. Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah kandungnya di atas punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia impi-impikan. Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat akan peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan antara ibu dan ayahnya dan akan rahasia ibunya yang tidak diketahui ayahnya. Bagaimana dia dapat bergembira biarpun kini dia dapat membonceng ayah kandungnya kalau ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan diri? Dia tidak akan memperkenalkan diri sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya. Betapapun juga dia harus membela ibunya! Dan dia pun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang macam apakah yang menjadi ayah kandungnya ini.
"Eh, Nona mengapa engkau menangis?" Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada dara yang duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.
"Apakah setelah menjadi tawananmu, aku tidak boleh menangis?" Milana bertanya tanpa menoleh. "Hemm.... wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja engkau boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ketua perkumpukan besar macam Thian-liong-pang, amatlah memalukan kalau harus memperlihatkan kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng."
Rasa panas membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis yang berada di dalam dadanya. "Aku tidak cengeng! Aku tidak kecil hati!" bantahnya.
Suma Han yang duduk di belakangnya, tersenyum. Dia maklum bahwa tentu puteri Ketua Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar sekali antara Ketua Thian-liong-pang dan puterinya ini. Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya dara ini mempunyai watak lembut, terbukti dari isaknya dan pencelaannya kepada ibunya ketika berada di hutan tadi. Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan tetapi betapapun juga, ada setitik darah ibunya sehingga dara ini melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap keras seperti sikap ibunya! Ahh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran dara ini baginya sehingga biarpun dara itu duduk membelakanginya dan dia tidak dapat melihat wajahnya yang memang belum diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi hati dan mengenal wataknya!
"Kalau begitu mengapa menangis?"
Ih, betapa halus suara ayahnya! Orang yang mempunyai suara halus dan menggetarkan perasaan yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat, biarpun dijuluki Pendekar Siluman sekalipun! Bagaimana ibunya mencacinya sebagai seorang yang pengecut, tidak berjantung, tiada perasaan?
"Kenapa engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak membantu pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?"
Milana merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas panjang. Ingin sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbulkan rasa sayang dan kagum di dalam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang aneh itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersandiwara, harus beraksi seperti orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang muka pria yang menawan.
"Nona, biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk menggunakan seorang gadis muda sebagai alat untuk menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat ibumu, adalah cara seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang Thian-liong-pang, tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat hasilnya, menang atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana tadi.... hemm, aku berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain pula...."
Berdebar keras jantung Milana dsn dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk di belakangnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat membedakan debar jantung yang berubah, apalagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya bukan untuk dipergunakan sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan Thian-liong-pang! Habis untuk apa? "Maksud apalagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?" tanyanya, menekan hatinya agar suaranya terdengar biasa.
Tentu saja Suma Han dapat membedakan pula suara menggetar yang terbawa oleh perasaan tegang itu, dan dia tersenyum, menduga tentu gadis ini mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!
"Ketika aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis muda yang berdasarkan watak halus dan hati penuh welas asih dan mulia, bergelimang dalam perbuatan-perbuatan rendah yang dilakukan oleh Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis, seperti ibunya yang menjadi Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!"
Tiba-tiba Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Tidak! Biarkan aku kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau membiarkan Ibuku merana dan sengsara dalam hidupnya!"
"Hahhh....? Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"
Milana terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari alasan. "Tentu saja engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan keselamatanku?"
"Ah, begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya daripada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui Thian-liong-pang. Biarlah dia menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, aku pun tentu saja tidak akan suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya." Setelah berkata demikian, Suma Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri sehingga burung itu segera menukik ke kiri dan meluncur turun.
Burung itu meluncur cepat sekali sehingga biarpun Milana telah memiliki kepandaian tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,
"Engkau mau membawa aku ke mana?"
"Engkau takut?"
Wah, ayahnya ini benar-benar amat waspada! "Tidak!" jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan melihat seolah-olah dia dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!
"Jangan takut, menunggang burung ini lebih aman daripada menunggang seekor kuda."
Milana tidak mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya. Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum betapa ngeri dan takutnya menunggang burung rajawali, apalagi kalau menukik turun, bagi seorang yang belum bisa. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es, juga berkunang-kunang dan merasa ngeri!
Burung itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga terlempar ke atas dan burung itu segera terbang tinggi.
"Mengapa kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"
Sambil membalikkan tubuhnya menghadapi gadis itu Suma Han menjawab, "Kita akan pergi ke...." Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan mata terbelalak dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona ketika memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung sinar seolah-olah dua ujung pedang yang amat runcing menusuk sampai kelubuk hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya, tidak asing sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia berjumpa dengan puteri Ketua Thian-liong-pang!
"Kau.... kau kenapa, Paman?" Milana bertanya. Suaranya yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas panjang lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggosok seluruh mukanya terus ke leher dan ke tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa dia ketahui sebabnya.
"Aaahhh.... tidak apa-apa...." Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar mata gadis itu dan tidak ingin lagi memandang wajah itu lama-lama karena merasa aneh dan.... ngeri! "Aku hendak membawamu ke kota raja."
"Ke kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja setelah.... setelah.... kudengar...." Karena Pulau Es merupakan tempat tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka mendengar betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang dia pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.
"Setelah Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."
"Jadi, engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"
Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka berdua itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan tetapi mereka bercakap-cakap seperti seorang paman dan keponakannya saja, saling bersimpati dan saling menaruh kasihan!
"Kalau begitu, kemana Paman hendak ke kota raja?"
"Aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam...."
"....yang dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita luar biasa itu.
Ingin rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.
"Siapa yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku mendengar dari Ibuku."
Suma Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak Bun Beng. Andaikata pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi saja kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka telah merampas Hok-mo-kiam dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui oleh Ketua Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.
"Hemm, begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku mendengar bahwa kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan berada di kota raja."
"Wah, Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"
"Engkau ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."
"Habis, untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman.... ingin supaya aku membantu Paman itu?"
Suma Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan wajar, sedikitpun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas bahwa dia telah membawanya secara paksa!
"Tidak, Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu terluang, aku akan mengajarkan ilmu kepadamu." Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Di antara hal-hal yang amat dirindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di seluruh jagad! Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya yang merah dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han sehingga diam-dia m pendekar ini merasa terharu dan timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis ini, timbul pula niat hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!
"Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali!"
"Ha-ha-ha...!" Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas, suara ketawa yang langsung keluar dari dalam hatinya. Bocah ini telah menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!
"Paman, kenapa kau tertawa?"
"Aku.... tertawa....? Ahhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kaubilang aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"
"Biarpun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman dan aku suka ikut bersamamu. Aku merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan lagi, menerima pelajaran ilmu dari Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi gembira dan menganggap Paman seorang yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan hatinya betapa baiknya budi pekerti Paman."
Suma Han menghela napas. "Aaahh.... kalau ada yang menganggap baik tentu ada yang menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang lebih benar di antara mereka yang menyebut baik dan mereka yang menyebutku jahat."
"Bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Paman?"
"Tak usah kaupikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap sebagai muridku atau sebagai.... keponakanku sendiri.... ehhh, aku jadi teringat kepada Kwi Hong! Kemana gerangan perginya bocah bengal yang sukar diurus itu?"
"Kwi Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi tanpa pamit?" Suma Han mengangguk. "Bocah itu nakal bukan main. Dia pergi merantau tidak menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri. Akan tetapi, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang menggelisahkan hatiku...."
Tiba-tiba Milana meloncat kaget. "Aihhh....! Kalau begitu diakah....?" Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir saja tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati, dan yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan rombongan Thian-liong-pang! Ahh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi Hong!
"Heiii! Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.
Milana mengangguk, belum berani membuka mulut karena dia harus menekan perasaannya yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya, apakah Kwi Hong juga tidak mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi Hong baru mengenalnya ketika turun tangan menolongnya?
"Aku pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat, Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"
"Ah, kalau begitu bukan Kwi Hong! Tak mungkin dia bersama orang-orang Pulau Neraka."
"Akan tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis, putera Majikan Pulau Neraka."
"Apa? Coba kauceritakan yang jelas, Nona." Dengan singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka. "Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba muncul pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat, dia telah menyelamatkan aku dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku. Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya bagi rombonganku, aku lalu mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Dan gadis itu bagaimana?"
"Entah, Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"
"Hemmm, Sepasang Pedang Iblis....!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan alisnya.
Milana sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan Bun Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong sedangkan yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh Wan Keng In putera Majikan Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena kalau dia menyebut Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian, rahasia ibunya terbongkar.
"Apakah benar dia itu keponakanmu, Paman?"
"Agaknya begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya...." Suma Han menggeleng kepala. "Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm.... kalau begitu dia bukan Kwi Hong."
Di dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar dari peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu, juga gadis yang pernah dia "lasso" kakinya di atas genteng di rumah penginapan, tentu Giam Kwi Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan, isi hatinya itu.
"Nona, kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"
Terkejut juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri, menanyakan namanya. Tidakkah amat ganjil ini? Ingin ia berteriak menyebutkan namanya, berteriak mengaku bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu sendiri, ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah tidak mempedulikan anaknya! Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena dia harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri di balik kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapapun juga, dia harus membela ibunya, harus melindungi rahasianya. "Paman, panggil saja aku.... Alan...."
"Hemmm, nama palsu, ya?" Milana mengangguk. "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku kepadamu...."
"Aku mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu anaknyapun penuh rahasia pula. Tidak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan seperti yang kaukehendaki. Mari kita melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Kenapa tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?" Milana membantah karena memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu, berboncengan dengan ayahnya.
"Tidak, Alan. Dari sini ke kota hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik banyak perhatian orang."
"Dan burung itu sendiri bagaimana?"
"Dia sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan, kupanggil tentu dia datang."
"Sungguh menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan tetapi.... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es bukan rajawali, melainkan garuda putih."
Suma Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya. "Mereka telah tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali ini pun dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan karena Pulau Neraka dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah jinak dan penurut."
Demikianlah, dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan begitu rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan penawannya, lebih patut sebagai keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung!
Dua hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima puluh li jauhnya, perjalanan setengah hari. Karena mereka datang dari arah utara, mereka melalui daerah yang agak tandus dan pada pagi hari itu, mereka beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah dusun.
Suma Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan sepotong roti kering kepada gadis itu, yang diterimanya tanpa berkata-kata pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk sambil memandang ayah kandungnya. Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya ditekuk bersila, tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri memegang roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia berkata, "Tinggal ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."
Namun dara itu tidak mau makan rotinya dan melihat betapa ayah kandungnya itu makan roti kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya menjadi terharu sekali.
"Paman, kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak, Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."
Suma Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum. "Engkau aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andaikata pandai masak sekalipun, apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada, bumbu-bumbunya pun tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"
"Di selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu. Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan kesana membeli bahan kemudian akan kumasakkan yang enak untuk Paman."
"Percaya? Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."
Wajah Milana berseri dan ia meloncat bangun. "Benarkah Paman percaya kepadaku? Terima kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!" Gadis itu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.
"Heiii, Alan! Nanti dulu!"
Dara itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa. "Paman takut kalau aku melarikan diri?"
Suma Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari buntalannya. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi kaubawalah pedang ini untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biarpun belum tahu bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu menerima pedang dan menjura, "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali, selain percaya bahwa aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku." ia memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang. "Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"
"Namanya Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."
Alan mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong. Setelah bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang. "Ahhh, Suma Han, apakah engkau benar-benar
memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau seperti tergila-gila kepada dara itu?" Ingin pendekar sakt i ini menempiling kepalanya sendiri. Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik besi! Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan selalu, memandang wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti matahari kembar itu. Seolah-oleh dia berhadapan dengan seorang yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan hatinya, seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya dan sewajarnya kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!
"Keparat!" Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai.... Lulu.... kalianlah yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan gadis ini aku seperti orang tergila-gila!" Ia mengeluh lalu duduk termenung. "Apakah yang harus kulakukan agar aku dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?" Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta dan yakin bahwa isterinya itu pun mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu? Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan cinta saudara, melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu ketika
mereka bertemu di Pulau Neraka. "Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!" Demikianlah kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk dapat menerima tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah menikah dengan orang lain biarpun kini sudah menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai!
Karena penolakannya, Lulu memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar pemerintah, bagaimana nasib wanita yang menjadi cinta pertamanya itu? Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama anehnya dengan sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara isterinya itu penuh dengan kemarahan, "Kini aku tidak sudi menyembah-nyembah minta kaubawa! Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke Pulau Es. Dengan paksaan, kaudengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan canggung!"
Suma Han kembali menarik napas panjang menundukkan muka dan menyangga kepalanya dengan kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus dia lakukan agar mereka berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di sampingnya, menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu yang selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan kebahagiaan sebagai penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?
"Ahh, Lulu...., Nirahai....!" Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai mengerti, manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang kesengsaraan bersama dengan pengertian itu! Mulailah manusia dicengkeram dan dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa gagasan yang dibentuk semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba, dengki, iri, takut, khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang diri yang didorong rasa takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman. Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka. Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat membebaskan dia daripada duka dan khawatir. Dia berduka mengenang akan dua orang wanita yang dicintanya, dan dia khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya selama ini.
Dua orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan tidak dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena jalan pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh, apakah dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati wanita? Akan tetapi semenjak masih setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua kata-katanya! Mengapa sekarang berbeda? Ah, tentu saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa sebagai adik angkatnya, sekarang.... wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Teringat akan Lulu, terbayanglah dia akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka yang telah dibumihanguskan, dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan dan jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah. Tadi masih tampak burung itu beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan tetapi sekarang tidak tampak.
Suma Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, lalu mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan pengerahan khi-kang sehingga suara panggilan itu bergema sampai jauh sekali. Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han diam tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan suara memekik kemarahan! Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya dikeluarkann kalau burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!
Khawatir kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil karena suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya dari jauh burungnya sedang bertempur melawan seekor burung lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang menjadi lawan itu bertubuh lebih besar. Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan tiba-tiba ia berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke bawah karena di situ terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya. Dia melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna. Anak buah Pulau Neraka! Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang bergulung-gulung dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu menghadapinya dengan kedua tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!
Dengan beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap sebuah pondok tua yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya makin berdegup tegang ketika melihat wajah pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu! Melihat betapa di situ hadir enam orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma Han untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat! Bukan main hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali. Akan tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat hati Suma Han kecewa, karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang mengerikan, watak yang aneh dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk golongan sesat. Apalagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada Alan, hatinya makin tidak enak lagi.
"Heh-heh-heh, Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa engkau bukan lawanku? Dan sejak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena aku tidak ingin melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau merasa tersinggung. Hal ini sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu, Nona!"
"Iblis keji, siapa sudi kepadamu?"
Gadis itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu. Suma Han yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah sebuah di antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat bahwa ibu dara itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan mengenal segala macam ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula, kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun.
Akan tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan mudah, seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan Toat-beng-bian-kun yang amat hebat! Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah totokan ke arah pundak!
Akan tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat mengelak secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok dari bawah, kakinya menyambar merupakan sebuah tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya menendang ke arah pusar sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher! Yang membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah gadis itu sudah mengenal pula jurus Toat-beng-bian-kun!
Apakah Ketua Thian-liong-pang juga sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin! Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan seorang lawan yang luar biasa dan amat berat!
Setelah melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apalagi setelah pemuda itu kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus sebelum diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru, "Tahan dulu....!"
Pada saat itu Wan Keng In telah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan kiri ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar untuk mencengkeram pundak Milana. Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang menyambar antara tangan Wan Keng In dan pundak Milana. Melihat sinar ini, Keng In cepat menarik kembali tangannya, dan terpaksa dia melepaskan kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke arah dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek. "Ha-ha-ha! Sudah kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk Pendekar Siluman, bekas Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?" Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
Enam orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita empat pria, menjadi terkejut sekali mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam sudah menjadi pucat ketika menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka sudah menunduk dengan hati tergetar dan jerih. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benar-benar mereka menjadi kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka telah mengucapkan penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu!
Milana juga marah sekali. Yang dimaki buntung sombong adalah ayahnya! Maka dengan muka merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak, "Manusia iblis bermulut busuk!"
"Trangggg!" Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat Pendekar Super Sakti!
"Bersabarlah dan biarkan aku bicara dengan dia." Suma Han berkata halus ketika melihat dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.
"Ha-ha-ha-ha, Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es musuh besar kami dan musuh besar Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh manusia busuk ini!"
Milana ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar Super Sakti, akan tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya, maka terpaksa dia hanya menelan kemarahannya dan tidak menjawab ucapan pemuda itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa ayah kandungnya begitu sabar menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani menghina Pendekar Super Sakti.
Tentu saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng In. Wan Keng In adalah putera Lulu, jangankan mengingat akan ibunya, sedangkan mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak mengalah.
"Engkau tentu Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka, bukan?" Suma Han bertanya dengan suara halus memandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan penyelidikan. Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat. Mulut dan matanya seperti mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja, namun sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan langit. Senyum Lulu adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di hati siapapun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula. Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati, kepolosan dan kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat. Akan tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri, karena senyumnya biarpun menambah ketampanan wajahnya, mengandung sesuatu yang dingin mengerikan hati orang yang melihatnya. Adapun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi hati orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian dan ketidakpercayaan, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal cinta kasih antara manusia.
"Benar, dan aku pula yang pernah mengalahkan dan menghina muridmu dan keponakanmu! Aku pula yang telah lama menanti munculmu, yang telah menantangmu untuk mengadu nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau berani!"
"Siauw-tocu....!" Seorang anak buahnya berseru kaget.
"Plakkk....!" Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan tubuh anak buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah jeri tangan di pipinya!
Mendengar ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan, dapat mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih keras dan liar dibandingkan dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apalagi keji.
"Wan Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"
"Tentu saja! Dengan Suma Han, Pendekar Super Sakti, juga disebut Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau boleh kauserang aku dengan ilmu-ilmumu yang katanya setinggi langit itu!"
"Ah, anak muda.... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku....?
"Jangan sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan penuh kebencian, "Karena orang macam engkau inilah ibuku menderita sampai belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena orang macam engkaulah maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding mati-matian, Suma Han!
"Wan Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah seorang sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"
"Tutup mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!" Keng In menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soan-hong-lui-kun saja Suma Han berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.
"Wan Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"
"Engkau membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Aku telah mengambil keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan hanya karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau menghalagi aku membawa pergi Nona calon isteriku ini."
"Orang muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti ini...."
"Tak perlu banyak cakap lagi!" Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apalagi kini dia mempergunakan Lam-mo-kiam.
Sinar pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa berduka sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan tongkatnya dan menangkis dari samping agar tongkatnya tidak bertemu dengan mata pedang yang amat ampuh itu.
"Tranggg....!"
Keduanya terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang jarang terdapat tandingannya. Akan tetapi Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar amat hebat, dan dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan pemuda itu yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sin-kang yang dimiliki Lulu!
Biarpun maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan seluruh tenaganya yang mujijat karena gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sin-kang yang tidak lumrah sehingga dia menguasai kekuatan sin-kang yang bercampur dengan ilmu hitam.
Begitu pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sin-kang menggunakan tangan kiri membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara bertubi-tubi.
Hati Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai perasaan bercampur aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu sudah menjadi seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Lulu, dan biarpun dasarnya tidak lebih hebat daripada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi Hong, namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sin-kang yang mengeluarkan kabut hitam, juga cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas. Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa berduka dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu.
Sampai puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping. Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum bahwa hanya gerak kilatnya saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu! Mengenai tenaga sin-kang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan sin-kangnya, dia dapat mengadu tenaga dan menangkan pertandingan. Akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini, tidak tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak membuatnya dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jerih, dia harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.
"Wan Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah dimana Ibumu, aku ingin bicara dengannya!"
"Kau harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!" Pemuda itu berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari bawah mengarah pusar.
"Trakkkk....! Plakkk....!"
Suma Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari samping sedangkan tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu dengan telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu saling bertemu dan melekat! Keng In terkejut bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak tangannya juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak dapat ia tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!
"Hemmm...., orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas buruk seperti engkau ini. Pergilah!" Suma Han yang mempergunakan tenaga sin-kangnya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang. Pemuda itu terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya tidak ingin melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda yang keras hati dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang yang dianggapnya membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang terus, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba saatnya dia menentang Pendekar Super Sakti.
Dia harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya, Cui-beng Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik beberapa menit lamanya, dia mendengus, membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah Pendekar Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan sewajarnya karena memang mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung itu.
Suma Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya bayangan pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit. Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan namun cukup jelas, pemuda itu!
"Suma Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biarpun kepandaianmu tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini akhirnya tentu akan mampus di tanganku!"
Wajah Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khi-kang yang disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat! Diam-diam dia merasa berduka. Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari manapun juga dan betapa sakitnya pun. Akan tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari hatinya kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda iblis seperti itu?
Suma Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia dibentuk oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat watak-watak penghuni Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu. Dan agaknya Lulu sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali terlalu memanjakan putera tunggalnya itu, sehingga pembentukan watak anak itu sepenuhnya dikuasai oleh keadaan sekelilingnya!
Kembali Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan sepak terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati yang aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan tetapi juga bisa membenci sehingga ingin pula memusuhinya kalau tidak dapat menjadi isterinya. Akan tetapi andaikata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah seorang musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biarpun sudah menjadi Ketua Pulau Neraka. "Paman, mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.
Suma Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya tersenyum ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik dan sinar mata lembut penuh kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan duka. Dara jelita lni adalah puteri ketua Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan kejam. Seorang wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini, mengapa sebaliknya seorang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera sejahat itu?
"Paman, mengapa Paman kelihatan berduka?" Kembali Milana bertanya. Tadi ketika melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum, akan tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa melukainya sedikitpun. Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In dan anak buahnya tadi.
"Ohh, tidak apa-apa, Alan. Hanya.... eh, di mana rajawali kita?"
"Dia terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereka bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat membantu."
"Hemm, biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini ditundukkan kembali oleh bekas majikannya. Alan, bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"
"Aku sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya mereka, aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka mengejar dan aku tersusul di sini. Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai sekali. Paman, mengapa Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang lain saja."
Suma Han menarik napas panjang. "Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan. Engkau tidak tahu.... ahhh...." Wajah pendekar itu kelihatan berduka sekali.
Melihat ini, Milana merasa kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia yang besar yang membuat ayahnya itu bersikap lunak terhadap Wan Keng In.
"Aku tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan...."
"Tidak mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."
Milana tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja. Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta berkuda yang datang dari beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang jalan, yaitu mereka yang baru saja meninggalkan kota raja.
Sudah belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biarpun di dunia kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun jarang ada orang pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw sebagian besar belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apalagi penduduk kota raja! Maka kini Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang, baik oleh penduduk maupun oleh para perajurit penjaga. Di kota raja, yang sudah lama ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja yang pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam gedung masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.
Milana sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan tetapi dia pun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang kota raja di samping Suma Han dengan hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang. Apalagi semenjak dia melakukan perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan dengan mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh kepercayaan bahwa selama ia berada di samping ayahnya, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggunya! Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan karena kiranya tidak banyak orang yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biarpun hal ini masih terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar itu sendiri.
Memang tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat orang-orang yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu yang baru saja padam. Seperti halnya perang di bagian mana pun di permukaan bumi ini, semenjak jaman sebelum sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan malapetaka yang amat mengenaskan hati. Setelah perang selesai, setelah hati tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata kita akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendirikan bulu roma bagi orang yang masih memiliki sedikit saja cinta kasih dan perikemanusiaan. Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar, kuburan-kuburan penuh makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderita-penderita cacad yang buntung lengannya, buntung
kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan mata pencarian, dan dari kaum gelandangan ini timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri, atau ada yang menggabungkan dari dengan perampok-perampok. Malapetaka ini yang tampak oleh mata, masih banyak malapetaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang berupa dendam sakit hati dan iri yang menjadi bahan penciptaan perang baru!
Tidak ada untungnya, lahir maupun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti kengerian akibat perang. Pemerintah Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat dan telah berhasil menumbangkan ke kuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman. Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tdak mungkin MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DENGAN PEPERANGAN! Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas kelaliman para pemimpin dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Akan tetapi, setelah perang berakhir, yang berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman tetap ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang diulur-ulur panjang belaka.
Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang terjadi di dalam diri manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak, segala gerak, segala usaha merupakan akibat langsung dari akal pikir yang paling suka memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku, bangsaku, negaraku, agamaku, dan selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan demi kepentingan Sang AKU. Betapapun banyak selimut yang dipergunakan untuk menyembunyikan dasar "demi aku" ini, yang disebut dengan banyak kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah Sang Aku yang sebenarnya menjadi pendorong dari semua gerak hidup. Dan selama AKU bercokol menjadi dasar yang mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan persoalan yang mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak, suka duka, iri dengki, dendam dan sebagainya. Setiap tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan berada di dalam diri manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa mengingat untuk menujukan ke dalam biar semenit pun! Bahagialah dia yang menujukan pandang mata ke dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam isinya, mengenal pikiran sendiri yang membedal kemana-mana dengan liarnya, tak terkendalikan!
Suma Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja. Pemerintah Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di sepanjang jalan di kota raja sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali, melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini?
Demikianlah kalau ditonton begitu saja, ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru yang besar dan indah. Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya, bukan dari keadaan manusianya? Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu, maka akan ditemuilah jawab dari segala sebab timbulnya perang yang semenjak jaman dahulu selalu timbul. Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa yang menang perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan kepada mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini diharapkan ucapan mereka "kita telah mengalami kemajuan-kemajuan!"
Biarpun banyak terdapat orang berkaki buntung sungguhpun tidak pernah ada yang mengurai rambut seperti Suma Han, apalagi kalau rambutnya yang panjang itu sudah putih semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda yang biasa merantau sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan Milana menarik perhatian orang. Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua benar, namun rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar matanya membuat orang-orang yang bertemu pandang, menundukkan muka atau mengalihkan pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik.
Adapun dara remaja yang berjalan di samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan wajah berseri tersenyam-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa! Suma Han melihat betapa banyak orang memandang ke arah mereka penuh perhatian, maka dia lalu mengajak dara itu untuk memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu tidak memandang kepada Suma Han yang tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada Milana yang benar-benar merupakan pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!
"Beri kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han. Pelayan itu terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan bertemu pandang dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air dingin dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk memilih dua buah kamar yang berdampingan.
Setelah menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana duduk di dalam kamar Suma Han, bercakap-cakap. "Kapankah Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"
"Aku harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku itu adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah mungkin, bahkan di malam hari pun amat berbahaya karena biarpun pasukan yang baru tidak mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu bertemu denganku. Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam nanti aku harus  menyelidiki ke lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."
"Kalau bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" Tiba-tiba Milana bertanya. Mendengar pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku.... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah menentang pemerintah, mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu, karena Maharya dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak minta kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas."
Suma Han tidak mau menceritakan niatnya yang lain, yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang disangkanya tentu kembali ke kota raja!
"Paman, di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"
"Hemm, hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang di antara mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya, dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi, kurasa dia tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat."
"Akan tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!" kata Milana dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa jantungnya berdebar!
"Aku dapat menandingi mereka satu lawan satu, akan tetapi kalau mereka mengeroyok, apalagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk menantang mereka bertanding, hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan pertanggungan jawab mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."
"Mereka tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"
"Hemm, kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."
Hati Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan tetapi dia tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak orang sakti maju mengeroyok ditambah pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana mungkin ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan? Baru menyelidiki ke sana saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia! Ibunya adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu, membantu pemerintah menentang dan membasmi mereka yang hendak memberontak! Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu itu untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu mereka!
"Alan, malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di sini saja dan jangan kau pergi ke mana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, di sini banyak terdapat orang pandai."
"Apakah Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"
"Ah, aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak, kautunggu saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."
Milana menunduk. "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi berjalan-jalan melihat pemandangan kota."
"Sesukamulah, akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan banyak menghadapi godaan."
"Aku dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku.... cantik?" tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?
"Engkau adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."
"Terima kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."
Suma Han mengangguk. "Biarpun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak sembarang orang akan dapat mengganggumu, akan tetapi harap engkau suka bersabar dan jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam kembali ke sini."
Milana mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang bercampur haru, Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja dia bukan berniat untuk berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia ketahui pula di mana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian orang luar, dia pergi berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba, keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah.
Sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang tentu saja Milana merasa rendah kalau harus datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apalagi kalau ia datang menghadap seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para penjaga dan diperlakukan seperti orang biasa. Tidak! Dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai. Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas genteng, melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda, kemudian dengan hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari di mana adanya Koksu pada saat itu.
Masih untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua sedang berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di ruangan itu menghadapi koksu. Andaikata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya, para panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing, juga koksu sendiri, maka besar sekali kemungkinan kedatangan Milana akan mereka ketahui semenjak tadi!
Milana berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran tidak melihat kehadiran Thai Li Lama dan Tansiucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua orang lihai ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng ketika mereka dahulu bersembunyi dan mengintai pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.
Selagi Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia mendengar suara Koksu menyebut-yebut nama ibunya! Tentu saja dia cepat menahan diri bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan lebih jelas percakapan antara mereka.
"Puteri Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar membikin ruwet rencana kita, agaknya dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi, dia harus disingkirkan, harus dibunuh!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya berdebar keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya akan terdengar oleh mereka yang sedang mengadakan perundingan di sebelah dalam, maka dia menekan dada dengan tangan dan menekan perasaannya, memasang perhatian untuk mendengar terus. "Akan tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.
"Kalau dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andaikata kemudian Kaisar sendiri mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar tidak akan menyalahkan kita. Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin tersiar diluaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!" kata Koksu lagi.
"Memang tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar suara Maharya yang kaku. "Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya, jalan satu-satunya adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi menurut penglihatanku, aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu okh Thian Tok Lama, aku yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat dari kita, kalau sampai terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan mundur."
"Pihak Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.
"Nah, kalau begitu, kita harus...." Tiba-tiba Koksu menghentikan kata-katanya karena melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang matanya melengkung seperti bulan sabit.
"Braaakkk!" jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar. "Trang-trang-trang....!" Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang Pek-kong-kiam di tangan Milana.
"Eh, engkau.... Nona....?" Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu, Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam ruangan telah meloncat keluar semua.
Keringat dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga begitu meloncat dan menerjang keluar, senjata di tangan pendeta itu telah menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat mengelak dan menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata tombak bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi.
Kalau saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya.
Akan tetapi sekarang, dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang hendak membunuh ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan yang disertai kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan sedang terancam hebat itu.
"Ah, kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah Nona datang berkunjung ke rumahku?" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya memandang tajam untuk menyelidiki apakah nona ini tadi mendengar percakapan mereka atau tidak.
Milana bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa  dia berada di guha singa yang amat berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia harus bertanding melawan mereka, tentu dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah senyum manis sambil berkata, "Koksu, aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."
"Ahhh, maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang datang. Mari, silakan masuk." Pintu ruangan itu dibuka lebar dan mereka semua memasuki ruangan. Milana dipersilakan duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya. "Silakan duduk, Nona Milana dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak."
"Terima kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan lama di sini," jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua orang sudah duduk.
"Apakah Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?" Koksu bertanya, diam-diam mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya yang luar biasa lihainya itu.
"Aku datang sendiri untuk.... untuk...." Milana menjadi bingung sekali. Setelah mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali keinginannya untuk membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada Pendekar Super Sakti dan agar tidak menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat melainkan musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup.
Tiba-tiba terdengar Maharya membentak. "Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan? Mengakulah dengan jujur!" Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara yang disertai sin-kang kuat sekali dan membawa pengaruh sihir yang seolah-olah mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana, membuat dara itu tidak berdaya dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.
"Memang aku sudah semenjak tadi datang." Milana terkejut sekali mendengar pengakuannya sendiri yang keluar dari hati yang jujur.
"Dan engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!" Kembali Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa. Milana kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh kekuasaan sihir kakek itu, namun betapapun dia mengerahkan sin-kang melawan, tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya yang menjawab, "Benar, aku sudah mendengarkan percakapan kalian."
Koksu mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya, "Apakah engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"
Milana kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sin-kangnya sudah kuat sehingga dia mampu melawan pengaruh mujijat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar mata tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia memiliki sinar mata yang amat kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari cengkeraman kekuasaan sihir Maharya, maka biarpun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat menguasai diri dan melawan tenaga mujijat yang mendorongnya untuk mengaku, masih saja terdengar
pengakuannya.
"Aku.... aku tahu.... kalian.... hendak membunuh Ibuku.... aihhhh!" Kini Milana sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya. Benar dugaannya, karena Koksu sudah berseru, "Dia harus kita tangkap!" Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali, tahu-tahu Milana telah terkurung dan berada di tengah-tengah. Maharya berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan kirinya, sedangkan enam orang panglima berada di belakangnya! Milana berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat keatas kepala, siap untuk menghadapi serangan mereka. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan menggetar, matanya melirik ke depan, kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri dengan tumit diangkat sedikit karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia membutuhkan kecepatan gerak dan gin-kangnya. Sampai agak lama, mereka semua diam tak bergerak seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.
Tiba-tiba Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal kepada murid keponakan itu, "Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh sekarang, lebih cepat lebih baik!"
Akan tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain kecuali Thian Tok Lama, Koksu berkata, "Jangan dibunuh, dia harus ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya menakluk!"
Menggunakan kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan di bawah kaki sedangkan tubuhnya melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.
"Tranggg....!" Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan senjatanya dan hampir saja Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat.
Yang lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk melawan sampai titik darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini adalah musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan mati-matian dengan dua kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan ibunya yang terancam bahaya maut!
"Wuuut-wuuuttt....!" Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari samping dan menyilaukan matanya.
"Tar-tar!" Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.
"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah.
"Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.
"Singggg....! Tarrr.... brettt!"
"Hayaaaa....!" Bhong Ji Kun berseru kaget. Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek dari Pendekar Sakti Suling Emas (baca cerita Cinta Bernoda Darah dan cerita Suling Emas)! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang dara remaja!
Suara bercuit dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis. "Tranggg!" Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh, keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana. Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!" Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sin-kang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.
"Dessss!" Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana tentu saja Milana yang tentu tidak membolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!" Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.
"Brett.... auhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jerih, bahkan tangannya kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.
"Awas jarum!" teriak Maharya. Untung dia berseru keras sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu, jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya, dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka. Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biarpun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sin-kangnya tak dapat ia kerahkan.
"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya. Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana. "Bangkitlah dan duduk di punggungku!" Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan
merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya. "Hemmm, kulihat engkau mmperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!" katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Akan tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kauperoleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar Siluma n! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kaukira aku takut kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!
"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini amat gagah perkasa!" Suma Han mengejek. Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah To-cu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?" Maharya membentak, agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah engkau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu. "Aku akan  menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya melainkan akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang, manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong
Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang perajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para perajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal
sehingga tertutup dan terjaga kuat. "Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!" Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hahya karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang
membuat mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya daripada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah! Juga sepasang kakinya "ada kemajuan" seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat daripada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun!
Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana!
Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu! Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di
antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sin-kangnya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur....!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!" Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dan pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia
bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.
"Singggg....!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas....!" Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan....!" Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulah Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok" seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, "dipaksa" kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkar mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi.
Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andaikata tidak berhasil sekalipun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja. "Paman.... beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh Ibu...." Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran. Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak.... engkau saja pergi, Paman...." Milana berbisik pula. Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!" Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjaknya terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah! "Alan....!" Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan....!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia....!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!" Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih.... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran. Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberitahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.
"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai." Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapapun tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jika tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh.... mengapa engkau berada di sini....?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam.
Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang kuyakin dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu...." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang "bukan apa-apa" dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kaukira aku akan begitu mudah mereka robohkan? Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Akan tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"
"Hemm, kulit dan daging terobek kaubilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagianmana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai betapa hebat lukanya. Cukup kaubuka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andaikata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekalipun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!
"Ini.... apakah ini....?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
"Mata kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah melihatnya.... di dada seorang.... aih, Alan,
dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini....? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh.... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?" Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung, "Hemmm...."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini! Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di
Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher.... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana...."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.
Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohh!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman.... jangan.... jangan bersedih...." Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau.... kau menangis?" Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan yang membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!
"Aku kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi To-cu di sana. Dan.... begitulah.... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, kemanapun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali. Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"
Benar saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali. "Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi To-cu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku...."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan segala canggung...."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya. "Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai.... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.
"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita!
Aku menemukan cintaku yang ke dua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami.... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah me miliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kaudengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan.... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya. Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu! "Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan
lucu itu berseru. "Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik di sini. Hayo kita cari dia!" Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadanng kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkerik itu mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut "suhu" kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mujijat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.
******
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu mujijat yang tinggi dari kakek sinting itu.
Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagaimana gurunya dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari kelabang!
Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu, memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah.... hemmm sudah tercium bau mereka dan tampak bekas mereka...."
Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis yang aneh olehnya.
"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!" kakek itu berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti biasa. "Suhu.... celaka....!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk dari dalam. "Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan sin-kangnya.
"Suhu, apa yang berkilauan itu?" Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar kepalan tangan. "Hemm, itu batu biasa."
"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."
"Kau tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!
"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan tetapi sebetulnya mengandung racun yang berbahaya. Biarpun sih-kangmu sudah kuat, kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yang tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"
"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong menuntut. "Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"
"Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."
Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya, menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang telapaknya berubah hitam.
Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih seperti biasa. "Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin memilikinya.
"Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu, tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat membuat dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari adalah kelabang bunting!" Kwi Hong menghela napas menyabarkan hatinya. "Baiklah, kelabang bertelur, kelabang bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."
"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat sebelum malam tiba!"
"Baik, Suhu." Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya sudah kurang manis!" Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik pesan itu lalu meleset pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang gemuk-gemuk!
"Eh. kenapa dua ekor?"
"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata, "Eh, kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya, mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam, kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya malam gelap.
"Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin, membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!
Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah bulan purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapapun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita pada makan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."
"Ihhhh....!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu mengejar."
"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti kemana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sungsumnya!
"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.
Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan. Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat ke atas dan hinggap di
pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan tempat itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatang-binatang itu merayap beriringan dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga puluh sentimeter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!
Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong. Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat. Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!
Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei!
Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon dan lenyap!
"Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kaubacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kaumasukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh di tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.