Bagian 2

Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini, sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam guha itu dan usianya sudah lima belas tahun, ia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras. Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu. membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk panjang dikuncir besar.

Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena tebal menghitam berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walaupun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.

Dia sudah mulai jemu, tinggal di dalam guha itu, setiap hari selain melayani gurunya yang makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (samadhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia. Akan tetapi, kalau timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali dan dia merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur, bahkan ia sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhunya.

Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketua, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan guha, Yo Han disuruh ke dalam oleh suhunya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan, mereka pun tidak boleh. Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari guha itu agar tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi ia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat cuaca yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu. Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu dapat menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.

Untuk menanti percakapan gurunya dengan dua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!

Tiba-tiba Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukan pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan kini yang terdengar adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.

"Jin Sin It Siauw Thian Te, It Im It Yang Wi Ci To!"

Yo Han mendengarkan dan karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Akan tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti: Badan Manusia Adalah Alam Kecil, Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Sang Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!"

Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu daripada isi kata-katanya yang tidak dimengerti benar. Kalau biasanya dia tidak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, karena selain dilarang suhunya, juga dia tidak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, kini mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main. Apakah si penyanyi itu orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh dan juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagaimanapun juga, dia harus tahu siapa salah siapa benar dan kalau orang di bawah sumur itu tidak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.

Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia sudah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding guha! Dengan latihan samadhi, dia dapat menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan dan kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.

Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan biarpun gelap pekat, namun pandang mata Yo Han maslh dapat menembus sehingga nampak remang-remang olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Dan akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat kalau harus tinggal di situ.

Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.

Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu. Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya.    "Desss....!" Tubuh Yo Han terbentur benda lunak akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.

"Bress....!" Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada "guci" itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak mempunyai kaki dan tidak mempunyai tangan. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dijungkirbalikkan akan tetapi

selalu dapat berdiri tanpa kaki. Kini penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan mahluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang akan tetapi kulitnya ditutup "pakaian" lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan mahluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.

Kini mahluk itu berloncatan, bukan menggelundung, berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk, hanya memandang dengan penuh perhatian. Wajah itu kini nampak nyata. Wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali, dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, Bahkan mulut yang sebagian tetutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.

"Kau tidak mati....? Kau.... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, namun agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.

Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggeleng kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walaupun aneh, bahkan mungkin seorang tapa-daksa yang patut dikasihani dia pun berkata, "Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku.... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."

Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi. "Jin Sin It Siauw Thian Te, It Im It Yang Wi Ci To....!"

"Siancai....! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Eh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"

Yo Han sudah membaca banyak kitab, selain itu, memang dia memiliki kelebihan, bahkan keanehan dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekalipun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan, itu, dia mengangguk. "Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."

"Tidak, tidak. Engkau yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."

"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala mahluk di dunia ini, manusia merupakan mahluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan mahluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apabila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apabila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"

"Siancai....! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.

"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, sudah kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, namun saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tidak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Kalau dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."

Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya Kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"

Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."

"Lima belas tahun? Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"

Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."

"Ehhh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!" Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini berloncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.

"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."

"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus, itu!"

"Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."

"Uhhhh...!" Tiba-tiba tubuh itu "terbang" ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.

"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"

"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun gigi lagi.

"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"

"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."

"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong dan mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari?"

"Ha-ha-ha...."

"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."

Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.

"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kaubilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"

"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"

Tiba-tiba sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu. "Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu, Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh. Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya. Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Akan tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun

tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya. Tiba-tiba, kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah bergulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han. Pemuda ini terkejut dan kembali dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, lalu tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!

Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek! itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu yang menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu "senam", berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.

Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum. "Siancai....! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"

Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam mendorong bukit. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam, yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!

"Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke

dalam sumur. Sudah lama aku amat tertariik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"

"Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan.... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"

"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.

"Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."

Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, biarpun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.

"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu dan tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan menekan-nekannya.

Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.

"Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa....?" Yo Han cepat menghampiri.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.

"Ya Tuhan, inilah.... inilah...." dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang sering didengar Yo Han! Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Yo Han memandang terharu. "Jadi.... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"

Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.

"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kaulakukan?"

"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.

Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu. "Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"

"Apa maksudmu, Locianpwe?"

"Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."

"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."

Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.

Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian, Ciu Lam Hok meninggalkan Thian-li-pang. untuk bertualang.

Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suhengnya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi), hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.

Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan! Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur mereka yang dia anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah.Terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!

Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu, berpura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar. Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai sekarang.

"Aku terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik hati Yo Han. "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang telah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertaubat. Biasanya, pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertaubat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka."

Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."

"Heh-heh, engkau memang anak aneh!" kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kupergunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"

Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ah, tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"

Kakek itu menghela napas panjang. "Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini,

aku pun pasti kalah."

"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka, menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"

"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?" Pemuda remaja itu mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-rahasia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"

"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"

"Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi...."

"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"

"Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"

"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang kaupelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"

"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"

"Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, biar untuk semenit pun. Sekali menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"

Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh

membiarkan kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang, membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."

Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis sesenggukan!

"Ah, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.

Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."

"Eh, kenapa begitu, Suhu?"

"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."

Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati batu dari dia pun mengikuti. "Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."

Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

"Ciu Sute....!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.

"Yo Han....!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.

"Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"

"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"

"Ha-ha-ha, sejak kaulempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kausuruh turun membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"

Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas. "Suheng, muridmu tentu telah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"

"Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."

"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"

"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."

Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan jahat. Maka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara. Ciu Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu, dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.

"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan. Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sutenya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?

"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Daripada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."

"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"

"Yo Han? Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."

Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir sereka menyiramkan air yang

kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur! Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka kembali menggeser kembali batu sebesar gajah menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah. Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok

menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.

"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"

"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki tangannya buntung, akan tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."

Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang. Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang, sekali ini mendapat perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian�li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya. Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.

Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun ! Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya. Keadaan dalam ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.

"Ah, apakah itu, Suhu?"

"Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."

Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira, orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang dapat bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!

"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."

"Suhu, kenapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."

"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."

Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"

"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"

"Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"

"Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga. Mengerti? Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."

"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andaikata membeli pun, mereka akan melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"

"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."

Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh.... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat daripada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu...."

Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya. "Waduhhh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau

terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kauperlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kautinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu. Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu.

"Kaulihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"

Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam guha itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.

"Apakah ini, Suhu?"

"Emas."

"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, lalu menoleh ke arah dinding.

"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apalagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kaukehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar sebuah batu emas itu. Kautinggalkan saja sebuah di tempat engkau mengambil barang dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri kan?"

Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.

"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."

"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun pergunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."

Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sin-kang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ! Perlahan-lahan dan dengan hati-hati dia merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han telah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan "tari cecak" ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang. Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mujijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apalagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.

Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah guha yang kecil. Mulut guha nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya. Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh amat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tak mungkin ada orang memasuki terowongan guha yang demikian sempitnya, dan andaikata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan kembali keluar setelah melihat bahwa guha terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!

Lebih baik lagi, mulut guha kecil itu tertutup semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut guha, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya. Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati tempat itu agar tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, nampak genteng banyak rumah.

Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.

Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang, menuju dapur ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu. Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai guci terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.

Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.

Dia kembali ke dalam guha kecil membawa dua buah karung. Dia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko yang akan menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia meninggalkan potongan batu emas, di meja di mana dia mengambil pakaian. Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang  buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apalagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.

"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirim Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya. Ketika dia melihat guci arak,

dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap. Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Biarpun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulut, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan, dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.

"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."

"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dari bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, terutama Bu-kek Hoat-keng,

baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."

"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dan suaranya terdengar tegas dan mantap.

Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang kauucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kaupikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"

"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasihatiku ugar aku hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"

"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Kalau ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tidak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tidak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"

Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan sungguh-sungguh. "Mengapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?"

"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tidak ada yang mengganggu ia pun akan mati sendiri, ha-ha-ha!"

Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu membantah kebenaran itu. Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi mereka tentu mereka itu tewas hanya karena Tuhan sudah menghendaki mereka mati. Andaikata Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tidak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa! Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimanapun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"

"Jahat? Ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kaubawa turun itu! Lihat barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"

Yo Han memandang gurunya dengan heran dan menjawab cepat. "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu dapat kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat prabot dari kayu dan sebagainya."

Kembali kakek itu tertawa. "Dan bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Baik atau jahatkah kedua tanganmu itu?"

Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."

"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, gunting itu untuk menusuk perut orang, jarum untuk disambitkan menyerang lawan, pisau untuk menyayat leher orang, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"

Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi.... tapi...."

"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kaupergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kaukatakan baik dan tidak jahat?"

"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.

"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan

bukanlah benda-benda itu, melainkan batin orangnya! seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang tersembunyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"

Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"

"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."

"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"

"Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi setelah dipergunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu itu jahat? Ingat, muridku. Kautahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Dan mengapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian kesehatan,

dan bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!"

Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan. Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat. Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.

Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu. "Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya."

"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan ? Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"

Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."

"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."

Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia

menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan. Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari" dan "senam" yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.

******

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur. Biarpun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan memperkuat Thian-li-pang, namun mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.

Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang sudah bekerja sama dengannya, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.

Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara partai-partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Bahkan pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Poteng adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu. Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu menyatakan bahwa kini permusuhan antara partai-partai persilatan itu mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang tamu-tamu dari dunia persilatan, termasuk empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya, mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati. Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biarpun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apalagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal. Kao Cin Liong menceritakan tentang luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya dipergunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan, apalagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah amat terkenal dan amat disegani semua orang menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Cu-wi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bersikap gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) sudah sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu patut dicurigai. Mudah sekali dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja hendak mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, maupun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak  mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apabila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan dan pihak ke tiga yang mengadu domba."

Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang amat mereka hormati itu, dan diam-diam mereka pun menduga-duga siapa kiranya yang berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.

Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja perintah Kerajaan Mancu yang tentu saja ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri agar tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggeleng kepala.

"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja mempunyai kelemahan-kelemahannya, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun amat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa bukan pemerintah yang menjadi pihak ke tiga itu. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan membahayakannya."

Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadudombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.

"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama mengambil tindakan terhadap mereka."

Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.

Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi kecewa bukan main.

"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."

"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Akan tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong"

"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.

"Hemm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu. Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam guha tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.

"Apakah kalian tidak tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu dapat mendatangkan kegagalan kepada kita, bahkan mungkin Kehancuran. Kita akan membentur batu karang kalau memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"

Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu memang tepat.

"Siancai....!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."

Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita kehilangan murid kita terbaik, Ciang Sun yang gagal membunuh Kaisar Kian Liong dan dia tewas."

"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."

"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak apabila sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw maupun Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.

Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat untuk sementara tidak melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.

******

Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah namun gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung.

Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, dua helai kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala. Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, seperti gerakan seekor burung bangau merah. Ia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang. Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak. Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum "mengisi" tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu. Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang dahsyat itu. Kini, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap. Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Juga dia mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya. Ketika ia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li. "Ada tamu datang, kalian hentikan dulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang datang berkunjung?"

"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong." Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tamu itu dipersilakan duduk. Ketika mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan. Orang itu sudah mengangkat kedua tangan depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu dan mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justeru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu, itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walaupun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ah, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toa-ko yang sudah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan ramah. "Harap sampaikan saja kepada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Akan tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberitahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apalagi ketika mendengar bahwa ia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar. Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu bermalam di kota ini. Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Si n Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan telah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ah, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar telah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."

"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong. Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Nama hotel itu Thai Li-koan (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana.

Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, semua kamar sudah penuh. Malam ini, semua kamar diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."

"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li, penasaran.

Pelayan itu mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, kamar-kamar besar telah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga perajurit pengawal."

"Tapi, yang disewakan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali. "Memang ada, Nona, tapi.... ah, banyak yang sudah pesan lebih dulu...."

Hong Li yang cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, dan kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar. Melihat mengkilapnya perak itu sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, kemudian menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biarpun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian." Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja, untuk keluar masuk. Ketika mereka masuk, mereka melihat banyaknya perajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada perajurit yang menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Perajurit pengawal kepada mereka. Setelah memperoleh kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa. Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Biarpun malam telah tiba, namun taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari....!" kata ibunya sambil mengejar.

Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolong....!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu. Ia melihat puterinya didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu amat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, kalau tidak,

bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelihcahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam. Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk....!" Hong Li membentak marah. Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan ia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tidak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, hanya untuk menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan menggunakan jurus dari Sin-liong-ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.

"Plak-plak-dukk....!" Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan dan akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya nyeri dan tadi ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Dicabutnya golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentaknya dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya. Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.

"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh dan menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik...., baik.... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang I Moli! Ia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan di mana Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya hanyalah Ang I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!" Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."

"Ehh? Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, agar dia bertaubat. Dan Ang I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"

"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beritahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan bahkan ada seorang panglima yang mempunyai banyak perajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.

"Ayah, Ang I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li dan tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberitahuan ini. Akan tetapi Hong Li memberi isarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah malam ini menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya? Dan Ang I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han, ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya...."

"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.

"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.

"Tidak boleh, Sian Li," kata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apalagi Ang I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Biarpun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia telah

dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali. Apalagi kalau suhengnya, Yo Han, berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suhengnya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apalagi jangan meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."

"Baik, Ayah," kata Sian Li.

"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para perajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian. Li mengangguk, dan di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suhengnya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suhengnya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya, karena dibawa oleh wanita iblis itu. Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suhengnya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suhengnya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suhengnya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dari tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng. Gerakan mereka begitu ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka lega melihat bahwa para perajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung perajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit. Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh dan keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, merayap di atas genteng atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet panjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima. Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apalagi ketika mereka mengenal adanya Ang I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main. Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, walaupun terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Pagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana...." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk. Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukan hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang I Moli seorang saja sudah merupakan lawan yang bukan ringan, apalagi para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil

ketuanya sampai ikut hadir, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahunya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu! Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apalagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa. "Aih, Su-siok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu adalah murid keponakan diri adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Kiranya Thian-li-pang telah berhasil menyelundupkan seorang anggautanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana karena melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik. Ketika Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw (Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka sehingga memungkinkan mereka menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda pasukan pengawal istana!

Siang Hong-houw yang masih mendendam kepada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar Kian Liong, seperti yang pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha membunuh Kaisar itu namun dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.

Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu. Demikianlah, karena pandainya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun telah

"membuat jasa" dengan membasmi gerombolan penjahat yang seolah-olah diumpankan oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya, maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para, panglima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.

Karena mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah dia berani mengadakan kontak dengan Thian-li-pang. Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih

berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Biarpun yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, namun karena mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang, berani mengganggu pertemuan itu, mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!

"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang telah terbuka kesempatan yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang menjadi saingan Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.

"Coba jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang I Moli yang bersama dua orang tosu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengarkan jawabannya.

"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Pada nanti tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat yang sama."

"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul, sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"

"Lauw-pangcu, engkau hendak menggunakan kekerasan menyerang ke taman itu?" Ang I Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar jangan melanggar janji. Pula, biarpun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana, menghadapi pasukan pengawal yang amat besar jumlahnya? Tidak, kami akan menggunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."

"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" kata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu hendak menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan? Nah, kalau tentang racun, siapa yang akan mampu menandingi para Locianpwe di Thian-li-

pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?"

"Totiang (Bapak Pendeta) harap jangan salah sangka. Memang kami sendiri sudah mempersiapkan racun yang amat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya Ang I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu bahkan bertugas menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, kesempatan menuangkan arak itulah dapat Moli pergunakan untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu melakukannya kalau bukan Ang I

Moli?"

"Aih, Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang amat berbahaya itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagaimana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai itu sekarang merasa takut?"

"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapapun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang I Moli dengan muka menjadi merah.

Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang I Moli tidak menyalahartikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapapun juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan tidak akan gagal,

hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw untuk menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan ketika pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."

Ang I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama. Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."

"Karena itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di sini. Memang sebaiknya kalau besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Adapun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai anggauta pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."

Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isarat kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menanti kembalinya ayah bundanya.

"Bagaimana, Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) berada di dalam sana?" Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.

Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"

Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberitahu puteri mereka. Sian Li bukan anak kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat mengetahui keadaan.

"Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting." Lalu dengan suara lirih Hong Li menceritakan tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.

"Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!" serunya khawatir. "Lalu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?"

"Engkau tahu betapa gawatnya keadaan, Sian Li," kata Sin Hong dengan sikap serius.

"Ibu dan ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadi nya kejahatan di istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dulu, agar gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali."

Sian Li mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tidak akan leluasa bergerak. Apalagi kalau sampai terjadi bentrokan, ia tidak akan dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.

"Akan tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Kalau engkau membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini. Jangan engkau bepergian keluar."

"Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?"

"Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagaimanapun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang," kata Sin Hong.

"Andaikata belum selesai urusan ini pun kami tentu akan kembali ke sini untuk menjengukmu, Sian Li," kata Hong Li.

"Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali."

Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari kamar, suami isteri pendekar itu lalu meninggalkan rumah penginapan, menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain melihat mereka meninggalkan tempat itu.

******

Tentu saja para perajurit penjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar melapor kepada panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam telah larut. Bagaimana mungkin mereka berani mengganggu atasan mereka yang sedang tidur?

Liu Tai-ciangkun adalah seorang panglima tua, berusia enam puluh tiga tahun, yang dikenal oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan adil. Juga dia dapat menghargai para pendekar, bahkan seringkali dia mengulurkan tangan mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para penjahat. Karena inilah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-li-pang yang berhasil menyelundup menjadi perwira pasukan pengawal istana. Akan tetapi, mereka kini berhadapan dengan lima orang perajurit penjaga yang berkeras tidak dapat menerima tamu pada malam-malam begitu.

"Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun, sebaiknya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat menerima tamu? Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang mengganggunya," kata kepala jaga.

"Hemm, kalian tidak mengenal kami bentak Hong Li yang berwatak keras. "Kalau Liu Tai-ciangkun mendengar bahwa kami yang datang, dia tentu akan cepat keluar menyambut!"

Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. "Harap saudara sekalian memaafkan isteriku. Akan tetapi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus kami sampaikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga."

Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka kepada jaga itu sambil memandanq kepada nyonya muda yang cantik dan galak itu, bertanya, "Sebetulnya, siapakah Jiwi? Kami tidak mengenal Jiwi, dan apa keperluannya?

Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?"

"Hemm, kalian ingin mengenal kami? Nah, jagalah baik-baik!" kata Hong Li dan sebelum suaminya mencegahnya, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan

di antara lima orang penjaga itu. Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis bahkan memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi lemas dan mereka terkulai roboh satu demi satu, tidak mampu bangkit kembali!

"Nah, kalian lihat. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-ciangkun ke dalam? Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tatacara dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami? Katakan saja kepada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!"

Setelah berkata demikian, dengan gerakan cepat sekali, tangan Hong Li bergerak membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu. Kini lima orang itu yang tadi terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berkenalan dengan kelihaian nyonya muda itu, akan tetapi juga mendengar nama Pendekar Bangau Putih dan puteri bekas Jenderal Kao Cin Liong,

mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, walaupun untuk itu terpaksa dia harus mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang dalam keadaan biasa, biar bagaimanapun juga

tidak akan berani dia melakukannya! Tak lama kemudian, kepala jaga itu kembali dan dengan sikap hormat dia mempersilakan suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri bangunan.

Ketika Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka mendapatkan Liu Tai-ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya dia mengenakan pakaian pengganti baju tidur secara tergesa-gesa, rambutnya juga nampak kusut.

Mereka saling memberi hormat dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri. "Tai-ciangkun, mohon maaf sebesarnya kalau kami telah mengganggu Ciangkun dari tidur," kata Sin Hong dengan sikap hormat.

"Ahh, tidak apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!" kata panglima itu dengan ramah sambil mempersilakan mereka duduk di kursi-kursi yang sudah diatur berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar.

"Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat. penting. Nah, para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!" Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang  pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.

Sin Hong lalu menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan perCakapan para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.

Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan main, di samping juga amat terkejut. "Sudah kuragukan perwira muda itu! Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang

juga aku harus mengerahkan pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!" Panglima itu bangkit berdiri.

"Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukan tindakan yang tepat dan bijaksana!" kata Kao Hong Li.

Panglima itu mengerutkan alisnya dan menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran. Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?"

"Tai-ciangkun, mereka berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat, tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun akan terlambat," kata Hong Li.

"Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat, mereka memiliki banyak orang yang lihai!" kata pula Sin Hong.

"Andaikata Ciangkun tidak terlambat dan menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun untuk menuntut mereka? Tidak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?"

Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba jenggotnya dan dia mengangguk-angguk. "Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Maaf, Ciangkun," kata Hong Li. "Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat pula. "Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Akan tetapi diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat."

"Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, ada dua keuntungan. Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?" kata Sin Hong.

Panglima itu mengangguk-angguk "Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!" Panglima itu lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk diam-diam mengepung taman pada saat pesta ulang tahun Siang Hong-houw berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan tertangkap semua.

"Akan tetapi, kami membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya. Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri, Ang I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang membantu kami menyelamatkan para

pangeran dan mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat."

Suami isteri itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu setengah-setengah. Apalagi, mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, melainkan terutama sekali menentang golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.

"Baiklah, Tai-ciangkun," kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. "Kami akan membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, kami akan menjemputnya

lebih dulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin."

"Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama puteri Jiwi."

Sin Hong dan Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang belasan li jauhnya dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan melihat betapa panglima itu amat menghormati mereka, para perajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.

Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali ke kota Heng-tai. Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walaupun masih ada perajurit pengawal yang menjaga. Agaknya, rapat itu sudah selesai dan kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba

di belakang hotel itu dan melihat kesibukan di antara para perajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu. Ketika Sin Hong dan Hong Li kembali ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu kamar tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tidak nampak bayangan Sian Li! Mulailah mereka merasa khawatir, apalagi ketika mereka meneliti tempat tidur anak itu dan mendapat kenyataan, bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas ditiduri anak mereka. Mereka cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram pundaknya.

"Hayo katakan di mana anak perempuan kami!" Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. "Saya.... saya tidak tahu...., apa.... apa yang telah terjadi maka Jiwi marah kepada saya?"

"Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini. Akan tetapi sekarang ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam? Hayo katakan, kalau engkau tidak mengaku dan berbohong, kami akan membunuhmu!" Sin Hong yang biasanya tenang dan lembut itu, kini terpaksa menghardik dan mengancam karena dia pun mulai gelisah sekali.

"Sungguh mati, Taihiap, Lihiap sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami tidak sempat mengurus hal-hal lain. Kami semua tidak pernah melihat puteri Jiwi.... tidak nampak Siocia keluar kamar, Sungguh mati saya tidak tahu...."

Suami isteri itu saling pandang. "Sudahlah," akhirnya Sin Hong berkata. "Kalau engkau benar tidak tahu, tidak mengapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong, kelak masi h belum terlambat bagi kami untuk menghukummu!"

"Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap.... kalau saya melihat atau mendengar tentang Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...."

Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu, kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.

"Heran, ke mana Sian Li pergi?" Sin Hong berkata lirih. "Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka mengaku di mana anak kita!" kata Hong Li.

Akan tetapi Sin Hong memegang lengannya. "Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak bisa kita menuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian mereka. Kalau Sian Li berada dengan mereka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain."

Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. "Kalau Ang I Moli yang melakukan penculikan terhadap Sian Li, sekali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!"

"Yang penting, kita harus dapat menemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak kita itu dalam keadaan selamat," kata Sin Hong.

"Tidak ada kemungkinan lain," kata Hong Li. "Lenyapnya anak kita itu pasti ada hubungannya dengan komplotan pemberontak yang semalam mengadakan rapat di sini. Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberontak itu yang bertanggung

jawab."

"Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang I Moli dan memaksanya mengaku untuk mengembalikan anak kita."

Setelah mencari-cari tanpa hasil, kemudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan pasukannya dan tidak melihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu. Juga mereka berdua tidak melihat adanya Ang I Moli dan para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, terpaksa, walaupun dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu Tai-ciangkun.

Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pendekar itu lenyap dari kamar rumah penginapan. "Jangan khawatir, Taihiap dan Lihiap, kami akan menyebar penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu." Dan seketika panglima itu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan sekitarnya, mencari

jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.

Adapun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun lalu diselundupkan ke dalam istana, menyamar sebagai pengawal-pengawal yang tergabung dalam pasukan pengawal istana bagian luar. Dengan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang perwira pasukan pengawal yang menjadi sahabatnya. Sin Hong dan Hong Li dapat bergerak bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Namun, keduanya menyembunyikan diri sambil menanti datangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di mana Siang Hong-houw hendak mengadakan pesta ulang tahunnya, dihadiri oleh semua pangeran.

******

Penanggalan Im-lek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, setiap tanggal lima belas, dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan seterang-terangnya. Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-lampu gantung beraneka bentuk dan warna menambah indahnya suasana, seolah menggantikan bintang-bintang yang tidak nampak di langit karena sinarnya ditelan cahaya bulan purnama. Bunga-bunga di taman sedang mekar semerbak, menambah keindahan malam itu. Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permaisuri ini masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan dihias emas permata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya dan senyumnya yang tak pernah meninggalkan bibirnya, membuat ia nampak cantik jelita dan menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka. Pesta berjalan dengan meriah. Delapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir. Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga tidak ada selir lain yang

hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya. Untuk membuat pesta bertambah meriah, serombongan besar pemusik, penyanyi dan penari menyajikan hiburan-hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk berbaur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar mereka hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau mereka menyamar menjadi pengawal, maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk melindungi para pangeran.

Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh tebih orang pengawal yang merupakan pasukan istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun. Biarpun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada mengamati keadaan sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para perajurit yang berjaga di situ karena mereka tahu bahwa di antara para perajurit itu tentu terdapat para tokoh sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri melakukan perondaan di dalam taman itu, seolah hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang berpesta di dalam taman.

Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja yang mengelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walaupun yang sedang berpesta tidak terlalu banyak. Ketika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga girang karena mereka melihat seorang kakek yang gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun! Dan di dekat kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran akan tetapi juga girang. Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan seorang di antara mereka yang ikut berpesta? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan perjalanan bersama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli. Mereka terus membayangi Ang I Moli selama bertahun-tahun, akan tetapi akhirnya mereka kehilangan jejak iblis betina itu. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu membakar hati mereka ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta! Dan pada suatu hari yang baik, Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani dibandingkan Suma Ciang Bun, menyatakan perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis! Dan akhirnya, Suma Ciang Bun mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang sahabatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara pernikahan antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan oleh tujuh orang tosu lainnya. Namun, secara hukum agama pernikahan itu sudah sah dan sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!

Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling mencinta, saling menghormati dan dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan menjadi pemimpin, sedangkan Suma Ciang Bun lebih kewanitaan dan selalu menyetujui apa yang diputuskan oleh isterinya.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Mereka sudah berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya juga mengunjungi rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini menerima mereka dengan gembira sekali. Mereka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun menemukan jodohnya, walaupun sudah agak terlambat. Apalagi yang dipilihnya adalah bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan yang tidak jauh!

Demikianlah, ketika mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih tinggal di barat dahulu. Karena pengawal istana melaporkan kepada Siang Hong-houw bahwa seorang wanita bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat ia menyambut dan ketika bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.

Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bertemu dengan sahabat lamanya yang mendatangkan kenangan lama sebelum ia menjadi selir Kaisar, sehingga ia menahan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun agar tinggal di istana sebagai tamunya, tamu kehormatan dan

dapat ikut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas. Gangga Dewi yang berpengalaman itu melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu menderita tekanan batin walaupun hidup dalam gemerlapnya kemewahan dan kemuliaan. Maka, ia merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai seorang permaisuri yang mulia, ia merasa berbahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung walaupun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia membujuk suaminya untuk memenuhi permintaan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.

Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demikian sederhana, tidak dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw. Suma Ciang Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah corak wajah mereka.

Sementara itu Ang I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Ia pun memakai penyamaran agar jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyerahkan kepada Siang Hong-houw agar Ang I Moli diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ sebagai tamu! Tentu saja ia menjadi bingung. Apa artinya itu? Apakah Siang Hong-houw sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin keamanan di situ? Beberapa kali Ang I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang matanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berunding dengan perwira itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian tiba-tiba dan tak tersangka-sangka sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi. Bagaimanapun juga, rencana semula harus dilanjutkan! Ang I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak mengenal mereka, akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya. Hal ini bukan karena penyamarannya kurang baik. Sama sekali tidak. Andaikata suami isteri itu belum tahu bahwa ia akan menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pendekar itu akan mengenalnya. Akan tetapi, di luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenal kepala pelayan setengah tua yang cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan mengamati gerak-gerik Ang I Moli dengan seksama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun tentu sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan keluar dari dalam istana.

Sejak tadi, nampak Ang I Moli mengatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan, untuk mengeluarkan hidangan dan keadaan berjalan lancar tanpa ada yang mencurigakan, Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li. Permaisuri itu memberi isarat kepada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci arak yang bentuknya asing dan indah, terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, lalu berkata, "Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah puluhan tahun umurnya dan selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan sehat dan semangat tinggi."

Para pangeran bersorak gembira dan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi menyentuh lengan suaminya. "Anggur Uigur yang sudah puluhan tahun umurnya memang amat hebat."

Ang I Moli menghampiri Siang Hong-houw dan berkata dengan penuh hormat dan halus, "Perkenankan hamba sendiri mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para tamu yang mulia."

Karena sejak pertama kali Ang I Moli bersikap halus, ramah dan sopan sehingga menyenangkan hati Siang Hong-houw, ia pun mengangguk dan menyerahkan guci anggur itu kepada kepala pelayan baru yang cekatan itu. Ang I Moli segera dengan sikapnya yang menarik dan lembut, menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, dari yang paling tua sampai yang paling muda, baru menuangkan anggur ke dalam cawan para puteri. Semua itu dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang menetes keluar sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari telunjuk kiri wanita itu menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan, menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus yang tidak kelihatan orang lain. Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui gerakan ini, akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan dibagi. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan hal itu karena mereka tidak menyangka buruk. Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-masing dengan wajah gembira penuh senyum, tiba-tiba terdengar seruan nyaring.

"Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!"

Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, terkejut dan heran mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian dan tarian mereka.

Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sambil memberi hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. "Harap Paduka semua jangan minum anggur itu karena semua cawan telah diracuni, kecuali cawan para puteri dan Pangeran Kian Ban Kok. Semua cawan pangeran lain telah diracuni dan siapa yang minum anggur itu akan tewas!"

Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ini dan, otomatis semua orang meletakkan cawah masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri. Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi wanita itu mengatakan bahwa semua pangeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol dengan dia karena dia sendiri tidak diracuni.

"Perempuan rendah! Engkau hanya seorang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau bohong dan akan kubuktikan." Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya adalah seorang wanita Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya, kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggorokannya.

"Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Masih berani engkau mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, telah diracuni?" Bentak Pangeran Kian Ban Kok, akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat

betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika! Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik. Melihat keadaan yang kacau ini, Ang I Moli terkejut bukan main. Ia tahu bahwa rahasianya diketahui wanita anggauta rombongan pemusik itu dan akibatnya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung. Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang I Moli bahwa menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu gagal, maka jalan satu-satunya hanyalah menggunakan kekerasan membunuhi para pangeran! Maka, tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya.

Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggauta pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke depannya dan wanita itu berseru, "Ang I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!" Dan wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian menoleh ke arah Suma Ciang Bun dan berteriak, "Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong Li. Cepat lindungi para pangeran! Ada komplotan pembunuh!"

Pada saat itu, Ang I Moli yang terkejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, sudah menyerangnya dengan tusukan pedang. Namun Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kiri yang mengandung hawa beracun karena ia menggunakan ilmu pukulan Ban-tok-ciang. Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua orang perajurit pengawal yang memegang pedang sudah berloncatan untuk menyerang para pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggauta Thian-li-pang yang menyamar sebagai perajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting. "Paman Suma Ciang Bun, cepat selamatkan para pangeran!" teriak pula Sin Hong.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka tadinya bingung, akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang. Apalagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia

lalu menyambar lengan isterinya. "Mari kita lindungi mereka!"

Suami isteri ini berloncatan melindungi para pangeran yang kelihat bingung dan ketakutan. Ketika ada perajurit-perajurit pengawal dengan senjata di tangan menyerbu ke arah para pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat orang penyerbu.

Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali ketika tadi ia melihat betapa Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran lain. Permaisuri Kaisar ini sama sekali tidak tahu tentang rencana pembunuhan keji terhadap para pangeran itu dan begitu kini jatuh korban, tentu saja ia menjadi terkejut dan gelisah. Apalagi ketika para perajurit pengawal yang seharusnya bertugas melindungi keselamatan keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak membunuh para pangeran. Dan ia telah melibatkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu! Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir penjajah Mancu. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak sedemikian nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana. Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut bertanggungjawab karena ialah yang menerima masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan panglima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala pelayan dalam pesta itu!

Melihat munculnya seorang wanita dan seorang pria dari rombongan pemusik yang menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu agungnya, yaitu Gangga Dewi dan suaminya juga berloncatan melindungi para pangeran, Siang Hong-houw cepat bertindak. "Mari cepat menyingkir ke dalam!" katanya dan ia bersama para pangeran dan puteri meninggaikan tempat yang kini menjadi medan pertempuran itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Setelah semua pangeran dan puteri memasuki istana bersama Siang Hong-houw, dan jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk

pula, barulah suami isteri itu kembali ke taman dan ikut membantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.

Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera Ketua Thian-li-pang sendiri, yaitu Ouw Ban, tidak semua anggauta Thian-li-pang. Hanya ada dua puluh orang lebih anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan Ouw Cun Ki menjadi perajurit pasukan pengawal. Selebihnya adalah perajurit pengawal aseli. Oleh karena itu, ketika para perajurit aseli melihat bahwa pasukan mereka dikepung oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, mereka melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka adalah seorang pemberontak

yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja mereka segera membalik dan menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biarpun rata-rata pandai ilmu silat, dikeroyok banyak sekali lawan.

Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkan, Ouw Cun Ki melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan pakaian putihnya yang ringkas.

"Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana? Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" kata Sin Hong.

"Penjilat busuk, anjing penjajah Mancu!" teriak Ouw Cun Ki dan dia sudah menggunakan pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong. Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan orang jahat yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw yang berkedok perjuangan namun menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang, melainkan dengan para penjahat.

"Jahanam, orang macam engkau yang mengotorkan perjuangan!" bentaknya sambil mengelak dan membalas dengan tendangan yang biarpun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki, namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung. Ouw Cun Ki putera Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seorang tokoh Thian-li-pang yang berkedudukan penting. Akan tetapi, sekali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Maka, biarpun pemuda itu memegang pedang dan menyerang dengan nekat, dalam beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.

Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang I Moli berlangsung dengan seru. Kepandaian dua orang wanita ini lebih seimbang dibandingkan kepandaian antara Sin Hong dan Ouw Cun Ki. Ang I Moli telah menguasai ilmu barunya, yaitu Toat-beng-tok-hiat (Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mematangkannya. Dan kini Ang I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong. Melihat betapa lihainya Kao Hong Li, Ang I Moli yang mempergunakan pedang di tangan kanan itu, menyelingi serangannya dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.

Ketika pertama kali Ang I Moli menyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau mayat, Hong Li maklum bahwa dia menghadapi pukulan beracun yang berbahaya. Maka ia pun cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Biarpun tidak sejahat Toat-beng-tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.

"Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, kedua orang wanita itu terdorong ke belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang I Moli. Setelah berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan yang dapat menandingi ilmunya itu!

Sebelum kedua orang wanita ini saling terjang lagi, mendadak nampak bayangan berkelebat dan Gangga Dewi telah berhadapan dengan Ang I Moli. "Iblis betina Ang I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kausembunyikan Yo Han? Hayo cepat beritahu atau terpaksa aku akah menyiksamu untuk mengaku!" bentakan Gangga Dewi ini selain mengejutkan hati Ang I Moli, juga membuat Kao Hong Li memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi ia lihat duduk di sebelah pamannya, Suma Ciang Bun. Dan kini wanita ini mengenal Ang I Moli, bahkan menyebut-nyebut nama Yo Han!

Ang I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan ia tahu akan kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah menyamar.

"Mampuslah!" bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk. Gangga Dewi memiliki gin-kang yang hebat dan ia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu dapat dielakkannya dengan mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak gulungan sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi telah membalas dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sab�k itu meluncur kaku bagaikan berubah menjadi tongkat menotok ke arah dada Ang I Moli.

Ang I Moli menangkis dengan pedangnya, dan tangan kirinya mendorong dengan ilmu yang diandalkannya, yaitu Toat-beng-tok-hiat. Uap putih yang berbau busuk menyambar dan Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan pukulan beracun yang amat jahat.

"Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!" Kao Hong Li membentak dan ia pun menerjang maju, sekali ini menggunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun Pasir. Demikian hebatnya daya serang ilmu ini sehingga Ang I Moli yang memegang pedang itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke belakang.

Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa Kao Hong Li, keponakan suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun memutar sabuk suteranya dan berseru.

"Kao Hong Li, aku adalah isteri pamanmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari Bhutan." Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan keadaan pamannya, Suma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik, seorang wanita Bhutan. Dan ia pun teringat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah dengan pendekar Wan Tek hoat, saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!

"Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?" katanya sambil mengelak dari sambaran pedang Ang I Moli yang sudah membalas serangannya.

"Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!" Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang I Moli yang menjadi sibuk sekali. Menghadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kini

mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia kewalahan dan terus mundur.

"Singg....!" Dengan nekat Ang I Moli membacokkan pedangnya ke arah kepala Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat. Ang I Moli terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya. Namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang dengan amat kuatnya. Ketika ia bersitegang dan menarik-narik pedangnya agar terlepas, Hong Li sudah meloncat ke depan dan sekali jari tangannya meluncur dan menotok, Ang I Moli roboh terkulai dengan lemas.

Hong Li menginjak perut Ang I Moli dan melihat ini, Gangga Dewi berseru, "Jangan bunuh dulu!"

Hong Li memandang wanita Bhutan itu dan tersenyum. "Bibi, aku tidak ingin membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, ia harus lebih dulu mengatakan di mana ia menyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan dimana engkau menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melainkan menyerahkan engkau kepada Liu Ciangkun.

"Aku tidak tahu, aku tidak pernah melihat puterimu," jawab Ang I Moli dengan sikap acuh. Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini tidak merasa gentar. Selama ia masih hidup, ia takkan pernah putus asa dan menyerah.

"Bohong! Puteriku yang kami tinggalkan di rumah penginapan itu hilang. Siapa lagi kalau bukan engkau dan kawan-kawanmu yang telah manculiknya? Hayo katakan, di mana ia!"

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak," jawab Ang I Moli acuh.

"Iblis busuk, engkau patut dihajar!" Hong Li yang amat mengkhawatirkan puterinya, mengangkat tangan hendak memukul. Akan tetapi Gangga Dewi menyentuh pundaknya.

"Nanti dulu, Hong Li. Ia harus memberitahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang I Moli, engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku mengejarmu dan mencarimu, akan tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?"

Ang I Moli tersenyum mengejek. "Yo Han telah menjadi murid para pimpinan Thian-li-pang dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah Thian-li-pang."

Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang I Moli kiranya tidak ada perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melainkan menyerahkan wanita itu kepada seorang perwira untuk dibelenggu dan dijadikan tawanan.

"Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di mana pula adanya Yo Han," kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke dalam pertempuran. Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membunuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil selundupan Thian-li-pang ini dibelenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhirnya belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.

Kaisar Kian Liong marah sekali mendengar bahwa Ouw Cun Ki yang dipercaya dan diberi anugerah pangkat tinggi itu ternyata adalah mata-mata pemberontak Thian-li-pang yang diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para panglimanya untuk menghukum

berat kepada para pemberontak itu, hukum buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya. Biarpun tidak ada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang mengunjungi permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan sakit keras.

Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega untuk menegur atau bertanya. Dan memang penyakit permaisuri itu cukup payah, bahkah pertolongan para tabib tidak dapat mengurangi penderitaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang. Hampir saja semua pangeran tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab. Bahkan kematian Pangeran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar, Ia merasa bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasaan ini membuat ia berduka dan menyesal bukan main. Ia memang mendendam terhadap pemecintah Mancu yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga kalau ia sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan keluarganya, maka ialah yang berdosa besar. Perasaan bersalah ini, mendatangkan penyesalan yang membuat Siang Hong-houw jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya sehingga beberapa bulan kemudian, Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakitnya.

Setelah merobohkan banyak orang tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong Li, dibantu Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, mencoba untuk mencari keterangan tentang Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ternyata tidak ada seorang pun di antara mereka tahu tentang dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharapkan balas jasa sama sekali.

Mereka berempat keluar dari istana dan saling menceritakan pengalaman masing-masing. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Yo Han yang diculik dan dilarikan Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.

"Menurut pengakuan Ang I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada para pimpinan Thian-li-pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!" kata Gangga Dewi.

"Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu selain memiliki anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus berhati-hati melakukan penyelidikan."

"Benar sekali apa yang dikatakan Paman Suma Ciang Bun," kata Tan Sin Hong. "Pasukan pemerintah pun sukar membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan banyak orang gagah membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan gerakan menentang pemerintah Mancu."

"Bagi kami, yang terpenting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw mengadakan rapat," kata Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.

"Hemm, memang mencurigakan," kata Suma Ciang Bun. "Siapa lagi kalau bukan mereka yang menculik anakmu? Akan tetapi, tiada seorang pun di antara mereka yang kita robohkan mengakui melihat anak itu. Sebaiknya kalau kita mencari keterangan di rumah penginapan itu lagi."

Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidikan. Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mendengar bahwa pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasa di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di antaranya terdapat seorang pengemis tua yang asing. Ketika Sian Li melihat para pengemis minta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu menghampiri Sian Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, pengemis itu diberi sepotong uang perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.

Keterangan itu tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

"Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan setiap orang asing patut dicurigai," kata Gangga Dewi. Mereka lalu minta kepada tukang masak untuk menggambarkan keadaan pengemis itu.

"Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang. Memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling." Demikian keterangan yang mereka peroleh.

Empat orang pendekar itu lalu berpencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai. Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya tentang pengemis seperti yang digembarkan tukang masak tadi. Sin Hong sendiri yang akhirnya mendapatkan

keterangan, setelah para pengemis lain hanya mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu, seorang di antara mereka menerangkan bahwa pengemis bongkok itu datang dari selatan dan merupakan seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan berlaku sewenang-wenang terhadap para pengemis lainnya. Bahkan Phoa-pangcu, ketua para pengemis di kota Heng-tai, pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-wenang itu.

"Kau tahu siapa dia?" Sin Hong bertanya.

"Dia mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam)," jawab pengemis itu.

"Dan engkau melihat dia bersama seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang berpakaian serba merah?" Sin Hong mendesak.

Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apalagi ketika bertemu kembali dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, tiga orang itu pun sama sekali tidak menemukan jejak Sian Li.

"Sebaiknya kalian lanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehilangan anak itu kepada Adik Suma Ceng Liong," kata Suma Ciang Bun. "Dengan demikian maka dia pun akan dapat membantu kalian mencari jejak. Kami sendiri akan melanjutkan usaha kami mencari jejak Sian Li."

Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha mereka mencari jejak Sian Li. Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang karena menurut pengakuan Ang I Moli, Yo Han kini berada di perkumpulan pemberontak itu.

******

Ke manakah perginya Sian Li? Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia merasa kesal untuk berdiam diri di kamarnya saja. Maka, setelah menanti dua jam di kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan maksud untuk berjalan-jalan menghilangkan kekesalannya.

Gadis kecil ini tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari dalam kamarnya, sepasang mata telah mengikutinya, sepasang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan lain adalah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman. Dia adalah seorang di antara anak buah Ang I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat. Sejak tadi, dia mendendam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dikalahkan ibu gadis itu. Hanya karena takut kepada Ang I Moli saja dia meninggalkan mereka ibu dan anak. Kini, selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perempuan berpakaian merah yang manis itu keluar dari dalam kamarnya, seorang diri pula.

Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat. Kalau dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan tidak mengurangi kekuatan penjagaan. Dia harus dapat membalas penasaran dan dandamnya tadi, sekaligus bersenang-senang. Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya menjadi seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ketika Sian Li tiba di tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah penginapan. Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apalagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau berteriak, Hek-bin-houw sudah menubruk dan menyergapnya seperti seekor harimau menubruk kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah menotok jalan darah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu memanggul tubuh anak perempuan yang sudah tidak mampu meronta itu dan membawanya loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang tak mampu bergerak.

"Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk ke dalam kuil kosong itu dan dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil yang tak terpelihara dan kotor. Tempat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam para gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal. Tiba-tiba nampak sinar yang biarpun hanya kecil akan tetapi karena munculnya tiba-tiba dan di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi seluruh ruangan dan mengejutkan, juga menyilaukan mata, Hek-bin-houw terkejut dan menoleh. Kiranya sinar itu adalah nyala api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel dan kini lilin itu diletakkan di sudut, di dekat kakek jembel yang duduk bersila sambil memandang kepada Hek-bin-houw dan Sian Li dengan sinar mata penuh selidik. "Ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jembel itu.

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia dimaki anjing!

"Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti. Hayo cepat menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut goloknya dengan sikap mengancam.

Kakek jembel itu terkekeh lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.

"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya? Ha-ha, memang tepat, engkau memang persis anjing bermuka hitam. Dan aku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing muka hitam."

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini. "Jahanam busuk, engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu. Namun, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu menggerakkan tongkat bututnya berwarna hitam untuk menangkis.

"Trakkkk....!" Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besarnya tenaga yang terkandung dalam tongkat hitam itu ketika menangkisnya tadi. Akan tetapi, dasar orang yang selalu mengandalkan tenaga dan kepandaian sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang selalu memandang rendah orang lain Hek-bin-houw masih belum mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bongkok dapat menandinginya.

"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.

"Manusia tak tahu diri!" Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tangkisan itu membuat tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan. Hek-bin-houw berteriak dan goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya. Hek-bin-houw terkulai roboh dan tidak dapat bangun kembali!

"Heh-heh-heh, ada saja jalannya orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu dan dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mampu bergerak. Gadis kecil itu memandang kepada pengemis yang berdiri mengamatinya dengan mata terbelalak, akan tetapi sama sekali tidak kelihatan takut.

"Heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas anjing hitam itu menculikmu. Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak manis!" Sekali tongkatnya bergerak, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh Sian Li. Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi, ia segera dapat berdiri tegak dan dengan sikap tegas ia berkata, "Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."

"Ehh? Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apa engkau lebih suka ikut dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak bernyawa lagi.

"Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah Ibuku!"

"Tapi, engkau telah kutolong!"

"Aku tidak pernah minta pertolonganmu."

"Huh, engkau manis tapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"

"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan. Melihat gadis cilik ini memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Dia mengenal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sin-kang yang mendatangkan kecepatan dan kekuatan.

"Hayo ikut!" katanya dan tangan kirinya menyambar. Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat, maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di lain saat, Sian Li telah tertotok kembali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan hinggap di pundak

pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari cepat di dalam kegelapan malam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek pengemis itu telah keluar dari kota Heng-tai sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.

Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu? Dia adalah seorang tokoh persilatan yang terkenal, namun dia termasuk tokoh sesat yang suka mengandalkan kepandaian untuk memaksakan keinginannya dan tidak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat walaupun di selatan dia mempunyai perkumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) dan dia menjadi ketuanya. Karena dia seorang petualang yang suka berkelana, maka perkumpulan itu sering ditinggalkannya dan dia serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.

Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, perbuatan itu dia lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menentangnya dan menyerangnya. Akan tetapi, ketika melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya. Saking lelahnya, ketika dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menyadarkannya dan kini, biarpun tubuhnya tidak tampak bergerak, ia dapat bersuara dan berulang-ulang ia minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai

hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya. Pagi itu amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta tolong.

Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan. Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga agar suaranya terdengar lantang.

"Kakek jahat, lepaskan aku!" teriaknya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu menengok, kemudian nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.

Melihat ini, Sian Li berkata lagi. "Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"

"Heh-heh-heh, aku tidak takut ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.

"Engkau tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau akan mati berdiri!" kata pula Sian Li dan ia melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya.

Kembaii kakek jembel itu tertawa bergelak mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya hanya gertak belaka.

"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangu Putih! Dan ibuku adalah keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.

"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.

"Siapa membual? Ibuku bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es!"

Kini Hek-pang Sin-kai tidak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa anak ini tidak mungkin membual karena dari mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.

"Bagus! Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi muridku!" katanya gembira dan bangga karena kalau dia dapat mengambil murid keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat tinggi

sekali!

Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat dan tangan kirinya untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, telah dirampas orang!

Ketika dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan telah membebasken totokan atas diri gadis cilik itu. "Anak baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping. Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di tepi jalan yang masih sunyi itu sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.

Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka nenek itu. "Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani menentang Hek-pang Sin-kai?"

Nenek itu tersenyum dan sungguh mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam puluh tujuh tahun itu, yang rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini di waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat. Memang ia bukan wanita sembarangan. Ia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar Kam Hong yang terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, disamping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoinya (adik seperguruan) dan telah menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sinim (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas). Disamping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sin-kang gabungan Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari mendiang Pendekar Super Sakti!

"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk menghajarmu sampai engkau bertaubat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"

"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku menamatkan riwayat hidupmu."

Senyum itu masih belum menghilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang berkabung namun yang rapi dan bersih itu.

"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."

"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah menerjang dengan tongkatnya. Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja dia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunaken tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek itu bertangan kosong, dan dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya. Tongkat hitam itu bagaikan seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung tongkat membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalain darah terpenting di bagian depan tubuh!

Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut. "Hemm, kejam sungguh!" Nenek Bu Ci Sian berseru lirih. Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, totokan berikutnya terus mengancam sehingga terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya. Nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga mengejutkan hati Hek-pong Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling yang digerakkan itu

seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi diri dari suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal.

Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya! Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilauhan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung karena selain

gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.

Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walaupun dahulu di waktu mudanya ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tak mengenal ampun terhadap para penjahat. Setelah ia menjadi isteri suhengnya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan pembunuhan. Walaupun ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan mampu merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, kini ia hanya menggunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tidak terlalu keras ke arah pundak, punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki ibunya! Maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai lalu meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba dia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah. Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu dipergunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran. Tongkat meluncur dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek Bu Ci Sian.

"Hemm....!" Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat dan begitu tongkat yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar dan tongkat itu berputaran menempel pada suling.

"Hyaaattt....!" Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang sudah terputar-putar melekat pada suling itu tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang sudah melarikan diri! Akan tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang! Kakek jembel itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut kalau dikejar dan dibunuh, dia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang menembus paha kirinya.

Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.

"Nek, kenapa tidak kaubunuh saja kakek jembel jahat itu?"

Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dan alisnya berkerut. "Kenapa dibunuh?" tanyanya.

"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau membebaskan mereka yang akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."

Nenek Bu Ci Sian terbelalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal ampun terhadap orang jahat. Ia tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.

"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui?"

Sian Li memandang tajam, "Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"

"Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma Ceng Liong?"

"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon guruku."

"Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakuan itu. "Engkau menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"

"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau, Nek?"

Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan berhati-hati. "Engkau sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya."

"Tentu saja. Nenek Kam Bi amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin Liong dan kami bertemu disana,

"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."

"Aih, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" kata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil berlutut. Nenek itu girang sekali, mengangkat bangun anak itu, dan memeluknya. "Engkau bahkan sudah mengenal saudaraku?"

"Tentu saja. Sejak kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru aku melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."

"Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah ibumu."

Sian Li menceritakan tentang pengalaman ia dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang persekutuan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena Sian Li memang cerdik dan ia sudah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.

"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu menghadapi urusan besar yang menyangkut keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau dicullk orang dan tidak kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi,

apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon gurumu?"

"Sebetulnya, aku bersama Ayah Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."

"Aih, begitukah? Bagus sekali kalau begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke rumah anak dan mantuku itu."

"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung. Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan...."

"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu den mereka mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"

"Aku tidak takut, Nek."

"Bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari bahaya, apakah kita harus mendatangi bahaya lagi dan membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah sekali. Sebaiknya, mari kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung ke Ta-tung untuk memberitahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."

Akhirnya Sian Li menurut karena bagaimanapun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka ke Cin-an dan mereka diterima dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan Isterinya, Kam Bi Eng.

"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya. Ditanya demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang dikhawatirkannya, namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.

"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya.

Nenek itu menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"

"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" kata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.

"Engkau benar. Usianya sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan tenang sebulan yang lalu...."

"Ibuuuu....!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu, kenapa....? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberitahu?" Ia bertanya di antara ratap tangisnya.

Nenek itu tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Akan tetapi, Ibu, kenapa kami tidak diberitahu tentang kematian Ayah?"

Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya. "Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan agar begitu dia menghembuskan napas terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya. Ini pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."

"Tapi.... tapi mengapa....?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.

"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tidak ingin jenazahnya dibiarkan berminggu atau berhari-hari, membusuk sebelum dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya, orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat dibayangkan betapa sedihku ketika terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu, menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."

Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk menangis lagi. Ia merangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"

"Panjang ceritanya," kata nenek itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."

Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi. Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."

"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?" tanya Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.

Ceng Liong mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"

"Tentu saja tidak. Mari kita berangkat sekarang juga untuk mencari mereka," kata isterinya penuh semangat. "Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali ke kota raja dan mencari mereka."

"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."

"Sian Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai seorang murid, dan ia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.

Suami Isteri itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam lalu berteriak, "Sian Lun....! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang! Dari arah belakang terdengar jawaban "Teecu datang, Subo!" Dan tak lama kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini biarpun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.

"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya." Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan menyuruhnya bangun berdiri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"

"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subonya. "Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama tamu, maka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."

"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun."

Dua orang remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang kepada Suma Ceng Liong lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.

"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek den Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Su-siok (Paman Guru)...."

Suma Ceng Liong tertawa. "Memang seharusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."

Wajah Sian Li berseri. "Aih, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak Seperguruan)! Memang aku lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit lebih tua dariku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan daripada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.

"Sumoi...." katanya lirih.

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci Sian, dan akhirnya nenek ini menyetujui bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.

Karena Sian Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja, melakukan perjalanan secepatnya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li! Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat

dan kini berada di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan dengan pesta keluarga, walaupun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung dan berduka.

Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang untuk bersembahyang di depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.

Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk ikut dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.

"Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang ayahmu? Kini ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."

Biarpun hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalken ibunya seorang diri di istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Ia kembali ke Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li.

Adapun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, setiap tahun baru mereka akan datang berkunjung.

******

"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.

Kakek itu menghela napas panjang. "Saat terbebas dari segala penderitaan hidup bagiku telah tiba. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."

"Tapi, Suhu....!"

"Hushhh! Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintamu, terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"

Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan kelembutan walaupun dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas, Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apalagi terpelajar. Akan tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.

Kalau pemuda itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambut putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas.

Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.

Ketika pertama kali memasuki sumur di dalam guha sebelah belakang sarang Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun. Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung kaki dan lengannya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari bahwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat. Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan mempergunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.

Dalam waktu empat tahun, Yo Han telah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu "tari" dan "senam" yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya merupakan ilmu silat yang hebat. Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan di perdalam sehingga matang.

Kemudian, setahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.

"Bahkan karena ilmu inilah aku disiksa oleh dua orang Suhengku. Mereka begitu menginginkan ilmu Bu-kek-hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik Thian-li-pang, dapat mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan bangsa." Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal mematangkannya melalui latihan saja. Dan semenjak

menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biarpun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek-hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat, namun karena usia tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan sakit-sakitan. Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang telah menguasai ilmu Bu-kek-hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!

Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya pada dada gurunya, tahulah dia bahwa jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan. Ketika gurunya melatih Bukak-hoet-keng, gurunya demiklan penuh semangat dan tidak mengenal lelah. Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.

"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita sudah dicengkeram dan dipengaruhi oleh peradaban dan tatasusila yang sudah diterima oleh semua orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal seperti itu."

Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku sejak dulu tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ke tiga selalu terbuka sehingga engkau lebih awas, lebih waspada daripada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah

menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!" kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.

Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali dan tahulah dia bahwa tubuh itu telah menjadi mayat. Dia menunduk dengan sikap hormat untuk menghormati jenazah suhunya. Dia tidak menangis, tidak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain, juga karena suhunya ini, biarpun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhunya tahu bahwa andaikata dia menangisi kematian suhunya, maka tangisnya itu palsu. Tangisnya itu bukan bersedih untuk suhunya, melainkan bersedih karena dirinya sendiri, karena ditinggal, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tidak mengenal budi! Dia tidak menangis, karena memang tidak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula untuk meninggalkan sumur itu!

Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya diletakkan di lantai kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan guha batu dalam sumur itu.

"Engkau tahu, tempat itu amat kusukai. Setiap kali melakukan siu-lian (samadhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku, badanku," demikian pesannya. Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa di jenguk keluarga maupun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam guha, merebahkannya di dalam guha itu. Kemudian dia mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, beberapa potong pakaian, dan dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan memasukkan semua itu dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di punggungnya, dan memasuki guha, berlutut di depan jenazah gurunya.

"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan pesan Suhu. Suhu untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu." Dia memberi hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam guha kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhunya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek-hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.

Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam guha di atas tanah, guha yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dia mendengar suara orang lapat-lapat dari dalam guha yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri. Maka, dia pun menanti di guha itu, duduk dengan santai

sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.

Pertama-tama, dia dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi. Akan tetapi karena melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan memberanikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.

Ciu Kwan yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng. Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan pembela rakyat. Biarpun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut dihukum, namun diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok amat mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar.

Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama dua orang suhengnya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang maksudnya untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah diceritakan kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suhengnya setelah bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai menyeleweng kejalan sesat. Dia menentang mereka dan akhirnya dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur. Seringkali kakek buntung itu mengenang keluarganya dan dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena rindunya maka dia membebankan tugas di pundak muridnya agar setelah muridnya keluar dari dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, seorang puteri, di istana dan mengenal keluarga adiknya itu. Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!

"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir untuk adikku, saudara kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan engkau akan melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pesannya yang pertama.

Pesan ke dua gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan. Yo Han mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja amat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan.

Adapun pesan ke tiga dari gurunya adalah agar dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-tangan kotor dan mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang hendak membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan kebenaran dan keadilan, tidak dibawa menyeleweng seperti sekarang ini.

"Aku tahu, kedua suhengku itu menyeleweng setelah mereka bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itu, Thian-li-pang harus dibersihkan dari pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-li-pang masih banyak yang bersih, hanya mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh Peklian-kauw. Bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan Thian-li-pang, berarti bahwa semua penderitaanku ini tidak sia-sia."

Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini lebih dahulu. Apa pun resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apalagi, dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang lain, dan berusaha untuk melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh jahat. Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan guha itu menjauh, dia pun menyelinap keluar dari guha dan dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang agaknya sedang melakukan suatu kegiatan karena berbondong-bondong para anggautanya menuju ke pekarangan rumah induk. Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya kalau ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggauta, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia pun menyusup mendekat dan mengintai.

Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang. Semua anggauta yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu. Anggauta Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat adalah ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggauta di pusat. Pertemuan itu amat penting karena selain dihadiri ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil

ketua, dan suhengnya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam guha. Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang I Moli.

Setelah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang menceritakan dengan singkat akan kegagalan usaha mereka untuk membunuh para pengeran di Istana. Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan juga Ang I Moli tokoh Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati, bersama banyak anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.

"Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan atas kematian puteranya. "Kita akan mengumpulkan kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar dan seluruh keluarganya!"

Ucapan penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggauta Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk jangan gembira dan setelah sorakan itu mereda, Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa, "Ha-ha-ha, sungguh gagah sekali Pangcu dari Thian-li-pang! Memang pendapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita takkan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau dan kita pergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"

Kembali ucapan ini disambut sorakan. "Hancurkan penjajah Mancu!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Diam....!" Semua orang terdiam memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang membentak adalah Ban-tok Mo-ko. Biarpun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, namun bentakannya mengandung getaran kuat sehingga semua orang terdiam dan suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walaupun suara itu lembut.

"Ouw Ban," kata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan tentang kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau mengapa sekali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini,

bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari guhanya?"

Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan. "Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."

"Ouw Ban, apakah engkau masih belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau tidak becus! Semua langkah yang kauambil telah gagal, bahkan merugikan Thian-li-pang yang kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka menyerbu istana?"

Ouw Ban nampak penasaran sekali. "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi perjuangan!"

"Hemm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu ngawur. Sejak engkau menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau banyak melakukan kesalahan yang merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid buhuh diri dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"

Wajah Ouw Ban menjadi merah. Dia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan kini gurunya bahkan mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang tokoh Pek-lian-kauw!

Dia teringat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari kedudukan gurunya dan supeknya yang hanya merupakan penasihat!

"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh kemarahan.

"Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencanaku ini!"

Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.

"Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam sakit hati karena kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"

"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-ong.

Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka. Akan tetapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang, akan digeser, dia tidak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.

"Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"

"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"

Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya, "Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima hukuman!"

Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.

"Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"

"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?" sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.

"Kalau terpaksa, siapa pun akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"

"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka dia pun menangkis dan balas menyerang!

Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih banyak bersamadhi dan tidak pernah berlatih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat, namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!

Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah merah den dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.

"Plakkk!" Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas!

Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sutenya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"

Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!

Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."

Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang murid murtad.

Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut. "Para anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kaupimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya."

Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi semua orang, "Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang, saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru."

Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu.

Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya. "Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang membutuhkan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Kalau diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!"

Semua orang yang berada di situ menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.

Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata, "Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?"

Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu. Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktip dibandingkan suhengnya Ouw Ban yang telah tewas itu.    Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.

"Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu."

"Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya kalau kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!" kata Ban-tok Mo-ko.

Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggauta yang mencurahkan perhatian kepadanya. "Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai

satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan kita alami. Oleh karena itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri."

Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya. Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.

Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.

"Siancai....! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya."

"Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasihat Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini."

Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka untuk membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.

"Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi," teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.

Banyak anggauta Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga nampak gelisah dan penasaran sehingga nampak sikap permusuhan antara dua kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.

"Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?" teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menantang sekali.

"Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?" bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah. Agaknya, perkelahian takkan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!

Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, "Heii, bukankah engkau Yo Han....?"

Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sambil berkata, "Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit." Tanpa menanti jawaban dua orang kakek yang memandang bengong itu, Yo Han segera menghadapi semua orang Thian-li-pang. Dua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan

dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula? Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.

"Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggauta Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dahulu terkenal menyeleweng daripada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tidak ada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekat untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!"

Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walaupun mereka kini juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka melihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong. Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya. Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan ketika mereka membantu Ang I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, dua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju dan memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.

"Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup dan kami akan membunuhmu sekarang juga!" Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemuda itu

bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orag tosu itu secara bergantian.

"Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta, berpakaian dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanya kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi hanya kebenaran, bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapapun."

"Keparat, kau makin kurang ajar! Rasakan pukulanku!" bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.

"Desss....!" Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sin-kang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya. Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tidak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu, Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.

"Totiang, kalau kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini," kata Lauw Kang Hui dengan tegas.

Dua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu akan tetapi juga maklum bahwa melawan tidak ada gunanya. Dan mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.

Setelah dua orang tosu itu pergi tak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan. "Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan angkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!"

"Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua)," kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.

"Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?" Ban-tok Mo-ko juga membentak.

"Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!" Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya telah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biarpun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukan apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggauta Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.

"Maaf, Supek!" kata Yo Han ketika melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu menyambar dirinya dan dia pun menggerakkan kedua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus

ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke bawah membentuk lingkaran, bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka lalu menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.

Tidak ada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasa betapa hawa pukulan kedua tangan membalik dan biarpun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!

"Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!" kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sutenya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh. Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, menggunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, kemudian tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han. "Maaf, Supek!" kata pula Yo Han. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek-hoat-keng. Begitu kedua tangannya membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biarpun dia tidak terpelanting seperti sutenya, namun dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepada sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!

"Hemm, Bu-kek-hoat-keng....!" seru kakek bertubuh pendek kecil ini setelah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali.

"Yo Han!" bentak Ban-tok Mo-ko. "Berani engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?"

Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu. "Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun berhak mencampuri urusan Thian-li-pang dan apa yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari

Suhu. Thian-li-pang sejak dahulu adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi semenjak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan berkedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar."

"Ciu Lam Hok itu.... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?" Thian-te Tok-ong bertanya.

Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhunya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supeknya ini.

"Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia."

"Ahhhh....!" Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.

"Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!" kata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi daripada ilmu mereka. Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka. Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka kini seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.

"Aih, Sute, kami telah berdosa kepadamu...." Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis. Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggauta Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang telah menyeleweng, anak buahnya banyak yang tidak segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang menjadi guru mereka dalam hal penyelewengan.

Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko menghampiri suhengnya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suhengnya. "Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau telah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Sekarang Sute telah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute.... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!"

Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sutenya dengan mata berkilat dan alis berkerut. "Apa kaubilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!"

"Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama Bu-kek-hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!"

"Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!"

"Bohong."

"Engkau pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!"

"Engkau biang keladinya!"

Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang kini telah meninggal dunia. Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya.

Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggauta Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar dua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh agar tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.

Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah amat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sin-kang untuk mengalahkan lawan. Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang,  kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sin-kang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup. Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia menjadi amat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supeknya, dan bahwa gurunya terancam maut. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhunya dan supeknya, maka timbul harapannya. Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, "Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh."

Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andaikata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam...."

Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu dan dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya telah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan biarpun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.

"Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biarpun mereka sudah terluka."

Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu payah sekali, dan kalau dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sin-kang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.

"Jiwi Supek, maafkan saya!" katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu, kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.

Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras dan tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, kemudian cepat dia duduk bersila dan memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, lalu bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.

Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah daripada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suhengnya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan. Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, dia pun menderita luka hebat!

Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan dia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar. "Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu...." lalu dia memandang ke

angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. "Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu...." Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk. Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. "Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku....!" Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.

Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui. "Lauw-suheng, kedua orang Supek telah tewas....!"

"Haaa....?" Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya. Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong.

Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supeknya, juga para murid tingkat tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu.

Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada Lauw Kang Hui dan para murid lain. "Karena saya telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru kepada Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan penyelewengan. Apalagi ketika Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam kesesatan. Bagaikan berlayar di tengah samudera, yang terpenting adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir lagi menghadapi badai dan taufan. Kepandaian tinggi bahkan depat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan kita pergunakan untuk melakukan kejahatan."

Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu. "Yo Sute, terima kasih atas nasihatmu itu. Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat daripada penyelewengan yang kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri."

"Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik."

Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Satu di antara pesan suhunya telah dapat dia laksanakan dengan baik, kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhunya, yaitu adik suhunya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhunya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali. Dia pun meninggalkan Thian-li-pang menuju ke kota raja.

******

Mendiang kakek Ciu Lam Hok memang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ciu Ceng. Ketika dia sendiri pergi meninggalkan kota raja, adiknya itu masih seorang gadis yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana. Kemudian, Ciu Ceng menikah dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur ketika memimpin pasukan membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang mendapatkan pendidikan tinggi, telah mendapat pangkat yang lumayan, yaitu sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana. Jabatan ini penting sekali karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja yang dapat menduduki pangkat ini.

Gan Seng, putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah tua tinggal bersama puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia. Tidak begitu sukar bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng ini. Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama puteranya yang menjadi kepada gedung pusaka istana, dan keluarga Gan itu tinggal di luar istana, walaupun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu di gedung pusaka. Maka, pada hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhunya, dia harus berkunjung dan menceritakan tentang meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada nenek Ciu Ceng dan melihat bahwa keluarga itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Baru kemudian dia akan melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang paling sukar, yaitu mencari dan merampas kembali mestika mutiara hitam di daerah barat.

Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu, dia melihat suasana yang amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya pelayan tua itu nampak seperti orang yang berduka sekali.

"Saya kira Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat," kata pelayan itu. "Gan-taijin sekeluarga sedang prihatin dan tidak suka menerima tamu, bahkan memesan kepada saya untuk menolak setiap orang tamu yang datang berkunjung."

Tentu saja Yo Han merasa heran bukan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi nenek Ciu Ceng dan membela nenek itu sekeluargaya kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepada adiknya itu melalui muridnya.

"Paman yang baik, tolong sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu Ceng, ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari kakak nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak mendapat tanggapan, aku tidak akan mendesak lagi."

"Tapi.... tapi.... Nyonya Besar Tua sedang menderita sakit...."

"Ahh....!" Yo Han terkejut. "Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa besar, Paman."

"Benarkah?" Pelayan itu meragu, kemudian berkata, "Baik, kau tunggulah sebentar, Kongcu (Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam."

Yo Han menanti dengen sabar, akan tetapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang menderita sakit. Karena panyakitnya itukah maka keluarga Gan dalam keadaan prihatin seperti yang dikatakan pelayan tadi? Tentu saja akan mudah beginya untuk melakukan penyelidikan sendiri pada malam hari,

namun dia menghormati adik mendiang suhunya dan tidak mau menggunakan cara seperti pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali kalau dia tidak dapat menghadap secara berterang.

Tak lama kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya berseri. "Kongcu, dugaanmu tadi benar! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya Besar Tua dan begitu mendengar bahwa kongcu datang membawa berita tentang kakaknya, ia seketika bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada Kongcu untuk segera menghadap ke dalam kamarnya!"

Bukan main girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu memasuki rumah, gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar dan lorong berliku-liku, pelayan itu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Dua orang pelayan wanita muda segera mundur ketika melihat ada tamu pria masuk.

Ketika memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di mana rebah seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat. Ketika Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar suaranya lemah.

"Orang muda, siapakah engkau dan berita apa yang kaubawa mengenai kakakku Ciu Lam Hok?"

Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas pembaringan itu. "Saya bernama Yo Han dan saya muridnya."

Nenek itu mengeluarkan seruan girang dan ia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, nenek itu memandang kepada pemuda yang masih berlutut. "Bangkitlah dan duduklah, Yo Han. Ambilkan kursi untuk pemuda itu, perintahnya kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan nenek Ciu Ceng yang wajahnya nampak berseri.

"Engkau muridnya? Ah, bagaimana dengan kakakku? Dan mengapa engkau yang datang ke sini, bukan dia sendiri? Betapa rinduku kepada kakakku itu!"

Yo Han melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia pun tidak berani mengabarkan tentang kematian gurunya. "Saya datang untuk memenuhi pesan Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, dan saya disuruh menyelidiki keadaan keluarganya dan diharuskan membantu kalau keluarga itu membutuhkan bantuan."

"Aih, kalau saja kakakku sendiri berada di sini, tentu dia akan dapat menolong kami. Akan tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagaimana akan mampu menolong kami? Kami sedang dilanda malapetaka."

"Harap suka memberitahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, dengan taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!" kata Yo Han dengan sikap tenang dan suara bersungguh-sungguh.

"Benarkah itu?" Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan, akan tetapi pada saat itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah puteranya, Gan Seng, mantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik. Melihat betapa ibunya yang sedang sakit itu duduk di atas pembaringan dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia menerima laporan dari seorang pelayan bahwa ibunya kedatangan seorang tamu, maka dia bersama isteri dan puterinya yang merasa khawatir akan kesehatan ibunya, segera pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu ibunya sudah duduk bercakap-cakap dengan seorang pemuda.

"Siapakah pemuda ini?" tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap pemuda itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat. Akan tetapi, melihat keluarganya memasuki kamarnya, nenek itu lalu memperkenalkan dengan wajah berseri, "Anakku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam Hok yang sering kuceritakan kepada kalian."

"Ah, begitukah?" Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu sudah tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda.

Yo Han sendiri cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya, dan juga kepada gadis cantik itu. Nenek Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka kepadanya.

"Yo Han, ini adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!"

Sambil memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng. "Mohon maaf sebanyaknya kepada Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu, karena saya hanya memenuhi perintah Suhu, untuk mencari adik Suhu...."

"Gan Seng menggeleng kepala. "Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya...." Dia mengerutkan alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang amat memusingkan, bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena malapetaka yang menimpa dirinya itu.

"Seng-ji (Anak Seng), Yo Han ini diutus gurunya untuk datang berkunjung dan dia mewakili gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu mengangkat kita keluar dari kesulitan ini!"

"Ibu, mana mungkin....?" kata Gan Seng meragu. Melihat sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat. "Harap Taijin suka memberi tahu kepada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji kepada Suhu untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan saya akan mentaati perintah Suhu, membantu keluarga keluarga Taijin kalau perlu dengan taruhan nyawa."

"Ceritakanlah kepadanya, Seng Ji. Siapa tahu pemuda ini yang akan mampu membebaskan kita dari kesulitan ini," bujuk nenek tua itu. "Baiklah, Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan dalam," kata Gan Seng.

Yo Han menoleh kepada nenek Ciu Ceng. "Harap Paduka beristirahat dan saya menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus

saya membantu keluarga Paduka untuk membuktikan bahwa Suhu sayang kepada Paduka."

Mendengar ini, nenek Ciu Ceng menangis dan merebahkan dirinya. Akan tetapi suaranya terdengar gembira bercampur haru ketika ia berkata, "Ah, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu terkenang kepadamu dan aku sayang kepadamu...." Ia menangis dan tertawa sekaligus dan berita yang diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi nenek itu. Dengan hati lega Gan Seng lalu menggandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu, diikuti oleh isterinya dan oleh Gan Bi Kim.

Setelah mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Can Seng yang masih meragu dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bersikap sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari malapetaka yang menimpa, segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya.

"Sebelum kami menceritakan persoalan yang menyulitkan keluarga kami, lebih dulu kami ingin mendengar keteranganmu mengenai Paman Tuaku itu dan bagaimana engkau yang masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan dimana adanya Paman Tuaku itu."

Kalau terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani berterus terang tentang kematian suhunya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk berterus terang. "Taijin...."

"Nanti dulu, Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau menyebut aku taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pantas menjadi keponakanku, maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan Seng dan engkau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan ceritamu."

Wajah Yo Han berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, bagaimana dia dapat menyebut mereka demikian akrab? Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.

"Terima kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar Gan...."

"Ah, kalau engkau menyebut aku paman, maka engkau sebut saja nenek kepada Ibuku." Pembesar itu memotong.

Diam-diam Yo Man kagum. Keluarga suhunya ini memang orang-orang bijaksana. Biarpun berkedudukan tinggi namun tidak angkuh. "Begini, Paman. Di depan Nenek, saya tidak berani berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Sebetulnya, Suhu Ciu Lam Hok telah meninggal dunia...."

"Hemm, bagaimana meninggalnya?" Gan Seng bertanya. Yo Han merasa tidak ada perlunya menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan bagaimana suhunya disiksa oleh dua orang suheng dari suhunya yang juga sudah tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya akan mendatangkan penyesalan dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.

"Suhu meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum meninggal, Suhu meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu Ceng, dan agar saya membantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan saya. Karena

itulah maka saya datang menghadap dan menawarkan bantuan. Apalagi kalau Paman sedang menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan saya, demi pesan Suhu, akan membantu sekuat tenagaku."

"Akan tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana seorang muda seperti engkau akan mampu menolong kami? Bahkan pasukan penyelidik yang sudah kami kerahkan tidak berhasil menolong kami, apalagi engkau? Apa yang telah kaupelajari dari mendiang Paman Tua?"

"Mendiang Suhu telah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan mengerahkan segala kemampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu kepada saya."

"Sebaiknya ceritakan saja kepada Yo Han," desak isteri pembesar itu kepada suaminya. "Biarpun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han mencoba untuk menyelidiki pula. Makin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusaka yang hilang, semakin baik."

Gan Seng menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. "Dengarkan baik-baik, Yo Han, siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari malapetaka ini." Pembesar itu lalu bercerita. Dia menjadi pembesar yang bertanggung jawab akan semua pusaka milik istana, dan dia diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia bertugas, dibantu pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu. Akan tetapi, dua minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua buah pusaka yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kaisar Kang Hsi, kakek dari Kaisar Kian Liong yang

sekarang, dan sebuah bendera lambang kekuasaan Kaisar pertama Kerajaan Mancu, telah hilang! Gegerlah istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat penting sekali, sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan tentu saja Gan Seng sebagai penanggung jawab, segera dihadapkan Kaisar untuk mempertanggungjawabkan kehilangan itu.

Gan Seng menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk menemukan kembali dua buah pusaka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan para komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah lewat dua minggu, hasilnya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang tanpa merusak kunci atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah pusaka itu lenyap secara aneh sekali, tidak meninggalkan bekas!

Gan Seng tahu bahwa malapetaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan tersangkut.

"Demikianlah malapetaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha telah kami lakukan, namun sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar tinggal dua minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan keadaan kami. Nah, bagaimana engkau akan dapat menolong kami, Yo Han? Pasukan keamanan sudah dikerahkan tanpa hasil," kata pembesar itu dengan

nada kesal dan putus asa menutup ceritanya.

Yo Han mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam gudang pusaka, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya! Kalau para komandan pasukan, yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu menemukan dua buah pusaka itu, apalagi dia yang sama sekali asing dengan keadaan di situ! Akan tetapi, dia akan mencoba, dia tidak putus asa.

Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan menolongnya, seperti yang sudah-sudah. Dia akan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan dengan penyerahan total, maka semua tindakannya tentu akan dibimbing oleh kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki, apa sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang? Akan tetapi, kalau tidak dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan benda-benda itu takkan dapat ditemukan kembali, Tuhan Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Demikian bisik hatinya.

"Maaf, Paman dan Bibi, apakah sama sekali tidak ada ditemukan jejak ke mana lenyapnya dua buah benda pusaka itu?"

Gan Taijin menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

"Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah selama ini orang-orang yang memusuhi Paman? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan keluarga Paman."

Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba isteri pejabat itu berkata, "Sebaiknya kuceritakan saja kepadanya!" Suaminya mengangguk dan wanita itu berkata kepada Yo Han. "Memang ada orang yang merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin dia melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada bukti-bukti, bagaimana kami dapat menuduh dia?"

"Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja amat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Saya pun tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya, saya dapat melakukan penyelidikan."

Gan Seng menarik napas panjang. "Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani menyelidikinya."

Yo Han memandang dengan wajah berseri. "Ah, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa Paman mencurigai dia?"

"Dia seorang panglima yang dipercaya Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan Ciangkun terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan bahwa dia yang melakukan perbuatan itu? Tidak ada yang berani menyelidik ke

sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!"

"Hemm, kenapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima itu?"

"Coan Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim," kata ibu gadis itu. Yo Han memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, "Manusia tak tahu malu itu!"

"Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu," kata pula Gan Seng. "Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu telah mempunyai sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!"

Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja karena sakit hati lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat dan keuntungannya bagi dia?

"Maaf, Paman dan Bibi. Apakah tidak ada alasan yang lebih kuat dari itu sehingga Paman dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?"

"Ada.... ada...." kata Gan Seng. "Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali sudah dia menghubungi aku dan mengatakan bahwa kalau aku suka menerima lamarannya, dia akan membantu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu."

"Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beritahukan di mana tempat tinggal Panglima Coan itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana."

"Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!" kata Gan Seng.

Yo Han tersenyum. "Harap Paman dan Bibi jangan khawatir. Mendiang Suhu telah mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan. Mudah-mudahan kecurigaan Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini."

"Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?" tiba-tiba Bi Kim berkata dengan nada suara khawatir.

Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum. Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona. Saya akan menjaga diri baik-baik."

Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng tentang tempat tinggal Coan Ciangkun, Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.

"Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan.... Nona..

"Adik, bukan nona!" Bi Kim memotong.

"Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dulu dan mudah-mudahan kalau saya datang lagi akan membawa kabar baik untuk Paman sekeluarga."

Untuk meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka.

******

Memang benar sekali apa yang dikemukakan Gan Seng, isterinya dan puterinya. Sungguh tidak mudah, bahkan berbahaya sekali untuk melakukan penyelidikan ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Coan itu. Gedung itu besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti sebuah benteng kecil. Memang pantas menjadi tempat tinggal seorang panglima tinggi yang memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang terdapat sebuah gubuk penjagaan di mana berkumpul belasan orang perajurit penjaga, dan masih ada pengawal yang selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu. Yo Han maklum bahwa di waktu siang hari, tidak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung itu. Andaikata dia dapat mengelabui para penjaga di luar dan dapat masuk ke dalam, masih ada bahaya ketahuan di bagian dalam gedung yang tentu dijaga ketat. Siang hari itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi bangunan itu di luar pagar tembok dan melihat-lihat keadaan. Ketika dia melihat sebuah pohon yang tumbuh d i bagian belakang, agak jauh dari bangunan, dia dapat menduga, bahwa pohon itu tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia pun memilih tempat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap. Siang hari itu dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba, dia menanti sampai gelap benar barulah dia meninggalkan

rumah penginapan secara sembunyi, melalui jendela dan meloncat ke atas genteng agar kepergiannya dari situ tidak ketahuan orang lain. Tak lama kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok sebelah belakang di mana siang tadi dia melihat pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai peronda lewat, lalu melompatlah dia ke atas pagar tembok. Benar dugaannya, pohon itu tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu, menanti sambil meneliti keadaan. Dari pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri rumah, dan di sebelah belakang rumah, di luar pintu belakang, terdapat pula dua orang penjaga tengah bercakap-cakap. Di atas mereka terdapat sebuah lampu minyak gantung yang cukup terang.

Bukan main, pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan ketat. Hal ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap penyerbuan dari luar saja yang menyuruh pasukan pengawal menjaga rumah sedemikian ketatnya. Tentu ada sesuatu yang perlu dijaga! Makin tebal dugaannya bahwa Panglima Coan inilah yang sengaja mencurl pusaka itu untuk memaksa Gan Seng menyerahkan gadisnya! Bagi seorang panglima yang mengepalai pasukan, kiranya tidak begitu sukar untuk melakukan pencurian itu. Seorang dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu tentu telah dapat dipengaruhinya, untuk mencuri pusaka itu untuknya! Pusaka yang amat penting bagi istana, yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan Taijin akan tetapi yang tidak ada gunanya bagi Si Pencuri!

Setelah melihat suasana semakin sunyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu hanya dua orang penjaga di luar pintu belakang, Yo Han meloncat turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati dua orang penjaga yang masih duduk berhadapan di bangku, kini tidak lagi bercakap-cakap melainkan sedang bermain catur. Yo Han mengambil dua buah kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali tangannya bergerak. Dua buah batu kerikil melayang dan dengan beruntun, dua orang pemain catur itu terpelanting dari tempat duduk mereka dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh kerikil yang disambitkan tadi. Dengan cepat Yo Han meloncat mendekati mereka, menotok pangkal leher mereka sehingga kini mereka tidak hanya tidak mampu bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan menyembunyikan tubuh mereka di bagian yang gelap, kemudian, dengan hati-hati dia membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga belakang gedung yang amat indah.

Tak lama kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah gedung itu. Ada kesibukan di sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal ini dapat diketahui dari pakaiannya, di hadap oleh tiga orang kakek berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun yang berpakaian preman, akan tetapi yang nampaknya kuat. Dia menduga bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu yang bernama Coan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam dengan bopeng bekas cacar. Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk sekali. Tidak mengherankan kalau Bi Kim dan ayah ibunya menolak pinangannya. Sudah mempunyai banyak selir mukanya buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik jelita dan masih amat muda. Empat orang itu bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap percakapan mereka.

"Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?" tanya seorang di antara tiga jagoan yang mukanya kuning dan matanya sipit.

"Hemm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya," kata pembesar itu sambil menyeringai dan nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.

"Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!" kata orang ke dua yang perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak kulit perut yang buncit itu.

"Benar, kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama sekali tidak menguntungkan Ciangkun," kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya seperti hidung burung kakatua, melengkung panjang ke bawah sehingga matanya nampak juling.

Panglima itu terbahak. "Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga sia-sia belaka? Kalau mereka itu berkeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, dengan imbalan anugerah, yaitu agar gadis jelita itu diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah lagi. Ha-ha-ha!"

Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-jagoannya. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka pusaka itu, tentu akan sukar sekali karena panglima itu tentu menyembunyikannya dan amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di gedung sebesar itu, apalagi yang dipenuhi penjagaan ketat.

Sekali dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol. Sebelum empat orang itu hilang kaget mereka, tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.

"Engkaukah yang disebut Coan Ciangkun?" tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang panglima itu.

Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang pemuda yang tidak memegang senjata dan berpakaian sederhana saja, bangkitlah kemarahan Coon Ciangkun. "Sudah tahu aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah rangkap lima? Tangkap dia!" bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han. Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, cacing tanah berani sekali engkau lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang kedua kakimu agar engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!"

Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu. "Aku tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari gedung pusaka istana!"

Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu. "Tong Gu, cepat tangkap dia!" bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu. "Haiiiittt....!" Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya yang pendek namun besar. Gerakannya, biarpun berperut gendut, gesit sekali dan

kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han. Namun, Yo Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi, kaki kanan Tong Gu, menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.

"Bresss....!" Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan Si Gendut yang berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan kaki kiri dan mencoba untuk memegangi kaki kanan dengan kedua tangannya. Akan tetapi karena kedua lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek, maka sukar baginya untuk dapat memegang kaki itu dan dia pun berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki, matanya terbelalak mulutnya ngos-ngosan seperti orang makan mrica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut-miut seperti pecah-pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang. Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah menghampiri tiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.

Kini Tong Gu Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang bernama Cong Kak juga mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap tenang. Dia tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia melihat kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang amat penting, untuk menghadapi orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan  kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!

"Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku. Kalau kalian menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban kekerasan kalian itu!" Yo Han masih menasihati, karena kalau dapat, dia hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini.

Tentu saja nasihatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar senjata dan menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo Han. Pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, namun belum pernah dia mempergunakannya dalam perkelahian. Biarpun demikian, melihat gerakan tiga orang yang bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar. Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudah dia mengelak ke sana sini dan semua serangan senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya.

Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walaupun dia tahu bahwa tiga orang ini biasanya mempergunakan kekerasan untuk menindas orang lain. Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan baik. Maka, begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut, jatuh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok. Senjata mereka terlepas dari pegangan dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai. Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu. Sebelas orang perajurit pengawal berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan menyerangnya dengan senjata mereka.

Yo Han maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia pun mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan, tubuhnya menyambar-nyambar dan kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi seorang. Tubuh mereka berserakan, ada yang bertumpuk dan dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak. Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo  Han telah mandekat! Coan Ciangkun yang marah duduk tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bengkit berdiri karena pemuda yang lihai itu telah mengancamnya dengan jari tangan di leher!

"Mau apa engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!" kata Coan Ciangkun dengan nada marah. "Pasukanku akan menangkapmu!"

"Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!" Yo Han mengancam.

Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya menggertak, akan tetapi benar-benar akan dapat membunuhnya dengan mudah.

"Apa yang kauinginkan?" katanya dan biarpun nadanya masih membentak, namun suara itu gemetar.

Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu. "Pertama, kauperintahkan agar pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita di ruangan ini.

Hayo cepat lakukan!" Sengaja dia menyentuh leher panglima itu dengan jari-jari tangannya. Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring. "Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku Kami sedang bicara dan tidak boleh siapa pun

mengganggu kami!"

Suaranya dikenal oleh para penjaga dan biarpun merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak berani mendekati ruangan itu walaupun di sebelah sana mereka tetap mengatur pengepungan karena mereka tahu bahwa, ada seorang asing bersama majikan mereka, dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan orang asing itu.

"Bagus, Ciangkun. Kalau engkau memenuhi semua permintaanku, aku akan membebaskanmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda mustika yang kaucuri dari dalam gedung pusaka istana itu!"

Wajah itu semakin pucat. "Apa.... apa maksudmu? Pusaka.... yang mana....?"

"Tidak usah berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam kepada keluarga Gan karena lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima hukuman. Den engkau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!"

Sepasang mata itu terbelalak. "Tidak! Tidak! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua itu?"

Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sebuah meja terbuat dari papan yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.

"Krekk-krekk....!" Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya. Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan. "Ciangkun, apakah lehermu lebih keras daripada papan meja ini?"

"Jangan.... jangan bunuh aku.... apa yang kaukehendaki?" pembesar itu berkata, suaranya kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.

"Coan Ciangkun, engkau seorang laki-laki, dan memegang jabatan tinggi sebagai panglima. Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh memalukan sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kedudukanmu tinggi, akan tetapi watakmu sungguh rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu, mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesabaranku dan tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!" Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.

"Jangan bunuh.... baik, akan kukembalikan....! Tapi.... dua buah benda itu disimpan oleh Tong Gu itu...." Dia menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, seorang di antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil.

Yo Han dapat menduga bahwa panglima itu tidak main -main atau hendak menipunya. Bagaimanapun juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu berbuat apa pun. "Akan kusadarkan dia dan cepat perintahkan dia mengambil dua buah pusaka itu!" katanya dan sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu. Si Gendut itu dapat bergerak dan meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Coan Ciangkun menghardiknya. "Tolol, apa yang akan kaulakukan?" Dia memang mendongkol sekali melihat ketidakbecusan para jagoannya. Malawan seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan! Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu. "Maafkan hamba.... hamba kira...."

"Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil dua buah pusaka itu dan bawa ke sini!" perintah Coan Ciangkun.

"Baik, Ciangkun!" kata Tong Gu. Sebelum dia pergi Yo Han berkata, "Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan sesuatu terhadap diriku!"

"Kalau engkau main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!" bentak Coan Ciangkun yang agaknya ingin cepat-cepat bebas dari tangan pemuda yang lihai itu. "Cepat pergi dan ambil benda-benda itu!"

Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tentu saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari para rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isarat dengan telunjuk di depan mulut.

"Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar, jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga," bisiknya kepada para pimpinan pasukan.

Kini setelah penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun, pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat.

Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun karena dia maklum sepenuhnya bahwa nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia tahu betapa lihainya pemuda yang menawan majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia biasa! Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di situ masih seperti tadi. Coan Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih berdiri di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram. Dia meletakan bungkusan dua buah benda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil benda-benda itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.

"Kami telah menyerahkan dua buah benda pusaka itu, sekarang bebaskan kami dan pergilah, jangan ganggu kami lagi!" kata Coan Ciangkun menuntut. "Nanti dulu, Ciangkun," kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata, "Tong Gu, cepat kausediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!"

Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan kertasnya. Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata, "Ciangkun, sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkau yang melakukan pencurian itu!"

Sepasang mata itu terbelalak. "Akan tetapi.... engkau ingin melaporkan aku dan mencelakakan aku....?"

Yo Han tersenyum. "Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang, Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin, agar engkau tidak lagi mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar."

Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar seperti asap tertiup angin. Dia telah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu kalah. Dan sekali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan seperti yang dikehendaki Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu. Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengaku telah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap kebesaran dan bendera lambang kekuasaan, dari dalam gudang pusaka istana. Perbuatan itu saya lakukan untuk membalas dendam dan mencelakakan keluarga Gan Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena menginsafi perbuatan saya yang jahat, saya

mengembalikan dua buah benda pusaka itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.

Tertanda saya,

PANGLIMA COAN.

Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula. Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kesalahannya, yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan dan menangkapnya sebelum pemuda itu menyerahkan dua benda pusaka dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, dan dia dapat menebus kekalahannya saat itu.

Akan tetapi, harapan terakhir ini membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi nadanya memerintah, "Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!"

Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia melangkah keluar dari ruangan itu, pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han,

seperti dua orang sahabat baik jalan bersama, seolah-olah panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya! Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam dalam seribu bahasa, tidak berani mengeluarkan komando untuk melakukan penyergapan!

Setelah tiba di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu. "Coan Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!"

Sekali berkelebat, pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan Ciangkun mengangkat tengan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong dan surat pengakuannya tadi merupakan ujung pedang yang sudah ditodongkan, di depan dadanya!

"Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah," katanya dengan lemas dan dia pun memasuki gedungnya. Tentu saja anak buahnya tidak berani melanggar perintah ini. Apalagi pemuda itu sudah lenyap dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana.

Ketika Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan Coan Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira dan terharu sehingga kalau tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu! Yo Han bukan saja telah menyelamatkan Gan Seng, akan tetapi juga seluruh keluarganya dari malapetaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah, sedangkan isterinya sudah menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.

"Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat kami sekeluarga. Entah bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han."

"Aih, Paman Gan, kenapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak berterima kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili beliau saja."

Nenek Ciu Ceng juga segera sembuh seketika ketika mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han dalam menyelamatkan keluarga puteranya. Ketika diberi tahu tentang kematian kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya agar malam itu juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka. Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung kedua kaki tangannya

itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang depan meja sembahyang itu menangis lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, seolah-olah suhunya masih hidup dan berdiri atau duduk di situ.

"Hok-ko, kami sekeluarga hutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu, ijinkanlah kami mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan Seng, keponakanmu. Kami mohon persetujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh cucuku Gan Bi Kim."

Tentu saja Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan dia lalu diam-diam menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan untuk dia bermalam di rumah keluarga Gan itu. Dia tidak tahu bahwa gadis cantik itu pun menjadi merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi Kim cepat lari memasuki kamarnya.

Malam itu Yo Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng. Ucapan itu seperti terdengar terus bergema di dalam telinganya. Dia akan di jodohkan dengan Bi Kim!

Terjadi semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara-suara yang seolah memaksanya untuk membayangkan kesenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya kalau dia menjadi suami Bi Kim. Dia seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa, mendadak akan menjadi suami seorang gadis puteri bangsawan! Bi Kim seorang gadis yang cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia menjadi suaminya, maka sekaligus derajatnya akan terangkat naik tinggi sekali! Dia akan mempunyai seorang isteri yang cantik jelita, dari keluarga bangsawan yang terhormat dan menurut penglihatannya baik budi. Dia akan menjadi seorang yang dimuliakan, dihormati dan kaya raya. Bahkan besar kemungkinan dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari semua itu, Bi Kim adalah cucu keponakan mendiang suhunya! Mau apalagi? Belum tentu selama hidupnya dia akan mendapat kesempatan sebaik itu, menerima anugerah sebesar itu. Demikian bisikan di dalam hatinya yang menonjolkan segi-segi yang akan mendatangkan kesenangan bagi hidupnya.

Akan tetapi, ada suara lain yang menentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang sebaliknya. Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodohan itu, dia akan kehilangan kebebasannya. Dia akan terikat di situ. Dan tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan yang mungil dan berpakaian merah muncul delam benaknya. Sian Li! Bayangan anak ini selalu saja muncul setiap kali harinya mengalami guncangan atau dalam keadaan kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang mungil, yang lincah jenaka, yang amat sayang kepadanya dan amat disayangnya! Dia ingin bertemu kembali dengan Sian Li! Dan kalau dia menjadi mantu keluarga Gan di kota raja, dia terpaksa harus tinggal di situ, padahal dia masih harus melaksanakan tugas lain yang dipesan suhunya, yaitu mencari mutiara hitam pusaka milik gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa seorang kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia jadikan alasan! Mendapatkan jalan untuk dipergunakan sebagai alasan penolakannya hatinya tenang dan dia pun dapat tidur pulas menjelang pagi.

Dia hanya tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika terdengar kokok ayam jantan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar. Jauh lebi h menyehatkan tidur selama dua jam dengan pulas daripada tidur semalam suntuk dalam keadaan gelisah. Dia segera mandi karena dalam gedung besar itu selalu tersedia air secukupnya di kamar mandi. Tubuhnya makin nyaman dan dia pun berganti pakaian dan melihat bahwa rumah itu masih sunyi, agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang berada di belakang. Agaknya, setiap rumah gedung

seorang bangsawan atau hartawan pasti mempunyai sebuah taman bunga yang indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan indah sekali, terdapat kolam ikan yang lebar dan anak sungai buatan yang selalu mengalirkan air yang jernih. Ada beberapa buah jembatan yang cantik sekali, dibuat dengan seni indah dan dicat merah kuning. Ada pondok kecil tempat berteduh kalau hawa sedang panas.

Yo Han mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim bunga sedang mulai, maka sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan teratai merah dan putih di kolam ujung juga mekar meriah.

Tiba-tiba Yo Han terkejut dari lamunannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di dekat kolam bunga teratai, membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena serumpun mawar menutupinya dan sekarang dia melihatnya, akan tetapi sudah terlampau dekat dan selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh pergi dari situ, orang itu sudah membalikkan tubuh memandangnya dan menegur.

"Yo-twako (Kakak Yo)...."

Yo Han merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan sombong, kalau tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu dengan gadis puteri tuan rumah di pagi buta dalam taman. Apalagi mengingat bahwa semalam, nenek gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia cepat merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.

"Kim-moi (Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini, maafkan aku kalau mengganggu ketenanganmu."

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari bawah dengan kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan malu-malu. "Ah, Yo-toako kenapa bersikap amat sungkan? Tentu saja tidak mengganggu. Akan tetapi, kulihat sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian rapi!"

"Benar, Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenekmu bangun untuk berpamit dari mereka."

Bi Kim mengangkat muka den menatap wajah Yo Han sepenuhnya dengan mata terbelalak. Diam-diam Yo Han terpesona. Mata itu demikian indahnya ketika terbelalak. Seperti lukisan! Nampak betapa sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu agak terangkat menjauhi mata betapa bulu mata yang halus lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-bayang gelap di sekitar mata, dan biji mata itu nampak lebih lebar dari biasanya, begitu bening dan lembut, mengkilat basah.

"Toako.... kau.... kau mau berpamit? Mau pergi....?"

Sejenak dua pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali, terbawa muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang yang menangis sehingga Yo Han menjadi terheran-heran. Dia menganggukkan muka dan kalau gadis itu masih memandangnya, tentu dia tidak akan mengeluarkan suara, cukup dengan mengangguk saja. Akan tetapi karena gadis itu menunduk dan tidak memandangnya, tentu saja anggukan kepalanya sebagai jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis itu jelas menuntut jawaban.

"Benar, Kim-moi. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku," katanya lirih dan singkat.

Gadis itu mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis, atau setidaknya berlinang air mata! Sungguh aneh!

"Akan tetapi, semalam nenek...." Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan menunduk makin dalam, agaknya baru teringat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama sekali tidak pantas. Ia tidak sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang

menjodohkan ia dengan pemuda ini terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia tidak dapat tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman dengan suara neneknya masih terus mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa disengaja, perasaannya itu terucapkan oleh mulutnya dan biarpun ditahannya, namun ia telah menyebut neneknya dan tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa memalukan! Memang Yo Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu Ceng itu membuat gadis ini menjadi gelisah!

"Maksudmu, pernyataan nenek Ciu Ceng tentang.... perjodohan itu, Kim-moi?"

Mendengar betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai, perlahan-lahan kecanggungan yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani mengangkat muka memandang wajah Yo Han. Bi Kim mengangguk dan bertanya lirih, "Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?"

Hemm, gadis ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali. Memang jauh lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, daripada harus menyimpannya dalam hati dan menjedi ganjalan kelak. Dia tahu bahwa Bi Kim adalah seorang gadis terpelajar dan mampu berpikir jauh dan berpandangan luas, tidak sempit seperti gadis-gadis yang tiada pendidikan yang baik.

"Nanti dulu, Kim-taoi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali mendengar dulu bagaimana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik kita bicara dengan terus terang, karena hal ini menyangkut kehidupan kita berdua di masa mendatang. Nah, katakan bagaimana pendapatmu?"

Kembali wajah gadis itu memerah. Biarpun dia bukan gadis dusun dan berpendidikan, namun bicara tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia merasa kikuk dan malu. Ia kembali menunduk dan suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga lirih.

"Apa yang dapat kukatakan, Toako? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, kalau tidak ada bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga tidak akan lolos dari hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang menundukkan panglima jahanam itu, dia tentu akan terus merongrong dan menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega. Semua ini karena pertolonganmu. Tentu saja aku.... aku.... ah, bagaimana aku akan dapat menolak? Aku.... eh setuju sekali."

Yo Han mengerutkan alisnya. Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena ingin balas budi! Memang gadis itu agaknya suka kepadanya. Hal ini mudah diketahuinya dari pandang matanya dan sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar tegang. Betapa akan senangnya disayang oleh seorang gadis secantik jelita Bi Kim!

Akan tetapi, kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah muncul di benaknya, mengusir bayangan menyenangkan dari Bi Kim, wajah Sian Li! Dan teringatlah dia akan tugasnya yang penting, yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun diam saja, termangu-mangu dan tidak tahu harus bicara apa. Karena pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim memberanikan diri melawan rasa canggung dan malu, mengangat muka memandang. Ia melihat pemuda itu bengong saja, maka ia pun balik bertanya.

"Bagaimana dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?" suaranya terdengar penuh harap, matanya bersinar-sinar, mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu memang hebat, begitu penuh daya tarik, menggairahkan dan menantang.

"Aku....? Eh, pendapatku? Ah, bagimana, ya? Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan bangga hati dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu? Engkau seorang gadis bangsawan yang cantik jelita dan orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan hartawan. Di samping kecantikanmu, engkau pun berpendidikan dan berbudi baik sekali. Apalagi yang dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis? Sebaliknya, aku hanya seorang pemuda yatim piatu yapg tidak mempunyai apa-apa, tidak berpendidikan, bodoh dan miskin. Aku bagaikan seekor burung gagak di samping engkau seperti burung dewata! Bagaimana aku berani menjajarkan diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan anggun?"

"Yo-toako!" Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu berkerut. "Jangan engkau merendahkan diri seperti itu! Orang boleh rendah hati, itu baik sekali. Akan tetapi rendah diri? Tidak ada gunanya, Toako. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda yang amat lihai, berilmu tinggi dan di dekatmu, orang akan merasa aman tenteram, tidak takut menghadapi ancaman apapun juga. Dibandingken dengan engkau, aku seorang gadis yang lemah sekali dan sama sekali tidak berdaya menghadapi kejahatan yang merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya tentang pendapatmu, bukan keadaan dirimu yang kaurendahkan seperti itu, Toako"

Yo Han tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, pandai bicara. "Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan menyatakan pendapatku berdasarkan kenyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang membuat aku terpaksa tidak berani menerima usul nenekmu, melainkan karena aku masih harus melaksanakan tugas yang dipesankan mendiang Suhu kepadaku yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang hilang dicuri orang."

Gadis itu nampak kecewa, akan tetapi menutupi perasaannya dengan bertanya serius. "Pusaka apakah yang hilang itu, Toako?"

"Sebuah benda pusaka milik Suhu yang disebut mutiara hitam, kabarnya kini berada di tangan seorang kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan dulu sampai berhasil."

"Dan kalau engkau sudah berhasil dengan tugas itu?" Bi Kim mengejar.

"Kalau sudah berhasil.... bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara tentang urusan pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di tangan Tuhan? Kalau Tuhan menghendaki, agar kita.... berjodoh, pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menghendaki, direncanakan pun akan gagal. Karena itu, terus terang saja, sebelum aku selesai menunaikan tugas dari mendiang Suhu, aku tidak akan memikirkan soal perjodohan. Maaf, Kim-moi," katanya cepat menutup ucapannya dengan permintaan maaf karena dia tidak ingin menyinggung perasaan gadis itu. Apalagi melihat wajah gadis itu berubah agak muram.

Sampai lama keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya membelakangi Yo Han dan terdengar suaranya lirih, "Seorang laki-laki akan mudah bicara seperti itu, Toako. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang perempuan berpendapat seperti itu? Kalau belum ada ikatan dengan seseorang, maka setiap saat orang tua akan menjodohkan seorang gadis dengan pria mana saja yang dianggap baik dan cocok. Dan engkau tentu tahu, sebagai seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku dapat menolaknya. Berbeda halnya kalau seorang gadis sudah terikat, biarpun menanti sampai beberapa tahun pun tidak ada halangannya...."

Yo Han merasa betapa jantungnya berdebar keras. Ucapan dari gadis ini saja sudah mengandung arti pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini berarti bahwa gadis ini mengharapkan menjadi calon jodohnya, bahwa gadis ini menaruh harapan kepadanya dan cinta padanya! Yo Han merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan harapan seorang gadis sebaik ini, tidak boleh menghancurkan hatinya. Dia harus dapat mencari alasan yang lebih tepat. Dan teringatlah dia akan Sian Li, akan ayah ibu anak itu, yaitu suhu dan subonya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia berusia dua belas tahun! Bukankah suhu dan subonya itu dahulu juga amat sayang kepadanya, bahkan menganggapnya seperti anak mereka sendiri? Sudah lama, sejak menjadi murid Kakek Ciu Lam Hok, dia menyadari sikap suhu dan subonya yang tidak ingin melihat Sian Li ketularan sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka belajar ilmu silat. Dia dapat merasakan kekhawatiran kedua orang suami isteri pendekar itu yang tentu saja prihatin sekali melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat betapa mungkin saja Sian Li juga mengikuti jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena pengertian ini, sudah lama dia tidak pernah merasa kecewa atau menyesal. Dia meninggalkan suhu dan subonya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena tidak ingin menyusahkan mereka, tidak ingin mengecewakan mereka karena Sian Li mencontoh dia,

tidak suka belajar ilmu silat.

"Adik Bi Kim. Aku mengerti perasaanmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau tidak mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon jodohmu. Akan tetapi untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku harus bertanya kepada mereka yang berhak menentukan. Aku pun ingin seperti engkau, menjadi seorang yang berbakti...."

"Yo-toako! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak mempunyai ayah dan ibu lagi? Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia, lalu siapa lagi yang berhak menentukan?"

"Belum kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid mendiang Kakek Ciu Lam Hok, aku telah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami isteri yang bukan saja mendidikku, akan tetapi juga merawatku sejak aku kecil ditinggalkan orang tuaku. Merekalah yang membesarkan aku, sejak aku berusia tujuh tahun ditinggal oleh ayah ibuku, sampai

aku berusia dua belas tahun. Lima tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka sendiri dan aku telah menerima budi yang berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau aku menganggap mereka sebegai pengganti orang tuaku dan menyerahkan kepada mereka untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang sudah kau ketahui semua, Kim-moi. Aku mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari pusaka mendiang Guruku. Selamat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali."

"Selamat jalan, Toako." Gadis itu cepat membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Yo Han, akan tetapi pemuda itu masih sempat melihat tangisnya.

Yo Han lalu berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan isterinya menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa sungkan lagi bertanya, "Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum engkau pergi, engkau harus lebih dulu menyatakan kesediaanmu menerima permintaan kami."

Berdebar rasa jantung dalam dada Yo Han. Tadi nya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan ucapannya ketika bersembahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya pada saat ini, nenek itu mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba salah. Dia melirik kepada Bi Kim yang berdiri di sudut sambil menundukkan mukanya, karena baik dia dan gadis itu tahu apa yang dimaksudkan oleh nenek itu. Akan tetapi, untuk memberi kesempatan baginya menenangkan hatinya yang terguncang karena tegang dia berkata, "Permintaan apakah yang Nenek maksudkan?"

"Apalagi, Yo Han? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani minta apa-apa lagi. Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka menerima cucuku Bi Kim menjadi jodohmu...."

"Nenek....!" Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya. Melihat ulah gadis itu, Nenek Ciu Ceng terkekeh. "Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau. Bagaimana, Yo Han? Engkau harus memberi keputusan dulu agar hati kami merasa lega."

Melihat pemuda itu termenung, Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya seperti mendesak dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut. "Yo Han, tentu saja kami tidak memaksamu. Kami akan merasa berbahagia sekali kalau engkau suka menerima anak kami sebagai calon isterimu, akan tetapi andaikata engkau tidak suka, kami pun tidak dapat memaksamu."

Justeru ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagaimana mungkin dia mengatakan tidak suka dan menolaknya? Dia cepat memberi hormat kepada tiga orang itu. "Nenek, Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tidak akan berani menolak, bahkan merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kebaikan penghargaan Sam-wi (Anda Bertiga) yang sudi mencalonkan saya yang yatim piatu dan papa ini sebagai anggauta keluarga. Akan tetapi maaf, saya belum dapat memberi keputusan sekerang. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang diberikan mendiang Suhu, yaitu menemukan kembali pusaka milik Suhu yang dicuri orang. Ke dua, mengenai perjodohan, saya harus menyerahkannya kepada Suhu dan Subo saya yang pertama yang telah menjadi seperti pengganti orang tua saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu

Lam Hok."

"Baiklah, Yo Han," kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tidak sempat mengeluarkan ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu. "Kami sekeluarga akan menanti berita darimu setelah engkau dapat membuat keputusan."

"Terima kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya."

Setelah memberi hormat lagi, Yo Han lalu melangkah keluar. Akan tetapi terdengar suara nenek Ciu Ceng, "Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu sebagai calon suami cucuku Bi Kim. Kami akan menolak pinangan dari manapun juga datangnya dan menunggumu!"

Gan Seng dan isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati Yo Han. Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis itu tidak bebas lagi! Dia ingin membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka merasa lebih aman tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rumah keluarga pembesar tinggi itu.

Setelah Yo Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak meninggalkan kamarnya. Ia merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang dikaguminya dan yang telah menjatuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa kehilangan, apalagi karena jawaban pemuda itu membuat ia tidak yakin akan perjodohannya dengan pemuda itu.

Setelah dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia dicarikan guru-guru silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.

"Ah, engkau ini aneh-aneh saja, A-kim," kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya. "Engkau seorang puteri bangsawan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian yang sepatutnya dimiliki seorang puteri. Apalagi yang hendak kaupelajari? Apalagi dari seorang guru silat? Ilmu silat hanya akan membuat telapak tanganmu yang halus menjadi kasar, tubuhmu yang lembut menjadi kaku!"

"Ayah, lupakah Ayah akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga kita? Semua itu terjadi karena kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andaikata tidak, bagaimana? Coba andaikata aku pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan-ciangkun yang jahat itu. Ayah, kalau aku pandai ilmu silat, setidaknya aku akan dapat menjaga keamanan keluarga kita."

"A-kim," kata ibunya membujuk. "Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus lembut dan bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan kasar!"

"Tapi Ibu agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persilatan, seorang pendekar yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku di jodohkan dengan dia aku lalu sama sekali tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya seorang gadis yang amat lemah? Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa kakek Ciu Lam Hok adalah seorang sakti? Masa aku sebagai cucu keponakannya tidak mengerti ilmu silat? Ayah, carikan guru silat yang lihai untukku!"

Alasan-alasan yang dikemukakan puteri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya menggerakkan hati Gan Seng. Sebagai seorang pejabat tinggi yang dekat dengan istana, Gan-taijin mengenal para jagoan istana yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia lalu menghubungi para jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim belajar ilmu silat dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik disamping ketekunan yang luar biasa. Ketekunan itu timbul setelah keluarga tertimpa malapetaka, setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dengan bayaran tinggi yang dapat dipenuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana itu bertambah gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata memiliki bakat yang amat baik dan dapat menjadi murid yang akan menambah tinggi derajat mereka. Bahkan banyak jagoan istana seperti berlumba untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada gadis bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini.

******

Bangau Merah terbang di angkasa

disengat terik matahari senja

betapa ingin aku menjadi awan

untuk melindunginya, dari sengatan!

Bangau Merah melayang di angkasa

hujan lebat datang menimpanya

betapa ingin aku menjadi guha

tempat berteduh bangau jelita!

Bangau Merah meluncur di angkasa

letih dan lapar datang menggoda

betapa ingin aku menjadi ranting

berbuah tempat ia istirahat

dengan makanan berlimpah

Bangau Merah...."

"Heiiii! Engkau sedang mengapa di situ, Suheng? Dari tadi kudengar menyebut-nyebut nama samaranku. Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!" Gadis itu muncul dan memang ia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan biru. Pakaian itu ringkas, sederhana bentuknya akan tetapi terbuat dari sutera merah yang membuat penampilannya cerah dan wajahnya nampak lebih manis, kulitnya menjadi semakin mulus. Ia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, baru manis-manisnya, bagaikan bunga mulai mekar dan bagaikan buah sedang meranum. Dara ini memang cantik jelita, dengan wajah yang berbentuk bulat telur, matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan ujung menantang, mulutnya yang kecil dengan bibir tipis lembut yang selalu kemerahan tanda sehat itu selalu tersenyum mengejek sehingga sering kali lesung kedua pipinya nampak memikat. Memang sejak kecil ia disebut Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna kemerahan dan ia puteri tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang amat terkenal itu. Kalau ayahnya hampir selalu mengenakan pakaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah. Namanya Tan Sian Li dan seperti telah kita ketahui Sian Li diminta oleh paman kakeknya, yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewarisi ilmu silat mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang bernama Suma Hui, yaitu nenek dari ibunya. Biarpun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong, namun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu. Apalagi, Suma Ceng Liong merupakan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti, puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.

Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.

Setiap tahun sekali, jatuh pada hari tahun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, selalu datang berkunjung. Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apalagi karena dara ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama belajar lima tahun lamanya, Sian Li telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suhengnya, yaitu Liem Sian Lun. Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, suhengnya. Sian Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan tampan. Wajahnya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, memang tidak mengabaikan pendidikan sastra terhadap Sian Lun dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai untuk mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.

Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoinya seringkali

bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan datang ke tempat itu. Bukit yeng tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mereka dapat melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati keindahan senjakala di situ karena lereng bukit itu berada di sebelah barat. Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah,

melihat burung-burung bangau terbang melayang di angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan subonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah, seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang. Maka, keindahan dan lamunan membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Bangau Merah!

Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia sudah yakin bahwa sumoinya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mereka menembus jendela kamar, tertangkap oleh pendengarannya.

"Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju?" terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian Lun memperlambat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh."

"Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan," kata suhunya dan mereka pun tidak bicara lagi. Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andaikata suhu dan subonya mendengar tangkahnya, tentu tidak akan menduga bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mereka. Dan semenjak mendengar percakapan itu, beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!

Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam pandangan Sian Lun bahkan membuat dara itu menjadi semakin menggemaskan dan menarik hati.

Cinta berahi kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan nampak semakin manis, bahkan ada kelakar yang kasar mengatakan bahwa

kentut seorang kekasi h berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga menimbulkan amarah!

Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang romantis itu, dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li cemberut.

"Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali, sekarang engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!"

"Sumoi.... aih, engkau.... engkau demikian cantik.... indah sekali, ah, pantasnya engkau seorang dewi kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan...."

Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli. "Ahhh, yang benar, Suheng!" katanya memancing pujian lebih banyak. Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.

"Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya kekuningan, wajahmu mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan, matamu bercahaya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau...." Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasanya.

"Ah, masa....?" Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.

"Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona dan...."

"Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-tiba engkau memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah, sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?"

Sian Lun menghel napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan sikap dan kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.

"Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu."

Sian Li tersenyum. Gadis berusia tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan cinta kasih antara pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sayang kepada orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.

"Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu? Kalau tidak sayang, percuma engkau menjadi Suhengku." Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti kakak terhadap adik, melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai berahi seorang pria terhadap wanita!

"Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padaku."

"Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan silat di sini, belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang kepadaku...."

"Apa yang harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi," kata Sian Lun dengan penuh gairah dan harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.

"Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kaucarikan untukku, di lereng utara sana banyak pohon lecinya."

"Baik, akan kucarikan, Sumoi. "Kau tunggu saja sebentar di sini." Sian Lun lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dimakan.

Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suhengnya memang seorang kakak seperguruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu, suhengnya selalu bersikap baik dan mengalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia tidak merasa kesepian tinggal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi

besar, gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!

Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan tetapi

pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jenggotnya sudah putih semua, membuat dia nampak tua dan lemah. Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut gembira, "Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!"

Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu. Yang mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya. Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?

"Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?" Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.

"Siancai....! Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa kepadaku? Beberapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-teng."

Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah dan berseri, senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua pipinya.

"Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!" Ia bangkit dan cepat memberi hormat kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.

"Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah ayah ibumu di Tatung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku

segera menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?"

"Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dirimu."

Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.

"Sumoi, siapakah kakek jembel ini?" tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!

"Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku, tahu engkau?" bentak Sian Li marah.

Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.

"Ah, harap Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan," katanya. Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan tata susila.

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka buruk kepada orang lain."

Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. "Maafkan saya, Locianpwe. Sumoi, engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah beliau ini?"

Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, "Suhu, silakan makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis."

Kakek itu tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi suhengnya. "Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi janjinya."

Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan, akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan darah, yang amat lihai. "Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi."

Sian Li cemberut. "Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah berani menyebut Guruku kakek jembel!" Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu mengancam. Yoksian Lo-kai tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suhengmu sudah, mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu? Ha-ha-ha!"

"Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kauberitahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan."

"Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu," kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum. "Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat," kakek itu memuji.

"Ah, dia masih terlalu lambat," kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada dara ini.

"Sian Li, aku ingin memberitahu sedikit kepadamu tentang suhengmu itu."

Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh, memandang kepada kakek itu. "Apa yang Suhu maksudkan? Suheng telah bersikap kasar, dan dia memang pantas ditegur dan...."

"Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu."

"Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan sikapku?"

"Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suhengmu?"

Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya. "Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik kepadamu."

Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.

"Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau tidak ingin melihat dia marah-marah."

"Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang...."

Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.

"Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu."

Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu. "Mari kita pulang, Suhu."

Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya. Dia sendiri mengerahkan tenaganya, menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya! Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan

kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka. "Aihhh.... aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?"

"Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!" kata Sian Li. "Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!"

Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoinya beramah tamah dengan kakek itu. Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.

Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.

Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah memesan kepada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.

Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu.

******

Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya. Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya. Bagi dua orang muda yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling melukai.

Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seperti anggauta badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.

Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang. Kini Sian Li dalam kelebihannya dalam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya. Andaikata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam sebuah perkelahian, tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka sukarlah untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandalkan kecepatannya, dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.

"Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!" Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian hebatnya.

"Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih kalah."

"Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!" Tiba-tiba terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.

"Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apakah jiwi masuk ke dalam taman kami ini?" Sian Li bertanya dengan lembut. Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. "Kaulihat, bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?" Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata, "Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li,

bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?"

Sian Li membelalakkan mata. "Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan siapa pula Nenek ini?"

"Ha-ha-ha-ha," kakek itu tertawa. "Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa, Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi."

Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kandung neneknya.

"Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!" Sian Li berseru gembira. "Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han...." Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu. "Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!" Dara yang lincah itu memberi tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. "Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku."

Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.

"Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!"

Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma

Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.

Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah. "Ku-kong aku ikut!" Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. "Aih, Sian Li, kaukira Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!"

"Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!"

Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang. Dia sendiri pun dahulu merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.

"Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini," kata Kam Bi Eng.

"Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut...." Ia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum.

Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. "Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan berani."

Suma Ciang Bun berkata, "Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini."

Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi, andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya kepada mereka. "Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat." Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa. "Hemm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoimu pergi ke barat."

"Baik, Suhu!" kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.

"Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suhengmu agar kalau engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum  engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu."

Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu. "Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena kalian adalah orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!"

Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari kemudian, berangkatlah mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya

dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li,

tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Mereka pun merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun. Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati. Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun menukarkan kuda mereka dengan kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.

******

Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil mengamankan seluruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan.

Pemberontakan-pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak golongan yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan

pasukan Mancu amat besar. Apalagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seorang Mancu, namun mementingkan rakyat jelata. Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah menjadi Kaisar selama lima puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukannya, akan tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah. Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang kendali pemerintahan.

Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang. Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh membela rakyat, sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama aselinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.

Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun. Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.

Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya aneh dan amat menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali

dengan daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur. Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara mereka.

Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.

Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.

Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan

panjang di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bukan main. Walaupun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum. Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang termasuk wilayah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun dari atas kuda mereka dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah perbatasan itu. Setelah menerima penghormatan mereka Gangga Dewi bertanya. "Apakah yang terjadi? Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak berpakaian seragam pula?"

Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka ini menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Secuan untuk merongrong Kerajaan Ceng.

"Ah, kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan," pesan Gangga Dewi. Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan. Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore. Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah. Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kedatangan Sang Puteri! Kiranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orangnya untuk menyambut.

Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga

kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu. Ketika mereka memasuki dusun, mereka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga Dewi. Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pendapa rumah kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!

Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.

Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li "Dewi Merah"!

Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan selain pandai membuat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.

Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah. Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama. Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.

Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!

Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, "Mulailah dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin."

Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan. Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.

Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking, memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya.

Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak menjadi suami Gangga Dewi telah mempelajari bahasa daerah isterinya itu, menterjemahkan kepada mereka. "Dia berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong."

Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.

"Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!" katanya, suaranya cukup keras karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!

"Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!" Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han sehingga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka banyak pula terdapat keturunan Han. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.

"Dewi Merah....! Dewi Merah....!"

Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya itu, "Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah"

Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan "Dewi Bangau Merah! Dewi Bangau Merah!"

Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan "Sebutan itu memang tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!" Kembali orang bersorak. Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah pemuda itu nampak muram, ia pun menahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu!

Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun terhenti. "Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!"

Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan.... tiba-tiba saja di kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia memetiknya dari udara! Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan bajunya.

Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata lantang.

"Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau Merah!" Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton.

Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.

"Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?"

Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya.

Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung maupun yang di bawah. "Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?"

Serentak terdengar jawaban, "Tidak....! Tidak....!"

Lulung Ma lalu tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun. "Kongcu (Tuan Muda), apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?"

Sian Lun diam saja. Andaikata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekalipun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng kepala.

"Suheng, jangan mencari keributan!" Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.

Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata, "Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!"

Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak, nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.

Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kecepatan kedua tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.

Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesankan itu, Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, "Sekarang hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka

memaafkan hamba." Mendengar ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan kepandaiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton. "Saudara sekalian harap suka tenang, sekarang aku ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!"

Lalu dalam bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, "Dewi Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!" Dan dia memberi isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya

dengan tambur dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh seperti ada badai dan halilintar mengamuk! Lulung Ma menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan makin lama tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking, "Saudara lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!" Kembali dia mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi yang semakin merendah menjadi gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.

Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit dan Sian Li merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan mengerti. Suhengnya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat, akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia sejak kecil telah dilatih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam itu benar-benar berubah

menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun tidak terpengaruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan Yang dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya. "Suheng," bisik Sian Li kepada suhengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan tegang itu. "Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk memecahkan pengaruh yang mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir."

Mendengar bisikan ini, Sian Lun melepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi, dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.

"Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!" Sian Lun berkata untuk melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat terkejut dan gentar.

Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin menurun, orang-orang melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan

ketika asap lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman. Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh kemarahan

kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak. "Suheng, kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku akan marah padamu," bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.

Kini Lulung Ma sudah memberi hormat lagi kepada Gangga Dewi, lalu kepada para penonton. "Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari ular!"

Kakek raksasa hitam itu mengeluarkan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur perlahap-lahan seperti suara rintik hujan.

Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keranjang itu muncul kepala ular-ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar, mengembangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemudian mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan, mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja digigit ular berbisa itu, nyawa dapat melayang!

Kini belasan ekor ular itu sudah keluar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma,

belasan ekor ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.

Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya. Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggokkan, menoleh ke kiri kanan dan nampak seperti belasan orang penari yang memiliki gerakan lemah gemulai! Para penonton memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau mengejutkan ular-ular itu.

Suma Ciang Bun pernah mempelajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibunya. Ibunya yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pawang ular, bahkan Suma Ciang Bun pernah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan dengan suara yang dikeluarkan dari bibirnya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia kagum menyaksikan

kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu. Hanya ular-ular peliharaan yang sudah dilatih saja yang dapat disuruh menari seperti itu. Belum tentu raksasa hitam itu mampu menguasai dan mengendalikan ular-ular yang liar pikirnya.

Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan

mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan suara lantang minta kepada penonton di bawah agar "membuka jalan" untuk barisan ular.

"Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk mengadakan pesta ular!" katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu. Si Pemuda Jangkung kembali ke atas panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya dan mengembalikan mereka ke dalam keranjang masing-masing. Cara dia menangkap ular-ular itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap, ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang, pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan mengelak dan menjepit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arah dirinya. Ia merasa yakin bahwa pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.

Kini pemuda jangkung itu sudah menabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya. Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi memanggil ular yang amat kuat dan berpengaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hitam ini bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar tegang. Sungguh berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular itu tidak dapat dikendalikan dan menyerang orang?

Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang berteriak-teriak.

"Ular....! Ular....!"

Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lantang, "Harap tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!"

Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak bergerak, ular-ular itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat penjuru, bahkan melalui dekat kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik ke panggung, menghampiri kakek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil namun amat berbisa!

Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena merasa ngeri dan takut kalau-kalau kaki mereka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri, bukan takut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Seorang gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nampak pucat sekali dan gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat kakinya, gadis remaja itu menjerit. Dua ekor ular itu kaget dan membalik. Melihat itu, seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mendekati gadis itu. Gerakan mereka ini membuat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun.

Ular yang menyerang Sian Lun dan Sian Li itu adalah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah.

Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan tewas seketika! Adapun ular yang menyerang Sian Lun, disambut oleh pemuda itu dengan cengkeraman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun mati seketika. Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menjadi panik dan kacau pula! Orang-orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.

Melihat hal ini, Suma Ciang Bun cepat bertindak. Terdengar suara melengking aneh dan meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan mereka lari secepatnya

meninggalkan tempat itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan!

Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah semua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja otomatis ke arah Suma Ciang Bun.

"Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan kami akan memperlihatkan tari silat yang jelek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian."

Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh gemuk, yang ke dua kurus, akan tetapi keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang kuat.

Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. "Agaknya dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!"

Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang. Setelah meletakkan keranjang itu di depan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.

Badhu yang gemuk dengan perut gendut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk, memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari keranjang, lalu sekuat tenaga dia menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantaman batu.

"Bukkk!" Pukulan itu membalik. Sagha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.

"Bukk!!" Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang menyambut dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada, paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu selalu mental kembali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.

"Darr....!" Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini mereka saling hantam, bukan saja di tubuh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar menegangkan dan juga mengagumkan. Bagaimana kepala orang dapat begitu kebal dan keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala!

Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sagha yang kurus dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas,  memutar-mutarnya dan membanting sekuat tenaga.

"Bukkk....!" Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gendut, menangkap lengannya, dipuntir ke belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepenuh tenaga.

"Bukkk!" Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa khawatir. Akan tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah-olah bantingan tadi sama sekali tidak dirasakannya. Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang. Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan karena keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena

mereka seperti melihat dua ekor harimau bertarung. Memang hebat sekali perkelahian itu, apalagi diiringi musik tambur dan genderang yang dipiikul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya, Lulung Ma yang memukul gendang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun menghentikan pertandingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.

"Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, tidak dapat disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki kepandaian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!" Dengan sikap menantang Badhu dan Sagha berdiri di

situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li, juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.

Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka bersepakat untuk menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya, "Bolehkah kami melayani tantangan mereka?"

Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang Han dengan sengaja. Ia mengangguk dan menjawab. "Biar Sian Lun yang maju lebih dulu menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha."

Sian Lun yang sejak tadi sudah mendongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke depan dua orang itu. "Aku orang dari timur yang kerempeng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di antara kalian!" kata Sian Lun dengan suara lantang. Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia seorang pemuda Han. Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura sebagai penghormatan.

"Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar."

Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan pemain musik tadi. Kini Lulung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.

"Suheng, jangan sampai membunuh orang!" Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan tangan masih menabuh gendang, menjawab. "Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh? Dan jangan khawatir, kami juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan pertunjukan menarik. Badhu, mulailah!"

Dua orang itu sudah saling berhadapan. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu bahwa membiarkan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam. Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan gerakan kakinya tetap waspada.

"Kongcu, silakan menyerang lebih dulu," kata Badhu yang memandang rendah pemuda yang nampak lemah itu.

"Badhu, engkau yang memantang, engkau pula yang harus menyerang lebih dulu," jawab Sian Lun dengan sikap tetap tenang.

"Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas seranganku ini!" Tangan kirinya menyambar dari atas, akan tetapi Sian Lun membiarkan saja karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja, sedangkan yang sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar ke arah pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangkanya akan begitu mudah dia tangkap! Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu mengenai tempat kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangannya bagaikan cakar biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan menangkap. Sian Lun maklum bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya. Maka, dia pun mengelak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi kesempatan kepada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya.

Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil itu menubruk seperti seekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh

Badhu lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung lawan.

"Desss....!" Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet, dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.

Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah

hidung dan mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin dilatih kekebalan.

"Plakkk!"

Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!

Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya menendang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.

"Brukk....!" Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat! Para penonton menahan napas dan suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!

Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka suara tepuk tangannya amat nyaring.

Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.

"Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu denganmu. Bersiaplah!"

Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah. "Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!"

Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.

"Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang, katanya dan dia pun kembali ke tempat duduknya. Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga perasaan hati mereka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!

Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia merasa sungkan dan tidak enak sekali.

"Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona? Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara remaja!"

Sian Li tersenyum mengejek. "Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau takut, berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!"

Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada teman mereka yang mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran.

Seorang gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu akan remuk!

Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah sekali. Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.

"Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi engkau bukan lawanku. Aku tidak takut kepadamu, melainkan takut kalau dltertawakan orang gagah sedunia. Pula, bagaimana aku berani bertanding dengan engkau yang datang bersama Yang Mulia Puterl Gangga Dewi? Aku takut mendapat marah dari beliau."

Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Sian Li telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang sombong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pendekar Han.

"Sagha, engkau boleh bertanding melawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat."

Sagha memberi hormat kepada Gangga Dewi. "Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini? Hamba tidak ingin Paduka nanti marah kepada hamba."

Gangga Dewi tertawa. "Aku tidak akan marah dan semua orang yang berada di sini menjadi saksinya."

"Terima kasih, Yang Mulia," kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. "Baik, Nona. Mari kita main-main sebentar."

"Tidak usah main-main, keluarkan semua kepandaianmu dan seranglah sungguh-sungguh karena aku akan merobohkanmu!" kata Sian Li.

Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan mengambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan umum, misalnya dengan merobek baju itu!

"Nona, jaga seranganku ini!" Dan kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi. Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini memang lebih sigap dan cepat.

"Hyaaaahhhh....!" Dia membentak sambil menyerang.

"Plakkk!" Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan mengeluarkan bunyi keras ketika terkamannya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap. Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan panjang itu bergerak seperti dua ekor ular, akan tetapi kembali terkamannya mengenai tempat kosong. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton menjadi bengong saking kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua tangan Sagha.

Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru nyaring dan jari telunjuk kirinya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan cepat seperti kilat menyambar.

"Haiiitttt....! Tukkk!"

Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu bergerak karena dia telah menjadi korban ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai. Sian Li juga telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki

Sian Li menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerahkan tenagalagi roboh terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.

Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu merobohkan Sagha! Terdengar tepuk sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.

"Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para pendekar dari timur? Hanya sebegini saja?" Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar merah dari dia meloncat berdiri.

"Aku belum kalah!" bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin menangkap dan merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang dengan dahsyat! Sagha sudah marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh!

Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan. Tiba-tiba, begitu melihat kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis

itu meluncur dan seperti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya, yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian Lun!

Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika Sian Li berjalan kembali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil bertolak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ, suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.

"Saudara sekalian! Dua orang pembantu kami telah kalah karena mereka memang bodoh. Sekarang, kami berdua menantang siapa saja yang memiliki kepandaian untuk mengadu ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!"

Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pandang mata pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!

Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain, menuding ke arah Lulung Ma dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang. "Lulung Ma, sikapmu menunjukkan bahwa engkau dan orang-orangmu ini agaknya para penyelundup yang hendak mengacau di Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!"

Tiba-tiba Lulung Ma mengubah sikapnya yang tadi hormat kepada puteri itu. "Gangga Dewi, engkau puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, bersekongkol dengan orang-orang Han dari timur! Engkau yang sepatutnya ditawan!"

Dan tiba-tiba raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda jangkung yang juga sekali menggerakkan kaki sudah melayang ke situ. Lulung Ma menerjang ke arah Gangga Dewi sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke arah Liem Sian Lun!

"Jahanam busuk!" Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Melihat betapa Lulung Ma menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang Bun memapaki dengan kedua telapak tangannya pula.

"Desss....!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun terhuyung, akan tetapi Lulung Ma juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa Si Raksasa Hitam itu amat kuat dan memiliki sin-kang yang ampuh dan dapat menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es itu! Gangga Dewi melolos sabuk sutera putihnya dan

cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun sudah menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam dan berwarna kuning keemasan.

Sementara itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja Sian Lun segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!" Pertemuan dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang maka mengertilah Sian Lun bahwa pemuda jangkung itu benar seperti dugaannya tadi, bukan orang sembarangan dan memlliki tenaga sin-kang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga kasar. Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil mengeluarkan bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang).

"Keparat, jangan menjual lagak di sini!" bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si Pemuda Jangkung terkejut. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.

"Nona Merah cantik sekali. Mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet," pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara dan lincah.

Wajah gadis itu menjadi semerah pakaiannya, matanya melotot dan tanpa banyak cakap lagi Sian Li sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya. Sian Lun juga membantu sumoinya dan pemuda ini bahkan sudah mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya.

Si Pemuda Jangkung terkejut. Kiranya dua orang pengeroyoknya itu amat berbahaya, maka setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang.

Sian Li juga sudah mencabut pedangnya dan bersama suhengnya, ia mengeroyok pemuda jangkung. Bagaimanapun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang murid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es

yang paling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan lawan.

Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang besar bersirip itu selain dapat dipegang kedua tangan untuk menangkis dan menghantam lawan, juga dapat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu berputar menyambar ke arah lawan, dan kalau lawan mengelak, gelang itu berputar dan membalik kembali ke tangannya. Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti, maka betapapun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap saja mereka dapat mempertahankan diri, bahkan serangan balasan mereka pun seringkali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.

"Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!" Gangga Dewi berteriak lantang. Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju mengepung dan mengeroyok. Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan kedua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang melakukan perlawanan. Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berkelompok di sudut dengan ketakutan. Penonton menjadi panik, apalagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh den ketika Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, empat orang itu telah lenyap di antara penonton.

Para pemusik ketika ditanya, menjawab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak mengenal empat orang itu. Pemimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan bahwa dia terpaksa menerima empat orang itu sebagai

anggauta rombongan.

"Kenapa engkau menerima mereka?" Gangga Dewi bertanya.

"Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba...." kata kakek itu ketakutan. "Hamba sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau."

"Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu," kata pula Gangga Dewi.

"Pada malam hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap Paduka, hamba didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya hamba mengenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, seorang pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Adapun pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu.... aughhh....!"

Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan di antara penonton. Ia mengejar terus, akan tetapi karena banyak penonton yang kembali menjadi panik dan lari ke sana- sini, ia kehilangan jejak bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu bertubuh jangkung, ia dapat menduga bahwa bayangan yang melempar pisau membunuh kakek pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi.

Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa mampu melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju dan ia mengajak suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Thimphu karena ia harus segera melaporkan semua hal tyang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu. Harus mengirim berita pula kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu.

Tan Sian Li dan suhengnya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga Dewi telah bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar

Super Sakti dari Pulau Es pula! Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li. Selama seminggu tinggal di istana, kedua orang muda itu setiap hari dijamu dan disambut penuh kehormatan dan keramahan.

Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun berpamit dari keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana mereka disambut sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu, mereka juga ingin meluaskan pengalaman dan

akan melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet.  Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Ia telah merasa amat sayang kepada dara yang lincah itu dan ia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya. Selain itu, juga ia menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka. Akan tetapi ketika Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.

"Kami berdua dapat menjaga diri sendiri, kenapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat perjalanan tidak menarik dan tidak leluasa," demikian Sian Li menolak dan akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan mengantar

keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja.

******

Selain mendapatkan hadiah emas permata yang amat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat. Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenal tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya.

Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini amat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu kalau ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.

Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di derah yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup jauh dan mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Oleh karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu, mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman bersih. Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan makin dalam mereka memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biarpun daerah itu masih cukup tinggi namun hawanya panas sekali. Mengerikan kalau melihat ke sekeliling sedemikian sunyinya. Apalagi manusia, seekor binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang.

Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan. Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk

dan karena sinar matahari menyengat kulit dengan hebatnya, Sian Li mengajak suhengnya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk itu dan untuk makan roti dan minum air bekal mereka. Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tihang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.

"Lihat, ada tulisan di sini," kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekar batu di mana mereka duduk. Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir,

seorang sasterawan atau seniman. Mereka lalu meneliti tulisan itu dan membacanya.

"Andaikata aku seorang raja,

aku rela menukar kerajaanku

untuk segelas air jernih!"

Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian Li dapat membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu dia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Betapa berharganya segelas air jernih kalau sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga daripada sebuah kerajaan!

Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah-limpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Betapa nikmatnya, betapa pentingnya, betapa berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian mudahnya.

Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.

Namun sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya mengapa tidak ada

anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan. Nafsu memang tak menganal puas, tak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala yang tidak ada, yang belum terjangkau tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada apa saja yang sudah kita miliki. Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah, sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar kepada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak! Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar, sekuat tenaga sekuat kemampuan. Ini berarti menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggauta tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi semua kebutuhan hidup. Bukan demi meuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Dan apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita, kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah!

Kita hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tidak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walaupun Tuhan sudah menyediakan tanahnya, airnya, udaranya, sinar mataharinya, benihnya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benih, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan.

Sian Li tertawa dan ia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isarat kepada suhengnya untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoinya tertawa lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.

"Eh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?" Dia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoinya!

Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya. "Tulisan ini yang membuat aku tertawa," katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.

"Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?"

"Bukan karena lucu, Suheng, melainkan karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan aku betapa bahagianya diriku. Di tempat ini aku tidak kehausan dan kelaparan, bukankah saat ini aku jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya

seperti raja namun kehausan dan tidak mempunyai air?"

"Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andaikata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di tempat ini dan tidak mempunyai air? Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum untuknya."

Sian Li mengangguk. "Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka dia menulis seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh, kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.

Sian Lun mengangguk. "Manusia selalu dipermaihkan oleh keinginannya, padahal yang diinginkan di dunia ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang sakit mungkin mau menukar kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, akan tetapi dalam keadaan sehat, dia akan mempertahankan dan memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!"

Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan kuda, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Sian Li yang berada di depan, menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun menahan kudanya pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan melewati mereka. Rombongan itu terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berwajah bengis menyeramkan. Ketika mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang menjadi anak buah Lulung Lama, Sian Lun segera berkata kepada sumoinya, "Sumoi, mari kita kejar mereka!"

Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, akan tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, ia pun terpaksa melakukan pengejaran.

"Suheng, tahan dulul....!" Serunya ketika ia dapat menyusul suhengnya. Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.

"Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?" tanyanya.

"Aih, bagaimanakah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?"

"Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apalagi kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, juga engkau harus ingat bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi, melakukan daerah Tibet."

Mendengar ucapan sumoinya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk maklum, lalu berkata, "Betapapun juga, karena kita juga melakukan perjalanan searah dengan mereka tadi, tiada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan menyelidiki, apa yang hendak mereka lakukan. Setidaknya, kita dapat mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"

Gadis itu mengangguk. "Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini."

Mereka melanjutkan perjalanan dan walaupun sudah tertinggal jauh oleh rombongan berkuda tadi, namun mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah, apalagi liar karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan mereka.

Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun. Segera nampak sebuah dusun yang besar, nampak genteng-genteng, rumah dari lereng, cukup banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu. Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu

menuju ke dusun untuk melewatkan malam dan juga sekalian untuk melihat apa yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong itu.

Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu Cang-po atau Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Nama dusun itu dusun Nam-ce. Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ. Selain ini, dusun Namce menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan perjalanan, ke timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai yang besar itu. Biarpun hanya berupa rumah-rumah sederhana, namun di dusun Nam-ce terdapat beberapa buah rumah penginapan dan juga rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini membuat dusun itu menjadi semakin ramai, dan terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun Nam-ce. Bahkan mereka yang datang dari Lha-sa, Ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra di dekat Nam-ce, maka banyak yang mempergunakan perahu dari Lha-sa ke Nam-ce, kemudian dari dusun pelabuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra. Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun bersih dan tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tidaklah begitu ramai seperti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan pasar perdagangan.

Setelah membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian, Sian Li mengajak Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Karena mereka berada di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa daerah itu, hanya kadang saja nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir

semua adalah pedagang. Andaikata Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian, walaupun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria melirik. Akan tetapi, karena gadis itu selalu mengenakan pakaian yang warnanya kemerahan, baik polos maupun berkembang, maka tentu saja ia amat menyolok dan menjadi perhatian setiap orang. Sian Li mengajak suhengnya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi.

Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap dan kedai itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah. Seorang pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk. Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada sepuluh orang tamu yang berada di ruangan itu. Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan, sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia

duduk membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Sian Lun duduk berhadapan dengannya sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan, dapat melihat para tamu. Memang, seperti yang dilihatnya, sejak sumoinya memasuki ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di situ, kesemuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li. Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biarpun sumoinya sudah duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut belakang. Orang itu makan sambil menundukkan muka, dan hanya mengangkat muka memandang sejenak ketika dia dan sumoinya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh perhatian lagi.

Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan minum dan baru saja mereka selesai, mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menjadi keras ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan mereka!

Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara langsung, apalagi ia tahu bahwa ia dan suhengnya berada di daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka. Ia memberi isarat kepada suhengnya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka. Pelayan lain sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan kasar. "Heii, kalian berdua, tunggu dulu!"

Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha sudah berdiri menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.

"Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?" kata Badhu yang berperut gendut.

Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu mulutnya tersenyum mengejek. Ia melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ memandang ke arah mereka.

"Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami akan kembali ke timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala, kalian berkeliaran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!"

Gadis ini memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang Tibet memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah gadis baju merah itu menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka berubah dan kini mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut.

Wajah Badhu menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia membentak, "Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!"

Sian Li tersenyum. "Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kausangkal, bukankah kalian sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal di sana, kalian hendak mengacau pula, di Tibet ini?"

Badhu menjadi makin marah. "Perempuan sombong! Kaulihat saja pembalasan kami atas semua penghinaanmu!"

Setelah berkata demikian, dia memberi isarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan! Karena ia memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu, yang hanya akan

menimbulkan kekacauan dan juga akan menjadi penghambat perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu dan mencegah suhengnya ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan pengejaran. Setelah dua orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang kelihatan kuat dan di antara bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa meninggalkan kesan.

"Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu pantas dihajar!" Sian Lun menegur sumoinya ketika mereka tiba kembali di rumah penginapan mereka.

"Suheng, lupakah engkau bahwa kita ini bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara sendiri? Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini tempat mereka dan kalau terjadi keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih untung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang mendengarnya tidak memihak mereka.

"Ah, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Juga, sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun tangan mengganggu kita."

"Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberitahu bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan kita diharuskan bersabar setiap menghadapi lawan, kita harus mempergunakan kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi kemungkinan adanya serangan bahaya. Nah, kita sekarang tidur saja dan besok pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan perjalanan."

Biarpun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal yang telah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoinya, namun alasan yang dikemukakan Sian Li amat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya

mengangguk dan meraka memasuki kamar masing-masing.

Malam itu sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat tengah malam, keadaan sudah amat sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga malam ada dua orang dan mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena setelah lewat tengah malam, tentu tidak akan ada tamu datang lagi.

Lima bayangan hitam itu menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok belakang dengan melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja dalam kedua kamar itu. Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam. Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal. Mereka maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak tiga orang tokoh Hek I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang berilmu tinggi. Tiga orang itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu.

Mereka memang sudah membuat persiapan dan sudah mengatur rencana membagi tugas. Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan kini mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka. Badhu dan seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang pendeta jubah hitam akan menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!

Setelah memberi isarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li, dan dibantu seorang pendeta baju hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui bawah pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa. Sementara itu, Sagha dan dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencokel jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat

betapa tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan keluar lagi. "Kamarnya kosong....!" kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main. Kalau kamar

pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu pindah ke kamar Si Gadis? Badhu tersenyum, menyeringai dan berkata dengan suara mengejek.

"Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?" Mereka tertawa, walaupun suara tawa mereka ditahan agar tidak menimbulkan kegaduhan. "Mereka berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang," katanya lagi dengan girang. Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li

dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Biarpun dua orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan, dan mendengar ancaman Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila sehingga biar tubuh mereka dapat beristirahat, namun kewaspadaan mereka selalu menjaga keselamatan mereka.

Sedikit gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biarpun tidak menimbulkan suara gaduh, cukup dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi curiga dan ketika ia mengintai dari jendela kamarnya, ia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang datang. Ia memang sudah siap siaga maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu melakukan sesuatu, ia sudah membuka jendela samping dan meloncat keluar, terus mengambil jalan memutar dan meloncat ke atas genteng. Hampir ia bertubrukan dengan suhengnya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar dan meloncat ke atas genteng.

"Ada dua orang menghampiri kamarku Suheng," katanya lirih.

"Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku," kata pula Sian Lun. Mereka berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan mereka yang mengira

bahwa mereka berdua tidur sekamar! Mendengar ini wajah Sian Li menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi tidur sekamar dengan sumoinya yang telah membuatnya tergila-gila sejak sumoinya remaja!

Kini Sian Li sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti suhengnya sambil berseru, "Jahanam bermulut busuk!"

Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka kira sedang tidur bersama dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan pedang di tangan.

"Gawat! Lari....!" teriak Badhu yang memimpin gerakan itu. Mereka pun sudah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

"Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?" Sian Lun berseru marah dan melakukan pengejaran.

"Hati-hati, Suheng!" teriak Sian Li yang juga ikut mengejar, merasa khawatir karena dari apa yang ia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari, apalagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya.

Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar saja, mereka dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba di dalam kebun. Dan kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.

Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran daripada penglihatan dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah mendapat gemblengan dari guru mereka. Biarpun demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka itu amat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang terlatih. Sian Li masih dapat mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam. Gadis ini mengamuk dan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan seekor burung bangau. Bangau Merah! Biarpun ia sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaiannya adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih) yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru kepada kakek dan neneknya. Dan memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan halus dari seekor bangau.

Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah dibandingkan sumoinya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan main. Melawan seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apalagi ada dua orang seperti itu, ditambah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya. Tiba-tiba terjadi keanehan. Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kesakitan dan

senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka itu lalu berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok dan melarikan diri seperti orang ketakutan?

Sian Lun hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya mencegah, "Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali kalau dikejar. Mari kita kembali ke kamar!" katanya.

"Tapi, apa yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti orang ketakutan?"

Sian Li menggeleng kepalanya, "Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi keanehan malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita."

Mereka kembali ke rumah penginapan di mana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan tadi membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka berkerumun di depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu

saja mereka dihujani pertanyaan.

"Ada dua orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua," kata Sian Lun.

"Mereka mempergunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh pingsan." Ia lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula Sian Lun. Dari dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak lagi karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap. Orang-orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu melarikan diri tanpa membawa barang curian, dikejar dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan merasa lega dan para tamu pun berangsur kembali ke kamar masing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar!

Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam gelap, meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh ketegangan, keraguan, juga keharuan, bibirnya berkemak-kemik bicara seorang diri dengan lirih.

"Benarkah ia? Ah, tidak mungkin. Kenapa ia berada di sini dan siapa pemuda itu? Benarkah ia Sian Li....? Tapi pakaian merah itu.... ah, benarkah ia Tan Sian Li....?" Dengan wajah penuh keraguan dia masih bardiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali.

Siapakah pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok lima orang lawan yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti perjalanan mereka selanjutnya.

******

Bersambung ke bagian 3 ...