Bagian 1
SIE Kauwsu (Guru Silat Sie) membaca surat itu dengan kedua tangan agak gemetar dan mukanya berubah pucat. Karena senja hari telah tiba dan cuaca tidak begitu terang lagi, dia lalu menyalakan sebuah lampu meja, kemudian dibacanya sekali lagi surat itu. Sehelai kertas yang bertuliskan beberapa huruf dengan tinta merah.
"Sie Kian, akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluargamu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh semua!"
Demikianlah bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie kauwsu atau Sie Kian tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu pada daun pintu belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata rahasia) beronce merah. Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin melancong, karena semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya mengajar para murid sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi. Kepergiannya direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, karena anaknya yang kedua, baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu ibunya di rumah. Maka diapun pergi seorang diri ke timur.
Di dalam perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Dia melihat perampokan di dalam hutan terhadap sebuah keluarga bangsawan yang melakukan perjalanan dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Kurang lebih duapuluh lima tahun usia mereka. Sie Kian turun tangan melindungi bangsawan itu dan terjadilah perkelahian antara dia dan suami isteri itu. Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang. Perkelahian itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, dan luka parah pada perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya dan menanyakan Sie Kian. Sie Kian sendiri juga terluka dipundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang dilempar oleh perampok itu.
"Sie Kian, kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati," demikian perampok itu sebelum pergi. "Juga kalau engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, akupun tidak perduli. Akan tetapi engkau telah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan semua penghuni rumahmu!" Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.
Akan tetapi, ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima tahun semenjak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan ancamannya dan sumpahnya! Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi, dia tidak takut! Selama hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki yang jantan. Demi membela kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang lain!
Setelah termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung bajunya, dan diapun memasuki kamar dimana isterinya sedang berbaring menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh bulan dan mereka beri nama Sie Liong. Dengan wajah tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada isterinya, dimana adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong. Dia dan isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih barulah isterinya melahirkan Sie Liong.
"Ia baru saja keluar dari sini, mungkin ia berada di dalam kamarnya," jawab istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tidur pulas. "Ada apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam." Isteri yang sudah amat mengenal watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya begitu pendiam, tidak seperti biasanya.
"Panggil dulu Lan Hong kesini, juga panggil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga."
Isteri Sie Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun. Pria ini adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Si Kian memimpin para murid yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu, sebagai murid, juga sebagai pembantu guru. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar gurunya itu!
Setelah isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara. "Kalian tentu masih ingat akan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu ketika aku mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?"
"Peristiwa yang mana?" tanya isterinya.
"Apakah suhu maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?" tanya Cu An.
Gurunya mengangguk. "Benar. Seperti telah kuceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam perkelahian itu, aku terluka senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak menceritakan kepada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi...., hari ini ancaman perampok itu agaknya akan dilaksanakan!" Sie Kian menarik napas panjang. "Ancaman bagimana?" tanya isterinya, nampak khawatir. "Ketika itu, sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka dia bersumpah bahwa pada suatu hari dia akan mencariku dan akan membasmi seluruh keluargaku. Ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada harganya untuk diperhatikan dan dianggap serius!"
"Akan tetapi.... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya sekali!" kata isterinya. Sie Kian kembali menarik napas dan dia mengangguk. "Benar sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah buktinya." Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat itu. "Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat itu berbunyi begini." Sie Kian membacakan surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan Cua An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat maka memiliki ketabahan besar.
"Ayah, kalau dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!" kata Lan Hong dengan penuh semangat.
"Sumoi benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong seorang penjahat seperti dia...."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng. Sie Kian meloncat dari kursinya. "Lan Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian disini! " berkata demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia segera keluar dan meloncat ke atas genteng. Pada saat dia meloncat ke atas genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara gonggongannya berubah pekik kesakitan lalu sunyi.
Sie Kian melayang turun dan lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing peliharaannya itu telah mati dan sebuah ronce merah nampak dilehernya. Anjing itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.
"Celaka....!" serunya dan dia cepat lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor kuda, telah menggeletak mati!
Sie Kian tidak memperdulikan lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang datangnya dari kamar para pelayan di belakang. Sie Kian terkejut dan kembali dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah lawan dan dia lupa untuk memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher mereka, hampir putus dan kamar itu banjir darah. Jelas bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!
Sie Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang masih tidur nyenyak.
"Apa... apa yang terjadi...?" tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
"Jahanam itu...., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya."
"Aihhh....!" Isterinya menangis.
"Sudah, tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak main-main dan ancamannya bukan gertak kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap berjaga di sini, menjaga keselamatan ibumu dan adikmu. Aku yang akan menghadapi jahanam busuk itu!"
"Baik, ayah," kata Lan Hong dengan luka pucat walaupun ia masih bersikap tenang. Kini tangannya memegang sebatang pedang.
"Teecu akan menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!" kata Cu An dangan sikap gagah. Juga dia memegang sebatang pedang.
Dengan hati penuh kemarahan, Sie Kian lalu keluar dari dalam kamar, berdiri sejenak di ruangan tengah, memasang telinga. Akan tetapi tidak mendengar suara apa-apa dan malam tiba dengan sunyinya. Dia lalu keluar berindap-indap dari dalam ruangan itu, kemudian mengelilingi rumah dan memeriksa setiap sudut. Namun, tidak nampak bayangan orang.
Dengan gemas dia lalu meloncat naik ke atas genteng, berdiri di wuwungan rumahnya, lalu berteriak, "Perampok laknat, penjahat keji, jahanam keparat! keluarlah dari tempat persembunyianmu dan marilah kita bertanding secara jantan untuk menentukan siapa yang lebih kuat!"
Namun, tidak ada jawaban dan suasana, sunyi saja. Tempat tinggal keluarga Sie memang berada di sudut kota Tiong-cin, di pinggir dan mempunyai pekarangan luas, agak jauh dari tetangga, agak terpencil. Memang Sie Kian memilih tempat ini dimana dia dapat membuat lapangan yang luas untuk berlatih silat para muridnya. Sebagai seorang guru silat bayaran, Sie Kian menerima siapa saja yang mampu membayar, dan karena itu dia memiliki banyak sekali murid, baik dari kota Tiong-cin sendiri maupun dari dusun-dusun sekitarnya dan dari kota lain. Akan tetapi, semua muridnya tidak ada yang tinggal disitu kecuali Cu An yang merupakan murid utama dan kini bahkan menjadi guru pembantunya.
Karena usahanya mencari musuh itu sia-sia, dan tantangnnya juga tidak mendapatkan jawaban, akhirnya dangan hati mendongkol Sie Kian masuk lagi ke dalam rumah. Ketika isterinya, Lan Hong, dan Cu An memandang kepadanya dengan mata bertanya, dia hanya menggeleng kepala. "Tidak ada bayangan si keparat itu! Dia tentu telah pergi, atau bersembunyi, untuk menanti kelengahanku, atau mendatangkan ketegangan dalam hati kita."
Memang suasana menjadi tegang sekali. Bahkan Cu An yang biasanya tenang itu kini nampak agak pucat. Siapa orangnya yang tidak akan tegang menanti musuh yang main kucing-kucingan dan amat kejam itu? Semua binatang peliharaan telah dibunuhnya, juga dua orang pelayan wanita yang sama sekali tidak berdosa dan kini dia menghilang, membiarkan semua orang dicekam ketegangan dan kegelisahan.
Mereka berempat duduk di dalam kamar itu. Isteri Sie Kian merupakan orang yang paling ketakutan. Sie Kian duduk dangan tenang, akan tetapi pendengarannya dicurahkan keluar untuk menangkap gerakan yang tidak wajar diluar rumah. Yang benar-benar tenang hanyalah Sie Liong, anak berusia sepuluh bulan itu! Dia masih suci, batinnya masih bersih dari pengetahuan sehingga rasa takut dan duka tidak akan pernah dapat menyentuhnya.
"Suhu....!" Suara Cu An terdangar aneh ketika memecah kesunyian itu. Bahkan suara yang hanya merupakan satu kata panggilan itu sempat mengejutkan Lan Hong yang menoleh kepadanya dangan kaget, juga nyonya Sie terperanjat. Hanya Sie Kian yang dengan tenang memandang muridnya itu. "Ada apakah, Cu An? Takutkah engkau?"
Pemuda itu menjilat bibirnya yang kering. Akan tetapi lidahnya juga kering bahkan mulutnya terasa kering sekali, dan dia menggeleng kepalanya. "Suhu, teecu tidak takut, hanya tegang. Kalau musuh sudah berada di depan teecu, biar teceu terancam mautpun teecu tidak takut. Akan tetapi suasana tidak menentu ini sungguh menegangkan. Bagaimana kalau kita semua pindah saja ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)? Di sana lebih luas. Kalau terjadi penyerangan sewaktu-waktu, kita akan lebih
leluasa untuk menghadapi musuh."
Setelah berpikir sejenak, Sie Kian mengangguk, "Engkau benar, Cu An. Kita belum tahu berapa orang jumlah musuh yang akan datang menyerbu, dan kamar ini memang terlalu sempit sehingga membahayakan keselamatan subo-mu dan adikmu yang kecil. Mari kita semua pindah saja ke ruangan latihan silat."
Sie Kian menyuruh puterinya membawa kasur agar di ruangan yang luas itu isterinya dapat menidurkan puteranya yang masih kecil. Mereka semua dengan penuh kewaspadaan lalu pindah ke dalam ruangan berlatih silat, sebuah ruangan jauh sepuluh kali lebih luas dari pada kamar itu, dan disitu hanya ada satu pintu besar dari mana orang luar dapat masuk. Kasur yang dibawa Lan Hong diletakkan di sudut ruangan itu dan ibunya lalu duduk disitu sambil memangku Sie Liong.
Setelah pindah ke ruangan yang lebih luas ini, benar saja hati mereka bertiga yang siap menghadapi musuh menjadi lebih tenang. Ruangan itu cukup luas dan mereka bertiga dapat melindungi Nyonya Sie dari depan saja karena tempat itu dikelilingi dinding sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mempersatukan tenaga menghadapi serbuan musuh.
Betapapun juga, suasana tegang tetap saja mencekam hati mereka. Sie Kian sendiri berulang kali mengepal tinju, merasa dipermainkan oleh musuhnya. Dia tahu bahwa sekali ini, dia harus berjuang mati-matian, mempertahankan nyawa keluarganya. Dia berjanji bahwa sekali ini, dia akan membasmi semua musuh yang datang, tidak memberi kesempatan seorangpun berhasil lolos agar tidak terulang pembalasan dandam seperti ini. Kalau saja dulu dia membunuh perampok pria itu, tentu tidak akan timbul masalah seperti sekarang. Tiba-tiba Sie Kian terkejut dan dia meloncat keluar dari pintu lian-bu-thia. Juga Cu An dan Lan Hong meloncat berdiri, pedang siap di tangan kanan dan mereka berdua sudah mengambil sikap berjaga-jaga, sedangkan nyonya Sie mendekap puteranya dangan muka pucat, mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan. Tak lama kemudian
terdangar suara kucing mengeong disusul suara Sie Kian menyumpah-nyumpah! Kiranya suara yang mencurigakan tadi hanyalah suara seekor kucing yang kebetulan lewat! Sungguh menggelikan sekali betapa ketegangan membuat semua orang menjadi demikian mudah kaget. Sie Kian muncul kembali dari pintu dan diapun menahan ketawanya, walaupun perutnya terasa geli. Demikian Pula Cu An dan Lan Hong.
Dari jauh terdangar suara ayam jantan berkokok. Biasanya, kalau ada ayam jantan berkokok, ayam jantan di kandang keluarga itu akan menyambutnya. Sekali ini, kokok ayam itu tidak ada yang menyambut, akan tetapi Sie Kian maklum bahwa tengah malam telah lewat. Ayam jantan disana itu sudah biasa berkokok diwaktu tengah malam, kemudian diwaktu pagi sekali. Kini tengah malam telah lewat. Betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru saja dia menerima surat itu, disenja hari tadi, dan tahu-tahu kini telah lewat tengah malam.
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh suara ketawa terbahak-bahak yang datangnya dari luar rumah! Kini Sie Kian melompat berdiri dan dia membentak marah. "Pengecut hina yang berada diluar! Masuklah, aku berada di lian-bu-thia sudah sejak tadi menanti kedatanganmu. Mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi!" tantangnya.
Suara ketawa itu berhenti, dan kini disusul suara yang mengandung ejekan, "Sie Kian! Aku memang memberi waktu agar kallan dicekam ketegangan hebat. Sekarang aku datang untuk membunuhmu. Keluarlah, aku menunggumu di pekarangan depan rumahmu!"
"Jahanam busuk! Engkau masuklah, aku sudah menanti dangan pedang di tangan untuk membunuhmu!" bentak Sie Kian yang tidak ingin meninggalkan keluarganya. "Ha-ha-ha-ha, Sie Kian kini menjadi seorang pengecut dan penakut! Aku menantangmu diluar, dan engkau bersembunyi dibalik gaun isterimu? Ha-ha! Keluarlah dan sambut aku, kalau tidak aku akan mmbakar rumahmu ini."
"Suhu...., jangan keluar, mungkin ini suatu siasat memancing harimau keluar sarang," bisik Cu An gelisah. "Tidak, disini ada engkau dan Lan Hong, hatiku tenang adanya kalian bardua menjaga ibumu. Aku akan keluar menyambut tantangan anjing keparat itu!"
"Hayo, Sie Kian! Apakah engkau benar-benar takut?" teriakan itu datang lagi dari luar. "Jahanam busuk, siapa takut? Tunggu, aku akan menyambut tantanganmu!" Sie Kian segera meloncat keluar, terus menuju ke pekarangan depan rumahnya.
Orang itu sudah menanti diluar. Lampu dua buah yang tergantung di serambi depan cukup terang, menerangi pekarangan itu. Memang tadi dia menggantung dua buah lampu agar tempat itu menjadi terang, tidak seperti biasanya yang hanya diterangi sebuah lampu gantung. Dari penerangan dua buah lampu itu, Sie Kian yang sudah berdiri berhadapan dalam jarak empat meter dangan orang itu, dapat mengenal wajah musuh besarnya. Wajah seorang laki-laki yang masih muda, kurang lebih tigapuluh tahun usianya. Wajah seorang laki-laki yang cukup tampan, halus dan tidak ditumbuhi kumis dan jenggot lebat. Bahkan wajah itu posolek, pakaiannyapun rapi dun bagus, sepatunya mengkilap baru. Itulah wajah perampok yang lima tahun yang lalu berkelahi dengannya, perampok yang kematian isterinya. Akan tetapi kini ada sesuatu dalam sikap orang itu yang menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang dahulu, bahwa kini dia telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Agaknya selama lima tahun ini dia telah menggembleng diri mati-matian, hanya untuk melakukan balas dendam ini. Akan tetapi Sie Kian tidak merasa gentar. Kalau berhadapan dangan seorang lawan, betapapun kuat lawan itu, dia tidak pernah gentar. Tidak ada lagi ketegangan seperti tadi. Hanya ada sedikit kekhawatiran bahwa orang ini menggunakan tipu muslihat, memancing dia keluar dan ada temannya yang akan menyerang kedalam. Akan tetapi kekhawatiran inipun diusirnya dangan keyakinan bahwa murid kepala dan puterinya cukup kuat untuk melindungi isteri dan puteranya yang masih kecil.
"Hem, kiranya engkau perampok busuk yang dulu itu? Sungguh perbuatanmu ini menunjukkan kecurangan dan membuktikan bahwa engkau seorang pengecut. Kalau hendak membalas dandam, kenapa tidak langsung saja menantangku? Kenapa memakai jalan membunuhi binatang-binatang dan pelayan-pelayan yang tidak berdosa?"
"Ha-ha-ha, Sie Kian, lupakah kau akan sumpahku bahwa suatu hari aku akan membasmi engkau dan seluruh keluargamu dan seluruh isi rumahmu? Ha-ha-ha, sekaranglah saatnya! Tidak perlu banyak cakap, nanti kalau sudah mati nyawamu akan bertemu dengan isteriku dan masih ada waktu bagimu untuk minta ampun kepadanya!"
"Jahanam busuk!" Sie Kian memaki dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya dahsyat sekali karena dalam marahnya, ingin Sie Kian segera merobohkan musuh ini. Pedangnya berkelebat dari samping dan mengirim bacokan ke arah leher orang itu yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat leher itu terpenggal putus. Akan tetapi, orang itu bergerak cepat sekali dan dengan mantap pedangnya berkelebat dari samping ke atas, menangkis bacokan pedang Sie Kian.
"Tringggg....!" Nampak bunga api berpijar dan Sie Kian merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat. Dia terkejut dan meloncat ke belakang, melihat pedangnya. Ternyata pedangnya itu patah sedikit pada mata pedangnya, hal ini menunjukkan bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh! Orang itu tertawa mengejek dan langsung menyerang dengan dahsyat. Sie Kian mengelak ke samping dan membalas serangan musuh dan mareka segera terlibat dalam perkelahian mati-matian dan seru sekali. Dan sekali ini, Sie Kian harus mengaku dalam hatinya bahwa lawannya sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dahulu, tidak boleh dipandang rendah karena ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat, di samping tenaga sin-kang kuat ditambah lagi sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Mulailah Sie Kian merasa khawatir. Seorang lawan saja Sudah begini lihai, apa lagi kalau dia datang berkawan. Ah, isteri dan anaknya berada di dalam! Bagaimana kalau dia kalah? Bagaimana kalau ada kawan-kawan penjahat ini? Lebih baik menyuruh mereka melarikan diri! Biarlah, dia akan mati di tangan musuh, asal keluarganya selamat!
"Singgg....!" Pedang lawan meluncur dekat sekali dengan dadanya. Sie Kian mengelak ke kanan, akan tetapi pedang itu sudah membacok dari kiri dengan kecepatan kilat. Sie Kian menggerakkan pedang menangkis. Terpaksa menangkis karena sejak tadi dia tidak pernah mengadu senjata secara langsung, maklum bahwa pedangnya akan kalah kuat. Kini, karena tidak mungkin mengelak lagi, terpaksa dia menangkis.
"Cringgg....!" Pedang di tangan Sie Kian patah dan buntung bagian atasnya! Lawannya tertawa bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sie Kian untuk mengerahkan tenaga berteriak ke arah dalam rumah.
"Lan Hong....! Ajak ibu dan adikmu melarikan diri! Cepaaaattt....!"
Lawannya tertawa bergelak, tertawa mengejek dan pedangnya menyambar dengan cepatnya, menusuk ke arah lambung Sie Kian. Guru silat ini melihat datangnya serangan yang amat berbahaya. Dia melempar tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan sehingga terbebas dari tusukan tadi. Akan tetapi lawannya mengejar dan pada saat itu muncullah Kim Cu An. Pemuda ini mendengar teriakan gurunya, menjadi khawatir sekali. Sejak tadi, tidak ada musuh menyerbu lian-bu-thia itu, maka dia berpendapat bahwa musuh hanya seorang saja dan agaknya gurunya membutuhkan bantuan. Kalau tidak begitu, tentu gurunya tidak berteriak menyuruh puterinya membawa ibu dan adiknya melarikan diri! Kim Cu An lalu berlari keluar dan di pekarangan itu dia melihat suhunya bergulingan di atas tanah, dikejar oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung yang gerakannya gesit bukan main.
"Suhu, teecu datang membantumu!" teriak Cu An dan dia lalu menggerakkan pedangnya membacok orang itu dari belakang. Akan tetapi, orang itu memutar pedangnya menangkis.
"Tranggg....!" Cu An mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangan saking kuatnya tenaga lawan dan ketika dia melihat, pedangnya telah buntung ujungnya!
"Hati-hati, Cu An, dia memegang sebatang pedang pusaka!" teriak Sie Kian yang telah terbebas dari desakan tadi berkat bantuan muridnya. Kini guru dan murid menghadapi lawan tangguh itu dengan pedang mereka yang sudah buntung ujungnya!
Orang itu tertawa lagi. "Ha-ha-ha kebetulan sekali. Kalian sudah berkumpul disini sehingga tidak melelahkan aku harus mencari ke sana-sini! Kalian akan mampus di tanganku!"
"Nanti dulu! Perkenalkan dulu namamu sebelum kami membunuhmu!" bentak Sie Kian yang ingin tahu siapa sebenarnya musuh besarnya ini.
"Ha-ha-ha, apa artinya kalau kuperkenalkan namaku pada kalian yang sebentar lagi akan mampus?" Tiba-tiba saja orang itu sudah menerjang dengan dahsyatnya dan pedangnya bergerak amat cepatnya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan menimbulkan angin berpusing. Sungguh suatu ilmu pedang yang amat dahsyat! Sie Kian dan Cu An segera mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaian mereka untuk menahan serangan itu. Namun mereka segera terdesak hebat dan tiba-tiba tangan kiri lawan itu bergerak. Tiga batang piauw beronce merah menyambar ke arah tiga bagian tubuh depan Cu An, sedangkan pedangnya membuat gerakan memutar membacok ke arah tubuh Sie Kien dilanjutkan
tusukan-tusukan maut! Guru dan murid ini menjadi repot sekali. Hampir saja Cu An menjadi korban senjata rahasia piauw itu. Untung dia masih dapat melempar tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari renggutan maut lewat senjata piauw. Dan Sie Kian juga terhuyung ke belakang dalam usahanya mengelak dan menangkis gulungan sinar pedang. Pada saat itu, lawannya kembali menggerakkan tangan kiri dan tiga sinar merah meluncur ke arah tenggorokan, dada dan lambung Sie Kian yang sedang terhuyung, dan orang itu meninggalkannya, pedangnya kini menyambar-nyambar ke arah Cu An yang baru saja meloncat bangun dari atas tanah dimana dia berguling tadi.
Cu An berusaha menangkis, namun kembali pedangnya patah dan pedang lawan meluncur terus memasuki dadanya. "Cappp....!" Pedang dicabut, darah menyembur dan tubuh Cu An terjengkang, tewas seketika karena jantungnya ditembusi pedang lawan. Sie Kian yang juga repot sekali mengelak dari sambaran tiga batang piauw tadi, terkejut bukan main melihat muridnya roboh. Akan tetapi pada saat itu, lawannya sudah datang menerjangnya. Dia berusaha menangkis, namun seperti keadaan muridnya, pedang yang menangkis itu patah dan pedang lawan meluncur terus dengan kekuatan dahsyat menyambar ke arah leher. Terdangar suara bacokan keras dan leher Sie Kian terbabat putus. Kepalanya terlepas dari tubuhnya dan menggelinding ke atas tanah. Tubuhnya
terbanting keras dan darah bercucuran membasahi tanah pekarangan.
Orang itu tertawa bergelak, dengan wajah gembira dia menyambar rambut kepala Sie Kian dengan tangan kirinya, lalu dia berloncatan memasuki rumah itu. Sementara itu, Lan Hong yang tadi mendengar teriakan ayahnya, menjadi khawatir sekali. Bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ayahnya terancam bahaya? Apalagi, ia harus membawa lari ibunya dan adiknya, bagaimana mungkin ia dapat berlari cepat, dan andaikata ia melarikan ibunya dan adiknya, tentu akan dapat dikejar dan disusul pula oleh musuh yang lihai. Ia merasa bimbang, apalagi ketika melihat suhengnya melompat keluar untuk membantu ayahnya. Lan Hong lalu berdiri melindungi ibunya yang masih mendekap adiknya. Melihat ibunya menggigil ketakutan, ia berkata dengan gagah, dan mengangkat pedangnya. "Ibu, jangan takut! Aku akan melindungi ibu dan adik Liong."
Melihat sikap puterinya, Nyonya Sie timbul pula keberaniannya. Orang jahat akan mengganggu anak-anaknya? Tidak, ia tidak boleh tinggal diam saja! Biarpun tidak sangat mendalam, ia pernah pula belajar ilmu silat dan kini, melihat puterinya akan menghadapi orang jahat, dan melihat bayinya terancam, bangkit semangat dan keberanianaya. Apa lagi mengingat betapa suaminya juga terancam bahaya maut. Ia segera menurunkan Sie Liong yang masih tidur itu ke atas kasur, lalu ia sendiri berlari ke arah rak senjata yang berada di sudut ruangan belajar silat itu, memilih senjata sebatang golok kecil yang ringan dan ia berdiri di samping puterinya. "Kita bersama menghadapi penjahat, Hong-ji!" katanya. Lan Hong khawatir melihat ibunya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, lebih banyak orang yang menghadang penjahat lebih baik. Ia hanya mengharapkan ayahnya dan suhengnya sudah cukup untuk mengusir penjahat yang menyerbu rumah mereka.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketawa dan sebuah benda melayang dari pintu ruangan itu masuk ke dalam. Benda itu jatuh ke lantai lalu menggelinding ke depan dua orang wanita itu. Lan Hong yang sudah siap siaga, memandang benda itu. Sebuah kepala yang lehernya masih berlepotan darah!
"Ayah....!" Ia menjerit.
Ibunya melengking dan menubruk kedepan, melempar goloknya dan menangis menggerung-gerung. Pada saat itu ada bayangan orang berkelebat masuk. "Ibu mundur....!" Lan Hong berteriak, akan tetapi terlambat. Ibunya sudah meloncat kedepan dan menubruk
kepala suaminya itu, dan pada saat itu, laki-laki jangkung yang berkelebat masuk itu sudah menggerakkan pedangnya.
"Crakkkk!" Pedang itu menyambar cepat dan kuat sekali, dan leher ibu yang menangisi kepala suaminya itupun terbabat putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan darah menyembur-nyembur.
"Ibuuu....!" Lan Hong hampir pingsan melihat ini, akan tetapi kemarahan membuat ia dapat menahan diri dan dengan kemarahan meluap, dendam sakit hati yang amat hebat, iapun menyerang laki-laki itu dengan pedangnya, ia menusuk dengan sekuat tenaga ke arah dada orang itu sambil mengeluarkan suara melengking nyaring saking marahnya. Laki-laki itu mengelak dan dia mengamati gadis yang menyerangnya, sinar kagum terpancar dari pandang matanya. "Ah, engkau sungguh manis sekali! Engkau puteri Sie Kian? Sungguh tak kusangka guru silat itu mempunyai seorang puteri yang begini cantik dan manis!" Kembali dia mengelak ketika pedang di tangan Lan Hong menyambar ke arah lehernya.
Lan Hong tidak memperdulikan kata-kata orang itu yang memuji-muji kecantikannya. Hatinya penuh dendam kebencian dan ingin ia menyayat-nyayat dan mencincang hancur tubuh musuh besar yang telah membunuh ayah ibunya itu. Ia melanjutkan serangannya, dan kemarahan membuat seranggnnya itu tidak teratur lagi, akan tetapi justru serangan seperti itu amat berbahaya.
Melihat kenekatan gadis yang menyerangnya sambil bercucuran air mata itu, laki-laki itu segera menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Pedang yang menangkis itu mengeluarkan tenaga getaran kuat sehingga ketika pedang bertemu, pedang di tangan Lan Hong patah dan juga terlepas dari pegangannya! Gadis itu berdiri dengan muka pucat akan tetapi matanya terbelalak memandang penuh kabencian. Laki-laki di depannya itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya rapi, tubuhnya tinggi semampai. Seorang pria yang akan menarik hati setiap orang wanita, akan tetapi pada saat itu, Lan Hong melihatnya seperti setan jahat yang amat dibencinya.
Laki-laki itu menodongkan pedangnya ke depan dada Lan Hong, tersenyum dan kembali matanya memancarkan sinar kagum dan juga heran. "Sungguh mati, kalau usiamu tidak semuda ini, tentu kau kukira isteriku! Engkau mirip benar dangan isteriku, bahkan engkau lebih cantik manis, lebih segar dan lebih muda! Ahh, ayahmu telah membunuh istriku, sudah sepatutnya kalau dia menyerahkan puterinya sebagai pengganti isteriku. Ha-ha, benar sekali! Nona manis, engkau akan menjadi isteriku. Aku tidak akan membunuhmu, sebaliknya malah, aku akan mengambil engkau menjadi isteriku, isteri yang tercinta, dan aku akan membahagiakanmu, akan melindungimu.... engkau akan menjadi pengganti isteriku yang telah tiada...."
"Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu, jahanam!" teriak Lan Hong dan kini gadis ini menyerang dengan kepalan tangannya, menghantam ke arah muka yang amat dibencinya itu.
"Plakk!" Tangan itu telah tertangkap pada pergelangannya oleh tangan kiri pria itu.
"Nona, pikirkan baik-baik dan jangan menurutkan nafsu amarah. Ingat bahwa aku terpaksa membunuh keluarga ayahmu karena ayahmu pernah membunuh isteriku yang tercinta. Sekarang, semua hutang telah lunas dan engkau...., engkau sungguh menarik hatiku, aku jatuh cinta padamu, nona. Engkau menjadi pengganti isteriku. Mudah saja bagiku untuk memaksamu dan memperkosamu, nona. Akan tetapi aku sungguh tidak menghendaki itu. Aku ingin engkau dengan suka rela menyerahkan diri padaku, menjadi isteriku yang kucinta."
"Tidak! Tidak sudi! Lebih baik aku mati!" Lan Hong meronta-ronta dan pada saat itu terdengar tangis seorang anak kecil! Sie Liong agaknya terbangun dan dia menangis menjerit-jerit seperti anak yang ketakutan. Baik Lan Hong maupun orang itu terkejut. Orang itu melepaskan Lan Hong yang tadi sudah melupakan adiknya itu, dan dengan pedang di tangan dia menghampiri kasur terhampar dimana anak itu rebah menangis.
"Aha! Kiranya keluarga Sie masih mempunyai seorang anak kecil? Laki-laki pula! Ah, dia harus mampus....!"
Tiba-tiba saja Lan Hong menubruk adiknya. "Tunggu....! Jangan.... jangan bunuh adikku....!" jeritnya sambil mendekap adiknya, melindunginya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang pria itu. "Jangan bunuh adikku.... ah, kumohon padamu, jangan bunuh adikku yang masih kecil ini....!"
"Dia putera ayahmu, kelak hanya akan menjadi ancaman bahaya bagiku. Aku harus membunuhnya. Berikan dia padaku!" Laki-laki itu menghardik, kini suaranya berubah, tidak seperti tadi, penuh nada manis merayu, kini terdangar galak dan kejam.
Lan Hong membayangkan betapa orang itu akan membunuh adiknya. Kalau ia melawan, iapun tentu akan mati. Baginya, mati bukan apa-apa, akan tetapi kalau ia mati dan adinya mati pula, lalu siapa kelak yang akan membalas dendam setinggi gunung sedalam lautan ini? Satu-satunya jalan, ia harus mengorbankan diri, menyerahkan diri, demi adiknya agar dapat hidup, agar kelak akan ada yang membalaskan kehancuran dan pembasmian keluarga ayahnya ini!
"Tidak! Tunggu....! Aku.... aku akan menyerahkan diri, dengan suka rela.... aku akan menjadi isterimu asalkan engkau.... tidak membunuh adikku....! Kalau engkau tetap membunuhnya, aku akan melawanmu sampai mati dan aku tidak akan menyerahkan diri, aku akan membunuh diri!"
Sejenak pria itu tertegun, memandang kepada anak laki-laki dalam pondongan gadis itu, lalu memandang gadis itu dari kepala sampai kekaki. Sungguh aneh sekali, pikirnya. Gadis ini mirip benar dengan isterinya yang telah tiada! Dan begitu bertemu, timbul rasa suka dan cinta kepada gadis ini. Baru penolakannya saja sudah menyakitkan hati, kalau dia harus memperkosanya, hatinya akan lebih kecewa lagi. Kalau gadis itu menyerahkan diri secara suka rela, mau menjadi isterinya, alangkah akan bahagianya hatinya! Hidupnya akan menjadi terang lagi setelah kegelapan bertahun-tahun yang dideritanya karena kematian isterinya. Akan tetapi anak itu! Ah, bukahkah janjinya hanya tidak akan membunuhnya? Baik, dia tidak akan membunuhnya, tapi....! "Benar engkau akan menyerahkan diri kepadaku dengan sukarela?"
"Benar!"
"Dan engkau akan belajar mencintaku seperti aku mencintamu setelah aku menjadi suamimu yang mencintamu?"
Wajah gadis itu berubah merah. "Aku.... aku akan mencoba...."
"Bagus, kalau begitu, aku tidak akan membunuh adikmu, akan tetapi sekali engkau memperlihatkan sikap memusuhi aku yang menjadi suamimu, adikmu akan kubunuh!"
"Tidak, engkau harus bersumpah dulu! Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan membunuh Sie Liong, adikku ini. Bagaimanapun juga aku percaya bahwa engkau masih memilikl harga diri dan memiliki kehormatan untuk memegang teguh sumpahmu. Bersumpahlah, baru aku akan percaya padamu." Gadis itu mempertahankan diri sambil mendekap adiknya yang sudah berhenti menangis.
Pria itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau cantik, engkau manis, engkau gagah dan engkau cerdik! Sungguh membuat aku semakin jatuh cinta saja. Engkau patut menjadi isteriku, sungguh! Siapakah namamu? Aku akan bersumpah."
"Namaku Sie Lan Hong dan adikku ini Sie Liong."
"Nah, sekarang dengarkan sumpahku!" kata pria itu dan diapun berdiri dengan tegak, mengangkat pedangnya di depan dahi, mengacung ke atas dan diapun berkata dengan suara lantang. "Aku, Yauw Sun Kok, bersumpah demi nama dan kehormatanku, disaksikan oleh padang pusakaku, Bumi dan Langit, bahwa kalau Sie Lan Song menjadi isteriku dan membalas cinta kasihku, menyerah dengan suka rela kepadaku, maka aku tidak akan membunuh Sie Liong! Biar Bumi dan Langit mengutuk aku kalau aku melanggar sumpahku!"
Setelah bersumpah, pria yang mengaku bernama Yauw Sun Kok itu menyimpan pedangnya ke dalam sarung pedang dan tersenyum kepada Lan Hong. "Nah, bagaimana? Puaskah engkau dangan sumpahku tadi?"
Lan Hong mengangguk dan Sun Kok nampak girang sekali. "Manisku, Hong-moi, kekasihku, isteriku.... kemenangan ini harus kita rayakan. Untuk memperkuat sumpahku, saat ini juga engkau harus menjadi isteriku yang tercinta. Tidurkan adikmu itu...." Dengan lembut Sun Kok lalu mengambil Sie Liong dari dekapan Lan Hong, merebahkan anak itu di tepi kasur, kemudian dengan lembut namun penuh gairah, bagaikan seekor harimau, dia menerkam Lan Hong, mendorong gadis itu rebah ke atas kasur di dekat adiknya! Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati gadis itu. Dara yang sedang remaja ini terpaksa harus menyerahkan
dirinya bulat-bulat, tanpa perlawanan sedikitpun, menyerahkan dirinya digauli pria yang baru saja membunuh ayahnya, ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di dalam rumah. Bahkan ia harus melayani pria itu di kasur yang dihamparkan di atas lantai lian-bu-thia, dan dari tempat ia rebah terlentang itu ia dapat melihat dua buah kepala yang berlepotan darah di atas lantai, tak jauh dari situ. Kepala ayahnya dan Ibunya!
Sie Liong mulai menangis lagi, meraung-raung. Lan Hong juga menangis, merintih kesakitan. Namun, Yauw Sun Kok yang dibakar nafsu berahinya itu tidak memperdulikan semua itu. Dia sudah merasa bangga, juga bahagia sekali karena gadis itu benar-benar menyerahkan diri bulat-bulat tanpa perlawanan sedikitpun! Diapun tidak perduli ketika gadis itu, di antara isak tangis dan rintihannya, berbisik-bisik, "Ayah.... Ibu.... ampunkanlah anakmu ini.... demi keselamatan Sie Liong.... ahhhh...."
Setelah merasa puas dengan penyerahan diri yang sama sekali tidak mengandung perlawanan seperti dijanjikan gadis itu, Yauw Sun Kok merasa semakin sayang kepada Lan Song. Rasa sayang itu dibuktikan dengan diturutinya permintaan gadis itu untuk menguburkan jenazah ayah ibu gadis itu, suhengnya, dan dua orang pelayan. Sun Kok malam itu juga menggali lubang-lubang di belakang rumah keluarga Sie, menguburkan jenazah suami isteri Sie Kian dalam satu lubang, jenazah Kin Cu An dan dua orang pelayan dilain lubang. Kemudian, menjelang pagi, diapun memondong tubuh Lan Song yang juga memondong Sie Liong melarikan diri secepetnya meninggalkan tempat itu.
Gegerlah penduduk Tiong-cin ketika pada keesokan harinya mereka mendapatkan rumah keluarga Sie sunyi senyap. Ketika para penduduk memeriksa, mereka tidak menemukan seorangpun penghuni di rumah itu. Di pekarangan dan di ruangan berlatih silat nampak banyak darah, dan semua binatang di rumah itu mati dalam kandangnya. Tentu saja para petugas pemerintah melakukan pemeriksaan dan mereka menemukan dua lubang kuburan baru itu. Kuburan dibongkar dan makin gegerlah kota Tiong-cin ketika mereka menemukan mayat-mayat Sie Kian, isterinya, muridnya, dan dua orang pelayan wanita. Jelas mereka itu tewas karena dibunuh, bahkan Sie Kian dan isterinya tewas dengan kepala terpisah dari badannya. Yang membuat semua orang bingung adalah
lenyapnya Sie Lan Hong dan Sie Liong, dua orang anak keluarga Sie itu.
Teka-teki peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Sie itu tetap merupakan rahasia yang tidak terpecahkan oleh semua orang. Dan rahasia itu memang tidak mungkin dapat dipecahkan karena dua orang yang dapat menjadi kunci pembuka rahasia itu, yaitu Sie Lan Hong dan Sie Liong, telah pergi jauh sekali dari tempat itu. Ratusan bahkan ribuan li jauhnya dari kota Tiong-cin karena Yauw Sun Kok membawanya pergi ke barat, jauh sekali, di perbatasan barat propinsi Sin-kiang!
***
Yauw Sun Kok adalah seorang laki-laki petualang yang sudah hidup sebatangkara sejak masih kecil. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular yang amat berbahaya di dusunnya dan dalam usia sepuluh tahun dia sudah hidup sebatang kara dan yatim piatu. Kehidupan yang keras seorang diri ini menggemblengnya menjadi seorang pemuda yang keras. Namun, dia memang memiliki kecerdikan sehingga biarpun ketika ayah ibunya meninggal dia baru berusia sepuluh tahun, namun dia telah memiliki kepandaian membaca dan menulis. Ketika dia hidup seorang diri, merantau sebatangkara dan menemui banyak kekerasan dan kesulitan hidup, dia mengerti bahwa dalam kehidupan yang sulit dan serba keras itu, dia perlu menguasai ilmu silat. Maka, kemanapun dia merantau, dia selalu berusaha untuk mempelajari ilmu silat dari siapapun. Akhirnya, dalam usia lima belas tahun, setelah menguasai beberapa macam ilmu silat, dia bekerja pada seorang kepala perampok kenamaan di sepanjang Sungai Kuning. Karena dia setia dan pandai mengambil hati, diapun menjadi murid kepala perampok itu dan mempelajari ilmu silat dan ilmu.... merampok! Seringkali dia mewakili gurunya memimpin anak buah untuk merampok atau membajak perahu-perahu di sungai dan dalam usia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang perampok yang lihai dan ditakuti. Bukan saja ilmu silatnya cukup lihai, akan tetapi juga dia masih bersikap seperti orang terpelajar dengan modal sedikit ilmu sastra yang pernah dipelajari diwaktu ayahnya masih hidup. Pakaiannya selalu rapi dan karena wajahnya tampan, maka banyak wanita yang jatuh hati kepadanya.
Di antara gadis yang tergila-gila kepadanya adalah puteri kepala perampok itu sendiri! Gadis puteri kepala perampok itu memang cantik manis, dan segera terjadilah hubungan akrab di antara mereka. Akan tetapi, kepala perampok itu tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan Sun Kok yang menjadi pembantunya dan muridnya pula. Biarpun dia kepala perampok, akan tetapi dia tidak ingin melihat puterinya menjadi isteri perampok! Dia ingin melihat puterinya menjadi isteri seorang pejabat tinggi atau seorang hartawan, setidaknya seorang yang hidup terhormat dan terpandang! Di sini terbukti bahwa setiap orang yang melakukan penyelewengan dalam hidupnya, sama sekali bukan karena dia tidak tahu, atau dia menyukai pekerjaan maksiat atau penyelewengan itu! Kalau dia mampu, tentu saja dia akan menjauhi perbuatan menyeleweng itu! Kalau seorang pencuri sudah menjadi kaya raya dan terhormat, tak mungkin dia ingin mencuri lagi! Kepala perampok itupun tidak ingin mempunyai mantu perampok!
Akan tetapi, hubungan antara Sun Kok dan puteri perampok itu sudah amat jauh dan mendalam, bahkan puteri kepala perampok itu sudah berulang kali menyerahkan diri kepada Sun Kok. Sudah berulang kali mereka melakukan hubungan suami isteri dengan pencurahan kasih sayang. Karena dihalangi oleh orang tua gadis itu, jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah minggat! Sun Kok dan kekasihnya meninggalkan sarang kepala perampok itu dan gadis itu ketika lari membawa pula beberapa barang berharga. Dan mulailah mereka berdua hidup sebagai suami isteri perampok! Mereka jauh meninggalkan sarang kepala perampok di tepi Sungai Kuning itu dan mereka menjadi perampok di sepanjang perbatasan Propinsi Hok-kian di timur.
Demikianlah sedikit riwayat Yauw Sun Kok sampai lima tahun kemudian, ketika dia berusia dua puluh lima tahun dan menjadi perampok bersama isterinya tercinta, mereka berdua ketika sedang merampok kereta keluarga bangsawan; mereka bertemu dengan Sie Kian dan dalam perkelahian, isteri Yauw Sun Kok tewas di tangan Sie Kian! Yauw Sun Kok yang kematian isterinya, menjadi berduka sekali dan dia mendendam sakit hati yang hebat terhadap Sie Kian. Kembali dia hidup sebatangkara karena isterinya belum pernah melahirkan seorang anak. Dengan dendam yang bernyala, Yauw Sun Kok lalu merantau ke barat. Dia mendengar bahwa
Pegunungan Himalaya merupakan gudang para pertapa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka kesanalah dia pergi, untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi agar kelak dia dapat membalas dendamnya kepada Sie Kian. Selama lima tahun, Yau Sun Kok menghamburkan semua hartanya yang dikumpulkan dari hasil merampok bersama isterinya, termasuk harta bawaan isterinya, untuk belajar ilmu silat. Bermacam guru ditemuinya dan diapun berhasil mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi, dan mendapatkan sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih) karena di badan pedang itu terdapat ukiran setangkai bunga teratai putih dan pedang itu sendiri terbuat dari baja putih sehingga kalau dimainkan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Setelah merasa cukup memiliki ilmu silat yang boleh diandalkan, Yauw Sun Kok lalu pergi mencari musuh besarnya. Tidak sukar baginya untuk menemukan tempat tinggal Sie Kian atau Sie Kauwsu yang membuka perguruan silat bayaran di kota Tiong-cin itu. Dia melakukan penyelidikan dan merasa girang melihat betapa rumah keluarga Sie berdiri terpencil dan para muridnya tinggal diluar perguruan. Setelah memperhitungkan masak-masak, dia lalu mengirim surat ancaman itu dengan mempergunakan senjata rahasia piauwnya dan akhirnya, dia berhasil membasmi keluarga Sie, dan melarikan dua orang anak musuh besarnya. Sungguh diluar perhitungannya bahwa dia dapat jatuh cinta kepada Lan Hong, padahal dia bukahlah seorang yang mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada wanita cantik. Mungkin karena ada persamaan atau kemiripan antara wajah Lien Hong dan mendiang isterinya, maka dia tertarik sekali.
Setelah berhasil menaklukan Lan Hong sehingga gadis remaja itu menyerahkan diri kepadanya, Yauw Sun Kok merasa gembira sekali. Dia maklum bahwa perbuatannya di Tiong-cin itu akan menimbulkan kegemparan, maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya menuju ke barat! Dia membawa Lan Song yang telah menjadi isterinya itu ke Sin-kiang bersama anak kecil itu.
Di sebuah kota kecil bernama Sung-jan, di perbatasan barat Propinsi Sin-kiang, Tauw Sun Kok telah memiliki sebuah rumah yang lumayan. Di sinilah tempat tinggalnya yang terakhir setelah menuntut ilmu. Dan di kota ini, namanya sudah mulai terkenal sebagai seorang yang lihai. Namanya mulai terkenal, karena dia mempunyai hubungan dengan banyak tokoh kang-ouw di daerah barat. Memang Sun Kok pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan dengan kepandaiannya mengambil hati ini, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu silat. Setelah tiba dirumahnya, Sun Kok lalu merayakan pesta
pernikahannya dengan Sie Lan Hong! Meriah juga pesta itu karena selain mengundang orang-orang terkemuka di kota Sung-jan, juga dia mengundang tokoh-tokoh kang-ouw di daerah barat yang menjadi kenalannya. Suatu keanehan terjadi dalam hati Sie Lan Hong. Melihat sikap bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu, sikap yang amat baik, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih, penuh kemesraan dan kesabaran, sedikit demi sedikit lenyaplah kebencian di dalam hati dara remaja ini! Apalagi
melihat betapa Sun Kok bersungguh-sungguh memperisterinya, bukan sekedar main-main dan untuk mempermainkannya saja. Melihat betapa suaminya itu mengadakan pesta yang meriah untuk pengesahan pernikahan mereka, timbul perasaan suka di hati gadis ini. Sun Kok yang berpengalaman itu memang pandai merayu, dan Lan Hong adalah seorang gadis yang usianya baru lima belas tahun, maka mudah saja dia terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan kasih sayang suaminya. Perlahan-lahan, rasa benci dan dendam itu lenyap terganti perasaan cinta yang mesra!
Akan tetapi ada suatu hal yang menggelisahkan hati Yauw Sun Kok. Dia pun kini sudah tidak mendendam lagi kepada keluarga Sie, dan cintanya terhadap Lan Hong yang sudah menjadi isterinya adalah cinta yang mendalam. Bahkan diapun tidak membenci Sie Liong, adik isterinya itu. Sebaliknya, dia juga memiliki perasaan sayang kepada anak itu, di samping perasaan iba mengingat betapa anak itu sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi. Akan tetapi, di samping perasaan sayang dan iba ini, ada semacam kegelisahan timbul dalam hatinya setiap kali dia memangku dan menimang Sie Liong. Dalam diri anak ini dia melihat ancaman bahaya besar! Kalau kelak Sie Liong sudah menjadi seorang dewasa, tentu dia akan mendangar akan kematian ayah ibunya ditangan kakak iparnya ini, dan tentu akan terjadi malapetaka! Besar sekali kemungkinannya, Sie Liong kelak akan mencoba untuk membalas dendam! Dari pihak isterinya, dia tidak khawatir karena dia dapat merasakan kemesraan dan kasih sayang dari isterinya kepadanya. Akan tetapi anak ini? Setahun kemudian, ketika Sie Liong sudah pandai berjalan, pada suatu hari Sun Kok mengajaknya ke kebun belakang. Sementara itu Lan Hong menyusui anaknya di dalam kamar. Satelah menikah setahun lamanya, Lan Hong melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan diberi nama Yauw Bi Sian. Ketika itu, Bi Sian baru berusia satu bulan. Sun Kok mengajak Sie Liong ke kebun dan memang anak ini dekat sekali dengan dia. Sun Kok seringkali menimang dan memondongnya, seolah-olah adik isterinya itu anak kandungnya sendiri. Dan memang dia tidak berpura-pura. Ada rasa sayang dan iba kepada Sie Liong. Akan tetapi, ketika dia membawa Sie Liong bermain-main di kebun belakang, kembali dia teringat akan bahaya yang mengangancam dari diri anak ini. Dia tahu bahwa Sie Liong memiliki tulang yang kuat dan darah yang bersih. Anak ini berbakat baik sekali untuk kelak menjadi seorang yang gagah perkasa. Kalau kelak anak ini menjadi seorang pandai, tentu keselamatan dirinya terancam! Wajah anak itu saja sudah mulai mengingatkan dia akan wajah Sie Kian yang dibunuhnya. Berbeda dari wajah isterinya yang mirip ibunya. Kelak Sie Liong akan menjadi Sie Kian kedua yang mungkin saja akan membunuhnya untuk membalas dendam! Mulailah dia merasa menyesal mengapa dia membunuh dan membasmi keluarga Sie tanpa mengenal ampun. Pada hari ini dia insyaf, mendiang Sie Kian membunuh isterinya bukan karena benci atau dendam, melainkan dalam perkelahian yang wajar. Sie Kian sebagai seorang pendekar membela bangsawan yang dirampoknya, dan dalam perkelahian itu Sie Kian berhasil mengalahkan dia dan isterinya. Isterinya tewas dan dia terluka, juga Sie Kian terluka oleh senjata rahasia piauw-nya. Bagaimanapun juga, anak ini merupakan ancaman bahaya besar. Betapa mudahnya melenyapkan ancaman baginya itu. Sekali menggerakkan tangannya, anak ini akan mati dan lenyaplah ancaman bahaya itu. Akan tetapi, dia teringat akan sumpahnya kepada isterinya. Dia telah bersumpah tidak akan membunuh anak ini, dan isterinya ternyata juga memegang teguh janjinya. Isterinya itu kini menjadi seorang isteri yang mencinta, mesra dan bahkan telah melahirkan seorang anak keturunannya! Bagaimana mungkin dia melanggar sumpahnya? Isterinya benar. Bagaimanapun juga, dia masih memiliki harga diri dan dia tidak akan melanggar sumpahnya! Dan pula, bagaimana dia tega membunuh anak ini yang sudah disayangnya pula?
"Ci-hu (kakak ipar).... ci-hu.... tangkap.... tangkap....!" Tiba-tiba Sie Liong berseru gembira sambil menunjuk ke arah seekor kupu-kupu kuning yang beterbangan di antara kembang-kembang yang tumbuh di kebun itu. Yauw Sun Kok memandang anak itu. Dia tersenyum. "Kau tangkaplah sendiri, Sie Liong! Engkau anak pandai, harus mampu monangkap sendiri kupu-kupu itu."
Sie Liong dengan gembira berlari-lari mengejar kupu-kupu itu. Akan tetapi kupu-kupu itu terlampau gesit dan terbangnya terlampau tinggi bagi Sie Liong yang mengejar terus. Karena selalu melihat ke arah kupu-kupu di atas, ketika berlari-lari itu, tiba-tiba kaki Sie Liong tersandung batu besar dan diapun tergelincir dan terguling.
"Dukk!" ketika terjatuh itu, kepalanya membentur batu dan anak itupun pingsan! Kepalanya yang kanan dekat pelipis mengeluarkan benjolan berdarah. Sun Kok terkejut dan cepat dia meloncat menghampiri dan memondong tubuh anak itu, lalu duduk di atas bangku dan memangkunya. Sie Liong telah pingsan. Ketika dia hendak menyadarkan anak itu dengan memijat belakang kepalanya, tiba-tiba menyelinap pikiran lain dalam banaknya. Inilah kesempatan yang amat baik! Dia tidak akan membunuh anak ini akan tetapi dapat membuatnya menjadi cacat dan dengan cacatnya itu, kelak dia tidak akan dapat menjadi orang kuat dan terhindarlah dia dari ancaman balas dendam anak ini! Membuat dia cacat tidak berarti membunuhnya. Dia tldak melanggar sumpahnya, dan dalam keadaan pingsan begini, anak inipun tidak merasakan apa-apa! Dan dia akan mengusahakan agar tidak ada bekas-bekas penganiayaan, dan peristiwa jatuhnya anak ini kelak dapat menjadi alasan mengapa dia menjadi cacat!
Tanpa ragu lagi, Sun Kok menelungkupkan tubuh Sie Liong yang pingsan itu, membuka bajunya, kemudian dengan dua jari tangan kanannya, dia menotok dan memuntir tiga kali di punggung anak itu! Benar seperti dugaannya, anak yang pingsan itu tidak kelihatan kesakitan, padahal tiga kali totokan jari dan puntiran itu telah membuat tulang punggung itu retak dan jaringan syaraf dan ototnya menjadi hancur! Sun Kok memondong kembali tubuh itu setelah membereskan pakaiannya, membawanya pulang ke rumah. Tanda biru menghitam pada punggung itu tentu tidak menimbulkan kecurigaan. Tak seorangpun akan menyangba bahwa tanda itu adalah tanda bekas totokan dan puntiran jari tangannya!
Melihat suaminya memasuki kamar memondong tubuh Sie Liong yang lemas seperti anak tidur, Lan Hong terkejut. "Ah, ada apakah?" tanyanya, memandang wajah suaminya dengan khawatir.
"Dia mengejar kupu-kupu, tersanduag dan terjatuh, kepalanya terbanting ke atas batu dan dia pingsan," katanya sambil merebahkan tubuh anak itu ke atas pembaringan. Lan Hong sejenak memandang wajah suaminya, penuh dengan kecurigaan dan sepasang alisnya berkerut. Melihat isterinya memandangnya seperti itu, Sun Kok manghampiri dan merangkul isterinya. "Isteriku yang baik, apakah sampai kini engkau belum juga percaya padaku? Ingat, aku takkan pernah melupakan sumpahku. Aku tidak akan membunuh Sie Liong! Aku sudah amat sayang padanya. Bagaimana kini engkau dapat memandang kepadaku dengan kecurigaan seperti itu?"
Lan Hong membalas rangkulan suaminya. "Ah, maafkan aku...." dan iapun segera memeriksa keadaan Sie Liong. Kelihatannya hanya kepala anak itu saja yang terluka, berdarah dan membenjol. Akan tetapi biarpun mereka berdua telah berusaha untuk membikin sadar, anak itu tetap saja pingsan. Hal ini membuat Lan Hong merasa khawatir sekali dan suaminya segera pergi mengundang seorang tabib yang terkenal pandai di kota Sung-jan itu. Tabib itu seorang  peranakan Nepal dan memang dia pandai sekali dalam soal pengobatan.
Orang berkulit hitam dan tinggi kurus bersorban putih itu datang membawa keranjang obatnya, dan segera memeriksa Sie Liong. Tabib itu sudah lama mengenal Yauw Sun Kok yang dikenal di kota itu sebagai seorang ahli silat yang pandai disamping pekerjaannya sebagai seorang pedagang rempah-rempah yang cukup maju.
Mula-mula dia memeriksa keadaan kepala yang benjol itu, ditunggui dengan penuh kekhawatiran oleh Lan Hong yang memondong puterinya dan suaminya. Tabib itu mengangguk-angguk. "Hanya luka diluar, tidak berbahaya dengan kepala ini. Hemm, kenapa dia belum juga siuman? Tentu ada luka lain. Biar kuperiksa tubuhnya." Dia lalu membuka pakaian anak itu, dibantu oleh Sun Kok. Ia sama sekali tidak merasa khawatir. Seorang tabib yang pandai seperti orang Nepal ini tentu akan dapat menemukan luka di punggung itu, akan tetapi tak mungkin akan tahu bahwa itu disebabkan oleh totokan jari tangan dan akan mengira bahwa punggung itupun terpukul benda keras.
Dugaannya memang benar. Setelah memeriksa seluruh tubuh, akhirnya tabib itu menemukan tanda menghitam di tulang pungung. "Ahh, inilah yang menyebabkan dia pingsan terus! Punggungnya terluka, dan luka ini lebih hebat dari pada luka dikepalanya!"
Dia memeriksa dengan teliti, lalu mengerutkan alisnya, manggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang. Â "Bagaimanakah keadaannya, Sin-she (Tabib)?" tanya Lan Hong khawatir melihat muka orang Nepal itu. "Tidak baik.... sungguh tidak baik....! Luka di punggung ini hebat sekali. Agaknya tulang punggung ini retak, dan otot-ototnya juga terluka parah...."
"Aihh! Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dan.... dan.... apakah dia dapat disembuhkan, Sin-she?" tanya pula Lan Hong sambil memandang suaminya. Sun Kok mengangguk-angguk. "Aku hanya melihat ada batu besar di bawahnya ketika dia jatuh. Karena yang nampak hanya kepalanya yang membenjol dan berdarah, kusangka hanya itu saja lukanya. Tentu punggunguya terbanting pada batu yang menonjol sehingga seperti terpukul."
Tabib itu mengangguk-angguk. "Agaknya begitulah. Akan tetapi jangan khawatir, dia masih kecil sehingga luka parah itu tidak akan merenggut nyawanya, walaupun aku khawatir sekali...."
Melihat tabib itu nampak ragu, Lan Hong bertanya cemas, "Khawatir apa, Sin-she? Katakanlah, apa yang akan terjadi dengan adikku?"
"Dia akan dapat disembuhkan, oleh obatku dan oleh kekuatan tubuhnya sendiri yang masih murni. Akan tetapi tulang punggungnya itu akan tidak normal pertumbuhannya dan aku khawatir kelak dia akan menjadi seorang yang bongkok."
"Ahh....!" Lan Hong menutupi mukanya dengan tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi seorang yang bongkok punggungnya.
Tangan suaminya menyentuh pundaknya dengan lembut. "Tidak perlu berduka. Biar cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah begitu? Yang penting Sie Liong dapat sembuh dan sehat kembali."
Sie Liong mendapat perawatan baik-baik dan tepat seperti keterangan tabib pandai itu, Sie Liong dapat sembuh, akan tetapi pertumbuhan tulang punggungnya tidak normal. Dua tahun kemudian sudah nampak betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di punggungnya seperti punggung onta. Dan Yauw Sun Kok diam-diam tersenyum seorang diri, merasa lega dan aman sekarang. Seorang bocah yang bongkok punggungnya, bagaimanapun juga tidak mungkin akan dapat menjadi seorang yang perlu ditakuti. Rasa takut dapat membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok melakukan kekejaman itu kepada seorang anak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya karena dia takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan mengetahui tentang kedua orang tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam kepadanya.
Sie Lan Hong juga bukan seorang wanita yang bodoh. Biarpun suaminya memberi keterangan bahwa Sie Liong terjatuh menimpa batu ketika mengejar kupu-kupu, dan ketika Sie Liong telah sadar anak itupun dapat bercerita sedikit-sedikit bahwa kupunya nakal, bahwa dia terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, namun diam-diam Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada suaminya. Ia tahu bahwa suaminya itu, bagaimanapun juga, masih merasa khawatir kalau-kalau Sie Liong kelak akan mengetahui akan kematian orang tuanya lalu anak itu akan membalas dendam kepadanya. Ia merasa curiga apakah jatuhnya adiknya itu bukan disengaja dan
dibuat oleh suaminya! Akan tetapi ia sudah terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka telah mempunyai seorang anak. Dan andaikata benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang menyebabkan adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak melanggar sumpahnya. Suaminya pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan membuatnya cacat bukanlah pembunuhan. Maka, khawatir kalau ia menuduh tanpa bukti hanya akan merenggangkan kasih sayang antara ia dan suaminya, Lan Hong diam saja dan menahan itu di dalam hatinya.
***
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak laki-lakl berusia tiga belas tahun. Encinya tidak mempunyai anak lain kecuali Yauw Bi Sian yang sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar sebagai seorang anak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan tetapi dia rajin sekali bekerja. Dan biarpun punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat dan dia tidak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang guru sastra didatangkan oleh Sun Kok untuk mengajar puterinya, Sie Liong yang ikut pula belajar, dengan cepat sekali dia dapat menghafal semua huruf sehingga guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun Kok masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang kini menjadi seorang anak yang biarpun pandai membaca dan menulis, namun seorang anak bongkok yang biarpun sehat bertubuh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan hatinya melihat bahwa Sie Liong tidaklah menjadi seorang anak berpenyakitan seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat. Seringkali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Sepihak dia merasa kecewa melihat anak itu sehat, dilain pihak dia merasa girang karena betapapun juga ia merasa sayang kepada anak itu!
Sie Liong memang seorang anak yang tahu diri. Dia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada cihu (kakak ipar), maka diapun tidak bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah walaupun cihu-nya mempunyai beberapa orang pelayan. Dan sejak kecil, Bi Sian amat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali kepada pamannya itu. Karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja, maka biarpun mereka itu paman dan keponakan, hubungan mereka amat akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar. Semenjak Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pelajaran ilmu silat kepadanya. Melihat ini, Sie Liong merasa ingin sekali untuk ikut belajar, akan tetapi selalu cihu-nya melarangnya.
"Sie Liong, engkau harus tahu bahwa keadaan tubuhmu tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu silat dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung dari tengkuk sampai pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menulis." Demikian Sun Kok pernah berkata.
Mendengar ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri dan mulai saat itu, dia tidak pernah mengemukakan keinginannya belajar ilmu silat.
Akan tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka akan isi hati kawan bermainnya ini, maka iapun tahu benar betapa paman kecil itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua gerakan yang dipelajarinya dari ayahnya kepada Sie Liong. Dan si bongkok inipun menerimanya dengan amat gembira. Memang dia ingin sekali belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut uluran tangan Bi Sian yang mengajarnya. Dan ternyata, kecerdasannya membantunya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah menghafal setiap gerakan, bahkan karena bakatnya, dia mampu bergerak lebih lincah dan lebih cekatan dan baik dibandingkan Bi Sian. Tentu saja ada hambatan besar baginya, yaitu kebongkokan tubuhnya. Maka, dalam beberapa gerakan nampak betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Dan kadang-kadang Sie Liong merasa nyeri pada tengkuk dan
punggungnya setelah dia berlatih silat bersama Bi Sian. Setelah Sie Liong berusia tiga belas tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang anak ini telah mempelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian telah menjadi seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan karena ia sejak kecil digembleng ayahnya dan mempelajari samadhi dan latihan pernapasan, maka biarpun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat.
Dua orang anak yang saling mengasihi dan saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat sehingga baik Sun Kok maupun Lan Hong sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Sie Liong yang sehat dan gerakannya yang cekatan, suami isteri itu hanya mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya akan itu bekerja, memikul air, menyapu dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.
Akan tetapi akhirnya kemampuannya bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu peristiwa. Semua orang di kota Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu para petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok sehingga dia dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani. Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Biarpun semua orang mengenal Sie Liong sebagai si Bongkok, namun di depan Yauw Sun Kok dan isterinya, tidak ada orang yang berani mengganggu anak bongkok itu, karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke Pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong yang disuruh encinya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang sudah hampir habis persediannya. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian ikut dan ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak. Hari itu memang ramai sekali orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang menyambut hari raya Imlek, menyambut "tahun baru" atau munculnya musim semi yang cerah dan mendatangkan berkah bagi para petani melalui sawah ladang mereka. Seminggu lagi "sin-cia" tiba dan orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan dapur, dan mulai ramai orang memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing. Menyembahyangi abu leluhur merupakan suatu kebiasaan tradisi yang amat kuno di Tiongkok. Tradisi ini mendorong semua orang untuk selalu berbakti setia, dan mencinta sambil menghormati orang tua dan nenek moyang mereka. Bagi kebiasaan tradisi ini, ada tiga macam kebaktian yang tidak boleh ditinggalkan manusia, kalau mereka ingin hidup benar. Pertama, berbakti kepada Langit dan Bumi, istilah yang kemudian dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan diri kita. Kedua, berbakti kepada ayah ibu, orang tua dan nenek moyang sebagai orang-orang yang telah menghadirkan kita di dunia ini dan kemudian menjadi pemelihara dan pelindung kita, dan ketiga berbakti kepada guru sebagai orang yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kita. Pada masa itu, kalau seseorang tidak memenuhi tiga macam kebaktian ini, dia dianggap sebagai seorang yang murtad, seorang yang berdosa dan jahat!
Jelaslah bahwa menyembahyangi abu leluhur berarti menanamkan rasa hormat, cinta dan bakti kepada orang tua, seolah-olah mengingatkan kita bahwa sampai orang tua sudah meninggalpun kita tidak boleh melupakan cinta kasih dan jasa mereka terhadap kita. Tindakan seperti ini tentu saja memberi contoh yang baik kepada anak cucu kita, seperti suatu peringatan kepada mereka bahwa merekapun wajib mencinta dan menghormati orang tua mereka seperti kita menghormati orang tua kita.
Namun sayang seribu sayang, tujuan yang amat bijaksana dan baik ini seringkali diselewengkan orang. Banyak orang bersembahyang di depan meja abu leluhur mereka dengan suatu pamrih tertentu. Bukan semata untuk menghormat dalam    kenangan terhadap orang tua, melainkan sembahyangan itu menyembunyikan pamrih agar mereka yang bersembahyang itu diberkati oleh roh si mati! Ini suatu penyelewengan besar! Bahkan sesudah matipun, orang-orang tua itu kita minta, untuk melakukan sesuatu demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi kita! Memang, segala tujuan, betapapun baiknya, akan disalahgunakan orang kalau di situ sudah terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, demi kepentingan diri sendiri. Segala sesuatu akan menjadi palsu dan kotor, karena semua perbuatan itu palsu adanya, semata menjadi sarana untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, dalam hal ini tentu saja yang diinginkan adalah demi kesenangan sendiri, demi kepentingan diri sendiri! Adakah sembahyangan di depan abu leluhur yang dilakukan orang demi penghormatan dan kenangan kasih sayang orang-orang tua itu semata? Tanpa adanya pamrih pribadi itu? Kalau ada, alangkah baiknya!
Hati Sie Liong dan Bi Sian gembira sekali ketika mereka membawa keranjang kosong, pergi ke pasar. Jalan menuju ke pasar itupun ramai, penuh orang berlalu lalang dan wajah mereka rata-rata gembira. Banyak orang sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat orang mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya dengan "Hee, bocah bongkok!" begitu saja. Namun, Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab mereka semua dengan kata-kata ramah bahwa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang menyebutnya si bongkok itupun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan ramah dan hendak bergurau. Dia sudah terbiasa mendengar sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri, memang sebutan itu menyakitkan hati. Apalagi kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh bongkok, dan memang sepatut-nya disebut si bongkok!
Akan tetapi, setiap kali ada orang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian. Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang dianggapnya suatu ejekan atau hinaan. Dua orang anak yang berjalan berdampingan itu memang merupakan pemandangan yang agak ganjil. Wajah Sie Liong memang tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Akan tetapi tubuhnya yang melengkung kedepan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin membesar, membuat dia nampak pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang seperti lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba dalam hati orang yang memandangnya. Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya manis sekali, terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, dan bentuk tubuh yang masih kekanak-kanakan itupun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh seorang wanita yang indah. Kalau dara cilik ini diumpamakan setangkai bunga yang belum mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.
Mereka sudah tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara tiga belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya bermain-main di tepi jalan. Ketika mereka melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa keranjang kosong itu. Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tidak pernah berani mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal jagoan. Akan tetapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka amat manis dan menarik.
Mulailah mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong.
"Nona Yauw, apakah engkau hendak berbelanja ke pasar?" tanya seorang diantara mereka. Karena pertanyaan itu sopan dan wajar, Bi Sian mengangguk, "Benar, aku hendak berbelanja ke pasar."
"Kalau begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan barang belanjaanmu sampai kerumahmu."
"Benar, nona Yauw. Daripada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan orang!" kata anak kedua.
"None Yauw," kata orang ketiga sambil tertawa. "Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kaujual?"
Tiga orang anak itu tertawa sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena dianggap mereka bertiga itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan ia melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Kalian ini tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian menantang berkelahi?" bentak Bi Sian dengan sikap galak.
Anak yang paling besar di antara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh jerawat, berusia kurang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi Sian. "Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu."
"Siapa butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!"
Dua orang anak laki-laki yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mereka. "Mari kita pergi dari sini! " katanya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton. Ketika tiga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka. Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kuih, menghampiri Bi Sian.
"Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan."
Bi Sian mengepal tinju. "Aku tidak takut!"
Sie Liong menghadapi kakek itu. "Terima kasih, lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi mengganggu kami yang sedang berjalan menuju ke pasar."
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, merekapun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya membawa keranjang yang kecil dan tidak begitu berat. Barang-barang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki mereka. Jarak antara rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ. Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun dan sikap mereka seperti jagoan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota,
tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang paling depan.
"Monyet bongkok, berhenti dulu!" bentak anak laki-laki jerawatan itu. Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu. "Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?"
"Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya tidak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keranjang itu kepada kami dan kau boleh merangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!"
Kemarahan Bi Sian memuncak. "Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!" katanya dan iapun sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan kuat.
"Plakkk!" Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan. "Aduhh....!" Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri dan ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! "Nona, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?" bentaknya marah dan penasaran.
"Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!" kata Bi Sian dan ia sudah menerjang maju lagi, sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk menangkap lengannya, jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil meringis kesakitan. "Wah, anak perempuan ini galak dan liar!" kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan merekapun menubruk kedepan. "Plak-plakk!" Bi Sian membagi-bagi pukulan dan tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka menubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian kebelakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
"A Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!" kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian. "Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Sian!" bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perempuan itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di kota itu.
"Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar mukamu yang buruk!" kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat sunyi dimana tidak ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis. Walaupun dia belum pernah berkelahi, namun dia mengenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan mengelak, menangkis, memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang kearah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak kebelakang dan pukulan itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya kearah perut Sie Liong, akan tetapi anak inipun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis kesamping.
"Dukkk! " Kaki yang menendang itupun tertangkis. Melihat betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan dapat merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang kedepan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti tarian. Maka, menghadapi serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan. Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya, mukanya, menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian berteriak-teriak, "Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!"
Sie Liong yang mulai marah itu memandang dengan mata mencorong. "Kalian orang-orang jahat!" bentaknya dan suaranya melengking nyaring, kemudian dia mulai membalas dengan pukulan-pukulan seperti yang pernah dipelajarinya dari Bi Sian.
"Plakkk!" Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan pukulan si muka hitam mengenai dadanya, akan tetapi dia membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan kearah leher putera komandan itu.
"Desss!" Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, akan tetapi terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka. Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada dimulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
"Krekk!" Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya. Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal lehernya, sudah bangun lagi dan dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas kearah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan. Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau menerima lagi pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya keatas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama "Dua Tihang Penyangga Langit". Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat keatas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya. "Dukkk! " Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya dan pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya "terbuka" sampai keperut. Dia cepat merendahkan tubuhnya, dan kepalanya yang memang sudah terjulur kedepan karena bongkoknya itu, ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga diapun menyeruduk kedepan! Kepalanya mengenai perut Lu Ki Cong. "Bukkk! " Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang sudah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanan yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian dan kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk. Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman. "Paman Liong, engkau hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...." kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. "Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!"
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri ditubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan diapun dengan lembut menarik kedua tangannya dan membuang muka. "Ahhh.... sudahlah, Bi Sian. Dimana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!"
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapapun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
"Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!"
"Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!"
"Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku....!"
"Kenapa ayah harus marah? Bukankah engkau telah menolongku, paman? Biar aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu marah kepadamu, aku yang akan membelamu!"
"Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu, jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan agar aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kauceritakan bahwa aku berkelahi!"
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak kearah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu. "Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi...."
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. "Tidak, tidak berapa nyeri...."
"Paman, kalau aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?"
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lembam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri ditepi kedua matanya dan dipipi kirinya, juga dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa mukanya akan mudah kelihatan bekas perkelahian.
"Ah, bagaimana baiknya....? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah." Dia kelihatan bingung. Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walaupun dianggapnya sikap itu berlebihan. "Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal menganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku."
"Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biar kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tidak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima."
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
"Aih! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Eh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?" Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
"Sie Liong! Engkau telah berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?" Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak. Sie Lion hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju didepan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata, "Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!"
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. "Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?"
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakitan, lalu berkata, "Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian."
Kedua orang anak itu minum air teh yang tersedia diatas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita. "Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah."
"Apa? Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?" Sun Kok bertanya kaget sekali. "Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!"
"Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan."
"Aiih!" Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
"Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?"
Bi Sian bersungut-sungut, "Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya."
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberitanu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak. "Mengapa ayah tertawa?" tanyanya berani. Sun Kok masin tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. "Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat.... eh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kauberi tahu?"
Bi Sian menjadi penasaran. "Sudah kuberitahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?"
Yauw Sun Kok masih tersenyum. "Tentu dia sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku menjodohkan engkau dengan dia...."
"Ayah....!" Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut. Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, akan tetapi ia lalu lari masuk kedalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
"Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?" Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. "Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkaupun belum kuberitahu. Bagaimana juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang kami ingin jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apalagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi kesana untuk minta maaf." Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu. Â Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya, disambut oleh anaknya yang matanya merah karena menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. "Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!"
"Eh? Tikus Jerawatan yang mana?" ibunya bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!"
"Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkaupun akan kuberitahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi kesana untuk minta maaf."
"Ayah pergi kerumahnya? Celaka....!" Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan. Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
"Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?"
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberitahukan ibunya dan menarik ibunya di fihaknya agar membela ia dan pamannya. "Ibu, aku tadi.... berbohong kepada ayah, maka aku kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu," katanya mengaku.
"Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?"
"Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan lima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri."
"Sie Liong? Tidak mungkin!" kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebib besar?
"Benar, ibu. Aku tidak berbohong," Bi Sian lalu menceritakan semua yang telah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Ialah yang marah-marah dan memukul, akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya dan mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
"Paman Liong minta kepadaku, agar jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi kesana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya."
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. "Tapi.... tapi.... Sie Liong cacat dan lemah....."
Biarpun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
"Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika dia melawan anak-anak nakal itu, hebat bukan main!"
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya mempelajari ilmu silat! Ah, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hal itulah yang amat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam! Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri seringkali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, biarpun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan ia terpaksa menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya. Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apalagi setelah ia melahirkan seorang anak. Iapun tidak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, kini terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat. "Sian-ji.... jangan.... jangan kauceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat."
"Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku, seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah melarangnya?"
"Ayahmu.... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apalagi cacat di punggung. Berbahaya sekali kalau mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu."
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk diruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika dia berkunjung kerumah sahabatnya, Lu-ciangkun, dia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah dipembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali. "Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali."
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri. Kalau dibiarkan Sie Liong terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, keselamatan nyawanya tentu terancam kelak! Akan tetapi, jalan satu-satunya hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu. Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimanapun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia memiliki kepandaian ilmu silat?
"Sie Liong....!" Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
"Ci-hu memanggil saya?" tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihunya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala. "Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?" bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat. Apakah anak perempuan itu yang memberitahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian memberitahu, tidak mungkin cihunya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihunya dengan berani.
"Saya tidak belajar silat dari siapapun, cihu."
"Brakkk!" Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak. "Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-Ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!"
"Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!" Bi Sian memperotes.
"Diam kau! Kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!"
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. "Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri."
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. "Tidak mungkin belajar silat tanpa guru! Coba kaumainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!" katanya, setengah mengejek, setengah marah. "Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!"
Sie Liong memandang kepada encinya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimanapun juga, kemarahan suaminya itu beralasan karena larangannya telah dilanggar oleh Sie Liong. Maka ia mengangguk kepada adiknya itu. "Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kaupelajari agar cihumu melihatnya, Sie Liong," katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
"Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan." Maka diapun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian. "Berhenti....!" bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghentikan gerakan kaki tangannya. "Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!"
"Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...."
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Diapun mencari akal. "Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kaupelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menyerangmu dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!"
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya. Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu amat sayang kepadanya dan iapun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang dengan jurus-jurus yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Tiba-tiba gerakan tangan cihunya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya. "Plakkk! Plakkk!" Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah! Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
"Ayah, kenapa pukul paman Liong? Kenapa ayah memukul paman Liong?" Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam. "Apa yang kaulakukan?" katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam. Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. "Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau punggungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah." Untung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
"Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!" Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
"Hushh," ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
"Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!"
"Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian," kata Yauw Sun Kok.
"Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Pawan Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!" Kembali Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara. "Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?"
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
"Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian." Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan
keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu. "Coba kuperiksa tubuhmu," katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong. Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
***
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka batuk-batuk dan biarpun kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pusing. Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihunya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah memukulnya. Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ci-angkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan merasa kasihan kepada encinya. Dia merasa betapa encinya amat sayang kepadanya, dan encinya
tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki encinya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Apa yang menyebabkan encinya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol karena peristiwa dua hari yang lalu. Wajahnva nampak muram dan setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw diatas meja sembahyang, diapun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ketokonya dimana dia berdagang rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di ruangan sembahyang itu kini tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
"Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat kepada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar." Yang disebut kakek nenek dalam adalah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio (dupa bit ing) dan mulai bersembahyang. Ketika Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya! Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Encinya menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin bersedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan diapun menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang. Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis, pamannya yang kuat, tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Iapun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya. "Paman Liong, ada apakah? Apakah.... apakah engkau sakit....?" Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong. Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis. Melihat keadaan adiknya itu, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong mendekati dan berlutut lalu merangkul adiknya. "Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?"
Sie Liong menggeleng kepala dan mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya. "Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang membunuh mereka?"
"Akupun merasa heran, ibu dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tidak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?"
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul sipembunuh yang amat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian setelah menjadi isteri Yauw Sun Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama ia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimanapun, ia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
"Enci, kenapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan ragu-ragu?" Sie Liong mendesak encinya, dan kini sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah encinya dengan penuh selidik.
"Ah, tidak." Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. "Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kaudengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita telah menjadi korban wabah yang amat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah kesini."
Mendengarkan cerita encinya ini, Sie Liong menarik napas panjang. "Kasihan sekali ayah dan ibu, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci."
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walaupun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
"Enci, dimanakah kita tinggal?"
Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. "Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini."
"Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung kesana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu."
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa salahnya kalau ia memberitahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
"Dusun kita itu jauh sekali, diperbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin." Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.
***
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang amat hebat, naik turun bukit dan jurang, memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li). Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
"Tembok Besar memanjang ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?"
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera. Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua. Namun wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan ditubuhnya dari kaki sampai kepundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula. Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang kekanan kiri. Seluruh yang nampak disekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter,
akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu dia berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja. Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum
seolah-olah dia beramah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu disekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat. Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh disekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi dikanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan dibawah, diatas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang
membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari diudara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia.
Betapa bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam disekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat melihat segala keindahan itu! Dalam gerak- gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah menakjubkan kesemuanya itu! Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan! Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka keatas, agaknya dia baru teringat akan urusannya. "Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini." Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur kebarat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu didaerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat. Para penduduk perkampungan disekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Sebutan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya
sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih). Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersamadhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan kebarat! Yang dituju adalah perbatasan Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ketempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka! Kekuatan alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihatan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju kebarat.
Mari kita tengok apa yang sedang terjadi diperbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak keselatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ketimur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah tetkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya. Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antara orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat! Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak! Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri daripada permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka "mengungsi" ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ketimur, jauh ditimur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk dan menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya, dan mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu mengamuk kesana! Dan menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak. Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama jubah merah dari Tibet itu mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang. Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sutenya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkat. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hoat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.
"Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!" kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah. "Siancai-siancai-siancai....!" Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. "Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama jubah merah itu, bukan?"
"Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat membiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?"
"Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mere ka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri? Bisa menimbulkan salah paham lebih besar, sute."
"Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para murid?"
"Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itupun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya."
"Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersamadhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng," berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan dipunggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walaupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang kearah kiri darimana mereka mendengar suara orang membentak-bentak. "Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh disini!" demikian suara yang membentak itu.
"Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa," terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila diatas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam didepannya. Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Adapun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek dibeberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
"Tidak berdosa? Omitohud.... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!" bentak Lama yang ada codet bekas luka didahinya.
"Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?" teriak Lama kedua yang mukanya bopeng. "Siancai...., memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apalagi memberontak."
"Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!" kata pula si codet. "Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!"
"Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian kesana."
"Apa? Kalau begitu, kami akan membunuhmu disini juga!" teriak si muka bopeng. Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran merekapun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak
pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat kedepan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah. "Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!" teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. "Akan tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!"
"Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!" kata Kok Han. Sementara itu, dua orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya terdengar parau dan penuh teguran. "Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat kalian masih kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran."
"Kami bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat membiarkan saja terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!" kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia nampak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apalagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng berkata, "Ha-ha-ha, sejak kapankah Thian Hwa Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?"
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, "Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!"
"Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!" kata Ciang Sun.
"Siancai....! Ji-wi kong-cu (kedua tuan muda) harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu membahayakan keselamatan ji-wi sendiri," kata tosu itu dengan wajah khawatir.
"Biarlah totiang, kami yang bertanggung jawab," kata Ciang Sun, sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. "Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan didunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!" berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri disebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, "Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikus-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?"
Ini merupakan tantangan dan tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina pula perkumpulan mereka.
"Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!" bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng. "Kalian memang patut dihajar agar tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!" bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
"Plak! Plak!"
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua oraag Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi? Dua orang pemuda itu terpental kebelakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru! Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berduapun menyerbu kedepan, menusukkan pedang mereka kearah dada dua prang pendeta Lama itu, Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dari dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.
"Krekkk! Krekkk!" Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu dan sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju, dua kali tangannya bergerak kearah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya dapat memandang dengan mata melotot.
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. "Suheng, kenapa tidak habiskan saja mereka ini? Daripada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!" Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
"Siancai...., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!" Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung keatas itu sudah berkelebat dan nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama kearah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
"Dukkk! " Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong kebelakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.
"Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!" kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. "Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?"
"Siancai....! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, Â bagaimana mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian juga sudah siap untuk menentang Kun-lun-pai?"
"Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!" kata Thay Ku Lama dan pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok, kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, telentang dikanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara "kok-kok!" dan kedua tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan, seluruh tubuhnya tergetar dan
seluruh syarafnya menegang karena dia siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat. Agaknya, menghadapi seorang diantara Himalaya Sam Lojin Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya agar dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang kini diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah sejenis pukulan jarak jauh yang mengandalkan sin-kang dan khi-kang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Dari perut gendut yang menggembung itulah datangnya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh. Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut.
"Siancai...., pinto melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan....!" Dan kakek inipun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan yang saling dorong, tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling bertemu didepan dada seperti menyembah dan diapun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kok-kok-kok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itupun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan. Pek In Tosu melihat ini semua, namun dia masih tetap tenang saja, bukan tanang memandang rendah, melainkan tenang menghadapi apapun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu, menerjang dan tubuhnya meloncat keatas depan, bunyi kok-kok semakin keras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar kearah Pek In Tosu dan angin keras itu membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam! Bukan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja mengandang tenaga sakti yang amat kuat dan mampu merobohkan lawan, asap hitam itupun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu kesaktian Pek In Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar kedepan, menyambut angin dan asap hitam dari pukulau lawan. Kaki kakek tua itu bergeser kekiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua tangan lawan yang digerakkan lurus kedepan seperti orang mendorong daun pintu.
"Plak! Plakk!" Dua pasang tangan bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting kekiri. Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah menyerangnya. Lama bermuka bopeng ini juga lihai bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercuitan, dan juga mengandung tenaga mujijat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!
Melihat ini, Pek In Tosu memuji dan berseru, "Siancay....!" Dilanjutkan dengan pembacaan mantra dan diapun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang. Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mujijat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat ini, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kok-kok-kok lagi dan diapun membantu sutenya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sin-kangnya yang setingkat lebih kuat, dan keringanan tubuhnya yang memudahkan dia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan dahsyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak. Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan usia, juga selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, maka tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka seringkali berkelahi maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat. Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, "Siancai....!" dan dia lalu duduk bersila diatas tanah! Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun menahan gerakan mereka, terheran-heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersamadhi, kedua telapak kaki telentang diatas paha, itulah duduk bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat. Mereka mengira bahwa kakek itu sudah kelelahan dan pasrah mati maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya kearah ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok menyerang keatas, kearah lawan yang berdiri. Kini lawannya duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu! Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka kearah ubun-ubun kepala dan kalau mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika!
Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya menangkis. "Dukkk!" Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat! Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental! Thay Si Lama menjadi penasaran dan diapun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi,
kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat kearah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung! Dua orang pendeta Lama itu menjadi semakin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua diantara Lima Harimau Tibet yang sudah amat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka adalah tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang manusia! Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil kalau kini, menghadapi seorang pertapa tua renta saja, mereka sampai tidak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian maupun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka. Keduanya saling pandang, memberi isarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba merekapun menghentikan serangan mereka dan berdiri didepan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan didalam kuil mereka untuk memuja para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir dan nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang didalam suaranya ada selingan suara kok-kok-kok seperti kalau dia mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit. Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khi-kang dan sihir, suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, nyanyian mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka. Mula-mula, tubuh Pek In Tosu gemetar, kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung keatas. Itulah tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu! Pek In Tosu
bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apapun dari luar. Namun, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia berusaha mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal. Akan tetapi, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang perlahan-lahan! Makin lama, goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Keadaan kakek tua renta itu kini gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Kalau Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah didalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba didalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara yang memecahkan kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu yang terdengar, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu! Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu? Tak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu memukuli batu besar didepannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan "paduan suara" antara mereka. Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan. Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala! Akan tetapi hanya sebentar saja karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, bahkan kini ketukannya menjadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan! Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mukanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol dipunggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan kekebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap kekebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada disebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
"Jelas bahwa dia salah besar!" terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. "Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Kedua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!"
"Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kaukira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!"
"Eh? Apa yang kaukatakan itu?" cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
"Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!"
"Ssttt....! Lan Hong, apa yang kaukatakan ini?" Terdengar encinya menangis. "Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua.... setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah menjadi bongkok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?"
"Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...."
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih. "Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!"
"Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan."
"Apa?" Encinya setengah menjerit. "Maksud.... maksudmu....?"
"Biar kutitipkan dia disebuah kuil besar, agar disana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu amat baik baginya? Menjadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang."
"Ahhh.... tapi.... tapi...."
"Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?"
Setelah hening sampai lama, encinya berkata, "Baiklah, akan tetapi aku harus tahu dikuil mana dia dititipkan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...."
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali kekamarnya dan dia duduk diatas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat diatas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali kedusun Tiong-cin diutara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan dipunggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi keutara, melainkan keselatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu sebelah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba diluar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju keselatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya. Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong diatas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran keutara tentu saja! Apalagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menuju kepintu gerbang utara. Dari para petugas jaga dipintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju keutara, melalui jalan besar. Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus keutara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan keutara, akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan kekanan atau kiri? Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu. Dia tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan kedua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju keselatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya dirumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati didunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka. "Aih, paman sekalian membikin kaget saja padaku," katanya sambil membetulkan letak buntalan dipunggungnya.
"Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!" kata seorang. "Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!" kata orang kedua. Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan. "Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!"
"Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!" teriak seorang diantara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar ditangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok keleher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel dikulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri. "Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?" bentak si brewok. "Hayo jawab!" Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. "Tidak."
"Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel ditubuhmu, akan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!" berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting keatas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
"Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!" Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. "Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!" Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel ditubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga." Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun
sudah menerjang kedepan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras. "Bukkk!" Tendangan itu mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan diapun roboh pingsan. Ketika dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah diatas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan
pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel ditubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya! Berubah seketika nampaknya hidup didunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena didalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada ditengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu keselatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening dikepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan dikanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya. Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itupun telanjang bulat mengapa dia harus malu? Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum. Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu. Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada yang mau menolongnya dan bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba diluar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah diatas dinding putih. Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja dipinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan. Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang kedalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk kedusun itu, mencari keluarga petani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu manghampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri dibelakang sebatang pohon. Ketika dalam keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju kedapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya diatas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali kebalik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.
"Siapa itu?" Gadis itu menegur. Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.
"Hayo katakan siapa itu! Malingkah? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!"
Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.
"Aku.... aku bukan maling...." katanya lirih. Gadis itu torbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!
"Eiiiiihhh....!" Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air
jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itupun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah. "Setaaan....! setaaaaann....!" Ia menjerit-jerit.
Sie Liong kembali menyelinap kebalik batang pohon, tersenyum pahit dan merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang! Sungguh sial, gerutunya, tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki berusia dua puluh tahun lebih, keduanya membawa parang dan siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegang tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan.
"Mana. dia? Mana setan itu?" tanya pemuda itu dengan lagak pemberani akan tetapi suaranya agak gemetar.
"Tadi disana, di belakang pohon itu! Nah, lihat! Dia masih disana...." gadis itu merangkul ibunya. Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon dan mereka maju baberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman. "Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!" bentak laki-laki muda.
"Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang," kata pria yang setengah tua. Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, diapun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.
"Maaf, paman.... maafkan aku. Aku.... aku bukan setan, aku manusia biasa yang mengharapkan pertolongan kalian." Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, akan tetapi mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentu orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
"Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang kesini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?" tanya pria setengah tua.
"Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku.... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah disini." Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong membalikkan tubuh memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, memperlihatkan pula tanpa disadari pinggulnya karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.
"Iiihhh....!" Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, hanya mengintai dari celah-celah jari tangannya!
Kini pria setengah tua itu percaya karena dia melihat betapa belakang kepala itu memang terluka. "Kauambilkan satu stel pakaianmu, juga obor." perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
"Baik, ayah." Diapun lari kedalam. Ayah, ibu dan anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena disitu ada dua orang wanita terutama gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan dia kembali menyelinap kebalik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
"Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, maka aku sengaja menanti sampai gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang kesini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci disana itu memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila."
Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukan seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.
"Siapakah namamu, orang muda?" tanya si ayah. "Namaku Liong, she Sie."
Pada saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa obor ditangan kanan dan satu stel pakaian ditangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dengan peraaaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya dibalik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itupun kakinya terlalu panjang. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. "Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini."
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk kerumah.
"Anak yang malang, mari kita masuk kedalam. Engkau boleh bermalam dirumah kami dan makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami."
Sie Liong mengikuti mereka dan kini gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lajimnya gadis-gadis dusun. Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali sebulan karena daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baiknya, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali. Sesudah makan, mereka duduk ditengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita. "Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku telah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh diutara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai didalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan."
Empat orang itu senang sekali melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak di dusun yang kasar. "Kalau engkau sebatangkara, biarlah engkau tinggal disini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaianpun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu." kata sang ayah.
"Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah disini, dan engkau menjadi adikku!" kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong memandang mereka dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia didunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah menganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok. Dan pandangannya bahwa manusia didunia ini
banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Namun, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam disitu, bahkan kini menawarkan agar dia hidup bersama mereka dirumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat daripada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan. Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangan didepan dada, memberi hormat kepada mereka.
"Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini takkan kulupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong takkan pernah melupakannya. Akan tetapi maaf, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal disuatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat kepada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain."
Malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur didalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah tidur diatas lantai bertilamkan tikar dan memberikannya dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga. Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami dalam kehidupan ini semenjak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pangalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya. Maklumlah dia bahwa didunia ini terdapat banyak orang jahat, disamping banyak pula orang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apalagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam. Agaknya, perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, disamping dapat pula dia pergunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Mulailah timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.
Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik itu, dan diapun melanjutkan perjalanannya terus keselatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba disebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh. Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju kearah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ. Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya. Maka, tanpa disadari, dia lalu mengetuk-ngetukken tongkat bambu ditangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan diapun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Dan begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tidak begitu nyeri lagi karena tidak lagi "diserang" oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan diapun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia bikin irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah! Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian telah dibikin hancur dan kacau oleh suara ketukan bambu, marahlah dua orang pendeta Lama itu. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap kearah suara ketukan bambu.
"Tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok!" suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam! Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali, hanya seorang bocah bongkok! Dan ilmu mereka telah ketahuan rahasianya dan telah menjadi kacau! Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itupun tidak ada gunanya lagi.
"Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?" bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet dan tubuhnya sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang, dan cepat sekali dia menyerang anak itu dengan Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok! Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Seorang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apalagi kini yang dipukulnya seorang anak-anak yang lemah!
"Siancai....! Engkau terlalu keji, Lama!" terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek In Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.
"Desss....!" Tubuh Thay Ku Lama terpelanting dan terguling-guling. Ternyata Pek In Tosu dalam usahanya menyelamatkan anak bongkok, telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadipun sudah menyerempet dada Sie Liong dan anak inipun terpelanting dan terbanting keras!
They Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia merasa jerih. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.
"Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!" Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sutenya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.
"Siancai....! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...." kata Pek In Tosu yang segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu telah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi didepan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali. Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
"Sudahlah, harap ji-wi (kalian berdua) segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan mencampuri urusan para Lama itu."
Dua orang itupun cepat-cepat memberi hormat lalu pergi dari situ untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu lalu berlutut.
"Thian Yang Maha Agung.... Sungguh kasihan sekali anak ini...." katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru. Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang amat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya keatas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali dia menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan kedalam dada anak itu. Perlahan-lahan dia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in  Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, walaupun luka didadanya masih belum dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dia tidak mampu dan harus dicarikan seorang ahli pengobatan yang pandai. Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengaja, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam
maut dibawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama! Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok dan miskin ini terkena pukulan beracun. Bagaimanapun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan dia memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak, dan ketika anak itu bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
"Sakitkah dadamu?" tanya Pek In Tosu lirih. Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. "Nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapakah hwesio tadi memukul aku?"
Pek In Tosu menarik napas panjang dan semakin suka dan kagum kepada anak bongkok itu. "Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?"
Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata, mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi. "Totiang, ketika tadi aku lewat dihutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu."
"Siancai.... Tanpa kausadari engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mareka. Karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu."
Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau tidak cepat pundaknya ditangkap oleh Pek In Tosu. "Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik."
Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan dilain saat dia merasa tubuhnya seperti terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja!
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Disana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila diatas padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang kedua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ketiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak serius dan bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
"Siancai....! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?" Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
"Tidak tahukah engkau, sute?" kata Swat Hwa Cinjin. "Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa disana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya."
"Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!" kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
"Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?" Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. "Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu."
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula ditengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri didadanya banyak berkurang walaupun belum lenyap sama sekali.
"Pada waktu itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada disebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam dipihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak."
"Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!" Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. "Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?"
"Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!"
"Ahh." Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. "Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?"
"Inipun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar maupun dalam."
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam kedalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
"Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada ditengah-tengah antara kita," Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
"Siancai....! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut ditangan dua orang pdndeta Lama itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada diantara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya."
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, diapun segera berkata.
"Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam." Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali. "Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami," kata Pek In Tosu. Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang menakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini karena dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka. Tiba-tiba ada angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Oleh Sie Liong hanya kelihatan bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu disitu telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan. Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain. Orang ketiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang keempat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang kelima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering seperti tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang terkenal mengamuk di Kun-lun-san itu.
Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lalu menggeser duduk mereka. Kini mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu, dengan sikap yang tenang sekali. Sie Liong membuka matanya lebar-lebar, hatinya tegang akan tetapi diapun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya memberi isarat melalui gerakan tangan dan tubuh. Mereka berlima tidak berani memandang rendah kepada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati.
Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Kalau Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiap-siagaan untuk berkelahi. Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.
"Sam Lojin, sekali lagi kami tegaskan bahwa pimpinan kami, yang mulia Dalai Lama memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!" tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.
"Siancai! Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu."
"Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berwawancara dengan sam-wi," kata pula Thay Ku Lama, biarpun kata-katanya halus dan sopan, namun mengandung ejekan.
"Maafkan kami, kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya."
Marahlah Lima Hariman Tibet itu! "Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?" bentak pula Thay Ku Lama.
"Siancai....! Terserah kepada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar," jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.
Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan didepan dada seperti orang menyembah, kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti telah pulas dalam samadhi. Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa mendongkol sekali kepada lima orang pendeta Lama itu. Biarpun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain. Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang juga membuatnya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan. Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh lima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!
"Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?" Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru. Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari samadhi! Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri dan dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
"Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung diudara seperti itu saja? Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itupun sanggup mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andaikata kalian pandai terbang sekalipun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!"
Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena biarpan dia mendongkol dan tidak suka kepada lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, melainkan orang lain yang hanya "meminjam" mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang pendeta Lama itu demikian kaget, marah dan malu mendengar teguran yang keluar dari mulut kanak-kanak itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun meluncur turun. Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit dan mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. "Ha-ha-ha, sungguh tepat
sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!"
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.
Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang dan ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak dan untuk sementara mereka tidak memperdulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin dan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
"Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?"
"Siancai...." Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai. Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan berkata dengan penuh hormat. "Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini."
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, "Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai." Kini Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, "Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa disini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkannya saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi didaerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi lo-suhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi disini, dan kamipun akan melupakan apa yang telah terjadi disini selama beberapa pekan ini."
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, melainkan  mengkhawatirkan kalau terjadi kesalahpahaman. Karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan diapun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
"Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kaumaksudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apalagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencampuri urusan kami yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?"
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang congkak.
"Lama yang sombong!" Thian Khi Tosu berseru geram.
"Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kauhadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!"
"Omitohud....! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!"
Thian Khi Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suara keras. "Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapapun juga akan kami hadapi!"
"Omitohud....!" Thay Si Lama, orang kedua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. "Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul diantara kita!"
"Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!" Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah berlompatan kedepan dan seorang diantara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu, "Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu (guru berdua) adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!"
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suhengnya sekalipun. Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka , yaitu ilmu dalam bentuk barisan yans dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun). Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kim-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sutenya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai dimana kepandaian musuh! Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ketempat terbuka, diatas padang rumput yang lapang dan disitu mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan rapi.
"Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang hendak memusuhi Kun-lun-pai!" bentak murid tertua yang usianya sudah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri diujung kanan. Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek dan merekapun melangkah maju menghadapi mereka, dengan berjajar. Setelah mereka berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih matang. Melihat ini, lima orang pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri,
karena mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melindungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat mereka hadapi bersama rekan yang berada disampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, diantara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi. Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin dan begitu pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak! Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti kilat
menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang kedepan dengan dahsyatnya! Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan
gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing, Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya disembunyikannya dibalik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan. Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian dan diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Dalam penyerangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai kepada lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima tidak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis. Terdengar suara nyaring berdenting-denting disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata ketika lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pandeta Lama. Karena memang tenaga sin-kang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat! Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang beberapakali, namun selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong kebelakang bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya den golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat. Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak diatas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama memutar sepasang padangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang. Thay Hok Lama juga memutar rantai baja ditangannya dan senjata istimewa ini menyambar-nyambar kesekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang kelima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini memiliki tenaga raksasa.
Biarpun lima belas orang murid utama Kun-lun-pai dapat pula menghindarkan diri dari cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak pertempuran yang tidak seimbang sama sekali. Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu, hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa merekapun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka. Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan terdengar bentakan nyaring.
"Tahan senjata!" Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka merekapun berloncatan kebelakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan kini mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu. "Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu kepandaian seorang lawan
seorang!" bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.
Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. "Omitohud....! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Tadi, mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, sekarang bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!"
Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. "Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!"
"Sute, harap tenangkan hatimu!" Tiba-tiba Thian Hwat Tosu menegur sutenya dan ketua Kun-lun-pai ini melangkah maju dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. "Siancai.... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami tadi yang lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan kepada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai, bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya Kun-lun-pai tidak lagi akan
menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi."
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, disamping janji. "Omitohud.... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau diantara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar."
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum melangkah maju mendampingi suhengnya, yaitu They Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah sejak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi dibalik lengannya. "Ha-ha-ha." Orang kedua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. "Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi."
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meletakkan cambuknya diatas kepala dan berseru, "Tosu, keluarkan senjatamu!"
Akan tetapi sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, kini sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dangan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
"Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tidak mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar kesini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan pihak Kun-lun-pai. Kalau sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Karena itu, kami bertiga minta agar Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar."
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang ketua Kun-lun-pai saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dangan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama. Kalau kini pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya lima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh! Sebaliknya andaikata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dangan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama dibawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri! Bermusuhan dangan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dangan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama amat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dangan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
"Siancai....!" kata Thian Hwa Tosu sambil menjura.
"Sungguh ucapan yang amat bijaksana, dan kami akan menjadi orang-orang yang tidak mengenal budi kalau tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!" Ucapan terakhir ini merupakan perintah dan biarpun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suhengnya. Diapun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu banteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi lebih ringan menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kamipun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, Sam-lojin, dengan menyadarkan Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kamipun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dangan kami, sebagai tamu undangan agar kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?"
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, "Siancai....! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, bahwa terpaksa sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu."
Wajah They Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah didalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sebetulnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok seperti seekor katak besar! "Hem, apakah yang memaksa kalian monolak undangan kami yang kami lakukan dengan merendahkan diri?" tanyanya dengan suara membentak.
Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, "Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Kedua, kami merasa tidak mempunyai urusan apapun dengan Dalai Lama, sehingga andaikata beliau mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang kesini menemui kami, bukan kami yang diundang kesana karena bagaimanapun juga, kami bukanlah anggautanya maupun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undangan itu."
"Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!" bentak Thay Bo Lama, seorang diantara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. "Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!"
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Siancai.... sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang ini untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan."
"Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!" bentak Thay Ku Lama yang sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai mempergunakan segala macam senjata namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian sajapun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh. Tiga orang kakek Hima laya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam. Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada "sumbernya", bagaikan titik-titik air yang ingin kembali kelautan. Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Dilain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, mereka pun pandai ilmu sihir. Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas. Adapun orang kedua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ketiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang keempat yang bermata tunggal itu, selain berbahaya sekali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang kelima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, kelima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian masing-massing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andaikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu. Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok, dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ketiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus. Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga. Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka. Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang diantara lima orang pendeta Lama itu. Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka. Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong
terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut! Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin keatas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai kebetis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula. Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian jembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang tidak bergigi lagi, rambutnya riap-riapan berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperdulikan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
"Heh-heh-heh....!" Kakek itu terkekeh geli dan tongkat bututnya bergerak kesekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan diatas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dangan garis tengah dua meter lebih. "Engkau tinggallah saja didalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!"
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab, hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus. Agaknya kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula didalam lingkaran itu, disebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat. "Tokk!" Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk diatas tanah dalam
lingkaran garis itu.
Memang terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka. Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak kesana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih terhuyung dan ada tanda merah dipakaian mereka yang putih. Darah! Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba, seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran. Tiba-tiba tongkat butut kakek jembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang "melanggar" lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar!
Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran! Tidak demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk kedalam lingkaran, kembali dia tordorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang kearah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk kearah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
"Trakkk!" Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek jembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia memiliki tenaga gajah yang sukar dilawan. Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya kearah kakek jembel. Kakek jembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek jembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar kearah kepalanya.
"Tokkk!" Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam dikepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina. Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya kearah perut kakek jembel.
"Waduh, jebol perut ini...." teriak kakek jembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut. "Takkk!" Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek jembel itu, melainkan menembus baju jembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang kini menghadapi tiga orang kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek jembel!
"Si-sute dan Ngo-sute (adik seperguruan keempat dan kelima), hayo bantu kami!" teriak Thay Ku Lama. Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama mengelus-elus kepala mereka yang benjol, akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang jembel yang amat sakti, maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdangar seruan yang halus. "Siancai....! Tidak malukah kalian ini lima orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan, kini malah mempergunakan kekerasan untuk menyerang orang lain?" Lima orang pendeta Lama itu terkejut karena suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khi-kang yang terasa menggetarkan jantung, maka merekapun berloncatan mundur untuk memandang siapa yang muncul itu. Kiranya seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh puluh lima tahun, rambutnya putih semua riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar, pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhuya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
"Supek....!" Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek itu.
"Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!" Kakek jembel berseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya Sam Lojin memberi hormat kepada kakek jembel itu. "Terima kasih atas bantuan susiok! "
"Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, ternyata ada Lama jubah merah berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh!"
Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek jembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan uwa gurunya! Apalagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdenyutan kepala itu! "Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!" bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
"Siancai....!" Pek-in Tosu yang terluka pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik napas panjang. "Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kauputar-balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa disini pula?"
"Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!" bentak Thay Ku Lama. "Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!"
"Siancai....!" Pek-sim Sian-su berkata, suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu bergidik karena isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu. "Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal!"
Mendengar ini, lima orang Lama itu saling pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, "Kami adalah utusan Dalai Lama akan tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!" Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
"Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?" kata Koay Tojin. Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran dan memang ada kelainan pada dirinya. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting! Padahal dalam ilmu kepandaian silat maupun kekuatan sihir, dia tidak kalah dibandingkan suhengnya itu. Mungkin justeru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk kedalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu. Hidupnya berkeliaran seperti jembel dan kadang-kadang melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh keempat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, lebih dikenal sebagai seorang sinting.
"Sute, engkaupun sampai sekarang masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?"
"Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba dengar, dia berceramah menguliahi aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?"
Biarpun jembel tua itu nampak ugal-ugalan, namun diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, "Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat bukan main, lebih jahat karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!"
"Siancai.... Siapakah bocah ini?" tanya Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin. Pek In Tosu lalu menceritakan tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama, kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.
"Kebetulan supek telah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya," kata Pek In Tosu kepada supeknya. Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena ketika mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Sian-su, berusia tiga tahun lebih tua dari mereka.
Pek-sim Sian-su memang memiliki banyak macam kepandaian, diantaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan menderita luka pukulan beracun, diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata. "Ah, biarpun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal didalam darahnya. Dia dapat diobati akan tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto sembuhkan dia."
"Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!" kata Koay Tojin.
Biarpun didalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, namun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga. "Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek jembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati."
"Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati," kata Pek-sin Tosu.
"Heh-heh-heh, kau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biar engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!"
Pek-sim Sian-su menarik napas panjang. "Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu baik sekali walaupun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?"
"Namaku Sie Liong, locianpwe."
"Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dangarkanlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh kalau kita berkelahi dengan orang lain karena kemarahan, kebencian atau dendam. Engkau tadi melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikitpun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya apabila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkaupun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dendam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itupun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab yang
mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biarpun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti bumi dan langit."
Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Sian-su. Walaupun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sutenya masih hahah-heheh, Pek-sim Sian-su tersenyum.
"Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya."
Koay Tojin bertepuk tangan tanda ge mbira. "Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih...." Dan tiba-tiba kakek itupun menangis terisak-isak seperti anak kecil! Tentu saja Sie Liong terkejut melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedangkan Pek-sim Sian-su memandang sutenya sambil tersenyum.
"Lanjutkan, sute."
Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan. "Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal dibalik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng berani mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?"
"Siancai....! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi."
"Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!"
"Saincai...., munafik lebih keji daripada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, didalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan didalam air jernih itu terdapat mahluk-mahluk hidup yang bargerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup."
"Nah-nah-nah....!" Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan kearah suhengnya. "Kalau begitu suheng juga membunuh!"
"Memang, hal itu pinto akui, sute, akan tetapi biarpun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit, Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biarpun semua itu mengandung mahluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andaikata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan. Semua mahluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan.
Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, walaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam."
"Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh...."
"Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dalam."
"Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!"
Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya kelangit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa. "Ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendengar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!"
Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut ditangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang. Sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.
Melihat betapa supek dan susiok mereka itu saling berhadapan dengan tongkat ditangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gemblra. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan baik. Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si jembel yang berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani jembel tua yang disebut sute-nya. "Suheng, coba kausambut jurus tongkatku ini!" Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun kearah tulang-tulang iga Pek-sim Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut kemana lawan akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya. "Bagus sekali!" seru Pek-sim Sian-su memuji, bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum. Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan kearah tulang iga. Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin
melangkah mundur.
"Hemm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?" tanya sang suheng. "Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng."
"Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute."
"Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!" katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar kearah tubuh Pek-sim Sian-su, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu! Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar keatas itu tidak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek jembel gila itu.   "Siancai....! Sungguh dahsyat....!" kata Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan kemanapun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat. Berulangkali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk  yang menggetarkan jantung, seperti dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.
"Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?"
"Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi."
"Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!" Dan dia pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan kearah kepala suhengnya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak. Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa dibalik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada diantara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan diatas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan. Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat kebelakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu
meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan. "Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!" Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang keatas dibawa oleh kakek itu melompat kearah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang keatas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan diantara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala kebawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit. Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap dibatang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala dibawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek jembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap diatas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala dibawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ. "Siancai.... siancai.... siancai....!" Pek-sim Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat."
Hek Bin Tosu, orang ketiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. "Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!"
"Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...." kata Pek-sim Sian-su lirih. Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat ditangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut. Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara dua tongkat itu membuat tongkat ditangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
"Siancai.... Bukan main hebatnya susiok...." kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang. "Dan berbahaya sekali....!"
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini. "Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah."
"Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?" kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Sian-su tersenyum. "Diatas Puncak Himalaya masih ada awan dan diatas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seorang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yana datang dari manapun juga."
Pada saat itu, terdengar suara memelas, "Locianpwe.... harap suka tolong saya...."
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya. "Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!" Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya dibawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk kedalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tidak ada rasanya lagi, mukanya terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
"Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?" Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, "Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala dibawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung disitu, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja."
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali. "Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya."
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila didepan tiga orang murid keponakannya. "Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?" Pek-in Tosu menuding kearah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala dibawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan murid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini. "Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita," jawabnya.
"Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?" Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut. "Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama," kata Pek-sim Sian-su. "Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya."
"Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya," kata Pek In Tosu. Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.
"Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk diakal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa mendiang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya." kata Pek In Tosu.
"Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas ditangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban diantara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya
memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita."
"Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek," kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya tersenyum. "Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukanlah pekerjaan yang ringan. Apalagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu." Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
"Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu," kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai disitu Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-apa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.
Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik kebukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap kearah puncak bukit dimana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.
Akhirnya tibalah mereka dipuncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk diatas rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang diatas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang diatas rumput seperti itu! Lebih nikmat daripada rebah diatas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus. Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menggigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut. "Semut jahil kau!" katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik kearahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali. Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, diujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk aseli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu diantara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri ke lembah-lembah dan padang-padang rumput. Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar disamping paman kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong. Akan tetapi, lambat laun ia mampu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong kebarat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya kekepala gadis cilik itu. "Hayo kita pulang, hari telah sore," bisik Bi Sian dan iapun memasangkan kembali kendali kudanya. Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik kepunggung kuda, tiba-tiba seorang diantara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.
"Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada kami!" katanya. Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada ditempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding kearah muka orang yang merampas kudanya. "Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?" bentaknya.
"Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu."
Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat kedepan dan memukul kearah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat. "Bukkk! " Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya. "Lepaskan ia!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul ditempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya! Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung kebelakang. "Hemm, bocah lancang, siapa kau?" bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam. Akan tetapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang, "Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keamanan di Sung-jan!"
"Ahhh....!" Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.
"Maaf.... maafkan kami.... kongcu...." Si brewok berkata dengan suara gemetar. Lu Ki Cong melangkah maju lagi. "Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?"
"Maaf.... maaf...." Kini lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan. "Kalian patut dihajar!" Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian. Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!
"Terima kasih...." katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.
Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. "Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?" Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.
"Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!" bentaknya marah.
"Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...."
"Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!" kembali Bi Sian membentak.
"Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?"
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. "Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik daripadamu!"
Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, "Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!"
"Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?"
"Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!" kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
"Plakkk!" Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah. "Kau memang tidak tahu terima kasih!" Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadis cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka kekanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak kearah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda remaja itu.
"Tokk!" Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang   rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
"Kau.... kau berani memukul aku?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam. Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh. "Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!"
"Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kaupukulkan?"
"Siapa bilang tidak bisa?" Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, "Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!"
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang diudara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong. "Plakk!" Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang kebawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali. Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ketangan si kakek jembel. Bi Sian mendekati. "Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?"
"Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!" Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu. "Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?"
"Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...." Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
"Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu."
Kakek itu tertawa bergelak. "Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?"
"Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Kedua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok."
"Paman kecil bongkok?"
"Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!"
"Sie Liong.... anak.... bongkok?" Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
"Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada dimana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?"
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk dilipatan bajunya dan memasukkan kutu itu kebibirnya. "Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai didunia ini?"
"Mau, kek! Aku mau sekali!" kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi. "Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut kemanapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!"
"Apa sukarnya? Aku bersedia!" jawab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini. "Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!"
"Aku setuju!"
"Dan mentaati semua perintahku!"
"Setuju!"
"Ha-ha-ha-ha...." Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutnya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri diatas rumput lalu menangis. "Hu-hu huuhhh...." Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut menangis, melainkan ikut duduk diatas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak merasa takut, melainkan geli.
"Kek, kek, kenapa menangis?"
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya. "Hei, kakek, kenapa kau menangis? Kenapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!"
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela. "Kenapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?"
"Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting."
"Ha-ha-ha-ha, kaukira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepada mu. Hu-hu-huuhhh...." Kembali dia menangis.
Bi Sian mengerutkan alisnya. "Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku."
"Apa?" Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. "Bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut.... aku takut mati...."
"Hemm, engkau takut mati, kek?"
Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. "Apa kau tidak takut mati?"
Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura. "Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itukan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kitakan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!"
Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut didepan Bi sian. "Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...."
Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek jembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sinting! "Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hormat kepadamu."
"Tidak! Tidak!" Koay Tojin bersikeras. "Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus didepanmu sampai dunia kiamat!"
Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Ia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
"Gampang saja, kek. Jangan pikirkan tentang mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!"
Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan "mengolahnya" didalam benaknya.
"Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....! Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!" Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu keatas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar keatas, ia merasa seperti menjadi seekor burung yang terbang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar keatas, kepalanya berada diatas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan dibawah.
"Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!" berkali-kali ia berteriak dengan gembira dan kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Benar-benar muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan diudara sehingga ia semakin trampil dan cekatan. Akan tetapi, betapapun saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melemparkan tubuh murid itu jauh kekiri, kearah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat kebawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur kebawah. "Heiii....!" Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk kedalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh kebawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin yang sudah tiba dibawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak keatas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat. "Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Dimana kau, he?"
"Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?" Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya. "Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap didalam pohon!" Kakek itu meloncat keatas dan dilain saat dia sudah duduk diatas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu keatas dahan pohon yang kokoh kuat. "Suhu nakal."
"Suhu....? Siapa suhu (guru)?"
Bi Sian memandang wajah kakek itu. "Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?"
"O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku nakal?"
"Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon." Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. "Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup diatas pohon, karena seringkali kalau berada dihutan, aku tidur diatas pohon. Lebih enak dan aman tidur diatas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau."
Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. "Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?"
"Wah, sudah sering!"
"Bagaimana rasanya, suhu?"
"Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, didepan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!"
"Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?"
"Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!" Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. "Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti didalam tubuhmu!"
Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. "Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!" Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung kedahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
"Pertahankan keadaan begini sekuatmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata."
"Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?"
"Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepaskan ada aku disini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!" Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik. "Nah, sekarang katakan siapa namamu!"
"Namaku Yaw Bi Sian, suhu."
"Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu."
"Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya."
"Benar, hayo lekas berlutut didepanku!"
"Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?"
"Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!" Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada diatas rumput lagi. Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut didepan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
"Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!" Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. "Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!"
Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?"
"Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapalagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?"
"Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?"
"Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...."
"....sampai dunia kiamat!" Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah menular padanya?
"Katakan apa tuntutanmu!"
"Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku."
"Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku."
"Kedua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang kerumah orang tuaku."
"Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini? Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!"
"Dan ketiga...."
"Banyak amat!"
"Cuma tiga, suhu. Yang ketiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!"
"Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan dan jembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?"
"Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?"
"Tentu saja?"
"Hem, mana mungkin? Seperti sekarang ini. aku butuh sekali minum karena haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?"
"Heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!" Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu kebibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya. "Suhu, darimana suhu memperoleh semangkuk air dingin ini?" tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih aseli! Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok ditangannya itupun dia lontarkan keudara dan lenyap!
"Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!" Bi Sian terbelalak. "Wah, enak kalau begitu!" teriaknya.
"Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!"
"Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!"
"Mengapa tidak boleh?"
"Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orangtuamu agar engkau berpamit dari mereka."
"Itu kudaku disana, suhu. Kita menunggang kuda!"
"Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda."
"Tapi sayang kalau kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!"
"Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu."
"Mana mungkin, suhu?"
"Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!"
Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kaurasakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku yang larinya seperti angin? Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat keatas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. "Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!"
Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh. Akan tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada dibelakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja! Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk kedua kalinya ia terbelalak melihat suhunya tetap berada dibelakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhunya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini. Akan tetapi suhunya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap didalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba dikaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang ditengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada disitu bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan? Bukankah tadi lima orang "perampok" itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?
"Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya."
Bi Sian terkejut. "Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampOk yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!"
"Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!"
"Kalian mau apa menghadang perjalananku?" bentak Bi Sian kepada lima orang itu. "Minggir!"
Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. "Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!"
Lima orang itu bergerak kedepan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya kearah muka Lu Ki Cong sambil memaki. "Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kausuruh menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk
menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!"
Lu Ki Cong tidak menjawab, akan tetapi lima orang tukang pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata kepada Bi Sian, "Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, hajarlah mereka, jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik dibelakang itu!"
Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?
"Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...."
"Hushh! Bikin malu saja! Engkaukan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak kotor!" Kakek itu menyerahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya. Dan tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu dapat menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat itu berada ditangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada ditangannya. Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang kedepan menggerakkan tongkat butut ditangannya. Bagaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mereka "dihajar" oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka. Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek jembel yang telah menghinanya, sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, seorang diantara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu kearah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan diudara, tak dapat digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut ditangan Bi Sian sudah menyambar kearah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.
"Plakkk!" Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika "mimisen". Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya kearah mereka, menyerang kepala. "Tukkk! Tukkk!" Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!
"Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!" Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak kedepan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan kearah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar kearah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biarpun tidak sampai terluka parah namun pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit dihati yang jauh melebihi rasa nyeri dibagian yang terpukul. "Bocah setan berani kau memukul kami?" bentak si brewok.
"Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!"
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biarpun lima orang itu kini sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan diudara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat ditangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
"Heh-heh, kau hendak lari kemana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!" teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat. "Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!" Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya. Dan Bi Sian terus menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan diatas tanah sambil menangis! Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh seorang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek jembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti mereka, membuat mereka semakin takut dan berusaha lari secepatnya sampai jatuh bangun! Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya diatas tanah, terengah-engah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas.
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula diatas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seorang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantunya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka. "Sudahlah, suhu. Apa sih yapg kau tertawakan begitu hebat?" katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.
"Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau telah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!"
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut didepan kaki gurunya. "Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi."
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan dibelakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka iapun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba didalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu dikebun belakang, kemudian ia pun menurut saja petunjuk suhunya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
"Kalau kita masuk kedalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!"
Yaw Sun Kok dan isterinya berada diruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapakali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.
"Aku mulai khawatir, kenapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya," bujuknya untuk kebeberapa kalinya. "Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari kesuatu tempat dan ia pergi kelain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir."
"Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...."
"Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan ia pun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku."
Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang kearah pintu dengan penuh harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela disebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan.... dibalik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
"Bi Sian....!" teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah kejendela, hendak membuka jendela itu. "Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah mendapatkan seorang guru, guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!"
"Bi Sian....!" Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu. Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa penasaran dan cepat dia melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu. Tiba-tiba terdengar suara anak mereka dari atas genteng. "Kuda itu kutambatkan didalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!"
Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri diwuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan diapun cepat molompat naik keatas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat keatas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan. Akan tetapi semua usahanya untuk mencari sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Diapun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu kemana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali. "Aku akan mencarinya...., aku akan mencarinya sampai jumpa dan membawanya pulang...." Dia menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek jembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya. Mendengar ini, makin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel dan bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid. Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie
Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia kehilangan adik kandungnya dan dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun!
Kesenangan dalam bentuk apapun didunia ini tidak abadi! Kesenangan seperti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat dapat meletus dan lenyap diudara! Kesenangan datang dari nafsu dan menimbulkan ikatan-ikatan dengan sumber kesenangan itu. Kalau tiba saatnya kesenangan itu direnggut dan terpisah dari kita, maka kitapun merasa kehilangan dan berduka. Hidup ini, penuh dengan duka yang timbul dan kekecewaan, iba diri, kemarahan, kabencian, permusuhan. Karena hidup ini penuh dengan duka dan sengsara, maka kita semua rindu akan kebahagiaan. Sayang sungguh sayang, kita selalu salah mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan! Kesenangan hanya merupakan saudara kembar dari kesusahan belaka, keduanya itu tak terpisahkan seperti permukaan depan belakang dari telapak tangan. Ada susah ada senang, ada suka ada duka, tak terpisahkan. Karena itu, setiap kedukaan kita coba hibur dengan kesukaan, setiap kesusahan kita tutupi atau ingin lupakan melalui kesenangan. Padahal, kesenangan itupun akan berakhir dengan kesusahan, seperti gelombang tidak hanya bergerak kesatu jurusun, tapi pada saatnya membalik. Kebahagiaan sungguh jauh berbeda. Kebahagiaan tidak mempunyai kebalikan! Kebahagiaan berada jauh diatas jangkauan suka dan duka. Karena suka dan duka itu hanya merupakan permainan pikiran, maka hanya menjadi pakaian dari si aku. Kebahagiaan tak dapat diraih oleh pikiran. Kebahagiaan tidak dapat didatangkan dengan sengaja oleh siaku yang ingin berbahagia. Kebahagiaan adalah Cintakasih, Cahaya Illahi, kekuasaan Tuhan yang selalu ada, didalam diri kita sendiri, tak pernah sedetikpun meninggalkan kita. Hanya pikiran dengan nafsu-nafsunya menyeret kita kedalam kegelapan sehingga tidak dapat melihat-Nya.
***
Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar dirumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang mengintai kedalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab diatas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah digembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota dikaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat. Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun
berlarian seorang diri sambil menangis diantara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Karena itu, biarpun Bong Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada didepan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat bentuk wajah anak itu,
ketampanannya merupa kan ketampanan suku Uigur atau
Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau Boangana!
Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada diatasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. Dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya! Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak diantara anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung kekota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal! Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta diantara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Didalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan sukarela, melainkan karena terpaksa. Oleh karena itu, baru saja diboyong kedalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, diantaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu, diluar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan didepan dada memberi hormat.
"Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...."
"Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya...."
"Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?"
"Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku encimu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu."
Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada dirumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
"Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah," katanya menunjuk kearah kursi yang tadi dia duduki.
"Terima kasih," Pek Lan tersenyum dan duduk diatas kursi itu. Diatas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja. "Kau duduklah, Bong Gan," katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
"Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah."
"Ahhh!" Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk diatas pembaringan. "Biarlah aku duduk disini. Kau duduklah."
Bong Gan duduk diatas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk diatas pembaringannya.
Beberapakali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
"Bong Gan, huruf apakah ini....?" Pek Lan bertanya, menunjuk kelembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
"Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah disini, kita baca bersama. Kauajari aku membaca, Bong Gan."
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar diatas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja didepan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk didekatnya, ditepi pembaringan.
"Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?"
"Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan...." kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.
"Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!"
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk didekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak diatas lantai didepan pembaringan sedangkan diatas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai. Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagainya. Makin diberi, semakin merasa kurang dan menghendaki yang lebih! Demikian pula dengan Bong Gan dan Pek Lan. Begitu keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang dilautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti
juga ibu angkatnya sendiri! Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, kesekian puluh kali dan mereka berdua, yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu birahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe. Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati. Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam diluar, dan diwaktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, dikamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut didepan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apalagi disampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan diantara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai diluar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan didalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan kemana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka. Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti ditepi sebuah hutan, dibawah pohon rindang. Suasananya disitu sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota. Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup diatas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
"Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi," kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini. Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di
samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!
"Engkau memang anak durhaka!" bentaknya sambil bangkit duduk dan telunjuknya menuding kearah muka Bong Gan. "Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia dirumah keluarlga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!"
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. "Diam!" Dia membentak marah sekali. "Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali didalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku kedalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku?
Perempuan tak tahu malu!"
"Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!" Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan diatas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat. Kiranya disitu sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa disitu muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling. Hal ini berarti bahwa nenek itu telah membantunya, maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut didepan nenek itu sambil menangis! Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman. Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai
hampir tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut kedalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut didepannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk. "Ceritakan, kenapa kau menangis disini!" terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya. "Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya didusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu,akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya."
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam diatas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar kearahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri. "Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?"
Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan. "Jangan, nenek yang baik, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!" katanya.
Nenek itu terkekeh. "Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!" Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini
timbul keberaniannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.
"Heh-heh-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!" Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling! Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
"Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!" Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi keudara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh keatas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur kebawah dangan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
"Toloooooooong!" Dia menjerit-jerit. "Nenek yang baik, jangan bunuh dia!" Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
"Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!" kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting keatas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyambutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali keatas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.
"Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!"
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup mata rapat-rapat. Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk kedua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti diudara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur kebawah melainkan kesamping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada diujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek jembel! Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba ditempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar keatas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.
"Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!" Mula-mula Koay Tojin memandang kepada nenek itu dan nampak terkejut. "Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana aku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya...." Dan kakek jembel itu bergidik kengerian. Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
"Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!" Berkata demikian, Bi Sian meloncat kedepan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal. "Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!"
Nenek itu menyeringai lalu menoleh kepada Pek Lan, "Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?"
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek jembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan. "Nenek yang mulia, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kaubunuh saja!" Di sini sudah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
"Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!" jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya kearah Bi Sian. Sinar hitam meluncur kearah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir. "Wirrrr.... takkkk!" Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut ditangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi dilipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri didepannya. "Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek jembel gila dari Himalaya?" teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu! "Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!"
Nenek itu semakin marah. Kata-kata "tidak bergigi lagi" bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
"Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!" Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh.
Ia melontarkan tongkat ularnya keatas dan tongkat itu meluncur kearah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak! Koay Tojin tertawa bergelak, melompat kebelakang dan diapun melempar tongkat bututnya kedepan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun "hidup" dan melawan tongkat ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya "bersilat" tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat. Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ketangannya. Koay Tojin juga sudah "memanggil" kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu. Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat kedepan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya
kena dipukul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
"Nenek yang mulia.... tolong aku.... tolooooonggg!" Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingungkan. Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat kebelakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya kearah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. "Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!"
"Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!" Koay Tojin bergidik.
"Hayo pergi....!"
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan itu dan kakek jembel, kini menjatuhkan diri didepan kaki Koay Tojin.
"Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!" Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai. "Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!" katanya sambil membalikkan tubuh membelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu!" Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main. "Siapa namamu?" Bi Sian bertanya.
"Nama saya Bong Gan...." jawab anak laki-laki itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan. "Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?"
"Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng," Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. "Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan kedalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba disini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu." Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk diakal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
"Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya...."
"Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!" Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi. "Nanti dulu, suhu," kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. "Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!"
"Apa??" Koay Tojin terbelalak. "Untuk apa mengajak anak cengeng ini?"
"Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!"
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. "Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?"
"Benar, locianpwe," kata Bong Gan, girang bahwa kakek jembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.
"Aku ingin melihat buktinya!" berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur kearah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
"Plak! Plak! Plak! Bukk!" Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apalagi kalau pukulan itu mengenai kepalanya. Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong. Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat diatas tanah dibawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu. Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting,
dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali kearah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. "Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?" teriaknya. "Ha-ha-ha!" Koay Tojin tertawa bergelak dan dilain saat tongkat itu sudah kembali ketangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. "Mari kita pergi, Bi Sian!" katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ. Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya! Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu terancam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji! Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap kearah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri ditubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut ditempat itu! Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena ditepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu ditubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah diatas tanah berumput tebal, ditepi sebuah sungai kecil yang jernih, didalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka dipunggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali. Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru diantara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan diatas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!
"Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...." katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh itu duduk pula disitu, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu. "Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...." sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, "Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?"
Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, "Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!" Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. "Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu." Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. "Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu...."
Bi Sian terbelalak. "Eh, eh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci (kakak seperguruan)?" Bong Gan tersenyum. "Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?"
"Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua diantara kita. Berapa umurmu tahun ini?"
"Tiga belas tahun."
"Nah, itu!" Bi Sian berteriak. "Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!"
"Habis, lalu bagaimana?"
"Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng (kakak seperguruan)." Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk. "Baiklah sumoi."
"Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?" Bong Gan menggeleng kepalanya. "Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong."
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.
***
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut didepan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka berada dipuncak sebuah bukit kecil yang sunyi. "Terima kasih, nenek yang mulia. Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan karena hidup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi."
"Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?"
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apa nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.
"Tentu saja saya memilih berguru, nek."
"Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!"
"Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo."
"Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!"
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapapun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
"Apapun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan."
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik."
"Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?"
"Mari, ikut dengan aku kekota besar Ho-tan ditimur. Disana terdapat benteng besar pasukan dan dikota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!"
Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu diluar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali karena para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran. Pangeran Cun Kak Ong juga seorang diantara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu didaerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu disetorkan kepusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk kedalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya dikota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang perajurit.
Bukan hanya penjagaan dirumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia dibawah tanah! Inilah sebabnya mengapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta dari pangeran itu.
Satu diantara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Didalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Namun dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju kebenteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok kekiri kemana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isarat mereka agar berhenti. Kiranya ditepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali. Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang menangis itu. Akan tetapi karena sejak beberapa tahun ini perutnya
berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan. Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
"Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis disini?" Pangeran Cun bertanya dan hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang. Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek didekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
"Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?"
"Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil diluar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong kedusun suami saya.... ditengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami, Taijin...."
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara "menampung" Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
"Aduh kasihan....!" Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. "Jangan menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut keistana kami dan engkau akan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!"
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan terima kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika diapun membatalkan kepergiannya kebenteng, melainkan memutar pasukannya pulang keistana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan "pelayannya"!
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan memang amat cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran. Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi! Setelah mengorek rahasia ini, cepat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya. "Subo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!" keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. "Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja didalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan mengambilmu dari kamarmu."
"Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!" Kembali nenek itu tertawa, "Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?"
"Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik...."
"Jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan dapat merobohkan mereka," kata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri didekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa "menderita" dalam pelukan Pangeran Cun. Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk ditepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut? Ia akan mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tidak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang diatas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap kelorong bawah tanah. Dibawah tanah itu terdapat banyak kamar, diantaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran disekitar gudang itu, dan didepan gudang terdapat sebuah kamar dimana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan dibelakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali. Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai. Tak lama kemudian dua orang penjaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri dibelakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan dilain saat, dua orang inipun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung. Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri dibelakang gudang dan seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali kedepan gudang dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka terampas sebelum terbanting keatas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in
Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ketubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka iapun membakar empat orang penjaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu lari cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar kesana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi dimana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa kedalam gudang dimana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan kedalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat
kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya. Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang disana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu kedalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga diatas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati ia mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabrak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan iapun berkelebat menuju kepintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnyapun terdengar oleh tiga orang jago.
"Heiiii, berhenti....!" Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk kedalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, merekapun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas. Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian kesana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan kesana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja memperlihatkan diri dan lari kedalam kebun disamping gedung. Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar kesana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti ditempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya. Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai. Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat keatas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.
Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pakaian, bersungut-sungut. "Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian digedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!" Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa disudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas. "Brakkk!" Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
"Pek Lan, mari kita pergi!" kata nenek itu. Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. "Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!" Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
"Cerewet kau!" bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh diatas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
"Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?" kata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan diatas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak "mengganggu" pelayanannya kepada bangsawan itu.
"Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!" Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya "terbang" melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap dikegelapan malam membawa buntalan dipunggung masing-masing.
Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, ditepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat!
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah diantara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada diujung barat dan mungkin karena pemandangan dipuncak ini waktu senja amatlah indahnya, dimana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ketimur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat tinggal sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong! Namun, adalah tiga suheng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan
menjadi wakil mereka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih. Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang kedua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ketiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan ini, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seorang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa! Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi kedusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan dipuncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan ditempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan. Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya. Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sin-kang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu dibawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah. "Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan didalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi disana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi disini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami."
"Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingan kepada teecu."
Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, didekat perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari encinya tentang dusun tempat kelahirannya itu, dimana menurut encinya ayah ibu-nya telah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang dimakam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat dimana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini. Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang
mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu, lalu ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju keladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu. "Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?"
Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab. "Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kautanyakan?"
"Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui dimana adanya makam dari suami isteri Sie Kian." Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik. "Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri She Kian?"
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, "Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat didusun ini, maka saya ingin berkunjung kemakam mereka untuk memberi hormat."
Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. "Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?"
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang. "Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!" Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah kesamping, berdiri dipinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan dipinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani. Seorang diantara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri dipinggiran. "He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat kemana?"
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. "Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja diladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas."
"Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!" bentak si hidung besar. Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu. "Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!"
"Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kukatakan, mengerti?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu."
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. "Tidak, majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi kerumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!"
Kakek itu tersenyum sedih. "Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga."
"Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!" Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya. Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. "Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?" Suaranya bercampur tangis kebingungan.
"Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?"
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata, "Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...."
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
"Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!" Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju kerumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, "Awas, Lo Kwan, cucumu....!"
"Mereka kesana...."
"Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!"
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju kerumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba didepan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang diantara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis. "Kong-kong, tolonglah aku....!" Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
"Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!" teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya. Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!" Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
"Kawan, perlahan dulu!" Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang didepan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
"Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?" bentaknya marah.
"Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya," kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. "Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?" Dia menunjuk kearah hidungnya yang besar. "Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?"
Sie Liong mengerutkan alisnya. "Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya."
"Hah??" Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, "Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!" Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. "Hajar mampus setan bongkok ini!"
Dua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa daripada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam. Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apalagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka. Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.
"Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah kedepan!" seorang diantara mereka mengejek.
"Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!" Orang kedua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya. Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam kearah kepala Sie Liong, orang kedua menonjok kearah dada pemuda bongkok itu. Â Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar kekanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting keatas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras keatas tanah. Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
"Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!" kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. "Orang muda, pergilah, larilah....!"
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun. "Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar...." Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan kedua lengannya.
"Plak! Plakkk!" Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi "ngek! ngek!" dan mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap kemana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
"Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!" bentaknya. Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. "Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!" katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak kedepan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah didepannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya menyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
"Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!" Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Dilain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh kebelakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan. Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri didepan kaki Sie Liong.
"Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan...." kata Kwan Sun. "Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya...."
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai celaka ditangan orang-orang jahat itu. "Bangkitlah, lopek," katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. "Engkau juga, nona.
Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun kesini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!"
Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan kerumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang kesitu karena pemuda bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
"Saudara-saudara," katanya dengan suara lantang, "kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?"
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan. "Mana kami berani?" akhirnya seorang laki-laki muda
menjawab. "Andaikata Sie-kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?" tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie
Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. "Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!"
"Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!"
"Ka mi.... kami tidak berani...." beberapa orang berseru. "Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai."
"Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!" kata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran mengapa begini banyak pria didusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.
Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
"Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat disini."
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu.
Tak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi dibalik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya didalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, diantaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah didusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya. Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah disitu, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa didusunnya datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, "Itulah si setan bongkok!"
Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya kearah muka Sie Liong dan membentak marah.
"Engkau ini orang bongkok darimana, berani datang kedusun kami dan membikin kacau?" Sie Liong mengangkat muka memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie Liong tersenyum. "Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan didusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari srigala-srigala berwajah manusia yang berkeliaran disini!"
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur disitu. "Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!" Dia menoleh kepada para anak buahnya. "Pukul dia sa mpai mati!"
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata ditangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan kearah tubuh Sie Liong. Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembunyi dirumah sendiri saking takut terlibat. Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan kekanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh! Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas. Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat. Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat didekat pundaknya, dan sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Dilain saat, Sie Liong telah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar diatas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka! Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya keatas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka! Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok dan dipukuli para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun dibawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera melemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan
memukulinya. "Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!" teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak
pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga agar mereka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring. "Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!"
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, "Hidup putera mendiang Sie Kauwsu....!"
Sie Liong mengangkat kedua tangan keatas memberi isarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati. Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa tidak ada diantara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
"Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?"
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun. "Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik...." Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. "Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!"
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. "Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku disini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kautinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!"
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali kerumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut didepan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut didepan Sie Liong.
"Sie-taihiap," kata Kwan Sun dengan suara nyaring, "kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami."
"Hidup Sie-taihiap....!"
"Kami setuju!"
"Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!"
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan keatas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, didusun orang tuanya, ditempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
"Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya disini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang diantara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru."
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
"Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!"
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah. "Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?"
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang. "Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!" Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia
menumpas lurah Bouw dan anak buahnya. "Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?" tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi didusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin. "Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi diantara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat disini dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah diantara cu-wi yang pernah berguru kepada
ayahku?" Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
"Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda disini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main."
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi kerumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
"Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung kemakam ayah ibu saya disini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung kemakam itu. Dimanakah makam mereka, lopek?"
"Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada dipinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita." Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ketanah kuburan yang sunyi itu. Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut didepan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi didusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar dimakam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
"Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya."
Sie Liong terkejut dan heran. "Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?"
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. "Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?"
"Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?"
"Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Disini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!"
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk diatas rumput, didepan makam ayah ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata, "Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas."
Kwan Sun mengangguk-angguk. "Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat didusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak kedua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong."
"Akulah anak itu, lopek."
Kakek itu mengangguk. "Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu...." Dia memandang kearah punggung Sie Liong. "Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan dirumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali...." Kakek itu berhenti bercerita dan termenung. "Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi dirumah orang tuaku?" Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya. Kwan Sun menghela napas panjang. "Akulah seorang diantara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh."
"Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?" Kakek itu manggeleng kepalanya. "Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan
engkau sendiri, tidak berada disana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu.
Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw."
Sie Liong mengepal tinjunya. "Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!"
Kakek Kwan menggeleng kepala. "Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong...."
"Lopek," Sie Liong memotong, "apakah diantara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?"
Kakek itu manggeleng kepala lagi. "Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan."
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung. "Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu." Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila didepan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang didalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya. Setelah merasa cukup melakukan sembahyang didepan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang kerumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya didusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw. Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat dibawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila didalam kamarnya dirumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu dipuncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua dan mengapakah encinya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka. "Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara didusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap."
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sekali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa. "Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?"
"Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?"
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
"Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri." Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap."
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri. "Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap."
"Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci."
"Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?" Sie Liong menggelengkan kepala. Lurah Kwan menjadi girang bukan main. "Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang kerumah encimu!"
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan dirumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah dan senyum dibibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan. Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan keatas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu. "Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan
encinya."
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
"Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu," katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu. Malam itu, didalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia dirumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi
meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu? Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal dirumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian! Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin! Tiba-tiba saja timbul penyesalan didalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan! Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si didalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah
berada diluar kamarnya, kemudian meloncat naik keatas genteng dan mengintai kedalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu. Benar saja. Siu Si duduk diatas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya
agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk didekat gadis itu dan menghiburnya. "Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?"
"Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman...."
"Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?" Siu Si menangis lagi.
"Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?"
"Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko...."
"Hushhh....!" Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali kedalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju kebarat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala ditimur, dia sudah tiba dipuncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap kearah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si diantara isaknya. "Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...."
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan "terima nasib", bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
"Terima kasih, Siu Si...." dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
"Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini...." dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah. "Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...." dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbahagia.
***
Bersambung kebagian 2 ...