Bagian 81
Si bocah cilik ini malah mengulurkan tangannya untuk memeluk leher puteri, Kongcu tertawa terkekeh, "Menyenangkan telur busukmu! Aku justru tidak senang ada Siau Kui Cu cilik yang memanggilku mama!"
Ngomong sih begitu, tapi telinga Siau Po yang dijewernya sudah dilepaskan. Lalu dengan manja, dia bertanya, "Sudah begitu lama kita tidak bertemu, apakah kau merindukan aku?" Lalu dia menyusupkan kepalanya ke dalam pelukan Siau Po.
"Tentu saja aku merindukanmu. Setiap pagi atau pun malam aku selalu memikirkanmu. Bahkan setiap detik, setiap saat aku selalu terbayang wajahmu," sahut Siau Po.
Dalam hati dia justru memaki -- Di saat seperti ini masih mengelendot terus, benar-benar keturunan si Moler tua! -- Dia melihat Kongcu memeluknya erat-erat. Wajah perempuan itu merah jengah. Saat ini tidak mungkin Siau Po bermesraan dengannya, tapi dia juga tidak berani membuatnya tersinggung, maka dengan suara berbisik dia berkata, "Sekarang kita kabur dari istana. Kelak kita mempunyai waktu untuk bersama-sama, selamanya kita tidak akan berpisah lagi. Mari kita berangkat!"
Kongcu justru merengek-rengek.
"Tidak! Malam ini juga kita harus menjadi suami istri!" katanya,
"Baik, baik! Malam ini juga boleh, asal kita kabur dulu!" sahut Siau Po.
"Kabur apanya? Hongte koko paling sayang kepadaku. Dia juga gurumu dan menyukaimu. Besok kita bersama-sama memohon kepadanya, pasti dia tidak marah lagi. Yang paling dibenci Hongte koko justru Gouw Sam Kui. Sekarang juga kau utus pasukan besar untuk menggempur orang itu, aku akan menemanimu. Aku menjadi panglima besar, kau menjadi wakilnya. Kalau kita berhasil membunuh Gouw Sam Kui, Hongte koko pasti akan mengangkatmu menjadi Ongya!" kata Kian Leng kongcu, pelukannya terhadap Siau Po malah dipererat.
Siau Po justru sedang kebingungan, tiba-tiba terdengar suara ketukan perlahan-lahan sebanyak tiga kali di jendela samping. Setelah berhenti sebentar terdengar lagi dua kali ketukan.
Siau Po langsung saja merasa senang.
"Apakah bibi To yang datang?" tanyanya dengan suara rendah.
Perlahan-lahan dia mendorong tubuh kongcu dan menghambur ke arah jendela untuk membukanya. Tampak sesosok bayangan berkelebat seseorang meloncat masuk. Ternyata memang To Hong Eng.
Begitu kedua wanita itu bertatap muka, mereka sama-sama terkejut
"Kongcu!" panggil Hong Eng dengan suara lirih.
Kongcu sendiri merasa marah sekali.
"Siapa kau? Untuk apa kau datang ke mari?" bentaknya. Rupanya setelah berpikir sejenak, timbul rasa cemburu dalam hatinya. Dia berpikir, di tengah malam seperti ini, seorang perempuan meloncat masuk ke dalam kamar Siau Po lewat jendela, urusannya pasti tidak beres.
Dia langsung menuduh perempuan itu kekasih gelapnya Siau Po. Meskipun dia melihat usia perempuan ini pasti tidak muda lagi, tapi Siau Po memang mata keranjang. Mungkin saja ada apa-apa di antara mereka. Apalagi gairahnya sedang menggebu-gebu, perempuan ini justru datang mengganggunya. Semakin dipikir hatinya semakin panas. Dia segera membuka mulut dan berteriak "Mana...."
Siau Po sudah menduganya, belum sempat Kongcu menyelesaikan teriakan "mana orang?" dia segera membekap mulut sang puteri.
Kian Leng kongcu memberontak sekuat tenaga. Dia melayangkan tangannya dan menampar pipi Siau Po dengan keras. Dalam keadaan panik, sebelah tangan Siau Po mencekik leher kongcu, dia mengerahkan segenap tenaganya.
"Perempuan hina, mau mampus? Biar aku cekik mati sekalian!" makinya.
Kian Leng kongcu segera merasa pernafasannya sesak. Tangannya menggapai-gapai serabutan. Tangan kiri Siau Po berbalik lalu meninju kepala sang puteri sebanyak dua kali.
To Hong Eng yang melihat Siau Po berani memukul si tuan puteri, merasa terkejut setengah mati. Tapi dia sadar urusan ini sudah semakin gawat. Maka dia mengulurkan tangannya untuk menotok bagian pinggang dan dada kongcu. Dengan demikian Siau Po baru melepaskan tangannya.
"Bibi, urusannya gawat Raja ingin membunuh aku. sebaiknya kita kabur sekarang juga," katanya.
"Di luar banyak siwi yang menjaga, sebetulnya aku sudah datang sejak tadi, tapi aku terpaksa menunggu satu jam setengah, baru mendapat kesempatan menyelinap ke dalam." Dia berjalan ke arah jendela dan menguakkannya sedikit "Kau lihat sendiri!"
Siau Po melongokkan kepalanya. Dia melihat tujuh delapan orang siwi yang membawa lentera sedang berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba hatinya tergerak, teringat apa yang dilakukkan oleh Mau Tung Cu dan siau Tau To.
- Nasib mereka buruk sehingga bertemu dengan ketiga orang dari keluarga Kui. Aku boleh mencoba cara yang sama. Tidak mungkin arwah ketiga orang itu gentayangan lagi untuk menyerang tandu si Tuan Puteri, - Karena mendapat pikiran itu, dia segera berkata kepada kongcu.
"Kongcu, kau jangan cemburu, dia ini bibimu, Adik bapakku, kakaknya ibuku, Kau jangan suka mengumbar hawa amarah."
Kian Leng kongcu ditotok oleh To Hong Eng. Hatinya memang sudah kesal bukan main dan hampir jatuh semaput. Mendengar ucapan Siau Po, kemarahannya langsung sirna. Dia juga tidak ingat bahwa adik bapakku dan kakak ibuku tidak mungkin terdiri dari orang yang sama. Yang penting baginya asal perempuan ini bukan kekasih Siau Kui Cu, urusan lainnya dia tidak mau tahu. Seulas senyuman segera dipamerkannya.
"Kalau begitu, cepat bebaskan aku!" katanya, Siau Po memang ingin mengambil hati si Tuan Puteri.
"Kau toh istriku, cepat panggil bibi!" ujarnya, Kongcu senang sekali, cepat-cepat dia memanggil.
"Bibi!"
To Hong Eng kebingungan. Baru saja kedua orang ini saling memukul, mengapa si Tuan Puteri tiba-tiba memanggilnya bibi?
"Cepat kau suruh orang membawa tandumu ke dalam. Lalu orang itu kau suruh keluar dan jangan lupa rapatkan pintunya. Kita duduk dalam satu tandu agar dapat menyelinap keluar dari istana ini. Malam ini juga kita akan menikah, sedangkan kalau menikah kan harus disaksikan oleh seorang angkatan tua baru sah. Nah, Bibi To inilah angkatan tua kita, Bagaimana menurut pendapatmu?"
Kongcu gembira sekali, wajahnya merah karena jengah.
"Bagus sekali," sahutnya dengan suara lirih.
Siau Po mendorong punggungnya sembari berkata. "Cepat! Cepat!"
Didorong sedemikian rupa, si Tuan Puteri ikut-ikutan panik. Tanpa menunggu totokannya dibebaskan dia maju ke depan sambil berteriak
"Gotong tandunya ke dalam!"
Para thay-kam dan dayang keheranan. Tapi tingkah laku puteri yang satu ini memang sulit diduga, perintah apa pun yang keluar dari mulutnya pasti aneh bagi orang biasa. Bahkan kadang-kadang gila-gilaan. Karena itu mereka tidak berani ayal. Tapi ada satu hal yang tidak diduga oleh Siau Po. Tandu selir Cin bisa dibawa masuk ke dalam istana Cu Leng Kiong sehingga Siu Tau To dan Mau Tung Cu bisa menyelinap ke dalam tanpa sepengetahuan orang lain, sedangkan bekas tempat tinggal Hay Tay Hu ini mana mungkin disamakan dengan sebuah istana, pintunya jauh lebih kecil Jadi hanya bagian depan tandu saja yang muat. Pada batas tiang kedua sisi tandu, para thay-kam tidak sanggup memasukkannya lagi.
"Dasar manusia tidak punya guna! Gelinding keluar semuanya!" maki Kongcu.
Kedua thay-kam yang menggotong tandu hanya dapat merangkak ke luar dari bawah dan dan mendumel dalam hati, - pintunya memang cuma segini, mengapa kami yang disalahkan? -
Siau Po mendekati si Tuan Puteri dan berbisik di teIinganya.
"Suruh mereka menjauh dan tidak ada seorang siwi pun yang boleh masuk."
Kongcu berkata dengan suara Iantang. "Siau Kui Cu, kau harus baik-baik berdiam di dalam kamar Pokoknya tidak boleh keluar sama sekali!"
Siau Po juga menjawab dengan suara keras.
"Baik. sekarang sudah larut, harap Kongcu kembali ke kamar dan istirahat."
"Aku justru ingin keluar jalan-jalan. Memangnya kau berani melarang aku?" Maki si tuan puteri sengaja menaikkan suaranya.
"Di dalam istana sedang ramai karena kedatangan pembunuh gelap, harap Tuan Putri berhati-hati!" sahut Siau Po.
"Sri Baginda memelihara sekian banyak siwi tapi semuanya hanya tahu makanan saja. Semuanya menggelinding jauh-jauh dan tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke rumah ini!" kata Kian Leng kongcu.
Para siwi segera mengiakan dan mundur jauh-jauh.
Siau Po masuk ke dalam tandu lalu menggapaikan tangannya, To Hong Eng segera membebaskan totokan Kongcu agar si Tuan Puteri itu juga bisa menyusup ke dalam tandu. Karena tandu itu tidak seberapa besar. Kongcu terpaksa duduk di pangkuan Siau Po.
Tangan kiri Siau Po merangkul pinggang si Tuan Putri.
"Bibi To, harap kau kawal kami ke luar," katanya kepada Hong Eng. Siau Po berpikir bahwa ilmu bibinya ini tinggi sekali, seandainya ada orang yang curiga dan memeriksa tandu itu, kan ada orang yang membantunya berkelahi.
To Hong Eng segera mengiakan. Dia mengenakan pakaian para dayang. Apabila dia mengawal di sisi tandu Tuan Puteri, tentu tidak ada orang yang curiga kepadanya.
"Cepat gotong tandu ini ke luar!" bentak Kian Leng kongcu. Keempat thay-kam yang bertugas menggotong tandu segera bersiap sedia. Dua orang menggotong di bagian depan dan dua lagi dari belakang. Untuk sesaat timbul keheranan dalam hati mereka. Mengapa tandu ini tiba-tiba menjadi berat?
Kongcu mendengarkan petunjuk yang diberikan Siau Po. Tandu digotong ke luar lewat Sin Bu Bun. Para siwi yang menjaga di sana melihat tandu si Tuan Puteri akan digotong ke luar meskipun hari sudah larut, mereka segera maju untuk menanyakannya.
Kongcu menghambur ke luar dari tandunya sembari memaki.
"Pokoknya aku ingin keluar, buka pintu itu!"
Malam ini, yang menjadi pemimpin pengawal gerbang itu bukan lain dari pada Cio Ci Hian. Dia segera membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat Sembari tertawa, dia berkata. "Tuan Puteri, malam ini kabarnya dalam istana akan kedatangan beberapa orang pengacau, Situasinya kurang aman, harap Tuan puteri menunggu sampai besok pagi baru keluar."
"Aku mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan, Iagipula, mengapa aku harus takut terhadap para pengacau itu!" maki Kongcu.
Sebetulnya Cio Ci Hian tidak berani melarang. Tapi Gouw Eng Him sudah mati, sekarang tiba-tiba saja Tuan Puteri ingin keluar istana padahal sudah larut malam. Dia khawatir urusan ini ada hubungannya dengan pemberontakan Gouw Sam Kui.
Besok pagi kalau ada pemeriksaan, dia harus menerima beban tanggung jawab yang berat. Dia hanya membungkukkan tubuhnya beberapa kali namun tetap tidak bersedia membukakan pintu. Tingkahnya itu membuat si Tuan Puteri semakin panik. Akhirnya dia berkata lagi.
"Kalau memang demikian, biarlah hamba tanyakan dulu kepada To Congkoan. Setelah mendapatkan jawabannya, hamba akan bergegas kembali ke sini."
Siau Po yang ada di dalam tandu dapat mendengar si Tuan Puteri, tapi Cio Ci Hian tetap tidak mau membukakan pintu, malah sekarang dia akan menemui To Lung untuk mendengar petunjuk dari-nya. Urusannya jadi semakin gawat. Dalam keadaan panik dia terpaksa berkata.
"Cio Ci Hian, tahukah kau siapa aku?"
Cio Ci Hian cukup lama mengikutinya. Tentu saja dia mengenali suara Siau Po. Hatinya merasa heran sekaligus gembira.
"Apakah Wi congkoan di sana?" tanyanya.
Siau Po tertawa.
"Benar" sahutnya. Dari dalam tandu dia melongokkan kepalanya lalu menggapaikan tangannya.
Cio Ci Hian cepat-cepat menghampiri.
"Aku mendapat perintah rahasia dari Sri Baginda untuk menyelesaikan suatu urusan yang penting sekali," katanya dengan suara berbisik, "Kalau aku sampai menunjukkan mukaku, urusannya bisa kacau. Karena itulah Sri Baginda menyuruh aku bersembunyi di dalam tandu ini dan menggunakan Kongcu untuk keluar dari istana," kata Siau Po.
Cio Ci Hian tahu Siau Po disayang sekali oleh Raja, tingkahnya juga sulit ditebak, apa yang dilakukannya selalu tidak masuk akal. Karena itulah dia tidak curiga lagi.
"Baik, baik, Hamba akan membukakan pintu sekarang juga." pikiran Siau Po langsung tergerak.
"Apakah kau ingin mendapatkan kenaikan pangkat atau hadiah besar?" tanyanya.
Cio Ci Hian mengikuti Siau Po sekian lama. Dalam beberapa tahun saja, pangkatnya sudah dua kali dinaikkan. Bahkan dia sudah mempunyai simpanan uang sebanyak dua laksa tail Iebih.
Mendengar kata-kata Siau Po, dia tahu pembesar cilik ini pasti akan mengungkapkan pujian bagi dirinya lagi di hadapan Sri Baginda. Hatinya langsung berbunga-bunga. Cepat-cepat dia membungkukkan tubuhnya dan menjawab "Terima kasih atas tawaran Wi Congkoan! Apabila ada sesuatu yang dapat hamba laksanakan meskipun seluruh tubuh ini harus hancur lebur, hamba tidak akan menolaknya." Dalam hati Siau Po berkata, -- Kau sendiri yang mengatakannya. Kalau meriam itu ditembakkan nanti sehingga seluruh tubuhmu hancur lebur, anggaplah karena ucapanmu sendiri jangan kau menyalahkan aku. --
Dia segera membisiki Cio Ci Hian, "Ada sekawanan penjahat yang sekongkol dengan Gouw Sam Kui. Sri Baginda telah menyusun rencana yang bagus. Mereka berhasil dikelabui dan sekarang berkumpul di gedung kediamanku, Sri Baginda mengutus aku membawa sepasukan tentara untuk menangkap mereka. Kau tahu sendiri, pemimpin garis depan para tentara itu selamanya tidak pernah akur dengan aku. Coba kau tebak, mengapa Sri Baginda malah mengutus aku memimpin komandan tentara dan anak buahnya itu?"
Cio Ci Hian menggelengkan kepalanya.
"Hamba" memang bodoh, mengenai hal ini hamba tidak tahu apa-apa," sahutnya.
Sebetulnya komandan pasukan tentara itu telah bersekongkol dengan Gouw Sam Kui. Sri Baginda ingin membasmi mereka sekaligus, sedangkan Kongcu menantunya Gouw Sam Kui. Begitu mereka melihat Tuan Puteri, para pemberontak itu pasti tidak akan menaruh kecurigaan lagi," kata Siau Po.
Cio Ci Hian seperti tersentak sadar.
"Rupanya begitu. Aku sama sekali tidak menyangka Komandan Tentara Ha Tong telah bersekongkol dengan Gouw Sam Kui. Pasti urusan ini berhasil diselidiki oleh Wi congkoan pula sehingga telah mendirikan jasa besar."
"Jasa ini sebetulnya direncanakan oleh Sri Baginda sendiri kemudian diserahkannya kepadaku. Kita kan sudah seperti saudara sendiri, kalau ada kenaikan pangkat, kita rasakan bersama. Ada hadiah, kita bagi rata, sekarang sebaiknya kau bawa empat puluh anak buah andalanmu untuk membangun jasa bersama-sama aku."
Cio Ci Hian senang sekali. Dia sampai mengucapkan terima kasih berulang kali. Setelah itu dia mempersilahkan Kongcu masuk lagi ke dalam tandu. Dipilihnya empat puluh orang siwi yang paling pandai mengambil hatinya dan dikatakannya bahwa mereka mendapat perintah rahasia dari Raja untuk menyelesaikan suatu urusan. Anak buahnya segera membukakan pintu gerbang. Dia mengiringi tandu Kongcu keluar dari istana. Sisa penjaga yang enam puluh orang lagi disuruh menjaga dengan ketat.
"Biar bagaimana pun, pintu gerbang ini tidak boleh dibuka lagi sampai pagi nanti. Kecuali ada perintah dari aku atau To Congkoan. Kalau tidak, siapa pun tidak ada yang boleh meninggalkan istana ini," kata Siau Po.
Cio Ci Hian menyampaikan pesan Siau Po kepada para penjaga. Keenam puluh penjaga itu segera mengiakan. Diam-diam Siau Po merasa geli.
-- Sekali Lohu meninggalkan istana ini, lohu tidak akan kembali Iagi, Entah arwah To congkoan akan datang memberikan perintah kepada kalian untuk membukakan pintu atau tidak? -- katanya dalam hati.
Tempat tinggal Siau Po tidak seberapa jauh dari istana. Tidak lama kemudian mereka sudah hampir sampai. sepanjang perjalanan jantung Siau Po terus berdebar-debar. Dia khawatir baru sampai tengah jalan, tempat tinggalnya sudah hancur tertembak meriam. Untung saja sampai mereka tiba, keadaan di tempatnya masih sunyi senyap tanpa terlihat gerakan apa pun.
Begitu sampai di depan pintu gerbang. Komandan Tentara sudah mendapat laporan bahwa mereka kedatangan Kian Leng kongcu. Karena itu dia segera maju menyambut.
Sementara itu, di dalam tandu. Tuan puteri telah mendapat petunjuk dari Siau Po disamping digerayangi tangannya yang nakal. Mendengar suara penyambutan si komandan tentara, dia segera melongokkan kepalanya keluar. "Komandan Ha, Sri Baginda mengeluarkan perintah rahasia bahwa urusan yang harus diselesaikan malam ini penting sekali Apakah kau sudah menyiapkan segalanya dengan baik?" tanyanya.
Komandan tentara itu kembali membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Betul, hamba sudah menyiapkan segalanya."
Kongcu berkata lagi dengan suara berbisik.
"Tentunya meriam-meriam itu sudah ditempatkan dengan baik, bukan?"
"Betul, Lam tayjin sendiri yang akan memberikan petunjuk," sahut si komandan.
Siau Po yang ada di dalam tandu dapat mendengar semuanya dengan jelas. Dalam hati dia berkata. - Rupanya Sri Baginda memang tidak berdusta. Kalau Lam tayjin, si Setan Bule itu yang langsung memberikan petunjuknya, tembakan meriam itu tentunya tepat pada
sasaran! --
"Sri Baginda berpesan agar aku menyelesaikan suatu urusan dalam gedung ini. sebaiknya kau temani aku ke dalam," kata Kian Leng Kongcu pula.
"Lapor Tuan Puteri, waktunya sudah mendesak sekali. Sekarang kita tidak bisa lagi masuk ke dalam," sahut si komandan.
Kian Leng Kongcu segera memperlihatkan kemarahannya. "Mana mungkin tidak boleh? ini perintah langsung dari Raja, kau berani
membangkang?" bentaknya.
"Hamba tidak berani. Tapi... tapi benar-benar berbahaya, tubuh Tuan Puteri ibarat emas murni...."
Siau Po yang ada di dalam tandu mengeluarkan suara batuk satu kali, To Hong Eng segera menerjang ke depan dan menotok tiga kali pada bagian pinggang dan bawah ketiak si komandan.
Terdengar suara dengusan dari hidung si Komandan, tahu-tahu tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Kemudian dia merasakan serangkum hawa dingin menyusup dalam punggungnya. Kali ini rasa terkejutnya jangan dikatakan lagi.
Tapi dia benar-benar tidak mengerti apa yang telah terjadi Rupa-nya punggung orang itu telah ditusuk oleh sebatang pedang yang bukan main tajamnya, tapi dia hanya terluka sedikit.
"Sri Baginda telah menurunkan perintah. Apabila kau membangkang, penggal saja kepalamu, juga seluruh anak buahmu harus dibunuh sampai habis," kata Kian Len kongcu.
"Baik, baik," sahut si komandan dengan suara gemetar.
Tiba-tiba hati Siau Po tergerak.
-- orang-orang dalam pasukan ini semuanya pernah mengikuti aku. Mereka tidak pernah membantah mengapa mereka harus dibunuh? - pikirnya. - Lebih baik disuruh menjadi pasukan Berani Mati yang menghadang di depan, - Karena mendapat pemikiran demikian, dia segera berbisik di sisi telinga Kian Leng kongcu. "Suruh dia perintahkan lima puluh anak buahnya untuk menemani kita masuk ke dalam rumah."
"Panggil lima puluh orang tentaramu untuk menemani kita masuk ke dalam rumah!" kata Kian Leng kongcu.
"Ba... ik, ba... ik...." Komandan itu segera menyuruh lima puluh orangnya untuk mengiringi di belakang tandu si Tuan Puteri, Mereka langsung masuk ke dalam. Diam-diam Siau Po telah memerintahkan Cio Ci Hian dan anak buahnya menjaga di luar gedung.
Tandu digotong masuk ke dalam halaman kedua. Kongcu dan Siau Po keluar dari tandu, diperintahkannya ke lima puluh tentara tersebut untuk berbaris dan menunggu di tempat itu. Dengan diiringi To Hong Eng yang mencekal si komandan, mereka melangkah masuk ke dalam.
Begitu masuk ke dalam, mereka melihat Tan Kin Lam, Bhok Kiam Seng, Ci Thian Coan dan yang lain-lainnya sudah ada di sana. Mereka merasa heran ketika melihat Siau Po masuk ke dalam dengan diiringi oleh seorang nyonya yang anggun, seorang dayang dan seorang petugas kerajaan.
Siau Po menggapaikan tangannya. Para hadirin segera menghampirinya. Dia segera berbisik.
"Raja sudah tahu bahwa kita mengadakan pertemuan di sini. Di luar gedung ini telah dijaga ketat oleh puluhan tentara, juga telah disiapkan belasan meriam yang diarahkan ke mari."
Orang-orang gagah yang berkumpul dalam ruangan itu terkejut setengah mati. Wajah mereka berubah seketika.
"Lebih baik kita menerjang ke luar saja dan bunuh setiap orang yang menghalangi kita!" usul Liu Tay Hong.
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa!" sahutnya, "Tentara yang menjaga di luar terdiri dari tentara yang sudah terlatih dengan baik. Apalagi kehebatan meriam-meriam itu. Aku membawa puluhan tentara ke dalam sini. Sebaiknya semua mengganti pakaian dengan seragam mereka, barulah kita keluar dari sini," katanya.
Para hadirin memuji akalnya yang cerdik.
Siau Po segera memberi petunjuk lagi kepada Kian Leng kongcu, Si Tuan Puteri berkata kepada si komandan.
"Suruh dua puluh orang anak buahmu masuk ke dalam!"
Sejak semula si komandan sudah merasa urusan ini kurang beres, tapi pedang To Hong Eng menempel di batang lehernya, mana mungkin dia berani berbuat apa-apa? Terpaksa dia memerintahkan dua puluh anak buahnya masuk ke dalam ruangan.
Para anggota Thian Te Hwee dan beberapa orang dari Bhok onghu sudah menunggu di balik pintu. Begitu kedua puluh tentara itu masuk ke dalam, mereka segera mengayunkan tinju dan tendangan sehingga semuanya semaput.
Kian Leng kongcu kembali menyuruh si Komandan menitahkan lima belas anak buahnya masuk ke dalam, kejadian tadi terulang kembali. Terakhir yang lima belas orang juga disuruh masuk. Para anggota Thian Te Hwee dan orang-orang dari Bhok onghu sibuk mengganti mereka dengan seragam para tentara. Bahkan Kian Leng kongcu juga ikut mengganti pakaiannya.
Siau Po melihat Bhok Kiam Peng dan Cin Ju masuk ke dalam ruangan yang satunya lagi untuk mengganti pakaian mereka. Tapi dia tidak melihat Song Ji. Cepat dia menanyakannya kepada Cin Ju.
"Adik Song Ji sudah begitu lama pergi ke istana untuk melihat kau, tapi belum kembali juga, pasangan suami istri Kui Heng Su juga menyelinap ke dalam istana tapi tidak ada kabar apa-apa. Dia menjadi khawatir Akhirnya ia ikut keluar dengan Hong toaya untuk mencari informasi," kata Cin Ju.
"Mereka keluar setelah makan siang, mengapa sampai sekarang belum kembali juga?" tanya Kiam Peng.
Siau Po mengerutkan keningnya. Dia tahu ilmu silat Hong Ci Tiong cukup tinggi, tentu dapat melindungi keselamatan Song Ji. Tapi mereka tidak tahu rencana Raja, bagaimana kalau setelah mereka pergi nanti, kedua orang itu justru kembali lagi kemari? Apabila pada saat itu meriam ditembakkan, bukankah mereka akan mati konyol? Setelah merenung sejenak, Siau Po berkata kepada Cian Lao Pan.
"Cian toako, Hong toako dan Song Ji keluar mencari informasi, sampai sekarang mereka masih belum kembali. Kita harus meninggalkan kode rahasia di sini, Dengan demikian, apabila mereka kembali nanti, mereka bisa melarikan diri secepatnya."
Cian Lao Pan mengiakan. Karena keadaannya sudah mendesak, dia segera mengeluarkan pedangnya lalu ditikamnya dua orang tentara yang menggeletak di atas lantai. Setelah itu dia merobek ujung pakaiannya lalu dilumuri dengan darah kedua tentara itu dan dituliskannya dua kata "Cepat kabur" yang besar-besar di sekeliling tempat itu. Tepat pada saat itu, semua sudah selesai menyalin pakaian.
Siau Po mengajak para hadirin ke istal untuk mengambil kuda tunggang. Empat orang Thian Te Hwee menyamar sebagai thay-kam. Mereka menggotong tandu si Tuan Puteri ke luar To Hong Eng masih menggiring si komandan, sedangkan para tentara lainnya ada yang jatuh semaput dan ada pula yang ditotok jalan darahnya. Mereka ditinggalkan dalam gedung Siau Po.
Siau Po sendiri tetap duduk dalam tandu bersama Kongcu. Begitu keluar dari gedungnya, dia baru bisa menghembuskan nafas lega. Dalam hati ia berpikir. - Para pelayan, pengurus kuda bahkan koki yang bertugas di rumahku ini pasti tidak terhindar dari ledakan meriam. Tapi seandainya aku mengajak mereka semua, sisa para tentara yang ada di depan pasti akan merasa curiga, - Kemudian dia berpikir lagi, -
Tempo hari ketika berada di Gunung Ngo Tay San, kita menyamar sebagai Ihama untuk menolong si Raja Tua. Hari ini kami menggunakan cara yang sama.
Cara melarikan diri seperti kura-kura ini memang berguna sekali. Tempo hari digunakan untuk menolong Lo Hongya, sekarang digunakan untuk menolong Siau Kui Cu. Benar-benar berhasil -
Para hadirin keluar dari gedung itu bersama-sama tandu Kongcu, Si komandan masih ikut serta. Tampak puluhan siwi mengadakan perondaan dengan berjalan mondar-mandir. Tapi di mana meriam-meriam itu diletakkan, sampai saat itu masih belum terlihat.
Setelah terlepas dari bahaya, hati Siau Po agak lega. Apalagi melihat guru dan saudara-saudaranya tidak sampai terkena tembakan meriam, hatinya semakin girang dan terhibur.
"Komandan ini telah melakukan kesalahan be-sar.,." katanya kepada Cio Ci Hian.
"Sebaiknya kau giring dia ke dalam penjara. Kecuali Sri Baginda sendiri, siapa pun tidak boleh menemuinya. Keputusannya, tunggu sampai aku kembali saja."
Cio Ci Hian segera mengiakan.
"Orang ini adalah pengkhianat besar, Sri Baginda benci sekali kepadanya. Begitu mendengar namanya saja, pasti gusar sekali. Harap kau sampaikan kepada saudara lainnya agar berhati-hati, jangan sampai Sri Baginda mendengar nama si Pengkhianat besar ini," kata Siau Po pula.
Setelah mendapat perintah, Cio Ci Hian segera membawa anak buahnya seraya menggiring si Komandan meninggalkan tempat itu. Keadaan si Komandan bagai telur di ujung tanduk. Bagaimana nasibnya di kemudian hari, Siau Po juga enggan memikirkannya.
Para hadirin tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Mereka hanya berjalan menuju ke tempat yang sepi.
"Bagaimana hasil pasangan suami istri Kui Heng Su yang menyelinap ke dalam istana?" tanya Tan Kin Lam tiba-tiba.
"Mereka bertiga...."
Belum sempat Siau Po menyelesaikan kata-katanya, mendadak dari arah kedatangan mereka, terdengar suara ledakan yang memekakkan gendang telinga. Tidak salah lagi, tentunya gedung tempat tinggal Siau Po telah menjadi sasaran menang Kobaran api dan kepulan asap tampak membumbung sampai tinggi, bahkan papan dan bebatuan beterbangan ke angkasa, orang-orang gagah yang ada di tempat
itu merasa tanah yang mereka injak bergetar. Suara ledakan masih berkumandang terus, Mengerikan sekali!
Orang-orang Thian Te Hwee dan orang-orang Bhok onghu saling lirik sekilas, mereka tidak menyangka tembakan meriam bisa sedahsyat itu. Apabila mereka terlambat pergi sebentar saja, entah bagaimana bentuk tubuh mereka sekarang?
Terdengar Liu Tay Hong memaki.
"Maknya! Benar-benar...." Terdengar lagi suara ledakan yang keras sehingga kata-katanya yang selanjutnya tertekan. Begitu memandang ke arah gedung Siau Po, tampak cahaya api sudah mulai pudar, berganti dengan asap hitam yang menutupi sebagian langit.
-- Ledakan sekeras ini pasti terdengar juga oleh si Raja cilik, Apabila dia mengutus orang memanggil aku untuk berbicara, kedokku ini pasti akan terbuka segera. - Pikir Siau Po dalam hati.
Dia segera keluar dari tandu untuk menghampiri Tan Kin Lam.
"Suhu, kita harus meninggalkan kotaraja secepatnya. Kalau berita ini sudah tersiar, mungkin seluruh pintu kota akan ditutup. Kita pasti sulit untuk keluar lagi," katanya.
"Tidak salah, sekarang juga kita berangkat," sahut Tan Kin Lam.
Tepat pada saat itu, Kian Leng kongcu juga keluar dari tandunya.
"Kau kembali dulu ke istana. Setelah keadaan tenang, aku akan menjemputmu lagi," kata Siau Po.
Kongcu terkejut sekaligus marah.
"Apa kau bilang?"
Siau Po mengulangi kata-katanya.
"Kau memungkiri kata-katamu sendiri, sekarang kau sudah terlepas dari bahaya, kau ingin membuang aku begitu saja?" teriak kongcu.
"Bukan, bukan begitu," sahut Siau Po gugup, Belum lagi dia menyelesaikan kata-katanya, tahu-tahu terdengar suara plak! Pipinya kena ditampar keras-keras oleh si Tuan Puteri.
Orang-orang yang ada di tempat itu jadi terpana, barusan mereka sudah melihat kedahsyatan ledakan meriam yang ditembakkan, kalau bukan karena Siau Po yang datang memberi kisikan, tentu mereka tidak mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri.
Tubuh mereka pasti sudah hancur lebur saat ini. Karena itu, kalau biasanya ada yang kurang memandang mata kepada Siau Po, pada saat itu mau tidak mau timbul juga rasa hormat dan berterima kasih dalam hati mereka. Melihat bocah tanggung itu mendadak kena tamparan, ada orang yang langsung menerjang ke depan untuk mendorong Kongcu, bahkan ada beberapa orang yang membuka mulut memaki-
makinya.
Kongcu tidak pernah mendapat perlakuan sedemikian rupa. Dia langsung menangis meraung-raung.
"Kau sendiri yang bilang akan menikah denganku itulah sebabnya aku sudi kabur denganmu. Aku malah menyuruh komandan tentara menolong teman-temanmu! Kau... penjahat... busuk! perhitungan kita belum selesai! Anak dalam perutku ini...."
Siau Po takut Tuan Puteri akan melanjutkan kata-katanya sehingga perbuatannya yang memalukan akan terbongkar maka cepat-cepat dia menyahut.
"Baik, baik. Kau ikut saja denganku. sekeluarnya dari kotaraja, kita baru bicarakan lagi masalah lainnya."
Sembari mengusap air matanya, Kongcu tertawa senang. Dia membalikkan tubuh dan naik ke atas punggung seekor kuda.
Serombongan orang itu tiba di Cao Yang Bun, pintu keluar sebelah timur.
"Firman rahasia dari Raja untuk keluar kota menangkap pemberontak. Cepat bukakan pintu gerbang!" teriak Siau Po.
Pakaian yang dikenakan oleh orang-orang itu ialah seragam tentara pasukan pribadi Raja. Tentu saja para penjaga gerbang pintu tidak ada yang berani mencegah. Apalagi barusan mereka telah mendengar suara tembakan meriam yang memekakkan telinga dalam kota pasti telah terjadi sesuatu. Pasukan ini pasti mendapat tugas langsung dari Sri Baginda. Karena itu mereka segera membukakan pintu.
Serombongan orang itu berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka menuju ke timur, Siau Po dan Tan Kin Lam duduk bersama di atas punggung seekor kuda. Dia menceritakan peristiwa mengenaskan yang terjadi pada diri ketiga orang dari keluarga Kui itu. Dia juga menceritakan bagaimana rahasianya telah diketahui oleh Raja Tatcu.
"Siau Po, biasanya aku selalu menganggap kau tidak-pernah serius menghadapi apa pun. Kau juga tidak jujur dalam segala hal. Tapi, ternyata dalam situasi yang demikian genting, kau bisa mengutamakan kesetia kawanan. Kau tidak serakah akan kedudukan atau pun harta benda. Kau tidak mengkhianati sahabat-sahabatmu. Sungguh orang yang sulit ditemui!" puji Tan Kin Lam.
Siau Po tertawa.
"Sahabat-sahabat yang lain masih tidak apa-apa, tapi mengkhianati dan menjual guru sendiri, sekali-sekali tidak boleh dilakukan," sahutnya.
"Apanya yang "sahabat-sahabat yang lain masih tidak apa-apa"? pokoknya asal yang namanya teman, kau tidak boleh mengkhianatinya, Bukan hanya gurumu saja," kata Tan Kin Lam.
Siau Po meleletkan lidahnya.
"Suhu, tecu minta maaf, tecu tidak pernah mendapat pendidikan, jadi banyak hal yang tecu kurang mengerti, harap suhu jangan ambil hati!" sahutnya.
Tiba-tiba dia teringat masa lalunya dengan si Raja cilik. Meskipun menghadapi seorang kaisar, dia bisa bicara seenaknya. Sungguh indah masa-masa itu. Sekarang urusannya jadi begini. Mungkin dia tidak akan mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi dengan sahabatnya itu. Tanpa dapat ditahan lagi, serangkum rasa pedih menyelimuti batinnya.
"Kita menyamar sebagai tentara garis depan, tidak sampai setengah hari. Raja tatcu pasti mengetahuinya. Sebaiknya kita segera mengganti pakaian lagi," kata Tan Kin Lam.
"Betul, sesampainya di desa pertama, kita harus membeli pakaian untuk kembali menjadi diri kita sendiri," sahut Siau Po.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh li, mereka sampai di sebuah dusun. Tapi ternyata di dusun ini tidak ada orang yang menjual pakaian. Tan Kin Lam orang yang cerdas dan berpendidikan tinggi, Urusan militer, dialah jagonya. Namun menghadapi urusan sepele seperti ini, dia justru tidak tahu apa-apa. Untuk sesaat dia jadi kebingungan.
"Terpaksa kita menuju dusun satunya lagi di depan sana. Semoga saja ada yang menjual pakaian, toko pakaian bekas pun jadilah," katanya.
Mereka meneruskan perjalanan sekeluarnya dari dusun itu, mereka melihat ada sebuah gedung besar yang temboknya tinggi sekali. Bangunannya cukup megah. Tiba-tiba hati Siau Po tergerak.
"Suhu, bagaimana kalau kita mampir ke rumah itu dan meminjam beberapa pakaian dari si pemilik rumah?" tanyanya.
Untuk sesaat Tan Kin Lam merasa bimbang.
"Mungkin pemilik rumah tidak sudi meminjamkannya," sahutnya.
Siau Po tertawa.
"Kita kan tentara kerajaan. Kalau tentara kerajaan tidak memeras orang-orang kaya dan gedung-gedung mewah, siapa lagi yang bisa mereka peras atau rampok?" Tanpa menunggu jawaban, dia meloncat turun dari kudanya dan berjalan ke arah pintu gerbang yang besar lalu mengetuk-ngetuk cantelan pintunya yang terbuat dari logam sehingga menimbulkan suara dentangan yang bising.
Seorang pelayan laki-laki keluar membukakan pintu. Rombongan Siau Po menerjang masuk. Setiap bertemu dengan orang, mereka segera memereteli pakaiannya untuk digantikan dengan pakaian seragam yang mereka kenakan.
Pemilik rumah rupanya seorang pejabat dari kotaraja yang sudah pensiunan. Dia melihat sikap tentara-tentara kerajaan itu seperti singa-singa yang kelaparan.
"Para Tuan Besar, harap jangan bersikap kasar, sebentar aku akan menyuruh orang menyiapkan hidangan. Setelah kenyang, pasti ada hadiah yang dapat dibagi-bagi..." katanya beruIang-ulang.
Baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba lengannya telah dicekal oleh seseorang, pakaiannya dilepaskan dengan kasar. Rasa terkejutnya jangan ditanyakan lagi.
"Aduh! Aku sudah tua, jangan main-main...!" teriaknya panik.
Rombongan Siau Po tertawa terbahak-bahak. Belasan stel pakaian telah didapatkan oleh mereka. Pemilik rumah dan pelayannya merasa malu sekali.
Untung saja selera para tentara ini agak aneh, pikir mereka. Hanya pakaian orang laki yang dilepaskan sedangkan orang perempuan tidak diusik sedikit pun. Setelah melepaskan pakaian orang laki-laki dalam rumah itu, mereka juga tidak mengambil tindakan apa-apa.
Mereka justru melepas pakaiannya sendiri dan diganti dengan pakaian yang mereka dapatkan. Setelah itu mereka keluar dari rumah tersebut dan pergi secepatnya dengan menunggang kuda masing-masing. Pemilik rumah saling menatap dengan para pelayannya. Mereka benar-benar tidak mengerti maksud para tentara itu.
Rombongan Siau Po tiba di tempat yang sepi. Bhok Kiam Peng, Cin Ju dan Kongcu menuju belakang semak-semak untuk mengganti pakaian mereka, semuanya mengenakan pakaian laki-laki. Setelah itu mereka naik lagi ke atas punggung kuda untuk melanjutkan perjalanan
Siau Po masih teringat akan budak kesayangannya, Song Ji.
"Entah bagaimana nasib Hong toako dengan budak cilikku itu," katanya, "Aku berharap salahmseorang saudara dari luar daerah dan wajahnya asing untuk masuk ke kotaraja untuk mencari keterangan."
Dua orang saudara anggota Thian Te Hwee yang berasal dari Kuang Say segera menerima baik perintah itu dan pergi.
Setelah sekian lama masih belum terlihat adanya tentara kerajaan yang mengejar, hati orang-orang dalam rombongan itu baru merasa agak lega. Setelah menempuh perjalanan sejenak lagi, tiba-tiba Kiam Peng mengeluarkan seruan terkejut, tapi lalu tertawa terkekeh-kekeh.
Rupanya kuda yang ditunggangi Cin Ju tiba-tiba berak setumpuk besar dan hampir saja terinjak oleh kaki Bhok Kiam Peng.
Baru berjalan belum berapa lama, kembali ada beberapa ekor kuda yang buang air besar lagi. Kernudian "kuda yang ditunggangi Hian Ceng tojin tiba-tiba meringkik keras dan jatuh terkulai. Biar dibujuk dengan cara apa pun, kuda itu tidak mau bangkit lagi.
"To tiang, kita tunggang kuda bersama saja!" ajak Cian Lao pan.
"Baik!" sahut Hian Ceng tojin. Dia meloncat naik ke belakang Cian Lao Pan dan duduk berendeng dengannya.
Mendadak Siau Po tersadar Hatinya langsung terkejut setengah mati.
"Hukum karma! Hukum karma! Kali ini benar-benar runyam!" teriaknya.
"Ada apa?" tanya Tan Kin Lam.
"Arwah Gouw Eng Him pasti datang mencari aku! Dia benci aku karena telah meringkusnya, juga merebut... merebut...." Kata-kata "istrinya" hampir terlontar dari mulut si bocah tanggung, untung saja dia segera sadar.
Dia teringat ketika mendapat firman untuk mengejar Gouw Eng Him. Kuda yang ditunggangi rombongan itu diberi makan kacang kedelai sehingga berak-berak dan lemas. Itulah sebabnya mengapa Siau Po tidak mendapat kesulitan menangkapnya. Kalau saja saat itu Gouw Eng Him berhasil sampai ke Inlam, tentu Raja cilik tidak bisa membunuhnya. Setelah ditanyakan sampai jelas, rupanya dia sendiri yang mengurus pengurus kudanya mengerjai mereka. Sekarang dia sendiri berusaha melarikan diri, kuda-kudanya juga terkulai lemas seperti tempo hari.
Apalagi kalau bukan arwah Gouw Eng Him yang sedang membalaskan dendamnya? LagipuIa Siau Po kabur dengan membawa istri orang itu. Setelah mati, kepala Gouw Eng Him harus mengenakan topi hijau pula. Bagaimana arwahnya bisa tenang di alam baka? Semakin dipikirkan hatinya semakin takut. Tubuhnya langsung gemeter. Terdengar ringkikan dua ekor kuda yang kemudian jatuh terkulai juga.
Tan Kin Lam juga merasa ada yang tidak beres, dia menanyakan dengan terperinci Siau Po segera menjelaskan situasi yang dialami Gouw Eng Him ketika dia menangkapnya.
"Pasti arwah Gouw Eng Him gentayangan sekarang dia sedang membalas dendam Ini... ini.,." kata Siau Po dengan suara bergetar.
Kongcu jadi marah.
"Gouw Eng Him si budak hina, ketika hidup jadi orang cacat, setelah mati masih jadi setan penasaran. Apa yang kau takutkan?"
Tan Kin Lam mengerutkan keningnya.
"Siang hari bolong begini mana mungkin ada setan? Tempo hari ketika kau meracuni kuda-kuda Gouw Eng Him, apakah Raja Tatcu juga mengetahui persoalannya?" tanyanya.
"Tentu saja tahu. Dia malah memuji aku sebagai panglima yang beruntung," sahut Siau Po.
Tan Kin Lam manggut-manggut.
"ltu dia! Raja Tatcu menggunakan cara yang sama untuk membalas budi panglimanya yang beruntung. Dia takut kau akan melarikan diri, Sebelumnya dia sudah menyuruh orang memberi kudaku kacang kedelai seperti yang kau lakukan."
Siau Po segera tersentak sadar.
"Benar! Benar! Hari itu ketika kami berhasil meringkus Gouw Eng Him. Raja merasa senang sekali. Bahkan Raja menghadiahkan pangkat bagi tukang kudaku. Dia disuruh mengurus kuda-kuda di istana. Kali ini pasti dia pula yang meracuni kuda-kudaku," sahutnya.
"ltu dia! Dalam hal ini, diakan ahlinya. Sifat setiap kuda pasti sudah dihapalnya dengan baik. Kalau memang dia yang memberikan racun, mana ada istilah melesetnya?" kata Tan Kin Lam.
Baru saja dia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba kuda tunggangannya menerjang ke depan lalu jatuh dengan posisi kedua kaki depan meringkuk, Siau Po segera melompat turun.
Dilihatnya kuda itu berusaha untuk bangkit kembali, tetapi kenyataannya malah semakin parah. Bahkan kedua kaki belakang pun ikut terkulai "Binatang-binatang ini tidak dapat dimanfaatkan lagi," kata Tan Kin Lam. "Kita harus membeli kuda-kuda baru di dusun depan sana."
"Dalam waktu sesaat ingin membeli begini banyak kuda, juga sulit mendapatkannya!" ujar Liu Tay Hong.
"Memang betul. sebaiknya untuk sementara kita berpencar saja," kata Tan Kin Lam.
Ketika berbicara itulah, dari arah jalan utama sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda.
"Para tentara sedang mengejar kita. Lebih baik kita bunuh saja semuanya lalu kita rebut kuda-kuda mereka!" seru Hian Ceng tojin dengan suara riang.
"Saudara-saudara dari Thian Te Hwee, kalian bersembunyi di kedua sisi jalan, saudara-saudara dari Bhok Onghu dan Ong Ok San juga ikut memencarkan diri mengikuti saudara dari Thian Te Hwee. Begitu para tentara itu mendekat, kita serang mereka dengan mendadak.... Eh, Kok rasanya tidak benar.,." seru Tan Kin Lam.
Suara derap kaki kuda semakin jelas, malah gerakannya menggetarkan tanah yang mereka pijak. Tampaknya tentara yang datang mengejar jumlahnya tidak kurang dari dua ribuan orang. Tentu saja yang lainnya tidak perlu bertanya lagi arti seruan Tan Kin Lam yang terakhir.
Wajah mereka segera berubah menjadi pucat pasi, jumlah mereka hanya puluhan orang. Meskipun ilmu silat mereka cukupan, tapi di tengah hari bolong dan tanah datar seperti ini menghadapi ribuan tentara, rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Yang ilmu silatnya tinggi sekali, mungkin masih bisa menyelamatkan diri, tapi yang kelas tanggung tidak diragukan lagi harus kehilangan selembar jiwanya.
Tan Kin Lam mengambil keputusan. "Jumlah tentara banyak sekali, Kita tidak boleh melawan dengan kekerasan!" Semuanya menyelinap ke pedalaman!" serunya.
Baru sempat mengucapkan beberapa patah kata, suara derap kaki kuda sudah semakin mendekat. Ketika mata mereka diarahkan, tampak kepulan debu membubung tinggi di atas, seakan seluruh angkasa tertutup oleh kabut yang tebal.
"Celaka! Celaka!" teriak Siau Po seperti orang panik. Dia menggerakkan kakinya lalu lari terbirit-birit.
Kongcu pun berseru memanggilnya.
"Hei, kau mau ke mana?" perempuan itu mengintil ketat di belakangnya.
"Lebih baik kau pulang saja ke istana, percuma saja kau ikut denganku!" jawab Siau Po dengan berteriak.
Kongcu marah sekali mendengar ucapannya.
"Siau Kui Cu busuk, kau pikir bisa lari dariku? Tidak begitu mudah, tahu?"
Dalam hati Siau Po tidak henti-hentinya mengeluh -- Rasanya lebih sulit menghindarkan diri dari Puteri ini daripada ribuan tentara itu! -- pikirnya.
Di kejauhan dia melihat ada lumbung yang tingginya melebihi tubuh orang dewasa di sebelah tenggara. Rasanya bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi. Oleh karena itu, tanpa berpikir panjang lagi Siau Po ngacir ke arah tersebut. Setelah dekat dia dapat melihat di belakang lumbung terdapat dua rumah petani. Selain itu tidak ada apa-apa lagi.
Dia berpikir, kuda-kuda tentara itu datangnya cepat sekali, sesaat lagi pasti akan tiba. Karena itu dia segera menyusup ke dalam lumbung yang tinggi dan rimbun tersebut.
Tiba-tiba dia merasa bagian punggungnya mengetat, rupanya dia telah dicengkeram oleh seseorang. Lalu dia pun mendengar suara tawa si Tuan Puteri.
"Mungkinkah kau melarikan diri?" ejeknya.
Siau Po merasa apa boleh buat Terpaksa dia membalikkan tubuhnya dan tertawa getir.
"Lebih baik kau bersembunyi di sebelah sana. Setelah para tentara berlalu, kita baru bicarakan urusan kita!" kata pemuda itu.
Tuan puteri menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa! pokoknya aku harus tetap bersamamu!" perempuan itu segera menghampirinya serta menyusup ke dalam lumbung padi. Belum lagi keduanya menempatkan diri dengan baik, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekati.
"Wi hiocu! Wi hiocu!" terdengar pula suara seruan Cin Ju.
Siau Po melongokkan kepalanya. Ternyata Cin Ju dan Bhok Kiam Peng sedang berjalan beriringan ke arah mereka.
"Aku di sini!" seru Siau Po. "Cepat kalian menyusup ke dalam sini!"
Keduanya pun menurut perintahnya dan segera ikut bersembunyi di dalam lumbung padi tersebut.
Sebetulnya tempat itu tidak tepat dikatakan lumbung padi, karena posisinya di tempat terbuka. Padi-padi itu masih belum dibersihkan dan hanya ditumpukkan di tanah lapang sehingga berbentuk deretan panjang dan tinggi.
Ke empat orang itu menyusup semakin ke dalam, Siau Po merasa tempat itu tidak mudah di lacak oleh para tentara. Hatinya merasa agak tenang. Tidak lama kemudian terdengarlah rombongan kuda yang melewati tempat itu.
Siau Po pun berpikir dalam hati, - Tempo hari aku bersama A Ko, Su Thay, Suhu dan si bocah busuk juga
bersembunyi di balik ladang gandum, Aih, seandainya disampingku sekarang bukanlah si puteri bawel ini, tapi si cantik jelita A Ko, entah bagaimana bahagianya perasaan ini. Entah bagaimana pula keadaan A Ko dan di mana dia berada? Kemungkinan dia sudah menjadi istri Tan Kek Song. Dan bagaimana pula keadaan Song Ji sekarang? --
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang yang mengeluarkan perintah, disusul dengan berhentinya derap kaki kuda. Suasananya membisingkan sebab mereka bukannya langsung berhenti, tapi hanya membalikkan arah kuda tunggangan mereka untuk menuju ke tempat persembunyian Siau Po.
Kongcu terkesiap.
"Mereka berhasil menemukan kita!" katanya khawatir.
"Jangan bersuara, mereka tidak mungkin melihat kita!" ujar Siau Po memperingatkan.
"Bukankah mereka sedang menuju ke mari?" kata Kongcu puIa.
Terdengar salah satu dari tentara itu berseru, "Kuda tunggangan para pemberontak itu terkulai di sekitar sini, mereka pasti belum
sempat lari jauh. Geledah dengan seksama!"
-- Rupanya begitu, kuda-kuda sialan itu benar-benar mencelakakan kami! -- Gerutu si Tuan puteri dalam hati, ia pun mengulur tangannya dan meremas jari jemari Siau Po.
Di wilayah perbatasan Liau Tong memang merupakan tanah pertanian yang subur, daerahnya pun luas sekali. Selain masih banyak ilalang yang tinggi, para petani setempat pun suka menundukkan padi hasil panenan di tempat-tempat terbuka, itulah sebabnya kalau dilihat dari kejauhan seperti padang rumput yang luas. Tempat itu pun sesuai untuk persembunyian, karena sulit disimak satu per satu. Yang jadi masalah, justru jumlah tentara yang demikian banyak. Kalau sepuluh orang memeriksa satu tempat saja, dalam waktu yang singkat mereka pasti berhasil ditemukan.
Telinga Siau Po dapat mendengar suara para tentara yang semakin mendekat, dia pun berkata.
"Mari kita menyelinap ke rumah itu!", tangannya menarik ujung baju Bhok Kiam Peng.
Kemudian dia mendahului mereka menuju kedua rumah petani yang terletak di bagian belakang. Ketiga gadis itu pun segera mengintilnya.
Setelah melewati pagar yang terbuat dari bambu, mereka sampai di depan pintu, Siau Po mendorongnya lalu melongok ke dalam. Tidak terlihat seorang pun. Yang ada hanya perkakas pertanian, Siau Po segera mengambil beberapa helai pakaian kasar, lalu dibagi-bagikannya kepada ketiga gadis itu.
"Cepat kenakan!" perintahnya. ia sendiri pun segera mengenakan salah satu pakaian tersebut. Kepalanya juga ditutupi sebuah kerudung bambu. Setelah itu dia duduk di sudut rumah.
Tuan puteri tertawa mengikik.
"Senang juga rasanya dapat menyamar sebagai petani dusun!" katanya.
Bhok Kiam Peng mengeluarkan seruan terkejut.
"Ah, mereka sudah datang"
Pintu kayu di dorong dengan keras sehingga menimbulkan suara Blam! Masuklah tujuh delapan orang tentara. Siau Po dan lainnya segera menolehkan wajah. Sesaat kemudian terdengarlah suara yang lantang.
"Di sini tidak ada orang, Penduduk desa sudah berangkat ke ladang!"
Siau Po merasa suara orang itu tidak asing bagi telinganya. Lewat celah topi pandannya dia meng-intip. Hatinya menjadi senang seketika, rupanya orang yang berbicara itu bukan lain dari Tio Liang Tong.
"Cong Peng Tayjin, keempat orang ini..." kata salah seorang tentara.
Tapi Tio Liang Tong segera menukas ucapannya. "Semuanya keluar dari sini! Biar aku yang mengadakan pemeriksaan. Rumah ini begini kecil, Mak-nya! Kalian semua kumpuI di sini, untuk membalikkan tubuh saja sulit!"
Para tentara itu segera mengiakan, lalu berjalan ke luar.
Tio Liang Tong sengaja bertanya dengan suara keras.
"Apakah ada orang asing yang lewat di tempat ini?" Dia berkata sembari berjalan ke arah Siau Po. Tangannya diulurkan, disodorkannya dua keping uang emas dan diletakkannya di bawah kaki pemuda itu. Kemudian dia berkata lagi dengan suara lantang, "Rupanya orang-orang itu sudah lari ke arah utara! Mereka tahu pihak kerajaan sudah mengutus para tentara mengejar, mereka juga sadar kalau sampai tertangkap, batok kepala mereka pasti terpisah dari batang lehernya, sehingga cepat-cepat melarikan diri. Semakin jauh tentu semakin baik. Celakalah kita kalau tidak berhasil meringkus mereka!"
Dia membungkukkan tubuhnya dan memeluk Siau Po dengan tubuh sedikit limbung kemudian bangkit dan membalikkan tubuh serta berjalan ke luar.
"Para pemberontak itu sudah kabur ke arah utara, cepat kita kejar!" perintahnya lantang.
Siau Po menarik nafas Iega, Dalam hati dia berpikir -- Bagaimana pun, Tio Cong Peng masih ada sedikit perasaan setia kawan
terhadapku. Kalau sampai perbuatannya ketahuan, batok kepalanya sendiri juga sulit dipertahankan lagi. -
Terdengarlah suara derap kaki kuda yang serabutan. Rombongan tentara itu melakukan pengejaran ke arah utara.
Sementara itu, Tuan puteri merasa heran.
"Cong Peng tadi terang-terangan sudah menemukan kita, tapi dia... eh, malah menghadiahkan uang untukmu! Oh, aku mengerti sekarang, rupanya dia temanmu..."
"Mari kita keluar lewat pintu belakang!" ujar Siau Po. Dimasukkannya uang pemberian Tio Liang Tong, lalu mendahului yang lainnya menuju pintu belakang.
Begitu masuk ke ruangan belakang, dia melihat di sana duduk delapan sembilan orang, Siau Po terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya dan bermaksud mengambil langkah seribu. Tapi baru lari dua langkah, bagian kerahnya terasa mengencang, rupanya dia telah dicekal oleh seseorang, kemudian tubuhnya diangkat ke atas.
Terdengar orang itu berkata dengan nada dingin. "Mau coba lari lagi?"
Orang yang berbicara itu tidak lain dari Hong Kaucu, Yang lainnya terdiri dari Hong Hujin, Poan Tau To, Liok Ko Hian, Ceng Liong Su Kho Soat Teng, Bu Kin tojin, Tio Tam Goat, serta Oey Liong Su.
Pokoknya tokoh-tokoh utama pihak Sin Liong To sudah berkumpul di situ. Dan ada pula seorang gadis yakni Pui Ie.
Tuan puteri menjadi marah sekali melihat kejadian itu.
"Mengapa kau menariknya sedemikian rupa?" bentaknya sembari mendupakkan kakinya ke arah Hong Kaucu.
Pemimpin Sin Liong Kau itu mengulurkan tangan kirinya dan menotok jalan darah di paha Tuan Puteri, perempuan itu mengeluarkan suara erangan lalu jatuh terkulai di atas tanah.
Tubuh Siau Po melayang di tengah udara.
"Kaucu dan Hujin ibarat dewata, usianya dan rejekinya sama dengan langit. Terimalah penghormatan dari tecu, Wi Siau Po!" teriaknya.
Hong Kaucu tertawa dingin. "Untung kau masih ingat kata-kata itu!" ujarnya.
"Kata-kata itu sudah terpatri dalam sanubari tecu. Setiap pagi kalau bangun tidur, tecu selalu mengucapkannya satu kali. Sehabis membasuh muka, tecu menyebutnya satu kali lagi, sarapan juga tidak lupa mengucapkannya, demikian pula kalau makan siang atau pun makan malam.
Bahkan apabila hendak tidur malam hari, tecu mengulanginya sekali lagi, pokoknya tecu tidak berani melupakannya, apalagi sampai salah mengucapkan. Malah kalau tecu teringat budi besar yang telah ditanamkan Kaucu dan Hujin, hamba sengaja menghapalkannya beberapa kali lagi!" sahut Siau Po.
Bagian 82
Sejak kehancuran pulau Sin Liong to, sehingga sebagian besar pengikutnya mati dan sebagian lagi terluka dan melarikan diri, Hong Kaucu hanya mengajak beberapa kaki tangannya yang berilmu tinggi untuk berkelana di dunia kangouw.
Ucapan "Usia Kaucu seperti usia langit" jarang dihapalkan lagi, Kemungkinan semangat mereka juga sudah kendor, malah satu hari belum tentu dia mendengar kata-kata itu walau hanya satu kali. Sekarang, mendengar Siau Po mengucapkannya dengan lancar dan penuh semangat, hatinya terasa agak lapang.
Tanpa terasa dia melepaskan cekalannya. Wajah yang sebelumnya dingin dan kaku mulai tersungging sedikit senyuman.
"Hari ini tecu dapat bertemu kembali dengan Kaucu dan Hujin, tubuh ini terasa jauh lebih ringan dan semangat pun menyala-nyala. Hanya saja, ada satu hal yang tecu tidak mengerti," kata Siau Po.
"Apa itu?" tanya Hong Kaucu.
"Tempo hari tecu berpisah dengan Kaucu serta Hujin. Kalau dihitung-hitung, rasanya sudah cukup lama juga, tapi mengapa tampaknya kaucu malah lebih muda tujuh delapan tahun, dan Hujin justru lebih pantas menjadi adikku?" sahut Siau Po.
"Bukankah hal ini benar-benar sulit dimengerti?"
Hong Hujin tertawa terkekeh-kekeh, dia mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Siau Po.
"Eh, Monyet kecil, kalau menepuk pantat kuda, kau memang paling pintar!" katanya.
Tuan Puteri marah sekali.
"Perempuan ini benar-benar tidak tahu malu! Bicara dengan laki-Iaki, tidak cukup menggunakan mulut, tangan dan kaki pun ikut mengambil bagian!" sindirnya.
Hong Hujin tertawa semakin lebar.
"Lho? Aku kan hanya menggerakkan tangan? Baiklah, sekarang kaki pun harus mengambil bagian!" Selesai berkata, dia mengangkat sebelah kakinya lalu menendang lengan si Tuan Puteri. Tentu saja Kian Leng Kongcu menjerit kesakitan.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang riuh dan sumbernya dari setiap arah. Tampaknya entah berapa banyak tentara telah mengepung di sekitar rumah itu.
Pintu besar terdorong, serombongan tentara menyerbu masuk. Mula-mula ada dua orang di antaranya yang menerjang ke da!am. Mereka memperhatikan orang-orang dalam ruangan itu. Salah satunya segera berkata. "Rupanya hanya penduduk desa yang tidak ada gunanya!"
Siau Po mengenali suara orang itu sebagai suara Ong Cin Po. Hatinya senang sekaIi. Dia menoleh ke arah orang itu, ternyata di sebelah Ong Cin Po bukan lain dari Sun Kek Si.
Kedua orang itu memberikan isyarat dengan kerlingan mata, mereka juga mengulapkan tangan sebagai perintah agar tentara yang mengiringi mereka ke luar dari tempat itu. Lalu Sun Kek Si berkata dengan suara lantang.
"Hanya beberapa penduduk desa yang sudah tua renta! Hei, apakah kalian melihat adanya serombongan pemberontak yang melarikan diri lewat tempat ini? Baiklah, kami akan mencari ke tempat lain!"
Tiba-tiba saja hati Siau Po tergerak. -- Kali ini kembali aku terjatuh ke tangan orang-orang Sin Liong To. Biar bagaimana caranya aku memutar lidah, rasanya selembar nyawa ini tetap sulit dipertahankan sebaiknya aku ikut saja dengan saudara Ong Cin Po serta yang lainnya. Begitu terlepas dari cengkeraman jahat pihak Sin Liong To, aku bisa memohon kepada saudara Ong Cin Po dan Sun Kek Si untuk membebaskan aku! --Ketika melihat kedua orang itu bermaksud berjalan keluar, dia segera menegur "Ong koko, Sun koko, akulah Wi Siau Po, kalian bawalah aku."
"Kalian orang-orang dusun ini benar-benar cerewet, menggelindinglah jauh-jauh!" bentak Sun Kek Si.
"Saudara cilik ini menanyakan apakah kau mempunyai sedikit uang, soalnya dia sudah kehabisan," tukas Ong Cin Po.
"Oh, uang? Ada! Ada!" Dari dalam saku bajunya, Sun Kek Si mengeluarkan beberapa keping uang dan disodorkannya kepada Siau Po lalu berkata kembali "Ada beberapa orang penjahat yang melarikan diri dari kota Peking? Raja marah sekali, sehingga mengutus ribuan tentara untuk mengejar mereka. Begitu berhasil tertangkap, batok kepala orang-orang itu harus segera dipenggal Saudara cilik, tempat ini sangat
berbahaya, seandainya para tentara salah tangkap dan batok kepala kalian dipenggal, namanya mati penasaran."
"Kalian tangkap saja aku, aku rela mengikuti kalian," sahut Siau Po.
"Kau mau ikut kami menjadi tentara? Wah, ini bukan permainan! Di luar terdapat banyak pasukan yang membawa meriam. Begitu meriam ditembakkan, suaranya saja sudah memekakkan telinga. Biar pun ilmu silatmu tinggi, belum tentu kau bisa menyelamatkan diri," kata Ong Cin Po.
Mendengar ucapannya, Siau Po berpikir dalam hati.
-- Ada meriam? Ya, lebih bagus lagi! Aku yakin Hong Kaucu saja tidak berani sembarangan mengambil tindakan! -- Karena itu dia segera berkata lagi, "Ada sedikit urusan yang ingin kusampaikan kepada Raja, mohon kalian bawa aku ke istana."
"Begitu Raja melihatmu, kau pasti dibunuhnya," ujar Ong Cin Po. "Raja juga tidak ubahnya dengan manusia biasa yang mempunyai sepasang mata dan sebuah mulut, apanya sih yang bagus dilihat? Saudara, kami meninggalkan tiga belas ekor kuda untuk teman-teman saudara yang ada di dusun ini. Kalian bersembunyilah sejauh-jauhnya, delapan atau sepuluh tahun kemudian, kau harus mengembalikan kuda-kuda tersebut. Satu pun tidak boleh ada yang mati, kalau tidak, batok kepala kalianlah yang akan dijadikan pembayaran hutang ini!" Selesai berkata, dia langsung berjalan ke luar.
Siau Po menjadi panik. Dia menghambur ke depan dan menarik lengan baju Ong Cin Po sambil berteriak.
"Ong koko, cepat bawa aku!" Tiba-tiba sebuah telapak tangan telah menekan di atas ubun-ubun kepalanya, lalu terdengar suara Hong Kaucu berkata. "Saudara cilik, hati Tuan besar ini baik sekali, dia baru saja datang dari Kota Raja, yang mana pasti mengetahui dengan jelas situasi serta pemikiran Raja kita, kau jangan membuat keonaran!"
"Benar, sebaiknya kita kejar para penjahat itu sekarang!" ujar Sun Kek Si dengan suara lantang.
Siau Po sadar bahwa dirinya sudah terjatuh ke dalam tangan Sin Liong Kaucu. Asal laki-laki itu menekan ubun-ubun kepalanya agak sedikit keras lagi, selembar jiwanya pasti melayang. Tapi dia juga sadar, meskipun kematian belum menjemputnya sekarang, waktunya pasti tidak lama lagi. Oleh karena itu dia menjadi nekat, sengaja dia berteriak keras-keras.
"Kalian tangkaplah aku! Aku adalah Wi Siau Po!"
Para tentara itu terperanjat. Langkah kaki mereka pun terhenti seketika, sedangkan Sun Kek Si segera tertawa terbahak-bahak.
"Wi Siau Po adalah seorang pemuda berusia tujuh belasan tahun, kau ini kakek yang sudah hampir masuk lubang kubur, masak mengaku sebagai Siau Po, benar-benar menggelikan!"
Selesai berkata, Sun Kek Si segera menarik ujung pakaian Ong Cin Po. Kedua orang itu berjalan ke luar dengan langkah lebar. Kemudian terdengarlah suara perintah, "Tinggalkan tiga belas ekor kuda di sini, biar orang-orang itu dapat memberi kabar kepada tentara-tentara yang menyusul di belakang! Bakar rumah penduduk itu, agar para penjahat tidak dapat menggunakannya sebagai tempat persembunyian!"
"Terima perintah!" Terdengar pula sahutan para tentara.
Kemudian, beberapa di antaranya segera menyulut api obor, lalu diletakkannya di bagian depan pintu rumah.
Hong Kaucu tertawa dingin.
"Teman-temanmu itu ternyata solider sekali, Sudah memberi uang, kuda pun ditinggalkan pula, Mari kita berangkat!" katanya.
Bhok Kiam Peng membimbing si Tuan Puteri, beramai-ramai mereka berjalan ke luar melalui pintu belakang, kemudian memutar ke bagian depan. Ternyata di sana memang telah tersedia tiga belas ekor kuda.
Dua di antaranya memakai ladam yang indah sekali serta pelananya juga menyolok. Rupanya itulah kuda tunggangan Ong Cin Po dan Sun Kek Si sendiri.
Mereka segera naik ke atas seekor kuda. Siau Po berempat digiring di tengah-tengah, mereka menuju ke timur, Siau Po sendiri terus berharap datangnya rombongan tentara yang lain agar ia dan teman-temannya segera diringkus. Hubungannya dengan si Raja cilik cukup dekat, biarpun kali ini kesalahannya cukup besar, belum tentu dia harus menebusnya dengan kepala dipenggal, sedangkan Kaucu dari Sin Liong Kau ini mempunyai watak yang jahat, licik serta hatinya beracun.
Kalau sampai jatuh ke tangannya, entah berapa banyak siksaan yang harus dideritanya sebelum mati. Tapi, meskipun telah menempuh perjalanan sekian jauh, belum juga terdengar suara derap kaki kuda para tentara yang datang mengejar sedangkan kuda-kuda yang mereka tunggangi merupakan kuda-kuda pilihan yang diseleksi oleh Ong Cin Po sendiri.
Sudah barang tentu kecepatannya tidak perlu diragukan lagi, seandainya di belakang ada tentara yang menyusuI, belum tentu sanggup mengejar mereka. LagipuIa, sebelumnya Tio Liang Tiong, Ong Cin Po dan Sun Kek Si sudah mengalihkan pengejaran para tentara itu ke arah utara.
Sepanjang perjalanan, kecuali gerutuan dan caci maki si Tuan Puteri, tidak ada seorang pun yang bersuara. Akhirnya, Oey Liong Su menotok jalan darah gagu si Tuan Puteri. Biarpun dalam hati Kongcu itu mendongkol sekali, tapi apa boleh buat, dia tidak sanggup bersuara Iagi.
Hong kaucu memerintahkan rombongan orang-orang itu agar mempercepat perjalanan ke arah timur laut. Malam hari mereka beristirahat di daerah pegunungan. Beberapa kali Siau Po mencari akal untuk melarikan diri, namun kecerdikan Hong Kaucu tidak terpaut dengannya sehingga akhirnya dia malah menerima bogem mentah beberapa kali, jangankan melarikan diri!
Beberapa hari kemudian, mereka sampai ke tepi laut, Liok Ko Hian mengambil sekeping uang perak dari saku Siau Po, kemudian digunakan untuk menyewa perahu. Dalam hati Siau Po tidak hentinya mengeluh, malah uang untuk menyewa perahu saja harus dia yang mengeluarkan bukankah runyam?
Begitu semuanya naik ke atas perahu, tukang perahu segera mengembangkan layarnya untuk menuju ke arah timur laut Siau Po berpikir dalam hati. -- Kali ini tujuannya pasti pulau Sin Liong To Iagi. Si Kura-kura tua tentu ingin mengumpankan diriku kepada ular-ular yang ada di sana! -- Setiap kali mengingat ular-ular berbisa di sana yang melilit seluruh tubuhnya sembari menguakkan mulut lebar-lebar, tubuh Siau Po pasti gemetar dan mengeluarkan keringat dingin.
Diam-diam dia merenung - Paling bagus kalau bisa mendapatkan akal melubangi dasar perahu ini. Dengan demikian kita semua akan mati bersama-sama. Siapa pun tidak ada yang merasa dirugikan! -
Namun, para anggota Sin Liong Kau sudah mengenal betul kelicikan Siau Po. Oleh karena itu mereka menjaganya dengan ketat. Dengan demikian Siau Po juga tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan akalnya, Siau Po teringat, dirinya sudah dua kali ke pulau Sin Liong To. Pertama dengan Pui Ie dimana dalam sepanjang perjalanan mereka bersenda gurau, sungguh kenangan yang manis.
Dan kedua kalinya dia memimpin serombongan pasukan untuk meledakkan pulau itu, benar-benar berwibawa sekali lagaknya tempo hari.
Tapi, untuk ketiga kali ini, dia malah dalam keadaan tidak berdaya serta menjadi tawanan Kaucu Sin Liong Kau. Jiwanya bagai telur di ujung tanduk. Kalau dibandingkan dengan dua kali yang sebelumnya, benar-benar bagai langit dan bumi.
Sejak bertemu kembali dengan Pui Ie di perbatasan Kota Peking, gadis itu tidak menunjukkan perasaan sedih atau pun gembira. Mimik wajahnya kaku seakan perasaannya telah mati. Gadis itu juga tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun. Walaupun dia tidak menyulitkan posisi Siau Po, tapi gadis itu juga tidak melirik ke arahnya sekali pun.
Kadang-kadang Siau Po berpikir, kemungkinan Pui Ie berada di bawah tekanan Hong Kaucu, jadi, seandainya gadis itu mempunyai sedikit perasaan kepadanya, tentu dia tidak berani menunjukkannya.
Tapi, kadang-kadang pula Siau Po teringat kelicikan gadis itu yang membuatnya terperangkap berkali-kali. Sebetulnya, dari sekian banyak gadis yang dikenalnya, Pui Ie mempunyai pesona tersendiri serta menanamkan kesan yang paling dalam di hati Siau Po, namun dia juga merupakan gadis yang paling dibencinya.
Setelah berlayar beberapa hari, ternyata mereka sudah mendekati pulau Sin Liong To. Liok Ko Hian dan Poan Tau To menggiring Siau Po, Kongcu, Bhok Kiam Peng serta Cin Ju berempat naik ke daratan.
Salah seorang anak buah tukang perahu mencoba membangkang, Oey Liong Su langsung menggerakkan golok membunuhnya. Para anak buah tukang perahu yang lain jadi ketakutan. Mana mungkin mereka berani melakukan gerakan apa-apa. Mereka terpaksa pasrah pada nasib.
Tampak pepohonan di pulau itu telah berubah menjadi tandus. Tanah pun kering kerontang, Di mana-mana masih terlihat sisa kedahsyatan ledakan meriam yang ditembakkan tempo hari. Dari bagian pepohonan terhendus bau amis.
Di sana-sini tampak bangkai ular tergeletak, bahkan ada yang tinggal tulang belulangnya. Begitu sampai di halaman aula, tampak temboknya retak parah, sejumlah pondok bambu yang tadinya berjejer di kanan kiri empat itu sudah tidak berbentuk lagi, semuanya hancur akibat ledakan.
Hong Kaucu berdiri tertegun tanpa mengeluarkan suara apa pun. Wajah Oey Liong Su serta yang lainnya menyiratkan kemarahan, bahkan di antaranya ada yang mendelik ke arah Siau Po.
Tio Tan Goat langsung berseru dengan lantang. "Hong Kaucu sudah kembali! Para anggota perkumpulan harap keluar melakukan penghormatan!"
Orang itu berteriak dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, otomatis suaranya keras sekali, bahkan gemanya mencapai beberapa li.
Beberapa saat kemudian, dia berseru lagi dua kali, tapi dari dalam lembah hanya terdengar kumandang suaranya sendiri.
"Sudah kembali! Lakukan penghormatan!"
Lewat sesaat lagi, keadaan di sekitar tempat itu tetap sunyi senyap. Bukan saja tidak tampak seorang pun dari anggota perkumpulan itu menghambur keluar memberikan penyambutan, bahkan tidak terdengar sahutan sedikit pun.
Hong Kaucu menolehkan kepalanya.
"Kau menembakkan meriam ke pulau ini sehingga semuanya tidak tersisa! Tentunya sekarang kau sudah merasa puas, bukan?" katanya kepada Siau Po dengan nada dingin.
Siau Po melihat mimik wajah Kaucu itu menyiratkan kekejian hatinya, tanpa terasa bulu romanya jadi meremang. Kemudian dengan suara gemetar dia menyahut. "Yang lalu biarkanlah... berlalu, asal... lain kali ja... ngan terulang la... gi. Hong Kaucu mem... punyai wibawa ibarat pa... ra dewa, kekuasa... annya tidak ter... kalahkan.... Dalam waktu sekejap... pasti berhasil membangkitkan lagi perkumpulan... Sin Liong Kau.... Ini,., yang dinama... kan semakin dibakar semakin... matang, semakin diledakkan... semakin semarak, Kaucu dan Hujin mempunyai rejeki yang tidak bisa disamakan dengan orang biasa...."
"Bagus sekali!" teriak Hong Kaucu sembari mendupak Siau Po keras-keras. Tubuh si pemuda melayang ke atas lalu terjerembab di tanah dengan menimbulkan suara Bukk!
Tulang belulang di tubuh Siau Po seakan remuk, sakitnya tidak terkatakan, bahkan dia tidak sanggup merangkak bangun.
Cin Ju ketakutan melihat kegarangan Hong Kaucu, meskipun demikian dia tetap menghampiri Siau Po dan membantunya berdiri.
Oey Liong Su maju ke depan dan membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada sang Kaucu.
"Lapor kepada Kaucu! Pengkhianat ini jahat sekali, jangan sekali-sekali dikasih ampun. Biar hamba menebasnya dengan golok agar tubuhnya hancur tanpa bentuk!" katanya.
Hong Kaucu mendengus satu kali.
"Tidak usah terburu-buru!" ujarnya. Lewat sesaat dia berkata lagi. "Di dalam hati bocah ini terdapat sebuah rencana besar yang dirahasiakan. Kebangkitan perkumpulan kita kemungkinan tergantung dari rahasia tersebut. Oleh karenanya, untuk sementara ini dia tidak boleh dibunuh dulu!"
"Baik, baik," sahut Oey Liong Su. "Pandangan Kaucu sangat jauh, kecerdasannya pun melebihi manusia biasa, hamba yang bodoh ini tentu saja tidak mengerti jalan pemikiran Kaucu yang hebat!"
Hong Kaucu duduk di atas sebongkah batu besar, untuk sesaat tampak ia merenung.
"Untuk menghasilkan urusan yang maha besar, mulanya pasti banyak rintangan dan kendala. Apa yang dialami perkumpulan kita kali ini, tidak perlu diberatkan lagi. Sekarang ini para anggota kita sudah kucar-kacir. Yang penting sekarang kita mencari jalan untuk menyelesaikan masalah ini. Harap kalian tidak sungkan-sungkan mengeluarkan pendapat yang berharga!" ujarnya kembaIi.
"Kaucu adalah seorang jenius. Biarpun kami berpikir sepuluh hari sepuluh malam, tetap saja kalah dengan pemikiran Kaucu sesaat. Lebih baik Kaucu saja yang memberikan jalan pemecahannya, hamba sekalian tinggal melaksanakannya dengan segenap kekuatan," sahut Oey Liong Su.
Hong Kaucu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Yang penting sekarang ini kita harus mengumpulkan kembali anggota-anggota kita. Meskipun tempo hari para tentara Tatcu meledakkan tempat ini sehingga banyak yang terluka serta tewas, tapi kalau dihitung-hitung paling sepertiganya, sisanya yang dua
pertiga mungkin kabur untuk menyelamatkan diri. Pertama-tama, Liok Kho Hian harus diangkat menjadi Pek Liong Su, dengan demikian lima duta besar kita menjadi genap kembali," katanya pula.
Liok Kho Hian segera membungkukkan tubuhnya sebagai tanda terima kasih.
"Kalian berlima harus segera kembali ke cabang-cabang kita di berbagai daerah, cari sisa anak buah kita, dan cari pula pemuda pemudi yang bisa ilmu silat serta ajak mereka menjadi anggota kita. Kita bina kembali mereka demi membangkitkan perkumpulan kita ini," ujar Hong Kaucu pula.
Oey Liong Su, Tio Tam Goat serta Liok Kho hian segera memberi hormat.
"Hamba sekalian menerima perintah!" sahut mereka serentak.
Bu Kin Tojin dan Kho Soat Teng tidak bersuara sama sekali, Hong Kaucu melirik kedua orang itu sekilas.
"Gi Liong Su dan Ce Liong Su, apakah ada yang ingin kalian katakan?" tanyanya.
"Jawab kepada kaucu! Hamba mempunyai dua buah permintaan. Harap Kaucu bersedia mempertimbangkannya!" sahut Kho Soat Teng.
Kembali Hong Kaucu mendengus dingin.
"Urusan apa?" tanyanya kembali.
"Selama ini hamba sangat setia kepada Kaucu, tapi tampaknya Kaucu tidak sepenuhnya mempercayai kami, hal ini membuat hati kami menjadi gundah. Yang pertama, hamba mohon Kaucu memberikan pil penawar racun. Dengan demikian perasaan kami jadi tenang dan kami dapat melakukan tugas tanpa ada yang perlu dikhawatirkan," sahut Kho Soat Teng.
"Apabila aku tidak bersedia memberikan pil penawar racun, tentunya kalian akan bekerja dengan setengah hati, bukan?" tanya Hong Kaucu dengan nada dingin.
"Hamba tidak berani. Urusan yang kedua yaitu mengenai penerimaan anggota yang masih muda belia, mereka tidak dapat diandalkan, bahkan bisa memberikan kerusuhan bagi kita. Begitu bertemu dengan urusan berat, mereka langsung kocar-kacir perkumpulan kita sedang menghadapi musibah, lihat saja... orang-orang yang masih setia dan bersedia mengikuti Kaucu hanya beberapa orang, yakni kami-kami ini.
Pada waktu biasa, mulut para pemuda-pemudi itu sungguh manis, setiap hari mengatakan bahwa diri mereka akan setia, tidak takut menghadapi kematian. Tapi begitu benar-benar ada bencana, mana buktinya? Karena itu, hamba berpendapat lebih baik kita kumpulkan anggota tua yang masih setia kepada Kaucu. Mengenai para pemuda-pemudi yang tadi Kaucu katakan, sebaiknya dibatalkan saja.
Sebagai contoh, Wi Siau Po ini, bukankah dia yang dianggap setia serta dapat diandalkan? Akhirnya dia pula yang mencelakai kita!" sahut Kho Soat Teng.
Setiap dia menambahkan sepatah kata, wajah Hong Kaucu semakin kelam. Hati Kho Soat Teng berdebar-debar, namun dia mengeraskan hati untuk menyelesaikan ucapannya.
Perlahan-lahan sinar mata Hong Kaucu beralih kepada Bu Kin Tojin, tatapannya tajam menusuk.
"Bagaimana dengan engkau?"
Bu Kin Tojin menyurut mundur dua langkah.
"Hamba sependapat dengan Ce Liong Su, jalanan yang dulu penuh duri, kita tidak boleh kita lalui lagi. Pepatah mengatakan, sebelum mencoba, bagaimana bisa tahu apa rasanya? Karena itu hamba yakin setelah pengalaman pahit ini, Kaucu yang cerdas tentu sudah mengerti sendiri bahwa anggota yang masih muda-muda tidak ada gunanya. Mereka tidak dapat diandalkan maka... maka," sahut pendeta itu sembari menunjuk kepada Bhok Kiam Peng.
"Seperti nona cilik Bhok Kiam Peng itu, sebetulnya dia anggota dari Gi Liong Su kami. Kaucu telah menanam budi besar kepadanya, tapi begitu menghadapi masa sulit, dia langsung berkhianat dan memihak kepada musuh. Orang semacam dia harus dicari kembali satu per satu. Mereka harus ditebas dengan golok agar menjadi contoh bagi anggota lain yang berani berkhianat," sahutnya.
Mata Hong Kaucu beralih kepada Liok Kho Hian dan yang lainnya.
"Apakah urusan ini telah kalian rundingkan sebelumnya?" tanya pemimpin tersebut.
Para hadirin tidak ada yang bersuara, sesaat kemudian Poan Tau To baru menyahut. "Jawab Kaucu! Kami belum pernah merundingkan urusan ini, Tapi... tapi hamba merasa apa yang dikatakan Gi Liong Su dan Ce Liong Su memang beralasan."
Hong Kaucu menatap kepada Thio Tam Goat seakan menunggu pendapatnya.
"Bencana yang dialami oleh perkumpulan kita kali ini, tidak perlu diragukan lagi bahwa Wi Siau PoIah biang keladinya. Hamba paling tidak bisa percaya kepada manusia sepertinya," sahut Thio Tam Goat penuh semangat.
Hong Kaucu menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Bagus! Rupanya kau juga berpihak kepada mereka, Liok Kho Hian, bagaimana dengan engkau?" tanyanya setengah menyindir.
"Hamba telah mendapat budi besar dari Kaucu, bahkan sekarang diangkat menjadi Pek Liong Su. Tentu saja hamba akan mengeluarkan segenap kemampuan untuk bekerja serta berbakti kepada Kaucu. Apa yang dikatakan oleh Ce Liong Su sekalian tentunya demi kepentingan perkumpulan kita juga. Hamba yakin mereka tidak mempunyai niat Iain," sahut Liok Kho Hian.
"Kata-kata kalian keliru sekali!" ujar Oey Liong Su. "Kecerdasan Kaucu melebihi kita semua ratusan kali lipat. Untuk apa kalian bicara banyak? Yang penting kita mendengarkan petunjuk dari Kaucu dan Hujin. Meriam yang ditembakkan oleh tentara Tatcu sebetulnya malah membantu kita membersihkan perkumpulan Sin Liong Kau, karena dengan demikian para pengkhianat perkumpulan kita juga sudah pada mati oleh ledakannya. Lagipula kita menjadi tahu siapa yang setia dan siapa yang tidak! Kita para hamba ibarat katak dalam tempurung, yang terlihat hanya kegagalan sesaat, pandangan kita mana mungkin disamakan dengan pandangan Kaucu yang jauhnya mencapai tepi langit?"
Kho Soat Teng marah sekali mendengar ucapan itu.
"Keruntuhan perkumpulan kita pada hakekatnya justru terjadi karena adanya orang-orang yang pandai menepuk pantat kuda semacam engkau! Kau sesumbar setinggi-tingginya, coba apa faedahnya bagi perkumpulan kita? Apa pula manfaatnya bagi Kaucu kita?" tanyanya keras.
"Apa maksudmu dengan mengatakan menepuk pantat kuda?" teriak Oey Liong Su tidak mau kalah, "Bukankah sekarang kau sudah menunjukkan pembangkanganmu?"
Kho Soat Teng semakin gusar.
"KauIah manusia rendah yang tidak tahu malu! Kau merusak perkumpulan kita, kaulah yang membangkang!" Sembari menyahut, tangannya menggenggam gagang pedang.
Oey Liong menyurut mundur satu langkah.
"Tempo hari kau membuat keributan dan membantah ucapan Kaucu! Untung saja jiwa Kaucu serta Hujin sangat besar sehingga urusan itu tidak diperpanjang, Ternyata... hari ini kau berani membangkang lagi!" katanya.
Kho Soat Teng, Bu Kin Tojin, Thio Tam Goat, Liok Kho Hian, serta Poan Tau To menoleh kepada Hong Kaucu, semuanya memendam kegusaran tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hong Kaucu sendiri memalingkan wajahnya kepada Oey Liong Su. Sinar matanya menyiratkan kekejian serta kebekuan yang mencekam, Oey Liong Su terkejut setengah mati. Dia kembali mundur satu langkah lalu berkata. "Kaucu, mereka... berlima sudah sepakat untuk berkhianat. Mereka harus menerima hukuman mati..."
Hong Kaucu memicingkan matanya sedikit.
"Apa yang barusan kau katakan?" tanyanya dengan suara dalam.
Oey Liong Su melihat mimik wajah pemimpinnya yang garang, hatinya semakin takut. Dengan nada bergetar dia menyahut.
"Ham... ba sangat... setia ter... hadap Kaucu, hamba ti... dak sudi bekerja sama de... ngan para pengkhianat ini...."
"Tempo hari kita semua sudah bersumpah berat. Siapa pun yang mengingat kembali dendam lama, maka dia harus dimasukkan ke telaga Liong Tam agar tubuhnya dimakan oleh ribuan ekor ular...."
Oey Liong Su begitu terkejutnya sehingga sepertinya selembar jiwanya melayang entah ke mana.
"Mohon Kaucu mengampuni kesalahan hambamu..." ratapnya.
"Urusan itu sudah selesai, semua orang telah melupakannya sama sekali, hanya kau seorang yang masih mengingatnya terus. Begitu ada kesempatan, kau malah menggunakannya untuk mengadu domba. Apa maksudmu sebetulnya? Apa yang kau inginkan?"
Begitu pucatnya wajah Oey Liong Su seakan tidak mengandung darah setetes pun. Kedua lututnya menjadi lemas, dia menjatuhkan dirinya berlutut seketika.
"Hamba tahu salah! Lain kali hamba tidak berani mengungkitnya kembali!" sahutnya panik, Dengan tenang Hong Kaucu berkata, "Sumpah yang pernah diucapkan oleh perkumpulan kami, kau kira boleh dilanggar seenaknya? apabila bukan kau yang termakan sumpah itu, maka akulah yang harus merasakannya. Coba kau katakan, apakah kau yang harus diceburkan ke telaga Liong Tham atau aku yang lebih pantas
menerima hukuman tersebut?"
Oey Liong Su memekik keras-keras, tubuhnya mencelat jauh lalu mengembangkan langkah seribu untuk kabur
Hong Kaucu membiarkan orang itu mencelat sampai sejauh beberapa depa. Dipungutnya sebuah batu, timbul suara mendesir, timpukannya tepat mengenai bagian belakang kepala Oey Liong Su. Orang itu meraung kesakitan, tubuhnya terhempas ke atas kemudian jatuh di atas tanah. Setelah bergeliat beberapa kali, nyawanya pun melayang.
Hong Kaucu dapat melihat kalau Kho Soat Teng berlima sudah bersepakat, meskipun ilmunya sendiri sangat tinggi dan dibantu pula oleh Hong Hujin serta Oey Liong Su, kemungkinan dia akan berhasil meringkus kelima orang tersebut.
Namun apabila hal itu sampai terjadi, maka perkumpulannya semakin terancam kemusnahan, orang-orang yang dapat diandalkan hanya tinggal segelintir, sedangkan Oey Liong Su cuma pandai mencari muka, tidak banyak kegunaannya.
Kalau dia sampai membunuh Kho Soat Teng berlima, berarti anak buahnya tidak bersisa. Dengan pemikiran yang matanglah, ia mengambil keputusan ini. Lebih baik kehilangan sedikit daripada banyak. Dengan dibunuhnya Oey Liong Su, maka kemarahan Kho Soat Teng berlima akan surut.
Liok Kho Hian dan Thio Tam Goat langsung membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Ucapan Kaucu beratnya ibarat gunung, terbukti dengan hukuman yang dilaksanakan barusan, hamba sekalian benar-benar merasa kagum."
Kho Soat Teng, Bu Kin Tojin serta Poan Tau To juga serentak menyatakan terima kasihnya.
Kelima orang ini sudah lama merasa sebal dengan sikap Oey Liong Su yang selalu mencari muka. Orang itu mempunyai watak yang rendah dan dibenci oleh mereka semua. Melihat Kaucu mengambil tindakan tegas dengan membunuhnya, tentu saja mereka merasa puas sekali.
Hong Kaucu menunjuk kepada Siau Po.
"Bukannya aku ingin mengampuni selembar jiwa bocah ini, tapi dia mengetahui sebuah tempat penyimpanan harta karun di perbatasan Liau Tong. Kalau bukan dia yang menunjukkan kita tidak akan menemukannya. Setelah mendapatkan harta karun itu, tentu mudah bagi kita untuk membangun kembali perkumpulan Sin Liong Kau kita," katanya.
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan lagi, "Tadi kalian mengatakan bahwa anggota-anggota yang muda tidak ada gunanya dan kalian menasehati aku agar mempertimbangkannya lagi. Setelah aku memikirkannya baik-baik, kata-kata kalian memang beralasan.
Oleh karena itu aku mengambil keputusan untuk menuruti permintaan kalian. Kelak apabila kita membangun kembali partai Sin Liong Kau, kita harus lebih teliti memilih anggota baru, sebaiknya memang orang yang lebih tua karena dapat diandalkan, dan jangan sampai kegagalan yang dulu terulang Iagi."
Wajah Kho Soat Teng dan yang lainnya menjadi cerah, serentak mereka memberi hormat dan menyatakan perasaan terima kasih.
Hong Kaucu mengeluarkan dua botol kecil dari saku pakaiannya. Dari botol masing-masing dituangkannya lima butir pil, Lima butir berwarna kuning, dan lima butir lainnya berwarna merah. BotoI pil itu dimasukkannya kembali ke dalam saku, butiran pilnya sendiri tetap digenggam dalam tangan.
"lnilah pil-pil penawar racun I Kin Wan, kalian masing-masing menelan dua butir..."
Tentu saja Kho Soat Teng beserta rekannya senang sekali mendengar ucapan Hong Kaucu. Mereka segera menyatakan terima kasih. Kemudian pil yang disodorkan itu pun langsung mereka terima.
"Lekas kalian minum pil penawar racun itu!" kata Hong Kaucu.
Kelima orang itu segera memasukkan dua butir pil ke mulut masing-masing lalu ditelannya tanpa ragu-ragu lagi.
Bibir Hong Kaucu menyunggingkan senyuman.
"Bagus sekali!" katanya. Tapi tiba-tiba dia membentak "Liok Kho Hian, apa yang ada di tangan kirimu?"
Liok Kho Hian menyurut mundur dua langkah.
"Tidak.... Tidak ada apa-apa...." Tangan kirinya diturunkan ke bawah, telapaknya dikepalkan.
"Buka kepalan tangan kirimu!" kata Hong Kaucu dengan nada tajam suaranya begitu keras sehingga telinga orang-orang yang mendengarnya merasa mendengung.
Tubuh Liok Kho Hian limbung, perlahan-lahan dia membuka telapak tangan kirinya. Terdengar suara trak!, sebutir pil terjatuh di atas tanah.
Wajah Kho Soat Teng berempat langsung berubah hebat, tapi mereka sadar bahwa otak Liok Khi Hian brillian sekali, tentu ada rencana tertentu mengapa dia berbuat demikian. Dia pasti mempunyai alasan tersendiri mengapa pil tersebut tidak ditelannya. Tapi mereka berempat sudah menelan pil itu ke dalam perut. Apa lagi yang harus disesalkan?
Dengan sinis Hong kaucu berkata.
"Pil itu merupakan pil Soat Som yang dapat menguatkan badan serta menyehatkan, mengapa kau menaruh kecurigaan kepada Kaucumu ini sehingga secara diam-diam kau menyembunyikan pil itu dan tidak mau menelannya?"
"Hamba... tidak berani... namun belakangan i... ni kesehatan hamba sedang terganggu, karena kesalahan dalam latihan, maka jalan darah di tubuh hamba tidak da... pat menga... lir dengan lancar.... itu... lah sebabnya.,, hamba menyimpan pil vitamin pemberian Kaucu ini. Maksud hamba baru akan menelannya setelah bersemedi melancarkan jalan da... rah nanti malam. Hamba khawatir... khasiatnya a... kan sia-sia bila ditelan sekarang..."
Mimik wajah Hong Kaucu berubah agak lunak.
"Begitu rupanya, jalan darah bagian mana yang tersumbat? Masalah itu mudah sekali, aku bisa membantumu melancarkan kembali jalan darah itu. Kau kemarilah!"
Liok Kho Hian melangkah mundur satu tindak.
"Hamba tidak berani merepotkan Kaucu," sahutnya, "Asal hamba rajin bersemedi, lama-kelamaan penyakit ini pasti akan sembuh."
Hong Kaucu menarik nafas panjang.
"Kalau begitu, kau masih tidak bisa mempercayai aku sepenuh hati?" tanyanya.
"Hamba tidak berani mempunyai pikiran demikian," sahut Liok Kho Hian.
Hong Kaucu menunjuk ke arah pil yang sudah dipungut oleh Liok Kho Hian.
"Sebaiknya kau telan saja pil itu sekarang, seandainya nanti jalan darahmu masih tersumbat juga, aku toh tidak mungkin berdiam diri?"
Liok Kho Hian menatap pil di tangannya. Untuk sesaat dia tidak berkata apa-apa. Tiba-tiba dia menjentikkan jari telunjuknya sehingga pil itu melayang jauh serta menghilang di balik bukit.
"Hamba sudah menelan pilnya, terima kasih Kaucu!" katanya.
Hong Kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus! Ternyata nyalimu tidak kecil juga!"
"Hamba sangat setia kepada Kaucu. Apabila Kaucu sudah memutuskan untuk memberikan pil penawar racun, mengapa Kaucu harus menambahkan sebutir pil lainnya yang daya racunnya terlebih berat lagi? Hamba tidak merasa bersalah, karena itu hamba tidak sudi menerima hukuman," sahut Liok Kho Hian.
Kho Soat Teng serta yang lainnya terkejut sekali mendengar pernyataan itu.
"Pil yang racunnya lebih dahsyat? Pil racun apa itu?" tanya mereka serentak.
"Kaucu mengumpulkan bisa dari seratus ekor ular berbisa serta seratus ekor ulat yang berbisa pula. Racunnya diracik menjadi pil ini. Apakah pil ini dapat digunakan sebagai "Racun lawan racun", hamba tidak jelas. Kemungkinan memang ada khasiatnya, tapi nyali hamba terlalu kecil sehingga tidak berani mencobanya." Sahut Liok Kho Hian sebagai penjelasan.
Rasa terkejut di hati Kho Soat Teng dan yang lainnya semakin menjadi-jadi. serentak mereka maju ke samping Liok Kho Hian dan berdiri berendeng dengannya. Dengan mata mengandung kecurigaan, mereka menatap ke arah Hong Kaucu.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa ini pil seratus racun?" tanya Hong Kaucu dengan nada dingin, "Kau hanya mengoceh sembarangan dengan maksud mengadu domba sehingga perasaan yang lainnya menjadi bingung."
Liok Kho Hian menunjuk kepada Pui Ie. "Tempo hari aku melihat Nona Pui sedang mencari keong siput, aku bertanya untuk apa, dia bilang telah mendapat perintah Kaucu mencari siput untuk meracik obat, sedangkan kertas yang menuliskan komposisi pembuatan pil tersebut, juga tanpa sengaja telah terlihat olehku. Meskipun di sana juga tertera bahwa racun dalam pil ini baru akan bekerja setelah tiga tahun sejak diminum, tapi yang mengkhawatirkan justru Kaucu belum pernah membuat pil ini, jadi kita tidak bisa yakin bahwa racunnya baru akan bekerja setelah tiga tahun. Kedua, hamba masih ingin hidup lebih lama lagi, tidak sudi hidup tiga tahun saja lalu mati."
Rona wajah Hong Kaucu berubah kehitam-hitaman.
"Bagaimana kau bisa melihat kertas racikan obatku?" tanyanya.
Liok Kho Hian melirik sekilas ke arah Hong Hujin.
"Hujin menyuruh aku mengambilkan obat untuknya di peti obat Kaucu. Kertas racikan obat itu justru adanya di dalam peti tersebut," sahut Liok Kho Hian.
"Ngaco belo! seandainya Hujin ingin meminum obat, dia pasti akan memintanya kepadaku, mengapa dia harus menyuruhmu mengambilnya? Lagi-pula peti obatku itu selamanya dalam keadaan terkunci, mengapa kau berani membukanya dengan lancang?" bentak Hong Kaucu.
Sesaat kemudian, dia menoleh kepada istrinya. "Apakah kau yang membukakan?" tanyanya pula.
Wajah Hong Hujin menjadi pucat pasi, kemudian dengan perlahan-lahan dia menganggukkan kepalanya.
"Obat apa yang kau cari? Mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku?" tanya Hong Kaucu kembali.
Tiba-tiba wajah Hong Hujin berubah menjadi merah padam, lalu menjadi pucat kembali. Tubuhnya terhuyung-huyung, mendadak dia meraba perutnya dan terdengarlah suara Hoakkk!! sebanyak dua kali. Rupanya dia termuntah-muntah, tapi yang terlihat hanya air yang berwarna kehijauan.
Hong Kaucu mengerutkan alisnya. Kemudian dia berkata dengan nada lembut.
"Apa yang terasa tidak enak? Lebih baik kau duduk saja agar dapat beristirahat sejenak."
Tiba-tiba Tuan Puteri berteriak.
"Dia sudah ada bayi dalam perutnya. Dasar Tua bangkai sendirinya akan punya anak saja, tidak tahu!"
Hong Kaucu terkejut setengah mati. DicekaInya lengan Hong Hujin lalu bertanya dengan nada tajam.
"Apakah benar apa yang dikatakannya.
Hong Hujin kembali mendekap perutnya, muntahnya semakin menjadi-jadi.
"Kau ingin mencari obat untuk menggugurkan kandunganmu, bukan?" tanya Hong Kaucu dengan suara menyeramkan.
Selain Liok Kho Hian, orang-orang lainnya semua merasa heran, Hong Kaucu tidak mempunyai keturunan, lagipula dia sayang sekali kepada Hong Hujin, istrinya, seandainya perempuan itu melahirkan seorang anak baginya, baik laki-laki maupun perempuan, tentu merupakan hal yang menggembirakan.
Mengapa wanita itu justru ingin menggugurkan kandungannya? Mereka menduga kemungkinan terkaan Hong Kaucu kali ini pasti keliru.
Siapa sangka Hong Hujin malah menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.
"BetuI, aku memang ingin menggugurkan kandungan ini. Sekarang kau bunuh saja aku!" tantangnya.
Hong Kaucu menaikkan telapak tangannya, lalu kembali bertanya dengan nada tajam.
"Siapa ayahnya?"
Semua orang tahu kepandaian Hong Kaucu tinggi sekali. Kalau tangannya itu sampai diayunkan, pasti nyawa Hong Hujin akan melayang seketika. Tapi wanita itu malah mendongakkan kepalanya dan menyahut dengan tenang.
"Aku sudah bilang, kau boleh membunuhku, mengapa kau tidak segera turun tangan?"
Sinar mata Hong Kaucu seakan memancarkan api. Dengan suara bergetar ia berkata.
"Aku tidak akan membunuhmu. Kau katakan saja, anak siapa yang ada dalam kandunganmu itu?"
Hong Hujin menutup mulutnya rapat-rapat, sikapnya keras kepala seakan dia memang sudah bersiap untuk mati.
Hong Kaucu menolehkan kepalanya ke arah Liok Kho Hian.
"Apakah kau ayahnya?" tanyanya dengan mata mendelik.
"Bukan, bukan," sahut Liok Kho Hian cepat, "Hamba sangat menghormati Hujin yang seperti Dewi, mana berani hamba melakukan pelanggaran sebesar itu?"
Sinar mata Hong Kaucu yang tadinya tertuju kepada Liok Kho Hian secara perlahan-lahan beralih kepada Kho Soat Teng, Thio Tam Goat, Bu Kin Tojin lalu Poan Tau To. Di mana sinar matanya berhenti, orang itu pasti merasa bergidik.
"Bukan siapa-siapa!" teriak Hong Hujin, "Kau bunuh saja aku, untuk apa banyak tanya?"
"Dia toh istrimu, tentunya yang ada dalam perutnya pasti anakmu. Kenapa malah curiga yang bukan-bukan? Dasar pikun!" kata Kian Leng kongcu dengan suara keras.
"Tutup mulutmu! Kalau kau mengucapkan satu patah kata lagi, pertama lehermu yang akan kupelintir!" bentak Hong Kaucu.
Kian Leng Kongcu segera menutup mulutnya rapat-rapat, meskipun hatinya merasa tidak puas. Mana dia tahu bahwa sejak muda Hong Kaucu belajar ilmu tenaga dalam tingkat tinggi yang membuat dirinya tidak boleh berhubungan intim dengan wanita.
Pernikahannya dengan Hong Hujin hanya untuk menjaga mukanya, kenyataannya dia tidak pernah menyentuh wanita itu. Karena itu pula, dia segera menyadari bahwa wanita itu telah menyeleweng dengan orang lain sehingga hamil, ini juga merupakan salah satu alasan mengapa dia sangat menyayangi wanita itu.
Dia merasa dirinya bukanlah suami yang sempurna. Dengan menuruti apa pun kemauan Hong Hujin, mungkin dia dapat memberinya sedikit kebahagiaan.
Saat ini, tiba-tiba saja dia mengetahui kehamilan istrinya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batinnya, malu, kecewa, marah, sesal, kasihan, sedih.
Tangannya yang terangkat di udara tidak sanggup diayunkannya ke kepala perempuan itu. Dia menolehkan kepalanya kepada Kho Soat Teng dan yang lainnya. Wajah mereka memancarkan perasaan takut. Dalam hati, Hong Kaucu berpikir.... -- Urusan yang memalukan ini telah diketahui oleh mereka semua, mana aku ada muka lagi untuk menjadi Kaucu mereka? Orang-orang ini harus dibasmi bersih, tidak boleh meninggalkan seorang pun yang hidup. Asal ada setitik saja desas-desus yang tersebar keluar, orang-orang dari dunia kangouw pasti akan menertawakan aku, pendekar macam apa aku jadinya? -
Hawa pembunuhan telah memenuhi hatinya. Dia langsung melepaskan cekalannya pada lengan Hong Hujin. Tiba-tiba dia menghambur ke depan dan meringkus Liok Kho Hian.
"Semua ini gara-gara engkau yang memulai kekacauan!" bentaknya.
"Kau ingin membunuhku agar mulut ini bung.,." sahut Liok Kho Hian setengah jalan.
Kata-kata "bungkam" belum sempat diselesaikannya, tiba-tiba batok kepalanya terasa ditepuk dengan keras. Rupanya telapak tangan Hong Kaucu telah menghajarnya. Kedua matanya mendelik seketika, dan dalam waktu kurang dari tiga detik jiwanya pun sudah melayang.
Melihat perubahan itu, Kho Soat Teng dan yang lainnya sadar bahwa Hong Kaucu memang ingin membunuh mereka semua agar rahasianya tidak bocor. Keempat orang itu segera mencabut senjata masing-masing dan melintangkannya di depan dada untuk melindungi diri.
"Kaucu, semua ini merupakan urusan pribadimu, tidak ada hubungannya dengan hamba sekalian!" teriak Kho Soat Teng.
"Hari ini semua orang kembali ke asalnya bersama-sama, satu pun jangan harap dapat meloloskan diri!" bentak Hong Kaucu sembari menerjang kepada Kho Soat Teng berempat.
Poan Tau To mengangkat goloknya yang seberat dua puluh kati lebih tinggi-tinggi, dari atas dia membacok ke bawah, serangannya dahsyat bukan main.
Hong Kaucu menggeser badannya sedikit untuk menghindar telapak tangan kanannya menghantam ke arah kepala Tio Tam Goat, sepasang Poan Koan Pit yang merupakan senjata andalan Tio Tam Goat secara berturut-turut- mengirimkan dua buah serangan kepada Hong Kaucu.
Dalam waktu yang bersamaan, golok Bu Kin lojin juga mengancam bagian pinggang ketua itu. Hong Kaucu mendengus keras, tubuhnya mencelat ke udara, tapi arahnya tetap kepada Tio Tam Goat.
Sepasang senjata Tio Tam Goat seolah sepasang belati yang bukan main tajamnya, dalam sekejap digerakkannya sebanyak tujuh delapan kali, jurus ini dinamakan "Jit Seng Kit Goat" (Tujuh bintang mengerumuni rembulan), juga merupakan jurus serangan yang diandalkannya, serangannya lihay sekali.
Telapak tangan Hong Kaucu yang diarahkan kepadanya tiba-tiba mendarat perlahan-lahan di pinggang Tio Tam Goat. Serentak orang tua itu juga mencelat mundur. Terdengar suara teriakan Tio Tam Goat. Tubuhnya terjatuh dan bergulingan di atas tanah. Kemudian melonjak bangun, tapi mendadak dia merasa sebagian kiri tubuhnya ngilu dan nyeri.
"Hari ini kalau kita tidak membunuhnya, siapa pun jangan harap bisa meloloskan diri dalam keadaan hidup!" teriaknya.
Keempat orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan lagi-lagi menyerang Hong Kaucu, Keempat orang ini merupakan tokoh nomor satu dalam perkumpulan Sin Liong kau, apalagi ilmu silat yang dikuasai oleh Poan Tau To dan Kho Soat Teng, kehebatannya jangan ditanyakan lagi.
Golok besar Poan Tau To digerakkan secara memutar ke atas sebanyak delapan sembilan kali, Suara golok itu sampai mendengung-dengung, bagian yang ditujunya selalu bagian mematikan, sepasang Poan Koan Pit di tangan Kho Soat Teng justru merupakan sepasang senjata kecil yang berbahaya, Setiap jurusnya mengarah jalan darah yang mematikan.
Pedang putih Bu Kin To jin menimbulkan seberkas cahaya putih keperakan, dalam hati dia merasa hidupnya tidak akan dapat bertahan lama lagi, karena dia telah menelan pil racun yang mematikan. Sebelum mati, bagaimanapun dia harus berhasil membunuh musuh besarnya yang licik itu. Karena itu, dari sepuluh serangannya, sembilan di antaranya pasti merupakan serangan yang mengandung maut. Setidaknya dia ingin mati bersama orang yang dibencinya itu.
Sedangkan Tio Tam Goat teringat kegagaIannya dalam melaksanakan tugas yakni mencuri kitab "Si Cap Ji Cin Keng", Apabila tidak ada bantuan dari Bu Kin lojin dan Kho Soat Teng, hari itu juga dia sudah dihukum mati oleh Hong Kaucu.
Dia sudah mendapat perpanjangan hidup, nyawanya sendiri seakan hasil pungutan dari tengah jalan. Karena itu, meskipun sebagian tubuhnya terasa ngilu dan nyeri, dia tetap melancarkan serangan.
Ilmu silat Hong Kaucu sendiri jauh di atas ke empat orang itu. Apabila dia ingin mencabut nyawa salah seorang di antaranya, tentu merupakan hal yang mudah baginya.
Tapi keempat orang itu menyerangnya dengan gencar, bila dia ingin membunuh salah satu di antaranya, tentu dirinya sendiri tidak bisa menghindarkan diri dari ancaman terluka.
Setelah bertempur kurang lebih puluhan gebrakan, hawa amarah dalam dadanya lambat laun mereda. Begitu hatinya terasa tenang, jurus yang dimainkannya pun semakin mantap. Sepasang tapak tangannya menghantam ke sana-sini untuk mengelakkan serangan lawan-lawannya.
Tampaknya, meskipun dikeroyok empat orang, pimpinan Sin Liong kau itu masih belum terjatuh di bawah angin. Dia melihat serangan tangan kiri Tio Tam Goat semakin melemah, dalam hati dia yakin inilah saat yang bagus untuk turun tangan, tanpa ragu lagi dia membalas serangan dengan dahsyat.
Sementara itu, Siau Po melihat kelima orang itu sedang bertempur dengan seru. Diam-diam dia menjawil ujung lengan baju si Tuan Puteri dan Bhok Kiam Peng. Dia juga memberi isyarat kepada Cin Ju agar mereka jangan bersuara. Keempat orang itu membalikkan tubuhnya dan mengendap-endap berjalan ke kaki gunung, Hong Kaucu sedang bertempur menghadapi keempat lawannya, siapa pun tidak ada yang
memperhatikan gerak-gerik mereka. seandainya mereka melihat sekali pun, tentu tidak ada yang sempat meluangkan waktu untuk mencegah kepergian mereka.
Setelah berjalan beberapa saat, jarak antara mereka dengan Hong Kaucu sudah agak jauh, maka hati mereka terasa tenang, Siau Po menolehkan kepalanya, tampak kelima orang itu bertempur semakin seru. Dalam waktu yang singkat tentu sulit menentukan siapa yang akan kalah atau menang.
"Mari kita pergi selekasnya!" seru Siau Po kepada yang lainnya,
Keempat orang itu mempercepat langkah kakinya. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara langkah susulan, rupanya ada dua orang yang mengejar ke arah mereka.
Kedua orang itu ialah Hong Hujin dan Pui Ie. Ke empat orang itu terkejut sekali. Senjata mereka telah dilucuti musuh ketika tertawan. Masih lumayan kalau hanya menghadapi Pui Ie, tapi justru Hong Hujin ikut mengejar sedangkan ilmu silat wanita itu tinggi sekali. Mereka merasa tidak sanggup menghadapi lawan, maka mereka segera mengambil langkah seribu.
Baru berlari puluhan Iangkah, tiba-tiba kaki si Tuan Puteri tersandung batu, sambil berteriak, tubuhnya terkulai.
Siau Po berpikir dalam hati. - Di dalam rahimnya ada anakku, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Karena itu, dia berlari kembali untuk membimbing gadis itu.
Tampak Hong Hujin berloncatan beberapa kali, tahu-tahu dia sudah sampai di hadapan Siau Po. perempuan itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
"Siau Po, kau masih hendak kabur?" tanyanya sinis.
Siau Po tertawa.
"Kami bukan kabur, tapi pemandangan di sini lebih indah, lagipula anginnya juga sejuk, karena itu kami berniat bermain-main di sini," sahutnya.
Hong Hujin tertawa dingin.
"Bagus, kalau kalian memang ingin melihat pemandangan indah! Mengapa aku tidak diajak?" Ketika dia berbicara, Pui Ie pun sudah tiba di sampingnya.
Bhok Kiam Peng serta Cin Ju melihat Siau Po tertahan oleh Hong Hujin, mereka berjalan kembali lalu berdiri mendampinginya.
"Pui suci, kau ikut saja dengan kami, dia..." kata Bhok Kiam Peng sambil menunjuk kepada Siau Po. "Dia... dia selalu baik... terhadapmu, lagi... pula... dulu kau sudah pernah bersumpah, tentunya kau belum lupa, bukan?"
"Aku hanya taat kepada Hujin, hanya perintah Hujin yang pantas aku jalankan," sahut Pui Ie.
"Kau taat karena dicekoki obat olehnya. Dulu aku juga pernah mengalami hal yang sama," kata Kiam Peng pula.
Siau Po baru tersadar, rupanya berkali-kali dia dikhianati oleh Pui Ie hanya karena gadis itu telah menelan obat dari Hong Hujin. Untuk sesaat dia termangu-mangu, rasa benci di dalam hatinya sirna seketika.
"Pui cici, ikutlah dengan kami!" katanya.
Panggilan "Pui cici" sudah terbiasa diucap oleh mulut Siau Po, yakni ketika mereka sama-sama naik perahu datang ke Sin Liong to ini. Tentu saja Pui Ie dapat mendengarnya dengan jelas, tanpa terasa pipinya berona merah.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan Hong Kau-cu, "Hujin! Hujin! A Cuan! A Cuan! Ke mana kau?" Nada suaranya seperti panik, seakan
takut ditinggalkan oleh istrinya.
Namun, Hong Hujin pura-pura tidak mendengar Hong Kaucu memanggil lagi beberapa kali, tapi perempuan itu tetap tidak menyahut.
Siau Po berlima mengalihkan pandangannya kepada Hong Hujin. Dalam hati mereka berpikir --Kaucu toh memanggilmu mengapa kau tidak menjawab? Mengapa kau tidak kembali ke sisi suamimu? --
"Kau tentu mendengar Kaucu memanggilmu bukan?" tanya Siau Po.
Perlahan-lahan Hong Hujin menggelengkan kepalanya, wajahnya merah padam.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini, kita naik perahu saja!." ujar Hong Hujin dengan suara lirih.
Hati Siau Po girang sekaligus terkejut mendengar kata-katanya, "Kau... kau juga ikut dengan kami?"
"Di atas pulau ini hanya ada satu perahu. Biar bagaimana aku harus ikut denganmu! Lagipula, Kaucu ingin membunuhku, apakah kau masih belum menyadarinya?" Sahut Hong Hujin. Sekali wajahnya merah padam, lalu dia mendahului yang lainnya melangkah ke depan.
Beramai-ramai mereka berlari ke bawah sejauh belasan depa, Iagi-lagi terdengar suara teriakan Hong Kaucu.
"Hujin! Hujin! A Cuan! A Cuan! Cepat kau kembali!"
Tiba-tiba terdengar pula suara teriakan seorang lainnya, tidak salah lagi, nada suara itu merupakan jeritan menyayat sebelum jiwanya melayang. Hanya saja mereka tidak yakin siapa di antara ke empat lawan Hong Kaucu yang berpulang terlebih dahulu.
Kembali Hong Kaucu berkoak-koak.
"Kau lihat! Si tua bangka Tio Tam Goat ini sudah kuhabisi! Sejak muda dia ikut denganku, sudah tua malah mau membangkang, benar-benar goblok! A Cuan! A Cuan! Mengapa kau masih belum kembali ke sini? Aku tidak menyalahkanmu, kau sudah kumaafkan! Maknya! Kau berhasil membacok aku! Ha... ha... ha... ha... Poan Tau To! Coba kau rasakan, apakah seranganku kali ini tidak bisa mencabut selembar nyawa anjingmu! Otakmu tumpul! Mengapa kau ikut-ikutan dengan mereka mengkhianati aku? sekarang kau cari mati! Ha ha ha!"
Hong Hujin menghentikan langkah larinya, wajahnya tampak agak berubah.
"Dia sudah berhasil membunuh dua Iawan!" katanya.
Siau Po jadi panik mendengarnya.
"Lekas kita lari!" serunya gugup, Dan, tanpa menunda waktu lagi, dia mempercepat langkah kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara geraman marah Hong Kaucu.
"Kalian berdua sang pengkhianat! Nanti aku akan kembali membereskan kalian! Hujin! Hujin! jangan pergi!"
Suara teriakannya semakin lama semakin mendekat. Tampaknya pemimpin Sin Liong kau itu sudah mulai turun gunung melakukan pengejaran. Siau Po menoleh, tampak Hong Kaucu sedang menghambur ke arah mereka dengan rambut awut-awutan dan pakaian Iusuh.
Kali ini rasa terkejutnya jangan ditanyakan Iagi, sukmanya malah terasa terbang entah ke mana.
"Halangi dia! Halangi dia!" Terdengar suara teriakan Kho Soat Teng. "Dia sudah terluka parah! Kalau bukan sekarang, kelak kita tidak akan mempunyai kesempatan untuk membunuhnya lagi!"
"Dia tidak bisa lari ke mana-mana!" sahut Bu Kin tojin.
Kedua orang itu mengejar Hong Kaucu dari belakang sambil mengangkat tinggi-tinggi senjata masing-masing. Tidak lama kemudian, Siau Po dan yang lainnya sudah sampai di tepi pantai. Namun, langkah kaki Hong Kaucu, Bu kin tojin dan Kho Soat Teng bukan main cepatnya, langkah kaki depan segera disusul langkah kaki belakang.
Bagian 83
Sekejap saja mereka sudah sampai di kaki gunung. Tampak wajah mereka penuh dengan bercak darah.
"Hujin, mengapa kau tidak menjawab panggilanku? Mau ke mana kau?" bentak Hong Kaucu.
"Hujin sudah tidak menginginkanmu lagi, dia sudah punya pacar yang muda dan tampan!" sahut Kho Soat Teng.
Hong Kaucu marah sekali mendengarnya.
"Ngaco!" Dia membalikkan tubuhnya sambil menghantam Kho Soat Teng.
Kho Soat teng menangkis dengan Poan Koan Pitnya. Dalam waktu yang bersamaan, Bu Kin Tojin juga sudah menyusul datang. Ia mengayunkan goloknya ke arah pinggang Hong Kaucu.
Pada saat itu, lawan Hong Kaucu sudah tinggal dua orang, tapi paha kirinya sudah terluka parah, tentu saja gerakannya pun menjadi lamban.
"A Cuan, sebentar lagi aku pasti berhasil membunuh kedua pengkhianat ini. Kau bunuh dulu ke empat penjahat itu, sisakan si maling cilik, aku ingin dia mengantarkan kita mengambil harta pusaka!" teriak Hong Kaucu pula.
Meskipun mulutnya berkaok-kaok, gerakan tangan dan tubuhnya tidak berhenti Kho Soat Teng dan Bu Kin Tojin mendapat kesulitan untuk mendekatinya.
Bibir Hong Hujin mengembangkan senyuman sinis, matanya perlahan-lahan melirik kepada Cin Ju berempat.
"Hujin, satu saja di antara keempat perempuan ini terluka, aku segera bunuh diri! Biar jadi setan pun, aku tidak akan mengampunimu! Kata-kata seorang laki-laki sejati, entah... entah kuda apa pun sulit mengejarnya," teriak Siau Po.
Seperti biasa, dalam keadaan panik, ucapan Siau Po pun jadi ngaco. Bahkan "Kuda mati" yang sering disebutnya juga terlupakan
Tiba-tiba terdengar suara hantaman keras, bagian pinggang Kho Soat Teng terhajar oleh Hong Kaucu. Tubuh Kho Soat Teng terhuyung-huyung beberapa kali kemudian terkulai di atas tanah, Hong Kaucu tertawa terbahak-bahak. ia menggerakkan kakinya untuk mengirimkan sebuah tendangan.
Dengan panik Kho Soat Teng melonjak bangun Tendangan Hong Kaucu telak mengenai dadanya. Terdengar suara krek yang beruntun. Tentu beberapa tulang di dadanya patah seketika. Tapi, meskipun demikian, paha kanan Hong Kaucu berhasil dipeluknya erat-erat..
Hong Kaucu menghentakkan kakinya sekuat tenaga, tetapi pelukan Kho Soat Teng tetap tidak terlepas, Bu Kin Tojin menggunakan kesempatan itu untuk menghambur ke depan, goloknya diayunkan Hong Kaucu memiringkan kepalanya untuk menghindarkan diri, sekaligus tangannya mengirimkan serangan.
Perut Bu Kin Tojin terkena pukulan, tapi goloknya juga sempat menancap di pundak kanan Hong Kaucu. Darah berhamburan dari mulut Bu Kin Tojin, bagian belakang leher Hong Kaucu sampai terciprat. Ketika dia ingin melanjutkan serangannya, tenaganya sudah tidak ada lagi, golok yang tertancap di pundak Hong Kaucu tidak sanggup dicabutnya.
"Cepat... cepat... tarik dia!" teriak Hong Kaucu.
Hong Hujin malah berdiri termangu-mangu, entah dia terkejut melihat kenyataan yang dihadapinya atau memang sengaja tidak sudi memberikan bantuan kepada suaminya. Melihat ketiga orang itu sedang mengadu jiwa, dia malah berdiri tertegun, tanpa bergerak sedikit pun.
Sebelah tangan Kho Soat Teng meraih sebuah Poan Koan Pitnya yang terjatuh di atas tanah. Dengan sekuat tenaga digerakkannya senjata itu dan tepat mengenai perut Hong Kaucu. Pimpinan Sin Liong kau itu menjerit histeris, tapi masih sempat mengirimkan tendangan ke tubuh Kho Soat Teng, sehingga tubuh Kho Soat Teng terpental ke udara. ia lalu menghentakkan kakinya ke belakang mengarah ke tubuh Bu Kin Tojin. Tendangan itu tepat pada sarannya, dan perlahan-lahan tubuh Bu Kin Tojin terkulai di atas tanah.
Hong Kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Memangnya pengkhianat-pengkhianat ini bisa menandingi aku? Mereka... mereka ingin mem... berontak? Huk... huk... huk! Toh akhirnya... me-reka... ma... ti di tangan...ku!" Dia membalikkan tubuhnya menghadap Hong Hujin "Hujin... mengapa kau tidak mem... bantu a... ku?" tanyanya.
Hong Hujin menggelengkan kepalanya.
"llmu silatmu toh nomor satu di dunia, buat apa aku membantumu?"
Hong Kaucu marah sekali mendengar jawaban istrinya.
"Kau juga membantah? Kau juga ingin menjadi anggota Sin Liong kau yang memberontak?" teriaknya gusar.
"Tidak salah! selamanya kau hanya mementingkan dirimu sendiri! Biarpun aku membantumu, toh akhirnya kau akan membunuh aku juga!" sahut Hong Hujin dingin.
"Kubacok kau! Akan kubacok kau si pengkhianat!" teriak Hong Kaucu kalap. Sembari berseru, dia menerjang ke arah Hong Hujin.
Hong Hujin mendesah terkejut, lalu dengan gugup dia menghindarkan diri. Meskipun dalam keadaan terluka parah, gerakan Hong Kaucu masih cukup cepat. Dalam sekejap tangan kirinya sudah berhasil mencekal belakang leher baju Hong Hujin, tubuhnya memutar, tangan kanannya menjepit tenggorokan perempuan itu.
"Lekas jawab, kau masih ingin memberontak? Kalau kau mengatakan tidak, aku akan mengampunimu?" teriaknya.
Terdengar Hong Hujin menyahut dengan suara perlahan.
"Dulu,., dulu sekali hatiku sebenarnya sudah memberontak yaitu di saat kau memaksaku menjadi istrimu. Hari itu pula kebencianku kepadamu sudah merasuk ke dalam tulang. Kau cekik mati saja aku!"
Darah di bibir dan muka Hong Kaucu terus menetes ke atas kepala istrinya, Hong Hujin menatapnya dengan mata mendelik. Seakan tidak merasa takut sedikit pun.
"Bangsat! Dasar pemberontak! Kalian semuanya pengkhianat! Aku... aku akan mencari anggota baru untuk membangun kembali Sin Liong kau!" teriak Hong Kaucu, sebenarnya Siau Po yang melihat dari samping ketakutan setengah mati.
Apalagi dia melihat cekikan di tenggorokan Hong Hujin diperketat sehingga nafas perempuan itu tersendat-sendat. Tampaknya perempuan itu tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Perlahan-lahan tangannya memungut sebongkah batu besar yang ada di tepi pantai. Dengan kencang disambitkannya batu itu ke arah Hong Kaucu, dan tepat mengenai punggung orang itu. Mata Hong Kaucu langsung berkunang-kunang, dan cekikan tangannya pun merenggang seketika. Kemudian sembari membalikkan tubuhnya dia berteriak.
"Kau... kau bangsat cilik, aku tidak menginginkan harta pusaka lagi, a... ku... lebih baik... membunuh kau lebih... dahulu...!" Dia menerjang ke arah Siau Po sambil melakukan penyerangan.
Siau Po mengambil langkah seribu, Hong Kaucu menggerakkan kakinya mengejar. Tanah pasir bekas dia berlari meninggalkan jejak berdarah.
Siau Po sadar, apabila dirinya sampai tertangkap, nyawanya sulit dipertahankan lagi. Karena itu, dia mengerahkan segenap kekuatannya untuk berlari. Tiba-tiba, bagian lehernya mengencang, rupanya kerahnya telah tercekal oleh Hong Kaucu. Kalau saja dia tidak mengenakan pakaian mustika, kemungkinan daging di punuknya juga sudah copot dicengkeram orang tua itu.
Dalam keadaan terkejut, larinya semakin cepat, dikerahkannya ilmu "Sin Heng Pak Pian" yang dipelajarinya asal-asalan. Di atas tanah. berpasir dia berlari serabutan, kadang ke kiri, kadang ke kanan, kadang memutar pula. Meskipun beberapa kali Hong Kaucu menjulurkan tangannya dan tampaknya akan berhasil mencekal si pemuda, namun kenyataannya tetap luput.
Meskipun Siau Po sudah berlari sekuatnya, namun tenaganya memang terbatas, seharusnya sejak tadi dia sudah tertangkap, tapi ilmu "Sin Heng Pak Pian" justru mempunyai keistimewaan tersendiri dan merupakan ilmu andalan partai Tiat Kiam Bun.
Apalagi Bok Sang sudah merubah beberapa gerakannya tempo hari. Hal ini membuat ilmu itu seakan mengandung keajaiban. Kedua huruf "Sin Heng" (Bayangan Dewa) tentu tidak pas diberikan kepada Siau Po, tapi "Pak Pian" (Seratus perubahan), memang cocok dengan watak asli si pemuda yang angin-anginan, itulah sebabnya, Siau Po bisa mempelajari ilmu yang satu ini, meskipun hanya sebanyak empat puluh
bagian.
Karena itu pula, meskipun dia bukan pesilat unggul, tapi dalam dunia persilatan dia boleh disebut sebagai pelari nomor satu atau nomor dua. Untuk jaman itu, Siau Po sudah sulit dicari tandingannya dalam hal mengambil langkah seribu.
Berkali-kali Hong Kaucu menjerit kalap, tangannya juga tidak hentinya melancarkan serangan, Siau Po sudah berhasil menghindarkan dua kali serangannya, namun ketika pukulan yang ketiga datang, dia tidak sanggup mengelak lagi. Pukulan Hong Kaucu telak mengenai belakang punggungnya sehingga tubuhnya terpental cukup jauh, untung saja Hong Kaucu dalam keadaan terluka parah, kalau tidak, nyawa Siau Po pasti sudah tidak tertolong lagi.
Apalagi ia juga mengenakan baju mustika, ditambah berkurang banyaknya tenaga pemimpin Sin Liong kau itu. Namun, meskipun demikian, mata Siau Po tetap berkunang-kunang jadinya, kepalanya pun pusing tujuh keliling. Baru saja dia berusaha untuk bangkit, sekali lagi leher bajunya tercekal oleh tangan Hong Kaucu.
Kali ini, rasanya jantung Siau Po hampir mencelat keluar dari dalam hatinya. Dalam keadaan panik, dia meringkukkan tubuhnya serta secepat kilat molos dari selangkangan si orang tua. Begitu dia ingat lagi, dia baru sadar bahwa ilmu yang digunakannya adalah satu jurus yang pernah diajarkan Hong Kaucu pula. Benar-benar "Senjata makan tuan.
Kalau tidak salah, jurus ini dinamakan "Selir Kui menunggang kerbau", atau "Si She menunggang kambing"? Ah! Dalam keadaan bingung seperti ini, siapa yang kerajinan mengingatnya!
Siau Po mengerahkan tenaga untuk berjungkir balik, kemudian dia hinggap di atas pundak Hong kaucu, jurus yang satu ini sebetulnya belum pernah dilatih Siau Po secara sungguh-sungguh, namun gerakannya ternyata sudah lumayan.
Lagipula, untuk menggunakannya terhadap orang lihai seperti Hong Kaucu, sepertinya mustahil, tapi keadaan pemimpin Sin Liong kau itu sedang kacau, pertama dia baru saja melawan empat anak buahnya yang mempunyai ilmu tinggi-tinggi.
Kedua, pikirannya kusut membayangkan penyelewengan istrinya. Dirinya dalam keadaan terluka pula. Pisau belati Siau Po menancap di punggungnya, perutnya tertikam oleh sebatang Poan Koan Pit. Karena berlari tanpa mengingat kesehatannya, darah mengalir semakin banyak, itulah faktor-faktor yang membuat Siau Po bisa menggunakan ilmunya secara sembarangan.
Siau Po hinggap di atas pundak Hong Kaucu, kedua jari tengahnya serta merta ditujukan ke arah sepasang biji mata orang tua itu.
Tiba-tiba saja sebuah ingatan berkelebat di benak Hong Kaucu. Dia ingat pernah mengajari Siau Po langkah yang satu ini, yakni segera mencongkel kedua biji mata musuh begitu berhasil hingga di pundaknya.
Hong Kaucu adalah seorang tokoh besar dalam dunia persilatan Orang yang sanggup melawannya dapat dihitung dengan jari tangan. Sekarang, kemungkinan dia bisa dikalahkan oleh seorang pemuda bau kencur, dan yang paling menyakitkan jurus yang digunakannya juga berasal dari ilmu yang diajarkannya.
Kemungkinan ini semua merupakan hukum karma. Dari matanya mengalir darah yang deras, namun Hong Kaucu tidak merasakan sakit lagi. Dia ingat, untuk seumur hidupnya, entah berapa banyak orang yang telah dibunuhnya, rasanya dia tidak perlu penasaran apabila ajalnya memang sudah sampai. Orang tua itu menjadi pasrah dengan nasibnya. Kedua tangannya yang diangkat ke atas untuk menyerang Siau Po perlahan-lahan terkulai ke bawah. Begitu menarik nafas panjang yang menandakan kelegaan hatinya, kedua lutut Hong Kaucu pun menjadi lunglai serta jatuh berlutut di atas tanah berpasir
Siau Po menyangka Hong Kaucu sedang menjalankan akal licik lainnya. Dengan gugup dia melompat dari pundak orang tua itu dan mencelat jauh untuk menghindarkan setiap kemungkinan
Terdengar suara Hong Kaucu yang tersendat-sendat.
"A Cuan.,, A... Cuan, ke... marilah!" Hong Hujin maju beberapa langkah, namun berhenti di depan orang tua itu kurang lebih satu depa setengah.
"Se... betulnya... siapa ayah bayi... da... lam kandunganmu... itu?" tanya Hong Kaucu.
Hong Hujin menggelengkan kepalanya.
"Untuk apa lagi kau mengetahuinya?" sahut wanita itu. Dia melirik sekilas ke arah Siau Po.
Hong Kaucu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Meskipun kedua matanya mengeluarkan darah, tapi tekanan jari Siau Po hanya melukai bagian kelopaknya saja. Orang mengira dia sudah buta, kenyataannya, samar-samar dia masih dapat melihat. Karena itu, dia juga tahu arti lirikan mata Hong Hujin tadi.
"Apakah bocah itu... yang...?" tanyanya tergagap.
Hong Hujin menggigit bibirnya sendiri. Dia bungkam seribu bahasa. Tapi diamnya justru menandakan apa yang ditanyakan adalah benar. Hong Kaucu menjadi kalap.
"Kubunuh kau, setan cilik!" teriaknya sambil menerjang ke arah Siau Po.
Tampak wajah Hong Kaucu berlumur darah, mulutnya terbuka lebar sehingga tampak giginya yang kuning, tangannya yang terjulur juga penuh dengan noda darah, benar-benar menyeramkan Siau Po ketakutan setengah mati. Cepat-cepat dia menyelinap lalu menyusup lewat selangkangan Hong Hujin dan bersembunyi di belakang wanita itu.
Hong Hujin merentangkan kedua tangannya berdiri berhadapan dengan Hong Kaucu.
"Seumur hidupmu, kau sudah merasakan berbagai kekuasaan dan kebanggaan, rasanya sudah lebih dari cukup!" katanya datar.
Tubuh Hong Kaucu sedang melayang di tengah udara, mendengar nada suara Hong Hujin. Sisa hawa murninya yang terakhir entah menghempas ke mana, dia terjatuh tepat di bawah kaki istrinya.
"Aku adalah... se... orang... kau... cu!" katanya dengan tampang bengis, "Kalian.. ha... rus mendengar apa... yang ku pe... rintahkan! Me... ngapa ka... lian justru membangkang? Perbuatan... kalian sa... lah, hanya... aku seo... rang yang benar di... dunia ini.... Ka... lian a... kan ku... bu... nuh, hanya... aku... seo... rang yang ber... umur pan... jang se... perti para De...." Kata-kata "Dewa" tidak berhasil diselesaikannya. Mulutnya terbuka lebar untuk menghembuskan nafas yang penghabisan. Kedua matanya tetap mendelik lebar-Iebar.
Siau Po maju beberapa langkah. Dia mencelat ke depan untuk membalikkan tubuh Hong Kaucu lalu mundur kembali secepatnya. Setelah itu, dia baru membalikkan tubuhnya untuk menatap Hong Kaucu.
Tampak orang tua itu tidak bergerak sama sekali, tapi matanya masih terbuka lebar Siau Po menunggu lagi beberapa saat tetapi tetap tidak ada perubahan. Namun hatinya masih ragu.
"Apakah dia sudah mati?" tanyanya entah kepada siapa.
Hong Hujin menarik nafas panjang. "Ya, dia sudah mati," sahutnya perlahan.
Siau Po maju lagi dua langkah.
"Kenapa matanya tidak terpejam?" tanyanya penasaran.
Tiba-tiba, terdengar suara Plok! pipinya kena tamparan yang keras, lalu terasa telinganya dijewer pula. Siapa lagi kalau bukan Kian Leng Kongcu yang melakukannya? Malah kaki perempuan itu sempat mendepak pantat Siau Po satu kali.
"Kau benar-benar telur busuk! Matanya mendelik karena kau telah mempermainkan istrinya! Bagaimana... kau bisa berhubungan dengan wanita yang tidak tahu malu itu?" bentak Kian Leng kongcu dengan suara garang.
Hong Hujin mendengus satu kali, lalu tangannya menjulurkan ke depan untuk mencengkeram leher baju Kian Leng kongcu, menyusul telapak tangannya yang satu lagi menampar pipi perempuan itu keras-keras.
Plok!!! Kemudian, dia juga mengibaskan tangannya sehingga tubuh sang Tuan puteri terhempas ke beIakang.
Kali ini, keadaan Siau Po benar-benar runyam. Telinganya sedang dijewer oleh Kian Leng kongcu, sedangkan tubuh perempuan itu terbanting ke beIakang, otomatis dia sendiri ikut terbawa bahkan jatuh menindih tubuh perempuan itu.
"Kalau kau masih berani sembarangan bicara, aku akan membunuhmu saat ini juga!" bentak Hong Hujin marah.
Kian Leng kongcu gusar sekali. Dia bangun dan langsung menerjang kepada Hong Hujin, tapi wanita itu hanya mendorongnya sedikit dan sekali tubuh Kian Leng Kongcu terhempas jatuh.
Tiga kali berturut-turut Kian Leng kongcu menerjang Hong Hujin, namun setiap kali dia tetap terdorong jatuh. Dalam hati dia segera sadar bahwa ilmunya masih kalah jauh dengan wanita itu.
Dia terduduk di atas tanah sambil menangis meraung-raung, sekarang dia tidak berani memaki Hong Hujin lagi, tapi Siau Polah yang jadi sasarannya.
"Telur busuk! Anak haram! Thay-kam mampus! Siau Kui Cu jelek!" teriaknya berulang-ulang.
Siau Po meraba telinganya, tiba-tiba dia melihat tangannya penuh dengan bercak darah. Rupanya, saking kerasnya tarikan tangan Kian Leng kongcu, bagian atas daun telinganya jadi terkoyak.
"Biar bagaimanapun aku dan dia adalah suami istri." Mendadak Hong Hujin berkata, "Bagaimana kalau aku menguburkannya secara baik-baik?" Dari nada suaranya, seakan dia meminta persetujuan dari Siau Po. ucapannya lembut.
Siau Po terkejut sekaligus gembira mendengarnya. "Baik, baik!" sahutnya.
Tanpa menunda waktu lagi, dia memungut sebatang Poan Koan Pit dari atas tanah lalu mulai menggali bersama Hong Hujin, Pui Ie dan Bhok Kiam heng bergegas menghampiri untuk memberikan bantuan.
Dalam waktu yang singkat, jenasah Hong Kaucu sudah dimakamkan secara sederhana, Hong Hujin menyembah di depan kuburan. Diantukkannya kepalanya beberapa kali di atas tanah, dan dengan suara lirih dia berkata. "Meskipun aku menikah denganmu karena terpaksa, tapi selama ini kau memperlakukan aku dengan baik. Sebaliknya, aku tidak pernah tulus hati terhadapmu. Sebelum mati kau mengetahui hal ini, sekarang kau sudah pergi, semoga hal yang menyakitkan ini tidak kau simpan dalam hati."
Selesai berkata, dia berdiri. Tanpa dapat ditahan lagi air matanya mengucur dengan deras.
Untuk beberapa saat Hong Hujin berdiri terpaku di depan kuburan itu, kemudian dia mengusap air matanya lalu bertanya kepada Siau Po.
"Kita akan tinggal di sini seterusnya atau kembali ke wilayah Tiong Goan?"
Siau Po menggelengkan kepalanya, "Tempat ini tidak boleh ditinggali lebih lama, arwah penasaran Liok sin she, Hong Kaucu dan yang lainnya pasti gentayangan setiap hari," katanya.
"Tapi, untuk kembali ke Tiong Goan, kesulitannya Iain lagi, Raja cilik justru sedang mencariku. Kalau sampai ketemu, aku pasti dibunuhnya. Lebih baik kita cari tempat tinggal Iain yang aman."
Tiba-tiba matanya bersinar terang, "Ah! Sudah ada! Aku ingat sekarang, sebaiknya kita pergi ke Tong Sip To saja. Di sana pasti tidak ada setan penasaran dan si Raja cilik juga tidak bisa menemukan aku."
"Di mana letaknya pulau Tong Sip to?" tanya Hong Hujin.
Siau Po menunjuk ke arah timur.
"Di sana ada sebuah pulau kecil, aku menamakannya pulau Tong Sip to," sahut Siau Po sembari tertawa.
Hong Hujin manggut-manggut.
"Kalau kau senang ke sana, yah sudah, kita ke sana saja," kata Hong Hujin.
Entah mengapa, tiba-tiba saja wanita ini jadi menurut sekali kepada Siau Po.
Siau Po senang sekali.
"Ayo, ayo! Kita semua pergi ke sana!" Dihampirinya Kian Leng kongcu, sembari tertawa dia melanjutkan "Ayo, semuanya naik ke perahu!"
Sekali lagi Kong cu menggerakkan tangannya untuk memukul Siau Po. Si pemuda menggeserkan kepalanya untuk menghindar. Hal ini membuat kemarahan si Tuan puteri semakin meluap.
"Kau pergi saja sendiri, Aku tidak mau ikut!" teriaknya.
"Di pulau ini banyak hantu. Ada setan tanpa kepala, ada setan buntung kakinya, juga ada setan banyak tangan yang suka meraba perut besar..." kata Siau Po.
Kongcu yang mendengarnya jadi ketakutan. Sembari menghentakkan kakinya di atas tanah, dia berteriak.
"Masih ada setan semacam kau yang banyak mulut!" Kaki kirinya digerakkan ke depan, Siau Po tidak sempat menghindar pantatnya kena tendangan. Tanpa dapat ditahan lagi, mulutnya mengeluarkan suara aduhan yang keras.
Perlahan-lahan Hong Hujin maju ke depan, Kian Leng kongcu segera menyurut mundur beberapa tindak.
"Lain kali, kalau kau memukul Wi kongcu satu kali, aku akan memukulmu sepuluh kali. Kau menendangnya satu kali, aku akan menendangmu sepuluh kali. Apa yang pernah kuucapkan, selamanya tidak pernah kupungkiri." kata wanita mantan istri Hong Kaucu itu.
Saking marahnya, wajah Kian Leng kongcu sampai berubah pucat pasi.
"Memang kau apanya dia? Suamimu sendiri sudah mampus, jadi sekarang kau ingin merebut suami orang?" teriaknya kesal.
"Suamimu sendiri juga sudah mampus!" tukas Pui Ie.
Sang tuan puteri bukan main gusarnya, "Dasar Maling perempuan! Suamimu sendiri juga sudah mampus!" teriaknya tidak mau kalah.
"Kalau lain kali mulutmu berani sembarangan bicara lagi, aku akan meninggalkanmu seorang diri di pulau ini dan tidak boleh ada seorang pun yang menemanimu" kata Hong Hujin sepatah demi sepatah.
Kian Leng kongcu tahu sifat Hong Hujin yang berani bicara pasti berani bertindak, seandainya dia benar-benar ditinggalkan seorang diri di pulau ini dengan sekian banyaknya setan tanpa kepala, setan buntung dan yang lain-lainnya, entah apa yang harus dilakukannya!
Seumur hidupnya. Tuan Puteri ini selalu dimanja dan dituruti apa pun kehendaknya. Namun, dalam keadaan seperti saat ini, dia terpaksa menahan kekesalan hatinya dan tidak berani bicara lagi.
Dan yang paling senang tentu saja Siau Po. Dalam hatinya berpikir. -- sekarang Kongcu benar-benar kena batunya, sekarang ada orang yang bisa mengendalikannya, tentu dia tidak berani sembarangan main pukul lagi! - Tanpa sadar tangannya meraba-raba kupingnya yang berdarah, rasanya masih sakit sekali.
Hong Hujin berkata kepada Pui Ie.
"Nona Pui, tolong kau perintahkan kepada tukang perahu untuk mempersiapkan keberangkatan kita!"
"Baik," sahut Pui Ie. "Mengapa Hujin demikian sungkan terhadap hamba? Hamba jadi tidak enak hati mendengarnya."
Hong Hujin tersenyum lembut.
"MuIai sekarang kita harus saling menyapa dengan sebutan kakak dan adik, hilangkan segala formalitas Hujin dan hamba. Begini saja, kau panggil aku cici Cuan, aku akan memanggilmu adik Pui Mengenai obat penawar racun di tubuhmu. begitu naik ke atas perahu, aku akan memberikannya kepadamu. Sejak hari ini, tak ada yang perlu kau khawatirkan lagi," katanya.
Pui Ie dan Bhok kiam Peng senang sekali mendengar ucapannya.
Rombongan itu segera naik ke atas perahu, Layarnya berkembang ke arah barat Siau Po tidak henti-hentinya celingak-celinguk ke sana-ke mari, tampangnya seperti orang yang merasa bangga sekali.
Apalagi Hong Hujin benar-benar menepati janjinya. Dia memberikan obat penawar racun untuk Pui Ie. Senjata serta uang perak Siau Po juga dikembalikan. Demikian pula dengan senjata orang-orang lainnya.
Siau Po tertawa senang.
"MuIai sekarang aku juga ingin memanggilmu Cici Cuan, bagaimana pendapatmu?"
Wajah Hong Hujin langsung berseri-seri.
"Bagus sekali! sekarang kita urutkan usia kita masing-masing, dengan demikian kita bisa tahu, siapa yang paling besar dan siapa yang lebih muda."
Mereka masing-masing menyebutkan tahun kelahirannya. Ternyata Sou Cuan (Hong Hujin) yang paling tua, kedua jatuh pada Pui Ie, ketiga Kiam Leng kongcu, Cin Ju, Siau Po dan Bhok Kiam Peng seumur Cin Ju lebih tua beberapa bulan, sedangkan Bhok Kiam Peng justru lebih muda beberapa hari dari Siau Po.
Sou Cuan, Cin Ju, Bhok Kiam Peng dan Pui Ie saling menyebut cici serta moay-moay dengan riang gembira. Hanya Kian Leng kongcu sendiri yang menatap mereka dari samping dengan perasaan mendongkol.
"Dia terlahir sebagai seorang puteri, tentunya tidak sudi saling menyapa dengan panggilan kakak atau adik dengan kita semua, sebaiknya kita tetap memanggilnya Kongcu saja," kata Sou Cuan.
Kian Leng kongcu mencibirkan bibirnya.
"Aku benar-benar tidak berani menerima penghormatan sebesar itu." Dalam hatinya dia membayangkan persekongkolan keempat perempuan, sedangkan ia hanya seorang diri. Lagipula, si thay-kam tidak tahu mampus Siau Kui cu tampaknya malah lebih pro kepada mereka berempat daripada kepadanya. Memikirkan hal itu, tanpa terasa hatinya menjadi sedih, dia pun menangis meraung-raung.
Siau Po segera mendekatinya, ia menarik tangan si Tuan Puteri, lalu berusaha menghiburnya.
"Sudahlah! Kita kan sedang bergembira, tidak perlu menangis...."
Ucapan Siau Po belum selesai, Kian Leng kongcu sudah mengangkat tangan kanannya untuk menampar pipi Siau Po. Namun tangannya belum sampai mendarat di pipi Siau Po, tiba-tiba ia teringat ancaman Sau Cuan. Akhirnya dia mengalihkan pukulannya sehingga mendarat di dada sendiri.
Tanpa dapat ditahan lagi, dia mengaduh kesakitan. Orang-orang lainnya merasa geli sehingga mereka tertawa terbahak-bahak, Kian Leng kongcu semakin mendongkol Dia menangis keras-keras dalam pelukan Siau Po.
"Sudah, sudah, jangan bertengkar lagi! Lebih baik kita bermain judi, aku yang jadi bandarnya!" Tapi, meskipun dia sudah mengubek-ubek seluruh peti milik Sou Cuan, dadu-dadunya tidak berhasil ditemukan, kemungkinan sudah diambil oleh Liok Kho Hian ketika menggeledah sakunya tempo hari.
Siau Po jadi uring-uringan. wajahnya tampak murung, Sou Cuan malah tersenyum simpul melihatnya.
"Kita gunakan kayu saja untuk membuat biji dadu," katanya,
"Kayu terlalu ringan, tidak enak kalau dilempar," sahut Siau Po.
Cin Ju memasukkan tangannya ke dalam saku, kemudian dikeluarkannya dalam keadaan terkepal.
"Coba tebak, apa ini?" tanyanya.
"Jadi kita tebak-tebakan uang logam? BoIeh juga, pokoknya masih lumayan daripada tidak main," sahut Siau Po.
"Tebak saja berapa?" tanya Cin Ju kembali.
Siau Po tersenyum. "Tiga keping," jawabnya.
Perlahan-lahan Cin Ju membuka telapak tangannya. Di dalam tangan yang halus dan lembut itu ternyata ada dua biji dadu.
Mata Siau Po sampai mendelik, dia melonjak bangun sembari bertanya berulang kaIi.
"Darimana kau mendapatkan itu? Dari mana kau mendapatkan dadu itu?"
Cin Ju hanya tersenyum simpul, lalu meletakkan kedua biji dadu itu di atas meja.
Siau Po segera meraihnya. Berulang kali dia melemparkan dadu itu ke atas meja, wajahnya ber-seri-seri. Dia dapat merasakan bobot setiap sisi dadu itu berlainan sehingga tahulah dia bahwa dadu itu telah diisi dengan cairan kristal serta menjadi dadu yang dapat dipergunakan untuk mengakali lawan.
Dalam hati dia merasa bingung, Cin Ju adalah seorang gadis yang lembut dan pendiam, mana mungkin dia menggunakan dadu-dadu ini untuk menipu orang.
Beberapa saat dia merenungkan hal itu. Tiba-tiba dia tersadar, bukan main gembiranya. Sekali tomplok dia langsung memeluk pinggang Cin Ju dan mengecup pipinya, "Terima kasih, cici Cin Ju. Untung kau selalu menyimpan dadu-daduku dalam sakumu?"
Wajah Cin Ju langsung berubah merah padam. Dia berlari ke geladak perahu. Rupanya tempo hari, ketika bertaruh nyawa dengan para murid Ong Ok Pai, Cin Ju keluar dari kemah dan meminta kedua biji dadunya. Urusan ini Siau Po sendiri sudah melupakannya. Namun ternyata sampai saat ini Cin Ju masih menyimpan kedua butir dadu tersebut.
Meskipun sekarang sudah ada dadu, tapi di antara perempuan-perempuan itu, tidak ada seorang pun yang berbakat main judi. Mereka hanya merasa iba melihat Siau Po dan iseng-iseng menemaninya bermain, jumlah taruhannya pun terlalu kecil, lagipula mereka tidak perduli menang atau kalah.
Meskipun telah bermain beberapa saat, mereka masih tidak bersemangat kalau dibandingkan dengan perjudian yang pernah dimainkan Siau Po di kota Yang-ciu, atau pun berjudi dengan para thay-kam di istana, suasananya sangat jauh berbeda. Hati Siau Po pun jadi tawar.
"Jangan main lagi! jangan main lagi! Kalian semuanya tidak mengerti bagaimana bermain judi!" teriaknya kesal.
Dia langsung membayangkan kehidupannya yang akan datang di pulau Tong Sip to. Meskipun ada lima wanita cantik yang menemaninya, namun dengan tiadanya perjudian serta sandiwara yang dapat ditonton, tentu hidupnya akan terasa tawar.
Lagipula, meskipun di atas pulau itu dia memiliki beberapa puluh laksa uang emas dan perak, untuk apa? Tidak ada tempat untuk menghambur-hamburkan uangnya! Pikiran ini membuat Siau Po semakin kesal, sedangkan ke mana perginya A Ko dan mati hidupnya Song Ji selalu terbayang-bayang dalam ingatannya. Mana mungkin dia melupakan kedua gadis yang paling disukainya?
Semakin berpikir, hatinya semakin tawar.
"Lebih baik kita jangan pergi pulau Tong Sip to," katanya.
"Kenapa?" tanya Sou Cuan. "LagipuIa, ke mana lagi sebaiknya kita pergi?"
Siau Po merenung sesaat.
"Kita pergi ke Liau Tong, kita ambil harta karun di sana."
"Bukankah sebaiknya kita mencari kehidupan yang tenang di pulau yang kau katakan itu? walaupun kita bisa mengambil harta karun tersebut, apa manfaatnya bagi kita?" tanya Sou Suan.
"Raja Tatcu pasti sudah menyebar tentara-tentaranya untuk menangkapmu. Lebih baik kita menyembunyikan diri dulu selama satu dua tahun," usul Pui Ie. "Kalau urusannya sudah lewat, waktu itu kalau kau masih ingin pergi ke Liau Tong untuk mengambil harta karun, toh masih belum terlambat."
"Harta karun selalu menjadi bahan rebutan dari jaman dahulu kala, bagaimana tidak ada gunanya?" Lalu dia menoleh kepada Bhok Kiam Peng dan Cin Ju. "Bagaimana kalian berdua?"
"Aku rasa apa yang dikatakan Pui suci ada benarnya," sahut Bhok Kiam Peng.
"Kalau kau merasa kesal, kita boleh menyembunyikan diri beberapa bulan saja," kata Cin Ju memberikan pendapatnya, "Dia melihat wajah Siau Po masih murung, maka dia melanjutkan kembali." Setiap hari kami akan menemanimu bermain dadu, yang kalah boleh kau pukul telapak tangannya, bagaimana?"
Dalam hati Siau Po berpikir, -- Dasar maknya! Mana enak sih bertaruh judi dengan pukulan telapak tangan? -- Tapi dia melihat wajah Cin Ju yang tersipu-sipu sehingga menambah kemanisannya, tanpa terasa hatinya menjadi hangat. Maka dia berkata, "Baiklah, baiklah! Aku akan menurut saja kepada kalian!"
Pui Ie berdiri dan tersenyum, "DuIu aku banyak bersalah terhadapmu sekarang aku akan masuk ke dalam dan masak beberapa macam sayur. Hitung-hitung saja sebagai balasan atas hutangku kepadamu. Aku akan mengundangmu minum arak, bagaimana?"
Siau Po semakin senang,
"Bagus, bagus sekali!" katanya. Pui Ie segera masuk ke dalam untuk memasak sayur. Rupanya gadis itu seorang ahli masak. Apa pun yang diolahnya terasa sedap, meskipun bahan yang tersedia di atas perahu amat sederhana. Mereka semua makan dengan lahap.
"Mari kita main tebak-tebakan!" ajak Siau Po. Semuanya setuju. Mereka pun main tebak-tebakan. Padahal sejak tadi Kian Leng kongcu uring-uringan terus, tapi setelah ikut main beberapa kali dan minum beberapa cawan arak, dia sudah bisa tertawa serta bercanda.
Sepanjang malam mereka berlayar dengan perahu, dan pada hari kedua mereka sudah sampai di pulau Tong Sip to. Tampak di sana-sini masih banyak bekas-bekas perkemahan para tentara tempo hari, tapi pangkat dan kekuasaan yang pernah dimiliki Siau Po kenyataannya sudah sirna.
Siau Po sendiri bersikap masa bodoh, dan sembari menggandeng tangan Pui Ie, dia tertawa.
"Cici Pui, tempo hari di pulau inilah aku pernah diketahui cici naik ke atas perahu. Hampir saja selembar nyawa ini amblas di tangan orang-orang dari negara Lo Sat," katanya.
Pui Ie tersenyum kecut.
"Aku kan sudah mengaku bersalah, apa aku harus menyembah di hadapanmu untuk minta maaf?"
"ltu sih tidak perlu. Tapi orang sering mengatakan kalau kita sering berbuat kebaikan pasti ada balasannya. Biarpun aku sudah mengalami berbagai penderitaan, akhirnya aku benar-benar bisa menemanimu," kata Siau Po pula.
Bhok Kiam Peng menukas dari belakangnya. "Apa sih yang kalian bicarakan? Biar kita juga ikut dengar!"
Pui Ie tertawa.
"Dia bilang akan menangkapmu lalu mengukir gambar seekor kura-kura di wajahmu," katanya.
"Kita jangan bercanda lagi. sekarang kita harus memikirkan hal-hal yang penting terlebih dahulu," ujar Sou Cuan.
Tanpa menunda waktu lagi, dia memerintahkan tukang perahu untuk memindahkan berbagai perbekalan dan ransum ke atas pulau tersebut semuanya dimasukkan ke dalam sebuah goa.
Siau Po langsung memuji.
"Cici Cuan benar-benar teliti. Yang penting kita harus perhatikan barang-barang ini, biar mereka yang mengangkatnya satu per satu. Dengan demikian mereka tidak bisa melarikan perahu ini."
Belum lagi ucapan Siau Po selesai, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara Bam! Bum! yang beruntun, seperti suara ledakan bom. Keenam orang itu terkejut setengah mati. Mereka segera menoleh ke arah laut.
Tampak asap putih dan kabut memenuhi tengah-tengah Iautan. Di antara kabut itu tampak dua buah kapal sedang melaju ke arah mereka.
"Celaka!" teriak Siau Po. "Si Raja Cilik mengutus orang untuk menangkapku!"
Terdengar lagi suara ledakan sebanyak dua kali. Ternyata memang suara meriam yang ditembakkan dari atas kapal.
"Cepat kita kembali ke perahu untuk kabur!" kata Cin Ju.
"Layar sudah diturunkan, tidak sempat lagi kita memasangnya, Lebih baik kita bersembunyi dan melihat perkembangannya!" ujar Sou Cuan.
Di antara keenam orang itu, terkecuali Kian Leng kongcu, mereka rata-rata sudah bisa menghadapi marabahaya, oleh karena itu mereka juga tidak merasa panik.
Terdengar Sou Cuan berkata kembali.
"Di mana pun kita bersembunyi pasti akan ditemukan oleh para tentara itu, sebaiknya kita bersembunyi di goa atas bukit. Tanjakannya berliku-liku, tentara-tentara itu hanya dapat mendaki satu per satu. Pokoknya, ketemu satu kita bunuh satu. jangan memberi harapan untuk mereka mendaki sekaligus."
"Betul, ini yang dinamakan sekali raih dua keuntungan," kata Siau Po.
Sou Cuan tersenyum. "Benar."
Tanpa dapat menahan lagi, Kian Leng Kongcu tertawa terbahak-bahak.
Siau Po mendelikkan matanya sambil membentak.
"Apa yang kau tertawakan?"
Kian Leng kongcu mencibirkan bibirnya.
"Tidak apa-apa, hanya pepatah yang kau ucapkan selalu mengandung arti yang dalam. Orang yang mendengarnya sampai merasa kagum sekali."
Sedikit banyaknya Siau Po mempunyai kecerdasan dibandingkan orang lain, dia mengerti pasti ucapannya tadi tidak tepat pada tempatnya. Dengan menahan rasa dongkol dia mendelik sekali lagi kepada Kian Leng Kongcu.
Keenam orang itu segera memasuki goa. Sou Cuan menebas ranting pohon di sekitar tempat itu dan digunakannya untuk menutupi mulut goa agar bayangan mereka tidak tampak jelas. Dari ceIah-celah ranting itu mereka dapat memandang ke luar.
Tampak kedua kapal itu berjalan beriringan, keduanya melaju ke arah pulau Tong Sip to. Kapal yang di belakang tidak henti-hentinya menembakkan meriam ke arah kapal yang depan. Namun tembakannya tidak jitu, hanya air di sekitar kapal yang depan tampak melonjak-Ionjak karena ledakan meriam.
"Rupanya kapal yang di belakang sedang menembaki kapal yang ada di depannya," kata Siau Po.
"Memang benar. Tampaknya mereka sedang berperang," ujar Sou Cuan.
Wajah Siau Po langsung berseri-seri..
"Kalau begitu, kemungkinan kedua kapal itu bukan utusan si Raja cilik untuk meringkus aku," katanya pula.
"Semoga saja demikian. Tapi tujuan mereka sudah jelas pulau Tong Sip to ini. Kalau sudah sampai, mereka pasti bertanya pada tukang perahu, dan dalam waktu sekejap saja mereka pasti tahu siapa yang ada di atas pulau ini. Meskipun kita bisa mendahului mereka membunuh si tukang perahu, tetap saja kita tidak mempunyai waktu cukup untuk mengubur mayatnya," ujar Sou Cuan.
"Kenapa kapal yang di depan tidak membalas tembakan? Benar-benar tidak berguna! Paling bagus kalau keduanya tembak-menembak. Kalau sama-sama kena tembakan kan kapal mereka akan tenggelam, dengan demikian kita tidak perlu merasa khawatir lagi," gerutu Siau Po.
Kapal yang di depan lebih kecil dibandingkan dengan kapal yang mengejar di belakangnya, layarnya terkembang lebar karena hembusan angin. Maka itu lanjutnya pun cepat sekali.
Tiba-tiba kapal yang di belakang kembali menembakkan meriam. Kali ini telak mengenai bagian geladak, dan dalam sekejap mata layar yang sedang berkembang terbakar orang-orang yang ada di atas kapal itu terkejut setengah mati, demikian pula dengan rombongan Siau Po. Tampak orang-orang yang di kapal depan itu segera menurunkan sebuah sampan. Belasan orang melompat ke atas sampan dan langsung mendayung sekuat tenaga.
Sebetulnya jarak mereka dengan pulau Tong Sip to sudah dekat sekali. Tapi karena di tepian airnya sangat dangkal, maka kapal yang ada di belakang tidak dapat maju Iagi. Mereka juga menurunkan sampan untuk mengejar. Bahkan mereka menurunkan lima sampan sekaligus.
Sungguh suatu pemandangan yang menegangkan. Sampan yang di depan melarikan diri, dan lima sampan yang di belakang mengejar dengan ketat. Tidak lama kemudian, belasan orang yang ada di sampan sudah melompat turun ke daratan.
Mereka langsung celingak-celinguk untuk memeriksa keadaan di sekitarnya, atau kemungkinan mereka sedang mencari jalan untuk melarikan diri.
Terdengar seseorang berseru.
"Sebelah sana lebih terlindung, kita kabur ke sebelah sana saja!"
Siau Po dapat mendengar suara orang yang berseru itu mirip sekali dengan suara gurunya, Tan Kin Lam. Belasan orang itu segera berlari ke arah yang ditunjuk orang tadi. Begitu mendekat, tampak salah satunya membawa pedang panjang. Dia berdiri tegak sambil memberikan perintah. Siapa lagi kalau bukan Tan Kin Lam?
Siau Po senang sekali melihat kenyataan ini. dia segera menyibakkan ranting-ranting yang menghalangi mulut goa lalu menghambur ke luar.
"Suhu! Suhu!" serunya.
Tan Kin Lam membalikkan tubuhnya, dia juga melihat Siau Po. Rasa terkejut dan senang membaur jadi satu dalam hatinya.
"Siau Po, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyanya.
Siau Po menghambur mendekati Tan Kin Lam, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti, dan wajahnya termangu-mangu. Di antara belasan orang itu, dia melihat seorang gadis cantik jelita bak bidadari, yakni A Ko, pujaan hatinya.
"A Ko!" teriaknya keras-keras sambil berlari ke depan. Di belakang gadis itu berdiri seseorang yakni The Kek Song, si pemuda tengil yang dibenci sekali oleh Siau Po.
Sebetulnya, sudah tidak heran lagi kalau di mana ada A Ko pasti ada The Kek Song, Siau Po justru sedang kegirangan setengah mati dapat bertemu dengan A Ko, tapi begitu melihat ada The Kek Song yang menyebalkan itu, hatinya seperti anjlok ke dasar lautan. Karena itulah untuk sesaat dia sampai berdiri termangu-mangu.
"Siangkong!" panggil seseorang dari samping.
"Siangkong!" Terdengar pula suara seorang lainnya.
Tanpa sadar Siau Po menyahuti, tapi matanya tidak melirik sedikit pun. Dia hanya memandangi A Ko dengan terkesima, Tiba-tiba terasa ada sebuah tangan yang lembut memegang telapak tangan kanannya.
Tubuh Siau Po bergetar, dia menoleh, tampaklah seraut wajah yang manis namun penuh dengan derai airmata dan sedang menatap kepadanya lekat-lekat. Siapa lagi kalau bukan Song Ji?
Siau Po merasa gembira sekali, dan langsung memeluk Song Ji erat-erat.
"Oh, Song Ji ku yang baik! Aku benar-benar rindu kepadamu!"
Hatinya merasa gembira bukan kepalang, kebahagiaan yang menyelimuti sanubarinya seakan hampir meledak. Bahkan untuk sesaat A Ko pun tidak diingatnya lagi.
"Hong toako, Pang toako, kalian jaga di sini!" kata Tan Kin Lam.
Kedua anak buahnya itu segera menuruti perintahnya, Mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan berdiri di jalan setapak untuk berjaga-jaga.
Secara mendadak bertemu dengan begitu banyak orang yang dikenalnya, Siau Po hanya dapat bertanya.
"Bagaimana kalian bisa datang ke tempat ini?"
"Hong toaya mengajak aku mencari siangkong ke mana-mana. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan cong tocu. Akhirnya kami mendengar seIentingan bahwa siangkong telah berlayar dengan perahu, karena itu... karena itu...." Saking terharunya, tenggorokan Song Ji jadi tersendat, dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya, hatinya terlalu bahagia.
Pada saat itu, kelima sampan yang mengejar tadi sudah mendarat. Mereka beramai-ramai melompat turun. Dari atas bukit Siau Po dan rombongannya dapat melihat bahwa mereka adalah para tentara kerajaan, yang jumlahnya mencapai tujuh delapan puluhan orang.
Yang paling depan adalah seorang laki-laki yang membawa "golok panjang, Gerakan tubuh laki-laki itu gesit sekali, tapi karena jaraknya terlalu jauh, wajahnya tidak jelas terlihat. Orang itu memberi aba-aba kepada para tentara untuk berbagi diri menjadi kelompok-kelompok.
Sekelompok tentara berdiri tegak. Begitu pemimpin mereka menurunkan perintah, mereka mengeluarkan setumpuk anak panah dari punggung masing-masing, lalu mengarahkannya ke atas bukit.
"Semua tiarap!" seru Tan Kin Lam.
Dalam keadaan seperti ini, Siau Po tidak perlu menunggu perintah dari gurunya lagi. Begitu melihat rombongan tentara itu melompat turun ke daratan, dia lalu menyembunyikan kepalanya rendah-rendah di balik sebongkah batu besar.
Terdengar Panglima yang memimpin rombongan tentara itu berseru. "Lepaskan panah!"
Dalam sekejap mata, anak-anak panah melesat ke arah rombongan Siau Po. Meskipun bukit itu cukup tinggi, dan anak panah dilepas dari bawah bukit yang jaraknya cukup jauh, tapi tenaga para tentara itu sungguh mengagumkan Luncuran anak panah dapat mencapai tempat persembunyian Siau Po.
Kedua anak buah Tan Kin Lam yang menjaga di luar goa mengayunkan senjata di tangan mereka ke sana ke mari untuk menangkis anak panah.
"Si Long, kau pengkhianat bangsa yang tidak tahu malu! Kalau kau memang berani, naiklah ke sini dan duel dengan aku!" teriak Pang Ci Hoan.
- Rupanya pemimpin para tentara ini si Sie Long. Orang ini memang ahlinya kalau soal perang atau mengepung musuh, -- pikir Siau Po dalam hati.
"Kalau kau memang bernyali, turunlah ke sini! Satu lawan satu, aku pasti tidak akan mundur!" terdengar sahutan Sie Long.
"Baik!" teriak Pang Ci Hoan.
Baru saja dia hendak turun dari atas bukit, Tan Kin Lam sudah mencegahnya.
"Pang toako, kau jangan masuk perangkapnya. Orang itu licik sekali. Kejahatan apa pun sanggup dilakukannya."
Pang Ci Hoan langsung menghentikan langkahnya.
"Kau bilang tidak takut duel satu lawan satu, mengapa kau membawa lima buah sampan... Mak-nya! Enam malah, sampan kami juga kalian rebut! Pengkhianat bau! Kau menyuruh orang membawa sampan menuju kapalmu, tentunya kau ingin menjemput anak buahmu yang lain bukan? Bukankah kau ingin mengambil keuntungan dari jumlahmu yang jauh lebih banyak?" teriak Pang Ci Hoan kesal.
Sie Long tertawa.
"Tan kunsu, Pang Tui tiong, ilmu silat kalian sangat tinggi! selamanya aku orang marga Sie ini merasa kagum sekali! Pepatah mengatakan "Orang yang pandai pasti bijaksana", sebaiknya kalian giring The kongcu turun ke mari serta menyerah! Kaisar kami pasti akan menganuagerahkan kalian pangkat yang tinggi!" katanya.
Dulunya Sie Long adalah salah satu anak buah andalan The Seng Kong, Dia bersama Tio Kim Bu, Kam Hui, Ma Sing, Liu Kok Kan disebut sebagai lima Jenderal Harimau.
Tan Kin Lam menjabat sebagai Kunsu, sedangkan Pang Ci Hoan, meskipun memiliki ilmu yang tinggi, tapi otaknya kurang cerdas, dia diberi kedudukan sebagai komandan tentara oleh The Seng Kong.
Mereka bertiga pernah bahu-membahu melawan musuh cukup lama. Mereka juga sudah banyak mengalami berbagai penderitaan bersama-sama. Karena itulah sampai sekarang dia masih menyebut Tan Kin Lam serta Pang Ci Hoan dengan sebutannya dulu.
Meskipun jarak dari atas bukit ke bawah ada sekitar tujuh delapan depa, tapi karena semangat Sie Long ber-kobar-kobar, maka suaranya dapat terdengar jelas sekali.
Wajah The Kek Song langsung berubah hebat, lalu dengan suara gemetar dia berkata. "Pang suhu, jangan sekali-kali kau menyerah...!"
"Kongcu tidak perlu khawatir. Selama orang marga Pang ini masih ada sedikit nafas, dia pasti tidak akan menyerah." Sahut Pang Ci Hoan.
Sebetulnya Tan Kin Lam tahu bahwa Pang Ci Hoan juga sangat licik, beberapa kali orang ini berusaha mencelakainya yang tentu saja tujuannya ingin mengangkat The Kek Song sebagai Kuncu di masa yang akan datang.
Namun, pada saat ini dia mendengar suara Pang Ci Hoan yang tulus dan pantang menyerah, maka timbul juga rasa hormat dalam hatinya.
"Peng toako, kita bahu-membahu mengadu jiwa, biar bagaimanapun kita harus melindungi Ji kong-cu," katanya.
"Tentu saja sebawahanmu ini akan menuruti perintah Kunsu," sahut Pang Ci Hoan.
"Kalau sekarang Kunsu menunjukkan jasa yang besar, sepulangnya ke Taiwan nanti, aku pasti akan memberi laporan kepada Hu ong, dan tentu Kunsu akan mendapat... mendapat hadiah yang besar," ujar The Kek Song.
"lni adalah kewajiban kami sebagai hamba," sahut Tan Kin Lam sembari berjalan ke tepi bukit untuk melihat situasi musuh.
Siau Po tertawa.
"The kongcu, hadiah besar sih tidak perlu. Asal kau tidak berbalik muka dengan tanpa perasaan dan berusaha menjatuhkan guruku, kami akan mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu," katanya.
The Kek Song tidak berani banyak bicara, hanya matanya yang mendelik lebar-lebar kepada Siau Po.
Siau Po berkata kembali dengan suara lirih.
"Su ci, bagaimana kalau kita serahkan saja The kongcu kepada tentara itu?"
A Ko mendelik satu kali kepadanya.
"Setiap kali bertemu muka, ucapanmu pasti yang bukan-bukan. Mengapa kau suka sekali menakut-nakutinya?"
Sekali lagi Siau Po tertawa.
"Di takut-takuti beberapa kali saja toh tidak apa-apa, jauh dari mati, seandainya mati pun kan lebih bagus lagi!" katanya.
A Ko menarik nafas panjang. Tiba-tiba saja wajahnya merona merah. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Kok kalian bisa bersama-sama?" tanya Siau Po kepada Song Ji.
"Tan Cong tocu mengajak Hong toaya dan aku berlayar mencarimu. Aku ingat kau pernah bercerita tentang pulau Tong Sip to, maka aku segera mengatakannya kepada Cong tocu, Kami pun segera menuju ke mari untuk melihat-lihat. Di tengah perjalanan kami melihat para tentara kerajaan mengejar The kongcu sambil menembakinya dengan meriam, perahunya tenggelam, The kongcu sendiri terjun ke laut, kami menolongnya lalu sama-sama ke mari. Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya kami berhasil menemukan siangkong juga." Berkata sampai di sini, kelopak mata Song Ji memerah kembali.
Siau Po menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Song Ji ku yang baik, selama ini, aku selalu terbayang padamu." Ucapannya kali ini tidak bohong. Setiap hari, kalau tidak sepuluh kali, paling tidak ada delapan kali dia memikirkan Song Ji dan A Ko. Malah kalau dihitung-hitung, ingatannya kepada Song Ji lebih banyak.
"Saudara-saudara sekalian, mumpung regu bantuan bangsa Tatcu belum datang, kita terjang dan bunuh mereka terlebih dahulu. Kalau sampai keenam sampan itu datang lagi ke sini, jumlah mereka jadi semakin banyak, pada saat itu tentu kita akan kewalahan melawan mereka!" seru Tan Kin Lam.
Orang-orang yang ada di atas bukit itu menyatakan persetujuannya. Kali ini rombongan dari Thian Te Hwee berjumlah belasan orang, pengawal The Kek Song ada tiga orang, belum lagi yang ilmunya agak rendah ada delapan orang. Jadi jumlah mereka cukup banyak juga.
"The kongcu, Tan kouwnio, Siau Po, Song Ji, kalian tinggal di sini! Yang lainnya ikut aku menerjang ke bawah!" seru Tan Kin Lam. Ia lalu mengayunkan pedang panjangnya, dan mendahului yang lainnya menerjang ke bawah bukit.
Hong Cit Tiong dan belasan orang lainnya segera menyusul. Terdengar suara bentakan mereka yang lantang. Para tentara segera melepaskan anak panah, tapi semuanya berhasil ditangkis oleh rombongan Tan Kin Lam.
Sebelumnya mereka berperang di atas lautan, Sie Long mempunyai kapal yang perlengkapannya hebat. Terpaksa Tan Kin Lam dan yang lainnya mendiamkan saja. Tapi sekarang mereka bertempur di daratan. Kecuali Sie Long sendiri, para tentara yang lain tidak ada seorang pun yang berilmu tinggi.
Mana mungkin mereka sanggup menghadang rombongan Tan Kin Lam. Anak buah Thian Te Hwee serta pengawal The Kek Song juga mempunyai ilmu silat yang lumayan. Begitu mereka semua menerjang ke bawah, para tentara pun jadi kalang kabut.
"Su ci, Song Ji, kita juga turun ke bawah untuk membantu mereka melawan tentara-tentara itu!" ajak Siau Po.
A Ko dan Song Ji segera menyetujui usul pemuda itu.
"Aku juga ikut!" seru The Kek Song. Tampak Siau Po telah menghunus pisau belatinya. A Ko dan Song Ji juga sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Mereka bertiga segera menghambur ke bawah bukit.
Tadinya Kek Song mengikuti dari belakang, tapi baru beberapa tindak, dia segera menghentikan langkahnya. Dalam hati dia berpikir,
-- Aku terlahir sebagai seorang pangeran, kenapa harus menempuh bahaya dengan para hamba sahaya? Dengan membawa pikiran demikian, dia berteriak. "A Ko, kau tidak perlu pergi!"
A Ko tidak memperdulikan teriakannya, dia tetap berlari mengikuti Siau Po.
Walaupun ilmu silat Siau Po biasa-biasa saja, tapi dia mempunyai empat macam pusaka. Begitu terjun ke arena pertempuran, keuntungan yang dapat diraih pihak Thian Te Hwee semakin banyak.
Empat pusaka? Apa saja? Yang pertama, pisau belatinya yang tajam, boleh dibilang sulit dicari tandingannya di dunia ini. Kedua, baju mustikanya. Senjata apa pun tidak mempan mengenai tubuhnya asal dia mengenakan baju mustika ini. Ketiga, dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang ajaib. Musuh tidak sanggup mengejar dirinya. Keempat, ada Song Ji di sampingnya yang siap melindunginya
dengan pertaruhan jiwa.
Dibandingkan dengan orang lain, keuntungannya sudah jelas jauh lebih banyak. Malah kalau bertempur dengan jago berilmu tinggi, dengan adanya keempat macam pusaka ini, boleh dibilang Siau Po tidak usah merasa takut lagi.
Paling tidak kedudukan mereka seimbang. Apalagi digunakan untuk melawan para tentara kerajaan, dalam waktu singkat saja sudah ada beberapa tentara yang roboh di tangannya, semangatnya semakin berkobar-kobar.
Para tentara lari pontang-panting menghadapi rombongan orang-orang Thian Te Hwee, Tan Kim Lam berduel dengan Sie Long. Dalam waktu yang singkat sulit diperkirakan siapa yang akan menang atau kalah.
Pang Ci Hoan dan Hong Ci Tiong menggerakkan senjata mereka seakan-akan sedang menebas sayuran. Dalam waktu sekejap mata, sudah lima puluhan tentara yang terluka dan mati. Para tentara yang terluka segera terjun ke dalam air. Mereka sudah lama mendapat latihan untuk berperang di lautan, karena rata-rata dari mereka jago berenang. Tanpa memperdulikan nasib kawan-kawannya yang lain, mereka segera menghambur berenang ke arah kapal.
Di pihak Thian Te Hwee, sudah ada dua orang yang mati dan satunya terluka, sisanya mengepung Sie Liong.
Golok di tangan Sie Long menebas ke sana ke mari. Meskipun dirinya terancam bahaya besar, tapi ketenangannya sungguh mengagumkan. Dia tidak memperlihatkan rasa jeri sedikit pun.
Bagian 84
"Sie Ciangkun! Kalau kau tidak mau melemparkan golokmu dan menyerah dalam sekejap mata kau bisa jadi bola daging!" teriak Siau Po.
Sie Long memusatkan perhatiannya kepada pertempuran yang sedang berlangsung, maka tidak memperdulikan ucapan orang-orang disekitarnya.
Pertarungan berlangsung dengan seru. Terdengar Tan Kin Lam bersiul panjang, sekaligus melancarkan tiga buah serangan. Pada serangan ketiga, pedangnya sudah saling menempel dengan golok Sie Long. Tampak tangannya bergetar karena mengerahkan tenaga dalam. Mendadak Sie Long mendengus keras, dan diluncurkan pedangnya ke depan dan tepat mengancam tenggorokkan Sie Long.
"Bagaimana sekarang?" bentak Tan Kim lam.
Sie Long marah sekali.
"Kau toh sudah menang, mau membunuhku silahkan! Apa yang harus kukatakan lagi?"
"Sampai saat ini kau masih menganggap dirimu sebagai seorang laki-laki sejati? Kau pernah mengkhianati atasanmu, dan pernah menjual temanmu sendiri! Apakah seorang laki-laki sejati akan melakukan hal-hal seperti itu?" tanya Tan Kin Lam.
Tiba-tiba tubuh Sie Long mencelat lalu menggelinding di atas tanah. Gerakannya sungguh tepat, lalu mengirimkan sebuah tendangan ke arah paha Tan Kin Lam.
Tam Kin Lam mengerahkan pedang di tangannya lurus ke samping bawah untuk melindungi pahanya. Apabila Sie Long berkeras menendang pahanya, kakinya pasti tidak akan luput dari tebasan pedang di tangan Tan Kin Lam.
Dengan nekat Sie Long menahan gerakan kakinya, kedua telapak tangannya menumpu di atas tanah, lalu bersalto ke belakang sebanyak dua kali. Namun ketika dia berhasil berdiri tegak kembali, sekali lagi pedang di tangan Tan Kin Lam mengancam tenggorokannya.
Hati Sie Long dingin seketika. Dia sadar bahwa dirinya masih bukan tandingan Tan Kin Lam. Tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan.
"Kunsu, bagaimana perlakuan Kok Seng Ya terhadapku?"
Pertanyaan yang diajukannya kali ini benar-benar di luar dugaan Tan Kin Lam. Saat itu juga, budi dan dendam yang pernah ada antara The Seng Kong dan Sie Long membayang di depan pelupuk matanya, Akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Kalau dikatakan secara terus terang, Kok Seng Ya pun pernah berbuat kesalahan terhadapmu, tapi kita semua juga pernah menerima budi besar Kok Seng Ya. Apabila sesekali kita menerima hinaan, apa pula yang dapat kita katakan?"
"Apakah aku harus mati penasaran seperti halnya Yok Hui?" tanya Sie Long.
Tan Kin Lam segera menyahut dengan suara tajam.
"Meskipun kau tidak bisa berbuat seperti Yok Hui, tapi perbuatanmu juga tidak benar. Kau berhasil melarikan diri dengan selamat, ya sudah. Sebagai seorang laki-laki sejati, mana boleh kau menjual bangsamu sendiri dan mengangkat bangsa Tat-cu sebagai majikanmu? Seorang pengkhianat lebih rendah dari seekor anjing maupun babi di mata kami!"
"Apa kesalahan kedua orang tua, istri saudara dan anak-anakku? Mengapa Kok Seng Ya harus menghukum mati mereka semua? Dia telah membunuh keluargaku, maka dari itu, aku pun ingin membunuh seluruh keluarganya untuk membalas dendam!" teriak Sie Long.
"Balas dendam adalah urusan kecil, sedangkan jadi pengkhianat adalah urusan yang maha besar. Kalau sekarang aku membunuhmu, aku ingin tahu apakah arwahmu masih mempunyai muka bila bertemu dengan Kok Seng Ya!"
Sie Long menegakkan kepalanya.
"Kalau memang mau membunuhku, silahkan! Kemungkinan Kok Seng Ya yang tidak mempunyai muka untuk bertemu denganku, bukan aku yang tidak mempunyai muka untuk bertemu dengannya!" sahut Sie Long.
"Ternyata sampai saat ini kau belum sadar juga!" kata Tan Kin Lam dengan suara tajam.
Rasanya dia ingin menghunjamkan ujung pedangnya ke tenggorokan Sie Long, tapi tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya pernah bahu-membahu dengan orang ini melawan musuh. Pada saat itu, tanpa rasa takut sedikit pun Sie Long yang dalam keadaan tubuhnya penuh dengan luka, menghadang di depan The Kek Song. Kalau dibayangkan kembali, jasa orang ini sebetulnya tidak kecil.
Kalau tidak ada kejadian dengan Tong Hujin, orang ini sampai sekarang pasti masih menjadi salah satu Jenderal andalan pihak Taiwan. Meskipun akhirnya dia memihak kepada musuh, namun sekeluarganya telah dihukum mati sebagai tebusan atas dosa-dosanya, sebetulnya Sie Long ini patut dikasihani juga.
"Aku akan memberimu kesempatan sekali lagi, mulai sekarang kau harus bertobat! Akuilah kesalahanmu dan kembalilah ke Taiwan! Gunakan tenagamu untuk mendirikan jasa sebagai balasan dosamu. Seandainya kau berhasil mendirikan jasa besar, rasanya masih belum terlambat untuk menganggapmu sebagai seorang laki-laki sejati. Saudara Sie, dengan setulus hati aku menasehatimu, sadar-lah!" katanya kemudian.
Sie Long menundukkan kepalanya, wajahnya menunjukkan perasaan malu.
"Apabila aku kembali lagi ke Taiwan, bukankah aku akan dianggap sebagai manusia rendah yang tidak punya keyakinan?"
Tan Kin Lam menyarungkan pedangnya, lalu menghampiri Sie Long untuk menjabat tangannya.
"Saudara Sie, bagi seorang manusia, yang paling utama adalah budi dan jiwa besarnya. Asal sejak sekarang kau bersetia kepada negara dan bangsa, tidak ada seorang pun yang akan menertawakan kecerobohanmu di masa lalu. Bahkan Kwan Ongya sendiri, di jaman dulu pun pernah melakukan kesalahan."
Tiba-tiba di belakangnya ada seseorang yang menukas.
"Orang ini mengatakan bahwa kakekku telah membunuh seluruh keluarganya, negara Taiwan kami tentu tidak dapat menerimanya lagi. sebaiknya kau bunuh saja dia secepatnya."
Tan Kin Lam menolehkan kepalanya, ternyata yang berbicara barusan ialah The Kek Song.
"Ji kongcu, Sie Ciangkun adalah seorang ahli peperangan, boleh dikatakan tidak ada seorang pun anak buah Kok Seng Ya yang dapat menandinginya. Apabila dia bersedia kembali ke kita, justru merupakan keuntungan besar di pihak kita. Kita harus mementingkan negara daripada dendam pribadi. Apa yang sudah terjadi janganlah diingat lagi," sahut Tan Kin Lam.
The Kek Song tertawa dingin.
"Huh! seandainya orang ini kembali ke Taiwan dan menjabat kembali kedudukannya sebagai Jenderal, mungkinkah dia membiarkan kami sekeluarga tanpa memikirkan dendamnya?"
"Asal Sie Ciangkun bersedia mengucapkan sumpah berat, aku akan mempertaruhkan seluruh keluargaku bahwa dia akan setia," sahut Tan Kin Lam.
"Kalau dia sudah berhasil membasmi kami sekeluarga, apakah keluarga Tan kalian sanggup menggantikan nyawa kami? Lagipula, keluarga The adalah milik kami, tidak ada hubungannya dengan keluarga Tan kalian!" kata The Kek Song sekali lagi dengan nada dingin.
Saking kesalnya, kaki dan tangan Tan Kin Lam sampai keluar keringat dingin. Dipaksakannya dirinya untuk menahan emosi. Baru saja dia ingin berbicara, tiba-tiba Sie Long sudah mencelat sejauh mungkin sambil berseru.
"Kunsu, rasa solidaritasmu terhadap saudaramu ini dalam sekali. Adikmu ini tidak akan melupakannya. Tapi, maaf, adikmu ini tidak sudi menjadi hamba keluarga The lagi...."
"Saudara Sie, kembalilah!" teriak Tan Kin Lam. "Ada kata-kata...." Tiba-tiba punggungnya terasa nyeri. Sebatang pedang telah menembus dari belakang punggungnya sampai ke dada.
Tikaman ini dilakukan oleh The Kek Song secara membokong. Padahal melihat ilmu silat yang dimiliki oleh Tan Kin Lam, sepuluh orang The Kek Song pun belum sanggup membunuhnya, justru karena melihat ada tanda-tanda bahwa Sie Long akan menyerahkan diri, Tan Kin Lam pun berusaha membujuknya, tidak tahunya kata-kata The Kek Song yang menusuk malah membuat orang itu kabur Tan Kin Lam masih berusaha memanggilnya kembali, hal ini karena dia menyayangkan bakat Sie Long.
Tidak disangka-sangkanya The Kek Song yang berdiri di belakangnya bisa menurunkan tangan beracun.
Pada waktu dulu, ketika The Kek Song berhasil menduduki Taiwan, dia mengutus puteranya The Keng untuk menjaga di Kim Bun dan Sia Bun. The Keng seorang ahli strategi, sayangnya suka berfoya-foya. Dia malah berzinah dengan salah seorang inang pengasuhnya sehingga sempat mendapatkan seorang anak.
Di saat The Seng Kong mengetahui hal ini, dia marah bukan main. Diutusnya beberapa orang andalannya ke Kim Bun untuk membunuh The Keng. Orang-orang utusannya menganggap The Seng Kong tidak bersungguh sungguh, apabila sudah lewat beberapa lama, dia pasti akan menyesali perintahnya.
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang bersedia melaksanakan tugas itu. Kejadian ini membuat The Seng Kong semakin marah. Tidak lama kemudian, dia jatuh sakit dan meninggal Usianya tiga puluh sembilan tahun.
Para panglima dan Jenderal di Taiwan segera mengadakan perundingan, akhirnya mereka memilih adik The Seng Kong, The Long menjadi pemimpin The Keng pun kembali ke Taiwan, dia menuntut haknya sebagai Raja. istri The Seng Kong, yakni Tong Hujin merasa seluruh bencana yang di alami keluarganya justru dimulai sejak The Keng berzinah dengan inang pengasuhnya.
Maka dari itu, ketika The Keng menyatakan ingin mengangkat anaknya sebagai pengganti Raja Taiwan kelak, dialah yang paling tidak setuju. Dia benci sekali terhadap anak haram The Keng. Dengan segala upaya, dia berharap cucunya yang satu lagi, yakni Kek Songlah yang kelak akan menggantikan kedudukan kakeknya.
The Keng tidak sudi menuruti perkataan ibunya, Tan Kin Lam sendiri selamanya sangat setia terhadap The Keng. Apalagi anak perempuannya diambil sebagai istri oleh anak pertama The Keng. Akhirnya Tong Hujin dan Pang Ci Hoan serta yang lainnya
mengadakan pertemuan rahasia.
Mereka merundingkan rencana secara diam-diam. Mereka sadar, agar Kek Song dapat tercapai cita-citanya seperti yang mereka idam-idamkan, maka pertama-tama mereka harus membunuh Tan Kin Lam, jangan sampai orang ini menggagalkan rencana mereka kelak.
Itulah sebabnya, berulang kali mereka berusaha mencelakai Tan Kin Lam, namun selalu gagal. Tanpa disangka-sangka, Tan Kin Lam sendiri yang menyelamatkan The Kek Song malah mati di tangan orang ini pula.
Baru saja Pang Ci Hoan berniat mengejar Sie Long, mendadak dia melihat Siau Po menghunus belatinya yang tajam untuk menyerang The Kek Song.
Pang Ci Hoan segera membalikkan tubuhnya menangkis serangan itu. Terdengarlah suara Traak!! tahu-tahu pedangnya telah terkutung menjadi dua bagian.
Namun karena tenaga dalamnya sudah tinggi sekali, getarannya saja sanggup membuat pisau belati di tangan Siau Po terpental Dalam waktu yang bersamaan, Pang Ci Hoan juga mengirimkan tendangannya, Tubuh Siau Po sampai terpelanting jatuh.
Baru saja dia berniat mengirimkan serangan susulan, Song Ji sudah menghadang di depannya, Hong Ci Tiong dan dua orang anggota Thian Te hwee lainnya juga ikut menyerang.
Dengan memaksakan diri, Siau Po merangkak bangun. Dipungutnya pisau belati yang terpental tadi, lalu dengan seruan meratap dia berteriak.
"Orang ini telah membunuh Cong tocu kita. Mari kita adu jiwa dengannya!" Tanpa menunda waktu, dia menerjang kembali ke arah The Kek Song.
Kek Song menggeser tubuhnya untuk menghindar pedangnya dibalikkan dan mengancam di belakang kepala Siau Po. Ilmu silat The Kek Song memang jauh lebih tinggi dari pada pemuda itu. Tampaknya Siau Po akan mendapat kesulitan untuk menghindarkan diri, tapi tiba-tiba ada sebatang golok yang menyambar dari sebelah kanannya. Kek Song terpaksa menarik kembali serangannya. Dalam waktu yang
bersamaan, dia mendengar suara bentakan.
"Jangan lukai adik seperguruanku!" Rupanya A Ko yang menyerangnya barusan. Dua orang anak murid Thian Te Hwee pun ikut menyerang The Kek Song.
Dengan seorang diri, Pang Ci Hoan melawan Hong Ci Tiong, Song Ji dan dua anak murid Thian Te Hwee lainnya, ilmu silat orang ini memang tinggi sekali. Meskipun dikeroyok empat orang, dia sama sekali tidak merasa kewalahan, bahkan masih sempat menghantamkan sebuah pukulan kepada salah seorang anak murid Thian Te Hwee sehingga muntah darah dan mati seketika.
Tiba-tiba dia mendengar suara jeritan Kek Song. Tanpa berpikir panjang dia meninggalkan lawan-lawannya untuk membantu Kek Song. Begitu sampai di samping majikannya, kembali salah seorang anak murid Thian Te Hwee mati di tangannya.
Dia sadar, begitu Tan Kin Lam mati, orang-orang Thian Te Hwee pasti menganggap Siau Po sebagai pimpinannya. Agar dapat menguasai orang-orang Thian Te Hwee, pertama-tama dia harus membunuh si setan cilik itu dulu. Oleh karena itu, dengan keji dia mengirimkan sebuah pukulan ke atas kepala Siau Po.
"Siangkong, cepat lari!" teriak Song Ji sambil menghambur ke bagian punggung Pang Ci Hoan.
"Kau sendiri harus hati-hati!" sahut Siau Po sambil mengambil langkah seribu.
"Dalam hati pun, kita harus melindungi Ji kong-cu," katanya.
Peng Ci Hoan berpikir.
-- Ka!au aku mengejar setan cilik itu, tentu tidak ada orang yang melindungi Kongcu - Diulurkannya lengan kirinya untuk meraih pinggang Kek Song kemudian tetap mengejar ke arah Siau Po.
Meskipun dia sedang menggendong seseorang, langkah kakinya tetap saja lebih cepat dari langkah Siau Po.
Siau Po menolehkan kepalanya, ia terkejut setengah mati. Tangannya sudah terulur untuk menekan tombol senjata rahasia, tapi, dengan demikian, langkah kakinya pasti tertunda sebentar sedangkan gerakan kaki Pang Ci Hoan begitu cepat perbedaan waktu yang sekian detik saja kemungkinan dapat membuat batok kepalanya pecah.
Berpikir demikian, dia membatalkan niatnya. Akhirnya dia mengerahkan ilmu langkah ajaib-nya untuk menghindarkan diri dari serangan Pang Ci Hoan. Kali ini Pang Ci Hoan terlalu kencang mengejarnya, hampir saja ia tidak sanggup menghentikan langkah kakinya. Ketika melihat Siau Po sudah lari ke arah lain, dia segera menahan langkahnya dan mengejar ke arah si pemuda.
"Awas, arwah guruku datang mengejar! Dia akan memegang kepalamu!" teriak Siau Po.
Bisa berteriak beberapa patah saja, Siau Po sudah lega, namun saat itu Pang Ci Hoan malah sudah bertambah dekat. Di belakangnya, Song Ji dan Hong Ci Tiong tetap mengejar dengan ketat. Mereka berharap dapat menghajar mati Pang Ci Hoan.
Siau Po berlari ke sana ke mari. Langkahnya benar-benar ajaib. Meskipun berusaha mengejar, tapi Pang Ci Hoan tetap tidak berhasil. Apalagi ia menggendong seseorang, langkahnya jadi kurang leluasa. Ditambah pula ada dua orang yang mengejarnya dari belakang.
Setelah berlari-larian sekian Iama, Siau Po mulai letih, dan nafasnya pun tersengal-sengal Dalam keadaan gugup tanpa sadar, dia berlari ke atas bukit.
Pang Ci Hoan merasa senang melihatnya. Dalam hati dia berpikir bahwa bocah itu mencari mati sendiri. Sejak tadi dia sudah melihat jalan menuju ke atas bukit itu hanya jalan setapak yang sempit sedangkan di kanan kirinya terdapat jurang, jalan mundurpun tidak ada.
Karena itu, dia jadi mengejar Siau Po dengan ayal-ayalan, tidak perlu tergesa-gesa pikirnya. Yang celaka justru Siau Po. Di jalanan setapak yang sempit dan menanjak seperti ini, ilmu langkah ajaibnya sama sekali tidak dapat dikerahkan sedangkan jarak antara Pang Ci Hoan dengan dirinya semakin dekat.
Siau Po hanya dapat berteriak-teriak, "Hei, istri tua, istri tengah, istri muda, istri kecil, kalau kalian tidak cepat-cepat memberikan bantuan, sebentar lagi kalian pasti jadi janda!"
Dia terus berlari ke atas bukit, sedangkan para wanita yang ada di atas bukit sebetulnya sudah melihatnya sejak tadi, Sou Cuan sendiri sudah melihat kalau Pang Ci Hoan berlari sambil menggendong seseorang, tapi langkah kakinya cepat sekali.
Dari kenyataan ini saja dia sudah dapat menduga bahwa ilmu silat Pang Ci Hoan tinggi sekali, mungkin hanya kalah satu tingkat bila dibandingkan dengan Hong Kaucu. Karena itu, dia sudah bersiap-siap dengan goloknya di tepi bukit. Begitu Pang Ci Hoan sampai di atas, dia akan menebasnya dengan golok itu.
Pang Ci Hoan yang mendengar Siau Po berkaok-kaok barusan hanya mengira kalau bocah itu sedang mengecohnya. Dia sama sekali tidak menyangka di atas bukit ada banyak orang. Maka dari itu, ketika sampai di atas dan mendapat serangan dari Sou Cuan, dia terkejut setengah mati.
Apalagi gerakan yang dilancarkan wanita itu dahsyat sekali. Dalam keadaan terperanjat tubuhnya terhuyung-huyung, tapi dia sempat menyurut mundur satu langkah, menyusul kaki kirinya mengirimkan sebuah tendangan sambil membentak keras.
Tendangannya telak mengenai pergelangan tangan Sou Cuan sehingga goloknya terlepas dan melayang ke udara.
Sedangkan Siau Po yang cerdik memang sudah menunggu saat ini. Di saat Pang Ci Hoan kelabakan membalas serangan Sou Cuan, dia sudah berdiri dengan mantap. Senjata rahasia diarahkan kepada kedua musuhnya.
Sekali tekan, berpuluh-puluh batang senjata rahasia meluncur ke depan. Beberapa di antaranya menancap di tubuh Pang Ci Hoan dan The Kek Song.
Pang Ci Hoan meraung histeris, dan cekalan tangannya pada pinggang Kek Song otomatis terlepas. Tubuh kedua orang itu menggelinding turun ke bawah bukit. Pada saat itu, Song Ji dan Hong Ci Tiong sudah mengejar sampai pertengahan bukit. Melihat kedua sosok tubuh itu menggelinding ke bawah dengan cepat, mereka segera menjejakkan kakinya serta melayang ke tengah udara untuk menghindar.
The Kek Song dan Pang Ci Hoan terus menggelinding sampai ke bawah bukit Pada saat itu juga, racun yang terdapat dalam senjata rahasia Siau Po sudah bereaksi. Keduanya menjerit-jerit seperti babi yang sedang dipotong. Tubuh mereka menggelinding ke sana ke mari karena tidak sanggup menahan rasa sakit yang mengerikan itu.
Untungnya, sejak Ho I Siu masuk ke dalam perguruan Hoa San pai, segala macam senjata atau benda-benda yang menggunakan racun tidak pernah disentuhnya lagi. Senjata rahasia yang diberikannya kepada Siau Po ini tidak mematikan, boleh dibilang hanya sejenis obat bius.
Kalau tidak, sebelum sampai di bawah bukit saja, jiwa The Kek Song dan Pang Ci Hoan pasti sudah melayang. Apalagi kalau kita membayangkan senjata-senjata rahasia yang dulu digunakan oleh datuk-datuk yang menamakan diri mereka Lima racun. Begitu terkena darah, racun segera menyebar, korbannya pun akan mati seketika. Biarpun demikian, racun di senjata rahasia Siau Po ini dapat menimbulkan rasa sakit dan gatal yang tidak tertahankan. Tubuh mereka seakan dirayapi ribuan kalajengking dan kepiting, walaupun adat Pang Ci Hoan sangat keras, dalam keadaan demikian, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menjerit.
Siau Po, Song Ji, Hong Ci Ting, Sou Cuan, Pui le, Bhok Kiam Peng, Kian Leng kongcu, Cin Ju, A Ko dan yang lainnya susul menyusul sampai. Melihat keadaan Kek Song dan Ci Hoan, hati mereka terasa giris.
Siau Po segera menenangkan pikirannya, kemudian ia menarik nafas panjang beberapa kali, setelah itu dia segera menghambur ke samping Tan Kin Lam. Tampak pedang panjang yang menembus di dada gurunya masih tertancap, tapi sang guru itu masih belum meninggal, Siau Po langsung menangis menggerung-gerung, sambil peluk tubuh Tan Kin Lam.
Tenaga dalam Tan Kin Lam sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, meskipun lukanya sangat parah, tapi nafasnya belum putus.
"Siau Po, biar bagaimana pun pada suatu saat manusia pasti akan menemui ajalnya. Selama hi... dup ini, aku selalu berbakti kepada bangsa dan negara, maka aku tidak merasa malu terhadap langit atau... pun bumi. Kau ju... ga ti... dak perlu ber... sedih lagi," katanya.
"Suhu, suhu!" Siau Po hanya dapat memanggil gurunya berkaIi-kali. Hubungannya dengan Tan Kin Lam belum berlangsung terlalu lama, apalagi mereka jarang bertemu. Malah, setiap kali harus bertemu dengan gurunya, Siau Po selalu merasa takut, dia khawatir Tan Kin Lam akan menguji sampai di mana pelajaran silat yang telah dicapainya.
Oleh karena itu pula, dia tidak terlalu merasakan budi gurunya selama ini. Tapi saat ini, gurunya sedang sekarat, sedang menunggu ajalnya. Berbagai pelajaran berharga yang telah diterimanya, kasih sayang gurunya yang tidak berbeda seperti seorang ayah, sekaligus memenuhi benaknya. Rasanya dia ingin menggantikan selembar nyawa gurunya dengan nyawanya sendiri.
"Suhu, aku sudah bersalah terhadapmu," kata-nya. "llmu yang kau berikan, sedikit pun tidak ada yang kupelajari."
Tan Kin Lam tersenyum.
"Asal kau bisa menjadi orang baik-baik, gurumu ini sudah merasa senang seka... li. Belajar silat atau tidak, sama sekali tidak ada artinya ba... giku!"
"A... ku akan menurut apa yang suhu katakan, aku akan menjadi orang baik-baik, tidak akan menjadi manusia jahat," kata Siau Po.
Sekali lagi Tan Kin Lam tersenyum.
"Anak baik, selama ini kau memang sudah menjadi anak yang baik." Siau Po menggigit bibirnya untuk menahan keharuan di hatinya.
"Suhu, si bocah busuk Kek Song itulah yang membunuhmu. Aku sudah berhasil meringkusnya, aku akan mencincang tubuhnya seperti perkedel untuk membalaskan dendam bagimu!"
Tubuh Tan Kin Lam bergetar, dan cepat-cepat dia berkata. "Tidak, tidak! Aku adalah bawahan Kok Seng Ya. Seumur hidup ini, budi Kok Seng Ya yang ditanamkan kepadaku sudah seberat gunung. Biar bagaimana pun, kita tidak boleh mencelakai keturunan Kok Seng Ya. Dia boleh tanpa perasaan, tapi aku tidak boleh lupa budi, Siau Po, sebentar lagi aku akan mati, kau tidak boleh menghancurkan nama baikku selama ini. Pokoknya, kau harus mendengarkan ucapanku ini." sebetulnya sejak tadi wajah Tan Kin Lam masih memaksakan diri untuk tersenyum, sekarang, wajahnya tiba-tiba menjadi muram.
"Siau Po," katanya lagi, "Biar bagaimana pun, kau harus membiarkan dia kembali ke Taiwan, kalau tidak, mati pun mataku tidak akan terpejam!"
Siau Po merasa tidak berdaya mendengar permintaan gurunya.
"Suhu, kalau kau memang mengampuni orang jahat itu, kau tidak perlu khawatir, aku akan menuruti perkataanmu," sahutnya.
Hati Tan Kin Lam jadi lega seketika mendengar janji muridnya, ia menarik nafas panjang-panjang.
"Siau Po, pekerjaan pihak Thian Te hwee untuk membangkitkan kembali kerajaan Beng, harus kau lakukan dengan sebaik-baiknya. Asal rakyat kita bersatu, pasti ada saatnya bangsa kita dapat bangkit kembali Sayangnya, a... ku tidak mempunyai kesem... patan untuk melihat hari yang dinanti-nanti-kan itu...." suaranya semakin Iama semakin lemah, tanpa sempat menarik nafas lagi, nyawanya sudah melayang.
Sambil memeluk tubuh gurunya erat-erat, Siau Po menjerit.
"Suhu, Suhu!" Meskipun teriakannya sampai memekakkan telinga, tubuh Tan Kin Lam sudah tidak berkutik lagi.
Sou Cuan dan yang lainnya masih berdiri di samping Siau Po. Melihat Tan Kin Lam sudah meninggal dan Siau Po begitu sedih, hati mereka terasa terharu sekali.
Dengan lembut Sou Can menyentuh pundaknya.
"Siau Po, suhumu sudah pergi!" katanya.
Tangis Siau Po semakin menjadi-jadi.
"Suhu sudah mati. Suhu sudah mati!" teriaknya. Seumur hidupnya, Siau Po tidak pernah mempunyai ayah. Sejak semula dia sudah menganggap Tan Kin Lam seperti ayahnya sendiri. Hanya saja, selama ini dia sendiri tidak menyadarinya.
Sampai saat ini, setelah gurunya meninggal dia baru merasa kehilangan. Dalam hati dia baru tersadar bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak pernah mengetahui siapa ayahnya.
Sou Cuan bermaksud mengalihkan kepedihan hati Siau Po. Oleh karena itu, dia berkata. "Manusia jahat yang membunuh gurumu sudah berhasil kita kuasai, apa yang harus kita lakukan terhadapnya?"
Siau Po langsung melompat bangun, dan mulutnya segera memaki. "Maknya! Telur busuk kecil! Guruku boleh saja jadi bawahan keluarga The kalian, tapi aku Wi Siau Po tidak pernah menelan sebutir nasi pun dari keluargamu, juga tidak pernah menggunakan sepeser pun uang dari keluarga The kalian. Neneknya bau! Bahkan hutang kepadaku saja kau masih belum bayar! Suhu meminta aku mengampuni jiwamu, baik! Anggap saja jiwamu sudah kuampuni, tapi hutangku harus kau bayar sekarang juga! Kalau tidak, satu tail uang perak sama harganya dengan sekali tebasan pisau belatiku ini!"
Sembari memaki-maki, dia mengeluarkan pisau belatinya dan berjalan menghampiri The Kek Song. Jarum beracun yang mengenai tubuh The Kek Song jauh lebih sedikit daripada yang mengenai Pang Ci Hoan. Rasa sakit dan gatalnya sudah jauh berkurang.
Ketika mendengar Tan Kin Lam memohon pengampunan untuknya, hatinya sudah senang sekali Tan Kin Lam adalah seorang ketua, perkataannya pasti diturut oleh anak muridnya. Namun yang punya uang sekarang menagih hutang, sedangkan dia tidak membawa uang sepeser pun, karena itu dia segera berkata dengan suara meratap.
"Begitu aku kem... bali ke Taiwan, aku akan membayar sepuluh kali lipat... tidak, malah seratus kali lipat...."
Siau Po menendang kepala The Kek Song satu kali.
"Kau... manusia berhati anjing! Maling busuk yang tidak ingat budi, kata-katamu tidak ubahnya seperti anjing busuk! Biar bagaimana aku harus membacokmu selaksa kali!" Pisau belatinya dijulurkan ke depan dan dielus-elusnya wajah Kek Song dengan pisau belati tersebut.
Sukma The Kek Song serasa melayang entah ke mana. Dia ketakutan setengah mati. Matanya menatap kepada A Ko, dia berharap gadis itu akan membelanya. Tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benaknya.
-- Eh, tidak benar, tidak benar! Bocah ini justru suka sekali kepada A Ko. Kalau gadis itu membelaku sepatah kata saja, kebenciannya kepadaku pasti bertambah-tambah. Bisa-bisa dia langsung membunuhku -
Karena berpikir demikian, dia segera berkata, "Hutang sebanyak seratus laksa tail, pasti akan kubayar, Wi hiocu, eh, kalau Wi Siangkong tidak percaya...."
Siau Po menendangnya satu kali lagi.
"Tentu saja aku tidak percaya! Guruku percaya seratus persen kepadamu, lihat akibatnya, beliau malah mati di tanganmu!" Hatinya sedih sekali, rasanya dia ingin menggerakkan pisaunya untuk menggores wajah The Kek Song.
Kek Song segera berseru.
"Kalau kau tetap tidak percaya, aku akan meminta A Ko yang menjamin!"
"Percuma saja kalau dia yang menjamin. Dulu dia juga sudah pernah menjamin, toh akhirnya hutangmu tidak kau bayar juga!" kata Siau Po.
"Aku masih punya jaminan!" sahut Kek Song.
"Bagus! Kutungkan saja kepalamu sebagai jaminannya! Kalau hutang sebanyak seratus laksa tail sudah terbayar, aku akan mengembalikan kepala anjingmu itu lagi!"
"Aku ingin kau menerima A Ko sebagai jaminannya!" ujar Kek Song.
Saat itu juga, Siau Po merasa seakan bumi berputar dengan cepat. Tangannya mengendur dan pisau belatinya terjatuh serta tertancap di atas tanah, sejauh beberapa dim dari kepala The Kek Song. Pemuda dari Taiwan itu sampai mengaduh terkejut dan cepat-cepat dia menyurutkan kepalanya.
"A Ko kujaminkan kepadamu. Aku akan pulang ke Taiwan untuk mengambil uang, setelah seratus laksa tail itu kubayar, kau boleh mengembalikan A Ko kepadaku," kata Kek Song pula.
"ltu sih bisa dirundingkan nanti," ujar Siau Po.
"Tidak bisa, tidak bisa! Aku toh bukan milikmu, bagaimana kau bisa menggunakan aku sebagai jaminan?" teriak A Ko. Air matanya pun jatuh dengan deras tanpa dapat ditahankan lagi.
Kek Song jadi panik.
"Sekarang ini aku sedang menghadapi bencana besar, A Ko malah tidak memperdulikan! perempuan ini benar-benar tidak berperasaan! Wi hiocu, begini saja, aku jual putus perempuan ini kepadamu, harganya seratus laksa tail. Dengan demikian aku tidak berhutang lagi kepadamu!" katanya.
"Hatinya selalu condong kepadamu, biar kau menjualnya kepadaku, apa gunanya?" ujar Siau Po sengaja.
"Di dalam perutnya sudah ada benihmu, mana mungkin dia masih condong kepadaku?" kata Kek Song.
Siau Po menjadi terkejut dan gembira.
"Apa yang kau katakan?" tanyanya kurang percaya .
"Tempo hari ketika di rumah pelesiran Li Cun Wan, kau kan pernah tidur bersamanya, sekarang dia sudah hamil...."
A Ko menjerit histeris, lalu berlari ke arah lautan. Song Ji yang melihatnya segera menghambur ke depan serta mencekal lengannya, "Kau... kau sudah berjanji... untuk tidak mengatakannya kepada siapa pun, mengapa kau mengatakannya sekarang? ucapanmu benar-benar seperti angin...."
Meskipun dalam keadaan marah, tapi dia tetap merasa bahwa seorang gadis tidak pantas menyebutkan "angin busuk" di depan umum.
Kek Song melihat wajah Siau Po yang sebentar memucat dan sebentar merah, dia takut pemuda itu berubah pikiran. Oleh karena itu, cepat-cepat dia berkata kembali.
"Anak dalam perutnya itu seratus persen milikmu. Hubunganku dengan A Ko putih bersih. Dia pernah mengatakan kalau kita sudah resmi menjadi suami istri, barulah kami.... Pokoknya, kau jangan curiga sedikit pun!"
"Masa kau tidak mau menjadi ayah cuma-cuma jagi anaknya?" tanya Siau Po pula.
"Sejak mengandung anakmu, dia selalu teringat kepadamu. Setiap kali bercakap-cakap denganku, dari pagi sampai malam hanya namamu yang disebut-sebutnya terus. Dengar saja aku sudah muak, untuk apa aku menjadi ayah bagi anaknya?" sahut Kek Song.
Tidak henti-hentinya A Ko menghentakkan kakinya di atas tanah wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia marah sekali terhadap Kek Song.
"Kau... kau malah mengatakan... semuanya,.,." Dia sama sekali tidak sadar kalau ucapannya barusan sama saja artinya membenarkan apa yang dikatakan Kek Song.
Hati Siau Po terasa bahagia sekali.
"Baik, kalau begitu kau boleh menggelinding jauh-jauh!"
Kek Song juga senang sekali.
"Terima kasih, terima kasih banyak-banyak, semoga kalian berdua bisa akur sampai hari tua. Kado untuk kebahagiaan kalian ini akan... menyusul sesampainya aku di Taiwan!" Sembari berbicara, perlahan-lahan dia merangkak bangun.
Terdengar suara Puih! Siau Po meludah di atas tanah kemudian memaki.
"Seumur hidup ini, pokoknya aku tidak sudi melihat engkau, si maling busuk lagi!"
Dalam hati dia berpikir -- Aku sudah berjanji kepada suhu untuk mengampuni jiwanya. Biarlah hari ini aku melepaskannya. Kelak aku dapat mengutus orang untuk membunuhnya, asal orang suruhan itu bukan orang dari pihak Thian Te Hwee, tentu tidak ada yang menghubungkannya dengan suhu! -
Ketiga pengawal keluarga The sejak tadi berdiri di samping. Setelah melihat Siau Po mengampuni tuan mudanya, mereka baru menghampiri untuk membimbing The Kek Song. Mereka juga memapah bangun Pang Ci Hoan yang masih tergeletak di atas tanah.
Mata Kek Song memandang ke arah lautan, hatinya terasa lapang. Kapal perang yang ditumpangi Sie Long sudah jauh di tengah lautan. Di pesisir pantai masih terdapat dua perahu, yang satu miliknya sendiri, tapi sudah tidak bisa digunakan karena terkena bom yang diledakkan tentara kerajaan sedangkan yang satunya lagi milik Siau Po dan yang lainnya.
Mereka juga memerlukan perahu itu, sudah pasti mereka tidak sudi mengalah baginya.
"Pang suhu, kita tidak mempunyai perahu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kek Song dengan suara rendah.
"Kita naik sampan dulu, sambil melihat perkembangannya," sahut Pang Ci Hoan.
Perlahan-lahan rombongan itu berjalan menuju tepi pantai, Tiba-tiba di belakang mereka ada yang berseru.
"Tunggu dulu! Wi hiocu boleh mengampuni kalian, tapi aku tidak!"
Kek Song terkejut setengah mati, tampak seseorang menerjang ke arahnya dengan tangan menggenggam golok. Ternyata orang itu bukan lain dari jago Thian Te Hwee yakni Hong Ci Tiong.
"Kau... kau toh anak murid Thian Te Hwee, selama ini pihak Thian Te Hwee merupakan bawahan Cin Peng onghu kami, mengapa kau... kau..." kata Kek Song dengan suara gemetar.
"Ada apa dengan aku? Pokoknya kalian harus berhenti!" bentak Hong Ci Thiong,
The Kek Song ketakutan setengah mati. "lya," sahutnya.
Hong Ci Tiong kembali ke samping Siau Po.
"Wi hiocu, orang ini telah membunuh Cong tocu. Dia musuh besar pihak Thian Te Hwee kami yang tidak boleh diampuni, Cong tocu kita pernah mendapat budi besar dari Kok Seng Ya, maka beliau tidak bersedia mencelakai keturunannya, sedangkan Wi hiocu sudah mendapat pesan dari Cong tocu agar mengampuninya.
Tapi aku, selama hidup tidak pernah bertemu dengan Kok Seng Ya. Lagipula pesan terakhir Cong tocu juga bukan disampaikan kepada hamba. Hari ini hamba ingin membacok manusia jahat ini, guna membalaskan dendam bagi Cong tocu," katanya.
Siau Po mengangkat tangannya ke belakang daun telinganya, berpura-pura tidak mendengar jelas apa yang dikatakan Hong Ci Tiong.
"Apa yang kau katakan barusan? Eh, aneh. Tiba-tiba saja telingaku ini jadi agak tuli, Aku tidak mendengar apa-apa. Hong toako, kalau kau ingin melakukan apa saja, silahkan. Tidak perlu menunggu perintah dariku. Entah mengapa mendadak telingaku ini jadi penyakitan Aih! Pasti karena ledakan bom si keparat Sie Long!"
Ucapannya ini sudah jelas sekali. Apabila Hong Ci Tiong ingin membunuh The Kek Song, dia boleh turun tangan, Siau Po tidak akan menghalanginya.
Melihat Hong Ci Tiong masih ragu-ragu, Siau Po segera melanjutkan kata-katanya. "Sebelum menutup mata, suhu hanya menyuruhku agar mengampuni selembar jiwa Yang Mulia The Kek Song, tapi tidak meminta agar aku melindunginya seumur hidup. Yang penting bukan aku sendiri yang turun tangan terhadapnya. Di dalam dunia ini terdapat beribu-ribu laksa manusia. Selain aku, siapa pun boleh membunuhnya."
Hong Ci Tiong menarik lengan baju Siau Po.
"Wi hiocu, mohon bicara empat mata denganmu..." katanya.
Kedua orang itu berjalan sejauh belasan tindak lalu berhenti. "Wi hiocu, selama ini Raja sangat menyukaimu bukan?" kata Hong Ci Tiong.
Siau Po merasa heran mendengar pertanyaanku. "Betul, memangnya kenapa?"
"Raja ingin agar kau membunuh Cong tocu, tapi kau tidak bersedia. Hal ini membuktikan kebaktian dan solidaritasmu tinggi sekarang kau malah melarikan diri tanpa memikirkan akibatnya. Di mana pun, orang-orang selalu mengagumi seorang pendekar atau laki-laki sejati!" kata Hong Ci Tiong pula.
Siau Po menggelengkan kepalanya, "Meskipun begitu, akhirnya Suhu toh mati juga," sahutnya dengan datar.
"Cong tocu dibunuh oleh si bocah busuk The Kek Song," kata Hong Ci Tiong.
"Namun, dengan demikian berarti tugas yang diberikan oleh Raja telah terpenuhi...."
Siau Po kebingungan mendengar ucapannya, "Kau... mengapa kau berkata demikian?"
"Dalam hati Raja, ada tiga orang yang selalu dikhawatirkannya. Apabila ketiga orang ini masih hidup, kedudukannya tidak dapat dijamin kelanggengannya. Yang pertama ialah Gouw Sam Kui, hal itu tidak perlu dijelaskan lagi, Yang kedua adalah Cong tocu kita, Anak murid Thian Te Hwee tersebar di mana-mana, tujuan mereka ingin membangkitkan kembali kerajaan Beng. Hal ini membuat Raja sakit kepala
memikirkannya, sekarang Cong tocu sudah mati, berarti penghalang besar atau duri di mata Raja sudah berkurang satu...."
Mendengar sampai di sini, tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benak Siau Po.
"Kau... rupanya kaulah orangnya!"
Apa pun yang dilakukan Siau Po dalam partai Thian Te Hwee, selalu diketahui oleh si Raja cilik. Bahkan Raja juga hapal kata-kata sandi yang biasa diucapkan oleh orang-orang Thian Te Hwe.
Namun, perbuatan Siau Po mencuri Si Cap Ji Cin Keng serta menjabat sebagai Pek Liong Su dalam partai Sin Liong Kau, si Raja cilik tidak tahu sama sekali. Setelah dipikir berulang kali, pasti ada mata-mata kerajaan yang menyusup dalam perkumpulan Thian Te Hwee.
Lagipula orang ini pasti dekat sekali dengannya. Tapi, setiap anggota dari Ceng Bok Tong sangat jujur serta setia kawan, tidak mungkin salah satu dari mereka menjadi mata-mata apalagi menjual teman sendiri, itulah sebabnya selama ini dirinya bagai tertutup kabut tebal, tidak ada sedikit jejak pun yang dapat ditelusuri olehnya. Dia hanya merasa aneh namun tidak berhasil mencari penyebabnya.
Saat ini, setelah mendengar ucapan Hong Ci Tiong, dia baru sadar. Dalam hati dia berpikir. -- Aku benar-benar bodoh, mengapa aku tidak pernah teringat orang yang satu ini? Tempo hari si Raja cilik menyuruh aku agar meledakkan Pek Ciak Hu. Di antara semua anak murid Thian Te Hwee, hanya orang ini yang tidak ada di tempat. Hal ini sudah jelas sekali, orang yang ada di dalam Pek Ciak Hu tidak mungkin merupakan mata-mata, sebab bila gedung itu diledakkan, bukankah jiwa mereka akan melayang juga? justru karena orang ini sudah mendapat kisikan terlebih dahulu, maka dia mencari jalan agar tidak perlu berada di gedung itu. Aih, aku benar-benar goblok, kalau sekarang dia tidak mengatakan apa-apa, kemungkinan aku masih menjadi katak dalam tempurung! -
Hong Ci Tiong orangnya pendiam, sikapnya kalem, tampangnya jujur. Meskipun ilmunya tinggi, tapi penampilannya menunjukkan otaknya kurang jalan. Kalau sebelumnya Siau Po pernah berpikir siapa kira-kira mata-mata kerajaan yang menyusup dalam kelompok Thian Te Hwee, mungkin dia bisa menduga Cian Lao Pan yang pintar berbicara, atau Ci Thian Coan yang selalu mempunyai akal licik, atau Kho Gan Ciau yang pandai mengurus pekerjaan apapun, Hian Ceng Tojin yang sifatnya pemarah serta doyan minum. Pernah juga dia mencurigai Lie Liat Sek yang umurnya sudah tua dan badannya tampak lemah. Goan ceng Po yang bicaranya ketus, tapi dia tidak pernah mencurigai orang seperti Hong Ci Tong.
Tiba-tiba dia berpikir lagi, - Tempo hari Song Ji juga tidak ada dalam gedung Pak Ciak Hu, mungkinkah dia juga seorang mata-mata? Mungkinkah dia mau mengkhianatiku? - Berpikir sampai di sini, hatinya menjadi pedih, namun dalam sekejap saja ia sudah tersentak sadar. --
Song Ji pasti dibawa oleh Hong Ci Tiong. Dia tahu aku sayang sekali terhadap Song Ji. Bila kelak ada perubahan apa-apa, aku bisa membencinya sampai ke tulang sumsum. Dia hanya seorang mata-mata yang menyampaikan informasi kepada Kaisar Kong Hi.
Begitu perkumpulan Thian Te Hwee dimusnahkan si Raja cilik tidak memerlukannya lagi. Kalau aku menjelek-jelekkan namanya di depan Raja, tentu dia bisa kehilangan batok kepaIanya, itulah sebabnya dia tidak berani terang-terangan menyakitiku!
Semua ini memang panjang sekali penjeiasannya, namun sebetulnya hanya beberapa detik melintas dalam benak Siau Po. Semuanya menjadi jelas sekarang, maka dia berkata.
"Hong toako, terima kasih karena kau sudah membawa Song Ji keluar dari gedung Pak Ciak Hu! Kalau tidak, dia tentu sudah mati kena ledakan bom-"
Hong Ci Tiong mengeluarkan seruan terkejut, wajahnya langsung berubah hebat, kakinya menyurut mundur dua langkah, dan tangannya segera meraba gagang goloknya.
"Kau... kau...!"
Siau Po tertawa.
"Kita sama-sama bukan manusia yang sempurna. Si Raja cilik sudah mengatakan semuanya kepadaku."
Hong Ci Tiong tahu Raja sayang sekali terhadap Siau Po, ucapan si pemuda kemungkinan besar memang benar.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak patuh pada Firman Raja?" tanyanya.
Dengan berkata demikian, seluruh dugaan Siau Po malah jadi semakin jelas. Kembali dia tersenyum.
"Hong toako, kau sudah tahu jawabannya, mengapa harus bertanya lagi? ini yang dinamakan "manusia tidak ada yang sempurna, jiwa besar dan kesetiaan tidak dapat disatukan. Bagaimana perlakuan si Raja cilik, tentu aku tidak perlu menjelaskannya lagi. Aku memang anak emas baginya, tapi biar bagaimana, perlakuan Suhu terhadapku juga tidak buruk, sekarang Suhu sudah menutup mata, apa lagi yang harus kupertimbangkan? Hanya saja, aku belum tahu apakah si Raja cilik bersedia mengampuni aku atau tidak,"
"Justru sekarang ini kau mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahanmu dengan membuat jasa. Tadi aku sudah mengatakan bahwa Kaisar Kong Hi ingin membasmi tiga orang yang menjadi duri dalam matanya. Yang pertama ialah Gouw Sam Kui, yang kedua Tan Kin Lam. Yang ketiga justru Toa kongcu yang pindah ke Taiwan, yakni The Keng. Kita ringkus anak The Keng lalu kita giring ke Peking, dengan
demikian, kemungkinan kita dapat memaksa The Keng untuk menyerah. Asal Raja merasa senang, Wi Toutong, walaupun dosamu berat sekali, pasti beliau akan mengampuninya."
Bicaranya tidak ada ditutupi lagi, panggilannya kepada Siau Po pun sudah berubah. Ia tidak menyebut "Wi hiocu" lagi, tapi menyapanya dengan panggilan "Wi Toutong", bahkan dia menyebut Tan Kin Lam dengan namanya saja.
Dalam hati, Siau Po sebetulnya merasa marah dan sebal. -- Dasar maling tanpa kesetiaan, sekarang kau sudah berani menyebut langsung
nama guruku, --Tapi membayangkan dapat berbaikan kembali dengan Kaisar Kong Hi, rasanya menyenangkan juga. Bisa jadi pejabat lagi atau tidak, dia sama sekali tidak perduli, Asal bisa bercanda dan bermain-main dengan si Raja cilik, sudah melebihi apa pun di dunia ini.
"Wi Toutong, kita kembali ke Peking tapi rahasia kita jangan sampai terbongkar. Setelah orang-orang dari Thian Te Hwee tahu Cong tocunya sudah mati, sebagian besar pasti akan mengangkatmu sebagai Cong tocu. Rasa setia kawanmu tinggi sekali. Kau juga sangat berbakti terhadap perkumpulan Thian Te Hwee. Kau tidak sudi menjadi Toutong, dan juga tidak mau menjabat sebagai Pak Ciak, semua ini demi menolong jiwa anak murid Thian Te Hwee. Hal ini pasti sudah tersebar luas ke mana-mana. Akhir-akhir ini, gosip yang paling sering dibicarakan dalam dunia kangouw adalah masalah ini. Siapa yang tidak mengagumi jiwa kependekaran Wi Toutong?"
Siau Po merasa bangga sekali mendengarnya.
"Benarkah mereka masih membicarakan hal ni? Kau tidak berbohong?" tanyanya penasaran.
"Tidak, tidak!" kata Hong Ci Tiong. "Hamba sama sekali tidak berani membohongi Wi Toutong!"
"Dia terus menyebut dirinya sebagai hamba, entah kedudukan apa yang dijabatnya dalam kerajaan? -- tanya Siau Po dalam hati.
Meskipun merasa penasaran, tapi dia tidak menanyakannya. Kalau dia bertanya, Hong Ci Tiong pasti curiga. Tentu saja kebohongannya tentang Raja sudah mengatakan semuanya kepadaku", bisa jadi ketahuan.
Kemudian dia berpikir lagi, - Tentunya tidak apa-apa kalau aku menanyakan kenaikan pangkat apa yang diperolehnya sekarang, -- Oleh karena itu dia segera bertanya, "Hong toako, kau sudah membangun jasa besar, kenaikan pangkat apalagi yang kau peroleh kali ini?"
"Raja sangat berbudi kepadaku. Beliau menganugerahkan kedudukan Sit Tong Tou si kepada-ku," sahut Hong Ci Tiong.
-- Rupanya hanya pangkat yang rendah, mak-nya! Kalau dibandingkan dengan Locu, bedanya bisa dua puluh tujuh tingkat! -- pikirnya dalam hati.
Bagi bangsa Ceng, kedudukan Pek Ciak sudah terhitung tinggi sekali, boleh dibilang setaraf dengan menteri bagi bangsa Han. Tapi ketika dia menatap kepada Hong Ci Tiong, wajah orang itu masih menampakkan kejujuran, dan sinar matanya menunjukkan perasaan bangga. Oleh karena itu dia berkata. "Selamat! Pangkat ini dianugerahkan langsung oleh Sri Baginda, tentu maknanya jadi lain!"
Hong Ci Tiong membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Sejak sekarang hamba masih mengharap banyak dukungan dari Toutong Tayjin."
Siau Po tertawa.
"Kita kan orang sendiri, mengapa berbicara demikian? Untuk bekerja bagi Sri Baginda, tentunya kebisaanmu melebihi aku," kata Siau Po.
"Mana mungkin hamba menyamai Tayjin walaupun seujung kukunya saja? Harap Tayjin ketahui, Sri Baginda berpesan kepada hamba, apabila bertemu dengan Tayjin, biar bagaimana hamba harus berusaha mengajak Tayjin kembali ke Peking, jangan sekali-kali melanggar Firman Sri Baginda. Kalau mendengar nada suara Sri Baginda, tampaknya beliau sangat memperhatikan Tayjin, kemungkinan beliau sudah merasa rindu sekali.
Kalau kali ini Tayjin berhasil mendirikan jasa besar lagi dengan membawa anak The Keng ke kota raja, Sri Baginda pasti senang sekali. Tentu Tayjin akan dianugerahi pangkat yang lebih tinggi lagi," sahut Hong Ci Tiong.
"Pangkatmu sendiri juga akan dinaikkan lagi, bukan?" sindir Siau Po.
"Bagi hamba, yang penting tenaga hamba bisa terpakai. Kalau Sri Baginda bertemu dengan Tayjin, hatinya pasti senang sekali, hamba sekalian pun akan menjadi senang. Naik pangkat atau tidak, bukan apa-apa bagi kami."
Dalam hati Siau Po berpikir. - Selama ini aku mengira kau orang yang jujur, tidak tahunya hitunganmu hebat sekali! --
"Setelah berhasil menjadi Cong tocu Thian Te Hwee, Tayjin bisa mengumpulkan kedelapan belas orang Hiocu dari berbagai daerah. Waktu itu Tayjin bisa membasmi mereka sekaligus tanpa bersusah payah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa meloloskan diri. Jasa besar seperti ini bahkan melebihi daripada meledakkan gedung Pak Ciak Hu tempo hari. Coba Tayjin bayangkan sendiri, apabila Tayjin membunuh Tan Kin Lam tempo hari, dengan adanya sekian banyak Hiocu di pihak Thian Te hwee, mereka bisa memilih siapa saja sebagai pengganti Cong tocunya, mati satu ganti satu, tapi kalau Tayjin yang menduduki jabatan itu, panggil saja mereka sekalian, alasannya
ingin merundingkan pembalasan dendam atas kematian Tan Kin Lam, tentu mereka akan hadir semua, kita dapat membasmi rumput sampai ke akar-akarnya. Untuk selamanya Sri Baginda tidak perlu merasa khawatir lagi."
Mendengar kata-katanya, bulu roma Siau Po sampai merinding. - Benar-benar hebat, siasat seperti ini, belum tentu orang seperti engkau mampu memikirkannya. Kemungkinan si Raja cilik yang mengungkapkan rencananya di hadapanmu. Kalau aku kembali ke Peking, kemungkinan besar si Raja cilik akan mengampuni kesalahanku terhadapnya, tapi pasti aku harus membasmi seluruh murid Thian Te Hwee, kalau aku tidak bersedia, tentu dia mempunyai cara sendiri untuk menghadapi aku. Aku tidak bisa melepaskan diri lagi dari genggamannya, -- pikir Siau Po dalam hati.
Semakin lama dia semakin bergidik, --Kalau si Raja cilik ingin aku menyerah atau ingin memukul pantatku, pasti tidak apa-apa. Tapi kalau menyuruh aku menjadi Cong tocu lalu membasmi seluruh saudara-saudara dari Thian Te Hwee, itu sama sekali tidak boleh dilakukan. Kalau aku sampai melakukan hal itu, delapan belas keturunanku bisa disumpahi oleh orang-orang gagah di dunia ini, setelah mati pun aku tidak mempunyai muka jgi untuk bertemu dengan suhu, sedangkan gadis besar atau pun gadis cilik yang ada di sini pasti tidak memandang sebelah mata lagi terhadapku. Meskipun orang lain tidak perduli, biar aku Wi Siau Po bukan manusia baik-baik, tapi aku masih mempunyai Liang Sim (Hati nurani) --
Matanya melirik sekilas kepada Hong Ci Tiong dan mulutnya mengeluarkan suara uh! Uh! seakan mengiakan saja apa yang diucapkan orang itu. -- Tapi kalau aku tidak menyetujui usulnya, dia pasti memalingkan wajahnya. Bila terjadi perkelahian jumlah kami demikian banyak, rasanya belum tentu kalah. Sayang sekali ilmu silatnya sangat tinggi, kalau sampai salah satu gadis besar atau gadis cilikku
ada yang mati di tangannya, wah... bisa runyam! Lebih baik aku gunakan lagi senjata rahasiaku ini... -- pikirnya.
Sesaat kemudian dia berkata. "Kalau bertemu kembali dengan Sri Baginda, aku merasa senang sekali, Namun... untuk membunuh seluruh saudara-saudara dari Thian Te Hwee, rasanya terlalu tidak berperasaan, tidak ingat budi, serta bukan perbuatan seorang pendekar. Rasanya kita harus merundingkan kembali urusan ini baik-baik."
"Apa yang dikatakan Tayjin memang benar. Tapi ada sebuah pepatah yang bagus sekali, "Laki-laki yang tidak beracun hatinya bukanlah laki-laki sejati, laki-laki yang tidak berjiwa besar bukanlah seorang Kuncu."
"Benar, benar! pepatah itu memang bagus sekali!" kata Siau Po. "Aih! Aduh... kenapa si bocah The Kek Song malah kabur?"
Hong Ci Tiong terkejut setengah mati. Dia menolehkan kepalanya untuk melihat Siau Po sudah mengarahkan senjata rahasianya dengan jitu, dan sudah siap menekan tombolnya, tahu-tahu tampak Song Ji menghambur datang sambil bertanya.
"Siangkong, ada apa?"
Rupanya sejak tadi Song Ji melihat Siau Po dan Hong Ci Tiong berbicara kasak-kusuk sekian lama. Hati gadis itu terus merasa khawatir, akhirnya perlahan-lahan dia mendekati kedua orang itu. Ketika mendengar Siau Po mengeluarkan suara mengaduh, dia segera menghambur datang.
Tangan Siau Po sudah siap menekan tombol. Kalau tombol itu benar-benar ditekan, dada Hong Ci Tiong pasti terkena senjata rahasianya, tapi tak urung Song Ji juga ikut jadi sasaran. Karena sayangnya kepada Song Ji, dia batal menekan alat senjata rahasia tersebut.
Hong Ci Tiong yang menolehkan kepalanya, dapat melihat bahwa Kek Song dan Pang Ci Hoan masih berdiri di tepi pantai. Maka dia segera menduga ada sesuatu yang tidak beres. Tepat pada saat itu, Song Ji lewat di depannya, dia segera mengulurkan tangannya untuk menarik gadis itu sebagai pelindung di depannya.
Sebetulnya, kalau kita lihat ilmu silat yang dimiliki Song Ji, tidak mungkin Hong Ci Tiong bisa meringkusnya dengan sekali gerak saja. Tapi karena Song Ji sedang mengkhawatirkan keadaan Siau Po, dia juga tidak pernah mencurigai Hong Ci Tiong sehingga dengan mudah laki-laki itu berhasil menyanderanya.
Bagian atas tubuh gadis itu terasa ngilu dan lemas, dia tidak bisa bergerak lagi karena jalan darahnya telah ditotok, sementara itu Hong Ci Tiong segera berkata dengan suara yang dalam.
"Wi Tayjin, harap kau angkat tanganmu ke atas!"
Kesempatan bagus sudah hilang, malah Song Ji kena ditangkap. Namun Siau Po masih bisa tertawa terkekeh-kekeh.
"Hong toako, apa sih yang kau candakan?"
"Senjata rahasia Wi Tayjin yang tidak bersuara dan tidak mempunyai bayangan itu sungguh lihai, hamba benar-benar merasa takut Harap Tayjin mengangkat tangan ke atas, kalau tidak, maafkan apabila hamba sampai melakukan kesalahan!" sembari berbicara dia terus mendorong-dorongkan tubuh Song Ji ke depan seperti perisai. Dengan demikian Siau Po pasti tidak berani menggunakan senjata rahasianya.
Sou Cuan, Pui Ie dan A Ko sudah dapat melihat perubahan yang terjadi, maka mereka segera menghambur mendekati. Dalam hati Hong Ci Tiong berpikir. -- Bocah ini sayang sekali kepada budak cilik ini. Tapi perempuan-perempuan itu yang perlu dikhawatirkan. Mereka tentu tidak perduli dengan jiwa Song Ji, hanya memperdulikan Siau Po. --
Dari selipan ikat pinggangnya, Hong Ci Tiong segera menghunus sebatang golok lalu ditudingkan ke depan tenggorokan Siau Po sambil berseru, "Jangan ada seorang pun yang coba-coba mendekat ke mari!"
Sou Cuan dan yang lainnya segera menghentikan langkah kakinya ketika melihat Siau Po terancam bahaya. Hati mereka panik sekaligus heran. Bukankah Hong Ci Tiong ini kawan baik Siau Po? Barusan mereka masih sama-sama bahu membahu melawan musuh, mengapa dalam sekejap mata mereka jadi berselisih?
Mereka menduga urusannya tentu karena Siau Po ingin melepaskan The Kek Song tapi Hong Ci Tiong justru ingin membunuh pemuda itu guna membalaskan dendam atas kematian Tan Kin Lam.
Karena tenggorokannya diancam dengan sebatang golok, Siau Po terpaksa mendongakkan kepalanya sedikit, namun Hong Ci Tiong justru mengikuti gerakannya.
"Wi Tayjin, ujung golok ini tidak mempunyai mata, harap kau jangan sembarangan bergerak! Bukan salahku apabila tenggorokanmu benar-benar terluka. Sebaiknya kau angkat tanganmu tinggi-tinggi!"
Siau Po merasa tidak berdaya. Terpaksa dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tapi dia masih tertawa.
"Hong toako, kalau kau masih sayang dengan kedudukanmu dan ingin memperoleh pangkat yang lebih tinggi lagi, harap kau perlakukan aku baik-baik!"
Bagian 85
"Naik pangkat atau menjadi kaya tentu penting, tapi biar bagaimana, jiwalah yang terutama," sahut Hong Ci Tiong. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat tahu-tahu dia sudah berada di belakang punggung Siau Po.
DijuIurkannya tangannya untuk mengambil pisau belati yang terselip di dalam kaos kaki lalu ditudingkan ke punggung pemuda itu. "Wi Tayjin, pisau belatimu ini benar-benar tajam, hamba pernah menyaksikan Tayjin menggunakannya beberapa kali."
Siau Po hanya dapat tertawa getir, namun punggungnya terasa agak nyeri sehingga dia tahu pisau belatinya telah mengoyak jubah luarnya, Meskipun di dalamnya dia mengenakan baju mustika, tapi tetap saja tidak mempan terhadap pisau saktinya itu.
"Kalian semua balikkan badan lalu lempar senjata masing-masing!" bentak Hong Ci Tiong.
Melihat keadaan di depan mata, Su Cuan beserta yang lainnya terpaksa menuruti perkataan orang itu. Mereka membalikkan tubuh lalu melemparkan senjata masing-masing.
Hong Ci Tiong melihat di sudut satunya ada enam orang anak buah Thian Te hwee, dia segera memanggil mereka.
"Kalian ke mari! Ada yang ingin kukatakan!" katanya.
Keenam orang itu masih belum mengerti apa yang telah terjadi, karena itu mereka pun menghampirinya.
Lengan kanan Hong Ci Tiong terangkat ke atas, lalu dengan cepat dia menampar ke kiri dan kanan. Dalam waktu yang bersamaan golok ditangan kirinya juga mengeluarkan suara mendesing, dan dalam beberapa detik saja enam anak murid Thian Te hwee itu telah terkapar di atas tanah dalam keadaan mati.
Gerakan tangan orang ini benar-benar cepat, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa ilmu silatnya telah mencapai taraf yang sangat tinggi. Kekejaman hatinya juga tidak perlu diragukan lagi.
Tanpa sadar Su Cuan membalikkan tubuhnya, tampak mayat ke enam murid Thian Te hwee itu sudah bergelimpangan, sedangkan para wanita yang lain juga penasaran, namun mereka segera menjerit histeris begitu melihat keadaan di depan mata.
Rupanya Hong Ci Tiong sudah merasa bahwa kedoknya sendiri telah terbuka, maka apabila sampai terjadi perkelahian dia cuma seorang diri, kerugian sudah jelas ada di pihaknya Jadi sebelum pihak murid Thian Te hwee menyadari apa yang telah terjadi, lebih baik dia menghabisi mereka terlebih dahuIu.
Pertama tentu saja untuk menambah kewibawaan dirinya sehingga Siau Po serta yang lainnya tidak berani mengadakan perlawanan. Kedua, demi meringankan jumlah musuh yang sudah ada.
Dengan demikian, meskipun jumlah pihak lawan masih cukup banyak, tapi laki-lakinya hanya tinggal satu, dia tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya lagi.
Hong Ci Tiong menarik kembali goloknya lalu dikalungkan ke leher Siau Po.
"Wi Tayjin, mari kita turun ke perahu!" katanya.
Pikirnya, bila dengan menggiring Siau Po dan The Kek Song ke hadapan Sri Baginda, berarti dia sudah mendirikan jasa besar.
Ketujuh perempuan itu ditinggalkannya di atas pulau. Dia tidak ingin mendapatkan kesulitan lagi di atas perahu nanti. Bukannya Hong Ci Tiong bermurah hati, tapi dia juga memikirkan akibatnya apabila dia membunuh ketujuh perempuan itu.
Siau Po tentu akan membencinya sampai ke tulang sum-sum. Sedangkan bocah busuk itu pernah mendapat kasih sayang yang besar dari Sri Baginda. Siapa pun tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi begitu mereka dipertemukan. Bisa saja Sri Baginda memaafkan segala kesalahannya. Apabila benar demikian, tentu tamatlah riwayat Hong Ci Tiong saat itu.
Para wanita yang melihat Siau Po digiring pergi, benar-benar merasa tercekam hatinya. Mereka sempat bingung apa yang harus dilakukan, justru pada saat itulah Kian Leng kongcu berteriak kalap.
"Kau kira siapa dirimu? Berani-beraninya kau kurang ajar! Cepat lemparkan golokmu itu!"
Hong Ci Tiong hanya mendengus satu kali. Dia pernah menemani Siau Po mengiringi Kian Leng kongcu untuk menjadi mempelai ke Hun Lam. Dia tahu benar adat si Tuan Puteri, karenanya dia juga tidak berani berdebat dengan perempuan itu.
Melihat dirinya tidak digubris oleh Hong Ci Ti-ong, Kian Leng kongcu semakin berang. Kenyataannya, di dunia ini kecuali Thay Hou, Sri Baginda, Siau Po dan Su Cuan berempat, tidak ada seorang pun yang ditakutinya. Dia membungkukkan tubuhnya untuk memungut sebatang goIok, lalu tanpa berpikir panjang lagi dia menerjang ke arah Hong Ci Tiong dan menebaskan golok dari atas ke bawah.
Hong Ci Tiong memiringkan tubuhnya untuk menghindar. Kian Leng kongcu menyerang tiga kali berturut-turut, tapi selalu dapat dihindari dengan mudah oleh Hong Ci Tiong. Coba kalau kedudukan si Tuan Puteri diganti dengan perempuan lainnya, Hong Ci Tiong pasti sudah mendupaknya agar jatuh ke dalam lautan.
Namun yang menyerangnya justru adik kesayangan Sri Baginda, ibarat wanita bertubuh emas, siapa yang berani menyalahinya? Apalagi dia berniat mendirikan jasa besar agar mendapat kedudukan yang mulia, maka dia hanya mengelak ke sana-kemari.
Kian Leng kongcu semakin marah.
"Budak telur busuk!" teriaknya, "Jangan bergerak! Aku akan memenggal kepalamu, mengapa kau terus berputar tidak karuan? Lain kali aku akan mengadu kepada Hongte koko, biar kau ditebas seribu kali!"
Hong Ci Tiong terkejut setengah mati Dia tahu perempuan ini sanggup melakukan apa yang dikatakannya. Dia toh adik kandung Sri Baginda, sedangkan dirinya sendiri hanya sebutir pasir di gurun luas, bagaimana mungkin dirinya sanggup menandingi Tuan Puteri tersebut? Semakin dipikirkan hatinya semakin ciut. Meskipun demikian, apabila dia harus membiarkan batok kepalanya ditebas oleh perempuan tengil itu, rasanya kok berat juga.
Sembari memaki-maki, golok di tangan Kian Leng kongcu tetap mengayun ke sana ke mari, Hong Ci Tiong hanya menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindarkan diri. Tampaknya jarak antara golok Tuan Puteri dengan tubuh Hong Ci Tiong sangat dekat, namun setiap kali serangannya selalu gagal.
Kian Leng kongcu menjadi kalap. Dia menerjang dengan keras, tapi karena golok itu cukup berat, maka tubuhnya jadi terbawa arus getaran sehingga sulit mengendalikan diri.
Sekali lagi Hong Ci Tiong terkesiap, karena begitu dia memiringkan tubuhnya, tampaknya golok di tangan Kian Leng kongcu akan meluncur terus ke arah pundak Siau Po.
"Hati-hati!" teriak Hong Ci Tiong sambil memutar tubuhnya sedikit dan menomplok kepada Siau Po sehingga mereka jatuh bersamaan di atas tanah, kemudian secepat kilat dia menutulkan kakinya untuk mencelat sejauh mungkin.
Song Ji menggunakan kesempatan itu untuk menghambur ke depan. Didekapnya tubuh Siau Po lalu diseretnya sejauh mungkin, Hong Ci Tiong terkejut melihat keadaan itu, lalu sembari mengayunkan goloknya dia mengejar.
Meskipun ilmu silat Song ji cukup tinggi, tapi tenaganya masih belum memadai. Apalagi dia lebih pendek satu kepala dari Siau Po, maka dengan memondong pemuda itu, dia hanya sanggup mencelat sejauh dua depa, sedangkan Hong Ci Tiong sudah mengejar tiba. Punggung Siau Po langsung tertotok sehingga kaki dan tangannya terasa lemas, dia hanya dapat berbisik "Lepaskan aku, biar aku tembakkan senjata rahasia kepadanya."
Sayangnya gerakan Hong Ci Tiong terlalu cepat. Apabila Song Ji melepaskan Siau Po, pasti pemuda itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meluncurkan senjata rahasianya. Dalam keadaan panik, dia melemparkan tubuh pemuda itu sekuat tenaga.
Hong Ci Tiong kegirangan, dan cepat-cepat menjulurkan tangannya untuk menyambut tubuh Siau Po. Tiba-tiba dari bagian punggungnya terdengar suara letusan, lalu terasa ada sesuatu yang membakar tubuhnya dan diiringi bau asap. Belum lagi dia berpikir lebih lanjut, tubuhnya sudah terkulai di atas tanah serta berkelojotan beberapa kali dan akhirnya tidak bergerak lagi.
Siau Po sendiri yang terhempas di atas tanah tidak mengalami luka apa-apa. Namun untuk sesaat dia mengalami kesulitan untuk berdiri. Tampak di hadapan Song Ji terdapat segumpal asap putih yang melingkar, dan tangan gadis itu menggenggam sebuah pistol pendek.
Dia ingat benda itu merupakan hadiah dari Gouw Liok Ki ketika mengangkat saudara dengan gadis itu. Benda itu juga merupakan senjata api dari negara Lo Sat, yang hebatnya bukan main. Walaupun ilmu silat Hong Ci Tiong sangat tinggi, tapi tetap tubuhnya terdiri dari darah dan daging, mana mungkin sanggup bertahan menghadapi senjata tersebut?
Song Ji sendiri juga terkesima, begitu senjatanya meletus. Lengannya seperti ngilu, dan tanpa terasa dia menjatuhkan senjata api itu ke atas tanah.
Siau Po khawatir Ci Tiong masih belum mati, maka dia segera menghambur ke depan orang itu lalu mengarahkan senjata rahasia di pinggangnya dan ditekannya beberapa kali. Senjata rahasia yang halus itu meluncur tepat mengenai seluruh tubuh Hong Ci Tiong, tapi orang itu sama sekali tidak bergerak.
Ketika senjata api di tangan Song Ji meletus mengenai dirinya, tidak lebih dari sepuluh detik jiwanya sudah melayang.
Para perempuan yang lain segera bersorak senang dan segera menghambur datang. Tujuh orang perempuan mengerubuti Siau Po. Bayangkan kalau tujuh lembar mulut perempuan sudah berbicara! Mereka menanyakan berbagai hal kepada Siau Po, sehingga si pemuda kewalahan menjawab nya. Hubungan Song Ji dengan Hong Ci Tiong sangat dekat. Mereka sering bertukar pikiran, dan ke mana-mana pun sering bersama-sama. Sikap Hong Ci Tiong selama ini menunjukkan kasih sayang dan hormat yang dalam terhadapnya. Siapa sangka orang ini berhati busuk.
Semakin diingat kembali, Song Ji semakin tercekam hatinya. Entah berapa banyak kesempatan yang pernah ada apabila. Hong Ci Tiong benar-benar ingin mencelakainya. Di samping itu, Song Ji juga menyadari satu hal.
Dia sekarang mengerti mengapa dulu Gouw Liok Ki memaksakan diri untuk mengangkat saudara dengannya. Rupanya orang itu ingin suatu hari Siau Po menikahinya, tapi dirinya hanya seorang budak. Derajatnya jauh di bawah Siau Po.
Orang aneh itu tentu mempunyai pikiran, setelah menjadi adik angkat dari Hiocu, bendera merahnya Thian Te hwee, Song Ji tentu pantas bersanding dengan Hiocu dari Ceng Bok Tong. Dibayangkannya kebaikan hati Gi heng (kakak angkat) nya itu. Senjatanya sudah dipungut kembali oleh Song Ji, tapi pemiliknya sendiri sudah tidak ada, tanpa sadar airmatanya menetes.
Siau Po membalikkan tubuhnya. Tampak The Kek Song berempat sedang berjalan menuju tepi pantai dan bersiap-siap naik ke atas perahu. Hatinya berpikir -- Dia sudah membunuh Suhu, apabila membiarkan dia pergi begitu saja, benar-benar keenakan baginya! -
Karena itu dia segera mengambil pisau belatinya dan mengejar. "Berhenti dulu!" teriaknya.
The Kek Song menghentikan langkah kakinya dan menolehkan kepalanya, wajahnya langsung berubah kelabu.
"Wi... Wi Hiocu, kau sudah... berjanji untuk melepaskan aku... eh... kami!" katanya.
Siau Po tertawa dingin.
"Aku memang berjanji untuk tidak membunuhmu, tapi apakah aku pernah mengatakan bawah aku tidak akan memotong sebelah kakimu?"
Pengikut sekaligus guru pangeran dari Taiwan itu marah sekali, tapi dia hanya sanggup mengangkat tangannya sedikit, tubuhnya masih terasa lemah, sedangkan The Kek Song sendiri sudah ketakutan setengah mati, lalu segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.
"Wi Hiocu, apa... bila engkau mengutungkan sebelah kakiku, bagaimana aku akan hidup selanjutnya ?" tanya pemuda itu dengan suara memelas.
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Pasti bisa! Kau berhutang padaku sebanyak selaksa taiI. Berikut bunganya jadi seratus laksa tail. Lalu kau ingin menggunakan A Ko sebagai jaminan, tapi dia sudah pernah bersembahyang kepada langit dan bumi denganku, dan dalam perutnya juga mengandung anakku, jadi dia sudah resmi sebagai istriku, bagaimana mungkin kau menggunakannya sebagai jaminan? Lagipula di dunia ini mana ada peraturan seperti itu?" sahutnya.
Pada saat itu, Su Cuan, Pui Ie, Cin Ju, Bhok Kiam Peng dan Kian Leng kongcu berdiri di dekat Siau Po. Mendengar perkataan pemuda itu, mereka segera mendumel. "Dasar mata keranjang!"
Sejak tadi otak The Kek Song memang sudah ruwet, tapi dia masih sadar apa yang dikatakan Siau Po ada benarnya, maka dia bertanya:
"Lalu bagaimana?"
"Begini saja, sekarang aku akan mengutungkan sebelah lengan dan sebelah kakimu sebagai jaminan. Kelak apabila kau sudah membayar hutangmu yang sebanyak seratus laksa tail itu, aku akan mengembalikan kutungan kaki dan lenganmu," sahut Siau Po.
"Tapi... ,tapi tadi kau sudah mengatakan bahwa A Ko sudah dijual putus kepadamu.... Tentunya hutang yang seratus laksa tail itu juga sudah lunas, bu... kan?" kata Kek Song gemetar.
Siau Po menggelengkan kepalanya semakin keras.
"Tidak bisa. Tadi aku kan hanya mengoceh sembarangan sehingga bisa diperdayai olehmu, A Ko kan istriku sendiri, mana bisa engkau yang menjualnya kepadaku? Baiklah, sekarang aku akan menjual ibumu kepadamu dengan harga seratus laksa tail, kemudian aku juga akan menjual bapakmu kepadamu, lalu menjual nenekmu kepadamu... harganya jadi..."
"Tapi nenekku sudah mati!" sela Kek Song cepat.
"Orang mati juga boleh dijual!" sahut Siau Po. "Mayatnya aku jual lagi kepadamu, biar deh kalau orang mati korting delapan puluh persen, harganya jadi dua puluh laksa tail Dan petinya gratis, tidak usah dibayar!"
Kek Song mendengar kata-kata Siau Po semakin lama semakin banyak, bahkan sekarang keluarga yang sudah mati pun dijual lagi kepadanya. Kalau dihitung dari nenek moyangnya, entah sudah berapa banyak keturunan keluarga mereka. Meskipun orang mati dikorting delapan puluh persen, tetap saja Kek Song merasa keblinger. Akhirnya dengan melas dia berkata.
"Sudah... sudah, Wi Hiocu, aku tidak sanggup membeli semuanya..."
"Baiklah, kalau sudah tidak sanggup membeli Iagi, ya tidak apa-apa. Tapi yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Tadi aku sudah menyebutkan ibumu, bapakmu, nenekmu dari pihak bapak dan nenekmu dari pihak ibu. Dipotong kortingan hutangmu jadi tiga ratus dua puluh laksa tail, bagaimana kau akan membayarnya?" tanya Siau Po seenaknya.
Kiang Leng kongcu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hihi... hi... hi.... Tiga ratus dua puluh laksa tail, cepat bayar!" katanya.
Kek Song segera memasang wajah melas.
"Sekarang seribu tail saja aku tidak punya, mana mungkin mengeluarkan tiga ratus dua puluh laksa tail?" sahutnya.
"Sudahlah, kalau tidak punya uang, apa boleh buat! Kembalikan saja apa yang sudah kau beli, sekarang juga kau harus mengembalikan ibu, ayah, nenek dalam serta jenasah nenek luarmu, kurang sehelai rambut saja tidak masuk hitungan!" kata Siau Po.
Kek Song berpikir dalam hati, kalau mengaco begini terus, kapan urusannya bisa selesai? Matanya melirik kepada A Ko, dia berharap perempuan itu akan membantunya. Tapi perempuan itu justru berdiri jauh-jauh seakan tidak sudi ikut campur dalam masalah ini.
Hati Kek Song semakin panik, Kalau menilik sikap Siau Po sekarang, sebentar lagi dia pasti akan kehilangan sebelah lengan dan kakinya. Oleh karena itu cepat-cepat dia menyembah berkali-kali, bahkan kepalanya diantuk-antukkan ke atas tanah.
"Wi Hiocu, aku telah mencelakai Tan Kunsu, maka dosaku berat sekali. Aku memang pantas dihukum mati, tapi aku mohon ampunilah selembar jiwa hamba ini. Aku mengaku berhutang kepadamu sebanyak tiga ratus dua puluh laksa tail, dan biar bagaimana hamba akan berusaha membayarnya!" katanya meratap.
Siau Po sendiri merasa sudah keterlaluan menyiksa Kek Song dan kebencian dalam hatinya pun sudah jauh berkurang.
"Kalau begitu aku minta surat pernyataan darimu," katanya.
"Baik, baik," sahut Kek Song. Dia membalikkan tubuhnya dan memberi perintah kepada anak buahnya. "Ambilkan sehelai kertas!"
Mendapat perintah itu, anak buah Kek Song sempat bingung. Di atas pulau kosong ini bagaimana bisa mendapatkan kertas dan pena? Untung saja otak orang itu cukup encer. Cepat-cepat dia melepaskan jubahnya sendiri sambil berkata.
"Di sana toh banyak orang mati. Kita gunakan saja darah mereka sebagai tinta." Sembari berjalan ke arah Hong Ci Tiong untuk mengambil darahnya.
Tanpa mengatakan apa-apa, Siau Po menarik pergelangan tangan Kek Song, dan dengan pisau belatinya yang tajam, dia menyayat jari telunjuk pemuda itu, Kek Song langsung menjerit kesakitan.
"Gunakan darahmu sendiri untuk menulis!" kata Siau Po.
Begitu sakitnya sampai tubuh Kek Song gemetar, dan untuk sesaat dia tidak sanggup melakukan apa-apa.
"Pelan-pelan saja menulisnya," kata Siau Po. "Apabila darah di telunjukmu sudah kering, aku toh bisa menyayat jari tengahmu dan demikian pula dengan selanjutnya."
"lya, iya," sahut Kek Song cepat. Dia tidak berani berlambat-lambat. Sambil menahan rasa sakit dia segera menggunakan jari telunjuknya yang kutung itu untuk menulis "Hutang tiga ratus dua puluh laksa tail, Tertanda The Kek Song.
Siau Po tertawa dingin.
"Huh! Namanya sih putera Pangeran, tapi tulisannya miring tidak karuan, masih lumayan ceker ayam." Diambilnya jubah bertulisan itu lalu diserahkannya kepada Song Ji. "Simpan baik-baik. Coba perhatikan apakah jumlah yang dituliskan sudah cukup? Orang ini licik sekali, pokoknya kurang beberapa tail juga tidak boleh!"
Song Ji tertawa.
"Tiga ratus dua puluh laksa tail, tidak kurang tidak lebih," sahutnya.
Lengan jubah itu dikoyaknya sehingga tinggal sepotong kain kecil yang bertulisan, kemudian Song Ji memasukkannya ke dalam saku bajunya.
Siau Po tertawa terbahak-bahak, lalu disepaknya Kek Song keras-keras.
"Menggelindinglah kau kepada nenek luarmu!"
Tubuh Kek Song terhempas, lalu menggelinding di atas pasir. Beberapa orang wisu segera membimbingnya bangun lalu membungkus jari telunjuknya yang luka. Mereka juga memondongnya ke arah perahu kecil.
Tentu saja guru si pemuda, Pang Ci Hoan juga dibawa sekalian, sebentar saja perahu kecil itu sudah melaju ke arah lautan luas. Saking gelinya Siau Po tertawa terus, tapi begitu teringat nasib gurunya yang mati secara mengenaskan, dia segera menangis meraung-raung.
Setelah meninggalkan pantai sejauh beberapa depa, hati Kek Song baru terasa agak tenang.
"Kita rebut saja kapal besar di sana, biar mereka tidak punya kesempatan untuk mengejar kita lagi," katanya.
Tapi begitu dekat dengan kapal, mereka baru melihat bahwa di atasnya tidak ada perlengkapan apa-apa. Layar tidak ada, dayung besar pun tidak ada. Pang Ci Hoan marah sekali.
"Tentu sudah disembunyikan oleh perempuan-perempuan busuk itu!" katanya.
Tanpa perlengkapan dan bekal makanan serta minuman, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan di atas lautan?
"Biar kita kembali saja ke daratan aku akan memohon bocah busuk itu untuk memberikan sedikit bekal makanan dan minuman. Paling-paling aku harus menulis pernyataan hutang tiga ratus laksa tail lagi," kata Kek Song.
"Mereka hanya mempunyai sebuah kapal, sedangkan jumlah orang mereka juga banyak, mana mungkin mereka sudi membagi makanan untuk kita. Lagipula, aku yakin bahwa mereka memang sudah merencanakan semua ini. Biar harus mati ditelan ikan, aku juga tidak sudi memohon belas kasihan dari mereka!" teriak Pang Ci Hoan.
Mendengar nada suara gurunya yang begitu tegas, Kek Song tidak berani membantah lagi. Terpaksa dia memerintahkan anak buahnya untuk mengayuh perahu kecil itu ke arah lautan luas.
Siau Po beramai-ramai dapat melihat perahu Kek Song dilajukan ke arah kapal, namun setelah melihat di atasnya tidak ada perlengkapan apa-apa, mereka terpaksa berlayar pergi dengan perahu kecil. Diam-diam mereka merasa geli menyaksikan hal itu.
Su Cuan melihat Siau Po sebentar tertawa sebentar menangis, dia mengerti bahwa pemuda itu tentu masih berat ditinggalkan oleh gurunya. Oleh karena itu dia merasa ingin menghibur hati pemuda itu.
"The kongcu dari Taiwan ini orangnya licik sekali, Siau Po, tampaknya hutang yang tiga ratus dua puluh laksa tail itu juga tidak mungkin dibayar olehnya," katanya.
"Aku juga tahu bahwa dia tidak mungkin membayarnya," sahut Siau Po.
Su Cuan tertawa.
"Biasanya otakmu selalu mempunyai akal bagus untuk menyelesaikan satu persoalan, tapi tadi dia menjual istrimu sendiri kepadamu senilai seratus laksa tail, tanpa pikir panjang lagi kau langsung menyetujuinya. Tampaknya cintamu kepada A Ko sudah mencapai taraf slebor, seandainya tadi dia meminta agar engkau yang menambahkan seratus laksa tail, kemungkinan kau juga akan menyetujuinya."
Siau Po mengusap air mata di pipinya dengan menggunakan ujung lengan bajunya kemudian tertawa.
"Bodoh amat! Pokoknya asal setuju dulu, urusan lainnya bisa belakangan."
"Akhirnya kau kok bisa merasa kalau kau sudah dirugikan olehnya?" tanya Pui Ie.
Siau Po mengangkat bahunya sambil menggelengkan kepalanya.
"Sesudah Hong Ci Tiong terbunuh, pikiranku sudah agak kendor, otomatis lancar sendiri," sahutnya.
Padahal dia sendiri juga tidak pernah mencurigai Hong Ci Tiong, hanya saja selama ini dia selalu merasa di sisinya ada bahaya yang mengintai, tetapi kalau ditanya bahaya seperti apa, dia sendiri juga tidak dapat menjawabnya.
Tapi gerak-geriknya seakan diawasi oleh seseorang yang cukup dekat dengannya, itu saja. Sampai Hong Ci Tiong membongkar kedoknya sendiri kemudian mati terbunuh, Siau Po baru merasa seperti terlepas dari beban yang berat sehingga perasaannya juga jauh lebih ringan dari sebelumnya.
Dalam hati dia berpikir, -- Kemungkinan sudah lama aku merasa takut terhadap maling tua yang satu ini, hanya saja aku tidak pernah menyadarinya! --
Yang lain-lainnya berdiri termangu-mangu, sebagian besar musuh mereka sudah mati, dan sisanya sudah kabur, maka mereka baru merasa betapa sunyinya pulau ini.
Siau Po sendiri merasa kakinya sudah tidak tahan untuk berdiri lebih lama lagi sehingga perlahan-lahan dia jatuh terduduk di atas tanah, Su Cuan membiarkan tubuh pemuda itu tengkurap, lalu dengan lembut dia mengurut jalan darah di punggung Siau Po yang tertotok oleh Hong Ci Tiong tadi.
Matahari tidak begitu terik lagi, gelombang di lautan pun tampak tenang. Dengan perasaan lelah, satu per satu perempuan-perempuan itu menjatuhkan diri untuk melepaskan lelah di atas pasir.
Yang pertama-tama terdengar adalah suara dengkuran Siau Po, namun lambat laun para perempuan itu pun ikut tertidur saking lelahnya.
Kurang lebih satu kentungan kemudian, Pui le lah yang mula-mula terjaga. Dia menuju pondok tempat tinggal Siau Po untuk menyiapkan beberapa macam hidangan setelah selesai, dia membangunkan yang lainnya untuk bersantap bersama-sama.
Di dalam ruangan itu telah dipasang dua batang obor dari dahan pohon Siong, sehingga suasananya jadi terang benderang. Delapan orang itu duduk mengelilingi meja sambil bersantap. Sesudah selesai, Pui Ie dan Song Ji membereskan piring mangkok untuk dicuci di belakang pondok.
Siau Po mengedarkan matanya dari Su Cuan sampai ke A Ko. Tampak masing-masing mempunyai kelebihan. Ada yang cantik jelita, ada yang manis, ada yang enak dipandang, ada yang lembut dan ada juga yang lincah.
Hatinya menjadi gembira sekali pikirannya juga tenang, jauh berbeda dengan suasana hati ketika ia satu tempat tidur dengan ketujuh perempuan itu di Li Cun Wan tempo hari. Sembari tertawa lebar dia berkata. "Tempo hari aku pernah menamakan pulau ini Tong Sip to (Pulau makan semua). Rupanya aku memang sudah punya firasat, bahwa kalian bertujuh bersedia menjadi istriku. Ternyata semua ini sudah kehendak Yang Kuasa sehingga bagaimana pun tidak dapat diingkari lagi. Mulai sekarang kita berdelapan akan hidup seperti di khayangan, panjang umur bagai para Dewata di pulau ini."
"Siau Po, kata-kata itu tidak baik diucapkan, maka lain kali jangan menyebut-nyebutnya lagi," tukas Su Cuan.
Siau Po segera tersadar, dia tahu kalau Su Cuan tidak mau mendengar kata-kata yang sering digunakan Hong Kaucu, maka dia segera menyahut. "Baik, baik, Kata-kata itu memang tidak cocok, aku saja yang suka mengoceh sembarangan."
"Apabila berhasil pulang ke Taiwan dengan selamat, Sie Long maupun The Kek Song pasti akan membawa orang-orangnya untuk membalas dendam. Kita tidak bisa tinggal di sini lama-lama, sebaiknya kita pergi saja," kata Su Cuan pula.
Yang lainnya menyetujui pendapatnya.
"Cuan cici, kalau menurut pendapatmu kemana kita harus pergi?" tanya Pui Ie.
Su Cuan melirik kepada Siau Po, sambil tersenyum .
"Untuk hal ini sebaiknya kita tanyakan kepada Tuan Besar Wi Siau Po," sahutnya.
Siau Po tertawa.
"Kau memanggilku Tuan Besar?" tanyanya.
"Kalau bukan Tuan Besar benar-benar, mana mungkin bisa makan semuanya?" sahut Su Cuan puIa.
Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Namaku kan Siau Po, sedangkan Siau artinya kecil, sebetulnya aku lebih cocok dipanggil Tuan kecil, malah sekarang ada yang menjuluki aku Tuan Besar!"
Pandangan matanya mengedar, lalu melihat para perempuan itu masih menunggu jawabannya. Setelah merenung sejenak, dia berkata lagi.
"Kita tidak mungkin kembali ke Tionggoan, sedangkan jarak Sin Liong to dengan pulau ini terlalu dekat, pasti jejak kita akan ketahuan. Kita harus pergi ke tempat yang aman dan terpencil.
Namun tempat yang aman dan terpencil pasti tidak ada penghuninya, dan tentu saja tidak ada kesenangan sedangkan tempat yang menyenangkan pasti banyak orangnya. Apalagi kesenangan Siau Po justru berjudi, berfoya-foya, nonton sandiwara, makan minum yang enak, setiap hari bisa mencuci mata (melihat wanita cantik) bahkan kurang satu saja sudah tidak seru baginya.
Tempat yang menyediakan berbagai fasilitas untuk memenuhi kegembiraannya tentu kota-kota besar seperti Pe King atau Yang-ciu. Yang lainnya masih belum cukup memenuhi syarat.
Membayangkan berbagai kesenangan ini, rasa bakti dalam hatinya timbul seketika.
"Sebetulnya, kita bisa berkumpul bersama-sama di sini sudah termasuk hal yang menyenangkan, entah bagaimana keadaan ibuku yang kesepian seorang diri?" katanya.
Hampir semua perempuan-perempuan yang mendampinginya tidak pernah tahu perihal ibunya. Melihat Siau Po masih punya sedikit rasa bakti, mereka pun merasa ikut senang.
"Di mana ibumu sekarang?" tanya mereka serentak
Ada pula yang berpikir.
- ibumu toh mertuaku, biar bagaimana aku harus mencari jalan agar kita dapat melewati kehidupan bersama-sama! --
Siau Po menarik nafas panjang.
"lbuku ada di gedung Li Cun Wan, Yang-ciu," sahutnya.
Mendengar kata-kata "Li Cun Wan, Yang-ciu", kecuali Kian Leng kongcu, yang lainnya terkejut sekali. Ada yang menundukkan kepalanya, dan ada pula yang memalingkan wajahnya.
"Hah? Li Cun Wan di Yang-ciu? Kau pernah mengatakan bahwa itulah tempat yang paling menyenangkan di dunia ini. Kau juga pernah berjanji akan mengajakku ke sana!" seru Kian Leng kongcu. Pui Ie tersenyum.
"Dia membohongimu. jangan percaya ocehannya, tempat itu... tidak beres," katanya.
"Kenapa tidak beres?" tanya Kian Leng kongcu, "Apakah kau sudah pernah ke sana? Eh, kenapa tampang kalian semuanya aneh?"
Tanpa dapat menahan diri lagi Pui Ie tertawa geli. Kian Leng kongcu segera meraih pundak Bhok Kiam Peng sambil bertanya dengan suara merayu.
"Adikku yang baik, bagaimana kalau kau yang menceritakannya kepadaku?"
Wajah Bhok Kiam Peng jadi merah jengah, "Itu... itu tempat pelacuran," sahut gadis itu akhirnya.
Sang Tuan Puteri masih belum mengerti juga, "Mengapa ibunya ada di Li Cun Wan, tempat pelacuran itu? Dengar orang bilang, itu kan tempat bersenang-senangnya laki-laki hidung belang!" Pui Ie tersenyum.
"Dia kan selamanya suka mengoceh yang bukan-bukan, kalau kau percaya setengah patah ucapannya saja, maka setiap hari kepalamu bisa pusing," katanya.
Tempo hari ketika berada di Li Cun Wan, kecuali Tuan Puteri yang menggantikan kedudukan si Moler tua (Permaisuri palsu), yang lainnya pun semua ada di depan mata. Kegalakan Kian Leng kongcu tidak kalah oleh Mao Tung Cu, tapi tidak sekejam ibunya lagipula dia jauh lebih muda dan cantik.
Dalam hal ini, Siau Po merasa beruntung dengan takdir hidupnya. Yang Kuasa memang mengasihinya, seandainya sekarang yang menemaninya di pulau ini bukan sang Tuan Puteri tetapi ibunya, entah apa yang harus dilakukannya?
Kemungkinan akhirnya dia akan bernasib seperti Lo Hong ya (Kaisar tua), yakni pergi ke Ngo Tay san untuk mencukur rambut menjadi pendeta. Tapi, apabila dia memang harus menjadi pendeta, biar bagaimana ketujuh istrinya ini tetap akan dibawa serta.
Melihat mimik wajah keenam perempuan yang pernah bersama-samanya di Li Cun Wan, dia tahu mereka tentu sedang mengenangkan kembali kejadian malam itu. -- Malam itu gelap sekali, aku sembarangan nemplok ke sana ke mari. Pada waktu itu aku sendiri tidak tahu siapa yang kebagian duluan dan siapa yang belakangan. Di perut A Ko dan Su Cuan sudah ada benih dariku, jadi sudah dua orang yang ketahuan. Rasanya masih ada satu lagi, tapi siapa kira-kira orangnya? Ah, pelan-pelan aku bisa mencari tahu! -pikirnya dalam hati.
Membayangkan hal itu, kembali dia tersenyum simpul.
"Seandainya kita tinggal di pulau ini untuk selamanya, rasanya kita juga tidak perlu takut kesepian Cuan cici, Kongcu, A Ko, dalam perut kalian sudah ada keturunanku, entah siapa lagi di antara kalian yang sedang hamil, katakan saja terus terang sekarang!"
Begitu mendengar ucapannya, wajah keempat perempuan yang lain langsung berubah merah.
"Aku tidak! Aku tidak!" seru Bhok Kiam Peng.
Cin Ju melihat ekor mata Siau Po melirik kepadanya, maka dia langsung mendelik.
"Tidak!" katanya lantang.
"Song Ji, rasanya usaha kitalah yang berhasil," ujar Siau Po.
Song Ji segera menghambur untuk bersembunyi di sudut pondok itu.
"Tidak, tidak!"
Siau Po segera tersenyum kepada Pui Ie.
"Pui cici, bagaimana dengan engkau? Ketika kau datang ke Li Cun Wan tempo hari, perutmu kan diganjai bantal dan pura-pura jadi orang bunting? Jangan-jangan sebelumnya kau juga sudah punya firasat?"
Pui Ie tidak dapat menahan kegelian dalam hatinya sehingga dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Thay-kam tidak tahu mampus, aku toh tidak pernah... begitu... denganmu, mana mungkin...."
"lya, betul Su Ci, Cin cici, adik Song Ji maupun aku tidak pernah menyembah langit bumi bersamamu mana mungkin punya anak? Kau memang jahat! Kapan kau menyembah langit dan bumi bersama cici Cuan, Kongcu serta cici A Ko? Mengapa kau tidak pernah mengatakan apa-apa? Kau juga tidak mengundang kami menikmati arak kebahagiaanmu?" tukas Bhok Kiam Peng.
Gadis yang satu ini masih polos sekali. Dalam pikirannya, hanya laki-Iaki dan perempuan yang sudah menyembah langit dan bumi yang ada kemungkinan punya anak.
Mendengar kata-katanya yang lugu, yang lainnya tertawa semakin geli. Sembari tersenyum Pui Ie merangkul pinggang gadis itu.
"Sumoay, kalau begitu malam ini kau boleh menyembah langit dan bumi dengannya agar kalian bisa menjadi suami istri," katanya.
"Mana bisa? Di sini kan tidak ada jembatan bunga? Aku sering melihat pengantin wanita, mereka mengenakan tudung kepala berwarna merah dan dihiasi berbagai perhiasan, mereka juga mengenakan pakaian berwarna merah yang lebar dan besar. Di sini toh tidak ada persediaan apa-apa," sahut Kiam Peng.
Su Cuan tertawa.
Tidak menggunakan berbagai peradatan begitu juga tidak apa-apa. Kita petik saja beberapa kuntum bunga lalu kita rangkai menjadi mahkota untuk dipasang di atas kepalamu, Kan sama saja?"
Siau Po melihat ketujuh perempuan itu saling berolok-olok dalam suasana rukun, namun hatinya sendiri masih gundah.
-- Siapa yang satu lagi? -- pikirnya terus berputar - Mungkinkah A Ki? Aku ingat pernah memondongnya ke sana ke mari, tapi rasanya kemudian aku meletakkannya di atas kursi, aku tidak memondong-nya ke atas ranjang. Tapi malam itu, perempuan yang ada di sana memang sudah kelewat banyak, bisa jadi aku sendiri kelupaan saking keblingernya serta memondong A Ki ke tempat tidur juga.
Kalau dia benar-benar mengandung anakku, bocah itu kemudian hari terpaksa menjadi Pangeran semuanya Beres di Mongolia.... Ah! Mungkinkah si Moler tua? Celaka! Kalau benar-benar dia, berarti calon anakku juga sudah terbunuh di tangan Kui Heng Su sekalian! --
Terdengar Bhok Kiam Peng berkata, "Biarpun kita bisa menyembah langit dan bumi di sini, toh seharusnya Pui cici yang terlebih dahulu melakukannya."
"Tidak, kau kan seorang Siau Kuncu, tentu saja kau yang harus melakukannya terlebih dahulu," sahut Pui Ie.
"Kita kan dari pihak negara yang dikalahkan, untuk apa menyebut-nyebut panggilan Kuncu lagi?" kata Kiam Peng.
Pui Ie tertawa.
"Kalau begitu, biar adik Song Ji yang menyembah langit bumi terlebih dahulu dengannya jarak waktu yang kau habiskan bersamanya kan paling lama? Kalian sudah sering merasakan susah dan senang bersama-sama. Kau juga sudah sering mengorbankan diri demi kepentingannya, tentu saja kedudukanmu mempunyai tempat yang istimewa dalam hatinya," katanya kemudian.
Wajah Song Ji semakin merah padam.
"Coba katakan lagi! Aku akan pergi sekarang juga!" sahutnya pura-pura mengancam.
Song Ji sengaja melangkah ke pintu, tapi baru beberapa langkah sudah ditarik dan dipeluk oleh Pui Ie.
Su Cuan tertawa kepada Siau Po.
"Siau Po, kau sendirilah yang seharusnya mengambil keputusan," katanya.
"Urusan bersembahyang kepada Langit dan Bumi, nanti saja kita bicarakan lagi. Besok kita harus memakamkan jenasah guruku terlebih dahulu," sahut pemuda itu.
Mendengar ucapannya, perempuan-perempuan itu langsung tertegun. Kalau menilik sikap Siau Po selama ini, siapa pun tidak ada yang mengira kalau dia begitu menghormati gurunya sehingga bisa mengeluarkan kata-kata tadi.
Tapi siapa nyana ucapan yang keluar dari mulutnya kemudian toh menunjukkan watak aslinya.
"Kalian semua merupakan istriku. Tidak ada sebutan yang tua atau yang muda. Kelak, setiap malam kalian harus main lempar dadu, siapa yang menang, dialah yang akan menemaniku malam itu." Sembari berkata dia mengeluarkan dua butir dadu dari saku bajunya. Ditiupnya dadu itu satu kali lalu dengan gerakan manis dilemparkannya ke atas meja.
Kian Leng kongcu mencibirkan bibirnya.
"Memang kau kecakepan? Siapa kalah dialah yang akan menemanimu," katanya.
Siau Po tertawa, "Betul, betul. Seperti main kepalan tangan, siapa yang kalah harus minum secawan arak. Nah, sekarang siapa yang bersedia mulai duluan?"
Suasana di atas pulau malam itu pun jadi romantis sekali. Suara tawa dan canda terus bergema, Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam permainan dadu, rasanya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut pokoknya sejak hari itu, acara melempar dadu menjadi kebiasaan rutin dalam kehidupan keluarga Wi.
Sejak dulu Siau Po sendiri memang senang bermain dadu, tentu saja dengan taruhan uang, semakin besar semakin menyenangkan baginya. Namun sekarang dirinyalah yang menjadi benda taruhan. Mula-mula memang terasa menggemaskan tapi lama kelamaan dia menjadi jenuh juga.
Biar bagaimana tenaganya sebagai seorang pemuda toh terbatas, untung saja istrinya yang berjumlah tujuh orang itu kebanyakan berpengertian.
Keesokan harinya, sampai siang mereka baru terjaga. Begitu bangun, Siau Po memerintahkan ke-tujuh istrinya untuk membantunya memakamkan jenasah Tan Kin Lam.
Melihat tanah merah sedikit demi sedikit mulai menimbuni tubuh gurunya, Siau Po tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi, dia menangis tersedu-sedu. Perempuan-perempuan yang lain juga segera menjatuhkan diri berlutut sebagai penghormatan mereka yang terakhir.
Sebetulnya hati Kongcu agak kurang rela. Dalam bayangannya dia toh seorang Tuan Puteri dari Kerajaan yang besar, mengapa dia harus berlutut di hadapan makam seorang pengkhianat negara? Namun dia juga sadar, walaupun derajatnya yang terlihat sangat mulia, tapi kemungkinan dalam hati Siau Po sendiri kedudukannya paling rendah.
Bayangkan saja, kesetiaannya tidak dapat menandingi Song Ji, kecantikannya tidak bisa melebihi A Ko, ilmu silatnya tidak bisa menandingi Su Cuan, kecerdasannya tidak melebihi Pui Ie, kelembutannya tidak bisa menandingi Cin Ju, keluguan dan kelincahannya tidak dapat menyamai Bhok Kiam Peng.
Kelebihannya sendiri justru mulutnya yang judes dan hatinya yang egois. Kalau sekarang dia tidak turut memberikan penyembahan penghormatan terhadap jenasah Tan Kin Lam, kemungkinan Siau Po akan memusuhinya secara terang-terangan.
Malah ada kemungkinan dia berbuat curang dengan dadunya sehingga setiap malam kalau main lempar dadu, dialah yang akan mendapat kemenangan terus-menerus.
Itulah sebabnya si Tuan Puteri terpaksa berlutut, namun dalam hatinya dia berkata. -- Pemberontak, oh Pemberontak, aku adalah seorang Tuan puteri yang kedudukannya mulia sekali sebetulnya tidak baik aku menyembahyangimu, sebab kemungkinan arwahmu di alam baka tidak bisa memperoleh kedamaian, bahkan semakin sial! --
Selesai memberikan penghormatan terakhir, beramai-ramai mereka bangkit Tiba-tiba terdengar seruan Pui Ie.
"Aduh! Kemana kapal kita? Kemana kapal kita?"
Mendengar teriakannya yang penuh kepanikan, yang lainnya segera mengalihkan pandangannya ke arah lautan. Tampak tempat kapal mereka berlabuh sudah kosong melompong, kapalnya sendiri sudah hilang tak berbekas. Semuanya menjadi terkesiap melihat kenyataan ini. Mereka segera mempertajam pandangannya, di kejauhan terlihat langit biru terbentang luas, juga tampak puluhan ekor camar terbang ke sana ke mari.
Su Cuan segera berlari ke atas bukit dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling pulau tersebut. Di sebelah manapun tidak terlihat bayangan kapal itu, Pui Ie segera menghambur ke arah goa tempat mereka menyimpan berbagai keperluan kapal. Namun rasa terkejutnya semakin menjadi-jadi karena semuanya juga hilang tidak berbekas.
Semuanya berkumpul menjadi satu. Untuk beberapa saat mereka hanya dapat saling memandang. Tadi malam mereka terus bersenda gurau sampai larut sekali, siapa pun tidak ada yang terpikir untuk saling aplus menjaga. Tentu tukang perahu yang mencuri semua peralatan lalu menggunakan kapal itu untuk melarikan diri.
Dengan demikian, mereka terpaksa tinggal terus di pulau itu, entah kapan lagi ada kesempatan untuk pergi dari sana, Siau Po membayangkan Sie Long ataupun The Kek Song yang akan membawa pasukan mereka untuk membalas dendam.
Apabila hal itu sampai terjadi, bagaimana mereka sanggup mempertahankan diri dari serangan musuh? seandainya Su Cuan, A Ko dan Kongcu melahirkan bayi prematur, toh jumlah mereka juga tidak lebih dari sebelas orang!
Su Cuan yang usianya paling tua dan paling banyak pengalaman segera menghibur yang lainnya.
"Nasi toh sudah jadi bubur, panik juga tidak ada gunanya, Perlahan-lahan kita cari jalan keluarnya nanti."
Mereka kembali ke dalam pondok, seperti sudah berjanjian sebelumnya, mereka beramai-ramai menyumpahi si tukang perahu. Tapi biar memaki sampai mulut berbusa sekalipun, tetap saja tidak ada keajaiban yang muncul, akhirnya mereka menjadi capek sendiri
"Sekarang yang harus kita utamakan adalah bersiap-siap menghadapi datangnya serangan para tentara," kata Su Cuan kepada Siau Po. "Bagaimana pendapatmu?"
"Kalau para tentara kembali melakukan penyerangan jumlahnya kali ini pasti jauh lebih besar. Kalaupun mengadu kekerasan, kita pasti kalah, jalan satu-satunya hanya mencari tempat untuk bersembunyi kita hanya dapat berharap mereka tidak segera menemukan kita. Dengan demikian mereka bisa menduga kalau kita sudah meninggalkan tempat ini dengan menggunakan kapal," sahut Siau Po.
Su Cuan menganggukkan kepalanya, "Apa yang kau katakan memang benar. Para tentara pasti tidak menduga kalau kapal kita sudah dicuri orang."
Hati Siau Po menjadi lega seketika, "Kalau aku menjadi Sie Long, tentu aku tidak akan kembali lagi ke pulau ini. Dia tentu mempunyai pikiran bahwa selesai pertarungan tempo hari, kita pasti sudah mengangkat kaki meninggalkan tempat ini jauh-jauh, tidak mungkin kita tetap berdiam di sini menunggu datangnya para tentara untuk menangkap kita," katanya.
"Tapi bila dia melapor kepada Hongte koko, beliau pasti akan mengutus orang untuk melihat-lihat tempat ini. Biarpun kita sudah pergi, siapa tahu ada jejak yang kita tinggalkan sehingga mereka dapat menelusuri ke mana tujuan kita," ujar Kian Leng kongcu.
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Sie Long tidak akan menyampaikan laporan kepada Sri Baginda," katanya yakin.
Mata Kian Leng kongcu langsung mendelik. "Kenapa?"
"Kalau dia menyampaikan laporan, tentu Sri Baginda akan menanyakan mengapa dia tidak meringkus kita? Kalau sampai hal ini terjadi, dia terpaksa mengaku bahwa dia telah dikalahkan oleh kita. Apa bukan cari penyakit sendiri namanya," kata Siau Po.
Su Cuan tertawa.
"Tepat sekali. Kemampuan Siau Po menjadi pejabat pemerintahan memang tidak perlu diragukan lagi. Ada saja akalnya untuk mengelabui atasan, sudah bukan rahasia lagi."
Siau Po juga ikut tertawa.
"Kalau Cuan cici mau menjadi pejabat pemerintahan aku yakin dalam waktu yang singkat bisa menduduki jabatan yang tinggi dan kaya mendadak."
Su Cuan tersenyum simpul, dan dalam hati dia berpikir, -- Kelakuan para pengikut Sin Liong kau juga banyak macamnya, toh kenyataannya tidak jauh berbeda dengan politik pemerintahan -
"Kalau Sie Long memberikan laporan, kemungkinan Sri Baginda akan memakinya sebagai manusia yang tidak berguna, itu sih tidak apa-apa. Coba bayangkan kalau Sri Baginda mengutusnya kembali dengan membawa pasukan besar dan kali ini harus berhasil meringkus kita. sedangkan dalam pikiran Sie Long kita tidak mungkin masih berdiam di pulau ini. Bukankah dia akan melakukan perjalanan yang sia-sia? Bukankah penyakit yang dicarinya semakin bertambah? Kan lebih baik dia diam-diam saja dan menikmati rejeki yang diperolehnya," kata Siau Po pula.
Para perempuan yang mendengarkan uraiannya sadar bahwa apa yang dikatakannya memang beralasan. Oleh karena itu keresahan dalam hati mereka pun sirna seketika.
"Bagaimana dengan bocah The Kek Song?" tanya Kian Leng kongcu tiba-tiba.
"Mungkin dia masih merasa sakit hati terhadap perlakuanmu tempo hari."
Sembari berbicara matanya melirik kepada A Ko. Yang lainnya tentu tahu makna yang dalam dari kata-katanya. Dia pasti bermaksud The Kek Song mana mungkin bersedia menyerahkan A Ko yang cantik begitu saja? Kemungkinan besar dia akan membawa sejumlah pasukan untuk merebutnya kembali."
Wajah A Ko menjadi merah padam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Ka... lau dia datang lagi, a... ku akan bunuh diri. pokoknya aku tidak akan ikut dengannya," kata-katanya tegas sekali.
Hati Siau Po gembira sekali. Dia ingat selama ini A Ko yang paling membencinya. Malah dia harus menggunakan berbagai macam akal busuk baru berhasil mendapatkan perempuan yang satu ini.
Sekarang, mendengar sumpahnya yang berat, hati Siau Po langsung berbunga-bunga, malah jauh lebih gembira sekalipun sekarang dia bisa menemukan sepuluh buah kapal. Tanpa malu-malu dia segera memeluk perempuan itu dan mencium pipinya berkali-kali.
"Oh... A Ko ku sayang, dia pasti tidak berani datang lagi. Dia toh punya hutang sebanyak tiga ratus dua puluh laksa tail, masa nyalinya begitu besar sehingga berani menemui bossnya?"
"Aduh, genitnya!" ejek Kian Leng kongcu, "Dia pasti akan datang lagi dengan membawa pasukan besar. Pada saat itu dia akan mengambil kembali tanda hutangnya. Dia juga akan merebut A Ko darimu, lalu akan menjual ayahmu, ibumu, nenekmu, kakekmu kepadamu, yang jumlah seluruhnya tujuh juta laksa tail dan meminta engkau melunasinya saat itu juga."
Semakin didengar, kepala Siau Po semakin pusing. Mending kalau urusan ini bisa diselesaikannya. Tapi dia tahu Kek Song memang licik, kalau benar apa yang dikatakan si Tuan Puteri dan dia memang bisa menyediakan orangnya, bagi Siau Po masih tidak apa-apa.
Tapi sejak lahir dia sendiri tidak tahu siapa ayahnya, mana mungkin dia bisa tahu siapa nenek dalamnya? seandainya Kek Song bersikeras, tanpa menyerahkan orangnya maka harganya menjadi sepuluh kali lipat, bukankah masalahnya bisa semakin runyam? Hatinya langsung berubah kesal.
"Jangan bicara lagi!" teriaknya, "Kalau si budak Kek Song berani kembali lagi kemari, untuk pertama-tama aku tidak akan menjual siapa pun kecuali satu orang yang nilainya paling tinggi, yakni adik kandung kaisar sekarang. Aku juga menghadiahkan seorang bayi dalam perutnya, harganya sepuluh juta laksa tail. Dihitung-hitung dia masih harus mengembalikan tiga ratus ribu laksa tail kepadaku, Jual beli ini masih menguntungkan pihakku!"
Kian Leng kongcu langsung membuka mulutnya lebar-lebar dan nangis berkoak-koak, kemudian menutup mukanya dan lari ke dalam pondok. Bhok Kiam Peng segera menyusul perempuan itu untuk menghiburnya. Dia mengatakan bahwa Siau Po tidak mempunyai niat seperti itu, dia hanya menakut-nakuti saja. Tuan puteri tidak perlu bersedih karena persoalan kecil ini.
Setelah melampiaskan kekesalan hatinya, Siau Po sendiri jadi uring-uringan, dia tidak bisa mengemukakan pendapat apa-apa lagi. Yang lainnya terpaksa menanyakan saran Su Cuan. Mereka segera berpencar mencari tempat untuk bersembunyi. Akhirnya mereka menemukan sebuah goa besar di tengah-tengah hutan.
Mereka segera membersihkannya untuk dijadikan tempat tinggal. Pondok yang ada dibiarkan begitu saja. Mereka berharap dapat mengelabui Sie Long seandainya orang itu kembali lagi. Melihat keadaan pulau yang sunyi senyap, Sie Long pasti beranggapan mereka sudah pergi.
Mula-mula mereka masih berdebar-debar, khawatir pasukan tentara benar-benar akan mendatangi tempat itu. Siang malam mereka naik ke atas bukit untuk melihat lautan di sekitar pulau tersebut.
Namun setelah beberapa bulan, jangan kata tentara kerajaan atau pasukan dari Taiwan, bahkan perahu serta kapal nelayan pun tidak pernah terlihat. Lambat laun hati mereka menjadi tenang. Mereka beranggapan Sie Long benar-benar tidak berani mencari penyakit sedangkan perahu kecil yang ditumpangi Kek Song kemungkinan tidak dapat bertahan lama dan akhirnya tenggelam di tengah lautan.
Kedelapan orang itu hidup di tengah pulau dengan menangkap ikan, berburu, membidik burung atau pun memetik buah-buahan. Setiap hari mereka mengatur tugas secara bergantian Kehidupan mereka pun cukup tenang, tidak ada keributan lagi seperti sebelumnya.
Untung binatang liar di pulau itu cukup banyak, sedangkan ikan-ikan di pinggiran pantai juga mudah didapat. Apalagi mereka rata-rata berilmu lumayan sehingga selama ini tidak pernah mengalami kesulitan untuk menyambung hidup.
Musim gugur telah berlalu diganti dengan musim salju, Udara semakin hari semakin dingin. Perut Kongcu, A Ko, dan Su Cuan pun semakin hari semakin membesar. Pui Ie dan Song Ji sibuk mengumpulkan kulit binatang serta membuat pakaian untuk mereka berdelapan. Pakaian untuk ketiga bayi juga sudah dibuat sehelai demi sehelai.
Setengah bulan kembali berlalu. Tiba-tiba salju turun dengan deras. Dalam waktu satu hari satu malam saja, seluruh permukaan pulau itu sudah berubah warna menjadi putih bersih karena tertutup timbunan salju.
Kedelapan orang itu sudah mengadakan persiapan sejak jauh hari. Daging kering serta manisan atau asinan buah disimpan sebagai penangsal perut jumlahnya jauh melebihi cukup untuk menjalani hidup menghadapi musim dingin.
Tidak ada pekerjaan yang dapat mereka lakukan, kecuali menyalakan api unggun dan mengobrol ngalor ngidul. Tentu saja topik pembicaraan mereka tidak bergeser dari ketiga bayi yang tidak lama lagi akan terlahir ke dunia.
Malam itu tidak turun salju lagi, tapi angin tetap bertiup dengan kencang. Hembusan angin yang dingin tidak henti-hentinya menerpa masuk melalui mulut goa. Song Ji terus menambahkan kayu kering di atas api unggun agar udara dingin tidak terlalu menusuk.
Siau Po sendiri segera mengeluarkan biji dadunya agar para perempuan itu dapat bertaruh.
Lima perempuan sudah mendapat bagian untuk melemparkan dadu. Bhok Kiam Peng mendapat nilai terkecil yakni tiga titik, Tampaknya malam ini dia sudah pasti kalah.
Cin Ju tertawa.
"Adik Kiam Penglah yang kalah, aku tidak perlu melempar dadu lagi," katanya.
Bhok Kiam Peng juga ikut tertawa.
"Tidak bisa! Cepat lempar dadu itu! Siapa tahu kau mendapat nilai dua titik."
Dengan apa boleh buat Cin Ju mengambil dadu-dadu itu dari atas meja kain yang hanya dialaskan di atas lantai. Ditiupnya dadu itu satu kali mengikuti gaya Siau Po. Baru saja dia hendak melemparkannya, angin dingin menghembus dari luar Sayup-sayup terdengar suara panggilan seseorang.
Wajah mereka langsung berubah hebat. Padahal tadinya Su Cuan sudah tertidur, dia pun ikut terduduk seketika. Kedelapan orang itu saling memandang. Untuk sesaat muka mereka menjadi pucat pasi. Kiam Peng menghembuskan nafas panjang lalu menyusup
ke dalam pelukan Pui Ie.
Tidak lama kemudian, angin bertiup lagi, kali ini lebih kencang dari yang sebelumnya, otomatis suara orang yang terpantul pun lebih jelas.
"Siau Kui cu, Siau Kui cu, di mana engkau? Siau Hian cu sudah rindu sekali kepadamu!" Demikianlah kata-kata yang menyusup ke dalam gendang telinga mereka.
Siau Po langsung mencelat bangun, dan dengan suara gemetar dia berkata. "Siau... Hian... cu datang mencari aku!"
"Siapa Siau Hian cu itu?" tanya Kian Leng kongcu.
"Dia... dia...." .
Nama Siau Hian cu hanya dia sendiri yang tahu, yakni sebutan bagi Kaisar Kong Hi. Dia tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Dan dia yakin Kaisar Kong Hi sendiri terlebih tidak mungkin menceritakannya kepada siapa pun, namun tiba-tiba ada orang yang menyebutkan nama itu. Dan suaranya demikian lantang! Seluruh tubuhnya gemetar, dia merasa urusan ini benar-benar aneh, Jangan-jangan Kaisar Kong Hi sudah wafat dan sekarang arwah kaisar itu mendatanginya.
Untuk sesaat, tanpa terasa air matanya mengalir dengan deras, ia segera menghambur ke luar dari dalam goa.
Bagian 86
"Siau Hian cu, Siau Hian cu!" teriaknya. "Siau Kui cu ada di sini!"
Terdengar suara tadi kembali bergema.
"Siau Kui cu, Siau Kui cu! Di mana engkau? Siau Hian cu sudah rindu sekali kepadamu!"
Suara itu bergema lantang bahkan sampai mendengung-dengung, seolah-olah bukan terucap dari mulut satu orang saja, tapi ada ratusan orang yang menyerukannya. Namun, bila kata-kata itu benar diucapkan oleh ratusan orang, tentu susunan kalimatnya tidak bisa serapi itu, sedangkan bila dikatakan hanya seorang yang mengucapkannya, walaupun ilmu tenaga dalam orang itu sudah mencapai taraf setinggi
apa pun, rasanya masih tidak sanggup melakukannya. Karena itu, dugaan Siau Po semakin kuat. Pasti arwah Kong Hi-lah yang datang mencarinya.
Hati Siau Po sedih sekali Air matanya menetes semakin deras. Dia membayangkan bahwa Kaisar Kong Hi masih mempunyai solidaritas yang demikian tinggi walaupun sudah meninggal. Buktinya arwah pemuda itu mencarinya sampai sedemikian jauh.
Biasanya, Siau Po paling takut setan. Tapi kali ini, biar bagaimana pun dia ingin menemui arwah Kong Hi, dia tidak ingin mengecewakan sahabatnya, itulah sebabnya dia mempercepat langkah kakinya dan lari seperti kesurupan hantu pulau itu. Arahnya menuju datangnya suara panggilan tadi.
"Siau Hian cu, jangan pergi! Siau Kui cu ada di sini!" teriaknya tanpa menggunakan otak jernih lagi.
Salju memenuhi seluruh tempat itu, licinnya jangan ditanyakan lagi, namun Siau Po tidak memperdulikannya. Meskipun sempat tergelincir beberapa kali, tapi dia tetap bangun lalu berlari kembali.
Setelah mengitari bukit yang penuh dengan salju, dia melihat di pesisir pantai sudah diterangi api obor. Ratusan orang berdiri berbaris ke arah horisontal penerangan yang dilihatnya terpantul dengan obor-obor yang ada dalam genggaman orang-orang itu.
Siau Po terkejut setengah mati.
"Aduh mak!" teriaknya sambil membalikkan tubuh untuk mengambil langkah seribu.
Dari barisan orang banyak itu muncul seseorang.
"Wi Tou tong, akhirnya kami berhasil menemukanmu juga!" serunya.
Siau Po baru berhasil berlari dua langkah, namun dia segera tersadar jejaknya sudah ketahuan pihak yang jumlahnya begitu besar. Biar dia bersembunyi di mana pun, dalam waktu singkat pasti akan ditemukan juga. Dia merasa suara orang itu tidak asing di telinganya, maka dia segera menghentikan langkah kakinya dan mengeraskan hati. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya.
"Wi Tou tong, kami semua sudah rindu sekali kepadamu. Terima kasih kepada Langit dan Bumi, akhirnya kami berhasil menemukanmu!" Suara orang itu memang mengandung nada kegembiraan yang tulus.
Tangan orang itu juga membawa sebatang obor, yang cahayanya bergerak-gerak karena hembusan angin. Orang itu segera melangkahkan kakinya menghampiri Siau Po. Setelah agak dekat, Siau Po segera mengenalinya, ternyata dia adalah Ong Cin Po.
Dapat bertemu dengan kawan lama tentunya hati Siau Po senang juga. Dia ingat tempo hari di luar perbatasan kota Pe King, orang ini juga pernah menemukannya malah pada saat itu Ong Cin Po tidak memperdulikan nasibnya sendiri dengan berani menutupi kejadian yang sebenarnya.
Dia tidak mengatakan kepada yang lainnya bahwa orang yang dilihatnya adalah Siau Po. Dengan sikapnya itu saja Siau Po dapat menilainya sebagai seorang yang setia kawan. Meskipun sekarang dia yang memimpin pasukan besar tentara datang mencarinya di pulau ini, tapi keadaan ini masih lumayan dibanding kalau yang datang orang lain. Biar bagaimana setianya orang ini terhadap Kong Hi, tentunya masih ada cara untuk diajak berunding. Karena itu dia segera tersenyum dan berkata.
"Ong sam ko, akalmu benar-benar jitu sehingga bisa memancing aku ke luar dari tempat persembunyian!"
Ong Cin Po melemparkan obor di tangannya ke permukaan tanah lalu membungkukkan tubuhnya dengan hormat.
"Hamba tidak berani berdusta, terus terang saja hamba juga tidak tahu kalau Wi Tou tong ada di pulau ini," sahutnya.
Siau Po tersenyum.
"Pasti Hong Siang yang memberikan saran untuk menjalankan akal bagus ini, bukan?"
"Tempo hari Hong Siang mendapat laporan bahwa Tou tong sudah menyepi ke luar lautan, karena itu beliau mengutus aku mengiringi tiga kapal untuk mencari di setiap pulau kecil yang ada di sekitar sini. Pokoknya, begitu sampai di atas setiap pulau, hamba harus menyerukan kata-kata seperti yang diajarkan oleh Hong Siang," sahut Ong Cin Po.
Pada saat itu, Song Ji dan Su Cuan juga sudah sampai di tempat itu. Mereka segera berdiri mendampingi Siau Po. Tidak lama kemudian yang lainnya juga menyusul tiba.
Siau Po menoleh kepada Kian Leng kongcu.
"Hong te kokomu benar-benar hebat, akhirnya kita berhasil ditemukan juga," katanya.
Ong Cin Po segera mengenali Kian Leng kongcu. Cepat-cepat dia membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan.
"Apakah Hong Siang mengutusmu datang ke mari untuk meringkus kami kembali ke Pe King?" tanya sang Tuan Puteri.
"Bukan, bukan," sahut Ong Cin Po. "Hong Siang mengutus hamba ke pulau-pulau di sekitar sini untuk mencari Wi tou tong. Beliau sama sekali tidak tahu kalau Kongcu juga ada di sini."
Kian Leng kongcu menundukkan kepalanya melihat perutnya sendiri yang sudah membesar wajahnya langsung berubah merah.
Ong Cin Po berkata pula kepada Siau Po.
"Hamba sudah empat bulan lebih mengarungi lautan Kami sudah menjelajahi delapan puluhan pulau, akhirnya malam ini kami berhasil menemukan Wi Tou tong juga, sungguh suatu hal yang menggembirakan!"
Siau Po tersenyum.
"Aku adalah orang yang berdosa besar bagi negara. Sudah lama aku tidak menjadi atasanmu lagi, maka ucapan seperti Tou tong maupun sebutan hamba sebaiknya tidak perlu digunakan lagi."
"Apa yang terkandung dalam hati Hong Siang akan Tou tong ketahui setelah firmannya dibacakan," kata Ong Cin Po sembari membalikkan tubuh dan menggapaikan tangannya ke arah orang banyak, "Bun kong kong, harap kau kemari sebentar!"
Dari barisan, orang banyak muncul seseorang yang mengenakan seragam para thay-kam. Rupanya juga kenalan lama Siau Po, thay-kam yang bertugas di perpustakaan Bun Yu Hong.
Dia berjalan ke arah Siau Po dan yang lainnya sembari berseru.
"Ada firman dari Sri Baginda!"
Bun Yu Hong adalah teman berjudi Siau Po ketika mula-mula dia masuk ke dalam istana, orangnya kurang culas dan dalam permainan judi disebut sebagai "Babi potong" Entah sudah berapa banyak hutangnya kepada Siau Po.
Setelah berkali-kali mendapat kenaikan pangkat, Siau Po masih sering menghadiahkan uang. Setiap kali bertemu dengan Bun Yu Hong ini, justru hutangnya tidak pernah diungkit-ungkit.
Mendengar ucapan "Ada firman dari Sri Baginda", Siau Po segera menjatuhkan diri berlutut.
"lni merupakan firman rahasia, orang lainnya harap menyingkir" kata Bun Yu Hong kembali.
Mendengar kata-kata itu, Ong Cin Po segera menyingkir sedangkan Su Cuan yang banyak pengalaman juga ikut menyingkir sejauh-jauhnya. Yang lain tentu saja mengikuti, hanya Kian Leng kongcu seorang yang memprotes.
"ltu kan firman dari Hong te koko, masa aku juga tidak boleh mendengarkan?"
"Sri Baginda sudah mengatakan bahwa ini merupakan firman rahasia, hanya Wi Siau Po seorang yang boleh mendengarkan. Apabila ada sepatah kata saja yang bocor, seluruh keluarga hamba akan menjadi tumbalnya," sahut Bun Yu Hong,
Kian Leng kongcu mendengus kesal.
"Hebat sekali! Kalau begitu biar seluruh keluargamu jadi tumbalnya saja!" Meskipun bibirnya berkata demikian, namun dia sadar, kalau dia tidak menyingkir sampai kapan pun firman itu tidak akan dibacakan. Oleh karenanya dengan hati mendongkol terpaksa dia menyingkir juga.
Bun Yu Hong mengeluarkan dua buah amplop kuning yang tertutup rapat dari balik saku bajunya.
"Hamba menerima firman Sri Baginda!" kata Siau Po lantang.
"Hong Siang bersabda bahwa kali ini kau boleh menerima firman dengan berdiri saja, Kau juga tidak perlu menyebut dirimu "hamba", juga tidak boleh menyembah," kata Bun Yu Hong pula.
Siau Po merasa heran.
"Kok ada aturan semacam itu?"
"lnilah perintah dari Hong Siang, aku hanya menyampaikannya. Tentang ada tidaknya aturan seperti itu, kelak bila bertemu dengan Hong Siang kau boleh menanyakannya langsung," sahut Bun Yu Hong pula.
Dengan perasaan apa boleh buat, Siau Po berkata. "Baiklah, terima kasih atas budi besar Hong Siang!" Kemudian ia berdiri.
Bun Yu Hong menyerahkan sebuah amplop kepadanya.
"Bukalah dan lihat apa isinya!" ujar Bun Yu Hong, Siau Po mengulurkan tangannya dan menyambut amplop tersebut. Dikoyaknya lalu dikeluarkannya sehelai kertas kuning pula dari dalamnya, Bun Yu Hong mengangkat lentera di tangannya untuk menyinari kertas kuning itu.
Siau Po melihat ada enam gambaran yang tertera di atas kertas itu. Gambar pertama melukiskan dua bocah cilik yang sedang bergumul di atas tanah. Persis apa yang pernah mereka lakukan di masa kecil dulu.
Gambar kedua melukiskan sekumpulan bocah cilik yang sedang meringkus Go Pay. Go Pay sedang berusaha menyerang Kong Hi dan ada seorang bocah lainnya yang menggenggam pisau dan menikam tubuh Go Pay. Tentu saja Siau Po tahu bocah yang memegang pisau itu mengibaratkan dirinya.
Gambar ketiga melukiskan seorang hwesio cilik yang sedang membopong seorang hwesio tua. Di belakang mereka terdapat tujuh delapan orang lhama yang mengejar sambil mengacung-acungkan golok ke atas.
Siau Po tahu Kong Hi ingin mengibaratkan keadaan ketika dirinya menolong Kaisar tua meninggalkan Ceng Liang Si di Ngo Tay san. Gambar keempat melukiskan Pendekar wanita berbaju putih yang melayang dari atas melakukan penyerangan terhadap Kong Hi, sedangkan Siau Po menghalangi di depannya untuk menerima serangan itu.
Gambar ke lima melukiskan diri Siau Po yang menekan tubuh permaisuri palsu dengan kakinya, sedangkan tangannya membimbing permaisuri asli ke luar dari bawah tempat tidur.
Gambar keenam melukiskan Siau Po bersama seorang gadis Lo Sat, seorang pangeran Mongolia, serta seorang lhama tua. Mereka bersama-sama sedang menarik kuncir seorang Panglima. Melihat seragamnya, panglima itu tentu Peng Si Ong. Tentu Kong Hi juga bermaksud menggambarkan keadaan ketika mereka bertiga menjatuhkan kedudukan Peng Si Ong.
Kong Hi masih muda, tapi otaknya cerdas sekali, Jiwa seninya juga kuat. Gambarannya sangat menyentuh sayangnya dia belum pernah bertemu dengan Puteri Sofia, pangeran Kaerltan, Shang Cie sehingga dia tidak tahu bagaimana bentuk wajah mereka.
Dia hanya menggambar dengan mengambil bentuk wajah sebagian besar orang-orang dari negara tersebut. Pokoknya masih bisa dikenali oleh Siau Po.
Pada keenam buah gambar itu tidak tertera kata-kata apa pun. Tentu Siau Po sudah mengerti sendiri bahwa semua itu melukiskan jasa-jasa yang pernah didirikannya selama dia mengikuti kaisar Kong Hi.
Walaupun lukisannya yang nomor satu tidak dapat dikatakan sebagai salah satu jasa Siau Po, tapi raja muda itu ingin menunjukkan kesannya selama bersama-sama Siau Po berlatih gulat.
Untuk beberapa saat Siau Po memandangi gambar-gambar itu dengan termangu-mangu, tanpa terasa air matanya mengalir lagi. Dalam hati dia berpikir. -Tanpa memperdulikan capai lelah dia melukiskan gambar-gambar ini dengan demikian sempurna. Sudah pasti dia selalu mengingat jasa-jasa yang pernah kudirikan. Tampaknya dia tidak menyalahkan aku lagi -
Bun Yu Hong menunggunya beberapa saat, lalu berkata. "Apakah kau sudah melihatnya dengan jelas?"
"Sudah," sahut Siau Po.
Bun Yu Hong mengoyak amplop yang kedua.
"Aku akan membacakan firman Sri Baginda," katanya sambil mengeluarkan sehelai kertas kuning yang lain kemudian langsung membacakannya:
"Siau Kui cu, maknya! Kemana saja kau selama ini? Aku sudah rindu sekali kepadamu. Kau si Budak busuk benar-benar tidak berbudi. Apakah sudah melupakan locu?"
Tampak mulut Siau Po bergerak-gerak, rupanya tanpa sadar dia menggumam seorang diri. "Tidak, benar-benar tidak."
Sejak jaman dahulu kala, entah sudah berapa banyak kaisar yang memerintah di negeri Cina, namun firman seorang kaisar yang menggunakan bahasa "Maknya" dan seorang kaisar yang menyebut dirinya sendiri "Locu", mungkin Kong Hi lah yang menerobos era baru atau malah cuma satu-satunya firman raja yang menggunakan bahasa demikian.
Setelah berhenti sejenak, Bun Yu Hong melanjutkan membaca kembali.
"Kau benar-benar tidak menurut perintahku. Aku suruh kau bunuh gurumu, kau tidak mau. Malah Tuan puteri kau bawa kabur. Maknya! Dengan caramu itu, bukankah kau terima gratis menjadi iparku? Tapi jasamu besar sekali. Kau juga setia kepadaku, maka apa pun dosamu, aku sudah memaafkan nya. Sebentar lagi aku akan kawin, apakah kau tidak mau meneguk arak kebahagiaanku?
Kalau kau sampai tidak mau, aku benar-benar tidak senang. Biar aku nasehati, sebaiknya kau menyerah saja dan kembali ke Pe King. Aku sudah menyediakan sebuah gedung baru untukmu, pokoknya lebih besar dan lebih mewah dari punyamu dulu...."
Hati Siau Po tidak kepalang girangnya, tanpa mendengar kelanjutannya dia sudah berseru.
"Baik, baik, Aku akan segera kembali ke Pe King."
Bun Yu Hong membaca kembali
"Kita bicara pahitnya dulu, mulai sekarang kalau kau masih membantah apa yang kukatakan, aku akan memenggal batok kepalamu, jangan kau beranggapan bahwa aku sengaja menipumu pulang ke Pe King untuk membunuhmu. Sekarang gurumu yang bermarga Tan itu sudah mati, berarti kau tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan Thian Te hwee. Aku ingin agar kau membasmi mereka satu per satu, kemudian aku akan mengutusmu untuk menghajar Gouw Sam kui.
Kian Leng kongcu juga boleh menjadi istrimu. Kelak kau bisa mencapai kedudukan yang tinggi sekali. Soal harta tidak perlu khawatir lagi, berapa pun yang kau inginkan tidak jadi masalah. Siau Hian cu adalah kawan baikmu, juga gurumu, Niau Seng Hi Tong, apa yang sudah diucapkannya kuda mati pun tidak sanggup mengejar. Cepat-cepatlah kau menggelinding pulang ke Pe King!"
Selesai membacakan firman kaisar, Bun Yu Hong bertanya.
"Apakah kau sudah mengerti keseluruhan nya ?"
"Iya, aku sudah paham," sahut Siau Po.
Bun Yu Hong memasukkan firman kaisar itu ke dalam lenteranya. Setelah ujungnya terbakar, dia baru mengeluarkannya kembali dan menanti sampai semuanya hangus menjadi abu baru dibuang.
Siau Po melihat ke arah kertas kuning yang sudah mulai terbakar, hatinya masih terasa berat. Baginya benda itu bukan hanya sebuah firman dari Raja, tapi sepucuk surat dari teman. Dia berjongkok dan tangannya memain-mainkan abu yang terbang tertiup angin.
Wajah Bun Yu Hong yang sebelumnya serius sekarang berubah tersenyum simpul. Dia langsung membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat kepada Siau Po.
Sembari tertawa dia berkata. "Wi Tayjin, kasih sayang Sri Baginda terhadapmu benar-benar tidak ada duanya. Mulai sekarang hamba menanti uluran tangan Tayjin."
Perlahan-lahan Siau Po menggelengkan kepalanya .
Dalam hati dia berpikir, - Dia ingin agar aku membasmi partai Thian Te hwee. Hal ini benar-benar tidak pantas dilakukan terhadap teman. Kalau aku sampai melakukan hal ini, bukankah aku sama rendahnya dengan Gouw Sam Kui maupun Hong Ci Tiong? Bukankah aku pantas disebut sebagai si Telur busuk dan Biangnya kura-kura?
Tampaknya semangkok nasi dari Siau Hian cu ini benar-benar tidak mudah dinikmati. Kali ini dia mengampuni selembar jiwaku, tapi sebelumnya dia sudah menyatakan dengan tegas bahwa Iain kali dia tidak akan memberikan pengampunan lagi. Tapi, kalau aku menolak pulang ke Pe King, entah apa yang akan dilakukannya terhadapku - Oleh karena itu dia segera menanyakan hal itu kepada Bun Yu Hong.
Seandainya aku tidak bersedia pulang ke Pe King, apa yang akan kalian lakukan? Apakah Hong Siang memerintahkan kalian untuk meringkus aku dan membunuh langsung di tempat?"
Wajah Bun Yu Hong menunjukkan mimik kebingungan.
"Wi Tayjin tidak bersedia menuruti firman kaisar? Mana... mana ada kejadian seperti itu? Bukankah itu berarti... aih! Suatu pemberontakan... Biasanya untuk menanyakan saja tidak ada yang berani," katanya.
"Kau katakan saja terus terang, kalau aku tidak menurut pada firman kaisar, apa yang akan terjadi?" tanya Siau Po sekali Iagi.
Bun Yu Hong menggelengkan kepalanya.
"Hong Siang hanya menyuruh hamba menyelesaikan dua macam urusan. Yang pertama adalah menyerahkan firman rahasia berisi gambaran. Setelah Tayjin selesai melihatnya, hamba harus membuka amplop firman yang kedua dan membacakannya di hadapan Tayjin. Mengenai apa isi kedua firman itu, hamba sama sekali tidak mengerti. Tentu saja urusan lainnya hamba terlebih tidak mengerti lagi," sahutnya.
Siau Po menganggukkan kepalanya, lalu berjalan ke hadapan Ong Cin Po.
"Ong Sam ko, dalam firmannya, Sri Baginda meminta agar aku kembali ke Pe King, tapi kau... lihat sendiri, perut Tuan puteri sudah demikian besar, aku benar-benar tidak bisa pergi, seandainya aku tidak menurut pada firman Kaisar, apakah Sri Baginda ada menurunkan perintah tindakan apa yang harus kau ambil?"
Sembari bertanya, hatinya berpikir - Lebih baik kita dengar dulu harga yang ditawarkan pihak lawan. Kalau si Raja cilik menyuruh pasukannya untuk membunuh kami semua, terpaksa aku menyerah. Tapi seandainya tidak, aku masih bisa mengadakan penawaran, --
"Sri Baginda hanya menitahkan hamba untuk menelusuri setiap pulau agar dapat menemukan Tou tong, setelah berhasil ditemukan, Bun Kong konglah yang akan menyerahkan firman beliau. Urusan lainnya tentu saja hamba serahkan kepada Tou tong untuk memberikan titahnya," sahut Ong Cin Po.
Siau Po jadi kegirangan mendengar kata-katanya.
"Jadi Sri Baginda tidak menyuruhmu menangkap atau membunuhku?" tanyanya untuk menegaskan.
"Oh, tidak, tidak," sahut Ong Cin Po cepat "Mana ada urusan seperti itu? Sri Baginda sangat memberatkan Wi Tou tong, seandainya Wi Tou tong kembali ke kota raja, kalau tidak diangkat sebagai Penasehat beliau, setidaknya pasti jadi Panglima Perang."
"Ong Sam ko, baik aku terus terang saja terhadapmu sebetulnya Sri Baginda memang meminta aku kembali ke Kotaraja. Beliau memerintahkan agar aku membasmi seluruh perkumpulan Thian Te hwee. Sedangkan aku adalah seorang Hioucu dari perkumpulan itu. Urusan mencelakakan teman semacam itu, biar bagaimana pun aku tidak akan melakukan nya."
Ong Cin Po adalah sejenis manusia yang memandang tinggi kesetiakawanan sosial. Terhadap masalah Siau Po, dia pun sudah paham benar. Mendengar ucapan pemuda itu, tidak hentinya dia menganggukkan kepalanya. Dalam hati ia berpikir, "Orang yang sanggup membunuh temannya atau mencelakai temannya sendiri, tidak kalah rendahnya dengan anjing atau pun babi! -
Terdengar Siau Po melanjutkan kata-katanya.
"Budi Sri Baginda seberat gunung, namun apa yang dititahkannya benar-benar sulit kulakukan. Aku tidak berani menemui Sri Baginda, mungkin dalam kehidupan yang akan datang aku akan menjadi kerbau atau kuda untuk membalas budi beliau. Kalau kau bertemu dengan Sri Baginda nanti, harap kau sudi menyampaikan kesulitanku ini. Kenyataannya, kesetiaan hanya boleh di satu pihak.
Dalam pertunjukan sandiwara saja sering kita saksikan tokohnya membunuh diri untuk membalas budi majikannya. Meskipun menggorok leher sendiri itu rasanya pasti sakit sekali, tapi apa boleh buat, lebih baik aku bunuh diri saja sebagai tanda baktiku terhadap negara."
Ong- Cin Po diam-diam membayangkan bila sekarang kedudukan Siau Po berganti dengan dirinya, ia pasti akan mengambil tindakan yang sama, yakni bunuh diri untuk membalas budi Rajanya. Lagipula tindakan ini juga tidak akan mencelakai teman sendiri. Cepat-cepat dia menyahut. "Tapi Wi Tou tong jangan sekali-sekali mempunyai pikiran demikian. Perlahan-Iahan saja kita cari akal, sekembalinya ke Kotaraja hamba akan menjelaskan dengan hati-hati kesulitan Tou tong ini. Perlu Wi Tou tong ketahui, beberapa orang rekan kita yang
sejalan di dulu hari telah banyak mendirikan jasa akhir-akhir ini. Kami semua akan kompak untuk tidak memperdulikan masa depan lagi dan biar bagaimana pun kami akan menyembah kepada Hong Siang untuk memohon pengertian beliau,"
Melihat sikap Ong Cin Po yang tampaknya panik sekali, diam-diam dalam hati dia merasa geli.
- Kalau mengharapkan Locu membunuh diri, sama saja memohon matahari terbit dari ufuk barat jangan kata menggorok leher, biar hanya memotong sebuah jari tangan saja juga belum tentu sanggup dilakukan. Lagipula, kalau Siau Hian cu memang ingin membunuh aku, tentu aku sudah dibunuhnya. Kalau ia benar-benar mengampuni aku, itu malah kebetulan. Kalau mengandalkan kalian beberapa orang menyembahnya untuk memohon pengertian nya, jangan mimpi. Aku lebih mengenal Siau Hian cu dari siapa pun di antara kalian --
Meskipun hatinya berkata demikian, namun melihat kesetiaan Ong Cin Po terhadapnya, sedikit banyaknya Siau Po terharu juga. Digenggamnya tangan orang itu erat-erat.
"Kalau begitu, aku terpaksa merepotkan Ong Sam ko untuk menyampaikan kesulitanku kepada Sri Baginda. Katakan saja bahwa aku Wi Siau Po merasa serba salah, maka satu-satunya jalan yang terpikir hanya bunuh diri. Untung ada kau Ong Sam ko yang menasehati sehingga tidak jadi mengambil jalan kematian," katanya.
"Baik, baik," sahut Ong Cin Po. Namun dia khawatir juga, Bun Yu Hong ada di sampingnya. Semua kejadian hari itu disaksikan oleh thay-kam ini. Bagaimana dia harus berdusta kepada Sri Baginda, kalau ketahuan bukankah jadi runyam urusannya? Tanpa sadar wajahnya menunjukkan mimik orang kebingungan.
Siau Po yang melihat tampangnya langsung tertawa terbahak-bahak,
"Ong Sam ko tidak perlu khawatir, aku hanya bergurau, Sri Baginda mempunyai otak yang cerdas sekali, tidak mungkin bisa dikelabui. Beliau juga tahu aku ini orangnya paling takut sakit, apalagi untuk bunuh diri, Ong Sam ko tidak perlu berbohong, laporkan saja semuanya sesuai kenyataan"
Mendengar kata-kata pemuda itu, hati Ong Cin Po lega seketika. Dalam hati Siau Po, saat itu juga terpikir olehnya. -- seandainya aku membohongi orang ini dan menggunakan kapalnya untuk melarikan diri sejauh-jauhnya, kemungkinan lima sampai sepuluh tahun lagi si Raja cilik baru bisa menemukan aku. Tapi dengan demikian, sekembalinya Ong Sam Ko ke Kotaraja, pasti dia yang akan disalahkan. Entengnya mungkin hanya dia yang dipenggal kepalanya, namun beratnya itu, bisa jadi seluruh keluarganya dari ibu, ayah, kakek, nenek akan dihukum mati oleh si Raja cilik. Kalau benar begitu, aku sendirilah yang telah mencelakakannya. Tidak! Tidak boleh tapi berhati busuk, jangan! Toh masih ada kemungkinan Siau Hian cu tidak akan mengambil tindakan apa-apa meskipun aku tidak bersedia kembali ke Kotaraja. -
Dengan membawa pemikiran seperti itu, dia segera berkata kepada Ong Cin Po. "Urusan yang serius telah kita bicarakan Ong Sam Ko, mari! Di atas pulau ini adikmu ini sudah lama sekali tidak berjudi. Benar-benar menyebalkan, sekarang toh ada kesempatan, sebaiknya kita bermain beberapa putaran."
Ong Cin Po gembira sekali. Kegemarannya berjudi tidak kalah dengan Siau Po. Malah kalau tidak ada lawan, dia akan menggunakan tangan kirinya untuk bertaruh dengan tangan kanannya, karena itu dia segera mengiakan sampai berkali-kali.
Tanpa menunda waktu lagi dia memerintahkan anak buahnya untuk menggotong sebuah batu besar sebagai meja mereka. Enam orang prajurit mengangkat lentera tinggi. Dengan penerangan yang cukup, permainan pun segera dimulai.
Tidak lama kemudian, Bun Yu Hong dan beberapa perwira lainnya juga ikut dalam permainan sedangkan orang-orang yang mengitari mereka semakin lama semakin banyak.
Bhok Kiam Peng yang melihat keadaan itu jadi heran, dan dengan suara lirih dia bertanya kepada Pui Ie.
"Pui suci, kenapa mereka bertaruh dadu? Apakah yang kalah juga... juga.? Tapi, mereka toh sama-sama Iaki-Iaki...."
Pui Ie tertawa geli mendengar pertanyaannya. TimbuI niat untuk menggoda adik seperguruannya itu.
"Pokoknya, siapa yang kalah akan menemanimu malam ini."
Meskipun usia Bhok Kiam Peng masih muda sekali dan pengalamannya belum banyak, namun dia tahu apa yang dikatakan Pui Ie pasti tidak benar. Karena itu dia menyusupkan tangannya ke dalam ketiak kakak seperguruannya dan menggeIitiknya. Kedua perempuan itu tertawa cekikikan saking gelinya.
Sekali bermain judi, kalau fajar belum menyingsing tentu belum berhenti. Begitu bubar, tumpukan uang di depan Siau Po sudah merupakan tiga timbunan tinggi.
Pertama tentu karena hatinya yang sedang bergembira. Kedua tentu ada main gilanya juga. Dari antara sepuluh prajurit yang ikut bermain, pasti sembilannya kalah habis-habisan.
Hati Siau Po senang sekali. Dia menolehkan kepalanya, tampak Kian Leng kongcu, Bhok Kiam Peng dan A Ko sudah tertidur di atas sebuah batu, sedangkan Su Cuan, Pui Ie, Cin Ju dan Song Ji masih memaksakan diri mereka menemaninya meskipun mata mereka sudah berat sekali.
Hati Siau Po terharu melihat keadaan itu, dia merasa bersalah. Cepat-cepat dia mendorong tiga tumpukan uang perak di depannya kepada Ong Cin Po sambil berkata. "Ong Sam ko, tolong bagi-bagikan uang perak ini kepada saudara-saudara kita semuanya. Kalian jauh-jauh datang berkunjung ke pulau ini, sedangkan kami tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan benar-benar merasa menyesal karenanya."
Tadinya para prajurit sudah pucat wajahnya karena ludes uang di saku, Mendengar perkataannya mereka segera bersorak gembira sembari mengucapkan terima kasih.
Ong Cin Po langsung memberi perintah kepada para anak buahnya untuk menurunkan berbagai perbekalan ke atas pulau itu. Boleh dibilang komplit sekali apa yang dibawakan oleh orang itu. Misalnya sayur mayur, daging, mangkok, sumpit, meja kursi sampai ke peralatan masak seperti tungku api. Setelah itu dia juga memerintahkan anak buahnya untuk segera membangun beberapa pondok. Karena jumlah orangnya banyak, apa yang dikerjakan jadi cepat selesai.
Dalam waktu beberapa hari semuanya sudah beres. Sesudah merasa tidak ada lagi yang dilakukan bagi Siau Po, Ong Cin Po memohon diri kepada saudaranya itu.
Belasan hari kemudian, A Ko lah yang pertama-tama melahirkan seorang bayi laki-laki. Hari kedua setelahnya, Su Cuan juga melahirkan seorang putra bagi Siau Po. Kongcu justru terpaut satu bulan lebih dengan kedua madunya, bayi yang dilahirkannya perempuan. Dia melihat istri Siau Po yang lain melahirkan anak laki-laki, tetapi dia sendiri justru melahirkan anak perempuan.
Hatinya mendongkol sekali sehingga tidak henti-hentinya dia menangis. Siau Po berusaha menghiburnya. Setelah dia mengatakan bahwa dia lebih suka anak perempuan daripada laki-laki. Tuan puteri baru menghapus airmatanya dan tertawa gembira.
Tiga bayi itu justru mempunyai tujuh orang ibu. Meskipun semuanya belum mempunyai pengalaman menjadi seorang ibu, namun dengan kalang kabut mereka berhasil juga mengatasi berbagai persoalan.
Tiap hari terdengar suara tertawa riang di atas pulau tersebut. Dan ketiga bayi itu juga seakan tahu diri, semuanya tampak sehat, montok dan Iincah. Ketujuh perempuan itu meminta Siau Po untuk mencarikan nama bagi ketiga bayi itu. Siau Po tertawa.
"Aku kan buta huruf, kalau suruh mencarikan nama bagi putra atau pun putriku, rasanya bukan hal yang mudah. Begini saja, kita lempar dadu, apa yang keluar, nama itulah yang kita berikan kepada bayi itu," katanya.
Perlu diketahui bahwa jumlah dadu yang keluar mempunyai nama masing-masing, hampir sama dengan tradisi kita di sini. Kalau kita bermain domino, angka kosong sering kita sebut sebagai Jeblok. Demikian pula permainan dadu di Cina pada jaman itu. Maka tanpa menunggu persetujuan dari para istrinya, Siau Po segera mengambil dua butir dadu dan bersiap-siap melemparkannya di atas meja. Se-belumnya, dalam hati dia berdoa, -- Oh, Dewa Judi, tolong pilihkan nama-nama yang lumayan untuk putra-putriku. --
Trakk!! Dadu pun dilemparkan.
"Untuk anak yang pertama!" seru Siau Po.
Dadu yang satu menunjukkan lima titik, sedangkan dadu yang satu lagi menunjukkan enam titik, jumlah ini disebut "Ho Tau", Siau Po tersenyum.
"Nama putra yang pertama boleh juga. Baiklah, anak A Ko kita namakan "Wi Ho Tau".
Dadu yang kedua kalinya dilemparkan menunjukkan satunya berjumlah satu titik dan satunya lagi berjumlah enam titik, ini yang dinamakan "Tong Cui", Maka Lo ji (Anak kedua) dari keluarga Wi dinamakan "Wi Tong Cui".
Sekali lagi dadu dilemparkan Dadu yang satu menunjukkan dua titik, sedangkan dadu yang satu lagi masih berputar terus. Ketika akhirnya berhenti, jumlahnya dua titik juga, Siau Po tertegun melihatnya kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Tampaknya nona kecil kita justru mempunyai nama yang aneh. Dia dinamakan "Wi Pan Teng"
Perempuan-perempuan yang Iain jadi terkesima mendengar nama yang aneh itu. Kian Leng kongcu justru marah sekali.
"Jelek benar! Anak gadis yang begini cantik masa dinamakan Pan Teng? Aku tidak mau! Lemparkan dadu itu sekali lagi, cari nama yang lain!" teriaknya.
"Nama yang sudah dipilihkan oleh Dewa Judi mana boleh diubah seenaknya?" sahut Siau Po sambil membopong putrinya lalu mencium pipinya satu kali. Mulutnya bernyanyi-nyanyi kecil "Si kecil Pan Teng-ku yang tersayang, oh nama ini sungguh indah sekali!"
"Tidak bisa! Pokoknya aku tidak mau nama Pan Teng! Aku yang melahirkan anak itu dan aku tidak mau nama yang begitu jelek!" teriak Tuan puteri pula.
"Huh! Kalau cuma kau sendiri memang anak ini bisa jadi?" tanya Siau Po tak mau kalah.
Kian Leng kongcu merebut kedua butir dadu dari tangan Siau Po,
"Biar aku yang lempar sendiri, pokoknya keluar apa, nama itulah yang akan kugunakan untuk anak-ku!" katanya pula.
Siau Po merasa kewalahan, akhirnya dia menuruti kehendak si Tuan Puteri.
"Tapi kali ini kau tidak boleh ingkar janji, Bagaimana kalau jumlah yang keluar Ho Tau atau Tong Cui pula?"
"Biar anak ini mempunyai nama yang sama dengan kakaknya, Ho Tau atau Tong Cui juga tidak apa-apa," sahut Kian Leng kongcu sambil menggerakkan dadu di tangannya. Mulutnya juga berkomat-kamit, "Dewa Judi, oh Dewa Judi, apabila kau tidak mencarikan nama yang bagus untuk bayi perempuanku, maka aku akan melempar kedua butir dadu ini jauh-jauh!"
Kedua butir dadu dilemparkan ke atas meja dan langsung berputaran Tidak lama kemudian keduanya berhenti. Di dalam dunia ini ternyata ada kejadian yang demikian kebetulan. Rupanya kedua butir dadu itu lagi-lagi menunjukkan dua titik, yakni yang disebut Pan Teng.
Mata Kian Leng kongcu sampai mendelik dan mulutnya terbuka lebar. Dia langsung menangis meraung-raung. orang-orang juga merasa heran sekaligus geli.
Su Cuan tertawa.
"Adik tidak perlu cemas!" katanya menghibur "Dua titik itu kan "Song" (dobel). Dadunya ada dua, jumlahnya sama, jadi "Song Song". Anak perempuan kita itu dinamakan "Wi Song Song" saja, bagaimana pendapatmu?"
Kian Leng kongcu yang mendengar ucapannya segera menghapus airmatanya dan diganti dengan senyuman merekah, hatinya menjadi gembira seketika.
"Bagus! Bagus! Nama ini sungguh indah, hampir sama dengan nama adik Song Ji!" serunya.
Song Ji sendiri juga senang dengan nama yang dipilihkan oleh Su Cuan. Cepat-cepat diambilnya bayi perempuan itu dari tangan Siau Po dan dipeluknya dengan mesra.
Bhok Kiam Peng tertawa melihatnya.
"Adik Song Ji, kau begitu sayang dengan bayi itu, sebaiknya cepat kau berikan ASI mu!" goda nya.
"Mengapa bukan kau saja yang menyusui?" balas Song Ji dengan wajah berona merah. Dia pura-pura menarik bagian depan baju Bhok Kiam Peng sehingga perempuan itu lari ketakutan semuanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah kedua perempuan yang baru mulai menginjak dewasa itu.
Dengan bertambahnya tiga orang bayi, suasana di atas pulau Tong Sip to semakin ramai. Hari-hari penuh dengan riang canda. Sejak dibekali berbagai macam lauk-pauk oleh Ong Cin Po, mereka tidak perlu lagi bersusah payah berburu atau pun menangkap ikan setiap hari.
Kecuali kalau mereka kangen masakan hidangan laut yang segar, mereka baru pergi menangkapnya. Mula-mula mereka agak khawatir juga kalau kaisar Kong Hi marah mendengar laporan Ong Cin Po tentang penolakan Siau Po kembali ke Kotaraja.
Ada kemungkinan dikirimnya sepasukan besar tentara untuk membunuh mereka semua. Namun beberapa bulan kembali berlalu, keadaan tetap tenang-tenang saja. Dan mereka yakin Ong Cin Po sudah sampai di Kotaraja dan menyampaikan laporannya.
Apabila sampai sekarang tidak terjadi apa-apa, bisa jadi Kaisar Kong Hi sudah mengambil keputusan untuk membiarkan apa pun keputusan Wi Siau Po. Dengan pemikiran demikian, hati mereka lambat laun jadi tidak terlalu was-was lagi.
Sampai musim panas tahun berikutnya, Ong Cin Po tiba-tiba datang lagi dengan satu kapal perang diiringi tiga kapal barang yang besar sekali, sesampainya di pulau itu, dia segera membacakan firman dari Kaisar Kong Hi.
Bahasa yang digunakan kali ini terlalu dalam sehingga tidak ada sepatah kata pun yang dimengerti oleh Siau Po. Terpaksa pemuda itu meminta Su Cuan yang menjelaskan artinya.
Ternyata sedikit pun Kaisar Kong Hi tidak mengungkit tentang firman nya tempo hari. Dia malah mengutus seorang perwira serta lima ratus orang prajurit untuk melindungi Kian Leng kongcu. Selain itu masih ada enam belas pelayan laki-laki, delapan orang pelayan wanita, delapan orang dayang juga berbagai perabotan rumah tangga, makanan dan lain sebagainya sampai penuh tiga kapal.
Diam-diam Siau Po merasa cemas. -- Siau Hian cu mengirimkan demikian banyak barang, kemungkinan dia menginginkan agar aku tinggal di pulau Tong Sip to ini untuk selamanya --
Dasar Siau Po jenis orang yang tidak bisa diam. Meskipun kehidupannya di atas pulau itu cukup menyenangkan bahkan ada tujuh istri cantik yang menemaninya, tapi rasanya kehidupan yang rutin ini sudah lama dijalaninya.
Dia merasa kurang seru lagi, kadang-kadang dia mengenang kembali masa lalu, malah kehidupannya di masa kanak-kanak yang setiap hari kena pukul atau kena marah lebih menyenangkan daripada kehidupannya sekarang.
Tahun yang sama, bulan dua belas, kembali Kaisar Kong Hi mengutus Tio Liang Tong ke pulau itu untuk menyampaikan firmannya. Kali ini Siau Po mendapat kenaikan pangkat lagi, Yakni Perwira Tinggi yang menguasai Tong Sip to.
Siau Po menggunakan kesempatan itu untuk mengundang Tio Liang Tong minum arak. Mereka berbicara ngalor ngidul sampai temannya itu menceritakan tentang kekuatan pasukan Gouw Sam Kui yang benar-benar sulit ditaklukkan.
"Tio Jiko, sekembalinya ke Kotaraja, tolong Tio Jiko sampaikan kepada Hong Siang bahwa aku sudah jenuh hidup santai di pulau ini. Sebaiknya beliau mengutus aku ke selatan untuk menyerbu Gouw Sam Kui," kata Siau Po.
"Hong Siang memang sudah menduga bahwa Hu ya sangat mencintai negara. Begitu tahu perang See Lam Ong masih merajalela, pasti dia akan mengajukan diri untuk memeranginya. Beliau berkata - Kalau Siau Po ingin menghajar pasukan Gouw Sam Kui, boleh-boleh saja, tapi pertama-tama dia harus membasmi perkumpulan Thian Te hwee dulu. Kalau tidak, sebaiknya dia tetap tinggal di pulau Tong Sip to untuk
menikmati hidup yang rutin atau sekedar memancing ikan maupun kura-kura setiap hari," sahut Tio Liang Tong.
Mata Siau Po menjadi merah seketika, rasanya dia ingin menangis sekeras-kerasnya.
Tio Liang Tong melanjutkan kata-katanya.
"Sri Baginda berkata pula, pada jaman Dinasti Han ada seorang bernama Han Bu Kuang. Saat itu usianya masih muda, dia mempunyai seorang sahabat yang bernama Yan Cu Ling. Kemudian Han Bu Kuang menjadi Kaisar, tapi sahabatnya Yan Cu Ling tidak bersedia diberikan pangkat dan malah memilih kehidupan tenang memancing di tepi sungai Hok Cun Kang.
Sri Baginda juga berkata bahwa Tio Bu Ong juga mempunyai seorang menteri yang akhirnya memilih menghabiskan hari tuanya dengan memancing ikan. Siapa pun tahu bahwa Han Bu Kuang maupun Tio Bu Ong adalah raja-raja yang bijaksana.
Tampaknya setiap raja yang bijaksana selalu ada pejabatnya yang hobby memancing ikan, Sri Baginda juga berkata bahwa dia ingin menjadi "Niau Seng Hi Tong", Kalau tidak ada Hu ya yang memancing ikan atau menangkap kura-kura, bagaimana beliau bisa menjadi "Niau Seng Hi Tong"?
"Wi Hu ya, hambamu ini adalah orang kasar, mengapa Sri Baginda menginginkan engkau berdiam di pulau ini memancing ikan atau menangkap kura-kura, hamba benar-benar tidak mengerti. Tapi Sri Baginda mempunyai kecerdasan yang sulit dicari duanya, di balik semua ini pasti ada alasan yang bagus."
"Betul, betul!" sahut Siau Po sambil tertawa getir. Padahal dia tahu Kong Hi hanya mengolok-oloknya. Tampaknya kalau dia tidak bersedia membasmi perkumpulan Thian Te hwee, maka untuk seumur hidupnya dia terpaksa tinggal di atas pulau itu. Kelima ratus orang prajurit yang dikirimkan oleh si Raja cilik memang bilangnya untuk melindungi si Tuan Puteri tapi sebetulnya untuk memenjarakan mereka dan berjaga-jaga agar mereka tidak bisa ke mana-mana.
Semakin dipikirkan hatinya semakin sedih. Setelah selesai menjamu tamunya minum arak, dia pun tidak bersemangat mengajak mereka berjudi lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia masuk ke kamarnya. Untuk beberapa saat dia duduk termangu-mangu di atas tempat tidur, dan tanpa terasa airmatanya mengalir dengan deras.
Ke tujuh istrinya terkejut sekali melihat Siau Po menangis dengan sedih. Mereka segera mendekati untuk menghiburnya dan ada pula yang menanyakan duduk persoalannya. Siau Po segera menceritakan isi firman dan kata-kata yang disampaikan oleh Tio Liang Tong. Kian Leng kongcu marah sekali.
"Memang betul! Kalau Hong te koko memang bersedia menaikkan pangkatmu, dia toh bisa menaikkan pangkatmu bisa saja dari Perwira tinggi tingkat tiga menjadi Perwira tinggi tingkat dua. Mengapa harus pakai embel-embel Tong Sip Pak segala? Kedengarannya saja tidak enak. Lagipula, bangsa Ceng kami yang besar ada gelar Cao Heng Pak, We Hao Pak dan yang lain-lainnya, sampai sebesar ini aku tidak pernah mendengar gelar Tong Sip Pak. Benar-benar menggelikan! Dia... dia... tidak memandang sebelah mata terhadapku!" teriaknya seperti ingin menangis.
"Sebetulnya tidak ada apa-apa dengan gelar Tong Sip Pak. Nama pulau ini toh aku yang pilih sendiri mana boleh menyalahkan Sri Baginda? Lagipula aku kan pemilik Tong Sip to ini, maka memang sudah sepantasnya kalau aku diberi gelar Tong Sip Pak. Jauh lebih baik dari pada Tong Pai Pak (Perwira Tinggi Kalah semua) Cuan cici, biar bagaimana kau harus mencari akal, kita harus kembali ke Tionggoan, Aku... aku sudah rindu sekali kepada ibuku."
Su Cuan menggelengkan kepalanya.
"Urusan ini benar-benar sulit. Lebih baik perlahan-lahan kita tunggu kesempatan saja," sahut wanita itu.
Siau Po meraih sebuah cawan lalu dibantingkan keras-keras di atas tanah. Tranggg!!!
"Kau memang tidak mau mencari akal. Baik, kelak aku akan kabur sendirian, kalian jangan menyalahkan aku. Aku... aku... aku lebih suka menjadi kura-kura tukang bawa nampan teh daripada jadi segala Tong Sip Pak di pulau ini. Sumpek!" teriaknya marah.
Su Cuan tidak marah kepadanya, dengan tersenyum dia berkata, "Siau Po, kau tidak perlu merasa kesal, pada suatu hari nanti. Sri Baginda pasti akan menyuruhmu menyelesaikan suatu pekerjaan besar."
Siau Po gembira sekali mendengarnya.
"Cici yang baik, aku minta maaf kepadamu. Cepat katakan, tugas apa kira-kira yang akan diberikan si Raja cilik? Asal bukan membasmi perkumpulan Thian Te hwee, pekerjaan apa pun akan kulakukan."
"Bagaimana kalau Hong te koko menyuruhmu membuang kotoran manusia atau membersihkan WC?" tanya Kian Leng kongcu.
Kemarahan Siau Po meluap kembali.
"Akan kuterima pekerjaan itu, tapi setiap hari aku akan menugaskanmu yang melakukannya."
Melihat si pemuda demikian marahnya, Tuan Puteri tidak berani bicara lagi.
"Cuan cici, cepat kau katakan, Siau Po sudah penasaran setengah mati," kata Bhok Kiam Peng.
Su Cuan merenung sejenak.
"Tugas apa yang akan diberikan oleh si Raja cilik aku tidak tahu. Tapi aku yakin suatu hari dia akan memberikan pekerjaan besar kepadamu. Sekarang ini dia menggunakan pengaruhnya untuk memaksamu membasmi perkumpulan Thian Te hwee, semakin kau menolaknya, dia akan semakin merongrong. Maksudnya ingin kau menyerah terhadapnya, Siau Po, kalau kau bermaksud menjadi seorang laki-Iaki sejati yang tidak sudi mencelakakan teman sendiri, sedikit penderitaan ini terpaksa harus kau telan. Kalau mau jadi pahlawan tapi sekaligus merasakan kesenangan hidup, rasanya sulit menemukan kesempatannya," sahut wanita itu.
Siau Po berpendapat apa yang dikatakan Su Cuan memang beralasan, maka dia segera berdiri dan mengembangkan senyuman di bibirnya.
"Tapi kalau aku jadi pahlawan sekaligus menikmati halusnya kulit isteriku, bolehkan?"
Dia langsung mengumandangkan sebuah lagu ciptaannya sendiri "Raba sana, raba sini, rabalah rambut cici Cuan yang hitam dan lebat...."
Tangannya terulur untuk membelai rambut panjang Su Cuan. Yang lainnya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah pemuda itu. Gelombang kecil yang menerpa kehidupan mereka langsung hilang tak berbekas.
Sejak hari itu mereka kembali menikmati kehidupan damai di atas pulau tersebut. Tahun demi tahun pun berlalu. Pada bulan tertentu setiap tahunnya. Kaisar Kong Hi secara rutin mengirimkan makanan, pakaian dan berbagai keperluan lain.
Raja itu juga tidak lupa mengirimkan dadu dari bola kristal untuk Siau Po. Untungnya di atas pulau itu telah bertambah lima ratus orang prajurit, jadi kapan jam saja Siau Po tidak kekurangan lawan berjudi.
Tahun ini kembali Sun Si Kek diutus datang ke pulau itu. Siau Po melihat topinya yang berantakan batu berwarna merah, pakaian yang dikenakannya keren sekali sehingga menunjukkan wibawa yang besar Siau Po tahu kedudukan orang itu pasti sudah tinggi sekali, maka dia berkata. "Sun Si ko, selamat! Tampaknya pangkatmu naik lagi!"
Wajah Sun Si Kek berseri-seri mendapat ucapan selamat dari Siau Po. Dia segera membungkukkan tubuhnya menjura kepada pemuda itu.
"Terima kasih. Semua ini berkat budi besar Sri Baginda juga bantuan dari Wi Hu ya," sahutnya.
Ketika firman Kaisar dibacakan, Siau Po baru tahu bahwa pemerintahan Kerajaan Ceng telah mengalami perubahan besar, sebagian besar tempat yang dikuasai oleh Hun Lam Peng Si Ong, Gouw Sam Kui, Kuang Tung Peng Lam Ong Siong Ci Heng, Hok Kian Ceng Lam Ong Ciu Ceng Tiong telah berhasil direbut kembali.
Saking senangnya Kaisar Kong Hi mengumbar hadiah dan pangkat Siau Po yang tidak berjasa apa-apa saja dianugerahi pangkat Perwira tinggi tingkat satu dari pulau Tong Sip to. Putranya yang pertama juga dianugerahi gelar Siau Po mengucapkan terima kasih.
Dia juga mendapat sebuah batu marmer besar sebagai hadiah, Siau Po ingat pernah melihat marmer besar itu di kediaman Gouw Sam Kui, tepatnya di perpustakaan, juga merupakan salah satu dari tiga pusaka kesayangan Peng Si 0ng. Tio Yong, Tio Liang Tong, Ong Cin Po dan Sun Si Kek juga mendapat hadiah-hadiah yang berharga.
Malam harinya Siau Po menjamu Sun Si Kek. Sahabatnya itu menceritakan pengalaman bagaimana mereka merebut kembali daerah-daerah kekuasaan Gouw Sam Kui. Rupanya Tio Yong berhasil menggempur pasukan besar Gouw Sam Kui yang ada di Kam Sia dan Leng Hia. Sekarang Tio Yong sudah menjabat kedudukan yang tinggi, pangkatnya sekarang malah sudah lebih tinggi dari Siau Po sendiri. Demikian
pula dengan Ong Cin Po, Tio Liang Tong dan dirinya sendiri.
"Sejak terkena pukulan Kui Heng Su, tubuh Tio Hou Ya (Kedudukan Tio Yong sekarang) tidak bisa normal kembali. Ketika memimpin peperangan, beliau terpaksa duduk di atas tandu sembari memberikan aba-aba tentang tindakan apa yang harus diambil oleh para anak buahnya," kata Sun Si Kek menjelaskan.
Siau Po merasa kagum sekali mendengarnya.
"Wah, hebat betul! Dengan tubuh cacat saja Saudara Tio bisa memimpin penyerbuan besar, apalagi kalau dalam keadaan normal."
"Memang tepat apa yang Hu ya katakan itulah sebabnya pangkat yang dianugerahkan oleh Hong Siang kepadanya paling tinggi di antara kami ber-empat."
Siau Po mendengar Sun Si Kek menceritakan kejadian itu dengan penuh kebanggaan, wajahnya sendiri berubah muram, dan hatinya kesal karena tidak dapat ikut merasakan kemenangan itu. Tapi mendengar keempat sahabatnya telah berhasil mendirikan jasa besar, dia ikut gembira juga.
"Kami sering membicarakan tentang pertempuran yang telah dijalankan beberapa tahun terakhir ini. Semua ini berkat kebijaksanaan Sri Baginda dan bimbingan Wi Hu ya dahulu hari, seandainya Wi Hu ya yang menjadi Panglima Perang dan membawa kami menggempur Gouw Sam Kui, itulah hal yang paling sempurna, Tio Jiko dan Ong Samko sering bertengkar kadang-kadang mereka bertengkar sampai di hadapan Sri Baginda.
Tio toako saja sampai kewalahan mengatasinya. Beberapa kali Sri Baginda membicarakan Wi Hu ya, beliau mengatakan kalau mereka terus mempertengkarkan masalah Wi Hu ya, tentu merupakan penyesalan bagi Wi Hu ya. Mendengar kata-kata Hong Siang, mereka baru berhenti bertengkar," kata Sun Si Kek pula.
Siau Po tersenyum.
"Dari dulu mereka memang selalu bertengkar setiap bertemu muka. Herannya kok masih bertengkar terus walaupun sudah menjabat kedudukan tinggi?"
"ltulah! Mereka sering saling menyalahkan Yang satu memburukkan yang lain di hadapan Sri Baginda. Untung saja Raja kita orangnya bijaksana, dan tidak terlalu memperdulikan aduan siapa pun. Kalau tidak, mungkin keduanya sudah merasakan enaknya hukuman penggal kepala," sahut Sun Si Kek.
"Bagaimana dengan si budak tua Gouw Sam Kui? Apakah dia juga sudah tertangkap? Apakah kalian telah menarik kuncirnya atau mendupak pantatnya beberapa kali?" tanya Siau Po pula.
Sun Si Kek menggelengkan kepalanya.
"Aih! Nasib si budak tua itu cukup lumayan...."
Siau Po mendelikkan matanya lebar-lebar.
"Apa? Jadi dia berhasil meloloskan diri?" tanyanya terkejut.
"Kabur sih tidak, tetapi di mana-mana dia mengalami kekalahan. Setiap daerah yang dikuasainya berhasil kita rebut kembali. Dia sudah tahu bahwa kekuasaannya tidak bisa dipertahankan lagi. Sebelum mati dia ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Kaisar. Dia langsung mengenakan jubah kebesaran berwarna kuning, kepalanya memakai topi mahkota berhiaskan berbagai permata.
Saat itu dia berada di Heng Ciu pura-pura menjadi Kaisar. Kami mendapat kabar tentang itu, tanpa menunda waktu lagi kami segera membimbing pasukan besar untuk menyerbu ke wilayah itu.
Dari masuk kota kami sudah menggempur orangnya habis-habisan. Setelah mengalami berkali-kali kekalahan, si budak bermarga Gouw itu semakin kesal dan tertekan jiwanya, dan dalam keadaan hampir gilalah dia pulang ke alam baka" sahut Sun Si Kek.
"Oh, rupanya begitu. Jadi keenakan si budak tua itu tidak perlu merasakan nikmatnya tali gantungan!" kata Siau Po.
"Setelah si pengkhianat Gouw mati, anak buahnya mengangkat cucunya Gouw Sek Huan sebagai penggantinya dan mengungsi ke Kun Beng, Tio Toako tidak ingin memberi kesempatan bagi orang itu untuk mengembangkan sayapnya. Dia segera memimpin anak buahnya untuk menyerbu ke Kun Beng.
Dua orang kepercayaan Gouw Sam Kui, yakni Sia Kok Siang dan Ma Po berhasil diringkus, sedangkan Gouw Sek Huan bunuh diri. Dengan demikian dunia pun jadi tenang kembali.
"Di wilayah Kun Beng ada semacam pusaka negara, entah apa yang terjadi dengan benda itu?" tanya Siau Po.
"Pusaka negara apa? Kok hamba tidak pernah mendengarnya?" kata Sun Si Kek.
"Sebenarnya yang kukatakan itu pusaka hidup, Tentu saja wanita tercantik di dunia, yakni Tan Wan Wan."
Sun Si Kek tertawa mendengar kata-katanya.
"Rupanya Tan Wan Wan! Entahlah, tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi. Mungkin mati terbunuh ketika terjadi keributan atau mungkin saja dia juga sudah melarikan diri."
"Sayang! Sayang!" kata Siau Po berulang-ulang. Dalam hati dia berpikir, - A Ko adalah istriku, dengan demikian tidak syak lagi kalau Tan Wan Wan itu mertuaku seandainya Tio Jiko mengetahui hal ini dan berhasil meringkusnya, seharusnya dia diantarkan ke Pulau Tong Sip to ini, biar dia bisa bertemu dengan putrinya A Ko.
Mereka ibu dan anak bertemu sih tidak jadi masalah, tapi aku dan dia akan berkumpul sebagai mertua dan mantu laki-Iaki, tentunya berbeda sekali jangan bicarakan urusan lainnya, asal bisa menikmati permainan harpanya atau mendengar dia menyanyikan lagu "Wan Wan" atau "Fang Fang" saja sudah merupakan kegembiraan yang tiada taranya.
Tentu saja seorang mertua tidak boleh termasuk Tong Sip, tapi kalau hanya "Mantu memandang mertua perempuan sambil meneguk air liur" saja kan boleh? --
Selesai menjamu tamunya, Siau Po kembali ke kamar dan menceritakan pembicaraan tadi kepada ke tujuh istrinya, A Ko langsung murung wajahnya mendengar bahwa sejak peperangan tidak ada lagi kabar berita mengenai ibunya.
Meskipun sejak kecil dia sudah dilarikan oleh Kiu Lan dan tidak pernah mengenal baik ibu kandungnya, namun biar bagaimana pasti ada hubungan batin di antara keduanya. Sedikit banyaknya A Ko merasa sedih juga mendengar kabar ini.
Siau Po menghibur A Ko agar tidak perlu terlalu cemas. Dia mengatakan bahwa ke mana pun ibunya pergi pasti Pek Seng To Ong saudara Hu akan menyertainya.
"Kau lihat sendiri, ilmu silat Hu toako sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Untuk melindungi ibumu seorang saja pasti semudah membalikkan telapak tangannya sendiri," katanya.
A Ko merasa apa yang dikatakan Siau Po memang ada benarnya juga, karena itu kesedihannya pun jauh berkurang.
Tiba-tiba Siau Po menggebrak meja.
"Aduh, celaka!" teriaknya.
A Ko merasa heran.
"Apa? Maksudmu ibuku menghadapi bahaya?" tanyanya cemas,
"ibumu sih tidak apa-apa, justru aku yang sedang menghadapi bahaya besar," sahut Siau Po.
A Ko semakin bingung.
Bagian 87
"Kok bahayanya malah beralih kepadamu?"
"Hu toako itu kan saudara angkatku, dan kami pun sudah pernah bersembahyang kepada Langit dan Bumi, Apabila dalam kancah peperangan dia malah bermesraan dengan ibumu, bukankah mulai sekarang dia malah menjadi ayah mertuaku? Wah, urusan generasi yang akan datang bisa jadi bingung!" sahut Siau Po.
A Ko mencibirkan mulutnya dan mendelik satu kali kepadanya.
"Hu Pek Pek ini orangnya jujur dan selalu menomor satukan kebenaran. Kau kira setiap laki-laki di dunia ini sama seperti engkau sendiri, asal ketemu perempuan langsung peluk sana peluk sini?"
Siau Po tertawa mendengar sindirannya, "Mari, mari! Sudah saatnya kita peluk sana peluk sini!" katanya sembari mengulurkan tangannya untuk memeluk A Ko.
Setelah mendapat kenaikan pangkat sebagai Perwira tinggi Tingkat Satu, pelayan, tukang masak bahkan dayang yang melayani di pulau itu semakin bertambah.
Putranya yang pertama, Wi Ho Tau lahir dalam keadaan yang tidak menguntungkan tapi kecil-kecil dia sudah dianugerahi gelar oleh Kaisar. Meskipun tinggal di pulau yang terpencil, untuk makan dan pakaian mereka tidak kekurangan bahkan boleh bersaing dengan anak-anak hartawan di kota-kota besar.
Sayangnya kehidupan di atas pulau itu terlalu monoton sehingga lama kelamaan Siau Po semakin terasa sumpek. Rasanya dia ingin membuat kejadian yang aneh-aneh biar timbul kegemparan tapi kalau tidak ada yang mendukung, tentu akhirnya malah dia sendiri yang dikeroyok orang banyak.
Lagipula ke-tujuh istrinya tidak mau diajak bekerja sama untuk menimbulkan huru hara. Bahkan Kian Leng kongcu yang dulunya paling nakal juga tidak bersedia mengikuti kemauannya. Akhimya Siau Po merasa seakan berubah menjadi orang cacat yang tidak sanggup melakukan apa-apa.
Kadang-kadang dia membayangkan cerita Sun Si kek ketika mereka mendapat tugas menghancurkan kekuasaan Gouw Sam Kui. Tentunya menyenangkan sekali dapat menyerbu ke sana ke mari dan merampas harta benda yang berhasil dikumpulkan orang itu, sayangnya dia sendiri tidak ikut ambil bagian sehingga sering merasa menyesal karenanya.
Coba kalau dia mendapat kesempatan untuk ikut dalam peperangan itu, pasti tidak akan dibiarkannya Gouw Sam Kui mati demikian enaknya. Dia akan meringkus pengkhianat itu hidup-hidup lalu dimasukkan ke dalam sebuah kerangkeng.
Diaraknya orang itu dari Hu Lam ke Kotaraja, siapa yang ingin melihatnya harus membayar setengah tail uang perak, kalau ingin meludahinya harus membayar satu tail. Anak-anak setengah harga, perempuan cantik tentu saja gratis, orang-orang di seluruh dunia ini benci sekali terhadap pengkhianat negara itu. Dari Hu Lam ke Kotaraja saja, aku Wi Siau Po pasti kaya mendadak.
Gouw Sam Kui sudah mati, tentu saja tidak ada peperangan sehebat itu lagi. Tapi di dalam dunia ini, selain perang, tentunya masih banyak hal yang menyenangkan. Asal sampai di tempat yang banyak penduduknya, pasti ada saja kegembiraan yang dapat menjadi pilihan.
Pokoknya, pertama-tama yang harus dilakukan adalah meninggalkan pulau Tong Sip to. Tapi tujuh orang istri, dua orang putra dan seorang putri tidak pernah meninggalkan satu jengkal pun. Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang dibiarkan menggelantung di lehernya.
Kadang-kadang terpikir pula untuk mengajak mereka semuanya melarikan diri dari pulau itu, tapi tentunya semakin merepotkan maka lebih baik ke sepuluh orang itu ditinggalkan dan dia kabur sendirian.
Sejak mengantarkan kepergian Sun Si Kek, setiap hari hanya urusan ini yang jadi pikirannya. Ada-kalanya dia duduk di atas sebuah batu karang yang besar untuk memancing ikan.
Timbul pikiran kalau saja muncul seekor kura-kura raksasa yang dapat menyeberangkan nya ke Tiong Goan tentu merupakan hal yang menyenangkan sekali.
Hari itu merupakan pertengahan musim gugur, udara masih terasa panas, Siau Po duduk bersandar di atas sebuah batu sambil memancing ikan. Belum berapa lama matanya sudah terasa penat, hampir saja dia tertidur. Namun tiba-tiba terdengar ada suara yang berkata.
"Wi Hu ya, Hai Liong Ong (Raja Naga di lautan) mengundangnya."
Siau Po merasa heran sekali, dan segera memusatkan pandangannya ke arah suara tadi. Tampak di permukaan laut timbul seekor kura-kura yang besar sekali. Kepalanya mendongak ke atas dan dari mulutnya terdengar suara ucapan manusia.
"Tung Hai Liong Ong di dasar lautan mempunyai sebuah istana yang disebut Cui Cing Kiong, beliau merasa iseng. Karena itu hamba disuruh mengundang Wi Hu ya untuk berkunjung ke dasar lautan agar dapat berjudi dengan Hai Liong Ong kami.
Raja kami akan menggunakan batu permata, mutiara yang ada di dasar lautan sebagai taruhannya, Wi Hu ya sendiri boleh menggunakan uang perak seperti biasanya!"
Siau Po kegirangan setengah mati mendengarnya.
"Hebat, hebat! Raja Lautan yang derajatnya demikian tinggi saja masih bersikap demikian sungkan! Biar bagaimana aku harus menemaninya bermain!" serunya.
"Di dalam istana Cui Cing Kiong kami ada gedung pertunjukan sandiwara. Berbagai tontonan yang menarik dapat disaksikan di sana, Kami juga mempunyai tukang cerita yang mahir mengisahkan Legenda Eng Liat Toan, Sui Hu Cuan dan berbagai kisah sejarah yang menarik lainnya. Bahkan ada penyanyi yang pandai membawakan berbagai lagu kesayangan Wi Hu ya, ada penari yang cantik-cantik yang gerak-geriknya lemah gemulai.
Hai Liong Ong kami juga mempunyai tujuh orang puteri yang wajahnya tidak kalah dengan Bidadari dari Khayangan. Kami tahu bahwa Wi Hu ya senang melihat wanita cantik, pasti-nya ingin mengintip sekilas sampai di mana kejelitaan tuan-tuan puteri kami, bukan?" kata si kura-kura pula.
Semakin didengarkan hati Siau Po semakin menggelitik rasanya.
"Betul, betul, sekarang juga kita pergi ke sana!" sahutnya.
"Silahkan Wi Hu ya duduk di atas punggung hamba, hamba akan membawa Wi Hu ya ke istana kami!" kata si kura-kura.
Siau Po segera bangun dan mencelat ke atas punggung kura-kura besar itu. Dia dibawa ke istana Cui Cing Kiong di dasar lautan. Di depan pintu gerbang istana telah menanti Raja Lautan Timur, yakni Tung Hai Liong Ong. Dia disambut dengan hangat, tangannya digandeng serta diajak ke dalam. Ternyata di dalam ruangan yang mewah juga telah menanti Lam Hai Liong Ong (Raja Lautan Selatan).
Ketika perjamuan berlangsung, datang pula beberapa tamu yang lain. Mereka terdiri dari Ti Pat Kai (Siluman Babi), Gu Mo ong (Siluman Raja Kerbau), Tio Hui, Li Po, Gu Peng, Ceng Yau Kim keempat Jenderal besar, Hu Ong, Ju Pao Ong, Sui Ie Ti, Beng Cin Tek keempat Kaisar. Keempat kaisar, empat Jenderal besar, dua siluman dan dua dewa iblis yakni Naga Timur dan Naga Selatan merupakan tokoh-tokoh yang paling terkenal serta aneh sejak jaman dahulu kala. Mereka semua memang dikisahkan menguasai lautan luas.
Selesai perjamuan, permainan judi pun dimulai, dan Siau Po yang jadi bandarnya. Tangannya meraih kartu di atas meja seenaknya, tapi biar kelihatannya sembarangan namun kartu yang didapatkannya selalu bagus. Dalam waktu tidak seberapa lama dia sudah meraih kemenangan banyak sehingga kedua belas lawannya berkaok-kaok.
Uang di hadapan Siau Po sudah bertumpuk tinggi bahkan sampai melimpah ruah. Terakhir malah selir-selir serta gundik-gundik cantik para lawannya juga digadaikan kepadanya.
Watak Li Po paling jelek di antara lawan-lawannya. Ketika istrinya yang cantik juga terpaksa dijual kepada Siau Po untuk membayar kekalahan, ia langsung berang. Wajahnya yang kehitam-hitaman disertai rona merah. Dengan suara lantang dia berteriak.
"Dasar Keturunan Maling! Jadi orang itu kalau sudah menang ya sudah dong! Kau sudah memenangkan gundik dan selir orang, itu sih masih tidak apa-apa, malah istri tua juga mau digotong sekalian. Benar-benar keterlaluan! Orang seperti engkau tidak punya perasaan, tidak pantas dijadikan teman!"
Diangkatnya tubuh Siau Po ke atas, tinjunya dikepalkan dan dihantamnya pemuda itu satu kali. Terdengar suara Buuukkk!! Tepat mengenai telinga Siau Po sehingga kepalanya terasa berdengung-dengung.
Siau Po menjerit sekeras-kerasnya. Tali pancing terjungkit ke atas dan melilit di lehernya. Dalam keadaan panik dia bergulingan Ujung kail menancap di dagingnya sehingga dia merasa kesakitan
Dalam sekejap mata, entah Ti Pat Kay, Li Po atau siapa saja sudah hilang tak berbekas. Saat itu juga dia baru sadar bahwa dirinya sedang bermimpi. Namun pada waktu yang bersamaan, dari atas lautan terdengar suara Buummm! yang memekakkan telinga.
Siau Po mendongakkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. Di tengah lautan tampak beberapa kapal besar dengan layar terkembang lebar sedang melaju ke arah Pulau Tong Sip to. Siau Po dapat melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan kapal-kapal tersebut.
Dia berusaha melepaskan tali pancingan yang melilit di Iehernya. Dalam keadaan panik dia malah kebingungan dan gagal. Ujung kail yang menancap di bagian lehernya terasa menusuk semakin mendalam.
Tanpa memperdulikan rasa perih yang dirasakan, dia berlari sekencang-kencangnya. Dalam pikirannya, pasti The Kek Song, si Budak Tengil itu datang kembali dengan membawa pasukan besar untuk membayar hutang, sebetulnya bayar hutang sih urusan yang menyenangkan tapi belum apa-apa sudah menembakkan meriam ke arah pulau justru merupakan hal lain yang harus dipertimbangkan.
Belum lagi dia sampai ke depan rumahnya. Perwira Peng sudah menghambur ke arahnya dengan nafas terengah-engah.
"Wi Hu ya, celaka! Pasukan besar dari Taiwan datang menyerbu!" teriak orang itu.
"Bagaimana kau tahu kalau itu kapal pasukan Taiwan?" tanya Siau Po.
"Tadi... hamba menggunakan alat peneropong untuk melihat apa yang terjadi ketika terdengar suara dentuman, Di bagian e... kor,., eh, kepala kapal terdapat gambar Bulan dan Matahari. Gambar itu merupakan lambang kapal Taiwan. seandainya satu kapal mengangkut lima ratus prajurit, dua kapal... dua ribu, tiga kapal tujuh ribu prajurit.-" kata-kata si Perwira makin lama makin ngaco tidak karuan.
Siau Po segera mengambil alat teropong dari tangan orang itu dan digunakan untuk meneropong ke arah kapal-kapal yang sedang mendatangi jumlahnya setelah dihitung dengan seksama ternyata ada tiga belas kapal. Ketika Siau Po melihat bagian kepala kapal, ternyata memang ada gambar Bulan dan Matahari.
"Cepat siapkan prajurit-prajuritmu!" seru Siau Po. "Suruh mereka berjaga-jaga di pesisir pantai! Lawan tentu harus menggunakan sampan untuk mencapai pulau ini, kalau mereka mendekat, cepat bidikkan anak panah!"
Perwira Peng segera mengiyakan lalu menghambur pergi.
Su Cuan dan yang lainnya segera keluar mendengar suara ribut-ribut. Dari arah kapal kembali berkumandang suara dentuman-dentuman.
"Adik A Ko, kalau kau dibawa ke Taiwan, apakah Ho Tau akan kau bawa juga?" tanya Tuan puteri.
A Ko menghentakkan kakinya ke atas tanah dengan marah.
"Kau anggap sekarang saatnya berkelakar?" sahutnya kesal.
Siau Po yang mendengarkan justru lebih gusar lagi.
"Biar Kongcu si perempuan busuk itu membawa Song Songnya saja mengungsi ke Taiwan...."
Tiba-tiba Su Cuan berkata.
"Eh, aneh! Kok meriam ditembakkan ke dalam lautan malah bukan ke arah pulau kita?"
Yang lainnya segera memperhatikan dengan seksama, ternyata apa yang dikatakan Su Cuan harus separuhnya yang benar. Meriam itu memang tidak ditembakkan ke arah pulau, dan juga bukan ke dalam laut tapi justru ditembakkan ke atas langit yang kemudian jatuh ke dalam lautan sehingga air bergejolak dan menimbulkan suara letusan dahsyat Siau Po yang melihat hal itu langsung tertawa terbahak-bahak.
"ltukan tembakan penghormatan bukan datang untuk menyerbu kita," katanya setelah sempat tertegun sejenak.
"Bisa saja mula-mula dia memberikan tembakan penghormatan belakangan baru prajuritnya datang menyerbu," kata Kian Leng kongcu.
Siau Po semakin kesal mendengar ocehannya.
"Mana si budak Song Song? Cepat ke mari, biar Bapakmu menghajar pantatmu!" teriaknya.
Kian Leng kongcu mendengus satu kaIi. "Anak tidak salah apa-apa kok mau dipukul?"
"Siapa suruh dia punya ibu yang demikian menyebalkan!" kata Siau Po.
Jarak kapal-kapal itu semakin dekat Siau Po menggunakan alat teropongnya sekali lagi. Di atas tiang layar terkembang bendera bergambarkan seekor Naga Kuning sebagai lambang bendera Kerajaan Ceng, Siau Po gembira sekaligus terkejut, lalu menyerahkan alat teropong ke tangan Su Cuan.
"Aneh sekali, coba kau lihat sendiri!" katanya.
Su Cuan melihat sejenak, kemudian tersenyum.
"Rupanya pasukan angkat laut dari Kerajaan, bukan kapal perang Taiwan," ujarnya.
Siau Po mengambil kembali alat teropong itu lalu melihat lagi sejenak untuk meyakinkan dirinya.
"Betul, itulah Angkatan Laut dari kerajaan Ceng, Aih, ada apa ya? Maknya, sakit sekali!" Dia menolehkan kepalanya, ternyata Ho Tau yang digendong A Ko sedang menarik ujung kail yang menancap di belakang lehernya. Tentu saja dia merasa kesakitan.
A Ko menahan tawanya dan dengan hati-hati melepaskan ujung kail yang masih menancap itu.
"Maaf, jangan marah ya!" katanya.
Siau Po tertawa. "Anak baik, kecil-kecil saja sudah menuruni watak iseng bapaknya, benar-benar pintar!"
Kian Leng kongcu mendengus kesal.
"Dasar pilih kasih!" makinya.
Sementara itu, tampak Perwira Peng berlari-lari datang.
"Wi Hu ya, di atas kapal tergantung bendera Kerajaan Ceng yang besar Jangan-jangan ada apa-apanya di balik semua ini!" serunya.
"Tidak salah. Kalau ada sampan yang mendatangi nanti, kita tanyakan saja, kan beres?"
Perwira Peng segera mengiakan, lalu pergi untuk melaksanakan perintah Siau Po.
"Pasti si Budak Kek Song yang main gila dengan memalsukan bendera Kerajaan. itu kan terang-terangan kapal perang dari Taiwan!" kata Kian Leng kongcu.
"Bagus, bagus! Kongcu, akhir-akhir ini kau kok semakin cantik saja?" ujar Siau Po.
Tuan Puteri tertegun, tapi tentu saja hatinya senang mendengar pujian sang suami, bibirnya langsung tersenyum.
"Biasa saja, apanya yang tambah cantik?" katanya.
"Pipimu berona merah jambu, wajahmu berseri-seri, dan alismu melengkung indah seperti bulan sabit. Si Budak Kek Song pasti jatuh cinta kalau melihat tampangmu sekarang," sahut Siau Po.
"Huh!" dengus kongcu setelah tahu kalau Siau Po hanya menyindirnya.
Tidak lama kemudian, kapal-kapal itu berlabuh. jaraknya dengan tepi pantai masih agak jauh. Tampak enam tujuh orang turun ke atas sebuah perahu (se-koci) dan mendayung ke arah pulau. Perwira Peng memerintahkan anak buahnya bersiap-siap untuk memanah apabila ada gelagat yang tidak menguntungkan.
Di atas perahu kecil itu tampak seseorang sedang berbicara dengan menggunakan alat pengeras suara, "Firman Kaisar tiba! Komandan Angkatan Laut Si Kun Bun diperintahkan untuk menyampaikan Firman Kaisar!"
Siau Po senang sekali mendengarnya.
"Maknya! Apa-apaan sih si Budak Sie Long? Kenapa dia menggunakan kapal perang Taiwan untuk menyampaikan Firman Kaisar?" makinya.
"Mungkin dalam perjalanan ke mari dia bertemu dengan kapal perang Taiwan. Setelah terjadi peperangan dia berhasil meraih kemenangan kemudian digiringnya kapal perang Taiwan itu ke sini," kata Su Cuan mengambil kesimpulan.
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Pasti begitu kejadiannya. Cuan cici memang pandai sekali, apa yang ditafsirkannya selalu mendekati kenyataan!"
Kian Leng kongcu semakin tidak senang mendengar saingannya selalu mendapat pujian.
"Kalau aku rasa, kemungkinan Sie Long sudah menyatakan takluk kepada pihak Taiwan dan sekarang dia pura-pura ingin menyampaikan Firman Kaisar agar tidak dicurigai," katanya.
Hati Siau Po sedang senang, maka dia tidak mengeluarkan makian lagi, hanya tangannya mencubit pinggul perempuan itu satu kali lalu bergegas berjalan menuju tepi pantai untuk menyambut Firman Kaisar.
Orang yang berdiri di atas perahu kecil itu ternyata memang Sie Long. Dia turun dari perahu dan berdiri tegak di atas pasir sambil menyampaikan Firman Kaisar.
Rupanya Kaisar Kong Hi memerintahkan Sie Long untuk menggempur Taiwan, Angkatan Laut Taiwan dan Peng Hu berhasil dihancurkan. Mereka menggunakan kapal lawan untuk menyerbu masuk ke negara itu. Pangeran muda The Kek Song langsung menyerahkan diri tanpa berperang lagi. Dengan demikian, Taiwan pun terjatuh ke tangan Kerajaan Ceng.
Sesuai dengan jasa-jasa yang telah didirikan oleh bawahannya, Kaisar Kong Hi menghadiahkan pangkat. Karena dulu hari Siau Po berhasil membujuk Sie Long untuk bekerja kepada Kerajaan Ceng, maka Kaisar Kong Hi tidak melupakan jasa tersebut Siau Po dianugerahi gelar pangeran Tingkat dua dari Pulau Tong Sip to, yakni El Ten Tong Sip Hou. Dan pangkat putera pertamanya pun dinaikkan
Siau Po mengucapkan terima kasih atas budi besar Sri Baginda terhadapnya. Dia berdiri termangu-mangu seperti orang yang kehilangan sukmanya, ia sama sekali tidak menduga kalau dalam waktu yang singkat Taiwan berhasil direbut kembali oleh Sie Long.
Sejak pertama bertemu dengan The Kek Song, permusuhan di antara mereka telah timbul. Apalagi setelah gurunya Tan Kin Lam dibunuh oleh pemuda itu, kebenciannya semakin mendalam. Begitu Taiwan berhasil dijatuhkan oleh Kerajaan Ceng, tampaknya cita-cita untuk membangun kembali Dinasti Bengpun tinggal khayalan belaka.
Tanpa terasa hatinya ikut bersedih. Usia Siau Po memang masih muda, apalagi sejak kecil dia tidak pernah mendapat didikan yang baik. Apa yang dikatakan orang sebagai pecinta tanah air, pembela bangsa dan sebagainya, selamanya kurang diperhatikan oleh Siau Po.
Tapi karena cukup lama bergaul dengan saudara-saudara dari Thian Te hwee, dari sekian banyaknya pembicaraan yang berlangsung, setidaknya dia sendiri merasa tidak pantas apabila orang-orang Boan Ciu menguasai tanah orang lain seenaknya.
Saat ini, setelah mendengar bahwa Sie Long sudah berhasil meringkus The Kek Song dan dibawa ke Kotaraja, hatinya sama sekali tidak merasa gembira. Apalagi mengingat penderitaan almarhum gurunya semasa hidup yang hanya mempunyai satu tujuan yakni membangun kembali Kerajaan Beng.
Taruh kata cita-cita ini akhirnya tidak berhasil diwujudkan tapi paling tidak dia dan rekan-rekannya yang lain harus bisa mempertahankan sepotong tanah di luar lautan yang menjadi lambang sisa kerajaan Beng.
Siapa nyana, belum lama gurunya menutup mata, The Kek Song pun menyerah tanpa melakukan perlawanan sengit. Apabila gurunya di alam baka mengetahui hal ini, orang tua itu pasti akan menangis sedih.
Terbayang kembali olehnya saat gurunya menemui ajal. Apabila sebelumnya Tan Kin Lam tidak terlalu menguras tenaga melawan Sie Long, tentunya The Kek Song juga tidak begitu mudah mencelakainya. Sekarang dia melihat tampang Sie Long yang menunjukkan perasaan bangga di hadapannya, hatinya semakin mendongkol.
"Sie Tayjin berhasil mendirikan jasa yang demikian besar, tentunya pangkat yang dianugerahi oleh Sri Baginda juga tinggi sekali bukan?" tanyanya dengan perasaan ingin tahu.
"Budi Hong Siang memang besar sekali, hamba dianugerahi pangkat pangeran Ceng Hai hou tingkat tiga," sahut Sie Long.
"Selamat! Selamat!" ucap Siau Po. sementara dalam hatinya dia berpikir, - sebetulnya kedudukanku ialah Tong Sip Pak tingkat satu. Apabila pangkatku dinaikkan satu tingkat malah menjadi Tong Sip Hou tingkat tiga. Tapi si Raja cilik sekaligus menaikkan pangkatku sebanyak dua tingkat sehingga sekarang menjadi Tong Sip Hou tingkat dua.
Rupanya dia ingin kedudukanku lebih tinggi daripada Sie Long ini. Apabila sama-sama pangeran tingkat tiga tentunya timbul perasaan kurang enak di antara kami.
Meskipun demikian, membayangkan Sie Long memimpin sejumlah prajurit untuk menggempur Taiwan dan meraih kemenangan, pasti orang itu merasa bangga sekali, sedangkan dia sendiri justru keisengan di atas pulau tanpa ada yang dapat dilakukan. Rasa irinya timbul seketika. Perasaan bencinya kepada Sie Long pun semakin menjadi-jadi.
Sie Long membungkukkan tubuhnya dalam-dalarn dan berkata lagi dengan nada menghormat.
"Ketika bertemu dengan hamba, sikap Sri Baginda sangat tegas, beliau mengatakan: "Sie Long, kali ini kau bisa membawa pasukan untuk menyerbu ke Taiwan. Tahukah kau siapa yang mengangkat derajatmu? Dulu kau pernah tinggal lama di Pe King, siapa yang memperhatikan dirimu? Siapa yang menaruh perasaan hormat terhadapmu?"
Hamba segera menjawab: "Semua ini berkat jasa Wi Hu ya, juga budi besar Hong Siang", Sri Baginda berkata lagi: "Baguslah kalau kau tidak melupakan budi baik seseorang. Karena itu, sekarang juga kau harus berangkat ke Pulau Tong Sip to untuk menyampaikan firmanku sekaligus sampaikan kekagumanku terhadap kejelian matanya memilih orang-orang berbakat yang sanggup mendirikan jasa besar bagi Kerajaan", itulah sebabnya hamba segera datang ke pulau ini untuk melaksanakan perintah Sri baginda."
Siau Po menarik nafas panjang. -- Setiap orang yang kupilih selalu mendirikan jasa besar, tetapi aku sendiri malah terkurung di atas pulau ini dan tidak bisa ke mana-mana, Si Raja Cilik tidak henti-hentinya menaikkan pangkatku. Biarpun seandainya suatu hari dia mengangkat aku sebagai Raja di atas pulau Tong Sip to ini, toh tidak ada bedanya, -- pikirnya dalam hati.
"Sie Tayjin, kau datang ke pulau ini menggunakan kapal perang Taiwan, aku sampai terkejut setengah mati. Tadinya aku kira Angkatan Laut Taiwan yang datang untuk menggempur kami. Tak disangka justru kau yang ingin memamerkan diri di hadapanku," kata Siau Po kemudian.
Sie Long segera meminta maaf dengan menjura.
"Hamba tidak berani. Hamba mendapat tugas untuk menyampaikan firman Kaisar. Rasanya hamba juga ingin segera bertemu dengan Wi Hu ya, sedangkan kapal perang Taiwan ini buatannya bagus sekali, lajunya jauh lebih cepat, maka hamba menggunakannya untuk mendatangi pulau ini."
"Rupanya kapal perang Taiwan buatannya lebih bagus dan laju nya lebih cepat! Tadinya aku agak ragu, aku kira Sie Tayjin ingin mengangkat diri sendiri menjadi Raja di Taiwan sehingga timbul kekhawatiran dalam hati."
Sie Long terkejut setengah mati mendengar ucapannya. wajahnya sampai berubah pucat pasi.
"Hamba benar-benar ceroboh, petunjuk yang diberikan Wi Hu ya memang benar. Hamba melakukan tugas dengan tergesa-gesa sehingga lambang negara Taiwan tidak sempat dihapus," sahutnya cepat.
Sebetulnya hal ini bukan karena dia ceroboh atau tergesa-gesa. Setelah berhasil merobohkan pihak Taiwan, dia merasa bangga setengah mati. Dia sengaja menumpang kapal-kapal yang berhasil disitanya untuk pulang ke Kotaraja dan kemudian menuju pulau Tong Sip to. Dia juga sengaja membiarkan lambang negara Taiwan yang ada di bagian kepala kapal agar sepanjang perjalanan, orang-orang akan menunjuk kepadanya serta membicarakan asal-usul kapal itu. Tentunya dia akan semakin bangga dengan hasil kerjanya yang gemilang.
Tidak disangka-sangka sekarang Siau Po mengungkapkan dugaannya bahwa dia bermaksud mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja di Taiwan. Urusan ini merupakan penghianatan yang tidak bisa diampuni. Tanpa terasa keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dalam hati dia sadar bahwa Kaisar Kong Hi sangat menghargai anak muda ini.
Dia sendiri mempertaruhkan jiwa untuk merebut kembali negara Taiwan, sedangkan pemuda ini hanya duduk santai di atas pulau, namun pangkat yang dianugerahkan kepadanya justru lebih tinggi daripada dirinya sendiri seandainya suatu hari nanti dia kembali ke Kotaraja dan mengoceh yang bukan-bukan di hadapan Sri Baginda, bukankah nasibnya bisa celaka?
Hati Sie Long diliputi perasaan takut. Cepat-cepat disimpannya kembali sikap yang penuh kebanggaan tadi, diperintahkan beberapa orang pejabat tinggi yang datang bersamanya untuk menemui Siau Po.
Salah satunya dikenal oleh Siau Po. Dia bernama Lim Heng Cu, yang dulu pernah mengikuti Tan Kin Lam dan juga merupakan anggota Thian Te hwee yang ilmunya cukup tinggi Siau Po sempat tertegun melihatnya.
"Dia toh seorang panglima di Taiwan, mengapa sekarang justru menjadi anak buah Sie Long? " pikirnya dalam hati
Siau Po mendengar dia memperkenalkan diri sebagai Perwira Tinggi Angkatan Laut kerajaan Ceng.
Lim Heng Cu sendiri juga terkejut dan curiga ketika melihat Siau Po yang ada di atas pulau tersebut. -- Dia kan muridnya Tan Kunsu, kenapa sekarang menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan Kerajaan Ceng? Malah tampaknya Komandan Sie juga demikian hormat
terhadapnya! -- pikirnya dalam hati.
Sie Long menunjuk kepada Lim Heng Cu dan seorang lainnya yang diperkenalkan sebagai pengawal pribadi Lim Heng Cu, namanya Ang Cao.
"Perwira Lim dan Pengawal Ang ini tadinya merupakan orang-orang dari pasukan Taiwan. Bersama-sama The Kek Song dan Liu Kok Han, mereka menyatakan takluk terhadap Kerajaan Ceng kami yang besar. Kedua orang ini ahli Maritim, maka kali ini hamba mengajaknya agar menunjukkan cara menjalankan kapal perang Taiwan," katanya menjelaskan.
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Oh, rupanya begitu!"
Dia melihat Lim Heng Cu dan Ang Cao menundukkan kepalanya rendah-rendah seakan malu bertemu muka dengannya.
Sejak menduduki negara Taiwan, The Seng Kong berhasil menjalin hubungan dagang dengan negara-negara tetangganya seperti Jepang, Lu Song serta Nepal. Kekayaan negara Taiwan banyak sekali. Setelah Sie Long berhasil menggulingkan kekuasaan The Kek Song di negara itu, harta benda berupa intan, berlian dan batu permata yang berharga lainnya segera disita dan dibawa ke Kotaraja, sebagai tanda
baktinya terhadap negara, Sie Long tidak mengantongi sebutir pun dari permata tersebut semuanya diserahkan kepada Kaisar Kong Hi.
Si Raja Cilik memerintahkan agar dia membawa sebagian benda-benda berharga itu untuk dipersembahkan kepada Siau Po. Selain itu, Sie Long sendiri juga sudah menyediakan hadiah untuk anak muda tersebut.
Negara Taiwan juga kaya akan hasil bumi serta pertambangan. Sie Long membawakan gulungan rotan dan kayu-kayu gelondongan untuk si anak muda. Begitu melihat barang-barang itu, Siau Po semakin kesal
-- Thio toako, Tio Jiko, Ong Samko, Sun Siko juga berhasil menggulingkan Gouw Sam Kui. Tapi hadiah yang mereka berikan justru jauh lebih ada nilainya. Yang kau persembahkan tidak ubahnya barang-barang yang diperlukan gelandangan di tengah-tengah jalan. Benar-benar tidak memandang sebelah mata kepadaku! -- Makinya dalam hati.
Malam itu juga Siau Po mengadakan perjamuan. Tentu saja Sie Long dipersilahkan duduk di bagian kepala. Selain itu masih ada empat perwira tinggi yang mengiringi kedatangan orang itu. Lim Heng Cu dan Ang Cao juga diundang oleh Siau Po.
Setelah menikmati hidangan dan meneguk beberapa cawan arak, Siau Po berkata. "Perwira Lim, Seng Peng Kun Ong di Taiwan kan The Keng, kenapa akhirnya kok digantikan oleh The Kek Song? Dengar-dengar dia toh putera kedua, seharusnya bukan bagiannya yang menjadi Ong ya bukan?"
"Betul. Perlu Hu ya ketahui, The Ongya meninggal pada bulan Cia gwe (satu) tanggal dua puluh delapan tahun ini. Beliau menulis pernyataan bahwa Toa Kongcu (putera pertama) nya lah yang menggantikan kedudukannya, Toa kongcu bijaksana dan cerdas, selama ini mendapat penghormatan dari prajurit di Taiwan, tapi Thai hujin yakni permaisuri Tong justru tidak menyukainya. Dia mengutus Peng Gi Hoan untuk membunuh Toa kongcu, kemudian mengangkat Ji kongcu (The Kek Song) sebagai pengganti ayahnya, istri Toa kongcu yakni Tan hujin pergi menemui permaisuri Tong dan mengatakan bahwa suaminya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Permaisuri Tong marah sekali, Tan hujin diusir keluar. Tan hujin memeluk jenasah suaminya dan menangis sedih sampai lama sekali, kemudian dia menggantung diri untuk menyusul suaminya tercinta, Tan hujin... itu tidak lain daripada putri pertamanya Tan Kun su (Tan Kin Lam). Hal ini membuat rakyat Taiwan menjadi kurang puas," sahut Lim Heng Cu.
Siau Po mendapat tahu bahwa putri gurunya pun dipaksa mati oleh permaisuri Tong. Mengingat gurunya yang telah meninggal, hatinya menjadi sedih sekali. Dia menggebrak meja keras-keras. "Maknya! Si budak The Kek Song itu orangnya tidak becus, mana sanggup dia
menjabat sebagai Ongya?"
"Betul, Memang betul. Setelah menggantikan kedudukan ayahnya, Ji kongcu mengangkat Pang Gi Hoan sebagai tangan kanannya. Berbagai urusan dalam negara diserahkan kepada orang itu. Sedangkan orang ini tidak mempunyai kebijaksanaan lagipu!a egois.
Apabila ada orang yang berani mengungkapkan beberapa kebenaran, pasti dia menyuruh orang membunuhnya. Oleh karena itulah para pejabat yang lain hanya berani marah dalam hati namun tidak ada seorang pun yang berani mengungkapkannya secara terang-terangan.
Rupanya arwah Toa kongcu dan Tan hujin masih sering bergentayangan. Pada bulan Empat tahun ini pula permaisuri Tong mati ketakutan karena sering dihantui arwah anak menantunya," sahut Lim Heng Cu menjelaskan.
"Bagus! Bagus! sesampainya permaisuri Tong ke alam baka, Toa kongcu pasti tidak akan membiarkannya!" seru Siau Po.
"Sudah pasti! Ketika berita tentang kematian permaisuri Tong yang digentayangi hantu tersiar luas, rakyat Taiwan dari utara sampai Selatan memasang petasan panjang selama tiga hari tiga malam. Bilangnya sih untuk mengusir setan, padahal mereka mengadakan syukuran atas kematian permaisuri yang jahat itu," kata Lim Heng Cu pula.
"Menyenangkan! Menyenangkan!" seru Siau Po berulang-uIang.
"Urusan roh yang gentayangan itu belum pernah terbukti benar-benar. Kemungkinan hati permaisuri Tong tidak tenang setelah membunuh cucu pertamanya dan memaksa mati cucu mantunya. Orang tua sering membayangkan hal yang tidak-tidak dan akhirnya dia seperti melihat setan," ujar Sie Long.
Wajah Siau Po berubah serius.
"Roh jahat memang benar-benar ada. Apalagi roh orang yang matinya penasaran. Setelah jadi setan dia datang lagi untuk menagih hutang atau membalas dendam. Sie Tayjin, kali ini kau tentu banyak membunuh orang ketika menyerbu ke Negara Taiwan. Mungkin di atas kapal perang Taiwan itu juga banyak setannya, sebaiknya Tayjin berhati-hati," katanya.
Wajah Sie Long sempat berubah sekilas, namun kemudian dia tersenyum.
"Dalam peperangan pasti banyak korban yang jatuh. Kalau setiap orang yang mati dalam peperangan selalu menjadi hantu, maka setiap panglima perang pasti akhirnya mati secara mengenaskan," sahutnya.
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Belum tentu. Sie Tayjin tadinya kan panglima perang di bawah pimpinan Kok Seng Ya, akhirnya berbalik menggempur orang sendiri jelas para prajurit Taiwan yang gugur pasti merasa penasaran. Sudah pasti tidak dapat disamakan dengan panglima perang lainnya."
Sie Long terdiam. Hatinya merasa marah. Dia lahir di propinsi Hokkian, sedangkan sebagian besar anak buah Kok Seng Ya juga orang dari Propinsi Hokkian. Lebih-lebih yang ada di daerah selatan.
Ketika dia berhasil menggempur negara Taiwan, dia sudah mendengar gosip tentang dirinya yang dikatakan sebagai pengkhianat bangsa.
Bahkan ada orang yang mengirim surat kaleng dan memaki-makinya. Dalam hati kecilnya dia juga merasa malu, tapi orang yang berani terang-terangan menyindirnya hanya Siau Po sekarang ini. Dia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap anak muda itu, makanya amarahnya tertumpah pada diri Lim Heng Cu.
Tampak matanya mendelik kepada orang itu. Dalam hati dia berjanji, -- sekembalinya dari pulau ini, pasti ada pertunjukkan bagus yang dapat kau saksikan, -
"Sie Tayjin, nasibmu juga cukup bagus. Seandainya Tan Kun su tidak mati, tentu dia akan ke Taiwan untuk melindungi Toa kongcu dan putrinya. Dengan demikian The Kek Song tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya pula. Di bawah pimpinan Tan Kun su, seluruh rakyat Taiwan akan kompak. Bila hal itu sampai terjadi, belum tentu sekarang kau bisa menguasai Taiwan," kata Siau Po selanjutnya.
Sie Long maklum kemampuannya tidak dapat menandingi Tan Kin Lam. Kalau orang itu belum mati, mungkin kejadiannya tidak dapat berakhir seperti sekarang ini.
Tiba-tiba Ang Cao menukas, "Apa yang dikatakan Wi Hu ya memang tepat. Prajurit dan rakyat Taiwan juga sama pandangannya. Setiap orang membenci The Kek Song yang membunuh seorang prajurit sejati. Dengan demikian dia menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri sungguh keturunan yang tidak berbakti dari Kok Seng Ya."
Sie Long marah sekali mendengar kata-katanya.
"Pengawal Ang, sekarang kau sudah takluk pada Kerajaan Ceng kami yang besar, mengapa kau masih berani membicarakan pemberontak yang sudah berhasil dijatuhkan!" teriaknya.
Ang Cao cepat-cepat berdiri dan menjura dalam-dalam.
"Hamba bersikap teledor, harap Tayjin sudi memaafkan," katanya.
"Saudara Ang, apa yang kau katakan merupakan kenyataan. Biarpun Sri Baginda sendiri mendengarnya, beliau juga tidak akan mempersalahkan dirimu. Mari duduk kembali dan minum arak yang disuguhkan," kata Siau Po.
"Baik," sahut Ang Cao seraya duduk kembali. Diangkatnya cawan araknya, namun tangannya gemetaran sehingga sebagian isinya tumpah keluar.
"Tentunya rakyat Taiwan sudah tahu kalau Tan Kun su dicelakai oleh The Kek Song, bukan?" tanya Siau Po pula.
"Betul. sekembalinya ke Taiwan, The Kek Song mengatakan bahwa Tan Kun su.... Tan Kun su.,." Matanya melirik sekilas kepada Sie Long dan akhirnya dia tidak berani meneruskan kata-katanya.
"Saudara Ang, apabila yang kau katakan itu memang benar adanya, siapa pun tidak berani menyalahkan dirimu," kata Siau Po.
"Betul, betul The Kek Song dan Pang Gi Hoan beserta beberapa orang bawahannya meninggalkan pulau ini dengan menggunakan perahu kecil. Untuk beberapa hari mereka terombang-ambing di tengah lautan, akhirnya mereka bertemu dengan kapal nelayan yang mengantarkan mereka pulang ke Taiwan, The Kek Song mengatakan bahwa Tan Kun su terbunuh oleh Sie Ciangkun, The Ongya yang mengetahui hal ini menangis sedih sampai beberapa hari lamanya. Kemudian The Kek Song menggantikan kedudukan orang tua itu, dan di hadapan orang banyak dia baru mengakui bahwa dialah yang membunuh Tan Kun su.
Dia malah membual bahwa ilmu silatnya sendiri yang sudah mencapai taraf tinggi sekali, walaupun Tan Kun su mempunyai banyak anak buah tapi tidak ada satu pun yang sanggup menandinginya.
Banyak pengikut Tan Kun su yang tidak puas mendengar berita tersebut, mereka menanyakan apa kesalahan Tan Kun su sehingga dibunuhnya, tapi orang-orang itu justru diringkus oleh Pang Gi Hoan dan dihukum mati," sahut Ang Cao.
Siau Po menghentakkan cawan araknya keras-keras ke atas meja.
"Kesalahan neneknya!" Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Biasanya kita suka memaki nenek orang, tentunya para nenek-nenek menjadi penasaran. Hanya nenek The Kek Song yang pantas dimaki-maki. Kejahatannya sudah melebihi nenek siapa pun di dunia ini!"
Kata-katanya itu terasa enak didengar oleh telinga Sie Long. Dia mengkhianati The Kek Song justru karena seluruh keluarganya dihukum mati, sedangkan orang yang memberikan perintah tidak lain dari permaisuri Tong, nenek The Kek Song.
"Apa yang dikatakan Wi Hu ya memang benar. Kita sering memaki-maki dengan kata-kata Neneknya!". Coba bayangkan saja, Kok Seng Ya orangnya gagah dan bijaksana pula, salahnya justru memilih istri yang keliru," katanya.
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Setiap orang di dunia ini boleh memaki nenek The Kek Song, justru harus Sie Ciangkun seorang yang tidak boleh memakinya. Kenapa? Karena pangkat dan kekayaan Sie Ciangkun hari ini diberikan oleh nenek tua itu. Memang ayah, ibu, istri dan anak-anakrnu telah dicelakai olehnya. Tapi kalau dibandingkan dengan kedudukan Pangeran tingkat tiga dan berbagai gelar panglima perang, rasanya Sie Ciangkun juga tidak terlalu rugi," ujar si anak muda seenaknya.
Wajah Sie Long langsung berubah merah padam.
- Aku juga akan memaki-maki nenekmu! - gerutunya dalam hati. Dia berusaha menahan hawa amarah, diangkatnya cawan arak dan diminumnya sekaligus. Tapi karena nafasnya tersengal-sengal menahan kemarahan, dia malah tersedak dan akhirnya batuk-batuk.
Siau Po berkata dalam hati. -- Kalau melihat tampangmu, pasti kau sedang memaki nenekku sekarang ini. Tapi siapa ayahku saja aku tidak pernah tahu, apalagi nenekku. Kalau kau memaki nenekku sembarangan, pasti kau akan memaki orang yang salah. Mungkin kau juga ingin menjadi ayahku? Wah, lebih gawat lagi! Dengan demikian nenekku adalah ibumu. Kalau kau memaki nenekku artinya kau memaki ibumu sendiri pusing deh! -
Dengan membawa pikiran demikian Siau Po menatap Sie Long sambil tersenyum simpuI.
Di meja itu juga duduk dua orang Perwira Angkatan Laut bermarga Lu. Dia khawatir bisa timbul pertengkaran apabila sindir-menyindir ini dibiarkan terus. Maka dia berkata. "Wi Hu ya, Sie Ciangkun berhasil menguasai Taiwan kali ini, benar-benar mengandalkan keberaniannya mempertaruhkan jiwa. Setelah menerima tugas dari Sri Baginda, Sie Ciangkun segera memerintahkan bawahannya untuk mempersiapkan
enam ratus kapal perang dengan disertai enam laksa prajurit.
Mereka berbondong-bondong berangkat. Di atas lautan mereka malah sempat terhalang badai. Setelah berlayar sebelas hari mereka baru tiba di wilayah Peng Hu. Pada hari keenam belas mereka baru berhadapan dengan pasukannya Liu Kok Han. Peperangan saat itu benar-benar dahsyat, langit gelap tertutup asap meriam, sampai-sampai kita sulit membedakan siang atau malam hari, Sie Ciangkun sendiri sampai mengenakan jubah berwarna...."
Siau Po melihat Lim Heng Cu dan Ang Cao menundukkan kepalanya. Wajah mereka menunjukkan kemarahan. Dia tahu kedua orang ini pasti terlibat dalam peperangan itu dan tentu saja Sie Long yang meraih kemenangan. Siau Po tidak sudi mendengarkan cerita Perwira Lu yang membanggakan Sie Long, maka dia segera menukas.
"Sie Ciangkun, tempo hari ketika Kok Seng Ya berhasil menduduki negara Taiwan, apakah kalian juga memulai penyerangan dari wilayah Peng Hu?"
"Betul," sahut Sie Long.
"Ketika itu kau masih menjadi bawahan Kok Seng Ya, bagaimana cara kalian bisa masuk ke wilayah Peng Hu?" tanya Siau Po pula.
"Setan-setan berambut merah itu tidak menugaskan prajuritnya menjaga wilayah Peng Hu," sahut Sie Long.
"Pada tahun itu, Kok Seng Ya memimpin pasukannya menyerbu ke sebelah timur pulau, dengar-dengar saudara Lim juga ikut ambil bagian dalam penyerbuan menghalau pengikut setan berambut merah itu, bagaimana kejadian yang sebenarnya? Dapatkah Saudara Lim menceritakannya agar aku dapat mengetahuinya?" tanya Siau Po pada Lim Heng Cu.
Dalam hati Lim Heng Cu. -- Kejadian itu toh sudah pernah kuceritakan dulu, mengapa kau meminta aku mengulanginya kembali? Oh, tentunya kau tidak ingin mendengar cerita busuk tentang Sie Ciangkun yang menguasai Taiwan, maka ingin aku menceritakan kisah
kepahlawanan Kok Seng Ya dan Tan Kun su pada jaman itu. Padahal aku tidak boleh menceritakan banyak-banyak tentang diriku sendiri. Sekali hati Sie Long memendam kebencian, lain kali aku pasti menemui berbagai kesulitan sebaiknya aku mengangkat-angkat orang ini saja. -
Dengan membawa pikiran demikian, dia menjawab. "Sie Ciangkun sudah dua kali menyerbu Taiwan, jasanya sungguh besar. Pada waktu
itu Kok Seng Ya pernah mengumpulkan para panglimanya untuk merundingkan hal itu, sebagian besar panglimanya mengajukan saran untuk membatalkan keinginan itu. Pertama karena kedudukan Taiwan yang strategis sebagai benteng pertahanan dan sulit digempur.
Kedua karena udara di sekitar perairan pulau itu yang kurang menguntungkan karena sering terjadi angin topan dan hujan badai. Apalagi persenjataan Setan Berambut Merah yang sangat hebat. Mereka mempunyai meriam dan senapan yang lengkap.
Urusan ini benar-benar berbahaya, tapi Sie Ciangkun dan Tan Kun su berdualah yang menyatakan persetujuan, Akhirnya mereka benar-benar berhasil menduduki negara Taiwan."
Mendengar keterangan Lim Heng Cu, wajah Sie Long langsung menunjukkan kebanggaan.
"Hal itu terjadi pada tahun Eng Liok ke Lima belas bulan dua..." Sie Long segera menukas kata-kata Lim Heng Cu.
"Perwira Lim, penanggalan yang digunakan Dinasti Beng tidak boleh kau gunakan lagi. Hal itu terjadi pada tahun delapan belas Kaisar Sun Ti."
"Betul, betul," sahut Lim Heng Cu cepat "Pada bulan dua tahun itu, Kok Seng Ya memindahkan pasukannya ke kota Kim Bun.
Pada bulan tiga tanggal satu seluruh pasukannya sudah berkumpul di tepi pantai.
Tanggal sepuluh bulan yang sama mereka sudah mengepung pulau Taiwan dari segala penjuru. Kebetulan saat itu cuaca di daerah itu sangat buruk, para prajurit yang tidak mempunyai pengalaman di laut merasa takut untuk berlayar Kok Seng Ya dan Tan Kun su membawa sebagian pasukan ke kota kecil terdekat untuk menunggu kesempatan baik.
Sampai tanggal dua puluh tiga bulan itu, cuaca baru kembali cerah. Pasukan Kok Seng Ya segera mengembangkan layar dan menjalankan kapal.
Pada tanggal dua puluh empat sorenya mereka baru tiba di Peng Hu. Namun baru saja tiba tidak beberapa lama, badai kembali melanda. Selama beberapa hari kapal tidak bisa berangkat Peng Hu merupakan pulau tandus, tidak ada makanan apa-apa yang dapat diperoleh, maka pasukan Kok Seng Ya terpaksa menangsal perut dengan ubi bakar.
Sampai tanggal tiga puluh badai masih belum reda juga. Tan Kun su dan Kok Seng Ya sepakat bahwa mereka tidak bisa menunda waktu lagi. Padahal perasaan para prajurit masih dicekam kecemasan.
Pada kentungan pertama tengah malam itu, Tan Kun su menembakkan meriam sebanyak tiga kali. Beramai-ramai mereka memukul tambur Tan Kun su berseru dengan suara lantang: "Demi kesetiaan terhadap negara, badai topan pun kita terjang!"
Para prajurit jadi bersemangat mendengar teriakan panglimanya, mereka membesarkan hati dan ikut berseru: "Demi kesetiaan terhadap negara, badai topan pun kita terjang!" Begitu lantangnya suara seruan mereka sehingga bisa menutupi suara petir dan gelombang badai yang bergejolak di lautan."
Siau Po menoleh kepada Sie Long.
"Tentunya pada saat itu Sie Ciangkun juga ikut menyerukan kata-kata itu, bukan?" tanyanya.
"Waktu itu hamba ditugaskan menjaga pintu perbatasan Sia Bun, jadi tidak ikut menyerbu ke Taiwan," sahut Sie Long.
"Rupanya begitu, sayang sekali, sayang sekali!" kata Siau Po.
"Ketika Kok Seng Ya sampai ke Peng Hu, yang ditemuinya hanya badai dan angin topan. Lain halnya dengan Sie Ciangkun, ketika beliau membawa pasukannya sampai ke Peng Hu, hal itu barulah menggetarkan hati. Yang menyambut kedatangannya justru pasukan besarnya Liu Kok Han. Belum apa-apa mereka sudah menembakkan meriam sampai puluhan kali. Belum lagi panah api dan senjata lain-lainnya yang..." kata Wakil Panglima Lu.
Siau Po tidak membiarkan orang itu menyelesaikan kata-katanya, dia tertawa lebar.
"Wakil panglima Lu, tampaknya nyalimu tidak berbeda dengan nyaliku," tukasnya.
"Tidak berani. Hamba mana mungkin menyamai Wi Hu ya?" sahut orang She Lu itu.
"Tidak bisa menyamai aku?" tanya Siau Po untuk menegaskan.
"Tentu saja tidak," sahut Wakil panglima Lu. "Aneh sekali. Selama ini aku mengira, bahwa diriku ini orang yang paling penakut di dunia ini. Ya, aku menyangka nyaliku kecil sekali, tidak disangka-sangka hari ini ada orang yang mengaku bahwa nyalinya lebih kecil dari nyaliku, padahal nyaliku sendiri sudah seperti nyali tikus. Rupanya kau malah lebih kecil daripada tikus! Ha ha ha ha!"
Lu Hu Ciang (Wakil Panglima Lu) berubah merah. Dia tidak berani mengatakan apa-apa lagi.
Siau Po kembali mengajukan pertanyaan kepada Lim Heng Cu.
"Apa yang terjadi setelah Kok Seng Ya memimpin pasukan mengarungi lautan?"
"Kapal-kapat perang itu terombang-ambing di atas lautan selama dua kentungan lebih. Sampai kentungan ketiga tiba-tiba hujan dan badai berhenti. Sesaat kemudian angin pun berhembus dengan normal. Para prajurit berseru kegirangan. Suara mereka lebih dahsyat dari geledek yang menggelegar sebelumnya.
Mereka mengatakan bahwa niat mereka mendapat restu dari Thian Yang Kuasa, dan dalam peperangan kali ini mereka pasti mendapat kemenangan.
Pada tanggal satu pagi kapal perang mereka sampai di luar perbatasan Lu Ji Bun. Beramai-ramai mereka menggunakan galah untuk menjungkit bagian kepala kapal agar dapat melalui gundukan pasir di daerah itu. Siapa sangka pasirnya tinggi dan air di tempat itu dangkal, sehingga kapal tidak dapat melaluinya, Kok Seng Ya sudah mulai panik. Dia segera mengambil tiga batang hio lalu bersembahyang kepada Thian Yang Kuasa agar membuka jalan bagi mereka.
Baru saja ketiga batang hio itu ditancapkan pada anjungan kapal, tiba-tiba gelombang besar menghantam kapal mereka sehingga terjungkit ke atas sehingga terhempas melalui gundukan pasir tersebut. Di atas daratan, Setan-Setan Berambut Merah telah menunggu kedatangan mereka. Meriam-meriam langsung ditembakkan. Pihak lawan sudah membangun dua buah benteng pertahanan Yang satu dinamakan Je Lan Tik dan satunya lagi Po Lo Ming Se...."
Siau Po tertawa.
"Setan-Setan Berambut Merah itu lucu juga, untuk benteng saja memilih nama-nama yang aneh," katanya.
Lim Heng Cu tersenyum mendengar kata-katanya.
"Pada saat itu Kok Seng Ya menggunakan alat teropong, beliau melihat di daerah pesisir sudah berbaris pasukan lawan yang jumlahnya tidak terkira, Kok Seng Ya khawatir pihak lawan akan mendatangkan bala bantuan di tengah-tengah pertempuran maka dia memerintahkan seorang panglimanya untuk memimpin seribu prajurit dan mengambil jalan memutar untuk menghadang musuh dari belakang.
Dengan demikian, apabila mereka kewalahan menghadapi pasukan Kok Seng Ya, mereka tidak bisa melarikan diri untuk memanggil bala bantuan pertempuran pun berlangsung dengan seru. Hamba dan beberapa rekan lainnya ditugaskan menembakkan meriam apabila mendapatkan kesempatan bagus.
Hamba tahu bahwa kapal paling besar yang dikurung di tengah-tengah pasti merupakan kapal pimpinan Setan Berambut Merah itu. Berkali-kali hamba menembakkan meriam ke arah kapal tersebut, namun selalu tidak ada hasilnya. Hamba menjadi kesal. Akhirnya Kok Seng Ya menganjurkan agar kami menembakkan beberapa meriam sekaligus.
Saran itu hamba terima. Beberapa anak buah segera menjejerkan meriam-meriam dan bersiap-siap. Hamba memberikan aba-aba dengan hitungan. Tepat pada hitungan ketiga, sepuluh meriam ditembakkan dalam waktu yang bersamaan. Tidak terkatakan dahsyatnya suara dentuman meriam-meriam itu.
Kapal terbesar yang memuat pimpinan lawan pun hancur seketika. Tanpa banyak kesulitan lagi kami berhasil membuat pihak lawan terkocar-kacir." (Catatan : The Seng Kong masuk Taiwan dari wilayah Peng Hu, yakni yang sekarang disebut Tai Nan. Para tentara Holland pada masa itu juga bercokol di daerah tersebut.)
Siau Po menuangkan secawan arak, lalu dengan kedua tangan disodorkannya kepada Lim Heng Cu. "Lim toako, tembakan yang bagus, biar aku menghormatimu dengan secawan arak," katanya.
Lim Heng Cu berdiri untuk menerima arak yang disodorkan Siau Po kepadanya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia meneguknya sekaligus.
"Ketika kami berhasil meraih kemenangan, penduduk Tionghoa setempat bersorak kegirangan. Mereka mengelu-elukan bahwa bintang penolong telah dikirimkan oleh Thian Yang Kuasa. Bahkan banyak yang menangis saking terharunya, Wi Hu ya, ayah dari Kok Seng Ya mereka merupakan nelayan-nelayan yang hidupnya di pesisir pantai perbatasan Taiwan.
Kemudian terjadi bencana alam sehingga orang tua itu membawa seluruh keluarganya mengungsi ke Tiong goan. Dengan demikian, belakangan hari secara bergantian Taiwan diduduki oleh Bangsa HoIIand dan Spanyol.
Setan HoIIand menduduki bagian selatan, sedangkan setan Spanyol menguasai bagian utara. Akhirnya kedua setan itu berselisih dan pecahlah peperangan Bangsa Spanyol yang kalah. Taiwan pun dikuasai secara penuh oleh Bangsa HoIIand (Belanda).
Bangsa kita yang masih berdiam di atas pulau mendapat siksaan dari setan Holland. Yang berani melawan pasti dibunuh, pada saat itu, ada seorang saudara yang tadinya merupakan pengikut ayah Kok Seng Ya, namanya Kwe Huai It.
Dia adalah seorang laki-Iaki sejati. Meskipun keadaan saat itu sedang genting, dia tetap tidak mau meninggalkan pulau tersebut. Dia menyaksikan bangsa kita diperlakukan secara sadis. Diam-diam dia mengumpulkan penduduk setempat yang sehati dengannya.
Mereka mengadakan perundingan dan akhirnya tercapai kesepakatan bahwa mereka akan melakukan penyerbuan ke benteng Setan-Setan Berambut Merah agar pulau mereka tidak dikuasai penjajah lagi.
Keputusan telah ditetapkan sayangnya di antara mereka ada seorang pengkhianat. Namanya Po Cai, dialah yang melaporkan rencana ini kepada pihak Bangsa Holland..."
Siau Po menggebrak meja keras-keras.
"Neneknya! Urusan bangsa Cina justru sering dirusak oleh pengkhianat negaranya sendiri!" maki anak muda itu.
"Memang betul. Begitu melihat Po Cai melarikan diri, Kwe Huai It toako segera menduga ada yang tidak beres, maka saat itu juga rencana dirubah. Saudara Kwek segera menyuruh bawahannya untuk mengumpulkan para penduduk dan melakukan penyerbuan saat itu juga.
Dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi saat itu, persiapan apa pun belum ada. Senjata yang dimiliki bangsa HoIIand hebatnya bukan main, sedangkan persenjataan Bangsa Tionghoa kita hanya golok, anak panah dan paling banter beberapa pistoI curian, perang yang tidak seimbang pun pecah. Selama lima belas hari penduduk setempat masih dapat bertahan tetapi akhirnya kisah kepahlawanan Saudara Kwe Huai It itu terpaksa berakhir ketika sebuah tembakan tepat mengenainya, bahkan tubuhnya hancur tidak berbentuk oleh ledakan meriam yang menyusul..."
"Aduh, celaka!" teriak Siau Po.
"Begitu Saudara Kwe mati, para penduduk yang lainnya seperti ular yang kehilangan kepala, Bangsa Tionghoa terpukul mundur sampai keluar perbatasan. Di tepi telaga Tai hu pertempuran masih berlangsung selama tujuh hari tujuh malam Bangsa Tionghoa yang gugur di samping telaga itu diperkirakan ada empat ribu orang lebih, sedangkan perempuan yang tidak ikut campur dalam urusan peperangan ini juga dibunuh berikut anaknya yang masih kecil-kecil, jumlah mereka tidak kurang dari lima ratus orang. semuanya mati penasaran.
Gadis yang rupawan dipaksa menjadi gundik bagi Setan-setan Holland, sedangkan laki-laki yang tertangkap dihukum mati dengan sadis...."
Siau Po gusar sekali mendengar cerita itu.
"Setan-Setan Berambut Merah ternyata sadis sekali! Tindakan mereka lebih kejam daripada apa yang pernah dilakukan kerajaan Ceng pada bangsa kami di Yang-ciu dulu!"
"Peristiwa berdarah itu terjadi pada tahun ke enam Kaisar Eng Liok, bulan delapan...."
Bagian 88
Kata-kata Lim Heng Cu diputus oleh Ang Cao. "Tahun ke enam Eng Liok berarti tahun ke tujuh... delapan... eh, sembilan dari Kaisar
Sun Ti."
"Apa iya? Sejak pembunuhan besar-besaran itu, penduduk Tionghoa di Taiwan tidak bisa akur kembali dengan para Setan Berambut Merah. Karena urusan yang kecil saja, para Setan Berambut Merah tidak segan-segan membunuh orang Tionghoa setempat itulah sebabnya ketika melihat datangnya pasukan Kok Seng Ya, penduduk setempat kegirangan setengah mati dan berseru bahwa Bintang Penyelamat mereka telah tiba.
Tua muda, laki-laki maupun perempuan langsung mengadukan penderitaan mereka kepada kami pada malam harinya, setelah benteng pertahanan yang pertama berhasil kami jebolkan. Setan-Setan Berambut Merah yang ada di benteng pertahanan satunya menjadi marah.
Mereka menangkapi penduduk di sekitarnya dan terjadilah pembantaian besar-besaran. Sekitar lima ratus penduduk orang Tionghoa menjadi korban.
Keesokan harinya, Tan Kunsu yang mendengar berita itu menjadi berang. Dikumpulkannya para prajuritnya lalu diberi petunjuk tentang tindakan apa yang harus diambil untuk melaksanakan penyerangan ke benteng pertahanan Bangsa HolIand yang satunya.
Tan Kun su adalah panglima yang sudah berpengalaman, sedangkan bawahannya selalu menghormati orang ini. Di bawah pimpinan Tan Kun su, siang hari itu juga mereka menyerbu ke benteng pertahanan yang satu lagi.
Hamba mendapat tugas memimpin pasukan kedua, yakni prajurit gelombang kedua yang menggantikan kedudukan prajurit gelombang pertama yang mulai kelelahan.
Dalam waktu dua hari dua malam, kami kembali berhasil menjebolkan benteng pertahanan lawan."
"Semua ini berkat jasa Lim toako pula," kata Siau Po. .
"Semua itu merupakan siasat yang cerdik dari Tan Kun su, hamba tidak mendirikan jasa apa-apa," sahut Lim Heng Cu. "Setelah benteng pertahanan berhasil dijebol, Kok Seng Ya tidak mau kepalang tanggung bekerja. Ribuan prajurit di bawah pimpinannya terus menggempur sisa Setan-Setan Berambut Merah yang masih ada.
Perang yang pecah saat itu dahsyat sekali, prajurit kami juga banyak yang gugur dalam medan perang. Para Setan Berambut Merah merasa pasukan mereka tidak sanggup lagi menahan kegencaran serbuan prajurit Kok Seng Ya, mereka berlari ke pantai dan berniat melarikan diri dengan kapal.
Pada saat itu kapal-kapal kami juga berlabuh di tempat yang tidak seberapa jauh, Kok Seng Ya membidikkan panah api sebagai isyarat kepada para prajuritnya yang ada di atas kapal.
Mereka segera paham apa yang diperintahkan oleh Kok Seng Ya. Mereka membiarkan Para Setan Berambut Merah itu kabur di atas kapal. Setelah yakin semuanya naik kapal, prajurit Kok Seng Ya segera menembakkan meriam ke arah kapal tersebut.
Dalam sekejap mata beberapa kapal yang berisi para penjajah itu hancur berantakan. Darah dan daging manusia berserakan di permukaan laut, air laut pun langsung berubah menjadi merah warnanya. Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan!"
"Wah! Hebat, hebat!" seru Siau Po sambil mengacungkan jempolnya. Lalu dia memalingkan wajahnya kepada Sie Long. "Sayangnya Sie Ciangkun saat itu sedang bertugas di Sia Bun. Seandainya waktu itu Sie Ciangkun ikut ambil bagian dan membunuh beberapa ekor Setan Berambut Merah saja, sudah cukup pantas disebut sebagai pahlawan bangsa," katanya pula.
Sie Long berdiam diri tanpa tahu apa yang harus diucapkan.
Siau Po bertanya pula kepada Ang Cao, "Ang toako, di mana kau pada saat itu?"
"Saat itu hamba di bawah pimpinan Liu Kok Han, Liu Ciangkun Kami menyerang daerah utara. Meskipun kebanyakan Para Setan Berambut Merah itu di selatan, namun jumlah mereka di utara juga cukup banyak, lagipuIa persenjataan mereka lebih lengkap.
Ketika kapal kami sudah dekat dengan kapal musuh, para prajurit kami sudah mulai menembakkan senapan dan meledakkan meriam. Tapi pihak lawan menggunakan sejenis perisai anti peluru. Sampai berpuluh kali kami melepaskan tembakan, namun tidak ada satu pun yang mengenai sasaran.
Hampir saja kami merasa putus asa. Yang memimpin pasukan terdepan saat itu Lim Cin Cia, Lim Ciangkun. Dia melihat situasinya tidak menguntungkan bagi pihak kita. Anak buahnya sudah banyak yang mati tertembak, sedangkan dari pihak lawan belum satu pun korban yang jatuh.
Akhirnya Lim Ciangkun menjadi nekad. Dia melompat ke kapal musuh dengan membawa sebuah granat di tangan. Begitu berhasil mencapai kapal lawan, ditariknya ujung granat dan seluruh kapal itu pun meledak bersama dirinya.
Para Setan Berambut Merah yang ada di kapal lainnya menjadi panik melihat pasukan bangsa kami yang berani mati. Dalam waktu sekejap, dua kapal perang musuh sudah berhasil kami kuasai Malam harinya kami mendapat berita bahwa pihak Tan Kun su juga sudah mendapat kemenangan.
Bahkan ketika perang usai, Kok Seng Ya memerintahkan seorang tabib untuk memeriksa keadaan Tan Kun su, dari tubuh Panglima perang itu berhasil dikeluarkan tujuh butir peluru," sahut Ang cao menjelaskan.
"Eh, guruku tidak mati di bawah tembakan pistol Setan Berambut Merah, akhirnya malah mati oleh tusukan pedang si budak The Kek Song yang neneknya jahat! Sie Ciangkun, Lam Cu Han Tai Tiong Hu (Pria yang merupakan laki-laki sejati) seharusnya membela negara membasmi orang asing yang ingin menjajah negaranya, itu baru namanya hebat! Kalau orang Tionghoa membunuh orang Tionghoa juga, biar pun yang dibunuh jumlahnya tidak terhitung lagi, tetap saja tidak pantas disebut laki-laki sejati, iya kan?"
Sie Long mendengus satu kali tetap tidak memberikan jawaban.
"Para Setan Berambut Merah sudah mengalami beberapa kali kekalahan. Mereka memerintahkan anak-anak buahnya untuk menelusup ke tempat kami untuk membakar gudang ransum, namun setiap kali tindakan mereka tertangkap basah oleh Tan Kun su.
Akhirnya mereka menjadi kelabakan. Tindakan mereka selanjutnya adalah mengutus seorang panglima perang untuk menyeberangi lautan secara diam-diam dan meminta bantuan dari Bangsa Ceng.
Mereka menemui gubernur setempat yang bernama Li Sian Tay. Ternyata Li Tayjin ini orangnya lucu juga. Dia membalas surat komandan Setan Berambut Merah dan menyuruh mereka memimpin pasukannya memasuki wilayah Hokkian.
Tujuannya untuk menghancurkan prajurit Kok Seng Ya yang ada di Kim Bun dan Sia Bun. Tentara kerajaan Ceng sendiri akan menggempur langsung Pulau Taiwan, Li Tayjin ini tidak tahu, bahwa seluruh benteng pertahanan Setan-Setan Berambut Merah telah dikuasai Kok Seng Ya. Jangan kata menyerbu ke Hokkian, untuk meloloskan diri saja belum tentu ada kemampuan," kata Lim Heng Cu.
"Ucapan Setan-Setan Berambut Merah itu ibarat kentut busuk, sampai akhirnya mereka tidak menyerang ke Kim Bun dan Sia Bun bukan? Apa yang pernah diucapkan oleh Kerajaan Ceng kita yang besar barulah masuk hitungan. Akhirnya tentara kerajaan kita benar-benar menyerbu ke Taiwan kan? walaupun kejadiannya sudah terlambat tiga puluh tahunan, tapi toh tidak apa-apa.
Ketika Sie Ciangkun melakukan penyerangan ke Taiwan, entah ada atau tidak Setan Berambut Merah yang membantu penyerangan dari dalam?" tanya Siau Po pula.
Sie Long tidak dapat menahan diri lagi. Dia langsung berdiri dan berkata dengan nada marah.
"Wi Hu ya, kita sama-sama orang yang makan gaji, majikan kita sama-sama pemerintah Kerajaan Ceng yang besar, mengapa kata-kata yang kau ucapkan selalu dingin menusuk dan menyindir perasaan saudaramu ini?"
Siau Po menunjukkan mimik heran.
"Aih! Kok aneh, kapan aku menggunakan kata-kata untuk menyindirmu? Sie Ciangkun tidak bekerja sama dengan bangsa asing, rasanya masih belum terlambat. Sekarang kedudukan Sie Ciangkun sudah tinggi sekali, prajurit yang dibawahinya pasti besar sekali jumlahnya.
Bila Sie Ciangkun menghubungi Setan Holland, Setan Spanyol, Setan Portugis, Setan Lo Sat sekalipun, tentunya mereka senang dapat bekerja sama denganmu!"
Hati Sie Long tercekat mendengarnya. -- Celaka! Kalau dia sembarangan mengoceh di depan Sri Baginda bahwa kemenangan yang aku peroleh kali ini merupakan kerja sama dengan bangsa asing, sama saja aku menyerahkan selembar nyawa ini ke tangannya! -- pikirnya dalam hati.
Membawa pikiran demikian, dia mengingat kembali amarah dan kata-katanya yang tidak sopan barusan. Hatinya menyesal sekali. Cepat-cepat dia mengembangkan seulas senyuman sambil berkata. "Saudaramu ini sudah kebanyakan minum, jadi emosi. Harap Wi Hu ya tidak menyimpan persoalan ini dalam hati."
Ketika Sie Long berdiri dengan mata mendelik, sebetulnya Siau Po agak takut juga. Melihat orang itu kemudian tersenyum dan memohon maaf darinya, anak muda yang cerdik itu segera paham bahwa Sie Long sendiri juga masih gentar terhadapnya. Karena itu dia segera tertawa.
"Kalau Sie Ciangkun memang punya niat untuk mengangkat diri sendiri sebagai raja di Taiwan, sebaiknya bunuh dulu aku agar mulut ini bungkam, jangan sampai aku melaporkannya kepada Sri Baginda. Tapi kalau hanya bermaksud menunjukkan wibawa dengan main gertak, meskipun nyali siaute kecil sekali, tapi rasanya tidak perlu takut juga."
Wajah Sie Long berubah pucat pasi. Dia segera berdiri lalu menjura dalam-dalam.
"Orang yang bijaksana tentu tidak akan mempersoalkan urusan manusia yang rendah. Hamba telah bersikap kasar sehingga tidak keberatan apabila menerima hukuman. Namun, hamba sama sekali tidak berniat mengangkat diri sendiri menjadi raja di Tai-wan atau pun bermaksud bekerja sama dengan bangsa asing, bahkan hal ini tidak pernah terlintas dalam benak hamba. Yang terutama bagi hamba hanyalah berbakti kepada Sri Baginda dan setia kepada negara," katanya dengan nada rendah diri.
Siau Po tertawa. "Silahkan duduk, silahkan duduk! Kita lihat saja perkembangannya nanti," katanya. Dia memalingkan kepalanya kepada Lim Heng Cu dan bertanya pula. "Saudara Lim, kisahmu tadi lebih bagus dari tukang cerita. Setelah Kok Seng Ya melakukan perang berdarah di Taiwan, dan Setan Berambut Merah lari terbirit-birit, lalu bagaimana?"
"Kabar tentang masuknya Kok Seng Ya ke Taiwan telah menyebar ke mana-mana. Oey Bu, Oey Tayjin segera mengajukan saran kepada pihak Kerajaan, dia mengemukakan lima cara yang efektif untuk menguasai daerah-daerah yang telah diduduki Kok Seng Ya," sahut Lim Heng Cu.
"Siapa Oey Bu?" tanya Siau Po.
Lim Heng Cu melirik sekilas kepada Sie Long, lalu terbatuk-batuk beberapa kali. Dia tidak berani memberikan jawaban langsung.
"Oey Bu ini tadinya bawahan Kok Seng Ya juga. Dia ahli strategi perang dan menjabat sebagai pelatih para prajurit. Akhirnya dia membelot kepada pemerintahan Ceng. Nasibnya baik sehingga kurang dari setahun dia sudah dianugerahi gelar Hai Tin Kong tingkat satu (Pangeran Strategi Lautan tingkat satu)," Sie Long yang menjawab pertanyaannya.
"Huh, rupanya seorang pengkhianat." Kalimat yang terakhir tidak diucapkannya, Siau Po baru teringat bahwa dia bisa menimbulkan perselisihan lagi. Tampak wajah Sie Long memerah. Dalam hati orang itu berkata. - Kalau memaki diriku sebagai pengkhianat, aku rasa kau sendiri juga setali tiga uang, orang Boan Ciu gadungan! -
"Jurus Menepuk Pantat Kuda yang bagaimana yang dikerahkan oleh Oey Bu ini sehingga dalam waktu singkat dia sudah dianugerahi gelar Pangeran Tingkat Satu? Wah, ilmunya boleh juga! Caranya itu harus kita dengar baik-baik agar kelak bisa kita tiru sedikit-sedikit!" kata Siau Po.
"Oey Bu ini tadinya mendapat tugas untuk menjaga daerah Hai Tin, tapi dia malah mempersembahkan daerah itu kepada pihak kerajaan. Siapa saja anak buahnya yang tidak menurut pasti dibunuhnya. Padahal waktu itu pihak kerajaan sudah tidak berdaya menghadapi Kok Seng Ya, dia menganggap orang ini semakin mengembangkan sayapnya dari hari ke hari.
Tahu-tahu datang seorang panglima yang berkedudukan tinggi membelot kepadanya dan sekaligus mempersembahkan daerah yang dikuasainya, bukankah suatu kebetulan jadinya? Pihak Kerajaan senang sekali, itulah sebabnya datang-datang Oey Bu sudah diberikan kedudukan yang tinggi," sahut Lim Heng Cu.
"Oh, rupanya begitu, Saran apa saja yang dikemukakan pada pihak kerajaan?"
Lim Heng Cu menarik nafas dalam-dalam baru menyahut.
"Rakyat yang menderita karena ulah Oey Tayjin ini benar-benar tidak terhitung lagi. Lima cara yang dikemukakannya adalah, pertama, mengungsikan penduduk yang hidup di sekitar perairan ke daerah pedalaman serta dijaga ketat, dengan demikian mereka tidak bisa mengadakan kontak dengan Kim Bun, Sia Bun atau pun Taiwan. Kedua, perahu-perahu milik penduduk harus dibakar musnah agar tidak ada yang melarikan diri. Mulai saat itu, satu potong papan pun tidak boleh terlihat ada yang mengapung di permukaan laut. Ketiga membunuh ayah Kok Seng Ya. Ke empat, menggali makam leluhur Kok Seng Ya agar Hong Sui (Peruntungannya) jadi kacau. Kelima, mengumpulkan sisa anak buah Kok Seng Ya yang sudah menyatakan takluk dan mengungsikan mereka ke beberapa tempat terpencil sehingga tidak menimbulkan penyakit di kemudian hari."
"Eeh, saran yang dikemukakan budak ini ternyata benar-benar sadis!" kata Siau Po.
"Memang, ketika Kaisar Sun Ti baru mengundurkan diri sehingga Sri Baginda sekarang yang menggantikannya, sedangkan usia Sri Baginda masih kecil sekali, segala urusan pemerintahan ditangani oleh Go Pay.
Begitu mendengar kelima cara yang disebutkan oleh Oey Bu, Go Pay segera berpendapat bahwa itulah ide yang paling cemerlang. Dia segera menurunkan perintah bahwa tiga puluh li di sekitar Kiang Su, Si Kiang, Hokkian dan Kuang Tong (Kan-ton) tidak boleh ada yang menghuni.
Perahu-perahu dari wilayah Liau Tong sampai ke ujung perbatasan harus dibakar musnah. Pada waktu itu, entah berapa banyak penduduk di sekitar perairan yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian."
Sie Long menggelengkan kepalanya, "lde yang dikemukakan oleh Oey Bu itu memang keterlaluan sekali. Sampai belakangan ini, yakni setelah Wi Hu ya berhasil menaklukkan Go Pay, peraturan di perairan itu baru dicabut. Tapi sudah berapa ribu penduduk yang menahan penderitaan berkepanjangan itu. Malah pada saat larangan itu disiarkan, tidak boleh ada seorang penduduk pun yang membicarakannya. Yang ketahuan langsung digiring kepada Go Pay dan dipenggal kepalanya sebagai hukuman. Banyak rakyat yang menderita kelaparan sehingga diam-diam mereka pergi ke tepi laut untuk menangkap ikan. Yang ketahuan juga dihukum mati. Ayah Kok Seng Ya juga dibunuh pada saat yang sama. Go Pay khusus memerintahkan seorang perwira kepercayaannya yakni Su Na Hay agar membawa pasukannya untuk menggali makam leluhur Kok Seng Ya."
"Go Pay menyebut dirinya sebagai seorang Pejuang sejati, tapi kelakuannya benar-benar tidak menunjang apa yang dikatakannya. Kalau memang gagah, mengapa dia tidak mengajak Kok Seng Ya berduel satu lawan satu? Dengan mengungsinya seluruh penduduk di sekitar perairan agar tidak bisa mengadakan kontak, sama saja dia menunjukkan bahwa dia takut kepada Kok Seng Ya. Hong Siang mencintai rakyatnya, maka apabila saran Oey Bu ini sempat sampai ke tangan Kaisar Kong Hi, pasti dia sendiri yang akan dipenggal kepalanya," kata Siau Po.
"Memang betul, sayangnya Oey Bu ini matinya terlalu cepat. Hitung-hitung memang peruntungannya cukup bagus," sahut Sie Long,
"Berita kematian The Thay Suai (Ayahanda Kok Seng Ya) dengan cepat menyebar ke Taiwan. Kalau Seng Ya tahu hal ini akan menimbulkan kegeraman di hati para prajuritnya.
Dia mengatakan bahwa semua itu hanya desas-desus belaka, jangan percaya. Tapi menurut pengawal pribadinya, tengah malam Kok Seng Ya sering terlihat menangis dengan sedih, Kok Seng Ya juga mengatakan kepada Tan Kun su dan beberapa panglima lainnya bahwa rencana yang diajukan oleh Oey Bu ini benar-benar lihai.
Untung saja Taiwan telah dikuasai oleh pihak mereka, kalau tidak, para prajurit di Kim Bun dan Sia Bun yang jumlahnya laksana orang itu tentu tidak bisa menginjakkan kakinya lagi di wilayah itu.
Pada saat itu, kami juga sudah cukup lama melakukan pengepungan Para Setan Berambut Merah pernah beberapa kali mencoba menerobos keluar, tapi tidak berhasil. Kok Seng Ya kemudian menurunkan perintah bahwa sebelum pergantian tahun, daerah yang masih ditempati para Setan Berambut Merah sudah harus kita kuasai," kata Lim Heng Cu kemudian memalingkan kepalanya kepada Ang Cao dan bertanya, "Penyerangan dilakukan pada bulan sebelas tanggal dua puluh dua, bukan?"
"BetuI," sahut Ang Cao, "Ketika pasukan yang kupimpin menembakkan meriam dengan gencar. Aku ingat bahwa saat itu hujan deras dan angin kencang sekali, tapi kami tidak perduIi. Dalam sekejap saja, pintu serta tembok benteng pertahanan sudah berhasil kami jebol.
Demikian pula tembok perbatasan sebelah barat dan timur kota. Para Setan Berambut Merah menerjang ke luar untuk melakukan perlawanan namun setelah rekan-rekannya mati sebanyak ratusan orang, mereka terpaksa mundur kembali.
Kemudian mereka mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Waktu itu Bangsa Tionghoa yang di Taiwan sudah terlalu marah, mereka ingin membalas dendam atas penderitaan mereka selama ini.
Mereka meminta agar semua Setan Berambut Merah itu dibunuh saja. Tapi Kok Seng Ya menjelaskan kepada para penduduk bahwa musuh yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh lagi, itu sudah merupakan peraturan dalam politik di dunia.
Kok Seng Ya mengijinkan sisa Setan Berambut Merah itu untuk naik ke atas kapal yang telah disediakan tapi sebelumnya pemimpin mereka harus menanda tangani surat pernyataan menyerah.
Para Setan Berambut Merah itu pun meninggalkan Taiwan dan kabarnya mereka melarikan diri ke Batavia. Setan-Setan Berambut Merah itu menjajah Taiwan sejak Dinasti Beng, tahun Thian Pit ke empat.
Jadi jumlah keseluruhannya adalah tiga puluh delapan tahun. Sampai tahun ke lima belas kaisar Eng Liok, yang... berarti tahun Kaisar Sun Ti dari dinasti Ceng yang ke delapan belas, Taiwan baru bersatu kembali dengan Tiongkok."
"Kok Seng Ya sudah menerangkan bahwa Setan-Setan Berambut Merah itu sudah menyerahkan diri, jadi mereka tidak boleh dibunuh. Tapi para penduduk di Taiwan tentu saja merasa tidak puas lalu beramai-ramai mereka meludah kepada Setan-Setan Berambut Merah itu.
Bahkan ada yang melemparkan batu. Anak-anak kecil malah menggubah lagu yang jenaka untuk mengejek mereka, Para Setan Berambut Merah itu lari kocar-kacir sambil menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
Tidak ada satu pun yang berani melontarkan kata-kata untuk membalas perbuatan para penduduk. Begitu mereka sudah naik ke atas kapal, pemimpin mereka menaikkan bendera mereka ke atas satu kali kemudian baru menurunkannya kembali.
Setelah itu mereka juga menembakkan meriam sebanyak tiga kali sebagai tanda penghormatan dan ucapan terima kasih kepada Kok Seng Ya karena mereka dilepaskan tanpa ada seorang pun yang di-bunuh," kata Lim Heng Cu melanjutkan ceritanya.
"Bagus!" seru Siau Po. "Kita orang-orang Tiong-hoa memang patut merasa bangga. Meriam-meriam yang dimiliki Setan-Setan Berambut Merah itu benar-benar dahsyat, namun kita bisa merebut kembali Pulau Taiwan dari tangan mereka sesungguhnya bukan urusan yang mudah. Ya, memang tidak mudah!"
"Benteng yang pertama diganti namanya oleh Kok Seng Ya menjadi kota An Peng Cen. Sedangkan benteng yang kedua diganti namanya menjadi Jin Thian Fu. Untuk selama-lamanya menjadi dua tempat yang terpenting di Taiwan," kata Ang Cao.
Tiba-tiba Wakil Panglima Lu menukas. "Ketika Sie Ciangkun merebut kembali Pulau Taiwan, jalan yang ditempuhnya juga mengikuti jejak Kok Seng Ya, yaitu masuk melalui Lu Ji bun ke...."
Wi Siau Po mengibaskan tangannya untuk memotong ucapan orang itu, lalu dia bersin sekeras-kerasnya dan berkata. "Cerita tentang Bangsa Tionghoa yang membuat para Setan Berambut Merah lari terbirit-birit baru seru didengar, kalau Bangsa Tionghoa menggempur Bangsa Tionghoa juga, ceritanya toh bolak-balik sama juga, Sie Ciangkun, arak yang kita teguk sudah cukup banyak. Kita sudahi saja perjamuan ini."
Sie Long segera berdiri.
"Baik, Terima kasih atas undangan Wi Hu ya, hamba mohon diri," sahutnya.
Siau Po kembali ke kamar. Dia menceritakan bagaimana dia selalu memutuskan pembicaraan Sie Long karena dia tidak sudi mendengar orang itu membanggakan diri sendiri yang berhasil merebut kembali pulau Taiwan.
Keenam istrinya tertawa geli mendengar penuturannya, hanya A Ko seorang yang berdiam diri dengan wajah murung.
Rupanya dia tengah membayangkan apabila tempo hari dia terkena rayuan The Kek Song lalu ikut orang itu menikah di Taiwan. tentu hari ini dia juga digiring ke Pe King. Negara hancur, suami ditahan, penderitaan itu benar-benar menyiksa.
Tempo hari, ketika The Kek Song menggunakan perahu kecil meninggalkan Pulau Tong Sip to. A Ko sudah tidak memperdulikannya lagi, apalagi sekarang mendengar dia kehilangan kekuasaannya, dia sama sekali tidak merasa iba.
Kalau membayangkan kembali masa-masa dulu, kok dia bisa tertarik pada kegagahan dan ketampanan pemuda itu? Padahal dia sudah tahu kalau orang itu tidak bisa diandalkan.
Untuk beberapa lama dalam hidupnya, ternyata matanya pernah buta. Dia pernah jatuh hati benar-benar pada The Kek Song. Sekarang dia merasa malu sendiri kalau teringat kembali.
"Hongte koko juga terlalu baik hati. The Kek Song kan sudah menyerah, mengapa tidak dihukum mati? Malah dianugerahi pangkat segala! Tingkatannya justru lebih tinggi dari Siau Po. Benar-benar bikin orang jengkel!" teriak Tuan Putri seperti biasanya.
Siau Po menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kok Seng Ya merupakan seorang pahlawan sejati yang berjiwa besar pula, justru karena memandang wajah Kok Seng Ya, Sri Baginda menganugerahkan pangkat tersebut kepada si budak Kek Song. Kalau mengandalkan kebisaan si budak busuk itu sendiri, paling-paling pantas dianugerahi pangkat Perwira Ulat Bulu," katanya.
Pada keesokan harinya, Siau Po sengaja hanya mengundang Lim Heng Cu dan Ang Cao berdua. Dia menanyakan lagi pengalaman Sie Long menyerbu ke Pulau Taiwan.
Rupanya prajurit kerajaan Ceng dan prajurit Taiwan sempat bertempur mati-matian di wilayah Peng Hu selama beberapa hari. Hari pertama pasukan Sie Long mengalami kekalahan. Belakangan datang bantuan berupa pasukan Angkatan Laut pihak Kerajaan dan dalam sekali mereka bertempur, kapal-kapal Taiwan berhasil dikuasai Prajuritnya yang mati mencapai Iaksaan orang, sebagian kapal perang musuh berhasil dihancurkan atau dibakar.
Kerugian pihak Taiwan cukup besar. Mereka kehilangan kapal sebanyak tiga ratusan, Liu Kok Han segera memimpin pasukannya yang kalah perang kembali ke Taiwan.
Sie Long segera memimpin pasukan Angkatan Lautnya untuk menyerbu ke Taiwan. Pada saat itu air di daerah Lu Ji Bun sedang surut, dengan demikian kapal mereka tidak bisa lewat, dan mereka terombang-ambing di lautan selama dua belas hari.
Ketika mereka mulai panik, tiba-tiba air bah melanda sehingga menerjang kapal-kapal kerajaan. Dengan demikian pula kapal-kapal itu berhasil melalui gundukan batu dan pasir yang menjadi kendalanya. Para penduduk Taiwan yang mengetahui hal itu semuanya merasa terkejut dan mereka berkata. "Tempo hari ketika Kok Seng Ya bermaksud merebut kembali Taiwan dari Setan-Setan Berambut Merah, kapal-kapal beliau pun mengalami kesulitan untuk melalui gundukan tanah serta pasir di Lu Ji Bun.
Tidak disangka-sangka datang gelombang besar sehingga mereka berhasil melaIuinya. Sekarang kejadian yang sama terulang kembali. Ternyata ini sudah merupakan takdir yang Kuasa, percuma rasanya kalau kita tetap bertempur, sebab yang hancur pasti kita sendiri."
The Kek Song yang mendengar pasukan Angkatan Laut pihak kerajaan sudah berhasil menerobos Lu Ji Bun, langsung saja ketakutan setengah mati. Dia sendiri tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan Pang Ci Hoan menasehatinya agar menyerah saja.
Tanpa berpikir panjang lagi dia segera menyetujui usul gurunya itu. Tapi dia juga khawatir Sie Long akan membalas dendam kepadanya dengan menghancurkan keturunan Kok Seng Ya. Itulah sebabnya Liu Kok Han menulis sepucuk surat kepada Sie Long dengan menyatakan bahwa mereka bersedia menyerah tapi keamanan anak cucu Kok Seng Ya harus dijamin.
Apabila tidak, seluruh rakyat Taiwan bersedia bertempur terus meskipun sampai orang terakhir. Sie Long segera menyetujuinya. Dia menjamin bahwa dirinya tidak akan mengingat kembali hutang lama.
Apabila hal itu sampai terjadi, biarlah dia disambar petir dan putus keturunan. Akhirnya dengan adanya sumpah berat dari Sie Long, The Kek Song, Pang Ci Hoan, Liu Kok Hian beserta ratusan prajurit Taiwan lainnya pun menyatakan takluk serta dibawa pulang ke Kotaraja.
Keturunan langsung dari mantan Kaisar Dinasti Beng yakni Cu Sut Kui bunuh diri saking kecewanya. Lima orang istri-istrinya mengikuti jejaknya. Dengan demikian keturunan Dinasti Beng pun putus sampai di situ.
Dalam hati Siau Po berpikir -- Keturunan langsung dari mantan Kaisar Dinasti Beng ini memilih jalan bunuh diri karena tahu tidak mungkin kerajaannya dapat bangkit kembali. Tapi begitu-begitu masih ada lima orang istrinya yang menemani kematiannya, seandainya suatu hari aku Wi Siau Po terpaksa bunuh diri, entah berapa di antara ke tujuh istriku ini yang sudi menemaniku?
Song Ji tidak perlu diragukan lagi kesetiaannya. Kalau Kian Leng kongcu tidak usah diharap, sisanya yang lima orang mungkin harus lempar dadu untuk menentukan mati hidup mereka. Apabila Pui Ie yang kebagian melempar dadu, dia pasti main gila, agar aku yang sudah mati saat itu menjadi tumbal baginya, --
Lim Heng Cu melanjutkan kisahnya kembali. Dia mengatakan bahwa Sie Long ternyata orang yang menepati janji. Dia memang tidak mempersuIit keturunan Kok Seng Ya, bahkan dia sendiri mendatangi Kuil Seng Peng Ong Bio untuk bersembahyang. Di sana dia menangis dengan sedih.
"Dia menulis sebuah puisi yang isinya dalam sekali. Kata-katanya pun bagus. Puisi itu dipersembahkan kepada Kok Seng Ya," kata Ang Cao yang langsung membacakan puisi itu agar didengar oleh Siau Po.
Tapi dasar bocah itu tidak pernah bersekolah, kata-kata biasa saja kadang-kadang sulit dimengerti olehnya. Apalagi puisi yang mengandung arti mendalam. Dia sampai termangu-mangu mendengar Ang Cao menirukan isi puisi itu.
"Apa sih yang diocehkannya?" tanya Siau Po pada Lim Heng Cu.
"Yang dimaksudkan dengan "Lu Tiong Ciong Su" adalah Go Cu Sai. Dulu Go Cu Sai ini berhasil menghancurkan negara Chu. Setelah itu dia menggali kembali kuburan Chu Peng Ong dan mencambuk jenasah raja itu sebanyak tiga ratus kali. Maksudnya untuk membalas dendam atas kematian ayah dan kakaknya yang dibunuh oleh raja tersebut. Sie Long mengatakan bahwa bagaimana pun busuknya hati sendiri, dia tidak mungkin melakukan hal yang demikian sadis."
Siau Po tertawa dingin mendengarnya.
"Huh! Memangnya dia berani? Biarpun Kok Seng Ya sudah meninggal, dia masih ketakutan setengah mati. Dia sudah menghancurkan seluruh kehidupan keturunan Kok Seng Ya. Jangan-jangan arwah Kok Seng Ya akan mendatanginya dan membuat hidupnya dihantui ketakutan itulah sebabnya dia cepat-cepat mengunjungi makam Kok Seng Ya serta pura-pura bersikap jantan. Padahal dalam hati dia pasti memohon pengampunan. Orang ini licik sekali, kalian jangan sampai kena dikelabui olehnya."
Lim Heng Cu dan Ang Cao segera mengiakan.
"Cerita tentang Go Cu Sai pernah kulihat dalam pertunjukan sandiwara. Ada bagian di mana dia menghadapi cobaan berat sekali sehingga dalam semalaman saja rambutnya berubah putih semua, bukan?" kata Siau Po pula.
"Betul, ingatan Hu ya ternyata baik sekali," sahut Ang Cao.
Siau Po sudah lama sekali tidak mendengar cerita, Karena itu dia segera menanyakan sejarah kehidupan Go Cu Sai. Kebetulan Ang Cao juga pernah mengikuti ujian untuk menjadi Siu Cai (Pelajar), meskipun akhirnya gagal tapi setidaknya perutnya pernah terisi tinta sehingga cerita sejarah-sejarah yang terkenal masih diingatnya dengan baik. Dia menjawab semua pertanyaan Siau Po sehingga pemuda itu semakin bersemangat mendengarkannya.
"SeIama di pulau ini aku merasa iseng sekali. Untung ada saudara berdua yang berkunjung ke sini dan menceritakan kisah-kisah yang menarik ini. Sebaiknya kalian berdua tinggal beberapa hari lagi, jangan tergesa-gesa pulang ke Kotaraja," kata Siau Po.
"Kami berdua merupakan prajurit Taiwan yang telah menyerahkan diri. Tadi malam pembicaraan kami telah membuat kesal hati Sie Ciangkun. Apabila orang itu berniat mencelakai kami, mudahnya tentu seperti menginjak semut di tanah. Apabila dia menambahkan sedikit fitnah di hadapan Sri Baginda, kemungkinan malah kepala kami akan dipenggal dulu dan benar tidaknya baru diselidiki belakangan. Andaikan kepala sudah dipenggal dan kasusnya tidak diselidiki lagi, rasanya juga tidak ada orang yang akan menanyakannya, Wi Tayjin, mohon kau bicarakan kepada Sie Ciangkun, kalau bisa kami berdua tinggalkan di sini saja untuk melayani Wi Tayjin," kata Lim Heng Cu.
Siau Po justru senang sekali mendengarnya, "Ang toako, bagaimana menurut pendapatmu?" tanyanya.
Tadi malam hamba sudah merundingkan hal ini dengan Lim toako. Apabila tidak mendapat pertolongan dari Wi Tayjin, kali ini kemungkinan kami berdua akan mati tanpa kuburan," sahut Ang Cao.
"Apabila kalian berdua mengikuti aku, aku ingin kalian menurut apa kataku," kata Siau Po.
Lim Heng Cu dan Ang Cao segera berdiri dan menjura dalam-dalam.
"Apa pun yang diperintahkan oleh Wi Tayjin, kami akan laksanakan dengan sesungguh hati," sahut mereka serentak.
Siau Po semakin senang, Dalam hati dia berpikir. - Dengan adanya bantuan dari kedua orang ini, tentu tidak sulit bagiku untuk kabur
dari tempat setan ini. --
Ketika mengutus Perwira tua dan lima ratus orang prajuritnya. Kaisar Kong Hi sudah berpesan wanti-wanti agar jangan membiarkan Siau Po atau pun keluarganya meninggalkan pulau Tong Sip to biar satu langkah pun.
Padahal Perwira tua itu bukan jenis orang yang otaknya encer. Kebisaannya pun tidak seberapa, tapi terhadap firman Kaisar, biar kepalanya dipenggal tujuh belas kali mereka juga tidak berani melanggarnya.
Kong Hi memerintahkan dia untuk menjaga Siau Po dengan ketat, maka dia pun memperhatikan pemuda itu ke mana pun dia pergi siang dan malam. Sebetulnya, kalau Siau Po berniat membunuh perwira tua itu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja.
Namun, biarpun dia membunuh habis lima ratus prajurit yang menjaga di pulau itu, tetap saja dia tidak bisa melarikan diri tanpa adanya sepotong perahu pun. Sedangkan Lim Heng Cu dan Ang Cao merupakan Komandan Angkatan Laut di Taiwan dulu. Mengenai pembuatan perahu tentu sudah dikuasai penuh oleh mereka.
Malam itu, kembali dia mengundang Sie Long. Namun yang hadir bersama orang itu kali ini hanya Lim Heng Cu dan Ang Cao. Hal ini memang sudah diatur oleh Siau Po.
Setelah berbincang-bincang sedikit, Siau Po berkata. "Sie Ciangkun, sebaiknya kau tinggal di sini satu dua bulan lagi."
"SebetuInya hamba juga ingin berdekatan dengan Wi Tayjin lebih lama lagi, dengan demikian hamba bisa sering-sering mendengar nasehat Tayjin yang berharga. Tapi Taiwan baru berhasil kita rebut kembali, maka kami tidak bisa meninggalkannya terlalu lama. Mungkin besok kami sudah harus memohon diri dengan Tayjin," sahut Sie Long.
"Barusan kau bilang ingin berdekatan denganku lebih lama agar bisa sering-sering mendapat nasehatku yang berharga. Entah apa yang kau katakan ini benar atau hanya ingin menyenangkan hatiku saja?" tanya Siau Po.
"Tentu saja benar. Hal ini merupakan kata hati hamba yang tulus. Dulu Hamba mengikuti Wi Tayjin, kita sudah pernah memimpin pasukan ke pulau Tong Sip to ini untuk meledakkan Sin Liong to. Tiap hari hamba mendapat pengarahan dari Wi Tayjin. Disamping itu hamba juga diajak bersenda gurau serta main judi dan minum arak. Hari-hari yang kita lalui dulu benar-benar menyenangkan," sahut Sie Long.
Siau Po tertawa.
"Apabila kau bisa merasakan kembali hari-hari seperti itu, apakah kau akan merasa senang?" tanyanya.
"Tentu saja senang. Kelak apabila mendapat tugas berat dari Sri Baginda, hamba akan memohon agar hamba bisa diikut sertakan dengan pasukan yang dipimpin oleh Wi Tayjin."
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Mudah sekali. Kalau kau ingin menyertaiku, mendengar gurauanku atau bermain judi bersamaku, sebetulnya tidak ada kesulitan sedikit pun. Besok kita bersama-sama berangkat ke Taiwan saja," katanya tenang.
Sie Long terkejut setengah mati, dia sampai melonjak bangun.
"Ini... ini Sri Baginda belum menurunkan firman mengenai hal ini, hamba... tidak berani memutuskannya. Harap Wi Tayjin sudi memaafkan," sahut Pembesar itu gugup, Siau Po tertawa.
"Aku toh tidak bermaksud melakukan apa-apa di Taiwan, cuma mendengar cerita kalian yang seru. Aku jadi penasaran, katanya di Taipei dan di Taiwan sudah berdiri kota-kota yang indahnya tidak kalah dengan Kotaraja, aku jadi ingin melihatnya.
Lagipula, sesampainya di Taiwan, kau bisa sering-sering mendengar nasehatku yang berharga bukan? Kata-kata ini kau sendiri yang keluarkan. Aku justru melihat bahwa kau orangnya cukup baik, sedangkan dulu kau sudah pernah ikut denganku.
Kita toh majikan dan bawahan lama, maka hubungan kita mana bisa disamakan dengan orang-orang lainnya? itulah sebabnya aku bersusah payah memikirkan jalan agar kita bisa selalu berkumpul bersama.
Aku akan pergi ke Taiwan untuk bermain-main selama satu dua bulan, setelah itu aku akan kembali lagi ke sini. Kalau kau tidak bilang kepada siapa-siapa dan aku juga diam saja, tidak akan ada seorang manusia atau seekor setan pun yang tahu, terlebih-Iebih lagi Sri Baginda."
Sikap Sie Long jadi serba salah, kembali dia menjura dalam-dalam.
"Wi Tayjin, urusan ini benar-benar sulit Tayjin menurunkan perintah, seharusnya hamba menurut. Namun seandainya Sri Baginda menuntut kelak, hamba benar-benar tidak berani mempertanggung-jawabkannya. Apabila hamba tidak memberikan laporan terlebih dahulu, berarti hamba melakukan kesalahan yang besar sekali, maka hamba benar-benar tidak berani melakukannya."
Siau Po tertawa.
"Silahkan duduk, silahkan duduk. Kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa. Tidak perlu kita bicarakan lagi hal ini," katanya.
Sie Long seperti terlepas dari beban yang berat. Berkali-kali dia mengiakan baru duduk kembali di kursinya.
Kembali Siau Po mengembangkan seulas senyuman.
"Bicara soal membohongi atasan, entah sudah berapa banyak aku melakukannya terhadap Sri Baginda. Tapi Raja kita memang bijaksana dan besar jiwanya. Setelah mengetahui kebohonganku, beliau pun cuma memaki-maki beberapa kata lalu berbuat seakan tidak pernah terjadi apa-apa," katanya.
"BetuI, betul. Semua orang mengatakan bahwa Sri Baginda sangat memperhatikan Wi Tayjin, jarang sekali hal demikian terjadi. Malah sejak jaman dulu belum pernah hamba mendengar ada orang biasa yang hubungannya bisa begitu dekat dengan seorang Kaisar, sedangkan hamba hanya seorang pejabat kecil yang tipis jodohnya, mana berani hamba berharap akan mendapat rejeki seperti Wi Tayjin?" sahut Sie Long.
Siau Po tersenyum.
"Kata-kata Sie Ciangkun seakan menunjukkan bahwa nyalimu kecil sekali, padahal aku tahu bahwa kau seorang pemberani. Aku dengar kau mengunjungi makam Kok Seng Ya setelah berhasil menaklukkan Taiwan. Bahkan kau juga menulis sebuah puisi yang bagus sekali, bukan?"
"Menjawab kepada Wi Tayjin: sebetulnya panggilan seperti Kok Seng Ya tidak boleh dipergunakan lagi, Kok Seng (Marga Negara) yang sekarang tentu sudah tidak sama lagi. Bila kita ingin menyebut The Seng Kong dengan panggilan yang lebih sungkan, maka kita hanya boleh mengatakan "Cian Beng Gi Seng" (Marga pemberian dari Dinasti Beng yang sebelumnya). Oleh karena itu, dalam puisi tersebut hamba hanya menyebutnya sebagai Gi Heng (Marga pemberian)," sahut Sie Long.
Dia sudah menduga, apabila dia menolak permintaan Siau Po untuk pergi ke Taiwan, anak muda itu pasti mencari kesulitan bagi dirinya atau mencari-cari kesalahannya. Sebetulnya, sebutan "Kok Seng Ya" sudah terlanjur menjadi kebiasaan bagi semua orang, namun The Seng Kong mendapat anugerah marga Cu yang merupakan marga dari kaisar dinasti Beng, bukan marga dari dinasti Ceng sekarang.
Apabila Siau Po segera mencari kesalahannya hanya karena dia menyebut nama tersebut, dia bisa melaporkannya kepada Sri Baginda bahwa Sie Long tidak pernah melupakan dinasti Beng, tentu dirinya akan celaka. Kemungkinan dia malah akan menghadapi bencana besar. Itulah sebabnya sebelum hal ini terjadi dia segera menjelaskannya terlebih dahulu.
Sebetulnya Siau Po tidak berpendidikan sama sekali. Hubungan apa pun dari kata-kata di atas tentu tidak pernah dibayangkannya, justru karena penjelasan Sie Long barusan, dia malah bisa menangkap apa penyakitnya.
"Sie Ciangkun pernah mendapat bimbingan dari Dinasti Beng, maka tidak mengherankan kalau masih mengingat terus Gi Seng (Marga pemberian Kaisar) dari Dinasti sebelumnya. Kalau Sie Ciangkun benar-benar setia terhadap Kerajaan Ceng kita yang besar, seharusnya Sie Ciangkun menyebut The Seng Kong sebagai Huan Seng (Marga Pemberontak), Wi Seng (Marga Pengkhianat), Fei Seng (Marga Penjahat)
atau Kau Seng (Marga anjing)," kata Siau Po.
Sie Long menundukkan kepalanya tanpa mengatakan apa-apa. Meskipun dalam hati dia tidak terlalu memusingkan apa yang dikatakan Siau Po, tapi dia merasa tidak boleh membicarakan hal ini terlalu banyak dengan pemuda itu. Ternyata sebutan Gi Seng yang ditulisnya dalam puisi juga dianggap bahwa dirinya masih terus mengingat dinasti sebelumnya.
"Puisi yang dibuat oleh Sie Ciangkun waktu itu pasti bagus sekali kata-katanya. Bolehkah Sie Ciangkun mengucapkannya kembali agar aku bisa ikut mcngetahuinya?" tanya Siau Po.
Sie Long hanya tahu bagaimana memimpin pasukan untuk berperang, mana bisa membuat puisi segala? Puisi yang dipersembahkannya tempo hari didepan makam Kok Seng Ya sebetulnya merupakan karangan seorang Guru besar dalam istana. Dia meminta orang itu menuliskan sebuah puisi yang kata-katanya bagus.
Kebetulan guru besar itu mengajar anak-anak para pembesar tinggi membaca dan menulis. Setiap puisi yang ditulisnya mengandung ketulusan hati yang menyentuh perasaan siapa pun yang membacanya, Sie Long saja sudah sering mendapat pujian saking bagusnya puisi itu.
Padahal kebanyakan orang juga tahu bahwa puisi tersebut bukan hasil karyanya sendiri. Saking bangga nya, Sie Long sampai menghapal puisi itu diluar kepala. Dengan demikian orang-orang akan menganggap bahwa dialah yang menulis puisi itu. Tentu saja ini menurut jalan pikirannya sendiri. Karena itu dia segera berkata. "Hamba akan membacakannya untuk Wi Tayjin, Harap Wi Tayjin jangan menertawakan kebodohan hamba."
Dia langsung berdiri dan membacakan isi puisi tersebut.
Siau Po mendengarkannya, kemudian sambil manggut-manggut dia berkata. "Puisi yang bagus sekali, benar-benar bagus! Biar kepalaku ini dipenggal sekali pun aku tidak mungkin bisa membuatnya, jangan kata hasil karya sendiri, walaupun orang lain yang membuatnya dan aku tinggal menghapalkannya saja, dalam waktu sepuluh hari mungkin hanya tiga empat patah kata yang bisa kuingat. Ternyata Sie Ciangkun cerdas sekali. Aku sungguh merasa kagum!"
Wajah Sie Long berubah kemerah-merahan. - Kau toh sudah tahu bukan aku yang menulis puisi itu. Orang lain yang membuatnya dan aku tinggal menghapalkan saja. Tapi kau sengaja menyindirku sedemikian rupa. Kalau begitu aku tidak perlu banyak cakap lagi denganmu -- pikirnya dalam hati.
"Di dalam puisi itu ada disebut "Lu Tiong Ciong Su, I So Put Wi, Sie Ciangkun tentu tahu bahwa pendidikanku rendah sekali sehingga tidak memahami kata-kata yang dalam. Entah apa artinya kalimat tersebut?" tanya Siau Po pula.
"Yang dimaksud ialah Go Cu Sai. Ketika itu Go Cu Sai kabur dari negara Chu dan pergi ke negara Go, dia sampai ke tepi sungai serta bertemu dengan seorang nelayan. Nelayan itu menggunakan rakit untuk menyeberangkannya lalu mencari nasi baginya. Go Cui Sai khawatir prajurit dari negara Chu akan mengejarnya, maka dia bersembunyi di antara ilalang yang lebat. Begitu si nelayan kembali, dia melihat ada orang yang bersembunyi di dalam ilalang, maka dia berteriak: "Orang di dalam ilalang, orang di dalam ilalang, apakah kau si
prajurit miskin?"
Kemudian hari Go Cu Sai berbalik memimpin prajurit negara Go untuk menyerang negara Chu. Dia menggali kembali jenasah Chu Peng Ong dan mencambuknya sebanyak tiga ratus kali.Dengan demikian dia bermaksud membalaskan kematian ayah dan kakaknya, Gi Seng... eh, The Seng Kong juga pernah membunuh seluruh keluarga hamba, penduduk Taiwan khawatir hamba masih merasa sakit hati dan menggali kembali jenasah The Seng Kong lalu menghancurkannya.
Dalam puisi itu hamba menyatakan bahwa hal itu tidak mungkin hamba lakukan. Arwah The Seng Kong di alam baka boleh merasa tenang dan prajurit serta penduduk Taiwan pun tidak perlu mencemaskannya." sahut Sie Long.
"Rupanya begitu, Sie Ciangkun sedang menyamakan dirinya dengan Go Cu Sai," kata Siau Po.
"Go Cu Say adalah seorang pahlawan besar, seorang pendekar sejati, mana mungkin hamba menyamainya? Hanya saja seluruh keluarga Go Cu Sai tertimpa bencana. Dia seorang diri melarikan diri, akhirnya memimpin pasukan kembali menyerang negara Chu untuk membalas dendam. Bagian ini mirip dengan apa yang dialami oleh hamba," sahut Sie Long.
Siau Po menganggukkan kepalanya. "Semoga akhir cerita yang dialami oleh Sie Ciangkun berbeda dengan Go Cu Sai, kalau tidak benar-benar runyam urusannya," kata pemuda itu pula.
Sie Long segera teringat bahwa Go Cu Sai telah mendirikan jasa besar bagi negara Go, namun akhirnya dia dibunuh pula oleh Raja negara itu. Tanpa terasa wajahnya berubah hebat, dan tangannya yang menggenggam cawan arak terus bergetar saking takutnya.
Siau Po menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kabarnya setelah membangun jasa besar, Go Cu Sai berubah sombong, sikapnya terhadap Raja Go jadi kurang ajar. Sie Ciangkun, kalau kau menyamakan dirimu dengan Go Cu Sai, sebenarnya tidak cocok. Dan puisi yang kau tulis itu tentunya sekarang sudah menyebar sampai ke Kotaraja, pasti Sri Baginda juga sudah mengetahui isinya.
Apabila tidak ada orang yang membantu menjelaskan duduk persoalannya di hadapan Sri Baginda, rasanya... he... he... sih, sayang sekali, jasa besar yang sudah kau dirikan kemungkinan akan tenggelam ke dasar lautan," katanya.
Sie Long cepat-cepat menyahut. "Perlu Tayjin ketahui, hamba tidak mengatakan bahwa hamba menjadi Go Cu Sai atau menyamakan diri hamba dengan orang itu... Antara kedua hal ini perbeda... annya besar sekali."
"Puisimu itu sudah menyebar ke mana-mana. Perihal Sie Ciangkun menyamakan diri sendiri dengan Go Cu Say juga sudah diketahui oleh semua orang," kata Siau Po pula.
Sie Long langsung berdiri dan dengan suara bergetar dia berkata. "Sri Baginda sangat cerdas, beliau pun berjiwa besar. Bawahannya yang telah berjasa pasti dilindungi dengan aman. Hamba dapat melayani seorang majikan yang baik, kalau dibandingkan dengan Go Su Cai, peruntungan hamba jauh lebih bagus."
"Apa yang kau katakan memang benar. Apa maksud sesungguhnya yang terkandung dalam hati Go Cu Sai saat itu, tentu saja hamba tidak tahu. Tapi di dalam pertunjukan sandiwara, hamba pernah melihat kisahnya. Ketika Raja Go akan membunuhnya, Go Cu Sai berkata:
"Koreklah mataku dan letakkan di atas pintu gerbang kota, agar kelak aku bisa menyaksikan prajurit lain menyerbu ke Kotaraja dan menghancurkan kekuasaan Raja Go. Kalau tidak salah akhirnya negara Go memang berhasil dihancurkan. Sie Ciangkun Bun Bu Cuan Cai (Ahli silat dan sastra), tentunya paham benar sejarah ini, iya kan?" tanya Siau Po.
BuIu kuduk di tengkuk Sie Long seakan berdiri semua. Sejak mengingat kematian Go Cu Sai setelah berhasil mendirikan jasa besar, hatinya sudah tidak tenang.
Waktu itu dia belum mengingat kata-kata terakhir Go Cu Sai di saat menjelang kematiannya. Dalam puisi yang dibacakannya di hadapan makam Kok Seng Ya, memang dia menyatakan bahwa dirinya tidak akan melakukan apa yang pernah dibuat oleh Go Cu Sai.
Namun setidaknya anggapan orang bahwa dia menyamakan dirinya dengan Go Cu Sai sudah merasuk dalam kepala. Kata-kata yang digunakannya dalam puisi itu ialah tentang perlakuan Go Cu Sai "Membalas dendam dengan mencambuk jenasah rajanya sebanyak tiga ratus kali", tapi Siau Po justru menghubungkannya dengan "Menyindir negara yang sudah hancur"
Kalau saja ada orang yang membesar besarkan persoalan ini di hadapan Sri Baginda, dosanya bisa tidak terkatakan. Berarti jiwanya terancam bahaya. Apalagi mulut Siau Po yang pandai mengarang yang bukan-bukan, bila orang ini sampai memberi laporan kepada Sri Baginda, meskipun bagaimana bijaksananya raja ini, mungkin dia tidak akan dihukum, namun dirinya otomatis merasa kurang enak sendiri.
Untuk amannya bisa saja dia mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi untuk selamanya jangan harap bisa hidup senang Iagi. Apalagi kalau Siau Po menambah minyak di atas api dengan mengatakan bahwa dalam pikirannya sudah membayangkan bahwa kelak Raja tidak akan menghargai jasanya dan suatu hari akan membunuhnya, maka dalam hati dia pun mengharap bahwa akan datang prajurit negara lain yang menghancurkan Kerajaan Ceng. Membayangkan kepandaian Siau Po mengadu domba, rasanya batok kepala di atas batang lehernya sulit dipertahankan lagi.
Dalam waktu yang singkat berbagai pemikiran terus maju mundur dalam benaknya. Dia menyesali dirinya sendiri yang pergi menyembahyangi makam The Seng Kong, Terlebih lagi menyuruh si Guru besar dalam istana membuat puisi yang ada kaitannya dengan Go Cu Sai.
Sekarang buntutnya justru digenggam erat oleh si budak setan ini. Untuk beberapa saat dia berdiri termangu-mangu. Tubuhnya gemetar, dia tidak tahu kata-kata apalagi yang harus dikemukakan untuk berdebat dengan Siau Po.
"Sie Ciangkun, sejak menduduki tahta kerajaan, pertama-tama urusan besar apa yang berhasil beliau tangani?" Tiba-tiba Siau Po bertanya.
"Membunuh Pengkhianat Go Pay," sahut Sie Long,
"BetuI, Go Pay memang seorang pengkhianat, tapi jasanya terhadap kerajaan cukup besar. Beberapa kali dia memimpin pasukan untuk berperang dan selalu kembali dengan kemenangan. Ketika Sri Baginda pernah berkata: "Seandainya aku membunuh Go Pay, takutnya ada orang yang menganggap aku tidak mengingat jasa bawahannya. Entah burung atau busur apa, hamba tidak begitu mengingatnya lagi."
"Burung mati busurnya disembunyikan," tukas Sie Long.
"BetuI, Benar bukan? Bahkan kau sendiri juga menyebut Sri Baginda demikian," kata Siau Po.
"Tidak, tidak," sahut Sie Long cepat. "Hamba tidak mengatai Sri Baginda, hanya menjelaskan pepatah yang dimaksudkan."
"Kau menggunakan pepatah untuk mengibaratkan cara Sri Baginda membunuh Go Pay, bukan?" tanya Siau Po pura-pura bodoh.
Sie Long semakin gugup.
Tayjin mengatakan pepatah tentang... entah bu-rung... atau busur... apa, hamba hanya menjawab pertanyaan Tayjin. Sama sekali hamba tidak berani menyindir Sri Baginda," sahutnya cepat.
Kedua bola mata Siau Po memandangnya dengan curiga sehingga Sie Long semakin deg-degan.
Sejak jaman dahulu, apabila ada orang yang membangga-banggakan hasil kerjanya sendiri. Raja pasti benci sekali. Mulut orang itu tidak perlu mengatakan apa-apa, asal tindakannya menunjukkan bahwa dia mempunyai harapan atau cita-cita untuk membanggakan dirinya sendiri, sudah terhitung dosa besar dan kebanyakan mendapat hukuman penggal kepala.
Hati Sie Long sejak tadi memang sudah cemas, maka berusaha menjaga perkataannya. Namun tak disangka Siau Po dengan cerdik memancingnya sehingga dia mengucapkan "Burung mati busurnya disembunyikan".
Begitu ucapan itu keluar, dia baru sadar ada yang tidak beres. Benar saja. Siau Po segera memegang perkataannya bahwa dia menyindir Raja. Apalagi Siau Po tidak seorang diri, ada Lim Heng Cu dan Ang Cao yang bisa dibawa untuk menjadi saksi. Bila dia ingin mengingkar juga rasanya tidak begitu mudah.
"Sie Ciangkun mengatakan "Burungnya dibunuh, busurnya disembunyikan" atau kira-kira begitu. Apa maksudnya menyindir Sri Baginda atau bukan, aku tidak tahu. Tapi di dalam istana banyak guru besar, guru kecil, ahli Sastra dan sebagainya, mengapa kita tidak meminta pendapat mereka saja?
Namun hari-hari yang kulalui bersama Sri Baginda cukup lama, rasanya beliau suka mendengar orang menyebutnya "Niau Seng Hi Tong", bukan "Niau Cing Kou Can"
Memang sama-sama ada burungnya, tapi mungkin isi kata-katanya jauh berbeda, Yang satu burung yang jinak, dan satunya lagi pasti burung buas, betul bukan?" kata Siau Po.
Sie Long terkejut juga marah. Dalam hati dia berpikir -- Kalau sudah begini namanya kepalang tanggung. Kau toh bermaksud mencelakakan diriku, maka lebih baik kubunuh dulu kalian bertiga, dengan demikian berarti aku tidak membiarkan akar bencana terus
bertumbuh -
Dengan berpikir demikian, sepasang matanya langsung berubah menjadi buas. Siau Po juga melihat perubahan mimik wajahnya. Hatinya diam-diam terkesiap juga, namun dia memaksakan dirinya untuk tersenyum.
"Ternyata apa yang sudah diucapkan oleh Sie Ciangkun, kuda mati pun sulit menyandaknya. Di depan mata sekarang kau hanya mempunyai dua pilihan. Satu, segera membunuhku serta saudara Lim dan saudara Ang. Setelah itu kau juga harus membunuh semua istri dan anak-anakku.
Terakhir bawa seluruh prajurit yang ada di sini ke Taiwan dan mengangkat diri sendiri sebagai raja. Tapi kau harus pikirkan baik-baik, prajurit yang kau bawa ini merupakan prajurit kerajaan Ceng, belum tentu mereka sudi memberontak bersamamu sedangkan sisa prajurit yang ada di Taiwan kebanyakan juga tidak suka mengikutimu."
Sebetulnya hati Sie Long memang sedang mempertimbangkan kemungkinan ini, tapi segera dibongkar niatnya oleh Siau Po. Amarahnya semakin meluap, namun dia juga menyadari kedudukannya sehingga tidak berani memutuskannya secara terang-terangan.
"Hamba tidak mempunyai niat itu sedikit pun. Tayjin tidak perlu curiga, karena perbuatan demikian hanya memperbesar kesalahan hamba saja. Tapi entah apa pilihan kedua yang dikemukakan Tayjin, bolehkah hamba mendengarnya agar mengetahui petunjuk Tayjin yang berharga?" tanyanya dengan nada menghormat.
Mendengar nada suaranya yang berubah lembut, hati Siau Po membesar kembali. Dia mengangkat sebelah kakinya lalu digoyang-goyangkan seperti lagak tuan besar.
Pilihan kedua adalah memberikan bantuan kepada siaute dan kedua saudara Lim serta Ang. Tadi ketika menyebut nama Sri Baginda, Sie Ciangkun anda mengucapkan sepatah kata "Niau", Anggap saja Sie Ciangkun mengatakan bahwa Hong Siang ibarat "Niau Seng Hi Tong", itu bagus sekali.
Kelak apabila bertemu dengan Sri Baginda, aku akan mengatakan bahwa dia mempunyai seorang bawahan yang setia dan menjunjung tinggi rajanya. Bahwa dia juga selalu mengingat budi besar Hong Siang.
Dan dia mengatakan bahwa Go Cu Sai adalah manusia yang lupa budi. Raja Go telah mengerahkan pasukannya untuk membantu orang itu membalas dendam, dengan demikian seharusnya dia menuruti perintah majikannya walaupun disuruh terjun ke bara api atau menyelam ke dasar laut. Mana boleh dia mengeluarkan kata-kata yang membanggakan dirinya sendiri sehingga seakan mengejek rajanya? seandainya waktu itu Sie Ciangkun yang menjadi Go Cu Sai, dapat dijamin kalau negara Go akan jaya selama-lamanya, jangan kata
hanya seorang wanita cantik seperti Si She, malah Tung She, Nan She, Pei She, (Si artinya barat, padahal itu merupakan nama seorang wanita cantik di jaman tersebut, namun Siau Po justru menyebut Tung, Nan Pei yang artinya timur, selatan utara sebagai olok-o!ok atas diri Sie Long) semuanya akan dikumpulkan oleh Sie Ciangkun untuk dipersembahkan kepada raja Go.
Bagian 89
Yang diingat oleh Go Cu Sai hanya kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang diingat oleh Sie Ciangkun justru kepentingan kerajaan Ceng kita yang besar. Orang yang hatinya baik, pasti mendapat balasan yang baik pula.
Apabila kelak Sri Baginda memberikan anugerah sesuai dengan jasa masing-masing, Sie Ciangkun pasti merupakan orang pertama yang mendapat pangkat tertinggi" kata pemuda itu panjang lebar.
Kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan Sie Long ini jelas membuat orang itu gembira sekali. Kemarahannya menguap entah ke mana. Cepat-cepat dia berdiri dan menjura kepada Siau Po.
"Seandainya Tayjin sudi mengucapkan kata-kata yang demikian indah di hadapan Sri Baginda, untuk selamanya hamba tidak berani melupakan budi besar Tayjin ini."
Siau Po juga berdiri dan membalas penghormatan Sie Long, lalu berkata sambil tersenyum.
"Ucapan itu toh tidak merugikan diriku, bahkan bisa membawa keberuntungan. Apalagi kalau suasana hatiku sedang baik, aku malah bisa menambahkan beberapa ucapan yang lebih manis lagi."
Dalam hati Sie Long berpikir. -- Kalau aku tidak mengajakmu ke Taiwan kali ini, mana mungkin suasana hatimu si budak busuk bisa menjadi baik? - Dia duduk kembali di kursinya lalu berkata. Taiwan baru saja berhasil kita taklukkan, jelas keadaannya masih kacau balau. Hamba bermaksud mengusulkan kepada Sri Baginda agar mengutus seorang yang berwibawa dan sanggup menyenangkan hati rakyat untuk mengurus rakyat di sana.
Orang yang hamba maksudkan tentunya Wi Tayjin adanya. Hamba akan segera kembali ke Kotaraja untuk menyusun kalimat yang baik kemudian menyerahkannya kepada Sri Baginda. Setelah ada persetujuan dari beliau, pasti akan datang firman Sri Baginda yang mengutus Wi Tayjin berangkat ke Taiwan."
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Kau mau pulang dulu ke Kotaraja, lalu menyusun kalimat yang bagus untuk mengajukan usulmu kepada Sri Baginda, menunggu sampai Sri Baginda membaca, mempertimbangkannya lagi dan kalau setuju baru mengirimkan firmannya kemari? Waktu yang dihabiskan untuk pulang pergi serta tetek-bengek lainnya mungkin tidak cukup lima bulan atau setengah tahun.
Takutnya pada waktu itu gosip yang sampai di telinga Sri Baginda kalau tidak ada seribu kata, paling tidaknya ada delapan ratus kata. Urusan seperti ini tidak bisa ditunda biar satu dua hari pun. sebaiknya Sie Ciangkun segera mencari seorang pembesar kepercayaan Sri Baginda untuk menyertaimu ke Taiwan serta membuktikan bahwa kau tidak bermaksud mengangkat dirimu menjadi raja di sana.
Di luaran ada desas-desus bahwa kau malah sudah memilih gelar yang akan kau pakai setelah menjadi raja kelak. Kalau tidak salah namanya "Tai Beng Taiwan Ceng Hai Ong" (Raja yang menguasai lautan di Taiwan dengan bendera Dinasti Beng) Apa benar?"
Mendengar gelar "Tai Beng Taiwan Ceng Hai Ong", Sie Long terkejut setengah mati. Dalam hati dia berpikir, Siau Po toh tinggal di atas pulau yang terpencil darimana bisa mendengar desas-desus tentang dirinya? Paling-paling si budak busuk ini yang mengada-ada. Tapi kalau ucapan ini sampai ke Kota-raja, mungkin para pejabat kerajaan pun akan mempercayainya dan dirinya pasti akan mati tanpa kuburan, -- Karenanya cepat-cepat dia berkata. "ltu kan kabar burung, Wi Tayjin jangan percaya begitu saja."
"BetuI," sahut Siau Po. "Aku kan kenal kau sudah lama. Tentu saja aku tidak mempercayainya. Tapi Sie Ciangkun menyerbu ke Taiwan kali ini, orang yang dibunuh pun pasti banyak sekali. Dengan demikian permusuhan yang ditanam juga tidak sedikit jumlahnya. Entah ada berapa pembesar di istana yang sudi mengorbankan seluruh keluarganya untuk membela Sie Ciangkun?"
Hati Sie Long semakin berdebar-debar. Dia tahu tidak ada pejabat tinggi di istana yang akrab sekali dengannya. Kalau tidak, dulu dia juga tidak terlunta-lunta di Kotaraja sekian lama tanpa ada orang yang memberikan jalan keluar bagi masalahnya.
Satu-satunya orang yang pernah menanam budi dengan mengangkat derajatnya justru pemuda yang ada di depan matanya sekarang ini. Karena itu, dia segera mengkertakkan giginya dan berkata. "Petunjuk berharga yang diberikan Tayjin sudah banyak sekali, untuk itu hamba merasa berterima kasih sekali. Karena waktunya sudah mendesak sekali, hamba memberanikan diri mengajak Tayjin berangkat besok juga agar sesampainya di Taiwan. Tayjin bisa menyelidiki benar tidaknya desas-desus yang tersiar di luaran."
Siau Po gembira sekali mendengarnya, tapi dia beranggapan bahwa Sie Long sendiri yang memohon kepadanya. Maka lebih baik dia mempersulit sedikit dan jangan secara mencolok menyetujui permintaannya.
"Kalau menilik dari persahabatan kita selama ini, sebetulnya tidak menjadi masalah apabila kita berangkat ke Taiwan untuk membersihkan nama baik Sie Ciangkun. Akan tetapi karena aku sudah terlalu lama tinggal di pulau ini, aku khawatir tidak terbiasa lagi
naik kapal. Mungkin aku bisa mabuk laut. Lagi-pula aku sudah terbiasa berkumpul dengan anak istri-istriku, rasanya aku berat meninggalkan mereka begitu saja," kata pemuda itu seolah segan-segan.
Dalam hati Sie Long memaki. - Kau juga sudah pernah berlayar entah berapa ratus kali dan selamanya aku belum pernah kau mabuk maknya punya lautan! -
Meskipun demikian, di luarnya dia tersenyum dan berkata. "lstri-istri, serta anak-anak Tayjin tentunya harus ikut menyertai. Hamba akan memilih kapal yang paling besar untuk Tayjin sekeluarga, apalagi bulan-bulan sekarang lautan sedang tenang, tidak akan ada ombak atau badai besar. Harap Tayjin tidak perlu mengkhawatirkan hal ini."
Siau Po mengerutkan keningnya. "Kalau begitu terpaksa siaute berusaha mengatasi kesulitan yang akan dihadapi dan ikut dengan Sie Ciangkun," katanya.
Sie Long cepat-cepat mengucapkan terima kasih.
Pada hari kedua, Siau Po mengajak ke tujuh istri, dua putra dan seorang putrinya naik ke atas kapal yang telah disiapkan oleh Sie Long. Perwira Peng yang bertugas menjaganya di pulau itu bermaksud menghalangi kepergian mereka, tapi Sie Long segera meringkusnya, lalu mengikatnya dengan tali pada batang pohon. Dengan demikian mereka segera berangkat meninggalkan pulau Tong Sip to tersebut.
Siau Po memandangi pulau terpencil yang telah menjadi tempat tinggalnya selama bertahun-tahun, bibirnya tersenyum.
"Pemilik sudah meninggalkan pulaunya, sekarang namanya tidak boleh Tong Sip to lagi. Kita harus mencari nama yang lebih sesuai baginya."
"Betul," sahut Sie Long. "Kalau menurut pendapat Tayjin, nama apa yang sesuai bagi pulau ini?"
Siau Po merenung sejenak kemudian berkata. "Firman pertama dari Sri Baginda ada menyebutkan bahwa Tio Bung Ong mempunyai seorang sahabat yang gemar memancing, Han Kong Bu juga mempunyai seorang kawan yakni Cu Yan Ling yang suka memancing. Pokoknya setiap raja yang bijaksana pasti ada menterinya yang hobby memancing. Sedangkan Sri Baginda sendiri juga mengutus aku berdiam di pulau ini untuk memancing. Kalau begitu kita namakan saja "Tiau Hi To" (PuIau memancing Ikan)."
Sie Long bertepuk tangan sambil bersorak.
"Tidak ada nama yang lebih bagus daripada nama yang dipilihkan oleh Tayjin sekarang, pertama sesuai dengan amanat yang diberikan oleh Sri Baginda, kedua menyamakan diri Wi Tayjin dengan Ciang Thai Kong dan Cu Yan Ling yang merupakan Bun Bu Cuan Cai pada jamannya. Betul, mulai sekarang kita harus menyebutnya sebagai Tiau Hi To."
Siau Po tertawa.
"Tapi aku yang bergelar Tong Sip Hou sekarang juga terpaksa mengganti gelarnya sebagai Tiau Hi Hou. Lain kali kalau aku naik pangkat lagi, gelar yang kugunakan berubah pula menjadi entah Tiau Hi apa Kong. Kedengarannya jadi tidak enak."
Sie Long juga ikut tertawa.
"Hi Kong mendapat rejeki, yang lain juga kebagian. Enak kok didengarnya," sahutnya tidak mau kalah.
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Hong Siang menganugerahi aku gelar Tong Sip Pak, lalu naik lagi menjadi Tong Sip Hou. Kalau dibayangkan kembali memang enak juga kedengarannya, namun beberapa istriku yang merasa kurang puas, Mungkin kelak kalau meminta Hong Siang menggantinya menjadi Tiau Hi Hou, mereka juga akan berubah pikiran."
Diam-diam Sie Long merasa geli. -- Apa sih gelar Tong Sip Pak atau Tong Sip Hou, itukan kelakuan Hong Siang untuk mengambil hatimu. Lagipula sebenarnya gelar itu lebih tepat sebagai ejekan bahwa kau bukanlah apa-apa di matanya. Biarpun diganti dengan Tiau Hi Hou, kedengarannya juga tetap saja enggak enak! -
Seperti biasanya, Sie Long selalu lain di hati, lain di mulut, Terdengar dia berkata. "Sejak dulu ada sebutan "Hi Ciau Ken Tuk" Coba bayangkan saja, nelayan malah menduduki peringkat pertama, sedangkan orang yang sekolah malah berbaris paling terakhir. Bila Tayjin kelak diganti gelarnya menjadi Tiau Hi Hou (Pangeran Memancing Ikan), berarti tingkatan Tayjin sudah lebih tinggi daripada segala ahli sastra yang ada di istana."
Mengenai apakah pulau memancing ikan itu sama dengan pulau Tiau Hi Tai To yang artinya sama tapi adanya di abad berikutnya, sayangnya dalam buku sejarah tidak ada disebutkan kaitannya, sayangnya tidak ada jejak Siau Po yang dapat ditemukan, meskipun diketahui pada awal pemerintahan Kaisar Kong Hi, pernah ada penduduk yang tinggal cukup lama di pulau tersebut dan bahkan ada jejak para prajuritnya pula.
Tidak sampai satu hari, Siau Po dan keluarganya beserta Sie Long, Lim Heng Cu, Ang Cao dan yang lainnya sudah tiba di Taiwan. Mereka berlabuh di daerah Ang Peng Hu.
Lim Heng Cu dan Ang Cao sebagai juru mudi menunjukkan bagaimana The Seng Kong memasuki wilayah tersebut tempo dulu. Mereka juga menceritakan bagaimana pasukan mereka membuat Setan-Setan Berambut Merah terkocar-kacir.
Tentu saja Siau Po senang sekali mendengar cerita itu. Karena Sie Long sudah membawanya ke Taiwan, kata-kata yang diucapkannya juga tidak menusuk hati ataupun menyindir orang itu lagi.
Di markas tentara yang ada di daerah itu, Sie Long mengadakan perjamuan besar-besaran. Ketika mereka sedang bersantap dengan lahap, tiba-tiba terdengar seorang prajurit berseru bahwa ada Firman Kaisar dari Kotaraja.
Sie Long segera keluar menyambut datangnya firman tersebut Begitu kembali, wajahnya tampak berubah.
"Wi Tayjin, Kaisar mengutus orang untuk memeriksa dan melakukan penjagaan di Taiwan, Celakalah kita kali ini!" katanya.
"Lho, memangnya kenapa?" tanya Siau Po heran.
"Begini, keadaan di Kotaraja sedang kekurangan tenaga, Sri Baginda memutuskan akan mengutus orang untuk melakukan pemeriksaan dan penjagaan di Taiwan. Apabila perinciannya tidak menguntungkan bahwa lebih banyak penduduk setempat yang berpihak kepada kita, maka ada kemungkinan pulau ini akan ditutup. Menjadi wilayah Otoriter.
Penduduk setempat diungsikan ke pedalaman, mereka hanya boleh mencari makan dari hasil kebun dan ladang setempat. Dan prajurit yang menjaga di sini juga tidak perlu terlalu banyak. Dalam firmannya Sri Baginda menyatakan bahwa negara sedang mengadakan penghematan besar-besaran untuk menjaga segala kemungkinan. Apabila pulau ini tidak bisa menghasilkan banyak, lebih baik jangan dipergunakan," sahut Sie Long menjelaskan Siau Po merenung sejenak, lalu bertanya.
"Apakah Sie Ciangkun tahu apa maksud sebenarnya dari para pejabat di Kotaraja? Aku yakin ada orang yang membakar Sri Baginda untuk melakukan hal ini."
Sie Long terkejut setengah mati.
"Apakah benar desas-desus tentang Go Cu Sai telah sampai ke Kotaraja?" Dia malah berbalik tanya dengan suara gemetar.
Siau Po tersenyum.
"Ada pepatah yang mengatakan "Tidak ada asap yang tidak tercium baunya". Ternyata ungkapan ini memang benar, omongan yang baik tetangga belum tentu tahu, sedangkan ocehan yang tidak-tidak dalam jangka waktu sekejap saja bisa menyebar sampai ribuan li jauhnya.
Desas-desus tentang Sie Ciangkun yang ingin menggelarkan diri sendiri sebagai "Tai Beng Taiwan Ceng Hai Ong" mungkin saja sudah tersebar sampai ke Kotaraja."
"Lalu, bagaimana sekarang?" tanya Sie Long cemas. "Jumlah penduduk Taiwan lebih dari puluhan laksa orang. Mereka sudah tinggal di sini selama puluhan tahun, tentunya mereka sudah terbiasa. Apabila dalam waktu singkat mereka tiba-tiba diperintahkan mengungsi ke pedalaman, bagaimana mereka harus melewati hari? Kalau kita memaksakan, pasti terjadi perubahan hebat. Lagipula, bila tentara kita meninggalkan pulau ini, pasti Setan-Setan Berambut Merah itu akan datang kembali untuk mengangkatnya. Untuk apa kita bersusah payah merebutnya tempo hari kalau akhirnya dihadiahkan pula kepada para Setan Berambut Merah? Tentunya para penduduk Taiwan pasti merasa semakin tidak puas."
Siau Po merenung sejenak.
"Urusan seberat apa pun, pasti ada jalan keluarnya. Raja sangat mencintai rakyatnya. Yang penting Sie Ciangkun harus berbicara atas nama rakyat. Kemungkinan akhirnya Sri Baginda justru akan berpihak kepadamu," katanya kemudian.
Hati Sie Long terasa agak lapang mendengar ucapannya.
Tapi, bagaimana kalau kabar angin yang buruk sudah menyebar sampai ke istana? sedangkan hamba justru mengusulkan untuk mempertahankan Pulau Taiwan ini, kemungkinan Sri Baginda. Mempunyai pikiran bahwa hamba benar-benar bermaksud mengkhianatinya."
"Sekarang sebaiknya kau cepat-cepat kembali ke Kotaraja dan menjelaskan semuanya kepada Sri Baginda. Kalau kau sudah sampai di sana, segala desas-desus tentang niatmu mengangkat diri sendiri menjadi raja di Taiwan tentu tidak dipercayai oleh siapa pun," sahut Siau Po.
Sie Long menepuk pahanya keras-keras.
"Betul, betul! petunjuk Tayjin memang selalu tepat. Besok juga hamba akan berangkat. Tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benaknya sehingga dia melanjutkan "Para pejabat yang ada di Taiwan biar dipimpin oleh Tayjin sendiri Sri Baginda paling percaya pada Tayjin. Asal Tayjin bersedia menduduki jabatan ini, para menteri di istana tidak ada seorang pun yang berani memprotesnya."
Siau Po gembira sekali mendengarnya. Dalam hati dia berpikir bahwa tidak ada salahnya dia menjabat sebagai pembesar di Taiwan. Karenanya, sembari tersenyum dia berkata. "Kau toh belum menerima Firman Kaisar, masa seenaknya menyerahkan pasukan dan para pejabat di sini untuk kukepalai. Bagaimana kalau sampai Sri Baginda menyalahkan dirimu untuk masalah ini?"
Mendengar pertanyaannya, hati Sie Long menjadi bimbang kembali. -- pemuda ini murid Tan Kin Lam, malah anggota perkumpulan Thian Te hwee pula. Meskipun Sri Baginda sangat menyayanginya, tapi selama beberapa tahun ini dia justru dikurung di atas pulau Tong Sip to tanpa diberi tugas apa-apa. Kalau tiba-tiba dia memimpin sejumlah pasukan perang dan akhirnya dia mengajak sisa-sisa anggota Thian Te hwee untuk memberontak terhadap kerajaan, aku... akulah orang pertama yang akan dijatuhi hukuman mati... - pikirnya dalam hati.
Sie Long merenung sejenak, akhirnya dia mendapat ide yang bagus. - Yang penting aku harus membawa seluruh pasukan Angkatan Laut. Tanpa mereka pemuda ini tentu tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau dia sampai berani mengajak anggota Thian Te hwee untuk memberontak juga, aku tinggal memimpin Pasukan Angkatan Laut untuk kembali menyerangnya. Dalam waktu singkat seluruh isi pulau ini akan rata menjadi tanah, - pikirnya Iagi. Karena sudah mendapat keputusan, dia segera berkata.
"Kalau para prajurit Angkatan Darat diserahkan kepada orang lain, mungkin Sri Baginda akan menyalahkan hamba. Tapi kalau diserahkan kepada Tayjin, beliau pasti setuju sekali."
Perjamuan makan pun dihentikan saat itu juga. Pada malam yang sama, Sie Long segera memerintahkan sejumlah perwira dan pejabat yang bertugas di Taiwan untuk menemui Siau Po dan menyampaikan bahwa mulai keesokan harinya seluruh pasukan Angkatan Darat maupun urusan politik yang ada di pulau tersebut telah dialihkan kepada pemuda itu.
Dia juga menyuruh seorang Ahli Sastra untuk menuliskan sepucuk surat atas nama Siau Po, yang isinya menyatakan permohonan maaf tentang pengambiI-alihan tugas Sie Long tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, tapi dia berjanji untuk setia terhadap negara.
Hal ini dilakukan demi seluruh rakyat Taiwan yang sudah kerasan tinggal di pulau tersebut. Apabila secara tiba-tiba mereka diungsikan ke Pedalaman, Siau Po khawatir akan timbul pertentangan yang akhirnya mengakibatkan jatuh korban lagi.
Setelah masalah ini selesai, ternyata tanpa sadar mereka telah sibuk sepanjang malam. Pada hari itu juga Sie Long sudah mempersiapkan diri untuk naik ke atas kapal.
Tiba-tiba Siau Po bertanya.
"Sebetulnya masih ada satu persoalan lagi, entah kau sudah mempersiapkannya belum?"
"Urusan apa yang Tayjin maksudkan?"
"Sumbangan," sahut Siau Po.
"Sumbangan?" Sie Long menjadi bingung mendengarnya.
"Betul. Kali ini kau berhasil merebut Pulau Taiwan. Di dalam istana terdapat banyak Menteri serta pembesar Tinggi. Entah hadiah apa saja yang telah kau berikan kepada mereka?" kata Siau Po.
Sie Long tertegun sejenak, lalu menjawab. "Tugas ini diberikan langsung oleh Sri Baginda. Hamba beserta pasukan mempertaruhkan nyawa untuk merebut pulau ini. Para menteri dan pembesar tinggal di istana toh tidak mengeluarkan tenaga sedikit pun."
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Lo Sie oh Lo Sie, begitu berhasil kau langsung lupa diri. Penyakitmu terus kumat. Kali ini engkau telah mendirikan jasa besar dengan merebut Pulau Taiwan, Orang-orang pasti mengira kau mendapat rejeki banyak, namun ditelan sendiri. Memangnya para Menteri dan pembesar di istana tidak menjadi silau matanya?"
Sie Long menjadi cemas.
"Tayjin penuh pengertian, apabila Sie Long mengantongi sekeping uang perak saja dari pulau ini, biarlah sekembalinya ke Kotaraja nanti aku mendapat hukuman penggal kepala," katanya cepat.
"Sekarang kau toh sudah menjadi pembesar kerajaan Ceng, tapi orang lain belum tentu sudi menjadi bawahan pemerintah Ceng, apalagi orang Han sendiri. Semakin kau bersikap rendah diri, orang semakin curiga terhadapmu. Mereka tentu menduga bahwa kau telah menghabiskan uang banyak guna menyodok penduduk Taiwan atau prajurit The Seng Kong sehingga kau berhasil dengan mudah. Aih, kau benar-benar bodoh! Jadi ketika kembali ke Kotaraja kau tidak membawa apa pun?" tanya Siau Po menyelidik.
"Hasil bumi atau hasil tambang Taiwan banyak sekali. Rumput obat, rotan, kayu balok dan sebagainya memang aku ada membawa sedikit," sahut Sie Long.
Siau Po tertawa terbahak-bahak, Pertama-tama wajah Sie Long sampai merah jengah dibuatnya, namun akhirnya dia menjadi sadar. Karena itu dia menjura dalam-dalam kepada Siau Po.
"Terima kasih atas petunjuk Tayjin. Hampir saja hamba tertimpa musibah," katanya.
Siau Po memanggil beberapa orang bawahannya lalu berkata. "Kepergian Sie Ciangkun adalah untuk memohon kelonggaran hati Sri Baginda demi kita semua. Apabila tugasnya sampai mengalami kegagalan, kemungkinan batok kepala kita sulit dipertahankan Urusan yang menyangkut jiwa kita bersama ini, masa harus Sie Ciangkun sendiri yang menanggungnya? Saudara-saudara sekalian, cepat
kalian mencari derma dari para penduduk!"
Sie Long memang jujur sekali. Sejak menguasai Taiwan, dia belum pernah mengambil uang seperak pun dari rakyat. Begitu tugasnya diambil alih oleh Siau Po, tindakan pertama si pemuda justru meminta sumbangan "Garansi Jiwa" dari para penduduk.
Tadinya para penduduk yang mendengar berita bahwa mereka akan diungsikan ke Pedalaman, tidak ada satu pun yang tidak merasa cemas karenanya. Belakangan mereka mendapat kabar bahwa Sie Ciangkun telah menerima saran dari Wi Hu ya untuk berangkat ke Kotaraja guna membicarakan masalah ini, itulah sebabnya tidak ada seorang pun yang keberatan memberikan sumbangan "Garansi Jiwa" yang diajukan oleh Siau Po.
Mereka malah menyumbang dengan suka hati. Untung saja rakyat Taiwan rata-rata hidup makmur. Dalam waktu setengah hari saja, anak buah Siau Po sudah berhasil mengumpulkan Tiga puluh laksa tail lebih.
Siau Po juga menyuruh para prajurit serta pembesar setempat untuk merogoh kantong sendiri dan mengumpulkan lagi uang sebanyak enam puluh laksa tail lebih sehingga jumlahnya menjadi seratus laksa tail.
Dia pula yang menentukan siapa yang harus mengeluarkan uang lebih banyak dan siapa pula yang mengeluarkan jumlah yang lebih sedikit Sie Long jadi terharu melihat sikapnya. Sampai kentungan pertama tengah malam, kapalnya baru berangkat.
Keesokan harinya Siau Po mengadakan pertemuan. Hampir seluruh prajurit dan pembesar setempat hadir. Dia berkata kepada mereka.
"Tadi malam Sie Ciangkun sudah berangkat menuju Kotaraja. Sebelumnya kami mengadakan kalkulasi, rasanya jumlah uang yang berhasil dikumpulkan masih kurang seratus laksa lebih, saudaramu ini justru mengkhawatirkan nasib para penduduk di sini, akhirnya dengan berat hati aku menyerahkan sejumlah ternak dan perhiasan milik ke tujuh istriku untuk diserahkan kepada Sie Ciangkun guna melengkapkan jumlah yang kurang itu. Aih, ternyata menjadi pejabat di Taiwan ini tidak mudah juga. Baru satu hari aku memang ku jabatan, ternyata sudah rugi seratus laksa tail lebih. Padahal perhiasan dan ternak-ternak itu merupakan harta kami yang terakhir." Tampak Siau Po menarik nafas panjang.
Tayjin berjiwa besar dan tangannya selalu terbuka untuk menolong yang lemah. Hal ini menunjukkan perhatian Tayjin yang besar terhadap rakyat Taiwan. Namun Tayjin tidak perlu khawatir, penduduk Taiwan sudah diberikan pengertian bahwa enam puluh laksa tail milik para prajurit dan pembesar setempat yang dibawa oleh Sie Ciangkun hanya merupakan pinjaman karena keadaan yang sudah terlalu mendesak.
Mereka berjanji akan mengumpulkan uang untuk membayarnya kembali, otomatis jumlah perhiasan istri-istri Tayjin beserta ternak pemeliharaan yang seharga seratus laksa tail lebih itu juga harus diperhitungkan dan para penduduklah yang akan mengembalikan nya kelak," sahut seorang pembesar setempat.
Siau Po menganggukkan kepalanya, "Kalian masing-masing juga mengeluarkan uang sampai-sampai kewalahan memenuhi kekurangannya. Urusan ini tentunya aku juga tahu. Pembesar yang kedudukannya lebih tinggi harus mengeluarkan laksaan tail,
sedangkan yang kedudukannya lebih rendah setidaknya juga harus mengeluarkan ribuan tail.
Semua rela berkorban, kalau dipikir-pikir bukan lain demi rakyat juga. Dana ini sudah pasti dikembalikan namun kita yang jadi pembesar setempat juga tidak boleh keterlaluan kita tidak boleh menghitung bunga kepada rakyat jelata. Biarlah kita dirugikan sedikit, asal modalnya bisa kembali, ya sudah, ini yang dinamakan "Mencintai rakyat seperti anak sendiri." katanya.
Para pembesar dan prajurit setempat gembira sekali mendengar kata-katanya. Serentak mereka menganggukkan kepalanya sambil mengucapkan terima kasih. Mereka merasa bahwa pembesar yang satu ini pandai mengambil hati rakyat. Ternyata dia lebih baik dari pembesar mana pun yang pernah mereka temui.
Beberapa hari kemudian, Siau Po menyuruh anak buahnya untuk mempersiapkan keperluan persembahyangan. Mereka akan bersembahyang ke makam The Seng Kong. Padahal Siau Po hanya ingin melihat bagaimana sebetulnya tokoh yang dulunya disegani orang itu.
Sesampainya di depan makam yang besar itu, Siau Po mendongakkan kepalanya. Dia melihat patung The Seng Kong duduk di akar lebar wajahnya bulat, di atas bibir maupun di dagunya terdapat beberapa lembar bulu halus, kedua telinganya besar, tapi matanya sipit sekali.
Alisnya melengkung, dahinya yang tinggi menunjukkan mimik pengasih dan berwibawa. Namun kelihatannya seperti orang tua biasa saja, tidak terlihat kesan seorang pendekar besar atau pahlawan bangsa pada jamannya.
Dalam pandangan Siau Po malah lebih mirip seorang guru, pemuda itu tampak agak kecewa melihatnya. Dia bertanya kepada seorang prajurit yang menyertainya. "Apakah tampang Kok Seng Ya memang seperti ini?"
Lim Heng Cu yang kebetulan diajaknya menjawab pertanyaan Siau Po. "Wajah asli Kok Seng Ya memang begini. Pada dasarnya Kok Seng Ya adalah seorang yang terpelajar. Oleh karena itu, meskipun dia seorang pendekar besar dan pahlawan bangsa, namun tampangnya tetap lembut."
"Oh, rupanya begitu." Dia melihat di kedua sisi patung Kok Seng Ya terdapat lagi dua patung manusia yang bentuknya lebih kecil. Yang kiri perempuan dan yang kanan patung seorang laki-Iaki. Maka Siau Po bertanya lagi, "Siapa kedua orang ini?"
"Yang perempuan ialah permaisuri Tong. Sedangkan yang laki-laki itu Si Ong Ya," sahut Lim Heng Cu.
"Apa itu Si Ong Ya?" tanya Siau Po pula.
"Dialah putera Kok Seng Ya yang kemudian mengambil alih jabatannya."
"Oh! Tentunya dialah The Keng. Kalau diperhatikan memang ada kemiripan dengan si budak busuk The Kek Song. Di mana patung Tan Kun su, guruku?" tanya Siau Po.
"Tidak ada patung Tan Kun su," sahut Lim Heng Cu.
"Permaisuri Tong ini jahatnya bukan main, turunkan saja patungnya! Dan cepat suruh orang membuat patung guruku lalu letakkan di sini agar dapat menemani Kok Seng Ya!" kata Siau Po.
Lim Heng Cu gembira sekali mendengarnya. Dia langsung naik ke atas altar untuk menurunkan patung permaisuri Tong. Siau Po sendiri segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah beberapa kali kepada patung Kok Seng Ya.
"Kok Seng Ya, kau adalah seorang pendekar besar juga pahlawan bangsa. Hari ini aku Wi Siau Po menyembah di hadapanmu karena kau memang pantas menerimanya. Nenek tua ini jahat sekali, kalau setiap hari dia menemanimu, arwahmu pasti merasa marah karenanya, sebab sudah terlalu banyak urusan keluargamu yang dikacaukan olehnya, sekarang aku membantumu menurunkan patungnya dan menggantikannya dengan patung guruku agar dapat menemanimu," katanya,
Begitu teringat kembali pada gurunya yang mati secara mengenaskan, tanpa terasa air mata Siau Po mengalir dengan deras.
Seluruh rakyat di Taiwan sangat membenci permaisuri Tong, sedangkan Tang Eng Hoa berjiwa luhur, pendidikannya tinggi, ilmu silatnya lihai, namun dia tidak pernah sombong. Apa pun yang menyangkut kepentingan rakyat Taiwan selalu didahulukan. Penduduk Taiwan menjulukinya sebagai "Cu Kek Liang dari Taiwan"
Ketika Tan Kek Song menjadi pimpinan di Taiwan, tidak ada seorang penduduk pun yang berani mengucapkan sepatah kata yang buruk tentang permaisuri. Mereka juga tidak berani mengatakan hal yang baik tentang Tan Eng Hoa (Nama asli Tan Kin Lam), sekarang Siau Po menurunkan perintah "Membasmi Tong, mengangkat Tan", rakyat merasa gembira sekali, apalagi mereka mendengar Siau Po menyembah di hadapan patung Kok Seng Ya sambil menangis sedih, rakyat Taiwan merasa terharu sekali.
Meskipun Wi Tayjin ini dianggap agak mata duitan, namun pertama dia merupakan murid Tan Kun su, setidaknya rakyat Taiwan ikut menghargai dan mencintainya. Kedua Sie Long telah membawa pasukan untuk menyerbu ke Taiwan sehingga sisa-sisa pecinta tanah air dari Dinasti Beng menjadi hancur sejak hari itu. Itulah sebabnya, meskipun diam-diam di kalangan rakyat ada ungkapan tentang "Sie yang pengkhianat dan Wi yang serakah"
Namun mereka juga merasa bahwa Wi Tayjin ini orangnya ramah serta lebih mengutamakan kepentingan rakyat, jadi mereka juga berharap agar Wi Tayjin ini akan memimpin di Taiwan untuk selamanya dan paling bagus kalau Sie Long tidak usah kembali lagi.
Tapi harapan tinggal harapan, beberapa bulan kemudian ternyata Sie Long kembali dengan membawa serta pasukan Angkatan Lautnya.
Siau Po menyambutnya di pelabuhan. Tampak Sie Long keluar dari kapal bersama seorang pembesar berpakaian mentereng, tubuhnya tinggi besar Ketika melompat ke atas papan penyeberangan terdengar pembesar itu berseru.
"Saudara Wi, apa kabar? Kakakmu ini rindu sekali terhadapmu!"
Ternyata dia adalah So Ngo Ta. Tentu saja Siau Po jadi gembira sekali. Cepat-cepat dia menghambur ke depan, kemudian keduanya saling berjabatan tangan dan tertawa terbahak-bahak.
Wajah So Ngo Ta tampak berseri-seri.
"Adikku, kabar baik, kabar baik, Sri Baginda mengirim Firman yang menyatakan bahwa kau di mintanya datang ke Kotaraja," katanya.
Gembira dan sedih berkecamuk dalam batin Siau Po. Diam-diam dia berpikir. - Kalau dari semula aku memang ingin ke Pe King, tentu sekarang aku sudah ada di sana, Si Raja cilik orangnya keras kepala, dia tidak akan menyerah terhadap kemauannya. Kalau aku tidak berjanji akan membasmi perkumpulan Thian Te hwee, dia tidak mungkin mau menemuiku, -
Sie Long tertawa terkekeh-kekeh, "Sri Baginda memang berjiwa besar. Benar-benar tidak ada yang bisa menandinginya, Sri Baginda sudah mengabulkan permintaan kita untuk tidak memindahkan rakyat ke daerah pedalaman," katanya ikut memberi keterangan.
Selama beberapa bulan terakhir ini, baik rakyat maupun prajurit di Taiwan terus merasa khawatir, jangan-jangan Kaisar tetap pada pendiriannya ingin mengosongkan pulau Taiwan dan mengungsikan mereka ke daerah pedalaman.
Banyak yang mengatakan bahwa mulut seorang Raja adalah "Emas", apa yang sudah dikatakannya tidak mungkin ditarik kembali. Mendengar kata-kata Sie Long barusan, prajurit maupun rakyat Taiwan yang ikut menyambut kedatangan pembesar itu langsung bersorak gembira. Mereka serentak berseru. "Ban Sui! Ban Sui! Ban Sui!" (Artinya Semoga panjang Umur bagi sang Raja),
Kabar yang menggembirakan ini sudah menyebar sampai seluruh pelosok dalam waktu yang singkat. Di mana-mana terdengar seruan syukur dan terima kasih. Bahkan ada yang mulai memasang petasan serta kembang api seakan sedang merayakan hari bersejarah. Bisingnya malah melebihi malam tahun baru.
So Ngo Ta membacakan firman Kaisar, isinya menyatakan bahwa Siau Po telah berjasa, ada hadiah yang menantinya di Kotaraja. Dengan kepandaian serta kecerdasan otaknya, Kaisar Kong Hi menyatakan bahwa dia lebih berguna apabila menetap di Pe King.
Siau Po berlutut serta mengucapkan terima kasih. Kedua orang itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengadakan pembicaraan rahasia.
Setelah sampai di ruangan dalam So Ngo Ta berkata. "Siaute, mukamu kali ini benar-benar terang, Sri Baginda khawatir kau ragu
mengambil keputusan, karena itu aku ditugaskan untuk mengiringimu. Tahukah kau tugas apa yang direncanakan Sri Baginda untukmu?"
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Sri Baginda sangat cerdas, apa yang ada dalam benaknya, kita-kita sebagai hambanya mana mungkin bisa menerkanya begitu saja!"
So Ngo Ta mendekatkan bibirnya ke telinga Siau Po seakan takut pembicaraannya terdengar oleh orang lain.
"Menggempur negara Lo Sat," katanya lirih.
Siau Po sempat tertegun sejenak, kemudian melonjak bangun.
"Bagus sekali!" serunya.
"Hong Siang mengatakan bahwa begitu kau mengetahui hal ini, kau pasti kegirangan setengah mati.
Ternyata apa yang dikatakan beliau memang tepat Adikku, sejak jaman pemerintahan Kaisar Sun Ti, negara Lo Sat telah menduduki daerah sekitar sungai Hek Liong Ciang kita. Sikap mereka sangat kejam, sedangkan Kaisar kita yang dahulu serta Sri Baginda sekarang berjiwa lapang, mereka tidak terlalu berhitungan dalam hal ini.
Siapa kira Bangsa Lo Sat ini sudah dikasih hati malah minta ampela, tanah yang mereka kuasai semakin lama semakin luas. Misalnya Liau Tong, Daerah itu sebetulnya milik Bangsa Ceng kami, bagaimana mungkin dikuasai oleh Setan Lo Sat seenaknya saja? Sekarang masalah Go Sam kui dan Pulau Taiwan sudah diselesaikan.
Dunia boleh dibilang sudah tenteram. Maka Hong Siang mengambil keputusan untuk merebut kembali daerah yang dikuasai oleh Setan Lo Sat," kata So Ngo Ta menjelaskan.
Selama beberapa tahun belakangan ini Siau Po tinggal di Pulau Tong Sip to yang terpencil, saking isengnya dia sampai main kartu setiap hari. Begitu mendapat kabar ini, hatinya senang sekali sampai mulutnya yang terbuka lebar lupa dirapatkan kembali.
So Ngo Ta berkata pula.
"Demi kepentingan bersama, Hong Siang sudah beberapa kali mengirimkan firmannya ke Negara Lo Sat. Tapi dari awal hingga akhir, pihak sana tidak pernah memberikan jawaban. Kemudian utusan dari HoIIand menyampaikan kabar, meskipun Negara Lo Sat besar sekali, namun rakyatnya rata-rata bodoh, tidak ada satu pun yang mengerti Bahasa Tionghoa, Setiap kali mendapat firman dari Kaisar, mereka malah kebingungan.
Karena itu mereka memilih untuk tidak memberikan jawaban apa-apa. Namun prajurit Negara Lo Sat yang datang untuk memperluas kekuasaan mereka justru tidak pernah berhenti Sri Baginda berkata bahwa kita Bangsa Tionghoa adalah bangsa yang berprikemanusiaan, jadi kita tidak boleh menyalahkan bangsa yang bodoh.
Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah membuat mereka mengerti bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Mudah-mudahan mereka menyadarinya. Namun apabila dengan cara yang lunak mereka masih belum bisa memahami terpaksa kita harus mengambil tindakan kekerasan. Diantara para pembesar di istana, hanya Wi siaute seorang yang mengerti bahasa negara lo Sat."
Diam-diam Siau Po berpikir. -- Rupanya karena aku mengerti Bahasa Lo Sat, si Raja cilik baru mengalah terhadapku --
So Ngo Ta tersenyum.
"Adik Wi dapat mengerti Bahasa Lo Sat, tentunya hebat sekali. Namun masih ada hal lainnya yang lebih mengagumkan lagi. Dengar-dengar Negara Lo Sat ini diperintah oleh seorang ratu. Kalau tidak salah ratu ini merupakan kenalan lama Adik Wi, bukan?"
Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Tubuh wanita Lo Sat penuh dengan bulu berwarna keemasan. Kalau ditilik dari tampangnya, Ratu Sophia ini cukup cantik, sayangnya kalau diraba kulitnya terasa agak kasar."
So Ngo Ta tertawa.
"Sri Baginda justru memilih Adik Wi berangkat ke sana, agar tidak menemui banyak kesulitan. Mungkin sebaiknya Adik Wi meraba kulitnya beberapa kali," katanya.
Siau Po menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Tidak berselera," sahutnya.
"Siapa tahu kalau Adik Wi sudi mengelusnya beberapa kali, kedua negara langsung berbaikan, Jadi kita tidak perlu berperang yang bisa menjatuhkan korban banyak.
Bukankah ini sebuah cara yang ajaib untuk merukunkan kedua belah pihak?" kata So Ngo Ta pula.
Siau Po tertawa geli.
"Rupanya Sri Baginda bukan mengutus aku untuk berperang, tapi menyuruh aku mengeluarkan ilmu "Cap Pek Mo Sin Fang" (llmu ajaib delapan belas rabaan)! Ha ha ha ha!" Dia langsung bernyanyi, "Raba ya raba, raba sana raba sini, raba rambut Ratu Lo Sat yang berwarna keemasan Wi Siau Po dan So toako sama-sama menikmati!"
Kedua orang itu pun tertawa terbahak-bahak.
Keesokan harinya Siau Po membawa istri-istri dan anak-anaknya berangkat ke Pe King. Sebelumnya dia menyuruh beberapa prajurit menggotong ke kapal berbagai intan permata serta uang emas hadiah dari rakyat Taiwan.
Dia juga mengatakan kepada Sie Long, bahwa dia menginginkan Kepala Komandan pasukan di Taiwan yakni Ho Yu, juga Lim Heng Cu, Ang Cao serta lima ratus orang prajurit pilihan untuk menyertainya.
Sie Long tahu keberangkatan Siau Po kali ini karena mendapat tugas berat dari raja. Lagi-pula dia sedang mengambil hati Siau Po agar bicara yang baik-baik tentang dirinya di hadapan raja.
Sudah pasti dia setuju seratus persen dengan permintaan Siau Po, bahkan dia juga menghadiahkan berbagai macam benda yang berharga kepada anak muda itu.
Rakyat Taiwan sudah tahu bahwa Sri Baginda tidak jadi memindahkan mereka ke pedalaman. Dalam hal ini jasa Siau Po lah yang paling besar. Mereka merasa terharu sekali. Menjelang keberangkatan anak muda ini, rakyat yang bermaksud mengantarkannya sampai berdesakan.
Ketika dia berniat naik ke atas kapal, dua orang tua menghampirinya dan melepaskan sepatu yang dikenakannya sebagai kenang-kenangan. Tradisi ini memang sudah lama terdapat di Pulau Taiwan.
Namun biasanya hanya orang-orang berpangkat tinggi atau pahlawan besar yang mendapat kehormatan tersebut sedangkan Siau Po hanya menjadi pimpinan di pulau tersebut selama beberapa bulan. Boleh dibilang dia merupakan orang pertama dan mungkin juga yang terakhir mendapat kehormatan "Lepas Sepatu untuk Tanda Mata" dalam sejarah Pulau Taiwan dengan jabatan sesingkat itu. Upacara penembakan meriam sebagai tanda menghantarkan keberangkatannya pun terus bergema tanpa berhenti.
Tidak sampai satu hari mereka sudah sampai di perbatasan. Setelah turun dari kapal, rombongan Siau Po dan So Ngo Ta meneruskan perjalanan dengan naik kereta kuda yang semuanya sudah dipersiapkan sebelumnya.
Dengan melalui Thian Cing, mereka pun tiba di Kotaraja. Melihat pintu gerbang kota, hati Siau Po seakan berbunga-bunga. Kenangan lama pun melintas dalam benaknya. Begitu masuk kota, dia segera memohon untuk bertemu dengan Raja.
Kaisar Kong Hi berkenan menemuinya di ruang perpustakaan. Siau Po berjalan ke hadapannya, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Belum lagi dia berdiri, perasaan senang dan terharu berkecamuk dalam batinnya. Tanpa dapat ditahan lagi air matanya mengalir dan dia pun menangis tersedu-sedu.
Melihat kedatangan Siau Po, hati Kong Hi setengah senang, setengah marah. Diam- diam dia berpikir -- Anak ini benar-benar tidak tahu aturan, nyatanya dia masih berani menolak firman raja. Kali ini memang ada tugas yang harus dikerjakannya, namun sebaiknya aku bersikap agak keras terhadapnya agar kepalanya tidak semakin besar dan sikapnya menjadi semakin sombong. Sampai saat itu aku bisa kewalahan menghadapinya -
Meskipun hatinya berpikir demikian, tapi melihat Siau Po yang datang-datang langsung menangis keras-keras, Kong Hi mau tidak mau menjadi lunak juga sikapnya.
"Maknya, kenapa bocah ini begitu melihat Locu langsung menangis keras-keras?" serunya pura-pura marah.
"Hamba mengira seumur hidup ini hamba tidak akan bertemu lagi dengan Sri Baginda. Namun hari ini kita dapat bertemu lagi, hamba benar-benar senang sekali," sahut Siau Po tersedu-sedu.
Kaisar Kong Hi tertawa.
"Bangun, bangun! Biar aku lihat kau lebih jelas!" katanya.
Siau Po bangkit wajahnya penuh dengan air-mata, namun dia memaksakan diri untuk mengembangkan senyuman yang paling indah.
Kaisar Kong Hi semakin geli melihatnya. Tertawanya pun semakin lebar.
"Maknya! Bocah ini juga sudah jauh lebih tinggi sekarang!" Jiwa kekanak-kanakannya timbul seketika. Dia langsung turun dari undakan tangga lalu berdiri sejajar dengan Siau Po untuk membandingkan siapa yang lebih tinggi di antara mereka berdua.
Siau Po tahu raja itu ingin membandingkan siapa yang tinggi atau siapa yang lebih pendek di antara mereka. Namun Kong Hi adalah seorang raja, sebagai seorang hamba, mana boleh Siau Po melebihinya? Oleh karena itu dia segera menekuk lututnya sedikit agar tampak dia yang lebih pendek.
Kaisar Kong Hi mengangkat tangannya ke atas dan mensejajarkan kepala mereka, ternyata dirinya lebih tinggi kurang lebih satu inci. Sembari tertawa dia berkata. "Wah, tinggi kita hampir sama!" Dia membalikkan tubuhnya lalu berjalan beberapa langkah, "Siau Kui Cu, berapa putra dan putri yang telah kau hasilkan selama ini?"
"Hambamu tidak berguna, selama ini baru menghasilkan dua orang putra dan seorang putri," sahut Siau Po.
Kaisar Kong Hi tertawa terbahak-bahak.
"Untuk urusan ini ternyata aku lebih unggul darimu. Aku sudah mempunyai empat orang putra dan tiga orang putri."
"Sri Baginda berjiwa besar, tentu saja lebih hebat dari hambamu ini," sahut Siau Po pula.
Kong Hi tertawa.
"Setelah lewat beberapa tahun ternyata pengetahuanmu masih belum ada kemajuan. Punya anak berapa orang kek apa urusannya dengan berjiwa besar?"
"Dulu Tio Bun Ong mempunyai seratus orang anak. Dengan demikian setiap raja yang baik selalu mempunyai banyak anak," sahut Siau Po tidak mau kalah.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Kaisar Kong Hi sambil tersenyum.
"Sri Baginda mengutus hamba untuk memancing ikan di pulau terpencil. Hubungan kita laksana Tio Bun Ong dan Ciang Tai Kongnya. Urusan Tio Bun Ong tentu saja hamba harus menanyakannya sampai jelas, jangan sampai tidak bisa memberikan jawaban apabila suatu hari Sri Baginda menanyakannya kepada hamba," sahut Siau Po.
Selama beberapa tahun belakangan ini Kaisar Kong Hi selalu sibuk mencari akal dan menentukan siasat untuk menggempur Go Sam Kui serta merebut Pulau Taiwan.
Begitu sibuknya dia sampai kurang tidur. Dia juga kehilangan seorang menteri seperti Siau Po yang sering bercanda serta pandai mengambil hati. Kadang-kadang raja yang masih muda ini sampai merasa jenuh, ingin rasanya melepaskan semua urusannya untuk bersantap sekarang dia dapat bertemu kembali dengan Siau Po, tentu saja hatinya merasa gembira sekali.
Setelah berbincang-bincang sejenak, Kaisar Kong Hi menanyakan kehidupannya di Pulau Tong Sip to, juga meminta keterangan tentang keadaan Pulau Taiwan serta sikap rakyat di sana.
Taiwan merupakan pulau yang subur. Hawanya sejuk, hasil bumi dan hasil pertambangan maupun pertanian banyak sekali. Rakyat di sana hidup makmur. Ketika mengetahui Sri Baginda mengijinkan mereka tetap tinggal di pulau itu, mereka merasa terharu sekali Setiap orang mengatakan bahwa Sri Baginda benar-benar Niau Seng Hi Tong."
Kong Hi menganggukkan kepalanya.
"Sie Long mengutamakan politik yang menentramkan hati rakyat. Para penduduk di sana sudah kerasan hidup di Taiwan. Apabila kita memaksakan mereka untuk mengungsi ke Pedalaman, tentu saja mereka bingung bagaimana harus mencari makan. Para Menteri di istana tidak memahami keadaan di Taiwan, karena itu mereka sembarangan memberikan usul. Untung urusannya tidak sempat menjadi runyam.
Dalam hal ini, jasa Sie Liong dan engkau benar-benar tidak kecil."
Siau Po segera menjatuhkan diri berlutut. Sambil menyembah dia berkata. "Sudah beberapa kali hamba menolak Firman Kaisar. Biar dipenggal kepalanya sebanyak tujuh belas kali juga sudah semestinya. Karena itu, apa pun yang telah hamba lakukan, harap Sri Baginda tidak menyebutnya sebagai jasa. Hamba hanya memohon agar Sri Baginda sudi mengampuni jiwa hamba dan agar untuk selamanya
hamba diijinkan berada dekat dengan Sri Baginda agar dapat memberikan pelayanan."
Seperti biasa, kalau diberi kesempatan untuk bicara, Siau Po pasti ngelantur ke mana-mana, dengan kata lain semakin ngelunjak. Kaisar Kong Hi tertawa mendengarnya.
"Kau sendiri sadar bahwa kepalamu dipenggal tujuh belas kali juga masih pantas, sayangnya batok kepalamu tidak sampai tujuh belas, kalau tidak, aku pasti akan memenggal enam belas diantaranya."
"BetuI, betul Hamba juga tidak menginginkan batok kepala banyak-banyak, satu saja sudah cukup. Asal masih tersisa satu mulut untuk makan dan berbicara, hati hamba juga sudah cukup puas," sahut Siau Po.
"Batok kepalamu yang tinggal satu ini dapat atau tidak dipertahankan tergantung dari kesetiaanmu mulai sekarang, juga tergantung apakah kau masih berani menentang Firman Kaisar atau tidak," kata Kaisar Kong Hi.
"Pokoknya hamba akan mendahulukan kesetiaan mulai tekarang. Hati penuh kesetiaan, membesarkan nyali demi kesetiaan, dan setia membela negara."
Kong Hi tertawa mendengarnya.
"Rupanya pepatah tentang kesetiaan yang kau ingat banyak juga. Apakah masih ada yang lainnya?"
"Di dalam benak hamba hanya ada satu kata "Setia", tentu saja masih ada beberapa yang hamba ingat Misalnya, "seorang laki-Iaki sejati setia mencintai negaranya".
"Menteri yang setia tidak takut mati", juga "Setia dan jujur merupakan modal utama..."
"Bangunlah! Kalau orang seperti kau dapat dikatakan setia dan jujur, maka tidak ada manusia licik lagi di dunia ini," tukas Kaisar Kong Hi "Harap Sri Baginda ketahui, hamba benar-benar setia terhadap Sri Baginda. Terhadap orang lain, kesetiaan hamba hanya setengah-setengah. Malah kadang-kadang agak licik sedikit Sifat hamba memang bukan seratus persen baik, tentunya Sri Baginda lebih mengerti daripada hamba.
Namun, terhadap Sri Baginda memang hamba harus setia, sedangkan terhadap teman hamba harus "solider". Di saat kesetiaan serta kesolideran tidak dapat diperoleh dalam waktu yang bersamaan, terpaksa hamba menyulitkan kepala dengan bersembunyi di pulau Tong Sip to yang terpencil kata Siau Po.
"Kau tidak perlu khawatir, urusannya kita boleh bicarakan di muka, aku tidak akan meminta kau pergi membasmi perkumpulan Thian Te hwee," kata Kaisar Kong Hi sambil melipatkan tangannya ke belakang dan berjalan beberapa langkah.
Perlahan-lahan dia melanjutkan "Kau mempunyai rasa solider terhadap teman-temanmu, itu merupakan hal yang baik, aku tidak akan menyalahkanmu. Manusia-manusia suci sejak jaman dahulu kala juga mengutamakan kesetiaan dan jiwa memaafkan.
Yang dimaksudkan sudah barang tentu bukan hanya kesetiaan terhadap atasan atau pun memaafkan bawahan, namun hal ini mempunyai arti yang luas. Setia terhadap kawan dan memaafkan sesamanya juga termasuk di dalamnya, sebetulnya dua kata setia dan memaafkan selalu berkaitan dengan erat.
Kau memilih mati daripada mencelakai teman, kau rela kehilangan kekayaan serta nama besar karena tidak sudi mencelakai sahabat, hal ini boleh dikatakan bukan urusan yang mudah. Kalau kau tidak bersedia menjual temanmu, tentu kau juga tidak akan menjual aku.
Siau Kui cu, aku memaafkan kesalahanmu bukan hanya karena jasa-jasa yang pernah kau dirikan, bukan karena kita pernah menjadi teman di saat kecil, tapi karena kau menghargai kesetiakawanan, pandanganmu ini bukan hal yang buruk," ujar Kaisar Kong Hi menjelaskan.
Mata Siau Po sampai merah saking terharunya, Kemudian dengan mengeraskan hati dia berkata. "Hamba... tidak mengerti apa-apa tentang hal ini, hanya saja hamba merasa... tidak seharusnya kita berbuat sesuatu yang buruk apabila orang... itu baik terhadap hamba...."
Kong Hi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tapi ratu dari Negara Lo Sat itu juga baik terhadapmu sedangkan sekarang aku memberikan tugas kepadamu untuk menggempurnya, bagaimana?"
Siau Po menutup mulut dengan sebelah tangannya kemudian tertawa geli.
"Dia pernah dikurung oleh orang, hampir saja selembar jiwanya melayang. Aku yang mengajarkan bagaimana harus menggunakan senapan api untuk menimbulkan kekacauan sehingga nyawanya berhasil diselamatkan bahkan mendapat kedudukan tinggi.
Berarti aku sudah menanam budi kepadanya. Apabila dia berani mengerahkan pasukan untuk merebut wilayah Sri Baginda, tentu kita tidak bisa membiarkannya, perempuan yang satu ini pandai bersandiwara.
Hari ini berdekatan dengan si A, besoknya merayu si B. Orangnya memang boleh juga, cuma tidak boleh dipercaya seratus persen sayangnya negara Lo Sat letaknya jauh dari sini, kalau tidak, sekarang juga hamba akan membawa pasukan besar untuk meringkus ratu itu agar Sri baginda dapat melihatnya sendiri. Tentunya menyenangkan!"
"Negara Lo Sat sangat jauh, kalimat ini penting sekali artinya. Karena itu, biar bagaimana pun kita harus memenangkan peperangan ini. Meskipun perbekalan senjata mereka lebih lengkap, namun jarak mereka jauh, kita dekat. Bila peperangan ini terjadi di wilayah perbatasan sungai Hek Liong Ciang, keuntungan justru ada di pihak kita.
Bayangkan, untuk mencapai ke perbatasan mereka harus menempuh perjalanan yang panjang. Manusia atau pun hewan mempunyai tenaga yang terbatas, begitu sampai kondisi mereka sudah payah, sedangkan kita masih segar bugar.
Apalagi mereka akan menemui kesulitan untuk membawa bermacam-macam perbekalan seperti ransum, amunisi, obat-obatan, dan jumlah yang diperlukan pasti banyak. Aku sendiri sudah mengadakan berbagai persiapan.
Sebelum peperangan dimulai, aku sudah mengutus beberapa orang untuk menyiapkan ransum dalam jumlah yang banyak. Lagi-pula aku juga menghubungi daerah Mongol untuk mengirimkan makanan secara teratur sehingga kita tidak akan kekurangan. Selain itu Mongolia juga sudah kupenngatkan agar tidak melakukan transaksi apa pun dengan pihak Lo Sat.
Dengan demikian mereka akan kewalahan mencari perbekalan makanan atau yang lainnya bila kehabisan. Dan yang terpenting daerah perbatasan telah dijaga ketat oleh orang-orangku. Setiap bertemu dengan kereta atau kuda milik Negara Lo Sat, aku menyuruh mereka membakar dan membunuh binatang-binatang itu. Bagaimana menurutmu siasat yang kujalankan ini?" tanya Kaisar Kong Hi.
Siau Po senang sekali.
"Siasat Sri Baginda bagus sekali, mirip dengan pepatah yang mengatakan entah berapa burung yang dibidik atau apanya yang mati sekaligus gitu. Dari sepuluh bagian, tampaknya sembilan setengah bagiannya kita yang akan memenangkan peperangan ini," katanya penuh semangat.
"Belum tentu, Lo Sat adalah sebuah negara besar. Menurut seorang bawahanku, yakni Lam Huai Jin, negara itu bahkan lebih luas daripada negara Tiongkok kita, jangan sekali-sekali memandang ringan pihak musuh.
Bila kita sampai kalah dalam peperangan ini, bukan saja kita kehilangan wilayah Liau Tong, tapi seluruh negara akan ikut terguncang karenanya, sedangkan bila pihak mereka yang mengalami kekalahan, tidak banyak pengaruh yang mereka rasakan.
Paling-paling mereka mengundurkan diri ke daerah Barat. Karena itu, dalam peperangan ini, kita hanya boleh menang tidak boleh kalah, Kalau sampai kau kalah, aku akan segera mengirim bala pasukan ke sana. Hal yang pertama kuperintahkan adalah memenggal batok kepalamu." Kata-kata ini diucapkan Kaisar Kong Hi dengan nada yang tajam.
"Harap Sri Baginda berpandangan optimis. Kalau batok kepalaku ini dipertahankan. Bangsa Lo Sat bisa memenggalnya juga. Yang pasti hamba tidak akan membiarkan Sri Baginda yang memenggal batok kepala ini," sahut Siau Po.
"Baguslah kalau kau mengerti hal ini. Para tentara berlatih untuk bersikap kejam, serta perang juga merupakan masalah yang berbahaya. Siapa pun tidak dapat memastikan bahwa kemenangan ada di pihaknya.
Aku hanya meminta agar kau tidak menyepelekan setiap persoalan. Perang bukan suatu permainan, bukan pula sebuah tantangan," kata Kong Hi.
"Baik," sahut Siau Po penuh hormat.
"SebetuInya, kalau hanya memimpin pasukan untuk berperang, kau juga tidak perlu ikut serta. Namun kita menantang Negara Lo Sat hanya ingin agar mereka sadar bahwa kita bukan bangsa yang diam saja diperlakukan semena-mena. Agar mereka tahu kekuatan kita dan mundur dengan sendirinya, itulah sebabnya aku ingin mengalahkan mereka.
Dengan demikian mereka merasa berhutang budi dan kedua negara bisa rukun untuk selanjutnya. Dan tanah kita yang berhasil mereka kuasai tentu akan dikembalikan pada kita. Apabila kita bersikap kejam, maksudku setelah menang perang seluruh prajurit mereka kita bunuh, maka pimpinan negara Lo Sat pasti akan marah sekali.
Mereka akan mengirimkan seluruh kekuatannya untuk menyerbu kita, walaupun belum tentu kita kalah, tapi prajurit serta rakyat yang menjadi korban pasti banyak sekali. Namun kalau kita bisa berdamai tanpa perlu menggerakkan senjata, itulah yang terbaik.
Apabila kau sanggup membujuk ratu dari Negara Lo Sat itu untuk menarik kembali pasukannya yang ditempatkan di daerah kita, pasti akan menguntungkan kedua belah pihak."