Bab 20
Orang-orang Kim Liong Pang lantas berseru-seru: "Dia hendak gunai tipu-daya keji, jangan percaya dia! Jaga supaya jangan sampai dia kabur!" Wan Djie tidak mau lantas dengar orang-orangnya itu. "Bagaimana kau pikir, Wan Siangkong?" dia tanya Sin Tjie. Dia lebih percaya anak muda ini. Sin Tjie berpikir. "Mestinya dua orang ini ada punya rahasia, baik kami ikut mereka, untuk mengetahui duduknya hal yang sebenarnya. Apa mungkin mereka hendak gunai tipu-daya? Bisakah mereka nanti loloskan diri dari tanganku?" Lalu ia menjawab: "Mari kita pergi, untuk memperoleh penjelasan!" Tjiauw Wan Djie segera menoleh kepada semua kawannya, untuk kata: "Aku beserta Wan Siangkong, aku percaya mereka tidak nanti berani main gila!"
Sejak meninggalnya Tjiauw Kong Lee, semua orang Kim Liong Pang telah pandang Nona Tjiauw sebagai gantinya ketua mereka. Mereka percaya nona ini, yang mereka pun hormati, karena Wan Djie pintar dan bisa bawa diri. Mereka telah saksikan sendiri bagaimana pandai si nona pimpin mereka untuk kepung-kepung musuh ini. Mereka juga percaya Sin Tjie, yang kegagahannya dan kemuliaan hatinya mereka sudah buktikan sendiri. Maka itu, mereka tidak bersangsi pula. "Baiklah," kata mereka. "Mari kita pergi sekarang!" kata Tong Hian kemudian. Dengan bertangan kosong, imam ini ajak soeteenya jalan di sebelah depan, di belakang mereka, Sin Tjie mengikuti bersama Tjiauw Wan Djie. Mereka keluar dengan melompati tembok.
Lebih dahulu daripada itu, Sin Tjie minta See Thiam Komg berempat pulang lebih dahulu kehotel mereka, sedang orangnya Kim Liong Pang undurkan diri di bawah pimpinannya Gouw Peng, murid kepala dari Tjiauw Kong Lee. Sin Tjie dan Wan Djie ikuti Tong Hian dan Tjoe Hoa menuju kearah utara, mereka jalan sambil berlari-lari, menghampirkan tembok kota. Di sini imam itu keluarkan bandringan gaetan, untuk membangkol tembok kota, dengan itu Wan Djie merayap naik paling dulu, Baru Tjoe Hoa dan Sin Tjie. Paling akhir adalah si imam sendiri. Dari atas tembok, mereka lompat turun kelain sebelah, untuk melanjutkan perjalanan mereka ke utara. Ketika itu sudah tengah malam, rembulan bersinar sedang terangnya, cahayanya putih-bersih dan permai. Perjalanan disini, makin jauh makin sukar. Setelah melalui empat-lima lie, Tong Hian dan Tjoe Hoa mulai menindak naik ke sebuah tanjakan. Heran juga Sin Tjie dan Wan Djie. Entah kemana mereka hendak diajak pergi. Mereka pun pikir-pikir, sebenarnya mereka hendak diperlihatkan apa. Tapi mereka tak jeri, mereka mengikuti terus. Mereka mendaki tanjakan untuk dua-tiga lie. Di sini tidak ada jalanan, dan tanahnya penuh batu. Maka itu untuk bisa maju, mereka berlari-lari dengan ilmu entengi tubuh. Saban-saban mereka injak batu besar, untuk dari situ lompat kelain batu besar lagi, demikian seterusnya. Belum sampai dipuncak tanjakan, Wan Djie sudah, bernapas sengal-sengal. Inilah pengalaman hebat untuknya. Maka itu Sin Tjie cekal lengan orang. "Mari aku bantu padamu!" kata pemuda ini. Wan Djie tidak malu-malu palsu, ia kasi dirinya dibantui. Seperti tanpa merasa, ia lantas bisa maju terlebih jauh. Kalau tadi mereka telah ketinggalan Tong Hian dan Tjoe Hoa, sebentar saja mereka mendahului sampai dipuncak bukit. Di sini keadaan tempat ada lebih berbahaya daripada ditengah jalan tadi dan suasana pun menyeramkan, sebab di sana-sini kelihatan batu-batu besar yang berdiri bagaikan hantu atau binatang buas, ada yang kecil-kurus mirip pedang atau tumbak... Sebentar kemudian, Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa dapat menyusul mereka sampai dipuncak, Tong Hian mendahului menuju kebelakang setumpukan batu besar. Di sini dia menjumput sepotong batu, yang ia ketoki ke sebuah batu besar sampai tiga kali. Ia berhenti sedetik, lalu ia menyambungi, dua kali. Habis ini, ia mengulang mengetok lagi tiga kali. Setelah mengetok-ngetok tumpukan batu secara demikian, Tong Hian lantas bekerja, ialah dengan kedua tangannya, ia angkat sesuatu batu yang menjadikan tumpukan itu, ketika ia sudah singkirkan enam-tujuh potong, dibawah tumpukan itu tertampak sebuah peti mati yang besar.
Wan Djie terkejut akan menampak peti mati itu, inilah tidak pernah ia sangka-sangka. Suasana disitu memang sudah sangat menyeramkan. Tong Hian bekerja lebih jauh, tanpa bantuan Bin Tjoe Hoa, yang berdiri diam saja mengawasi dia. Dengan kedua tangannya, ia pegang tutup peti, lalu ia kerahkan tenaganya, untuk angkat itu, hingga terdengarlah satu suara menjeblak yang keras. Begitu lekas tutup peti terangkat ke belakang, menyusul suara menjeblak itu, didalam peti bergerak satu tubuh, yang bangun untuk berduduk! Wan Djie keluarkan seruan saking kagetnya. "Hai, kamu ajak orang luar?" tiba-tiba si "mayat hidup" bertanya. "Inilah dua sahabat baik," sahut Tong Hian dengan tenang. "Ini ada Wan Siangkong, muridnya Kim Tjoa Long-koen, dan ini ada Nona Tjiauw, puterinja Soehoe Tjiauw Kong Lee."
"Mayat hidup" itu lantas awasi kedua orang yang diperkenalkan itu. "Maaf, djiewie," katanya. "Pintoo sedang terluka, tak dapat aku berbangkit...." Ia memberi hormat. Belum Sin Tjie bilang suatu apa, Tong Hian sudah mendahului. "Inilah Toasoeheng kami Tjoei In Toodjin, yang mewariskan kedudukan ketua Boe Tong Pay," demikian katanya. "Untuk menyingkir dari musuh, buat sekalian memelihara diri toasoeheng sengaja berdiam di sini..." Mengetahui orang bukannya "mayat hidup," Sin Tjie dan Wan Djie membalas hormat. Imam itu manggut, untuk membalas. Sin Tjie dan Wan Djie dapatkan wajah Tjoei In Toodjin pucat sekali, bagaikan kertas putih saja, tanda luka kedapatan dari batas jidatnya sampai kebatang hidungnya. Luka itu adalah luka belum terlalu lama. Tapak luka itu membuat romannya si imam jadi jelek dan menyeramkan. Sambil mengawasi, dua anak muda ini pun pikiri, kenapa untuk merawat diri dan menyingkir dari musuh, imam ini sampai sembunyikan diri secara demikian macam. Sekarang nampaknya imam itu berhati lega, bisa ia bersenyum. "Dimasa hidupnya guruku, Oey Bok Toodjin," katanya, "dia bersahabat dengan Kim Tjoa Long-koen, gurumu itu, Wan Siangkong. Ketika Hee Lootjianpwee datang ke Boe Tong San, untuk merundingkan ilmu silat pedang, aku dapat kesempatan untuk melayani dia. Apakah ada banyak baik lootjianpwee itu?" Sin Tjie anggap tak usah ia sembunyikan apa-apa lagi. "Guruku itu telah menutup mata," ia jawab. Tjoei In Toodjin lantas saja menghela napas, ia terus berdiam, air mukanya menjadi suram pula, tandanya ia berduka. Karena ini, semua orang turut berdiam. "Ketika barusan Tong Hian Soetee menyebutkan siangkong adalah murid dari Kim Tjoa Long-koen, aku girang bukan kepalang," kata pula si imam "mayat hidup" itu sesaat kemudian. "Aku telah memikir, asal Hee Lootjianpwee suka turun tangan untuk membantu, pastilah sakit hatinya guruku akan dapat terbalas. Ah, siapa sangka, Hee Lootjianpwee telah meninggal dunia... Benar-benar aku kuatir orang jahat itu nanti malang-melintang didunia ini tanpa ada orang yang sanggup mencegahnya!" Didalam hatinya, Wan Djie kata : "Aku datang untuk urusan pembalasan sakit hati ayahku,
siapa tahu di sini muncul urusan sakit hati guru..." Sin Tjie sebaliknya berpikir: "Siapa sih musuh mereka ini, yang agaknya demikian liehay, hingga sampai, tanpa Kim Tjoa Long-koen, tidak ada orang lainnya lagi yang sanggup mengendalikannya?" Sampai disitu, Tong Hian Toodjin lantas bicara sama soehengnya, kakak seperguruan itu. Dia tuturkan urusan pihak Kim Liong Pang menyeterukan Bin Tjoe Hoa. "Aku minta soeheng suka menjelaskannya kepada Nona Tjiauw ini," katanya kemudian. "Hai!" mendadak Tjoei In Toodjin berseru. Memangnya, selama memasang kuping, ia sudah panas hatinya, makin mendengar, ia jadi makin gusar. Diakhirnya, tiba-tiba saja ia ayun tangannya, ia hajar pinggiran peti mati.
"Prak!" demikian satu suara nyaring, dan peti itu sempal! Sin Tjie terkejut dalam hatinya. "Teranglah kepandaiannya imam ini jauh lebih tinggi daripada kedua soeteenya ini," pikirnya. "Dia berkepandaian begini liehay, kenapa dia sebaliknya sangat jeri terhadap musuhnya, hingga ia rela sembunyikan diri di dalam peti ini bagaikan mayat saja?"
"Nona Tjiauw," Tjoei In kemudian kata kepada Wan Djie, "sukalah kau dengar keteranganku. Adalah aturan di dalam kalangan Boe Tong Pay kami, sesuatu murid yang telah lulus pelajarannya, hingga ia boleh turun gunung, ia selalu mesti dibekali sebilah pisau belati oleh guru kami. Pintoo telah diangkat sebagai ketua Boe Tong Pay, untuk menggantikan guru kami itu, benar kepandaianku tidak berharga, sampai pintoo mesti menelan malu, merawat diri dengan sembunyi didalam peti mati secara begini, tetapi terhadap sahabat-sahabat tak dapat pintoo omong dusta. Nona, tahukah kau, apa keperluannya pisau belati kami itu?"
"Aku tidak tahu," Wan Djie menggeleng kepala. Tjoei In Toodjin dongak, akan memandang si Puteri Malam, lalu ia menghela napas. "Tjouwsoe kami dari tingkat ke-empatbelas ada Hie Hian Tootiang," berkata dia, melanjuti, "kepandaian ilmu silat pedangnya tidak ada tandingannya di kolong langit ini, maka sayang sekali, dia bertabeat keras dan jumawa juga, karenanya, tak sedikit sudah ia membunuh orang, hingga tak sedikit musuh-musuhnya. Maka kejadianlah dia diundang dalam satu rapat besar di atas gunung Heng San, di sini dia tempur jago-jago dari pelbagai kaum, yang lawan ia secara bergiliran, maka walaupun dia berhasil merubuhkan delapan-belas musuh, akhirnja ia sendiri kehabisan tenaga, dengan kesudahan ia mendapat luka-luka parah. Setelah itu, dia gunai pisau belati, untuk membunuh diri, karena tak sudi dia terbinasa di tangan musuh. Sejak kejadian itu, maka mulai Tjouwsoe kami yang ke-limabelas, Boe Tong Pay telah mengadakan aturan setiap lulusan murid dihadiahkan sebilah pisau belati. Tong Hian Soetee, pergi kau kesana!" Tjoei In menunjuk.
Tong Hian bingung, tetapi ia toh bertindak, sampai beberapa ratus tindak, diwaktu mana: "Cukup!" sang soeheng bilang.
Soetee itu hentikan tindakannya Tjoei In lantas memandang kepada Bin Tjoe Hoa. "Bin Soetee," katanya dengan pelahan, "ketika soehoe hadiahkan pisau belati kepadamu, apakah pesanannya?"
"Pesan soehoe adalah pantangan keras untuk membunuh karena urusan pribadi, bahwa pisau belati itu mesti dirawat dan disimpan hati-hati," sahut Bin Tjoe Hoa. "Soehoe pesan, apabila didalam satu pertempuran kita terang sudah tak dapat melawan lebih jauh, kita mesti bunuh diri dengan pisau itu." Tjoei In Toodjin manggut-manggut. "Nah, pergilah kau kesana," menitah dia seraya menunjuk ke lain jurusan dari Tong Hian Toodjin. Bin Tjoe Hoa menurut. Ketua Boe Tong Pay itu kemudian panggil balik pada Tong Hian Toodjin. "Tong Hian Soetee," katanya, "ketika soehoe hadiahkan kau pisau belati, apakah pesannya?" Tong Hian unjuk sikapnya sungguh-sungguh. "Itulah," sahutnya, "aku dilarang keras membunuh karena urusan pribadi, pisau mesti dirawat dan disimpan hati-hati, apabila kita tak berdaya dalam satu pertempuran, dengan pisau itu kita mesti bunuh diri!" Soeheng itu manggut, lantas ia panggil balik pada Bin Tjoe Hoa. Setelah adik seperguruan itu sudah datang dekat, Tjoei In pandang Sin Tjie dan Wan Djie. "Sekarang tentu djiewie percaya bahwa Boe Tong Pay mempunyai pesan terakhir itu," katanya.." Maka juga orang-orang anggauta kita, tidak perduli bagaimana tersesatnya, tidak nanti mereka gunai kay-sat-too untuk bunuh orang."
"Jadi pisau belati itu dinamakan kay-sat-too?" Sin Tjie tegaskan. "Kay-sat-too" berarti "pisau yang dilarang dipakai membunuh orang lain."
"Benar," Tjoei In Toodjin manggut. "Pisau belati adalah alat tajam untuk membunuh manusia, akan tetapi sejak contoh dari Hie Hian Soe-tjouw itu, mulai soetjouw tingkat ke-limabelas, kami telah mengadakan aturan keras ini. Semenjak itu, apabila ada murid yang hendak menyingkirkan orang jahat, dia Baru boleh lakukan itu setelah peroleh ijin dari ketua, kecuali apabila dia kena dikepung dan terpaksa mesti membela diri. Apabila ada murid yang lancang membunuh, tidak perduli si kurban bagaimana besar kejahatannya, jikalau itu dilakukan tanpa perkenan atau setahu ketua, maka perkaranya itu mesti ditangguhi sampai rapat besar di Boe Tong San yang biasa diadakan setiap dua tahun sekali, diwaktu itu perkara bakal diperiksa dan diputuskan, siapa bersalah, dia mesti bunuh dirinya dengan kay-sat-too itu. Ketika dahulu Bin Soetee hendak bunuh Tjiauw Soehoe, untuk pembalasan sakit hati bagi kakaknya, ia telah peroleh perkenanku, akan tetapi belakangan, setelah ketahuan dia telah dipermainkan oleh orang jahat, apabila setelah itu dia masih membunuh juga Tjiauw Soehoe, maka dia telah langgar aturan kami!" Imam ini menghela napas. "Kay-sat-too adalah alat untuk membunuh diri sendiri," ia menambahkan, menjelaskan, "Umpama ada murid Boe Tong Pay yang menghadapi musuh tangguh, hingga tak sanggup dia melawannya, dan musuh itu masih terus mendesak dia, sampai dia tak bisa loloskan diri lagi, maka dia mesti gunai pisau belati ini, untuk membunuh diri, supaya dengan begitu bisa dicegah rubuhnya nama baik dari Boe Tong Pay. Mengenai Bin Soetee ini, diumpamakan benar dia sudah langgar pesan, akan tetapi dikolong langit ini ada banyak macam senjata lain, mengapa dia demikian tolol hingga dia sudah menggunakan kay-sat-too? Dan kenapa, sesudah dia melakukan pembunuhan, dia masih tidak bawa kabur pisau belatinya itu?" Mendengar ini, Sin. Tjie dan Wan Djie manggut-manggut. "Nona Tjiauw, aku akan kasikan kau sepucuk surat," kata Tjoei In Toodjin. Dari dalam peti, imam ini angkat satu bungkusan, yang ia terus buka, disitu ada sesusun surat-surat tapi ia hanya ambil satu di antaranya, yang ia terus angsurkan kepada si nona. Wan Djie berpaling kepada Sin Tjie. Anak muda kita manggut, maka ia lantas sambuti surat itu dari tangan si imam. Diantara cahaya rembulan, ia baca alamat dan alamat si pengirim. Itulah surat dari Bin Tjoe Hoa untuk Tjoei In Toodjin, sang soeheng. Ia lantas tarik keluar suratnya, yang kertasnya ada kertas-tulis dari hotel "Thong Siang" di Pang-pouw, ia beber itu, untuk dibaca. Huruf-huruf tidak keruan, tata-bahasanya pun kalut. Ia terus baca: "Tjoei In Toasoeheng yth., Dalam perkara dengan Tjiauw Kong Lee, Baru sekarang siauwtee ketahui bahwa siauwtee telah dipermainkan orang. Sudah begitu, apa celaka tadi malam pun siauwtee punya kay-sat-too telah dicuri orang jahat. Siauwtee merasa malu sekali karena kecurian ini. Maka, kalau tak berhasil siauwtee mencari pulang pisau itu, tidak ada muka siauwtee akan menemui pula Toasoeheng.
Harap Toasoeheng mengetahui adanya. Hormat dari siauwtee, Bin Tjoe Hoa." Bergemetar kedua tangannya Wan Djie setelah ia membaca habis, lantas saja ia berbalik untuk menghadapi Bin Tjoe Hoa, buat memberi hormat sambil menjura. "Bin Siok-hoe," katanya, "aku telah keliru menyangka kepada kau, aku telah berbuat kurang ajar terhadapmu..." Lantas ia pun memberi hormat pada Tong Hian Toodjin. Soeheng dan soetee itu lekas-lekas balas kehormatan itu. "Entah bangsat anjing yang mana sudah curi pisauku ini yang ia pakai membunuh Tjiauw Soehoe," kata Tjoe Hoa kemudian. "Dia telah tinggalkan pisau ini, terang maksudnya supaya ia bisa timpahkan kedosaan atas diriku." "Ya, aku semberono sekali, tak sampai aku memikir kesitu," Wan Djie akui. "Aku tadinya kira, setelah Bin Siok-hoe bunuh ayahku, kau sengaja tinggalkan pisau itu, untuk banggakan bahwa kau adalah satu laki-laki sejati."
"Sebenarnya bersama-sama Tong Hian Soeheng, aku telah cari pisau itu kemana-mana," menerangkan Bin Tjoe Hoa, "sampai sebegitu jauh belum pernah kami peroleh endusan. Belakangan kami terima surat dari Toasoeheng, yang memanggil kami datang ke kota raja, maka itu, kami lantas berangkat menuju kemari; adalah diluar sangkaanku, di sepanjang jalan, kami dipegat dan dirintangi oleh rombongan kau, Nona Tjiauw, sampai tadi kamu telah kepung aku. Syukur ada Wan Siangkong, maka sekarang urusan telah menjadi terang." Sin Tjie merendahkan diri, tak mau ia menerima pujian. "Sekarang tunggulah sampai aku sudah sembuh dan urusanku telah dapat dibereskan," kata Tjoei In Toodjin kemudian, "selama itu, asal ada untung hingga jiwaku masih ada, aku nanti bantu kau, Nona Tjiauw, untuk cari si pencuri kay-sat-too, yang telah bunuh ayahmu itu." Kembali Wan Djie memberi hormat seraya haturkan terima kasih pada imam ketua dari Boe Tong Pay itu, kemudian ia pulangkan kay-sat-too pada Bin Tjoe Hoa. Sin Tjie bisa duga, soeheng dan soetee itu bertiga tentu bakal berempuk, untuk
mendamaikan urusan mereka; yang mestinya ada satu rahasia untuk pihak luar, hingga tak dapat ia mencampurinya, dari itu ia ajak Wan Djie untuk memberi hormat kepada mereka itu. "Ijinkan kami undurkan diri!" kata pemuda kita, yang terus memutar tubuh, untuk berjalan pergi. "Djiewie, tunggu dulu!" tiba-tiba berseru Tong Hian Toodjin, selagi dua orang itu Baru jalani beberapa ratus tindak. Sin Tjie dan Wan Djie lantas merandak. Tong Hian berlari-lari, untuk menghampirkan.
"Wan Siangkong, Nona Tjiauw," kata imam ini, "ada satu hal untuk mana aku hendak memohon, tapi lebih dahulu aku harap kamu tidak buat kecil hati..."
"Bicaralah, tootiang," Sin Tjie jawab. "Aku ingin bicara hal kami disini," kata Tong Hian. "Kami mohon supaya siangkong
berdua tidak sampai membocorkannya. Tidak selayaknya aku banyak omong, akan tetapi urusan mengenai keselamatan jiwa soehengku, terpaksa aku majukan juga permohonan ini kepada djiewie..." Tentu saja Sin Tjie mengerti kebiasaan kaum kang-ouw, untuk tidak banyak omong mengenai rahasia dari masing-masing partai, dan ia pun mengerti, urusan mesti sangat penting maka Tong Hian sampai berikan pesannya itu. Urusan mereka itu tidak mengenai urusannya sendiri, Sin Tjie tidak berkeberatan untuk berikan janjinya. Tapi barusan ia saksikan ketangguhan tangan dari Tjoei In Toodjin, ia jadi ketarik. Ia bersimpati kepada imam itu. "Sebenarnya saudaramu itu sedang menghadapi urusan besar bagaimana?" ia tanya. "Aku tidak punya pengertian apa-apa akan tetapi suka aku memberikan bantuan sebelah lenganku." To-ng Hian tahu pemuda ini liehay sekali, yang pasti melebihkan juga toasoehengnya, maka mendengar perkataan itu, ia girang sekali. "Siangkong sudi membantu kami, ini adalah hal yang untuk memintanya pun kami tidak berani," ia lekas bilang. "Baik, aku nanti beritahukan dulu toasoeheng." Dengan lantas Tong Hian lari kepada Tjoei In, untuk menyampaikan tawaran Sin Tjie, hal mana, Tjoei In Toodjin segera damaikan bersama Tjoe Hoa juga. Agaknya urusan ada ruwet, sampai sekian lama masih belum ada keputusannya.
"Tentu ada keberatannya bagi mereka, tak suka mereka orang luar campur tahu urusan mereka, baiklah aku tidak memaksa," pikir Sin Tjie. Maka ia lantas kata dengan nyaring: "Djiewie tootiang, saudara Bin ijinkan aku berangkat lebih dulu! Sampai ketemu pula!" Bersama Wan Djie, ia angkat tangan, untuk memberi hormat, setelah itu mereka memutar tubuh. Tapi, belum sampai mereka bertindak, Tjoei In Toodjin sudah memanggil. "Wan Siangkong, mari sebentar, mari kita bicara!" Sin Tjie terima baik undangan itu, ia kembali kepada mereka. "Wan Siangkong sudi membantu kami, kami bertiga sangat bersyukur," berkata ketua dari Boe Tong Pay itu. .Akan tetapi baiklah kami menjelaskannya. Urusan kami adalah urusan pribadi dan bahayanya pun sangat besar, karena mana dengan sesungguhnya, tak ingin kami bahwa Wan Siangkong, dengan tak ada sebab-musababnya, nanti kena kerembet-rembet dan mendapat kesukaran karenanya. Maka itu kami mohon supaya Siangkong jangan jadi kecil hati dan jangan mengatakan kami tidak tahu diri...." Habis berkata, imam itu menjura dengan dalam. Sin Tjie percaya orang bicara dengan jujur, ia tidak berkecil hati, sebaliknya, ia puji imam ini. "Jangan menyebut demikian, tootiang," ia bilang. "Jikalau demikian tootiang bilang, baik, ijinkan kami berlalu. Tapi ingin aku menerangkan, andaikata dibutuhkannya, umpama uang, Baru jumlah sepuluh laksa tail saja, sanggup aku menyediakannya, sedang dalam hal tenaga, dapat aku mengumpulkan saudara-saudaraku dari enam atau tujuh propinsi. Apabila ada surat-surat, tolong tootiang segera kirim itu kepada kami di gang Tjeng-tiauw-tjoe." Mendengar itu, Tjoei In Toodjin berdiam, lalu ia menarik napas panjang. "Wan Siangkong, sungguh mulia hatimu," kata dia kemudian. "Sebenarnya urusan kami sangat memalukan, akan tetapi, apabila tetap kami menutupinya, benar-benar kami jadi tidak menghargai sahabat-sahabat sejati. Djiewie, silahkan duduk! Tong Hian Soetee, silahkan kau menjelaskannya." Tong Hian tunggu sampai itu pemuda dan pemudi telah duduk di batu, ia pun cari sebuah batu lagi, untuk duduk diatasnya. "Guru kami, Oey Bok Toodjin tak betah berdiam saja, ia gemar sekali pesiar," lantas imam itu mulai dengan keterangannya, "maka itu kecuali satu kali setiap dua tahun, di waktu rapat besar di Boe Tong Sam, jarang sekali ia berada di gunung. Pada lima tahun yang lampau musim Rontok ada saat untuk rapat besar dua tahun sekali itu, ketika itu soehoe tidak pulang, dia juga tidak mengirimkan surat pemberian tahu. Hal itu adalah hal yang belum pernah terjadi. Semua murid menjadi heran dan berkuatir. Apa yang kau tahu, kali itu soehoe pesiar ke Selatan untuk sekalian mencari bahan obat-obatan. Dengan segera kami memecah diri, untuk mencari, ke Inlam, Kwietjioe, Kwiesay dan Kwietang. Sampai lama, masih kami tidak peroleh kabar suatu apa. Kemudian adalah aku yang bersama Bin Soetee menerima kabar panggilan dari Twie-hong kiam Ban Hong. Dia itu adalah dari partai Tiam Tjhong Pay di Tay-lie. Ketika pada suatu hari kami sampai di rumah Ban Toako, dia bilang ada urusan sangat penting. Berdua kami segera berangkat ke Tay-lie. Ketika pada suatu hari kami sampai dirumah Ban Toako, dia sedang rebah dipembaringan karena luka hebat. Baru setelah kami menanakan sebabnya Ban Toako terluka, kami mendapat tahu bahwa itu disebabkan urusan guru kami." Mendengar sampai disini, Sin Tjie segera ingat keterangannya Thia Tjeng Tiok bahwa Oey Bok Toodjin telah terbinasa di tangannya kaum Ngo Tok Kauw. Diam-diam dia manggut. "Menurut Twie-hong-kiam Ban Toako itu," Tong Hian Toodjin melanjuti, "ketika hari kejadian itu, dia pergi keluar kota untuk mengunjungi satu sahabatnya, di luar kota itu dengan kebetulan ia saksikan soehoe sedang dikepung oleh sejumlah orang. Antara Tiam Tjhong Pay dan Boe Tong Pay terdapat hubungan yang erat sekali, dari itu Ban Toako tidak bersangsi akan segera hunus pedangnya akan bantui soehoe. Diluar sangkaan, pihak musuh liehay sekali, walaupun berdua, tak dapat Ban Toako berbuat suatu apa, malah segera dialah yang terluka paling dulu, hingga dia rubuh pingsan. Belakangan Barulah ada orang yang tolongi Ban Toako, buat dibawa pulang. Mengenai soehoe, ketenangan rada gelap, tak ada yang tahu ia masih hidup atau sudah mati, tak tahu dia pergi atau dibawa kemana. Ban Toako terluka dipundak dan iganya, bekas cengkeraman kuku-kuku besi, lukanya sangat hebat. Kami semua percaya dia terluka oleh orang-orang Ngo Tok Kauw. Syukur untuk Ban Toako, ia bertemu sama tabib yang liehay, hingga jiwanya ketolongan. Pihak kami. semua tiga-puluh-dua murid, lantas dikirim ke Inlam, untuk cari soehoe, untuk sekalian cari Ngo Tok Kauw guna mencari balas. Sudah empat tahun kami mencari terus-terusan, tidak juga kami peroleh hasil, tetap tak ada kabar tentang soehoe, tidak ada endusan mengenai Ngo Tok Kauw. Setelah lebih dari tiga tahun, kami meninggalkan wilayah Inlam. Barulah paling belakang ini, kami dengar selentingan dari Utara bahwa rombongan dari Ho Tiat Tjhioe, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw, telah datang berbondong ke Pakkhia...."
"Oh...." Sin Tjie perdengarkan suara tertahan. Tong Hian heran. "Apakah Wan Siangkong kenal kauwtjoe itu?" tanyanya. "Baru saja kemarin beberapa sahabatku menjadi kurbannya mereka punya tangan-tangan yang jahat," jawab Sin Tjie. "Aku sendiri turut terlibat dalam pertempuran itu."
"Apakah tak berbahaya sahabat-sahabatmu itu?" Tong Hian tanya pula. "Syukur, semua telah bebas dari ancaman malapetaka," sahut Sin Tjie. "Sungguh beruntung!" Tong Hian memuji. Lalu ia meneruskan penuturannya: "Begitu lekas kami dengar warta itu, toasoeheng lantas keluarkan perintah untuk semua murid Boe Tong Pay kumpul di Pakkhia. Adalah karena ini, ditengah perjalanan, kami telah bertemu sama nona Tjiauw serta sekalian saudara-saudara dari Kim Liong Pang. Tentang ini, tak usah aku menceritakannya pula. Toasoeheng sampai terlebih dahulu daripada kita, kebetulan sekali, dia lantas bertemu sama Ho Tiat Tjhioe. Selama pembicaraan, perempuan hina itu mencuci diri bersih sekali, katanya belum pernah dia bertemu sama soehoe. Dimana pembicaraan tidak berjalan lancar, pertarungan menggantikannya. Perempuan hina itu benar-benar liehay. Karena kurang waspada, jidat toasoeheng kena kegaruk gaetan besi tangan kiri dari musuh, lalu tubuhnya terserang lima potong senjata rahasia. Perempuan itu tahu baik, gaetannya, senjata rahasianya, ada racunnya, dia duga toasoeheng bakal tidak hidup lebih lama, sambil tertawa menghina, ia ajak kawan-kawannya angkat kaki. Toasoeheng mempunyai lweekang yang sempuma, dia juga bekal banyak macam obat untuk punahkan segala rupa racun, malah sebelumnya dia bertempur, dia sudah makan obat-obat pencegahan, maka itu, meskipun dia telah terluka, dia bisa obati dirinya sendiri, hingga karenanya tak usahlah dia nampak bahaya maut." Tjoei In Toodjin menghela napas. "Pintoo kuatir dia mendapat tahu pintoo tidak mati," katanya, "pintoo kuatir dia nanti datang pula untuk ulangi serangannya, dari itu tak berani pintoo ambil rumah penginapan, dengan terpaksa pintoo cari tempat perlindungan ini, untuk sekalian merawat diri. Aku percaya, selang lagi tiga bulan, sisa racun dalam tubuhku akan sudah dapat dibikin bersih. Mengenai guru kami, pintoo percaya bahwa benar soehoe telah terbinasa ditangannya perempuan busuk itu, hingga sakit hati itu tak dapat tidak dibalas. Sayang sekali musuh kami liehay luar biasa. Inilah sebabnya, siangkong, mengapa kami segan merembet-rembet sahabat baik dalam urusan kami ini..."
"Wan Siangkong," Bin Tjoe Hoa menyela, "apa sebabnya maka pihakmu pun bentrok sama Ngo Tok Kauw?" Sin Tjie jawab pertanyaan ini dengan keterangan mulanya ia dan Tjeng Tjeng bertemu sama si pengemis tukang tangkap ular, Tjeng Tiok dilukai oleh si pengemis wanita tua, sampai mereka dikepung didalam balai istirahatnya Pangeran Seng Ong. "Kalau begitu, Wan Siangkong, permusuhanmu dengan Ngo Tok Kauw tidak hebat," kata Tjoei In Toodjin, "pun tidak apalah yang pihakmu nampak kerugian kecil. Kau ada sangat berharga, selanjutnya tidak ada perlunya untuk kamu berurusan lebih jauh dengan bangsa telengas itu yang bagaikan ular dan kelabang ganasnya." Sin Tjie anggap kata-katanya imam ini benar adanya. Bukankah ia sendiri sedang mengandung sakit hati ayahnya? Bukankah iapun bertugas berat untuk membantu Giam Ong membela negara? Memang, urusan kang-ouw itu boleh dikesampingkan dulu, urusan itu sukar menemui penyelesaiannya. "Tootiang benar," kata ia sambil manggut. "Di sini aku mempunyai mustika, mari aku coba menolongi tootiang membersihkan racun pada luka-lukamu itu." Tjoei In Toodjin suka terima pertolongan itu, maka Tong Hian dan Tjoe Hoa segera bantui ia, untuk keluar dari dalam peti-mati itu. Sin Tjie lantas keluarkan mustikanya, ia tempel itu pada luka-lukanya si imam. Baru saja
satu kali sedot, si imam sudah merasa ringan sakitnya. Disitu tidak ada arak, untuk dipakai merendam mustika, sebaliknya, Tjoei In membutuhkan mustika itu terlebih jauh, karena terpaksa, Sin Tjie serahkan mustikanya pada Tong Hian seraya ajari bagaimana mustika itu mesti saban-saban direndam dalam arak, untuk bisa sedot bersih semua sisa racun. "Kalau sudah dipakai, Baru kau nanti antarkan itu kembali padaku," ia pesan. Tong Hian terima itu sambil mengucap terima kasih, iapun menjura berulang-ulang. Sampai disitu, mereka berpisahan. Sin Tjie ajak Wan Djie jalan turun bukit dengan perlahan-lahan.
Baru jalan kira-kira setengah, tiba-tiba Wan Djie berhenti, akan duduk atas sebuah batu, terus ia nangis dengan perlahan.
"Kenapa, nona?" tanya Sin Tjie kaget. "Apakah kau kurang sehat?" Wan Djie menggeleng kepala, ia susuti air matanya, lantas ia bangun untuk berdiri, akan jalan pula, seperti tidak ada terjadi suatu apa. Sin Tjie tidak menanya lebih jauh, akan tetapi ia sudah mengerti. Tentulah si nona bersedih karena musuhnya tak dapat dicari karena "musuh" Boe Tong Pay berubah menjadi sahabat, dia sangat cerdas, bisa sekali dia menguasakan diri. Maka ia jadi sangat kagum. Terus mereka pulang, ketika mereka sampai didalam kota, langit sudah mulai terang. Nona ini masih muda sekali, toh langsung Sin Tjie antar si nona kepondokannya, sesudah mana Baru ia menuju pulang kerumahnya didalam gang Tjeng-tiauw-tjoe. Ia gunai ilmu entengkan tubuh, karena ia berjalan diatas genteng dari banyak rumah orang, ia lompati pelbagai gang. Ia ingin lekas sampai. Dalam gembiranya, ia telah gunai Bhok Siang Toodjin punya ilmu entengkan tubuh "Pek pian kwie eng," hingga ia bisa bergerak dengan sangat gesit dan cepat. "Sungguh suatu kepandaian luar biasa!" sekonyong-konyong Sin Tjie dengar pujian selagi ia berlari-lari terus. Sekejab saja, ia berhenti berlari, menyusul mana, satu bajangan putih melesat lewat disampingnya sebelah kiri. "Apakah dapat kau kejar aku?" demikian ia dengar pula. Itulah suara si bajangan, yang bicara sambil tertawa. Sedetik saja, bajangan itu sudah lewat tujuh atau delapan tumbak jauhnya. Itulah gerakan tubuh sebat luar biasa. "Siapakah dia ini?", pikir pemuda kita, yang kaget dan heran dengan berbareng. "Kenapa ilmu entengkan tubuhnya begini sempurna?" Karena ia ingin tahu, Sin Tjie batal pulang, ia lantas lompat, untuk mengejar. Bajangan di depan itu kabur terus, tanpa menoleh lagi. Biar bagaimana, ilmu entengkan tubuh dari Sin Tjie ada setingkat lebih tinggi, belum terlalu lama, ia dapat menyusul, maka ia melombai, sampai beberapa tumbak, Baru ia berhenti, akan putar tubuh, untuk menunggu. Bajangan itupun berhenti berlari, ia tertawa haha-hihi. "Wan Siangkong, kali ini Baru aku takluk padamu!" katanya. Sin Tjie lihat seorang dengan tangan baju panjang, bajunya indah, tubuhnya langsing bagaikan cabang bunga. Dia itu adalah Ho Tiat Tjhioe, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw, yang dandan serba putih. Cuma sepatunya berwarna hitam mulus.
Adalah kebiasaan dalam kalangan Rimba Persilatan, orang keluar dengan pakaian serba hitam atau abu-abu, supaya pakaiannya samar-samar ditempat gelap, supaya kalau ada serangan senjata rahasia, tubuhnya bisa seperti menghilang. Tapi nona ini memakai serba putih, jikalau dia tidak liehay tidak nanti dia dandan secara begini menantang. Sambil mengawasi, Sin Tjie memberi hormat. "Ho Kauwtjoe, ada pengajaran apakah darimu untuk aku?" tanyanya. Kepala agama itu tertawa manis. "Ketika kemarin ini Wan Siangkong berkunjung kepadaku, di sana ada banyak sekali orangku, yang seperti merintangi kita, yang memecah pemusatan pikiran kita, hingga karenanya, tak dapat kita berdua mendapatkan keputusan, siapa terlebih tinggi, siapa terlebih rendah," jawab dia, "maka itu sekarang ini sengaja siauwmoay datang kemari untuk memohon pengajaran beberapa jurus dari siangkong..." Kembali ia bahasakan dirinya "siauw moay", adik perempuan. Dan habis berkata-kata, ia bersenyum-senyum pula. Ia bicara dengan halus, gerak-gerik tubuhnya pun halus dan menarik hati. "Orang dengan kepandaian tinggi sebagai kauw-tjoe didalam kalangan pria pun jarang sekali ada," Sin Tjie bilang. "Kagum sekali aku terhadap kepandaian kauwtjoe itu." Masih si nona tertawa. "Kemarin ini siangkong perlihatkan kepandaianmu dengan tangan kosong," katanya, "pukulan-pukulanmu itu telah membawa angin yang menyambar-nyambar, sampai siauw-moay, yang tenaganya tidak cukup, tidak berani menyambutnya. Bagaimana kalau sekarang kita main-main dengan senjata tajam?" Dan tak tunggu jawaban lagi, nona ini meraba kepinggangnya, begitu lekas ia menarik kembali tangannya, bersama itu tertarik keluar sebatang djoan-pian, ruyung lemas seperti tungkat panjang, yang sebagian batangnya mempunyai gaetan-gaetan halus, maka siapa tak beruntung terkena ruyung itu, mesti - sedikitnya - dagingnya bakal terbetot sepotong demi sepotong. "Wan Siangkong, inilah yang disebut Kat bwee-pian," kata si nona, yang perkenalkan ruyungnya sebagai ruyung Ekor Kala. "Diujung semua duri ini ada racunnya, maka itu, harus siangkong berlaku waspada sekali. Sudah siapkah?" Mau atau tidak, dalam hatinya, Sin Tjie bergidik. Begitu merdu suara si nona, begitu manis lagunya, demikian cantik-molek orangnya, siapa sangka, sikapnya sebaliknya sangat ganas. Itulah suatu hal yang sangat bertentangan satu dengan lain! Tentu saja tak sudi Sin Tjie melayani ular cantik Ini. Maka ia segera rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat. "Maaf!" katanya seraya ia hendak memutar tubuh, untuk undurkan diri. Ho Tiat Tjhioe tidak tunggu orang pergi, dengan sebat ia menyabet dengan djoanpian istimewanya itu, berbareng mana, sambaran anginnya sampai terdengar nyata. Rupanja Sin Tjie telah bisa menduga, maka atas datangnya serangan, kepada dadanya, ia segera mengelak sambil bersenyum, hingga serangan melewati sasarannya, menyusul mana, ia berlompat mundur, untuk lompat terus, hingga sekejab saja, ia sudah jauhkan diri beberapa tumbak. Ho Tiat Tjhioe pasti merasa ia tidak bakal sanggup susul si anak muda, dari itu ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Begini saja muridnya Kim Tjoa Long-koen? Sungguh dia membikin merosot derajat gurunya, yang namanya sangat kesohor! Ha-ha-ha!" Diperhina secara demikian, Sin Tjie melengak "Senantiasa aku mengalah saja, dia rupanya jadi kepala besar?" demikian ia pikir. "Kaum Ngo Tok Kauw ini jumawa sekali! Apakah mungkin aku jeri terhadapnya?" Karena memikir demikian, Sin Tjie berdiri diam, ketika ini digunai si nona, untuk berlompatan menyusul dia, malah segera, berbareng sama berkelebatnya cahaya putih, nona itu menyambar dengan ruyungnya. Sin Tjie kerutkan alis. "Kenapa dia menggunai senjata terkutuk ini?" pikir dia. "Dia begini eilok, kenapa dia tersesat?" Ia lantas saja berkelit, untuk menyingkir dari serangan itu. Oleh karena lawan menggunai senjata yang banyak durinya dan beracun juga, Sin Tjie tidak berani melayani sebagaimana biasanya ia melawan musuh bersenjata dengan tangan kosong, tapi juga ia tidak mau lekas-lekas gunai senjatanya, dari itu, ia berkelahi dengan kedua kepalannya dikasi masuk dalam ujung tangan bajunya. Ia berkelahi dengan senantiasa berkelit dari sesuatu serangan, untuk ini ia andalkan kelincahannya. Ho Tiat Tjhioe gesit sekali, cepat sesuatu serangannya, akan tetapi kemplangannya, sabetannya, ataupun sodokannya, tidak pernah mengenai sasarannya, malah melanggar ujung baju pun tidak bisa. Dua-puluh jurus telah dikasi lewat dengan cepat, tidak pernah Ho Tiat Tjhioe peroleh hasil, akhirnya ia jadi sengit nampaknya, hingga ia menegur: "Kau main berkelit saja, apakah kau masih terhitung satu hoohan?" Sin Tjie tertawa. "Bukankah kau hendak bikin panas hatiku, supaya aku rampas senjatamu?" ia tegaskan. "Itulah tak sukar!" Pemuda ini segera jumput dua potong genteng, yang ia pegang dengan masing-masing sebelah tangannya. Ia masih berkelit saja, tapi kali ini ia memasang mata kepada djoanpian orang itu. "Lepas ruyungmu!" tiba-tiba ia berseru membarengi iapunya dua potong genteng yang dipakai menyambut ujung ruyung yang dipakai menyerang kepadanya, sambil terus ia membetot, sementara kaki kanannya diangkat, untuk dupak kakinya si nona. Kaget Ho Tiat Tjhioe. Tidak ia sangka, musuhnya demikian liehay. Tentu saja ia menjadi repot. Mana ia hendak tarik pulang ruyungnya, mana ia hendak lindungi kakinya. Ia lantas lepaskan ruyungnya sambil mundur. Tapi ia telah berdiri di pinggiran genteng, inilah ia tidak ketahui, tidak ampun lagi ia kejeblos, tubuhnya turut melayang jatuh kebawah! Sin Tjie cekal ruyung orang, ia tertawa, "Bagaimana kau lihat muridnya Kim Tjoa Long-koen?" tanyanya. "Bagus!" seru si nona selagi tubuhnya jatuh. Benar-benar dia gesit luar biasa, sebab begitu mengenai tanah - ia tidak rubuh, hanya dapat menaruh kaki - tubuhnya sudah mencelat pula naik keatas genteng! Menampak ini, meski juga ia sendiri sangat liehay, Sin Tjie kagum tidak kepalang. "Sekarang aku hendak belajar kenal sama senjata rahasiamu, Wan Siangkong," kata pula si nona, yang sangat bandel. "Kami dari kaum Ngo Tok Kauw ada punya pasir Tok-siam-see...." Itulah "pasir kodok beracun"... Sin Tjie dengar suara orang yang nyaring tetapi empuk, ia tidak dapat lihat orang mengayun tangan, tapi tahu-tahu di hadapannya ada berkelebat sinar-sinar kuning emas, hingga ia jadi sangat kaget. Ia insyaf, itulah senjata rahasia si nona. Dalam keadaan terhimpit seperti itu, ia lantas apungi tubuhnya, akan berlompat tinggi! Segeralah terdengar suara merotok pelahan diatas genteng, itulah senjata rahasianya Ho Tiat Tjhioe, diapunya "pasir pasir" yang beracun, sedikitnya belasan biji. Sebenarnya itu bukannya pasir tulen, itu adalah jarum baja halus, yang digunainya bukan dengan disambitkan. Jarum-jarum itu termuat dalam satu pipa atau bungbung, yang dia cantel di dadanya. Untuk kasi kerja itu, cukup asal dengan tangan kanannya dia tepuk pinggangnya dimana ada dipasang alat rahasianya. Untuk melepaskan jarum ini, iapun tak usah main mengincar lagi, cukup asal dia berdiri menghadapi sasarannya. Jadi senjata ini beda dengan senjata rahasia lainnya yang memerlukan ayunan tangan. Maka tidak heran kalau Sin Tjie terkejut. Memangnya hampir tak ada orang yang ketahui, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw ini mempunyai semacam senjata rahasia. Akan tetapi pemuda kita juga tidak diam saja, selagi dia berlompat, belum sampai tubuhnya turun pula, tangannya telah diayun, tiga biji caturnya dikasi menyambar kearah jalan darah yang lemah dari si nona. Dan ia pun sambil membentak: "Aku tidak bermusuh denganmu, kenapa kau berlaku begini telengas?" Ho Tiat Tjhioe berkelit untuk dua biji catur, sedang yang ketiga ia sambut dengan tangannya. "Ayo, sungguh liehay!" dia menjerit. "Sakit tanganku!...."
Lalu, dengan melihat turunnya tubuh, ia balas menyerang dengan biji catur itu. Sin Tjie lihat serangan itu, tangannya si nona toh diayun. Ia bisa duga, serangan pasti tak kena. Tadinya ia niat sambuti biji caturnya itu, tetapi sekicapan mata ia ingat, mungkin tangannya si nona ada racunnya, maka ia lantas gunai tangan bajunya, untuk menyampok, hingga biji catur terlempar kesamping. Habis menyerang dengan biji catur itu, Ho Tiat Tjhioe tidak berhenti untuk beristirahat, dia hanya masuki sebelah tangannya kedalam sakunya. Ketika ia sudah tarik itu keluar, ia terus ayun itu. Maka lantas, belasan tali yang bukan tali sutera atau tali air emas, menyambar kearah kepalanya si anak muda, yang hendak ditungkrap! "Hebat!" pikir Sin Tjie, yang terus waspada untuk orang punya pelbagai alat yang ada racunnya. Karena ia tidak mau menyingkir, ia ajun djoanpian lawannya, untuk dipakai menangkis serangan tali-tali istimewa itu. Sebat luar biasa, Ho Tiat Tjhioe tarik pulang tali-talinya itu. Iapun tertawa. "Kat-bwee-pian itu ada kepunyaanku!" katanya. "Kau pakai senjataku itu, kau malu atau tidak?" Teranglah nona ini mengejek. Pun terang juga iapunya lagu-suara orang Inlam asli. Sin Tjie lemparkan djoanpian keatas wuwungan. "Jikalau aku bisa rampas beberapa lembar talimu itu, maukah kau berjanji yang kau bersama semua orang Ngo Tok Kauw tidak akan grembengi aku pula?" tanya dia. "Inilah bukannya tali," sahut si nona. "Inilah tali yang terlalai dari galagasi si kawa-kawa. Jikalau kau menghendaki untuk merampas, silakan, kau boleh coba!" Nona itu menantang, dengan talinja itu ia segera menyambar, kearah pinggang si anak muda. Sin Tjie segera berkelit, ia niat menyambar benang itu tapi ia batalkan niatnya dengan tiba-tiba. Sebab tiba-tiba saja ia ingat pada racun! Ho Tiat Tjioe melanjuti serangannya, berulang-ulang, atas mana, si anak muda melayani terus dengan unjuk kegesitannya, yaitu ia senantiasa main berkelit, ke samping atau mundur, secara begini ia bisa berbareng perhatikan gerak-gerik orang. Nona itu hebat menyerangnya, pandai juga pembelaannya. Selang sepuluh jurus, Sin Tjie berpikir: "Ngo Tok Kauw gemar memelihara binatang-binatang beracun, antaranya kawa-kawa, sekarang permainan silat tali si nona ini mirip dengan terkaman-terkamannya sang kawa-kawa itu. Bisa sekali ia menelad kawa-kawa, untuk menciptakan ilmu silat ini." Lantas pemuda ini menunggu ketika lowongan, untuk turun tangan. Segera datang saatnya Ho Kauwtjoe menyerang secara hebat, apabila si anak muda berkelit ke samping, serangannya gagal, tangannya terlonjor kedepan. Inilah ketikanya Sin Tjie, sebelum orang sempat perbaiki diri, ia maju, untuk merangsak, guna totok iga si nona. Ho Tiat Tjhioe tampak ia terancam bahaya, tidak sempat ia menarik pulang senjatanya, maka untuk tolong diri, ia egos tubuhnya kesamping. Dengan tiba-tiba saja muka Sin Tjie merah sendirinya, ia tidak sangka serangannya ini bakal memberikan hasil, hingga ia pikir, bagaimana ia dapat meletaki tangannya ditubuh satu wanita. Kesangsiannya ini membuat gerakannya menjadi ayal. Ho Tiat Tjhioe mendapat ketika karena kesangsiannya lawan, yang ia tak tahu disebabkan apa, ia lantas gunai ketika ini, akan memutar tubuh, akan terus menyambar dengan tangan kirinya, dengan gaetannya. Sin Tjie terperanjat, lekas-lekas ia tarik pulang tangannya. Ia batal menyerang terus. "Bret!" demikian satu suara nyaring. Gaetannya si nona menyambar baju si anak muda, baju itu robek! "Ayo!" berseru Ho Kauw-tjoe." Celaka betul! Bajumu pecah, Wan Siangkong! Mari buka bajumu itu, nanti aku bawa pulang untuk dijahiti!...." Mendongkol juga Sin Tjie menampak orang demikian licik, karena ini, sedang si nona goda ia, dengan cepat ia menyerang dengan tangan kanannya, ujung bajunya dipakai menyampok, tatkala si nona berkelit, ia merangsek, ia ulangi serangannya secara beruntun. Dalam keadaan terdesak itu, Ho Tiat Tjhioe lompat mundur, lalu ia menyabet dengan talinya, tapi Sin Tjie papaki dengan tangan bajunya yang robek tadi, yang sekarang bergeliwiran, hingga ujung baju itu terlibat tali, setelah itu, ia membetot dengan kaget. Ho Kauw-tjoe tarik pulang talinya, ia terlambat, malah cekalannya terlepas, talinya jatuh ke tanah, berbareng sama ujung baju, yang pun robek lebih jauh, terputus dari bajunya. "Bagaimana sekarang?" tanya Sin Tjie. Nona itu tidak menjawab, hanya tangan kanannya dipakai meraba ke bebokongnya hingga dilain saat, ia sudah tarik keluar sebatang Kim-kauw ialah gaetan terbuat atau tercampur emas, hingga kelihatannya bercahaya berkilau-kilau. Heran juga Sin Tjie menyaksikan alat-senjata orang yang seperti tak habis-habisnya, banyak macamnya. Ia juga tak mengerti maksud si nona. "Aku telah rampas talimu. kau tak boleh ganggu aku lebih lama!" katanya, untuk memperingati janji. "Kau bicara sendiri! Kapan aku telah berjanji?" balik tanya si nona. Sin Tjie bungkam. Memang juga, si nona belum pernah terima baik perjanjian yang ia kemukakan tadi, hanya si nona malah menantang ia untuk coba rampas senjatanya dia itu. Ia jadi masgul. Kalau terus-terusan ia melayani, sampai kapan gangguan ini bisa dibikin tamat. "Hm!" akhirnya ia bersuara. "Aku mau lihat, berapa banyak macamnya gegamanmu!" Ia memikir untuk rampas sesuatu senjatanya si nona, supaya dia tahu rasa dan akan mundur sendirinya. "Ini dia jang dinamakan kim-gia-kauw!" kata Ho Kauw-tjoe. "Kim-gia-kauw" berarti "gaetan kelabang emas." Lantas ia tonjolkan tangan kirinya, yang merupakan gaetan hitam. "Dan ini Tiat-gia-kauw!" ia menambahkan. "Tiat-gia-kauw" berarti "gaetan kelabang besi." Dan ia menambahkan terlebih jauh: "Untuk meyakinkan ini macam gaetan, ayahku telah kutungi tanganku yang kiri ini. Ayah bilang, daripada memegang senjata, lebih baik senjata dipasang tetap ditangan. Aku telah yakinkan gaetan ini untuk tigabelas tahun, masih juga belum sempurna. Wan Siangkong, gaetan ini ada racunnya, awas, jangan kau merampasnya dengan tanganmu!"
Sin Tjie lihat orang bicara sambil tertawa, sambil bersenyum berseri-seri. Tabah sekali nona ini. Lalu si nona maju menghampirkan, dengan tindakannya pelahan-lahan. Kuatir orang nanti menggunai tipudaya, Sin Tjie memasang mata, ia berlaku waspada. Mendadak saja di kejauhan terdengar suara suitan, suara yang sayup-sayup. Mendadak Sin Tjie, ingat suatu apa, hingga ia berseru dalam hatinya: "Celaka! Apa mungkin dia ini sengaja tahan aku di sini sedang konco-konconya dia perintah pergi serbu Tjeng Tjeng!" Tidak ayal lagi, pemuda kita putar tubuhnya, untuk lari pulang. Ho Tiat Tjhioe tertawa berkakakan. "Baru sekarang kau pulang, kau terlambat!" katanya. Walaupun dia mengucap demikian, nona ini pun berlompat, untuk sambar si anak muda, bebokong siapa ia hajar dengan gaetan besinya. Masih Sin Tjie lihat gerakan si nona, ia berlompat, berkelit kesamping, sembari membaliki tubuh, sebelah kakinya menyapu. Ho Kauw-tjoe lompat, akan hindarkan diri dari sapuan itu, tetapi hampir berbareng dengan itu, ia barengi menyerang dengan dua-dua gaetannya. Itu waktu ada diwaktu fajar, sinar matahari pertama Baru saja mulai muncul, maka diantara sorotannya sinar sang Batara Surya itu, kedua gaetan berkilauan hitam dan kuning emas, memain di depan mukanya si anak muda. Bercekat hatinya Sin Tjie. Segera ia dapat kenyataan, ilmu silat dari kepala agama Ngo Tok Kauw ini tidak saja berada di atas dari Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa. malah masih di atasannya Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay. Maka itu, melayani si nona, ia sibuk juga, sebab pikirannya terpecah dua. Di sana ada Tjeng Tjeng yang keselamatannya ia kuatirkan, meskipun masih belum tentu Nona Hee berada dalam bahaya. Beberapa kali pemuda ini berniat rampas Kim-gia kauw, senantiasa ia gagal, sebab sambil menarik pulang gaetannya itu, Ho Tiat Tjhioe berbareng melindungi dengan Tiat-gia-kauw, gaetannya yang lain yang dipasang di tangan. Yang lebih menyulitkan dia, dia kuatirkan racun di kedua ujungnya gaetan yang liehay itu. Sampai di jurus yang ketiga-puluh, masih Sin Tjie belum berhasil dengan pelbagai dayanya untuk merampas gaetan orang itu, untuk memunahkan Tiat-gia-kauw. Itu berarti ia mensiasiakan ketika. Itu pun mungkin membahayakan Tjeng Tjeng andai-kata benar puterinya Kim Tjoa Long-koen diserbu orang-orang Ngo Tok Kauw Akhir-akhirnya, dalam sibuknya itu, pemuda ini menjadi putus asa, maka terpaksa ia lantas raba Kim Tjoa Kiam, untuk hunus itu pedang mustika, yang sejak turun gunung, belum pernah ia pakai secara sungguh-sungguh. Baru saja tadi ia pakai itu untuk memapas senjatanya Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta beberapa anggauta Kim Liong Pang. Kapan Ho Tiat Tjhioe tampak senjata ular-ularan itu, dia kaget hingga mukanya pias. "Bagus!" serunya. "Kiranja Kim Tjoa Kiam terjatuh dalam tanganmu!"
"Ya, habis apakah kau mau?" menantang si pemuda, yang terus saja maju menyerang, beberapa kali ia menabas pulang-pergi.
Ho Tiat Tjhioe sibuk dalam sekejab. Terpaksa ia main mundur saja, tak sempat ia membalas menggaet, sedang tadi, ia ada leluasa merangsak lawannya ini. Sin Tjie tidak mau mengasi ketika, maka akhirnya datanglah saatnya ia tabas kutung ujungnya Kim gia-kauw, hingga si nona kaget tak terkira. Lantas si anak muda mengancam: "Jikalau tetap kau ganggu aku, aku nanti tabas juga Tiat-gia kauw!" demikian serunya. Benar-benar Ho Tiat Tjhioe tidak berani maju pula, ia cuma bisa mengawasi dengan mendelong. Sin Tjie masuki pedangnya ke dalam sarung, ia putar tubuhnya, terus ia lari pulang. Ia lari dengan keras sekali, hingga sebentar kemudian, ia telah sampai di mulut gang. Justru ia sampai di situ, lantas ia saksikan hal yang mengejutkan dia. Di situ Ang Seng Hay rebah di antara kobakan darah! Lekas-lekas ia mengangkat bangun. Syukur sekali, pengiring itu masih bernapas, tapi karena dia terluka pada lehernya, dia tidak dapat bicara, sebagai gantinya omongan, dia lantas menunjuk berulang-ulang ke dalam rumah. Sin Tjie pondong tubuh orangnya itu, untuk dibawa masuk. Kapan ia sampai di dalam, rumahnya menjadi kacau tidak keruan-macam. Kursi dan meja terbalik-balik, rusak, rusak juga daun-daun pintu dan jendela, begitupun perabotan lainnya. Itulah bukti dari bekas pertempuran hebat, bekas serbuan membabi-buta. Dengan hati berkuatir, Sin Tjie robek tangan bajunya, untuk balut lukanya Seng Hay, untuk mencegah darah keluar terus, habis itu ia lari kesebelah dalam. Pemandangan di sini tak kurang hebatnya, kerusakan terdapat pada segala bagian. Paling hebat adalah ketika ia tampak Ouw Koei Lam dan Thia Tjeng Tiok pun rebah dilantai dengan masing-masing sedang merintih. "Apakah sudah terjadi?" tanya Sin Tjie. "Nona Tjeng Tjeng, Nona Tjeng Tjeng..." kata Koei Lam dengan susah. "Dia dibawah lari orang-orang Ngo Tok-Kauw!..." Inilah puncaknya kehebatan. "Mana See Thian Kong dan yang lain-lain?" Masih pemuda itu dapat tetapkan hati, untuk menanyakan lain-lain kawannya itu. Ouw Koei Lam tidak menyahut, dia cuma menunjuk keatas, ke wuwungan rumah. Sin Tjie tidak menanya lagi, ia lari ke tjimtjhee, untuk lompat naik ke atas genteng, maka di sana, yang paling pertama, ia tampak Tay Wie dan Siauw Koay sedang peluki A Pa, si empeh gagu, kedua binatang itu memekik-mekik tak hentinya, terang mereka lagi tidak berdaya. Akan tetapi, kapan mereka lihat majikannya, mereka lompat untuk menubruk, suaranya dibuka lebih besar, agaknya mereka hendak mengadu. Sayang mereka tidak mampu bicara. See Thiah Kong juga berada diatas genteng, mukanya bersemu hitam, suatu tanda dia pun telah terluka, malah terluka hebat. A Pa sendiri terluka pada tubuhnya. Menampak semua itu, Sin Tjie kertak gigi. Meluaplah hawa-amarahnya.
"Kenapa aku jadi tolol sekali!" dia sesalkan diri sendiri. "Kenapa aku kasi diriku dicantel oleh itu perempuan hina?"
Ketika itu, sang pagi sudah datang, maka semua bujang, yang tadinya lari kalang-kabutan, akan singkirkan diri, mulai pada pulang. Sin Tjie pondong A Pa dan See Thian Kong, untuk dibawa turun dengan bergantian, kemudian lekas-lekas ia tulis surat untuk Tjiauw Wan Djie, buat minta si nona lekas minta pulang mustika kodok es, guna ia tolongi See Thian Kong semua. Satu bujang diperintah lekas sampaikan surat itu ditempat penginapan si nona. Kemudian ia mulai tolongi See Thian Kong dan yang lain-lain, untuk balut luka mereka. Sembari menolongi, ia tanyakan duduknya kejadian. Thie Lo Han belum sembuh dari lukanya, ia belum bisa bangun dari pembaringannya, karena ini, ia tidak terlibat dalam pertempuran hebat ini, ia jadi luput dari bahaya, maka cuma ia yang bisa lantas bicara. "Pada kira-kira jam tiga, Tay Wie dan Siauw Koay adalah yang mulai sadar akan ancaman bahaya," kata tauwto ini. "Mereka itu bersuara tidak sudahnya, mereka tarik-tarik A Pa untuk naik ke atas genteng. Begitu A Pa naik, ia segera dikepung belasan musuh. A Pa tidak bisa bicara, dari itu, dia tendangi genteng, sebagai tanda untuk kita pun naik untuk sambut musuh. Aku berada di mulut jendela, aku bisa menyaksikan dengan tegas. Karena aku tidak berdaya, aku cuma bisa sibuk sendiri. Aku lihat A Pa bersama saudara-saudara See dan Thia bisa rubuhkan beberapa musuh, akan tetapi jumlah musuh ada terlalu besar, pihak kita akhirnya kena terdesak mundur, Pertempuran pun dilanjuti di bawah, di dalam rumah, di setiap kamar. Di akhirnya, semua orang telah kena dilukai dan rubuh, adalah sesudah itu Tjeng Tjeng kena ditawan dan dibawa pergi. Wan Siangkong, kami menyesal sekali buat kejadian ini...."
"Semua ini disebabkan aku telah kena dipancing musuh," kata Sin Tjie, untuk menghibur. "Mereka menggunai tipu memancing harimau meninggalkan gunung. Sekarang ini menolong ada paling penting." Lantas ini anak muda lari ke luar, ke istal, untuk tuntun keluar seekor kuda, kapan ia sudah lompat naik ke bebokong kuda itu, ia kabur ke luar kota. Ia menuju langsung ke itu rumah luar biasa, balai istirahat dari Pangeran Seng Ong. Begitu ia sampai, ia lompat turun dari kudanya, setelah tambat binatang itu di sebuah pohon, ia lari ke depan rumah, untuk terus lompat naik ke tembok, akan lompat turun ke dalamnya. Dia masih tetap murka dan sibuk. "Ho Kauwtjoe!" dia berteriak. "Ho Kauwtjoe, silakan keluar! Aku hendak bicara denganmu!" Jawaban tidak ada, kecuali dari kumandang yang nyaring, ketika toh datang juga jawaban, adalah terpentangnya pintu rahasia dari mana lantas merubul keluar belasan ekor anjing yang bengis-bengis, di belakang semua binatang galak itu mengikuti beberapa belas orang. "Sekarang ini tak dapat aku berlaku sungkan-sungkan lagi," pikir Sin Tjie, yang tidak kenal takut "Aku mesti bikin ambruk dulu semangat mereka!" Segera juga pemuda ini ayun tangan kirinya, berulang tali, maka sebagai kesudahan dari itu, belasan potong Kim-tjoa-tjoei, bor-bor Ular Emas, menyambar-nyambar kearah rombongan anjing galak itu. Beberapa ekor lantas saja rubuh binasa begitu lekas mereka keluarkan jeritan, lalu menyusul yang lainnya, sebab semua bor tidak ada yang lolos. Kemudian dengan sebat, ia lompat kepada bangkai anjing itu, untuk dengan kedua tangannya lekas cabuti semua bornya itu. Orang-orang Ngo Tok Kauw pada melongo, mereka kaget dan kagum. Tadinya mereka ini sudah merencanakan, selagi si anak muda bergulat dengan anjing mereka, mereka hendak menyemprot dengan racun mereka di dalam bungbung, mereka tidak nyana, semua anjing mereka bisa dibikin mati dalam tempo demikian pendek. Apabila kemudian mereka sadar, perasaan mereka yang pertama adalah takut, hingga batal mereka hendak menyerang dengan semprotan, mereka putar tubuh, lantas lari. Orang yang pertama telah lari sambil menjerit-jerit. Sin Tjie lompat, untuk nerobos masuk ke dalam pintu rahasia itu. Beberapa orang telah membalik tubuh, dengan niatan menutup pintu tapi mereka kalah sebat. Pintu merah terpentang, rupanya bekas tadi dipakai keluar oleh rombongan Ngo Tok Kauw itu, Sin Tjie lihat ini, dengan satu lompatan luar biasa, ia lombai semua musuh, maka ia telah mendahului masuk di pintu rahasia itu. Itu berarti ia sudah masuk semakin dalam di sarang musuh, di tempat yang berbahaya, akan tetapi justru karena ini, hatinya jadi semakin tenang. "Ho Kauw-tjoe, apabila kau tetap tidak hendak keluar, maka jangan kau nanti katakan aku keterlaluan!" dia berseru pula dengan ancamannya. Sebagai jawaban, Sin Tjie dengar suara suitan, sebagai kesudahan dari itu, segera tertampak munculnya orang-orang Ngo Tok Kauw, yang terus berbaris dikiri-kanan, habis itu dari sebelah dalam, berlerot keluar belasan orang, yang bertindak dimuka adalah Ho Ang Yo, wanita tua yang jelek itu, dibelakangnya mengapit Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe berikut Kim-ie Tok Kay Tjee In Go. Di belakang si pengemis tukang tangkap ular ini Barulah lain-lain orang liehay dari kawanan Ngo Tok Kauw itu. Sin Tjie mendahului membuka mulut. Ia berkata: "Aku tidak kenal tuan-tuan, kitaorang tidak punya dendaman lama, tidak punya permusuhan baru, maka itu, kenapa tuan-tuan sudah datangi rumahku dimana kamu telah lukai sahabatku serta culik adikku? Apakah sebabnya semua itu? Aku minta supaya sukalah Ho Kauwtjoe memberikan penjelasannya!"
"Orang-orang dirumahmu tidak bermusuhan dengan kami, itulah tidak salah," menyahut Ho Ang Yo, "itu pun sebabnya kenapa kami sudah berlaku murah hati, yaitu tidak ada satu diantaranya yang kami lantas bikin mati! Bukankah kau mempunyai obat mustika? Dengan itu dengan gampang kau bisa sembuhkan mereka. Tapi mengenai itu bocah she Hee? Hm! Dengan cara pelahan-lahan, kami hendak beri pengajaran kepadanya!"
"Dia masih sangat muda, apakah dia telah berbuat terhadap kamu yang membikin kamu mendendam?" tanja Sin Tjie. Ia masih belum tahu hubungannya kawanan ini dengan Tjeng Tjeng. Ho Ang Yo tertawa dingin. "Siapa suruh dia terlahir sebagai puteranya Kim Tjoa Long-koen?" jawabnya. "Hm! Siapa suruh dia bolehnya dilahirkan oleh itu perempuan hina she Oen?"
Sin Tjie terperanjat. Heran dia kenapa wanita tua ini ketahui ibunya Tjeng Tjeng ada
seorang she Oen. Karenanya, ia jadi berdiam. Ho Ang Yo tampak orang diam saja, ia menegur, suaranya seram: "Apa kau mau maka kau datang mengacau di sini?"
"Jikalau kamu ada punya sangkutan sama Kim Tjoa Long-koen," jawab Sin Tjie, "kenapa kau tidak mau cari dia sendiri untuk balas lakukan pembalasan sakit hatimu?"
"Bapaknya hendak aku bunuh, anaknya juga hendak aku binasakan!" bentak Ho Ang Yo. "Kau ada punya sangkutan dengan dia itu, kau juga hendak aku bunuh!" Bukan main bengisnya pengemis wanita ini, akan tetapi Sin Tjie tak gentar terhadapnya, malah tak sudi dia berurusan dengannya terlebih lama pula. "Ho Kauw-tjoe!" segera ia teriaki pula Tiat Tjhioe. Sebenarnya kau hendak keluar atau tidak? Mau kau lepaskan orang tawananmu atau tidak?" Dari dalam tetap tidak ada jawaban, hanya ada juga jawaban ialah suara kumandang. Habis sabarnya ini anak muda, tiba-tiba saja ia lompat maju, akan lewati Ho Ang Yo. Ia berlompat disampingnya wanita tua yang romannya menyeramkan itu. Di depan ia ada sebuah pintu. Dua orang Ngo Tok Kauw di belakang si nyonya tua lompat maju, untuk merintangi, tetapi Sin Tjie sambut mereka dengan gerakan kedua tangannya ke kiri dan kanan, atas mana dua orang itu terpental rubuh terbanting. Setelah itu, pemuda ini lompat lebih jauh masuk ke dalam pintu. Nyata kamar yang Baru dimasuki ini kosong. Karena ini Sin Tjie lari ke kamar sebelah timur, di situ ia mendupak pintu hingga daunnya menjeblak. Di dalam sini ada dua anggauta Ngo Tok Kauw sedang rebah, ialah dua orang yang kemarin ini kena dilukai dan sekarang sedang beristirahat. Melihat si anak muda, mereka kaget hingga mereka lompat berjingkrak. Sin Tjie tidak perdulikan orang ini, ia pergi ke lain kamar, tidak juga ia ketemukan Ho Tiat Tjhioe atau Tjeng Tjeng, maka ia cari terus di lain-lain kamar atau ruangan. Ada orang-orang Ngo Tok Kauw yang mencoba merintangi tetapi mereka tidak berani menyerang. Dalam tempo yang pendek, Sin Tjie sudah periksa semua kamar, tetap tidak ada Tjeng Tjeng, tidak ada Ho Tiat Tjhioe, dalam sengitnya, ia ubrak-abrik semua jambangan, guci dan peti, hingga banyak macam binatang beracun, yang dikurung atau dipiara di situ, pada terlepas, lari merayap ke segala penjuru. Orang-orang Ngo Tok Kauw menjadi kaget, di satu pihak mereka coba menyerang, di pihak lain ada yang menangkap-nangkapi pula rupa-rupa binatang piaraan mereka itu. Didalam pertempuran kalut seperti itu, pihak Ngo Tok Kauw tidak berani gunai semprotan racun mereka, rupanya mereka takut nanti mencelakai orang sendiri. "Jikalau benar kau satu laki-laki, mari kita pergi keluar, untuk pertempuran yang memutuskan!" Phoa Sioe Tat akhirnya menantang. Sin Tjie tahu orang ini mempunyai kedudukan penting, maka ia pikir, baik ia bekuk orang ini, untuk nanti ia korek keterangan dari mulut dia itu. "Baik!" ia menyambut. "Baik, aku nanti coba belajar kenal dengan tuan punya Tok-see-tjiang!" Dengan satu loncatan dari Pek-pian Kwie-eng, Sin Tjie sudah melesat ke depan pahlawan Ngo Tok Kauw ini. Phoa Sioe Tat terkejut, inilah ia tidak sangka, tetapi ia sudah lantas memapaki, dengan serangan kedua tangannya saling susul. "Lain orang takuti tanganmu yang beracun, aku tidak!" seru Sin Tjie, yang menghalau diri dari dua sambutan musuh itu. "Baik, kau cobalah!" seru Sioe Tat juga, sambil ia menyerang pula. Sin Tjie angkat tangan kanannya, untuk menangkis. Girang sekali Sioe Tat melihat tangkisan orang, di dalam hatinya, ia kata: "Jikalau kita saling serang, mungkin aku sukar menangi kau, akan tetapi sekarang kau berani bentrok tangan dengan tangan, kau seperti cari mampusmu sendiri, maka janganlah kau sesalkan aku!" Lalu dua-dua tangannya dimajukan dengan tenaga penuh, sepuluh jarinya terbuka, untuk dipakai mencengkeram tangan musuh. Di saat kedua tangan hampir bentrok satu dengan lain, girangnya Sioe Tat sudah bukan alang-kepalang, karena ia merasa, segera ia akan bikin terluka musuhnya itu. Akan tetapi justru di saat itu, mendadak ia dapatkan musuh tarik pulang kepalannya, belum sempat ia melihat nyata, ia tampak bajangan berkelebat kesampingnya, hingga ia menjadi kaget, sehingga ia niat berkelit, untuk menyingkirkan diri, kedua tangannya sendiri mendahului ditarik pulang juga. Tapi ia telah terlambat, ia menjadi kaget ketika tahu-tahu, batang lehernya tercekal keras, dan belum ia sempat berdaya, tubuhnya sudah kena diangkat tinggi!
Orang-orang Ngo Tok Kauw pun kaget, sampai mereka berseru, lantas mereka merangsak, akan tolongi pahlawan mereka, akan tetapi mereka disambut Sin Tjie dengan si anak muda putarkan diri sambil tubuhnya Sioe Tat diputarkan juga, dipakai sebagai alat untuk menangkis serangan! Semua orang Ngo Tok Kauw merandak, tidak ada satu juga yang berani maju akan serang si anak muda, sebab mereka kuatir nanti mereka melukai "hoe-hoat" mereka atau pelindung agamanya. Sin Tjie lantas saja berseru: "Dimana adanya orang yang kau culik? Lekas bilang!" Phoa Sioe Tat meramkan mata, tak sudi ia memberikan jawaban. Sin Tjie gunai jeriji tangannya, akan menotok jalan darah di tulang bebokongnya orang tawanannya itu. "Aduh, aduh!" Sioe Tat menjerit-jerit. Tak tahan ia akan sakitnya totokan itu, hingga ia mencoba berontak-rontak. Sin Tjie membarengi, akan lepaskan cekalannya, akan banting tubuhnya pahlawan musuh itu. Sioe Tat benar-benar seorang berani dan beradat keras, walaupun ia mesti rebah bergulingan berulang-ulang, tak mau ia memberi jawaban, hingga pemuda kita jadi kewalahan. "Baik!" pikir Sin Tjie. "Kau tidak sudi bicara, mustahil lain orang tidak?" Ia segera ingat kepada ilmu totokan jalan darahnya yang liehay, asal dia gunai itu, siapa juga tak akan dapat menyadarkan korbannya. "Aku mau lihat, kalau mereka sudah ditotok semua, Ho Tiat Tjhioe masih berani ganggu Tjeng Tjeng atau tidak?" demikian pikirnya akhirnya.
Orang-orang Ngo Tok Kauw segera maju pula begitu lekas mereka lihat pahlawannya sudah dilepaskan, tetapi justru mereka merangsak, musuh pun menerjang mereka. Tapi Sin Tjie maju untuk perlihatkan kelincahannya, ia berlompat kesana-sini, untuk kelit sesuatu serangan, dilain pihak, saban ia menyerang, ia membuat sesuatu sasarannya rubuh tak berdaya. Beberapa orang Ngo Tok Kauw yang cukup liehay masih bisa berkelahi dua-tiga jurus, Baru mereka rubuh, tidak demikian dengan yang kebanyakan, maka dalam tempo yang cepat, sudah kira-kira tiga-puluh orang pada rebah bagaikan mayat. Ho Ang Yo kaget tidak terkira, ia lantas berseru, ia terus lompat ke pintu, untuk menyingkirkan diri, perbuatannya ini dicontoh oleh sisa kawan-kawannya. Maka sekejab saja, ruangan yang lebar itu kosong dari anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw itu kecuali mereka yang bergeletakan dilantai, yang pada keluarkan rintihan, cuma mata mereka, dengan sorot membenci, mengawasi kearah musuh mereka. "Adik Tjeng! Adik Tjeng" Sin Tjie memanggil-manggil. "Adik Tjeng, kau dimana?" Kecuali sambutan kumandang, tidak ada jawaban. Dalam penasaran, Sin Tjie ma-sesuatu kamar pula, akan mencari, hasilnya siasia saja. Ia coba desak tanya beberapa orang Ngo Tok Kauw, mereka ini diam saja bagaikan gagu, mata mereka mereka rapatkan. Ketika itu, gedung itu telah kosong dari orang-orang Ngo Tok Kauw kecuali mereka ini yang rebah semua. Saking kewalahan, Sin Tjie keluar dari gedung, akan naik pula atas kudanya, buat kabur pulang. Ketika ia sampai dirumah di gang Tjeng-tiauw-tjoe, ia dapatkan Tjiauw Wan Djie sudah datang bersama beberapa murid kepala dari Kim Liong Pang, nona itu sudah tolongi See Thian Kong semua, malah lukanya mereka ini pun sudah dibalut rapi. Sin Tjie periksa sesuatu dari sahabatnya itu, apabila ia dapati mereka sudah bebas dari ancaman malaikat elmaut, Baru hatinya lega, sehingga sekarang ia pikirkan Tjeng Tjeng saja, juwitanya. Wan Djie coba hiburkan ini anak muda, dilain pihak, ia kirim beberapa anggotanya untuk pergi keempat penjuru kota, guna menyerep-nyerepi kabar. Selama itu, rumah menjadi sunyi. Tidak ada orang yang bicara. Berselang kira-kira setengah jam, mendadak ada suara menggabruk diatas genteng dibetulan tjimtjhee, lantas satu bungkusan besar menggelinding jatuh. Semua orang menjadi kaget, malah Sin Tjie sangat bergelisah. Ia lompat pada bungkusan itu, dengan kedua tangannya, ia putuskan tambang ikatannya. Belum sampai ia buka bungkusan itu, hidungnya sudah diserang bau bacin, bau darah yang amis, hingga hatinya memukul keras, kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Begitu lekas bungkusan telah dibuka, disitu tertampak satu tubuh mayat seperti tercincang, karena telah menjadi delapan potong. Kepala mayat kelihatan hitam mukanya, tetapi rambutnya, kumis dan jenggotnya, tetap putih. Maka dengan mengawasi sedikit lama saja, Sin Tjie segera kenali Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng si Naga Sakti Mata Satu! Bukan main kagetnya anak muda ini, berbareng pun ia jadi sangat gusar karena pemandangan yang menyayatkan itu, tanpa bilang suatu apa, ia loncat naik keatas genteng, kewuwungan, akan memandang kesekitarnya. Ia masih lihat satu tubuh bagaikan bajangan yang lagi berlari-lari diarah selatan-barat. Ia menduga pada orang Ngo Tok Kauw yang barusan membawa mayatnya Sian Tiat Seng, tidak ayal lagi, ia lompat turun ketanah, untuk mengejar. Kali ini ia telah keluarkan kepandaiannya, untuk bisa menyandak orang yang telah lari jauh itu. Pengejaran dilakukan sampai disuatu tempat dimana ada banyak pepohonan lebat, kedalam situ bajangan tadi lari masuk.
Ada pantangan didalam kalangan kaum kangouw, apabila kita menemui rimba, kita dilarang memasukinya, akan tetapi Sin Tjie langgar pantangan ini, karena keras sangat tekadnya untuk cari Tjeng Tjeng, untuk tolongi Nona Hee itu. Demikian ia lompat masuk ketempat lebat itu, akan susul orang yang dikejarnya itu. Tidak ada rintangan untuk anak muda ini, sampai setelah masuk sedikit jauh, ia lihat beberapa puluh orang asik berkumpul merubungi segundukan api tabunan, kelihatannya mereka sedang pasang omong dengan asik sekali, rupanya mereka tidak menyangka bahwa ada orang telah susul kawannya tadi dan sekarang lagi terus mencari mereka. Seorang kebetulan menoleh ke belakang, kaget ia kapan ia lihat Sin Tjie lagi mendatangi, dalam kagetnya itu, ia lantas berteriak, terus ia bangun berdiri, untuk lari. Perbuatan ini diturut oleh kawannya, yang pun kaget bukan main, semua lari serabutan. Sin Tjie menyerbu, ia hajar sesuatu orang yang dapat ia susul, ia menoyor, ia menendang, ia totok mereka, hingga siapa menjadi kurban sasaran, tentulah dia rubuh tak berdaya. Malah siapa lari sedikit jauh, ia rubuhkan dengan biji-biji caturnya. Ia bisa berkelahi dengan leluasa, karena hampir tidak ada perlawanan. Semua musuh itu perdengarkan suara berisik, tapi sedetik saja rimba menjadi sirap, tidak ada lagi satu musuh jua disitu. Maka Sin Tjie kebuti pakaiannya, ia bertindak keluar. Diantara korban-korban itu kedapatan Thia Kie Soe, Tjee In Go dan beberapa lagi orang liehay dari Ngo Tok Kauw, yang tidak ada adalah Ho Tiat Tjhioe dan Ho Ang Yo. "Mungkin Tjeng Tjeng belum terganggu," pikir pemuda ini, yang hatinya mulai tenteraman. "Aku percaya selanjutnya dia tidak bakal diganggu..." Lantas setelah itu, pemuda ini berjalan pulang. Sampai magrib itu hari, orang-orangnya Wan Djie masih belum berhasil memperoleh endusan apa juga. Atas permintaannya Sin Tjie, Gouw Peng dan Lo Lip Djie antar mayatnja Sian Tiat Seng ke kantor pembesar yang menjadi seatasannya Tok-gan Sin-liong. Di sini orang tidak berdaya kapan mereka saksikan keadaan mayat, karena bukti terang kepala oppas ini telah menjadi korbannya Ngo-Tok Kauw. Cuma orang tidak mengerti, bagaimana hebatnya pekerjaannya kawanan orang dari Inlam itu. Malam, itu Tjiauw Wan Djie tidak pulang, bersama beberapa anggauta Kim Liong Pang ia wajibkan diri untuk merawat dan menjagai orang-orang yang terluka, sebab benar dia orang ini sudah bebas dari ancaman kematian, tetapi dia orang masih lelah, perlu rawatan dan istirahat. Sin Tjie sangat masgul, sampai ia tak dapat tidur. Ia duduk di atas pembaringannya, memikirkan daya bagaimana untuk cari Tjeng Tjeng. Sudah satu jam Sin Tjie duduk diam, pikirannya masih terbenam dalam kepepatan, meski begitu, karena rumah dan sekitarnya sunyi-senyap, ia dapat dengar suara anjing menggonggong dua kali sedikit jauh di dalam gang. Ia juga dengar suara kentongan, yang suaranya datang semakin dekat, tandanya orang ronda lagi mendatangi. "Benar-benar kali ini aku terpedaya," pikir ini anak muda. Ia ingat bagaimana ia telah makan pancingannya Ho Tiat Tjhioe. Ia anggap itu adalah kekalahannya yang pertama, yang paling besar. Tiba-tiba saja, dalam kesunyian itu, ia dengar suara ketokan pelahan pada tembok. "Inilah bukannya Gouw Peng dan Lip Djie jang kembali," ia menduga-duga. "Ilmu entengkan tubuh dari mereka tidak begini sempurna. Mestinya telah datang musuh..." Kendati juga ia telah menerka kepada musuh, Sin Tjie tidak bergerak dari tempatnya bercokol, ia duduk terus dengan tenang, melainkan kali ini, ia memasang mata, ia waspada luar biasa. Segera terdengar suara enteng di luar jendela, seperti suara jatuhnya daun rontok, suara mana disusul sama tertawa pelahan tetapi tedas sekali di malam yang sunyi itu. Itulah tertawa manis yang diikuti dengan kata-kata yang halus: "Wan Siangkong, ada tetamu!..."
"Oh, Ho Kauw-tjoe yang datang!" sahut Sin Tjie. "Silakan masuk!" Baru sekarang pemuda ini berbangkit, untuk nyalakan lilin, sesudah mana ia bertindak ke pintu, untuk membukai, akan sambut tetamunya itu yang cantik-manis, yang nyalinya besar. Ho Tiat Tjhioe muncul tetap dengan dandanannya serba putih, ia pun bertindak masuk dengan tindakan tenang, air mukanya bersenyum-senyum. Sekelebatan saja ia telah lihat orang punya seluruh kamar di mana, kecuali pembaringan dan kursi-meja, tidak ada lainnya perabotan lagi. "Sungguh, Wan Siangkong hidup sangat sederhana!" katanya sambil tertawa.
Sin Tjie bersenyum, ia tidak menjawab. "Kali ini aku datang ke mari, Wan Siangkong tentulah telah ketahui maksudnya," kata pula si nona, yang tak ketinggalan tertawanya yang manis. "Dalam hal itu aku ingin Ho Kauw-tjoe menjelaskannya," sahut pemuda kita. "Kau kehendaki suatu apa dari aku, aku juga hendak memohon apa-apa dari kau," berkata kepala agama dari Ngo Tok Kauw. "Dalam satu jurus ini, pertempuran kita menghasilkan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah...." Sin Tjie tertawa. "Aku pikir tak usah kita lanjuti pertempuran kita ini," ia biang. "Ho Kauw-tjoe sangat cerdik dan kosen, aku sangat mengaguminya." Kepala agama itu tertawa. "Ini adalah babak yang pertama," ia menetapinya. "Kecuali kau musnahkan semua anggauta Ngo Tok Kauw kami, Wan Siangkong, maka di belakang hari masih ada saja kejadian-kejadian yang akan membuat kau sakit kepala " Kaget juga Sin Tjie. Ia anggap hebat benar kauwtjoe ini. Dialah satu wanita yang tak dapat dipandang ringan. Berani dan bandel! "Ho Kauw-tjoe," katanya kemudian, "karena kau bermusuh dengan ayahnya sahabatku itu, baiklah kau cari saja ayahnya itu. Kenapa sih kau hendak bikin susah pada seorang anak muda yang belum tahu apa-apa? Laginya ada pri bahasa yang berkata, permusuhan itu lebih baik didamaikan tetapi jangan tambah diperhebat..." Nona Ho itu tertawa geli hihi-hihi. "Hal itu baiklah kita bicarakan belakangan," katanya. "Sekarang aku ingin minum arak!"
"Sungguh aneh orang ini," pikir Sin Tjie yang toh teriaki kacungnya untuk lekas sediakan arak dan sayurannya. Wan Djie berkuatir, untuk penjagaan, ia lekas dandan untuk menyamar sebagai kacung, kemudian ialah yang keluar membawa nenampan arak serta beberapa rupa sayurannya. Ho Tiat Tjhioe tertawa apabila ia lihat kacung itu. "Benarlah, dibawah perintahnya satu jenderal jempolan tidak ada serdadu yang lemah!" katanya. "Kacung Wan Siangkong saja begini hebat tampangnya!" Sin Tjie tidak meladeni, ia hanya isikan dua cawan. "Silakan!" ia mengundang. Ho Tiat Tjhioe angkat cawannya, ia tenggak isinya, lalu ia minum pula, hingga ia keringkan dua cawan beruntun. "Wan Siangkong tidak memberi muka kepadaku dengan tak sudi minum arakku," kata dia sambil bersenyum, "siauwmoay sendiri sebaliknya sangat lancang dan bernyali besar...". "Arak kami tidak ada racunnya," kata Wan Djie, yang tak dapat mengendalikan diri untuk tidak turut bicara. "Bagus, bagus!" Ho Kauwtjoe tertawa pula. "Sungguh satu pengurus rumah muda yang cerdik! Mari keringi!" Ia minum pula araknya. Sin Tjie minum, untuk menemani. Diantara terangnya sinar lilin, pemuda kita lihat sepasang mata yang tajam dari kepala agama Ngo Tok Kauw itu, satu wajah yang eilok, sepasang sujen yang manis sekali, hingga ia berpikir: "Diantara nona-nona yang aku kenal, mengenai kecantikan A Kioe adalah yang nomor satu, Siauw Hoei ada manis dan polos, Wan Djie terbuka dan cerdas.
Tjeng Tjeng benar berandalan, akan tetapi terhadap aku, ia tulus dan lemah-lembut. Maka sungguh aku tidak sangka, disebelah mereka semua, masih ada ini satu kauwtjoe yang eilok bagaikan bunga-bunga toh dan lie yang indah-permai tetapi yang hatinya berbisa bagaikan ular dan kala! Benar-benar, dikolong langit yang luas ini, orang aneh, orang luar biasa ada dimana-mana!" Ho Tiat Tjhioe lihat orang awasi dia, ia diam saja, ia melainkan bersenyum. Adalah selang sekian lama, Baru ia buka mulut pula. "Wan Siangkong," katanya, "dengan sesungguhnya siauwmoay takluk sekali untuk siangkong punya kepandaian ilmu silat. Turut apa yang aku dengar, gurumu itu, Kim Tjoa Long-koen, tidak punyakan ilmu menotok jalan darah tiam-hiat-hoat seliehay kau ini. Apa mungkin siangkong ada punya lain guru lagi?"
"Kau benar. Aku masih punyakan dua guru lainnya," Sin Tjie jawab dengan jujur. "Ehm! Siangkong telah gabung kepandaiannya tiga guru, pantas kau jadi liehay begini!" memuji nona itu. "Siangkong, malam ini aku datang mengunjungi kau, maksudku yang utama adalah untuk minta berguru kepadamu..." Sin Tjie benar-benar heran. "Aku tidak mengerti, kauwtjoe," sahutnya. "Aku mohon kauwtjoe memberi penjelasan kepadaku." Ho Tiat Tjhioe tertawa. "Wan Siangkong," katanya, "apabila kau tidak cela siauwmoay punya bakat tolol, aku minta sukalah kau terima aku sebagai muridmu." Sin Tjie tertawa bergelak-gelak. "Ho Kauwtjoe ada ketua dari satu perkumpulan besar, kepandaian kauwtjoe sudah sangat liehay, cara bagaimana kau boleh berguyon denganku?" tanyanya. "Jikalau kau tidak ajarkan aku ilmu menotok jalan darah," kata kepala agama itu, "habis apa itu beberapa puluh orangku yang sekarang sedang rebah tidak berdaya mesti diantapkan saja jiwa mereka melayang?" Baru sekarang kauwtjoe ini omong dengan jelas. "Asal kau antarkan pulang sahabatku itu dan kau suka berjanji untuk selama-lamanya tidak mengganggu pula pada pihakku, tentu sekali aku suka menolong mereka," sahut Sin Tjie, yang pun omong terus-terang. "Ini jadinya berarti, kau tak sudi terima semacam murid sebagai aku ini?" tegaskan Ho Tiat Tjhioe. "Pelajaranku masih belum sempurna," jawab Sin Tjie dengan merendah. "Sebenarnya aku masih hendak mencari guru pula, maka bagaimana aku berani menerima murid? Kauwtjoe, mari kita omong dengan terbuka, mari kita menghabiskan urusan kita dengan baik, kita lupakan yang sudah lewat. Kau akur bukan?" Kauwtjoe itu tertawa. "Aku nanti antarkan sahabatmu itu, kau nanti tolongi orang-orangku!" katanya. "Urusan di belakang hari, kita nanti lihat saja!" Menampak orang tetap tak sudi berdamai, Sin Tjie mendongkol juga. "Kamu dari Ngo Tok Kauw boleh malang-melintang di Selatan, tetapi aku orang-orang gagah dari tujuh propinsi, mustahil kami jeri terhadapmu!" demikian pikir ia. Karena memikir demikian, pemuda ini cuma angkat kedua tangannya, ia tidak bilang suatu apa. Ho Tiat Tjhioe berbangkit sambil tertawa manis. "Aha, Wan Toa-bengtjoe kami gusar!" katanya. Lantas ia pun angkat kedua tangannya, untuk liam-djim, memberi hormat. Masih ia tertawa hihi-hihi ketika ia menambahkan: "Baik,baik, di sini aku menghaturkan maafku." Sin Tjie membalas hormat, tapi hatinya tetap tak senang. Ia sangat tak setuju tindak-tanduk lawan itu. "Besok aku nanti antarkan sahabatmu she Hee itu," kata Tiat Tjhioe kemudian, "setelah itu aku nanti undang kau, tuan, untuk kau tolongi orang-orangku."
"Aku beri janjiku," Sin Tjie bilang. Tiat Tjhioe menjura, lalu ia membaliki tubuh. Ia tidak mau loncat naik keatas genteng, ia menindak ke pintu depan, maka Sin Tjie mesti antar dia, untuk mana ia perintah kacungnya nyalakan lilin dan membukai pintu. Wan Djie mengikuti di belakang mereka itu. "Wanita ini sangat licin," pikirnya, "mungkin dia sembunyikan orang-orangnya diluar rumah, ia pancing Wan Siangkong untuk kemudian dibokong, Nanti aku periksa dulu!" Karena memikir begini, ia antap orang jalan terus, ia kasi dirinya ketinggalan, lantas ia sembat tempuling Ngo-bietjie, dengan bawa itu ia loncat naik keatas genteng, akan hampirkan tembok diujung mana ia sembunyikan diri, untuk memasang mata keluar. Dimuka pintu ada sebuah joli, tukang gotongnya empat orang, mereka ini sedang berdiri menantikan di muka joli. Kecuali mereka itu, tidak ada orang lain pula. Dengan kelincahannya, dengan ati-ati, Wan Djie keluar dari tempat sembunyinya, akan dengan diam-diam hampirkan joli dari arah belakang, setelah datang dekat, ia pegang ujung gotongan, untuk angkat dengan pelahan-lahan. Ia merasai angkatan yang enteng sekali, itu artinya tidak ada orang lain di dalam joli, maka hatinya menjadi lega. Benar ketika ia hendak undurkan diri, pintu depan telah dipentang, kacung membawa obor yang terang sekali. Sin Tjie bertindak mengantar tetamunya yang istimewa itu. Mendadak saja nona Tjiauw mendapat satu pikiran. "Dia tidak sudi berdamai, ini berarti, di belakang hari, kesulitan masih banyak sekali," demikian pikirnya. "Kenapa aku tidak mau kuntit dia, untuk ketahui di mana dia bersarang? Dengan ketahui tempat sembunyinya, apabila kemudian dia datang mengganggu pula, Wan Siangkong bisa satroni dia, untuk serbu padanya." Setelah berpikir begini, tanpa bersangsi pula, Wan Djie batalkan niatnya undurkan diri, sebaliknja, ia nyelusup ke kolong joli, dengan berpegang kedua tangan dan kedua kaki
dicantel, ia bergelayutan di kolong joli itu. Secara begini ia bertindak, untuk balas budinya Sin Tjie. Joli memakai tenda yang tebal, malam itu pun gelap, tidak ada orang yang lihat sepak-terjangnya nona Tjiauw ini. Keempat tukang joli pun sedang mengawasi pemimpinnya, untuk disambut. Sambil tertawa manis, Ho Tiat Tjhioe masuk kedalam jolinya, atas mana empat tukang gotongnya segera panggul joli itu, buat dibawa pergi. Yang luar biasa adalah mereka ini menggotong sambil berlari-lari, umpama kata laksana terbang.
Bab 21
Heran Wan Djie karena orang gotong joli secara demikian rupa, dari heran, hatinya lantas kebat-kebit, ia berkuatir juga sedikit. Ia tidak menduga bahwa keempat tukang gotong itu adalah orang yang bertenaga besar dan berkepandaian silat. Pun dengan menangkel di kolong joli, ia merasakan hawa yang sangat dingin. Itu waktu ada di musim dingin, ada salju yang nempel di joli, sekarang salju itu jatuh ke mukanya, disebabkan hawa panas pada mukanya itu, salju lumer menjadi air. Tidaik berani ia susut mukanya, ia kuatir dengan geraki tangannya, ia akan menerbitkan goncangan hingga orang bisa timbul kecurigaannya. Perjalanan Baru dilakukan kira setengah jam, mendadak Wan Djie dengar suara bentakan keras, menyusul mana, joli dihentikan dengan tiba-tiba. Tentu saja keempat tukang joli dan nona di dalamnya dengar bentakan itu. Segera menyusul bentakan lain, suaranya seorang lelaki: "Kacung she Ho yang hina-dina, lekas kau keluar untuk terima binasa!"
"Aneh!" pikir Wan Djie. "Aku rasa kenali suara ini....Siapa dia?" Habis itu, menyusul bentakan lain lagi: "Kamu kaum Ngo Tok Kauw malang-melintang di dunia, siapa tahu kamu toh ketemu harimu ini!"
"Itulah Bin Tjoe Hoa!" ingat si nona Tjiauw. "Ya, suara yang pertama ada suara soehengnya, Tong Hian Toodjin..." Segera terdengar tindakan kaki berisik disekitar joli, rupanya ada sejumlah orang yang datang mengurung. Joli segera dikasi turun, keempat tukang gotongnya lantas hunus senjata. Wan Djie singkap ujung tenda, untuk mengintai, Di arah timur terlihat lima orang, semua memakai jubah suci, tangan mereka menyekal pedang. Yang berada di depan nampaknya ada Tong Hian Toodjin. "Di arah barat, utara dan selatan, tentu ada kawan-kawan mereka..." pikir pula nona Tjiauw. "Rombongan Boe Tong Pay ini rupanya berniat mencari balas untuk guru mereka." Selagi ia memikir demikian, Wan Djie rasai joli bergoyang.
Itulah gerakan disebabkan Ho Tiat Tjhioe telah berloncat keluar dari jolinya itu. "Bukankah Tjoei In si imam telah mampus?" demikian bentakannya pemimpin Ngo Tok Kauw ini. "Sungguh besar nyali kamu semua? Apakah kamu mau?"
"Kasi tahu kami, sebenarnya dimana adanya guru kami, Oey Bok Too-tiang?" Tong Hian tanya "Lekas bicara, supaya kau bisa bebas dari siksaan!" Ho Tiat Tjhioe tertawa terbahak-bahak. "Guru kamu bukannya bocah cilik umur tiga tahun," katanya, "Gurumu hilang, kenapa kamu menanyakannya kepadaku? Apa memangnya gurumu itu diserahkan dibawah penilikanku? Baiklah, kita sama-sama kaum Rimba Persilatan, aku nanti bantu kamu mencari dia! Kasihan kalau sampai dia terlantar diluaran, tidak ada yang urus!..."
"Hai, suaranya orang ini benar-benar halus dan merdu..." pikir Wan Djie. "Dia omong keras tetapi manis didengarnya... Tadinya aku sangka dia bicara sama Wan Siangkong dengan lagu-suara dibikin-bikin, untuk menarik hati orang..." Lalu terdengar suara penuh kemurkaan dari Tong Hian Toodjin. "Kamu kaum Ngo Tok Kauw telah malang-melintang dimana-mana!" demikian suaranya imam ini. "Sekarang kami hendak bikin kamu insyaf, perbuatan jahat mesti terima pembalasan jahat juga!"
Tong Hian geraki pedangnya, tubuhnya juga, agaknya ia hendak lantas menyerang. Masih Ho Tiat Tjhioe tertawa manis. "Boe Tong Pay kesohor sebagai partai jantan," katanya, "tapi buktinya kamu tidak pernah secara terang-terangan mencari aku! Begitulah sekarang, selagi orang aku banyak yang terluka, diam-diam bagaikan hantu-hantu, kamu sembunyi di sini untuk memegat aku!..... Ha-ha-ha-ha!" Beraneka warna suara tertawanya ketua Ngo Tok Kauw ini, lalu sebelum berhenti suara tertawanya itu, diarah barat utara terdengar satu suara jeritan hebat: "Aduh!" Nyatalah nona ini sudah lantas mendahului turun-tangan, karena mana, ia menambah membangkitkan hawa-amarah musuh-musuhnya, maka tidak ampun lagi, orang lantas maju, untuk terjang padanya. Pertempuran sudah lantas terjadi, Ho Tiat Tjhioe berlima segera kena dikurung. Sebab kali ini orang-orang Boe Tong Pay telah kumpul dalam jumlah besar, berikut semua anggautanya yang liehay. Keempat tukang gotong telah terluka dan rubuh saling susul saking hebatnya kepungan, walaupun pertempuran berjalan belum seberapa lama.
Wan Djie mengintai terus, hingga ia bisa saksikan cara berkelahinya orang-orang Boe Tong Pay itu. Ilmu silat pedang mereka benar-benar liehay. Ia tetap berdiam di kolong joli, tak mau ia lantas keluar. Kalau ia muncul, ia kuatir ia nanti disangka ada orangnya Ngo Tok Kauw. Berkilau-kilaulah kira-kira duapuluh batang pedang yang lagi kurung Ho Tiat Tjhioe, siapa benar-benar liehay. Dia benar tidak bisa lantas pecahkan kurungan, akan tetapi dia bisa berkelahi dengan baik.
Satu imam muda sangat bernapsu, dia lompat maju kepada si nona, untuk menyerang dengan hebat, tetapi pedangnya ditangkis dengan gaetan, gaetan mana terus mampir di pundaknya. Maka tidak ampun lagi, ia menjerit dan rubuh pingsan, hingga ia perlu digotong keluar kawan-kawannya. Kembali lewat beberapa puluh jurus, setelah ini Barulah kelihatan Ho Tiat Tjhioe kena terdesak. Bin Tjioe Hoa merangsak hebat, sampai mendadak pedangnya menyambar batang lehernya ketua Ngo Tok Kauw itu. Tiat Tjhioe berkelit, menyusul mana, dua pedang lain membarengi menikam dia. Maka sibuklah dia dengan tangkisannya. Tiba-tiba Wan Djie dengar suara nyaring pelahan, lalu serupa barang jatuh menggelinding ke kolong joli, kearah dia. Dia jumput itu, ialah sebuah anting-anting. Menampak ini, Wan Djie girang berbareng kuatir. Ia girang karena ia percaya, kali ini Ho Tiat Tjhioe tidak bakal lolos dari kebinasaan, apabila dia mati, itu artinya Sin Tjie jadi bebas dari gangguan nona liehay ini. Tapi ia berkuatir andai-kata Tiat Tjhioe terbinasa, nanti nasibnya Tjeng Tjeng tak ketahuan. Ada kemungkinan sisa orang-orang Ngo Tok Kauw tidak sudi menyerahkannya. Masih Ho Tiat Tjhioe melakukan perlawanan. Selang lagi dua-puluh jurus, Barulah ia lelah benar-benar, rambutnya terlepas dan kusut, nampaknya tidak lagi ia mampu membalas menyerang. Tong Hian Toodjin rupanya bisa lihat nyata keadaannya lawan, sampai di situ, ia perdengarkan seruannya, maka beberapa puluh pedang segera perkeras kurungan mereka. "Dimana adanya guru kami?" Tong Hian tanya. "Dia masih hidup atau sudah meninggal dunia? Lekas bilang!" Ho Tiat Tjhioe kempit gaetan emasnya, ia pakai tangannya untuk singkap rambutnya yang riap-riapan, setelah itu, mendadak ia tertawa, gaetannya berkelebat, maka di pihak lawan, satu imam telah terluka pula! Hal ini membikin semua imam jadi gusar sekali, kembali mereka menyerang, secara hebat. Dalam saat sangat terancam dari Ho Tiat Tjhioe itu, dari kejauhan terdengar suara suitan istimewa, mendengar mana, ketua Ngo Tok Kauw itu tertawa pula. "Dengar, itulah orang-orangku datang!" ia berseru. "Baik kamu lekas menyingkir, atau kamu nanti dapat susah!...."
Wan Djie dengar ancaman yang berupa nasihat itu. "Jikalau ini bukannya saat mati atau hidup," pikirnya "mendengar suaranya ini, yang begini halus, orang pasti mengira ia sedang pasang omong dengan kekasihnya..." Ia kagumi suara orang yang merdu itu. Tong Hian tidak gubris nasihat itu. "Baik bereskan dulu ini kacung hina!" katanya kepada kawan-kawannya.
Serangan diperkeras dengan kesudahan Tiat Tjhioe mendapat dua luka enteng pada kakinya. Meski begitu, ia masih melawan dengan tampangnya bersenyum-senyum. "Jangan kau tertawa saja!" seru satu imam muda, yang hatinya tak tega kalau nona begini cantik-manis mesti terbinasa di ujungnya puluhan pedang yang tajam. "Kau menyerah atau tidak?"
"Eh, tootiang, apa katamu?" tanja Tiat Tjhioe, menegasi. Masih ia tertawa. Ditanya begitu, imam muda itu tercengang, selagi ia hendak menjawab, mendadak ada sinar berkelebat. "Awas!" seru Bin Tjoe Hoa. Sia-sia saja pemberian ingat ini, gaetan emas dari Ho Tiat Tjhioe telah mampir ditubuh si imam. Selagi kepungan diperkeras, Tong Hian pecah delapan orangnya, akan sambut bala-bantuannya pemimpin Ngo Tok Kauw itu. Maka tak jauh dari mereka, segera terdengar suara beradunya pelbagai alat-senjata, suatu tanda, pihak Boe Tong Pay sudah mulai bentrok sama bala-bantuannya Tiat Tjhioe.
Kembali Tong Hian memecah orangnya, guna bantu delapan kawannya itu. Tiat Tjhioe dapat juga bernapas sedikit karena dipecahnya kekuatan yang mengepung dia, akan tetapi kendati demikian, ia tidak sanggup toblos kurungan, untuk persatukan diri dengan kawan-kawannya itu. Selagi orang bertempur seru, mendadak terdengar suaranya satu imam: "Bagus, bagus! Tiang Pek Sam Eng, tiga dorna penjual negara, kamu juga datang?"
"Habis bagaimana?" jawab satu suara kasar dan bengis. "Kau tahu kami liehay, lekas kamu pergi semua!" Heran Tjiauw Wan Djie mendengar suara si imam, yang menyebut Tiang Pek Sam Eng, ialah tiga jago dari Tiang Pek San. Mereka bertiga adalah yang mengadu-biru dalam hal membikin celaka ayahnya, mereka sudah ditawan Sin Tjie, oleh ayahnya mereka telah dikirim pada kantor negeri di Lamkhia, maka heran, kenapa mereka itu sekarang datang kemari. "Apa mungkin mereka itu buron dari penjara? Atau apa mereka sudah sogok pembesar negeri, untuk kebebasan mereka?" pikir si nona, yang menduga-duga. Selama itu, desakan Ngo Tok Kauw menjadi hebat, segera ternyata, pihak Boe Tong Pay kena terdesak. Maka tidak ayal lagi, Tong Hian Toodjin beri tanda untuk pihaknya mundur. Dalam hal ini, mereka ini bisa bekerja dengan sempurna, mereka dapat mundur dengan teratur. Ho Tiat Tjhioe tampak orang mundur dengan rapih, ia cegah pihaknya mengejar, sembari tertawa, ia ejek musuh-musuhnya itu, katanya: "Jikalau ada waktu yang senggang, lain kali kamu boleh datang pula untuk main-main lagi! Siauwmoay tak dapat antar padamu!..." Ia menggunakan kata-kata "siauwmoay," - adik yang rendah. Pihak Boe Tong Pay tidak perdulikan ejekan itu. Mereka muncul dengan mendadak, mundurnya pun secara cepat sekali. Maka dilain saat, kesunyian datang kembali, tak lagi ada suara bentrokan senjata, cuma ada siurannya angin malam yang membawa datangnya sang salju. Wan Djie mengintai pula, ia lihat beberapa puluh orang, yang berkumpul bergunduk-gundukan. Seorang perempuan tua, yang dandan sebagai pengemis, kata: "Pandai sekali mereka itu serep-serepi kabar! Mereka tahu orang-orang kita sedang terluka, mereka datang membokong!"
"Syukur bibi telah dapat lekas mengumpul bala-bantuan," berkata Ho Tiat Tjhioe. "Lebih syukur keempat loopeh Keluarga Oen dan Tiang Pek Sam Eng pun kumpul bersama, coba tidak, rada sulit untuk memukul mundur mereka itu." Seorang tua, yang kumis-jenggotnya putih, menanya: "Apakah pihak Boe Tong Pay itu berserikat sama Hoa San Pay?" Seorang lain, yang suaranya kasar, menyahuti: "Kim Liong Pang berkonco sama si binatang she Wan! Kami bertiga saudara telah gunai akal merenggangkan, untuk membunuh orang sambil meminjam golok, maka orang she Wan itu pasti bakal hajar pihak Boe Tong Pay!" Si orang tua lantas tertawa besar. "Bagus! Biar mereka saling bunuh!" katanya. Mendengar pembicaraan itu, Wan Djie di kolong joli mengeluarkan keringat dingin. "Hm, jadi tiga jahanam inilah yang telah bunuh ayahku!" katanya di dalam hati. Sampai di situ, terdengarlah suaranya Ho Tiat Tjhioe: "Sekarang mari kita pergi ke istana! Tak usah duduk joli lagi...." Maka pergilah rombongan orang itu. Yang jalan di depan ada Ho Tiat Tjhioe bersama Tiang Pek Sam Eng dan empat orang tua. Tjiauw Wan Djie tunggu sampai orang sudah melalui beberapa puluh tindak, Baru ia keluar dari kolong joli, kapan ia telah melihat ke sekitarnya, ia terperanjat sendirinya. Nyata ia telah berada diluar Kota Terlarang. Ia pun bisa lihat rombongan Ho Tiat Tjhioe memasuki istana. Tidak berani Nona Tjiauw berdiam lebih lama di tempat sunyi itu, dengan berlari-lari, ia berangkat pulang, langsung ke gang Tjeng-tiauw-tjoe. Ia segera ketemui Sin Tjie, akan tuturkan pengalamannya barusan. Sin Tjie awasi nona ini sekian lama, akhirnya ia tunjuki jempolnya. "Nona Tjiauw, besar nyalimu, dan kau cerdik sekali!" ia memuji. Merah mukanya si nona, ia tidak bilang suatu apa, hanya ia beri hormatnya. Tidak berani Sin Tjie ulur kedua tangannya, akan angkat bangun si nona, ia malah bertindak ke pinggir, untuk tidak terima pemberian hormat itu. Tapi ia mengerti maksud Nona Tjiauw, maka ia kata: "Tentang sakit hati ayahmu, nona, kau letaki itu dibahuku, tetapi dengan menjalankan ini kehormatan besar, nona seperti tidak memandang mata kepadaku...." Kemudian setelah berpikir sedetik, ia tambahkan : "Tak dapat kita berayal lagi, sekarang juga aku mesti pergi ke istana!"
"Entah bagaimana duduknya, kawanan jahanam itu bisa masuk dalam istana kaisar." kata Wan Djie. "Istana ada terjaga kuat sekali, aku rasa kurang tepat untuk kau memasukinya, Wan Siangkong...."
"Jangan kuatir, tidak ada halangannya," Sin Tjie bilang. "Aku mempunyai suatu barang berharga. Sebenarnya aku sudah mesti gunai itu sedari siang-siang, siapa tahu setibanya di kota raja ini, kejadian-kejadian saling-susul sampai aku tidak punya tempo senggang lagi..." Ia rogo sakunya, akan tarik keluar sesampul surat. Itulah suratnya To Djie Koen, pangeran Kioe Ong dari Boan-tjioe, yang dialamatkan kepada Soe-lee Thaykam Tjio Hoa Soen didalam istana, yang tadinja dibawa oleh Ang Seng Hay tapi tak sempat Seng Hay menyerahkannya. Ia percaya, surat itu bakal ada faedahnya, maka Sin Tjie simpan itu. Sekarang surat ini hendak digunakan. "Bagus!" menyatakan si nona. "Aku akan turut kau, Wan Siangkong. Aku nanti menyamar sebagai kacungmu." Sin Tjie tahu orang hendak membalas sakit hati dengan tangan sendiri, itu artinya kebaktian, tak suka ia merintanginya. "Baiklah," ia manggut. Wan Djie lantas masuk ke dalam, untuk bersihkan tubuh dan tukar pakaiannya. Memangnya pakaiannya sudah kotor sebab tadi ia keluar-masuk di kolong joli. Ia dandan pantas sekali sebagai seorang kacung. "Sekarang tak dapat aku panggil kau Nona Tjiauw!" kata Sin Tjie sambil tertawa. "Panggil saja aku Wan-djie," kata si nona, yang pun tertawa." Mungkin lain orang sangka aku pwee-djie atau wan-djie...." Namanya si nona memang bersuara sama dengan "wan-djie" -"mangkok". Dan "pwee-djie" artinya "cawan." Sin Tjie bersenyum. Selagi dua orang ini hendak keluar, mendadak Gouw Peng dan Lo Lip Djie datang masuk, agaknya mereka kesusu. Mereka bawa warta bahwa penjagaan di kantor ada keras sekali, hingga mereka mesti tunggu sampai datang giliran tukar orang, Baru mereka bisa lemparkan tubuhnya Sian Tiat Seng. "Bagus"" kata Sin Tjie sambil manggut. "Wan Siangkong, soe-moay, apa aku boleh turut kamu?" kemudian tanya Lip Djie setelah ia dapat tahu kemana dua orang ini hendak pergi. Wan Djie awasi Sin Tjie, tak berani ia lancang mengajak. Anak muda kita berpikir: "Memasuki istana ada tindakan berbahaya, penjagaan di sana
kuat, di sana pun terdapat banyak orang liehay, untuk lindungi Wan Djie, aku repot, bagaimana lagi aku bisa ajak lain orang?" Selagi Sin Tjie berpikir, Gouw Peng tarik ujung bajunya Lip Djie, sambil mengedipi, ia bilang: "Lo Soetee, luka tanganmu Baru sembuh, kesehatanmu belum kembali seluruhnya, maka biarlah Wan Siangkong ajak soemoay saja...."
Mendengar itu, Sin Tjie lalu berpikir: "Agaknya Gouw Peng ingin mengantapkan aku berada berdua dengan Wan Djie. Ketika kemarin malam aku pergi kepada Tjoei In Toodjin, aku pun berdua saja sama Nona Tjiauw, mungkin itu menyebabkan timbulnya kecurigaan mereka. Aku boleh tak usah kuatir, akan tetapi menyingkirkan curiga ada terlebih baik lagi ." Maka itu, ia lantas jawab Lip Djie: "Lo Toako suka turut, itu berarti tambahan pembantu untuk aku. Nah, pergilah kau lekas salin pakaian!" Lip Djie jadi sangat girang, ia lari ke dalam, untuk mengenakan dandanan sebagai kacung. Gouw Peng turut masuk.
"Lo Soetee, kali ini kau berlaku tolol!" katanya sambil tertawa. "Apa soeheng bilang?" Lip Djie heran, ia sampai tercengang. "Wan Siangkong telah melepas budi sangat besar terhadap Kim Liong Pang kita," kata Gouw Peng, "dan terhadap dia, agaknya soe-moay ada menaruh hati..."
"Jadi kau maksudkan biar soemoay berjodoh dengan Wan Siangkong?" Lip Djie tegaskan. "Roh soehoe didunia baka pasti sangat girang," kata pula Gouw Peng. "Kau hendak turut mereka, apa perlunya?" Lip Djie sadar. "Soeheng benar!" katanya, "Ya, aku tak jadi pergi."
"Tapi sekarang, kalau kau batal pergi, kau bakal mendatangkan kecurigaan," Gouw Peng bilang. "Kau boleh pergi, asal kau bisa lihat selatan. Tidak ada urusan yang terlebih baik daripada terangkapnya jodoh mereka!" Lip Djie manggut, walaupun hatinya tak keruan rasa. Sebenarnja sudah sejak beberapa tahun lip Djie menaruh hati pada Wan Djie, hanya sebegitu lama belum berani dia mengutarakannya, si nona elok dan manis, suka ia tertawa atau bersenyum, tetapi dalam semua tindakannya, ia bersungguh-sungguh, terutama selama ada urusan ayahnya, nona ini repot sekali, sikapnya keren. Sementara itu, Lip Djie pun dibikin bersangsi dengan tangannya, yang kutung sebelah, dia malu sendirinya, sampai omong pun ia tidak berani omong banyak sama si nona. Maka itu, mendengar perkataan Gouw Peng, dia jadi putus asa. Tapi ia bisa berpikir, "Wan Siangkong gagah, dengan soemoay dia sembabat sekali, dengan soemoay bisa pernahkan diri untuk hari kemudiannya, mesti aku bergirang untuknya!" Karena ini, ia keluar dengan hati tetap dan tenang. Dari dalam peti besi, Sin Tjie keluarkan banyak rupa barang permata, ia membuat satu bungkusan besar, ia minta Lip Djie yang bawa, lalu bersama-sama Wan Djie, ia berangkat ke istana. Dimuka pintu istana ia ucapkan tanda rahasia pada serdadu pengawal, kapan pengawal tahu, orang ada tetamunya Tjo Thaykam, ia menyambut dengan sangat hormat, ia pimpin tetamunya kedalam, setelah mana, ia undurkan diri, sebab di sini ada satu thaykam muda yang gantikan ia antar Sin Tjie kedalam. Sampai tiga kali Sin Tjie dapatkan pergantian tiga thaykam, selama itu ia perhatikan jalanan atau bagian-bagian perdalaman istana yang ia lewati. Paling belakang ia diajak ke taman, dimana ada jalanan yang banyak tikungannya, terus sampai disebuah kamar yang kecil tapi indah perlengkapannya. Di sini ia dipersilakan duduk dan disuguhkan teh wangi. Kira-kira dua jam Sin Tjie sudah duduk menantikan, Tjo Thaykam masih belum juga muncul. Selama itu, orang kebiri yang temani dia juga tidak omong suatu apa kecuali ia mengundang minum teh. Adalah selang lagi sekian lama, Baru datang satu orang kebiri lain, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun. Ia ini majukan beberapa pertanyaan, dalam kata-kata rahasia Sin Tjie menyahuti menurut pengajaran Ang Seng Hay. Habis itu, thaykam manggut-manggut, lantas ia masuk pula kedalam. Selang tidak lama, thaykam itu balik lagi bersama satu orang kebiri yang usianya tinggi, tubuhnya gemuk, mukanya putih. Sin Tjie lantas menduga kepada Tjo Hoa Soen apabila ia lihat orang itu berpakaian mewah dan roman agung-agungan. Inilah orang kedua yang paling berpengaruh di dalam keraton disampingnya kaisar. "Inilah Tjo Kong-kong!" kata thaykam yang tadi Sin Tjie, bersama-sama Lip Djie dan Wan Djie, tekuk lutut untuk memberi hormat. Pemuda ini sedang membawa lelakon, ia mesti bawa sikap wajar. "Jangan pakai banyak adat-peradatan!" kata Tjo Thaykam sambil tertawa. "Silakan duduk. Apakah Kioe Ong-ya banyak baik?"
"Ong-ya ada baik," sahut Sin Tjie. "Ong-ya titahkan siauwdjin menanyakan kewarasan kong-kong." Ketawa orang kebiri yang usianya tinggi itu. "Beberapa potong tulang tua dari aku masih mendapat perhatiannya Ong-ya!" katanya sambil tertawa, tandanya ia puas sekali. "Ang Lauwko, kau datang dari tempat demikian jauh, entah kau bawa pesan apa dari Ong-ya?"
"Ong-ya hendak tanya kong-kong kalau-kalau kong-kong sudah mengatur sempurna rencana," kata Sin Tjie, yang pakai namanya Ang Seng Hay. "Junjungan kami bertabeat keras dan kukuh," jawab thaykam itu. "Beberapa kali telah aku kemukakan usul kepadanya tetapi ia bilang, meminjam angkatan perang untuk menindas pemberontak adalah pekerjaan yang banyak bahayanya kelak di belakang hari. Baginda cuma mengharapkan kedua negara bebaskan diri dari bahaya perang. Baginda bilang, kalau nanti kerajaan Beng sudah dapat tindas huru-hara, dia akan menghaturkan terima kasih pada Kioe Ong-ya." Sebenarnya Sin Tjie tidak tahu jelas hubungan diantara Kioe Ong-ya dari Boantjioe itu serta ini Thaykam Tjo Hoa Soen. Ang Seng Hay juga tidak tahu betul, sebab kedudukan Seng Hay rendah sekali, tetapi setelah ia bicara sama orang kebiri ini, ia me-raba-raba, maka itu, goncanglah hatinya. Jadi orang bersekongkol dan raja hendak dijerumuskan, untuk pinjam angkatan perang Boan, guna dipakai menindas huru-hara didalam negeri. Terang sudah, Kioe Ong-ya itu, atau bangsa Boan, mengandung maksud tidak baik terhadap Tiong-goan, untuk itu, Tjo Thaykam yang dipakai sebagai pekakas. Itulah urusan penting sekali, yang bisa mencelakai negara. Sin Tjie tabah, ia bisa berpikir, akan tetapi karena urusan demi kian besar, wajahnya berubah juga sedikit...! Tjo Thaykam lihat air muka orang, akan tetapi ia menyangka lain. Ia menduga Ang Seng Hay tidak puas karena ia belum bekerja sempurna. Maka lekas-lekas ia kata: "Saudara Ang, jangan sibuk! Satu jalan tidak memberi hasil, masih ada lain jalan lagi!"
"Ya, ya, kong-kong," Sin Tjie bersandiwara. "Kong-kong cerdik, inilah ongya ketahui, ongya sangat mengaguminya." Atas pujian itu, Tjo Thaykam tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa. Kemudian Sin Tjie bertkata: "Ongya menitahkan siauwdjin membawa bingkisan yang tidak berharga, harap kongkong suka terima." Ia lantas menunjuk ke bebokongnya Lip Djie, maka Wan Djie lantas turunkan bungkusan di belakang saudara seperguruan itu, untuk diletaki di atas meja untuk segera dibuka juga.
Matanja Tjo Hoa Soen bersinar, lantas ia berdiri diam. Ia biasa hidup di dalam keraton, ia pernah lihat banyak permata mulia, akan tetapi apa yang sekarang ia tampak di depan matanya, membikin ia kagum, karena ini terutama ada untuk ia sendiri. Serenceng dari seratus butir mutiara saja, yang besar, harganya sudah bukan main besarnya, belum batu pualam dan lainnya, yang banyak sekali. Yang aneh adalah singa-singaan dari batu hoeitjoei serta sebuah bola dari batu mirah merah.
Lantas orang kebiri ini periksa satu demi satu permata itu, ia seperti tidak hendak melepaskannya. Ia ingin kasi presen pada Sin Tjie tapi ia sangsi akan memberikan yang mana, ia angkat yang satu, ia tukar dengan yang lainnya. "Baik aku beri hadiah uang saja," akhirnya ia bilang. "Kenapa ongya menghadiahkan begini banyak barang?" katanya, berpura-pura. Sin Tjie pandai berpikir, tahu ia bagaimana harus mainkan peranan. "Ongya juga tahu Baginda bijaksana dan urusan pinjam tentera ada sulit," katanya, "akan tetapi ongya percaya betul pada kongkong dan mengharap kong-kong berdaya sebisa-bisanya."
Bukan kepalang puasnya orang kebiri ini, ia tertawa girang. "Pergi kamu beristirahat di luar," kemudian ia kata pada Lip Djie dan Wan Djie. Sin Tjie manggut, maka kedua kacung itu menurut ketika ada thaykam muda yang ajak mereka keluar. Tjo Hoa Soen sendiri yang menutup pintu, setelah itu, ia cekal tangannya pemuda kita. "Apakah kau tahu apa syaratnya untuk Ongya kerahkan angkatan perangnya?" ia tanya dengan pelahan. "Aku hendak korek rahasia dari mulutnya, aku mesti buka rahasia padanya," pikir Sin Tjie. "Kenapa aku tidak hendak ngaco-belo?" Maka ia lantas jawab: "Kong-kong ada orang sendiri, tidak ada halangannya untuk aku beri tahu, tetapi urusan ada sangat besar, maka urusan ini kecuali Ongya, cuma kongkong dan aku yang mengetahuinya." Kedua matanya thaykam itu bersinar. Sin Tjie maju mendekati, ia kata dengan pelahan: "Aku pikir, walaupun Kioe Ongya hargakan aku, dia tetap ada orang asing, maka itu, biar bagaimana, aku mengharap bantuan kongkong juga, supaya kemudian aku bisa angkat kehormatan leluhurku..." Tjo Hoa Soen bisa menduga hati orang. "Tentu dia inginkan pangkat," pikirnya. Maka ia tertawa, ia kata: "Saudara Ang, kau percayakan saja urusanmu kepadaku!"
Sin Tjie pikir, main sandiwara tidak boleh kepalang tanggung, maka terus ia berlutut, untuk haturkan terima kasihnya.
Melihat orang punya kelakuan itu, Tjo Hoa Soen pun pikir: "Ini orang sangat lincah, dia ada orang kepercayaan Kioe Ongya, aku mesti dapatkan dia sebagai orangku sendiri. Maka ia lantas tanya: "Ang Lauwtee, kau ada asal mana?" Asal Kwie-tang," sahut Sin Tjie. "Jikalau nanti kita sudah berhasil, bagaimana jikalau aku angkat kau menjadi tjongpeng dari Kwietang?" tanya dia. "Kongkong ada baik sekali," kata Sin Tjie, yang kembali haturkan terima kasihnya. "Terhadap kongkong, tak dapat aku sembunyikan apa-apa. Pikirannya Kioe Ongya adalah..." Ia berhenti, akan celingukan kekanan-kiri, Baru ia melanjuti, dengan pelahan sekali: "Aku harap kongkong bisa pegang rahasia, jikalau tidak, jiwaku tidak bakal tertanggung pula..."
"Kau jangan takut, aku jamin padamu," kata thaykam itu. Sin Tjie unjuk roman berhati lega, tetapi ketika ia bicara lagi, ia tetap bicara dengan sangat pelahan. Ia kata: "Setelah angkatan perang Boan memasuki kota perbatasan, pasti sekali kaum pemberontak akan dapat ditindas. Syarat dari Kioe Ongya adalah supaya sri baginda kerajaan Beng hadiahkan dia semua daerah di Hoopak dan Shoatang kearah utaranya, tapal batas negara adalah sungai Hong Hoo, agar selanjutnya kedua negara jadi negara-negara persaudaraan." Pemuda kita sudah karang cerita akan tetapi Tjo Hoa Soen percaya, tidak ia sangsi sedikit juga, sebab kesatu ia terima suratnya To Djie Koen, kedua ia telah dibekali banyak barang permata. Ia tahu, bangsa Boan memangnya liehay. Sekian lama orang kebiri ini berpikir, lalu ia manggut-manggut. "Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu," katanya kemudian. "Turut kabar pagi ini, kota Tong-kwan sudah dipukul pecah pemberontak Lie Giam dan Peng-pou Siangsie Soen Toan Teng telah binasa berkorban, dengan kebinasaannya menteri perang itu, kerajaan Beng mempunyai panglima perang siapa lagi? Memang, kalau tidak sekarang Kioe Ongya bergerak, kota Pakkhia ini tentulah bakal diserbu pemberontak." Diam-diam Sin Tjie bergirang mendengar Tongkwan sudah jatuh dan Soen Toan Teng, kepala perang kesohor itu, telah terbinasa. Untuk sembunyikan wajahnya, yang bercahaya, ia lekas-lekas tunduk. "Sebentar malam aku nanti majukan pula usulku kepada Sri Baginda," berkata Tjo Thaykam, "jikalau dia tetap berkukuh, maka untuk kebaikan negara aku nanti...." Goncang hatinya Sin Tjie mendengar perkataannya orang kebiri ini. "Seharusnya kongkong menggunai segala daya dahulu Barulah kongkong turun tangan," ia kata, Tapi keraslah sudah pikirannya Tjo Thaykam. "Hum! Jikalau Sri Baginda tetap tidak berdaya menindas pemberontakan, terpaksa mesti diangkat satu raja baru!" kata dia. "Kerajaan Beng boleh musna, negara boleh terjatuh ke tangan lain orang, tidak apa, tetapi mustahil kita mesti antari jiwa karenanya?"
"Sebenarnya kongkong mempunyai daya apa?" Sin Tjie tanya. "Tetap hatiku apabila aku bisa dapat mengetahui..."
"Sungai Hong Hoo menjadi tapal batas negara ada terlebih baik daripada kerajaan terjatuh ke dalam tangan pemberontak," kata thaykam itu, "Apabila dia tetap berkeras, apa mungkin..." Tiba-tiba saja orang kebiri ini merandak. Ia dapat ingat: "Meskipun orang ini ada orang kepercayaannya Kioe Ongya, aku toh Baru pertama kali ini bertemu padanya, apa boleh aku beber seluruh rahasia terhadapnya?" Dengan tiba-tiba, ia tertawa. "Ang Lauwtee," katanya, melanjuti, "dalam tempo tiga hari, aku nanti berikan kabar baik pada Kioe Ongya! Kau tunggu saja di sini..." Thaykam ini lantas menepuk tangan, lantas muncul empat thaykam muda, mereka benahkan barang-barang permata, setelah mana dengan iringi thaykam tua itu, mereka kembali kedalam. Dilain pihak, empat thaykam kecil lainnya lantas pimpin Sin Tjie serta dua kacungnya ke sebuah kamar disebelah kiri dimana mereka lantas disuguhkan barang-barang santapan sore yang terpilih, karena cuaca pun sudah lantas mulai gelap. Kemudian lagi, setelah memberi selamat malam, keempat thaykam kecil itu undurkan, diri. "Tjo Thaykam ini sedang mengatur suatu rencana besar," Sin Tjie beritahu kedua kawannya. "Urusan hebat sekali, sebab ini mengenai keselamatan negara. Kamu berdua tunggu di sini, aku hendak mencari rahasia sekalian untuk cari tahu apa Nona Hee ditahan didalam istana atau bukan..."
" Aku turut kau, Wan Siangkong," Wan Djie meminta. "Jangan, kau tunggu disini bersama Lo Toako," Sin Tjie bilang. "Ada kemungkinan Tjo Thaykam kurang percaya atau hatinya tak tenteram hingga ia bisa kirim orang akan melihat kita."
"Aku kira cukup aku berdiam sendiri di sini," menyatakan Lo Lip Djie. "Ada baiknya untuk siangkong dapat tambahan satu tenaga." Sin Tjie lihat Wan Djie sangat bernapsu, ia merasa berat untuk menampik lebih jauh, maka ia manggut. Setelah itu keduanya pergi ke kamar sebelah dimana berdiam empat thaykam muda yang tadi. Sebelum mereka tahu apa-apa, Sin Tjie sudah totok yang dua hingga mereka jadi seperti gagu. Dua yang lain kaget, sampai mereka lompat turun dari pembaringan mereka,
mereka mengawasi dengan buka mata lebar-lebar. Wan Djie keluarkan tempuling ngo-bie-tjie yang tajam-mengkilap, ia ancam itu di dada kedua thaykam ini. "Asal kamu buka mulut, aku nanti kirim kamu menghadap Goei Tiong Hian." kata nona ini, suaranya pelahan tetapi berpengaruh. Ujung senjata itu mengenai baju sampai terus nempel dikulit dada. Sin Tjie bersenyum. Tak ia sangka, dalam keadaan seperti itu, si nona masih bisa guyon. Goei Tiong Hian adalah thaykam jahat di jaman Kaisar Hie Tjong dan telah terbunuh mati. Lantas Sin Tjie buka bajunya kedua thaykam itu, untuk ia pakai berdua Wan Djie. Untuk ia salin pakaian Wan Djie tiup lilin, hingga kamar jadi gelap. Sin Tjie totok thaykam yang satunya lagi, sedang yang keempat, ia cekal nadinya, lantas ia tuntun keluar. "Jangan bicara!" ia ancam. "Kau bawa kami kepada Tjo Kongkong." Thaykam itu tidak berdaya, ia rasai separuh tubuhnya kaku, terpaksa ia tutup mulut, akan antar orang ke kamar thaykam kepala. Mereka jalan lama juga, beberapa kali mereka nikung, Baru mereka sampai di depan sebuah lauwteng besar.
"Tjo Kong-kong tinggal disana," thaykam ini kasi tahu. Sin Tjie tidak tunggu orang bicara lebih jauh, segera ia menotok untuk bikin orang kebiri itu tak dapat berkutik, kemudian ia angkat tubuhnya thaykam itu, untuk diletaki di tempat lebat dengan pepohonan bunga. Kemudian bersama Wan Djie, dengan berindap-indap, ia maju ke lauwteng sekali. Di tingkat kedua kelihatan api terang-terang. Selagi Sin Tjie hendak tarik tangan Wan Djie, untuk diajak lompat naik ke atas lauwteng, ia dengar suara tindakan kaki di belakang mereka, lantas ia dengar suara orang menanya: "Apakah Tjo Kong-kong ada di atas lauwteng?"
"Aku pun Baru sampai. Mungkin kong-kong ada di atas," ia jawab, seraya menoleh kebelakang, akan lihat lima orang lagi mendatangi, seorang yang jalan di depan menenteng sebuah lentera merah. Lima orang itu dandan sebagai orang-orang kebiri. Orang yang tadi menanya sedang mendumal. Mereka jalan dengan pelahan. Sin Tjie dan Wan Djie tunduk, supaya orang tak lihat muka mereka. Di waktu melewati pintu, mukanya lima orang itu terkena sinar api berbalik dari daun pintu yang dicat mengkilap. Sin Tjie yang awas dapat lihat muka mereka, ia terkejut. Lekas ia tarik ujung bajunya Wan Djie, untuk ayalkan tindakan. "Itulah Tiang Pek Sam Eng," kemudian Sin Tjie bisiki kawannya setelah lima orang itu mendaki tangga lauwteng.
Nona Tjiauw kaget. "Orang-orang jahat yang membunuh ayahku?" Tanya dia. "Jadi mereka sudah jadi thaykam?"
"Sama sebagai kita, melainkan lagi menyamar," Sin Tjie bilang. "Mari kita naik!" Wan Djie ikuti kawannya ini. Di lauwteng pertama ada thaykam yang menjaga tetapi mereka tidak merintangi, hingga Sin Tjie berdua pun dapat lewat dengan merdeka.
Di lauwteng kedua, dua thaykam pengantar ajak Tiang Pek Sam Eng masuk dalam sebuah kamar. Sin Tjie ajak Wan Djie berhenti di luar sebuah pintu kamar itu, hingga mereka dengar orang kebiri yang bawa lentera kata: "Silakan tunggu di sini, Tjo Kong-kong akan lantas...." Selanjutnya, suara mereka tidak terdengar nyata. Habis itu, kedua thaykam itu turun dari lauwteng. Lantas Sin Tjie tarik tangan Nona Tjiauw, untuk diajak masuk ke dalam kamar itu, ialah sebuah kamar tulis, karena disitu, sekitar tembok ada digantungi gambar-gambar dan pigura-pigura tulisan. Tiang Pek Sam Eng duduk di tengah ruangan. Diaorang ini lihat masuknya dua thaykam tetapi diaorang tidak menaruh perhatian. Sin Tjie dan Wan Djie sengaja jalan kedepan tiga jago dari Tiang Pek San itu, Baru sekarang mereka angkat kepala, akan awasi kedua orang kebiri ini.
Wan Djie, sambil tertawa dingin, lantas menegur: "Soe Siok-hoe, Lie Siok-hoe, ayahku undang kamu bertiga bersantap!..."
Tiga orang itu kaget apabila mereka kenali nona Tjiauw, malah Lie Kong mencelat berjingkrak. "Bukan...bukankah ayahmu telah meninggal dunia?" tanyanya. "Benar! Makanya ayah undang siok-hoe bertiga bersantap!" sahut Wan Djie. Soe Peng Boen kerutkan alis, dengan mendadak saja ia cabut goloknya hingga menerbitkan suara "Sret!" Tetapi Sin Tjie berlaku sangat gesit, begitu ia lompat, kedua tangannya telah cekuk masing-masing batang lehernya Peng Boen serta saudaranya, sedang kakinya mendupak bebokong dari Lie Kong, di betulan jalan darah hong-bwee-hiat. Soe Peng Kong mencoba memutar tubuh, ia jotos dadanya pemuda kita. Sin Tjie tidak perdulikan jotosan, ia hanya lebih perlukan rangkap kedua tangannya dengan kaget, hingga kepalanya dua saudara Soe saling bentur dengan keras, hingga sekejab saja, keduanya tak sadar akan dirinya. Tubuhnya Lie Kong pun rubuh. Wan Djie sangat kagum. Sebelum ia melihat tegas, Tiang Pek Sam Eng sudah kena dibikin tidak berdaya. Ia lantas keluarkan senjatanya, untuk tikam dadanya Soe Peng Kong. Sin Tjie lekas tahan tangan orang. "Lekas sembunyi, ada orang!" katanya berbisik. Benar-benar di tangga terdengar tindakan kaki. Dengan sebat Sin Tjie tengteng dua-dua Peng Boen dan Peng Kong, untuk letaki tubuhnya di belakang para-para buku, kemudian ia pondong tubuhnya Lie Kong, untuk bersama Wan Djie pun sembunyi di belakang para-para itu. Segera setelah itu, muncullah beberapa orang. "Silakan tuan-tuan menanti di sini," kata satu orang. "Tjo Kongkong akan segera keluar." "Kau banyak cape!" terdengar satu suara wanita, satu suara yang merdu. Dua-dua Sin Tjie dan Wan Djie kenali suaranya Ho Tiat Tjhioe, pemimpin dari Ngo Tok Kauw. Berdua mereka saling memegang tangan dengan keras, tandanya mereka sama-sama kenali orang she Ho itu. Sebentar lagi datang pula beberapa orang, mereka ini lantas bicara sama pihak Ho Tiat Tjhioe. Kembali Sin Tjie terkejut. "Kiranya empat jago tua Keluarga Oen dari Tjio Liang Pay dari Kietjioe pun datang kemari...." pikirnya. "Rupanya merekalah itu empat orang tua yang tadi malam Wan Djie lihat membantu pihak Ho Tiat Tjhioe, pantas Tong Hian beramai tak sanggup lawan mereka. Apa perlunya mereka datang kemari?" Baru habis mereka itu bicara, untuk belajar kenal juga, lantas terdengar datangnya Tjo Hoa Soen bersama beberapa orang lainnya lagi - orang-orang kang-ouw, sebagaimana Sin Tjie ketahui ketika ia dengar Tjo Thaykam perkenalkan mereka dengan rombongannya Ho Tiat Tjhioe dan empat jago dari Tjio Liang Pay, di antaranya ada Lu Djie Sianseng. "Dengan anggauta keluarganya tidak lengkap," pikir Sin Tjie, "Keluarga Oen tidak lagi bisa berkelahi dengan gunai Ngo Heng Tin. Akan tetapi di sini ada rombongannya Ho Tiat Tjhioe, seorang diri tidaklah sanggup aku melayani mereka...."
"Eh, mana Tiang Pek Sam Eng?" tiba-tiba pertanyaan Tjo Hoa Soen. "Tuan Soe bertiga sudah datang," sahut satu thaykam, "entah mereka pergi kemana...."
"Coba cari," Tjo Thaykam menitah. Sin Tjie lantas totok tiga jago dari Tiang Pek San, maka umpama kata mereka sadar, tak
dapat mereka buka mulut mereka. Beberapa thaykam, yang diperintah cari Tiang Pek Sam Eng, balik dengan sia-sia, katanya tak dapat mereka cari tiga orang itu. "Sudahlah, tak usah kita tunggui mereka," kata Tjo Thaykam. "Mereka sendiri yang sia-siakan ketika baik ini, tak dapat mereka sesalkan kita." Lantas terdengar suara berisik dari digesernya kursi-kursi, tandanya orang mulai duduk berkumpul. Tjo Hoa Soen batuk-batuk dua kali, seperti ia hendak legakan tenggorokannya. Sin Tjie pasang kuping. Ia menduga orang hendak bicarakan urusan rahasia. "Pemberontak Lie Giam sudah pukul pecah kota Tong-kwan, Peng-pou Siang-sie Soen Toan Teng telah binasa di medan perang," demikian Tjo Thaykam mulai bicara. Beberapa suara terdengar sebagai gerutuan, rupanya ada orang-orang yang kaget mendengar berita perang itu. "Maka itu," Tjo Thaykam melanjuti, "jikalau kita tidak lekas bertindak, nanti keburu pemberontak merangsak ke Pakkhia ini. Aku telah pikir, apabila tetap Sri Baginda tidak sudi pinjam bantuan tentara asing, guna tindas huru-hara, baiklah kita angkat satu raja lain untuk melindungi Kerajaan Beng..."
"Jikalau begitu, Seng ongya yang harus diangkat!" kata Ho Tiat Tjhioe sambil tertawa. "Betul!" Tjo Thaykam membenarkan. "Maka itu aku hendak andali bantuan tuan-tuan untuk tunjang raja yang baru. Mengenai ini, aku yang akan bertanggung jawab, akan tetapi hasilnya, kita beramai yang icipi bersama-sama!" Nyata semua hadirin setuju sama pikirannya orang kebiri itu, maka tanpa ambil tempo lagi, mereka itu lantas rencanakan pembagian tugas. "Lagi satu jam," kata kemudian Tjo Thaykam dengan titah-titahnya, "aku minta keempat loosianseng dari Keluarga Oen nanti bawa saudara-saudara yang boleh dipercaya untuk pergi ke keraton, akan sembunyi di sekitar kamar raja, untuk cegah orang luar memasuki keraton. Aku minta Hoo Kauw-tjoe beramai sembunyi di luar kamar tulis. Nanti Seng Ong sendiri yang menghadap raja, untuk beri nasihatnya yang terakhir."
"Tjioe Taytjiangkoen berkuasa atas tentara," tanya Lu Djie Sianseng; "dia setia kepada raja; perlu atau tidak untuk lebih dulu singkirkan dia?" Tjo Hoa Soen tertawa. "Tjioe Taytjiangkoen itu bersama Hok Siangsie," katanya; "dengan sedikit tipu-dayaku, sudah aku singkirkan! Ho Kauw-tjoe, cobalah kau berikan penuturanmu...." Ho Tiat Tjhioe tertawa. "Siang-siang telah diketahui baik-baik oleh Tjo Kongkong, apabila Seng Ong hendak ditunjang menaiki singgasana kerajaan, Tjioe Taytjiangkoen dan Hok Siang-sie adalah rintangan-rintangan paling besar," berkata dia; "maka itu siauw-moay telah diberi tugas untuk melumpuhkan mereka. Begitulah selama beberapa hari, siauw-moay sudah perintah orang pergi curi uang negara yang menjadi tanggung-jawab mereka itu. Tentu saja itu adalah kejadian yang paling tidak disukai sri baginda. Kabarnya tadi sri baginda sudah keluarkan perintah memecat dan menangkap kedua menteri itu, untuk perkaranya diperiksa lebih jauh." Orang banyak itu tertawa riuh, luar biasa kegirangan mereka. Untuk Sin Tjie, Baru sekarang ia ketahui sepak-terjangnya si bocah-bocah serba merah, jadi mereka itu mencuri bukan karena kemaruk uang, pada itu ada rahasia di belakang layer. Itulah daya busuk untuk mencelakai Negara. Tidak heran kalau kaisar Tjong Tjeng kena dikelabui, sebab tindak-tanduk pengkhianat ada licin sekali. "Nah, sekarang silakan tuan-tuan pergi beristirahat," kemudian kata Tjo Thaykam, "sebentar lagi aku nanti mengundang berkumpul pula." Lu Djie Sianseng bersama empat jago Keluarga Oen dan lainnya lantas berbangkit, untuk undurkan diri. Ho Tiat Tjhioe jalan paling belakang. "Heran, kenapa Tiang Pek Sam Eng tidak hadir!" kata dia sesampainya di pintu. "Mungkinkah mereka pergi ke istana untuk membocorkan rahasia?"
"Ho Kauw-tjoe pandai berpikir," kata Tjo Thaykam. "Tapi mereka itu ada orang-orang kepercayaan Kioe Oengya, malah paling belakang ini mereka sudah mendirikan jasa besar sekali, untuk mereka berkhianat terhadap Kioe Ongya, rasanya tak mungkin...."
"Apakah jasa besarnya mereka itu?" Tiat Tjhioe Tanya. "Mereka telah berhasil mencuri pisau-pusaka dari seorang she Bin dari Boe Tong Pay," sahut Tjo Hoa Soen, "dengan gunai pisau-pusaka itu, mereka sudah pergi bunuh Tjiauw Kong Lee, ketua dari Kim Liong Pang. Karena ini pastilah kaum Rimba Persilatan diKanglam bakal saling bunuh sendirinya, hingga kalau di belakang hari kita menyingkir ke Kanglam, keselamatan kita jadi terlebih terjamin..." Wan Djie telah percaya sembilan bahagian bahwa pembunuh ayahnya mesti ada Tiang Pek Sam Eng, maka sekarang, kepercayaannya itu jadi terpenuhi seluruhnya.
Sin Tjie kuatir nona ini nanti tak dapat kendalikan diri, dengan lancang ia ulur tangannya, akan bekap mulutnya si nona. Pemuda ini kuatir beradanya mereka di dalam kamar itu nanti diketahui Ho Tiat Tjhioe, sebab ketua Ngo Tok Kauw ini ada sangat liehay, asal orang berkerisik sedikit saja, mungkin dia curiga. Terdengarlah tawanya Ho Tiat Tjhioe.
"Kongkong sangat cerdik," memuji pemimpin Ngo Tok Kauw itu kepada thaykam. "Kongkong berdiam di dalam keraton tetapi mengenai sepak-terjang kaum kang-ouw, kongkong ketahuinya dengan jelas." Tjo Hoa Soen tertawa puas. "Tentang segala apa di dalam istana, aku ketahui banyak sekali," katanya. "Di dalam istana, tidak ada satu orang yang tidak kemaruk sama harta dan pangkat, maka siapakah yang bicara tentang pri-kemanusiaan dan kehormatan? Lain adalah sahabat-sahabat kaum kang-ouw! Mereka ini, satu dibilang satu, dua dibilang dua. Begitulah dalam usahaku yang besar ini, aku tidak berdamai sama menteri yang mana juga, aku hanya justru berurusan sama kamu semua, untuk mohon bantuan kamu...." Begitulah mereka keluar sambil bicara. Tegang sekali perasaannya Sin Tjie. Urusan ada sangat penting. Ia tidak cuma menghadapi urusan golongan kang-ouw saja, sekarang ia menghadapi ancaman untuk Negara. Apa ia mesti perbuat? Dalam sesaat itu, tak dapat ia lantas memikir daya yang sempurna. Wan Djie lihat orang sedang berpikir keras. "Apa mesti diperbuat terhadap tiga jahanam ini?" tanyanya. "Ingin aku segera membinasakan mereka!" Nona ini bicara pelahan sekali. "Baiklah," sahut Sin Tjie. "Tapi jangan keja mereka keluarkan darah, nanti kita kepergok." Ia angkat kepalanya Soe Peng Kong, akan tunjuki kedua pilingannya. "Apakah kau mengerti tipu-pukulan Tjiong kouw tjee-beng?" tanyanya. "Tjiong kouw tjee beng" berarti "Lonceng dan tambur berbunyi dengan berbareng". Tjiauw Wan Djie manggut. Meski demikian, Sin Tjie toh petakan cara menyerangnya.
"Ya, begitu," katanya pula, setelah si nona beraksi. Wan Djie lakukan serangannya hingga ia perdengarkan juga sedikit suara, dengan begitu, tanpa bersuara lagi, binasalah orang she Soe itu. Maka sehabis itu, dengan tipu-pukulan yang serupa, Wan Djie bikin tamat lelakon hidupnya Soe Peng Boen dan Lie Kong. Puas hatinya nona ini karena telah berhasil mencari balas dengan tangannya sendiri, dengan tiba-tiba saja ia terharu, sehingga tanpa likat lagi, ia mendekam di pundaknya Sin Tjie untuk menangis dengan menahan suara. "Sekarang mari kita lekas keluar," Sin Tjie mengajak. "Mari kita lihat kemana perginya Ho Tiat Tjhioe." Wan Djie angkat kepalanya, dan tangannya juga, dari pundaknya si pemuda, untuk susuti air matanya, lalu tanpa bilang suatu apa, ia ikut pemuda itu keluar dari kamar tulis itu. Masih mereka dapat lihat Tjo Thaykam dan ketua Ngo Tok Kauw lagi menikung di sebuah pengkolan yang bercabang dua dimana keduanya berpisah, sedang dua thaykam muda, yang membawa lentera, jalan terus di muka Ho Tiat Tjhioe beramai, menuju ke barat. Sin Tjie berdua Wan Djie terus mengikuti dari kejauhan. Mereka masih tetap dandan sebagai orang kebiri, hati mereka tenang, sebab mereka tidak kuatir nanti ada yang pergoki, tak takut mereka ada yang kenali andaikata mereka berpapasan dengan lain-lain orang kebiri. Ho Tiat Tjhioe jalan terus melewati beberapa pekarangan, sampai ia masuk dalam sebuah rumah. Dengan berani Sin Tjie ajak Wan Djie turut masuk ke dalam rumah itu. Begitu lekas mereka menindak di pintu, mereka segera dengar cacian nyaring dari Tjeng Tjeng, yang keluar dari sebuah kamar sebelah timur. Nona itu asyik mencuci-maki Ngo Tok Kauw dan Ho Tiat Tjhioe. Tanpa sangsi lagi, Sin Tjie memburu ke kamar timur itu, langsung ia nerobos masuk, hingga ia tampak dua thaykam muda sedang layani Tjeng Tjeng masak obat, nona itu sendiri sedang rebah di pembaringan. Dengan totokannya yang liehay, Sin Tjie bikin kedua thaykam muda mati daya. Segera Tjeng Tjeng kenali pemuda itu. "Engko!" dia memanggil.
Sin Tjie menghampirkan ke pembaringan. "Bagaimana dengan lukamu?" ia tanya. "Tidak seberapa," sahut si nona. "Oh, kau pun datang?" tanyanya, kapan ia lihat Wan Djie di belakang si anak muda. Nona Tjiauw manggut. "Apakah lukamu tidak berbahaya, nona Hee?" ia Tanya. "Hum!" bersuara Tjeng Tjeng, yang tidak menjawab. Tapi pada Sin Tjie, ia bilang: "Engko, kalau sebentar Ho Tiat Tjhioe datang, kau hajar padanya!" Sin Tjie sendiri memikir lain. "Mereka itu sedang bekerja, untuk sementara baik aku sembunyi dulu...." Maka ia lekas kata pada si nona: "Adik Tjeng, sekarang tak dapat aku turun tangan terhadapnya. Baik kau pancing dia supaya dia jelaskan apa perlunya dia culik kau dan membawanya ke istana."
"Apa, istana?" Tjeng Tjeng tanya. "Oh, jadinya kau masih belum tahu kau sekarang berada di dalam istana?" Sin Tjie balik tanya. Justru itu ada terdengar suara tindakan kaki di luar, karena di situ tidak ada tempat sembunyi, Sin Tjie sambar kedua thaykam, untuk dibleseki ke dalam lemari, ia sendiri, dengan tarik tangannya Wan Djie, segera nyelusup masuk ke kolong pembaringan. Selagi Tjeng Tjeng melengak, Ho Tiat Tjhioe kelihatan bertindak masuk, wajahnya ramai dengan senyuman. Di belakangnya ada si uwah jelek. "Banyak baik, Hee Kongtjoe?" tanya dia sambil tertawa. "Eh, mana orang-orang yang layani kau? Pasti mereka malas!"
"Aku yang suruh mereka pergi!" jawab Tjeng Tjeng. "Siapa kesudian dirawati mereka?" Tiat Tjhioe tak ambil mumat senggapan itu, ia masih tertawa.
"Adat bocah!" katanya, sambil ia bertindak menghampirkan obat. "Eh, obat sudah matang!" Ia ambil sepotong kain kecil yang putih meletak seperti salju, ia pakai itu untuk alaskan cangkir perak, lalu ia tuangkan obatnya ke dalam cangkir itu. Habis itu, ia singkirkan saringan itu. "Inilah obat paling manjur untuk luka-luka," kata dia sambil tertawa pula. "Jangan kau kuatir, umpama obat ini dicampuri racun, cangkirnya bakal berubah menjadi hitam." Tjeng Tjeng awasi pemimpin Ngo Tok Kauw ini, hatinya bekerja keras. Ia girang pertama kali melihat Sin Tjie, menyusul itu hatinya adem karena Wan Djie ada bersama si anak muda, apapula kapan ia tampak Sin Tjie tarik tangan si nona, untuk diajak masuk ke bawah pembaringan. Sekarang ia hadapi Ho Tiat Tjhioe, ia dapat alasan untuk udal kemendongkolannya. "Kamu main muslihat, apa kamu kira aku tidak tahu?" demikian katanya. "Muslihat apa sih?" tanya Tiat Tjhioe sambil terus tertawa. "Kamu permainkan aku!" kata Tjeng Tjeng. "Kamu sedang perhina aku yang bersengsara karena tidak punya ayah dan ibu! Kau tidak punya liangsim, setan...." Sin Tjie dengar itu. "Dia caci siapa itu?" ia menduga-duga. Wan Djie sebaliknya masgul. Ia merasa, Tjeng Tjeng sedang menyindir terhadapnya. Karena masgul, ia sampai menggigil sendirinya. Sin Tjie rasai gerakan tubuh si nona, tiba-tiba ia mengerti maksudnya Tjeng Tjeng. Karena ini, ia jadi menyesal untuk Nona Tjiauw. Ia pun tak dapat bicara, untuk menghibur. Maka dengan pelahan-lahan, ia tepuk-tepuk pundak si nona. "Ah, jangan kau bawa adat!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. Ia masih tak tahu hatinya Tjeng Tjeng. "Sebentar lagi aku akan antar kau pulang."
"Siapa kesudian kau yang antarkan?" Tjeng Tjeng membentak. "Apa kau kira aku sendiri tak kenali jalanan?" Tiat Tjhioe terus tertawa. "Eh, bocah she Hee!" campur bicara Ho Ang Yo, dengan suaranya yang bengis, dengan romannya yang menyeramkan. "Kau telah terjatuh ke dalam tangan kami, apakah kau kira Ho Ang Yo bisa antap kau pulang secara baik-baik? Di mana adanya ayahmu? Di mana adanya itu perempuan hina yang melahirkanmu?" Meluap kemurkaannya Tjeng Tjeng karena orang perhina ibunya, ia sambar cawan obat di atas meja kecil, dengan itu ia sambit wanita jelek itu. Ho Ang Yo berkelit, maka cawan itu, berikut obatnya, mengenai tembok, cawannya hancur, obatnya berhamburan. Masih ada sedikit air obat, yang muncrat ke mukanya ini uwah, hingga ia jadi gusar. "Anak celaka, kau tak inginkan lagi jiwamu?" ia membentak. Sin Tjie di kolong pembaringan dengar semua pembicaraan itu, iapun bisa lihat gerak-geriknya Ho Ang Yo, maka ia sudah pikir, asal wanita itu lompat kepada Tjeng Tjeng, ia hendak membarengi hajar kaki orang. Sebelum si wanita tua lompat, satu bajangan putih telah berkelebat mendahulukan ia, maka kesudahannya, Ho Tiat Tjhioe ada di antara ia dan pembaringan. "Bibi," katanya nona ini, "aku telah janjikan si orang she Wan akan antarkan dia ini pulang, tak dapat aku membikin hilang kepercayaan kita." Ho Ang Yo tertawa dingin. "Untuk apakah itu?" tanyanya. "Banyak orang kita telah ditotok dia, tanpa dia datang sendiri, mereka tak dapat ditolong," Tiat Tjhioe terangkan. Ang Yo berpikir. "Baik!" katanya. "Kita tidak dapat bikin dia mampus, tapi kita mesti kasi dia merasai kesengsaraan! He, bocah she Hee, kau lihat aku, aku cantik atau tidak?" Tjeng Tjeng perdengarkan suara kaget, di matanya, roman wanita ini jadi semakin jelek, sedang muka itu dibawa semakin dekat kepadanya, hingga ia bergidik. "Bibi, buat apa takut-takuti dia?" kata Tiat Tjhioe. Suaranya pemimpin ini menyatakan hatinya tidak puas. "Hm!" bersuara si jelek itu. "Ya, bocah ini cakap sekali, kau hendak lindungi dia!..."
"Apa kau bilang?" Mendadak Ho Tiat Tjhioe jadi gusar. "Apakah kau sangka aku tak tahu hatinya satu pemudi?" Ho Ang Yo baliki. "Aku juga pernah muda! Kau lihat, inilah aku di masa dahulu!" Ia merogo ke dalam sakunya di mana segera terdengar suara berkeresekan, entah barang apa itu yang dia rogo. Dua-dua Tiat Tjhioe dan Tjeng Tjeng kaget, keduanya berkuatir.
"Kamu merasa aneh, bukankah?" kata Ho Ang Yo sambil tertawa, tertawa meringis. "Ha-ha-ha! Ha-ha-ha! Aku pun dulu pernah cantik!" Ia rogo keluar tangannya, ia lemparkan segulung kain kecil, yang ternyata ada gambar sulaman, gambar mana lantas terbeber sendirinya di atas lantai. Dari kolong pembaringan, Sin Tjie bisa lihat sulaman itu, yang berpetakan satu nona umur kurang lebih dua-puluh tahun, kedua pipinya merah-dadu, tetapi dia dandan sebagai seorang suku-bangsa Ie, dan kepalanya pun digubat dengan pelangi, romannya sangat cantik, potongan mukanya mirip sama potongan mukanya si uwah jelek yang menyeramkan ini. Segera terdengar pula suaranya Ho Ang Yo. "Kenapa sekarang aku jadi begini jelek? Kenapa? Kenapa?" tanyanya berulang-ulang. "Itulah disebabkan ayahmu yang tidak punyakan pri-kemanusiaan!"
"Ah......" Tjeng Tjeng bersuara tertahan. "Ada hubungan apa di antara ayahku dengan kau? Ayah ada seorang baik, tidak nanti dia perlakukan orang secara tak selayaknya....." Ho Ang Yo jadi sangat gusar. "Hai, hantu cilik, ketika itu kau masih belum terlahir!" serunya. "Kau tahu apa? Jikalau dia punya perasaan pri-kemanusiaan, tidak nanti dia berlaku tak pantas kepadaku! Bagaimana bisa aku jadi begini? Bagaimana kemudian bisa terlahir kau, hantu cilik?"
"Makin lama kau bicara, kau makin aneh!" kata Tjeng Tjeng. "Kamu kaum Ngo Tok Kauw berada di Inlam, ayah dan ibuku menikah di Tjiatkang - terpisahnya tempat ada ribuan lie, maka, ada apa hubungannya dengan kau?" Ho Ang Yo jadi semakin gusar, hingga ia ayun tangannya ke arah mukanya Tjeng Tjeng. Dengan tangan kanannya, Ho Tiat Tjhioe mencegah. "Jangan gusar, bibi." Kata nona ini. "Bicaralah dengan sabar." Ang Yo menjadi sengit. "Ayah kandungmu mati mendongkol karena Kim Tjoa Long-koen!" serunya. "Kau sekarang lindungi dia ini! Apakah kau tidak malu?"
"Siapakah yang lindungi dia?" seru Ho Tiat Tjhioe, yang pun menjadi murka. "Jikalau kau bikin celaka dia ini, itu artinya mencelakai juga jiwanya empat-puluh orang anggauta kita! Kau tahu tidak? Aku pandang kau sebagai orang dari tingkatan lebih tua, karena aku memandang kau, aku mengalah, jikalau kau langgar aturan kita, bisa aku tak memberi keringanan kepadamu!" Melihat orang tonjolkan diri sebagai pemimpin, Ho Ang Yo jadi sangat mendongkol, akan tetapi ia toh kuncup, maka juga ia jatuhkan diri di kursi dengan roman lesu sekali, dengan kedua tangannya, ia pegangi kepalanya. Lama ia berdiam secara demikian, ketika kemudian ia bicara pula, ia bisa berlaku tenang. "Ibumu?" tanyanya kepada Tjeng Tjeng. "Ibumu pasti eilok dan manis luar biasa maka juga ia bisa bikin tergila-gila pada ayahmu, bukankah?" Ia lantas menghela napas. "Beberapa kali aku telah bermimpi, dalam impian aku telah lihat ibumu, akan tetapi mengenai roman mukanya, aku tidak dapat melihat jelas, cuma samar-samar..... Benar-benar ingin aku melihat dia...."
"Ibu telah menutup mata," Tjeng Tjeng kasi tahu. "Apa, mati?" Ho Ang Yo terkejut. "Ya," Tjeng Tjeng pastikan. Lantas suaranya si uwah jelek jadi sedih, tetapi tajam. "Aku telah desak dia untuk kasi tahu dimana adanya ibumu, biar bagaimana, tak mau dia menyebutkannya," katanya pula. "Kiranya ibumu itu sudah menutup mata. Baik, baik, sakit hatiku ini tak bakal terbalas untuk selama-lamanya..... Sekarang aku bebaskan kau, binatang, tetapi mesti ada harinya yang kau bakal terjatuh pula ke dalam tanganku! Bukankah ibumu itu mirip dengan kau?" Oleh karena orang berlaku kasar begitu, Tjeng Tjeng balikkan tubuh, untuk madap ke dalam. Tak mau ia meladeninya. Ho Ang Yo lantas berpaling kepada pemimpinnya.
"Kauw-tjoe," katanya, "si orang she Wan itu mesti terlebih dahulu tolong orang-orang kita, Baru bocah ini boleh dilepas pulang!"
"Itulah pasti!" Ho Tiat Tjhioe jawab. Ho Ang Yo lantas membungkuk, hingga dua-dua Sin Tjie dan Wan Djie jadi kaget sekali, tapi sukur dia tidak mendapat lihat, dia cuma gunai jeriji tangannya akan mencoret beberapa huruf di atas lantai.
Sin Tjie lihat orang menulis enam buah huruf yang artinya: "Bisa kawa-kawa yang bekerjanya selang tiga tahun kemudian."
Heran pemuda ini. "Apakah artinya ini?" tanya ia kepada dirinya sendiri, berulang-ulang. Kemudian: "Ah, aku mengerti sekarang!" Dan ia bergidik sendirinya. "Sebelum dia merdekakan Tjeng Tjeng, dia hendak racuni dulu dengan bisa kawa-kawa yang bekerjanya nanti sesudah lewat tiga tahun, tentu itu waktu, tidak ada obat untuk punahkan bisa itu, secara begitu, ia jadi telah bisa balas sakit hatinya. Ha, inilah hebat! Kenapa dia begini telengas? Sukur aku dapat tahu, jikalau tidak...." Tanpa merasa, pemuda ini keluarkan keringat dingin. Habis itu, Ho Ang Yo bertindak keluar, selagi melangkah di pintu, rupanya dia bersangsi, maka ia membaliki tubuh. "Apakah kau benar-benar dengar perkataanku?" dia tegasi Ho Tiat Tjhioe. "Tentu," sahut pemimpin itu. "Cuma...tak dapat kita hilangi kepercayaan kita terhadap orang lain...." Suaranya Ho Ang Yo menunjuki kemurkaan ketika ia bilang: "Aku tahu, kau jatuh hati terhadapnya! Teranglah kau tidak kandung niatan akan membalaskan sakit hatinya ayahmu yang telah menutup mata!...." Dia lantas kembali, untuk jatuhkan diri di kursi, mungkin untuk tenangkan diri, mungkin guna pikirkan daya-upaya lain akan bikin celaka Tjeng Tjeng. Maka itu, kamar jadi sunyi sekali. Sin Tjie berdua Wan Djie menahan napas. Memang sejak tadi, mereka tidak berani berkutik sama sekali. Dalam kesunyian itu, mendadak Tjeng Tjeng berseru: "Kamu tidak mau keluar, kamu hendak tunggu apa?" Ia pun tumbuk pembaringan.
Sin Tjie kaget, ia menyangka jelek, hampir ia munculkan diri, sukur Wan Djie tarik dia. Lalu terdengar suaranya Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan: "Sekarang kau boleh tenangi diri dan tidur, sebentar setelah terang tanah, aku nanti antar kau pulang...." Tjeng Tjeng bersuara "Hm!" seraya kembali tumbuki pembaringan, hingga debu di kayu pembaringan itu meluruk ke kepala, ke leher dan tubuhnya dua orang yang lagi mendekam sembunyi. Hampir Sin Tjie berbangkis, baiknya ia bisa cepat bernapas dengan beraturan. Sebenarnya Tjeng Tjeng habis sabar, di dalam hatinya, ia kata: "Ho Tiat Tjhioe dan Ho Ang Yo bukan tandingan kau, kenapa kau masih sembunyi saja? Sebenarnya apa yang kamu berdua pikir?" Ia jadi pikirkan Sin Tjie dan Wan Djie. Ia tidak tahu, Sin Tjie mempunyai pikiran lain. Tanggung jawab pemuda ini sekarang ditambah sama soal keselamatannya negara. Kalau Tjeng Tjeng habis sabar, Ho Ang Yo adalah mendongkol sangat. "Kau ada kauwtjoe!" katanya pada Tiat Tjhioe, "semua urusan Ngo Tok Kauw berada dalam kekuasaanmu, malah dengan gaetan emas Kim-kauw diwariskan kepadamu, kau berhak untuk menghukum mati atau menghidupkan orang! Namun walaupun demikian, ingin aku bicara padamu! Memang partai kita tidak melarang soal mengendalikan napsu-birahi, akan tetapi pengalamanku, apakah pengalamanku tidak cukup hebat untuk menyadarkan kepadamu?" Ditegur begitu macam, Ho Tiat Tjhioe tertawa. "Bibi menemui lelaki yang tidak ingat budi," katanya, "lantas bibi samakan, semua lelaki di kolong langit tidak berbudi juga...."
"Pasti ada orang-orang lelaki yang baik hatinya," sahut Ho Ang Yo. "Tetapi kau tengoklah ini puteranya Kim Tjoa Long-koen! Lihat, dia beroman sangat mirip dengan ayahnya, tidak ada bedanya, maka siapa bisa bilang tabeatnya juga tidak akan sama dengan tabeat ayahnya?"
"Jadinya ayahnya sama cakapnya dengan puteranya ini?" kata Ho Tiat Tjhioe, "Pantaslah bibi jadi demikian jatuh hati terhadap ayahnya itu!"
Sampai sebegitu jauh, Sin Tjie dapat perasaan Ho Tiat Tjhioe pun ketarik hati terhadap Tjeng Tjeng. Ia anggap ini ada lucu, sebab sebagai seorang kosen dan cerdik, kenapa pemimpin Ngo Tok Kauw ini tidak dapat bedakan kelaminnya Nona Hee itu. "Kau kukuh, kau tetap tak sadar akan dirimu," kata Ho Ang Yo kemudian sambil menghela napas. "Aku nanti tuturkan hal-ichwalku kepadamu, agar selanjutnya, kebaikan atau kecelakaan, semua terserah kepadamu sendiri...."
"Memang aku paling gemar dengar kau dongeng, bibi," kata Tiat Tjhioe, "sekarang kau hendak bercerita di depan ini anak muda, apakah itu tidak ada halangannya untuk rahasiamu itu?"
"Aku sengaja hendak bercerita supaya dia tahu perbuatan busuk dari ayahnya, supaya kalau kemudian dia mati, dia akan mati puas!" si uwah jelek bilang. Tjeng Tjeng berteriak bahna gusar. "Kau karang cerita yang bukan-bukan!" dia berseru. "Ayahku ada satu enghiong terbesar, satu laki-laki sejati, mana sudi dia berbuat demikian busuk? Tidak, aku tidak sudi dengar, aku tidak sudi dengar!" Ho Tiat Tjhioe tertawa, agaknya ia girang sekali. "Nah, kau dengar, bibi," katanya. "Dia tidak suka dengar ceritamu. Bagaimana?"
"Aku hendak bercerita untukmu," sahut sang bibi. "Dia suka dengar atau tidak, masa bodoh!" Tjeng Tjeng tutupi kepalanya dengan selimut, akan tetapi kemudian, ia kalah dengan perasaannya ingin tahu, ia singkap juga sedikit ujung selimutnya, untuk mendengari Ho Ang Yo tuturkan lelakonnya dengan Kim Tjoa Long-koen. "Inilah kejadian pada dua-puluh tahun dulu," demikian si uwah jelek dengan penuturannya. "Ketika itu, usiaku berimbang dengan usiamu sekarang. Dan ayahmu, dia Baru saja menggantikan memangku kedudukan sebagai kauwtjoe baru. Dia telah angkat aku menjadi tjhungtjoe, ketua, dari dusun Ban Biauw San-tjhung, tugasku adalah menjaga kita-punya guha ular. Pada suatu hari selagi senggang, aku pergi ke bukit belakang, untuk berburu burung, untuk dibuat main....."
"Aneh, bibi," Tiat Tjhioe memotong. "Kau menjadi tjhungtjoe tapi toh kau sempat menangkap burung...."
"Hum," bersuara sang bibi. "Seperti aku telah bilang, ketika itu usiaku masih muda, aku mirip dengan bocah saja. Aku berhasil menangkap dua ekor burung ikan-ikanan, bukan main girangku. Dalam perjalanan pulang, aku lewat di guha ular kita. Tiba-tiba saja aku dengar suara 'ser! ser!' yang datangnya dari arah pepohonan. Aku tahu itulah suara ular, mestinya ada ular yang minggat, maka aku lantas susul. Benar-benar aku dapati seekor ular belang. Aku heran! Biasanya semua ular kita jinak, maka tak mengerti aku, kenapa ini seekor bolehnya buron. Aku tidak lantas menangkap, diam-diam aku menguntit. Ular itu menggeleser ke belakang pepohonan lebat, ia menghampirkan ke arah satu orang. Kapan aku lihat orang itu, aku terkejut."
"Kenapa, bibi?" Tiat Tjhioe tanya. Ho Ang Yo kertak giginya. "Itulah si manusia celaka!" katanya. "Dia ada satu hantu bagiku!"
"Bibi maksudkan Kim Tjoa Long-koen?" sang kauwtjoe tegaskan. "Pada ketika itu, aku belum tahu siapa dia," sahut sang bibi. "Aku cuma lihat dia bermuka putih dan cakap, tubuhnya tinggi. Dia sedang pegangi sebatang hio wangi, yang ada apinya. Jadinya ular itu dapat cium bau wangi itu dan dia pergi menghampirkannya. Anak muda itu lihat aku, ia pandang aku sambil bersenyum." Ho Tiat Tjhioe tertawa. "Ketika itu bibi ada eilok sekali, dia lihat bibi, pasti dia jadi tersengsam!...."
"Foei!" sang bibi berludah. "Aku sedang cerita dari hal benar, siapa guyon-guyon denganmu?" Ia terus melanjuti: "Aku lihat dia seorang asing, aku kuatir dia nanti dipagut ular itu, maka aku lantas teriaki padanya: "Hai, awas! Ular itu berbisa, jangan kau ganggu dia! Nanti aku tangkap."
"Mendengar aku, orang itu tertawa. Dari bebokongnya, dia kasi turun sebuah peti kayu. Di ujung peti kayu itu dicangcang seekor kodok, kodok itu berloncatan tetapi tidak dapat loloskan diri. Tentu saja, menampak kodok itu, ular kita hendak menerkamnya, untuk dimakannya. Dengan merayap pelahan, dia dekati peti kayu itu, kemudian ia ulur kepalanya, untuk santok sang kodok. Tiba-tiba saja orang itu tarik tali yang melekat pada peti, dan peti itu lantas terbalik tutupnya. Ular itu mencoba berhenti merayap tapi sekarang sudah kasep. Orang muda itu ulur tangannya yang kiri, dua jarinya terus menjepit leher ular, Dia sangat sebat dan jitu tangkapannya. Aku lihat, gerakan tangannya itu beda dari gerakan tangan kita. Begitu lekas dijepit, ular belang itu lantas diam saja, agaknya dia jadi jinak sekali. Aku tahu, pemuda itu seorang ahli, aku tidak berkuatir lagi untuknya. "Aneh, aneh!" tertawa Ho Tiat Tjhioe. "Bibi Baru pernah lihat orang itu, lantas saja bibi sangat memperhatikan dia!"
"Hai, jangan kau potong ceritanya!" Tjeng Tjeng nyeletuk, sedang tadi katanya tak suka ia mendengari cerita. "Kau dengari saja!" Tiat Tjhioe kembali tertawa. "Tadi kau sendiri yang bilang tak sudi mendengari?" dia baliki. "Sekarang aku jadi suka mendengarnya!" Nona Hee akui. "Toh boleh, bukan?" Untuk kesekian lamanya, Tiat Tjhioe tertawa. "Baiklah, aku tidak akan memotong-motong lagi!" katanya. Ho Ang Yo deliki kauwtjoe yang jail itu. "Itu waktu aku mulai curiga," dia menyambungi. "Aku pikir-pikir, siapa dia? Kenapa dia bernyali demikian besar, berani datang ke tempat kita untuk menangkap ular berbisa? Mustahil dia tidak pernah dengar nama Ngo Tok Kauw? Aku terus awasi dia. Setelah itu tangan kanannya mengeluarkan sebatang besi kecil, mirip ruyung, ujung besi itu ia sodorkan ke muka ular. San ular lantas saja menyamber, akan santok ujung besi itu. Aku mengawasi dengan teliti. Aku pun datang lebih dekat. Nyata ruyung itu kosong dalamnya, kapan bisa ular keluar, bisa itu mengalir masuk ke dalam bungbung besi itu. Sekarang Baru aku mengerti! Hm! Nyata dia datang untuk curi bisa ular! Pantas selama beberapa hari ini, beberapa ularku sungkan dahar, tubuhnya kurus dan menjadi malas-malasan! Lantas aku teriaki dia, "Hai, lepas ular itu!" Berbareng dengan itu, aku keluarkan suitanku peranti menakluki ular, aku terus tiup. Rupanya dia tidak sangka, suitanku ada punya suara yang luar biasa, dia menoleh karenanya. Justru itu, si belang lepaskan catolannya pada pipa dan berbalik santok dia! Dia lekas-lekas lemparkan ular itu, dia hendak buka peti kayunya, mungkin untuk ambil obat pemunah bisa. Aku tidak kasi ketika padanya, aku berlompat dan serang mukanya. Di luar dugaan, liehay ilmu silatnya, Cuma dengan satu kali tangkis, ia bikin aku terpelanting jatuh...."
"Pasti sekali, mana kau bisa jadi tandingannya!" Tjeng Tjeng bilang. Ho Ang Yo mendelik. "Walaupun aku tidak bisa menangi dia, aku toh bisa libat padanya!" katanya dengan sengit. "Aku ganggu dia hingga dia tak punyakan kesempatan akan keluarkan obatnya. Aku tunggu sampai dia rubuhkan aku yang ketiga kali, lantas bisa ular bekerja, tanpa ampun, dia rubuh dengan pingsan. Selagi aku hampirkan dia, tiba-tiba aku merasa tak tega, aku anggap sayang sekali kalau dia, dalam usianya begitu muda, binasa secara demikian kecewa. Ia pun ada punya ilmu silat yang bagus sekali...."
"Maka itu bibi lantas tolongi dia!" kata Ho Tiat Tjhioe. "Bibi bawa dia pulang secara diam-diam, disembunyikan, dia diobati, setelah dia sembuh, lantas bibi menyintai dia...." Ho Ang Yo menghela napas. "Tidak tunggu sampai ia sembuh, aku sudah menyintai dia," bibi ini aku. "Tatkala itu aku masih berusia muda, semua soeheng dan soetee perlakukan aku baik sekali, entah kenapa, tidak ada satu di antara mereka yang memperoleh perhatianku, dan dia itu, di luar kekuasaanku, dia bikin aku jatuh hati. Selang tiga hari, dia telah mulai sembuh dari lukanya, Barulah itu waktu aku tanya dia, apa perlunya dia datang ke wilayah kami. Dia jawab, karena aku telah tolong jiwanya, apa juga dia suka kasi tahu aku. Dia bilang dia orang she Hee, dia ada punya dendaman yang hebat, benar ilmu silatnya sudah sempurna, akan tetapi musuhnya tangguh dan besar jumlahnya, ia jadi sangsi akan berhasil dengan pembalasannya. Maka itu, ketika ia dengar kabar Ngo Tok Kauw ada utamakan bisa ular, ia sengaja datang ke Inlam untuk mendapatkan bisa itu...." Mendengar sampai di sini, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng Barulah mengerti apa hubungannya Kim Tjoa Long-koen dengan Ngo Tok Kauw. Ho Ang Yo lanjuti penuturannya: "Setelah berselang sekian lama bekerja dengan diam-diam dia bilang, dia mulai mengerti dalam hal mengerjakan bisa, maka itu dia lantas datangi guha ular kita, untuk mencuri bisa. Dia kata dia hendak bikin semacam senjata rahasia guna nanti dipakai menghadapi musuh-musuhnya. Lewat lagi dua hari, sesudah merasa segar, dia menghaturkan terima kasih padaku, dia pamitan, untuk pulang. Berat bagiku untuk membiarkan dia pergi. Begitulah aku berikan dia dua botol bisa ular. Untuk balas budiku, dia lantas bikin ini gambarku, sebagai tanda peringatan. Aku telah tanya dia, apa lagi kesukarannya dalam hal mencari balasnya itu, apa dia membutuhkan aku, untuk membantu. Sambil tertawa dia bilang, ilmu kepandaianku masih jauh dari sempurna, bahwa aku tak dapat membantu dia. Aku lantas minta supaya dia kembali sehabisnya dia mencari balas. Dia manggut, dia berikan janjinya. Aku tanya dia, kapan kiranya dia bakal kembali, dia menjawab bahwa dia tak dapat menentukannya. Dia bilang juga, untuk mewujudkan pembalasannya itu, dia masih membutuhkan serupa senjata tajam. Katanya di Ngo Bie San ada sebuah pedang pusaka, maka lebih dahulu dia mau pergi ke gunung itu, akan coba curi pedang itu. Dia sangsi apa benar-benar ada pedang yang dimaksudkan itu. Umpama ada, dia bilang, masih belum bisa dipastikan ia bakal dapat curi itu atau tidak." Mendengar sampai di situ, Sin Tjie kata dalam hatinya: "Kim Tjoa Long-koen sungguh norek! Untuk mencari balas, dia tidak perdulikan apa juga, tanpa pikir panjang, dia lakukan apa jua!...." Kembali Ho Ang Yo menghela napas ketika ia melanjuti pula: "Pada waktu itu, aku benar-benar telah sangat tersesat, disebabkan aku amat tergila-gila terhadapnya. Keinginanku satu-satunya adalah supaya ia suka tinggal lebih lama pula sama aku, Aku ada bagaikan gila, sampai apa juga, aku tak takuti, sampaipun hal yang aku tahu tak dapat aku lakukan,
aku berani melakukannya. Aku merasa, untuk dia, semakin berbahayanya urusan, semakin itu menyenangkan hatiku. Hingga pun aku berpikir, rela aku mati, asal untuk dia. Ya, benar-benar waktu itu, aku seperti dipengaruhi iblis. Begitulah aku beritahukan dia bahwa aku tahu hal sebatang pedang mustika, yang tajam luar biasa, yang bisa dipakai membabat kutung senjata lainnya macam apa juga. Dia girang tidak kepalang mendengar hal pedang itu, sampai dia berjingkrakan. Lantas saja dia tanya aku, dimana adanya pedang itu. Tanpa pikir lagi, aku kasi dia tahu bahwa pedang itu adalah pedang Pek-hiat Kim-tjoa-kiam kepunyaan Ngo Tok Kauw!" Terkejut Sin Tjie akan dengar kata-kata terakhir ini, hingga tanpa merasa ia raba pedangnya. "Jadi inilah pedang mustika Ngo Tok Kauw itu?" tanyanya pada dirinya sendiri. Masih Ho Ang Yo meneruskan penuturannya: "Aku telah beritahu dia, pedang itu ada satu di antara tiga mustika Ngo Tok Kauw, bahwa disimpannya di dalam Tok-liong-tong, guha Naga Beracun di Leng Tjoa San, gunung Ular Sakti, di distrik Tay-lie, bahwa guha itu dijaga oleh delapan-belas murid Ngo Tok Kauw. Dia lantas saja desak aku, dia minta aku antar padanya, untuk dia curi pedang itu. Dia bilang, dia hendak pakai pedang itu untuk satu kali saja, sehabis dia berhasil menuntut balas, dia nanti kasi kembali. Ia sangat mendesak aku, sampai hatiku jadi lemah. Begitulah telah terjadi, aku curi leng-pay dari koko. Dengan bawa itu, aku ajak dia pergi ke Leng Tjoa San. Karena adanya lengpay dan yang antar pun aku sendiri, penjaga-penjaga guha ijinkan kita masuk ke dalam guha."
"Bibi," tanya Tiat Tjhioe, "apa mungkin kau berani memasuki guha itu dengan berpakai pakaian?"
"Meski juga nyaliku besar, aturan kita itu tak berani aku langgar," jawab Ho Ang Yo. "Aku telah buka semua pakaianku, dengan telanjang bulat, sambil separuh merayap, aku masuk ke dalam guha. Dia turut masuk dengan menelad contohku. Pedang dan dua mustika lainnya ditaruh di atas naga-nagaan batu. Dia pandai berlompat tinggi, dengan gampang dia bisa naik ke atas naga-nagaan. Begitulah dia ambil pedang mustika itu. Aku tidak sangka, dia kandung hati yang kurang lurus, kecuali pedang Pek-hiat Kim Tjoa Kiam, sekalian dia ambil dua mustika lainnya, ialah dua-puluh empat batang bor ular emas Kim-
tjoa-tjoei serta peta bumi kita."
Bab 22
Si uwah jelek berhenti sebentar, untuk menghela napas, guna entengi hatinya. "Begitu aku dapat tahu dia ambil tiga-tiganya mustika, segera aku merasakan firasat jelek," dia melanjuti selang sesaat. "Maka aku lantas desak dia supaya dia tinggalkan Kim-tjoa-tjoei dan peta bumi itu...."
"Peta apakah itu?" Tjeng Tjeng memotong. "Ayahku cuma berniat keras mencari balas, mustahil dia kehendaki juga peta bumi kamu?"
"Aku sendiri tidak tahu, peta itu ada peta apa," sahut Ho Ang Yo. "Apa yang kami tahu itu adalah mustika yang telah diwariskan sejak beberapa puluh turunan. Hm! Dia benar-benar kandung maksud tidak baik! Dia tidak perdulikan permintaanku, dia cuma awasi aku sambil tertawa. Sudah disebutkan, adalah aturan Ngo Tok Kauw kita, siapa memasuki guha Tok-liong-tong, kita dilarang mengenakan pakaian meski cuma selembar, maka bisalah dimengerti keadaan kita berdua pada waktu itu. Demikian aku, tanpa aku sadar, aku telah lantas serahkan diri kepada dia. Sejak itu, aku tidak tanyakan suatu apa lagi terhadapnya. Secara demikian, kita telah curi ketiga mustika. Dia sudah bilang padaku, setelah selesai mencari balas, dia bakal kembali, untuk kembalikan tiga mustika itu. Setelah dia pergi, setiap hari aku harap-harap kembalinya, tetapi, sampai dua tahun, dari dia tidak ada kabar-ceritanya. Baru belakangan aku dengar cerita antara kaum kang-ouw bahwa di Kanglam telah muncul satu pendekar luar biasa yang bersenjatakan sebatang pedang aneh serta bor emas, karena mana, dia dijuluki Kim Tjoa Long-koen, Pendekar Ular Emas. Aku percaya betul, pendekar itu mesti dianya. Aku terus pikiri dia, aku menduga-duga, sudahkah dia menuntut balas atau belum. Lewat lagi sekian lama, kauwtjoe bercuriga, dia lantas periksa guha Tok-liong-tong, dengan kesudahannya pecahlah rahasia pencurian ketiga mustika. Atas itu, kauwtjoe wajibkan aku menghukum diriku sendiri. Dan sebagai kesudahan beginilah jadinya rupaku....."
"Kenapa kau jadi begini?" Tjeng Tjeng tegasi. Ho Ang Yo ada sangat murka, tak sudi ia menjawabnya. Tapi Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan dia kata kepada ahliwarisnya Kim Tjoa Long-koen: "Ketika itu yang menjadi kauw-tjoe ada ayahku, Ayah sangat berduka yang adiknya sendiri melakukan pelanggaran hebat itu, saking malu dan berduka, ia dapat sakit, terus dia menutup mata. Bibi telah jalankan aturan agama kita, ia hukum diri dengan masuk ke dalam guha ular, hingga ribuan ular gigiti dia. Begitulah, rusaknya muka bibi." Tjeng Tjeng menggigil, dia jeri sendirinya, akan tetapi berbareng, terhadap si uwah dia tidak lagi membenci seperti tadinya. "Setelah bibi obati diri dan sembuh," Ho Tiat Tjhioe terangkan lebih jauh, "ia lantas bikin perjalanan sebagai pengemis. Adalah aturan perkumpulan kita, siapa lakukan pelanggaran hebat, dia mesti hidup sebagai pengemis lamanya tiga-puluh tahun, selama mana dia dilarang mencuri uang baik satu boen atau mencuri nasi satu butir, malah dia dilarang juga menerima tunjangan dari sesama kaum Rimba Persilatan." Ho Ang Yo perdengarkan suara di hidung. "Mulanya masih saja aku ingat dia, maka itu sembari mengemis di sepanjang jalan, aku susul dia di Kanglam," cerita terus uwah ini. "Begitu lekas aku memasuki wilayah Tjiatkang, aku lantas dengar kabar hal dia sudah bunuh orang di Kie-tjioe, untuk pembalasannya. Ingin aku menemui dia, maka aku cari padanya. Tapi ia tidak punyakan tempat kediaman yang tentu maka adalah sulit untuk cari ketemu padanya. Ketika akhirnya aku bertemu juga dengannya di Kim-hoa, waktu itu dia telah kena ditawan orang. Beberapa kali aku mencoba menolongi dia, selalu aku tidak berhasil. Musuh-musuhnya telah jaga dia kuat sekali hingga tak bisa aku turun tangan. Dia telah dibawa ke Utara. Aku merasa sangat heran, aku tidak tahu, kenapa dia ditangkap dan dibawa pergi. Baru kemudian aku dengar kabar, orang hendak paksa dia supaya dia serahkan peta yang dicurinya. Nyata peta itu ada peta lukisan dari suatu tempat simpan harta besar. Pada satu waktu, bisa juga aku dapatkan ketika akan bicara sama dia. Dia kasi tahu aku bahwa orang telah bikin putus semua urat-uratnya, hingga ia jadi seorang yang bercacat. Menurut dia, semua pengantarnya ada orang-orang liehay, maka sendirian saja, tidak nanti aku bisa tolongi dia. Dia bilang, dia punya cuma satu harapan untuk bisa hidup terus. Ialah kapan ia bisa pancing musuh-musuhnya pergi ke puncak gunung Hoa San. Dan itu waktu, dia sedang memancingnya."
"Bibi," tanya Ho Tiat Tjhioe, "kejadian selanjutnya lebih-lebih aku tidak tahu. Apa maksud sebenarnya memancing musuh ke gunung Hoa San itu?"
"Dia bilang di kolong langit ini cuma satu orang yang bisa tolong dia," sahut Ho Ang Yo. "Orang itu ada Pat-tjhioe Sian Wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan dari Hoa San Pay." Gegetun Sin Tjie akan dengari penuturan orang itu, sampai ia tak tahu, berhubung sama sepak-terjangnya Kim Tjoa Long-koen itu, ia mesti membencinya atau mengasihaninya. Di
lain sebelah, ia jadi sangat ketarik akan dengar disebut-sebutnya nama gurunya. Juga Tjeng Tjeng sangat ketarik mendengar namanya Bok Djin Tjeng, gurunya pemuda pujaannya itu. Demikian semua orang pasang kuping mendengari Ho Ang Yo mulai pula dengan perlanjutan penuturannya: "Aku tanya dia, siapa itu Bok Djin Tjeng. Dia bilang, orang she Bok itu ada ahli pedang yang di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Menurut dia, sebenarnya dia tidak kenal Bok Djin Tjeng, dia belum pernah menemuinya juga, dia melainkan dengar, orang she Bok itu ada satu orang jujur dan pembela keadilan, Dia percaya, asal Bok Djin Tjeng dapat tahu bagaimana dia telah dipersakiti, pendekar itu pasti akan suka tolongi dia. Katanya Ngo Heng Tin dari lima persaudaraan Oen ada sangat liehay, sudah begitu, mereka dibantu oleh imam-imam dari Ngo Bie Pay, maka kecuali Bok Djin Tjeng, lain orang tak dapat mengalahkan mereka. Maka itu dia suruh aku lekas-lekas pergi ke Hoa San, akan cari Bok Tayhiap, untuk minta bantuan. Ia anjurkan aku untuk memohon sambil menangis, supaya Bok Tayhiap suka menolong. Aku telah terima baik permintaannya itu, aku malah sudah lantas ambil putusan, umpama kata Bok Tayhiap tidak sudi meluluskan, akan membantu, aku hendak bunuh diri di depannya. Aku telah berkeputusan akan tolongi dia. Karena penjagaan kuat sekali, tidak berani aku bicara lama dengannya. Ketika aku hendak berlalu, aku rangkul dia. Dengan tiba-tiba aku dapat cium bau harum pada dadanya, bau dari wewangian orang perempuan, maka aku merogo ke dalam sakunya, hingga aku tarik keluar satu kantong sulam hiang-ho-pauw dalam mana ada termuat segumpal rambut wanita serta sebuah tusuk konde emas yang mungil. Tubuhku sampai menggigil saking ku gusar. Aku tanya, siapa yang berikan itu kepadanya, dia tidak mau memberitahukan. Aku telah ancam dia, apabila dia tetap tidak mau beritahu, aku tidak mau cari Bok Tay-hiap, tapi dia tetap tutup mulutnya. Dia telah perlihatkan sikapnya yang angkuh. Dan, lihat, lihat! Sikapnya bocah ini juga sama angkuhnya dengan dia!" Dan si uwah jelek ini tuding Tjeng Tjeng. Ia bicara dengan suara keras, akan tetapi pada itu ada tercampur irama kedukaan hebat. Habis itu, ia melanjuti: "Tadinya aku hendak desak dia, untuk paksa dia memberitahukannya, apamau orang Tjio Liang Pay yang menjaga dia telah keburu balik, dengan terpaksa, aku tinggalkan dia. Bukan main masgulnya hatiku. Aku telah menderita untuk dia, siapa tahu, dia justru siasiakan aku dan punyakan lain kekasih. Ketika kemudian dia telah sampai di Hoa San, aku tidak pergi cari Bok Tayhiap. Dengan bisaku sendiri, aku telah racuni dua imam yang jagai dia. Rupanya pihak Oen tidak menyangka bahwa diam-diam ada orang mencoba tolongi orang tawanannya itu. Begitulah, selagi mereka beralpa, aku bawa dia lari, aku sembunyikan dia di dalam sebuah guha. Ketika keluarga Oen mendapat tahu dia terhilang, mereka jadi heran dan sibuk, mereka mencari ubak-ubakan tanpa hasil, hingga kesudahannya mereka saling curigai orang sendiri, sampai mereka berselisih. Di akhirnya, mereka memencar diri, untuk geledah seluruh gunung Hoa San. Kesudahannya, mereka membangkitkan amarahnya Bok Tay-hiap, hingga Tay-hiap telah gunai akal, membikin mereka ketakutan sendiri dan lantas lari kabur. Pada malam itu, aku desak dia untuk beritahu aku she dan namanya kekasihnya itu. Dia tetap menolak, mungkin dia insaf, satu kali aku mendapat tahu, aku bisa pergi cari kekasihnya itu, untuk dibunuh. Dia sendiri sudah tidak punya guna, tidak nanti bisa susul aku, dia kuatir nanti tak dapat dia melindungi kekasihnya itu. Karena dia terus tutup mulut, aku jadi sangat murka, beruntun selama tiga hari, setiap pagi aku rangket dia dengan rotan, begitupun setiap tengah-hari dan sore...."
"Hai, perempuan jahat!" teriak Tjeng Tjeng. "Bagaimana kau tega menyiksa ayahku!..."
"Dia yang berbuat, dia mesti terima bagiannya!" kata Ho Ang Yo dengan sengit. "Makin lama aku hajar dia, makin aku sengit, akan tetapi dia, dia tertawai aku, dia tertawa makin besar. Dia bilang, sejak mulanya dia tidak menyukai aku, bahwa kekasihnya ada cantik sekali, manis dan lemah-lembut, orangnya jelita, lebih memang seratus kali daripada aku! Setiap patah kata dia ucapkan, setiap rotan aku berikan, tetapi setiap kali aku rangket dia, setiap kali juga dia banggai kekasihnya itu, si perempuan hina! Aku telah hajar dia sampai akhirnya tidak ada tubuhnya yang utuh, akan tetapi terus-terusan ia tertawa, terus saja ia masih puji dan banggai kekasihnya itu.... Sampai di hari ketiga, selagi dia jadi sangat lemah, aku sendiri pun jadi sangat lelah, lelah karena terlalu mendongkol, sebab habis tenaga. Kemudian aku pergi keluar, untuk cari bebuahan. Ketika aku pulang, dia tunggu aku di mulut guha, dia larang aku masuk. Dia mengancam, satu tindak berani aku melangkah, dia akan tikam aku. Aku tidak berani sembarang masuk. Aku kasi tahu padanya, asal dia beritahukan aku she, nama dan alamat kekasihnya, aku suka maafkan dia untuk tak berbudinya, tetapi dia tertawai aku, dia tertawa terbahak-bahak. Dia bilang, dia cintai kekasihnya melebihi jiwanya sendiri! Secara demikian, kami bentrok. Aku ada punya bebuahan untuk dimakan, dia sendiri, dia mesti menahan lapar. Aku dapat tahu, Bok Tay-hiap telah pergi turun gunung, mungkin dalam satu-dua tahun, dia tidak akan kembali, maka itu, tidak nanti ada orang yang tolongi dia...."
"Secara demikian, bibi, kau bikin dia mati kelaparan?" tanya Ho Tiat Tjhioe. "Hm, tidak secara demikian gampang aku membikin dia mati!" sahut sang bibi. "Lagi beberapa hari, setelah dia habis tenaganya, aku masuk ke dalam guha, aku bikin patah kedua kakinya..." Tjeng Tjeng menjerit, dalam sakitnya, dia berlompat untuk bangun, akan serang uwah itu. Ho Tiat Tjhioe tekan pundak orang, akan bikin anaknya Kim Tjoa Long-koen tak dapat bangun. "Kau dengari sampai bibi berceritera habis," katanya. "Puncak Hoa San ada sangat tinggi dan berbahaya, dengan kedua kakinya patah, tidak nanti dia bisa turun gunung lagi," demikian Ho Ang Yo meneruskan ceritanya. "Begitulah aku pergi turun gunung, akan cari kekasihnya itu. Adalah keputusanku, apabila aku berhasil mendapatkan kekasih itu, aku bakal bikin rusak mukanya hingga jadi jauh terlebih jelek daripada mukaku, setelah itu, aku nanti gusur dia ke Hoa San, untuk dipertemukan dengannya, aku ingin lihat, dia masih memuji-muji dan membanggai atau tidak! Setengah tahun sudah aku mencari, tidak pernah aku peroleh endusan. Aku niat kembali ke Hoa San, untuk tengok dia, aku kuatir, mungkin Bok Djin Tjeng sudah pulang ke gunungnya, mungkin Bok Tay-hiap dapat menemukan dia dan menolongnya. Aku telah saksikan sendiri liehaynya Bok Tay-hiap ketika ia usir keluarga Oen, maka apabila Bok Tay-hiap nanti bantu dia, bisa celaka aku. Maka aku segera balik ke gua gunung. Di luar sangkaanku, aku tidak dapat ketemukan dia di dalam guha, aku cari dia di puncak, tidak juga aku menemukannya. Entah dia telah ditolongi Bok Tay-hiap atau oleh orang lain. Seterusnya, selama dua-puluh tahun, tidak pernah aku dengar pula tentang dia, percuma saja aku cari dia di segala penjuru, hingga tak tahu aku manusia tidak punya liangsim itu sudah mati atau masih hidup...."
Mendengar sampai di sini, tahulah sekarang Sin Tjie sebabnya kenapa Kim Tjoa Long-koen keram diri di dalam guhanya yang istimewa itu, terang dia menyingkir dari orang Ngo Tok Kauw ini yang dia tidak sanggup lawan karena dia sudah tidak berdaya lagi, dia lebih suka terbinasa daripada mesti minta bantuannya lain orang. Selagi pemuda ini berpikir, tiba-tiba ia dengar bentakannya Ho Ang Yo. "Aku tidak sangka dia justru tinggalkan kau sebagai keturunan celaka!" demikian uwah itu, yang tuding Tjeng Tjeng, suaranya sangat bengis. "Mana ibumu? Aku tahu shenya she Oen tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana! Hayo bilang, dimana adanya ibumu sekarang. Jika tidak, aku nanti korek biji matamu!" Diancam begitu, Tjeng Tjeng justru tertawa besar. "Kau jahat! Jahat!" jawabnya. "Benar apa yang ayahku bilang, ibuku ada jauh terlebih baik daripada kau, bukan cuma seratus kali, hanya seribu kali, selaksa kali!" Tak kepalang murkanya Ho Ang Yo hingga ia ulur kedua tangannya, untuk dengan sepuluh jarinya cakar muka orang! Tjeng Tjeng tarik kepalanya, sedang Ho Tiat Tjhioe tahan tangan bibinya itu. "Kau mesti bikin dia kasi tahu tempat kediaman ibunya, Baru aku suka kasi ampun padanya!" dia menjerit terhadap pemimpin dari Ngo Tok Kauw. "Sabar, bibi," kata ketua itu. "Bukankah kamis edang punya urusan besar? Kenapa untuk urusan pribadi kau ingin ciptakan onar? Bukankah urusan dengan Boe Tong Pay juga disebabkan gara-garamu?"
"Hm, itu disebabkan Oey Bok Toodjin ngaco-belo sendiri!" kata si uwah jelek. "Kenapa dia sebut-sebut bahwa dia kenal Kim Tjoa Long-koen? Kenapa dia bikin aku dapat dengar ocehannya itu? Tentu saja karena ocehannya itu aku paksa dia mesti sebutkan tempat sembunyinya itu manusia tak berbudi!"
"Kau telah kurung dia begitu lama, dia tetap tidak hendak memberitahukannya," kata pula Ho Tiat Tjhioe, "Mungkin dengan sebenar-benarnya dia tidak tahu orang punya alamat. Sama sekali tidak ada faedahnya untuk kau menambah musuh...."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut. "Jadi inilah sebabnya bentrokan Ngo Tok Kauw dengan Boe Tong Pay," pikir dia. "Menurut dia ini, jadinya Oey Bok Toodjin masih belum terbinasa, dia cuma masih ditahan." Ho Ang Yo sengit ditegur kauwtjoenya itu. Maka dia kata pada pemimpinnya ini: "Binatang she Wan itu sudah kangkangi pedang Kim Tjoa Kiam kita, dengan Kim-tjoa-tjoei dia binasakan anjing kita, dia pun masih simpan peta kita - tiga-tiga pusaka kita berada di dalam tangannya! Kau sebagai kauwtjoe, kenapa kau tidak hendak berdaya untuk dapat pulang itu semua?" Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Cukup, bibi!" kata dia. "Aku ketahui semua itu! Sekarang silakan kau keluar dulu, untuk beristirahat...." Masih si bibi penasaran. "Aku telah bilang semua!" katanya. "Kau suka turut rencanaku atau tidak, kau suka tolong lampiaskan kemendongkolanku atau tidak, semua terserah pada kau!" Kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw lawan tertawa pada bibinya itu, ia tidak mengiakan atau menampik. "Mari keluar, aku hendak bicara denganmu!" kata Ho Ang Yo. "Bukankah di sini sama saja?" tanya si nona kauwtjoe. "Tidak! Mari kita keluar!" Ang Yo desak. Kalah juga Tiat Tjhioe, ia suka keluar. Sin Tjie lihat dua orang itu berlalu, ia tunggu sampai rasanya orang sudah pergi jauh, lantas ia merayap keluar dari kolong pembaringan.
"Adik Tjeng, mari kita pergi!" katanya. Tjeng Tjeng tidak lantas menjawab, hanya dengan muka perongosan ia awasi Wan Djie, rambut siapa kusut, muka siapa berlepotan debu. "Hm!" katanya. "Untuk apa kamu berdua bersembunyi?" Wan Djie tercengang, mukanya merah, sampai ia diam saja. "Lekas bangun," Sin Tjie bilang, tanpa menjawab pertanyaan itu. "Mereka itu kandung maksud tidak baik, mereka sedang memikir daya untuk celakai kau...."
"Lebih baik lagi jikalau mereka bikin aku mati! Aku tidak mau pergi!"
"Apa juga adanya urusan, di rumah nanti kita damaikan," Sin Tjie membujuk. "Di waktu begini apa kau masih hendak mensiasiakan ketika? Kau hendak mengacau?"
"Aku justru hendak mengacau!" Sibuk juga Sin Tjie. Ia ingat orang punya adat berandalan. Ia tahu, asal mereka berayalan,
sulit untuk mereka keluar dari istana itu. Di lain pihak urusan raja ada penting sekali. "Adik Tjeng, kau kenapa?" ia tanya. Ia ulur tangannya, dengan niat tarik pemudi itu. Tjeng Tjeng sedang sengit, ia sambuti tangan orang, untuk dibawa ke mulutnya, untuk digigit! Sin Tjie tidak menyangka, hampir saja tangannya itu kena tergigit, baiknya ia dapat kesempatan untuk tarik pulang. Ia tapinya heran. "Kau angot?" tanya dia. "Habis?" Tjeng Tjeng singkap selimut, untuk tungkrap kepalanya. Sin Tjie mendongkol berbareng bingung, hingga ia banting-banting kaki. "Wan Siangkong," kata Wan Djie, "kau tunggu bersama Nona Hee, aku hendak keluar sebentar."
"Kau hendak pergi kemana?" Wan Djie tidak menjawab, ia tolak daun jendela, untuk loncat keluar. Sin Tjie duduk di tepi pembaringan, ia masgul. Tjeng Tjeng membalik tubuh, akan madap kedalam. Pemuda kita kuatir sekali Ho Tiat Tjhioe nanti kembali. Tiba-tiba ada terdengar suara tindakan di arah pintu, tidak tempo lagi, Sin Tjie enjot tubuhnya, akan loncat naik ke penglari di mana ia lintangkan tubuhnya. Itulah Ho Kauwtjoe, yang telah balik. Dia ini palang pintu, lantas dengan tindakan pelahan, dia dekati Tjeng Tjeng. Sin Tjie siapkan dua batang bor, asal kauwtjoe itu turun tangan, ia hendak menyerang. "Hee siangkong," katanya dengan pelahan, sambil ia awasi tubuh orang. "Aku hendak bicara sama kau..."
Tjeng Tjeng berpaling. "Bibiku sangat menyintai ayahmu, coba bilang, adalah dia seorang rendah?" tanya Tiat Tjhioe.
Ditanya begitu, Tjeng Tjeng menjadi heran. Inilah pertanyaan yang ia tidak sangka. Maka ia tercengang. "Itu berarti cinta yang sangat, bagaimana bisa dibilang rendah?" ia jawab. Lantas ia menambahkan dengan suara tinggi: "Siapa tidak berpribudi, dia Barulah rendah!" Tiat Tjhioe heran. Tak tahu ia, kata yang belakangan ini ditujukan kepada Sin Tjie. Tapi ia girang. "Ayahmu itu tidak berjodo dengan bibiku, dia tak dapat dipersalahkan," kata kauwtjoe ini. "Dia pun rela mati daripada menyebutkan tempat kediaman ibumu, dia tetap melindunginya, sebenarnya dia ada seorang yang menyinta sangat, dia setia."
"Sayang jarang ada orang semacam ayah!" bilang Tjeng Tjeng. "Umpama ada seorang semacam dia, yang tidak hiraukan jiwa sendiri untuk lindungi kau bisakah kau ingat dia untuk selamanya?" Ho Tiat Tjhioe tanya pula. "Aku tidak punyakan itu macam rejeki!"
"Dulu tak mengerti aku mengapa bibi demikian tergila-gila terhadap seorang lelaki," kata pula Tiat Tjhioe. "Aku....aku.....ya, sudahlah, aku tidak ingin kau bilang apa-apa lagi.... Sukur jikalau kau ingat aku, tidak ingat juga tidak apa...." Ia balik tubuhnya, untuk pergi keluar pula. Tjeng Tjeng berbangkit, akan duduk dengan bengong. Tidak mengerti ia sikapnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Sin Tjie melayang turun. "Nona tolol, dia menyintai kau!" katanya sambil tertawa. "Apa?" tanya Tjeng Tjeng dengan heran. Sin Tjie tertawa. "Dia menyangka kau lelaki!" katanya. Perkataan pemuda ini membikin sang pemudi insaf. Pantas selama tertawan, sikapnya Ho Tiat Tjhioe terhadapnya ada baik, malah manis-budi. Untuk sementara ia telah melupakan dandanan penyamarannya itu. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. Itulah lucu! "Bagaimana sekarang?" ia tanya. "Kau menikah dengan Ngo Tok Hoedjin itu!" Sin Tjie bergurau. ("Ngo Tok Hoedjin" berarti "Nyonya dari Ngo Tok Kauw".) Di saat Tjeng Tjeng hendak berkata pula, daun jendela terpentang dengan tiba-tiba dan Tjiauw Wan Djie lompat masuk, di belakangnya turut Lo Lip Djie, yang bertangan satu. Melihat nona itu, kembali air mukanya Nona Hee guram, lenyap senyumannya yang manis. "Wan Siangkong," berkata Wan Djie dengan sikapnya sungguh-sungguh tetapi tenang. "Aku bersukur sangat yang kau telah berikan bantuanmu yang besar hingga berhasil aku mencari balas, maka sekarang ingin aku memberitahukan bahwa besok pagi aku berniat pulang ke Kimleng. Di masa hidupnya ayah, ia ada sangat kagumi kau, sedang Lo Soeko ini sangat berterima kasih kepadamu yang sudah ajarkan dia ilmu silat golok bertangan satu, hingga kau mirip dengan gurunya...." Sin Tjie awasi nona itu, kata-kata siapa membuat ia heran. "Sekarang, siangkong," kata Wan Djie meneruskan, "kami berdua hendak memohon sesuatu kepadamu...."
"Jangan kesusu," berkata pemuda kita, walaupun ia belum mengerti maksud orang. "Mari kita berlalu dulu dari istana ini, Baru kita bicara."
"Tidak, Wan Siangkong," Nona Tjiauw mendesak. "Aku Cuma mau minta supaya kau menjadi wakil kami, supaya kau ijinkan perjodoanku dengan Lo Soeko ini!" Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie terperanjat mendengar perkataan nona itu, bukan
terperanjat karena kaget tetapi saking heran. Malah Lo Lip Djie sendiri tidak menjadi kecuali. "Soe...soemoay!" kata ini kakak seperguruan, "Apakah kau bilang?"
"Apakah kau tidak suka aku?" Wan Djie tanya sambil ia awasi soeheng itu. Lip Djie kembali tercengang. "Aku....aku....." katanya, tergandat. Mendadak saja, Tjeng Tjeng menjadi sangat gembira. "Bagus!" seru dia. "Aku kasi selamat pada kamu berdua!" Sin Tjie cerdik, segera ia insaf maksudnya Nona Tjiauw. Ialah Wan Djie hendak buktikan, dia tidak ada punya hubungan apa-apa sama ia, bahwa pergaulan dan persahabatan mereka berdua ada putih-bersih, maka itu tanpa likat lagi, nona ini kemukakan perjodoannya dengan Lo Lip Djie. Dengan cara ini, Wan Djie hendak singkirkan kecurigaan dan cemburunya Tjeng Tjeng, untuk sekalian juga membalas budinya. Maka itu, tak kepalang bersukurnya ia kepada nona yang cerdas ini.
Tjeng Tjeng juga cerdik, ia bisa menduga hatinya Nona Tjiauw, walaupun ia memberi selamat, ia jengah sendirinya. Tapi ia polos, ia jujur, malah lantas ia jabat tangan Wan Djie. "Adik, aku berlaku tidak pantas terhadapmu," katanya, mengakui. "Aku minta kau tidak berkecil hati."
"Mana bisa aku berkecil hati terhadapmu, enci," Wan Djie kata. Meski ia mengucapkan demikian, puteri almarhum Tjiauw Kong Lee toh melinangkan air mata. Ia bersedih karena orang telah curigai ia, hingga sebagai satu nona, ia bertindak di luar garis. Sebenarnya tidak tepat ia yang meminta perkenan dari Sin Tjie untuk perjodoannya dengan Lip Djie. Tetapi keadaan memaksa, ia terpaksa tebali muka. Tjeng Tjeng insaf kekeliruannya, ia turut berduka, hingga ia pun ikut menangis.
Ketenteraman mereka berempat segera terganggu oleh suara tindakannya tujuh atau delapan orang, yang lagi mendatangi ke arah mereka. Sin Tjie segera geraki tangannya, selaku tanda. Sebat luar biasa, Lip Djie lompat ke jendela, untuk menolak daunnya. Berbareng dengan itu, di pintu terdengar suara membentak dari Ho Tiat Tjhioe: "Sebenarnya siapa menjadi kauw-tjoe?" Lalu terdengar suara Ho Ang Yo: "Kenapa kau tidak mau bertindak menuruti aturan kita? Baiklah kita bersembahyang kepada Tjouwsoe, untuk angkat satu kauwtjoe baru!" Segera terdengar suara seorang laki: "Binatang itu ada musuh besar dari Ngo Tok Kauw, kenapa Kauwtjoe terus-terusan hendak melindungi dia?" Terdengarlah suara tertawa dari Ho Tiat Tjhioe, yang kata: "Aku larang kamu masuk kedalam kamar ini! Siapa berani maju?" Kauwtjoe ini tertawa tetapi dia menantang, suaranya keren. "Mari kita bereskan dulu itu binatang!" kata seorang lelaki lain. "Urusan kita, kita boleh bereskan belakangan!" Suara tindakan kaki berat dan sebat terdengar maju ke arah pintu, menyusul itu terdengarlah satu jeritan hebat, disusul sama suara terbantingnya satu tubuh ke lantai. Rupanya orang itu telah jadi korbannya Ho Tiat Tjhioe. Sin Tjie lantas beri tanda pula kepada tiga kawannya. Lo Lip Djie lompati jendela, disusul oleh Wan Djie, di belakang siapa, Tjeng Tjeng pun menyusul. Itu waktu, di muka pintu terdengar bentrokan pelbagai senjata. Teranglah, perang saudara telah terjadi di dalam Ngo Tok Kauw - Ho Tiat Tjhioe telah tempur saudara-saudaranya separtai. Setelah sedikit lama, Sin Tjie dengar dupakan pada pintu kamar, hingga daun pintu menjeblak, tubuh seorang nerobos masuk. Sin Tjie lantas saja lompat ke jendela, untuk angkat kaki. Orang yang Baru masuk itu lihat satu bebokong berkelebat dan lenyap, hingga tak sempat ia untuk mengenalinya bebokong siapa."Lekas, lekas!" dia berteriak-teriak. "Binatang itu kabur!" Ho Tiat Tjhioe terkejut, juga kawan-kawannya, hingga pertempuran berhenti seketika, semuanya lantas memburu ke dalam kamar, hingga mereka lihat kamar kosong dari manusia dan daun jendela menjeblak terpentang. Tanpa ayal lagi, Ho Tiat Tjhioe lompat ke luar jendela, Ia bermata tajam, masih ia dapat lihat satu bajangan nyelusup masuk ke tempat banyak pepohonan, segera ia menyusul. Tapi menyusul dengan kandung maksud sendiri-diri. Dia kira bajangan itu ada dari Tjeng Tjeng, ingin dia lindungi "pemuda" itu, untuk cegah ia terjatuh ke dalam tangan kawan-kawannya. Bajangan di depan itu berlari-lari teurs, dia putari beberapa pekarangan, akhirnya dia melenyapkan diri di tembok merah dari keraton. Sin Tjie sengaja menyingkir paling belakang, ia pun ambil jurusan lain daripada yang diambil Tjeng Tjeng bertiga. Ia lihat bagaimana Ho Tiat Tjhioe terus susul padanya, ia sengaja lari untuk segera lenyap dari pandangan mata kauwtjoe itu. Adalah setelah menduga Tjeng Tjeng bertiga sudah keluar jauh dari istana, Baru ia lenyapkan diri di belakang tembok keraton tadi. Selagi menghampirkan sebuah pintu, Sin Tjie lantas mencium bau harum berkesiur-siur halus. Ia tolak daun pintu, untuk sembunyikan diri di lain sebelah dari pintu itu, sembari sembunyi ia mengawasi ke sekitarnya. Kapan ia telah melihat nyata, ia jadi jengah sendirinya, kupingnya ia rasai panas tak keruan-ruan....Nyatalah ia berada di dalam sebuah kamar yang indah dan lengkap perabotannya. Kelambu ada kelambu sulam, permai sepre dan selimutnya. Permadani kuning telur juga ada tersulam bunga mawar merah yang besar. Di meja dekat jendela ada terdapat pelbagai rupa alat berhias dari seorang perempuan. Perabotan lainnya adalah barang-barang kuno. "Mungkin ini kamarnya satu selir...." Pikir anak muda ini. "Tidak seharusnya aku berdiam di sini....." Selagi ia hendak bertindak ke pintu, lantas kupingnya dengar pelbagai tindakan halus disusul sama orang-orang perempuan bicara sambil tertawa-tawa. Maka ia merandak. "Jikalau aku paksa keluar, aku bakal bersomplokan dengan nona-nona keraton ini," ia pikir. "Satu kali aku kepergok, keraton bakal jadi kacau, mungkin aksinya Tjo Thaykam jadi terganggu dan tertunda. Maka lebih baik aku sembunyikan diri, untuk melihat selatan." Karena ini ia lompat ke belakang sekosol yang bergambar seorang wanita cantik serta bunga bouw-tan. Sebentar saja, daun pintu telah ditolak terpentang, empat dayang bertindak masuk sambil iringi satu perempuan muda. "Thianhee ingin beristirahat atau hendak membaca buku dulu?" tanya satu dayang. Mendengar itu, Sin Tjie terkejut. "Jadinya ini ada kamarnya puteri raja," pikirnya. "Ah, baiklah kau tidur saja, tak usah baca buku lagi....." ia harap-harap. Si nona, atau kiongtjoe, puteri raja, tidak menyahuti tegas, ia hanya jatuhkan diri di atas pembaringan. "Apakah perlu membakar dupa?" satu dayang tanya pula. Kembali puteri itu perdengarkan jawaban tak nyata. "Ehm...." Terdengarnya. Selang tidak lama, Sin Tjie dapat cium bau dupa yang wangi-halus, hingga tanpa merasa, ia jadi lesu dan ingin tidur.... "Bawa kemari akupunya pit dan gambar, habis kamu semua pergi keluar," kemudian berkata si puteri raja. (Pit adalah alat menulis.) Sin Tjie terperanjat. "Satu suara yang aku kenal baik...." pikirnya. Berbareng ia pun sibuk. Kalau puteri ini melukis gambar, pasti dia akan ambil banyak tempo. Bagaimana dapat ia berdiam lama-lama di dalam kamar ini? Dayang-dayang telah lantas siapkan perabot-tulis dan alat melukis lainnya, setelah itu, semuanya segera undurkan diri. Kamar menjadi sunyi pula, cuma kadang-kadang saja terdengar suara meretak di dalam pendupaan, dari kayu cendana yang terbakar. Tidak berani Sin Tjie berkutik. Tidak lama terdengarlah elahan napas dari si puteri, yang terus menyanyikan sebuah syair dengan pelahan:
"Musim semi dari berlaksa lie membawa tetamu datang Bunga dari sepuluh tahun membuat si cantik menjadi tua Tahun yang lampau di masa bunga mekar, aku jatuh sakit Tapi tahun ini, menghadapi sang bunga, masih terlalu pagi." Itulah suara halus dan merdu akan tetapi sifatnya sedih. Sin Tjie heran. Kenapa satu puteri raja mesti berduka? Ia pun heran, mengapa suara itu seperti ia kenal baik. Sementara itu, ia merasa lucu untuk kedudukannya ini. "Aku ada seorang kang-ouw, kecuali kali ini, belum pernah aku datang ke kota raja, maka dimana pernah aku bertemu sama puteri raja seperti dia ini? Tidak, aku tidak kenal dia.....Dia mungkin mirip dengan salah satu kenalanku...." Si puteri telah bertindak ke dekat meja, lantas terdengar suara ia menggerak-geraki alat tulisnya, rupanya ia sudah mulai melukis. Sin Tjie menantikan dengan pikiran terbenam. Itu waktu, pintu telah ditutup dan daun jendela pun sudah dirapatkan. Tanpa menggunai kekerasan, tak dapat ia keluar dari kamar ini.... Sang puteri masih terus melukis, sampai terdengar ia lempangkan pinggangnya, mungkin ia merasa letih. "Lagi dua-tiga hari, gambar ini akan selesai," kata dia seorang diri. "Setiap hari aku memikirkanmu, apakah kau juga setiap saat mengingat-ingat aku?" Ia berbangkit, ia pindahkan gambarnya ke kursi, lalu kursi itu dipindahkan ke depan pembaringan. "Kau diam di sini, untuk temani aku...." katanya pula. Kemudian ia buka baju luarnya, untuk naik ke pembaringan. Keheranan Sin Tjie bertambah-tambah. Siapa itu yang dilukis puteri ini, yang dibuat ingat-
ingatan? Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, ia geraki kepalanya, untuk memandang ke depan pembaringan, ke arah kursi, guna lihat gambar buatannya si puteri. Apabila ia telah lihat gambar itu, keheranannya memuncak, hingga ia terperanjat. Itulah gambarnya Wan Sin Tjie! Gambar itu sudah berpeta jelas walaupun katanya belum sempurna. Di situ ia terlukiskan sedang bersenyum riang-gembira. Inilah tidak disangka si anak muda, tanpa merasa, ia perdengarkan suara herannya: "Ah!...." Kuping si puteri terang luar biasa, ia dapat dengar suara sangat pelahan, tangannya mencabut tusuk konde, tanpa memutar tubuh lagi, tangannya itu dikasi melayang! Sin Tjie terkejut, menyusul suara angin menyambar, ia angkat tangannya, akan tanggapi tusuk konde itu. Menyusul serangannya itu, si puteri telah putar tubuhnya, maka sekarang kedua orang jadi saling mengawasi, dengan kesudahannya dua-duanya tergugu melongo! Sebab segera mereka saling mengenali.
Sin Tjie kenali A Kioe, muridnya Thia Tjeng Tiok. Memangnya ia curigai nona itu, yang dilindungi oleh siewie, ia menduga kepada seorang tak sembarangan, ia hanya tidak sangka, si nona adalah satu puteri raja. Muka A Kioe pucat, lalu bersemu merah. "Wan Siangkong, mengapa kau ada di sini?" akhirnya dia tanya. Dengan cepat ia dapat tenteramkan diri. Sin Tjie lantas memberi hormat. "Siauwdjin bersalah," ia mengakui. "Dengan lancang aku telah menerobos masuk ke dalam kamar kiongtjoe ini...." Mukanya A Kioe bersemu merah. "Silakan duduk," ia mengundang. Puteri ini sadar yang baju luarnya telah dilolosi, dengan sebat ia sambar itu, untuk dipakai. Di pintu lantas terdengar ketokan pintu yang pelahan.
"Thian-hee memanggil?" tanya satu dayang. "Tidak, aku lagi baca buku!" sahut sang puteri dengan cepat. "Pergilah kamu tidur, tidak usah kamu menunggui di sini."
"Baik, thianhee. Silakan thianhee beristirahat siang-siang." A Kioe tidak jawab dayangnya itu, ia goyangi tangan kepada Sin Tjie, lantas ia tertawa dengan pelahan. Tapi, kapan ia menoleh ke arah gambar lukisan, mukanya menjadi merah, ia jengah sendirinya. Lekas-lekas ia geser kursi itu ke pinggir. Kemudian, keduanya kembali berdiri berhadapan dengan diam saja. "Apakah kau kenal orang-orang Ngo Tok Kauw?" akhirnya Sin Tjie tanya. A Kioe manggut. "Tjo King-kong bilang Lie Giam telah kirim banyak pembunuh ke kota raja, untuk mengacau," jawabnya, "maka itu Tjo Kong-kong undang serombongan orang gagah masuk ke keraton, untuk melindungi Sri Baginda. Katanya kauwtjoe Ho Tiat Tjhioe dari Ngo Tok Kauw liehay sekali."
"Gurumu, Thia Loo-hootjoe, telah dilukai mereka, apakah thianhee ketahui?" tanya Sin Tjie. A Kioe kaget, hingga air mukanya berubah. "Apa?" tanyanya. "Kenapa mereka lukai soehoe? Apakah soehoe terluka parah?"
"Tidak, tidak seberapa," sahut Sin Tjie, yang terus berbangkit. "Sekarang sudah jauh malam, baik kita tidak bicara terlalu banyak. Kami tinggal di gang Tjeng-tiauw-tjoe. Apa bisa besok thianhee datang melongok gurumu itu?"
"Baik!" A Kioe jawab. "Dengan menerjang bahaya kau telah datang menyambangi aku, aku berterima kasih....." Ia bicara dengan pelahan sekali ketika ia menambahi: "Kau telah lihat bagaimana aku sudah lukiskan gambarmu, maka tentang hatiku, kau sudah ketahui jelas....."
"Inilah hebat," pikir Sin Tjie. "Rupanya dia telah menyintai aku, kedatanganku sekarang membuat ia dapat kesan yang keliru. Ini perlu penjelasan..." Tapi ia belum sempat bicara, atau A Kioe sudah kata pula: "Sejak pertemuan kita di Shoa-
tang-too, dimana kau rintangi Tie Hong Lioe melukai aku, aku senantiasa ingat saja budi-kebaikanmu..... Coba lihat lukisan ini mirip atau tidak?" Sin Tjie manggut. "Thianhee," katanya, "aku datang kemari karena...." Tapi A Kioe segera memotong. "Jangan panggil aku thianhee," katanya. "Aku pun tidak akan panggil siangkong lagi kepadamu. Pada mula kalinya kita bertemu, kau kenal aku sebagai A Kioe, maka itu untuk selamanya, aku tetap ada A Kioe. Aku dengar enci Tjeng panggil kau toako, aku pikir, umpama itu hari aku pun bisa panggil toako padamu, itu Barulah tepat. Di saat aku dilahirkan, menteri tukang tenung telah ramalkan aku bahwa apabila aku hidup tetap di dalam keraton, aku tidak bakal panjang usia, karena itu, Sri Baginda Ayah perkenankan aku pergi berkelana."
"Pantas kau belajar silat pada Thia Loo-hoetjoe dan ikut dia berkelana," kata Sin Tjie. "selama berada di luar, pengetahuan dan pengalamanku jadi tambah banyak," A Kioe bilang. "Aku tahu yang rakyat sangat menderita. Umpama kata aku pakai uang di istana akan tolong rakyat, masih tidak seberapa jumlahnya yang bisa ditolong." Sin Tjie kagum mendengar puteri ini bersimpati kepada rakyat. "Karena itu wajiblah kau nasihati Sri Baginda dan minta Sri Baginda menjalankan
pemerintahan secara bijaksana," ia kata. "Asal rakyat dapat makan dan pakai cukup, tidak kelaparan dan kedinginan, pasti negara aman-sentausa." Puteri itu menghela napas. "Jikalau Sri Baginda Ayah sudi dengar perkataan orang, itulah bagus," katanya. "Sekarang Sri Baginda Ayah dikitari segala dorna, yang kata-katanya sangat dipercayai benar."
"Kau berpengetahuan luas melebihi Sri Baginda," Sin Tjie puji. Tadinya pemuda ini pikir, baik atau tidak ia beber rahasia Thaykam Tjo Hoa Soen, akan tetapi sebelum ia ambil putusan, A Kioe sudah tanya dia: "Apakah Thia Loo-hoetjoe pernah omong tentang diriku?"
"Tidak. Dia bilang dia pernah bersumpah, dari itu tak dapat dia omong tentang kau. Tadinya aku menyangka kau mempunyai dendaman yang hebat, yang mengenai kaum kang-ouw, tidak tahunya kau ada puteri raja." A Kioe bersenyum. "Thia Soehoe ada pahlawan Sri Baginda Ayah, dia sangat setia kepada junjungannya," ia beritahu. "Oh, jadinya dia pun ada satu sie-wie?" kata Sin Tjie dengan heran. A Kioe manggut. "Ketika dahulu Sri Baginda Ayah masih tinggal di istana pangeran Sin Ong-hoe, Thia Soehoe menjadi kepala sie-wie," ia menerangkan lebih jauh. "Kemudian setelah Sri Baginda marhum wafat, Sri Baginda Ayah adalah yang menggantikan naik di tahta. Pada masa itu, semua orang di dalam istana ada orang-orang kepercayaan Goei Tiong Hian. Maka juga Thia Soehoe bilang, waktu itu, keadaan ada sangat berbahaya, sampai Sri Baginda Ayah dan sekalian pahlawannya, siang dan malam tak bisa tidur dengan tenang. Semua barang makanan diantar dari istana Sin Ong-hoe. Beberapa kali Goei Tiong Hian si dorna niat celakai Sri Baginda Ayah, saban-saban Thia Soehoe serta Tjo Kong-kong dan lainnya yang menggagalkannya, hingga bahaya dapat dihindarkan. Itulah sebabnya kenapa sampai sekarang ini Sri Baginda Ayah tetap percaya Tjo Kong-kong."
"Meski begitu, tak dapat dia dipercayai sepenuhnya!" Sin Tjie bilang. "Itu benar. Di antara Thia Soehoe dan Tjo Kong-kong tidak terdapat kecocokan."
"Jadi itulah sebabnya kenapa Thia Soehoe jadi keluar dari istana?" Sin Tjie tegaskan. "Bukan. Katanya karena urusan Wan Tjong Hoan." Terperanjat juga Sin Tjie mendengar disebutkan nama ayahnya. "Bagaimana itu?" tanya dia. "Di waktu kejadian, aku masih belum terlahir," jawab A Kioe, "Baru belakangan aku dengar hal itu dari soehoe. Soehoe bilang Wan Tjong Hoan ada panglima perang besar di Kwan-gwa yang menolak serangan bangsa asing, dia telah dirikan banyak sekali jasa, hingga bangsa asing jeri bukan main akan lihat dia. Adalah belakangan, bangsa Boan sudah gunai tipu-daya merenggangkan, cerita-burung disiarkan bahwa Wan Tjong Hoan berniat berontak. Sri Baginda Ayah percaya itu, tanpa pikir panjang lagi, Wan Tjong Hoan dihukum mati. Thia Soehoe tahu Wan Tayswee difitnah, dia pernah melindunginya, hingga karenanya, soehoe jadi bentrok sama Sri Baginda Ayah. Sri Baginda Ayah sedang panas hati, dia lupa, dia telah gaplok soehoe, maka saking gusar, soehoe lantas meninggalkan istana, dia sumpah untuk selamanya tak sudi menemui pula Sri Baginda Ayah." Sin Tjie terharu berbareng bersukur, ia tahan keluarnya air mata, matanya menjadi merah. "Thia Soehoe bilang, Sri Baginda Ayah tak dapat membedakan orang setia dan dorna," A Kioe melanjuti. "Soehoe kuatirkan, akhir-akhirnya negara bakal runtuh di tangan Sri Baginda Ayah. Beberapa tahun kemudian, Sri Baginda Ayah menyesal. Karena katanya tak dapat aku hidup di istana, aku lantas dikirim kepada soehoe, untuk terus ikuti soehoe. Aku tidak tahu, kenapa soehoe bentrok sama Ngo Tok Kauw." Hampir saja Sin Tjie bilang: "Ngo Tok Kauw berniat bikin celaka ayahmu, sebab mereka tahu Thia Loo-hoetjoe setia kepada Sri Baginda, jadi Thia Loo-hoetjoe hendak dibinasakan." Tiba-tiba ia tampak lilin, yang tinggal sepotong pendek, hingga ia ingat: "Keadaan ada begini mendesak, kenapa aku mesti bicara begini banyak sama dia ini?" Maka ia lantas berbangkit. "Masih banyak yang mesti dibicarakan, besok saja kita teruskan lebih jauh," katanya. Mukanya A Kioe merah, ia tunduk, terus dia manggut. Hampir di waktu itu, pintu kamar diketok secara kesusu dan di luar kamar terdengar suaranya beberapa orang: "Thianhee, thianhee, lekas buka pintu!" A Kioe kaget. "Ada apa?" dia tanya. "Oh, thiangee tidak kurang suatu apa?" tanya satu dayang. "Aku lagi tidur. Ada apakah?"
"Katanya ada orang lihat ada penjahat nyelusup masuk ke dalam keraton...."
"Ngaco-belo! Penjahat apa sih?"
"Thianhee," kata satu suara lain, "ijinkan kami masuk untuk melihat-lihat...." Sin Tjie segera bisiki sang puteri: "Itulah Ho Tiat Tjhioe!"
"Jikalau ada penjahat, cara bagaimana aku bisa tenang seperti ini?" kata A Kioe. "Lekas pergi, jangan bikin berisik di sini!" Orang-orang di luar itu lantas diam, mereka tahu sang puteri gusar. Dengan berindap-indap, Sin Tjie pergi ke jendela, niatnya untuk tolak jendela, buat nerobos pergi. Baru saja ia pegang kain alingan jendela dan menyingkapnya sedikit, ia lihat cahaya api terang-terang, hingga ia tampak juga belasan thaykam, ialah orang-orang yang menyekal obor.
"Jikalau aku nerobos, siapa bisa rintangi aku?" pikir pemuda ini. "Dengan aku berlalu dengan paksa, nama baiknya puteri bakal tercemar. Tidak dapat aku berbuat demikian...." Maka ia balik pada A Kioe, akan bisiki bahwa tak bisa ia berlalu dengan paksa atau sang puteri bakal dapat malu. Puteri itu kerutkan alis. "Jangan takut," katanya kemudian. "Kau diam saja di sini untuk sekian lama lagi." Sin Tjie terpaksa, ia menurut. Tidak terlalu lama, kembali ada suara mengetok pintu. "Siapa?" tanya A Kioe. Kali ini datang penyahutan Thaykam Tjo Hoa Soen. "Sri Baginda dengar ada orang jahat nyelusup ke istana, Sri Baginda berkuatir, dari itu kacung diperintah menanyakan keselamatan thianhee," sahut thaykam itu, yang membahasakan diri "kacung".
"Tidak berani aku membikin kong-kong banyak cape," kata A Kioe. "Silakan kong-kong kembali, tolong sampaikan bahwa aku tidak kurang suatu apa."
"Thianhee ada orang penting, tak dapat thianhee menjadi kaget," kata pula orang kebiri itu. "Baik ijinkanlah kacung masuk untuk memeriksa kamar." A Kioe mendongkol kepada orang kebiri itu. Ia percaya, waktu Sin Tjie datang, mesti ada orang lihat padanya, kalau tidak, thaykam itu tidak nanti berani demikian mendesak. Dugaan ini benar separuhnya. Memang Tjo Hoa Soen dapat kisikan dari Ho Tiat Tjhioe bahwa ada orang nyelusup masuk ke keraton puteri, Tiang Peng Kiongtjoe. Sebab lainnya adalah Tjo Hoa Soen tahu puteri pandai silat, dia bercuriga, dia curiga puteri ini punya hubungan sama orang kang-ouw sedang dia berniat celakai baginda Tjong Tjeng. Maka ingin dia mendapat kepastian. Dia berpengaruh, dari itu, dia berani memaksa. Puteri pun memang tak dapat terlalu rintangi orang kebiri itu. Maka akhirnya, setelah berpikir, Tiang Peng Kiongtjoe gerak-geraki kedua tangannya kepada Sin Tjie, untuk beri tanda agar si anak muda naik ke atas pembaringannya, untuk sesapkan diri di bawah selimut. Dalam keadaan seperti itu, Sin Tjie sangat terpaksa, maka ia pergi ke pembaringan, setelah lolosi sepatunya, ia naik, terus ia tutupi diri dengan selimut sulam, hingga ia dapat cium bau sangat harum. Ia kerebongi tubuh, dari ujung kaki sampai di kepala. Kembali terdengar suaranya Tjo Hoa Soen, yang mendesak minta dibukai pintu. "Baiklah," kata Tiang Peng Kiongtjoe akhirnya, "kau boleh periksa!" Puteri ini loloskan baju luarnya, ia bertindak ke pintu, untuk angkat palangan, setelah mana, tanpa buka pintu lagi, ia lompat naik ke atas pembaringan, untuk segera kerebongi diri sebatas leher. Hatinya Sin Tjie memukul ketika A Kioe rebahkan diri berdampingan dengan dia, pakaian mereka nempel satu dengan lain, sedang hidungnya dapat cium bau lebih wangi lagi. Tapi ia berdiam terus, tidak berani dia berkutik, apalagi setelah ia merasa Tjo Hoa Soen dan Ho Tiat Tjhioe sudah masuk ke dalam kamar. Ia merasakan bagaimana tubuhnya sang puteri sedikit bergemetar. Ting Peng Kiongtjoe berpura-pura masih lungu-lungu, ia pun berlagak menguap, tetapi toh ia tertawa. "Tjo Kong-kong, kau baik sekali. Terima kasih!" katanya. Tjo Hoa Soen memandang ke sekelilingnya, ia tak lihat ada orang lain dalam kamar itu. Ho Tiat Tjhioe turut memeriksa, ia berpura-pura bikin jatuh saputangannya, untuk pungut itu, ia membungkuk, dengan begitu ia jadi bisa melongok ke kolong pembaringan.
"Aku pun telah periksa kolong pembaringan, aku tidak sembunyikan orang jahat!" tertawa A Kioe. "Harap thianhee ketahui, Tjo Kongkong kuatir thianhee kaget," kata ketua Ngo Tok Kauw itu. Ketika kauwtjoe ini melihat ke kursi, dimana ada gambar Sin Tjie, ia kaget sekali, sukur ia masih bisa tetapkan hati, maka ia lantas berpaling. Tjo Thaykam kedipi mata, ia kata: "Mari kita periksa lain-lain bagian lagi." Tapi kepada empat dayang, ia pesan: "Kamu berempat temani thianhee di sini, jangan kamu tinggal pergi. Umpama kata thianhee titahkan kamu, masih kamu tidak boleh malas dan mencuri tempo dan keluar. Mengerti?"
"Kami akan dengar titah kongkong," jawab empat dayang itu. Tjo Hoa Soen beramai minta perkenan dari puteri, lantas mereka keluar dari kamar. A Kioe pun segera perintah turunkan kelambu. "Aku hendak tidur," katanya. Dua dayang kasi turun kelambu dengan hati-hati, yang satu tambahkan kayu cendana, setelah buang ujung lilin, mereka pergi ke pojok tembok untuk numprah sambil menyender. Lega hatinya A Kioe, akan tetapi ia bergirang berbareng malu. Di luar sangkaannya, di luar keinginannya, sekarang ia rebah berdampingan sama orang yang ia buat kenangan setiap saat. Pikirannya jadi terbenam, tidak berani ia buka suara, tidak berani ia geraki tubuhnya. Ia seperti sedang mimpi. "Bagaimana?" Sin Tjie berbisik, selang sekian lama. "Mesti dicari daya untuk aku keluar dari sini...."
"Oh...." Si nona bersuara, dengan pelahan sekali. Ia bergerak sedikit, lengan dan kaki digeser. Tiba-tiba saja ia terperanjat. Ia telah bentur barang dingin. Kapan ia meraba, ia kena pegang pedang, yang diletaki nyelang di antara mereka berdua. "Apa ini?" ia tanya. "Aku nanti terangi, tapi kau jangan kecil hati."
"Aku masuk kemari di luar keinginanku. Aku menyesal telah mesti rebah di sini bersama-sama kau. Tapi ini karena sangat terpaksa. Aku bukan seorang ceriwis dan kurang ajar."
"Aku tidak persalahkan kau," A Kioe bilang. "Singkirkan pedangmu itu, nanti aku kena dilukai."
"Aku kenal adat sopan-santun, tetapi tetap aku ada seorang anak muda, aku sekarang rebah berdampingan sama kau, satu gadis rupawan dan cantik sekali, aku kuatir nanti tak dapat atasi diriku...." A Kioe tertawa. "Jadi kau palangkan pedangmu? Ah, tolol, toako tolol!...." Dua-dua mereka kuatir suara mereka nanti terdengar empat dayang, selain mereka bicara dengan pelahan, kepala mereka pun digeser dekat sekali satu dengan lain. Maka Sin Tjie dapat cium harumnya hawa segar dari mulutnya si nona, hingga hatinya goncang. Sebisa-bisa ia tenangkan diri. "Adik Tjeng sangat menyintai kau, jangan kau tersesat!" demikian ia peringati dirinya sendiri. "Seng Ongya itu siapa?" kemudian ia tanya. Ingin ia simpangkan perhatian. "Dia adalah pamanku," jawab A Kioe. "Tepat!" kata Sin Tjie pula. "Mereka hendak tunjang dia menjadi kaisar, kau tahu tidak?" A Kioe terkejut. "Apa? Siapa mereka?"
"Tjo Hoa Soen telah bikin perhubungan rahasia sama Kioe Ongya dari Boantjioe, dia niat pinjam tentera Boan untuk tindas pemberontakan Giam Ong."
"Foei! Apakah artinya tentara Boan? Negara kita toh lebih kuat!"
"Benar! Sri Baginda tidak setujui usul pinjam tentara asing itu. Karena ini, Tjo Hoa Soen beramai niat tunjang Seng Ongya, untuk diangkat jadi kaisar pengganti...."
"Ini memang mungkin. Seng Ongya ada bangsa tolol, pasti dia suka pinjam tentara asing untuk tindas pemberontak."
"Yang aku kuatirkan mereka nanti bekerja malam ini...." A Kioe kembali terkejut. "Ah, kenapa kau tidak omong dari siang-siang? Kita mesti lekas tolongi Sri Baginda Ayah!" Sin Tjie rapatkan kedua matanya, ia ragu-ragu. Kaisar Tjong Tjeng justeru ada musuh besarnya, yang sudah hukum mati ayahnya! Selama belasan tahun, tidak ada satu hari dilewatkan tanpa ia tak ingat permusuhan itu, adalah keinginannya akan dengan tangan sendiri membunuh musuhnya. Sekarang timbul ini suasana genting. Sebenarnya ini ada ketika yang bagus sekali. Bukankah, tanpa berbuat sesuatu apa, ia bisa saksikan musuh
besarnya itu terbunuh mati? Tidakkah itu akan memuaskan hatinya? Tapi di sebelah itu, jikalau Tjo Hoa Soen berhasil, dan dia pinjam tentara Boan, untuk tumpas gerakannya Giam Ong, tidakkah itu hebat? Bagaimana kalau Giam Ong gagal? Bagaimana kalau tentara Boan menduduki seluruh Tionggoan? Tidakkah negara menjadi musna dan cucu Oey Tee semua menjadi kacung? A Kioe tidak tahu apa yang orang pikirkan, ia menyenggol dengan pundaknya pada pemuda itu. "Kau pikirkan apa?" tanya dia. "Lekas bantui aku tolongi Sri Baginda Ayah!" Sin Tjie berdiam, masih ia bersangsi. "Asal kau tidak melupakan aku, aku tetap ada kepunyaan kau," A Kioe bilang. Nona bangsawan ini menduga keliru. "Di belakang hari masih ada saat-saatnya untuk kita berkumpul seperti ini..." Lagi-lagi Sin Tjie terkejut. "Ah, kiranya dia menyangka aku tak mau bangun karena terpengaruh oleh keadaan seperti ini...." Pikirnya. "Baiklah, biar aku lihat keadaan...." Maka ia bisiki puteri raja itu: "Pergi kau totok semua dayang itu, habis kau tutupi mereka dengan selimut supaya mereka tak dapat melihat, supaya kita bisa keluar dari sini."
"Aku tidak mengerti tiam-hiat-hoat. Di bagian mana aku mesti totok mereka?" A Kioe tanya. Menyesal Sin Tjie. Ia tak tahu, puteri ini tidak mengerti tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Terpaksa ia mesti mengajarinya dahulu. Maka terpaksa ia cekal tangannya puteri itu, untuk dibawa ke dadanya sendiri, ke ujungnya tulang iga yang ke sebelas. Ia telah pegang tangan yang halus dan lemas. "Ini dia yang dinamai jalan darah tjiang-boen-hiat," katanya. "Dengan jari tangan, kau totok ujung tulang mereka, mereka bakal lantas tidak mampu bergerak. Jangan totok terlalu keras, nanti mereka kehilangan jiwa mereka...." A Kioe ingat letak anggauta yang ditunjuk itu. Untuk tolongi ayahnya, ia tidak bisa berpikir banyak lagi. Ia lantas turun dari pembaringan. Melihat puteri itu bangun, keempat dayang itu berbangkit, untuk tanya: "Thianhee perlu apa?"
"Kemari kau!" ia panggil satu dayang sambil ia pergi ke samping pembaringan, hingga ketiga dayang lainnya tidak lihat ia berdua dayang yang pertama itu. Menuruti ajaran Sin Tjie, A Kioe totok dayangnya ini. Karena ia mengerti ilmu silat, ia bisa menotok dengan baik. Ketika dayang itu sudah rubuh dengan tidak bersuara, ia panggil yang kedua dan ketiga, untuk ditotok semua. Ketika ia totok yang keempat, kenanya kurang tepat, dayang itu menjerit, maka lekas-lekas ia bekap mulutnya, untuk ditotok buat kedua kalinya, Baru orang pingsan. Sin Tjie sudah pakai sepatunya dan telah turun dari pembaringan ketika A Kioe telah selesai dengan tugasnya, sama-sama mereka hampirkan jendela, akan singkap sero. Begitu lekas dapati di luar tidak ada orang, keduanya menolak jendela, untuk lompat keluar. "Mari ikut aku!" A Kioe mengajak.
Puteri ini ajak kawannya ke kamar Kaisar Tjong Tjeng, ayahandanya. Selagi mendekati kamar, dari jauh sudah kelihatan bajangan dari banyak orang, jumlah mereka itu mungkin beberapa ratus jiwa. "Kawanan dorna sudah kurung Sri Baginda Ayah!" kata A Kioe. "Mari lekas!" Keduanya berlari-lari. Baru kira belasan tumbak, kedua orang ini berpapasan sama satu thaykam. Orang kebiri itu kaget kapan ia kenali Tiang Peng Kiongtjoe, tetapi karena puteri ini cuma bersama satu pengiring, ia tidak buat kuatir. "Thianhee masih belum tidur?" tanyanya sambil menjura. "Minggir!" membentak Tiang Peng Kiongtjoe. Bersama-sama Sin Tjie, puteri ini telah melihat nyata, di depan dan belakang kamar ayahnya telah berkumpul thaykam-thaykam dan siewie-siewie, yang semua memegang senjata, suatu tanda keadaan sangat mengancam. Dengan satu tolakan tangan yang keras, A Kioe bikin thaykam di depannya itu terpelanting, lantas ia maju terus. Di muka pintu keraton menjaga beberapa siewie, akan tetapi mereka ini kena ditolak minggir oleh Sin Tjie. Semua orang kebiri tidak berani turun tangan apabila mereka tampak tuan puteri itu. Satu diantaranya sebaliknya lari kepada Tjo Thaykam untuk melaporkan hal kedatangannya puteri itu. Tjo Hoa Soen ada satu dorna yang cerdik tetapi licik, nyalinya kurang cukup besar, walaupun sekarang ia yang kepalai gerakan menjunjung Seng Ong, ia tidak berani muncul sendiri, ia cuma berikan titah-titah saja. Kapan ia dengar laporan, ia tidak kuatir, Ia anggap, Tiang Peng Kiongtjoe sendirian saja, apa puteri itu bisa bikin.
"Tetap perkuat penjagaan!" ia ulangi titahnya. A Kioe ajak Sin Tjie maju terus, sampai ke kamar dimana biasanya kaisar Tjong Tjeng memeriksa surat-surat negara. Di pintu kamar terdapat belasan thaykam dan siewie, di situpun terdapat tujuh atau delapan mayat yang telah bermandikan darah. Rupa-rupanya korban-korban ini ada mereka yang setia kepada raja.
Semua siewie dan thaykam melongo kapan mereka lihat tuan puteri. A Kioe tidak perdulikan mereka itu, ia tarik tangannya Sin Tjie, untuk diajak menerobos masuk ke dalam kantor raja itu. "Tahan!" berseru satu siewie sambil ia maju memegat, goloknya diangkat naik untuk dipakai membacok pemuda kita. Sin Tjie berkelit sambil tangannya terus menyambar dada, maka siewie itu terpelanting jatuh. Begitu berada di dalam kantor, Sin Tjie lihat api lilin terang sekali, di situ berdiri belasan orang. "Hoe-hong!" seru A Kioe sambil ia lari untuk tubruk satu orang dengan jubah kuning. (Hoe-hong adalah panggilan untuk ayah yang menjadi raja.) Sin Tjie awasi orang itu, muka siapa putih bersih dan perok, akan tetapi dalam keadaan kaget dan gusar. "Inilah dia kaisar Tjong Tjeng musuh ayahku...." pikir pemuda ini. Belum sampai Tiang Peng Kiongtjoe dapat tubruk ayahnya, dua orang yang tubuhnya besar menghalang di depan raja, golok mereka dibalingkan. Kaisar lihat puterinya itu. "Perlu apa kau datang kemari?" tegurnya. "Lekas pergi!" Dekat kaisar berdiri seorang umur kurang-lebih empat-puluh tahun, tubuhnya gemuk terokmok, mukanya penuh berewok. Dia kata dengan keren:
"Pemberontak sudah pukul pecah Hoen-tjioe dan Thaygoan, segera juga mereka bakal sampai ke kota raja ini! Kau tidak hendak minta bala-bantuan bangsa asing, apa maksudmu?" Kata-kata kasar itu ditujukan kepada kaisar. "Siok-hoe!" seru A Kioe kepada si terokmok itu, yang sikapnya keren. "Kau berani berlaku begini kurang ajar terhadap Junjunganmu?"
Mendengar si nona, Sin Tjie tahu, dia itu adalah Pangeran Seng Ong. Pangeran ini lantas tertawa berkakakan. "Kurang ajar?" dia mengulangi. "Dia hendak bikin ludas negara indah warisan leluhur kita, maka kami, setiap anggauta keluarga Tjoe, tidak dapat antapkan dia!" Kata-kata jumawa ini dibarengi sama terhunusnya pedang, yang cahayanya berkilauan,
hingga semua orang di kiri-kanannya terkejut. Kemudian, dengan roman sangat bengis, pangeran ini bentak raja: "Lekas bilang, bagaimana putusanmu!" Kaisar menghela napas. "Apa Tim kurang bijaksana hingga negara jadi kacau," kata dia, "sampai tentara pemberontak hendak menuju ke kota raja buat bikin terbalik pemerintah, akan tetapi meminjam tentara Boan juga bakal sama membahayakan untuk negara.... Jikalau Tim mesti mati untuk rakyat, itu tak usah dibuat menyesal, tetapi yang harus disesalkan adalah kalau nanti negara indah dari leluhur kita ini mesti diserahkan kepada lain bangsa...."
Dengan acungi pedangnya, yang panjang, Seng Ong maju satu tindak. "Jika begitu, lekas kau keluarkan maklumat untuk undurkan diri, untuk serahkan kedudukanmu kepada pengganti yang bijaksana!" dia berseru dengan sikapnya sangat mengancam.
Tubuhnya raja bergemetar. "Apakah kau hendak bunuh rajamu?" dia tanya. Seng Ong menoleh ke belakangnya, ia kedipi mata.
Di belakang pangeran ini ada satu opsir dari Kim-ie Wie-koen, pasukan istimewa dari raja, dia ini cabut goloknya yang panjang, dengan suara nyaring, dia bilang: "Jikalau raja sudah gelap pikiran dan boe-too, setiap orang dapat membinasakan dia!" Artinya "boe-too" adalah "tidak adil" (tidak bijaksana). Sin Tjie awasi opsir itu, karena ia ingat suara orang itu. Segera juga ia kenali, orang itu ada An Kiam Tjeng, suami An Toa-nio, ayah dari An Siauw Hoei. A Kioe jadi sangat gusar, hingga ia menjerit dengan bentakannya. Ia sembat sebuah kursi, ia lompat ke depan ayahnya, untuk menghalangi opsir itu. Dan ketika An Kiam Tjeng toh terusi membacok raja, ia menangkis, terus-terusan sampai tiga kali beruntun. Sampai di situ, lain-lainnya siewie lantas maju, untuk turut kepung raja atau tuan puteri itu. Dari tadi Sin Tjie masih diam saja, akan tetapi setelah tampak A Kioe keteter, ia tidak bisa berdiri terus sebagai penonton, maka ia lompat maju, untuk ceburkan diri dalam pertempuran itu. Begitu lekas ia geraki tangan kirinya, dua siewie kena dibikin terpelanting, hingga ia bisa dekati A Kioe, untuk serahkan pedang Kim Tjoa Kiam kepada puteri itu, kemudian ia sendiri maju ke samping kaisar, akan lindungi raja ini yang menjadi musuhnya.... Belasan siewie menerjang raja, sesuatu dari mereka lantas dihajar ini anak muda, yang gunai kedua tangan dan kakinya, hingga bukan saja mereka tak dapat maju, mereka sendiri yang rubuh dengan urat putus atau tulang-tulang patah! A Kioe sendiri, dengan pedang mustika Ular Emas di tangan, hingga ia tidak membutuhkan lagi kursinya, sudah lantas unjuk kegagahannya. Baru saja beberapa jurus, ia sudah tabas kutung golok besar dan panjang dari An Kiam Tjeng. Seng Ong terperanjat. Tidak ia sangka, kaisar bisa dapat bantuan tangguh di saat yang sangat terjepit itu. "Orang-orang di luar, semua maju!" ia lantas berteriak-teriak. Teriakan itu disambut dengan munculnya Ho Tiat Tjhioe, Ho Ang Yo dan Lu Djie Sianseng berikut empat jago tua anggauta Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay. Tapi mereka ini tercengang kapan mereka saksikan kaisar Tjong Tjeng dilindungi oleeh Sin Tjie, si anak muda yang liehay, yang sedang labrak beberapa sie-wie yang masih bandel. Akhir-akhirnya Oen Beng Tat mendelik dengan matanya mengeluarkan sinar tajam bagaikan api menyala, dia terus menjerit: "Lebih dahulu bereskanlah binatang ini!" Lalu, bersama tiga saudaranya, dia lompat maju. A Kioe sendiri sudah lantas lompat ke samping ayahnya, dengan bersenjatakan pedang mustika, ia bisa pukul mundur setiap penyerang yang maju merangsek, sampai pahlawan-pahlawannya Seng Ong jeri juga. Karena ini ia dapat kesempatan akan tampak Sin Tjie sedang dikerubuti enam sie-wie, hingga ia merasa, dalam keadaan seperti itu, pemuda itu pasti sukar bantu ia. Mau atau tidak, ia berkuatir juga. Selagi tuan puteri ini pasang mata sambil berpikir keras, mendadak ia lihat si orang perempuan tua, yang romannya sangat jelek, yang dandan sebagai pengemis, mata siapa bersinar sangat tajam, lompat ke arahanya sambil angkat kedua tangannya, untuk perlihatkan sepuluh jarinya yang tajam bagaikan kuku garuda. Si jelek dan begis ini berseru dengan suaranya yang menyeramkan: "Lekas kembalikan Kim Tjoa Kiam padaku!"
Pada waktu itu, Sin Tjie sudah ambil keputusan. Sekarang ia hendak tolongi kaisar Tjong Tjeng supaya gagallah usaha dorna-dorna mengundang masuk angkatan perang Boantjioe, supaya kerajaan Beng dapat dihindarkan dari kemusnaan. Ia pikir, baik ia tunggu sampai tentaranya Giam Ong masuk ke kota raja, Baru ia wujudkan pembalasan sakit hatinya. Jadi, urusan negara dulu, Baru kepentingan pribadi. Sementara itu, ia sudah lantas dikepung oleh empat Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, siapa sudah liehay tetapi sekarang dibantu pula oleh Lu Djie Sianseng dan Ho Tiat Tjhioe, hingga tak sempat ia membantu A Kioe siapa, dengan rambut riap-riapan, lagi putar pedangnya secara hebat akan layani penyerang-penyerangnya. Sebab anggauta-anggauta Kim-ie Wie-koen desak si nona dari tiga jurusan. Dalam saat segenting itu, tiba-tiba saja pemuda ini dapat satu pikiran. Sambil berkelit disusul sama lompatan, ia loloskan diri dari hoentjwee yang liehay dari Lu Djie Sianseng dan sapuan berbahaya dari tongkat panjang Oen Beng San, lantas ia melejit ke depan Ho Tiat Tjhioe. "Menyesal; kami terpaksa mengerubuti!" kata kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw sambil tertawa seraya dengan gaetannya ia sambuti si anak muda. Sin Tjie berkelit. "Apakah kau sudah tidak sayangi lagi jiwanya beberapa puluh anggautamu?" tegur Sin jie. Tercengang Ho Tiat Tjhioe kapan ia ingat orang-orangnya yang lagi terancam bahaya itu. Justru itu, Sin Tjie gunai ketikanya untuk loncat keluar dari kepungan. Oen-sie Soe Loo, empat ketua Keluarga Oen, tidak mau lepaskan musuh lawas ini, mereka maju untuk mengepung pula. Oen Beng Tat dengan siang-kek, sepasang tumbak cagaknya, serang bebokongnya Sin Tjie sebagai sasaran. Tapi ia ini egos tubuhnya. "Kau gantikan aku menahan mereka!" tiba-tiba saja Sin Tjie kata pada Ho Tiat Tjhioe. "Apa?" tanya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw. Si anak muda tidak lantas menjawab, ia kelit dulu dari serangannya Oen-sie Soe Loo dan Lu Djie Sianseng. "Aku nanti ajak kau pergi lihat adik Tjeng she Hee!" kata dia kemudian. Memang sejak melihat Tjeng Tjeng kauwtjoe ini sudah runtuh hatinya, maka mendengar katanya Sin Tjie, hatinya sekarang memukul keras. Hampir tidak berpikir lagi, ia angkat tangan kirinya, akan dengan itu gaet Oen Beng Go, orang yang berada paling dekat dengannya. Ngo yaya tidak pernah sangka kawan ini bakal berkhianat, dia kaget bukan main melihat datangnya serangan secara demikian tiba-tiba, tetapi ia masih bisa geraki cambuk kulitnya, untuk menangkis gaetan. Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe gesit dan telengas, setelah gagal bokongannya itu, ia mendesak dengan hebat sekali, sama sekali ia tidak hendak memberi ketika kepada Tjio Liang Pay itu, tidak perduli orang liehay. Baru tiga desakan berulang-ulang, ujung gaetannya telah mampir di bahu kiri dari Beng Go, hingga bahu itu tergurat. Oleh karena gaetan itu ada racunnya, dalam sesaat itu, mukanya Ngo yaya menjadi pucat, bahunya membengkak dengan cepat, hingga di lain saat, tubuhnya menjadi limbung, tangan kanannya dipakai mengucak-ucak kedua matanya. "Aku tak dapat melihat apa-apa! Aku.... Aku terkena racun!...." Ia berseru.
Oen-sie Sam Loo bingung melihat saudara muda itu, dengan tidak perdulikan lagi kepada musuh, mereka lompat menghampirkan, untuk menolongi. Lebih dahulu mereka pepayang saudara itu. Sin Tjie menjadi senggang karena berkurangnya desakan tiga jago Oen itu, di lain pihak, hatinya bercekat kapan ia ingat bagaimana telengasnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Tapi juga ia tidak punya kesempatan akan berlengah, sebab tempo ia mencuri lihat kepada A Kioe, ia dapatkan puteri itu sedang terdesak hebat oleh Ho Ang Yo dan An Kiam Tjeng, yang berlompatan gesit di kiri dan kanannya. Justru itu waktu Ho Tiat Tjhioe sudah serang Lu Djie Sianseng, tanpa buang tempo lagi, Sin Tjie berlompat dengan pesat ke arah Ho Ang Yo, dia sampai justru sedangnya si uwah seram membaliki belakang, dengan sebat sekali dia jambret bebokong orang, terus dia angkat tubuhnya nyonya itu, untuk segera dilemparkan! An Kiam Tjeng terkejut melihat kawannya kena dirobohkan secara demikian rupa, selagi begitu, ujung pedangnya A Kioe mampir di paha kirinya, tidak ampun lagi, ia rubuh terguling!
Di sana, pertempuran di antara Ho Tiat Tjhioe dan Lu Djie Sianseng berlanjut terus. Sianseng ini telah saksikan rubuhnya Oen Beng Go, dengan sendirinya, hatinya jeri, semangatnya lumer, maka setelah tiga percobaannya mendesak hebat gagal, dengan sekonyong-konyong dia berlompat keluar kalangan. "Maaf, loohoe tak dapat melayani lama-lama!" serunya. Dan terus ia angkat kaki. Ho Tiat Tjhioe sambut seruan itu sambil tertawa. "Lu Djie Sianseng, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!" Ketika itu Oen Beng Go telah tak sadar akan dirinya, karena bekerjanya racun. Oen-sie Sam Loo, tiga saudara Oen, kaget bukan kepalang kapan mereka kenali lukanya saudara ini mirip dengan luka dulu dari tangan liehay Kim Tjoa Long-koen, hati mereka memukul keras. Sedetik saja, mereka saling memandang, untuk memberikan tanda rahasia, habis mana Beng Gie sambar tubuh Beng Go, untuk dipeluk dan diangkat, buat dibawa lari, sedang Beng Tat dan Beng San berlompat, yang satu untuk membuka jalan, yang lain guna memegat, melindungi di belakang. Ho Tiat Tjhioe berlompat, untuk menyusul, tetapi bukannya buat menyerang, hanya guna melemparkan satu bungkusan. "Inilah obat untuk luka itu! Sambutilah!" ia berseru. Oen Beng San, Sam Yaya, berhenti berlari, ia putar tubuhnya, untuk sambuti obat itu, setelah mana, ia lari pula.
Ho Tiat Tjhioe tertawa, ia pun kembali. Sampai itu waktu, pertempuran telah memberi rupa lain. Dengan tidak adanya jago-jago Tjo Liang Pay dan Lu Djie Sianseng, kawanan Kim-ie Siewie menjadi repot, dengan cepat mereka kena dihajar kalang-kabutan oleh A Kioe dan Sin Tjie, akan akhirnya mereka lari bubaran! Baru saja Kim-ie Siewie lari ke pintu, atau Thaykam Tjo Hoa Soen muncul di situ bersama sepasukan Gie-lim-koen. Sin Tjie lihat datangnya barisan itu, ia berseru: "A Kioe! Ho kauwtjoe! Mari kita lindungi Sri Baginda keluar dari sini!" A Kioe dan Tiat Tjhioe berikan jawaban mereka. Maka lantas mereka bertiga kurung kaisar Tjong Tjeng. Di saat mereka ini hendak maju menerjang, terdengarlah seruannya Tjo Thaykam secara tiba-tiba: "Dorna bernyali besar! Kau berani ganggu Sri Baginda! Lekas bunuh dia!" Itu waktu, tentara Gie-lim-koen telah bertempur sama Kim-ie Siewie. Yang belakangan ini hendak loloskan diri tetapi karena dipegat dan diserang, terpaksa mereka bikin perlawanan. Seng Ong menjadi kaget, hingga ia melengak. "Tjo Kongkong! Kau.....kau...... Bukankah kau dengan aku telah...." Setelah sadar, pangeran ini tegur thaykam serikatnya itu, akan tetapi belum habis dia bicara, ujung pedangnya Tjo Hoa Soen telah nancap di dadanya! Semua Kim-ie Sie-wie kaget melihat perbuatannya thaykam ini, malah Sin Tjie, Ho Tiat Tjhioe dan A Kioe juga tak kurang herannya. Cuma kaisar Tjong Tjeng seorang yang puji orang kebiri itu sebagai hamba yang setia.... Tjo Hoa Soen tetap berdiam di tempatnya "sembunyi" selama pertempuran berlangsung, orang-orang kepercayaannya terus memasang mata dan setiap saat memberi laporan saling-susul, maka itu ia lantas dapat tahu ketika Ho Tiat Tjhioe tukar haluan, hingga Sin Tjie dan A Kioe jadi dapat angin, hingga pertempuran jadi salin rupa untuk kerusakan pihaknya. Jadi gagallah usaha mereka akan mengusir atau membunuh kaisar. Dia sangat cerdik, di saat segenting itu, dia lantas saja tukar haluan, tanpa ayal, dia bawa pasukan Gie-lim-koen, katanya untuk tolongi Sri Baginda. Semua Kim-ie Siewie lantas letaki senjata mereka. "Tawan! Tawan mereka!" Tjo Thaykam berikan perintahnya. Serdadu-serdadu Gie-lim-koen segera tangkap semua siewie itu. "Gusur mereka keluar! Hukum mati mereka semua!" Tjo Thaykam berikan titahnya terlebih jauh. Ia melancangi raja. Titah ini pun telah dijalankan dengan lantas, maka di dalam tempo yang pendek, binasalah semua siewie itu, hingga musnah juga semua orang yang turut dalam komplotan itu. Itulah tindakan hebat untuk menutup mulut orang! Ho Tiat Tjhioe lihat pertempuran telah selesai, ia berpaling kepada Wan Sin Tjie, dan tertawa. "Wan Siangkong, besok aku tunggu kau di bawah pohon besar di tempat sepuluh lie di luar kota!" katanya, sehabis mana ia tarik tangannya Ho Ang Yo untuk diajak berlalu. Itu waktu, si uwah jelek, yang tidak terluka hebat, memang sudah dekati pemimpinnya itu. Selagi orang memutar tubuh, kaisar Tjong Tjeng memanggil. "Kau....kau..."
Kaisar ini hendak memberi pujian dan hadiah kepada si juwita itu akan tetapi Tiat Tjhioe tidak memperdulikannya, terus saja ia ajak bibinya berlalu. Ketika kaisar kemudian berpaling kepada puterinya, ia dapatkan, puteri itu asyik pandang Sin Tjie dengan air muka berseri-seri. Barulah sekarang hatinya menjadi tenteram benar. Tertawanya sang puteri berarti bahaya benar-benar sudah lewat. Ia lantas jatuhkan diri di atas kursi. "Siapakah dia ini?" tanya ia kepada puterinya. Ia tunjuk pemuda kita. "Jasanya tidak kecil. Tim akan beri hadiah padanya." Raja ini anggap, setelah ia berikan janjinya itu, Sin Tjie nanti berlutut di depannya, untuk haturkan terima kasih. Di luar sangkaannya, anak muda itu berdiri tetap dengan gagah dan agung. A Kioe tarik ujung bajunya si anak muda. "Lekas menghaturkan terima kasih," ia membisikkan. Putera Wan Tjong Hoan tidak tekuk lutut, sebaliknya ia awasi kaisar itu. Segera ia teringat kepada ayahnya, yang sudah bela negara dengan melupakan diri-sendiri, yang jasanya sangat besar, akan tetapi toh oleh kaisar ini, ayahnya itu telah dijatuhkan hukuman mati secara hebat. Maka juga, kemurkaan dan kesedihannya telah berkumpul jadi satu. "Apakah namamu?" raja tanya, dengan suara lemah lembut. "Di mana kau pegang jabatanmu?" Kaisar ini menanya demikian oleh karena ia lihat pemuda ini dandan sebagai seorang kebiri, ia menyangka orang ada salah satu thaykamnya. Masih Sin Tjie awasi kaisar itu.
"Aku ada orang she Wan," akhirnya ia jawab juga, sikapnya gagah, suaranya keren. "Aku ada putera Peng-pou Siang-sie Wan Tjong Hoan yang dahulu telah membela negara di tanah Liauw!" Kaisar Tjong Tjeng tercengang, sampai ia agaknya seperti tak mendengar nyata. "Apa kau bilang?" ia menegasi. "Ayahku telah berjasa besar sekali untuk negara tetapi oleh Raja dia telah dihukum mati!" Sin Tjie kata pula, suaranya jadi lebih keras. Kaisar itu terkejut. Sekarang tak lagi ia mendengar tak nyata. Ia pun lantas menjadi lesu. "Sekarang Baru aku menyesal, sesudah kasip..." ia akui. Ia berhenti sebentar. Kemudian ia tanya: "Hadiah apakah yang kau kehendaki?" Bukan kepalang girangnya A Kioe akan dengar pertanyaan ayahnya itu. Kembali ia tarik ujung bajunya si anak muda. Ia ingin pemuda ini gunai ketika yang baik itu untuk minta menjadi Hoe-ma, menantu raja. Tapi jawabannya orang yang dipuja ini di luar dugaannya. Dengan suara yang menyatakan kemurkaannya, Sin Tjie jawab: "Aku tolongi kau melulu untuk keselamatannya negara; buat apakah hadiah? Hm! Sekarang Sri Baginda sudah
menyesal, maka sekarang aku minta supaya Sri Baginda cuci bersih penasarannya ayahku almarhum!" Biar bagaimana, raja tetap raja, ia ada punya keangkuhan. Maka itu, melihat sikapnya pemuda ini, mendengar kata-katanya Sin Tjie, ia berdiam. Ia sudah menyatakan kemenyesalannya, itu sudah cukup, tapi untuk aku kesalahannya, inilah lain. Selagi begitu, Thaykam Tjo Hoa Soen, yang tadi telah pergi bersama barisannya, sudah kembali bersama-sama barisannya itu. Ia memberi hormat pada raja, ia tanyakan kewarasannya junjungan ini. Habis itu ia melaporkan bahwa semua pemberontak sudah dihukum mati. Ia juga beritahu bahwa keluarganya Pangeran Seng Ong sudah ditawan semua. Ia menantikan keputusannya raja. Kaisar Tjong Tjeng manggut-manggut. "Bagus!" katanya. "Dasar kau setia!" Hampir Sin Tjie bongkar rahasianya orang kebiri ini apabila ia dengar laporan itu. Ia marasa sangat sebal untuk kelicinannya dorna ini. Tapi di saat sepenting itu, ia ingat suatu apa, lantas ia bisa sabarkan diri. Ialah ia ingat, pasukan perang Giam Ong bakal lekas sampai di kota raja, maka dengan adanya manusia rendah ini di damping raja, itu akan ada untungnya untuk pergerakannya. Tanpa perdulikan lagi kaisar, Sin Tjie manggut pada A Kioe. "Mari kembalikan pedang itu padaku, aku hendak pergi!" katanya. Tiang Peng Kiongtjoe terperanjat.
"Kapan kau akan tengok aku pula?" tanyanya. Ia sampai lupa bahwa di situ ia ada bersama kaisar dan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Harap thianhee rawat diri saja baik-baik," kata Sin Tjie seraya ia ulur tangannya, untuk sambuti pedangnya. A Kioe tarik tangannya. "Untuk sementara baiklah pedang ini dititipkan padaku di sini," katanya. "Lain kali, apabila kita bertemu pula, Baru aku kembalikan padamu....." Sin Tjie ragu-ragu, apapula ia tampak roman heran dari kaisar dan Tjo Hoa Soen. Kemudian, lantas saja ia manggut pula kepada tuan puteri, lalu ia putar tubuhnya dan bertindak keluar. A Kioe menyusul sampai di luar, di pintu keraton. "Kau jangan kuatir, tidak nanti aku lupakan kau," katanya dengan pelahan. Sin Tjie niat menutur segala apa, akan tetapi ia lihat istana itu bukan tempatnya, ketika itu bukan saatnya juga, maka ia bilang: "Di dalam negeri bakal terbit perubahan besar, maka daripada berdiam menyendiri di dalam istana, lebih baik kau pergi jauh berkelana. Kau ingat baik-baik perkataanku ini." Inilah nasihat supaya A Kioe berlalu dari istana, sebab Giam Ong segera bakal sampai di kota raja, waktu itu suasana ada sangat mengancam. Akan tetapi A Kioe tak dapat tangkap maksud itu, yang tersembunyi. Malah dia tertawa. "Benar," katanya. "memang aku lebih suka ikuti kau pergi berkelana ke mana saja, itu jauh terlebih senang daripada kehidupan mewah di istana. Nanti saja, apabila kau telah datang pula, Baru kita-orang bicara pula dengan jelas!" Sin Tjie menghela napas, tak bisa ia mengatakan apa-apa lebih jauh. Setelah ia geraki tangan, untuk pamitan, ia loncati tembok, untuk berlalu dari istana. Ia lihat obor terang-terang di segala penjuru istana, rupanya masih saja dilakukan penggeledahan untuk cari sisa-sisa pemberontak.... Anak muda kita sangat kuatirkan keselamatan Tjeng Tjeng, maka itu ia lakukan perjalanan pulang dengan cepat sekali. Kapan ia sudah sampai di rumahnya di gang Tjeng-tiauw-tjoe, Baru hatinya lega. Di sana kedapatan Tjeng Tjeng bersama-sama Wan Djie dan Lip Djie dengan tidak kurang suatu apa. Baru sekarang, setelah tak tidur satu malaman, dan habis keluarkan tenaga banyak, Sin Tjie ingat keletihannya dan mengantuk, dari itu, setelah bicara sedikit, ia pergi ke kamarnya untuk tidur. Waktu sudah siang, kira jam tujuh atau delapan pagi, Baru Sin Tjie mendusin. Ketika ia pergi keluar, di thia sudah menantikan Tong Hian Toodjin bersama Bin Tjoe Hoa serta enam murid Boe Tong Pay lainnya. Tong Hian beramai datang ke rumah Sin Tjie sebab dapat kabar kaum Ngo Tok Kauw melakukan penyerangan, mereka niat memberikan bantuan, tidak tahunya, pertempuran sudah berhenti. "Terima kasih," Sin Tjie menghaturkan kepada tetamu-tetamunya itu. Kemudian ia bilang, mungkin sekali Oey Bok Toodjin masih belum mati.
Kabar ini, walaupun masih samar-samar, sangat menggirangkan orang-orang Boe Tong Pay itu. Karena Sin Tjie sendiri belum dapat kepastian, mereka tidak menanyakan melit-melit, mereka cuma sampaikan harapan untuk si anak muda suka membantu lebih jauh. Sekalian orang sudah datang, Sin Tjie minta Tong Hian semua berdiam terus di rumahnya itu, untuk bantu melindungi andaikata bantuan mereka dibutuhkan, setelah itu seorang diri ia pergi ke luar kota sebelah barat, ia jalan terus sampai kira sepuluh lie, lalu di bawahnya sebuah pohon besar, ia tampak Ho Tiat Tjhioe asik menantikan dia. Nona kepala Ngo Tok Kauw itu bersenyum berseri-seri, ia menyambut sambil tertawa, sikapnya manis dan hormat. "Wan Siangkong!" katanya; tetap masih tertawa. "Tadi malam aku telah sempurnakan urusan baikmu! Kau lihat, cukup atau tidak perbuatanku sebagai sahabat kekal?"
"Keadaan tadi malam memang sangat berbahaya," Sin Tjie jawab. "Beruntung sekali Ho Kauwtjoe telah beri bantuanmu secara tiba-tiba, hingga onar besar bisa dapat dicegah. Aku sangat bersukur kepada kau, kauwtjoe." Masih saja kauwtjoe itu tertawa. "Wan Siangkong, kau beruntung bukan main!" katanya pula. "Kau telah dapatkan satu puteri raja yang cantik molek yang berikan cintanya kepadamu, maka jikalau kemudian kau menjadi Hoe-ma, apa mungkin kau nanti melupakan orang-orang kang-ouw semacam kami?" Sin Tjie heran. "Ah, jangan main-main, Ho Kauwtjoe!" katanya, dengan roman sungguh-sungguh. Tapi kauwtjoe itu tetap tertawa. "Hai, kau masih menyangkal?" katanya. "Dia demikian menyinta padamu, mustahil kau tidak lihat itu? Laginya, jikalau kau tidak cintai dia, mengapa kau serahkan pedang Kim Tjoa Kiam kepadanya? Dan kenapa kau tolongi ayahanda rajanya secara demikian mati-matian?"
"Itulah melulu untuk keselamatannya negara," Sin Tjie jawab. "Ya, untuk keselamatan negara!" kata si nona. Ia terus tertawa dengan manis. "Untuk keselamatan negara dengan cara mencuri kau tidur bersama dalam satu pembaringan dengan puteri orang! Haha-haha!" Merah mukanya Sin Tjie, bukan main sibuknya ia. "Apa....apa?....." tanya dia. "Kenapa kau....."
"Kau hendak tanya, kenapa aku ketahui itu, bukankah?" tertawa Ho Kauwtjoe. "Ketika aku turut Tjo Hoa Soen masuk dalam kamarnya tuan puteri, aku telah lantas dapat tahu, bersama ia di bawah selimutnya ada tersembunyi satu orang lain! Kita ada sesama kaum kang-ouw, apa kau sangka mataku buta? Hihi-hihi! Mulanya aku berniat menyingkap selimut, akan tetapi ketika aku menoleh ke kursi dan lihat gambar lukisan kau, Wan Siangkong, aku dapat pikiran lain. Aku anggap baiklah aku ikat persahabatan denganmu...." Bukan main malunya Sin Tjie, tak ada tempat untuk ia sembunyikan mukanya. "Ya, A Kioe telah tidak sempat sembunyikan gambar lukisannya itu," pikirnya. Ho Tiat Tjhioe mengawasi pemuda ini, yang merah mukanya sampai ke kuping-kuping Baru setelah itu, ia ubah sikapnya. "Bukankah Hee Siangkong sudah kembali dengan tidak kurang suatu apa?" tanyanya. Sin Tjie manggut. "Sekarang aku datang untuk obati saudara-saudaramu yang terluka," katanya.
Bab 23
Ho Tiat Tjhioe manggut. "Mari!" ia mengajak, sambil ia jalan di muka, menuju ke arah barat. Di sepanjang jalan, pemimpin Ngo Tok Kauw ini puji A Kioe, untuk kecantikannya, untuk kegagahannya juga. Tidak disangka ada puteri raja, demikian muda, demikian kosen juga. Sin Tjie antap orang godai ia, ia lawan dengan membungkam saja. Mereka jalan jauhnya kira lima lie, sampailah mereka di sebuah kuil tua, yang bernama Hoa Giam Sie. Di luar kuil berkumpul beberapa orang Ngo Tok Kauw, sebagai penjaga, kapan mereka lihat pemuda kita, mereka memandang dengan tampang bermusuhan. Sin Tjie tidak gubris mereka itu, ia terus ikuti Ho Tiat Tjhioe masuk ke dalam kuil, sampai di ruang pendopo. Di muka pendopo Tay Hiong Poo-thian, di antara tikar tergelar, rebah anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw, yang kemarin ini menjadi kurban-kurbannya. Tanpa buang tempo lagi, Sin Tjie hampirkan mereka satu demi satu, untuk ditotok, hingga di lain saat, sembuhlah mereka semua, dapat mereka bergerak pula dengan merdeka sebagai sediakala. Lantas setelah itu, pemuda ini kata dengan nyaring: "Aku tidak bermusuhan dengan saudara-saudara beramai, cuma disebabkan salah mengerti yang kecil sekali, kejadian aku berbuat keliru terhadap saudara-saudara, maka itu, di sini aku haturkan maaf pada saudara-saudara!" Pemuda ini tidak cuma mengucap kata-kata, ia pun menjura kepada semua orang Ngo Tok Kauw itu. Rupanya masih panas hatinya orang-orang Ngo Tok Kauw itu, mereka tidak membalas hormat, mereka pelengoskan muka, tidak ada satu yang suka bicara. Sin Tjie tidak menjadi berkecil hati. Ia anggap ia sudah lakukan keharusannya, maka tanpa bilang suatu apa lagi, ia bertindak keluar. Cuma satu kali, ketika ia kebetulan menoleh ke samping pendopo, di situ ia tampak sepasang mata yang mencorong tajam menghadapi Ho Tiat Tjhioe, yang antar ia keluar. Ia tidak kenali mata siapa itu, tetapi menampak sinar mata orang, ia terkejut. Itulah sinar mata yang penuh dengan kebencian hebat. Masih Sin Tjie mencoba melihat pula tapi kali ini sepasang mata itu telah lenyap, kelihatan tubuhnya berkelebat, lantas hilang. Tapi karena ia lihat tubuh berkelebat, segera ia menduga kepada Ho Ang Yo, si uwah yang romannya menyeramkan. Sesampainya di luar, selagi Sin Tjie pandang Ho Tiat Tjhioe, ia pun heran. Lenyap cahaya terang dan riang-gembira dari pemimpin agama ini, tak suka ia bicara, romannya jadi pendiam dan keren. Hingga Ho Kauwtjoe jadi bukan seperti Ho Kauwtjoe yang ramah-tamah tadi. Di luar pekarangan, kedua orang saling memberi hormat, untuk pamitan. Sin Tjie berjalan pulang, ketika kemudian ia menoleh, Ho Tiat Tjhioe sudah masuk. Ia jadi curiga, timbul keinginannya untuk mendapat tahu sebab dari perubahan sikapnya kauwtjoe itu. Maka itu, sesudah jalan terus sekira satu lie, hingga ia percaya, tidak nanti orang intai ia, lekas-lekas ia kembali. Ia sangat kuatir orang mempunyai daya keji, untuk mengganggu ia atau pihaknya. Tidak perduli jalanan jadi lebih jauh dan ambil lebih banyak tempo, ia mutar ke selatan, dari sana ia menuju ke belakang Hoa Giam Sie, dimana tidak ada orang, maka dengan merdeka ia bisa hampirkan tembok, untuk lompat naik dan masuk ke pekarangan dalam. Segera ia dengar suitan istimewa dari Ngo Tok Kauw, tanda undangan berapat. Untuk sementara Sin Tjie umpeti diri di atas pohon, antara daun-daun yang lebat, kemudian setelah duga, orang tentunya sudah berkumpul, ia turun dari atas pohon, dengan hati-hati ia menuju ke belakang Tay Hiong Poo-thian. Ia bersukur ia tidak ketemui siapa juga, hingga ia bisa tempatkan diri tepat di belakang pendopo, untuk pasang kuping.
Dengan lantas ia dengar suara-suara keras, dari pertentangan. Ia masih dapat kenali suara orang. Ialah suara tajam dari Ho Ang Yo, suara nyaring dari Tjee In Go. Mereka ini sedang serang Ho Tiat Tjhioe, yang dikatakan karena main cinta sudah melupakan musuh besar dari Ngo Tok Kauw, sehingga dia jadi berkhianat, bahwa dia telah bersekongkol sama musuh, hingga dia pun merusak usaha menjunjung satu raja baru, hingga itu pun berarti merusak harapan Ngo Tok Kauw untuk pentang sayap dan pengaruh. Selama diserang pergi-datang, Ho Tiat Tjhioe sendiri cuma mendengari sambil perlihatkan senyum ewah. Adalah kemudian Baru ia tertawa dingin, ia tanya: "Sekarang, habis kamu mau apa?" Itulah pertanyaan yang sangat ringkas, yang segera membuat semua anggota menjadi bungkam. Lama orang terbenam dalam kesunyian, baru terdengar Ho Ang Yo buka mulutnya. "Kita mesti angkat satu kauwtjoe baru!" kata uwah ini. Tiat Tjhioe tidak jadi gentar, dia bersikap tenang tapi keren. "Selama beberapa ratus tahun adalah aturan Ngo Tok Kauw, kalau kauwtjoe menutup mata barulah diangkat kauwtjoe baru sebagai penggantinya!" katanya. "Habis, apakah kamu inginkan aku mati?" Kembali orang bungkam. Inilah pertanyaan hebat. Melihat orang semua berdiam, Tiat Tjhioe tanya: "Siapakah yang memikir suka menjadi kauwtjoe baru?" Kembali satu pertanyaan ringkas tetapi tak kurang hebatnya. "Siapa memikir untuk jadi kauwtjoe baru?" Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya. Masih semua orang bungkam. Siasia saja Ho Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya itu sampai tiga kali, maka akhirnya ia tertawa berkakakan. "Sekarang hayolah kamu memikir dengan seksama!" katanya kemudian. "Coba kamu pikir, siapa di antara kamu yang mempunyai kepandaian untuk menangkan aku! Siapa yang memikir demikian, silakan maju! Silakan dia rampas kedudukan kauwtjoe kita! Siapa yang takut nanti antarkan jiwanya secara kecewa, dia mesti gunai ketikanya ini, untuk tutup bacot!" Sin Tjie dengar semua itu, lantas saja ia mengintip di sela-sela pintu. Ia lihat Ho Tiat Tjhioe sendirian duduk di sebuah kursi, jauh di sebelah depan ia, orang-orang Ngo Tok Kauw pada memandang sambil berdiri, nampaknya mereka semua berjeri hati. Di dalam hatinya, Sin Tjie kata: "Aku telah tempur semua orang Ngo Tok Kauw, tidak ada satu di antara mereka yang nempil sama kauwtjoe ini. Tapi sekarang dia menindih orang dengan kekerasan, aku percaya tak dapat dia menjadi kauwtjoe yang kekal-abadi." Sampai di situ, pemuda ini dapat kenyataan orang Ngo Tok Kauw tidak kandung niat memusuhkan terus padanya atau pada Tjeng Tjeng, maka ia anggap baik ia pulang saja, tak ada perlunya ia mencampuri urusan dalam dari mereka itu. Benar selagi ia hendak memutar tubuh, ia tampak satu cahaya berkelebat. Itulah Ho Ang Yo yang bertindak maju dengan sebatang senjata yang aneh, yang pemuda kita belum pernah lihat. Senjata itu yang besar, mirip dengan gunting. Dari gurunya, Sin Tjie belum pernah dengar senjata semacam itu, maka bisa dimengerti, ia juga tak tahu cara menggunainya. Karena ini ia batal pergi, ia terus mengintai lagi. "Aku sendiri, tidak memikir untuk jadi kauwtjoe!" berkata Ho Ang Yo secara menyindir. "Dan aku juga tahu, aku bukannya tandingan kau! Tapi aku terpaksa bertindak, untuk Ngo Tok Kauw kita! Kita harus ingat kepada tujuh leluhur kita serta tiga puteranya, bahaimana susah-payah mereka, sesudah bergulat empat-puluh tahun lebih, Baru mereka dapat berdirikan perkumpulan agama kita, hingga terutama sejak seratus tahun yang terakhir ini, Baru kita dapat malang-melintang di Selatan. Maka itu, sekali-kali tidak boleh Ngo Tok Kauw mesti termusna-ludas di tanganmu, kacung hina!" Ho Tiat Tjhioe tidak jawab itu bibi, hanya dia tanya semua orang. "Apakah hukumannya untuk penghinaan terhadap kauwtjoe?"
"Sudah sedari siang-siang aku tidak anggap lagi kau sebagai kauwtjoe!" Ho Ang Yo sengapi. "Mari maju!" Uwah ini geraki kedua tangannya, untuk buka senjata semacam gunting itu, hingga terdengar suara nyaring. Benar-benar senjata istimewa itu mirip gunting, mirip sepit untuk menjepit! Ho Tiat Tjhioe bersenyum dingin, ia tidak bergeming dari kursinya. Ho Ang Yo maju terus menghampirkan, hingga dua kali gunting itu menggunting. Rupanya ia jeri terhadap kauwtjoe itu, sebelumnya menyerang, ia coba dulu senjatanya, sekalian dipakai mengancam. Adalah setelah ketiga kalinya, sesudah datang dekat, Baru ia menyerang betul-betul. Tiat Tjhioe cuma berkelit dari serangan, ia tidak membalas. Sin Tjie heran, hingga ia mengawasi terus. Orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan pelahan, sikap mereka mengurung. Baru sekarang si anak muda mengerti, pemimpin agama itu mengambil sikap menjaga diri, "menutup pintu". Tadinya ia tidak menduga demikian, karena sempitnya sela-sela pintu, ia melainkan lihat ruang pendopo kecil, lurus panjang saja. Sampai sekian lama, masih tidak ada satu anggauta juga yang berani mulai dengan penyerangannya, mereka cuma maju untuk mengancam, bersikap mengurung. "Mahluk-mahluk tak berguna, takut apa?" teriak Ho Ang Yo. "Hayo, semua maju!" Ia memberi tanda dengan guntingnya. Baru sekali ini, semua orang maju sambil berseru-seru. Tiat Tjhioe lompat, kedua tangannya bergerak, maka terdengarlah suara bentrokan, suara berisik, sebab kursi yang dia pakai sebagai alat penangkis, rusak terkena bacokan-bacokan. Di lain pihak, dua anggauta menjerit dan rubuh, karena mereka dihajar gaetan! Segera setelah itu, terlihatlah bajangan putih berkelebat sana-sini, gesit sekali. Sin Tjie adalah satu ahli silat, walaupun pertempuran tampaknya sangat kalut, ia toh bisa lihat tegas sesuatu pukulan atau tendangan, apalagi itu waktu, gerakannya orang-orang liehay dari Ngo Tok Kauw masih rada ayal, sebab mereka itu Baru saja ditotok sembuh olehnya, sedang mereka itu rebah sudah lama juga. Ho Tiat Tjhioe tidak pikir untuk menyingkir dari kepungan puluhan anggauta-anggautanya itu. Jikalau ia inginkan itu, menurut Sin Tjie ketikanya ada banyak. Maka terang sudah, kauwtjoe ini hendak tindih orang-orangnya itu dengan kegagahannya. Pertempuran berjalan terus. Sin Tjie terus pasang mata, sampai perhatiannya ketarik oleh gerak-geriknya salah satu penyerang. Dia ini tidak merangsak seperti yang lainnya, walaupun dengan pelahan-lahan ia coba dekati Ho Tiat Tjhioe. Dalam genggaman tangannya, orang ini menyekal suatu apa, entah barang atau senjata apa itu. Adalah setelah mengawasi sekian lama, pemuda kita kenali Kim-ie Tok Kay Tjee In Go, si pengemis tidak berbudi. Setelah datang cukup dekat, mendadak pengemis ini berseru dengan keras, kedua tangannya diangsurkan ke depan dengan cepat, cekalannya dilepaskan, maka terlihatlah suatu benda bersinar kuning emas mencelat ke arah Ho Tiat Tjhioe. Kauwtjoe ini berkelit sambil lompat jumpalitan, akan tetapi "senjata rahasia" dari Tjee In Go pun aneh, dia seperti bisa bergerak sendiri, dia dapat menyambar kepada Ho Tiat Tjhioe, selagi dia ini pun sibuk karena desakannya empat atau lima macam senjata lainnya disebabkan desakan penyerang-penyerang, maka akhirnya, dengan perdengarkan jeritan kaget dan menyeramkan, kauwtjoe itu terkena juga itu senjata rahasia.
Sekarang pun Sin Tjie dapat lihat tegas senjata rahasia aneh itu, yang sebenarnya bukan semacam gegaman, hanya seekor ular hidup, ialah ular berbisa kuning emas yang ditangkap Tjee In Go, ular yang dikatakan "nabi"! Selagi menjerit, Ho Tiat Tjhioe rasai matanya gelap, akan tetapi dia masih sempat ulur tangannya, akan sambar ular yang menggigit pundaknya, sedang dengan gaetannya, ia masih bisa gaet mati dua penyerangnya yang terdekat. Segera terdengar teriakannya Ho Ang Yo: "Si kacung hina sudah kena dipagut ular emas, hayo desak dia, supaya bisa ular dapat lantas bekerja!" Ho Tiat Tjhioe tidak dapat lagi lakukan perlawanan, dengan tubuh sempoyongan, ia menyingkir ke arah belakang pendopo. Tapi hatinya masih kuat, ia bisa pertahankan diri untuk tidak rubuh. Dengan ancaman gaetannya yang liehay, ia juga membikin orang tidak berani melintang di depannya, untuk memegat. Menampak orang tak dapat dirintangi, Ho Ang Yo berlompat maju, ia terus menyerang dengan gunting istimewanya, untuk gunting batok kepala orang. Masih sempat Tiat Tjhioe berkelit sambil tunduki kepala, dan dengan gaetannya, ia coba balas menyerang. Tapi karena ini, ia dihalangi oleh Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe.
Dalam keadaan sangat berbahaya itu, Ho Tiat Tjhioe meraba dan menekan ke pinggangnya, maka menyusul itu menyambarlah senjata rahasia jarum berbisa! Phoa Sioe Tat tidak menyangka, dia tidak sempat berkelit, malah dia tidak dapat berteriak juga, sebatang jarum mengenai dia, terus dia rubuh dan binasa. Tapi juga Tiat Tjhioe sendiri, racun ular sudah bekerja, walaupun ia masih bisa memberikan perlawanan, ilmu silatnya sudah kacau, tubuhnya tidak berdiri tegak lagi. Nampaknya, pikirannya pun sudah mulai was-was. Tidak tega Sin Tjie setelah ia menyaksikan sampai sebegitu jauh. Ia ingat, Ho Tiat Tjhioe jadi bentrok dengan kaum sendiri boleh dibilang disebabkan tipu-dayanya merenggangkan mereka. Maka ia anggap, ia bertanggung-jawab, pantas jikalau ia tolongi nona yang liehay itu. Ia pun tidak berayal-ayalan lagi. "Semua berhenti!" mendadak dia berseru sambil ia pun lompat keluar dari belakang pendopo. Semua orang Ngo Tok Kauw kaget, hingga tertunda sendirinya serangan mereka. Inilah hal yang mereka tidak sangka sama sekali. Akan tetapi Tiat Tjhioe sudah kalap, dia tidak kenali Sin Tjie, dia malah menggaet, menyerang ini anak muda. Sin Tjie berkelit ke samping, tangan kirinya diulur, untuk menyekal lengan orang. Dalam keadaan seperti itu, masih ingat Tiat Tjhioe dengan jalannya ilmu silat, maka ketika ia merasa lengannya ada yang tangkap, ia kasi turun lengannya, membarengi mana, ia menyerang dengan gaetannya dengan "Oey hong tjie" atau "Antupan tawon galuh".
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie serukan sambil ia kelit dari gaetan itu. Masih Tiat Tjhioe kalap, masih ia menyerang pula, malah dengan hebat sekali, maka mau atau tidak, Sin Tjie mesti melayani. Setelah beberapa jurus, dia sambar kaki orang dengan kaki kanannya. "Brak!" demikian tubuh si nona rubuh terbanting. Tapi berbareng dengan itu, dia pentang kedua matanya, melihat Sin Tjie, dia berseru dengan kaget: "Wan Siangkong, apakah aku sudah mati?"
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie jawab. Dan ia sambar kedua lengan orang, untuk diangkat, buat dibawa menyingkir ke arah pintu. Selama Tiat Tjhioe terjang Sin Tjie secara buta-tuli, orang-orang Ngo Tok Kauw berdiri menonton. Mereka pun Baru saja sadar dari kaget dan herannya atas munculnya secara mendadak pemuda yang liehay. Tapi begitu lihat si anak muda itu hendak bawa lari kauwtjoe mereka itu, mereka merangsak sambil berseru-seru. "Siapa berani maju!" bentak Sin Tjie seraya ia berbalik. Ancaman ini ada hebat, entah siapa yang mulai, ketika di bagian belakang ada orang menjerit, dan lari, yang lain-lain lantas memutar tubuh, untuk kabur juga, untuk mereka gabruki pintu di belakang mereka! Sin Tjie tertawa sendirinya akan menyaksikan orang demikian jeri terhadapnya. Maka itu ia tidak terus angkat kaki, ia malah dapat ketika akan periksa lukanya Tiat Tjhioe, pundak kiri siapa sudah bengkak, sedang muka dadu dari si nona sekarang mulai berubah menjadi hitam. Pemuda kita tahu, Tiat Tjhioe telah terluka hebat, kalau toh ia dapat pertahankan diri sampai sebegitu jauh, ini ada akibatnya karena dulu-dulu dia selalu memain dengan bisa ular. Tapi si nona perlu ditolong, tidak leluasa, tidak selamat untuk ia berdiam lama-lama di kuil Hoa Giam Sie ini, sarang Ngo Tok Kauw itu, maka tanpa sangsi lagi, Sin Tjie pondong tubuh kauwtjoe itu, untuk dibawa lari pulang. Tjeng Tjeng semua heran ketika mereka lihat si anak muda pulang sambil pondong Ho Tiat Tjhioe, mereka juga kaget. "Hai, kenapa kau pondong dia?" Tjeng Tjeng berseru. "Lekas turunkan!"
"Lekas! Lekas ambil kodok es!" Sin Tjie berseru. Selagi lain-lain orang masih berdiam, Wan Djie sudah maju akan bantui Sin Tjie, untuk bawa Ho Tiat Tjhioe ke dalam untuk segera ditolongi. Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta kawan-kawannya menjadi heran berbareng gusar akan saksikan kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu, sebab kauwtjoe ini adalah musuh besar mereka. Sin Tjie keluar pula dengan cepat, dengan demikian dapat ia tenteramkan hati kawan-kawannya dan kepada mereka itu ia tuturkan apa yang terjadi di Hoa Giam Sie, sampai ia tolongi kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Ia juga jelaskan, bantuan apa yang Tiat Tjhioe sudah berikan kepada pihaknya. "Lagi satu hal," kemudian Sin Tjie tambahkan, pada rombongannya Tong Hian Toodjin, "hal gurumu, Oey Bok Toodjin, sebentar dapat kita tanyakan kepadanya sesudah ia sadar."
Orang-orang Boe Tong Pay itu girang menerima keterangan anak muda ini, dengan lantas mereka haturkan terima kasih mereka.
Tidak antara lama, Wan Djie keluar. "Bisanya sudah tersedot keluar dengan pelahan-lahan akan tetapi orangnya masih belum sadar," ia beri tahu. "Kau kasi dia makan obat pelepas racun, lantas antapkan dia tidur, untuk dia beristirahat," Sin Tjie bilang. Wan Djie jawab, "Baiklah," akan tetapi selagi ia hendak masuk kembali, kelihatan Lip Djie datang masuk sambil berlari-lari, lalu dia berseru-seru: "Wan Siangkong, selamat, selamat!"
"Kaulah yang harus dikasi selamat!" menyambut Tjeng Tjeng sambil tertawa. Mukanya Wan Djie menjadi merah, lekas-lekas ia berlalu. Lo Lip Djie tidak layani godaannya Nona Hee, ia kata pula: "Pasukan besar dari Giam Ong sudah rampas Djie-lim dan Han-tiong!" Warta ini benar-benar menggirangkan semua orang. "Apa kabar ini sudah pasti?" tegaskan Sin Tjie yang teliti. "Warta ini aku dapatkan dari Saudara Thio yang ditugaskan pergi mencari ini.... Bin Djieya," jawab Lip Djie. "Menurut dia, ketika dia sampai di Siamsay, dia dapatkan tentaranya Giam Ong sedang menyerang kota, hingga suara meriam menggelegar tak henti-hentinya, karena itu, tidak dapat dia jalan lebih jauh. Begitulah dia telah lihat sendiri pasukan Beng Tiauw kena dilabrak hingga kalah besar dan tjongpeng dari kota itu dapat dibinasakan."
"Bagus kalau begitu!" kata Sin Tjie. "Dengan begitu bisa diharap kedatangannya sembarang waktu dari tentara rakyat itu ke kota raja ini, itu waktu kita nanti menyambut dari dalam." Karena ini Sin Tjie lantas ambil ketika untuk mengatur rencana penyambutan, supaya penyerangan bisa dilakukan berbareng, dari luar dan dalam. Ia tetapkan siapa mesti melepas api, siapa mesti rampas kota, siapa mesti bunuh jendral pembela ibu-kota. Karena ini ada urusan rahasia, ia tidak lantas umumkan itu pada kawan-kawannya. Untuk beberapa hari, Sin Tjie menjadi repot, ia perlu hubungkan kawan-kawan seperjuangan lainnya yang berada di dalam kota, untuk janjikan mereka turun tangan bersama begitu lekas angkatan perang Giam Ong sudah sampai. Ketika itu hari ia pulang habis bekerja, Wan Djie ketemui dia dengan wajah Nona Tjiauw ini masgul sekali. "Wan Siangkong, masih saja Ho Kauwtjoe tak sadar akan dirinya," kata dia. Sin Tjie menjadi heran. "Sudah beberapa hari tetapi ia masih belum sadar juga!" katanya. Lantas bersama Wan Djie, ia masuk ke dalam, untuk melongok. Ho Tiat Tjhioe rebah dengan muka seperti tidak ada darahnya, napasnya jalan seperti tinggal satu tarikan demi satu tarikan. Menyaksikan itu, pemuda ini menjadi sangat berduka, hingga ia berdiam saja. Tapi otaknya bekerja. Selang sesaat, mendadak ia berjingkrak sambil berseru: "Celaka!" Wan Djie terkejut. "Kenapa, Wan Siangkong?" tanya nona ini. "Aku lupa satu hal," Sin Tjie jawab. "Jikalau seorang biasa terkena racun, asal racunnya sudah dapat dikeluarkan, dia bisa lantas sembuh. Dengan Ho Kauwtjoe, keadaan ada lain. Sedari kecil dia bergaul dengan pelbagai binatang berbisa, mungkin juga ia telah makan entah obat apa yang mengandung bisa. Ya, binatang berbisa yang umum tidak dapat meracuni dia, tidak demikian apabila dia terkena bisa yang hebat, sekali terkena, dia bisa keracunan secara hebat sekali. Demikianlah kali ini. Selama beberapa hari ini, aku terlalu repot, sampai aku tidak ingat itu...."
"Habis sekarang, bagaimana?" Nona Tjiauw tanya. Sin Tjie berpikir, ia ragu-ragu. "Nampaknya tidak ada lain jalan kecuali kasi dia makan kodok es itu," sahut ia kemudian. "Meski begini, kita cuma mencoba saja. Kesangsianku disebabkan urusan lain lagi. Kalau kita kasi dia makan kodok es itu, lalu kita dapat gangguan pula dari orang-orang Ngo Tok Kauw, asal ada orang kita yang terluka dan keracunan, pasti dia mesti terima nasibnya, tidak ada pertolongan lagi...." Wan Djie benar-benar berduka. Kekuatiran itu beralasan. Sin Tjie terus berpikir, sampai tiba-tiba ia tepuk pahanya. "Marilah kita kasi dia makan obat itu!" katanya kemudian. "Dia bukannya sanak, bukannya kadang kita, akan tetapi tak tega aku untuk awasi dia mati tersiksa secara begini di depan kita...." Wan Djie bersangsi, karena percobaan itu benar-benar berbahaya. Kalau Tiat Tjhioe ketolongan, kalau tidak, bukankah obat mujarab itu lenyap dan ancaman di belakang hari tak dapat dielakkan lagi? Akan tetapi ia toh serahkan kodok es itu, yang terus diaduki arak, untuk terus dicekoki kepada Ho Tiat Tjhioe. Habis itu, orang duduk menantikan akibatnya. Belum selang setengah jam, muka pucat dari Ho Kauwtjoe mulai berubah, kelihatan sinar semu dadu, dan napasnya pun tidak empas-empis lagi. Sin Tjie masih mengawasi sekian lama, lantas ia dapat kepercayaan nona itu bakal ketolongan, dari itu ia lantas tinggal pergi keluar, justru Ang Seng Hay sedang cari dia. "Wan Siangkong, orang Ngo Tok Kauw datang mencari!" kata pengiring ini begitu lekas ia lihat majikannya. Ia nampaknya tergesa-gesa. Hatinya Sin Tjie bercekat, sepasang alisnya mengkerut. "Berapa jumlah mereka?" ia tegasi. "Baru satu orang sampai di luar, entah yang menyusul belakangan," Seng Hay jawab. Sin Tjie berpikir keras. "Kecuali Ho Kauwtjoe, ilmu silatnya orang-orang Ngo Tok Kauw itu biasa saja," pikir ia. "Yang berbahaya adalah racun mereka. Mereka telah jeri terhadapku, perlu apa sekarang mereka datang pula? Mesti ada yang mereka buat andalan maka mereka berani cari aku! Mustika kodok sudah dimakan habis oleh Ho Tiat Tjhioe, andaikata ada orang dari pihakku yang terluka, habislah dia...." Tapi ia tidak bisa buang tempo. "Pergi wartakan semua orang," ia titahkan Seng Hay. "Semua mesti berkumpul di thia besar, tanpa titah atau tanda dari aku, aku larang siapa juga keluar akan hadapi orang-orang Ngo Tok Kauw! Pergi lekas!" Ang Seng Hay menurut, maka dengan separuh lari, ia pergi untuk sampaikan titah itu kepada semua kaumnya. Sin Tjie sendiri lekas pergi keluar, begitu sampai di ambang pintu, ia sudah lantas dapat lihat satu orang Ngo Tok Kauw, yang separuh tubuhnya telanjang, celananya sudah rombeng, sedang berdiri di depan pintu, berdiri dengan kedua tangan, kepalanya di bawah, kedua kakinya di atas. Ia tidak merasa aneh, karena ia sudah kenal dengan laga-lagunya orang-orang kaum "Lima Macam Bisa" itu. Ia juga lantas kenali, orang itu ada Kim-ie Tok Kay Tjee In Go. Hanya kali ini, "dandanan" orang she Tjee ini ada lebih istimewa. Di kedua pundak, di bebokongnya, juga di kedua bahu-tangannya, Tjee In Go telah
tancapkan sama sekali sembilan batang golok panjang yang tajam-mengkilap, ujung golok nancap dalam, darahnya yang masih segar masih mengalir keluar. Sin Tjie mengawasi dengan waspada, ia mesti siap sedia. Orang berlaku aneh, ia menduga-duga apa In Go lagi gunai ilmu siluman. "Kau datang kemari, apakah kau mau?" ia tegur. Tjee In Go tidak menjawab, ia hanya mengoceh sebagai pembaca mantera: "Sembilan golok menembusi lobang, itulah pendekarnya Agama Iblis!"
"Kita berdua harus ambil jalan masing-masing, maka jangan kamu ganggu pula pihakku!" Sin Tjie kata pula. "Aku janji bahwa aku pun tidak bakal ganggu kamu lebih jauh. Lekas pergi!" Tjee In Go tidak menyahuti, dia tetap mengoceh dengan manteranya itu, malah mulutnya berkemik semakin cepat mengucapkan "Sembilan golok menembusi lobang, itulah pendekarnya Agama Iblis!" Sin Tjie heran bukan main, ia terus mengawasi, dengan lebih teliti. Sekarang ia dapat lihat pada setiap batang golok diikatkan semacam mahluk berbisa, ada kalajengking, ada kelabang, semuanya masih bergerak berkutik-kutik.
Itu waktu Ang Seng Hay telah berhasil mengumpulkan semua kawan, tidak terkecuali Tjeng Tjeng, ia ajak mereka semua berkumpul di thia, dengan begitu, mereka ini jadi bisa turut saksikan tindak-tanduk luar biasa dari Kim-ie Tok Kay Tjee In Go si Pengemis Berbisa Berbaju Sulam.... Sin Tjie melirik kepada Ang Seng Hay, pengiring ini ada seorang cerdik, karena ia pun dapat dengar nyata ocehannya si orang she Tjee, lekas-lekas ia masuk ke dalam, bersama-sama Tjiauw Wan Djie, ia masuk ke kamarnya Ho Tiat Tjhioe. "Ho Kauwtjoe, apakah artinya 'Sembilan golok menembusi lobang, itulah pendekarnya Agama Iblis'?" tanya ia kepada pemimpin Ngo Tok Kauw itu. Tiat Tjhioe sudah mulai sadar, mendengar pertanyaan Seng Hay, ia geraki tubuhnya untuk bangun berduduk. "Siapa yang telah datang?" dia baliki menanya. "Satu pengemis yang tidak pakai baju," sahut Seng Hay. "Baik," kata kauwtjoe itu. "Eh, nona, tolong kau pegangi aku, antar aku keluar." Ia bicara kepada Wan Djie. Nona Tjiauw bersangsi. Ia tahu orang Baru saja sadar, tubuhnya pasti masih sangat lelah. Selagi ia hendak mencegah, Tiat Tjhioe sudah goyangi tangan pada Seng Hay, untuk menyuruh orang lelaki ini undurkan diri, kemudian ia ambil bajunya, yang panjang, untuk dipakai. Semua gerakannya sangat lambat. "Tak dapat kau keluar," Wan Djie bilang. "Lekas tolong pegangi aku!" kata Kauwtjoe itu, yang tidak perduli cegahan. Wan Djie jadi kewalahan, ia terpaksa menurut. Ia ulur tangannya, untuk membanguni pemimpin Ngo Tok Kauw itu. Ho Tiat Tjhioe ulur tangan kanannya, akan cekal tangan Nona Tjiauw kita. Begitu ia kena dicekal, Wan Djie terperanjat. Tangannya kauw-tjoe ini kuat dan keras sekali, ia merasa bagaikan tangannya kena dijepit, hingga seperti tidak berdaya, ia ikut nona itu bertindak keluar. Dengan sendirinya ia merasa jeri berbareng kagum terhadap ratu bisa ini. Begitu lekas Ho Tiat Tjhioe sampai di muka pintu, ia berseru: "Kau lihat! Bukankah aku ini masih hidup?" Parasnya Tjee In Go memperlihatkan roman girang, ia kerahkan tenaga kedua tangannya, lantas ia berjumpalitan, sampai dua kali, tetap ia berdiri dengan kedua tangannya itu, kepalanya di bawah, kedua kakinya di atas. "Kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf?" tanya Ho Tiat Tjhioe. "Jikalau kau tidak mendapatkan ancaman malapetaka, tidak nanti kau mendapat kesadaranmu!" Baru sekarang Kim-ie Tok Kay mau bicara. "Oh, kauwtjoe yang bijaksana!" demikian katanya, "aku yang rendah telah berdosa hingga mesti terbinasa berlaksa kali. Aku telah melukai tubuh yang suci dari Kauwtjoe. Bersukur kepada Tjit-tjouw Sam-tjoe, yang melindungi dan memberkahi, Kauwtjoe selamat, tidak kurang suatu apa!"
"Tjit-tjouw Sam-tjoe" ialah yang dimaksudkan "Tujuh leluhur, tiga putera". Ho Tiat Tjhioe membentak: "Rupanya kau percaya, dengan pakai si ular emas untuk melukai aku, jiwaku pasti bakal melayang! Jikalau aku telah mati, maka dengan menuruti aturan kaum kita, dengan sendirinya kaulah yang menggantikan jadi kauw-tjoe! Bukankah benar begitu?" Tjee In Go tekuk kedua tangannya, lantas ia lonjorkan itu kedua samping, dengan begitu dahinya jadi mengenai tanah, dengan dahi itu yang mengganjal tubuhnya, ia masih berdiri dengan kaki di atas. Dengan ini ia jalankan kehormatan. "Aku tanya kau, kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf kepadaku?" Ho Tiat Tjhioe tanya. "Aku yang rendah tidak berani mendustai Kauwtjoe," Tjee In Go menyahut. "Memang, menurut aturan kaum kita, adalah aku yang rendah yang mesti menjadi kauwtjoe pengganti. Tapi si uwah pengemis tidak setuju, dia bentrok sama aku, kesudahannya aku yang rendah tidak sanggup lawan dia..."
"Memang aku tahu hatimu tidak lurus!" Ho Tiat Tjhioe kata. "Sekarang kau insaf, kau hendak bersetia kepadaku, baik, aku suka kasi ampun pada satu jiwamu!" Kauwtjoe ini hampirkan Kim-ie Tok Kay. Ia membungkuk, akan cabut sebatang golok di pundak. Tjee In Go jadi sangat girang, ia memberi hormat pula, lantas ia berjumpalitan lagi, untuk berdiri dengan kedua kakinya, habis mana, ia putar tubuhnya, terus ia ngeloyor pergi. Dengan tetap dipepayang Wan Djie, Tiat Tjhioe bertindak ke thia, semua orang ikuti dia. Dan semua orang itu terbenam dalam keanehan berhubung sama "pertunjukan" barusan itu... Ho Tiat Tjhioe tertawa. "Dia telah didesak sampai di jalan buntu, maka itu dia datang untuk minta bantuanku," ia kata pada orang banyak. "Apakah artinya semua golok itu?" Tjeng Tjeng tanya. Tiat Tjhioe masih pegangi goloknya Tjee In Go, ia loloskan seekor kalajengking yang diikat kepada golok itu, ia bungkus dengan saputangannya, dalam beberapa lepitan, lalu ia masuki ke dalam sakunya. "Ini adalah ilmu siluman dari kita," kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. "Aku harap saudara-
saudara tidak mentertawakan kami. Semua sembilan golok itu ada binatang berbisanya masing-masing, bisa itu dapat dipakai mengobati, dengan cara bisa lawan bisa. Siapa keracunan bisanya semacam binatang, ia mesti diobati dengan bisanya semacam
binatang juga, cuma dengan dicampuri obat lainnya, lukanya bisa disembuhkan. Mulai hari ini dan selanjutnya, setiap tahun di musim semi, apabila lukanya terkena bisa itu kambuh, aku lantas obati dengan sebungkus obat pemunah bisa." Tjeng Tjeng manggut-manggut. "Secara demikian untuk selamanya, setiap tahun dia menjadi seperti kacungmu," kata dia, "tidak nanti dia berani berkhianat pula."
"Tepat dugaan Hee Siangkong!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. "Apakah tidak boleh jikalau dia sendiri yang cabuti golok-golok di tubuhnya itu?" Tjeng Tjeng tanya pula. "Golok-golok itu justru dia sendirilah yang tusuki di anggauta-anggauta tubuhnya itu," Tiat Tjhioe terangkan lebih jauh, "dengan dia datang kepadaku, untuk minta tolong dicabuti, itu adalah bukti pernyataannya bahwa ia takluk kepadaku. Dia telah lukai aku dengan ular emas itu, jikalau dia tidak pakai itu cara menusuk diri dengan sembilan golok, dia mengerti bahwa aku tidak bakal terima baik padanya."
"Jikalau begitu, kenapa kau tidak hendak cabut saja semua golok itu sekaligus?" lagi-lagi Tjeng Tjeng tanya. "Pada tubuhnya itu masih ada delapan golok yang nancap tajam, bagaimana sakitnya...." Ho Kauwtjoe tertawa. "Memang aku kehendaki dia menderita lebih banyak!" sahutnya. Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan: "Jikalau Hee Siangkong juga suka memberi keampunan kepadanya, baik besok aku nanti cabut semua sekaligus!"
"Terserah kepadamu!" Tjeng Tjeng bilang. "Tak dapat aku mengasihani orang jahat sebangsa dia!" Sampai di situ, Tong Hian Toodjin anggap pembicaraan mengenai lelakon Tjee In Go sudah sampai di akhirnya, maka ia berbangkit, akan hadapi pemimpin Ngo Tok Kauw itu. "Ho Kauwtjoe," berkata dia, "aku ingin bicara perihal guru kami. Dengan memandang kepada Wan Siangkong, aku minta sudilah kau memberikan keterangan kepada kami." Begitu sang imam bicara, semua murid Boe Tong Pay lainnya lantas pada berbangkit. Ho Tiat Tjhioe pandang imam itu, ia tertawa dingin. "Wan Siangkong telah melepas budi besar kepadaku, tetapi kamu dari Boe Tong Pay tidak ada sangkutannya dengan aku!" kata dia dengan tandes. "Kesehatan tubuhku masih belum pulih, apakah kamu hendak gunai kelemahan diriku ini untuk memaksa kepadaku? Jikalau itu benar, aku Ho Tiat Tjhioe, aku tidak takut!" Adalah di luar dugaan umum yang nona ini bicara dengan sikap demikian keras. Diam-diam Sin Tjie kedipi Tong Hian Toodjin, kepada siapa ia berpaling. "Kesehatan Ho Kauwtjoe sedang terganggu, nanti saja pelahan-lahan kita bicarakan pula urusan ini," ia malang di tengah. Belum sempat Tong Hian menyatakan sesuatu, sambil perdengarkan suara di hidung, Tiat Tjhioe pegang tangannya Wan Djie, untuk ajak Nona Tjiauw masuk ke dalam. Dengan begitu saja ia tinggalkan orang-orang Boe Tong Pay itu, sedang yang lainnya pada melongo. Orang-orang Boe Tong Pay perdengarkan gerutuan mereka, suatu tanda mereka merasa sangat tidak senang. Mereka merasa seperti dihinakan. "Serahkan urusan ini padaku," Sin Tjie kata pada sekalian tetamunya itu. "Aku bertanggung-jawab untuk cari tahu tempat di mana beradanya Oey Bok Toodjin."
Baru setelah dengar janji ini, orang-orang Boe Tong Pay itu bisa tenangi hati. Besoknya pagi, benar saja Tjee In Go datang pula. Ho Tiat Tjhioe cuma cabut sebatang golok. Demikian seterusnya, setiap hari Kim-ie Tok Kay datang, untuk pemimpinnya cabuti goloknya itu. Di hari kesembilan, ketika ia datang pula - di waktu tengah hari - adalah Ang Seng Hay yang memberi warta pada Ho Tiat Tjhioe. Ketika itu, Tiat Tjhioe telah pulih kesehatannya. Juga Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, si empe gagu A Pa, Thie-Lo-Han Gie Seng dan Ouw Koei Lam, sudah sembuh seluruhnya, mereka ingin saksikan, setelah Ho Kauwtjoe cabut golok yang terakhir itu, bagaimana sikapnya kauwtjoe ini terhadap Tjee In Go. Maka itu, mereka semua turut pergi keluar. Kim-ie Tok Kay sudah berdiri pula dengan kedua tangan menggantikan kakinya, ia unjuk air muka sangat terang, tanda kegirangannya. Ho Tiat Tjhioe tidak lantas cabut golok di bebokong orang itu, ia menoleh pada Tjeng Tjeng, ia tertawa. "Hee Siangkong," katanya, "orang ini punyakan sifat buruk, akan tetapi ilmu silatnya baik sekali, maka bagaimana kau pikir jikalau aku berikan dia kepadamu untuk dia jadi kacungmu? Dengan kau simpan obat pemunah racun dalam tanganmu, tidak nanti dia berani bantah setiap perkataanmu." Tjeng Tjeng bersenyum. "Aku ada seorang perempuan, untuk apa aku mempunyai seorang kacung lelaki buruk sebagai dia?" dia menjawab dengan pelahan. Ho Tiat Tjhioe terperanjat, hingga ia melongo. Sejak ia lihat Tjeng Tjeng, seterusnya saban kali ia menemui pula, selamanya justru nona Hee sedang dandan sebagai satu pemuda, maka itu, makin lama ia melihat, makin tertarik hatinya, makin keras cintanya. Selama itu, tidak pernah ia curigai puterinya Kim Tjoa Long-koen ini. Oleh karena ini, jawaban si nona bikin ia heran bukan main. "Apa?" tegasi dia. "Aku tidak inginkan kacung itu," sahut Tjeng Tjeng. "Kau membilang tentang seorang perempuan?...." Tiat Tjhioe tegasi pula. Wan Djie tertawa, ia campur bicara. "Ini adalah nona Hee," ia kasi tahu. "Sejak masih kecil dia gemar sekali dandan sebagai seorang pria. Tidak heran jikalau kau tidak dapat tahu, juga aku pada mulanya bertemu, aku tidak dapat mengenalinya." Tiat Tjhioe merasai matanya berkunang-kunang, maka ia tercengang memandang "pemuda" di depannya itu. Sekarang ia lihat tegas satu kulit muka yang putih-halus, sepasang alis yang lentik melengkung! Ya, itulah kulit dan alisnya seorang wanita. Maka ia kaget, ia mendongkol, ia penasaran.... "Hai, mengapa aku jadi begini tolol!" dalam hatinya ia tegur dirinya sendiri, ia menyesalinya. "Kenapa untuk seorang perempuan, aku berontak terhadap agamaku, aku tentangi kawan-kawanku? Benar-benar tak pantas aku hidup lebih lama pula!...." Kauwtjoe ini ada seorang luar biasa, walaupun dia berhati keras bagaikan baja, semakin dia gusar, semakin murah tertawanya, senyumannya. Juga kali ini, ia lantas tertawa, sujennya nampak nyata. "Benar-benar aku tolol!" katanya. Ia bertindak ke tangga, akan hampirkan Tjee In Go. Ia membungkuk, sikapnya hendak mencabut golok di bebokongnya Kim-ie Tok Kay, yang sekarang rebah tertelungkup. Ia ada seorang dengan hati kuat, akan tetapi perubahan kejadian ini telah sangat pengaruhi dia, maka itu, sesaat itu, hatinya gentar, ia bimbang, tanpa ia kehendakinya, kakinya lemas, hingga ia berdiri dengan limbung. Tjiauw Wan Djie berada dekat kauwtjoe ini, ia maju, untuk menolongi. Itu waktu semua mata ditujukan kepada Tjee In Go dan Ho Tiat Tjhioe, karena kauwtjoe ini limbung tubuhnya, perhatian dipindahkan kepada dia seorang diri. Maka orang tidak lihat ketika tahu-tahu, dari pinggir jalanan, tertampak orang berlari-lari dan berlompat kepada Kim-ie Tok Kay, setelah datang dekat, orang itu berseru dengan nyaring, sesudah membungkuk kepada In Go, dia lompat mundur pula. Tapi hampir berbareng sama lompatannya orang itu, In Go perdengarkan jeritan dari kesakitan yang hebat, dia rebah tertelungkup dengan golok yang panjang di bebokongnya, nancap dalam sekali. Itulah kejadian sangat cepat, sedetik saja. Orang semua kaget. Walaupun di situ ada Sin
Tjie, ada Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan lain-lain orang liehay, masih mereka tak dapat cegah kejadian hebat itu. Adalah sesudah orang lompat mundur, Baru orang kenali, si pembokong itu ada Ho Ang Yo, si uwah jelek. Sekarang uwah ini, dengan semparkan pulang pergi tangan kirinya dengan mulut berteriak-teriak lompat berjingkrakan dengan kedua kakinya. Nyatalah seekor ular kuning emas telah menyantel di belakang telapakan tangannya, sia-sia ia berlaku kalap secara demikian, ular itu tak mau terlepas! "Bagus! Bagus!" berseru Tjee In Go sambil ia angkat kepalanya. Tapi setelah mengucap
demikian, kepalanya lemas, tubuhnya berkelejat, terus dia diam saja. Karena rohnya telah melayang pergi. Sekarang semua mata ditujukan kepada Ho Ang Yo. Uwah yang romannya bengis ini nampaknya jadi bertambah menyeramkan, suatu tanda ia berada dalam ketakutan yang sangat. Masih dia berjingkrakan, masih dia kibas-kibaskan tangannya, tetap sang ular tidak mau copot dari belakang telapakan tangannya itu. Beberapa kali ia coba ulur tangan kanannya, akan cekal ular itu, untuk ditarik, tetapi saban-saban dengan lekas ia tarik pulang tangannya itu, disebabkan dia takut nanti tangan kanannya juga disantok ular berbisa itu seperti tangan kirinya. Ia telah disantok tadi ketika ia pegang gagang golok, yang ia terus tuncapkan di bebokongnya Tjee In Go. Si ular kuning emas adalah binatang berbisa dari gagang golok itu. Ho Tiat Tjhioe telah dapat berdiri pula dengan tetap, ia turut tonton tingkahnya Ho Ang Yo, benar ia tertawa tetapi ia tidak kata apa-apa. Akhir-akhirnya Ho Ang Yo ingat suatu apa, ia tidak lagi berjingkrakan, tangan kanannya dimasuki ke dalam sakunya, untuk tarik keluar sebuah golok, begitu lekas golok itu berkelebat, tangan kirinya telah ia babat kutung sebatas ugal-ugalan! Rupanya ia insaf, percuma ia binasakan atau singkirkan ular itu sesudah ia kena dipagut, ia toh bakal bercelaka karena bisanya. Setelah itu ia robek ujung bajunya, untuk dipakai membalut tangannya itu, kemudian ia lari kabur bagaikan orang kalap. Semua penonton tercengang karena menghadapi pemandangan yang hebat itu. Ho Tiat Tjhioe hampirkan tubuhnya Tjee In Go, untuk ambil sebuah pipa besi, yang ia pakai menindih tubuhnya sang ular emas, kemudian dengan gaetan kirinya, ia gurat daging tangannya Ho Ang Yo, hingga daging itu terpotong, maka itu, bersama sisa daging, yang masih dipagut terus, ular itu dikasi masuk ke dalam pipa, yang terus ditutup rapat. "Dari mana datangnya ular kuning ini?" Sin Tjie tanya. Tiat Tjhioe tertawa meringis. "Orang she Tjee itu minta pertolonganku, dia tetap masih tidak tenteram hatinya, dia kuatir aku nanti bikin dia celaka, maka itu ular ini ia simpan di dalam gagang goloknya yang kesembilan itu," ia kasi keterangan. "Umpama kata aku cabut goloknya itu, tidak ada soal lagi, itu artinya aku tidak ganggu dia, akan tetapi apabila aku niat bunuh dia, dia akan pakai ular itu untuk balas pagut tanganku. Hm! Bibi sebaliknya tidak suka mengasi ampun pada In Go, dia mencoba membinasakan kawan sendiri, untuk kekejamannya itu, ia peroleh pembalasannya, hingga sekarang tangannya pun mesti buntung sebelah. Coba dia berlambat sedikit saja, dia juga pasti tidak bakal ketolongan lagi...." Sin Tjie menghela napas. "Apakah tangan kirimu pun dikutungi secara demikian?" Tjeng Tjeng tanya Tiat Tjhioe. Ho Kauwtjoe deliki ini nona, dia tidak menjawabnya, hanya sambil tutupi mukanya, dia lari ke dalam. "Sungguh orang aneh!" kata Nona Hee dengan sengit, karena ia "ketemu batunya!" Tjiauw Wan Djie diam saja, ia malah perlihatkan roman masgul. "Nanti aku pergi temani dia, supaya tidak terbit onar lain," katanya, yang terus masuk ke dalam, untuk susul pemimpin Ngo Tok Kauw itu. Akan tetapi ia pergi tidak lama, ia kembali dengan tergesa-gesa. "Wan Siangkong, Ho Kauwtjoe kurung diri di dalam kamar, ia kunci pintu, aku panggil-panggil, dia tidak memperdulikannya," ia kasi tahu. "Biarkan dia beristirahat sebentar," Sin Tjie jawab. "Bukan begitu, siangkong. Aku kuatir...."
"Baik, mari kita lihat!" kata si anak muda. Ia lantas bertindak ke dalam, Wan Djie dan Tjeng Tjeng turut dia. Wan Djie lantas ketok pintu, tidak ada jawabannya; ia ulangi itu, tetap tidak ada jawabannya. Ia berkuatir, ia jadi bercuriga, maka ia lari ke jendela, untuk mengintip. Mendadak ia menjerit. "Celaka! Wan Siangkong, lekas kemari!" ia berseru.
Akan tetapi, walaupun ia teriaki Sin Tjie, ia toh tidak tunggu sampai pemuda itu lari menghampiri dia, dengan ayun kedua tangannya, dengan gerakan "Heng teelan to" atau "Lintangi gili-gili untuk mencegah ombak", ia hajar daun jendela menjeblak terpentang, menyusul mana, ia enjot tubuhnya untuk berloncat ke dalam. Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi bercuriga, mereka lari ke jendela, dengan saling susul, mereka juga lompat ke dalam kamar. Bila si anak muda lihat Ho Tiat Tjhioe, mukanya menjadi merah. Nona she Ho itu, pemimpin dari Ngo Tok Kauw, sudah buka bajunya, hingga kelihatanlah buah dadanya yang putih bagaikan salju, orangnya sendiri sedang tekuk lutut di depan sebuah boneka kayu yang mungil, tangan kanannya sedang pegangi si ular kuning emas, yang ia hendak bawa ke dadanya itu! Tanpa ragu-ragu barang sedetik juga, Sin Tjie ayun tangan kanannya, segera dua bitir biji caturnya menyambar kepada mulutnya ular kuning emas itu! Ho Tiat Tjhioe kaget, ia sampai lepaskan cekalannya, tapi segera setelah itu, ia mendekam di atas meja, untuk menangis menggerung-gerung. Tjeng Tjeng sambar pipa besi, untuk dikasi masuk ular itu ke dalamnya. "Kenapa kau berlaku nekat begini?" ia terus tanya kauwtjoe itu, suaranya lembut. "Orang-orang kaummu tidak sukai lagi kepadamu, kau toh bisa turut kami. Bukankah itu bagus?" Tiat Tjhioe nangis terus, ia tidak menjawab. "Ho Kauwtjoe," Sin Tjie turut bicara, "Ngo Tok Kauw ada satu perkumpulan agama yang sesat, dengan kau menukar haluan, dengan putuskan perhubunganmu dengan mereka, tidakkah itu bagus? Kenapa kau mesti berduka?" Itu waktu Thia Tjeng Tiok dan lainnya pun telah datang berkumpul kapan mereka telah ketahui duduknya hal, mereka lantas membujuki dan menghibur. Penyesalan dan penasarannya Tiat Tjhioe rupanya terlalu hebat, hingga untuk sesaat itu, pikirannya jadi butek, hingga ia lupa segala apa, ia mau habisi jiwa sendiri, tetapi setelah orang tolongi dia dan sekarang mendengar bujukan dan hiburan, setelah nyata orang semua bersimpati kepadanya, kecerdasannya datang pula. Ia pun segera ingat suatu apa. Maka ia angkat kepalanya, dengan matanya yang tajam, ia awasi semua orang di sekitarnya. Tiba-tiba saja ia tertawa. "Wan Siangkong," katanya, "asal kau suka terima baik satu permintaanku, aku tidak akan bunuh diri!" Melihat tingkah nona itu, Tjeng Tjeng berpikir: "Ini orang sangat aneh! Baru saja dia nekat, dia menangis, atau sekarang dia sudah bisa tertawa pula! Untuk apa dia menangis? - Oh, inilah hebat! Mungkinkah dia jatuh hati kepada dia?...." Dengan "dia", dia maksudkan Sin Tjie. Maka mendadak saja, kumat pula hati cemburunya. Karena itu, segera dia dului si anak muda. "Apakah yang kau hendak minta dari dia?" dia tanya. Ho Tiat Tjhioe tidak jawab si nona, ia hanya pandang si anak muda. "Wan Siangkong, kau bilang dulu, kau suka terima atau tidak?" dia mendesak. "Sebenarnya aku tidak tahu, apakah yang Ho Kauwtjoe inginkan aku lakukan?" Sin Tjie tanya. Juga anak muda ini mulai curiga. Maka tak mau ia lantas berikan jawaban yang mengiakan. Ho Tiat Tjhioe awasi Tjeng Tjeng dan Wan Djie, tiba-tiba saja ia tertawa pula, kemudian dengan mendadak, ia berlutut di depan Sin Tjie, ia manggut berulang-ulang.
Sin Tjie terperanjat, ia heran, tetapi ia pun sibuk membalas hormat itu, hingga ia juga manggut berulang-ulang. "Sudah, sudah, jangan jalankan kehormatan." ia mencegah. Sampai di situ, Baru Tiat Tjhioe mau bicara. "Jikalau kau tidak terima aku sebagai muridmu, aku tidak hendak bangun!" katanya. Tjeng Tjeng melongo, akan tetapi segera hatinya menjadi lega, hingga ia bisa tertawa. "Kauwtjoe punya boegee sudah liehay sekali, siapa sanggup menjadi gurumu?" kata dia. Kauwtjoe itu tertawa pula. "Soehoe, jikalau tetap kau tidak terima aku sebagai murid, aku nanti berlutut di sini buat selama-lamanya!" kata dia pula. Sin Tjie berlega hati, ia pun merasa lucu, tetapi ia kewalahan. "Belum satu tahun sejak aku keluar dari rumah perguruan, mana dapat aku menjadi guru?" kata dia. "Jikalau Ho Kauwtjoe tidak cela kebisaanku yang masih cetek, baiklah kita saling menyakinkan saja, untuk memahamkan lebih jauh ilmu silat kita. Mungkin dengan cara itu kita sama-sama akan memperoleh faedah. Tentang soal angkat guru baik kita jangan sebut-sebut." Tiat Tjhioe tidak menjawab, tetap dia tekuk lutut, tidak mau dia berbangkit. "Mari bangun!" kata Sin Tjie, lalu dengan terpaksa ia ulur kedua tangannya, untuk memegang dan memimpin bangun. Kauwtjoe itu tarik tangannya. "Awas! Tanganku ada bisanya!" kata dia. Dia tertawa. Iapun kibaskan lengan kirinya, yang bercagak hitam dan mengkilap, untuk gaet tangannya Sin Tjie itu, hingga cahayanya berkelebat! Sin Tjie tidak tarik pulang tangannya itu, malah ia majukan dua-duanya. Di saat seperti itu ia unjuk kesebatannya luar biasa. Ia sambar kedua bahu orang, ia kerahkan tenaganya, maka dalam sekejab saja, di luar kehendaknya Tiat Tjhioe, tubuhnya dia ini terangkat naik! Akan tetapi pemimpin Ngo Tok Kauw benar-benar liehay, begitu lekas tubuhnya terangkat naik, ia tekuk pinggangnya ke dalam, ia angkat kedua kakinya, berbareng dengan mana, kedua bahunya pun dikibaskan! Sin Tjie tidak mau dada atau mukanya kena didupak, ia lepaskan cekalannya, kakinya mundur setindak menyusul mana Ho Tiat Tjhioe poksay, jumpalitan, hingga di lain saat, dia injak tanah dengan kedua kakinya, tidak ia rubuh, hanya dia terus berlutut pula! Kagumlah semua penonton, tanpa merasa, mereka bertampik-sorak. Mereka telah saksikan kepandaian yang luar biasa sekali dari pemuda dan pemudi itu. "Ho Kauwtjoe, silakan kau beristirahat sebentar, aku hendak keluar untuk menemui tetamu," kemudian Sin Tjie bilang. Diam-diam ia pun kagumi kauwtjoe ini. Ia terus bertindak keluar. Tiat Tjhioe menjadi sibuk, dia berteriak: "Wan Siangkong, apa benar-benar kau tidak sudi terima aku sebagai murid?"
"Menyesal aku tidak sanggup," jawab Sin Tjie. "Baiklah kalau begitu!" kata kauwtjoe itu dengan nyaring. "Nona Hee, mari! Mari aku gunai tempo setengah malaman ini untuk kasi dengar kau, dongeng tentang gambar lukisan ditaruh di muka pembaringan!" Tjeng Tjeng melongo. Ia tidak mengerti. Muka Sin Tjie sebaliknya, menjadi merah. Ia merandek, ia berbalik.
"Hebat orang she Ho ini," pikir dia. "Dia pasti berani lakukan apa yang dia pikir. Mana bisa dibiarkan dia beber rahasianya A Kioe dan aku..." Kalau sampai teruwar bagaimana ia rebah berdampingan sama satu nona bukan sanak bukan kadangnya, bagaimana ia dan A Kioe tak bakal dapat malu? Bukan saja Tjeng Tjeng bakal jadi murka, ia pun akan malu sekali. Karena itu, ia goyang-goyang tangannya. Tiat Tjhioe tertawa pula. "Soehoe, terima baiklah permintaanku!" katanya pula. Sin Tjie kasi dengar suara tidak nyata: "Oh, oh...." Tapi Tiat Tjhioe lantas saja jadi sangat girang. "Bagus, soehoe telah meluluskan!" serunya. Ia geraki kedua dengkul, begitu berdiri, dia lompat ke depan si anak muda, untuk paykoei, untuk jalankan kehormatan besar! Sin Tjie jadi sangat terdesak, terpaksa ia balas separuh dari itu pemberian hormat. Atas itu, orang banyak lantas kasi selamat, pada itu murid dan guru. Tinggallah Tjeng Tjeng menjadi sangat heran, ia bingung. "Kau hendak berdongeng cerita apa" ia tanya Tiat Tjhioe. Ho Kauwtjoe tertawa, tetapi ia lantas menyahuti.
"Di dalam kalangan agamaku ada semacam ilmu gaib," katanya, "asal kita lukiskan gambarnya satu orang, lalu gambar itu kita taruh di depan pembaringan, terus kita kasi hormat dengan manggut-manggut kepadanya sambil membaca mantera, pasti itu orang akan sakit jantung dan kepalanya, beruntun selama tiga bulan, dia tidak akan sembuh-sembuh." Tjeng Tjeng mendengari dengan perhatian, ia separuh percaya dan separuh tidak. Tetapi Sin Tjie menjadi lega hatinya. Meski demikian, ia kata dalam hatinya: "Di kolong langit tidak ada orang yang angkat guru dengan cara ancaman sebagai ini! Dia masih belum bisa ubah hatinya, pasti tak dapat aku ajari ia ilmu silat." Maka ia kata dengan sungguh-sungguh: "Sebenarnya aku tidak punyakan ilmu silat yang bisa diajari kepadamu, akan tetapi kau begini bersungguh hati, baiklah untuk sementara aku namanya saja menjadi guru, kita akan tunggu sampai aku sudah memberi keterangan kepada guruku. Apabila guruku itu telah memberi perkenannya, Baru aku nanti ajari kau ilmu silat Hoa San Pay." Alasan ini kuat. Ho Tiat Tjhioe tidak bisa mendesak lebih jauh. "Baik, baik," ia terima janji Sin Tjie itu. Ia girang sekali. "Ho Kauwtjoe...." Kata Tjeng Tjeng.
Tetapi kauwtjoe itu memotong: "Tidak dapat kau menyebut aku kauwtjoe lagi!" katanya. "Soehoe, silakan kau berikan satu nama untukku." Sin Tjie berpikir. "Baiklah, kau pakai saja nama Tek Sioe," kata dia kemudian. "Tek ialah jeri untuk segala kekeliruan yang sudah-sudah, dan Sioe untuk menjaga dan menjalankan prilaku baik."
"Bagus, bagus!" kata Tiat Tjhioe dengan girang. "Hee Soesiok, kau panggilah aku Tek Sioe!"
"Kau berusia lebih tua daripada aku, boegeemu juga terlebih tinggi, cara bagaimana kau memanggil soesiok padaku?" kata Tjeng Tjeng ("Soesiok" ialah "paman guru"). Tiat Tjhioe dekati Nona Hee itu, ia berbisik: "Sekarang aku panggil kau soesiok, lain kali aku akan panggil kau soebo!" Kedua pipinya Tjeng Tjeng menjadi merah. "Soebo" itu berarti "nyonya guru". Akan tetapi, diam-diam ia toh girang bukan main. Sekarang ia jadi dapat anggapan baik terhadap kauwtjoe ini. Tadinya ia masih hendak menegur, tetapi segera ia batalkan niatnya itu, sebab itu waktu kelihatan Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa bertindak masuk. Melihat dua orang Boe Tong Pay itu, Sin Tjie lantas kata pada Tiat Tjhioe: "Sekarang kita
sudah jadi orang sendiri, coba kau beri tahu kepada tootiang ini berdua, Oey Bok Toodjin itu sebenarnya masih hidup atau sudah mati...." Ho Tek Sioe bersenyum. "Dia ada di Inlam, di Tay...." Ia Baru mengucap sampai di situ, sekonyong-konyong mendengung suara nyaring dan hebat, sampai meja dan tehkoan bergerak, sampai cawan-cawan pada bergoyang. Semua orang terjaga. Baru saja hati mereka mulai "tetap", atau suara hebat itu terdengar pula, kali ini terus, berulang-ulang. Itulah dentuman meriam!" kata Thia Tjeng Tiok. Segera semua orang lari ke depan. Justru itu Ang Seng Hay datang sambil berlari-lari. "Balatentara Giam Ong sudah sampai!" katanya. Dentuman meriam masih terus terdengar, dari arah luar kota kelihatan cahaya api menyambar-nyambar berkelebatan dibarengi sama riuhnya suara pertempuran. Jadi terang sudah pasukan perang Giam Ong sudah sampai di luar kota raja. "Tootiang," berkata Sin Tjie pada Tong Hian Toodjin, "dia sekarang telah angkat aku menjadi guru, maka tentang guru kamu, baik kita tunda dulu membicarakannya...." Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe segera menyambungi: "Oey Bok Toodjin itu kena dikurung bibiku di dalam guha Tok Liong Tong di Tay-ke, Inlam. Pergi kamu bawa ini, untuk memerdekakannya!" Sembari berkata begitu, ia serahkan sebuah suitan besi hitam-legam yang beroman ular-
ularan. Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa girang tak kepalang mendengar guru mereka masih hidup, berulang-ulang mereka menghaturkan terima kasih mereka. Tong Hian lantas sambuti suitan itu. "Inilah akupunya leng-hoe." Ho Tiat Tjhioe kasi keterangan. "Kamu mesti berangkat dengan segera, supaya kamu bisa mendahului sampai di sana. Anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw di Inlam masih belum tahu aku sudah undurkan diri dari kalangan mereka, asal mereka lihat lenghoe ini, sudah pasti mereka akan merdekakan gurumu." Kembali Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa mengucap terima kasih, dengan tergesa-gesa mereka pamitan dari Sin Tjie beramai, lantas mereka berlalu. Sin Tjie juga sudah lantas kirim orang, untuk serep-serepi kabar pasti, supaya ia bisa berikan pertandaannya untuk semua kawan seperjuangannya di dalam kota bergerak serentak menuruti rencana yang ia sudah atur, ialah melepas api berbareng mengadakan serangan secara mendadak, untuk sambuti serangan dari luar. Belum terlalu lama, satu tauwbak telah datang bersama sepucuk surat, katanya surat dari Tie-Tjiangkoen Lie Gam, jenderalnya Giam Ong, yang sengaja kirim itu dengan utus satu penyelundup. "Bagus!" Sin Tjie memuji. Lantas dia bertindak, mengirim orang-orang ke empat penjuru kota. Maka di waktu magrib, di mana-mana tersiarlah ko-yauw atau cerita-cerita burung yang merupakan nyanyian, yang dinyanyikan ramai oleh anak-anak kecil dan orang pengangguran. Umpama ko-yauw di kota Barat oleh anak-anak berbunyi: "Pagi mencari satu SENG, Sore mencari satu HAP, Selama ini, orang melarat sukar hidup, Maka lekas-lekas buka pintu, Menyambut Giam Ong. Pasti semua, tua dan muda, Akan jadi girang-senang!" Sedang di kota Timur, kaum pengangguran bernyanyi: "Makan dari ibunya, Berpakai dari ibunya, Makan dan berpakai tak habis. Sebab adanya Giam Ong! Tidak usah bekerja, Tidak usah bayar coeke!" Di dalam kota telah terbit kekacauan, tentara Beng Tiauw sudah sibuk sendirinya, tak sempat mereka mengurus "ocehan" rakyat itu, maka tidak ada yang melarang ko-yauw itu. Sin Tjie punya barang-barang permata sepuluh peti besar, dengan diam-diam telah dijual dijadikan uang kontan, uang itu telah dipecah di antara banyak kawan yang dapat dipercaya, untuk disebar di antara tentara dan opsir-opsir yang bertanggung-jawab atas penjagaan atau pembelaan kota, dengan begitu, sepak-terjang mereka jadi semakin leluasa. Besoknya, Sha-gwee Tjap-pwee, yaitu bulan tiga tanggal delapan-belas, Sin Tjie bersama Tjeng Tjeng, Ho Tek Sioe, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong beramai, dengan menyamar sebagai serdadu-serdadu Beng Tiauw, telah pergi ke tembok kota, untuk memandang keluar, hingga mereka bisa pandang tentara sukarela yang semua mengenakan seragam warna kuning, jumlahnya semua mungkin beberapa ratus ribu jiwa, nampaknya bagaikan awan kuning saja.... Dentuman meriam masih senantiasa terdengar, karena kota asik diserang terus. Di pihak lain, pembelaan tentara pemerintah sudah kacau sekali, tak dapat mereka bertahan lama, sedang mereka, yang sudah makan sogokan, memanah secara sembarangan saja. Maka bisa diharap jatuhnya kota akan terjadi di sembarang waktu. Sin Tjie semua menjadi girang, lekas-lekas mereka undurkan diri, untuk beri titah supaya orang mulai melepas api di empat penjuru pintu kota, supaya penyerangan segera dimulai. Malah rakyat melarat turut sambut aksi itu. Begitulah, kota menjadi kacau. Selagi orang bertempur seru dan berteriak-teriak, Sin Tjie lihat sepasukan serdadu asik iringi satu thaykam yang mengenakan pakaian sulam, mereka itu berseru-seru untuk membuka jalan. Di antara cahaya api terang-terang, pemuda kita segera kenali Tjo Hoa Soen. "Semua ikut aku!" ia berteriak. "Mari kita bekuk dorna itu!" Ho Tek Sioe dan Thie Lo Han segera mendahului membuka jalan, semua lantas memburu, untuk menyerbu. Tentu saja pasukan serdadu pengiring itu tak dapat bertahan terhadap rombongan orang gagah ini.
Tjo Hoa Soen tampak gelagat buruk, dia putar kudanya, untuk kabur. Akan tetapi Sin Tjie sudah datang dekat, dengan satu lompatan pesat, anak muda ini sambar thaykam itu, untuk digusur turun dari kudanya. Tjo Thaykam kenali ini anak muda, dia kaget dan ketakutan. "Kau hendak pergi kemana?" Sin Tjie membentak. "Sri Baginda titahkan siauwdjin pimpin perlawanan di Tjiang-gie-moei!" sahut thaykam itu dengan suara tak tegas. Thaykam ini segera diiringi sampai di atas pintu kota yang disebutkan itu, mereka naik ke atas tembok, hingga, memandang ke luar kota, mereka bisa tampak pasukan perang sukarela.
Dengan senantiasa diiringi sebuah bendera besar, satu orang yang memakai tudung yang lebar, yang duduk atas seekor kuda hitam, mundar-mandir dengan kuda tunggangannya itu, memimpin penyerangan. Dia adalah Giam-Ong Lie Tjoe Seng! "Lekas buka pintu kota, sambut Giam Ong!" Sin Tjie berseru sambil ia cekal keras Tjo Thaykam, hingga dia ini kesakitan hampir pingsan. Tjo Hoa Soen insaf, ia telah berada di tangan orang, tidak berani ia melakukan perlawanan. Ia juga lihat buruknya suasana, yang tidak dapat ditolong lagi, maka sebagai seorang licik, segera ia dapat pikiran, kalau sekarang ia tukar haluan, dengan menyambut junjungan yang baru, mungkin ia nanti dapat hadiah. Maka itu, tidak ayal lagi, ia lantas berikan titahnya untuk pentang pintu kota! Sambil bersorak-ramai, tentara Giam Ong meluruk ke pintu kota, untuk menerjang ke dalam. Sin Tjie gunai ketikanya itu akan ikut tentara Beng Tiauw yang kalah lari masuk ke kota-dalam, dimana pasukan pembela kota ada berjumlah besar, hingga dengan datangnya pasukan dari luar ini, kota-dalam menjadi seperti penuh-sesak.
Ketika itu, cuaca sudah mulai gelap. Di luar kota, tentara sukarela telah bunyikan gembreng, untuk tunda penyerangan, buat mereka beristirahat. Dalam waktu kalut itu, Sin Tjie beramai dengan diam-diam nyeplos pulang ke rumah mereka, tidak ada opsir atau tentara Beng Tiauw yang perhatikan mereka, sebab mereka itu masih terlalu sibuk sendiri. Sesampainya di rumah, Sin Tjie beramai salin pakaian mereka yang berlepotan darah, mereka lantas duduk bersantap, habis itu mereka naik ke genteng, untuk memandang ke sekeliling tempat. Di segala penjuru kelihatan api terang-terang. "Besok pagi pastilah kota-dalam bakal terpukul pecah, maka sebentar malam ada saatnya untuk aku mencari balas dengan tanganku sendiri!" kata Sin Tjie. Orang tahu pemuda ini hendak membunuh kaisar Tjong Tjeng. "Kita hendak turut!" kata kawan-kawan itu. "Saudara-saudara sudah bercape-lelah satu harian, malam ini pantas kamu beristirahat," Sin Tjie bilang. "Besok pun masih banyak kerjaan penting yang mesti dilakukan. Dalam waktu kacau sebagai ini, penjagaan di istana tentunya longgar, untuk membunuh raja ada pekerjaan segebrak saja, dari itu, cukup aku bekerja sendiri!" Orang anggap dugaan pemimpin ini beralasan, mereka tidak memaksa hendak mengikut. Sin Tjie lantas minta Tjeng Tjeng pasang lilin dan hio, ia masuk, lengpay dengan huruf-huruf "Sian-koen Peng-pou Siang-sie Tjie Liauw Tok-swee Wan", yang berarti "Almarhum ayahanda Wan Tjong Hoan, Peng-pou Siang-sie merangkap jenderal yang berperang di tanah Liauw". ("Peng-pou Siang-sie" berarti "menteri peperangan.) Pemuda ini hendak siapkan meja abu, untuk sebentar, setelah mengutungi batang leher kaisar Tjong Tjeng, ia hendak bawa kepala musuh itu untuk dipakai bersembahyang, terhadap roh ayahnya almarhum itu. Iapun sudah rencanakan, habis sembahyang ia hendak bawa kepala raja itu akan ditunjuki kepada tentara kerajaan, supaya mereka itu jadi kaget, takut dan buyar. Apabila temponya sudah sampai, dengan bekal sebuah kantong kulit, dengan bekal sepotong golok panjang, seorang diri Sin Tjie pergi ke arah istana kaisar. Api terang di mana-mana, dalam saat kacau-balau itu, opsir-opsir dan tentara Beng, yang kabur dari hadapan musuh, menggunai ketika untuk menggarong rakyat. Sin Tjie tidak sempat perhatikan kekacauan itu, ia menuju langsung ke istana. Kapan akhirnya ia sampai, ia menjadi heran. Istana sepi dan kosong, tidak ada serdadu penjaganya, tidak tertampak orang-orang kebiri. Mungkin semua mereka itu sudah angkat kaki. "Jikalau kaisar buron atau sembunyi, sia-sia usahaku ini...." Pikir pemuda kita, yang hatinya terasa seperti mencelos. Tapi ia lari ke arah keraton. Baru ia sampai di muka pintu, ia sudah dengar suara nyaring dari seorang perempuan, yang sedang menegur hebat. Ia hampirkan pintu, untuk mengintai ke dalam. Begitu ia mendapat lihat, ia jadi girang luar biasa. Kaisar Tjong Tjeng sedang duduk di atas sebuah kursi, di depannya ada seorang wanita dengan dandanan sebagai permaisuri sedang menuding-nuding seraya perdengarkan suaranya yang nyaring dan keras itu. "Sudah semenjak belasan tahun, asal kau suka dengar sedikit beberapa kata-kataku, tidak nanti kejadian seperti hari ini! Kau telah bikin kuil leluhur dan negara terjatuh ke dalam tangan pemberontak, mana kau punya muka akan menemui leluhurmu?" Demikian permaisuri itu. Raja tunduk, dia berdiam saja. Habis itu, sambil menangis dengan menutupi muka, permaisuri lari ke dalam. Baru Sin Tjie hendak tolak pintu, untuk menerjang masuk, ia lihat munculnya satu bajangan dari arah samping, bajangan mana merupakan satu nona rupawan yang menyekal pedang. "Hoe-hong, keadaan sudah mendesak, mari lekas pergi dari istana!" demikian nona itu sesampainya ia di depan raja. Sin Tjie segera kenali Tiang Peng Kiongtjoe atau A Kioe hingga hatinya jadi bercekat. "Ong Kong-kong, tolong kau layani Sri Baginda," kemudian kata si nona, pada satu thaykam yang berada di damping raja. Thaykam itu, Ong Sin In namanya, lantas mengucurkan air mata. "Baik, kiongtjoe thianhee," sahutnya. "Silakan, thianhee pergi bersama-sama..."
"Tidak," sahut A Kioe. "Aku masih hendak berdiam di sini buat sekian waktu."
"Kota Terlarang segera bakal pecah, dengan berdiam di dalam keraton ini, nanti thianhee terancam bahaya," membujuk orang kebiri itu. "Aku hendak tunggu satu orang," tuan puteri bilang. Wajahnya kaisar berubah. "Kau hendak tunggu puteranya Wan Tjong Hoan?" tanya dia. Mukanya A Kioe menjadi merah. "Tidak salah!" jawabnya. "Hari ini sin-djie hendak berpisah dari hoe-hong..."
"Sin-djie" berarti "aku" untuk anak raja terhadap ayahnya. "Mau apa kau menantikan dia?" Tjong Tjeng tanya pula. "Dia telah janjikan aku, sebentar dia bakal datang."
"Coba kasikan pedang itu padaku," kata raja pula. A Kioe angsurkan pedangnya. Raja sambuti pedang itu, pedang Kim Tjoa Kiam, mendadak saja sinarnya, yang hitam, berkelebat, lantas ujung pedang menyambar kepada A Kioe. Tiang Peng Kiongtjoe menjerit kaget, tubuhnya limbung. Sin Tjie kaget. Tidak ia sangka kaisar berlaku demikian kejam terhadap puterinya sendiri. Ia teraling dengan pintu, jarak di antara mereka pun masih cukup jauh, tidak bisa ia lompat untuk mencegah atau menolongi tuan puteri itu. Ia Baru sampai di tengah jalan, A Kioe sudah rubuh! Masih kaisar hendak ulangi bacokannya, akan tetapi sekarang si anak muda sempat berlompat kepadanya, sebelum bacokan pedang turun, tangan kirinya Sin Tjie sudah menotok tangan kanan raja yang memegang pedang itu, hingga pedang lantas terlepas. Dengan kesebatannya, dengan tangan kiri masih menyekal lengannya kaisar, dengan tangan kanannya, Sin Tjie sambar Kim Tjoa Kiam. Kapan ini anak muda ambil kesempatan, akan menoleh kepada A Kioe, tuan puteri itu rebah dengan mandi darah, bahu kirinya telah terbacok putus, maka itu, ia gusar bukan main. "Hoen-koen!" berteriak dia. "Kau telah aniaya ayahku, sekarang aku ambil jiwamu!"
"Hoen-koen" ada cacian: "raja yang gelap pikiran". Tjong Tjeng kenali Sin Tjie, ia lantas menghela napas. "Kau benar," katanya. "Aku telah rusaki negara, sekarang aku menyesal, sudah kasip..... Kau turunilah tanganmu!" Raja ini lantas tutup rapat kedua matanya. Dua thaykam lompat, untuk tarik Sin Tjie, tetapi mereka disambut dengan dua tendangan saling-susul, hingga mereka rubuh terbanting. Sin Tjie ayun tangan kanannya, justru itu A Kioe membuka matanya, kapan nona ini lihat keadaan mengancam itu, ia lompat bangun, segera ia tubruk ayahnya, untuk dipeluki. "Jikalau kau hendak bunuh hoe-hong, bunuh aku lebih dahulu!" katanya. Dengan mata guram dan roman lesu, nona ini awasi anak muda di depannya itu. Tapi tak lama ia bisa peluki ayahnya, ia pingsan dan rubuh. Tidak tega Sin Tjie akan lihat puteri itu bermandikan darah. Dia tolak tubuh kaisar sampai Tjong Tjeng terjengkang dari kursinya dan rubuh, lantas ia membungkuk, untuk peluk A Kioe, untuk terus totok pundak kirinya, seluruh bebokongnya juga, guna cegah darah mengalir terus. Dan selagi darah keluar hanya dengan pelahan, ia keluarkan obat luka yang ia bekal, untuk diborehkan di tempat yang terluka, sesudah mana, dengan robekan ujung baju, ia balut luka itu. Dengan pelahan-lahan, A Kioe sadar akan dirinya. Ong Sin In, dengan dibantu beberapa thaykam, lekas-lekas pimpin bangun junjungan mereka, tidak tempo lagi, mereka ajak raja itu lari ke pintu.
"Kemana kau hendak kabur?" membentak Sin Tjie, kapan ia lihat orang mencoba lari. Ia lantas rebahkan tubuh A Kioe, untuk dilepaskan, buat ia memburu. Akan tetapi tuan puteri, dengan sebelah tangannya, memeluk dengan keras, sambil menangis, dia ini kata: "Jangan bunuh dia...... Jangan bunuh dia......"
"Baik!" jawab ini anak muda, yang pikir, raja itu toh tidak bakal mampu buron, sebab kota-dalam segera akan pecah. Ia pun sangat terharu terhadap puteri ini. Hati A Kioe lega, kendorlah pelukannya, kembali ia pingsan. Melihat kekacauan dan keraton boleh dibilang sudah kosong, hingga di situ A Kioe tidak bakal dapat rawatan, Sin Tjie pikir baik ia bawa puteri ini pulang ke rumahnya. Ia ambil putusan dengan lantas, terus ia pondong puteri itu, buat dibawa pulang. Sudah kira-kira jam tiga ketika anak muda ini keluar dari keraton. Ia lihat cahaya terang dipelbagai jurusan, ia dengar teriakan riuh dan tangisan menyedihkan dari sana-sini. Teranglah, selagi kalah perang dan kabur, tentara Beng terus menggarong rakyat, penduduk kota. Kapan Sin Tjie sampai di Tjeng-tiauw-tjoe, di rumahnya, orang asik duduk menunggui dia. Orang terperanjat dan heran, akan lihat ia pulang sambil pondong seorang perempuan yang bermandikan darah, malah Tjeng Tjeng lantas unjuk roman tidak puas. Akan tetapi ia segera kenali A Kioe. "Mana kepala raja?" ia tanya. "Aku tidak bunuh dia." Sin Tjie jawab. "Nona Tjiauw, tolong kau capekan hati lagi untuk merawat dia ini." Wan Djie bersiap-sedia, ia lantas gantikan pondong A Kioe, untuk dibawa ke dalam. "Kenapa kau tidak bunuh raja?" Tjeng Tjeng tanya Sin Tjie. Si anak muda menunjuk ke dalam. "Dia minta aku jangan membunuhnya," ia menyahut. "Dia? Dia siapa?" tanya Tjeng Tjeng, yang menjadi gusar. "Kenapa kau dengari perkataan dia?" Belum Sin Tjie sempat menjawab, Ho Tek Sioe sudah menyela. "Nona demikian cantik, mengapa dia kutung sebelah tangannya?" kata Nona Ho ini sambil tertawa. "Soehoe, mana lukisan gambar? Apakah kau tidak bawa sekali?" Sin Tjie kedipi mata kepada muridnya yang nakal itu. Sebenarnya Tek Sioe masih hendak mengganggu, tetapi melihat roman sang guru, dan menampak sikapnya Tjeng Tjeng, ia batal, ia ulur lidahnya, terus ia tutup mulut. "Gambar apa itu?" Tjeng Tjeng tanya Tek Sioe. "Nona tadi pandai menggambar," nona Ho jawab. "Aku pernah lihat dia melukis gambar dirinya sendiri, bagus sekali."
"Apakah benar itu?" tegasi Tjeng Tjeng, matanya melotot. Tapi tanpa tunggu jawaban, ia ngeloyor ke dalam. Tek Sioe menoleh kepada Sin Tjie, ia leletkan lidahnya pula.... Anak muda kita lantas pergi ke kamarnya, untuk beristirahat. Ia merasa sangat pusing. Kapan sang fajar datang, Ang Seng Hay lari masuk. "Wan Siangkong, See Tjeetjoe telah dapat tawan thaykam Ong Siauw Giauw," ia melaporkan. "Tentara telah dipimpin untuk buka pintu Soan-boe-moei!" Sin Tjie lompat bangun.
"Apakah pasukan sukarela sudah memasuki kota-dalam?" dia tanya. "Pasukan Tjiangkoen Lauw Tjong Bin sudah masuk," jawab Seng Hay. "Bagus! Mari kita menyambut!" Setelah berkata begitu, pemuda ini pergi ke thia. "Soehoe jangan kuatir," Tek Sioe bilang pada gurunya. "Aku nanti urus mereka itu." Sin Tjie manggut. Murid ini maksudkan Tjeng Tjeng semua. Thia Tjeng Tiok ada bekas siewie, malah dia ada pemimpin pahlawan dari kaisar Tjong Tjeng, karenanya, ia tidak mau campur tahu dalam sepak-terjangnya Sin Tjie menyambut datangnya Giam Ong. Malah paling belakang ini, ia keram diri di dalam kamar, ia tidak mau tanya segala apa, ia tidak mau dengar apa-apa juga. Sin Tjie tahu jago itu masih ingat bekas junjungannya, ia tidak bilang suatu apa, ia membiarkan saja ketua dari Tjeng Tiok Pay itu. Sampai itu waktu, See Thian Kong dan Thie Lo Han masih belum kembali, anak muda ini lantas ajak A Pa, Ouw Koei Lam dan Seng Hay pergi ke pintu Tay-beng-moei. Di jalanan ia lihat awan mendung berkumpul, salju putih beterbangan turun. Serdadu-serdadu masih saja lari serabutan, sedang di antara rakyat ada yang berseru: "Pintu Tjeng-yang-moei, Tjee-hoa-moei, Tong-tit-moei, semua sudah dipukul pecah!" Semakin jauh Sin Tjie jalan, makin berkurang serdadu yang merat. Sekarang Sin Tjie lihat orang pada berdiri di muka pintu rumahnya masing-masing, di atas pintunya, mereka tempelkan kertas kuning dengan huruf-huruf memujikan selamat kepada pemerintah yang baru. Semua penduduk itu berseru-seru kegirangan, malah ada yang sajikan barang makanan di depan pintu, untuk jamu tentara sukarela. "Rakyat ada begini bersimpati, bagaimana Giam Ong tidak akan berhasil!" kata Sin Tjie pada tiga kawannya. Mereka jalan terus, sampai mereka dengar suara trompet ramai, lantas tampak mendatangi sebarisan dari beberapa ribu orang, di muka barisan kelihatan See Thian Kong bersama Thie Lo Han. Mereka inilah yang pimpin pasukan pejuang di dalam kota, untuk labrak sesuatu barisan Beng, sampai musuh terpukul hancur dan buyar. Kapan pasukan tentara itu lihat si anak muda, mereka bertampik-sorak. "Giam Ong segera akan datang!" Thie Lo Han berseru. Hampir menyusul seruan imam ini, dari arah depan kelihatan mendatangi sambil berlari-lari beberapa penunggang kuda, satu di antaranya membawa sebuah bendera besar dengan huruf-huruf "Tjie-Tjiangkoen Lie" yang berarti "Lie, pejabat Jenderal". Dan selagi beberapa penunggang kuda itu mendatangi lebih dekat, Sin Tjie lihat Lie Gam, pejabat jenderal itu, dengan jubah kuningnya, kudanya dikaburkan. "Toako!" ia berseru memanggil, sambil ia berlompat ke depan kuda, untuk memapaki. Lie Gam tercengang, tetapi sekejab saja, iapun sudah lantas loncat turun dari kudanya. "Djie-tee!" seru dia sambil tertawa. "Kaulah yang berjasa nomor satu atas pecahnya kota!"
"Jasa apa yang siauwtee punyakan?" Sin Tjie bilang. "Begitu lekas sampai pasukan besar dari Giam Ong, tentara Beng bubar sendirinya." Dua sahabat ini saling jabat tangan. Pertemuan yang menggirangkan juga dilakukan dengan beberapa penunggang kuda lain, yang datang bersama Tjie-tjiangkoen Lie Gam ini, karena mereka ada Lauw It Houw dari Lauw Ya San, Tjoei Tjioe San, Tjoei Hie Bin, juga An Toa Nio dan An Siauw Hoei, jadi semua ada sahabat-sahabat kekal, apapula Tjioe San, guru pertama dari Sin Tjie. Selagi mereka bergembira sekali, mereka dengar suara terompet, yang disusul sama seruannya pasukan tentara. "Tay-ong sampai! Tay-ong sampai!" Dengan "Tay-ong" yaitu "Raja besar" dimaksudkan Giam Ong. Sin Tjie semua menyingkir ke tepi jalanan, dari situ mereka lihat datangnya sebarisan dari seratus lebih penunggang kuda, di sebelah depan, dengan menunggang kuda bulu hitam, ada Lie Tjoe Seng yang memakai tudung lebar dan jubah hijau muda, yang mendatangi dari pintu Tek-seng-moei. Lie Gam maju, untuk papaki pemimpinnya itu, dengan siapa ia ucapkan beberapa patah kata. "Bagus! Silakan undang saudara Wan kemari!" berkata pemimpin besar itu. Lie Gam melambaikan Sin Tjie, ini anak muda bertindak maju menghampirkan. "Saudara Wan, kau telah dirikan jasa besar!" kata pemimpin itu sambil tertawa. "Apakah kau tidak punya kuda?" Lie Tjoe Seng terus lompat turun, akan serahkan kudanya sendiri pada orang yang dianggap berjasa besar itu. Sin Tjie menjura menghaturkan terima kasihnya. Semua orang gembira sekali, mereka berseru "Ban-swee!" Lie Tjoe Seng menukar kuda lain, lantas ia ajak semua orang mulai jalan lagi, menuju ke pintu Sin-thian-moei. Selagi jalan, ia menoleh pada Sin Tjie, sembari tertawa, dia kata: "Kau menyambungi semangat ayahmu, aku menyambungi karunia Thian!" Namanya Sin Tjie dapat diartikan: "Sin" = "menyambungi/menerima" dan "Tjie" = "Semangat/angan-angan". Dan "menyambungi karunia Thian" adalah "Sin Thian". ("Thian" dimaksudkan "Tuhan"). Setelah berkata demikian, Giam Ong tarik busurnya, membidik ke atas, maka melesatlah sebatang gandewanya, menyambar tepat huruf "Thian" dari nama pintu kota "Sin-thian-moei" di tembok kota!
Orang menjadi kagum , sebab kecuali gapah dan jitu, tenaga Giam Ong pun besar, anak panah itu dapat nancap dalam sekali di tembok. Maka lagi sekali orang bertampik-sorak riuh. Sesampai mereka di muka pintu kota, di situ Thaykam Ong Tek Hoa menyambut bersama tiga-ratus thaykam lainnya. Giam Ong tertawa, ia lempar cambuknya. "Saudara Wan," katanya pada Sin Tjie terhadap siapa ia berpaling, "ketika dahulu kau pergi ke Siamsay dimana kau menemui aku, apa pernah kau pikir bakal terjadi seperti hari ini?"
"Tay-ong bakal berhasil dengan usaha yang besar, semua orang pandai di kolong langit sudah mengetahuinya sejak siang-siang," jawab Sin Tjie, "akan tetapi sekali-kali tidak ada orang dapat pikir kejadiannya ada begini lekas!" Lie Tjoe Seng bertepuk tangan, ia tertawa pula. Itu waktu ada orang berlari-lari ke depan Giam Ong, untuk segera melaporkan: "Tay-ong, ada satu thaykam memberitahukan bahwa dia lihat kaisar Tjong Tjeng lari ke bukit Bwee San!" Giam Ong memandang Sin Tjie. "Saudara Wan, pergi lekas bawa orang untuk tawan dia!" ia titahkan. Sin Tjie terima titah itu sambil menyahuti "Ya", lalu dengan ulapkan tangan, ia ajak Ouw Koei Lam beramai pergi memburu ke Bwee San. Bwee San ada satu bukit kecil, kapan rombongannya Sin Tjie sampai di atas bukit itu, semua mereka terperanjat. Di situ, pada sebuah pohon besar, tergantung tubuhnya dua orang, satu di antaranya riap-riapan rambutnya, bajunya baju biru pendek dengan garis putih, rompinya dari sutera putih, celananya putih juga, kaki kirinya telanjang, kaki kanannya pakai sepatu merah berikut kaosnya. Setelah Sin Tjie datang dekat, ia kenali yang rambutnya riap-riapan itu ada Tjong Tjeng, kaisar terakhir dari Kerajaan Beng. Pada bajunya kaisar ini ada tulisan memakai darah sebagai berikut: "Sejak tim naik atas tahta-kerajaan, tujuh-belas tahun telah lampau, selama itu, empat kali musuh telah menyerbu masuk ke dalam perbatasan, hingga sekarang ini pemberontak mendesak sampai di kota raja. Walaupun tim tidak bijaksana akan tetapi sebenarnya adalah menteri-menteri yang telah menyesatkan tim. Sekarang ini, meskipun tim mati, tim tidak punya muka untuk bertemu sama leluhurku di dunia baka, maka itu tim singkirkan kopiaku, tim tutupi muka dengan rambutku. Biarlah kaum pemberontak cincang mayat tim tetapi janganlah bikin celaka kendati satu saja rakyat negeri." Membaca firman wasiat itu, Sin Tjie jadi sangat terharu, ia berduka sekali. Dua puluh tahun ia mendendam sakit hati, sekarang ia dapat membalasnya, itu adalah hal yang menggirangkan, siapa nyanya, ia mesti saksikan akhir yang menyedihkan ini dari musuh besarnya. Ia menghela napas. "Sekaranglah kau bisa menulis begini macam," kata dia. "Kau memesan untuk kami jangan bikin celaka sekalipun jiwanya seorang rakyat jelata. Coba sejak dahulu kau menyayangi rakyat, coba kau tidak tindas rakyat sampai mereka kelaparan dan tak berdaya, mana mungkin bisa terjadi seperti hari ini?"
"Wan Siangkong, orang yang satunya lagi ada satu thaykam," Ang Seng Hay kasi tahu. "Satu raja mati cuma dengan ditemani satu thaykam, ini dia yang dibilang, tanah ambruk, genteng hancur, semua orang berbalik, memisahkan dirinya," berkata Sin Tjie. "Sekarang, Seng Hay, pergi kau singkirkan semua mayat ini, supaya tidak sampai diganggu orang." Seng Hay menyahuti ia akan urus mayat itu, maka setelah itu, Sin Tjie ajak rombongannya balik untuk memberi laporan pada Giam Ong. Lie Tjoe Seng sendiri sudah menuju ke istana, disana ada serdadu-serdadu pihaknya, yang menjaga, mereka menyambut, untuk mengantari masuk ke dalam. Kapan kemudian Sin Tjie masuk ke istana, ia dapatkan Giam Ong sedang duduk di kursi dengan seorang anak muda yang pakaiannya tidak rapi berdiri di sampingnya. "Bagus, saudara Wan!" kata pemimpin itu apabila ia lihat si anak muda. "Mana raja? Bawa dia menghadap!"
"Tjong Tjeng telah mati gantung diri," Sin Tjie kasi tahu. "Inilah surat wasiatnya." Lie Tjoe Seng tercengang, tapi kemudian, ia sambuti surat wasiat itu, untuk dibaca. Mendengar hal raja mati, si anak muda dengan pakaian kusut itu menangis menggerung-gerung, hampir saja ia pingsan. "Inilah thaytjoe!" kata Giam Ong pada Sin Tjie. "Oh," kata si anak muda, yang lantas mengasih bangun pada thaytjoe - putera mahkota itu. "Kenapa kau kehilangan negaramu? Kau tahu tidak sebabnya?" Giam Ong tanya putera raja itu. "Sebab hoe-hong keliru mempercayai dorna Tjioe Yan Djie dan lainnya," jawab thaytjoe. "Aku juga ketahui itu," kata Giam Ong sambil tertawa. Tapi ketika ia menambahkan, ia hunjuk roman keren: "Aku kasih tahu padamu, ayahanda-rajamu tolol dan kejam, dia sudah membuat rakyat hidup bersengsara! Memang harus dibuat sedih yang ayahandamu hari ini telah mati gantung diri, akan tetapi selama tujuh-belas tahun pemerintahannya, setahu sudah berapa ribu, beberapa laksa anak negeri yang dia paksa mati menggantung diri, nasib mereka itu lebih-lebih hebat dan menyedihkan." Thaytjoe tunduk, ia tidak bilang suatu apa. Akan tetapi, selang sedikit lama, ia kata: "Sekarang baik kau bunuhlah aku!" Sin Tjie tidak nyana putera ini berhati keras, ia jadi kuatirkan keselamatan dirinya. Tetapi Giam Ong bilang: "Kau masih anak-anak, kau tidak punya dosa, mana bisa aku sembarang bunuh orang?"
"Kalau begitu, aku hendak majukan beberapa permohonan," kata putera raja itu. "Coba sebutkan, aku ingin dengar," Giam Ong jawab. "Aku minta kau jangan ganggu kuburannya leluhurku, supaya kau juga kubur baik-baik jenazah hoe-hong dan boe-houw," minta thaytjoe. Ia masih ingat kepada ayahnya dan ibunda-raja. "Itulah pasti. Tentang itu tak usah kau minta."
"Di sebelah itu, aku minta kau jangan bunuh-bunuhi rakyat." Giam Ong tertawa berkakakan. "Bocah tak tahu apa-apa! Aku justru ada si rakyat jelata! Adalah kami rakyat jelata yang pukul pecah kota-rajamu ini! Kau mengerti tidak?"
"Jadinya kamu tidak membunuh rakyat?" thaytjoe tegasi. Giam Ong lantas buka bajunya, akan perlihatkan dada dan pundaknya yang penuh tanda-tanda bekas hujan cambukan. Melihat tanda-tanda bekas siksaan itu, orang semua gegetun. Lie Tjoe Seng lantas kata: "Aku juga ada rakyat jelata yang taat terhadap undang-undang, akan tetapi pembesar jahat sudah siksa aku, aku pernah dipukuli, hingga saking habis daya, terpaksa aku berontak. Ayahmu itu, - hm!- dan juga kau sendiri, kamu berpura-pura saja menyayangi rakyat, buktinya tentara kita, dari yang berpangkat tinggi sampai serdadu biasa, tidak ada satu yang tidak pernah merasai siksaanmu!" Thaytjoe tunduk pula, ia berdiam. Lie Tjoe Seng pakai pula bajunya. "Sekarang pergi kau mundur," ia menitahkan. "Mengingat kau adalah putera mahkota aku angkat kau menjadi pangeran. Dengan begini aku hendak hunjuk kepadamu, kami rakyat jelata, kami tidak mendendam sakit hati! Pangeran apa aku hendak angkat kau? Karena ayahmu persembahkan negaranya kepada kami, sekarang aku angkat kau jadi pangeran Song-ong." Huruf "Song" dari Song-ong itu sama suara-bacanya dengan huruf "song" = "mengantar". Bersama thaytjoe itu ada Thaykam Tjo Hoa Soen. "Lekas kau haturkan terima kasih kepada Sri Baginda," ia ajari putera mahkota. Thaytjoe menoleh, ia memandang dengan bengis pada orang kebiri itu. Dengan mendadak saja sebelah tangannya melayang, ke mukanya thaykam she Tjo itu. "Plok!" demikian suara nyaring, yang menyusuli gaplokan itu. Lalu di pipinya sang thaykam menggalang tapak lima jari tangannya si putera mahkota. Giam Ong tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" serunya. "Dia ada orang tidak setia dan tidak berbudi, bagus dia dihajar! Mana orang? Gusur dia keluar, penggal batang lehernya!" Tjo Hoa Soen kaget tidak terkira, mukanya pucat dengan mendadakan, terus ia rubuhkan diri, akan berlutut di depan pemimpin rakyat itu. Ia manggut berulang-ulang, sampai jidatnya mengenai lantai dan boboran darah. Dengan sangat ia mohon dikasihani. Giam Ong tak gubris orang itu; ia tendang orang kebiri itu, sampai dia terguling kemudian ia titahkan orangnya hukum mati thaykam jahat itu. Thaytjoe sendiri, dengan sikap agung, bertindak keluar. "Ini anak berhati keras, aku suka orang yang bersifat sebagai dia," kata Giam Ong sambil tertawa pada Sin Tjie. Terus ia menoleh ke samping, pada Koensoe Song Hian Tjek, ahli pemikirannya yang tubuhnya kate. Ia kata: "Kabarnya kaisar Tjong Tjeng ada punya seorang puteri, entah ada di mana puteri itu."
"Kaisar Tjong Tjeng telah bacok kutung sebelah lengannya puteri itu, aku bawa dia pulang untuk dirawat," Sin Tjie wakilkan sang ahli pemikir menjawab. "Kalau nanti dia sudah sembuh, aku nanti bawa ia menghadap Tay-ong."
"Bagus, bagus!" Giam Ong tertawa. "Jasamu tidak kecil, aku justru lagi pikiri dengan apa aku mesti hadiahkan kau. Nah, kau ambillah puteri raja itu untukmu!" Sin Tjie terkejut. "Tidak, tidak, itulah....." katanya. "Saudara Wan, malu apa? kata Song Hian Tjek, yang potong kata-katanya anak muda ini. "Memang benar, satu enghiong mestilah satu orang muda! Lauw Tjiangkoen dan lainnya juga berjasa besar akan tetapi Tay-ong cuma hadiahkan mereka beberapa dayang." Ahli pemikir ini bicara sambil tertawa, bagi Sin Tjie, sikap dan perkataannya, ada mengandung sindiran, maka itu, ia mengawasinya dengan melengak. Ia lihat orang bertubuh tinggi tidak tiga kaki, malah kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya, hingga tubuhnya dia itu menjadi dengdek, miring sebelah.... Untuk tunjang diri, koensoe ini pegangi sebatang tongkat. Dia pun mempunyai muka gepeng dan panjang, romannya sangat licin, suatu tanda dari kecerdikannya. Dia masih bersenyum-senyum waktu dia terus awasi padanya. Justeru itu waktu, Lie Gam datang dengan cara kesusu sekali. "Tay-ong!" katanya begitu ia sudah datang dekat, "Lauw Tjiangkoen beramai sedang mengacau tak keruan!"
"Ada kejadian apakah?" tanya Lie Tjoe Seng. "Mereka telah tangkap-tangkapi sejumlah pembesar dan hartawan, mereka siksa orang-orang itu, untuk peras uangnya," sahut Lie Gam. "Katanya sudah tidak sedikit orang yang mereka bunuh." Mendengar ini, Koensoe Song Hian Tjek tertawa. Ia mendahului tayongnya bicara. Ia bilang: "Mereka itu telah berperang mati-matian, mereka rampas negara sesudah mengadu-jiwa, sekarang mereka lagi membikin uang, itulah tidak apa...." Lie Gam tidak puas dengan kata-kata ini, ia gusar. "Tidak demikian!" katanya. "Kanglam masih belum dapat dibikin tetap, Gouw Sam Koei di San-hay-kwan masih belum menakluk, selagi hati umum masih belum tenang, bagaimana orang-orang yang mengepalai tentara bisa memikir untuk mengumpul uang? Apakah artinya itu?"
"Kenapa sih kalau orang mengumpul uang?" kata pula Song Hian Tjek dengan tawar. "Yang dikuatirkan adalah kalau orang terkena bujukan orang lain, lantas dia kandung maksud jelek terhadap Tay-ong - itu Barulah jelek...." Otot-otot di mukanya Lie Tjoe Seng bergerak-gerak sedikit, tanpa diingini, ia melirik kepada Lie Gam. Masih Lie Gam murka. "Kami telah berhasil dengan usaha besar kami ini, bukankah itu disebabkan kami tahu hati rakyat, hingga rakyat tunjang kita?" kata pula dia dengan keras. Tidak enak hatinya Sin Tjie akan lihat orang berselisih. Ia bukannya orang lama dari Giam Ong, tidak mau ia campur perselisihan itu. Maka ia lantas memberi hormat pada Giam Ong, terus ia undurkan diri dari istana. Tidak lagi ia sempat bicarakan urusan hadiah puteri raja itu. Ketika ia Baru keluar dari pintu istana, di depan ada seorang berlari-lari kepadanya. "Siauw-soesiok, aku cari kau dimana-mana!"
Bab 24
Orang itu memakai pakaian kasar dan sepatunya sepatu rumput, di bebokongnya ada golok panjang, Sin Qe lantas kenali, dia adalah Cui Hie Bin, keponakannya Cui Ciu San. "Ada apakah?" ia tanya pemuda itu. Hie Bin tidak lantas menyahuti, ia hanya keluarkan sesampul surat dari sakunya, ia haturkan itu kepada ini "paman cilik" (siauw susiok), Sin Cie awasi surat itu, ia baca alamatnya, "Kepada murid-muridku!" ia kenali surat gurunya, maka ia lantas menjura, habis itu ia menyambuti dengan kedua tangan nya. Kemudian ia buka sampul itu, akan keluarkan suratnya untuk dibaca, Guru itu menulis ringkas saja. "Kami kaum Hoa San Pay mempunyai pesan turun menurun ialah sesuatu murid tak dapat pangku pangkat di dalam pemerintahan Karena sekarang Giam Ong sudah berhasil dengan pergerakannya yang besar, murid-murid kita pun sudah lakukan tugasnya, maka sesuatu murid mesti lantas undurkan diri Nanti di malaman bulan purnama dari bulan keempat kamu mesti berkumpul di puncak Hoa San. Surat itu dibubuhkan tanda tangan dua huruf "Jin Ceng". Sin Cie kaget "Kalau begitu temponya rapat tidak ada satu bulan lagi kita mesti berangkat sekarang!" kata dia. "Memang, Pamanku juga hendak lantas berangkat," Hie Bin kasih tahu. "Mari kita pulang!" Sin Cie mengajak Maka mereka berjalan dengan cepat Begitu lekas Sin Cie memasuki gang di mana terletak rumahnya, ia dengar ramai suara beradunya pelbagai alat senjata, ia juga dengar suara cacian, ia jadi kaget maka ia lantas lari Beberapa serdadu Beng kelihatan lari serabutan. Tentara Beng Tiauw sudah buyar kenapa di sini masih ada lagi?" pemuda ini pikir. ia lari semakin keras, hingga tibalah ia di depan rumahnya. Di ambang pintu, Ho Tek Siu sedang labrak belasan serdadu Beng, yang berada di dalam rumah yang nampaknya hendak nerobos keluar Untung untuk mereka ini mereka hanya diancam saja, untuk dicegah lo!os, Kapan Tek Siu lihat gurunya datang, ia bersenyum ia lantas lompat minggir Maka serentak belasan serdadu peng itu lari keluar, saling tabrak hingga ada yang ngusruk jatuh, sebentar saja tidak kelihatan bajangan mereka juga, Selagi gurunya pandang dia, Tek Siu tertawa, "Serdadu-serdadu Beng itu lihat rumah kita besar, mereka menyerang masuk untuk menggarong!" katanya, Sin Cie bersenyum, "Syukur aku keburu pulang, kalau tidak celakalah mereka!" bilangnya, "Bertiga mereka masuk ke dalam, justru mereka berpapasan dengan Ang Seng Hay, yang
mendatangi sambil berlari keras, mukanya pucat sekali romannya sangat tegang, "Celaka! Celaka!" demikian teriakannya beru1ang-ulang, "Ada apakah?" tanya Sin Cie yang menjadi kaget Thia.... Thia... Thia Lo hucu...!" kata Seng Hay yang tak dapat bicara jelas, Melihat demikian, Sin Cie serta yang lainnya segera memburu ke kamarnya Thia Ceng Tiok, ketua dari Ceng Tiok Pay. Begitu sampai di dalam kamar, semua orang kaget tidak terkira, Thia Ceng Tiok berlutut dengan tubuh sudah menjadi mayat golok tajam mengkilap nancap di dadanya, Tangkap si pembunuh!" berteriak See Thian Kong yang menjadi gusar bukan kepa1ang. Malah ia segera mendahului lompat keluar jendela, Ouw Kui Lam Ho Tek Siu dan beberapa yang lain turut lompat keluar untuk susul si pembunuh, Sin Cie cari tahu napasnya Ceng Tiok hidungnya benar-benar napasnya ketua Ceng Tok
Pay itu sudah berhenti, malah tubuhnya pun sudah jadi dingin, Jadi dia telah menutup mata sejak sekian lama, jadi kematiannya diketahui sesudah terlambat Kemudian anak muda itu perhatikan golok yang nancap di dada kawan itu. Di gagang
golok terikat selembar kertas yang ada tulisannya, terdiri hanya dari delapan huruf yang artinya, "Hamba yang rendah mati bersama-sama Sri Baginda." Surat peninggalan itu membuktikan Thia Ceng Tiok bukan mati dibunuh, dia hanya bunuh diri berkorban untuk junjungannya, Rupanya bekas pahlawan raja ini telah lantas dengar kematian dari kaisar Cong Ceng dan segera korbankan diri karenanya, untuk unjuki kesetiaannya terhadap raja itu yang dia tetap cintai. Tanpa merasa, saking terharu, Sin Cie meneteskan air mata. ia kagumi ketua dari Ceng Tiok Pay ini yang tidak melupakan junjungannya walaupun dia telah diperlakukan tak selayaknya oleh junjungan itu. Lantas anak muda itu perintah orang susul See Thian Kong semua sambil berbareng perintah orang lekas beli peti mati dan lainnya barang keperluan untuk urusan jenazahnya Ceng Tiok,
Sebagai ketua dari Ceng Tiok Pay, jenazah Thian Ceng Tiok tidak dapat dirawat sembarangan saja, akan tetapi suasana sedang kacau, terpaksa segala apa dilakukan secara sederhana, Semua anggota Ceng Tiok Pay juga tidak dapat diberi kabar lagi Di itu hari juga, jenazah dikubur dengan semua orang unjuk hormat mereka yang terakhir Selama kerepotan mengurus jenazah itu, Ceng Ceng seorang saja yang tidak kelihatan muncul Mulanya Sin Cie tidak menaruh perhatian adalah kemudian ia tanyakan Wan Jie. "Mana Nona Hee?"
"Sudah sekian lama aku tidak lihat, nanti aku panggil dia," kata nona Ciauw yang lincah, ia lantas pergi ke kamar Ceng Ceng, akan terus mengetok pintuk dengan perlahan, "Adik Ceng, adik Ceng!" ia memanggil Tidak ada jawaban, Wan Jie ulangi ketokan pada pintu, ia pun memanggil berulang-ulang tetapi tetap tidak ada jawaban, sampai Sin Cie datang sendiri Karena heran, anak muda ini tolak pintu yang terus terbuka, Nyata kamar itu kosong, malah pakaian pedang dan abu ibunya si nona
telah bawa semua! Setelah melengak sekian lama, Sin Cie coba memeriksa kamar itu, sampai di bawah bantal ia dapatkan sepotong kertas yang ada tulisannya ringkas saja bunyinya. "Karena sudah ada kim-kie giok yap, buat apa ada aku si orang rakyat jelata." Kembali Sin Cie melongo sebab pikirannya kusut sekali ia mengerti kenapa Ceng Ceng kabur sebab dia bercemburu terhadap A Kiu alias Tiang Peng Kong-cu. Kata "kim-kie giok yap" itu - "cabang emas dan daun kumala" - berarti putri raja. ia menyesal untuk sifat cupat dari nona itu yang masih tidak bisa mengatasi diri "Adik Ceng, kelihatannya tetap kau belum mengerti aku," ia mengeluh di dalam hati ia pun berkhawatir sekali ia langit "DuIu dia buron, hampir dia celaka di tangan orang asing, sekarang dia kabur pu!a, selagi suasana begini keruh, Kemudian dia pergi?" Duduk di atas pembaringan, Sin Cie berdiam saja, Wan Jie heran, ia pergi keluar, untuk memberi kawan-kawannya maka orang lantas pada masuk, antaranya ada yang menghiburkan, ada yang memberi pikiran, Wan Jie masih muda tetapi cerdas sekali "Wan Siangkong," katanya "Sekarang ini tidak ada faedahnya akan kau berkhawatir atau berduka saja, Nona Hee gagah, siapa berani main gila terhadapnya? Aku pikir baik urusan jatuh begini waktunya rapat di gunung Hoa San sudah sangat mendesak, baik siangkong segera berangkat bersama paman A Pa, enci Ho serta lainnya, Biar aku sendiri berdiam di sini untuk rawat enci A Kiu, See Siokhu bersama Thie Losu, Ouw Siokhu dan semua orang Kim Liong Pang pun akan tetap berdiam di sini untuk berikhtiar membantu cari nona Hee. Kita nanti kirim pemberitahuan ke seluruh tujuh propinsi supaya semua saudara nanti tolong mencari juga serta memperhatikan nona Hee itu." Sin Cie manggut-manggut mendengari nona Ciauw itu. "Bagus pikiran kau, nona Ciauw," katanya. "Baik, aku nanti bekerja menuruti kau. Hanya mengenai Tek Siu, aku pikir baik ia tidak usah turut, ia boleh berdiam saja sama kau disini. sekarang ini ia belum resmi menjadi anggota partai kami Hoa San Pay."
Kedua matanya Tek Siu bersinar kapan ia dengar perkataannya guru ini. Tadinya ia hendak bicara, tetapi mendadakkan ia bata ikan itu, Tiba-tiba saja ia ingat Ceng Ceng juga agaknya cemburui ia. jadi kalau ia ikut anak muda itu, si anak muda akan jadi kurang merdeka. Akhirnya terus tutup mufut, ia melainkan bersenyum, Tetapi, di dalam hatinya ia kata. "Kau tidak suka ajak aku pergi ke Hoa San, aku toh bisa pergi sendiri!" Nona Ho ada bekas pemimpin Ngo Tok Kauw, ia sudah biasa ambil putusan sendiri, sudah biasa ia bertindak sendirian, walaupun ia telah ubah haluan, masih ada sisa-sisa adatnya itu. Maka itu, setelah ambil putusan akan pergi seorang diri ke Hoa San, ia terus pikirkan dayanya bagaimana agar ia bisa bertamu sama Couwspe, pemimpin dari Hoa San Pay. Setelah bersiap, Sin Cie menghadap Tiong Ong untuk beritahukan maksud kepergian berapat di Hoa San, untuk pamitan, ia juga ambil selamat berpisah dari Lie Gam. Tiong Ong memberi persen banyak barang permata, Tempo Sin Cie hendak menampik, Lie Gam kedipi mata padanya, maka ia lantas terima sambil menghaturkan terima kasih, Ketika Lie Gam antar saudara ini keluar dari istana, ia menghela napas dan kata, "Saudara kau telah berhasil lantas sekarang kau undurkan diri, inilah tindakan paling tepat Di sini aku merasai gencetannya manusia rendah akan tetapi tak dapat aku meletaki jabatanku, maka aku ingin pertaruhan jiwaku untuk membalas budinya Tiong 0ng...." Wajahnya jenderal ini menjadi guram, "Toako, jaga saja dirimu hati-hati," Sin Cie pesan, "Umpama kata kau menghadapi sesuatu bahaya, meski juga aku berada jauh selaksa lie, pasti aku akan datang untuk menyusulmu!" Sambil linangan air mata, dua saudara angkat ini berpisahan, Besoknya Sin Cie berangkat dengan menunggang kuda hitam hadiah dari Giam Ong bersama ia turut A Pa si empe gagu, Cui Ciu San,. Cui Hie Bin, An Toa Nio, An Siauw Hui dan Ang Seng Hay enam orang berikut Thay Wie dan Siauw Koay, kedua binatang piaraannya, Mereka ambil tujuan Barat, menuju ke Hoa San. Mereka menunggang kuda pilihan, maka itu dengan lekas mereka telah sampai di Wan-peng dimana mereka singgah di holcl, untuk beristirahat Besoknya pagi habis bersantap dengan matanya yang awas, Seng Hay lihat seekor kalajengking dan seekor kelabang di pojok tembok, dipantek dengan paku, ia bercekat hati, segera ia tarik ujung baju Sin Cie untuk kisiki majikan ini, Kapan si anak muda saksikan dua ekor binatang berbusa itu diam-diam ia manggut ia mengerti, dua binatang itu mesti ada hubungannya sama Ngo Tok Kauw, maka ia sayangi Ho Tek Siu tidak turut bersama, kalau tidak tentulah murid itu bisa memberi penjelasan Seng Hay cerdik, ia dekati jongos untuk diajak bicara hal yang tidak ada kepentingannya, setelah mana, ia tunjuk kala dan kelabang itu sambit kata, "Dua binatang berbisa di tembok itu tentulah dipantek oleh beberapa orang yang berbicara dengan lidah Selatan?" Sang jongos tidak curiga, malah ketika ia menJawab, ia tertawa, "Jikalau tidak karena telah dapat uang ingin aku buang saja dua makhluk jahat itu. Sungguh menyebalkan." demikian jawabnya, ia tekuk-tekuk jarinya, "Belum sampai dua hari, orang-orang yang menanyakan itu seperti kau tuan ada belasan banyaknya!"
"Siapa sebenarnya yang telah pantek binatang itu?"
"Seorang pengemis wanita tua!" Seng Hay segera lirik Sin Cie. "Siapa saja yang telah menanyakannya?" tanya dia sambil dia sesapkan sepotong perak hancur di tangannya si jongos, "Kalau bukan segala tukang minta-minta tentu segala orang tidak karuan!" sahut jongos itu sambil tertawa, "Aku tidak sangka, tuan kau pun menanyakannya! Ah, kau upahi aku...."
"Ketika si uwa pantek paku itu, siapa saja yang melihat dia?" Sin Cie turut menanya. "ltu hari sungguh kebetulan!" berkata si jongos. "Mulanya satu siangkong muda dan cakap, yang minum arak sendirian saja"
"Beberapa usianya siangkong itu? Bagaimana dandanannya?"
"Nampaknya dia lebih muda sedikit daripada kau siangkong. Dia demikian cakap hingga tadinya aku menyangka kepada anak wayang, Setelah dilihat pedang di pinggangnya, baru aku ubah dugaanku itu. Dia seperti lagi kematian sanaknya, mukanya lesu, sepasang alisnya mengkerut, Dia minum arak akan tetapi kedua matanya merah, Melihat dia, orang bisa merasa kasihan...." Orang segera menduga pada Ceng Ceng. "Eh, kau jangan omong sembarangan!" Hi'e Bin menegur ia anggap sial akan sebut Ceng Ceng kematian orang di rumahnya...." Kaget jongos itu tapi ia terus susuti meja. "Apakah tuan-tuan hendak berangkat sekarang?" dia tanya, "Habis bagaimana?" Sin Cie masih tanya. Jongos itu masih melirik pada Hie Bin, baru ia menyahut "Selagi siangkong itu minum, aku dengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas aku lihat datangnya seorang tua, Rambutdan kumis jenggotnya putih semua, akan tetapi roman dan tubuhnya masih kekar sekali Dia membawa sepotong tongkat yang ia taruhnya sambil diketruki keras di lantai sampai cawan-cawan di atas meja turut menggetar. Sin Cie terkejut "ltulah Oen Beng San," pikirnya. "Ceng Ceng bertemu sama Samyayanya, cara bagaimana dia dapat loloskan diri...?"
"Orang tua itu duduk di meja di samping mejanya siangkong itu," jongos melanjuti, Dia lantas minta arak dan sayurannya, Dia baru duduk, lantas datang seorang tua tain, Anehnya beruntun telah datang semuanya empat orang tua, semua rambut dan kumisnya putih, mukanya merah segar Senjata mereka ini ada yang tombak cagak pendek, ada yang runcing kulit Mereka tidak melihat satu pada lain akan tetapi mereka duduk masing-masing di satu meja yang aneh ialah mereka kitari si siangkong. Hal itu membuat aku sangat heran, Habis itu tidak lama datanglah si pengemis wanita tua. Mulanya majikan hendak usir pengemis ini siapa tahu, Trang!" ia membuat satu suara nyaring, hingga aku terkejut Tuan sangka apa sudah terjadi?"
"Apakah itu?" Hie Bin balik tanya, "lni dia yang dibilang, Malaikat Uang berkeredong kulit anjing, orang tidak dapat dilihat dari wajahnya saja." jawab si jongos yang tegas kekagumannya, "Suara nyaring itu adalah sepotong besar perak, yang dilemparkan di meja kuasa, Kemudian, sambil memandang dan menuding kepada empat orang tua itu ia bilang, "Uang mukanya semua tuan-tuan itu masuki dalam perhitunganku Tuan, pernahkan tuan bertemu dengan pengemis wanita itu?" Sin Cie menjadi sibuk, dia gelisah, "Empat jago dari Cio Liang Pay sudah tak dapat dilawan Ceng Ceng, sekarang muncul Ho Ang Yo! itulah hebat - pikirnya, Gembira sangat si jongos dengan penuturannya, tanpa tunggu jawaban si anak muda, ia sudah meneruskan "Walaupun uang arak mereka telah dibayarkan, empat orang tua itu tidak memperdulikannya, mereka terus repot dengan arak mereka sendiri Maka si uwa jadi mendongkol dengan tiba-tiba ia berseru, sebelah tangannya diayun, lantas satu benda putih mengkilap menyambar orang tua yang membawa tongkat."
"Jangan ngeberahol!" Hie Bin tertegun "Mungkinkah pengemis wanita itu punya pedang wasiat?"
"Untung apa aku mendusta?" balik tanya si jongos, "Memang itu bukannya pedang wasiat akan tetapi bedanya tak banyak! Si orang tua angkat sumpitnya, akan tanggapi serangan Segera terdengar suara nyaring, suara bentrokan di antara senjata dan sumpit itu. Habis itu aku tampak sumpit merupakan gagang rencengan Ketika aku mulanya melihat aku kaget bukan main! Tahukah kau apa adanya benda yang dipakai menyerang itu?"
"Apakah itu?" Hie Bin tanya, "ltu adalah serenceng sarung kuku! Dan semuanya kena tercantol di antara sumpit! Saking kagum, aku berseru dengan pujianku, Selagi aku memuji, aku dengar satu suara nyaring, Apakah suara itu kau tahu?"
"Apakah itu?"
"Kau lihat ini."
"Jongos itu tarik tangan Hie Bin untuk bawa dia kepada buah meja, untuk unjuki pinggiran meja itu. Di atas meja itu ada satu lubang yang kecil, ketika jongos ambil sebatang sumpit dan memasukinya ke dalam lubang itu, tepat busurnya. "lnilah sumpitnya si orang tua, yang ditancapkan ke meja ini," jongos itu menjelaskan "Tidakkah itu ada kepandaian yang luar biasa? Mungkin si pengemis wanita melihat dia tidak punya kesanggupan melawan dia lantas lari keluar Kemudian, setelah si siangkong berlalu ber-sama-sama empat orang tua itu, Rupanya mereka ada dari satu rombongan, yang mengatur diri demikian rupa untuk layani si pengemis wanita tua itu...."
"Ke arah mana perginya mereka itu?" tanya Sin Cie diakhirnya, "Mereka menuju ke Liang hiang, dusun di barat selatan sana," sahut sang jongos, Tidak lama seberangkatnya mereka itu si pengemis wanita tua datang puIa, kali ini dia tinggalkan kala dan kelabangnya itu. Dia lelah berikan sepotong perak kepadaku dengan pesan agar aku jagai itu kedua binatang berbisa supaya jangan ada yang ganggu, Selama ini keamanan ada sangat terganggu, majikan lelaki ingin tutup perusahaannya ini, nyonya majikan tidak mengijinkannya maka perusahaan di1an-jutinya...." Sin Cie tidak tunggu sampai orang ngoceh habis, ia lantas lari keluar. "Mari kita susul!" serunya pada kawan-kawannya, Maka semua memburu keluar untuk naik atas kuda mereka dan kabur. Pada hari itu ia minggat, Ceng Ceng sedang mendongkol dan berduka, Setelah ambil
putusan akan bawa abu ibunya ke Hoa San, untuk dikubur jadi satu dengan jenazah ayahnya, Malah ia telah ambil keputusan sesudah penguburan ayah dan ibunya itu ia akan habiskan jiwanya dengan bunuh diri di samping kuburan ayah dan bundanya itu.... ia merasa sangat tidak beruntung, sebab dapati bakal suami yang tidak mencinta.... Ceng Ceng mampir di Wan peng dengan niatan menghibur diri ia tidak sangka disitu ia bertemu sama keempat yayanya yang segera kurung padanya, kemudian datang Ho Ang Yo yang sudah adu kepandaian, hingga Oen Beng San perlunjuki kelihayannya akan bikin kuncup nyalinya pahlawan Ngo Tok Kauw itu hingga nyonya itu mundur sendirinya, Tahu bahwa dia tidak punya harapan akan lolos lagi dari tangannya keempat yaya itu, Ceng Ceng dapat mengatasi diri, hingga selanjutnya ia tidak jeri Iagi. ia hanya khawatir ia nanti lantas dibikin mati di situ juga sedang giatnya adalah supaya ia bisa lebih dahulu mempersatukan dan mengubur abu ibunya dengan tu!ang-tulang ayahnya. ia ada cerdik, dalam saat berbahaya itu, ia masih dapat akal Toa yaya," ia mendengar Oen Beng Tat sambil ia hampirkan yaya yang terus itu, untuk beri hormatnya, sesudah mana ia juga kasih hormat kepada ketiga yaya lainnya, Empat yaya itu heran menampak orang tak jeri sedikit juga terhadap mereka hingga mereka mengawasi saja. "Suwie-yaya hendak pergi ke mana?" kemudian Ceng ceng tanya sambil ia tertawa. "Kau sendiri hendak pergi ke mana?" Beng San tanya, "Aku sedang tunggu sahabatku she Wan karena kita lelah berjanji akan bertemu di sini." Ceng Ceng jawab dengan karangannya belaka, "la masih belum sampai...." Kelihatannya keempat yaya itu terkejut mendengar disebutnya nama Sin Cie, malah Oen Beng Gie, si Jie yaya segera berbangkit "Lekas ikut kami!" katanya, "Aku lagi tunggu kawan...." Ceng Ceng berpura-pura, Beng Gie ulur sebelah tangannya bagaikan berke1e-batnya kilat, sampai tahu-tahu Ceng Ceng merasai lengannya tercekal keras nadinya kena dipencet, hingga tanpa berdaya, ia mesti ikut bertindak keluar rumah makan, ia terus diajak naik bersama ke atas seekor kuda yang segera dilarikan keras ke luar kota, terus sampai di suatu tempat yang sepi sekali, Di sini mereka berhenti dan turun di bawah sebuah pohon besar, Tapi si nona dijoroki hingga dia jatuh terjungkal "Anak hina dina, anak tidak tahu malu!" begitu ia segera didamprat "Hari ini Thian adalah yang membikin kau bertemu kami!" Ceng Ceng lantas menangis, "Yaya, aku salah apa?" dia tanya, "Aku minta yaya beri ampun padaku, Lain kali aku nanti dengar kata...."
"Hm, kau masih mengharap hidup?" bentak Oen Beng Gie, jie yaya itu. Malah dia segera hunus pisau belatinya yang tajam,
"Jie yaya, kau hendak bunuh aku?" tanya Ceng Ceng sambil menangis, "Kau berdosa, pantas kau terima kematianmu!" kata Oen Beng Gie, si Ngo yaya. "Sam yaya," kata Ceng Ceng tanpa perdulikan ngo yaya itu, "lbuku adalah anak perempuan kandung dari kau maka kepadamu aku minta tolong dalam satu ha1...."
"Tetapi buat minta dikasih tinggal hidup itulah kau jangan harap!" kata engkong luar itu. Ceng Ceng menangis pula, "Kalau nanti aku telah mati," katanya, "Aku minta kau tolong sampaikan sepucuk suratku kepada itu sahabat she Wan, kau pesan supaya dia sendiri saja yang pergi cari mustika, tidak usah dia tunggu aku lagi-" Tergerak hatinya keempat yaya itu mendengar kata-kata "cari mustika".
"Apakah itu yang hendak dicari?" tanya mereka hampir berbareng, "Aku bakal mati, tak dapat aku buka rahasia," jawab Ceng Ceng, "Aku cuma minta supaya suratku tolong disampaikan...." Nona ini robek ujung bajunya, ia ambil sepotong jarum dari sakunya, dengan itu dia tusuk jari tangannya, akan keluarkan darahnya itu, ia menulis di atas itu robekan baju, Masih keempat yaya itu tanya mustika apa itu yang hendak dicari, tetapi Ceng Ceng menulis terus, ia tidak berikan jawabannya, Ketika telah selesai ia menulis ia serahkan surat darah itu pada engkongnya, "Untuk sampaikan surat ini, sama yaya tidak usah kau menemukan sendiri orang she Wan itu," ia bilang, "Cukup jikalau kau kirim orang ke Wang peng ke rumah makan di mana kita lelah bertemu itu." Meskipun ia sedang bersandiwara, tapi kapan ia ingat Sin Cie, yang dikatakan "tidak setia", Ceng Ceng toh bersedih, hingga ia menangis pula dengan sedih, air matanya mengucur tak hentinya. Keempat yaya itu tidak tahu orang sedang permainkan mereka, mereka tidak tahu apa sebabnya cucu ini menangis demikian sedih. Ketiga yaya dekati Beng San, untuk baca surat darah itu. Ceng Ceng menulis begini Toako Sin Cie! Dalam penghidupan kita ini, tidak dapat kita bertemu pula satu dengan lain, Maka itu mustika kepunyaan ayahku, semuanya aku hadiahkan kepadamu, Pergilah kau yang gali sendiri, tidak usah kau tunggu aku pula. Hormatnya adikmu si Ceng "Mustika apakah itu!" Beng Go bentak "Mungkinkah kau ketahui tempat simpannya itu?" Ceng Ceng cuma manggut dengan per1ahan. "Fui, kau menjual orang!" Ngo yaya itu bentak pula, "Mana ada mustika! Ayahmu yang sudah mampus menjadi setan telah perdayakan kami, sekarang kau kembali hendak main gila pula!" Ceng Ceng tidak menyahuti, hanya sambil tunduk, ia keluarkan dari sakunya sepasang kumala yang disu1am-kan kepada sepotong ikat pinggang sutera, itulah kumala model kupu-kupu yang dapat dari satu-di antara sepuluh peti harta karun, Karena kupu-kupu itu indah ukirannya dan mungil, ia sengaja ambil untuk disimpan, Setelah keluarkan kupu-kupu kumala itu, hingga dapat dilihat keempat yaya itu mendadak ia berbangkit untuk berdiri tegak untuk kata juga secara menantang, Terserah kepada kamu, suratku ini hendak kamu sampaikan kepada aiamatnya atau tidak! sekarang kamu bunuhlah aku." Di antaranya suaranya itu, kumalanya itu jatuh ke tanah sambil menerbitkan suara, ia lantas membungkuk untuk memungutnya, akan tetapi Oen Beng Go telah dahulu ia menyambar Merah matanya keempat yaya itu sesudah mereka lihat tegas itu kumala kupu-kupu. Mereka ada penjahat-penjahat dari puluhan tahun, cara bagaimana mereka tidak kenal mustika berharga, Maka itu goncanglah hati mereka semua, "Darimana kau peroleh ini?" akhirnya mereka tanya, Ceng Ceng tetap membisu, "Kau kasih tahu pada kami, mungkin kami akan selamatkan jiwamu." Beng San lantas membujuk "ltulah satu di antara barang-barang mustika yang aku maksudkan," sahut Ceng Ceng dengan roman ter-paksa, "Bersama-sama Wan Toako itu, setelah kami pahamkan pengunjukan petanya, aku telah berhasil mendapat tempat mustika disimpan dan membongkarnya, Sama sekali ada sepuluh peti, yang memuat pelbagai batu permata dan uang, Adalah sukar untuk bawa itu semua, maka aku ambil ini sepasang kupu-kupu. Sekarang kita hendak pergi pula untuk ambil semua peti itu...." Kembali ia menangis, Keempat yaya itu jauhkan diri mereka untuk berdamai Mereka tidak takut si nona nanti kabur, sebab di tempat sepi seperti itu dengan gampang mereka dapat mengejarnya, "Nyatalah sekarang benar halnya mustika simpanan itu," kata Oen Beng San. "Baik, kita paksa dia antar kita, untuk kita yang ambil," Beng Gie usulkan. Tiga saudara itu manggut "Lebih dahulu kita dustakan dia bahwa kita akan memberi keampunan," Beng San utarakan tipu dayanya, "Kalau nanti mustika sudah ada di dalam tangan kita, baru kita hukum dia!" Tiga saudara itu setuju. "Aku ada punya satu cara gampang," kata Beng Gie. "Lcbih dahulu kita ambil mustikanya, setelah itu kacung hina dina ini kita belesaki ke dalam lubang bongkaran itu, untuk diuruk pula, maka kalau nanti si binatang she Wan itu datang menggali, dia bakal gali hanya mustika hidupnya ini! Tidakkah itu bagus?" Tiga saudara itu tertawa berkakakkan, "Bagus pikiran ngotee!" kata mereka, yang puji adik bungsu itu, Mereka itu girang karena sudah dapatkan Ceng Ceng diluar dugaan, mereka juga bakal dapat harta karun. Mereka hampirkan Ceng Ceng, untuk didesak akan antar mereka ke tempat simpanan mustika dengan si nona dijanjikan jiwanya akan dikasih tinggal hidup.... Ceng Ceng sedang bersandiwara, ia menampik akan antari semua yaya itu, adalah setelah dibujuk pulang pergi dan diancam juga, baru ia mau sebutkan, tempat simpan harta karun itu adalah di puncak gunung Hoa San. ia telah pikir, selagi empat yaya itu repot bongkar tanah ia mau cari ketika akan cari kuburan ayahnya, supaya bisa dikubur bersama dengan abu ibunya, Sesudah itu seperti rencananya, ia hendak bunuh diri, Karena ia telah unjuk bukti dan alasan yang masuk di akal, empat tertua dari Cio Liang Pay itu percaya omongan nona ini. Ketika dahulu Ngo Couw dapat bekuk Kim Coa Long kun, yang dibawanya ke Hoa San, mereka memang sudah dengar halnya harta karun itu dipendam di gunung tersebut, hanya itu waktu, kecuali Kim Coa Long kun bisa mengingat, mereka juga tidak peroleh suatu apa. Belakangan pun terjadi lelakonnya Thio Cun Kioa dan si pendeta yang dapat sergap Sin Cie dengan kesudahan mereka mati semua, perjalanan dilanjutkan dengan segera, dengan cepat luar biasa, malah hari itu, mereka tidak singgah lagi, Sebabnya dari perjalanan cepat luar biasa ini karena kekhawatirannya keempat yaya itu nanti Sin Cie dapat susul mereka, karena mereka mengerti, asal mereka kesusul si anak muda, usaha mereka bisa gagal, jiwa mereka sendiri bisa hilang, Maka bukan main lelahnya mereka berempat ketika itu sore mereka sampai di tapal batas propinsi Shoasay, Lantas saja mereka cari hotel di mana paling dahulu mereka minta disajikan barang hidangan, Beng Gie ada orang yang paling sembrono di antara keempat saudaranya itu pun paling kuat daharnya maka dialah yang berteriak-teriak minta arak, sayur, dan mie. Jongos telah bekerja sebat untuk layani tetamu-tetamunya ini. Seperti biasanya, begitu lekas barang makanan sudah diatur di atas meja, Beng Gie lantas mendahului saudara-saudaranya, daharnya sangat bernapsu. Ceng Ceng diperkenankan duduk dahar bersama, disaat nona ini dan Beng Tat bertiga angkat sumpit serupa benda, melihat mana, dia kaget tidak terkira, sampai tubuhnya berdiri tegak bagaikan patung, lantas rubuh. Beng Tat bersama dua saudaranya, juga Ceng Ceng kaget bukan main, Benda yang dijepit sumpitnya Beng Gie itu adalah seekor kawa-kawa yang hitam dan besar Tiga saudara itu juga heran ketika mereka dapati eng Gie masih saja berdiam, maka Beng Tat lantas mendekati untuk raba tubuhnya. Engko ini kaget sekali, apabila ia telah kena raba tubuh yang lantas mulai jadi dingin, sedang napas di hidungnya adik itu pun sudah berhenti berjalan Dia kaget berbareng gusar sekali, Dalam murkanya Beng San hampirkan kuasa restoran untuk dijambak, rubuh kuasa ini demikian keras, hingga tulang betisnya orang ini patah, hingga si kuasa pingsan, Beng San tunggu sampai orang sadar sendirinya, ia jambak dada orang, dilain pihak dia jepit bangkai kawa-kawa dengan sumpitnya untuk di antar ke depan muka kuasa itu. "Kau bernyali sangat besar! Kau berani racuni kita! Apakah ini?" dia tanya dengan bengis. Kuasa itu kaget dan takut bukan main, "Rumah makan kami sudah dibuka selama tujuh puluh tahun.,." katanya dengan tubuh bergemetar dan suara tidak lancar, "Kita juga selalu jaga kebersihan dapur kita.... Heran entah darimana datangnya ini binatang...." Beng San samber pipi orang, sekali ia memcncet, terpentanglah mulut si kuasa restoran itu, menyusul mana, bangkai kawa-kawa dimasuki ke dalam mulutnya, dijejaii, hingga bangkai itu kena tertelan. Boleh dibilang dalam sekejap saja, kuasa restoran itu rubuh binasa, kulit di seluruh tubuhnya berubah menjadi hitam, Karena ini, kacaulah keadaan di rumah makan itu. Beng Tat takut Ceng Ceng lari, ia sambar nona ini, untuk diseret keluar begitu lekas dia kempit tubuhnya Beng Gie, Beng San dan Beng Go jadi seperti kalap, mereka keluarkan senjata mereka dengan apa mereka menyerang kalang kabutan, akan obrak-abrik rumah makan itu, dimana ada beberapa jongos dan tetamu lainnya hingga sama sekali rubuh tujuh atau delapan korban, Kemudian sesudah melepas api akan bakar rumah penginapan berikut rumah makan itu, baru mereka angkat kaki. Tidak ada orang lainnya yang berani maju mencegah. Beng Tat pergi jauh juga, baru ia turunkan mayat adiknya buat bersama dua saudaranya menggali lubang, akan kubur secara sembarangan pada saudara itu. Kemudian mereka singgah di sebuah kuil tua. Tiga saudara itu gusar dan berduka dengan berbareng, Mereka menduga pada kejahatan kaum Ngo Tok Kauw, karena tidak bisa jadi orang hotel berbuat demikian jahat
Ceng Ceng tahu lihaynya pihak Ngo Tok Kauw, ia juga menduga pada kaum agama yang memuja bisa itu, "Pasti ini ada perbuatan Ho Ang Yo, si pengemis tua," terkanya, "Rupanya dia telah bayangi kita...." Karena kejadian hebat itu, ketika dilain harinya mereka mampir di rumah makan, untuk bersantap, Beng Tat suruh jongos cobai dulu semua barang makanan yang disajikan, sesudah didapat kenyataan, barang hidangan itu tidak ada racunnya, baru mereka dahan Beberapa hari selanjutnya, perjalanan dilanjuti tanpa kejadian sesuatu, hingga hatinya tiga saudara Oen itu menjadi sedikit lega, mereka melainkan tetap waspada, Pada suatu malam di rumah penginapan, mendadak terdengar suara berisik di istal, jongos berteriak-teriak ada pencuri kuda, Beng Go kaget, ia pun gusar, sebab itulah kudanya, yang diganggu, ia lantas pergi ke belakang, untuk memeriksa, Baru saja ia sampai di depan istal, mendadak ia dengar suara siur-siur dari tempat gelap di sampingnya, Dengan sebal ia berkelit Tapi itulah semprotan barang cair, karenanya tidak dapat ia hindarkan diri, terutama mukanya yang kena tersemprot. Dengan lantas ia dapat cium bau amis, ia lantas menduga jelek, Karena ia lihay, sebab ia tidak rubuh seketika, ia masih sempat cabut ruyungnya, ia menyerang ke arah si pencuri kuda. ia bisa mendengar tegas hingga ia tahu ke mana ia mesti arahkan senjatanya, ia pun merasa bagaimana ia telah menyerang dengan jitu dan dengar suara senjatanya mengenai tubuh musuh, yang bebokongnya kena terhajar hingga tulangnya patah. "Ha, tua bangka kau masih galak!" demikian satu bentakan yang dibarengi dengan satu bacokan. Masih sempat Beng Go menyerang pula, Lebih dahulu ia menangkis, hingga ia dapat lilit kampaknya si penyerang, sesudah mana, ia membetot dengan keras, Musuh tidak dapat pertahankan diri, dia terbetot keras, sampai tubuhnya terlempar, tepat mengenai tembok, hingga kepalanya pecah dengan kepala hancur, tubuhnya terus rubuh binasa! Beng Tat dan Beng San menduga pada orang-orang jahat tidak berarti, mereka percaya, Beng Go seorang cukup untuk hajar si pencuri kuda, baru mereka kaget ketika mereka dengar saudara itu berkaok-kaok, hingga mereka lompat memburu, Beng Go kedapatan sedang menggaruk-garuk mukanya, masih saja ia perdengarkan suaranya, sampai Beng Tat lompat untuk peluk tubuhnya. "Kau kenapa ?" tanya ini kanda sulung, Beng San sendiri segera lompat kcluar, untuk cari musuh, akan tetapi sia-sia saja, ia tak dapatkan siapa juga, Maka ia lantas kembali ia kaget kapan ia dapat si kanda nya peluki adiknya sambil kanda itu menangis menggerung-gerung. Nyatalah, dalam waktu yang pendek sekali, setelah dia berhenti menggaruki mukanya, Beng Go telah berhenti bernapas, mukanya telah jadi tidak karuan, terutama bekas digaruk pulang pergi tak hentinya, Karena ia telah terkena semprotan bisa, yang pertama membuat ia merasa gatal, hingga ia tak tahan akan tak menggaruki mukanya, sedang matanya terus tidak dapat dibuka lagi. "Ketika duapuluh tahun dahulu Kim Coa Long kun minggat dari tangan kita," katanya Beng Tat sambil menangis, "Dia sudah terputuskan urat-uratnya, dia telah jadi satu manusia bercacad, maka itu waktu, aku menyangka dia telah ditolongi orang-orang Ngo Tok Kauw...."
"Kau benar," Beng San bilang, "Teranglah sudah, Ngo Tok Kauw telah memusuhkan kami, secara diam-diam. Kita telah diundang Co Hoa Sun untuk bekerja sama-sama, walaupun usaha kita bermusuh satu pada lain, maka itu kenapa Ngo Tok Kauw seterukan kami, Nyata Ngo Tok Kauw ada di pihak Kim Coa Lon kun. Oen Beng Tat berpikir sebentar, lantas berjingkrak, "ltulah mungkin," katanya. "Kim Coa Long kun punya bisa yang lihay, pasti dia punyakan perhubungan dengan Ngo Tok Kauw." Dua saudara ini jadi ingat benar ketika dulu Kim Coa Long kun datang mengacau di Cio-Iiang untuk menuntut balas, Karena ini diam-diam hati mereka gentar Tanpa banyak omong lagi, mereka rawat mayat Oen Beng Go untuk dikubur, sesudah mana mereka ambil putusan untuk berangkat terus ke Hoa San, guna cari dan bongkar harta karun, sesudah itu mereka hendak berdaya mencari balas, Tetap mereka khawatir nanti diakali, maka itu baik diwaktu berislirahat, terutama diwaktu dahar, mereka berlaku sangat hati-hati. Diwaktu malam, mereka sampai takut untuk mondok di hotel. Pada suatu hari, Beng Tat dan Beng San ajak Ceng Ceng berhenti di sebuah kuil tua di tengah perjalanan Beng Tat, meskipun sudah tua, tenaganya tetap besar, maka dengan gampang ia angkat dua potong batu penggilingan yang berat, untuk dipakai menggalang pintu depan dan pintu belakang, supaya tidak ada orang yang bisa dobrak pintu itu di luar tahu mereka. Secara demikian baru mereka dapat tidur dengan hati tentram Tepat tengah malam, ada terdengar suara berkelisik, Sebagai ahli-ahli ilmu silat, atu orang-orang kang-ouw ulung, terang kupingnya dua saudara Oen ini. Mereka mendusin dengan lantas, Mulanya terdengar suara seperti suara tikus, mereka tidak perhatikan maka mereka tidur pula, Oen Beng San sudah tidur pula sayup-sayup tatkala ia dapat cium bau harum, hingga ia merasakan hatinya, dirinya lega benar, hingga ia merasa sangat gembira, lantas seperti lagi melayang-layang, bagaikan ia berada di atas sorga, Tidak lama dari itu, hatinya goncang dengan tiba-tiba hingga ia mendusin sambil terus lompat bangun dengan berjingkrak. Oen Beng Tat juga lantas bangun, tapi ia berotak sangat cerdas, masih ia ingat Ceng Cehg, tangan kiri siapa ia tarik, Maka dilain saat, keduanya sudah berada di samping meja. Dari sini di antara sedikit sinar terang, mereka lihat Oen Beng San sedang bersilat dengan tongkatnya yang lihay, sampai dia kena hajar patung Buddha sampai patung itu patah dan rubuh, suara hajaran dan rubuhnya keras sekali, Serubuhnya patung itu, dari belakang patung muncul dua bocah yang mengenakan pakaian serba kuning. Bo-cah yang satu yang bersenjatakan golok dengan berani terjang Beng San. Bocah yang lain memegang sebatang pipa sumpitan, dia bersedia akan sumpit atau semprot jago she Oen itu, Menampak demikian, Toa-yaya tidak ayal lagi dengan panah di tangannya, maka kapan senjata rahasia itu sudah melesat, kedua bocah baju kuning itu rubuh saling susul jiwa mereka terbang melayang, Meski sudah tidak ada musuh, Oen Beng San masih terus berkelahi "Shatee, musuh sudah tidak ada," Beng Tat teriaki adik itu, Beng San seperti tidak gubris pemberitahuan itu, ia terus saja bersilat, malah gerak-gerakannya makin hebat, Rupanya ia telah terkena pengaruh hebat dari bau harum tadi. "Celaka!" pikir Beng Tat yang dari heran menjadi kaget, hingga ia bercuriga, ia lantas lompat maju, dengan niat rampas tongkat adik itu, akan tetapi Samyaya putar tongkatnya sangat cepat dan rapat, hingga ia tidak sanggup merapatinya, Selagi bersilat terus, mendadak yang ketiga dari Ngo Couw berteriak keras sendirinya, tanpa sebabnya habis mana, ujung tongkatnya diarahkan kepada dadanya sen-diri, hingga ia terserang sangat hebat, berbareng sama memuntahkan darah hidup, ia rubuh terguling, terus saja tubuhnya menjadi kaku. BengTat kaget tidak kepalang, tidak terkecuali Ceng Ceng, ia telah saksikan ketiga yayanya binasa secara hebat, terbinasa oleh pihak Ngo Tok Kauw, Tidak lagi ia mempunyai rasa simpati kepada semua yayanya itu, toh sekarang ia merasa terharu juga, tanpa merasa ia ber-linangkan air mata. Beng Tat sampai tidak sanggup berkata-kata lagi, dengan tenang ia pondong tubuh adiknya untuk dibawa keluar, akan digalikan lubang, buat dipendam secara demikian saja. Dia ada seorang yang hatinya paling keras, bagaikan baja, maka itu meski ia beri hormat penghabisan kepada adiknya itu, tidak ia menangis. "Mari kita berangkat!" kata dia pada Ceng Ceng. Kendati juga yayanya tinggal seorang, Ceng Ceng masih jeri, dengan terpaksa ia mengikut, akan lakukan perjalanan dimalam yang gelap petang itu, sebelum mereka kenyang tidur, Kali ini Oen Beng Tat berlaku luar biasa waspada, Pada suatu hari semasuknya dalam wilayah Siamsay, Oen Beng Tat lihat satu bocah dengan pakaian serba merah menghampirkan dia sampai dekat seka1i. Mungkin dia ingat bocah-bocah serba kuning, ia jadi curiga, malah tanpa bilang suatu apa, dengan mendadak saja ia menyerang. Tidak ampun lagi, bocah itu pecah batok kepalanya, tubuhnya rubuh binasa dalam sekejap. Ceng Ceng kaget, ia ngeri tetapi terus ia bungkam, ia jeri akan saksikan roman bermuram durja dari yaya itu yang wajahnya menjadi gelap dan bengis, sementara itu orang sekarang mulai menuju ke kaki bukit Hoa San, sebagaimana gunungnya sudah tertampak dari kejauhan, Mereka sudah jalan setengah harian, maka keduanya merasa sangat berdahaga, Karena ini, mereka singgah di sebuah paseban, untuk minum air, sedang kuda mereka dilepas untuk beristirahat Sebentar kemudian, Oen Beng Tat dihampirkan oleh seorang tani yang berlidah Siamsay, sebagaimana terdengarnya itu ketika dia menanya, "Apakah aku bicara sama Oen Loya-cu?" Beng Tat berbangkit "Apa kau mau?" tanyanya dengan bengis. "Tadi ada orang upahkan aku dua rencengan uang, aku diminta sampaikan surat untukmu," sahut petani itu. "Mana dia orang itu?"
"Dia sudah pergi lama, dia menunggang kuda."
"Coba sambuti suratnya!" Beng Tat perintah Ceng Ccng, ia ada sangat licin, hingga ia tidak mau terima sendiri surat itu,
Ceng Ceng sambuti surat itu yang tertutup dalam sampul, rupanya seperti surat biasa, tidak ada yang men-curigaL Baru setelah itu, jago tua ini berani menerima itu dari tangan si nona, Sama sekali surat itu ada tiga, Yang pertama memuat tulisan: "Oen Loo-toa, Saat kematianmu sudah sampai. Panas hatinya Beng Tat, hingga ia jadi sangat gusar ia mau lihat surat yang kedua, tapi surat ini terlepit, sukar dibuka lepitannya, akan tetapi ia telah jadi tidak sabaran, maka ia tempel jari tangannya ke mulut, ia basahkan surat dengan air ludahnya, Baru sekarang surat itu dapat dibuka, Bunyinya: "Jikalau kau tidak percaya bacalah surat yang ketiga." Meluap hawa amarahnya jago tua ini. Surat yang ketiga juga tertutup rapat, untuk dapat membukanya Beng Tat mesti bawa pula jari tangannya ke dalam mulutnya, untuk basahi itu dengan air ludah di lidahnya, maka setelah kena dibasahkan, barulah surat ketiga itu dapat dibuka, untuk dibaca, Akan tetapi kali ini, surat itu tidak ada huruf-hurufnya, Apa yang terlihat lukisan gambarnya seekor kelabang besar serta gambarnya satu tengkorak manusia. Dalam murkanya, karena sangat mendongkol Beng Tat lemparkan surat itu ke tanah. Boleh dibilang hampir berbareng dengan itu ketua dari Cio Liang Pay rasai sedikit sakit atau perih pada jari telunjuk dari tangannya yang kanan dan ujung lidahnya, Segera ia ingat suatu apa, mendadak saja ia rasakan tubuhnya panas dingin. "Aku telah terpedaya!" pikirnya, kagetnya bukan kepalang, ia merasa pasti sudah jadi korban kelihayan musuh. Surat-surat itu rupanya sengaja dilempel, supaya jadi sukar untuk buka lepitannya, supaya kalau toh mesti dibuka, ada diperlukan air untuk membasahkannya. Air untuk membuka surat, yang paling gampang ialah air ludah, Lebih dahulu daripada itu, mestinya racun telah dikenakan kepada surat bagian yang ditempel lekat itu, supaya dengan menggunai ludah, orang akan keracunan tanpa merasa, Ini adalah satu di antara tiga puluh enam tipu daya dari kaum Ngo Tok Kauw, Dahulu Kim Coa Long kun dapat pelajari ini dari Ho Ang Yo maka ia bisa kenakan racun itu pada "Kim Co Pit Kipriya" yang palsu, hingga Thio Cun Kiu rubuh sebagai korban, Beng Tat teliti dan waspada, tetapi ia tidak ingat sampai begitu jauh, Maka sekarang ia telah menjadi korban, Begitu ia insyaf, ketua dari Cio Liang Pay lantas ingat si petani, Kapan ia angkat kepalanya, ia tampak orang sudah jalan pergi beberapa puluh tindak, Dalam gusarnya, ia lompat untuk mengejar Baru ia sampai di luar paseban, ia rasai kepalanya sangat pusing, matanya berkunang-kunang, ia kuatkan hati tidak perduli kepalanya lantas terasakan sangat sakit, ia kerahkan tenaganya, ia menimpuk dengan panah tangannya. Petani itu memang ada orang Ngo Tok Kauw yang sedang menyamar ia sudah serahkan suratnya, ia percaya ia sudah berhasil, maka ia berlalu dengan tenang, ia menjerit dengan keras ketika tahu-tahu ia merasa bebokongnya tertancap panah tangan, terus tubuhnya rubuh, jiwanya melayang pergi.
Oen Beng Tat tertawa seram beberapa kali habis itu tubuhnya rubuh terjengkang, tidak sanggup dia pertahankan diri lagi
"Toa yaya, kau kenapa?" tanya Ceng Ceng dengan kaget Nona ini masih belum tahu, suatu apa, ia tidak menyangka je1ek. Malah ia hampiri yaya itu sambil membungkuk ia hendak melihat muka orang, Mendadak Beng Tat geraki tangan kirinya, menyusul itu, tombaknya melesat nyambar, Ceng Ceng kaget bukan main. Mana dapat ia berkelit lagi? jarak mereka berdua ada terlalu dekat ia cuma lihat berkelebatnya satu cahaya putih perak, menuju ke arah dadanya, Disaat nona ini tutup kedua matanya, untuk terima binasa, mendadak ia dengar suara barang keras beradu, menyusul rasa sakit pada belakang kakinya, Kapan ia buka kedua matanya, ia dapatkan tombak pendek terletak di dekat kakinya, Adalah tombak itu yang membuat ia merasa sakit, sekarang ia ingin tahu siapa-siapa sudah tolongi padanya, pada waktu ia berbalik mendadak ia rasakan bebokongnya terpegang keras, sampai ia tak dapat berbalik, Selagi ia heran dan bingung, tahu-tahu kedua tangannya telah ditelikung kebelakang, diikat dengan keras. Adalah sesudah ia tidak berdaya baru, bisa menoleh. Tapi kapan ia kenali siapa yang tawan padannya ia kaget melebihi waktu ia ditangkap keempat yayanya, Orang itu adalah Ho Ang Yo dari Ngo Tok Kauw, si uwa beroman jelek dan bengis yang menyeramkan Ceng Ceng merasa, di tangan perempuan tua ini, ia bakalan tinggal dunia dalam cara lebih hebat lagi...." Ho Ang Yo tapinya tertawa pada nona ini tertawa dingin sekali, "Kau inginkan kematian cara apa?" si uwa tanya, "Kau pilih mati dengan satu kali bacok? Atau kau inginkan dipaguti seribu ekor ular selama tujuh kali tujuh menjadi empat puluh sembilan hari, sesudah mana baru kau mati.,.?" Ceng Ceng bergidik, ia meramkan mata, ia tidak menyahut. "Kau antar aku mencari ayahmu yang tidak berbudi itu!" kata pula si uwa. "Dengan antari aku, aku akan bikin kau tidak sampai tersiksa...." Ceng Ceng segera berpikir "Memangnya aku hendak cari tulang-tulang ayah, Baik aku antar padanya, Sampai di sana, aku mau lihat, apa dia bisa bikin...." Maka ia menyahut dengan gagah,
"Aku juga hendak tengok ayahku, mari kita pergi bersama!" Ho Ang Yo curiga orang terima tawarannya demikian gampang, Tapi Kim Coa Long kun telah jadi seorang bercacat, tidak perduli ilmu silatnya bagaimana lihay, ia toh tidak usah takut, begitu ia pikir, "Baik, mari kau antar aku," katanya sambil tertawa. "Kau merdekakan dulu aku, supaya aku bisa kubur mayat toa-yaya," Ceng Ceng minta, "Merdekakan kau? Hm." Dia jemput tombak pendek dari Oen Beng Tat, seorang diri terus dia menggali lubang ditepi jalanan, sesudah dia buatkan satu lubang cukup besar, dia gusur tubuhnya Beng Tat, juga tubuh orangnya sendiri untuk dilempar ke dalam lubang itu, yang dia lantas uruki sekedarnya. Sembari nguruk, uwa itu ngoceh seorang diri. "Meski juga ayahmu ada satu telur busuk, tidak nanti aku antapkan dia diperhina orang 1ain. Empat tua bangka ini adalah yang membikin ayahmu mati tidak, hidup pun tidak, Sudah sekian lama aku hendak mencari balas kepada mereka, Mengapa kau panggil dia yaya?" Ceng Ceng tidak mau menjawab, ia hanya jalan, mendaki gunung, Selama hari itu, dua orang ini cuma bisa jalan kira lima puluh lie, jalanan terus menanjak Mereka berhenti di tengah gunung, Untuk dapat beristirahat supaya si nona tidak berdaya dan tidak dapat kabur, kecuali kedua tangannya ditelikung terus, Ho Ang Yo juga belenggu kedua kakinya, Untuk itu ia telah sediakan tali kulit Besoknya pagi, baru terang tanah, orang sudah berjalan pula, Makin tinggi, jalanan makin sukar hingga dari bertindak saja, orang perlu bantuan kedua tangan, untuk pegangan Ho
Ang Yo sudah kehilangan tangan kirinya, tidak dapat ia bantu tarik Ceng Ceng sebab tangan kanannya dipakai jambret batu atau oyot, maka itu, terpaksa ia buka ikatan tangan si nona. ia suruh si nona jalan di depan ia sendiri di belakang, untuk sambil mengawasi. Ceng Ceng belum pernah sampai di gunung Hoa San, maka itu si uwa yang berbalik mesti menunjuki ia jalanan. Malam itu mereka tidur di cabang pohon di tepi jurang tapi Ceng Ceng tak dapat tidur dengan tenang, ia berpikir banyak, terutama pikiri nasibnya di tangan orang jahat ini. Saban-saban ia juga dengar pekik orang hutan, Besoknya perjalanan dilanjuti, Adalah di hari ketiga baru sampailah mereka di puncak Hoa San, gunung kesohor di arah Barat, Dari Sin Cie, Ceng Ceng pernah dengar penuturan perihal keadaan di tempat dimana ayahnya dikubur, sekarang ia perhatikan daerah gunung di sekitarnya ia merasa tepat sekali lukisannya si anak muda, Maka itu mulailah hatinya goncang, hingga sendirinya, ia jadi ber-duka, tidak dapat ia cegah mengalir keluar air matanya, "Dimana dia sembunyi?" tanya Ho Ang Yo dengan bengis, ia tidak perdulikan orang sedang berduka sangat "Disana," Ceng Ceng menunjuk kepada jurang, "Di sana ada sebuah gua, ayah di dalamnya...."
"Baik! Mari kita pergi bersama!" si uwa mengajak Ceng Ceng bergidik waktu ia tampak wajah uwa itu. Roman dia ini nampaknya jadi lebih bengis dan menakuti, Mereka mesti jalan mutar untuk sampai di jurang, Mereka baru jalan beberapa puluh tindak ketika keduanya dengar suara tertawa yang datangnya dari arah suatu tikungan, Ho Ang Yo tarik tangannya Ceng Ceng untuk diajak mendekam di antara rumput yang tinggi dan lebat, di sini lima jari tangannya yang berkuku lihay ditaruh dekat lehernya si nona, "Jangan bersuara!" ia mengancam Tentu saja Ceng Ceng takut, sebab satu kali ia bersuara, tenggorokannya bakal kena tercengkeram sebelum ia sempat berdaya, Segera kelihatan dua orang mendatangi Yang satu ada imam tua, yang lain ada seorang tani dari usia pertengahan. Ceng Ceng segera kenali Kwie eng cu. Bhok Siang Tojin serta Tong-pit Thie shuipoa Oey Cin, masing-masing guru dan saudara seperguruan yang tertua dari Sin Cie, ia tahu mereka itu lihay tapi ia tidak berani menjerit untuk minta tolong, ia jeri untuk lima kuku beracun dari Ho Ang Yo. "Suhu bakal sampai lagi beberapa hari!" terdengar suara Oey Cin yang berbicara sambil tertawa, "Juga suteenya yang kecil bakal datang dalam lagi beberapa hari ini, maka itu waktu, lotiang tidak usah khawatir nanti tidak ada lawanmu main catur." Bhok Siang tertawa dengan nyaring, "Jikalau bukannya karena ingin main catur, untuk apa aku datang kemari justru kamu kaum Hoa San Pay hendak berapat?" kata imam itu. "Apa untuk bantu meramaikan saja? Tidak!" Mereka bicara sambil jalan terus, hingga mereka tinggalkan Ceng Ceng dan Ho Ang Yo. Uwa itu tidak berani berkutik ia insyaf lihaynya kaum Hoa San Pay, tidak mau ia nanti kepergok! Sesudah orang lewat jauh baru ia muncul pula, Untuk pergi ke gua, ia keluarkan dadungnya yang ujungnya ia ikat kepada sebuah pohon besar "Mari kita turun!" Dia ajak Ceng Ceng. Tubuh si nona bersama tubuhnya sendiri ia ikat bersama untuk bisa turun ke gua. "Di sini!" kata Ceng Ceng, setelah ia lihat lubang gua. Hatinya Ho Ang Yo goncang keras, Setelah dua-puluh tahun memikiri saja, tak sedetik juga ia me1upa-kannya, maka sekarang ia dapat cari tempat sembunyinya orang yang ia cintai, yang kemudian ia anggap sudah sia-siakan padanya, Segera ia bakal bertemu sama orang yang dibuat pikiran itu. ia berpikir keras, Apa ia mesti siksa lelaki itu, untuk kemudian baru bikin dia binasa? Atau apa baik ia memberi ampun? Kecuali berdebar hatinya, Ho Ang Yo pun bergemetar, tangannya dirasakan dingin. Dengan tangan kanan, ia mulai singkirkan batu-batu di mulut gua, setelah itu, ia suruh Ceng Ceng merayap di depan. Tadinya mulut gua sempit setelah Sin Cie babati dengan pedang mustika, jalanan itu jadi cukup lebar, leluasa untuk orang keluar masuk. Ho Ang Yo mengikuti dengan hati-hati ia siap sedia kalau-kalau Kim Coa Long kun nanti terjaga ia secara diam-diam, Masih ia khawatirkan Jago Ular Emas itu. Ceng Ceng memasuki gua dengan air matanya berlinang-linang, kemudian ia menangis sesenggukan Ketika mereka sampai di bagian yang gelap, Ho Ang Yo nyalakan api. Sebagai sumbu atau obor, ia sulut ujung dadungnya, ia suruh si nona pegangi itu untuk maju lebih jauh, Ceng Ceng berkhawatir. "Kalau dadung itu terbakar habis, cara bagaimana kita bisa keluar dari sini?" demikian pikirnya, "Tidak heran kalau aku tidak kembali sebab di sini telah kumpul ayah dan ibuku, Tapi dia ini, apa dia juga tidak mau keluar pula?" Nona ini tidak tahu, Ho Ang Yo juga sudah nekat, tidak mau ia keluar pula dengan masih hidup dari gua itu. jalan lagi sedikit jauh uwa ini mulai bercuriga, ia lihat tempat bukan seperti ditempati manusia, Mendadak ia jambak pundak si nona, "Hai, kau hendak main gila sama nyonyamu?" tegur-nya. "Awas, aku nanti bikin kau mampus secara kecewa!" Ceng Ceng cuma bisa berserah. Jalan lagi sedikit, tiba-tiba ada angin dingin menyambar Lalu di depan mereka berdiri sebuah kamar ba1u. Ho Ang Yo angkat obor untuk awasi di sekitarnya, pada empat penjuru tembok ia tampak gambar-gambar peta dari ilmu silat ia pun segera dapat baca pemberian tahu yang Sin Cie pernah ketemukan, yaitu: "Mustika berharga, ilmu rahasia, diberikan kepada yang berjodoh, Siapa yang masuk dalam pintuku, menemui bencana jangan penasaran" Ho Ang Yo kenali hurufi Tulisan Kim Coa Long kun. Melihat surat itu lenyap kesangsiannya. Tapi hatinya terus memukul pula, suratnya ada, orangnya belum nampak. "Saat Gie, kau keluar," ia memanggil Suara itu nyaring halus, kamar ada kecil, maka terdengarnya nyata sekali, Akan tetapi, jawabannya tidak ada. Maka Ho Ang Yo lantas berdiam akan tenangkan diri, Kamar batu itu kosong dari manusia, "Dimana dia?" tiba-tiba ia bentak Ceng Ceng, sesudah sia-sia saja ia memanggil lagi beberapa kali. "Di sini!" sahut si nona sambil menangis, dengan tangannya menunjuk ke tanah, Dengan tiba-tiba saja Ho Ang Yo merasa matanya gelap, kepalanya pusing, hingga ia sambar lengan si nona, untuk ia pegangan, kalau tidak, ia bisa rubuh terguling, "Apa?" tanyanya kemudian dengan suara serak,
"Ayah dikubur di sini," sahut Ceng Ceng, yang menangis terus, Ho Ang Yo menjerit dengan tertahan, "Qh... oh, kiranya dia sudah mati...." Tak kuat lagi dia menahan tubuhnya, ia rubuh men-delepok di atas batu di mana Kim Coa Long kun biasa berduduk, Sekejap saja, hilang penasarannya sejak puluhan tahun, sekarang teringatlah ia akan cintanya kepada orang yang dicintainya itu. "Nah, pergilah kau, aku beri ampun padamu..." akhirnya ia kata pada Ceng Ceng, suaranya lemah, Melihat orang demikian berduka, tanpa merasa, Ceng Ceng jadi berbalik merasa kasihan, ia ingat biar bagaimana, ayahnya toh telah sia-siakan uwa ini yang tadinya ada satu nona cantik dan mencinta keras, Memang ada sebab kenapa ayahnya belum ingin ketemui kekasih ini, sampai mereka jadi terpisah untuk se1ama-lamanya. Karena rasa kasihannya ini, dengan tidak merasa Ceng Ceng peluk uwa itu, yang ia tadinya takuti bagaikan melihat iblis, ia menangis dengan keras. "Pergi kau, lekasan," kata pula Ho Ang Yo. "Kalau sebentar dadung telah terbakar habis, kau tidak bakalan bisa keluar 1agi...."
"Kau sendiri?" tanya si nona. "Aku hendak berdiam di sim" untuk temani ayahmu." 1 "Aku juga tidak mau keluar lagi," kata Ceng Ceng, Ho Ang Yo sudah terbenam dalam kedukaan, ia tidak perdulikan lagi nona itu. Ceng Ceng menangis terus, tiba-tiba saja Ho Ang Yo berbangkit untuk dengan tangannya lantas mengkeruki tanah untuk digali ia bekerja bagaikan kalap, "Kau hendak bikin apa?" tanya Ceng Ceng kaget, "Aku telah pikir dia untuk dua puluh tahun," sahut si uwa dengan sedih, "Selama itu, tidak pernah aku ketemui orangnya, maka melihat saja tulang-tulangnya pun boleh juga...." Ceng Ceng kaget dan berkhawatir. ia tampak orang punya roman dan sikap yang berubah, Ho Ang Yo terus menggali, tangannya bekerja seperti pacul saja, setelah berselang lama juga, muncullah tulang-tulang manusia, itulah tulangnya Kim Coa Long kun, yang Sin Cie kubur dengan baik. Sesudah sekian lama semua tulang itu masih tinggal utuh, Ceng Ceng menangis, ia tubruk tulang-tulang ayahnya itu, Ho Ang Yo masih menggali, sampai ia dapat angkat sebuah tengkorak, ia rangkul itu, ia menangis ia ciumi "Hee-long, Hee-long, aku datang melongok pada-mu..." katanya dengan sedih, ia memanggil suami kepada tengkorak itu, ia menangis lalu ia nyanyi dengan perlahan sekali.,.," Ceng Ceng dengar itu nyanyian, sepatah kata juga ia tidak mengerti Habis menyanyi, Ho Ang Yo ciumi tengkorak itu dengan bernafsu ia jadi seperti kalap, baru ia berhenti ketika ia menjerit dengan tiba-tiba. Sebab ada apa yang tajam yang menusuk mukanya hingga ia merasa sakit dan kaget, Lantas ia bawa tengkorak itu ke depan api untuk diawasi dengan seksama,
Bab 25
Nyata di mulutnya tengkorak, terjepit di antara gigi, terdapat sepotong tusuk konde, yang pendek sekali, yang tidak nampak apabila tidak diperhatikan Ho Ang Yo cabut tusuk konde itu dengan tangannya, dia tidak berhasil Jeriji-jeriji tangannya tidak dapat menjemput dengan seksama. Rupanya Kim Coa Long kun gigit tusuk konde di waktu hidupnya sampai ia mati maka perhiasan rambut itu jadi terjepit keras, itu adalah sebuah tusuk konde emas, Ho Ang Yo penasaran, ia mencoba lagi sekali. Kali ini gigi-gigi tengkorak pada copot, maka tusuk konde itu jatuh sendirinya, Lantas ia pungut untuk disusuti debu-nya. "Sekonyong-konyong saja uwa ini terperanjat hingga wajahnya turut berubah, ia menjerit ketika ia tanya, "Apakah ibumu bernama Gie?" tanyanya. "Huruf "Gie" dari ibunya Ceng Ceng beda dari huruf "Gie" dari "Saat Gie" namanya ayah si nona, Ceng Ceng manggut dengan perlahan Ho Ang Yo berduka berbareng panas hatinya, hingga ia kertak gigi,
"Baik, baik!" katanya dengan sengit "Meskipun disaat kematianmu kau masih ingat saja si perempuan hina dina! Sampai kau gigit tusuk kondenya!" Mengawasi dua huruf "Oen Gie" yang terukir di gagang tusuk konde, sinar matanya uwa ini bagaikan api hendak menyambar, dalam sengitnya, ia masuki tusuk konde itu ke dalam mulutnya, terus ia gigit dan ganyam hingga mulutnya itu mengeluarkan darah. Ceng Ceng lihat kelakuan itu, ia percaya, pikiran sehat dari Ho Ang Yo sudah menjadi kabur ia pun insyaf, saat yang paling berbahaya bakal sampai, maka lantas saja ia keluarkan guci kecil yang memuat abu ibunya, ia buka tutup guci, akan tabur isinya ke dalam lubang, supaya bercampuran sama tulang-tulang rerongkong ayahnya,
Ho Ang Yo bengong mengawasi kelakuan si nona ini. "He, kau lagi bikin apa?" tegurnya kemudian. Ceng Ceng tidak berikan jawaban hanya setelah menuang habis, ia keruki tanah untuk dipakai menutupi lubang kubur itu, di dalam hatinya, ia muji. "Ayah dan ibu, harap ketahui, anakmu sudah kubur ayah dan ibu bersama-sama...." Ho Ang Yo sambar guci kosong, ia pandang sebentar, segera ia sadar. "Ha! ini jadinya abu ibumu!" serunya, Ceng Ceng manggut dengan perlahan Cepat luar biasa tangannya si uwa menyambar, Ceng Ceng lihat itu, ia berkelit, tidak urung pundaknya terkena juga, hingga ia terpelanting hampir ia rubuh. Ho Ang Yo lantas menjerit-jerit, "Aku larang kau kubur mereka bersama-sama. ia jadi seperti kalap, dia garuki lagi tanah untuk dibongkar pula, Akan tetapi abu sudah bercampuran sama tulang-tulang dan tanah tidak dapat di angkat untuk dipisahkan lagi, Tapi dalam sengitnya, uwa ini tarik keluar semua tu!ang, "Aku nanti bakar kamu menjadi abu!" teriaknya, "Aku nanti sebar abumu di kaki gunung Hoa San ini supaya terbang berhamburan ke empat penjuru, buyar ke segala jurusan, hingga kau tidak dapat berkumpul sama si kacung hina dina!" Ceng Ceng menjadi gusar berbareng sibuk, ia tubruk si uwa untuk mencegah, ia menyerang, akan tetapi ia kalah kosen, baru beberapa jurus saja ia telah kena dirubuhkan, Untung untuknya, uwa ini tidak serang ia dengan kuku-kukunya yang lihay, Ho Ang Yo buka baju luarnya, untuk pakai itu sebagai umpan api setelah tulang ditumpuk di atas bajunya itu, ia mulai sulut itu. Kemudian ia kipasi api menjadi berkobar Dilain saat tulang-tulang telah mulai terbakar nyala, hingga asap lantas mengulak di dalam kamar batu itu. Memandang tulang-tulang terbakar Ho Ang Yo tertawa berkakakkan, tandanya ia sangat puas, Tiba-tiba saja ia melengak tatkala merasakan bau asap yang luar biasa, segera ia berteriak "Hee-Iong, oh, bagaimana kau kejam!" Ceng Ceng juga lantas merasakan bau asap yang luar biasa itu, selagi ia merasa heran, ia pun segera merasakan kepalanya pusing, matanya kabur, hingga ia jadi kaget Tapi ia masih bisa lihat si uwa bengis menghadapi api unggun yang luar biasa itu berulang-ulang dia menyedot dan mengeluarkan napas, akan akhirnya dia berseru beru1ang-u!ang. "Baik, baik! Memangnya ingin aku mati bersama-sama kau." Mendadak saja ia angkat kepala, akan berpaling kepada Ceng Ceng. Nona ini menjerit sekuat-kuatnya kapan ia tampak wajah bengis orang yang menakutkan, ia balik tubuhnya, akan lari ke arah mulut gua, akan tetapi baru ia lari beberapa tombak, tak tahan ia dengan rasa pusingnya, begitu kakinya dirasakan lemas, ia terus saja rubuh, Sin Cie sementara itu kaburkan kudanya bersama-sama kawannya, ia bisa menduga dua binatang berbisa dari Ho Ang Yo di rumah makan adalah si uwa sedang memanggil kumpul-kumpul anggota-anggota Ngo Tok Kauw untuk ikuti jejaknya, ia ngerti ancaman apa menghadapi Ceng Ceng. Tidak perduli di tangan siapa kaum Cio Liang Pay atau Ngo Tok Kauw Ceng Ceng mesti bercelaka juga, Maka itu, ia gelisah bukan main. Di sepanjang jalan sambil tanya sana sini, Sin Cie dengar hal hal kebinasaannya tiga di antara empat jago Cio Liang Pay ia dapat menduga kepada mereka itu, karena di situ tidak ada lain orang yang berombongan sebagai tertua-tua dari Cio liang Pang itu, ia jadi sangat berkhawatir, hingga ia jadi tidak nafsudahar, tidak tenang tidur Apa yang juga rada melegakan hatinya adalah jurusan yang diambil oleh orang-orang Cio Liang Pay itu ada jurusan Hoa San. Dengan begitu, tidak usahlah ia menjadi nyasar diwaktu mengikuti jejak mereka itu, dan tidak usah ia gagal menghadapi rapat kaumnya, Begitulah mereka telah mendekati kaki gunung, Ang Seng Hay bermata jeli, selagi singgah sebentar di paseban, ia tampak gundukan tanah yang mencurigai, lantas saja ia bongkar gundukan tanah itu, hingga untuk kegirangannya, ia dapati mayatnya Oen Beng Tat. "Dengan matinya dia ini, pasti Ceng Ceng telah jatuh ke dalam tangan Ngo Tok Kauw," Sin Cie beri kepastian, "Mari kita lekas susul ke atas gunung!" An Toa Nio menghiburi, dia kata, "Sekarang ini saat rapatnya Hoa San Pay, umpama kata Bok Locianpwe sendiri masih belum datang tetapi Oey Cin Suheng atau salah satu di antaranya tentu sudah sampai lebih dahulu, Maka itu apabila kaum Ngo Tok Kauw naik ke gunung, pihakmu pasti akan beri pertolongannya kepada Nona Hee itu."
"Jikalau Ngo Tok Kauw berani mendaki Hoa San, pasti mereka sudah siap sedia dari siang-siang!" Sin Cie bilang, "Maka itu kita mesti jaga supaya jangan ada orang kita yang rubuh di tangan orang-orangnya berbisa itu...." inilah kekhawatiran yang bertambah-tambah dari si anak muda, "Kalau Couwsu juga telah datang apa yang kita mesti jerikan?" kata Cui Hie Bin. "Mari lekas kita mendaki gunung!" Oleh karena kuda tak dapat mendaki gunung, semua kuda lantas dititipkan pada seorang desa, dengan jalan kaki dengan berlari-lari, orang mulai mendaki gunung, Selagi mendaki puncak, Sin Cie dengar suara-suara mengaung di udara, tanda dari senjata-senjata rahasia, segera ia jadi girang seka1i. "ltulah Bhok Siang Tojin di atas! Dia lagi memanggil kita!" katanya dengan kegirangan ia keluarkan tiga biji caturnya ia pun menimpuk ke udara sampai sekejap saja, tiga biji senjata rahasia itu lenyap sendirinya, akan lagi sebentar tiga-tiganya tampak pula sedang turun ke arah mereka. "Sungguh hebat, siauw susiok!" Hie Bin memuji, Sin Cie niat tanggapi ketiga biji caturnya, ketika tahu-tahu muncul beberapa senjata rahasia lain dari arah samping, yang menimpa ketiga biji catur itu hingga tiga-tiganya jatuh. Menyusul itu muncullah satu orang dengan sebelah tangannya mencekal shuipoa, alat penghitung, yang digoyang pergi datang, sembari dia itu tertawa gembira, "Suhu," seru Hie Bin, apabila ia tampak orang itu. "Suhu sudah datang lebih dahulu." Orang itu memang Tong-pit Thie shuiphoa Oey Cin. Lantas Hie Bin lari kepada gurunya itu, tanpa perdulikan tempat itu tempat apa, ia jatuhkan diri untuk berlutut, untuk paykui tiga kali, maka waktu ia sudah berbangkit kelihatan jidatnya benjut! Sebab ia manggut-manggut sampai membentur batu gunung,... Melihat kelakuan tunangannya itu Siauw Hui mendongkol berbareng merasa kasihan ia mendongkol melihat ketololan orang tapi berkasihan dan terharu melihat kejujurannya, Ketika Hie Bin kembali padanya ia lantas sesali, Tapi Hie Bin tidak memperdulikannya dia hanya tertawa saja. Sin Cie hampirkan suheng itu, untuk beri hormat akan tanyakan ini dan itu sejak mereka berpisah, sebagaimana sang suheng juga menanyakan dia. Kemudian, selagi ia hendak tanya suheng itu kalau-kalau dia lihat Ceng Ceng atau orang Ngo Tok Kauw, sekonyong-konyong Tay Wie dan Siauw Koay berpekik beru1ang-ulang, terus saja keduanya lari ke arah jurang,
"Celaka, mereka minggat!" teriak Hie Bin. ia mau mengejar untuk melawan "lni ada tempat asal mereka mau pergi biarkan saja," Sin Cie bilang, Meski ia mengucap demikian pemuda ini heran juga sebab melihat dua binatang piaraan itu pergi tanpa sikap ragu-ragu, hingga ia mengawasi saja sampai keduanya pergi jauh, Selagi Sin Cie mengawasi, tiba-tiba ia lihat asap mengepul dari arah guanya Kim Coa Long-kun, ia menjadi kaget Adalah ke sana Tay Wie dan Siauw Koay lari, lalu di sana kedua binatang itu goyang pulang pergi tangannya seperti menunjuk ke tempat asap, seperti memanggil mereka, Siauw Hui juga lihat sikapnya kedua binatang itu, Toako dua binatang itu bukannya buron," katanya. "Lihat mereka lagi manggil-manggil kau!"
"Benar!" jawab Sin Cie, yang terus menerjang A Pa, untuk memberi tanda dengan tangannya. Melihat demikian, A Pa segera lari ke gua mereka sendiri, untuk ambil dadung dan obor, lantas dengan diikuti kawan-kawannya ia lari ke arah jurang,
"Nanti aku yang masuki gua itu!" kata Sin Cie yang bilang, cuma ia sendiri ketahui baik keadaannya gua itu. ia terus robek ujung bajunya, guna dipakai menyumpal hidungnya Dengan sebelah tangan memegang obor, pemuda ini turun di dadung, yang sudah dipasang A Pa. Tay Wie dan Siauw Koay masih berpekik saja, kaki dan tangannya tidak berhentinya digerak-geraki, nampaknya mereka sangat gelisah, sebentar saja, Sin Cie sudah sampai di dalam gua, Segera ia diserang asap, hingga ia merasakan sukar bernapas. Untung baginya, hidungnya telah disumpal siang-siang, ia maju terus sambil berlari di jalan gua itu, sampai ia tampak satu tubuh manusia rebah di tengah terowongan, ia kaget kapan ia telah lantas kenali Ceng Ceng. ia segera membungkuk ia taruh tangannya di depan hidung si nona, ia tidak rasai hembusan napas, akan tetapi waktu ia meraba dadanya, ia dapatkan dada itu turun naik dengan perlahan sekali, Di saat itu Sin Cie juga lihat seorang lain di dalam gua, ia pun sedang rebah. MuIanya ia niat hampirkan orang itu, atau mendadak ia rasakan kepalanya pusing, matanya kabur, berdirinya pun limbung, hampir saja ia rubuh, Maka segera ia insyaf, asap itu mengandung racun, Tidak ayal lagi ia angkat tubuh Ceng Ceng, untuk di-pondong keluar ia sambar dadung yang terus tarik-tarik, A Pa terus tarik naik dadung itu, ia dibantu Seng Hay, hingga dalam tempo yang cepat, Sin Cie sudah bergelantungan dengan sebelah tangannya tetap me-mondong Ceng Ceng, Di sini di luar gua, baru Sin Cie berani bernapas, ia menahan sebisa-bisanya, Baru dua kali ia bernapas, ia merasa perutnya mual, tanpa tertahan lagi ia muntah-muntah, Semua orang di atas jadi berkhawatir, Kalau anak muda ini tak dapat pertahankan diri asal cekalannya terlepas, celakalah dia berdua Ceng Ceng, Maka itu, walaupun mereka menarik dengan cepat, A Pa dan Seng Hay toh berhati-hati, supaya mereka tidak menarik dengan kaget! Ciu San bersama He Bin dampingi dua orang itu, untuk berikan bantuan mereka kalau saja A Pa dan Seng Hay membutuhkan itu, Mereka juga siap untuk sambuti Sin Cie. Selagi itu dua orang terangkat hampir sampai, mendadak terdengar suara nyaring dari arah gua, seperti gua itu meledak gempur, lantas kelihatan asap mengepul naik dan batu-batu terbang berhamburan. Semua orang terperanjat tidak terkecuali Seng Hay, hingga ia hampir lepaskan cekalannya, syukur A Pa si gagu yang pekak, tidak dengar apa-apa dan masih menarik dengan tenang, Diakhirnya, untuk kelegaan semua orang, sampailah Sin Cie di atas, Akan tetapi setelah ia injak batu gunung, kakinya lemas, lantas saja ia rubuh, lupa akan dirinya, Ketika itu Bhok Siang Tojin pun sudah berkumpul di antara mereka, maka guru ini segera tolong muridnya, juga Ceng Ceng untuk pijat dan uruti mereka, Dari dalam gua, suara peledakan masih menyusul berulangkali Orang tidak tahu apa yang menyebabkan itu dan beberapa banyak tersimpannya bahan peledak di da!am-nya. Orang saling memandang dengan merasa heran, Tidak antara lama, Sin Cie sadar, lantas ia bernapas dengan beraturan ia merasa sangat lelah, "Sungguh berbahaya..." ia mengeluh sebentar lagi, Ceng Ceng pun ingat akan dirinya akan tetapi begitu lekas ia buka mata dan lihat si anak muda," ia lepaskan tangisan, Baru sekarang semua orang berhati lega, Untuk scmentara, Bhok Siang antapkan muridnya itu beristirahat di situ, sedang suara perledakan sudah berhenti, tinggal asapnya yang masih sedikit mengepul "Nanti aku lihat!" kata Hie Bin dengan berani. Ciu San setuju, ia ikat orang punya pinggang, akan kasih turun anak muda itu, yang dipesan mesti lantas membetot dadung andaikata ada ancaman bahaya di gua itu. Kapan Hie Bin sampai di lubang gua, ia tidak lihat suatu apa, karena lubang itu telah tertutup rapat, hingga terpaksa ia mesti kembali dengan tangan kosong, Sin Cie tuturkan bagaimana ia ketemukan Ceng Ceng, sedang Ceng Ceng ceritakan pengalamannya yang penuh bahaya di dalam gua itu menghadapi Ho Ang Yo yang sudah kalap, Mendengar itu, Bhok Siang Tojin menghela napas, "Ketika baru ini aku lihat panahnya Kim Coa Long-kun yang disembunyikan di dalam peti, aku sudah kagumi kepintarannya," berkata imam ini, "Siapa sangka sekarang terbukti kepintarannya begini luar biasa, Jauh sekali pandangannya...."
"Siapa juga tidak akan menyangka sekali pun di dalam tengkorak dia masih simpan bisa," nyatanya Oey Cin yang tidak kurang kagumnya, "Suhu, inilah aneh!" seru Hie Bin si sembrono, "Ba-gaimana bisa itu bisa disimpan di dalam mulut tengkorak? Dia toh sudah mati dia tinggal rerongkongnya saja?" Oey Cin tertawa, tetapi dia kata, "Nanti saja kau coba sendiri, sesudah kau mati!" Guru ini sebal-sebal geli untuk ketololan muridnya ini. Tentu saja semua orang tertawa ramai, "Orang tidak tahu makanya dia menanya..." mendumal si pemuda she Cui itu. "Hee Losu Kim Coa Long-kun ada seorang pintar luar biasa dan sangat teliti." Sin Cie kasih tahu, "Dia tahu bahwa semasa hidupnya dia mempunyai banyak musuh, dia mestinya telah menduga walaupun dia sudah mati, mesti ada musuh-musuhnya yang bakal terus cari pada-nya, untuk musnahkan tulang-tulangnya, dari itu karena dia sendiri ada ahli bisa, dia lantas buatkan persiapannya disaat dia hendak hembuskan napasnya yang terakhir Secara demikian, sampai dia sudah tinggal rerongkong-nya, dia masih bela dirinya...."
Mendengar ini Hie Bin tepok pahanya, "Sekarang tahulah aku!" dia berseru. "Dengan persiapannya itu, kalau nanti ada orang bakar tulang-tulangnya, maka racun yang disembunyikan di dalam tutang-tu!ang itu nanti bekerja sendirinya...", Hanya...." kata dia pula bilang sesaat "Kenapa gua itu bisa meledak? Apakah dia simpan juga bahan peledak di dalam tu1ang-tulangnya itu?" Kembali orang bersenyum karena pertanyaan ini. "Masa dia sembunyikan bahan peledak di dalam tulang-tulangnya?" kata Siauw Hui, "Pasti dia sembunyikan itu di dalam tanah!" Sin Cie tidak perhatikan kata-kata orang itu, ia manggut-manggut, ia menghela napas pula, "Adalah keinginannya ibunya adik Ceng supaya ia dapat dikubur bersama suaminya, sekarang keinginannya itu telah tercapai," katanya, Hie Bin sendiri masih saja terheran-heran, hingga ia ulur lidah nya. "Kim Coa Long-kun benar-benar lihay!" katanya, "Dia sudah menutup mata belasan tahun lamanya, dia masih bisa layani musuh-musuhnya. Sudah selayaknya saja kalau wanita tua dan jahat dari Ngo Tok Kauw itu nerima kebinasaannya." "Meskipun dia jahat, akan tetapi cintanya adalah sejati harus dihargai," Sin Cie bilang, "Dia bersengsara karena cinta...." Siauw Hui sementara itu usap-usap kepalanya Tay Wie dan Siauw Koay, "Kalau tidak getapnya mereka ini, asal lambat sedikit saja oh, bagaimana hebatnya kejadian ini." katanya, "Ya, itu benar," kata beberapa orang. Maka sekarang orang kagumi kedua binatang piara-an itu yang mempunyai perasaan luar biasa. Sampai di situ orang berangkat ke dalam gua, An Toa Nio dan gadisnya memayang Ceng Ceng yang masih lemah sekali, Dia telah ditukari pakaiannya lantas di-rebahkan di atas pembaringan untuk dia beristirahat Bhok Siang lojin berikan obat pulung, untuk punahkan racun, akan tetapi itu tidak lekas dapat menolong, karena racunnya Kim Coa Long-kun lihay sekali dan Ceng Ceng terkenanya cukup lama, Malah selang satu malam, mukanya si nona menjadi berobah hitam, keadaannya jadi bertambah berat, ada kalanya dia jadi tak sadarkan dtri, atau kalau dia mendusin, dia lantas menangis sendirinya, dia mengaco, Dalam tidurnya dia suka mengimpi, dia suka mengigau dengan katakan Sin Cie tidak punya budi rasa....Sin Cie sendiri jadi sangat lesu dan putus asa, hingga melihat dia, orang merasa kasihan, malah orang ber-khawatir untuk kesehatannya. Kapan anak muda ini ditinggal berduaan saja sama Ceng Ceng, yang rebah tidak berdaya ia coba hiburkan nona itu, ia berikan janjinya bahwa ia tidak mencintai nona lain siapa juga,
Ceng Ceng tidak bilang suatu apa, masih saja dia suka keluarkan muntah cair hitam, mukanya sendiri kadang-kadang bersemu merah dadu tetapi lebih banyak hitam-nya. Sin Cie lihay ilmu silatnya, sekarang ia habis daya. Maka ia lebih banyak bercokol atau rebah dengan air mata berlinang-linang, ia tidak punya obat untuk tolong kekasih ini, karena mustika kodok es sudah Habis, Di luar orang ramai bicarakan Kim Coa Long-kun. Biar bagaimana orang anggap jago Ular Emas ini telah membahayakan anak dara nya sendiri.... Karena ini orang umumnya tidak gembira. Dihari itu mendekati magrib, Tay Wie dan Siauw Koay perdengarkan suara mereka yang berisik. Nyata telah datang rombongannya Kwie Sin Sie suami istri serta murid-murid mereka ialah Bwee Kiam Hoo. Lauw Pwee Seng, Sun Tiong Kun dan lainnya, jumlah berenam Kapan Kwie Jie Nio dengar Ceng Ceng terkena racun ia berikan sisa obat anaknya yaitu hok-leng dan ho-siu-auw. Setelah makan obat ini, Ceng Ceng bisa tidur dengan tenang, Ketika sang magrib datang, murid kepala dari Oey Cin datang bersama delapan suteenya serta dua putranya, Lebih dulu mereka kasih hormat pada Bhok Siang Tojin, baru guru mereka jie susiok Kwie Sin Sie suami dan istri, Murid kepala dari Oey Cin itu lihat Sin Cie, sang sam-susiok masih muda daripada anaknya yang pertama, maka untuk tekuk lutut di depan paman guru ketika ini, ia merasa sungkan, Maka itu ketika ia toh memanggil. "susiok", ia tetap ragu-ragu. Sin Cie lihat ini sutit, keponakan murid, berumur empat puluh lebih, dadanya lebar, pinggangnya tegar, suatu tanda tubuhnya kuat, sedang tubuh itu ada terlebih tinggi daripada tubuhnya sendiri Maka diam-diam ia memuji ia anggap pantas toa-suhengnya punyakan murid yang beroman gagah ini. Dia ini beda sangat jauh dari Hie Bin si toloL "Tidak usah berlutut," ia mencegah, ketika ia tampak sembilan sutit itu hendak berlutut di depannya. "Jangan pakai banyak adat peradatan!" Segera Hie Bin perkenalkan saudara seperguruannya yang tertua itu. "Toasuheng ini she Phang bernama Lan Tek," kata-nya, "Di dalam kalangan kang-ouw dia digetarkan Pat-bin Wie-hong." (Gelaran itu mempunyai arti "Keangkeran di delapan penjunu), "Pasti saudara Phang telah mewariskan kepandaian toasuheng," Sin Cie bilang, Phang Lan Tek merendahkan diri Oey Cin tidak bilang suatu apa murid kepalanya itu tidak tekuk lutut terhadap sutee buncit itu, terutama sebab ia tahu, muridnya ini telah punyakan nama baik, ia sendiri juga memang paling sedernana, Sesudah itu baru Lan Tek suruh dua putranya berlutut kepada semua orang yang lebih tua, mulai dari Bhok Siang Tojin sampai pada Kiam Hoo berantai Dua anak itu ada Phang Put Po yang lebih tua, usianya dua puluh satu tahun, dan Phang Put Cui yang kedua, yang baru berumur tujuh belas, Untuk di wilayah Kam Liang, karena mengandal pada nama ayahnya, mereka telah punya nama juga, sedang kepandaian mereka sendiri boleh dibilang sudah cukup berarti sekarang Put Po lihat, paman gurunya yang termuda baru berumur kurang lebih dua puluh tahun, maka walaupun mereka berlutut, hati mereka tidak puas, Mustahil orang dengan usia demikian muda menjadi yang tertua lebih tinggi dua tingkat derajatnya? Mereka juga tidak melihat mata karena tampak susiok itu beroman lesu dan kucel air mukanya, bekas-bekas air matanya masih belum lenyap, Dua saudara Phang itu bergaul rapat dengan murid-murid nya Kwie Sin Sie suami istri, malah mereka tahu, Sun Tiong Kun adalah yang paling jumawa dan kepala besar, ilmu silatnya pun sempurna, maka diam-diam mereka ini berdamai untuk sebentar ogok-ogok si Nona Sun, agar dia coba-coba kepandaiannya paman cilik itu, ingin mereka membuat paman guru cilik itu dapat malu di depan sucouw dan guru dan paman guru mereka, Mereka percaya, umpama ayah mereka ketahui perbuatannya tidak nanti mereka dipersalahi., Begitulah besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, lantas mereka pergi keluar, akan cari Sun Tiong Kun, Kebetulan, mereka ketemu Cio Cun, susiok mereka yang ke delapan, Cio Cun ini juga muda usianya dan gemar cari gara-gara ilmu silatnya berimbang sama mereka berdua saudara sebab di pipi kanannya ada tahi lalat biru orang juluki dia Chee-bian-sin, Malaikat Muka Biru, Dia ingin menegor kapan dia saksikan roman luar biasa dari engko dan adik itu, "Hai, katamu bikin apa?" demikian teguran nya.
"Kita lagi ajari Sun Su kouw!" sahut Put Cui sambil tertawa, "Katakan selama di Shoatang, su-kouw sudah rubuhkan banyak orang Put Hay Pay, maka kita ingin dia beri penuturan kepada kita."
"Bagus!" Cio Cun nyatakan akur. "Tadi aku lihat dia lagi berlatih sama Bwee Suko, mari kita tengok padanya!" Lantas tiga orang ini lari ke gunung belakang, Di sepanjang jalan, dua saudara Phang ini pikirkan, kata-kata apa mesti dihaturkan kepada Sun Tiong Kun supaya sukouw itu sang bibi guru jadi panas hatinya terhadap Sin Cie. "Jikalau dia sedang berlatih pedang, baik bilang saja Wan Siauw-susiok-couw cela ilmu pedangnya itu," kata Put Cui. "Akur!" sahut Put Po sambil tertawa. Selagi mereka mendekati ke tempat di mana katanya Sun Tiong Kun dan Bwee Kiam Hoo lagi berlatih silat, tiga orang ini sudah lantas dengar suara nyaring dan bengis dari Sun Tiong Kun seperti sang bibi guru lagi damprat orang, Mereka heran, maka mereka lari untuk lekas menemui. Kelihatan Sun Tiong Kun lagi kejar seorang lelaki umur tiga puluh tahun lebih, dia ini sambil lari sambil mengupat caci mengatakan Sun Tiong Kun sebagai "wa-nita bangsat! dan "wanita hina dina", Tidak selamanya dia lari terus, Karena dia pun mencekal golok, saban-saban ia berhenti, untuk lakukan perlawanan Nyata dia kalah lihay, saban-saban ia lari pula, kalau kecandak, kembali dia bikin perlawanan Dia mencaci terus selagi si nona damprat ia berulang-ulang, "Mari kita pegal binatang itu, supaya dia tidak mampu lolos!" Put Cui mengajak, Secara kalap terdengarlah suaranya orang yang dikejar-kejar Sun Tiong Kun itu, "Kau telah bunuh istriku serta anak-anakku, maka kenapa kau bunuh juga ibuku yang sudah berumur tujuh puluh tahun lebih?" Air mukanya Sun Tiong Kun merah padam "Manusia tidak punya malu!" si nona mendamprat. "Umpama kala di rumahmu ada terlebih banyak orang lagi, aku pun akan bunuh semua!"
Mereka itu berkelahi dengan sengit sekali, karena sama-sama sedang sangat mendongkol "Hai, kenapa Sun Su-kouw tidak pakai pedang?" seru Phang Put Po. "Dia menggunai sebatang gaetan, tak leluasa nampaknya gerakannya." Cio Cun dan Put Cui pun segera lihat, itu bibi guru lagi gunai senjata yang tidak cocok. Maka orang she Cio ini lantas cabut pedangnya ia balik itu untuk pegang tajamnya, "Sun Suci, sambut pedang ini!" kata dia sambil lemparkan pedangnya itu, Berbareng sama terlemparnya pedang, dari sam-ping, di mana ada pepohonan lebat, melesat satu bajangan, yang terus sambuti pedang itu, akan talangi Tiong Kun. Ciu Cun bertiga terperanjat melihat kesehatan orang, kemudian mereka jadi kenali, bajangan itu adalah Bwee Kwie Hoo, murid kepala dari Kwie Sin Sie, Susiok Couw mereka, "Bwee Susiok!" Cio Cun memanggil "Ya," Bwee Kiam Hoo menyahuti, sambil manggil, setelah mana, dia lemparkan kembali pedang itu, seraya tambahkan, "Sun Su kouw telah pahamkan lain alat, tidak lagi pedang." Ciu Cun heran, hingga ia perdengarkan seruan tertahan ia memang tidak tahu, sebab Tiong Kun telengas, dia sudah dilarang memakai pedang, pertempuran masih berjalan terus, Lama-lama, orang lelaki itu repot juga, maka setelah terdesak hebat, tangannya kena ditendang si nona, goloknya terlepas, hingga dilain saat dadanya jadi terbuka untuk tusukan gaetan. "Tahan!" mendadak Kiam Hoo berseru dengan cegahannya, Sun Tiong Kun heran, hingga ia tunda serangannya, karena mana, lawannya itu dapat kesempatan untuk angkat kaki ke arah bawah gunung, "Kasih ampun pada nya!" kata Kiam Hoo sambil tcrtawa, "Biarlah sucouw nanti beri pujian padamu!" Sun Tiong Kun bersenyum, Orang itu lari beberapa puluh tindak jauhnya, ia berhenti, akan putar tubuh nya, buat kembali caci musuh nya, ia mengatakan pula, "Perempuan bangsat! perempuan busuk dan hina!" Kali ini bukan cuma Sun Tiong Kun, juga Kiam Hoo dan Cio Cun serta kedua saudara Phang turut jadi gusar Put Cui sampai mencaci. "Makhluk apa itu berani datang mengacau di Hoa San?" Dengan bawa ruyung besi nya, ia lantas mengejar Sun Tiong Kun dalam murkanya sesumbar "Jikalau aku tidak bunuh binatang itu, aku sumpah tak mau jadi manusia! Aku tidak perduli biar Sucouw kutungi lagi sebatang jerijiku!" Dia pun mengejar seraya putar gaetannya, Bwee Kiam Hoo paling sayangi sumoay ini, dipihak lain, ia khawatir sang sumoay nanti kembali bunuh orang, untuk cegah itu, ia ingin mendahului bekuk orang itu. untuk hajar adat pada nya, supaya adik seperguruan ini puas hati, maka itu ia pun berlompat lari akan mendahului ilmu entengkan tubuhnya ada di atas semua kawannya itu sebentar saja ia sudah berada di sebelah depan mereka. Musuhnya Tiong Kun itu tampak gelagat jelck, dia lari ke kiri di mana kebetulan ada jalan cagak, Cio Cun bersama dua saudara Phang segera menyerang dengan senjata rahasianya masing-masing, Baru hui hongsek dari Put Po menuju ke arah bebokongorang itu, Dia ini gesit, dia bisa dengar sambaran angin, maka ia berkelit ke kanan. Tetapi "Sreet!" panah tangan dari Ciu Cun mengenai kempolannya, bahna sakit, ia ter-huyung-huyung terus dia rubuh terguling. Disaat itu, Bwee Kiam Hoo sudah sampai dia lompat untuk mencekuk, Berbareng dengan itu dari samping terdengar desiran angin, menyambar ke tubuh orang itu, tubuh siapa dilain saat sudah lantas mencelat hampir menubruk orang she Bwee ini. Kiam Hoo terkejut, dia berkelit ke samping, sekarang dia bisa lihat tubuh orang itu kena terkelit beberapa puluh lembar tambang dan telah terbetot Sun Tiong Kun dan yang lainnya memburu sampai di situ, mereka lihat kejadian itu, mereka terperanjat Nyata orang yang toIongi orang yang dikeroyok itu ada satu wanita yang cantik, bajunya putih bagaikan salju, rambutnya yang panjang terurai ke bcIakang. Tetapi nona ini tak bersepatu dan kedua kaki dan tangannya memakai gelang emas, dandanannya bukan dandanan orang Han, bukan orang suku bangsa Ie. Dan sehabis menolongi dia lantas berdiri diam sambil tertawa manis, juga di tangan kanannya, yang putih seperti salju, ada terpegang setabung tambang entah terbuat dari kawat entah dari benang, Dan di belakang si cantik ini berdiri lagi satu wanita muda yang tubuhnya tertutup jubah putih dari kepala sampai ke kaki, hingga terlampak saja wajahnya, Dia beroman cantik tetapi kulitnya pias, tidak gembira, Mereka ini adalah Ho Tek Siu dan A Kiu. Dilain harinya setelah keberangkatan Sin Cie berantai meninggalkan kota raja, Ouw Kui Lam dapat kaburnya halnya Wan Peng tertampak empat jago tua Cio Liang Pay serta Ho Ang Yo berikut Ceng Ceng, maka se pulangnya ia terus beritahukan itu padanya, ia terus beritahukan itu pada kawan-kawannya, Mendengar halnya ada binatang berbisa dipantek di pojok lemKok, Ho Tek Siu tahu itulah tanda Ngo Tok Kauw untuk mcngumpuIi orang, ia jadi khawatir Ceng Ceng dapat celaka, ia jadi niat memberi pertolongan kepada si nona, untuk kebaikan Sin Cie. Untuk segera berangkat ia bersangsi ia sudah janjikan Sin Cie akan rawati A Kiu. Bukankah keadaan di kota raja masih kalut? Bukankah A Kiu ada putri raja yang menarik perhatian umum? Maka tidak dapat ia tinggalkan A Kiu seorang diri di kota yang berbahaya itu. Hebat kalau sampai putri ini menghadapi sesuatu, Sesudah lama bersangsi, akhirnya ia ambil putusan akan ajak tuan putri ini. Ketika A Kiu diberitahukan bahwa ia hendak diajak pergi susul Ceng Ceng, dia menyatakan akur, maka itu, malam itu mereka menulis surat, dan setelah dengan diam-diam A Kiu bersembahyang di kuburan ayahnya, almarhum kaisar Cong Ceng, ia ikut Tek Siu berangkat dari kota raja, A Kiu belum sembuh betul dari lukanya, akan tetapi ia dapat pelayanan istimewa dari Tek Siu, seorang yang banyak pengalamannya yang pun anggap ia sebagai adik kandungnya, maka walaupun perjalanan dilakukan cepat, ia tidak terlalu menderita, Selama di tengah perjalanan, lukanya terus mendapat kemajuan, ia jadi sangat bersyukur kepada bekas kauwcu dari Ngo Tok Kauw itu hingga keduanya jadi rapat betul satu dengan lain, Ketika hari itu mereka mendaki Hoa San, kebetulan mereka saksikan Ang Seng Hay sedang dikepung Sun Tiong Kun beramai maka Tek Siu dengan bandringan Joan-ang-cu-so, "benang kawa-kawa" sudah lantas tolongi orang she Ang itu, Memang Seng Hay adalah orang yang hendak ditangkap Kiam Hoo itu. Dua-dua Bwee Kiam Hoo dan Sun Tiong Kun tidak tahu yang Ang Seng Hay telah turut Sin Cie, mereka juga tidak tahu Ho Tek Siu dan A Kiu orang-orang macam apa, tentu saja mereka jadi gusar, sebab mereka dapat anggapan, orang-orang asing ini berlaku kurang ajar di atas gunung Hoa San, yang menjadi daerah pengaruh mereka, "Siapa kamu?" Tiong Kun membentak "Apakah kamu semua dari Pun Hay Pay?"
Ho Tek Siu tidak gusar karena teguran itu, ia malah tertawa terus, "Enci apa shemu yang mulia dan namamu yang besar?" ia tanya dengan hormat "Entah di dalam hal ini telah bersalah terhadapmu Apakah boleh siauwmoay membikin akur kamu berdua pihak?" Ho Kauwcu sengaja membahasakan diri "siauwmoay" - adik yang kecil Tiong Kun dengar suara merdu orang tetapi suara itu mengandung sedikit kejumawaan, sedang dandanan orang luar biasa. ia tetap tidak senang, "Kamu siluman dari mana?" tanya dia. "Apakah kamu tahu ini tempat apa?" Tek Siu tidak jawab pertanyaan sombong itu, ia tertawa saja, "Nona Ho, bangsat perempuan ini ada manusia paling jahat!" Seng Hay kasih tahu, "Dia yang dipanggil Hui Thian Ho-Iie si Hantu Wanita, istri serta anak-anakku, juga ibuku yang sudah berumur tujuh puluh lebih, semua terbinasa di tangan dia!"
Seng Hay gusar sekali, hingga matanya bersinar mirip api. Mendengar perkataan Seng Hay ini, Bwee Kiam Hoo lantas ambil sikap lain. Memang sejak di Kim-Ieng ia peroleh pengajaran dari Sin Cie, ia telah jadi kuncup banyak, ia juga mengerti, couwsunya bakal datang kalau tidak hari ini, tentu besok, maka ia anggap baik jangan timbulkan onar "Sudah pergi kamu turun gunung, jangan bikin rewel di sini!" katanya dengan maksud menyudahi urusan. Phang Put Cui pun turut berkata. "Kamu dengar tidak perkataan susiok ku ini? Lekas kamu pergi, lekas!" ia lompat mendekati A Kiu niatnya untuk mengusir. Nona ini memegang tongkat bambu Ceng-tiok-thung di tangan kanannya, ia mengawasi dengan roman agung, Biar bagaimana, dia adalah putri raja, dia mempunyai keangkuhan dan keangkerannya sendiri, Maka melihat sikap itu Put Cui heran. "Apakah kamu datang untuk antari jiwa?" akhirnya Put Cui menegur ia tidak takut, sebaliknya ia jadi gusar: ia lantas ulur tangannya akan sambar baju A Kiu, guna dorong putri ini. Meski ia belum sembuh anteronya dari lukanya, kendati tangannya tinggal sebelah A Kiu tidak lupa ilmu silatnya warisan dari Thia Ceng Tiok, kematian siapa membuat ia sangat bersih- Maka itu tidak senang ia lantas perlakukan kasar dari pemuda itu, Tanpa bilang suatu apa, ia geraki tongkatnya, Tiba-tiba saja Put Cui menjadi limbung, terus ia rubuh celentang, Tetapi ia tidak dilukai, begitu bebokongnya kena tanah ia bisa kerahkan tenaga untuk mencelat bangun, ia masih muda dan tabiatnya keras, dibikin rubuh secara demikian gampang, ia jadi murka, mukanya menjadi merah. ia lantas angkat ruyungnya untuk menyerang, Tek Siu mengawasi kembali ia tertawa, Tuan-tuan tok dari Hoa San Pay?" katanya, "Kita adalah orang-orang sendiri!"
"Siapa sudi jadi orang sendiri dengan kamu siluman?" bentak Put Po. Bwee Kiam Hoo khawatir suasana jadi keruh, ia lantas kedipi dua saudara Phang itu, Sebagai seorang kang-ouw ia pun telah cukup berpengalaman, ia percaya nona di depannya itu bukan orang tanpa asal-usuL ia juga telah saksikan kepandaiannya, "Siapakah itu gurumu?" dia tanya, "Guruku she Wan," Tek Siu jawab, "Namanya di atas Sin, di bawah Cie. Guruku itu ada dari Hoa San Pay." Bwee Kiam Ho menoleh pada Sun Tiong Kun, selagi sumoay ini pun berpaling kepadanya sebab keduanya heran. Mereka sangsi, Cio Cun tapinya tertawa, dia kata. "Wan Susiok sendiri masih satu bocah cilik, ilmu silat kaum kita ia baru dapat pelajarkan tiga bagian, maka cara bagaimana dia boleh menerima murid?" Tek Siu tidak gusar, ia tetap tertawa, "Oh, begitu," tanyanya. Sun Tiong Kun pernah dapat malu dari Sin Cie, malah dia telah ditegur sucouwnya dan jari tangannya dibabat kutung maka biar bagaimana tidak puas hatinya, Sebagai orang perempuan, ia pun tetap kurang luas pandangannya, Kalau ia dengar orang sebut nama Sin Cie, ia jadi "gatal", kumat kebenciannya, Tapi susiok itu lihay, derajatnya tetap lebih tinggi, ia tidak bisa berbuat suatu apa, Lain dari itu, sekarang ini guru dan subonya hormati sekali paman guru cilik itu, yang pernah tolongi jiwa anak gurunya, dan saban menyebut nama Sin Cie, kedua guru itu nampaknya sangat berterima kasih hingga ia mesti telan saja kebenciannya, Tapi sekarang ia dengar nona asing ini ada muridnya itu paman guru cilik, tiba-tiba hatinya jadi panas pula, "Apa benar kau ada murid Hoa San Pay?" dia tanya dengan bengis. "Kenapa kau justru bergaul sama ini manusia tidak tahu malu?" Dia maksudkan Ang Seng Hay. "Dia adalah pengiring guruku," TekSiu jawab. Turut penglihatanku, dia bukannya tidak tahu malu! Eh, Seng Hay, kenapa kau menyebabkan nona ini gusar kepada-mu? Kau salah apa?" sementara itu ke situ telah datang Phang Lan tek bersama Lwee Seng dan lainnya, sebab mereka telah lantas dapat dengar suara berisik dari perselisihan itu, "Ayah," kata Put Po. "lni anak perempuan bilang dia ada seorang she Wan punya eh, muridnya siauw susiok-couw,.,."
"Hm! Apakah yang direwelkan?" Lian Tek tanya. Put Cui lantas dului kandanya, untuk memberi penuturan Di dalam tingkat ketiga dari Hoa San Pay, Phang Lian Tek adalah yang usianya paling tinggi, dia pun masuk belajar paling dahulu, maka itu dalam kalangan kangouw dia telah diperoleh nama, hingga dengan sendirinya, dia adalah kepala di dalam kalangannya itu. Ketika dia sudah dengar keterangan anaknya, dia lantas berpaling kepada Sun Tiong Kun. "Sun Sumoay, bagaimana duduknya maka kau bermusuhan dengannya ? ia tanya, ia maksudkan Seng Hay, Mukanya Tiong Kun menjadi bersemu merah. Kiam Hoo segera menalangi sumoay nya itu, "lni jahanam mempunyai satu kanda angkat," demikian katanya, "Dia tidak tahu selatan, dia berani melamar Sun Sumoay untuk dijadikan istrinya, karena itu, lamarannya ditolak, dia dimaki..."
"Dia mau terima baik atau menampik ia marah, itu memang ada hak dia!" Seng Hay nyeletuk. "Akan tetapi kenapa dia tebas kutung kedua kuping saudara angkatku itu?"
"Siapa tanya kau?" memotong Lian Tek dengan mata mendelik Bwee Kiam Hoo melanjuti, "Jahanam ini lantas kumpul sejumlah kawannya mereka gunai ketika selagi Sun Sumoay berada sendirian, mereka tangkap sumoay dan dibawa lari! Syukur aku bersama suhu keburu dapat tahu dan susul mereka dengan begitu sumoay dapat ditolong." Kedua matanya Lian Tek berputar, sinarnya tajam sekali, "Sungguh bernilai besar!" bentaknya kepada Seng Hay, "Jadi sekarang kau masih tidak puas mencari rewel?"
"Mereka menculik orang untuk dipaksa suka me-nikah, itu adalah salah mereka," kata Tek Siu yang belakan Seng Hay. "Untuk itu bukankah Sun Sumoay telah bunuh saudara angkatnya itu? Bukankah kau telah diperoleh kepuasan? Maka kenapa kau masih satroni rumah dia ini dimana kau binasakan lagi istrinya, anak-anaknya, dan ibunya yang sudah tua yang telah berumur tujuh puluh tahun lebih? Dalam hal ini aku ingin penjelasan!" Lian Tek semua lantas merasa, adik seperguruan itu benar keterlaluan "Pulang pergi, asalnya adalah kau yang jahat!" Put Po masih salahkan Seng Hay, "Sekarang orang sudah mati, habis kau hendak apakah?"
"Cukup!" Tek Siu memotong "Sebentar aku nanti menemui guruku, untuk minta dia yang kasih pertimbangannya."
"Wan Susiok beramai sedang repot, mereka tidak ada tempo." kata Lauw pwee Seng. "Mana suhu?" Kim Hoo tanya, "Suhu bersama subo, supeh dan susiok lagi repot berdamai untuk menolongi orang," Pwee Seng jawab, "Kalau begitu," Lian Tek bilang, "Baik ringkus dulu semua mereka ini! sebentar kita minta putusannya suhu dan susiok semua...." Put Po dan Put Cui menyahuti, lantas mereka maju untuk tangkap tiga orang itu. Put Cui tidak kapok. Tek Siu menjadi tidak puas melihat orang begini galak, Dia sudah tukar haluan, dia telah coba merubah adat, tetapi belum lenyap semua sifatnya sebagai kauwcu, kepala agama. Tadinya dialah yang biasa memerintah maka bagaimana sekarang ia yang hendak diringkus? walaupun ia mendongkol ia masih bisa tertawa geli, "Kamu hendak meringkus orang?" katanya, "Di sini aku ada sedia tambangnya!" Dia lantas acungkan Joan-ang Cu-so. Put Cui melotot "Siapa kesudian itu!" katanya. Dia lantas maju bersama saudaranya, untuk hampirkan Seng Hay, Bekas jago dari Put Hay Pay itu tentu saja tidak suka mendekati dirinya diringkus, Kalau tadi dia diam saja, dia suka mengalah kepada Ho Tek Siu, yang ia tahu ke-lihayannya dalam sepak terjang dan dalam ilmu silat
Disaat ketiga"orang itu hampir bergebrak, mendadak mereka dengar suara tertawa di samping mereka, dengan tiba-tiba saja dua saudara Phang merasa kaki meraka terangkat terangkat bersama-sama tubuh mereka, jumpalitan di atas tanah, seperti awan, hingga mereka kaget, semangat mereka seperti terbang, Sebelum mereka jatuh, mereka dengar pula suara tertawa tadi, disusul sama ajaran "Lekas bergerak dengan'Lee-hie hoan sin"! itulah ilmu yang paling rendah, tentu ayahmu sudah mengajari-nya...!" Phang Put Po turut itu ajaran, dia putar terus tubuhnya dengan gerakan "Lee hie hoan sin" itu ~ "lkan tambra lompat berbalik", maka ketika kedua kakinya turun ke tanah, ia berdiri dengan tetap, Tidak demikian dengan Put Cui, yang tabiatnya keras, dia justru mencoba menggunai gerakan "Hui pauw liu coan" atau "Air tumpah mengalirkan air", benar gerakannya bagus, tetapi dia terlambat, tubuhnya mendahului turun, hingga ia jatuh di tanah dengan duduk numprah, dia terbanting keras, hingga ia merasakan sangat sakit, sedang malunya bukan main, muka dan kupingnya menjadi merah.
Dua-dua mereka seperti tidak tahu kenapa tubuh mereka terangkat naik dan jadi jumpalitan di udara... Phang Lian Tek jadi sangat murka karena anaknya dipermainkan "Hai, siluman!" dia membentak. "Tapi kau bilang kau ada kaum Hoa San Pay, kami sangsi, tapi sekarang kau gunai kepandaianmu yang rendah ini, terang kau bukan orang golongan kami! Mari maju!" Tidak sempat Pat-bin Wie hong buka kancing bajunya satu demi satu, dengan tangan kirinya ia membetot sebelah baju nya, maka berbareng sama suara memberebet pada putuslah kancing bajunya itu, sesudah mana, baru ia buka bajunya untuk dilemparkan, hingga sekarang terlihat pakaiannya yang berwarna biru dan sepan, sehingga ia nampaknya jadi sangat keren, berdirinya pun tegak bagaikan menara besi, Masih saja Ho Tek Siu tertawa manis, "Ai, suheng, apakah kau hendak berlatih silat dengan siauwmoay?" tanyanya, itulah bagus! Kita bertaruh secara apa?" Lian Tek lihat kegesitan orang barusan, tetapi ia tidak jeri, ia percaya benar kepandaiannya, sedang ia ada sangat ternama di See-keng. ia tidak lihat mata pada nona ini. Tapi, meski ia beroman bengis, dan adatnya keras juga, ia welas asih, Maka melihat si nona manis budi, hawa amarahnya menjadi kurangan dengan cepat Begitulah ia berkata, "Kami berantai adalah orang-orang yang masih dapat diajak bicara, Kalau sebentar Kwie Jie-nio yang keluar, hm... kau nanti tahu rasa. Dia paling benci kejahatan, kalau dia lihat orang semacam kau, tidak nanti dia mau melepaskannya! sekarang hayo kamu lekas angkat kaki!"
"Kau bukan guruku, hak apa kau punya untuk usir aku?" tanya Tek Siu tetap dengan saban Put Cui masih tidak puas, tidak perduli sudah dua kali ia peroleh hajaran, Rasa malunya membuat ia nekat. Maka ia kedipi engko, "Mari kita maju, jangan tanggung-tanggung," katanya. Hampir berbarengi dua saudara itu lompat maju. Tek Siu lihat sikap dua pemuda itu. ia tertawa. "Baik, aku akan berdiri diam, tidak bergerak Kamu akur?" dia tanya akan tetapi sikapnya agak menantang, ia lantas lilit tambang Joan-ang Cu-so di pinggangnya, ia pun masuki kedua tangannya ke dalam saku, Dua saudara Phang maju menyerang, ruyung besi mereka turun menyambar ke arah kepala si nona, Dia ini benar-benar diam saja, tidak menangkis atau berkelit Ketika kedua ruyung hampir mengenai kepala orang, dengan tiba-tiba Put Po dan Put Cui tahan turunnya lebih jauh. Mereka pernah terdidik, maka mereka tidak mau sembarang lukai orang, "Keluarkan senjatamu!" Put Cui kata. Tidak usah," jawab Tek Siu sambil tertawa, "Kamu boleh serang aku, tidak nanti kakiku berkisar meski setengah dim, tidak nanti aku tarik keluar tanganku dari saku, asal aku berbuat demikian, anggap saja aku kalah, Kamu akur atau tidak?"
"Jikalau kami kesalahan turun tangan hingga kau jadi terluka, jangan kau penasaran," Put Po bilang, Masih Tek Siu tertawa, "Jangan omong saja, bocah-bocah." katanya, Mukanya Put Po menjadi merah, maka tiba-tiba saja ruyungnya melayang dengan gerakan "Keng tek gie kah" atau "Ouw-tie Kiong meloloskan jubah perang." Tek Siu berkelit tanpa ia geser kakinya, maka serangan lewat di tempat kosong. Di sebelah itu Put Cui yang jadi sengit, lantas hajar pundak orang, ia jadi panas hati mengingat dua kali ia kena dibikin malu, Tek Siu tetap tidak angkat kakinya, ia cuma berkelit saja, dan ketika dua saudara itu serbu dia saling ganti, tubuhnya kelihatan bergoyang-goyang, tinggi dan rendah, keempat penjuru. Malah ia masih bisa kasih dengar tertawa nya. Orang banyak menjadi kagum, mereka saling mengawasi Entah ilmu silat apa yang nona ini pertunjuki, sebab sekalipun ujung bajunya tidak dapat terbentur ruyung, itu bukanlah pelajaran dari Hoa San Pay.
Dua saudara Phang jadi kewalahan, tapi mereka penasaran, maka akhirnya dengan satu tanda seruan, dua-duanya menyerang ke bawah, Mereka pikir biar bagaimana tangguh kuda-kuda si nona, dia toh mesti rubuh atau dia mesti angkat kedua kakinya,
"Hati-hati kamu!" seru Tek Siu sambil tertawa, tubuhnya lantas bergerak mendahului ke kiri dan ke kanan, kedua sikunya masing-masing membentur tubuh Put Po dan Put Cu, hingga mereka ini merasakan sakit, tanpa merasa, mereka lepaskan ruyungnya masing-masing, tubuh mereka terhuyung-huyung, Dalam herannya Phang Uan Tek berseru, "Bwee Sutee, wanita ini aneh, biar aku mencoba-coba." Bwee Kiam Hoo manggut Lian Tek lantas lompat maju, "Mari aku belajar kenal!" katanya. Tek Siu lihat tindakan kaki yang antap itu, ia tahu dia ini berkepandaian tinggi, akan tetapi ia tetap masih tertawa, hingga kelihatan lesungnya yang manis, Hanya diam-diam saja ia waspada, "Jikalau aku tidak sanggup melayani, harap kau tidak tertawakan aku!" dia minta, "Baik!" jawab Lian Tek. "Kau mulailah." ia geraki kedua tangannya, lantas ia rangkap itu,
Tek Siu rangkap kedua tangannya, untuk membalas hormat Gerakan Lian Tek ada "Phe-giok-kun" atau "Kepala memecahkan batu kumala", selagi ia bergerak, anginnya menyambar, tetapi balasan Tek Siu telah menolak mundur anginnya itu, hingga ia jadi kagum "Bagus!" katanya di dalam hati, Disaat Pat Biw Wie hong hendak mulai dengan serangannya, tiba-tiba mereka dengar suara berisik di tengah gunung, terdengar teriakan-teriakan rupanya dari orang yang sedang berkelahi atau saling kejar Saking heran, ia merandek, matanya mengawasi sinona, Tek Siu tertawa. "Apa kau curigai aku membawa kawan?" kata si nona sambil tertawa, "Mari kita lihat dulu, sebentar baru kita mulai bertanding, Tidakkah baik begitu?" Lian Tek tidak lantas menjawab, ia hanya berpaling ke arah darimana suara itu datang, Suara itu terdengar semakin dekat Malah di antaranya ada suara orang perempuan, yang gusar dan mencaci "Baik," katanya kemudian seraya manggut Semua orang lantas memburu, untuk bisa melihat dari dekat "Seorang wanita dengan pakaian serba merah, lagi berlari-lari mendaki, di belakangnya mengejar empat orang lelaki dengan tubuh mereka besar-besar, semuanya dengan mencekal senjata, Wanita itu dapat lihat ada orang di atas gunung, dia lari semakin keras. Malah segera ia lihat tubuh besar dari Phang Lian Tek. "Pat bin Wie hong tolongi aku!" dia berteriak, Phang Lian Tek terkejut, ia mengawasi "Ha, itu toh Ang Nio Cu!" serunya, Sebentar saja, wanita yang dipanggil Ang Nio Cu itu sudah sampai di antara Phang Lian Tek. Nyata dia telah bermandikan darah dan lebih bukan main, Barusan ia telah habiskan setakar tenaganya, maka begitu ia sampai terus saja ia rubuh, dengan pingsan juga, Empat orang itu juga sudah lantas sampai, mereka tidak perdulikan orang banyak, mereka lari terus pada Ang Nio Cu itu, yang rupanya mereka hendak bekuk, Phang Lian Tek lantas majukan tangannya yang kiri untuk cegah majunya orang yang pa!ing terdepan,
Orang itu menjaga dengan tangan kanannya, ketika kedua tangan bentrok, terdengar suara beradunya yang keras sesudah mana keduanya mundur sendirinya tanpa merasa, Maka itu, mereka saling mengawasi dengan hati heran, Sebab mereka masing-masing merasakan ketangguhan orang. Lantas orang ini kata, dengan suara membentak "Kami datang kemari atas titah Song Kunsu dari markas Giam Ong, untuk tawan ini Ang Nio Cu, istri pengkhianat Lie Gam! Kenapa kau berani menghalangi kami?" Begitu dengar orang sebut nama Lie Gam, ada saudara angkat gurunya, Maka tanpa tunggu jawabannya Lian Tek, ia maju ke depan,
"Lie Gam itu ada satu enghiong, di kolong langit ini, siapakah tidak kenal dia?" katanya sembari tertawa. "Aku minta tuan suka memandang kepada siauwmoay, harap dia tidak dibikin susah." Orang itu bersikap sangat jumawa, rupanya ia andali sangat ilmu silatnya, sama sekali ia tidak pandang mata pada si nona Ho. ia titahkan tiga kawannya pergi ringkus si Ang Nio Cu, si nona Baju Merah, "Baik!" kata Tek Siu. "Nyata kamu sudah tidak inginkan jiwamu!" Dengan tangan kanannya, ia meraba ke pinggangnya di mana ada tersimpan paku rahasia beracun, "Hum see shia eng", atau "Menggenggam pasir, memanah bajangan". Begitu ia menekan pesawatnya, senjata rahasia itu lantas menyerang, Orang yang maju di muka segera terserang jitu, mukanya tertancap tujuh atau delapan batang paku berbisa, tanpa menjerit lagi, dia rubuh, jiwanya lantas melayang,
Tiga orang lainnya menjadi sangat kaget, hingga mereka melongo, wajah mereka berubah, "Siapa kau?" tanya mereka berubah
"Sampai sebegitu jauh, Ho Tiat Chiu terus sembunyikan tangan kirinya, di dalam tangan bajunya yang panjang malah ketika tadi ia layani dua saudara Phang, ia tidak pernah perlihatkan itu, tetapi sekarang atas teguran orang, dengan lantas ia kibaskan tangan bajunya, ia kasih lihat tangannya yang merasakan gaetan itu, Bukan main kagetnya tiga orang itu, apa pula yang menjadi kepala, Kau... kau.,., Ho Kauwcu dari Ngo Tok Kauw.,.?" katanya, menegasi, Ho Tiat Chiu bersenyum, ia lantas mengibas dengan tangan kanan, hingga ia perlihatkan gaetan emasnya, Melihat itu, tanpa bilang suatu apa lagi, tiga orang itu putar tubuh mereka, untuk segera lari turun gunung, sampai tak mau mereka memondong pergi mayat kawan mereka, itulah menyatakan semangat mereka seperti sudah terbang, Malah satu orang lagi dia terpeleset dan rubuh, tubuhnya berge1indingan. Bwee Kiam Hoo semua heran kenapa tiga orang itu yang tadinya demikian garang, takut kepada si nona asing sampai sedemikian rupa. Cuma Phang Lian Tek dan Bwce Kiam Hoo yang pernah dengar nama besar kaum Ngo Tok Kauw. Dua saudara ini lantas mencoba memimpin bangun Ang Nio Cu dengan niat minta keterangan kenapa dia dikepung empat orang itu. Tapi belum sampai mereka menanya mereka dapat dengar satu suara yang nyaring sekali, "Hai, tiga manusia tidak punya guna! Pergi kamu semua!" Suara nyaring itu seperti suara mendengungnya lonceng kuil, yang berkumandang di tengah lembah, dan orang yang mengeluarkannya ada satu imam jangkung sekali yang tubuhnya kurus dia perdengarkan suaranya itu sambil memandang kepada tiga orang yang kabur tadi, Tiga orang itu dengar suara nyaring itu, mereka berhenti Iari, apabila mereka lihat si imam, nampaknya mereka menjadi girang, maka bukannya mereka lari terus, sebaliknya mereka mendaki lagi, untuk menghampirkan, Semua orang serombongan Bwee Kiam Hoo mengawasi imam itu, jubah siapa mewah sekali, bukan terbuat dari sutera bukan juga dari cita biasa, Dan kopiahnya telah ditabur dengan sepotong batu pualam yang indah tanpa bandingannya, sinarnya menyorot ke empat penjuru. Imam ini menggendol sebatang pedang panjang di bebokongnya. Dia mempunyai sepasang alis panjang yang hampir menyambung sama rambut di pelipisnya, roman-nya suci dan agung, usianya kira-kira lima puluh tahun. Phang Lian Tek lantas maju untuk memberi hormat "Totiang," katanya, "Maukah totiang perkenalkan gelaranmu yang mulia kepada kami? Adakah totiang menjadi sahabat dari couwsu kami?" imam itu tidak menjawab, ia kibaskan tangannya yang kanan di mana ia cekal sebatang hudtim, kebutan suci, kemudian ia awasi semua orang. "Kamu berkumpul di sini, apa kamu sedang bikin?" dia tanya. "Couwcu kami mengumpulkan semua murid untuk berapat," Lian Tek jawab. "Ha apakah Bok Jin Ceng sudah datang?" tanya si imam. Lian Tek dengar orang sebut langsung nama couw-sunya ia mau percaya benardugaan bahwa imam jangkung kurus ini ada sahabat kekal dari couwsunya karena itu, tidak berani dia berlaku ayal "Couwsu masih belum tiba," sahutnya dengan lebih hormat imam itu tersenyum, terus ia berpaling sambil menunjuk Sun Tiong Kun, Tek Siu dan A Kiu bertiga, "Lauw Bok telah dapatkan bukan sedikit murid-murid perempuan yang cantik molek!" katanya, ia gunai kata-kata "Lauw Bok" atau "Bok si tua" kepada Bok Jin Ceng. "Sungguh dia sangat beruntung! Eh, mari kamu bertiga, mari datang dekat kepadaku sini, untuk aku lihat." Semua orang terperanjat itu ada kata-kata tidak sopan.
"Kau siapa?" tanya Sun Tiong Kun yang keras tabiat-nya. Si imam tertawa, "Sudahlah!" katanya, "Mari kamu turut toya pulang, nanti dengan perlahan-lahan toya beri keterangan kepada kamu,.,." Sun Tiong Kun jadi makin gusar, Nyata imam ini ceriwis sekali, "Kau makhluk apa berani kurang ajar di sini!" ia bentak sambil ia maju setindak, Masih imam itu tertawa, malah sekarang ia tertawa haha hihi, ia pun angkat sebelah tangannya, untuk dibawa ke muka Tiong Kun, guna usap pipi orang, setelah mana, ia bawa pula tangannya itu ke arah hidungnya untuk diciumi "Sungguh harum!" katanya pula, terus sambil tertawa. Dalam murkanya yang meluap, Sun Tiong Kun menikam dengan sebilah gaetannya, Si imam cuma geraki sedikit tangan atau tahu-tahu ia sudah cekal tangannya si Nona Sun, terpencet, hingga habis segera tenaga nona itu, seluruh tubuhnya jadi lemas. Secara sangat cepat dan gampang imam itu sudah lantas rangkul Tiong Kun muka siapa ia pun cium.
"Sungguh tidak jelek nona kecil ini!" katanya pula. "Phang Lian Tek, Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng jadi sangat kaget berbareng sangat gusar, dengan serentak mereka maju untuk menerjang. Si imam menjejak dengan kedua kakinya, sekejap saja ia sudah lompat mundur beberapa tindak, dengan tangan kirinya, ia masih peluki Tiong Kun. ia bawa orang gerakannya toh gesit dan enteng, Menampak gerakan ini, kecuali persaudaraan Phang dan lainnya, Ciu Cun semua terperanjat Mereka lantas insyaf, imam ini sangat lihay. Mereka tergugu, Tahulah mereka, mereka bukan tandingan si imam, Akan tetapi, Sun Tiong Kun masih dipeluki orang, nona itu tidak mampu berontak, pasti sekali tak dapat mereka peluk tangan saja, Maka dengan terpaksa mereka maju, imam itu tersenyum, tangan kanannya bergerak, Cepat luar biasa, orang segera lihat suatu benda berkilau, angin mendesir dingin, Tahu-tahu si imam sudah hunus pedangnya yang tadi tergendol di bebokongnya. Bu-eng-cu Bwee Kiam Hoo si Tak Ada Bajangannya, bertubuh paling gesit diantara saudara-saudara seperguruannya, ia pun paling menyayangi Sun Tiong Kun, tidak heran kalau dialah yang lompat paling depan, Akan tetapi, kapan ia telah saksikan pedang si imam, tidak berani ia bentur pedang itu, yang mesti ada pedang musti ka. Maka ketika tiga kali ia mendesak, setiap kalinya ditangkis, ia egos pedangnya, ia menyerang hanya tempat-tempat kosong. Menghadapi pedang mustika, Kiam Hoo sudah punyakan sedikit pengalaman ialah ketika di Lamkhia ia tempur Wan Sin Cie, beberapa tebasan pedangnya paman guru cilik itu membuat pedangnya sendiri kutung, hingga karenanya, ia insyaf kepandaiannya masih jauh belum sempurna, dari itu belakang ia minta gurunya ajarkan dia terlebih jauh ilmu pedang, Selama setengah tahun, Tidak pernah ia keluar dari pintu pekarangan, karenanya ia telah peroleh kemajuan pesat. Demikian sekarang ia bisa berkelahi dengan baik. "Tidak jelek!" memuji si imam apabila ia telah saksikan serangan orang beruIang-u1ang. Memang tiga serangan saling susul itu ada serangan-serangan Kiam Hoo yang paling berbahaya dan telengas, Akan tetapi pujian si imam belum habis diucapkan atau dengan tiba-tiba pedang penyerangnya telah kutung menjadi dua, atas mana, Kiam Hoo kaget tidak terkira, Menurut kebiasaan di kalangan ilmu silat, siapa pedangnya terbabat kutung ia mesti timpuk lawannya dengan ujung pedang, habis itu ia mesti lekas lompat mundur, akan berdaya terlebih jauh guna lawan musuh, Kiam Hoo tidak berbuat demikian, ia khawatir dengan menyambit si imam, nanti Tiong Kun yang dapat celaka, Dari itu ia lantas lompat mundur Walau demikian kendati ia ada si Tak Ada Bajangannya, meski tubuhnya sangat enteng dan gerakannya gesit sekali, ketika ia berlompat, tidak urung "Sret!" ikat rambut diembun-embunannya telah tersabet putus!
Bab 26
Maka juga ia mundur dengan mandi keringat dingin sebab ia ingat bagaimana besar ada bahaya yang mengancam dia barusan,
Phang Lian Tek, Lauw pwee Seng dan Ciu Cun lantas mengepung dengan dibantu Put Po dan Put Cui serta muridnya Oey Cin yang keempat dan keenam, Mereka baru bergebrak, si imam baru geraki pedangnya lantas terdengar suara senjata beradu dan putus, malah ada juga orang yang rubuh karena dupakan, hingga sebentar saja tinggal Phang Lian Tek dan Lauw Pwee Seng yang masih sanggup melayani terus, karena mereka ini bisa kelit senjata mereka dari sesuatu tebasan, Setelah itu, dengan jumput sebatang pedang yang menggeletak di tanah, Bwee Kiam Hoo maju pula untuk bantu saudara-saudaranya, Akan tetapi, walau mereka kosen, mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap imam tidak dikenal itu. Lekas sekali mereka kena terdesak,
sekonyong-konyong saja si imam lemparkan pedangnya ke udara, Melihat ini Lauw pwee Seng terperanjat dan kaget tidak tahu ia, si imam hendak gunai ilmu siluman apa. Kiam Hoo pun kaget tetapi ia masih sempat berseru. "Awas." Hanya ia telah terlambat, karena1 segera terdengar satu suara membeleduk, dadanya pwee Seng kena kepalan si imam sampai dia mundur terjengkang rubuh numprah di tanah, Si imam tertawa berkakakkan. "Kau andali kepandaianmu yang tinggi jikalau aku gunai pedang untuk lukai padamu, tentu kau tidak puas!" demikian katanya, Sambil berkata demikian, imam ini tanggapi pedangnya yang turun jatuh menyusut mana kembali dia babat kutung pedangnya Bwee Kiam Hoo, sedang dengan sikut kanannya itu, ia bentur iga kiri dari Lian Tek, hingga dia ini merasakan sangat sakit, matanya sampai kabur! Sampai di situ, tidak ada lagi murid-murid Hoa San Pay yang berani maju pula, menampak mana, si imam tertawa berkakakkan, "Lauw Bok agulkan ilmu pedangnya tidak ada tandingannya di kolong langit ini ternyata murid-murid yang ia didik semua tidak punya guna sebagai mereka ini!" ia mengejek "Nah, kalau sebentar couwsu kamu menanyakannya bilanglah bahwa Giok Cin Cu telah datang berkunjung kepadanya! Kamu bilang juga, sebab Couwsu kamu jelek pengajarannya terhadap murid-muridnya sekarang aku hendak bawa pergi ketiga murid perempuan nya ini, untuk aku yang didik terlebih jauh nanti tiga tahun kemudian, sesudah bosan aku memberi pengajaran kepada mereka, baru aku akan antar mereka pulang kepada couwsu kamu itu," sementara itu Ho Tek Siu si cerdik telah insyaf keadaan yang sangat berbahaya itu, ia insyaf lihaynya si imam, ia bisa terka maksud jahat orang, maka di sebelah memikiri daya untuk singkirkan diri, ia kata pada Seng Hay, "Lekas undang suhu." Benar dugaan Ho Kauwcu, baru saja Seng Hay memutar tubuh, untuk lari pergi, si imam sudah bertindak ke arah dia. Tapi ia sudah berpikir Maka papaki si imam sambil tertawa. "Totiang lihay sekali kepandaian kau, Apakah getaran mulia dari totiang?" demikian ia
memuji seraya menanya, Heran agaknya si imam melihat orang tertawa, sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut Maka ia lantas awasi Ho Kauwcu, dari atas sampai ke bawah, hingga ia tihat tegas orang punya pipi merah dadu dan kedua kaki putih bersih bagaikan salju, Mukanya ramai pun sungguh menggiurkan hatinya hingga tulang-tulangnya jadi lemas dengan tiba-tiba. ia pun maju setindak. "Aku ialah yang dipanggil Giok Cin Cu," sahutnya sambil tertawa, "Kau sendiri, anak, apa namamu? kau bilang, kepandaianku lihay, maka mari kau ikut aku pulang dengan perlahan lahan aku nanti beri pengajaran kepadamu? Kau suka, bukan?"
"Ah, nanti kamu dustakan aku?" Tek Siu tertawa pula dengan manis, "Apa nanti katamu bila kau menyangkal "Eh, siapa dustakan kau?" kata Giok Cin Cu, "Mari ikut aku?" Kata-kata ini dibarengi dengan uluran tangan, guna pegang lengan orang untuk ditarik Ho Tek Siu mundur setindak, "Tunggu dulu!" katanya sambil tertawa pula, "Aku hendak tunggu guruku, aku mesti tanya dia dahulu, boleh atau tidak aku turut padamu...."
"Hm.,.!" mengejek si imam, "lkuti terus gurumu.,.! Apakah faedahnya itu? Tidak lebih tidak kurang, kau cuma punyakan kepandaian seperti gurumu itu? Guru bakul nasi seperti itu tidak perlu kau perdulikan lagi?" Dan ia tertawa terbahak-bahak. Tek Siu tidak jadi gusar "Kau tahu kepandaian guruku itu lihay," kata dia sambil bersenyum. "Kalau suhu ketahui aku ikut kau, pasti dia tidak akan mau mengerti. Phang Lian Tek semua jadi sangat berkhawatir berbareng mendongkol Tidakkah Sun Tiong Kun masih saja dipeluki si imam dan si nona Sun itu tidak berdaya sama sekali? Kenapa perempuan ini yang tidak dikenal, yang mereka anggap mirip siluman, berlaku demikian genit terhadap si imam? "Hai, imam busuk!" akhirnya Kiam Hoo berteriak, "Hari ini aku akan adu jiwaku denganmu!" Dengan bawa pedangnya, Bu Eng Cun bertindak maju, Giok Cin Cu tidak menoleh untuk bentakan si orang she Bwee. "Aku nanti kasih lihat pula kepandaianku kepada-mu!" kata dia pada Ho Tek Siu, "Nanti kau boleh bandingkan suhumu terlebih lihay daripada aku atau aku yang terlebih lihay daripada suhumu itu!" Adalah sembari mengucap, ia kelit dari satu tusukan Kiam Hoo, untuk mana, ia cuma melirik, kemudian ia melanjuti berkata kepada si juwita yang boto manis ini. ilmu silat semacam yang dipunyakan dia ini, di dalam kalangan Hoa San Pay tentu dianggap sudah luhur sekali! Akan tetapi kalau dia berhadapan dengan aku? Hm! Hm! Coba kau menghitung, mulai dari satu, sampai sepuluh! Dengan sepasang tanganku yang kosong, aku nanti rampas pedangnya!" Meluap hawa amarah Kiam Hoo karena ia sangat dihinakan tanpa bilang suatu apa ia menyerang pula dengan sengit dan hebat Tidak peduli aku menghitung cepat sekali, bukan-kah?" Tek Siu tegasi sambil tertawa "Baik! Satu! Dua! Tiga! Empat! Limal" Dan ia menghitung cepat luar biasa, "Hai kau licik sekali!" senyum Giok Cin Cu, yang tahu orang menghitung seperti kilat saja,
Tapi kau lihat." justru itu, ujung pedangnya Kiam Hoo sedang menyambar pula, Si imam egos tubuhnya minggir, menyusul mana, sebelah tangannya diulur panjang, Entah bagaimana, tahu-tahu dua jari tangannya sudah ada di depan mata Bu Eng Cu.
Kiam Hoo kaget sekali, hingga ia mengegos, cepat sekali, ia menangkis dengan tangan kiri nya. Si imam tarik pulang serangannya, tangannya diputar scdikit, untuk dipakai membentur lengan lawan, atau mana, Kiam Hoo rasai jari-jari tangannya gemetar dan kaku, hingga pedangnya lantas terlepas dari cekalannya, menyusut mana, si imam sambar pedangnya itu. Selama itu Ho Tek Siu baru menghitung sampai angka "delapan". Giok Cin Cu tertawa berkakakan, ia terus geser pedang ke tangan kirinya dengan dua jari telunjuk dan lengah, ia pegang ujung pedang itu untuk ditekuk, menyusul mana terdengar suara membeletok, segera ujung pedang patah, Orang semua kaget sekarang orang lihat, pada lima jari tangannya ada sarung seperti bidal, yang ujungnya tajam sekali, Akan tetapi walau demikian, kekuatan jari-jari tangannya itu langka sekali.
Suara membentak itu segera terdengar saling susul, sebagai kesudahan dari mana, pedang itu kena dibikin patah jadi beberapa potong, Habis itu, Giok Cin Cu lemparkan gagang pedang berikut ujung pedang yang sudah jadi pendek itu, sembari berbuat demikian, ia keluarkan seruan panjang dan nya-ring, dibarengi juga dengan terulurnya tangan kanannya, untuk cekal lengan Tek Siu, Ho Kauwcu sebenarnya lagi gunai siasat memperayal kejadian guna menunggu waktu, supaya gurunya keburu datang, maka diam-diam ia sibuk juga menampak, sampai begitu jauh, Sin Cie masih belum juga muncul sekarang ia hendak dicekuk dalam keadaan terpaksa, ia mesti lindungi diri Tidak ada jalan lain ia angsurkan tangannya yang kiri untuk diantap kena tercekal si imam, Giok Cin Cu sudah menduga dia bakal pegang tangan yang putih halus dan empuk, maka bukan kepalang heran dan kagetnya apabila ia rasakan kena pegang barang keras dan dingin sifatnya, hingga sebat bagaikan dipagut ular, ia lepaskan segera cekalannya, ia tarik pulang tangannya berbareng dengan mana, ia awasi tangan si nona, Dan berkelebat lah di depan matanya cahaya kuning emas, yang bagaikan kilat terus menyambar ke arah alisnya! Dan itulah sebuah gaetan emas yang ujungnya lancip dan tajam, Ho Kauwcu sudah lakukan serangannya secara sangat cepat, ialah begitu lekas si imam lepaskan cekalannya, ia hendak menggurat jidat orang, Giok Cin Cu sangat lihay tetapi hampir saja ia rubuh sebagai korban kelicinan si nona, Syukur untuknya, ia bisa dongakkan kepalanya, hingga ia lolos dari bahaya, Hanya berbareng dengan itu, hidungnya mencium desiran bau harum, bau dari bisa, Tanpa merasa imam ini keluarkan keringat dingin, Tapi ia tidak sempat melengak saja lagi sekali gaetan emas itu menyambarnya, hingga ia jadi gugup, Ketika itu pedangnya sudah dimasuki ke dalam sarungnya di be-bokongnya, sedang tangannya yang kiri masih memeluki tubuhnya SunTiong Kun, ia jadi sangat repot, sebab selagi ia main mundur penyerangnya merangsak, hingga akhir-akhirnya ia lepaskan pukulannya dan tolak tubuhnya Tiong Kun berbareng mana ia mencelat mundur hingga ia jauh pisahkan diri, sedang pedangnya dapat ia hunus dengan segera, "Ha,., ha... haha!" dia tertawa besar "Aku tidak sangka kau mempunyai kelihayan sebagai ini! Baik, baik, mari kita mencoba-coba!" Tek Siu insyaf dia sudah menang di atas angin untuk sekejap saja, karena serangannya secara mendadak itu yang diulangi dan diulangi sebat luar biasa, ia juga insyaf, kalau mesti berkelahi sungguhan, ia bukan tandingan imam luar biasa lihay ini. Akan tetapi keadaan sangat mengancam, ia terpaksa mesti melayani juga, ia tetap berlaku tenang, ia terus gunakan otaknya yang lincah, Maka ia tertawa pula dengan manis, "Boleh kita main-main tetapi janganlah kau sungguhan!" katanya, "Kita main-main saja, cuma berke1a-kar...!" Giok Cin Cu ada seorang ulung, ia sudah lantas curigai nona ini, Dia cantik sekali, gairahnya sangat menarik, akan tetapi orangnya licik, tangan kirinya itu tidak mengenal kasihan, Tapi ia percaya kepandaiannya sendiri, maka ia tidak jeri, "Baik!" katanya, "Cuma kalau kau kalah, kau mesti turut aku!"
"Baik," jawab Tek Siu. "Lihat gaetan." Benar saja, kata-kata disusul sama serangan dua tangan berbareng, dua-dua tangan yang merupakan gaetan... Tidak lagi Giok Cin Gu berani memandang enteng seperti tadi ia layani Kiam Hoo beramai, ia berkelahi dengan hati-hati akan halau suatu tusukan atau gaetan, dengan begitu, mereka berdua jadi bertempur dengan seru.
Bwee Kiam Hoo dilain pihak sedari siang-siang memimpin bangun pada Sun Tiong Kun, kemudian bersama yang lainnya mereka berdiri menonton pertandingan itu, yang katanya ada pertandingan untuk berkelakar, berguyon saja, Kesudahannya, mereka jadi kagum dan tercengang. Tadi mereka saksikan Tek Siu dengan gampang rubuhkan dua saudara Phang Put Po dan Put Cui, mereka mau anggap itu disebabkan kepandaian dan pengalaman masih terlalu cetek dari engko dan adik itu, akan tetapi sekarang mereka dapat buktikan orang itu sungguh lihay, Ho Tek Siu berkelahi dengan mengunjuki kelincahannya, tubuhnya tampak sangat enteng, sepasang gaetannya menyambar-nyambar hingga mirip dengan berkelebatnya cahaya kuning emas saja, Sebab ia musti keluarkan antero kepandaiannya untuk bisa layani imam yang sangat lihay itu, Setelah kagum, Kiam Hoo semua ingat tidak dapat mereka diam saja mesti mereka bantui si nona, yang sekarang nyata ada di pihaknya, Akan tetapi meski juga mereka mempunyai ingatan untuk membantu, mereka tidak dapat wujudkan itu, si nona dan imam bertempur dengan seru, pedang dan gaetan rapat sekali, hingga tidak ada lowongan buat mereka maju menye1ak. Mereka juga insyaf, kepandaian mereka masih beda terlalu jauh untuk dibandingi dengan kedua orang yang asyik bertanding sambil berkelakar itu....
pertandingan berjalan terus dengan keseruannya tak jadi berkurang, Adalah selang tidak lama, suara nyaring terdengar lantas kelihatan gaetan emas dari si nona ke ditabas putus pedang mustika dari si imam, menyusul mana, Tek Siu kibaskan sebelah tangannya, lantas serupa senjata rahasia menyambar ke arah si imam, setelah perdengarkan satu suara, senjata itu buyar bagaimana asap merah dadu yang bersinar, hingga berpetalah roman cantik dari si nona, Menyusul sambaran senjata rahasia yang luar biasa itu, Giok Cin Ciu mencelat mundur sambil berseru, "Hai! Kau dari Ngo Tok Kauw? Kenapa kau bercampur baur di sini?" Selagi Giok Cin Cu menegur dalam keheranan itu, Cio Cun berdua Put Cui rabuh dengan tiba-tiba sebab mendadak saja mereka merasa kepala pusing dan mata kabur Sebab siuran bisa dari Tek Siu mengenai mereka, yang berada di bawah angin, Ho Kauwcu sendiri hadapi si imam sambil tertawa, "Sekarang ini aku telah ubah penghidupanku dari sesat aku pindah keprikebenaran!" sahutnya. "Aku telah memasuki kaum Hoa San Pay. Maka kau juga baiklah keluar dari jalanmu yang sesat." Giok Cin Cu menyampok ke kiri dan ke kanan, angin dari sam pokan nya itu telah menghalau baunya bisa setelah mana tanpa bilang suatu apa ia lompat maju seraya sebelah tangannya menyerang, serangan tangan itu mendatangkan suara angin, gerakan tubuh si imam juga mirip dengan "Pay san to hay" ialah gerakan dari tubuhnya gunung untuk menguruk lautan. Tek Siu cuma tahu Giok Cin Cu lihay ilmu pedangnya, ia tidak tahu, tangannya juga tidak kalah lihay-nya, maka juga ia kaget bukan kepalang kapan ia saksikan serangan musuh ini, sambil menjerit dalam hatinya, ia putar lengan nya, dengan itu, ia cabut cambuknya "Kat-bwee-pian" - cambuk "ekor kalajengking- sambil miringkan tubuhnya, ia sambar lengan lawan untuk dililit. Giok Cin Cu luas pengetahuannya sekarang pun tahu lawan dari Ngo Tok Kauw, maka ia telah bisa duga cambuk lawan ini juga mesti ada bisanya, Karena ini, ia bisa berlaku waspada, sebenarnya hatinya pun sangat panas, ia berjumawa untuk kepandaiannya, ia tidak sang-ka, sekarang satu wanita sanggup layani ia untuk banyak jurus, ia anggap wajahnya tidak bercahaya Iagi. Karena itu tak mau ia mengantapkannya pu1a. Kapan cambuk sampai, ia tidak kasih lengannya dililit, sebaliknya dengan dua jari tangannya yang kiri jari telunjuk dan tengah ia papaki untuk jemput ujung cambuk dan selagi si nona tak kesampaian niatnya membetot dia, ujung pedangnya sudah menyambar ke arah muka orang, Untuk jepit ujung cambuk, ia tidak jeri, sebab ia pun memakai sarung jari, Melihat percobaan gagal, Ho Tek Siu terpaksa cepat-cepat lepaskan cambuknya itu untuk menyingkir dari ujung pedang, ia mundur, "Sudahlah aku menyerah kalah! Suka aku angkat kau jadi guru!" kata dia sambil tertawa, sesudah mana, ia membekuk untuk berlutut, guna jalankan kehormatan Giok Cin Cu juga tertawa, ia lemparkan cambuk lawan yang ia kena rampas, akan tetapi berbareng dengan itu, ia tampak suatu sinar hijau berkelebat menyambar ke arahnya hingga ia jadi heran, lekas-lekas ia mengibas dengan ujung bajunya yang gerombongan, tubuhnya sendiri juga mencelat mundur, Sebagai kesudahan dari kebiasaan ujung baju itu, dengan menerbitkan suara, sejumlah jarum halus menyambar ke arah gerombolan rumput di samping mereka. Nyatalah Ho Kauwcu yang lihay tidak mau menyerah mentah-mentah, ia memberi hormat untuk menyerang dengan senjata rahasia jarum "Ham sce shia-eng" atau "Genggam pasir memanah bajangan", itulah senjata rahasia yang sangat lihay, siapa tahu Giok Cin Cu lihay luar biasa, walaupun dibokong senjata demikian, masih ia bisa menangkis, menghindari diri dari malapetaka, Tentu saja ia jadi penasaran karenanya, maka setelah jarum-jarum tidak lagi menyerang padanya, ia lompat maju guna melakukan pembalasan Tubuhnya mencelat bagaikan garuda menyambar Selama pertempuran hebat itu, A Kiu terus menonton dari pinggiran ia memasang mata tajam sekali, sebenarnya keras niatnya untuk membantui Tek Siu, ia beckhawatir untuk itu kawan yang menghadapi musuh yang lihay ini, akan tetapi tak dapat ia memberikan bantuannya sebab ia terhalang oleh luka lengannya, sekarang ia lihat serangan hebat itu ia pun tampak air muka berubah dari Tek Siu, terpaksa ia serang si imam dengan piauw bambu Ceng tiok piauw, menyusul mana ia serukan kawannya, "Sambuti!" itulah pedang mustika Kim-coa-kiam, yang putrinya kaisar Cong Ceng lemparkan kepada pemimpin Ngo Tok Kauw, Giok Cin Cu tidak kena dicelakai oleh senjata rahasia A Kiu, dengan satu kibasan ia bisa singkirkan bahaya, Tapi karena ini, serangannya jadi gagah Ho Tek Siu sendiri, setelah berkelit dari serangan berbahaya itu sudah terus berlompat akan sambar pedang yang dilemparkan A Kiu kepadanya, dengan punyakan senjata mustika ini, ia mendahului menyerang pula kepada musuh, sedang dengan piauw ia cegah lawan dului mendesak padanya, Kembali keduanya bertempur. Sibuk juga Giok Cin Cu sebab desakan si nona, maka dengan tangan kiri ia cabut kebutan hudtimnya, akan dengan bantuan senjata ini bisa lawan musuh itu. Sesudah bertarung pula beberapa jurus kembali Tek Siu kena terdesak Gaetan atau tangan kirinya ada lihay tidak demikian tangan kanannya, meski juga ia mencekal pedang mustika, sebabnya ini adalah pedang bukannya senjata pegangannya hingga tidak leluasa ia menggunai-nya. Melihat si nona terancam bahaya, Pwee Seng be-ramai paksa juga maju lagi tetapi ketika ia disampok hudtim pada pundaknya ia merasakan sakit sampai ke tulang-tulangnya, sebab kebutan itu bukan terbuat dari bulu hanya dari kawat emas halus, Coba dia bukannya telah cukup tinggi ilmu silatnya pasti ia sudah rubuh karena nya. Melihat keadaan itu, Bwee Kiam Ho teriaki Sun Tiong kun. "Lekas undang suhu dan subo, supeh dan susiok!" Tiong Kun insyaf pada ancaman bahaya, ia lantas putar tubuhnya untuk lari ke gua tetapi begitu lekas ia putar tubuh, ia pun berteriak dengan kegirangan "To-tiang! Lekas! Lekas!" Orang lagi berkelahi tidak ada yang sempat akan menoleh, hanya menyusul teriakannya nona Sun itu, segera terdengar suara yang keras dan nyaring, "Bagus! Kiranya kau yang datang kemari!" Giok Cin Cu mcnyampok beberapa kali untuk mun-durkan musuh, habis itu ia lompat mundur untuk mengawasi ke arah darimana datangnya suara keras yang berpengaruh itu, "Hai, suko! Kiranya kau! Adakah kau banyak baik!" demikian suaranya yang dingin, yang sifatnya mengejek. sekarang semua orang dapat menoleh, maka mereka lihat itulah Bhok Siang Tojin yang baru sampai, imam ini mencekal papan catur berikuf dua kotak bijinya, dia berdiri di belakang rombongan murid Hoa San Pay itu. Semua orang berhati lega, karena mereka tahu, imam ini sama lihaynya dengan couwsu mereka dia adalah sahabat couwsu mereka, Tapi mereka dibikin tercengang kapan mereka dengar si imam lihay, lawan mereka memanggil suko -- kanda seperguruan - kepada Bhok Siang Tojin. Semua mereka jadi tercengang, "Mau apa kau datang kemari?" Bhok Siang tanya dengan tenang. Giok Cin Cu terlawa. Dari sikapnya itu, tidak saja ia tidak menghormat suheng itu, dia pun nampaknya tidak jeri sama sekali". Malah kepada suheng itu, ia tidak memberi hormat "Kau tentu datang kemari untuk main catur, aku sebaliknya untuk bekuk orang!" demikian ada jawabnya, yang pendek dan dingin, Terus saja ia tunjuk Ang Nio Cu yang diam saja sejak tadi, kemudian menunjuk Tiong Kun bertiga, ia tambahkan "Dan sekalian untuk terima tiga murid wanita." Bhok Siang Tojin kerutkan alis. "Sudah lewat beberapa puluh tahun, apa tetap kau tidak dapat ubah perangaimu?!" katanya, "Hayo lekas kau berlalu dari gunung ini!"
"Hm!" begitu suara sang sutee, "DuIu juga suhu tidak dapat urus aku, sekarang aku justru memusingkan kau, suko!" Bhong Siang Tojin tidak gubris ejekan itu. "Coba kau pikir-pikir sendiri," katanya pula dengan sabar "Selama tahun-tahun yang
belakangan ini, sudah berapa banyak perbuatan buruk dan kejam yang kau lakukan, sebenarnya sudah sekian lama aku niat pergi ke Sinkiang untuk cari kau" Giok Cin Cu tertawa untuk kesekian kalinya. "ltulah bagus!" katanya secara menantang, "Memang kita berdua saudara sudah lama sekali tidak pernah bertemu satu dengan 1ain...."
"Dan hari ini adalah nasehatku yang paling akhir," Bhok Siang bilang, dengan kesabarannya yang luar biasa akan tetapi suaranya keren, "Jikalau kau tetap berbuat jahat dan tidak ubah itu, jangan kau sesalkan yang suhengmu tidak kenal kasihan lagi.!" Masih saja Giok Cin Cu, sang adik seperguruan tertawa dingin, sikapnya sangat menantang. "Seorang diri dengan sebatang pedangku, aku telah malang melintang di kolong langit ini!" katanya dengan jumawa, "Selama itu, belum pernah aku dengar ada orang yang berani mengucap sepatah saja perkataan kurang ajar lerhadapku!"
"Ada sangkutan apakah di antara Hoa San Pay dengan kau maka kau labrak murid-murid orang ini?" Bhok Siang Tojin masih mau menanya, "Jikalau nanti suheng Bok Jin Ceng pulang, apa aku mesti bilang kepadanya?" Imam itu tertawa dengan ejekannya!
"Sudah buat banyak tahun aku berdiam di Sinkiang!" katanya, "Selama itu siapakah yang tidak tahu bahwa aku telah bikin putus persaudaraan denganmu? Kau sebut-sebut Bok Jin Ceng, Hm. Lain orang boleh jeri terhadapnya, tetapi aku Giok Cin Cu, tidak, Aku berani mendaki Gunung Hoa San ini, itu artinya aku tidak taruh di hati satu kunyuk tua yang bertangan tujuh dan berkaki delapan!" Dengan kata-kala "kunyuk" itu, Giok Cin Cu menghina sangat pada Bok Jin Ceng yang seperti diketahui, bergelar "Pat chiu Sian Wan" atau "Lutung Sakti Tangan Delapan". Bhok Siang Tojin menghela napas, Dengan segan ia angkat papan caturnya. "Jikalau tetap tidak dapat dihindarkan pertempuran di antara kita berdua," katanya, "Baiklah terpaksa aku tidak dapat pikirkan pula persaudaraan kita selama tiga puluh tahun dulu, Nah, kau majulah!" Giok Cin Cu tidak lantas majukan diri untuk sambut tantangan itu, guna tempur sang suheng, sebaliknya ia bersenyum, "Kau hendak lawan aku bertempur?" katanya. "Hm. Coba lihat, ini apa?" ia merogoh ke dalam sakunya, akan kasih keluar sepotong pedang besi yang kecil mungil terus ia angkat itu tinggi-tinggi di atas embun-embunannya, Bhok Siang Tojin awasi pedang besi itu dengan tajam, selang sekian lama, hingga wajahnya mendadak berubah menjadi pucat, putih seperti kertas, "Baik, baik," katanya kemudian Tidaklah sia-sia kau keram dirimu di Sinkian untuk banyak tahun, akhirnya kau dapatkan itu,.,." Giok Cin Cu tidak menjawab, tidak lagi ia bersenyum atau tertawa, hanya dengan roman bengis, dengan suara angker dia berseru,
"Bhok Siang! Kau telah lihat pedang besi dari suhu! Apakah kau masih tidak hendak berlutut?" Bhok Siang tidak menjawab, dia lantas letaki papan caturnya kemudian dengan cara hormat sekali, ia menjura ke arah Giok Cin Cu, untuk memberi hormat seraya terus ia tekuk lutut Semua orang Hoa San Pay berdiri bengong, saking heran sedang tadinya mereka percaya, dengan datangnya imam ini, imam yang jahat itu bakal dapat diberi ajaran, Mereka pun jadi berkhawatir, Giok Cin Cu sudah lantas angkat tangannya yang kiri ia serangkan itu ke arah Bhok Siang Tojin. Desiran angin keras membarengi serangan itu. Bhong Siang Tojin tidak menangkis atau berkelit, ia malah berbalik badan dan pasang bebokongnya, ia melainkan kumpulkan ambekannya, Dengan suara keras, sampailah serangannya Giok Cin Cu mengenai dengan jitu, hingga bajunya sang suheng hancur dan beterbangan, tubuhnya bergoyang sedikit, suatu tanda hebatnya serangan walaupun demikian masih ini imam berlutut saja! Wajahnya Giok Cin Cu menjadi merah padam, rupanya ia malu atau penasaran karena gagalnya serangannya itu, Maka ia ulangi serangannya yang kedua kali, Kali ini ia jadikan pundaknya Bhok Siang sebagai sasaran, Serangan ini tidak mendatangkan suara sebagai tadi, baju pun tidak sampai sobek, akan tetapi hebatnya bukan buatan, karena itu lakukan setelah pengerahan khie-kang, apa yang dinamai tenaga ambekan, Maka kali ini tubuhnya Bhok Siang ngusruk ke depan, segera ia muntahkan darah hidup, yang membasahi batu besar di depan-nya. Tidak ada perasaan kasihan dalam hatinya Giok Cin Cu, habis serangannya yang dahsyat itu, lagi sekali ia angkat pula tangannya, mengulangi untuk yang ketiga kalinya, Kali ini dia hendak hajar batok kepalanya suheng itu, akan tarik orang punya nyawa, Orang-orang Hoa San Pay menjadi kaget, lupa pada bahaya, bahwa sang imam lihay luar biasa, mereka keluarkan senjata rahasianya masing-masing, untuk dipakai menyerang tangannya imam itu guna cegah dia turunkan tangan jahat itu yang mirip dengan kipas besi, Tangguh tangannya si imam, dengan kibasan tangannya itu, ia bikin semua senjata rahasia meluruk jatuh ke tanah, hingga ia sempat angkat pula tangannya, A Kiu berdiri paling dekat Bhok Sian Tojin, tidak tega ia menampak si imam bakal dibikin celaka secara demikian keji dan kejam, lupa kepada bahaya, ia lompat kepada imam itu untuk peluk rangkul batang leher orang, guna alingi kepalanya dengan tubuhnya sendiri, Tuan putri ini berbuat demikian karena ia tidak lihat lain jalan, walaupun pelbagai senjata rahasia masih tidak menolong. Giok Cin Cu kaget melihat sikapnya wanita muda itu, hingga ia batal melanjuti penyerangannya, sedang dilain pihak, ia segera dengar suara batuk-batuk di sebelah belakangnya hingga lantas saja ia putar tubuh untuk mcno!eh. Orang yang bcrbatuk-batuk itu ada seorang tua dengan dandanan sebagai seorang sastrawan Ho Tek Siu yang lihay juga terkejut tahu-tahu lihat orang tua itu muncul di antara mereka dan lantas berdiri di sampingnya A Kiu. Nyata sekali, orang ini mempunyai ilmu entengkan tubuh yang luar biasa sempurnanya. ia tidak kenal orang tua ini, ia khawatir tuan putri nanti dibikin celaka, maka untuk menolong ia segera serang orang tua itu, "Pergi kau!" ia membentak membarengi serangannya itu, Si orang tua geraki tangannya yang kiri, dengan tiba-tiba saja Tek Siu merasakan dorongan yang keras kepada tubuhnya, tidak ampun lagi, kuda-kudanya gempur, di luar kehendaknya, ia terhuyung beberapa tindak akan akhirnya rubuh numprah di tanah, hingga ia jadi sangat malu, seluruh mukanya berubah menjadi merah. Dilain pihak ketika ia menoleh kepada orang-orang Hoa San Pay, ia dapatkan mereka itu semua maju paykui di depan si sastrawan tua itu. Cuma Giok Cin Cu dan tiga kawannya yang berdiri tegak. "Sucouw!" demikian Tek Siu dengar suara orang-orang Hoa San Pay ilu. Maka baru sekarang ia menduga kepada Pat chiu Sian Wan Bok Jin Ceng, hingga ia jadi kaget berbareng khawatir, ia jengah. "Celaka.,." ia mengeluh ia hendak masuk dalam golongan Hoa San Pay diluar tahunya, ia serang couwsu dari partai itu. itu adalah satu perbuatan sangat kurang ajar, Selagi Giok Cin Cu berdiam, A Kiu telah pimpin bangun pada Bhok Siang Tojin, Imam ini berdiri sambil berpegangan kepada putrinya kaisar Cong Ceng, ia coba jalankan napasnya dengan beraturan Kendati demikian, ia masih terus mengeluarkan darah sedikit-sedikit dari mulutnya,
Bok Jin Ceng sendiri sudah lantas hadap Giok Cin Cu. "Totiang, kau tentunya Giok Cin Cu adanya," tanyanya, "Terhadap suheng sendiri kau turunkan tangan begini rupa.... Bagus, bagus! Sekarang, totiang dengan beberapa potong dari tulang-tulangku yang sudah tua ini suka atau layani kau main-main untuk beberapa jurus!" Sabar ia nampaknya, setelah sampai sebegitu jauh, Pat Chiu Sian Wan tidak ingin banyak omong pula, langsung ia menantang. Giok Cin Cu tertawa, Tak berkurang kejumawaan-nya. inilah juga maksud kedatanganku ke puncak Hoa san ini!" jawabnya secara menantang "Aku ingin mendapatkan bukti, apakah aku aku si Rase Muka Kumala atau kau si Lutung yang lebih sempurna."Rase Muka Kumala" adalah Giok bin Molie dan dengan si Lutung dimaksudkan Pat chiu Sian Wan ialah Bok Jin Ceng, Semua orang Hoa San Pay kaget berbareng girang mendapatkan couwsu mereka hendak tempur imam yang sangat lihay itu, inilah ketikanya untuk mereka saksikan kepandaiannya sucouw itu, Dalam seumur mereka inilah ketika yang paling baik, Tadinya mereka cuma lihat sucouw itu memberi petunjuk-petunjuk saja. Beda dari yang lain-lain ada Lauw Pwee Seng. Biar bagaimana ia sangsikan umur yang sudah lanjut sekali dari Sucouw itu, sedang Giok Cin Cu sedang tangguhnya, Maka itu dia lantas kabur ke dalam gua, dengan niat pangguI suhu dan subonya, Talkala ia sampai di dalam, di kamar batu, ia dapatkan Sin Cie dengan air mata berlinang-linang dan romannya kucel sedang berdiri di depan pembaringan di sana ia pun lihat supchnya, ketua guru dan Ang Seng Hay semua berdiri diam dengan wajah suram, Malah subonya pun mengucurkan air mata, Maka ia kaget tidak terkira,
Rebah di antara pembaringan adalah Ceng Ceng, mukanya hitam, kedua matanya celong, napasnya tinggal satu kali demi satu kali inilah yang membikin orang berduka sangat, hingga mereka ini tidak tahu, atau tidak perdulikan, di luar "langit hendak ambruk atau bumi bakalan amblas", Sesungguhnya, Ceng Ceng lagi menghadapi bahaya maut Tapi keadaan di luar sangat mengancam, maka Pwee Seng toh dekati gurunya, akan kasih tahu, "Suhu, imam di luar itu ada sangat lihay, sekarang Sucouw sendiri yang hendak turun tangan untuk melayani dia!" Sin Cie dengar perkataannya keponakan murid she Lauw itu ia lantas ingat budi kebaikan gurunya, yang rawat dan didik ia sedari ia masih kecil, maka lantas ia ambil putusannya, ia pondong tubuhnya Ceng Ceng kepada Oey Cin dan Kwie Sin Sie suami istri, ia terus berkata, "Mari kita keluar untuk me1ihat...." Terus ia bertindak cepat, mendahului yang lain. Pwee Seng lihat paman guru cilik itu memondong orang, gerakannya tidak nampak kesusu, akan tetapi buktinya ia dapatkan orang bertindak sangat pesat, melebihkan cepatnya ia ketika tadi ia lari masuk, maka ia kagum bukan main. Begitu lekas orang sampai di gunung belakang, pertempuran baru saja hendak dimulai Bok Jin Ceng sudah berdiri berhadapan sama Giok Cin Cu. Pat-chiu Sian Wan mencekal sebatang pedang panjang, Giok-bin Ho-lie sebaliknya, di sebelahnya pedangnya di tangan kanan, terus cekal kebutannya di tangan kiri. Baru saja mereka selesai memberi hormat satu pada 1ain. "Suhu! Suhu!" Sin Cie berseru memanggil-manggil "Suhu, biarkan teecu saja yang layani dia!" Teecu" adalah "murid"! Dua-dua Bok Jin Ceng dan Giok Cin Cu seperti tidak dengar teriakan itu, sebab mereka sedang memandang hebat satu pada 1ain. Sebab dua-dua mengerti, inilah saat runtuh atau berdirinya mereka masing-masing. Melihat panggilannya tidak dapat jawaban, Sin Cie serahkan Ceng Ceng kepada Ho Tek Siu, baru saja ia kata kepada muridnya itu, "Kau rawat dia!" ataukah ia tampak kebutannya Giok Cin Cu sudah bergerak ke arah pundak kiri dari gurunya, ia menjadi kaget ia tahu, satu kali dua orang itu sudah bertempur, sukar untuk nyelak di antara mereka. Tentu saja tidak mau ia ijinkan gurunya itu turun sendiri Maka tanpa pikir panjang pula, ia enjot kedua kakinya untuk lompat mencelat ke arah Giok Cin Cu, buat menyerang dengan tangan kosong, pikirannya Sin Cie ini cocok benar sama pikirannya Oey Cin dan Kwie Sin Sie, maka ketiga suheng dan sutee ini meluruk bersama, Giok Cin Cu batal menyerang ketika ia tampak ada orang-orang bertempat ke arahnya, ia tarik kebutannya, ia mundur dua tindak, ia baru mundur atau ia rasai ada angin menyambar di atasnya kepalanya, lalu tubuhnya satu orang sampai di arah embun-embunannya, ketika ia tarik kuncup batang lehernya, ia rasai sambaran hawa dingin, lalu diluar tahunya, kopiahnya kena dibetot copot itulah perbuatan Sin Cie yang hendak cegah serangannya, karena Oey Cin dan Kwie Sin Sie cuma berlompatan ke depan imam itu. Bukan kepalang gusarnya si Rase Muka Kumala, ia lantas saja menyerang dengan pedangnya dengan gerakannya "Ling kian pauw sin" atau "Naga melilit malaikat jahat", ujung pedangnya menjurus ke lengan kiri si anak muda. itulah serangan hebat sekali, Hampir saja Sin Cie tidak dapat luputkan diri ujung pedang cuma "menegur" ujung tangan bajunya yang dengan menerbitkan suara keras menjadi terbabat inilah menandakan bukannya cuma pedang yang tajam juga Iweekang dari si imam sudah sangat sempurna, Kapan tubuh Sin Cie turun ke tanah, bersama dua saudaranya ia sudah"berdiri berbaris di depan gurunya, Semua orang kaget dan kagum dengan gerakan Sin Cie barusan, Hampir saja ia dapat gempur batok kepala Giok Cin Cu siapa sebaliknya hampir tumblaskan ujung pedangnya di iga si anak muda, hanya akhirnya dua-duanya sama-sama tidak kurang suatu apa, cuma yang satu hilang kopiah sucinya yang lain robek tangan baju-nya. Coba salah satu terlambat, celakalah dia! "Bagus!" akhirnya memuji orang di sekeliling mereka, Giok Cin Cu andalkan betul-betul ilmu silatnya, ia tahu Bok Jin Ceng sangat tersohor, tetapi ia harap orang sudah kurang tenaga dan berkurang kegesitannya disebabkan usia yang lanjut, maka itu ia naksir benar melawan jago dari Hoa San Pay itu. ia percaya, dengan keuletannya, akhirnya ia akan peroleh kemenangan Maka siapa sangka ia kena dipermainkan orang, apa pula kapan ia sudah awasi orang itu ada satu bocah mungkin umurnya belum cukup dua puluh tahun. ia malu mendongkol dan gusar "Aku nanti bunuh mampus kau dulu, kunyuk kecil, baru si kunyuk tua!" ia membentak sambil menuding dengan pedangnya kepada anak muda kita. Sin Cie sambut tantangan itu, itulah memang maksudnya, Tapi ia tetap dapat berlaku tenang. Suhu, biarlah teecu dulu yang lawan imam ini," katanya, "Kalau teecu gagal, barulah toa suheng dan jie suheng yang menggantikan! Suhu akur?"
"Baik!" jawab sang guru yang benar-benar tidak sudi banyak omong lagi. ini menandakan kebenciannya kepada Giok Cin Cu yang telengas dan jumawa itu. "Asal kau jangan memandang enteng!"
"Teecu mengerti, suhu," sahut sang murid, Dua-dua Oey Cin dan Kwie Sin Sie puas dengan sikapnya sutee cilik ini. Mereka tahu, sutee ini lebih lihay daripada mereka akan tetapi sang sutee suka merendah terhadap mereka. Sungguh sukar dicari bocah yang sabar dan tahu adat sebagai Sin Cie itu. Maka hampir berbareng, suheng yang kesatu dan kedua ini lantas bilang, "Jangan sungkan sutee! Kau tidak usah main kasihan-kasihan lagi.-!" juga dua saudara ini gusar sangat pada imam itu, Giok Cin Cu juga tetap sama kepala besarnya, tidak perduli musuh berjumlah lebih banyak, Begitulah ia jengeki Sin Cie. "Kau inginkan toyamu gunai senjata atau tangan kosong untuk antar kau pulang ke Tanah Barat?" Selagi pemuda kita belum jawab tantangan atau jengekan si imam itu, Ho Tek Siu serahkan Kim-coa-kiam pada A Kiu kepada siapa ia kata. "Kau serahkan ini padanya!" A Kiu menurut, ia lantas hampirkan anak muda itu, Sin Cie terkejut, akan tampak putri itu berada di antara mereka, hingga ia tercengang, Tadinya ia tidak dapat lihat karena ia belum sempat perhatikan semua kawan di sekitarnya, "Kau... kau..." kata si nona, yang terus saja tak dapat bicara lebih jauh, saking hatinya sedih. Sin Cie sambuti pedang yang diangsurkan kepadanya, segera ia lompat akan jauhkan diri dari putri raja itu, Ketika itu cuaca ada terang, karena kabut baru saja buyar dan matahari merah perlihatkan diri Semua orang Hoa San Pay berkumpul jadi satu, sedang Bok Jin Ceng terus repot uruti Bhok Siang Tojin, guna bisa tolong sembuhkan sahabat karibnya itu. Oey Cin dan Kwie Sin Sie berdiri di luar kalangan rombongannya, masing-masing siap dengan senjata mereka. Masih Giok Cin Cu tertawa. "Umpama kata kamu mau maju berbareng, itu pun boleh!" demikian kejumawaannya, Akan tetapi belum sempat ia tutup mulutnya, mendadak ada bajangan hitam bertempat di depannya, tahu-tahu satu lawannya telah sampai dan ujung pedang menyambar ke arah mukanya, Maka ia lantas mengebut dengan kebutannya sambil pedangnya di tangan kanan hendak dipakai menyerang,
ia baru bersiap secara demikian, atau pedang lawan sudah ditarik pulang, untuk disusuli dipakai menyerang puta, hingga ia jadi heran Begitu muda dia ada, lawan ini demikian gesit dan ancamannya sangat membahayakan Segera ia berkelit ke kiri.
Sin Cie tahu orang berjaga untuk segera menyerang, ia bakal diserang di sebelah kanan, maka ia pun terus berjaga-jaga,
inilah lihaynya kedua jago yang seperti telah ketahui ke mana mereka bakal saling menyerang, Cuma pe-nonton-penonton yang masih rendah kepandaiannya heran mengapa dua jago ini agaknya berlaku lambat, seperti bukannya lagi menghadapi tegangan Mereka sama sekali tidak insyaf suasana justru sangat tegang, bahwa kepuasan bisa terjadi di sembarang saat Sun Tiong Kun sangat benci Giok Cin Cu, melihat sikapnya dua orang itu, ia hendak membokong dengan tusukan gaetannya kepada bebokong si imam ceriwis itu, Kiam Hoo lihat sikap adik seperguruan ini ia kaget ia segera menarik, "Apa yang kau hendak lakukan? Apakah kau tidak sayangi jiwamu?" "Jangan perdulikan aku! Aku hendak adu jiwa dengan imam durjana itu!" Tion Kun membandel "lmam itu sudah tahu siauw-susiok lihay," kata Kiam Hoo, "la sekarang lagi gunai dayanya yang paling sempurna untuk lindungi diri, maka kalau kau maju sia-sia kau antarkan jiwa,..." Tiong Kun berontak akan loloskan tangannya dari cekalan suheng itu. "Jangan perdulikan aku! Aku hendak bantu susiok!" katanya, ia benci susiok itu, si paman guru akan tetapi sekarang menghadapi si imam ceriwis lupa ia kepada rasa bencinya itu, "Nah, begini saja," Kiam Hong kata kewalahan "Kau coba dulu dengan senjata rahasia...." Kali ini Sun Tiong Kun menurut ia siapkan sebatang Kim-cie-piauw dengan sekuat tenaga ia timpuk bebokong Giok Cin Cu. Si imam sedang berjaga-jaga dari Sin Cie kelihatannya ia tak tahu atas datangnya bokongan maka girang Sun Tiong Kun, yang merasa pasti serangannya akan berhasil Tapi kapan piauw itu menerbitkan suara nyaring, Kiam Hoo adalah yang berteriak "Celaka!" terus ia tubruk tubuhnya si Nona Sun, untuk dibawa jatuh ber-sama,
Baru saja si nona Sun rubuh, atau piauwnya sudah mental balik kepadanya, mengarah dadanya, ia tidak lihat, bagaimana caranya Giok Cin Cu tanggapi piauwnya untuk dipakai menyerang membalas, Kalau ia kena terserang, celakalah ia. ia memangnya sudah tidak berdaya untuk tangkis atau kelit diri pula, Dalam saat mati hidupnya itu satu bajangan putih berkelebat satu tangan halus menyambar pita merah yang menggelawer di gagang piauw itu! Hatinya Tiong Kun dan Kiam Ho goncang keras, tapi kapan kemudian mereka kenali penolong mereka ada Ho Tek Siu, mereka bersyukur berbareng malu, sampai untuk menghaturkan terima kasih, mereka cuma manggut-manggut Segera setelah itu, Giok Cin Cun dan Sin Cie sudah mulai bergebrak, keduanya sangat bersungguh, keduanya unjuk kegesitan mereka, Kalau tadi ia nampaknya lesu, sekarang Sin Cie jadi bersemangat Giok-bin Ho-lie ada sutee, adik seperguruan dari Bhok Siang Tojin, maka tak mengherankan jikalau dia gesit luar biasa, Apapula setelah lihat musuh demikian gagah, segera ia bersilat dengan "Pekpian kwie-eng", itu ilmu silat entengkan tubuh "Bajangan setan seratus kali berubah." Maka berkelebatlah tubuhnya di sekitar tubuh Sin Cie dengan niatnya jika anak muda itu mulai kabur matanya, ingin ia menikam anggota tubuh musuh yang lowong, Sin Cie sendiri ada ahli ilmu silat "Pek pan kwie eng" itu, ia tidak kasih dirinya dibikin pusing atau kabur mata, ia melayani dengan sama cepatnya tetapi tenang, tak mau ia memberi ketika kepada si imam telengas itu, hingga Giok Cin Cu menjadi heran sesudah ia berputaran sekian lama, ia tidak tampak lawannya jadi lambat atau gelisah, "Eh, mengapa dia pun seperti mengerti ilmuku ini?" pikirnya sesudah mana dia lompat mundur, akan pisahkan diri dari lawannya itu, Terus saja dia keluarkan lagi pedang besinya - Thie kiam - yang ia kibasi sambil berseru, "Kau adalah murid Thie Kiam Bun, maka melihat Thie kiam ini kau mesti berlutut. Sin Cie mengawasi dengan tajam. "Apakah itu Thie Kiam Bun?" tegasi dia. "Aku belum mendengarnya!"
Kembali si imam membentak "Jikalau kau bukan muridnya Bhok Siang Tojin, cara bagaimana kau bisa mengerti Pek-pian Kwie-eng? Ka-rena kau ada muridnya, kenapa kau bukannya anggota Thie Kiam ada di tanganku, maka lekas kau berlutut untuk terima hukuman dari aku!"
"Perduli apa aku dengan kau punya thie-kiam atau tong-kiam!" jawab Sin Cie, yang menyebut "pedang besi" dan "pedang tembaga", Giok Cin Cu mendongkol dan penasaran Dia lantas berpaling kepada Bhok Siang Tojin, "Dia mengerti Pek-pian Kwie-eng bukankan telah turunkan itu kepadanya dengan tanganmu sendiri?" dia menegur dengan bengis, Bhong Siang Tojin, sang suheng, menggeleng kepala, Heran bukan main si Rase Muka Kumala, ia percaya suheng itu yang tidak pernah omong dusta, Tapi ia cuma berpikir sebentar, atau lantas ia menyerang pula, hingga pertarungan jadi dilanjuti, Sembari menangkis dan mcnyerang, Sin Cie pikirkan perkataan-perkataan imam itu sebagai seorang cerdas, segera ia ingat. "Ketika Bhok Siang Toliang ajarkan aku ilmu silat, dia mulanya janjikan itu sebagai hadiah adu catur, dia larang keras aku memanggil guru kepadanya, dan kemudian untuk ajarkan aku Pek-pian Kwie-eng ia pakai perantaraan Ceng Ceng. Kiranya dia telah berpikir jauh sekali untuk menjaga kejadian seperti hari ini, dia jadilah bukan lagi berguyon denganku...." Dan sekarang barulah ia ketahui, Bhok Siang Tojin itu ada dari partai Thie Kiam Bun. Pedang Besi dan pedang besi itu - Thie Kiam - ada pedang pusaka dari partai itu, Karena ia ingat Ceng Ceng, ia gunai ketika akan melirik nona Hee itu, siapa ia iihat, lagi kemuh sepotong obat merah dan Ho Tek Siu sedang uruti dia, maka terbukalah hatinya, "Dia terkena racun Ngo Tok Kauw, Tek Siu adalah kauwcu dari Ngo Tok Kauw itu, pasti ia bisa menolongnya," ia berpikir "Pasti sekali Ceng Ceng bakal terto1ong...!" Saking girangnya, tanpa ia merasa, Sin Cie berlaku agak lambat, pundak kirinya bergerak perlahan dari bisanya, inilah ketika yang dinanti-nantikan Giok Cin Cu. Lantas saja imam ini menyerang dengan bengis, Sin Cie bcrkelit, tapi dasarnya lambat, selagi pundaknya bebas, ujung pedang lawan mengenai iga kirinya, Semua orang Hoa san Pay lihat itu, mereka terkejut, akan tetapi lebih kaget pula adalah Giok Cin Cu sendiri, si penyerang. Sebabnya adalah ujung pedang tidak nancap di iga, tidak melukai daging atau kulit si anak muda, sebaliknya pedang itu mental balik, Giok Cin Cu tidak tahu, Sin Cie lelah pakai baju kaos mustika pemberian Bhok Siang Tojin, dia menyangka anak muda ini saking ihaynya, tubuhnya kedot, tidak mempan senjata tajam, maka ia jadi heran dan kaget, sampai ia keluarkan keringat dingin sendirinya,
Selama itu Ceng Ceng telah sadar, ia juga telah perhatikan jalannya pertempuran selagi ia kaget karena lihat Sin Cie kena diserang lawan, ia ingat ia ada bawa-bawa bumbung besi hitam, maka ia rogoh sakunya, ia keluarkan bumbung itu, begitu ia lekas buka tutupnya, ia timpuk si imam lihay, Satu benda kuning emas, kecil dan pendek, melesat ke arah Giok Cin Cu. itulah ular berbisa yang lihay, yang Kim-ie Tok Kay Cee In Go namakan "Kim-jie", si "Anak cmas", Binatang ini benar-benar cerdik sesampainya di atas kepalanya si imam, ia pertahankan diri, ia turun ke bawah untuk pagut imam itu! Coba itu adalah lain orang yang disambar ular emas itu, tentu celakalah dia, tidak demikian dengan Giok Cin Cu, dengan satu kebutan dengan hud-tim, ia bisa bikin tubuh ular terlibat ia tidak mengebut lebih jauh akan buah ular itu ia tahu kalau ia berbuat demikian, lawannya bisa membarengi serang padanya, Maka itu, ia meneruskan saja ke bawah untuk lemparkan ular ke tanah, ia sendiri lantas loncat beberapa tindak, Sin Cie sedang berpikir keras, dengan ilmu silat apa ia bisa pukul rubuh imam yang lihay itu, kapan ia lihat si ular emas, mendadakan saja ia ingat gerakan si ular emas yang hendak ditangkap hidup-hidup oleh Cee In Go. Maka tidak ayal lagi, ia balas menyerang dengan turuti gerak-geriknya si Kim-jie itu. pedangnya lantas bergerak-gerak tak putusnya. Giok Cin Cu melayani sekian lama, segera "ia jadi kaget sekali, ia kena terdesak, tidak perduli ia sudah berdaya keras untuk menangkis, buat lindungi diri. ia lihat gerakan orang tidak mirip dengan gerakan ilmu silat yang wajar, ia tertegun, lantas saja ia dapat dibingungkan, hingga berbareng gelisah, ia main mundur terus, Sin Cie bermata awas, ia tampak orang mundur bukan sembarang mundur, mundur itu disebabkan kacaunya pikiran dan gerakan, maka sambil berseru, ia memperkeras desakannya, Datanglah saatnya ia me-nebas, ketika orang berkelit dengan mendak, ia menebas kembali, Lagi sekali Giok Cin Cu mendak, akan tetapi ia mendak kurang rendah atau memangnya pedang menyambar lebih rendah sanggulnya kena terbabat kutung, menyusul mana kepalan kiri Sin Cie mampir di dadanya!
itulah tonjokan Hoa San Pay yang lihay. Tidak ampun lagi, imam yang lihay ini rubuh terjengkang. Begitu lehernya menyentuh tanah, bertepatan dengan itu ia merasa sakit dan gatal pada lehernya, hingga ia kaget dan heran, Diwaktu ia jatuh lehernya justru menindih Kim-jie dan si ular emas itu segera mencatoknya! Tidak perduli serangan kepalan Sin Cie sangat keras, serangan itu cuma dapat merubuhkan tubuh tidak melukai bagian dalam, tidak demikian adalah pagutan si Kim-ji yang berbisa itu, tidak sempat Giok Cin Cu bangun, bisa ular sudah bekerja, lehernya terus berubah menjadi hitam, hitam juga mukanya, dan sejenak kemudian dia rebah tidak bergerak, napasnya berhenti.... Bila tiga orang yang hendak menangkap Ang Nio Cu dapatkan imam mereka rubuh binasa, tanpa pikir panjang lagi mereka putar tubuh untuk lari tunggang langgang turun gunung, Mereka bersyukur, karena tak ada seorang Hoa San Pay pun yang mengejar mereka, Semua orang menjadi sangat lega hatinya, semua bergirang sekali, Tanpa orang yang tak mengagumi si pemuda, malah Bok Jin Ceng pun amat bangga! Bhong Siang Tojin menghela napas, setelah minta A Pa mengubur mayat suteenya, ia pegangi Thie-kiam, pedang pusaka partainya yang dipuja-puja. Sesudah itu, sekalian ia tuturkan tentang partai itu yang asing bagi kebanyakan orang, tidak terkecuali Sin Cie. Kaum mereka dipanggil Thie Kiam Bun, partai Pe-dang Besi, dan Thie Kiam pedang besi, adalah pusaka mereka, Bhok Siang Tonjin dan Giok Cin Cu ini adalah dua murid terakhir, mereka belajar bersma-sama, Guru mereka menutup mata di See-chon, Tibet, tanpa mereka ketahui, dengan begitu pedang pusaka mereka pun turut lenyap tak berbekas, Pada mulanya, Giok Cin Cu adalah jujur, akan tetapi setelah guru mereka menutup mata, hatinya berubah, ia jadi binal, ia terpisah dari Bhok Siang Tojin, maka dari itu, tidak ada lagi orang yang dapat mengendalikan padanya, ia menjadi imam semenjak masih kecil, ia tidak gemar main perempuan, tetapi sudah berubah sifat, ia jadi pengganggu orang-orang perempuan, perempuan hina dan orang-orang baik. Karena tangkasnya tak seorang pun dapat me1awannya. Satu kali ia bentrok dengan Bhong Siang yang nasihatnya ia tak gubris, namun lantas saja ia putuskan perhubungan suheng dan sutee. Giok Cin Cu juga tahu bahwa sang suheng itu lihay, tak dapat ia melawannya oleh karena itu ia tidak mau berdiam lebih lama di Tiong-goan, dan segera merantau jauh ke See-chong, sembari melatih terus ilmu silatnya, ia coba mencari pedang pusaka kaumnya, Untung baginya, ia berhasil menemukan Thie Kiam, karena mana ia menjadi lebih berani terhadap suhengnya,
Menurut aturan Thie Kiam Bun, melihat Thie Kiam, orang mesti memandang seperti menghadap Sucouw mereka, Atau tegasnya, siapa pegang Thie Kiam, dengan sendirinya dia jadi ciang-bun-jin, ahli waris atau ketua, siapapun anggota Thie Kiam Bun mesti tunduk pada ciang-bun-jin ini. Demikian juga sudah terjadi dengan Bhok Siang Tojin yang jujur, ia tunduk pada Thie Kiam, ia menyerah atas hukuman yang dijatuhkan Giok Cin Cu, meski itu tidak adil Bok Jin Ceng menghela napas bila ia sudah dengar keterangan itu. Kemudian, ketua Hoa San Pay itu pandang Ang Nio Cu berlutut di depan orang tua itu, ia menangis, "Aku mohon dengan sangat Bok Loyacu suka me-nolongi suamiku," ratapnya. Dulu-duIunya Sin Cie belum pernah ketemu sama Ang Nio Cu, sekarang dengan perantaraan An Toa Nio, ia ketahui nyonya serba merah ini ada istri Lie Gam, jadi enso atau iparnya, ia tahu Ang Nio Cu gagah, ia kaget dengan permintaan tolong nyonya ini. "Kenapa dengan kanda Lie Gam itu?" tanyanya. "Gouw Sam Kui sudah bersekongkol dengan Tatcu dari Boan-chiu," berkata Ang Nio Cu, "Dengan bekerja sama mereka menyerang San-hay-kwan. Giam Ong gagal dalam perlawanannya, ia mundur dari Pakkhia, Ketika itu Song Kumsu sudah mengadu biru, ia memfitnah Lie Ciangkun. Aku minggat, dengan niat cari bantuan, akan tetapi Song Kunsu mengetahui ini, ia segera kirim orang mengejar untuk menangkapku, Begitulah aku telah dikejar kejar sampai di sini," Semua orang kaget mendengar orang Boan telah memasuki San-hay-kwan. Sin Cie segera memimpin bangun ensonya itu. "Mari kita lekas tolong toako terlambat sedetik, bisa gagal," katanya, Meski ia mengucap demikian, Sin Cie toh mengawasi gurunya, Dengan tiba-tiba ia ingat, gurunya hendak mengadakan rapat, entah urusan apa yang bakal dibicarakan ia menjadi sangat ge1isah.
"Orang telah berkumpul, sekarang juga aku akan utarakan niatku," berkata Bok Jin Ceng, yang mengerti akan kegelisahan muridnya. Ketua Hoa San Pay ini ajak orang berkumpul di dalam gua, ia mengeluarkan gambar couwsu, lantas ia pasang lilin dan hio, semua muridnya dititahkan berlutut Ho Tek Siu berlutut sendirian di pojok, diam-diam ia lirik Sin Cie. Bok Jin Ceng lihat kauwcu itu, ia bersenyum dan berkata: "Kau berkeras juga hendak masuk Hoa San Pay, sedang sebenarnya dengan kepandaianmu kau sudah boleh malang melintang di kolong langit Tadi aku tolak kau, kau cuma mundur empat tindak, Di dalam
kalangan kita kecuali tiga muridku tidak ada orang keempat yang tangguh seperti kau! Baik, baik, baik, kau boleh turut berlutut di sini!" Bukan main girangnya Tek Siu, itu artinya ia telah diterima menjadi orang Hoa San Pay, maka ia berlutut di belakang Sin Cie, ia turut paykui akan menghormati Couwsu mereka, Setelah semua sudah menjalankan kehormatan, Bok Jin Ceng berdiri di tengah kalangan "Sekarang ini negara sedang kalut, aku sendiri sudah berusia lanjut tak dapat aku bekerja lebih jauh," berkata guru ini, "Maka dari itu pimpinan Hoa San Pay, mulai hari ini aku serahkan kepada muridku yang pertama, Oey Cin." Oey Cin terkejut "Kepandaianku kalah dari jietee dan shatec." kata-nya. "Untuk menjadi ciang-bun-jin, yang dibutuhkan bukan hanya kepandaiannya saja," kata Bok Jin Ceng, "Di sebelah itu yang diutamakan adalah prilaku benar, jujur dan berhati mulia, Kau jangan menampik terimalah tugas-mu!" Oey Cin tidak berani membantah lagi ia lantas Paykui pada Couwsu, lalu pada gurunya, sesudah itu ia terima hu-in, cap dan kekuatan Hoa San Pay dari gurunya itu, Dan yang terakhir semua sutee keponakan murid juga murid-muridnya sendiri segera memberi hormat dan selamat kepadanya.
Hati Sin Cie lega setelah rapat selesai, ia lantas pamitan dari gurunya dari Bhok Siang Tojin juga, begitu pun dari semua suhengnya dan yang lain-lain, untuk ia turun gunung guna tolongi Lie Gam. "Adik Ceng, kau rawat diri di sini, habis menolong saudara Lie, aku akan segera balik kembali," pesannya pada Ceng Ceng. Mata nona Hee menjadi merah air matanya lantas menetes butir demi butir. Hatinya panas karena melihat A Kiu berada di atas gunung, Akan tetapi sebelum ia dapat mengatakan sesuatu, A Kiu sudah bertindak ke hadapannya, "Enci Ceng, kau toh sudah tidak membenci aku pula bukan?" katanya dengan sebat mengangkat tangannya yang tinggal sebelah dan membuka karpus kulit yang menutupi kepalanya, hingga segeralah terlihat satu kepala gundul, bersih dari rambutnya yang tadinya hitam dan bagus. Tuan putri ini sangat berduka untuk nasib kerajaan-nya, untuk kemalangannya yang menimpa ayahnya, untuk peruntungannya yang buruk, di sebelah itu ia tahu cintanya Sin Cie kepada Ceng Ceng, maka dari itu tanpa ragu-ragu ia menjadi nikoh. Hal ini mengherankan semua orang,
Melihat itu, Ceng Ceng malu sendirinya, sedang Sin Cie pikirannya jadi kusut, karena ia bersusah hati untuk putri raja yang tadinya cantik dan jelita itu. Mereka diam semua, Bhok Siang Tojin turut bicara, "Nona ini tadi telah bersedia mengorbankan dirinya untuk menolongi aku, aku mesti hargakan budinya," katanya, "Seumur hidupku, aku si imam tua belum pernah menerima murid, maka justru sekarang partaiku sudah bersih, apabila kau tidak buat celaan, nona sukalah kau terima beberapa pelajaran dari aku?" A Kiu girang bukan buatan untuk tawaran itu, hingga ia lantas berlutut di depan guru yang baru ini. justru ini yang membuat ia di belakang hari menjadi satu pendekar wanita dipermulaan kerajaan Ceng, karena Kam Hong Tie, Pek Tay Koan, In Su Nio dan lainnya adalah murid-muridnya yang gagah dan setia pada kerajaan Beng. Sampai di situ Sin Cie turun gunung untuk tolongi Lie Gam. Kecuali Ang Nio Cu, Hok Tek Siu dan lainnya, juga Ceng Ceng turut padanya, Nona ini mengatakan bahwa ia sudah cukup kuat. Memang, setelah urusan A Kiu menjadi terang baginya, hatinya lega sekali, ia segera merasa segar bukan main, pertolongan Tek Siu adalah yang berarti sangat besar untuknya, ia percaya, selama di perjalanan kesehatannya bakal pulih, Sin Cie tidak menghalangi si nona hendak turut serta, Nyala kemudian, rombongan penolong ini terlambat datangnya, Lie Gam rela dihukum mati oleh Giam Ong, Hingga Sin Cie mesti tangisi saudara angkat itu. Tentang Ang Nio Cu, tidak usah diterangkan lagi bagaimana kagetnya bagaimana hatinya terluka, Dia pun adalah istri yang sangat setia dan lagi pula mencintai suaminya, Sin Cie lantas cari mayatnya Lie Gam untuk dikubur dengan baik,
Pada hari itu, ketika anak muda kita ini serta rombongannya bersembahyang di kuburan Lie Gam, ia dapatkan satu orang dengan kopiah dan pakaian putih semua, menangis seorang diri sambil menghadap ke utara, ia jadi heran, ia dekati orang itu untuk tanya she dan namanya, Segera ternyata orang itu adalah yang belasan tahun dulu ia pernah jumpakan di gunung Lauw Ya San. Sebab dia adalah Han Tiauw Cong! Hanya sekarang orang she Han itu telah tambah usianya dan wajahnya pun telah berubah banyak, Diwaktu kembali ke rumah penginapan Sin Cie ajak Tiauw Cong. Mereka bersantap dan minum arak bersama, Banyak mereka bicarakan Han Cauw Tiong merasa sangat, terharu, hingga ia menulis syair peringatan untuk Sin Cie, setelah mana ia pamitan dan pergi Hatinya sudah jadi sangat tawar Sin Cie pun turut lenyap kegembiraannya, "Mari kita pulang," ia ajak kawan-kawannya. Mereka pulang ke Hoa San. Segera juga dengan tiba-tiba Sin Cie ingat peta yang ia terima dari Peter, si orang militer asing, ialah peta dari sebuah pulau, Hay Lam! "Kenapa aku tidak pergi ke sana untuk berikhtiar?" pikirnya. Malam itu pemuda ini berada bersama dengan Ceng Ceng, Mereka duduk berendeng diatas sebuah batu besar Tidak banyak yang mereka katakan, karena hati mereka sudah bersatu, Wajah merekalah yang lebih banyak mengutarakan sesuatu -- satu pada yang lain, "Aku ingin berlayar ke Hay Lam, kau setuju bukan?" kemudian Sin Cie tanya si nona, "Suasana di sini sudah tidak cocok lagi untuk kita di pulau itu kita dapat ber-ikhtiar Pasti sekali, kita akan pergi beramai-ramai, supaya dapat kita berkumpul terus." Pemuda ini awasi kekasihnya, dan si pcmudi pun membalas pandangannya,
"Aku setuju," berkata si nona, hampir tanpa berpikir 1agi. "Bagus!" seru si anak muda. Selesai ini mereka terus bersama menikmati sang malam yang sunyi, sampai setelah lewat banyak waktu, mereka kembali untuk beristirahat Besoknya Sin Cie utarakan cita-citanya kepada semua kawannya, ia tanyakan pendapat mereka, Nyata Ho Tek Siu, Ang Nio Cu dan yang lainnya pun setuju, Maka putusan lantas diambil Malah mereka lantas mulai bersiap sedia, Sin Cie minta bantuan Ang Seng Hay untuk mengumpulkan Couw Cong Siu, Beng Pek Hui ayah dan anak, Ciauw Wan Jie dan suami, See Thian Kong, Ouw Kui Lam dan lain-lainnya orang gagah dari tujuh propinsi Malah ia pun dapat persetujuan The Kie In, ketua dari Citcapjieto, tujuh puluh dua pulau, yang suka turut ia. Maka pada suatu hari yang lelah ditetapkan, rombongan yang besar ini dengan terbagi dalam beberapa kelompok, mulai berangkat menuju Hay Lam, Laut selatan itu dimana mereka berkat kekerasan hati mereka telah beruntung berhasil mendirikan semacam daerah berpengaruh, hingga Hay Lam dapat dibuka, dibangun menjadi satu dunia baru.
TAMAT