Bagian 2

Tentu saja semua orang terheran-heran, apalagi setelah mereka berusaha mengejar, laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi. Laki-laki itu seringkali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh. Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itupun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya,

mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.

"Siapa namanya?" tanya seorang. "Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!"

"Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?"

Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya. "Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga akupun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!" Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.

Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian yang luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali, selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sin-kang dari Pendekar Super Sakti! Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sin-kang Swat-im-sin-kang dan Hui-yang-sin-kang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lain yang kesemuanya bertingkat tinggi!

Hanya sayang pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya sehingga banyak mengalami kesengsaraan (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus.... Pada akhir cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es, berpamit dari Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, tidak pernah terdengar namanya di dunia kang-ouw.

Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai! Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tidak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya. Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat inipun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.

Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak memperdulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu. Ketika dia mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama "enci Syanti", dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya. Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat. Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.

Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.

"Ahhhhh....!" Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya. Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!

Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah di dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.

"Di.... dimana aku? Siapakah paman....?"

Biarpun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.

"Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu." Kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.

Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya, "Bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana Ceng-moi....?"

"Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?" Bun Beng bertanya.

"Benar.... kami berdua di perahu itu.... bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana dia....? Ceng-moi....!" Syanti Dewi menjerit dan memanggil nama adik angkatnya, penuh kekhawatiran.

Bun Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Adapun nona kedua itu.... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...."

Makin terbelalak sepasang mata itu, dan muka Syanti Dewi menjadi pucat sekali. "Paman....! Kau.... maksudkan.... dia.... Ceng-moi....?"

Bun Beng mengangguk. "Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam."

"Ceng-moi....!" Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya. Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.

"Ceng-moi.... aihhh.... Candra adikku, bagaimana aku dapat hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau....? Adik Candra.... tega benar engkau meninggalkan aku.... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana....?"

Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran, "Nona, tak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!"

Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap, "Paman.... apa.... apa maksudnya....? Aku kejam...., terhadap siapa....?"

"Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?"

"Paman!" Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. "Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?"

Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkaupun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kausandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?"

Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar olehnya seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya memandang orang itu tanpa dapat berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti!

Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar, "Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkan semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil."

Teguran atas tangisnya tadi masih menghunjam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar ke luar pintu. Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan. Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati?

Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata, "Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!" Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak.

Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!

"Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara," katanya.

Bun Beng melangkah masuk dan kembali mereka duduk di atas lantai, saling berhadapan. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati. Wajah itu tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara, seluruh tubuhnya

membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain fihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu, juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.

"Nona siapakah?" Bun Beng bertanya singkat.

"Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?"

"Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti."

Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu. "Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama aseliku adalah Syanti Dewi...." Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut mendengarnya. Akan tetapi, tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini, bahkan dia selama belasan tahun tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan manapun juga!

"Engkau dari suku bangsa apakah, nona?"

Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?

"Aku berbangsa Bhutan....!"

"Ah.... dan engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja? Hendak kemanakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua? Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas kemana aku selanjutnya harus mengantarmu."

Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.

"Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!"

"Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan akupun bukan menolong. Sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja."

"Tapi perjalananku amat jauh, paman."

"Hemm, sejauh manakah?"

"Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng."

"Hehhh....?" Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata, "Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona."

Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu. "Akan tetapi, paman.... kabarnya perjalanan ke sana menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman....?"

Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilat itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.

"Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga.

Akan tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan kuantar."

Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian berkata, "Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku."

"Aku tidak perlu membujuk agar engkau mempercayaiku, nona. Hanya, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya."

"Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan." Puteri itu berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan, "Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!"

Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan sedikitpun juga di hati orang itu.

"Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-siok-siok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi."

"Adikmu yang bernama Candra itu?"

"Dia hanya adik angkat, nama aselinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali."

Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik!

Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik, betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh paman Gak itu.

"Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia.... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai mengorbankan nyawa."

"Hemm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu, sungguh menarik dia. Benarkah dia itu memiliki kepandaian yang hebat?"

"Dia lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata dia memiliki kepandaian yang lebih daripada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jerih terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut."

Bun Beng mengangguk-angguk. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di derah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apapun juga, akan tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.

"Ketika engkau masih bersama nona Ceng, kemanakah tujuan kalian melarikan diri?"

"Kami hanya mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana."

"Puteri kaisar?" Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.

"Ya, namanya Puteri Milana...."

Bun Beng menelan seruan kagetnya, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya, "Ada apakah, paman?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata, "Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri...."

Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, akan tetapi sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan!

******

"Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!" Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar, "Ahhh, Lee-ko. Perduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melakukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?"

Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila. Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, "Haiii, nona Liem....! Engkau hendak kemanakah?"

Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggauta keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah, "Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!"

"Eh, eh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma...."

"Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!" nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.

Suma Kian Bu pura-pura kaget. "Aihh.... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang.... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku.... Suma Kian Bu...."

"Tukang joli, hayo jalan terus!" Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.

Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya. "Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!" Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.

Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak "belajar kenal" dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.

"Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng," kata Kian Bu. "Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut kata pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali."

"Huh, mata keranjang kau!" Kian Lee berkata. "Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!"

Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaitu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk beaya makan dan penginapan.

Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu, terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apalagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu berahi atau keinginan yang tidak patut!

Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat "berkenalan" dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan "siasatnya" yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.

Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng, dia meninggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar pembaringan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguhpun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!

Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!

"Hendak ke mana, lopek?" tanyanya kepada penggotong joli terdekat. Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat, "Ke kelenteng."

Kian Bu lalu menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai. "Haiii, kiranya nona Thio.... hahhh....?" Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!

Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.

"Lee-ko, engkau terlalu....!" Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.

"Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat, Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biarpun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!"

"Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!"

"Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kaulakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya."

"Kalau begitu, andaikata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh.... eh, belajar kenal dengannya?"

"Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kaulakukan itu!"

Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi. "Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik" Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, "yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis."

"Kau memang mata keranjang dan nakal!" Kakaknya mengomel.

"Eh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis, suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyuman semanis madu, gerak-geriknya menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik."

"Biarpun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu."

"Hore! Jadi kaupun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Eh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu."

Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga, "Sama sekali tidak seperti engkau, aku suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan."

"Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!"

"Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita."

Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apalagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya daripada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu

amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguhpun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.

Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka

bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik! Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biarpun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aselinya yang menghargai orang lain.

Betapapun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguhpun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apalagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!

Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.

Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.

Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian dara dengan ayah bundanya itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta lalu ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Dengan kusirnya semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.

Kian Bu yang melihat dara tadi menunduk saja, sedikitpun tidak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal dia mengharapkan kerlingan dan senyum, merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu termenung-menung.

Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata, "Lee-ko, bagaimana?"

Kian Lee mengangkat muka memandang, melihat sinar mata adiknya yang jelas menggodanya, mukanya menjadi makin merah, "Bagaimana apanya?" Dia balik bertanya, setengah membentak.

Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan. "Dia tadi, hebat bukan?"

Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih, "Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!"

"Ah, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikitpun tidak, tersenyum sedikitpun tidak, bicara sepatah katapun tidak!"

"Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!"

"Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?"

Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot. "Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!"

"Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau kau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?"

"Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal."

"Siapa bilang mengganggu? Aih, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan kau selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu."

"Hemm, apalagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!"

"Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?"

"Kian Bu, engkau masih kanak-kanak akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara dengan orang lain seperti itu, tentu engkau akan mudah menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!"

"Bagus....!" Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. "Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!" Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.

Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih, "Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!"

"Alaaaaa.... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan akupun bukan hendak memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?"

"Akan tetapi, kalau kau melukai seorangpun...."

"Koko, kau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!"

Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik inipun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti. Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh. Biarpun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.

Rombongan memasuki sebuah hutan. "Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!" berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.

Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.

"Tolong....! Penculik.... tolong Bi Hwa....!" Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak. Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.

"Tangkap penjahat....!" Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Akan tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.

"Lepaskan aku....! Lepaskan....!" Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.

"Tenanglah sayang, diamlah manis.... aku takkan mengganggumu....!"

Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!

Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak, "Penculik, lepaskan dia!"

Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah, "Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!"

Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat! Kian Lee yang diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut, menanti ucapan terima kasih dan sudah siap untuk mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu. Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu, tiba-tiba terisak dan lari.... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini. "Aihhh, kau.... kau telah membunuhnya....! Kau telah membunuhnya....!" Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian dia mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas. "Aduh kasihan sekali engkau...." bisik Bi Hwa.

Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah "mati". Dan membuka matanya memandang dengan melongo.

"Syukur, kau belum mati.... ah, aku girang sekali.... di manakah yang terluka ?" Bi Hwa bertanya.

Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee. "Kau.... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu"

"Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!" Bi Hwa membantah.

"Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu.... lekas kauhampiri dia...." Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.

Pada saat itu, terdengar bentakan. "Penculik busuk, hendak lari kemana kau?" Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing. Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata, "Bu-te, pergi.... !"

Terbirit-birit Kian Bu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu.

Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang "menolongnya" melainkan menaruh iba kepada Kian Bu "si penculik"! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.

"Kau....!" Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.

"Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!"

"Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang

yang baik budi?"

Suma Kian Bu melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh daripada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.

"Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Meskinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu."

"Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu untuk mempermainkan kepercayaan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula."

"Aihh, koko, jangan, begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku."

"Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kaulakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua."

"Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadamu."

"Hemmmm...." Kian Lee hanya menggumam mengkal.

Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanyapun besar-besar sehingga sudah diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.

"Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko," bisik Kian Bu. Kakaknya cemberut. "Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?" bentaknya.

"Alaaaaaa...., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?"

"Wah, kau memang cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!" cela kakaknya.

"Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!" Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.

"Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?"

"Ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?" Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan. Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta. Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ.

Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya

mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya. Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini "tugasnya" lebih berat daripada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah daripada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum "membayar hutang", adiknya tentu akan rewel terus. Dia akan menjaga agar adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekadar belajar kenal dengan gadis itu!

"Baiklah, aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana," katanya tanpa banyak cakap lagi. Kian Bu memegang tangan kakaknya.

"Terima kasih, koko!"

Kian Lee merenggut tangannya. "Pergilah!"    

Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!

Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan. "Harap cu-wi berhenti dulu!"

Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta dihentiikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta, pemimpinnya seorang piauwsu tua berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.

"Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?" bentak si jenggot putih.

Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata, "Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!"

Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu. Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata, "Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!" berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak. "Tolong.... toloooonggg....!"

Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.

"Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!"

Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudahnya menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biarpun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.

"Lepaskan aku....! Tolonggg....!"

"Diamlah, aku hanya menculikmu!" Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang "Sebentar lagi kau akan tertolong!"

Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang. "Heii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!"

Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.

"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya...." katanya dengan suara merdu.

Kian Bu tersenyum. "Ahhh, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tidak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya."

Gadis itu bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, sikapnya amat memikat.

"Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apapun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi...."

Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata, "Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apalagi menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?"

"Namaku....?" Gadis itu kelihatan malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul. "Aku.... Cia Hong Ciauw...."

"Namamu manis sekali, seperti orangnya," kata Kian Bu. Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnyapun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.

"Ihiiikk.... kongcu bisa saja memuji orang membikin aku malu saja...." Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.

"Lhoh....! Ehhh....! Bagaimana ini....? Wah, jangan....!" Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya.

Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.

"Hong Ciauw....!" Kakek itu membentak marah.

Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata, "Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku sudah mati di tangan penculik kejam...."

Kian Bu yang melihat kakek itu melotot marah, tahu bahwa keadaannya tidak menguntungkan. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!

"Eh, maaf.... aku.... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...."

"Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!" bentak kakek itu. Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apalagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.

Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.

"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.

"Ha-ha-ha-ha....! Dia bini mudanya.... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha....!" Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.

"Koko, kau.... kejam!" Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.

Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata, "Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidakbaikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura saja, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain."

"Huh! Sialan perempuan itu....!" Kian Bu membanting kaki dengan gemas. "Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!"

"Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh."

"Hehh....?" Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. "Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!"

"Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua."

"Eh, siapa mereka itu?"

"Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya."

"Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!" Kian Bu mengomel.

"Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau."

"Wah, kau tiada habisnya mengejek, koko!" Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek. "Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku akan mentertawakanmu juga!"

Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Budha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Budha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Budha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan

hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam. Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!

Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara hartawan dan kedua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.

"Baru sejenak saja dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain," kata si hartawan kepada bini mudanya.

"Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!" jawab si bini muda dengan berani. "Sampai bosan aku mendengarnya!

Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?"

"Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apalagi terima kasihmu itu, kau perempuan rendah....!"

"Sudahlah, sudahlah....!" Isteri pertama mencela. "Di tengah perjalanan, di tempat berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsupun hanya akan menimbulkan rasa malu."

Setelah tiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.

"Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong sehingga penculikan itu dapat digagalkan," kata seorang di antara mereka.

"Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali."

"Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itupun lebih hebat," bantah yang lain. "Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itupun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa gin-kangnya amat luar biasa, seperti terbang saja."

Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih, menarik napas panjang dan berkata, "Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorangpun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tidak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik maupun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kango-uw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal."

Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.

Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.

"Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam," berbisik seorang di antara mereka.

"Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar, memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan."

"Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu?" tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, "Dan kedua orang wanita itu?"

"Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!" kata tosu kedua.

"Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis," kata si tahi lalat.

"Hushhhh.... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan.... heiii.... hujankah....?"

Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tak tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala dan mendekatkan jari ke depan hidung.

"Mengapa baunya begini?"

"Seperti air kencing!"

Dan "hujan" pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.

"Keparat!" Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorangpun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.

"Apa yang terjadi?"

"Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?"

"Akan tetapi, biarpun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?"

"Kita harus bekerja cepat," kata tosu bertahi lalat. "Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!"

Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.

"Mari kita bergerak," kata tosu pertama. "Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam."

"Baik, suheng," kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.

"Heiii.... aduhhh!" Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya. Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh. "Mengapa kau, sam-sute?"

"Tersandung batu! Sialan!"

"Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh."

"Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?" Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. "Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?"

"Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?" cela tosu tertua.

"Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar," kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja!

Tosu tertua dan sam-sutenya yang tadi tersandung batu ajaib itu terbelalak memandang. "Eh, kemana dia?" tanya sutenya. "Mana ji-suheng?"

Tosu tertua juga bingung karena sutenya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas. "Ji-sute....!" bisiknya memanggil.

Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara "ceekkk.... ceekkk...." seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang "menggantung" diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah "biasa" tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!

Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.

Setelah siuman, tosu ketiga bertanya, "Ji-suheng, mengapa kau begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!"

"Bunuh diri hidungmu itu!" Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. "Iblis yang melakukan ini!"

"Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi?" Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ.

Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik. "Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu.... digantung di dahan itu."

"Tidak mungkin!" Tosu pertama membantah.

"Mungkin saja!" Tosu ketiga mencela.

"Buktinya dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterus-teranglah, apa kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!"

"Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!" Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.

"Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Biarpun andaikata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga kau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...."

"Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh.... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh....!" Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.

"Aihh.... benar-benarkah ada setan di sini....?"

Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan kiri sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.

Tiba-tiba si tahi lalat berkata, "Bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh."

"Suara bagaimana?"

"Suara seorang laki-laki berkata: Koko, dia telanjang, ha-ha, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku."

Tosu pertama mengelus jenggotnya. "Hemmm.... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu."

Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang karena dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.

Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki, adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.

Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang sudah turun ke bawah bersama adiknya, berkata, "Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapapun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan."

Kian Bu menggangguk. "Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya."

"Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu."

"Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?"

"Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapapun, dan kita tidak dapat mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidakadilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah."

"Wah, sukar, Lee-ko!"

"Apanya yang sukar?"

"Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidakadilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!"

"Hemm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidakadilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan."

"Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!"

Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, kedua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.

******

Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.

Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil. Betapapun juga, tetap saja ada di antara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup ke mana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!

Apalagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin di antara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.

Biarpun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyaklah pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.

Di antara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua di antara para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar diluar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu. Diantara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.

Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggauta Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara. Di dalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.

Adapun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!

Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.

Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan. "Ada orang dari depan....!" serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.

"Berhenti dan berjaga-jaga!" Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.

Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda. Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh

karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.

"Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Sen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silahkan mengambil jalan dulu!" Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.

Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggauta piauwsu, bahkan dua orang kusir keretapun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari apakah selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu. Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan "setan" semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suhengnya menjawab, "Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian."

Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata, "Kami tidak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!"

Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.

"Kamipun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan menggangu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami."

"Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!" kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi. Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapapun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela mempertaruhkan nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.

"Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami," katanya tenang.

"Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari," kata tosu tertua.

"Apakah yang sam-wi cari?" tanya piauwsu.

"Bukan urusanmu!" jawab si tahi lalat. "Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet?"

Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta, mengangkat mukanya dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan. "Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu ma klum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapapun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang dan orang-orang kawalan kami."

Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!"

"Kami juga tidak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini."

"Wah, piauwsu sombong, keparat kau!" Si tahi lalat sudah bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suhengnya.    "Piauwsu, kalau dua orang suteku bergerak, apalagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab dan sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan."

Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali kalau dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Mati dalam tugas melindungi kawalan bagi seorang piauwsu adalah mati terhormat! Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah? Pula, dia mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw? Kalau dia menang, dia percaya bahwa mereka itu tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biarpun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah.

Andaikata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.

"Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi," katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu.

"Saya sudah siap!"

Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata, "Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!"

Si tahi lalat dan suhengnya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai!

Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata, "Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?"

Piauwsu itu tentu saja menjadi heran, mengangkat goloknya lalu berkata, "Apakah totiang tidak mengenal senjata ini? Sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu."

Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk, "Aahh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?"

Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, dan rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu.

"Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewaklli rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai," kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.

"Senjata.... heh-heh, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh daripada alat pemotong babi di tanganmu itu?"

Piaauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu. "Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku."

"Majulah, kau terlalu cerewet!" kata tosu kecil kurus itu dan dia sendiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.

Melihat sikap tosu itu, piauwsu itu juga tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.

"Wuuuuttt.... sing-sing-sing-singgg....!" Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan kedua. Demikianlah, golok itu menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda, dari kanan ke kiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.

"Wah-wehh.... wutt, luput....!" Tosu kurus kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali dan biarpun dia juga kaget menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.

Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan ke atas. Suara golok membacok angin mengeluarkan suara mendesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar kemanapun tosu itu bergerak.

Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena meleset sedikit saja sampokan itu, tentu mata golok akan menyanyat kulit merobek daging mematahkan tulang!

"Kau boleh juga, piauwsu!" kata si tosu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya juga lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara gulungan sinar golok. Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khi-kang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah, disusul suara "bret-bret-brettt....!" dari kain terobek dan.... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya, "Saya mengaku kalah. Silahkan totiang bertiga melakukan penggeledahan!"

Terdengar suara berbisik di antara para piauwsu, akan tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak, "Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!" Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya!

Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata, "Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!"

Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan menjawab, "Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan."

"Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah ke sana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian."

Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata, "Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan bersembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang."

Si tahi lalat tersenyum menyeringai, "Heh-heh, tidak kau sembahyangkanpun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!"

Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.

"Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Akupun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!"

"Aihhh....!" Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.

"Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!" kata tosu bertahi lalat itu serius. "Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!"

Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.

"Aku.... aku tidak membawa apa-apa....! Aku.... tidak punya apa-apa...."

"Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!" Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu.

Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta, hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus diseling kadang-kadang terkekeh genit dan suaranya mencela, "Eh.... ihh.... hi-hik, jangan begitu totiang....!" Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya, "Hushh, jangan ribut.... kau diamlah saja ku.... ku... geledah...."

Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali peti-peti terisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.

"Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!" Tosu kurus kering mengomel.

"Mana ji-sute?" Tosu tertua bertanya.

"Kemana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?"

"Hemm.... mari kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita tidak baik tentang Pek-lian-kauw."

Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah. "Ji-sute, hayo cepat kita pergi!"

"Eh.... uhh.... baik, suheng!"

Akan tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta, pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah, dan ketika kedua orang hartawan dan isterinya naik kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan di dalam kereta antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka.

Akan tetapi, ketika dua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka. Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur, "Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!"

Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.

Melihat ini, biarpun hatinya menyesal, tiga orang tosu itu terpaksa turun tangan. "Jangan kepalang, kalau sudah begini, bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak kita!" kata si tosu tertua. Memang terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang kereta, karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa Pek-lian-kauw mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan ketua mereka dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin mereka akan dibunuh sendiri oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang karena dapat memburukkan nama Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan dukungannya.

"Bunuh se mua, jangan sampai ada yang lolos!" tiga orang tosu itu berteriak-teriak sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di dekat tiga orang tosu yang bertangan kosong ini, pasti roboh.

Tiba-tiba tampak berkelebatnya dua sosok bayangan orang yang tahu-tahu di situ telah muncul Kian Lee dan Kian Bu. Mereka sudah sejak tadi membayangi dan mengintai dari jauh. Mereka melihat lagak para tosu dan karena wanita muda itu sama sekali tidak minta tolong, bahkan ada terdengar suara ketawanya di antara rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja tidak turun tangan dan mendiamkannya saja. Juga ketika terjadi adu kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena memang pertandingan itu sudah adil, satu lawan satu.

Akan tetapi melihat pertempuran pecah dan mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee dan Kian Bu hampir berbareng melompat dan lari cepat sekali ke medan pertempuran. Sekali mereka bergerak, robohlah empat orang di antara sepuluh orang tinggi besar pengikut Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak, "Cu-wi piauwsu, harap kalian hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami menghadapi tiga orang pendeta palsu ini!"

Melihat munculnya dua orang muda yang segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi besar itu, semua piauwsu terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si penculik nyonya muda dan penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan kini membantu mereka menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw? Akan tetapi, mereka tidak ada waktu untuk bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama pemimpinnya masih berjumlah delapan belas orang karena yang enam orang telah roboh, maju menyerbu dan mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu. Biarpun pada umumnya tingkat kepandaian orang Pek-lian-kauw itu lebih tinggi sedikit, namun karena mereka harus menghadapi para piauwsu dengan perbandingan satu lawan tiga, mereka segera terdesak.

Sementara itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah menghadapi tiga tosu yang memandang kepada mereka dengan mata terbelak dan dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan bertanya, "Apa kabar, sam-wi totiang? Aihh, kenapa sam-wi bau air kencing?"

Mendengar kata-kata ini, tiga orang tosu itu kontan berteriak marah sekali karena mereka tahu bahwa dua orang pemuda inilah yang mengganggu mereka semalam dan yang telah menyamar sebagai "setan". Biarpun semalam mereka mendapatkan bukti betapa lihainya dua orang itu, namun begitu melihat mereka berdua hanyalah pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi besar hati. Sampai di mana sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti itu? Mereka tentu saja tidak merasa gentar sedikitpun dan sambil mengeluarkan suara teriakan seperti harimau buas, si tahi lalat sudah lebih dahulu menerjang maju dan mencengkeram

dengan kedua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian Bu!

Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, akan tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar itu dekat dengan kepalanya secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan kirinya menangkis dua tangan lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya bergerak selagi tubuh lawan masih berada di udara.

"Plak! Crettt! Aduuhh....!" Tosu bertahi lalat di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur berjungkir balik sambil mendekap hidungnya yang keluar "kecap" terkena sentilan jari tangan Kian Bu. Biarpun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sin-kang membuat tubuhnya kebal, akan tetapi ke kebalannya tidak dapat melindungi hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar.

Tosu kurus kering juga sudah menerjang Kian Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati, tidak sembrono seperti sutenya, dia menyerang dengan jurus pilihan dari Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan sin-kang yang mendorong hawa beracun menyambar ke luar dari telapak tangannya. Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang sudah agak tinggi tingkatnya, semua mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang hanya dapat dipelajari oleh kaum Pek-lian-kauw. Ilmu pukulan ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang (Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan memang amat dahsyat karena begitu tosu itu memukul dengan kedua tangan terbuka, tidak saja dapat melukai lawan di sebelah dalam tubuhnya dengan hawa pukulan sin-kang itu, akan tetapi hawa beracun itu masih dapat mencelakai lawan yang dapat menahan sin-kang. Berbahayanya dari pukulan ini adalah karena hawa beracun itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa, berbeda dengan pukulan tangan beracun lain yang dapat dikenal, yaitu dari baunya atau dari uap yang keluar dari tangan sehingga lebih mudah dijaga.

Kian Lee agaknya tidak tahu akan pukulan beracun ini, maka dengan seenaknya dia menyambut dengan kedua telapak tangannya pula. Melihat ini, si tosu kurus kering dan twa-suhengnya yang belum turun tangan menjadi girang, mengira bahwa pemuda itu pasti terjungkal, karena andaikata dapat menahan tenaga sin-kang dari pukulan itu, pasti akan terkena hawa beracun.

"Duk! Plakk!"

Terjungkallah tubuh.... si tosu kurus kering! Kejadian ini tentu saja membuat tosu pertama menjadi kaget setengah mati karena hal yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang disangka dan diharapkannya. Dia melihat tubuh sutenya yang roboh bergulingan menggigil kedinginan, terheran-heran mengapa sutenya bisa begitu. Akan tetapi tak ada waktu untuk memeriksa dan segera menerjang maju dengan marah sekali sambil meloloskan sabuk sutera di pinggangnya. Sabuk pendek ini memang selalu dilibatkan di pinggang dan merupakan senjatanya yang ampuh sungguhpun jarang sekali dia mempergunakannya karena biasanya, kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan. Akan tetapi sekarang, melihat betapa ji-sutenya dalam segebrakan telah remuk hidungnya dan sam-sutenya juga telah roboh dan menggigil kedinginan, dia maklum bahwa kedua orang muda itu amat hebat kepandainnya dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu meloloskan senjatanya itu.

Juga si tahi lalat yang sudah hilang puyengnya karena hidungnya remuk itu, setelah menghapus darah dari mulutnya yang ternoda oleh darah yang menitik dari bekas hidung, sudah mengeluarkan senjatanya pula. Berbeda dengan suhengnya, senjata tosu ini ada dua macam, yaitu seuntai tasbeh dan setangkai kembang teratai putih yang entah diberi obat apa sudah menjadi keras seperti besi! Tadinya kedua senjata ini tersimpan di dalam saku bajunya yang lebar dan kini sudah berada di kedua tangannya.

"Wah-wah, setelah menghadapi kesukaran baru kau ingat kepada tasbehmu dan kembang, ya? Apakah engkau hendak membaca doa dan memuja dewa dengan kembang itu?" Kian Bu mengejek.

"Keparat, mampuslah kau di tanganku!" Si tahi lalat membentak dan tasbehnya sudah menyambar ganas ke arah dahi Kian Bu sedangkan kembang teratai itu menyambar leher. Serangan ini berbahaya sekali karena merupakan serangan palsu atau ancaman. Kelihatannya memang ganas, akan tetapi keganasan ini hanya untuk mengelabui perhatian lawan karena pada detik selanjutnya, selagi perhatian lawan tertuju untuk menghadapi dua serangan ganas itu, kakinya menyambar dan menendang ke arah anggauta kelamin yang merupakan satu di antara pusat kematian bagi seorang laki-laki!

"Cuuuutt-wuuuttt.... wessss!"

Namun sekali ini yang dihadapi oleh si tahi lalat adalah putera Pendekar Super Sakti! Menghadapi serangan ini, dengan amat tenangnya Kian Bu tersenyum dan memandang saja. Ketika dua senjata itu sudah datang dekat, dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, dan pada saat kedua senjata itu ditarik secara berbareng, tahulah dia bahwa dua serangan itu hanyalah merupakan gertak sambal saja, maka dengan tenang dia menanti serangan intinya. Ketika melihat berkelebatnya kaki tosu itu menendang ke arah alat kelaminnya, Kian Bu tersenyum dan pura-pura terlambat mengelak.

"Desss!" Tepat sekali kaki itu menendang bawah pusar dan Kian Bu terjengkang roboh, mukanya pucat dan matanya mendelik dan napasnya terhenti.

"Hua-ha-ha-ha! Kiranya engkau hanya begini saja! Tidak lebih keras daripada tahu!" Sambil berkata demikian, si tahi lalat itu melangkah maju, mengangkat kakinya dan mengerahkan sin-kang, hendak menginjak hancur kepala Kian Bu.

"Wuuuuttt! Plak! Tekkk.... wadouww....!" Tosu itu memekik, kedua senjatanya terlepas dan dia berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan, akan tetapi air matanya bercucuran dan mulutnya megap-megap dan mendesis-desis seperti orang kepedasan, kedua tangannya mendekap alat kelaminnya dan kaki kanannya diangkat, kaki kiri berloncat-loncatan! Apa yang terjadi? Tentu saja Kian Bu tadi menerima tendangan itu dengan sengaja! Sebagai seorang putera Pendekar Super Sakti yang telah memiliki sin-kang luar biasa sekali tingginya, pada saat kaki lawan datang, dia sudah mengerahkan sin-kangnya menyedot seluruh alat kelaminnya masuk ke rongga perut sehingga tendangan itu hanya mengenai kulitnya yang dilindungi oleh hawa sin-kang di sebelah dalam. Akan tetapi dia pura-pura jatuh dan semaput!

Pada saat kaki tosu itu datang hendak menginjak kepalanya, dia cepat megangkap kaki itu, menariknya sehingga tubuh tosu itu merendah, kemudian dengan jari tangannya dia "menyentil" alat kelamin tosu itu, mengenai sebutir di antara bola kelaminnya, dan tentu saja mendatangkan rasa nyeri yang sukar dilukiskan di sini. Hanya mereka yang pernah terpukul bola kelaminnya sajalah yang akan tahu bagaimana rasanya. Kiut-miut berdenyut-denyut terasa di seluruh tubuh, merasuk di otot-otot dan tulang sumsum, terasa oleh setiap bulu di badan, membuat kepala rasanya mot-motan dan ulu hati seperti diganjal, nyeri dan linu, pedih cekot-cekot dan segala macam rasa nyeri terkumpul menjadi satu membuat tosu itu pingsan tidak sadarpun tidak, hidup tidak matipun belum! Dalam keadaan seperti itu, tentu saja kedua senjatanya terlepas tanpa disadarinya lagi, bahkan dia masih

berjingkrakan seperti seekor monyet diajar menari ketika Kian Bu sambil tertawa mengalungkan tasbeh di leher tosu itu dan menancapkan tangkai kembang di rambutnya!

Sementara itu tosu tertua yang menyerang Kian Lee pun kecelik. Sabuknya menyambar seperti seekor ular hidup, mula-mula melayang-layang ke sana-sini untuk mengacaukan perhatian lawan. Namun, melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membuat gerakan mengelak, bahkan memandang gerakan sabuk itu tanpa gentar sedikitpun juga, sabuk itu melayang turun dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Kian Lee. Kalau saja pemuda ini belum yakin akan kemampuan dan kekuatan sin-kang lawan, tentu saja dia tidak begitu gegabah berani menerima totokan ujung sabuk ke arah bagian kepala yang lemah ini. Akan tetapi perhitungannya sudah masak, dan dia menerima saja totokan itu.

"Takkkk!" Ujung sabuk tepat mengenai ubun-ubun kepala pemuda itu, akan tetapi sabuk itu membalik dan hebatnya, bukan sembarangan saja membalik, melainkan mengandung kekuatan dahsyat dan sabuk itu menyerang ubun-ubun kepala tosu itu sendiri tanpa dapat ditahannya. Kaget setengah mati tosu itu dan cepat dia miringkan kepala sehingga totokan sabuk itu meleset.

Akan tetapi dia masih penasaran. Disangkanya hal itu hanyalah kebetulan saja karena kuatnya dia menggerakkan sabuk dan kuatnya pemuda itu menahan totokannya. Biarpun dia kaget dan juga heran, namun kembali dia menggerakkan sabuknya dan sekali ini sabuknya meluncur dan menotok ke arah mata kanan Kian Lee! Secepat itu pula, tangan kirinya bergerak ke depan mencengkeram ke arah pusar. Sukar dibandingkan yang mana antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya. Sudah jelas bahwa totokan ujung sabuk ke arah mata itu sedikitnya dapat membuat sebelah mata menjadi buta! Akan tetapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu ke pusar, kalau sampai pusar dapat dicengkeram dan terkuak, tentu isi perut akan ambrol dan terjurai keluar semua!

Kian Lee yang senantiasa bersikap tenang itu sedikitpun tidak menjadi gugup bahkan dengan tenangnya tanpa berkedip dia menanti sampai ujung sabuk dekat sekali dengan mukanya, lalu tiba-tiba tangannya menyampok dan mengirim kembali ujung sabuk itu ke muka lawan, sedangkan perutnya menerima cengkeraman itu, bahkan menggunakan sin-kang untuk membuat perutnya lunak seperti agar-agar sehingga tangan lawan terbenam masuk, akan tetapi setelah tangan lawan memasuki perutnya, dia mengerahkan sin-kang untuk menyedot dan tangan itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya.

Bukan main kagetnya tosu itu, dia harus membagi perhatiannya menjadi dua, sebagian untuk menarik kembali tangannya yang terjepit di perut lawan, dan kedua kalinya untuk menguasai sabuknya sendiri yang menjadi "liar" dan menyerang dirinya sendiri.

"Plakk! Krekkk!" Tubuh tosu itu terjengkang dan dia mengerang kesakitan karena selain pipinya terobek kulitnya oleh hantaman ujung sabuknya sendiri, juga tulang ibu jari dan kelingkingnya patah-patah terkena himpitan di dalam perut pemuda luar biasa itu!

"Tahan semua senjata! Cu-wi piauwsu, biarkan mereka pergi semua!" Kian Lee berseru suaranya lantang sekali, penuh dengan kekuatan khi-kang sehingga mereka yang masih bertanding itu terkejut dan menahan senjata masing-masing.

Kepala piauwsu itu yang melihat betapa tiga orang tosu itu telah dibuat tidak berdaya oleh dua orang pemuda aneh itu, tak berani membantah lalu berkata kepada sisa pengikut Pek-lian-kauw, "Kalian tahu sendiri kami tidak berniat untuk memusuhi Pek-lian-kauw, melainkan pimpinan kalian yang mendesak kami. Nah, pergilah dan bawa te man-temanmu!"

Sisa pihak Pek-lian-kauw yang maklum bahwa melawanpun tiada gunanya, lalu saling tolong dan naik ke atas kuda. Tiga orang tosu yang tadinya ketika datang menggunakan ilmu lari cepat di depan rombongan kuda, kini dalam keadaan setengah pingsan dipangku oleh mereka yang masih sehat, kemudian tanpa pamit mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Para piauwsu lalu menolong teman-teman mereka yang terluka sedangkan pimpinan rombongan itu, piauwsu berjenggot putih menjura kepada Kian Lee dan Kian Bu sambil berkata, "Berkat pertolongan ji-wi taihiap maka kami masih dapat selamat dan...." tiba-tiba dia menghentikan kata-kata dan terbelalak ketika melihat dua orang pemuda itu saling pandang, mengangguk dan tiba-tiba saja melesat dan lenyap dari depannya! Yang terdengar dari jauh hanya suara melengking tinggi, seperti suara burung rajawali yang sedang berkejaran.

"Bukan main....!" Piauwsu itu menggeleng kepala dan melongo. "Sepasang pemuda itu.... seperti.... sepasang rajawali sakti saja....! Sayang mereka tidak memperkenalkan diri....!" Memang selama hidupnya berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah piauwsu ini menyaksikan kepandaian dua orang pemuda semuda itu, dua orang pemuda yang tingkat ilmunya tidak lumrah manusia dan ketika pergi seperti terbang, seperti sepasang rajawali sakti saja!

Tiada habisnya mereka membicarakan kedua orang pemuda itu yang pada kemunculan pertama sudah aneh, seorang menjadi penculik dan seorang menjadi penolong, kemudian penculik dan penolong itu bekerja sama mengusir orang-orang Pek-lian-kauw secara mengherankan sekali. Tak salah lagi, tentu mereka itu bersaudara melihat wajah mereka yang mirip, dan tentu soal penculikan tadi hanya main-main saja, permainan dua orang pemuda aneh yang tidak lumrah manusia.

Cerita itu menjalar cepat dari mulut ke mulut sehingga mulai hari itu, terkenallah julukan Sepasang Rajawali Sakti untuk dua orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bukan hanya dari pihak piauwsu itu saja yang memperluas cerita itu, juga dari pihak Pek-lian-kauw sendiri segera mengakui bahwa memang di dunia kang-ouw muncul dua orang pemuda yang aneh dan yang patut disebut Sepasang Rajawali Sakti karena ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi!

******

Tidak baik kalau terlalu lama kita meninggalkan Lu Ceng atau Ceng Ceng, dara remaja cantik jelita dan lincah jenaka yang sejak permulaan cerita ini sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat itu. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng yang juga mempunyai nama baru setelah diangkat adik oleh puteri Bhutan, yaitu Candra Dewi, hanyut di dalam perahu tanpa kemudi bersama kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi yang dalam penyamarannya karena dikejar-kejar kaum pemberontak juga mempunyai nama baru, yaitu Lu Sian Cu.

Seperti telah diceritakan, Syanti Dewi dan Ceng Ceng terlempar ke air sungai yang dalam dan deras arusnya, ketika perahu yang tanpa kemudi karena ditinggalkan tukang perahu itu menabrak perahu-perahu lain dan terguling. Syanti Dewi dapat tertolong oleh seorang laki-laki gagah perkasa yang bukan lain adalah Gak Bun Beng, akan tetapi keduanya tidak berhasil mencari Ceng Ceng dengan jalan menyusuri tepi Sungai Nu-kiang. Namun tak ditemukan jejak Ceng Ceng dan dengan hati berat terpaksa Syanti Dewi bersama penolongnya itu meninggalkan sungai itu dan menganggap bahwa Ceng Ceng tentu sudah tenggelam dan tewas.

Benarkah Ceng Ceng tewas tenggelam di dasar Sungai Nu-kiang di barat itu?

Kalau demikian, pengarang yakin tentu dalam waktu pendek pengarang tentu akan menerima surat-surat protes dari para pembaca! Tidak, Ceng Ceng tidak tewas dan pada saat Syanti Dewi dan Gak Bun Beng menyusuri tepi Sungai Nu-kiang itu, dia sudah menggeletak jauh dari tepi sungai, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dan liar, menggeletak pingsan dengan muka masih kebiruan, akan tetapi perutnya telah kempis tidak penuh air dan napasnya sudah berjalan dengan halus dan kuat. Krisis telah lewat dan dara itu telah selamat dari cengkeraman maut melalui air Sungai Nu-kiang.

Ceng Ceng mulai siuman dan menggerak-gerakkan pelupuk mata, atau lebih tepat lagi, bola mata yang masih tertutup pelupuk itu mulai bergerak, kemudian pelupuk matanya terbuka perlahan, makin lama makin lebar sehingga matanya seperti sepasang matahari baru muncul dari permukaan laut di timur. Mendadak, mata itu terbuka serentak dengan lebar, kepalanya menoleh ke kanan kiri, lalu ke pinggir tubuhnya. Mengapa dia rebah terlentang di bawah pohon-pohon besar, di atas rumput kering, di dekatnya ada api unggun yang mendatangkan hawa hangat. Ketika menengok ke kanan, dia melihat seorang pemuda sedang duduk di tepi sungai kecil di dalam hutan itu, duduk membelakanginya dan memegang tangkai pancing, sedang tangan kirinya memegang sebuah paha ayam hutan yang sudah dipanggang, dan di dekatnya tampak kayu yang masih terbakar mengepulkan asap dan di antara api membara itu masih terdapat sisa ayam hutan.

Ceng Ceng tidak bergerak, memandang seperti dalam mimpi. Siapa pemuda itu? Dan dia.... mengapa berada di tempat ini. Tiba-tiba dia menahan seruannya karena teringat. Bukankah dia bersama kakaknya Syanti Dewi terlempar ke dalam sungai dan hanyut? Teringat akan ini, teringat akan kakaknya yang hanyut, serentak Ceng Ceng melompat bangun.

"Iiihhh....!" Dia menjerit kecil dan cepat-cepat dia merobohkan diri "mendekam" lagi di atas tanah, kedua tangannya sibuk menutupkan jubah lebar yang kedodoran dan tadi terbuka ketika dia meloncat bangun. Baru sekarang dia melihat dan memperhatikan keadaan tubuhnya dan rasa malu membuat seluruh tubuhnya, mungkin saja dari akar rambut sampai akar kuku jari kaki, menjadi kemerahan. Siapa yang tidak akan malu setengah mati mendapat kenyataan bahwa tubuhnya hanya tertutup oleh jubah lebar itu saja, tanpa apa-apa lagi di sebelah dalamnya? Dia telah telanjang bulat-bulat betul, hanya terlindung oleh jubah itu. Di mana pakaiannya? Mengapa dia telanjang bulat? Siapa yang mencopoti pakaiannya tanpa ijin? Dan jubah ini, siapa yang menutupkan di tubuhnya? Siapa lagi kalau bukan pemuda itu, pikirnya dan matanya mulai mengeluarkan sinar berapi. Kurang ajar!

Pemuda laknat, berani menelanjangi aku dan memakaikan jubah ini. Pemuda yang harus mampus! Ingin dia menjerit dan menangis, akan tetapi melihat pemuda yang duduk mancing ikan dan membelakanginya itu diam tak bergerak, dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak boleh sembrono dan lancang, pikirnya. Bagaimana kalau bukan dia yang melakukannya?

"Setan alas di kali eh, setan kali di alas!" Tiba-tiba pemuda itu mengomel dan kalau Ceng Ceng tidak sedang marah besar sekali itu tentu dia akan tertawa geli melihat pemuda itu mengangkat pancingnya dan melihat ada tahi tersangkut di mata kail itu! Agaknya tahi monyet atau binatang lain, akan tetapi bentuknya seperti kotoran manusia dan cukup menjijikkan! Dengan gerakan gemas pemuda itu menyabet-nyabetkan kailnya di air sampai kotoran itu lenyap, kemudian mengangkat mata kailnya yang sudah kehilangan umpan, mengambil lagi daging bakar, sebagian dicuwil untuk dipakai umpan, sebagian lagi dijejalkan mulutnya. Melihat betapa pemuda itu kembali mengambil paha ayam dan menggigitnya, timbul air liur di mulut Ceng Ceng karena baru terasa olehnya betapa lapar perutnya.

Pemuda itu lalu menancapkan gagang pancingnya di tanah, lalu bangkit berdiri, membalik dan baru dia melihat Ceng Ceng agaknya! Melihat gadis itu sudah siuman, mendeprok di bawah dengan tangan sibuk menutupi tubuhnya dengan jubah kedodoran yang kancingnya banyak yang sudah rusak sehingga tidak dapat dikancingkan itu, dia tersenyum mengejek! Senyum yang bagi Ceng Ceng amat menggemaskan, senyum yang lebih tepat disebut menyeringai dan sengaja mengejek, malah matanya melirak-lirik seperti orang menggoda, tangan kiri memegang paha ayam diacungkan ke atas, dicium dengan cuping hidung kembang kempis.

"Hemmm.... sedap dan gurihnya....!" lalu dia menoleh kepada Ceng Ceng sambil berkata, "Wah, lama benar engkau tidur! Keenakan mimpi, ya? Kau membikin aku repot bukan main, yaaaa.... repot bukan main, lahir batin. Untung engkau tidak mati di sungai, dan untung aku mempunyai jubah cadangan, biarpun sudah agak tua akan tetapi cukup untuk menyelimutimu."

Mendengar ini, kontan keras Ceng Ceng naik darah! Betapa tidak kalau kata-kata pemuda itu jelas membuktikan bahwa pemuda inilah yang telah mencopoti semua pakaiannya, kemudian mengenakan jubah itu pada tubuhnya! Sialan? Dia meloncat bangun, kedua tangan dikepal dan siap untuk menyerang, akan tetapi agak kaku karena tangan kanannya tertutup oleh tangan baju yang terlalu panjang itu dan telapak kakinya terasa nyeri dan juga geli karena kakinya telanjang dan batu-batu di tempat itu agak runcing. Akan tetapi hanya beberapa detik saja dia memasang kuda-kuda yang kaku itu karena dia melihat pemuda itu sudah menaruh telunjuknya di depan hidung sambil berkata, "Cih, tidak tahu malu, ya? Lihat jubah itu kedodoran!"

Tentu saja Ceng Ceng sudah cepat menggunakan kedua tangannya untuk menutupi depan jubahnya dan dia tidak berani lagi maju menyerang karena begitu dia menyerang, tentu jubah itu akan terlepas, terbuka dan.... akan tampaklah semua bagian depan dari tubuhnya. Dia membanting-banting kakinya, akan tetapi segera menjerit dan mengaduh karena kakinya menimpa batu runcing. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang wajah pemuda itu.

Pemuda itu lalu enak-enak duduk lagi di tepi sungai, membelakangi Ceng Ceng dan sambil melanjutkan makan ayam panggang dia mencurahkan perhatiannya kepada pancingnya, seolah-olah Ceng Ceng tidak ada di belakangnya atau bahkan seolah-olah di dunia ini tidak ada seorang manusia lain kecuali dia dan pancingnya!

Ceng Ceng makin panas perutnya. Dia memutar otaknya dan teringat akan cerita tentang jai-hwa-cat, yaitu penjahat berkepandaian tinggi yang kerjanya hanya menculik dan memperkosa seorang gadis kemudian membunuhnya. Dia bergidik. Seorang penjahat jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) kiranya pemuda itu! Dia terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat keji. Diam-diam selagi pemuda itu membelakanginya, dia meraba-raba tubuhnya, memeriksa dan merasakan keadaan tubuhnya. Hatinya lega karena dia merasa yakin bahwa dia belum ternoda. Akan tetapi berapa lama lagi? Dan dia sudah ditelanjangi oleh pemuda itu, jari-jari tangan pemuda itu telah menggerayangi tubuhnya ketika menanggalkan semua pakaiannya, bahkan sepatunya, kemudian mengganti dengan jubah itu! Pemuda kurang ajar! Pemuda yang harus mampus!

Makin dipikir, makin dikenang, makin panas rasa perutnya. Dia lalu merobek pinggiran jubah itu sehingga merupakan tali yang cukup panjang, kemudian selain menggunakan sebagian tali untuk ikat pinggang, juga dia mengikat lubang-lubang kancing jubah itu sehingga tidak ada bahaya terbuka lagi kalau kedua tangannya digerakkan. Setelah itu lalu digulungnya lengan bajunya sampai ke siku agar tidak menghalangi gerakannya karena dia sudah mengambil keputusan pasti untuk menghajar jai-hwa-cat itu!

Menghajarnya sampai mati.

Setelah selesai persiapannya, dia melangkah perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya sudah terkepal di pinggang, siap untuk menerjang dan memukul. Dia harus menyerang dengan jurus apa? Bagian mana yang harus dipukulnya dan sebaiknya memukul dengan tangan terbuka atau terkepal? Dia mempertimbangkan, memilih-milih bagian mana yang paling "lunak" dan yang paling tepat, karena dia yakin bahwa pemuda itu tentu pandai, maka dia harus dapat berhasil menyerang secara "tek-sek", yaitu satu kali "tek" (suara pukulan) hasilnya "sek" (mati), atau sekali pukul mati! Tengkuknya yang sebagian tertutup rambut yang hitam lebat dan dikuncir tebal itu? Ah, kuncir itu terlalu tebal dan ini bisa menahan pukulannya. Punggungnya? Pemuda itu memakai baju dan berlapis jubah tebal, inipun tidak menguntungkan kalau dia memukul punggung, apalagi menotok karena totokannya bisa terhalang oleh tebalnya pakaian. Kepalanya! Ya, ubun-ubun kepalanya itu. Biarpun pemuda itu rambutnya hitam dan tebal, akan tetapi kiranya rambut itu tidak cukup kuat untuk melindungi ubun-ubun yang lemah.

Sekali pukul ubun-ubunnya, beres! Apalagi kalau dia mengerahkan sin-kangnya, menggunakan jari tangan terbuka mencengkeram, tentu jari-jari tangannya akan menancap di ubun-ubun itu. Crottt, dan otaknya akan muncrat keluar! Ceng Ceng bergidik ngeri juga. Belum pernah dia melakukan hal sekejam itu. Membayangkan otak kepala manusia berlepotan di jari tangannya, dia sudah mau muntah. Ah, ditotok saja jalan darah di lehernya. Totokannya biasanya jitu dan sekali totok tentu pemuda itu akan tak berdaya lagi, kalau sudah begitu, terserah nanti bagaimana dia akan membunuhnya.

Tangannya sudah dibuka jarinya, kedua jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan sudah menegang sedangkan tiga jari lainnya ditekuk, siap untuk melakukan totokan yang jitu selagi pemuda itu tekun memperhatikan pancingnya.

"Apakah sebelum membunuhku, kau tidak lebih dulu menanyakan di mana kusimpan pakaianmu? Kalau aku mati dan kau tidak dapat menemukan pakaianmu, apakah kau akan melakukan perjalanan seperti itu?"

Ucapan pemuda itu membuat dia lemas! Lemas dan jengkel. Jari tangan yang sudah menegang menjadi lemas kembali.

"Jai-hwa-cat! Manusia cabul! Mata keranjang! Laki-laki tak tahu malu! Ceriwis dan muka tebal!"

Pemuda itu menoleh, tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan putih bersih, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. "Apa lagi? Kalau masih ada, keluarkan semua, kalau perlu boleh melihat kamus mencari kata-kata makian. Tidak baik menyimpan penasaran."

Bagaikan api disiram bensin, kemarahan Ceng Ceng makin berkobar, telunjuknya menuding. "Kau.... kau.... babi celeng monyet anjing kerbau! Kau manusia iblis, setan, siluman eh, apalagi.... eh, keparat jahanam! Hayo kembalikan pakaianku, kalau tidak...."

"Kalau tidak mengapa sih?"

"Kalau tidak.... akan kuhancurkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu, kupotong lehermu, kaki dan tanganmu....!"

"Heh-heh, memangnya aku ayam? Terlalu kejam bagi seorang dara secantik engkau!"

Karena kata-kata dan sikap pemuda itu mengejeknya, tak dapat lagi Ceng Ceng menahan kemarahan hatinya, "Kembalikan pakaianku!"

"Nanti dulu! Kalau kau minta dengan cara kurang ajar seperti itu, jangan harap aku akan mengembalikannya!"

"Apa? Harus bagaimana aku minta?"

"Yahhh, dengan kata-kata yang sopan dan manis, namanya saja orang minta-minta."

"Aku bukan pengemis!"

"Akan tetapi engkau minta sesuatu, harus yang sopan dan manis."

"Manis hidungmu! Mampuslah!"

Ceng Ceng sudah tak dapat lagi menahan lebih lama dan dia menyerang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya memukul meskipun kakinya berjingkrak karena telanjang.

"Hehhhh.... waaahhh.... luput!"

"Haaaaiiitttt....!" Tubuh Ceng Ceng menerjang maju, kakinya menendang menyusul hantamannya mengarah dada.

"Wuuuussss.... hampir saja tapi luput!"

"Hyaattt....!" Kemarahan membuat Ceng Ceng menyerang sehebatnya, kini tangan kirinya mencengkeram ke arah mata lawan disusul tangan kanannya menyodok lambung. Pukulan yang berbahaya sekali.

"Bagus seka li, sayang gagal....!"

Bertubi-tubi Ceng Ceng menyerang, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah dipelajarinya, terus mengejar kemanapun pemuda itu loncat mengelak, namun tak pernah serangannya berhasil. Gerakan pemuda itu luar biasa gesitnya, dan tiba-tiba Ceng Ceng mengaduh-aduh, lalu menghentikan serangannya dan pergi dari tempat yang penuh batu kerikil runcing itu ke tempat tadi. Kiranya pemuda itu mengelak sambil memancing gadis itu mengejarnya ke tempat yang penuh dengan batu kerikil runcing. Tentu saja kaki Ceng Ceng menjadi korban. Semenjak kecil, dara itu tidak pernah mempergunakan kakinya bertelanjang menginjak sesuatu, tentu saja telapak kakinya menjadi amat halus, kulitnya tipis dan perasa sekali. Tanpa sepatu, kakinya itu merupakan

bagian tubuh yang lemah sekali.

Kini dia memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lagak dan kata-kata pemuda itu, caranya mengelak dan mengejeknya ketika semua serangannya gagal, mengingatkan dia akan seseorang. Melihat dara itu tidak menyerangnya lagi, pemuda itu berkata kepada diri sendiri, "Melihat orang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis. Menyebalkan!" Tiba-tiba tubuhnya lenyap begitu saja dan Ceng Ceng melongo. Kiranya pemuda itu adalah iblis! Hanya iblis saja yang pandai menghilang seperti itu. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan iblis, dan menurut dongeng, iblis hanya muncul di waktu malam. Sekarang, masih siang begini iblis macam apa muncul dalam ujud seorang pemuda tampan?

"Nih pakaianmu!" Tiba-tiba terdengar suara dari atas dan ketika Ceng Ceng memandang ke atas, kiranya pemuda itu nongkrong di atas dahan pohon dan mengeluarkan pakaiannya dari bungkusan, kemudian melemparkan pakaiannya kepadanya. Ceng Ceng menerima gulungan pakaiannya itu, lengkap pakaian dalam dan luar, dan sepatunya, akan tetapi pakaian petani yang dipakai menyamar, yang dipakai di luar pakaiannya sendiri, tidak ada. Dia tidak pula memperhatikan hal ini, bahkan kini pakaian itu hanya dipegangnya saja dengan kedua tangannya karena dia memandang pemuda itu yang meloncat turun dengan gerakan yang membuat dia kaget dan kagum. Pantas saja seperti menghilang, kiranya pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya. Akan tetapi, bukan itu yang membuat dia bengong dan seperti orang terpesona, melainkan buntalan yang dibawa turun oleh pemuda itu. Teringat benar bahwa dia pernah melihat buntalan itu, bahkan pernah melemparkannya ke dalam sungai. Melemparkan buntalan! Dari perahu!

"Heiiiii....!" Tiba-tiba karena teringat, dia menjerit sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu. Si pemuda sedang berjongkok memegang buntalan untuk memeriksa apakah pancingannya mengena, ketika ditunjuk dan tiba-tiba dara itu menjerit, dia kaget sampai terloncat.

"Wah, kau ini gadis aneh. Apalagi kau menjerit-jerit seperti melihat setan?" dia mengomel.

"Bukan melihat setan, melainkan melihat engkau! Engkau tukang perahu keparat itu! Benar, matamu, senyummu...."

"Bagus dah menarik, ya?"

"Menarik hidungmu! Hayo mengaku! Kau yang menyamar sebagai tukang perahu itu, bukan?"

"Kalau tidak mengaku, mengapa?"

"Mengaku atau tidak, tetap saja aku sekarang mengenalmu. Buntalan itu! Aku membuangnya ke dalam sungai dan kau meloncat mengejar dan menyelam."

"Kau memang gadis liar dan galak!"

"Dan kau.... kau meninggalkan perahu, membuat perahu hanyut dan terguling. Dan enciku ehhhh, enciku.... dia tentu celaka....!"

"Hemm, semua gara-gara engkau juga! Mengapa engkau begitu jahat dan kejam, membuang buntalan orang? Sepatutnya engkau yang harus mati tenggelam, bukan kakakmu yang baik hati dan manis budi dan cantik jelita itu."

"Tidak, engkau yang meninggalkan perahu sampai perahu hanyut!" Ceng Ceng membantah, marah.

"Kalau kau tidak begitu kejam membuang buntalanku, apakah aku meninggalkan perahu? Kau saja yang tak mengenal budi orang!" Pemuda itu mengomel lalu mengambil sebuah topi caping lebar dari buntalan besar dan mengebut-ngebutkannya. Melihat caping itu, Ceng Ceng makin kaget dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak lebar.

"Heiii....!"

"Ihhh!" Pemuda itu mencela, terperanjat. "Apa kau sudah gila, menjerit-jerit tidak karuan?"

"Capingmu itu! Kau adalah orang yang dulu mengganggu ketika sang.... eh, kakakku hendak mandi!"

Pemuda itu menoleh, tersenyum mengejek dan berkata, "Benarkah?"

"Ternyata kau memang kurang ajar, agaknya sejak dahulu engkau membayangi kami, ya?"

"Kalau kau yang minta aku pergi ketika itu, aku tentu tidak sudi. Akan tetapi Sang Puteri Syanti Dewi, dia begitu cantik, begitu halus, sayang, gara-gara kenakalanmu dia sampai lenyap!"

"Gara-gara kekurangajaranmu!" Ceng Ceng membantah.

"Gara-gara engkau!"

"Engkau!"

"Hemmm, kau ini hanya seorang dayang pelayan besar lagak amat!" pemuda itu mengejek.

Sepasang mata yang sudah terbelalak itu mengeluarkan sinar berapi. "Apa katamu? Dayang pelayan? Keparat bermulut lancang dan busuk!" Ceng Ceng melepaskan gulungan pakaiannya dan saking marahnya dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus yang paling ampuh. Akan tetapi, dengan gerakan yang aneh dan sigap, pemuda itu berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya dan dia meronta-ronta namun tidak bisa melepaskan kedua tangannya yang terpegang. Ceng

Ceng marah sekali, kakinya menendang-nendang namun selalu dapat ditangkis oleh kaki pemuda itu. Betapapun juga, memegang seorang dara yang liar seperti itu sama dengan memegang seekor harimau betina, salah-salah bisa terkena cakarnya. Maka pemuda itu berkata sungguh-sungguh, "Gadis liar! Kalau kau tak menghentikan kegalakanmu, terpaksa aku akan menghukummu dengan ciuman-ciuman pada mulutmu!"

Diancam pukulan atau maut, agaknya Ceng Ceng takkan merasa takut. Akan tetapi diancam ciuman, hal yang sama sekali belum pernah dialaminya biar dalam mimpi sekalipun, meremang seluruh bulu di tubuhnya, dan otomatis dia menghentikan gerakan tubuhnya. Melihat ini, pemuda itu tertawa dan sekali mendorong, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting ke atas tanah.

"Huh, biar kau belajar ilmu silat lagi sampai kau menjadi nenek-nenek keriput, tak mungkin engkau dapat melawanku." Pemuda itu mengejek dengan nada suara sombong sekali.

Ceng Ceng yang terduduk di atas tanah itu tak bergerak, hati dan pikirannya terasa sakit bukan main. Pemuda ini seorang pemuda yang tampan dan berkepandaian begitu tinggi, dan kini dia dapat menduga-duga bahwa dia yang terseret arus sungai tentu telah ditolong oleh pemuda ini, tentu dalam keadaan hampir mati dan basah kuyup. Pemuda aneh ini, yang tampan dan gagah, tentu telah mengeluarkan air dari perutnya dan karena pakaiannya basah kuyup, tentu telah menanggalkan pakaian itu dan memakaikan jubahnya kepadanya, dan pakaiannya itu, sampai sepatu-sepatunya, dijemur sampai kering, mungkin setelah dicuci dulu karena terkena lumpur. Dan ketika menanggalkan semua pakaiannya, pemuda itu jelas tidak melakukan sesuatu yang melanggar

susila, kalau demikian halnya, tidak akan begini keadaannya. Pemuda yang aneh, tampan, gagah, kurang ajar akan tetapi juga baik sekali. Justeru kebaikan pemuda itulah yang membuat hatinya menjadi makin sakit, karena betapapun baik dan tampan dan gagahnya, pemuda itu kini ternyata tidak menghargainya, menghinanya, memandang rendah mengatakannya pelayan dan biar sampai menjadi nenek-nenek keriput takkan mampu melawannya. Dan pemuda itu sudah dua kali mengalahkannya.

Dia jengkel sekali, marah sekali. Melawan dengan tenaga, tidak mampu, bahkan kalah jauh sekali. Melawan dengan maki-makian, ternyata pemuda itupun pandai sekali bicara, bahkan setiap kata-katanya menusuk perasaan! Dia kalah segala-galanya! Perasaan ini membuat dia terasa begitu nelangsa, teringat dia akan kakeknya, karena kalau ada kakeknya, tentu tidak ada manusia berani bersikap begini kurang ajar kepadanya. Selama hidupnya, ketika kakeknya masih ada, dia belum pernah mengalami penghinaan seperti ini. Juga kalau ada Syanti Dewi yang biarpun halus dan lemah namun amat berwibawa itu, agaknya dia ada yang membela.

Sekarang, dia seorang diri dan dihina orang tanpa mampu melawan sedikitpun. Teringat akan ini, biarpun pada dasarnya Ceng Ceng bukan seorang dara yang cengeng, bahkan amat keras hati dan pantang menangis karena iba diri, kini tak dapat menahan tangisnya dan dia menundukkan muka, menutupi kedua matanya yang mengalirkan air mata.

Siapakah pemuda tampan yang amat lihai itu? Dia ini bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini semenjak meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho, telah banyak mengalami hal yang hebat-hebat. Selama dua tahun dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi, kemudian petualangannya sebagai Si Jari Maut dengan menggunakan nama Gak Bun Beng untuk merusak nama musuh pembunuh ayahnya yang sudah meninggal itu dan kemudian setelah dia dikalahkan oleh Puteri Milana yang membuat dia malu dan penasaran sekali dia bertemu dengan Kong To Tek bekas tokoh Pulau Neraka yang telah mewarisi kitab-kitab peninggalan dua orang Iblis Tua dari Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Karena Kong To Tek menderita sakit ingatan, tokoh ini yang melihat wajah Tek Hoat mirip sekali dengan Wan Keng In yang sudah meninggal, mengira bahwa dia berhadapan dengan Wan Keng In dan menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan dua orang Iblis Tua itu kepada Tek Hoat, berikut pedang pusaka Cui-beng-kiam yang ampuh dan catatan pembuatan obat perampas ingatan yang amat luar biasa. Karena mencobakan obat perampas ingatan dan obat penawarnya kepada Kong To Tek, maka kakek ini waras kembali dan melihat dia tertipu, dia hendak membunuh Tek Hoat namun kalah dan bahkan dia yang terbunuh oleh Tek Hoat yang telah menjadi lihai sekali!

Dengan hati girang Tek Hoat yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat, bahkan masih ada dua buah kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang dianggap gurunya dan yang belum dilatihnya, pemuda ini lalu pergi hendak pulang ke rumah ibunya di puncak Bukit Angsa, membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.

Kini dia tidak sudi lagi menyamar dengan nama Gak Bun Beng. Dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, dan dia menganggap bahwa di dunia ini tidak akan ada yang dapat melawannya, maka dia berhak menggunakan namanya sendiri dan hendak mencari nama besar dengan cara yang akan menimbulkan kegemparan di dunia! Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika dia tiba di puncak Bukit Angsa, dia mendapatkan rumah ibunya kosong dan ibunya tidak berada lagi di rumah itu. Bahkan melihat bekas-bekasnya, agaknya sudah lama ibunya meninggalkan rumah itu tanpa meninggalkan pesan apapun dan kepada siapapun. Tek Hoat menjadi jengkel dan marah kepada ibunya, lupa bahwa dialah yang telah melanggar janji. Ketika pergi dahulu, dia berjanji untuk pulang menengok ibunya setiap tahun, akan tetapi dia telah pergi hampir empat tahun lamanya dan baru ini dia pulang!

Terpaksa dia meninggalkan lagi Bukit Angsa dengan tujuan mencari ibunya, dan terutama sekali mencari nama besar di dunia kang-ouw. Pertama-tama dia harus mengunjungi Bu-tong-pai dan memberi hajaran kepada para tokoh Bu-tong-pai yang telah berani menghinanya empat tahun yang lalu! Kedua, dia akan mencari Puteri Milana di kota raja dan akan menantangnya untuk menebus kekalahannya dua tahun yang lalu! Kemudian dia akan membuat geger dunia kang-ouw dan minta diakui sebagai jagoan nomor satu, lalu dia akan menantang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

Dengan cita-cita besar itu, pergilah Tek Hoat dari Bukit Angsa. Akan tetapi sebelum semua cita-citanya terkabul, dia bertemu dengan rombongan Pek-lian-kauw dan dalam bentrokan kecil antara dia dengan para tokoh Pek-lian-kauw, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang dahsyat. Para tokoh Pek-lian-kauw tertarik, lalu membujuknya dan membawa pemuda yang masih hijau ini pergi menghadap Pangeran Tua, yaitu Pangeran Liong Bin Ong di kota raja!

Pertemuannya dengan Pangeran Liong Bin Ong membuat terbuka mata pemuda ini bahwa jalan satu-satunya untuk mencari kedudukan tinggi, juga membuat nama besar dan melakukan kegemparan di dunia, adalah membantu pangeran ini. Kalau sampai mereka berhasil merampas tahta kerajaan, tentu dia akan memperoleh pangkat tinggi dan siapa tahu terdapat kesempatan baginya untuk kelak merampas mahkota sendiri dan menjadi kaisar! Lamunan muluk-muluk ini membuat Tek Hoat untuk sementara melupakan urusan pribadinya dan mulailah dia mengabdi kepada Pangeran Tua yang mengangkatnya menjadi pengawal kepala dan menugaskannya mewakili pangeran ini mengadakan kontak dengan para pembantu pangeran di luar kota raja.

Ketika Kaisar Kang Hsi melamar Puteri Syanti Dewi di Bhutan untuk diperisteri adik tirinya, Pangeran Long Khi Ong, adik tiri Pangeran Tua, diam-diam Pangeran Tua ini tidak setuju. Tentu saja dia tidak setuju karena ikatan keluarga itu akan memperkuat kedudukan kaisar atau kakak tirinya sendiri di dunia barat. Karena itulah maka diam-diam dia mengusahakan agar pernikahan itu gagal dan dia lalu mengirim sogokan dan bujukan kepada Raja Muda Tambolon pemberontak di daerah Bhutan untuk menghalangi diboyongnya Puteri Syanti Dewi di daratan besar. Bahkan dia mengutus para kepercayaannya yang baru, Ang Tek Hoat untuk menyelidiki ke Bhutan dan membantu usaha penggagalan pernikahan itu.

Demikianlah singkatnya keadaan Ang Tek Hoat yang muncul di Bhutan sebagai seorang pemuda yang menyembunyikan mukanya di balik caping lebar ketika Puteri Syanti Dewi hendak mandi. Kemudian melihat bahwa pasukan Raja Muda Tambolon berhasil, dia diam-diam membayangi sang puteri bersama Ceng Ceng yang melarikan diri. Dia pula yang menyamar sebagai pedagang garam untuk membantu dua orang gadis pelarian itu lolos, kemudian dia menyamar sebagai tukang perahu. Semua itu dilakukan agar dia dapat

mengamat-amati dua orang gadis itu, dan terutama sekali agar Puteri Syanti Dewi tidak sampai lolos dan dapat mencapai kota raja. Kalau saatnya tiba, dia akan "menggiring" sang puteri ini dan dihaturkan kepada majikannya, kemudian terserah keputusan Pangeran Liong Bin Ong. Hanya dia harus mengakui bahwa diam-diam dia tertarik dan terpesona oleh kecantikan dan sikap halus sang puteri, sehingga diam-diam membayangkan betapa akan gembiranya kalau dia dapat menduduki pangkat tinggi, kalau mungkin kaisar, dengan seorang isteri seperti puteri Bhutan ini! Baru sekali ini Tek Hoat merasa tertarik kepada seorang wanita, dan biasanya dia memandang rendah kaum wanita.

Akan tetapi, rencananya menjadi berantakan karena kenakalan Ceng Ceng yang melemparkan buntalannya ke sungai. Padahal buntalan itu berisi pedang Cui-beng-kiam! Tentu saja dia tidak mau kehilangan pedang itu dan cepat meloncat ke air sehingga perahu itu hanyut sendiri. Dia melakukan pengejaran sambil berenang secepatnya. Namun tetap saja tidak dapat mencegah terjadinya tabrakan sehingga perahu itu terguling. Cepat dia meloncat ke darat dan lari di sepanjang tepi sungai dan akhirnya dia melihat Ceng Ceng dalam keadaan pingsan hanyut di air. Dia segera menolong gadis itu, namun tidak berhasil menolong Puteri Syanti Dewi, sama sekali dia tidak mimpi bahwa puteri itu telah ditolong oleh seorang yang namanya akan membuat dia terkejut seperti melihat mayat hidup, yaitu Gak Bun Beng musuh besarnya, pembunuh ayahnya yang telah dianggapnya mati itu.

Tek Hoat yang memiliki watak amat luar biasa, kejam, dingin, tak mengenal sedikitpun perasaan iba, penuh dendam dan penuh kebencian terhadap manusia umumnya, hanya mengejar keuntungan diri pribadi saja, betapapun juga bukanlah seorang yang mudah hanyut oleh nafsu berahi. Dia seorang pemuda yang kuat luar dalam, kuat pula perasaannya yang seperti membeku dingin sehingga ketika dia menolong Ceng Ceng, mengempiskan perut dara itu yang penuh air, kemudian menanggalkan pakaian Ceng Ceng karena pakaian itu basah kuyup, melihat bentuk tubuh yang sedang mekar dan menggairahkan itu, dia sama sekali tidak terangsang!

Bahkan secara kasar dia menolong Ceng Ceng karena marah, menganggap gadis ini yang menghancurkan rencananya sehingga dia terpisah dari Syanti Dewi. Kemudian setelah melihat nyawa Ceng Ceng tertolong, dia mengenakan jubahnya pada gadis itu dan menangkap ayam, memanggangnya, kemudian dia memancing ikan. Selanjutnya kita telah mengetahui apa yang terjadi.

Kini, melihat Ceng Ceng menangis, Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk atau diremas-remas. Memang ada keanehan pada diri Tek Hoat, keanehan yang seolah-olah tidak normal, yaitu dia tidak tahan melihat orang menangis, atau lebih tepat, melihat wanita menangis! Mungkin saja hal ini timbul dan menjadi wataknya karena di waktu dia masih kecil, sering sekali dia melihat ibunya menangis sesenggukan dan terisak-isak dengan sedihnya, bahkan hampir setiap malam dia melihat ibunya menangis seorang diri dan kalau ditanya kenapa menangis, ia hanya menggeleng kepalanya. Boleh jadi Tek Hoat merupakan pemuda keras hati dan dingin yang tiada keduanya di dunia, apalagi setelah dia mempelajari ilmu-ilmu mujijat dari dua Iblis Tua Pulau Neraka, wataknya menjadi makin tidak lumrah. Namun kesan mendalam karena tangis ibunya setiap malam itu masih melekat di hatinya sehingga kini, melihat Ceng Ceng menangis, dia seolah-olah mendengar ibunya menangis dan hatinya seperti diremas-remas!

"Aihh, kenapa kau menangis?" tanyanya sambil membalikkan tubuh, duduk menghadapi gadis itu.

Ditanya dengan suara yang halus seperti itu, makin menjadi-jadi tangis Ceng Ceng, akan tetapi segera ditahannya ketika teringat bahwa yang menegurnya adalah pemuda yang memanaskan dan menjengkelkan hatinya itu. Dia mengintai dari celah-celah jari tangannya dan dengan heran dia melihat betapa pemuda itu amat pucat wajahnya, pandang matanya sayu dan amat berduka, agaknya menderita sekali melihat dia menangis!

"Sudahlah, mengapa menangis? Aku tidak mengganggumu dan kalau tadi kau tersinggung, sudahlah kau maafkan aku dan jangan menangis...." Suaranya halus dan lunak, bahkan agak gemetar! Hal ini mengherankan hati Ceng Ceng sehingga otomatis tangisnya berhenti. Teringat dia akan kata-kata pemuda itu tadi ketika dia menyerangnya, "Melihat orang mengamuk, masih mending, asal jangan melihat orang menangis!"

Agaknya pemuda ini memiliki "kelemahan", pikirnya. Yaitu tidak tahan melihat orang menangis! Teringat akan ini, Ceng Ceng lalu menangis lagi sesenggukan! Dan diam-diam dia mengintai dari celah-celah jari tangannya, melihat betapa pemuda itu memejamkan matanya, menggigit bibirnya dan berkata dengan lantang, "Harap kau jangan menangis!"

Akan tetapi Ceng Ceng menangis terus, memaksa diri menangis sungguhpun kini tidak ada air matanya yang keluar, karena memang tangisnya tangis buatan, disembunyikan di balik kedua tangannya. Karena dia tertarik melihat sikap pemuda yang aneh itu dia lupa akan kemarahan dan kedukaannya, maka tentu saja sukar baginya untuk menangis benar-benar.

Tek Hoat makin tersiksa. Suara sesenggukan itu persis suara ibunya di waktu malam. "Nona, kau maafkan aku dan jangan menangis. Kau lihat aku tidak melakukan sesuatu kepadamu, bukan? Kalau aku berniat buruk, betapa mudahnya aku memperkosamu ketika kau pingsan. Akan tetapi aku tidak berniat buruk...."

"Uhuuuu.... huuhhh.... huuuu....!" Ceng Ceng memperhebat tangisnya dan dari celah-celah jari tangannya dia melihat betapa pemuda itupun makin hebat penderitaannya. "Kau.... kau.... telah menanggalkan pakaianku, engkau telah menelanjangi aku, berarti engkau telah menghinaku uh-hu-huuu....!"

"Nanti dulu, jangan menangis, nona. Memang benar aku telah menanggalkan semua pakaianmu, kemudian mengenakan jubahku ini kepadamu. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis bagaimana? Pakaianmu basah kuyub, engkau terancam bahaya maut dan satu-satunya cara untuk menolongmu hanya mengeluarkan air dari perutmu, kemudian mengeringkan pakaianmu. Aku melakukan itu untuk menolongmu, untuk menyelamatkan nyawamu...."

"Uhu-hu-hu, bohong.... huuuu.... bagaimanapun juga, kau telah menghinaku dan setelah kau melihat aku telanjang, bagaimana aku tidak akan malu setengah mati? Bagaimana aku dapat bertemu pandang denganmu? Uhu-hu-huuu...."

"Kalau begitu jangan memandang aku...." Ceng Ceng menangis makin hebat sampai menggerung-gerung. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat benar betapa pemuda itu menjadi makin gelisah dan bingung, bahkan kemudian berkata, "Sudahlah, jangan menangis. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa, asal kau jangan menangis...."

"Kau harus berjanji.... tidak, harus bersumpah....!"

"Baiklah, aku bersumpah. Bersumpah bagaimana?"

"Keluarkan saputanganmu, untuk saksi sumpah."

Tek Hoat yang ingin agar dara itu benar-benar menghentikan tangisnya, terpaksa mengeluarkan saputangannya. Sesungguhnya, pemuda ini bukanlah seorang yang begitu bodoh. Akan tetapi dia benar-benar tidak tahan mendengar dan melihat wanita menangis, dan kalau saja bukan Ceng Ceng, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya. Dia tidak bisa melakukan itu, dia membutuhkan dara ini. Bukankah dara ini sahabat baik Puteri Syanti Dewi? Dengan perantaraan Ceng Ceng ini dia masih ada harapan untuk mendapatkan puteri itu, kalau saja puteri itu masih hidup dan dia yakin masih karena dia tidak melihat mayatnya.

"Baik, inilah saputanganmu," katanya mengeluarkan saputangan, tidak melihat betapa Ceng Ceng menggosok-gosok keras kedua matanya sehingga menjadi makin merah dan basah air mata ketika dia menurunkan tangan menyambut saputangan itu.

"Taruh tanganmu di saputangan ini dan bersumpahlah!" kata Ceng Ceng mengulurkan saputangan di tangannya.

Terpaksa Tek Hoat meletakkan tangannya di atas saputangan yang berada di telapak tangan Ceng Ceng.

"Bersumpahlah bahwa kau tidak akan menggangguku," kata dara itu.

"Aku bersumpah tidak akan mengganggumu." Tek Hoat mengulang.

"Dan kau tidak akan memandangku."

"Hehhh....? Habis bagaimana? Aku kan punya mata!" pemuda itu membantah.

"Kalau kau memandangku, aku akan teringat bahwa aku pernah telanjang di depan matamu dan aku akan mati karena malu."

"Habis bagaimana? Apakah kalau bertemu denganmu aku harus memejamkan mata?"

"Terserah, memejamkan mata atau membalik belakang atau menutupi mata dengan saputangan, pendeknya kau tidak boleh melihat aku!"

"Baiklah...." Di dalam hatinya Tek Hoat memaki.

"Bersumpahlah bahwa kau selalu akan menutupi atau memejamkan matamu kalau bertemu denganku."

"Aku berjanji akan selalu menutupi atau memejamkan mataku kalau bertemu."

"Dan kau akan selalu menurut kata-kataku, kau akan mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku, dan engkau akan mencarikan enci Syanti sampai bertemu, dan engkau akan...."

"Wah, tidak jadi saja kalau begitu!" Tek Hoat berseru keras sambil menurunkan tangannya dari saputangan. "Masa harus bersumpah begitu banyak? Pula, tidak mungkin aku mengajarkan ilmu silat, dan tidak mungkin harus menurut segala kata-katamu."

Melihat ini Ceng Ceng maklum bahwa dia sudah terlalu jauh dalam tuntutannya, maka cepat dia berkata, "Baik, kalau begitu ulangi dua sumpahmu itu saja, bersumpah bahwa kalau sampai melanggarnya, engkau akan mati muda dan saputangannya ini menjadi saksinya!"

Karena ingin lekas beres agar dara itu tidak rewel lagi, dia berkata, "Akan tetapi sebagai imbalannya, kaupun harus bersumpah bahwa kau tidak akan menangis lagi!"

"Baik, aku bersumpah takkan menangis lagi kalau kau sudah bersumpah."

Tek Hoat menarik napas panjang, meletakkan tangannya di atas saputangan lalu berkata, "Aku...."

"Sebutkan namamu!"

"Aku.... Ang Tek Hoat, bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggumu...."

"Sebutkan namaku, Lu Ceng!"

"....bahwa aku tidak akan mengganggu Lu Ceng, dan bahwa aku akan selalu menutupi atau memejamkan mata kalau bertemu dengan Lu Ceng dan kalau aku melanggar sumpah ini, biarlah aku mati muda dan saputangan ini menjadi saksi!"

Ceng Ceng girang sekali lalu menyimpan saputangan itu di sakunya. "Heiii, kau mau melanggar sumpah? Hayo pejamkan mata atau, membalik! Aku mau berganti pakaian!"

Tek Hoat yang terlupa dan membuka mata memandang tadi, cepat-cepat memejamkan mata dan memutar tubuhnya membalik, diam-diam dia mengutuk diri sendiri mengapa dia mau bersumpah seperti itu. Akan tetapi, dia sudah terlanjur bersumpah dan memang dia memerlukan gadis ini untuk dapat bertemu kembali dengan Syanti Dewi dan melaksanakan cita-citanya terhadap puteri Bhutan itu. Kalau segala itu sudah tercapai, membunuh gadis ini apa sih sukarnya? Biarlah sementara ini dia mengalah dulu. Pula, dia juga merasa kurang enak dan tidak aman kalau harus melanggar sumpahnya. Siapa tahu, sumpah itu benar-benar manjur dan kalau dilanggarnya dia akan mati muda! Dia bergidik! Nanti dulu, ya! Dia masih mempunyai banyak cita-cita yang belum terlaksana. Pokoknya hanya terletak pada saputangan itu. Kalau kelak dia membunuh gadis ini, atau setidaknya merampas kembali saputangannya, berarti sumpahnya sudah punah karena tidak ada lagi saksinya!

Dengan hati gembira Ceng Ceng mengganti jubah yang kedodoran itu dengan pakaiannya sendiri, menyimpan saputangan di balik kutangnya, dan sambil berganti pakaian dia memandang punggung pemuda itu dengan tersenyum. Dia menang! Tak disadarinya lagi, dia memberes-bereskan pakaian dan rambutnya agar kelihatan patut. Dia mempersole k diri untuk pemuda itu tanpa disadarinya!

"Aku sudah selesai!" akhirnya dia berkata, ingin melihat pemuda itu memandangnya dengan kagum. Setelah mengenakan pakaiannya sendiri, tentu dia akan tampak lebih cantik! Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menoleh, bahkan melanjutkan memancing ikan dan tiba-tiba mengangkat tangkai pancingnya dan seekor ikan lele yang gemuk menggelepar-gelepar.

Ceng Ceng kecewa, akan tetapi segera teringat. Celaka! Pemuda itu tentu tidak akan memandangnya! Karena sumpah itu! Perlu apa dia bersolek? Wah, serba berabe kalau begini. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda ltu lebih repot lagi karena harus menghindarkan pandang matanya dari Ceng Ceng. Biar tahu rasa dia! Pikiran ini mengusir kekecewaannya. "Nona Ceng...."

"Tak usah nona-nonaan. Aku biasa disebut Ceng Ceng."

"Hemm.... Ceng Ceng, apakah kau tidak lapar?" tanya Tek Hoat tanpa menoleh.

"Tentu saja."

"Nah, ini ada sisa ayam panggang...."

"Aku tak sudi makan sisamu!"

"Kalau, begitu, ikan ini kau boleh ambil dan bakar." Tanpa menoleh Tek Hoat menyerahkan ikan itu yang diterima oleh Ceng Ceng dan tak lama kemudian Ceng Ceng sudah memanggang daging ikan yang gemuk dan makan dengan lahapnya tanpa menawarkannya kepada Tek Hoat.

Hari mulai gelap, senja telah mendatang. "Kita harus pergi mencari majikan...."

"Apa? Siapa kau maksudkan?"

"Siapa lagi kalau bukan Puteri Syanti Dewi?"

"Tek Hoat, kau jangan sembarangan omong, dan aku bukanlah pelayannya. Mengerti?"

Tek Hoat mengangguk-angguk dan merasa girang. Tidak keliru dia mengalah kepada gadis liar ini, kiranya sudah diaku sebagai adik angkat. Kalau dia membunuhnya, tentu sukar baginya untuk berbaik dengan Syanti Dewi.

"Kau tergila-gila kepada kakakku, ya?"

Tek Hoat terkejut, akan tetapi hanya mengangguk. Dia masih duduk membelakangi Ceng Ceng.

"Wah, tidak enak benar begini! Masa aku bicara dengan.... pinggul saja?"

Tek Hoat tersenyum akan tetapi menahan gelak tawanya. "Habis bagaimana? Aku tidak berani melanggar sumpah."

"Wah, kau menghadap ke sini dan memejamkan mata, masa tidak bisa?"

"Lebih tidak enak lagi buat aku, terus memejamkan mata, masa seperti orang buta."

"Kalau begitu, tutup saja dengan saputangan."

"Saputanganku sudah kaubawa."

Terpaksa Ceng Ceng memberikan saputangannya sendiri yang berbau harum. Tek Hoat menerimanya, menutupkan saputangan itu di depan matanya dan mengikatkan kedua ujung di belakang kepala, kemudian membalik menghadapi Ceng Ceng. Gadis itu tersenyum lebar menutupi mulutnya. Lucu sekali, seperti anak kecil bermain-main!

"Ceng Ceng, kau mengatakan aku tergila-gila kepada kakakmu? Memang, bukan tergila-gila, melainkan aku.... aku jatuh cinta kepadanya."

"Hemm, bagus! Betapapun juga, engkau bukan pemuda yang buruk rupa dan masih muda lagi. Daripada kakakku itu menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong yang kabarnya sudah hampir lima puluh tahun usianya, lebih baik menikah denganmu."

"Benarkah?" Tek Hoat bertanya girang.

"Ya. Dan aku suka membantumu agar enciku suka kepadamu, asal saja engkau tidak melanggar sumpahmu. Kalau kau melanggar, tidak saja engkau tidak dapat berkenalan dengan enci Syanti Dewi, malah engkau akan mampus di waktu usiamu masih muda. Sayang, kan?"

Kembali dia tersenyum dan menutupi mulutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Tek Hoat dapat melihatnya dari balik saputangan sutera yang tipis itu! Akan tetapi pemuda inipun tidak berani memandang langsung, takut akan sumpah.  

"Hari telah malam, tidak mungkin kita mencari enci Syanti. Malam ini gelap tidak ada bulan. Lalu bagaimana kita akan melewatkan malam?"

"Tak jauh dari sini, di tepi sungai ini terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Kita dapat bermalam di situ dan tempat itu memang tidak jauh dari Sungai Nu-kiang. Besok pagi-pagi, kita mencari lagi, mendengar-dengarkan, mungkin ada nelayan yang tahu bagaimana nasib encimu itu."

Lega hati Ceng Ceng. "Kalau begitu, mari kita ke kuil." Dia bangkit berdiri dan pergi.

"Haii, bagaimana aku bisa berjalan kalau mataku ditutup begini?"  

Ceng Ceng tersenyum. "Bodoh, kalau begitu mengapa tidak dibuka?"

"Kalau dibuka, mana bisa jalan bersama? Aku tidak mau berjalan dengan mata terpejam, salah-salah bisa terjatuh ke dalam sungai!"

Ceng Ceng tertegun dan bingung. "Habis bagaimana?"

"Kecuali kalau kau sudi menuntun...."

Karena hari sudah hampir gelap dan hutan itu kelihatannya menakutkan, terpaksa Ceng Ceng menyambar tangan pemuda itu dan menuntunnya. "Kemana jalan?" dia bertanya.

"Terus saja menurutkan aliran sungai ini," jawab Tek Hoat yang diam-diam merasa geli dan juga bangga bahwa kini dia dapat membalas. Sesungguhnya dia dapat melihat melalui saputangan tipis itu, akan tetapi biarlah, biar gadis itu tahu rasa, pikirnya. Betapapun juga, gadis yang liar dan galak ini ternyata cukup baik, mau menuntunnya.

Mereka tiba di kuil kosong. Karena ruangan yang merupakan kamar tertutup hanya sebuah, maka Ceng Ceng berkata, "Aku tidur di sini dan biar kau tidur di mana sesukamu asal jangan di kamar ini." Berkata demikian dia lalu menutupkan daun pintu. Perbuatan ini sia-sia saja karena biar pintu ditutup, jendela di kamar itu melongo tanpa daun! Lalu dia membuat api unggun dan tidak memperdulikan lagi kepada Tek Hoat. Pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan kalau pemuda ini berwatak jahat, sukar untuk melawannya. Dan dia.... agak aneh rasanya. Mengapa hatinya tidak enak mendengar pengakuan pemuda itu yang mencinta Syanti Dewi? Mengapa dia tidak puas? Mengapa dia tadi merasa jantungnya berdebar-debar ketika tangannya menggandeng tangan Tek Hoat? Seolah-olah ada getaran dari tangan itu yang menyentuh hatinya, menimbulkan rasa girang yang luar biasa. Mengapa? Celaka, jangan-jangan dia telah jatuh hati seperti yang hanya dikenalnya dalam cerita dongeng! Itukah cinta? Memang pemuda itu cukup segala-galanya untuk menjatuhkan hati seorang gadis, memang patut dicinta. Betapa tidak? Tampan, gagah perkasa, lucu dan pandai mengalah, biarpun agak kasar, akan tetapi buktinya tidak suka melakukan pelanggaran susila. Wah, jangan-jangan aku jatuh cinta kepadanya, bisik Ceng Ceng sebelum tidur.

Menjelang tengah malam dia terbangun karena mimpi ditelanjangi oleh Tek Hoat! Ditelanjangi selagi dia sadar dan anehnya, dia diam saja. Setelah kelihatan pemuda itu hendak merabanya dan hendak memeluknya, barulah dia meronta dan terbangun! Bulu tengkuknya berdiri. Kalau tadi bukan mimpi, melainkan sungguh-sungguh terjadi, tentu dia akan membunuh pemuda itu! Atau, kalau dia kalah, dia akan melawan mati-matian, kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk membela kehormatannya. Bedebah! Dia memaki pemuda itu akan tetapi segera teringat bahwa yang dikalahkan pemuda itu hanya dalam mimpi saja! Mungkin kenyataannya tidak demikian, buktinya Tek Hoat juga tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya.

Tiba-tiba dia bangkit duduk. Terdengar suling ditiup orang amat merdu dan indahnya. Akan tetapi hanya lapat-lapat terdengar, agaknya dari jauh. Ceng Ceng membereskan rambut dan pakaiannya, kemudian meloncat keluar melalui jendela. Biarpun tidak ada bulan malam itu, namun langit bersih terhias bintang sejuta, cukup memberi cahaya penerangan di permukaan bumi. Dia melangkah dengan hati-hati, mencari-cari, akan tetapi ternyata Tek Hoat tidak berada di kuil itu! Kemana perginya pemuda itu? Buntalannyapun tidak nampak.

Ceng Ceng mulai bergidik. Ngeri dia memikirkan bahwa dia ditinggal sendirian saja di kuil tua itu. Kuil yang biasanya dalam dongeng kalau sudah kosong dan kuno begitu selalu dihuni oleh siluman-siluman! Cepat dia keluar dari kuil dan mendengar suara suling lapat-lapat dari depan, dia lalu melangkah maju menuju ke arah suara itu.

Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari balik pohon, memandang ke arah Tek Hoat yang berdiri di tepi sungai besar. Sungai Nu-kiang! Kiranya dia telah berada di tepi sungai itu, di mana anak sungai dari hutan memuntahkan airnya ke situ dan di tepi sungai tampak Tek Hoat yang tadi meniup suling. Kini pemuda itu sudah berhenti meniup suling dan menyelipkan kembali sulingnya. Yang menarik perhatian Ceng Ceng adalah sebuah perahu besar yang bergerak mendekat pantai di mana pemuda itu berdiri, sebuah perahu yang indah dan mewah, dan tampak diterangi lampu-lampu sehingga dia melihat beberapa orang berpakaian tentara mengiringkan seorang berpangkat tinggi yang mewah pakaiannya ke pinggir perahu. Ceng Ceng mengintai penuh perhatian dan memasang pendengarannya agar dapat mendengarkan apa yang akan terjadi. Dia melihat Tek Hoat memberi hormat kepada pembesar itu dari pantai sambil berkata, "Maafkan, hamba tidak sempat melapor karena hamba tidak dapat meninggalkan gadis itu sebelum dia tidur."

"Hemm, Ang Tek Hoat, ceritakan semua yang terjadi. Kami sudah mendengar akan lenyapnya puteri itu, akan tetapi belum jelas bagaimana. Apa saja yang telah kaulakukan selama melakukan tugas yang diperintahkan saudara tua kami Liong Bin Ong?"

"Rombongan penjemput puteri itu telah berhasil dihancurkan oleh Tambolon, dan puteri itu bersama pelayannya yang sudah diangkat saudara, berhasil meloloskan diri, akan tetapi hamba terus membayangi mereka. Bahkan hamba telah berhasil mengajak mereka naik perahu hamba...."

"Bagus! Bagaimana puteri itu? Benarkah amat cantik?" tanya pembesar itu.

"Memang cantik jelita seperti bidadari, dan paduka beruntung sekali...."

"Aahhh, sayang sekali dia harus dikorbankan demi cita-cita," orang setengah tua itu menghela napas. "Akan tetapi, kalau semuanya berhasil dia akan tetap menjadi selirku! Aku Liong Khi Ong bukanlah orang yang suka menyia-nyiakan waktu.... eh, Tek Hoat, lalu bagaimana? Di mana dia?"

"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Terjadi kecelakaan, perahu bertabrakan dan terguling. Hamba berhasil menyelamatkan adik angkatnya akan tetapi belum berhasil menemukan Puteri Syanti Dewi...."

"Hahh? Bodoh! Habis bagaimana? Celaka, jangan-jangan dia terjatuh ke tangan orang-orangnya kaisar!"

"Hamba akan mencarinya sampai dapat besok pagi, kalau andaikata dia terampas oleh orang lain, hamba akan merampasnya kembali, harap paduka jangan khawatir," kata Tek Hoat.

"Hemm, baik. Apa perlu kau dibantu pasukan?"

"Tidak perlu, Ong-ya. Hamba lebih leluasa bekerja sendiri. Hamba tanggung akan bisa menemukan puteri itu, asal dia belum tewas."

"Bagus, kami akan menanti saja di kota raja, di sana masih banyak urusan dan kau harus cepat kembali, banyak tugas menantimu."

"Baik, Ong-ya...."

"Baik, Ong-ya...."

Tiba-tiba Ceng Ceng yang bengong terlongong itu terkejut karena mendengar suara berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri tepat di belakangnya. Dia hampir berteriak dan membuka mulut.

"Eekkkeeekkk...." Mulutnya telah dibungkam tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan, pundaknya sudah ditotok dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.

"Ssstt, diam.... jangan bergerak.... aku bukan musuh melainkan sahabatmu dan sahabat Puteri Syanti Dewi...." Setelah berkata demikian dan melihat Ceng Ceng mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng terbebas. Dara ini terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai di sini. Pemuda itu lihai dan orang inipun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak. Orang itu mukanya membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang mengantuk, alisnya tebal kepalanya agak botak dan jenggotnya panjang, usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian petani. Melihat orang itu memperhatikan ke depan, diapun lalu memandang lagi. Kini tampak betapa pemuda itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar tinggi yang ternyata adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi!

Ceng Ceng berdebar-debar. Bingung dia dan diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya pemuda itu adalah kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya ini semua? Kalau dia kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap begitu aneh, tidak bersama anggauta rombongan lainnya yang dipimpin oleh pengawal kaisar Tan Siong Khi? Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula artinya kata-kata pangeran itu bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya melihat betapa Tek Hoat telah pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali, sedangkan perahu mewah itupun bergerak ke tengah sungai.

"Cepat, mari pergi dari sini. Kalau dia kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua bukanlah lawannya," bisik laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.

"Hemm, mengapa aku harus menurut kata-katamu? Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi daripada dia?"

"Nona Lu, percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu Lu Kiong belum pernah menyebut namaku, akan tetapi aku mengenal baik Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah rekan dari Tan Siong Khi. Aku sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku hampir mengerti semuanya, kecuali beberapa hal."

"Apakah yang terjadi? Siapakah sebenarnya pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?"

"Sstt, marilah kita segera pergi," kakek itu mendesak.

"Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku."

"Dia seorang manusia luar biasa, ilmu kepandaiannya sangat tinggi...."

"Aku sudah tahu!"

"Tapi dia adalah pengawal Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang merencanakan pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang mengatur pencegatan rombongan sehingga kakekmu tewas. Pemuda itu tangan kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi menyalahgunakan niat baik kaisar yang menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu demi cita-cita pemberontakan, tidak segan-segan melakukan kekejian, kalau perlu membunuh Puteri Syanti Dewi dan engkau."

"Ohhhh...."

"Marilah, nona. Demi keselamatanmu sendiri dan keselamatan Syanti Dewi."

Dengan hati penuh kengerian Ceng Ceng lalu mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia percaya penuh karena bukankah dia sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri pertemuan dan percakapan antara Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat? Kiranya pemuda itu seorang mata-mata pemberontak! Kiranya malah musuh dari kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan, hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan yang merencanakan pencegatan rombongan yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya, adalah para pemberontak itu! Dan dia sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.

"Ahhhh....!"

"Ada apa, nona Lu?" tanya kakek itu.

"Tidak apa-apa...." jawab Ceng Ceng karena yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk hatinya, bukan badannya.

Setengah malam penuh mereka berjalan terus, melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam perjalanan ini, kakek tadi menceritakan keadaan kerajaan yang diancam pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang pengawal kaisar pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki secara diam-diam keadaan rombongan itu. Tentu saja dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan dan berhasil menolong Raja Bhutan, akan tetapl sebagai seorang penyelidik yang tahu akan keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih tajam. Dia mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan kotor ke dalam pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan oleh tangan kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang Tek Hoat yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu. Maka ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng.

Mendengar semua penuturan ini, Ceng Ceng makin terheran-heran dan bingung. Tak disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan membawa akibat sedemikian hebat dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan yang ruwet.

"Bagaimana dengan enci Syanti Dewi?" tanyanya dengan khawatir.

"Sudah kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu juga tertolong secara ajaib oleh seorang nelayan tua yang tidak dikenal siapa sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib sehingga sukar aku mempercayai cerita mereka itu. Akan tetapi, laki-laki gagah yang menolongnya itu telah pergi bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin ketahui, kemanakah rencana nona dan sang puteri tadinya setelah terpaksa meninggalkan kakek Lu yang gugur?"

"Kakek meninggalkan pesan agar supaya kami pergi ke kota raja, minta perlindungan dan bantuan kepada Puteri Milana...."

Souw Kee It mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak tahu akan perubahan di kota raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah tiba di kota raja dan berada di tangan Puteri Milana, kiranya tidak ada setanpun yang berani mengganggu. Akan tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota saja itulah yang amat sukar dan berbahaya. Kaki tangan mereka sudah disebar di mana-mana untuk menangkap kalian berdua."

"Ouhhh, habis bagaimana?"

"Harap nona jangan khawatir. Aku juga mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur bagaimana membawa nona pergi ke timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak tepat kalau sebelum bertemu dengan Puteri Syanti Dewi nona pergi ke kota raja, kalau kita berhasil sampai ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara berlindung di benteng yang dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu kota."

Hati Ceng Ceng agak lega mendengar bahwa Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong orang pandai, sungguhpun dia bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang pandai muncul? Siapakah penolong Syanti Dewi dan ke mana perginya kakak angkatnya itu?

Dua hari kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun dan di sini terdapat pasukan kaisar yang masih setia kepada kaisar.

Souw Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai seorang prla, lengkap dengan kumis palsu sehingga andaikata Tek Hoat sendiri bertemu dengannya kiranya akan sulitlah untuk mengenalnya, demikian pendapat Ceng Ceng ketika dia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah membawa bekal secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng, lalu menunggang kuda-kuda pilihan, melanjutkan perjalanan mereka ke timur.

Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengawal kaisar Souw Kee It yang melakukan perjalanan amat jauh ke timur, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Syanti Dewi.

Secara kebetulan dan aneh sekali, Puteri Syanti Dewi tertolong oleh Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Pendekar ini sudah mengenyampingkan urusan dunia, hidup tenteram di antara rakyat kecil, kadang-kadang menjadi petani, kadang-kadang bercampur dengan para nelayan, selalu memilih tinggal di dusun-dusun yang dianggapnya tidak akan terjadi hal yang penting. Sungguh di luar dugaannya bahwa hari itu dia terlibat dalam urusan yang amat besar, bukan hanya menyangkut urusan diri pribadi seorang gadis cantik, melainkan diri seorang puteri Raja Bhutan, bahkan menyangkut urusan kerajaan!

Gak Bun Beng yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu melakukan perjalanan dengan hati kadang-kadang berdebar keras. Benarkah yang dilakukannya ini, mengantarkan Syanti Dewi ke kota raja? Benarkah dia kalau kini dia akan menjumpai Milana? Sesungguhnya tidak benar dan amat berbahaya, seperti orang hendak membuka balutan luka yang amat parah, akan tetapi apa dayanya? Tidak mungkin dia membiarkan Syanti Dewi begitu saja setelah dia mengetahui siapa adanya gadis ini. Calon mantu kaisar! Dan terancam bahaya karena dikejar-kejar oleh mereka yang hendak menggagalkan perkawinan itu. Apa boleh buat, demi gadis ini, dan terutama demi kesejahteraan negara, kerajaan kaisar dan Bhutan, dia harus menanggung semua itu, harus berani menghadapi resiko perjumpaannya dengan Puteri Milana!

Perjalanan yang amat jauh itu dilakukan dengan hati-hati oleh Gak Bun Beng yang menjaga agar jangan sampai terjadi keributan di perjalanan. Dia sudah muak akan keributan dan permusuhan yang dibuat oleh manusia-manusia yang mengaku berkepandaian. Untuk menjaga agar perjalanan dapat dilalui dengan aman, dia menyamar sebagai seorang perantau yang baru pulang dari perantauannya ke Tibet, dan Syanti Dewi diakuinya sebagai anaknya. Agar tidak dicurigai orang, dia mengaku bahwa ibu Syanti Dewi seorang wanita Tibet dan memang Syanti Dewi selain pandai dalam bahasanya sendiri, yaitu Bahasa Bhutan, juga pandai berbahasa Tibet dan Bahasa Han.

Berpekan-pekan telah lewat tanpa ada peristiwa penting yang mengganggu perjalanan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Pada suatu hari, ketika mereka sedang berjalan melalui jalan raya kasar di lereng pegunungan, mereka berpapasan dengan serombongan pasukan yang terdiri dari kurang lebih seratus orang. Pasukan ini kelihatan letih dan banyak yang terluka, dan sekali pandang saja Gak Bun Beng dapat melihat bahwa mereka adalah Bangsa Han yang bercampur dengan orang-orang Mongol. Agaknya pasukan yang hanya tinggal sisanya dari suatu pertempuran yang merugikan fihak mereka. Diam-diam Gak Bun Beng terkejut. Apakah kini sudah timbul perang lagi? Ataukah hanya sisa-sisa pemberontak ataukah pemberontak baru yang sedang ditindas oleh pasukan pemerintah? Dia tahu bahwa pemberontak Mongol yang amat hebat, yang dipimpin oleh Pangeran Galdan, telah dihancurkan oleh pasukan Kaisar Kang Hsi, bahkan kabarnya Galdan sendiri telah dibinasakan. Apakah sekarang Bangsa Mongol memberontak lagi, bergabung dengan orang Han yang masih merasa penasaran akan penjajahan Bangsa Mancu?

Karena dilihatnya masih banyak rombongan-rombongan pasukan campuran itu lewat, Gak Bun Beng hendak menghindarkan keributan, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk melalui jalan hutan. Untung bahwa rombongan pertama yang lewat tadi terlalu lelah dan terlalu tertekan batinnya untuk melakukan sesuatu, hanya mereka memandang tajam kepada Syanti Dewi saja, bahkan ada pula yang menyeringai, dan ada yang mengeluarkan kata-kata tak senonoh akan tetapi hanya sambil lalu.

Dasar mereka harus mengalami keributan. Ketika mereka melalui jalan sunyi, menyelinap-nyelinap di hutan tak jauh dari jalan raya itu, mereka bertemu dengan rombongan lain yang hanya terdiri dari belasan orang, akan tetapi rombongan ini semua duduk melepaskan lelah. Mereka terdiri dari tujuh orang Han dan delapan orang Mongol dan ada seorang Han dan empat orang Mongol sedang minum arak, agaknya untuk menghibur hati yang penasaran karena kekalahan mereka. Melihat bahwa rombongan ini hanya lima belas orang, timbul niat di hati Gak Bun Beng untuk bertanya, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk mendekat.

Orang-orang itu memandang kepadanya dengan curiga, akan tetapi ada yang tersenyum lebar ketika melihat Syanti Dewi yang biarpun berpakaian sederhana seperti gadis dusun, namun kecantikannya masih menonjol.

"Maaf, laote," kata Gak Bun Beng kepada seorang Han yang duduk bersandar pohon sambil menekuk lutut duduk pula dekat orang itu, diikuti oleh Syanti Dewi di belakangnya, "bolehkah kami bertanya mengapa banyak pasukan yang mundur dan banyak yang terluka? Apa yang telah terjadi? Kami ayah dan anak dari Tibet hendak ke Se-cuan, akan tetapi kami khawatir melihat cu-wi terluka, seolah-olah ada perang di sana."

Orang itu yang mukanya dilindungi brewok, memandang kepada Gak Bun Beng kemudian melirik ke arah Syanti Dewi. "Lebih baik kalian kembali ke barat."

"Ya, kembali saja bersama kami! Biar kami yang melindungi kalian!" teriak orang Han yang sedang minum arak bersama empat orang Mongol tadi.

"Kami mempunyai urusan penting sekali di timur, sobat," kata Gak Bun Beng. "Apakah yang terjadi di sana? Dan siapakah cu-wi?"

"Apakah tidak tahu bahwa kami adalah pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot?" Tiba-tiba orang berewok itu menjawab marah.

Gak Bun Beng menggangguk-angguk. "Ahh, kiranya laote dan cu-wi sekalian adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah, benarkah? Lalu, apa yang terjadi?"

Dipuji sedemikian, si brewok agak sabar, lalu menarik napas panjang. "Si keparat Jenderal Kao Liang itu! Anjing penjilat kaki Mancu dia! Begitu dia datang meronda di bagian barat dan memimpin sendiri pasukan pembersihan, kita dipukul hancur!"

"Paman, kembalilah saja ke barat, dan sebelum anakmu itu diperebutkan anjing-anjing Mancu, lebih baik diberikan kepadaku!" Orang Han yang minum arak, usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu berkata.

Gak Bun Beng menahan kesabarannya. "Apakah tentara pemerintah itu melakukan perbuatan jahat?"

"Siapa bilang tidak? Merampok, membunuh, menculik dan memperkosa! Daripada diperkosa oleh anjing-anjing Mancu dan para penghianat dan penjilat, lebih baik diberikan kepada kami agar menghibur kami para patriot. Dengan demikian, kau dan anakmu itu ikut berjasa untuk tanah air dan bangsa!" kata pula orang itu.

"Akur! Jumlah kita hanya lima belas orang, bisa dibagi rata. Marilah, manis, kau layanilah aku!" kata seorang Han yang lain yang berkumis panjang melintang.

Gak Bun Beng bangkit berdiri sambil tersenyum. "Kami tahu penderitaan dan perjuangan kalian, sobat-sobat. Akan tetapi anakku ini adalah pembantuku yang utama, seolah-olah tangan kananku sendiri, bagaimana bisa kuberikan kepada orang lain? Mana mungkin aku memberikan tangan kananku?"

"Ahhh, dasar kau pelit! Apakah kau hendak peluki anakmu sendiri? Tak tahu malu! Masa menolong dan meringankan penderitaan kaum pendekar dan pahlawan sedikit saja tidak mau?" Mereka semua sudah bangkit berdiri dari mengurung. Syanti Dewi terkejut dan mukanya berubah pucat, kedua tangannya sudah dikepal untuk membela diri. Dan tidak hanya takut, akan tetapi juga marah sekali mendengar omongan yang kotor itu.

Akan tetapi Gak Bun Beng tetap tenang dan sabar. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, "Bukan aku pelit, akan tetapi sungguh mati, kalau kalian memaksa hendak mengambil anakku, sama saja dengan kalian memaksa mengambil tangan kananku. Sebelum kalian mengambil anakku, biarlah kuberikan saja kedua tanganku. Hidup tanpa tangan kanan kepalang tanggung. Nah, siapa mau lebih dulu membuntungi kedua tanganku?" dia mengacungkan kedua tangannya ke atas.

"Ha-ha-ha! Orang sinting, tapi anaknya cantik manis sekali! Biar kupenuhi permintaannya!" Teriak orang muda Han yang mabok itu sambil menghunus goloknya yang sudah berkarat karena darah orang dalam pertempuran.

"Baiklah, mari kau buntungi tangan kiriku lebih dulu!" Bun Beng memberikan tangan kirinya. Golok itu menyambar, kuat sekali ke arah tangan kiri Gak Bun Beng yang diacungkan ke atas. Tangan itu tidak mengelak, malah memapaki golok.

"Krekkkk!"

Golokk itu patah-patah dan pemiliknya memandang gagang goloknya dengan mata terbelalak!

"Sayang, golokmu sudah berkarat dan rapuh!" Gak Bun Beng berkata dengan suara biasa. "Siapa lagi yang mempunyai senjata lebih tajam untuk membuntungi tanganku?"

"Biar kulakukan itu!" Bentak seorang Han lainnya sambil meloncat maju, pedangnya menyambar tangan kanan Gak Bun Beng. Kembali pendekar sakti ini tidak mengelak, melainkan memapaki pedang itu dengan tangannya.

"Krak.... krakkk!"

"Hayaaa....!" Si pemilik pedang terbelalak memandang gagang pedangnya yang hanya tinggal pendek saja itu karena pedangnya sendiri sudah patah-patah.

Melihat ini, tiga belas orang lain serentak maju dengan senjata mereka yang bermacam-macam, ada tombak, golok, pedang dan toya. Gak Bun Beng membiarkan mereka mencabut semua senjata, kemudian dia meloncat ke depan dan menerima semua serangan dengan kedua tangan dan juga kakinya sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar suara krak-krek-krak-krek disusul oleh teriakan si pemilik senjata dan dalam sekejap mata saja semua senjata milik dari lima belas orang itu sudah patah-patah semuanya.

"Ilmu siluman....!" Terdengar seorang di antara mereka berteriak dan larilah mereka lintang pukang ketakutan, meninggalkan segala perbekalan yang tadi mereka taruh di atas tanah.

Gak Bun Beng menghela napas, lalu menyambar guci arak yang ditinggal di situ, menenggak isinya sampai habis. Dilemparkannya guci kosong dan diusapnya mulut yang basah itu dengan ujung lengan bajunya. Dia kelihatan tidak senang sekali. Memang dia tidak senang karena terpaksa dia harus memperlihatkan kepandaiannya lagi setelah secara terpaksa dia mengeluarkan kepandaian itu ketika menyelamatkan Syanti Dewi.

"Gak-siok-siok...." Syanti Dewi tahu-tahu telah berada di sampingnya dan menyentuh lengan pendekar itu karena diapun dapat merasakan betapa pendekar itu kelihatan tidak tenang, bahkan seperti orang berduka. "Engkau banyak repot karena aku saja...."

Gak Bun Beng menoleh dan melihat wajah yang cantik dan agung itu menyuram, dia tersenyum dan mengelus kepala Syanti Dewi. Bukan main halusnya perasaan anak ini, pikirnya terharu. "Tidak apa-apa, Dewi. Akupun hanya menakut-nakuti mereka saja. Marilah kita melanjutkan perjalanan."

"Akan tetapi di timur ada perang dan pertempuran, siok-siok."

"Bukan perang, hanya pasukan pemerintah mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa gerombolan pemberontak seperti mereka tadi."

"Akan tetapi, mendengar omongan mereka tadi, mereka bukanlah pemberontak, melainkan patriot-patriot yang berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air mereka." Puteri itu membantah. Biarpun hanya seorang wanita, namun sebagai puteri raja tentu saja dia sudah banyak membaca kitab-kitab sejarah dan ketatanegaraan sehingga pengetahuannya agak luas daripada wanita-wanita

terpelajar biasa.

Gak Bun Beng menghela napas panjang. Ucapan puteri ini menyentuh perasaannya, perasaan muak terhadap ulah tingkah manusia dalam hidup ini, maka dengan suara bersemangat, di luar kesadarannya dia berkata, "Manusia di dunia ini siapakah yang tidak akan membenarkan dirinya sendiri? Pemerintah Mancu menganggap mereka pemberontak karena mereka melawan pemerintah yang syah dan menganggap diri sendiri sebagai penolong rakyat, sebaliknya mereka itu menganggap pemerintah sebagai penjajah laknat dan menganggap diri sendiri sebagai patriot. Namun keduanya tetap sama saja, tetap saja melakukan kekerasan dan kekejaman dengan dalih kebenaran masing-masing. Padahal, apa sih bedanya manusia? Dari kaisar, jenderal, pedagang, petani, si jembel sekalipun, hanya dibedakan oleh pakaian dan embel-embel di luar badan. Coba kumpulkan mereka semua, telanjangi mereka semua di dalam sebuah kandang, apa bedanya mereka dengan sekumpulan domba atau kuda? Manusia hanyalah mahluk biasa yang mempunyai kelebihan, inilah yang merusak hidup!"

Syanti Dewi mendengarkan dan memandang wajah pendekar itu dengan mata terbelalak. Baru satu kali ini selama hidupnya dia, mendengarkan pandangan orang tentang manusia seperti itu. Ada artinya yang mendalam, ada kesungguhan dan kebenarannya, akan tetapi juga lucu sekali. Kalau dibayangkan betapa seluruh manusia di dunia ini tidak berpakaian, tidak dihias segala benda-benda yang hanya menjadi pemisah dan penentu dari tingkat masing-masing, alangkah lucunya dan memang sukar membedakan mana raja mana jembel mana kaya mana miskin! Dia sendiripun tadinya seorang istana dan memakai pakaian puteri. Sekarang?

Setelah berpakaian gadis petani seperti itu, siapa percaya bahwa dia seorang puteri? Apalagi kalau harus telanjang bersama seluruh manusia lain!

"Kau.... kau hebat, paman!" katanya lirih.

Gak Bun Beng sadar lagi dan memegang tangan Syanti Dewi. "Kau.... kau semuda ini, sudah dapat menangkap arti kata-kataku tadi?"

Syanti Dewi mengangguk, lalu mengangkat mukanya memandang wajah yang masih tampan dan gagah itu. Gak Bun Beng dahulunya memang seorang pemuda yang tampan, gagah, matanya mengeluarkan cahaya tajam, mulutnya terhias kumis kecil terpelihara rapi, demikian juga jenggotnya yang pendek saja. Pakaiannya sederhana, pakaian petani atau nelayan, namun bersih dan kuku-kuku tangannya terpelihara baik, giginya terawat.

"Paman Gak, di manakah adanya keluargamu?"

Gak Bun Beng terbelalak dan mengerutkan alisnya. "Apa? Keluarga?"

"Ya, isteri dan anakmu...."

"Ah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan, aku khawatir mereka datang lagi mengganggu." Dia memegang tangan Syanti Dewi dan diajaknya dara itu pergi meninggalkan tempat itu.

Sampai lama mereka berjalan menyusup-nyusup hutan karena Gak Bun Beng tidak ingin terganggu lagi oleh gerombolan pemberontak atau pejuang yang melarikan diri karena diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah yang kabarnya tadi dipimpin oleh Jenderal Kao Ling yang ditakuti. Beberapa kali Syanti Dewi menengok dan memandang wajah pendekar itu, namun Gak Bun Beng berjalan terus tanpa mengeluarkan kata-kata.

Akhirnya Syanti Dewi tidak dapat menahan hatinya. "Paman Gak, di manakah isteri dan anak-anakmu?"

Sesungguhnya pertanyaan ini sejak tadi bergema di telinga Gak Bun Beng dan dia sengaja mengalihkan perhatian dan mengharapkan gadis itu lupa akan pertanyaannya yang terngiang-ngiang di telinga hatinya. Maka mendengar pengulangan pertanyaan ini, dia menahan napas sejenak untuk menekan perasaannya, baru dia menjawab tenang saja. "Tidak ada."

"Ehhh....?" Syanti Dewi terkejut.

"Aku tidak pernah mempunyai isteri atau anak, tidak mempunyai saudara, tidak ada orang tua lagi, aku sebatangkara di dunia," kembali jawaban yang keluar dari mulut pendekar itu terdengar datar seolah-olah seorang nelayan membicarakan jalan atau pancingnya, biasa saja.

"Tapi.... tapi tidak mungkin itu, paman Gak!"

"Apa maksudmu, tidak mungkin? Mengapa harus tidak mungkin?"

"Seorang seperti paman ini.... eh, tidak mungkin tidak menikah! Paman, apakah tidak ada wanita di dunia ini yang mencintamu?"

Tanpa menengok Gak Bun Beng menggeleng kepala dan matanya memandang jauh ke depan.

"Hemm, mustahil! Dan apakah paman tidak ada mencinta seorangpun wanita di dunia ini?"

Gak Bun Beng tersenyum ketika menoleh dan melihat wajah puteri ini diliputi penasaran besar, bahkan seperti orang marah! "Dewi, engkau kenapa? Aku tidak pernah memikirkan hal itu dan hidupku sudah cukup bahagia."

"Tidak masuk akal! Seorang pria seperti paman!"

"Hemm, hanya seperti aku ini, apa sih bedanya dengan orang lain?"

"Tidak sama sekali, jauh sekali bedanya! Pangeran-pangeran di Bhutan, bahkan orang berpangkat jauh di bawah pangeran dan orang berharta, mereka itu sedikitnya mempunyai tiga empat orang isteri! Padahal dibandingkan dengan paman, mereka itu tidak ada sekuku hitam paman!"

"Aihh, Dewi, aku seorang tua yang miskin tidak memiliki apa-apa, mana ada ingatan yang bukan-bukan?" Gak Bun Beng berkata untuk menghibur diri karena percakapan ini tanpa disengaja oleh puteri itu telah menusuk-nusuk perasaannya, mengingatkan dia kepada Milana.

"Jangan paman berkata demikian. Siapa bilang paman sudah tua? Usia paman tidak akan lebih dari empat puluh tahun! Dan pangeran yang namanya Liong Khi Ong itu, yang akan mengawiniku, kabarnya malah berusia lima puluh tahun, dan aku berani bertaruh potong rambut bahwa dibandingkan dengan paman, dia itu bukan apa-apa!"

Gak Bun Beng berhenti melangkah dan memegang kedua tangan Syanti Dewi. "Dewi, kuminta kepadamu, janganlah kau membicarakan urusan diriku. Aku minta dengan sangat, ya? Banyak hal yang pahit getir telah berlalu, pembicaraanmu hanya akan menggali segala kepahitan yang telah lewat itu saja." Ucapan ini keluar dengan suara agak gemetar.

Syanti Dewi mengangkat muka memandang dan melihat wajah penolongnya ini diliputi awan kedukaan, hatinya terharu dan dua titik air mata menetes seperti dua butir mutiara di atas kedua pipinya.

"Eh? Kau.... menangis?"

"Aku kasihan kepadamu, paman Gak."

Gak Bun Beng tersenyum dan menggunakan telunjuknya menghapus dua butir mutiara itu. "Kau anak yang aneh! Kau memperlakukan aku seolah-olah aku ini seorang yang jauh lebih muda daripada engkau. Sudahlah, jangan membicarakan tentang diriku, tidak ada harganya dibicarakan. Sekarang aku ingin bicara tentang dirimu. Mengapa engkau membicarakan pribadi calon suamimu seperti itu? Agaknya engkau tidak suka kepadanya?"

"Hemm, tentu saja," jawab Syanti Dewi ketika mereka melangkah lagi. "Siapa orangnya suka dikawinkan dengan seorang kakek yang belum pernah dilihatnya selama hidupnya? Dia seorang pangeran, dan kulihat pangeran-pangeran di Bhutan hanyalah orang-orang yang berlomba mengejar kesenangan, tenggelam dalam kemewahan dan aku berani bertaruh bahwa Pangeran Liong Khi Ong itu tentu sudah mempunyai isteri sedikltnya selosin orang, apalagi usianya sudah lima puluh tahun. Aku tentu sudah gila kalau aku mengatakan suka kepadanya, paman Gak."

Gak Bun Beng tersenyum geli. Bukan main anak ini! Pandangannya selalu tepat, membayangkan pengetahuan luas dan pertimbangan yang masak, kata-katanya tepat mengenai sasaran dan perasaannya amat halus bukan main.

"Dewi, kalau kau memang tidak suka, kenapa kau mau?"

"Paman, masa paman tidak mengerti? Aku hanya bertugas di dalam perkawinan ini untuk menjadi paku utama dalam singgasana ayah."

"Eh....?"

"Aku kawin bukan karena cinta, melainkan kawin politik. Agar kedudukannya di Bhutan kuat apalagi dalam menghadapi pemberontakan Bangsa Mongol dan Tlbet yang dipimpin oleh Tambolon, ayah mengorbankan aku untuk menjadi mantu kaisarmu disana!" Kedua pipi itu menjadi merah karena penasaran dan matanya yang indah bersinar-sinar.

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. "Kau kan bisa menolak?"

"Aih, paman. Apa dayaku sebagai seorang puteri raja? Kalau aku menolak, andaikata aku bisa menolak, kemudian terjadi sesuatu yang bisa merobohkan kerajaan, bukankah namaku akan dicatat di dalam sejarah sebagai seorang anak yang paling durhaka terhadap orang tua, sebagai seorang puteri yang tidak dapat menjaga negaranya? Ahh, kalau saja aku hanya seorang gadis petani biasa, tentu tidak ada yang usil mulut!"

Gak Bun Beng maklum akan hal ini dan dia menghela napas panjang, merasa kasihan sekali kepada gadis ini, dan dia teringat pula akan nasib Milana yang juga menikah karena terpaksa oleh kaisar! "Akan tetapi, sekarang engkau telah bebas, bukan? Engkau telah menjadi seorang gadis petani, bukan?"

"Apa gunanya? Tak mungkin aku menjadi begini terus. Setelah paman nanti menyerahkan aku ke istana, apa dayaku selain menurut dan menerima pernikahan itu dengan mata meram dan perasaan mati?"

"Kalau aku tidak menyerahkan engkau ke istana, bagaimana?"

Sepasang mata itu terbelalak. "Benarkah, paman? Akan tetapi, tidak diserahkanpun aku tidak berdaya. Mana mungkin aku bisa hidup sendiri di dunia ini? Aku sudah terbiasa hidup keenakan di istana. Aihh, kalau saja ada adik Ceng Ceng.... tentu dia akan dapat mencarikan akal."

"Tenanglah, Dewi. Aku akan membawamu ke kota raja, akan tetapi aku menjamin bahwa tidak ada seorang iblispun akan dapat memaksamu menikah dengan siapapun yang tidak kau suka. Aku tidak akan membiarkan itu, Dewi."

Syanti Dewi memegang tangan kanan Gak Bun Beng yang terkepal itu erat-erat, membawa kepalan tangan itu ke depan hidungnya dan menciuminya sambil terisak. Di dalam diri penolongnya itu dia tidak hanya menemukan seorang penolong, akan tetapi juga seorang kawan baik, seorang yang menjadi pengganti ayah bundanya, seorang pelindung dan pembela yang dia percaya sepenuh hatinya, seorang yang menimbulkan kasih sayang di hatinya.

******

"Bangun....! Gak-siok-siok.... bangunlah....!" Gak Bun Beng membuka matanya.

"Paman, lihat, ada pasukan tentara datang....!"

Gak Bun Beng mengeluh dan merasa kasihan sekali kepada dara itu. Baru saja mereka beristirahat di dalam rumah kosong yang rusak itu. Setelah membuat api unggun dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi yang tidur di atas rumput kering, dia sendiri lalu duduk bersandar dinding rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat, dan diapun tertidur saking lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena diapun belum pulas benar, sudah ada orang yang mengganggu.

Dia bangkit dan berdiri, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang keluar.

"Heiii....! Yang berada di dalam rumah kosong! Hayo kalian semua keluar!" terdengar teriakan seorang di antara para perajurit yang memegang obor. Obor itu besar sekali dan amat terang dan di atas sebuah tandu pikulan duduklah seorang panglima yang berpakaian lengkap dan gagah, pakaian perang, sikapnya gagah sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok, seorang panglima perang yang jarang bertemu tanding saking gagah perkasanya.

"Tenanglah, Dewi, mari ikut aku keluar," kata Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan dara itu, diajaknya keluar menghadap panglima itu.

"Suruh pergi mereka semua! Kalau mereka tidak menyembunyikan pemberontak, sudahlah, jangan ganggu penduduk di sekitar sini! Akan tetapi cari di rumah-rumah kosong, di guha-guha dan basmi semua pelarian pemberontak, barulah daerah ini akan aman. Kalian jangan terlalu malas, bekerja kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan tenaga hasilnya harus dapat dirasakan selama satu tahun! Tidak setiap hari mengalami gangguan terus!"

Beberapa orang panglima dan perwira yang mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan kelihatannya mereka takut sekali kepada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba panglima gagah perkasa ini memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak Bun Beng terkejut. Pandang mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer ini benar-benar bukan orang sembarangan, akan tetapi dia balas memandang dengan sikap tenang.

Pembesar itu memberi isyarat dengan tangan dan seorang perajurlt menggapai kepada mereka sambil berkata, "Heii, kalian berdua majulah menghadap tai-goanswe!"

Gak Bun Beng menarik tangan Syanti Dewi menghadap pembesar itu dan menjura dengan dalam-dalam, akan tetapi tidak berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.

"Hei, berlutut kalian!" bentak seorang perajurlt.

"Biarkan mereka!" Jenderal besar (tai-goanswe) itu berkata, melambaikan tangan kepada Gak Bun Beng memberi isyarat agar mereka berdua maju. Sekali lagi pandang mata Jenderal itu memandang tajam penuh selidik, kemudian bertanya kepada Syanti Dewi dengan suara membentak dan tiba-tiba,

"Kau, wanita muda katakan, siapa namanya laki-laki ini?"

Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak Bun Beng yang maju ke depan dan Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab. Sekali ini, secara tiba-tiba jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa itu menanya kepadanya. Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih dulu secara otomatis, "Namanya adalah Gak Bun Beng!"

Jenderal ini mengerutkan alisnya yang tebal, mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun menghadapi Gak Bun Beng. Tepat dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu meloncat menunjukkan pula kemahiran ilmu silat tinggi, biarpun tubuhnya tegap tinggi besar namun gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.

"Kau Si Jari Maut?" tiba-tiba jenderal itu membentak. Gak Bun Beng melepaskan tangan Syanti Dewi dan menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi juga kaget sekali, apalagi mendengar nama Si Jari Maut. Mengapa pula penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah Si Jari Maut adalah tukang perahu itu?

Gak Bun Beng juga merasa heran dan dia menggeleng kepala. "Bukan, tai-goanswe. Saya tidak punya nama lain kecuali yang dikatakan tadi."

"Siapa dia?" Jenderal itu menuding ke arah Syanti Dewi. "Dia anak saya."

"Hemm, wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan membohong kau!"

"Memang anak saya ini berdarah campuran, tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet."

Jenderal ini meraba jenggotnya. "Hem.... kau dari mana hendak ke mana?"

"Saya dari Tibet di mana selama belasan tahun saya merantau dan menikah di sana, sekarang hendak pergi ke Se-cuan."

"Kau bukan Jari Maut?"

"Bukan, tai-goanswe."

"Tapi kau tentu bisa ilmu silat, bukan?"

Sukarlah bagi Gak Bun Beng untuk mendusta terhadap jenderal yang bermata tajam ini. Tentu saja bagi seorang ahli, dapat melihat bahwa dia seorang yang "berisi", maka dia bersenyum dan menjawab, "Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari."

"Nah, coba kau hadapi seranganku ini, ingin aku melihat sampai di mana kepandaianmu!" Tiba-tiba saja jenderal itu menerjang maju, gerakannya cepat bukan main, sama sekali tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar tegap itu, apalagi dengan memakai pakaian perang yang cukup berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya didahului angin yang menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah dada Gak Bun Beng.

Pendekar sakti ini maklum bahwa sang jenderal sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian dan agaknya dia hendak menguji karena curiga, maka diapun tidak mau berpura-pura lagi karena toh akan sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal yang cerdik itu, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya sebagian saja cukup untuk menandingi tenaga sin-kang penyerangnya.

"Dukkk!" Jenderah itu berseru kaget ketika pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat memukul lagi dan tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya menggunakan tenaga setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai di mana kekuatannya. Kini jenderal itu menghantam dengan tenaga penuh, tenaga yang melebihi kekuatan seekor kerbau jantan mengamuk!

"Dess....!" Kembali pukulan tertangkis dan jenderal itu terhuyung ke belakang.

"Coba pergunakan jari mautmu!" Bentak sang Jenderal dan kini dia menerjang lagi, kaki tangannya bergerak dan sekaligus Gak Bun Beng menghadapi penyerangan pukulan, tamparan, totokan dan tendangan sebanyak delapan kali berturut-turut. Maklumlah dia bahwa jenderal ini benar-benar pandai, dan agaknya sang jenderal sengaja mendesaknya dengan jurus luar biasa itu untuk memancing dia agar dia, kalau memang mempunyai, mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia Jari Maut.

Tentu saja kalau Gak Bun Beng menghendaki, dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia menangkis dan sengaja memperlambat gerakannya sehingga dua kali pukulan mengenai bahu dan dadanya.

"Bukk! Dess....!" Gak Bun Beng terhuyung ke belakang sambil berseru, "Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat bertahan!"

"Ha-ha-ha-ha!" Jenderal itu tertawa bergelak, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan perutnya sampai bergoyang-goyang ketika dia tertawa sambil mendongak ke angkasa. "Ha-ha-ha, engkau terang bukanlah Si Jari Maut, sungguhpun engkau pandai sekali merendah. Sobat, aku Kao Liang kagum sekali kepadamu!"

Terkejutiah hati Gak Bun Beng mendengar nama ini. Kiranya inilah jenderal yang ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas saja! Memang seorang jenderal yang hebat! Untung jenderal ini agaknya tidak pernah atau jarang sekali muncul di kota raja sehingga tidak mengenalnya, pula, andaikata pernah, tentu sudah sejak mendengar namanya tadi pembesar itu lain sikapnya.

"Ah, kiranya Kao-taigoanswe....! Saya pernah mendengar nama besar tai-goanawe dari para pemberontak yang lari terbirit-birit ke barat."

"Ha-ha-ha, dan aku tadinya mencurigaimu sebagai anggauta pemberontak. Tidak mungkin. Apalagi dengan anakmu ini. Nah, kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silahkan, kalau di jalan bertemu kesukaran, katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu akan dapat menolong!"

Gak Bun Beng menjura, menghaturkan terima kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ cepat-cepat, biarpun malam itu cukup gelap karena bintang di langit terhalang sedikit awan.

Gak Bun Beng mengajak Syanti Dewi berhenti di bawah sebatang pohon besar di dekat padang rumput. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan melintasi padang rumput yang demikian rimbun, takut kalau-kalau ada ularnya atau binatang lain. Melihat lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu bangkit lagi dan menuju ke tempat itu. Kiranya itu adalah sebuah dusun yang lumayan besarnya. Akan tetapi karena dusun itu baru saja mengalami pemeriksaan dan pembersihan, semua penduduk masih merasa takut dan pintu rumah ditutup rapat-rapat. Beberapa kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara bisik-bisik di dalam, namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika mereka melihat sebuah rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tidak ada pelayan yang membukainya. Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan pintu, daun pintu terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh curiga.

"Kenapa kalian ini malam-malam menggedor-gedor pintu rumah orang?" tanyanya dengan hati lega akan tetapi juga jengkel ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara remaja yang keduanya berpakaian seperti orang dusun.

"Hemm, bukankah ini rumah penginapan untuk umum?" Gak Bun Beng bertanya sabar.

"Benar, akan tetapi apakah kau tidak bisa mengerti akan keadaan? Dunia sedang kiamat begini mencari kamar waktu tengah malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau tidak siapa lagi yang berani dan kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah manapun juga."

"Maaf kalau kami mengganggu dan mengagetkan, biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar kami beri juga uang kaget," kata pula Gak Bun Beng.

Mendengar bahwa dia akan menerima uang kaget sebagai hadiah pelayan itu menjadi lebih ramah. "Baru siang tadi dusun kami digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak yang ditangkap dituduh teman pemberontak. Tentu saja sedusun ini masih dalam suasana panik dan takut."

Gak Bun Beng mengangguk-angguk dan akhirnya mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur. Tadinya Gak Bun Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di depan pelayan itu Syanti Dewi berkata, "Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu saja cukuplah asal ada dua tempat tidur. Apalagi, aku takut tidur sendiri dalam kamar!"

Malam itu keduanya dapat tidur nyenyak setelah bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal Kao Liang. "Seorang jantan sejati," kata Gak Bun Beng kagum. "Negara memang membutuhkan orang-orang seperti dia itulah! Aku berani bertaruh apa saja bahwa orang seperti dia tentu setia kepada negara, tidak mabok kedudukan, tidak sudi menjilat dan tidak suka pula menekan bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh juga."

"Aku juga sudah khawatir, paman. Dia kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi ternyata kau tidak apa-apa! Dia memang mengerikan, seperti seekor singa!"

"Jarang kini terdapat orang seperti dia," kata pula Gak Bun Beng. "Orang pemberani macam dia tentu tidak berhati kejam. Hanya orang penakutlah yang berhati kejam karena kekejaman lahir dari rasa takut. Dan dia tidak pula penjilat, karena hanya orang yang suka menindas bawahannya sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia memang jantan sejati dan aku benar-benar kagum!"

Sementara itu, di perkemahannya, Jenderal Kao Liang juga berkata kepada seorang perwira kepercayaannya. "Orang bernama Gak Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah seorang penjahat yang sengaja hendak merusak namanya."

Memang tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang ini. Yang merusak dan menggunakan nama Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah mendengar akan sepak terjang Si Jari Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa penjahat kejam itu adalah seorang pemuda, maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari Maut. Tentu saja dia tidak tahu bahwa ketika menangkis serangannya tadi, Gak Bun Beng hanya mempergunakan sedikit bagian saja dari tenaganya, dan sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng adalah seorang pendekar sakti murid dari Pendekar Super

Sakti, Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang amat hebat!

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi, Gak Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi, "Dewi, kita harus menyamar dalam perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau sampai terjadi seperti malam tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya padang rumput itu terdapat perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan penyelidikan, dan mengetahui apakah gerangan yang terjadi sehingga seorang jenderal yang berpangkat tinggi itu sampai datang ke tempat ini dan melakukan perondaan sendiri, memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan."

"Paman, bukankah Jenderal Kao telah menjamin...."

"Ah, aku tidak mau berkedok nama jenderal, Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri menggunakan akal sendiri untuk menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita menyamar sebagai ayah dan anak penjual silat?"

"Tapi ilmu silatku masih rendah, paman."

"Habis apa kiranya yang menjadi keahlianmu?"

"Aku agak pandai menari...."

"Nah, itu dia! Kita menyamar sebagai penjual obat dan engkau menari, aku yang mengiringi dengan meniup suling."

Syanti Dewi tertawa dan cahaya matahari menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang halus itu benar-benar mendatangkan kesegaran dalam perasaannya. Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan baru sekarang dia merasakan kehangatan perikemanusiaan.

"Menari hanya diiringi dengan suling saja? Dan lagunya? Apakah kau mengenal lagu Bhutan, paman?"

"Tentu saja tidak. Akan tetapi asal melagukan cukup? Apa lagi kita adalah penjual obat, bukan ahli tari sungguhpun aku yakin bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli tari yang luar blasa. Nah, sekarang kita harus berbelanja ke dusun ini menyiapkan segala keperluan penyamaran kita. Untukku sebatang suling dan sebuah caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu dalam penyamaranmu, Dewi?"

"Sebagai penari keliling, cukup dengan sehelai selendang panjang saja, selendang sutera berwarna merah."

Setelah menemukan dan membeli kebutuhan mereka itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun itu dan melintasi padang rumput. Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi menyanyikan beberapa lagu Tibet yang dikenalnya dan dengan penuh kagum dan keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan mempunyai suara yang amat merdu dan halus. Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan sulingnya.

Ketika mereka sudah melewati padang rumput Gak Bun Beng berhenti dan meminta kepada Syanti Dewi agar supaya menari. "Kita harus berlatih dulu agar cocok antara suling dan gerakan tarianmu," katanya.

Dia duduk di bawah pohon dan mulai meniup sulingnya, menirukan lagu yang dinyanyikan dara itu, dan Syanti Dewi mulai menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor kupu-kupu beterbangan di atas kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang merah itu digerak-gecakkan, selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang amat indah dan berubah-ubah. Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang, kadang-kadang seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya tampak sekilas pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya. Bukan main! Gak Bun Beng terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di

kahyangan menyaksikan tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar matahari pagi di musim semi!

Setelah Syanti Dewi menghentikan tariannya sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia menurunkan sulingnya pula, masih terlongong dan termenung, seolah-olah orang baru terbangun dari suatu mimpi yang amat indah.

"Paman Gak!" Syanti Dewi memanggil ketika melihat pendekar itu duduk termenung, aeolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.

"Heh....? Ehhh....!" Gak Bun Beng menyeka peluh yang tanpa diketahuinya telah me menuhi dahi dan lehernya, kemudian dia memandang Syanti Dewi dengan sinar mata lembut dan penuh kasih sayang. "Dewi, bukan main kau....! Bukan main....!" Dan tak dapat ditahan lagi, dia mengatupkan bibir dan dua titik air mata menetes ke atas pipinya.

Syanti Dewi menubruknya. "Paman, ada apakah? Paman.... paman menangis?" Ucapan ini dikeluarkan penuh ketidakpercayaan. Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat seorang pria yang demikian gagah perkasa, jantan keras bagaikan baja, lembut dan budiman seperti kapas, yang dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan air mata walaupun hanya dua butir!

Gak Bun Beng tak mampu menjawab dan memejamkan mata ketika merasa betapa Syanti Dewi menyeka dua butir air mata itu dengan ujung selendangnya. Terbayanglah wajah Milana, teringatlah dia akan semua kenikmatan dan kebahagiaan berkasih sayang dengan wanita itu. Kehadiran Syanti Dewi dalam hidupnya membuat luka di dalam hatinya merekah kembali dan dia menjadi amat rindu kepada Milana, amat rindu pada belaian kasih sayang wanita. Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu, telah membuat hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang dilihatnya dalam diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh pertahanannya dan menjadi jebol!

"Paman kau kenapakah? Mengapa paman berduka?" Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara penuh kedukaan dan kecemasan.

Gak Bun Beng membuka matanya, lalu memaksa diri tersenyum dan membuka capingnya, mengipasi muka dan lehernya dengan caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan dengan harapan angin dari kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang mencekik lehernya. Sukar dia mengeluarkan suara dan hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.

"Paman, kau tadi kelihatan demikian berduka, sampai menangis! Padahal tadinya tidak apa-apa. Setelah aku menari, paman berduka dan terharu. Tentu ada sebabnya, paman. Demikian tegakah paman membiarkan aku dipermainkan kesangsian? Tidak sudikah paman mempercayaiku dan menceritakan apa yang mendukakan hatimu?"

Gak Bun Beng menggerakkan tangan dan mengelus rambut kepala gadis itu. Gerakan ini meruntuhkan hati Syanti Dewi dan otomatis dia lalu menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada pendekar itu. Dia merasa begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia, seolah-olah dada yang bidang itu melindunginya dari segala malapetaka yang akan mengancamnya, melindunginya dari segala kedukaan dan mendatangkan kebahagiaan yang dia tidak mengerti. Gak Bun Beng pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah sudah semestinya demikian, dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut kepala yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa janggalnya keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari atas dadanya. Mereka duduk berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng, "Syanti Dewi, kaulah satu-satunya manusia yang berhak mengetahui segala mengenai diriku."

"Terima kasih, paman. Aku yakin bahwa memang engkau akan menceritakan kepadaku, karena kiranya tidak ada lagi manusia yang demikian mulia seperti engkau, paman."

Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, akan tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan yang luar biasa keluar dari tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali dan menghela napas, membuang pandang matanya ke tanah, menunduk. "Dewi, engkau terlalu tinggi memandang diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh, yang canggung dan lemah."

"Bukan aku yang memandang terlalu tinggi, melainkan engkau yang selalu merendahkan diri, dan itulah satu di antara sifat-sifat paman yang kukagumi. Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis ketika melihat aku menari?"

"Syanti Dewi, karena kau mengingatkan aku akan seorang lain...."

"Seorang wanita?"

Gak Bun Beng mengangguk.

"Wanita yang paman cinta?"

Kembali Gak Bun Beng mengangguk.

"Dan diapun mencinta paman?"

Untuk ketiga kalinya Gak Bun Beng mengangguk.

Syanti Dewi menunduk, kelihatan berduka sekali. Sampai lama keduanya diam saja, kemudian terdengar dara itu bertanya, suaranya gemetar menahan isak, "Paman Gak, sudah lamakah dia meninggal?"

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, lalu mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah meninggal. "Sampai sekarang dia masih hidup, Dewi."

Muka dara itu menjadi pucat sekali, kemudian merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran dan kemarahan, "Kalau begitu dia telah meninggalkan paman, sungguh kejam sekali!"

Gak Bun Beng cepat menggeleng kepalanya. "Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang meninggalkan dia...."

Wajah yang tadinya merah menyala itu menjadi pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka dan tubuh yang menegang itu menjadi lemas. "Ouhhh....!" Syanti Dewi mengeluh dan duduk kembali di depan pendekar itu.

Syanti Dewi melihat Gak Bun Beng pendekar pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat sekali, alisnya yang tebal berkerut dan di permukaan wajah itu terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan. Melihat wajah pendekar itu seperti ini, Syanti Dewi tidak dapat menahan tangisnya. Dia terisak dan memegang kedua tangan pendekar itu, mengguncang-guncangnya sambil bertanya di antara isaknya. "Akan tetapi.... mengapa, paman? Mengapa....? Mengapa....?" Suaranya bercampur isak dan dia membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.

Melihat keadaan dara ini, Gak Bun Beng merenggutkan kedua tangannya. Dia takut kepada dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya, seakan-akan mendorongnya untuk memeluk dan mendekap dara itu penuh cinta kasih. Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia merenggutkan ketua tangan dari pegangan dara itu, lalu menutupkan keduanya tangannya ke mukanya sambil menahan air matanya dengan jari-jari tangannya. Sampai lama mereka tidak berkata-kata, yang terdengar hanya suara isak Syanti Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun Beng.

Setelah Syanti Dewi agak mereda dan berhasil menekan perasaan harunya dan ibanya, dia mengangkat muka yang basah dan merah, memandang punggung kedua tangan yang menutupi muka pendekar itu, bertanya, "Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab yang memaksa paman meninggalkannya. Pasti ada, dan maukah paman menceritakan kepadaku?"

Mendengar suara gadis itu telah tenang kembali biarpun masih gemetar, Gak Bun Beng yang juga telah berhasil meredakan gelora hatinya, menurunkan kedua tangannya dan tampaklah wajahnya yang pucat dan muram. "Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa aku akan menceritakannya kepadamu. Memang ada sebabnya, dan sebab itu adalah karena aku bodoh dan serba canggung! Begitu banyak aku melihat perkawinan gagal, cinta kasih berantakan setelah terjadi perkawinan, kemesraan lenyap terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan yang berakhir dengan kebencian dan dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri. Aku menjadi takut kalau-kalau diapun akan menderita apabila kasih di antara kita yang murni itu akan menjadi palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak tega membiarkan dia kelak menderita, karena itu, aku mundur.... tidak tahu bahwa aku membawa pergi racun yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi hari. Dengan kekuatan batin aku bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku keras dan melupakan segala." Dia menarik napas panjang dan menengadah, memandang ke langit seolah-olah hendak mengadukan nasibnya kepada Thian.

"Jadi.... itukah sebabnya, paman, seorang pendekar besar mengasingkan dan menyembunyikan diri di antara orang-orang biasa, menjauhkan diri dari segala urusan dan kesenangan duniawi?"

Gak Bun Beng mengangguk.

"Dan selama itu paman tidak lagi tertarik kepada wanita yang manapun?"

"Hemmm.... sebelum mengenal dia, aku belum pernah mencintai orang lain, sesudah itupun aku tidak ada minat dan waktu.... aku malah muak dan tidak percaya akan cinta kasih antara pria dan wanita yang kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak percaya lagi akan kata-kata cinta yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan keinginan pribadi untuk mencari kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan tetapi.... sikapku karena patah hati itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa memang ada cinta kasih yang murni, yang tanpa pamrih.... yaitu setelah aku bertemu denganmu, Dewi. Setelah aku berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa lamanya denganmu, kau mengingatkan aku kepada dia...."

"Aduh, paman Gak.... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi mencari dia? Di manakah kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang sampai saat inipun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!"

Gak Bun Beng menggeleng kepala. "Dia.... dia sudah menikah dengan orang lain, Dewi...."

"Ihhhh....!" Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng. "Mana mungkin....? Bukankah dia mencintamu, paman?"

"Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya." Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut, melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri. Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata, "Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa hidup sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah sekalipun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat di sana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki."

Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu, maklum bahwa pendekar itu selain hendak mengkubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tidak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia makin kagum dan bersyukur, dan diapun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.

"Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran perajurit-perajurit itu."

"Jangan khawatir. Betapapun juga, andaikata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!"

"Eh, mengapa, paman?"

"Mana mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah, gerakan kaki tanganmu."

Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung. "Perintahmu ini jauh lebih sukar daripada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara sulingmu."

"Membantu bagaimana?"

"Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku."

Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!

Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berapi berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap

bawahannya.

Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang di antaranya menghardik, "Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa di sini adalah markas pasukan?"

"Maaf, kami memanglah rombongan tari maka sudah menjadi kebiasaan saya kalau berjalan meniup suling agar tidak lekas lelah. Jadi di sini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana keadaan di sana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur."

Para penjaga itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biarpun sederhana pakaiannya itu. "Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!" kata seorang di antara mereka penuh gairah. Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja karena dia merasa "ngeri" melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!

Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan lucu kelihatannya. Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat. Perwira itu sebetulnya seorang yang sabar dan baik, akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut rombongan tari itu terdapat seorang gadis yang demikian denok, kontan saja sikapnya menjadi berubah dari biasanya. Dia memasang aksi seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah panglima tertinggi atau bahkan kaisar sendiri! Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai "komandan" betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring, "Siapa kau dan dari mana hendak ke mana?"

Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang "komandan sungguhan"! Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular di antara rumput dan minta-minta ampun!

"Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!" kata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa perwira itu ketika mendengar sebutan tai-ciangkun terus saja melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya. Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya

mengempis.

"Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun."

Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.

"Dewi.... hemmm...." Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama lakl-laki bercaping itu.

"Bagaimana, tai-ciangkun?" Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.

"Ohhh.... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?"

Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.

"Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang ke sini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apalagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi perajurit dalam pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri."

"Ohhh....!" Seruan ini terdengar dari banyak mulut para perajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali dan mendengar ini, perwira gendut itu berseri wajahnya.

"Apa katamu tadi? Tepat sekali, bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silahkan, nona.... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!"

Syanti Dewi menjura dengan hormat dan Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja dan sudah lewat tengah hari. Dan tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.

"Sebaiknya tari-tarian dilakukan di waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah," kata Gak Bun Beng.

"Baik, dan memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas," kata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.

"Sekarang kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan di sana."

Perwira itu menggeleng kepalanya. "Sebetulnya, perjalanan ke sana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak."

"Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidak percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau kiranya memang perlu, biarpun sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk menjadi perajurit lagi, membela pemerintah."

Perwira itu menggeleng-geleng kepala. "Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk ke sana kemari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biarpun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui yang mana yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apalagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran."

Perwira itu agaknya senang bercerita, apalagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau.

Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata, "Mengapa pertalian jodoh dapat menimbulkan ramai dan ribut, ciangkun?"

"Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari...."

"Hemm, sayapun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari," kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada "ayahnya" dan tersenyum.

"Akan tetapi di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, karena ingin mendapat perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol yang dipimpin Raja Muda Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tantangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya ada kabar angin bahwa usaha itu diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak."

Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?

"Lalu bagaimana kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?"

"Pangeran Liong Khi Ong? Hemm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini diapun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!"

"Kenapa demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang tinggi kedudukannya?" Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri.

Perwira gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya, "Menarik sekali ceritaku, ya?"

"Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun," jawab Syanti Dewi.

"Biarpun andaikata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong." Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal. "Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang, selain selirnya banyak sekali, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andaikata puteri itu menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!"

"Ahhh....!" Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.

"Ceritamu menarik sekali, ciangkun dan terima kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk perajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur terhadap luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun."

"Terima kasih, terima kasih." Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para perajurit sudah berkumpul untuk menonton.

Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, semakin malam semakin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu nampak seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.

Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara kaku, sungguhpun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali. Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya seperti suling ular! Tari-tarian dara itupun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!

Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata "haus wanita" itu keadaannya akan menjadi runyam, apalagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya. Selain itu, juga si perwira gendut bisa saja menuntut yang bukan-bukan nanti. Keterangan yang resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.

"Saudara sekalian," tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk.

Suara berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang amat mempesona itu. "Saudara-saudara sekalian, kami masih mempunyai pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula dengan senang."

Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari. Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa "ayahnya" ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Diapun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya. Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya, "Kau nanti naik ke punggungku!" lalu terus menyuling, mengejapkan mata kepada Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir, kemudian secara  tiba-tiba dia berbisik, "Hayo sekarang!"

Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu.

Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu! Semua orang bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang amat hebat

dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut, "Kemana mereka?"

"Mereka menghilang!"

"Wah, tentu telah lari!"

"Mengapa lari?"

"Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!"

Perwira gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali, jauh dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.

"Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?"

"Hemm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!"

Syanti Dewi mengerti dan menghela napas panjang.

"Sungguh tidak enak menjadi wanita...."

"Heh....?"

"Apalagi kalau masih muda...."

"Hemm...."

"Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan pria."

"Tidak semua pria, Dewi."

"Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!"

Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguhpun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?

"Paman, kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasapun bisa. Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?"

"Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan."

"Setelah mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman."

"Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus ke sana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?"

"Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!" kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.

"Habis bagaimana?"

"Terserah kepada paman saja, ke manapun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan, atau.... ah, apa saja terserah paman."

"Hemm.... hemm...." Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.

"Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!"

Gak Bun Beng menengok dan tersenyum melihat betapa kini gadis itupun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.

"Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi."

Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.

"Coba kaumainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu."

"Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman." Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh. Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu. Dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apalagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu.

Diam-diam Gak Bun Beng membayangkan dengan hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan. Cerita dari perwira gendut itu hanya menggambarkan keadaan luarnya saja, namun tidak menceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi dan siapakah di antara para pangeran yang merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet. Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja. Dia sudah mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Biarpun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana amat mencintanya dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti. Maka dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.

Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir kaisar, namun yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang.

Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena mereka tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu. Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran lainnya.

Pada suatu hari, seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan, mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu. Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini. Akan tetapi seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepatlah kalau putera kaisar dijodohkan dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan! Pangeran Yung Hwa sepatutnya dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak menurun. Adapun Puteri Bhutan itu, untuk menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang biarpun sudah berusia lima puluh tahun namun masih "perjaka" dalam arti kata belum mempunyai isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja. Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian "hadiah" ini untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!

Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih hebat lagi. Adapun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong!

Justeru kesempatan ini dipergunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri.

Betapapun kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana. Apalagi ketika dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang "patah hati" itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit! Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa di antara perdana menteri dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apabila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapakali bentrokan bersenjata, sungguhpun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.

Puteri Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya dia tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana. Dari suaminya, yang biarpun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana. Dengan hati khawatir Milana mulai sering mengunjungi Istana untuk mendengar-dengar dan melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya tentang desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah. Kakeknya menertawakan cucunya ini, akan tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk melakukan penyelidikan dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja! Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga kaisar! Dan dengan adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena merekapun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana.

Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andaikata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apapun tentang kota raja dan

istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.

Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan kota raja makin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan di antara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapapun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimanapun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.

Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tidak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sin-kang gabungan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat mujijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu. Sampai pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri, pengoperan tenaga sin-kang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan memiliki dasar tenaga sin-kang gabungan ini, biarpun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, namun kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biarpun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan

macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuatpun!

Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.

Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok. Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap mata saja kereta itu terbakar!

"Ohhh....!" Syanti Dewi berseru, seruannya kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk. "Kita harus menolong penumpang....!" kata pula puteri ini.

Gak Bun Beng memegang tangan dara itu mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu. Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang perajurit sudah tiba di situ. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu meloncat dekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena "dikejar" api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.

Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapapun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya. Bagaikan tatit kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat ke luar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.

"Keparat, berani mencampuri urusan kami?" Perwira itu bersama belasan orang perajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.

"Hemm, kalian terlalu kejam!" Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang. "Dewi, lindungi dia!" katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.

"Tringg.... krekkk!" Pedang itu patah menjadi dua!

Gak Bun Beng lalu berkelebat di antara mereka, dan ke manapun dia berkelebat, tentu senjata seorang perajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang perajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.

"Mundur....! Pergi....!" Perwira itu memberi aba-aba dan pasukan kecilnya yang telah "dilucuti" senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.

Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu dapat diselesaikan sedemikian mudahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.

"Apa yang terjadi? Mana dia?"

"Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian dia mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman."

"Dalam keadaan terluka itu dia pergi?"

Syanti Dewi mengangguk. "Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa."

"Hemm.... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang."

Memang pada saat itu, orang-orang sudah berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya ketika menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi. Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh.

Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah putera kaisar sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng. Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan pernah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu! Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apalagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.

Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apalagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali. Kelihatannya memang amat gawat keadaannya dan di sepanjang jalan dia mencari keterangan, namun para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka! Dan bahwa kini sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.

Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yan lalu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis) dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!

Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa. Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biarpun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apalagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis

dusun biasa saja sungguhpun amat manisnya.

"Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja di sini?" Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.

"Ahhh.... eh.... benar kau.... mari...." kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.

"Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit."

"Sakit? Siapa....? Aku sakit? Ah, tidak....!" jawab Gak Bun Beng akan tetapi kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.

"Agaknya kau masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu." Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.

Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi. Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini? Biarpun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apabila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itu yang memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!

Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.

"Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul di sini, cepat laporkan padaku!" Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri. Seketika mukanya menjadi makin pucat seperti mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca.

Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak, tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana! Hatinya menjerit.

"Milana....!" akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.

Syanti Dewi terkejut bukan main, cepat menengok dan diapun melihat wanita yang menunggang kuda itu dan segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.

"Paman....! Ada apakah....? Paman....!"

Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ terdapat sebuah rumah penginapan.

"Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?"

Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.

Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Pukulan batin yang amat hebat dideritanya. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu. "Aku menyiksanya.... aku menyiksa batinnya.... ah, aku menyiksanya...." Demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.

Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas! "Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam...."

Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sebentar, lalu memejamkannya kembali, menggeleng kepala dan berkata lemah, "Tidak apa-apa, Dewi.... sebentar juga sembuh.... tidak apa-apa...."

"Paman, ah, pa man, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?"

"Milana.... dia Milana....!" Ketika mengucapkan nama ini, seolah-olah hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya.

"Milana....!"

Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut. "Sang Puteri Milana....?"

Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya. Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, kemudian dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata, "Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?"

Sejenak Gak Bun Beng tidak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.

"Aihhh....!" Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri! Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta

kasihnya terputus!

"Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus...."

"Hushh....! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku kepadanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakt i! Sedangkan aku.... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan...."

"Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini matanya buta!" Syanti Dewi melanjutkan.

"Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, akupun tidak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada di sini dan.... dan melihat dia.... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?"

"Cantik dan agung, paman. Akan tetapi.... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung...."

"Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku.... ohh." Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.

"Paman....! Paman....!" Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil "paman" oleh gadis itu pingsan dan kaku iapun ikut menjadi bingung sekali.

"Lekas.... oh, lekas panggllkan tabib....!" Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.

Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, kemudian dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sin-kang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sin-kang. Akhirnya, Gak Bun Beng sadar dan cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata, "Anak bodoh....! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!"

Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Kini Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat, dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.

"Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia...."

"Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan sajapun boleh. Kalau tidakpun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang perlu kau harus berobat sampai sembuh."

Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk. "Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obatpun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu."

Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.

"Sinshe itu memang pandai...." kata Gak Bun Beng.

"Sungguhpun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!"

Biarpun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teringat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira, "Hi-hik,paman. Apanya yang lucu?

Memang kau masih muda, malah engkau masih.... perjaka lagi, hi-hik!"

Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum. "Bagaimana kau tahu?" Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita!

"Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!"

Gak Bun Beng tidak me njawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Akan tetapi gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!

Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat dan bahkan menyuapi mulut Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.

Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu "mati" Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.

"Bagus, bagus....!" Sinshe itu mengangguk-angguk.

"Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik, dia gelisah dan berduka, tidur dan istirahat, bergembira adalah yang mujarab."

Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan. Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali. Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan

kengerian. Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya presis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatupun tidak! Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena di luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus!

Dua kakek ini marah-marah. "Kami juga mampu bayar, kenapa tidak boleh memakai kamar ini?" bentak yang bermantel bulu.

"Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada di dalam atau di belakang."

"Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke belakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!"

"Tapi, loya...."

"Heh-heh, kamu minta mampus?" Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan.... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!

Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demontrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sin-kang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.

Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata, "Biarlah kubereskan urusan di luar."

"Jangan, paman.... mereka.... mereka lihai sekali...."

Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata, "Andaikata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit untuk mengambil kamar di dalam saja."

"Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?" Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan.... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!

Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya. "Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!" Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!

Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng. "Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?" Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.

"Plakkk!"

Pada saat itu, kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka diapun menyambut dengan tangan kanannya.

"Plakk!"

Dua orang kakek ini terkejut, berseru "Aughh....!" dan muka mereka menjadi pucat.

Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo. Kedua kakek kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing, kalau si baju tebal itu seorang ahli tenaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sin-kang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!

"Ouhhhh....!" Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan. Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak niat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sa kti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini dipergunakan oleh kakek kembar itu untuk menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!

Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan biarpun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di depan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main! Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti! Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan

senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.

Pendekar ini berusaha mengelak dan bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sin-kang, namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.

Pada saat itu, Syanti Dewi sudah meloncat masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia menjerit.

Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita. "Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?"

"Sing-sing....!" Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.

"Trang-trang....!" Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.

"Hayaaaa....!" Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan di mana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.

Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh sepasang kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar dua orang kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apalagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.

"Paman, kau.... terluka...." Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.

"Dewi.... cepat.... bawa aku pergi.... jangan sampai dia melihatku....!" Syanti Dewi tadi sudah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, sungguhpun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?

"Dewi, cepat.... aku tak tahan lagi...." Bun Beng berbisik.

"Kesana.... melalui jendela...." Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguhpun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.

"Gak-twako....!" Seruan lirih ini terdengar di antara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang, akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak memperdulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!

"Paman....! Paman....!" Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.

Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Di antara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biarpun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.

Karena perhatiannya tertarik, apalagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.

"Mereka lari!"

"Kejar....!"

Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar kedua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang kelosmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.

Milana termenung mendengar keterangan ini. Melihat wajahnya, apalagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Kemana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu tidak penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.

Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.

Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apalagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi. Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para perajurit itu. Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah

sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.

Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi saputangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya.

"Paman Gak.... jangan kau mati.... jangan tinggalkan aku sendiri, paman....!" Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara.

Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.

Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam!

Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan dan didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.

Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik ke kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di situ. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.

"Dewi....!" Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.

Biarpun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.

"Paman ! Aihh, paman.... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini, melihat paman diam tak pernah bergerak...."

Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam. "Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku.... aku tak sadarkan diri?"

Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.

"Dan selama ini engkau.... engkau memaksa diri melarikan aku ke sini.... dan.... dan merawatku....?" Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.

Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih, "Aih, paman Gak. Bagaimana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan pagi tadi melihat engkau seperti.... seperti mati. Aku takut sekali...."

Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Dewi.... kau.... kau seorang.... anak yang baik sekali."

Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi. "Paman, kau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Aku akan mencari buah-buahan untukmu."

Tapi Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu. "Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?"

Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.

"Dan pernah minum?"

Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.

Bun Beng menghela napas. "Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagaimanakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?"

Wajah yang agak pucat itu kini menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.

"Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat.... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar dia mengenal dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?"

Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Aku.... aku tidak kuat menghadapinya.... aku.... aku.... ah, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh."

Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih. "Paman Gak, demikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?"

Bun Beng tidak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya, dia berkata, "Dewi, kita harus kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkan sampai ke luar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakan riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu."

"Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman."

"Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya."

"Kalau begitu akupun tidak sudi menghadapnya!" Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah.

Bun Beng mengangkat muka memandang. "Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?"

"Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Leblh baik aku.... mati di sini...."

Bun Beng memegang tangan dara itu. "Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapapun yang memaksamu."

Wajah yang jelita itu berseri. "Baik, paman. Kemanapun paman membawa ku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah...."

Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup di antara semak-semak itu mati seketika. "Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah."

Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Benar saja, di situ terdapat seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya. Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguhpun tubuhnya masih terasa amat lelah.

Akan tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya. Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Biarpun dara

ini tak pernah menyatakan dengan mulut, biarpun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, namun Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya. Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapapun juga, dia tidak akan menyeret dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja.

Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!

Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.

******

Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utara untuk menemui Jenderal Kao Liang, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong dari bahaya tenggelam oleh Tek Hoat, kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran Liong Khi Ong sehingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang membuat rencana pemberontakan. Masih untung bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andaikata dia tidak bertemu dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda itu tidak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat tertutup.

Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang nelayan. Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak diketahui kemana perginya. Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat kepada Tek Hoat. Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak! Betapa rendah dan hina! Dan pemuda itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu di waktu dia mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.

Selama dalam perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong.

"Mengapa sri baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud memberontak?"

Souw Kee It menarik napas panjang. "Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata rakyat. Apalagi karena niat pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap sendiri."

Ceng Ceng bersungut-sungut. "Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin merajalela."

"Demikian pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu."

"Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan bahaya!" Berkata demikian Ceng Ceng teringat kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu.

Souw Kee It mengangguk. "Memang akupun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang belum kami kenal, dan agaknya dia telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong."

"Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata keranjang dan jahat lagi?" Dia teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di perahu.

"Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan kebaikan hati kaisar sehingga biarpun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita."

"Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi kepentingan kerajaan."

"Memang tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apalagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan inipun yang hancur hatinya adalah Pangeran Yung Hwa."

"Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?"

"Dia juga putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun. Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Akan tetapi, permintaannya ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong."

"Si tua bangka!" Ceng Ceng mengomel.

"Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana."

"Lolos?"

"Ya, patah hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda...."

Ceng Ceng terdiam, merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.

Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Karena Ceng Ceng menyamar sebagai pria berkumis, maka biarpun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari, namun hasilnya sia-sia. Dan di sepanjang perjalanan itu, biarpun ada banyak mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa "pemuda ganteng berkumis" itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari. Tentu saja Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dianggapnya gadis itu merupakan orang penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya dapat menyumpah-nyumpah.

Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara. "Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao," kata kata pegawal itu. "Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu."

Ceng Ceng merasa girang sekali karena dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya "kumis" yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.

"Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini."

"Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?"

"Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang."

Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjualbelikan di tempat ini.

"Kaubawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi."

"Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?" tanya Ceng Ceng terheran.

Souw Kee It tersenyum. "Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekalipun, mau mencuri kuda."

"Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?"

"Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kaubawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda."

Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu Ceg Ceng tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlari datang menyambutnya.

"Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!" kata seorang di antara mereka.

"Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!" kata orang ke dua.

"Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit," kata orang ke tiga.

Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang, "Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!"

"Ha-ha-ha, pintar sekali!" Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda ke dua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira. Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri, membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. "Hekkk.... hekkk.... mau mencekik malah tercekik.... mampus, kena batunya sekarang...."

"Bu-te, jangan kurang ajar....!" Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih.

Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan di dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.

"Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikitpun juga!"

Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua  ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga "pasaran". Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mugkin untuk dikelabui dengan aksi-a ksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.

"Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan...."

"Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...."

"Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?"

Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.

Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan. Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.

Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.

"Plakk.... krekk....! Aduhhh....!" laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya sedangkan pisaunya terlempar entah kemana. Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar tubuh dan sekali dia menampar, pergelangan tangan orang yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.

"Ampunkan saya.... anak-anak saya kelaparan...." Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.

Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu. "Ambillah dan pergilah!"

Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kian Bu terbelalak kagum.

"Wah, kiranya seorang yang lihai!" Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu. "DIa tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya, kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.

Kian Bu bersungut-sungut kecewa apalagi melihat seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri. "Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?"

"Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!"

"Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap-cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal."

"Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?"

"Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?"

"Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apalagi kalau kita tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya."

"Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!"

"Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggarnya, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi."

"Konyol!" Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran. Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia "sopan" ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang-kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan. Kini, darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, menghadapi penghalang yang sangat besar dan dirasakan amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguhpun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biarpun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.

Demikianlah, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, namun dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!

"Siapakah mereka....?" Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.

"Hi-hik, pemuda-pemuda yang lucu." Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.

"Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati."

"Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek."

"Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini."

"Ihhh....!" Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.

"Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona." Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. "Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara."

"Habis, apa yang hendak kaulakukan, Lopek?" Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius.

Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, lalu berkata, "Tenang, tak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik...."

Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa empat orang ini memang sengaja menanti dan menghadang mereka di tempat ini!

"Lopek, hajar saja mereka!" Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.

Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.

"Kauhadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu," bisik Souw Kee It.

Ceng Ceng mengangguk dan dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biarpun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.

"Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan apakah?" Souw Kee It bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.

Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.

"Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?"

"Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!" Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu,

berkata mengejek. "Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!"

Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itupun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.

"Pemberontak hina dina!" bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka. Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan sudah menerjang maju disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka! Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, dan dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.

"Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!" bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa kalau para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.

"Baik, Lopek!" Ceng Ceng memang tadinya hendak mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!

Souw Kee It juga sudah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya bergulung-gulung sinarnya tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua, kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!

"Haiiittt....!" Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik dan pisaunya menyambar, berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.

"Aku mencari bantuan....!" Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.

"Lari ke mana?" Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau be lati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.

"Auuggghhh....!" Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya. Orang ke dua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng menendang, tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.

Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It, "Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar."

"Kalau begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek."

Souw Kee It menggeleng kepala. "Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kaulanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kauceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota."

Ceng Ceng mengangguk. "Baik, Lopek."

Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, "Kaubawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu."

Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.

"Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao."

Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Adapun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.

Memang daerah yang merupakan front ke dua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat. Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat diantara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu perajurit di tapal batas utara.

Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh daripada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri! Ambisi inilah yang kemudian menyeret dia untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biarpun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!

Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi. Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun demi mencapai tujuan! Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perb�atan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita. Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tidak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apapun, dengan judi, dengan korupsi, dengan penyogokan, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yakni mencari keuntungan! Lebih hebat lagi, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!

Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Kalau tidak bercita-cita, tidak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan? Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu ke majuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!

Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biarpun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Daripada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan diluar diri kita.

Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah

perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!

Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!

Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga

orang kepala suku Mongol itu.

"Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu," demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. "Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao."

"Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan," kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, "karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan Ciangkun sebagai bawahannya tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya."

"Itulah yang memusingkan hatiku!" Panglima Kim menghantam meja di depannya. "Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi daripada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan."

"Bukankah Jenderal Kao suka sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?" kata seorang di antara utusan Pangeran Liong. "Bagaimana kalau dipergunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?"

Kim Bouw Sin mengangguk. "Memang ada rencana itu, akan tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau.... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak...."

Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir. "Dapat sekarang!" Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. "Sumur maut! Tempat itu dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!"

Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah.

Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, di dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar! Demikianlah keadaan batin seseorang yang telah diracuni oleh cita-cita, demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir maupun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?

"Berhenti!" Tiba-tiba bermunculan perajurit-perajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang perajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya. Melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi, diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum. Mudah diduga bahwa perajurit-perajurit ini merupakan anggauta pasukan pilihan yang kuat, akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, akan tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para perajurit Jenderal Kao ini.

"Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?" teriaknya.

Seorang di antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring, "Nona, kau melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali."

Ceng Ceng tersenyum. "Aihh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?"

"Terpaksa kau akan kami tangkap dan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa."

"Begitu mudah?" Ceng Geng tersenyum mengejek. "Coba tangkap aku kalau bisa!"

Para perajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.

"Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami," berkata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.

"Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!"

Merah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya. "Tangkap dia!" teriaknya memberi aba-aba. Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para perajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!

Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka, bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para perajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.

Ceng Ceng menggapai kepada para perajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak. "Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!"

Tentu saja para perajurit menjadi marah dan bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak, "Tahan!"

Serentak para perajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata, "Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?"

Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata, "Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...."

Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala. "Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapapun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami."

"Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!"

"Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap."

"Cobalah!"

Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu. "Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal."

Para perajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab, "Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu."

"Heiiiiitttt!" Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.

"Yaaaahhhh!" Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak kanan.

"Plakkk!" Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yag berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis ini memang berIlmu tinggi maka berani berlagak seperti itu, maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.

Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan gin-kangnya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.

"Plak! Plak!"

Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para perajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras, "Tahan....!"

Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan dengan mata terbelalak marah memandang. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata, "Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya."

Komandan itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.

"Nona, terpaksa kami hanya dapat menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan."

Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata, "Apakah engkau masih mencurigai aku?"

Komandan itu memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para perajuritnya terkejut dan biarpun mereka belum mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.

"Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona," kata komandan itu. "Aihh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang."

"Baik, Nona."

Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apabila tidak diantarkan oleh komandan itu.

Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apalagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.

"Aih, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silahan duduk di ruangan dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami," kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.

Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya. "Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya, tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor di daerah perbatasan ini."

Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk. "Ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!" Kembali dia tertawa bangga lalu melanjutkan. "Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi para pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon."

"AgakNya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya daripada yang Tai-ciangkun kira." Ceng Ceng berkata, "Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja."

"Ehhh....?" Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.

Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang sekarang entah berada di mana akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.

Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja. "Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!"

Pada saat itu, seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata, "Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!"

"Ah, dia datang? Suruh masuk cepat!" kata jenderal itu.

Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya, "Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?"

Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa. "Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu."

"Hemm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kauserahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kaupimpin sendiri? Kita harus mengadakan pembersihan jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!" Jenderal Kao menegur bawahannya.

Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata, "Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe."

"Hemm.... berita apakah yang begitu penting?"

"Para peyelidik ka mi mendapat keterangan bahwa pada hari besuk, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan penberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak."

Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja. "Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!"

Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata, "Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu."

"Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?"

"Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir."

"Hemm, tempat terpencil dan mengerikan itu?" Jenderal Kao membelai jenggotnya, "Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri."

"Kalau begitu baik sekali, dan saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda," kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu. Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.

Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Akan tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke kanan kiri.

Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apalagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di mana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ.

Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biarpun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.

"Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat," kata perwira yang dibayanginya tadi.

"Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan di sini," kata orang ke dua.

"Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua berjalan menurut rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan di sana."

Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun! Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi

mengunjungi Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tak mungkin dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah melapor secepatnya kepada Jenderal Kao yang telah pergi. Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat keluar, cepat dia membayangi dari jauh.

Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.

Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah tiba di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.

Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak terdapat seorang pun manusia di sekitar daerah yang amat sunyi itu.

Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?

"Mari kita periksa sumur itu!" Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.

Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda. "Jangan mendekati sumur itu....!"

Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut dan selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya. Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya. Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu.

Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!

Mereka terkejut namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.

Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.

Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya. Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biarpun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!

Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.

"Haiiiiittttt....!" Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat. Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi ini, kakek itu melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.

Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa, "Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andaikata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!"

Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.

"Hyaaaattt....! Ceppp....! Desss....!" Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkisi hujan golok dan tombak, Ceng Ceng menjawab, "Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak.... dia agaknya yang mengatur semua ini. Engkau dijebak...."

"Prakkk! Desss!" Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.

"Hemm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!"

Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biarpun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu. Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah belepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri!

Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. "Engkau hebat.... wah, engkau hebat....! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari klta berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat, sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak

seimbang ini, Jenderal Kao, Ceng Ceng, dan tiga belas orang pengawalnya telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!

Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biarpun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.

Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah datangnya dari arah selatan. Namun, Ceng Ceng tidak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!

"Heiiiiittt....!" Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!

Ceng Ceng berteriak keras, tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya, terpental keluar dari mulut Sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan

mengerikan!

"Nona Ceng Ceng....!" Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.

"Keparat, kalian membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!" Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak seperti seekor singa terluka kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa sayang kepada dara remaja itu. Tidak ada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya. Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu mempergunakan siasat dalam perang, melainkan seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!

Biarpun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.

Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.

Melihat munculnya orang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pemberontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka dan tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban pengamukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.

Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan peuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.

Ketika Jenderal Kao melihat siapa yang telah menolongnya, dia menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng. "Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah kujumpai di barat?"

Gak Bun Beng menjura dan berkata, "Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu."

"Terima kasih.... terima kasih, engkau memang gagah perkasa...." Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

"Aihhhh.... sungguh kasihan.... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang dia, seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan...." Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!

Bun Beng mengerutkan alisnya. "Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kaubicarakan itu?"

"Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...."

Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, "Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!"

Jenderal Kao me mandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.

"Nona itu bernama Lu Ceng...."

Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. "Lu Ceng....? Candra Dewi....? Dan.... dia.... dia.... di manakah dia....?"

Jenderal Kao makin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab, "Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini."

Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu, Bun Beng juga terkejut karena dia sudah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya, "Gak-enghiong, apakah artinya ini?"

"Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak."

"Ahhh....!" Jenderal Kao terkejut bukan main. Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan ketika diboyong. Kiranya puteri ini masih selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.

"Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?" Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke arah sumur itu.

"Baru saja," jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.

"Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!" Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol karena mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka, lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.

"Gak-enghiong, apa yang akan kaulakukan?" tanyanya.

"Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya."

"Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!" Jenderal itu berseru kaget. "Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi."

"Betapapun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong."

"Paman.... Paman Gak.... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?"

"Mudah-mudahan saja."

"Tapi.... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...." puteri itu bergidik ngeri. "Kalau berbahaya.... harap jangan turun ke sana...." Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.

Gak Bun Beng tersenyum. "Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andaikata aku terancam bahaya, masih dapat ditolong."

Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu. Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang dan kedua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.

"Aahhhhh....!" Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget, wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi, ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba saja tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.

Biarpun dia sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur. Tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!  

"Paman....!" Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.

"Harap paduka mundur, dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!"

Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sin-kangnya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata, "Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa." Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, "Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi aku masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi."

Jenderal itu mengangguk-angguk. "Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu.... kasihan dia...."

"Dia.... dia.... telah mati...." Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur. Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jenderal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.

Jenderal Kao mengepal tinjunya. "Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!" Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.

Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguhpun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyela matkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.

******

Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan dengan susah payah bersama Syanti Dewi, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan kekasihnya, yaitu Puteri Milana yang kini telah menjadi isteri orang lain.

Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena dia mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu. Sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali! Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya.

Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andaikata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak perduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andaikata tidak ada Syanti Dewi, tentu dia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.

"Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan.... aku membuat kau menjadi sengsara saja...."

"Paman, jangan berkata demikian."

"Betapapun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi.... ah, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditunda-tunda...."

"Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu...."

Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, Syanti Dewi akan hidup tanpa pengawal dan keselamatannya terancam.

"Dewi, kaubuatlah alat penyeret dari bambu.... kita harus melanjutkan perjalanan...."

"Aduh, Paman.... sakitmu bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan perjalanan ini."

"Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?"

Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena dia ingin memperoleh pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, kini harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan yang tandus dan merawat orang sakit, dapat dibayangkan betapa hebat penderitaannya. Namun, Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng daripada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apalagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan.

Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba pada sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.

"Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!" dara itu berkata sambil berhenti.

"Hadapkan aku ke sana, Dewi." Bun Beng berkata lirih. Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata, "Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biarpun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah."

Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat

tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!

Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak memperdulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang bertempur itu.

Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.

"Dewi, hadapkan aku kepada mereka." Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.

"Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe." Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, berkata dehgan sikap dan suara amat menghormat.

Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah "salah alamat" dan mengira dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja "anak kecil" itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa "anak kecil" itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!

"Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau ma mpus ini sebagai jago? Kalau benar demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!"

Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak ini yang bersifat sombong, Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan. Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kapada si kecil, "Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?"

"Ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!"

Tiga orang itu kelihatan marah, akan tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jerih menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata, "Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?"

Melihat sinar mata Bun Beng yang amat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan ragu-ragu dan menjawab, "Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!" Sambii berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.

"Sobat," Gak Bun Beng berkata dengan suara halus namun sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa, "seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, akan tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan seseorang bukanlah diukur dari keberaniannya berkelahi, karena sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka melanggar janji?"

Wajah si kecil itu sebentar pucat sebentar merah. Ranting di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan dia sesungguhnya marah sekali. Akan tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu tak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata, "Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu selihai mulutmu. Huhh!" Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapakali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.

Gak Bun Beng menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya, "Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan apakah sebenarnya yang telah terjadi di sini?"

Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka dia pun lalu duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.

Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah dan akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih).

Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai.

Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggauta itu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka! Betapapun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun kemudian.

Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!

"Hari pertandingan tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe," si kumis tebal mengakhiri ceritanya. "Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin mencapai kemenangan, kedua pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tidak dapat menandinginya, apalagi kalau dia menggunakan pedang!"

"Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?"

"Biarpun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami."

Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.

"Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu itu tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan darah."

Tiga orang itu girang sekali. Biarpun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan saling ma klum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biarpun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi! Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.

Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggauta Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.

Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini mema ng ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada tiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan.

Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suhengnya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata, "Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?"

Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek. "Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu."

"Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?"

"Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!"

"Dan ka mi juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!"

Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggauta Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.

"Pamanku bukan Sin-ciang Yok-kwi," kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.

Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum. "Tentu saja bukan...." katanya karena dia pun sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. "Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di sana itu amat lihai." Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.

Karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya, "Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?"

Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu. "Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu."

"Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?"

Pemuda itu mengangguk. "Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya."

Percakapan itu terpaksa berhenti karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan agak terhuyung, telah naik ke atas Jembatan Angkasa.

"Paman....!" Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.

Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.

Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.

"Ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago Hek-san-pai!" Kakek bertubuh kanak-kanak itu menantang.

Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai, "Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ke tiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!"

"Apa katamu....?" ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.

"Locianpwe.... apa.... apa artinya ini....?" Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.

"Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!" Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!

"Hemm...." Pendekar ini menggeram. Biarpun tubuhnya lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali ini dia mengerahkan sin-kang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah sinar pedang yang berkelebat.

"Krekkkk! Aughhhh....!"

Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!

"Bawa dia pergi....!" Bun Beng berseru ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat berlari-lari datang dan dua orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut. "Sebetulnya, apakah kehendakmu?" ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.

"Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini fihak Pek-san-pai yang menang?" tanya ketua Pek-san-pai penuh harap.

Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek. "Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya."

"Ahhh! Akan tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!" bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali.

Bun Beng memperlebar senyumnya. "Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentinga sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan."

Dua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!

"Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?" Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.

"Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...." kata ketua Peksan-pai.

"Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!"

"Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!" bentak ketua Hek-san-pai.

"Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Akan tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama."

Kedua orang ketua itu sudah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sin-kang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri. Biarpun kini dia tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, Bun Beng merasa betapa kepalanya pening. Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!

"Kalian manusia-manusia berhati kejam....!" Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. "Butakah mata kalian?"

Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan bingung.

"Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan mengorbankan dirinya agar kalian menang dan berdamai. Kalau tidak, apakah kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapinya? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!" Setelah berkata demikian, Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.

Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan. "Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini...." kata ketua Pek-san-pai.

"Kami memang bodoh dan locianpwe telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya."

Syanti Dewi bangkit berdiri. "Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?"

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.

"Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok." Kembali kedua orang ketua itu tertegun. "Jadi.... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?"

"Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!"

Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru "Tahan dulu, Nona!"

"Ada apa lagi?"

"Sebaiknya kalau Gak-locianpwe dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau bahkan amat berbahaya bagi keselamatanmu."

"Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!" Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, tidak memperdulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu. Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali. Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.

Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh. Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan. Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya.

Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh. Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapi ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol, akan tetapi apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti), karena sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, dan tangannya dianggap sakti.

Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diObatinya biarpun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!

Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.

Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar kuil, mereka berhenti. Biarpun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa. Seorang di antara mereka, yang masih muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.

"Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri...." Orang muda itu berkata sambil berlutut.

Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya. "Huh, kau berkelahi?" tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.

"Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya...."

"Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!"

"Harap Locianpwe mengasihi saya.... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...."

"Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!"

Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya sehingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.

"Dukkkk....! Uakkhh....!" Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.

"Locianpwe....! Aihhh.... dadaku.... sudah tidak terasa sakit lagi....!" Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biarpun bibirnya masih berlepotan darah.

"Pergilah!" Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.

Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat! Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jerih dan agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi. Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan suaminya sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kai membuka matanya memandang.

"Ada apa kalian ini?" tegurnya.

Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata, "Mohon maaf, Locianpwe.... saya.... eh, kami.... mohon obat kepada Locianpwe.... agar kami berdua.... dapat dikurniai anak...."

Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu, "Benarkah engkau ingin mempunyai anak?"

Dengan muka berubah merah sekali wanita itu tanpa berani mengangkat mukanya menjawab lirih, "Benar.... Locianpwe...."

Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan. "Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!"

Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap, "Akan tetapi.... Locianpwe, ini.... ini adalah...."

"Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!" bentak kakek itu marah-marah.

Si isteri memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ. "Hayo cepat pergi...." bisiknya.

Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok. "Kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?" terdengar si suami mengomel.

"Cih! Kau yang tak becus!" isterinya membantah.

"Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain....!"

"Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?"

Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkanya dengan cara pukulan sin-kang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya. Adapun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya. Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan kurang ajar dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti bisa memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!

Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.

"Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan," berkata si isteri sambil berlutut.

Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak, "Apa kau ingin membunuh suamimu?"

Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya.

"Apa.... apa maksud Locianpwe?" isteri itu bertanya gagap sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.

"Kalau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!" Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. "Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, pergilah!"

Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali, pikirnya.

Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak, "Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kaucinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!"

Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biarpun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapapun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?

"Hayo pergi....!" Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.

Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit dan kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara locianpwe mengobati orang tadi. Apalagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya."

Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai seorang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saja sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukan wanita sembarangan. Akan tetapi mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak menghina dan merendahkannya?

"Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biarpun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apapun, asal dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!" Suara kakek itu keren dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus. Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa, maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini pergi mengobati Gak Bun Beng.

"Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, akan tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?"

Kakek itu makin marah. "Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa perdulimu dengan itu semua?"

Diam-diam, biarpun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu.

Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata, "Locianpwe, harap jangan marah-marah dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai daripada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai."

"Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!"

Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapapun juga, dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan, "Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai maupun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang di antara keduanya. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Akan tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian."

"Apa....?" Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. "Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!"

Biarpun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah. "Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan dua pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?"

"Bodoh....! Bodoh....! Mengapa aku sampai susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan maupun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?"

Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah.

Syanti dewi kembali tersenyum. "Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, akan tetapi Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe."

"Omong kosong!"

"Mari kita buktikan saja! Mari, kalau Locianpwe berani ikut bersama saya dan coba Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa di antara kalian yang lebih sakti!"

Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi. "Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, akan tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga."

"Boleh, itu taruhanku!" jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.

Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada di situ menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tidak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.

"Paman....!" Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.

"Dewi, apa yang kaulakukan? Ke mana kau pergi....?"

"Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang."

Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu, karena dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu. Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata, "Keponakanmu ini menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kau mengobati aku, kalau kau mampu!" Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni. Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.

"Ahhh....!" Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun Beng. Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya. Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa melainkan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.

Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biarpun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!

"Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali pun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!" Akhirnya dia berkata, "Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!" Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguhpun tidak sukar untuk dicari. Di antara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!

"Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!" kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa memperdulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.

Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak memperdulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.

Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali!

Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.

"Paman, kau sudah sembuh....!" Syanti Dewi berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.

"Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi."

"Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak."

"Ahh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua)," kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.

"Ah, Taihiap.... kamilah yang harus berterima kasih." Dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng. Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu.

"Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik," kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. "Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan."

Keduanya menjura. "Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi orang baik-baik."

Gak Bun Beng menghela napas panjang. "Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya."

Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya. Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, melainkan dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.

Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik! Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukanpun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan. Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalaupun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka. Kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir maupun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu. Dan kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang dipamrihkan tadi. Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!

Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Daripada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidakbaikan kita, akan kekotoran kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala ketidakbaikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidakbaikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap.

"Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?" Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.

"Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia ke sini mengobati Paman."

"Aihh, kalau begitu aku harus mengunjunginya dan menghaturkan terima kasih kepadanya." Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.

"Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!" Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan "diadu" dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang dipergunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.

Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Dia lalu memegang tangan puteri itu dan berkata, "Jangan khawatir, kita harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!"

Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata, "Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman."

"Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, akan tetapi aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya."

Syanti Dewi terkejut. "Begitukah? Ah, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!"

Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!

"Syanti Dewi, kau baik sekali. Selama ini.... ah, takkan terlupakan selama hidupku, engkau telah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku...."

"Sshhh...., cukuplah, Paman. Diantara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau tidak saling bantu, habis bagaimana? Pula.... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman."

Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!

"Kau kenapa, Paman?" Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.

Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah. "Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi."

Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk di atas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.

"Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?"

"Terima kasih atas pertolongan Locianpwe dan sejak dahulupun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe," jawab Syanti Dewi.

"Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Benarkah kau pandai mengobati?"

Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia berkata, "Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu."

Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada. "Nah, kau boleh memeriksa!"

Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mujijat dalam dada kakek itu yang amat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.

"Tidak salah!" serunya. "Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Akan tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kaudiamkan saja!"

"Engkau hebat," Yok-kwi berkata. "Biarpun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sin-kang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit di dalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sin-kang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena pengerahan sin-kang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm.... kau sudah menemukan penyakitku, biarpun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andaikata penyakit ini akan mencabut nyawaku."

"Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu dapat saja diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu."

"Tapi.... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat...."

"Akan kucoba. Duduklah bersila dan mari kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar."

Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya, "Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?"

Gak Bun Beng tersenyum den menggeleng kepala. "Bukan dari partai manapun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan."

Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu. Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena biarpun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sin-kang itu amat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.

Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap! Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan

keringat dan napasnya mulai terengah-engah.

Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sin-kang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali. Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sin-kang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikut inya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sin-kang tadi menjadi Swat-im Sin-kang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sin-kang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.

Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah!

Dengan kekuatan sin-kangnya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mujijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu!

Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sin-kang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sin-kangnya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.

Uap menghitam yang membubung keluar itu makin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.

Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat.

Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia sehingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, kini mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!

Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah. Karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah!

Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.

"Manusia keji....!" Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng.

Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.

"Prakkk!" Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.

"Ouhhh.... jangan....!" Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

"Singgg....!" Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!

"Takkk! Aughhh....!"

Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya dan dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan. Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sin-kang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk,

bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mujijat itu dan terlempar ke belakang!

Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sin-kang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi. Hawa sin-kang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sin-kang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan menancap setengahnya saja. Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum merah melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.

Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak, "Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?" Tangannya bergerak, jarum merah itu menyambar dan Lo-thong memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!

"Paman....!" Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang.

Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.

"Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?"

"Dia layak dibunuh dua kali!" jawab kakek itu.

"Kenapa?"

"Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggauta pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw."

"Hemm....!" Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.

Yok-kwi menghampirinya dan menjura. "Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Kalau sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang terkenal."

Gak Bun Beng tersenyum. "Beliau adalah guruku."

Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat. "Ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang ke sini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi kepada Puteri Milana...." Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya sambll tersenyum dia berkata, "Budi apakah yang kauterima dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?"

Yok-kwi menjura lagi. "Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau...."

"Tentu saja, dia terhitung sumoiku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kauterima darinya?"

"Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Kini, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan ada usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan di sini."

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. "Aihh, kiranya engkau seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwa)."

"Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba di tempat sejauh ini?"

"Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini...." Gak Bun Beng ragu-ragu.

Yok-kwi tertawa. "Ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!"

Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu. "Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?"

"Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul di sini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja menduga-duga."

"Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan."

Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi. "Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurangajaran saya."

Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu. "Aih, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe."

Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya, "Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan."

"Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh."

Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.

"Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara," kata Bun Beng.

"Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya akan tetap tinggal di sini dan siap setiap saat untuk membantu, biarpun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan."

Mereka berpisah dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.

"Aahh.... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ah, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan."

Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut di mana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak.

Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak terlambat sehingga biarpun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao, namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biarpun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.

Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.

Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao, "Kalau Goanswe tidak berkeberatan, ijinkanlah saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini."

Kao Liang memandang dengan wajah berseri. "Tepat sekali. Aku memang sudah mempunyai rencana demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada di antara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung

saja."

Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar dan dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.

******

Bagaimanakah keadaan Ceng Ceng? Benarkah seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi bahwa dara perkasa itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun dan sukar diukur dalamnya itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya kita mengikuti semua pengalamannya.

Dara perkasa itu terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao Liang dengan menendang tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang sumur, dia sendiri terdorong dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah lagi! Dia merasa ngeri dan ketika tubuhnya melewati bagian yang ada gasnya, dia tak dapat bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian itu, tentu dia akan tewas oleh gas beracun.

Akan tetapi, ternyata bahwa gas itu keluar dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka setelah tubuhnya yang melayang ke bawah itu melewati sumber gas, di sebelah bawah tidak ada gas beracun ini dan dia selamat, biarpun masih dalam keadaan pingsan dan masih terus melayang ke bawah, ke dalam sumur yang seperti tidak ada dasarnya itu.

Dalam keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu tubuhnya akan hancur lebur kalau terbanting ke dasar sumur itu. Akan tetapi, tidak jauh dari dasar sumur yang merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh Ceng Ceng terhenti dan tertahan oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap oleh seekor ular besar! Ular ini besarnya melebihi paha seorang dewasa dan panjangnya lima meter lebih! Dengan ekornya, ular itu telah "menangkap" tubuh Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu dengan ekornya sehingga Ceng Ceng tidak sampai terbanting mati di dasar sumur. Memang sudah menjadi kebiasaan ular besar ini untuk menangkap binatang apa saja yang kebetulan jatuh dari atas, yang kemudian menjadi mangsanya. Kini, memperoleh korban seorang manusia, ular itu mulai mendekatkan kepalanya kepada Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu dinding yang menonjol. Matanya berkilat-kilat, lidahnya keluar masuk dan agaknya dia sudah mengilar sekali melihat calon mangsanya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis tajam dari bawah, suara mendesis yang membuat ular itu tampak terkejut dan menoleh ke bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis penuh kemarahan dari mulut seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai sumur itu. Mula-mula ular besar itu meragu, akan tetapi kemudian dengan perlahan dia merayap turun setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang masih pingsan, membawa gadis ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu.

Setelah tiba di depannya, nenek itu berkata, "Lepaskan dia!"

Ular itu melepaskan gigitannya sehingga tubuh Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu, kemudian mengangkat kepalanya dan mendesis-desis seperti ragu-ragu.

"Pergi....!" Nenek itu menjerit lagi, tangan kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor anjing jinak yang dibentak majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara berkokok lalu merayap pergi, naik lagi ke atas.

Ceng Ceng mengeluh, membuka matanya dan cepat meloncat bangun, berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Cahaya dari atas mendatangkan penerangan yang cukup dan ketika dia menengok ke atas, dia seperti melihat benda bulat yang bercahaya di dalam tempat gelap ini. Kemudian dia teringat dan tahu bahwa benda bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang demikian tingginya seperti sebuah matahari yang aneh. Matanya mulai terbiasa dengan keadaan remang-re mang itu dan dia menggigil teringat betapa tubuhnya terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi mengapa dia tidak mati? Mengapa tubuhnya tidak hancur, bahkan luka pun tidak, hanya terasa agak sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat mundur ketika melihat gerakan di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking ngerinya. Tadi dia tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap dan di lantai dasar sumur itu yang kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini baru terlihat olehnya bahwa di depannya, duduk di atas lantai, terdapat seorang manusia yang keadaannya amat aneh dan mengerikan!

Ceng Ceng mengerahkan kekuatan pandang matanya agar dapat melihat lebih jelas lagi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena dia tidak tahu apakah mahluk yang berada di depannya ini. Manusia ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus, hanya tengkorak terbungkus kulit, rambutnya panjang riap-riapan, tubuhnya kurus kering terbungkus kain lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap seperti mata kucing dan mulut yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat mengerikan hati Ceng Ceng, apalagi ketika dia melihat betapa nenek itu merangkak mendekatinya dengan menggunakan kedua siku lengannya, mengesot karena kedua kaki itu ternyata lumpuh. Mahluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau setan daripada seorang manusia.

"Heh-heh-heh, kau cantik, cantik dan muda....!" Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi mengejutkan hati dan Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.

"Kau.... siapakah....?" Akhirnya dara itu dapat juga mengeluarkan suara melalui kerongkongannya yang terasa kering. "Dan.... bagaimanakah aku dapat.... selamat tiba di sini....?" Dia memandang ke atas, ke arah "matahari" yang tinggi itu dan bergidik. Tak mungkin manusia dapat hidup setelah terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.

"Heh-heh, kalau tidak ada Siauw-liong (Naga Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di lantai batu ini, heh-heh!" Nenek itu berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya ke atas.

Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat ke belakang ketika dia melihat ular besar yang tadinya tak tampak olehnya itu, melingkar di dinding sumur dan memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat. Seekor ular yang besar dan panjang sekali, yang disebut Naga Kecil oleh nenek itu! Bagaimana ular besar itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit, tentu pernah dililit oleh tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.

"Dan sekarang engkau tentu sudah aman di dalam perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok Mo-li, heh-heh-heh!"

"Ban-tok Mo-li....?" Ceng Ceng bertanya heran. Dia tidak pernah mendengar nama julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).

"Ya, Ban-tok Mo-li Ciang Si, aku sendiri, heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika tubuhmu melayang turun, sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku mencegahnya."

Mengertilah kini Ceng Ceng apa yang telah terjadi dengan dirinya. Betapa pun menjijikkan dan menakutkan keadaannya, dia menduga bahwa nenek yang bernama Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang yang memiliki kepandaian hebat dan telah menolongnya tadi, maka dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

"Banyak terima kasih teecu haturkan kepada Locianpwe yang telah menolong teecu dari cengkeraman maut."

"Heh-heh, aku senang menolongmu, aku senang bertemu denganmu. Siapakah namamu?"

"Nama teecu (murid) adalah Lu Ceng."

"Kau dapat tiba di sini dengan selamat, ini namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke tempat tinggalku. Kaulihat, aku tidak bisa jalan. Maukah engkau menggendongku kalau memang benar kau berterima kasih kepadaku?"

Ceng Ceng bergidik, akan tetapi dia menekan perasaannya dan mengangguk. Akan tetapi ketika dia hendak membungkuk untuk mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu tiba-tiba tubuh itu melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di punggungnya! Dia terkejut bukan main menyaksikan kelincahan luar biasa ini.

"Heh-heh, kaugendonglah aku lewat terowongan itu." Nenek itu menuding ke depan. Ceng Ceng lalu menggendong nenek itu melalui terowongan yang gelap sekali. Kalau tidak ada nenek itu yang memberi petunjuk, tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya nenek itu sudah hafal benar akan jalan terowongan gelap ini karena dia selalu memperingatkan Ceng Ceng, membelok ke kiri, ke kanan, merendahkan tubuh agar tidak terbentur kepalanya dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang berliku-liku dan gelap itu sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya terang dan keluarlah Ceng Ceng dari terowongan, memasuki sebuah guha yang menghadapi jurang amat curamnya.

"Heh-heh-heh, di guha sinilah aku tinggal," kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung Ceng Ceng. Dara ini melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan guha, menengok ke bawah dan bergidik ngeri. Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak nampak dasarnya karena terhalang oleh uap halimun saking dalamnya! Menengok ke kanan kiri guha, juga merupakan dinding batu yang curam dan tegak lurus, licin dan tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia benar-benar telah terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya dengan dunia ramai!

"Heh-heh-heh, kau mencari jalan keluar? Tidak mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh tahun lebih berada di sini, tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya hanyalah melalui mulut sumur itu, dan tidak mungkin ada manusia dapat naik melalui jalan itu karena dinding sumur itu banyak mengeluarkan gas beracun. Dan menuruni tebing-tebing jurang di sini, sama dengan membunuh diri. Engkau sudah berjodoh denganku untuk menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis."

"Tidak! Tidak mungkin....!" Ceng Ceng menjerit. "Harap Locianpwe turun, teecu hendak mencari jalan keluar."

Melihat dara itu hendak menurunkannya, tiba-tiba nenek itu berkata, "Tidak, aku tidak mau turun lagi selamanya dari punggungmu, heh-heh-heh!"

Ceng Ceng menjadi terkejut sekali, terkejut dan marah. Kedua tangannya sudah bergerak hendak menangkap tubuh nenek itu dan memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.

"Jangan bergerak! Kalau bergerak, kepalamu akan kuhancurkan!" Nenek itu membentak, suaranya mendesis-desis seperti ular marah. "Aku sudah terlalu lama hidup tanpa kaki, merayap seperti ular. Aku ingin hidup wajar, ingin melihat dunia ramai dan tak mungkin kulakukan tanpa kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan kedua kaki, kakimu, dan aku tidak akan melepaskannya lagi!"

"Locianpwe.... gila....!" Ceng Ceng berseru, matanya terbelalak dan ngeri dia membayangkan bahwa untuk selamanya nenek itu tidak mau turun dari punggungnya!

"Heh-heh, aku ahli racun yang nomor satu di dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok (Selaksa Racun) dan memang aku mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia ini. Aku bisa menggunakan ilmuku untuk menanam tubuhku ini di punggungmu, melekat untuk selamanya dan kedua kakimu menjadi pengganti kedua kakiku yang lumpuh, ha-ha-ha!"

Bukan main ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang nenek gila, seorang nenek yang berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik mati daripada harus hidup seperti itu, selamanya menggendong nenek ini, siang malam, di waktu dia makan, di waktu tidur, mandi dan lain-lain. Selamanya! Mana mungkin? Lebih baik mati! Dia tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan hidupnya, masih suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia mendekati tebing jurang lalu berkata, "Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu mari kita mampus bersama!"

"Heiii....! Apa.... apa maksudmu....?" Nenek itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tertutup kabut tebal itu.

"Locianpwe lebih suka hidup, akan tetapi aku lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah, mungkin di bawah sana terdapat air yang akan menelan dan membuat kita mati tenggelam, mungkin juga batu-batu runcing tajam seperti pedang yang akan menerima tubuh kita sampai hancur berkeping-keping, atau batu keras yang menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari kita mampus bersama!"

"Heiii, jangan....! Gila kau....! Dua puluh tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku, masa sekarang akan kauakhiri begitu saja. Biarkan aku turun....!"

Akan tetapi kini Ceng Ceng menggunakan kedua tangannya memegang erat-erat dua kaki yang lumpuh itu. "Tidak, aku tidak akan menurunkanmu, aku akan mengajakmu mampus bersama, untuk menjadi temanku pergi ke neraka menerima siksaan di sana!"

"Lepaskan.... aihh.... aku tidak mau mati.... belum mau mati....!" Kini nenek itu merengek dan hampir menangis.

Ceng Ceng tersenyum geli. Biarpun dia telah terjebak ke tempat mengerikan itu, namun pada saat itu dia lupa akan kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan nenek yang seperti iblis ini. "Aku hanya mau menurunkan Locianpwe dan tidak akan meloncat ke bawah kalau Locianpwe suka berjanji untuk mengangkat murid kepada teecu dan menurunkan semua ilmu kepandaian Locianpwe kepada teecu."

"Baik, aku berjanji.... lekas mundur jauhi tebing ini.... hihhh....!"

Ceng Ceng melompat mundur, melepaskan kedua kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat turun. Mereka berhadapan dan kembali Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan tetapi juga kasihan menyaksikan nenek itu menelungkup seperti seekor kadal.

"Kau.... kau bocah nakal dan cerdlk, hi-hik! Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku memang membutuhkan teman di sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita tidak akan saling berpisah pula, Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku."

Karena tidak ada pilihan lain dan agaknya dia harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini untuk dapat keluar, selain itu juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia kelak dapat mencari sendiri jalan keluar kalau nenek itu tidak mau membantunya, Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Teecu Lu Ceng menghaturkan terima kasih kepada Subo (Ibu Guru)."

"Heh-heh-heh, engkau tidak tahu betapa beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tidak tahu siapakah Ban-tok Mo-li Ciang Si yang kauangkat menjadi guru ini. Aku sendiri mungkin tidak terkenal, akan tetapi suhengku adalah seorang di antara tokoh-tokoh nomor satu dari Pulau Neraka. Suhengku Bu-tek Siauw-jin (Manusia Hina Tanpa Tanding) adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan dari Suheng itu aku memperoleh banyak ilmu mujijat. Hi-hik, kau beruntung sekali."

Mulai hari itu Ceng Ceng berdiam di tempat terasing ini bersama gurunya dan di dalam penyelidikannya, tempat itu benar-benar terputus dari dunia luar.

Untung bahwa di dalam terowongan terdapat sumber air yang terus menetes dari dinding batu, dan untuk menyambung hidup, selama puluhan tahun gurunya hanya makan daun-daun dari tanaman yang merambat di tepi jurang di luar guha, jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tetumbuhan yang terpendam di dalam tanah di guha dan di luar guha.

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya yang kadang-kadang makan cacing dan binatang dalam tanah lainnya. Dia merasa jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti gurunya, akhirnya dia berhasil juga menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan terbang di tempat tinggi itu.

Setelah berhari-hari tinggal dengan Ban-tok Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan gurunya dan memperoleh kenyataan bahwa gurunya itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Tidak saja ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang ahli besar dalam soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh tahun, gurunya telah menguasai semua racun, bahkan seluruh tubuh gurunya mengandung racun yang dapat dipergunakan untuk membunuh lawan. Dari tamparan tangannya, sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak bergigi lagi, sampai ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat membunuh lawan!

Biarpun pada waktu itu dia belum melihat kemungkinan untuk dapat terbebas dari neraka itu, namun Ceng Ceng tidak putus asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam kedukaan atau keputusasaan yang menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa yakin bahwa pada suatu saat kalau ilmu kepandaiannya sudah tinggi, dia pasti akan dapat keluar dari tempat itu. Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira dan bahkan membuatnya makin tekun mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu.

Pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis latihan pagi, Ceng Ceng memberanikan dirinya bertanya kepada gurunya, "Subo, bagaimanakah Subo sampai dapat berada di tempat ini, dan bagaimana pula Subo yang berilmu tinggi sampai dapat menderita penyakit lumpuh kedua kaki Subo?"

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada di situ, melihat kebersihan muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan ini dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan pakaiannya. Pakaiannya kini bersih, dicucikan oleh muridnya dan rambutnya pun bersih dan disanggul, tidak seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya kelihatan seperti kuntilanak. Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang pucat menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.

"Kalau yang mengajukan pertanyaan itu orang lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena pertanyaan itu mengingatkan aku akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi karena kau muridku, sebaiknya kau tahu karena hanya engkaulah yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan penderitaanku ini kepada mereka itu."

"Mereka siapakah, Subo? Dan apa yang mereka lakukan kepadamu?"

"Ahhh...." Nenek itu menarik napas panjang. "Mungkin hari ini atau besok mereka akan datang ke sini untuk menagih janji, mengambil kitab catatanku tentang racun...."

Ceng Ceng menekan jantungnya yang berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka akan datang ke tempat itu? Hal ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk memasuki tempat ini dan berarti ada pula jalan keluarnya!

Biarpun dia tidak mengatakan sesuatu, gurunya dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya berkata, "Percuma saja, Lu Ceng. Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di sini dan apakah kaukira aku selama itu tidak berusaha menemukan jalan keluar itu? Akan tetapi aku tidak berhasil. Jalan rahasia itu hanyalah diketahui oleh mereka berdua, karena memang tempat ini adalah milik mereka, dahulu adalah tempat pertapaan mereka."

"Siapakah mereka?"

"Dua orang iblis berwajah manusia yang terkenal dengan julukan Siang Lo-mo (Sepasang Iblis Tua), dua orang kembar yang amat jahat."

"Mengapa mereka menganiaya Subo?"

Nenek itu kembali menarik napas panjang. "Dua puluh tahun yang lalu mereka bertemu denganku dan hanya setelah mereka maju mengeroyok saja aku terpaksa kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi tentang racun, mereka memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang selaksa racun. Aku tidak sudi, biarpun mereka memaksaku. Mereka amat keji, dengan marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku."

"Aihhh....!" Ceng Ceng menjerit ngeri.

"Kemudian mereka membawa aku yang pingsan ke dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka mengancam akan datang membunuhku kalau aku tidak mau memenuhi permintaan mereka. Aku tetap menolak dan sampai sekarang mereka belum juga membunuhku. Karena aku tahu bahwa tidak dapat keluar dari sini, aku memperdalam ilmuku tentang racun dan aku siap untuk membunuh mereka. Paling akhir mereka mengancam bahwa mereka akan datang untuk yang terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan racun, mereka tentu benar-benar akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu adalah hari ini atau besok pagi. Akan tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka dan mereka akan mampus, hi-hi-hi....!"

"Maksud Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat mengalahkan mereka?"

"Tidak, kalau melawan berterang, tidak mungkin dapat menangkan dua orang kembar itu. Akan tetapi sudah bertahun-tahun aku merencanakan akal, mari kaulihat saja dan bantu aku membuat persiapan!"

Ceng Ceng mengikuti subonya memasuki guha dan sesampainya di mulut terowongan yang berada di sebelah dalam guha, nenek itu berhenti dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis dan diseling suara melengking.

"Subo memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?" Ceng Ceng yang sudah pernah mendengar subonya memanggil ular besar itu bertanya. Selama sebulan di tempat itu baru pagi hari ini dia merasakan ketegangan hebat setelah mendengar bahwa tempat itu akan kedatangan musuh yang lihai, bukan hanya tegang karena musuh itu melainkan karena harapannya bahwa dia akan dapat menemukan jalan keluar yang dirahasiakan oleh sepasang kakek iblis itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap dari dalam terowongan. Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan perut ular dengan kedua tangan, kemudian dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular itu ke atas, ke arah batu menonjol di atas guha. Ular itu menggunakan ekornya melibat batu dan berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu.

Setelah melihat ular itu di tempat seperti yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan yang ternyata berisi bubuk berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang jalan terowongan di mulut guha sebelah dalam. Tidak ada tampak bekasnya namun lantai yang ditaburi bubuk sambil mengesot mundur itu, dari mulut terowongan sampai ke dalam sejauh tiga meter lebih telah terlapis dengan bubuk hitam.

"Ha-ha-ha, kau akan melihat mereka bergelimpangan, Lu Ceng." Nenek itu tertawa sambil mengantongi lagi kertas pembungkus racun hitam tadi.

"Apakah Subo akan berhasil?" Ceng Ceng bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya betapa lihai kedua orang kakek itu.

"Hi-hi-hik, tentu saja! Racun itu tidak tampak sama sekali, akan tetapi sekali menyentuhnya, biar memakai sepatu sekalipun, yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andaikata kakek kembar iblls busuk itu mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang girang melihat kedatangan korban akan menyerang mereka. Serangan ini tentu akan membuat mereka meloncat mundur lagi dan mau tidak mau akan menginjak racun hitam. Heh-heh-heh!"

"Kalau gagal bagaimana, Subo?"

"Hemm, gagal? Aku sudah siap dengan jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar guha. Dan engkau selama ini sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir beracun, kaubantu aku menyerang dari samping kiri."

"Baik, Subo."

"Nah, kita siap sekarang."

Nenek itu lalu mengesot ke sebelah kanan mulut guha, bersembunyi di balik batu besar. Ceng Ceng juga melompat ke samping kiri mulut guha, siap dengan jarum merah beracun dan pasir yang dikantonginya. Jantungnya berdebar tegang. Yang menjadi perhatian sepenuhnya adalah kemungkinan baginya untuk menemukan jalan rahasia keluar dari tempat itu! Kalau selama sebulan ini dia kurang giat mencari jalan keluar adalah karena dia sudah putus harapan untuk dapat menemukan jalan ke luar, karena dia tidak tahu bahwa memang terdapat jalan rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya, timbul semangatnya. Kalau orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia tidak?

Menanti merupakan pekerjaan yang paling melelahkan. Apalagi dalam suasana di mana ketegangan mencekam hati seperti saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti bersama subonya, di kanan kiri mulut guha, bersembunyi sambil mengintai ke sebelah dalam terowongan yang hitam pekat. Apalagi dia sebagai manusia yang dipermainkan pikiran dan khayal pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu pun mulai kelihatan gelisah akan tetapi tidak berani merayap turun karena takut sekali kepada nenek itu. Hanya kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri, matanya melirik-lirik dan lidahnya berkali-kali dijulurkan keluar sambil mengeluarkan suara mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu mendesis-desis keras dan ular itu terdiam.

Ceng Ceng sudah hampir tidak kuat lagi menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah gembira, mana dia dapat tahan untuk diam saja seperti arca selama berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan sudah lebih dari tiga jam mereka menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia hendak membuka mulut mengajak subonya bicara, nenek itu menggerakkan tangan memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara. Ceng Ceng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Dengan amat jelas terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah dalam terowongan itu!

"Ha-ha-ha-ha! Ban-tok Mo-li nenek ular yang buruk! Keluarlah kau...., kami datang menagih janji! Ha-ha-ha-ha!"

Ceng Ceng merasa ngeri. Baru suaranya saja sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa itu mempunyai kekejaman luar biasa! Keadaan menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa dan kata-kata itu habis gemanya. Dara itu melirik ke arah subonya dan melihat betapa nenek itu juga tegang, memandang ke dalam guha sambil mengintai dari balik batu besar, jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga mempersiapkan jarum merah di tangan kanan dan pasir di tangan kiri. Pasir yang digenggamnya itu bukanlah pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai guha itu dan yang sudah direndam dalam racun oleh subonya. Dia sendiri sudah menggunakan obat pemunahnya sehingga tidak berbahaya baginya, namun lawan yang terkena pasir ini, sedikit saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut karena dari luka itu racun pasir akan meracuni semua jalan darahnya!

Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja, akan tetapi dengan jantung berdebar Ceng Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu? Akan tetapi kini dia mengerti akan siasat gurunya. Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau tidak kelihatan ada orang di situ, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali.

Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur membasahi lidahnya binatang itu sudah siap untuk mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.

Setapak demi setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit melengking dan kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka menyentuh lantai itu! Bukan main ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar akan tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya, dia melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah memberi isyarat agar dia tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk melemparkan jarum-jarumnya ke depan!

Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang pertama yang masih menelungkup di atas lantai beracun, kemudian dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang ke dua duduk di atas pundak orang pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan orang ke dua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!

Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah. "Heh-heh-heh!" Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh. "Masih ada permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?" Bentaknya dan kedua tangannya bergerak cepat, dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan ke arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu! Darah muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua orang tadi.

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar putih dari pasir beracunnya. Namun, sambil tertawa kakek yang telanjang itu telah memutar-mutar bangkai ular besar sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun, kemudian kedua orang kakek itu melompat ke luar mulut guha.

Ceng Ceng kini dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar. Namun kesamaan ini lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang amat mencolok. Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan penutup kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan! Adapun kakek ke dua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah

dan mukanya pun kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biarpun wajahnya yang merah itu kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.

"Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kaukira kami orang-orang bodoh? Untung kami menemukan dua orang di atas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!" kata kakek bermuka merah.

"Ban-tok Mo-li, cepat kauberikan kitab catatan racun kepada kami!" Kakek muka putih menyambung. Si Muka Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan). Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar) dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti namun dikalahkan oleh pendekar itu dan kedua orang isterinya yang sakti. Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus maka dia selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.

"Aku tidak akan menyerahkan kitab apa pun kepada kalian dua manusia iblis!" Ban-tok Mo-li memekik dengan marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.

"Kau bosan hidup!" Pak-thian Lo-mo membentak marah.

"Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang akan mampus lebih dulu!" nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.

"Singgg....!" Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.

"Eihh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha!" Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya. "Kalau dia berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!"

Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala macam racun itu, mengerti akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang ampuh.

"Ban-tok Mo-li dengarlah." Lam-thian Lo-mo berkata sambil tertawa. "Telah puluhan tahun engkau hidup seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!"

"Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau mampus?" nenek itu balas mengejek. "Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian tentu akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau melumpuhkan kedua tanganku ini, hi-hik. Majulah!"

Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling nenek itu beracun!

"Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya dari jarak jauh!" kata Si Muka Merah.

"Memang dia harus dihajar sampai mampus!" jawab Si Muka Putih. "Lam-te, mari kita serang dia dengan batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata."

Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil berseru, "Dua orang kakek berhati kejam!"

"Lu Ceng, jangan....!" Ban-tok Mo-li berteriak namun terlambat karena dara itu sudah menyerang kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.

"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!" Lam-thian Lo-mo tertawa mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng yang marah sekali.

"Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!" Ceng Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi dengan ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya tanpa banyak bergerak.

Melihat betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu tercengang dan terheran-heran. Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapa pun dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan kehilangan dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya sebagai murid. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian, dengan nekat melawan dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan muridnya itu.

"Lu Ceng muridku...., jangan....! Mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!" Nenek itu berteriak-teriak sambil mengesot maju.

Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun. Kalau sampai mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek itu. Kini mereka dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka sudah dapat mengerti isi hati masing-masing.

Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini terkejut bukan main menyaksikan serangan yang amat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya dengan berbareng, yang kiri mencengkeram ke arah dadanya dengan jari-jari terbuka, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya. Dia cepat meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih. Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak berdaya melepaskan diri dari pegangan kedua orang kakek itu. Kalau mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.

"Lu Ceng....!" Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan. "Siang Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan muridku!"

"Ha-ha-ha!" Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan guha. "Ban-tok Mo-li, kaulihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar dapat kaunikmati sebelum kau mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!" Bersama kakak kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.

"Tunggu....! Tahan....! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan....!" Nenek itu menjerit penuh kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilempar ke jurang.

"Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek busuk?" Lam-thian Lo-mo mengejek.

"Bedebah! Ini kitabnya! Sudah kupersiapkan!" Nenek itu merogoh pinggangnya mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.

"Bagus! Berikan itu kepada kami dan kami akan membebaskan muridmu," kata pula Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.

"Lemparkan dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!" nenek itu kini menahan karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.

"Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku." Lam-thian Lo-mo berkata.

"Nanti dulu, Lam-te!" Pak-thian berkata tenang. "Jangan sampai dapat ditipu nenek busuk itu! Peganglah tangan gadis ini!"

Lam-thian Lo-mo memegang pergelangan kedua kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu. Pak-thian Lo-mo lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru dia berkata, "Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te."

"Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun berbahaya pula!" Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah. "Ban-tok Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku akan melemparkan dara ini kepadamu!"

"Keparat, iblis busuk!" Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.

Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting kalau saja kedua tangan subonya tidak menyangganya dan menariknya agar dara itu duduk di sebelahnya dan dapat dilindunginya. Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat catatan racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, di atas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.

Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu. "Kau mau apa?"

"Subo, aku hendak membayangi mereka untuk mencari jalan ke luar mereka."

"Sssttt.... percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan kau membayangi mereka, tentu kau akan mereka bunuh."

Ceng Ceng mengurungkan niatnya, akan tetapi diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi, tentang kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengira-ngira dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan dunia luar.

"Jangan mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tidak berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu ke luar dari sini."

"Apakah mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?"

Nenek itu menyeringai lalu tertawa. "Heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah kuatur sebelumnya dan biarpun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena kecerdikan Pak-thian Lo-mo, namun aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu diantara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat kenyataan itu, apalagi kalau mereka membutuhkan obat pemunah, tentu mereka akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan dapat kita bersama membunuh mereka...."

"Membunuh....?"

"Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar." Nenek itu cepat menyambung. Ceng Ceng boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu. Akan tetapi dia ingin melihat muridnya ini

berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu atau tidak, sama sekali tidak diperdulikannya.

Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai memasukkan sari-sari racun yang terdapat diantara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena mulailah dia menjadi seorang "manusia beracun" seperti ibu gurunya sehingga setiap tendangan, setiap pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu sin-kang beracun untuk membuat setiap anggauta tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun yang berbahaya!

******

Bersambung ke Bagian 3