Kasih sayang dan pengertian tidak mengangkat penderitaan tetapi membantu mengatasinya

BAB I

Bayangan itu melintas begitu cepat di muka mobilnya. Hitam, tinggi dan sempoyongan.

Bunyi derit rem yang panjang menyakitkan telinga melengking membelah kesunyian malam. Mobil itu terlonjak berhenti. Anggraini terdorong ke depan. Dan terenyak kembali ke sandaran bangku mobilnya.

Terlambat! Bersamaan dengan terdengarnya benturan keras di salah satu bagian mobilnya, bayangan itu terlontar ke tepi jalan.

Ya Allah! Bayangan itu pasti bukan kucing! Dia pasti seorang penyeberang jalan! Penyeberang gila yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya....

Kini orang itu pasti sudah terkapar mati di tepi jalan sana. Dalam satu malam saja, dia telah menjadi seorang pembunuh!

Anggraini masih tertegun bingung di dalam mobilnya. Tidak tahu, mesti turun menengok korban itu atau justru kabur secepat-cepatnya. Ke polsek itu yang paling aman.

Daripada mesti turun seorang diri menghampiri sesosok mayat... pada pukul dua malam! Hiii... sepinya tempat ini!

Dan Anggraini tidak jadi memejamkan matanya. Sesosok bayangan, entah dari neraka mana datangnya, tiba-tiba saja menghampiri mobilnya.

Takut dan kaget, serentak Anggraini menjerit. Refleks tangannya menyambar kunci mobilnya untuk menghidupkan mesin.

Tetapi sial! Mesinnya tidak mau hidup! Dan bayangan itu lebih cepat membuka pintu mobilnya. Menerobos masuk. Langsung duduk di sebelah Anggraini.... Oh, dia pasti setan! Setan dari orang yang mati ditubruknya tadi..

Sambil memekik sekali lagi, Anggraini mencoba meloloskan diri dari mobilnya. Lari. Kabur. Tetapi sekali lagi, setan itu lebih cepat.

"Diam di sini!" bentaknya sambil meraih tangan Anggraini.

Anggraini tidak tahu apa semua setan bisa bicara. Tetapi setan yang satu ini tangannya begitu hangat! Di mana ada setan yang tangannya begini hangat?

"Jalankan mobilmu!" perintahnya sekali lagi.

Sekarang Anggraini yakin, makhluk ini masih bernapas. Dia pasti belum jadi setan. Masih berwujud manusia. Kalau tidak, buat apa dia naik mobil? Setan kan bisa terbang?

Dan dalam kegelapan, samar-samar Anggraini dapat melihat wajahnya. Wajah paling kotor yang pernah dilihatnya. Tetapi kotoran itu bukan hanya debu. Kotoran itu bercampur darah... darah yang bercampur keringat!

"Lekas jalankan mobilmu!" perintahnya lagi.

Kali ini Anggraini membaca ancaman dalam suaranya. Tetapi bukan cuma ancaman. Ada nada lain di dalam suaranya. Nada kesakitan.... Ya Tuhan! Dia kesakitan sekali!

"A... akan kubawa kamu ke rumah sakit...," Anggraini menggagap bingung.

"Persetan!" geram lelaki itu menahan sakit. "Lekas jalankan mobilmu!"

"Ke mana?"

"Pokoknya jalan! Cepat!"

Anggraini menyentuh kunci mobilnya. Menggenggamnya erat-erat. Memutarnya untuk menghidupkan mesin. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ah, pasti mobil tua ini mogok lagi!

Tetapi pada putaran keempat, mesinnya hidup. Anggraini sampai lupa bernapas. Dan merasa amat sesak.

Ya Tuhan! Mudah-mudahan semua ini cuma mimpi. Mimpi seperti yang hampir setiap malam dialaminya. Dia sering merasa sesak begini. Ketakutan. Membeku di tempat tidurnya. Lalu tiba-tiba terbangun di dalam kamarnya yang gelap gulita. Dan bersyukur semua itu cuma mimpi. Tetapi kali ini agaknya dia tidak bermimpi. Dia benar-benar berada dalam mobilnya pada pukul dua dini hari.... dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya!

Dan lelaki ini pasti bukan orang baik baik. Kalau tidak, kenapa dia menolak dibawa ke rumah sakit? Dia kan butuh pertolongan! Mukanya berlumuran darah. Pasti karena benturan dengan mobilnya tadi!

Ah, seandainya dia tahu laki-laki ini masih hidup! Lebih baik dia tidak berhenti tadi. Lebih baik dia cepat-cepat kabur ke polsek terdekat!

Orang ini pasti punya maksud jahat. Dia pasti mau merampok mobilnya..." Tetapi mengapa tidak ditinggalkannya saja Anggraini di tepi jalan tadi? Atau... dia punya maksud lain? Menyeretnya ke tempat gelap dan... Anggraini memejamkan matanya rapat-rapat. Bayangan belukar yang rimbun di belakang rumah Nenek tiba-tiba saja kembali menghantui dirinya....

Dia merasa takut. Amat takut. Ingin menjerit. Memekik. Tetapi suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Yang terdengar cuma suara seperti orang tercekik.

Lalu Anggraini tidak dapat menguasai kemudi lagi. Mobil itu meluncur ke tepi jalan. Menabrak gili-gili. Dan terlonjak berhenti di atas kaki lima.

"Kau tolol!" bentak lelaki itu antara kaget dan marah. "Kau mau membunuhku?!"

Tangannya sudah terulur untuk mencengkeram bahu Anggraini, tapi tiba-tiba tangan itu mengejang di udara. Matanya berpapasan dengan sebentuk wajah yang amat pucat. Dan entah mengapa, melihat paras yang membeku ketakutan itu, dia membatalkan niatnya.

"Kau kenapa?" desisnya sambil menurunkan tangannya.

"Aku takut.." rintih Anggraini tak sadar.

"Aku juga takut," gumam lelaki itu pahit. "Sekarang jalankan mobilmu."

Suara itu bukan suara orang jahat. Suara yang meredam sakit. Untuk pertama kalinya Anggraini berani menoleh. Dan matanya bertemu dengan mata lelaki itu... sepasang mata yang tajam, tetapi menyimpan kelembutan di baliknya.... Ah, sorot matanya tidak bengis... sama sekali tidak kejam. Dia pasti bukan penjahat!

Perlahan-lahan ketenangan Anggraini pulih kembali. Laki-laki ini pasti terluka. Dia membutuhkan pertolongan dokter.

"Kau harus ke rumah sakit!"

"Jalankan saja mobilmu."

"Ke mana?"

"Jalan!"

Terpaksa Anggraini menuruti perintahnya. Ketika mobilnya sudah meluncur kembali di aspal, sekali lagi Anggraini bertanya.

"Ke mana?"

"Ke Bandung."

Hampir terlepas kemudi mobil dari tangan Anggraini. Tetapi kali ini, penumpang gelapnya lebih cepat. Tangannya secepat kilat meraih kemudi mobil. Dan membelokkan mobil yang sudah hampir naik lagi ke atas trotoar itu kembali ke jalan raya.

"Terus!" geram laki-laki itu gusar. "Jalankan mobilmu baik-baik. Jangan bikin aku marah!"

"Tapi aku tidak bisa mengantarmu ke Bandung!"

"Siapa yang tanya?"

"Kasihanilah aku!" pinta Anggraini sambil berdoa dalam hati. "Aku tidak bisa mengantarmu...."

"Harus!"

Entah sudah berapa kali Anggraini menyebut nama Tuhan. Tetapi dia sendiri tidak yakin orang ini kenal Tuhan. Bagaimana dia mau mendengar perintah Tuhan untuk melepaskan dirinya?

"Aku punya lima orang anak perempuan yang masih kecil-kecil...."

Seolah-olah tidak percaya, laki-laki itu menoleh. Dan menatapnya dengan tatapan yang membuat harapan Anggraini meletup.

"Kumohon padamu, biarkan aku pulang. Anak-anakku menunggu di rumah. Kalau kau mau ke Bandung, ambillah mobilku. Tapi jangan ganggu aku...."

Sekejap dia mengawasi Anggraini. Dan Anggraini merasa dia sedang berpikir. Oh, mudah-mudahan dia juga mendengar bisikan Tuhan di hatinya... kalau saja dia masih punya hati!

"Ada siapa di rumahmu?"

"Cuma aku dengan anak-anak."

"Suamimu?"

"Aku janda."

"Kalau begitu, bawalah aku ke rumahmu."

"Ke rumahku?" Anggraini tersentak kaget. "Mau apa kau ke sana?"

"Bukan urusanmu!"

Bukan urusanku, desah Anggraini ngeri. Tapi itu kan rumahku!

Sambil mengemudikan mobilnya Anggraini masih dapat melihat lelaki itu menyeka mukanya berkali-kali. Sebentar-sebentar dia memegang kepalanya. Dan mengerut kesakitan.

Mudah-mudahan dia sudah jatuh pingsan sebelum sampai ke rumah.... Tetapi sampai mobilnya berhenti di depan rumah, lelaki itu masih tetap bertahan!

Sempoyongan dia turun dari mobil. Membukakan pintu untuk Anggraini. Dan menyeretnya turun.

"Buka!" desisnya sambil melirik pintu depan rumah. "Ingat, jangan membangunkah siapa pun!"

Bergegas Anggraini mencari kunci di dalam tasnya. Tangannya bergetar hebat. Berkali-kali dia tidak mampu memasukkan anak kunci itu ke lubangnya.

"Berikan padaku!" sergah laki-laki itu tak sabar.

Dirampasnya kunci dari tangan Anggraini. Dimasukkannya ke lubang kunci. Sekali putar, pintu terbuka.

Sejenak dia menahan langkahnya di ambang pintu. Menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ruang tamu yang sempit. Gelap. Sepi. Tidak ada seorang pun di sana.

"Di mana anak-anakmu?"

"Tidur."

"Di mana kamarnya?"

"Di atas."

"Pembantu?"

"Tidak punya."

"Orangtuamu?"

"Cuma Ibu. Tidur di kamar anak anak"

Anggraini mendengar lelaki itu menghela napas lega. Justru pada saat Anggraini menahan napas. Anak-anaknya perempuan semua. Jika lelaki ini... Oh, Tuhan! Jangan!

Buru-buru Anggraini menyodorkan kunci mobilnya. Lelaki itu menatapnya dengan kesal.

"Buat apa?"

"Tolonglah, tinggalkan rumahku," pinta Anggraini ketakutan. "Ambillah apa saja yang kauinginkan. Jangan ganggu aku dan anak-anakku...."

"Ambilkan aku minuman." katanya sambil menutup pintu dan menjatuhkan diri ke kursi. "Obat sakit kepala juga."

"Pusing?" tanya Anggraini tak sadar.

Lelaki itu cuma mengangguk. Dan menyeka darah yang meleleh dari hidungnya.

"Kau mesti ke rumah sakit..."

"Jangan cerewet!"

"Tapi kau harus ke dokter!"

"Itu Urusanku"

"Mungkin lukamu parah."

"Bukan urusanmu."

"Kalau kau mati, aku yang dihukum! Aku yang menabrakmu"

"Ambil minuman!"

Apa boleh buat. Anggraini menghela napas. Dia tidak dapat mengatur bajingan ini. Orang itu yang berkuasa. Anggraini baru melangkah setindak ketika laki-laki itu menyambar lengannya. Dia hampir memekik kaget. Untung masih sempat ditahannya. Anggraini sadar, dia tidak boleh membangunkan anak-anak. Kalau mereka bangun, keadaan akan bertambah kacau. Dan mereka mungkin berada dalam bahaya yang lebih besar....

"Ada apa?" gerutu Anggraini antara takut dan jengkel. "Kau minta minum, kan?"

"Aku ikut. Di mana kamarmu?"

"Mau apa ke kamarku?"

"Aku tidak percaya padamu."

"Aku tidak punya telepon."

"Siapa tahu kau punya seseorang di kamarmu."

"Sudah kubilang, aku janda."

"Dan janda tidak boleh punya seseorang di kamarnya?"

Memerah paras Anggraini.

"Mengapa kau harus takut?"

"Bukan urusanmu. Di mana kamarmu?"

Terpaksa Anggraini membawa laki-laki itu ke kamarnya. Untung memang, dia selalu tidur sendiri. Di kamar bawah. Dengan menempatkan anak-anaknya di kamar atas, mereka tidak akan terbangun setiap kali dia pulang malam.

Lelaki itu mengempaskan pintu kamar sampai terbuka. Dan tegak dalam posisi siaga. Ketika dirasanya aman, tangannya meraba dinding. Dan menekan tombol lampu.

Sinar lampu menerangi seluruh kamar yang tidak terlalu besar. Sebuah ranjang kosong menanti di tengah kamar. Lemari yang kecil itu juga tak mungkin dipakai seseorang untuk bersembunyi. Selain itu hanya sebuah meja hias yang mengisi kamar itu.

Lelaki itu menghela napas lega. Rasanya semua aman. Tidak ada seorang pun di kamar perempuan, dia langsung duduk di samping tempat tidur mengurut-urut kepalanya.

Dia pasti sangat kesakitan, pikir Anggraini resah. Kalau dia mau menggunakan kesempatan, rasanya sekaranglah saatnya yang paling tepat. Dia hanya tinggal menyambar botol parfumnya. Menyemprotkan minyak wangi itu ke matanya. Lalu memukul kepalanya dengan lampu duduk di sisi tempat tidur...

Dan kebimbangan Anggraini buyar dengan sendirinya. Karena lelaki itu sudah roboh sebelum sempat diapa-apakan! Dia tidak pingsan. Tapi sekujur wajahnya mengerut kesakitan. Dan tiba-tiba saja, begitu tiba-tiba, Anggraini merasa kasihan kepadanya. Betapapun, dialah yang telah menabrak orang ini.

Bergegas Anggraini lari ke dapur. Mengambil air. Dan membawa juga sebutir obat penghilang rasa sakit.

"Ini obatnya." Anggraini menyodorkan obat dan air yang dibawanya. "Kau perlu dokter!"

"Aku cuma pusing," katanya setelah menelan obatnya.

"Apa salahnya pergi ke rumah sakit?"

Dia tidak menjawab. Diteguknya airnya sampai habis.

"Lagi?"

"Aku ingin muntah lagi."

Tanpa berkata apa-apa lagi, dibaringkannya tubuhnya. Dipejamkannya matanya rapa-rapat.

"Aku tidak akan mengganggumu," desahnya menahan sakit. "Asal kau tidak berbuat yang bukan-bukan."

Berbuat apa, pikir Anggraini sambil menyelinap ke luar. Memanggil hansip? Minta mereka mengeluarkan lelaki itu dari kamarnya? Tetapi... apa salahnya? Lelaki itu tidak menggahggunya sama sekali. Anggraini yang menabraknya!

BAB II

Anggraini menjerit ketakutan. Tetapi mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.

Peter menelungkup di atas tubuhnya. Mukanya yang basah berkeringat begitu dekat dengan muka Anggraini. Napasnya yang menjijikkan itu seperti knalpot mobil yang mengembus-embuskan asap panas ke pipinya. Bau tuak yang menyengat hampir membuat Anggraini muntah.

Mati-matian Anggraini melawan. Mencakar. Memukul. Menendang. Memberontak. Tetapi Peter jauh lebih kuat. Tubuhnya yang gempal seperti sekarung beras yang menindih tubuh Anggraini. Tidak bergeming sedikit pun biar Anggraini meronta sekuat tenaga.

Sia-sia Anggraini memukul. Mencakar. Menendang. Peter seperti tidak merasakannya. Dia mengoyakkan pakaian Anggraini. Dan merampas apa yang diinginkannya.

Anggraini merasakan kenyerian yang amat sangat di sela-sela pahanya... dia memekik... memekik lagi... dan terjaga dari tidurnya....

Anggraini terbangun dalam gelap. Duduk terpaku di kursi. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Air mata meleleh di wajahnya.

Dengan tangan gemetar disentuhnya tombol lampu. Seluruh ruangan menjadi terang. Tetapi tidak ada-apa-apa di kamar tamunya yang sempit itu. Dia seorang diri di sana.

Diliriknya jam dinding. Hampir pukul lima. Mengapa dia tidur di sofa?

Pandangannya melayang ke pintu kamar tidurnya. Dan sekonyong-konyong Anggraini teringat laki-laki itu! Astaga. Masih adakah dia di dalam sana?

Tidak sadar tatapan Anggraini melintas ke tingkat atas... mungkinkah dia menyelinap ke sana?Tergopoh-gopoh Anggraini beringsut bangun. Naluri seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya mengusir rasa takutnya. Dia harus melihat apakah bajingan itu masih meringkuk di kamarnya....

Dibukanya pintu kamar tidurnya. Dan Anggraini terenyak kaget.

Sesosok tubuh melesat dari tempat tidurnya. Melompat ke jendela. Siap untuk menerjang ke luar...

"Tunggu!" sergah Anggraini bingung. "Tidak ada siapa pun! Aku sendirian!"

Lelaki itu tertegun di tempatnya. Dia menoleh. Dan matanya berpapasan dengan mata Anggraini. Lalu dia ambruk di atas kedua lututnya. Kedua belah tangannya menebah kepalanya.

Refleks Anggraini menghampirinya. Dan memapahnya ke tempat tidur. Ada desir aneh di dadanya ketika tangannya menyentuh kulit laki-laki itu. Jantungnya berdegup kencang. Dan parasnya memerah.

Kurang ajar, maki Anggraini dalam hati. Kenapa aku jadi bertingkah seperti perawan belasan tahun lagi? Anggraini membantu membaringkan laki-laki itu di tempat tidur. Dan menyodorkan bantal ke bawah kepalanya.

"Tambah pusing kalau pakai bantal," erangnya lirih dengan mata terpejam.

Anggraini membungkuk dalam. Mengambil bantal. Dan menyingkirkan bantal itu ke samping.

"Barangkali gegar otak."

Mendengar nada cemas dalam suara Anggraini, lelaki itu membuka matanya. Dan tidak sengaja, matanya menembak lekuk menggiurkan di dada Anggraini.

Menyadari kesalahannya, lekas-lekas Anggraini menyingkir.

"Ke mana?"

"Ambil obat" Bergegas Anggraini memutar tubuh. Menyembunyikan wajahnya yang terasa panas membara.

"Tidak usah. Aku cuma perlu istirahat."

Tetapi Anggraini tidak menghiraukannya lagi. Cepat-cepat dia keluar meninggalkan kamar itu. Langsung ke kamar mandi.

***

Anggraini sedang menggoreng telur ketika terdengar jeritan ibunya. Tanpa berpikir dua kali, Anggraini menghambur keluar dari dapur. Dan berpapasan dengan ibunya yang sedang tergopoh-gopoh meninggalkan kamarnya. "Angga!" geram ibunya dengan napas tersengal-sengal. Matanya membeliak gusar. "Siapa lelaki yang di kamarmu itu?!"

"Teman," sahut Anggraini sambil menghela napas.

"Teman?" ibunya menatapnya dengan alis terangkat. Tatapannya setajam pisau silet. Sorotnya berbaur antara kesal dan tidak percaya.

Sejak kecil Anggraini tidak suka ditatap seperti itu. Dipalihgkannya wajahnya dengan segera.

"Sudah berapa kali saya bilang, Bu, saya tidak suka ditatap seperti ini!"

"Orang macam apa dia?" desak ibunya lagi, tanpa menghiraukan protes Anggraini.

"Dia akan segera pergi," sahut Anggraini sambil melangkah kembali ke dapur.

"Jadi rumah ini benar-benar sudah jadi hotel! Atau semacam rumah..."

"Ibu! Dia sedang sakit!"

"Dan tidak ada tempat tidur kosong di rumah sakit?"

Oh, sudahlah. Percuma berdebat dengan ibunya. Dalam usia enam puluh tahun, rasanya ibunya telah menjadi enam kali lebih cerewet daripada ketika berumur lima puluh sembilan!

Keinginan Anggraini untuk menceritakan kisahnya semalam segera saja pudar. Ibu pasti tidak percaya! Dia sama saja dengan para tetangga. Bahkan anak-anaknya sekalipun. Mereka pasti menuduh lelaki itu temannya. Dan dia yang mengundangnya ke sana!

Dengan jengkel Anggraini melanjutkan kerjanya. Menggoreng telur untuk anak-anaknya. Dan membawa telur dadar itu ke meja makan.

"Mama, siapa Oom yang di kamar Mama itu?" tanya Ikaa dengan mulut masih penuh nasi.

Nah. ini dia. Serangan baru dari anak-anaknya. Sekarang mereka semua sedang menatapnya dengan curiga. Kecuali Rimba. Putri sulungnya itu malah merunduk makin dalam. Dan menghabiskan nasinya makin cepat. Seolah-olah dia sudah muak berada di sana. Dan ingin cepat-cepat menyingkir.

Anggraini meletakkan piring berisi telur itu di tengah meja.

"Teman Mama," sahutnya pendek.

"Oom tidur di sini, Ma?"

"Dia sedang sakit."

"Oom nggak punya rumah?"

Anggraini menghela napas panjang.

"Lekas habiskan makananmu, Ika. Nanti terlambat ke sekolah."

Rimba meletakkan gelasnya di atas piringnya yang sudah kosong. Sengaja agak keras. Kemudian dia bangkit dari kursinya. Begitu kasarnya sehingga kaki kursi yang menggeser lantai itu menerbitkan suara berisik.

Meskipun tidak berkata apa-apa, Anggraini tahu, Rimba sedang menyatakan protesnya atas kehadiran lelaki di kamar ibunya itu.

Sinta lain lagi. Putrinya yang kedua itu, yang baru berumur empat belas tahun, sedang makan sambil menunduk. Tetapi kemurungan wajahnya melukiskan betapa kesalnya dia.

Anggraini belum sempat menegurnya ketika bentakan Rimba sudah menggelegar dari ambang pintu.

"Siapa yang ambil dompetku?!" Begitu masuk ke ruang makan, Rimba langsung menghampiri Dian. "Mana dompetku?"

"Bukan Dian yang ambil!" protes Dian marah.

"Jangan sembarangan nuduh dong!"

"Kalau begitu kamu!" Rimba berpaling dengan geram pada Ika.

"Bukan! Bukan Ika!" teriak Ika ketakutan.

Dia sudah bersiap-siap untuk menghambur lari dari kursinya ketika Rimba mendahului mencengkeram lengannya.

"Mana dompetku?"

Ika memekik kesakitan.

"Rimba!" bentak Anggraini kesal. "Lepaskan Ika! Jangan sekasar itu pada adikmu!"

"Dia ambil dompet Rimba, Ma!"

"Bukan Ika!" erang Ika antara sakit dan takut.

"Kalau bukan kamu, siapa lagi?"

"Rimba, lepaskan adikmu!"

Dengan jengkel Rimba mengempaskan lengan adiknya.

"Sekarang," Anggraini menatap Ika dan Dian bergantian. "Siapa yang ambil dompet Rimba?"

"Aku."

Semua mata menoleh ke pintu. Ke arah suara itu.

"Ibu." Anggraini menelan kejengkelannya. "Ibu yang ambil dompet Rimba?"

Dengan tenang ibunya melangkah masuk. Dan meletakkan dompet Rimba di atas meja.

"Tuh, Nenek kan yang ambil! sorak Ika separo melecehkan. "Bukan Ika! Enak aja Kak Rimba nuduh orang!"

"Lain kali tanya dulu dong!" sambung Dian kesal. "Belum apa-apa udah nuduh nyolong!"

"Bilang-bilang dong, Nek, kalau ngambil barang orang!" Sambil menyambar dompetnya, Rimba melewati tempat neneknya dengan kesal.

"Eh, siapa bilang Nenek ambil barangmu?" bantah Nenek tersinggung.

"Udah ngambil masih nggak ngaku!"

"Nenek cuma tolong menyimpankan. Kamu meletakkan dompetmu sembarangan saja di atas meja. Kalau hilang bagaimana?"

"Ah, siapa sih yang berani nyolong dalam rumah?" dumal Dian penasaran. Dalam usia sepuluh tahun, anaknya yang ketiga ini memang sudah pintar mendumal seperti neneknya.

"Eh, jangan ngomong begitu! Kamu kan belum tahu orang macam apa orang baru di kamar Mama itu?"

"Astaga!" keluh Anggraini mengkal. "Dia bahkan belum mamu bangun dari tempat tidurnya, Bu!"

Dan klakson panjang membuyarkan perdebatan mereka.

"Mobil antar-jemputmu datang, Ika." Anggraini mengambil tas anaknya dan menyerahkannya kepada putrinya yang nomor empat.

Sementara Dian sudah mendahului menyambar tasnya sendiri dan menghambur ke depan.

"Dian pergi, Ma!" serunya dengan mulut masih penuh nasi.

"Ika juga, Ma!"

"Jangan lari! Nanti jatuh!"

Tetapi kedua anak itu telah berlari-lari menghampiri mobil antar-jemput mereka.

"Rimba pergi, Ma," suara putri sulungnya datar. Tanpa nada.

"Di mana Sinta?"

"Di kamar," sahut Rimba pendek.

"Panggil dia turun. Hari ini Sinta mesti ke pasar."

"Mama panggil saja sendiri deh," gumam Rimba sambil melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

"Dia lagi nangis!" bisik Nenek dari belakang.

Anggraini menoleh dengan bingung.

"Nangis? Kenapa?"

"Kenapa lagi?" Nenek mengangkat bahu dan menatap sinis. "Pasti gara-gara lelaki di kamarmu itu! Kamu kan tahu, anak-anak sangat perasa!"

"Tapi semalam saya tidur dikursi, Bu!"

"Ibu tahu," sahut Nenek ketus. "Yang tidak Ibu ketahui, di mana dia tidur!"

***

Sinta sedang menelungkup di tempat tidur. Walau tidak mendengar isaknya. Anggraini tahu, dia sedang menangis. "Sinta," Anggraini duduk di tepi pembaringan putrinya. Dipegangnya bahu gadis itu dengan lembut Dibalikkannya tubuhnya. "Kenapa nangis?"

"Pusing."

"Masa pusing saja nangis? Kok kayak anak kecil sih?"

"Sinta nggak mau ke pasar!"

"Kalau pusing ya tidak usah ke pasar. Minum obat saja. ya?"

Sinta menggeleng. Dan memalingkan wajahnya ke dinding.

"Coba lihat ke sini. Sinta. Lihat Mama."

Sekarang terpaksa Sinta menatap ibunya. Anggraini melihat kilauan air di sudut mata putrinya. Disekanya air mata itu dengan ujung jarinya.

"Betul Sinta tidak mau ke pasar karena pusing?"

"Sinta malu, Ma!" semburnya emosional sekali. Tangisnya langsung saja meledak seperti tanggul bobol.

"Malu? Malu sama siapa?"

"Sama Tante Ria. Bu Hasan. Mbak Tarsih... sama semuanya, Ma! Sinta malu kalau Mama kawin lagi!"

"Lho, kata siapa Mama mau kawin lagi?"

"Itu... Oom yang di kamar Mama?"

"Astaga! Jadi dia lagi sebabnya!"

"Dia cuma teman, Sinta," keluh Anggraini sambil menghela napas. "Kebetulan tadi malam mendapat kecelakaan. Salahkah kalau Mama menolongnya dengan membawanya kemari?"

"Tapi orang-orang akan berprasangka lain, Ma! Mereka akan mengira dia calon suami Mama lagi. Sinta malu, Ma! Tetangga-tetangga selalu menggunjingkan Mama. Di pasar mereka selalu ngatain Mama kalau melihat Sinta!" "Biarkan mereka omong apa saja.. Sinta. Kita toh tidak mendapat makan dari mereka."

"Tapi Sinta malu, Ma! Kayaknya mereka nggak suka kalau Sinta ngobrol dengan anak-anaknya!"

"Ah, itu cuma anggapanmu."

"Mereka selalu melecehkan Mama!"

"Karena mereka iri pada kita, Sinta."

"Iri? Apa yang harus diirikan, Ma? Kita bukan orang kaya. Rumah masih kontrak. Mobil cuma satu. Mobil tua yang kalau tidak mogok saja sudah bagus! Ayah saja Sinta nggak punya. Jadi kenapa mereka mesti iri?"

"Mungkin mereka iri karena meskipun kita hidup pas-pasan begini, kita masih dapat bertahan hidup tanpa belas kasihan orang lain."

"Mama." Sinta memegang tangan ibunya dengan ragu-ragu. Matanya menatap penuh harap-harap cemas. "Betul Mama nggak bakal kawin sama dia, Ma?"

Astaga, keluh Anggraini dalam hati. Namanya saja aku belum tahu!

"Tidak, Sinta," sahut Anggraini sambil membelai-belai rambut putrinya dengan lembut. "Mama tidak akan menikah dengan dia."

"Mama tidak akan menikah lagi?"

"Sinta tidak mau punya ayah lagi?"

"Buat apa kalau cuma untuk beberapa tahun saja, Ma?"

"Kalau Sinta dan anak-anak Mama yang lain tidak mau Mama menikah lagi, Mama tidak akan menikah."

"Betul, Ma?" Mata Sinta berpendar-pendar penuh harap. "Mama janji?"

***

Anggraini meletakkan senampan sarapan pagi di atas meja kecil di samping tempat tidur. Lelaki itu masih tertelentang tanpa bantal. Matanya terpejam rapat.

"Makanlah," sapa Anggraini perlahan, supaya tidak mengejutkannya.

"Pusingnya datang lagi kalau aku bangun."

Wah, celaka, kutuk Anggraini dalam hati. Hari ini aku terpaksa jadi perawat amatir!

"Buka saja mulutmu," katanya terpaksa. "Nanti kusuapi."

Tetapi lelaki itu cuma membuka matanya. Bukan mulutnya.

"Terima kasih," katanya tanpa menyembunyikan perasaan herannya. "Mengapa kau baik sekali?"

"Terpaksa," sahut Anggraini terus terang. "Supaya kau lekas sembuh."

"Dan lekas menyingkir dari rumahmu?"

"Ya."

"Sudah kudengar ledakan-ledakan di luar tadi. Karena aku?"

"Siapa lagi? Kalau sampai besok kau belum keluar juga, keluargaku benar-benar bakal meledak."

"Mereka sering meledak?"

"Bukalah mulutmu."

"Aku belum tahu namamu."

"Aku juga belum. Peduli apa?"

"Namaku Heri."

"Kau mau makan atau tidak?"

"Siapa namamu?"

"Buat apa namaku?"

"Bagaimana aku harus memanggilmu?"

"Perlukah kau memanggilku?"

"Tidak tersinggung kalau aku cuma menjentikkan jari?"

"Panggil aku Ibu Darmawan."

"Nama ayah anak-anakmu?"

"Nama ayahku."

Mata laki-laki itu terbuka lebar. Dia menatap Anggraini dengan heran.

Sambil menelan kemengkalannya, Anggraini terpaksa mengakui, mata lelaki itu amat menarik. Hitam. Bening. Tajam. Parasnya pun pasti tampan, kalau saja dia sempat membersihkan wajahnya. Dan dia masih muda. Barangkali dua lima. Pasti tidak lebih dari dua puluh enam.

"Ayah mereka tidak mau menitipkan namanya buat anak-anakmu?"

"Ayah yang mana?"

"Yang mana?" Laki-laki itu ternganga heran.

Anggraini menyuapkan sepotong kecil roti ke mulutnya.

"Ayah Rimba bernama Peter Maris. Ayah Sinta, Dian, dan Ika, Bonar Hutagalung. Ayah Iin, Abidin Mochtar." "Astaga!" Hampir tersedak roti itu ke dalam tenggorokannya. "Jadi kau punya lima anak dari tiga orang suami?"

"Empat," sahut Anggraini dingin. "Tapi yang terakhir belum sempat membenihi rahimku. Aku tidak mau hamil lagi. Aku kan bukan tempat penitipan anak!"

"Bukan main. Kau seperti terminal bus saja!"

"Buka mulutmu."

"Lantas ke mana saja suamimu itu? Kenapa mereka semua tidak tahan padamu?"

"Kau mau makan atau tidak?"

"Mereka tidak bisa memuaskanmu?"

"Bukan itu yang kucari!"

"Jadi apa yang kaucari?"

"Aku mencari ayah buat anak-anakku!"

"Beratkah syaratnya?"

"Cuma seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Bisa mencintai dan melindungi anak-anakku."

"Sederhana. Mereka semua tidak bisa memenuhi persyaratanmu?"

"Yang kudapat cuma tukang tembak."

"Aku mulai menyukaimu," Heri menyeringai pahit. "Kau jujur."

"Aku justru dibenci karena mencoba tidak munafik. Aku memang janda. Salahkah aku kalau aku mencoba mencari figur ayah untuk anak-anakku"

Kali ini Heri tidak menjawab. Tetapi di hatinya telah lahir sebentuk perasaan lain.

Anggraini pun terdiam. Dia sendiri bingung. Buat apa berterus terang pada lelaki yang tidak dikenalnya ini? Dia toh cuma sekadar numpang lewat?

"Maaf," cetus Heri setelah diam sesaat. "Aku menyakiti hatimu?"

"Kau malah membuatku lega."

"Karena ada orang yang bersedia mendengarkan ceritamu?"

"Ada selusin majalah yang bersedia menerbitkan ceritaku."

"Karena kau calon anggota DPR?"

"Karena aku bintang film."

"Kau? Bintang film?" Heri menatapnya dengan takjub. "Sayang, aku tidak pernah nonton film Indonesia!"

Nonton tiap hari pun kau tidak bakal mengenalku, gerutu Anggraini dalam hati. Karena aku cuma stand in. Yang kaulihat cuma badanku!

"Pantas tubuhmu bagus. Betismu indah. Dadamu padat. Pinggangmu ramping. Dan pinggulmu montok."

Dasar lelaki, dumal Anggraini sambil meninggalkan kamarnya. Sedang sakit saja matanya masih kelayapan!

"Mau ke mana?"

"Apa pedulimu aku mau ke mana?" sergah Anggraini ketus. "Ini rumahku!"

"Kau tidak kerja?"

"Aku tidak berani meninggalkan rumah selama kau masih di sini."

"Siapa pikirmu yang mau dengan anak-anakmu? Aku memang suka mangga muda, tapi tidak yang terlalu mentah!  Apalagi yang sudah kelewat matang seperti ibumu!"

BAB III

"Lelaki itu lagi," desis ibunya jengkel. "Mau apa lagi sih dia kemari?"

"Siapa, Bu?" tanya Anggraini sabar.

"Itu tuh yang naik mobil merah! Saban hari datang mencarimu. Ngapain sih?"

"Bu, dia produser saya."

"Ini kan rumah. Bukan kantor!"

"Apa salahnya dia kemari? Dia punya peran baru untuk saya."

"Dia pasti punya maksud tertentu pula padamu!"

"Ibu," keluh Anggraini menahan kekesalannya.

"Cobalah untuk tidak mencurigai setiap orang, Bu."

"Tapi akhiraya kecurigaanku selalu benar, kan? Waktu kamu bergaul dengan Peter, waktu itu umurmu baru enam belas tahun, sudah berapa kali kubilang, anak itu rusak! Jangan dekati dia. Tapi semakin hari kalian malah semakin lengket! Nah, apa yang terjadi? Sesudah menitipkan Rimba di perutmu, dia kabur entah ke mana!" Anggraini mengatupkan rahangnya menahan marah. Cepat-cepat dia keluar sebelum ibunya mengoceh lebih panjang lagi.

Budi Sukoco sudah duduk di ruang tamu. Dia langsung bangkit begitu melihat Anggraini.

"Selamat siang," sapanya lembut. "Tidak ke mana-mana?"

"Malas."

"Bagaimana dengan skenario yang kemarin? Sudah dibaca?"

"Masih segan." Anggraini duduk di hadapan tamunya.

"Oh." Budi tersenyum tipis. "Lagi lesu darah nih? Aku tahu obatnya. Kita pergi makan steak."

"Jangan hari ini. Aku lagi diet."

"Tundalah dietmu sampai besok. Aku lapar."

"Diet bukan shooting yang dapat dibreak sesukamu."

"Kalau begitu kau minum saja. Temani aku makan."

"Tahu berapa kalori yang terdapat dalam segelas es krim?"

"Jangan es krim. Air putih saja."

"Nah, kenapa tidak minum di rumah saja? Di sini banyak air putih."

"Tapi di sini tidak ada steak."

"Bawakan saja bahan-bahannya kemari. Akan kubuatkan kau steak yang paling lezat!"

"Betul? Kapan?"

"Kapan saja. Tapi jangan hari ini. Buku masakku hilang!"

Budi tertawa geli. Begitu lepas tawanya sampai terdengar ke dapur. Dan bunyi panci jatuh menyambut tawanya dari sana.

"Kau jujur dan lucu!" Budi mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Anggraini. "Aku semakin menyukaimu. Angga!"

Anggraini belum sempat menjawab ketika terdengar bunyi panci-panci berjatuhan dari dapur. Bukan hanya sekali dua. Seakan-akan ada gempa di sana. Dan semua panci berjatuhan ke lantai.

Seperti diisyaratkan, Budi langsung melepaskan genggamannya.

"Ibumu alergi sekali padaku," gumamnya sambil tersenyum pahit. "Sudah kausampaikan maksud kita?"

"Maksud apa?" Anggraini berpura-pura bodoh.

"Untuk hidup bersama."

"Aku harus bicara dulu dengan anak-anak."

"Ah, itu di luar kebiasaanmu."

"Sekarang mereka sudah besar."

"Kalau mereka menolak?"

"Aku harus menjaga perasaan mereka."

"Dan kita tidak dapat hidup bersama?"

"Anak-anakku tidak rela ibunya menjadi istri muda orang, Bud. Apalagi wanita simpanan!"

"Apa salahnya jadi istri muda asal bisa hidup bersama?"

"Aku pernah dimaki-maki seorang perempuan yang mengaku istri pertama suamiku. Padahal waktu menikah, dia mengaku masih bujangan."

"Yang seperti itu tidak akan terjadi pada kita."

"Tapi aku tetap tidak mau jadi istri muda."

"Kita saling mencinta Angga."

"Kalau begitu, ceraikan istrimu."

"Tidak gampang. Perlu waktu lama."

"Katamu kalian sudah tidak cocok."

"Tapi Hera belum mau kuceraikan." "Kenapa? Kalian belum punya anak, kan?"

"Kami sudah sepuluh tahun menikah. Angga. Dalam perkawinan yang telah berumur sepuluh tahun, mungkin cinta telah tidak ada lagi. Cinta itu sudah berubah menjadi persahabatan"

"kalau begini sampai kapan aku harus menunggu? Sampai sepuluh tahun lagi, kalau persahabatan telah berubah menjadi kebencian?"

"Angga, kumohon pengertianmu..."

"Dan pengorbananku?"

"Aku mencintaimu."

"Buat apa kalau cuma untuk beberapa tahun saja."

"Apa maksudmu?"

"Dulu, kau juga mencintai Hera, bukan?"

"Aku ingin punya anak."

"Hanya anak?"

"Ini rantai yang akan mengikat cinta kita selamanya"

"Bagaimana kalau kau yang tidak mampu mempunyai anak"

"Aku sehat." Budi mengatupkan rahangnya.

"Istrimu tidak?"

"Dia yang mandul."

"Mengapa tidak mengangkat anak saja?"

"Aku ingin anak kandung!"

"Tapi kau lupa, Bud. Aku tidak ingin punya anak lagi."

"Bertahun tahun aku mendambakannya. Angga" Budi menatapnya dengan penuh permohonan. "Kapan aku bisa jadi bapak!"

"Segera setelah kawin denganku, kau akan jadi bapak dari lima orang anak."

"Tapi aku menginginkan yang keenam. Angga. Anak kita berdua. Buah kasih sayang kita. Seorang anak laki-laki, yang akan mewarisi nama dan hartaku!" Budi meraih tangan Anggraini. Dan menatap wanita itu dengan sungguh-sungguh. "Beri aku seorang anak. Angga!"

Anggraini memandang ke dalam mata yang sedang berlabuh dalam lautan permohonan itu dengan terharu. Seorang laki-laki yang perkasa. Ganteng. Kaya raya. Dan berkuasa. Sekarang lelaki itu memohon di hadapannya. Memohon seorang anak!

Bagaimana harus menolak permintaannya? Hanya kepada Budi, Anggraini dapat mempercayakan anak-anak gadisnya. Dia bukan hanya baik hati. Dia juga amat mencintainya. Di mana lagi harus dicarinya laki-laki semacam ini? Kalau masih ada seorang laki-laki di dunia ini yang dapat dipercaya untuk menjadi bapak bagi anak anaknya, lelaki inilah orangnya!

Bertahun-tahun Anggraini telah mencari seorang bapak bagi anak-anaknya. Sekarang setelah ditemukannya lelaki yang dicarinya itu, dia telah lambat. Lelaki itu telah beristri. Berdosakah menceraikan lelaki ini dari istrinya? Salahkah menenggelamkan sebuah bahtera perkawinan yang telah hampir karam?

"Kami hidup seperti dua orang asing," kata Budi terus terang. "Serumah tapi tidak sekamar."

"Kalau begitu kenapa kalian tidak bercerai saja? Buat apa hidup dengan menipu diri begitu?"

"Sebelum bertemu denganmu, aku tidak, menemukan alasan mengapa harus bercerai. Bagiku, perkawinan cuma status sosial. Kepuasan bisa kucari di tempat lain."

"Lelaki seperti ini yang berani melamarku jadi istrinya?"

"Sesudah bertemu denganmu," kali ini bukan hanya suara Budi yang mengalun lembut, matanya pun ikut bersinar mesra. "Aku merindukan sebuah rumah dengan senandung seorang istri dan tawa anak-anak di dalamnya."

"Wah, dasar seniman!"

Tapi yang begini ini tidak ada dalam skenario, Angga!

Budi memang lain dari suami-suaminya yang terdahulu. Kalau sedang dimabuk cinta, dia bisa menjadi lelaki yang paling romantis di dunia. Tetapi kalau sedang marah, dia kadang-kadang lupa, rumah bukan studio.

Kata-katanya bisa lebih jorok dari pengemis di kolong jembatan. Dan kemarahannya dapat meledak seperti bom atom. Dia dapat memaki orang seperti memarahi krunya di lapangan. Namun bagaimanapun Anggraini menyukai lelaki ini. Banyak persamaan di antara mereka berdua.

Mereka sama-sama orang yang gagal dalam perkawinan. Mempunyai profesi dan hobi yang sama pula.

Tidak heran kalau hanya dalam beberapa bulan saja, mereka sudah merasa demikian dekat. Bukan baru sekali Budi mengajukan lamaran untuk hidup bersama. Tetapi ada dua hal yang memberatkan Anggraini.

Budi telah beristri. Dan anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi.

Rimba langsung menyingkir setiap kali Budi datang ke rumahnya. Sinta mengunci diri di kamar. Dan tidak mau keluar lagi dari sana sampai Budi pulang.

Intan, anaknya yang terkecil, yang baru berumur empat tahun, langsung menghambur ke dalam pelukan neneknya sambil menangis. Hanya Dian dan Ika yang masih dapat disogok dengan cokelat dan es krim yang dibawa Budi. Barangkali cuma mereka berdua yang tidak keberatan Budi menjadi ayah mereka, asal tiap hari bawa es krim!

***

Sekali lagi Anggraini melihat jam. Hampir pukul sembilan malam. Tetapi Rimba belum pulang juga.

"Pukul berapa biasanya Rimba pulang les?" tanyanya kepada Sinta.

"Pukul tujuh," sahut Sinta singkat. Tanpa mengangkat wajahnya dari jahitannya.

"Kalau begitu ke mana dia?" desah Anggraini gelisah. "Sudah hampir jam sembilan. Tadi dia tidak bilang mau ke tempat lain dulu?"

Sinta cuma menggeleng.

"Itulah kalau kamu tidak pernah di rumah," gerutu Nenek sambil mengurut-urut kakinya dengan obat gosok. "Anakmu pulang malam terus kamu tidak tahu."

"Saya kan mesti kerja, Bu. Kalau saya di rumah terus, kita mau makan apa?"

"Tapi kan tidak perlu keluar tiap malam!"

"Kalau shooting-nya malam, masa saya mesti datang siang?"

"Carilah kerjaan yang pergi pagi pulang sore, Angga. Jangan seperti ini. Pergi pagi pulang pagi."

"Sudahlah," potong Anggraini kesal. "Ibu temani saja Dian dan Ika tidur. Biar Iin dengan saya."

"Dian nggak mau tidur sama Ika, Ma!" protes Dian keras. "Dia nendangin terus!"

"Ika juga ogah bobok sama Nenek, Ma!" teriak Ika tidak kalah kerasnya. "Nenek kalau tidur suka ngomong sendiri! Ika takut!"

"Hus!" belalak Nenek jengkel. "Kalau nggak mau bobok sama Nenek, Ika mau bobok di mana? Mau tidur sama Oom yang di bawah itu? Dicekik kamu malam-malam nanti!"

"Jangan menakut-nakuti mereka, Bu!" protes Anggraini mengkal.

"Ika mau bobok sama Mama!"

"Dian juga!"

"Sudah, jangan ribut," keluh Anggraini letih. "Kalau semua mau tidur sama Mama, Iin tidur dimana?"

"Sebodo amat! Pokoknya Dian tidur sama Mama!"

"Ayo, suit!" tantang Ika lantang. "Yang menang bobok sama Mama!"

"Nggak!" bantah Dian ketus. "Kamu selalu curang!"

"Dian, Ika, coba dengar, Mama mau tanya." Anggraini meraih kedua anaknya ke dalam pelukannya. "Dian sayang Iin, nggak?"

"Sayang," sahut Dian terpaksa.

"Ika?"

"Sayang, Ma."

"Jadi Iin boleh tidur sama Mama?"

Ika menoleh pada Dian sebelum menjawab. Ketika Dian mengangguk, walaupun dengan wajah cemberut, barulah dia menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu.

"Ah, Dian dan Ika memang kakak yang baik. Anak Mama yang manis. Sekarang bobok sama Nenek, ya? Jangan lupa sikat gigi dulu!" Dengan lembut Anggraini menepuk pantat kedua anak itu.

Berlomba Dian dan Ika berlarian ke kamar mandi. Sebentar saja semua gelas plastik berikut sikat-sikat gigi di dalamnya berjatuhan ke lantai. "Ini sikat Ika!" teriak Ika sambil memungut salah satu sikat gigi yang jatuh itu.

"Bukan! Itu sikat Dian!" teriak Dian tidak mau kalah.

"Nggak! Ini sikat Ika!"

"Sikat Dian!"

"Sikat Ika!"

Dian mencoba merampas sikat gigi itu dari tangan adiknya. Tetapi Ika dengan gesit membawa lari sikat giginya. "Mama! Mama!" teriak Dian sambil lari mengejar adiknya. "Ika ngambil sikat gigi Dian, Ma!"

"Bukan, Ma! Ini sikat Ika!"

"Astaga!" Anggraini mengurut dada. "Kenapa kalian jadi lebih nakal kalau Mama ada di rumah?"

"Bukan lebih nakal," komentar Nenek kering. "Kamu yang tidak pernah tahu bagaimana nakalnya mereka!"

"Ika, kemarikan sikat itu!"

Dengan patuh Ika memberikan sikat giginya kepada ibunya.

"Ini bukan sikat Ika, bukan sikat Dian. Ini sikat gigi Iin." Anggraini membagikan sebuah sentilan masing-masing ke telinga mereka. "Sekarang ambil sikat kalian! Sikat gigi, cuci kaki, cuci tangan, tidur! Awas, kalau berkelahi lagi!"

Dengan kepala tunduk kedua anak itu berjalan ke kamar mandi. Hati-hati Dian menutup pintu kamar mandi itu. Mengambil salah satu sikat gigi yang ada dengan mulut terkunci. Dan mulai menyikat giginya.

Dengan sedih dia memandang ke dalam cermin di hadapannya. Kepada dua tetes air mata yang mengalir di pipinya. Mula-mula dia tidak boleh tidur dengan Mama karena mesti mengalah kepada adiknya. Sekarang dia tidak dapat menyikat gigi dengan sikatnya sendiri karena Mama tidak tahu yang mana sikat giginya!

Lalu dia mendapat sebuah sentilan di telinganya. Sakit memang. Tapi lebih sakit lagi hatinya. Dian merasa tidak diacuhkan. Mama cuma sayang Iin. Mentang-mentang dia sakit! Mama tidak pernah memperhatikan dirinya!

O, rasanya Dian kepengin nangis. Nangis menjerit-jerit. Tapi kalau dia nangis, Mama pasti marah lagi!

***

Sudah beberapa kali Anggraini bolak-balik ke pintu depan. Melongok keluar. Mengintai ke jalan, kalau-kalau Rimba telah kelihatan di sana. Tetapi hampir pukul sebelas malam, dia belum muncul juga.

Sambil menggendong Intan yang malam ini mendadak tidak mau ditinggal tidur sendiri di kamar, Anggraini menunggu di ruang tamu. Dan sarafnya yang memang sudah tegang tambah terganggu melihat sikap Heri.

Entah mengapa sejak pukul sepuluh tadi lelaki itu mendadak pindah tidur ke sofa. Tidak mau masuk ke kamar.

"Tidak bisa tidur," kilahnya.

"Nanti kepalamu pusing lagi. Lebih baik tidur di kamar."

"Kalau berbaring begini tidak terasa apa-apa.

"Berbaringlah di ranjang!"

"Kenapa? Aku membuatmu senewen?"

"Kau menakut-nakuti Iin saja!"

"Lho, kenapa? Aku tidak berbuat apa-apa kok!"

"Kau terus-terusan melihat ke sini!"

"Masa melihat saja tidak boleh?"

"Dia takut!"

"Kurang bergaul."

"Jangan sok tahu!"

"Tiap hari dikurung di rumah terus. Dia jadi penakut. Masa lihat orang saja takut!"

"Dia sakit."

"Sakit apa? Dia cuma takut orang. Berikan padaku. Akan kujadikan dia singa betina."

"Iin bisa mati ketakutan kalau kuberikan padamu."

"Ah. itu cuma anggapanmu. Anak kecil mesti dibiasakan bergaul. Masa cuma mau dengan ibunya sendiri? Mau jadi apa nanti? Sebentar lagi kan dia sudah harus masuk sekolah!"

"Tidak  mungkin."

"Kau tidak mau menyekolahkan anakmu?"

"Bukan tidak mau. Tidak bisa!"

"Kau tidak bisa menyekolahkan anakmu? Tidak punya uang?"

"Iin tidak bisa sekolah. Dia terbelakang."

"Terbelakang? Retardasi mental maksudmu?"

"Imbesil. Jangankan masuk sekolah, ngomong saja belum bisa. Padahal umurnya sudah empat tahun. Satu-satunya kata yang dapat diucapkannya cuma 'Mama'."

"Ada trauma waktu lahir? Atau... sewaktu dalam kandungan?"

"Mana aku tahu? Aku tidak pernah memeriksakan diri."

"Itulah kesalahanmu yang pertama!" Tidak tahu Heri, mengapa tiba-tiba saja dia merasa marah.

"Kau bukan ibu yang baik!"

"Jangan mengajariku!" desis Anggraini tersinggung.

"Pantas saja anak-anakmu tidak ada yang beres!"

"Anakku yang lain normal!"

"Tapi kau jarang di rumah! Makanya mereka jadi bandel!"

"Aku tidak minta pendapatmu! Urus saja dirimu sendiri!"

"Tahu kenapa anak laki-lakimu tidak pulang lebih sore seperti biasa?"

"Aku tidak punya anak laki-laki!"

"Jadi anak tanggung yang rambutnya seperti Tom Cruise itu anak perempuan? Astaga!"

Anggraini merasa kesal. Tapi tidak bisa marah. Bajingan ini memang tidak salah lihat. Rimba memang persis anak laki-laki.

Tubuhnya tinggi semampai. Rambutnya dipotong pendek. Pakaiannya celana jins butut dengan T-shirt kedombrongan. Kalau pergi dia memakai topi bisbol. Lagak lagu dan cara berjalannya pun persis anak laki-laki!

"Dia sengaja pulang lebih malam supaya kau menegurnya! Dengan begitu dia mendapat perhatian yang selama ini didambakannya dari seorang ibu!"

"Ah, jangan sok tahu!"

"Dia tahu malam ini kau ada di rumah. Dia sengaja memancing perhatianmu. Untuk mencoba menarik perhatianmu pulalah dia mengidentifikasikan dirinya seperti laki-laki!"

"Pasti salah satu teman-teman jalananmu ada yang punya bakat jadi ahli jiwa," ejek Anggraini sinis.

"Kau marah karena tahu aku yang benar," kata Heri santai. "Kau menganggapku hina karena aku anak jalanan...."

"Kau lebih hina lagi daripada itu!"

"Kau sama kotornya dengan aku!"

"Aku mencari nafkahku dengan halal!"

"Kata siapa aku tidak?"

"Kalau kau orang baik-baik, kau tidak takut puisi?"

"Kau harus mencari suami lagi," sengaja Heri membelokkan arah percakapan mereka.

"Untuk dititipi anak lagi?"

"Untuk melindungi keluargamu. Menggantikanmu mencari nafkah. Kau harus lebih banyak tinggal di rumah bersama anak-anakmu."

"Terima kasih. Khotbahmu indah sekali. Kaubaca di mana?"

"Aku juga pernah punya ayah. Tapi ayahku seperti ayah anak-anakmu. Tinggal semalam di kamar ibuku. Lalu pergi menghilang untuk seribu malam berikutnya."

"Tapi ibumu pasti bukan aku. Kalau tidak, kau tidak jadi begini."

"Dia menukar diriku dengan sebuah gelang emas."

"Sayang sekali. Padahal kau sama sekali tidak berharga."

"Aku dilemparkan begitu saja ke tangan orang lain. Kau tahu, aku menangis setiap malam menunggu kedatangan Ibu. Aku begitu rindu untuk dapat tidur lagi bersamanya."

"Aku punya lima anak. Tidak mungkin aku tidur bersama mereka berlima!"

"Untuk berada di dekat anak-anakmu, kau tidak perlu selalu harus tidur bersama mereka."

"Sudahlah, hentikan khotbahmu! Pergilah tidur. Nanti kepalamu pusing lagi."

"Pusingku sudah hilang."

"Tentu saja. Sudah pindah ke kepalaku!" Dengan jengkel Anggraini membawa Intan ke atas. Tetapi baru saja sampai di tangga, Heri sudah memanggilnya lagi.

"Tidurlah di kamarmu saja. Lebih mudah menunggu anakmu di sini daripada di atas."

"Terima kasih untuk undangan mu. Tahu berapa tarifnya?"

"Lho, untuk tidur di kamarmu sendiri kau tidak perlu bayar!"

"Bukan aku yang bayar, kau!"

"Aku tidur di sini. Di sofa nggak usah bayar, kan?"

"Untung kau tahu diri. Tapi aku akan lebih berterima kasih lagi kalau besok pagi kautinggalkan rumahku." "Tidak mungkin. Aku belum bisa jalan. Masih pusing."

"Akan kuantarkan kau ke rumah sakit."

"Itu berarti kau harus menggendongku."

"Jadi kau tidak mau pergi dari sini?"

"Paling sedikit aku harus beristirahat tiga hari lagi"

"Tapi jangan di sini! Rumahku bukan rumah sakit!"

"Lalu kenapa kaubawa aku kemari?"

"Kau yang minta!"

"Kenapa kauturuti?"

"Aku takut."

"Kau bisa minta tolong tetanggamu. Memanggil polisi untuk mengeluarkanku."

"Aku yang menabrakmu!"

"Kau masih percaya mobilmu yang membentur kepalaku?"

"Apa bedanya dengan kepalamu yang membentur mobilku?"

Heri tersenyum.

"Apa yang lucu?" sambar Anggraini antara heran dan kesal.

"Kau tidak menabrakku, Ibu Darmawan!"

"Apa maksudmu?"

"Kau mengerem mobilmu pada saat yang tepat! Kau memang perempuan hebat! Tidak heran kau bisa punya empat orang...."

"Jangan main-main!" geram Anggraini sengit. "Kalau bukan mobilku, setan mana yang menabrak?"

"Aku yang menabrak mobilmu ketika sedang lari melintas di depan mobilmu. Tapi luka-luka di kepalaku bukan akibat kecelakaan. Aku berkelahi. Dan melarikan diri karena takut dikeroyok!"

"Ya Allah! Bodohnya aku!" geram Anggraini gemas. "Kau benar-benar penipu!"

"Kapan aku menipumu? Aku hanya minta tolong...."

"Kau memaksaku! Mengancam...."

"Terpaksa. Aku sedang panik."

"Oh, aku benar-benar sial!"

"Seharusnya namamu Sialwati."

"Sekarang jangan kau tambah lagi kesialanku. Tinggalkan rumahku!"

"Malam-malam begini?"

"Besok pagi."

"Sudah kukatakan, besok aku belum bisa jalan."

"Lusa. Janji?"

"Kenapa tidak mengusirku saja?" Heri menahan tawa. "Kau bisa minta tolong hansip."

"Aku kasihan padamu."

"Aku mulai percaya bahwa kau sebenarnya orang baik."

"Tentu. Aku tidak takut polisi."

Heri tersenyum pahit.

"Kaupikir aku orang jahat?"

"Kau membunuh korbanmu dalam perkelahian itu?"

"Tidak tahu. Mereka memukuli kepalaku. Entah dengan botol. Mungkin juga dengan kayu."

"Kau pasti maling. Tertangkap basah waktu mencuri."

"Kami sedang berpesta."

"Kau mabuk? Minum obat?"

"Lupa. Waktu mereka mengeroyokku, aku kabur. Dan bertemu denganmu."

"Sial. Aku melindungi seorang penjahat."

"Kau bisa melaporkan diriku pada polisi kalau mau."

"Buat apa? Kerjaanku sudah banyak."

Sambil mengawasi Anggraini yang sedang menggendong Iin ke kamarnya di atas, Heri merenung seorang diri. Perempuan itu sebenarnya baik hati. Lembut. Nasibnya yang jelek dan lingkungannya yang tidak bersahabat menempanya menjadi seorang wanita yang tampak keras dan tegar. Sebenarnya dia perempuan yang menarik. Walaupun wajahnya tidak terlalu cantik.

Penampilannya menggiurkan. Tubuhnya molek. Sikapnya sering menggemaskan. Pantas saja banyak lelaki yang tertarik untuk menaklukkannya. Sayang, nasibnya tidak sebaik penampilannya.

Tidak gampang menjadi janda dalam usia tiga puluhan. Apalagi dengan lima anak perempuan yang penuh komplikasi!

"Berapa sebenarnya umurmu?" tanya Heri ketika Anggraini turun kembali. Sekarang tanpa Iin.

"Mau apa tanya-tanya umur?" balas Anggraini ketus.

"Karena kuduga umurmu pasti sudah empat puluh."

"Siapa bilang?" belalak Anggraini tersinggung. "Aku baru tiga puluh!"

Heri tersenyum.

"Biasanya perempuan tidak suka menyebutkan umurnya. Jadi kupancing kau untuk menyebutkannya!"

"Kata siapa aku menyebutkan umurku?"

"Jadi sudah kaukorupsi lebih dulu?"

"Mengorupsi milik sendiri namanya bukan korupsi!"

Saat itu, pintu terbuka. Rimba masuk menuntun sepedanya. Dia cuma memandang ibunya sekilas.

"Mama belum tidur?" gumamnya, entah kepada siapa. Lalu dia menuntun sepedanya melewati tempat ibunya.

"Ke sini, Rimba," desis Anggraini menahan marah.

Rimba berhenti melangkah. Menoleh sekilas ke arah ibunya. "Mama mau bicara."

"Tentang dia?" tanyanya dingin sambil melirik Heri yang masih berbaring dengan santai di sofa.

"Tentang kamu!"

"Jangan di sini. Rimba tidak mau didamprat di depan dia!"

"Bawa sepedamu ke belakang.. Mama tunggu di atas."

"Boleh mandi dulu?"

"Rimba," geram Anggraini gemas. "Mama tidak main-main! Kamu tahu pukul berapa sekarang? Apa kamu tidak malu, anak perempuan kelayapan sampai tengah malam begini??"

Rimba mengawasi ibunya dengan sorot yang amat dingin sampai Anggraini terkejut sekali melihatnya. Tidak menyangka anaknya dapat memandangnya dengan tatapan yang demikian membeku.

"Rimba lebih malu kalau teman-teman Rimba menanyakan Mama," katanya pahit. "Mama juga selalu pulang pagi." Tidak menyangka mendapat jawaban demikian dari putri sulungnya yang baru berusia lima belas tahun. Anggraini terenyak sedih.

"Mama mencari nafkah, Rimba," katanya getir. "Untuk menghidupimu dan adik-adikmu. Beginikah balasan yang Mama terima?"

"Mama bukan cuma mencari uang," sahut Rimba lantang. "Mama mencari lelaki!"

Ya Tuhan! Anggraini menebah dadanya dengan terkejut. Seolah-olah sebuah pukulan yang tidak kelihatan dan amat menyakitkan baru saja menghantam dadanya. Anaknya yang baru berumur lima belas tahun sudah demikian pandai mencerca ibunya!

Terus terang Rimba agak menyesal setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia melihat perubahan air muka ibunya. Dan melihat bagaimana perlahan-lahan mata ibunya mulai memerah.

Tetapi Anggraini tidak menunggu sampai air matanya bergulir ke pipi. Dia pantang menangis dimuka anak-anaknya.

"Masuk!" perintahnya datar tapi tegas. "Kalau besok kamu pulang begini malam lagi, lebih baik tidak usah pulang! Dengar, Rimba? Mama serius!"

Tetapi Rimba tidak menunduk. Tidak pula mengangguk. Dia malah membalas tatapan ibunya dengan berani. "Besok malam Mama ada di rumah?"

"Mulai malam ini Mama selalu di rumah."

Rimba mengawasi ibunya dengan bimbang. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

***

Ketika Rimba masuk ke kamarnya sesudah mandi, Anggraini belum tidur. Dan dia tidak dapat menahan dirinya lagi untuk bertanya.

"Mengapa kamu tidak suka memakai rok, Rimba? Kamu toh seorang gadis. Mengapa tidak berdandan seperti teman-temanmu. Memilih gaun yang bagus-bagus. Memakai lipstik...."

"Itu soal selera," potong Rimba jengkel. "Rimba juga tidak pernah tanya kenapa Mama tidak kawin sama pejabat saja supaya kita cepat kaya!"

"Jawab dulu pertanyaan Mama, Rimba," keluh Anggraini putus asa. "Kamu tidak ingin terlihat cantik?"

Dengan tenang Rimba duduk di sisi pembaringannya.

"Cantikkah Rimba, Ma?"

"Kamu cantik, Rimba! Asal kamu mau berdandan! Bukan keluyuran ke sana kemari memakai jins butut dan kemeja komprang!"

"Buat apa?"

"Buat apa?" gumam Anggraini bingung. Duh, dia benar-benar tidak mengerti kemauan anaknya! "Kamu tidak ingin dikagumi teman-temanmu?"

"Buat apa? Rimba kan bukan barang! Dikagumi supaya cepat laku. Atau Mama sudah ingin Rimba cepat-cepat kawin?"

"Rimba!" cetus Anggraini marah. "Kamu belum pantas mengucapkannya! Kamu masih kecil!"

"Umur berapa ketika Mama kawin dengan ayahku? Atau... Ayah tidak pernah mengawini Mama?"

Sekali lagi Anggraini mati langkah. Anak ini benar-benar kurang ajar!

Atau dia bukan kurang ajar. Dia hanya terlalu polos. Tidak dapat menahan lidahnya untuk mengemukakan apa yang dirasanya benar. Bukankah justru itu ciri khas anak muda? Dan justru itu yang kadang-kadang menimbulkan pertentangan tajam dengan generasi yang lebih tua?

BAB IV

Dari jendela kamarnya, Heri mengawasi bagaimana cekatannya Rimba mencuci mobil ibunya. Sama cekatannya seperti ketika sedang mengganti ban mobilnya yang kempes tadi.

Hanya mengenakan celana pendek dan kemeja komprang dengan sandal jepit, Rimba memang lebih mirip seorang pemuda daripada gadis remaja. Jangan-jangan sudah banyak gadis-gadis yang jatuh hati padanya!

Heri hanya menoleh sekilas ketika Anggraini masuk membawakan senampan sarapan pagi. Dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur.

"Piring kotornya biarkan saja di sini," katanya Sambil beranjak ke pintu. "Hari ini aku mesti berangkat pagi-pagi ke studio."

"Anak laki-lakimu belum selesai mencuci mobil."

"Sekali lagi kausebut anak laki-laki..."

"Dia memang lebih pantas jadi anak laki-laki!"

"Rimba wanita seratus persen!"

"Aku mulai berpikir kitalah yang keliru. Dia lebih cocok jadi cowok!"

"Kau memang kurang ajar! Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar."

"Itu yang kita lakukan sejak pertama kali bertemu, kan? Hm. kau akan merasa kehilangan setelah aku pergi nanti!"

"Kehilangan kau?" Anggraini menaikkan sebelah alisnya.

"Kehilangan orang yang dapat kauajak berdebat. Yang berani menelanjangi kekurangan-kekuranganmu."

"Bukan salahku kalau Rimba jadi begitu! Kudidik dia sama seperti anak-anakku yang lain. Kuberi dia gaun yang bagus-bagus. Bukan salahku kalau dia lebih senang memakai celana! Kau masih menyalahkanku?"

"Sebagian salahmu juga. Tahu kenapa dia mengidentifikasikan dirinya sebagai anak laki-laki?"

"Untuk menarik perhatianku, bukan?" ejek Anggraini sinis. "Itu teorimu tadi malam!"

"Ada teori lain. Dia ingin menjadi anak laki-laki dalam keluargamu. Untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang pria."

Anggraini menghela napas jemu.

"Sudahlah," desahnya bosan. "Aku tidak tertarik pada teori-teorimu!"

"Aku semakin yakin, kau mesti mencari seorang ayah baru buat anak-anakmu"

"Akan kusurati kau kalau sudah kutemukan orangnya nanti!"

***

Ada dua adegan yang mesti diperankan Anggraini hari ini. Adegan yang pertama, Anggraini sendiri tidak tahu buat apa susah-susah diambil kalau toh nantinya pasti digunting sensor.

Tetapi bertanya memang bukan haknya. Yang penting dia dibayar. Meskipun untuk melakukan adegan itu, mereka hams melakukan sembilan kali retake. Adegan kedua cukup dramatis. Dan cukup menantang seandainya dialah yang menjadi pemeran utamanya. Sayang, dalam adegan itu dia cuma kebagian peran pembantu.

Entah kapan impiannya baru dapat terlaksana. Menjadi seorang bintang film. Bukan sekadar figuran yang numpang lewat. Atau sekadar peran pengganti yang memamerkan paha dan dada.

"Belum ada peran yang cocok untukmu," sahut Budi setiap kali dia minta diberi peran yang lebih berarti.

Tentu saja itu cuma hiburan. Ungkapan lain dari "kau tidak berbakat".

Karena kalau sampai umur tiga puluhan belum ada peran yang cocok untuknya, sampai kapan dia harus menunggu? Padahal kesempatannya hanya tinggal sedikit sekali... dia tidak bisa menunggu lagi....  

***

Tertatih-tatih Heri melangkah dari kamar mandi ke kamarnya. Kepalanya sudah tidak begitu sakit lagi. Tapi masih sedikit pusing kalau berdiri terlalu lama.

Dia ingin cepat-cepat berbaring di tempat tidurnya. Supaya pusingnya tidak bertambah hebat. Dan dia tertegun di depan pinta kamarnya.

Aneh. Pintu kamar itu terbuka sedikit. Padahal tadi sudah ditutupnya baik-baik. Siapa yang berani menyelinap ke dalam?

Tangannya sudah terulur memegang bandel pintu ketika sekali lagi dia terkesiap. Ada suara orang sedang membongkar lemari. Dan suara-suara itu datang dari dalam kamarnya!

Gila Siapa yang berani menyelundup masuk dan menggeledah kamarnya? Anggraini sudah pergi. Anak-anaknya sekolah semua. Mungkinkah nenek tua itu?

Perempuan itu memang selalu curiga. Matanya yang kecil itu selalu bersinar tajam di balik kacamatanya kalau menatap Heri. Tapi menggeledah kamarnya! Sungguh keterlaluan! Apa barangnya ada yang hilang dan Heri yang dikira mencurinya!

Hati-hati Heri mendorong pintu kamarnya. Dan melihat punggung seorang gadis yang sedang berlutut membelakangi pintu. Dia sedang mengaduk-aduk isi lemari pakaian. Tampaknya ada sesuatu yang sedang dicarinya. Dan tepat pada saat dia berhasil menarik sebuah buku dari tumpukan pakaian, Heri menegurnya.

"Cari apa, Neng?"

Sinta tersentak kaget. Buku terlepas, dari tangannya. Dan sebelum sempat dipungutnya kembali, Heri telah menginjak buku itu.

"Nah, pasti bukan bukumu!" Heri tersenyum pahit. Dibacanya selintas judul buku itu. My Diary. "Pasti bukan buku harianmu. Iya, kan?"

Sia-sia Sinta mencoba menarik buku itu lepas dari injakan kaki Heri. Akhirnya dengan putus asa dicobanya menyingkirkan kaki Heri dengan kakinya sendiri. Sementara kedua belah tangannya berusaha menarik lepas buku itu.

"Punya kakakmu?"

"Punya Mama!" desisnya sengit. "Lepaskan!"

"Aku berani bertaruh, pasti kau mengambilnya tanpa seizin ibumu."

"Bukan urusanmu!" geram Sinta separo menangis. Dia masih berjuang sekuat tenaga untuk mengambil buku itu. "Sampai pincang kakimu pun kau tidak akan berhasil, Non! Tidak baik mengambil barang yang bukan milikmu." Mendadak saja paras Sinta memucat. Sampai pincang kakimu! Meledak kata-kata itu di telinganya. Usahanya menarik buku itu berhenti dengan sendirinya. Ditatapnya Heri dengan marah.

"Aku memang pincang!" geramnya tersinggung. "Tapi jagalah mulutmu! Jangan sembarangan menghina orang!"

Sinta bangkit dengan gusar. Dan terseok-seok meninggalkan Heri. Ternyata dia memang benar-benar pincang!"

"Nona, maafkan aku!" Cepat-cepat Heri memblokir pintu dengan tubuhnya supaya Sinta tidak bisa keluar. "Aku tidak tahu..."

"Tidak perlu minta maaf!" Sinta bergerak ke samping untuk meloloskan diri di celah antara badan Heri dan bingkai pintu. "Aku memang pincang"

"Maafkan aku." Heri ikut bergerak untuk menghalangi Sinta keluar. "Aku tidak tahu. Ibumu tidak pernah mengatakannya. Kau juga nggak bilang, kan?"

"Buat apa!" Sinta bergerak ke sisi lain. Mencoba menerobos dari sisi yang satu lagi. Sia-sia. Heri lebih cepat lagi menghalanginya. "Kau juga tidak pernah tanya!"

"Lho, masa aku mesti tanya begini pada setiap gadis yang kujumpai, "Hei, Manis! Siapa namamu? Apa kamu pincang?"

"Kalau begitu aku juga tidak perlu mengumumkan cacatku pada setiap orang! 'Hai, namaku Sinta. Aku pincang!'" Heri tertawa lepas. Tawanya begitu simpatik. Sama sekali tidak bernada melecehkan.

"Setuju! Kamu nggak marah lagi, kan? Namaku Heri. Dan aku minta maaf!"

Sinta sudah berhenti mencoba meloloskan diri. Ditatapnya laki-laki itu dengan murung.

"Mama tidak pernah cerita tentang kami?"

Sinta sendiri tidak mengerti mengapa kemarahannya begitu cepat surut. Entah mengapa dia menyukai sikap laki-laki ini.

Dia terbuka. Wajar. Bersahabat. Dan... tampan.

"Ibumu tidak pernah cerita apa-apa tentang kamu."

"Pasti nggak sempat! Mama kelewat repot!"

Heri sendiri terkejut mendengar nada suara gadis, itu.

"Mudah-mudahan aku salah dengar," katanya hati-hati. "Kamu tidak membenci ibumu, kan?"

"Sinta sayang Mama," sahut Sinta dengan suara tertekan. "Tapi Mama cuma sayang Iin."

"Bukankah Iin adik Sinta juga? Dan dia sakit. Pantas dong kalau Mama lebih memperhatikannya?"

"Waktu Sinta sakit, Mama enggak perhatikan Sinta."

"Ah, itu cuma anggapanmu!"

"Waktu Sinta sakit panas, Mama nggak ada di rumah. Nenek yang bawa Sinta ke dokter. Kata Nenek, begitu disuntik, Sinta langsung lumpuh!"

"Kamu keliru, Sinta! Bukan suntikan dokter itu yang membuat kakimu lumpuh. Kamu mungkin kena polio."

"Nenek bilang, anak yang lagi demam, nggak boleh disuntik! Kalau Mama ada, pasti Sinta nggak lumpuh!"

"Keliru lagi. Ada Mama atau tidak, disuntik atau tidak, kalau benar terserang polio, kakimu bisa lumpuh. Jadi jangan salahkan Mama!"

"Lagi apa kalian di situ?" bentak Nenek dari belakang tubuh Heri. Matanya langsung menatap curiga pada laki-laki itu. Seolah-olah semua laki-laki memang pembawa bala.

"Ah, cuma ngobrol, Bu," sahut Heri sambil menggeser tubuhnya.

"Ngobrol kok di kamar!" gerutu Nenek tidak percaya. Tatapannya lalu berpindah kepada Sinta. "Belanjaan di dapur belum beres sudah lari ke sini. Ayo, ke belakang!"

"Sinta kan bukan babu, Nek!" protes Sinta kesal.. "Masa nggak boleh sih ngobrol sama Oom?"

"Boleh saja ngobrol. Tapi jangan di kamar. Pemali!"

"Apaan sih pemali, Nek?"

"Tabu! Tahu nggak tabu?"

"Ah, Nenek! Apa-apa tabu! Ini nggak boleh lah. Itu pantang lah..... Bosan!"

"Eh, ini anak! Kalau dikasih tahu orang tua membantah teras! Ayo, jangan di kamar!"

"Huu, bawel!" gerutu Sinta mengkal. Tentu saja dengan suara perlahan supaya Nenek tidak dengar.

Ketika dia melewati tempat Heri, laki-laki itu memberinya sepotong senyum tipis...

"Bukunya Oom kembalikan, ya? Tidak baik mencuri lihat catatan harian ibumu!"

***

"Anak itu sudah besar, Angga!" datang-datang ibunya langsung mengadu. Anggraini bahkan belum sempat melepas sepatunya. "Kamu harus lebih memperhatikan dia. Jangan cuma cari duit melulu!"

"Ada apa lagi, Bu?" tanya Anggraini sabar. "Dia pulang dengan anak lelaki itu lagi dari pasar?"

"Lebih dari itu!" tukas Nenek cepat dengan nada seperti ada orang yang memasang bom di rumah mereka. "Tahu nggak, tadi pagi kupergoki dia berduaan saja di dalam kamarmu bersama lelaki itu!"

Anggraini mengerutkan keningnya.

"Sinta? Tidak mungkin! Saya kenal anak-anak saya, Bu. Saya yang melahirkan mereka."

"Tapi aku yang mengurus mereka, Angga! Kau jarang di rumah. Mana kamu tahu persoalan anak-anakmu?"

"Sedang apa mereka di kamar saya?"

"Itu yang mesti kamu selidiki! Ingat, Angga. Sinta sudah perawan!"

"Dia tidak mungkin melakukannya, Bu!"

"Kenapa tidak? Kamu kan tahu laki-laki! Ingat si Peter?"

"Tapi Heri pasti tidak seperti dia!" potong Anggraini jengkel.

"Tentu saja tidak kalau di depanmu! Di belakang? Siapa tahu! Sudahlah, Angga. Lebih baik suruh  dia pergi!" "Besok dia pulang."

"Lebih cepat lebih baik. Sebelum terjadi apa-apa...."

Buset, keluh Anggraini dalam hati. Pulang-pulang kepalaku sudah pusing tujuh keliling! Semua gara-gara bajingan itu. Besok dia benar-benar sudah harus pergi. Kalau tidak, aku bisa gila!

***

"Senang melihatmu sudah pulang," sapa Heri begitu Anggraini masuk ke kamarnya. "Anak-anakmu pasti lebih senang lagi."

"Dan aku paling senang kalau besok pagi kau juga sudah pulang."

Heri tersenyum. Tanpa perasaan tersinggung sedikit pun di wajannya.

"Aku tidak mau pulang ke rumah. Siapa tahu ada polisi yang mencariku."

"Itu urusanmu. Pokoknya, tinggalkan rumahku."

Anggraini mengangkat piring bekas sarapan Heri dan meletakkan sepiring makan siangnya. Ketika dia memutar tubuhnya untuk keluar, Heri memanggilnya.

"Rini."

Anggraini tersentak kaget Apa katanya? Rini? Gila! Seenaknya saja mengganti nama orang!

"Namaku Anggraini," katanya kesal sambil menoleh ke arah Heri yang sedang berbaring tertelentang di ranjang.

"Terlalu panjang," komentar Heri seenaknya. "Lebih enak Rini saja."

"Teman-teman memanggilku Angga."

"Bagiku Rini lebih cocok."

"Tapi aku tidak suka dipanggil Rini!"

"Kenapa?"

"Kenapa? Karena itu bukan namaku!"

"Bagiku, Rini lebih mengesankan. Tak terlupakan."

Astaga! Orang ini benar-benar menyebalkan! Tapi sudahlah. Rini ya Rini. Apa boleh buat! Dipanggil apa pun masa bodoh amat! Pokoknya besok dia tidak akan mendengarnya lagi!

"Ada satu hal lagi yang kuingin kau mengetahuinya, Rini. Sinta bukan hanya cacat kaki. Dia juga cacat mental."

"Berhentilah mengurusi anak-anakku!"

"Cacatnya membuat dia minder. Kau juga yang menyebabkannya."

"Aku?" Anggraini membelalak gusar. "Dia kena polio waktu berumur sebelas tahun! Salahkah aku? Aku sudah berusaha mengobatinya. Dia sembuh. Tapi cacat. Salahkah aku?"

"Kesalahanmu yang pertama, kau tidak ada di rumah ketika dia sangat memerlukanmu."

"Aku harus kerja! Kebetulan saat itu shooting-nya di luar kota! Kami harus berada di sana selama seminggu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kejadian di rumah! Kaukira aku tidak menyesal? Setiap malam aku berlutut di sisi pembaringannya. Kumohon pada Tuhan, jika aku yang bersalah, janganlah hendaknya hukuman dosaku dilimpahkan pada anak-anakku! Tapi dia cacat juga. Haruskah kutuntut Tuhan?"

"Pernahkah kau menyatakan penyesalanmu?"

"Aku harus bagaimana? Menangis tiap hari di kakinya? Tidak! Aku tidak mau memperlihatkan belas kasihanku padanya! Dia harus hidup seperti anak-anak lainnya. Tidak sudi dikasihani. Sampai suatu saat dia sendiri merasa malu dan berhenti sekolah."

"Itu kesalahanmu yang kedua. Kau membiarkan dia menarik diri dari lingkungannya. Berhenti sekolah dan tinggal menjahit di rumah. Justru saat ini kau seharusnya menanamkan kepercayaan dan harga diri yang lebih besar di hatinya.

"Habis aku harus bagaimana? Memaksanya sekolah?"

"Di sanalah letak masa depannya! Berkurung di rumah hanya membuatnya bertambah minder saja!"

Setan ini memang cerewet, pikir Anggraini kewalahan. Terlalu banyak mencampuri urusan keluargaku. Terlalu berani menelanjangi kekurangan kekuranganku. Tapi bagaimanapun, kata-katanya hampir selalu benar dan sulit dibantah!

BAB V

"Bagaimana?" tegur Dokter Harsa ketika Anggraini menggendong Intan memasuki kamar prakteknya.

"Ada kemajuan?"

Anggraini menggeleng sedih.

"Hampir tidak ada kemajuan apa-apa, Dok."

"Silakan duduk." Dokter Harsa menunjuk kursi di hadapan meja tulisnya.

Tetapi begitu Anggraini duduk, Iin langsung menangis meronta-ronta. Agaknya dia takut melihat Dokter Harsa.

"Takut sekali sama orang lain, Dok," keluh Anggraini sambil berdiri kembali. Menggendong Iin menjauhi Dokter Harsa dan membujuknya supaya diam.

"IQ-nya memang rendah sekali," gumam Dokter Harsa sambil meneliti kartu status Iin. "Hanya lima puluh. Itu berarti Intan termasuk anak tuna-mental golongan imbesil. Sudah bisa jalan?"

"Baru saja, Dok. Tapi jalannya pun belum normal. Masih tertatih-tatih."

"Padahal umurnya sudah empat tahun." Dokter Harsa mengangkat wajannya menatap Intan. "Bagaimana bicaranya?" "Cuma bisa mengucapkan 'Mama', Dok."

"Anak tunamental memang selalu terlambat dan  terbelakang dalam hal bicara."

"Dok." Anggraini menatap dokter anak itu dengan tatapan amat memelas. "Ke mana saya harus membawanya, Dok?" "Menyesal sekali. Bu." sahut Dokter Harsa dengan suara iba "Anak Ibu menderita keterbelakangan mental yang berat Seperti telah saya katakan tadi. Intan termasuk anak imbesil. Itu berarti dia tidak dapat mencapai apa yang mungkin dicapai oleh anak-anak lain. Ke dokter mana pun Ibu membawanya percuma saja."

"Jadi dia tidak bisa sembuh, Dok?" Berlinang air mata Anggraini ketika mengucapkan kata-kata itu.

"Intan tidak sakit, Bu. Dia cuma terbelakang."

"Tapi kenapa, Dok? Kenapa? Apa kesalahan saya?"

"Jangan tanya mengapa, Bu," hibur Dokter Harsa lunak. "Jawabannya akan panjang sekali. Begitu banyak faktor yang dapat menyebabkan retardasi mental pada seorang anak. Infeksi dalam kandungan, obat-obatan dan zat toksik yang mungkin diminum oleh seorang ibu yang sedang hamil. Atau mungkin juga penyakit-penyakit yang dideritanya waktu mengandung."

"Tapi anak-anak saya yang lain sehat fisik maupun mentalnya, Dok! Mereka normal. Mengapa Intan berbeda?" "Trauma waktu lahir dapat juga berpengaruh pada perkembangan mental seorang anak. Defisiensi gizi, kelainan kromosom, asfiksia, Kern Icterus, banyak sekali penyebab yang tak dapat saya sebutkan satu per satu. Faktor penyebab ini bisa terdapat pada anak yang satu, tetapi tidak pada anak yang lain."

"Jadi saya yang salah, Dok? Saya yang menyebabkan anak saya jadi begini?"

"Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Yang penting sekarang adalah bagaimana membantu anak ini agar dia dapat mencapai tingkatan maksimal yang masih dapat dicapainya."

"Apa yang masih dapat dicapainya, Dok?" keluh Anggraini putus asa. "Apa yang dapat dicapai oleh seorang anak yang hanya dapat mengucapkan sepatah kata?"

"Itu bisa dilatih, Bu. Dengan kesabaran dan kasih sayang, Ibu dapat melatihnya untuk berkomunikasi. Mungkin bicaranya tidak akan sepintar anak-anak Ibu yang lain. Tapi bukan tidak mungkin lama-kelamaan dia bisa mengucapkan kalimat-kalimat sederhana."

"Dia tidak bisa sekolah, Dok?"

"Intan memerlukan pendidikan khusus di Sekolah Luar Biasa. Terhadap anak-anak seperti Intan biasanya diberikan pelajaran pekerjaan tangan, karena dia tidak mampu mempergunakan otaknya. Anak imbesil tidak mungkin membaca buku dan menulis karangan, misalnya. Tetapi kepada mereka akan diajarkan menulis nama sendiri, nama orangtua, alamat rumah, dan sebagainya."

"Apa yang dapat saya perbuat untuk membantunya, Dok?"

Ibu dapat melatihnya dengan latihan-latihan dasar seperti makan sendiri, minum sendiri, berpakaian sendiri. Penting sekali merangsang penglihatan, pendengaran, perasaan, dan gerak tubuhnya sehari-hari. Jika latihan-latihan ini tidak dapat dilakukan di rumah, Intan harus ditempatkan dalam sebuah lembaga khusus."

"Apa pun yang terjadi, saya tidak ingin berpisah dengannya, Dok. Saya akan mencoba melatihnya sendiri di rumah."

"Itu yang terbaik. Tapi jika Ibu memperoleh kesulitan. Ibu dapat menghubungi alamat ini."

Anggraini tidak menjawab. Disusutnya air matanya. Ditatapnya Intan dengan sedih. Mengapa harus terjadi padanya?

Dia memang tidak menginginkan anak ini ketika masih dalam kandungan. Tetapi kalau Tuhan masih tetap menghendaki Iin lahir, mengapa dia harus lahir dalam keadaan seperti ini?"

"Ini alamatnya." Dokter Harsa menyodorkan sehelai kertas.

"Terima kasih. Berapa, Dokter?"

"Tiga lima."

Tiga puluh lima ribu, keluh Anggraini sambil mengeluarkan uangnya. Alangkah mahalnya! Padahal Iin tidak diapa-apakan.

"Perlu kuitansi?"

"Perlu, Dok," sahut Anggraini lirih.

Dia sendiri tidak tahu untuk apa. Sudah menjadi kebiasaannya. Minta kuitansi setiap kali berobat. Padahal dia tidak tahu ke mana harus minta penggantian. Semenjak berpisah, Abidin tidak pernah mengirim tunjangan Sepeser pun. Dia harus berjuang seorang diri untuk menghidupi kelima orang anaknya.

***

"Iin disuntik, Ma?" tanya Sinta sambil memangku Intan sementara Anggraini mengemudikan mobilnya pulang. Anggraini menggeleng lesu.

"Kapan dia bisa ngomong, Ma? Malu-maluin. Sudah begini besar belum bisa ngomong ju ga."

"Tutup kacanya, Sinta. Nanti Iin masuk angin."

"Macet, Ma. Kacanya nggak bisa ditutup."

"Bilang Rimba. Biar dibetulkan besok pagi. Pakaikan mantel Iin, Sinta. Anginnya kencang. Iin nggak biasa kena angin."

"Biasa kalau sore dia main diluar, Ma. Bosan kali di rumah melulu. Tapi kalau ada orang lewat saja, langsung nangis."

"Sudah Mama bilang jangan dibawa main ke luar. Nanti masuk angin."

"Habis kasihan, Ma. Sumpek kan di rumah terus!"

Anggraini menghela napas. Kadang-kadang dia merasa malu pada tetangga. Punya anak cacat, mental seperti itu. Secara tidak sadar, dia selalu cenderung menyembunyikan anak itu.

Barangkali itu sebabnya Iin jadi takut melihat orang. Atau... memang sudah pembawaannya akibat keterbelakangannya?

"Intan memerlukan kesabaran dan kasih sayang Ibu." terngiang lagi kata-kata Dokter Harsa. "Ibu yang harus melatihnya. Jika latihan-latihan itu tidak dapat dilakukan sendiri di rumah, Intan harus dirawat dalam sebuah lembaga khusus."

Potongan-potongan kata Dokter Harsa itu seperti gramofon rusak yang bolak-balik menerpa telinganya. Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata itu terus-menerus merongrongnya.

Itu berarti dia harus mendampingi Iin terus. Melatihnya. Kalau menginginkan Intan tetap di rumah bersama saudara-saudaranya. Bukan dikurung dalam sebuah lembaga khusus....

Tetapi sampai kapan? Sampai kapan dia bisa mendampingi anaknya.

"Yah. mungkin empat tahun, mungkin lima," kata Dokter Surjadi dulu. "Kalau ternyata benjolan di payudaramu itu ganas. Dan kau tetap berkeras tidak mau membuangnya!"

Dokter Surjadi adalah bekas teman ayahnya waktu SMA. Hanya kepadanyalah Anggraini sudi memaparkan kesulitan-kesulitannya. Untung Dokter Surjadi masih tetap menganggapnya putri sahabatnya biarpun ayah Anggraini telah lama meninggal.

"Belum tentu kanker. Kita biopsi dulu. Kalau ternyata jinak, cukup kita buang benjolannya saja."

"Dan kalau ganas?"

"Terpaksa payudara kirimu diangkat. Daripada keburu mengganas ke mana-mana? Tega kau meninggalkan anak-anakmu?"

Tentu saja tidak. Tapi membuang payudaranya, ya Tuhan! Satu-satunya kebanggaannya yang masih tersisa. Satu-satunya modal untuk mencari nafkah!

Anggraini tidak dapat membayangkan produser-produser itu masih sudi memakainya sebagai peran pengganti kalau dadanya tidak montok lagi. Kalau parut bekas jahitan itu menampilkan pemandangan yang mengerikan di dadanya....

Justru karena keindahan tubuhnyalah mereka berminat memakainya dalam adegan-adegan yang tak mungkin dilakukan oleh aktris-aktris ternama. Padahal pada saat film Indonesia sedang hampir semaput seperti sekarang, film-film yang berani menampilkan adegan yang agak panas justru sedang in.

"Tidak usah khawatir. Pembedahan estetik payudara kini sudah banyak dilakukan. Jangan pikirkan apa-apa lagi, Anggraini. Pikirkan keselamatanmu."

Tapi mampukah pembedahan estetik mengembalikan keindahan payudara seperti yang dimilikinya sekarang? Kalaupun dapat, berapa biaya yang harus dikeluarkannya? Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu?

Anggraini sadar, waktunya tidak banyak lagi. Kariernya sudah di ambang batas. Di awal tiga puluh, sampai berapa lama lagi dia masih dapat bertahan sebelum tempatnya diambil alih oleh gadis-gadis yang lebih muda dan segar? Apalagi tanpa payudara kirinya!

Lagi pula...  dapatkah operasi menjamin keselamatannya?

"Teman saya juga dioperasi. Dok. Payudaranya diangkat. Disinar. Dan entah diapakan lagi. Tapi enam bulan sesudah operasi, paru-parunya sudah penuh air. Tiap dua hari mesti disedot. Cairannya merah, Dok, seperti air cucian daging. Kata dokter, anak sebar kankernya sudah sampai di paru-paru."

"Itulah kalau ditunggu sampai kankernya ber-metastasis."

"Dua bulan kemudian dia meninggal. Dok. Lalu apa gunanya payudaranya diangkat? Bukankah lebih baik (ia meninggal dengan utuh?"

"Kau tidak bisa menyamakan setiap kasus, Anggraini! Temanmu itu mengidap kanker payudara stadium lanjut. Anak sebar kankernya sudah merambah ke mana-mana. Kanker yang ditemukan pada stadium dini masih dapat disembuhkan" "Lalu bagaimana saya tahu kanker saya masih dini atau sudah lanjut?"

"Kanker atau bukan kita belum tahu. Makanya saya anjurkan biopsi. Dengan pemeriksaan Patologi Anatomi, tumormu bisa diketahui jinak atau ganas."

"Menurut Dokter, seandainya kanker, saya masih dapat sembuh?"

Benjolan dipayudaramu baru berukuran kira-kira dua sentimeter. Belum ada benjolan di ketiakmu. Kalau belum ada metastasis, seandainya Kankermu masih tergolong stadium satu. Masih dapat dioperasi. Harapan untuk survive masih sangat besar. Angga!"

"Tapi saya takut dioperasi. Dok!" rintih Anggraini lirih. Saya takut tidak dapat bertemu lagi dengan anak-anak saya! Dan saya takut tidak mampu membayar biaya operasinya!

"Kalau ternyata kankermu ganas, menunda operasi berarti memperpendek umurmu sendiri! Mau kaukemanakan anak-anakmu yang masih kecil-kecil.

Anggraini tidak tahu ke mana harus menyalurkan kebingungannya. Dia tidak tahu lagi kepada siapa dia harus bertanya. Kepada siapa dia harus mengadu dan mengeluh.

Anak-anaknya masih terlalu kecil. Saat itu Rimba baru tiga belas tahun. Ibu juga bukan teman bicara yang baik. Lagi pula dia tidak sampai hati membagi penderitaannya dengan ibu dan anak-anaknya. Dia ingin menanggung derita itu seorang diri saja.

Abidin yang saat itu sudah menceraikannya, entah di mana buminya. Anggraini tak pernah mendengar kabarnya lagi sejak dia pergi, saat Intan baru berumur satu tahun.

Dokter Surjadi pasti marah sekali ketika ternyata Anggraini tidak muncul lagi di kamar prakteknya. Dia memang tidak berani lagi menemui dokter bedah itu. Sungguhpun kini benjolan di payudaranya telah satu setengah kali lebih besar dibandingkan dua tahun yang lalu. Baru beberapa hari yang lalu, Anggraini menemukan benjolan baru di ketiak kirinya.

Tentu saja dia panik. Rasanya Malaikat Maut telah membayang-bayanginya. Tetapi Anggraini sudah nekat. Dia tidak mau dioperasi. Dia akan bekerja sampai helaan napasnya yang terakhir.

Dia akan bekerja mati-matian. Mengumpulkan uang. Untuk membeli rumah dan menabung. Dia harus meninggalkan warisan yang cukup untuk menjamin masa depan anak-anaknya. Tetapi kini muncul persoalan baru. Iin tidak dapat ditinggal seorang diri. Tidak walaupun seandainya Anggraini sanggup bertahan sampai sepuluh tahun lagi sekalipun! Iin akan menjadi bebannya sampai seumur hidup!

***

"Mama datang! Mama datang!" sorak Ika di depan pintu. "Bawa martabak nggak, Ma?"

"Idih, nggak tahu malu!" ejek Dian sambil mendahului adiknya menyambut ibunya. "Masa martabaknya dulu yang ditanyain!"

Tetapi Ika tidak peduli. Dia langsung merebut bungkusan di tangan Sinta.

"Martabak ya, Kak?"

"Awas, masih panas!" teriak Sinta.

Tetapi Ika sudah lari membawa bungkusan martabak itu ke ruang makan.

 "Mama nggak pergi lagi, kan, Ma?" rajuk Dian sambil mengikuti ibunya.

Anggraini hanya menggeleng letih. Sambil menggendong Intan, dia melangkah ke kamar makan. Dan tertegun melihat Heri sudah duduk di sana.

"Boleh, kan?" Heri berpaling sambil tersenyum. "Boleh ikut makan di sini? Malam terakhir sebagai malam perpisahan?"

"Oom mau martabak?" sela Ika lucu. "Kalau Oom bobok di kamar terus, pasti nggak kebagian!"

Anggraini menurunkan Intan dari gendongannya. Dan ibunya yang baru muncul langsung menyambutinya. "Bagaimana?" desak Nenek tak sabar. "Apa kata dokter?"

Anggraini cuma menggeleng lesu.

"Kenapa belum bisa bicara juga?"

"Nanti lama-lama bisa. Mesti dilatih terus."

"Kalau dibawa ke kampung pasti lekas sembuh. Sama Mbah Utuy, anak bisu pun setelah dijampi langsung bisa ngomong!"

"Disembur ya, Nek?" nyeletuk Dian. "Iin bisa gelagapan dong!"

"Tolong suapi dulu, Bu," potong Anggraini letih. "Saya mau mandi dulu. Rimba sudah pulang?"

"Belum."

"Kalau begitu kita tidak akan makan sampai dia pulang."

"Tapi Ika sudah lapar, Ma!"

"Bijaksana," tersenyum Heri. "Perhatianmu akan membuatnya pulang lebih sore besok."

***

Rimba sendiri heran melihat mereka semua sudah menunggunya di meja makan ketika dia pulang.

"Ayo, Kak Rimba, lekasan mandi! Ika sudah lapar nih!" teriak Ika tidak sabar.

"Untung dia pulang pukul delapan." Heri tersenyum pada Sinta yang duduk di sampingnya. "Kalau tidak, maag-ku bisa kumat."

"Oom punya sakit maag?."

"Sudah empat tahun."

"Wah, kalau begitu nggak boleh tahan lapar."

"Mau permen, Oom?" sela Ika. "Ika ambilin, ya?"

"Kerupuk aja, Oom!" sambar Dian. "Masa permen! Nggak kenyang dong!"

"Bagaimana kalau dua-duanya? Siapa tahu kakakmu mandinya lama!"

Berebut Dian dan Bea menyodorkan kerupuk dan permen. Anggraini sampai tertegun heran. Bagaimana Heri sudah bisa begitu akrab dengan anak-anaknya? Bahkan Sinta tidak menampilkan wajah cemberut lagi!

Dia punya jimat apa, pikir Anggraini bingung. Kenapa dia bisa begitu menarik?

"Mama..." Dian bergayut manja di lengan Anggraini. "Kata Oom Heri, Dian mesti tunggu sampai kita semua selesai makan. Tapi Dian nggak tahan, Ma. Dian ngomong sekarang saja, ya?"

"Soal apa, Dian?"

"Boleh, Oom?" Dian menoleh ke arah Heri dengan ragu-ragu.

Anggraini ikut menoleh dengan curiga. Dan melihat lelaki itu mengangguk sambil tersenyum.

"Oom boleh tinggal sehari lagi ya, Ma?"

Sekarang Anggraini melirik Heri dengan dahi berkerut. Tetapi Dian keburu menarik-narik tangannya. Terpaksa Anggraini menoleh lagi pada Dian.

"Dian terpilih jadi Bawang Putih, Ma!" tukas Dian dengan paras berseri-seri. "Besok sore latihannya di sekolah. Mama datang, ya? Kalau Dian mainnya bagus, boleh ikut dalam operet Bawang Merah Bawang Putih bulan depan!"

"Dan Ika jadi ikan, Ma!" sela Ika tidak mau kalah. "Ika yang bantuin ngambil cucian Bawang Putih, yang hanyut!"

"Ma..." Dian meremas-remas lengan ibunya dengan manja. "Mama datang ya? Besok sore ya, Ma?"

Anggraini merangkul anaknya. Dan mengecup rambutnya dengan lembut.

"Mama pasti datang, Sayang."

"Betul, Ma?" mata Dian berpendar-pendar seperti intan.

Anggraini mengangguk sambil tersenyum.

"Asal Dian janji mau main bagus."

"Pasti dong, Ma! Bu Erni bilang, Dian punya bakat akting! Nanti kalau Dian sudah bisa masuk TV, Mama nggak usah kerja lagi. Biar Dian yang cari duit!"

Tiba-tiba saja Anggraini merasa matanya panas.

"Betul Dian mau bantu Mama cari uang?" tanyanya terharu.

"Betul, Ma!" seru Dian bersemangat sekali.

"Ika juga, Ma!" potong Ika tidak, mau kalah. "Tapi Ika nggak mau masuk TV. Ika mau naik kapal aja. Jadi pilot!" Dia menoleh ke arah Heri dengan lucunya. "Pilot gajinya gede ya, Oom?"

"Tapi pilot kan jarang di rumah, Ika," kata Anggraini geli. "Mama sama siapa dong di sini?"

"Kan ada Kak Rimba, Kak Sinta, Kak Dian, Nenek, Oom Heri...." Tiba-tiba Ika seperti teringat sesuatu. Dia langsung mengubah pokok pembicaraannya. "Oom Heri boleh ikut besok sore ya, Ma?"

"Tapi Oom masih sakit, Ika," sahut Anggraini hati-hati.

"Kata Nenek, Oom sudah sembuh! Besok mau pulang!"

"Ah, ya! Oom mau pulang besok..." Anggraini menggagap bingung. "Jadi..."

"Oom pulang lusa aja ya, Ma?" pinta Dian serius.

"Tapi Oom banyak urusan..."

"Sehari lagi tidak apa-apa," potong Heri tenang-tenang. "Urusan lain bisa ditunda kok."

"Tuh, Ma!" sorak Dian dan Ika berbareng. "Oom mau, Ma! Boleh ya, Ma? Oom boleh ikut?"

Kurang ajar, Anggraini melirik Heri dengan kesal. Tetapi laki-laki itu cuma membalas tatapan berangnya dengan senyuman.

"Boleh ya, Ma?" desak Ika lagi. "Oom boleh kan tinggal sehari lagi?"

"Biar bisa nonton Dian besok, Ma!" rengek Dian pula. "Oom nggak percaya Dian pintar akting!"

Tidak sengaja Anggraini melirik Sinta. Dan merasa heran bukan main. Sinta memang tidak berkata apa-apa. Tetapi wajahnya tidak menampilkan protes. Tidak murung seperti biasa kalau ada teman ibunya yang tidak mau pulang! Anggraini malah merasa... diam-diam Sinta juga menyokong keinginan adik-adiknya!

"Baiklah," Anggraini menghela napas berat. "Sehari lagi."

"Terima kasih." Heri tersenyum puas. Dia mengedipkan sebelah matanya kepada Anggraini tanpa terlihat anak-anaknya.

Buru-buru Anggraini menunduk. Khawatir kedipan itu terlihat oleh Rimba yang sudah muncul di kamar makan. Dia menatap ke sekeliling meja dengan curiga.

"Ada apa? Ada pesta apa? Siapa yang ulang tahun?"

"Ulang tahun!" gerutu Sinta mengkal. "Kami semua menunggumu makan!"

"Apa-apaan?" Rimba mengerutkan dahinya dengan heran. "Tidak biasanya...."

"Mulai sekarang kita selalu akan makan bersama-sama, Rimba," kata Anggraini sabar. "Kami tidak akan makan sebelum kamu pulang."

"Makanya jangan pulang malam-malam, Kak!" nyeletuk ika. "Ika udah ngantuk!"

Rimba menatap ibunya dengan curiga. Kemudian tatapannya beralih kepada Heri. Dan kerut di dahinya bertambah. "Ayo, duduklah," potong Anggraini sebelum komentar yang lebih pedas lagi diucapkan Rimba. "Adik-adikmu sudah lapar."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rimba langsung menarik sebuah kursi.

BAB VI

Pukul empat sore Anggraini sudah tiba di rumah. Dia tidak mau mengecewakan anak-anaknya. Dian sudah menyambutnya di depan pintu. Parasnya tegang sekali seperti sedang menanti pengumuman hasil ujian.

"Nggak pergi lagi, kan, Ma?" tanyanya cemas.

Anggraini mengusap kepala Dian dengan penuh kasih sayang.

"Tidak. Kan sudah janji sama Dian."

"Kalau begitu lekasan dong, Ma! Kita sudah harus sampai di sekolah sebelum jam setengah enam."

"Jam berapa latihannya mulai?"

"Jam enam, Ma."

"Kalau begitu kita sudah harus mulai bersiap-siap. Pergilah mandi."

"Dian sudah mandi, Ma."

"Kalau begitu cepatlah ganti pakaian. Mama mandi dulu, ya?"

"Mama! Mama!" seru Ika sambil berlari-lari turun dari atas. "Pasangin pita dong, Ma! Kak Sinta nggak becus. Miring melulu!"

"Sudah kubilang, kepalamu yang tidak rata!" balas Sinta dari atas. "Mesti diamplas dulu!"

"Sini Mama pasang." Sambil tersenyum Anggraini menuntun Ika ke atas.

Sepuluh menit lebih Anggraini mendandani putrinya. Dia baru merasa puas setelah Ika menjelma menjadi bidadari mungil yang amat cantik.

"Nah, selesai," katanya sambil menghela napas lega.

Ditatapnya Ika sekali lagi melalui cermin di hadapan mereka. Dan matanya terpaku pada bayangan ibunya.

"Ada tamu, Angga," katanya ketus.

"Siapa, Bu?" Tiba-tiba saja dada Anggraini terasa berdebar-debar.

"Siapa lagi," gerutu ibunya jengkel. "Lelaki yang naik mobil merah itu. Heran, tiap hari datang. Mau apa sih!"

Celaka, pikir Anggraini bingung. Kalau dia tidak mau pulang juga... bisa runyam nih!

"Jangan lama-lama, ya, Ma!" seru Ika. sambil memandangi dirinya dalam cermin. Duh, cantiknya!

Diputarnya tubuhnya sedikit. Diajaknya cermin itu tersenyum. Dan cermin membalas senyumnya.

"Mama tidak lama," sahut Anggraini cepat-cepat. "Awas, rambutnya jangan diacak-acak lagi, ya!"

***

Takut-takut Dian mengintai dari pintu kamar. Sinta ada di dalam. Sedang merenda sambil bersenandung.

Ah, Kak Sinta pasti lagi senang. Tidak biasanya dia nyanyi-nyanyi sendiri begitu! Dan kalau sedang senang, dia pasti tidak berbahaya....

"Kak Sinta...," panggil Dian hati-hati.

Serentak Sinta menghentikan senandungnya. Dan menoleh ke pintu.

"Lho, kok belum pakaian juga?" tegurnya heran.

"Kak Sinta...." Dian memandang kakaknya dengan ragu-ragu.

"Hhh? Kenapa?"

"Kak Sinta...." Suara Dian tambah memelas. Mukanya memerah.

"Ada apa sih?" bentak Sinta tidak sabar. "Ngomong aja kok susah amat! Mau ngapain?"

Dibentak begitu rupa Dian langsung mundur tiga langkah. Tetapi dia tidak mau pergi. Sinta jadi makin penasaran.

"Kemari. Dian!" desisnya gemas.

Tetapi Dian hanya bergayutan di daun pintu. Tidak berani mendekat.

"Ya sudah, kalau nggak mau ngomong," dumal Sinta jengkel.

Dia sudah mulai merenda lagi ketika suara Dian kembali menggelitiki telinganya. Lebih perlahan daripada tadi. "Kak Sinta..." Parasnya terlihat semakin memerah. "Dian pinjam..." suaranya tambah melemah, "Dian pinjam..."

"Pinjam apa?" Sinta menoleh dengan heran.

"Dian pinjam..." Dian tertunduk malu. Tidak berani membalas tatapan kakaknya. "BH Kakak, ya...?"

"Hah?!" Sinta terbelalak kaget. "Kamu mau pinjam...?"

Lalu tawanya meledak. Keterlaluan anak ini! Kecil-kecil sudah genit!

"Anak kecil mau pakai BH!" Sinta tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. "Nggak tahu diri! Pakai saja plester!"

Dengan paras merah padam Dian lari meninggalkan kakaknya. Dia sudah hampir menangis. Malu. Kesal pula.

Kak Sinta selalu begitu! Menganggapnya anak kecil! Anak bawang. Anak ingusan. Anak kemarin sore. Padahal berapa sih beda umur mereka? Cuma empat tahun!

Huuu, Kak Sinta memang keterlaluan! Sok! Padahal dia juga baru kategori ABG! Lagaknya saja kayak orang gede! Apa sih salahnya memakai BH? Dian sering melihat penyanyi-penyanyi cilik di televisi. Dan  dandanan mereka... uah, selangit! Gayanya ngepop. Goyangnya maut. Persis, malah kadang-kadang lebih, dari orang dewasa!

Kenapa Dian tidak boleh meniru? Yang mendandani mereka orang tuanya juga, bukan?

Dan Dian tertegun di puncak tangga. Mama sedang ngobrol dengan Oom Budi. Menurut pengalaman, obrolan mereka tidak pernah sebentar! Dan Dian sempat menangkap kata-kata Mama yang terakhir.

"Tidak bisa, Bud! Aku sudah janji dengan anak-anak...."

"Tapi kau juga sudah janji denganku, Angga! Lupa, ya? Janji denganku malah lebih dulu!"

"Masa sih kau nggak mau ngalah sama anak-anak, Bud?"

"Tentu saja aku mau, Angga! Tapi tidak dalam persoalan yang sepenting ini! Kau harus dapat mendahulukan yang penting, Angga! Ini soal masa depan kita!"

"Tapi kita kan bisa pergi besok, Bud!" kilah Anggraini kewalahan. "Dian cuma bisa berlatih hari ini!"

"Besok kita ada shooting sampai malam! Surat panggilannya sudah dikirim oleh manajer unitku, kan? Atau...," suara Budi berubah, "kau tidak mau ikut shooting besok?"

"Aku harus bicara dulu dengan anak-anak," keluh Anggraini lemah. Membatalkan shooting berarti kehilangan honor!

Anggraini baru bangkit dari kursinya dan memutar tubuh ketika matanya bertemu dengan mata Dian. Mata yang sedang tenggelam dalam lumpur kekecewaan. Ada kesedihan yang berbaur dengan kejengkelan dan kekecewaan di mata itu. Kekecewaan yang tak mungkin lagi dilupakan Anggraini....

Anggraini tidak tahan melihat mata yang bening itu mulai basah digenangi air mata. Dia tidak tahan melihat bibir Dian yang mungil itu gemetar menahan tangis.

"Dian..." panggilnya dengan perasaan bersalah.

Tetapi Dian sudah lebih cepat lagi membalikkan tubuhnya. Dan menghambur lari ke kamarnya.

***

Heri sudah mengenakan kemejanya, kemeja yang sudah dicuci dan disetrika Anggraini, ketika dari jendela kamarnya dia melihat Anggraini masuk ke dalam mobil mewah itu. Seorang laki-laki bertubuh tegap, berumur empat puluhan, menutupkan pintu mobil untuknya. Seorang laki-laki yang necis. Rapi baik pakaiannya maupun potongan rambutnya.

Dan Heri tidak sempat berpikir panjang lagi. Lupakah Anggraini pada janjinya? Lupakah dia pada anak-anaknya? Pada Bawang Putih?

Bergegas Heri membuka pintu kamarnya. Menerobos ke luar. Dan hampir bertubrukan dengan Ika yang sedang membanting-banting kakinya dengan jengkel.

"Mama pergi ke mana, Ika?"

"Mama bohong lagi, Oom," gerutu Ika hampir menangis. "Betul kata Kak Rimba, yang nggak boleh bohong cuma anak-anak! Orang gede sih boleh ngibul semaunya!"

"Mama pasti ada urusan penting, Ika," hibur Heri terharu.

Dia merasa kasihan pada anak-anak ini. Sekaligus merasa amat jengkel pada ibunya. Tak patut mereka dibohongi seperti ini!

Mentang-mentang mereka masih kecil. Seenaknya saja Anggraini mengobral janji! Tetapi bagaimanapun, di depan Ika, Heri tidak, memperlihatkan kekesalannya. Dia tidak mau mendiskreditkan Anggraini di depan anak-anaknya.

"Kenapa mesti tergantung Mama? Ika dan Dian kan bisa pergi sama Nenek?"

"Wah, Nenek! Bayar taksi aja salah melulu!"

"Nah, kenapa nggak minta tolong sama Kak Sinta."

"Nggak, ah!" potong Sinta yang tahu-tahu telah berada di belakang mereka. "Aku nggak mau pergi. Oom saja pergi sama mereka!"

"Kenapa? Malu?"

"Nggak mau aja."

"Tapi kenapa?" desak Heri penasaran.

"Nggak kepengin"

"Karena kakimu?"

"Pokoknya aku nggak mau pergi!" bentak Sinta kesal. Cerewet banget sih ni orang!

"Malu ketemu bekas teman-temanmu?"

"Ita urasanku!"

"Kamu harus pergi, Sinta," kata Heri tegas tapi lembut. "Kita pergi sama-sama."

"Buat apa? Memamerkan pincangku pada semua orang?"

"Buat memberitahu dunia, kamu tidak malu dengan cacatmu."

"Tapi aku malu!"

"Tidak. Kamu tidak boleh malu. Teman-temanmu boleh tahu kakimu cacat. Tapi mereka juga harus tahu, kamu punya kebanggaan atas dirimu sendiri."

"Kebanggaan apa? Aku tidak punya apa-apa!"

"Kamu cantik, Sinta. Pemuda-pemuda akan memuja kecantikanmu."

"Dan meludahi kakiku!"

"Percaya padaku, tidak seorang pun berani melakukannya!"

"Tentu saja. Karena mereka kasihan padaku! Bah, aku tidak sudi dikasihani!"

"Kalau begitu berhentilah mengasihani dirimu sendiri! Tidak semua orang akan menertawakan cacatmu. Menangisi kakimu."

"Ngomong sih enak. Mana buktinya?"

"Aku," sahut Heri tenang. "Tahu perasaan apa yang timbul di hatiku ketika pertama kali mengetahui kamu cacat?"

Sinta tidak menjawab. Tetapi sorot matanya mengatakan betapa inginnya dia mendengar kelanjutan kata-kata Heri.

"Kasihan. Cakep-cakep pincang! Tapi setelah kenal kamu, Oom sadar, kamu nggak perlu dikasihani kok. Kamu punya banyak kelebihan. Yang tidak dimiliki oleh gadis yang tidak cacat sekalipun!"

Heri sendiri heran. Buset. Bagaimana dia bisa ngomong selancar itu? Tapi melihat tatapan Sinta, tiba-tiba dia yakin, usahanya tidak sia-sia!

***

pakai baju apa. Padahal biasanya dia tidak peouli. Pokoknya asal pakai baju. Persetan baju apa!

Tetapi kali ini dia kebingungan sendiri. Yang mana gaun yang harus dipilihnya? Bukan karena banyak pilihan. Bukan. Gaunnya tidak banyak kok. Justru karena sedikit dia jadi tambah bingung!

Dia mesti memakai gaun panjang. Tentu saja. Dia toh tidak mau kakinya jadi tontonan. Tetapi pantaskah pergi ke sekolah Dian sore-sore begini memakai gaun panjang?

Apakah tidak lebih baik pakai jins saja? Praktis. Tidak mencolok. Dan mampu menutupi kakinya yang cacat. Tetapi.. pantaskah mendampingi Oom Heri pakai jins?

Ah, seandainya Mama ada di rumah! Mama pasti tahu. Sinta amat mengagumi selera berpakaian ibunya. Pakai baju apa pun Mama selalu terlihat cantik!

Bagaimana kalau... kalau dipinjamnya saja baju ibunya? Mama punya celana panjang longgar berwarna pastel yang lembut. Blusnya pun sederhana Lengannya pendek. Lehernya berpotongan V. Tidak terlalu mencolok warna maupun potongannya. Tapi manis. Serasi. Enak dipakai. Tidak panas. Dan yang penting... keren.

***

"Ayo, Dian! Ika! Sudah siap belum?" seru Heri sambil melirik jam dinding. "Wah, latihannya bisa batal kalau Bawang Putih ngaret!"

"Tunggu, Oom!" Dian berteriak dari kamar. "Dian lagi nyisir! Mama sih nggak ada! Oom bisa sisirin Dian nggak?"

"Wah, Oom cuma bisa nyisirin kabel, Dian! Suruh Nenek saja deh!"

"Huuu, Nenek mah cuma bisa nyisirin bakmi!"

"Oom! Oom!" panggil Ika tiba-tiba. "Nenek boleh ikut nggak, Oom?"

"Boleh dong! Pertunjukannya tujuh puluh tahun ke bawah, kan?"

"Jadi Nenek boleh ikut?"

"Iin juga."

"Iin?" belalak Ika kaget.

"Lho, kenapa? Emangnya Ika doang yang boleh pergi?"

"Tapi Iin nggak pernah ke mana-mana! Nanti dia ngambek! Nangis menjerit-jerit!"

"Kalau ngadat Oom bawa pulang. Ayo, suruh Nenek tukar baju!"

Hampir tidak percaya Nenek pada pendengarannya. Dia mau diajak pergi? Mustahil! Siapa yang mau ngajak nenek-nenek pergi? Anggraini saja tidak pernah! Sekarang anak muda yang tidak ketahuan di mana rumahnya itu mau mengajaknya pergi? Dengan Iin pula? Astaga! "Jangan, ah!" protes Nenek pura-pura tidak mau.. Padahal hatinya sedang berdebar gembira. Sudah lama dia tidak pergi jalan-jalan. Di rumah saja merawat Iin. Lama-lama kan sumpek juga! Pengap! "Nanti Mama marah."

"Nggak, Nek," bujuk Ika.

"Bilang aja Oom Heri yang ngajak. Kalau dimarahin, biar Oom yang diomelin Mama!"

"Betul Oom ngajak Nenek?"

"Betul Nek! Masa Bea bohong sih! Tukar deh baju Nenek. Bau bawang goreng!"

Selagi Nenek masih ragu, Heri muncul di antara mereka..

"Ayo, Bu, kita pergi sama-sama." Heri tersenyum lunak. "Masa sih Ibu nggak mau nonton cucu-cucu Ibu menari dan menyanyi?"

Untuk pertama kalinya Nenek menatap Heri tanpa kemarahan atau kecurigaan di dalam matanya. Jadi anak muda ini benar-benar mau mengajak nenek-nenek jalan-jalan!

"Iin bagaimana?"

"Bawa saja."

"Kalau nangis?"

"Kita bawa pulang. Nanti saya balik lagi jemput Dian dan Ika. Kan bawa mobil."

"Kamu yang setir?"

"Wah, itu segampang bikin pecel, Bu!"

"Pecel," damai Nenek sambil cepat-cepat naik ke atas. "Nyetir mobil kok disamakan dengan bikin pecel! Angot."

***

Heri tidak jadi memutar tubuhnya. Sinta sedang menuruni tangga. Selangkah demi selangkah begitu anggunnya. Rambutnya yang panjang diikat rapi ke punggung. Sisirannya belah di tengah. Memperlihatkan gemerlap dua mutiara di telinganya.

Celana panjangnya longgar dan berwarna lembut. Blusnya sederhana tapi manis. Pipinya merona merah. Bibirnya disaput lipstik warna salem yang lembut menggoda.

Bukan main! Heri pasti tidak akan mengenalinya kalau bersua di jalan!

Tentu saja Sinta tahu siapa yang sedang mengawasinya dengan tertegun di bawah sana. Dia hampir tidak berani mengangkat wajahnya membalas tatapan Heri. Dan pipinya semakin memerah. Sengaja Heri bersiul nakal. Kadang-kadang wanita memang senang disiuli, kan? Mereka suka dikagumi pria. "Bukan main!" desis Heri dengan suara kagum dan tatapan memuja. "Sekejap tadi Oom kira ada ratu kecantikan kesasar ke sini!"

Paras Sinta semakin membara. Dia merunduk kemalu-maluan. Heri menantinya di bawah tangga. Mengulurkan tangannya dengan sopan. Dan mengepit tangan Sinta.

Ketika kulit mereka bersentuhan, Sinta hampir tak dapat menahan debar jantungnya sendiri.

"Ih, kapan pernah dirasakannya sensasi seperti ini? Tidak pernah! Bahkan jika dia berjalan berdua dengan Harun sepulangnya dari pasar sekalipun.

Sinta jadi salah tingkah. Dan semua gerakannya terasa rikuh. Untung Oom Heri bersikap sangat tenang dan wajar. Sudah biasakah dia menggandeng seorang wanita seperti ini?

Di sisinya, Oom Heri terlihat begitu tampan dan gagah. Tubuhnya menjulang tinggi. Tegap melindungi. Memberi kesan aman di hati Sinta.

Dan sikapnya! Aduh. Dia bukan hanya sopan dan simpatik. Dia malah memperlakukan Sinta seperti wanita dewasa! Lihat saja bagaimana caranya Oom Heri membukakan pintu dan menyilakannya masuk lebih dulu. Atau menggandeng tangannya berjalan di antara teman-temannya....

Ah, rasanya sore ini Sinta sudah melupakan sama sekali cacatnya! Lebih-lebih melihat cara teman-temannya menatapnya!

"Kamu punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh gadis lain, Sinta," kata Oom Heri tadi. "Yang tidak cacat sekalipun!"

Dan sore ini dia telah membuktikannya. Dia datang ke bekas sekolahnya didampingi oleh seorang laki-laki tampan. Gagah. Dewasa. Seorang pria yang membuat teman-temannya memandang antara kagum dan iri!

BAB VII

Anggraini benar-benar heran. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang demikian kaya dan terpelajar seperti Budi dapat membawanya ke tempat semacam ini.

"Aku tidak mengerti," keluh Anggraini sepanjang penantian mereka di ruang tunggu yang sempit dan separo tertutup itu. "Kok bisa sih percaya pada hal-hal beginian."

Ruangan berukuran empat kali tiga meter itu padat terisi oleh para pengunjung yang sedang menanti giliran masuk. Persis ruang tunggu praktek dokter.

Di dinding tergantung sepotong papan kecil. Jam bicara 4-6 sore. Tapi menilik banyaknya orang yang menunggu, rasanya sampai pukul sepuluh malam pun pasti belum selesai.

Sampai sekarang saja sudah berkumpul lebih dari dua puluh orang. Setiap orang yang masuk rata-rata diberi waktu seperempat jam untuk berkonsultasi.

Sambil mengipas-ngipas kepanasan, Anggraini memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Ada yang sedang mengobrol. Ada yang lebih suka membaca majalah. Ada juga. yang sedang termenung seorang diri.

Rasa malunya karena telah sudi datang ke tempat ini berangsur-angsur hilang. Ternyata dia keliru. Orang-orang yang ditemuinya di sini bukan jenis pengangguran atau orang-orang bodoh. Banyak di antara mereka, kebanyakan ibu-ibu, kelihatannya berasal dari kalangan menengah ke atas.

Bapak-bapaknya, berpakaian rapi dan bertampang pemimpin. Entah buat apa mereka kemari kalau sudah punya kedudukan bagus begitu!

"Banyak yang percaya, mereka mendapat kedudukan tinggi karena petunjuk Pak Danu," sahut Budi ketika Anggraini mengemukakan keheranannya.

"Lalu buat apa mereka kemari lagi? Bilang terima kasih? Atau minta kedudukan yang lebih tinggi lagi?"

Budi mendekatkan mulutnya ke telinga Anggraini.

"Lihat lelaki yang duduk di sana itu? Kau tahu siapa dia?" Budi membisikkan sebuah nama yang membuat Anggraini mengerutkan dahinya dengan bingung.

"Dia juga kemari?"

"Kaukira karena apa suksesnya itu?"

"Karena petunjuk Pak, Danu?"

"Setiap kali dia mau memulai usaha baru, pasti dia ke sini. Dan usahanya selalu sukses. Makanya dia jadi konglomerat!"

"Nonsens! Itu kan karena rezekinya lagi bagus!"

"Jika cuma karena kebetulan, masa begini banyak langganan Pak Danu? Tiap hari ramai. Sampai-sampai hari Minggu pun penuh sesak!"

"Kau sendiri sering kemari?"

"Setiap memulai film baru."

"Dan filmmu selalu sukses?"

"Kaupikir bagaimana aku bisa seperti sekarang?"

"Ramalannya selalu tepat?"

"Kalau tidak buat apa kubawa kau kemari?"

Astaga. Anggraini menghela napas panjang. Kalau soal dagang dan usaha lain, okelah. Tapi menanyakan soal perjodohan mereka? Sungguh memalukan!

"Semuanya kan tergantung kita sendiri, Bud," bujuk Anggraini setelah sia-sia mengajak Budi pulang saja. "Buat apa membuang-buang uang dan waktu di sini?"

"Kau tidak ingin tahu kita bisa menikah atau tidak?"

"Kalau kau mau menceraikan istrimu dan aku sudi mengawinimu, apa pun kata Pak Danu-mu itu, kita toh bisa menikah juga?"

"Tapi umurnya tidak lama seperti perkawinan-perkawinanmu sebelumnya!"

Masya Allah! Lagi-lagi Anggraini mengurut dada. Jadi perkawinannya selama ini kandas karena dia tidak pernah menanyakan jodohnya terlebih dulu?

"Bagaimana dengan perkawinanmu sendiri?" tanya Anggraini penasaran.

"Waktu aku menikah dulu, aku belum kenal Pak Danu."

"Jadi percumalah menggoyahkan kepercayaan yang telah berurat-berakar di hati Budi. Memang waktu Budi mengajaknya kemari minggu lalu, Anggraini cuma main-main mengiyakannya. Dia tidak menyangka begini sengsaranya menunggu di sini!.

Rasa ingin tahu yang dibawanya dari rumah langsung lenyap begitu melihat penampilan sang ahli nujum. Gambaran seorang kakek berjenggot putih dengan sepasang mata yang telah lamur tapi bersorot bijaksana punahlah sudah. Dia cuma seorang lelaki sederhana. Umurnya pasti belum lebih dari lima puluh tahun. Bersih dan rapi seperti kemejanya yang berwarna putih.

Modalnya cuma setumpuk kartu yang sudah dekil. Bukan bola kristal atau alat-alat magis lainnya. Ruang prakteknya memang agak gelap. Tetapi jauh dari kesan menyeramkan.

"Anda sedang banyak pikiran," kata Pak Danu begitu tangannya membuka kartu-kartu yang dipilih Anggraini. "Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak."

Tepat, ejek Anggraini dalam hati. Kalau tidak masa kemari!

Tetapi di depan Pak Danu, dia tetap memperlihatkan wajah sepolos-polosnya.

"Rumah tangga Anda sedang terguncang."

Dari dulu juga tidak pernah tenang, keluh Anggraini dalam hati.

"Anda sedang bingung memilih dua hal yang sama-sama memberatkan."

Lagi-lagi Anggraini menghela napas. Dan dia sadar, helaan napas itu terlalu keras.

"Dalam dua bulan mendatang ini, ada sebuah peristiwa penting dalam hidup Anda. Anda harus bijaksana menghadapinya. Alangkah baiknya bila Anda bicarakan kembali hal itu dari hati ke hati. Tetapi walaupun nanti Anda sudah merasa mantap dengan pilihan Anda, sebaiknya Anda menanyakan lagi pada seorang yang lebih ahli." Wah, kalau cuma buat diramal begini sih tidak perlu jauh-jauh kemari, pikir Anggraini jemu. Baca saja di majalah.

"Anda punya lima anak.. Benar?"

Eh, pikir, Anggraini kaget. Kok dia tahu?

Diam-diam Anggraini melirik Budi. Diakah yang memberitahu?

Tetapi Budi sedang mendengarkan semua kata-kata Pak Danu dengan tekunnya. Persis anak sekolah yang sedang menyimak pelajaran dari gurunya.

Wah, seharusnya mereka bawa tape recorder tadi. Supaya bisa ingat semuanya.

"Hati-hati dengan salah seorang anak Anda. Jaga baik-baik dalam bulan-bulan mendatang ini."

"Ada yang sakit?" sela Anggraini cemas.

Pak Danu memperhatikan kartu-kartunya sekali lagi sebelum menjawab.

"Bisa lebih dari itu. Hati-hati saja,"

"Iin," desah Anggraini tak sadar. Dia menoleh kepada Budi dengan khawatir, tepat pada saat Budi juga menoleh kepadanya.

O, ada apa dengan dia nanti? Sakitkah? Atau ah, pasti Iin Siapa lagi? Anak-anaknya yang lain sehat. "Tapi tahun depan, Anda akan mendapat seorang anak lagi."

"Tidak mungkin!" cetus Anggraini kaget. "Saya janda!"

Pak Danu mengangkat bahu.

"Kalau begitu mungkin tahun depannya lagi. Pokoknya Anda akan memperoleh seorang anak lagi."

Tahun depannya lagi aku mungkin sudah di dalam tanah, pikir Anggraini sesak.

Dan dia merasa tangan Budi meremas-remas jarinya di bawah meja.

"Ada yang hendak ditanyakan?" tanya Pak Danu sambil mengumpulkan dan mengocok kartu-kartunya kembali. "Tentang kami berdua, Pak!" sahut Budi cepat. "Kami hendak menikah. Tapi saya sudah beristri. Dan dia tidak mau jadi istri muda. Apakah saya harus menceraikan istri saya?"

Pertanyaan yang bodoh, pikir Anggraini gemas. Kenapa mesti tanya dia?

Tetapi Pak Danu tidak berkata apa-apa. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia mulai lagi mengocok kartunya. Dan membukanya satu per satu di atas meja.

"Mmm. Orangnya boleh juga," gumam Pak Danu, entah kepada siapa. Mungkin kepada dirinya sendiri. Matanya tidak lepas-lepas menatap kartunya. Seolah-olah dia melihat gambar seorang perempuan di sana. "Putih, bersih, rapi. Cuma agak gemuk..."

"Betul, Pak!" potong Budi bersemangat. "Itu istri saya! Kami dapat bercerai?"

"Ya, Anda dapat bercerai. Ajukan saja permohonan cerainya dalam empat bulan ini."

Sekali lagi Budi meremas jari-jemari Anggraini. Kali ini lebih hangat.

"Kami dapat menikah, Pak?"

Pak Danu mengamat-amati kartunya lagi sebelum menjawab.

"Tidak ada rintangan apa-apa. Semoga Tuhan memberkati kalian."

Tuhan, pikir Anggraini bingung. Apakah Tuhan merestui juga tempat-tempat seperti ini?

***

Budi mengemudikan mobilnya seperti orang mabuk. Dia memang minum dua gelas wiski cola tadi. Padahal Anggraini sudah mencegahnya.

Budi mengajaknya makan sebelum pulang ke rumah.

"Harus kita rayakan malam ini," katanya gembira.

Tentu saja mula-mula Anggraini menolak. Pikirannya sudah lama sampai ke rumah. Bagaimana anak-anaknya? Masih ngambekkah Dian?

Bagaimanapun Anggraini merasa bersalah. Dia sudah berjanji. Dan tidak dapat menepatinya. Betapa murahnya harga sebuah janji!

Tetapi Budi tetap memaksakan kehendaknya.

"Akan kujadikan malam ini malam kenangan bagi kita!" katanya riang.

Dan ternyata kenangan yang dimaksud bukan hanya makan bersama di sebuah tempat yang romantis. Budi menginginkan yang lain.

"Ke rumahmu? Atau... kita cari tempat lain?"

"Sudah pukul dua belas lewat," sahut Anggraini bingung. "Aku khawatir Iin bangun mencariku...."

Tentu saja bukan Iin yang dipikirkannya. Iin tidur di atas bersama neneknya. Kakak-kakaknya tidur di kamar sebelah. Tapi Heri tidur di bawah... di kamar Anggraini! Bagaimana menjelaskan hal itu pada Budi?

"Oke, ke mmahmu!" desisnya bersemangat. Dia bersenandung kecil sambil mengemudikan mobilnya dengan sebelah tangan. Tangannya yang lain merangkul bahu Anggraini.

"Kalau begini caramu mengemudikan mobil, kita lebih cepat sampai ke rumah sakit daripada, ke rumah, Bud!" Budi tertawa lantang. Euforia-nya pasti karena pengaruh alkohol.

"Jangan ragukan kemampuanku menguasai mobil, Angga! Mobil adalah istriku yang paling setia!"

"Itu berarti sampai kapan pun aku tetap jadi istri mudamu!" gurau Anggraini pura-pura merajuk.

Budi mengecup dahinya dengan mesra. Dan Anggraini merasa pedih. Lelaki ini begitu mencintainya. Bagaimana harus mengatakan padanya tentang benjolan di payudaranya? Tentang operasinya?

Budi demikian mengagumi payudaranya. Anggraini tidak dapat membayangkan jika suatu hari nanti, payudaranya tidak lagi seindah sekarang... atau bahkan... O, betapa terbantingnya harga dirinya sebagai seorang wanita! Percuma mencegah Budi. Dia sudah tidak dapat disuruh pulang lagi. Sesampainya di rumah, Budi langsung menggendong Anggraini turun dari mobilnya.

"Jangan, Bud," pinta Anggraini kewalahan. "Kadang-kadang anak-anak belum tidur...."

"Tengah malam begini?" Budi menyeringai pahit. "Mereka harus dibiasakan melihat orangtuanya bermesraan begini!"

"Tapi anak-anakku tidak mau mempunyai ayah baru lagi, teriak Anggraini dalam hati. Kalau mereka melihat ibunya digendong seorang laki-laki....

"Mana kuncinya?" desak Budi tanpa dapat ditolak lagi.

Terpaksa Anggraini menyerahkan kunci rumahnya. Budi membuka pintu. Mendorongnya dengan kakinya. Dan menggendong Anggraini ke kamar.

"Jangan. Bud," keluh Anggraini panik. "Kadang? kadang Iin tidur di kamarku...."

"Dia tidak akan terjaga," bisik Budi sambil mengecup bibir Anggraini dengan mesra.

Didorongnya pintu kamar. Dan doa Anggraini semoga pintu ku terkunci tidak terkabul. Pintu terbuka dengan mudah.

Secercah sinar lemah menerangi kamar ketika pintu terbuka. Dan sorot  yang redup itu sudah cukup membantu mata Anggraini untuk melihat - tubuh yang tergolek tenang di atas tempat tidur itu....

Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Dan sekujur mukanya terasa panas. Tetapi Budi tidak memberi reaksi apa-apa. Mungkin sinar yang sekejap itu tidak sempat dimanfaatkannya. Dan begitu pintu tertutup kembali, seluruh kamar menjadi gelap.

Budi membawa Anggraini langsung ke tempat tidur. Meletakkannya dengan hati-hati. Dan tersentak kaget ketika Anggraini menggelinjang bangun seperti dipatuk ular,

"Jangan. Bud," pintanya sungguh-sungguh. Suaranya berbaur antara panik dan takut. "Jangan sekarang...."

"Mengapa?" Budi menekan tubuh Anggraini kembali ke tempat tidur. "Apa bedanya kapan pun kita melakukannya?" Tetapi Anggraini tetap melawan dengan sekuat tenaga. Meskipun dia tidak merasa ada tubuh lain ditempat tidurnya... dia tetap tidak dapat melakukannya! Heri ada di sana. Dan sekarang dia pasti sedang asyik menonton!

Entah di mana dia bersembunyi. Mungkin di kolong tempat tidur. Atau di belakang lemari. Atau... meja kecil di samping tempat tidurnya berderit. Dan Budi bangkit seperti disengat kala.

"Siapa?" bisiknya terperanjat.

"Kakiku," sahut Anggraini gugup. Dan kesempatan yang sekejap itu dipakainya untuk meloloskan diri.

Ketika tangan Budi terulur untuk menyalakan lampu, Anggraini langsung menubruknya.

"Jangan!" serunya panik.

"Ada apa?" sergah Budi antara terkejut dan heran.

"Kalau terang Iin bisa terbangun."

"Iin?" Budi mengerutkan dahi. "Di mana dia? Ranjangmu kosong...."

"Di ranjang kecil dekat jendela...." Kacau. Anggraini sudah tidak dapat mengatur dustanya lagi. "Lebih baik kau keluar sebelum dia menangis...."

"Kalau mau menangis, dia sudah menangis waktu kau menjerit tadi!" gerutu Budi kesal.

"Pulanglah, Bud." Anggraini memegang tangan Budi dan menuntunnya ke pintu.

Tetapi di pintu Budi masih berusaha merangkulnya.

"Beri aku seorang anak, Angga," pintanya lembut.

Anggraini merasa parasnya panas. Bukan karena permintaan Budi. Tetapi karena dia tahu, ada sepasang mata tengah mengawasinya... entah di sudut mana!

"Maafkan aku, Bud." Anggraini melepaskan dirinya. Dibukanya pintu. Didorongnya lelaki itu keluar. "Malam ini aku tidak bisa...."

Dengan lesu Budi melangkah ke pintu depan. Membuka pintu itu. Dan berjalan ke mobil, tanpa menoleh lagi.

Anggraini cepat-cepat menutup pintu. Dan menguncinya sekalian.

Ketika dia sedang bersandar ke pintu itu sambil menghela napas lega, matanya bersirobok dengan mata Heri.

BAB VIII

Heri tegak di ambang pintu kamarnya. Dengan tatapan yang tak mungkin lagi dilupakan Anggraini. Dia kenal sekali arti tatapan itu. Ya Tuhan! Mungkinkah? Tatapan Heri adalah tatapan seorang laki-laki yang sedang dibakar cemburu!

Oh, tidak pantas dia memandang seperti itu! Tidak patut Heri mencemburuinya! Dia toh bukan suami Anggraini!

"Pelacur," geram Heri dengan rahang terkatup menahan marah. Sekujur mukanya merah padam. Matanya membeliak antara gusar, cemburu, dan sakit hati.

Dihampirinya Anggraini dengan sengit. Tetapi sebelum Heri sempat mengumpat lagi, tangan Anggraini telah melayang menampar mulutnya.

"Kau tidak berhak mengumpatku!" bentak Anggraini separo menangis.

Dia sendiri tidak mengerti. Mengapa mesti menangis? Kalau dia marah, kalau dia tersinggung, buat apa mengeluarkan air mata?

"Kaukecewakan anak-anakmu untuk melacur dengan lelaki seperti itu!" damprat Heri tanpa mengacuhkan bekas tamparan Anggraini. "Kau tidak pernah mengerti perasaan anak-anakmu!"

"Aku memang bersalah pada Dian," desis Anggraini menahan marah. "Tapi aku tidak bermaksud membawa lelaki ku ke dalam kamarku!"

"Bohong! Kau pasti tidur dengan dia kalau aku tidak ada di sini!"

Sekali lagi Anggraini melayangkan tangannya untuk menampar. Keterlaluan benar lelaki ini! Lancang benar mulutnya!

Tetapi kali ini, Heri lebih cepat. Ditangkapnya tangan Anggraini. Ketika Anggraini meronta lepas, Heri malah mencekal tangannya lebih kuat lagi. Semakin kuat dia meronta, semakin sakit tangannya.

"Lepaskan aku!" geram Anggraini antara sakit dan gusar. "Atau aku menjerit!"

"Menjeritlah," tantang Heri dingin. "Supaya anak-anakmu tahu jam berapa ibunya pulang!"

"Kau tidak berhak memperlakukanku seperti ini!" desis Anggraini setelah sia-sia meronta. "Ini rumahku!" "Seseorang harus mengajarmu artinya sakit!"

"Kau mau membalaskan dendam Dian padaku?"

"Bukan hanya Dian!"

"Keluar kau dari rumahku!" bentak Anggraini kalap. "Keluar!"

"Baik!" Heri melepaskan tangan Anggraini dengan sama gusarnya. "Aku keluar sekarang juga. Muak melihat tingkahmu!"

Dengan marah Heri memutar tubuhnya dan masuk ke kamar. Sekejap setelah mengusir lelaki itu, timbul sesal di hati Anggraini. Selama empat hari berada di rumahnya, apa yang jelek yang telah dilakukannya? Tidak satu pun. Dia malah telah mencoba untuk menunjukkan kekurangan-kekurangan Anggraini. Dengan berani Heri menelanjangi kesalahannya. Tidak peduli Anggraini marah atau tidak.

Heri pun telah berusaha untuk bergaul dengan anak-anaknya. Mencoba mendekati mereka. Dia bahkan tidak segan-segan mencoba bergaul dengan ibunya. Perempuan tua yang aduhai cerewetnya. Sulit didekati. Dan paranoid. Malam ini Heri memang kurang ajar. Tapi itu didorong oleh kemarahannya. Karena Anggraini telah mengecewakan anak-anaknya. Dan membawa seorang lelaki ke kamarnya....

Dia cemburu. Anggraini tak dapat melupakan caranya menatap tadi. Sudah berapa lama tidak ada lelaki yang menatapnya seperti itu?

Sekarang Anggraini kebingungan. Dia tidak sampai hati mengusir Heri malam-malam begini. Dia harus pergi ke mana? Bukankah dia tidak berani pulang ke rumah?

Tapi melarangnya pergi berarti menjilat ludah sendiri! Anggraini merasa malu....

Di dalam kamar, Heri pun sedang bimbang. Tadi dia memang sangat marah, kejengkelannya karena Anggraini mengingkari janjinya pada Dian meledak dengan kedatangan laki-laki itu di kamarnya.

Entah perasaan apa yang membakar hatinya tadi. Bukan hanya marah. Ada perasaan lain. Sakit rasanya melihat Anggraini dalam pelukan laki-laki lain.

Tetapi kini Anggraini telah mengusirnya. Dia tidak punya pilihan lain. Dia harus pergi. Malu kalau harus merengek belas kasihannya.

Kalau boleh memilih, Heri lebih senang meninggalkan rumah ini esok pagi saja. Dia belum pamit pada anak-anak. Dan dia ingin berpisah baik-baik dengan Anggraini.

Tetapi Anggraini tidak memberinya pilihan lain. Dan setiap kali teringat pada laki-laki yang dibawa Anggraini itu, kemarahan Heri meledak lagi.

Dientakkannya sepatu yang telah terpasang di kakinya itu ke lantai. Kemudian diambilnya sepatunya yang sebelah lagi. Dipakainya dengan kasar.

Kemudian dia melangkah ke pintu. Membuka pintu itu dengan geram. Dan tertegun di sana.

Ika tegak di depan pintu. Masih dengan mata yang separo terpejam dibalut kantuk.

"Oom mau pergi?" tanyanya sambil lari memeluk kaki Heri. "Malam-malam gini mau ke mana sih, Oom?" Heri meraih anak itu ke dalam gendongannya. Ketika dia sedang mengangkat Ika, matanya kebetulan menangkap bayangan Anggraini di puncak tangga.

Cuma sekejap memang. Karena di detik lain, Anggraini telah lenyap. Buru-buru menyelinap kembali, ke kamarnya. Tetapi yang sedetik itu telah cukup. Karena uba-tiba saja Heri mengerti.

"Tidak, Ika. Oom tidak ke mana-mana," katanya dengan keriangan yang entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja dia merasa gembira. Diciuminya pipi Ika berulang-ulang. "Ika bobok lagi, ya? Oom nggak jadi pergi."

***

"Terima kasih telah mengirimkan Ika padaku tadi malam," sindir Heri tanpa nada melecehkan.

Dia sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi ketika Anggraini masuk membawa sepiring nasi goreng.

"Tiba-tiba saja dia bangun ketika aku masuk," sahut Anggraini jengah. "Dia langsung menanyakanmu."

"Hm, pasti ada malaikat yang membisikkan, Oom Heri mau pergi." Heri tersenyum lebar.

"Bagaimana permainan mereka kemarin?" tanya Anggraini tanpa berani mengangkat mukanya.

"Kau pasti menyesal tidak menyaksikannya."

"Bagus?"

"Mereka benar-benar berbakat."

"Kau harus melihat bagaimana Dian menari dan menyanyi, Angga!" sela Nenek yang tiba-tiba masuk membawa semangkuk bubur. Lain dari biasanya, pagi ini wajah Nenek berseri-seri sekali.

Anggraini tidak jadi duduk. Dia menoleh dengan heran.

"Ibu juga nonton?"

"Iin juga nonton!"

"Iin?" belalak Anggraini tidak percaya. "Ibu membawanya ke sana?"

"Apa salahnya?" potong Heri begitu dia membaca kemarahan dalam suara Anggraini.

Dengan gusar Anggraini berpaling pada Heri.

"Ini pasti perbuatanmu!"

"Apa salahnya?" ulang Heri sambil mengangkat bahu. "Kau toh tidak bisa mengurungnya terus di rumah!"

"Dia pasti menangis ketakutan!"

"Lain kali pasti tidak."

"Kaubiarkan dia menangis menjerit-jerit di sana?"

"Hanya permulaannya saja. Dia sudah harus mulai belajar mengenal lingkungannya. Atau kau mau memenjarakannya terus di rumah? Kau malu punya anak seperti dia?"

Anggraini meletakkan piringnya dengan marah.

"Siapa kau ini sebenarnya? Punya hak apa kau mencampuri urusan anak-anakku?!"

"Dia cuma ingin membawaku dan Iin jalan-jalan!" Dengan tidak disangka-sangka Nenek membela Heri. "Iin senang kok. Mula-mula memang takut Tapi cuma sebentar!"

"Pantas tadi malam tidurnya lasak. Mengigau terus. Pagi ini juga tidak mau minum susu. Pasti karena kemarin dia nangis menjerit-jerit. Masuk angin!"

"Iin sakit?" tanya Heri terkejut.

"Badannya panas!" sahut Anggraini ketus.

"Ah, cuma hangat sedikit," komentar Nenek. "Barangkali mau bisa ngomong!"

"Atau masuk angin?" desak Heri.

"Gara-garamu!" sergah Anggraini tandas. Judes. "Karena kau sok tahu!"

"Mungkin sebagian salahmu juga, Angga," cetus Nenek lagi. "Kau tidak pernah membawanya keluar. Jadi tidak biasa. Kena angin sedikit saja sudah sakit!"

Jadi sekarang seluruh rumah menentangku, pikir Anggraini kesal. Dan semua ini. gara-gara Heri! Dialah yang memimpin pemberontakan ini!

Lihat saja Dian. Sejak pagi dia merengut terus. Jangankan menceritakan permainannya kemarin. Menyapa ibunya saja tidak. Begitu masuk ke kamar makan, dia langsung menyeret kursi. Sengaja dengan suara berisik.

Lalu dia langsung duduk. Mengambil nasi goreng. Dan makan dengan wajah cemberut.

Mula-mula Anggraini mendiamkannya saja. Tetapi ketika Dian meneguk susunya lalu meletakkan gelasnya dengan kasar di atas meja, Anggraini langsung menegurnya.

"Tidak pantas marah pada Mama, Dian!"

Dian tidak menjawab. Cuma kepalanya menunduk makin dalam. Dan wajahnya berkerut makin masam. Dan habislah kesabaran Anggraini.

"Dian, lihat kemari!" perintahnya geram.

Bukannya menengadah, Dian malah menunduk makin dalam. Terpaksa Anggraini membentaknya sekali lagi.

Sekarang Dian mengangkat wajahnya. Dan Anggraini melihat wajah itu telah penuh dengan air mata.

Tiba-tiba saja Anggraini kehilangan semangatnya untuk membentak lagi. Kemarahannya langsung surat. Dibiarkannya saja Dian turun dari kursinya. Dan lari menghambur ke kamarnya.

Rimba yang sudah sampai di dekat meja makan tidak jadi duduk. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan keluar. Sinta lain lagi. Ketika dari dapur dia mendengar bentakan ibunya, dia tidak jadi mengambil nasi untuk sarapan paginya. Dia langsung masuk ke kamar mandi.

Si cerewet Ika pun tidak bertingkah pagi ini. Disambarnya saja sepotong roti manis. Dihabiskannya cepat-cepat. Diminumnya susunya tanpa bersuara. Kemudian diletakkannya gelasnya dengan hati-hati. Sepaya Mama tidak marah lagi.

Nenek tidak jadi makan. Tanpa berusaha menutupi kejengkelannya, dibawanya mangkuk buburnya ke dapur. Ika buru-buru mengikuti neneknya. Khawatir kena damprat ibunya kalau masih bercokol di meja makan.

Heri menghela napas panjang. Dia juga sudah kehilangan nafsu makannya.

"Dian ingin membanggakan dirinya di hadapanmu," katanya setelah tinggal berdua saja dengan Anggraini di meja makan. "Satu-satunya orang yang paling diinginkannya untuk melihat aktingnya. Tapi kau tidak mau datang."

"Aku toh sudah minta maaf!"

"Apakah lelaki itu lebih penting daripada anak-anakmu?"

"Bukankah kau sendiri yang menyuruhku mencari suami lagi?" ejek Anggraini pedas.

"Tapi bukan lelaki semacam itu!"

"Habis yang seperti apa? Yang seperti kau?"

"Yang bisa mengembalikanmu pada anak-anakmu. Bukan merebut!"

"Nah, tunjukkanlah orangnya padaku!"

"Pokoknya bukan lelaki itu! Dia cuma bisa membuat anak! Tapi tidak becus mengurusnya!"

"Dia tidak punya anak!"

"Jadi buat apa kaukawini lelaki seperti itu? Dia menginginkanmu hanya supaya bisa punya anak!"

"Karena hanya kepadanyalah aku dapat mempercayakan anak-anakku! Hanya di tangannyalah aku rela menitipkan anak-anakku setelah aku mati!"

Anggraini merasa matanya panas.. Sebelum air matanya terurai, dia menghambur meninggalkan meja makan. Dia tidak sudi menangis di depan Heri.

BAB IX

Ketika sampai malam Anggraini belum pulang juga, seisi rumah jadi bingung. Tadi pagi Anggraini pergi begitu saja. Dalam keadaan marah. Bajunya asal saja tidak mungkin dia pergi shooting.

"Semua gara-gara kamu," gerutu Sinta pada Dian. "Gara-gara kamu Mama marah!"

"Dian takut, Kak," rintih Dian ketakutan. "Mama pergi ke mana, ya?"

"Sudahlah." Heri meraih Dian ke pangkuannya. "Dian sudah menyesal, kan? Nanti kalau Mama pulang minta maaf."

"Tapi kapan Mama pulang, Oom?"

"Sebentar lagi Mama pasti pulang."

"Tapi sekarang kan udah malam banget, Oom!" nyeletuk Ika. "Mama marah ya, Oom? Ogah pulang?"

"Nggak mungkin, Ika. Mama sayang kalian. Dia pasti pulang."

"Tapi kami khawatir, Oom," keluh Sinta sambil melirik jam dinding. "Sudah malam begini..."

"Sudah biasa kan Mama pulang malam?"

"Tapi tadi pagi perginya marah-marah begitu. Kalau ada apa-apa bagaimana?"

"Mana Iin nangis terus lagi," keluh Nenek pula. "Biasanya kalau Iin sakit, Angga tidak akan pergi sampai malam begini."

"Kamu tahu alamat Oom Budi, Ta?" cetus Rimba yang sejak tadi diam saja.

Sinta menggeleng.

"Kalau ada alamatnya, biar kususul."

"Oom ikut."

"Buat apa?" desis Rimba ketus.

"Sudah malam. Kamu tidak boleh pergi sendiri."

"Aku bukan anak kecil lagi!" Rimba melirik judes.

"Rasanya Sinta pernah lihat agenda Mama," kata Sinta tiba-tiba. "Ada alamat dan nomor telepon Dokter Harsa. Pasti ada alamat Oom Budi juga."

"Di mana?"

"Di lemari pakaian di kamar Mama"

"Mari kita cari." Heri mendahului mereka masuk ke kamarnya. Bersama-sama Sinta, Dian, dan Ika, mereka membongkar isi lemari itu.

"Ini dia!" cetus Sinta sambil mengacungkan sebuah buku agenda berwarna biru. Dibalik-baliknya halaman alamat di dalam agenda itu.

"Ada nggak?" Heri ikut melongok. Menelusuri nama demi nama.

"Ini, Oom." Sinta menunjuk sebuah nama. "Budi Sukoco. Ini pasti rumah Oom Budi. Ini kantornya."

"Bagus. Berikan padaku. Biar Oom cari ke sana."

"Oom! Oom!" panggil Ika yang sedang membolak-balik sebuah buku lain. "Apa artinya kanker Oom?"

"Itu catatan harian Mama! Ayo kembalikan, Ika!" perintah Sinta tegas. "Ika tidak boleh mencuri lihat catatan Mama!"

Direbutnya buku itu dari tangan adiknya. Dikembalikannya lagi ke dalam lemari. Setelah selesai membereskan lemari, Sinta mengajak adik-adiknya keluar.

"Oom pakai sepatu dulu," kata Heri. "Panggil Rimba. Kita pergi sekarang saja."

"Dian boleh ikut ya, Oom?"

"Lebih baik Dian diam di rumah, ya? Biar Oom dan Kak Rimba yang cari Mama."

Ketika anak-anak itu sudah keluar dari kamarnya, barulah Heri memungut sepatunya. Dan selagi duduk di tepi pembaringan memakai sepatunya, tiba-tiba saja ingatannya kembali pada kata-kata Ika tadi.

Kanker. Kanker apa? Siapa yang kena kanker?

Hanya di tangannyalah aku rela menitipkan anak-anakku setelah aku mati!

Itu kata-kata Anggraini tadi pagi. Dan tiba-tiba saja bulu tengkuk Heri meremang. Kanker. Mati! Mungkinkah...?

Heri melompat untuk mengunci pintu kamarnya. Lalu dia menghambur ke depan lemari. Diaduk-aduknya isi lemari itu. Dicarinya buku harian Anggraini.

"Ada benjolan baru di ketiak kiriku. Mungkinkah anak sebar dari kanker payudaralah.

Begitu saja buku itu terlepas dari  tangan Heri. Meluncur jatuh menimpa kakinya. Dan tiba-tiba saja dia merasa dingin. Amat dingin. Seakan-akan seember air es tengah disiramkan ke atas kepalanya.

***

Anggraini pulang tepat pada saat Heri dan Rimba telah siap untuk berangkat. Melihat mereka semua berkumpul di depan rumah, paras Anggraini langsung memucat.

"Ada apa?" tanya Anggraini sambil tergopoh-gopoh turun dari mobilnya.

"Mama!" teriak Ika sambil lari menghambur dan merangkul kaki ibunya. "Mama pulang!"

Anggraini mengangkat Ika ke dalam gendongannya. Tapi matanya tetap mencari-cari lin. Satu-satunya anaknya yang tidak ada.

"Iin kenapa?" tanyanya cemas.

"Tidak apa-apa," sahut Nenek. "Tadi dia memang nangis terus. Tapi sekarang sudah tidur. Kami cuma sedang bingung menunggumu pulang."

"Dia tidak sakit?"

"Panasnya sudah turun. Kenapa pulang begini malam? Anak-anakmu sudah ribut!"

"Ada urusan."

"Ika sudah lapar, Ma!" rengek Ika manja.

Anggraini menoleh kaget.

"Lho, Ika belum makan?"

"Kita semua belum makan, Ma," kata Ika sambil berjalan di samping ibunya. "Tunggu Mama."

"Kenapa tidak makan duluan?"

"Kata Mama kita mesti makan sama-sama tiap malam, kan?"

"Ya Allah." Terbayang sesal di wajah Anggraini. "Kalau Mama pergi sampai malam begini, tentu saja kalian harus makan duluan! Jangan tunggu Mama. Nanti sakit. Rimba sudah pulang?"

"Itu Rimba." Nenek menunjuk Rimba yang terlindung oleh tubuh Heri. "Dari tadi dia tidak pergi ke mana-mana. Menunggumu. Malah sudah hampir pergi mencarimu."

Ada keharuan yang tiba-tiba saja menerpa hati Anggraini. Rimba tidak berkata apa-apa. Tetapi wajahnya datar saja. Tidak tampak jengkel karena ibunya terlambat pulang.

Heri tegak di sisinya. Tetapi dia pun seperti kehilangan ketajaman lidahnya. Dia malah seperti menghindari bertatap pandang dengan Anggraini.

"Kalau begitu mari kita makan," katanya sambil menggendong Ika ke meja makan. "Tapi Mama lihat Iin dulu, ya?" Anggraini merasa lega melihat putri bungsunya telah tidur dengan nyenyaknya. Diletakkannya tangannya dengan hati-hati di atas dahi Intan.

Panasnya sudah turun. Pantas dia dapat tidur dengan lelap. Diciumnya dahi Iin dengan lembut.

"Mama sayang Iin" bisiknya lembut.

Lalu Anggraini menukar sepatunya dengan sandal. Dan turun ke bawah. Langsung ke meja makan.

Anggraini baru duduk ketika Dian datang menghampiri. Dan melihat mata gadis kecil itu, Anggraini sudah dapat membaca penyesalannya.

Diraihnya Dian ke dalam pelukannya sebelum anak itu sendiri sempat berkata sepatah pun. Dikecupnya pipinya dengan penuh kasih sayang.

"Mama tahu," bisiknya lembut. "Dian menyesal."

"Dian minta maaf, Ma," desah Dian dengan suara parau. Air mata langsung menggenangi matanya. "Dian tidak mau marah lagi sama Mama."

"Mama juga tidak mau bohong lagi sama Dian," balas Anggraini halus. "Maafkan Mama juga, ya?"

Untuk pertama kalinya Anggraini dapat makan dengan lahap bersama anak-anaknya. Dian dan Ika bergantian menceritakan kehebatan akting'mereka. Nenek dan Sinta sebentar-sebentar menyela memberi komentar.

Hanya Heri dan Rimba yang tidak berkata apa-apa. Tetapi diamnya mereka tidak merusak suasana gembira malam itu. Meja makan mereka penuh diliputi gelak tawa.

Dan kegembiraan malam itu menyita habis perhatian Anggraini terhadap Heri. Dia tidak sempat mencium perubahan sikap lelaki itu.

Baru ketika keesokan paginya Heri pamit hendak meninggalkan rumahnya, Anggraini sadar. Sesuatu telah terjadi. Sikapnya amat lain dari biasa.

"Ada apa?" tanya Anggraini cemas. "Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa," sahut Heri sambil tersenyum. Tapi bahkan senyumnya tidak seperti biasa! "Aku kan tidak mungkin tinggal di sini terus. Ada saatnya untuk pergi."

"Kau bisa tinggal di sini sampai kapan pun!"

"Terima kasih. Kau sangat baik. Tapi aku harus pergi"

Anggraini mengamat-amatinya sambil berpikir keras sebelum bertanya lagi.

"Dengar, ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba kau ingin pergi?"

"Aku sudah sembuh."

"Tiga hari yang lalu pun kau sudah sembuh!"

"Aku tidak takut lagi pada siapa pun."

"Kau mau menyerahkan dirimu pada..."

"Kalau aku memang bersalah, biarlah mereka menghukumku."

"Kau mimpi apa tadi malam?" geram Anggraini gemas. "Kenapa kau tiba-tiba jadi tolol begini?"

"Tolol?"

"Buat apa menyerahkan diri? Mereka tidak tahu kau di sini!"

"Aku tidak mau bersembunyi terus seperti tikus."

"Jadi kau lebih suka..."

"Belum tentu aku yang salah."

"Kalau ya?"

"Biar mereka menghukumku."

"Kau sudah bosan di sini?"

"Justru karena aku ingin lebih cepat kembali kemari."

Anggraini mengawasi Heri dengan tajam. Dia memang masih tetap tersenyum. Tapi senyumnya pahit.

"Ada apa sebenarnya?" desak Anggraini penasaran. "Aku salah apa lagi?"

"Tidak ada apa-apa. Kau kan lebih senang kalau aku cepat-cepat pergi. Supaya tidak usah menjagai anak-anak gadismu." Heri menyeringai masam.

"Aku tidak pernah mengusirmu lagi."

"Aku tahu. Kau mulai menyukaiku."

"Anak-anakku," ralat Anggraini jengah. "Mereka pasti merasa kehilangan."

"Suatu hari nanti aku pasti kembali."

Tiba-tiba saja Heri melihat paras wanita itu berubah.

Saat itu, pikir Anggraini murung. Aku mungkin sudah tidak berada di sini lagi!

Sungguh aneh mengapa tiba-tiba saja dia merasa berat berpisah dengan lelaki ini. Dan takut tidak dapat bertemu lagi!

***

Anggraini benar. Kecuali Rimba dan Intan, tidak seorang pun dari ketiga anaknya yang lain mengizinkan Heri pergi..

"Semalam lagi dong, Oom!" rengek Ika sambil bergayutan manja di lengan Heri. "Nanti malam kita main catur lagi. Oom kan baru kalah 3-1!"

"Lho, Oom mau dibikin kalah berapa memangnya?"

"10-1." sahut Ika bersemangat.

Heri tertawa geli.

"Jelek-jelek gini kan Oom DO fakultas kedokteran, Ika!" "Apaan sih DO, Oom?"

"Drop out"

"Apaan tuh?"

"Dikeluarkan."

"Oom nakal?"

"Ah, nggak."

"Habis kenapa dikeluarin dong?"

"Naksir dosen Oom...."

"Huss!" bentak Anggraini sambil berpura-pura membeliak marah. Padahal dia sendiri sedang menahan tawa. "Jangan mengajari anak kecil yang bukan-bukan!"

"Lho, betul kok! Nggak boleh bohong sama anak-anak, kan?"

"Masa naksir guru saja dikeluarkan sih, Oom?" cetus Dian penasaran.

"Dosennya sudah punya suami, Dian. Dan suaminya dosen juga. Jadi Oom nggak bisa lulus-lulus!"

"Bohong!" potong Anggraini berlagak kesal. "Bilang saja kau memang tidak lulus ujian karena tidak pernah belajar!"

"Oom jangan pergi dulu, ya?" Sekarang giliran Dian yang merengek manja. "Habis kalau Oom pergi, sama siapa dong besok sore Dian pergi latihan? Kan pulangnya malam, Oom. Takut!" "Sama Mama dan Kak Sinta dong," sahut Heri sambil menekan rasa harunya.

Ketika tidak didengarnya tanggapan Sinta, Heri menoleh. Dan melihat Sinta sedang mengunyah sarapan paginya dengan diam. Wajahnya murung. Tatapannya kosong.

Anggraini yang ikut berpaling mendadak merasa cemas.

Mudah-mudahan aku salah duga, pikirnya panik. Semoga dia tidak sedang jatuh cinta!

"Sinta juga tidak mau Oom pergi?" tanya Heri lembut. Begitu lembutnya suara Heri sampai Anggraini merasa tidak enak.

"Terserah." Sinta mengangkat bahu sambil menyembunyikan wajahnya di balik gelas yang tengah ditempelkannya ke bibir.

"Lho, kok terserah?"

"Sinta kan tidak bisa melarang Oom."

"Siapa bilang?" bantah Heri berpura-pura tidak melihat merahnya mata gadis itu. "Kalau Sinta janji mau membuatkan Oom sambal terasi yang lezat seperti kemarin, Oom pasti tinggal semalam lagi!"

"Ah!"

"Lho?" Heri berlagak heran. "Kok cuma ah?"

"Oom bercanda melulu sih!"

"Kata siapa cuma bercanda? Oom serius kok!"

"Betul?" Sinta menatap malu-malu. Pipinya yang kemerah-merahan membuat parasnya terlihat segar dan ayu. Diam-diam Anggraini menghela napas. Dan secercah perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu apa namanya menggurat hati kecilnya. Inikah naluri seorang ibu? Atau...

Anggraini jadi gelagapan ketika sekonyong-konyong Heri menoleh padanya. Dan Sesaat menahan napas.

"Boleh?" Heri tersenyum simpatik.

Tetapi kali ini, bagaimanapun pintarnya dia menyembunyikan perasaannya, Anggraini dapat menangkap kegetiran dalam senyum ini.

BAB X

"Gentengnya bocor lagi, Rimba," Nenek sudah datang mengadu begitu Rimba menyandarkah sepedanya. "Betulin dong."

"Besok saja deh, Nek," sahut Rimba segan. "Lagi malas nih."

"Kalau nanti malam hujan bagaimana?"

"Ya paling-paling airnya masuk!"

"Enak saja ngomong! Bocornya pas di kepala tempat tidur Nenek!"

"Ya pindah saja," kata Rimba seenaknya.

"Orang lagi enak-enak tidur mana ingat pindah sih? Tahu-tahu muka Nenek sudah basah!"

"Nenek belum mandi sih!"

"Kurang ajar!" Nenek membeliak tersinggung.

Tapi Rimba cuma tersenyum. Heri yang kebetulan lewat, terkesiap melihat senyum yang pertama kali dilihatnya itu.

Kalau lagi tersenyum begitu, dia mirip perempuan, gumam Heri dalam hati. Dia bahkan lebih manis dari Sinta! Dan lamunan Heri buyar ketika Rimba melewatinya lagi. Kali ini dengan membawa tangga.

"Astaga," desis Heri tidak percaya. "Kamu mau naik ke atas genteng?"

Rimba tidak menyahut. Menoleh pun tidak. Dia terus saja membawa tangganya keluar. Heri cepat-cepat membuntutinya.

"Biar Oom yang naik, Rimba," pintanya sambil berusaha merampas tangga itu. "Kamu tunggu di bawah saja."

"Jangan ikut campur!" bentak Rimba sambil mempertahankan tangganya.

"Nanti kamu jatuh!"

"Aku bukan anak kecil!"

"Tahu berapa tingginya atap itu? Kamar Nenek kan di tingkat dua! Kalau jatuh, kamu tidak sempat permisi pada Mama lagi!"

"Bukan urusanmu! Minggir!"

Rimba menyandarkan tangganya. Dan mulai memanjat. Heri merengkuh lengan Rimba. Menyeretnya turun. Dan mendorongnya ke samping. Lalu dia mendahului memanjat.

Dengan geram Rimba menyerbu ke depan. Berusaha menyingkirkan Heri dari tangga. Dalam pergulatan itu, tidak sengaja tangan Heri menyentuh benda lunak di dada Rimba.

Serentak tangan Heri seperti dijalari aliran listrik. Berbareng saat Rimba menepiskan tangan Heri dengan kasar, Heri pun menarik tangannya dengan wajah merah padam.

"Kurang ajar!" geram Rimba sengit. Sekujur parasnya merah terbakar.

"Maaf!" desis Heri spontan. "Oom nggak sengaja...."

Mula-mula dikiranya Rimba akan menamparnya. Tapi Heri keliru. Rimba memang memukulnya. Tapi bukan dengan tamparan biasa. Melainkan dengan pukulan karate yang cukup keras.

Tidak ampun lagi Heri yang tidak menyangka akan mendapat pukulan yang demikian ganas, terjajar beberapa langkah ke belakang.

"Astaga!" desisnya kaget. "Pukulanmu benar-benar akurat! Belajar di mana, hah? Kenapa kamu tidak bilang jago karate?"

"Bukan urusanmu," sahut Rimba dingin.

Tetapi Heri sudah menangkap sekilas kebanggaan dalam suara Rimba. Dan dia tahu apa yang mesti dilakukannya. Ketika Rimba memutar tubuhnya untuk mulai memanjat, Heri menerkamnya dari belakang.

Seperti sudah menunggu, dengan gesit Rimba berbalik. Dan memukul lagi. Tetapi kali ini Heri sudah siap. Beberapa kali pukulan Rimba berhasil ditangkisnya.

"Bagus!" serunya kagum setiap kali Rimba menyerang. "Coba lagi!"

Untuk beberapa saat mereka jadi terlihat seperti dua orang karateka yang sedang berlatih! Sampai Heri bingung bagaimana harus menyudahi latihan itu tanpa melukai Rimba atau menyinggung harga dirinya. "Sudah! Sudah!" serunya berulang-ulang. "Oom nyerah deh!"

"Kamu belum kalah!" bentak Rimba sengit. "Jangan berteriak-teriak terus seperti banci!"

Astaga, keluh Heri bingung. Anak ini benar-benar minta ditaklukkan!

Tiba-tiba saja Heri menyadari kekeliruannya. Jika dia ingin menguasai Rimba, dia memang harus menaklukkannya. Rimba mendambakan lawan yang lebih kuat. Bukan lelaki cengeng yang lemah dan santai.

"Oke!" Heri mulai menukar cara berkelahinya. Dari bertahan menjadi menyerang. "Jaga ini!" Dan hanya dengan beberapa kali serangan saja, Heri sudah berhasil mendesak Rimba dan menjatuhkannya.

"Sori!" Heri buru-buru mengulurkan tangannya untuk membantu Rimba bangun. "Oom menyakitimu?"

Rimba menerima uluran tangan Heri. Tetapi bukan untuk membantunya berdiri. Begitu tangan. Heri dicekalnya, kakinya menyapu tungkai Heri. Dan Heri jatuh terduduk.

"Wah, curang!" Heri pura-pura menyeringai kesakitan.

"Kamu menang," kata Rimba sportif.

"Jadi Oom boleh naik ke atas?"

"Kita naik berdua."

"Kamu tidak takut jatuh?"

"Kamu takut?"

Wah, anak ini benar-benar lain dari yang lain!

Tanpa mengacuhkan Heri lagi, Rimba bangkit. Membersihkan debu yang melekat di celana jin-nya. Dan mulai memanjat ke atas. Buru-buru Heri mengikutinya.

"Yang mana kamar nenekmu?" tanya Heri ketika mereka sudah sampai di atas.

"Kenapa tanya padaku?" balas Rimba pedas. "Tadi kamu mau naik sendiri, kan? Nah, cari saja sendiri!"

"Duh, kenapa sih kamu judes amat?"

"Karena kamu konyol!"

"Konyolkah orang yang mau membantumu?"

"Aku tidak perlu dibantu!"

"Kelihatannya memang tidak. Mana gentengnya?"

Untuk pertama kalinya Rimba tidak menjawab. Karena dia baru ingat. Gentengnya ketinggalan di bawah!

Ketika Rimba merayap hendak turun mengambil genteng, Heri mencegahnya.

"Biar Oom saja yang turun. Kamu di sini saja."

Dan sebuah perasaan ganjil menyergap hati Rimba. Menyelinap ke lubuk hatinya yang paling dalam. Mengapa lelaki ini selalu bersikap melindungi?  Dan dilindungi oleh seorang pria segagah Heri menjentikkan sensasi yang belum pernah dimilikinya.

Rimba melirik Heri. Dan tiba-tiba menyadari, ada yang tidak beres.

Heri masih berjongkok di atap. Sedang menggoyang-goyangkan kepalanya dengan mata terpejam.

"Hei!" seru Rimba tak sadar. "Kamu kenapa?"

"Tidak apa-apa," sahut Heri sambil menebah kepalanya. "Pusing sedikit waktu melihat ke bawah tadi."

"Jangan turun dulu. Duduk saja!"

Heri menuruti usul Rimba. Dia duduk di atap sambil mengurut-urut kepalanya. Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Karena kalau dia membuka matanya, dirinya seakan-akan berputar seperti gasing.

Rimba ikut duduk. Tidak terlalu dekat. Tapi tidak juga terlalu jauh.

"Kamu takut ketinggian? Pusing kalau melihat ke bawah?"

"Biasanya Oom tidak mengidap vertigo. Mungkin akibat pukulan di kepala Oom."

"Aku tidak memukul kepalamu."

"Oh, bukan Rimba! Seminggu yang lalu Oom terlibat perkelahian. Mereka memukul kepala Oom dengan kayu dan botol"

"Kamu tukang berkelahi, ya?" suara Rimba melunak.

"Oom menyebutnya pengeroyokan. Bukan perkelahian."

"Kamu dikeroyok?"

"Coba kalau ada Rimba. Kamu jago berkelahi juga, kan."

"Aku tidak pernah berkelahi"

Heri membuka matanya. Masih pusing sedikit.

"Lalu buat apa kamu belajar karate?"

"Bela diri."

"Membela Mama dan adik-adikmu?"

"Mama tidak perlu dibela. Mama kuat. Mama tidak butuh siapa pun."

"Kata siapa? Suatu hari nanti Rimba tahu, Mama tidak sekuat yang Rimba sangka. Mama butuh kamu."

"Mama cuma butuh lelaki."

"Seharusnya Rimba-lah yang jadi anak lelaki Mama."

"Mama tidak kepengin punya anak laki-laki."

"Buat apa anak laki-laki? Mama kan punya Rimba! Sebagai anak perempuan pun Rimba lebih berguna dari sepuluh anak laki-laki!"

"Ah, jangan ngecap!"

"Lho, nggak percaya? Rimba tidak perlu jadi anak lelaki untuk menjadi pelindung Mama!"

"Kepalamu masih pusing?"

"Sedikit. Tapi tanahnya masih berputar kalau Oom melihat ke bawah."

"Diam-diam saja di situ. Aku turun ambil genteng!"

"Lho, kok jadi ngobrol di atas?" teriak Nenek dari bawah. "Gentengnya sudah diganti belum?"

"Cerewet," desis Rimba sambil meluncur turun.

Dia mengambil gentengnya. Dan memanjat kembali ke atas. Ketika Rimba sedang mengganti genteng yang bocor itu, tiba-tiba saja Heri harus mengakui. Rimba memang tidak membutuhkan pertolongannya.

***

"Kok lama amat sih di atas?" tegur Sinta begitu Rimba masuk.

"Ambil minuman tuh," sahut Rimba acuh tak acuh. "Oom-mu pusing lagi."

"Kamu tadi berkelahi, ya?"

"Cuma latihan."

"Latihan berkelahi?"

"Diam deh! Mendingan ambil minuman buat Oom-mu!"

Sejenak Sinta mengawasi kakaknya dari belakang. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia mengambil minuman ke dapur.

"Terima kasih, Manis." Heri tersenyum lembut ketika Sinta menyodorkan segelas es sirup. Diteguknya minuman itu sampai habis. "Wah, segar sekali. Rasanya pusingnya langsung hilang!"

"Oom sering pusing begini?" Sinta tidak menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.

"Oh, cuma beberapa hari ini saja. Jangan khawatir. Nanti juga hilang"

"Mau obat pusing, Oom?"

"Nggak usah. Oom berbaring dulu saja, ya? Pusingnya pasti lebih cepat hilang kalau tiduran."

Heri berbaring di sofa sambil memejamkan matanya. Ketika dibukanya kembali matanya, dilihatnya Sinta masih tegak memandanginya.

Heri memberinya seuntai senyum simpatik. Dan seperti baru tersadar dari pesona yang memukau, buru-buru Sinta membalikkan badannya. Menyembunyikan parasnya yang kemerah-merahan. Dan lekas-lekas membawa gelas kosong itu ke belakang.

***

"Anak-anakku mungkin sudah tidak menginginkan seorang ayah lagi, Bud," sahut Anggraini terus terang ketika Budi mengajaknya makan siang. "Bagi mereka, figur ayah hanyalah seorang laki-laki yang tidur bersama ibunya, memberikan seorang adik baru, kemudian pergi tanpa pernah kembali lagi."

"Itu karena mereka belum mengenalku, Angga. Jangan samakan aku dengan ayah-ayah mereka yang lain. Aku bukan hanya akan memberi mereka seorang adik laki-laki. Aku juga akan memberikan kasih sayang, perlindungan, dan masa depan kepada mereka."

"Bud," cetus Anggraini tiba-tiba, "seandainya aku meninggal lebih dulu darimu, apa yang akan kauperbuat terhadap anak-anakku?"

"Angga." Budi menatap Anggraini dengan heran. "Kok tanya begitu sih?"

"Aku tidak rela anak-anakku dititipkan di panti asuhan. Atau diadopsi oleh orangtua yang berbeda."

"Tentu saja tidak." Budi tertawa lunak. "Anak-anakmu kan anak-anakku juga? Aku akan merawat mereka seperti anak-anakku sendiri."

"Juga sepeninggal diriku?"

"Angga! Apakah ini suatu syarat?"

"Jangan salahkan aku. Kaummu yang telah membuatku jadi begini."

"Sudah kukatakan, jangan samakan aku dengan mereka." desis Budi tersinggung. "Aku bukan Sekadar mesin bibit."

"Satu hal lagi, aku tidak mau anak-anakku punya ibu tiri."

"Astaga! Apa-apaan kau ini, Angga? Siapa sih yang bilang kau bakal mati lebih dulu dariku? Aku kan sepuluh tahun lebih tua. Dan menurut statistik, laki-laki lebih cepat mati daripada wanita!"

"Aku serius, Bud. Kalau kau mengawini seorang janda dengan lima orang anak gadis, kau bukan hanya mengawini seorang perempuan saja! Pada hari kau menjadi suaminya, kau langsung menjadi bapak dari anak-anaknya!"

"Kau tahu, Manis? Itu yang kuidam-idamkan selama hri! Jadi bapak dari selusin anak!"

"Setengah," ralat Anggraini. "Jatahmu cuma satu."

"Kalau kali ini bukan anak laki-laki lagi?"

"Bagiku sama saja. Hamilnya tetap sembilan bulan sepuluh hari."

"Kau betul-betul tidak ingin anak laki-laki?"

"Bukan aku yang menentukan. Kromosom yang kauberikanlah yang menentukan anak kita lelaki atau perempuan!" "Kau tidak ingin punya pelindung buat kelima anak perempuanmu?"

"Buat apa? Kan ada ayahnya!"

Budi tertawa puas mendengar jawaban yang tepat itu.

***

Anggraini membaca surat itu dengan marah. Surat pengaduan dari kepala sekolah Rimba. Sudah sebulan dia tidak masuk sekolah. Sebulan! Padahal tiap hari Rimba pergi meninggalkan rumah. Kurang ajar. Dia ditipu mentah-mentah oleh anaknya sendiri!

"Kamu kan bukan anak kecil lagi, Rimba!" geram Anggraini ketika Rimba pulang sore itu. "Masa mesti Mama awasi terus? Bolos sekolah seperti anak kecil saja!"

"Rimba tidak mau sekolah lagi," sahut gadis itu tenang. Sedikit pun dia tidak tampak merasa bersalah. Apalagi takut.

"Lantas kamu mau jadi apa?" damprat Anggraini jengkel. "Anak jalanan? Pemulung? Jembel?"

"Rimba mau kerja."

"Kerja? Laku kerja jadi apa anak SMP sebesar kamu? Ijazah SMP saja tidak punya!"

Sekarang Rimba mengangkat wajahnya Sorot matanya yang begitu meyakinkan membangkitkan perasaan aneh di hati Anggraini.

"Rimba sudah kerja," katanya bangga. "Di pabrik obat."

Anggraini mundur dengan terkejut. Matanya terbelalak menatap Rimba. Tetapi ketika dia mengedip lagi, ada air di sudut matanya.

"Kenapa, Rimba?" keluhnya antara sedih dan kecewa. "Kenapa melakukan ini pada Mama? Mama ingin kamu sekolah. Jadi insinyur. Bukan kuli di pabrik obat! Apa pikirmu yang mendorong Mama bekerja sekeras ini? Mama berjuang untuk masa depanmu, Rimba!"

"Rimba ingin membantu Mama," sahut Rimba tegas. "Kalau Rimba sudah bisa cari uang, Mama tidak perlu kerja lagi. Mama bisa tinggal di rumah. Dan kita tidak perlu seorang ayah lagi!"

"Tapi berapa gajimu sebagai kuli di pabrik obat, Rimba? Sampai kapan kamu baru dapat menghidupi adik-adikmu?" "Kalau Mama punya modal, Rimba bisa dagang."

"Rimba, Mama ingin kamu sekolah dulu!"

"Tapi Rimba tidak ingin punya ayah lagi, Mama!"

Sekarang Anggraini tertegun bingung. Tidak tahu mesti menjawab apa.

"Rimba," gumam Anggraini setelah mampu membuka mulutnya lagi. "Apa sebenarnya fungsi seorang ayah menurut pendapatmu?"

"Semua ayah yang Mama berikan pada Rimba cuma bisa memberi adik."

"Oom Budi lain, Rimba. Dia betul-betul ingin menjadi ayahmu."

"Oom Budi?" Ada sinar kebencian yang menyala di mata Rimba. "Mama akan kawin dengan dia?"

"Tidak tanpa persetujuanmu dan Sinta."

"Tapi dia sudah punya istri, Mama!"

"Mereka akan bercerai."

"Dan Mama yang membuat mereka bercerai?"

"Oom Budi ingin mempunyai anak, Rimba. Kalianlah anak-anaknya."

"Mama!" desis Rimba marah. "Kenapa kita tidak bisa hidup begini saja, Ma? Kenapa kita tidak bisa hidup tanpa lelaki?"

"Karena Tuhan menciptakan laki-laki dan wanita, Rimba. Dengan kodrat dan fungsi yang berbeda. Kamu dan Mama membutuhkan mereka sama seperti mereka membutuhkan kita."

"Tidak!" sergah Rimba kalap. "Rimba tidak butuh lelaki!"

Dengan marah Rimba meninggalkan rumah. Sia-sia Anggraini mengejar sambil memanggil-manggil namanya. Ketika Anggraini memutar tubuhnya dengan lesu, matanya bertemu dengan mata Sinta yang berlinang air mata.

"Mama sudah janji tidak akan menikah lagi," rajuknya getir. "Sinta malu, Ma!"

"Kali ini tidak ada yang perlu malu, Sinta Oom Budi akan membawa kita pergi dari sini. Kita akan tinggal di rumahnya seperti satu keluarga."

"Tapi dia sudah punya keluarga, Mama! Sudah punya istri! Apa Mama nggak malu jadi istri muda?"

"Mereka akan bercerai, Sinta."

"Dan Mama yang menceraikan mereka? Oh, Sinta malu punya ibu kayak Mama!"

Sambil menangis Sinta menghambur ke atas. Lari masuk ke kamarnya.

"Ya Tuhan," keluh Anggraini putus asa. "Bagaimana harus kujelaskan pada mereka apa yang kulakukan untuk anak-anakku ini?"

BAB XI

Masalah demi masalah yang melanda keluarganya membuat Anggraini lupa pada hari ulang tahunnya sendiri. Tidak heran kalau dia langsung tertegun bingung ketika Budi Sukoco tegak di depan pintu rumahnya dengan membawa bunga.

Sebuah karangan bunga anggrek yang sangat cantik. Kunmg, merah, dan putih berpadu serasi. Memancarkan kesegaran dan keindahan yang hanya dapat ditampilkan oleh bunga.

"Selamat ulang tahun, Sayang," bisiknya sambil menyerahkan bunga itu dan mengecup pipi Anggraini dengan mesra.

Tiba-tiba saja Anggraini merasa pipinya panas. Dan... ah, bukan hanya pipinya. Matanya juga. Dia merasa malu. Terharu. Dan entah apa lagi. Seribu satu macam perasaan bercampur aduk dalam benaknya. Budi begitu memperhatikannya, justru pada saat dia sendiri sudah melupakan ulang tahunnya.

"Mari kita pergi," ajak Budi lembut. "Hari ini lupakan sekejap semua urusanmu. Anakmu. Rumahmu. Pekerjaanmu." Jauh di bawah sadarnya, Anggraini juga sebenarnya merindukan pelepasan seperti ini. Lepas dari stres yang mengimpitnya setiap hari. Pada hari istimewanya ini, mengapa tidak mencoba melupakan segalanya, biarpun cuma sehari saja? Tahun depan, belum tentu masih ada hari seperti ini untuknya!

Apa salahnya bersantai-santai sehari ini? Berenang di laut. Jalan-jalan di pantai. Makan enak.

Hm, sudah lama dia tidak menyantap sate kambing. Nah, mengapa tidak dipakainya kesempatan ini? Lupakan dietnya seperti dia melupakan semua problemnya!

"Sate kambing?" belalak Budi pura-pura terkejut. Padahal hari ini, seandainya Anggraini minta sate rusa sekalipun akan dicarinya juga. "Wah, tekanan darahku bisa naik!"

"Setahun sekali deh, Bud," pinta Anggraini manja. "Pulang-pulang langsung kauukur tekanan darahmu!"

Budi tertawa lebar.

"Huh, kayak yang lagi ngidam saja!"

"Latihan!"

Sesudah mengucapkan kata-kata itu, baru Anggraini menyesal. Mengapa mesti memberi harapan kalau dia tahu tidak mungkin dapat menepatinya? Dia kan tidak dapat memaksa anak-anaknya untuk menerima Budi! Dengan alasan itu pula Anggraini menolak cincin bermata berlian yang dihadiahkan Budi kepadanya pada saat mereka bersantap malam.

"Anggaplah sebagai tanda pertunangan kita Angga," bisik Budi sambil menyodorkan kotak berisi cincin yang indah itu.

"Jangan, Bud," pinta Anggraini sungguh-sungguh. "Aku tidak mau menerima ikatan apa pun sebelum menjadi istrimu."

"Kalau begitu anggap saja hadiah ulang tahun dariku."

"Tapi ini terlalu besar. Bud."

"Kumohon, Angga, jangan tolak permintaanku. Aku gampang tersinggung!"

"Aku tidak mau menipumu. Anak-anakku tidak menginginkan dirimu. Mereka tidak mau punya ayah lagi."

"Jangan bicarakan soal itu hari ini, Angga! Jangan kaurusak hari istimewa ini!"

Tetapi ketika Budi mengantarkan Anggraini pulang ke rumahnya malam itu, rusak jugalah hari yang telah mereka lewati dengan gembira itu.

***

Begitu Anggraini turun dari mobil, anak-anaknya telah menyongsong di depan pintu. Dan di tengah-tengah mereka, Budi melihat Heri.

"Masuk dulu, Bud," kata Anggraini sambil mendahului masuk ke dalam. "Aku lihat Iin dulu."

"Siapa dia?" tanyanya curiga sambil melirik Heri yang sedang melangkah ke kamar makan.

"Teman Mama," sahut Ika polos.

"Sudah lama datangnya?"

"Oom Heri tidur di sini."

Budi membatalkan niatnya untuk duduk.

"Tidur di sini?" ulangnya tidak percaya. Matanya menyipit menatap Ika, satu-satunya orang yang masih berada di dekatnya.

"He-eh. Di kamar Mama," sahut Ika sambil menunjuk ke kamar ibunya. "Sudah seminggu Oom Heri tidur di situ. Oom Heri baik deh, Oom!"

"Mau minum apa, Bud?" tanya Anggraini.

Dia baru turun dari atas diiringi Dian dan Sinta.

"Masih lama nggak, Ma?" potong Dian cemas.

"Kenapa kalian belum tidur? Sudah malam begini."

"Tunggu Mama," sahut Ika polos. "Kata Oom Heri, malam ini kita semua mesti tunggu Mama."

"Padahal Dian udah ngantuk banget, Ma!"

"Ayo semua ke atas dulu," ujar Anggraini pada anak-anaknya. "Mama layani Oom Budi dulu."

"Jangan lama-lama ya, Ma!" seru Bea dari tangga. "Ika juga udah ngantuk!?"

"Duduk dulu, Bud," kata Anggraini ketika dilihatnya Budi masih berdiri juga. "Heran, sudah begini malam anak-anak kok belum tidur. Termasuk Iin."

"Siapa lelaki itu?"

Tertegun Anggraini mendengar dinginnya suara. Budi. Apalagi melihat tatapan matanya. Kapan pernah dilihatnya Budi semarah ini?

"Lelaki mana?"

"Jangan pura-pura!" bentak Budi kasar. " Siapa anak muda yang kausembunyikan di kamarmu itu?"

"Di kamar mana?" Refleks Anggraini menoleh ke kamarnya. Dan tiba-tiba saja dia mengerti.

"Heri," gumamnya gugup. "Temanku..."

"Dasar perempuan jalang?" geram Budi jijik. "Kau main juga dengan segala macam gigolo begituan?"

"Bud!" Bergetar bibir Anggraini menahan marah. "Jangan sembarangan mencaci orang!"

"Kau memang pelacur betina! Tidak ada lelaki yang bisa memuaskanmu!" Lalu berhamburanlah sumpah serapah yang lebih kotor dari air selokan dari mulut Budi.

"Cukup! Cukup!" teriak Anggraini sengit. "Keluar kau! Keluar dari rumahku! Keluar sebelum kekotoran mulutmu menulari anak-anakku!"

Dan Budi memang tidak perlu diusir dua kali. Dengan membanting pintu, dia meninggalkan rumah itu.

***

Ya Tuhan, pekik Anggraini dalam hati. Beginikah akhir malam ulang tahunku yang ceria?

Dijatuhkannya dirinya ke sofa. Dan air mata langsung menggenangi matanya.

"Mama..." Suara Ika terdengar dekat. Dekat sekali di belakangnya.

"Pergilah tidur!" potong Anggraini sebelum Ika sempat mengucapkan kata-kata berikutnya. Disembunyikannya wajahnya dari tatapan Ika. Dihapusnya air matanya. Dia tidak ingin menangis di depan anak-anaknya.

"Tapi, Ma..."

"Tidur, Ika!" perintah Anggraini tegas. "Tahu sudah pukul berapa sekarang? Hampir pukul dua belas. Besok kesiangan bangun."

"Mama..."

"Jangan membantah lagi!" Anggraini terpaksa memalingkan mukanya. Menatap Ika dengan mata membeliak marah. "Ika mau Mama marah lagi?"

Dengan kecewa Ika menggelengkan kepalanya. Lalu dengan patuh dia melangkah terseok-seok ke atas.

Anggraini menghela napas jengkel. Sambil bangkit dari sofa disambarnya tasnya yang masih tergolek di atas meja. Sesudah mengunci pintu depan, dia segera naik ke kamarnya. Dan merasa heran ketika tidak menemukan Iin di tempat tidur.

"Iin?" panggilnya bingung. Ke mana dia?

Tadi dia memang belum tidur. Tapi sudah tergolek di ranjang. Jatuhkah dia?

Buru-buru Anggraini melongok ke bawah tempat tidur. Kosong. Dia menoleh ke tempat tidur yang satu lagi. Kosong. Dan... eh, tidak kosong. Ada bungkusan di atasnya. Bungkusan apa?

Hati-hati diambilnya bungkusan itu. Dibukanya sedikit. Dan Anggraini terbelalak heran.

Seperangkat alat-alat make-up. Astaga! Kado dari mana ini? Dari... Heri? Untuk... Sinta?

Kurang ajar! Lelaki sok tahu itu! Dia mengajari Sinta untuk membelanjakan uangnya membeli alat alat make-up? Menyuruh Sinta belajar berdandan?

Naik darah Anggraini ke kepalanya. Lebih-lebih ketika menoleh ke meja hiasnya. Semua peralatan make-upnya telah disapu bersih dari sana!

Astaga! Siapa yang" berani menyingkirkan minyak wanginya? Lipstiknya? Maskaranya? Pensil alisnya?

Selama Heri tidur di kamarnya, Anggraini memang telah mengangkut peralatan kecantikannya ke kamar atas. Tetapi itu untuk memudahkannya berdandan! Bukan menyuruh Sinta berlatih!

"Sinta!" teriaknya geram. Ke mana anak itu? Ke mana mereka semua?

Dengan gemas Anggraini membuka pintu kamar untuk menerjang ke luar. Tetapi sebelum dia sempat melangkahi ambang pintu, Heri telah mendahului masuk. Dan melihat lelaki itu, kemarahan Anggraini langsung meledak.

"Pasti kau yang jadi biang keladinya!" bentaknya sengit. "Punya siapa ini?" Ditunjukkannya bungkusan di tangannya itu ke muka Heri. "Siapa yang mengajari anak-anakku berhias seperti hostes?!" Dibantingnya bungkusan itu dengan, geram. "Dan ke mana semua alat make-upku?. Parfumku? Habis dibuat mainan anak-anak?!" Heri tidak keburu mencegah. Bungkusan itu terbanting keras ke lantai. Isinya hancur berderai.

Heri tertegun dengan mulut separo terbuka. Dia tidak mampu berkata apa-apa. Parasnya memucat.

Satu per satu anak-anak Anggraini masuk ke kamar. Ika-lah yang pertama-tama melihat bungkusan itu di lantai. Dia memekik kaget bercampur kecewa. Lalu dia menyelinap ketakutan di balik tubuh Heri.

Air mata Dian langsung mengalir melihat nasib bungkusan itu. Sementara Sinta hanya mampu tertegun sambil menutupi mulutnya.

Saat itu Intan muncul di ambang pintu. Nenek membungkuk di sampingnya. Membantu Intan membawa sebuah kue tar. Dengan jalannya yang masih tertatih-tatih, dia muncul begitu saja dari belakang mereka. Membawa kue tar kecil itu ke hadapan Anggraini dengan dibantu neneknya. Sekonyong-konyong Nenek menyadari musibah itu. Matanya terbelalak kaget menatap bungkusan yang telah porak-poranda di lantai itu. Dan tidak sengaja pegangannya terlepas.

Intan yang tidak kuat lagi memegang kue itu seorang diri, menangis menjerit-jerit ketika seluruh kue jatuh menimpa kakinya.

Dua buah lilin berbentuk angka tiga puluh dua menggelinding ke dekat kaki Anggraini.

Sambil mengomel Nenek segera menggendong Intan keluar dari kamar itu. Sinta dan Dian sudah, lebih dulu lari keluar sambil menangis.

Hanya Rimba yang tidak menampilkan emosinya. Tanpa berkata apa-apa dia memutar tubuhnya. Dan meninggalkan kamar dengan kepala tunduk. Sementara Ika sudah melekat, erat-erat di paha Heri. Matanya menatap ibunya dengan ketakutan seperti melihat monster.

"Apa artinya semua ini?" desis Anggraini gemetar, menyadari perasaan tidak enak yang mulai menjalari hatinya. "Tidak apa-apa," sahut Heri tawar. Matanya menatap Anggraini dengan dingin. "Anak-anakmu hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun."

Tanpa berkata apa-apa lagi dia memutar tubuhnya. Dan menggendong Ika keluar. Meninggalkan Anggraini tertegun seperti orang lupa ingatan.

Ulang tahun! Ya Tuhan! Anak-anaknya menunggu sampai semalam ini untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya? Dan bungkusan itu! Anggraini menatap dengan nanar bungkusan yang telah hancur di lantai di dekat kakinya.... Itukah hadiah ulang tahun dari anak-anaknya? O, begitu besarkah perhatian mereka?

Dan aku telah menghancurkan hadiah ulang tahun dari anak-anakku sendiri! Aku yang dalam keadaan marah kepada Budi, melampiaskan kemarahanku kepada mereka! Padahal mereka tidak bersalah! Anak-anak hanya ingin memberikan sesuatu kepada ibunya! O, betapa jahatnya aku!

Sambil meraung Anggraini membuang dirinya ke tempat tidur. Dan tangisnya meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi.

Hari celaka! Mula-mula Budi. Setelah Budi memberikan perhatian yang begitu besar... mempersembahkan hari ulang tahun yang sangat berkesan... dibalasnya budi baik lelaki itu dengan menyakiti hatinya. Bahkan mengusirnya dari rumahnya! Padahal Budi hanya salah paham!

Lalu anak-anaknya. Untuk pertama kalinya mereka memberikan sesuatu pada hari ulang tahun ibunya. Yang pertama. Mungkin pula terakhir. Siapa tahu. Dan inilah balasannya. Dia melemparkan hadiah itu di depan mata mereka!

Anggraini masih dapat membayangkan dengan jelas betapa shocknya Ika. Betapa sedihnya Dian. Betapa terpukulnya Sinta. Dan betapa takutnya Iin!

Oh, aku benar-benar manusia yang tidak tahu berterima kasih! Ibu yang mengerikan! Perempuan monster! Lebih baik aku mati! Mati!

Dengan gemas, sekuat tenaga Anggraini mencoba membenturkan kepalanya ke dinding di samping tempat tidur. Tetapi seseorang menahannya. Ada sepasang tangan yang amat kuat memegang bahunya.

"Rini," panggilnya lembut.

Rini. Hanya seorang yang berani memanggilnya dengan nama itu. Diakah yang memegang bahunya? Sudah berapa lama dia berada di kamar ini, mengawasi tangisnya?

"Biarkan aku mati," tangis Anggraini histeris.

Dia meronta sekuat tenaga. Mencoba melepaskan Heri. Tetapi Heri malah meraihnya ke dalam rangkulannya.

"Itu bukan Rini yang kukenal," bisiknya tenang. "Rini yang berjuang seorang diri melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya dengan gagah berani."

Mendadak tubuh Anggraini mengejang. Kanker, Salah dengarkah dia?

Diangkatnya kepalanya. Ditatapnya Heri dengan tatapan tidak percaya.

Tetapi pemuda itu cuma tersenyum. Matanya demikian lembut menatap Anggraini.

"Tetaplah tegak seperti sebuah batu karang di tengah lautan. Rini. Melindungi kelima anakmu dari serbuan ombak kehidupan yang kejam. Mengapa mesti mengakhiri perjuanganmu dengan membunuh diri?"

"Kau tahu dari mana?" desis Anggraini dengan bibir gemetar.

Dia sudah lupa siapa yang sedang memeluknya. Dan betapa dekat jarak mereka sekarang....

Tidak penting dari mana aku tahu," sahut Heri lunak. "Kau seorang perempuan yang hebat. Berani. Tapi bodoh." Ada kepanikan menggelepar-gelepar dalam mata yang sedang menatap Heri dengan bingung itu.

"Anak-anakku tahu?" erangnya gugup. "Mereka semua tahu?"

"Seharusnya mereka tahu."

"Mereka tidak boleh tahu!"

"Mengapa? Mengapa mereka tidak boleh menghargai ibunya selagi masih hidup? Mengapa mereka baru boleh menyebutmu pahlawan sesudah kau mati?"

"Aku tidak rela mereka ikut menderita! Mereka masih kecil!"

"Rimba dan Sinta sudah cukup besar."

"Mereka belum tahu apa-apa!"

"Kau yang over protective!"

"Biar cuma aku yang menderita."

"Percaya padaku, Rini, mereka akan lebih menyesal karena tidak mengetahuinya lebih dulu!"

"Kau tahu bagaimana tersiksanya mengetahui hari kematianmu?" Dengan sedih Anggraini melepaskan dirinya dari pelukan Heri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Heri duduk di sampingnya. "Menunggu sambil menghitung hari? Putus asa dan tidak punya masa depan?"

"Beritahukanlah padaku, Rini. Bagilah penderitaanmu."

Anggraini menggeleng getir.

"Aku sudah pernah merasakannya. Dan tidak ingin kau atau anak-anakku ikut menderita."

"Itu yang kusebut berani tapi bodoh."

"Kata siapa aku berani? Hampir setiap malam aku diganggu mimpi buruk. Hampir setiap malam aku bertanya sendiri, esokkah harinya? Masih dapatkah aku bangun esok pagi melihat anak-anakku? Tapi biarlah kutanggung ketakutan ini seorang diri!"

"Itu tidak adil!"

"Aku cuma tidak mau membagi derita ini kepada anak-anakku."

"Suatu hari kau akan sadar, menanggung derita bersama-sama lebih menyenangkan. Kalian bisa melewatkan hari-hari terakhirmu dengan lebih mengesankan. Dan mereka akan berpikir dua kali sebelum menyakiti hatimu lagi."

"Itu yang aku tidak mau. Mereka harus hidup seperti biasa. Bebas dari perasaan tertekan."

"Membangkang maksudmu? Memberontak dan kurang ajar terhadap ibunya?"

"Mereka hanya tidak ingin punya ayah lagi. Tidak suka aku pulang malam. Mereka hanya menuntut perhatianku!"  "Eh, akhirnya kau tahu juga!"

"Kau yang memberitahu, kan? Kau yang membukakan mataku."

"Kalau begitu apa susahnya melaksanakan tuntutan mereka?"

"Kau tidak mengerti. Aku mencari pelindung yang dapat menggantikan diriku setelah aku mati!"

"Mengapa tidak mencari seorang dokter yang dapat menunda kematianmu?"

"Dokter menyuruhku operasi dua tahun yang lalu."

"Mengapa menunda operasi kalau itu berarti bunuh diri"

"Dan membiarkan mereka mengambil satu-satunya modalku?"

"Bintang film tidak cuma perlu tubuh yang montok! Mereka perlu akting yang mantap!"

"Memang. Tapi aku bukan bintang film."

"Jadi..." Ternganga mulut Heri. "Kau...?"

"Aku cuma stand in. Melakukan adegan-adegan yang dianggap terlalu panas untuk dilakukan oleh artis-artis besar."

"Kalau begitu, carilah pekerjaan laini"

"Pekerjaan apa? Aku cuma lulusan SMP! Dan aku cuma pandai berpose. Pekerjaan apa lagi yang dapat kulakukan untuk memperoleh sebuah rumah dan simpanan yang cukup untuk menjamin masa depan anak-anakku?"

"Kalau kau sayang pada anak-anakmu, pergilah ke dokter, Rini. Mereka lebih membutuhkan dirimu daripada sebuah rumah!"

"Tapi sebuah rumah lebih baik daripada tidak kedua-duanya!"

"Tumormu kan belum tentu ganas!"

"Anak sebarnya telah sampai ke kelenjar ketiakku."

"Biarkan dokter mengeluarkannya, Rini."

"Buat apa? Aku hanya membuang-buang uang Untuk operasi!"

"Buat apa? Kau lebih suka hidup dalam ketakutan begini?"

"Apa bedanya untukku? Jika ternyata tumorku jinak, tidak dioperasi pun tidak apa-apa, bukan? Sebaliknya kalau ganas, dioperasi pun aku bakal mati juga! Malah kata orang, operasi bisa menyebabkan kankerku lebih cepat lagi menyebar."

"Lho, kenapa begitu pesimis? Kanker pun dapat sembuh kalau diobati dalam stadium dini!"

"Semua penderita kanker yang kukenal sudah mati!"

"Karena mereka datang terlambat!"

"Sekarang pun aku sudah terlambat dua tahun!"

"Itulah kesalahanmu yang pertama. Five years survival, rate-nya lebih besar kalau kau berobat dUa tahun yang lalu. Mengapa sekarang hendak membuat kesalahan yang kedua? Pergilah ke dokter besok, Rini. Jangan kautunda-tunda lagi."

"Tapi mereka bukan hanya membuang tumorku. Mereka juga membuang payudaraku!"

"Tergantung tumormu jinak atau ganas, Rini. Jika jinak, mereka hanya mengangkat tumormu."

"Jika ganas?"

"Tergantung rumormu sudah sampai stadium berapa. Biasanya mereka memakai metode TNM. T untuk besarnya tumor di payudaramu. N untuk pembesaran kelenjar getah bening regional. Biasanya yang paling sering terkena adalah kelenjar limfe ketiak. Dan M untuk metastasis jauh. Misalnya penyebaran ke paru atau tulang."

"Dua tahun yang lalu, Dokter Surjadi bilang, tumorku berukuran kira-kira dua sentimeter. Waktu itu belum ada benjolan di ketiakku."

"Artinya tumormu baru stadium satu. Kalau saat itu dioperasi, mereka masih bisa melakukan Pembedahan Konservasi Payudara. Artinya payudaramu tidak dibuang habis."

"Apa bedanya? Payudaraku pasti tidak seindah aslinya."

"Mereka bisa melakukan pembedahan rekonstruktif."

"Berapa lama aku harus tinggal di rumah sakit? Berapa biayanya? Anak-anakku masih kecil. Siapa yang mencari nafkah kalau aku tidak ada?"

"Tapi kalau berhasil, kau bisa hidup lebih lama mendampingi anak-anakmu."

"Buat apa kalau hanya jadi beban mereka! Lebih baik uang jutaan rupiah biaya operasi dan obat-obatan itu kutabung untuk membeli rumah!"

"Kau tidak pernah berpikir sebaliknya? Kalau kaubiarkan kanker itu menggerogoti tubuhmu, sampai kapan kau masih kuat bekerja?"

"Aku akan berjuang sampai helaan napasku yang terakhir."

"Kalau akhirnya nanti kau terpaksa masuk ramah sakit karena tidak tahan sakitnya, bukankah kau harus mengeluarkan biaya juga? Pada stadium terakhir, pengobatan kanker bukan untuk menyembuhkan. Tetapi hanya supaya penderita dapat melewati, hari-hari terakhirnya dengan tidak terlampau menderita. Inikah jalan yang kaupilih, Rini?"

Anggraini menatap pemuda itu dengan berlinang air mata.

"Aku mulai percaya, Tuhan-lah yang mengirimmu ke rumahku malam itu."

"Tapi aku tidak percaya Tuhan membiarkan kepalaku dihajar sampai penyok untuk bertemu denganmu." Heri tersenyum sambil meraih tubuh Anggraini ke dalam pelukannya.

Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Satu per satu anak-anaknya muncul di ambang pintu. Dan Anggraini terlambat melepaskan dirinya dari pelukan Heri. Terlambat pula menyadari betapa pucatnya paras, Sinta. Untuk sesaat, mereka hanya saling pandang tanpa berkata apa-apa. Lalu Sinta lekas-lekas menundukkan kepalanya.

"Nah, siapa yang mau mengucapkan selamat ulang tahun pada Mama?" Suara Heri memecahkan kesunyian di kamar itu.

Untuk sesaat tidak seorang pun dari anak-anak itu yang berani maju ke depan. Mereka cuma menatap bolak-balik ke arah Heri dan Anggraini dengan ragu-ragu.

"Lho, kok nggak ada yang maju?" Heri tidak dapat menahan tawanya lagi melihat betapa tegangnya paras mereka. "Nggak ada yang mau bilang "selamat sama Mama? Ika?"

Hati-hati Ika maju ke depan. Menatap ibunya dengan takut-takut. Dan berhenti beberapa meter di depan Anggraini.

"Selamat ulang tahun, Ma...," desahnya bimbang. Tapi sekarang udah lebih dari jam dua belas malam...."

Tidak tahan lagi Anggraini menghambur ke depan. Meraih Ika ke dalam pelukannya.

"Terima kasih, Ika," bisiknya dengan air mata berlinang. "Maafkan Mama, ya? Mama jahat sekali marah-marah seperti tadi!"

Melihat ibunya menangis, Dian pun latah ikut melelehkan air mata. Sambil menangis dia maju merangkul ibunya.

"Selamat ulang tahun, Ma...," isaknya tersendat-sendat.

"Wah, pada nangis semua!" gurau Heri sambil menyeringai lebar, "Dasar perempuan! Senang nangis, sedih nangis!"

Intan pun segera minta turun dari gendongan neneknya. Tertatih-tatih dia menghampiri ibunya. Anggraini langsung menggendongnya. Dan mencium pipinya.

"Iin juga mau bilang selamat sama Mama, ya?" bisiknya sambil menatap gadis kecilnya itu dengan berlinang air mata.

Tetapi Intan cuma membalas tatapan ibunya dengan tatapan kosong. Mukanya tidak melukiskan ekspresi apa-apa. Dia tidak mengerti kata-kata ibunya. Hanya nalurinya barangkali yang membisikkan betapa bahagianya Mama malam ini. Sehingga walaupun Anggraini memandangnya dengan berlinang air mata, Intan tidak ikut menangis.

"Terima kasih untuk hadiahnya. Pakai uang siapa?"

"Uang tabungan Ika, Ma!"

"Uang Dian juga, Ma!" sela Dian cepat-cepat. "Dian sudah punya duit banyak!"

"Dari mana?"

"Kerja."

"Dian kerja apa? Di mana?"

"Itulah kalau tidak pernah di rumah!" gerutu Nenek. Tetapi malam ini, tak ada kemarahan dalam suaranya.

"Kau tidak tahu," sela Heri. "Dian sudah punya perpustakaan."

"Perpustakaan?" Mata Anggraini terbuka makin lebar.

"Seratus perak satu buku, Ma," sahut Dian bangga. "Banyak teman-teman Dian yang pinjam. Oom Heri juga!"

"Ika juga pinjam, Ma," sela Ika lucu. "Tapi cuma lihat gambarnya. Jadi cuma bayar dua puluh lima!"

Anggraini dan Heri tertawa geli. Baru sedang tertawa, Anggraini melihat Sinta bersandar ke pintu seperti tadi. Wajahnya muram. Tatapannya hampa.

"Sinta juga mau bilang selamat sama Mama?" tanya Anggraini lembut.

Perlahan-lahan Sinta mendekat. Membungkuk Dan mengecup pipi ibunya.

"Selamat ulang tahun, Ma," bisiknya parau.

"Maafkan Mama, Sinta," gumam Anggraini sambil membelai pipi anaknya. "Mama janji tidak akan menyakiti hatimu lagi."

Tapi Mama baru saja menoreh hatiku dengan sembilu, bisik Sinta dalam hati. Dan dia terlambat menghapus air matanya. Air mata itu jatuh menetes ke tangan ibunya. Begitu banyak lelaki yang dapat Mama raih, mengapa mesti merampas satu-satunya pria yang dapat kugapai?

Rimba adalah orang terakhir yang masuk ke kamar itu. Dan dia langsung mengecup pipi ibunya.

"Selamat ulang tahun, Mama," katanya sambil mengeluarkan sebungkus kacang goreng dari sakunya. "Tadinya kami sudah menyiapkan kue tar untuk dimakan bersama-sama malam ini. Tapi sedang yang ada cuma kacang goreng."

"Terima Kasih Rimba." Anggraim tersenyum pahit. "Terima Kasih pula untuk hadiahnya. Kaubeli dengan gajimu yang pertama?"

"Sebagian besar pakai uang Oom Heri," katanya tanpa menoleh sekilas pun pada Heri.

Tapi dari nada suaranya, Anggraini telah membaca nada yang lebih bersahabat. Dan lagi, sejak kapan Rimba sudi memanggil Oom pada Heri?

Malam itu mereka memang cuma makan kacang goreng. Tetapi sambil mengunyah kacang itu bersama anak-anaknya, tiba-tiba saja Anggraini bertekad untuk mengunjungi Dokter Surjadi lagi.

Dia ingin sembuh. Ingin hidup lebih lama lagi bersama anak-anaknya. Dia ingin menikmati suasana yang lebih manis pada hari ulang tahunnya tahun depan!

Tolonglah, Tuhan, doanya sesaat sebelum tidur. Kalau jadi kehendak-Mu, biarkan aku hidup lebih lama bersama anak-anakku!

BAB XII

"Mengapa baru datang sekarang?!"

Pedas sekali sambutan Dokter Surjadi begitu Anggraini melangkah masuk ke kamar prakteknya. Lebih-lebih setelah memeriksa benjolan di ketiak kirinya itu.

"Tumor di payudara kirimu sudah satu setengah kali lebih besar. Sudah ada penjalaran ke kelenjar getah bening ketiak sesisi. Kemungkinan tumormu sudah masuk stadium dua. Padahal dua tahun yang lalu masih stadium satu. Kalau dioperasi saat itu, prognosismu jauh lebih baik."

"Berapa lama lagi, Dokter?" tanya Anggraini lirih.

"Jangan tanya berapa tahun lagi!" bentak Dokter Surjadi marah. "Tanya dirimu sendiri, kau mau sembuh atau tidak!"

"Sekarang saya menyerah, Dok."

"Harus diperiksa dulu apakah sudah ada metastasis jauh atau belum. Sampai sebegitu jauh, dengan palpasi saya belum menemukan anak sebar pada kelenjar limfe di leher maupun di payudara kananmu. Tetapi kalau pada pemeriksaan ditemukan metastasis jauh di organ lain, itu berarti tumormu sudah masuk stadium empat. Operasi pun percuma saja."

Dokter Surjadi menulis beberapa surat permintaan pemeriksaan.

"Bawa ini ke bagian Radiologi. Ini permintaan foto rontgen dan scanning. Tumormu akan saya biopsi lebih dulu. Baru nanti kita tentukan apakah tumormu masih dapat dioperasi atau tidak. Minggu depan kamu harus menemui saya lagi untuk mengetahui hasilnya."

"Secepat itu, Dok?" gumam Anggraini gugup.

"Mau. tunggu sampai kapan lagi? Sampai kanker itu bermetastasis ke seluruh tubuhmu dan dokter-dokter tidak sanggup lagi membedahmu karena sudah tidak ada harapan?"

"Saya harus-berunding dulu dengan anak-anak."

"Sudah dua tahun kau punya waktu untuk berunding! Sekarang sudah tidak ada waktu lagi! Kita sedang berlomba dengan maut!"

***

Mula-mula Anggraini tidak tahu dari mana harus mulai memberitahu anak-anaknya. Tetapi malam itu, sepulangnya dari Dokter Surjadi, Ika-lah yang membuka jalan.

Dengan tidak disangka-sangka, anaknya yang baru berumur tujuh tahun itu bertanya begini, "Mama, apa artinya kanker?"

"Itu nama penyakit, Ika," sahut Anggraini Setelah berhasil menenangkan dirinya.

"Penyakit?" belalak Ika terkejut, "Penyakit yang ada di badan Mama?"

"Ika tahu dari mana?" tanya Anggraini hati-hati.

"Dari buku Mama." sahut Ika polos.

"Siapa lagi yang tahu? Kak Sinta?"

"Nggak ada. Cuma Ika. Kalau sakit, kenapa Mama nggak ke dokter? Mama takut disuntik, ya?"

"Mama tidak takut disuntik, Ika." Anggraini tersenyum pahit. "Mama cuma takut dokter tidak dapat menyembuhkan penyakit Mama."

"Dokter tidak bisa?" Ika ternganga heran. Matanya terbuka lebar. "Tuhan juga nggak bisa, Ma?"

"Tuhan bisa, Sayang," bisik Anggraini lirih. "Asal Dia mau."

"Tuhan pasti mau!" teriak Ika lega. Gembira. "Kata Bu Guru, Tuhan Mahabaik, Ma!"

Anggraini menggigit bibir. Menahan air matanya agar tidak menitik ke luar.

"Ibu Guru bilang, asal kita berdoa, Tuhan pasti mengabulkan permintaan kita, Ma."

"Ibu Guru bilang begitu?" gumam Anggraini asal saja. Cepat-cepat dipalingkannya wajahnya agar Ika tidak melihat air matanya.

"Nanti Ika doa buat Mama, ya? Supaya Mama lekas sembuh! Tuhan pasti dengar doa Ika ya, Ma? Tuhan kan sayang sama anak-anak!"

"Ya, Ika." Anggraini menyusut air mata yang telah mengalir ke pipinya.

Ketika Ika melihat ibunya menangis, dia meletakkan pensilnya. Dan merayap naik ke pangkuan ibunya.

"Jangan nangis, Ma," katanya sambil menghapus air mata yang mengalir ke pipi ibunya dengan jari-jarinya yang mungil. "Tuhan pasti suntik Mama supaya sembuh. Kalau Mama nggak sembuh, Ika nggak mau lagi jadi anak Tuhan!" "Tuhan tidak bisa dipaksa, Ika," sahut Anggraini sambil tersenyum pahit. "Dia lebih tahu mana yang baik bagi kita. Ika serahkan saja semuanya pada kehendak Tuhan, ya?"

Ika menyentuh dahi ibunya dengan serius. Begitu yang sering dilihatnya dilakukan Mama kalau Iin sakit. "Aneh," desahnya bingung. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir keras. "Mama nggak panas! Mama udah sembuh kali, Ma! Doa Ika udah dikabulin Tuhan!"

Tak tahan lagi Anggraini memeluk anaknya sambil menangis. Dian yang tiba-tiba muncul di ruang makan langsung menegur dengan agak kesal.

"Ika nakal lagi, Ma? Nggak mau bikin PR?"

"Huu! PR Ika udah selesai!" kata Ika sambil menunjuk buku PR-nya di atas meja makan.

"Kok Mama nangis?"

"Mama sakit!" sahut Ika cepat-cepat.

"Sakit?" Dian tercengang menatap ibunya, "Mama sakit? Sakit apa, Ma?"

"Kanker," jawab Ika lagi.

Dian memandang ibunya dengan sedih.

"Sakit sekali. Ma?" tanyanya hampir menangis "Di mana yang sakit? Dian usap-usap ya, Ma?" "Tidak, Sayang." Anggraini membelai pipi Dian dengan lembut. "Tidak nerasa apa-apa."

"Dian beliin obat ya, Ma? Obat apa?" Cepat-cepat Ika menyebutkan nama obat yang sering dilihatnya di televisi.

"Katanya obat itu bisa nyembuhin semua penyakit!"

"Bodoh!" potong Dian jengkel. "Itu kan obat gosok! Mama mesti disuntik, tahu nggak?"

"Kamu yang bodoh!" balas Ika sengit. "Obat suntik tidak dijual di televisi!"

"Sudahlah, jangan bertengkar," bujuk Anggraini lunak. "Kalau Dian dan Ika sayang Mama, tidak boleh bertengkar lagi, ya?"

"Ika yang duluan, Ma!"

"Suatu hari nanti, kalau tugas Mama di dunia sudah selesai, Mama harus pergi meninggalkan kalian. Kalau kalian selalu bertengkar, kepada siapa harus minta tolong kalau ada kesulitan?"

"Mama mau pergi ke mana, Ma?" belalak Ika heran.

"Ke tempat yang sangat jauh, Ika."

"Ika boleh ikut? Naik kapal terbang?" Anggraini terpaksa tersenyum. Ika memang lucu. Kata-katanya selalu membuat orang gemas. Dicubitnya pipi Ika yang montok itu dengan lembut.

"Tidak, Ika. Tidak naik kapal terbang. Dan Ika tidak boleh ikut. Ika masih kecil"

"Kalau begitu tunggu sampai Ika besar! Ika mau ikut Mama!" Diam-diam Anggraini menyembunyikan tangisnya. Ya, seandainya dia boleh menunggu sampai anak-anaknya besar! Tetapi, Tuhan... dapatkah Kau menunggu?

"Makanan datang!" Rimba yang baru masuk menuntun sepedanya menunjukkan bungkusan sate ayam pada adik-adiknya. "Horee!" Melupakan penyakit ibunya, Ika langsung melompat memburu bungkusan di tangan kakaknya.

"Eit! Tunggu dulu!" Rimba mengangkat bungkusannya tinggi-tinggi. "Kita makan sama-samai Jangan kayak dulu, selesai mandi aku cuma ke-bagiah tusukannya!"

"Sinta mana, Rimba?" tanya Anggraini ketika tidak melihat anaknya yang satu lagi. Tadi sore mereka pergi berdua. "Masih di depan, Ma. Kaleng minyak tanahnya bocor."

"Bantu kakakmu, Dian," perintah Anggraini kepada anaknya. "Ika, bantu Mama menata meja makan, ya? Kalau Rimba sudah mandi, kita makan sama-sama."

BAB XIII

Anggraini merasa hatinya berdebar tidak keruan Perasaan tidak enak menyelinap ke benaknya.

Begitu banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Dan mereka semua mengenakan pakaian berwarna gelap. Ada apa?

Cepat-cepat Anggraini menguakkan kerumunan mereka. Mencari jalan untuk menyelinap masuk ke rumahnya. Di dalam lebih banyak orang lagi. Dan mereka semua sedang menyanyi.

Samar-samar Anggraini mendengar nyanyian mereka. Lagu gereja. Lagu apa? Di mana dia pernah mendengar lagu itu? Kapan? Waktu ayahnya meninggal?

Meninggal. Berdiri bulu romanya. Meninggal! Siapa yang meninggal?

Hampir, memekik Anggraini melihat peti mati yang sedang ditangisi orang di tengah ruangan itu... dilihatnya anak-anaknya di sana... tapi tidak semua!

Siapa... siapa yang tidak ada? Satu, dua, tiga... empat!

"Iin!" teriak Anggraini histeris. "Iin!"

"Mama! Mama!" Rimba mengguncang-guncang bahunya. "Bangun, Ma! Bangun! Mama mimpi apa?"

Anggraini membuka matanya. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Dilihatnya Rimba membungkuk di atas tubuhnya. Mukanya begitu dekat. Matanya menatap penuh tanda tanya.

"Iin...," desah Anggraini lirih. "Di mana dia?"

"Di samping Mama," sahut Rimba sambil menguap.

"Oh," Anggraini menghela napas lega ketika melihat Intan masih terbujur pulas di sisinya. Dia masih tidur nyenyak. Matanya terpejam rapat.

Terima kasih, Tuhan, bisik Anggraini sambil duduk menyeka peluhnya. Syukurlah semua hanya mimpi!

"Tidurlah, Rimba. Mama mimpi. Mimpi Iin... sakit."

Tanpa berkata apa-apa lagi Rimba kembali ke tempat tidurnya. Ika masih terbaring lelap di sana. Sama sekali tidak terusik oleh pekikan ibunya.

"Dian tidur di kamar sebelah?"

"Sama Sinta. Nggak ada yang mau tidur seranjang sama Nenek."

Anggraini kembali membaringkan tubuhnya. Tetapi dia tidak dapat terfelap. Jantungnya berdebar lebih cepat dan lebih keras daripada biasanya.

Ada apa? Firasatkah namanya ini? Firasat buruk?

Perlahan-lahan Anggraini turun dari tempat tidur. Ditatapnya Iin sekali lagi. Lalu dia menoleh pada Rimba. Mukanya menghadap ke dinding sehingga Anggraini tidak dapat melihat matanya. Tetapi napasnya naik-turun dengan teratur. Dia pasti sudah tidur.

Hati-hati Anggraini membuka pintu kamarnya Mengendap-endap keluar. Dan membuka pintu kamar sebelah. Mengintai ke dalam. Seberkas sinar lemah menyoroti kamar yang gelap. Samar-samar dia melihat Dian dan Sinta tidur di ranjang yang satu. Sementara Nenek sudah meringkuk di ranjang yang satu lagi.

Tidak ada yang terjaga. Semua tidur lelap. Hati-hati Anggraini menutup pinta kamar. Dan turun ke bawah.

Dia mengambil segelas air di dapur. Lalu meneguknya sampai habis. Badannya terasa lebih segar. Tetapi jantungnya masih tidak mau diajak kompromi.

Ketika Anggraini kembali ke depan, sesosok tubuh telah menunggunya di sofa.

"Meronda?"

"Minum." Anggraini balas berbisik. "Belum tidur"

"Tidak bisa tidur."

"Panas?"

"Memikirkanmu."

"Ah." Anggraini memalingkan mukanya. "Apa yang mesti dipikirkan lagi? Aku sudah pasrah"

"Rini?"

Heri mengulurkan tangannya. Menggenggam tangan wanita itu. Anggraini, merunduk. Menatap Heri yang sedang menengadah ke arahnya.

Sekilas mereka saling tatap tanpa berkata apa-apa. Dan Anggraini tidak berusaha menarik tangannya dari genggaman Heri.

"Boleh tanya? Jangan jawab kalau tidak mau."

"Tanyalah."

"Itukah lelaki yang kaupilih sebagai suamimu yang berikutnya?"

"Lelaki yang mana?"

"Lelaki yang sering datang kemari. Yang pernah kaubawa masuk ke kamarmu."

Anggraini menghela napas getir. Dilepaskannya tangannya dari genggaman Heri. Dijatuhkannya tubuhnya ke kursi. "Kami sudah putus."

"Kau sudah sering tidur bersamanya?" Anggraini menggeleng.

"Lantas bagaimana kau tahu dia cocok untuk ayah anak-anakmu?"

"Seorang ayah tidak dinilai di atas tempat tidur!"

"Sudah lama kenal dia?"

Sekali lagi Anggraini menggelengkan kepalanya.

"Mula-mula, dia cuma produserku."

"Kau yakin dia lebih baik dari mantan suamimu?"

"Aku belum pernah menemukan seorang laki-laki yang demikian memperhatikan diriku. Dan demikian mendambakan anak."

"Suamimu yang dulu tidak?"

"Peter belum pernah menjadi suamiku. Dia menghilang setelah menitipkan Rimba di rahimku. Dalam kepanikan, aku menemukan Bonar. Aku menikah hanya supaya Rimba tidak disebut jadi anak haram."

Ibumu setuju?"

"Apa lagi yang dapat dilakukannya? Aku sudah hamil. Ternyata aku keliru. Lebih baik Rimba jadi anak haram daripada punya ayah tiri seperti Bonar."

"Dia sadis?"

"Setiap malam dia pulang dalam keadaan mabuk. Dan Rimba-lah yang harus menerima pukulan-pukulannya." "Sekarang aku tahu mengapa Rimba giat belajar karate."

Tangannya enteng sekali. Tetapi selama dia tidak menyakiti anak-anakku, aku masih dapat bertahan. Aku baru minta cerai setelah dia sering memukuli Rimba. Waktu itu, aku sudah punya Ika."

"Suamimu yang lain?"

"Ketika bertemu, Abidin mengaku masih bujangan. Tapi suatu hari, ketika Iin berumur setahun, datang seorang perempuan yang mengaku istrinya. Dia mendampratku habis-habisan di depan tetangga"

"Pantas jelek sekali rekomendasi tetanggamu terhadap dirimu. Pasti kau dicap sebagai janda perebut suami orang."

"Ketika kepanikan sedang melanda diriku, aku bertemu Hadi. Aku baru saja menemukan benjolan di payudaraku. Saat itu, aku takut sekali mati. Takut meninggalkan anak-anakku. Aku ingin mencari ayah bagi mereka. Tapi untung segera kusadari, Hadi bukan figur ayah yang cocok."

"Dia tidak suka anak-anak?"

"Justru suka sekali. Tetapi aku tidak bisa mati dengan mata terpejam kalau harus meninggalkan anak-anak perempuanku dengan seorang laki-laki yang punya penyakit pedofilia seperti dia!"

"Persis," komentar Heri sambil menghela napas.

"Apanya?"

"Kisahmu. Persis adegan film."

"Budi adalah pilihanku yang terakhir. Dia sangat mendambakan anak. Istrinya mandul."

"Sayang anak-anakmu sudah tidak mau punya ayah lagi."

"Mereka sudah kapok."

"Sayang aku tidak datang lebih cepat."

"Kau?" Anggraini menatap tidak percaya. "Kau juga mau menjadi ayah anak-anakku?"

"Bukan hanya ayah anak-anakmu." Heri tersenyum penuh arti. "Sekaligus suamimu." "Aku sudah kotor."

"Aku juga tidak bersih."

"Carilah seorang gadis yang masih suci. Kau masih muda." "Tidak adil."

"Kau sering main perempuan?"

"Aku seorang pembunuh."

Tertegun Anggraini menatap pemuda itu. Hampir tidak percaya pada pendengarannya sendiri.

"Jangan khawatir," hibur Heri pahit. "Aku baru sekali membunuh orang. Dan tidak sengaja."

Tapi apa bedanya membunuh satu orang atau seratus orang sekalipun? Pembunuh tetap pembunuh! Dan selama hampir sepuluh hari, pembunuh itu telah tidur di rumahnya, tinggal bersama anak-anaknya."

"Aku menabrak seorang pengendara motor ugal-ugalan yang melintas di depan mobilku. Ketika aku turun dari mobil untuk menolongnya, teman-temannya datang mengeroyokku. Aku harus lari kalau tidak mau mati konyol!" "Tapi kau harus lari ke polsek terdekat!" desis Anggraini nanar.

"Memang. Tapi malam itu, aku keburu menubruk mobilmu!"

"Kalau kau berterus terang, aku bisa mengantarmu ke polsek!"

"Tapi aku tidak bersalah, Rini! Motor itu tiba-tiba saja memotong di depanku. Aku tidak keburu mengelak!"

"Kalau kau tidak bersalah, hukumanmu pasti lebih ringan. Tetapi sekarang, kau dianggap pelaku tabrak lari!" "Kita sama-sama pengecut, bukan?" Heri menyeringai pahit.

"Kau takut pada meja operasi. Aku takut pada penjara. Kau mencoba lari dari kankermu. Aku pun melarikan diri dari korbanku, Lucu, ya? Tiba-tiba saja aku merasa senasib denganmu!"

"Tetapi sekarang aku tidak takut lagi," sahut Anggraini lirih. "Kau telah menyadarkan diriku, lari dari meja operasi bukan jalan yang terbaik."

"Ketika membaca catatan harianmu, begitu saja timbul keinginanku untuk menyerahkan diri. Jika hukum menganggapku bersalah, aku rela masuk penjara. Asal bisa kembali secepatnya ke sisimu."

Sekonyong-konyong Anggraini merasa matanya panas. Dan sebelum dia sempat memalingkan wajahnya, air mata telah menggenangi matanya. "Aku ingin menolongmu." Dengan lembut Heri menarik wanita itu ke pangkuannya.

Dipeluknya bahu Anggraini dengan lengan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang dagu wanita itu. Dan menghadapkannya perlahan-lahan ke wajahnya.

Sejenak mereka saling tatap. Dan dalam sejenak itu, Anggraini telah dapat menangkap getaran-getaran perasaan yang disalurkan melalui mata Heri.

"Aku ingin berbuat apa saja untuk menyelamatkanmu. Aku ingin melindungi anak-anakmu. Menjadi ayah mereka." Anggraini ingin menangis. Sekaligus ingin tersenyum. Akhirnya dia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Atau kedua-duanya.

Dia merasa bahagia. Sekaligus terharu. Akhirnya dia menemukan laki-laki ini. Laki-laki yang telah lama dicarinya. Lelaki yang mencintainya. Mengerti dirinya. Mengetahui kelemahan-kelemahannya.

Lelaki yang menyayangi anak-anaknya. Mengerti mereka. Dan diterima pula oleh anak-anaknya."Terima kasih," bisik Anggraini getir. "Aku tidak punya kata yang lebih baik dan itu."

"Ada kata yang lebih baik." Dengan lembut Heri mencium bibir Anggraini. "Aku mencintaimu."

Anggraim memejamkan matanya ketika bibir Heri menyentuh bibirnya. Mula-mula lembut. Hati-hati. Kemudian lebih berani. Lebih bergairah. Lebih hangat. Dan Anggraini pun membalasnya.

BAB XIV

"Tehmu, sudah Mama beri gula, Sinta," kata Anggraini cepat-cepat. "Jangan ditambah lagi. Cicipi dulu. Nanti kemanisan."

"Biarin," sahut Sinta dingin. Tanpa menoleh.

Anggraini menajamkan telinganya. Khawatir salah dengar. Kapan pernah didengarnya Sinta berani menjawab sedingin ini?

Diawasinya gadis itu dengan cermat. Matanya bengkak. Dia pasti habis menangis.

"Kenapa, Sinta?" desak Anggraini penasaran. "Sakit?"

"Nggak apa-apa."

"Sinta." Anggraini meletakkan sendoknya. Ditatapnya anaknya dengan sungguh-sungguh. "Mudah-mudahan Mama salah lihat. Tapi sejak kemarin kamu sengaja menjauhi Mama, kan? Sikapmu dingin sekali. Ada apa, Sinta? Mama salah apa?"

Heri yang sedang mengangkat sendoknya, tidak jadi menyuapkan sendok itu ke mulutnya. Dia ikut mengawasi Sinta.

Merasa sedang diawasi, Sinta langsung meletakkan sendoknya dan lari ke kamar.

Sekejap Heri dan Anggraini saling Dan sebelum Anggraini sempat memalingkan mukanya, setetes air mata telah bergulir ke pipinya.

Tanpa berkata apa-apa Heri naik ke atas. Diketuknya pintu kamar Sinta. Dia sedang menangis seorang diri di tempat tidur. Perlahan-lahan Heri membuka pintu kamar.

"Mengapa harus membuat Mama sedih, Sinta?" tegur Heri dari ambang pintu. "Mama sudah begitu, menderita. Mengapa harus ditambah lagi?"

"Cuma orang dewasa yang bisa menderita, kan?' tangis Sinta sengit. "Anak-anak tahu apa!"

"Mama membuatmu menderita?"

"Sinta malu punya mama seperti itu?"

"Sinta!" desis Heri antara kaget dan marah.

Sekarang Sinta membalikkan tubuhnya. Mengangkat mukanya. Dan menatap Heri dengan penuh kebencian.

"Kenapa Mama tidak henti-hentinya kawin-cerai?"

"Mama punya alasan untuk melakukannya."

"Alasan apa sampai Mama mau kawin denganmu?"

Sejenak Heri tertegun. Ditatapnya Sinta dengan tatapan tidak percaya. Tetapi gadis itu malah membalas tatapannya dengan pandangan berapi-api.

"Sinta," gumam Heri hati-hati. "Kau benci Oom?"

"Aku benci sekali padamu!" teriak Sinta separo menangis. "Benci! Benci!"

Lalu dia membanting dirinya ke tempat tidur. Dan menangis tersedu-sedu.

Rimba yang baru habis mandi dan menukar baju, muncul dari kamar sebelah. Tanpa berkata apa-apa dia melewati kamar adiknya dan turun ke bawah.

Ketika dilihatnya ibunya sedang menangis seorang diri di meja makan, dia tidak jadi mengambil sarapan paginya. Dengan wajah muram, Rimba langsung meninggalkan rumah.

***

Heri menunggu sampai tangis Sinta mereda. Dibiarkannya gadis itu menumpahkan perasaannya. Baru dia bertanya dengan suara lunak.

"Kamu tidak mau Oom menikah dengan Mama?"

"Persetan!" geram Sinta sengit.

Dadanya terasa sakit. Panas. Pedih. Dicabik-cabik oleh rasa kecewa dan putus asa.

Pemuda yang didambakannya. Pemuda yang diam-diam dipujanya. Ternyata milik Mama juga! Simpanan Mama! Justru pada saat dia hampir percaya, Mama tidak punya maksud apa-apa dengan lelaki ini. Mama cuma mau menolong!

Mama tidak mau kawin lagi, bukan?. Itu kata Mama sendiri! Ternyata Mama berdusta. Mama bohong!

Mama memang serakah! Diambilnya juga pemuda ini. Pemuda yang hampir membuatnya percaya cinta tidak memandang jelek-bagusnya seseorang. Percaya dia masih punya harapan memiliki seorang laki-laki tampan meskipun kakinya cacat!

Ternyata dia keliru! Lelaki di mana-mana sama saja. Lebih tertarik kepada tubuh yang molek. Dada yang padat. Dan tungkai yang indah. Seperti yang dimiliki Mama?  Bukan kaki yang timpang dan kecil sebelah seperti yang dimilikinya.... Atau dada yang rata seperti papan setrika?

Percuma dia mengharapkan pemuda ini. Dia tidak ada bedanya dengan lelaki lain. Penipu!

"Sinta," cetus Heri setelah terdiam sesaat. "Oom mengerti mengapa Sinta tidak mau Mama kawin lagi. Tetapi tidak adil menyamakan setiap lelaki seperti itu. Banyak di antara mereka yang benar-benar ingin membahagiakan Mama...." "Kamu bisa membahagiakan Mama?" ejek Sinta pedas. "Untuk berapa lama?"

"Kalau Oom tidak bisa, belum tentu yang lain juga tidak mampu!"

"Jadi perkawinan itu cuma percobaan? Bercerai lagi kalau tidak bahagia?"

"Kenapa mesti menipu diri sendiri? Lelaki yang selama ini Mama temui, bukan ayah yang baik bagi kalian." "Lalu di mana ayah yang baik itu? Dalam diri tiap lelaki yang tidur bersama Mama?"

"Jangan menuduh ibumu sekotor itu, Sinta!" geram Heri berang. "Jangan latah meniru apa yang dikatakan oleh tetangga. Siapa pun yang menjadi ayahmu kelak, dia harus bisa mengajarmu membedakan apa yang kamu dengar dari orang lain. Jangan asal telan saja!"

"Baik Oom Budi apalagi kamu, tidak akan pernah menjadi ayahku!" sergah Sinta judes dan mantap. "Kali ini Mama boleh pilih, anak-anaknya atau suaminya!"

"Tidak perlu menyudutkan ibumu dengan pilihan seperti itu. Walaupun Mama mencintai Oom Budi, dia tidak akan kawin dengan lelaki itu kalau Oom Budi tidak dapat menjadi ayah yang baik bagi kalian. Dan kalau kalian tidak mau Mama kawin lagi, dia tidak akan kawin seumur hidupnya!"

"Mama tahu anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi. Ngapain dia masih pacaran?"

"Mama tidak tega meninggalkan kalian tanpa pelindung! Karena itu dia berusaha mencarikan seorang ayah bagi kalian! Mengapa kalian tidak dapat menghargai ibu seperti itu? Ibu yang hanya memikirkan anak-anaknya sepeninggal dirinya!" . "Kamu cinta Mama?" tanya Sinta dingin.

"Siapa yang tidak mencintai perempuan seperti ibumu? Kecuali anak-anaknya sendiri barangkali!"

"Aku sayang Mama!" bentak Sinta gusar. "Aku hanya kesal karena Mama mau kawin dengan lelaki seperti kamu!" "Kata siapa Mama mau kawin dengan Oom?"

Sinta terdiam. Dia memang baru tadi malam mencuri dengar pembicaraan ibunya dengan Oom Heri.

Ketika Mama mengintai ke dalam kamarnya, dia belum tidur. Tiba-tiba saja dia ingin tahu mengapa Mama mengintai mereka. Lalu dia melihat Oom Heri di sofa. Rupanya mereka sudah berjanji bertemu di bawah kaiau anak-anak sudah tidur. Dan Sinta memang tidak dapat mendengar semua yang mereka katakan. Tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Oom Heri mencium Mama. T

ak tahan lagi Sinta untuk mengintai terus. Dia menghambur ke kamarnya dan menangis tersedu-sedu.

"Oom mau bicara denganmu, Sinta," suara Heri berubah tegas.

"Aku sudah bosan." bentak Sinta ketus. "Ceritakan saja dongengmu pada Dian dan Ika. Mereka masih bisa dibohongi!"

"Kapan Oom pernah membohongimu, Sinta?"

Kapan? Sinta tertegun. Ya, kapan? Kapan lelaki ini membohongnya? Waktu dia mengatakan dirinya punya keistimewaan yang membuat dia tampak menarik walaupun pincang? Atau waktu mengatakan dia punya kelebihan yang ddak dimiliki gadis-gadis lain yang tidak cacat sekalipun?

Berdustakah Oom Heri kalau kemudian ternyata dia lebih tertarik pada Mama yang punya kaki mulus dan dada montok? Bukankah Mama datang lebih dulu darinya? Mama tidak merampas, Oom Heri memang miliknya! Dan Oom Heri tidak berkhianat. Dia tidak pernah menjanjikan apa-apa pada Sinta....

Kalau lelaki itu memuji kecantikannya, pujian itu bukan karena Oom Heri tertarik kepadanya. Pemuda lainlah yang diharapkannya akan tertarik pada Sinta. Bukan dia! Karena dia lebih tertarik kepada ibunya! Dia lebih suka menjadi ayahnya daripada kekasihnya!

"Sebenarnya sudah lama Oom ingin mengatakannya padamu. Tapi Mama melarang. Mama tidak mau Oom menceritakan penyakitnya pada kalian."

"Penyakit apa?" potong Sinta curiga.

Tiba-tiba saja dia teringat pada ocehan Ika tadi malam. Apa katanya? Mama sakit? Sakit apa?

Menyesal juga dia tidak memperhatikannya. Mula-mula dikiranya si bawel itu cuma main-main. Lagi pula dua hari ini Sinta memang sedang uring-uringan.

"Pernah dengar tentang kanker payudara?"

"Kanker?!" jerit Sinta histeris. "Mama?! O, Tuhan! Tidak mungkin!"

Mendadak saja tangis Sinta meledak. Kali ini lebih hebat lagi.

"Mama tidak mau kalian ikut menderita. Dia ingin menanggung derita itu seorang diri. Tapi sebelum meninggalkan kalian, dia ingin mencari, seorang pelindung bagi anak-anaknya. Karena itu dia mencarikan ayah untuk kalian...."

"Tidak!" ratap Sinta di sela-sela tangisnya.

"Tahu kenapa Mama bekerja begitu keras? Kadang-kadang sampai larut malam? Dia ingin membeli sebuah rumah untuk kalian!"

"Oh, Mama!" tangis Sinta getir. "Mengapa Mama tidak berobat? Tidak ke dokter?"

"Dokter menyuruhnya operasi."

"Operasi?" Mata Sinta membelalak ketakutan.

Sekonyong-konyong lututnya terasa lemas. Hampir tidak kuat lagi menyangga tubuhnya.

"Dua tahun yang lalu," sabut Heri pahit. "Mama tidak mau dioperasi karena tidak mau melepaskan pekerjaannya. Dia ingin mengumpulkan uang untuk membeli rumah."

"Oom..." Sekarang Sinta menatap Heri dengan berlinang air mata. Seluruh bekas-bekas kemarahan telah lenyap dari matanya. Berganti dengan kesedihan dan ketakutan. "Mama masih bisa sembuh, kan. Oom?"

"Mintalah agar Mama mau dioperasi, Sinta," sahut Heri lunak. "Dan bersikaplah lebih manis. Lebih penuh pengertian. Supaya kalian bisa menghadapi hari-hari yang sulit ini bersama-sama Dan..."

"Dan apa, Oom?" Heri menghela napas berat. Dia seperti enggan mengatakannya.

"Sinta tidak terlalu menyesal seandainya operasi ita gagal...."

"Sinta harus minta maaf pada Mama!"

"Tidak penting, Sinta. Yang penting, jangan sakiti lagi hatinya."

Tanpa dapat ditahan lagi, Sinta menghambur keluar. Mencari ibunya. Heri mengikuti dari belakang. Tetapi di anak tangga yang paling bawah, mereka sama-sama tertegun.

Rimba tegak di ambang pintu. Di belakangnya, bersiaga dua orang polisi. Ketika melihat mereka, Anggraini menghambur dari meja makan. Merangkul Heri sambil menangis.

***

Heri ditahan dalam kasus tabrak lari. Sementara rumah yang ditinggalkannya, belum luput dari gejolak. Sinta menampar Rimba dengan gemas setelah Heri dibawa pergi.

"Kamu yang melaporkannya, kan?" desisnya marah. "Kamu mencuri dengar pembicaraan Mama tadi malam! Kamu lapor polisi ada buronan tabrak lari di rumah ini?"

"Aku tidak sudi punya ayah seperti itu, tahu?!" bentak Rimba sengit. "Kamu juga tidak, kan? Kamu nggak rela pacarmu jadi ayahmu! Nah, kenapa mesti pura-pura?"

"Kamu keliru!" teriak Sinta separo menangis. "Mama tidak akan kawin dengan siapa pun! Mama sakit! Kanker!" Rimba tersentak kaget Saat ku Sinta melihat ibunya. Dia berlari memeluk Anggraini sambil menangis.

"Ampuni Sinta, Ma!" tangis Sinta getir. "Sinta nggak tahu! Sinta selalu bikin Mama sedih!" Anggraini mendekapkan kepala putrinya erat-erat di dadanya. Diletakkannya dagunya di atas rambut Sinta. Dan air mata berlinang-linang di matanya.

Jadi Sinta juga mencintai Hen! Itu sebabnya. dia memusuhi ibunya!

Lalu matanya beradu dengan mata Rimba. Dia masih tegak terpaku di tempatnya. Tetapi dimatanya Anggraini melihat sesuatu yang lain. tiba-tiba saja dia sadar.

Rimba melakukannya bukan hanya karena tidak mau punya ayah lagi. Ada alasan lain.

Rimba tidak rela Heri menjadi ayahnya, karena dia juga sudah jatuh hati pada pemuda itu! Laki-laki pertama yang membuatnya merasa menjadi seorang wanita...

Ketika melihat cara ibunya menatapnya, Rimba merasa, Mama sudah tahu perasaannya. Dan untuk pertama kalinya, air mata menggenangi matanya.

BAB XV

Untuk pertama kalinya setelah sepuluh hari terakhir ini, Anggraini melewatkan malam tanpa Heri. Tidak terasa air mata mengalir ke pipinya setiap kali dia melihat sofa yang kosong itu. Di sanalah biasanya Heri berbaring. Aneh memang. Baru sepuluh hari dia di rumah ini. Tidak seorang pun tahu siapa dia dan dari mana dia datang. Tetapi kenangan yang ditinggalkannya di rumah ini demikian mengesankan.

Dian dan Ika juga merasa amat kehilangan ketika pulang sekolah mereka tidak menemukan Oom Heri.

"Oom Heri udah pergi, Ma?" tanya Dian hampir menangis. "Tapi Oom udah janji mau ngantar Dian ke sekolah! Oom bilang, nggak percaya Dian yang bakal kepilih!"

Anggraini tidak mampu menjawab. Karena begitu dia membuka mulutnya, tangisnya tak dapat ditahan lagi. Betapa pandainya Heri memacu semangat Dian untuk berlatih!

"Betul Oom Heri pergi, Ma?" desak Ika tidak percaya, "Kok nggak bilang sama Ika dulu, Ma?"

"Sudah, jangan ganggu Mama!" potong Sinta sambil menahan tangis. "Mama lagi sakit!"

"Kankernya belum sembuh, Ma?" gumam lka penasaran. "Padahal Ika sudah doa sama Tuhan!"

"Kanker apa, Angga?" sela Nenek dengan suara bergetar. "Mengapa kamu nggak pernah cerita?"

"Payudara, Nek," Sinta yang menyahut dengan air mata berlinang. "Mama mesti dioperasi."

"Operasi?" Nenek hampir semaput di kursi. "Aduh, jangan, Angga! Jangan! Lebih baik ikut Ibu ke kampung..." "Belum tentu ganas, Bu," hibur Anggraini tabah. Padahal dia sendiri sudah pesimis. "Ibu jangan terialu khawatir...."

***

Malam itu sengaja Anggraini memilih tetap tidur di kamar atas bersama anak-anaknya. Dia tidak mau tidur di bawah, meskipun kamar itu sudah kosong. Tidak tahan dia dalam kesendirian di bawah sana.

Anak-anaknya juga tidak banyak tingkah hari ini. Dian dan Ika tidak bertengkar lagi. Mereka menyikat gigi dan mencuci kaki dengan diam. Lalu masuk ke kamar Nenek setelah mengucapkan selamat malam kepada ibunya.

Bahkan Nenek malam ini kehilangan semangatnya untuk membuka mulut. Dia tampak sedih dan ketakutan. Walaupun berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya.

Dan Intan yang dianggap tidak tahu apa-apa itu, ternyata memahami benar kesedihan ibunya. Barangkali nalurinya membisikkan, Mama sedang berduka. Dia hanya menatap ibunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lalu memejamkan matanya. Dan tertidur tanpa banyak rewel lagi.

Anggraini tidak dapat tidur sebelum Rimba pulang. Anak itu pergi dalam keadaan stres. Penuh sesal dan perasaan bersalah. Rimba hanya tidak mengungkapkannya. Tetapi kalau dia sampai mengeluarkan air mata, Anggraini memahami benar perasaannya.

Dan seseorang memasuki kamarnya. Langsung berlutut di sisi tempat tidurnya.

"Sinta?" bisik Anggraini dalam kegelapan. "Rimba sudah pulang?"

"Belum, Ma."

"Sinta belum tidur?"

"Nggak bisa tidur, Ma," suara Sinta terdengar basah. "Sinta merasa berdosa kepada Mama..."

Dengan lembut Anggraim membelai-belai kepala anaknya. "Bukan salah Sinta," katanya lembut. "Kalau Mama jadi Sinta, mungkin Mama akan berbuat begitu juga."

"Ma." Hati-hati Sinta menyentuh payudara ibunya. Begitu hati-hati seolah-olah takut menyakiti ibunya. "Sakit nggak, Ma?"

Anggraini memaksakan sepotong senyum.

"Tidak terasa apa-apa, Sinta."

"Sinta takut, Ma...."

Mama juga takut, Sinta. Kita berdoa saja. Minta kekuatan dari Tuhan."

"Dari sore Sinta sudah berdoa, Ma. Tapi Sinta tetap takut!" Kini Sinta sudah benar-benar menangis. "Sinta takut Mama dioperasi. Takut Oom Heri masuk penjara."

"Sinta sayang sama Oom Heri?"

"Mama juga? Mama sayang Oom Heri? Mama mau menikah dengan dia?"

"Mama tidak mau memikirkan perkawinan lagi, Sinta," sahut Anggraini sabar. "Mulai sekarang Mama hanya hidup bagi kaiian."

"Tapi Mama ingin mencarikan ayah bagi kami!"

"Sekarang Mama sadar, Mama keliru. Mama hendak mendahului kehendak Tuhan. Mencari seorang pelindung bagi kalian setelah Mama tidak ada. Padahal hanya Tuhan-lah pelindung kita."

"Mama tidak salah. Kamilah yang salah mengerti maksud Mama. Rimba dan Sinta selalu berprasangka jelek. Untung ada Oom Heri. Dia yang membukakan mata kami."

"Mama juga salah, Sinta. Sekarang baru Mama insaf, hidup-mati seseorang di tangan Tuhan. Apa yang akan terjadi dengan anak-anak setelah Mama meninggal nanti, bukan hak Mama untuk mengaturnya. Mama serahkan saja kalian berlima ke dalam pemeliharaan Tuhan. Mama percaya, Dia takkan pernah meninggalkan kalian."

"Tapi, Ma," Sinta merangkul ibunya dengan terharu, "Mama membutuhkan seorang laki-laki seperti Oom Heri! Sinta mau Mama bahagia, Mama sudah terlalu lama menderita!"

"Apa artinya kebahagiaan kalau anak-anak Mama menderita? Kalian sudah tidak ingin punya ayah lagi, kan?" "Kalau Oom Heri yang bakal jadi ayah kami, rasanya kami semua tidak keberatan, Ma. Dia baik. Dan penuh pengertian."

"Sinta malu punya ayah lagi, kan? Apalagi yang sudah pernah masuk penjara!" "Sinta tidak peduli lagi omongan orang! Pokoknya Sinta mau Mama hepi! Berilah Sinta kesempatan untuk menebus kesalahan Sinta!"

Anggraini mendekap kepala anaknya erat-erat.

"Kamu tahu, Sayang? Sekarang pun Sinta telah membahagiakan Mama!"

***

Ketika mendengar suara pintu depan terbuka, perlahan-lahan Anggraini keluar dari kamarnya. Sinta sudah lama tertidur di ranjang Rimba. Dia tidak mau lagi meninggalkan ibunya.

Hati-hati Anggraini menuruni tangga. Ruang bawah gelap. Tidak ada lampu yang dinyalakan, kecuali lampu di atas tangga. Anggraini duduk di Sofa. Menunggu Rimba yang sedang mengambil minuman di dapur. Ketika melihat ibunya, Rimba hanya menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Rimba," panggil Anggraini ketika putri sulungnya itu hendak naik ke atas. "Boleh Mama bicara sebentar?"

Rimba tidak menjawab. Tetapi dia membatalkan langkahnya. Tegak menanti kata-kata ibunya dengan kepala tunduk. "Rimba nggak mau duduk di sini, dekat Mama?" tanya Anggraini sedih.

Tetap membisu, Rimba melangkah menghampiri ibunya. Dan duduk di kursi dengan patuh. Wajahnya amat muram. "Mama tahu kenapa Rimba melaporkan Oom Heri," kata Anggraim lirih. "Tentu saja Mama sedih. Tapi Rimba harus tahu, Mama tidak marah."

Kepala gadis itu semakin menunduk. Dia tampak resah.

"Sebenarnya Oom Heri juga sudah lama ingin menyerahkan diri. Dia hanya tidak tega meninggalkan Mama dalam keadaan begini."

Anggraini diam sesaat. Keheningan menyelimuti mereka.

"Oom Heri tidak menyesali apa yang Rimba lakukan. Mama yakin dia memahami alasan Rimba. Yang Mama minta, jangan membencinya. Rimba keliru jika mengira Mama akan menikah dengan Oom Heri. Jika kalian sudah tidak ingin mempunyai ayah lagi buat apa Mama menikah?"

Lama Rimba membisu. Sebelum perlahan-lahan dia bertanya, tanpa mengangkat wajahnya.

"Berapa lama lagi, Ma?"

"Apanya, Rimba?"

"Umur Mama."

"Hanya Tuhan yang tahu, Rimba."

"Mama mau dioperasi?"

"Kata Oom Heri, lebih cepat lebih baik. Tapi Mama harus menjalani beberapa pemeriksaan lebih dulu. Dokter Surjadi tidak tahu apakah tumor ini masih dapat dioperasi atau tidak."

"Tidak ada jalan lain? Disinar? Minum obat?"

"Apa pun yang disuruh dokter akan Mama turuti. Asal dapat hidup lebih lama mendampingi kalian."

"Besarkah biayanya, Ma?"

"Tentu, Rimba."

"Mama punya uang?"

"Sampai sekarang Mama tidak tahu dari mana biayanya, Rimba. Mungkin kita harus menjual mobil."

"Mama tidak punya tabungan?"

"Ada, Rimba. Tapi..."

"Kalau Mama sayang kami," kata Rimba tegas, "pakailah uang itu untuk berobat, Ma."

Anggraini menggigit bibirnya menahan haru. Rimba memang tidak pernah mengumbar emosinya. Dia bukan Sinta. Bukan Dian. Rimba adalah Rimba. Tetapi kata-katanya sudah cukup melukiskan kekhawatirannya.

"Terima kasih, Rimba." Anggraini tidak sampai hati mengatakan, baru saja beberapa hari yang lalu, dipakainya uang itu untuk membayar uang muka sebuah rumah sederhana!

***

Heri ditahan atas tuduhan tabrak lari. Pengendara motor yang ditabraknya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit akibat luka-luka dikepalanya.

"Jika dianggap sebagai pembunuhan berencana, jaksa bisa menjeratmu dengan pasal 338 KUHP." kata pengacara dari LBH yang menjadi penasihat Heri. "Ancaman hukumannya maksimal lima belas tahun penjara."

"Saya tidak kenal dengan pengendara motor itu, Pak." keluh Heri putus asa. "Bagaimana mungkin sengaja membunuhnya?"

Masyarakat memang menuntut kasus tabrak lari dengan hukuman seberat-beratnya. Apalagi kalau korbannya sampai tewas. Untuk mendidik pengemudi yang ceroboh dan ugal-ugalan.

"Tapi korban yang tiba-tiba melintas di depan mobil saya, Pak! Waktu itu lampu masih hijau. Dan dia melarikan motornya seperti orang mabuk!"

"Yang memberatkanmu, disana tidak saksi. Dan kamu melarikan diri."

"Kalau saya tidak lari, saya yang mati, Pak! Teman-temannya mengeroyok saya. Memukuli kepala dan tubuh saya dengan kayu dan botol!"

"Seharusnya kamu lari ke polsek. Minta perlindungan. Mereka akan minta dokter membuat visum et repertum. Bukti bahwa kamu telah dipukuli dan dikeroyok."

"Saya sedang lari waktu ditubruk mobil, Pak..."

"Ibu Anggraini Darmawan bersedia memberikan kesaksian. Dia telah menubrukmu. Dan membawamu kerumah untuk ditolong."

"Jangan melibatkan dia, Pak" problemnya sendiri sudah banyak."

"Saya harus memanfaatkan setiap peluang, sekecil apapun, untuk meringankan hukumanmu. Kesaksian teman-teman korban amat memberatkanmu. Kamu dituduh melarikan mobilmu dengan ugal-ugalan, melanggar lampu merah, dan mencoba kabur setelah menabrak korban."

"Kalau saya kabur, buat apa turun dari mobil?"

"Karena tidak mungkin lagi melarikan mobilmu. Terhalang oelh motor korban. Kamu turun dari mobil. Dan melarikan diri."

"Mereka berdusta! mereka mengeroyok saya! dan mereka semua dalam keadaan separo mabuk."

"Saya akan berusaha mencari bukti-bukti yang dapat meringankan tuntutanmu. Mudah-mudahan saja jaksa hanya menjeratmu dengan pasal 359 KUHP. Akibat kelalaian menyebabkan matinya orang lain."

"Berapa tahun?"

"Maksimal lima tahun panjara."

Lima tahun. Tiba-tiba saja ingatan Heri menerawang jauh. Pada seorang wanita yang baru dikenalnya. tetapi yang telah menggoreskan perasaan yang begitu dalam.

Lima tahun. Berapa tahun lagi Anggraini mampu melawan kankernya? Masih sempatkah dia berkumpul lagi dengan wanita itu dan kelima anaknya yang penuh komplikasi?

BAB XVI

"Hasil pemeriksaan rontgen dan CT scan-mu baik, Angga," kata Dokter Surjadi ketika sore itu Anggraini mengunjunginya. "Artinya belum ada metastasis jauh. Tapi hasil biopsimu menguatkan dugaan saya bahwa kankermu ganas."

Ganas. Kanker ganas. Anggraini terpuruk dalam ketakutan dan kesedihan. Rasanya seperti perlahan-lahan sedang tersedot ke dalam kubangan lumpur. Makin lama makin dalam. Perlahan tapi pasti. Tak ada jalan untuk lolos. Sinta yang sejak hari itu tidak mau jauh dari ibunya, memaksa ikut mendampingi Anggraini. Meskipun sebenarnya Anggraini lebih suka pergi seorang diri ke tempat praktek Dokter Surjadi. Dia takut Sinta tidak sanggup mendengar vonis dokter atas penyakit ibunya.

Dan sekarang Sinta yang sejak tadi menanti dengan tegang, menggenggam tangan ibunya erat-erat. Tangisnya meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi. Anggraini berusaha menenangkannya. Dan memintanya menunggu di luar. Tetapi Dokter Surjadi mencegahnya.

"Biarkan saja," katanya bijaksana. "Saya mengerti. Mulai sekarang anak-anakmu memang sebaiknya dilibatkan dengan penyakitmu. Mereka harus tahu semuanya. Diagnosis. Terapi. Sampai prognosisnya. Kehadiran mereka dapat menguatkahmu, Angga."

"Seberapa parahnya penyakit saya, Dokter?" tanya Anggraini getir. Sinta masih terisak dalam pelukan ibunya. "Sudah stadium Hb. Karena tumor payudaramu sudah berukuran tiga sentimeter. Dan sudah ada penjalaran ke kelenjar limfe ketiak sesisi."

"Berapa lama lagi, Dok?" tanya Anggraini antara sedih dan takut. Dia hampir tidak berani menanyakannya. Tetapi bukankah lebih baik mengetahui berapa lama lagi kesempatannya untuk berkumpul bersama anak-anaknya? Sinta mendekap ibunya makin erat. Menyembunyikan kepalanya makin dalam di dada ibunya. Seolah-olah tidak berani mendengar jawaban Dokter Surjadi.

Anggraini membelai-belai kepala anaknya dengan lembut. Menggenggam tangannya erat-erat. Seakan ingin menabahkan putrinya. Padahal dia sendiri sudah membeku, dalam ketakutan.

"Jangan tanya begitu." Dokter Surjadi menghela napas berat. Barangkali dia tidak sampai hati mengatakannya. "Yang penting tumormu masih dapat dioperasi. Karena belum ada metastasis jauh, jika kau mau dioperasi sekarang, kans hidupmu untuk lima tahun mendatang masih cukup besar."

"Dokter yakin belum ada sebaran jauh kanker ini di tubuh saya? Percuma saja dioperasi kalau seperti teman saya itu. Dok. Dioperasi mati juga. Malah lebih cepat, kata orang." "Paru-parumu bersih. Demikian juga hati, tulang, dan organ-organ lain yang sering kena. Belum ada anak sebar di kelenjar getah bening leher maupun di payudara kanan dan ketiak kanan."

"Operasinya sendiri berbahaya, Dok?" tanya Anggraim dengan air mata berlinang. "Saya masin ingin hidup lebih lama lagi bersama anak-anak saya."

"Tentu saja setiap operasi ada risikonya. Tetapi dewasa ini angka kematian operasi mastektomi tidak besar." "Selain payudara, apa lagi yang harus dibuang, Dok!"

"Sebenarnya operasi bertujuan memberantas keganasan lokal di payudara dan regional di ketiakmu. Jadi baik payudara maupun kelenjar limfe ketiak seluruhnya harus diangkat. Karena sering kambuh, dan kekambuhan ini biasanya malah bukan di tempat pengobatan awal, dalam sepuluh tahun terakhir ini telah dilakukan modifikasi pada operasi mastektomi radikal."

"Artinya?"

"Otot-otot dada yang diangkat hanya sebagian. Pengangkatan kelenjar ketiak sesisi pun tidak seluas dulu lagi" "Tetapi payudara tetap diangkat seluruhnya?"

"Jika belum ada penjalaran ke kelenjar limfe ketiak sesisi, saya cenderung melakukan Pembedahan Konservasi Payudara. Jadi hanya tumor payudaramu yang diangkat. Sesudah itu dilakukan radiasi atau penyinaran di payudara dan ketiak."

"Sekarang?" "Saya masih mempertimbangkannya. Karena tumor primer di payudaramu masih lebih kecil dari empat sentimeter, anak sebar di kelenjar getah bening ketiakmu juga hanya satu dan masih kecil, pembedahan Konservasi Payudara masih dapat dipertimbangkan. Karena akhir-akhir ini ternyata menurut statistik, angka survival rate atau ketahanan hidup penderita yang menjalani Pembedahan Konservasi Payudara sama saja dengan penderita yang dioperasi mastektomi radikal."

"Apa keuntungannya, Dok?"

"Payudaramu tidak diangkat seluruhnya. Otot dada tidak dipotong. Kelenjar ketiak diangkat secara terpisah atau hanya disinari. Kerusakan tubuh yang lebih sedikit dengan sendirinya meringankan stres sesudah operasi. Syaratnya, sesudah operasi, kamu harus diradiasi kurang-lebih tiga puluh lima kali. Itu mutlak untuk mencegah.kekambuhan."

"Saya serahkan saja seluruhnya pada pertimbangan Dokter," gumam Anggraini lirih. "Tolong pilihkan yang terbaik, Dok. Supaya saya dapat hidup lebih lama bersama anak-anak saya."

"Bukan hanya hidup yang lebih lama yang menjadi pertimbangan saya. Sekaligus bagaimana kau dapat lebih menikmati sisa hidupmu. Kau masih muda. Sebenarnya kanker payudara jarang ditemukan pada wanita berumur tiga puluhan, kebanyakan ditemukan pada usia yang lebih tua, empat puluh sampai lima puluh tahun ke atas. Umurmu itu juga menjadi bahan pertimbangan saya."

"Berapa biaya operasinya, Dok?" "Untuk saya tidak usah kaupikirkan. Biaya pastinya nanti akan saya tanyakan lagi ke bagian administrasi rumah sakit. Tapi untuk perawatan selama dua minggu di kelas dua, itu kalau tidak ada  komplikasi, kau harus menyiapkan kira-kira lima juta. Itu sudah termasuk biaya operasi tanpa jasa dokter, pemeriksaan laboratorium, dan obat-obatan."

Lima juta! Hampir pingsan Anggraini mendengarnya. Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu?

"Untuk radiasi sebanyak tiga puluh lima kali, biayanya kira-kira lima ratus sampai tujuh ratus ribu." Anggraini mengatupkan rahangnya erat-erat. Menahan kesedihannya agar air mata yang sudah menggenangi matanya tidak meleleh ke pipi. Sakit ternyata bukan hanya menakutkan, sekaligus mahal! Berbahagialah mereka yang sehat!

"Saya bisa minta keringanan kepada pihak rumah sakit. Agar kau tidak usah membayar uang muka. Yang penting, kau dapat dioperasi secepatnya."

"Saya ingin membicarakannya dulu dengan anak-anak saya, Dok," kata Anggraini getir.

"Dua tahun yang lalu kau bilang begitu juga. Dan tidak muncul-muncul lagi di depan saya. Padahal kalau operasinya dilakukan dua tahun yang lalu, five years survival rate-nya jauh lebih besar!"

Anggraini hampir tidak dapat menahan kesedihannya ketika melihat ibu dan ketiga anaknya telah menanti di depan pintu. Air muka mereka tegang menyimpan kecemasan.

Bagaimana aku harus mengatakannya, tangis Anggraini dalam hati. Kankerku ganas. Aku hrus dioperasi. Dan hidupku entah tinggal berapa lama lagi!

Tetapi Anggraini memang tidak perlu mengatakan apa-apa. Tangis Sinta sudah keburu pecah. Dan kecuali Intan, mereka semua mengerti apa artinya tangis itu.

Untuk pertama kalinya setelah dua puluh lima tahun berlalu, ibunya merangkulnya. Dan Nenek terisak-isak dalam rangkulan Anggraini.

Dian meraung marah. Membanting tubuhnya di sofa.

"Tuhan nggak adil!" protesnya sambil menangis. "Mama begitu baik! Kenapa mesti dikasih penyakit yang nggak bisa sembuh?"

"Mama pasti semhuh, Kak," Ika membelai-belai rambut Dian dengan air mata berlinang. "Kata Bu Ros kita harus berdoa tiap hari buat Mama. Tuhan sayang anak-anak. Doa kita pasti dikabulin."

Hanya Rimba yang tidak ada ketika Anggraim pulang dari tempat praktek Dokter Surjadi. Tetapi malam itu. ketika melihat neneknya membukakan pintu dengan mata sembap dan air mata berlinang, Rimba segera tahu apa yang terjadi.

Untuk pertama kalinya Rimba memeluk neneknya. Dan Nenek terisak dalam pelukannya.

Saat itu Rimba melihat ibunya. Menuruni tangga sambil menggendong Intan. Parasnya muram. Tetapi dia tidak menangis.

"Sudah makan, Rimba?" tanya Anggraini sambil berusaha menekan kesedihannya. Padahal begitu melihat Rimba, air matanya sudah hampir mengalir lagi.

Rimba hanya menggeleng. Dilepaskannya pelukan neneknya.

"Cepatlah mandi. Kami menunggumu makan."

Di depan anak-anaknya, Anggraini berusaha menekan kesedihannya. Dia berusaha bersikap setegar mungkin. Meskipun anak-anaknya tidak ada yang makan dengan lahap, dia tetap melayani mereka dengan telaten.

Tampaknya Rimba mengikuti jejak ibunya. Dia tidak banyak bicara. Nyaris membisu terus. Tetapi dia tidak menangis.

Sinta, Dian, dan Ika berkeras tidur di kamar ibunya malam itu. Terpaksa Nenek dan Intan mengalah. Tidur di kamar sebelah. Malam ini Intan tidak rewel sama sekali. Anggraini hanya perlu meninabobokannya sebentar. Setelah Intan tertidur, Anggraini pindah ke kamar sebelah.

Tetapi lewat tengah malam, ketika Anggraini yang tak dapat tidur melongok ke kamar sebelah, ranjang Rimba masih kosong. Dia masih duduk seorang diri di depan pintu rumah. Dan dia sedang menangis.

Rimba tidak mengangkat mukanya ketika pintu di belakangnya terbuka. Seolah-olah dia sudah tahu siapa yang datang. Dia hanya duduk terpaku. Menatap kosong ke langit.

Air mata berkilauan di matanya. Meleleh diam-diam ke pipi. Dengan hati hancur Anggraini duduk di sisi Rimba. Dan merangkul bahunya. Ternyata dia keliru kalau mengira yang paling menyedihkan adalah mendengar bahwa kankernya ganas. Yang paling menyedihkan justru melihat anak-anaknya bersedih karena takut kehilangan ibunya!

"Mengapa, Ma?" Cuma itu yang mampu diucapkan Rimba dengan getir. "Mengapa?"

"Hanya Tuhan yang tahu, Rimba," bisik Anggraini lirih. "Tapi percayalah, Tuhan tahu semua yang terbaik untuk kita."

"Berapa lama lagi, Ma?"

"Tidak penting, Rimba. Yang penting, mari kita nikmati waktu yang tersisa ini dengan sebaik-baiknya. Saling mengerti. Dan saling membahagiakan."

"Rimba menyesal, Ma." Rimba menelan air matanya. Matanya yang basah menerawang ke langit gelap.

"Tidak ada yang perlu disesali, Rimba."

"Seandainya Rimba tahu lebih cepat.... "

Anggraini memeluk anaknya. Dan mencium pipinya dengan penuh kasih sayang.

"Mama tetap menyayangimu." bisiknya lembut. "Kamu mirip Mama. Pemberontakanmu. Kekerasan hatimu. Sayang Mama baru memahaminya sekarang.

BAB XVII

ANGGRAiNi langsung bangkit ketika melihat Heri keluar diantarkan oleh seorang petugas rumah tahanan.

"Rini," sapa Heri sambil tersenyum. "Apa kabar?"

Masih senyum yang sama. Tatapan yang sama. Meskipun tubuh Heri terlihat lebih kurus. Dan matanya sayu seperti kurang tidur.

"Baik," sahut Anggraini tersendat.

Dia ingin bersikap tenang. Tidak memperlihatkan kesedihannya. Tetapi begitu melihat Heri, air matanya berlinang tanpa dapat ditahan lagi.

Dan melihat air mata Anggraini. Heri sudah dapat menerka bagaimana hasil pemeriksaan tumor payudara wanita itu. Dia tampak begitu shock sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Anggraini melepaskan genggaman umgm Heri. Dan duduk kembali di kursi. Kakinya terasa lemas sampai rasanya dia tidak kuat lagi berdiri. Sementara air matanya mengalir perlahan ke pipi.

Sebenarnya Anggraini tidak ingin menangis. Lebih-lebih di depan Heri. Dia tidak mau menambah kesedihan lelaki itu. Tapi akhir-akhir ini air matanya memang mudah sekali mengalir.

Heri membalikkan tubuhnya. Lengannya bertUmpu ke dinding. Tangannya menutupi wajahnya. Sesaat hanya keheningan menyakitkan yang mengisi suasana.

"Mengapa. Tuhan?" gugat Heri getir. "Mengapa perempuan sebaik dia harus menanggung penderitaan seberat ini?" "Jangan salahkan Tuhan, Her," balas Anggraini i lirih. "Tuhan tidak pernah keliru. Bantulah agar aku tetap tabah dan pasrah."

Heri menurunkan tangannya. Memutar tubuhnya. Dan menatap Anggraini dengan sedih sambil ber-sandar lesu ke dinding.

"Stadium berapa?"

"Hb"

"Itu berarti belum ada metastasis jauh. Rini." suaranya kedengaran lebih bersemangat. "Jika anak sebar kankermu sudah mencapai organ yang jauh seperti paru atau hati misalnya, kankermu sudah masuk stadium empat." "Dokter Surjadi menganjurkan operasi diikuti oleh radiasi."

"Kumohon kepadamu, Rini" suara Heri begitu memelas. Matanya menatap penuh harap, "Ikuti saran dokter. Aku ingin sekeluarnya dari penjara nanti, kau masih menungguku!

"Bagaimana perkaramu. Her?" Anggraini menyusut air matanya.

"Aku sudah menandatangani proses verbal. Kata pengacaraku, perkaranya akan segera dilimpahkan ke pengadilan." "Ada harapan pengadilan akan membebaskanmu?"

"Rasanya tidak mungkin. Korban yang kutabrak itu tewas. Kalau aku beruntung, jaksa hanya menuntutku lima tahun."

"Aku bersedia memberikan kesaksian jika perlu. Her. Malam itu aku menubrukmu sampai kau tidak bisa melapor ke polsek terdekat."

"Aku tidak mau melibatkanmu. Rini. Menyembunyikan buronan bisa dituntut dengan pasal 221 KUHP. Kau bisa kena sembilan bulan penjara!"

"Kalau dapat meringankan hukumanmu. aku tela mengambil risiko itu."

"Aku yang tidak rela! Kesulitanmu sudah cukup banyak!"

"Waktuku tidak banyak lagi. Her. Aku ingin masih sempat melihatmu keluar dari penjara."

"Berjanjilah kau mau menungguku, Rini," pinta Heri sungguh-sungguh. "Supaya kita bisa berkumpul kembali."

Aku mau. Her, bisik Anggraini dalam hati. Aku mau! Tetapi masih maukah Tuhan menunggu? Masih sudikah Engkau mendengar doaku. Tuhan?

"Bagaimana anak-anak?" Heri menatap Anggraini dengan redup. "Mereka... sudah tahu?"

"Mereka sangat sedih. Begitu sedihnya sampai rasanya lebih menyakitkan melihat mereka menangis daripada mendengar kankerku ganas."

"Kami sama-sama takut kehilangan kau, Rini."

"Dan aku lebih takut meninggalkan kalian daripada menghadapi kematian itu sendiri."

"Paling tidak sekarang anak-anakmu sudah dapat memahami dirimu."

"Tetapi sikap mereka sangat berubah. Her!"

"Apa salahnya jika perubahan itu membawa mereka lebih dekat kepadamu?"

"Mereka jadi kehilangan keceriaannya. Mereka seolah-olah takut berbuat salah. Takut membuatku sedih. Mereka sangat tertekan."

"Lama-lama mereka pasti dapat menyesuaikan diri. Jangan salahkan dirimu. Kau harus tetap kuat. Jangan terlalu stres supaya daya tahanmu tidak menurun. Dan kau harus cukup makan makanan yang bergizi, kurangi lemak hewani dan perbanyak makanan yang mengandung serat."

***

Mati-matian Anggraini menahan agar air matanya tidak runtuh ketika mobil tuanya dibawa pergi dari halaman rumahnya.

Pergilah sahabatnya yang setia! yang telah menemaninya selama hampir sepuluh tahun.

Nilainya sebagai mobil sudah hampir tidak ada. Modelnya sudah ketinggalan zaman. Warnanya sudah pudar. Catnya sudah banyak yang terkelupas. Karat sudah menggerogotinya di sana sini.

Tetapi dia masih tetap bertahan. Membawa Anggraini dan anak-anaknya menelusuri jalan-jalan yang penuh polusi di Jakarta.

Sekarang Anggraini harus menjualnya. Karena dia membutuhkan uang untuk biaya operasinya, Sinta, Dian, dan Ika tegak di ambang pintu dengan paras sedih. Sementara Rimba memilih pergi meninggalkan rumah biarpun masih terlalu pagi untuk berangkat kerja. Dia juga pasti merasa kehilangan. Esok pagi tak ada lagi mobil yang harus dicucinya.

Anggraini membawa anak-anaknya masuk. Dan membereskan uang yang masih bertumpuk di atas meja di ruang tamu. Dian dan Ika tegak di samping kursi Anggraini. Sementara Sinta duduk di hadapan ibunya.

"Cukup buat ongkos operasi, Ma?" tanya Dian ragu-ragu. "Cukup dong!" sergah Ika segera. "Uang begini banyak masa nggak cukup ya, Ma?"

Anggraini hanya tersenyum. Tetapi sedihnya senyum itu sudah menjawab pertanyaan Dian. Mobil mereka hanya laku satu setengah juta. Belum ada separo biaya operasi yang dibutuhkan!

Sementara Budi Sukoco sudah mencoret nama Anggraini dari daftar pemain dalam produksi filmnya. Memang tidak sulit menghilangkannya begitu saja. Dia cuma pemain pengganti. Tidak ada yang mengenali wajahnya. Diganti pun tidak ada yang tahu. Tidak merusak kesinambungan cerita. Sia-sia Anggraini berusaha menemui Budi. Dia sudah tidak mau menjumpainya lagi. Memprotes pun tidak ada gunanya. Tidak ada kontrak yang mengikat mereka. Dia pemain lepas. Dibayar hanya kalau main. Ke mana lagi dia harus minta tolong.

***

"Gajimu hanya seratus lima puluh ribu. Belum setahun bekerja. Bagaimana mungkin kau mau pinjam sampai dua juta?"

Pak Primus, bagian keuangan di perusahaan farmasi tempat Rimba bekerja, sebenarnya baik hati. Orangnya kalem. Tutur bicaranya lambat, sampai kadang-kadang Rimba tidak sabar menunggu sampai dia selesai bicara.

Tetapi bagaimanapun baiknya dia, Pak Primus tidak berani menajamkan uang sebanyak itu kepada karyawan baru seperti Rimba.

"Ibu saya harus dioperasi, Pak."

Mengemis adalah hal yang paling dibenci Rimba. Tetapi kali ini, demi Mama, rasanya dia rela melakukan apa saja.

"Alasan banyak, Rimba. Tapi kebijaksanaan perusahaan tak dapat saya langgar."

Sia-sia. Percuma saja mengemis belas kasihan. Pak Primus boleh baik. Tetapi tetap tidak dapat menolong. Padahal di rumah, ibunya sangat memerlukan uang. Kalau tidak, Mama tidak akan menjual mobil kesayangannya.

***

"Mama perlu berapa lagi?" tanya Rimba malam itu kepada adiknya. Tentu saja tanpa setahu Mama.

Sinta menggeleng sedih.

"Mama nggak mau bilang. Pasti masih banyak. Mama sampai jual mobil."

"Nggak bisa pinjam sama temanmu?"

Sekali lagi Sinta menggeleng.

"Ajaklah aku kerja di pabrikmu, Rimba."

Kali ini, Rimba yang menggelengkan kepala.

"Kamu nggak bakal kuat. Lagi pula berapa uang yang bisa kita kumpulkan? Kalau cuma mengandalkan gaji, sampai berapa lama kita baru bisa mengumpulkan uang buat operasi Mama?"

"Jadi kita harus minta tolong ke mana?"

"Nggak tahu."

"Kamu setuju kalau aku minta tolong sama Oom Budi?"

"Oom Budi? Gila! Mama bisa ngamuk!"

"Tapi cuma dia yang bisa menolong!"

"Belum tentu dia mau!"

"Siapa tahu, demi Mama?"

"Orang seperti dia cuma mau bantu kalau ada maunya!"

"Apa salahnya mencoba?"

***

"Angga," perlahan-lahan Nenek duduk di samping tempat tidur Intan, "lin sudah tidur?"

"Sudah, Bu. Malam ini dia nggak rewel."

"Beberapa hari ini dia memang baik Barangkali dia juga tahu, kamu lagi sakit."

"Saya ingin menyekolahk annya di Sekolah Lua Biasa, Bu."

"Jangan pikirkan Jin dulu, Angga. Pikirkan kesehatanmu. Tumormu tidak sakit?"

"Tidak terasa apa-apa, Bu. Makanya orang sering tidak tahu ada pembunuh yang bersembunyi didadanya. Baru tahu sesudah terlambat.""Kamu sudah mantap mau operasi?"

"Rasanya itu jalan terbaik, Bu."

"Kapan?"

"Belum tahu."

"Uangmu belum cukup?"

"Oh, tinggal kurang sedikit, Bu! Tidak usah khawatir. Kata Dokter Surjadi..."

"Jangan bohongi Ibu. Anak-anak boleh kamu bohongi. Ibu tidak bisa."

Anggraini tidak menjawab. Percuma memang mendebat ibunya.

"Ibu tidak punya apa-apa lagi, Angga," kata Nenek setelah lama berdiam diri. "Cuma ini."

Dalam keremangan Anggraini melihat ibunya menyodorkan sebuah kantong kecil berwarna biru.

"Apa ini, Bu?" tanya Anggraini bingung.

"Pakailah untuk menambah biaya operasimu."

Ibunya menjejalkan kantong itu ke dalam genggaman Anggraini. Ketika Anggraini menuang isinya ke telapak tangannya, dia melihat sepasang cincin kawin. Terbuat dari emas berbentuk belah rotan.

"Cuma itu peninggalan ayahmu," kata Nenek datar. "Rasanya dia juga setuju kalau kamu jual cincin itu untuk biaya operasimu."

Tersekat kerongkongan Anggraini oleh tangis. Ibunya, perempuan bawel yang menjengkelkan dan paranoid itu, ternyata amat menyayanginya! Dia rela mengorbankan peninggalan terakhir suaminya. Cincin kawinnya sendiri.... Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Dian melongok ke dalam. Tetapi tidak berani masuk.

"Ada apa, Dian?" tegur Anggraini lunak. "Masuklah."

"Ini tabungan Dian, Ma," ragu-ragu Dian menyodorkan dompetnya. "Dari hasil uang sewa buku."

"Dan ini celengan Ika, Ma!" Ika menerobos masuk membawa celengan ayam-ayamannya. Dikocok-kocoknya dengan bangga. "Udah penuh, Ma! Cukup nggak buat Mama berobat?"

Anggraini merangkul kedua anaknya dengan terharu.

"Tentu saja cukup, Sayang. Semuanya buat Mama?"

Berbareng Dian dan Ika mengangguk. Anggraini mengecup dahi anak-anaknya dengan air mata berlinang.

Ya Tuhan, bisik Anggraini dalam hati. Jika doaku tidak Kauterima karena dosa-dosaku di masa lalu, tolong dengarkan saja doa anak-anakku, Tuhan! Mereka masih sepolos domba, seputih kapas! Dan mereka amat mengharapkan kesembuhan ibunya!

BAB XVIII

"Siapa?" Budi Sukoco menoleh dengan malas ke arah sekretarisnya.

"Katanya namanya Sinta, Pak."

"Tidak kenal," sahut Budi pendek.

"Dia bilang anaknya Anggraini Darmawan, Pak."

Mata Budi yang sudah beralih kembali ke angka-angka anggaran produksi di depannya mendadak membeku. Tidak jadi melahap deretan angka-angka di hadapannya. Diangkatnya mukanya dengan kesal.

"Ada urusan apa lagi?" tanyanya separo membentak.

Tidak tahu, Pak. Dia hanya minta ketemu Bapak."

"Suruh masuk!" Bergegas sekretaris Budi Sukoco meninggalkan ruang kerja direkturnya. Ketika kembali, seorang gadis timpang mengikutinya dari belakang.

"Selamat siang, Oom Budi," sapa Sinta begitu masuk.

"Ibumu yang menyuruhmu kemari?" tanya Budi dingin.

Sinta tertegun sesaat. Bukan oleh pertanyaan Budi. Tetapi oleh dinginnya nada suara lelaki itu. Kapan pernah didengarnya Oom Budi bertanya sedingin itu? Biasanya dia selalu ramah. Selalu berusaha mengambil hatinya.... Hanya sekali Oom Budi marah. Waktu terakhir kali datang ke rumahnya. Pada malam ulang tahun Mama. Tetapi bagaimanapun marahnya dia saat itu, Sinta tidak menyangka begini tawar sambutannya! Bukankah dia marah kepada Mama? Mengapa tampaknya dia kesal juga kepadaku, gerutu Sinta dalam hati. Siapa dulu yang begitu ingin menjadi ayah kami? Apakah dia kesal kepadaku karena aku tak pernah keluar melayaninya setiap kali dia datang ke rumah?.

"Mama tidak tahu Sinta kemari."

Sinta tidak berani duduk karena Oom Budi tidak menyilakannya. Sekretaris yang ramah itu juga sudah pergi meninggalkan mereka setelah menutup pintu. "Mau apa kau ke sini?"

"Oom" Sinta mencoba menenangkan dirinya. Dibayangkannya wajah ibunya. Mama yang sakit. Yang perlu biaya untuk operasinya. Dikuatkannya hatinya. Demi Mama. Dia harus mencoba. "Sinta ingin minta lolong...."

"Kenapa datang kepadaku?"

"Karena cuma Oom Budi yang bisa menolong."

Budi mencibir. Menyakitkan sekali. Kalau bukan untuk Mama, Sinta pasti sudah lari meninggalkannya!.

"Kenapa tidak minta tolong kepada ibumu? Atau kepada pacarnya yang muda belia itu?"

"Oom Heri sudah masuk penjara...."

Ketika melihat seringai di bibir Budi. Sinta menyesal mengatakannya. Buat apa? Seharusnya dia tidak usah tahu.

"Jadi dia bukan cuma gigolo."

"Oom Heri bukan gigolo!" protes Sinta tersinggung.

"O, ya? Lantas sedang apa dia di kamar ibumu?"

"Oom Heri sakit!"

"Dan dia tidak bisa bayar ongkos rumah sakit?"

"Oom Heri sangat baik."

"Lalu mengapa orang baik itu masuk penjara?"

"Dia tidak sengaja menabrak orang...."

"Lalu dia Jari ke rumah ibumu? Hm, malang sekali nasibnya!?"

"Oom, saya datang untuk minta tolong."

"Apa yang dapat kubantu? Menjenguknya di penjara?"

"Mama sakit, Oom."

Sesaat Budi terdiam. Ditatapnya gadis yang tegak di hadapannya itu dengan tajam. Ketika melihat air mata yang mulai menggenangi matanya, hati Budi melunak.

"Sakit apa?"

"Kanker." Sinta tak dapat menahan tangisnya lagi.

Budi tersentak. Kanker? Anggraini kena kanker?

"Kanker apa?" tanyanya agak gugup.

"Payudara, Oom. Mama mesti dioperasi..."

"Kenapa datang kepadaku?" desis Budi pahit. "Aku bukan dokter!"

"Mama perlu uang untuk biaya operasinya...."

"Tapi di sini bukan Departemen Sosial!"

Sekali lagi Sinta terenyak. Matanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Bukankah Oom Budi teman Mama? Beginikah tanggapan seorang teman? Tidak tergugahkah hatinya mendengar Mama sakit kanker dan mesti segera dioperasi?

"Aku tidak bisa menolongmu," gumam Budi datar. "Antara ibumu dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi." "Tapi... Oom Budi teman Mama, kan?" protes Sinta kecewa.

"Dulu. Kami sudah putus. Ibumu juga sudah tidak bekerja di sini lagi. Aku tidak dapat menolongnya."

"Oom Budi tidak bisa meminjamkan uang?" desah Sinta hampir menangis.

"Apa jaminannya? Kapan dikembalikan?"

"Kami sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dijaminkan, Oom. Rumah masih kontrak. Mobil sudah dijual...."

"Itu sama saja dengan minta."

"Saya berjanji akan mengembalikannya!"

"Kapan? Kau sudah kerja apa? Di mana? Berapa gajimu?"

Ya Tuhan! Jahatnya lelaki ini! Untung Mama tidak jadi mengambilnya sebagai suami! Tenyata dia cuma baik kalau ada maunya... kalau sedang menginginkan Mama! Kebaikannya palsu.. munafik!

***

Rimba memasukkan kantong berisi obat-obatan itu ke balik kemejanya. Lalu bergegas dia menyelinap ke WC.

Semua sudah direncanakannya masak-masak. Dia sudah menjahit kantong di balik celana dalam. Seluruh obat-obatan yang dicurinya itu dituangnya ke dalam kantong.

Lalu kantong plastik bekas obat itu dilipatnya sampai kecil sekali. Dimasukkannya ke dalam mulut.

Kemudian dengan tenang dia keluar mengambil ranselnya. Dan mengikuti antrean teman-temanhya melewati pos pemeriksaan di depan pintu.

Pemeriksaan lewat begitu saja. Sudah beberapa hari Rimba mengawasinya. Hanya tas yang diperiksa. Kalau ada yang dicurigai, baru mereka digeledah.

Tetapi sikap Rimba yang sangat tenang sama sekali tidak memancing kecurigaan. Dia dapat melewati pos dengan aman.

***

"Golongan Nitrazepam begini sekarang kurang laku," komentar Tante Gozal sambil memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol plastik. "Kalau laku, murah. Untungnya nggak banyak."

"Sementara ini cuma itu yang bisa saya peroleh, Tante. Tapi saya perlu duit." "Biasa, remaja seumurmu! Kebutuhan banyak, duit nggak punya!"

"Mana duitnya, Tante? Saya mesti cepat pulang. Sudah malam."

"Nih." Tante Gozal menyodorkan sebuah amplop.

Rimba menerima amplop itu. Dan menghitung uangnya.

"Cuma segini?"

"Sudah aku bilang, obat-obatan begini sekarang kurang laku."

"Ah, alasan! Kalau cuma segini hasilnya, saya mundur saja. Daripada ketahuan. Dipecat. Lebih sial lagi, ditangkap polisi!"

"Mau duit banyak?"

"Kalau tidak ditambah, besok saya tidak mau datang lagi!"

"Oke. Kutambah sepuluh ribu lagi...."

"Dua lima."

"Nggak ada tawar-tawaran. Kalau tidak mau; nih ambil balik obatmu!"

Sialan, maki Rimba dalam hati. Diambilnya uang yang disodorkan Tante Gozal. Dimasukkannya ke dalam amplop. "Tahu yang sekarang lagi in?" Tante Gozal memperlihatkan sekantong obat-obatan berwarna merah muda, biru, kuning, dan putih. "Pernah dengar tentang Paman Gobel?"

"Ectasy"

"Kalau' kau bisa jual yang model begini," Tante Gozal mengambil salah satu obat itu, "bagianmu lima ribu rupiah per butir!"

"Lima ribu?" Mata Rimba melebar. "Obat-obatan ini harganya berkisar antara tujuh puluh sampai seratus lima puluh ribu!"

"Tapi teman-teman saya cuma kuli pabrik!"

"Tapi sebelum jadi kuli, kamu kan pernah sekolah? Nah, teman-temanmu pasti masih kenal denganmu!"

"Saya tidak mau menjerumuskan teman-teman saya!"

"Menjerumuskan ke mana? Ecstasy cuma sebangsa amphetamin! Teman-temanmu tidak bakal teler. Mereka malah makin bersemangat! Makin gembira! Nih, ambil beberapa butir. Gratis!"

Kalau tidak membuat pemakainya ketagihan, masa kau begitu royal, pikir Rimba muak. Membagikan pil mahal ini secara gratis?

***

"Dian, bapak ini ayahnya Tati. Dia pernah nonton operet Bawang Merah Bawah Putih. Beliau sangat tertarik kepadamu."

Dian menggeleng lesu. Matanya tidak bercahaya. Amat berbeda dengan Dian yang mereka lihat waktu memerankan Bawang Putih. Saat itu dia tampak begitu hidup. Begitu cerah. Begitu lincah.

"Pak Hamid kebetulan sedang mencari seorang bintang cilik untuk film iklannya," sambung Bu Emi, guru Dian. "Seorang anak yang berbakat seperti kamu!"

"Tapi Dian lagi malas," sahut Dian lesu.

"Kamu tidak tertarik?" desak Bu Erni heran.

"Katanya kamu kepengin masuk TV!"

Dian menggeleng malas. Matanya redup. Seperti lampu yang turun tegangan listriknya.

"Kamu kenapa, Dian? Sakit?"

Dian menggeleng lagi. Tanpa gairah. Tanpa semangat.

"Bilang sama Ibu, Dian. Ada apa?"

"Mama sakit."

"Anak manis." Ibu Erni menghela napas lega. Dibelai-belainya rambut Dian sambil tersenyum. "Kalau Dian muncul di televisi, pasti ibumu girang. Dan penyakitnya langsung sembuh."

"Mama nggak bisa sembuh. Mesti dioperasi."

"Dian." Pak Hamid mengeluarkan sehelai kartu nama. "Ini kartu nama Bapak. Kalau ibumu sudah sembuh, kamu boleh datang ke kantor Untuk dites. Nah, ibumu pasti senang kalau Dian yang terpilih. Honornya besar sih." Dian mengawasi laki-laki berkumis lebat itu dengan ragu-ragu.

"Betul Dian bisa dapat uang banyak?"

"Tapi Dian mesti minta persetujuan Mama dulu, ya? Kalau boleh kata Mama..."

"Dian pasti jadi bintang iklan, Pak?"

"Dian mesti dites dulu. Banyak anak-anak yang datang melamar."

"Kalau Dian nggak kepilih?"

"Jangan terlalu berharap dulu, Dian!" potong Bu Erni, berbalik cemas melihat besarnya harapan muridnya "Sainganmu banyak!"

***

Anak ini belum bisa apa-apa," kata petugas di lembaga yang merawat anak-anak tunamental itu kepada Anggraini. "Kami sudah melakukan beberapa macam tes. Hasilnya jelek sekali, Bu. Kalau Ibu setuju, lebih baik Intan dirawat di sini saja." "Tapi saya ingin mengasuhnya sendiri di rumah, Bu," desah Anggraini sedih.

"Dalam masa perkembangan, seharusnya ada proses timbal-balik antara faktor kematangan fisik dan kesempatan untuk mempelajari fungsi-fungsi dasar kehidupan manusia. Pada anak normal, mereka dapat mempelajarinya sendiri, hanya dengan melihat, mendengar, dan meniru orang dewasa. Pada anak cacat mental, lebih-lebih yang imbesil seperti anak Ibu, harus diajarkan dengan metode khusus."

"Bolehkah-saya tahu metode khusus itu, supaya saya dapat mengajarinya sendiri di rumah?"

"Tentu saja boleh. Tetapi terus terang, kami meragukan hasilnya. Intan bukan saja memiliki IQ yang sangat rendah, tapi koordinasi antara otot-ototnya pun lemah. Lihat saja caranya berjalan. Caranya memandang. Caranya memegang benda."

"Bolehkah saya mencoba melatihnya dulu di rumah, Bu? Saya belum ingin berpisah dengan anak bungsu saya"

"Oh, tentu saja boleh. Hanya perlu Ibu ketahui, jika terlambat, lebih sulit lagi mengajarinya."

"Saya ingin memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa. Apa saja yang diajarkan di sana, Bu?"

"Yang penting adalah latihan pengamatan dan latihan bicara. Orientasi ruang dan waktu. Kepercayaan diri. Keseimbangan tubuh. Dan yang tak kalah pentingnya, latihan keterampilan."

"Mereka tidak diajari membaca, menulis, atau berhitung?"

"Tentu saja. Tetapi bukan pelajaran membaca dan berhitung seperti anak normal. Karena anak imbesil tidak mungkin dapat membaca buku atau menghitung kalkulasi yang rumit. Tapi paling tidak, Intan harus dapat membaca namanya sendiri."

"Terima kasih untuk penjelasannya, Bu."

"Kembali. Kami selalu siap membantu jika Ibu butuhkan. Satu pertanyaan lagi, Bu. Apakah saudara-saudaranya dapat menerima kehadiran Intan dengan wajar?"

Anggraini tertegun. Sungguh tak pernah terlintas dalam pikirannya... "A... apa... maksud Ibu?"

"Saudara-saudaranya tidak melecehkannya? Tidak merasa minder karena punya "adik seperti Intan?"

Anggraini tidak mampu menjawab. Dian dan Ilka memang tidak pernah mengejek Iin. Tetapi... Anggraini tidak tahu mereka malu atau tidak punya adik yang terbelakang!

BAB XIX

Akhirnya Anggraini tak dapat mengelak lagi. Dia harus menjalani operasi. Secepatnya.

"Jangan terlalu lama," kata Dokter Surjadi tegas. "Supaya kankermu tidak semakin menyebar. Tunggu apa lagi sih?"

"Uang saya belum cukup, Dok," sahut Anggraini lirih.

"Seadanya saja dulu. Sisanya dibayar belakangan."

Dengan jaminan Dokter Surjadi, rumah sakit memang tidak berani menolak. Anggraini dapat langsung masuk walaupun belum membayar uang muka. Padahal biasanya rumah sakit menuntut uang muka untuk sepuluh hari perawatan.

Dokter Surjadi sudah menegaskan, tidak perlu memikirkan honor untuknya dan ahli anestesi. Padahal Anggraini tidak kenal sama sekali dengan dokter itu. Entah apa yang dikatakan Dokter Surjadi kepadanya. Tanpa pertolongan dokter yang baik itu, entah ke mana Anggraini harus meminta tolong.

Biaya operasinya memang cukup besar, tambah biaya radiasi dan obat-obatan, rasanya hampir tidak mungkin memenuhinya. Anggraini hanya dapat berdoa, semoga Tuhan memberikan mukjizat padanya. Karena dengan logika saja, semuanya tampak tidak mungkin!

"Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan," kata Anggraini pada malam terakhir dia berada di rumah. "Jangan lupa berdoa. Tuhan tidak akan menolak permintaan anak-anak-Nya kalau kita sungguh-sungguh memohon."

Malam itu mereka tidur dalam satu kamar. Karena anak-anaknya seperti tidak mau berpisah dengannya. Intan, Ika, dan Dian tidur bersama Anggraini dan Nenek di ranjang. Sementara Rimba dan Sinta memilih tidur di lantai, asal dekat ibunya.

"Kamu anak paling besar, Rimba. Selama Mama tidak ada, kamu yang harus menjaga adik-adikmu. Jangan lupa menengok Oom Heri. Dia pasti, ingin sekali mendengar tentang operasi Mama."

Rimba tidak menjawab. Tetapi Anggraini tahu, malam ini, Rimba pasti mematuhi apa pun permintaan ibunya. "Sinta mengurus rumah bersama Nenek, ya? Kamu yang harus mengatur keuangan. Dan merawat adik-adikmu."

"Iya, Ma," sahut Sinta sambil menahan tangis.

"Dian dan Ika nggak boleh nakal, ya? Nggak boleh bertengkar. Dan harus bantu Nenek jaga Iin."

"Iya, Ma," sahut Dian patuh. Parasnya menyuatkan kebingungan, kesedihan, dan ketakutan yang berbaur menjadi satu.

"Besok Mama operasi?" tanya Ika bimbang.

"Lusa Ika. Tapi besok sore Mama sudah harus masuk rumah sakit untuk persiapan."

"Habis operasi Mama boleh pulang?" desak Ika penasaran.

"Mama mesti tinggal di rumah sakit dulu, Ika. Sampai luka operasinya sembuh."

"Nanti luka Mama ada bekasnya nggak, Ma? Kayak dengkul Ika ini? Yang bekas jatuh dari sepeda dulu?"

Anggraini memeluk Ika dengan terharu. Ika memang lucu. Kadang-kadang menggemaskan. Tetapi kadang-kadang pula, pertanyaannya memancing air mata.

"Tentu bekasnya ada, Bea. Tapi Dokter Surjadi bilang, nggak terlalu jelek. Ika nggak usah takut."

"Dian boleh ikut nungguin Mama operasi, kan, Ma?"

"Tentu. Kalian semua boleh ikut nunggu. Nanti Mama bikin surat buat Bu Erni. Minta izin supaya Dian boleh nggak masuk satu hari. Sekarang kita sama-sama berdoa, ya?"

***

Jaksa penuntut umum menuntut Heri dengan hukuman lima tahun penjara. Dia dituduh lalai dalam mengemudi sehingga mengakibatkan matinya orang lain.

Hukuman maksimal diajukan jaksa karena sesudah menabrak, Heri melarikan diri. Padahal jika korban dibawa ke rumah sakit dan diberi pertolongan secepatnya, mungkin jiwanya masih dapat diselamatkan.

Pembelaan Heri bahwa dia terpaksa kabur karena dikeroyok teman-teman korban, tidak mempunyai bukti yang kuat. Karena teman-teman korban memberikan kesaksian sebaliknya.

Satu-satunya hal yang meringankan adalah ketika ditemukan sisa-sisa barbital dalam hati korban melalui autopsi. Deteksi adanya senyawa barbiturat dalam hati korban menguatkan keterangan Heri, korban mengendarai motornya seperti dalam keadaan mabuk.

Meskipun para saksi yang semuanya adalah teman korban menyangkal mereka baru saja minum-minum sambil menelan obat, kesaksian mereka diragukan. Karena berdasarkan penyelidikan di sekitar tempat kejadian, korban dan teman-temannya memang dikenal sebagai geng anak muda yang sering bergadang sambil mabuk-mabukan di tempat itu.

Atas dasar bukti-bukti itu, pembela Heri minta agar kliennya dihukum seringan mungkin. Dia masih muda. Belum pernah dihukum. Dan kesalahannya belum mutlak terbukti. Kemungkinan bahwa korban yang dalam keadaan mabuklah yang melanggar lampu merah dan melintas di depan mobil Heri, sama kuatnya dengan tuduhan jaksa.

Hakim menurida sidang untuk menjatuhkan amarnya. Dan Heri kembali ke dalam selnya dalam keadaan gelisah. Bukan karena menunggu vonisnya. Tetapi menunggu hasil operasi Anggraini.

Permintaannya untuk diizinkan mendamping Anggraini menjalani operasi tidak dikabulkan. Jca_ rena mereka tidak mempunyai hubungan resmi. Dan Heri terpaksa berkurung diliputi ketegangan dalam selnya yang sempit.

***

Dokter Surjadi sendiri yang keluar menemui anak-anak Anggraini selesai operasi. "Jangan khawatir," katanya sambil tersenyum letih, masih mengenakan jubah dan topi kamar operasi. "Operasi berlangsung sukses. Ibu kalian tidak apa-apa."

"Boleh melihat Mama, Dokter?" Rimba adalah orang pertama yang mampu membuka mulut.

Adik-adiknya masih saling rangkul sambil meneteskan air mata.

"Ibumu belum sadar. Masih di ruang pasca-bedah. Tunggu saja di kamarnya. Kalau keadaannya sudah stabil, ibumu akan dibawa ke sana." "Terima kasih, Dokter."

"Apa artinya belum sadar, Kak?" tanya Ika ingin tahu. "Apa Mama bobok terus kayak Ika kalau malam?"

"Punya uang logam ratusan, Ta?" tanya Rimba tanpa mengacuhkan pertanyaan adiknya.

"Buat ap?""Telepon Oom Heri. Mama suruh kita kasih kabar, kan?"

Heri memang sedang tegang menunggu kabar. Ketika sipir penjara menyampaikan pesan Rimba, dia bersujud di tanah. Mengucap syukur kepada Tuhan.

***

Ketika Anggraini memperoleh kesadarannya kembali, yang pertama-tama didengarnya adalah suara Rimba. Lapat-lapat menyentuh telinganya.

"Sudah selasai. Ma," bisiknya lirih. "Mama sudah nggak apa-apa."

Lambat-lambat Anggraini membuka matanya. Dan melihat anak-anaknya. Menatap dirinya dengan wajah tegang dan air mata berlinang.

Anggraini masih merasa seperti separo melayang. Kesadarannya masih berkabut. Pengaruh obat biusnya belum punah. Tetapi rasa sakit seperti bekas tersayat sudah mulai terasa sedikit.

"Mama!" ratap Sinta begitu melihat ibunya membuka matanya.

"Masih sakit nggak, Ma?" Dian memegang tangan ibunya yang masih diinfus dengan ketakutan.Anggraini belum mampu menjawab. Tetapi kepastian anak-anaknya berada di dekatnya memompa semangatnya.

Mati-matian dia bertahan agar tidak terlelap kembali. Dia takut kehilangan kesadaran akan membuatnya berpisah untuk selama-lamanya dengan mereka....

***

"Tadi siang aku setor dua juta ke rumah sakit kata Sinta kepada Rimba setelah adik-adiknya tidur. "Mereka minta dua juta lagi minggu depan. Sisanya sesudah Mama boleh pulang."

"Tapi dari mana lagi dapat duit?" keluh Rimba bingung. Dua juta! Biarpun tiap hari mencuri obat, tak mungkin melunasi dua juta dalam Seminggu.

"Besok Dian dites. Kalau dia berhasil, barangkali honornya cukup besar. Bisa melunasi sisa tagihan."

"Berapa honornya?"

"Belum tahu. Lagi pula belum tentu dia diterima. Saingannya banyak."

"Sama siapa Dian ke sana?"

"Besok kujemput dia pulang sekolah. Langsung ke sana."

"Ika?"

"Biar dia ikut. Daripada pulang sendiri."

"Dian masih kecil. Kita masih di bawah umur. Siapa yang hams menandatangani kontrak nanti?"

"Nenek dong. Siapa lagi?"

***

"Mengapa gayamu tidak bisa seperti Bawang Putih, Dian?' gerutu Pak Hamid kecewa. "Gayamu kurang hidup! Kurang natur! Kurang bebas."

Dian sudah hampir menangis. Rasanya sudah lelah sekali. Sudah dua puluh kali retake. Tetapi belum ada adegan yang dianggap cukup bagus untuk menampilkannya dalam iklan susu bubuk itu.

"Kamu harus lebih ceria! Lebih lincah! Lebih rileks! Jangan kaku begini! Kenapa aktingmu tidak bisa hidup seperti waktu itu?"

"Mama lagi sakit!" teriak Ika tiba-tiba dari deretan penonton. Tidak tahan melihat kakaknya dimaki-maki. "Dulu kan Mama lagi sehat!"

Pak Hamid menoleh kepada anak kecil bersuara lantang itu. Sinta buru-buru mendekap adiknya dengan ketakutan. "Maaf, Pak," katanya cemas. "Ika memang bawel...." Dicubitnya paha adiknya sampai Ika memekik kesakitan. "Kalau kamu tidak bisa diam, main di luar!"

"Kamu main juga waktu itu, ya?" tanya Pak Hamid tiba-tiba.

"Ika jadi ikan!" sahut Ika lantang. Tanpa rasa takut sedikit pun. "Ika ngambil cucian yang hanyut!"

"Hus, Ika! Jangan cerewet," desis Sinta kesal. "Ini bukan di rumah!"

"Kamu lucu," cetus Pak Hamid spontan. "Gemuk. Pipimu montok. Kamu mungkin lebih cocok jadi anak sehat yang minum susu ini."

"Dan kumis Bapak lucu," sambung Ika tanpa ragu-ragu. "Kayak Pak Raden!"

"Ika!" sergah Sinta kaget. Tetapi Pak Hamid tidak marah. Dia malah makin tertarik. "Ke sini sebentar. Kamu mau jadi bintang iklan?"

"Berapa bayarannya?" tanya Ika lantang.

"Aduh, Ika" desis Sinta cemas. "Bayarannya?" Pak Hamid tertawa geli. "Pokoknya cukup buat beli seratus boneka!"

"Ika nggak mau." "Nggak mau? Kamu mau berapa dong?"

"Mesti Cukup buat ongkos Mama di rumah sakit"

"Mamamu masih di rumah sakit?" Tawa Pak Hamid memudar. Berganti senyum simpatik.

"He-eh."

"Oke! Kalau kamu bisa main bagus, Oom janji kasih honor gede!"

"Boleh, Kak?" tanya Ika bersemangat.

Sinta belum sempat mengangguk. Dia mencari Dian dengan matanya. Dan baru menyadari, adiknya yang satu lagi telah lenyap.

***

"Ika ngambil bagian Dian!" gerutu Dian sambil menangis.

"Belum tentu Ika yang terpilih, Dian." bujuk Sinta kewalahan.

Ika masih dites. Tapi Dian sudah ribut minta pulang.

"Mbak, tolong ke dalam dulu," cetus asisten Pak Hamid. "Dicari Bapak."

"Dian tunggu di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana! Kak Sinta jemput Ika dulu. Kita pulang sama-sama."

Dian berjongkok dengan kesal sambil membanting-banting kakinya. Hilanglah harapannya untuk memperoleh uang. Padahal uang sangat diperlukan untuk menutup ongkos-ongkos Mama di rumah sakit!

Mengapa dia tidak dapat berakting sebagus dulu? Benarkah seperti kata Ika, karena Mama sedang sakit? Karena hatinya sedang gundah? Atau... iklan itu memang tidak cocok untuknya?

***

"Ika tidak semanis Dian," kata Pak Hamid puas. "Suaranya juga tidak sebagus kakaknya. Badannya gendut. Pipinya montok. Tapi dia lucu. Spontan. Bebas. Kami memang bukan mencari penyanyi. Kami mencari bintang iklan. Dan Ika-lah yang kami cari!"

Sinta melongo kebingungan. "Maksud... Bapak?"

"Ika cocok sekali memerankan anak sehat dan lucu dalam iklan susu bubuk itu. Anak-anak akan menyukainya. Dan ibu-ibu mereka akan membeli susu yang diminumnya!"

Sinta tertegun heran. Ika? Si bawel Ika? Diakah yang terpilih di antara begitu banyak saingan? Bukan main! "Saya ingin wali Ika datang untuk menandatangani kontrak."

"Kapan Ika dapat duitnya sela Ika tak sabar.

"Sesudah walimu datang menandatangani kontrak, kamu akan dibayar separo. Sisanya setelah kamu selesai shooting."

"Berapa duit?"

"Seluruhnya tiga juta untuk kontrak satu tahun. Jika tahun depan kontrakmu diperpanjang kamu dapat uang lagi."

Ika menoleh dengan segera kepada kakanya.

"Cukup nggak. Kak?"

Sinta cuma bisa mengangguk. Tiga juta rupiah! Siapa yang masih bisa berpikir cukup atau tidak?

BAB XX

"Tiga juta rupiah, Nek...," suara Sinta gemetar seperti terserang malaria. "Tiga juta?" belalak Nenek tidak percaya Cucunya yang baru berumur sepuluh tahun itu bisa mendapat tiga juta rupiah? Astaga! Sampai setua ini, dia belum pernah mendapat uang sebanyak itu!

"Asal Nenek besok datang untuk menandatangani kontrak, Nenek langsung dibayar separo!"

"Tanda tangan?" Sekarang giliran Nenek yang menggigil. "Kontrak? Ah, kenapa mesti Nenek? Kan yang main Dian..."

"Ika!" potong Sinta tidak sabar. "Bukan Dian!"

"Kenapa bukan Dian?"

"Sudahlah, Nek. Nanti Dian tambah jengkel!"

Sekarang saja Dian sudah menghilang entah ke mana. Sepanjang perjalanan pun dia diam saja. Dan sikapnya kepada adiknya bukan main judesnya! "Nenek kan cuma tanya, Dian yang dites kenapa Ika yang dipilih?"

"Yang penting kan kita dapat duit! Ika atau Dian sama saja, Nek. Uangnya bisa untuk bayar biaya ramah sakit." Tapi kenapa Nenek yang mesti tanda tangan?.

"Karena Ika masih kecil."

"Suruh Rimba saja, ah Jangan Nenek. Takut"

"Rimba masih di bawah umur. Kalau Nenek kan sudah di atas umur!"

"Tapi Nenek takut."

"Takut apa sih, Nek?"

"Kalau cuma tiga ribu sih berani, tapi ini? Tiga juta!"

"Apa bedanya sih tanda tangan tiga juta atau tiga ribu?" "Nenek nggak bisa baca kontrak...."

"Biar Sinta yang baca. Nenek tanda tangan saja."

"Kalau salah. Nenek yang ditangkap?"

"Ditangkap siapa? Siapa yang mau nangkap nenek-nenek ompong?"

"Hus! Enak saja kamu ngomong!"

"Habis Nenek norak sih.' Kalau Nenek nggak mau tanda tangan, kita nggak bisa dapat duitnya!"

Nenek menghela napas berulang-ulang. Parasnya tegang.

"Coba kalau ada si Heri," dumalnya bingung. "Biar dia saja yang tanda tangan!"

"Mana boleh, Nek? Oom Heri kan bukan apa-apanya ika!"

"Tapi dia pasti tahu apa yang mesti Nenek lakukan!"

"Apa lagi? Cuma tanda tangan!"

"Nenek mesti pakai baju apa?"

"Siapa yang peduli?" sembur Sinta kesal. "Yang penting Nenek jangan sampai tidak pakai baju!"

***

Ternyata yang memusingkan kepala Sinta bukan hanya Nenek. Dian juga.

Setengah hari dia menghilang entah ke mana. Ketika dia pulang ke rumah, hari sudah gelap. Bukan cUma mukanya saja yang lusuh. Bajunya pun kotor bukan main. Sinta sampai memekik tertahan melihat dekilnya baju adiknya. "Kecebur di comberan mana?" gerutunya jengkel. "Cuci sendiri bajumu!"

Dian tidak menjawab. Sikapnya benar-benar menjengkelkan. Dia tidak mau mandi. Tidak mau makan. Bahkan tidak mau menukar baju.

"Ada apa sih?" geram Sinta sengit "Kamu ngambek karena Ika yang terpilih? Memangnya salah siapa? Ika? Kak Sinta?"

"Ika menyerobot bagian Dian!" Tangis Dian meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi. "Tapi sama saja, kan, Dian?" bujuk Sinta antara iba dan kesal. "Pokoknya kita dapat uang buat Mama! Daripada anak lain yang dapat"

"Dian malu, Kak! Teman-teman sudah tahu Dian yang dipanggil. Bu Erni sudah bilang Dian bakal muncul di TV!"

"Tapi Ika kan nggak salah, Dian!"

"Buat apa sih dia ikut ke sana?"

"Ika kan pulang sekolah! Habis dia mesti pulang sama siapa?"

"Kalau nggak ada Dca, barangkali Dian yang dipilih!" "Barangkali juga anak lain! Dan kita nggak dapat duit!"

Tapi bagaimanapun, Dian tidak dapat menghilangkan perasaan kesal itu dari hatinya. Ika menyerobot tempatnya! Merampas haknya! Memang Ika seperti tidak peduli. Yang penting baginya, dapat uang buat Mama. Tetapi Dian peduli! Dia juga ingin mencari uang untuk Mama. Sekaligus muncul di televisi!

Mengapa Pak Hamid berbohong? Katanya peran itu untuk Dian! Mengapa diberikannya kepada adiknya? Ika merampas kesempatannya untuk tampil di TV!

Dan sejak saat itu, sikap Dian kepada adiknya menjadi sangat judes. Sedikit-sedikit Ika dibentak. Kadang-kadang malah dicubit. Sia-sia Sinta menegurnya. Karena sejak hari itu, Dian seperti menjadi dua kali lebih bengis. Lebih dengki. Lebih-lebih ketika Mama kelihatan begitu terharu. Begitu bangga kepada Ika.

"Ika di televisi?" gumam Anggraini antara haru dan bangga. Dia masih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, tetapi keberhasilan Ika menorehkan segurat semangat di hatinya, "Anak Mama jadi bintang iklan?"

"Ika dapat duit banyak, Ma," Bagi Ika, yang terpenting memang cuma itu. Uang. "Buat Mama berobat, ya? Biar Mama cepat bisa pulang. Di rumah sepi nggak ada Mama!"

"Terima kasih, Ika..." Tak terasa air mata Anggraini meleleh ke pipi. "Mama bangga kepadamu..." Ketika sedang membelai pipi Ika, Anggraini baru melihat Dian. Tepekur dengan wajah cemberut di dekat kakinya. Melihat murungnya paras gadis kecilnya, tiba-tiba saja Anggraini mengerti apa yang terjadi. Tak ada yang tersembunyi bagi seorang ibu. Dalam keadaan sakit sekalipun.

***

Sesudah empat kali gagal, akhirnya Nenek berhasil juga menorehkan tanda tangan yang benar. Yang mirip dengan tanda tangan di atas KTP-nya. Dan cek sebesar satu setengah juta disodorkan ke tangan Nenek.

"Cek?" gumam Nenek bingung. "Kenapa bukan uang?"

"Ibu mau uang kontan? Oke, besok mu bisa datang lagi kemari. Ambil uang kontan."

"Biar diambil di bank saja, Nek," sela Sinta sambil mengambil cek dari tangan neneknya, "Kan bisa suruh Rimba temani Nenek."

"Mendingan diambil di sini saja, ah," bantah Nenek. Diambilnya lagi cek di tangan cucunya. Lalu dikembalikannya lagi ke sekretaris Pak Hamid. "Besok Ibu datang lagi ya, Non. Ambil uang saja di sini."

"Oh, boleh saja, Bu. Tidak apa-apa."

"Ah, Nenek!" gerutu Sinta waktu mereka keluar dari kantor Pak Hamid "Malu-maluin aja! masa ambil uang di bank nggak bisa?"

"Halo, Sinta" sapa Pak Hamid yang baru Saja datang. "Kontraknya sudah ditandatangani?"

"Sudah, Pak. Terima kasih."

"Uangnya baru besok, Pak," sela Nenek.

"Saya tidak mau cek"

"Oh, boleh saja! Mana Ika?"

"Sekolah, Pak."

"Bagus. Tapi pulang sekolah besok bawa ke sini, ya. Ika mesti shooting."

"Pak, boleh saya bicara sebentar?"

"Tentu. Soal apa, Sinta?"

"Boleh ngomong di dalam, Pak?" "Silakan. Di kantor saya saja."

"Nek, tunggu di sini, ya." Sinta buru-buru mengikuti Pak Hamid masuk kembali ke kantornya.

"Ada apa sih?" gerutu Nenek curiga. "Ngomong saja mesti di dalam!"

"Pokoknya Nenek tunggu di sini sebentar deh."

"Jangan lama-lama, ya!"

***

"Ada apa, Sinta?" tanya Pak Hamid simpatik sekali. "Apa yang bisa saya bantu?"

"Bapak tidak punya peran yang tersisa buat Dian?"

"Kenapa? Dian frustrasi? Karena Ika yang terpilih?"

"Tolonglah, Pak. Peran apa saja. Asal Dian juga bisa muncul di TV."

"Tidak segampang itu, Sinta. Saingannya banyak sekali. Kami tidak boleh sembarangan membuat iklan. Untuk mempertahankan mutu." "Tapi Bapak sendiri yang bilang, Dian cukup berbakat, kan? Hanya dia sedang sedih karena Mama sakit. Berilah dia kesempatan sekali lagi Pak. Mungkin untuk iklan produk lain."

Pak Hamid menghela napas.

"Baiklah. Bawalah Dian besok kemari. Kita tes sekali lagi. Tapi saya peringatkan Sinta, kalau Dian gagal lagi, dia bisa tambah frustrasi!"

***

Seperti biasa, Rimba melewati pos keamanan dengan tenang. Diletakkannya ranselnya di atas meja. Tetapi kali ini, petugas keamanan pabrik itu tidak langsung memeriksa ranselnya seperti biasa. Dia minta Rimba menepi. Keluar dari barisan.

"Ada apa, Pak?" Sebuah perasaan tidak enak menyelinap ke hati Rimba. Tetapi dia masih dapat memperlihatkan sikap santai.

"Ikut Pak Gultom ke sebelah." "Buat apa? Saya dicurigai?"

"Pengawas mengatakan banyak obat yang hilang di bagianmu. Disinyalir ada karyawan yang tidak jujur. Pemeriksaan harus diperketat."

"Tapi kenapa saya yang dicurigai?"

"Semua dicurigai. Tapi hari ini giliran kamu.

"Ayo, ikut saya." perintah Pak Gultom sambil menunjuk ke balik tirai.

"Bapak mau menggeledah saya?" tanya rimba santai.

"Kau mau apa?" balas Pak Gultom beringas. "Mau membangkang."

"Saya tidak mau diperiksa Bapak."

"Kau mau melawan, bah?"

"Tidak."

"Lantas kenapa kau tidak mau kugeledah?"

"Karena saya wanita."

Pak Gultom tidak jadi membentak lagi. Temannya juga ikut menoleh. Sesaat mereka sama-sama tertegun. Lalu Pak Gultom tertawa gelak-gelak.

"Bah, kautipu kita semua, ya!" dengusnya masam. "Tapi jangan harap kau bisa lolos! Un, kau panggal Mbak Titin kemari!"

Terpaksa Rimba mengikuti petugas wanita itu ke kamar sebelah. Dia tidak merasa takut. Tetapi dia tahu, pekerjaannya di pabrik itu telah berakhir.

Tanpa menunggu sampai petugas itu menyuruhnya membuka pakaian, Rimba mengeluarkan kantong obatnya. Dan meletakkannya di atas meja. Di depan petugas itu.

"Saya menyesal melakukannya, Mbak," katanya terus terang. Suaranya tidak menyiratkan rasa takut. Membuat Mbak Titin agak terperangah. "Tapi saya perlu uang. Ibu saya harus dioperasi. Kanker. Saya sudah mencoba pinjam uang. Tapi kata Pak Primus, karyawan baru seperti saya tidak punya hak untuk meminjam uang."

***

Malam itu Rimba tidak pulang. Nenek bingung. Adik-adiknya panik. Sejak tahu Mama sakit, Rimba tidak pernah pulang malam lagi. Mengapa hari ini dia terlambat?

Akhirnya Sinta nekat. Memberanikan diri menyusul ke pabrik.

"Kakakmu ketahuan mencuri obat," kata petugas satpam di posnya. "Masih diinterogasi di dalam."

Ya Tuhan! Sinta terpuruk lemas. Rimba... mencuri? Apakah demi... Mama?

"Boleh saya melihatnya, Pak?" pinta Sinta menahan tangis.

"Percuma saja. Sebentar lagi dia bakal dibawa ke polsek. Lagi pula di sini kau tidak boleh masuk. Pabrik sudah tutup."

O, Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Mama di ramah sakit. Oom Heri di penjara. Kepada siapa aku harus mengadu? Kepada siapa aku harus minta tolong? Membiarkan Rimba dibawa ke polsek? Oh, aku benar-benar tidak tega.

"Minggir, Dik." perintah satpam ku sambil bergerak untuk membuka pintu. "Mobil Bos mau keluar"

Sinta menepi sedikit. Tetapi tetap tidak mau menyingkir. Pak Satpam buru-buru membuka pintu. Dan memberi hormat kepada orang di dalam mobil.

"Siapa. Pak?" tanya orang di bangku belakang mobil itu sambil menurunkan kaca mobil.

Sinta melihat seorang lelaki mada berkemeja putih dan berdasi merah melongok keluar.

"Adiknya karyawan yang mencuri itu. Minta izin masuk untuk melihat kakaknya."

Sejenak laki-laki itu menatap Sinta. Sesaat matanya bersorot iba. Tetapi di detik lain, dia telah mengosongkan kembali tatapannya.

"Maaf, Dik. Kakakmu akan segera dibawa ke polsek. Dia ketahuan mencuri obat."

"Kasihanilah dia, Pak," pinta Sinta dengan suara memelas. "Dia anak sulung di keluarga kami. Ayah, kami sudah tidak punya. Ibu masih di rumah sakit. Habis Operasi kanker. Tolonglah, Pak. Kalau tidak ada dia, siapa yang harus mencari nafkah untuk saya dan tiga orang adik kami yang masih kecil-kecil?"

Lelaki muda itu menghela napas berat.

"Maaf, saya tidak bisa menolong," katanya datar. "Kakakmu ketahuan meneuri. Kalau dia tidak dihukum, separo karyawan pabrik ini bakal ramai-ramai mencuri."

Tanpa mendengarkan permohonan Sinta lagi, dia menutup kaca mobilnya. Dan memerintahkan sopirnya untuk meninggalkan tempat itu.

Pak Satpam memberi hormat sekali lagi. Dan menutup pintu. Tetapi Sinta belum mau pergi. Dia masih melekat di luar pinta besi.

"Pulanglah kau" perintah satpam itu tegas. "Besok saja kautengok kakakmu di polsek.

Tetapi Sinta berkeras menunggu di sana. Dia ingin melihat Rimba. Walaupun hanya dari jauh.

Lima menit kemudian, sebuah mobil polisi meninggalkan pabrik. Samar-samar, Sinta melihat Rimba di dalam. Dia memburu mobil itu sambil menangis. Tetapi mobil telah meluncur cepat meninggalkan pabrik.

***

"Kenapa datang kemari?" geram Budi Sukoco gemas.

Dia sudah berlagak tidak kenal. Tetapi gadis pincang ini tetap berkeras ingin bertemu. Daripada ribut-ribut dan istrinya tambah curiga, terpaksa ditemuinya juga gadis pincang yang keras kepala itu.

"Mau minta tolong, Oom," pinta Sinta-penuh harap. "Mama masih di rumah sakit...."

"Kan saya sudah bilang, ibumu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan film saya...." Sengaja Budi mengeraskan volume suaranya supaya istrinya ikut mendengar. "Saya tidak dapat menolong meminjamkan uang!"

"Ibumu sakit apa, Dik?" sela Nyonya Herawati yang tiba-tiba muncul. Sekadar ingin tahu kenapa gadis ini mendatangi sUaminya malam-malam begini.

"Kanker, Tante. Kanker payudara."

"Kasihan."

Sinta tidak tahu dia benar-benar iba atau cuma bibirnya saja yang berkata demikian. "Sudahlah, pulang sana!" sela Budi jemu. Saya tidak bisa meminjamkan uang! Ibumu sudah keluar dari produksi film saya."

"Tapi Oom Budi kan bukan cuma majikan Mama." Sengaja Sinta langsung menembak ke sasaran. Apa boleh buat. Daripada sia-sia mengemis. "Oom Budi teman Mama juga!"

"Eh, jangan sembarangan ngomong! Ibumu cuma salah satu artis dalam produksi..."

"Oom Budi sering datang ke rumahmu?" potong Hera dingin.

Dia memang sudah curiga. Sudah sering didengarnya desas-desus tentang suaminya.

"Sudahlah, Hera!" geram Budi jengkel. "Anak ini cuma datang untuk pinjam uang!"

"Tapi malam ini saya datang buat Rimba, Oom. Dia dapat kesulitan. Sekarang ditahan di polsek."

"Tapi kenapa datang kepadaku?" Budi hampir berteriak saking kesalnya.

"Sinta kira Oom masih teman Mama. Sinta nggak tahu lagi ke mana harus minta tolong..."

"Aku bukan apa-apamu. Ibumu cuma salah seorang artis yang main dalam filmku..."

"Biar Tante yang ikut kamu." potong Hera tanpa ragu sedikit pun. "Tante tukar baju dulu."

"Astaga, Hera! Apa-apaan kau? Kau tahu pukul berapa sekarang?"

"Ada anak teman baikmu minta tolong kau tidak peduli?" sindir Hera sinis. "Teman apa sih kau ini!"

"Oke! Oke! Biar aku yang ikut dia. Walaupun aku tidak tahu apa yang bisa kubantul"

Buru-buru Budi membawa Sinta pergi. Sebelum istrinya keburu ikut. Dia tahu sekali apa yang diinginkan Hera. Dia bukan ingin menolong. Cuma ingin mengorek keterangan!"

***

Dari mana kamu tahu rumahku?" gerutu Budi di dalam mobil.

"Dari buku telepon Mama," sahut Sinta santai.

Entah mengapa begitu melihat betapa penakutnya lelaki ini di depan istrinya, dia jadi memandang enteng. Dan tidak merasa takut atau segan lagi.

"Apa sebenarnya yang dilakukan kakakmu? Membakar pabrik? Menghasut pekerja lain untuk mogok?"

"Mencuri obat."

"Ya ampun!"

"Rimba mencuri supaya dapat duit. Buat operasi Mama."

Sesaat Budi terdiam. Di luar kehendaknya, mendadak saja bayangan Anggraini melintas di depan matanya.

"Aku mencintaimu," Budi seperti mendengar suaranya sendiri.

Berapa kali dia telah mengucapkan kata-kata itu kepada Anggraini? Sekarang ketika wanita itu sedang terkapar di rumah sakit, di manakah cinta yang dulu demikian menggelora? Meminjamkan uang saja dia tidak sudi!

Dia yang telah mengkhianatiku, geram Budi dalam hati. Dia yang telah menyimpan lelaki itu di kamarnya.

"Oom Heri sakit," terngiang kembali kata-kata Sinta.

Karena itukah Anggraini merawatnya? Melindunginya? Menyembunyikannya di kamarnya?

Perempuan itu memang baik. Lembut. Walaupun kadang-kadang bodoh. Mungkinkah karena kebaikan hatinya dia membiarkan laki-laki muda itu bersembunyi di rumahnya?

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Budi setelah lama terdiam. Suaranya melunak.

"Masih di rumah sakit."

"Bagaimana kondisinya?"

"Baik. Tapi masih lemah."

"Masih perlu uang?"

"Buat biaya rumah sakit saja masih kurang. Padahal habis ini Mama masih harus disinar."

"Perlu berapa?"

Sinta menoleh dengan heran. Tetapi dalam gelap dia tidak dapat membaca air muka laki-]aki itu.

Dia benar-benar mau menolong atau... cuma untuk menutupi dosanya di depan istrinya?

"Satu juta," sahut Sinta tanpa berpilar lagi. "Untuk sementara."

"Besok ambil di kantor. Tapi ingat, jangan pernah datang ke rumahku lagi!"

"Dan menemui istri Oom?"

"Kamu tidak ingin mengacaukan rumah tanggaku, kan?"

"Bukankah dulu Oom yang ingin jadi ayah kami?" "Ibumu tidak mau."

"Karena Oom masih punya istri!"

"Karena anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi!" Budi mengatupkan rahangnya dengan marah. "Dan karena dia menyimpan seorang gigolo di kamarnya!"

"Oom Heri memang tidur di kamar Mama. Tapi selama itu, Mama tidur di atas, bersama kami. Kenapa Oom marah-marah begitu?" "Kenapa ibumu tidak mau membela diri kalau tidak bersalah?"

"Buat apa? Oom kan bukan suami Mama! Oom juga nggak pernah bilang di mana-istri Oom tidur, kan?"

"Brengsek kau!" maki Budi gemas.

Ternyata si pincang ini pintar omong seperti ibunya!

"Kata Mama, Oom Budi kepengin punya anak."

"Dan istriku mandul!"

"Kenapa nggak mau angkat anak?"

"Aku ingin anak kandung!"

"Kalau Oom jadi menikah dengan Mama, kami juga bukan anak kandung, kan?"

"Itu lain!"

"Maksud Oom, kami bakal diperlakukan lain dengan anak kandung Oom?"

Sekali lagi Budi mati langkah!

BAB XXI

Dengan jaminan Budi Sukoco, Rimba akhir-dibebaskan. Dia hanya diharuskan melapor setiap hari. Dan diberhentikan dari pekerjaannya.

Sebelumnya direktur perusahaan tempatnya bekerja juga sudah menelepon. Mereka tidak ingin memperpanjang tuntutan. Karena ternyata Rimba masih di bawah umur. Dan dia mencuri untuk mencari biaya pengobatan untuk ibunya.

Ketika mendengar kata-kata petugas itu, tiba-tiba saja Sinta teringat pada laki-laki berdasi yang melongok dari dalam mobilnya itu. Diakah yang menelepon? O, rasanya Sinta ingin datang ke pabrik besok untuk mengucapkan terima kasih!

"Rusak!" gerutu Budi ketika mengantarkan anak-anak itu pulang.

"Lelaki bukan, perempuan bukan, masih nyolong lagi!"

Rimba yang duduk di bangku belakang menatap Telaki itu dengan penuh kebencian.

Dulu dia mencerca Mama, geramnya sengit. Sekarang dia menghina diriku! Sialan! Ngapain! Sinta minta tolong sama dia?!

"Habis aku mesti minta tolong ke mana lagi?" balas Sinta mangkel ketika Rimba marah-marah padanya sesampainya di rumah.

"Nggak perlu minta tolong sama ular!"

"Kalau cuma ular yang bisa membebaskanmu?"

"Lebih baik dibut daripada minta tolong sama ular!" "Di mana ada ular?" sergah Nenek panik sambil menuruni tangga.

"Nggak ada," sahut Sinta kesal. "Nenek budek sih! Salah dengar!"

***

Tergopoh-gopoh Ika berjalan keluar dari kelas. Wah, terlambat sedikit! Pasti Kak Dian marah-marah lagi! Akhir-akhir ini dia memang judes sekali. Salah sedikit saja, Ika pasti dimarahi. Salah lebih besar, dicubit. Dipukul.

Sekarang dia terlambat keluar dari kelas. Pasti Kak Dian sudah merengut! Waduh!

Dari jauh Ika sudah melihat Dian. Tegak menunggu di halaman sekolah. Dekat pintu gerbang.

Celaka. Kalau dia kepanasan, cubitannya pasti lebih keras!

Tergesa-gesa Ika berlari-lari kecil menghampiri kakaknya. Dan dia belum sempat membuka mulut untuk menegur ketika tiba-tiba seperti tidak di-sengaja Dian mengulurkan kakinya. Tidak ada yang melihat. Kejadiannya begitu cepat.

Ika tidak sempat mengerem Jarinya. Kaki Dian tepat mengganjal kakinya. Dan Ika tersandung. Jatuh tersungkur ke depan. Mulutnya menghantam tanah. Cukup keras. Sakitnya bukan main.

Ika menangis kesakitan sambil menebah mulutnya. Ketika dia melihat tangannya berlumuran darah, dia menjerit. Dan menangis makin keras.

***

Gigi Ika patah," keluh Sinta panik. "Gimana nih, Nek? Siang ini kan Ika mesti shooting!"

"Boro-boro shooting!" gerutu Nenek yang masih mendekap cucunya antara kesal dan gemas.

Bajunya yang paling bagus, yang sengaja dipilihnya untuk acara hari ini, sudah penuh bercak-bercak darah Ika. "Kita mesti bilang apa sama Pak Hamid?" keluh Sinta bingung.

"Bilang saja hari ini Ika nggak bisa ke sana. Giginya ompong. Mulutnya bengkak. Matanya juga bengkak karena dia nangis terus!"

Ika memang sudah tidak bisa dibujuk lagi. Dia menangis teras sampai terpaksa Sinta membawanya pulang.

Rimba yang sedang menyuapi Intan tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun ketika melihat keadaan Ika. Tetapi yang murung bukan hanya Sinta, Dian pun membisu sejak tadi.

Jauh di dalam hati kecilnya, sebenarnya Dian juga sedang menangis. Begitu dengkinya dia pada adiknya beberapa hari ini sampai tega mencelakakan Ika. Tetapi ketika melihat akibat perbuatannya, ketika melihat Ika menangis sehebat itu, terbit juga sesal di hatinya. Lebih-lebih ketika menyadari, mereka tidak dapat mengambil uang untuk Mama!

"Nenek sih," gerutu Sinta setelah tidak tahu lagi ke mana harus mengumbar kekesalannya. "Kan Sinta sudah bilang kemarin, ambil saja ceknya! Kita uangkan sendiri di bank!"

"Mana Nenek tahu sih bakal begini sial?" Nenek juga tidak kalah pedasnya mendumal. "Ika kan sudah lama nggak pernah jatuh! Eh, pas mau. shooting malah ompong!"

Dan Ika menangis makin keras. Dian tepekur sambil menggigit bibirnya.

***

"Ompong?" Pak Hamid sampai separo berteriak. "Ika belum bisa kemari, Pak. Bibirnya bengkak. Dan dia masih menangis terus...."

"Jadi bagaimana? Semua persiapan shooting sudah oke! Tinggal tunggu Ika!"

"Saya minta waktu sampai besok, Pak," Sinta menggagap kecut. Takut melihat reaksi kemarahan Pak Hamid. Hilanglah sudah semua keramahan dan senyum simpatik di wajahnya! "Besok pasti bibir Ika sudah tidak begitu bengkak lagi...."

"Dan giginya? Dengar, Sinta. Bawa dia ke dokter gigi! Tanya apa yang dapat dilakukan untuk menambal giginya yang patah itu! Dan tolong, secepat mungkin. Atau saya harus mencari pemain baru."

"Iya, Pak. Terima kasih." Dengan gugup Sinta membalikkan tubuhnya. Ingin mengangkat kaki secepat mungkin, ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dan dia terpaksa memutar tubuhnya lagi "Anu, Pak... maaf."

"Apa lagi??"

"Anu, Pak... boleh saya mengambil uang honor Ika, Pak?"

"Honor apa?" tanya Pak Hamid separo membentak. "Belum shooting sudah tanya honor?!"

"Yang separo, Pak," sahut Sinta gugup. "Yang kemarin belum diambil..."

"Suruh nenekmu mengambilnya kalau Ika sudah bisa shooting! Kalau dia tidak bisa memperbaiki giginya, perannya akan digantikan anak lain! Kontrak batal.

Ya Tuhan, tangis Sinta dalam hati. Air mata langsung menggenangi matanya. Berat benar cobaan-Mu!.

Tetapi yang sedih bukan hanya Sinta. Dian yang ikut menemani juga terpuruk dalam kedukaan. Sekarang dia baru merasakan benar akibat perbuatan jahatnya! Mereka tidak bisa memperoleh uang untuk Mama!

"Sama saja, kan, Dian?" tiba-tiba saja kata-kata Sinta seperti menggelitiki bati kecilnya. "Pokoknya kita dapat uang buat Mama! Daripada peran itu jatah ke tangan anak lain?"

Dan keringat dingin tiba-tiba membanjiri sekujur tubuh Dian ketika mendengar Pak Hamid berteriak kepada asistennya. "Cepat hubungi pemain cadangan! Siapa namanya anak Kebon Jeruk itu? Telepon ibunya. Kita tes sekali lagi siang ini juga!"

"Tapi, Pak..." sela Sinta, kepanikan tidak bisa mendapat uang untuk ibunya menghapuskan rasa takutnya. "Apakah Bapak tidak bisa menunggu sampai Ika sembuh?"

"Kami terikat kontrak, Sinta! Cobalah mengerti. Produksi kami ada dead line-nya! Mana bisa menunggu Ika terus?"

"Pak," sekarang Dian yang memberanikan diri maju ke depan. Mukanya pucat, matanya panik. Tapi demi Mama, dia menekan rasa malunya. "Boleh Dian coba lagi?"

Pak Hamid menoleh kepadanya dengan wajah masam. Tetapi ketika melihat kesungguhan anak itu, dia berteriak kepada krunya.

"San! Siapkan kamera!"

***

Dian mencoba bermain sebaik-baiknya. Tetapi perasaan hatinya yang sedang galau tidak dapat didustai. Setelah beberapa kali mengulang, akhirnya Pak Hamid menyerah.

"Cut!" teriaknya putus asa. "Kita break!"

Dibantingnya bukunya dengan sengit. Tanpa berkata apa-apa lagi kepada Dian dan Sinta, dia masuk ke kamar kerjanya.

"Hubungi anak Kebon Jeruk itu!" katanya lesu kepada sekretarisnya yang tergopoh-gopoh menghidangkan minuman dingin. "Suruh datang sekarang.

Dian menangis dalam pelukan Sinta. Dia tahu, dia telah gagal total. Dan bukan itu saja. Kalau anak Kebon Jeruk itu berhasil, dia juga telah menggagalkan Ika. Dan itu berarti, menggagalkan uang biaya perawatan Mama! "Bagaimana aku harus mengatakannya kepada Mama?" tangis Sinta sesampainya di rumah. "Bukan cuma Mama," sahut Rimba murung. "Bagaimana mengatakannya kepada petugas administrasi rumah sakit yang judes itu? Kamu kan sudah janji mau bayar dua setengah juta besok pagi."

"Rasanya aku kepengin mati saja." keluh Sinta I getir. "Aku sudah tidak kuat lagi...."

"Kak Sinta!" Dian menubruk kakaknya. Dan tangisnya meledak makin hebat. "Maafkan Dian...."

"Bukan salahmu." Sinta membelai-belai kepala adiknya dengan terharu. "Kamu sudah berusaha...."

Tapi Kakak tidak tahu apa yang telah kulakukan kepada Ika!

"Kak..." Ika menghampiri Sinta dengan ketakutan. "Kakak jangan mati dulu, ya? Ika takut! Takut lihat orang mati!"

***

"Bagaimana, Angga?' sapa Dokter Surjadi ramah begitu dia masuk ke kamar Anggraini. "Ada keluhan?"

"Bekas operasinya masih sakit, Dok. Terutama yang di dada."

"Nanti kita lihat lukamu." Dokter Surjadi memberi isyarat kepada perawatnya untuk membuka plester yang menutupi jahitan luka operasi di dada Anggraini. "Sampai sebegitu jauh, kondisimu baik, Angga. Temperaturmu normal. Tidak ada komplikasi."

"Terima kasih, Dok." Anggraini berusaha melihat bekas operasinya. Tetapi Dokter Surjadi mencegahnya.

"Jangan dilihat dulu," hiburnya sambil tersenyum. "Nanti kau kaget. Tunggulah sampai lukanya benar-benar sembuh."

"Masih sering berdenyut, Dok," keluh Anggraini lirih. "Dan lengan kiri saya sering kesemutan."

Dokter Surjadi memeriksa bekas luka di dada dan ketiak kiri Anggraini. Lalu dia memerintahkan perawatnya untuk menutup kembali bagian yang sudah dijahit itu.

"Antibiotiknya diteruskan," instruksinya kepada perawat. "Ada obat yang habis?" "Kalau malam tidak bisa tidur, Dok," sela Anggraini. "Boleh minta obat tidur?"

Dokter Surjadi menandatangani selembar resep. Sementara perawatnya mencatat obat-obatan-yang diinstruksikannya.

"Kapan saya boleh pulang, Dok?" sergah Anggraini lagi.

"Memangnya kau sudah kuat?" Dokter Su tersenyum pahit "Sudahlah, jangan pikirkan pulang!"

"Anak-anak membutuhkan saya, Dok. Mereka masih kecil-kecil."

Dan makin lama saya di sini, biayanya makin besar. Anggraini tidak berani mengucapkan kalimat yang terakhir itu. Tetapi Dokter Surjadi seperti dapat menerkanya walaupun tidak mendengar.

Tunggulah seminggu lagi. Sampai kondisimu benar-benar stabil. Dan luka operasimu mengering. Kalau penyembuhannya prima, jaringan parutnya tidak terlalu jelek."

Apa bedanya lagi... pikir Anggraini getir. Biar kulitnya tidak terlalu berkerut sekalipun, payudaranya tetap telah kehilangan keindahannya! Biarpun Dokter Surjadi masih menyisakan jaringan payudaranya, buah dadanya tidak lagi sepadat dan semontok dulu!

Semuanya tinggal kenangan. Dan meskipun di mulut dia mengatakan tidak peduli lagi, hati kecilnya tetap menangisi bagian tubuhnya yang hilang. Bagian terindah yang menjadi kebanggaannya!

***

Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun di depan Anggraini. Semuanya membisu. Semuanya menunduk dengan wajah muram.

"Ada apa?" desak Anmaini cemas. Iin sakit?"

"Nggak ada apa-apa, Ma," cuma Rimba yang mampu membuka mulut. "Iin sehat."

"Tapi Mama pasti tidak salah lihat. Kalian sedang sedih. Ada apa?"

Lagi-lagi cuma Rimba yang mampu menjawab.

"Kita nggak dapat uang, Ma."

Anggraini kecewa. Sekaligus lega. Dia memaksakan sepotong senyum lembut di bibirnya walaupun hatinya sedih. "Mama kira ada yang sakit. Mama lega kalau soalnya cuma uang. Tidak apa-apa. Ika nggak bisa shooting hari ini?"

Ika merayap ke atas tempat tidur. Rimba sudah bergerak untuk menurunkan adiknya, tetapi Anggraini mencegahnya.

"Biar saja. Ada apa, Sayang?"

"Ma." Ika menatap ibunya dengan bimbang. Matanya bersorot sedih sekali. "Ika ompong!"

Diperlihatkannya giginya kepada ibunya. Dan Anggraini mengawasi gigi yang, tinggal sepotong itu antara geli dan iba.

"Ika jatuh, ya?"

"Ika lari-lari, Ma! Mama marah, nggak?"

"Mama kan sudah bilang, Ika nggak boleh lari-lari!"

"Lain kali nggak, Ma.... Ika mau jalan saja. Pelan-pelan. Mama jangan marah, ya?"

"Sudahlah." Anggraini membelai mulut anaknya dengan lembut. Hati-hati. Dan penuh kasth sayang. "Sakit, Ika?" "Sakit, Ma. Ika sampai nangis. Tapi sekarang sih udah nggak sakit lagi."

"Nanti kalau Mama sudah sembuh, kita ke dokter gigi, ya?"

"Ke Dokter Yanuar aja ya, Ma?"

"Dokter gigi yang cakep itu? Ika senang sama dia?"

"Abis dia baik sih, Ma!"

"Nanti kita ke sana, ya. Tapi di sana nanti flea nggak boleh cerewet."

Anggraini menoleh ke arah Sinta. Tepat pada saat Sinta sedang menatapnya dengan sedih. Dan Anggraini langsung memahami apa yang terjadi.

"Ika nggak bisa shooting?"

Sinta mengangguk. Dan air matanya berlinang.

"Dian yang salah, Ma!" cetus Dian tiba-tiba.

"Tidak, Dian." Anggraini membelai rambut anaknya yang ketiga itu dengan lembut. "Dian sudah berusaha."

Tetapi di mata Dian, Anggraini melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya dapat dilihat oleh seorang ibu. Karena ini ketika Dian hendak membuka mulutnya, Anggraini meletakkan tangannya di bibir gadis kecil itu. "Mama tahu," bisiknya penuh pengertian. "Dian menyesal."

BAB XXII

"Kamu lagi!" gerutu Budi Sukoco gemas. "Mau apa lagi?"

"Maaf, Oom," desah Sinta gugup. "Oom bilang, nggak boleh datang ke rumah, kan? Jadi saya datang ke kantor...."

"Ada apa lagi? Saudaramu ditahan lagi?"

"Saya perlu uang, Oom...."

"Uang lagi?"

"Buat Mama." "Berapa?"

"Satu juta setengah, Oom."

"Satu juta lima ratus ribu? Astaga, Sinta! Kapan kamu bisa bayar utangmu? Kamu baru saja pinjam sejuta!" Sinta tidak menyahut. Dia menunduk sedih. Diam-diam dua tetes air mata mengalir ke pipinya. Dan diam-diam, Budi merasa iba.

"Kamu sudah makan?"

Sinta menggeleng. Makan! Siapa yang ingat makan?

Pagi-pagi dia sudah dimarahi petugas administrasi yang judes itu.

"Katanya hari ini mau bayar dua setengah juta Mana? Ini kan cuma sejuta!"

"Minta waktu beberapa hari lagi, Mbak."

"Tagihan sudah begini banyak. Mana bisa mundur-mundur lagi? Kalau tidak dilunasi juga, pengobatan ibumu tidak bisa dilanjutkan!"

"Kalau ada uang, pasti saya bayar, Mbak."

"Semua pasien juga inginnya begitu. Tapi rumah sakit tidak bisa bekerja kalau tidak ada uang!"

"Mau ikut makan siang?" tanya Budi sambil menyambar tas kantornya. "Oom mau pergi makan di luar."

***

Akhirnya Heri dijatuhi hukuman kurungan dua tahun dipotong masa tahanan. Rimba yang mengikuti persidangan itu langsung melaporkannya kepada ibunya di rumah sakit.

Terima kasih, Tuhan," bisik Anggraini lega. Dua tahun! Tidak terlalu lama. Jika Tuhan menghendaki, barangkali dm masih sempat melihat Heri keluar dari penjara.... Masih dapatkah mereka berkumpul kembali?

Rimba melihat pijar-pijar gempita di mata ibunya. Dan dia merasa gelitik yang tidak menyenangkan itu kembali mengusik nuraninya. Masihkah Mama mengharapkan Oom Heri?

Jika boleh memilih, Rimba tidak menghendaki ibunya menikah lagi. Tetapi kalau menikah dapat membahagiakan sisa hidup Mama... masih tegakah dia melarang?

"Ada apa, Rimba?" Biarpun sedang tenggelam dalam kegembiraan, sikap Rimba tetap tak luput dari perhatian Anggraini. "Kamu masih kerja?" "Masih, Ma." Rimba mengosongkan tatapannya supaya ibunya tidak dapat membaca dustanya. "Tapi minggu depan mau pindah. Kerja di situ nggak enak."

"Sebetulnya Mama ingin Rimba sekolah lagi."

"Lihat nanti deh, Ma. Sekarang Rimba mau cari duit dulu."

Anggraini menghela napas berat.

"Bagaimana Dian?"

"Masih merasa bersalah. Nggak bisa cari duit buat Mama."

Aku merasa dia mempunyai persoalan lain, pikir Anggraini gundah. Perasaan bersalahnya jauh lebih besar daripada itu! Apakah Dian yang menyebabkan Ika jatuh?

"Ika bagaimana?"

"Oh, si bawel itu sih sudah berkicau lagi!"

"Iin?"

"Ngomongnya sudah tambah satu."

"Apa?"

"Mmam."

"Makan?" Anggraini tersenyum lebar. Dan lupa menanyakan keadaan anaknya yang satu lagi. Yang justru dianggapnya tidak mempunyai masalah.

***

"Jangan bilang ibumu uang itu dari Oom, Budi kepada Sinta ketika mereka sedang siang berdua untuk kesekian kalinya.

Sejak Sinta sering datang untuk minta tolong, hbubungan mereka perlahan-lahan menjadi akrab. Sinta membutuhkan laki-laki itu sebagai tempat meminta tolong.

Sebaliknya Budi tiba-tiba merasa dibutuhkan kembali. Dan perasaan dibutuhkan itu membuat dia merasa berkuasa kembali sebagai pria.

Di rumah, Hera seperti sudah tidak membutuhkannya. Dia memang tidak ingin diceraikan. Tetapi itu untuk mempertahankan status. Bukan karena membutuhkan suaminya.

Dan kehadiran Sinta yang mula-mula tidak disukainya itu kini malah membangkitkan kembali gairahnya. Budi seperti menemukan kembali pengganti Anggraini. Meskipun lebih muda dan lugu.

Kalau sudah didandani dan dibelikan pakaian yang bagus-bagus, ternyata Sinta mirip ibunya. Kecuali dia baru berumur empat belas tahun. Dan pincang.

"Besok Mama pulang, Oom," cetus Sinta di dalam mobil yang membawa mereka pergi dari rumah makan itu. "Oom mau ikut jemput Mama?"

"Besok Oom mesti ke Bandung," tentu saja Budi berdusta.

"Oom mau kan datang ke rumah nengok Mama?"

"Oom usahakan."

"Kapan?"

"Ya kapan-kapan." "Oom masih kesal sama Mama?"

"Sedikit."

"Masih ingin menikah?"

"Dengan ibumu? Tentu saja tidak! Oom pikir ibumu juga sudah tidak memikirkan perkawinan lagi."

"Kenapa? Kalau perkawinan bisa membahagiakan Mama..." "Sinta mau ikut nonton shooting?"

"Oom mau ngajak Sinta nonton shooting?" ulang Sinta tidak percaya. Matanya bersinar sekejap.

"Mau, nggak?"

"Boleh?"

"Tentu saja boleh. Asal nggak dicari nenekmu yang bawel itu!"

"Hari ini bagian Rimba jemput Dian dan Ika. Dulu mereka ikut mobil antar-jemput. Tapi sekarang terpaksa pulang sendiri."

"Karena tidak ada uang?"

"Kami mesti betul-betul berhemat."

"Sinta tidak mau cari uang?"

"Sinta laku kerja apa, Oom?"

"Mau coba-coba main film seperti Mama?"

"Sinta?" Paras gadis remaja itu langsung memerah. "Apa laku gadis pincang kayak Sinta ini main film, Oom?" "Yang disorot kan bukan kakimu?"

"Betul Oom mau ngajak Sinta main film?" tanva Sinta dengan dada berdebar-debar. Mukanya terasa panas. Tetapi tangan-kakinya justru dingin.

"Siapa tahu kamu berbakat. Pincangmu kan ditutupi?

"Tahunya Sinta berbakat.?" "Kan bisa dites."

"Apanya?"

"Ya aktingnya dong."

"Kapan ditesnya, Oom?"

"Terserah kamu. Sekarang juga boleh, kamu mau."

"Di mana? Di studio? Seperti Dian dan Ika?"

***

Tetapi Budi tidak membawa Sinta ke studio Dia membawanya ke sebuah cottage yang banyak bertebaran di pantai utara Jakarta. Di sanalah katanya Sinta akan dites.

Ketika Sinta menyadari apa yang diinginkan Budi, sudah terlambat untuk mencegahnya. Dia hanya dapat menangis tersedu-sedu di atas tempat tidur setelah semuanya terjadi.

"Sudah, jangan nangis," hibur Budi lemah lembut Seolah-olah Sinta cuma kehilangan sepatunya. "Nggak apa-apa kok. Tidak ada yang tahu. Dan aku akan menepati janjiku. Akan kujadikan kamu seorang bintang. Bintang yang lebih hebat dari ibumu."

Ketika teringat Mama, Sinta malah menangis makin sedih. Apa yang harus dikatakannya kepada Mama? Atau... lebih baik jika tidak dikatakannya? Mama pasti sakit hati. Padahal tubuhnya masih demikian lemah...

"Sudah, Sinta. Hapus air matamu!" tukas Budi sambil bangkit dari tempat tidur. "Jangan sampai Mama tahu. Sebentar lagi kamu harus pergi ke rumah sakit, kan? Ayo, Oom antar ke sana."

Tetapi Sinta tidak mau menemui ibunya. Dia takut Mama dapat membaca kesedihannya. Mama sulit dibohongi. Lebih baik dia pura-pura tidak enak badan... atau bukan pura-pura. Badannya memang terasa amat tidak nyaman! Pikirannya juga. Lebih baik sore ini tidak usah mengunjungi Mama....

Budi mengantarkannya pulang ke rumah. Sesaat sebelum Sinta turun dari mobilnya, dia menyodorkan seratus ribu rupiah.

"Buat jajan," katanya lunak. "Kalau perlu uang, datang saja ke kantor." Betapa dermawannya Oom Budi sekarang! Tiba-tiba saja begitu mudah bagi Sinta untuk mendapatkan uang!

***

"Sinta sakit?" Anggraini mengangkat alisnya dengan cemas. "Katanya nggak enak badan," sahut Nenek tawar. "Habis saban hari pergi melulu!"

"Sinta cari uang buat biaya rumah sakit, Nek!" ralat Rimba kesal. "Kalau dia di rumah terus bagaimana kita bisa bayar tagihan besok?"

"Sinta cari uang?" Dahi Anggraini tambah berkerut. "Ke mana?"

"Katanya pinjam sana-sini." Uang sebesar itu? Siapa yang mau meminjamkannya pada Sinta? Aneh.

"Besok Mama pulang ya, Ma?" sela Ika lincah. "Udah lama banget Mama di sini. Udah berapa lama ya, Ma? Sebulan?" Anggraini- tersenyum pahit.

"Belum sampai tiga minggu, Sayang. Ika sudah kepengin tidur sama Mama?"

"Dan kepengin Mama antar ika ke studio. Sekarang bibir Ika udah nggak sakit lagi, Ma. Ika udah bisa shooting. Nanti Ika bawa uang banyak buat Mama, ya."

"Tentu, Manis." Anggraini mencubit pipi Ika dengan gemas. Masalahnya, kesempatan langka itu tidak datang dua kali! Pak Hamid sudah menemukan calon bintang lain. Dan lowongan itu telah tertutup.

"Jangan khawatir, Ma," sela Rimba ketika melihat pembahan wajah ibunya. "Kata Sinta, sisa tagihan besok bisa dilunasi."

Aku justru bertambah khawatir, pikir Anggraini bingung. Dari mana Sinta mendapat uang sebanyak itu?

***

"Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Sinta?" tanya Anggraini keesokan harinya, ketika Sinta dan Rimba menjemputnya ke rumah sakit.

Hari ini Anggraini sudah diperbolehkan pulang. Dokter Surjadi sudah melakukan visite terakhir ke kamarnya. Dan Anggraini hanya diminta kontrol kembali ke rumah sakit sebelum menjalani seri pertama terapi radiasinya. "Pinjam, Ma."

"Pinjam dari mana? Siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu?"

"Dari Oom Budi, Ma," sahut Sinta ketika dia merasa tidak dapat membohongi ibunya lagi. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Tidak berani membalas tatapan ibunya.

"Oom Budi?" Anggraini bukan hanya terkejut. Dia heran. Sekaligus bingung. Tidak percaya. Curiga.

Budi mau meminjamkan uang sebanyak itu? Bukan main! Sudah punahkah kemarahannya? Tetapi kalau dia sudah tidak marah lagi... mengapa dia tidak pernah datang mengunjunginya?

"Barusan Sinta datang ke kantornya, Ma. Pinjam uang."

"Kamu berani datang kepadanya tanpa setahu Mama?"

"Habis Sinta mesti pergi ke mana lagi, Ma?" potong Rimba, tidak tega melihat pucatnya wajah adiknya. Mata Sinta menggelepar dalam ketakutan. Dan dia seperti tidak berani memandang ibunya.

"Jadi Rimba juga setuju Sinta pinjam uang  dari Oom Budi?" Anggraini menoleh heran kepada putri sulungnya. "Biasanya Rimba paling alergi sama Oom Budi, kan?"

"Kalau dia mau kasih pinjam, peduli amat!" balas Rimba datar. "Masa bodoh siapa yg mau ngutangin pokoknya dapat duit.

"Kamu tidak berpikir apa mungkin dia mengharapkan sesuatu dari kebaikannya?"

"Apa yang mau diharapkan dari kita?" sahut Rimba seenaknya. "Biar saja dia berharap sampai tua."

"Oom Budi tidak tanya kapan kita bisa mengembalikan uang sebanyak itu, Sinta?"

Sinta menggeleng tanpa berani mengangkat kepalanya.

"Maafkan Sinta, Ma," desahnya lirih sinta bingung. Tidak tahu lagi ke mana harus mencari uang..."

"Maafkan Mama juga, Sinta." ujar Anggraini lembut. "Mama tahu betapa berat penderitanmu. Betapa berat usahamu mencari uang."

Tapi Mama tidak tahu betapa besar pengorbananku untuk memperoleh uang itu, tangis Sinta dalam hati.

BAB XXIII

Anggraini mengucap syukur kepada Tuhan ketika dia menginjak rumahnya kembali. Dia bersyukur masih hidup walaupun harus kehilangan sebagian dari tubuhnya.

Ketika maut sudah terasa begitu dekat, kadang-kadang manusia baru menyadari betapa indah sebenarnya hidup ini. Dan merupakan suatu karunia yang besar jika kita masih boleh menikmati hidup.

Sekarang Anggraini menyadari benar, berkumpul bersama anak-anaknya merupakan anugerah Tuhan yang terindah. Sebaliknya anak-anaknya pun kini menyadari betapa mereka merasa kehilangan jika Mama tidak ada di rumah. Karena Anggraini masih lemah, dia belum dapat naik ke atas. Dia terpaksa tidur di kamar bawah. Dan anak-anaknya berbondong-bondong memindahkan kasur mereka ke kamar itu.

Mereka begitu memperhatikan Anggraini. Hampir tidak pernah berhenti melayaninya dan menemaninya. Sampai Anggraini pernah berpikir, jika kanker ini tidak singgah di tubuhnya, pernahkan dia merasakan kasih dan perhatian yang begitu besar dari anak-anaknya?

***

Lama Anggraini mengawasi tubuhnya di depan cermin. Dan air mata perlahan-lahan mengalir menuruni pipinya. Parut bekas jahitan meninggalkan garis linier yang mengerikan di kulit payudaranya. Payudara kirinya yang menjadi jauh lebih kecil dari payudara sebelahnya tampak kempis dan menggantung. Sungguh tidak menyenangkan untuk dipandang. Nyeri bahu dan punggung masih sering menyerangnya. Lebih-lebih jika dia mengangkat lengan kirinya. Dan untuk mengurangi sakit, sering secara tak sadar Anggraini mengerutkan bahunya. Akibatnya tinggi bahunya menjadi kurang simetris.

"Jangan terlalu sedih," hibur Dokter Surjadi ketika Anggraini datang kontrol ke tempat prakteknya. "Kalau terapi radiasi telah lengkap kaujalani, akan kita lakukan pembedahan rekonstruktif. Supaya payudara kirimu tidak terlalu menyedihkan bila dipandang."

Pembedahan lagi! Dan itu berarti biaya tambahan! Dari mana dia memperoleh uangnya?

Sekarang saja rumah tangganya sudah hampir kolaps. Tadi siang, hanya ada nasi, lalap, dan sambal di meja makan. Dan Anggraini segera, tahu apa yang terjadi.

"Nggak apa-apa, Sinta," hiburnya ketika Sinta menyatakan penyesalannya karena hanya itu yang dapat dihidangkan. "Makanan seperti ini justru baik bagi Mama. Sayur-mayur mengandung banyak serat. Dan direbus begini malah tidak mengandung minyak."

"Tapi Ika nggak doyan, Ma!" protes ika yang baru pulang sekolah.

Tetapi sebelum mulutnya mengoceh lebih banyak lagi, Dian telah menyepak kakinya.

"Makanan begini sehat kata Mama!" Dian memelototi adiknya dengan galak. "Udah, makan aja! Nih, colek sama sambal!"

"Tapi Ika nggak doyan sambel! Pedes!"

"Ya jangan pakai sambal!"

"Ika mau kerupuk?" Sinta mengambil kaleng bekas biskuit dari lemari. Masih ada dua lembar kerupuk di dalamnya. "Ini bisa buat teman nasi."

Ika mengambil kerupuk itu dan menggigitnya. Tapi langsung diludahkannya kembali.

"Ika!" tegur Dian judes. "Kenapa dibuang lagi?"

"Kerupuknya melempem!" "Mungkin terlalu lama disimpan." Sinta menutup kembali kaleng biskuitnya baik-baik, seolah-olah dia menyimpan segenggam emas. "Atau tutupnya kurang rapat. Makan saja deh, Ika."

Anggraini tidak tahan lagi. Diletakkannya sendoknya. Ditinggalkannya meja makan. Anak-anaknya saling pandang dengan perasaan bersalah."Gara-gara kamu  sih!" gerutu Dian kesal. "Lihat tuh, Mama jadi sedih!"

Lambat-lambat Ika menggigit kerupuknya. Menyendok sesuap nasi. Dan mengunyahnya sambil meram melek seakan-akan dia sedang menyantap nasi goreng istimewa yang amat lezat.

***

"Mama...," bisik Bea di samping ranjang ibunya. "Mama udah bobo? Kalau udah, biar aja, jangan bangun." Anggraini menyeka air matanya. Membalikkan tubuhnya di tempat tidur. Dan menghadap ke arah Ika.

"Belum, Sayang. Ada apa?"

"Mama marah sama Ika, ya?"

"Tentu saja tidak, Sayang."

"Kok Mama nangis? Nggak mau makan?"

"Mama sedih."

"Karena Ika nggak man makan kerupuk melempem?"

"Karena Mama tidak dapat menyediakan makanan yang lebih enak buat Ika."

"Jangan nangis, Ma, Kerupuknya udah habis. Nasinya juga. Piring Ika udah bersih, Ma."

"Ika pintar sekali." Anggraini memeluk anaknya dengan terharu.

Saat itu Dian melangkah masuk dengan hati-hati.

"Kenapa, Ma?" tanyanya cemas. "Tangan Mama sakit lagi? Kesemutan? Dian gosok-gosok tangan Mama, ya? Mau dipijat, Ma?"

Anggraini tidak menjawab. Dia hanya merengkuh Dian ke dalam pelukannya. Dan mencium pipinya dengan penuh kasih sayang.

***

"Terima kasih telah meminjamkan uang kepada Sinta, Bud," kata Anggraini ketika dia menelepon Budi di kantornya.

Kebetulan ada telepon umum di seberang tempat praktek Dokter Surjadi. Dan biasanya, pukul lima sore, Budi masih berada di kantor. Apa salahnya menelepon mengucapkan terima kasih?

"Oh, lupakan saja," sahut Budi gugup. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik." Ada secercah perasaan tidak enak menjalari hati Anggraini ketika mendengar suara laki-laki itu. Anggraini tidak tahu apa sebabnya. Tetapi kegugupan Budi membuatnya merasa aneh. Mengapa justru Budi yang gugup? Bukankah dia yang sudah ber murah hati meminjamkan uang? Mengapa Anggraini seperti mendengar perasaan bersalah dalam suaranya? "Kalau sudah memperoleh pekerjaan, akan ku-cicil utangku."

"Ah, tidak usah terlalu dipikirkan. Tidak seberapa kok."

Tidak seberapa, pikir Anggraini makin heran. Uang sebanyak itu?

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik." Mengapa Budi mengulangi pertanyaan yang sama?

"Anak-anak baik?"

"Terima kasih. Semua sehat."

"Kapan-kapan aku menengokmu."

Jadi dia tidak berniat mengunjungiku, pikir Anggraini resah. Lalu untuk apa dia menolongku?

***

"Ibumu," tukas Budi murung sambil meletakkan telepon. "Dia tahu kamu di sini?"

Sinta menggeleng panik.

"Mama pergi ke dokter dengan Rimba. Mama tahu saya di kantor Oom?"

"Entahlah. Suaranya kedengaran curiga. Lebih baik kamu jangan sering-sering kemari. Ibumu susah dibohongi" "Katanya Oom mau ngajak Sinta main fllm."

"Iya Tapi tidak sekarang"

"Habis kapan dong, Oom? Sinta perlu duit. Hama belum bekerja lagi. Rimba sudah dipecat."

"Kamu kan tahu, film Indonesia sedang sekarat." gerutu Budi kesal. Lagi pula siapa yang mau memakai gadis pincang seperti kamu? Apa tidak i ada cermin di rumahmu? "Sudahlah, lebih baik kamu cepat-cepat pulang, sebelum ibumu sampai di rumah dan ribut mencarimu."

Jadi sebenarnya dia tidak ingin menjadikan aku bintang, pikir Sinta kecewa. Gombal! Dia menipuku mentah-mentah.

"Sinta perlu uang, Oom," katanya menahan tangis.

"Uang lagi?"

"Oom bilang, datang saja ke kantor kalau perlu."

"Tapi jangan terus-terusan. Aku kan bukan ayahmu!" Budi melemparkan dua lembar lima puluh ribuan ke atas meja tulisnya. "Itu yang terakhir!"

***

Lama Heri menatap Anggraini dengan penuh keharuan.

"Rini...," bisiknya lirih. "Terima kasih, Tuhan, aku masih bisa melihatmu lagi! Rasanya seperti mimpi..." "Aku sering datang dalam mimpimu?" Anggraini tersenyum lembut.

"Setiap malam." Heri menghampiri wanita itu. Dan memeluknya dengan penuh kerinduan.

Ketika Anggraini agak menggelinjang, buru-buru Heri melepaskan pelukannya.

"Sakit?" tanyanya cemas.

"Sedikit."

"Bekas operasimu?"

Anggraini mengangguk sambil tersenyum pahit.

"Duduklah." Bergegas Heri membimbing Anggraini kembali ke bangkunya. "Dengan siapa kau kemari?"

"Rimba. Dia menunggu di luar."

"Luka operasimu masih sering sakit?"

"Hanya kadang-kadang."

"Ada keluhan lain?" »n»fc,. H*n "Bahu dan punggung sering sakit. Tangan kiriku juga sering kesemutan. Dokter Surjadi  bilang gejala itu sering ditemukan pada pasien pascabedah. Dia memberiku macam-macam obat"

"Tidak ada komplikasi lain?"

"Kata Dokter Surjadi, sampai sekarang semuanya baik"

"Syukurlah." Heri tegak di depan wanita itu. Menatapnya dengan tatapan yang membuat paras Anggraini memerah. "Kau tidak berubah."

"Kau tidak pandai berdusta." Anggraini tersenyum pahit. "Atau kau cuma ingin menghiburku?"

"Kau memang tidak berubah sedikit pun."

"Kalau begitu cermin di rumahku pasti berdusta."

"Kau masih tetap Rini yang kukenal."

"Aku telah kehilangan sebagian tubuhku. Yang terbaik."

"Aku tidak peduli. Bagiku kau tetap tidak berubah."

"Aku juga berharap penjara tidak mengubahmu."

"Kau mau menungguku, Rini? bisik Heri lembut.

"Aku mau, Her," balas Anggraini terharu. "Jika Tuhan masih memberiku kesempatan."

***

"Gigi Ika yang patah ini memerlukan perawatan pulpa," kata Dokter Gigi Yanuar kepada Anggraini.

"Kalau sudah dirawat, gigi Ika bisa tumbuh lagi nggak, Dokter? sela Ika ingin tahu.

"Tumbuh lagi sih tidak bisa, Ika. Karena gigi yang patah ini sudah gigi tetap. Paling-paling ditambal sinar. Mungkin Ika mesti menunggu lebih lama sampai gigi Ika ini bisa dijaket."

"Dibeliin jaket?" Ika melotot lucu.

"Diselongsong, Ika. Tapi tidak sekarang. Mesti tunggu sampai Ika lebih besar."

"Tapi Ika mesti cepat dapat gigi baru, Dokter! Karena Ika mau main film iklan. Nggak boleh ompong!"

"Iklan apa? Pasta gigi?"

"Susu."

"Jadi anak ompong nggak boleh minum susu?"

"Kalau nggak boleh minum susu, minum apa dong?"

"Nah, kenapa ika tidak boleh main film iklan susu kalau ompong?"

"Nggak tahu. Tapi Pak Hamid bilang, Ika nggak boleh ompong."

"Nanti Dokter kenalin Ika sama teman yang biasa bikin iklan, ya. Siapa tahu dia mau pakai Ika."

"Tapi mesti buruan, Dokter!"

"Kenapa mesti buru-buru?"

"Ika perlu duit!"

"Ika!" potong Anggraini cemas. "Maaf, Dok, Ika memang bawel!"

"Tidak apa-apa, Bu. Saya suka Ika. Dia lucu dan spontan!"

"Tapi dia makin cerewet kalau dilayani. Dok!"

Dokter Gigi Yanuar cuma tersenyum.

"Ika perlu duit buat beli sepeda?"

"Buat Mama berobat" sahut Ika lantang, tanpa ragu sedikit pun.

"Ika?" tegur Anggraini sekali lagi.

Tetapi Dokter Yanuar malah bertanya lagi. Setelah melirik Anggraini sekilas.

"Mama Ika sakit?"

"Kanker."

"Maaf...." Sekarang Dokter Yanuar menoleh ke arah Anggraini dengan terkejut.

"Tidak apa, Dok. Ika memang cerewet."

"Tolong ya, Dok, kenalin Ika sama teman Dokter," sela ika bersemangat. "Tanya dia, Ika dapat duit berapa kalau main iklan."

"Pasti, Ika," sahut Dokter Yanuar mantap. "Sekarang buka mulut Ika, ya."

***

"Sinta!" Anggraini memandang putrinya yang baru keluar dari kamar mandi dengan cemas. "Kamu sakit?"

Wajah Sinta yang pucat bertambah putih ketika melihat ibunya.

"Cuma masuk angin, Ma...," suaranya gemetar ketakutan. "Mama mau kopi? Sinta bikin kopi dulu, ya?" "Tidak usah, kamu istirahat saja."

Anggraini membimbing anaknya ke kamar. Memaksanya berbaring di tempat tidur. Disentuhnya dahi Sinta. Aneh. Tidak panas. Tetapi mengapa dia muntah-muntah begitu hebat?

Tangan-kaki Sinta terasa dingin. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Mukanya pucat pasi. Dan matanya berkeliaran dengan gelisah.

"Masih mual, Sinta? Mama ambilkan teh panas, ya?"

"Mungkin maag Sinta kambuh, Ma."

"Sejak kapan kamu punya sakit maag?"

"Dari kemarin dia muntah-muntah," kata Nenek yang baru masuk kekamar membawa secangkir teh panas. "Nenek keroki tidak mau."

"Ah, paling-paling masuk angin, Nek!"

"Masa masuk angin tiap pagi?" gerutu Nenek sambil menyodorkan teh panasnya. "Nih, minum dulu."

Sinta bangkit dari tempat tidur. Dan menghirup teh panasnya. Rasa mualnya berkurang sedikit. Tetapi tidak hilang.

"Barangkali kamu terlalu capek, Sinta. Hari ini tidak usah ke pasar. Tidur saja di sini, di ranjang Mama, ya."

"Ah, Sinta nggak apa-apa, Ma," gumam Sinta lirih. "Mama nggak usah khawatir."

Padahal dalam hati, Sinta justru sedang khawatir sekali. Sudah dua hari dia muntah-muntah setiap pagi. Dan haidnya sudah terlambat setengah bulan....

Dan sorot ketakutan di mata Sinta memacu kecurigaan yang lebih besar di benak Anggraini. Empat belas tahun dia telah membesarkan putrinya. Menemaninya di kala sakit. Belum pernah dia melihat Sinta ketakutan seperti ini....

BAB XXIV

Mula-mula Anggraini hampir tidak mengenali dokter gigi itu. Dalam T-shirt santai, Dokter Yanuar tampil beda. Dia tampak lebih muda. Lebih rileks. Dan lebih bersahabat.

Teman saya ingin melihat Ika. Kebetulan dia sedang memerlukan pemain bocah untuk film iklan!

"Terima kasih. Dokter." Anggraini merasa amat terharu. Tidak menyangka Dokter Yanuar masih ingat janjinya kepada seorang anak kecil!

"Saya boleh menjemput Ika besok?" "Dokter... menjemput Ika?"

"Kalau Ibu tidak keberatan."

"Tapi..."

"Ibu boleh ikut jika khawatir."

"Maksud saya..."

"Merepotkan saya? Tentu saja tidak. Saya menyukai Ika. Saya yakin, pemirsa TV-pun akan menyukainya."

"Dan giginya yang..."

"Ompong? Tidak apa. Teman saya malah menganggapnya lucu. Apa salahnya anak-anak ompong? Mereka bukan mau ikut kontes kecantikan, kan?

Ketika Anggraini menyampaikan berita itu pada Ika sepulangnya dari sekolah, si bawel itu bersorak kegirangan. "Berapa dapat duitnya, Ma?" tanyanya bernafsu sekali.

"Mama belum tahu, Ika. Kan Bea juga belum tentu diterima. Masa sudah tanya honor?"

"Mestinya Mama tanya dulu," bantah Dca seperti menyesali ibunya. "Kalau nggak cukup buat beli obat Mama, buat apa Ika ke sana?"

Anggraini mencubit pipi anaknya dengan gemas. Dan ketika itulah dia melihat Dian. Meletakkan tasnya dengan lesu. Tanpa berkata apa-apa Dian meninggalkan mereka dengan wajah muram.

Sekarang Anggraini yakin, firasatnya benar. Dian-lah yang menyebabkan Ika jatuh. Karena dia iri pada adiknya!

***

Anggraini menunggu sampai dia memperoleh kesempatan berdua saja dengan Dian. Sengaja dia berpura-pura sakit. Dan Dian menawarkan diri Untuk memijati lengan ibunya.

"Dian nggak capek?" tanya Anggraini sambil berbaring di tempat tidurnya. Dian menggeleng sambil terus memijat.

"Kok Dian merengut saja?"

Dian tidak menjawab. Dia berusaha menghindari tatapan ibunya.

"Karena Ika?"

Dian menggigit bibitnya. Mencoba menahan tangis. Tetapi sia-sia. Air matanya bergulir juga. Dan menetes ke lengan Mama.

"Mama tahu Dian berbakat. Pintar akting. Punya suara bagus. Tapi kadang-kadang peran yang kita inginkan, diberikan kepada orang lain. Bukan karena orang itu lebih berbakat. Tapi karena dia dianggap lebih cocok untuk peran itu. Jadi Dian tidak boleh putus asa. Suatu hari, pasti ada peran yang sesuai untuk Dian. Dan Dian bisa muncul di TV."

"Nggak mau!" Suara Dian berbaur antara malu, kesal dan putus asa.

"Tidak usah kalau Dian tidak mau. Tapi kalau Ika yang muncul duluan, Dian nggak marah, kan? Ika juga ingin cari uang untuk beli obat Mama. Jadi jangan dimusuhi, ya?"

Dian tidak menjawab. Tetapi Anggraini tahu dia sedang kesal. Bukan karena Ika bisa mencari uang. Tapi karena dia yang terpilih.

Mengapa orang-orang lebih menyukai adiknya? Padahal apa sih kelebihannya? Sudah gembrot, ompong, lagi.' "Dian." Anggraini membelai-belai kepala anaknya dengan lembut. "Iri hati itu perbuatan yang sangat buruk. Lebih-lebih kepada adik sendiri."

Lama Dian berdiam diri. Ketika dia membuka mulutnya lagi, suaranya kental dibalut geram.

"Kenapa orang-orang lebih menyukai ika, Ma? Ika lebih cantik dari Dian?"

"Tidak, Dian. Bukan karena itu. Kamu sama cantiknya. Sama berbakatnya. Bedanya, Ika lebih cocok untuk peran itu. Suatu hari nanti, kalau ada peran yang cocok untukmu, pasti Dian yang terpilih."

***

"Diskotek?" belalak Anggraini kaget. "Tidak, Rimba! Mama tidak setuju kamu kerja di tempat seperti itu!"

"Apa salahnya kerja jadi DJ?"

"Mama khawatir, Rimba. Di sana kan kerjanya. malam!"

"Habis Rimba harus kerja apa, Ma? Harus ada yang cari uang di rumah ini, kan? Kata Mama, nasi tidak datang sendiri ke rumah kita!"

Ya Tuhan, keluh Anggraini sedih. Beri aku kekuatan! Supaya aku dapat mengayomi keluargaku!

Ketika melihat paras ibunya berubah duka, Rimba tidak berkata apa-apa lagi. Dia menyingkir ke atas. Langsung masuk ke kamarnya. Dan tidak keluar lagi dari sana.

Sementara Anggraini masih tepekur seorang diri di depan meja makan. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya sekarang? Tubuhnya masih, lemah.  Dada, bahu, dan punggungnya masih sering sakit. Lengan kirinya sering kesemutan. Dan dia masih harus menjalani radiasi.

Tetapi keluarganya tidak dapat menunggu. Mereka membutuhkan uang untuk makan. Untuk membayar kontrak rumah. Dan untuk membiayai uang sekolah Dian dan Ika. Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu kalau tidak bekerja?

***

Dokter Gigi Yanuar begitu sopan. Begitu ramah. Begitu penuh perhatian. Sampai Anggraini merasa rikuh.

"Terima kasih untuk segalanya, Dok," katanya ketika Dokter Yanuar mengantarkannya ke rumah sore itu. "Mengapa sebaik ini pada Ika?"

"Ika lucu dan berbakat. Lagi pula dia ingin tampil di TV bukan karena ingin jadi bintang. Tapi karena ingin mencari uang untuk pengobatan ibunya. Coba katakan, tidak bolehkah saya bersimpati kepada bocah berumur tujuh tahun yang begitu luar biasa?"

Ika jangan dipuji terus, Dok. Nanti hidungnya panjang!" Anggraini tersenyum tipis sambil mencubit ujung hidung putrinya dengan lembut. "Bilang terima kasih kepada Dokter Yanuar, Ika!"

"Trims berat, Dokter!" seru Ika sambil membuka pintu mobil. "Ika pasti diterima, kan?"

"Pasti," sahut Dokter Yanuar mantap.

"Biar gigi Ika ompong?"

"Nggak ada masalah. Ika malah jadi tambah menggemaskan!"

Ika melompat turun dari mobil. Dan berlari-lari ke dalam rumah dengan riang. Di depan pintu saja dia sudah berteriak-teriak memanggil neneknya. "

"Ika memang lucu." Dokter Yanuar tersenyum geli. "Saya kepengin sekali punya anak seperti dia."

"Dokter sudah punya anak?"

"Oh, saya belum menikah!"

"Maaf...."

"Nggak apa-apa."

"Saya permisi dulu, Dokter."

"Nanti kalau sudah ada kabar dari teman saya, Ika akan saya jemput lagi untuk shooting."

"Aduh, jangan merepotkan, Dokter! Biar kami saja yang ke sana!"

"Tidak apa-apa. Hari Rabu dan Sabtu memang saya tidak praktek. Kalau Ibu tidak keberatan, Ika saya jemput." "Tentu saja tidak. Tapi..."

"Boleh tanya sesuatu yang lain?"

"Tentang apa?" tanya Anggraini, agak terkejut mendengar nada suara dokter gigi itu.

"Tentang Ibu."

"Saya?"

"Benar Ibu mengidap kanker?" Sejenak napas Anggraini tertahan.

"Payudara," Anggraini mengembuskan kata itu bersama napasnya.

"Maafkan kelancangan saya...."

"Tidak apa."

"Boleh tahu sudah stadium berapa?"

"Dua."

"Sudah dioperasi?"

"Sudah. Tapi saya masih harus menjalani radiasi."

"Karena itu Ika perlu uang." Dokter Yanuar menghela napas panjang. "Dia benar-benar anak yang hebat"

"Terima kasih sekali lagi. Dok. Selamat sore."

"Selamat sore. Senang dapat mengenal Anda lebih dekat"

Alangkah baiknya dia, pikir Anggraini ketika mobil dokter gigi itu meluncur pergi. Seorang dokter muda yang sibuk. Tetapi masih mau meluangkan waktu untuk menolong pasiennya.

"Benar Ika pasti diterima, Angga?" tanya Nenek begitu Anggraini masuk.

"Pasti ya, Ma?" potong Ika bersemangat. "Huu, Nenek! Nggak percaya melulu kalau Ika ngomong!"

"Betul, Angga?" desak Nenek penasaran.

"Betul, Bu." Anggraini duduk di kursi dengan letih. Akhir-akhir ini tenaganya mudah sekali terkuras habis.

"Tuh, betuL kan, Nek?" sorak Ika bangga. "Nenek percaya, nggak?"

***

 

"Astaga, Rimba!" Nenek memekik tertahan begitu membuka pintu depan. "Ada apa sih?"

"Sst! Jangan ribut, Nek!" Rimba menyelinap masuk dan buru-buru menutup pintu. "Nanti Mama bangun!" "Kenapa, Rimba?" tegur Sinta yang sudah muncul di belakang Nenek. "Siapa yang mengejarmu?"

"Ada penggerebekan di diskotek." Rimba menyusut peluhnya sambil mengatur napasnya. "Untung aku masih sempat kabur!"

"Kenapa digerebek?" desak Nenek curiga.

"Ah, Nenek! Tahu apa sih? Jangan ribut deh!"

Buru-buru Rimba menyelinap ke belakang. Tetapi Sinta terus mengikutinya.

"Kenapa polisi merazia diskotekmu? Ada penari bugil di sana?"

"Obat terlarang," sahut Rimba sambil meneguk dua gelas air. "Untung aku masih sempat lolos."

"Kamu terlibat?" cetus Sinta kaget. "Minum obat-obat begituan?"

"Ya, nggak dong!" Rimba meletakkan gelasnya dengan kesal. "Duit saja nggak punya, gimana bisa beli obat sih!" "Nah, buat apa kabur kalau begitu?"

"Kalau aku masih di sana, aku bisa ikut digiring ke polres!"

"Tapi kamu salah apa? Kamu kan cuma DJ! Bukan pengedar obat!"

"Ala, sudahlah! Kamu sama cerewetnya dengan Nenekl Sebentar lagi rambutmu beruban!"

BAB XXV

Sinta tertegun kaget ketika melihat ibunya tegak di depan pintu kamar mandi. Tatapan mata ibunya yang setajam silet menoreh tirai tebal yang menutupi rahasia hatinya. Mencabik semua yang dicoba untuk disembunyikannya. Saat itu juga Sinta sudah merasa, tidak mungkin menyembunyikannya lagi. Mama sudah mengetahui semuanya!

Tanpa dapat menahan tangisnya lagi, Sinta menubruk ibunya.

"Maafkan Sinta, Ma!" Cuma itu yang dapat dikatakannya di sela-sela tangisnya.

Anggraini memeluk anaknya dengan gemetar. Air mata meleleh ke pipinya.

Ketika mendengar Sinta muntah-muntah di kamar mandi, dia sudah menduga apa yang terjadi. Anggraini sudah lima kali hamil. Dia dapat mengira-ngira apa yang menyebabkan seorang wanita merasa mual setiap pagi.

Anggraini hanya tidak percaya, musibah itu dapat menimpa anaknya! Tetapi ketika Sinta merangkulnya sambil menangis, semua keraguan di hati Anggraini langsung punah. Semuanya menjadi jelas seperti sebuah buku yang terbuka."

"Siapa yang melakukannya, Sinta?" desah Anggraini pedih.

Tiba-tiba saja luka bekas operasinya terasa nyeri menggigit. Dia langsung mencari tempat duduk sambil menebah dadanya. Kakinya terasa lemas. Kepalanya kosong. Dunianya serasa kiamat.

Sinta hamil... anaknya hamil! Padahal umurnya baru empat belas tahun!

***

Anggraini duduk tepekur seorang diri di kamarnya. Menatap ke luar jendela yang terbuka tanpa melihat apa-apa. Air mata terus mengalir ke pipinya. Seperti tidak akan ada habis-habisnya.

Mengapa penderitaan terus-menerus mengejar dirinya? Mengapa kemalangan tak bosan-bosannya mengunjunginya? Rasanya dia sudah hampir tidak kuat lagi menanggungnya. Sesaat dia sudah berpikir untuk membunuh diri saja. Biar lenyap semua penderitaan. Tetapi... kalau dia tidak ada, siapa yang akan melindungi anak-anaknya?

Pintu kamarnya perlahan-lahan terbuka. Nenek melangkah menghampirinya. Duduk diam-diam di samping tempat tidur.

Lama dia mengawasi Anggraini tanpa membuka-mulurnya. Seluruh kerewelannya seakan-akan ikut lenyap digulung kabut derita yang demikian tebal melingkupi keluarganya.

"Dia tidak bilang siapa yang melakukannya?" gumam Nenek pahit setelah lama berdiam diri.

Anggraini menggeleng sedih.

"Selama kamu tidak ada, dia memang sering keluar. Kadang-kadang sampai malam. Tapi Ibu tidak sangka...." Nenek tidak mampu melanjutkan kata-katanya Air matanya berlinang-linang. Sinta memang merasa bersalah. Tetapi dia tetap tidak mau mengatakan siapa ayah anaknya. Anggraini sudah putus asa mendesaknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Mungkinkah si... Heri?" bisik Nenek hati-hati. Seolah-olah takut Anggraini bertambah sakit hati.

Tidak mungkin! Sudah sepuluh kali Anggraini meneriakkan kata itu di hatinya. Tidak mungkin! Tidak mungkin Heri sampai hati melakukannya!

"Apa yang harus kita lakukan, Angga?" desah Nenek getir.

Anggraini cuma menggeleng sambil menyusut air matanya. Dunia di hadapannya tampak gelap. Amat gelap. Anggraini termenung dalam ruang radioterapi yang dingin membeku itu. Sementara sinar rontgen sebesar empat ribu lima ratus rad menjelajahi dada kirinya untuk membunuh sel-sel kanker yang mungkin masih tersisa, pikirannya merambah ke tempat lain. Ke sebuah sel dingin dan sempit dalam penjara.

Seorang laki-laki muda dan ganteng meringkuk di sana. Pikirannya mungkin juga'sedang mengembara ke mana-mana. Sementara tubuhnya terkurung dalam keterbatasan.

Seorang laki-laki yang tiba-tiba saja datang dalam kehidupannya. Tiba-tiba saja datang dalam kehidupan anak-anaknya. Kedatangannya seperti angin yang terasa sejuk dan semilir membelai hati mereka. Tetapi sekaligus badai yang memorakpo-randakan keremajaan anak-anaknya.

Untuk-pertama kalinya Rimba dan Sinta mengagumi kejantanan seorang laki-laki. Figur yang tak pernah hadir dalam diri tokoh ayah yang mereka kenal. Karena itukah Sinta terjebak?

Tidak mungkin, pekik Anggraini untuk keseratus, kalinya. Tetapi kini, gema pekikannya semakin melemah. Mungkin Heri tidak sampai hati melakukannya. Tetapi... mungkin saja dia juga terjebak! Heri tidak sengaja melakukannya... dia khilaf. Mereka sering berada berdua di rumah. Sementara Rimba bekerja, Dian dan Ika pergi ke sekolah, siapa lagi yang sempat memperhatikan mereka? Nenek sibuk dengan Intan. Dan Anggraini ingat, ibunya pernah memergoki mereka berdua saja di kamarnya.

Ah, ternyata kecurigaan ibunya semakin dipikirkan semakin besar pula kemungkinannya. Siapa yang mungkin menodai Sinta? Sejak sakit dan berhenti sekolah, Sinta hampir tak punya teman.

Anggraini merasa hatinya begitu sakit, sampai menarik napas pun terasa nyeri. Barangkali jika orang lain yang melakukannya, sakitnya tak akan terasa sepedih ini. Tetapi Heri! Lelaki yang telah menarik simpatinya. Lelaki yang membangkitkan semangat hidupnya. Lelaki yang mengembalikan anak-anaknya. Dan lelaki yang diam-diam dicintainya....

Biasanya Anggraini selalu mampir menengok Heri sepulangnya dari rumah sakit. Berdesakan dan terguncang-guncang dalam bus hampir tidak dirasakannya asal bisa menemui Heri.

Tetapi hari ini Anggraini langsung pulang ke rumah. Dia tidak mampu menjumpai lelaki itu. Tidak mampu mengajukan pertanyaan yang menyayat hatinya.

"Benarkah kau yang melakukannya, Her?"

Anggraini tidak akan tahan melihat lelaki itu menganggukkan kepalanya dengan sedih. Atau sekadar menundukkan kepala dengan perasaan bersalah. Dia akan merasa hatinya yang sudah tercabik-cabik itu akan terkoyak menjadi serpihan kecil-kecil yang tak mungkin disempurnakan kembali. . Seorang wanita bisa patah hati karena dikhianati kekasihnya. Tetapi bila kekasihnya menodai putrinya, hatinya bukan hanya patah, hati itu lebur dalam kehancuran....

Anggraini tiba di rumah dengan lesu. Tanpa semangat. Sementara di dalam selnya yang sempit, Heri dengan sia-sia menantikan kedatangannya. Pikirannya kacau. Hatinya resah. Mungkinkah Anggraini sakit? Atau...

Ingin rasanya dia kabur. Lari ke rumah Anggraini. Melihat apa yang menimpa wanita yang dikasihinya. Heri ingin berbagi penderitaan dengannya. Mengambil sebagian beban berat yang harus dipikulnya seorang diri....

***

Rimba menampar adiknya sekuat tenaga. Begitu kerasnya sampai Sinta terhuyung mundur. "Nggak tahu diri!" dampratnya geram. "Dalam keadaan susah begini, bukannya bantu cari duit malah bunting!"

"Bunuh saja aku!" jerit Sinta histeris.

"Memang cuma kamu yang bisa cari duit!"

Rimba sudah mengangkat tangannya untuk memukul adiknya sekali lagi ketika Anggraini dan Nenek datang berlari-lari mencegahnya.

"Apa-apaan kamu ini, Rimba?" bentak Anggraini pahit. "Kamu tidak berhak mengadili adikmu!"

"Jadi siapa yang berhak?" balas Rimba berang. "Rimba yang membeli nasi yang dia makan!"

Ya Tuhan! Anggraini menebah dadanya yang terasa sesak. Sekonyong-konyong dia menyesal telah membiarkan dokter mengangkat tumornya. Jika dia tidak dioperasi, semua prahara ini tidak terjadi!

Anggraini belum sempat mengatur napasnya. Belum keburu menarik napas dalam untuk mengusir kepengapan di paru-parunya. Sinta sudah menghambur lari ke dapur.

Hanya Nenek yang sempat mengejarnya. Dan tiba tepat pada saat Sinta meraih pisau dapur untuk mengiris pergelangan tangannya.

"Astaga, Sintal Jangan!" Nenek menjerit ngeri sambil menubruk cucunya. Mencoba merebut pisau di tangannya. "Biar, Nek!" Sinta mempertahankan pisaunya dengan gigih. "Biar Sinta mati saja! Sinta memang anak yang tidak berguna. Tidak tahu diri! Cuma bikin Mama sedih!"

Anggraini memekik histeris ketika dari ambang pintu dapur dia melihat Nenek sedang bergulat dengan Sinta yang mencoba mengiris pergelangan. tangannya.

Rimba mendorong ibunya dengan gesit. Melompat ke dekat Sinta. Dan merampas pisaunya dengan sekali sentak saja.

Ketika Sinta dengan kalap menyerangnya untuk merebut pisaunya kembali, Rimba menamparnya sekali lagi Dan melemparkan pisau itu jauh-jauh.

Sinta jatuh terduduk. Dia menutupi wajahnya. Dan menangis tersedu-sedu.

Nenek terkulai di bangku dapur sambil mengatur napasnya. Wajahnya pucat pasi. Keringat membanjiri sekujur tabuhnya. Seolah-olah dia baru saja ikut pertandingan sepak bola untuk orang-orang gaek.

***

"Siapa yang melakukannya, Sinta?" desak Rimba penasaran. "Si Harun? Cowok kerempeng diujung gang itu? Biar kuhajar dia supaya mengaku!"

"Bukan!" sergah Sinta sambil menangis. "Kamu jangan sok tahu!"

"Habis siapa lagi? Cuma dia yang nempel terus kalau kamu ke pasar!"

"Pokoknya bukan dia!"

"Oom Heri?" Mata Rimba menyipit. Pancaran berbahaya bersorot di matanya yang dingin.

"Jangan sembarangan menuduh orang!"

"Sudahlah, Rimba," potong Anggraini lirih. "Jika Sinta tidak mau mengatakannya, buat apa dipaksa?"

"Buat apa?" dengus Rimba sengit. "Seseorang harus bertanggung jawab, Ma! Masa Mama diam saja Sinta bunting nggak ketahuan siapa bapaknya?"

"Jangan kasar begitu, Rimba," keluh Anggraini pilu. "Sakit telinga Mama mendengarnya."

"Lebih sakit lagi kalau Sinta punya anak haram, Ma!"

"Akan kita cari jalan keluarnya bersama-sama, Rimba."

"Tapi abortus perlu duit, Ma! Siapa yang bayar?"

"Nggak mau!" jerit Sinta kalap. "Apa hakmu."

"Kamu mau anakmu lahir nggak ada bapaknya?!"

"Rimba! Sudah!" sela Anggraini getir. "Sinta sedang bingung. Jangan ditambah lagi..."

"Jadi cuma dia yang bingung."

"Sinta nggak mau dioperasi, Ma." tangis Sinta ketakutan.

"Dikuret, Tolol! Bukan dioperasi!"

"Rimba!" Anggraini membelalak gusar ke arah putri sulungnya. "Dari mana kamu belajar mengucapkan kata-kata sekasar itu?"

"Mana yang lebih baik, ngomong jorok atau bunting?"

"Jangan sekasar ini di depan Mama, Rimba!"

"Aaahh?" Dengan gemas Rimba meninggalkan ibu dan adiknya. "Mama nggak bisa didik anak! Dia kelewat dimanja, jadi rusak!"

"Memang Mama yang salah! Mama yang tidak dapat memberi kehidupan yang cukup baik untuk kalian. Jika Mama tidak dioperasi. Mama masih bisa cari uang. Dan hidup kalian tidak akan begini menderita!

"Mama!" Sinta merangkul ibunya dengan sedih. "Bukan salah Mama. Sinta yang bodoh. Sinta yang salah, Ma?" Anggraini mendekap anaknya erat-erat. Di balik tubuh Sinta dia seperti melihat bayangan Heri. Tatapannya begitu sedih.

"Tangan Sinta digandeng sama si Heri," dalam kesendirian di ruang radioterapi, Anggraini seperti dapat mendengar kembali cerita ibunya. "Malam itu muka Sinta sumringah sekali seperti pengantin baru.!"

Benarkah di sana mulainya? Pada saat mereka bersama-sama menonton operet Bawang Merah Bawang Putih?

"Sinta seperti tidak mau lepas dari Heri. Lengket sekali! Mereka sering berbisik-bisik berdua sambil bertukar senyum. Kan bangkunya juga sebelahan? Si Heri membukakan pintu mobil buat Sinta. Menggandengnya turun. Membelikan minuman. Wah, pendeknya persis orang pacaran!"

Barangkali Heri memang keterlaluan. Memperlakukan Sinta seperti wanita dewasa. Seperti pacarnya. Tapi... itu tidak sama dengan menodainya!

Nenek memang sudah demikian yakin, Heri-lah yang bersalah. Kalau bukan dia, siapa lagi? Hanya dengan dia Sinta pernah tampak begitu dekat. Tetapi... bolehkah sembarangan menuduh orang?

Heri mungkin bersimpati kepada Sinta. Ingat memberinya rasa percaya diri. Mungkinkah dia merusak apa yang telah ia coba perbaiki?

Anggraini ingin sekali mampir ke penjara. Ingin minta Heri berterus terang. Tetapi mampukah dia mendengar pengakuan laki-laki itu?

Akhirnya Anggraini memutuskan untuk pulang ke rumah. Dia belum cukup tegar untuk mengakui kenyataan yang meremukkan harinya itu. Lelaki yang dicintainya menodai putrinya!

Dan di depan rumah, telah menanti Dokter gigi Yanuar Husodo.

"Ibu Anggraini, selamat siang! Saya datang untuk menjemput Ika."

Hati yang sedang gundah dan kemunculan yang tiba-tiba-dari seseorang yang dihormatinya membuat Anggraini tertegun sesaat.

Dan Dokter Yanuar mengawasi wanita yang diam-diam dikaguminya itu dengan heran.

"Anda baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Anggraini cuma mampu menganggukkan kepalanya.

"Pulang dari rumah sakit? Sendirian?"

Sekali lagi Anggraini mengangguk. Wajahnya yang pucat dan tatapan matanya yang kosong membuat Dokter Yanuar tambah cemas.

"Saya datang untuk menjemput Jka."

"Dia belum pulang sekolah."

"Ika mendapat panggilan. Jika Ibu sempat, kita bisa pergi bersama-sama ke sana untuk menandatangani kontrak. Tetapi saya lihat hari ini Anda kurang sehat...."

"Oh, saya tidak apa-apa!"

"Saya pikir lebih baik saya bawa saja kontraknya kemari. Ibu dapat menandatanganinya di rumah...."

"Oh, tidak usah, Dok!" cetus Anggraini seperti baru bangun tidur. "Jangan repot-repot...." "Apakah tidak sebaiknya Ibu duduk dulu beristirahat?" sela Dokter Yanuar penuh perhatian. "Anda kelihatannya tidak sehat. Saya boleh tunggu di sini? Atau sebaiknya saya datang kembali?"

"Silakan tunggu di dalam, Dok! Sebentar lagi. Ika pulang."

"Terima kasih. Mudah-mudahan saya tidak merepotkan."

"Kami yang merepotkan. Dokter mau minum apa?" Anggraini membuka pintu dan mendahului masuk ke dalam.

Dokter Yanuar Husodo mengikutinya. Dan mengawasi wanita yang sedang tertatih-tatih melangkah itu dari belakang.

"Silakan duduk, Dok." Ketika Anggraini berbalik untuk mengucapkan kata-kata itu, matanya berpapasan dengan mata dokter Yanuar. Dan tidak sengaja, paras Anggraini memerah tatkala melihat bagaimana cara dokter itu memandangnya. "Oh, terima kasih." Buru-buru Dokter Yanuar mengosongkan tatapannya. Dia tampak gugup ketika meletakkan panggulnya di kursi tamu.

"Mau minum apa, Dok? Cuma ada air dan teh."

"Air dingin saja. Hari ini panas sekali."

Ketika Anggraini membungkuk menghidangkan segelas air, Dokter Yanuar tidak dapat mengusir pesona yang ditampilkan wanita itu.

Gila, pikirnya resah. Perempuan ini mengidap kanker. Dan payudaranya tinggal sebelah! Mengapa daya tariknya masih demikian menyengat?

"Silakan diminum, Dok." Anggraini mundur ke sofa. Dan duduk dengan sopan di sana.

Tanpa disuruh dua kali, Dokter Yanuar meneguk air di gelas itu sampai habis. "Lagi, Dok?"

"Terima kasih. Cukup segelas dulu."

"Di luar memang panas sekali."

Di dalam juga, keluh Dokter Yanuar. Lebih-lebih di dalam hatiku!

Sejak saat itu dokter yanuar husodo semakin sering datang kerumah anggraini mula-mula dg alasan menjemput Ika shooting lama kelamaan di muncul begitu saja, tanpa alasan apa apa dan anggranini menjadi semakin resah mengapa dokter yanuar mau meluangkan waktu datang kerumahnya!

DAN KALAU SUDAH DATANG dia dapat mengobrol begitu santai dengan Ika, tidak sibukkah dia? kadang-kadang dokter Yanuar mengajak ika pergi dan dia selalu mengudang Anggraini untuk ikut, meskipun Anggraini lebih sering menolak daripada menerima.

Dia merasa tidak pantas pergi dengan dokter muda itu dokter yanuar berhak mendapat kan gadis yg lebih muda dan sempurna bukan janda pengidap kanker seperti dirinya.

"Mengapa selalu menolak pergi bersama saya?" tanya dokter Yanuar saat menunggu Ika menukar baju.

"Tidak apa apa saya hanya merasa tidak pantas."

"Karena saya dokter giginya ika?"

Lama anggraini menatap dokter muda itu sebelum memutuskan untuk berterus terang. "Karena saya seorang janda dan tak seorangpun tahu berapa lama lagi saya hidup."

"Siapa yg tahu?"

"Saya juga tidak tahu kapan saya mati. Tapi dokter masih muda dan sehat dokter tidak mengidap kanker ganas seperti saya."

"Anggraini!" dokter Yanuar memandangnya dengan sungguh sungguh.

"Saya boleh memanggil namamu saja kan? panggil saya Yanuar"

"Tapi?"

"Rasanya terlalu kaku kalau masih membiasakan memanggil dok dan ibu."

"Tapi itu karena saya sangat menghormati anda, dok."

"Saya lebih suka dipanggil Yanuar karena saya ingin menjadi teman anda bukan hanya menjadi dokter giginya Ika."

"Saya merasa amat tersanjung tapi?"

"Saya tidak ingin memaksa tapi jika ada sedikit saja perasaan suka terhadap saya tolong jangan menutup dirimu biarkan segalanya berkembang dengan sendirinya."

Kearah mana pikir Anggraini bingung, tentu saja aku menyukaimu, menghormatimu, menghargaimu tetapi tidak mungkin lebih dari itu.

Heri meninju dinding di hadapannya dengan kesal. Sudah seminggu lebih Anggraini tidak pernah mengunjunginya lagi. Anak-anaknya juga tidak ada yang muncul. Ada apa? Apakah dia sakit? Mengapa tidak ada seorang pun yang ingat untuk mengabarinya?

Seandainya saja ada telepon di rumahnya... Heri pasti sudah meneleponnya. Dia hampir tak tahan lagi didera perasaan bingung dan khawatir. Mengapa Anggraini sampai hati membiarkannya dalam kegelisahan begini? Begitu cepatkah dia terlupakan?

Tentu saja Heri tidak tahu, betapa sulitnya bagi Anggraini untuk melupakannya. Betapa sulitnya mencegah keinginannya untuk menjumpai laki-laki itu.

Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun berlalu, Anggraini merasakan kembali perasaan rindu yang menyengat. Dia merasa pedih. Merasa kesepian. Merasa hampa. Tetapi dia tetap belum berani mengunjungi Heri! Anggraini sudah membawa Sinta ke dokter. Dan dokter itu sudah memastikan, Sinta hamil. Tak ada yang dapat disangkal lagi. Bayang-bayang kelabu itu kini telah menjelma menjadi kenyataan pahit. Anaknya hamil! Dan Sinta tetap menutup mulurnya rapat-rapat.

Anggraini pun tidak ingin memaksanya bicara. Karena dia semakin yakin, Sinta membisu supaya tidak menambah penderitaan ibunya....

***

Anggraini panik. Malam itu, Rimba tidak pulang. Keesokan paginya, dia juga tidak muncul.

Dalam keadaan bingung, Anggraini mengajak Sinta mencari Rimba di tempat kerjanya. Tetapi Sinta juga tidak tahu di diskotek mana Rimba bekerja.

Akhirnya Sinta terpaksa menghubungi Budi Sukoco. Satu-satunya orang yang dianggapnya dapat menolong Rimba. Seperti dulu.

"Di polsek lagi?" gerutu Budi jengkel.

"Tidak tahu, Oom." Sinta berusaha menekan perasaannya baik-baik. Demi Rimba. Padahal mendengar suara lelaki itu saja dia sudah ingin muntah. "Tapi Rimba tidak pulang tadi malam. Dan saya tidak tahu di diskotek mana dia bekerja."

"Lalu kamu suruh aku mencarinya di mana? Di setiap diskotek di Jakarta?"

"Tolonglah, Oom! Temani Sinta mencari Rimba!"

"Tapi kenapa mesti aku?"

"Siapa lagi dong, Oom? Mama masih lemah."

Budi menghela napas kesal. Mengapa dia terus yang dikejar-kejar dimintai tolong? Rimba bukan anaknya! Bukan keponakan! Bukan apa-apanya! Mengapa anak brengsek itu selalu bikin susah saja?

"Paling-paling dia ada di hotel," gerutu Budi gemas. "Atau di losmen! Mana ada diskotek yang buka pagi-pagi begini!"

"Seminggu yang lalu, diskoteknya digerebek polisi, Oom. Razia obat terlarang."

"Jadi dia minum obat juga? Tidak tahu diri!"

***

"Jangan, Sinta. Biar Mama saja yang pergi mencari Rimba." "Mama masih lemah. Biar Sinta saja, Ma."

"Kamu gadis remaja, Sinta. Tidak baik keluar-masuk diskotek sendirian!"

"Sinta nggak sendirian, Ma."

"Kamu pergi dengan siapa?"

"Ada Oom Budi di luar. Sinta minta tolong Oom Budi. Dia sudah menghubungi temannya. Mencari tahu diskotek mana saja yang dirazia minggu lalu."

Budi? Anggraini tertegun sesaat. Budi ada di luar?

"Mengapa tidak kamu ajak masuk?" "Nggak mau, Ma. Katanya biar tunggu di mobil saja."

Dia tidak mau menemuiku, pikir Anggraini sedih. Masih, marahkah dia? Atau... dia memang sudah tidak ingin melihatku lagi?

Ada perasaan sedih menjalari hati kecil Anggraini. Ah, sebenarnya bukan hanya sedih. Tapi sekaligus terhina. Perasaan seorang wanita yang merasa terbuang karena lelaki yang suatu waktu dulu pernah mengaguminya kini menjauhinya seperti seonggok sampah! Sudah begitu tidak berharganyakah dia?

Kalau bukan demi anaknya, Anggraini sudah tidak ingin menjumpainya lagi. Tapi demi Rimba... ditindasnya perasaannya. Anggraini melangkah gontai keluar. Dan melihat lelaki itu di balik kemudi. Masih mobilnya yang dulu juga. Yang sering dipakai menjemput Anggraini. Dan membawanya ke mana-mana.

Tidak ada yang berubah pada penampilan Budi. Dia masih tetap segagah dulu. Dan sekali lagi, segurat perasaan nyeri mengiris hati Anggraini. Lelaki tampan ini dulu pernah hampir menjadi miliknya! Sekarang... melihat pun dia enggan!

"Selamat pagi, Bud," sapa Anggraini di samping mobil. "Nggak masuk?"

Budi menoleh kaget seperti ditegur pocong. Wajahnya memucat sedikit. Matanya menyipit melihat Anggraini.

Dan untuk ketiga kalinya, Anggraini merasa ngilu. Mata lelaki itu pasti tidak berdusta. Mata itu menyorotkan kekagetan. Yang kemudian perlahan-lahan berubah menjadi perasaan iba.

Anggraini benci melihatnya. Rasanya lebih baik jika dia tidak usah membalas tatapan Budi lagi. Supaya matanya tidak usah menceritakan betapa berubahnya Anggraini sekarang!

Heri pasti sangat mencintainya. Begitu mengasihinya sampai matanya tidak pernah menyorotkan tatapan seperti ini.... Bagi Heri, Anggraini tak pernah berubah. Tetapi bagi Budi, Anggraini seperti sudah berubah menjadi sesosok monster!

"Kaget melihatku?" tanya Anggraini tenang. Seuntai senyum pahit dipaksakannya tersungging di bibirnya. "Aku sudah jauh berubah?"

"Angga!" Bergegas Budi membuka pintu mobilnya. Begitu gugupnya dia sampai hampir tersuruk ketika keluar dari mobil itu. "Apa kabar?"

Kalau Anggraini mengharapkan Budi akan memeluknya seperti duta, dia pasti kecewa. Tetapi Anggraini memang sudah tidak mengharapkannya lagi.

Begitu gugupnya Budi sampai dia lupa mengulurkan tangannya untuk memberi salam. Atau... dia bukan lupa. Dia memang tidak mau....

"Tidak pernah ada kabar baik lagi. Kenapa tidak masuk?"

"Oh, akut mengganggumu."

"Sesudah semua pertolongan yang kauberikan?"

"Ah, pertolongan apa!"

"Tanpa uangmu, aku mungkin masih disandera di ramah sakit! Tidak bisa bayar tagihan."

"Oh." Wajah Budi bertambah pucat. Dan sikapnya bertambah serba salah. "Lupakan saja!"

Lupakan saja? Mengapa dia sebaik itu? Dan mengapa... dia begini gugup? Bukankah justru dia yang menjadi dewa penolong?

"Terima kasih mau melayani permintaan-permintaan Sinta. Dia selalu merepotkanmu."

Budi tidak mampu menjawab. Dia kelihatan sangat gelisah sampai Anggraini bertambah bingung.

Sudah begitu mengerikankah penampilanku sampai Budi tidak berani menatapku, pikir Anggraini sedih.

Saat itu Sinta muncul di belakang ibunya.

"Sinta pergi, Ma," katanya dengan suara tertekan.

"Jangan, Sinta. Biar Mama saja!"

"Kan ada Oom Budi, Ma!"

"Jangan. Biar Mama yang pergi dengan Oom Budi."

"Tapi Mama masih lemah!"

"Kamu juga tidak sehat. Masih mual?"

"Sedikit. Mama istirahat saja."

"Kamu saja yang istirahat. Mama pergi, Sinta,"

"Sinta saja, Ma!"

"Masuk, Sinta."

"Mama nggak bakal kuat!"

"Biar Sinta saja yang ikut, Angga," potong Budi resah. "Kamu masih lemah..."

"Jangan mengasihani aku!" potong Anggraini sengit. "Aku yang paling tahu kondisi tubuhku sendiri!"

"Tapi Sinta lebih kuat..."

"Siapa bilang? Kau tidak tahu apa-apa!"

"Mama..."

"Masuk, Sinta. Jangan membantah lagi!"

***

"Seharusnya kaubiarkan Sinta menemaniku mencari Rimba," keluh Budi sambil mengemudikan mobilnya.

"Mengapa kau begini takut kepadaku?" sergah Anggraini gemas. "Apa penampilanku sudah begitu mengerikan?" "Bukan begitu! Aku hanya tidak ingin kau sakit lagi..."

"Aku sudah tidak apa-apa! Operasiku sudah lewat. Dan aku masih tetap manusia. Bukan separo mayat!"

"Kau tidak mengerti...."

"Aku mengerti sekali! Kau takut melihatku!"

"Kau keliru...."

"Karena aku sudah berubah total! Penampilanku telah jauh berbeda!"

"Tapi bukan itu maksudku!"

"Kau tidak usah khawatir, Bud. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku tidak akan menagih janji-janjimu!"

"Kau salah mengerti, Angga! Aku tidak mau kau ikut karena kasihan kepadamu. Kau masih lemah. Sinta masih muda dan kuat...."

'Tapi dia hamil!"

***

Mobil Budi terlonjak berhenti. Mobil di belakangnya mengerem mendadak. Bunyi klaksonnya yang panjang menyakitkan telinga.

Tetapi Budi seperti tidak mendengar apa-apa. Dia terenyak bengong.

Hamil? Sinta... hamil? Anaknyakah yang berada dalam kandungan gadis itu? Anak yang selama ini diharapkannya? Tentu saja Budi pantas terkejut. Tetapi menurut Anggraini, kekagetannya berlebihan. Dia menepikan mobilnya seperti habis menelan lima butir luminal.

"Katamu... Sinta hamil?" Budi menggagap sambil menyeka keringatnya. "Siapa... siapa yang...?"

"Dia tidak mau mengatakannya."

"Anaknya.. sehat?"

"Apa maksudmu?" dengus Anggraini tersinggung.

"Sinta... tidak... tidak... menggugurkannya...?"

"Aku tidak mau membunuh cucuku siapa pun ayahnya!"

"Jangan, Angga! Kumohon kepadamu, jangan bunuh anak itu!" Sekarang Anggraini mengawasi Budi dengan curiga. "Mengapa kau menaruh perhatian begitu besar kepada cucuku?"

"Kau tahu sudah berapa lama aku mendambakan anak!"

"Apa hubungannya denganmu?"

"Berikan anak itu kepadaku, Angga!"

"Kepadamu?" Anggraini mengerutkan dahinya dengan perasaan tidak enak. "Tapi kau tidak pernah menginginkan anak orang lain, kan? Kau menginginkan anak kandung!"

"Kalau anak kandung tak bisa kuperoleh, apa salahnya mengangkat anak?"

"Kau benar-benar sudah berubah!" Anggraini menatap Budi dengan tajam sampai yang ditatap jadi bertambah salah tingkah.

"Berikan anak itu kepadaku, Angga!" pinta Budi memelas sekali.

"Aku rela memberikan apa saja yang kauminta!"

"Aku tidak menjual cucuku!" sergah Anggraini tersinggung.

"Bukan itu maksudku. Aku hanya kepingin punya anak..."

"Dan kau tidak perlu melihat seperti apa anak itu nantinya?"

"Aku tidak peduli!"

"Tapi itu bukan sifatmu!"

"Kau yang bilang aku sudah berubah!"

"Istrimu tidak keberatan? Tidak perlu tanya pendapatnya dulu?"

"Itu yang diinginkannya sejak dulu!"

"Dia tidak keberatan mengambil cucuku sebagai anaknya!"

"Hera tidak peduli asal tidak kehilangan suaminya!"

"Tapi aku peduli. Jika cucuku tidak memperoleh ibu yang mengasihinya, lebih baik dia kurawat sendiri."

"Kau tidak mungkin bisa, Angga. Kau sakit. Dan Sinta masih anak-anak! Apalagi dia belum bersuami.."

"Kau lupa. Aku sudah berpengalaman membesarkan anak tanpa suami."

"Tapi lebih baik kalau seorang anak mempunyai ayah dan ibu, bukan? Kau tahu bagaimana sulitnya membesarkankan anak seorang diri. Kau tidak mau Sinta mengalami nasib yang sama denganmu, kan?

"Akan kutanyakan pendapat Sinta."

"Dia pasti patuh kepadamu, Angga!"

"Sinta yang berhak menentukan. Dia ibunya."

Dan aku ayahnya jerit Budi dalam hati. Aku berhak memiliki anak itu.

BAB XXVII

"Anak Ibu kami tangkap dalam razia obat terlarang di diskotek tadi malam," kata Kapten Polisi Bahar. "Di sakunya ditemukan lima butir pil ecstasy."

"Ya Tuhan!" desah Anggraini getir.

"Rimba menolak memberitahu alamatnya. Karena itu kami tidak dapat menghubungi orangtua-nya."

"Anak itu masih di bawah umur," sela Budi. "Tidak dapatkah Bapak membebaskannya? Dia pasti cuma ikut-ikutan teman."

"Tidak segampang itu, Pak. Kami harus menyelidiki dulu, Rimba memiliki pil itu untuk diedarkan atau untuk konsumsi sendiri."

"Maksud Bapak, anak itu terlibat jaringan pengedar obat terlarang?" "Tidak mungkin!" cetus Anggraini kecut. "Rimba bekerja sebagai DJ di diskotek itu!"

"Ibu telah dibohongi. Dia tidak bekerja. Tetapi hampir setiap malam dia berkeliaran di diskotek itu."

Anggraini terenyak lemas. Musibah beruntun yang menimpa keluarganya seperti langit yang perlahan-lahan runtuh mengubur dirinya. "Kami akui akhir-akhir ini dia memang kurang pengawasan, Pak," dengan gigih Budi masih mencoba membebaskan Rimba. "Ibunya baru saja operasi kanker. Tetapi kalau Bapak sudi membebaskannya, kami berjanji akan mendidiknya baik-baik dan mengawasinya lebih ketat."

"Sudah saya katakan, tidak semudah itu, Pak. Semua ada prosedurnya. Kami sedang menekan Rimba supaya dia mengatakan siapa pemasoknya. Tetapi dia tetap menutup mulutnya rapat-rapat."

***

"Aku tidak percaya Rimba sekejam ini kepadaku," keluh Anggraini ketika sedang menunggu untuk bertemu dengan anaknya. "Apalagi pada saat ibunya dalam keadaan seperti ini!"

"Dia mencari uang untuk pengobatanmu," sahut Budi datar. "Dulu dia pernah mencuri waktu kau masih di rumah sakit. Aku yakin sekarang pun dia mengedarkan ecstasy dengan alasan yang sama."

"Ya Tuhan." Anggraini menyusut air matanya dengan sedih. "Lebih baik aku tidak usah dioperasi, daripada anak-anakku menderita begini!"

"Bukan salahmu, Angga," gumam Budi lirih. Trenyuh melihat penderitaan wanita yang pernah dikasihinya. "Hanya nasibmu yang buruk..."

Ketika Rimba dibawa ke hadapannya, Anggraini tidak mampu, mengucapkan sepatah kata pun karena sedihnya. Wajah putri sulungnya kusut masai. Merah. Agak sembap. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya lusuh. Dia tampak kotor. Letih. Dan kurang tidur.

Tetapi matanya tetap mata Rimba. Mata yang tidak pernah bersinar takut. Mata yang nyaris dingin.

Dia menatap ibunya dengan tegar. Tanpa perasaan bersalah.

"Kenapa ke sini, Ma?" tanyanya datar. "Rimba tidak mau melibatkan Mama!"

Tanpa dapat menahan keharuannya lagi, Anggraini merangkul anaknya. Sesaat tubuh Rimba terasa membeku dalam pelukannya.

"Mama tahu apa yang Rimba lakukan untuk Mama," bisik Anggraini getir. "Bertahanlah, Rimba. Mama akan berjuang sekuat tenaga untuk membebaskanmu."

"Lebih baik kauceritakan siapa bandarmu," sela Budi datar. "Supaya hukumanmu lebih ringan." Rimba melepaskan pelukan ibunya. Dan. menatap Budi dengan dingin.

"Lebih baik jangan ikut campur," katanya tawar.

"Rimba, jangan begitu. Oom Budi hanya ingin menolong...."

"Rimba tidak perlu ditolong. Lebih baik Mama pulang. Di sini bukan tempat untuk Mama."

"Mari pulang, Anggai" potong Budi tandas. "Biar dia selesaikan sendiri persoalannya. Kita lihat saja sampai di mana kehebatan anakmu."

Rimba menatap Budi dengan geram. Anggraini sampai terkesiap melihat sorot mata Rimba yang begitu penuh kebencian.

***

Anggraini membuka pintu mobil Budi dengan letih. Sesaat sebelum turun, Budi masih memburunya dengan pertanyaan.

"Janji ya, Angga? Akan kaubicarakan dengan Sinta?"

Anggraini hanya mengangguk lesu. Dia keluar dari mobil. Dan menutup pintunya. Dulu, Budi-lah yang selalu membukakan pintu mobil untuknya. Tetapi sekarang, tampaknya dia tidak merasa perlu lagi. Dia lebih tertarik membicarakan anak Sinta.

"Besok aku datang lagi," katanya sebelum pergi. "Kuharap sudah ada jawaban pasti."

Anggraini tidak menjawab. Dia melangkah tertatih-tatih ke pintu rumah. Dan seorang laki-laki bertampang menyeramkan dengan tato yang cukup mencolok di lengannya, menghampirinya dengan cepat.

Sesaat Anggraini mengira dia akan dirampok. Barangkali kemalangan belum puas juga mengusiknya. Refleks dia berbalik untuk minta tolong kepada Budi. Tetapi mobil lelaki itu telah pergi. Sudah terlalu jauh untuk dikejar. Terlalu jauh pula bagi Budi untuk mendengar jeritan Anggraini.

"Ibu Anggraini?" sapa lelaki bertato itu segera, begitu melihat Anggraini mundur dengan ketakutan. Anggraini terpaku di tempatnya. Menahan napas tanpa berani bergerak.

"Jangan takut. Saya teman Heri Jangkung."

"Heri... Jangkung?"

"Heri teman saya satu sel. Kemarin saya dibebaskan dari penjara. Dia yang minta saya datang kemari."

"Heri sakit?" Sekejap Anggraini melupakan rasa takutnya. Rasa khawatir dan penyesalan berkecamuk di hatinya. Sudah lama dia tidak menengok Heri. Sampai Heri mengirim temannya kemari....

"Selamat siang, Anggraini."

Anggraini menoleh dengan terperanjat. Dan belum pernah merasa begitu lega ketika melihat Dokter Gigi Yanuar Husodo tegak di dekatnya. "Dokter Yanuar...."

"Ada apa?" Dengan sikap waspada Dokter Yanuar mengawasi teman Heri yang bertampang kriminal itu. "Dia mengganggumu?"

"Oh, tidak!" cetus Anggraini setelah dapat menguasai dirinya kembali. "Dia teman Heri...."

"Temanmu?" Dokter Yanuar mengangkat alisnya. Ditatapnya lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.

"Heri mengirim saya untuk melihat keadaanmu," dengus pria bertato itu tanpa mengacuhkan Dokter Yanuar. "Seharusnya dia tidak perlu khawatir!"

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah pergi meninggalkan mereka.

"Siapa Heri itu?" desak Dokter Yanuar curiga.

"Temanku," sahut Anggraini letih.

"Temanmu punya teman seperti itu?"

Nada suara Yanuar hampir membuat kemarahan Anggraini meledak. Apa haknya mengatur siapa yang boleh menjadi teman Heri? Untung dia masih mampu menguasai emosinya. "Maaf, saya letih sekali hari ini," gumam Anggraini tanpa berniat menyilakan Dokter Yanuar masuk.

"Sayang sekali." Paras dokter gigi itu berubah. "Tadinya saya berniat mengajakmu dan Ika menonton tayangan perdana film iklan Tka."

"Terima kasih. Tapi hari ini, rasanya mengangkat kaki pun saya sudah tidak kuat lagi."

***

"Ada yang Mama ingin bicarakan denganmu, Sinta," kata Anggraini perlahan-lahan setelah selesai menceritakan keadaan Rimba.

Sinta yang sedang menangis mendengar cerita ibunya tentang Rimba, mengangkat kepalanya. Matanya yang berlinang air mata memandang ibunya dengan getir.

"Oom Budi menginginkan anakmu...." Dan Anggraini terkesiap. Mata Sinta menggelepar panik. Sorot ketakutan memancar dari matanya. Membuat Anggraini tertegun bingung.

Ada apa? Mengapa Sinta tampak begitu ketakutan?

"Semua terserah kamu," sambung Anggraini hati-hati. "Kalau kamu tidak mau anakmu diadopsi.."

Sinta meraung dan menangis sejadi-jadinya sampai Anggraini kewalahan meredakan tangisnya.

"Ada apa?" Nenek yang masih menggendong Intan tergopoh-gopoh menghampiri. "Budi Sukoco ingin mengadopsi anak Sinta." Anggraini menghela napas berat. "Katanya dia bersedia membiayai semua kebutuhan Sinta, sejak hamil sampai melahirkan."

"Rasanya ito jalan terbaik," tukas Nenek mantap. "Sinta belum sanggup memelihara anaknya. Lebih baik anak itu diberikan kepada keluarga yang memang menginginkan anak. Aku yakin, cucumu lebih terurus di tangan mereka, Angga. Mereka keluarga berada, kan? Nah, anak Sinta pasti mempunyai masa depan yang lebih cerah di tangan mereka."

Diam-diam Anggraini menyetujui pendapat ibunya Tetapi dia tetap menyerahkan keputusan terakhir di tangan Sinta. Dan saat ini, Sinta belum dapat ditanya, dia masih menangis tersedu-sedu.

***

"Kau tidak usah khawatir," terngiang kembali ditelinga Heri kata-kata temannya."Perempuanmu tidak kurang suatu apa. Dia baru saja diantar pulang oleh seorang lelaki naik mobil mewah. Besok dia janji datang lagi, dan minta jawaban pasti!"

Merah padam muka Heri ketika membayangkannya Siapa lelaki yang mengantarkan Anggraini pulang dengan mobil mewah itu?

"Pantas saja dia nggak sempat kemari! Baru saja pulang, ada lelaki lain yang datang menjemputnya. Seorang dokter!" Mula-mula Heri mengira Dokter Suriadi. Tetapi temannya berkeras mengatakan dokter itu masih muda dan ganteng. "Lupakan saja dia, Heri! Dia bukannya sakit. Dia terlalu sibuk untuk menengok pacarnya di penjara!"

Benarkah Anggraini telah melupakannya? Benarkah dia tidak sempat lagi meluangkan waktu untuk datang menjenguknya? Tentu saja Heri merasa sakit hati. Meskipun sebagian hatinya belum mau mempercayainya. Benarkah sudah ada lelaki baru dalam kehidupan Anggraini? Kalau benar demikian, perempuan itu benar-benar sakit!

Tidak heran sambutan Heri begitu dingin ketika petang itu Anggraini datang menjenguknya. Dan api cemburu yang sedang menghanguskan benaknya mengaburkan ketajaman intuisinya. Heri tidak mampu mencium perubahan sikap Anggraini. "Siapa dokter itu?"

Dinginnya suara Heri menyentakkan kesadaran Anggraini. Meletupkan kegusaran di hatinya. Dia masih berani mencemburui diriku setelah apa yang dilakukannya kepada anakku, geram Anggraini dalam hati. Munafik!

"Dokter siapa?" balas Anggraini sama dinginnya.

"Yang tadi siang datang ke rumahmu."

"Dokter Yanuar Husodo," sahut Anggraini tawar. "Dokter giginya Ika."

"Dia melayani jaga panggilan rumah?"Sinisnya suara Heri memerahkan paras Anggraini.

"Ika berhasil jadi bintang iklan karena jasanya."

"Dan dia menagih balas jasa?"

Sekarang ambang kesabaran Anggraini terlampaui.

"Apa maksudmu, Her?" desisnya agak sengit.

"Kau tidak sempat mengunjungiku karena dia. orang lelaki itu?" sergah Heri sama sengitnya. "Padahal aku begitu mencemaskanmu! Kukira kau sakit!"

"Lelaki siapa?"

"Kau yang harus menjawabnya! Siapa lelaki yang mengantarkanmu pulang dengan mobil mewah itu.? Yang berjanji akan datang lagi besok untuk minta kepastian jawabanmu?"

Astaga, Anggraini menghela napas panjang. Rupanya mata-mata Heri sudah menceritakan hasil pengintaiannya dengan lengkap!

"Budi." Anggraini mengembuskan nama itu bersama napasnya. "Budi Sukoco. Bekas produserku."

"Oh, dia lagi rupanya!" Anggraini tidak tahu Heri sedang mengejek atau marah. "Dewa penolong yang meminjamkan, uang untuk operasimu! Dia masih mengejar-ngejarmu? Sekarang anak-anakmu pasti tidak keberatan! Dia datang untuk mendesakmu menikah?"

"Dia datang untuk menemaniku mencari Rimba!" dengus Anggraini marah. Air mata berlinang di matanya meskipun dia sudah berusaha menahannya. "Rimba ditahan. Ada lima butir, pil ecstasy di sakunya...."

Sesaat Heri terenyak. Kemarahannya memudar. Matanya mengawasi Anggraini dengan tegang.

"Kapan dia dibebaskan?" tanyanya kaku. "Apa yang dikatakan polisi?"

Anggraini menggeleng sedih. Ketika dirasanya air matanya hampir runtuh, dia berbalik untuk menyembunyikannya. Lama mereka sama-sama terdiam. Sebelum suara Heri terdengar lirih membelai telinga Anggraini.

"Maafkan aku, Rini. Tak pantas aku mencemburuimu."

Memang tak pantas! Kalau benar kau yang menghamili Sinta!

"Aku begitu mengkhawatirkanmu. Seminggu lebih kau tidak datang. Tidak ada kabar berita. Kukira kau sakit. Sampai kuutus temanku yang baru dibebaskan kemarin. Dan laporannya tentangmu tadi membuatku hampir meledak dibakar cemburu."

"Kau masih bisa mencemburuiku?" gumam Anggraini lirih. "Pada saat-saat seperti ini?"

"Apa maksudmu? Kau masih tetap perempuan yang menarik. Tidak heran kalau Budi Sukoco masih mengejarmu."

"Dia bahkan sudah tidak mau lagi melihat kalau tidak terpaksa!"

"Tidak mau melihatmu tapi masih melamarmu"

"Siapa yang melamarku?"

"Dia datang lagi besok untuk minta kepastis kan?"

"Dia ingin mengadopsi anak Sinta."

Lama Anggraini tidak mendengar jawaban Heri. Ketika dia memutar rubuhnya, dilihatnya Heri sedang memandangnya dengan wajah pucat. Tatapan matanya begitu sedihnya sampai Anggraini hampir tidak kuat membalas tatapannya. Tetapi di mata itu, Anggraini tidak menemukan perasaan bersalah sedikit pun!

"Siapa yang melakukannya, Rin?" tanyanya getir setelah mampu membuka mulutnya lagi.

Anggraini menggeleng putus asa.

"Sinta. tidak pernah mau mengatakannya. Barangkali dia takut tambah menyiksa ibunya."

"Maksudmu..." Heri menghampiri Anggraini dengan tegang. "Salah seorang kenalanmu? Temanmu?"

"Seseorang yang dekat dengan aku dan dia."

Tatapan mata Anggraini begitu ganjil. Lama Heri berusaha menganalisis arti tatapan itu sebelum tiba-tiba dia sadar, Anggraini mencurigainya!

"Ya Tuhan." desis Heri antara terkejut, sedih, dan kecewa. "Kau menuduhku?"

Anggraini menunduk dengan perasaan bersalah.

"Maafkan aku. Tetapi Sinta tidak punya teman. Dan dia sangat mengagumimu...." "

"Teganya kau menuduhku berbuat sekeji itu kepada anakmu!"

"Tahukah kau mengapa aku tidak mengunjungimu seminggu ini?" tanya Anggraini sedih. Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya Heri dengan getir.

"Karena kau jijik kepadaku?" "Karena aku takut tidak kuat mendengar pengakuanmu!"

"Dengar, Rini. Kau sudah membawanya ke dokter?"

"Tak ada keraguan lagi. Dokter bilang, dia hamil."

"Berapa usia kandungannya?"

"Kira-kira enam minggu. Apa bedanya?" "Dokter mengatakan kapan taksiran partusnya?"

"Lima belas September. Kalau aku tidak salah."

"Ada metode untuk menghitung taksiran partus, dihitung sejak tanggal haid terakhir. Jika dokter mengatakan tanggal lima belas bulan sembilan, itu berarti haid terakhir Sinta jatuh tanggal delapan bulan dua belas. Benar?" Anggraini tidak menjawab. Dahinya berkerut.

"Berarti Sinta masih mendapat haid setelah aku ditahan!" Anggraini menatap bengong. Kebingungannya perlahan-lahan mencair. Berganti dengan kelegaan. "Mengapa aku tak pernah memikirkannya?" desahnya dengan perasaan bersalah. "Aku telah sembarangan menuduhmu..."

"Kau sedang bingung. Tidak dapat berpikir jernih. Lupakan saja. Sekarang yang. penting, memikirkan siapa yang menghamili Sinta."

"Apa bedanya lagi? Asal bukan kau...."

"Katamu tadi, Budi Sukoco ingin mengadopsi anak Sinta?" Anggraini tertegun menatap Heri. Ketika perlahan-lahan tatapannya berubah nanar, wajahnya memucat.

BAB XXVIII Sebenarnya Sinta tidak mau menemui Heri. Dia malu. Tetapi ketika sampai gelap ibunya belum pulang juga, dia panik.

Tadi Mama bilang mau mengunjungi Oom Heri. Mengapa sampai sekarang belum pulang juga? Mustahil Mama pergi selama itu. Dia masih lemah. Cepat lelah. Dan dia sudah meninggalkan rumah sejak sore.

Akhirnya Sinta memberanikan diri mengunjungi rumah tahanan Heri. Waktu berkunjung memang sudah habis. Sinta harus mengiba-iba supaya diizinkan menemui Heri.

"Tolonglah, Pak," pintanya memelas sekali kepada petugas yang melarangnya masuk. "Sebentar saja. Ibu saya belum pulang. Padahal baru saja dioperasi. Saya takut ada apa-apa, Pak. Barangkali Oom Heri tahu ke mana ibu saya pergi."

Heri terkejut sekali ketika petugas penjara menjemputnya di sel. Lebih-lebih ketika melihat siapa yang datang.

"Sinta!" cetusnya kaget. "Ada apa? Ibumu baik?"

Sinta tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Air matanya langsung mengalir membasahi pipinya. Heri trenyuh sekali melihatnya. Dia harus menahan dirinya agar tidak memeluk gadis itu untuk menghiburnya.

"Jangan menangis, Sinta," gumam Heri lembut. "Oom tahu mengapa Sinta melakukannya."

Sesaat Sinta menatap Heri dengan nanar. Sudah tahukah Oom Heri? Dari mana dia tahu?

"Bajingan itulah yang seharusnya dihajar. Dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Kalau Oom sudah bebas nanti, Oom akan membuat perhitungan atas apa yang dilakukannya pada Sinta."

Sekarang Sinta yakin. Oom Heri sudah tahu! Artinya... Mama juga sudah tahu!

Ya Tuhan! Ke mana Mama pergi sekarang? Ke tempat Oom Budi?

"Oom..." Sinta menggigit bibirnya menahan tangis. "Tadi Mama kemari? Mama bilang mau pergi ke mana?".

***

"Tumben." Hera mengawasi suaminya dengan heran. "Angin apa yang membawamu ke sini?"

Selama menjadi suaminya, Budi memang baru dua kali mengunjungi istrinya di tempat kerjanya. Biasanya dia paling malas datang ke sana.

Hera mempunyai sebuah butik yang dikelolanya sendiri. Tidak besar. Tapi cukup eksklusif. Di tempat inilah dia dapat mengusir kesepiannya. Melupakan kebosanannya berkurung di rumah.

Dia sedang menata sebuah gaun baru ketika Budi tiba-tiba muncul. Dan Hera sudah merasa, bahkan sebelum Budi membuka mulutnya, ada kabar teramat penting yang dibawanya.

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan," kata. Budi sambil melangkah masuk ke dalam kamar kena Hera.

"Soal apa?" Hera mengikuti suaminya masuk ke ruang kecil di belakang toko yang dipergunakannya sebagai kantor. "Begitu pentingnyakah sampai tidak dapat menungguku pulang ke rumah?"

"Aku ingin minta sesuatu kepadamu."

Seriusnya suara Budi membuat Hera semakin penasaran. Dan semakin berdebar-debar menunggu kelanjutan kata-katanya.

"Soal apa? Kalau soal perempuan, aku tidak mau dengar!"

"Aku ingin punya anak."

Wajah Hera memerah sampai ke telinga. Bibirnya terkatup rapat menahan geram.

"Lagu lama," desisnya kering.

"Sekarang keinginanku sudah tak tertahankan lagi."

"Kau ingin mengawini temanmu yang hampir mati itu? Dia masih sanggup memberimu anak?"

"Aku ingin mengadopsi cucunya."

"Cucu siapa?' desak Hera bingung.

"Ingat anak perempuan pincang yang pernah datang ke rumah kita?"

"Anak teman baikmu yang sakit kanker itu?"

"Dia hamil Aku ingin mengadopsi anaknya."

Sekarang Hera menatap suaminya dengan tajam. Begitu tajamnya sampai Budi merasa resah.

"Mengapa harus anaknya?" sergah Hera curiga.

"Mengapa tidak? Dia tidak bisa memelihara anak itu."

"Siapa ayahnya?"

"Mana aku tahu?"

"Kau mau mengambil anak haram yang tidak ketahuan siapa bapaknya?"

"Apa bedanya? Aku mau mengadopsi anaknya, bukan bapaknya!"

"Mengapa tiba-tiba begitu berminat hendak mengadopsi anak ini?"

"Mengapa tidak? Kita sudah lama ingin punya anak!"

"Tapi kau selalu menolak anak angkat! Katamu, kau ingin anak kandung! Mengapa sekarang tiba-tiba berubah?" "Aku sudah putus asa."

Tetapi cara Budi menjawab membuat Hera bertambah gelisah. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Hera merasa, suaminya berdusta.

Mungkinkah... anak itu... anaknya sendiri? Gadis pincang itu perlu uang. Dan dia masih hijau. Belum berpengalaman. Mungkinkah Budi...?

"Aku ingin bicara dengan gadis itu dulu."

"Buat apa?" Budi separo membentak.

"Buat apa?" Hera membelalak kesal. "Kau mau mengangkat anak yang tidak ketahuan siapa bapaknya tanpa menyelidiki dulu asal-usulnya?"

"Asal usul apa lagi? Aku kenal neneknya. Dia perempuan baik-baik."

"Tapi kau tidak kenal kakeknya! Tidak kenal ayahnya!" "Kalau kau mau mengadopsi anak, kau harus kenal semua nenek moyangnya?"

"Paling tidak, aku tahu dari comberan mana mereka berasal!"

"Dengar, Hera." Suara Budi berubah dingin. Wajahnya membeku. "Aku akan mengambil anak itu. Jika kau masih menginginkan rumah tangga kita utuh, jangan bantah kehendakku."

***

Heri merasa resah. Dia menyesal. Merasa bersalah. Dia yang telah membangkitkan kecurigaan itu di hati Anggraini.

Tadi Anggraini pergi dengan marah. Matanya memendam dendam dan sakit hati yang tak terperikan.

Anggraini mungkin sudah tidak mengharapkan lagi dapat mempersuami Budi. Tetapi bagaimanapun, lelaki itu bekas pacarnya. Hubungan mereka pernah telanjur intim. Dan kini... Budi menghamili putrinya!

Sekarang Anggraini belum pulang ke rumah. Padahal dia sudah begitu lelah. Ke mana dia pergi? Mencari Budi? Mendesaknya mempertanggungjawabkan perbuatannya?

Bagaimana kalau Budi menyangkal? Dan bagai-... kalau dia... mengaku?

***

Budi turun dari mobilnya dengan marah. Dibantingnya pintu mobil dengan sengit.

Perempuan bertingkah! Tidak diceraikan saja sudah bagus! Mengapa Hera begitu konyol? Tidak tahu diri! Perempuan mandul, masih banyak lagak! Apa pedulinya anak siapa pun yang mereka adopsi?

Budi masuk ke kantornya dengan kesal. Pak Randu, satpam di kantornya, langsung membukakan pintu begitu mengenali majikannya. "Selamat malam, Pak," sapanya hormat. "Ada yang ketinggalan, Pak?"

Budi hanya mendengus. Dia tidak merasa perlu menjawab.

Apa pedulimu mau apa aku kemari? Ini kantorku! Aku mau tidur di sini pun bukan umsanmu!

Melihat suramnya wajah majikannya, Pak Randu tidak berani membuka mulutnya lagi. Diam-diam dia mengundurkan diri ke posnya.

Budi langsung masuk ke kantor. Menyalakan lampu. Dan mengambil arsip surat-surat perjanjian.

Dia harus bertindak cepat. Sebelum Sinta sempat menggugurkan kandungannya. Anaknya sudah datang! Anak yang sangat didambakannya. Dia sudah bertekad untuk memiliki anak itu, apa pun taruhannya!

Budi mengambil sebuah contoh kontrak. Dia akan mendesak Sinta dan ibunya untuk menandatangani surat perjanjian. Mereka akan menyerahkan anak itu kepadanya sesudah lahir nanti. Apa pun permintaan mereka akan diturutinya....

Budi duduk di depan meja tulisnya. Menyalakan komputernya. Dan baru hendak mengetik ketika pintu kamar kerjanya terbuka....

***

"Serangan jantung?" Kepala sipir penjara yang bertugas jaga itu mengerutkan dahinya. "Bagaimana keadaannya?" "Sangat kesakitan, Pak! Napasnya sesak."

"Sudah hubungi Dokter Amin?"

"Dokter Amin sudah memeriksanya, Pak."

"Apa katanya?"

"Dia ragu, Pak. Katanya sebaiknya pasien dikonsultasikan kepada dokter ahli jantung."

"Dia tidak pura-pura sakit?" "Kata Dokter Amin, gejalanya persis serangan jantang, Pak."

"Dia tidak minum obat apa-apa? Ada sejenis obat yang dapat memberi efek seperti serangan jantung."

"Tidak ada yang tahu, Pak. Tapi kalau Bapak mengizinkan, saya akan mengawalnya ke dokter jantung. Dan membawanya pulang kembali jika dia tidak perlu dirawat di rumah sakit"

***

"Anggraini?" sapa Budi heran. "Ada apa?"

Belum pernah Budi melihat Anggraini dalam keadaan seperti itu. Wajahnya yang kurus tampak pucat seperti mayat.

Matanya yang sayu dan letih menatap dingin. Begitu dinginnya sampai Budi merasa bulu ramanya meremang. Anggraini-kah yang datang? Atau... hantunya? Tubuhnya yang kurus dan lemah tegak dalam keremangan cahaya di ambang pintu. Latar belakang yang gelap menimbulkan kesan yang lebih menyeramkan lagi.

Mendadak sekerat perasaan tidak nyaman menyelinap ke hati Budi. Mengusik kewaspadaannya. Dia sudah merasa, kedatangan Anggraini pasti bukan membawa kabar gembira. Dia seperti hendak menuntut sesuatu... menggugat... menuduh....

Lambat-lambat Budi bangkit dari kursinya. Dan menghampiri wanita itu.

"Duduk, Angga," tukasnya hati-hati. "Kau tampak lelah...."

Budi mengulurkan tangannya untuk membimbing Anggraini ke kursi. Tetapi wanita itu spontan mengelak.

"Jangan sentuh, aku lagi!" Suaranya tawar dan kering. Tapi matanya tetap menatap sedingin es.

Budi terpaku. Alarm tanda bahaya berdering mengirimkan sinyalnya ke seluruh tubuh Budi. Membangkitkan kewaspadaannya.

"Ada apa?" tanyanya hati-hati. "Kau datang seperti hantu!"

"Jawab saja pertanyaanku. Kaukah ayah anak Sinta?"

***

Hera tidak dapat lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Bayangan wajah suaminya yang sangat gusar mengusiknya terus.

Mengapa Budi begitu marah? Mengapa dia begitu ngotot ingin mengadopsi anak itu?

Hera kenal sekali sifat suaminya. Budi lebih baik menceraikan istrinya daripada mengangkat anak!

Hera-lah yang selama ini menolak perceraian. Bukan karena dia masih mencintai suaminya. Tetapi karena ingin mempertahankan status.

Mengapa sekarang tiba-tiba Budi berubah? Benarkah anak itu... anaknya sendiri?

"Apa bedanya bagimu?" geram Budi sesaat sebelum pergi tadi. "Anak siapa pun yang kuambil, anak itu tetap anak angkatmu! Karena kau tidak bisa memberikan anak kandung kepadaku!"

Memang menyakitkan. Tetapi itulah selalu yang dikatakan Budi selama ini. "Jika kau masih menginginkan rumah tangga kita utuh," ancamnya dingin. "Jangan bantah ke-hendakku."

Dan Hera tahu, Budi bersungguh-sungguh. Kalau Hera masih menginginkan menjadi istrinya, dia tidak punya pilihan lain. Dia harus menerima anak itu, tidak peduli siapa ayahnya!

Bergegas Hera berkemas. Dia harus menyusul suaminya. Tapi... ke mana dia pergi?

***

Budi tidak menjawab. Tetapi ketika melihat air muka laki-laki itu, Anggraini tidak memerlukan jawaban lagi. Kesedihan, sakit hati, dan kemarahan yang ditahannya sejak tadi, menggumpal menyesakkan dada. Stres demi stres yang silih berganti menyapanya sejak beberapa bulan terakhir ini seperti menemukan tempat pelampiasan. Budi menggauli Sinta... menghamili putrinya yang baru berumur empat belas tahun! Sungguh ^menjijikkan!

"Kau bajingan!" Dengan kalap Anggraini menyerang dan menerkam Budi. Dicakarnya wajahnya. Dipukulinya dadanya. Budi yang tidak menyangka Anggraini dapat bertindak histeris seperti itu, tidak sempat mengelak.

Torehan kuku Anggraini meninggalkan goresan panjang berdarah dan menyakitkan di wajahnya. Refleks Budi memukul wanita itu. Agak terlalu keras sampai Anggraini yang masih lemah dan dalam keadaan letih serta shock, terjajar ke dinding di belakangnya.

Kepalanya membentur tembok. Dan tubuhnya merosot lemas ke lantai.

"Angga!" teriak Budi bingung.

Saat itu seorang laki-laki muncul di pintu. Begitu melihat keadaan Anggraini, Heri meraung marah. Dia menerkam Budi. Dan menjotos rahangnya.

Begitu kuatnya sampai Budi merasa tulang rahang bawahnya berderak dan giginya goyah. Tetapi lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk membela diri. Pukulannya datang beruntun. Dia baru berhenti memukul setelah Budi ambruk ke lantai. Dan Pak Randu berlari-lari mendatangi.

Melihat keadaan majikannya, satpam itu langsung menghunus pisaunya. Dan dia sudah bergerak untuk menikam Heri ketika seruan Hera membatalkan niatnya.

***

Heri menggendong Anggraini keluar dari kantor Budi. Anggraini sudah siuman. Tetapi dia belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Seolah-olah dia masih berada di dunia lain.

Matanya menatap Heri dengan tatapan yang amat memilukan hati.

Tatapan yang membuat Heri merasa hatinya tercabik menjadi serpihan kecil-kecil.

"Kita akan mengatasinya bersama-sama. Sayang," bisik Heri lembut. "Kuatkanlah hatimu. Tetaplah tegak seperti batu karang di tengah laut kehidupan."

Heri membawa Anggraini pulang ke rumah. Sama seperti malam pertama pertemuan mereka dulu. Bedanya, kali ini Anggraini yang sakit, Dan kali ini, anak-anak Anggraini masih belum tidur. Mereka masih menunggu Mama pulang. Dian dan Ika menyambut kedatangan Heri dengan gembira. Heri merangkul mereka dengan terharu setelah membaringkan Anggraini di sofa. Sinta membawakan handuk dingin untuk mengompres kepala Anggraini atas perintah Heri. Sementara Nenek menyuguhkan segelas air.

Malam itu, Heri melewatkan waktunya bersama Anggraini dan anak-anaknya. Hanya malam itu. Karena keesokan paginya, dia harus meninggalkan rumah. Menyerahkan dirinya kembali ke rumah tahanan. Heri memang harus membayar pelariannya dari pengawalan penjaga yang sedang membawanya ke rumah sakit. Tetapi dia tidak menyesal. Dia telah berhasil membalaskan sakit hati Anggraini dan Sinta.

Malam itu Budi harus dirawat di rumah sakit karena gegar otak ringan. Tulang mandibulanya patah. Empat buah giginya rontok. Dan dia tetap tidak berhasil mengadopsi anak Sinta.

Sinta telah bertekad untuk merawat sendiri anaknya. Anggraini memboyong keluarganya pindah ke rumah sederhana yang sedang dicicilnya. Dia tinggal di sana sambil menunggu Heri dan Rimba dibebaskan dari tahanan. Sementara karier Ika sebagai bintang iklan terus melangit. Permintaan demi permintaan terus mengejarnya sampai Anggraini kewalahan mengatur jadwalnya agar Ika tidak ketinggalan pelajaran di sekolah.

Intan terus bertumbuh sebagai anak imbesil yan sulit dididik. Tetapi Anggraini bertekad untuk melatihnya sekuat tenaga agar Iin kelak dapat hidup Mandiri. Dan Anggraini bersyukur Tuhan masih memberinya waktu untuk membesarkan anak-anaknya.

Tamat