Bagian 4

Ceng Ceng hanya menonton ketika Tek Hoat sudah meloncat maju. Tentu saja jantungnya berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat agar pembantunya itu jangan membunuh si pengacau karena dia mengenal si pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar yang pernah menolongnya! Laki-laki bermuka buruk seperti setan yang telah menolongnya ketika dia dikeroyok oleh para kaki tangan pemberontak di waktu dia hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang ini, bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan, mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan, laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan mempergunakan akal!

Tek Hoat sudah meloncat ke depan dan menyerang orang itu dengan totokan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis orang itu. Serangan yang amat hebat dan dahsyat ini membuat laki-laki tinggi besar bermuka setan itu mengeluarkan suara gerengan dahsyat, tubuhnya bergerak ke kanan, tangan kanannya menangkis totokan dan tangan kirinya menyampok cengkeraman ke pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga mengerahkan tenaga pada kedua lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu terpental dan roboh ketika kedua lengan mereka beradu.

"Plakk! Duukkk!"

Keduanya terkejut dan terpental, akan tetapi dengan cekatan keduanya telah dapat mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan tinggi ke belakang. Sejenak mereka saling pandang dan Tek Hoat membentak marah. "Siapa kau?"

Akan tetapi, orang tinggi besar itu tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang sudah mendekati pula. Pada saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu pedang Cui-beng-kiam yang mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.

"Keparat, mampuslah kau!" bentaknya sambil menyerang.

Menghadapi serangan pedang ini, orang tinggi besar itu terkejut, apalagi ketika dia melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini, yang memiliki pengaruh dan hawa mujijat, maka dia mengeluh dan  cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang melihat kejerihan lawan. Dia terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju menerjang lagi, Ceng Ceng berteriak, "Tek Hoat mundurlah! Aku akan menangkapnya!"

Teriakan ini dikeluarkan oleh Ceng Ceng karena dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang mengeluarkan pedang. Dia pun mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan mengandung hawa mujijat yang lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan kelihaian penolongnya ini, yang menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan kosong, mencengkeram dan merampas pedangnya dengan mudah! Akan tetapi pedang seampuh itu di tangan Tek Hoat adalah lain lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek Hoat. Pula, dia sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk memberi tahu bahwa dia tidak berniat membunuhnya.

Mendengar teriakan ini, biarpun hatinya mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur. Diam-diam dia mentertawakan Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini. Biarpun baru bergebrak beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian hebat, lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Ceng Ceng. Jangankan menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun tentu sukar. Entah kalau nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.

"Engkau telah mengacau tempat ini. Aku yang menjadi beng-cu harus menawanmu!" Ceng Ceng berseru sambil menerjang orang tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok jalan-jalan darah dengan kecepatan dua ekor ular mematuk.

Orang itu mengeluarkan seruan aneh dan meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas setengah berbisik akan tetapi dapat dimengerti oleh Ceng Ceng. "Kau.... kau gadis aneh....!"

Sudah dua kali orang itu mengatakan sebagai gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah bertekad untuk menangkap bekas penolongnya ini, tidak menjawab melainkan menyerang terus bertubi-tubi dengan totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau menang menghadapinya?

"Ehh....!" Tiba-tiba Tek Hoat menahan seruannya karena terkejut ketika melihat betapa orang tinggi besar itu terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah menjadi lemas dan lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng! Hampir dia tidak dapat mempercaya ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu benar-benar telah roboh tak berdaya dan beberapa orang anggauta Tiat-ciang-pang cepat menghampiri dan membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat atas perintah Ceng Ceng.

"Masukkan dia ke tempat tahanan di belakang dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai dia lolos dan jangan ada yang berani mengganggunya. Besok aku akan memeriksanya!" demikian perintah Ceng Ceng kepada anak buahnya yang segera menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang di belakang rumah di mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu dan dijaga dengan ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang.

Sementara itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu golongan kaum sesat lainnya yang tadi ikut pula menyaksikan peristiwa pengacauan itu. Semua orang memuji kelihaian beng-cu mereka yang dengan mudah dapat merobohkan orang yang sedemikian lihainya.

"Heran sekali, bagaimana engkau dapat menotoknya roboh sedemikian mudahnya?" Tek Hoat tidak dapat menahan keheranan hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka telah duduk pula menghadapi meja.

Ceng Ceng sendiri tadi juga agak heran karena tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil begitu mudahnya. Jelas bahwa laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan sungguh-sungguh sehingga mudah saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun yang lebih dulu dia pergunakan sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa beracun dan tidak sempat menghindarkan diri lagi ketika dia menotoknya bertubi-tubi, membuatnya roboh tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia menjawab sederhana, "Biarpun dia lihai, akan tetapi dia tidak dapat melawan hawa beracun dari pukulanku yang membuat dia kurobohkan dengan totokan. Hanya engkau yang agaknya masih buta, belum melihat kelihaianku!"

Tek Hoat tidak mempedulikan ucapan itu. "Aku masih merasa heran dan menduga-duga, dia itu siapakah dan apa perlunya mengacau di sini? Mukanya seperti setan dan kepandaiannya pun hebat betul. Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia di dunia kang-ouw."

"Biar aku besok yang akan memeriksanya. Kau jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai aku besok memeriksanya. Kalau dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan kita, syukurlah. Kalau tidak...."

"Kalau tidak, bagaimana? Kita bunuh dia?"

"Hemm.... bagaimana besok sajalah," Ceng Ceng sendiri bingung. Ketika dia berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi gurunya, orang itu menolak dan pergi begitu saja. Sekarang, setelah berhasil menawannya, apakah dia akan berhasil pula memaksa orang itu menjadi pembantunya untuk menangkap musuh besarnya?

Malam itu Ceng Ceng tidur dengan gelisah sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali. Dia melihat di dalam mimpinya itu pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya dan hendak memperkosanya lagi, akan tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi wajah Tek Hoat, dan kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan bermuka setan itu! Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki bermuka setan itu biarpun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan laki-laki tinggi besar ini. Teringatlah dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia menjadi termenung. Betapa bedanya pangeran itu dengan tiga orang laki-laki! Pangeran itu begitu tampan, begitu halus, penuh hormat, lemah-lembut dan penuh ke mesraan. Cinta kasih seorang seperti Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak perlu disangsikan lagi! Sebaliknya, Tek Hoat memang tampan dan gagah, biarpun tidak setampan Pangeran Yung Hwa namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang menarik, ketampanan dan kegagahan yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi pemuda ini adalah seorang yang rendah, yang telah menghambakan diri kepada pemberontak! Pemuda laknat yang memperkosanya itupun tampan dan gagah sekali, lebih gagah daripada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung, membayangkan kekerasan seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi pemuda itu telah menjadi musuh besarnya, yang amat dibencinya, dan dia tahu bahwa membunuh pemuda itupun belum berarti terbalas dendamnya karena pemuda itu telah merusak hidupnya, merusak segala-galanya! Dan laki-laki yang bermuka setan ini, sudah tua dan menakutkan, biarpun pernah menolongnya dan berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh rahasia sehingga sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah adanya laki-laki bermuka setan ini.

Pada keesokan harinya dia telah pergi ke belakang, ke gudang di mana tawanan itu berada. Di luar gudang masih terjaga oleh dua puluh orang lebih anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi dia mendengar suara orang bicara di sebelah dalam gudang atau lebih tepat lagi, suara Tek Hoat yang agaknya marah-marah.

Cepat dia memasuki gudang itu dan dia masih mendengar Tek Hoat berkata marah, "Kaukira aku tidak mampu memaksamu bicara? Engkau bersembunyi di balik topeng itu!"

Mendengar ucapan ini, orang bertopeng itu terkejut. "Ehh.... jangan....! Jangan buka topengku. Kalau dipaksa.... aku akan mengamuk dan akan hebat akibatnya!"

Tek Hoat tertawa. "Silakan mengamuk, aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!" Tek Hoat sudah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang masih terbelenggu kedua tangannya ke belakang punggung dan sedang bersandar pada dinding gudang itu. Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya sudah mendekati muka orang.

"Tek Hoat, jangan....!" Ceng Ceng membentak dan Tek Hoat terkejut.

Pemuda ini bersungut-sungut dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi begini lemah dan penurut? Agaknya, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu memerintahnya seperti ini! Dan dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat melakukan apa pun, tanpa Ceng Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan tidak sampai hati menolak perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali hanya karena sumpahnya. Memang dia merasa terlampau gagah untuk melanggar sumpah, akan tetapi kalau sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu saja tidak bisa dia terus menurut.

"Hemmm....!" Dia mendengus dan membalikkan mukanya. Ceng Ceng memandang wajah orang tawanan itu dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang ini memakai topeng! Memakai semacam kedok yang amat tipis dan memang sukar dibedakan dari wajah aseli kalau saja dia tadi tidak melihat orang itu bicara dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa yang bergerak tentulah bibir aselinya yang berada di balik topeng! Seketika timbul akalnya untuk memaksa bekas penolongnya ini!

"Tek Hoat, keluarkan saputanganmu!" katanya memerintah.

"Untuk apa....?" Tek Hoat bertanya dengan marah karena saputangan mengingatkan dia akan sumpah dan janjinya.

"Kaututup matamu dengan saputangan itu!"

"Hemm....!" Tek Hoat makin marah.

Akan tetapi tetap saja permintaan itu dia penuhi juga. Dia menutupkan saputangannya ke depan mata dan mengikatkan kedua ujung saputangan di belakang kepala. Diam-diam dia tertarik juga karena ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis aneh ini.

Setelah melihat Tek Hoat menutupi mukanya dengan saputangan, Ceng Ceng lalu menghampiri tawanan yang masih bersandar dinding itu. "Nah, In-kong sekarang kita boleh bicara berdua. Pembantuku ini sudah menutup matanya dengan saputangan sehingga tidak dapat melihat kita.... maksudku, tidak dapat melihat wajahmu."

Suara yang halus itu terdengar kini. "Nona, engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa maksudmu dengan menawan aku? Aku tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di sini, menonton dan dikeroyok oleh orang-orang itu. Biarkan aku pergi."

"Tidak, sebelum engkau memperlihatkan siapa adanya engkau. Aku hendak membuka topeng yang menutupi mukamu, In-kong."

Tentu saja Tek Hoat menjadi kaget dan heran bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang menunjukkan bahwa gadis ini telah mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)! Biarpun kedua matanya tertutup, Tek Hoat memusatkan seluruh perhatiannya kepada pendengarannya sehingga dia dapat mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan tawanan itu, bahkan tidak kalah jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan kedua matanya.

"Jangan....! Jangan, Nona....! Ini adalah rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap kau jangan membukanya...." Orang itu berkata, suaranya penuh permohonan dan kekhawatiran sehingga Tek Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.

"Engkau pernah menolongku, tentu aku tidak akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan membuka topengmu asal engkau suka menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku. Bagaimana?"

"Hemm...., baiklah. Aku berjanji."

"Dan seorang laki-laki gagah tidak akan melanggar janjinya."

"Lebih baik mati daripada melanggar janji."

Tiba-tiba Tek Hoat tertawa. "Ha-ha-ha, Lu Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang memiliki kepandaian menjadi seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya sendiri!"

"Tek Hoat, engkau dan dia ini berjanji sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau boleh membuka saputanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kaubebaskan dia dari belenggu itu."

Tek Hoat menyambar saputangannya, lalu memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan tertawa mengejek. "Engkau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesukaran, Sobat!" Dan dengan kedua tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan sin-kangnya dan belenggu yang terbuat dari baja itu patah-patah! Bukan main hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat dan agaknya dia sengaja mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang memandang dengan sikap tenang saja. Setelah belenggunya

dilepaskan dia bangkit berdiri, tinggi dan tegap.

"Sekarang kau setelah menjadi pembantuku harus memberitahukan namamu," Ceng Ceng berkata.

Orang itu menghela napas panjang. "Setelah Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng, maka biarlah aku dinamakan Topeng Setan."

Ceng Ceng bertepuk tangan gembira. "Bagus! Dua orang pembantuku hebat julukannya, yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi Si Topeng Setan! Sekarang mari kita keluar untuk mengumumkan pengangkatan Topeng Setan sebagai pembantuku ke dua, dan kita mulai mengatur anak buah kita agar tidak lagi terjadi bentrok diantara rekan segolongan."

Tek Hoat dan Topeng Setan mengangguk. Ceng Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar itu, "Awas, engkau mencurigakan. Sekali waktu akan kupatahkan batang lehermu seperti aku mematahkan belenggu tadi."

Topeng Setan menoleh kepada pemuda tampan itu dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut bekas belenggu dari atas lantai, kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya mematah-matahkan rantai itu semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!

"Tak perlu curiga, aku hanya ingin melindunginya, Sobat!" Si Topeng Setan berkata pula, berbisik.

Tek Hoat terkejut dan mengertilah dia bahwa Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja membiarkan dirinya tertawan. Buktinya, kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu itu dengan amat mudah! Makin tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan untuk dapat menarik tenaga yang amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran Liong Bin Ong.

Yang merasa amat bergembira adalah Ceng Ceng. Dia sampai luka akan kesengsaraan hatinya melihat betapa dia kini telah menjadi seorang "beng-cu", mengepalai ratusan orang-orang lihai, bahkan mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat tinggi kepandaiannya. Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil mencari musuh besarnya, pemuda laknat yang telah memperkosanya! Di samping itu, dia akan menuntun para kaum sesat itu agar tidak membantu para pemberontak, sebaliknya malah menentang pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang dia tahu adalah anak buah pangeran pemberontak, setelah menjadi pembantunya akan dibujuknya agar dapat insyaf dan kembali ke jalan benar. Betapapun juga, pemuda inilah sebetulnya yang menjadi orang pertama, laki-laki pertama yang pernah menggerakkan perasaan mesra, kagum dan cinta di dalam hatinya, yang kemudian berubah menjadi benci karena pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak. Pula, setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta kasihnya kepada Syanti Dewi, lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek Hoat. Namun andaikata pemuda ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia akan senang sekali melihat kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat. Jauh lebih baik daripada menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja!

Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengalamannya yang baru sebagai seorang beng-cu atau ketua dari kaum sesat itu, dan mari kita mengikuti perjalanan kakak beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan hendak mengawal Jenderal Kao Liang kembali ke utara ketika pada malam hari itu muncul putera jenderal itu yang telah hilang dan disangka mati belasan tahun yang lalu, yaitu Kok Cu, yang kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu tugas yang diperintahkan gurunya.

Peristiwa hebat perjumpaannya dengan Ceng Ceng yang dianggap telah mati dan bayangan gadis itu dianggap rohnya, kemudian disusul dengan munculnya Kok Cu yang disangka sudah mati, mengguncangkan hati Jenderal Kao dan keluarganya. Akan tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa ini sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan diam-diam akan kembali ke utara.

Akan tetapi, baru saja mereka bersiap untuk berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba terdengar suara halus, "Kao-goanswe, berhenti dulu...." Dan berkelebatlah bayangan orang. Ternyata yang datang adalah Puteri Milana sendiri!

Tentu saja Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap Jenderal Kao mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya itu masuk ruangan dan tidak mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia menduga bahwa kedatangan Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting. Dan memang benarlah demikian!

Begitu dipersilakan duduk, puteri yang wajahnya agak tegang biarpun sikapnya masih tenang itu berkata lirih, "Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil tindakan secara terang-terangan."

Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya. "Paduka maksudkan....?"

"Baru saja seorang penyelidikku datang malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin yang kautawan itu telah dibebaskan kaki tangannya, bahkan telah menyusun kekuatan dari para pasukannya dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk menyerbu ke selatan!"

"Si keparat!" Jenderal itu mengepal tinjunya dengan marah sekali. "Semua ini diatur dari sini, dan kita harus menumpas biang keladinya!"

"Sabarlah, Goanswe. Tugas kita hanyalah menumpas para pemberontak yang sudah terang-terangan memberontak seperti Panglima Kim Bouw Sin. Adapun para penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di belakang layar, amat sukar bagiku untuk bertindak  tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Kedudukan mereka kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke utara. Biarlah kedua orang adikku ini lebih dulu menyelidiki ke sana dan sedapat mungkin menyelamatkan Syanti Dewi yang berada di bentengmu. Mudah-mudahan saja dia tidak terjatuh ke tangan pemberontak! Sedangkan engkau dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini setelah kita besok menghadap Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim Bouw Sin itu. Akan tetapi hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang pangeran tua. Hal itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada mereka sebagai adik-adiknya."

Jenderal Kao mengangguk-angguk. Memang kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama tentu saja karena dia ditipu, orang menggunakan Kaisar untuk memanggilnya keluar dari benteng dan biarpun pihak pemberontak gagal membunuhnya di tengah jalan, mereka telah berhasil membebaskan Kim Bouw Sin yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin pasukan dibawah pimpinannya! Hal kedua yang membuat dia marah saking cemasnya adalah nasib Syanti Dewi yang ditinggalkan sendirian di dalam benteng!

Kian Lee dan Kian Bu berangkat meninggalkan kota raja setelah menerima pesan dari Puteri Milana dan Jenderal Kao. Mereka diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu Jenderal Kao dan pembantu Puteri Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam perjalanan, karena dalam keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu amat sukar dan terdapat banyak rintangan berbahaya.

Dua orang pemuda Pulau Es ini melakukan perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa tentang pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu, dan hal itu pun tidak menarik hati mereka. Semenjak kecil mereka berada di Pulau Es dan tidak pernah mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka kekacauan yang terjadi ini hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena ada kakak mereka, Puteri Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan tugas itu sebagai perintah kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan hati mereka karena mereka merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu, juga sebagai dua orang muda remaja, mereka masih haus akan pengalaman.

Di sepanjang perjalanan yang mereka lakukan dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian Lee selalu mengajak adiknya untuk berputar kota lebih dulu, dan biarpun Kian Bu diam-diam maklum bahwa kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya menyelidiki seseorang, dan seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.

Karena mereka mendapat tugas untuk menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao ditinggalkan di dalam bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung menuju ke kota benteng itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang dikelilingi benteng amat kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Mereka berdua bercampur dengan rakyat yang menjadi panik, pengungsi-pengungsi yang kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan tetapi ada pula yang malah mencari

perlindungan di kota itu sehingga keadaan kota itu ramai sekali dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara berseliweran di setiap tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu.

Ternyata kota benteng itu telah terjatuh ke tangan kaum pemberontak! Setelah Jenderal Kao pergi ke kota raja, beberapa malam kemudian timbul keributan di dalam benteng. Panglima Kim Bouw Sin dilepaskan orang-orang lihai dari penjara, kemudian panglima itu menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para panglima dan perwira yang menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga banyak muncul orang-orang pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum pemberontak tahu-tahu telah memasuki kota. Gegerlah keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada Jenderal Kao atau kepada kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak, akan tetapi karena Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang masih setia telah dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak, maka pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri keluar dari benteng, lari ke selatan! Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan tanpa ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perempat jumlah pasukan yang berada di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan dari benteng itu.

Berita ini tidak begitu diperhatikan oleh Kian Lee dan Kian Bu, akan tetapi mereka terkejut sekali ketika mendapat keterangan bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di benteng itu telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi, hanya kedua orang kakak beradik ini mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai seorang anak angkat atau anak keponakan perempuan yang berada di benteng itu dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang tahu ketika terjadi keributan di benteng itu.

"Wah, celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!"

"Hemm, mencari kemana? Kita tidak tahu dia lari atau dilarikan ke mana."

"Jangan-jangan dia terjatuh ke tangan pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng dan mencarinya di sana?"

"Terlampau berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita Jenderal Kao, andaikata Puteri Syanti Dewi terjatuh ke tangan pemberotak sekalipun, agaknya dia tidak akan diganggunya, bahkan mungkin diantarkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak maupun yang anti, mereka menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap di dalam keributan."

"Habis, apa yang harus kita perbuat sekarang?"

"Tidak ada lain jalan, kita kembali ke kota raja dan di sepanjang perjalanan kita harus memasang mata dan telinga, mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri bersama para pengungsi. Andaikata tidak berhasil, kita kembali dan melapor

kepada Enci Milana dan Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini."

"Akan tetapi aku masih menduga bahwa agaknya Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut penuturan Enci Milana, Panglima Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota Teng-bun, sebaiknya kalau kita mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu, sambil mencari-cari."

"Baiklah, Bu-te."

"Lee-ko, sudah jelas bahwa aku akan mencari Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah Enci Milana, akan tetapi agaknya yang kaucari adalah puteri lain lagi, bukan Syanti Dewi."

"Hemmm, maksudmu....?"

"Engkau mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu Ceng!"

Wajah Suma Kian Lee menjadi merah. "Bu-te! Sekarang bukan waktunya main-main!"

Melihat kakaknya marah, Kian Bu tidak berani menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya lalu keluar dari kota benteng itu dengan aman karena mereka mencampurkan diri di antara rombongan para pengungsi. Hanya mereka yang masuk kota itu yang digeledah oleh para penjaga pemberontak, yang keluar dari situ hanya diawasi saja penuh perhatian.

Kota Teng-bun yang dimaksudkan sebagai pusat atau markas besar para pemberontak itu terletak agak ke barat, merupakan kota yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan terletak di lereng bukit, dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang sukar untuk diserbu dari luar. Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini kalau-kalau Syanti Dewi dibawa oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak beradik ini membelok ke barat. Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi semua menuju terus ke selatan atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat karena semua orang menjauhi Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi medan perang.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah dusun yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak jauh dari Teng-bun. Di luar dusun itu terdapat perkemahan tentara, yaitu pasukan yang masih setia kepada kerajaan, dipimpin oleh seorang panglima bawahan Jenderal Kao yang mempertahankan atau menjaga daerah itu sebagai daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling depan atau paling dekat dengan Teng-bun, pusat pemberontak. Panglima Thio Luk Cong itulah yang mengutus penyelidik Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota raja melapor kepada Puteri Milana tentang gerakan pemberontak yang menguasai benteng dan yang kini berpusat di Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya lalu menetap di luar dusun Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti bala bantuan yang pasti akan datang dari kota raja.

Ketika Kian Lee dan Kian Bu memasuki dusun itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja karena memang pasukan Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga keamanan dengan baik. Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak pula di antara anggauta pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri, tiba di tempat itu dan segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio Luk Cong.

"Aku lelah sekali, Lee-ko. Mari kita beristirahat dulu di rumah penginapan."

Kian Lee menyetujui permintaan adiknya. Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh yang tidak berhenti, dan tadipun begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas melakukan kebiasaannya berputar dusun untuk mencari.... Lu Ceng, karena benar seperti yang pernah dikatakan Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu Ceng daripada mencari Syanti Dewi!

Rumah penginapan di dusun itu kosong karena memang tidak ada pengunjung datang di dusun itu. Dengan mudah mereka memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di bangku dan Kian Bu segera merebahkan diri di atas pembaringan sambil memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali.

Pelayan penginapan itu masuk membawa teh panas untuk tamu baru ini, membungkuk hormat sambil meletakkan poci dan cawan di atas meja. Melihat Kian Bu rebah memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya, "Engkau lelah sekali, Kongcu?"

"Wah, kakiku lelah sekali...." Kian Bu menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak mempedulikan pandang mata kakaknya yang penuh curiga.

"Kebetulan sekali, di dekat sini terdapat seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia seorang yang buta matanya, akan tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat mencari semua kelelahan Kongcu dan mengusirnya."

Kian Bu tertawa. "Begitukah? Coba panggil dia ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan kakiku ini!"

"Baik, baik, Kongcu, kautunggu sebentar." Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu.

Setelah pelayan itu pergi, Kian Lee menegur adiknya, "Bu-te, engkau ini ada-ada saja! Aku melihat sikap pelayan itu amat mencurigakan seolah-olah dia terlalu memperhatikan kita."

"Aihh, Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau memang betul tukang pijat itu pandai, apa sih salahnya kalau dia menghilangkan kelelahanku? Dan pelayan itu adalah seorang yang ramah, agaknya girang dia karena akhirnya rumah penginapan yang sunyi dan kosong ini memperoleh tamu juga."

Tak lama kemudian pelayan itu sambil tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar menuntun seorang kakek buta yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. "Kongcu mana yangg merasa lelah kakinya?" Kakek itu bertanya dengan suaranya yang lemah dan agak gemetar.

Pelayan itu menuntunnya mendekati pembaringan Kian Bu. "Inilah Kongcu yang ingin kaupijat kakinya, Lo-sam!" kata Si Pelayan.

Kakek buta itu menjulurkan tangan meraba-raba. Takut kalau kakek itu meraba yang bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan itu dan mendekatkannya ke arah kakinya sambil berkata, "Di sini kakiku, Lopek."

Kakek itu meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan tongkatnya ke atas lantai sambil berkata, "Hemm...., hemmm.... kasihan kedua kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima hari dipergunakan untuk berjalan kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya sampai menegang dan keras begini."

Mulailah dia memijit-mijit kaki Kian Bu dan pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu amat pandai memijit. Jari-jari yang berkulit halus itu dengan lembutnya memijit-mijit dan meraba-raba tepat pada otot-otot besar sehingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak menyenangkan. Tidak terlalu dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat ini benar pandai, biarpun matanya buta namun jari-jari tangannya seperti mempunyai mata yang dapat mencari otot-otot kakinya.

"Lee-ko, sebaiknya engkau juga menyuruh dia memijit kakimu. Enak dan dapat melenyapkan lelah," Kian Bu berkata.

"Ah, aku tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai beristirahat sebentar saja pun akan pulih," jawab kakaknya.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dan ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan oleh seorang tentara berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, berkumis pendek dan berwajah ramah.

"Maafkan kalau saya mengganggu, Ji-wi Kongcu. Ciangkun ini datang diutus oleh panglima untuk memanggil tukang pijit!"

"Ah, bagaimana ini? Aku belum selesai dipijit!" Suma Kian Bu berseru.

"Tidak mengapa, saya bisa menanti sebentar sampai engkau selesai dipijit, orang muda. Komandan kami bukan seorang yang keras, dan tentu beliau suka menunggu, apalagi karena sekarang beliau sedang menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu agung yang amat penting."

Kian Lee menjadi tertarik. Dalam suasana seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai komandan pasukan yang menerima tamu merupakan hal yang penting.

"Siapakah tamu-tamu agung, itu, Ciangkun?"

Perwira itu agaknya senang bercerita. Dia duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh panas dari pelayan, minum tehnya lalu berkata, "Kami semua tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Yang seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa saja seperti seorang petani sederhana, akan tetapi orang ke dua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Biarpun pakaian gadis itu pun sederhana, akan tetapi kecantikannya sungguh sukar dicari bandingannya...."

"Berapa kira-kira usia gadis itu dan bagaimana perawakannya?" Tiba-tiba Kian Lee bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan membayangkan Ceng Ceng.

"Ah, tentu tidak akan lebih dari tujuh belas tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya seperti seorang wanita yang sudah matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping, air mukanya angkuh dan agung, pendiam...."

Jantung di dalam dada Kian Lee berdebar. Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga demikian dan diam-diam dia melirik kepada kakaknya.

"Apakah komandanmu suka pijit, Ciangkun?" tanya Kian Lee.

"Sebetulnya tidak, akan tetapi beliau mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini kedatangan seorang tukang pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya datang menjemputnya."

Kian Bu sejak tadi diam saja, lalu berkata kepada tukang pijit itu, "Sudah cukup, Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku hendak bicara penting dengan Ciangkun ini."

Kian Bu berteriak memanggil pelayan tanpa memberi kesempatan kepada Kian Lee yang memandangnya dengan heran itu untuk mengeluarkan suara, kemudian minta kepada pelayan untuk mengantar tukang pijit itu keluar dan menanti mereka di sana. Setelah pelayan dan tukang pijit itu keluar, baru dia berkata kepada perwira itu, "Ciangkun, terpaksa aku menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini tidak enak untuk dia. Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali. Pijitannya tidak enak, dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang yang kelelahan kalau dipijit olehnya akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan marah kalau dipijat oleh dia."

"Kalau begitu, kenapa engkau membiarkan dirimu dipijit olehnya, orang muda?"

Kian Bu tertawa. "Engkau tidak mengerti, Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami berdua kakak dan adik adalah keturunan tukang pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu biasa memijiti Kaisar dan keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika kami tadi mendengar bahwa di sini terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami tertarik dan ingin mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja. Orang seperti itu hendak kausuruh memijati komandanmu? Ah, engkau akan mendapat marah, Ciangkun."

Perwira itu memandang dengan curiga dan tidak percaya. "Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah pantas kalau menjadi tukang pijat yang pandai. Akan tetapi kalian? Orang-orang muda begini.... mana bisa memijat....?"

"Ha-ha, ucapan seperti itu, keheranan itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang tidak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kaucoba sendiri, Ciangkun. Kami tidak membohongimu, ke sinilah, biar kaurasakan pijatan ajaib dari tanganku."

Dengan pandang mata masih tidak percaya perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk di atas pembaringan Kian Bu. Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan tengkuknya. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang Sin-kang sehingga perwira itu merasa betapa hawa yang hangat mendatangkan nikmat menyelusuri tubuhnya, dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat tepat menyentuh otot-ototnya sehingga sebentar saja dia terasa keenakan, tubuhnya terasa nyaman dan kantuk mulai menyerangnya, membuat matanya meram melek!

"Nah, bagaimana rasanya, Ciangkun?" Kian Bu bertanya dan menghentikan pijatannya.

Perwira itu terbangun dari keadaan setengah pulas dan terkejut. "Aih, benar hebat sekali engkau, orang muda. Pijatanmu amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh seluruh tubuh, menghilangkan capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini pun mahir?"

"Kakakku ini malah lebih pandai daripada aku, Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami berdua ke sana, tentu komandanmu akan puas sekali dan memujimu."

Tiba-tiba sikap perwira itu berubah. Pandang matanya tajam menyelidik ketika dia bertanya, "Orang muda, kenapa engkau ingin sekali ikut dengan aku ke perkemahan kami?"

Sebetulnya, kalau mereka berdua memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri Milana, tentu perwira itu segera akan tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak ingin sembarang orang mengenal bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan kalau tidak perlu sekali, mereka tidak akan sembarangan memperkenalkan diri.

"Ciangkun, harap kau tidak mencurigai kami kakak dan adik," tiba-tiba Kian Lee yang mengerti akan maksud adiknya agar mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk melihat apakah dara yang diceritakan tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan, segera berkata meyakinkan, "Sesungguhnya biarpun kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak mempergunakan kepandaian kami untuk mencari uang. Akan tetapi.... terus terang saja, kami telah kehabisan. Kami meninggalkan kota benteng Khi-ciang yang geger, pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian seadanya. Akan tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar bahwa komandan Ciangkun suka dipijit, adikku menawarkan diri karena tentu komandanmu suka membayar mahal, dan belum para perwira yang membiarkan kami memijatnya, tentu akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal perjalanan."

Perwira itu mengangguk-angguk. "Baiklah, memang sudah kubuktikan sendiri kemampuanmu memijat. Akan tetapi, tukang pijit buta itu pun harus kubawa agar jangan aku mendapat marah dari komandan."

Maka berangkatiah perwira itu bersama Kian Lee, Kian Bu, tukang pijit buta yang digandeng oleh pelayan. Karena rumah penginapan itu sepi, Si Pelayan boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk nanti sekedar mendapat persen, karena memang Si Buta itu harus ada pengantarnya.

Demikianlah, dengan amat mudahnya mereka memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin oleh komandan Panglima Thio Luk Cong itu. Akan tetapi ternyata penjagaan dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah bagi kedua orang kakak beradik itu dapat bertemu dengan dara yang diceritakan tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi mereka untuk dapat bertemu dan memijat panglima yang masih bercakap-cakap di kamar tamu dengan dua orang tamu agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang Panglima, mereka itu diuji dulu oleh para perwira tinggi yang menaruh curiga.

Diam-diam Kian Bu merasa mendongkol. Dia ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan komandan dan terutama sekali dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara yang diceritakan tadi. Dia tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin membayangkan bahwa gadis itu tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu Ceng siapa yang memiliki kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu agung oleh seorang panglima? Akan tetapi para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka dia lalu mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya, dan tiga kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun tidur pulas!

Hal ini mengherankan banyak perwira. Beberapa orang maju lagi dan kini Kian Lee terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa kali dua orang kakak beradik ini memijit para perwira dan sebentar saja mereka sudah tidur nyenyak di atas kursi!

Seorang perwira tinggi bertubuh kurus memasuki ruangan yang ramai oleh gelak tawa para perwira ini. Dia adalah wakil panglima, bernama Louw Kit Siang, seorang ahli lwee-keh yang tentu saja menjadi curiga menyaksikan sepak-terjang dua orang "tukang pijat" muda itu. Cepat dia melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu, "Hemm, semuda ini sudah memiliki kepandaian memijat yang luar biasa! Coba engkau memijati tubuhku yang capai-capai!"

Melihat wakil panglima sendiri maju, semua perwira menjadi gembira dan ingin menyaksikan wakil panglima itu pun kepulasan di kursi. Louw Kit Siang duduk di atas kursi itu dan mengulurkan lengan kanannya. "Nah, kaupijitlah lengan kananku ini."

Lengan itu kurus tinggal tulang dan kulitnya saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan wakil panglima itu dan memegang lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang Panglima dan dua orang tamunya belum juga muncul? Melihat Si Kurus yang menantang ini, tahulah dia bahwa Si Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka dia cepat mengerahkan tenaganya. Tepat seperti diduganya, dari dengan wakil panglima itu keluar getaran tenaga lwee-kang yang cukup kuat, yang seolah-olah hendak melawan dan menahan saluran Hwi-yang Sin-kang yang hangat dari telapak tangannya. Louw Kit Siang terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu keluar hawa yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui lengannya. Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk membendung tenaga yang hangat itu.

Mereka bersitegang dan berkutetan tanpa diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang memandang penuh perhatian. Akan tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga. Biarpun memakan waktu tiga empat kali lebih lama daripada para perwira yang telah tertidur, akhirnya dia menguap dan tertidur pulas di atas kursinya, diiringi suara ketawa para bawahannya!

Akan tetapi, hanya sebentar saja wakil panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun lagi dan cepat dia meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak,

"Tangkap mereka! Dua orang ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!"

Semua perwira cepat mencabut senjata dan mengurung, sambil membangunkan mereka yang tadi tertidur pulas sehingga merasa gelagapan dan panik, akan tetapi cepat mereka itu mencabut senjata pula dan ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu tenang-tenang saja, karena memang inilah yang dikehendaki Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan untuk memancing ke luarnya Sang Panglima dan terutama dara itu!

"Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!" Panglima Louw Kit Siang membentak.

"Kami hanya mau menyerah kepada Panglima sendiri!" Kian Bu menjawab.

"Aku sudah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.

Semua perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.

"Orang muda, siapakah kalian? Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku?" Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa.

Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biarpun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu bukanlah Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini. Sedangkan Kian Bu juga memandang dengan terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu. Pandang matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya berdebar keras, hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian banyaknya dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang dara secantik ini! Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit! Biarpun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.

"Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!" Louw Kit Siang membentak marah.

"Oh, maaf...." Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih terlongong memandang dara itu. "Maaf, Tai-ciangkun. Kami berdua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap."

"Tai-ciangkun, mereka bukan tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka memiliki kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!"

"Ihh, orang yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!" Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.

"Begitukah?" Panglima Thio membentak. "Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!"

"Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya," Kian Bu berkata tenang. "Silakan duduk di sini." Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu dapat memandangnya!

Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus, "Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah." Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu sambil berkata, "Nah, kaupijitlah lenganku, orang muda yang baik."

Melihat sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biarpun kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya. Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya.

Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sin-kang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian. Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sin-kang, dia tidak akan mundur! Apalagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang lain itu.

Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sin-kangnya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sin-kang dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sin-kang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!

Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain, dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biarpun tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sin-kangnya dan merubah hawa sin-kangnya. Kini dia mengeluarkan ilmu sin-kang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang (Tenaga Inti Salju)!

Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya, dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sin-kang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.

"Uhhh....!" Terdengar suara ini dari laki-la ki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya. Kiranya lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mujijat dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sin-kang! Dan kedua tenaga itu kini saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin pucat dan matanya mulai mengantuk!

"Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar aku membantumu memijatnya!" Kian Lee yang mengikuti "pertandingan" itu, dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.

"Cukuplah!" Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan.... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh tenaga mujijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata, "Ciangkun, mari kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara dengan mereka."

Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu, "Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami."

Kian Lee dan Kian Bu mengangguk dan kini Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguhpun dia juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka.

Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik, "Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya?"

Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, maka dia menjura sa mbil berkata penuh hormat, "Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana."

"Aihhh....!" Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.

"Ah, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik? Silakan duduk.... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik." Panglima itu cepat berkata. Mereka lalu duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Dia sampai menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!

Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata, "Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang."

Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya. "Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki sin-kang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini?"

Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu. "Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!"

Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu. "Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?" tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.

"Aih, kiranya Gak-suheng!" Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biarpun orang ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka menyebutnya suheng. "Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu."

"Ahh....!" Panglima Thio berseru kaget sekali mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana. "Gak-taihiap.... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah.... adalah.... dari Pulau Es....?"

Gak Bun Beng mengangguk.

"Maaf.... maaf.... betapa bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!"

Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.

"Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?"

"Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu ke mana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu...."

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, kedua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima! Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan!

Gak Bun Beng dan dua orang sutenya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata pemberontak!

Ketika memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya. "Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka dapat mengetahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan mudah."

"Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Jangan khawatir, Ciangkun, biarlah kami pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia itu."

Wajah panglima itu berseri. "Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih."

"Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun," kata Gak Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.

"Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi...." Kian Lee membantah.

"Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!"

Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis. "Terima kasih atas bantuan kalian."

Kian Bu termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengannya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata, "Tak kusangka.... kiranya.... kiranya.... Sang Puteri. ... ah, sukurlah bahwa Anda selamat!"

Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis, "Terima kasih."

Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Sungguhpun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, namun hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh meninggalkan puteri itu begitu saja. Dia percaya penuh akan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapapun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan itu. Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari Khi-ciang. Setiap malam, apabila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia menghela napas panjang. Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun? Mengapa wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta kepadanya? Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya? Mengapa?

Cintakah ini? Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah. Akan tetapi perasaan ini hendak selalu dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguhpun dia yakin bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?

Betapapun juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pembecontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!

Pertemuan mengharukan terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.

"Paman....!" Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.

"Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat ini." Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri ke luar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai tamu agung.

Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan dua orang sutenya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!

"Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja."

"Baik, Suheng, kami siap berangkat," jawab Kian Lee.

"Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali...."

"Tidak.... tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi...., biarlah aku ikut ke Teng-bun," puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permohonan. Pertemuannya dengan Bun Beng kembali seolah-olah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biarpun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani membalas cintanya karena Puteri Milana, dan biarpun selama pertemuan mereka sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tidak pernah menyinggung soal cintanya, namun dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya itu.

Pandang mata yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seolah-olah pandang mata itu merupakan tanda penyerahan jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.

"Kalau Sang Puteri ikut, kami akan.... ikut melindunginya, Suheng," tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat. Mendengar suara sutenya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng. Mengapa tidak? Dua orang sutenya ini adalah dua orang pemuda yang hebat!

Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya? Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang, diantara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sutenya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, putera dari Puteri Nirahai!

"Baik!" Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata, "Terima kasih!"

"Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!" kata Gak Bun Beng.

"Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap." tiba-tiba Panglima Thio berkata. "Menurut penyelidikan, biarpun Teng-bun telah direbut pemberontak, namun kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pemberontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan digeledah."

"Wah, kalau begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun?" Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.

"Hanya ada dua cara," panglima itu menjawab. "Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Ke dua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), masuk secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan diantara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat."

Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda?

Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, karena perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari marabahaya.

Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau. Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang lain terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu

dengan sinar matanya!

Ketika mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasihat Bun Beng kini menyebut "adik" kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.

"Adik Syanti, kaupakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin."

Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu semenjak mula-mula bertemu menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata, "Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali hatinya."

Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mingucapkan "terima kasih". Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.

"Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri? Apalagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!"

"Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan?"

Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan "adiknya" duduk menghadapi api unggun. Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja. Apalagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.

Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali. Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan seorang diantara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu?

"Tidak boleh....!" Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.

"Apanya yang tidak boleh?" Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya.

Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.

"Apanya yang tidak boleh, Bu-koko?" Syanti Dewi bertanya lagi.

"Ah, tidak apa-apa.... aku.... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi."

Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya. Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua daripada dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat. Akan tetapi keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya, kalau Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, adalah Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh. Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sutenya itu!

Pada keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan panasnya bukan main matahari siang hari itu! Kedua pipi Syanti Dewi sampai ke merah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh keringat, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biarpun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.

"Kaupakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari," katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.

"Terima kasih, kau baik sekali," kata Syanti Dewi yang menerima topi itu dan memakainya di atas kepala. Kian Bu memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu amat kasar dan bersahaja!

Rasa suka dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup, baik benda tampak maupun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang dibencinya itu kelihatan selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain. Rasa suka membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimanapun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!

Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun batin, dan yang selalu ingin menjauhkan ketidaknikmatan yang tidak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Karena itu timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tidak menyenangkan dirinya. Jika batin kita sudah dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan selalu bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.

Betapapun jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir maupun batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin. Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini! Pertentangan batin maupun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini!

Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suhengnya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu. Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya hari yang amat panas itu telah

memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang kebingungan.

Kian Lee berbisik kepada suhengnya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Bun Beng mengangguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.

"Maafkan kami, Sobat." Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat. "Karena kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini?"

Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata, "Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu kosong."

Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada pelayan.

Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi keduanya lupa lagi kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya. Pedang yang dibawanya itu, biarpun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang sutenya. Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi kepandaian

Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang ke tiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sutenya itu!

Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena dianggap telah menodakan namanya. Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik itu,

bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak saling mengenal lagi.

Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biarpun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andaikata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal. Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguhpun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap

dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu. Maka dia tidak berani sembrono, apalagi dia pun kini telah berubah pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran Liong Khi Ong!

Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan. Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng

yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri! Dan juga ada hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam.

Mi-bakso yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah. Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam dia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil

berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik! Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi-baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut luar ruangan.

Dari luar tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.

"Krakkk!" Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam warung. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu, dengan mi-bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan. Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia

berkata kepada suhengnya, dan Syanti Dewi, "Aku sudah memperoleh tempat duduk!"

Setelah berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas "bangku" darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi-bakso dari dalam mangkok ke dalam mulutnya!

Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya! Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik pemerintah. Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan

tenaga itu membuat bekas di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sin-kang pemuda itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!

Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung beras. Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya. Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai. Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk "menanam" balok itu ke lantai yang keras. Apalagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali. Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga "memasang" balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi. Melihat kejadian ini, banyak diantara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyem geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak terluput dari pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi? Apalagi kalau dia sedang tersenyum simpul!

Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai niat tertentu.

"Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum," tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.

Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.

"Pergilah kalian!" Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.

"Tidak!" Si Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi.

"Kami mentaati perintah beng-cu (ketua)...."

"Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!"

"Maaf, kami terpaksa...."

"Setan!" Tek Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar.

Empat orang itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya. Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok!

Akan tetapi dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan diri.

Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi, segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang, untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa.

Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.

"Kiranya dia lihai juga!" Kian Bu berkata.

"Dia malah lebih lihai daripada yang tampak, jauh lebih lihai kalau saja diberi kesempatan. Sungguh seorang pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini," kata Bun Beng.

"Aku seperti pernah melihatnya, entah di mana...." Kian Lee berkata.

"Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan...." Kian Bu juga berkata.

"Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita," kata Bun Beng.

Akan tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat mehghindarkan diri atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi! Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka?

Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh beng-cu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi beng-cu dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan! Diam-diam Tek Hoat mengerti bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng. Tentu saja buka semata-mata karena sumpah dan janjinya, akan tetapi karena terhadap gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya, lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicintanya. Akan tetapi, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.

Karena dia harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu. Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu dapat mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri kepada pemberontak, maka dia segera menyatakan persetujuannya. Apalagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao.

Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.

Setelah mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menyelundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.

Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat!

Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak, sungguhpun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun. Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini.

Pembesar setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang mempunyai kedudukan dan wewenang akan mempergunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri. Demikian pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang "panas" itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat begitu saja tanpa gangguan.

Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.

"Menurut peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!" berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan.

Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu menjadi naik darah. "Boleh saja menggeledah kami bertiga," katanya.

"Hemm....!" Si Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya. "Kalian berempat, mengapa hanya bertiga yang harus digeledah? Harus ke empat-empatnya...."

"Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga pria?"

"Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!"

Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia akan mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!

"Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan orang?" bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga itu.

"Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!" Si Kurus membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan Bun Beng.

Pada saat itu, diantara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata, "Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya." Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.

"Ah, terima kasih.... harap Cu-wi sekalian maafkan...." Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras.

Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apalagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya, "Terima kasih!" perutnya menjadi bertambah panas. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata itu memandangnya penuh kagum dan penuh kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya.

Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. "Siapa suruh engkau mencampuri....?" Akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata, "Terima kasih atas bantuanmu, Sobat." Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata, "Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!"

Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata, "Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalaupun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap...."

"Ah, terima kasih, mana kami berani membikin repot Sicu? Biarlah kami mencari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!" Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu, apalagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena urusan pribadi.

Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan. "Lagaknya, seperti dia seorang yang mempunyai uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!" Kian Bu mengomel.

"Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah?" Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.

"Bu-ko, orang itu baik, kita semestinya berterima kasih," Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar.

Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan. Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk! Mereka ini adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka mendengar akan anca man perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari keganasan manusia dalam perang, bukan hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk bersimaharajalela.

Cuaca sudah gelap, malam sudah tiba dan rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh tempat penginapan. "Tidak mengapalah, Paman," Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang! "Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang yang takut menghadapi kesukaran."

Bun Beng tersenyum. Tentu saja dia tahu. Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi ke utara, di waktu dia sakit payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang gadis itulah yang merawatnya, yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam tidur di mana saja! Akan tetapi dia tahu bahwa Kian Bu bersikeras untuk mencarikan tempat penginapan yang baik bagi gadis itu!

"Suheng, bagaimana kalau aku memasuki sebuah diantara gedung-gedung besar itu? Aku boleh paksa seorang diantara mereka meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!" Kian Bu berkata.

Bun Beng menggeleng kepala. "Jangan mencari perkara di dalam suasana seperti ini, Sute. Biarlah kita melewatkan malam di tepi jalan, kita pilih yang agak sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti aku akan pergi ke Teng-bun untuk menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu menjaga Dewi di sini."

Terpaksa Kian Bu menurut dan mereka lalu memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu duduk di atas tanah begitu saja. Banyak pula para pengungsi lain yang juga seperti mereka, melewatkan malam di pinggir jalan! Suasana makin tegang dan agaknya malam itu tentu akan terjadi sesuatu yang hebat. Bun Beng mulai penyelidikannya dengan mendengarkan percakapan-percakapan diantara  kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ. Bermacam-macam keterangan diperolehnya tentang kota Koan-bun ini. Ada yang mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang mengabarkan lagi bahwa malam itu pemberontak akan melakukan serangan. Pendeknya, bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia menceritakan semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti Dewi sambil makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua orang kakak beradik itu sebagai bekal. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng menghentikan ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk tidak bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya.

Orang itu agaknya juga seorang pengungsi, sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan berjongkok, mengeluh panjang pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika tiba-tiba rombongan itu berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan tetapi sejak itu, sering sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang lain yang Bun Beng lihat adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia bahwa mereka telah dimata-matai atau diawasi!

Jalan itu makin ramai, dan makin banyak saja orang-orang yang berkelompok di tepi jalan. Agaknya mereka pun kehabisan tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di situ? Bun Beng mulai curiga dan dia memperingatkan kedua orang sutenya agar waspada.

"Siapa tahu kalau-kalau mereka ini adalah pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung kita," bisiknya.

"Sikat saja!" Kian Bu sudah bangkit dan memandang marah.

"Sttt, tenanglah, Bu-te!" Kian Lee menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali. Kian Lee maklum bahwa adiknya itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan demam cinta itu membuat Kian Bu selalu ingin menojolkan dirinya di depan gadis yang dicintanya. Diam-diam dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu lebih berbahagia dalam cintanya, tidak seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang berada di mana! Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa Lu Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang dipesannya selama mereka berdua melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka sekarang dalam kesempatan menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.

"Adik Syanti, aku.... aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu," katanya berbisik agar jangan terdengar orang lain kecuali mereka berempat.

"Apakah itu, Lee-koko?"

"Aku ingin bertanya tentang Lu Ceng atau Candra Dewi...."

"Aihhh....!" Syanti Dewi hampir menjerit ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak terasa lagi air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian Lee dap Kian Bu terkejut.

Gak Bun Beng menghela napas panjang. "Sute, mengapa engkau menanyakan dia? Dia adalah adik angkat Dewi, dan sudah tewas secara menyedihkan sekali."

"Justeru itulah yang akan saya bicarakan, Suheng! Adik Candra.... dia itu.... Nona Lu Ceng itu, dia belum mati!"

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, dan dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian Lee dengan tajam dan penuh teguran, kemudian dia berkata, "Sute, jangan bicara yang bukan-bukan! Aku sendiri telah turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus untuk menyelidiki dan baru turun sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah tewas."

"Kami juga mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut, sungguhpun Jenderal Kao tidak bercerita tentang Suheng," kata Kian Bu. "Akan tetapi.... tenangkan hatimu, Moi-moi.... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih hidup. Kami sudah berjumpa beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini kami melihat dia di kota raja!"

"Ahhh....! Be.... benarkah? Benarkah itu?"

Kian Lee lalu menceritakan pertemuannya dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan betapa gadis itu melarikan diri tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao, betapa jenderal itu sekeluarganya menyembahyangi nona itu!

"Kami yakin dia masih hidup, Adik Syanti. Hanya entah mengapa dia tidak mau menjumpai siapa pun, seperti menyimpan rahasia...." Kian Lee berkata dengan nada duka.

"Aahhh, benarkah itu? Benarkah dia masih hidup....? Ahh, Paman.... semoga begitu....!" Syanti Dewi dalam kegembiraan dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng erat-erat dan air matanya bercucuran.

"Mudah-mudahan begitulah....! Dia seorang gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan penuturan Jenderal Kao," kata Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya yang dipegang erat-erat oleh dara itu.

"Lee-ko, mengapa engkau menanyakan dia?" Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang wajah Kian Lee. Untung mereka duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya menjadi gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab, "Kami mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia adalah adik angkatmu, maka Lee-ko mengajukan pertanyaan tadi."

Syanti Dewi menghela napas panjang. "Dia adalah seorang yang amat baik, dan biarpun hanya adik angkat, akan tetapi kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan diri." Lalu dengan suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpanginya terguling dan dia ditolong oleh Gak Bun Beng.

"Tadinya aku mengira dia tewas di sungai itu karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan tetapi, ternyata dia tidak tewas di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang dia di utara, tewas di sumur maut hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman Gak tiba di sana. Dan sekarang, kembali ada berita bahwa dia tidak mati.... ya Tuhan, semoga benar demikianlah!"

"Sayang dia selalu melarikan diri...." Kian Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya untuk menyembunyikan perasaan hatinya. "Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah dapat bertemu dengan engkau, Moi-moi."

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara genta yang dipukul keras sekali. Genta atau lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan dan kalau genta itu dipukul sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam bahaya! Keadaan menjadi geger! Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota itu malam-malam kedatangan pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang lebih seribu orang pasukan liar dan ganas dari suku bangsa biadab. Pintu-pintu benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua perajurit lari hilir mudik dengan sibuknya. Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing, pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan sebaliknya karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan tidak karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di mana rombongan Bun Beng berada.

"Awas, siap dan jaga....!" Bun Beng berbisik dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok bayangan menerjangnya dengan pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan bayangan itu roboh tanpa bersuara karena sudah ditotoknya pingsan. Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan kedua orang saudara Suma juga cepat beraksi dan merobohkan beberapa orang.

Akan tetapi, mereka segera hanyut oleh banjir manusia yang saling dorong, karena ada pasukan berkuda yang lewat di situ. Itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu gerbang, siap untuk menerjang keluar. Saking paniknya, rakyat mengira bahwa itulah pasukan liar dan ganas yang dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat apa-apa lagi, satu-satunya keinginan hanya untuk lari menjauh sehingga terjadilah dorong-mendorong dan himpit-menghimpit. Biarpun Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun menghadapi arus manusia yang seperti air membanjir itu, mereka kewalahan juga. Tentu saja mereka tidak mungkin harus memukul semua orang yang tidak berdosa itu karena orang-orang itu juga terdorong dan terdesak serta terhimpit oleh arus manusia.

"Dewi....!"

"Moi-moi....!"

Bun Beng dan Kian Bu berusaha sekuat mungkin untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus manusia, namun tidak mungkin lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak adalagi tempat untuk kaki berpijak dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus manusia dan melihat betapa Syanti Dewi makin menjauh dari mereka!

"Paman....!" Syanti Dewi menjerit, akan tetapi jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan wanita dan kanak-kanak lain yang terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik dan geger, seolah-olah dunia sedang kiamat.

Karena keadaan gelap, maka kini topi caping buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti Dewi hampir tidak tampak lagi dan tiba-tiba saja topi itu lenyap.

"Dewi....!"

"Moi-moi...! Moi-moi...!" Kian Bu berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat, akan tetapi setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti Dewi tadi, gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi.

Sepasukan tentara yang datang melalui jalan itu membelah arus manusia. Karena takut para pengungsi itu saling desak memberi jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus manusia yang tadinya memenuhi jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke tepi jalan di kanan kiri. Bun Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia terpaksa terdorong ke kiri jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang lain dan tak lama kemudian Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena obor-obor yang dibawa para perajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi gelap lagi. Dia merasa khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu. Betapapun juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk menjaga diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu tentu juga berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali.

Tiba-tiba seorang wanita setengah tua yang berada di tempat itu, tidak jauh dari tempat dia berdiri, menjerit dan roboh. Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat keluar dari himpitan manusia. Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan dalam keadaan masih berdiri di antara himpitan orang-orang! Melihat ini, tentu saja semua orang berusaha menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan, menarik dan memanggul tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar dari himpitan dan menuju ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu berdesakan. Orang-orang itu berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan pergi dari tempat itu mencari tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di seluruh kota keadaannya sama saja, semua orang dalam keadaan panik dan geger.

Bun Beng menurunkan tubuh wanita itu, memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan darah sehingga wanita itu mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak dapat berdiri karena kakinya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang dalam himpitan tadi. "Ouhhh.... kakiku...." keluhnya dengan muka pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit bibirnya. "Terima kasih.... atas bantuan Tuan...."

"Kau tidak bisa jalan?" Bun Beng bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu.

Wanita itu menggeleng kepalanya.

"Di mana rumahmu? Apakah engkau juga pengungsi?"

"Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di sana itu...."

"Kalau begitu, mari kuantar ke sana," kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.

"Ah, engkau sungguh amat baik, Tuan..." Pelayan itu berkata dengan terharu. Selamanya sejak kecil dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biarpun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!

"Dalam keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong...." Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati pelayan ini.

Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.

"Eh, Kim-ma, engkau kenapa?"

Mereka itu cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya! Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah tergesa-gesa.

Melihat empat orang ini, Bun Beng menjadi heran karena tentu saja dia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang.

Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-la ki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap beng-cu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.

"Tangkap mata-mata!" bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun Beng. Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.

Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya. Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali. Sebagai anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, biarpun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh beng-cu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.

Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini melakukan pengejaran dan mereka pun memasuki kota Koan-bun. Melihat pergolakan di situ, tanpa ragu-cagu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka! Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah.

Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi dari pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan terpaksa dia berhenti dan menengok. Terkejut jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang tergantung di depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak dengan cepat dan sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri dari bermacam orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua, pakaian dan sikap mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.

"Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!" bentak seorang di antara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya. Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang di antara mereka sudah meloncat maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu terlempar lima meter jauhnya dan terbanting terguling-guling!

Semua orang terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini. "Kau melawan? Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!" Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju.

Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini di antara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.

"Mundur semua....!" Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. "Dia bukan lawan kalian, biarkan aku menghadapinya!" Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya, seorang wanita, memiliki khi-kang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng. Maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat dibokong musuh.

Wanita itu yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa gin-kangnya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang pandai.

Kini mereka berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak roboh.

Wanita itu amat cantik biarpun usianya sudah mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga puluh lima tahun. Pakaiannya indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti bintang dan bersinar tajam sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan tetapi pada saat itu, dia pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.

"Kau.... kau....?" Bun Beng berhasil mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia tidak mengira akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.

"Kau.... Gak.... Suheng.... aughh....!" Puteri Milana memejamkan matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata itu mengalir keluar, napasnya sesak dan lehernya seperti dicekik rasanya, dia terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke leher dan tentu dia sudah roboh ke atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat menyambarnya.

"Milana.... Sumoi....!" Dia berbisik, sejenak dia mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh perasaan rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu ke dalam tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi, air matanya bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan seekor binatang yang terluka. Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan Milana dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang kang-ouw itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.

"Tahan....!" Beberapa orang kang-ouw meloncat dan mengepung dengan pedang di tangan.

"Saudara-saudara, mundurlah! Dia adalah suheng dari Sang Puteri!" Tiba-tiba orang tua yang pertama kali menegur Bun Beng itu berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun Beng sambil menjura. "Gak-taihiap, maafkan saya tadi yang tidak mengenal Taihiap."

Kini Bun Beng teringat semua. Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang selama ini menutupi ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan keadaan di sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.

"Ah, engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia menderita pukulan batin, harus cepat ditolong,"

"Silakan, Taihiap...."

Pada saat itu muncullah seorang perwira dan dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu. Dia tadi pun sudah keluar dan menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan antara Hoo-ciangkun dengan laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu, dia pun cepat-cepat mempersilakan Bun Beng masuk.

Dengan pengerahan sin-kangnya, Gak Bun Beng menyalurkan hawa hangat untuk membantu Milana yang telah direbahkan di atas pembaringan itu agar siuman kembali. Mereka hanya berdua di kamar itu karena para orang kang-ouw tidak ada yang berani tinggal di situ, juga para pelayan disuruh keluar oleh Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa percakapan antara mereka setelah Milana siuman nanti tidak boleh didengar oleh lain telinga.

Milana mengeluh lirih, dan begitu membuka matanya dia memandang ke kanan kiri sambil memanggil, "Suheng.... Gan Bun Beng...."

"Aku di sini, Sumoi."

Milana menengok, melihat Bun Beng mendekati pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya merangkul, mukanya disembunyikan ke atas dada pria yang selamanya dicintanya ini dan dia menangis.

"Suheng, mengapa engkau menghilang selama belasan tahun ini....?"

Bun Bong menarik napas panjang. "Sumoi, apa kebaikannya kita saling bertemu?"

"Suheng, aku menderita selama ini...."

"Jangan mengira aku pun hidup bahagia, Sumoi...."

Hening sejenak, hanya terdengar isak Milana di atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa diri dan dia merangkul, mengelus rambut yang halus itu, seperti dulu, belasan tahun yang lalu, sudah lama sekali, ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut itu penuh kasih sayang.

"Suheng, kau.... kau kejam...." Milana terisak.

"Ahh, Milana, mengapa kau bisa berkata demikian....?"

Bukankah dara kekasihnya itu yang dulu lebih dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega menuduhnya demikian maka dia melanjutkan, "Nasib kita yang kejam, Sumoi.... dan.... dan ingatlah, kau sudah bersuami, tidak baik begini...."

"Akan tetapi aku.... aku...." Milana tidak melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan Milana dan mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak ada gunanya lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu macam kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing.

Mata Milana berkedip-kedip, bibirnya mulai tsrsenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi. "Gak-Suheng, kau memang nakal. Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam duka dan tidak pernah muncul lagi? Mengapa ketika bertemu di kota raja kau lantas melarikan diri? Suheng, aku masih Milana, sumoimu yang dulu itu...."

Bun Beng menggeleng kepalanya. "Sungguhpun bagiku engkau masih Milana yang dulu, tak pernah berubah sampai aku mati, akan tetapi.... tidak boleh begitu, Sumoi, suamimu...."

"Hushh, baiklah, kita tidak bicara tentang itu sekarang ini. Belum waktunya, Suheng, apalagi aku menghadapi tugas berat menumpas pemberontak. Kita sudah siap. Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan dari kota raja dan dari sisa pasukannya yang melarikan diri dari Teng-bun, dan pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan peristiwa mengagetkan namun juga membahagiakan, baik bagiku pribadi maupun bagi perjuangan menumpas pemberontak karena aku memperoleh bantuan yang luar biasa berupa tenagamu, Suheng, dan...."

Tiba-tiba dua orang berlari memasuki kamar itu dengan sikap tegang. Mereka itu adalah Perwira Phang pemilik gedung itu dan Hoo-ciangkun pembantu Milana. "Celaka, rumah ini telah terkurung oleh pasukan pemberontak!"

"Hemm, bagaimana mungkin mereka tahu? Kita semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan para pelayan pun tidak ada yang keluar...."

"Ada seorang pelayan wanita tua yang terhimpit dan kutolong tadi," tiba-tiba Bun Beng berkata.

"Ah, Kim-ma! Benar juga!" Phang-ciangkun membanting kakinya. "Kiranya dia telah dibeli oleh pemberontak. Tentu dia yang membocorkan rahasia bahwa Paduka berada di sini!" katanya kepada Milana.

"Tidak perlu gelisah. Kita dapat mudah menerjang ke luar. Akan tetapi bagaimana dengan berita pasukan asing itu?"

"Agaknya itu pasukan dari barat yang datang melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri. Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah pula dikurung ukan pemberontak."

"Hemm, sudah waktunya bagi kita untuk pergi. Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota ini untuk bergabung dengan Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu kami."

"Tentu saja aku suka membantu, Sumoi. Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu mencari Syanti Dewi...."

"Puteri Bhutan? Kiranya engkau yang telah menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku sudah mengutus dua orang adikku...."

"Aku sudah berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku sudah menyelamatkan puteri itu. Kami berempat tiba di sini dan tadi di dalam keributan, Sang Puteri itu terpisah dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku akan mencari mereka lebih dulu...."

Terdengar suara hiruk-pikuk di luar dan agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan pemberontak yang mengepung. "Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami pun membutuhkan tenaga bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang adikku merupakan tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang Tiat-ciang-pang lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan bagi kita...."

"Si Gendut tadi...."

"Ya, dan masih banyak lagi. Nah, mari kita keluar. Suheng, selamat berpisah.... dan...." Karena di situ terdapat banyak orang, Milana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya pandang matanya saja yang penuh arti dapat diterima oleh Bun Beng. Jelas bagi pendekar ini bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi menyembunyikan diri lagi, agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia mengangguk dan mereka semua segera lari keluar setelah Puteri Milana dan para perwira menyambar barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan terjatuh ke tangan pemberontak.

Di luar terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu para perajurit anak buah Perwira Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain jumlahnya dua puluh orang lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi begitu Milana, Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan menerjang, mereka mawut, roboh dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon tumbang diterjang sekawanan gajah mengamuk. Dengan amat mudah Milana bersama para pengikutnya merobohkan semua pemberontak, lalu lari keluar dan menghilang di dalam kegelapan malam. Bun Beng juga merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ, jantungnya masih berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh pertemuan yang tidak terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu.

******

Dapat dibayangkan betapa khawatir hati Kian Bu melihat betapa Puteri Syanti Dewi kini tidak kelihatan lagi. Tadinya dia masih dapat melihat topi caping buatannya itu yang dapat dijadikan tanda di mana adanya Sang Puteri, akan tetapi kini tanda itu pun lenyap pula ditelan kegelapan dan ditelan arus manusia.

"Celaka, Lee-ko, kita harus mengejarnya!"

"Tenanglah, Bu-te. Kulihat tadi dia bergerak mengikuti arus ini, mari kita maju terus ke sana," jawab Kian Lee.

Kian Bu menjadi tidak sabar karena cemasnya. Dia menjadi kasar dan dengan nekat dia mendorong sana-sini di antara orang-orang itu. Melihat sikap adiknya, Kian Lee menggeleng kepala, akan tetapi agar jangan sampai tertinggal dan terpisah dari adiknya pula, dia pun terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk membuka jalan sehingga ke mana pun kedua orang muda ini bergerak, orang-orang di depannya berteriak-teriak dan terdorong ke kanan kiri, tidak kuat menahan dorongan tangan kedua orang muda yang amat kuat itu.

Namun, sampai pagi kedua orang muda itu masih belum berhasil menemukan Syanti Dewi sehingga tentu saja mereka berdua, terutama sekali Kian Bu, menjadi sangat gelisah. Orang-orang tidaklah berdesak-desakan seperti tadi lagi dan keduanya dapat mengaso dan duduk di tepi jalan yang masih penuh orang hilir mudik.

"Jangan gelisah, Bu-te. Tentu Suheng juga mencarinya, mungkin mereka berdua sudah berkumpul kembali, tinggal kita yang harus mencari mereka."

"Mudah-mudahan begitu, Lee-ko. Akan tetapi hatiku khawatir sekali. Jangan-jangan hilangnya adik Syanti Dewi memang dibuat orang. Ingat saja mereka yang mengepung kita ketika keributan itu mulai."

Sejenak mereka mengaso, kemudian mereka berjalan lagi. Dalam keadaan cemas dan gemas itu, Kian Bu dan Kian Lee mendorong lagi ke kanan kiri mencari jalan. Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali ketika lengan kanannya sedang mendorong orang di sebelah depan, sebuah lengan lain menangkisnya dengan keras sekali.

"Dessss....!"

Karena tidak mengira bahwa dia akan ditangkis orang sedemikian hebatnya, pula karena memang dia hanya menggunakan sedikit tenaga saja untuk mendorong, Kian Lee terdorong oleh tangkisan itu dan terhuyung ke belakang, menabrak beberapa orang yang tentu saja menjadi marah-marah,

"He, apa kau buta?"

"Kurang ajar, jalan begini lebar menabrak orang!"

Banyak makian dari orang-orang yang sudah cemas dan marah itu kepada Kian Lee yang masih terhuyung-huyung. Untuk menjaga agar tidak sampai roboh terpelanting, Kian Lee mengeluarkan tenaganya mencengkeram ke arah baju orang terdekat, yaitu seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus yang memanggul pikulan. Akan tetapi, tiba-tiba orang itu terhuyung ke samping sehingga cengkeraman Kian Lee luput dan seperti tidak disengaja, pikulannya menyambar karena tangan Kian Lee yang luput mencengkeram baju tadi.

"Plakkk!"

Kian Lee sudah dapat mengatur keseimbangan badannya dan dia menarik tangannya sambil menyeringai. Sakit bukan main punggung tangannya dihantam ujung pikulan tadi. Dia memandang dengan marah, akan tetapi orang itu seperti tidak tahu apa-apa dan Kian Lee menahan kemarahannya. Orang itu tidak bersalah, pikirnya, karena dia sendirilah yang salah mendorong orang. Dia melirik ke depan dan melihat seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok kasar seperti kawat, sedang berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan mata melotot. Kian Lee terkejut. Dia maklum bahwa laki-laki brewok ini dan Si Pembawa Pikulan adalah orang-orang pandai dan dia heran sekali mengapa di tempat itu terdapat begitu banyak orang pandai. Dia terkejut ketika

mendengar ribut-ribut di sebelah belakangnya. Ketika dia menoleh, dia melihat Kian Bu sudah bersitegang dengan seorang yang berpakaian sastrawan, seorang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, sikapnya halus akan tetapi sinar matanya liar.

Cepat dia menghampiri adiknya yang sudah mengepal tinju hendak menyerang sastrawan itu.

"Bu-te, jangan berkelahi!"

"Habis dia hendak membokongmu, Lee-ko. Ketika kau terhuyung tadi, aku melihat dia menghampirimu dan tentu saja aku menangkap tangannya agar tidak memukulmu."

"Hemm, bocah lancang. Kalau aku memukulnya, apakah dia masih bisa bicara denganmu?" Sastrawan itu berkata halus akan tetapi penuh dengan ejekan.

"Sudahlah, Bu-te, mari kita pergi." Kian Lee menangkap tangan adiknya dan diajak pergi dari situ. Dia maklum bahwa kecemasan hati adiknya karena kehilangan Syanti Dewi membuat adiknya itu menjadi pemarah. Setelah pergi agak jauh Kian Lee berkata, "Mereka bertiga tadi bukanlah orang sembarangan."

"Aku pun menduga begitu, akan tetapi aku tidak takut!"

Kian Lee tersenyum. "Siapa takut? Akan tetapi, dalam keadaan kacau seperti ini tidak baik kalau mencari permusuhan. Tugas klta belum selesai, kita belum menyelidiki sesuatu, bahkan kini kita berpisah dari Suheng dan Syanti Dewi. Kalau kita melibatkan diri dalam perkelahian yang tidak ada sebabnya, tentu lebih repot lagi. Hayo kita terus mencari, dekat pintu depan gedung besar itu banyak orang-orang, siapa tahu mereka berada di sana."

"Minggir! Minggir!"

Orang-orang cepat minggir ketika dari dalam pekarangan gedung itu keluar sebuah kereta berkuda, dikawal oleh selosin tentara di depan dan selosin lagi di belakang. Kian Lee dan Kian Bu ikut minggir, akan tetapi ketika tirai kereta tersingkap sedikit, mereka dapat melihat Si Pemuda tampan berpedang dan seorang laki-laki tua duduk di dalamnya. Mereka tidak tahu siapa lagi yang berada di dalam kereta itu karena tirainya sudah tertutup kembali.

"Lee-ko....!" Tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya. "Kau melihat pemuda itu?"

Kian Lee mengangguk. "Dia muncul di mana-mana, sungguh aneh."

"Ingat sikapnya kepada Syanti? Jangan-jangan dia yang menculiknya, jangan-jangan Syanti berada di dalam kereta itu!"

"Ah, mungkinkah itu....?"

"Mari kita mengikuti kereta itu, Lee-ko!"

Kian Lee mengangguk dan keduanya lalu menyelinap di antara orang banyak, mengikuti kereta berkuda yang dikawal ketat itu. Untung jalan terhalang banyak orang sehingga kereta itu tidak terlalu cepat jalannya dan dapat diikuti terus oleh mereka yang harus menyelinap ke kanan kiri agar jangan menabrak orang lain. Kereta itu menuju ke sebuah rumah gedung besar sekali yang letaknya di dekat tembok benteng. Itulah rumah kepala daerah!

Melihat kereta itu memasuki pintu gerbang halaman gedung, dan karena semua penjaga sibuk menyambut kereta itu dengan pengawasan ketat sehingga mereka agak lengah, Kian Lee dan Kian Bu mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat dan memasuki kebun samping gedung itu, terus menyelinap dan bersembunyi di antara tetumbuhan kembang di tempat itu, perlahan-lahan mendekati gedung. Melihat besarnya gedung itu, mereka makin bersemangat karena menyangka bahwa tentu dara yang mereka cari berada di gedung itu, entah menjadi tamu entah menjadi tawanan. Teringat mereka ketika pemuda tampan itu menawarkan tempat penginapan kepada Syanti Dewi. Bukan hal tidak mungkin bahwa ketika terpisah dari mereka, Syanti Dewi tertolong oleh pemuda berpedang itu dan dibawa ke gedung ini!

Dua orang pemuda itu tentu saja tidak pernah menduga bahwa mereka telah memasuki tempat yang dijadikan sarang dan pertemuan oleh para pimpinan pemberontak! Gedung itu adalah milik Kepala Daerah yang pada saat itu telah tewas dibunuh oleh Tek Hoat, dan keluarganya semua ditahan di dalam gedung dan dijaga. Pendeknya, tanpa ada yang mengetahuinya, Tek Hoat dan anak buahnya telah merampas gedung ini dan dijadikan tempat pertemuan dengan diam-diam dan tentu saja gedung Kepala Daerah itu tidak dicurigai orang.

Ketika itu, di dalam ruangan yang paling dalam dari gedung itu, tampak beberapa orang sedang duduk berunding. Mereka ini bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka merupakan puncak pimpinan para pemberontak dan tokoh-tokoh sakti yang membantu mereka. Seorang yang berpakaian panglima tinggi duduk memimpin perundingan itu dan mereka semua sedang mempelajari sebuah peta gambar dengan diterangkan oleh panglima tinggi itu. Panglima itu bukan lain adalah Panglima Kim Bouw Sin, bekas wakil Jenderal Kao Liang yang telah memberontak dan menjadi kaki tangan nomor satu dari kedua orang Pangeran Liong di kota raja! Di belakang panglima ini kelihatan dua orang pengawalnya yang amat diandalkan, dan yang telah membebaskannya dari tahanan di Teng-bun tempo hari, yaitu dua orang kakek kembar Siang Lo-mo! Dua orang kakek kembar ini oleh Pangeran Liong Bin Ong sendiri dikirim ke Teng-bun untuk mengepalai pembebasan Kim Bouw Sin dan selanjutnya diangkat sebagai pengawal pribadi panglima yang amat penting bagi gerakan pemberontakan itu. Juga terdapat beberapa orang perwira pembantu yang mulai memperoleh tugas dan petunjuk dari Panglima Kim Bouw Sin untuk mengamati gerakan pemberontakan mereka yang dianggap sudah matang untuk mulai digerakkan. Akan tetapi mereka sedang bingung juga menghadapi munculnya pasukan liar secara tiba-tiba itu.

Mereka sedang merundingkan soal pasukan liar itu ketika pengawal datang mengiringkan Tek Hoat dan orang tua yang duduk di dalam kereta. Semua orang bangkit berdiri lalu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ketika orang tua itu masuk. Kiranya orang ini bukan lain adalah Pangeran Liong Khi Ong, orang ke dua dari biang keladi pemberontak!

Kini lengkaplah tokoh-tokoh pemberontak berkumpul dan berunding di situ. Panglima Kim Bouw Sin secara lengkap melaporkan keadaan mereka kepada pangeran tua itu.

"Seribu orang pasukan liar itu menurut hasil penyelidikan adalah pasukan dari barat dan kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri yang belum kelihatan muncul. Kami masih sangsi harus mengambil tindakan apa dan kami semua menanti keputusan dari Paduka Pangeran," Kim Bouw Sin berkata.

"Hemm, orang-orang liar itu menambah repot saja," Liong Khi ong berkata. "Padahal menurut penyelidikan, Milana juga sudah bergerak, bahkan wanita itu sudah meninggalkan kota raja secara diam-diam, kabarnya mengerahkan orang-orang pandai untuk menghadapi gerakan kita. Juga berita rahasia menyampaikan bahwa pasukan istimewa dari kota raja sudah diberangkatkan. Hal ini harus kita selidiki dan jangan sampai kita kedahuluan oleh mereka," Liong Khi Ong berkata.

"Selain itu, juga Jenderal Kao Liang telah mengirim beberapa orang penyelidik ke Koan-bun sini dan ke Teng-bun, maka kita harus waspada," kata pula Kim Bouw Sin. "Kabarnya, ada beberapa orang yang mencurigakan telah berada di kota ini, akan tetapi kami telah menyebar mata-mata sehingga Paduka tidak perlu khawatir."

"Yang mengkhawatirkan hanyalah gerakan Puteri Milana dan datangnya pasukan liar dari Tambolon itu," kata Liong Khi Ong. "Bagaimana pendapatmu, Tek Hoat?" Pangeran ini selalu mengandalkan nasehat pembantunya yang amat lihai ini.

"Sudah jelas bahwa Puteri Milana tentu menggunakan tenaga orang-orang pandai dari golongan kang-ouw. Harap Paduka jangan khawatir karena saya pun sudah mengerahkan bantuan kaum hek-to. Sayang saya tidak dapat mengerahkan seluruh anggauta kaum sesat karena hanya sebagian saja yang tunduk kepada saya, akan tetapi jumlah mereka cukup banyak. Sebagian sudah saya suruh, bersiap-siap di kota raja menanti saat penyerbuan dan sebagian lagi saya suruh bersiap-siap di sekitar Teng-bun. Adapun puteri itu sendiri, biarpun kabarnya amat lihai, namun saya tidak jerih menghadapinya, apalagi di sini terdapat Siang Lo-mo."

Dua orang kakek kembar itu mengangguk-angguk. "Dia hebat tapi kami tidak takut," kata Pak-thian Lo-mo.

"Dengan ilmu kami yang baru, sekali ini kami sanggup mengalahkannya," kata pula Lam-thian Lo-mo.

"Bagus! Kalau begitu kita tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang kang-ouw yang membantu Puteri Milana. Akan tetapi bagaimana dengan pasukan liar itu? Biarpun Tambolon pernah bersekutu dengan kita, akan tetapi kedatangannya ini hanya mengacaukan rencana kita saja. Bagaimana baiknya?"

"Pasukannya hanya seribu orang, kalau menggempurnya sekarang saya kira tidak banyak kesukaran. Dalam waktu sehari saja saya sanggup membasmi mereka semua, cukup mengerahkan lima ribu orang saja!" Kim Bouw Sin berkata.

"Saya kira itu bukan merupakan siasat yang baik, Kim-ciangkun," kata Tek Hoat. "Dalam keadaan seperti sekarang ini, menghadapi kekuatan kerajaan yang besar dan kuat, kita harus menyimpan tenaga, bahkan kalau perlu menambah kekuatan kita. Tambolon datang pada saat kacau ini tentu hanya untuk mencari kesempatan baik guna mengeduk keuntungan, maka mengapa kita tidak bujuk saja mereka? Biarlah kita suruh mereka menyerbu dusun Ang-kiok-teng dan menggempur pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Thio Luk Cong dengan janji menyerahkan dusun itu kepadanya! Ini hanya untuk sementara saja, biar anak buahnya puas merampok membunuh dan memperkosa. Selain hal ini melemahkan kedudukan musuh, juga kita mendapatkan bantuan mereka. Kelak, apa sih sukarnya menendang mereka keluar kalau urusan sudah selesai?"

"Bagus!" Pangeran Liong Khi Ong menepuk-nepuk tangan. "Bagus, Tek Hoat. Akalmu ini memang hebat. Bagaimana pendapatmu, Ciangkun?"

Liong Khi Ong bertanya sambil memandang kepada semua orang dan Panglima Kim bersama semua perwira mengangguk-angguk. Memang siasat itu baik sekali.

"Kalau begitu, sekarang juga hubungilah Tambolon, Kim-ciangkun. Sebaiknya kalau engkau sendiri yang berhadapan dengan dia agar dia percaya penuh."

Kim Bouw Sin mengangguk lalu bersama dua orang kakek kembar yang menjadi pengawalnya dan beberapa orang perwira meninggalkan tempat itu. Mereka langsung menuju ke benteng dan naik ke benteng itu mengatur siasat. Seorang kurir diutus menyerahkan surat panggilan kepada pimpinan pasukan liar yang bertenda di luar kota itu. Tak lama kemudian muncullah tiga orang penunggang kuda yaitu seorang komandan pasukan liar yang dikawal oleh dua orang tinggi besar. Mereka ini dipersilakan turun di atas jembatan gantung, lalu komandan pasukan liar yang rambutnya awut-awutan dan dahinya diikat kain putih itu melangkah maju dengan kasar dan sombong. Dia menoleh ke kanan kiri dan memandang rendah kepada barisan penjaga, kemudian bertemu di tengah jembatan dengan Panglima Kim Bouw Sin. Begitu bertemu, dia bertolak pinggang dan suaranya keras dan kasar sekali ketika dia bertanya, "Urusan apakah yang hendak dibicarakan?" Dia mengerti bahasa Han, akan tetapi bahasa itu diucapkan dengan kaku dan tidak memakai banyak peraturan sopan santun.

Kim Bouw Sin mendongkol. Orang ini hanyalah seorang perwira pasukan liar yang besarnya hanya seribu orang. Kalau dia menghendaki, betapa mudahnya membasmi mereka habis! Dan orang ini bersikap demikian kasar kepadanya, padahal dia adalah panglima besar barisan pemberontak yang kelak tentu akan menjadi panglima besar dari pemerintah baru di kerajaan! Sekarang pun dia telah mengepalai barisan yang tidak kurang dari lima laksa orang banyaknya!

"Apakah engkau komandan dari pasukan yang berada di luar itu?" Panglima Kim Bouw Sin bertanya.

"Benar, akulah yang diserahi pimpinan atas pasukan maut kami itu!" jawab Si Komandan dengan bangga.

"Kalau begitu, kami persilakan Ciangkun untuk masuk benteng agar kita dapat mengadakan perundingan."

"Ha-ha, apa lagi yang hendak dirundingkan? Tugasku hanya memimpin pasukan, istirahat menggempur, membasmi, menawan atau membunuh. Kami sedang menanti perintah, begitu perintah tiba kami akan menghancurkan dan membumihanguskan kota ini, ha-ha-ha!"

Tentu saja Kim Bouw Sin menjadi makin marah. Kalau saja tidak ingat akan perintah Pangeran Liong Khi Ong, tentu dia sudah menyuruh tangkap dan bunuh komandan pasukan asing ini.

"Kalau begitu, dengan siapakah kami harus berunding?"

"Dengan pimpinan kami, dengan raja kami yang sakti dan yang sudah siap menghancurkan kota ini."

"Hemm, dengan Raja Tambolon? Kalau begitu, di mana adanya beliau?"

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan beberapa orang penjaga di pintu benteng itu terlempar ke kanan kiri. Muncullah tiga orang laki-laki dan seorang di antara mereka menudingkan ibu jari kiri ke hidungnya sendiri sambil berkata, "Inilah aku Raja Tambolon!"

Kim Bouw Sin terkejut sekali dan menoleh. Orang yang mengaku sebagai Raja Tambolon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka brewok, kelihatan kasar dan kuat, matanya terbelalak lebar penuh kebengisan. Biarpun pada saat itu orang ini berpakaian seperti seorang petani atau buruh kasar namun jelas betapa sikapnya keagung-agungan dan sikap ini adalah sikap orang yang biasanya ditaati perintahnya. Orang ke dua yang berada di sebelah kiri Raja Tambolon yang menyamar itu, adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus, bersikap angkuh dan pandang matanya seperti pandang mata seorang guru besar terhadap murid-muridnya, tangan kirinya memegang sebatang pikulan keranjang kosong di pundak kirinya. Adapun orang ke tiga yang berusia empat puluh tahunan, termuda di antara mereka, adalah seorang berpakaian sastrawan miskin dan berada di belakang raja suku bangsa liar itu.

Panglima Kim Bouw Sin bermata tajam dan dapat mengenal orang. Jelas bahwa tiga orang yang menyamar ini bukanlah orang-orang biasa dan komandan pasukan liar di depannya itu tertawa sambil memandang kemudian memberi hormat dengan sigapnya kepada Raja Tambolon, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata, "Maafkan kami yang tidak mengenal sehingga tidak mengadakan penyambutan!"

"Ha-ha-ha!" Raja Tambolon tertawa bergelak. "Kami pun tidak membutuhkan sambutan melainkan diam-diam menyelinap ke dalam. Kalian lihat betapa mudahnya kalau kami melakukan gerakan, ha-ha-ha. Engkau tentu Kim Bouw Sin Tai-ciangkun yang terkenal itu, bukan?"

"Benar, Ong-ya. Dan kami persilakan Ong-ya untuk masuk ke benteng dan mengadakan perundingan bagi keuntungan kita bersama."

"Bagus, bagus! Ha-ha-ha, Kimonga, kautarik mundur semua pasukan. Kirim gerobak untuk mengambil ransum dari kota ini dan.... heh-heh-heh, Tai-ciangkun, engkau tentu tidak begitu pelit untuk memberi sekedar hiburan kepada anak buah pasukanku, bukan? Ha-ha-ha!"

"Jangan khawatir, Ong-ya," berkata panglima itu dan mereka lalu memasuki benteng untuk mengadakan perundingan seperti yang telah direncanakan oleh Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong tadi.

Selagi Panglima Kim Bouw Sin yang dikawal oleh kedua orang kakek kembar Siang Lo-mo memasuki kamar perundingan di dalam tempat penjagaan di benteng bersama Raja Tambolon yang dikawal oleh dua orang pengawalnya yang menyamar sebagai sastrawan dan petani itu, di gedung kepala daerah yang telah dijadikan sarang para pimpinan pemberontak itu terjadi geger.

Ternyata bahwa tidak hanya bekas gedung Kepala Daerah ini yang kini telah dikuasai pemberontak dan dijaga oleh pasukan yang telah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan malam ketika terjadi keributan itu, pihak pemberontak mempergunakan kesempatan itu untuk bertindak. Bukan hanya Perwira Phang yang diserbu sehingga Puteri Milana dan yang lain-lain terpaksa melarikan diri, juga semua perwira yang setia kepada pemerintah disergap dan dibunuh! Pasukan dikuasai dan mereka yang melawan dibunuh, dan banyak pula yang melarikan diri. Mereka yang menaluk masih dipergunakan berikut para perwira mereka yang menaluk sehingga penjagaan tetap dapat dilakukan, hanya kini dicampur dengan pasukan dari pemberontak, diawasi oleh perwira-perwira dari pemberontak. Demikian hebatnya pengaruh pemberontak sudah mencengkeram Koan-bun yang hanya sepuluh li jauhnya dari Teng-bun, sehingga dalam waktu semalam saja tanpa banyak perlawanan kota benteng itu telah terjatuh ke tangan pemberontak yang operasinya dipimpin sendiri oleh Panglima Kim Bouw Sin.

Pengambilalihan kota Koan-bun itu terjadi diam-diam dan dengan amat mudah sehingga pasukan dari Teng-bun hanya tinggal masuk saja melalui pintu benteng yang sudah dibuka lebar. Dan semua peristiwa ini ditonton oleh pasukan Tambolon yang berkemah di luar kota sambil tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi secara liar tanpa melakukan sesuatu karena mereka menanti perintah dari pemimpin besar mereka, yaitu Raja Tambolon yang bersama dua orang pengawalnya menyelundup masuk kota Koan-bun. Maka ketika datang kurir dari Panglima Kim Bouw Sin, komandan pasukan Kim  onga yang datang memenuhi undangan itu tidak berani mengambil keputusan apa-apa.

Tentu saja semua peristiwa ini diketahui dengan baik oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil tindakan, bahkan membiarkannya saja karena merasa belum tiba waktunya. Pada saat itu, Jenderal Kao sedang menyusun kekuatan dan diam-diam telah melakukan persiapan-persiapan untuk menumpas pemberontak dan sekaligus membasmi pasukan liar pimpinan Raja Tambolon yang telah muncul di tempat itu. Pasukan Tambolon ini terdiri dari pasukan inti, pasukan pilihan dan anggautanya terdiri dari bermacam suku bangsa, campuran dari suku bangsa Tibet, Mongol, Turki dan ada pula orang Han bekas anggauta Pek-lian-kauw. Namun mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang liar dan ganas, pandai berkelahi dan berani mati.

Sementara itu, kegegeran pagi hari itu di gedung Kepala Daerah disebabkan oleh Kian Lee dan Kian Bu. Seperti kita ketahui, dua orang kakak beradik itu berhasil menyelundup masuk ke taman bunga gedung itu dan diam-diam mereka menghampiri gedung dan terus saja mereka menyelinap masuk melalui pintu belakang dan ubek-ubekan mencari Syanti Dewi! Mereka telah menangkap pelayan sampai lima orang banyaknya yang mereka paksa mengaku, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang tahu tentang Syanti Dewi. Terpaksa mereka menotok pingsan para pelayan itu dan terus masuk makin dalam dengan maksud mencari Syanti Dewi atau menyelidiki pemuda berpedang dan orang tua yang naik kereta tadi.

Ketika mereka tiba di gudang belakang mereka mendengar keluh-kesah dan tangis dari dalam gudang itu. Kian Bu dan Kian Lee meloncat ke atas genteng dan mengintai. Tampaklah oleh mereka isteri kepala daerah dan keluarganya yang dikumpulkan menjadi satu di tempat itu. Mereka hanya saling pandang akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu.

"Beginilah perang." Kian Lee berbisik. "Betapa kejam dan jahatnya!"

Ketika mereka turun, tiba-tiba terdengar jerit wanita tertahan dari sebuah kamar belakang dekat gudang. Kian Bu yang menyangka bahwa suara itu mungkin suara Syanti Dewi, sudah cepat mencelat dan mengintai dari celah jendela kamar itu, diikuti oleh Kian Lee. Apa yang tampak oleh mereka membuat Kian Bu hampir saja mendobrak jendela kalau tidak cepat lengannya ditangkap oleh kakaknya. Seorang laki-laki berpakaian perwira kelihatan sedang memperkosa seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah keluarga dari kepala daerah tadi!

"Diamlah, kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu sebagai anggauta keluarga yang melawan kami. Diam!"

Kian Lee menarik tangan Kian Bu menjauh dari situ. Muka mereka merah sekali, sepasang mata Kian Bu mengeluarkan sinar berapi dan sampai lama mereka duduk berlindung di belakang bangunan untuk menenteramkan hati yang bergolak panas. Tak lama kemudian, tampak perwira tadi keluar dari kamar itu. Kian Lee tidak dapat mencegah adiknya memungut sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali menggerakkan tangan, batu itu menyambar dan tepat mengenai pelipis perwira itu. Tanpa sempat mengeluarkan teriakan, perwira itu terjungkal dengan pelipis pecah dan tentu saja dia tewas seketika! Terdengar suara aneh di dalam kamar

itu dan ketika mereka cepat mengintai lagi, mereka melihat wanita muda itu dengan tubuh telanjang bulat sudah rebah telentang di atas lantai dan sebatang gunting menancap di antara buah dadanya yang masih muda. Wanita itu telah membunuh diri!

"Perang.... akibat perang...." Kian Lee mengeluh.

"Bedebah dia! Bukan akibat perang Lee-ko. Di waktu damai sekalipun ada saja manusia keji yang melakukan perbuatan biadab seperti ini!"

"Benar, Bu-te, akan tetapi tidaklah sebanyak di waktu perang. Semua itu terjadi karena terbuka kesempatan, dan di waktu perang terbuka segala macam kesempatan bagi orang-orang yang batinnya lemah sehingga mudah ia menurutkan nafsu jahat melakukan hal-hal yang biadab seperti ini. Engkau tentu sudah membaca tentang perang sejak dahulu kala, pembunuhan kejam tanpa sebab tertentu, perampokan semena-mena, perkosaan yang biadab, semua terjadi dalam perang. Di waktu damai, membunuh manusia pun akan berurusan dengan yang berwajib, akan tetapi di waktu perang, membunuh sebanyak-banyaknya bukan apa-apa, bahkan makin banyak makin baik, makin besar jasanya!"

"Perang! Phuh, muak aku, Lee-ko!"

"Hemm, kau lupa apa yang menyebabkan kita berdua berada di sini?"

"Ya, sebabnya adalah pemberontakan."

"Perang juga!"

"Kita terseret mau tidak mau karena kita membela Enci Milana."

"Dan Enci Milana terseret karena hendak membela kerajaan."

"Dan kerajaan membela siapa?"

"Aha, membela diri sendiri tentunya, membela kedudukannya. Pemerintah mana yang tidak akan membela kedudukannya, Bu-te? Semua pemerintah di dunia ini, yang sedang berkuasa, tentu tidak akan rela begitu saja kalau ditentang, dan setiap penentangnya dianggap pemberontak dan akan dibasmi oleh pemerintah itu."

"Hemm, siapakah pemerintah itu, Lee-ko?"

"Pemerintah? Tentu saja kaisar dan para pembesarnya."

"Jadi orang-orang juga, bukan? Orang-orang yang telah memperoleh kedudukan tinggi, tentu saja mempertahankan kedudukannya. Dan siapakah yang memberontak?"

"Yang memberontak sudah jelas adalah kedua orang Pangeran Liong dan para pembantunya."

"Juga orang-orang yang tidak mendapat bagian, atau orang-orang yang tidak puas dengan kekuasaan mereka sekarang ini, dan ketidakpuasan itu tentulah karena mereka berada di bawah, bukan? Hemm, andaikata pemberontakan mereka berhasil, tentu mereka akan berbalik menjadi di atas dan memperoleh kekuasaan, Lee-ko, dan merekalah yang menjadi pembesar-pembesar wakil pemerintah."

"Ya, dan tentu timbul pula mereka yang tidak puas karena tidak mendapat bagian tadi, karena iri dan ingin di atas. Maka tidak akan ada habisnyalah pemberontakan dan peperangan ini, Bu-te!"

Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. "Manusia memang gila!"

"Kita juga. Kita juga manusia dan kita sekarang pun terlibat!"

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang perajurit. "Tangkap mata-mata!"

"Jangan sampai lolos!"

"Bunuh! Dia telah membunuh Kok-ciangkun!"

"Ada pelayan-pelayan yang pingsan!"

Kian Lee dan Kian Bu terkejut. Karena keenakan bercakap-cakap tadi mereka kurang waspada, sehingga ketahuan oleh penjaga yang segera mengajak teman-teman mengepung mereka. Kian Lee dan Kian Bu meloncat dengan niat untuk melarikan diri keluar dari gedung itu. Akan tetapi para perajurit pemberontak itu menerjang mereka dan dengan cepat kedua orang kakak beradik itu menggerakkan kaki tangan dan enam orang perajurit berpelantingan ke kanan kiri!

"Bu-te, lari....!" Kian Lee berseru kepada adiknya karena dia khawatir bahwa adiknya yang suka bergurau dan suka menggoda orang, suka berkelahi pula itu akan memperpanjang waktu pertempuran di situ, padahal tempat itu adalah tempat yang amat berbahaya, sarang dari para pimpinan pemberontak. Agaknya sekali ini Kian Bu juga maklum akan bahaya, maka dia cepat melompat mengejar kakaknya setelah kembali dia merobohkan dua orang pengeroyok terdepan.

Sisa para perajurit pemberontak itu mengejar, akan tetapi tentu saja mereka jauh kalah cepat oleh Kian Lee dan Kian Bu yang sudah meloncat ke bagian belakang dari kompleks gedung besar itu. Mereka maklum bahwa lari melalui depan amat berbahaya.

Akan tetapi, begitu tiba di halaman belakang, mereka bertemu dengan banyak perajurit yang dipimpin oleh pemuda berpedang! "Huh, kiranya kalian mata-mata!" bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Tek Hoat.

"Dan engkau anjing pemberontak!" Kian Bu memaki. Memang dia sudah tidak senang dan benci kepada pemuda ini semenjak dia hampir ditabrak oleh kudanya, dan baru sekaranglah dia teringat akan pemuda ini yang pernah menculik Jenderal Kao. "Kiranya engkau Si Penculik itu!"

Bentakan Kian Bu ini pun menyadarkan Kian Lee dan marahlah pemuda ini. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kelihatan sopan dan gagah itu ternyata adalah pemuda kaki tangan pernberontak yang pernah menculik Jenderal Kao. Kini dia pun teringat dan cepat dia menerjang maju pula bersama Kian Bu.

Tek Hoat yang terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, biarpun dia maklum bahwa dua orang pemuda ini lihai, memandang rendah. Apalagi dia masih belum ingat bahwa dua orang ini adalah mereka yang dulu pernah membela Jenderal Kao. Terlalu banyak dia berhubungan dengan orang-orang pandai dalam pekerjaannya membantu Pangeran Liong sehingga dia lupa kepada dua orang pemuda ini. Akan tetapi begitu mendengar Kian Lee menyebutnya penculik, dia terkejut dan mengingat-ingat. Seketika teringatlah dia akan dua orang pemuda yang dulu pernah membantu Jenderal Kao ketika dia dan Siang Lo-mo menyerbu rombongan jenderal itu.

"Aihh, jadi kaliankah mereka itu?" bentaknya sambil mengerahkan kedua tangannya dengan tenaga sin-kang untuk menangkis pukulan Kian Lee dan Kian Bu.

"Duk! Plakkk!"

"Ahhhh....!" Tubuh Tek Hoat terlempar ke belakang dan dia merasa sambungan lengannya hampir terlepas. Demikian dahsyat pukulan-pukulan yang ditangkisnya tadi, pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan tentu sudah melukai sebelah dalam dadanya melalui tangkisannya kalau dia tidak cepat-cepat bergulingan sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuh sebelah dalam. Dia sudah meloncat lagi dan mencabut Cui-beng-kiam!

Sementara itu, ketika Tek Hoat terlempar dan bergulingan, para perajurit sudah menerjang dua orang pemuda itu, dibantu oleh beberapa orang berpakaian preman yang merupakan kaki tangan Tek Hoat dan bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik. Ilmu silat mereka ini tentu saja lebih tinggi daripada para perajurit, akan tetapi dengan mudah Kian Bu dan Kian Lee menyapu mereka seperti petani membabat rumput saja. Melihat Tek Hoat mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan, dua orang saudara itu maklum bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka mereka cepat mengulur tangan menyambut serangan para perajurit bertombak dan sambil menendangi mereka, Kian Lee dan Kian Bu berhasil merampas dua batang tombak bergagang besi.

"Mundur semua, kurung saja mereka!" Tek Hoat membentak marah sekali ketika melihat betapa para perajurit dan kaki tangannya sama sekali tidak berdaya menghadapi dua orang pemuda itu. Semua perajurit lalu mundur dan mengurung dengan senjata ditodongkan ke depan. Jumlah mereka banyak sekali, membuat dua orang kakak beradik itu memandang khawatir.

Akan tetapi Tek Hoat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari jalan lari karena dia sudah mengeluarkan suara melengking yang menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ kecuali Kian Lee dan Kian Bu, lalu tubuhnya mencelat ke depan didahului oleh sinar pedang Cui-beng-kiam yang menyeramkan. Pedang ini adalah pedang ciptaan mendiang Cui-beng Koai-ong, datuk Pulau Neraka yang seperti iblis, maka dibuatnya juga dengan cara mujijat dan entah sudah minum berapa banyak darah manusia, sudah menghisap berapa banyak nyawa korbannya sehingga kalau dipergunakan, pedang itu mengeluarkan hawa mujijat yang amat menyeramkan.

"Sing.... sing.... tranggg.... krek! Krek....!"

Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali ketika tombak rampasan mereka patah ketika bertemu dengan sinar pedang di tangan lawan itu. Tek Hoat tersenyum mengejek dan terus menyerang dengan gencar, pedang Cui-beng-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang dahsyat menyambar-nyambar.

Namun dua orang lawannya itu adalah putera-putera dari Pulau Es yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tua mereka yang sakti. Maka Kian Lee dan Kian Bu sedikit pun tidak menjadi gentar biarpun mereka maklum bahwa lawan mereka ini bukan orang sembarangan melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memegang sebatang pedang yang ampuh dan mujijat pula. Tanpa bersepakat lebih dulu mereka sudah tahu bagaimana caranya menghadapi lawan yang berpedang mujijat sedangkan mereka sendiri hanya memegang potongan tombak! Cepat mereka mengeluarkan ilmu mereka dan mengerahkan tenaga, menggunakan keringanan tubuh yang luar biasa sehingga tubuh mereka kini bergerak mencelat ke sana sini seperti dua ekor burung walet yang amat ringan beterbangan di antara sambaran sinar pedang Cui-beng-kiam, kadang-kadang menggunakan tombak buntung mereka untuk menusuk dan menotok jalan darah!

"Ahhh....!" Tek Hoat berseru kaget sekali. Dia juga mengeluarkan kecepatannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang, akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang yang sama sekali tidak dapat dicium oleh sinar pedangnya itu, yang mengelak ke sana-sini amat cepatnya dan tidak pernah mau menangkis pedang dengan tombak mereka, kemudian sambil mengelak, ujung tombak buntung mereka memasuki lowongan antara gerakan pedang di waktu menyerang untuk melakukan penotokan jalan darah yang amat berbahaya, perlahan-lahan Tek Hoat mulai terdesak! Hampir saja Tek Hoat yang selama ini menganggap diri sendiri paling pandai di dunia, bahkan Siang Lo-mo sendiri mengaku kelihaiannya, tidak percaya bahwa dia sampai bisa terdesak, padahal dia memegang Cui-beng-kiam sedangkan dua orang lawannya hanya memegang tombak buntung. Mana mungkin ini? Dengan penasaran dia mengeluarkan pekik mengerikan, pekik yang mengandung khi-kang luar biasa sehingga beberapa orang perajurit yang terlampau dekat terjungkal pingsan, kemudian dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin secara bergantian.

Namun sia-sia belaka. Sungguhpun Kian Lee dan Kian Bu terkejut menyaksikan gerakan yang bermacam-macam dan kesemuanya amat luar biasa itu, namun dengan ilmu silat mereka yang kokoh kuat dan bersih dari Pulau Es, mereka dapat menandingi gerakan lawan dan selalu dapat mengelak sambil mengirim tusukan-tusukan kilat. Mereka terus mendesak Tek Hoat dan setiap kali ada perajurit atau pembantu Tek Hoat berani maju, dua orang maju, roboh dua orang, empat orang maju roboh pula semua, bahkan pernah sekaligus delapan orang roboh oleh dua orang pemuda lihai ini sehingga akhirnya tidak ada lagi yang berani maju melainkan mengurung dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tombak dan golok.

Tek Hoat menyesal sekali mengapa dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Pak-thian Lo-mo, pada saat itu mengawal Panglima Kim Bouw Sin mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon. Kalau berada di situ, tentu dia dibantu oleh Siang Lo-mo akan dapat menawan dua orang pemuda hebat ini.

"Bu-te, mundur ke jembatan!" Tiba-tiba Kian Lee berseru dan tombak buntungnya diputar cepat melakukan penusukan kilat bertubi-tubi ke arah sepasang mata lawan. Tek Hoat terkejut sekali dan karena khawatir menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu dia memutar pedangnya di depan mukanya untuk melindungi matanya yang terus diserang oleh ujung tombak buntung. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang saudara Suma untuk mundur ke jembatan yang merupakan jalan terakhir di taman belakang menuju ke tembok yang mengurung kompleks gedung. Kalau dapat melewati jembatan sungai buatan kecil di taman itu mereka akan dekat dengan dinding dan sekali melompat melewati dinding tentu akan berada di luar dan mudah melarikan diri.

Akan tetapi, tiba-tiba bayangan yang amat cepat gerakannya, bahkan seperti dilontarkan saja, melayang dari dinding itu dan tahu-tahu telah tiba di atas jembatan itu. Semua orang terkejut menyaksikan betapa ada orang dapat meloncat dari dinding ke jembatan bagitu saja! Tek Hoat sendiri tidak mengenal orang ini, juga semua perajurit tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu juga belum pernah melihat wanita yang buruk rupanya ini. Wajah wanita ini buruk sekali untuk ukuran wanita, serba kasar dan serba besar dan kaku, pantasnya wajah seorang laki-laki kasar yang tidak tampan. Rambutnya riap-riapan sudah bercampur uban dan sekiranya buah dadanya tidak menonjol dan tampak membusung di balik bajunya yang panjang itu tentu dia akan disangka laki-laki. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat akar pohon yang bentuknya seperti ular.

Beberapa lamanya nenek ini berdiri di atas jembatan, kemudian dia mengeluarkan suara tertawa aneh dan suaranya juga besar seperti suara laki-laki. Kemudian sekali kedua kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan dan dari atas tongkatnya bergerak menusuk ke arah ubun-ubun Kian Lee!

"Hehhh!" Kian Lee mengelak sambil berseru kaget, otomatis tombak buntungnya menusuk dari bawah ke arah lambung nenek itu, seperti kilat menyambar cepatnya.

"Heiii.... kau hebat juga!" Nenek itu memekik, tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.

"Takkk!"

Tubuh nenek itu mencelat lagi, jelas bahwa menghadapi tenaga Swat-im Sin-kang dari Kian Lee, dia terkejut dan tidak dapat bertahan selagi tubuhnya berada di udara. Akan tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah mencelat tapi ke arah Kian Bu dan tongkatnya membuat gerakan seperti pedang menyambar ke arah leher Kian Bu dan disambung dengan tusukan ke arah bawah pusar. Gerakan nenek ini cepat dan kuat, namun Kian Bu yang biarpun masih muda sudah memiliki tingkat kepandaian hebat itu secara otomatis sudah menangkis dan berbareng meloncat ke belakang, kemudian tombak buntungnya membalas dengan serangan maut yang ditujukan ke arah hidung Si Nenek Buruk!

"Huh, luar biasa!" Nenek itu berseru, mencelat ke belakang lalu melompat lagi ke depan, terus menyerang Kian Bu dan Kian Lee secara bergantian. Dua orang pemuda itu kini menghadapi serangan-serangan aneh dari wanita buruk itu dan juga dari Tek Hoat yang menjadi girang dan sudah memutar pedangnya lagi. Karena terkejut dan bingung melihat gerakan aneh dari wanita itu, untuk beberapa lamanya Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu terdesak hebat.

Gerakan wanita itu memang aneh sekali. Tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki berbareng, mencong ke kanan kiri, depan belakang, bahkan mumbul-mumbul seperti seorang anak kecil bermain-main, kadang-kadang sampai tinggi sekali dan menyerang dengan tongkatnya dari atas. Menghadapi gaya serangan yang aneh seperti ini, yang belum pernah dilihatnya, Kian Lee dan Kian Bu takjub dan terdesak. Juga Tek Hoat menjadi kagum sekali, juga girang karena nenek yang tidak dikenalnya siapa ini datang-datang terus membantunya, sehingga dia terbebas dari desakan dua orang muda yang amat lihai itu.

"Bu-te, mari pergunakan pelajaran terakhir!" tiba-tiba Kian Lee berseru kepada adiknya.

Kian Bu mengangguk dan tiba-tiba mereka melontarkan tombak buntung itu ke depan. Kian Lee melontarkan tombaknya ke arah Tek Hoat dan Kian Bu melontarkannya ke arah nenek buruk. Biarpun hanya tombak buntung akan tetapi lontaran kedua orang kakak beradik ini tidak boleh dipandang ringan. Kalau mengenai dinding tebal sekalipun, tombak buntung itu akan dapat menembus, apalagi tubuh manusia! Tenaga yang mendorong tombak sehingga meluncur ini adalah tenaga sakti yang membuat tombak meluncur melebihi anak panah cepatnya.

"Cringg....!"

"Trakkk....!"

Tek Hoat dan nenek itu berhasil menangkis tombak buntung yang menyambar mereka akan tetapi mereka merasa betapa telapak tangan mereka yang memegang senjata menjadi panas dan nyeri sehingga mereka terkejut sekali. Tek Hoat menjadi makin girang melihat dua orang pemuda itu "membuang" senjata mereka, agaknya mereka sudah putus harapan dan agaknya pelajaran terakhir adalah melontarkan tombak tadi.

"Ha-ha, itukah pelajaran terakhir kalian?" ejeknya.

Akan tetapi dia berseru kaget dan cepat memutar pedang dan meloncat ke belakang ketika Kian Bu sudah menerjangnya dengan kedua tangan kosong. Dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa yang amat dingin dan amat panas, yang dingin keluar dari tangan kiri, yang panas keluar dari tangan kanan. Betapa mungkin ini? Tek Hoat sendiri telah mempelajari ilmu-ilmu sin-kang dari kitab-kitab peninggalan kedua datuk Pulau Neraka, bahkan dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah melatih ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi, akan tetapi baru sekarang dia menghadapi lawan yang sekaligus dapat menggunakan dua pukulan yang berbeda, bahkan berlawanan tenaga sin-kangnya, panas dan dingin! Selain kedua pukulan yang mengandung dua hawa sakti bertentangan atau berlawanan ini, juga gerakan Kian Bu amat cepatnya, tubuhnya meluncur ke sana-sini seperti kilat!

Melihat adiknya Sudah bergerak, Kian Lee juga melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya mencelat seperti kilat menyambar, mengimbangi gerakan nenek yang aneh tadi, dan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, mengeluarkan hawa panas dan dingin secara berbareng sehingga nenek itu terkejut, berteriak keras dan mencelat mundur.

Memang itulah pelajaran terakhir yang dimaksudkan oleh Kian Lee tadi. Sebelum mereka keluar dari Pulau Es, ayah mereka telah menggembleng mereka secara tekun untuk mempelajari ilmu ini, ilmu yang dikombinasikan oleh Pendekar Super Sakti, mengambil inti dari gerakan ilmu silatnya Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat) dengan menggunakan inti pukulan Hwi-yang Sin-ciang (Tenaga Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) digabung menjadi satu! Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun tidak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang berkaki dua maka Pendekar Super Sakti hanya mengambil inti gerakannya saja, membuat gerakan kedua orang puteranya itu seperti kilat cepatnya, mencelat ke sana-sini tak terduga-duga oleh lawan! Dan karena ilmu ini harus dimainkan dengan kedua tangan yang masing-masing merupakan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, maka dua orang pemuda itu tadi telah membuang tombak buntung mereka.

Setelah kedua orang kakak beradik itu mengeluarkan ilmu yang aneh dan hebat ini, mereka dapat mengimbangi lawan dan tidak terdesak lagi sungguhpun hawa pukulan mereka yang berselang-seling panas dan dingin itu hanya dapat mendesak lawan agak menjauh dan tidak berani terlalu dekat, akan tetapi mereka pun tidak dapat terlalu mendesak karena senjata kedua orang lawan mereka amat lihai.

Tek Hoat menjadi penasaran bukan main. Kembali dia bertemu dengan "batu"! Tak disangkanya sama sekali bahwa di dunia ini terdapat orang muda yang begini hebat, setelah dia terkejut bertemu dengan pemuda tinggi besar yang dulu menolong Jenderal Kao, yang juga amat lihai ilmunya. Kiranya bukan dia seorang saja yang menjadi jago muda di kolong langit ini. Kenyataan ini sedikitnya telah menghancurleburkan kebanggaannya, membuka matanya sehingga dia tidak akan berani lagi menganggap dirinya sebagai jago muda nomor satu di dunia!

Sementara itu, nenek yang didesak oleh Kian Lee yang lebih berani mendesak daripada Kian Bu karena nenek itu hanya bersenjata tongkat, bukan pedang mujijat seperti yang dipegang oleh lawan Kian Bu, berkali-kali mengeluarkan lengking mengerikan dan aneh, seperti suara jerit seekor binatang yang terjepit. Tiba-tiba dia meloncat agak jauh ke belakang dan ketika Kian Lee mengejarnya dengan gerakan kilat, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya melontarkan sebuah benda bulat ke arah pemuda ini. Kian Lee sedang meloncat dan lontaran itu cepat sekali, maka dia tidak sempat lagi mengelak dan sambil mengerahkan tenaga ke arah kaki kirinya dia menendang benda hitam bulat itu.

"Darrr....!" Benda itu meledak ketika ditendang oleh Kian Lee dan pemuda ini mengeluh, terlempar ke bawah dan darah membasahi celana karena pahanya telah terluka oleh pecahan besi. Kiranya benda itu adalah semacam senjata peledak yang ampuh dan karena tidak mengira sama sekali bahwa benda itu akan meledak, maka Kian Lee menjadi kurang hati-hati dan pahanya terkena pecahan besi sehingga kulit dan dagingnya terluka yang lumayan parahnya.

"Lee-ko....!" Kian Bu berseru kaget sekali dan sekali meloncat, dia telah berada di depan nenek itu, terus menyerangnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Dipukul dengan Hwi-yang Sin-ciang berbareng dengan Swat-im Sin-ciang secara hebat itu, Si Nenek terkejut dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan sehingga dia terhuyung dengan muka pucat dan roboh. Cepat dia bergulingan kemudian meloncat ke ataslagi.

Suma Kian Bu sudah menarik kakaknya bangun, kemudian menggandeng kakaknya itu, meloncat ke atas jembatan.

"Lepaskan aku, aku bisa membela diri. Mari kita ke dinding itu...." kata Kian Lee sambil menyeret kaki kirinya yang sukar digerakkan.

Melihat seorang pemuda telah terluka, para perajurit dan pembantu Tek Hoat menjadi berani. Mereka mengejar dan beberapa orang telah menyerang dengan tombaknya. Kian Bu menjadi marah, dia membalik, merampas sebatang tombak dan memutar tombak itu, merobohkan enam orang sekaligus, ada yang dikemplang tombak, ada yang ditusuk, ada yang ditendang dan ada yang didorong oleh tangan kirinya.

"Hayo, Lee-ko....!" Dia hendak menggandeng kakaknya lagi akan tetapi pada saat itu, seorang pembantu Tek Hoat yang gerakannya cukup gesit dan kuat, seorang yang berjenggot dan berkumis pendek telah menusuk dari belakang dengan tombaknya.

"Haiiittt....!" Kian Bu berseru, kaki kirinya yang seperti bermata itu diputar ke belakang dan dengan tepat menangkis tombak itu, kemudian dia membalik, tombak yang dipegangnya menyambar ke arah kepala orang berkumis pendek, sedangkan pedang Si Kumis itu telah terlempar oleh tangkisan kaki Kian Bu.

"Ouhhhh....!" Orang itu mengelak, akan tetapi tetap saja telinga kirinya kena dihantam tombak sehingga remuk.

"Wadouuuhhh....!" Dia berloncatan sambil memegangi telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi, dan saking sakitnya dia tidak melihat kanan kiri atas depan lagi, maka tanpa disengaja dia menabrak dan menghalangi Tek Hoat yang sedang lari hendak mengejar Kian Lee dan Kian Bu. Karena tiba-tiba ditabrak pembantunya sendiri yang sedang kesakitan, Tek Hoat marah-marah dan ditendangnya pembantu yang sudah tidak berdaun telinga kiri lagi itu.

"Ngekkk!" Pembantu itu terlempar, terbanting dan tidak bergerak lagi.

Kian Bu dan Kian Lee sudah dikepung lagi oleh nenek dan para perajurit dan selain Kian Bu mengamuk dengan hebat, Kian Lee yang sudah terluka pahanya itu pun masih melawan dan setiap ada tombak menusuknya, dia menangkis dan pemegang tombaknya terpelanting. Pada saat yang amat berbahaya itu tampaklah berbondong-bondong bayangan orang banyak berloncatan dari dinding belakang. Mereka itu bukan lain adalah Si Gendut anggauta Tiat-ciang-pang bersama kawan-kawannya. Mula-mula hanya belasan orang saja yang berloncatan masuk dan langsung saja Si Gendut dan kawan-kawannya itu menerjang para perajurit pemberontak yang mengeroyok Kian Bu dan Kian Lee. Melihat ini, Tek Hoat menjadi kaget dan marah, dan mengira bahwa orang-orang yang datang itu ada yang sepandai dua orang pemuda tadi. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang hanya gerombolan kaum sesat dari Tiat-ciang-pang yang dipimpin Si Gendut, dia memandang rendah dan cepat dia melakukan pengejaran karena Kian Bu dan Kian Lee sudah tidak kelihatan di tempat itu lagi.

Kian Bu yang tadi melihat kesempatan baik selagi keadaan kacau dengan munculnya Si Gendut dan kawan-kawannya, cepat mengempit tubuh kakaknya dan meloncat naik ke atas dinding kebun lalu meloncat pula turun. Banyak perajurit yang juga berloncatan naik dan melakukan pengejaran.

"Lepaskan aku, biar aku dapat melawan!" Kian Lee berkata.

Kian Bu yang mendapat kenyataan bahwa kakaknya tidak terluka terlalu berat dan hanya terpincang-pincang itu, melepaskan kakaknya. Mereka melakukan perlawanan sambil melarikan diri menyelinap ke tengah kota di antara rumah-rumah orang. Akan tetapi, nenek buruk itu sudah dapat menyusul mereka dan bersama banyak perajurit dia telah mengeroyok Kian Bu yang terpaksa berpisah dari kakaknya karena nenek itu merupakan lawan yang tidak ringan.

"Toanio, tangkap dia hidup-hidup!" Suara Tek Hoat ini mengejutkan Kian Bu, apalagi ketika dia menengok dan tidak dapat melihat kakaknya lagi, hatinya menjadi panik sekali, dan dia tidak dapat menghindarkan pukulan tongkat nenek itu yang mengenai pundaknya. Baiknya, tubuh pemuda itu sudah secara otomatis dihuni oleh tenaga sakti yang amat hebat sehingga tanpa pengerahan pun, tenaga saktinya melindungi pundak dan biarpun terasa nyeri bukan main, tidak ada tulang yang patah oleh pukulan maut dari nenek itu. Akan tetapi dia terhuyung dan menabrak pohon di pinggir rumah, dan pada saat itu, Tek Hoat sudah meloncat dekat, tangan kiri pemuda ini menghantam ke arah punggung Kian Bu untuk merobohkan dan menangkap pemuda ini hidup-hidup.

"Wuuuutttt.... plakkkk!"

Tek Hoat terbelalak ketika melihat betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan orang lain dan seluruh tubuhnya menjadi tergetar hebat. Dia masih mengerahkan tenaga Inti Bumi ke telapak tangannya dan mendorong, akan tetapi sedikit pun tangan itu tidak bergeming, bahkan ketika laki-laki setengah tua yang dikenalnya sebagai laki-laki teman kedua orang pemuda lihai tadi mendorong, dia tidak dapat bertahan dan terhuyung ke belakang! Hebat! Ternyata laki-laki ini malah lebih lihai dari dua orang pemuda itu, dan bukan itu saja, agaknya laki-laki ini pun mahir menggunakan tenaga sakti Inti Bumi!

Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Cepat dia menarik tangan Kian Bu dan berkata, "Mari kita pergi....!"

Kian Bu meragu, "Lee-ko...."

"Dimana dia?"

"Entah, kami berpisahan, dia terluka pahanya...."

"Keparat!" Tek Hoat berteriak marah dan kini menyerang Gak Bun Beng dengan pedang Cui-beng-kiam!

Bun Beng terkejut melihat pedang ini dan cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya, sambil mengelak tangan kanannya menyambar tanah pasir dan begitu tangan ini bergerak, tanah pasir yang merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat menyambar ke arah pedang itu, disusul dorongan telapak tangan kirinya ke arah Tek Hoat.

"Trikk-trikk-cringgg.... aihh....!" Tek Hoat cepat meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Hantaman tanah pasir pada pedangnya tadi selain membuat pedangnya menyeleweng, juga tangannya yang terkena pasir terasa sakit dan bahkan kulitnya terluka berdarah sedangkan hantaman tangan kiri tadi biarpun tidak sampai mengenai dadanya, namun hawa pukulannya hampir tidak kuat dia menahannya, begitu dingin seperti membekukan isi dadanya! Dia menjadi jerih dan hanya melongo melihat kedua orang itu melarikan diri dan lenyap di balik rumah-rumah.

"Kejar....!" Dia berseru dan menyuruh para perajurit mengejar, sedangkan dia sendiri menghampiri nenek itu.

"Mereka hebat, dan laki-laki yang baru datang tadi.... hemm, hanya satu orang saja di dunia ini yang memlliki kepandaian seperti itu." kata Si Nenek menghela napas panjang.

"Siapa?" Tek Hoat bertanya penasaran. "Pendekar Super Sakti?"

"Memang, dan itulah anehnya. Dia bukan Pendekar Super Sakti, akan tetapi kepandaiannya hebat, dan dua orang pemuda itu! Hemmm, aku tidak akan heran kalau mendengar bahwa mereka adalah keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...."

"Dan Toanio (Nyonya Besar) sendiri siapakah? Saya berterima kasih atas bantuan Toanio."

"Hi-hi-hik, karena kau tampan sekali maka aku membantumu! Memang kami berniat membantu pemberontakan menumbangkan pemerintah yang sudah banyak merugikan kami, akah tetapi Suheng dan Sumoi adalah orang-orang yang ku-koai (aneh), mereka membawa mau sendiri sehingga hanya aku seorang yang mencoba membantumu. Aku mendengar bahwa pihak pemberontak mempunyai seorang tangan kanan yang lihai, muda, tampan dan berjuluk Si Jari Maut. Tentu engkau, bukan?"

Tek Hoat tersenyum. "Saya bernama Ang Tek Hoat dan tidak salah dugaan Toanio. Marilah kita masuk ke dalam gedung itu dan kita bicara. Toanio tidak keliru membantu kami dan akan kuperkenalkan kepada Pangeran Liong Khi Ong yang kebetulan berada di sini." Mereka lalu berjalan sambil bercakap-cakap menuju ke gedung bekas kepunyaan Kepala Daerah itu.

Kemanakah perginya Kian Lee? Pemuda ini yang merasa betapa dada kirinya sakit sekali maklum bahwa pecahan besi itu tentu mengandung racun dari obat peledak, terasa panas, perih dan kaku. Dan dia mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Terlalu banyak lawan, dan nenek itu, juga pemuda berpedang itu amat lihai. Dia sendiri tentu tidak akan kuat menghadapi mereka, dan kalau Kian Bu harus melawan sendiri, tentu berbahaya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sampai mati pun Kian Bu tentu tidak akan mau meninggalkannya. Maka dialah yang harus meninggalkan adiknya agar Kian Bu juga pergi dari tempat berbahaya itu, tidak melanjutkan pertandingan dan akan mencarinya.

Kesempatan ini tiba ketika dia melihat seekor kucing bergerak memasuki sebuah pintu yang terbuka sedikit. Cepat dia menyelinap dan tanpa diketahui oleh siapapun dia lalu membuka daun pintu itu, menyelinap masuk, lalu memasang palang pintu dari dalam. Kemudian dia terhuyung-huyung memasuki rumah itu yang ternyata cukup besar dan lega.

"Meong....! Meong....! Meonggg....!"

Kian Lee terbelalak melihat begitu banyaknya kucing di dalam rumah ini! Ada lima enam ekor kucing yang bagus-bagus merubungnya dan dia bergidik seolah-olah kucing itu adalah musuh-musuh yang hendak mengeroyoknya. Matanya memandang ke arah binatang-binatang itu penuh perhatian, siap untuk melawan kalau mereka menyerang!

"Meong.... meong.... meooongggg....!" Kucing-kucing itu mengelilingi, seolah-olah terheran-heran dan menyelidikinya sambil mengeluarkan bunyi bermeong saling sahut dan dari dalam muncullah kucing-kucing lain. Semua indah dan cantik, bermacam-macam warna bulunya, semua bersih terpelihara dengan leher dihias kalung yang mengeluarkan bunyi maka riuh rendahlah suara kerincingan di kalung itu ketika kini muncul lagi belasan ekor kucing darl dalam sehingga jumlanya ada dua puluh ekor lebih! Betapa pun cantik dan bagus kucing-kucing gemuk itu, dengan bulu halus bersih bermacam warna, namun bergidik juga Kian Lee melihat begini banyak kucing mengurungnya. Menghadapi pengeroyokan orang-orang yang ganas dia tidak gentar, akan tetapi dikelilingi begini banyak kucing, menimbulkan perasaan ngeri dan serem! Pahanya yang sebelah kiri terasa sakit dan panas,

mengucurkan darah cukup banyak dan dia menggoyang-goyang kepalanya karena terasa pening. Lebih dua puluh pasang mata kucing yang bersinar tajam dan aneh itu seolah-olah menyihirnya, membuatnya pusing dan berkunang-kunang. Dia berusaha menggoyang-goyang kepala, membuka-buka lebar matanya, akan tetapi kepalanya makin berat dan pusing, dia terhuyung-huyung.

"Ouhhhh...." Hampir dia roboh kalau dia tidak menangkap sebatang tiang di dalam ruangan itu, sejenak ia bersandar pada tiang.

"Heiii, Belang....! Putih....! Heiii, Hitam.... ada apa kalian ribut-ribut di situ....?" Suara yang halus bening dan penuh keriangan ini masih dapat menembus pendengaran Kian Lee yang mulai terngiang-ngiang. "Hei, kucing-kucing lucu, di mana Su-kouw (Bibi Guru....?"

Lalu pandang mata Kian Lee yang sudah mulai gelap itu melihat bayangan seorang gadis cantik yang tampak olehnya seperti munculnya sinar terang dalam kegelapan, seolah-olah dia melihat seorang bidadari terbang melayang dan turun dari angkasa mengulurkan tangannya untuk menolong.

"Uuhhh....!" Dan dia pun terguling dan roboh ke atas lantai tak sadarkan diri.

Kian Lee mengeluh dan mengerang, dia mendapatkan dirinya teruruk sebuah rumah yang terbakar, kakinya terhimpit balok terbakar. Seluruh tubuh terasa panas, kaki yang terhimpit balok nyeri bukan main dan tak dapat digerakkan. Tiba-tiba hujan turun, api yang membakar sekelilingnya padam, paha kirinya yang terhimpit balok terkena air, terasa dingin akan tetapi rasa dingin yang menggantikan kedudukan api yang tadi menyiksa. Rasa dingin yang menusuk-nusuk, terasa sampai di tulang paha kaki kirinya dan lapat-tapat dia mendengar suara menghiburnya, seperti suara gadis yang selama ini terbayang di depan matanya, suara Lu Ceng. Tercium olehnya bau harum sedap yang lamat-lamat, dan tampak olehnya seraut wajah, cantik bukan main, wajah Lu

Ceng yang dirindukannya....!

Kian Lee membuka sedikit matanya dan ternyata mimpinya itu menjadi kenyataan, karena benar saja dia melihat seraut wajah cantik jelita. Dia menjadi terharu! Mengapa mimpinya menjadi kenyataan dan mungkinkah Lu Ceng begini baik kepadanya, duduk bersimpuh di dekatnya, menggunakan jari-jari tangan yang halus lentik menyusuti dahinya dengan sehelai saputangan yang dibasahi, begitu lembut dan mesra! Mungkinkah gadis itu begini baik kepadanya, dengan sepasang mata yang menyinarkan kelembutan dan kemesraan, bibir yang tipis basah kemerahan itu membentuk senyum menggairahkan? Keharuan membuat Kian Lee menggerakkan tangan kanannya, seperti bukan kemauannya sendiri dia mengusap dagu dan pipi wajah cantik di depannya itu,

berbisik halus, "Engkaukah ini.... engkau....?"

Sepasang mata yang tadinya memandang lembut dan mesra itu terbelalak keheranan, lalu bibir yang mungil itu terbuka, terkekeh, tampak deretan gigi yang kecil rata dan putih mengkilap. "Hi-hi-hik, kau lucu....!"

Kian Lee mengejap-ngejapkan matanya, kini baru sadar betul. Ketika dia membuka mata dan memandang lagi, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa wajah itu bukanlah wajah Ceng Ceng, bukanlah wajah gadis yang dirindukan, sungguhpun wajah ini juga cantik, bahkan terlalu cantik jelita, wajah seorang gadis cilik, seperti setangkai kuncup bunga yang sudah mulai tampak keindahannya, menjanjikan keadaan dan kecantikan luar biasa apabila telah mekar menjadi bunga tak lama lagi!

Kian Lee cepat menggerakkan tubuhnya, bangkit duduk. Hampir dia berteriak karena paha kirinya terasa nyeri.

"Ngeonggg....! Ngeooongggg....!"

Kian Lee terperanjat dan memandang ke kanan kiri. Penuh kucing!

"Hushh, Belang! Hitam! Jangan nakal lho!" Gadis itu membentak halus dan kucing-kucing itu menyingkir agak menjauh dari Kian Lee, sedangkan gadis itu lalu membungkuk dan memondong seekor kucing kecil berbulu putih yang amat cantik.

Kian Lee mendapatkan dirinya tadi rebah di atas lantai, ketika dia meraba paha kirinya yang dia ingat telah terluka, dia mendapatkan kenyataan bahwa paha di dalam pipa celananya itu telah diobati dan dibalut orang. Dia meraba-raba, mengerahkan tenaga sin-kang ke arah paha dan mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya bahwa rasa panas dari racun obat peledak itu telah lenyap, atau telah menjadi tawar oleh obat penolaknya yang mujarab sekali.

"Eh, di mana aku....?" Dia berkata.

Gadis itu sambil mengusap-usapkan pipinya yang tadi diraba tangan Kian Lee kepada punggung kucing yang penuh bulu halus memandang kepadanya dengan muka dimiringkan dan mata bersinar, wajah berseri-seri, tersenyum menjawab nakal, "Di dalam rumah!"

"Ya, tentu. Tapi rumah siapa?"

Sepasang mata itu bergerak nakal, bibir merah itu tersenyum dikulum sebelum menjawab, seolah-olah dia hendak mencari "akal" untuk menjawab, kemudian keluar jawabannya dengan mata bersinar-sinar, "Rumah orang!"

Kian Lee tertegun sejenak, memandang gadis cilik itu dan tiba-tiba dia tertawa. Gadis ini mengingatkan dia kepada adiknya, Kian Bu! Betapa sama sifatnya, sama-sama nakal dan suka menggoda orang, karena dia yakin benar bahwa jawaban-jawaban aneh itu disengaja untuk menggoda, jelas tampak dari pandang mata gadis itu yang persis seperti pandang mata Kian Bu kalau sedang menggodanya.

"Eh, kenapa kau ketawa-tawa? Apanya yang lucu?" Tiba-tiba sifat gadis itu berubah, kalau tadi menahan geli mempermainkan orang, kini penuh penasaran!

"Aku tertawa karena engkau mengingatkan aku akan seseorang. Akan tetapi sudahlah, adik yang baik. Ini rumah siapakah?"

"Rumah bibiku, bibi guruku."

"Jadi diakah yang mengobati kakiku yang terluka?"

Gadis itu menggeleng. "Bukan, dia belum datang. Yang ada hanya kucing-kucingnya yang kelaparan karena belum diberi makan. Kalau tidak kebetulan aku datang ke sini, tentu kucing-kucing kelaparan ini sudah menggerogoti habis daging-dagingmu ketika kau pingsan tadi."

Kian Lee bergidik. Dara cilik ini cantik manis sekali, akan tetapi di dalam kata-kata dan sikapnya tersembunyi sesuatu yang menyeramkan, seperti ketika membayangkan betapa kucing-kucing kelaparan itu akan menggerogoti daging-dagingnya!

"Kalau begitu, siapa yang mengobati kakiku?"

"Di rumah ini hanya ada kucing-kucing ini dan aku. Kucing-kucing ini tentu tidak bisa mengobati luka di kakimu yang penuh dengan racun obat peledak, biarpun mereka akan menggunakan lidah-lidah mereka yang kasar untuk secara bergantian menjilati luka di kakimu itu."

Kembali Kian Lee bergidik. Cara gadis cilik ini menggambarkan sesuatu benar-benar membikin orang merasa ngeri.

"Kalau begitu, engkaulah yang telah mengobatinya?" tanyanya dengan heran sekali.

"Hemm, entah siapa, kaucari saja sendiri. Yang ada hanya aku dan kucing-kucing ini, dan kucing-kucing ini tentu saja tidak bisa mengobati. Eh, masih adalagi selain aku dan kucing-kucing ini, tapi aku sangsi apakah mereka itu dapat mengobatinya."

"Mereka siapa?" Kian Lee bertanya sambil memandang ke kanan kiri, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

"Mereka inilah." Gadis cilik itu telah melepaskan anak kucing yang tadi dipondongnya, dan tahu-tahu dia kini sudah mengeluarkan dua ekor ular yang membuat Kian Lee terbelalak dan melongo karena mengenal ular-ular itu sebagai dua ekor ular yang paling berbisa! Dan jelas bahwa dua ekor ular itu bukanlah ular-ular yang telah dijinakkan atau telah tidak mengandung bisa lagi. Dua ekor binatang menjijikkan itu mendesis-desis dan dari desisnya saja sudah mengepulkan uap hitam yang amat berbisa! Akan tetapi, gadis cilik itu mempermainkan dua ekor ular ltu seperti memainkan dua helai saputangan sutera saja layaknya!

Kini Kian Lee memandang gadis itu dengan pandang mata lain. Mengertilah dia bahwa betapapun halus dan cantik manis tampaknya, ternyata gadis cilik itu memiliki kepandaian hebat untuk menaklukkan ular berbisa, dan tentu dengan sendirinya ahli tentang racun, maka dapat mengobati pahanya yang terluka dan terkena racun. Buktinya, gadis cilik ini tadi mengatakan bahwa luka di pahanya terkena racun obat peledak!

Kian Lee lalu bangkit berdiri. Pahanya masih agak nyeri, akan tetapi karena sudah terbebas dari racun, rasa nyeri dapat dipertahankan dan dia dapat menggerakkan kaki kirinya seperti biasa. Lalu dia menjura kepada gadis cilik yang sudah memondong lagi anak kucing putih sedangkan dua ekor ular tadi entah disembunyikan di mana, mungkin di saku baju luarnya yang panjang dan lebar itu.

"Nona, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Nona yang amat besar tadi. Saya Suma Kian Lee tidak melupakan...."

"Wah, kau she Suma?" tiba-tiba gadis ci1ik itu membentak.

"Benar, mengapa?" Kian Lee bertanya heran, apalagi melihat betapa sepasang mata itu kini terbelalak lebar memandangnya seperti mata orang marah!

"Aku.... benci orang yang shenya Suma! Semua orang she Suma adalah musuh besarku, demikian kata ayahku. Maka kalau kau she Suma, aku menyesal telah mengobati lukamu.... akan tetapi.... hemm, kau.... tampan dan gagah, engkau tentu orang baik, maka aneh kalau kau she Suma karena menurut Ayah, she Suma adalah she orang-orang yang jahat dan menjadi musuh besar kami."

Kian Lee mengerutkan alisnya. "Kalau boleh saya bertanya, Nona...."

"Nanti dulu, aku benci caramu menyebut aku nona! Aku sudah muak karena setiap hari orang-orang kami menyebutku nona dengan sikap menjilat sehingga setiap kali mendengar sebutan nona, aku membayangkan sikap orang menjilat-jilat menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau mendengarkan!"

Kian Lee makin heran. Bocah ini benar-benar aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi manja menggemaskan, masih bersikap kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu demikian tinggi tentang racun!

"Baiklah, aku akan menyebut siauw-moi (adik kecil)...."

"Iihh, kaukira aku masih bayi? Aku sudah hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum begitu tua, kau pantas menjadi kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja, jangan pakai kecil segala!" katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa, akan tetapi lagaknya ini malah membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih mentah! Akan tetapi karena maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian Lee yang merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata, "Baik, Moi-moi. Aku ulang lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu yang begitu membenci she Suma?"

"Namaku? Aku Kim Hwee Li."

Kian Lee mengingat-ingat. Tidak pernah dia mendengar nama ini dan hanya tahu bahwa nama Hwee Li ini terdengar manis sekali.

"Dan ayahmu?"

"Tidak perlu kukatakan."

"Kenapa?"

"Engkau tentu akan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang kujumpai dan kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku lalu lari ketakutan meninggalkan aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti itu dan berlari pergi setelah kuperkenalkan namanya."

"Ah, masa? Katakanlah, aku tidak akan lari...." Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena pintu depan diketuk orang. Gadis itu menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh Kian Lee betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang amat pucat, dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya kelihatan makin pucat lagi.

"Celaka....!" bisiknya dan jari-jari tangannya yang memegang lengan Kian Lee menggigil. "Kau.... kau sembunyilah di sini saja, jangan bergerak, jangan bernapas.... jangan mengeluarkan suara.... biar aku menghadapi Sukouw.... jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan engkau menjadi korban Sukouw!"

Kian Lee yang menjadi bingung karena tidak mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk kembali, bersembunyi di balik tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke arah pintu depan. Sedangkan Hwe Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus, melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu. Daun pintu terbuka lebar dan terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Hek-tiauw Lo-mo yang masuk dengan marah itu terbelalak kaget dan heran ketika melihat bahwa yang membukakan pintu adalah puterinya sendiri. Dengan menudingkan telunjuk kanannya yang besar dan berkuku panjang ke arah muka gadis cilik yang tenang-tenang saja itu, dia menghardik, "Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di sini? Mana bibi gurumu?"

"Bibi Guru tidak ada di rumah, Ayah. Aku kesal Ayah tinggalkan di pondok kosong bersama anak buah yang kasar-kasar itu, maka aku datang mengunjungi Sukouw. Akan tetapi dia pun tidak ada dan aku senang di sini bermain-main dengan kucing-kucingnya. Ayah, biarkan aku bermain-main di sini sendiri bersama kucing-kucing ini, kalau tidak boleh aku akan menangis sehari semalam!"

"Wah-wah, kau memang manja dan tidak beres! Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana perginya pelacur tak tahu malu itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia pulang, kalau dia pulang katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh dia datang mengunjungi pondok kita."

"Baik, Ayah. Kau baik sekali, Ayah, engkau ayah yang baik. Terima kasih!" berkata demikian, Hwee Li mengantar ayahnya keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berlari menghampiri Kian Lee.

Kian Lee sudah bangkit berdiri, jantungnya masih berdebar tegang. "Dia itu ayahmu? Hemm, kiranya ayahmu Hektiauw Lo-mo...."

Hwee Li terkejut dan memandang wajah yang tampan itu penuh pertanyaan. "Jadi engkau sudah mengenal ayahku?"

Kian Lee mengangguk, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik yang telah menolongnya ini bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega mengatakan ini.

"Dan kau tidak takut kepada ayahku?"

"Tidak, mengapa takut? Dia seorang ayah yang baik, bukan?"

Hwee Li melepaskan kucingnya dan memegang kedua tangan Kian Lee. "Aihh, Twako, kau hebat! Engkaulah orang pertama yang mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada ayahku! Padahal semua orang takut. Memang dia seorang ayah yang baik, akan tetapi.... kadang-kadang.... aku pun takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama kepadaku, akan tetapi bisa juga.... hemm.... amat kejam.... ah, sudahlah, tidak baik membicarakan ayah sendiri, bukan?"

Kian Lee mengangguk, terheran-heran. Bagaimana seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo dapat mempunyai seorang anak perempuan begini cantik jelita?

"Engkau tadi tampaknya lebih ketakutan ketika mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu. Mengapa? Siapakah bibi gurumu?"

"Bibi guruku ada dua orang. Twa-sukouw, bibi guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi guru ke dua yang amat mengerikan. Kalau dia yang datang dan melihatmu, aku tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan engkau."

"Kenapa?"

"Dia tidak akan melepaskan pemuda tampan dan gagah seperti engkau, tentu engkau akan dilarikannya dan paling lama tiga hari engkau akan kedapatan mati di suatu tempat."

"Hemm, apa yang dilakukannya?"

"Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ayah pun membenci kebiasaannya yang mengerikan itu. Setiap kali dia tentu menculik pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, hanya pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya. Mengerikan!" Hwee Li bergidik.

Kian Lee teringat akan nenek bertongkat yang amat lihai itu, yang membuat pahanya terluka.

"Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?" tanyanya.

"Yang seorang buruk sekali akan tetapi yang ke dua cantik sekali. Engkau tentu telah bertemu dengan bibiku yang cantik itu, dan untung engkau tidak sampai dibawanya lari, hanya terkena senjatanya. Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak, bukan?"

Kian Lee mengangguk. "Benar, akan tetapi yang melepasnya bukanlah seorang wanita cantik, melainkan seorang nenek buruk sekali, nenek yang bertongkat dan...."

"Ah, dia itu Twa-sukouw!" Hwee Li berseru heran. "Tentu dia telah mencuri senjata rahasia Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli pembuat senjata rahasia peledak itu adalah Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau sampai bertanding melawan Twa-sukouw?"

"Hemm.... karena dia membantu pemberontak."

"Pemberontak, pemberontak! Urusan kerajaan dan pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako! Agaknya Ayah dan kedua orang bibi guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw, menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak pemberontak. Entah pula dengan Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kauantarkan aku kembali ke Pulau Neraka saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku datang dari Pulau Neraka, bukan?"

"Tidak, Hwee Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo."

"Eh, jadi kau sudah mengenal Ayah sebagai Ketua Pulau Neraka?"

"Aku sudah mengenal ayahmu, akan tetapi tidak tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu baru sekarang aku mengetahuinya. Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan kau tidak ada di sana...."

"Hehh....? Benarkah? Dua tahun yang lalu.... hemm, aku masih dikurung di dalam kamar latihan, tidak boleh keluar sama sekali dan baru setahun yang lalu aku diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun yang lalu....? Kakak beradik....? Wah, wah, aku sudah mendengar tentang keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?"

Kian Lee mengangguk dan Hwee Li meloncat mundur ke belakang, memandang ketakutan. "Tentu engkau akan membunuh aku!"

"Tidak, tidak Hwee Li. Engkau gadis yang baik sekali, mengapa aku harus membunuhmu?"

"Engkau dan adikmu itu putera-putera Pendekar Siluman...."

"Pendekar Super Sakti!"

"To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh besar Ayah!"

"Tapi aku tidak memusuhimu, juga tidak memusuhi ayahmu atau siapapun juga, Hwee Li."

"Benarkah? Aku girang sekali kalau begitu. Aihh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma! Wah, kalau begitu, engkau harus cepat pergi dari sini, Twa ko. Kalau Ayah tahu engkau putera dari Pulau Es, tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau pun tentu akan diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku, ya?"

 Kian Lee mengangguk dan tersenyum. "Engkau anak manis, engkau telah menyelamatkan aku, Hwee Li. Mana mungkin aku bisa lupa kepadamu?" Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak terpincang. Setelah mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat siapa pun, dia membuka daun pintu dan hendak melangkah keluar.

"Twako....!"

Kian Lee menoleh dan melihat gadis cilik itu berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi, berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini cantik luar biasa, sungguhpun masih belum dewasa benar sudah nampak kecantikannya.

"Ada apakah, Hwee Li?"

"Twako, kau benar-benar.... tidak akan lupa kepadaku?"

Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepalanya.

"Dan aku.... aku suka kepadamu, Twako!"

Kian Lee terharu, dan meraba serta mencubit dagu yang manis itu. "Tentu saja, engkau seperti adikku sendiri!"

Mulut yang manis itu cemberut. "Aku tidak suka menjadi adikmu!"

"Habis bagaimana?"

"Kita adalah sahabat, bukan kakak dan adik."

"Baiklah, engkau sahabatku yang paling baik dan manis, Hwee Li. Eh, aku lupa untuk bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang sukouwmu itu?" Kian Lee perlu untuk menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek Lihai karena nenek itu telah menjadi musuhnya, membantu pemberontak, bahkan telah melukainya.

"Twa-sukouw berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw Siauw Mo-li (Siluman Kucing). Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan mereka, Twako, terutama kalau bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan lebih berbahaya dari Twa-sukouw."

"Terima kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal."

"Jangan lupa kepadaku, Twako, dan sekali-kali carilah aku."

Kian Lee mengangguk, tersenyum lalu meloncat keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia membalik, tanpa disengaja dia menginjak sesuatu yang lunak.

"Awas, Twako....!" Hwee Li mengingatkan, Kian Lee meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terinjak ekornya itu menyerangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee telah lebih dulu mengelak.

"Wah, berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing di sini mengandung racun berbahaya, Twako."

"Ehh?"

"Ji-sukouw suka sekali memelihara kucing dan.... eh, dia sendiri sifatnya seperti kucing. Semua kucing ini adalah peliharaannya."

Kian Lee menghela napas. Aneh-aneh orang dunia kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua Pulau Neraka dan dua orang sumoinya itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia mengangguk lagi dan kini melesat keluar, sebentar saja lenyap meninggalkan Hwee Li yang cemberut dikelilingi kucing-kucing itu.

******

Tek Hoat yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apalagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali. Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu penuh dengan mata-mata musuh. Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan pasukan-pasukan dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk menangkapi mata-mata musuh, terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah ke rumah ini oleh Tek Hoat ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi!

Pasukan Tambolon mulai bergerak di bawah pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah bersepakat dengan pihak pemberontak untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas dari Raja Tambolon dan pasukannya. Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang karena penyerbuan itu berarti perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah dan terutama sekali banyak perempuan tawanan!

Pangeran Tua Liong Khi Ong juga sudah meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng Teng-bun bersama Pangeran Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan pembersihan kota Koan-bun itu kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah Koan-bun direbut. Juga Tek Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan benteng Teng-bun, pusat pemberontakan itu. Biarpun hatinya

menyesal sekali karena dia tidak berhasil menemukan Syanti Dewi, namun Tek Hoat tidak berani membantah, apalagi saat itu memang merupakan saat yang penting di mana pihak pemberontak sudah siap mengerahkan kekuatan untuk sewaktu-waktu menyerbu ke selatan, yang diawali oleh penyerbuan pasukan liar Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu.

Para penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi panik setelah pada hari-hari kemarin dibikin geger oleh berita munculnya pasukan liar dari Raja Tambolon. Kini mereka menjadi panik karena setiap rumah di dalam kota itu digeledah oleh perajurit-perajurit yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kasar. Perang memang merupakan puncak kekejaman dari manusia yang mengumbar hawa nafsunya yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di dalam keadaan kacau oleh perang selalu dipergunakan oleh manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Di dalam penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun, biar dalihnya adalah untuk pembersihan dan menangkapi mata-mata musuh, akan tetapi pelaksanaannya banyak diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga terjadilah hal-hal yang amat aneh dan keji. Kesempatan ini dipergunakan oleh mereka yang berkuasa, dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang memimpin pasukan penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas rakyat. Yang termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang. Penyogokan atau sumbangan paksaan setengah merampok, pengambilan benda-benda berharga yang kecil-kecil secara begitu saja. Yang tidak mampu menyogok, ada yang dipaksa menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar "menghibur" Sang Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke seluruh rumah, dan tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung beberapa lama di dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si Gadis yang dipaksa melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggauta tentara. Banyak pula orang yang ditangkap, dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah bermacam-macam hanya untuk melampiaskan kemarahan dan dendam pribadi!

Para pembantu, penyelidik dan mata-mata yang disebar oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao juga para anggauta Tiat-ciang-pang yang menganggap diri sendiri sebagai pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika melihat betapa banyak teman mereka telah tertawan dan pembersihan masih terus dilakukan. Setelah main kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari pengejaran para pasukan pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah Tiat-ciang-pang bersama belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng yang amat tinggi, bingung karena mereka tidak memperoleh jalan keluar setelah benteng ditutup dan dijaga dengan ketat oleh pasukan pemberontak.

Cuaca senja remang-remang dan mereka berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari akal bagaimana mereka akan dapat keluar dari tempat itu.

"Kita bongkar tembok saja."

"Ah, akan makan waktu terlalu lama."

"Selain itu juga berisik dan tentu ketahuan penjaga."

"Temboknya tebal sekali, tidak mudah membongkarnya tanpa alat lengkap."

Selagi mereka bercakap-cakap mencari akal, karena untuk meloncat ke atas tembok yang tinggi sekali itu adalah hal yang tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara mereka memberi isyarat, "Sssttt.... ada orang....!" Bagaikan segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan orang ini menyelinap ke sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap bersembunyi!

Si Gendut yang memimpin rombongan itu bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan tampan bernama A Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si Gendut ketika melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga, bahkan bukan pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh kelihatan betapa pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.

"Ssst, A Ciang, dia itu wanita, tentu akan tertarik dan suka menolongmu. Kaumintalah tolong kepadanya agar dia suka mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita pakai melarikan diri. Kalau kita memasang kaitan dan melontarkan tali yang panjang ke atas dinding, kita tentu dapat memanjat naik dan keluar dari sini," berkata Si Gendut kepada temannya.

A Ciang mengangguk dan dia membereskan pakaiannya, lalu keluar dari tempat persembunyiannya menanti datangnya wanita dari depan itu. Setelah wanita itu datang dekat, A Ciang hanya melongo dan tidak bisa bicara! Dia terpesona menyaksikan wanita itu karena setelah dekat tampaklah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi kelihatan masih muda sekali, cantik jelita luar biasa, dengan wajah manis yang mengandung tantangan pada sinar mata dan senyumnya, tubuhnya padat dan ramping penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada bagian dada demikian ketat menempel dadanya sehingga membayanglah sepasang

buah dadanya yang menonjol. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat seorang wanita secantik ini!

Ketika wanita itu melihat ada seorang laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam dengan sepasang matanya yang indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi pandang matanya penuh selidik menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A Ciang yang usianya baru dua puluh lima tahun itu.

"Engkau mau apa menghadang perjalananku?" Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan merayu, mulut dan bibir merah itu bergerak genit ketika bicara. A Ciang menelan ludahnya sebelum menjawab. "Maaf.... Nona, saya.... saya eh, ingin minta tolong kepada Nona...."

"Minta tolong apa? Dan mengapa banyak teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah kalian perampok?"

Mendengar ini, A Ciang terkejut bukan main. Wanita ini tahu bahwa banyak temannya bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga Si Gendut mendengar kata-kata ini maka dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti seekor katak besar keluar dari sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk keluar karena percuma saja bersembunyi setelah wanita itu mengetahui akan keadaan mereka. Pula, seorang wanita tentu saja tidak akan membahayakan keadaan mereka.

"Mereka adalah kawan-kawanku...." A Ciang berkata. Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu.    "Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami. Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh srigala-srigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat, melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi negara...."

Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis sekali gerakan ini, apalagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat bagus. "Jadi kalian ini mata-mata kerajaan?"

"Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu kami."

"Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya? Mengapa harus menggunakan tali?"

"Ah, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih aman?" Si Gendut bertanya.

Wanita itu menggelengkan kepala.

"Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding ini, tapi tanpa tali."

Semua orang yang mendengar ini terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. "Tanpa tali....?" Si Gendut bertanya.

"Nona yang baik, harap Nona suka mengajari saya agar dapat keluar dari sini sebaiknya," kata A Ciang.

Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, lalu dia tersenyum. "Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk kalian." Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.

"Mampus! Dia melapor kepada penjaga!"

"Wah, dia siluman, kita akan celaka!"

"Hushhh, harap tenang, kawan-kawan. Aku tidak percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!" kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang dan membawa segulung tali!

"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku," kata wanita itu kepada A Ciang sambil melempar kerling dan senyum manis, membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya. "Nah, ini tambangnya, bagaimana kalian akan naik?" tanya wanita itu sambil tersenyum mengejek, agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini.

Si Gendut yang paling lihai di antara mereka, mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu meluncur tinggi dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang. Akan tetapi jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan jatuh kembali.

"Sayang tidak ada besi pengait...." Si Gendut akhirnya berkata jengkel.

"Berikan padaku tali itu, biar aku yang membawanya ke atas," tiba-tiba wanita itu berkata.

Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika menyerahkan tali, jari mereka bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya menari-nari,

menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya, menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum manis kepada mereka semua lalu.... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak, mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Karena merayap naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah tampak melenggang-lenggok.

"Aihhh.... dia lihai sekali....!"

"Dan cantik bukan main...."

"Seperti bukan manusia....!"

"Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) saja....!"

"Wanita hebat!"

"Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!"

Demikian seruan-seruan belasan orang yang semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip. Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka telah bertepuk tangan dan memuji.

Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan memegang ujungnya dengan tangan kiri. "Panjatlah!" perintahnya.

Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila, pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita itu? Mana kuat?

"Talikan ujungnya....!" kata Si Gendut dengan bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mendengarnya, demikian pikir teman-teman yang lain.

"Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai, tentu dia kuat menahan dengan tangannya," kata A Ciang dan dia segera memegang ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya. Benar saja. Tali itu tetap menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biarpun pada tali itu kini bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!

Setelah belasan orang itu berada di atas tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar tali keluar sehingga tergantung di luar tembok. "Nah, turunlah!" katanya halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!

"Bukan main....!"

"Hebat sekali dia....!"

Semua orang memandang terbelalak melihat betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya, melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan sekali wanita itu hinggap di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga

luncuran tubuhnya yang melayang tadi. Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali itu ke atas tanah.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang sedang melarikan diri ini.

"Lari....! Kita berpencar....!" Si Gendut memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.

"Kau lari bersamaku, A Ciang!" tiba-tiba wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang. Dia mengenal nama pemuda tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali.

A Ciang tidak menjawab, bahkan tidak mungkin bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia merasa tubuhnya "diterbangkan" oleh wanita itu. Teman-temannya juga tidak ada yang memperhatikan karena mereka sedang sibuk mencari keselamatan masing-masing. Mereka bukanlah orang-orang penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdik, maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat tembok benteng itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan orang seperti mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut memerintahkan agar mereka berpencar sehingga andaikata ada yang tertangkap atau terbunuh, tidak semua menjadi korban seperti kalau nekat melawan di tempat berbahaya itu.

Komandan pasukan menjadi marah melihat bahwa belasan orang itu melarikan diri. Tahulah dia bahwa tentu mereka itu adalah mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam benteng dan baru saja melarikan diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan dengan lima puluh orang perajurit dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu seorang perwira muda yang tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan menunggang seekor kuda putih.

Para anggauta Tiat-ciang-pang makin panik melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat mereka melarikan diri di sebuah ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita itu tadi bahkan telah mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke dalam alang-alang yang tingginya sama dengan manusia. Dia menggandeng tangan A Ciang dan terus menyusup sampai ke tengah-tengah ladang itu dan mereka seolah-olah tenggelam di dunia tersendiri yang sunyi dan yang terdengar hanya berkelisiknya alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya berombak seperti air laut. Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau ada yang dekat dengan tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka yang aneh.

"Ahhh, Kouw-nio....!" Terdengar suara A Ciang gagap.

"Hemm, kenapa? Apakah kau tidak suka padaku? Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau.... hem....?" Suara bisik-bisik serak ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor kucing.

"....Koauw-nio.... kau cantik sekali...."

"Kau suka? Aku suka kepadamu, A Ciang, dan kalau kau pun suka.... hemm...."

"Kouw-nio.... hemmm....!"

Tidak terdengar lagi mereka bercakap-cakap, yang terdengar hanya berkereseknya daun alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, berngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut seperti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem.

Dan memang ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan seorang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya, "Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!"

"Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?"

"Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara kucing inde-hoi, bukankah sama benar suaranya?"

Mereka berdua kini diam, mendengarkan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang marah, kadang-kadang halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeramkan!

Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasaran. "Serbu ke dalam ladang!" perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda. Belasan golok perajurit yang memegang perisai dan golok menyerbu ke dalam ladang itu. Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut robohlah enam orang perajurit, yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak bergerak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para perajurit pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba.

Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan keluar dari ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba, "Bakar....!"

Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke tengah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat mereka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka. Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan ancaman api yang makin ke tengah.

Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan berloncatan, tidak menjauhi pasukan mengejar seperti para pelarian yang lain, melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat, tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi. Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledakan terus terdengar susul-menyusul. Perwira muda itu terkejut bukan main, maklum bahwa wanita itu menggunakan senjata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih perajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak.

Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang teman memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Anehnya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Beramai-ramai mereka menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik.

Dengan sedih juga terheran-heran akan kematian A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu mengubur mayat itu dengan menggali pasir gunung dan mereka pun tidak melihat lagi wanita cantik yang tadi telah menyelamatkan mereka dengan menyerang pasukan secara hebat menggunakan senjata-senjata mujijat yang dapat meledak.

"Mengapa A Ciang mati?" Pertanyaan ini berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati semua orang. Mereka menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini wanita cantik itu tidak kelihatan lagi.

Siapakah sesungguhnya wanita yang penuh rahasia itu? Tentu pe mbaca sudah dapat menduganya kalau mengingat cerita Kim Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik ini adalah sukouwnya yang ke dua, sumoi dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring yang merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian dari Korea. Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian tinggi sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah dari kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok bersama-sama dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang kini menjadi Ketua Lembah Hitam.

Hek-tiauw Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi. Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul membantu pemberontak dan melukai Kian Lee dengan senjata peledaknya, seorang nenek yang amat lihai. Adapun yang ke dua adalah Mauw Siauw Mo-li itulah!

Tidak ada orang mengenal nama aselinya, dia hanya dikenal di daerah utara, di antara orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai Siluman Kucing atau Si Kucing Liar. Mendengar nama Kucing Liar ini, orang-orang di daerah utara, betapapun gagahnya dia, akan merasa seram dan ketakutan. Melihat orangnya, Si Kucing Liar ini memang sama sekali tidak menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang laki-laki, tua maupun muda, kalau dia waras otaknya dan tidak buta, sudah tentu akan mengakui akan kecantikan Mauw Siauw Mo-li. Cantik jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur dengan dagu kecil meruncing, tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat lekuk yang manis, dahinya melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis halus di bawah rambut hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam subur dan amat panjang itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala, seperti gelung kaum puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh akan tetapi menarik, rambutnya dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas dan batu kemala hijau. Alisnya hitam kecil panjang tanpa dibantu alat, memang bagus bentuknya, dan sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening sekali, kadang-kadang dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung, kadang-kadang keras seperti baja dan dingin seperti salju, akan tetapi kadang-kadang, dibarengi suara rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan sinar yang halus lembut dan penuh kehangatan dan janji muluk. Bulu matanya lentik panjang, menambah keindahan sepasang mata itu. Hidungnya sedang saja, akan tetapi mulutnya! Banyak pria menelan ludah kalau menatap mulutnya karena setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan kemesraan yang menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi oleh bentuk tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung yang penuh kewanitaan dan kelembutan. Pendeknya, Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk membangkitkan gairah berahi kaum pria, dan semua gerak-geriknya menunjukkan kecondongan yang khas seperti telah dikhususkan untuk bercinta. Akan tetapi di balik semua kecantikan yang mempesonakan ini bersembunyi sesuatu yang membuat semua orang bergidik dan merasa ngeri. Wanita ini dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa berkedip! Dan kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua petualang di utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah kebiasaan wanita ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan celakalah kalau terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau lebih dalam keadaan yang mengerikan!

Siluman kucing ini sebenarnya adalah seorang wanita yang kini menjadi setan yang haus akan belaian pria. Semenjak berusia enam belas tahun, dia telah menjadi janda karena setelah menikah selama satu tahun suaminya meninggal dunia! Di waktu menjanda, beberapa kali dia diambil isteri muda oleh bermacam orang, akan tetapi semua itu telah gagal. Ada yang mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan. Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang binal. Kemudian dia diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea, yaitu guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya melebihi orang-orang muda!

Setelah menjadi kekasih kakek ini, barulah ada yang kuat bertahan menjadi pasangan atau "suami" wanita cantik ini sampai belasan tahun lamanya! Si kakek tidak pernah menjadi bosan karena memang ke kasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh gairah hidup dan penuh nafsu berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa cukup puas karena Si Kakek memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian hebat dan yang amat menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai menerima latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, dia menjadi kekasih dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo, bahkan karena "suaminya" amat sayang kepadanya, dia diberi ilmu-ilmu simpanan sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suhengnya dan melebihi sucinya! Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap kekasihnya yang tak pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu itu, juga menyerah terhadap usianya yang tinggi. Dia meninggal dunia meninggalkan tiga muridnya.

Wanita cantik jelita yang baru berusia tiga puluh tahun itu kembali menjadi janda. Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia kini adalah seorang janda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, juga merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan yang telah "matang", dan celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia menjadi seorang wanita yang haus akan laki-laki dan semua kehausan itu dipuaskannya kapan saja dan di mana saja dia bertemu dengan pria yang muda dan tampan. Tentu diculiknya pria itu, dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap rayuan mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh ke dalam pelukannya, dibuai oleh rayuan, belaian dan permainan cintanya sehingga seperti seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun tak dapat lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering, kemudian mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat!

Entah sudah berapa puluh, berapa ratus atau berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi korbannya. Celaka bagi Kucing Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk pria yang menjadi korbannya, makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia masih terus mencari-cari karena dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria saja. Kalau saja dia berhasil menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman hidup selamanya! Akan tetapi selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan hatinya kemudian, menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar dari kenikmatan.

Ciri khas dari wanita ini adalah suara yang keluar dari kerongkongannya, suara seperti kucing, bahkan persis kucing dan suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya apabila perasaannya tersentuh dan bergelora, di waktu dia marah, bingung, senang dan terutama sekali di waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah yang membuat dia dijuluki orang Siluman Kucing atau Kucing Liar!

Selama bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo yang merupakan nenek buruk rupa, dan Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita, selalu berkeliaran di daerah utara, di antaranya gurun pasir dan pegunungan sehingga nama mereka hanya terkenal di kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan di perbatasan Negara Korea. Dunia kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada yang mengenal nama-nama ini. Akan tetapi karena mereka berdua menerima undangan dari suheng mereka, Hek-tiauw Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah mereka sendiri-sendiri ke Koan-bun. Seperti kita ketahui, nenek buruk Hek-wan Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak karena dia melihat kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan membantu pemberontak. Adapun Mauw Siauw Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai ketagihan karena sudah beberapa lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan. Kebetulan dia melihat rombongan anggauta Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari kota itu dan dia tertarik oleh A Ciang yang segera diincarnya sebagai korbannya malam itu.

Kini, Si Gendut dan teman-temannya melewatkan malam itu di daerah batu gunung berkapur itu. Malam terlalu gelap bagi mereka untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka. Pada keesokan harinya, dari jauh mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke tempat itu. Mereka segera berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima belas orang.

"Kita tidak bisa lari," Si Gendut berkata. "Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak oleh mereka dan dikejar terus. Lebih baik kita bersembunyi dan setelah mereka pergi, baru kita melanjutkan perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan pemerintah."

"Ihhhh.... begitukah sikap orang-orang gagah, hanya bersembunyi saja seperti segerombolan pengecut?" Tiba-tiba terdengar suara halus ini. Mereka terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka telah berdiri wanita cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang membakar ladang ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga merasa ngeri karena munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang mengetahuinya dan tidak ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung memikirkan ke matian A Ciang yang demikian anehnya.

"Ah, kiranya engkau yang datang, Kouw-nio? Kami amat berterima kasih atas bantuan Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian setinggi langit," kata Si Gendut.

Bibir yang merah itu mencibir, akan tetapi kelihatannya tambah manis!

"Kalau kalian memang bermusuhan dengan pasukan itu, kenapa tidak menyambut mereka dengan perlawanan?"

"Jumlah kami hanya lima belas orang, dan mereka ada lima puluh orang lebih...."

"Lima belas orang sudah terlalu banyak untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat membuat mereka terpencar dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih sukarnya mengalahkan mereka? Aku pun akan berpesta membantu kalian menghadapi mereka."

Semua, orang berseri wajahnya. "Dengan Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami takuti? Kami tidak takut sekarang!" Si Gendut berkata.

"Benar, kami tidak takut kalau Kouw-nio yang sakti membantu kami!" teriak seorang lain, yaitu yang masih muda dan yang sejak tadi memandang ke arah dada wanita itu dengan mata seperti mata seekor anjing melihat tulang!

Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri memperlihatkan diri menanti datangnya pasukan yang dipimpin oleh perwira muda berkuda putih itu. Perwira itu tinggi besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan lihai.

"Kalian permainkan pasukan itu, akan tetapi berikan perwira itu kepadaku. Biar aku yang menghadapinya!" Mauw Siauw Mo-li berkata sambil tersenyum dan dari kerongkongannya keluar suara lirih melengking seperti suara kucing! Mendengar ini, Si Gendut dan teman-temannya menggigil dan merasa serem, teringat mereka akan suara kucing itu malam tadi ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.

"Cepat menyebar dan bersembunyi....!" Wanita itu berkata dan begitu pasukan itu sudah mendekat, mereka menyelinap ke kanan kiri dan bersembunyi di balik batu-batu kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan dada yang sudah busung itu dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada perwira muda yang menahan kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.

"Haii kalian mata-mata hina! Menyerahlah sebelum kami bunuh semua!"

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. "Apakah engkau juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda yang gagah perkasa?" Dia malah melangkah maju menghampiri kuda yang meringkik-ringkik itu.

Perwira muda itu terkejut melihat bahwa di antara para mata-mata yang dikejarnya itu terdapat seorang wanita yang begini cantik dan menariknya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa mata-mata pemerintah banyak yang pandai dan merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya, maka sambil berseru keras dia menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang wanita cantik itu sambil mengayun pedangnya.

Akan tetapi dengan mudah sekali Si Kucing Liar mengelak ke kiri. Empat orang perajurit menyambutnya dengan senjata golok mereka, menyerang dengan berbareng untuk membantu komandan mereka. Amat mudah bagi wanita itu untuk mengelak sambil tersenyum dan kaki tangannya bergerak, maka robohlah empat orang itu tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja Si Perwira Muda terkejut sekali, kudanya diputar dan kembali pedangnya menyerang dari atas kuda dengan dahsyat.

"Ihh, benarkah engkau kejam hendak membunuhku?" Mauw Siauw Mo-li bertanya halus sambil terkekeh dan matanya mengerling genit. Pedang itu bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah dapat menyentuh baju wanita itu yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti gerakan seekor burung walet. Tiba-tiba dia berseru, "Turunlah kau!" dan sambil mengelak tangannya terus menyambar ke samping.

"Crotttt....!" Tangan yang berjari kecil-kecil dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti ujung golok saja. Kuda putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan ketika perwira itu berusaha menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia, terjatuh dari atas kuda yang terus melarikan diri itu.

Melihat komandannya jatuh, delapan orang anggauta pasukan cepat menerjang wanita itu sehingga Si Perwira sempat bangkit kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw Mo-li hanya tersenyum-senyum saja dan tubuhnya tidak banyak bergerak, seolah-olah menanti datangnya serangan. Hebatnya, siapa saja yang berani mendahului menyerangnya, kalau tidak roboh tentu senjatanya terlempar karena dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu sudah menangkis tangan yang memegang pedang atau golok.

Sementara itu, Si Gendut dan kawan-kawannya juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan berhasil merobohkan banyak lawan dengan penyergapan tiba-tiba lalu menyelinap dan lari bersembunyi lagi di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di tempat itu. Pasukan yang menunggang kuda sudah turun semua dari kuda masing-masing karena makin berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil menunggang kuda.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan teriakan gemuruh. Ternyata yang datang adalah pasukan terdiri dari seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari kota Koan-bun karena perwira yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan berkuda untuk mendatangkan bala bantuan.

Melihat ini, paniklah para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biarpun tetap melakukan perang kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para anggauta pasukan itu kini mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok mengandalkan banyak orang, Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani sembarangan menyergap seperti tadi. Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan. Biarpun tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka sambil tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.

"Darrr....!" Benda itu meledak dan belasan orang perajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para pengeroyok dan pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri. Hanya terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka memandang lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah lenyap.

"Kejar mereka! Cari mereka sampai dapat. Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang tentu menjadi pemimpin mereka!" Perwira itu dengan hati penasaran dan marah memberi aba-aba.

Terjadilah kejar-kejaran sampai sehari penuh. Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang terpaksa terus melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi di balik batu-batu gunung sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu kapur terakhir, dekat gurun pasir. Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa lari ke arah padang pasir yang berbahaya. Akan tetapi ketika itu, hari telah berganti malam dan baik yang dikejar maupun yang mengejar, sudah lelah sekali sehingga masing-masing melewatkan malam sambil beristirahat. Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka dikejar-kejar sehari penuh, terus berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada ransum sama sekali sehingga selain kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu yang tentu saja dapat makan ransum dari perlengkapan mereka.

Akan tetapi malam itu, di pihak pasukan yang jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi keributan. Komandan mereka, Si Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum sambil duduk di atas batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah aneh. Ketika itu, perwira mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun, wajahnya agak keruh karena perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat membasmi belasan orang buruannya. Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat yang sunyi menyeramkan itu terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal yang amat aneh dan semua orang menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana datangnya suara kucing itu. Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin dekat di tempat itu.

"Kucing keparat!" Seorang perajurit memaki sambil menyambar tombaknya. "Kalau kau dapat olehku, akan kusate dagingnya!"

"Haii, Lai-ciangkun ke mana?" Teriakan ini terdengar dari seorang perajurit yang tadi duduknya tidak jauh dari perwira itu. Semua orang memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi dan saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira muda itu lenyap! Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru dimakannya, terguling dan sepasang supitnya juga berceceran.

Semua orang mencari, akan tetapi tidak melihat jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh terdengar suara kucing mengeong! Untuk mencari lebih jauh mereka tentu saja tidak berani karena tidak ada yang memerintah mereka, dan mereka tahu betapa berbahayanya mencari di waktu malam gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh dapat muncul dan menyerang mereka dari tempat gelap. Mereka terpaksa menanti-nanti dengan hati berdebar tegang, menanti datangnya pagi

Sementara itu, di antara batu-batu gunung kapur, di mana Si Gendut dan kawan-kawannya bersembunyi dengan tubuh lelah, perut lapar dan hati tegang penuh ke khawatiran, juga terjadi peristiwa yang menegangkan. Karena pegunungan yang sunyi melengang itu tiba-tiba menjadi menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing mengeong-ngeong! Dan suara kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu kasih di bawah terang bulan di atas genteng! Mendengar suara ini, mereka semua menjadi serem dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam sebuah guha,

bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah mereka tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu pertempuran gerilya siang tadi.

"Menyeramkan....!" Si Gendut mengomel.

"Tentu suara siluman kucing."

"Mengingatkan aku akan kematian A Ciang."

"Hushh, jangan sembarangan. Mungkin itu memang kucing penduduk yang tersesat di sini."

"Ah, mana bisa! Kucing tersesat yang kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu, berulang-ulang. Tapi itu.... hemm, dengarkan.... suaranya merengek tinggi rendah, persis suara kucing kawin!"

"Suaranya datang dari atas sana, di mana banyak batu-batu besar...."

"Sudah," Si Gendut akhirnya berkata untuk meredakan ketegangan hati kawan-kawannya. "Suara apa pun adanya itu, besok pagi-pagi sekali kita melihatnya sambil melarikan diri. Kalau besok kita tidak dapat melarikan diri dari mereka itu, berarti kita semua akan mati konyol."

Suara kucing itu terdengar terus-menerus semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti beberapa lama lalu diulang lagi. Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan sehingga tiga belas orang pelarian itu sama sekali tidak dapat tidur dan hati mereka selalu tegang. Mereka menanti datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di tempat sesunyi itu, gelap pekat lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang berada tidak jauh di belakang mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia itu sungguh amat menegangkan hati dan syaraf mereka.

Pada keesokan harinya, baru saja terang tanah dan memungkinkan mereka bergerak, tiga belas orang ini sudah menyelinap di antara batu-batu menuju ke atas bukit terakhir yang penuh dengan batu-batu besar itu. Suara kucing sudah tak terdengar lagi sejak tadi.

Tiba-tiba mereka berhenti dan Si Gendut menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua berindap maju beberapa langkah untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam keremangan pagi, tampak olehnya seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan setengah telanjang, sedang duduk di atas batu besar membelakangi mereka. Rambut wanita itu hitam dan panjang sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai ke bawah dan kini wanita itu sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang mengulet. Dipandang dari tempat itu, dia menyerupai seekor kucing besar yang sedang mengulet-ulet dan menjilat-jilati bulu-bulunya! Akan tetapi yang membuat tiga belas orang itu terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat sebujur tubuh pria tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat dan lehernya tampak merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang tersenyum. Persis seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan lehernya penuh guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apalagi ketika melihat bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat setumpuk pakaian perwira!

Teringat kepada A Ciang, Si Gendut menjadi marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman inilah yang telah membunuh A Ciang, maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk menerjang maju sambil berseru, "Siluman kucing keparat!"

Dua belas orang meloncat dan menerjang, mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir rambutnya. Yang seorang lagi, seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut menyerang karena kedua lututnya sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat digerakkan. Pemuda ini bukan seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia amat gagah berani tidak takut mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu takut sekali kepada setan dan iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah menggigil. Apalagi sekarang dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang benar-benar! Maka dia tidak mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi, seluruh tubuhnya menggigil.

"Hi-hi-hik!" Wanita itu terkekeh genit sambil membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di atas batu.

"Ahhh....!"

"Ohhhh....!"

"Kauw-nio....!"

Semua orang terbelalak memandang.

Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik yang telah menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan tembus pandangan sehingga tampak bentuk tubuhnya yang mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke lutut, matanya bersinar-sinar.

"Kalian memaki aku siluman kucing keparat? Nggg....!" Kembali terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut air, dan tiba-tiba mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh wanita itu melayang turun dan menyambar ke arah mereka. Terdengar bunyi pekik susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu. Setiap kali jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing merah itu menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut yang menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing Liar itu mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya menyambar ke depan. "Crottt....! Retttt....!"

Tubuh Si Gendut terjengkang dan dari perutnya yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mouw Siauw Mo-li memancar darah merah, sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku tangan kiri, juga mengucurkan darah.

Orang kurus pucat yang bersembunyi, memandang dengan terbelalak dan hampir saja dia pingsan. Hanya terdengar suara kucing menangis, makin lama makin lirih dan wanita itu sudah lenyap dari situ. Si Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk pergi dari situ, menyelinap di antara batu-batu, jatuh bangun dan hampir terkencing-kencing saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia dapat juga berlari jauh dan tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan melaporkan semua itu kepada pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau Lu-bengcu.

Rombongan pasukan yang setelah pagi tiba kini berani mencari-cari komandannya, kini telah tiba di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika menemukan komandan mereka dalam keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat, mayat yang tersenyum seolah-olah ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat menyenangkan. Dan tak jauh dari situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan yang berserakan malang-melintang, semua terluka di leher oleh bekas-bekas cakaran seperti yang terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa pasukan ini menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun untuk melapor, dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara tentang semua keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing!

Wajah Ceng Ceng menjadi merah saking marahnya mendengar pelaporan anggauta Tiat-ciang-pang yang kurus bermuka pucat itu. Mendengar kematian Si Gendut dan kawan-kawannya di tangan Siluman Kucing, dia hanya menjadi heran dan penasaran. Akan tetapi mendengar akan sikap Tek Hoat yang ternyata melanggar janjinya, tidak mencari jejak pemuda laknat musuh besarnya dan tidak pula memenuhi untuk tidak mencampuri urusan pemberontakan, dia menjadi marah.

"Keparat, manusia itu memang palsu dan licik!" bentaknya sambil mengepal tinju.

"Dia memang seorang kaki tangan pemberontak, Nona," Si Topeng Setan yang selalu menemaninya itu berkata lirih.

"Itulah yang menjemukan! Dia menjadi wakilku dan dia menjadi kaki tangan pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam lumpur pengkhianatan pula. In-kong, kita kerahkan semua anak buah dan kita membantu pemerintah membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang juga!" Biarpun Si Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap menyebutnya In-kong (Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih, juga sebetulnya dia menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk mempelajari ilmunya yang tinggi dan tentu saja untuk membantunya membalas dendamnya terhadap pemuda laknat yang dia tahu amat lihai itu.

"Akan tetapi, mengapa engkau merepotkan diri mencampuri urusan negara, Nona? Apa artinya kekuatan kita yang terdiri dari beberapa ratus kaum sesat ini menghadapi pemberontakan yang terdiri dari laksaan tentara yang terlatih?"

"In-kong, apa engkau tidak mendengar laporan tadi? Di utara sudah mulai geger, pemberontak mulai bergerak menduduki Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontak. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja? Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak dahulu nenek moyangku adalah kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa bangsa. Kakekku adalah bekas pengawal kaisar yang setia! Apakah aku

harus diam saja melihat negara dalam bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?"

Sepasang mata Topeng Setan berkilat-kilat tanda kagum mendengar ucapan dan melihat sikap ini. "Akan tetapi, engkau mempunyai urusan pribadi yang lebih penting lagi, bukan?"

Ceng Ceng mengepal tinjunya. "Tentu! Urusan pribadiku adalah urusan mati hidup, selama hidupku aku tidak akan pernah berhenti sebelum musuh besarku itu dapat kubunuh!" Kini sepasang mata Topeng Setan memandang dengan lesu, seolah-olah dia tidak setuju dengan sikap ini. "Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan negara, urusan pribadiku ini tidak ada artinya. Maka, aku harus memimpin semua patriot, biarpun mereka itu dari golongan sesat, untuk membantu pemerintah mengusir pemberontak dan di samping itu, tentu saja aku juga akan mencari musuh besarku di sana!"

Topeng Setan tidak banyak cakap lagi, lalu memanggil para anggauta Tiat-ciang-pang dan memerintahkan agar semua golongan sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil untuk diajak berangkat ke utara membantu pemerintah. Setelah semua orang golongan sesat berkumpul, yaitu mereka yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng Ceng lalu memerintahkan mereka dengan sedikit kata-kata saja. "Pada saat seperti ini, negara membutuhkan bantuan kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan hanya manusia-manusia tidak berguna saja, melainkan kalau keadaan menghendaki, kalian dapat menjadi patriot yang tidak segan mengorbankan nyawa demi negara. Negara terancam bahaya kaum pemberontak hina-dina, maka berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan diri dengan kesatuan yang anti pemberontak di sana. Contohlah perbuatan anggauta Tiat-ciang-pang yang telah mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka akan selalu dijunjung tinggi sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang dianggap rendah."

Ceng Ceng memang tidak mau membentuk suatu pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu caranya membentuk pasukan, juga hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan dapat dicurigai kalau mereka berangkat sebagai pasukan. Maka dia hanya menyuruh mereka masing-masing atau merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke utara dan di sana menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia sendiri lalu berangkat bersama Topeng Setan menuju ke utara.

Seperti telah dilakukannya semenjak dia tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di sepanjang perjalanan Topeng Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada Ceng Ceng, dan dilatih prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau melewatkan malam. Ceng Ceng kagum bukan main karena memang ilmu silat yang diajarkan oleh Topeng Setan kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang sukar baginya untuk menerima atau menguasainya karena memang dasar ilmu silatnya sendiri yang dia pelajari dari

kakeknya tidak dapat menandingi tingkat ilmu yang diajarkan oleh Topeng Setan. Namun, Si Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan kepadanya dan memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang cerdas itu dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng Ceng penasaran dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu sikapnya yang penuh rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya yang pendiam dan jarang sekali bicara kalau tidak ditanya.

Dia tidak memaksa atau membujuk orang itu membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah saling berjanji ketika Topeng Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja menyerahkan diri karena kini Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya, Topeng Setan itu akan dengan mudah mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan semudah itu. Ketika menjadi tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling berjanji, yaitu Ceng Ceng tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan rahasianya akan tetapi orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng dan akan mengajarkan ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi pembantunya, dan sudah mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji. Bagaimana dia dapat melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat ditutupi itu?

Betapapun juga, ketika mereka habis berlatih dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung dari teriknya matahari, Ceng Ceng tidak dapat menahan keinginan tahunya dan berkata, "In-kong, aku heran sekali mengapa orang sepandai engkau ini selalu menyembunyikan nama dan rupa, seolah-olah ada sesuatu yang kaurahasiakan sekali. Aku sudah berjanji tidak akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali tahu mengapa engkau melakukan rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian rupa? Agaknya engkau takut akan sesuatu atau seseorang?"

Topeng Setan yang duduk di depan Ceng Ceng, seperti tak disadari menggenggam sebuah batu dan batu itu remuk menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk. "Memang aku takut."

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Aku tidak percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, apalagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi! Siapa yang kautakuti itu?"

Sejenak Topeng Setan tidak mau menjawab, dan Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi tak lama kemudian laki-laki itu berkata, "Aku takut kepada diriku sendiri...."

"Ehhh....?" Ceng Ceng berseru keras, "Mengapa....?"

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Kemudian dia berkata, "Nona sudah banyak bertanya, bolehkah aku juga mengajukan sebuah pertanyaan?"

"Hemmm, boleh saja, akan tetapi belum tentu aku dapat menjawabnya pula."

"Nona mempunyai seorang musuh besar yang menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan mencarinya dan tak akan berhenti sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak tahu siapa namanya dan di mana dia berada, suatu hal yang amat sulit, dan menurut Nona, yang pernah melihat orangnya hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih mementingkan pemberontakan daripada mencari orang itu. Kalau aku boleh bertanya, mengapakah Nona begitu membenci musuh besar itu? Apa yang telah dilakukannya?"

Ceng Ceng menundukkan mukanya yang terasa panas. Dia menekan perasaannya, kemudian mengangkat muka memandang topeng di depannya itu, menghela napas dan menggeleng kepalanya. "Itu.... itu adalah rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada orang lain."

Sejenak sunyi di situ. Keduanya seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya Ceng Ceng yang berkata, "Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang dirimu, In-kong. Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai rahasianya sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain. Biarlah aku tinggal dalam rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu."

Topeng Setan mengangguk-angguk setuju. Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika Ceng Ceng perlahan-lahan mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan menundukkan muka, matanya terpejam dan kelihatannya berduka sekali! Melihat keadaan orang itu, timbul rasa iba di hatinya dan dia pun lupa akan kedukaannya sendiri. Tadi pun dia tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya melayang-layang dan mengingat-ingat akan semua pengalamannya, akan nasibnya yang buruk. Akan tetapi melihat temannya begitu berduka, biarpun tidak kentara akan tetapi melihat pundak yang turun itu, muka yang tunduk dan

mata yang terpejam dia dapat menduga bahwa Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu meloncat bangun dan berkata, "Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat kesukaran memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berlatih!"

Topeng Setan terkejut, mengangkat muka dan sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi bersinar dan dia pun meloncat bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah bertanding, berlatih dengan sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.

Beberapa hari kemudian, di waktu pagi mereka tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tidak jauh lagi letaknya dari Koan-bun dan Teng-bun. Dan dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang amat gaduh. Ketika mereka lari mendekat mereka melihat pertempuran yang dahsyat dan mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang amat kuat. Hampir rata-rata anggauta pasukan liar itu terdiri dari orang yang tinggi besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam pertandingan satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekalipun, pihak pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian kuatnya sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki dusun Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.

"Ahhh.... mereka itu seperti pasukan dari barat, pasukan Tambolon!" Ceng Ceng berseru. Dia pernah melihat pasukan liar ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika dia mengawal Puteri Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon. Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari cepat dan menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki dusun Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah tinggal seperempat

jumlahnya itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu gerbang didobrak bobol dari luar, dan membajirlah pasukan liar itu memasuki dusun Ang-kiok-teng.

Dugaan Ceng Ceng tadi memang tidak keliru. Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang memimpin sendiri pasukan itu menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah "diberikan" oleh Panglima Kim Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas dan dibolehkan untuk diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon beserta pasukannya boleh berbuat apa saja terhadap dusun itu dan seluruh penduduknya!

Panglima Thio Luk Cong yang menjadi komandan pasukan pemerintah di front terdepan itu, memang terkejut sekali ketika menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah mengerahkan kekuatan pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan liar itu hebat bukan main dan biarpun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak mampu bertahan dan terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun Ang-kiok-teng. Panglima Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar penduduk Ang-kiok-teng tidak menjadi panik melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu pasukan melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma saja karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar. Terjadilah perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu.

Selagi Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya dengan gemas melihat kekalahan anak buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang naik ke menara. Enam orang pengawal panglima itu cepat menerjang dengan pedang mereka, akan tetapi Ceng Ceng berseru, "Tahan! Kami bukan musuh, kami malah datang untuk melindungi komandan!"

Thio-ciangkun terkejut dan memandang penuh curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.

"Siapa kami bukan hal penting, Ciangkun. Kami adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya pemberontakan dan melihat musuh yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun yang terancam, kami datang hendak membantu dan melindungi."

Thio Luk Cong memandang penuh selidik, kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi...."

Pada saat itu, dari bawah menyambar dua batang anak panah yang menuju ke arah tubuh perwira itu. "Huhhh!" Si Topeng Setan mengeluarkan suara dari hidungnya dan ketika kedua tangannya bergerak, dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia melontarkan ke bawah, terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar terjengkang roboh. Kiranya pasukan liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk dan kini diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang menyerbu.

Di dalam dusun itu terjadilah peristiwa mengerikan, kekejaman perang yang semenjak ribuan tahun yang lalu terulang terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri manusia di mana terjadi kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan di waktu damai akan dapat dilakukan oleh manusia lain. Paaukan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah yang lari cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang seperti yang terjadi di mana-mana dan di jaman apa pun. Semua kaum pria, baik yang masih anak-anak sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan dilakukan dengan cara yang biadab pula. Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan pada saat seperti itu mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang menang seolah-olah perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah perkasa, tanda dari kekuasaan dan kemenangan. Kaum wanita mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi.

Mereka diseret, dikumpulkan di jalan raya, ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari anak-anak mereka, ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan ibunya. Suara jerit tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak tawa. Darah mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung tinggi ke angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya.

Pasukan yang merupakan gerombolan binatang buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh mengherankan dan mengagumkan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa, mereka membunuhi kaum pria, merampoki harta benda, dan menangkapi serta menelanjangi semua wanita, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mengambil harta untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang dipilihnya sendiri! Seperti biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para pembantunya menentukan pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru setelah ada komando dari raja mereka, gerombolan liar ini akan benar-benar berpesta pora untuk diri mereka sendiri!

Sisa pasukan pemerintah sebagian besar melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu samping dan belakang, cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula sebagian lagi yang lari ke menara dan di sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir! Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi serbuan para pasukan itu, biarpun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan yang lihai dan yang merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya habislah semua perajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa meloncat naik ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama lima orang pengawal pribadinya siap untuk membela diri.

"Jangan khawatir, Ciangkun. Aku masih mempunyai akal untuk menghajar mereka!" kata Ceng Ceng dengan gemas, apalagi dari tempat tinggi itu dia dapat melihat betapa penduduk dibunuhi dan wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di jalan seperti domba-domba yang hendak dijual ke pasar!

Sambil bersorak-sorak pasukan liar itu mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah bungkusan yang terisi bubuk hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya untuk bekal sebagai senjata yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak amat perlu. Akan tetapi melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama Topeng Setan tidak akan mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya, terpaksa dia akan mempergunakan bubuk racun yang dibawanya dari neraka di bawah tanah itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok Mo-li.

Setelah menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun dan para pengawalnya mundur ke dalam menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun itu di sekeliling menara. Racun yang merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa angin dan tidak tampak. Akan tetapi tak lama kemudian terjadilah geger di bawah menara! Mula-mula hanya beberapa orang saja yang berteriak-teriak sambil menggaruki leher, muka dan tangan, bagian tubuh yang tidak tertutup, akan tetapi makin digaruk, rasa gatal yang amat hebat, makin memasuki baju dan di lain saat mereka itu sudah bergulingan, merintih-rintih dan menggaruki seluruh tubuh mereka. Dan hal aneh ini disusul

oleh teman-teman yang lain, sehingga menjadi belasan orang, puluhan dan akhirnya tidak kurang dari seratus orang anggauta pasukan liar itu bergulingan, saling tindih, bahkan mulai saling pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal yang menyiksa tubuh mereka!

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan sisa pasukan liar cepat mundur menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng melihat munculnya dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan membawa pikulan, yang ke dua berpakaian pelajar. Mereka ini bukan lain adalah Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, keduanya adalah pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggauta pasukan mereka yang mendadak bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara, mereka cepat datang dan memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari menara. Kimonga, komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi terdapat seorang gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya seperti itulah.

"Hemm, dia menggunakan racun yang amat berbahaya!" kata Liauw Kui.

"Kalau tidak ditolong, anak buah kita itu bisa celaka!" kata pula Yu Ci Pok.

"Kita harus melaporkan kepada Sri Baginda!" Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau harus kehilangan seratus orang lebih, sungguh merupakan hal yang amat merugikan dan hebat.

"Benar, harus lapor," dua orang pengawal Raja Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka pergi untuk mencari Raja Tambolon yang sedang menikmati hasil kemenangan pasukannya itu.

"Kurung menara dari jauh, siapkan barisan anak panah!" Kimonga lalu mengatur pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat oleh ratusan orang perajurit yang siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan mereka yang menjadi korban racun itu masih bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah di bawah menara.

Raja Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus brewoknya di depan hampir dua ratus orang wanita itu. Dia tersenyum girang, akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja yang memiliki kepandaian tinggi ini bukanlah seorang yang haus wanita, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa dia tidak pernah menikmati wanita-wanita rampasan sebagai hasil menang perang. Akan tetapi wanita-wanita dusun itu baginya kurang menarik dan akhirnya hanya ada seorang gadis saja yang dipilihnya. Dia menunjuk dan gadis itu lalu didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira. Gadis itu dipisahkan dari yang lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu. Wanita-wanita bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak mata pria yang bersinar-sinar penuh nafsu berahi, yaitu mata dari para tentara pasukan liar itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggauta badan mereka dengan rambut dan tangan, akan tetapi hal ini justeru menambah gairah mereka yang memandangnya.

Setelah memilih seorang gadis saja, Tambolon lalu memilih di antara barang-barang rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata penduduk dusun itu tidak dapat dibilang kaya-raya. Pada saat itu, datanglah Liauw Kwi dan Yu Ci Pok, melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah menara.

"Keparat! Kiranya ada orang pandai di sini! Kenapa kalian tidak memberi hajaran kepada mereka?" bentak Tambolon marah sekali mendengar bahwa seratus lebih orang-orangnya sekarat di bawah menara.

"Kami menanti perintah Paduka, karena yang penting adalah bagaimana caranya menyelamatkan anak buah kita itu," Yu C i Pok menjawab.

Dengan langkah lebar Tambolon lalu diantar oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke menara. Dia melihat betapa menara itu telah dikurung ketat, dan melihat pula seorang gadis cantik dan seorang laki-laki bermuka seperti setan di atas menara, melindungi Thio-ciangkun yang berada di dalam menara.

"Gendewaku....!" Raja Tambolon berseru dan cepat seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang gendewa yang amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil sebatang anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang anak panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan yang berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.

"Reeeettt.... singgg....!" Bagaikan kilat saja anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon menganggap bahwa laki-la ki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya merupakan lawan berat.

Sinar kilat itu menyambar ke arah dada Topeng Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari suara dan kilatan anak panah itu bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya, tidak seperti anak panah lain, akan tetapi dengan tenang dia menggunakan tangannya yang dimiringkan menangkis dari samping.

"Plakk....! Sing....!" Anak panah itu tertangkis membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan mengerikan disusul robohnya seorang perajurit karena lehernya tertembus anak panah rajanya sendiri itu!

Wajah Tambolon menjadi merah, dan dia mengangguk-angguk. "Boleh juga," gerutunya, kemudian dia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling menara. Setelah itu, dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat sehingga suaranya bergema di seluruh tempat, dia berseru, "Haiii.... komandan pasukan kerajaan yang berada di menara!

Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini sudah kami kepung dan sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan pengikut-pengikutmu! Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan usul kepadamu! Obati perajurit-perajurit kami yang keracunan dan kami akan memberi kesempatan kepadamu untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami kehilangan seratus orang perajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan kalian di atas akan menjadi bangkai-bangkai hangus!"

Thio-ciangkun lalu berkata kepada Ceng Ceng, "Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat melarikan diri. Ji-wi (Anda Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos, saya adalah seorang komandan yang pasukannya telah hancur, seperti seorang nahkoda yang kapalnya sedang tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas terakhir."

"Tidak!" Ceng Ceng me mbantah. "Engkau masih dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tidak ada gunanya melawan seperti membunuh diri." Lalu dia melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada laki-laki yang tinggi besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa dialah rajanya atau pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan suara nyaring, "Heii, pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang meracuni pasukan itu adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah Thio-ciangkun dan pengawalnya ke luar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian aku akan menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!"

Tambolon terkejut dan merasa heran sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda cantik jelita itulah yang lihai. "Baik!" teriaknya, kemudian menoleh kepada anak buahnya berkata, "Buka jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia pergi!"

Para perajurit itu amat takut dan taat kepada raja mereka yang keras, maka cepat mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah memaksa dan membujuk Thio-ciangkun menuruni menara itu bersama lima orang pengawalnya yang berjalan mengelilingi komandan mereka di kanan kiri, depan dan belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan Topeng Setan mengiringkan di belakang dengan sikap tenang.

"Sediakan enam ekor kuda yang baik untuk mereka!" Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah dan penuh wibawa.

Raja Tambolon kembali terkejut, lalu dia tertawa bergelak, hatinya senang sekali! Raja ini adalah seorang kasar dan liar yang berilmu tinggi, dan tidak ada yang disenangi di dunia ini kecuali kegagahan dan keberanian. Kini melihat sikap Ceng Ceng, dia kagum bukan main dan hatinya senang sekali. Biasanya, dia menganggap wanita hanya sebagai mahluk lemah yang hanya memiliki kecantikan dan yang hanya untuk menyenangkan dan menghibur hati pria, mahluk lemah yang biasanya paling banyak hanya menangis! Akan tetapi kini melihat sikap Ceng Ceng, yang demikian tabah penuh keberanian dan kegagahan, dia terkejut, heran, kagum dan senang sekali.

"Sediakan enam ekor kuda, tolol kalian semua! Hayo cepat!" teriak Tambolon dengan keras lalu tertawa lagi bergelak.

Ceng Ceng memandang laki-laki tinggi besar brewok itu dengan kagum. Sudah lama dia mendengar nama besar Raja Tambolon, dan baru sekarang dia melihat orangnya. Seorang jantan aseli, seperti seekor binatang yang liar, akan tetapi dia tahu bahwa manusia ini berhati seperti binatang, penuh kekerasan dan kekejaman, seorang manusia yang dapat membunuhi manusia-manusia lain dengan kedua tangan tanpa berkedip sedikit pun.

Setelah Thio-ciangkun dan lima orang pengawalnya menunggang kuda dan meninggalkan dusun itu dengan cepat. Topeng Setan berkata kepada Ceng Ceng, "Nona, lekas berikan obat pemunah racun dan mari kita cepat pergi dari sini."

Ceng Ceng mengangguk, mengeluarkan bungkusan obat bubuk putih dan menyerahkannya kepada Tambolon sambil berkata, "Inilah obat penawarnya. Campur dengan air, suruh mereka minum seorang seperempat cawan kecil, tentu sembuh. Kalau tidak ditolong obat ini, mereka akan menggaruk terus sampai kulit dan daging mereka terkupas habis!"

Tambolon menerima bungkusan itu dan ketika Ceng Ceng dan Topeng Setan hendak pergi, Tambolon tertawa, "Tunggu dulu, tidak semudah itu! Ha-ha-ha!"

Ceng Ceng dan Topeng Setan memandang ke sekeliling dan ternyata mereka telah dikurung rapat oleh ratusan orang perajurit itu!

"Hemm, Tambolon, apa artinya ini?" Ceng Ceng membentak.

Raja Tambolon terkejut. "Eh, kau sudah tahu siapa aku, Nona? Bagus, engkau memang hebat, bukan seorang biasa. Ingat akan janjimu tadi, Nona. Kami telah membebaskan Thio-ciangkun, akan tetapi orang-orangku belum sembuh, belum kausembuhkan, mana mungkin kami membiarkan kalian lolos? Mari, kalian menjadi tamu-tamuku sambil menanti sembuhnya orang-orangku."

Ceng Ceng dan Topeng Setan terpaksa menerima undangan ini. Mereka kagum akan kecerdikan Tambolon, akan tetapi juga mereka menduga-duga apakah orang ini dapat dipercaya dan akan membebaskan mereka berdua setelah orang-orangnya sembuh kembali.

Ceng Ceng dan Topeng Setan dipersilakan naik ke menara dan tempat itu segera dibersihkan dan diaturlah meja besar di atas menara karena Raja Tambolon dan dua orang pengawalnya itu hendak menjamu dua orang ini dengan makan minum. Mengagumkan juga betapa di dalam dusun yang sudah rusak itu, anak buah Raja Tambolon dengan mudah dan cepat dapat mempersiapkan pesta yang cukup meriah, dengan masakan dan minuman pilihan!

Setelah makan minum dihidangkan memenuhi meja, Tambolon mengisi cawan arak dan mengangkat cawannya mengajak dua orang tamunya minum sambil berkata, "Mari kita minum untuk perkenalan yang amat menyenangkan ini!"

Mereka lalu minum arak dari cawan masing-masing, diikuti pula oleh dua orang pengawal Tambolon, yaitu Si Petani dan Si Pelajar.

"Kalian berdua yang lihai ini siapa kah dan dari mana?" Tambolon bertanya.

"Namaku Lu Ceng dan dia ini berjuluk Topeng Setan, menjadi pembantuku dan juga pengawalku," jawab Ceng Ceng singkat.

"Nona Lu ini adalah beng-cu dari kaum sesat di sekitar kota raja," Si Topeng Setan menambahkan.

"Ha-ha-ha, hebat, hebat sekali!" Tambolon tertawa bergelak. "Seorang wanita begini muda sudah memiliki kelihaian dan menjadi beng-cu! Ha-ha-ha, siapa yang mengira? Nona Lu Ceng, bagaimana engkau dapat mengenal namaku, padahal baru sekarang kita saling bertemu?"

"Hemm, aku sudah pernah merantau jauh ke barat dan di Bhutan aku mendengar tentang namamu dan pasukanmu, maka begitu melihat pasukanmu, aku dapat menduga bahwa tentu ini pasukan Raja Tambolon yang amat terkenal itu."

"Ha-ha-ha, kau memang cerdik! Kau pantas menerima arak penghormatan dari Raja Tambolon!" Dengan gaya dan geraknya yang kasar Raja Tambolon lalu mempersilakan tamu-tamunya makan. Tanpa sungkan lagi Ceng Ceng dan Topeng Setan makan ditemani oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya.

Tiba-tiba seorang perajurit datang menghadap Raja Tambolon. Dengan sikap amat hormat akan tetapi kasar perajurit itu berkata, "Lapor! Kawan-kawan tidak sabar lagi dengan para tawanan wanita. Mohon keputusan dan perintah Sri Baginda Raja!"

Tambolon minum arak dari cawannya dan tertawa, "Ha-ha-ha, wah, aku sampai lupa. Bagi rata dan bergilir seperti biasa! Awas jangan sampai berebut dan berkelahi, suruh masing-masing perwira mengadakan undian siapa yang lebih dulu mendapat giliran. Eh, bawa pilihanku ke sini untuk melayani makan minum!"

Perajurit itu memberi hormat dengan wajah berseri, kemudian berlari turun dari menara. Ceng Ceng dan Topeng Setan saling pandang, hanya setengah menduga apa yang akan terjadi dengan para tawanan wanita. Saking tidak tahannya, Ceng Ceng berkata, "Sri Baginda, apakah yang akan kaulakukan terhadap para tawanan wanita?"

"Ha-ha-ha, kalian ingin tahu? Mari kita lihat, dari atas sini tentu merupakan pandangan yang amat hebat, ha-ha-ha!"

Tambolon, Ceng Ceng, Topeng Setan dan dua orang pengawal Ta mbolon lalu bangkit dan berjalan ke pinggir loteng menara sehingga mereka dapat melihat apa yang terjadi di bawah sana. Jantung Ceng Ceng berdebar tegang, kedua telinganya menjadi panas ketika dia melihat apa yang terjadi di sana. Kurang lebih dua ratus orang wanita yang bertelanjang bulat berdiri dengan mata menunduk, ada yang merintih, ada yang menangis terisak-isak, ada orang berdiri ketakutan, dirubung oleh ratusan anak buah Tambolon yang memandang liar dan ada yang menjilat dan seperti sikap srigala kelaparan melihat domba muda. Tak lama kemudian, terdengar perwira-perwira bicara dan meledaklah sorak-sorai para anak buah Tambolon, kemudian terjadilah peristiwa yang membuat Ceng Ceng hampir saja meloncat ke bawah untuk mengamuk. Seperti srigala yang dilepaskan, para perajurit pasukan liar itu berlari-larian menyerbu wanita-wanita itu. Terdengar jerit-jerit mengerikan diseling suara tawa para perajurit liar dan terjadilah peristiwa yang sukar dapat dibayangkan oleh manusia waras. Pemerkosaan begitu saja di atas jalan-jalan, di tepi jalan, ada yang membawa wanita memasuki rumah, akan tetapi ada pula yang memperkosanya di tempat itu juga, tidak peduli akan semua orang di sekitarnya, bahkan ditonton, ditertawakan dan disoraki oleh teman-teman yang belum kebagian! Dua ratus orang wanita itu tentu saja segera habis dan banyak sekali perajurit yang terpaksa menanti giliran karena jumlah mereka lima kali lebih banyak dari jumlah wanita tawanan. Jerit melengking, rintihan dan keluhan, ratap tangis para wanita itu seolah-olah menusuki jantung Ceng Ceng dan terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu! Dia memejamkan matanya, lalu tiba-tiba membalik dan lari kembali ke dekat meja dengan muka merah seperti udang direbus, matanya mendelik memandang Tambolon yang juga sudah kembali ke kursinya.

"Terkutuk engkau!" Ceng Ceng memaki marah. "Mengapa kausuruh anak buahmu melakukan perbuatan terkutuk itu?"

Tadi Ceng Ceng merasa betapa lengannya disentuh oleh Topeng Setan yang dengan halus menggelengkan kepala, mencegah dia melakukan sesuatu. Kini Ceng Ceng maklum bahwa andaikata dia tadi tidak kuat menahan kemarahannya dan bertindak, tentu mereka berdua akan binasa menghadapi hampir seribu orang lawan itu!

Tambolon hanya tersenyum lebar mendengar makian Ceng Ceng. "Duduklah, Nona, dan kau juga, Topeng Setan. Minumlah arak ini untuk mendinginkan hatimu."

Ceng Ceng menyambar dan menenggak araknya, karena memang dia membutuhkan arak itu untuk menenangkan hatinya yang bergelora menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan itu.

"Nona, pasukanku telah melakukan perjalanan ribuan li jauhnya, perjalanan yang ditempuh dengan susah payah siang dan malam. Mereka telah menghadapi bahaya maut entah berapa ribu kali dan kadang-kadang sampai berbulan mereka tidak pernah melihat wajah seorang wanita. Mereka taat sekali kepadaku dan tanpa perkenanku, mereka tidak akan berani mengganggu seorang pun wanita. Akan tetapi, seperti juga makanan untuk perut mereka, mereka itu membutuhkan wanita dan kalau tidak sekali-kali memenuhi kebutuhan mereka itu, tentu mereka tidak akan taat lagi kepadaku. Wanita mana lagi yang dapat kuberikan kepada mereka kecuali wanita tawanan yang suaminya telah tewas dalam pertempuran?"

Sunyi menyambut kata-kata ini dan betapa pun kejinya, Ceng Ceng dapat mengerti apa yang dimaksudkan Tambolon, akan tetapi karena merasa ngeri membayangkan nasib ratusan orang wanita yang suaranya masih terus mengikuti pendengarannya itu Ceng Ceng memejamkan matanya.

"Berapa lama mereka dapat bertahan diterjang oleh demikian banyaknya anak buahmu?" Tiba-tiba Topeng Setan bertanya, suaranya halus dan datar seolah-olah tidak menyembunyikan perasaan apa-apa.

"Ha-ha-ha, orang-orangku yang kehausan itu mana tahu akan daya tahan mereka? Telah berbulan mereka kehausan, tentu tidak mengenal puas dan dengan jumlah mereka yang lima enam kali lebih banyak, tidak sampai sepekan pun wanita-wanita itu akan habis."

"Mati?"

"Ha-ha-ha, bagaimana lagi? Lebih baik begitu daripada satu mendapat satu, terus menjadi terikat dan akan ikut ke manapun kami pergi, menghalangi gerakan kami."

Topeng Setan menghela napas dan pada saat itu Ceng Ceng memandangnya. Mereka saling pandang dan Topeng Setan berkata, "Memang lebih baik begitu. Penderitaan mereka sebentar saja dan mereka akan segera mati menyusul suami atau keluarga mereka."

Ceng Ceng ingin menjerit. Wanita-wanita itu lebih beruntung kalau dibandingkan dengan dia! Mereka itu akan segera mati menyusul dan berkumpul dengan keluarga mereka yang tercinta. Akan tetapi dia? Dia menanggung aib dan malu, derita batin dan penasaran. Akan tetapi sampai sekarang pun orang yang didendamnya belum dapat dia temukan. Dan dia dijauhkan dari orang-orang yang dia cinta. Ayah bundanya sudah tiada, kakeknya pun tewas, sedangkan orang terakhir yang dicintanya, Syanti Dewi, pun entah berada di mana. Tambolon dan orang-orangnya ini adalah manusia-manusia kejam, demi kemenangan diri sendiri mereka ini bersedia melakukan kekejaman apapun juga. Akan tetapi mereka ini lihai, jumlah mereka banyak. Dia harus berhati-hati dan harus percaya kepada Si Topeng Setan yang dia percaya pun juga diam-diam mencari siasat agar mereka dapat terlepas dari Tambolon dan anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar isak wanita naik ke menara itu. "Ah, lepaskah aku.... lepaskan aku atau bunuh saja aku....!"

Seorang perajurit muncul mendorong seorang wanita. Ceng Ceng memandang dan melihat bahwa wanita itu adalah seorang gadis muda yang usianya tidak akan lebih dari enam belas tahun, wajahnya cukup cantik dan pakaiannya terlalu besar, seolah-olah bukan pakaiannya sendiri dan dikenakan di tubuhnya dengan tergesa-gesa. Perajurit itu mendorong gadis ini jatuh berlutut di depan Tambolon, lalu memberi hormat kepada rajanya dan pergi ke luar.

"Ha-ha-ha, inilah dia yang kupilih. Hei, perawan cilik, bangun dan berdirilah!"

Gadis itu mengangkat mukanya yang pucat, rambutnya yang terlepas sanggulnya terurai, sebagian menutupi mukanya, matanya liar ketakutan ketika memandang kepada Raja Tambolon. Dia mengeluh dan bangkit berdiri, kedua kakinya menggigil ketakutan.

"Nah, begitu baru baik. Ha-ha-ha, sekarang kautanggalkan pakaianmu! Hayo cepat!"

Gadis itu terbelalak, lalu menggeleng kepala keras-keras. Tambolon bangkit dari bangkunya dan Ceng Ceng sudah mengepal tinju. Kalau manusia ini menggunakan kekerasan di depanku, aku akan membunuhnya, demikian dia mengambil keputusan. Akan tetapi Tambolon yang menghampiri gadis itu, hanya memegang lengannya lalu menariknya ke pinggir loteng menara.

"Nah, kaulihat baik-baik! Di bawah itu, setiap orang wanita sedikitnya harus melayani enam orang perajuritku, terus-menerus sampai beberapa hari lamanya. Engkau bernasib baik karena telah kupilih dan hanya harus melayani aku seorang saja. Dan kau masih rewel? Nah, pilihlah. Engkau melayani aku dengan baik, mentaati segala perintahku, ataukah engkau memilih kulempar ke bawah sana dan menjadi perebutan banyak orang laki-laki?"

Wajah itu makin pucat, matanya terbelalak memandang ke bawah di mana masih terjadi pemerkosaan yang mengerikan, jelas tampak dari atas dan juga terdengar jelas rintih dan ratap tangis para wanita itu. "Kau memilih di sana?" Gadis itu menggeleng kepala keras-keras. "Ha-ha, jadi engkau memilih di sini dan mentaati segala perintahku?" Gadis itu mengangguk lemah, patah semua semangat perlawanannya.

Tambolon kembali duduk di atas kursinya dan memandang bangga kepada dua orang tamunya bahwa dia telah berhasil mematahkan semangat perlawanan gadis tawanan itu. "Hayo kaubuka semua pakaianmu, kau tidak pantas dengan pakaian yang terlalu besar itu!"

Gadis itu dengan muka menunduk, seperti dalam mimpi, gerakannya otomatis, mulai menanggalkan pakaiannya.

Ceng Ceng memandang dengan dada panas. Ternyata setelah pakaian luarnya ditanggalkan di sebelah bawah pakaian itu tidak ada apa-apa lagi yang menutupi tubuhnya! Agaknya gadis ini tadinya memang sudah sudah telanjang bulat seperti para wanita lain dan ketika dibawa menghadap baru diberi pakaian luar itu. Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang sama sekali, menunduk dan matanya setengah dipejamkan, rambutnya terurai ke depan dada dan punggung.

"Hayo sanggul rambutmu itu baik-baik!" kembali Tambolon memberi perintah dan gadis itu, masih merasa ngeri dan takut memikirkan keadaan para wanita lain di bawah sana, mentaati tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Untuk menyanggul rambutnya, terpaksa dia mengangkat kedua lengannya ke atas sehingga bentuk tubuhnya tampak senyata-nyatanya.

"Lihat, betapa indah tubuhnya, hemm.... bukan main indahnya!" Tambolon memuji.

"Tambolon!" Tiba-tiba Ceng Ceng berseru, tak mampu menahan kemarahannya karena melihat keadaan gadis telanjang itu, dia merasa seolah-olah dirinya sendiri yang dihina seperti itu. "Aku minta padamu agar gadis ini...."

"Tidak, aku yang ingin menantangmu untuk memperebutkan gadis ini, Raja Tambolon!" Tiba-tiba Topeng Setan memotong kata-kata Ceng Ceng dan ketika gadis ini memandang kaget, dia melihat mata yang besar sebelah itu berkedip kepadanya.

Raja Tambolon yang tadinya menikmati pemandangan indah di depannya seperti seorang mengagumi sehelai lukisan, terkejut dan menoleh kepada dua orang tamunya itu. "Eh, kalian mau apa?"

Topeng Setan kini bangkit berdiri, sikapnya berwibawa dan tubuhnya seperti lebih tinggi dari biasanya ketika dia mengangkat dada menghadap Raja Tambolon sambil berkata, suaranya tetap halus datar namun terdengar agak kaku, "Raja Tambolon, aku menantangmu untuk memperebutkan gadis ini. Kalau aku kalah, gadis ini menjadi milikmu dan terserah hendak kauapakan dia, akan tetapi kalau aku menang, dia harus diserahkan kepadaku."

"Ha-ha-ha-ha!" Tambolon menepuk-nepuk perutnya dan tertawa berkakakan, sungguh tidak pantas kalau orang sekasar ini menjadi raja, pikir Ceng Ceng. "Engkau baru melihat yang begini saja sudah timbul nafsu berahimu? Ha-ha-ha! Aku sendiri muak melihatnya. Setelah aku bertemu dengan seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa seperti Nona Lu, sikap gadis-gadis seperti itu yang lemah dan pucat benar-benar memuakkan hatiku. Dan engkau malah timbul gairah? Ha-ha, lucu sekali! Topeng Setan, engkau adalah tamuku, tamu terhormat. Kalau engkau menginginkan gadis itu, nah, kauambillah dia sekarang juga. Aku rela!"

Ceng Ceng merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Selama ini, dia menganggap Topeng Setan sebagai seorang laki-laki yang aneh dan penuh rahasia, akan tetapi yang jelas amat sayang kepadanya, selalu siap melindungi dan membelanya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa begitu. Topeng Setan ini pernah menolongnya, dan mungkinkah seperti halnya Tek Hoat, laki-laki bertopeng penuh rahasia ini hanya terikat oleh janji ketika tertawan dan berjanji hendak membantunya dan mengajarkan ilmu kepadanya? Berbeda dengan Tek Hoat yang mempunyai pandang mata penuh gairah, laki-laki bertopeng ini selalu kelihatan pendiam dan penuh rahasia, tidak pernah membayangkan gairah apa pun seperti mayat hidup, atau seperti arca bernyawa. Akan tetapi sekarang, mengapa secara tiba-tiba menghendaki gadis telanjang bulat yang memang amat menggiurkan dengan tubuhnya yang muda dan mulus itu? Apakah artinya kedipan mata tadi? Diam-diam dia merasa kecewa kalau sampai temannya ini menerima gadis itu sebagai hadiah dari Tambolon, dan dia yakin bahwa pandangannya terhadap Topeng Setan pasti akan berubah sama sekali kalau laki-laki bertopeng ini mau menerima gadis telanjang itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi makin terheran ketika Topeng Setan berkata, "Terima kasih, Sri Baginda. Akan tetapi gadis ini patut diperebutkan dan saya akan merasa terhina kalau hanya diberikan begitu saja, dia pun menjadi kurang berharga bagiku. Karena itu, saya menantang Paduka untuk memperebutkan gadis manis ini dengan saya."

"Ong-ya, kalau dia tidak mau, biarlah diberikan saja kepada saya. Pilihanku tidak semuda dan semanis dia!" Tiba-tiba Yu Ci

Pok, Si Siucai Maut, seorang di antara dua orang pengawal Tambolon yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara, sekarang berkata lantang dan matanya memandang ke arah Topeng Setan dengan penuh ejekan. "Pula, saya kira gadis itu akan lebih suka kepada saya daripada kepada dia!"

Tambolon tertawa. Memang dia sudah biasa dengan sikap para anak buahnya yang tidak banyak peraturan terhadap dia, bahkan kadang-kadang kasar. "Heh, anak manis, kaulihat kami bertiga ini. Kau memilih yang mana? Aku, Raja Tambolon yang gagah perkasa, ataukah pengawalku ini, Yu-siucai yang lebih muda dan tampan, ataukah Topeng Setan itu?"

Dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci salah masuk ke dalam guha penuh harimau, dan wajahnya pucat, gadis itu memandang mereka bertiga, dan dia menunduk tanpa berani menjawab. Mereka semua mengerikan baginya, terutama sekali wajah Raja Tambolon yang penuh brewok, tinggi besar dan kasar, juga wajah Topeng Setan yang amat buruk dengan tubuhnya yang tinggi pula. Betapapun juga, wajah siucai itu sama sekali tidak menghibur hatinya. Kalau ada jalan, agaknya baginya lebih baik mati daripada harus menyerahkan tubuhnya kepada seorang di antara mereka bertiga.

"Hei, kaulayani kami, hayo tuangkan arak sebelum aku mengambil keputusan tentang tantangan Si Topeng Setan, ha-ha-ha!" Raja Tambolon berkata dan gadis itu dengan tindakan lemas menghampiri meja. Tubuhnya menjadi lemas, akan tetapi hal ini agaknya membuat lengannya menjadi makin lemah gemulai menggairahkan. Kedua tangannya agak gemetar ketika dia menuangkan arak di cawan Raja Tambolon.

Ketika gadis itu menuangkan arak di dekat Raja Tambolon, orang kasar ini sambil tertawa menggunakan jari tangannya meraba dada gadis itu dan ketika menuangkan arak pada cawan Si Siucai, orang she Yu ini pun meraba pinggulnya. Hanya Si Petani dan Topeng Setan yang diam saja, dan Ceng Ceng yang melihat ini, sudah menjadi marah sekali hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi sekali lagi dia melihat Topeng Setan berkedip kepadanya, maka dia menahan kemarahannya.

Setelah mengajak tamunya minum arak, Tambolon lalu berkata, "Topeng Setan, sepatutnya tantanganmu itu cukup untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu! Akan tetapi melihat muka Nona Lu, biarlah kuanggap engkau sudah mabok, mabok arak dan mabok kecantikan gadis ini. Akan tetapi engkau hanya seorang pengawal dan aku pun sudah kehilangan gairahku terhadap gadis ini, maka biarlah Yu-siucai yang melayanimu. Siapa di antara kalian yang lebih unggul, nah, boleh memiliki gadis ini. Ha-ha-ha!"

Yu-siucai mengeluarkan suara tertawa mengejek lalu meloncat berdiri dan memandang kepada Topeng Setan sambil berkata, "Sobat baik, salahmu sendiri kau tergila-gila kepada gadis ini. Sri Baginda memberikan engkau kepadaku untuk menerima sedikit hajaran!"

Topeng Setan juga bangkit berdiri, menarik napas panjang dan berkata, "Sayang Sri Baginda tidak menerima tantanganku. Memperebutkannya dengan engkau kurang menarik. Akan tetapi kau majulah dan biar aku menerima sedikit hajaranmu itu!"

Yu-siucai adalah seorang di antara dua pengawal jagoan dari Tambolon yang sudah terkenal kelihaiannya. Biarpun dia tidak selihai Si Petani yang sikapnya pendiam itu, namun Tambolon sendiri sudah mengujinya dan jarang ada orang mampu menandingi kepandaian Yu-siucai ini. Dia adalah seorang pelarian dari perguruan tinggi Hoa-san-pai karena menyeleweng dan setelah dia menggembleng dirinya di Pegunungan Himalaya selama sepuluh tahun, ilmu kepandaiannya meningkat hebat dan akhirnya dia bertemu

dengan Tambolon dan menjadi pengawal raja orang-orang liar itu. Karena di waktu mudanya dia pernah mempelajari ilmu, membaca dan menulis, maka dia menganggap dirinya sendiri sebagai seorang sastrawan. Dan memanglah kalau dibandingkan dengan pasukan Tambolon yang hampir semua buta huruf itu, bahkan kalau dibandingkan dengan Tambolon sendiri, Yu Ci Pok boleh dibilang merupakan orang yang amat pandai dalam ilmu sastra sehingga dari pakaiannya ini dia terkenal sebagai Si Siucai Maut!

Karena merasa bahwa di dalam pemerintahan Raja Tambolon dia adalah seorang yang nomor tiga, maka muncullah sifat-sifat sombong di dalam hati siucai yang usianya empat puluh tahun lebih ini, menganggap bahwa tidak ada orang lain kecuali Raja Tambolon dan Si Petani yang akan mampu menandinginya! Sudah menjadi wataknya dia memandang rendah kepada orang lain, dan biarpun dia tahu bahwa Topeng Setan ini pun bukan orang biasa, namun tetap saja dia memandang ringan dan kini sambil bertolak pinggang dia menghadapi Topeng Setan sambil berkata, "Topeng Setan, aku yakin bahwa pibu (adu ilmu silat) antara kita ini tidak akan lebih dari sepuluh jurus!"

"Hemmm, agaknya begitulah," jawab Topeng Setan.

Tiba-tiba Yu-siucai membentak keras dan tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang dengan serangan kilat dan dalam jurus pertama ini kedua tangannya sudah mengirim dua kali pukulan dan kedua kakinya menendang dua kali, semua dilakukan susul-menyusul cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat!

"Wut-wutt.... plak! Plak!"

Dengan amat mudahnya Topeng Setan mengelak dari tendangan dan menangkis dua kali pukulan itu dengan tangannya. Dalam melakukan ini, tubuhnya sama sekali tidak berpindah tempat, hanya bergerak mengelak dan menangkis tanpa meloncat kelain tempat, bahkan juga tidak merobah kuda-kudanya yang dilakukan dengan kedua kaki terpentang lebar.

Hal ini membuat Yu-siucai terkejut sekali, juga Tambolon dan Si Petani sekali pandang saja maklum bahwa Topeng Setan benar-benar tak boleh dibuat permainan. "Yu-siucai, hati-hatilah terhadap dia!" Tiba-tiba Si Petani berkata dan ucapannya ini saja sudah membuktikan bahwa dia bermata awas.

Ceng Ceng yang tadinya khawatir juga menyaksikan kehebatan serangan Yu-siucai yang demikian ganas, menjadi lega ketika melihat betapa Topeng Setan menghadapinya dengan begitu tenang dan yakin akan kemenangannya, maka dia mulai mengalihkan perhatiannya, melirik kepada gadis telanjang itu yang kini mundur-mundur ke pinggir loteng dengan mata terbelalak penuh rasa khawatir. Tambolon dan Si Petani mencurahkan perhatiannya kepada pertandingan itu dengan hati tegang, karena tentu saja mereka berdua ini ingin mengukur sampai di mana kepandaian Topeng Setan itu.

Yu-siucai sendiri juga maklum akan kelihaian lawan. Tangkisan dua kali tadi saja sudah membuat kedua tengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang lawan ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya, padahal dia tidak tahu apakah lawan ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Kalau belum, sukar dibayangkan betapa kuatnya lawan dan mengingat ini, Yu-siucai cepat menerjang lagi dengan kecepatan kilat dan mengirim pukulan-pukulan yang lebih dahsyat daripada tadi untuk mendahului lawan karena dia masih merasa yakin akan keunggulan permainan silatnya, sungguhpun jelas bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat.

Topeng Setan bersikap tenang sekali dan dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan elakan cepat dan dibantu oleh tangkisan-tangkisan kedua tangannya yang digoreskan secara mantap dan kuat. Bahkan dia membiarkan Yu-siucai melancarkan serangan terus-menerus sampai sembilan jurus lamanya, selalu dielakkan dan ditangkisnya, kemudian pada jurus ke sepuluh, dia tidak hanya menangkis melainkan membalas dengan dorongan tangannya. Tenaga sin-kang yang amat dahsyat menyambar, membuat Yu-siucai terdorong ke belakang dan pada saat tubuhnya condong ke belakang ini, kakinya kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon!

Menyaksikan hasil ini, Ceng Ceng menjadi gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan jenaka, sifat yang telah lama hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa malapetaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya, dia bertepuk tangan dan berkata memuji, "Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan sekali! Sepantasnya kedudukan pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan Yu-siucai tepat sekali, pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus seperti yang diramalkannya!"

Mendengar kata-kata yang jelas merupakan ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggangnya dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu senjata sepasang alat tulis yang terkenal lihai karena sepasang senjata ini merupakan alat-alat menotok jalan darah yang berbahaya.

"Aku tadi telah bersikap kurang hati-hati," katanya. "Akan tetapi aku belum kalah, Topeng Setan!"

Dengan sikap mengancam dia melangkah satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampaklah sepasang sinar kilat menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit itu mulai menyerang.

"Hemmm....!" Topeng Setan terpaksa mengelak ke kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian cepat dan hebatnya serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan Yu-siucai dan tidak percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun sesuai dengan julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil alat tulis dari baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!

"In-kong, sambut ini!" Tiba-tiba Ceng Ceng berseru dan dia telah melontarkan sepasang sumpitnya yang tadi dipakai makan, kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat dari gading dan dapat dipakai sebagai sepasang senjata yang lumayan daripada bertangan kosong menghadapi sepadang poan-koan-pit yang lihai itu.

"Terima kasih!" Topeng Setan berkata sambil menyambar sepasang sumpit yang melayang ke arahnya itu. Sebetulnya, biarpun menghadapi sepasang senjata di tangan Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng Setan sama sekali tidak merasa jerih karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal ini dan telah membantunya.

"Ha-ha, bagus! Dengan begitu kita sama-sama bersenjata!" Yu-siucai tertawa girang karena tadi dia merasa malu juga harus menyerang lawan dengan senjata, sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini, melihat betapa lawannya telah memegang sumpit, dia menjadi girang. Apa artinya sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pitnya? Sekali gempur saja tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah! Memang dengan poan-koan-pitnya ini Yu-siucai telah mengalahkan banyak lawan secara mengagumkan. Ketika dia akan diterima menjadi pengawal pribadi Tambolon, dia diharuskan memperlihatkan kelihaian poan-koan-pitnya, melawan pengeroyokan selosin orang Mongol yang bersenjata golok besar dan tidak sampai lima puluh jurus saja semua orang Mongol itu telah roboh tertotok oleh sepasang poan-koan-pitnya!

Kini, menghadapi Topeng Setan yang memegang sepasang sumpit dengan tangan kanannya, seperti orang yang hendak makan, diam-diam dia mentertawakannya, lalu poan-koan-pitnya bergerak cepat sekali, yang kiri menotok ke arah pundak kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan membayangi gerakan senjata yang kiri ini, siap untuk mengirim totokan susulan yang mematikan!

Topeng Setan tentu saja dapat melihat gerakan ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti, menggunakan sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima poan-koan-pit kiri lawan yang menotok pundak kanannya.

"Cappp!" Hebat memang gerakannya karena sepasang sumpitnya itu berhasil "menangkap" poan-koan-pit kiri lawan itu seperti kalau menyumpit sepotong daging saja!

Menyaksikan kecepatan dan gerakan yang tepat ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apalagi ketika dia mengerahkan tenaga untuk menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh kenyataan betapa senjatanya itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit gading dan tidak dapat dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia girang karena kebodohan lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan kanannya meluncur dan menotok jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.

"Cusss....!" Tepat sekali poan-koan-pit itu mengenai bagian yang harus ditotoknya, mengenai sasaran di bawah ketiak, akan tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung poan-koan-pitnya itu yang mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu menancap dan seperti "dihisap", juga tidak dapat dicabutnya kembali! Kini Yu-siucai mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali sepasang poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit oleh sepasang sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.

"Pletak....!" tiba-tiba terdengar suara keras dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu patah menjadi dua.

Yu-siucai kaget bukan main, melepaskan poan-koan-pit yang sudah patah itu, lalu menggunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanan berusaha mencabut poan-koan-pit yang terjepit di ketiak. Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan meluap, dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit yang hanya tinggal sebatang itu. Topeng Setan berkata, "Hemm, masih belum puas?" Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk ke arah lehernya itu lewat dan secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok lutut kanan kiri lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!

"Hi-hik, kalah adalah soal biasa, tidak perlu berlutut, Yu-siucai!" Ceng Ceng berkata sambil tertawa.

"Maafkan saya," Topeng Setan berkata sambil melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di mana sumpit itu menancap di depan Ceng Ceng dengan rapi.

"Keparat, engkau Tambolon manusia curang!" Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dari pinggangnya. Akan tetapi segera dia dikepung oleh Lauw Kui yang bersenjata batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok yang kini hanya bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira, termasuk Kimonga komandang pasukan liar itu.

"Ha-ha-ha, Nona Lu! Tambolon adalah orang yang perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapapun juga, termasuk engkau! Engkau dan temanmu itu harus membantuku, mau atau tidak."

"Tambolon manusia keparat!" Ceng Ceng memutar pedang Ban-tok-kiam di tangannya dan semua pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat nona itu terguling! Pedang yang menyeramkan itu terlepas dari pegangannya! Mereka bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun menjadi korban racun bius di dalam arak merah, maka mereka cepat menubruk dan sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng sudah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu dan gadis ini hanya memaki-maki dan berteriak-teriak. Dua orang perwira sudah roboh berkelojotan karena sambaran rambut dan ludahnya yang disertai tenaga beracun! Akhirnya dua orang pengawal Tambolon itu yang menanganinya sendiri, menotoknya sehingga dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang dengan mata melotot!

"Ha-ha-ha, engkau baru tahu kelihaian Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar Topeng Setan itu ke dalam kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai terlepas. Akan tetapi perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!"

Ceng Ceng mendongkol bukan main, dan juga terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak mengamuk mati-matian mempertahankan diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba kedua kakinya ditotok orang sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya lagi, bahkan ketika dia roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari tangannya karena sikunya ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat dengannya kecuali Si Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai! Apakah pembantunya itu yang

menotoknya? Ah, agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon sedemikian lihainya sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mujijat? Akhirnya dia berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia dibawa orang ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat bergerak dan banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti apa yang akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal, sambil diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.

******

Tek Hoat terpaksa mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang tergesa-gesa menyelamatkan dirinya ke dalam kota Teng-bun yang dijadikan pusat dan markas besar pemberontak karena dia merasa tidak aman berada di luar benteng ini melihat betapa banyaknya terdapat mata-mata pemerintah. Dia khawatir kalau-kalau sampai dia tertangkap basah sebagai puncak pimpinan pemberontak mewakili kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong yang masih berada di kota raja mendekati Kaisar.

Tek Hoat diam-diam merasa mendongkol bukan main. Dia merasa heran mengapa segala hal yang dipegangnya selalu mengalami kegagalan! Mengapa di dalam waktu singkat ini dia telah bertemu dengan begitu banyak orang pandai yang agaknya pada saat itu semua berkumpul di utara, di tempat yang sedang geger ini.

Yang membuat dia merasa mendongkol sekali adalah karena dia kembali telah kehilangan jejak Puteri Syanti Dewi! Sambil mengawal Pangeran Liong memasuki benteng Teng-bun, dia mengenangkan puteri yang cantik dan halus lembut itu, dan ia teringat betapa halus sikap puteri itu terhadap dirinya ketika dia dahulu sengaja menghadang perjalanan rombongan puteri ini di dekat sungai, betapa halus puteri itu minta kepadanya agar dia pergi karena Sang Puteri hendak turun mandi di sungai! Teringat pula olehnya betapa Syanti Dewi juga bersikap halus sekali, jauh bedanya dengan sikap kasar Lu Ceng ketika dia menyamar sebagai tukang perahu dan "menolong" mereka dengan perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia terpaksa berpisah dan kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam bungkusannya lenyap di dasar sungai karena dibuang oleh gadis galak itu.

Di kota Koan-bun, secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula bahkan melihat puteri itu di dusun Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia ingin merampas puteri itu di waktu itu juga. Akan tetapi sungguh tidak beruntung baginya, puteri itu disertai tiga orang yang demikian lihainya. Dua orang pemuda itu saja sudah amat lihai, dan dia ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah menolong Jenderal Kao, dengan sendirinya mereka tentulah orang-orang pemerintah, mungkin mata-mata yang memiliki kepandaian lihai. Juga orang tua itu, sungguh amat lihai dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali apalagi orang setengah tua itu disebut paman oleh mereka. Di kota Koan-bun dia telah diam-diam membayangi mereka, akan tetapi kedatangan pasukan liar dari Tambolon mengakibatkan geger, ditambah lagi dengan gerakan orang-orang pemerintah dan pendudukan kota Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin, membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi di antara orang banyak. Dia sudah mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di seluruh kota Koan-bun, namun hasilnya sia-sia. Gadis bangsawan itu seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat termenung dengan hati kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya, sungguhpun kini gerakan pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa cita-citanya makin mendekati kenyataan. Dia sendiri merasa heran mengapa setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi, dia menjadi kehilangan gairahnya terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak mempedulikan lagi tentang usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.

"Semua gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu," pikirnya gemas. Kalau tidak ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan dengan Syanti Dewi. Akan tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia sudah bertemu dengan Lu Ceng yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal biarpun gadis itu memiliki ilmu tentang racun yang amat lihai, dia toh akan dapat mengalahkan gadis itu dengan mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia tidak tega untuk memusuhinya!

Kini dia mengalihkan kemendongkolan hatinya pada dua orang pemuda tampan yang menemani puteri itu, dan kepada orang setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah yang menjadi penghalang sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi. Tadinya dia hampir berhasil menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan tiba-tiba dari Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya, bahkan seorang di antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi, ini pun akhirnya gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri sedangkan pemuda yang ke dua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang amat hebat ilmunya itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak berhasil baik!

Setelah Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung yang disediakan untuknya, Tek Hoat diperbolehkan mengaso dan pemuda ini memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memejamkan mata, mengenangkan semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan ibunya. Betapa lama sudah dia meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho. Teringat akan ibunya, timbul rasa rindu di dalam hatinya. Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap ibu kandungnya, juga perasaan iba yang besar. Teringat dia ketika beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti kedatangannya.

"Kau anak tidak berbakti!" Dia memaki dirinya sendiri.

"Sebetulnya engkau sudah harus pulang."

"Tidak!" Bentaknya sambil membuka kembali matanya.

"Kalau aku pulang dalam keadaan begini saja, tentu hati ibu akan kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang kalau cita-citaku sudah berhasil, menjadi raja atau pangeran atau setidaknya seorang pembesar yang berkedudukan tinggi dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang menjemput ibuku dengan segala hormat...." Dia lalu memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia menjemput ibunya dengan kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah, kemudian mengajak ibunya memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa ibunya akan girang dan bangga!

Dan dari dalam istana itu menyambut keluar mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa ibunya akan makin bangga dan dia.... ahhh! Tek Hoat bangkit dan duduk, bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan puteri itu pun berada di mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas seperti ini?

Tek Hoat cepat meloncat, berganti pakaian lalu berlari keluar setelah memberitahukan pengawal dalam bahwa kalau Pangeran Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar dikatakan bahwa dia pergi berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu memasuki kota Tek-bun yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw Sin dengan tangan besi memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang dijadikan benteng pemberontak itu.

Penjagaan di seluruh kota amat ketat dan pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat sukarlah bagi mata-mata pemerintah untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini tanpa diketahui. Tek Hoat yang sudah banyak dikenal oleh para perwira yang memimpin penjagaan dan perondaan kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang memiliki kepandaian amat tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat oleh mereka dan dibalasnya dengan anggukan kepala tak acuh karena hatinya sedang kesal. Dia tidak ingin mencari Syanti Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki tangannya yang sudah diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba timbul pikiran yang aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada di Teng-bun! Betapapun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi siapa tahu! Dia teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang tinggi sekali ilmunya, siapa tahu dia yang membawa puteri itu menyelundup ke pusat pemberontak ini! Mulailah dia memasang mata memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Karena dia kini mulai memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia dapat melihat munculnya sesosok bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja hari itu. Sosok bayangan tubuh seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa, yang telah membantunya menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang lihai. Nenek yang mengaku berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam! Mau apa nenek aneh itu berkeliaran di Teng-bun? Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpinan pemberontak lainnya. Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun? Memang tidak begitu mengherankan andaikata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat karena memang nenek ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi, apakah kehendaknya memasuki benteng ini?

Dengan beberapa langkah saja Tek Hoat dapat mengejarnya. "Perlahan dulu, Hek-wan Kui-bo!"

Nenek itu terkejut bukan main, tubuhnya membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah menyambar ke arah jalan darah di dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut yang amat berbahaya.

"Siuuutttt.... plakk!" Tek Hoat terpaksa menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali.

"Ihhh.... wah, kiranya engkau, orang muda yang tampan dan gagah perkasa? Hi-hik, hampir saja engkau mampus di ujung tongkatku!"

Merah muka Tek Hoat mendengar ini dan ia tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tidak pernah membantunya, tentu sudah diserangnya nenek ini yang begitu memandang rendah kepadanya. "Hemm, kurasa tidaklah begitu mudah, Kui-bo!"

Nenek itu tertawa. Makin menjijikkan mukanya ketika dia tertawa. Muka yang kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk karena kini mulutnya terbuka dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar dan bergantung saling berjauhan, sehingga kelihatan seperti mulut binatang yang bertaring.

"Aku tahu.... aku tahu, engkau adalah Si Jari Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran Liong, bukan? Masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan."

Tek Hoat merasa tidak suka kepada nenek ini. Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali kepalsuan yang mengerikan. "Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedatanganmu menyelundup ke Teng-bun ini?"

"Hi-hik, engkau mencurigai aku? Aku sudah membantu menghadapi dua orang mata-mata pemerintah yang masih muda-muda dan juga lihai itu."

"Dalam kedaan seperti sekarang ini, siapapun harus dicurigai, dan kami semua tidak tahu apa maksud kedatangan seorang tokoh seperti engkau, Kui-bo."

"Hi-hi-hik, apa sih yang diinginkan seorang nenek seperti aku? Laki-laki muda dan tampan? Wah, aku sudah muak dan tidak ada lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan? Untuk apa? Memakai segala yang indah pun aku tidak akan dapat menjadi cantik, makan yang bagaimana mahal dan lezat pun, gigiku yang tidak lengkap akan mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar, wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan dan penghormatan! Eh, orang muda, aku ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong!"

"Mau apa?"

"Aku ingin membantu pemberontakannya dengan janji bahwa aku kelak akan mendapatkan balas jasa yang berupa pangkat dan kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo yang selalu dipandang rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai seorang paduka yang mulia, ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai (nisan) yang paling mewah dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!"

Tek Hoat muak mendengar ini, akan tetapi dia pun tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat diperlukan di waktu itu. "Hek-wan Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan kedua orang pangeran itu. Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu, dia harus memperlihatkan kecakapannya lebih dulu, harus membuat jasa lebih dulu. Apakah jasamu terhadap pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang Pangeran Liong?"

"Hi-hi-hi-hik, jadi di sini ada pula peraturan sogokan? Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Aku sudah siap dengan barang sogokan yang tentu akan menggirangkan hati Pangeran Liong Khi Ong!"

Tek Hoat mengerutkan alisnya. "Sogokan? Apa maksudmu?"

"Aih-aihh.... kura-kura dalam perahu, ya? Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang tidak mengenal sogokan? Aku mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pangeran tua itu, seperti hampir semua laki-laki di dunia ini, mahluk menyebalkan, gila akan wajah cantik dan tubuh mulus seorang perawan remaja! Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran Liong Khi Ong adalah persembahanku berupa seorang dara remaja yang cantik jelita!"

Tek Hoat menjadi makin sebal. "Hemm, Hek-wan Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah membantuku, aku tidak menaruh curiga kepadamu. Akan tetapi jangan engkau bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak perlu kututupi bahwa Pangeran Liong Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun dan memang beliau seorang laki-laki tua yang suka kepada wanita muda, akan tetapi jangan harap kalau engkau dapat bertemu dengan dia hanya karena engkau dapat mempersembahkan seorang gadis muda. Beliau sudah tidak

kekurangan penghibur berupa banyak dara-dara jelita!"

"Eh-eh, jangan engkau memandang rendah, ya? Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini, bahkan di seluruh daratan, belum tentu dapat menyamai gadis yang akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang kunci ini! Tidak ada keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang cantik. Aku adalah seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan wanita daripada kalian kaum pria! Aku tahu mana kecantikan aseli, mana pulasan! Aku sendiri dahulu di waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang saja, dibandingkan dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!"

"Sudahlah, Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran untuk membawamu menghadap Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis itu tidak perlu kausebut-sebut lagi...."

"Urusan kecil! Mulut besar! Kaubilang urusan kecil, ya? Kau tahu, aku berani tanggung bahwa dia itu adalah keturunan raja, dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi, dan bukan berdarah pribumi! Kalau Pangeran Liong melihatnya...."

Tiba-tiba perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi yang dimaksudkan oleh nenek ini?

"Dari mana engkau memperoleh dia itu?" tanyanya dengan suara datar sambil menekan guncangan hatinya.

"Heh-heh, jangan kau memandang rendah, ya? Susah payah aku membawanya dari himpitan orang-orang yang panik ketika terjadi geger di Koan-bun, susah payah aku membujuknya dan susah payah pula aku menyelundupkannya ke Teng-bun untuk kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong agar aku diterima membantunya, eh.... kau mengatakannya urusan kecil! Apa kau berarti menantangku, orang muda?" Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, sikapnya menantang dan marah sekali.

Jantung Tek Hoat terguncang makin keras. Kalau saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu akan tampak perubahan pada wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang dimaksudkan nenek iblis ini adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di seluruh pelosok kota Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke dalam tangan nenek ini dan diselundupkan ke Teng-bun!

"Hemmm, baiklah.... baiklah....! Aku percaya kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu orangnya untuk kunilai apakah dia patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa saat ini dia dikelilingi banyak gadis cantik, maka kalau persembahanmu itu tidak istimewa sekali, tentu beliau akan marah terganggu."

"Boleh-boleh, kau boleh melihatnya sendiri!" nenek itu berkata penuh keyakinan dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek ini berjalan menyusuri jalan raya itu. Kini nenek itu berjalan dengan terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan para penjaga yang semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya.

Tek Hoat heran bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah gedung yang.... berdekatan dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh Pangeran Liong Khi Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik seorang hartawan di kota Teng-bun.

"Eh, bagaimana kau dapat tinggal di sini, Kui-bo? Apakah engkau masih ada hubungan dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)?"

Nenek itu terkekeh. "Tentu saja ada hubungannya, masuklah!"

Mereka memasuki lewat pintu samping yang kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena tidak ada penjaga seorang pun di situ, juga tidak nampak seorang pun pelayan. Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek Hoat memasuki ruangan besar di tengah gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika melihat semua keluarga Coa termasuk semua pelayannya duduk berjajar-jajar di atas lantai ruangan itu, semuanya terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau bersuara karena mereka telah tertotok gagu semua!

"He-he-he, aku terpaksa meminjam tempat mereka selama menanti diterimanya oleh Pangeran. Kelak belum terlambat bagiku untuk minta maaf kepada mereka ini yang telah berjasa kepadaku, hi-hi-hik!"

"Bebaskan mereka!" Tek Hoat berkata, menahan kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah sahabat baik Panglima Kim Bouw Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha pemberontakan itu.

"Heh-heh, bagaimana kalau mereka melarang kami...."

"Bebaskan, kalau engkau memang mempunyai maksud baik dengan kami semua, Kui-bo!"

"Hi-hi-hik, kau berwibawa juga, orang muda! Ha-ha, bebas, bebaslah....!"

Nenek itu berloncatan di antara orang-orang itu dan tongkatnya bergerak. Demikian cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan belenggu-belenggu itu beterbangan, semua orang itu terbebas dari belenggu dan dapat bergerak kembali. Diam-diam Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus mengakui bahwa nenek ini benar-beinar lihai, di samping wataknya yang ku-koai (aneh).

"Mari, mari kaulihat bidadariku...."

Tek Hoat menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, "Harap Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut karena aku sendiri yang akan mengurus dan membereskannya."

Coa-wangwe yang sudah mengenal Tek Hoat, mengangguk, dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur sendiri dari Coa-wangwe. Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang terukir indah sekali, dengan kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias sulaman. Meja kecil di depan pembaringan itu juga terukir, dan sebuah lampu penerangan tergantung dari gantungan yang berupa burung emas!

"Lihat.... heh-heh-heh, lihat baik-baik.... pernahkah engkau melihat puteri secantik dia?" Nenek itu menuding ke arah pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam keadaan tidur pulas.

Tek Hoat berdiri tegang, jantungnya berdebar penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis itu tidur dengan bibir agak tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi pembaringan, tangan kiri di atas perut, pakaiannya sederhana saja akan tetapi kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri Bhutan itu bahkan membuat kecantikannya makin menonjol.

Memang siapa lagi puteri itu kalau bukan Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, puteri ini terpisah dari Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger di kota Koan-bun. Dia ikut terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit itu. Di dalam segala hal, manusia selalu berebutan, selalu memikirkan kepentingan diri pribadi. Di waktu tidak ada bahaya mengancam diri, manusia berlumba dan saling memperebutkan harta benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang di jalan akan diterjang. Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam, mereka juga berebutan, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing tanpa menghiraukan orang lain, siapa yang menghalang di depan akan diterjangnya,

bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menggunakan mayat orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan diri sendiri!

Syanti Dewi yang tadinya masih mempunyai harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang temannya itu atau setidaknya oleh seorang di antara mereka, menjadi panik juga ketika makin lama makin jauh terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng atau dua orang saudara Suma. Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu penuh orang karena pasukan itu telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di tembok rumah agar tidak terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.

"Nona yang cantik, engkau mencari siapakah?" Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan ketika dia menoleh, dia terkejut melihat seorang nenek yang mukanya buruk sekali, kasar, hitam, rambutnya riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular. Akan tetapi karena betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti Dewi menjawab, "Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari teman-temanku, Nek. Aku khawatir sekali, bagaimana dapat menemukan mereka kembali dalam arus manusia sebanyak itu?"

"Aduh kasihan.... Nona tentu bukan orang sini...."

"Bagaimana engkau bisa menduga begitu, Nek?"

"Hi-hik, aku hanya menduga-duga.... jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan teman-temanmu itu. Mari, pegang tongkatku."

Karena sedang panik, tentu saja uluran tangan siapa pun untuk membantunya mencari tiga orang temannya itu merupakan hal yang amat menggembirakan. "Terima kasih, nenek yang baik," katanya dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan memegang tongkatnya, melainkan memegang tangan kirinya.

Baru dia terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat sekali, menyelinap dan menyusup di antara orang banyak sambil menariknya, dan dengan sedikit terdorong tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang yang menghalangi jalannya terdorong tumpang tindih sehingga terkuak jalan untuk mereka!

"Aihh, kiranya engkau lihai sekali, Nek!" Syanti Dewi berkata.

"Hi-hi-hik, kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai, siapa lagi yang lihai di dunia ini?"

Semenjak keluar dari istana Bhutan, Syanti Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang luar biasa dan dia bahkan terseret-seret ke dalam dunia persilatan di mana dia bertemu dengan banyaK tokoh persilatan yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka begitu melihat nenek yang lihai ini dan mendengar julukannya yang menyeramkan, yaitu Biang Setan Lutung Hitam, mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan seorang tokoh hitam yang menyeramkan! Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang Syanti Dewi tidak memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari tiga orang temannya itu. Kalau saja dia dapat

melihat seorang di antara mereka! Dia tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan tetapi dia tidak melihat seorang pun di antara mereka, dan nenek itu sudah menariknya lagi.

"Nanti dulu, Kui-bo. Kita berhenti dan cari mereka di sini!" Syanti Dewi berkata, menyebut "Kui-bo" seolah-olah tanpa mengerti artinya.

"Heh-heh, hayo ikut dengan aku. Seorang dara jelita seperti engkau ini amat berbahaya kalau berkeliaran seorang diri di tempat ini dalam keadaan seperti sekarang ini. Apa kau lebih suka dilarikan serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka?"

Tentu saja Syanti Dewi terkejut mendengar ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak dan menggeleng kepalanya. "Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku, kucarikan tempat yang baik untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada di dalam kamar seorang raja atau pangeran!" Dia menarik terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas dan dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek itu keluar dari kota Koan-bun melalui tembok pagar yang tinggi!

Setelah nenek itu turun ke luar tembok dan lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak mampu bergerak itu berkata, "Kui-bo, lepaskan aku!"

Mereka telah berada jauh dari kota dan di tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo membebaskan totokannya dan menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik, menghadapi nenek itu tanpa sikap takut sama sekali, kemarahan berpancar dari sepasang matanya yang indah dan dia menegur, "Hek-wan Kui-bo, katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak membantuku mencari teman-temanku ataukah mempunyai niat lain yang tidak baik?"

Nenek itu tersenyum dan memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depannya. Kecantikannya yang tidak dapat disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya yang agung dari cara dara itu menggerakkan kepala dan cara dia memandang, dari gerak bibir dari dagunya, semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.

"Nona yang baik, engkau puteri dari manakah?"

Syanti Dewi terkejut, akan tetapi dengan sikap biasa dia berkata, "Aku seorang gadis biasa yang terpisah dari keluargaku dalam keributan dikota itu."

"He-heh-heh, engkau tidak bisa membohongi Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri bangsawan tinggi, dari suku bangsa lain di luar daerah."

"Sudahlah, Kui-bo. Aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau mempunyai keperluan lain, biarlah aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari keluargaku yang terpisah dariku.

Syanti Dewi menjura lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan hitam berkelebat dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil menyeringai telah berdiri di depannya!

"Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah kukatakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran! Haya!" Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.

"Dukkkk!" Pukulannya mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti terbang cepatnya itu.

Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.

Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman karena Coa-wangwe adalah seorang yang kaya-raya dan pandai mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak. Dia bersahabat baik dengan panglima pemberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat.

Akan tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan mereka. Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas. Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain, pendeknya Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tidak mampu bergerak juga tidak mampu bersuara. Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka. Lima orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok mereka, akan tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya, tiga batang golok patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya!

Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya, "Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu?"

Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan, mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!

"Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagaimana, heh-heh!" Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.

Sepasang mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata, "Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kaulakukan."

"Eh....? Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa?"

Syanti Dewi menggeleng kepalanya. "Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau engkau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau membunuhku."

Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa bergelak. "Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan hidupmu. Kautunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!"

Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan "dijual" oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!

"Aku akan menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah apa yang kaukehendaki." Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya. Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah maju. Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai saputangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi. Dara ini menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah pembaringan, kemudian tersaruk-saruk dia melangkah keluar untuk mencari dan menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu.

Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!

"Syanti Dewi....!" tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.

"Aih, kiranya dia puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu....! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini....!"

Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi kini sudah berada di tangannya, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain? Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!

"Haiiittt....!" Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.

"Hayaaaa....!" Nenek buruk itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang manusia, apalagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya. Maka, betapapun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.

"Wuuuttt.... krekkkk!" Ujung tongkat nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat! Tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda itu untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai. Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dadanya sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya. Melihat pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari karena ketakutan sungguhpun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh

mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya. Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam keadaan bagaimanapun juga. Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!

Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah berada di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi. Jantungnya berdebar keras melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja! Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingga tertidur dalam keadaan setengah pingsan.

Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan.... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra. Tiba-tiba dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu

pangeran itu akan mengerahkan segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengan dia itu, apalagi kalau pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi! Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.

Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya, apalagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya. Kini sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek buruk seperti setan. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat pembaringannya, dia berteriak dan

bangkit duduk lalu meloncat turun dan tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang, kemudian ketika tangan itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias permata, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.

"Mundur kau.... sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!" Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk mundur.

Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan menggerakkan kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Haiii.... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu....!"

"Simpan bujukanmu yang palsu!" Syanti Dewi menghardik.

"Kau kira aku takut? Nenek setan itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!"

"Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu."

"Laki-laki bohong! Kaukira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku? Pergi dari sini!" Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.

"Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!" Tek Hoat memutar tubuhnya. Syanti Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang dipegangnya.

"Takkk.... singgg.... ceppp!" Pisau yang kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum mengejek dan melangkah maju.

Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali. "Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kaukira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!"

Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik.

"Engkau gadis keras kepala!" gerutunya.

"Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!" Syanti Dewi membalas.

"Sekali lagi aku katakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan...."

Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!

"Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan?"

Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan suara berat, "Benar, Pangeran."

"Heh-heh-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk Paduka!" nenek itu terkekeh. Tek Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.

"Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo," Pangeran Liong Khi Ong berkata sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.

"Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan."

Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek. Pandang matanya jelas membayangkan nafsu berahi yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu! Dia bergidik, akan tetapi mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biarpun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul bahwa seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.

"Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!" Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan alisnya dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.

"Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini." Pangeran itu mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.

"Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya," Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.

"Eh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana!" Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.

"Hamba.... hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena.... karena beliau tadi hendak menyerang hamba," kata Tek Hoat.

"Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!"

"Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!" Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu. Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang dan nenek itu memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.

"Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi."

"Hamba bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak."

"Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia," Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya, "Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguhpun amat indahnya!"

"Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling baik." Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng jendela itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya.

Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah. Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya. Dahulu dia tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya. Akan tetapi sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong. Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari kurungan baru ini.

Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata, "Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka? Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! Heh-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba."

Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi. "Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!" Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.

******

Ceng Ceng mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, namun sebelum dia berhasil, dia telah dibelenggu dengan erat sehingga tidak mampu bergerak lagi. Juga Topeng Setan yang agaknya masih di bawah pengaruh obat bius itu telah dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu diangkat dan didudukkan di atas kursi.

Tambolon tertawa bergelak dan minum arak untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang telah merobohkan gadis lihai dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti sampai dua orang yang sudah terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng Setan sadar karena gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang terkandung di dalam arak yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat jalan tadi.

Topeng Setan siuman kembali dan mengeluh, menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai menunduk.

"Ha-ha-ha-ha!" Tambolon tertawa nyaring, "Betapapun lihai kalian berdua, mana mampu menandingi kecerdikan kami!"

"Tak tahu malu!" Ceng Ceng memaki sambil memandang dengan mata berapi. "Katakan saja kecurangan, siapa bilang kecerdikan?"

Tambolon menghirup araknya lalu melempar cawan arak ke atas meja sambil berkata, "Ha-ha-ha, Nona manis, engkau seperti seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di padang rumput! Ketahuilah, setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan kecerdikan bagi yang menang akan tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah! Kalau hendak membunuhmu, apa sukarnya? Akan tetapi aku sayang sekali, sayang akan kecantikanmu, keliaranmu, dan kepandaianmu, ha-haha. Kuda betina liar seperti engkau ini amat menarik, harus kujinakkan sendiri!" Raja Tambolon yang sudah setengah mabok itu mengusap mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada dua orang pengawal yang berjaga di situ, "Bawa kuda betina ini ke kamarku!"

Dua orang pengawal itu memberi hormat, lalu menghampiri Ceng Ceng yang sudah terbelenggu kaki tangannya seperti seekor lembu hendak disembelih itu. Mereka mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng Ceng dari kanan kiri. Pada saat itu, Ceng Ceng mengerahkan tenaga sin-kangnya karena totokan di tubuhnya tadi sudah buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa beracun, mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Ban-tok Moli.

"Cuhh! Cuhh!" Dua kali dia meludah ke kanan kiri, tepat mengenai muka kedua orang pengawal yang sedang mengangkatnya itu. Mereka menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas lantai sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena sudah beracun tadi!

Raja Tambolon kaget, memerintahkan pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua orang yang terkena sudah beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang panjang sambil memandang kepada Ceng Ceng dengan mata marah, "Iblis betina! Kiranya engkau benar-benar iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau adalah ular beracun, siluman ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami semua!"

"Huh, mau bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang takut mati? Seribu kali lebih baik mati dengan gagah daripada hidup menjadi pengecut curang macam kamu, raja liar!" Ceng Ceng memaki-maki.

Tiba-tiba Topeng Setan berkata, "Sri Baginda, tahan dulu! Kita merupakan dua kekuatan yang kalau bersatu padu akan mendatangkan keuntungan besar. Mengapa menjadi bentrok sendiri? Membunuh kami berdua pun tidak ada gunanya karena Sri Baginda bersama seluruh pasukan telah masuk perangkap dan hanya kami berdualah yang akan dapat menolong."

Ceng Ceng merasa heran sekali mendengar ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga amat cerdas dan dapat menduga bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga penolong dan sahabatnya, boleh dibilang gurunya pula, mempunyai suatu akal yang belum dapat dia menduganya.

"Eh, Topeng Setan!" bentaknya. "Perlu apa bicara dengan raja biadab ini? Biar saja dia dan pasukannya tertumpas habis, hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh kita!"

Raja Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya yang memegang pedang ragu-ragu.

"Sri Baginda, jangan mendengar gertakan mereka!" Yu Ci Pok Si Siucai berkata.

"Bunuh saja, Sri Baginda. Wanita ini terlalu berbahaya dengan kelihaian racunnya!" Liauw Kui juga berkata.

Tiba-tiba Topeng Setan tertawa bergelak. "Sayang sekali! Sri Baginda Tambolon yang benar-benar gagah perkasa itu mempunyai pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku ini seorang beng-cu, mana mungkin hanya menggertak sambal belaka? Kalau kita berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan diri?" Sambil berkata demikian, Topeng Setan menggerakkan kaki tangannya. Terdengar suara keras dan semua belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas! Dengan cepat dia lalu menghampiri Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki tangan dara itu.

"Aihh, kenapa engkau tergesa-gesa?" Ceng Ceng berkata, seolah-olah menegur Topeng Setan. "Apa kaukira aku sendiri tidak bisa membebaskan diri? Tadinya aku masih ingin melihat apakah raja liar ini akan dapat membunuh kita."

"Maaf, Beng-cu. Kiranya Sri Baginda Tambolon sudah dapat mendengar kata-kata kita yang bermaksud baik."

Tambolon dan dua orang pembantunya kaget setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang ini benar-benar lihai bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja. Jelas bahwa gadis itu tidak terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu pun agaknya hanya pura-pura pingsan saja!

"Kepung....!" Tambolon berteriak karena khawatir kalau-kalau dua orang ini akan mengamuk dan lolos.

"Sri Baginda, apakah masih tidak percaya kepada kami?" Topeng Setan berkata. "Pasukanmu sengaja disuruh menduduki dusun yang tidak ada artinya ini, karena pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar yang harus dibasmi, akan tetapi lebih dulu akan dipergunakan menentang pemerintah."

"Bohong! Sudah lama aku berhubungan dengan Pangeran Liong!" Tambolon berteriak.

"Paduka sungguh tidak dapat berpikir panjang. Pangeran Liong adalah dua orang saudara pemberontak, mana mungkin mempunyai hati setia? Seorang pemberontak adalah orang yang tidak setia kepada rajanya. Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak dapat setia, apalagi terhadap Paduka yang dianggap raja bangsa liar? Selama mereka membutuhkan, tentu saja mereka bersikap baik kepada paduka, akan tetapi mereka akan menghancurkan pasukan Paduka begitu mereka tidak memerlukannya lagi."

Ceng Ceng terheran-heran mendengar semua kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya, pembantunya yang tak pernah dia lihat mukanya ini jarang bicara, dan amat pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali bicara, dan mengerti tentang seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan agaknya.

"Hemmm.... hemmm.... orang bertopeng! Siapakah engkau? Mari duduk dan bicara, apa yang menjadi kehendakmu." Raja Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya, sehingga semua anggauta pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia sendiri dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar masih ada pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat lolos. Akan tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi.

Setelah mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai mengerti bahwa temannya itu tentu hendak menggunakan suatu taktik yang amat lihai, berkata mengejek, "Sri Baginda, apakah masih ada arakmu yang mengandung racun lebih hebat daripada tadi?"

Raja Tambolon tertawa, "Ha-ha-ha, engkau memang hebat, Nona, baik sebagai kawan maupun sebagai lawan engkau amat mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi seorang dewi beracun seperti engkau? Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari kamar!"

Pelayan berlari-lari dan tak lama kemudian mereka berlima kembali duduk seperti tadi, mengelilingi meja sambil minum arak wangi.

"Nah, sekarang perkenalkan dirimu dan ceritakan maksud hatimu," kata Tambolon.

"Semua orang mengenal saja sebagai Topeng Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng beng-cu dari kalangan liok-lim yang terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam pemilihan. Kami tahu betul bahwa pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan Paduka untuk memperkuat diri. Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah, maka kami lebih senang berkawan daripada berlawan. Dengan berkawan kita dapat bersama-sama menghadapi Kim Bouw Sin dan pasukan pemberontaknya."

"Huh! Topeng Setan, jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima Kim Bouw Sin berhati bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan mengharap kami akan membantu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah mata-mata Pemerintah Ceng!"

"Raja Tambolon, jangan engkau bicara sembarangan saja!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Aku adalah seorang bengcu, mana sudi merendahkan diri menjadi mata-mata?"

Lalu dia menoleh kepada Topeng Setan sambil berkata, "Apa kubilang tadi! Percuma saja bicara dengan orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga dan waktu saja. Biarkan saja mereka ini hancur lebur!"

Raja Tambolon menepuk meja. "Baiklah, aku mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau menduga bahwa kami ditipu oleh pasukan pemberontak?"

"Bukan menduga saja, Sri Baginda. Beng-cu telah menyebar banyak penyelidik dan dari para penyelidik itulah kami mengetahui akan hal itu."

"Nanti dulu, Topeng Setan. Kalau kalian bukan mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi membela Panglima Thio yang mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini?" Si Siucai yang cerdik bertanya dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.

"Phuihhh!" Ceng Ceng bangkit berdiri dan menggebrak meja sehingga mangkok piring berloncatan di atas meja. "Masih tidak percaya? Apakah hal begitu saja kalian tidak dapat menduga? Kalau kami tidak membantu mereka, tentu mereka itu tentu akan tahu bahwa kami berada di pihak musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka! Dan kalau memang kami membantu musuh apa kaukira aku sudi memberi obat penyembuh seratus orang-orangmu? Pendeknya, pilih satu antara dua. Percaya dan menjadi sahabat kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!"

Tambolon mengangkat tangannya. "Sabarlah, Nona.... eh, Beng-cu. Kalian muncul dengan tiba-tiba membuat kami bingung, apalagi mendengar akan berita yang aneh dan mengejutkan itu."

"Sri Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong berniat baik, mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke Koan-bun saja? Mengapa diberi dusun kecil tidak ada artinya ini? Padahal pemusatan kekuatan pasukan mereka berada di Teng-bun! Dusun ini miskin dan tidak mempunyai benteng yang ketat, sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta benda dan benteng yang kuat. Bahkan semua perbekalan untuk pasukan pemberontak dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan diserbu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri? Maka usul kami, mari kita bersatu, anak buah kami akan kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan kita serbu Koan-bun. Kalau pasukan Paduka sudah bekedudukan di benteng itu, kita tidak takut terhadap serbuan siapa pun."

"Bagus!" Tambolon berteriak girang. "Sungguh pikiran yang bagus! Andaikata tidak benar Pangeran Liong memusuhi dan menipu kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa pasukanku tidak suka di dusun ini, maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus! Kita bergerak malam nanti!"

"Nanti dulu, Sri Baginda....!" Liauw Kui Si Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya, "Topeng Setan, usulmu memang baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian mengusulkan kerja sama menyerbu Koan-bun ini? Kalau kalian tidak berpihak kepada Pemerintah Ceng, mengapa kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima Kim?"

Diam-diam Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji kecerdikan dua orang pembantu dari Raja Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu Topeng Hitam dengan jawaban yang lantang, "Kami tidak membantu siapa-siapa dan memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi kepentingan kami sendiri, demi kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat menjadi beng-cu tidak percuma, aku hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak sia-sia memilih aku sebagai beng-cu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para pemberontak hendak menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat betapa pasukan pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang amat banyak di Koan-bun dan Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa kami sia-siakan? Selagi para pemberontak saling gempur, kita turun tangan mencari keuntungan di sini, bukankah itu baik sekali?"

Topeng Setan berkata dengan nada mencela, "Beng-cu, urusan pribadi kita mengapa harus diberitahukan orang lain?"

"Biarlah. Mereka telah menjadi sahabat kita, bukan?" Ceng Ceng menjawab.

Raja Tambolon tertawa girang. "Baik, kita bekerja sama. Di mana anak buah kalian?"

"Mereka tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan setiap saat dapat bergerak, tinggal menanti perintah dari Beng-cu," kata Topeng Setan.

"Kalau begitu, pergilah seorang di antara kalian untuk menggerakkan mereka. Malam nanti kita mengadakan persiapan dan besok malam kita menyerbu Koan-bun," Raja Tambolon berkata.

"Topeng Setan, kita pergi!" Ceng Ceng bangkit berdiri.

"Nanti dulu!" Raja Tambolon juga berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas. "Maaf, bukan karena kurang percaya, melainkan kami harus berhati-hati. Kami hanya mau bekerja sama dan mau percaya kalau seorang di antara kalian yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang ke dua tinggal di sini bersama kami!"

"Kau tetap tidak percaya?" Ceng Ceng membentak marah.

"Harap Lu-bengcu suka beristirahat saja di sini, biarlah saya yang menghubungi teman-teman kita. Malam nanti atau selambat-lambatnya besok pagi saya tentu sudah kembali."

Ceng Ceng mengangguk. Dia tahu bahwa sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang jelas, siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara Tambolon dan pasukan pemberontak, suatu siasat yang baik sekali untuk membantu pemerintah secara tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan pemberontak! Dia makin kagum kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga berjiwa patriotik, menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan, kemudian menjalankan siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang merupakan bahaya bagi pemerintah.

Setelah Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu beristirahat di dalam sebuah kamar yang disediakan untuknya, hatinya girang bahwa dengan bantuan Topeng Setan dia akan dapat melakukan sesuatu untuk negara. Akan tetapi kalau dia teringat akan nasibnya, semua rasa girang itu lenyap. Setelah selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk mencari Si Jahanam itu, demikian pikirnya ketika dia teringat akan musuh besarnya, pemuda laknat itu. Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan!

******

"Gak-suheng, kita harus mencari Lee-ko!" Kian Bu berkata setelah dia berhasil diselamatkan oleh Gak Bun Beng dari pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.

"Dan kita harus juga mencari Dewi," Gak Bun Beng berkata pula.

Mereka berdua lalu berusaha mencari dua orang itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah ditawan oleh Hek-wan Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan Kian Lee dirawat oleh anak perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah rumah.

Pada waktu itu, kota Koan-bun geger karena pihak pemberontak mengadakan operasi pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap kali bertemu dengan pasukan pemberontak yang melakukan penggeledahan di sana-sini, mereka segera bersembunyi.

"Ah, aku khawatir sekali bahwa mereka keduanya telah tertawan pihak pemberontak," akhirnya Gak Bun Beng berkata dengan suara penuh kekhawatiran. Tentu saja dia memikirkan Syanti Dewi. Kalau sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi Ong, tentu sukar untuk ditolong lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu lengah sehingga dapat terpisah dari gadis yang seharusnya berada di dalam perlindungannya itu.

Tiba-tiba mereka melihat dari tempat persembunyian mereka sebuah kereta yang tertutup dan dikawal oleh pasukan pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak mengawal seorang pemuda. Bun Beng dan Kian Bu segera mengenal pemuda lihai yang mereka lawan tadi.

"Ah, yang di dalam kereta itu jangan-jangan orang yang kita cari...." Gak Bun Beng berkata.

"Kita serbu saja....?" Kian Bu berbisik.

Bun Beng yang lebih berhati-hati itu menggeleng kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka berdua menggunakan kekerasan di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti mencari mati karena tentu mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan orang pasukan pemberontak, belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi kaki tangan pemberontak.

"Tunggu sebentar di sini, aku ada akal!" kata Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap dari situ, membuat Kian Bu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menjadi kagum. Dan tak lama kemudian, Bun Beng sudah datang lagi membawa seorang perajurit pemberontak yang tadi menyendiri dan berhasil ditangkap dan ditotoknya, lalu dibawanya ke belakang rumah kosong di mana mereka bersembunyi itu.

"Hayo katakan siapa yang berada di dalam kereta yang lewat tadi! Kalau membohong, terpaksa kubunuh engkau!" Bun Beng menghardik dan memijat suatu urat di punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sehingga orang itu berkata sambil menyeringai.

"Ampun.... di dalam kereta adalah Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin....!"

Bun Beng dan Kian Bu terkejut mendengar ini.

"Mereka ke mana?"

"Ke.... ke Teng-bun....!"

Bun Beng mendorong orang itu ke samping dan terdengar suara berdesing disusul jerit tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat orang itu telah tewas disambar batu kepalanya.

"Mengapa kau melakukan itu?" tanyanya dengan alis berkerut kepada Kian Bu.

Kian Bu menarik napas panjang. "Suheng, dalam keadaan sekacau ini terpaksa kita harus bertindak keras. Kalau tidak kubunuh dia, tentu dalam waktu sebentar saja mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk mencari dan mengejar-ngejar kita. Pula, keterangan itu amat penting. Setelah Pangeran Liong Khi Ong sendiri berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama panglima pemberontak itu, sudah pasti mereka akan melakukan gerakan."

Gak Bun Beng mengangguk. "Memang, dan hal itu amat penting sekali untuk segera dilaporkan kepada.... Puteri Milana dan Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat menemukan kakakmu dan Syanti Dewi...."

"Habis, bagaimana baiknya, Gak-suheng? Kedua urusan itu penting!"

"Sebaiknya engkaulah yang pergi melapor tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada kakakmu Puteri Milana dan Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan Kian Lee di tempat berbahaya ini."

"Ke mana aku harus mencari mereka?"

"Kubantu engkau keluar dari pintu gerbang selatan, dan dari situ engkau langsung ke selatan di mana terdapat sebuah bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik bukit terdapat hutan lebat. Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya."

Setelah menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu lalu mencari jalan di antara rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan. Hari telah mulai gelap sekali, awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin menyembunyikan diri agar jangan menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam perang.

Penjagaan di sepanjang pagar tembok ketat sekali. Kota Koan-bun ini merupakan benteng pertahanan pertama dari barisan pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah memerintahkan agar dilakukan operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat dan telah mengerahkan sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga Koan-bun itu. Terutama sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru, ada kurang lebih seratus orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang.

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang peronda di bawah pagar tembok sambil menuding ke depan. Tampak ada bayangan berkelebat di sebelah barat. Teriakan ini disusul oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga dan nampak anak panah berserabutan meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan cepat menghilang. Selagi para penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan di bagian itu, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.

"Tuh dia....!"

"Tangkap mata-mata!"

"Serang anak panah!"

Kembali orang-orang yang menjaga di bagian itu berlarian ke arah tempat itu dan anak-anak panah beterbangan. Namun hanya sebentar saja bayangan itu memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi dan tak lama kemudian dia muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di tempat terang di bawah lentera yang tergantung di pagar tembok. Tentu saja para penjaga, baik yang di bawah maupun di atas benteng, segera berdatangan ke tempat orang itu dan lebih dulu mereka menghujankan anak panah. Akan tetapi orang itu hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua anak panah runtuh ke sekeliling tubuhnya, menancap di atas tanah di sekitarnya!

Kini puluhan orang pasukan pemberontak menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan mereka. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua serangan dengan amat mudahnya. Kemudian tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu sibuk mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ sehingga para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat cepat itu, sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan dikerahkan untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini. Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng. Pada saat semua penjaga tertarik perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali, meloncat ke pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok itu, merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga yang lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan dengan mudahnya keluar dari kota Koan-bun.

Teriakan dua orang penjaga pintu gerbang yang dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian meninggalkan pengacau ini karena terlalu banyak orang mengeroyok pun tidak ada artinya, bahkan gerakan mereka menjadi kaku dan kacau. Sebagian dari mereka berlari-larian ke pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak dapat melihat siapa yang telah merobohkan dua orang penjaga itu, sedangkan Bun Beng yang melihat Kian Bu telah berhasil keluar dari kota, lalu menghilang pula di dalam kegelapan malam!

Kian Bu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sekali ke selatan. Untung bahwa mendung tebal telah pergi terbawa angin ke utara, sehingga kini tampaklah sinar bulan sepotong yang dibantu oleh beberapa buah bintang menerangi jalan kecil itu. Bukit di depan nampak seperti seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu mempercepat larinya menuju ke bukit itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa jauh dari Koan-bun dan segera dia dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju ke hutan yang hanya

tampak dari atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan.

Akan tetapi baru saja dia tiba di luar hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan hampir saja dia jatuh menelungkup ketika kakinya terjerat tali yang ditarik orang kanan kiri dan bermunculanlah orang-orang dari depan kanan kiri dan mengepungnya!

"Tahan....!" Kian Bu berseru karena dapat menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju dan mereka ini tentulah penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai barisan pendam di hutan itu. "Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Aku bukan musuh!"

Orang-orang yang sudah mengepung ketat itu datang makin rapat, menodongkan senjata mereka ke arah pemuda itu. Seorang di antara mereka menghardik, "Ikut dengan kami menghadap!"

Kian Bu bersikap sabar dan dengan todongan senjata di sekelilingnya, dia digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa orang perajurit mendekatkan lentera sehingga mereka dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi tidak ada seorang pun mengenalnya, maka tentu saja pengepungan menjadi makin ketat. Diam-diam Kian Bu memuji mereka ini sebagai perajurit-perajurit yang baik, karena kalau perajurit-perajurit seperti ini yang menjaga pagar tembok kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat keluar demikian mudahnya.

Masuknya seorang mata-mata di tempat pemusatan pasukan rahasia itu tentu saja merupakan hal yang amat penting. Kalau pihak pemberontak mengetahui akan pemusatan pasukan pemerintah di tempat itu, tentu semua rencana akan menjadi gagal. Maka begitu mendengar bahwa ada mata-mata memasuki hutan dan telah ditangkap, Jenderal Kao sendiri besama Puteri Milana keluar untuk melihat tawanan mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka mata-mata itu adalah Kian Bu, tentu saja mereka menjadi

girang sekali.

"Lepaskan dia, orang sendiri!" Jenderal Kao membentak. Para penjaga itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak lancang tangan menyerang pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan Jenderal Kao dan Puteri Milana, bahkan puteri itu sudah memegang lengannya dengan senyum manis. Mereka lalu memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin mereka mengucapkan pernyataan maaf.

Kian Bu tertawa. "Kalian adalah penjaga-penjaga yang amat baik." Maka kembalilah pasukan penjaga itu ke tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena mereka tidak dimarahi, bahkan dipuji.

Sementara itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke dalam pondok darurat oleh Milana dan Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menceritakan semua keadaan di kota Koan-bun dengan jelas. Juga diceritakannya betapa munculnya pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri menggegerkan kota Koan-tiun sehingga dia bersama Kian Lee terpisah dari Bun Beng dan Syanti Dewi. Ke mudian betapa Kian Lee terluka oleh senjata peledak yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian betapa dia pun terpisah dari Kian Lee sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.

"Gak-suheng cepat menyuruh saya datang melapor ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran Liong Khi Ong ternyata tadinya juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim Bouw Sin telah berada di Teng-bun."

Milana mengerutkan alisnya. Dia khawatir sekali mendengar bahwa adik tirinya, Suma Kian Lee, terluka dan lenyap, juga bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang menghadapi tugas pemerintah yang lebih penting lagi, maka dia tidak menyinggung urusan yang amat dikhawatirkannya itu dan dia berkata kepada Jenderal Kao, "Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan tanda bahwa mereka sudah siap untuk menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang Pangeran Tua itu memecah diri, yang seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan penyerbuan dari luar, sedangkan yang seorang lagi tentu melakukan gerakan dari dalam."

Jenderal Kao mengangguk-angguk dan mengusap-usap jenggotnya. "Jalan satu-satunya hanyalah menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di selatan tentu akan menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi, saya tahu betapa kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya kekuatan mereka cukup besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu Teng-bun merupakan pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak perajurit."

"Bagaimana kalau kita menyerbu Koan-bun?" Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih dipengaruhi kekhawatirannya tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.

"Merebut Koan-bun jauh lebih mudah, akan tetapi tidak begitu besar manfaatnya, bahkan sisa pasukan mereka tentu akan lari ke Teng-bun, membuat benteng itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan untuk memecah kekuatan mereka menjadi dua...."

Jenderal Kao tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar teriakan penjaga minta diperkenankan masuk. Setelah perkenan diberikan, dua orang perajurit masuk dan memberi tahu bahwa lagi-lagi ada seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan sudah digiring ke situ.

"Hemm, sungguh aneh.... tempat kita amat rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita berada di sini?" kata jenderal itu.

"Bawa dia ke sini!"

Dua orang perajurit memberi hormat, keluar dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga menggiring seorang pemuda tinggi besar memasuki pondok itu.

"Kok Cu....!" Jenderal Kao melompat bangun saking kaget dan girangnya melihat puteranya itu! "Lihat baik-baik!" katanya kepada para penjaga. "Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku sendiri. Hayo kalian semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!"

Kok Cu sudah melangkah maju dan berlutut di depan Jenderal Kao. "Ayah....!"

Jenderal Kao mengangkat bangun puteranya dan memandang dengan mata berseri. "Aih, ke mana saja engkau, Anakku? Cepat kau beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah Puteri Milana."

"Kiranya inilah puteramu yang dikabarkan kembali setelah lenyap bertahun-tahun, Jenderal? Sungguh gagah dia!" Milana berkata memuji ketika Kok Cu memberi hormat kepadanya.

"Apa kabar, Saudara Kok Cu yang gagah!" Kian Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda Pulau Es yang pernah dijumpai sebentar di rumah ayahnya di kota raja.

"Ayah, maaf, agaknya tidak ada waktu untuk bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti ini. Anak datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah untuk membasmi pemberontak."

Jenderal Kao membelalakkan matanya, lalu menghela napas dengan perasaan gembira dan lega yang amat besar. Kiranya puteranya ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai puteranya! Tanpa pernah dia memberi didikan sedikit pun, sikap puteranya ini sudah seperti seorang gagah sejati, seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja dia merasa amat bangga karena ucapan puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri Milana, pahlawan wanita yang amat dikaguminya itu.

"Tentu saja, Anakku," jawabnya dengan nada biasa padahal hatinya membesar saking bangganya. "Ceritakanlah, berita apa yang kaubawa itu?"

"Ayah, dan Paduka Puteri.... Ang-kiok-teng pagi hari tadi telah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon!"

Jenderal Kao mengerutkan alisnya. Kalau hanya itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi. "Hemm, kami sudah mendengar dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio telah tiba di sini menceritakan tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan betapa dia diselamatkan oleh seorang gadis cantik yang lihai dan seorang laki-laki bermuka buruk seperti setan." Dia berhenti sebentar, termenung.

"Aku sangat tertarik akan kelihaian gadis penolongnya itu, yang kabarnya dengan menggunakan racun merobohkan seratus orang anak buah Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia itu siapa, Kok Cu?" Jenderal Kao bertanya.

"Ayah sudah mengenal dia baik-baik," Kok Cu berkata. "Dia adalah gadis yang gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu...."

"Apa....? Kaumaksudkan Nona Lu Ceng....?" Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang dicengkeram pundaknya seperti itu saking kaget dan girangnya hati jenderal raksasa ini, agaknya akan remuk tulang pundaknya!

"Benar, Ayah. Saya telah menyelidiki dengan jelas."

"Dan laki-laki bermuka buruk seperti setan itu?"

"Dia disebut Topeng Setan, kabarnya menjadi pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi beng-cu orang-orang golongan hitam. Sekarang mereka bersekutu dengan Tambolon."

"Apa....?" jenderal itu berseru kaget.

"Akan tetapi berita yang amat penting yang hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam pasukan-pasukan liar yang dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan Ang-kiok-teng dan menyerang Koan-bun untuk dirampasnya."

"Heiii....?" Milana berseru kaget. Berita ini mengejutkan dan tidak terduga-duga sama sekali.

Jenderal Kao Liang memejamkan matanya, alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia berpikir-pikir. Tiba-tiba dia membuka matanya, memandang puteranya dan suaranya memecah kesunyian, "Engkau yakin benar akan berita ini, Kok Cu?"

"Sudah pasti, Ayah. Saya mendengar sendiri keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan mereka kini sedang bersiap-siap."

Tiba-tiba Jenderal Kao tertawa bergelak dan memukul-mukul pahanya sendiri. "Ha-ha-ha-ha! Bodoh sekali aku, hampir saja meragukan kebersihan hati seorang gadis pahlawan!" Lalu dia menoleh kepada Puteri Milana sambil berkata, "Thian telah mengirim gadis itu untuk memberi jalan kepada kita! Tentu dia telah menggunakan siasat, bersekutu dengan Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak di Koan-bun. Entah dengan janji dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan kita. Kita biarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai salah satu hancur, kemudian kita gunakan kesempatan selagi pihak yang menang lengah dan lelah, kita serbu Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun, tentu pasukan di Teng-bun akan

dikurangi dan benteng itu tidak sekuat sekarang."

Puteri Milana mengangguk-angguk. "Siapakah dia Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe?"

"Ha-ha-ha, sungguh dia hebat dan sudah membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali. Tadinya dia terjungkal di dalam sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan Kim Bouw Sin, dia kusangka mati dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia benar masih hidup! Tadi kusangka dia telah menjadi orang sesat karena selain menjadi ahli racun juga menjadi beng-cu kaum sesat, kiranya dia masih seorang patriot yang dengan caranya sendiri membasmi pemberontak!"

Malam ini juga Jenderal Kao dan Puteri Milana mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga jumlah pasukan akan memasang barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan menanti sampai pasukan liar Tambolon menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak perang sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan ini.

"Tunggu sampai perang itu selesai dan pihak pemenang, baik pihak pemberontak maupun pihak Tambolon, berpesta merayakan kemenangannya sehingga lengah, baru turun tangan serbu dan rampas Koan-bun. Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan, dan engkau dibantu oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan di Ang-kiok-teng. Nah, kauatur dan rundingkan dengan Thio-ciangkun, sedangkan urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas sudah selesai dengan baik."

"Baik, Ayah."

Thio Luk Cong lalu dipanggil dan bersama Kok Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk merundingkan dan mengatur pasukan mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun setelah membiarkan pihak pemberontak bertempur sendiri dengan pasukan liar yang dipimpin Tambolon. Kok Cu menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio karena dia sendiri merasa tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan menyelundup lebih dulu ke Koan-bun dan menyelidiki keadaan. Panglima Thio memberikan anak panah-anak panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa panah berapi itulah yang akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa

saatnya yang tepat telah tiba bagi pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Thio-ciangkun untuk turun tangan menyerbu Koan-bun.

Bersambung ke bagian 5 ...