Bagian 1
"Ouw It To, Kietie, Thiankie!"
"Biauw Jin Hong, Teecong, Hapkok!"
Demikian terdengar teriakan seorang, disusul dengan berkelebatnya sinar emas yang menyambar ke arah dua papan kayu dan empat kali suara "tuk". Sinar yang menyambar itu adalah senjata rahasia Kimpiauw. Di atas sebuah papan dilukiskan peta badan seorang lelaki brewokan yang berbadan kasar dan di pinggir papan terdapat tiga huruf: "Ouw It To." Dilain papan terdapat lukisan seorang lelaki yang bertubuh tinggi kurus dengan tiga huruf "Biauw Jin Hong." Pada peta badan kedua orang itu digambarkan pula jalan-jalan darah. Di bawah papan itu dipasangkan gagang yang dipegang oleh dua orang laki-laki dan papan itu dibawa lari berputar-putar di seluruh Lian-bu-teng (ruangan tempat berlatih silat).
Di pojok utara timur terdapat sebuah kursi yang diduduki oleh seorang nenek berambut putih dan berusia lima puluh tahun lebih. Nenek itulah yang barusan berteriak-teriak memberi komando dengan menyebutkan nama-nama Ouw It To dan Biauw Jin Hong.
Seorang pemuda yang berparas cakap dan berusia kira-kira dua puluh tahun, menimpukkan Kimpiauw menurut komando si nenek. Kedua orang yang menyekal gagang papan, memakai jala kawat baja di masing-masing kepalanya, sedang pakaian mereka adalah baju kapas yang tebal. Mereka berpakaian begitu karena khawatir si pemuda kesalahan tangan.
Di luar, seorang wanita muda dan seorang pemuda sedang mengintip melalui lubang di kertas jendela. Melihat jitunya timpukan Kimpiauw itu, mereka saling mengawasi dengan paras muka kaget dan kagum.
Di luar rumah, hujan turun seperti dituang-tuang dan saban-saban terdengar gemuruh geledek yang sangat nyaring. Karena besarnya hujan, air bercipratan ke badan dua orang muda itu yang memakai jas hujan dari kain minyak. Mereka mengintip terus dan mendengar si nenek berkata: "Jitu sih sudah jitu, hanya kurang tenaga. Hari ini cukuplah berlatih sampai di sini." Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan ia berbangkit.
Dua orang muda di luar jendela itu, buru-buru menyingkir dan berjalan ke arah pekarangan luar.
"Sumoay (adik seperguruan)," kata si pemuda. "Permainan apakah itu?"
"Permainan?" yang ditanya menegasi. "Kau toh melihat sendiri, orang itu sedang berlatih piauw. Timpukannya cukup jitu."
"Kau kira aku tak tahu orang sedang berlatih piauw?" kata pemuda itu.
"Apa yang aku kurang mengerti adalah nama-nama di atas kedua papan itu. Apa artinya Ouw It To dan Biauw Jin Hong?"
"Kalau kau tidak mengerti, apakah kau kira aku mengerti?" jawab si nona. "Lebih baik tanya kepada ayah."
Muka pemudi itu yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, berpotongan telur, parasnya cantik, kedua pipinya bersemu dadu dan pada ke-seluruhannya, gerak-geriknya lincah dan muda segar. Si pemuda bermata besar, dengan dua alis yang tebal, sedang mukanya penuh jerawat yang berwarna merah. Usia pemuda itu kira-kira enam tujuh tahun lebih tua daripada si nona dan meskipun parasnya kurang cakap, ia bersemangat dan gagah sekali. Selagi mereka berjalan melewati pekarangan, hujan turun semakin deras, sehingga muka mereka menjadi basah. Dengan sapu tangan, gadis itu menyusut air di mukanya yang bersemu dadu dan yang kelihatannya menjadi lebih segar serta ayu. Melihat kecantikannya, pemuda itu mengawasinya dengan mata mendelong. Ketika mengetahui dirinya sedang dipandang, gadis itu tertawa dan sembari berkata "tolol!", ia lari masuk ke dalam sebuah ruangan.
Di tengah-tengah ruangan terdapat perapian yang dikitari oleh dua puluh orang lebih, yang sedang mengeringkan pakaian basah. Di sebelah timur berkumpul sejumlah orang Rimba Persilatan yang mengenakan pakaian ringkas pendek dan bersenjata semua. Di sebelah barat terdapat tiga orang yang memakai seragam pembesar tentara Boan. Mereka baru saja datang dan belum membuka pakaian mereka yang basah. Begitu melihat masuknya si nona, mereka memandangnya secara kurang ajar sekali.
Nona itu segera menghampiri seorang tua yang berbadan kurus dan segera menceritakan apa yang dilihatnya barusan. Orang tua itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun, kelihatan bersemangat dan gagah, tingginya belum cukup lima kaki, rambutnya masih hitam jengat dan kedua matanya bersinar tajam.
Mendengar penuturan wanita muda itu, ia segera mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara perlahan: "Lagi-lagi kau mencari gara-gara. Jika ketahuan, bukankah bakal jadi rewel?"
Gadis itu meleletkan lidahnya dan berkata sembari tertawa. "Ayah, selama mengikuti kau po-piauw (mengantar barang-barang dari satu ke lain tempat oleh orang-orang Rimba Persilatan) kali ini, sudah delapan belas kali aku dimaki."
"Jika kau sedang berlatih silat dan diintip oleh orang luar, bagaimana perasaanmu?" tanya sang ayah.
Begitu mendengar perkataan ayahnya, nona yang sedang tertawa-tawa itu, lantas saja berubah paras mukanya. la ingat kepada suatu kejadian. Tahun yang lalu, ada seorang mengintip dari luar. di waktu ayahnya berlatih. Ayahnya mengetahui itu, tapi berlagak pilon. Beberapa saat kemudian, selagi berlatih melepaskan panah tanah, mendadak ia memanah mata orang itu yang segera menjadi buta Masih untung ayahnya berlaku murah hati dan tidak mengerahkan seantero tenaganya, sehingga orang itu terluput dari kebinasaan.
Harus diketahui bahwa dalam kalangan Rimba Persilatan, mengintip orang berlatih silat dianggap sebagai kedosaan yang lebih besar daripada mencuri uang.
Gadis itu merasa agak menyesal, tapi ia sungkan mengaku salah. "Ayah," katanya. "Ilmu melepas piauw orang itu, lumrah saja. Tak ada harganya untuk dicuri."
Si orang tua menjadi gusar. "Budak kecil!" ia membentak. "Kenapa kau begitu iseng mulut, mencela-cela kepandaian orang lain?"
Nona itu tertawa dan berkata dengan suara aleman: "Siapa suruh aku menjadi anak Pek-seng Sin-kun Ma Loopiauwtauw."
Selagi ayah dan anak itu berbicara, ketiga perwira Boan yang tengah mengeringkan pakaian, terus memasang kuping, tapi mereka tak dapat mendengar pembicaraan mereka, karena mereka ber-cakap-cakap dengan suara perlahan. Tapi kata-kata terakhir nona itu, diucapkan agak keras.
Begitu mendengar "Pek-seng Sin-kun Ma Loopiauwtauw", seorang antara mereka segera menengok ke arah si orang tua dan kemudian mengawasi bendera piauw natar kuning dengan sulaman hitam. "Pek-seng Sin-kun?" katanya di dalam hati. "Sombong benar!"
Orang tua itu adalah seorang she Ma, namanya Heng Kong dan dalam kalangan Kang-ouw ia diberi julukan Pek-seng Sin-kun (si Tinju malaikat yang tidak terkalahkan). Si nona adalah puteri tunggalnya yang diberi nama It Hong, sedang pemuda itu, yang barusan turut mengintip orang berlatih piauw, adalah muridnya, seorang she Cie bernama Ceng.
Melihat perwira Boan itu saban-saban melirik It Hong, Cie Ceng jadi mendongkol dan terus mengawasi dengan sorot mata gusar. Di lain saat, ketika perwira itu menengok, dua pasang mata mereka jadi kebentrok. Ia gusar dan mendeliki murid Ma Heng Kong ini, yang dianggapnya mau mencari gara-gara.
Cie Ceng adalah seorang pemuda yang berdarah panas dan karena berdampingan dengan gurunya, nyalinya menjadi lebih besar lagi. Maka itu, lantas saja ia membalas delikan dengan delikan juga.
Perwira tersebut, yang berbadan tinggi besar, agaknya mempunyai ilmu silat yang tidak cetek. la tertawa berkakakan dan sembari menengok kepada kawannya, ia berkata dengan suara cukup keras. "Eh, coba lihat bocah itu yang bermata seperti mata bangsat. Apakah kau sudah mencuri perempuannya?" Kedua kawannya lantas saja turut tertawa besar.
Dengan gusar, Cie Ceng meloncat bangun, "Apa kau kata?" ia membentak.
Perwira itu menyengirdan berkata: "Bocah, aku sudah bicara salah. Maaflah." Mendengar orang itu mengakui kesalahannya, amarah Cie Ceng lantas menjadi reda, tapi selagi ia mau duduk pula, orang itu berkata lagi "Aku tahu, orang bukan mencuri perempuanmu, tapi mencuri adikmu."
Cie Ceng kembali meloncat, tapi sebelum ia sempat menubruk orang yang mulutnya iseng itu, Ma Heng Kong sudah keburu membentak: "Ceng-jie! Duduk!"
"Suhu (guru)! Apakah kau tak dengar?" kata Cie Ceng dengan muka merah.
"Para Tayjin (orang berpangkat) hanya guyon-guyon, tak ada sangkut pautnya dengan kau," kata sang guru dengan suara tawar.
Cie Ceng tak berani membantah pula. Dengan sorot mata gusar ia mengawasi ketiga perwira itu dan kemudian duduk pula. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak dan mata mereka melirik It Hong secara lebih kurang ajar lagi.
Ma It Hong pun sangat gusar, tapi ia mengetahui, bahwa ayahnya paling sungkan berurusan dengan pegawai kerajaan. Selagi memutar otak untuk mencari daya guna menghajar tiga perwira itu, tiba-tiba suatu sinar terang berkeredep, dibarengi dengan menggelegarnya halilintar yang nyaring luar biasa. Sementara itu, air hujan masih tetap turun seperti dituang-tuang.
Di antara berisiknya hujan, sekonyong-konyong terdengar suara manusia di depan pintu. "Besar sungguh hujan ini," kata orang itu. "Bolehkah aku numpang meneduh di sini?"
Seorang bujang lelaki dari gedung itu, lantas saja ketuar menyambut sambil berkata: "Masuklah, tuan. Di sini ada perapian yang hangat."
Pintu ditolak dan masuklah dua orang, satu lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki, seorang yang berusia kira-kira tiga puluh tahun dengan badan tinggi besar, cakap dan ganteng, menggendong sebuah bungkusan di punggungnya, sedang yang perempuan adalah seorang wanita cantik elok yang berusia kira-kira dua puluh dua tahun. Ma It Hong sudah boleh dikatakan cantik, tapi dibanding dengan wanita itu, puteri Ma Loopiauwtauw ini masih kalah jauh sekali.
Mereka lantas saja membuka baju hujan mereka. Tubuh wanita itu dikerebongi baju luar si lelaki, tapi seantero pakaiannya, luar dalam, semua basah kuyup.
Lelaki itu masuk sambil menuntun tangan wanita tersebut dan dilihat dari gerak-geriknya, tak bisa salah lagi mereka adalah sepasang suami isteri.
Sesudah menggelar rumput kering, lelaki itu segera membimbing isterinya duduk di atas lantai. Pakaian mereka indah sekali, sedang di leher wanita tersebut terdapat seuntai kalung mutiara, yang bundar-bundar dan besar dan harganya tentu mahal sekali.
Ma Heng Kong tercengang. "Daerah ini tidak aman," katanya di dalam hati. "Kalau bukan orang hartawan, mereka tentu orang berpangkat. Kenapa, tanpa membawa pengiring, mereka berani jalan di sini?" la sudah berpengalaman luas dalam dunia Kang-ouw, tapi tak juga ia dapat menebak, siapa adanya pasangan itu.
Nyonya tersebut kelihatannya sangat menderita, kedua matanya merah akibat sampokan angin dan hujan. Dengan memakai terus pakaian basah itu, tak bisa tidak, ia akan mendapat sakit.
Melihat itu, Ma It Hong jadi merasa kasihan. Ia membuka tempat pakaiannya dan Sesudah mengeluarkan seperangkat pakaian, ia mendekati wanita itu sambil berkata: "Nyonya, pakailah ini. Sesudah pakaianmu kering, kau bisa menukar lagi."
Nyonya itu sangat berterima kasih. Ia berbang-kit sembari tertawa dan melirik suaminya, seperti orang ingin minta permisi. Lelaki itu manggutkan kepalanya dan menghaturkan terima kasih sembari tertawa. Nyonya itu lalu menarik tangan Ma It Hong, mereka berdua pergi ke ruangan belakang dan meminjam kamar untuk berganti pakaian.
Ketiga perwira Boan itu mengawasi dengan sorot mata kurang ajar. Orang yang barusan bercekcok dengan Cie Ceng dan nyalinya paling besar, lantas saja berkata dengan suara perlahan. "Aku mau mengintip."
Seorang kawannya menyengir. "Jangan cari urusan, Loo-ho," katanya. Tapi sembari mengedip-ngedipkan matanya, orang she Ho itu terus ber-bangkit. Baru berjalan beberapa tindak, ia rupanya ingat akan sesuatu dan kembali lagi untuk mengambil goloknya, yang lantas digantungkan di pinggangnya.
Melihat musuhnya pergi ke belakang, Cie Ceng yang masih mendongkol, lantas melirik gurunya. Ia ini ternyata sedang bersemedhi, sambil meramkan kedua matanya. Dua piauw-tauw lainnya, seorang she Cek dan yang seorang lagi she Yo, bersama lima pembantu dan belasan tukang kereta, tengah bertiduran di sekitar kereta barang.
Melihat begitu, Cie Ceng buru-buru bangun dan terus mengikuti perwira she Ho itu.
Mendengar bunyi tindakan, perwira itu menengok. Ia tertawa dan menanya: "Bocah, kau baik?"
"Pembesar bau, kau baik?!" Cie Ceng mencaci.
"Kepengen dihajar?" tanya orang she Ho itu sembari menyengir.
"Tak salah," jawab Cie Ceng. "Guruku melarang aku menghajar kau. Apakah kau setuju jika kita membereskan sengketa ini secara diam-diam?"
Perwira itu yang menganggap ilmu silatnya tinggi, tentu saja tak memandang sebelah mata kepada satu "bocah" seperti Cie Ceng. Apa yang ia khawatirkan hanyalah jumlah rombongan Cie Ceng yang agak besar, sehingga kalau mesti bertempur secara campur aduk, pihaknya yang hanya terdiri dari tiga orang, sudah pasti akan menderita kekalahan. Maka itu, ia girang mendengar usul pemuda itu.
Ia manggut-manggutkan kepalanya dan berkata: "Baiklah. Kita pergi jauhan. Jika kedengaran gurumu, pertempuran ini tak mungkin kejadian."
Setelah melewati cimehe dan selagi mencari tempat yang cocok, dari sebuah lorong, tiba-tiba muncul seorang, yang berpakaian indah, usianya kira-kira tujuh belas tahun, parasnya cakap dan ia ini bukan lain daripada pemuda yang tadi berlatih melepas piauw.
"Ah, kenapa aku tidak mau meminjam ruangan berlatihnya?" kata Cie Ceng dalam hatinya. Ia menghampiri dan berkata sembari memberi hormat: "Hengtiang (kakak), selamat bertemu."
Pemuda itu membalas hormat dan menanya: "Siapa adanya tuan?"
"Dengan tuan perwira itu, aku mempunyai sedikit sengketa," jawab Cie Ceng sembari menunjuk si perwira.
"Bisakah aku meminjam Lian-bu-teng Hengtiang?"
Pemuda itu merasa agak heran. "Darimana ia mengetahui, bahwa aku mempunyai Lian-bu-teng?" tanyanya pada dirinya sendiri. Akan tetapi, seperti biasa, orang yang berkepandaian silat, paling senang menonton perkelahian. Maka itu, lantas saja ia menyahut: "Bagus! Bagus!" Tanpa berkata suatu apa lagi, ia mengajak kedua tamunya masuk ke ruangan berlatih.
Ketika itu, Lian-bu-teng sudah kosong. Di pinggir empat penjuru tembok terdapat rak-rak senjata, karung pasir, kantong anak panah, cio-so (batu yang dibuat seperti kunci untuk berlatih silat) dan Iain-lain alat. Di sebelah barat ruangan itu terdapat panggung Bwee-hoa-chung dengan tujuh puluh lima pelatoknya. (Bwee-hoa-chung, atau panggung bunga bwee, dibuat dari pelatok-pelatok kayu. Orang yang berlatih silat atau bertempur, harus berdiri di atas pelatok-pelatok itu).
Melihat perlengkapan itu, si perwira yakin, bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kalangan persilatan yang tidak boleh dipandang ringan. Ia berpaling kepada tuan rumah dan berkata sembari merangkap kedua tangannya: "Aku datang di rumah tuan untuk numpang meneduh dari serangan hujan. Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama tuan yang besar?"
Pemuda itu buru-buru membalas hormat. "Aku yang rendah she Siang bernama Po Cin," jawabnya. "Siapakah nama kedua tuan ini?"
"Namaku Cie Ceng," jawab murid Ma Heng Kong. "Guruku adalah Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong, Cong-piauw-tauw (pemimpin) dari Hui-ma Piauw-kiok." Sembari memperkenalkan diri, ia mengawasi lawannya dengan sikap bangga.
"Sudah lama aku mendengar nama besar itu," kata Siang Po Cin sembari menyoja, "Dan tuan?"
"Aku adalah Gie-cian Sie-wie (Pengawal Kaisar) kelas dua dari pasukan golok, namaku Ho Sie Ho," jawabnya.
"Ah, kalau begitu aku sedang berhadapan dengan seorang Sie-wie Tayjin," kata tuan rumah. "Aku dengar, di kota raja terdapat delapan belas ahli silat utama dalam islana. Ho Tayjin tentulah juga mengenal mereka."
"Ya, aku kenal sebagian besar," sahut Ho Sie Ho.
"Siang Kongcu," kata Cie Ceng dengan suara keras.
"Kumohon kau sudi menjadi saksi. Aku dan orang she Ho itu sudah mufakat untuk menjajal tenaga secara adil. Tak perduli siapa yang menang, siapa yang kalah, kejadian ini tidak boleh diuwarkan di luaran."
la mengajukan syarat tersebut oleh karena khawatir diomeli gurunya.
Ho Sie Ho tertawa terbahak-bahak. "Memang berkelahi melawan bocah cilik bukan suatu hal yang dapat dibanggakan!" katanya. "Tak ada harga untuk menyombongkan diri di depan orang banyak. Bocah! Hayo maju!"
Sesudah berkata begitu, ia menyelipkan jubah panjangnya di pinggang, sedang Cie Ceng lalu membuka thungshanya, melilit thaucangnya (kuncir pada jaman pemerintahan Boan) di kepalanya dan memasang kuda-kuda.
Melihat lawannya memasang kuda-kuda menurut ilmu silat Cap-kun, hati Ho Sie Ho menjadi lega. "Hm! Sebegitu saja murid Pek-seng Sin-kun?" ia menggerendeng. "Anak umur tiga tahun juga sudah mahir dalam ilmu itu."
Harus diketahui, bahwa "Tam-cap-hoa-hong" (Tam-tui, Cap-kun-Hoa-kundan Hong-bun) adalah empat rupa pelajaran silat yang di Tiongkok Utara merupakan pokok ilmu silat dan harus dikenal oleh setiap orang yang belajar silat.
Tanpa menyia-nyiakan tempo lagi, Sesudah berkata "sambutlah", Ho Sie Ho segera menyerang dengan pukulan Siang-po Ya-ma Hun-cong (Kuda liar membelah suri), pukulan dari Thay-kek-kun, ilmu silat Lweekeh yang pada masa itu sangat digemari orang. Buru-buru Cie Ceng menggeser kaki kirinya ke belakang untuk mengegos pukulan tersebut dan hampir berbareng dengan itu menyabet dengan tangan kirinya. Sambil memutarkan badan, dengan gerakan Coan-sin Pauw-ho Kwie-san (Memutar badan memeluk harimau pulang ke gunung), Ho Sie Ho berkelit. Tapi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Cie Ceng mengulangi serangannya dengan jotosan ke arah muka lawannya. Kali ini. Ho Sie Ho tidak keburu mengegos lagi dan harus menangkis dengan lengannya. Begitu kedua lengan mereka beradu, ia merasakan pundaknya kesemutan. "Ah! Tak dinyana bocah ini mempunyai tenaga yang begitu besar," katanya di dalam hati.
Dalam tempo cepat, mereka sudah bergebrak belasan jurus. Siang Po Cin yang menonton di pinggir, mendapat kenyataan, bahwa tindakan Cie Ceng sangat mantap dan pukulannya bertenaga, sedang gerakan Ho Sie Ho enteng lincah, suatu tanda, bahwa ia mempunyai ilmu mengentengkan badan yang lumayan.
Sesudah saling menyerang beberapa jurus lagi, dengan suatu bentakan keras, Ho Sie Ho menghantam pundak Cie Ceng, yang lalu berkelit sembari menendang, Ho Sie Ho mengegos dan mengirim pula tinjunya dengan pukulan Giok-lie Coan-so (Dewi menenun), yang telak mengenai lengan Cie Ceng. Tapi pemuda itu, yang bertenaga besar, seperti tidak merasakan suatu apa dan terus menjotos dengan pukulan Kiong-po Pek-tah (Memukul sembari menindak). "Duk!" tinju Cie Ceng mampir jitu di dada Ho Sie Ho yang lantas saja terhuyung beberapa tindak, akan kemudian jatuh terduduk di atas lantai.
"Bagus!" demikian terdengar seruan seorang wanita.
Siang Po Cin menengok. Ternyata, di depan pintu berdiri dua orang wanita, seorang nyonya dan seorang gadis, yaitu Ma It Hong dan si nyonya muda yang baru saja selesai menukar pakaiannya yang basah. Pujian "bagus!" itu diucapkan Ma It Hong yang merasa girang melihat suhengnya memperoleh kemenangan.
Ho Sie Ho yang dadanya sakit berbareng malu, lantas saja jadi mata gelap. Sembari meloncat bangun, ia menghunus goloknya dan tanpa berkata suatu apa, segera membacok. Cie Ceng tidak menjadi gentar. Dengan ilmu Kong-chiu-jip-pek-to (Dengan tangan kosong masuk ke dalam rimba golok), ia melayani musuhnya dengan waspada. Melihat kekalapan perwira itu, sedang suhengnya tidak bersenjata, Ma It Hong jadi khawatir.
Tapi, selagi ia mengawasi jalan pertempuran dengan penuh perhatian, nyonya muda itu menarik tangannya seraya berkata: "Hayolah! Aku paling sebal melihat orang berkelahi."
"Tunggu sebentar," Ma It Hong menolak. Nyonya itu mengerutkan alisnya dan lantas berlalu sendirian.
Selain It Hong, Siang Po Cin pun mengawasi segala gerakan-gerakan kedua lawan itu dengan menggenggam sebatang Kimpiauw, siap-sedia untuk menolong Cie Ceng, jika perlu.
Dalam gelanggang, Cie Ceng sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada golok musuh. Suatu ketika, Ho Sie Ho membacok mukanya. Cie Ceng miringkan badannya sembari menendang, sedang Ho Sie Ho lantas saja memutarkan senjatanya dan membabat kedua kaki pemuda itu. Bagaikan kilat, sambil melompat, Cie Ceng menjotos dengan tinjunya yang sekali lagi tepat mengenai hidung Iawannya. Sedang kaki tangan Ho Sie Ho kalang kabut, tangan kanan Cie Ceng meluncur dan dilain saat, golok itu sudah kena dirampasnya.
Ho Sie Ho terkesiap dan buru-buru meloncat mundur beberapa tindak, sembari mengusap hidungnya yang berlumuran darah.
"Apakah sekarang kau masih berani memaki orang?" tanya Cie Ceng sambil melemparkan golok orang.
Paras muka perwira Boan itu menjadi merah seperti kepiting direbus dan ia tak berani mengeluarkan sepatah kata.
Sambil mengedipkan matanya, Siang Po Cin buru-buru menarik baju Cie Ceng seraya berkata dengan suara agak nyaring: "Ho Tayjin salah tangan. Kedua belah pihak sebenarnya belum ada yang kalah atau memang. Sudahlah. Ilmu kedua saudara sama-sama tingginya, aku merasa kagum sekali."
"Kenapa begitu?" tanya Cie Ceng, tidak mengerti.
"Masing-masing mempunyai kebagusan sendiri," kata Siang Po Cin sambil tertawa. "Cap-kun dari Cie-heng sangat bagus, tapi Thay-kek-kun dan Thay-kek-to Ho Tayjin juga tidak kurang lihaynya. Cie-heng, kau hanya beruntung karena sedetik Ho Tayjin tidak berwaspada. Tapi, mengenai ilmu yang sesungguhnya, adalah Ho Tayjin yang lebih unggul." Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sapu tangannya yang lalu diberikan kepada Ho Sie Ho untuk menyeka darah dari hidungnya.
Cie Ceng sebenarnya ingin menarik urat lagi, tapi Ma It Hong sudah menarik tangannya sembari berkata: "Suko, hayolah!"
Karena tidak mengerti maksud Siang Po Cin, Cie Ceng merasa mendongkol sekali dan berlalu bersama Ma It Hong sembari mengawasi tuan rumah dengan sorot mata gusar. Selagi mereka berjalan melewati cimehe, mendadak guntur berbunyi dan di antara suara guntur terdengar pula suara tertawa Ho Sie Ho dan Siang Po Cin, yang agaknya sedang mentertawakan mereka berdua.
Demikianlah, walaupun menang berkelahi, Cie Ceng jadi semakin mendeluh dan dengan uring-uringan ia duduk di pinggir perapian. Ia melirik dan melihat gurunya masih tetap bersila dengan meramkan mata. Dilain saat, Ho Sie Ho masuk, ia lalu kasak-kusuk dengan kedua kawannya dan kemudian tertawa berkakakan bertiga-tiga, sedang mata mereka tak hentinya melirik nyonya muda yang cantik itu.
Berselang beberapa saat lagi, Pek-seng Sin-kun agaknya mendusin. Ia berbangkit dan sesudah mengulet beberapa kali, menghampiri kereta piauw.
"Ceng-jie, kemari kau!" ia memanggil. "Coba lihat, kenapa ini?"
Cie Ceng buru-buru menghampiri dan menanya: "Kenapa?"
Dengan muka menghadapi tembok dan membuat gerakan seperti sedang membetulkan kereta, Ma Heng Kong berkata dengan suara perlahan: "Anak tolol! Kenapa tadi tendanganmu miring? Jika tidak, tak usah kau menggunakan tempo begitu lama."
Cie Ceng terkesiap. "Suhu... li... hat?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Hm! Jangan kau kira bisa main gila di hadapan gurumu!" Sang guru menggerendeng.
"Jika nyalimu tidak terlalu kecil dan takut mampus, sebenarnya siang-siang kau sudah menang."
Biar bagaimanapun juga, Cie Ceng harus mengakui jitunya perkataan itu. Memang benar, pada gebrakan-gebrakan pertama, ia berlaku luar biasa hati-hati karena ia belum dapat meraba "isi" lawannya.
"Sekarang kau lekas menghaturkan terima kasih kepada pemuda she Siang itu," perintah Ma Heng Kong. "Lain orang usianya banyak lebih muda, tapi otaknya jauh lebih cerdas daripada kau."
Cie Ceng kembali terkejut. "Suhu," katanya. "Terima kasih apa? Orang she Siang itu kurang baik hatinya, bukan manusia baik-baik."
"Hm!" Ma Heng Kong kembali menggerendeng. "Benar hatinya kurang baik, tapi kurang baik untuk melindungi kau, Cie Toaya!"
Si murid tergugu, ia mengawasi dengan mata mendelong, tanpa mengerti apa yang dimaksudkan gurunya.
"Siapa yang kau hajar tadi?" tanya Ma Heng Kong. "Dia adalah Gie-cian Sie-wie kelas dua dari pasukan golok. Dan kita? Kita adalah orang-orang yang mencari sesuap nasi dari pekerjaan po-piauw. Jika tuan-tuan besar itu ingin menyusahkan kau, apakah kau kira bisa mencari makan? Dengan kata-katanya yang manis, pemuda she Siang itu sudah menolong muka paduka Sie-wie itu dan maksudnya adalah, supaya kau tak usah berabe di hari kemudian."
Cie Ceng mendusin dan lantas saja berkata: "Benar, benar, kau benar Suhu!" Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, buru-buru ia berlari-lari ke Lian-bu-teng, di mana Siang Po Cin masih berlatih ilmu silat Cap-kun yang barusan digunakannya sendiri.
Melihat datangnya Cie Ceng, paras muka Siang Po Cin jadi bersemu merah dan segera menghentikan latihannya.
"Siang Kongcu," kata Cie Ceng sambil merangkap kedua tangannya. "Guruku memerintahkan aku datang menghaturkan banyak terima kasih kepadamu. Oleh karena tidak mengerti maksudmu yang sangat mulia. tadi aku sudah berlaku kurang ajar dan untuk itu, aku mohon kau sudi memaafkannya."
"Cie Toako, jangan kau bicara begitu," kata Siang Po Cin sembari tertawa dan membalas hormat. "Ilmu silatmu adalah sepuluh kali lebih tinggi daripada orang she Ho itu. Siauwtee sungguh merasa kagum."
Mendengar pujian itu, Cie Ceng jadi merasa girang sekali. Kemudian ia bercakap-cakap dengan pemuda itu.
"Siang Lauwtee (adik)," katanya. "Ilmu cabang persilatan mana yang kau pelajari?"
"Siauwtee baru saja belajar dan tak dapat bicara tentang cabang ini atau cabang itu," jawabnya. "Barusan aku merasa kagum melihat pukulanmu yang sangat lihay. Bukankah begini?" Sembari berkata begitu, ia menendang dengan kaki kanannya, membabat dengan telapakan tangan kanannya dan mendorong ke alas dengan telapak tangan kirinya.
Dapat dimengerti, bahwa hal itu sudah lebih-lebih menggirangkan hati Cie Ceng yang lantas saja berkata: "Pukulan itu mempunyai dua baris Kouw-koat (teori) yang berbunyi: Daratan lautan mendekati pintu, tiga tidak memperdulikan, menjotos dan membabat jangan sungkan-sungkan." Begitu perkataan tersebut keluar dari mulutnya, ia ingat, bahwa itu adalah rahasia pelajaran yang tidak boleh sembarang dibuka terhadap orang luar dan oleh karena itu, buru-buru ia berputar haluan: "Apa yang kau jalankan barusan adalah sangat tepat."
"Tapi, apakah artinya Daratan lautan mendekati pintu, tiga tidak memperdulikan?" tanya Siang Po Cin.
"Aku... aku juga tak tahu," jawabnya dengan muka bersemu merah, karena ia tidak biasa berdusta.
Siang Po Cin yang mengetahui, bahwa pemuda itu tak mau membuka rahasia, tidak mau mendesak terlebih jauh dan terus mengumpak-umpak, sehingga Cie Ceng merasakan dirinya seolah-olah mumbul di awang-awang.
"Siang Lauwtee," katanya. "Sekarang baik kita jangan membicarakan segala hal yang tak ada artinya. Cobalah kau menjalankan ilmu silatmu dan jika ada apa-apa yang kurang betul, aku akan memberi petunjuk-petunjuk."
Siang Po Cin menjadi girang dan lantas saja mempertunjukkan ilmu silat Tam-tui yang mempunyai dua belas jalan. Ternyata, ia sudah hapal ilmu tersebut dan dapat menjalankannya tanpa membuat kekeliruan. Hanya sayang, pukulannya tidak mantap dan tindakan kakinya agak melayang, sehingga jika digunakan dalam pertempuran yang sungguh-sungguh, silat itu yang kelihatannya sangat indah, sedikit pun tiada gunanya.
Cie Ceng menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesudah Siang Po Cin selesai menjalankan dua belas jalan itu, ia berkata sambil menghela napas: "Saudara, janganlah berkecil hati jika aku berterus terang. Guru yang mengajar kau, hanya membuang-buang tempomu yang sangat berharga." Selagi ia hendak memberi penjelasan terlebih lanjut, tiba tiba Ma It Hong muncul di depan pintu dan berkata: "Suko, ayah memanggil kau."
Cie Ceng lantas saja pamitan dan butu burn kembali kepada gurunya. Dalam ruangan itu sekarang bertambah pula dua orang yang numpang meneduh dari serangan hujan. Seorang di antara mereka itu hanya mempunyai sebuah lengan, lengan kiri. Suatu bekas bacokan golok yang sangat panjang, dari alis kanan ke pinggir mulut kiri, melewati hidung, tampak pada mukanya, sehingga di bawah sinar api, parasnya kelihatan menakutkan sekali.
Seorang lagi adalah bocah yang berusia kira-kira 14 tahun. Badannya kurus dan kulitnya kuning. Satu-satunya persamaan antara kedua orang itu adalah pakaian mereka yang sangat rombeng.
Cie Ceng melirik mereka dan terus menghampiri gurunya. "Suhu, ada apa..." tanyanya.
"Kenapa kau pergi begitu lama..." tanya Ma Heng Kong dengan suara gusar.
"Kau mengagul-agulkan kepandaianmu, bukan?"
"Mana murid berani?" jawabnya. "Tuan rumah she Siang itu mempunyai ilmu melepas piauw yang boleh juga, hanya sayang, ilmu silatnya terlalu cetek."
"Anak tolol!" bentak sang guru.
"Dengan kepandaianmu yang tiada artinya, dua orang seperti kau masih belum tentu dapat menandingi dia." Cie Ceng tertawa. "Mungkin sekali tidak begitu," katanya.
"Tam-tui yang diajarkan gurunya, hanya bagus dilihat, tapi tak dapat digunakan."
"Kau tahu siapa gurunya?" tanya Ma Heng Kong. Cie Ceng heran.
"Apakah Suhu tahu siapa guru Siang Po Cin, sedang ia sendiri belum pernah bertemu dengan orang she Siang itu dan yang belum pernah melihat ilmu silatnya?" tanyanya di dalam hati.
"Entah, murid tak tahu," jawabnya. "Tapi mesti-nya bukan seorang pandai."
"Hm! Bukan seorang pandai!" Ma Heng Kong mengeluarkan suara di hidung. "Lima belas tahun berselang, gurumu telah dibacok dan digebuk orang, sehingga harus berobat tiga tahun baru menjadi sembuh. Siapakah orang itu?"
"Pat-kwa-to (si Golok Pat-kwa) Siang Kiam Beng," jawab Cie Ceng.
"Tak salah," sang guru berbisik. "Siang Kiam Beng adalah orang Bu-teng-koan, propinsi Shoa-tang. Bukankah tempat ini Bu-teng-koan? Ketika baru masuk di sini, aku tidak memperhatikan. Coba lihat: Bukankah lukisan di penglari itu merupakan Pat-kwa?"
Cie Ceng berdongak dan lihat gambar Pat-kwa dari air emas di atas penglari itu. "Suhu, lekas bersiap!" katanya, tergugu. "Kalau begitu, kita sudah masuk ke dalam sarang musuh."
"Jangan ribut, Siang Kiam Beng sudah dibinasakan orang," kata gurunya.
Cie Ceng memang pernah mendengar penuturan gurunya, bahwa selama hidupnya, guru itu baru sekali dirubuhkan orang dan orang itu adalah Siang Kiam Beng. Tapi, oleh karena kejadian tersebut adalah kejadian yang memalukan dan gurunya tidak pernah menyebut-nyebut lagi, ia pun tak berani menanyakan pula. Baru sekarang ia mengetahui, bahwa Siang Kiam Beng sudah binasa.
"Apakah dibinasakan oleh Suhu?" tanyanya, berbisik.
"Andaikata aku belajar lagi sampai ajalku, tak dapat aku menandingi kepandaian Siang Kiam Beng," jawab Ma Heng Kong dengan suara tawar.
"Orang yang kepandaiannya secetek aku, mana mampu mengambil jiwa orang she Siang itu?"
Cie Ceng tereengang dan menanya pula: "Kalau begitu, siapa yang membunuh dia?"
"Orang yang namanya tertulis di atas papan itu," jawabnya.
"Siang Kiam Beng telah dibinasakan oleh kedua orang itu."
Cie Ceng membuka kedua matanya lebar-lebar. "Ouw It To dan Biauw Jin Hong?" tanyanya.
Sebagai murid, Cie Ceng memandang gurunya bagaikan malaikat. Ia menganggap, dalam dunia ini, jarang ada manusia yang dapat menandingi kepandaian Pek-seng Sin-kun Ma Loopiauwtauw. Tapi sekarang, dari mulut gurunya sendiri, ia mendengar, bahwa ilmu silat Pat-kwa-to Siang Kiam Beng masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian gurunya itu, sedang Ouw It To dan Biauw Jin Hong bahkan lebih atas lagi dari Siang Kiam Beng. Maka itu, tidak mengherankan, jika ia jadi terperanjat.
"Orang apakah itu, Ouw It To dan Biauw Jin Hong?" ia menanya pula.
"Kepandaian Ouw It To lebih tinggi sepuluh kali lipat daripada aku," gurunya menerangkan. "Hanya sayang, belasan tahun berselang, ia sudah meninggal dunia."
"Mati sakit?" tanya Cie Ceng.
"Dibinasakan oleh Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, Kim-bian-hud Biauw Jin Hong," jawabnya. (Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu berarti tiada tandingannya di kolong langit. Kim-bian-hud berarti Buddha muka emas).
Perkataan "Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu Kim-bian-hud Biauw Jin Hong" diucapkan hampir berbareng dengan menyambarnya kilat yang disusul menggelegarnya guntur. Selagi Cie Ceng hendak membuka mulut lagi, dari sebelah jauh mendadak terdengar derap kaki kuda dan sesaat kemudian ternyata. bahwa yang datang itu tidak kurang dari belasan penunggang kuda.
Begitu mendengar bunyi kaki kuda, suami isteri yang berparas cakap itu saling mengawasi dan walaupun mereka coba menekan perasaannya, semua orang dapat melihat, bahwa mereka sedang berada dalam ketakutan hebal. Seperti orang yang takut akan panasnya hawa api, yang lelaki menarik tangan si wanita dan mereka berkisar ke pojok yang agak jauh.
Belasan kuda itu berhenti di depan rumah dan sesudah terdengar beberapa teriakan, tujuh delapan orang pergi ke belakang dengan mengambil jalan memutar.
Ma Heng Kong berubah paras mukanya. "Hati-hati," ia berbisik.
"Siapa yang datang?" tanya Cie Ceng dengan suara gemetar.
Ma Heng Kong tidak menjawab pertanyaan muridnya, tapi lantas memberi komando dengan suara keras: "Siapkan senjata! Lindungi piauw!"
Keadaan lantas saja menjadi kalut. Dua piauw-tauw she Cek dan she Yo segera memerintahkan tukang kereta piauw itu menjadi satu dan semua orang lantas saja menghunus senjata.
Tapi Ma It Hong justru menjadi girang dan sembari mencabut senjatanya, golok Liu-yap-to, ia menanya: "Ayah, orang dari mana?"
"Belum tahu," jawab sang ayah, yang kemudian menambahkan: "Sungguh heran! Tanpa lebih dulu ada angin-anginnya, mereka datang begitu mendadak."
Dilain saat, tujuh delapan orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan bersenjata golok, sudan berada di atas tembok luar. Ma It Hong lantas saja mengayun tangannya untuk melepaskan panah tangan, tapi ia keburu dicegah oleh ayahnya yang membentak: "Jangan sembarangan! Ikuti gerakanku!"
Orang-orang yang berada di atas tembok itu mengawasi ke dalam ruangan tanpa berkata suatu apa. Mendadak, pintu depan didorong orang dan ke dalam ruangan itu lantas masuk seorang lelaki yang mengenakan pakaian sutera berwarna biru, tapi mukanya sangat menakutkan, sehingga pakaiannya yang indah itu sungguh tidak sesuai dengan mukanya. Sebelah tangannya mencekal baju hujan yang baru dibukanya. Begitu masuk, ia mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
Ma Heng Kong merangkap kedua tangannya dan berkata: "Sahabat, harap kau sudi memaafkan mata Loohan yang tak ada bijinya, sehingga Loohan belum datang berkunjung untuk memberi hormat. Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama sahabat yang mulia dan di mana adanya pesanggrahan sahabat."
Sementara itu, tuan muda dari Siang-kee-po, Siang Po Cin, yang mengetahui kedatangan penunggang-penunggang kuda itu, sudah berada di depan ruangan tersebut dengan membekal Kim-piauw dan menyoren golok di pinggangnya.
Kepala perampok itu tidak bersenjata. Ia memakai cincin Giok putih pada salah sebatang jeriji-nya, kancing emas pada jubahnya dan tangan kirinya mencekal Pit-yan-hu kristal (semacam pipa), sehingga ia kelihatannya seperti seorang saudagar kaya raya.
"Namaku yang rendah Giam Kie," ia memperkenalkan diri.
"Bukankah Looenghiong yang menamakan diri sendiri sebagai Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong?"
"Mana berani aku menamakan diri sendiri secara begitu," jawab Ma Heng Kong sembari merangkap kedua tangannya.
"Julukan tersebut telah diberikan oleh sahabat-sahabat Kang-ouw guna membikin terang muka Loohan, tapi sebenar-benarnya julukan itu adalah kosong belaka." Sedang mulutnya berkata begitu, hatinya penuh dengan keheranan, oleh karena nama Giam Kie sama sekali tidak dikenal dalam kalangan Kang-ouw.
Giam Kie tertawa besar dan menuding kawan-kawannya yang berdiri di atas tembok. "Saudara-saudaraku itu sedang kelaparan dan kedatangan kami adalah untuk meminta makan," katanya.
"Giam Ceecu jangan terlampau merendahkan diri," kata Ma Heng Kong. "Ceng-jie! Lekas ambil lima puluh tail perak untuk saudara-saudara Giam Ceecu."
Ma Heng Kong bertindak sesuai dengan kebiasaan dalam kalangan Kang-ouw, akan tetapi ia sendiri merasa, bahwa kawanan itu tak akan merasa puas dengan uang sebegitu.
Giam Kie tertawa terbahak-bahak. "Ma Loo-enghiong melindungi piauw, sekali melindungi tak kurang dari tiga puluh laksa tail," katanya dengan suara tawar. "Walaupun aku, orangshe Giam, hanya seorang miskin, tapi aku tidak memandang sebelah mata lima puluh tail perak."
Ma Heng Kong terkejut. Cara bagaimana Giam Kie bisa mengetahui, bahwa ia sedang melindungi tiga puluh laksa tail perak?
"Aku si tua sebenarnya tidak mempunyai kepandaian suatu apa," kata pula Ma Heng Kong dengan suara merendah. "Di sepanjang jalan aku hanya mengandal kepada sahabat-sahabat yang sudi memberi muka kepadaku. Aku merasa beruntung sekali, bahwa hari ini aku bisa berkenalan dengan Giam-heng, sehingga mendapat seorang sahabat baru. Perintah apakah yang Giam-heng ingin memberikan kepadaku?"
"Kata-kata 'perintah' tak tepat untuk digunakan oleh Looenghiong," jawab Giam Kie. "Selama hidup, kedua mataku selalu terbuka lebar-lebar jika melihat harta. Mana boleh tiga puluh laksa tail perak lewat dengan begitu saja di depan hidungku? Ma Loopiauwtauw agaknya suka sekali bicara tentang sahabat ini, sahabat itu, sahabat entah mana lagi.
Begini saja: Aku hanya berani mengambil separoh dan mohon meminjam lima belas laksa tail untuk sementara waktu."
Tanpa menunggu jawab, ia mengulapkan tangannya dan kawan-kawannya yang berdiri di atas tembok, lantas saja meloncat turun.
"Ambil semuanya?" tanya seorang. "Tidak," jawabnya.
"Separoh saja. Ada rejeki harus dinikmati beramai-ramai."
Kawanan perampok itu lantas mengiyakan dan segera menghampiri kereta-kereta piauw.
Karuan saja, Ma Heng Kong lantas naik darah. Barusan, demi menyaksikan cara loncatan, kawanan kecu itu, ia mengetahui, bahwa di antara mereka tidak terdapat ahli silat yang berkepandaian tinggi, sehingga hatinya jadi agak lega.
"Apakah Giam-heng benar-benar mau mendesak aku sampai di pojok?" tanyanya.
"Kenapa kau bicara begitu?" Giam Kie berbalik menanya sembari menyengir. "Aku toh hanya mengambil separoh."
Cie Ceng yang berdarah panas, tak dapat menahan sabar lagi. Ia loncat ke depan dan membentak: "Sebagai orang yang berjalan di jalan hitam, apakah kau pernah mendengar nama besar Hui-ma Piauw-kiok?"
"Belum," jawab Giam Kie. Mendadak badannya berkelebat dan tangannya mencabut bendera Hui-ma Piauw-kiok yang ditancapkan di atas sebuah kereta. la memotes bendera itu yang kemudian dilemparkan ke lantai dan diinjaknya dengan sebelah kaki!
Itulah suatu hinaan besar! Hinaan yang melanggar kebiasaan kalangan Kang-ouw. Merampas piauw adalah kejadian lumrah, akan tetapi jarang ada perampok yang berbuat sedemikian kurang ajar. Semua anggota piauw-hang lantas saja berteriak-teriak mencaci dan bergerak untuk bertempur.
Tanpa berkata suatu apa lagi, Cie Ceng segera menghantam dada kepala perampok itu dengan tangan kirinya. Giam Kie berkelit dan berkata dengan suaradingin: "Bocah! Galak juga kau!" Tangan kirinya meluncur untuk mencengkeram lengan Cie Ceng yang lantas buru-buru merubah gerakan tangan kirinya dan menghantam janggut musuh dengan tangan kanan. Giam Kie miringkan kepalanya sembari menjotos dengan tinju kanan. Pukulan itu aneh sekali jalannya dan walaupun Cie Ceng sebisa-bisa meloncat minggir, tak urung pundaknya kena dihantam juga. Badannya lantas saja bergoyang-goyang, tapi untung ia masih dapat mempertahankan diri. Saat itu juga, ia merubah gerakannya. Ia menekuk dengkul kanan dan menyodok dengan tangan kirinya. Itulah gerakan Hui-tui-coan-ciang (Menekuk lutut menyodok dengan tangan) yang sangat lihay dari Cap-kun Siauw-lim-pay.
Tapi Giam Kie bersikap acuh tak acuh. Sembari mesem, ia menendang dengan kaki kirinya. Tendangan itu sangat luar biasa dan menyambar dari jurusan yang tidak terduga-duga, sehingga Cie Ceng jadi kelabakan. Tanpa menyia-nyiakan tempo, Giam Kie mengirimkan jotosan lurus yang tepat mengenai dada pemuda itu yang lantas saja jatuh kejengkang dan muntahkan darah hidup. Melihat seorang lawan sudah dirubuhkan, kawanan perampok itu lantas bersorak-sorai dengan girangnya.
Melihat tangan Giam Kie yang sekejam itu, orang-orang piauw-hang menjadi kaget berbareng gusar. Ma It Hong lari menghamiri Cie Ceng yang lantas dibangunkannya. "Suko, bagaimana keadaanmu?" tanyanya kebingungan.
Ma Heng Kong adalah seorang kawakan dalam kalangan Kang-ouw dan ia sudah mengalami banyak hujan angin serta gelombang. Tapi dengan segala pengalamannya itu, ia masih belum mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dipergunakan Giam Kie.
Biar bagaimana juga, Ma Heng Kong mengerti, sekali ini ia tak dapat menyingkir lagi dari pertempuran mati hidup. Lantas saja ia maju beberapa tindak dan berkata sembari menyoja: "Giam-heng benar-benar mempunyai kepandaian yang tinggi dan aku menghaturkan terima kasih untuk pelajaran yang telah diberikan kepada muridku. Pengalaman ini ada baiknya, agar ia tahu, bahwa dalam kalangan Kang-ouw terdapat banyak sekali orang pandai."
"Ah! Kepandaianku hanya kepandaian seekor kucing kaki tiga," kata si perampok sembari tertawa. "Sekarang aku memohon pelajaran Pek-seng Sin-kun Looenghiong."
Ma Heng Kong mengawasi kepala kecu itu yang mukanya berminyak dan tampangnya seperti tampang bangsa buaya. Betul ia merasa heran, bagaimana manusia semacam itu bisa memiliki ilmu silat yang begitu luar biasa. Sebagai seorang berpengalaman, lantas saja ia mengambil putusan untuk, dalam pertempuran babak-babak pertama, hanya membela diri tanpa menyerang dan berusaha menyelami ilmu silat musuh. Demikianlah, sambil memusatkan semangatnya, ia menunggu.
Ketiga Siewie, Siang Po Cin dan orang-orang Hui-ma Pauw-kiok mencurahkan perhatian mereka kepada gelanggang pertempuran. Mereka mengetahui, bahwa pertempuran itu bukan saja akan memutuskan nasib tigapuluh laksa tail perak itu, tapi juga jiwa Ma Heng Kong. Tapi, tidak semua orang di dalam ruangan itu tetarik perhatiannya oleh pertempuran yang akan terjadi. Si lelaki cakap dan si wanita cantik tetap berbicara bisik-bisik dengan berendeng pundak, tanpa menghiraukan segala apa.
Giam Kie mengetahui, bahwa ia akan menghadapi lawan berat. Perlahan-lahan ia masukkan Pit-yan-hunya ke dalam kantong dan melibat thaucang-nya di kepalanya.
"Kawanan buaya memang tak membicarakan soal kebajikan, mencari makan selalu dilakukan dengan mengadu jiwa!" ia berseru sembari melompat dan mengirim tinjunya ke arah Ma Heng Kong.
Pada saat tinju musuh tinggal terpisah setengah kaki dari dadanya, bagaikan kilat dengan gerakan Pek-ho-liang-cie (Bangau putih membuka sayap). Ma Heng Kong memutarkan badan ke sebelah kiri dan kedua tangannya mendorong ke atas. Pukulan itu adalah pukulan Cap-kun yang biasa saja dari Siauw-lim-pay, akan tetapi, digunakan oleh orang tua itu, bukan saja gerakannya indah, tapi pukulannya pun dahsyat luar biasa.
Melihat begitu, si lelaki cakap yang tadi tidak menggubris, sekarang mengawasi dengan penuh perhatian. Si wanita yang agaknya merasa sebal menowel pemuda itu dan berkata: "Kui Long, Kui Long." Ia menyahut, tapi matanya tetap mengawasi medan pertempuran.
"Apa toh menariknya perkelahian antara seorang tua bangka dan seorang perampok?" tanya wanita itu, uring-uringan.
Mendengar gerutuan itu, lelaki tersebut menengok dan berkata sembari tertawa. "Ilmu silat penjahat itu agak luar biasa. Juga, rasa-rasanya aku kenal dia."
"Hai!" wanita itumenghela napas. "Kamu, orang lelaki, rupanya menganggap, bahwa yang paling penting di dalam dunia, adalah membunuh orang dan berkelahi."
"Baiklah," kata si lelaki. "Jika kau tak suka aku melihat, aku juga tidak mau melihat. Tapi kau harus menengok kemari,
supaya aku dapat sepuas hati memandang mukamu yang bundar telur."
Wanita itu tertawa perlahan dan mendongakkan kepalanya, sehingga dua pasang mata mereka lalu saling memandang dengan penuh kecintaan.
Sementara itu, pertarungan antara Giam Kie dan Ma Heng Kong sudah mencapai babak-babak yang hebat. Ma Heng Kong sudah mengeluarkan hampir seluruh pukulan Cap-kun, tapi masih belum bisa berada di atas angin. Dilain pihak, ilmu Giam Kie ternyata hanya terdiri dari beberapa belas macam pukulan. Ho Sie Ho, Gie-cian Siewie kelas dua itu, juga sudah dapat melihat terbatasnya kepandaian perampok itu dan ia merasa heran, kenapa Ma Heng Kong belum juga dapat merubuhkan musuhnya.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, Ma Heng Kong menyerang dengan gerakan ma-tong-tui-kun (Dari atas kuda mengirim tinju), yaitu badannya bersikap seperti orang menunggang kuda, lengan kanannya ditarik ke belakang, sedang tangan kirinya mendorong ke depan.
"Turunkan sikut, menangkap musuh!" seru Ho Sie Ho.
Benar saja, sikut Giam Kie turun agak ke bawah dan tangannya coba mencengkeram pergelangan tangan Ma Heng Kong dengan ilmu Kin-na-chiu (Ilmu menangkap).
Ma Heng Kong buru-buru menarik pulang tangannya dan mengegos.
"Menekuk lutut, menendang balik!" Ho Sie Ho berseru pula sembari tertawa.
Tepat dengan dugaan itu, Giam Kie menekuk lutut kanan dan menendang ke belakang!
Harus diketahui, bahwa ilmu silat Ma Heng Kong adalah jauh lebih tinggi daripada Ho Sie Ho. Akan tetapi, sedang Ho Sie Ho sudah dapat men-duga lebih dulu gerakan-gerakan Giam Kie, apakah Ma Heng Kong tidak mampu menduganya? Sungguh mengherankan, terang-terang sudah bisa ditaksir bahwa perampok itu akan menekuk lututnya dan menendang ke belakang, tapi tak mampu merubuhkannya!
Sebagai seorang yang bergelar Pek-seng Sin-kun, ia mahir dalam segala macam ilmu silat Siauw-lim-pay. Melihat Cap-kun tak dapat mengalahkan kepala rampok itu, lantas saja ia merubah cara bersilatnya dan menggunakan Yan-ceng-kun yang gerakannya cepat luar biasa.
Yan-ceng-kun adalah ilmu silat Yan Ceng, salah seorang gagah dari rombongan Liangsan (Song Kang) dimasa kerajaan Song. Pada jaman itu, Yang-ceng-kun terkenal karena kegesitannya yang tiada bandingannya di seluruh Tiongkok. Walaupun sudah berusia agak lanjut, gerakan-gerakan Ma Heng Kong masih lincah sekali dan dalam menggunakan ilmu silat tersebut, ia seakan-akan seekor kucing.
Melihat musuhnya merubah ilmu silalnya, Giam Kie tetap bersikap acuh tak acuh dan terus melayani dengan belasan pukulan yang dimilikinya.
Bukan main herannya Siang Po Cin, Cie Ceng, Ma It Hong dan semua orang dari Hui-ma Piauw-kiok. Setiap orang sudah dapat menduga lebih dulu pukulan yang akan dikeluarkan oleh Giam Kie, tapi toh Ma Heng Kong tidak dapat berbuat banyak. Berturut-turut Ma Heng Kong menghujani musuhnya dengan pukulan-pukulan hebat, tapi dengan tenang kepala rampok itu dapat memecahkan serangan-serangan tersebut.
Orang yang tangannya kutung sebelah dan si bocah kurus juga menonton pertempuran itu dari tempat mereka. "Siauwya (majikan kecil)," bisik si lengan satu.
"Perhatikanlah kepala perampok itu. Jangan melupakan mukanya."
"Kenapa, paman Peng Sie?" tanya si bocah.
"Perhatikan dan jangan lupa," jawabnya.
"Apakah dia orang jahat?" tanya pula bocah itu.
Orang yang dipanggil paman Peng Sie menggertak giginya. "Inilah maunya Tuhan!" katanya. "Maunya Yang Kuasa, sehingga kita dapat bertemu di sini! Perhatikan padanya! Hati-hati, jangan sampai dia mengetahui!"
Selang beberapa saat, si buntung berkata pula: "Kau selalu mengatakan latihanmu kurang benar. Sekarang, perhatikanlah. Mungkin kau akan bisa berlatih secara tepat."
"Kenapa begitu?" tanya si bocah.
Mata si lengan satu kelihatan mengembang air mata. "Sekarang aku belum dapat menceritakan," jawabnya. "Nanti, nanti jika kau sudah besar dan kau sudah memiliki ilmu yang tinggi, aku akan menuturkan dari kepala sampai di buntut."
Dengan memperhatikan kaki tangan Giam Kie, bocah itu dapat melihat gerakan-gerakan yang luar biasa, akan tetapi mula-mula ia belum dapat mengerti maknanya, kemudian ia seperti mendusin dari tidurnya.
"Peng Sie-siok (paman Peng Sie)!" mendadak ia berseru dengan suara tertahan. "Ilmu orang itu rasa-rasanya aku mengerti."
"Tak salah," kata si buntung. "Perhatikanlah terus. Kitab ilmu silat dan ilmu golokmu hilang dua halaman, sehingga kau selalu mengatakan tidak begitu mengerti isinya. Dua halaman yang hilang itu berada di badan Giam Kie!"
Bocah itu terkejut dan mukanya yang kurus kecil tiba-tiba bersemu merah, sedang kedua mata-nya yang bersinar tajam mengawasi Giam Kie tanpa berkesip.
"Kenapa berada pada dia?" tanya pula anak itu.
"Di kemudian hari aku akan memberi keterangan yang sejelas-jelasnya kepadamu," jawab si lengan satu. "Dia dahulu tidak mempunyai kepandaian suatu apa, akan tetapi, sesudah memperoleh dua halaman kitab itu, ia memiliki belasan macam pukulan dan dapat menanding ahli silat kelas satu. Cuba kau pikir: Kitab ilmu silat dan ilmu golok itu terdiri dari dua ratus lebih halaman. Bayangkanlah, betapa tinggi kepandaianmu, jika kau sudah dapat menyeiami seluruh kitab itu."
Bocah itu girang bukan main dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gelanggang pertempuran.
Yang berharga untuk ditonton, dalam pertempuran itu, sebenarnya hanyalah seorang. Belasan macam pukulan yang diulangi dan diulangi lagi oleh Giam Kie, sudah menyebalkan semua penonton. Dilain pihak, pukulan-pukulan Ma Heng Kong beraneka warna dan sedap dilihatnya. Sesudah gagal dengan Yan-ceng-kun, ia kembali menukar ilmu silatnya dan menggunakan Louw-tie-cim-cui- tiat (Louw Tie Cim, juga salah seorang gagah dari kalangan Liangsan, mabuk arak). Dengan ilmu silat tersebut, ia menyerang bagaikan seorang mabuk arak, sempoyongan kian kemari, sebentar bergulingan, sebentar meloncat bangun, sedang kaki tangannya menyambar-nyambar laksana topan. Dicecar begitu, Giam Kie perlahan-lahan jadi terdesak juga.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sekonyong-konyong Ma Heng Kong membentak: "Kena!" Jitu sekali kakinya mampir di pinggang musuh berkat tendangan Lee-hie-hoan-sin (Ikan gabus membalik badan). Sambil berteriak, Giam Kie membungkuk untuk menahan sakit. Ma Heng Kong mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian tinggi, sehingga meskipun tendangannya mengenai tempat berbahaya, musuh itu belum tentu mendapat luka berat. Menurut peraturan adu silat yang biasa, begitu salah sepihak kena dipukul, pihak yang menang harus segera menghentikan kaki tangannya. Akan tetapi, pertarungan itu adalah pertarungan mengenai tiga puluh laksa tail perak, sehingga sikap sungkan-sungkan bisa membawa akibat rewel. Memikir begitu. Ma Heng Kong segera meloncat dan mengirimkan pula suatu tendangan hebat ke punggung musuh.
Kawanan perampok itu serentak berteriak. Mereka menganggap serangan Ma Heng Kong melewati batas-batas kepantasan. Pada saat yang sangat berbahaya itu, di luar segala dugaan, Giam Kie menekuk lututnya dan menendang ke belakang. Tendangan itu yang dilakukannya mendadakan dan cepat luar biasa, sudah membikin Ma Heng Kong yang berpengalaman tak keburu mengegos lagi. Kaki Giam Kie mampir tepat di kempungan Pek-seng Sin-kun yang lantas saja jatuh kejengkang.
Dengan hati mencelos Ma It Hong dan Cic Ceng memburu dan membangunkan orang tua itu yang mukanya berubah pucat pias dan napasnya tersengal-sengal. "Lindungi piauw mati-matian," ia berkata dengan suara serak.
Dengan golok terhunus, Cie Ceng dan Ma It Hong berdiri di samping Ma Heng Kong. Dilain pihak, Giam Kie pun mendapat luka yang tidak enteng. Ia mengulap-ulapkan tangannya beberapa kali dan berteriak: "Rampaslah piauw itu! Mau menunggu sampai kapan?"
Mendengar perintah itu, kawanan perampok itu lantas saja menerjang orang-orang Hui-ma Piauw-kiok, disambut oleh Ma It Hong, Cie Ceng. Cek dan Yo Piauwtauw serta yang Iain-lain.
Siang Po Cin tak dapat menahan sabar lagi. "Ketiga Siewie Tayjin!" ia berseru sembari menghunus Pat-kwa-to. "Mari kita turun tangan!"
"Bagus!" sahut Ho Sie Ho yang, bersama dua kawannya, lantas saja terjun ke dalam pertempuran. Ketiga perwira itu hanya memiliki kepandaian biasa, tapi Siang Po Cin dengan Pat-kwa-tonya benar-benar merupakan banluan yang sangat berharga. Melihat Ma It Hong didesak oleh dua perampok dan gerakan kaki tangannya sudah mulai kalang kabut, ia menerjang sambil membentak: "Binatang! Tak malu, kamu dua lelaki mengerubuti seorang nona?" Berbareng dengan cacian itu, Pat-kwa-tonya menyambar kepala seorang perampok yang lantas menangkis dengan pecutnya. Baru saja beberapa gebrakan, tangan Siang Po Cin mampir telak di dada penjahat itu yang segera rubuh terguling. "Bagus!" kata si nona, tersengal-sengal. "Ini satu aku dapat membereskannya." Pemuda itu lantas loncat menyingkir sembari tertawa dan segera membantu Cie Ceng yang tengah dikepung beberapa penjahat. Dalam beberapa jurus saja, ia dapat merubuhkan seorang perampok, sehingga Cie Ceng merasa sangat berterima kasih dan kagum akan ketajaman mata gurunya. Benar-benar, ilmu silat Siang Po Cin banyak lebih unggul daripada ia.
Demikianlah dengan bantuan empat tenaga, keadaan jadi berubah, pihak perampok terdesak mundur dan dalam tempo cepat, mereka akan dapat diusir pergi.
Sekonyong-konyong, di antara suara bentrokan-bentrokan senjata, terdengar satu seruan. "Tahan! Aku mau bicara!" seru seorang. Tapi semua orang yang sedang bertempur, mana sempat meladeni seruan itu.
Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya bayangan manusia, seseorang menghadang di depan Siang Po Cin. Tanpa menegur lagi, pemuda itu membacok. Tapi... dengan sekali menggerakkan langannya, orang itu berhasil merampas golok Pat-kwa-tonya yang kemudian dilemparkan ke lantai.
Bukan main kagetnya Siang Po Cin yang lantas meloncat minggir sembari mengawasi orang itu, yang bukan lain daripada si lelaki cakap yang berpakaian indah. Orang itu lalu terjun ke dalam pertempuran dan dengan Kin-na-chiu-hoat, ia merampas macam-macam senjata yang kemudian dilemparkan ke lantai semua. Semua orang kaget berbareng heran dan buru-buru menyingkir sambil mengawasi orang yang luar biasa itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pada belasan tahun berselang. "Tian Siangkong (tuan Tian)!" ia berteriak.
"Kau?"
"Bagaimana kau bisa mengenal aku?" tanya pemuda itu.
"Apakah kau lupa?" kata Giam Kie dengan tertawa. "Tiga belas tahun berselang, aku pernah melayani kau di Ciang-chiu-hu."
Orang itu menunduk seakan-akan berpikir, "Ah! Benar!" katanya sesaat kemudian. "Bukankah kau tabib yang mengobati orang kepukul? Tapi, bagaimana kau sekarang pandai silat dan menjadi Ceecu?"
"Semua itu adalah berkat bantuanmu," jawab-nya.
Orang itu adalah Ciang-bun-jin (pemimpin utama) cabang Utara dari partai Thian-liong-bun, namanya Tian Kui Long.
Melihat perubahan yang tak terduga itu, orang-orang Hui-ma Piauw-kiok menjadi bingung. Tian Siangkong yang ilmu silatnya tinggi, ternyata mempunyai hubungan dengan kepala perampok itu. Dengan berbisik. Ma Heng Kong memerintahkan orang-orangnya berkumpul di sekitar kereta-kereta piauw untuk menunggu perkembangan selanjutnya.
Mata Tian Kui Long menyapu ke seluruh ruangan dan sesudah mengawasi sang hujan yang masih turun deras, ia berkata: "Giam-heng, jual beli hari ini sudah ditetapkan olehmu, bukan?"
"Harap Loojinkee (orang tua) jangan kecil hati," jawab Giam Kie sembari nyengir. "Oleh karena saudara-saudaraku kelaparan dan tidak mempunyai jalan lain, maka mau tak mau, kami melakukan pekerjaan yang tidak bermodal ini. Kami berjanji akan merubah cara hidup kami dan tentu juga tak akan melupakan budi Siangkong."
Tian Kui Long mendongak dan tertawa berkakakan. "Kenapa kau ngaco, di hadapanku?" katanya. "Loo-giam! Kau mengambil lima laksa tail. Cukup tidak?"
Giam Kie terkejut. "Loojinkee jangan guyon-guyon," katanya, tertawa.
"Kenapa guyon-guyon?" kata Tian Kui Long, sungguh-sungguh. "Di sini ada tiga puluh laksa tail. Aku mengambil separuhnya, lima belas laksa, kau ambil lima laksa. Sisanya masih ada sepuluh laksa. Bagaimana sisa itu dibaginya?"
Sekarang Giam Kie kegirangan setengah mati. "Loojinkee ambillah semuanya," jawabnya, menyeringai. "Bagi-bagi apa lagi?"
Tian Kui Long menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Tidak, tidak bisa begitu. Jika aku mengeduk semuanya, aku melupakan pribudi Kang-ouw. Barusan, ketika masuk di sini, aku... isteriku basah bajunya...."
Mendengar kata-kata "isteriku" paras muka wanita cantik itu jadi bersemu merah dan ia mesem mengawasi Tian Kui Long.
Sesudah berdiam sejenak, Tian Kui Long melanjutkan perkataannya: "Orang yang memberi pertolongan adalah Nona Ma yang meminjamkan baju kering kepadanya. Budi itu tak dapat tidak dibalas. Biarlah nona tersebut mengambil lima laksa tail. Di sini terdapat tiga Siewie Tayjin. Orang kata: Siapa yang nadir mempunyai bagian. Maka itu biarlah setiap orang mendapat satu laksa. Sisanya yang dua laksa kita serahkan saja kepada tuan rumah gedung ini! Bagaimana pikiranmu? Pantas tidak?"
Giam Kie menepuk-nepuk tangan. "Pantas! Adil!" teriaknya. "Dari dulu aku sudah bilang, Tian Siangkong adalah orang yang paling royal di dalam dunia."
Mendengar kata-kata itu, Ma Heng Kong dan kawan-kawan merasakan dada mereka seperti mau meledak. Seolah-olah tiga puluh laksa tail perak itu adalah harta benda Tian Kui Long sendiri! Dalam gusarnya, hampir-hampir Ma Heng Kong pingsan.
Cie Ceng melirik gurunya. "Bagaimana Suhu? Bagaimana?" tanyanya kebingungan.
"Apa bagaimana?" bentak Ma It Hong dengan gusar. Lalu ia memungut sebatang golok yang menggeletak di lantai. "Orang she Tian!" ia berteriak. "Apakah kau kira kami ini mayat-mayat yang sudah busuk?" Ia mengangkat goloknya dan menubruk.
"Jangan memaksa aku turun tangan," kata Tian Kui Long sembari tertawa. "Bisa-bisa isteriku marah."
"Fui! Rewel kau!" bentak wanita cantik itu sembari mesem manis, karena hatinya girang.
Ma It Hong adalah seorang gadis yang beradat keras. Tanpa menyahut, ia membabat terus.
"Aduh! Celaka!" seru Tian Kui Long, nyengir-nyengir kuda. "Isteriku melarang aku berkelahi dengan orang perempuan." Sembari berkata begitu, ia menyentil belakang golok Ma It Hong, lantas saja terlepas. Gerakan orang she Tian itu cepat luar biasa. Tangan kanannya menyambar gagang golok, tangan kirinya mencekal pergelangan tangan si nona dan kemudian ia mengangkat golok itu, seperti juga mau menebas. Tapi golok itu berhenti di tengah udara dan Tian Kui Long menghela napas panjang. "Ah! Bagaimana aku bisa tega membinasakan nona yang cantik bagaikan bunga!" katanya.
Melihat Ma It Hong dipermainkan, Siang Po Cin dan Cie Ceng segera meluruk. Siang Po Cin mengayun tangan kanannya dan sebatang Kim-piauw menyambar mata kiri orang she Tian itu, sedang Cie Ceng yang tak sempat memungut senjata, sudah mendupak punggung musuh.
Tepat pada saatnya, Tian Kui Long melemparkan golok dan memutarkan badan, lalu menangkap pergelangan kaki Cie Ceng dan sekali tangannya diangkat, tubuh Cie Ceng terjungkir balik. Hampir berbareng dengan itu, murid Ma Heng Kong ini mengeluarkan teriakan kesakitan, karena lutut kanannya tertancap Kimpiauw. Tian Kui Long tidak berhenti sampai di situ. Sekali dilontarkan, tubuh Cie Ceng terbang ke tengah udara, akan kemudian menimpa badan Ma It Hong, sehingga mereka terguling di lantai bersama-sama.
Melihat cara Tian Kui Long mempermainkan kedua orang itu, yang lain tak berani maju menerjang pula.
"Giam-heng," kata orang she Tian itu. "Bagilah perak itu menurut pengaturan tadi. Sediakan satu kereta yang baik untuk mengangkut aku dan isteriku. Oleh karena ada urusan penting, kami ingin berangkat sekarang juga."
Dengan girang Giam Kie lantas saja mengajak kawan-kawannya bekerja. Mereka mengeluarkan bungkusan-bungkusan perak dan membuat dua tumpukan dari lima laksa tail, satu tumpukan dari dua laksa dan tiga tumpukan, masing-masing selaksa tail perak. Sesudah beres, Giam Kie membentak tukang-tukang kereta: "Sekarang kamu mesti menurut perintah dan jangan membandel."
Harus diketahui, bahwa menurut kebiasaan Liok-lim (Rimba Hijau kawanan perampok) di daerah Utara, dalam setiap perampokan, tukang kereta tidak boleh diganggu keselamatannya, jika ia menurut perintah.
Melihat keadaan begitu, dapat dimengerti jika tukang-tukang kereta itu tidak berani membantah lagi. Tanpa menghiraukan hujan, mereka lalu mendorong kereta-kereta piauw keluar ruangan itu.
Sakit sungguh hati Ma Heng Kong, melihat kereta piauw didorong keluar satu demi satu. Tidak lama kemudian, sebuah kereta keledai berhenti di depan pintu dan sambil memimpin wanita cantik itu, Tian Kui Long segera berjalan menuju ke kereta itu.
Pek-seng Sin-kun yakin, bahwa begitu kereta tersebut berangkat, bukan saja namanya runtuh. tapi bakul nasinya pun akan terbalik. Sambil menahan sakit, ia berdiri.
"Biarlah aku mengadu jiwa tua ini!" ia berteriak sambil menubruk Tian Kui Long dan coba mencengkeram dengan sepuluh jerijinya. Wanita itu ketakutan dan mengeluarkan teriakan kaget. Tian Kui Long berkelit sembari menghantam pundak Ma Heng Kong dengan telapak tangannya. Jika belum terluka, dengan gampang Ma Heng Kong akan dapat mengelakkan pukulan itu. Tapi, waktu itu otot-ototnya tidak menurut kemauannya dan meskipun matanya melihat sambaran tangan musuh, tak bisa ia berkelit atau meloncat minggir. Dengan mengeluarkan bunyi "buk", badannya terpental dan jatuh ngusruk di luar pintu.
Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suatu suara menyeramkan: "Bagus!" Dan sungguh heran, hampir berbareng dengan terdengarnya suara tersebut, paras muka Tian Kui Long dan wanita itu mendadak berubah pucat-pias dan badan mereka bergemetar!
Dengan cepat, orang she Tian itu mendorong si wanita ke dalam kereta, sedang ia sendiri lalu meloncat ke punggung keledai. Sembari menggencet perut hewan itu dengan kedua lututnya, ia mencambuk keledai tunggangannya. Tapi aneh, baru melangkah dua tiga tindak, si keledai lantas berhenti dan tak dapat maju setindak juga, meskipun dicambuk berulang-ulang.
Sementara itu, semua orang sudah berkumpul di pintu, menyaksikan apa yang terjadi. Mereka melihat seorang jangkung kurus sedang menahan roda kereta dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya mendukung sebuah bungkusan. Disabeti oleh Tian Kui Long, keledai itu berusaha mati-matian untuk bergerak, sehingga punggungnya melengkung, tapi kereta tersebut seperti juga terpaku di tanah dan tidak bergeming sedikit pun.
"Masuk!" orang itu membentak dengan suara yang membangunkan bulu roma. Tian Kui Long kelihatan bersangsi, tapi wanita itu sudah turun dari kereta dan tanpa menengok, ia masuk lagi ke dalam ruangan tadi. Ogah-ogahan Tian Kui Long turun dari keledainya dan menyusul wanita tersebut. Pakaiannya basah kuyup, tapi ia seakan-akan tidak merasakan itu dan berdiri dengan mata mendelong serta mulut ternganga, seolah-olah kehilangan semangat. Wanita cantik itu menggapai dan menyuruh Tian Kui Long duduk di sampingnya.
Orang jangkung kurus itu pun lantas masuk ke dalam ruangan dengan tindakan lebar dan duduk di samping perapian. Tanpa menengok kepada siapapun juga, ia membuka bungkusan itu yang isinya... adalah seorang anak perempuan berusia kira-kira dua tahun! Agaknya, karena khawatir anak itu kedinginan, begitu masuk ia duduk di pinggir perapian. Anak itu sedang tidur pulas, tapi di kedua matanya terdapat bekas-bekas air mata.
Ma It Hong, Cie Ceng dan Siang Po Cin buru-buru membangunkan Ma Heng Kong. Melihat Tian Kui Long begitu takut terhadap si jangkung kurus, mereka kaget berbareng girang. "Thia (ayah)," kata Ma It Hong. "Bagaimana lukamu? Orang... orang itu siapa?"
"Dia..." jawabnya, terputus-putus. "Dia.... Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu.... Kim.... Kim-bian-hud Biauw Jin Hong!" Sehabis berkata begitu, ia pingsan.
Dalam ruangan itu, orang-orang Hui-ma Piauw-kiok berdiri di sebelah timur, Giam Kie dan kawannya berkumpul di barat, sedang ketiga Gie-cian Siewie bersama Siang Po Cin berdiri di belakang kursi. Tanpa kecuali, semua mata mengawasi Biauw Jin Hong, Tian Kui Long dan wanita cantik itu.
Dengan sorot mata mencinta dan paras welas asih, Biauw Jin Hong mengawasi anak yang sedang didukungnya itu. Jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia sudah menahan roda kereta dengan sebelah tangannya, semua orang tentu sukar percaya, bahwa orang yang mempunyai paras muka begitu mempunyai kepandaian yang sedemikian tinggi.
Si cantik itu kelihatan tenang, kedua matanya mendelong memandang api, sedang di mulutnya tersungging senyuman dingin dan hanya seorang yang matanya luar biasa tajamnya, akan dapat melihat, bahwa kedua bibirnya sedikit bergemetar, mencerminkan hatinya yang sedang berdebar-debar. Tian Kui Long, orang ketiga yang ketika itu menjadi pusat perhatian, pucat-pias mukanya dan kedua matanya ditujukan kepada turunnya sang hujan di luar rumah.
Tiga orang itu, yang masing-masing matanya melihat ke arah tiga jurusan yang berbeda-beda, duduk diam tanpa mengeluarkan suara, tapi hati mereka sama-sama bergoncang keras, ada yang gembira, ada yang sedih dan ada pula yang ketakutan setengah mati.
Sambil mengawasi anak itu yang montok dan manis, di depan mata Biauw Jin Hong terbayang kejadian-kejadian pada tiga tahun yang lampau. Sudah tiga tahun! Tapi toh seakan-akan baru saja terjadi kemarin.
Kini sedang turun hujan besar, tapi pada hari itu tiga tahun yang lampau, yang turun lebat adalah salju.
Ketika itu, kira-kira magrib, seorang diri, dengan menumpang seekor kuda berbulu kuning yang kurus tinggi, ia sedang berada di jalan Ciang-ciu, propinsi Hopak. Sembari melarikan tunggangannya melawan serangan salju, ia teringat, bahwa sepuluh tahun sebelumnya, di bulan Cap-jiegwee (Bulan ke-12), ia telah mengadu silat di kola itu dengan Liao-tong Tayhiap Ouw It To dan dalam pertandingan tersebut, secara tak disengaja, ia sudah melukai Ouw It To dengan golok beracun, sehingga Ouw Hujin (nyonya Ouw) belakangan menggorok lehernya sendiri untuk mengikuti suaminya berpulang ke dunia baka.
Dengan Ouw It To, bukan saja kepandaiannya setanding, tapi juga sama-sama mempunyai sifat-sifat ksatria yang luhur. Dalam pertandingan itu, dari lawan mereka menjadi kawan yang paling menghormati. Tapi, tak dinyana, karena salah tangan, ia sudah melukai Liao-tong Tayhiap yang olehnya dianggap sebagai manusia satu-satunya di dalam dunia yang mengenal isi hatinya.
Ia dikenal sebagai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, atau orang yang tiada tandingannya dalam dunia, dan sesudah berkelana ke empat penjuru, baru ia bisa bertemu dengan seorang yang benar-benar merupakan tandingan setimpal baginya. Tiga hari mereka bertanding, sedang di waktu malam, mereka tidur di satu pembaringan. Hai! Selama sepuluh tahun, setiap kali mengingat peristiwa itu, belum pernah ia tidak menghela napas berulang-ulang dan mengeluh dengan suara perlahan: "Ouw It To! Ah, Ouw It To!"
Waktu itu sudah mendekati ulang tahun ke sepuluh hari meninggalnya suami isteri Ouw It To dan tanpa memperdulikan perjalanan jauh, dari Leng-lam Biauw Jin Hong pergi ke Ciangciu untuk bersembahyang di depan kuburan sahabat itu.
Kira-kira magrib, semakin mendekati Ciangciu, hati Kim-bian-hud menjadi semakin sedih. Sembari melarikan tunggangannya dengan perlahan, ia kata dalam hatinya: "Jika tahun itu aku tidak kesalahan tangan, hari ini tentu aku dapat malang melintang di kolong langit bersama-sama suami isteri Ouw dan dengan adanya kita berdua, segala pembesar busuk dan kawanan kurcaci tentu akan jadi ketakutan setengah mati. Ah, sungguh menggirangkan jika bisa terjadi begitu."
Selagi melamun, tiba-tiba terdengar bunyi pecut dan bentakan-bentakan kusir, beberapa saat kemudian dari antara kembang-kembang salju yang turun melayang-layang, muncul sebuah kereta keledai yang dilarikan pesat sekali.
Ketika kereta itu melewatinya, dari dalam kereta mendadak terdengar suara wanita yang merdu sekali. "Thia (ayah)," katanya. "Sesudah tiba di kota raja, kau harus mengantar aku pergi membeli bunga...." Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa suara itu adalah suara wanita kanglam yang sangat berbeda dengan suara penduduk Tiongkok Utara.
Baru saja melewati Biauw Jin Hong, kaki depan hewan itu tiba-tiba kejeblos ke dalam lubang, sehingga dia kenyuk-nyuk. Dengan tenang si kusir menarik les dan dengan meminjam tenaga tersebut, keledai itu mengangkat kakinya, untuk kemudian berlari pula.
Biauw Jin Hong heran. "Dilihat dari gerakan-nya, kusir itu bukan orang sembarangan," katanya di dalam hati. "Siapa dia? Aku rasa ada harganya untuk berkenalan."
Sebelum mengambil keputusan, di belakang kereta mendadak muncul seorang lelaki yang memikul sepikul barang keperluan pelancong dan mengejar kereta itu dengan tindakan lebar. Pikulannya yang terbuat dari kayu pohon Angco kelihatan melengkung, yang menandakan, bahwa barang itu bukannya enteng, tapi ia dapat berlari-lari cepat sekali dengan tindakan enteng.
Biauw Jin Hong jadi terlebih heran. "orang itu bukan saja bertenaga besar, tapi ilmu mengentengkan badannya juga tinggi sekali," pikirnya.
Sebagai seorang berpengalaman, ia mengetahui bahwa hal itu mesti ada latar belakangnya. Maka itu, ia segera menepuk tunggangannya dan mengikuti dari belakang.
Sesudah berjalan beberapa li, tukang pikul itu, yang berat bebannya kira-kira dua ratus kati, masih bisa beriari terus bagaikan terbang.
Sekonyong-konyong, di sebelah belakang terdengar bunyi gemerincing dan ketika menengok, Biauw Jin Hong melihat seorang lelaki lain, yang memikul alat-alat solder, sedang menyusul dari belakang. Tindakan orang itu malah lebih enteng lagi dan meskipun kakinya masih meninggalkan tapak di atas salju, ilmu mengentengkan badannya sudah jarang terdapat dalam Rimba Persilatan di wilayah Tiong-goan.
"Siapa dia?" tanya Biauw Jin Hong di dalam hati dengan kaget.
Tudung dan baju orang itu penuh salju dan di tengah-tengah sambaran angin, jalannya miring kian kemari. Mendadak Biauw Jin Hong mendusin. "Ah!" pikirnya. "Gan-heng-kong (Ilmu entengkan badan seperti burung belibis) adalah ilmu dari keluarga Ciong di Ouwpak Barat!"
Sesudah berjalan pula tujuh delapan li, siang berganti malam, tapi untung juga, mereka sudah tiba di sebuah kota kecil. Kereta itu berhenti di depan sebuah rumah penginapan dan Biauw Jin Hong pun segera turun dari kudanya di hotel itu. Rumah penginapan itu sangat kecil dan semua tamu berkumpul di ruangan tengah untuk menghangatkan badan di dapur atau makan minum.
Walaupun nama Biauw Jin Hong kesohor di seluruh negara, ia sendiri tidak banyak mengenal orang-orang Rimba Persilatan. Si tukang solder sama sekali tidak dikenalnya. Sesudah minta makanan, seorang diri ia duduk pada sebuah meja kecil. Ketiga orang luar biasa itu duduk makan pada meja terpisah dan mereka agaknya bukan berkawan. Mendadak, di ruangan dalam terdengar suara seorang yang berkata: "Lam Tayjin, Siocia (nona), penginapan ini sangat kecil. sehingga kalian, tentu sangat tidak leluasa. Marilah ke ruangan tengah untuk bersantap." Tirai kain tersingkap dan seorang pelayan mengantar seorang pembesar dan seorang nona masuk ke dalam ruangan itu. Melihat kedatangan seorang pembesar negeri, para tamu lantas saja berbangkit.
Hanya Biauw Jin Hong yang tidak memperdulikan dan duduk terus sambil menghirup araknya. Pembesar itu yang mengenakan jubah kebesaran tingkat ke lima, berbadan gemuk dengan muka seperti seorang kaya raya, sedang nona itu sungguh-sungguh cantik, sehingga jangankan di daerah Utara, di wilayah Kanglam sekalipun jarang terdengar wanita yang secantik ia. Masuknya mereka sudah membikin para tamu menjadi kikuk dan beberapa antaranya lantas saja berjalan keluar.
Si pelayan melayani kedua tamu itu secara luar biasa hormatnya, dengan mulut tak hentinya mengeluarkan kata-kata "Tayjin" dan "Siocia".
Mendengar nada suara pelayan itu yang sangat bertenaga, tanpa merasa Biauw Jin Hong jadi ketarik. Dilihat dari tindakannya, tak bisa salah lagi, orang itu mempunyai kepandaian yang tidak cetek. Disamping itu, pada bagian jalan darah Tay-yang-hiat kulitnya kelihatan agak menonjol, sehingga bisa dipastikan, bahwa ia itu mempunyai Lweekang (tenaga dalam) yang sangat tinggi.
Biauw Jin Hong tercengang. "Hm!" ia menggerendeng. "Orang-orang itu tentu mempunyai maksud tertentu. Biarlah aku menonton untuk menyaksikan apa yang mereka ingin lakukan."
Karena perhatiannya tertarik, tanpa merasa ia melirik beberapa kali ke arah si pembesar dan nona itu.
Sekonyong-konyong pembesar itu menggebrak meja dan membentak sambil menuding Biauw Jin Hong: "Hei! Siapa kau? Bertemu pembesar tidak menyingkir, masih tak apa. Tapi kenapa mata bangsatmu terus mengincar kemari? Aku melihat kaki tanganmu yang kasar memang pantas sekali menjadi bangsat. Sekali lagi kau berani mengincar, aku kirim kau ke kantor pembesar untuk dihajar setengah mampus!"
Biauw Jin Hong tidak meladeni. Sembari menunduk, ia menghirup araknya.
Pembesar itu jadi semakin gusar. "Hei!" ia berteriak. "Apakah kau tidak bisa minta maaf?"
"Thia," bujuk puterinya dengan suara halus. "Orang dusun ada juga yang tak mengenal adat. Guna apa meladeni orang kasar begitu? Hayo minum!" Ia mengangkat cawan arak yang lantas ditempelkan pada bibir ayahnya.
Sesudah mencegluk arak yang diberikan oleh si nona, amarahnya agak reda.
Melihat Biauw Jin Hong terus bersantap sembari menunduk, ia menganggap Kim-bian-hud sudah merasa takut dan ia sendiri pun lalu makan minum dengan gembira sembari bercakap-cakap dengan puterinya. Apa yang dibicarakan adalah rencana sesuatu yang akan dilakukan mereka, Sesudah tiba di Pakkhia dan memangku jabatan yang baru.
Selagi bercakap-cakap, pintu depan terbuka dan masuklah seorang pembesar lain, yang badannya kurus dan mukanya kuning. Begitu masuk, ia berseru: "Aha! Lagi-lagi aku bertemu dengan Jin Thong-heng (Saudara Jin Thong). Sungguh kebetulan!" Dengan tindakan lebar ia menghampiri, sedang Lam Jin Thong dan puterinya lantas saja berdiri.
"Tiauw Houw-heng (Saudara Tiauw Houw)," kata Lam Jin Thong sembari menyoja. "Selamat bertemu! Selamat bertemu!"
Si pelayan segera mengambil piring mangkok dan sumpit serta menambah arak dan sayur.
"Hm! Dengan Tiauw Houw-heng itu, semuanya sudah ada lima orang pandai," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya.
"Dilihat gerak-geriknya, ayah dan anak itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Tapi, apa mungkin aku salah mata?"
Memikir begitu, lebih-lebih ia berwaspada.
Harus diketahui, bahwa gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, atau orang yang tak ada tandingannya dalam dunia ini, sesungguhnya merupakan duri di mata orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan.
Dapat dikatakan, bahwa tak ada seorang gagah pun yang tidak ingin mencopot gelaran itu yang merupakan suatu hinaan bagi mereka. Selama hidupnya, sering sekali Biauw Jin Hong harus melawan badai hanya karena gelarannya itu. "Apakah tak mungkin, bahwa mereka beramai-ramai datang untuk menyeterukan aku?" tanya Jin Hong di dalam hatinya.
Sementara itu, orang yang dipanggil "Tiauw Houw-heng" sudah berbicara serius sekali dengan Lam Jin Thong. Yang mereka bicarakan adalah soal-soal kalangan pembesar negeri.
Tiba-tiba si tukang pikul dan lukang solder, yang berada di luar ruangan, bercekcok mengenai soal ada tidaknya golok mustika yang dapat membacok putus emas dan giok, dalam dunia ini.
"Mana ada golok yang bisa memutuskan besi seperti membacok lumpur?" seru si tukang pikul. "Apa yang dinamakan Po-to (golok mustika) hanya golok yang lebih tajam dari golok biasa."
"Tahu apa kau?" si tukang solder mengejek. "Golok mustika adalah golok mustika. Jika tak khawatir kau menjadi ketakutan aku bisa memperlihatkan kau seblilah mustika, supaya kedua matamu jadi lebih terbuka."
"Kau punya golok mustika?" si tukang pikul menegas. "Fui. Jangan suka mengimpi di siang hari bolong! Jika kau mempunyai Po-to, tak usah kau menjadi tukang tambal pantat kuali! Kalau dikatakan kau mempunyai golok sayur yang tumpul, aku percaya juga." Mendengar ejekan itu, beberapa orang lantas saja tertawa berkakakan.
Dengan lagak mendongkol, si tukang solder mengeluarkan sebilah golok bersarung kulit, dari pikulannya. Begitu dihunus, golok itu mengeluarkan sinar berkeredep yang menyilaukan mata.
"Benar-benar golok luar biasa!" puji semua orang yang berada di situ.
Si tukang solder mengangkat goloknya dan berlagak membacok tukang pikul itu yang lantas loncat menyingkir sembari berteriak: "Aduh! Tolong ibu!" Melihat lelucon itu, para penonton tertawa ter-bahak-bahak.
Biauw Jin Hong terus memasang mata. "Hm! Tak bisa salah lagi, mereka adalah sejalan," pikirnya. "Dilihat lagaknya, permainan itu bukan ditujukan kepadaku."
"Siapa mempunyai golok sayur?" tanya si tukang solder.
"Aku pinjam."
"Ada," jawab si pelayan yang lantas masuk ke dapur dan keluar lagi dengan membawa golok.
"Cekal keras-keras," ujar tukang solder itu, sembari menyabet dengan goloknya. "Trang!" dan golok sayur itu kutung menjadi dua!
Semua orang bersorak-sorai sembari menepuk-nepuk tangan dan memuji ketajaman golok mustika itu.
Si tukang solder kelihatan girang dan bangga sekali. Lantas saja ia mengebul dan menceritakan bagaimana lihay dan tajamnya golok itu, sehingga semua orang mendengarkannya dengan mulut ternganga.
Lam Jin Thong yang juga mendengar segala perkataannya, tanpa merasa mengeluarkan gerendengan "hm", sedang bibirnya menjebi.
"Saudara Jin Thong," kata "Tiauw Houw-heng" itu. "Aku rasa golok itu pantas dinamakan golok 'mustika'. Tak nyana, orang semacam itu mempunyai senjata yang begitu berharga."
"Tajam sih memang tajam," sahut Lam Jin Thong. "Tapi belum tentu dapat dikatakan golok mustika."
"Aku rasa Saudara keliru," kata "Tiauw Houw-heng".
"Saudara sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana tajamnya golok itu. Apakah di dalam dunia ada senjata yang terlebih tajam?"
Lam Jin Thong tertawa seraya berkata: "Karena belum banyak pengalaman, melihat golok begitu saja, Saudara sudah terheran-heran. Aku...."
"Thia," si nona mendadak memutuskan perkataannya. "Hayolah cepat minum dan makan. Kau harus tidur siang."
"Anak sekarang pintar menilik orang tuanya," kata sang ayah sembari tertawa dan mengangkat sumpitnya.
"Hari ini benar-benar aku beruntung karena kedua mataku jadi lebih terbuka," kata pula "Tiauw Houw-heng". "Aku rasa, Saudara juga baru pernah melihat golok mustika yang semacam itu."
"Yang sepuluh kali lipat lebih bagus, aku sering melihatnya," jawab Lam Jin Thong sembari tertawa dingin.
"Tiauw Houw-heng" tertawa berkakakan. "Saudara benar-benar suka guyon-guyon," katanya. "Saudara adalah pembesar sipil. Golok mustika apakah yang Saudara pernah lihat?"
Si tukang solder agaknya juga sudah dapat menangkap pembicaraan kedua orang itu dan ia lantas saja berteriak: "Jika di dalam dunia benar- benar ada golok yang bisa mengalahkan golokku ini, aku rela mempersembahkan kepalaku kepadanya. Memang, berapa sukarnya orang menggoyang lidah. Aku bisa kata, anakku pernah menjadi pembesar tingkat kelima."
Melihat keberanian si tukang solder, semua orang jadi terkejut. "Jangan rewel, tutup mulutmu!" bentak seorang antaranya.
Lam Jin Thong gusar bukan main. Dengan muka pucat, ia bangun dan berjalan masuk ke kamarnya dengan tindakan lebar.
"Ayah!" puterinya memanggil, tapi dalam kegusarannya, mana ia mau meladeni. Dilain saat, ia sudah keluar pula dengan menenteng sebatang golok melengkung yang panjangnya tiga kaki dan bersarung hitam.
"Hei! Tukang solder!" ia membentak. "Aku mempunyai sebatang golok untuk diadu dengan golokmu. Jika kau kalah, kutungkanlah kepalamu!"
"Jika Looya (panggilan untuk seorang berpangkat) yang kalah?" tanya tukang solder itu.
"Aku juga akan mengutungkan kepalaku," jawab Lam Jin Thong dengan suara gusar.
"Thia," bujuk puterinya. "Kau sudah minum terlalu banyak. Guna apa rewel dengan mereka? Hayolah kita balik ke kamar."
Melihat Lam Jin Thong sudah bergerak untuk menurut bujukan puterinya, si tukang solder iantas saja berkata: "Jika Looya kalah, siauwjin (aku yang rendah) mana berani menerima kepala Looya? Begini saja: Ambillah aku sebagai menantumu!"
Mendengar kata-kata yang kurang ajar itu, ada yang tertawa dan ada pula yang menegur padanya.
Lam Siocia sendiri menjadi merah mukanya dan dengan kemalu-maluan, ia lari masuk ke dalam kamarnya.
Perlahan-lahan Lam Jin Thong menarik keluar golok itu dari sarungnya. Baru dihunus separuh, suatu sinar hijau yang dingin berkeredep menyilaukan mata dan sesudah dicabut seluruhnya, sinar dingin itu berkeredep-keredep tak hentinya, sehingga orang sukar membuka matanya.
"Buka matamu!" Lam Jin Thong membentak. "Golokku ini dinamakan Hui-ho Po-to (Golok mustika si Rase Terbang)."
Golok itu yang tebal belakangnya dan tipis bagian tajamnya, sungguh-sungguh hebat. Si tukang solder mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa gagang golok yang berbentuk rase terbang dibungkus dengan benang emas. "Golok Looya benar-benar bagus, tak usah diadu lagi," katanya.
Melihat siasat orang-orang itu, Biauw Jin Hong lantas saja mengerti maksudnya. Tak salah lagi. mereka datang untuk merampas golok mustika tersebut. Sebagaimana diketahui, orang-orang yang pandai silat menghargai senjata tajam seperti jiwanya sendiri. Maka itu, tidaklah mengherankan, jika golok mustika itu sudah membikin banyak orang jadi mata gelap. Akan tetapi, Lam Jin Thong adalah seorang pembesar sipil. Dari mana ia memperoleh Po-to itu? Dan dengan cara apa, orang-orang itu bisa mengetahuinya?
Sesudah mengerti, bahwa orang-orang itu bukan hendak menyeterukan dirinya, hati Biauw Jin Hong menjadi tenang.
Begitu Hui-ho Po-to terhunus, "Tiauw Houw-heng", si pelayan, si tukang pikul, si kusir dan tukang solder serentak mendekati. Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa semuanya sudah merasa tidak sabar dan mereka belum turun tangan hanya karena merasa jerih satu terhadap yang lain.
Karena diejek, dalam kegusarannya Lam Jin Thong memang berniat mengadu goloknya. Tapi sesudah melihat golok lawan yang juga bukan golok biasa, hatinya khawatir kalau-kalau senjatanya sendiri turut mendapat kerusakan. Maka itu, lantas saja ia berkata: "Sudahlah, jika kau mengakui kesalahanmu. Lain kali janganlah bicara yang tidak-tidak."
Selagi Lam Jin Thong ingin masukkan senjata itu ke dalam sarungnya, "Tiauw Houw-heng" sekonyong-konyong merampas golok itu dan dengan sekali menyabet, golok si tukang solder sudah menjadi dua potong.
Si tukang solder, tukang pikul, kusir dan si pelayan segera mengurung "Tiauw Houw-heng" dan bersiap untuk lantas turun tangan. Melihat begitu, walaupun tangannya mencekal golok mustika, ia merasa tidak ungkulan dan buru-buru memulangkan golok itu kepada Lam Jin Thong sembari berkata: "Golok bagus! Golok bagus!"
Paras muka Lam Jin Thong berubah. "Hai, kau sungguh ceroboh!" ia menegur sambil masukkan Hui-ho Po-to ke dalam sarungnya dan kemudian kembali ke kamarnya untuk mengaso.
Biauw Jin Hong mengerti, bahwa dengan siasatnya itu, kelima orang tersebut hanya ingin mencari tahu benar tidaknya Lam Jin Thong mempunyai golok mustika. Ia menaksir, bahwa dalam tempo cepat, mereka berlima akan saling membunuh dalam perebutan. Meskipun Biauw Jin Hong berjiwa ksatria, tapi karena melihat cara-cara Lam Jin Thong yang sangat kasar, ia segera memutuskan untuk tidak mencampuri urusan itu.
Besok paginya, ia mendapat kenyataan, bahwa Lam Jin Thong dan puterinya sudah berangkat, sedang si tukang solder dan yang Iain-lain, bahkan si pelayan juga, sudah menghilang dari rumah penginapan tersebut.
"Ah, benar juga orang kata, bahwa di segala pelosok dunia terdapat buaya-buaya," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya sambil menghela napas. Ia lalu membayar uang penginapan dan berangkat dengan menunggang kudanya. Sesudah berjalan dua puluh li lebih, di selat gunung sebelah barat mendadak terdengar teriakan seorang wanita yang menyayatkan hati: "Tolong! Tolong!" Ituiah teriakan Lam Siocia! Begitu mendengar jeritan itu, Biauw Jin Hong jadi naik darahnya. Ia loncat turun dari tunggangannya dan berlari-lari ke arah suara teriakan itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah membelok dua kali, jauh-jauh ia sudah melihat mayat Lam Jin Thong yang rebah di atas salju, sedang Hui-ho Po-to menggeletak di samping mayat itu, agaknya tak ada orang yang berani menjumput terlebih dulu. Lam Siocia yang sedang menangis, ditekap mulutnya oleh si tukang solder.
Biauw Jin Hong segera menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar untuk menyaksikan perkembangan selanjutnya.
"Golok mustika hanya satu, yang menginginkan ada lima orang," kata "Tiauw Houw-heng". "Bagaimana baiknya?"
"Kita mengadu kepandaian, siapa menang, siapa dapat," jawab si tukang pikul.
"Tiauw Houw-heng" melirik Lam Siocia dan berkata pula: "Golok mustika dan wanita cantik adalah benda yang sama-sama sukar didapat di dalam dunia."
"Aku tak turut dalam perebutan golok," kata si tukang solder. "Cukup dengan mendapatkan ini."
"Enak saja kau!" bentak si pelayan sembari tertawa dingin.
"Begini saja: Yang nomor satu dapat golok, nomor dua dapat si nona."
"Bagus! Aku mufakat," kata si kusir.
"Lauw-hia (kakak)," kata si pelayan kepada si tukang solder. "Lepaskanlah dia. Mungkin sekali aku merebut kedudukan kedua dan nona manis itu akan menjadi isteriku!"
"Benar!" kata "Tiauw Houw-heng" sembari tertawa.
Mau tak mau, si tukang solder melepaskan Lam Siocia yang lantas saja menghampiri mayat ayahnya dan menangis.
"Siocia, sudahlah, jangan menangis!" kata si tukang pikul sembari menarik tangan Lam Siocia dengan cara yang kurang ajar sekali.
Sampai di situ, Biauw Jin Hong tak dapat bersabar lagi. Dengan tindakan lebar, ia keluar dari tempat sembunyinya dan membentak: "Pergi!" Kelima orang itu terkesiap.
"Siapa kau?" tanya mereka hampir berbareng.
Biauw Jin Hong yang tak suka banyak berbicara, hanya mengebas tangannya dan membentak pula: "Pergi semua!"
Antara mereka adalah si tukang solder yang adatnya paling berangasan. "Kau yang pergi!" ia berteriak sembari menghantam dada Kim-bian-hud dengan kedua tangannya.
Biauw Jin Hong mengerahkan tenaga dalamnya dan menangkis kekerasan dengan kekerasan juga. Begitu kesampok, badan si tukang solder "terbang" ke udara untuk kemudian jatuh ngusruk di atas salju!
Melihat lihaynya Biauw Jin Hong, keempat orang lainnya jadi terperanjat. "Siapa kau?" mereka menanya pula.
Biauw Jin Hong tak menyahut, ia terus menerjang. Si kusir mengeluarkan Joan-pian (cambuk) dari pinggangnya dan si tukang pikul menarik keluar pikulannya dan mereka segera menyerang dari kiri kanan. Kim-bian-hud mengetahui, bahwa lima orang itu semuanya mempunyai kepandaian tinggi dan jika mereka mengerubuti, belum tentu ia bisa mendapat kemenangan. Maka itu, begitu bergebrak, ia segera menurunkan tangan dengan tidak mengenal kasihan lagi. Sembari mengelit sambaran Joan-pian, tangan kanannya menangkap ujung pikulan yang lantas dibetotnya dan dengan sekali mengerahkan tenaga, pikulan itu yang terbuat dari kayu angco sudah dibuatnya patah menjadi dua potong! Hampir berbareng dengan itu, kaki kirinya menendang si kusir yang lantas saja jatuh terpelanting. Dengan ketakutan, si tukang pikul coba melarikan diri, tapi Biauw Jin Hong sudah keburu mencengkeram leher bajunya dan sekali dilontarkan, badan tukang pikul itu melayang ke tengah udara bagaikan layangan putus dan jatuh celentang di tempat yang jauhnya belasan tombak.
"Tiauw Houw-heng" yang bisa melihat gelagat, buru-buru membungkuk dan berkata dengan suara manis: "Menyerah! Kita menyerah. Po-to itu seharusnya menjadi milik tuan." Sembari berkata begitu, ia memungut Hui-ho Po-to dan mempersembahkannya kepada Biauw Jin Hong.
"Aku tak kesudian!" kata Kim-bian-hud. "Pulangkan kepada yang punya!"
"Tiauw Houw-heng" terkejut. "Di dalam dunia, di mana ada orang yang begitu baik hati!" pikirnya. Ia mengawasi Biauw Jin Hong yang mukanya berwarna kuning emas dan parasnya angker sekali. Mendadak ia sadar. "Ah!" katanya. "Tuan adalah Kim-bian-hud Biauw Tayhiap!"
"Kami semua mempunyai mata, tapi tak bisa melihat gunung Thaysan," kata "Tiauw Houw-heng".
"Sekarang kami bertemu dengan Biauw Tayhiap. Apalagi yang kami bisa katakan." Sehabis berkata begitu dengan kedua tangan ia
mengangsurkan golok mustika itu seraya berkata pula: "Siauwjin (aku yang rendah) bernama Chio Tiauw Houw dan sungguh beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan Biauw Tayhiap. Terimalah golok ini!"
Biauw Jin Hong yang paling sungkan rewel, lantas saja menyambuti dengan niatan untuk menyerahkan lagi senjata mustika itu kepada Lam Siocia.
Dan pada detik itulah, berbareng dengan terdengarnya suara "srr, srr" yang sangat halus, Biauw Jin Hong merasakan lututnya seperti digigit semut, dan sementara itu, Chio Tiauw Houw yang sudah loncat minggir, lantas saja kabur sembari berteriak: "Dia sudah terkena Coat-bun Tok-ciam (jarum beracun)! Lekas kepung padanya!"
Mendengar kata-kata "Coan-bun Tok-ciam", Biauw Jin Hong terperanjat. Ia ingat, bahwa paku beracun keluarga Chio di propinsi Hunlam tersohor lihaynya di seluruh wilayah Tionggoan. Sembari menarik napas dalam-dalam, ia loncat memburu dan dalam sekejap sudah menyusul musuh itu. Sekali ditotok jalan darahnya, Chio Tiauw Houw rubuh terguling.
Mendengar Kim-bian-hud sudah kena senjata beracun, si tukang pikul dan yang lain merasa sangat girang dan lantas saja mengurung dari sebelah jauh untuk menunggu sampai racun bekerja. Biauw Jin Hong menahan napas dan menerjang maju dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan yang paling tinggi. Si tukang pikul ketakutan setengah mati dan lari ngiprit berputar-putar sekeras-kerasnya mengelilingi kalangan pertempuran itu. Tapi, mana bisa ia meloloskan diri dari tangan Kim-bian-hud. Di lain saat, Biauw Jin Hong sudah menghantam dengan telapak tangan kanannya dan dia terjungkal binasa dengan isi perut hancur. Kaki Kim-bian-hud tak berhenti dan beberapa detik kemudian, ia sudah menyusul si kusir yang dalam keadaan kepepet, terpaksa melawan juga dengan Joan-piannya. Ia mengharap bisa mempertahankan diri sampai delapan sembilan jurus, untuk menunggu bekerjanya racun. Tapi Biauw Jin Hong tentu saja sungkan memberi kesempatan dan sekali berkelebat, tangannya sudah menangkap ujung pecut yang lantas dibetot dan cepat luar biasa, ia menghantam kepala musuh dengan gagang Joan-pian itu, si kusir lantas saja terguling dengan batok kepala hancur.
Sesudah membinasakan dua orang, kaki Biauw Jin Hong sudah mulai kesemutan. la mengetahui, bahwa disaat itu, ia berada dalam keadaan yang menentukan mati atau hidup dan sedikit pun ia tidak boleh mengaso. Akan tetapi, si pelayan dan si tukang solder berada dalam jarak puluhan tombak. Selama hidup, sedapat mungkin Kim-bian-hud sungkan mengambil jiwa manusia. Tapi, ia mengerti bahwa jika di antara lima musuh itu masih ada yang hidup dan ia sudah keburu rubuh akibat bekerjanya racun, maka jiwanya tentu tidak dapat ditolong lagi. Mengingat begitu, sambil menggertak gigi, ia mengejar si pelayan. Orang itu licik sekali, ia berlari-lari di tempat-tempat becek dan banyak lubang. Tapi dengan memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, itu semua tidak merupakan rintangan besar bagi Kim-bian-hud yang dengan cepat sudah dapat menyusul. Dalam keadaan putus harapan si pelayan mencabut Citsiunya (pisau) dan menubruk. Pada saat ditubruk, Biauw Jin Hong memutarkan badan dan tanpa menengok lagi, ia menendang ke belakang. Sehabis memandang, ia segera mengejar si tukang solder. Tendangan itu dengan jitu menghajar ulu hati si pelayan yang lantas saja rubuh tanpa bernapas lagi.
Meskipun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi, si tukang solder memiliki ilmu mengentengkan badan Gan-hong-kong dari keluarga Ciong, yang dianggap sebagai ilmu luar biasa dalam Rimba Persilatan. Disamping itu, pengejaran atas berapa orang itu barusan sudah mempercepat bekerjanya racun, sehingga, ketika mengejar si tukang solder, tindakan Biauw Jin Hong tidak begitu cepat lagi dan ia tak dapat menyusul musuhnya. Melihat itu, si tukang solder menjadi girang sekali. "Dengan dipayungi Tuhan, golok mustika dan nona manis akan menjadi milikku," pikirnya.
Tapi baru saja ia bergirang, ketika serupa benda hitam sekonyong-konyong datang menyambar bagaikan kilat dan tak dapat dielakkannya lagi. Ternyata, benda itu adalah Joan-pian yang dilontarkan oleh Biauw Jin Hong. Setelah mengetahui, bahwa ia tidak akan dapat menyusul musuhnya, ia menimpuk dengan menggunakan tenaganya yang penghabisan dan timpukan itu tepat mengenai kempungan si tukang solder yang lantas saja menggeletak binasa di atas tanah yang tertutup salju. Tapi, sekarang Kim-bian-hud sendiri tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan ia jatuh terduduk.
Sambil menangis di samping jenazah ayahnya, Lam Siocia memperhatikan jalannya pertempuran dahsyat itu dengan hati berdebar-debar dan penuh ketakutan. Ketika melihat Biauw Jin Hong rubuh, buru-buru ia menghampiri dan coba membangunkannya. Tapi tubuh Kim-bian-hud yang tinggi besar, berada di luar batas kekuatan gadis yang lemah itu.
Walaupun bagian bawah badannya mati, pikiran Biauw Jin Hong masih tetap jernih. "Lekas geledah badannya," ia memerintah sambil menuding Chio Tiauw Houw yang tak dapat bergerak, karena jalan darahnya ditotok. "Ambil obatnya dan berikan kepadaku." Lam Siocia melakukan itu dan beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan sebuah botol kristal dari dalam saku Tiauw Houw.
"Apa ini?" tanya si nona.
Saat itu otaknya Kim-bian-hud sudah mulai butak. "Jangan mau tahu... kasih... aku... makan," katanya dengan suara lemah.
Lam Siocia lalu membuka tutup botol tersebut dan menuang yowan yang berwarna kuning ke mulut Biauw Jin Hong.
"Bunuh mati padanya!" memerintah Kim-bian-hud sesudah menelan obat itu.
Si nona terkejut dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku... aku tidak berani... membunuh orang."
"Dia yang memhunuh ayahmu!" berkata Biauw Jin Hong dengan suara keras.
"Tidak... aku tidak berani," jawabnya, tergugu.
"Sesudah lewat enam jam, jalan darahnya akan terbuka sendiri," kata Biauw Jin Hong. "Aku mendapat luka sangat berat... kita berdua bisa mati tanpa kuburan."
Dengan kedua tangan, Lam Siocia mengangkat golok mustika itu yang lalu dihunus. Sesaat itu, ia melihat kedua mata Chio Tiauw Houw mengeluarkan sorot minta dikasihani. Sebagai manusia yang belum pernah memotong ayam atau bebek, bagaimana dapat diharapkan agar si nona bisa turun tangan untuk membunuh orang?
"Jika kau tidak membunuh dia, bunuhlah aku!" bentak Biauw Jin Hong. Si nona terkesiap, goloknya terlepas dan jatuh tepat di atas kepala Chio Tiauw Houw. Hui-ho Po-to adalah golok mustika yang dapat memapas besi bagaikan lumpur, maka begitu kena, kepala Chio Tiauw Houw lantas terbelah dua! Lam Siocia menjerit dan rubuh pingsan di atas badan Kim-bian-hud.
******
Melamun sampai di situ, anaknya yang didukung itu mendadak tersadar dan menangis. "Ayah, mana ibu?" tanyanya dengan sesenggukan.
Biauw Jin Hong tak menyahut. Anak itu menengok ke sana sini dan secara kebetulan, ia melihat nyonya cantik itu yang berada di dekat perapian. Sambil mementang kedua tangannya, ia berteriak: "Ibu! Ibu! Lan-lan sedang mencari kau!" Ia meronta-ronta, ingin menghampiri nyonya itu yang dipanggil ibu.
Semua orang heran bukan main. Terang-terang nyonya itu adalah istri Tian Kui Long. Kenapa anak itu memanggii "ayah" kepada Biauw Jin Hong dan "ibu" kepadanya? Suasana lantas saja menjadi tegang dan semua orang, kecuali anak itu yang tergirang-girang, berdebar-debar hatinya.
Perlahan-lahan nyonya itu bangun, menghampiri Biauw Jin Hong dan lantas saja menggendong anak itu.
"Ibu! Lan-lan sudah dapat mencari kau!" katanya dengan girang.
Si nyonya memeluk anak itu erat-erat. Dua muka yang cantik, satu besar dan satu kecil, jadi menempel satu pada yang lain dan air mata si anak yang belum kering jadi bercampur dengan air mata si ibu yang baru mengucur keluar.
Sementara itu, si lengan satu yang sedari tadi berdiri di pojok tembok dengan mata waspada, perlahan-lahan menghampiri Giam Kie. la membungkuk dan berbicara bisik-bisik di kuping kepala perampok itu, yang paras mukanya berubah pucat dengan mendadak. Sesudah melirik Biauw Jin Hong dengan sorot mata ketakutan, perlahan-lahan Giam Kie masukkan tangannya ke dalam saku dan kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kertas minyak. Si lengan satu mengambil bungkusan itu, yang lalu dibukanya.
Ternyata, di dalamnya terdapat dua lembar kertas yang sudah agak tua. la manggut-manggutkan kepalanya, masukkan bungkusan itu ke dalam kantong sendiri dan kemudian kembali ke pojok tadi.
Beberapa saat kemudian, nyonya itu mengeringkan air matanya dengan lengan baju dan sesudah mencium anaknya, sekonyong-konyong ia berbangkit dan sambil menahan turunnya air mata, ia menyerahkan kembali anak itu kepada Biauw Jin Hong.
"Ibu...! Ibu...! Ibu...!" teriak anak itu sambil meronta-ronta. Tapi sang ibu tetap berlalu, berlalu tanpa menengok pula.
Biauw Jin Hong menahan sabar sambil menunggu. Ia menunggu jawaban si cantik, ia menunggu menengoknya ibu yang telengas itu, untuk melihat puterinya yang sedang meronta-ronta.
Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong ingin sekali menyeret dan menginjak seorang manusia durhaka dengan kakinya untuk kemudian dibinasakan. Akan tetapi, ia mengetahui, bahwa manusia itu tentu akan mendapat pertolongan. Biauw Jin Hong adalah seorang yang dikenal sebagai tiada tandingannya dalam dunia ini, tapi hatinya lembek, penuh welas asih dan ia mencinta, dengan seluruh hatinya, perempuan cantik itu yang berhati kejam.
Demikianlah, sedang puterinya menjerit-jerit memanggil ibu, ia menunggu dan menunggu terus....
Apakah si cantik tuli?
Apakah dia manusia berhati baja?
Teriakan itu menyayatkan hati, tapi seujung rambut, ia tak bergerak.
Darah Kim-bian-hud bagaikan bergolak-golak. Jika menuruti dorongan hatinya, ia tentu sudah menghantam hancur puterinya sendiri, agar tak usah mendengar jeritan-jeritan yang mengiris hati.
Demikianlah, seorang gagah perkasa tiada tandingan, seorang ksatria dari ujung rambut sampai ujung jari kakinya, seolah-olah menjadi linglung. Ia memandang ke depan dengan mendelong dan di depan matanya kembali terbayang peristiwa di Ciangciu tiga tahun berselang itu.
******
Ketika itu, di atas tanah yang tertutup salju menggeletak tak kurang dari enam mayat. Akibat jarum beracun, Biauw Jin Hong tak dapat berdiri lagi, sedang Lam Siocia berada dalam ketakutan hebat.
"Tuntun kuda itu kemari," memerintah Kim-bian-hud dengan suara keras. Buru-buru si nona menuntun kuda itu ke hadapan Biauw Jin Hong dan kemudian mengangsurkan tangannya yang lemas halus untuk mengangkatnya. "Minggir!" perintah Biauw Jin Hong pula.
Sesudah Lam Siocia menyingkir, Kim-bian-hud ialu mencekal injakan kaki pada pelananya dan dengan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya terangkat naik dan hinggap di atas pelana.
"Pungut golok itu," kata Biauw Jin Hong dan bagaikan orang kehilangan semangat, si nona lantas saja menurut. Sesudah itu, dengan sebelah tangan ia mengangkat naik tubuh Lam Siocia ke atas pelana dan perlahan-lahan ia melarikan tunggangannya kembali ke rumah penginapan yang semalam.
Selama dalam perjalanan, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Biauw Jin Hong tak sampai menjadi pingsan. Tapi, begitu tiba di hotel, ia tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh terguling di atas salju di depan rumah penginapan itu. Dua pelayan lantas saja menggotong ia masuk ke dalam kamar.
Oleh karena menanggung budi yang sangat besar, Lam Siocia merawat penolongnya ini dengan telaten. Begitu tersadar dari pingsannya, Biauw Jin Hong segera menggulung kaki celananya dan mencabut dua batang jarum beracun yang masih menancap pada lututnya.
Sesudah itu, ia lalu minta seorang pelayan hotel mengisap darah beracun dari lukanya. Meskipun dijanjikan upah besar, pelayan itu tak berani melakukan pekerjaan tersebut. Tanpa berkata suatu apa, Lam Siocia segera menempelkan mulutnya yang mungil pada lutut Biauw Jin Hong dengan penuh kerelaan, ia menyedot keluar semua darah beracun yang mengeram di lutut sang penolong.
Si nona mengetahui, bahwa dengan berbuat begitu, ia sudah menyerahkan jiwa dan raganya kepada "si orang dusun". Tak perduli apakah dia itu seorang perampok atau buaya, Lam Siocia sudah mengambil keputusan untuk mengikuti orang yang sudah menolong jiwanya dan membaiaskan sakit hati ayahnya. Di lain pihak, Biauw Jin Hong juga mengerti, bahwa berbareng dengan diisapnya darah beracun oleh nona itu, penghidupannya berkelana di kalangan Kang-ouw sudah tiba pada akhirnya. Mulai dari sekarang, ia bertanggung jawab untuk keselamatan wanita itu, suka duka Ciankim Siocia tersebut adalah suka dukanya sendiri.
Sesudah makan obat Chio Tiauw Houw dan sesudah darah beracun itu diisap habis, jiwa Biauw Jin Hong boleh tak usah dikhawatirkan lagi. Akan tetapi, Coat-bun Tok-ciam hebat bukan main. Dalam sepuluh hari, kedua kakinya tak akan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Ia segera mengeluarkan beberapa potong perak dan minta pertolongan pelayan hotel untuk mengurus dan mengubur jenazah ayah Lam Siocia serta lima orang itu yang ingin merampas Hui-ho Po-to.
Lam Siocia tidur sekamar dengan Biauw Jin Hong dan siang malam ia merawat Kim-bian-hud dengan telaten sekali. Sesudah mengalami peristiwa yang sangat... sangat hebat itu, sering sekali dalam tidurnya ia mengigau, menangis dan menjerit ketakutan. Biauw Jin Hong adalah seorang yang tidak pandai bicara dan ia sama sekali tidak dapat mengeluarkan kata-kata untuk menghibur nona cantik itu. Akan tetapi, setiap kali melihat si nona berparas guram, ia selalu memandangnya dengan sorot mata mencinta, sehingga tanpa merasa, hati gadis itu jadi terhibur juga.
Lam Siocia memberitahukan Biauw Jin Hong, bahwa di waktu menjabat pangkat di Kang-ouw, ayahnya telah menangkap seorang bajak yang kesohor namanya dan dari bajak itu, ia mendapatkan golok Hui-ho Po-to. Tidak lama kemudian, ayahnya dipanggil ke kota raja untuk memangku jabatan yang lebih tinggi. Dalam perjalanan itu, sang ayah telah membawa juga Hui-ho Po-to dan ia niat mempersembahkannya kepada orang yang sudah menolongnya memperoleh kenaikan pangkat. Tapi, tak dinyana, perjalanan itu sudah mengakibatkan kebinasaannya.
Biauw Jin Hong segera menanyakan nama bajak itu, tapi Lam Siocia tidak dapat menjelaskannya. Apa yang diketahuinya adalah, bahwa si penjahat sudah mati dalam penjara.
Kim-bian-hud menghela napas, "Orang gagah manakah yang sudah binasa secara begitu mengecewakan?" ia menanya dirinya sendiri.
Pada malam hari ke lima, Lam Siocia membawa semangkok obat ke dalam kamar. Selagi Biauw Jin Hong menyambut obat itu sekonyong-konyong di luar jendela terdengar beberapa suara yang halus. Tanpa berubah paras, Kim-bian-hud minum terus obatnya. Dari suara itu, ia mengetahui, bahwa di luar jendela terdapat musuh yang sedang mengintip gerak-geriknya, tapi yang tidak berani lantas turun tangan.
"Tak bisa salah lagi mereka tentunya kawan lima orang itu," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya. "Lima-enam hari lagi, sedikit pun aku tidak merasa takut. Tapi dalam beberapa hari ini, kedua kakiku masih belum bisa bergerak dan kalau yang datang musuh-musuh tangguh, benar-benar sukar dilayani."
Tiba-tiba suatu sinar putih menyambar dari luar jendela dan sebilah pisau belati, yang pada gagangnya diikatkan selembar kertas, menancap di atas meja. Lam Siocia menjerit dan lari ke samping Biauw Jin Hong.
Tangan Biauw Jin Hong yang sedang rebah di atas pembaringan, tak cukup panjang untuk mengambil pisau itu dari tengah meja. Sembari tertawa dingin, ia menepuk tepi meja. Pisau itu, yang menancap beberapa dim dalamnya, lantas loncat kira-kira satu kaki tingginya dan jatuh di pinggir tangan Kim-bian-hud.
"Kim-bian-hud benar-benar lihay!" demikian terdengar suara orang di luar jendela. Dilain saat, dua orang kedengaran melompati tembok, disusul dengan terdengarnya derap kaki kuda yang semakin lama jadi semakin jauh.
Biauw Jin Hong membuka kertas itu yang tertulis seperti berikut:
"Ciong Tiauw Bun, Tiauw Eng dan Tiauw Leng dari Ouwpak Utara, menyampaikan hormat yang sebesar-besarnya."
Lam Siocia melihat, ia mengawasi surat itu dengan paras muka guram, entah jengkel, entah gusar.
"Musuh cari kita?" tanyanya. Biauw Jin Hong manggut.
"Musuh lihay?" tanya pula si nona. Kim-bian-hud kembali mengangguk.
"Dia kabur karena melihat cara kau menepuk meja?" tanya lagi si nona.
"Dia bukan musuh, hanya orang suruhan untuk mengantar surat," jawabnya.
"Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi, mereka tentu akan merasa jeri," kata Lam Siocia dengan suara kagum.
Biauw Jin Hong tak menyahut, otaknya sedang bekerja. "Tiga saudara Ciong yang bergelar Kui-kian-cu (Ditakuti setan) adalah orang-orang yang disegani dan tak mengenal takut," pikirnya. "Hanya sayang, kedua lututku masih belura sembuh."
Walaupun mulutnya, mengucapkan kata-kata-nya tadi, sebenarnya Lam Siocia sangat khawatir. Maka itu, beberapa saat kemudian, ia berkata pula: "Toako (kakak), apakah tidak baik jika sekarang kita kabur dengan menunggang kuda, supaya mereka tak dapat mencari kita?"
Biauw Jin Hong menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Bagaimana mungkin Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu Kim-bian-hud Biauw Jin Hong, lari kabur dalam menghadapi musuh? Ia memang tak banyak bicara, apa pula mengenai urusan itu, tak guna banyak bicara.
Malam itu, Lam Siocia terus gulak-gulik, tanpa bisa pulas. Sesudah mengalami gelombang dan badai hebat, sekarang ia benar-benar memikirkan keselamatan "si orang dusun" yang kasar. Tapi Biauw Jin Hong sendiri terus pulas dengan nyenyak dan tenang.
Besok paginya, Kim-bian-hud minta semangkok mie dan sebuah kursi. Sesudah apa yang diminta itu diantarkan kepadanya, ia segera duduk di ruangan tengah, sedang Hui-ho Po-to disenderkan di pinggir kursi.
Ia adalah seorang yang sungkan membuat rencana terlebih dulu, oleh karena kejadian yang sebenarnya sering menyimpang dari rencana yang sudah ditetapkan. Maka itu, ia duduk di kursi dan menunggu perkembangan selanjutnya.
Melihat sikapnya yang menyeramkan, Lam Siocia jadi ketakutan dan mengajukan beberapa pertanyaan, tapi sepatah pun tak mendapat jawaban, sehingga si nona tidak berani menanya lagi.
Pada waktu Sien-sie (antara jam tujuh dan sembilan pagi), diluar pintu terdengar derap kaki kuda dan tiga orang loncat turun dari tunggangan mereka, untuk kemudian terus masuk ke dalam hotel itu.
Melihat dandanan mereka, semua orang jadi terkesiap. Ternyata, ketiga orang itu masing-masing mengenakan pakaian berkabung dari kain blacu kasar, dengan topi dan sepatu putih.
Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa tiga saudara Ciong menjagoi di daerah Kengciu dan Siang-yang. Mereka mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, hal mana terbukti dari kepandaian muridnya - si tukang solder - yang tidak cetek. Sekarang dengan kedatangan tiga saudara itu sendiri, Biauw Jin Hong mengerti ia sedang menghadapi lawan berat.
Paras muka mereka sangat mirip dengan yang Iain, ketiga-tiganya berwajah putih pucat, berhidung besar yang menghadap ke atas dan perbedaan antara usia mereka hanya bisa dilihat dari kumis mereka. Yang paling tua, Ciong Tiauw Bun, kumisnya berwarna kelabu, yang kedua Ciong Tiauw Eng berkumis hitam, sedang yang paling muda, Ciong Tiauw Leng, tidak memelihara kumis.
Di waktu mereka masuk, Biauw Jin Hong melihat tindakan mereka enteng luar biasa, seolah-olah tidak menginjak tanah, sehingga lantas saja ia mengerti, bahwa ketiga lawan itu benar-benar bukan lawan enteng. Selama berkelana di dunia Kang-ouw, semakin tangguh musuhnya, makin bergelora semangat Biauw Jin Hong. Sesaat itu, tanpa merasa buku-buku tulang di sekujur badannya berbunyi peratak-perotok.
Begitu berhadapan, ketiga saudara Ciong lantas menyoja dalam-dalam seraya berkata: "Biauw Tay-hiap, selamat bertemu."
Kim-bian-hud membalas hormat dan berkata: "Selamat bertemu. Aku tak bisa berdiri, harap kalian sudi memaafkan."
"Sedang Biauw Tayhiap mendapat luka di lutut, menurut pantas memang kami tak boleh mengganggu," kata Ciong Tiauw Bun. "Akan tetapi, sakit hati murid kami, tak bisa tidak dibalas, sehingga kami mohon Biauw Tayhiap suka memaafkan kami bertiga."
Mendengar itu, Kim-bian-hud hanya mengangguk.
"Kepandaian Biauw Tayhiap kesohor di kolong langit," Tiauw Bun berkata pula. "Jika kami bertiga bertempur satu lawan satu, sudah pasti kami bukan tandingan Tayhiap, Loo-jie! Loo-sam! Marilah kita bertiga menyerang dengan berbareng!"
"Baik," sahut kedua saudaranya dengan berbareng.
Dalam Rimba Persilatan, ketiga saudara Ciong itu mempunyai nama yang baik. Walaupun cara-cara mereka aneh, kedudukan mereka dalam kalangan Kang-ouw adalah tinggi dan disegani oleh banyak orang. Disaat itu dengan serentak, masing-masing mencabut sepasang Poan-koan-pit (senjata berbentuk alat tulis Tionghoa) dari pinggangnya.
Tadi, begitu mereka masuk, para tetamu dan pelayan hotel sudah menduga, bahwa di ruangan itu bakal terjadi suatu pertempuran. Sekarang, begitu mereka menghunus senjata, semua orang lantas saja menyingkir, sehingga ruangan itu jadi kosong melompong.
Hanya seorang yang tidak bergerak dan orang itu bukan lain daripada Lam Siocia yang tetap berdiri di suatu sudut. Bahwa seorang wanita yang sedemikian lemah, sudah berani berdiri tegak untuk menyaksikan pertempuran itu, sangat mengharukan hati Biauw Jin Hong. Dan pada detik itulah, suatu tali percintaan yang tak dapat dilihat dengan mata manusia, sudah menyirat erat-erat hati Kim-bian-hud. Oleh karena sikap yang gagah itu, lenyaplah segala kesangsian yang mungkin masih terdapat di dalam hati Biauw Jin Hong untuk mengikat seluruh jiwa dan raganya dengan nona yang cantik dan lemah lembut itu.
la mesem puas dan segera menghunus Hui-ho Po-to.
Melihat sinar golok yang berkeredepan, ketiga saudara Ciong serentak memuji: "Benar-benar sebuah golok mustika!"
Dilain saat, mereka sudah menyerang dengan berbareng, Tiauw Bun dari depan, Tiauw Eng dari samping kiri, sedang Tiauw Leng dari samping kanan. Biauw Jin Hong melintangkan goloknya tanpa bergerak. Pada saat enam ujung Poan-koan-pit itu hampir melanggar kulitnya, tiba-tiba saja, cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membabat ketiga orang itu dengan Hui-ho Po-to.
Ciong-sie Sam-heng-tee (tiga kakak beradik she Ciong) juga sungguh-sungguh bukan lawan tempe! Diserang secara begitu mendadak dan dengan gerakan yang sangat aneh, mereka toh keburu menyingkir dari babatan golok. Mereka heran, heran karena mereka sama sekali tidak nyana, bahwa Biauw Jin Hong, yang kesohor ilmu pedangnya (Biauw-kee Kiam-hoat, atau ilmu pedang dari keluarga Biauw), juga memiliki ilmu silat golok yang begitu tinggi. Mereka tentu saja tidak mengetahui, bahwa pukulan yang barusan digunakan oleh Kim-bian-hud adalah salah semacam pukulan dari Ouw-kee To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw), yang didapatnya dari Ouw It To sendiri.
Pertempuran lantas saja berlangsung dengan hebatnya. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, ketiga saudara itu menyerang bagaikan gelombang dan kadang-kadang loncat menyingkir, jika Biauw Jin Hong membalas dengan pukulan-pukulan aneh. Tak usah disebutkan lagi, betapa dalam pertempuran itu, Biauw Jin Hong berada dalam kedudukan yang sangat dirugikan, karena ia sama sekali tidak dapat mengejar musuh-musuhnya yang lincah dan gesit. Akan tetapi, meskipun begitu, berkat Hui-ho Po-to dan kepandaiannya yang sudah mencapai puncak kesempurnaan, Kim-bian-hud tidak sampai jatuh di bawah angin. Dengan tenang dan mantap, ia menyapu setiap serangan. Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong yakin, bahwa untuk merubuhkan musuh-musuh itu, ia mesti bisa melakukan serangan mendadak yang luar biasa cepatnya dan di luar dugaan musuh-musuh itu.
Akan tetapi, ia juga mengetahui, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee adalah orang-orang yang tidak jahat dan telah mendapat nama harum dalam kalangan Kang-ouw. Sebagai seorang ksatria tulen, sedapat mungkin Biauw Jin Hong tidak ingin menurunkan tangan kejam terhadap mereka itu.
Di lain pihak, serangan-serangan ketiga saudara itu semakin lama jadi semakin hebat. Bagaikan hujan, enam batang Poan-koan-pit menyambar-nyambar ke arah berbagai jalan darahnya. Sekali lengah, bukan saja nama besarnya akan habis, laksana hanyut disapu air, akan tetapi Lam Siocia pun mungkin akan menderita dalam tangan ketiga lawan itu. Memikir begitu, serangan-serangannya juga jadi semakin hebat dan turun tangannya semakin berat. Melihat tenaga Biauw Jin Hong yang luar biasa besarnya dan goloknya yang sangat tajam, ketiga saudara Ciong tidak berani merangsek terlalu dekat.
Ketiga saudara itu menjadi jengkel dan habis sabar. Mendadak, sembari berseru keras, Ciong Tiauw Bun menggulingkan badannya dan menyerang di belakang kursi. Tak usah dikatakan pula, serangan itu adalah serangan licik, karena Biauw Jin Hong sama sekali tidak dapat memutarkan badan. Dengan berbunyi "tak!" sebuah kaki kursi itu patah, kursinya jadi miring dan tubuh Biauw Jin Hong pun turut miring.
"Celaka!" seru Lam Siocia.
Dalam keadaan berbahaya, tangan kiri Kim-bian-hud menyambar ke arah muka Ciong Tiauw Eng, yang lantas coba menyingkir.
Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya suatu sinar dingin, sebatang Poan-koan-pit yang dicekal Tiauw Eng dan sebatang lagi yang dipegang Tiauw Leng, terpapas kutung, sedang Tiauw Bun juga merasakan pundaknya sakit, tergores golok! Itulah pukulan In-liong-sam-hiaiv (Tiga kali naga menampakkan diri) yang didapat dari Ouw It To, semacam pukulan luar biasa yang dengan sekali membabat dapat melukakan tiga orang musuh dengan berbareng.
Ciong-sie Sam-heng-tee menyingkir jauh-jauh. Mereka saling mengawasi dengan perasaan kaget dan kagum.
"Loo-toa, kau terluka?" Tiauw Eng menanya kakaknya.
"Tak apa-apa," jawab sang kakak.
Melihat kursi Biauw Jin Hong sudah miring, Tiauw Bun mengerti, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. Akan tetapi satu hal tetap ditakutinya, yaitu: Golok mustika dengan ilmu silat golok yang luar biasa itu.
"Dengan menggunakan senjata, kami bertiga ternyata bukan tandingan Biauw Tayhiap," kata Tiauw Bun sembari merangkap kedua tangannya. "Sekarang kami ingin memohon pelajaran dari Biauw Tayhiap dengan tangan kosong."
Kata-kata itu diucapkan secara manis, tapi maksudnya sangat beracun. Menyingkir dari keunggulan lawan dan menyerang di bagian lemah, adalah perbuatan seorang yang menghendaki jiwa. Menurut peraturan Kang-ouw, Biauw Jin Hong sebenarnya dapat menolak usul yang licik itu. Akan tetapi, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyali Kim-bian-hud besar luar biasa. Sembari tertawa dingin, ia masukkan Hui-ho Po-to ke dalam sarung dan manggutkan kepalanya. "Baiklah!" jawabnya, dengan tenang.
Dengan girang, ketiga saudara itu lalu melemparkan Poan-koan-pit mereka dan menerjang dengan serentak. Sungguh hebat pukulan-pukulan Kim-bian-hud! Begitu ia mengerahkan tenaga dalamnya dan menghantam dengan sepenuh tenaganya, Ciong-sie Sam-heng-tee tak bisa maju lebih dekat dari jarak delapan kaki. Jika bukannya mempunyai tenaga dalam yang kuat, siang-siang tentu mereka sudah kecundang, dihajar sambaran angin pukulan Biauw Jin Hong yang sudah cukup untuk merubuhkan kebanyakan orang.
Sesudah bergerak beberapa jurus, Ciong Tiauw Eng mengeluarkan sifat liciknya. Ia berguling ke belakang kursi dan menyapu dengan kakinya. "Tak!" Sebuah kaki kursi kembali patah! Kursi itu rubuh ke belakang dan tubuh Biauw Jin Hong juga turut kejengkang!
Pada detik yang sangat berbahaya itu, kedua tangan Kim-bian-hud menekan belakang kursi dan tubuhnya lantas saja melesat ke atas. Hatinya panas melihat kelicikan Ciong Tiauw Eng. Selagi melayang turun, bagaikan seekor elang, ia menubruk manusia licik itu.
"Loo-toa! Loo-sam!" Tiauw Eng berteriak minta tolong.
Tiauw Bun dan Tiauw Leng lantas saja mera-buru. Sambil mengerahkan tenaganya, dengan tangan kirinya Biauw Jin Hong menghantam pundak Tiauw Bun, sedang tangan kanannya menjotos dada Tiauw Leng. Dengan serentak mereka rubuh, sedang Tiauw Eng keburu lari ngiprit ke luar pintu. Sesudah merubuhkan kedua musuhnya, Kim-bian-hud sendiri jatuh terguling.
Melihat kegagahan Biauw Jin Hong dan dua antara mereka sudah mendapat luka, Ciong-sie Sam-heng-tee tidak berani masuk lagi. Selagi hendak mengangkat kaki, Ciong Tiauw Eng mendadak melihat setumpuk jerami kering di pinggir hotel. Karena malu dan gusar, suatu niatan jahat lantas saja muncul di dalam hatinya. Ia mengeluarkan bahan api dan menyalakan jerami kering itu, yang lantas saja berkobar-kobar.
Seantero penghuni hotel dan pelayan menjadi kalang kabut dan lari serabutan. Dengan mencekal Poan-koan-pit, ketiga saudara itu menjaga di depan pintu. "Siapa yang berani menolong orang yang tak bisa jalan itu, akan kami hajar sampai mampus!" teriak seorang antara mereka.
Melihat api semakin lama jadi semakin besar, sedang ia sendiri tidak berdaya dan tiga musuhnya menjaga di depan pintu, Biauw Jin Hong yang gagah perkasa jadi putus asa. "Biauw Jin Hong! Biauw Jin Hong!" ia mengeluh. "Apakah hari ini kau bakal mati ketambus?"
Jauh-jauh, ia melihat Lam Siocia sudah lari keluar bersama-sama dengan orang banyak dan hatinya menjadi agak lega. Matanya menyapu ke seluruh ruangan dan secara kebetulan sekali, ia melihat segulung tambang kasar di suatu sudut.
"Ah! Tuhan masih berbelas kasihan!" ia berseru di dalam hatinya sembari menggulingkan tubuhnya ke pojok itu. Ia mengambil tambang itu yang lantas diputarkannya belasan kali sembari mengerahkan tenaga dalamnya.
Diluar, sambil memandang api yang berkobar-kobar, Ciong-sie Sam-heng-tee saling memandang sembari tertawa. Mereka beranggapan, bahwa kali ini Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu tentu akan tamat riwayatnya.
Sementara itu, Lam Siocia yang sudah dapat menyelamatkan diri, berdiri di luar rumah dengan terisak-isak.
Mendadak, berbareng dengan suatu bentakan keras, seutas tambang melesat keluar dari antara api dan asap dan melilit dahan sebuah pohon besar yang tumbuh di samping rumah. Dilain saat, tubuh Kim-bian-hud yang jangkung kurus turut "terbang" keluar!
Semua orang jadi kesima. Dengan tangan kiri mencekal tambang, bagaikan seekor elang, Biauw Jin Hong melayang ke arah tiga saudara Ciong itu.
Ciong-sie Sam-heng-tee terbang semangatnya.
Mereka ingin kabur, tapi sudah tidak keburu lagi. Dengan hati gemas, Biauw Jin Hong menggerakkan tangannya bagaikan kilat dan satu demi satu, ia melontarkan ketiga saudara itu ke dalam api yang berkobar-kobar.
Untung juga, berkat kepandaian mereka yang tinggi, begitu dilemparkan ke dalam api, lantas saja mereka bisa lari keluar, tapi tak urung, rambut, alis dan sebagian pakaian mereka juga dijilat api. Ketika saudara itu, yang sudah pecah nyalinya,
tidak berani berdiam lama-lama lagi dan tanpa berhenti untuk mengambil kuda mereka, dengan terbirit-birit mereka kabur ke jurusan Selatan. Jauh-jauh, mereka mendengar suara tertawa Kim-bian-hud yang nyaring dan panjang.
Mengingat kejadian itu, suatu senyuman sudah segera menghiasi bibir Biauw Jin Hong.
Senyum itu hanya bagaikan berkelebatnya sinar terang menembusi awan-awan hitam dan di lain saat, paras muka Biauw Jin Hong kembali diliputi kegelapan.
Di depan matanya terbayang pula, bagaimana, sesudah kesehatannya pulih, ia menikah dengan Lam Siocia. Sebagai seorang pria yang belum pernah mencinta wanita, dengan cara-caranya sendiri, Kim-bian-hud sudah mencurahkan seantero kecintaannya kepada wanita itu yang sekarang berada dalam jarak lima kaki dari tempatnya. Begitu dekat tetapi juga begitu jauh!
Ia ingat, dalam suasana bahagia, dalam alunan gelombang asmara, sebagai lazimnya sepasang pengantin baru, ia telah mengajak si Lan (Lam Siocia bernama Lam Lan) pergi bersembahyang di kuburan suami isteri Ouw It To. Sesudah kenyang memeras air mata, ia memendam Hui-ho Po-to di kuburan itu. Menurut anggapannya, dalam dunia ini, kecuali Ouw It To, tak ada manusia lain yang cukup berharga untuk menggunakan senjata mustika tersebut. Sekarang ksatria utama satu-satunya itu sudah tak ada lagi dalam dunia, maka golok mustika itu pun harus turut lenyap dari dunia ini.
Sesudah bersembahyang dan memendam golok, ia segera menceritakan kepada istrinya pertempuran pada sepuluh tahun berselang, dalam mana, secara tak disengaja, ia sudah melukakan Liao-tong Tayhiap sehingga jadi matinya. Biasanya, Biauw Jin Hong adalah seorang yang paling tidak suka banyak bicara. Akan tetapi, pada hari itu, kata-kata keluar dari mulutnya seperti juga mengalirnya air banjir. Kenapa begitu? Sebabnya adalah, sesudah menyimpan rahasia itu selama sepuluh tahun, baru pada saat itu ia dapat menumpahkan segala apa yang memenuhi dadanya kepada seorang yang paling dekat dengan dirinya. Barang sembahyang yang ia sajikan di atas meja adalah sayur-sayur yang dulu dimasak oleh Ouw Hujin (Nyonya Ouw), untuk dimakan mereka bertiga.
Sesudah selesai sembahyang, seorang diri ia minum arak, seolah-olah sahabatnya itu sedang menemani ia. Ia minum banyak, banyak sekali, dan semakin banyak ia minum, semakin banyak ia berbicara.
Sesudah bercerita ke barat-ke timur, akhirnya ia menceritakan kecintaan Nyonya Ouw terhadap suaminya. Katanya: "Wanita yang seperti itu, suami di api, ia di api, suami di air, ia pun di air...."
Berkata sampai di situ, tiba-tiba ia melihat perubahan pada paras isterinya, yang kemudian menyingkir jauh-jauh sembari menekap muka. Ia memburu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi, ketika itu, ia sudah terlalu mabuk untuk bisa bercerita lagi. Disamping itu, ia ingat, bahwa ketika ia terkurung api yang dinyalakan Ciong-sie Sam-heng-tee, isterinya yang tercinta sudah kabur terlebih dulu....
Biauw Jin Hong adalah seorang ksatria yang biasanya tak suka rewel mengenai segala urusan remeh. Ia merasa, bahwa pada waktu itu, Lam Lan, yang belum menjadi isterinya dan tidak mengerti ilmu silat sedikit pun, memang pantas sekali kabur terlebih dulu. Apakah untungnya jika ia berdiam terus di dalam ruangan yang sudah dikurung api? Tapi... di dalam hati kecilnya, sebagai seorang manusia biasa, ia mengharapkan suatu pengorbanan dari seorang wanita yang dicintanya. Ia berharap, bahwa pada saat yang sangat berbahaya itu, Lam Lan berdiri tegak di sampingnya.
Maka itu, tidak mengherankan jika dalam mabuknya ia merasa mengiri kepada Ouw It To yang dianggapnya beruntung sekali, dengan mempunyai seorang isteri yang sudah rela membuang jiwa untuk suaminya yang tercinta.
Ia merasa, bahwa meskipun Ouw It To meninggal dunia dalam usia muda, akan tetapi sedalam-dalamnya sahabat itu banyak lebih berbahagia daripadanya.
Sebagaimana umumnya, seorang sinting sukar dapat menyimpan rahasia hatinya. Demikianlah ia sudah keterlepasan omong!
Dan beberapa kata-kata itu sudah menimbulkan keretakan antara kedua suami isteri itu, suatu keretakan yang tak dapat ditambal lagi! Akan tetapi, kecintaan Biauw Jin Hong terhadap isterinya itu sedikit pun tidak menjadi berubah. Mulai dari waktu itu, baik ia maupun isterinya, tak pernah menyebut-nyebut pula persoalan itu. Sebenarnya, mereka tidak pernah menimbulkan lagi soal Ouw It To.
Belakangan terlahirkan Yok Lan, seorang bayi perempuan secantik ibunya. Dengan lahirnya si jabang bayi, kedua suami isteri itu jadi lebih terikat lagi.
Akan tetapi, perbedaan-perbedaan pokok antara mereka berdua tidak dapat dilupakan. Biauw Jin Hong adalah seorang Kang-ouw yang miskin, sedang isterinya adalah Cian-kim Siocia dari ke-luarga pembesar negeri. Biauw Jin Hong tak suka banyak bicara dan mukanya selalu 'menyeramkan, sebaliknya sang isteri mengharapkan seorang suami yang cakap, pintar, pandai bicara, halus, lemah lembut dan mengerti akan adat orang perempuan. tapi, apa yang dipunya oleh Kim-bian-hud hanyalah ilmu silat yang tiada tandingannya dalam dunia. Apa yang diharap-harapkan oleh isterinya, tak satu pun yang dimilikinya.
Jika Lam Lan paham ilmu silat, tentu ia akan dapat menghargai, malah mengagumi kepandaian sang suami. Tapi, apa celaka, Lam Lan bukan saja tidak mengerti ilmu silat, tapi justru merasa sebal terhadap ilmu tersebut, oleh karena ia untuk selama-lamanya tidak dapat melupakan, bahwa ayahnya sudah binasa dalam tangan orang yang pandai silat.
Hanya sekali ia pernah tertarik kepada ilmu silat. Itulah ketika suaminya mendapat kunjungan seorang sahabat dan sahabat itu bukan lain daripada Tian Kui Long, yang cakap dan pintar.
Sebagai putera seorang kaya raya, disamping ilmu silat, Tian Kui Long paham juga ilmu surat, ilmu menggambar, menabuh khim, main tiokie dan terutama pandai membawa diri di hadapan kaum wanita. Tapi, entah kenapa, sang suami memandang rendah dan agak tidak meladeni tamu yang gagah pintar itu, sehingga tugas melayani tamu lebih banyak jatuh di atas pundak si isteri.
Begitu bertemu, Nyonya Biauw dan orang she Tian itu lantas saja merasa cocok. Malam itu, diam-diam Lam Lan bersedih hati dan menyesal tak habisnya. Ia menyesal, kenapa orang yang menolong dia pada had itu bukan Tian Kui Long, tapi manusia tolol yang bernama Biauw Jin Hong?
Berselang beberapa hari, dalam bercakap-cakap, Tian Kui Long mengetahui, bahwa nyonya muda itu tidak mengerti ilmu silat. Secara manis budi, lantas saja ia mengajarkan beberapa macam pukulan kepada isteri Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, dan pelajaran itu dipelajari dengan penuh semangat oleh Nyonya Biauw.
Pada suatu hari, entah sehabis membicarakan apa, Lam Lan berkata begini kepada Tian Kui Long: "Menurut pantas, kau dan suamiku harus menukar nama. Dia harus pergi ke sawah untuk meluku. Dan kau, kau sungguh manusia utama!"
Entah Tian Kui Long memang sudah menggenggam maksud tidak baik, entah di didorong kata-kata menyeleweng dari wanita itu, tapi biar bagaimanapun juga, malam itu telah terjadi suatu peristiwa yang berarti: Tetamu menghina tuan rumah, isteri mendurhakai suami dan ibu menelantarkan anak.
Malam itu, seorang diri Biauw Jin Hong berlatih ilmu pedang nyenyak di pembaringan.
Disengaja atau tidak disengaja, pantek-kode emas Lam Lan yang berbentuk burung Hong, mendadak jatuh. Tanpa menyia-nyiakan tempo, Tian Kui Long buru-buru memungut perhiasan itu dan... dengan lagak dibuat-buat, ia menancapkan pantek konde itu di kepala Nyonya Biauw!
Pada jaman itu, perbuatan Tian Kui Liong adalah pelanggaran adat istiadat yang kurang ajar sekali. Menancapkan pantek konde seorang wanita yang sudah bersuami, hanya boleh dilakukan oleh suaminya sendiri.
Mulai detik itu, Lam Lan melupakan segala apa. Ia melupakan suami, puteri dan nama baiknya. Bersama lelaki itu, ia kabur tanpa pamitan!
Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan Biauw Jin Hong, ketika ia mengetahui kejadian itu. Sembari mendukung anaknya, tanpa memperdulikan hujan dan angin, ia mengejar dengan menunggang kuda.
******
Lam Lan tak tuli. Ia mendengar tangisan puterinya yang menyayatkan hati. Sebagai seorang ibu, rasa cinta yang wajar memanggil dia. Tapi... tapi... senyum Tian Kui Long yang menggiurkan hati, sudah cukup untuk menahan ia.
Biauw Jin Hong mendapat gelaran Kim-bian-hud (Buddha yang bermuka kuning emas), mungkin karena hatinya yang penuh welas asih, bagaikan hati seorang Buddha. Sesudah isteri durhaka itu menghina ia secara begitu hebat, ia masih juga bersedia untuk memaafkannya, bersedia untuk melupakan kejadian yang memalukan itu, asal saja Lam Lan suka pulang kembali bersama-sama dengan ia dan puteri mereka. Dengan lain perkataan, Kim-bian-hud bersedia untuk "membeli" keutuhan rumah tangganya, dengan harga bagaimana tinggipun juga.
Di lain pihak, dalam mabuknya di bawah bujuk rayu manusia keji yang tampan itu, Lam Lan jadi lebih berkepala batu karena ia mengetahui kelemahan sang suami. Ia mengetahui Biauw Jin Hong berhati lembek dan mengetahui pula, bahwa suami itu sangat mencintainya. Oleh karena itu, ia merasa pasti, Kim-bian-hud tidak akan membunuh dia.
"Tapi apakah dia tak akan membinasakan Kui Long?" tanya Lam Lan dalam hatinya.
Tapi orang ketiga dalam peristiwa segi tiga itu, mempunyai suatu rahasia hati yang tidak diketahui orang. Tujuannya adalah harta karun yang tidak dapat ditaksir bagaimana besar harganya, peninggalan Cong Ong (Lie Cu Seng). Dan kunci ke gudang harta adalah pada isteri Biauw Jin Hong. Tentu saja kecantikan Lam Lan merupakan daya penarik yang tidak kecil, akan tetapi, kecantikan itu bukan merupakan tujuan Tian Kui Long yang terutama.
Demikianlah Biauw Jin Hong menunggu. Para anggota Piauw-kiok, kawanan perampok, Siang Po Cin, si lengan satu dan bocah kurus itu juga sama menunggu. Semua orang menahan napas. Apa yang terdengar hanyalah suara tangis Yok Lan.
Biarpun hati nyonya itu keras seperti baja, tetapi semua orang menduga, bahwa ia akan memutarkan badan dan mendukung pula puterinya itu.
Di luar ruangan, sang hujan terus turun dengan hebatnya, dibarengi dengan menyambarnya kilat dan gemuruh guntur.
Akhir-akhirnya, Biauw Hujin menengok. Hati Biauw Jin Hong melonjak! Tapi, lekas juga ia mendapat kenyataan, bahwa menengoknya sang isteri bukan ditujukan kepadanya atau kepada puterinya. Lam Lan menengok sembari mesem dan matanya memandang Tian Kui Long. Semenjak menikah, belum pernah Kim-bian-hud melihat sorot mata yang begitu halus dan begitu penuh dengan rasa cinta!
Hati Kim-bian-hud mencelos, habislah sudah semua harapannya. Perlahan-lahan ia berbangkit dan hati-hati dengan kain minyak, ia membungkus Yok Lan yang kemudian dipegangnya erat-erat di dadanya yang lebar. Semua mata mengawai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu dengan perasaan duka. Dalam dunia yang lebar ini, mungkin tak ada ayah yang begitu mencinta anaknya, mungkin tak ada bapak yang begitu menderita seperti Biauw Jin Hong.
Dengan tindakan lebar, tanpa menengok lagi, ia keluar dari ruangan itu. Sedari masuk sampai keluar lagi, tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Hujan seperti dituang-tuang, kilat dan geledek menyambar-nyambar... sayup-sayup orang dapat menangkap suara tangis Yok Lan....
******
Semua orang terpaku. Seluruh ruangan sunyi senyap. Lama sekali tak seorang pun mengeluarkan sepatah kata.
Perlahan-lahan Biauw Hujin berdiri, di mulutnya tersungging senyuman yang dipaksakan tapi butiran-butiran air mata turun berketel-ketel di kedua pipinya yang halus. Tian Kui Long juga segera berbangkit, sebelah tangannya mencekal gagang pedang di pinggangnya. "Lan-moay (adik Lan)," ia berbisik. "Mari kita berangkat." Sembari berkata begitu, kedua matanya melirik bungkusan-bungkusan perak di dalam kereta. Meskipun gerak-geraknya tetap menarik, tapi suaranya agak gemetar karena jantungnya masih memukul keras.
Melihat Tian Kui Long masih juga mengincar piauw itu, Pek Seng Sin-kun Ma Heng Kong segera berseru: "Hong-jie! Ambil senjata!"
"Thia!" jawab sang puteri yang mengetahui ayahnya menderita luka berat.
"Lekas!" bentak orang tua itu dengan suara keren.
Dengan hati berat, dari punggungnya si nona mencabut Kim-sie Joan-pian (Pecut) yang sudah mengikuti ayahandanya puluhan tahun.
Selagi ingin menyodorkan pecut itu kepada sang ayah, di belakang ruangan mendadak terdengar suara batuk-batuk dan seorang nyonya tua berjalan keluar. Nyonya itu mengenakan baju berwarna hijau, kun-nya hitam, pundaknya agak bongkok, kedua kondenya sudah putih semua, tapi di embun-embunnya masih terdapat sejemplok rambut yang berwarna hitam.
Siang Po Cin yang hanya mendapat luka enteng, lantas memburu seraya berkata: "Ibu, jangan perdulikan urusan di sini. Lebih baik ibu mengaso saja." Nyonya tua itu ternyata adalah ibu pemuda tersebut.
Nyonya Siang mengangguk. "Kau dirubuhkan orang?" tanyanya, suaranya sungguh tak enak didengarnya.
Paras muka Siang Po Cin lantas berubah merah karena malu.
"Anak tak punya guna, bukan tandingan orang she Tian itu," katanya dengan mendongkol, sembari menuding Tian Kui Long.
Dengan mata yang setengah terbuka dan setengah tertutup, Siang Loo-tay (Nyonya tua Siang) lebih dulu melirik Tian Kui Long dan kemudian mengawasi Biauw Hujin. "Sungguh cantik," katanya.
Sekonyong-konyong, seorang bocah kurus menyelak keluar dari antara orang banyak dan berkata sambil menuding Lam Lan: "Puterimu minta didukung, kenapa kau tak meladeni? Sebagai ibu, kenapa kau sedikit pun tak mempunyai liangsim (perasaan hati)?"
Semua orang terkejut. Tak ada yang menduga, bahwa bocah yang compang camping bagaikan pengemis itu, akan berani mengeluarkan kata-kata begitu. Berbareng dengan perkataan bocah itu, kilat menyambar, disusul dengan suara geledek yang dahsyat. "Hatimu tidak baik," kata lagi si bocah.
"Lui-kong (Malaikat Geledek) akan menghantam mampus padamu!" la menuding dengan paras muka gusar, sehingga dalam pakaian yang rombeng itu, terlihatlah satu keangkeran yang wajar.
"Srt!" Tian Kui Long menghunus pedang, "Pengemis!" ia membenlak, "Berani betul kau ngaco belo!"
Giam Kie loncat dan mencengkeram dada bocah tersebut. "Lekas berlutut di hadapan Tian Siangkong.... Hu.... jin!" ia berseru.
Si bocah berkelit dan dengan kegusaran yang meluap-luap, ia menuding lagi ke arah Biauw Hujin seraya berteriak: "Kau...
kau tak punya liangsim...!"
Dengan paras muka merah, tanpa berkata suatu apa, Tian Kui Long mengangkat pedangnya untuk menikam. Tapi, sebelum tikaman itu dilangsungkan, Lam Lan berteriak keras sembari menutup mukanya dengan kedua tangan dan terus lari keluar dari ruangan itu, ke tengah-tengah hujan.
Tian Kui Long terkejut, pedangnya urung menikam dan ia segera berlari-lari mengejar Biauw Hujin.
"Lan-moay," kata orang she Tian itu dengan suara dibuat-buat. "Bocah itu ngaco belo. Jangan kau memperdulikan padanya."
"Aku..." jawab si nyonya, sesenggukan. "Aku... memang... memang tak mempunyai liangsim."
Sembari menangis, Biauw Hujin berjalan terus, diikuti oleh Tian Kui Long. Jika Tian Kui Long ingin menahan dengan kekerasan, sepuluh Biauw Hujin juga tentu tak akan bisa berjalan terus. Tapi orang she Tian itu tentu saja tidak berani menggunakan kekerasan. Ia mengikuti sembari membujuk, tapi Lam Lan tidak menggubris. Semakin lama, tanpa memperdulikan serangan hujan, mereka berjalan semakin jauh dan sesudah membelok di suatu tikungan, mereka lenyap dari pemandangan, ditedengi pohon-pohon besar.
Semua orang membuang napas lega dan mengawasi si bocah pengemis yang lantas saja naik derajatnya.
Giam Kie tertawa dingin, paras mukanya girang sekali. "Sungguh bagus!" katanya. "Sekarang Giam Toaya bisa makan sendiri. Sungguh bagus! Saudara-saudara! Lekas angkat harta kita!"
Kawanan perampok itu serentak mengiakan dan segera bergerak untuk membereskan harta benda orang. Mendadak, kaki kiri kepala penjahat itu terangkat dan menendang si bocah yang lantas saja jadi terjungkir balik.
Sesudah itu, ia mencengkeram dada si lengan satu dan membentak: "Pulangkan!"
"Giam Loo-toa," tiba-tiba Siang Loo-tay-tay berkata dengan suara dalam. Tempat ini adalah Siang-kee-po (rumah keluarga Siang), bukan?"
"Benar," jawabnya. "Kenapa?"
"Aku adalah majikan dari Siang-kee-po, bukan?" tanya pula nyonya tua itu. Dengan tangan tetap mencengkeram dada si lengan satu, Giam Kie mendongak dan tertawa berkakakan.
"Nyonya Siang," katanya. "Dengan maksud apa kau bicara berputar-putar? Rumahmu luas, temboknya tinggi dan hartamu pun rasanya tidak sedikit. Apakah kau mau membagikan harta kepada kami?"
Mendengar perkataan itu, kawanan perampok lantas saja tertawa bergelak-gelak.
Siang Po Cin gusar bukan main, mukanya menjadi pucat pias. "Ibu," katanya. "Guna apa banyak bicara dengan manusia begitu? Biarlah anak yang menghajar padanya!" Ia menggapai seorang pegawai Siang-kee-po yang segera menyodorkan sebatang golok kepadanya.
Giam Kie mendorong si lengan satu dan mengejek: "Bocah! Kau jangan lari!" Ia bersenyum dan mengawasi Siang Po Cin dengan sikap menghina.
"Giam Loo-toa," kat Nyonya Siang. "Ikut aku! Aku mau bicara denganmu!"
"Ke mana?" tanya Giam Kie dengan perasaan heran.
"Ikut saja," jawabnya dan sebelum Giam Kie sempat menanya lagi, ia sudah memutarkan badan terus berjalan. Baru jalan beberapa tindak, ia menengok dan berkata: "Jika kau tak mempunyai nyali, boleh tak usah ikut."
Giam Kie tertawa besar. "Aku tak punya nyali?" katanya sembari mengikuti.
Jie-cee-cu (kepala rampok kedua) yang ber-hati-hati, buru-buru menyodorkan sebatang golok kepada Giam Kie yang lantas menyambutinya.
Siang Po Cin yang tak tahu maksud ibunya, lantas saja mengikuti dari belakang. Sembari berjalan terus dan tanpa menengok, Siang Loo-tay berkata: "Cin-jie! Kau tunggu saja di sini. Giam Loo-toa! Perintah orang-orangmu supaya jangan bergerak untuk sementara waktu!"
"Baik," sahut Giam Kie. "Anak-anak! Jangan bergerak! Tunggu sampai aku balik."
Kawan-kawannya lantas saja mengiakan dan Jie-cee-cu lantas saja mengatur kawan-kawannya untuk menjaga larinya orang-orang Piauw-kiok.
Tadi, ketika Siang Po Cin dan ketiga Siewie itu membantu pihak Piauw-kiok, kawanan penjahat sudah jatuh di bawah angin. Akan tetapi, sesudah Siang Po Cin dan Cie Ceng dilukakan oleh Tian Kui Long keadaan jadi berbalik dan pihak perampoklah yang lebih kuat. Ketika itu, semua orang dari kedua belah pihak mencekal senjata mereka erat-erat untuk menunggu kesudahan pertempuran antara nyonya rumah dan Giam Kie.
Sembari mengikuti, Giam Kie merasa geli karena melihat nyonya tua yang bongkok itu, berjalan dengan tindakan yang tidak tetap. "Siang Loo-po-cu (nyonya tua)," katanya dengan suara mengejek. "Apa kau mau membagi harta?"
"Benar, aku mau membagi harta," jawab si nyonya.
Jantung kepala perampok itu memukul keras.
Sebagai seorang yang sangat rakus ia mengilar bukan main melihat kekayaan keluarga Siang. Mendengar perkataan nyonya tua itu, ia jadi kegirangan setengah mati. Bukan tak mungkin, bahwa setelah melihat kawanannya, nyonya itu sudah pecah nyalinya dan sebelum dipaksa, buru-buru menawarkan sebagian hartanya, pikir Giam Kie.
Siang Loo-tay berjalan terus. Sesudah melewati tiga halaman, mereka tiba di depan sebuah rumah yang terletak di sudut paling belakang. Nyonya Siang mendorong pintu dan terus masuk sembari berkata: "Masuklah."
Giam Kie menengok dan melihat suatu ruangan kosong melompong yang panjangnya beberapa tombak. Perabotan satu-satunya yang terdapat di dalam ruangan itu adalah sebuah meja persegi. Dengan rasa sangsi, ia bertindak masuk.
"Mau bicara, lekas bicara!" ia berseru. "Jangan main gila!"
Siang Loo-tay tidak menyahut. Ia menghampiri pintu yang lalu dikuncinya.
Giam Kie heran dan menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia melihat di atas meja itu terdapat sebuah Lengpay (papan yang dipuja) yang di atasnya dituliskan huruf-huruf seperti berikut: "Tempat memuja mendiang suamiku Siang Kiam Beng."
"Siang Kiam Beng, Siang Kiam Beng," Giam Kie mengulangi dalam hatinya. "Nama itu agak tak asing lagi. Tapi siapa?" Ia memutar otak, tapi untuk sementara ia tak dapat mengingat, siapa adanya Siang Kiam Beng.
"Kau sudah berani berlaku kurang ajar di Siang-kee-po, boleh dikatakan nyalimu besar juga," kata Siang Loo-tay dengan suara perlahan. "Jika suamiku It Hong hidup, sepuluh Giam Kie pun sudah tak hernyawa lagi. Sekarang, meskipun di Siang-kee-po hanya ketinggalan seorang anak setengah piatu dan seorang janda, tapi kami tidak dapat membiarkan hinaan segala kawanan anjing."
Sehabis mengucapkan cacian itu, tiba-tiba ia melempangkan punggungnya yang bongkok, sedang kedua matanya yang mendadak bersinar keredepan mengawasi Giam Kie tanpa berkesip. Jika barusan ia sebagai seorang nenek-nenek yang sudah dekat ke lubang kubur, sekarang sekonyong-konyong ia seakan-akan menjadi macan betina yang angker dan galak, sehingga kepala perampok itu jadi terkesiap. "Ah! Kalau begitu tadi, ia hanya berpura-pura loyo," katanya di dalam hati. Tapi lekas juga ia memikir, bahwa sepandai-pandainya, orang perempuan tentu tidak mempunyai kepandaian seberapa tinggi. Memikir begitu, hatinya menjadi mantap lagi dan ia segera berkata sembari tertawa. "Ya, benar aku sudah menghina kau. Habis mau apa kau?"
Tanpa menyahut, Siang Loo-tay menghampiri meja abu dan mengeluarkan satu bungkusan kuning yang penuh debu, dari belakang Lengpay. Begitu bungkusan itu dibuka, suatu sinar hijau berkeredep, dibarengi dengan menyambarnya hawa yang dingin. Ternyata, kain itu membungkus sebilah golok Pat-kwa-to tersepuh emas yang belakangnya tebal dan mata goloknya tipis.
Melihat Pat-kwa-to itu, Giam Kie lantas saja ingat akan suatu kejadian yang terjadi pada belasan tahun berselang. Ia mundur beberapa tindak dan mengeluarkan seruan tertahan: "Pat-kwa-to Siang Kiam Beng!"
"Meskipun orangnya sudah tiada lagi, goloknya masih tetap berada di sini!" kata Siang Loo-tay dengan suara menyeramkan. "Dengan Pat-kwa-to ini, aku memohon pengajaran dari Giam Loo-toa."
Tiba-tiba ia memegang gagang golok itu dan dengan gerakan Tong-cu-pay Hud (Anak kecil menyembah Buddha), ia menghadapi Giam Kie dengan sikap Siang-sit Co-chiu Po-to (Mendukung golok dengan tangan kiri), yaitu gerakan pertama dari ilmu golok Pat-kwa-to.
Meskipun di dalam hatinya kepala perampok itu agak keder, tapi sesudah mengingat, bahwa seorang kenamaan seperti Ma Heng Kong masih jatuh dalam tangannya dan mengingat pula, bahwa nyonya tua itu tentu juga tidak mempunyai kepandaian terlalu tinggi, lantas saja ia mendapatkan kembali kepercayaannya terhadap did sendiri. Sembari mengebas golok, ia tertawa seraya berkata: "Kau ingin menjajal ilmu, kenapa tidak di ruangan tadi saja dan mesti datang ke tempat ini? Apakah kau hanya dapat menunjukkan keangkeran di depan meja abu suamimu?"
"Benar," jawabnya dengan pendek.
Giam Kie melirik meja abu dan berkata pula: "Siang Loo-tay, hayolah!"
"Kau adalah tamu," kata nyonya itu. "Giam Cee-cu, silahkan menyerang terlebih dulu."
Giam Kie tidak lantas membuka serangan, sebaliknya berkata pula: "Dengan Siang-kee-po, aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan. Dalam merampas piauw kali ini, yang dilanggar olehku adalah si tua bangka she Ma. Jika Siang Loo-tay ingin juga membela dia, biarlah kita tetapkan, bahwa pertandingan ini akan berakhir, begitu ada salah satu pihak yang kena ditowel. Tak perlu kita bertempur mati-matian."
"Tak begitu gampang!" kata nyonya Siang sembari mengeluarkan suara di hidung. "Selama hidupnya, Siang Kiam Beng adalah seorang enghiong (orang gagah). Ia mendirikan Siang-kee-po bukan untuk dibuat sesuka-suka oleh segala orang, mau masuk bisa masuk, mau keluar biasa lantas keluar."
"Bagaimana kemauanmu?" tanya Giam Kie yang mulai gusar.
"Jika aku kalah, kau boleh membunuh aku dan anakku," jawabnya. "Tapi kalau aku menang, kepala Giam Cee-cu juga harus ditinggalkan di sini!"
Giam Kie mencelat, ia tak nyana, nyonya itu mengeluarkan kata-kata yang sedemikian berat. "Hayo!" berseru Siang Loo-tay. Giam Kie naik darah. "Untung apa jika aku mengambil jiwamu dan jiwa anakmu!" ia berseru. "Cukup jika kau menyerahkan Siang-kee-po dan semua harta benda kepadaku!"
Baru habis ia mengucapkan perkataan itu, Siang Loo-tay sudah membacok dengan pukulan Tiauw-yang-to. Giam Kie buru-buru miringkan kepalanya. Pukulan itu cepat dan berat, dan ketika Pat-kwa-to lewat di samping kepaianya, Giam Kie merasakan kupingnya pedas.
Giam Kie terkejut, sebab begitu membuka serangan, nyonya Siang sudah menghantam dengan pukulan yang membinasakan. Ia mengetahui, bahwa dalam serangan yang berikutnya, si nyonya tentu akan membalikkan golok dan membabat pinggangnya. Buru-buru ia menjaga di bagian pinggang dan "trang!" kedua golok berbentrok keras. Dari bentrokan itu, Giam Kie mendapat kenyataan, bahwa tenaga nyonya itu tidak begitu besar, sehingga hatinya menjadi lebih mantap. Dengan gerakan Tui-to-kwa-houw (Mendorong golok menikam tenggorokan), ia menyodok leher lawan dengan goloknya.
Nyonya Siang meloncat minggir, semhari berkata: "Su-bun To-hoat (Ilmu golok Emas pintu), ada apa bagusnya?"
"Memang tidak bagus, tapi cukup untuk merubuhkan kau," jawabnya sambil menyerang dengan pukulan Cin-to Lian-hoan-to (Golok berantai). Nyonya Siang tidak berkelit atau menangkis. Berbareng dengan serangan lawan, ia membacok muka Giam Kie dengan Pat-kwa-to.
Kepala perampok itu terkesiap. "Eh, kenapa dia begitu nekat?" pikirnya. Dalam Rimba Persilatan di wiiayah Tiong-goan, memang terdapat suatu kebiasaan yang dinamakan Wie Gui-kiu Tio (Mengepung negara Gui untuk menolong negara Tio), yaitu: Balas menyerang, tanpa berusaha untuk menolong diri dari serangan musuh, agar musuh membatalkan serangannya. Dapat dimengerti, bahwa cara begitu sangat berbahaya dan hanya digunakan jika sudah tidak terdapat jalan lain lagi. Ketika itu, jika mau, dengan gampang Siang Loo-tay dapat menangkis serangan Giam Kie. Tapi ia tidak menangkis dan mengirimkan serangan pembalasan. Dengan berbuat begitu, terdapat kemungkinan besar, bahwa kedua belah pihak mendapat luka dengan berbareng. Itulah sebabnya, kenapa Giam Kie jadi terkejut.
Dalam bahaya, Giam Kie menggulingkan badan sambil mengirim suatu tendangan aneh, yang hampir-hampir mengenai pergelangan tangan Siang Loo-tay.
Harus diketahui, bahwa sesudah memiliki belasan macam pukulan yang luar biasa, Giam Kie berhasil menjatuhkan banyak sekali orang gagah dalam Rimba Persilatan. Ilmu golok Su-bun To-hoat yang dipunyainya adalah ilmu yang biasa saja.
Akan tetapi, dengan menggabungkan belasan pukulan aneh itu ke dalam Su-bun To-hoat, setiap kali terdesak, ia selalu berhasil meloloskan diri dari bencana.
Pertempuran berlangsung terus, semakin lama jadi semakin sengit. Melihat lihaynya nyonya tua itu, mau tidak mau Giam Kie merasa kagum. Ia menginsyafi, bahwa jika pertempuran berjalan terus seperti itu, sekali kurang hati-hati, kepalanya bisa dipapas Pat-kwa-to yang tajam dan berat. Sembari mengempos semangatnya, sedang goloknya yang dicekal di tangan kanan tetap menyerang dengan Su-bun To-hoat, tangan kiri dan kedua kakinya menghujani nyonya Siang dengan balasan pukulan aneh itu. Benar saja, sesudah lewat beberapa jurus, Siang Loo-tay jadi terdesak.
"Hm!" Giam Kie mengejek. Tadinya kukira ilmu golok Siang Kiam Beng benar-benar lihay. Tak tahunya hanya sebegini!"
Siang Loo-tay menghormati mendiang suami-nya seperti dewa. Maka itu, tidak mengherankan, jika ejekan Giam Kie sudah membikin ia jadi mata gelap. Pada saat itu juga, ia merubah cara bersilatnya. Bagaikan kilat, ia meloncat kian kemari, goloknya menyambar-nyambar dari segala penjuru dan setiap serangannya adalah serangan yang membinasakan.
"Eh-eh! Siang Loo-tay, apa kau sudah gila?" teriak kepala rampok itu sembari lari berputar-putar. "Bukan aku yang membunuh suamimu. Kenapa kau jadi nekat-nekatan?"
Dalam setiap pertempuran, larangan yang tak boleh dilanggar, adalah perasaan keder. Begitu hati jeri, habislah ilmu silatnya. Dilain pihak, Siang Loo-tay yang sudah berada di atas angin, lantas saja menyerang semakin hebat. Giam Kie ngiprit ber-putar-putar di ruangan itu, tujuan satu-satunya adalah menyingkir secepat mungkin dari macan betina yang sudah kalap itu.
Beberapa kali ia menubruk pintu untuk membukanya, tapi ia selalu tidak berhasil karena datangnya hujan serangan. Dalam bingungnya, sesudah lari lagi beberapa putaran, mendadak ia menendang ke belakang dan kemudian menjejak lantai sekuat-kuatnya, sehingga badannya melesat untuk melompati jendela. Pundak Siang Loo-tay kena ditendang, tapi nyonya itu masih keburu menyabet dengan goloknya, sehingga hampir berbareng, sembari berteriak, mereka rubuh di bawah jendela. Nyonya Siang hanya mendapat luka enteng, tapi Giam Kie yang lututnya tergores, tak bisa lantas bangun.
Semangat kepala perampok itu, terbang ke awang-awang. Dengan mata bersinar merah, Siang Loo-tay mengangkat Pat-kwa-tonya untuk segera menebas. Dengan kedua tangan memegang lutut, Giam Kie berteriak dengan suara gemetar: "Am-pun!"
Semenjak kecil, Siang Loo-tay mengikuti ayahnya dan kemudian mengikuti suaminya berkelana di dunia Kang-ouw. Banyak sekali orang gagah yang ia pernah jumpai, tapi belum pernah ia bertemu dengan manusia yang begitu tidak mengenal malu, seperti Giam Kie. Hatinya bergoncang dan Pat-kwa-tonya turun dengan perlahan.
Giam Kie merangkak sembari memanggut-manggutkan kepalanya. "Mohon Loo-tay-tay mengampuni kedosaan siauwjin," katanya. "Apa juga yang Loo-tay-tay perintahkan, akan kuturut. Aku hanya memohon belas kasihan untuk jiwaku."
Nyonya Siang menghela napas dan berkata dengan suara angker: "Baiklah! Aku ampuni jiwamu. Tapi ingat! Kejadian ini tak boleh kau bocorkan kepada siapapun juga."
"Baik, baik, baik," kata Giam Kie, kegirangan.
"Pergi!" bentak Siang Loo-tay.
Giam Kie menyeringai! Ia menjumput goloknya dan dengan susah payah, ia merangkak bangun, akan kemudian dengan menggunakan golok itu sebagai tongkat, ia berjalan keluar terpincang-pincang.
"Tahan!" mendadak Siang Loo-tay berteriak. "Sebelum bertanding, sudah ditetapkan, bahwa siapa yang kalah, harus meninggalkan kepalanya di Siang-kee-po! Kau kira aku lupa?"
Giam Kie mencelos hatinya. "Loo... tay-tay... sudah mengampuni..." katanya terputus-putus, dengan meringis.
"Aku mengampuni jiwamu, tidak mengampuni batok kepalamu!" bentak nyonya Siang. Ia mengebaskan Pat-kwa-tonya dan membentak dengan bengis: Tat-kwa-to dari Siang Kiam Beng, tak pernah pulang dengan tangan kosong!"
Muka Giam Kie pucat bagaikan kertas, kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut. Bagaikan kilat, dengan tangan kiri Siang Loo-tay menjambret thau-cang Giam Kie dan berbareng dengan berkelebatnya Pat-kwa-to itu, thaucang itu sudah menjadi putus.
"Tinggalkan thaucangmu di sini!" bentak nyonya Siang. "Mulai dari sekarang kau harus mencukur rambut dan menjadi hweeshio. Tak boleh kau berkeliaran lagi dalam Rimba Persilatan. Mengerti?"
Giam Kie manggut-manggutkan kepalanya dan mengeluarkan beberapa patah kata yang tidak jelas.
"Bungkus lututmu, pakai topi!" perintah Siang Loo-tay.
"Sesudah itu, pergi dari sini dan ajak semua anak buahmu."
Semua orang yang berada di ruangan depan, menunggu dengan tidak sabar. Berselang setengah jam, baru Siang Loo-tay kelihatan muncul, diikuti Giam Kie yang berjalan perlahan-lahan.
"Saudara-saudara!" teriak Giam Kie. "Perak itu jangan diganggu! Semua pulang!"
Mendengar perkataan pemimpin mereka, semua perampok itu jadi tercengang dan serentak mereka bangun semua.
"Hengtiang (kakak)..." kata Jie Cee-cu.
"Berangkat!" bentak Giam Kie sembari mengulapkan tangannya dan segera berjalan keluar lebih dulu. Ia tak berani berdiam lama-lama dalam ruangan itu, karena khawatir rahasianya terbuka. Anak buahnya tentu saja tidak berani membantah. Sesudah menengok beberapa kali kepada bungkusan-bungkusan perak itu, dengan rasa kecewa mereka berlalu satu demi satu.
Walaupun berpengalaman luas, mula-mula Ma Heng Kong tidak dapat menaksir mengapa keadaan itu bisa berubah menjadi begitu. Tapi matanya yang tajam segera juga dapat melihat tetesan darah di atas lantai. Sekarang ia mengerti bahwa Giam Kie sudah mendapat luka dan ia menduga, bahwa di siang-kee-po bersembunyi seorang pandai. la sama sekali tidak pernah bermimpi, bahwa nyonya tua yang kelihatan begitu loyo itu, baru saja melakukan pertempuran mati-matian melawan kepala perampok itu.
Sembari memegang pundak puterinya, ia maju beberapa tindak untuk menghaturkan terima kasih. Tapi, belum sempat ia mengeluarkan sepatah kata, Siang Loo-tay sudah berteriak: "Cin-jie! Ikut aku! Ma Heng Kong terkejut dan di lain saat, ibu dan anak itu sudah masuk ke ruangan dalam.
Semua anggota Piauw-kiok dan ketiga Siewie itu lantas saja saling mengutarakan pendapatnya. Ada yang mengatakan, bahwa nyonya itu tentu sudah mengenal kepala perampok tersebut, yang lain berpendapat, bahwa Giam Kie mungkin menjadi sadar sesudah dibujuk oleh Siang Loo-tay dan sebagainya. Selagi mereka ramai berbicara, tiba-tiba Siang Po Cin keluar lagi dan berkata: "Ibuku mengundang Ma Loopiauwtauw ke dalam untuk minum teh."
Ternyata nyonya itu mengundang Ma Heng Kong dengan maksud yang baik. Sembari minum teh, ia membujuk supaya Ma Heng Kong berobat dulu di Siang-kee-po dan minta bantuan Piauw-kiok lain untuk mengawal perak itu sampai di Kimleng. Ma Heng Kong merasa sangat berterima kasih akan kebaikan orang, yang bukan saja sudah memberikan pertolongan sehingga piauwnya tidak sampai kena dirampas, tapi juga sudah mengajukan tawaran yang mulia. Ia segera minta bantuan Piauw-kiok lain untuk mengantar perak itu, sedang ia bersama puteri dan muridnya lantas berdiam di Siang-kee-po untuk sementara waktu. Dalam pada itu, dengan menerima tawaran Siang Loo-tay, Ma Heng Kong juga mempunyai suatu harapan lain, yaitu harapan bisa bertemu dengan orang pandai yang sudah merubuhkan Giam Kie, yang menurut dugaannya bersembunyi di Siang-kee-po.
Menjelang magrib, hujan baru berhenti. Ketiga Siewie itu segera pamitan dan menghaturkan terima kasih untuk kebaikan tuan rumah. Mereka berlalu dengan diantar oleh Siang Po Cin sampai di pintu depan.
Sesudah ketiga Siewie itu berangkat, sambil menuntun si bocah kurus, orang yang berlengan satu itu pun lantas saja minta diri dan berlalu.
Siang Loo-tay melirik anak itu dan ia ingat, bagaimana si bocah sudah mencaci Biauw Hujin. "Sungguh jarang terdapat anak kecil yang bernyali begitu besar," pikirnya. Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Ke mana kalian ingin pergi? Apakah kalian mempunyai bekal cukup?"
"Siauwjin (aku yang rendah), paman, berdua keponakan terlunta-lunta dalam dunia Kang-ouw dan tak punya tempat tinggal yang tentu," jawab si lengan satu. "Maka itu, tak dapat aku menjawab, ke mana kami niat pergi."
Nyonya Siang mengawasi anak itu dengan rasa kasihan dan beberapa saat kemudian, ia berkata: "Jika kalian tidak berkeberatan, dapat kalian berdiam di sini untuk membantu-bantu. Rumah ini cukup besar dan ditambah dengan dua orang lagi, tidak menjadi soal."
Mendengar tawaran itu, si lengan satu yang dalam hatinya menggenggam maksud tertentu, menjadi sangat girang dan menerima baik tawaran tersebut sembari menghaturkan terima kasih. Menjawab pertanyaan, ia memberitahukan, bahwa ia bernama Peng Sie, sedang bocah itu, yang diakui sebagai keponakannya, bernama Peng Hui.
Malam itu, Peng Sie bersama keponakannya tidur di sebuah kamar kecil sebelah Barat, yang ditunjuk oleh pengurus rumah. Sesudah mengunci pintu dan jendela, dengan paras berseri-seri, Peng Sie berkata dengan suara perlahan: "Siauwya (majikan kecil), mendiang ayah dan ibumu memberkahi kau! Dua halaman kitab silat itu sekarang sudah kembali ke dalam tanganmu. Allah sungguh adil!"
"Peng Sie-siok," kata si bocah. "Aku mohon kau jangan memanggil Siauwya lagi. Jika didengar orang, orang bisa jadi curiga."
Peng Sie mengiakan, sembari mengeluarkan bungkusan kertas minyak itu yang lalu disodorkan kepada si bocah dengan sikap menghormat. Ia bukan menghormat Peng Hui, tapi Injin (tuan penolong) yang mewariskan dua halaman kitab ilmu silat tersebut.
"Peng sie-siok," kata pula bocah itu. "Cara bagaimana, begitu mendengar kisikanmu, Giam Kie lantas saja rela menyerahkan dua halaman kitab itu?"
Jawab Peng Sie: "Aku berkata: 'Giam Kie, mana itu dua halaman Kun-keng (kitab ilmu silat)? Biauw Jin Hong, Biauw Tayhiap, memerintahkan kau mengembalikannya. Tepat, pada waktu aku mengucapkan kata-kata itu, Biauw Tayhiap melirik padanya. Itulah suatu kejadian kebetulan yang diberkahi tangan Allah. Biarpun Giam Kie mempunyai nyali yang sepuluh kali lipat lebih besar, dia tak akan berani tidak membayar pulang."
Peng Hui berdiam beberapa saat dan kemudian berkata pula: "Kenapa dua halaman itu bisa berada di dalam tangannya? Dan kenapa kau menyuruh aku memperhatikan mukanya? Kenapa dia begitu ketakutan melihat Biauw Tayhiap?"
Peng Sie tak menyahut. Ia menggigit bibir dan mukanya kelihatan menyeramkan. Air matanya berlinang-linang di kedua matanya, tapi sebisa-bisanya ia coba menahan turunnya air mata itu.
"Sie-siok," kata si bocah dengan suara gemetar. "Sudahlah! Aku tak akan menanya pula. Bukankah kau sudah berjanji nanti, sesudah aku besar dan memiliki kepandaian tinggi, baru kau akan menceritakannya dari kepala sampai buntut. Baiklah, mulai dari sekarang, aku akan belajar giat-giat."
Demikianlah, paman dan keponakan itu lantas saja bernaung di Siang-kee-po yang besar dan luas.
Peng Sie bekerja di kebun sayur, sedang Peng Hui bertugas di Lian-bu-teng, menyapu dan membereskan perabotan serta senjata.
Dilain pihak, Ma Heng Kong yang berobat di rumah keluarga Siang, melewatkan temponya yang senggang dengan merundingkan soal-soal ilmu silat dengan puterinya, muridnya dan Siang Po Cin. Setiap kali mereka berlatih, Peng Hui hanya melirik satu dua kali, tidak berani menonton lama-lama.
Ma Heng Kong dan yang Iain-lain mengetahui, bahwa bocah itu bernyali besar. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak menduga, bahwa si kurus sebenarnya mengerti ilmu silat. Maka itu, setiap kali Peng Hui melirik dengan sikap acuh tak acuh, baik Ma Heng Kong yang berpengalaman, maupun Siang Po Cin yang cerdik, belum pernah menduga, bahwa bocah itu sebenarnya tengah memperhatikan ilmu silat mereka.
Tapi Peng Hui bukan ingin mencuri pelajaran orang. Apa yang benar-benar dipikirkannya, lebih-lebih tak dapat ditaksir oleh Ma Heng Kong. Setiap melihat pukulan yang luar biasa, di dalam hatinya ia selalu berkata: "Apa bagusnya pukulan itu? Ternyata manusia tolol boleh juga digunakan. Tapi jika menghadapi orang gagah tulen, pukulan itu sedikit pun tiada gunanya."
Harus diketahui, bahwa bocah itu sebenarnya bukan she Peng, tapi she Ouw, sehingga namanya yang sejati adalah Ouw Hui. Dia itu bukan lain daripada putera tunggal Ouw It To, Liautong Tay-hiap yang pernah bertempur melawan Biauw Jin Hong tiga hari tiga malam lamanya. Dari mendiang ayahandanya, ia mewarisi kitab ilmu silat dan ilmu golok yang berisi Ouw-kee Kun-hoat dan Ouw-kee To-hoat (Ilmu silat dan ilmu golok keluarga Ouw), yang tiada keduanya di dalam dunia. Maka itu, tidak mengherankan, jika Ouw Hui memandang rendah ilmu silat yang dipertunjukkan oleh Ma Heng Kong dan yang lain-lain itu.
Ketika jatuh ke dalam tangannya, kitab tersebut kurang dua halaman yang berisi pokok-pokok Ouw-kee Kun-hoat dan Toa-hoat. Oleh karena itu, meskipun Ouw Hui cerdas dan giat luar biasa, ia belum dapat memiliki intisari ilmu mendiang ayahnya. Dalam waktu yang lampau, kekurangan itu tak dapat ditambal dengan apapun juga. Sekarang, secara kebetulan, dua halaman yang dicuri Giam Kie, telah diambil pulang. Maka itu, bisa dimengerti jika sekarang ia mendapat kemajuan yang luar biasa pesatnya. Cobalah dibayangkan: Dengan hanya memiliki delapan macam pukulan yang didapat dari dua halaman itu, Giam Kie sudah bisa menjagoi, bahkan sudah berhasil merubuhkan Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong. Dari itu, dapatlah ditaksir-taksir bagaimana tingginya kepandaian Ouw Hui yang sudah memahami kitab itu dari kepala sampai di buntut.
Tentu saja, karena usianya yang masih muda dan tenaga dalamnya yang masih cetek, banyak bagian kitab itu yang belum dapat diyakinkannya dengan sempurna. Tapi dengan bantuan kitab tersebut, latihannya dalam satu hari mempunyai harga yang sama dengan latihan Cie Ceng dalam sebulan. Andaikata Cie Ceng dan yang lain-lain berlatih terus-menerus puluhan tahun, mereka toh tak akan dapat menyusul Ouw Hui yang memiliki kitab tunggal itu dalam Rimba Persilatan.
Demikianlah, setiap malam bila seluruh gedung keluarga Siang sudah terbenam dalam kesunyian, seorang did Ouw Hui pergi ke tanah belukar untuk berlatih. Ia mempelajari ilmu golok dengan menggunakan golok-golokan kayu. Setiap kali membacok, seperti juga ia membacok musuh besarnya yang sudah membinasakan ayahandanya.
Memang benar sekarang ia masih belum mengetahui, siapa adanya musuh itu, tapi bukanlah Peng Sie-siok sudah menjanjikan untuk membuka segala rahasia jika ia sudah besar dan sudah memiliki kepandaian yang tinggi? Memikir begitu, ia semakin giat berlatih dan menggunakan otaknya yang cerdas untuk memecahkan rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam Kun-keng itu. Ia harus menggunakan otaknya, sebab ilmu silat yang paling tinggi harus dipelajari dan diselami dan bukan hanya harus dilatih dengan menggunakan tenaga jasmani.
Dalam sekejap, sudah lewat tujuh delapan bulan. Luka Ma Heng Kong sudah lama sembuh, akan tetapi setiap kali mereka ingin berlalu, Siang Loo-tay dan puteranya selalu menahan dengan keras. Karena memang perusahaan Piauw-kioknya sudah ditutup sehingga ia sudah tidak mempunyai pekerjaan lagi dan juga karena nyonya rumah itu serta puteranya menahan secara sungguh-sungguh, maka Ma Heng Kong selalu menunda-nunda keberangkatannya.
Secara resmi, Siang Po Cin tidak mengangkat Ma Heng Kong sebagai guru. Orang angkuh sebagai Siang Loo-tay yang sangat bangga akan kepandaian Pat-kwa-to Siang Kiam Beng, mana mau gampang-gampang mengijinkan puteranya mengangkat orang luar sebagai guru? Akan tetapi, mengingat budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma Heng Kong sendiri memandang Po Cin sebagai muridnya sendiri. Apa juga yang dikehendaki pemuda itu, asal ia mampu, ia tentu memberikannya dengan segala senang hati. Biarpun bagaimana juga, Pek-seng Sin-kun memang mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi. Maka itu, selama tujuh delapan bulan, Siang Po Cin sudah memperoleh pelajaran yang tidak sedikit dari orang tua itu.
Sementara itu, Ma Heng Kong masih belum dapat memecahkan teka-teki yang selalu merupakan pertanyaan dalam hatinya. Kenapa, pada hari itu, Giam Kie sudah berlalu terbirit-birit, dengan mendapat luka? Ia menduga, bahwa di dalam rumah keluarga Siang bersembunyi seorang yang berkepandaian sangat tinggi. Tapi, siapakah orang itu? Sekali, secara tiba-tiba ia menimbulkan soal itu. Akan tetapi, sembari tertawa, Siang Loo-tay memberi jawaban yang menyimpang. Sebagai seorang yang cerdas, Ma Heng Kong mengetahui, bahwa nyonya rumah sungkan membuka rahasia itu dan mulai dari waktu itu, ia tidak berani menyebut-nyebut pula persoalan itu.
******
Sebagai seorang tua, sering-sering Ma Heng Kong tidak bisa tidur pulas. Pada suatu malam, kira-kira jam tiga, mendadak ia mendengar suara "krek" di luar tembok, seperti suara patahnya cabang pohon kering. Dengan pengalamannya yang luas, Pek-seng Sin-kun segera mengetahui, bahwa seorang tetamu malam sedang lewat di luar rumah. Tapi heran sungguh, sehabis suara "krek" itu, tidak terdengar pula suara lain, sehingga ia tidak mengetahui, ke mana perginya tetamu malam itu.
Meskipun ia berdiam di Siang-kee-po sebagai tetamu, tapi karena mengingat budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma Heng Kong selalu menganggap keselamatan keluarga tersebut, seperti keselamatannya sendiri. Dengan cepat, dari bawah bantalnya, ia menarik keluar Kim-sie Joan-piannya yang lalu dilibatkan di pinggangnya dan perlahan-lahan ia membuka pintu.
Baru saja ia ingin melompati tembok, di tempat yang jauhnya kira-kira empat lima tombak, mendadak berkelebat sesosok bayangan hitam yang terus berlari-lari ke arah gunung di belakang.
Dalam sekelebatan itu, Ma Heng Kong mengetahui, bahwa orang itu mempunyai ilmu mengentengkan badan yang cukup tinggi. "Apakah bukan Giam Kie yang datang lagi untuk mencari urusan?" tanyanya di dalam hatinya. "Urusan ini muncul karena gara-garaku, sehingga aku tentu tidak bisa tinggal berpeluk tangan." Memikir begitu, lantas saja ia mengejar. Tapi, sesudah mengejar kurang lebih tiga puluh tombak, bayangan itu menghilang. "Celaka!" Ma Heng Kong mengeluh. "Jangan-jangan aku kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar dari gunung." Buru-buru ia kembali ke gedung keluarga Siang, tapi keadaan di situ tenang dan tentram sehingga Pek-seng Sin-kun menjadi lega hatinya. Tapi, biar bagaimanapun juga, ia tetap bercuriga dan khawatir. "Gerakan orang itu luar biasa dan dia bukan lawan enteng," pikirnya. "Tapi badannya kecil kurus dan sama sekali tidak mirip dengan badan Giam Kie yang tinggi besar. Siapa dia?"
Ia mengebaskan Joan-piannya beberapa kali dan pergi ke belakang untuk menyelidiki terlebih jauh. Di waktu mendekati batas pekarangan belakang, tiba-tiba kupingnya menangkap bunyi sabetan-sabetan golok.
"Malu aku!" ia mengeluh. "Benar ada tetamu yang menggerayang ke sini. Dengan siapa dia bertempur?"
Dengan sekali menjejak kaki, Ma Heng Kong sudah hinggap di atas tembok. Ia celingukan dan memasang kuping. Ternyata, bunyi itu keluar dari sebuah rumah genteng yang terletak di bagian belakang tapi sungguh heran, sedang pertempuran berlangsung dengan serunya, sama sekali tidak terdengar bentakan atau cacian. Ma Heng Kong mengetahui, bahwa dalam pertempuran itu tentu tersembunyi latar belakang lain, sehingga ia tidak berani sembarangan menerjang untuk memberikan bantuan. Perlahan-lahan ia mendekati jendela dan mengintip dari sela-selanya, dan... hampir- hampir ia tertawa.
Dalam ruangan itu yang kosong melompong dan yang hanya diterangi sebuah pelita kecil di atas meja, terdapat dua orang yang sedang bertempur seru dan kedua orang itu bukan lain daripada Siang Loo-tay dan puteranya.
Ma Heng Kong jadi seperti orang kesima. Dengan hebat Siang Loo-tay menghujani puteranya dengan serangan-serangan berat dan gerakan-gerakannya yang gagah dan gesit berbeda seperti langit dan bumi dengan keloyoannya yang biasa diperlihatkan terhadap orang luar. Dilain pihak, Siang Po Cin melayani ibunya dengan ilmu golok Pat-kwa-to yang sangat lihay. Ma Heng Kong sekarang mengetahui, bahwa bukan saja si nyonya tua, tapi Siang Po Cin pun sudah sengaja menyembunyikan kepandaiannya sendiri.
Sambil menonton, Pek-seng Sin-kun teringat akan suatu kejadian lima belas tahun berselang, di jalan Kam-liang, dimana ia sudah bertempur melawan ayah Siang Po Cin. Dalam pertempuran itu, ia terkena satu pukulan, sehingga harus berobat tiga tahun untuk menyembuhkan lukanya.
Ia mengetahui, bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dari kepandaian Siang Kiam Beng, sehingga sakit hatinya akan sukar dibalas dan semenjak itu, tak pernah ia berjalan lagi di jalan Kam-liang. Belakangan, sesudah Siang Kiam Beng meninggal dunia dan nyonya Siang melepas budi begitu besar kepadanya, ia mencoret sakit hati itu dari hatinya. Tapi, siapa nyana, pada malam itu, ia kembali dapat menyaksikan ilmu golok Pat-kwa-to yang diperlihatkan oleh janda dan putera musuhnya.
Sembari mengawasi, banyak pertanyaan muncul di dalam hati Ma Heng Kong. "Ilmu silat Siang Loo-tay tidak berada di sebelah bawahku," pikirnya. "Tapi kenapa ia menyembunyikan kepandaiannya itu. Dia sudah menahan aku dan anakku di dalam rumahnya. Apakah ia mempunyai maksud tertentu?"
Beberapa saat kemudian, ibu dan anak itu tiba-tiba merubah cara mereka bersilat, masing-masing mempergunakan Pat-kwa Yoe-sin Ciang-hoat (pukulan Pat-kwa), sembari berlari-lari di sekitar ruangan itu. Dengan demikian, gerakan-gerakan golok mereka bercampur pukulan-pukulan tangan kosong. Sesudah menjalankan habis sampai lima puluh empat pukulan, kedua belah pihak loncat mundur dengan berbareng dan berdiri tegak sambil mencekal golok. Meskipun sudah mengeluarkan banyak tenaga dalam tempo lama, paras muka Siang Loo-tay sedikit pun tidak berubah, tapi muka Siang Po Cin sudah merah seluruhnya dan napasnya tersengal-sengal.
"Pernapasanmu sukar sekali diatur," kata sang ibu dengan suara menyeramkan. "Jika kemajuanmu begitu perlahan, sampai kapan kau akan dapat membalas sakit hati ayahmu?"
Siang Po Cin menundukkan kepalanya, kelihatan ia malu sekali.
"Biarpun kau belum pernah menyaksikan ilmu silat Biauw Jin Hong, tapi tenaganya yang luar biasa, sudah kau lihat dengan mata sendiri, diwaktu ia menahan roda kereta," kata pula Siang Loo-tay. "Kepandaian Ouw It To tidak berada di sebelah bawah Biauw Jin Hong. Hai! Aku melihat, dalam beberapa hari ini kau begitu tergila-gila kepada gadis she Ma itu, sehingga kau tak sempat lagi berlatih."
Ma Heng Kong terkejut. "Apakah Hong-jie mengadakan perhubungan yang diluar kepantasan dengan dia?" tanyanya di dalam hatinya.
Muka Siang Po Cin jadi semakin merah dan ia berkata: "Ibu, terhadap nona Ma, aku selalu bersikap menurut peraturan. Belum pernah aku bicara banyak-banyak dengan ia."
Siang Loo-tay mengeluarkan suara di hidung dan segera berkata pula: "Siapa yang telah memelihara kau, dari bayi sampai besar? Apakah kau kira, aku tidak mengetahui segala maksud tujuanmu? Bahwa kau sudah penuju nona Ma, aku pun tidak menyalahkannya. Baik romannya, maupun ilmu silatnya, aku sendiri sangat penuju."
Bukan main girangnya Siang Po Cin. "Ibu!" ia berseru sembari nyengir.
Tapi sang ibu mengebaskan tangannya, seraya membentak: "Kau tahu, siapa ayahnya?"
"Bukankah Ma Loopiauwtauw?" si anak balas menanya.
"Siapa kata bukan?" kata Siang Loo-tay. "Tapi apakah kau tahu, ada apa di antara Ma Loopiauwtauw dan keluarga kita?"
Siang Po Cin menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengawasi ibunya dengan hati berdebar-debar.
"Anak! Dia adalah musuh ayahmu!" kata sang ibu.
Bukan main kagetnya Siang Po Cin. "Ha!" ia berseru.
"Lima belas tahun berselang," tutur Siang Loo-tay, "Ayahmu telah bertempur dengan Ma Heng Kong di jalan Kam-liang. Ayahmu memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu saja orang she Ma itu bukan tandingannya. Dalam pertempuran itu, ayahmu sudah menghadiahkan kepadanya satu bacokan dan satu gebukan, sehingga dia mendapat luka berat. Tapi orang she Ma itu juga bukan sembarang orang dan dalam perkelahian itu, ayahmu pun telah mendapat luka di dalam. Ketika ayahmu pulang, sedang lukanya belum sembuh, musuh besar kita, Ouw It To, malam-malam datang menyatroni dan membunuh ayahmu. Jika orang she Ma itu tidak lebih dulu melukakan padanya... hm! Manusia semacam Ouw It To, biar bagaimanapun juga tak akan dapat melukakan padanya!"
Di waktu mengeluarkan kata-kata itu, pada suaranya sangat rendah dan sungguh menyeramkan. Selama hidupnya, Ma Heng Kong sudah kenyang menghadapi macam-macam badai dan taufan, tapi pengalamannya disaat itu, benar-benar dirasakan sangat menyeramkan olehnya, sehingga sekujur badannya jadi bergemetar. "Ouw It To adalah seorang gagah yang kepandaiannya tak dapat diukur bagaimana tingginya," katanya di dalam hati. "Biarpun Siang Kiam Beng tidak mendapat luka, jangan harap ia dapat meloloskan diri. Sungguh sial! Gara-gara si nenek mencinta suami, semua kesalahan agaknya mau ditimpakan ke atas kepalaku." Sesaat kemudian, Siang Loo-tay kedengaran berkata lagi. "Dan sekarang, secara sangat kebetulan, dengan mengiring piauw, si tua bangka sudah datang sendiri kemari. Dengan tangannya sendiri, mendiang ayahmu telah mendirikan Siang-kee-po ini. Mana bisa aku membiarkan segala bangsa tikus berlaku kurang ajar dan merampas piauw dalam rumah ini? Tapi, apakah kau tahu maksudku menahan orang she Ma itu, ayah dan anak, di sini?"
"Ibu... kau... kau ingin membalas... sakit hati ayah?" jawab Siang Po Cin dengan suara terputus-putus.
"Kau keberatan, bukan!" bentak ibunya. "Karena kau mencinta perempuan she Ma itu, ya?"
Melihat ibunya seperti orang kalap dan kedua matanya seakan-akan mengeluarkan api, Siang Po Cin mundur beberapa tindak dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Beberapa saat kemudian, Siang Loo-tay tertawa dingin. "Baiklah," katanya. "Beberapa hari lagi, aku akan majukan lamaran kepada orang she Ma itu. Dengan memandang keadaanmu dan mukamu, kurasa lamaran itu tidak akan ditolak."
Perkataan Siang Loo-tay yang tidak diduga itu kembali mengejutkan Siang Po Cin dan Ma Heng Kong.
Dari sela-sela jendela, Ma Heng Kong dapat melihat paras muka nyonya itu yang mengandung kebencian hebat dan tanpa merasa, bulu romannya berdiri. "Sungguh beracun hati tua bangka itu," pikirnya. "Dia merasa tidak cukup jika hanya mengambil jiwaku. Dia sekarang ingin mengambil anakku sebagai menantunya untuk dipersakiti begitu rupa, sehingga hidup tak bisa, mati pun tak mungkin. Tapi Allah masih berbelas kasihan, sehingga malam ini aku dapat mendengar segala siasatnya. Jika tidak... ah! Sungguh kasihan, Hong-jie yang mesti menjadi korban...."
Siang Po Cin yang belum berpengalaman, tidak mengetahui maksud ibunya yang sebenarnya. la hanya menjadi girang tercampur heran.
Dilain pihak, Ma Heng Kong yang khawatir ketahuan jika berdiam lama-lama di situ, lantas saja berlalu dengan indap-indap. Setibanya di kamarnya sendiri, ia menyusut keringat dingin yang berketel-ketel di dahinya. Mendadak ia ingat akan kejadian yang menuntun dirinya ke tempat berlatihnya Siang Loo-tay dan Siang Po Cin. "Siapakah bayangan kurus kecil itu yang lari ke gunung belakang?" tanyanya kepada diri sendiri.
Keesokan harinya, diwaktu lohor, dengan mengenakan thungsha dan ma-kwa, Ma Heng Kong minta Siang Po Cin mengundang ibunya dengan pesan, bahwa ia hendak merundingkan suatu soal yang sangat penting.
Siang Po Cin girang berbareng kaget. "Apakah begitu cepat ibu sudah majukan lamaran?" pikirnya. "Sikap dan pakaian Ma Loopiauwtauw sangat berbeda dengan biasanya."
Sesudah nyonya Siang dan Ma Heng Kong mengambil tempat duduk di ruangan belakang, Siang Po Cin duduk menemani mereka dengan hati berdebar-debar. Lebih dulu Ma Loopiauwtauw menghaturkan terima kasih kepada nyonya rumah yang sudah begitu baik hati untuk memberi tempat meneduh kepada mereka bertiga. Pernyataan terima kasih itu disambut oleh Siang Loo-tay dengan kata-kata merendah.
Sesudah selesai dengan kata-kata pembukaan, barulah Ma Heng Kong mulai dengan tujuannya yang sebenarnya. "Anakku It Hong sudah bukan kecil lagi dan aku ingin mendamaikan suatu urusan dengan Siang Loo-tay," ia mulai.
Jantung Siang Po Cin memukul keras, sedang nyonya Siang merasa heran. Ia menduga, bahwa Ma Heng Kong mau membuka mulut untuk merangkap jodoh puterinya dengan Siang Po Cin. Bahwa pihak perempuan membuka mulut lebih dulu, adalah kejadian yang sangat langka.
"Ma Loosu boleh bicara saja dengan bebas," jawab nyonya Siang. "Kita adalah orang sendiri, tak usah Ma Loosu memakai adat istiadat."
"Di samping anakku, selama hidup aku hanya mempunyai seorang murid," kata Ma Heng Kong. "Dia itu adalah seorang yang tumpul otaknya dan kasar sifatnya. Akan tetapi, semenjak ia masih kecil aku selalu menganggapnya sebagai anakku sendiri. Dengan Hong-jie, dia sudah bergaul lama dan kelihatannya sangat akur. Maka itu, aku berniat meminjam rumah Siang Loo-tay untuk pertunangan mereka!"
Dapat dibayangkan, bagaimana kagetnya Siang Po Cin setelah mendengar ucapan itu. Tanpa terasa, ia berbangkit sambil mengawasi Ma Heng Kong.
"Sungguh lihay tua bangka itu," kata Siang Loo-tay di dalam hatinya. "Tak bisa salah lagi, tentunya anak kurang ajar ini yang sudah berlaku tidak hati-hati, sehingga rahasia jadi terbuka." Tapi, sedang hatinya berkata begitu, mulutnya memberi selamat dengan paras girang yang dibuat-buat. "Anak! Lekas memberi selamat kepada Ma Loopeh!" ia memerintah puteranya.
Otak Siang Po Cin tak dapat bekerja lagi. Ia seperti orang kesima dan mengawasi ibunya dengan mendelong. Akhir-akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata, ia lari keluar dari ruangan itu!
Sesudah mengucapkan lagi terima kasih dengan kata-kata merendah, Ma Heng Kong kembali ke kamarnya dan segera memanggil It Hong serta Cie Ceng. Kepada mereka itu, dengan ringkas ia memberitahukan, bahwa hari itu mereka akan ditunangkan.
Tak kepalang girangnya Cie Ceng, sedang It Hong kemalu-maluan dengan paras muka yang berubah merah.
"Kamu hanya ditunangkan," orang tua itu menerangkan. "Pernikahan antara kamu baru diatur sesudah kita pulang."
Kalau Cie Ceng sedang tergirang-girang, adalah Siang Po Cin yang bersedih hati. Sesudah bergaul dengan It Hong yang cantik manis delapan bulan lamanya, pemuda itu terjirat erat-erat dalam perangkap dewi asmara. Semalam mendengar janji ibunya untuk meminang nona tersebut, bukan main girang hatinya. Maka itu, dapatlah dibayangkan bagaimana kagetnya, ketika mendengar pengutaraan Ma Heng Kong. Seorang diri, ia duduk terpekur di dalam kamarnya, memikirkan nasibnya yang sangat sial. Bagaikan seorang linglung, kedua matanya mendelong mengawasi pohon Gin-heng yang tumbuh di luar jendela kamarnya. Ia hampir tidak percaya akan kupingnya sendiri yang mendengar bahwa Ma Heng Kong telah mengucapkan kata-kata itu.
Tak tahu berapa lama ia menjublek di situ.
Ia terkejut ketika seorang pelayan dengan tiba-tiba masuk ke kamarnya sembari berkata: "Siauwya, waktu untuk berlatih sudah tiba. Loo Tay-tay sudah menunggu lama sekali."
Siang Po Cin terkesiap. "Celaka!" ia menggerendeng. "Aku bakal dimaki." Ia merenggut kantong piauwnya dan pergi ke Lian-bu-teng sambil berlari-lari.
Begitu masuk, ia melihat ibunya duduk di kursi dengan paras angker. "Hari ini berlatih dengan jalan darah di bagian pundak," katanya. Ia berpaling kepada dua pelayan dan berseru: "Pegang papan erat-erat. Jalan!"
Diam-diam Siang Po Cin merasa tercengang. Ia merasa heran bahwa ibunya sama sekali tidak terpengaruh oleh perkataan Ma Heng Kong dan terus bersikap seperti biasa.
Tapi ia tidak berani berpikir lama-lama. Semenjak kecil, ia biasa dididik dengan keras sekali oleh ibunya. Dalam ruangan berlatih, sedikit pun ia tidak boleh lengah. Begitu salah, ia tentu tak akan terlolos dari gebukan atau sedikitnya cacian.
Demikianlah, buru-buru ia mengambil sebuah piauw dari kantong itu dan siap sedia untuk menimpuk.
"Biauw Jin Hong. Beng-bun, Toh-to!" teriak Siang Loo-tay.
Tangan kanan Siang Po Cin terayun dan dua buah piauw dengan jitu sekali mengenai dua jalan darah yang disebutkan ibunya.
"Ouw It To. Ta-tui, Yang-koan!" nyonya Siang berteriak pula.
Siang Po Cin mengayun tangan kirinya dan dua buah piauw lantas saja menyambar ke arah papan yang terlukis gambar Ouw It To.
Mendadak, mata Siang Po Cin melihat adanya perubahan pada papan itu. "Ih!" ia berseru sembari mengawasi dengan tajam. Ternyata, huruf-huruf "Ouw It To" pada papan itu sudah tidak kelihatan lagi.
Siang Loo-tay yang juga sudah melihat perubahan itu, lantas menggapai bujangnya yang membawa papan. Setelah diteliti, baru ketahuan, bahwa huruf-huruf "Ouw It To" sudah dikerik hilang dengan sebuah benda tajam dan sebagai gantinya, di papan itu terdapat cukilan huruf-huruf "Siang Kiam Beng"!
Siang Po Cin tak dapat menahan amarahnya lagi. Dengan sekali menggaplok, ia membuat dua buah gigi bujang itu rontok dan dengan sekali menendang, ia menyebabkan orang apes itu rubuh di atas lantai.
"Tahan!" teriak Siang Loo-tay. Ia mengetahui bahwa bujang itu yang dipelihara sedari kecil, tentu tidak berani melakukan perbuatan tersebut. Tak bisa salah lagi, perbuatan itu tentu dilakukan oleh orang luar dan orang luar itu, menurut taksirannya, bukan lain daripada Ma Heng Kong bertiga.
"Coba undang Ma Loosu datang ke sini," ia memerintah salah satu orangnya.
Siang Po Cin sebenarnya adalah seorang yang sangat hati-hati. Tapi pada hari itu, oleh karena kegagalannya dalam percintaan, ia menjadi sangat aseran. Begitu mendengar ibunya memerintahkan orang memanggil Ma Heng Kong, lantas juga ia mendusin akan kekeliruannya. Ia membangunkan bujang yang digaploknya tadi dan berkata: "Aku sudah salah memukul kau, harap kau tidak menjadi gusar." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat tangannya untuk mencabut dua buah piauw yang menancap di papan.
"Tahan!" kata Siang Loo-tay yang lalu memerintah orang mengambil Pat-kwa-to.
Sebelum golok itu diambil, Ma Heng Kong bertiga sudah masuk ke ruangan Lian-bu-teng. Ia terkejut ketika melihat paras muka nyonya Siang yang sedang gusar. Buru-buru ia menyoja seraya menanya: "Ada urusan apa, Siang Loo-tay-tay memanggil aku?"
Nyonya Siang tertawa dingin. "Suamiku sudah lama meninggal dunia," jawabnya dengan tawar. "Walaupun andaikata sampai sekarang Ma Loosu masih mempunyai ganjalan berhubung dengan peristiwa tempo hari, tidaklah pantas, jika Loosu mengumbar nafsu terhadap orang yang sudah tiada lagi di dunia...."
Pek-seng Sin-kun menjadi bengong. "Aku tak mengerti..." katanya, tergugu. "Mohon Siang Loo-tay sudi bicara terlebih terang."
Dengan mata berapi, nyonya Siang menuding papan itu dan berkata dengan suara keras: "Ma Loosu adalah seorang laki-laki dalam kalangan Kang-ouw. Aku merasa pasti, kau tidak akan melakukan perbuatan yang serendah itu. Aku mau tanya: Siapa yang melakukan itu, puterimu atau muridmu?" Sehabis berkata begitu, matanya menyapu Ma Heng Kong bertiga dengan sikap yang sangat angker.
Ma Heng Kong heran dan terkejut melihat perubahan nama pada papan itu. Tapi lekas juga ia menjawab dengan suara nyaring: "Meskipun anak dan muridku orang-orang tolol, aku berani memastikan, bahwa mereka tak akan berani berbuat begitu."
"Dengan lain perkataan, kau mau mengatakan, bahwa perbuatan itu sudah dilakukan oleh orang-orang dari Siang-kee-po sendiri, bukan?" seru Siang Loo-tay.
Ma Heng Kong lantas saja ingat akan orang kecil kurus yang ia jumpai semalam. "Apakah tak bisa jadi, perbuatan itu dilakukan oleh orang luar yang masuk ke gedung ini?" tanyanya. "Semalam aku...."
"Maksudmu anjing Ouw It To sendiri yang menggerayang ke sini?" bentak Siang Loo-tay.
Baru habis perkataannya itu diucapkan, di luar ruangan mendadak terdengar suara seseorang yang sangat nyaring: "Tak berani mencari orangnya, namanya yang dihantam pulang pergi! Itulah baru perbuatan rendah!"
"Siapa itu? Kemari!" Siang Loo-tay memanggil.
Di lain saat, dua bujang yang berdiri dekat pintu, didorong orang dan seorang bocah yang kecil kurus bertindak masuk. Bocah itu bukan lain dari-pada Ouw Hui. Itulah suatu kejadian yang benar-benar di luar dugaan.
"A-hui, kalau begitu kau?" kata Siang Loo-tay dengan suara dalam.
Ouw Hui manggutkan kepalanya dan menjawab dengan tenang: "Benar. Aku yang berbuat. Tak ada sangkut pautnya dengan Ma Loosu."
"Kenapa kau berbuat begitu?" tanya nyonya Siang.
"Mataku tak enak melihatnya!" sahut si bocah. "Seorang gagah tak pantas berlaku seperti kau."
Siang Loo-tay mengangguk. "Anak manis, benar kata-katamu," katanya. "Kau mempunyai tulang punggung. Mari lebih dekat, aku mau melihat mukamu secara lebih tegas." Sembari bicara, ia mengulurkan tangannya.
Ouw Hui yang sama sekali tak menyangka, bahwa nyonya itu tidak menjadi gusar, lantas saja maju mendekati. Siang Loo-tay mengusap-usap ke-dua tangannya yang kecil seraya berkata: "anak baik, benar-benar kau anak baik!"
Mendadak, dengan sekali membalik tangannya, Siang Loo-tay menotok dengan kedua tangannya, sebelah tangannya menotok jalan darah Hwi-cong-hiat di pergelangan tangan kiri Ouw Hui dan sebelah tangan lagi menotok jalan darah Gwa-koan-hiat di pergelangan tangan kanan bocah itu. To-tokan itu yang dilakukan secepat kilat, tak dapat dielakkan lagi dan Ouw Hui tidak dapat bergerak pula. Dengan kepandaian yang dimilikinya, sebenarnya si nenek tak akan mampu merubuhkan Ouw Hui. Hanya kekurangan pengalaman yang sudah membikin ia terperangkap secara begitu mudah. Karena khawatir tawanannya masih akan dapat melarikan diri, Siang Loo-tay lalu mengirimkan tendangan ke arah jalan darah Siauw-yauw-hiat. Sesudah memamerkan kegagahannya di hadapan seorang anak kecil, ia meneriaki orang-orangnya untuk mengambil rantai dan tambang, guna menggantung putera Ouw It To ini di tengah-tengah Lian-bu-teng.
Sesudah korbannya digantung, Siang Po Cin segera mengambil cambuk kulit dan menghantam Ouw Hui kalang kabut. Sambil menggigit bibir, tanpa bersuara anak ini menerima hujan sabetan itu.
"Siapa menyuruh kau?" bentak Siang Po Cin sembari menyabet. Sekali membentak, sekali pula ia mengebat. Sembari menganiaya, ia memerintah orang-orangnya menjaga Peng Ah Sie supaya ia tidak melarikan diri. Dalam jengkelnya karena gagal dalam percintaan, ia sekarang melampiaskan amarahnya di atas kepala anak piatu itu.
Melihat Ouw Hui seolah-olah sudah menjadi "manusia darah", Ma It Hong dan Cie Ceng merasa sangat tidak tega di dalam hatinya. Beberapa kali, mereka ingin maju membujuk, tapi Ma Heng Kong selalu melarang dengan kedipan mata.
Sesudah menghantam kira-kira tiga ratus kali, Siang Po Cin menghentikan pukulannya, bukan karena kasihan, tapi karena ia khawatir bocah itu keburu binasa, sebelum dia dapat mengorek siapa yang menjadi dalang di belakang bocah itu.
"Bangsat kecil!" ia membentak. "Apakah bangsat Ouw It To yang menyuruh kau datang ke sini?"
Mendadak, mendadak saja, Ouw Hui tertawa terbahak-bahak, nyaring dan panjang. Bahwa dalam keadaan mandi darah, bocah itu masih bisa tertawa dan tertawa secara begitu riang, benar-benar diluar dugaan semua orang.
Siang Po Cin mengangkat pula cambuknya untuk menyabet. Sekali ini, Ma It Hong tak dapat bersabar lagi. "Jangan pukul lagi!" ia berteriak. Siang Po Cin mengawasi si nona dan cambuknya yang sudah terangkat naik, turun lagi perlahan-lahan.
Kejadian itu merupakan suatu pelajaran berharga yang pahit getir bagi putera Ouw It To. Setiap kali cambuk itu melanggar tubuhnya, setiap kali ia menyesalkan ketololannya sendiri. Dan sesudah mendapat pengalaman itu, seumur hidupnya ia selalu waspada dan tidak pernah membuat kesalahan untuk kedua kalinya.
Selagi menahan sakit sehingga hampir-hampir menjadi pingsan, kupingnya mendadak mendengar teriakan: "Jangan pukul lagi!" Ia membuka kedua matanya dan melihat Ma It Hong sedang mengawasi ia dengan sorot mata kasihan. Dalam keadaan terjepit, bukan main besar rasa terima kasihnya.
Melihat puterinya ditundukkan oleh paras cantik, Siang Loo-tay jadi sangat mendongkol, tapi ia tidak mengucap apa-apa.
"Siang Loo-tay," kata Ma Heng Kong. "Biarlah kau menghajar bocah itu supaya bisa mengorek latar belakangnya. Hong-jie, Ceng-jie, mari kita berlalu!" la memberi hormat dan segera meninggalkan ruangan itu bersama puteri dan muridnya.
Sesudah keluar dari Lian-bu-teng, It Hong menyesalkan ayahnya. "Ayah," katanya. "Bocah itu dianianya begitu hebat, kenapa, sebaliknya dari menolong, kau menganjurkan supaya dia dihajar terus?"
Sang ayah menghela napas dan menyahut: "Kau tahu apa? Orang-orang Kang-ouw sangat berbahaya dan berhati kejam."
Sebagai pemudi yang masih polos, Ma It Hong sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya.
Malam itu, mengingat penderitaan Ouw Hui, tak dapat si nona tidur pulas. Kira-kira tengah malam, perlahan-lahan ia turun dari pembaringan dan sesudah mengambil sebungkus obat luka, ia menuju ke Lian-bu-teng.
Di tengah jalan, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang yang sedang jalan mondar-mandir sembari menghela napas berulang-ulang. Orang itu adalah Siang Po Cin yang sudah lantas dapat melihatnya dan segera menghentikan tindakannya. "Nona Ma," katanya dengan suara perlahan.
"Apakah kau?"
"Benar," jawabnya, "Kenapa kau tidak tidur?"
"Sesudah mengalami kejadian tadi, bagaimana aku bisa pulas?" sahut pemuda itu sembari menggelengkan kepala.
"Dan kau, kenapa kau sendiri tidak tidur?"
"Sama seperti kau," kata si nona. "Aku pun memikirkan kejadian siang tadi dan hatiku sangat menderita."
"Kejadian siang tadi" yang dimaksudkan Ma It Hong adalah pemukulan terhadap Ouw Hui, tapi bagi Siang Po Cin, "kejadian tadi" adalah pertunangan antara It Hong dan Cie Ceng.
Mendengar perkataan si nona pemuda itu jadi bergemetar sekujur badannya. "Ah! Kalau begitu ia mencinta aku," pikirnya. "Kalau begitu, pertunangannya dengan Cie Ceng adalah atas paksaan ayahnya." Nyalinya jadi lebih besar, ia maju setindak dan berkata dengan suara halus: "Nona Ma!"
"Hm! Siang Siauwya, aku ingin memohon serupa pertolongan," kata Ma It Hong.
"Kenapa mesti memohon?" kata Siang Po Cin. "Apa juga yang diperintahkan olehmu, aku akan segera mengerjakannya. Andaikata kau ingin aku lantas binasa dan ingin mengorek keluar jantung hatiku, aku juga akan mengabulkannya." Kata-kata itu dikeluarkan dengan bernafsu, dengan suara yang agak menggetar. Sudah lama ia ingin mencurahkan isi hatinya dan baru sekarang ia mendapat kesempatan yang bagus.
Mendengar ucapan itu, si nona jadi terperanjat. Sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa pemuda itu sudah jatuh cinta kepadanya. Ia bengong beberapa saat dan kemudian berkata sembari tertawa: "Guna apa aku menginginkan kebinasaanmu?"
Siang Po Cin menengok ke sana sini, ia khawatir dipergoki orang. "Bicara di sini tidak leluasa, mari kita pergi keluar tembok," katanya dengan suara perlahan.
Ma It Hong mengangguk dan mereka berdua lalu melompati tembok. Sambil menuntun tangannya Siang Po Cin mengajak si nona duduk di bawah pohon Kui.
Perlahan-lahan Ma It Hong menarik tangannya dan berkata: "Siang Siauwya, apakah kau bersedia meluluskan permintaanku?"
Pemuda itu mengulurkan tangannya dan kembali mencekal tangan Ma It Hong. "Katakan saja," jawabnya. "Tak usah banyak menanya-nyanya."
Si nona sekali lagi menarik kembali tangannya yang diusap-usap. "Aku mohon kau melepaskan A-hui," katanya. "Jangan menganiaya ia lagi."
Saat itu, dahan pohon di atas mereka mendadak bergoyang, tapi mereka tidak memperhatikannya.
Sebelum Ma It Hong menjelaskannya, Siang Po Cin berharap nona itu akan mengusulkan supaya mereka lari berdua, seperti cara Tian Kui Long dan isterinya Biauw Jin Hong. Tentu saja ia merasa sangat kecewa setelah mengetahui maksud It Hong yang sebenarnya. Ia berdiam saja, tak menjawab.
"Bagaimana?" si nona menegas. "Apakah kau merasa keberatan?"
"Jika kau memaksa, aku tentu akan meluluskannya," jawab Siang Po Cin. "Biarlah sekali ini aku dicaci habis-habisan."
Ma It Hong girang. "Terima kasih, banyak-banyak terima kasih," katanya sambil berbangkit. "Marilah kita sama-sama melepaskan dia."
"Duduklah sebentar lagi," Siang Po Cin memohon.
Oleh karena permintaannya sudah diluluskan, si nona merasa tidak enak jika ia bersikap terlalu getas. Maka itu, sembari mesem, ia duduk kembali.
"Kasihlah aku mengusap-usap tanganmu," pinta pemuda gila rasa itu.
Melihat lagak orang yang sudah jatuh dibawah pengaruhnya, di dalam hati si nona jadi timbul rasa kasihan dan ia membiarkan tangannya dielus-elus. Sembari mengusap-usap tangan orang yang halus, hampir-hampir Siang Po Cin menangis karena mengingat, bahwa nona itu yang begitu cantik, tak bisa menjadi isterinya.
Lewat beberapa saat, It Hong berkata: "A-hui sudah digantung terlalu lama, aku sungguh merasa sangat tak tega. Pergilah kau melepaskan ia dulu. Sesudah itu, boleh kau datang lagi ke sini." Sehabis berkata begitu, ia menarik tangannya dan berbangkit lagi. Siang Po Cin menghela napas dan segera turut berdiri.
Sekonyong-konyong di atas pohon terdengar suara keresekan dan sesosok bayangan hitam melayang turun ke bawah.
"Tak usah dilepaskan!" kata orang itu sembari tertawa. "Aku sudah bisa melepaskan diriku sendiri!"
Po Cin dan It Hong terkesiap. Orang itu, yang kecil kurus, bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah mengetahui siapa adanya orang itu, rasa kaget mereka berubah menjadi keheranan besar. "Siapa melepaskan kau?" tanya It Hong dan Po Cin dengan berbareng.
"Perlu apa pertolongan orang?" jawab bocah itu sembari nyengir. "Aku senang keluar, aku lantas keluar."
Harus diketahui, bahwa totokan Siang Loo-tay hanya mempunyai kekuatan untuk empat jam lamanya. Sesudah lewat empat jam, jalan darah Ouw Hui terbuka sendiri.
Dengan menggunakan ilmu mengkeretkan otot dan tulang, mudah saja ia meloloskan diri. Untung juga, meskipun kena labrakan hebat, semua lukanya adalah luka di kulit yang tidak berbahaya. Sesudah menggerak-gerakkan kaki tangannya agar darahnya berjalan lagi sebagaimana biasa, selagi ingin bertindak untuk menolong Peng Ah Sie, mendadak ia mendengar suara It Hong dan Po Cin yang bersama-sama melompati tembok. Buru-buru ia menyusul dan loncat ke atas pohon. Berkat ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, Siang Po Cin dan Ma It Hong sama sekali tidak mengetahui, bahwa ia sedang mengintip mereka.
Dapat dimengerti, bahwa Siang Po Cin, sedikit juga tidak percaya, jika Ouw Hui dapat meloloskan dirinya sendiri. Ia menduga, bahwa pasti ada orang yang menolong bocah itu. Dengan sikap garang, ia mendekati dan mencengkeram dada si bocah.
Sesudah dianiaya dengan ratusan sabetan pecut, mana bisa sakit hati itu tidak dibalasnya? Sekali badannya digoyangkan, cengkeraman Siang Po Cin terlepas dan kedua tangannya lantas saja bekerja cepat sekali. Dalam sekejap saja, muka putera Siang Kiam Beng ini sudah kena tujuh delapan tamparan. Dengan gelagapan, Siang Po Cin coba membela diri. Sembari menyampok dengan tangan kirinya, Ouw Hui mengirimkan tinju kanannya yang jatuh tepat di hidung musuhnya itu, yang segera mengeluarkan darah. Ia tidak berhenti sampai di situ saja. Berbareng dengan jotosannya, ia menggaet dengan kakinya. Buru-buru Siang Po Cin menjejak kakinya dan badannya melesat ke atas untuk meloloskan diri dari gaitan itu. Tapi tak dinyana, selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui yang gerakannya cepat bagaikan kilat, sudah mengirimkan Lian-hoan-tui (tendangan berantai), sehingga tak ampun lagi, Siang Po Cin jungkir balik dan kemudian rubuh ngusruk di atas tanah.
Sungguh pun musuhnya sudah terguling, hati Ouw Hui masih belum puas. Tapi ia tahu, jika ia menghantam lagi, Ma It Hong tentu akan menyelak antara mereka. Sebagai ksatria yang harus mengingat budi orang, ia tentu tidak dapat menolak permintaan si nona.
Ouw Hui masih muda usianya, tapi banyak akal budinya. "Orang she Siang!" ia berseru. "Anjing kecil! Berani kau mengubar aku?" Sehabis berteriak begitu, ia memutarkan badan dan terus kabur.
Ketika itu, Siang Po Cin merasa, bahwa karena kurang waspada, ia sudah kena dirubuhkan oleh musuh yang gerakannya cepat luar biasa itu. Sedikit pun ia tidak percaya, bahwa dengan memiliki ilmu silat Pat-kwa peninggalan mendiang ayahnya, dalam pertempuran yang sungguh-sungguh, ia bisa di-jatuhkan oleh bocah cilik. Selain itu, beradanya Ma It Hong di sampingnya, sudah membikin ia jadi malu sekali. Demikianlah, tanpa berkata suatu apa, ia segera mengejar.
Ilmu mengentengkan badan Ouw Hui banyak lebih unggul daripada Siang Po Cin, tapi ia sengaja menahan larinya, supaya musuhnya tidak ketinggalan terlalu jauh. Dengan cepat mereka sudah melalui tujuh delapan li, Ouw Hui menengok dan melihat Ma It Hong sedang membuntuti dari belakang. Ia menghentikan tindakannya dan membentak: "Orang she Siang! Hari ini majikan kecilmu menerima hinaan karena ibumu sudah menggunakan akal licik. Sekarang Siauwyamu ingin memperlihatkan sedikit kepandaiannya."
Berbareng dengan caciannya, ia menubruk bagaikan seekor elang.
Buru-buru Siang Po Cin berkelit. Begitu hinggap, kaki kiri Ouw Hui kembali menjejak tanah dan badannya menubruk pula dari jurusan lain. Oleh karena tidak keburu berkelit lagi, Siang Po Cin mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut. Begitu kebentrok, Siang Po Cin merasakan kedua tangannya sakit luar biasa dan jika tidak keburu ditarik, kedua pergelangan tangannya tentu sudah menjadi patah. Ouw Hui tak mau memberi hati kepadanya. Bagaikan kilat, tinjunya mampir di dada musuh, sedang kaki kanannya telak mengenai kempungan Siang Po Cin.
Dalam bingungnya, Siang Po Cin menggunakan kedua tangannya untuk menutupi kepala dan mukanya. Sungguh kasihan, latihan sepuluh tahun sedikit pun tiada gunanya. Tapi Ouw Hui yang merasa sangat sakit hati, sungkan berhenti sampai di situ. Ia mengangkat kaki kirinya untuk menggertak dan selagi musuhnya berkelit ke kanan, ia memapaki dengan kaki kanannya yang dengan jitu mampir di jalan darah Siauw-yauw-hiat, sehingga tanpa ampun, putera Siang Kiam Beng itu rubuh kejengkang.
Ouw Hui membeset thungsha musuhnya yang kemudian digunakan untuk mengikat tubuh musuh itu sendiri. Sebenarnya ia niat menggantung musuh itu di pohon liu, tapi karena badannya terlalu kecil, ia tak dapat mewujudkan maksudnya. Maka itu, ia lalu mengangkat badan musuhnya dan melontarkannya ke atas. Tepat sekali, badan Siang Po Cin terjepit antara cabang dahan bercagak.
Dengan gemas Ouw Hui memotes tujuh delapan batang cabang pohon liu yang lalu digunakan mengebat musuhnya. Siang Po Cin gusar dan malu bukan main, tapi ia pun mengetahui, bahwa tak gunanya meminta ampun. Sesudah Ouw Hui menyabet kira-kira tiga puluh kali, Ma It Hong sudah menyusul sampai di situ. Ia terperanjat melihat pemandangan itu dan untuk sementara, ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Nona Ma," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Kau tak usah mintakan ampun. Sekarang juga aku ampuni dia!" Ia tertawa terbahak-bahak. Walaupun baru berusia belasan tahun, Ouw Hui mempunyai sikap dan keangkeran seorang ksatria sejati. Ia melemparkan cabang-cabang liu itu dan berlalu dengan tindakan lebar.
"Sahabat kecil!" seru It Hong. "Siapa sebenarnya kau?"
Ouw Hui memutarkan badannya dan menyahut dengan nyaring: "Pertanyaan nona tak dapat tak dijawab. Aku adalah Ouw Hui, putera Tayhiap Ouw It To!" Ia tertawa nyaring dan panjang, di lain saat, tubuhnya kecil kurus sudah menghilang di antara pohon-pohon liu.
Ma It Hong berdiri terpaku. Pengakuan Ouw Hui benar-benar mengagetkan. Berselang beberapa saat, baru si nona bisa membuka suara. "Siang Siauwya," katanya. "Apakah kau bisa turun?"
Siang Po Cin coba berontak, tapi ia tak dapat memutuskan tali ikatan itu. Seluruh mukanya merah, tak dapat ia memberi jawaban.
"Sudahlah, jangan bergerak," kata pula It Hong. "Kalau jatuh, kau bisa luka. Biarlah aku membantu."
Sehabis berkata begitu, ia segera memanjat pohon itu.
Selagi ia manjat, mendadak terdengar bunyi tindakan kuda dan sejumlah penunggang kuda kelihatan mendatangi.
Waktu itu, fajar baru menyingsing dan udara masih agar gelap. "Kenapa begini pagi orang-orang itu sudah melakukan perjalanan?" tanya si nona di dalam hatinya. Dalam sekejap saja mereka sudah tiba di bawah pohon itu. Melihat seorang nona memanjat pohon dan seorang lelaki yang terikat badannya, terjepit antara cabang dahan, mereka yang semuanya berjumlah sembilan orang menjadi heran bukan main.
"Jangan nonton!" seru Ma It Hong. "Pergilah!" Sembari berkata begitu, si nona loncat ke atas dan menjambret dahan pohon yang menjepit Siang Po Cin.
"Sungguh indah ilmu mengentengkan badan itu!" puji salah seorang penunggang kuda.
Buru-buru Ma It Hong membuka ikatan Po Cin dan menanya dengan suara halus: "Apakah kau terluka?"
Suara si nona yang lemah lembut sangat menggirangkan hati Siang Po Cin. "Tak apa-apa," jawab-nya, lalu ia meloncat turun, diikuti Ma It Hong.
Melihat sembilan orang itu kasak-kusuk secara kurang ajar, Siang Po Cin jadi sangat mendongkol. Ia melirik dengan sorot mata gusar. Mereka itu, ada yang tua, ada juga yang muda dan semua berpakaian indah serta bersikap garang. Di antara mereka terdapat seorang kongcu (putera orang berpangkat) yang berparas cakap dan baru berusia kira-kira dua puluh tahun. Ia mengenakan jubah panjang yang berwarna biru, sedang kepalanya ditutup dengan sebuah topi kecil tertata dua butir mutiara sebesar telunjuk.
Ma It Hong yang semenjak kecil sudah mengikuti piauw-hang, mengenal baik batu-batu permata. Dari jarak beberapa tombak, kedua mutiara itu sudah terlihat sinarnya yang terang dan segera juga ia mengetahui, bahwa mutiara itu berharga sangat tinggi. Ia merasa heran, mengapa benda yang begitu mahal dicantumkan di topi. Apakah tidak takut jatuh hilang? Keheranan itu sudah membikin ia melirik beberapa kali.
Di lain pihak, si kongcu yang melihat kecantikan Ma It Hong, lantas saja berdebar hatinya. Ia lalu berbicara bisik-bisik dengan seorang setengah tua yang segera manggut-manggutkan kepalanya dan kemudian tertawa berkakakan. "Bangsat kecil itu tentunya juga telah mencuri, sehingga digantung di pohon," kata orang setengah tua itu.
"Mencuri apa?" celetuk seorang tua. "Apakah kau tak melihat, bahwa adiknya menolong dia?" Suara si tua itu mengejek dan lagaknya tengik.
Siang Po Cin yang memang sudah mendongkol. lantas saja naik darah. Sambil melompat, ia menggaplok. Jarak antara ia dan si tua tidak kurang dari setombak. Bahwa dengan sekali melompat, ia sudah dapat mengirimkan pukulan adalah diluar dugaan semua orang yang dengan terkejut, segera mundurkan tunggangan masing-masing. Si tua tentu saja tak sudi menerima hinaan di hadapan orang banyak. Ia meloncat turun dari tunggangannya dan coba menjambret baju Siang Po Cin. Dengan cepat Siang Po Cin menyamber pergelangan tangan orang tua itu, yang ternyata juga mempunyai kepandaian lumayan, sebab dengan sekali membalikkan tangan, ia dapat mengelit sambaran Siang Po Cin dan terus menyodok dengan lima jarinya. Dilain saat, mereka berdua sudah bertempur seru.
Biarpun baru saja mendapat hajaran, Siang Po Cin tidak mendapat luka pada otot atau tulangnya. Dengan penuh kegusaran, ia segera mengeluarkan ilmu silat Pat-kwa-ciangnya dan menyerang bertubi-tubi. Berselang beberapa saat, bagaikan kilat tinjunya mampir di pundak si tua yang lantas saja jadi sempoyongan.
"Loo-thio, coba mundur!" seru seorang kawannya.
Berbareng dengan seruannya, dengan suatu gerakan indah, orang itu loncat turun dari pelana. Agaknya ia sangat disegani oleh si tua yang dengan sikap menghormat, buru-buru mundur ke belakang.
Melihat gerakan orang itu yang luar biasa, Siang Po Cin lantas saja berwaspada. Muka orang itu berwarna ungu, parasnya angker dan badannya tinggi besar. Sambil menggendong tangan ia mengawasi Siang Po Cin dan berkata: "Apakah kau murid Pat-kwa-bun? Siapa gurumu? She Tie atau she Siang?"
Suara sombong dan lagak angkuh orang itu, sudah lebih menggusarkan Siang Po Cin. "Tak usah tahu!" ia membentak.
Orang itu bersenyum. "Mengenai orang-orang Pat-kwa-bun, aku justru berhak mencari tahu," katanya.
Siang Po Cin sebenarnya seorang yang sangat hati-hati. Tapi hari itu, berhubung dengan kemendongkolannya, ia tak dapat berpikir secara tenang lagi dan tidak bisa menangkap maksud tersembunyi dalam kata-kata orang itu. Demikianlah, dalam kegusarannya, dengan gerakan Pek-lui-tui-tee (Geledek menyambar ke bumi), ia menghantam lutut orang itu.
Yang diserang tertawa, kedua tangannya tetap digendong di belakang. Dengan sekali mengisarkan kaki kirinya, ia sudah dapat memunahkan serangan Siang Po Cin. Melihat serangan pertamanya dipunahkan secara begitu gampang, Siang Po Cin segera menyerang dengan ilmu Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Kedua kakinya menginjak garis Pat-kwa (De-lapan segi), sedang kedua tangannya menghantam musuh dengan pukulan-pukulan berantai, yang satu lebih cepat dari yang lain.
Tapi orang yang diserang itu tetap berlaku tenang. Kedua tangannya tetap berada di belakangnya, sama sekali ia tidak berkelit atau mengegos, hanya kedua kakinya berkisar ke sana sini dalam suatu lingkaran yang sangat kecil. Tapi sungguh heran, semua pukulan Siang Po Cin jatuh di tempat kosong, tak pernah melanggar ujung bajunya. Orang itu seolah-olah sudah mengetahui, ke arah mana Siang Po Cin akan memukul.
Melihat pertunjukan luar biasa itu, semua orang jadi merasa kagum. Siang Po Cin menjadi semakin gusar dan menyerang semakin hebat. Tapi orang itu tetap meladeninya dengan caranya yang aneh.
Perlahan-lahan putera Siang Kiam Beng ini mendapat kenyataan, bahwa kedua kaki musuhnya juga menginjak garisan Pat-kwa. Lantas saja ia ingat, bagaimana ibunya pernah menceritakan, bahwa dalam partai Pat-kwa-bun terdapat serupa ilmu yang dinamakan Lwee-pat-kwa (Pat-kwa Dalam). Akan tetapi, orang yang ingin mempelajari ilmu tersebut, harus menyelami dulu ilmu Gwa-pat-kwa (Pat-kwa Luar). Seorang yang sudah mahir dengan Lwee-pat-kwa, tanpa banyak bergerak dapat menjatuhkan musuhnya yang berkepandaian tinggi. Sekarang Siang Po Cin insyaf, bahwa lawannya sudah berlaku sangat murah hati terhadap dirinya.
Jika orang itu mau, dengan sekali menghantam, dia akan rubuh. Mengetahui itu, semakin lama ia jadi semakin ketakutan, sampai akhirnya ia meloncat ke belakang dan berkata sembari merangkap kedua tangannya: "Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) mempunyai mata, tapi tak bisa melihat gunung Taysan yang besar. Tak dinyana, Boanpwee sekarang sedang berhadapan dengan Cian-pwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) dari partai kita!"
Orang itu tertawa. "Siapa gurumu? She Tie atau she Siang?" tanyanya lagi. Siang Po Cin bingung, karena ibunya pernah memesan, bahwa untuk kepentingan urusan pembalasan sakit hati, ia tidak boleh sembarang memperkenalkan dirinya kepada orang luar. Siang Loo-tay khawatir, jika sebelum temponya tiba, musuh-musuhnya akan sudah mengetahui, bahwa dia adalah putera Siang Kiam Beng.
Melihat kesangsian Siang Po Cin, orang itu tertawa seraya berkata. "Jika tak salah, ilmu silatmu didapat dari Siang Kiam Beng Suheng. Toako, bagaimana pendapatmu? Benar tidak?" Perkataannya yang terakhir ini ditujukan kepada seorang tua yang duduk di punggung kuda.
Orang tua itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun, segera loncat turun dari kudanya dan berkata: "Mana gurumu? Aku adalah Ong Supehmu (Supeh berarti paman guru yang berusia lebih tinggi dari sang guru). Yang itu adalah saudaraku. Pergilah memberi hormat kepada Susiokmu (Susiok adalah paman guru yang berusia lebih muda dari guru sendiri)." Sehabis berkata begitu, orang itu tertawa berkakakan.
Siang Po Cin mengetahui, bahwa guru ayahnya adalah Wie-cin Ho-sok Ong Wie Yang (Ong Wie Yang yang menggetarkan daerah sebelah utara su-ngai Hongho). Cong-piauw-tauw (pemimpin besar) dari Tin-wan Piauw-kiok di Pakkhia. Mendengar orang itu mengaku she Ong dan ilmu silatnya adalah ilmu silat Pat-kwa-bun, ia merasa pasti, bahwa mereka berdua benar adalah Supeh dan Susioknya sendiri. Akan tetapi, sebagai seorang yang hati-hati, ia masih merasa perlu untuk menanya: "Pernah apa kedua Cianpwee dengan Wie-cin Ho-sok Ong Loo-piauwtauw?"
"Ia adalah mendiang ayah kami," jawab orang tua itu.
"Apakah kau masih belum mau percaya? Di mana adanya Siang Sutee (adik seperguruan)?"
Sekarang Siang Po Cin tidak bersangsi lagi. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah sambil memanggil Supeh dan Susiok. "Ayahku sudah meninggal dunia," katanya. "Apakah Supeh dan Susiok tidak menerima warta?"
Orang tua itu bernama Ong Kiam Eng, sedang adiknya adalah Ong Kiam Kiat, kedua-duanya putera Ong Wie Yang. Dulu, dengan sepasang tangannya dan sebilah golok Pat-kwa-to, Ong Wie Yang sudah menggetarkan seluruh kalangan Rimba Hijau (Liok-lim) di sebelah utara Sungai Hongho, sehingga dalam kalangan Hek-to (Kalangan penjahat) terdapat kata-kata yang seperti berikut: "Lebih baik bertemu dengan Giam Lo-ong (Raja Akhe-rat) daripada bertemu dengan Loo-ong (orang tua she Ong)." Dari kata-kata ini dapatlah dibayangkan besarnya nama Ong Wie Yang pada jaman itu. Tapi pada saat itu ia sudah meninggal dunia banyak tahun berselang.
Meskipun menjadi murid, perhubungan Siang Kiam Beng dengan gurunya tidak begitu baik. Sesudah meninggalkan rumah perguruan, dia jarang sekali surat-menyurat. Kedua saudara Ong, yang belakangan bekerja di dalam istana, juga tidak terlalu  memperhatikan adik seperguruan mereka dan itulah sebabnya, mengapa, walaupun letak Shoa-tang tidak terlalu jauh dari kota raja, mereka berdua sama sekali tidak mengetahui tentang kebinasaan Siang Kiam Beng.
Ong Kiam Eng menghela napas dan berbicara bisik-bisik dengan si kongcu yang, sembari melirik Ma It Hong, lantas saja manggut-manggutkan kepalanya.
"Apakah rumahmu jauh dari sini?" tanya Kiam Eng. "Aku dan saudaraku ingin sekali bersembahyang di meja abu mendiang ayahmu. Kita sudah berpisahan dua puluh tahun lebih lamanya, tak nyana tidak bisa bertemu muka lagi."
Ia kembali menghela napas dan berkata pula sambil menunjuk kongcu yang cakap itu: "Hayolah memberi hormat kepada Hok Kongcu. Kami berdua bekerja di bawah perintahnya."
Melihat pakaian dan sikap kongcu itu yang agung, apalagi sesudah mendengar bahwa kedua saudara Ong adalah kaki tangannya, Siang Po Cin mengetahui bahwa dia itu tentu juga seorang "kongcu mahal" di kota raja. Lantas saja ia memberi hormat dengan berlutut.
Hok Kongcu tidak membalas hormat. Ia hanya mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Bangunlah!"
Siang Po Cin agak mendongkol. "Sombong sungguh kau!" katanya di dalam hati. "Apakah kau Hongtee (kaisar)?"
Ketika mereka tiba di Siang-kee-po, orang sudah mengetahui tentang kaburnya Ouw Hui dan sedang mencarinya. Siang Po Cin segera masuk dan memberitahukan ibunya. Mendengar kunjungan kedua saudara seperguruan mendiang suaminya, Siang Loo-tay kaget berbareng girang dan buru-buru keluar menyambut. Dalam kerepotannya, ia menyampingkan soal larinya Ouw Hui.
Ong Kiam Eng lalu memperkenalkan kawan-kawannya kepada nyonya Siang. Ternyata di antara sembilan orang itu. ada lima orang yang termasuk ahli silat kelas satu dari Rimba Persilatan. Di samping kedua saudara Ong, tiga ahli lainnya adalah: Tan Ie dari Thay-kek-bun, Ouw Poan Jiak dari Siauw-lim-pay dan In Tiong Shiang dari Thian-liong-bun cabang Selatan. Tan Ie dan In Tiong Shiang sudah lama mendapat nama besar dalam kalangan Kang-ouw, sedang Ouw Poan Jiak, walaupun masih muda, kelihatannya bersemangat sekali dan dari kedua tangannya yang keras dan bertenaga, dapat diketahui, bahwa dia bukan orang sembarangan. Tiga orang lainnya adalah orang kepercayaan Hok Kongcu. Si orang tua yang kena dihantam Siang Po Cin dikenal sebagai Thio Cong-koan (Cong-koan berarti pengurus), orang yang berkuasa dalam gedung Hok Kongcu.
Demikianlah, satu demi satu Ong Kiam Eng memperkenalkan kawan-kawannya. Mengenai "kongcu mahal" itu, Kiam Eng hanya menyebut "Hok Kongcu" dan sama sekali tidak menjelaskan, siapa sebenarnya dia.
Ketika kedua saudara Ong menanyakan hal ihwal meninggalnya Siang Kiam Beng, nyonya siang memberitahukan, bahwa suaminya meninggal dunia karena sakit. la memberikan jawaban begitu karena kesombongannya dan ia sungkan mengakui, bahwa Siang Kiam Beng telah dibinasakan oleh Ouw It To. Selain itu, ia juga sudah mengambil keputusan, bahwa sakit hati itu harus dibalas dengan tangan sendiri dan tak boleh meminta pertolongan orang lain.
Selagi nyonya rumah asyik bercakap-cakap dengan para tetamunya, Ma It Hong masuk ke dalam dan memberitahukan segala pengalamannya kepada sang ayah.
Mendengar bahwa A-hui adalah putera Ouw It To, Ma Heng Kong kaget bukan main. Tapi ia agak kurang percaya, bahwa bocah kurus itu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada Siang Po Cin, Cie Ceng yang berada di situ, hanya tutup mulut.
Sesudah bercakap-cakap beberapa lama, Ma It Hong segera meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya sendiri.
Cie Ceng mengikuti dan memanggil: "Sumoay!"
"Apa?" tanya si nona yang mukanya lantas saja berubah merah.
Cie Ceng mengulurkan tangannya untuk mencekal tangan tunangannya. Ma It Hong mundur sembari berkata: "Nanti dilihat orang. Kau tidak malu?"
"Malu?" Cie Ceng menegas. "Tengah malam buta kau pergi keluar bersama-sama bocah she Siang itu. Bikin apa kau?"
Si nona naik darah. "Apakah maksud perkataanmu?" tanyanya dengan suara gusar.
"Aku tanya: Apakah maksudnya kamu keluar berdua-dua?" kata Cie Ceng.
Sebenarnya dalam hari-hari sebelumnya Cie Ceng selalu berlaku manis terhadap Sumoaynya. Sekarang ia tak dapat menahan sabar lagi karena rasa curiga dan iri hatinya.
Dilain pihak, karena khawatir diomeli ayahnya, Ma It Hong tidak berani bicara sejujurnya, bahwa ia keluar dengan maksud meminta Siang Po Cin melepaskan Ouw Hui.
Tapi Ma Heng Kong sendiri, sesudah mendengar pembicaraan antara Siang Loo-tay dan puteranya, menduga keras, bahwa kedua orang muda itu telah sengaja membuat pertemuan di waktu tengah malam. Ia tidak mau menegur puterinya, karena Cie Ceng berada bersama-sama dengan mereka.
Dalam sengketa itu, dapat dimengerti, jika Ma It Hong naik darah. Beda dengan biasanya dan secara tak dinyana, baru saja ayahnya merangkap jodoh mereka, Suko itu lantas saja berlaku sedemikian kasar. Kalau sekarang saja sudah begitu, bagaimana jika sudah menjadi suami isteri?
Sebenar-benarnya, jika It Hong mau bicara terus-terang dengan mudah Cie Ceng dapat dibikin mengerti. Tapi, karena sudah ketelanjur marah-marah, si nona sungkan mengalah lagi. "Dengan siapa aku suka pergi, aku merdeka untuk pergi," katanya sambil melotot. "Kau punya hak apa untuk mencampuri urusan pribadiku?"
Seorang yang sudah timbul iri hatinya dalam soal percintaan, tak akan dapat menggunakan lagi otaknya secara tenang. Seluruh muka Cie Ceng lantas berubah merah. "Dulu memang tidak, tapi sekarang aku mempunyai hak penuh!" ia berteriak.
It Hong merasakan dadanya seakan-akan mau meledak dan seperti biasanya, jika seorang wanita gusar, mengucurnya air mata tak dapat ditahan lagi.
"Sekarang kau sudah begitu," katanya sesenggukan. "Apa lagi nanti?"
Melihat tunangannya menangis, Cie Ceng merasa kasihan. Tapi rasa kasihan itu lantas saja tertutup rasa cemburunya. Di depan matanya terbayangkan, bagaimana tunangannya berada berdua-dua dengan Siang Po Cin. Hinaan itu sungguh tak dapat ditelan olehnya.
"Kau bikin apa?" ia berteriak pula. "Bilang! Hayo, bilang!"
Tapi semakin dikerasi, si nona jadi semakin kepala batu.
Pada saat itu, secara kebetulan, atas perintah ibunya, Siang Po Cin masuk ke dalam untuk mengundang Ma Heng Kong menjumpai kedua saudara Ong. Melihat Cie Ceng dan Ma It Hong sedang bertengkar, tanpa merasa ia menghentikan tindakannya.
Kedatangan Siang Po Cin adalah seolah-olah ular mencari penggebuk. Cie Ceng yang sedang mata gelap dan diliputi rasa cemburu, lantas saja menumpahkan amarahnya di atas kepala pemuda she Siang itu. "Biar aku mampuskan kau, anak anjing!" ia berteriak sembari menerjang.
Siang Po Cin menjadi gelagapan. "Eh-eh! Kenapa kau?" tanyanya.
Karena diserang secara tidak diduga-duga, dadanya kena dihajar telak oleh tinju Cie Ceng. Ia terhuyung dan sesudah lawannya mengirimkan pukulan ketiga, baru ia dapat membela diri. Di lain saat, mereka sudah bertempur dengan serunya.
Ma It Hong yang sedang mendongkol dan penasaran, lantas saja berjalan pergi tanpa memperdulikan bagaimana kesudahan pertempuran itu. Dengan pikiran kusut, ia menuju ke taman bunga yang terletak di belakang gedung dan duduk terpekur di sebuah kursi batu. "Apakah seumur hidup aku harus menyerahkan nasibku ke dalam tangan seorang yang begitu macam?" katanya di dalam hati. "Sekarang saja, sedang ayah masih hidup, ia sudah berani berbuat begitu. Apalagi nanti, jika ayah sudah menutup mata?" Mengingat begitu, tanpa merasa air matanya turun berketel-ketel di kedua pipinya.
Entah berapa lama ia sudah duduk bengong di situ, ketika tiba-tiba, kupingnya menangkap bunyi seruling yang keluar dari semak-semak pohon bunga. Dalam suasana sunyi senyap, sungguh merdu terdengarnya bunyi seruling itu. Hati si nona jadi berdebar-debar. Semakin didengar, tiupan lagu itu semakin merdu. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke arah bunyi itu. Ternyata, yang meniup seruling adalah seorang lelaki yang duduk di bawah sebuah pohon Hay-tong. Ia mengenakan thungsha (jubah panjang) warna biru, sedang serulingnya yang terbuat dari batu Giok berwarna sama dengan kedua tangannya yang putih halus. Lelaki itu bukan lain daripada Hok Kongcu.
Sambil terus meniup serulingnya, Hok Kongcu mengangguk, maksudnya agar si nona maju terlebih dekat. Sikap pemuda itu, yang menarik tercampur angker, seolah-olah mempunyai tenaga besi berani vang tak dapat ditolaknya. Paras muka It Hong lantas saja bersemu dadu dan perlahan-lahan ia menghampiri. Sembari mendengarkan permainan seruling yang merdu merayu itu, tanpa merasa tangan si nona memetik sekuntum bunga mawar yang lalu ditempelkan pada hidungnya. Seruling... mawar... suasana senja yang hening suci dan seorang pemuda yang cakap, halus serta agung.
Dalam suasana bagaikan dalam impian, It Hong mendadak teringat akan Cie Ceng yang kasar. Direndengkan dengan Hok Kongcu, perbedaannya adalah seperti antara langit dan bumi.
Dengan sorot mata halus, It Hong mengawasi kongcu mahal" itu. Ia tak ingin menanya siapa dia, tak ingin mengetahui apa dia sudah kawin atau belum. Ia hanya merasakan, bahwa berhadapan dengan pemuda itu, hatinya senang sekali. Jika ingin menggunakan kata-kata tanpa tedeng-tedeng: Ma It Hong sekarang sudah jatuh cinta!
Puteri Ma Heng Kong ini adalah seorang gadis yang masih sangat hijau. Ia menganggap, beradanya si kongcu dalam taman bunga itu, sudah terjadi secara kebetulan saja, dan juga, bahwa Hok Kongcu sama sekali tidak mengambil inisiatif untuk mengilik-ngilik hatinya.
Tentu saja, ia tidak mengetahui, bahwa jika bukan karena kecantikannya, Hok Kongcu pasti tidak akan mampir di rumah Siang Kiam Beng. Apakah artinya Siang Kiam Beng bagi seorang kongcu yang semahal dia? Tentu saja, Ma It Hong tidak mengetahui, bahwa jika ia tidak duduk bengong di taman bunga, Hok Kongcu pasti tidak meniup serulingnya. Harus diketahui, bahwa di kota raja, bukan main kesohornya kepandaian meniup seruling Hok Kongcu. Raja-raja muda dan orang-orang "mahal" lainnya tak gampang-gampang bisa mendengar tiupan serulingnya itu.
Dan sebagai seorang yang ahli dalam hal menaklukkan wanita, sikapnya yang lemah lembut dan sinar matanya yang redup halus, banyak lebih berharga daripada ribuan kata-kata.
Dilain saat, Hok Kongcu berhenti meniup serulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengulurkan sebelah tangannya untuk memeluk pinggang Ma It Hong. Dengan kemalu-maluan si nona menyingkir. Tapi ketika si kongcu mengangsurkan tangan untuk kedua kalinya, It Hong tidak kuat menolak lagi.
Ah! Cinta adalah mulia dan suci bersih! Tapi berapa banyak perbuatan kotor sudah terjadi dalam dunia ini, dengan menggunakan "cinta" sebagai kedoknya?
Otak Ma It Hong yang sudah kacau, tak bisa bekerja lagi seperti biasa. la tak ingat lagi akan segala akibat, ia tak memikirkan lagi, apakah tidak mungkin, jika ada orang yang secara kebetulan akan masuk ke dalam taman bunga itu. Tapi, si kongcu "mahal" sendiri, sebelum masuk ke taman, sudah memperhitungkan itu semua. Lebih dulu, ia memerintah Tan Ie menemani Ma Heng Kong, kedua saudara Ong diperintahnya "mengikat" Siang Loo-tay dan puteranya, ia menugaskan Ouw Poan Jiak menempel Cie Ceng dan akhirnya, ia memerintah In Tiong Shiang menjaga di pintu taman dengan pesan: Siapa pun tak boleh masuk!
Dan tentu saja, tak seorang manusia masuk ke situ.
Demikianlah, pada hari kedua sesudah ditunangkan, puteri tunggal Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong sudah menjadi gula-gula si kongcu "mahal"!
Malam itu, di Siang-kee-po diadakan pesta besar untuk menghormati kunjungan Hok Kongcu dan rombongannya. Oleh karena nyonya rumah dan para tetamu semua terdiri dari orang-orang Rimba Persilatan, maka tak ada perbedaan antara lelaki perempuan dan Siang Loo-tay serta Ma It Hong duduk bersama-sama dengan yang lain.
Dulu, Ma Heng Kong mengenal Ong Wie Yang sebagai seorang rekan dalam perusahaan sejenis (Piauw-kiok). Akan tetapi, sesudah Ong Wie Yang meninggal dunia, Tin-wan Piauw-kiok ditutup dan kedua saudara Ong bekerja kepada pembesar negeri, Kiam Eng dan Kiam Kiat tak bisa disebut rekan lagi. Tapi, kedua saudara Ong juga sudah lama mendengar nama besar Ma Heng Kong, sehingga mereka masih mengindahkan orang tua itu.
Ma It Hong duduk dengan muka bersemu dadu. Kedua matanya bersinar luar biasa, seperti tengah memandang sesuatu yang jauh, jauh sekali. Ia memandang semua orang, tapi ia tidak melihat Pak-khia. Dapat diduga, bahwa hatinya sedang mengingat kejadian itu magrib tadi.
Tiba-tiba, seorang kee-teng (pelayan atau bujang) menghampiri Siang Loo-tay dengan tindakan terburu-buru dan berkata dengan suara perlahan: "Loo-tay-tay, bangsat she Peng itu sudah ditolong orang."
Nyonya Siang terkejut, tapi parasnya sedikit pun tidak berubah dan ia terus melayani para tamunya.
Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar di tengah hari bolong, dengan suatu suara gedubrakan, dua belah daun pintu depan terpental dan jatuh di lantai! Sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, seorang bocah kecil kurus berdiri di tengah-tengah pintu, sambil menolak pinggang!
Dalam tugas melindungi keselamatan Hok Kongcu, meskipun berada di meja perjamuan, kedua saudara Ong dan yang lain-lain tetap membekal senjata. Begitu daun pintu terpental, mereka serentak meloncat bangun dan berdiri di sekitar kongcu mereka. Tapi setelah melihat, bahwa yang muncul hanya seorang bocah kurus yang tidak membawa kawan, mereka semua saling memandang dengan perasaan heran. "Apa bisa jadi, bocah itu yang menghantam daun pintu sehingga terpental?" tanya mereka di dalam hati.
Bocah kurus kecil itu tentu saja bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah menyelamatkan Peng Ah Sie dan Siang dari Siang-kee-po, hatinya masih tetap menggerodok. Ia ingat cambukan Siang Po Cin dan ingat pula kelicikan Siang Loo-tay. Â Maka itu, lantas saja ia kembali ke Siang-kee-po untuk melampiaskan amarahnya.
"Siang Loo-tay!" ia membentak dengan nyaring. "Jika kau mempunyai kepandaian, sekaranglah coba-coba kau pegang diriku!" Badannya kecil kurus, suaranya masih seperti suara anak-anak, tapi sikapnya adalah sikap ksatria.
Begitu melihat anak musuh besarnya, kedua mata nyonya Siang seperti juga mengeluarkan api.
"Kau potong jalan mundurnya jangan membiarkan dia lari," ia berbisik di kuping puteranya. Sesudah itu, ia menengok dan berkata kepada seorang pelayannya: "Ambil golokku."
Perlahan-lahan, Siang Loo-tay berdiri. "Siapa yang melepaskan kau?" ia membentak. "Apakah Ma Loo-kun-su?" Sedikitpun ia tidak percaya, bahwa Ouw Hui dapat melepaskan dirinya sendiri.
"Bukan," jawab Ouw Hui sembari menggelengkan kepala.
"Apakah dia?" nyonya Siang menuding Cie Ceng. Ouw Hui tetap menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, tentu nona... nona itu," kata Siang Loo-tay sembari menunjuk It Hong.
Ouw Hui tertawa sembari manggut. "Tak salah," ia berteriak. "Nona itu adalah penolong jiwaku!"
Maksud satu-satunya dari pengakuan Ouw Hui adalah untuk mengutarakan rasa terima kasihnya kepada It Hong. Ia sama sekali tidak menduga. bahwa kata-katanya itu hampir-hampir saja mengambil jiwa nona Ma.
Dengan muka menyeramkan, Siang Loo-tay melirik It Hong.
"Ayahmu, Ouw It To, kenapa tidak datang sendiri?" tanyanya pula. Mendengar itu, kedua saudara Ong terkesiap.
"Sudah lama ayahku meninggal dunia," jawab Ouw Hui dengan tenang. "Jika kau ingin membalas sakit hati, balaslah terhadap aku."
Paras muka Siang Loo-tay menjadi pucat bagaikan mayat. "Apakah benar?" tanyanya.
"Jika ayahku masih hidup, kau berani memukul aku?" kata Ouw Hui.
Sembari mengangkat Pat-kwa-to itu tinggi-tinggi, sekonyong-konyong Siang Loo-tay menangis keras. "Ouw It To! Ouw It To!" ia berteriak. "Kenapa kau buru-buru mampus? Tak boleh kau mampus begitu cepat!"
Ouw Hui menjadi bingung. Otaknya yang masih sederhana tidak mengerti, kenapa nyonya itu mendadak menangisi kematian ayahnya.
Sesudah berteriak beberapa kali, mendadak nyonya Siang berhenti menangis.
Ia menyusut air matanya dengan tangan baju, maju setindak dan dengan sekali memutarkan badan, ia menyabet leher Ouw Hui dengan Pat-kwa-tonya.
Itulah serangan yang tidak diduga-duga, sehingga semua orang jadi terkesiap.
Sabetan itu, yang dinamakan Hui-sin-pek-shoa-to (Sabetan menghantam gunung sembari memutarkan badan, adalah salah satu pukulan terhebat dari ilmu golok Pat-kwa-to. Menurut perhitungan, jangankan seorang bocah, sekalipun ahli silat yang berkepandaian tinggi akan sukar meloloskan diri. Tapi, diluar semua perhitungan, dengan sekali mengegos Ouw Hui sudah berhasil mengelit serangan itu dan berbareng dengan itu, mengulurkan tangannya untuk mengetok pergelangan tangan Siang Loo-tay. Melihat bocah itu bukan saja bisa menyelamatkan diri, tapi juga dapat melakukan serangan pembalasan, tak ada seorang pun yang tidak terperanjat.
Harus diketahui, bahwa Siang Loo-tay adalah seorang isteri yang sangat mencinta suaminya. Bahwa dia tidak menggorok lehernya sendiri untuk mengikuti sang suami berpulang ke alam baka, adalah karena ia ingin membalas sakit hati itu dengan tangan sendiri. Sekarang, setelah mengetahui musuh besarnya sudah meninggal dunia, bukan main rasa kecewa dan menyesalnya. Tujuan satu-satunya adalah membinasakan bocah itu, putera tunggal Ouw It To. Maka itu, lantas saja ia menyerang dengan mata merah dan setiap serangannya adalah serangan yang membinasakan.
Selama hidupnya, inilah untuk pertama kalinya Ouw Hui menghadapi musuh dan musuh yang sungguh-sungguh berat. Tapi, tak usah malu Ouw Hui menjadi putera tunggal Liao-tong Tayhiap Ouw It To. Dengan memiliki nyali besar, bukan saja ia tidak menjadi gentar, semangatnya malah meluap-luap. Ia bukan hanya membela diri, ia balas menyerang dengan tangan kosong, menggunakan ilmu Kin-na-chiu (Ilmu menangkap) dan Liong-heng-jiauw (Ilmu kuku naga).
Ketika melihat Siang Loo-tay membuka serangan dengan menggunakan pukulan istimewa ilmu Pat-kwa-to, kedua saudara Ong merasa agak menyesal, bahwa dalam menghadapi seorang bocah, nyonya itu sudah menggunakan ilmu simpanan. Tapi semakin heran. Ilmu Pat-kwa-to yang dikeluarkan oleh Siang Loo-tay boleh dibilang sudah sempurna dan ditambah kenekatannya, serangan-serangan itu sudah cukup untuk merubuhkan ahli silat kelas utama. Tapi, tak dinyana-nyana, sebalik-nya dari keteter, bocah itu malah berada di atas angin. Di lain saat, Siang Loo-tay sudah dikurung dengan pukulan-pukulan aneh yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin. Mendadak, dengan berbunyi nyaring, pipi kiri nyonya Siang kena digaplok, disusul suatu tamparan pada pipi kanannya.
"Soso (isteri kakak)! Coba mundur dulu!" seru Ong Kiam Kiat. "Biar aku yang melayani bocah itu." Sembari berseru, dengan menenteng golok, ia meloncat ke dalam gelanggang.
Tapi, baru saja kedua kakinya hinggap di lantai, suatu sinar hijau berkelebat menyambar mukanya, dibarengi dengan teriakan "A-ya!" dan rubuhnya Siang Loo-tay. Buru-buru Ong Kiam Kiat menyampok sinar hijau itu yang ternyata adalah sebilah golok tapi dengan kecepatan luar biasa, golok itu berubah arah, dari membacok dari atas jadi membabat dari samping. Diserang secara begitu, Ong Kiam Kiat menjadi repot sekali.
Ternyata, sesudah menggampar dua kali, Ouw Hui merasa puas. Dengan menggunakan ilmu Kin-na-chiu, ia mencengkeram pergelangan tangan siang Loo-tay dan merebut Pat-kwa-tonya, dibarengi dengan suatu tendangan, sehingga nyonya itu jungkir balik dan rubuh terpelanting di atas lantai. Sebelum Ong Kiam Kiat datang dekat, ia sudah mendahului dengan tiga serangan kilat, sehingga lawannya menjadi repot.
Harus diketahui, bahwa Ong Kiam Kiat adalah ahli kelas utama dari partai Pat-kwa-bun dan ilmu silatnya pada waktu itu, sedikit pun tidak berada di sebelah bawah Siang Kiam Beng. Tapi, karena memandang rendah musuhnya, ia kena didahului dan menjadi gelagapan.
Sesudah lewat tiga serangan berantai itu, baru ia bisa menetapkan hatinya dan membela diri serapat-rapatnya, untuk lebih dulu menyelidiki ilmu golok si bocah.
Salah seorang penonton yang paling memperhatikan pertempuran itu, adalah Hok Kongcu. Bukan main herannya kongcu "mahal" itu, setelah menyaksikan, bagaimana seorang bocah yang baru berusia belasan tahun, dapat menandingi jagoan kelas satunya. Selagi mengawasi dengan penuh perhatian, mendadak hidungnya mengendus bau wangi pupur. Ia melirik dan melihat It Hong berdiri di dekatnya. Dengan berani, ia mengulurkan tangannya untuk mencekal bahu si nona. Oleh karena semua mata ditujukan ke arah gelanggang pertempuran, perbuatannya itu tidak dilihat orang.
Sembari bertempur, Ong Kiam Kiat terheran-heran. Ia adalah seorang ahli berpengalaman yang mengenal macam-macam ilmu dari berbagai partai atau cabang persilatan. Dan ia sungguh tercengang, bahwa sesudah bertanding lama juga, ia belum dapat meraba ilmu apa yang digunakan Ouw Hui. Apakah ilmu keras? Apakah ilmu lembek? Mungkinkah Gwa-kee (Ilmu luar)? Atau Lwee-kee (Ilmu da-lam)? Sedikitpun ia tak dapat merabanya. Yang merupakan kenyataan adalah: Bocah itu teguh bagaikan gunung, lunak seperti air dan cepat laksana kilat.
Sesudah lewat lagi beberapa saat, Kiam Kiat menjadi bingung. Dalam gedung Hok Kongcu, ia mempunyai kedudukan tinggi. Tapi sekarang, menghadapi seorang bocah saja, ia belum bisa mendapat kemenangan sesudah bertempur puluhan jurus. Andaikata belakangan ia berhasil juga membinasakan Ouw Hui, tapi jika ia memerlukan tempo terlalu lama, di mana ia dapat menempatkan mukanya? Memikir begitu, lantas saja ia merubah cara bersilatnya. Sembari mencekal goloknya erat-erat, badannya berputar-putar dengan kecepatan luar biasa.
Harus diketahui, bahwa Pat-kwa Yoe-sin-ciang (Ilmu pukulan Pat-kwa sembari berlari-lari) adalah ilmu yang kesohor di seluruh wilayah Tiong-goan. Dalam menggunakan ilmu tersebut, orang harus bertempur sembari lari berputar-putar, dengan ke-dua kakinya tetap berada dalam garis-garis Pat-kwa. Diserang secara begitu, si musuh tentu saja harus turut berputar-putar. Jika musuh tidak turut memutarkan badan, ia akan kena diserang dari belakang. Demikianlah, bagi orang yang tidak terlatih, dalam tempo cepat, matanya akan berkunang-kunang. Ilmu itu adalah salah satu ilmu yang paling lihay dalam Rimba Persilatan.
Di bawah pimpinan ayahnya setiap pagi Ong Kiam Kiat harus berlatih tiga kali dan saban kalinya, ia harus lari berputaran lima ratus dua belas kali.
Sebelum tidur, ia juga harus berlatih tiga kali. Dengan begitu, saban hari ia harus berputar-putar di dalam lingkaran besar, lingkaran menengah dan lingkaran kecil lebih dari tiga ribu kali. Latihan tersebut dilakukannya terus-menerus selama dua puluh tahun lebih, maka tidak mengherankan, jika gerakan kakinya sudah menjadi wajar dan tak usaha diperhatikan lagi. Yang masih memerlukan perhatiannya hanyalah kedua tangannya yang mengirimkan pukulan-pukulan ke arah musuh.
Dalam sekejap Ouw Hui sudah terkurung di tengah-tengah bayangan golok. Ia mengenal bahaya, sembari mengempos semangatnya, ia mengeluarkan ilmu mengentengkan badannya. Dengan kegesitan dan kelincahannya, loncat kian kemari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang luar biasa itu.
Ma Heng Kong mengawasi dengan rasa kaget dan heran. "Sungguh malu!" katanya di dalam hati. Tak dinyana, bayangan yang kulihat adalah bayangan bocah itu. Jika tidak bertemu dia, aku tentu tidak mengetahui kebusukan Siang Loo-tay. Macan yang bersembunyi di Siang-kee-po ternyata bukan lain daripada anak kurus itu. Ah! Seumur hidupku aku berkelana di dunia Kang-ouw, tapi masih bisa salah mata."
Sembari berpikir begitu, kedua matanya menyapu seluruh ruangan. Mendadak ia mendapat kenyataan, bahwa puterinya dan muridnya tidak berada di dalam ruangan tersebut. "Benar gila!" katanya dengan mendongkol. "Selama hidup, berapa kali orang bisa menyaksikan pertandingan yang begini seru? Tapi orang muda hanya mengingat soal percintaan. Kalau sudah menjadi suami isteri, bukankah masih ada banyak tempo untuk bercakap-cakap siang-hari-malam?"
Tapi Ma Loopiauwtauw salah menduga. Memang benar Ma It Hong keluar untuk bercinta-cintaan, tapi tidaklah benar ia bercinta-cintaan dengan tunangannya.
Sekonyong-konyong, berbareng dengan suatu bunyi nyaring, lelatu api berhamburan ke empat penjuru, akibat bentrokan golok kedua orang yang sedang bertempur itu.
Begitu kedua golok mereka kebentrok, Ong Kiam Kiat menjadi girang. "Ah!" katanya di dalam hati. "Meskipun ilmu silatnya cukup tinggi, tenaga bocah ini masih terlalu kecil. Dengan beberapa bentrokan lagi, aku pasti akan dapat membikin goloknya terpental." Memikir begitu, lantas saja ia memperhebat serangannya sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga mau tidak mau, Ouw Hui terpaksa menyambut kekerasan dengan kekerasan. Baru saja goloknya beradu lima enam kali, lengannya sudah kesemutan.
Sedari bermula, pertandingan itu berjalan secara pincang. Tubuh Ong Kiam Kiat tinggi besar, sedang badan Ouw Hui kurus kecil, tingginya belum sampai pada leher lawan. Yang satu menunduk dan menyabet dengan goloknya dari atas ke bawah, yang lain mesti mendongak untuk menyambut sabetan itu. Kepincangan itu menyolok sekali. Andaikata kepandaian dua lawan itu setanding, Ouw Hui akan masih berada di bawah angin juga, karena tubuhnya yang begitu kecil dan kate.
Dalam keadaan berbahaya itu, otak Ouw Hui yang sangat cerdas mendadak mengingat sesuatu. Ia meloncat keluar dari gelanggang seraya ber-teriak: "Tahan!"
Dengan Ouw Hui, Ong Kiam Kiat sebenarnya tidak merapunyai permusuhan apa-apa. Sesudah melihat kelihayan bocah itu, tanpa merasa di dalam hatinya timbul perasaan simpathi. Maka, lantas saja ia berkata: "Baiklah. Jika kau mengaku kalah, aku suka mengampuni jiwamu."
"Siapa mengaku kalah?" tanya Ouw Hui, dengan tertawa. "Kau menang badan yang sebesar kerbau dan menarik keuntungan dari tubuhku yang kecil. Sama sekali bukan karena kepandaianmu. Tunggulah."
Sehabis berkata begitu, ia mengambil sebuah bangku panjang (seperti bangku sekolah) yang kemudian ditempatkannya di tengah ruangan. "Hayo! Kita bertempur lagi!" ajaknya. Ong Kiam Kiat merasa geli berbareng mendongkol.
"Sahabat!" kata pula Ouw Hui. "Sebelum mulai, kita berjanji dulu. Kau tidak boleh menendang bangku ini. Kalau kau menendang, kaulah yang dihitung kalah."
"Fui!" bentak Ong Kiam Kiat. "Dalam dunia, mana ada cara berkelahi yang begitu macam?"
"Aku masih kecil, badanku tidak setinggi badanmu,' kata Ouw Hui sembari menyengir. "Jika kau tak sudi, biarlah kau tunggu saja lima tahun. Sesudah lewat lima tahun, sesudah aku setinggi kau, kita boleh bertempur lagi."
Walaupun ia masih kekanak-kanakan, otak Ouw Hui penuh dengan daya upaya. Sesudah meyakinkan dan mempelajari kitab ilmu silat peninggalan ayahandanya, Ouw Hui mengira, bahwa dalam dunia, ia sudah tidak mempunyai tandingan lagi. Tapi, begitu bertemu musuh, ia kena ditotok oleh Siang Loo-tay dan dihajar habis-habisan. Dalam kejadian itu, masih boleh dikatakan, dialah yang tolol sendiri. Sekarang, sesudah bergebrak dengan Ong Kiam Kiat, baru ia mengerti, bahwa meskipun ilmu goloknya banyak lebih unggul daripada kepandaian musuh, tapi tenaganya masih kalah jauh sekali. Maka itu, ia coba menggunakan tipu untuk meloloskan diri.
Tapi, diluar dugaan, karena sungkan kehilangan muka dan juga karena yakin akan memperoleh kemenangan, Ong Kiam Kiat lantas saja membentak: "Kunyuk! Kau rasa aku takut kepada syaratmu? Kau kira aku tak dapat mampuskan kau?" Berbareng dengan caciannya, ia menyabet pinggang Ouw Hui dengan goloknya.
Ouw Hui segera menangkis dan mereka lalu bertempur pula. Sekarang kedua lawan itu sudah kira-kira sama tingginya. Karena panjang bangku itu tidak kurang dari lima kaki, maka Ong Kiam Kiat sukar menggunakan pula Pat-kwa Yoe-sin-ciangnya yang harus digunakan sambil lari berputar-putar. Ia sekarang menyerang dengan golok dan tangan kosong dengan berbareng, untuk merubuhkan si bocah dari bangkunya. Dilain pihak, Ouw Hui melayaninya sembari meloncat kian kemari, dari ujung ke lain ujung bangku, ia sama sekali tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan.
Sesudah lewat belasan jurus, dengan gemas Ong Kiam Kiat mengubah pula cara bersilatnya. Kini ia menggunakan taktik membabat ke kiri-ke kanan, setiap babatannya ditujukan ke lutut Ouw Hui. Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendadak meloncat tinggi-tinggi untuk meloloskan diri dari suatu sabetan yang luar biasa hebatnya. Sebelum si bocah hinggap lagi di bangku, Ong Kiam Kiat sudah membabat ke kiri kanan di atas bangku itu. Dengan demikian, jika Ouw Hui berani turun ke bangku itu, kakinya tentu akan kena babatan golok. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, adalah turun di atas lantai.
Tapi tak percuma Ouw Hui menjadi putera tunggal Liao-tong Tayhiap Ouw It To! Pada detik yang sangat berbahaya, ia segera tahu apa yang harus dilakukannya. Sekali ia menggoyangkan badan di tengah udara, tubuhnya melayang turun ke ujung kiri bangku itu. Dengan ujung kakinya, ia menotol ujung kiri bangku tersebut dan sekali lagi badannya melesat ke atas. Ditotol dengan ujung kaki, bangku itu terangkat, ujung kanannya melonjak ke atas, dan berdiri lempang. Selagi terangkat ke atas, pinggiran bangku itu menghantam janggut Ong Kiam Kiat yang jadi terasa sakit sekali. Dilain saat, Ouw Hui sudah hinggap di ujung bangku yang mengacung ke atas itu, darimana ia lalu menyabet ke bawah berulang-ulang, dengan lagak yang lucu, sehingga
semua orang jadi tertawa besar.
Bukan main gusarnya Ong Kiam Kiat yang lantas saja membalas, menyerang dengan pukulan berantai. Akan tetapi, karena si bocah berada di kedudukan yang lebih menguntungkan, ia tidak bisa berbuat banyak. Dalam gusarnya, tanpa menghiraukan janjinya, ia menendang bangku itu, yang tentu saja lantas terpental, dan berbareng dengan itu, ia mengirimkan bacokan ke dada Ouw Hui.
Sebelum badannya hinggap di lantai, Ouw Hui masih sempat menyampok golok yang menyambar ke jurusannya dan dengan meminjam tenaga bentrokan kedua golok itu, tubuhnya melesat kurang lebih setombak. Selagi badannya melesat, tangan kirinya menyembat bangku tadi yang lalu digunakannya sebagai tameng untuk menjaga serangan musuh. Demikianlah dengan tangan kiri mencekal "tameng" dan tangan kanan memegang golok, Ouw Hui melakukan serangan-serangan pembalasan yang dahsyat.
Melihat saudaranya belum juga dapat merubuhkan bocah itu, Ong Kiam Eng mengerutkan alisnya dengan perasaan cemas. Orang-orang seperti Tan Ie, In Tiong Shiang, Ma Heng Kong dan yang lain-lain adalah ahli-ahli silat yang berpengalaman. Dilihat dari jalannya pertempuran, siang-siang Ouw Hui seharusnya sudah dapat dirubuhkan. Tapi sungguh mengherankan. Walaupun Ong Kiam Kiat berusaha sekuat tenaganya dengan mengirimkan pukulan-pukulan simpanannya, ia masih tetap belum bisa menjatuhkan bocah cilik itu.
Dengan menggunakan dua rupa senjata, keadaan Ouw Hui jadi terlebih baik. Bangku itu terbuat dari kayu merah yang kuat dan ulet. Beberapa bacokan hebat yang dikirimkan oleh Ong Kiam Kiat tak dapat memutuskan bangku tersebut. Dilain pihak, dengan bersembunyi di belakang tameng itu, Ouw Hui melakukan serangan-serangan pembalasannya.
"Kunyuk!" bentak Ong Kiam Kiat. "Kau mesti diajar mengenal kelihayan tuan besarmu!" Sembari membentak, ia membabat dengan sepenuh tenaganya. "Crok!" goloknya menancap di bangku yang hampir-hampir menjadi putus. Buru-buru Kiam Kiat menarik pulang senjatanya, tapi kayu merah yang keras itu seakan-akan menggigit goloknya. Ia terkesiap dan segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk membetot sekali lagi. Pada detik itulah, tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik ini, Ouw Hui menikam kempungan lawannya. Bukan main terkejutnya Ong Kiam Kiat. Golok Ouw Hui yang menyambar bagaikan kilat dari jarak yang sangat dekat, tak dapat dikelitnya lagi, sedang senjatanya sendiri masih menancap di bangku. Pada saat yang berbahaya itu, Kiam Kiat tidak mempunyai jalan lain daripada melepaskan senjatanya dan loncat mundur secepat mungkin.
Ong Kiam Kiat merasakan dadanya seperti mau meledak. Gusar dan malu bercampur menjadi satu. Dengan mata merah, lantas saja ia menyerang dengan tangan kosong secara nekat-nekatan.
Harus diakui, bahwa Ong Kiam Kiat adalah seorang ahli silat yang sangat lihay. Menghadapi serangannya yang datang bertubi-tubi, Ouw Hui yang bertenaga kecil, lantas saja jadi keteter. Dengan mencekal bangku, gerakannya jadi agak lambat dan sesudah lewat belasan jurus, pundaknya kena dipukul sehingga ia terhuyung dan hampir-hampir terguling di atas lantai.
Melihat jago cilik itu kepukul, tanpa merasa para penonton mengeluarkan seruan tertahan.
Sambil menahan sakit, Ouw Hui melepaskan bangku itu dan tangannya menyambar gagang golok yang menancap di kayu itu. Sekali ia menendang, golok itu copot dan bangku tersebut terpental menyambar Ong Kiam Kiat. Dengan gemas, Kiam Kiat menggunakan kedua tangannya untuk memapaki bangku itu yang lantas saja patah menjadi dua. Dilain pihak, dengan mencekal dua batang golok, Ouw Hui lantas saja menyerang sehebat-hebatnya.
Dengan tangan kosong menghadapi dua batang golok, sedikit pun Ong Kiam Kiat tidak menjadi gentar. Beberapa saat kemudian, berbareng dengan terdengarnya suatu teriakan, golok Ouw Hui yang di tangan kiri, sudah kena dirampas. Kiam Kiat melemparkan senjata itu ke lantai dan tetap menyerang dengan tangan kosong.
Dengan mempunyai latihan dua puluh tahun lebih, ilmu silat tangan kosong Ong Kiam Kiat sungguh-sungguh dahsyat. Siang Po Cin mengawasi pertempuran itu dengan perasaan kecewa tercampur girang. Kecewa, oleh karena sesudah belajar bertahun-tahun dan menduga ilmunya sudah cukup tinggi, pada hari itu ia mendapat kenyataan, bahwa dibandingkan dengan kepandaian paman gurunya, apa yang dimilikinya, sama sekali tidak berarti. Ia girang karena melihat lihaynya ilmu silat Pat-kwa-bun. Ia merasa, bahwa jika ia belajar terus dengan giat, suatu waktu, benar-benar ia akan mempunyai kepandaian yang tinggi.
Tiba-tiba, berbareng dengan bentakan "Pergi"!, Pat-kwa-to yang dicekal Ouw Hui, terbang ke atas dan bocah itu sendiri meloncat mundur.
Sambil merangkapkan kedua tangannya, Ong Kiam Kiat segera bergerak untuk melancarkan serangan-serangan yang membinasakan.
Ouw Hui tahu, bahwa ia tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tapi, sebagai seorang yang banyak tipu dayanya, sekonyong-konyong ia tertawa ter-bahak-bahak sembari menuding lawannya.
Ong Kiam Kiat heran, gerakan tangannya lantas saja berhenti. "Bocah! Kenapa kau tertawa?" tanyanya.
"Bala bantuanku datang!" jawabnya, sembari tertawa.
"Sekarang aku tidak takut lagi kepada kamu semua."
Ong Kiam Kiat terkejut dan sebelum ia dapat memikir lebih lanjut, Ouw Hui sudah berkata: "Aku mau menyambut bala bantuanku. Kamu boleh tunggu! Jangan lari!" Selagi Kiam Kiat bersangsi, dengan tindakan lebar ia menuju ke pintu, untuk segera melarikan diri.
Ketika itu, Siang Loo-tay sudah memungut Pat-kwa-tonya yang dilemparkan Ouw Hui. Dengan sekali melompat, ia menghadang di tengah jalan.
"Anak capcay!" ia memaki. "Kau mau lari?!" Tapi ia tak berani terlalu mendesak, karena mengetahui bahwa ilmu silat Ouw Hui masih lebih tinggi daripada kepandaiannya.
Pada saat itu, lapat-lapat terdengar tindakan kuda yang dikaburkan ke arah Siang-kee-po. Dalam suasana yang sunyi, walaupun jauh, bunyi menderap itu kedengaran nyata sekali. Semua orang memasang kuping. Tindakan kuda itu deras bagaikan turunnya air hujan. Semua orang yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang selalu selulup timbul dengan senjata dan kuda. Mendengar bunyi yang luar biasa itu, di muka mereka lantas saja terlukis keheranan mereka.
Dalam sekejap, kuda itu sudah tiba di depan gedung. Di luar lantas saja terdengar suara bentakan para pegawai Siang-kee-po, suara terbukanya pintu pekarangan depan, suara beradunya senjata dan jatuhnya beberapa tubuh manusia. Sedang semua orang masih tercengang, di depan pintu ruangan pesta sudah muncul seorang yang baru datang.
Dengan serentak, semua mata ditujukan ke arah orang itu. Dia adalah seorang yang berusia lima puluh tahun, thungshanya gerombongan, di atas bibirnya terdapat kumis pendek, rambutnya putih, tingginya sedang dan badannya agak gemuk. Dengan tangan kanan menuntun seorang gadis yang berusia kira-kira dua belas tahun, ia tertawa dengan paras muka yang simpatik sekali. Dilihat sekelebatan, macamnya seperti seorang hartawan dari pedusunan atau seorang saudagar kecil.
Ketika Ouw Hui menyebutkan bala bantuan, ia hanya bicara sembarangan, dengan harapan supaya dapat meloloskan diri, bila perhatian Siang Loo-tay dan lain-lain tertarik ke jurusan lain. Tapi di luar dugaan, secara kebetulan, benar-benar ada tetamu baru yang berkunjung ke Siang-kee-po. Selagi semua orang memperhatikan tetamu itu, perlahan-lahan ia mendekati pintu.
Kalau orang lain melupakan Ouw Hui, adalah Siang Loo-tay tak melupakannya. Begitu melihat musuhnya mencoba kabur, ia meloncat dan menghantam punggung Ouw Hui dengan pukulan Pwee-sim-teng (Paku di punggung), salah satu pukulan yang membinasakan dari Pat-kwa-ciang. Kalau kena, isi perut Ouw Hui tentu akan menjadi rusak dan ia akan binasa seketika itu juga dengan muntahkan darah.
Melihat nyonya itu menurunkan tangan yang sedemikian kejamnya terhadap anak kecil, tetamu gemuk itu mengeluarkan seruan tertahan. Selagi ingin bergerak untuk menolong, Ouw Hui sudah bergerak lebih dulu. Sembari mengegos, Ouw Hui mengangkat tangan kirinya dan membetot tangan musuhnya yang sedang menyambar. Siang Loo-tay terhuyung beberapa tindak, hampir-hampir ia jatuh terguling.
Si gemuk heran bukan main, melihat bocah yang kecil kurus itu dapat memunahkan serangan yang begitu hebat.
Ong Kiam Eng yang mempunyai pergaulan luas, merasa bahwa ia mengenal tetamu gemuk itu, tapi tak ingat lagi siapa sebenarnya dia. Sembari merangkap kedua tangannya, lantas saja ia menanya: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama saudara yang mulia? Dan untuk apa, malam-malam saudara datang berkunjung?"
"Siauwtee (adik) she Tio," jawabnya, sambil membalas hormat.
"Ah!" berseru Ong Kiam Eng. "Kalau begitu, tak salah lagi, saudara adalah Tio Samya (tuan ketiga) dari Ang-hoa-hwee (Perkumpulan bunga merah) Harap dimaafkan, yang siauwtee tak bisa mengenali terlebih siang."
Mendengar, bahwa tetamu itu adalah Cian-chiu Jieiay (Jie-lay-hud yang bertangan seribu) Tio Poan San, salah seorang pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee, semua orang jadi terkesiap.
Harus diketahui, bahwa tujuh tahun sebelumnya, bersama-sama dengan para paderi Siauw-lim-sie jago-jago Ang-hoa-hwee telah membakar istana Yong-ho-kiong dan mengacau di Kota terlarang. Kejadian itu adalah suatu kejadian yang menggemparkan seluruh Rimba Persilatan dan diketahui oleh rakyat di seluruh Tiongkok.
Sesudah peristiwa itu, Ang-hoa-hwee lalu menghilang. Menurut kata orang-orang Kang-ouw, jago-jago perkumpulan tersebut telah menyingkir ke Huikiang untuk sementara waktu. Tak terduga, Tio Poan San mendadak muncul di situ. Diwaktu masih muda, Kiam Eng pernah bertemu dengan Poan San di Piauw-kiok mendiang ayahnya, tapi pertemuan itu sudah berselang dua puluh tahun lebih dan paras muka Poan San sudah banyak berubah, sehingga ia tidak lantas dapat mengenalinya.
Sembari memperlihatkan paras muka girang, Kiam Eng segera berkata pula: "Apakah Tio Samko datang di Shoatang sendirian atau beramai-ramai dengan para enghiong (orang gagah) lainnya? Di waktu masih hidup, mendiang ayahku sering sekali menyebutkan kelihayan para enghiong dari Ang-hoa-hwee yang sangat dikaguminya."
Tio Poan San adalah seorang yang beradat sabar dan berhati mulia serta bisa bergaul dengan siapapun juga. Mendengar pertanyaan itu, lantas saja ia menjawab dengan sikap simpatik: "Siauwtee datang seorang diri untuk suatu urusan pribadi. Bolehkah aku menanya, siapa ayah saudara?"
Setelah mengetahui, bahwa Poan San datang seorang diri, hati Kiam Eng menjadi lebih lega. Ia membungkuk dan menjawab: "Ayahku adalah pemimpin dari Tin-wan Piauw-kiok...."
"Ah!" Poan San memotong perkataan orang. "Kalau begitu, saudara adalah putera Ong Loo-piauwtauw. Aku dengar, Ong Loopiauwtauw sudah meninggal dunia. Apakah benar?" la mengucapkan kata-kata itu dengan wajah berduka.
"Mendiang ayahku telah meninggal dunia enam tahun berselang," sahut Kiam Eng. "Yang itu adalah adikku Kiam Kiat." la berpaling kepada adiknya dan menyambung perkataannya: "Thay-kek-kun dan Thay-kek-kiam Tio Samya tiada bandingannya dalam dunia. Sungguh beruntung, bahwa hari ini kita bisa bertemu muka."
Sesudah berkata begitu, ia segera memperkenalkan semua hadirin kepada Tio Poan San. Ong Kiam Kiat yang mulutnya loncer lantas menunjuk Tan Ie sembari berkata: "Tan-heng juga, adalah orang partai Thay-kek-bun. Apakah kalian sudah mengenal satu kepada yang lain?"
"Hm!" gerendeng Poan San yang mukanya mendadak berubah menyeramkan. Ia mengawasi Tan Ie dari kepala sampai di kaki dan dari kaki sampai di kepala. Melihat perubahan paras Poan San, hati Tan Ie merasa tidak enak. Sesudah diawasi secara begitu, ia lebih-lebih merasa mendongkol.
Sekonyong-konyong, si gadis kecil yang ditun-tun Tio Poan San menuding Tan Ie sembari ber-teriak: "Tio Sioksiok! Benar dia! Benar dia!" Suaranya yang nyaring penuh dengan kegusaran.
Tan Ie kaget berbareng heran. Belum pernah ia bertemu dengan gadis cilik itu yang berkulit agak hitam. Lantas saja ia menengok kepada Kiam Kiat seraya berkata: "Tio Samya adalah dari Thay-kek-bun di Oenciu, cabang Selatan. Aku sendiri adalah dari Thay-kek-bun di Kongpeng. Kami berdua hanya sama-sama menjadi anggota satu partai dan bukan dari satu cabang. Tio Samya adalah tertua kami yang sangat dikagumi olehku." Ia mendekati sambil mengangsurkan tangan. Tapi Poan San menggerakkan kedua tangannya ke belakang, seolah-olah tidak melihat angsuran tangan itu, dan memutarkan badan ke arah Kiam Eng seraya berkata:
"Saudara Ong, hari ini siauwtee datang mengacau dan lebih dulu siauwtee ingin meminta maaf kepada saudara-saudara sekalian."
Ia menyoja kepada semua orang yang lantas membalasnya. "Janganlah Tio Samya berlaku begitu sungkan," kata mereka.
Dapat dimengerti jika sikap Tio Poan San seakan-akan segayung air dingin yang mengguyur kepala Tan Ie. "Lagi kapan aku berdosa terhadapmu?" katanya di dalam hati. "Namamu memang besar, tapi, apakah kau kira aku takut padamu?"
Sesudah memperkenalkan semua orang, Kiam Eng menunjuk Ouw Hui sembari berkata: "Saudara kecil itu mempunyai sedikit ganjalan dengan Tee-huku (isteri adik). Ganjalan itu telah dibuat oleh ayahnya. Sekarang, sedang Suteeku sudah meninggal dunia lama sekali, dengan memandang muka Tio Samya, urusan ini lebih baik jangan disebut-sebut lagi. Bagaimana kalau kita sudahi saja?" Ia menutup keterangannya dengan tertawa besar.
Harus diketahui, bahwa Ong Kiam Eng dan Siang Kiam Beng memang tidak begitu akur. Ia sebenarnya sama sekali tidak mempunyai minat untuk membalaskan sakit hati saudara seperguruan itu. Dan sekarang, di hadapan Tio Poan San, ia ingin menunjukkan kebaikan hatinya. tapi Tio Poan San yang tidak mengerti duduknya persoalan, tentu saja merasa heran.
Dilain pihak, Siang Loo-tay lantas saja naik darah. "Tak perduli Tio Poan San atau Tio It San (Poan San berarti setengah gunung, It San berarti satu gunung), tak boleh menjual lagak di Siang-kee-po!" ia berteriak.
"Apakah arti perkataan Ong-heng?" tanyanya. "Siauwtee sama sekali tidak mengerti."
"Tee-huku adalah seorang perempuan, janganlah Tio Samya tersinggung karena kata-katanya," kata Kiam Eng.
"Mari, mari! Siauwtee ingin memberi selamat datang kepada Tio Samya dengan secangkir arak." Sembari berkata begitu, ia segera menuang arak.
Ouw Hui mengetahui, bahwa jika mereka bicara terus, kedoknya akan segera terbuka. Maka itu, lantas saja ia berseru: "Tio Samya! Mulut kawanan kantong nasi itu besar sekali. Itulah urusan mereka sendiri. Tapi dalam temberangnya, mereka mengatakan, orang-orang Ang-hoa-hwee tolol semuanya. Mereka mengagul-agulkan ilmu silat Pat-kwa-ciang dan sesumbar, bagaimana, dengan sebilah Pat-kwa-to, Looenghiong mereka sudah merubuhkan semua orang gagah dari Ang-hoa-hwee. Karena tak tahan, aku sudah menyemprot mereka. Mereka menjadi gusar dan mau menghajar diriku. Tio Samya! Coba kau pikir: Jengkel atau tidak? Dalam urusan ini, aku mengharapkan pertimbanganmu yang adil."
Tio Poan San yang tidak mengetahui apa yang sedang diributi mereka, jadi terlebih bingung. Tapi memang benar, dulu Ong Wie Yang pernah kebentrok dengan Ang-hoa-hwee. Tapi urusan itu sudah dibereskan oleh pihaknya dengan menggunakan tipu, sehingga Ong Wie Yang mengaku kalah, tanpa bertempur. Maka, bukanlah suatu keheranan, jika pada waktu itu, kedua saudara Ong mengagulkan kepandaian ayahnya. Ia lantas saja tertawa dan berkata: "Kepandaian Ong Loopiauwtauw memang sangat tinggi dan kami semua saudara merasa sangat kagum."
Tiba-tiba, sorot matanya yang seperti kilat mengawasi Tan Ie. "Tan Suhu," katanya. "Harap kau suka mengikut aku keluar untuk membicarakan suatu urusan."
Tan Ie tercengang dan segera menjawab: "Aku dan Tio Samya belum pernah saling mengenal. Ada urusan apa yang mau dibicarakan? Semua orang yang berada di sini adalah bangsa ksatria. Kalau ada sesuatu, baiklah Tio Samya bicara di sini saja."
Tio Poan San tertawa dingin dana berkata: "Urusan yang mau dibicarakan adalah urusan yang memalukan partai Thay-kek-bun. Guna apa orang luar turut mendengar?"
Paras muka Tan Ie berubah pucat. la mundur setindak dan berkata dengan nyaring: "Kau adalah orang dari Thay-kek di Oenciu, sedang aku adalah dari Thay-kek di Kongpeng. Kita hanya separtai dan bukan secabang. Aku tidak boleh campur tangan dalam urusanmu, sedang kau pun tak boleh mencampuri urusanku."
"Karena tangan Tan-heng terlalu lihay dan dalam kalangan Thay-kek-bun di Kongpeng, tak ada orang yang berani keluar, maka tanpa memperdulikan perjalanan laksaan li, dari Huikiang aku datang ke sini," kata Tio Poan San. "Lebih dulu siauwtee pergi ke Pakkhia dan mendengar Tan-heng pergi ke Shoatang, maka aku segera menyusul. Benar juga orang kata, bahwa jala langit besar sekali."
Mendengar perkataan "jala langit besar sekali", semua orang jadi terkejut dan menanya di dalam hati, kedosaan apa yang sudah dilakukan Tan Ie, sehingga Tio Samya mencarinya dari tempat yang begitu jauh.
Tan Ie yang bertubuh jangkung kurus, mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan sudah lama mendapat nama besar dalam kalangan Kang-ouw. Walaupun namanya tidak semashur Tio Poan San, tapi ia adalah salah seorang tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun cabang Utara. Ditambah dengan Hok Kongcu sebagai sanderanya, sedikit pun ia tidak merasa keder terhadap Tio Samya.
Maka itu, lantas saja ia membentak: "Tio Poan San! Aku menghormati kau sebab usiamu yang lebih tua. Kau dan aku, dari cabang Selatan dan Utara, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri. Jangan kau coba-coba menggencet aku." Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam pundak Tio Poan San dengan pukulan Dewi Menenun Kain. Pukulan Thay-kek cabang Utara itu, yang dalam "kelembekan" mengandung "kekerasan", memang hebat luar biasa. Tapi ketika itu, ilmu silat Tio Poan San sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan. Begitu tangan musuh menyambar, ia berjongkok dan menyambut dengan pukulan In-chiu (Tangan awan). Ia menangkap pergelangan tangan Tan Ie yang lantas dibetot ke sebelah kanan. Pada saat itu juga, Tan Ie tak bisa berdiri tegak, separuh badannya kesemutan.
Antara jago-jago Hok Kongcu, adalah In Tiong Shiang yang mempunyai perhubungan paling rapat dengan Tan Ie. Sedan Tan Ie dan Tio Poan San bertengkar, ia sudah menghunus pedangnya dan berwaspada. Demikianlah, berbareng dengan rubuhnya si kawan, sembari membentak "lepas"! ia meloncat dan menikam punggung Tio Poan San. Tanpa menengok, pada detik yang tepat, Tio Samya menghunus pedang Tan Ie yang segera disabetkan ke belakang. Dengan suatu suara "trang"! pedang si pembokong sudah kutung dua!
Melihat Tan Ie sudah dirubuhkan dalam sejurus saja dan pedang In Tiong Shiang dipatahkan dengan sekali menyampok, paras muka jago-jago Hok Kongcu menjadi pucat bagaikan mayat.
"Bagaimana sekarang?" Poan San menanya Tan Ie. "Kau ikut atau tidak?"
Orang she Tan itu tidak menyahut, mukanya sebentar merah, sebentar biru.
Selagi semua mata mengawasi Tio Poan San dan pecundangnya, tiba-tiba tujuh buah Kimpiauw dengan berkeredepan menyambar saling susul ke arah Ouw Hui.
Ternyata, tujuh Kimpiauw itu dilepaskan oleh Siang Loo-tay. Melihat semua orang, terhitung Ouw Hui, sedang memperhatikan Tio Poan San dan Tan Ie, nyonya Siang sungkan menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini dan lantas saja melepaskan tujuh piauw itu dengan kedua tangannya. Jarak antara Ouw Hui dan Siang Loo lay hanyalah kira-kira lima kaki dan senjata rahusia itu dilepaskan di luar dugaan, sehingga biarpun seorang yang berkepandaian lebih tinggi daripada Ouw Hui, jangan harap bisa meloloskan diri dari ketujuh piauw itu.
Dalam usahanya membalaskan sakit hati suaminya, Siang Loo-tay mengetahui, bahwa Biauw Jin Hong dan Ouw It To mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya, sehingga dalam pertempuran berhadapan satu lawan satu, sukar sekali ia bisa memperoleh kemenangan. Maka itu, setiap rnata Kimpiauw sudah lebih dulu dipoles dengan racun yang sangat hebat.
"Celaka!" teriak Ouw Hui sembari membuang diri. Gerakan itu yang cepat iuar biasa, dapat mengegos tiga buah piauw yang menyambar di sebelah atas, tapi empat piauw yang terbang ke arah kempungan dan kedua kakinya tak akan dapat dielakkannya lagi.
Pada detik yang sungguh-sungguh berbahaya itu, Tio Poan San mendadak mengulurkan tangannya. Dan sekali tangannya bergerak, tujuh buah piauw itu sudah berada dalam tangannya!
Tio Poan San mendapai julukan Cian-chiu. Jielay. Julukan "Jielay atau Jielay-hud (Sang Buddha) diberikan kepadanya oleh karena mukanya yang simpatik dan hatinya yang sangat mulia. Gelaran "Cian-chiu" (Seribu tangan) didapatnya karena mempunyai kepandaian istimewa dalam menyambut rupa-rupa senjata rahasia.
Dibawah sinar lilin, ia melihat, bahwa setiap mata piauw berwarna merah tua. Ia mencium dan benar saja, mengendus bau-bauan wangi, yang menandakan, bahwa piauw tersebut mengandung racun. Sebagai seorang ahli senjata rahasia, Tio Poan San paling membenci orang yang menggunakan senjata beracun. Dalam kalangan Rimba Persilatan terdapat perkataan yang berarti begini "Senjata rahasia adalah senjata terhormat. Meski bentuknya yang kecil, senjata ini dapat menghantam musuh yang berada di jarak jauh. Maka itu di samping kaki tangan dan senjata biasa, senjata rahasia merupakan salah satu dari Tiga Alat Persilatan. Hanya karena ada orang-orang rendah yang membubuhkan racun kepada senjata rahasia, maka belakangan senjata itu dipandang rendah." Demikian komentar dalam Rimba Persilatan, mengenai senjata rahasia.
Dengan sorot mata gusar, Tio Poan San melirik Siang Loo-tay dan berkata: "Ong Wie Yang adalah seorang ksatria. Apakah mengajarkan orang menggunakan senjata beracun? Apakah ia mengajarkan orang membokong musuh? Apa pula musuh itu tak lebih dari seorang bocah!" Kala-kata itu yang dikeluarkan dengan bernafsu, sudah membikin kedua saudara Ong malu sekali.
Melihat Ong-sie Heng-tee (dua saudara Ong) menundukkan kepalanya, nyonya Siang lantas saja berteriak: "Siapa kau? Berani menghina orang di Siang-kee-po! Sayang! Sungguh sayang, suamiku sudah meninggal dunia, sehingga dalam Pat-kwa-bun tidak terdapat lagi orang yang dimalui. Yang ketinggalan adalah anak setengah piatu dan janda tua. Biarlah! Biarlah kami menelan segala hinaan!"
Mendadak ia menangis keras. "Ah! Siang Kiam Beng!" ia berteriak. "Sesudah kau mati, dalam Pat-kwa-bun hanya ketinggalan sekawanan anjing yang hanya tahu bagaimana harus membungkuk terhadap orang luar. Tak ada lagi manusia yang mempunyai tulang punggung, yang bisa membela partai kita. Siang Kiam Beng! Mulai besok, aku akan menyuruh anakmu masuk Thay-kek-bun, supaya jangan dihina orang seumur hidup. Ah, Siang Kiam Beng! Dulu, kau begitu gagah perkasa. Jika kutahu bakal mengalami kejadian seperti hari ini, aku tentu sudah masukkan Pat-kwa-to ke dalam peti matimu!"
Sembari sesambat, ia mencaci dan lalu melemparkan Pat-kwa-to, yang kemudian diinjak-injak dan diludahinya. Muka kedua saudara Ong menjadi merah padam, bahna gusar dan malu, akan tetapi mereka tak berani bertengkar dengan Siang Loo-tay di hadapan orang banyak.
Sebenarnya, Tio Poan San ingin lekas-lekas berlalu dengan membawa Tan Ie. Tapi, Sesudah menyaksikan kekejaman Siang Loo-tay terhadap Ouw Hui, ia yakin, bahwa begitu lekas ia berlalu, bocah itu tentu celaka. walaupun ia tidak mengenal bocah itu, tapi, sebagai ksatria, mana bisa ia tak menolong? Demikianlah, sembari menyoja kepada Ong-sie Heng-tee, ia berkata: "Aku juga ingin membawa bocah itu. Biarlah di lain hari, aku menghaturkan terima kasih pula atas kebaikan kedua saudara."
Sebelum Kiam Eng menjawab, Siang Loo-tay sudah sesambat lagi. "Oh, Siang Kiam Beng!" ia berteriak. "Baik juga kau mati siang-siang, supaya tak usah melihat kejadian yang memalukan. Sutee-mu adalah pentolan Pat-kwa-bun, tapi bocah belasan tahun saja, dia masih belum mampu rubuhkan. Lebih celaka lagi, goloknya sampai kena direbut orang! Suhengmu (dimaksudkan Ong Kiam Eng) lebih takut lagi terhadap anak itu. Dia mengharapkan, supaya bocah itu lekas-lekas pergi, lebih lekas. lebih baik...."
"Diam!" bentak Ong Kiam Eng yang sudah tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia berpaling kepada Tio Poan San dan berkata: "Tio Samya, kurasa kau sudah mendengar semua perkataan Tee-huku. Hari ini, bukan aku tak sudi memberi muka kepada Tio Samya. Akan tetapi, jika bocah itu diijinkan berlalu dengan begitu saja, Pat-kwa-bun sukar menancap kaki lagi dalam dunia Kang-ouw, sedang kami berdua juga tak mempunyai muka lagi untuk menjadi manusia."
Tio Poan San menganggap perkataan Ong Kiam Eng memang ada benarnya. Ia menengok kepada Ouw Hui seraya berkata: "Bocah, kedosaan apakah yang kau sudah lakukan terhadap kedua suhu ini? Lekaslah berlutut untuk meminta maaf dan kemudian ikut aku pergi."
Tio Poan San sudah mempunyai banyak pengalaman, tapi sekali ini, ia salah raba. Ia tidak tahu. bahwa bocah kecil kurus itu mempunyai darah pahlawan yang tak nanti mau gampang-gampang tunduk terhadap siapapun juga. "Tio-ya," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sungguh menyesal, tak dapat aku meluluskan permintaanmu untuk berlutut terhadap dia."
Mendengar jawaban itu, Tio Poan San jadi tercengang.
Di pihaknya, Ong Kiam Eng sudah menghitung, bahwa begitu lekas Ouw Hui meminta maaf, ia akan segera cuci tangan. Tapi jawaban si bocah sudah menggusarkan hatinya.
"Saudara kecil," katanya. "Ilmu silatmu memang tinggi dan tak heran, jika kau jadi lupa daratan. Mari, mari! Aku Ong Kiam Eng meminta pengajaranmu." Dengan sekali mengenjot badan, Ouw Hui sudah berada di tengah ruangan dan menghantam hidung Ong Kiam Eng dengan tinjunya. Sembari mesem, Kiam Eng menyambut serangan itu dan membalas menyerang.
Diwaktu telapakan tangan Ong Kiam Eng baru turun, pukulan itu kelihatannya enteng sekali. Tapi di tengah jalan, pukulan itu berubah berat dan menghantam muka Ouw Hui dengan kesiuran angin yang dahsyat.
Tio Poan San terkejut. "Orang she Ong ini benar lihay," pikirnya, sembari siap sedia untuk menolong jika perlu. Tapi di luar dugaan, gerakan badan Ouw Hui sungguh-sungguh mengherankan. Dengan miringkan badannya sedikit, ia telah membuat tangan Ong Kiam Eng jatuh di tempat kosong. Tapi orang she Ong itu adalah ahli terutama dari Pat-kwa-bun. Begitu tangan kirinya meleset, tangan kanannya sudah membabat. Ouw Hui menyambut dengan kedua tinjunya dan.... "Plak!" telapakan tangan Ong Kiam Eng jatuh lepat di atas tinju.
"Aduh!" teriak Ouw Hui. Sekonyong-konyong, dengan gerakan Tin-ciu-kin-na (Menurunkan sikut dan menangkap), ia coba mencengkeram jalan darah Kie-tie-hiat di tangan kiri Ong Kiam Eng. Pukulan ini adalah salah satu pukulan aneh dari ilmu silat keluarga Ouw. Ong Kiam Eng terkesiap dan meloncat mundur beberapa tindak.
Siang Loo-tay dan Ma Heng Kong saling mengawasi. Mereka merasa heran, kenapa bocah itu juga memiliki pukulan tersebut. Harus diketahui, bahwa Tin-ciu-kin-na adalah salah satu dari belasan pukulan yang dipunyai oleh Giam Kie. Pada waktu bertempur melawan Ma Heng Kong, berulang kali Giam Kie telah menggunakan pukulan tersebut.
Begitu mundur, Ong Kiam Eng segera maju menyerang pula. Dengan gerakan sebagai seekor harimau, ia menubruk dan menghantam lengan kiri Ouw Hui. Sembari memutarkan badan, Ouw Hui mengirimkan tendangan hebat dengan gerakan Kauw-tui-hoan-tui (Menekuk lutut menendang ke belakang). Tendangan itu juga merupakan tendangan rahasia yang hanya dimiliki oleh keluarga Ouw. Dengan demikian, bukan saja Ma Heng Kong dan yang lain-lain, tapi malah Tio Poan San yang berpengalaman, juga turut merasa heran.
Melihat pukulan-pukulan Ouw Hui yang aneh agaknya mengandung ejekan, Ong Kiam Eng jadi mendongkol. "Jika kau tidak diberi sedikit hajaran, orang bisa memandang rendah partai Pat-kwa-bun," pikirnya.
Harus diketahui, bahwa dalam pertandingan itu, sama sekali ia tidak memandang sebelah mata kepada lawannya. Setiap gerakannya dan setiap pukulannya adalah untuk diperlihatkan kepada Tio Poan San, seorang ahli yang mempunyai nama sangat besar. Maka itu saban gerakannya dilakukan dengan hati-hati, agar sesuai dengan derajat seorang ahli silat ternama.
Dengan adanya pikiran begitu, tujuan dari pukulan-pukulannya adalah untuk memperlihatkan keindahan dan kesempurnaan dan bukan untuk membinasakan musuh. Dari sebab dapat, tak dapat ia merubuhkan Ouw Hui dalam tempo cepat.
Di lain pihak, Siang Po Cin yang mengawasi pertempuran itu, jadi merasa gusar. Ia melihat paman gurunya hanya mempergunakan pukulan-pukulan Pat-kwa-ciang yang paling cetek dan ia segera menarik kesimpulan, bahwa, karena takut terhadap Tio Poan San, sang Supeh sungkan bersungguh-sungguh dalam usaha membalaskan sakit hati mendiang ayahnya.
Siang Po Cin tentu saja, tidak mengetahui, bahwa berlaku latihan puluhan tahun, dengan pukulan-pukulan yang biasa itu, Ong Kiam Eng ingin merubuhkan lawannya dengan perlahan. Dalam tempo tidak terlalu lama, Ouw Hui sudah tertindih di bawah "angin pukulan". Ketika itu, jika mau, dengan mudah Ong Kiam Eng bisa melukai Ouw Hui. Tapi ia bukan bermaksud begitu.
Dengan disaksikan oleh Tio Poan San, ia ingin menghabiskan tenaga Ouw Hui, sehingga anak itu berlutut memohon ampun, sedang ia sendiri tetap segar dan tenang, seolah-olah sedikit pun tidak pernah membuang tenaga.
Memang juga, dalam ilmu silat, yang paling. sukar dipelajari adalah: Mengangkat barang berat seperti mengangkat barang enteng dan menggunakan tenaga seperti juga tidak menggunakan tenaga. Setiap ahli silat ternama harus mempunyai kepandaian begitu. Seorang yang bertempur dengan napas tersengal-sengal dan keringat mengucur, bukan seorang yang dinamakan ahli silat.
Tio Poan San yang dapat membaca pikiran Ong Kiam Eng, tidak khawatir lagi akan keselamatan bocah itu dan sekarang ia justru ingin mengetahui, sampai di mana Ouw Hui bisa mempertahankan diri.
Beberapa saat kemudian, Ouw Hui kelihatan sudah payah benar. Sekonyong-konyong, sesudah jungkir balik, dengan tangan kanan menekan lantai, ia menyapu dengan kedua kakinya. Sapuan itu juga merupakan suatu pukulan aneh. Baru saja Ong Kiam Eng ingin meloncat mundur, Ouw Hui sudah duduk di atas lantai, sedang kedua kakinya menendang ke atas secara berantai. Dalam sekejap, ia sudah mengirim tujuh delapan tendangan kilat, sehingga Ong Kiam Eng menjadi repot.
Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay kembali saling mengawasi. Tendangan berantai itu tidak dimiliki oleh Giam Kie dan sekarang ternyata, bocah itu mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada perampok she Giam itu.
Sesudah menendang, dengan sekali memutarkan badan, ia berdiri dan kedua sikutnya menyikut ke belakang. Pada saat itu, punggungnya berhadap-hadapan dengan punggung Ong Kiam Eng. Oleh karena badannya kate, kedua sikutnya itu menghantam pantat Ong Kiam Eng, sehingga semua penonton tidak dapat menahan tertawanya lagi.
Ong Kiam Eng menjadi gusar bukan main. Sembari memutarkan badan, ia menghajar dada Ouw Hui dengan pukulan yang sangat hebat. Sekarang ia sudah tidak memperdulikan lagi derajat dan keagungannya. Kalau dapat, dengan sekali memukul, ia ingin membinasakan si bocah cilik yang dianggapnya kurang ajar sekali.
Melihat begitu, Tio Poan San menghela napas.
"Ah! Putera Wie-cin Ho-sok Ong Wie Yang dalam banyak hal masih belum dapat menyamai ayahnya!" katanya di dalam hati.
Sementara itu, selama memperhatikan pertempuran itu, ia selalu mengawasi Tan Ie untuk menjaga jangan sampai dia merat.
Melihat musuhnya sekarang menyerang bagaikan angin dan hujan, Ouw Hui menjadi gentar. Dengan mengandalkan pukulan-pukulan yang didapatkannya dalam Kun-keng (kitab ilmu silat), untuk sementara waktu ia dapat mempertahankan diri. Sebenarnya, pukulan-pukulan aneh itu hanya untuk digunakan dalam latihan. Pukulan-pukulan untuk bertempur tercatat di bagian belakang dari kitab tersebut. Karena latihan dan tenaga Ouw Hui belum mencukupi, maka sampai sebegitu jauh, ia belum dapat menyelami pukulan-pukulan yang tercatat di bagian belakang kitab itu. Maka itu, dalam menghadapi musuh, ia hanya dapat mempergunakan pukulan-pukulan aneh yang sebenarnya digubah untuk latihan. Dapat dimengerti, bahwa sebagai seorang Tayhiap (pendekar besar), Ouw It To tentu sungkan menggunakan pukulan-pukulan seperti lelucon yang bisa ditertawai orang.
Sesudah bertempur lagi belasan jurus, Ouw Hui mulai terhuyung kian kemari. Mendadak, sambil mengegos ke kanan untuk mengelit pukulan Ouw Hui, Ong Kiam Eng membabat dengan tangan kanannya dengan gerakan Yoe-kong-tam-jiauw (Men-cengkeram di udara), semacam pukulan yang sangat hebat. Buru-buru Ouw Hui membungkuk, sehingga tenaga pukulan itu berkurang tujuh bagian. Tapi walaupun begitu, begitu kena, ia lantas terguling di atas lantai.
Tanpa merasa semua penonton mengeluarkan teriakan tertahan. Ong Kiam Eng yang belum merasa puas, segera menghantam lagi dengan telapak-an tangannya.
Tio Poan San gusar bukan main. Sebagai ahli kenamaan, tidak pantas ia menurunkan tangan jahat terhadap seorang bocah yang sudah rubuh. Dalam gusarnya, Tio Poan San siap sedia untuk menolong pada detik yang terakhir.
Tiba-tiba berbareng dengan berkelebatnya sesosok sinar hijau, Ong Kiam Eng menarik pulang tangannya dan meloncat mundur beberapa tindak. Ternyata, di waktu terguling, Ouw Hui menemukan pedang In Tiong Shiang yang kutung. Dalam keadaan terdesak, ia menjumput senjata itu yang lalu digunakan untuk memapaki tangan Ong Kiam Eng. Kalau Ong Kiam Eng tidak berlaku cepat, telapakan tangannya tentu sudah ditobloskan senjata itu.
Begitu berhasil dengan pukulannya, Ouw Hui yang cerdik segera menggulingkan badan, menjumput serupa benda dari atas lantai dan kemudian memotong ujung bajunya yang digunakan untuk membungkus ujung mata pedang yang tajam.
"Ong Toaya," katanya sembari tertawa. "Tanganku pendek, tanganmu panjang, sehingga pertempuran ini jadi agak pincang. Maka itu, aku menyambung tangan kananku supaya menjadi lebih panjang. Jika kau takut, pergilah ambil Pat-kwa-to."
Semenjak Hui-thian Ho-lie (si Rase Terbang) muncul dalam Rimba Persilatan, di setiap jaman, jago-jago keluarga Ouw semua terdiri dari orang-orang yang mempunyai kecerdasan luar biasa. Ouw Hui mengetahui, bahwa dengan tangan kosong, tak dapat ia menandingi musuhnya. Maka itu, ia mengambil keputusan untuk menggunakan senjata yang didapatnya secara kebetulan. Tapi ia khawatir Ong Kiam Eng juga menggunakan senjata dan ia menduluinya dengan kata-kata mengejek. Sebagai seorang ternama, Ong Kiam Eng tentu saja sungkan kehilangan muka di hadapan banyak orang. Tanpa menyahut, ia segera menyerang dengan kedua tangan kosongnya.
Dengan bantuan senjata kutung itu, Ouw Hui lalu mulai membela diri lagi. Selagi terputar-putar melayani musuh, tangan kirinya sekonyong-konyong membuka topinya. "Tangan kananku memegang pedang, tangan kiri mencekal tameng," katanya sembari tertawa. "Aku mau melihat, apakah kau masih bisa mendesak diriku." Sembari berkata begitu, ia mengangkat tangannya yang mencekal topi kulit itu untuk memapaki serangan musuh.
"Anak bau!" Ong Kiam Eng memaki dalam hatinya. "Dengan memapaki begitu, pergelangan tanganmu pasti akan patah." Ia mengempos semangatnya untuk menambah tenaga dalamnya dan menghantam!
Mendadak, begitu pukulannya mampir di atas topi, Ong Kiam Eng berteriak: "Ah!" Teriakan itu adalah teriakan kesakitan dan kegusaran. Sembari berteriak, ia loncat mundur setombak lebih.
Semua orang kaget dan memandangnya dengan heran. Ternyata, telapakan tangan kirinya mengeluarkan sedikit darah. Semua penonton menjadi bingung, mereka tak tahu, sebab apa Ong Kiam Eng mendapat luka.
Ong Kiam Eng gusar bukan main. "Kau... kau!" ia berteriak sambil menuding. "Apa yang kau sembunyikan di bawah topi?"
Ouw Hui meletakkan pula topinya di kepala dan mengacungkan tangan kirinya. Yang berada di tangannya itu, ternyata adalah sebatang Kimpiauw!
"Inilah senjata rahasia Pat-kwa-bunmu!" jawabnya sembari menyengir. "Bukan aku yang membawa-bawa kemari. Barusan aku memungutnya dari lantai untuk dibuat main. Salahmu sendiri! Siapa suruh kau mencari tahu isi topiku. Baiklah! Apa bagusnya Kimpiauw ini?" Sembari berkata begitu, ia mengayunkan tangannya ke arah dada Ong Kiam Eng.
Ong Kiam Eng berkelit ke samping dan mengulurkan tangannya untuk menyambuti senjata rahasia itu. Bahwa ia lebih dulu berkelit, membuktikan yang jago tua itu segani si bocah cilik. Ia khawatir Ouw Hui mempunyai ilmu menimpuk yang aneh, sehingga jika sambutannya meleset, Kimpiauw itu bisa mengenai dadanya. Tapi... ia menangkap angin. Tak ada piauw yang menyambar dia.
Ternyata, selagi mengayunkan tangan ke depan, Ouw Hui mengerahkan tenaga dalamnya ke jeriji dan menyentil piauw itu ke belakang.
Siang Loo-tay yang sedang berdiri di belakang Ouw Hui, jadi terkesiap melihat menyambarnya suatu sinar kuning. Secepat mungkin, ia menundukkan kepalanya, tapi tak urung, piauw itu menancap di kondenya! Siang Po Cin meloncat menubruk ibunya seraya menanya dengan suara gemetar: "Ibu! Apakah kau terluka?"
Melihat cara-cara si bocah cilik yang aneh-aneh dan bagaimana nyonya Siang lolos dari lubang jarum, semua orang jadi terperanjat. Tio Poan San mesem sembari memelintir kumisnya. la juga mahir daiam ilmu melepaskan senjata rahasia yang barusan diperlihatkan oleh Ouw Hui. Kalau ia yang melepaskannya, sepuluh Siang Loo-tay juga tentu sudah binasa. Akan tetapi, cara anak itu yang dalam kelucuannya mengandung kecerdikan luar biasa, tak dapat ditiru olehnya sendiri.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Siang Loo-tay lantas saja berteriak: "Toasuheng, pencet nadimu! Piauw itu beracun!"
"Aku ambil obat!" seru Siang Po Cin sembari lari ke ruangan dalam.
Sifat Ong Kiam Eng yang telengas, tidak banyak berbeda dengan mendiang ayahnya. Buru-buru ia merobek bajunya yang lalu digunakan untuk mengikat nadinya. Melihat begitu, Ong Kiam Kiat segera mendekati untuk membantu.
"Minggir!" bentak saudara tua itu sembari mendorong keras, sehingga Kiam Kiat terhuyung beberapa tindak.
"Toako...!" seru si adik.
Kiam Eng tidak menyahut. Sembari meloncat, ia menghantam kepala Ouw Hui dengan pukulan Pat-kwa Yoe-sin-ciang. Ia sekarang sudah lupa daratan. Jika mungkin, dengan sekali pukul, ia ingin mengambil jiwa bocah yang licik itu.
Semenjak belajar silat, baru di Siang-kee-po Ouw Hui mendapat pengalaman dalam pertempuran yang sesungguhnya. Pertama, ia bergebrak dengan Siang Po Cin, kemudian dengan Siang Loo-tay dan Ong Kiam Kiat dan sekarang dengan Ong Kiam Eng, ahli nomor satu dalam Pat-kwa-bun. Dalam empat kali bertempur, semakin lama hatinya jadi semakin mantap. Dengan ilmunya yang luar biasa, ia berusaha menambal kekurangan tenaganya.
Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudah dikenalnya, selama ia bertempur melawan Ong Kiam Kiat. Dalam pertempuran itu, hampir-hampir ia binasa. Tapi sekarang, ia sudah mengetahui kelihayan ilmu tersebut yang menyerang dengan berputar-putar. Ia mengetahui, jika ia turut berputar-putar, silatnya akan menjadi kalut dan matanya berkunang-kunang. Sekonyong-konyong ia ingat, bahwa dalam Kun-keng terdapat semacam ilmu yang dinamakan Su-siang-po (Tindakan empat penjuru), yang meskipun sederhana, rasanya dapat digunakan untuk menghadapi Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Ia tak sempat memikir lama-lama lagi, sebab Ong Kiam Eng sudah berada di belakangnya. Dengan cepat ia maju setindak dan pada detik itu, tangan Ong Kiam Eng sudah menyambar punggungnya.
Melihat bagian belakang Ouw Hui terbuka, semua orang jadi khawatir. Tapi di luar dugaan, pukulan Ong Kiam Eng jatuh di tempat kosong, karena tindakan majunya Ouw Hui.
Yoe-sin Pat-kwa-ciang adalah pukulan berantai yang dilancarkan susul menyusul sembari berlari-lari. Tak perduli pukulan itu mengenai sasaran atau tidak, yang memukul itu terus lari berputar-putar, sembari melancarkan pukulan berantai. Di lain detik, Ong Kiam Eng sudah berada di sebelah kanan Ouw Hui. Pada detik itu, Ouw Hui maju setindak ke sebelah kiri. Gerakan tersebut tepat sekali dengan menyambarnya pukulan Ong Kiam Eng, yang untuk kedua kalinya, jatuh pula di tempat kosong.
Harus diketahui, bahwa Su-siang-po dan Pat-kwa-ciang keluar dari sumber yang sama. Dalam Kun-keng, Su-siang-po adalah ilmu untuk melatih gerakan kaki dan bukan untuk melukakan musuh.
Semakin lama, Ouw Hui semakin mahir menggunakan ilmu tersebut, sampai akhirnya, ia dapat melayani musuh sambil menolak pinggang dengan kedua tangannya. Kedua matanya yang jeli hanya mengawasi gerakan kaki Ong Kiam Eng, tanpa memperdulikan segala pukulannya. Begitu musuhnya berada di kiri, ia maju setindak ke kanan, kalau musuhnya berada di depan, ia mundur setindak ke belakang dan begitu seterusnya. Pulang pergi, ia hanya menggunakan empat tindakan, yaitu: Setindak ke depan, setindak ke belakang, setindak ke kiri dan setindak ke kanan. Apa yang luar biasa, gerakan Su-siang-po sangat cocok dengan gerakan Pat-kwa-ciang. Setiap pukulan Pat-kwa-ciang menyambar tepat pada saat yang sama dengan tindakan Su-siang-po.
Bagian pertama dari Yoe-sin Pat-kwa-ciang berisi tiga puluh dua macam pukulan. Dalam kegagalannya itu, semakin lama Ong Kiam Eng jadi semakin bingung.
Melihat cara berkelahinya Ong Kiam Eng, diam-diam Tio Poan San menghela napas panjang. "Dalam mewarisi ilmu ayahnya, Ong Kiam Eng hanya mengenai ilmu yang mati," katanya di dalam hati. "Diwaktu menghadapi musuh yang tangguh, sama sekali dia tidak dapat membuat perubahan untuk menyesuaikan diri. Sungguh sayang! Kelihayan Ong Wie Yang kelihatannya tiada yang mewarisi."
Dengan cepat, bagian pertama Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudah digunakan seanteronya.
Pada saat itu, Siang Po Cin keluar dengan membawa obat. "Toasupeh!" ia berseru. "Makan obat dulu, baru bereskan bocah itu."
Ketika itu, lengan kiri Ong Kiam Eng sudah tidak menurut perintah lagi dan racun sudah bekerja hebat. Lantas saja ia meloncat keluar dari gelanggang untuk makan obat dulu.
"Ong-heng," kata Tio Poan San. "Aku lihat...."
Poan San tak dapat meneruskan kata-katanya, oleh karena Kiam Eng sudah menggoyangkan tangan dan menerjang pula. Ia mengetahui, bahwa Tio Poan San tentu bemaksud untuk mendamaikan dan jika ia sampai mesti menolak permintaan Cian-chiu Jielay, ia seolah-olah tidak mau "memberi muka" kepada Tio Samya. Maka itu baru Poan San membuka mulut, ia sudah mendahului menerjang.
Sekarang Ong Kiam Eng mengubah cara bersilatnya dan menyerang dengan tindakan-tindakan yang sangat pendek, sedang setiap pukulannya berat luar biasa. Itulah Lwee Pat-kwa Ciang-hoat (Pukulan Pat-kwa Dalam) yang paling lihay dari Pat-kwa-bun. Sebagaimana diketahui, tanpa menggunakan kedua tangannya, dengan hanya menggunakan tindakan-tindakan Lwee Pat-kwa Ciang-hoat, Ong Kiam Kiat sudah membikin Ouw Hui tidak berdaya. Dan sekarang, sudah Yoe-sin Pat-kwa-ciang dipunahkan dengan Su-siang-po, mau tak mau, Ong Kiam Eng terpaksa menggunakan ilmu simpanan itu. Baru saja menyambut tiga pukulan. Ouw Hui sudah merasa tak tahan lagi.
"Celaka!" ia mengeluh. Ia menunduk dan melihat kaki lawannya sedang bergeser ke kiri. Dengan berani, ia menjejak kaki kiri Ong Kiam Eng.
"Apa kau mau cari mampus!" bentak Kiam Eng sembari menarik pulang kakinya. Dengan berbuat demikian, kaki kanannya tidak menginjak lagi garisan Pat-kwa.
Di waktu mengajar kedua puteranya, Ong Wie Yang berlaku bengis sekali. Setiap tindakan dan setiap pukulan tak boleh salah sedikit pun. Dengan mendapat didikan begitu, ditambah lagi dengan sifatnya yang sangat kukuh, dalam pertempuran, Ong Kiam Eng sangat memperhatikan kedudukan kedua kakinya dan ia tak akan mengirimkan pukulan, jika kedua kakinya tidak berada di kedudukan yang tepat. Dan di waktu kedua kakinya sudah menginjak pula garis Pat-kwa, Ouw Hui kembali menjejak salah satu kakinya. Diganggu secara begitu ilmu silat Ong Kiam Eng segera menjadi kacau.
Melihat kesempatan baik itu, dengan menggunakan seantero tenaganya, Ouw Hui menghantam kempungan musuh.
"Bagus!" seru Kiam Eng sembari menyambut dengan kedua tangannya.
Itulah sambutan keras melawan keras. Ouw Hui merasakan sekujur badannya bergoncang keras, tapi tangan kirinya menahan terus kedua telapakan tangan musuh, yang semakin lama jadi semakin berat. Pada detik itu, sedikit saja ia mundur, isi perutnya akan mendapat luka hebat. Karena itu, dengan mati-matian ia mempertahankan diri.
Melihat si bocah sudah kalah dan jiwanya berada dalam bahaya, Tio Poan San tertawa seraya berkata: "Anak, kau sudah kalah. Guna apa mati-matian?"
Sembari berkata begitu, ia menepuk pundak Ouw Hui. Heran sungguh, bagaikan arus listrik, semacam tenaga yang luar biasa mengalir dari tangan Poan San ke tubuh Ouw Hui. Dan pada saat itu juga, Ong Kiam Eng merasakan kedua tangannya kesemutan dan dadanya sesak, sehingga buru-buru ia meloncat mundur.
"Ong-heng," kata Tio Poan San. "Tenaga dalammu jauh lebih tinggi daripada bocah itu. Guna apa bertanding terus?"
Sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pundak Ouw Hui seraya berkata pula: "Sungguh hebat! Dalam tempo lima enam tahun lagi, aku pun sudah bukan tandinganmu lagi." Dengan perkataan lain, pada waktu itu, Ong Kiam Eng lebih-lebih bukan tandingan Ouw Hui.
Muka Ong Kiam Eng menjadi merah seperti kepiting direbus. Ia ingin sekali mengucapkan beberapa perkataan untuk menolong sedikit mukanya, tapi ia tak tahu, apa yang harus dikatakannya. Maka itu, ia hanya berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Melihat telapakan tangan kiri kakaknya berwarna hitam akibat racun, Ong Kiam Kiat berpaling ke arah Siang Loo-tay dan menanya: "Apakah tak ada obat luar?"
Nyonya Siang tak menyahut, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dari sakunya, Tio Poan San segera mengeluarkan sebuah botol kecil yang berwarna merah dan berkata sembari membuka tutupnya: "Secara kebetulan aku membawa obat bubuk ini yang agak manjur."
Ong Kiam Kiat menjadi girang sekali. Ia tahu, bahwa Tio Poan San adalah ahli senjata rahasia, sehingga obat itu tentu juga bukan obat sembarangan. Buru-buru ia menyodorkan telapak tangannya dan Poan San lalu menuang sedikit obat bubuk itu di atas telapaknya.
Sesudah menerima budi itu, menurut peraturan dalam kalangan Kang-ouw, Ong-sie Heng-tee tak boleh mengganggu lagi Ouw Hui yang berada di bawah perlindungan Tio Poan San.
Sesudah memberi obat, sembari menggendong kedua tangannya, Poan San berjalan mundar-mandir di ruangan itu.
"Kita yang belajar ilmu silat, ada yang lebih tinggi kepandaiannya dan ada juga yang lebih rendah," katanya dengan suara nyaring. "Bagi seorang manusia, yang terutama adalah hati yang mulia dan perbuatan yang baik. Jika kita dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang tak membikin kita malu terhadap Langit dan Bumi, maka tinggi ceteknya ilmu silat tidak menjadi soal. Mempunyai kepandaian tinggi, tentu saja sangat baik, tapi walaupun kita hanya mempunyai kepandaian cetek, kita toh akan tetap dihormati orang. Aku, si orang she Tio, paling membenci perbuatan yang tak mengenal malu, paling membenci manusia rendah yang menjual sahabat untuk memperoleh kemewahan." Suaranya semakin keras, sedang kedua matanya mengawasi Tan Ie yang terus menunduk untuk menghindari bentrokan mata.
Selagi menunduk, sekonyong-konyong Tan Ie terkesiap bagaikan dipagut ular dan bulu romanya bangun semua. Kenapa?
Ternyata, sesudah menyambut tujuh piauw yang dilepaskan oleh Siang Loo-tay, Tio Poan San melemparkan semua piauw itu di atas lantai. Salah satu di antara benda-benda itu diambil Ouw Hui untuk melukai Ong Kiam Eng, sedang enam yang lainnya masih tetap berhamburan. Di waktu berjalan mundar-mandir, Tio Poan San sengaja mengerahkan tenaga dalamnya ke dua kakinya dan menginjak enam buah piauw itu yang lantas saja melesak masuk ke dalam ubin! Itulah lantarannya Tan Ie jadi bergidik. Dengan berbuat begitu, Tio Poan San bermaksud memperingatkan Siang Loo-tay supaya dia jangan menggunakan lagi senjata beracun dan memperingatkan semua orang supaya jangan mencampuri urusannya dengan Tan Ie.
Tan Ie mengawasi ke sekitar ruangan. Ong-sie Heng-tee sedang repot membungkus luka, Siang Loo-tay dan Siang Po Cin berdiri bengong dengan muka pucat, Ma Heng Kong tengah memanggut-manggutkan kepalanya, sedang In Thiong Shiang menggertak gigi dengan paras muka ketakutan.
Ia mengerti bahwa sudah tak ada kawan yang berani membantu padanya. Dalam bingungnya, ia menjadi nekat. "Baiklah!" ia berteriak. "Dalam waktu senang, banyak saudara, banyak sahabat. Tapi hari ini, selagi aku si orang she Tan didesak oleh seorang bangsat besar, tak seorang sahabat yang berani muncul. Orang she Tio! Kita tak usah pergi ke luar. Di sini saja kita bergebrak."
Baru saja Tio Poan San ingin menjawab "baik", sekonyong-konyong ia merasakan suatu kesiuran angin di belakangnya. Ia tahu, itulah sambaran senjata rahasia. "Bagus!" Ia berseru dan tanpa menengok, sebelah tangannya diulur ke belakang. Di lain detik, dua jerijinya sudah menjepit sebatang Huito (golok terbang) yang kecil. Ketika sedang menjepit, ia merasakan sambaran tenaga Yang-kong (tenaga "keras" dan sesudah menjepit, Huito itu agak tergetar di antara kedua jerijinya. Itulah timpukan yang agak berbeda dari timpukan Siauw-lim-pay di Hokkian.
"Sahabat!" katanya sembari tertawa. "Ternyata kau adalah Siauw-lim-sie di Siongsan. Siapakah gurumu?"
Orang yang menimpuk itu benar saja adalah Ouw Poan Jiak, seorang ahli silat dari Siauw-lim-pay di Siong-san! Bahwa tanpa menengok dan tanpa melihat penimpuknya, Tio Poan San sudah dapat menangkap Huito itu dan mengetahui siapa yang melepasnya, benar-benar sudah mengejutkan semua orang.
Setelah dibokong, Tio Poan San jadi berpikir. "Baru saja Ang-hoa-hwee menyingkir ke Hui-kian beberapa tahun, namanya sudah tak begitu cemerlang lagi seperti dulu," pikirnya. "Dalam usaha melindungi seorang bocah dan mengajak keluarnya seseorang, aku terus dihalang-halangi. Jika tidak memperlihatkan keangkeran, bisa-bisa orang akan memandang rendah seluruh Ang-hoa-hwee."
Memikir begitu, lantas saja ia berseru: "Sahabat! Berdirilah biar tegak dan jangan bergerak!"
Sebelum Ouw Poan Jiak sempat menyahut, Tio Poan San mengayun kedua tangannya beberapa kali, kemudian memutarkan badannya dan mengayunkan pula tangannya berulang-ulang. Dan... berbareng dengan terayunnya tangan itu, macam-macam senjata rahasia, seperti Huito, Kimpiauw, panah tanah, batu Hui-hong-sek, Thie-lian-cie, Kim-chie-piauw dan sebagainya, menyambar-nyambar ke arah Ouw Poan Jiak!
Ong Kiam Eng terperanjat. "Tio-heng!" ia berteriak.
"Jangan menurunkan tangan yang kejam!"
"Benar," sahutnya. "Aku pun tidak ingin berlaku kejam."
Ketika semua mata ditujukan ke arah Ouw Poan Jiak, semua orang jadi terpaku dan ternganga. Ternyata, Ouw Poan Jiak berdiri mepet di tembok dan di sekitar tubuhnya tertancap macam-macam senjata rahasia itu, tapi tidak satu pun yang mengenakan kulit badannya. Ouw Poan Jiak sendiri jadi terbang semangatnya dan sesudah beberapa saat, barulah ia menyingkir dari tembok itu. Ketika menengok, ia melihat puluhan senjata rahasia itu yang menancap di tembok, merupakan peta badan manusia.
Sukar sekali dilukiskan perasaan Ouw Poan Jiak diwaktu itu, Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menyoja dalam-dalam di hadapan Tio Poan San dan kemudian, ia keluar dari pintu dengan tindakan lebar, tanpa meminta diri dari siapa pun juga.
Kejadian itu seakan-akan merupakan keputusan hukuman mati untuk Tan Ie. Siapa lagi yang berani membantu dia? Setelah mengetahui jiwanya tak akan tertolong lagi, Tan Ie menjadi nekat.
"Sedari dulu, pembesar negeri dan kawanan perampok memang tak dapat menginjak bumi bersama-sama," katanya dengan suara keras. "Biarlah aku mati untuk membalas budi Hok Kongcu."
Tio Poan San menjadi gusar sekali. Ia menengok ke arah Ong Kiam Eng dan berkata: "Bahwa dalam Thay-kek-bun muncul manusia keji, itu adalah suatu kejadian yang sangat memalukan bagi partai kami. Sebenarnya-benarnya, urusan ini hendak kuselesaikan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh orang luar. Tapi binatang itu agaknya mau mendesak supaya aku berterus terang terhadap dunia luar."
Dengan sebenarnya, Tan Ie sendiri tidak mengetahui, kedosaan apa yang telah dibuatnya terhadap Tio Poan San. Dia adalah seorang yang berhati-hati dan sangat licik, tak gampang-gampang mau menanam permusuhan dengan siapapun juga. Maka itu, lantas saja ia menyambungi: "Benar! Dalam dunia, yang paling terutama adalah keadilan. Biarlah kau menyebutkan segala kesalahanku, supaya semua orang dapat mempertimbangkannya."
"Hm!" gerendeng Cian-chiu Jielay sembari menunjuk gadis cilik yang dibawanya. "Apakah kau kenal adik kecil ini?" tanyanya.
Tan Ie menggelengkan kepalanya, "Tak kenal, belum pernah aku bertemu dengan dia," jawabnya.
"Tapi kau tentu kenal ayahnya," kata pula Tio Poan San.
"Dia adalah puteri Lu Hie Hian, di Kongpeng."
Begitu tiga perkataan "Lu Hie Hian" itu keluar dari mulut Tio Poan San, paras muka Tan Ie menjadi pucat seperti kertas. "Oh!" kata beberapa orang dan semua mata segera ditujukan kepada gadis itu.
Gadis itu baru saja berusia dua belas atau tiga belas tahun, tapi parasnya diliputi awan penderitaan. la menuding Tan Ie dan berteriak: "Kau tak kenal aku? Tapi aku kenal kau! Malam itu, ketika kau membunuh saudaraku, ayahku, aku mengintip di luar jendela. Setiap malam dalam mimpi, aku selalu melihat cecongormu!" Setiap perkataan yang keluar dari mulut si nona, tandas setandas-tandasnya. Sebagai orang yang berdosa, Tan Ie hanya dapat mengeluarkan beberapa perkataan, "Ah"!.
Tio Poan San lalu menyoja kepada semua hadirin dan berkata dengan suara nyaring: "Apa yang dikatakan oleh manusia she Tan ini, adalah tepat sekali. Dalam dunia, yang paling terutama adalah keadilan. Sekarang, ijinkanlah aku menuturkan segala kejadian dari kepala sampai di buntut, agar sekalian saudara dapat mempertimbangkannya. Sebagai kalian tahu, di antara tiga Suheng-tee (saudara seperguruan) dari Thay-kek-bun di Kongpeng, adalah Lu Hie Hian, yang paling kecil, yang mempunyai kepandaian paling tinggi. Eh, orang she Tan! Pernah apakah kau dengan Lu Hie Hian?"
Tan Ie menunduk dan menjawab dengan suara perlahan: "Susiokku!" (paman guru. Sembari menjawab begitu, ia mengasah otak untuk mencari jalan kabur).
"Benar," kata Tio Poan San. "Lu Hie Hian adalah Susioknya. Aku sendiri tidak kenal padanya. Dia adalah Kauwcu-ya (tuan guru) dari Cin-ong-hu (gedung raja muda) di Pakkhia. Kami, orang-orang dusun, mana bisa berkenalan dengan orang-orang besar?" kata-katanya mengesankan, bahwa di dalam hatinya, ia merasa sangat tidak senang. Akan tetapi, sebagai seorang mulia, dengan memandang muka si gadis cilik, ia hanya berkata sampai di situ.
Sesudah berdiam beberapa saat, Poan San menyambung penuturannya: "Semenjak hidup mengasingkan diri di Huikiang, aku tidak mengetahui pula segala sengketa dalam Rimba Persilatan di daerah Tiong-goan. Tapi, pada suatu hari, nona ini datang kepadaku dan sembari berlutut serta menangis, ia meminta bantuanku. Nona! coba keluarkan dua rupa barang itu supaya dapat dilihat oleh para paman."
Gadis itu segera menurunkan sebuah bungkusan yang digendong di punggungnya. Dengan hati-hati ia membuka bungkusan itu. Begitu bungkusan itu terbuka, semua orang jadi terkejut. Di bawah sinar lilin, mereka melihat sepasang tangan manusia yang sudah kering dan selembar kain putih dengan tulisan darah!
"Coba ceritakan segala kejadiannya, supaya bisa diketahui oleh semua orang," kata Poan San pula dengan suara kasihan.
Sembari mencekal kedua tangan manusia yang kering itu, air mata si nona mengucur deras. "Pada suatu malam," ia mulai. "Selagi ayahku rebah di pembaringan dengan menderita sakit, manusia she Tan itu datang dengan mengajak tiga kawan yang bertubuh tinggi besar. Ia mengatakan, bahwa atas perintah Ongya (raja muda), ia ingin mendapatkan rahasia Kiu-toa-koat (sembilan teori) dari Thay-kek-kun. Entah bagaimana, mereka jadi bertengkar. Adik lelakiku menangis karena ketakutan. Manusia she Tan itu segera mencengkeram adikku dan sambil membaling-balingkan pedangnya, ia menggentak ayah. Katanya, jika ayah tak meluluskan permintaannya, ia akan membinasakan adik. Ayah mengeluarkan beberapa perkataan yang tidak dimengerti olehku. Dan... dia... dia lantas membunuh adik!" Kata-kata itu ditutup dengan suara sesambat yang memilukan hati.
"Manusia begini jahat, kenapa tidak lantas dimampuskan!" teriak Ouw Hui tanpa merasa.
Sesudah menyusut air matanya, si nona berkata pula: "Belakangan, ayah bertempur dengan mereka. Tapi, karena mereka berjumlah lebih besar, ayahku kalah dan dibinasakan. Belakangan lagi, Sun Peh-peh datang berkunjung dan aku lalu menceritakan...."
"Sun Pehpeh itu adalah Sun Kong Hong, Ciang-bunjin (Pemimpin) dari Thay-kek-bun di Kong-peng," celetuk Tio Poan San. Sun Kong Hong adalah nama yang tidak kecil dan dikenal oleh semua orang, yang lantas saja memanggut-manggutkan kepala mereka.
"Sesudah berpikir beberapa hari," si nona menyambut penuturannya. "Sun Pehpeh memanggil aku. Mendadak, dengan golok ia membacok putus tangan kirinya. Dengan darahnya sendiri, ia menulis surat di atas kain putih itu. Sesudah itu, ia meletakkan golok itu di atas meja dan membenturkan tangan kanannya ke mata golok, sehingga tangan itu menjadi putus. Ia... ia menyuruh aku pergi ke Huikiang untuk mempersembahkannya kepada Tio Pehpeh. Ia berkata... dalam Thay-kek-bun, hanya Tio Pehpeh seorang
yang bisa menolong membalaskan sakit hati itu...."
Semua orang jadi saling mengawasi dengan mulut ternganga. Itulah kejadian yang hebat dan menyedihkan, mereka semua merasa kasihan terhadap gadis cilik itu.
"Sun Kong Hong memang kukenal," kata Tio Poan San. "Dulu, karena memandang rendah kepadaku, ia pernah datang di Unciu untuk mengadu silat. Tak dinyana, pertandingan itu sudah membikin ia ingat akan diriku." Dari keterangan tersebut, orang bisa menarik kesimpulan, bahwa Sun Kong Hong sudah dirubuhkan dalam pertandingan tersebut.
"Dalam surat darahnya, Sun Kong Hong memberitahukan, bahwa ia adalah Ciangbun (pemimpin) dari Thay-kek-bun di Pakkhia," Tio Poan San menerangkan pula. "Ia mengatakan, bahwa kepandaiannya tidak cukup tinggi untuk memberi hukuman kepada murid murtad she Tan itu. Dari sebab itu, ia mengutungkan kedua tangannya untuk dipersembahkan kepadaku, si orang she Tio. Akhirnya, dengan disertai pujian, ia meminta bantuanku. Hm! Sesudah menerima sepasang tangan itu dan sebuah topi besar (pujian), walaupun andaikata, aku tak mengenal padanya, aku masih membantu juga."
Muka Tan Ie pucat seperti kertas, tapi ia masih coba membela diri: "Surat darah itu belum tentu ditulis oleh Sun Supeh. Coba kulihat." Sembari berkata begitu, ia menghampiri Nona Lu untuk meneliti surat darah tersebut.
Mendadak, di luar dugaan semua orang, bagaikan kilat ia menghunus sebilah pisau belati yang lantas saja ditodongkan ke punggung si nona. "Baiklah kita mampus bersama-sama!" ia berseru.
Itulah perubahan yang benar-benar mengejutkan. Tio Poan San meloncat untuk menolong, tapi Tan Ie mencengkeram erat-erat leher Lu Siauw Moay dan membentak: "Maju lagi setindak, kaulah yang membinasakan jiwa anak ini."
Diluar kehendaknya, Poan San mundur setindak. Ia bingung, tak tahu harus berbuat apa. "Ah! Jika Cit-tee (adik ketujuh) berada di sini, ia tentu tahu, tindakan apa yang harus diambil," katanya di dalam hati. Harus diketahui, bahwa sebagai manusia yang berhati tulus, Tio Poan San kebanyakan kalah jika berhadapan dengan kaum siauwjin (manusia rendah). Maka itu, dalam bingungnya, ia ingat kepada adik ketujuhnya Bu Cukat Cie Thian Hong (karena pintarnya, Cie Thian Hong mendapat gelaran Bu Cukat, yaitu Cukat Liang yang kesohor pandai di jaman Samkok).
Tan Ie menekankan pisaunya, sehingga merobek baju Lu Siauw Moay dan mata pisau mengenai kulit anak itu. Dengan demikian Tio Poan San tidak dapat memukul jatuh pisau itu dengan senjata rahasianya.
Kemudian sembari mengawasi Poan San, ia berkata: "Tio Samya, kau dan aku sebenarnya tidak mempunyai ganjalan suatu apa. Meskipun kau menimpuk kedua mataku dengan senjata rahasia, aku tak akan membalasnya."
Ketika itu, Poan San mencekal dua buah piauw dalam tangannya dan memang benar ia sedang menimbang-nimbang untuk menimpuk kedua mata Tan Ie. Asal Tan Ie mengegos atau menyampok, ia bisa membarenginya begerak untuk menolong Lu Siauw Moay. Tapi, tak dinyana, orang she Tan itu sudah dapat membaca pikirannya.
Sesaat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi senyap.
Dengan kedua mata tetap mengawasi Tio Poan San, Tan Ie bicara kepada kedua saudara Ong. "Ong Jieko," katanya. "Apakah kalian tahu, sebab apa hari ini Tio Samya mendesak aku sampai begitu hebat?" Sebagai rekan yang bekerja kepada satu majikan, meskipun tidak bisa dikatakan bersahabat, kedua saudara Ong itu mempunyai hubungan yang baik juga dengan Tan Ie.
Kalau bukan karena merasa jeri, sedari tadi juga mereka tentu sudah coba membujuk.
Maka itu, mendengar pertanyaan Tan Ie, Ong Kiam Eng lantas saja berkata: "Menurut keterangan Tio Samya, ia pun diminta tolong oleh orang lain. Belum tentu, ia sendiri mengetahui duduknya persoalan sejelas-jelasnya. Memang mungkin sekali, dalam hal ini terselip salah mengerti."
Tan Ie tertawa dingin. "Salah mengerti sih tak ada," katanya. "Ong Toako, sebagaimana kau tahu, sebelum bekerja pada Hok Kongcu, lebih dulu aku bekerja di gedung Heng Cin-ong."
"Benar," kata Ong Kiam Eng. "Adalah Heng Cin-ong yang memujikan kau kepada Hok Kongcu." Tan Ie manggutkan kepalanya dan berkata pula: "Seperti yang dikatakan Tio Samya, memang benar aku sudah melukai ayah nona itu. Akan tetapi, aku berbuat begitu atas perintah Ongya. Kau dan aku sama-sama menjadi kuli orang. Jika majikan memerintah, apakah kau bisa membantah?"
"Ah, kalau begitu, tak bisa terlalu menyalahkan kau," Kiam Eng membantu.
Harus diketahui, bahwa sesudah menerima surat darah, bersama Lu Siauw Moay, Tio Poan San segera pergi ke Kongpeng. Oleh karena tidak dapat mencari Sun Kong Hong di kota itu, mereka terus menuju ke kota raja. Sesudah menyelidiki sekian lama, baru Poan San mendengar, bahwa Tan Ie turut mengiring Hok Kongcu ke Tiongkok Selatan.
Kuda yang ditunggangi Poan San adalah kuda Lok Peng, yaitu Gin-song Tui-tian-kauw (si Arus listrik berwarna perak) yang larinya cepat luar biasa. Dalam dua hari saja, dari Pakkhia ia sudah mengejar sampai di Siang-kee-po. Maka itu, duduknya persoalan yang sejelas-jelasnya, ia masih belum tahu. Di tengah jalan, beberapa kali ia coba mencari tahu dari Lu Siau Moay. Tapi, baru mengucapkan beberapa patah, gadis cilik itu yang tidak pandai menurut, sudah keburu menangis, sehingga Poan San tidak tega menanya terlalu terbelit-belit.
Sekarang, mendengar Tan Ie bersedia untuk memberikan penjelasan, hatinya merasa senang. "Baiklah," katanya. "Kau tadi berkata, bahwa dalam dunia ini, yang paling terutama adalah keadilan. Kau sudah mengakui, bahwa Lu Hie Hian adalah paman gurumu. Sepantasnya, biarpun ia berdosa besar, tak boleh kau membinasakan padanya."
Sesaat itu, keberanian Tan Ie sudah pulih kembali. Ia merasa pasti, bahwa dihari ini, ia akan bisa meloloskan diri. Akan tetapi, ia yakin, bahwa jika hatinya tidak dibikin puas, Tio Poan San tentu akan merasa penasaran dan akan terus mengejar-ngejar dirinya. Maka itu, tujuannya yang terutama adalah memuaskan Tio Poan San, supaya ia tidak merupakan bahaya lagi di hari kemudian.
"Tio Samya," katanya. "Kau adalah seorang ksatria yang tulus dan bersih. Terus-terang aku ingin memberitahukan, bahwa sekali ini kau sudah kena ditipu Sun Kong Hong!"
Tio Poan San terkejut. "Apa?" ia menegas.
"Dulu," Tan Ie menerangkan. "Sun Couwsu (kakek guru) dari Thay-kek-bun di Kongpeng mempunyai tiga orang murid. Sun Supeh murid pertama, ayahku murid kedua, sedang Lu Susiok murid ke-tiga. Mereka bertiga tidak akur. Aku rasa, Tio Samya sudah mengetahui hal ini."
Sebenarnya Tio Poan San tidak mengetahui, tapi sebagai orang yang sudah mencampuri urusan itu, ia merasa jengah untuk mengakuinya. Maka itu, ia hanya berkata: "Habis bagaimana?"
"Lu Susiok adalah pentolan Thay-kek-bun cabang Utara," Tan Ie meneruskan penuturannya. "Aku sendiri sangat mengagumi kepandaiannya. Ia menjadi guru silat di gedung Heng-ong, tapi rahasia Thay-kek-kun sedikit juga ia tidak turunkan kepada Ongya (raja muda). Heng-ong adalah seorang yang suka sekali kepada ilmu silat. Melihat liciknya Lu Susiok, raja muda itu jadi merasa mendongkol. Beberapa kali ia mendesak dan oleh karena terlalu didesak, Lu Susiok lantas saja minta berhenti. Maka itu, Heng-ong telah mencari aku dan minta aku menjelaskan arti Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat (dua teori silat) dari Thay-kek-kun. Hanya sungguh menyesal, mendiang ayahku tidak mempunyai kepandaian yang tinggi dan siang-siang sudah meninggal dunia, sehingga bisa dikatakan, bahwa ia sama sekali tidak mewariskan kepandaian apa-apa kepadaku. Heng-ong lantas saja memerintahkan, supaya aku meminta penjelasan dari Lu Susiok."
Tio Poan San manggut-manggutkan kepalanya. "Menurut peraturan Thay-kek-bun cabang Selatan dan cabang Utara, rahasia ilmu silat dari partai tersebut tidak boleh diturunkan kepada orang bangsa Boan," katanya di dalam hati. "Bahwa Lu Hie Hian sungkan menurunkan rahasia itu kepada Heng-ong, adalah keterangan yang rasanya benar."
Sembari menarik paras muka sungguh-sungguh. Tan Ie melanjutkan penuturannya: "Sesudah mendapat perintah, bersama tiga sahabat, aku berkunjung ke rumah Lu Susiok. Waktu itu, Lu Susiok sedang sakit berat dan ia jadi berangasan sekali. Sesudah bertengkar sedikit, mendadak ia memukul dengan pukulan yang membinasakan. Tio Samya, coba kau pikir: Dengan ilmu silatku yang sangat cetek, mana mungkin aku dapat mencelakakan ahli silat nomor satu dari Thay-kek-kun di Kongpeng?"
"Tapi kenapa ia jadi mati?" tanya Tio Poan San.
"Sebagaimana Tio Samya mengetahui, Lu Susiok memang lagi sakit," jawabnya. "Dalam percekcokan itu, secara tidak sengaja, aku sudah mengeluarkan kata-kata yang agak berat. Ia menjadi sangat gusar, diwaktu mau menyerang, kakinya terpeleset dan lantas jatuh. Aku coba menolong, tapi sudah tidak keburu."
Kentara sekali, bahwa dalam karangan Tan Ie terdapat bagian-bagian yang lemah. Baru saja Tio Poan San ingin mendamprat, Lu Siauw Moay sudah berteriak sekuat suaranya: "Ayahku binasa dipukul olehnya! Ayahku...." Ia tak bisa meneruskan perkataannya, karena lehernya dipencet keras oleh Tan Ie.
Tio Poan San menjadi gusar bukan main. "Dusta!" ia membentak. "Di satu pihak, kau mengatakan Susiokmu sedang menderita penyakit berat, tapi dilain pihak, kau mengaku tak bisa menandingi Susiokmu yang sedang sakit berat. Apakah mungkin begitu? Disamping itu, apakah dosa anak kecil itu yang sudah dibinasakan juga olehmu? Hayo, lepas!"
"Tio Samya," kata Tan Ie. "Kau bertempat tinggal di tempat yang jauhnya laksaan li. Mana kau tahu urusan dalam kalangan kita? Aku merasa, paling baik kita masing-masing mengurus urusan sendiri."
Sembari bicara, perlahan-lahan ia mendekati pintu. Kedua mata Tio Poan San seolah-olah mengeluarkan api karna gusarnya, tapi ia tidak berani merintangi karena khawatir Lu Siauw Moay dilukai.
Harus diketahui, bahwa sesudah melalui perjalanan begitu jauh dengan bersama-sama menunggang seekor kuda, Tio Poan San sudah memandang gadis cilik itu seperti puterinya sendiri. Walaupun masih berusia sangat muda, Lu Siauw Moay mempunyai adat yang keras dan kukuh. Seorang diri, tanpa memperdulikan segala penderitaan, ia pergi ke Huikiang untuk mencari Tio Poan San. Kesukaran-kesukaran yang dialaminya dalam perjalanan, jangankan seorang gadis cilik, malah seorang lelaki gagah pun belum tentu dapat mengatasinya. Bahwa Tio Poan San sudah bersedia untuk mencampuri urusan itu, sebagian tentu saja disebabkan oleh dua tangan manusia itu, tapi sebagian lagi disebabkan oleh kebaktian Lu Siauw Moay. Dan semakin lama bergaul, semakin besar cintanya terhadap gadis cilik itu.
Sementara itu, jika Tan Ie mundur lagi berapa tindak, ia akan sudah berada di luar pintu. Kedua kantong Tio Poan San terisi penuh dengan rupa-rupa senjata rahasia, tapi sebatang pun ia tidak berani melepaskan. Sedari tadi, ia menimbang-nimbang untuk menimpuk kepala Tan Ie dengan pusut kepala ular yang paling berat. Pusut itu sudah pasti akan mengambil jiwa Tan Ie, tapi jika sebelum mati, ia mendorong tangannya, Lu Siauw Moay juga akan turut menjadi korban.
Lagi-lagi Tan Ie mundur setindak.
Pada saat itu, suatu "kembang lilin" mendadak meletus, sehingga penerangan lilin mendadak menjadi guram dan di lain saat begitu api lilin sudah menyala lagi seperti biasa, di belakang Tan Ie kelihatan berdiri seorang tua.
Orang itu mengenakan jubah panjang warna hijau, kedua matanya dalam, paras mukanya pucat dan apa yang mengejutkan adalah kedua tangannya buntung. Ketika Tan Ie menengok, orang itu mengangkat lengannya yang tidak bertangan, sehingga, dalam kagetnya, Tan Ie meloncat mundur setindak sembari berteriak, "Sun Supeh, kau!"
Orang itu tidak menyahut, ia maju beberapa tindak dan segera berlutut di hadapan Tio Poan San. "Tio Samya," katanya dengan suara terharu. "Budimu yang sangat besar, biarlah aku Sun Kong Hong membalasnya dilain penitisan."
Tio Poan San segera membalas hormat, tapi matanya terus mengincar Tan Ie.
"Kau sudah mengambil jiwa, dua orang dari keluarga Lu," kata Sun Kong Hong. "Aku si orang she Sun sudah tidak memikir untuk hidup terus." la menengok kepada Tio Poan San dan meneruskan perkataannya: "Tio Samya, apa yang dikatakan oleh manusia ini, sudah kudengar semua. Semuanya dusta belaka. Lu sutee telah binasa, gara-gara Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat."
Tio Poan San melirik Tan Ie dan berkata: "Kalau begitu, Tan-ya sudah mahir dalam kedua Pit-koat (teori ilmu silat) itu.
Aku ingin sekali menerima pengajaranmu."
"Bukan, bukan begitu," kata Sun Kong Hong. "Dia belum memiliki kedua Pit-koat itu. Dia mengetahui, bahwa dalam Thay-kek-kun terdapat sembilan Pit-koat dan Loan-hoan-koat serta Im-yang-koat merupakan bagian yang terpenting. Hanya sayang, siang-siang ayahnya sudah meninggal dunia sehingga tidak keburu mewariskan Pit-koat itu kepadanya. Dengan menggunakan rupa-rupa akal, dia membujuk aku dan Lu Sutee supaya suka menurunkan pelajaran itu kepadanya. Akan tetapi, kami selalu menolak karena mengetahui, bahwa dia adalah seorang busuk. Belakangan, dia coba menggunakan pengaruh Heng-ong-ya untuk memaksa, tapi Lu Sutee tetap tak sudi memberikannya. Akhirnya, selagi Lu Sutee sakit, malam-malam dia menyatroni dan mengancam akan membunuh anak Lu Sutee, jika permintaannya tidak diluluskan. Dan secara luar biasa kejamnya, ia membacok anak yang tidak berdosa itu.... Orang she Tan! Katakanlah: Aku bicara benar atau tidak!"
Muka Tan Ie menjadi biru keungu-unguan, sepatah pun ia tidak menyahut. Bukan main menyesalnya, bahwa pada detik ia hampir dapat meloloskan diri, Sun Kong Hong sudah menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, Sun Kong Hong sudah berkata pula: "Demikianlah seorang bocah yang mungil, sudah menjadi korban goloknya. Dalam sakitnya, Lu Sutee sudah melawan dia mati-matian dan akhirnya ia roboh binasa diserang ilmu In-chiu (Tangan awan). Tio Samya, sungguh aku merasa malu, sebagai Ciangbun, aku tak mempunyai kemampuan, sedang dalam Thay-kek-bun, cabang Utara tidak terdapat orang berkepandaian tinggi. Maka itu, dengan menebalkan muka, aku memohon bantuan cabang Selatan." Ia berpaling kepada Tan Ie dan menyambung perkataannya: "Tan Toaya, bilanglah: Apakah dalam keteranganku ada bagian yang memfitnah kau?"
Darah Tio Poan San naik tinggi. Ia maju beberapa tindak seraya membentak: "Dari dulu sampai sekarang, siapa yang ingin memperdalam ilmu, harus berusaha sendiri untuk mencari guru yang pandai. Belum pernah aku mendengar adanya manusia yang berhati binatang seperti kau ini!"
"Jangan bergerak!" teriak Tan Ie sembari memencet dan Lu Siauw Moay lantas saja berteriak kesakitan.
Benar saja Tio Poan San tidak berani bergerak pula.
"Orang she Tio," kata Tan Ie pula. "Jika kau mau mencari aku, datanglah di gedung Hok Ong-hu. Hari ini, kau mesti memerintahkan dia minggir."
Tio Poan San berdiam beberapa saat dan akhirnya, dengan sangat terpaksa, ia berkata: "Sun Su-heng, kau minggirlah!"
Sun Kong Hong menjadi bingung. "Kau... kau mau mengampuni dia?" tanyanya dengan suara terputus-putus.
"Sun Suheng, legakanlah hatimu," Tio Poan San membujuk. "Sesudah aku mencampuri urusan ini, aku tentu akan mencampuri dari kepala sampai di buntut."
Sun Kong Hong jadi semakin bingung, mukanya pucat. "Kau... kau..." katanya.
"Minggirlah," kata pula Poan San. "Jika aku tidak dapat membereskan urusan ini, aku akan mengutungkan kedua tanganku sendiri dan membayarnya kepada kau."
Perkataan itu dikeluarkan dengan nada tak bisa berubah lagi, sehingga mau tak mau, Sun Kong Hong segera menyingkir dari tengah pintu sembari mengawasi Tan Ie dengan sorot mata membenci dan gusar.
Pada paras muka Tan Ie lantas saja terlihat sinar kegirangannya. la sudah mengambil keputusan, bahwa begitu terlolos, ia akan kabur ke tempat jauh dan menyembunyikan diri. ia mengawasi Tio Poan San dan berkata: "Tio Samya, tak salah apa yang dikatakan oleh Sun Supeh. Dengan sesungguhnya, aku ingin sekali mempelajari Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat dari Thay-kek-bun kita. Jika kau datang di Pakkhia, aku akan minta kau memberi petunjuk-petunjuk."
Tio Poan San tidak menyahut, tapi mendengar ejekan itu, tentu saja ia merasa panas sekali.
Tan Ie tidak berani memutarkan badan. Setindak demi setindak ia mundur sambil menyeret Lu Siauw Moay. Ketika melewati Sun Kong Hong, ia mesem-mesem secara mengejek.
Semua kejadian itu tentu saja diperhatikan oleh Ouw Hui yang turut merasa gusar melihat kelicikan Tan Ie. "Tio Samya telah menolong aku dan sekarang, aku pun tak dapat melihat saja sambil berpeluk tangan," pikirnya. Ia cerdik dan nakal. Dalam sekejap, ia sudah mendapatkan suatu daya bagus.
Pada saat Tan Ie tiba di pintu, ia menghampiri sambil menyeret kursi. "Tan Ie," ia memanggil. "Ada suatu urusan yang ingin kubicarakan dengan kau."
Tan Ie terkejut sejenak, tapi demi melihat yang memanggilnya adalah Ouw Hui, hatinya menjadi lega dan ia tidak meladeni.
Ouw Hui mendorong kursi itu, loncat ke atasnya, menyingsing celana dan lantas kencing! Air kencingnya ditujukan ke arah mata Tan Ie.
Dapat dibayangkan kegusaran Tan Ie pada waktu itu. Dalam kalapnya, ia tak dapat berpikir panjang-panjang. Sembari menedengi matanya dengan tangan kiri, ia menikam dada Ouw Hui dengan pisaunya yang dicekal di tangan kanan. Sebelum kencing, Ouw Hui sudah menghitung masak-masak apa yang harus dibuatnya. Begitu pisau itu berkelebat, kedua tangannya mencekal belakang kursi dan sekali ia melompat, badannya sudah berada di tengah udara, sedang kursi itu menimpa kepala Tan Ie.
"Bangsat!" bentak Tan Ie, sembari menyampok kursi itu dengan tangan kirinya.
Sebelum hinggap di atas lantai, Ouw Hui sudah menubruk Lu Siauw Moay dan dengan sekali menggulingkan diri, ia sudah terpisah kira-kira setengah tombak dari Tan Ie.
Tan Ie terbang semangatnya. Bagaikan kalap, ia menerjang. Tapi Ouw Hui, yang sudah siap sedia, lantas memapakinya dengan suatu tendangan hebat sembari meloncat bangun. Hampir disaat itu juga, dengan ilmu Kong-chiu Jip-pe-to (Dengan tangan kosong masuk di ratusan golok), ia merebut pisau Tan Ie.
Tan Ie pecah nyalinya. Ia memutarkan badan dan lari ngiprit ke pintu. Tapi... dengan kedua tangan menolak pinggang, Tio Poan San sudah berdiri di tengah-tengah pintu!
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Kencingku belum habis!" katanya.
Apa yang dilakukan oleh Ouw Hui benar-benar diluar dugaan. Perbuatan Ouw Hui sudah menambah kebencian Siang Loo-tay, memperdalam rasa cemburu Ong-sie Heng-tee, membikin malu Ma Heng Kong dan menggusarkan In Tiong Shiang. Tapi, tak perduli bagaimana reaksi mereka, dalam hati kecilnya, semua orang merasa kagum akan kecerdikan bocah nakal itu.
Besar sekali rasa terima kasih Tio Poan San terhadap Ouw Hui, akan tetapi, ia tidak memperlihatkan perasaan itu. Ia berpaling kepada Tan Ie dan berkata dengan suara tawar: "Hanya gara-gara Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat, kau sudah membinasakan dua manusia. Sebenarnya, tak usah kau berbuat begitu. Kedua Ko-koat (teori ilmu silat yang digubah seperti sajak lagu) itu belum terhitung mustika yang terlalu berharga dalam partai Thay-kek-bun. Meskipun bukan seorang pintar, aku masih dapat menghafalkannya. Tadi, kau mengatakan ingin belajar dariku, bukan? Baiklah, sekarang saja aku menurunkan kedua Ko-koat itu."
Semua orang menjadi terperanjat. Mereka benar-benar tidak mengerti maksud Tio Samya.
"Sekarang lebih dulu aku menghafal Loan-hoan-koat," katanya. "Dengarkanlah dengan hati-hati."
Sehabis berkata begitu, benar saja ia lantas menghafal Ko-koat itu dengan suara nyaring: Ilmu Loan-hoan paling sukar dimengerti, atas bawah bisa bersatu, kelihayannya tiada batasnya, (jika) musuh masuk ke dalam barisan Loan-hoan, tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati. Tangan kaki maju berbareng, yang lurus menghantam yang miring. Dalam gerakan Loan-hoan, pukulan tak pernah jatuh di tempat kosong. Jika ingin menyelami intisari ilmu ini, seseorang harus mengerti titik bergerak dan titik turun."
Sun Kong Hong dan Tan Ie saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka tahu. bahwa apa yang diucapkan oleh Tio Poan San, memang benar adalah Loan-hoan-koat dari Thay-kek-bun. Diwaktu kecil, Tan Ie pernah mendengar Ko-koat tersebut dari mulut ayahnya, tapi sedikit pun ia tidak mengerti apa maksudnya. dan ia tak nyana, bahwa pada hari itu, ia akan dapat mendengar pula Ko-koat tersebut dari mulut Tio Poan San.
Demikianlah, tanpa menghiraukan lagi soal mati hidupnya, lantas saja ia menanya: "Apakah Tio Samya sudi memberi petunjuk mengenai maksud dari Ko-koat itu?"
"Dalam ilmu silat partai Thay-kek-kun kita, setiap pukulan merupakan lingkaran (hoan)," Tio Poan San mulai dengan penjelasannya. "Itulah sebabnya, mengapa teori (ko-koat) ini dinamakan Loan-hoan-koat (Teori lingkaran kalut, Loan berarti kalut, Hoan berarti lingkaran dan Koat berarti teori). Harus diketahui, bahwa meskipun pukulannya mempunyai bentuk yang tertentu, tapi, perubahannya tergantung kepada kecerdasan orang (yang melakukan pukulan itu). Begitu juga, walaupun setiap gerakan tangan merupakan lingkaran, akan tetapi, dalam lingkaran itu, terdapat perbedaan tinggi rendah, maju mundur, keluar masuk, menyerang dan membela. Di samping itu, juga terdapat lingkaran besar, lingkaran kecil, lingkaran rata, lingkaran berdiri, lingkaran miring, lingkaran yang mempunyai bentuk dan lingkaran yang tiada bentuknya. Dalam menghadapi musuh, kita harus bisa merubuhkan yang besar dengan yang kecil, menjatuhkan yang lurus dengan yang miring dan menaklukkan yang berbentuk dengan yang tidak berbentuk. Setiap pukulan yang dikeluarkan, harus mengandung tenaga dalam yang melingkar."
Sembari memberi keterangan, ia memberi con-toh-contoh dari macam-macam lingkaran.
Sesudah berdiam beberapa saat, ia segera menyambung keterangannya: "Dalam pertempuran, kita menggunakan tenaga yang berbentuk bundar untuk mendorong musuh ke dalam garisan kita yang tiada bentuknya. Sesudah musuh masuk ke dalam garisan tersebut, kita mau dia ke kiri, dia lantas ke kiri, kita mau dia ke kanan dia lantas ke kanan. Sesudah itu barulah dengan menggunakan tenaga empat tail, kita menghantam musuh yang bertenaga seribu kati. Intisari ilmu silat Thay-kek-kun adalah: Mencari titik gerakan lawan dan menghantam titik turunnya musuh."
Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, adalah ahli-ahli silat. Keterangan tipis yang disertai dengan contoh-contoh, didengarkan oleh semua hadirin dengan penuh perhatian. Harus diketahui. bahwa ceramah tentang ilmu silat yang seperti itu sungguh-sungguh jarang terdapat dalam Rimba Persilatan. Apa yang diuraikan oleh Tio Poan San adalah teori dari ilmu silat Thay-kek. Bermula, Ong-sie Heng-tee Siang Loo-tay dan yang Iain-lain tidak begitu memperhatikan, karena Thay-kek-kun adalah berlainan dengan ilmu silat mereka. Tapi, semakin lama mereka jadi semakin ketarik, sebab banyak bagian ceramah Tio Poan San
sudah membuka pikiran mereka.
Sesudah selesai menerangkan Loan-hoan-koat, Tio Poan San segera berkata: "Kouw-koat (teori yang diucapkan secara lisan) tidak panjang-panjang, ringkas saja. Tapi, apakah bisa menggunakan itu atau tidak, tergantung kepada latihan kita. Apakah kau mengerti?"
Bertahun-tahun Tan Ie mengilar, baru sekarang keinginannya terkabul. Bukan saja ia sudah mendapatkan Kouw-koat itu, tapi ia juga mengerti maksudnya, berkat penjelasan Tio Poan San. Ia yakin, dengan memiliki Kouw-koat tersebut, bahwa dalam belasan tahun saja, ia sudah akan menjadi guru besar dalam Rimba Persilatan.
Bukan main girang hatinya dan buru-buru ia memohon pula: "Bisakah Tio Samya memberi penjelasan tentang Im-yang-koat?"
"Im-yang-koat juga terdiri dari delapan sajak," kata Tio Poan San. "Dengarlah."
Antara para hadirin, In Tiong Shianglah yang mencurahkan perhatiannya kepada uraian itu. la mendengarkan Tio Poan San seperti sedang mendengarkan gurunya sendiri. Maka itu, ketika Tio Poan San menanya, tanpa merasa ia menjawab: "Baik. Teecu (murid) akan memperhatikannya." Begitu mengucapkan perkataan tersebut, ia terkesiap dan paras mukanya menjadi merah. Tapi, karena yang lain-lain juga sedang memusatkan perhatian mereka kepada Tio Poan San, terpelesetnya lidah In Tiong Shiang tiada yang memperhatikannya.
"Dengarkanlah!" Tio Poan San mulai. "Im-yang dari Thay-kek sedikit sekali dipelajari orang. Di antara menelan-memuntahkan membuka-menutup terdapat kekerasan dan kelembekan. Tengah-sudut, menerima-melepas boleh sesuka hati. Perubahan dalam bergerak-berdiam, tak usah dipikirkan. Menghidupkan dan membinasakan, kedua ilmu, digunakan dengan berbareng. Berkelit maju dilakukan diwaktu bergerak. Tapi bagaimana dengan berat-enteng, berisi-kosong? Dalam berat kelihatan enteng dapat dipertahankan lama."
Im-yang-koat adalah suatu teori yang Tan Ie belum pernah mendengar dari siapapun juga. Tapi ia sekarang sudah tidak sangsi lagi dan terus mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sesudah menghafal Kouw-koat, sembari memberi contoh dengan gerakan-gerakannya, Tio Poan San berkata pula: "Dalam segala apa di dunia ini terdapat dua unsur: Im dan Yang. Im-yang dalam dunia silat adalah lembek-keras, lurus-bengkok, atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang dan sebagainya (Im-yang berarti negatif positif). Lurus adalah Yang, bengkok adalah Im, atas adalah Yang, bawah adalah Im. Jika memencarkan tangan, yang paling penting adalah Tun-hoat (Ilmu menelan). Kita menggunakan tenaga keras untuk memukul, seperti cara-cara seekor ular menelan mangsanya. Jika merangkapkan tangan, yang paling penting adalah Touw-hoat (ilmu memuntahkan). Kita menghantam musuh dengan tenaga lembek, seperti seekor kerbau memuntahkan rumput. Leng (dingin), Kie (cepat). Koay (lincah, gesit) dan Cui (getas, nyaring) adalah empat bagian dari Chia-hong (tengah-tengah). Hie berarti empat sudut atau empat pinggiran. Maka itu, dalam pertempuran, kita harus menghantam bagian Hie (pinggiran atau sudut) dari musuh dengan menggunakan Chia (tengah-tengah) kita. Jika Chia dilawan dengan Chia, yaitu artinya kekerasan dilawan dengan kekerasan, seorang yang masih berusia muda dan belum cukup tenaganya, tentu akan mendapat kekalahan."
Mendengar keterangan Poan San yang terakhir, Ouw Hui terkesiap. "Apakah perkataannya itu ditujukan kepadaku?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak mungkin, ia ingin menunjukkan kekeliruanku, bahwa dalam pertempuran melawan Ong Kiam Eng, sebenarnya tak boleh aku menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan?"
Tapi mata Tio Poan San sama sekali tidak melirik-lirik Ouw Hui dan dengan sikap tenang, ia terus memberi penjelasan-penjelasan dengan contoh-contohnya.
Kata Poan San: "Jika kita menggunakan Sudut untuk melawan Sudut, maka dalam ilmu silat, cara itu dilukiskan dengan kata-kata begini: Enteng lawan enteng, semua gagal. Maka itu, apa yang kita harus lakukan adalah: Dengan Berat kita memukul keentengan musuh, dengan Enteng kita mengelit Beratnya musuh. Mengenai San-cin (berkelit maju) dapatlah dijelaskan seperti berikut: Di waktu kita mengelit serangan musuh, dengan berbareng, kita harus maju menyerang. Begitu juga, di waktu kita maju menyerang,
dengan berbareng kita juga harus berkelit dari majunya (serangan) musuh. Inilah yang dinamakan: Hong-san-pit-cin, Hong-cin-pit-san (Berkelit sembari maju, maju sembari berkelit). Demikianlah dapat dikatakan, Berkelit adalah Maju, Maju adalah Berkelit. Seseorang yang sudah dapat membedakan arti menyerang dan membela diri, adalah seorang yang sudah memperoleh ilmu silat kelas utama."
Mendengar penjelasan itu, Ouw Hui seolah-olah baru mendusin dari tidurnya. "Jika aku sudah mengetahui intisari ilmu silat itu, belum tentu aku dikalahkan oleh kedua saudara Ong," katanya di dalam hati.
Tio Poan San yang agaknya sedang bergembira, lantas saja menyambung ceramahnya: "Dalam ilmu silat, Tenaga (Lek) mempunyai laksaan perubahan. Tapi, dalam garis besarnya, ada tiga macam tenaga, yaitu enteng, berat dan kosong. Lebih baik menggunakan tenaga enteng daripada yang berat, lebih baik menggunakan tenaga kosong daripada tenaga enteng. Dalam Kun-koat terdapat kata-kata seperti berikut: Sepasang berat, jalan buntu. Satu berat, selalu berhasil.
"Apakah artinya itu? Sepasang berat berarti tenaga diadu dengan tenaga, atau dengan perkataan lain, kedua belah pihak menggunakan tenaganya yang sebesar-besarnya. Dalam pertandingan semacam itu, orang yang bertenaga lebih besar tentu akan dapat mengalahkan lawannya yang bertenaga lebih kecil. Satu berat mempunyai arti begini: Dengan menggunakan tenaga kita yang kecil, kita menghantam bagian musuh yang tidak ada tenaganya. Memukul secara begitu, setiap pukulan tentu mesti berhasil. Seorang ahli silat adalah, seorang yang bisa membikin tenaga musuh yang besar selalu jatuh di tempat kosong."
Dengan teliti, Tio Poan San memberi contoh-contoh, antaranya banyak sekali pukulan dan gerakan yang digunakan dalam pertempuran antara Ong Kiam Eng dan Ouw Hui. la memberi contoh, dengan cara apa, pukulan musuh dapat digagalkan dan bagaimana dengan suatu pukulan, musuh dapat dirubuhkan.
Mendengar dan melihat sampai di situ, Ouw Hui mendadak sadar. la sekarang yakin, bahwa Tio Poan San sebenarnya sedang menurunkan pelajaran kepadanya.
Memang juga, adalah sangat ganjil jika benar Poan San mau menurunkan rahasia ilmu silat Thay-kek-kun kepada seorang murid murtad seperti Tan Ie. Ketika menyaksikan pukulan-pukulan Ouw Hui, ia segera mengetahui, bahwa, biarpun bocah itu mempunyai pukulan-pukulan aneh, sedalam-dalamnya ia belum dapat menyelami pokok dasar ilmu silat. la menduga, bahwa bocah itu belum mendapat petunjuk-petunjuk guru yang pandai.
Dalam Rimba Persilatan terdapat banyak sekali peraturan, misalnya, seorang ahli silat tak akan mau memberikan petunjuk kepada murid partai lain atau cabang. Lantarannya adalah bahwa guru dari murid tersebut bisa merasa tersinggung dan sebagai akibatnya, sering sekali terjadi ganjalan atau bentrokan.
Tio Poan San tentu saja tidak mengetahui, bahwa Ouw Hui tidak mempunyai guru dan seluruh kepandaiannya didapatkan berkat usahanya sendiri dengan mempelajari Kun-keng yang diwariskan oleh mendiang ayahnya. Hati Tio Poan San yang mulia merasa sayang sekali, bahwa ibarat batu giok, Ouw Hui adalah giok yang belum digosok. Maka dengan menggunakan kesempatan itu, yang muncul dari permintaan Tan Ie, ia segera memberikan penjelasan mengenai Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat.
Setiap perkataannya dan setiap gerakannya ditujukan kepada Ouw Hui. Ia menduga, bahwa sebagai orang yang cerdas, Ouw Hui tentu dapat menangkap maksudnya. Dan dugaannya tidak meleset. Mengenai Ong Kiam Eng, Ma Heng Kong dan yang Iain-lain, ia merasa, bahwa berhubung dengan usia mereka yang sudah lanjut, belum tentu mereka bisa menarik banyak keuntungan dari keterangan itu.
Dengan adanya petunjuk itu, dikemudian hari Ouw Hui menjadi ahli silat kelas utama dalam jamannya.
Sesudah selesai, Tio Poan San segera berkata kepada Tan Ie: "Bagaimana? Apakah keteranganku benar?"
"Sesudah diberi petunjuk, otakku jadi terbuka," jawabnya. "Jika siang-siang aku mengetahui bakal terjadi kejadian seperti di hari ini, aku tentu tak akan memohon-mohon kepada Sun Supeh dan Lu Susiok."
"Ya," kata Tio Poan San dengan suara tawar. "Jika kau sudah tahu siang-siang, kau tentu tak merasa perlu untuk mengambil jiwa dua orang manusia."
Tan Ie terkesiap. Perkataan itu seolah-olah segayung air dingin yang mengguyur punggungnya. "Barusan baik-baik ia menurunkan ilmu kepadaku, kenapa ia menimbulkan lagi soal itu?" ia menanya diri sendiri. Ia mengawasi Ong-sie Heng-tee, In Tiong Shiang dan yang Iain-lain, tapi mereka itu tidak memberi sambutan apapun juga.
"Tan-ya," kata Poan San. "Kedua Kun-koat itu telah diturunkan kepadamu olehku sendiri. Aku khawatir kau belum mengerti, bagaimana cara menggunakannya. Maka itu, marilah kita tui-chiu (adu tangan, berlatih)."
Tui-chiu adalah semacam latihan yang biasa digunakan oleh orang-orang partai Thay-kek-bun. Tan Ie merasa takut, tapi ia tidak berani menolak. "Tio Samya," katanya. "Ilmu silatku adalah ilmu pasaran. Harap kau suka berlaku murah hati."
Paras muka Tio Poan San lantas saja berubah menyeramkan. "Lu Hie Hian, ahli nomor satu dari Thay-kek-bun cabang Utara, sudah binasa dalam tangan tuan," katanya. "Bagaimana bisa dikatakan, ilmu tuan adalah ilmu pasaran. Siaplah!" Sembari berkata begitu, ia menyerang dengan pukulan Chiu-hui-pipee (Dengan tangan menabuh pipee, semacam alat musik seperti gitar).
Buru-buru Tan Ie membela diri, tapi baru saja beberapa jurus, silatnya sudah kena ditindih. Meskipun dalam Thay-kek-bun terdapat perbedaan ca-bang, yaitu cabang Utara dan cabang Selatan, akan tetapi, pada pokoknya kedua cabang itu berakar satu, sehingga menang kalahnya kedua orang itu diputuskan oleh tinggi rendahnya keahlian mereka. Lewat lagi beberapa jurus, kedua tangan Tan Ie seolah-olah sudah "lengket" di tangan Tio Poan San.
Ketika itu, Sun Kong Hong merasa lega sekali, seolah-olah sebuah batu besar yang menindih ulu hatinya sudah disingkirkan.
"Sun-heng," kata Tio Poan San. "Kau kata, Lu Hie Hian binasa karena serangan In-chiu, bukan?"
"Benar," jawabnya. "Ketika memeriksa jenazah Lu Sutee, aku mendapat kenyataan, bahwa ia binasa sebab kehabisan tenaga."
Tan Ie jadi semakin ketakutan. "Tio Samya," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan tandinganmu. Berhentilah saja."
"Baiklah," kata Poan San. "Sambut lagi satu seranganku."
Sembari berkata begitu, ia membuat suatu lingkaran besar dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga, lantas muncul semacam tenaga berputar di sekitarnya. Itulah ilmu In-chiu dari Thay-kek-bun yang gerakannya susul menyusul, lingkaran demi lingkaran. Itulah pukulan yang digunakan Tan Ie untuk mengambil jiwa Lu Hie Hian. Pada detik itu, di depan mata Tan Ie terbayang penderitaan paman gurunya sebelum binasa. Lu Hie Hian telah memohon belas kasihan berulang-ulang, tapi ia tidak menggubris dan mendesak terus, sehingga akhirnya paman guru itu menghembuskan napasnya yang penghabisan karena kehabisan tenaga. Mengingat itu, keringat Tan Ie lantas saja mengucur bagaikan hujan.
Melihat paras ketakutan yang terlukis di muka manusia keji itu, Tio Poan San yang berhati mulia lantas saja merasa tidak tega. Ia mengendorkan tekanan tenaganya dan berkata dengan suara halus: "Seorang laki-laki berani berbuat harus berani juga menanggung segala akibatnya. Perbuatan jahat tentu akan mendapat pembalasan yang jahat pula. Pikirlah baik-baik." Untuk kekejamannya, Tan Ie memang harus dihukum mati, tetapi ia merasa tidak tega untuk membinasakannya dengan cara Tan Ie sendiri, ketika mengambil jiwa Lu Hie Hian.
Ia segera menghentikan serangannya dan sesudah memutarkan badan, sambil menggendong kedua tangannya, ia mendongak dan berkata: "Meskipun tidak mampu membantu tanah air dan bangsa, seorang yang belajar silat harus melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menolong sesama manusia. Jika dengan ilmu silat seseorang melakukan kejahatan, lebih baik dia jangan belajar silat dan hidup miskin sebagai petani."
Kata-kata itu sebenarnya ditujukan kepada Ouw Hui. Ia khawatir, bahwa dikemudian hari, bocah itu akan menyeleweng karena kepandaiannya dan kecerdasannya. Selama hidup, belum pernah ia bertemu dengan bocah yang mempunyai sifat-sifat begitu mulia seperti Ouw Hui dan dalam hatinya timbul rasa sayang terhadap anak itu. Ia berdiam di tempat yang sangat jauh dan belum tentu bisa bertemu lagi. Maka itu, Sesudah memberi petunjuk dalam ilmu silat, ia mengeluarkan kata-kata itu sebagai bekal Ouw Hui di hari nanti.
Ouw Hui cerdas luar biasa, tentu saja ia dapat menangkap maksud Poan San. "Orang she Tan!" ia membentak. "Biarpun tidak dihukum, sesudah melakukan kejahatan, seorang manusia seharusnya menggorok lehernya sendiri untuk menebus dosa, agar tidak menodakan nama baik leluhurnya." Kata-kata itu pun ditujukan kepada Tio Poan San.
Tio Poan San girang sekali, ia melirik si bocah dengan sorot mata menyayang. Ouw Hui juga melirik, sehingga dua pasang mata mereka lantas kebentrok. Sorot mata Ouw Hui penuh dengan rasa terima kasih.
Selagi kedua pendekar - seorang tua dan seorang muda - mengutarakan rasa cinta mereka tanpa bicara, Tan Ie melihat suatu kesempatan baik. Ketika itu, punggung Tio Poan San terbuka dan jarak antara Tan Ie dan Poan San belum cukup dua kaki jauhnya. "Kalau kau tidak mampus, akulah yang mati," kata Tan Ie di dalam hatinya. Ia segera mengerahkan seantero tenaga dalamnya ke lengan kanannya dan meninju punggung Tio Poan San sekeras-kerasnya. Pukulan itu adalah pukulan nekat. Tan Ie mengerti, jika Tio Poan San tidak binasa karena satu pukulan itu, dialah yang akan mati.
Pada detik yang sungguh-sungguh berbahaya itu, mendadak saja Tio Poan San membungkuk dengan gerakan Hay-tee-loo-goat (Didasar laut menjumput bulan) dan tinju Tan Ie jatuh di tempat kosong! Dengan sekali menggoyangkan pinggang. Tio Poan San memutarkan badannya dan mendorong dengan kedua tangannya. Sesaat itu juga, tenaga tangan Tan Ie sudah tertindih.
Tan Ie lantas saja mengerahkan seantero tenaganya untuk bertahan. Ketika menyambut dorongan tangan Tio Poan San, ia merasakan, bahwa tenaga musuh tidak begitu besar. Tapi begitu lekas ia menambah tenaga, tekanan musuh lantas saja bertambah dua kali lipat. Dalam kagetnya, ia mengendorkan tenaganya dan tenaga Tio Poan San juga lantas berkurang. Tapi, dengan menggunakan cara apapun, tak bisa ia terlolos dari "kurungan" kedua tangan Tio Poan San.
Sambil mengingat-ingat Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat yang barusan diturunkan kepadanya, Ouw Hui memperhatikan jalannya pertempuran itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap serangan Tan Ie - biar bagaimana hebat pun - dengan mudah saja dapat dipunahkan, sedang Tan Ie sendiri tidak bisa menyingkir dari "kurungan". Ia mengerti, bahwa keadaan itu adalah apa yang dikatakan: Menarik musuh ke dalam garisan Loan-hoan, tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati.
Sesudah memperhatikan beberapa saat lagi, lantas saja ia berkata sembari tertawa: "Tan Ie Loo-heng, kau sekarang sudah masuk ke dalam garisan Loan-hoan. Kurasa, hari ini kau bakal pulang ke dunia baka!"
Tan Ie yang sedang memusatkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran itu, seolah-olah tidak mendengar perkataan Ouw Hui. Sesudah lewat satu dua jurus, Tan Ie membuat kesalahan dalam gerakannya.
"Tio Pehpeh, dadanya terbuka, kenapa tidak dihantam!" seru Ouw Hui.
"Benar," jawab Poan San sembari tertawa dan lantas mengirimkan pukulan ke dada Tan Ie.
Buru-buru Tan Ie berkelit.
"Hajar pundak kanannya!" teriak Ouw Hui.
"Baik!" kata Poan San sembari menghantam pundak kanan Tan Ie.
Tan Ie miringkan pundaknya dan menyampok dengan tangannya.
"Sekarang bagaimana?" tanya Poan San.
"Tendang pinggangnya!" seru Ouw Hui.
Benar-benar Poan San menendang pinggang lawan.
Demikianlah, Poan San melancarkan serangan-serangannya menurut komando si bocah.
"Saudara kecil, komandomu benar-benar tepat!" puji Poan San.
Mendadak Ouw Hui berteriak. "Hantam punggungnya!"
Pada saat itu, kedua belah pihak justru sedang berhadap-hadapan. Poan San kaget. "Ah, kali ini dia salah," pikirnya.
"Aku sedang berhadapan dengan musuh bagaimana bisa memukul punggungnya?" Ia bersangsi, tapi segera juga mendusin. "Ah, anak nakal! Agaknya dia mau mencoba aku dengan suatu teka-teki sulit," katanya di dalam hati.
Ia miringkan badannya dan menyabet dengan tangan kanannya. Tan Ie juga mencenderungkan badan untuk menyambutnya. Begitu musuh bergerak, Poan San mendorong dengan tangan kirinya, sehingga tubuh musuh lebih miring beberapa derajat dan punggungnya terbuka. Tanpa menyia-nyiakan waktu, bagaikan kilat Poan San menepuk punggung Tan Ie. Untung juga, ia tidak menggunakan banyak tenaga. Sedikit saja ia menambah tenaganya, Tan Ie tentu sudah binasa. Dalam kagetnya, Tan Ie memutarkan badannya dan mukanya menjadi pucat seperti kertas.
"Benar tidak?" tanya Poan San sembari berpaling ke arah Ouw Hui.
Si bocah bertepuk tangan dan berteriak: "Bagus! Sungguh indah!"
Sesudah terlolos dari lubangjarum, jantung Tan Ie memukul keras. Tapi sebagai seorang ahli, ia segera dapat melihat, bahwa diwaktu bicara dengan Ouw Hui, bagian bawah Tio Poan San agak terbuka. "Biarlah aku melakukan dua serangan mati-matian dan kemudian melarikan diri," pikirnya.
Memikir begitu, ia lantas menendang dengan gerakan Coan-sin-teng-kak (Menendang sambil memutar badan). Poan San miringkan badannya dan mundur setindak. Tan Ie membentak dan mengirimkan pukulan Chiu-hui-pipee ke arah pundak kiri Tio Poan San. Kedua serangan itu dilanjutkan susul menyusul dan hebatnya luar biasa. Tujuan Tan Ie bukan untuk melukai Poan San, tapi untuk mendesak musuhnya mundur lagi setindak, agar ia bisa kabur. Ia merasa, bahwa dengan usianya yang lebih muda, ia bisa lari lebih cepat daripada musuhnya yang berbadan gemuk.
Tapi, begitu dirinya ditendang, Poan San sudah menduga maksud musuh. Maka, ketika diserang Jcngan pukulan Chiu-hui-pipee, sebaliknya dari mundur, ia maju setindak dan menyerang, juga dengan pukulan Chiu-hui-pipee. Itulah kekerasan melawan kekerasan.
Dalam Thay-kek-bun adu tenaga seperti itu sangat tidak disuka, karena pihak yang kalah tenaga tentu akan rubuh. Tapi, diluar dugaan, dengan sekali membalikkan tangan, tangan kiri Tan Ie sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan Tio Poan San dan sekali ia menggentak, tubuh Poan San terangkat naik.
"Celaka!" seru Sun Kong Hong dan Lu Siauw Moay.
Sedang tubuhnya masih di tengah udara, Poan San berkata di dalam hatinya: "Tak heran, jika Thay-kek cabang Utara semakin lama jadi semakin meluas. Sun Kong Hong adalah Ciangbun (Pe-mimpin) suatu cabang persilatan, tapi pengetahuannya masih belum dapat menandingi pengetahuan bocah cilik."
Bukan main girangnya Tan Ie. Bermimpi pun ia tak pernah, bahwa ia akan berhasil mengangkat tubuh Tio Poan San. Tapi... dilain detik, begitu dibalikkan dengan suatu gerakan kilat tangan Tio Poan Sanlah yang berbalik mencengkeram pergelangan tangan Tan Ie!
Tan Ie terkesiap dan memukul dengan tangan kanannya. Dari atas, Poan San memapaki dengan tangan kirinya dan, setelah beradu, kedua tangan itu lantas melekat, satu pada yang lain, seperti dilem.
Umumnya, seorang yang tubuhnya berada di tengah udara tidak dapat mengerahkan tenaga begitu besar, seperti orang yang menginjak bumi. Tapi Poan San adalah seorang yang mengenal diri sendiri dan mengenal pula keadaan musuhnya. Ia sudah menghitung masak-masak, bahwa tenaga dalamnya banyak lebih unggul daripada Tan Ie. Itulah sebabnya, kenapa ia berani menghadapi bahaya. Tujuannya yang terutama adalah untuk memperlihatkan dan memberi petunjuk kepada Ouw Hui tentang ilmu silat kelas utama.
Demikianlah, tangan kiri Poan San melekat pada tangan kanan Tan Ie, sedang tangan kanannya menempel di tangan kiri musuh. Dengan menggunakan rupa-rupa cara, Tan Ie coba melontarkan musuhnya, tapi mana ia bisa berhasil?
Berat badan Tio Poan San yang gemuk, hampir dua ratus kati dan berat badan itu menekan kedua lengan Tan Ie. Bermula, Tan Ie tidak begitu berat merasakannya, tapi semakin lama tekanan itu jadi semakin berat. Dengan tubuh di tengah udara, kedua kaki Poan San jadi merdeka dan kedua kaki itu kadang-kadang menendang muka Tan Ie.
Lewat beberapa saat lagi, keringat Tan Ie mulai mengucur. Mendadak ia maju beberapa tindak, ke arah sebuah tiang. Ia mengerahkan seantero tenaganya dan membenturkan badan musuh ke tiang itu. Tapi Poan San bukan anak kemarin dulu. Ia melonjorkan kaki kanannya dan menekan tiang tersebut.
Selagi seluruh tubuhnya berada di tengah udara, Poan San hanya dapat menindih Tan Ie dengan berat badannya. Tapi sekarang, dengan sebelah kaki menekan tiang, tindihannya lantas saja bertambah berlipat ganda. Sesaat itu juga, Tan Ie merasakan seolah-olah gunung Thaysan menindihnya, sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan suara krotokan. "Celaka!" ia berseru, sembari menyingkir dari tiang itu.
Keringatnya mengucur terus, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup.
Melihat betapa lihaynya Tio Poan San, Ouw Hui girang berbareng kagum. Sementara itu, keringatnya terus mengucur, sehingga lantai di bawahnya menjadi basah.
Berkeringatnya Tan Ie, dianggap Ouw Hui sebagai kejadian biasa saja, yaitu karena kecapaian. Tapi Ma Heng Kong, Ong Kiam Eng dan beberapa ahli lainnya mengetahui, bahwa setiap tetes keringat yang keluar itu berarti musnahnya sebagian kepandaian orang she Tan itu. Begitu lekas keringatannya habis, bagaikan pelita yang kehabisan minyak, dia akan binasa.
Tan Ie sendiri, tentu saja tahu nasib apa yang sedang dihadapinya. Ia merasakan seluruh badannya lemas dan dadanya seakan-akan kosong melompong. Sesaat itu, disaat ia hampir menebus dosa, di depan matanya terbayang penderitaan Lu Hie Hian yang telah dibinasakannya dengan ilmu silat In-chiu juga. Yang disaat itu dirasakannya, ketakutannya dan penderitaannya, tentu juga telah dirasakan oleh Lu Hie Hian. Itulah yang dinamakan: Hutang jiwa membayar jiwa.
Mengetahui bahwa jiwanya tak akan bisa ditolong lagi, habislah sudah seantero keberaniannya. Tiba-tiba saja ia menekuk kedua lututnya seraya berkata, dengan suara gemetar: "Tio Samya... ampunilah aku!"
Begitu lawannya menyerah, Tio Poan San melompat dan berdiri tegak di atas lantai. "Manusia semacam kau tak ada gunanya dibiarkan hidup lebih lama lagi," katanya sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menepuk kepala Tan Ie. Tapi, sebelum tangannya menghantam, ia melihat paras muka Tan Ie yang pucat pias disebabkan ketakutan.
Sebagaimana diketahui, Tio Poan San adalah seorang yang berhati mulia. Semenjak berkelana di kalangan Kang-ouw, ia selalu memusuhi manusia-manusia jahat. Akan tetapi, jika orang itu sadar akan kekeliruannya dan memohon ampun, kebanyakan ia melepaskan orang itu sesudah diberi nasehat.
Demikianlah, melihat paras muka Tan Ie, di dalam hatinya segera timbul rasa kasihannya. Kepandaian orang she Tan itu sudah musnah seanteronya, tak beda dengan seorang bercacad. Andaikata dia tak dapat mengubah hatinya yang buruk, tapi tanpa ilmu silat, ia tak akan dapat mencelakakan manusia lain. Mengingat itu, tangannya berhenti di tengah udara.
Ia menengok kepada Sun Kong Hong seraya berkata: "Sun-heng, ilmu silatnya sudah musnah sama sekali. Kau boleh menghukum sesukamu, siauwtee hanya mempunyai satu permintaan, yaitu: Biarlah dia hidup terus."
Tanpa menyahut, Sun Kong Hong mengawasi Tio Poan San dan kemudian mengawasi juga Tan Ie. Ia bersangsi, tak tahu harus berbuat bagaimana. Ketika ia menengok kepada Lu Siauw Moay, ia melihat sepasang mata anak itu berapi-api dan tengah mengawasi Tan Ie dengan penuh kebencian.
Mendadak Sun Kong Hong membuang diri di atas lantai dan berlutut di hadapan Poan San. "Tio Samya," katanya. "Hari ini kau sudah membereskan rumah tangga Thay-kek-bun cabang Utara. Budi itu tak akan dilupakan olehku selama-lamanya." Â Sembari berkata begitu, ia manggutkan kepalanya berulang-ulang.
Buru-buru Tio Poan San turut berlutut untuk membalas penghormatan yang sangat besar itu. "Sun-heng," katanya. "Jangan kau memakai terlalu banyak peradatan. Menghunus senjata untuk membereskan keganjilan, adalah tugas orang-orang sebangsa kita. Apa pula kau adalah sesama anggota separtai. Maka itu, tak usah Sun-heng mengucapkan terima kasih."
Sun Kong Hong berbangkit, mulutnya menggigit sebilah pisau tajam. Tio Poan San lantas turut bangun. Ia terkejut melihat pisau itu. Pisau itu adalah pisau Tan Ie yang telah digunakan untuk mengancam Lu Siauw Moay. Diwaktu turun tangan, Ouw Hui merebut pisau itu yang kemudian dilemparkannya di atas lantai. Karena munculnya beberapa kejadian yang susul menyusul dengan cepat tadi, ia tak sempat mengambil pulang senjatanya itu.
Sebagaimana diketahui, Sun Kong Hong tidak mempunyai tangan dan ia menggigit pisau itu diwaktu manggutkan kepala di atas lantai. Sekarang ia menghampiri Lu Siauw Moay dan menyodorkan senjata tajam itu kepada si nona. Siauw Moay yang tak mengerti maksudnya, lantas saja mengulurkan tangannya dan mengambil pisau itu dari mulutnya.
"Tio Samya," kata Sun Kong Hong. "Apa juga yang dikatakan olehmu, tak berani aku membantahnya. Tapi, ayah Lu Siauw Moay telah dibinasakan oleh bangsat itu, adiknya juga dibunuh tangan manusia jahat itu. Menurut pendapatku, di dalam dunia ini, dia adalah orang satu-satunya yang dapat memutuskan: Apakah orang she Tan itu boleh diberi ampun atau tidak. Tio Samya, bagaimana pendapatmu?"
Poan San menghela napas panjang, ia mengangguk beberapa kali. Sesudah mendapat persetujuan itu, Sun Kong Hong segera berkata pula dengan suara keras: "Siauw Moay! Jika kau mau membalas sakit hati, kalau kau berani, bunuhlah dia! Kalau kau takut, lepaskan padanya!"
Semua mata dengan serentak mengawasi si nona cilik. Sekujur badan Siauw Moay bergemetar, tapi di dalam hatinya tak terdapat kesangsian apapun juga. Dengan nekat, ia menghampiri musuh besarnya. Karena Tan Ie bertubuh tinggi besar, tak dapat ia menikam dada manusia itu. Ia mengangkat pisau itu dan menikam kempungan orang.
Melihat sambaran senjata itu, sembari mengeluarkan teriakan ketakutan, Tan Ie memutarkan badan dan terus kabur dengan tindakan sempoyongan. Begitu tikamannya jatuh di tempat kosong dan musuhnya melarikan diri, si nona lantas saja mengejar.
Tan Ie lari ke arah pintu. Tiba-tiba, ia berhadapan dengan pintu tertutup! Buru-buru, dengan kedua tangannya, ia mendorong pintu itu. Tapi... begitu tangannya menempel pada daun pintu, begitu juga terdengar suara "ceesss"! dibarengi dengan keluarnya asap putih dan... kedua tangannya terus melekat pada pintu itu! Ternyata, pintu tersebut panas bagaikan api! dalam kagetnya, sekuat tenaganya ia coba menarik pulang sepasang tangannya itu. Tapi, karena sudah tak bertenaga sedikitpun, ia jadi sempoyongan dan... badannya jatuh, melekat pada pintu! Sekali ia berteriak perlahan dan selanjutnya ia terus diam.
Itulah kejadian yang tak diduga-duga. Semua orang jadi kesima, mereka mengawasi dengan mulut ternganga. Asap putih mengepul dari badan Tan Ie dan hidung mereka mengendus bau daging dibakar! Pintu itu ternyata adalah pintu besi, entah siapa yang membakarnya dari luar.
Sesudah mengetahui apa yang terjadi, rasa kaget mereka lantas saja bertambahkan rasa ketakutan.
"Teehu!" teriak Ong Kiam Eng. "Apakah akhirnya ini?"
Tapi Siang Loo-tay tidak menjawab dan, ketika Kiam Eng menengok, ia tidak mendapatkan Siang Loo-tay di antara mereka lagi. Bukan saja Siang Loo-tay dan puteranya, tapi semua pelayan juga sudah tak kelihatan mata hidungnya. Ong Kiam Eng segera berlari-lari ke ruangan dalam. Ia menjadi lebih kaget karena pintu ruangan daiam juga sudah ditutup. Pintu itu yang di tengah-tengahnya dihiasi dengan lukisan Pat-kwa, hitam warnanya, seperti warna besi.
Sesudah melihat contoh Tan Ie, tak berani Kiam Eng sembarangan mendorong pintu itu. Ia maju beberapa tindak lagi dan mendadak ia merasakan hawa yang sangat panas. Pintu itu juga sudah dibakar dari luar!
"Teehu!" ia berteriak. "Jangan main gila! Lekas keluar!"
Suara Kiam Eng keras dan kedengarannya lebih keras lagi, karena kumandangnya. Tanpa merasa, semua orang mendongak. Sekarang, baru mereka tahu, bahwa ruangan itu tidak berjendela. Sesudah pintu depan dan pintu belakang ditutup, hawa udara tidak mengalir lagi dan biarpun seekor lalat, tak nanti bisa terbang keluar!
Semua orang saling memandang dengan mata mencerminkan ketakutan hebat. Ternyata, di waktu membuat ruangan itu, Siang Kiam Beng mempunyai maksud tertentu. Ruangan itu tidak berjendela, pintunya pintu besi dan temboknya tebal luar biasa. Ma Heng Kong mengangkat sebuah bangku panjang dan sembari mengerahkan tenaga dalamnya, ia menghantam dinding sekuat tenaganya. Bangku itu patah dua, kapur tembok rontok dan ternyata tembok itu terbuat dari batu-batu gunung.
Semua orang bingung bukan main. Kiam Eng dan Kiam Kiat tiada hentinya berteriak-teriak memanggil Siang Loo-tay, tapi tak mendapat jawaban apa pun juga. Semua orang mengasah otak untuk mencari jalan keluar, tapi mereka tak tahu harus berbuat bagaimana.
Pada waktu itu, sembilan orang berada dalam ruangan tersebut, yaitu Tio Poan San, Ouw Hui, Sun Kong Hong, Lu Siauw Moay, kedua saudara Ong, Ma Heng Kong, Cie Ceng dan In Tiong Shiang. Selain mereka, terdapat mayat Tan Ie. Kecuali Lu Siauw Moay, mereka semua adalah ahli-ahli. Tapi, bagaimana tinggi pun kepandaian mereka, pada saat itu kepandaian itu tak berguna. Mereka hanya dapat saling memandang, tanpa mengetahui harus berbuat bagaimana.
Tiba-tiba, dari sebelah luar terdengar suatu suara menyeramkan yang masuk dari lubang di bawah. Suara itu adalah suara Siang Loo-tay. "Hei! Orang-orang gagah!" ia berteriak. "Hari ini kamu jangan bermimpi bisa meloloskan diri dari Siang-kee-po. Ruangan besi ini dibuat oleh mendiang suamiku, Siang Kiam Beng. Walaupun sudah lama meninggal dunia, ia masih bisa membinasakan kamu semua. Apakah sekarang kamu menyerah kalah?" Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.
Semua orang bergidik, bulu roma mereka bangun semua. Mereka mendapat kenyataan, bahwa suara Siang Loo-tay masuk dari lubang anjing, di kaki tembok.
Ong Kiam Eng berlutut dan melongok keluar lewat lubang itu. "Teehu!" ia berseru. "Kami berdua saudara dengan Kiam Beng Sutee adalah saudara seperguruan. Kita tidak mempunyai ganjalan apa pun juga. Tapi kenapa kau juga mengurung kami di dalam ruangan ini?"
Siang Loo-tay kembali tertawa berkakakan. Di luar lapat-lapat terdengar merotoknya kayu kering yang sedang dibakar.
"Suamiku Kiam Beng sudah dibunuh oleh bang-sat Ouw It To," Siang Loo-tay berseru pula. "Jika kamu benar-benar saudara seperguruannya, siang-siang kamu harus berusaha membalaskan sakit hatinya. Tapi, malam ini bertemu anak musuh itu, kamu hanya berpeluk tangan karena takut terhadap orang luar. Guna apa manusia yang tak berbudi seperti kamu, hidup lama-lama di dunia?"
Gusar dan bingung, Ong Kiam Eng menumbuk-numbuk lantai. Selagi ia mau membuka suara, dari lubang anjing itu, mendadak kelihatan sebatang anak panah menyambar musuh.
Untung juga Ong Kiam Kiat keburu menendang pergi panah itu, sehingga Kiam Eng terluput dari bahaya.
Sedari pedangnya dipatahkan Tio Poan San, In Tiong Shiang tak mengucapkan sepatah kata. Ia mengeluh, hatinya penasaran, bahwa ia harus turut membuang jiwa, sedang ia sendiri sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan urusan itu. "Siapa yang mau dicelakakan oleh Siang Kiam Beng dalam ruangan ini?" tanyanya.
"Sedari masih belajar ilmu silat kepada mendiang ayahku, manusia itu memang bukan orang baik," kata Kiam Eng dengan suara gusar. "Hanya orang yang berhati busuk, akan mau membuat ruangan seperti ini."
"Siang Kiam Beng tentunya membuang ruangan ini untuk mencelakakan ayahku karena ia merasa tak ungkulan melawan ayahku," kata Ouw Hui di dalam hatinya. "Tak tahunya, ia toh mampus juga dalam tangan ayahku." Hatinya memikir begitu, tapi ia tidak berkata suatu apa.
Apa yang dipikir Ouw Hui, hanya benar sebagian. Siang Kiam Beng sama sekali tidak mengenal Ouw It To. Ia mempunyai permusuhan besar dengan Biauw Jin Hong dan ia pun mengetahui, bahwa Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu adalah seorang yang berkepandaian sangat tinggi. Ia merasa, bahwa suatu waktu Biauw Jin Hong tentu akan mencari ia. Dengan mempunyai ruangan itu, kalau kalah dalam pertandingan, ia berniat akan memancing Biauw Jin Hong ke dalam ruangan tersebut untuk dianiaya. Tapi siapa sangka, yang mencari ia adalah Ouw It To. Siang Kiam Beng yang sangat sombong, sedikit pun tak memandang pendekar Liaotong itu. Tapi dalam pertempuran, sebelum sempat menggunakan ruangan besinya, ia sudah dibinasakan di bawah golok Ouw It To.
Sakit hati itu belum pernah dilupakan oleh nyonya Siang. Di luar dugaan, Ouw It To sudah meninggal dunia, sedang anak musuh itu juga mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya. Dalam jengkelnya, selagi semua orang memperhatikan pertempuran antara Tio Poan San dan Tan Ie, diam-diam ia keluar bersama puteranya dan orang-orangnya. Ia segera menutup kedua pintu besi itu dan memerintahkan orang-orangnya membakar ruangan tersebut.
Bagaikan kawanan harimau dalam kerangkeng, orang-orang itu jalan mundar-mandir di dalam ruangan. Untung juga ruangan itu sangat luas, sehingga biarpun dua-dua pintu besi itu sudah terbakar merah, masih dapat mereka mempertahankan diri.
"Saudara-saudara," kata Tio Poan San. "Tak bisa kita mandah mati dengan berpeluk tangan. Marilah kita beramai-ramai menggali terowongan."
"Bagaimana bisa?" kata In Tiong sembari mengerutkan alisnya. "Tak ada cangkul, tak ada sekop."
Cie Ceng yang sedang kebingungan memikirkan jiwa dan keselamatan tunangannya, lantas saja berteriak: "Tio Samya, benar katamu! Lebih baik mencoba daripada menerima mati secara konyol." Ia menghunus goloknya dan mengorek ubin.
Mendadak, hawa panas menghembus ke atas, sehingga ia buru-buru loncat menyingkir. Dengan goloknya, ia memukul ke tempat keluarnya hawa panas itu. "Tang!" suara logam beradu. Semua orang menjadi heran sekali.
"Apakah di bawah ubin ini terdapat lapisan besi?" tanya Ong Kiam Eng.
Sehabis berkata begitu, dengan Pat-kwa-tonya ia mengorek beberapa ubin yang terbuat dari batu hijau.
Dugaan Ong Kiam Eng tidak meleset, di bawah ubin terdapat lapisan besi. Dengan demikian, usah dicoba lagi. Apa yang membikin semua orang menjadi lebih kaget adalah menghebatnya hawa panas yang keluar dari lantai besi.
"Bangsat!" teriak Cie Ceng. "Di bawah lantai juga dibakar! Ruangan ini seperti sebuah kuali raksasa."
"Benar," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Bangsat tua itu mau memanggang kita sembilan orang untuk digegares."
Ong Kiam Eng kembali berlutut di depan lubang anjing tadi dan berteriak: "Teehu! Lepaskanlah kami. Kami dua saudara akan membantu kau mengambil jiwa anak capcay itu."
Mendengar itu, Ouw Hui segera mendupak pantat Ong Kiam Eng. Baik juga Tio Poan San keburu membentot tangannya, sehingga dupakan itu jatuh di tempat kosong. "Sekarang kita harus bersatu padu, tak boleh bertengkar dengan kawan sendiri," Poan San berbisik.
"Jiwa si anak capcay sudah berada dalam tanganku, tak perlu kau berlagak baik hati," kata Siang Loo-tay. "Lagi setengah jam, kamu semua akan menjadi arang! Ha-ha! Anak capcay! Bangsat tua she Ma! Nikmatilah sejuknya hawa!"
Ma Heng Kong tidak menjawab. Sesudah tertawa terbahak-bahak, Siang Loo-tay berteriak pula: "Hei, tua bangka she Ma! Anakmu akan diurus olehku. Jangan khawatir. Aku bisa menolong mencarikan seribu atau selaksa menantu yang baik!"
Hati Ma Heng Kong seperti diiris-iris. Ia sudah berusia lanjut, jiwanya sendiri, ia tak pikirkan. Tapi ia hanya mempunyai seorang puteri dan jika anak itu sampai disiksa oleh Siang Loo-tay, benar-benar ia penasaran.
Sementara itu, Ong Kiam Eng mendekati adik-nya dan bicara bisik-bisik, sedang Kiam Kiat mengangguk beberapa kali. Sesudah itu, Kiam Eng menghampiri Tio Poan San dan berkata sembari menyoja: Tio Samya, dalam saat sama-sama menderita, aku mohon mengeluarkan kata-kata yang mungkin kurang enak didengarnya."
Poan San menarik tangan Ouw Hui dan berkata: "Segala apa, kecuali satu, aku bersedia menurut perkataan Ong Toako. Jika kau ingin mencelakakan saudara kecil ini, aku menentang."
Begitu melihat kedua saudara Ong berkasak-kusuk, Poan San sudah menduga, bahwa mereka berniat membinasakan Ouw Hui untuk menolong jiwa mereka sendiri.
Paras muka Ong Kiam Eng lantas saja berubah menyeramkan. "Tio Samya!" ia membentak. "Musuh Siang Loo-tay hanya seorang, yaitu bocah she Ouw ini. Siapa berhutang harus membayar. Tak adil jika kita semua harus turut mampus, gara-gara seorang anak kecil." la berpaling kepada semua orang dan berteriak: "Bagaimana pikiran sekalian saudara-saudara?"
"Kecuali bocah itu, kita semua tidak ada sangkut pautnya dengan urusan ini," jawab In Tiong Shiang.
"Ma Loopiauwtauw, bagaimana pendapatmu?" tanya Kiam Eng.
Antara Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay terdapat ganjalan hati, sehingga belum tentu nyonya itu suka melepaskan dia dan muridnya. Akan tetapi, dalam keadaan mendesak, yang terutama adalah coba meloloskan diri dari ruangan itu. Jika orang mau mengorbankan Ouw Hui, sedikit pun ia tidak merasa berkeberatan. Maka itu lantas saja ia menyahut: "Benar. Dengan orang lain, urusan ini tak ada sangkut pautnya."
"Sun Toako, bagaimana pikiranmu?" tanya Ong Kiam Eng.
"Orang she Tan itu sudah binasa, sakit hatimu dan Lu Siauw Moay sudah terbalas impas.
Sun Kong Hong menganggap perkataan itu sangat beralasan, tapi ia merasa tidak enak terhadap Tio Poan San yang sudah membuang budi besar terhadapnya. Maka itu, ia segera coba membujuk: "Tio Samya, bukan aku tidak mengenal pribudi. Tapi...."
"Tutup mulut!" bentak Poan San dengan gusar sekali.
"Kamu berenam, kami berdua. Lihat saja! Apa kami si orang she Tio dan orang she Ouw yang mati lebih dulu, atau kamu enam orang yang lebih dulu mampus!" Sembari berkata begitu, ia menghadang di depan Ouw Hui, paras mukanya angker, siap sedia untuk bertempur.
Ong-sie Heng-tee tidak berani lantas menerjang. Mereka merasa jeri terhadap Cian-chiu Jielay yang berkepandaian tinggi dan mereka juga merasa malu terhadap diri sendiri karena sudah memperlihatkan sikap seorang rendah. Tapi, dalam saat-saat berbahaya itu, manusia sukar menutup sifat-sifatnya yang asli.
Semakin lama, lantai menjadi semakin panas, sehingga semua orang tidak dapat menginjak lantai itu lagi. Mereka berdiri di atas bangku atau kursi.
Tiba-tiba, Ong Kiam Kiat mengebaskan Pat-kwa-tonya sambil berseru: "Tio Samya! Hari ini aku terpaksa harus membentur kau!" Ia mengulapkan tangan kirinya ke arah In Tiong Shiang, Ma Heng Kong dan Cie Ceng sembari berseru: "Hayolah!" Ia yakin, bahwa Sun Kong Hong tidak membantu pihaknya, tapi ia merasa, bahwa dengan berlima, pihaknya sudah cukup kuat untuk merubuhkan Tio Poan San dan Ouw Hui.
Jantung Ouw Hui yang kecil memukul keras. "Ah! Karena gara-garaku beberapa orang akan menjadi korban," pikirnya.
"Mampusnya Ong-sie Heng-tee dan yang lain-lain tak usah dibuat sayang. Tapi Tio Samya adalah ksatria sejati. Bagaimana aku bisa membiarkan dia mati konyol. Andaikata Tio Samya dan aku dapat membinasakan mereka semua, akhirnya kita berdua toh akan binasa juga. Benar juga. Hanya jika aku sudah binasa dalam tangan Siang Loo-tay, baru jiwa Tio Samya bisa tertolong."
Sesaat itu, suasana sudah tegang bukan main. Kedua belah pihak belum bergebrak karena masing-masing sungkan turun tangan lebih dulu.
Sesudah mengambil keputusan, Ouw Hui segera berteriak: "Jangan bertempur!" Ia meloncat ke lubang anjing itu, berlutut dan menyesapkan kepalanya ke dalam lubang.
"Siang Loo-tay!" ia berteriak. "Hayo hantam aku dengan piauw dan kemudian lepaskan Tio Samya!"
Siang Loo-tay mendongak dan tertawa ber-gelak-gelak. "Kiam Beng! Kiam Beng! Hari ini dengan tangan sendiri aku membalas sakit hatimu!" ia berseru sembari mengayun tangannya dan melepaskan sebatang Kimpiauw ke arah lubang anjing itu. Ouw Hui meramkan kedua matanya. Hatinya rela dan puas! Dengan perbuatannya itu, ia dapat menolong jiwa Tio Samya.
Tapi... pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak saja Ouw Hui merasakan kakinya dibetot keras dan badannya menggelantung di tengah udara, akan kemudian diturunkan pula dengan perlahan. Ternyata, yang merebut kembali jiwanya adalah Tio Poan San sendiri yang sebelah tangannya sudah mencekal sebatang Kimpiauw.
Bukan main gusarnya Ong Kiam Eng. "Orang she Tio!" ia membentak. "Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan kau. Dia sendiri rela binasa, kenapa masih saja kau mencampuri urusan mereka?"
Tio Poan San bersenyum, tetapi tidak menyahut. Ia berpaling kepada Ouw Hui dan menanya: "Saudara kecil, bukankah tadi kepalamu sudah bisa keluar lubang?"
"Benar," jawabnya. Melihat ketenangan dan paras girang yang terlukis di muka Tio Poan San, Ouw Hui merasa orang gagah itu sudah mempunyai daya yang baik. "Tio Pehpeh," katanya. "Perintah apa yang kau hendak berikan kepadaku?"
"Kepala adalah keras, tak dapat diperkecil," kata Tio Poan San. "Pundak dan badan adalah lembek."
Ouw Hui yang cerdas lantas saja dapat menangkap maksud Tio Poan San. "Benar!" ia ber-teriak. "Kepala sudah bisa keluar, badan pun mesti bisa." Ia membuka baju kapasnya dan menggulung baju itu yang kemudian diikatkan di atas kepalanya untuk menjaga serangan Siang Loo-tay.
"Mundur dulu," kata Poan San. "Biar aku membuka jalan."
"Mana bisa?" kata Cie Ceng. "Badanmu begitu gemuk, mana bisa kau molos ke luar?"
Tio Poan San tak menggubris orang tolol itu, ia hanya tertawa geli. Sembari membungkuk, ia mengayun tangannya dan sebatang panah tanah menyambar keluar lubang. "Aduh! Kakiku!" teriak seorang pegawai Siang-kee-po. Agaknya, kakinya kena dilanggar panah itu. Poan San mengayun tangan kirinya dan Kimpiauw Siang Loo-tay melesat keluar.
Sekali ini tak terdengar teriakan, mungkin sekali semua orang sudah menyingkir dari muka mulut lubang.
"Tutup saja mulut lubang!" seru seorang.
"Tidak!" bentak Siang Loo-tay. "Aku mau mendengarkan teriakan-teriakan mereka sebelum mampus. Kamu minggir saja. Senjata tak bisa membelok."
Tio Poan San mengayun kedua tangannya berturut-turut dan belasan senjata rahasia menyambar-nyambar keluar lubang. Sesudah melepaskan kurang lebih dua puluh senjata rahasia, Poan San mendorong Ouw Hui yang lantas saja berlutut di mulut lubang dan mendorong keluar baju kapasnya yang sudah digulung.
Di bawah sinar api, begitu melihat munculnya sebuah benda hitam, Siang Loo-tay segera membacok dengan Pat-kwa-tonya. Tapi yang dibacoknya adalah benda empuk. Ia kaget dan menarik pulang goloknya. Tapi Ouw Hui sudah mendahuluinya. Tangan kanannya menyambar dan mencengkeram pergelangan tangan Siang Loo-tay dan berbareng dengan itu, kepalanya sudah molos keluar dari lubang.
Siang Loo-tay menjerit. Siang Po Cin memburu dan membacok! Pada detik itu, pundak Ouw Hui sudah molos keluar, tapi karena sempitnya lubang itu, tangan kiri dan dadanya masih terjepit. Sungguh besar nyali putera Liaotong Tayhiap Ouw It To. Dalam detik berbahaya itu, ia tak menjadi bingung. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia mendorong tangan Siang Loo-tay yang dicekalnya. "Trang!" Golok ibu dan anak itu beradu. Itulah ilmu "Meminjam tenaga melawan tenaga" yang ia baru saja dapat dari Tio Poan San. Sebagai orang yang cerdas luar biasa, begitu mendapat, ia lantas bisa menggunakannya di dalam praktek.
Mendengar bunyi bentrokan senjata itu dan melihat Ouw Hui belum bisa molos keluar, Poan San segera mengerahkan tenaga "lembek"nya dan mendorong lutut bocah itu. Begitu didorong, badan Ouw Hui lantas saja melesat keluar, justru, pada saat bacokan Siang Po Cin yang kedua tengah menyambar. Siang Po Cin telah menghantam dengan seantero tenaganya, tapi untung, badan Ouw Hui telah lebih dulu melesat keluar, sehingga golok itu menghantam tembok.
Melihat musuhnya seakan-akan lolos dari lubang jarum, dada Siang Loo-tay seperti mau meledak dan dengan mata merah melotot, ia menyerang kalang kabutan. Dengan ilmu Kong-chiu-jip-pek-to (tangan kosong masuk antara ratusan golok), Ouw Hui membalas menyerang secara tidak kurang hebatnya. Di lain saat, dengan suatu bentakan keras, Siang Po Cin sudah menerjang untuk membantu ibunya.
Ouw Hui bingung bukan main. Ia tahu, bahwa ruangan besi itu semakin lama jadi semakin panas dan dalam tempo cepat, jiwa Tio Poan San dan yang Iain-lain akan tidak dapat ditolong lagi. Ia mengerti, bahwa jiwa delapan orang itu tergantung kepada kemampuannya merubuhkan Siang Loo-tay dan kawan-kawan dalam tempo secepat mungkin. Dalam bingungnya, lantas saja ia menyerang secara nekat-nekatan. Di lain pihak, Siang Loo-tay dan puteranya juga yakin, bahwa pertempuran itu adalah pertempuran untuk menentukan mati hidup mereka dan oleh sebab itu mereka menyerang secara mati-matian. Di dalam ruangan, Ong-sie Heng-tee dan yang lain-lain menempelkan kuping mereka di pinggir lubang untuk mendengarkan jalannya pertempuran. Kedua saudara Ong itu sangat membenci Ouw Hui, tapi sekarang, harapan mereka tiada bedanya dengan harapan Tio Poan San, yaitu supaya Siang Loo-tay dan puteranya lekas dapat dibinasakan.
Sementara itu, hawa di dalam ruangan itu juga sudah semakin panas. Hampir berbareng dengan lumernya semua lilin, gambar-gambar dan lukisan-lukisan perhiasan tembok terbakar seanteronya!
"Saudara Ouw!" Kiam Eng mendadak berteriak. "Seranglah bagian bawah Siang Loo-tay!" Sebagai seorang ahli Pat-kwa-to yang mempunyai latihan puluhan tahun, dengan mendengar suara sabetan golok saja, ia sudah mengetahui kelemahan Siang Loo-tay.
Mendengar petunjuk itu, Ouw Hui menjadi girang dan sembari membungkuk, ia meninju lutut nyonya Siang. Sebaliknya dari berkelit, Siang Loo-tay bahkan menghantam punggung Ouw Hui dengan Pat-kwa-tonya. Dalam nekatnya, ia tak menghiraukan lagi pembelaan diri, ia rela binasa bersama-sama. Ouw Hui mengegos, mengelit bacokan itu, tapi bacokan kedua sudah menyusul. Menghadapi seorang nekat, untuk sementara si bocah menjadi repot juga.
Perlahan-lahan, walaupun dikerubuti berdua, Ouw Hui berada di atas angin, tapi merubuhkan kedua lawan itu bukan pekerjaan gampang.
Sementara itu, dari dalam Ong Kiam Eng tak hentinya berteriak-teriak untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ouw Hui. Bukan main gusarnya Siang Loo-tay yang menganggap Ong Kiam Eng mengkhianati orang separtai, tapi ia tak ingat, bahwa orang she Ong itu sudah terpaksa membantu Ouw Hui untuk menolong jiwanya sendiri. Dalam gusarnya, Siang Loo-tay berkata di dalam hatinya:
"Anak capcay ini berkepandaian tinggi dan mungkin akan sukar untuk aku membunuh dia. Biarlah aku membinasakan saja manusia-manusia pengkhianat itu untuk memuaskan sedikit rasa mendeluku." Memikir begitu, lantas saja ia meneriaki orang-orang-nya untuk menambah bahan bakar secepat dan sebanyak mungkin.
Di sebelah dalam, delapan orang itu sudah seperti semut digoreng. In Tiong Shiang membanting-banting kaki, mengatakan Ouw Hui tiada berguna.
"Tio Samya," kata Ong Kiam Eng. "Coba kau membantu dengan senjata rahasia."
Sedari tadi, Tio Poan San memang sudah menggenggam belasan senjata rahasia dalam kedua tangannya. Akan tetapi, karena mereka bertempur di pinggir lubang, Poan San tak dapat menggunakan senjata rahasia yang tak bisa terbang membelok. Selain itu, setiap senjata rahasia yang dilepaskannya mungkin akan mengenai Ouw Hui, karena mereka bertiga bertempur dengan rapat. Sebagai anak cerdik, Ouw Hui pun sudah memikirkan bantuan senjata rahasia. Beberapa kali ia coba memancing Siang Loo-tay ke tempat yang berhadapan dengan lubang, tapi nyonya itu, yang juga takut akan senjata rahasia Tio Poan San, tidak kena dipancing.
Hawa panas semakin menghebat, rambut, kumis dan jenggot sudah mulai menjadi kering! Lu Siauw Moay jatuh pingsan, sedang Cie Ceng menumbuk-numbuk tembok dengan kedua tinjunya, seperti orang edan.
"Aha!" Ong Kiam Kiat mendadak berseru, seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Jika Ouw Hui mempunyai senjata, Siang Loo-tay lebih mudah dirubuhkan. Kenapa aku tak ingat sedari tadi?"
Ia membungkuk dan menjumput goloknya yang ia lemparkan ke lantai. Tapi, begitu mencekal ga-gang, begitu ia melepaskan lagi sembari berteriak kesakitan. Ternyata, golok itu panas bukan main. Buru-buru ia merobek ujung baju yang lalu digunakan untuk membungkus gagang golok. "Ouw Hui!" ia berteriak. "Senjata datang! Sambutlah!" Sembari berteriak, ia melontarkan Pat-kwa-tonya keluar lubang.
Ouw Hui loncat, disusul oleh Siang Po Cin yang juga ingin merebutnya. Tiba-tiba, hampir berbareng mereka menjerit dan dua batang golok serentak jatuh di tanah. Ternyata, golok yang dilemparkan oleh Ong Kiam Kiat, sudah direbut lebih dulu oleh Ouw Hui. Tapi, begitu menangkap gagangnya, ia menjerit dan melepaskannya lagi, karena gagang itu panas bukan main. Di lain pihak, begitu Siang Po Cin meloncat ke depan lubang, sebatang piauw yang dilepaskan oleh Tio Poan San, menancap di pergelangan tangannya, sehingga dia juga, sembari menjerit melepaskan goloknya.
Di lain saat, golok Siang Loo-tay sudah mengancam punggung Ouw Hui. Buru-buru Ouw Hui meloncat ke arah Siang Po Cin dan bagaikan kilat, tangan kanannya menyambar leher pemuda itu. Siang Po Cin jatuh berlutut. Sembari mengerahkan tenaga dalamnya, Ouw Hui menekan terus. Jika ia melawan, tulang lehernya pasti akan patah, maka, mau tak mau, kepalanya terus menunduk dan ia jadi mencium tanah, atau lebih benar mencium golok Ong Kiam Kiat. Berbareng dengan suara "cess!"
Siang Po Cin menjerit keras dan sebagian mukanya yang cakap sudah menjadi hangus!
Jeritan itu sangat menggirangkan hati semua orang. Mereka tahu, Siang Po Cin sudah dilukakan. Pada detik itu, Siang Loo-tay agak ragu-ragu. Mana yang lebih berat: Membalaskan sakit hati suaminya atau menolong jiwa anaknya. Jika ia menyerang, puteranya yang sudah dicengkeram Ouw Hui bisa lantas binasa. Dalam sedetik itu, ia sudah mengambil keputusan. Tanpa menghiraukan keselamatan puteranya, ia mengayun Pat-kwa-tonya dan membacok pundak Ouw Hui.
Tangan Ouw Hui bergerak dan suatu sinar golok berkelebat "Trang!" dua golok telah beradu keras. Ternyata, golok yang digunakan Ouw Hui untuk menangkis, adalah golok Siang Po Cin.
Dalam kegelapan dan dalam keadaan setengah mati, suara bentrokan golok itu memberi harapan kepada orang-orang yang terkurung di dalam ruangan itu. Mereka mengetahui, bahwa Ouw Hui sudah bersenjata dan sudah mulai melakukan serangan pembalasan.
"Bacok pundak kanannya! Pundak kanan!" teriak Ong Kiam Eng.
"Bunuh dulu orang-orang yang menambah kayu bakar!" seru Ma Heng Kong.
"Jangan bertempur terus-terusan!" Sun Kong Hong mengeluh.
"Paling penting cari jalan untuk membuka pintu."
"Aduh! Panas! Pa... nas!" Cie Ceng menjerit. Demikian mereka berteriak-teriak.
Tentu saja Ouw Hui mengetahui, bahwa tugasnya yang terpenting adalah membuka pintu. Tapi ia "diikat" erat-erat oleh Siang Loo-tay yang bertempur mati-matian. Dalam keadaan yang luar biasa itu, dalam usianya yang masih begitu muda, ia sukar bisa berkelahi dengan hati tetap. Beberapa kali, ia mendapat kesempatan baik untuk merubuhkan musuh, tapi Siang Loo-tay selalu dapat menolong diri dengan caranya yang nekat.
Sesudah bertempur lagi tujuh delapan jurus, Siang Loo-tay berkelahi sembari mundur. Sementara itu, Siang Po Cin sudah menerjang pula dengan golok yang diambilnya dari tangan seorang pegawainya.
Melihat sang majikan terdesak mundur dengan rambut teriap-riap, sembari berteriak-teriak para pegawai Siang-kee-po segera lurut mengepung Ouw Hui. Walaupun mereka tidak mempunyai kepandaian yang tinggi dan dalam sekejap sudah ada beberapa orang yang mendapat luka, mereka ternyata bandel sekali dan sungkan mundur. Suara teriakan, suara beradunya senjata dan suara merotoknya kayu bakar bercampur aduk menjadi satu.
Mendengar itu, hampir semua orang yang berada di dalam ruangan besi, jadi putus harapan. Ada yang mencaci, ada yang menghela napas dan ada juga yang mengucurkan air mata. Mereka menganggap, biar bagaimana gagah pun adanya, Ouw Hui sebagai anak kecil, ia tak akan dapat melayani seluruh anggota Siang-kee-po.
"Ouw Hui, dengar!" mendadak terdengar teriakan Tio Poan San. "Dengan Im-yang-koat, seranglah musuh yang terutama! Dengan Loan-koan-koat, serang semua pengikutnya!" Di antara suara ramai, setiap perkataan itu terdengar nyata sekali. Mendengar petunjuk Tio Poan San, Ouw Hui yang sedang kepayahan lantas saja terbangun semangatnya. Ia mengerahkan tenaganya dan mengirimkan tiga bacokan beruntun ke dada Siang Loo-tay. Golok yang digunakan olehnya adalah golok Siang Po Cin yang sudah menjadi gompal ketika membacok tadi. Tapi biarpun gompal, jika kena, Siang Loo-tay pasti akan terjungkal. Melihat sambaran golok itu yang sangat hebat, buru-buru Siang Loo-tay menangkis. Dua kali beruntun, kedua golok mereka kebentrok. Ketika membacok untuk ketiga kalinya, dari mengerahkan tenaga "keras", Ouw Hui berbalik menggunakan tenaga "lembek" dan secara mendadak, pergelangan tangannya membuat tiga lingkaran.
Baru saja ia memutarkan tangannya dua kali, Siang Loo-tay sudah tak dapat menahan lagi sakit di lengannya dan mau tak mau, Pat-kwa-tonya terlepas dari tangannya. Sesudah berhasil dengan Im-yang-koat, Ouw Hui segera membacok pundak Siang Loo-tay.
Di waktu goloknya tinggal terpisah kira-kira setengah kaki dari pundak nyonya itu, melihat rambut Siang Loo-tay yang sudah putih terurai di pundaknya, sedang mukanya berlepotan darah, Ouw Hui jadi merasa tak tega.
"Sungguh kasihan nyonya tua ini," pikirnya. "Bagaimana aku bisa membinasakannya?" Buru-buru ia membalikkan tangannya dan hanya menghantam dengan belakang golok itu.
Tapi, di luar dugaan, Siang Loo-tay yang sudah tidak memikir untuk hidup dan ingin mati bersama-sama dengan musuhnya, ia terus menyeruduk tanpa coba berkelit daripada bacokan itu. Dengan sebelah tangannya, ia mencengkeram jalan darah Sin-hong-hiat di dada musuhnya, sedang tangannya yang sebelah lagi mencengkeram jalan darah Tiong-cu-hiat di kempungan Ouw Hui.
Si bocah terkesiap, belakang goloknya menghantam pundak Siang Loo-tay yang tulangnya lantas saja hancur. Nyonya itu mengeluarkan suara "heh!" tapi tanpa menghiraukan kesakitan hebat itu, ia mencengkeram terus dan menggait dengan kaki tangannya, sehingga dengan berbareng, mereka berdua rubuh di atas lantai. Baru sekarang Ouw Hui tahu, bahwa dalam keadaan nekat seseorang dapat melakukan perbuatan yang tidak dinyana-nyana. Ia berontak sekuat tenaganya, sedang Siang Loo-tay menggigit bajunya di bagian dada. Mereka bergulingan ke arah tumpukan api!
"Lepas!" teriak Ouw Hui. "Apa kau mau mampus?"
Dalam bingungnya, ia melupakan ilmu Kin-na-chiu-hoat untuk meloloskan diri. Sesudah bergulingan lagi dua tiga kali, masuklah mereka ke dalam api.
"Ibu!" teriak Siang Po Cin sembari memburu dan menghantam kepala Ouw Hui dengan gagang golok. Si bocah menolong diri dengan memiringkan kepala, tapi tak urung gagang golok itu masih juga mengenai dagunya, sehingga hampir-hampir ia jadi pingsan. Karena khawatirkan keselamatan ibunya, dengan cepat Siang Po Cin menyeret mereka keluar dari tumpukan api, kemudian ia membacok punggung Ouw Hui.
Pada saat yang sangat berbahaya itu, putera Liaotong Tayhiap Ouw It To tidak kehilangan kecerdasan otaknya. la menendang pergelangan tangan Siang Po Cin. Ketika sesaat lagi tendangan kedua menyusul, badan Siang Po Cin terpental lima enam tombak jauhnya, untuk sementara pemuda she Siang itu tak bisa bangun lagi.
Dengan pakaian menyala dan dagu dirasakan sakit bukan main, sembari membentak keras, Ouw Hui berontak dan kali ini, ia berhasil. la bergulingan untuk memadamkan api di bajunya, sedang Siang Loo-tay sudah rebah dalam keadaan pingsan.
Sementara itu para pegawai Siang-kee-po pada memburu untuk menolong majikan mereka. Dengan hati mendongkol atas kegoblokannya sendiri, ia menyerbu. "Ah, sungguh tolol!" pikirnya. "Dalam pertempuran untuk menentukan mati hidup, aku masih main kasihan. Bahwa tadi aku tidak sampai mampus, adalah semata-mata karena masih dilindungi Tuhan." Demikian, tanpa sungkan-sungkan lagi, ia merebut sebatang golok dan menyerang sehebat-hebatnya. Terjangan Ouw Hui, seperti juga terjangan seekor harimau kepada kawanan kambing. Dalam sekejap, para pegawai Siang-kee-po sudah kabur tunggang langgang, tanpa ada seorang yang ketinggalan.
Ouw Hui buru-buru memungut sebatang gaitan yang menggeletak di lantai dan dengan itu, secepat mungkin ia menyingkirkan potongan-potongan kayu yang berkobar-kobar di depan pintu.
Di lain saat, ia terkejut bukan main, karena pintu besi itu sudah berwarna merah. "Celaka," ia mengeluh. "Jika kedua daun pintu itu melekat menjadi satu, tak dapat aku membukanya lagi."
Tanpa berpikir lama-lama lagi, ia mengerahkan seantero tenaganya dan membacok kunci pintu tersebut. Dengan berbunyi nyaring, kunci itu jatuh di lantai tapi goloknya sudah menjadi bengkok. Ia melemparkan senjata itu dan dengan gaitan tadi ia menggait gelang-gelangan pintu itu. Kembali ia harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk membetot. Tapi kedua daun pintu masih juga tidak bergerak!
Jantung Ouw Hui memukul keras. Sambil memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekali lagi ia mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot dengan seantero tenaganya. "Kree... kek...."sebelah daun pintu terbuka dengan perlahan... dibarengi dengan keluarnya asap dan api dari mulut pintu!
Sedikit pun ia tak menduga, bahwa ruangan itu terbakar begitu hebat.
"Tio Pehpeh!" ia berteriak. "Lekas keluar!" Dari antara asap yang menggolak, segera kelihatan seorang meloncat keluar.
Orang itu adalah Ong Kiam Eng, diikuti oleh In Tiong Shiang, Cie Ceng, Ma Heng Kong dan Sun Kong Hong. Yang muncul paling belakang adalah Tio Poan San yang mendukung Lu Siauw Moay. Pakaian mereka hangus di sana sini dan tak usah dikatakan lagi, keadaan mereka sungguh-sungguh menyedihkan.
Sesaat itu, segala apa yang berada di dalam ruangan tersebut, seperti balok-balok dan kursi meja, sudah terbakar. Pertolongan Ouw Hui datang pada saat yang tepat sekali dan jika terlambat sedikit saja, mereka tentu sudah tidak bernyawa lagi. Melihat Tio Poan San keluar dengan selamat, Ouw Hui jadi kegirangan seperti orang kalap. la menubruk sembari berteriak dengan suara mengharukan. "Tio Pehpeh...! Tio Pehpeh...!"
Kumis dan alis Poan San sudah setengah hangus, tapi paras mukanya tetap tenang. la mesem dan berkata: "Anak! Sungguh mulia hatimu?!" Perkataan ksatria itu terhenti di tengah jalan, karena terharunya.
Mendadak, terdengar teriakan Ong Kiam Eng: "Kiam Kiat! Dimana kau?!"
Poan San memandang ke sekitarnya dan benar saja, Ong Kiam Kiat tidak di antara mereka. "Apakah belum keluar?" ia menanya dengan kaget.
"Belum!" Kiam Eng berteriak pula. "Saudaraku belum keluar!"
Di saat itu, sebuah balok penglari jatuh dengan berkobar-kobar. Meskipun Kiam Eng merasa jeri untuk menerjang masuk. Ia hanya berteriak-teriak di luar: "Kiam Kiat! Kiam Kiat! Lekas keluar!"
"Kalau dia bisa keluar sendiri masakah dia tidak keluar?" demikian pikir Poan San dan Ouw Hui. Kemuliaan kedua orang itu adalah kemuliaan yang wajar. Sesaat itu, tanpa berpikir lagi, hampir berbareng mereka meloncat masuk ke dalam lautan api!
Karena lantai ruangan itu sudah demikian panasnya, Ouw Hui melompat-lompat tak hentinya. "Anak," kata Poan San dengan suara menyayang. "Kau keluarlah."
"Tidak, Tio Pehpeh," sahutnya. "Pehpeh keluarlah, biar aku mencarinya sendiri." Di lain saat, ia berseru: "Di sini!" Ia membungkuk, menarik tubuh Kiam Kiat yang lalu diseretnya sembari lari ke luar.
Ternyata, Kiam-kiat tak tahan merasakan hawa panas, tadi Kiam Kiat memasukkan kepalanya ke dalam lubang anjing untuk menyedot hawa yang lebih segar. Tapi mendadak ia disambar asap dan lantas jatuh pingsan.
Sembari batuk-batuk, Ouw Hui menyeret tubuh Kiam Kiat keluar pintu. Selagi ia mendekati pintu, semua orang yang berada di luar, sekonyong-ko-nyong mengeluarkan teriakan kaget. Ternyata, sekerat balok yang berkobar-kobar sedang melayang ke bawah, ke arah kepala Ouw Hui. Bocah itu mempercepat tindakannya, tapi untuk dapat menyingkir, agaknya sudah tidak keburu lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya itu, tanpa bersangsi sedikit pun juga, Poan San meloncat dan menahan jatuhnya balok itu dengan tangan kanannya. Berat balok itu tidak kurang dari lima ratus kati dan ditambah dengan tenaga jatuhnya serta hawa panasnya, dapatlah dibayangkan kehebatannya. Tapi kuda-kuda Tio Poan San sedikit pun tidak bergeming. Begitu balok itu sampai di tangan kanannya, ia mendorong ke atas, tangan kirinya membantu mendorong dengan sekuat tenaganya. Bagaikan seekor naga api, balok itu terpental belasan tombak dan jatuh gedubrakan.
Semua orang jadi kesima. Mereka ternganga, akan kemudian bersorak-sorai. Para pegawai Siang-kee-po juga turut merasa kagum, mereka bertepuk tangan dan bersorak dari kejauhan.
Dengan perasaan sangat malu, Kiam Eng menolong saudaranya dan memadamkan api yang berkobar-kobar di baju Kiam Kiat.
Begitu terlolos dari neraka ruangan besi itu, Ma Heng Kong dan Cie Ceng segera celingukan mencari It Hong yang tidak kelihatan mata hidungnya. "Tak bisa salah lagi, dia tentu main gila dengan bocah she Siang itu," kata Cie Ceng dalam hatinya. "Suhu, biar aku mencarinya," katanya sembari berlari-lari ke arah hutan.
Bukan main lelahnya Ma Heng Kong, badannya lemas dan matanya berkunang-kunang. Ia lalu menuju ke tempat yang lebih adem untuk mengaso. Tapi, baru saja berjalan beberapa tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin tajam di belakangnya. Itulah suatu pukulan yang sangat dahsyat. Karena tidak keburu menangkis atau berkelit lagi, ia menahan napas untuk menyambut pukulan itu di punggungnya. "Buk!" badannya bergoyang-goyang, matanya gelap dan badannya lemas. Pukulan itu disusul dengan tendangan dan tubuh Ma Heng Kong terpental masuk ke dalam lautan api!
Sayup-sayup, ia mendengar suara tertawa dan teriakan Siang Loo-tay. "Kiam Beng! Akhirnya dapat juga aku membalaskan sedikit sakit hatimu...!" Sesudah itu, ia tak tahu suatu apa lagi....
Tio Poan San yang sedang menolong Lu Siauw Moay, menyaksikan bokongan Siang Loo-tay terhadap Ma Heng Kong, tapi ia sudah tak dapat menolong lagi. Di lain saat, ia melihat nyonya itu masuk ke dalam ruangan besi yang sudah seakan-akan sebuah dapur raksasa itu.
"Keluar! Apakah kau mau mencari mampus?" teriak Poan San tanpa merasa.
Baru saja ia berteriak begitu, kembali sekerat balok besar jatuh bergedubrakan dan menutupi pintu. Sembari memeluk Pat-kwa-tonya dan dengan wajah tertawa, Siang Loo-tay duduk di tengah-tengah api. Pakaian dan rambutnya sudah dijilat api, tapi ia seolah-olah tidak merasakan panas.... Ia tertawa berkakakan dan berseru: "Kiam Beng! Aku sudah berada dekat sekali dengan kau...."
Tio Poan San menghela napas. Ia melengos agar tidak menyaksikan kejadian yang seram serta mengenaskan itu. Di samping harus mengalami beberapa kejadian yang menjengkelkan, ia menganggap perjalanannya sekali ini tidak tersia-sia, karena ia bisa berkenalan dengan seorang ksatria sejati. Selagi orang lain repot, ia berpaling kepada Ouw Hui seraya berkata: "Saudara kecil, mari kita berangkat."
"Baiklah," jawab Ouw Hui dan mereka berdua lantas saja meninggalkan neraka Siang-kee-po.
Malam itu, banyak sekali Ouw Hui si kecil mendapat pengalaman. Sembari berjalan bergandengan tangan dengan Tio Poan San, di depan matanya terbayang segala kejadian, segala bahaya, yang baru dialaminya. Sesudah melalui kira-kira satu li, mereka menengok dan melihat sinar api yang berkobar-kobar menjulang ke atas. Tanpa merasa, mereka menghela napas berulang-ulang.
"Saudara kecil," kata Tio Poan San. "Kejadian sepanjang hari ini sangat menyedihkan, bukan? Adat Siang Loo-tay... ah!" Ia menggeleng-gelengkan kepala dan tidak meneruskan perkataannya. "Tio Pehpeh..." kata si bocah. Tio Poan San menengok dan berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Saudara kecil, hari ini, secara kebetulan sekali kita bisa bertemu. Kita sama-sama mengetahui, bahwa jiwa kita berdua adalah cocok sekali. Walaupun aku berusia lebih tua, tapi melihat pribudimu yang sangat tebal, sungguh-sungguh aku merasa kagum. Di kemudian hari, aku berani memastikan, namamu akan menggetarkan seluruh dunia. Guna apa aku mengagulkan diri sebagai seorang yang lebih tua."
Ketika itu, fajar mulai menyingsing dan di sebelah timur sudah terlihat sinar yang terang kemerah-merahan. Ouw Hui si kecil mendongak. la melihat paras muka Tio Poan San yang angker dan bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata ksatria itu, muka Ouw Hui yang kotor dan berlepotan darah, lantas saja menjadi merah. "Tio Pehpeh..." katanya.
Tio Poan San menggoyangkan tangan seraya berkata: "Saudara kecil, mulai saat ini, Tio Pehpeh, tiga perkataan janganlah keluar lagi dari mulutmu! Biarlah sekarang juga kita mengangkat saudara! Bagaimana pikiranmu?"
Bayangkanlah! Bayangkanlah. Chian-chiu Jie-lay Tio Poan San, seorang kenamaan yang berkedudukan tinggi yang namanya telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan, menawarkan diri untuk mengangkat saudara dengan seorang bocah yang baru berusia belasan tahun! Tio Poan San bukan mengagumi ilmu silat Ouw Hui, tapi menghormati jiwa ksatria dalam tubuh bocah itu yang rela berkorban apapun juga, untuk menolong sesama manusia. Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi perbuatannya tidak berbeda dengan saudara-saudaranya dari Ang-hoa-hwee.
Mendengar tawaran itu, bukan main terharunya hati Ouw Hui. Kedua matanya menjadi merah dan air matanya mengucur deras. Tiba-tiba ia membuang diri di atas tanah dan berlutut sambil berkata: "Tio.... Tio...."
Tio Poan San segera berlutut seraya berkata: "Hiantee (adik), mulai sekarang kau panggil saja Samko (kakak ketiga)." Demikianlah kedua ksatria itu, seorang tua dan seorang muda, di tengah-tengah belukar, menjalankan upacara mengangkat saudara dengan menggunakan cabang-cabang kering sebagai hio yang ditancapkan di atas tanah.
Girang sekali hati Poan San. Sesudah beres mengangkat saudara, ia bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat, seekor kuda putih mendatangi seperti terbang.
"Sungguh bagus kuda itu," puji Ouw Hui.
"Sungguh sayang kuda ini bukan milikku, tapi milik Su-tee-ku yang menyayangnya seperti menyayang jiwanya sendiri," katanya di dalam hati. "Kalau bukan begitu, aku tentu sudah menghadiahkannya kepada adikku."
Ia mesem dan menanya: "Hiantee, apakah kau masih mempunyai urusan yang belum dibereskan?"
"Biarlah aku memberi kabar dulu kepada Peng-sie-siok," jawabnya. "Sesudah itu barulah aku mengantar Samko sampai berapa jauh." Poan San yang juga merasa berat untuk segera berpisah dengan saudaranya itu, lantas saja berkata: "Baiklah." Dan sembari menuntun kuda, ia jalan berendeng dengan Ouw Hui si kecil.
Sesudah membelok di suatu tanjakan, di sebelah jauh, di belakang pohon kui, kelihatan seseorang yang sedang melongok-longok, seperti tengah mengintip apa-apa.
"Cie Ceng!" Ouw Hui berbisik, yang merasa heran sekali melihat lagak pemuda itu. "Biar aku lihat," katanya sembari menghampiri dengan tindakan perlahan. Cie Ceng yang sedang menumplek perhatiannya ke jurusan depan, tidak mengetahui, bahwa dirinya juga sedang diintip orang.
Di lain saat, Ouw Hui mengetahui apa yang sedang diincar oleh Cie Ceng. Terpisah kira-kira dua puluh tombak dari pohon kui itu, di bawah sebuah pohon yang-liu, seorang lelaki dan seorang wanita sedang bercinta-cintaan. la segera mengenali, bahwa yang lelaki adalah Hok Kongcu, sedang yang perempuan ternyata bukan lain daripada Ma It Hong, yang sedang merebahkan diri di atas pang-kuan Hok Kongcu dengan lagak aleman.
"Bangsat! Aku mampuskan kau!" mendadak Cie Ceng berteriak sambil menghunus goloknya dan memburu ke arah kedua kecintaan itu.
Tak usah dikatakan lagi, kedua orang muda itu jadi terkejut bukan main dan bangun dengan serentak.
Begitu berhadapan, Cie Ceng segera mengayun goloknya dan membacok sekuat tenaganya. Hok Kongcu yang tidak mngerti ilmu silat, meloncat mundur secepat mungkin dan golok Cie Ceng am-blas di pangkal pohon.
"Kenapa kau? Kenapa kau?" tanya Ma It Hong dengan gugup.
"Kenapa aku? Aku mau mampuskan bocah bangsat itu!" teriak Cie Ceng. Sembari memaki, ia membetot goloknya sekuat tenaganya. Karena menggunakan tenaga terlalu besar, di waktu goloknya tercabut, golok itu menghantam janggutnya sendiri.
"Hati-hati! Sakit?" tanya Ma It Hong.
"Jangan berlagak baik hati!" bentak Cie Ceng sembari mengangkat goloknya dan memburu Hok Kongcu.
Ma It Hong biasanya sangat disegani oleh Cie Ceng dan perkataannya belum pernah dibantah.
Tapi sekarang, Suheng itu yang sudah menjadi kalap, tak takut lagi kepadanya. Dengan perasaan malu tercampur bingung, Ma It Hong menyelak di depan Hok Kongcu dan berkata semban menolak pinggang: "Suko, jika kau mau membunuh orang, bunuhlah aku lebih dulu."
Melihat si nona melindungi Hok Kongcu, Cie Ceng menjadi semakin kalap. "Dia lebih dulu, baru aku mampuskan kau!" ia berteriak, sembari mendorong pundak Ma It Hong yang jadi terhuyung dan hampir-hampir terguling di atas tanah. Buru-buru It Hong menjumput sebatang kayu yang lalu digunakan untuk menangkis golok Cie Ceng. Ia menengok kepada Hok Kongcu dan berkata: "Lekas lari!"
Si kongcu "mahal" yang tidak mengetahui, bahwa It Hong adalah tunangan Cie Ceng, segera lari ngiprit sembari berteriak: "Hati-hati! Orang itu manusia edan!"
Menahan dua tiga bacokan, kayu yang dicekal It Hong sudah patah. "Jika kau tidak minggir, aku tak akan berlaku sungkan lagi!" bentak Cie Ceng.
It Hong lalu melemparkan potongan kayu yang masih dicekalnya dan sembari memanjangkan leher, ia berkata: "Suko, biar bagaimanapun juga, aku tak bisa menjadi isterimu. Jika kau mau bunuh, bunuhlah!"
"Kau... kau...!" teriak Cie Ceng, tangan kirinya mencengkeram pundak si nona. Dalam kalapnya, ia tak bisa berkata-kata lagi.
Melihat keadaan genting itu, Ouw Hui khawatir Cie Ceng turun tangan. Sekali melompat, ia sudah berada di antara mereka dan kemudian mendorong dada Cie Ceng dengan tangan kirinya. Begitu didorong, Cie Ceng terhuyung ke belakang beberapa tindak.
"Cie Toako," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Siapa juga yang ingin melanggar sehelai rambut Nona Ma, lebih dulu dia mesti membinasakan aku."
Cie Ceng terkejut. "Kau... kau, anak yang masih berbau susu, juga main gila dengan dia?" ia menanya dengan mata melotot.
"Plok!" pipi Cie Ceng digampar telak oleh si nona.
Ouw Hui menjadi bingung. Ia tak mengerti maksud perkataan Cie Ceng dan juga tidak mengerti, kenapa Ma It Hong menjadi marah. Bahwa dia harus menolong si nona, oleh Ouw Hui dianggap sebagai suatu kewajiban mutlak untuk membalas budi. Sebagaimana diketahui, diwaktu Ouw Hui digantung oleh Siang Po Cin, It Hong pernah berusaha untuk menolong dirinya. Meskipun pertolongan itu sebenarnya tidak perlu, tapi sebagai ksatria, Ouw Hui tak dapat melupakan kebaikan orang.
Sesudah menyaksikan pertempuran antara Ouw Hui dan Ong-sie Heng-tee, Cie Ceng mengetahui, bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh jika dibandingkan dengan bocah itu. Tapi dalam kalapnya, mana ia ingat lagi soal menang atau kalah. Sambil menggereng, ia lantas saja membacok kalang kabutan.
Baru saja beberapa gebrakan Ouw Hui sudah mencengkeram pergelangan tangan Cie Ceng dan terus merebut goloknya, yang kemudian diserahkan kepada Ma It Hong.
Cie Ceng yakin, tak guna ia melawan terus. Ia menghela napas dan mendadak mengeluarkan teriakan yang menyayatkan hati: "Suhu! Sungguh mengenaskan cara kebinasaanmu!" Ia memutarkan badan dan terus berlalu dengan tindakan lebar.
"Apa kau kata?" tanya Ma It Hong dengan hati terkesiap.
Si nona memburu, tapi Cie Ceng tidak menyahut dan berjalan terlebih cepat.
"Kenapa ayahku? Mati?" seru It Hong yang terus mengejar.
Hok Kongcu yang berdiri agak jauh, tidak dapat menangkap apa yang dikatakan mereka, tapi melihat si nona mengejar terus, ia lantas saja berteriak: "Hong-moay! Hong-moay! Balik jangan ladeni dia!"
Tapi Ma It Hong yang sedang khawatirkan nasib ayahnya, tidak menggubris. Melihat golok sudah dicekal oleh kecintaannya, hati Hok Kongcu jadi lebih mantap dan segera turut mengejar.
Tapi, baru saja ia mengejar belasan tindak, dari belakang sebuah pohon besar tiba-tiba muncul seseorang yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan berbadan agak gemuk. Begitu melihat orang tersebut, yang bukan lain daripada Cian-chiu Jielay Tio Poan San, paras muka Hok Kongcu lantas berubah pucat.
"Hok Kongcu! Selamat bertemu!" Poan San menegur.
Dengan apa boleh buat, Hok Kongcu menyoja segera berkata: "Tio Samya, selamat bertemu." Sehabis berkata begitu, tanpa memperdulikan lagi Ma It Hong, ia memutarkan badan dan terus lari secepat mungkin. Ia lari ke arah utara, sedang Cie Ceng dan Ma It Hong menuju ke selatan. Dalam tempo sekejap, mereka sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
"Samko," kata Ouw Hui. "Kau kenal Hok Kongcu? Dia kelihatannya sangat takut kepadamu."
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Dia pernah jatuh ke dalam tangan kami dan pernah merasakan sedikit asam garam."
Hok Kongcu, atau Hok Kong An, adalah orang yang paling dicinta oleh Kaisar Kian Liong. Menurut kabar angin, pemuda itu sebenarnya adalah putera kaisar tersebut. Untuk memaksa Kian Liong memperbaiki gereja Siauw-lim-sie dan tidak menyeterukan lagi Ang-hoa-hwee, orang-orang gagah perkumpulan tersebut pernah menawan Hok Kong An. Peristiwa itu sudah terjadi beberapa tahun berselang dan sekarang secara tiba-tiba ia bertemu dengan pemimpin ketiga dari Ang-hoa-hwee. Ia beranggapan, bahwa orang-orang gagah Ang-hoa-hwee kembali meluruk ke wilayah Tionggoan dan meskipun ia dilindungi oleh ahli-ahli silat kelas satu, ia merasa jago-jagonya bukan tandingan orang-orang Ang-hoa-hwee. Itulah sebabnya, mengapa ia jadi ketakutan setengah mati dan tak berani mencari-cari Ma It Hong lagi. Begitu berkumpul dengan Ong Kiam Eng dan lain-lain, buru-buru ia kembali ke Pakkhia.
Dengan jalan berendeng Tio Poan San dan Ouw Hui lalu meneruskan perjalanan mereka. Sesudah berjalan kurang lebih satu li, mereka tiba di sebuah warung teh.
"Hiantee," kata Poan San, "Orang sering mengatakan, bahwa dalam mengantar orang, biarpun kita mengantar seribu li, akhirnya kita mesti berpisah juga. Maka itu, biarlah di sini saja kita berpisah."
Ouw Hui merasa berat sekali untuk berpisah dengan kakaknya itu, tapi sebagai seorang gagah, lantas saja ia berkata: "Baiklah. Samko, beberapa tahun lagi, Sesudah aku lebih besar, aku tentu akan pergi ke Huikiang untuk menyambangi kau."
Tio Poan San mengangguk dan berkata: "Biarlah aku menunggu kedatanganmu."
Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sekuntum bunga merah yang dibuat dari sutera dan tali merah.
"Hiantee," katanya, "Orang-orang gagah di seluruh kalangan Kang-ouw, semua mengenal bunga ini sebagai milik kakakmu. Jika kau menemui urusan penting yang memerlukan bantuan tenaga manusia atau uang, gunakanlah bunga ini untuk meminta bantuan dari kawan-kawan."
Ouw Hui menerima hadiah itu dengan perasaan kagum. Ia merasa, bahwa dikemudian hari, baginya tidak terlalu sukar untuk menyusul kepandaian kakaknya, tapi untuk mempunyai pergaulan yang begitu luas benar-benar bukannya gampang.
Tio Poan San lalu menuang dua mangkok teh, semangkok diangsurkan kepada Ouw Hui. "Hiantee, biarlah teh ini menggantikan arak," katanya.
"Marilah kita meminumnya kering sebagai selamat berpisah."
Sesudah masing-masing minum teh itu, Poan San lantas saja berdiri untuk segera berangkat. Sebelum menyemplak tunggangannya, ia berkata pula: "Hiantee, sebelum berpisah, kakakmu ingin mengajukan satu pertanyaan."
"Pertanyaan apa?" tanya Ouw Hui si kecil. "Selain keluarga Siang, apakah Hiantee mempunyai musuh lain yang lihay?" tanyanya.
Ouw Hui terkejut. "Musuh yang membunuh ayahku adalah Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," pikirnya. "Jika aku memberitahukan Samko, tentulah juga ia akan mencari Biauw Jin Hong untuk coba membalaskan sakit hatiku. Sakit hati serupa itu tak boleh dibalaskan oleh lain orang dan di samping itu, Biauw Jin Hong berkepandaian sangat tinggi, sehingga tak bisa aku membiarkan Samko menempuh bahaya."
Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi ia mempunyai keangkuhan. Maka itu, sembari mendongak, ia segera menyahut: "Samko tak usah buat pikiran. Andaikata ada musuh, siauwtee masih bisa melayaninya."
Poan San tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" katanya sambil mengangkat jempol. Ia loncat ke punggung kuda dan mengedut les. Baru jalan belasan tindak, mendadak ia berpaling sembari berseru: "Hiantee! Bungkusan kecil di atas batu adalah pemberian kakakmu untuk kau."
Ouw Hui menengok dan benar saja, di atas sebuah batu besar terdapat sebuah bungkusan kecil. Ia membuka bungkusan itu yang isinya ternyata adalah dua puluh potong emas masing-masing dari dua puluh tail, atau semuanya empat ratus tail.
Ouw Hui tertawa besar. "Aku miskin, Samko kaya," katanya di dalam hati. "Pemberian itu tak bisa ditolak. Samko agaknya khawatir, jika aku menolak, tapi dengan berlaku begitu, benar-benar ia menganggap aku sebagai anak kecil."
Demikianlah sembari bernyanyi-nyanyi, ia segera meneruskan perjalanannya dengan tindakan lebar.
Ouw Hui membagi dua ratus tail emas kepada Peng Ah Sie dengan permintaan supaya dia suka berdiam di Ciangciu untuk mengurus kuburan ayahnya. Sesudah itu, ia sendiri berkelana ke berbagai tempat dengan setiap hari terus melatih ilmu silatnya.
******
Dalam beberapa tahun saja, tubuhnya yang kurus kecil sudah berubah menjadi tinggi besar, sedang kecerdasannya dan ilmu silatnya juga mendapat kemajuan yang berimbang. Di sepanjang jalan, tak hentinya ia melakukan perbuatan mulia, menolong sesama manusia yang perlu mendapat pertolongan.
Tangannya sangat terbuka dan dalam tempo yang tidak terlalu lama, dua ratus tail emas itu sudah digunakan habis.
Ia sering mendengar cerita orang, bahwa propinsi Kwitang adalah tempat yang kaya raya dan banyak orang gagahnya. Maka itu, pada suatu hari, dengan menunggang seekor kuda kurus, seorang diri ia menuju ke kota Leng-lam.
Sesudah berjalan beberapa lama, ia tiba di kota Hud-san-tin, salah satu empat kota terbesar di wilayah Tiongkok. (Tiga lainnya adalah Cui-sian-tin, Keng-tek-tin dan Hankow).
Ouw Hui masuk ke dalam kota kira-kira tengah hari dan ia merasa lapar sekali. Selagi mencari-cari tempat menangsal perut, ia melihat sebuah restoran besar di pinggir jalanan yang ramai dan memasang merek Eng-hiong-lauw (Restoran orang gagah) dengan huruf-huruf emas yang besar. "Merek restoran itu agak luar biasa," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Ia meraba sakunya ternyata hanya mempunyai seratus lebih uang tembaga, tak cukup untuk makan dan minum arak. "Biarlah aku makan saja semangkok mie," pikirnya sembari menambat tunggangannya pada tambatan kuda.
Sesudah itu, dengan menggondol bungkusannya, perlahan-lahan ia naik ke loteng. Melihat baju pemuda itu yang butut, seorang pelayan lantas saja menghadang di tengah jalan seraya berkata: "Tuan tamu, makanan di atas loteng mahal sekali!"
Ouw Hui lantas saja naik darah. Mendadak ia tertawa besar dan berkata dengan suara nyaring: "Asal makanan enak dan arak sedap, berapa mahal aku tak hiraukan!"
Si pelayan minggir dan dengan rasa sangsi, ia mengawasi Ouw Hui yang terus mendaki tangga loteng.
Ruangan loteng itu besar, bersih dan diperlengkapi dengan perabotan yang halus dan indah. Para tamu yang sedang makan minum, hampir rata-rata berpakaian mentereng, sebagai tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang beruang. Seperti kawannya yang menghadang di bawah loteng, pelayan di atas loteng pun memandang rendah kepada Ouw Hui yang berpakaian compang-camping. Sesudah beberapa lama duduk di situ, masih saja tak seorang pelayan datang menghampirinya.
Ouw Hui jadi semakin mendongkol. Selagi ia memikirkan harus berbuat bagaimana, di tengah jalan tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul dengan suara tertawa seorang wanita.
Ouw Hui yang duduk di pinggir jendela, lantas saja melongok ke bawah. Ia melihat seorang perempuan dengan rambut terurai dengan muka serta pakaian berlepotan darah, sedang menandak-nandak di tengah jalan sambil mencekal sebatang golok, sebentar menangis dan sebentar tertawa. "Ah, orang gila," kata Ouw Hui dalam hati.
Lalu lintas terhenti, banyak orang menonton dari sebelah jauh, ada yang ketakutan, ada pula yang kelihatannya merasa kasihan, tapi tak seorang pun yang berani mendekati perempuan edan itu.
Mendadak ia menuding merek Eng-hiong-lauw dan bertepuk tangan sembari tertawa terpingkal-pingkal. "Hong Looya!" ia berteriak. "Biarlah kau berusia seratus tahun, kaya dan mulia lengkap semuanya. Aku si tua berlutut di sini, supaya Langit yang mempunyai mata, melindungi kau seumur hidup." Ia berlutut dan membenturkan kepalanya di atas tanah, sehingga jidatnya mengeluarkan darah. Tapi agaknya sedikit pun ia tak merasa sakit.
Ia terus manggut-manggutkan kepala sembari berteriak-teriak: "Hong Looya! Diwaktu siang, biarlah kau mendapat segantang emas, diwaktu malam segantang perak. Kaya besar, kaya raya, ratusan anak, ribuan cucu."
Dari dalam restoran itu sekonyong-konyong keluar seorang lelaki yang tangannya memegang sebatang huncwee (pipa panjang). Dilihat dari gerak-geriknya, lelaki itu mestinya pengurus rumah makan.
"Ciong Sie-so!" ia membentak. "Kalau mau jual lagak gila, pergilah ke tempatmu. Pergi! Jangan mengacau di sini."
Wanita itu tak menggubris bentakan orang, ia masih terus berlutut sembari sesambatan. Si pengurus restoran mengulapkan tangannya dan dari rumah makan itu lantas saja keluar dua orang lelaki yang bertubuh kekar. Seorang merebut golok Ciong Sie-so, sedang yang seorang lagi mendorongnya dengan keras, sehingga wanita itu berjumpalitan ke tepi jalan.
Ia berdiri terpaku dengan mulut ternganga, untuk sementara tak mengeluarkan sepatah kata. Mendadak ia memukul dadanya dengan tinjunya dan berteriak sembari menangis: "Oh! Mustikaku yang ketiga! Sungguh menyedihkan cara kebinasaanmu. Langit mempunyai Mata. Kau tidak mencuri dan gegares daging angsa orang!"
"Kubacok kau, jika kau masih terus rewel!" bentak si lelaki yang barusan merampas goloknya.
Ciong Sie-so tak menjadi jeri, ia menangis semakin keras. Si pengurus restoran melirik semua penonton dan ia mendapat kenyataan, bahwa mereka semua menunjukkan wajah tak puas. Ia menghisap huncweenya dan sesudah mengebulkan asap beberapa kali dari mulutnya, ia mengulapkan tangannya dan masuk kembali ke dalam Eng-hiong-lauw bersama dua kaki tangannya.
Melihat dua lelaki gagah menghina seorang wanita lemah, Ouw Hui sebenarnya sudah ingin menyelak. Akan tetapi, mengingat wanita itu adalah seorang gila, sedapat mungkin ia menahan sabar.
Sekonyong-konyong ia mendengar pembicaraan antara dua tamu yang duduk pada meja sebelah belakang. "Dalam urusan ini, Hong Looya keterlaluan," kata seorang antaranya dengan perlahan. "Apakah dia merasa enak hati, sesudah mengambil jiwa manusia yang tewas karena gencatannya?" Ouw Hui terkejut.
"Tak dapat kita terlalu menyalahkan Hong Looya," kata seorang lain. "Jika seorang kehilangan apa-apa, tentu saja ia akan menanyakannya. Siapa suruh perempuan itu berotak miring, membelek perut anaknya sendiri?"
Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi. Mendadak ia menengok ke belakang dan kedua orang itu lantas saja berhenti bicara.
Mereka itu, yang satu gemuk dan yang lain kurus, mengenakan thungsha sutera yang mahal harganya dan dilihat dari dandanan mereka, mereka adalah orang-orang hartawan.
Ouw Hui mengetahui, bahwa kaum pedagang paling sungkan banyak urusan dan jika ia menanya secara biasa, mereka tentu tak mau memberikan keterangan. Memikir begitu, ia segera berdiri dan berkata sembari memberi hormat: "Sedari berpisahan di Kwiciu, sudah berapa tahun kita tak pernah bertemu muka. Apa selama itu, Jie-wie (kedua tuan) memperoleh banyak keuntungan?"
Tentu saja mereka merasa heran, karena mereka memang tak mengenal Ouw Hui. Tapi sebagaimana biasa, seorang pedagang selalu bersikap ramah tamah. Maka itu, lantas saja mereka membalas hormat. "Boleh juga, terima kasih," jawab mereka.
"Kali ini siauwtee datang di Hud-san dengan membawa selaksa tail perak," kata pula Ouw Hui. "Tujuanku adalah untuk membeli barang, tapi karena belum mempunyai kenalan, sedang aku sendiri sangat asing dengan keadaan di sini, aku masih merasa sangsi. Sekarang sungguh kebetulan, aku bertemu dengan kalian, sehingga aku dapat minta pertolongan."
Mendengar "selaksa tail perak", wajah kedua orang itu lantas saja berseri-seri. "Tentu saja, tentu saja!" kata mereka, yang lalu mengundang Ouw Hui pindah meja untuk makan minum bersama.
Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Barusan ketika Jie-wie bercakap-cakap, aku mendengar kata-kata tentang mengambil jiwa manusia karena gencatan," kata Ouw Hui sembari mencegluk cawannya. "Bolehkah aku mengetahui, urusan apakah itu?"
Paras muka mereka lantas saja berubah. Selagi mereka mau menolak, Ouw Hui sudah mengulurkan kedua tangannya dan memencet tangan mereka. Hampir berbareng, kedua orang itu mengeluarkan teriakan tertahan, sedang muka mereka jadi pucat pias. Mendengar teriakan itu, beberapa pelayan dan tetamu segera menengok ke arah mereka.
"Tertawa!" bentak Ouw Hui dengan suara perlahan. Mereka tak berani membantah dan lantas tertawa meringis. Melihat, bahwa di situ tidak terjadi apa-apa yang luar biasa, semua orang tidak memperhatikan mereka lagi.
Kedua orang itu mengeluarkan keringat dingin, tangan mereka seolah-olah dijepit dengan jepitan besi.
"Dulu, aku sebenarnya adalah seorang perampok besar yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip," kata Ouw Hui dengan suara bengis. "Sekarang aku sudah menjadi orang baik-baik dan ingin berusaha secara halal. Aku memerlukan selaksa tail perak untuk membeli barang, tapi sayang aku tak mempunyai uang. Maka itu, aku ingin meminjam dari Jie-wie, seorang lima ribu tail."
Mereka terperanjat. "Aku... aku... tak punya!" jawab mereka hampir berbareng.
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Tapi kalian harus menceritakan kepadaku, bagaimana manusia itu yang dipanggil Hong Looya mengambil jiwa orang dengan menggunakan gencatan. Siapa yang menceritakan paling jelas, aku membebaskannya dari tugas meminjamkan uang. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya."
"Baiklah, baiklah," jawabnya, terburu-buru.
Ouw Hui mesem, hatinya geli bukan main. Melihat si gemuk agak lebih pandai bicara, ia lantas saja berkata: "Yang gemuk bicara lebih dulu, baru yang kurus. Siapa yang ceritanya tidak jelas, ialah yang harus meminjamkan uang kepadaku."
Sehabis berkata begitu, ia melepaskan cengkeramannya dan membuka bungkusannya, yang antara lain berisi sebilah golok yang bersinar berkeredepan. Ia mengambil sepasang sumpit gading dari atas meja dan sekali ketukan pada mata golok, sumpit itu sudah menjadi empat potong.
Kedua orang itu saling mengawasi dengan mulut ternganga dan hati berdebar-debar. Sesudah menggertak begitu, perlahan-lahan Ouw Hui membungkus pula goloknya.
"Siauwya," kata si saudagar gemuk, "Jangan khawatir, aku akan menceritakan seterang-terangnya. Tanggung... tanggung lebih jelas dari dia...."
"Mana bisa," memotong si kurus. "Kasihlah aku yang menceritakan lebih dulu."
"Diam!" membentak Ouw Hui. "Lebih dulu aku mau dengar ceritanya, mengerti kau?" "Baik, baik," kata si kurus ketakutan. "Kau harus dihukum karena sudah melanggar perintahku!" kata Ouw Hui dengan suara menyeramkan.
Semangat si kurus terbang, sedang kawannya kelihatan senang sekali.
"Bukan begini caranya orang menghormat tetamu," kata Ouw Hui. "Makanannya tak enak, araknya seperti air tawar. Lekas perintahkan pelayan menyediakan semeja santapan kelas satu."
Mendengar hukuman yang enteng, si kurus jadi girang dan buru-buru dia memanggil pelayan untuk memesan makanan semeja dan arak kelas satu seharga lima tail perak.
Ketika melihat Ouw Hui pindah ke meja dua saudagar itu si pelayan merasa sangat heran. Tapi mendengar pesanan istimewa ia menjadi girang dan menyampingkan rasa herannya.
Ouw Hui melongok ke bawah. Ia melihat Ciong Sie-so sedang duduk di tepi seberang jalan dan sembari mendongakkan kepala, mulutnya kemak-kemik, seperti seorang sedang berdoa.
"Siauwya," kata si gemuk. "Biarlah aku mulai. Tapi aku mengharap, supaya ceritaku dirahasiakan, jangan sampai diketahui oleh orang lain."
"Jika kau takut, sudahlah! Biar dia saja yang bercerita," kata Ouw Hui. Sembari berkata begitu, ia berpaling kepada si kurus.
"Cerita, aku cerita..." kata si gemuk dengan suara gugup.
"Orang yang biasa dipanggil Hong Looya itu bernama Hong Jin Eng, orang paling kaya dalam kota Hud-san-tin ini. Dia mempunyai julukan, yaitu...."
"Lam-pa-thian," celetuk si kurus.
"Siapa suruh kau bicara?" Ouw Hui membentak dengan suara bengis.
Si kurus menundukkan kepalanya dan tidak berani membuka suara lagi.
"Di Hud-san-tin, ia membuka rumah gadai besar, yang dinamakan Pegadaian Enghiong," si gemuk melanjutkan ceritanya. "Disamping itu, ia membuka sebuah rumah makan, yaitu rumah makan ini yang diberi nama Eng-hiong-lauw dan sebuah tempat judi yang dikenal sebagai Enghiong Hwee-koan. Ia adalah seorang kaya yang berpengaruh besar, luas pergaulan dan dianggap sebagai ahli silat nomor satu di seluruh propinsi Kwitang. Dalam kota ini banyak orang berbisik-bisik, bahwa setiap bulan ia menerima uang kehormatan dari Kwitang timur, Kwitang barat dan Kwitang utara. Katanya dia adalah Ciangbunjin (pemimpin) dari Ngo-houw-pay (Partai lima harimau) dan anggota-anggota yang beruang dari partai itu, harus membagi sedikit hartanya kepada Hong Looya. Tapi hal itu adalah soal kalangan Kang-ouw, yang tidak begitu dimengerti olehku."
"Ya, aku mengerti," kata Ouw Hui. "Dia kaya raya dan dia juga perampok besar."
Kedua saudagar itu saling mengawasi. "Benar, kau adalah rekannya!" kata mereka di dalam hati.
Ouw Hui sudah dapat membaca pikiran mereka. "Orang sering berkata, sama-sama sepencarian berarti musuh," katanya sembari tertawa. "Aku dan Hong Looya bukan sahabat. Dia baik, katakan baik. Dia jahat, katakan jahat. Tak usah kau coba-coba menyembunyikan."
"Gedung Hong Looya sebenarnya sudah cukup besar dan luas," si gemuk melanjutkan penuturannya. "Tapi belakangan ini, sesudah mempunyai gundik yang ketujuh, ia ingin mendirikan sebuah gedung pula yang diberi nama Cit-hong-lauw (Rang-gon tujuh Hong), untuk dijadikan tempat tinggal gundik ke tujuh itu. Ia berniat mendirikan gedung baru itu di belakang gedungnya yang sudah ada dan tanah yang ia penuju adalah kebun sayur Ciong Sie-so. Kebun sayur itu adalah warisan dari kakek moyangnya dan luasnya kira-kira tiga bauw. Kebun itu adalah satu-satunya sumber mencari nafkah Ciong A-sie dan keluarganya yang berjumlah lima orang. Hong Looya telah memanggil Ciong A-sie dan mengatakan, bahwa mau membeli tanah itu dengan lima tail perak. Tentu saja Ciong A-sie menolak. Hong Looya menambah dan menambah lagi jumlah uang itu sampai sepuluh tail, tapi ia tetap menolak. Menurut ia, uang adalah sangat manis, biar seratus tail, sebentar saja akan habis dimakan. Tapi kebun sayur tak habis. Asal mau mengeluarkan tenaga, keluarganya tak akan mati kelaparan. Hong Looya menjadi gusar dan mengusir dia. Dan kemarin muncullah peristiwa mencuri angsa."
"Peristiwa itu adalah seperti berikut: Di pekarangan belakang gedung Hong Looya, dipiara sepuluh ekor angsa. Kemarin, ia telah kehilangan salah seekor. Bujang-bujang Hong Looya mengatakan, bahwa pencuri angsa itu adalah Siauw-jie-cu (putera kedua) dan Siauw-sam-cu (putera ketiga) dari keluarga Ciong. Mereka mencari di kebun sayur dan benar saja, di situ kedapatan banyak bulu angsa. Mentah-mentah Ciong Sie-so menolak tuduhan itu. Ia mengatakan, bahwa kedua puteranya adalah anak-anak baik dan tak mungkin, mereka mencuri barang orang lain. Ia balas menuduh, bahwa bulu angsa itu sudah sengaja dilemparkan dari dalam tembok gedung Hong Looya."
"Orang-orang Hong Looya lantas saja mencari Siauw-jie-cu dan Siauw-sam-cu, tapi mereka tak mengaku mencuri angsa. "Eh, apakah pagi ini kau sudah makan?" tanya Hong Looya. Siauw-sam-cu manggut-manggut dan menjawab dengan suara pe-lo: "Cia-o-cia-o." (Cia-o bisa berarti: Makan angsa)
"Anak itu sudah mengaku, kau masih berkeras mengatakan: tidak!" teriak Hong Looya sembari menggebrak meja. Lantas saja ia mengadu kepada Tie-koan di Lamhay, yang lantas memerintahkan beberapa opas menangkap Ciong A-sie.
"Ciong Sie-so yang yakin seyakin-yakinnya, bahwa kedua puteranya tak nanti mencuri angsa itu, lantas pergi ke gedung Hong Looya untuk mencari keadilan. Tapi apa yang ia dapat adalah tendangan dari Hong Looya. Ia lalu pergi kepada Tiekoan di Lamhay untuk mencari keadilan, tapi paduka Tiekoan, yang sudah makan uang suapan, malah berbalik menyiksa Ciong A-sie dengan alat mengompes.
"Dengan susah payah, Ciong Sie-so bisa juga menengok suaminya di penjara. Suami itu berlepotan darah, sekujur badannya babak belur dan sudah tak dapat bicara lagi sebagaimana biasa. "Ja... ngan jual... jangan... tidak... curi... tidak," katanya dengan suara tak jelas.
Ciong Sie-so jadi mata gelap. Begitu pulang, dengan membawa Siauw-sam-cu dan sebilah golok sayur, sambil memanggil tetangga-tetangganya, ia pergi ke kuil leluhur. Tetangga-tetangga yang menduga nyonya itu ingin bersumpah dan ingin minta mereka menjadi saksi, lantas saja mengikut.
"Di depan patung Malaikat Pak-tee-ya, Ciong Sie-so berlutut dan manggut-manggutkan kepalanya. 'Pak-tee Ya-ya,' katanya. 'Anakku tak nanti mencuri barang orang, tahun ini dia baru berumur empat tahun. Dia masih belum bica bicara betul, suaranya masih pelo, di depan tuan besar dia mengatakan: Cia-o, Cia-o. Aku sekeluarga tidak bisa mencuci hinaan ini, sedang Tiekoan yang sudah makan sogokan, tidak berlaku adil. Maka itu, jalan satu-satunya adalah memohon keadilan dari Pak-tee Ya-ya.' Sehabis berkata begitu, ia membelek perut Siauw-sam-cu!"
Ouw Hui mendengarkan penuturan itu dengan hati panas. Ketika si gemuk menutur sampai di situ, tak dapat ia menahan sabar lagi. Ia menumbuk meja dengan tinjunya, sehingga piring mangkok terbalik semua.
"Apakah benar begitu kejadiannya?" ia menanya dengan mata mendelik.
Melihat keangkeran Ouw Hui, kedua saudagar itu jadi gemetar sekujur badannya. "Cerita itu sedikit pun tidak menyimpang dari kejadian yang sebenarnya," jawabnya.
Ouw Hui berbangkit. Dengan kaki kiri di lantai loteng dan kaki kanan di atas bangku, mendadak ia menghunus goloknya yang lalu ditancapkan di atas meja.
"Cerita terus!" ia membentak. "Ke... ja... dian itu tak... tidak ada... sangkut pautnya dengan aku," kata si gemuk terputus-putus. Roman Ouw Hui yang bengis menakutkan semua tetamu. Beberapa antaranya yang bernyali kecil, buru-buru makan dan turun dari loteng. Para pelayan hanya mengawasi dari kejauhan, tak berani mendekati.
"Bilanglah!" bentak Ouw Hui. "Apakah dalam perut Siauw-sam-cu terdapat daging angsa?"
"Tidak," jawab si gemuk. "Yang kedapatan adalah daging keong. Keluarga itu keluarga miskin dan kedua bocah itu pagi-pagi mencari keong di sawah untuk dimakannya. Dia kata: cia-o, cia-o (makan angsa), sebenarnya dimaksudkan: Cia-lo (makan keong). Kasihan! Anak yang tidak berdosa itu mesti binasa secara begitu rupa. Mulai saat itu, Ciong Sie-so menjadi gila."
"Di mana rumah orang she Hong itu?" tanya Ouw Hui.
Sebelum si saudagar sempat menjawab, dari sebelah jauh mendadak terdengar suara menyalaknya anjing.
"Gila! Benar-benar gila!" kata si saudagar kurus sembari menghela napas.
"Ada apa lagi?" tanya Ouw Hui.
"Itulah kaki tangan Hong Looya yang sedang mengejar-ngejar Siauw-jie-cu dengan membawa anjing-anjing galak," sahutnya.
Darah Ouw Hui naik semakin tinggi. "Satu jiwa sudah menjadi korbannya, dia mau apa lagi?" katanya.
"Menurut Hong Looya, kalau bukan Siauw-sam-cu yang makan, angsa itu tentu dimakan Siauw-jie-cu," si kurus menerangkan.
"Maka itu, Hong Looya mau menangkap Siauw-jie-cu untuk diperiksa lebih jauh, katanya. Beberapa tetangga yang merasa kasihan, sudah mengisiki, supaya Siauw-jie-cu kabur. Hari ini, kaki tangan Hong Looya sudah pergi ke beberapa tempat untuk mencari bocah itu."
Sesudah menahan hawa amarahnya, Ouw Hui segera berkata: "Keterangan Jie-wie cukup jelas. Selaksa tail perak aku akan minta dari Hong Looya."
Sehabis berkata begitu, ia mengangkat ciu-hu (tempat arak) dan menenggak isinya. Dalam sekejap ia sudah menghabiskan tiga ciu-hu, lalu ia berteriak untuk minta ditambah lagi.
Di saat itu, gonggongan kawanan anjing itu terdengar lebih keras dan beberapa saat kemudian, anjing-anjing itu kedengarannya sudah tiba di ujung jalan. Ouw Hui melongok ke bawah. Ia melihat seorang bocah yang berusia kira-kira dua belas tahun, sedang kabur sekeras-kerasnya, dengan pakaian robek-robek dan berlepotan darah, bekas gigitan anjing. Di belakang bocah itu, dalam jarak kira-kira delapan tombak, mengejar belasan anjing galak.
Ketika itu, si bocah yang bernama Ciong Siauw Jie, sudah lelah sekali. Melihat ibunya, ia berteriak: "Ibu?" Kedua lututnya mendadak lemas dan ia rubuh, tak bisa bangun lagi.
Walaupun gila, Ciong Sie-so masih mengenal puteranya. Dengan sekali lompat, ia sudah menghadang di tengah jalan, menghadapi kawanan anjing galak yang tengah mengejar itu. Didorong rasa cinta seorang ibu kepada anaknya, ia berdiri tegak dengan paras muka angker dan kedua matanya yang berapi mengawasi kawanan anjing itu.
Anjing-anjing itu, yang biasa mengikut Hong Looya berburu, galak bukan main. Jangankan manusia, harimau sekalipun mereka berani terjang. Tapi, melihat keangkeran Ciong Sie-so mereka agak sangsi.
Kaki tangan Hong Looya segera memberi komando, supaya anjing-anjing itu menyerang.
Di lain saat, dua ekor anjing sudah menubruk Siauw Jie. Sembari berteriak, Ciong Sie-so menubruk puteranya dan menggunakan badannya sendiri untuk menutupi tubuh anaknya. Anjing pertama lantas menggigit pundak Ciong Sie-so, yang kedua mencakup lutut si bocah. Kaki tangan Hong Looya berteriak-teriak menghasut anjing-anjingnya. Tapi sang ibu terus mendekam di atas tubuh puteranya, seolah-olah tidak merasakan sakit digigit anjing.
Sementara itu, Ciong Siauw Jie molos keluar dari pelukan ibunya dan sembari menangis, ia menggebuk kalang kabutan dengan kedua tinjunya yang kecil. Dalam sekejap, belasan anjing galak itu sudah mengurung ibu dan anak itu.
Orang banyak berkerumun dan menonton dari kejauhan. Tak satu pun yang berani menolong, karena semua orang merasa jeri akan kebuasan Hong Looya.
Semua kejadian itu sudah disaksikan oleh Ouw Hui dari atas loteng. Ia tidak mau lantas turun tangan, karena ingin mendapat bukti lebih dulu benar tidaknya cerita kedua saudagar itu. Ia tak mau sembarangan turun tangan dan mencelakakan orang yang tidak berdosa.
Selagi si saudagar gemuk menuturkan kejadian itu, amarahnya sudah naik tinggi. Tapi, mendengar bagian terakhir dari cerita itu tentang kekejaman Hong Looya yang melewati batas, Ouw Hui sangsikan kebenarannya. Dan sesudah menyaksikan serangan kawanan anjing itu, barulah kesangsian Ouw Hui lenyap seluruhnya.
Sesaat itu, pada detik yang berbahaya bagi jiwa si ibu dan anak, ia menjumput tiga pasang sumpit dan menimpuk sembari mengerahkan tenaga dalamnya.
Kawanan anjing yang sedang memperlihatkan kebuasannya, mendadak terkuing-kuing dan enam antaranya rubuh binasa, dengan kepala berlubang ditembus sumpit. Anjing-anjing yang masih hidup berhenti menunjukkan kegarangannya, mereka agak ragu-ragu. Ketika itu, di atas loteng Ouw Hui sudah menimpuk lagi dengan tiga cawan arak. Timpukan itu jitu sekali, setiap cawan mampir di hidung seekor anjing. Hampir berbareng, tiga ekor rebah di tanah, tanpa bisa bangun lagi. Sisanya beberapa ekor lagi jadi
kuncup dan buru-buru kabur sembari menghimpit buntut.
Kaki tangan Hong Looya yang menggiring anjing berjumlah enam orang. Dengan mengandalkan pengaruh sang majikan, mereka sudah biasa berlaku sewenang-wenang di Hud-san-tin. Melihat sembilan ekor anjing itu dibinasakan secara begitu, tanpa mengenal mati, mereka lantas berteriak: "Hei! Siapa yang berani menjual lagak di Hud-san-tin? Anjing Hong Looya harus diganti dengan jiwamu!" Sehabis berteriak, dengan golok terhunus dan mencekal rantai besi, mereka naik ke loteng restoran.
Melihat gelagat tak baik, para tamu lantas saja lari serabutan. Rumah makan itu dibuka oleh Hong Jin Eng, sehingga dari pengurus sampai pelayan semua adalah kaki tangan hartawan kejam itu. Melihat enam rekannya mau membekuk orang, mereka lantas saja mengambil macam-macam senjata untuk membantu.
Ouw Hui mengawasi mereka sembari mesem, ia tak bergerak dari kursinya.
Sembari mengebaskan rantai, orang yang menjadi kepala lantas memaki: "Hei! Anak bau! Ikut tuan besarmu!"
Ouw Hui menghela napas melihat kegalakan orang itu yang membawa-bawa rantai, seolah-olah dia alat negara. Tanpa berkisar dari tempatnya, tangan Ouw Hui menyambar dan tepat sekali menghajar pipi orang tersebut. Sesudah menggampar ia menotok jalan darah Cie-kiong-hiat dan Hong-hu-hiat di leher si galak, yang lantas saja tak dapat bergerak lagi.
Dua kawannya yang tak mengenal bahaya, segera menyerang dari kiri kanan dengan menggunakan golok. Mereka ternyata pandai ilmu silat dan dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa Hong Looya benar-benar seorang manusia jahat yang mempunyai banyak tukang pukul. Tapi tentu saja, kepandaian dua tukang pukul itu, tidak dipandang sebelah mata oleh Ouw Hui. Tangannya bergerak bagaikan kilat dan mereka berdua seperti kawannya, lantas saja berdiri terpaku.
Tiga tukang pukul lainnya jadi ketakutan. Salah seorang dari mereka lantas memutarkan badan untuk melarikan diri, sedang seorang lagi berteriak: Hong Cit-ya, ilmu siluman apakah ini?"
Orang yang dipanggil Hong Cit-ya masih terikat famili jauh dengan Hong Jin Eng dan dia diangkat sebagai pengurus rumah makan. Ilmu silatnya tidak seberapa, tapi dia licin sekali. Melihat Ouw Hui bukan sembarang orang, buru-buru ia menghampiri.
"Aku tak tahu hari ini seorang gagah datang berkunjung," katanya sembari merangkap kedua tangannya. "Benar-benar aku mempunyai mata tak bisa melihat gunung Thaysan yang besar."
Melihat tiga tukang pukul Hong Looya perlahan-lahan mendekati mulut loteng untuk kabur, Ouw Hui segera mengambil rantai besi dari tangan si tukang pukul yang sudah tak dapat bergerak lagi. Sekali Ouw Hui menyabet, rantai itu melibat enam kaki ketiga orang itu dan kemudian, sekali digentak, mereka bertiga jatuh terguling. Dengan tenang dan tanpa meladeni Hong Cit-ya, Ouw Hui mengikat erat-erat kedua ujung rantai dan ia sendiri lalu mulai minum arak lagi.
Meskipun Ouw Hui sudah memperlihatkan kepandaiannya, tapi para pegawai restoran masih terus mengurung dengan mata beringas. Mereka hanya menunggu komando Hong Cit-ya untuk menyerang. Mereka menganggap, bahwa dengan seorang diri pemuda itu tentu bisa dirubuhkan dengan beramai-ramai.
"Eh, Hong Jin Eng, masih pernah apa dengan kau?" tanya Ouw Hui sembari mencegluk isi cawan-nya.
"Saudara sekaum," jawabnya. "Apa tuan kenal Hong Looya?"
"Tidak," kata Ouw Hui. "Pergi, panggil dia untuk menemui aku."
Hong Cit-ya mendongkol, tapi paras mukanya terus berseri-seri. "Bolehkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia?" tanyanya. "Supaya aku bisa melaporkan kepada Hong Looya."
"Baiklah," jawabnya dan tertawa. "Aku she Pat, Pat yang berarti cabut, seperti mencabut bulu ayam."
"Kenapa shenya begitu aneh?" pikir Hong Cit-ya yang lantas saja tertawa dan berkata: "Oh, kalau begitu aku sedang berhadapan dengan Pat-ya! She Pat-ya jarang sekali terdapat di daerah Selatan. Inilah yang dikatakan, bahwa apa yang langka, berharga mahal."
"Benar," kata Ouw Hui. "Memang juga, apa-apa yang aneh dan jarang terdapat selalu berharga tinggi. Kau tahu apa artinya Hong-mo Lin-kak (Bulu burung Hong, tanduk Kielin)? Namaku adalah Hong Mo."
Paras muka Hong Cit-ya lantas saja berubah gusar. Perkataan "Pat Hong Mo", yang berarti "Mencabut bulu burung Hong" terang-terangan mengejek Hong Looya. (Hong dari Hong Jin Eng berarti burung Hong).
"Tuan ini siapa sebenarnya?" tanyanya dengan suara keras.
"Ada urusan apa tuan datang ke Hud-san-tin?"
"Sudah lama aku mendengar, bahwa di sini terdapat seekor burung Hong jahat," jawabnya. "Oleh karena sudah ketelanjur aku bernama Pat Hong Mo, maka aku sengaja datang kemari untuk mencabut bulu Hong itu."
Hong Cit-ya mundur setindak sembari meraba pinggangnya dan dilain saat, ia sudah mencekal seutas Joanpian (pecut). Ia mengebaskan tangan kirinya sebagai tanda supaya semua orang berhati-hati dan kemudian, sembari melompat, ia menghantam Ouw Hui dengan pecutnya.
Ouw Hui yakin, bahwa kejahatan Hong Jin Eng sudah menjadi-jadi karena mendapat bantuan dari tukang-tukang pukulnya. Maka itu, sedari tadi, ia sudah mengambil putusan untuk menurunkan tangan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Begitu pecut itu menyambar, dengan mudah Ouw Hui dapat menangkapnya. Ia membetot dan selagi Hong Cit-ya terhuyung, ia menepuk pundak pengurus restoran itu, yang lantas jatuh berlutut, karena kedua lututnya mendadak lemas.
"Jangan terlalu hormat!" kata Ouw Hui sembari tertawa. Kemudian dengan menggunakan pecut, ia melibat badan Hong Cit yang lalu diikatkan ke kaki meja.
Melihat kejadian itu, para pegawai restoran tidak berani turun tangan lagi.
"Eh, serahkan golok sayur itu kepadaku," kata Ouw Hui sambil menuding seorang koki gemuk. Si gemuk tak berani membantah dan lalu menyerahkan apa yang diminta.
"Eh," kata pula Ouw Hui. "Kalau masak daging tulang punggung, kau mengambil daging apa?"
"Daging babi," jawabnya. "Diambil dari kiri kanan tulang punggung babi. Boleh masak asam manis, boleh masak pakai lada dan garam, semuanya lezat sekali. Apa Siauwya mau?"
Dengan bengis, Ouw Hui merobek baju Hong Cit. "Di sini?" tanyanya sembari mengusap-usap tulang punggung orang.
Koki itu terkesiap, ia hanya mengawasi dengan mulut ternganga dan tak dapat memberi jawaban.
"Ampun Siauw-ya!" Hong Cit memohon.
Memang bukan maksud Ouw Hui untuk mengambil jiwa Hong Cit. Ia hanya ingin memberi sedikit hajaran, supaya manusia itu merasakan sedikit penderitaan. Ia mengangkat golok itu dan menggores punggung Hong Cit.
"Cukup setengah kati?" tanyanya.
"Cu... kup..." jawabnya, gemetar.
Hong Cit terbang semangatnya. Ia merasakan kesakitan luar biasa di punggungnya dan menduga, bahwa dagingnya benar-benar sudah dipotong.
"Bahan apa kau menggunakan untuk memasak hati babi goreng dan otak babi masak kuwah?" tanya pula Ouw Hui.
Sekujur badan Hong Cit jadi bergemetar, tak hentinya ia membenturkan jidat di lantai loteng. "Siauwya!" ia merintih.
"Perintahlah aku, jika kau ingin memerintah, tapi ampunilah selembar jiwaku."
Sampai di situ, Ouw Hut merasa manusia itu sudah cukup mendapat hajaran. "Apakah kau masih berani membantu Hong Jin Eng melakukan kejahatan?" tanyanya dengan bengis.
"Tidak, tidak berani," jawabnya dengan cepat.
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Sekarang lekas kau gebah semua tamu yang tadi makan di loteng, tapi tetamu yang makan di bawah, seorang pun tak boleh keluar."
"Anak-anak," seru Hong Cit, "Lekas lakukan perintah Siauw-ya!"
Para tamu yang bersantap di atas loteng, rata-rata adalah kaum beruang. Begitu melihat terjadinya perkelahian, buru-buru mereka turun untuk berlalu, tapi pintu depan dijaga oleh pegawai restoran yang bersenjata. Maka itu, perintah Ouw Hui sudah disambut oleh mereka dengan kegirangan besar. Orang-orang yang makan di ruangan besar, di bawah loteng, sebagian besar adalah kaum miskin yang sedikit banyak sudah pernah dipersakiti oleh Hong Jin Eng. Melihat ada orang berani membentur Hong Jin Eng, mereka jadi gembira dan ingin menyaksikan sampai di mana pemuda itu akan memberi hajaran.
"Hari ini aku mengadakan pesta besar!" teriak Ouw Hui.
"Semua arak dan makanan yang dimakan oleh sahabat-sahabat, akan dibayar olehku. Tak boleh kau menerima uang sepeser pun dari mereka. Lekas keluarkan guci-guci arak dan masak sayur-sayur yang paling enak. Potong sembilan anjing jahat itu dan masak dagingnya."
Hong Cit yang sudah mati kutu mengiyakan atas sesuatu perintah dan para pegawai restoran pun tak ada yang berani berlaku ayal-ayalan. Melihat kegarangan pemuda itu, hati enam tukang pukul Hong Jin Eng berdebar-debar, mereka tak tahu Ouw Hui akan menjatuhkan hukuman apa terhadap mereka.
Sesudah semua perintahnya diturut, dengan tindakan lebar Ouw Hui turun ke bawah loteng. Ia menuang semangkok arak dan berkata dengan suara nyaring: "Saudara-saudara, hari ini siauwtee mengundang sekalian untuk minum. Apa yang kalian ingin minum, apa yang kalian ingin makan, minta saja, jangan sungkan. Jika orang-orang di sini berani membandel, dengan sebuah obor aku nanti membakar seluruh rumah makan ini." Undangan itu disambut dengan tampik sorak oleh para hadirin yang lantas saja mencegluk cawan arak mereka.
Sesudah itu, Ouw Hui naik pula ke atas loteng dan membuka jalan darah tiga tukang pukul Hong Jin Eng. Ia mengambil enam rantai besi yang terus dilibatkan ke leher mereka dan ketiga kawannya yang lain.
Kemudian, dengan mencekal ujung rantai, ia menarik enam orang itu turun ke bawah loteng.
"Di mana rumah gadai Hong Jin Eng?" tanyanya. "Aku mau menggadaikan enam anjing jahat."
"Dari sini jalan terus ke arah timur, sesudah melewati tiga persimpangan jalan, kau akan bertemu dengan sebuah gedung yang bertembok tinggi," sahut seorang. "Itulah rumah gadai Hong Looya."
"Terima kasih!" kata Ouw Hui yang terus menyeret keenam tawanannya itu. Sejumlah orang lantas saja mengikuti dari kejauhan untuk menyaksikan, bagaimana pemuda itu menggadaikan manusia hidup.
Setibanya di depan Penggadaian Enghiong, Ouw Hui lantas berteriak: "Hei! Enghiong (orang gagah) menggadaikan anjing!" Sembari menyeret enam orang itu, ia menghampiri meja tinggi tempat menerima gadaian. "Aku mau menggadaikan enam ekor anjing, setiap ekor seribu tail perak," katanya.
Pegawai rumah gadai itu terkejut bukan main. Semua orang di Hud-san-tin mengetahui, bahwa penggadaian itu adalah milik Hong Jin Eng dan selama belasan tahun, belum pernah terjadi kekacauan. Kenapa sekarang muncul orang gila yang mau menggadaikan manusia? Ia mengawasi lebih teliti dan hatinya jadi lebih-lebih terkejut sebab ia mendapat kenyataan, bahwa enam orang itu adalah kaki tangan majikannya sendiri.
"Kau... kau... mau menggadaikan apa?" tanyanya.
"Tuli kau!" membentak Ouw Hui. "Aku mau menggadaikan enam anjing jahat, setiap ekor seribu tail, seluruhnya berjumlah enam ribu tail."
Sekarang si pegawai penggadaian mengetahui, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang yang sengaja mau mencari urusan. Ia segera membisiki seorang kawannya, supaya dia buru-buru memberi-tahukan busu (ahli silat) yang melindungi rumah gadai tersebut.
Sesudah itu, dengan sikap hormat ia berkata: "Menurut peraturan, rumah gadai kami tidak dapat menerima gadaian berjiwa. Maka itu, harap tuan suka memaafkan aku."
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Jika kau menolak anjing hidup, aku akan menggadaikan anjing mampus."
Enam orang itu mencelos hatinya. "Jie Suya!" mereka berteriak. "Terimalah kami. Tolong jiwa kami."
Tapi pegawai itu mana mau gampang-gampang mengeluarkan enam ribu tail perak? "Duduklah," katanya. "Apakah tuan mau minum teh?"
"Sesudah anjing hidup menjadi anjing mati, barulah aku minum tehmu," jawab Ouw Hui. Sehabis berkata begitu, ia menghampiri pintu, mencekal sebelah daun pintu tersebut dengan kedua tangannya dan sekali ia mengangkat, daun pintu itu sudah copot dari engselnya.
Melihat keadaan semakin runyam, si pegawai lantas menegur: "Tuan, apa sih sebenarnya maksudmu?"
Ouw Hui tak menyahut, tapi menyapu beberapa kali dengan kakinya dan enam tawanannya lantas rubuh di atas lantai. Tanpa berkata suatu apa, ia menindih badan mereka dengan daun pintu itu.
"Sahabat!" kata si pegawai dengan suara jengkel.
"Sudahlah! Jangan mengacau di sini. Apa kau tahu, ini tempat apa? Kau tahu rumah gadai ini milik siapa?"
Melihat muka manusia itu yang seperti muka tikus, Ouw Hui mengetahui dia tentunya bukan manusia baik. Dengan mulut tetap membungkam, ia menghampiri meja tempat menggadaikan sesuatu dan menjambret thaucang orang itu, yang lalu diangkat dan kemudian ditindih di bawah daun pintu. Sesudah itu, dengan kedua tangannya, ia mengangkat sebuah tambur batu besar yang terletak di pinggir pintu. Dengan tetap tak mengeluarkan sepatah kata, ia melemparkan tambur itu ke atas daun pintu!
Jika orang mengetahui, bahwa berat tambur itu tidak kurang dari lima ratus kati, dapatlah ia membayangkan hebatnya timpukan itu. Dengan berbareng, ketujuh orang itu tertindih di bawah daun pintu, mengeluarkan teriakan yang menyayatkan hati. Orang-orang yang menonton di luar dan para pegawai penggadaian juga mengeluarkan teriakan kaget.
Belum cukup dengan itu, Ouw Hui kembali memondong sebuah tambur batu lain dan berseru: "Anjing jahat belum mampus, harus ditambah lagi dengan sebuah tambur!" Sembari berseru ia melemparkan tambur itu ke atas! Sekali lagi semua orang mengeluarkan teriakan kaget, sedang batu besar itu melayang turun ke arah daun pintu itu dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Ouw Hui mementang kedua tangannya dan batu itu berhenti dalam pelukannya! Di lain saat, dengan perlahan ia meletakkan tambur tersebut di atas daun pintu tadi. Sekarang berat tindihan sudah kira-kira seribu kati yang seluruhnya harus dipikul oleh ketujuh orang itu.
"Hoohan-ya (orang gagah) ampun!" teriak si orang she Jie.
"Lekas ambil uang!"
Melihat kejadian itu, kawan-kawannya tak bisa berbuat lain daripada mengeluarkan enam ribu tail perak secepat mungkin. Dengan tenang Ouw Hui menumpuk kantong-kantong perak tersebut di atas daun pintu itu.
"Enam ekor anjing laku digadaikan enam ribu tail," kata Ouw Hui. "Sekarang ditambah lagi dengan seorang pegawai rumah gadai. Masakah pegawai Rumah Gadai Enghiong yang kesohor, berharga lebih rendah dari seekor anjing? Hm! Sedikitnya tiga ribu tail." Berat enam ribu tail perak ada kira-kira tiga ratus tujuh puluh kati lebih dan dapatlah orang menaksir-naksir hebatnya penderitaan ketujuh orang itu yang ditindih dengan seribu tiga ratus kati lebih.
Selagi ribu-ribut, di luar pintu tiba-tiba terdengar suara bentakan: "Manusia dari mana yang berani mengacau di sini?"
Di lain saat, dua orang yang bertubuh tinggi besar meloncat masuk ke dalam. Mereka berpakaian serba hitam dengan kancing-kancing putih, yaitu pakaian seorang busu (ahli silat).
Dengan sekali meloncat, Ouw Hui sudah berada di belakang mereka dan kedua tangannya yang seperti besi sudah mencengkeram leher kedua busu itu. Mereka itu adalah tukang-tukang pukul rumah gadai, yang ketika Ouw Hui baru datang, sedang berjudi di sarang judi Enghiong Hweekoan. Begitu mendapat laporan tentang kekacauan di rumah gadai, buru-buru mereka kembali, tapi sebelum melihat tegas muka si pengacau, leher mereka sudah kena dicengkeram.
Ouw Hui mengerahkan tenaganya dan tubuh kedua orang itu terangkat naik. Ia menggoyang kedua tangannya dan badan mereka terkocok pulang pergi di tengah udara. Hampir berbareng, beberapa kartu Thiankiu jatuh dari badan seorang busu dan dua biji dadu terlepas dari tangan busu yang lain.
"Bagus!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ternyata kamu adalah setan-setan judi!" Sembari berkata begitu, ia melemparkan kedua tukang pukul itu di atas daun pintu. Demikianlah, berat tindihan jadi bertambah lagi dengan kira-kira empat ratus kati.
Pengurus rumah gadai, yang khawatir kawannya binasa, terpaksa menyoja kepada Ouw Hui berulang-ulang dan memerintah beberapa pegawai mengambil tiga ribu tail perak lagi. Hatinya merasa heran sekali, kenapa Hong Jin Eng masih juga belum datang menolong.
Harus diketahui, bahwa dengan mengacau di restoran dan di rumah gadai, Ouw Hui ingin memancing supaya Hong Jin Eng muncul sendiri. Sesudah mendapat pengalaman getir di Siang-kee-po, ia selalu berlaku hati-hati.
Ia yakin bahwa sebagai orang yang bergelar Lam-pa-thian (orang yang menguasai daerah Selatan), gedung Hong Jin Eng tentu lebih hebat persiapannya daripada Siang-kee-po. Maka itu, jika menyatroni rumah Hong Jin Eng, ia khawatir terjebak. Dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa sesudah membikin ribut di dua tempat, orang she Hong itu masih juga belum muncul.
Melihat beberapa pegawai rumah gadai sudah mengeluarkan tiga ribu tail perak, lantas saja ia memerintah: "Letakkan di atas daun pintu!"
Beberapa pegawai itu mengetahui, bahwa diletakkannya perak tersebut di atas daun pintu, berarti bertambahnya tindihan dengan seratus delapan puluh kati. Tapi mereka tak berani membantah dan lalu menumpuk bungkusan-bungkusan perak itu di tempat yang ditunjuk.
"Hei!" Ouw Hui berteriak. "Apakah rumah gadai ini dibuka oleh paduka Kaisar? Kenapa kamu begitu tak tahu aturan?"
"Apa lagi yang diinginkan tuan?" tanya si pengurus sembari membungkuk.
"Aku menggadai, kenapa tidak diberikan surat gadai?" tanya Ouw Hui dengan mata melotot.
Si pengurus yang sedang kebingungan, lantas saja berteriak: "Lekas tulis surat gadai." Para pegawai tak mengetahui apa yang harus ditulisnya. Tapi dalam keadaan terdesak, mereka menulis saja seperti berikut:
"Digadaikan enam pegawai gedung keluarga Hong dan satu pegawai rumah gadai. Kulit pecah, daging hancur, kaki tangan tak lengkap. Digadaikan untuk sembilan ribu tail perak."
Menurut kebiasaan pada jaman pemerintahan Boan, jika seseorang menggadaikan barang, meskipun barangnya itu masih baru, akan tetapi dalam surat gadai selalu ditulis barang "rusak". Maksud tulisan itu untuk mencegah percekcokan diwaktu barang tersebut ditebus. Menggadaikan manusia hidup adalah kejadian yang baru pernah mereka alami dan karena kebiasaan, pegawai rumah gadai sudah menambah kata-kata "kulit rusak, daging hancur, kaki tangan tak lengkap".
Sembari mesem Ouw Hui menerima surat gadai itu dari tangan si pengurus.
"Angkat kedua tambur batu itu!" bentak Ouw Hui kepada dua busu itu.
Karena tak kuat mengangkat sendiri, mereka berdua lalu menggotongnya dengan mengeluarkan banyak keringat.
"Bagus!" kata Ouw Hui pula. "Sekarang marilah kita jalan-jalan ke tempat judi. Gotonglah modalku yang berada di atas daun pintu itu."
Kedua busu itu yang sudah menjadi luar biasa jinaknya, lantas saja menurut perintah Ouw Hui dan mengikuti pemuda itu dari belakang. Rakyat menyaksikan, bagaimana dengan tangan kosong, Ouw Hui sudah mengobrak-abrik rumah gadai terbesar di Hud-san-tin, rata-rata merasa syukur dan girang hati. Tapi sebab takut dimarahi Hong Looya, mereka tak berani mendekati pemuda gagah itu. Sekarang mendengar Ouw Hui hendak pergi ke tempat judi, mereka jadi lebih bersemangat dan jumlah orang yang mengikuti menjadi semakin besar.
Rumah judi itu dibuka dalam kelenteng Kwan-tee-bio, di ujung kota. Di depan pintu terdapat empat huruf besar yang berbunyi: Enghiong Hweekoan.
Dengan tindakan lebar, Ouw Hui masuk ke dalam. Di ruangan besar kelihatan berkerumun sekelompok orang mengelilingi meja dadu. Si bandar judi, yang tebal alisnya dan besar matanya, duduk di tengah-tengah meja. la mengenakan pakaian sutera hitam, keluaran Hud-san-tin yang terkenal, dengan baju tidak terkancing, sehingga dadanya yang berbulu kelihatan menyolok sekali.
Melihat masuknya Ouw Hui bersama kedua busu itu yang menggotong daun pintu dengan tumpukan kantong-kantong perak, si bandar terkejut dan menanya: "Coa-pie Thio (Thio si Kulit ular), bikin apa kau?"
Orang she Thio itu monyongkan mulutnya ke arah Ouw Hui, seraya berkata: "Hoohan-ya itu hendak main-main di sini."
Hong Jin Eng adalah seorang yang mempunyai pergaulan luas dan banyak sekali kawannya. Melihat sikap ketakutan Coa-pie Thio, bandar itu menduga, bahwa Ouw Hui adalah satu kawan majikannya.
"Bagus!" katanya di dalam hati. "Orang kata. buka warung nasi tak takut akan tamu yang perutnya besar, buka rumah judi tak takut penjudi kaya. Dua daun pintu lagi, aku masih bersedia menerima."
Memikir begitu, lantas saja ia berkata sembari tertawa: "Sahabat, bolehkah aku mengetahui she-mu yang mulia? Duduk, duduklah."
"Aku she Pat, namaku Hong Mo," jawab Ouw Hui sembari mengambil tempat duduknya.
Si bandar terkejut, ia mengerti, bahwa pemuda itu mau cari gara-gara. Tapi sebagai orang yang sudah sering menempuh badai, dengan tenang ia lantas mengocok mangkok dadu dan meletakkannya di atas meja. Puluhan penjudi segera memasang taruhannya, ada yang pasang di "besar", ada pula yang pasang di "kecil".
Ouw Hui yang sebenarnya sedang menunggu keluarnya Hong Jin Eng, tidak turut memasang dan hanya menonton sembari senyum simpul.
Si bandar lalu membuka mangkok dan tiga dadu memperlihatkan sebelas mata. Mereka yang memasang di "besar" bersorak girang, sedang yang memasang "kecil" pada meringis.
Tiga kali bandar itu membuka mangkok dan tiga-tiganya nomor "besar".
Dalam judi banyak penipuan, apalagi dalam rumah judi Hong Jin Eng yang terkenal "jahat", kata Ouw Hui dalam hatinya. "Coba kuperhatikan dan kalau terselip penipuan, biar aku membikin ribut sekali lagi."
Memikir begitu, matanya yang jeli lantas saja mengincar mangkok dadu, sedang kupingnya yang tajam mendengarkan bunyi jatuhnya dadu. Sesudah memasang kuping beberapa saat, ia mendapat kenyataan, bahwa dadu itu adalah tulen, tidak dijejal timah.
Sebagai orang yang pernah melatih kupingnya dengan ilmu Am-kee Teng-hong-sut (ilmu untuk mengetahui serangan senjata rahasia dengan mendengar sambaran angin), kuping Ouw Hui tajam luar biasa. Meskipun ia diserang dengan senjata rahasia dalam gelap gulita, dengan mendengar sambaran anginnya saja, ia sudah bisa mengetahui dari mana menyambarnya senjata itu, macamnya senjata dan besarnya tenaga yang digunakan untuk menimpuk. Sebagai contoh, diwaktu terjadi peristiwa di Siang-kee-po, dengan hanya mendengar sambaran angin, Tio Poan San sudah bisa menebak, bahwa yang membokong ia adalah murid Siauw-lim-sie dari Siong-san. Biarpun kuping Ouw Hui masih belum dapat menandingi kuping Poan San, tapi sesudah mendengarkan beberapa lama, ia sudah bisa menduga dengan jitu, berapa jumlah mata tiga dadu yang celentang ke atas.
Sebagaimana diketahui, setiap dadu mempunyai enam muka dengan jumlah mata yang berlainan, yaitu mata satu, mata dua, mata tiga, mata empat, mata lima dan mata enam. Untuk orang biasa, tentu saja tak akan dapat membedakan suara jatuhnya dadu-dadu itu, karena perbedaannya sangat sedikit. Akan tetapi, untuk seorang ahli yang sudah mahir dalam ilmu Am-kee Teng-hong-sut, tak terlalu sukar untuk membedakannya.
Sesudah mendengarkan lagi beberapa kali dan setelah mempunyai pegangan yang pasti Ouw Hui segera berkata sembari tertawa: "Saudara bandar, apakah uang pasangan dibatasi atau tidak?"
"Seluruh propinsi Kwitang mengetahui, bahwa rumah judi dari Lam-pa-thian belum pernah membatasi pasangan!" seru si bandar dengan suara sombong, "Kalau ada pembatasan, guna apa dinamakan Enghiong Hweekoan?"
"Bagus!" puji Ouw Hui sembari mengacungkan jempolnya. "Kalau dibatasi, bisa-bisa orang menamakan Kauwhiong Hweekoan (Enghiong Hweekoan berarti Perkumpulan orang gagah, sedang Kauwhiong Hweekoan adalah Perkumpulan kawanan anjing)."
Ouw Hui segera memasang kuping. Mangkok dadu lalu dikocok.
"Coa-pie Thio, pasang di 'besar' seribu tail," Ouw Hui memerintah. Ia mengetahui, sekali ini tiga dadu bermata dua belas.
Meskipun sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun, bandar itu belum bisa mengetahui lebih dulu, apakah dadu yang bakal dibuka akan bermata "besar" atau "kecil". Melihat pasangan seribu tail, hatinya berdebar-debar juga. Dengan tangan agak gemetar, ia membuka mangkoknya.
Mukanya lantas saja menjadi pucat karena tiga dadu yang celentang masing-masing memperlihatkan empat mata, semuanya dua belas mata, jadi termasuk "besar". Seorang pegawai segera menyerahkan seribu tail perak kepada Ouw Hui.
Dalam kocokan yang berikutnya, Ouw Hui tak ikut memasang sebab ia ragu-ragu. Yang dibuka adalah "kecil" (delapan mata). Pada kocokan ketiga, Ouw Hui memasang dua ribu tail di "kecil". Kali itu benar saja dibuka "kecil", enam mata.
Demikianlah sesudah memasang lima enam kali, Ouw Hui sudah mengantongi sebelas ribu tail perak. Si bandar jadi semakin bingung, keringat dingin mengucur dari dahinya.
Dengan geregetan ia mengocok dadu berulang-ulang dan meletakkannya di atas meja. Ouw Hui merasa pasti, tiga dadu itu bermata empat belas. Ia berpaling kepada si busu seraya memerintah: "Coa-pie Thio, pasang dua laksa tail di 'besar'!" Sebungkus demi sebungkus, kedua busu itu lalu meletakkan uang Ouw Hui di atas meja judi.
Karena pasangan yang luar biasa besarnya itu dan majikannya sudah menderita kerugian selaksa lebih, bandar itu menjadi nekat dan coba menggunakan kelicikannya.
Ia berlagak mendorong mangkok dadu dan gerakannya yang sudah terlatih, mangkok itu terbuka sedikit, tapi sudah cukup untuk ia mengetahui, bahwa ketiga dadunya bermata empat belas. Dengan kelingkingnya ia menyontek sedikit mangkok itu dan sebiji dadu yang tadinya memperlihatkan enam mata, lantas terbalik, sehingga empat belas mata berubah jadi sembilan mata (kecil). Kepandaian yang sangat lihay itu telah dimiliki olehnya sesudah berlatih puluhan tahun.
Melihat Ouw Hui terus bersikap tenang, seolah-olah tidak mengetahui, bahwa dirinya sedang diliciki, si bandar jadi merasa girang sekali dan menduga pasti, kali ini bukan saja ia akan mendapat pulang semua kekalahannya, tapi juga akan mendapat keuntungan besar.
"Sudah?" ia menanya dengan hati girang.
Ouw Hui mendorong tumpukan uang sembari berkata: "Sudah! Kalau kau memang, boleh makan semua."
"Baik aku makan semua," jawabnya menyeringai sembari membuka mangkok dadu.
Dilain saat, mulut bandar itu ternganga, matanya melotot, sebab tiga dadu itu memperlihatkan dua belas mata! Kali itu, semua penjudi tidak turut memasang dan mereka mengawasi dengan hati berdebar-debar. Begitu dadu dibuka "besar", dengan berbareng mereka berseru: "Ah!" Mereka kaget, heran dan kagum, sebab seumur hidup, mereka belum pernah menyaksikan pertaruhan yang begitu besar.
Ouw Hui tertawa berkakakan. Dengan sebelah kaki dinaikkan ke atas kursi, ia berteriak: "Hayo, keluarkan dua laksa tail!"
Bagaimana bisa terjadi begitu? Ternyata, kelicikan bandar itu sedikitpun tak dapat mengelabui mata Ouw Hui. Walaupun tak dapat melihat terang cara main gilanya bandar itu, ia sudah dapat memastikan, bahwa mata "Besar" telah dirubah menjadi mata "kecil". Maka itu, selagi tangan kirinya mendorong bungkusan uangnya, tangan kanannya dimasukkan ke bawah meja dan dari situ, ia menyentil ke atas, ke arah mangkok dadu.
Sebelum disentil, kedudukan dadu itu adalah: Satu bermata tiga, satu bermata satu dan satu lagi bermata lima, jadi semua sembilan mata. Sentilan Ouw Hui yang disertai dengan tenaga dalam yang tepat, sungguh luar biasa! Dengan serentak tiga dadu itu terbalik jumlah matanya berubah seperti berikut: Satu bermata empat, satu bermata enam dan satu pula bermata dua, jadi total dua belas mata "besar".
Muka si bandar menjadi pucat bagaikan mayat. Tiba-tiba ia menumbuk meja sambil membentak: "Coa-pie Thio, siapa dia? Kenapa kau membawa pengacau itu ke sini?"
"Aku... aku... tak... tahu..." jawab yang ditanya dengan suara terputus-putus sembari meringis.
"Lekas bayar!" seru Ouw Hui. "Dua laksa tail! Sudah cukup, Siauwya-mu tak mau berjudi lagi!"
Sekali lagi, si bandar menumbuk meja keras-keras. "Bangsat!" ia memaki. "Berani betul kau main gila di sini! Kau kira aku tak tahu?"
"Baiklah," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Kau agaknya senang sekali menepuk meja. Jika kau ingin bertaruh menepuk meja, aku pun bersedia mengiringkannya." Sehabis berkata begitu, ia menepuk ujung meja yang lantas saja somplak dan ketika ia menepuk kedua kali, ujung meja yang sebelah lagi juga somplak.
Melihat ilmu Ouw Hui yang sangat tinggi, si bandar tak berani menunjukkan kegarangannya lagi. Mendadak, ia menendang meja dengan niatan kabur selagi meja itu terguling. Hampir berbareng beberapa buaya darat lantas berteriak: "Rampas uangnya!"
Ouw Hui tetap bersikap tenang. Bagaikan kilat, ia menangkap kaki si bandar yang tubuhnya lalu diangkat tinggi-tinggi dan kemudian kepalanya dibenturkan ke atas meja. Benturan itu yang dilakukan dengan bertenaga, sudah menobloskan meja judi yang tidak seberapa tebal, sehingga kepala si bandar berada di bawah meja, sedang tubuhnya, sebatas pundak, berada di atas meja! Kaki tangan bandar itu lantas saja memukul kalang kabutan dan memperlihatkan pemandangan yang luar biasa.
Semua orang mengeluarkan seruan kaget dan pada mundur ke belakang. Sesaat itu, dari depan pintu sekonyong-konyong menerobos masuk seorang pemuda yang baru berusia kira-kira sembilan belas tahun. Ia mengenakan thungsha sutera warna biru, sedang tangan kanannya mencekal kipas.
"Sahabat dari mana yang datang berkunjung?" tanya pemuda itu. "Aku tak dapat menyambut dari jauh, harap sahabat suka memaafkannya."
Melihat tindakan orang itu yang sangat enteng dan paras mukanya yang angker, Ouw Hui jadi agak terkejut.
"Bolehkah aku mengetahui she dan nama saudara yang mulia?" tanya pemuda itu sembari memberi hormat.
Ouw Hui juga lantas menyoja dan balas menanya: "Siapakah saudara?"
"Aku she Hong," jawabnya.
Ouw Hui mendelik dan tertawa berkakakan. "Kalau begitu, she dan namaku agak berbentrok dengan she saudara," katanya. "Aku she Pat, namaku Hong Mo. Pernah apakah Looheng dengan Hong Jin Eng?"
"Ayahku," sahutnya. "Kedatangan saudara sebenarnya harus disambut oleh ayah sendiri. Akan tetapi, berhubung dengan adanya urusan penting, ia sudah mengutus aku untuk mengundang saudara datang di rumah kita guna minum secangkir arak tawar."
Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada dua tukang pukulnya dan membentak: "Tentulah juga kau yang berlaku kurang ajar terhadap Pat-ya, sehingga ia menjadi gusar. Lekas minta maaf!"
Kedua busu segera membungkuk dan mengucapkan kata-kata meminta maaf. Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia hanya tertawa dingin.
Sementara itu, si bandar judi terus berteriak-teriak. Pemuda itu lalu mencekal punggungnya dan membalikkan tubuhnya, sehingga ia berdiri pula di atas lantai. Tapi, meja itu, dengan empat kakinya terangkat ke atas, terus melekat dilehernya, sehingga memberi pemandangan yang lucu sekali. Dengan kedua tangan menyanggah meja, bandar itu berkata: "Toaya, untung benar kau keburu datang. Dia... dia...." Ia mengawasi Ouw Hui dan tak berani melanjutkan perkataannya.
"Kau tak mau berjudi lagi, bukan?" kata Ouw Hui. "Baiklah. Tapi mana uangku? Apa Enghiong Hweekoan tidak mau bayar."
"Berapa kemenangan Pat-ya?" tanya pemuda itu. "Lekas bayar! Kenapa lambat-lambatan?" Berbareng dengan perkataannya, ia mencekal kedua ujung meja dan sekali ia membeset, meja itu menjadi dua potong! Melihat kepandaian itu, semua orang jadi bersorak.
Dengan munculnya majikan muda itu, nyali si bandar menjadi besar lagi.
Ia mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata membenci dan berkata dengan suara keras: "Dia main gila!"
"Dusta!" bentak si pemuda. "Tuan itu adalah seorang gagah sejati. Apakah uang tak cukup? Jika tak cukup, ambillah di rumah gadai."
Melihat ilmu silat si pemuda yang cukup tinggi dan sikapnya yang tidak sembrono, Ouw Hui jadi lebih berwaspada.
"Aku memberi jaminan, bahwa uang Pat-ya, sepeser pun tak akan dikurangkan," kata pula pemuda itu. "Orang-orang di sini berpemandangan sangat cupat, belum pernah bertemu dengan enghiong sejati. Maka itu, aku memohon Pat-ya jangan menjadi kecil hati dan sekarang, marilah mampir di rumahku."
Pemuda itu tentu saja mengetahui, bahwa "Pat Hong Mo" bukan nama Ouw Hui yang sebenarnya dan juga mengetahui, bahwa Ouw Hui memang sengaja mau mencari urusan. Tapi sebagai orang yang berpemandangan jauh, ia menahan sabar sedapat mungkin. Ia yakin, bahwa orang yang berani menantang keluarga Hong, tentulah bukan orang sembarangan.
"Eh, aku menjadi bingung karena di sini terdapat keliwat banyak Hong-hong (burung Hong)," kata Ouw Hui, "Boleh aku mendapat tahu nama saudara?"
"Siauwtee bernama It Hoa," jawab pemuda itu, seperti tak merasakan ejekan orang.
"Aku masih sangat ingin berdiam di sini beberapa jam lagi untuk berjudi terus," kata Ouw Hui. "Paling benar undang ayahmu datang kemari untuk menemui aku."
Mendengar Ouw Hui ingin berjudi terus, muka si bandar menjadi terlebih pucat. "Jangan... jangan...!" ia berseru.
"Diam!" bentak It Hoa, sembari menengok ke arah Ouw Hui dan berkata sembari tertawa.
"Ayahku selamanya belum pernah berlaku kurang ajar terhadap sahabat-sahabat. Mendengar kedatangan saudara, ia girang bukan main. Tapi, karena hari ini dua Gie-cian Sie-wie (ahli silat yang melindungi kaisar) datang berkunjung, ayahku tak dapat meninggalkan rumah. Maka itu, aku mengharap pat-ya sudi memaafkannya."
Ouw Hui tertawa dingin dan berkata: "Gie-cian Tay-to Sie-wie! Aduh! Tinggi benar pangkat itu. Saudara It Hoa, dalam kalangan Kang-ouw aku mempunyai satu gelaran yang mestinya sudah diketahui olehmu."
Hong It Hoa yang sedang kepingin tahu siapa sebenarnya Ouw Hui, menjadi girang mendengar ia menyebutkan soal gelarannya. "Siauwtee tak tahu, mohon Pat-ya sudi memberitahukannya," katanya. "Masakah, sebagai seorang dari Rimba Persilatan, kau belum pernah mendengar nama Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo (Pat Hong Mo si tukang membunuh pembesar negeri dan menggebuk utusan raja) yang begitu kesohor?" tanya Ouw Hui.
Hong It Hoa terkejut. "Aah! Pat-ya main-main," katanya sembari meringis.
Sekonyong-konyong tangan kiri Ouw Hui menyambar tangan baju It Hoa. "Hei! Besar benar nyalimu!" ia membentak. "Mengapa kau berani gegares daging burung Hongku?"
Sampai di situ, putera Hong Jin Eng tak dapat bersabar lagi. Tangan kanannya mengirimkan pukulan gertakan, sedang tangan kirinya coba mencengkeram pergelangan tangan Ouw Hui. Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui membalikkan tangannya yang terus menggampar pipi Hong It Hoa, sedang tangan yang satunya lagi mencengkeram tangan kanan Hong It Hoa. "Bayar daging burung Hongku!" ia membentak dengan suara bengis.
Hong It Hoa adalah seorang pemuda yang mempunyai kepandaian cukup tinggi, tapi ketika itu, ia merasakan tangannya seperti dijepit jepitan besi dan rasa sakit meresap ke tulang-tulangnya. Ia mengangkat dan mengirimkan tendangan hebat ke kempungan Ouw Hui. Sebelum kaki musuh mampir di kempungannya. Ouw Hui sudah memapakinya dengan jejakan kaki. "Aduh!" teriak It Hoa karena kakinya seperti diketok martil. Selagi ia kesakitan, tangan Ouw Hui sudah melayang ke pipi kanannya, sehingga kedua pipinya segera menjadi bengkak dan berwarna ungu, seperti hati babi.
"Saudara-saudara, dengarlah!" kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Dari tempat yang jauhnya ribuan lie, dari Utara aku datang ke Hud-san-tin, di mana aku telah membeli sepotong daging burung Hong dari saudara Ciong A-sie. Tapi daging itu sudah digegares oleh bocah ini. Bilanglah, apakah bocah ini harus digebuk atau tidak?"
Semua orang yang berada di situ saling mengawasi, tanpa berani membuka suara.
Sekarang mereka mengetahui, bahwa pemuda itu sedang membalaskan sakit hati Ciong A-sie. Hong It Hoa sendiri, yang sudah dijejak kakinya dan dicekal tangannya, tak dapat bergerak lagi.
Sesaat itu, dari antara orang banyak muncul seorang tua yang tangannya mencekal huncwee pendek. Orang itu adalah pengurus Rumah Gadai Enghiong yang telah terpaksa menyerahkan sembilan ribu tail perak kepada Ouw Hui. Sesudah mengirim orang untuk memberi laporan kepada majikannya, ia sendiri mengikuti sampai di rumah judi untuk mengawasi sepak terjang Ouw Hui.
Ia menghampiri dan berkata sembari tertawa: 'Hoohan-ya, ia itu adalah putera tunggal Hong Looya dan Hong Looya mencintainya seperti jiwanya sendiri. Jika Hoohan-ya menghendaki uang, katakanlah jumlahnya, tapi kuharap, Hoohan-ya suka melepaskan ia ini."
"Tutup mulut!" bentak Ouw Hui. "Daging burung Hong adalah obat kuat nomor satu di dalam dunia. Siapa yang makan, mukanya lantas berubah merah, dan kontan menjadi gemuk. Lihatlah, saudara-saudara! Bukankah muka bocah ini sudah jadi merah dan banyak lebih gemuk daripada tadi? Hm! Masih berani kau menyangkal sudah gegares daging burung Hongku?"
"Ah! Hoohan-ya, jangan guyon-guyon," kata si pengurus rumah gadai yang gusar bukan main, tapi tak berani menunjukkan kegusarannya. "Sudah menggampar, kau masih guyon-guyon."
"Saudara-saudara!" Ouw Hui berteriak pula. "Sekarang aku mau tanya pendapatmu: "Apakah bocah ini mencuri daging burung Hongku atau tidak?!"
Orang-orang yang berada di situ sebagian adalah kaki tangan Hong Jin Eng, sebagian lagi kawanan buaya darat dan yang lain adalah orang-orang miskin yang biasanya sangat takut akan kekejaman hartawan itu. Mendengar pertanyaan Ouw Hui, beberapa orang lantas saja mengatakan, bahwa tuduhan Ouw Hui hanyalah lelucon, tidak mungkin putera Hong Jin Eng mau mencuri daging.
"Bagus!" kata Ouw Hui. "Jadi kamu hendak membela dia, bukan? Dia tidak gegares dagingku, bukan? Bagus! Sekarang marilah kita bersama-sama pergi ke Pak-tee-bio untuk mendapat keputusan!"
Perkataan Ouw Hui adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Mereka semua mengetahui, apa maksudnya dengan perkataan itu. Mereka semua masih ingat akan peristiwa membelek perut di kuil tersebut.
Si pengurus rumah gadai bergemetar sekujur badannya dan menyoja kepada Ouw Hui tak henti-hentinya. "Hoohan-ya benar, kami yang salah," katanya. "Majikan mudaku memang sudah mencuri daging burung Hong. Apa juga yang Hoohan-ya inginkan sebagai ganti kerugian, kami akan segera membayarnya."
"Jangan putar-putar!" membentak Ouw Hui. "Enak benar kau menggoyang lidahmu! Aku tahu, orang-orang di sini masih penasaran. Kalau sekarang aku tak pergi ke Pak-tee-bio, aku tak mempunyai muka lagi untuk bertemu dengan manusia di kemudian hari."
Sehabis berkata begitu, sambil mengempit Hong It Hoa, ia keluar dari rumah judi itu dengan tindakan lebar dan dengan bertanya-tanya di sepanjang jalan, ia menuju ke kuil Pak-tee-bio.
Pak-tee-bio adalah sebuah kelenteng yang besar dan indah sekali. Di pekarangan depannya terdapat pengempang dan pengempang itu dihiasi dengan kura-kuraan dan ular-ularan batu di tengah-tengahnya.
Dengan bengis, Ouw Hui menyeret It Hoa ke ruangan sembahyang. Di situ, di depan patung malaikat Pak-te, ia melihat tanda-tanda darah. Sesaat itu juga, di depan matanya terbayang peristiwa yang menyedihkan itu. Darahnya lantas saja mendidih. Sekali Ouw Hui mendorong, tubuh Hong It Hoa jatuh ngusruk di depan meja sembahyang.
Ia mengawasi patung Malaikat Pak-tee dan berkata: "Pak-tee-ya, sebagai malaikat yang angker, aku memohon supaya kau tolong membalaskan sakit hati rakyat kecil. Bangsat ini sudah mencuri dan gegares daging burung Hongku, tapi banyak orang mengatakan tidak...."
Belum habis perkataannya, tiba-tiba ia merasakan kesiuran angin tajam dan sesaat itu juga, dua serangan menyambar dari kiri kanan.
Ouw Hui menunduk dan mengkeratkan badannya. Selagi kedua orang itu menubruk angin, Ouw Hui membarengi mendorong pundak mereka dan... "duk!" kepala mereka beradu keras, kemudian dua-duanya rubuh dalam keadaan pingsan.
Di lain saat, sekonyong-konyong terdengar bentakan dan seorang musuh lagi menghantam dari belakang. Dari tindakan kaki orang itu dan kesiuran angin serangannya, Ouw Hui tahu, bahwa ia sedang menghadapi seorang lawan berat. Dengan cepat ia miringkan badannya dan hampir berbareng dengan itu, suatu sinar golok berkelebat disusul dengan lewatnya sesosok badan manusia sebesar kerbau.
Karena membacok angin, tubuh orang itu terhuyung ke depan dan goloknya terus menyambar ke arah kepala Hong It Hoa.
Untung juga, orang itu berkepandaian tinggi. sehingga pada detik terakhir, ia masih keburu miringkan lengannya dan goloknya menghantam lantai, sehingga ia kenyuknyuk sendiri di atas lantai.
"Bagus!" seru Ouw Hui sembari menekan sikut orang itu dengan kakinya, sehingga mau tak mau, orang itu harus melepaskan senjatanya sembari berteriak keras. Ouw Hui menyontek dengan kakinya dan golok itu meloncat ke atas, untuk kemudian disambuti dengan sebelah tangannya. "Aku justru sedang bingung karena tidak mempunyai golok untuk membelek perut," katanya sembari tertawa. "Terima kasih untuk jerih payahmu."
Orang itu gusar bukan main. Ia berontak sekuat tenaganya dan berhasil melepaskan diri dari tekanan kaki Ouw Hui untuk kemudian loncat bangun. Ouw Hui terkejut karena kakinya agak kesemutan. Ternyata, orang itu mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya.
Dengan mata merah, jago Hong Jin Eng ini mementang sepuluh jerijinya yang seperti gaitan besi dan menubruk Ouw Hui. Dengan sekali memutarkan tubuh, Ouw Hui sudah berada di belakang musuh itu. Dengan tangan kiri, ia menyambar pantat orang itu dan mendorongnya ke atas seraya berseru: "Naik!"
Dorongan itu yang meminjam tenaga orang tersebut yang sedang berlompat menubruk, ditambah dengan tenaganya sendiri, dahsyat bukan main. Bagaikan bola, tubuh orang itu yang sebesar kerbau meleset ke atas dan dalam sekejap, kepalanya sudah hampir membentur genteng. Semua penonton mengeluarkan teriakan tertahan. Dalam bingungnya, ia memeluk sebuah balok besar yang melintang di bawah wuwungan. Bukan main kagetnya, karena meskipun kepalanya selamat, tubuhnya bergelantungan di tengah udara!
Ketika ia melongok ke bawah, ia bergidik sebab ia berada di tempat yang tingginya tak kurang dari tujuh tombak. Orang itu, seorang ahli gwakee (ilmu luar) yang bertenaga besar, tidak mempunyai ilmu mengentengkan badan dan oleh karenanya, tak berani ia loncat turun. Dalam partai Ngo-houw-bun, ia menduduki kursi ke tiga dan merupakan kaki tangan Hong Jin Eng yang paling diandalkan. Dia adalah manusia yang sangat ditakuti oleh segenap penduduk Hud-san-tin. Tapi sekarang, dengan badan bergelantungan di tengah udara, keadaannya sangat menyedihkan, naik dia tak mampu, turun pun dia tak berani.
Sementara itu, dengan bengis Ouw Hui merobek baju Hong It Hoa. Sembari mengusap-usap perut orang, ia mengangkat goloknya.
"Sahabat-sahabat!" teriak Ouw Hui. "Bukalah matamu lebar-lebar. Apakah dia sudah gegares daging burungku, sekarang kamu bisa mendapat buktinya. Janganlah kamu mengatakan, bahwa aku membikin orang baik-baik jadi penasaran."
Melihat putera Hong Jin Eng akan segera menemui ajalnya, empat lima orang yang macamnya seperti orang hartawan, maju mendekati dan coba membujuk supaya Ouw Hui mengurungkan niatnya.
Ouw Hui mendongkol melihat lagak orang-orang itu. "Eh, aku mau tanya," katanya. "Ketika Ciong Sie-so mau membelek perut anaknya, kenapa kamu tidak coba menolong? Hm! Jiwa anak orang kaya memang berharga besar. Tapi apakah jiwa si miskin tak berharga sepeser buta? Sekarang lekas kamu pulang dan balik kemari dengan masing-masing membawa anakmu sendiri. Awas! Jika kamu tidak menurut perintah, ke ujung langit kau lari, aku bisa mencari kamu!"
Mendengar itu, semangat mereka terbang ke awang-awang. Dengan muka pucat, mereka menyelesap di antara orang banyak dan tidak berani membuka suara lagi. Sesaat itu, di luar pintu kelenteng tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul dengan masuknya sejumlah orang yang dikepalai seorang yang tubuhnya tinggi besar. Sekali ia mengebaskan kedua tangannya, tujuh delapan penonton sudah jatuh terguling. Melihat sikap dan lagak orang itu, Ouw Hui berkata di dalam hatinya: "Aha! Akhirnya dia datang juga."
Dengan mata tajam ia memperhatikan orang itu, dari kepala sampai di kaki, dari kaki sampai di kepala. Orang itu berusia kira-kira lima puluh tahun, kumisnya sudah berwarna abu-abu, tangan kanannya memakai gelang batu giok dan tangan kirinya mencekal pipa Pit-ya-hu. Dilihat dari roman dan dandannya, ia lebih mirip dengan seorang hartawan besar daripada dengan seorang jago jahat dalam Rimba Persilatan.
Orang itu memang bukan lain daripada Hong Jin Eng. Ciangbunjin (pemimpin) partai Ngo-houw-bun. Hari itu, ia repot sekali melayani dua Sie-wie yang baru datang dari kota raja. Dengan beruntun ia mendapat laporan jelek, akan tetapi, karena sungkan kehilangan muka, ia tetap tidak berkisar dari meja perjamuan. Ia menganggap sepi gangguan itu dan merasa pasti, bahwa kaki tangannya akan dapat membereskan si pengacau. Belakangan, sesudah mendengar, bahwa puteranya sendiri kena dirubuhkan dan dibawa ke kelenteng Pak-tee-bio untuk dibelek perutnya, baru ia benar-benar kaget dan buru-buru menyusul ke kelenteng itu.
Tadinya ia menduga, bahwa si pengacau adalah salah seorang musuh besarnya. Akan tetapi, ia merasa agak heran ketika mendapat kenyataan, bahwa seterunya itu adalah seorang muda yang sama sekali tak dikenalnya. Begitu masuk, tanpa berkata suatu apa, lebih dulu ia coba membangunkan puteranya.
"Sombong benar lagak si tua bangka," kata Ouw Hui di dalam hatinya, sembari menepuk pinggang Hong Jin Eng. Tanpa menengok, Hong Jin Eng menyampok ke belakang dengan tangan kirinya. "Plak!" tubuh Hong Jin Eng bergoyang-goyang, hampir-hampir ia rubuh di atas badan puteranya. Sekarang ia mengetahui, bahwa musuhnya benar-benar tangguh. Ia segera mengurungkan niatnya untuk menolong anaknya dan sembari menggereng seperti harimau terluka, ia menerjang Ouw Hui.
Melihat serangan orang yang cepat dan bertenaga, Ouw Hui pun yakin, bahwa ia sedang menghadapi musuh yang berkepandaian tinggi. Sesudah beberapa gebrakan, mendadak Ouw Hui menyabet tinju Hong Jin Eng dengan goloknya. Walaupun hebat, bacokan itu dengan mudah akan dapat dielakkan, jika Hong Jin Eng menarik pulang tinjunya. Akan tetapi, jika ia menarik pulang tinjunya, golok itu tentu akan menghantam puteranya yang rebah di atas lantai.
Pada detik yang sangat berbahaya itu, setelah tangan Hong Jin Eng menyambar taplak meja sembahyang, yang setelah digulung cepat-cepat lalu digunakan menangkis golok Ouw Hui.
"Bagus!" seru Ouw Hui sembari menangkap taplak itu dengan tangan kirinya. Mereka saling membetot dan "brt", taplak itu putus menjadi dua.
Sekarang Hong Jin Eng tak berani lagi memandang rendah kepada Ouw Hui. Ia meloncat, mundur setengah tombak dan seorang muridnya lantas menyerahkan sebatang toya emas kepadanya. Toya itu yang panjangnya sembilan kaki, seluruhnya terbuat dari emas tulen dan merupakan salah satu senjata termahal dalam Rimba Persilatan.
Sesudah mengebaskan toyanya, ia berkata dengan suara nyaring: "Siapakah guru tuan? Kesalahan apa yang aku, si orang she Hong, sudah lakukan terhadap tuan?"
"Sepotong daging burung Hongku telah dicuri dan digegares oleh anakmu," jawab Ouw Hui. "Aku sekarang menuntut untuk membelek perutnya guna memperoleh bukti."
Selama banyak tahun, dengan sebatang toya tembaga, Hong Jin Eng tak pernah menemui tandingan di seluruh wilayah Lenglam. Belakangan ia membentuk partai Ngo-houw-bun dan tinggal menetap di kota Hud-san-tin. Sesudah menjadi makmur dan kaya raya, toya tembaga itu digantinya dengan toya emas. Dalam Rimba Persilatan, menurut kebiasaan, panjang toya tidak boleh lebih dari sebatas alis orang yang menggunakannya. Toya semacam itu dinamakan Cee-bie-kun (Toya sebatas alis), paling pendek kira-kira lima kaki dan paling panjang tujuh kaki, menurut pendek tingginya orang yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin Eng sampai sembilan kaki dan disamping itu, berat emas adalah kira-kira dua kali lipat daripada berat logam sebangsa besi. Dari sini dapatlah orang membayangkan bagaimana besar tenaga jagoan Hud-san-tin itu.
Mendengar jawaban Ouw Hui, ia mengetahui, bahwa hari ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja menjadi padam. "Semenjak dulu, belum pernah aku berlaku kurang hormat terhadap sahabat-sahabat," katanya dengan suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah saling mengenal, maka itu guna apa tuan merusak keakuran dalam kalangan Kang-ouw untuk seorang bocah miskin? Sekarang, apakah tuan mau menjadi kawan atau menjadi lawan, terserahlah kepada tuan."
Harus diketahui, bahwa toya emas itu adalah senjata berat, tapi sekali ia mengebaskannya, kesiuran angin senjata itu sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan kepandaiannya dan dengan perkataan yang dalam kelembekannya mengandung kekerasan, Hong Jin Eng ingin mendesak supaya Ouw Hui mengundurkan diri dan jangan campur tangan dalam urusan orang.
"Benar, benar sekali perkataanmu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Begitu lekas kau membayar daging burung Hong itu tanpa banyak rewel lagi, aku akan segera meninggalkan tempat ini."
Wajah Hong Jin Eng lantas saja berubah menyeramkan. "Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan urusan ini dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis berkata begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke pekarangan depan.
Ouw Hui menendang Hong It Hoa dan mencampakkan goloknya di pinggir badan pemuda itu.
"Jika kau lari, ayahmu yang mesti mengganti dengan jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan keluar dengan tangan kosong.
"Hei! Pasang kupingmu terang-terang!" ia berteriak. "Tuan besarmu tak pernah menukar she dan berganti nama. Aku adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong, mencabut bulu kau juga boleh."
Baru habis ia mengucapkan perkataannya, tangan kirinya mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat musuhnya tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu Ouw Hui bergerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di tengah udara menyapu rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutarkan badan mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas dengan suatu pukulan dahsyat.
Semua orang mengawasi pertempuran hebat itu, sambil menahan napas. Di antara penonton tentu saja terdapat banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.
Akan tetapi, tanpa diperintah, mereka tidak berani sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian tinggi, jangankan membantu, sedang kelanggar angin pukulan saja mereka sudah akan merasa tak tahan.
Selagi pertempuran itu berlangsung dengan hebatnya, sekonyong-konyong dari luar menerobos tiga orang. Yang jalan paling dulu adalah seorang wanita, rambutnya terurai dan berlepotan darah, ia bukan lain daripada Ciong Sie-so, diikuti oleh suaminya, Ciong A-sie, dan puteranya, Ciong Siauw Jie. Begitu masuk, Ciong Sie-so berlutut dan tertawa terbahak-bahak. "Hong Looya adalah seorang yang sangat mulia," katanya. "Pak-tee-ya tentu akan memberkahi kau, supaya banyak rejeki, panjang umur dan banyak anak. Kau tentu akan diberkahi dengan emas dan batu permata serta harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Anakku Siauw-sam-cu telah mengadu kepada Giam-loo-ong dan Giam-ong Looya mengatakan, bahwa kau adalah seorang yang mempunyai rejeki sangat besar." Sembari berkata begitu, ia menyoja-nyoja tak hentinya, sebentar menangis, sebentar tertawa. Suaminya berdiri di sampingnya dengan paras muka pucat, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Baru bertempur belasan jurus, Hong Jin Eng sudah jatuh di bawah angin. Munculnya keluarga Ciong sangat menggoncangkan hatinya dan silatnya lantas saja menjadi semakin kalut. Ia mengetahui, bahwa dalam tempo cepat, ia akan dirubuhkan oleh pemuda itu. Dalam bingungnya, dengan nekat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya di kedua lengan dan menyabet janggut Ouw Hui dengan sekuat tenaganya.
Dahsyat sungguh sabetan toya itu yang disertai dengan kesiuran angin yang sangan tajam. Tapi sebaliknya dari berkelit atau meloncat mundur. Ouw Hui mengangsurkan kedua tangannya dan menangkap toya musuh.
Hong Jin Eng terkesiap dan segera menyodok dengan seantero tenaganya. Dengan mundur sedikit, Ouw Hui sudah bisa memunahkan tenaga dorongan si orang she Hong. Tapi Hong Jin Eng yang sudah melatih ilmunya lebih dari tiga puluh tahun, tentu saja sungkan menyerah mentah-mentah. Dengan menggunakan tenaga Gwa-kang (tenaga luar) yang paling hebat, ia menyontek dan membetot toyanya. Entah bagaimana, demi sekali berkelebat, tubuh Ouw Hui sudah maju ke depan dan tangannya menyambar ke arah tenggorokan musuh, sedang toya musuh yang dirapati dan dicekal dengan sebelah tangannya, tak dapat memukul dirinya.
Hong Jin Eng terbang semangatnya. Sembari menunduk, ia mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi lehernya. Tapi Ouw Hui menang cepat. Tangan kirinya sudah mendahului menepuk kepala Hong Jin Eng dan mencopot topi batoknya, sedang tangan kanannya menjambret ujung thaucang hartawan kejam itu. "Sekali ini aku mengampuni jiwamu!" Ouw Hui membentak dan tangan kirinya, yang masih mencekal topi musuhnya, menjambret bagian atas thaucang itu: kemudian, sekali ia membetot dengan kedua tangannya, thaucang Hong Jin Eng sudah ditariknya putus!
Paras muka manusia kejam itu pucat pias dengan mendadak. Buru-buru ia loncat menyingkir. Ouw Hui mengayun tangan kirinya dan kopiah sekali mengayun tangan, Ouw Hui melemparkan kopiah Hong Jin Eng yang Jatuh tepat di kepala ular batu. Sesudah itu loncat dan sekali menghantam, kepala kura-kura batu sebatas leher sudah menjadi putus.
Kopiah Hong Jin Eng terbang keluar, jatuh persis di atas kepala ular-ularan batu. Ia loncat ke arah pengempang sembari menghantam kepala kura-kura batu itu dengan tangannya. "Tak!" kepala yang mendongak ke atas itu patah dan jatuh ke dalam air. Ouw Hui tertawa berkakakan dan melibatkan potongan thaucang Hong Jin Eng di leher kura-kuraan batu tersebut. Sembari mengebut-ngebut debu di bajunya, ia menanya dengan tertawa: "Mau lagi?"
Melihat ilmu silat yang begitu tinggi, paras muka semua penonton jadi berubah. Mereka kaget berbareng kagum. Hong Jin Eng sendiri mengetahui, bahwa barusan pemuda itu masih berbelas kasihan kepadanya. Jika ia memukul kepalanya dengan tenaga yang sebesar digunakannya menghantam kepala kura-kuraan batu tadi, jiwanya tentu sudah melayang: Akan tetapi, pemutusan thaucangnya yang kemudian dilibatkan ke leher kura-kura dan pelemparan kopiahnya ke kepala ular, adalah hinaan besar yang tak dapat ditelannya mentah-mentah. Maka dengan mata merah ia menerjang lagi dan menyapu Ouw Hui dengan pukulan Ceng-liong-kian-wie (Naga hijau menyabet dengan bun-tutnya). Sesaat itu, Hong Jin Eng sudah menjadi nekat dan ia menyerang tanpa memperdulikan lagi keselamatan jiwanya.
Ouw Hui yang sudah mengambil ketetapan untuk menyapu bersih muka hartawan kejam itu, lantas saja melayaninya dengan bersemangat. Ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun pukulan-pukulan orang she Hong itu ada terlebih berat, tapi gerakannya tidak begitu gesit lagi. Sesudah beberapa gebrakan, dengan pukulan Thie-gu-keng-tee (Kerbau besi meluku tanah), Hong Jin Eng menyapu kaki musuhnya. Begitu ujung toya itu menyambar ke bawah dan menyentuh tanah, dengan berani Ouw Hui menjejak dengan kaki kanannya. Hong Jin Eng terkesiap dan buru-buru menarik pulang toyanya. Tapi sudah kasep! Hampir berbareng dengan jejakan itu kepada ujung toya, kaki kiri Ouw Hui sudah menjejak batangnya dan pada saat itu juga, toya emas tersebut terlepas dari kedua tangan Hong Jin Eng. Apa celaka, diwaktu jatuh, toya itu menimpa kaki kanan Hong Jin Eng dan dua tulang jeriji kakinya lantas menjadi remuk. Muka Hong Jin Eng menjadi pucat seperti kertas, tapi dengan mengertak gigi, ia menahan sakit.
"Aku sudah kalah dan tak usah banyak bicara lagi," katanya dengan suara nyaring. "Mau bunuh, boleh lantas bunuh."
Ketika itu, Ciong Sie-so masih terus berlutut dan menyoja-nyoja. "Hong Looya," katanya sembari menangis. "Coba bilang sekarang, apa benar anakku sudah makan daging angsamu?"
Sebagai seorang yang berhati mulia, Ouw Hui sebenarnya merasa tak tega untuk menghina Hong Jin Eng terlebih jauh.
Tapi, melihat Ciong Sie-so yang sudah menjadi gila dan penuh tanda-tanda darah, lantas saja ia ingat, bahwa manusia yang bergelar Lam-pa-thian ini tentu juga sudah sering melakukan perbuatan yang berada di luar batas kemanusiaan. Mengingat begitu, darahnya kembali naik tinggi.
Dengan tindakan lebar ia masuk ke ruangan sembahyang, menenteng Hong It Hoa dan mencabut goloknya yang barusan ditancapkan di atas lantai. Ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya berkata: "Hong Looya, aku dan kau sebenarnya tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Akan tetapi, anakmu sudah makan daging burung Hongku, sedang orang-orang di Hud-san-tin coba melindunginya. Maka itu, oleh karena sukar mendapat bukti, jalan satu-satunya adalah membelek perut anakmu. Hei! Saudara-saudara! Sekarang buka matamu lebar-lebar!"
Ia mengangkat goloknya yang lalu diguratkan di atas perut Hong It Hoa. Sesaat itu juga, di kulit yang berwarna putih itu tertampak darah yang berwarna merah.
Meskipun Hong Jin Eng adalah manusia yang banyak dosanya, tapi dapat juga ia memperlihatkan sikap laki-laki dari seorang Kang-ouw. Sesudah rubuh dalam tangan Ouw Hui, ia tetap keras kepala dan tidak menodai namanya sebagai Ciangbunjin suatu partai. Akan tetapi, begitu lekas ia melihat goresan berdarah di atas perut putera tunggalnya, habislah semua keangkerannya. "Tahan!" ia berseru sembari mengambil sebilah golok dari tangan salah seorang pegawainya.
"Mau bertempur lagi?" tanya Ouw Hui sembari tertawa.
"Siapa yang berbuat, dialah yang harus memikul segala akibatnya," jawabnya dengan suara duka. "Aku sudah melakukan perbuatan yang tidak benar, sehingga kau turun tangan. Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan anakku. Aku tak berani hidup terus di dalam dunia, hanya aku mengharap supaya kau sudi mengampuni anakku."
Sehabis berkata begitu, ia mengangkat goloknya untuk menggorok lehernya sendiri.
"Hong Toako!" mendadak terdengar teriakan orang. "Jangan!" Orang itu adalah si lelaki tinggi besar yang sedang bergelantungan di balok dekat wuwungan.
Hong Jin Eng tertawa dan tetap melaksanakan niatnya. Semua orang terperanjat, tapi tak seorang pun berani membuka suara.
Pada detik yang terakhir, mendadak terdengar suara "srr" dan sebuah senjata rahasia menyambar dari pintu ruangan sembahyang. "Criing!" senjata itu membentur golok yang lantas saja terpukul miring, tapi meskipun begitu, golok itu tak urung menggores juga pundak Hong Jin Eng yang lantas saja mengucurkan darah.
Dengan matanya yang sangat jeli. Ouw Hui segera melihat, bahwa senjata rahasia itu adalah sebatang tusuk konde perak. Ia membungkuk dan memungut perhiasan wanita itu, yang ternyata bukan saja kecil, tapi juga enteng sekali. Ouw Hui terkesiap. Bahwa dengan senjata yang begitu kecil dan enteng, penimpuknya dapat memukul miring golok Hong Jin Eng, adalah suatu kejadian yang hampir-hampir tak dapat dipercaya. Tapi kejadian itu sudah merupakan suatu kenyataan, Ouw Hui merasa bukan main, sedalam-dalamnya ia mengakui, bahwa kepandaian orang itu mungkin sekali berada di sebelah atasnya.
Dengan cepat ia pergi ke cimehe dan dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berada di atas genteng. Sesaat itu, di sebelah tenggara terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang dalam sedetik, sudah menghilang dari pemandangan.
Ouw Hui memburu ke jurusan tenggara, tapi ia tak dapat menemukan suatu apa. "Dari belakang, orang itu berbadan langsing, seperti potongan seorang wanita," pikirnya. "Apakah mungkin, bahwa dalam dunia terdapat seorang perempuan yang berkepandaian begitu tinggi?"
Karena khawatir Hong Jin Eng dan puteranya akan melarikan diri, ia tak berani berdiam lama-lama di atas genteng. Setibanya kembali di ruangan sembahyang, ia melihat ayah dan anak itu sedang berpelukan sembari menangis. Sebagai seorang mulia, dalam hati pemuda itu lantas timbul niatan untuk mengampuni kedua orang tersebut.
Melihat kedatangan Ouw Hui, Hong Jin Eng segera melepaskan puteranya dan lalu berlutut di atas lantai. "Jiwa tuaku sekarang sudah berada dalam tanganmu," katanya dengan sedih. "Harapanku satu-satunya adalah supaya kau sudi mengampuni jiwa anakku."
"Tidak!" seru It Hoa. "Bunuh saja aku. Biarlah aku yang mengganti jiwa bocah she Ciong itu."
Ouw Hui sangsi bukan main, ia tak tahu harus berbuat bagaimana. Jika mesti mengambil jiwa dua orang, ia merasa tidak tega, tapi kalau mengampuni mereka secara begitu saja, ia juga merasa tidak benar. Selagi bersangsi, Ciong A-sie mendadak menghampiri dan berkata dengan suara terharu: "Hoohan-ya, kau sudah menolong jiwa isteriku dan mencuci rasa penasaran keluarga kami. Budi yang sangat besar itu, dengan sesungguhnya siauwjin tak akan dapat membalasnya."
Sehabis berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepalanya berulang-ulang.
Buru-buru Ouw Hui membangunkan orang itu dan mengucapkan beberapa perkataan menghibur. Sembari mengawasi Hong Jin Eng dengan paras muka merah padam bahna gusarnya, Ciong A-sie berkata: "Hong Looya, hari ini di hadapan Pak-tee-ya, cobalah kau katakan terus terang: Apakah anakku Siauw-sam-cu benar-benar sudah mencuri daging angsamu?"
Hong Jin Eng menunduk dan menjawab dengan suara perlahan: "Tidak. Akulah yang bersalah."
"Hong Looya," kata pula Ciong A-sie. "Bilanglah menurut liangsimmu (perasaan hati): Kau sudah memenjarakan aku dan mendesak sehingga anakku binasa, apakah itu bukan hanya untuk mengangkangi kebun sayurku?"
Hong Jin Eng melirik. Ia mendapat kenyataan, bahwa si petani miskin yang biasanya sangat takut kepadanya, disaat itu memandangnya dengan sorot mata berapi-api dan paras muka menyeramkan. Kembali ia menunduk dan tak dapat menjawab pertanyaan orang.
"Lekas bilang! Bukankah begitu?" bentak Ciong A-sie dengan suara memburu.
Perlahan-lahan Hong Jin Eng melongok. "Benar," sahutnya. "Hutang jiwa dibayar jiwa. Bunuhlah aku."
Sesaat itu, sekonyong-konyong di luar terdengar suara cacian. "Hei! Bangsat kecil yang mengaku bernama Pat Hong Mo!" teriak seseorang. "Apakah kau berani keluar untuk bertempur dengan tuan besarmu? Jangan bersembunyi! Hayo keluar!"
Semua orang jadi tereengang, Ouw Hui juga kaget dan lantas meloncat keluar. Di luar, ia melihat tiga penunggang kuda sudah kabur ke arah barat.
"Kura-kura!" teriak seorang antaranya sembari menengok ke belakang. "Apakah kau berani bertempur dengan tuan besarmu?"
Ouw Hui gusar bukan main. Pada pohon di depan kelenteng kelihatan tertambat dua ekor kuda. Tanpa mengucapkan sepatah kata, buru-buru ia membuka tambatan seekor antaranya dan meloncat ke punggung hewan itu yang lantas dikaburkan sekeras-kerasnya untuk mengejar ketiga orang itu.
Jauh-jauh Ouw Hui melihat tiga musuhnya kabur di sepanjang tepi sungai. Kepandaian mereka menunggang kuda tidak seberapa, tapi kuda mereka lebih bagus daripada tunggangan Ouw Hui. Sesudah mengejar satu lie lebih, belum juga mereka dapat disusul, Ouw Hui menjadi jengkel. Seperti caranya seorang akrobat, sedang tunggangannya dikaburkan terus, ia menjumput beberapa butir batu dari atas tanah. Sekali ia mengayun tangannya, lima enam batu menyambar ke arah tiga orang itu. "Aduh!" mereka berteriak. Hampir berbareng, batu-batu itu mengenai punggung mereka. Dua antaranya terjungkal tanpa bisa bangun lagi, sedang yang ketiga diseret-seret tunggangannya, karena kaki kirinya tersangkut pada sanggurdi. Dilain saat, kuda itu sudah membelok dan bersama penunggangnya yang diseret-seret ia lenyap dari pemandangan karena terhalang pohon-pohon.
Ouw Hui loncat turun. Dua orang itu merintih sembari memegang-megang pinggang. Ouw Hui menendang dan membentak: "Eh! Kau kata mau bertempur denganku. Hayo, bangun!"
Orang itu merangkak bangun dan memaki: "Tak tahu malu, kau! Sudah tidak mau bayar hutang judi, masih begitu galak! Suatu hari, Hong Looya, tentu akan membereskan kau."
Ouw Hui terkejut. "Aku hutang judi?" tanyanya. Sekonyong-konyong, orang yang satunya lagi menerjang dan meninju. Ouw Hui mesem, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa orang itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Dengan sekali menyampok, ia membuat orang itu berbalik menghantam hidung kawannya yang lantas saja mengeluarkan kecap. Ia terkejut dan mengawasi dengan mulut ternganga.
"Anjing! Kau berani memukul aku?" teriak orang yang kepukul, sembari menendang kawannya. Dilain saat, mereka sudah berkelahi dan melupakan Ouw Hui yang berdiri menonton di samping mereka. Melihat kedua orang itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat, tapi toh sudah berani menantang padanya, Ouw Hui mengetahui, bahwa dalam hal itu mesti terselip latar belakang lain. Sekali menjambret dengan kedua tangannya, ia memisahkan mereka. Kedua orang itu terus saling memaki, yang satu mencaci lawannya sebagai pencuri lobak, yang lain menuduh musuhnya sebagai pencuri ayam. Mereka itu ternyata adalah buaya-buaya darat dan Ouw Hui jadi semakin bercuriga.
"Siapa yang menyuruh kau mencaci aku?" bentak Ouw Hui sembari menggaplok dan pipi mereka lantas saja bengkak.
Si pencuri ayam, yang nyalinya lebih kecil, lantas saja meminta ampun.
"Jangan rewel! Jawab pertanyaanku!" Ouw Hui membentak pula.
"Menurut kata Thio Po-koan (bandar she Thio) dari Enghiong Hweekoan, kau hutang judi tak mau membayarnya," si pencuri ayam menerangkan.
"Maka itu, ia menyuruh kami bertiga mengerubuti kau dengan menjanjikan upah lima tail perak untuk setiap orang. Kuda itu juga adalah kuda Thio Po-koan. Apa kau hutang atau tidak, sebenarnya bukan urusan kami...."
"Celaka!" Ouw Hui mengeluh. "Kenapa aku begitu tolol? Aku sudah dipancing dengan tipu memancing harimau keluar gunung."
Sembari memikir begitu, ia mendorong kedua buaya kecil itu yang lantas saja jatuh terguling dan sesaat kemudian ia buru-buru menyemplak kudanya yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya ke arah kelenteng Pak-tee-ya.
"Sudah pasti Hong Jin Eng dan anaknya akan menyembunyikan diri," katanya di dalam hati. "Hud-san-tin begini luas, bagaimana aku harus mencarinya? Tapi biarlah! Bangsat itu mempunyai banyak sekali perusahaan. Biar aku mengaduk di setiap perusahaannya. Aku mau melihat, apakah dia bisa bersembunyi terus."
Sebentar saja, ia sudah tiba kembali di depan kelenteng. Hati Ouw Hui lantas saja merasa tidak enak. Keadaan di situ sunyi senyap, orang-orang yang tadi berkerumunan sudah tak kelihatan mata hidungnya. "Ah! Benar-benar Hong Jin Eng kabur," pikirnya sembari loncat turun dari tunggangannya. Dengan tindakan lebar, ia memasuki pekarangan dan terus menuju ke ruangan sembahyang. Begitu masuk, ia merasakan dadanya sesak... hampir-hampir ia jatuh duduk!
Ternyata, di ruangan sembahyang menggeletak tiga mayat, yaitu mayat Ciong A-sie, Ciong sie-so dan Ciong Siauw Jie, yang semuanya penuh dengan bacokan.
Ouw Hui berdiri terpaku, darahnya bergolak-golak. Mendadak, ia melemparkan diri di depan meja sembahyang dan menangis sedu sedan. "Ciong Sie-ko, Sie-so dan saudara Ciong," katanya dengan suara gentar. "Ouw Hui tolol sekali, sehingga kalian menjadi korban."
Sesudah kenyang memeras air mata, tiba-tiba ia meloncat bangun. Ia menuding patung malaikat dan berkata dengan suara nyaring dan tetap, "Pak-tee Ya-ya! Hari ini aku mohon kau menjadi saksi: Jika aku, Ouw Hui, tak bisa membunuh Hong Jin Eng, bapak dan anak, untuk membalaskan sakit hati keluarga Ciong, aku akan kembali ke sini untuk menggorok leherku di hadapanmu!" Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam ujung meja sembahyang yang lantas saja menjadi hancur dan dua ciaktay (tempat tancap lilin) jatuh terguling di atas lantai.
Beberapa saat kemudian, ia berjalan keluar dan masuk lagi dengan menuntun kuda. Ia mengangkat ketiga mayat itu yang lalu diletakkan di atas punggung kuda. Bukan main rasa menyesalnya. "Ah! Karena belum mempunyai pengalaman, aku sungguh luar biasa gobloknya," katanya di dalam hati.
"Tanpa mengerti seluk-beluk dan kekejaman dunia Kang-ouw, aku sudah berani turun tangan, karena gara-garaku, tiga jiwa jadi melayang. Biarpun rumah keluarga Hong merupakan rimba senjata, hari ini akan kuterjang juga." Sambil menunduk, perlahan-lahan ia menuntun kudanya dan menuju ke jalan raya.
Ketika itu, Hud-san-tin seolah-olah sebuah kota mati. Semua pintu tertutup rapat, sedang di jalan tak terdapat seorang manusia. Ketika melewati Rumah Gadai Enghiong dan Rumah Makan Enghiong, ia menendang pintu kedua rumah itu dan ternyata keadaan di kedua tempat itu pun sunyi senyap seperti kuburan. Apa yang mengherankan adalah: Di rumah gadai dan di restoran tertumpuk ramput dan kayu bakar. Ia tak dapat menebak, untuk apa bahan bakar itu.
"Tak bisa salah lagi, Hong Jin Eng sedang mempersiapkan jebakan untuk menghadapi aku," katanya dalam hati. "Mereka berjumlah banyak, aku seorang diri. Aku harus berhati-hati, supaya jangan kena diakali lagi."
Setindak demi setindak ia maju dengan waspada. Sesudah membelok beberapa kali, tibalah ia di depan gedung keluarga Hong yang sungguh besar serta mentereng dan di depannya tergantung sebuah papan indah dengan tulisan : Lamhay Hongtee (Rumah keluarga Hong di Lamhay). Di gedung itu, lagi-lagi Ouw Hui mendapatkan pemandangan yang luar biasa. Semua pintu, besar dan kecil, semua jendela terpentang lebar, sedang di gedung yang luas itu, tak kelihatan seorang manusia juga!
"Tak perduli jebakan apapun juga, aku tak takut," Ouw Hui menggerendeng. "Biar kubakar gua kura-kuramu. Aku mau lihat, apakah kau keluar atau tidak."
Tapi baru saja ia niat mencari bahan bakar untuk melepaskan api, di belakang gedung sekonyong-konyong terlihat asap mengepul! Ouw Hui terkesiap, sekarang ia dapat menebak tindakan Hong Jin Eng. "Lihay sungguh tangan Hong Jin Eng dan benar-benar dia jagoan," pikirnya. "Dia rela membakar sarangnya sendiri. Dilihat begini, dia dan keluarganya tentu akan kabur ke tempat jauh."
Sembari memikir begitu, ia terus masuk ke kebun sayur dengan menuntun kudanya. Dengan sebuah pacul ia menggali tanah dan mengubur tiga jenazah itu.
Di kebun itu, lobak dan pekeay hijau tumbuh subur, sedang di antara galangan tanaman sayur terdapat topi anak kecil dan sebuah anak-anakan tanah. Sedih hati Ouw Hui dan dalam kesedihannya, hatinya kemudian menjadi panas bukan main. Ia berlutut di depan kuburan itu dan mulutnya berkemak-kemik: "Ciong-heng dan Ciong Sie-so. Jika rohmu mempunyai keangkeran, bantulah aku untuk membekuk batang leher manusia berdosa itu."
Selagi bersembahyang, di jalan raya tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki puluhan orang, di-susul dengan teriakan-teriakan.
"Tangkap pembunuh dan pembakar rumah!" teriak seseorang.
"Cegat! Jangan kasih bajak laut itu melarikan diri!" seru seorang lain.
"Di sini! Di kebun sayur!" teriak orang ketiga.
Ouw Hui meloncat ke atas sebuah pohon besar dan memandang ke luar. Ternyata sejumlah opas dan serdadu yang bersenjata busur dan anak panah serta lain-lain, sedang berteriak-teriak di depan gedung Hong Jin Eng, tapi tuan rumahnya sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.
"Hm! Manusia itu sekarang menggunakan tangan pembesar negeri," menggerendeng Ouw Hui. Ia meloncat turun dan menyemplak tunggangannya yang lalu dikaburkan ke luar kota dengan mengambil jalan dari belakang gedung keluarga Hong, yang ternyata tidak terjaga sama sekali.
Ouw Hui menahan kudanya dan dari sebelah jauh, ia memandang ke arah kota. Di beberapa tempat, yaitu kira-kira di gedung keluarga Hong, di rumah makan, di rumah gadai dan beberapa tempat lainnya, kelihatan sinar api dan asap yang mengepul ke atas. Sekarang ia mengetahui bahwa Hong Jin Eng telah memusnahkan seantero harta bendanya dengan tangannya sendiri dan dia tentu tak akan kembali lagi ke kota Hud-san-tin. Walaupun hatinya gusar dan ia membenci hartawan kejam itu, tak urung ia merasa kagum.
"Ke mana aku mesti mencarinya?" tanya Ouw Hui pada diri sendiri, sembari mengedut les.
Sayup-sayup ia masih bisa mendengar suara teriakan ratusan manusia yang sedang coba memadamkan api. Perlahan-lahan Ouw Hui menjalankan kudanya sembari mengasah otak.
"Tadi ketika aku mengejar tiga buaya darat itu, pergi pulang belum cukup satu jam," pikir Ouw Hui. "Hong Jin Eng adalah seorang hartawan yang mempunyai perusahaan besar. Dengan cara apa, dalam tempo yang begitu pendek, ia dapat membereskan semua urusannya? Tidak bisa salah lagi, jika malam ini ia sendiri tidak pulang, tentulah juga ada orang kepercayaannya yang pergi ke tempat sembunyinya, untuk minta petunjuknya. Paling benar aku berjaga-jaga di jalan."
Ia menduga, bahwa diwaktu siang pasti tak akan ada orang yang berani muncul. Maka itu, ia lantas pergi ke tempat sepi dan memanjat sebuah pohon besar untuk mengaso.
Setelah siang berganti dengan malam, ia pergi ke pinggir jalan raya dan menyembunyikan diri di antara rumput-rumput yang tinggi. Ia membuka mata lebar-lebar dan mengawasi ke empat penjuru. Beberapa jam telah lewat dengan percuma. Ia menunggu terus sehingga fajar, tapi kecuali beberapa petani yang masuk ke kota dengan memikul sayuran, tak ada orang lain keluar masuk Hud-san-tin. Selagi Ouw Hui uring-uringan mendadak terdengar derap kaki kuda yang sedang mendatangi dari jurusan kota. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan muncul dua penunggang kuda yang mengenakan pakaian militer, yaitu seragam Gie-cian Sie-wie.
Hati Ouw Hui berdebar-debar. Ia ingat perkataan Hong It Hoa yang mengatakan, bahwa ayahnya tak bisa datang karena sedang melayani dua orang Gie-cian Sie-wie. Di lain saat, mereka sudah melewati tempat persembunyian Ouw Hui. Buru-buru ia menjumput sebuah batu tajam dan menimpuk. Batu itu tepat mengenai lutut belakang salah seekor kuda yang lantas rubuh dengan tulang patah.
Si penunggang kuda ternyata berilmu tinggi, sebab dengan sekali mengenjot badannya, ia sudah hinggap dengan selamat di pinggir jalan. Kuda itu yang menderita kesakitan hebat, berbenger-benger tak hentinya. "Ah, celaka!" kata si penunggang kuda sembari menghela napas berulang-ulang.
Dari jarak tujuh delapan tombak, Ouw Hui dapat melihat, bahwa rambut orang itu berwarna abu-abu sedang mukanya agak tidak asing baginya, tapi ia lupa dimana ia pernah bertemu dengan orang itu.
Kawan Sie-wie itu menahan les dan membelokkan tunggangannya seraya menanya: "Kenapa?"
"Kudaku terpeleset dan lututnya patah," jawabnya.
"Rasanya tak dapat ditunggang lagi."
Begitu mendengar suaranya, begitu Ouw Hui ingat, bahwa orang itu bukan lain daripada Ho Sie Ho dengan siapa ia pernah bertemu di Siang-kee-po beberapa tahun yang lalu.
"Paling baik kita balik kembali ke Hud-san-tin untuk menukar kuda," si kawan mengusulkan.
"Hong Jin Eng tak ketahuan ke mana perginya, sedang seluruh Hud-san-tin lagi kalang kabut," kata Ho Sie Ho. "Paling benar kita pergi ke Lam-hay-koan untuk meminta seekor kuda." Sehabis berkata begitu, ia mencabut pisau dan menikam perut kuda itu, supaya hewan itu jangan menderita terlalu lama.
"Biarlah kita berdua menunggang kuda ini, jalankan saja perlahan-lahan," kata kawannya. "Ho Toako. Bagaimana pendapatmu? Apakah sungguh-sungguh Hong Jin Eng tak akan kembali lagi ke Hud-san-tin?"
"Ia menghancurkan rumah tangganya untuk menyingkirkan bencana," jawab Ho Sie Ho. "Bagaimana dia bisa pulang kembali?"
"Hm!" kata kawan itu. "Sekali ini kita pergi ke selatan, bukan saja tidak mendapat hasil suatu apa, sebaliknya malah sudah harus mengorbankan kudamu yang bagus."
Ho Sie Ho menyemplak kuda kawannya dan berkata: "Ah, belum tentu tak ada hasilnya. Perhimpunan besar dari para Ciangbunjin (pemimpin partai silat) di kolong langit yang bakal diadakan di gedung Hok Kongcu, adalah suatu kejadian yang sangat luar biasa. Sebagai Ciangbun dari partai Ngo-houw-bun, belum tentu ia tak datang." Sembari berkata begitu, ia menepuk punggung kuda itu yang lantas lari dengan perlahan.
Mendengar perkataan itu, Ouw Hui menjadi girang, sebab biar bagaimanapun juga, ia sudah mendapat endusan. Andaikata Hong Jin Eng tidak datang di Pakkhia untuk menghadiri perhimpunan itu, tapi dalam satu pertemuan antara jago-jago Rimba Persilatan, sedikit banyak ia akan mendapat keterangan tentang orang she Hong itu. Tapi ada suatu hal yang mengherankan Ouw Hui. Untuk apa Hok Kongcu menghimpunkan para Ciangbunjin dari berbagai partai?
Sembari memikir begitu, ia kembali ke bawah pohon dan segera menunggang kudanya yang dijalankan ke arah utara.
Di sepanjang jalan ia coba menyelidiki tentang Hong Jin Eng dan partainya, tapi sedikitpun ia tidak memperoleh hasil. Sesudah melewati Ngo-leng, ia masuk ke dalam wilayah propinsi Ouw-lam. Tanah di situ adalah tanah merah dan segala pemandangan agak berbeda dengan apa yang dapat dilihat di Lenglam.
Bersambung ke bagian 2 ...