Bab 14

Besoknya lohor, Sin Tjie titahkan Ang Seng Hay pergi ke rumah Tjiauw Kong Lee untuk panggil Lo Lip Djie. Dia ini masih sangat menderita karena lenyapnya sebelah tangannya, tapi mendengar Sin Tjie panggil ia, bukan main girangnya, segera ia minta orang pepayang padanya, untuk memenuhi panggilan itu. "Kau duduk," perintah Sin Tjie, yang terus ajarkan bagaimana harus bersilat dengan tangan sebelah - tangan kiri. Lip Djie berotak terang, ia gampang ingat, apapula setelah si anak muda yang liehay petahkan latihannya. Untuk ini Sin Tjie pakai tempo sepuluh hari, setelah Lip Djie ingat semua, dia dipesan untuk berlatih nanti, setelah lukanya sembuh. Pelajaran ini beda daripada yang umum, karena Sin Tjie wariskan dari dalam kitab Kim Tjoa Pit Kip. Maka itu, walaupun ia tercelaka, Lip Djie girang tak kepalang, karena ia sangat bahagia memperoleh ilmu golok yang liehay itu. Sin Tjie sudah lantas siapkan belasan kereta sewaan, untuk angkut hartanya ke kota raja. Untuk keberangkatannya itu, Kong Lee adakan satu perjamuan meriah sekali yang dihadiri oleh gadisnya dan sekalian muridnya. Di pihak lain, Sin Tjie minta tolong supaya gedung Kokkong-hoe itu dikembalikan kepada Bin Tjoe Hoa, sedang Tiang Pek Sam Eng diserahkan kepada pembesar negeri. Selagi cuaca musim rontok menyenangi hati, Sin Tjie berangkat bersama-sama Tjeng Tjeng, A Pa dan Ang Seng Hay, mengiringi belasan kereta harta karun itu, menuju ke Utara, Kong Lee dan gadisnya serta murid-muridnya mengantari sampai di seberang sungai Tiang Kang, sampai jauhnya tiga-puluh lie lebih. Daerah sebelah utara sungai ada daerah pengaruh Kim Liong Pang, dari itu siang-siang Kong Lee telah atur warta berita kepada pelbagai pelabuhan atau pos partainya, supaya di setiap tempat, rombongan Sin Tjie disambut dengan baik dan dilindungi di sepanjang jalan. Selang lebih dari sepuluh hari, sampailah rombongan ini di batas propinsi Shoatang. "Tuan Wan, sejak ini, daerah bukan daerah pengaruh Kim Liong Pang lagi," menerangkan Ang Seng Hay, "karenanya, mulai hari ini, harus kita berlaku sedikit lebih hati-hati."

"Apa? Apa ada orang berani main gila terhadap kita?" tanya Tjeng Tjeng. "Itulah tak dapat dibilang, "sahut Seng Hay. "Sekarang ini jalanan tidak aman, terutama di Shoatang, orang jahat terlebih banyak daripada tempat lainnya. Di daerah ini ada dua partai yang liehay."

"Kau toh dari partai Poet Hay Pay?" Tjeng Tjeng tegasi. Seng Hay tertawa. "Poet Hay Pay berkuasa di lautan," kata dia, "maka juga kalau di darat, umpama emas dan permata kedapatan di tengah jalan, menjemputnya pun kami tidak lakukan!"

"Siapa itu dua partai di Shoatang?" Sin Tjie tanya. "Yang pertama ada rombongan Tie Hong Lioe Tie Toaya di Tjhongtjioe," jawab Seng Hay. Sin Tjie manggut. "Ya, aku pernah dengar guruku omong tentang Tie Toaya itu," kata ia. "Dia kesohor untuk

tangan-pasir-besinya Tiat-seetjiang dan ilmu silat toya Thay-tjouw-koen."

"Itulah benar. Partai yang satu lagi adalah yang berkedudukan di ok-houw-kauw," Seng Hay terangkan lebih jauh. "Partai ini mempunyai enam pemimpin yang semuanya liehay." Sin Tjie manggut pula. "Baiklah, kita harus berhati-hati," katanya. "Setiap malam baik kita bergiliran menjaga." Perjalanan dilanjuti. Selang dua hari, mereka berpapasan dengan dua penunggang kuda, yang kudanya dikaburan, sehingga suara kelenengannya terdengar dari jauh-jauh. "Inilah dia!" kata Seng Hay setelah dua penunggang kuda itu lewat di samping mereka. Sebagai orang kang-ouw ulung, Seng Hay luas pengetahuannya. Ia tidak kuatir, karena ia tahu Sin Tjie liehay dan ia sendiri pun tak dapat dipandang ringan. Selang satu jam, dua penunggang kuda tadi telah kembali dan lantas melewatkan pula. Tjeng Tjeng tertawa dingin. "Tidak sampai sepuluh lie, bakal ada yang pegat kita," Seng Hay kasih tahu. Akan tetapi sangkaan ini keliru. Lebih dari sepuluh lie dilewatkan, mereka tidak kurang suatu apa, hingga mereka singgah di Siang-tjio-hoe. "Heran! Mungkin mataku lamur?" kata Seng Hay.

Besoknya pagi, jalan belum lima lie, di sebelah belakang mereka, empat penunggang kuda menguntit dari kejauhan. "Aku mengerti," kata Seng Hay. "Kemarin mereka belum siap, hari ini tentu mereka akan bekerja." Tengah hari, sehabis singgah, lagi dua penunggang kuda menyusul rombongan ini. "Aneh!" kata Seng Hay. "Kenapa begini banyak orang?" Dan menambah keheranannya ini, beberapa jam kemudian, dua penunggang kuda lain lewatkan mereka. Sin Tjie masih hijau di kalangan kang-ouw, ia tidak merasakan apa-apa, tapi juga Tjeng Tjeng, pengalamannya masih kurang, tidak demikian dengan Seng Hay. "Aku mengerti sekarang," kata dia. "Wan Siangkong, malam ini kita mesti singgah di tempat yang besar."

"Kenapa begitu?" Sin Tjie tanya. "Sebab yang kuntit kita bukannya orang-orang dari satu partai saja."

"Begitu? Berapa partai kiranya?" tanya Tjeng Tjeng. "Jikalau setiap partai kirim dua orang, itu berarti, di depan dan belakang, sudah tujuh...." Tjeng Tjeng tertawa. "Kalau begitu, bakal ramai!" katanya. "Tetapi siotjia, satu orang tak dapat lawan orang yang banyak," Seng Hay peringati. "Kita sendiri boleh tak takut tetapi bagaimana kita dapat bela barang-barang kita? Ini sulit..."

"Kau benar juga," Sin Tjie manggut. "Malam ini kita singgah di Tjio-liauw-tin saja." Benar-benar mereka singgah di Tjio-liauw-tin dimana mereka pilih sebuah hotel besar, malah Sin Tjie perintah turunkan semua peti, untuk ditumpuk di dalam kamarnya dimana ia hendak tidur berdua si empeh gagu. Baru Sin Tjie selesai mengangkut, dua orang dengan tubuh besar datang ke hotel itu. Lebih dulu mereka awasi anak muda kita, lantas mereka nyatakan pada kuasa hotel bahwa mereka berniat bermalam. Karena ini, satu jongos diperintah antar mereka masuk, untuk ambil kamar. Sin Tjie manggut-manggut dengan diam-diam, ia tahu apa yang harus diperbuat. Habis bersantap ia perintah semua orang masuk ke dalam kamar, untuk beristirahat. Kira tengah malam, pemuda kita dengar suara berkelidik di atas genteng, bukan dia lantas bersiap, dia malah bangun untuk nyalakan lilin secara terang-terang, kemudian ia buka sebuah petinya, untuk keluarkan seraup mutiara dan batu permata lainnya, yang ia letaki di atas meja, antaranya ada yang ia pandangi pulang-pergi, hingga di antara sinar api, semua permata itu terang-gemilang berkilauan. Di luar jendela, entah berapa banyak pasang mata yang kesilauan juga. Seng Hay pun dengar apa-apa, hatinya jadi tidak tenang, maka ia keluar dari kamarnya akan menghampiri Sin Tjie. Di luar, ia lihat belasan tubuh berebut umpetkan diri, maka ia bersenyum ewa. Ia ketok kamarnya si anak muda. "Masuk!" terdengar suara Sin Tjie. Seng Hay tolak daun pintu yang menjeblak. Nyata pintu tak dikunci. Begitu melangkah di pintu dan lihat barang-barang permata itu, orang she Ang ini melengak, saking heran, karena matanya silau. Belum pernah ia lihat barang permata demikian banyak, banyak rupanya dan bear-besar juga. Ia heran ia tak tahu dari mana si anak muda perolehnya. Kemudian lekas-lekas ia dekati anak muda itu. "Wan Siangkong, apa boleh aku bantui kau simpan barang permata ini?" kata dia, suaranya sangat pelahan. "Di luar kamar banyak orang sedang intai kita...."

"Aku justeru hendak bikin mereka buka mata mereka," sahut si anak muda, dengan pelahan juga. Ia lantas angkat serenceng mutiara, lalu ia tanya: "Kalau kita bawa mutiara ini ke kota raja, berapa kau taksir harga penjualannya?"

"Aku tidak tahu," sahut pengiring itu. "Sebutirnya tiga-ratus tail perak, tak kurang lagi," si anak muda bersenyum. Dan rencengan ini terdiri dari dua-puluh empat butir."

"Jadi harganya sepuluh ribu tail...." Seng Hay bilang. "Eh, kenapa jadi sepuluh ribu?" tegasi Sin Tjie heran.

"Sebab sukar akan cari mutiara sebesar ini, begitu bundar, begini jernih cahayanya, malah semuanya, sama besarnya!" kata pengikut ini. Pembicaraan ini terdengar sampai keluar jendela, orang-orang jahat yang lagi mengintai jadi merah matanya, hati mereka jadi gatal, hampir mereka tak sanggup mengatasi diri sendiri. Tapi mereka ditugaskan untuk mengintai saja, buat lekas pulang dengan laporan, supaya ketua mereka bisa berdamai dulu, agar dia orang tak bentrok satu dengan lain. Begitulah, lekas-lekas mereka berlalu dengan berpencaran. Kapan Sin Tjie telah duga orang sudah pergi semua, ia goyang-goyang tangan kepada Seng Hay, untuk menitahkan orang itu tidur, ia sendiri tertawa, ia naik ke pembaringan tanpa benahkan lagi mutiara itu. Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, terus sampai dua hari, mereka tidak tampak rintangan suatu apa. Ketika itu mereka sudah lewati batas wilayah kota Tjeelam. Sementara itu Sin Tjie dapat kenyataan, orang-orang jahat yang arah dia jadi semakin banyak, hingga Seng Hay, yang tadinya tenang, jadi tak tenteram juga hatinya. Ia ini pun bingung, kenapa orang masih belum mau turun tangan. Maka akhirnya, ia usulkan si anak muda akan tukar jalan darat dengan jalan air. "Di air aku mempunyai banyak sahabat," ia mendesak. "Kita naik perahu sampai di Thian-tjin, di sana kita mendarat, untuk melanjuti sampai di Pakkhia. Dengan begini benar kita ambil jalan mutar dan memakan tempo jauh lebih banyak akan tetapi keselamatan kita lebih terjamin." Sin Tjie tertawa atas usul itu. "Aku justeru hendak serahkan harta ini kepada orang-orang gagah kita dan pencinta-pencinta Negara!" katanya. "Umpama harta ini habis tersebar, masih tidak apa! Bukankah harta ada benda sampiran belaka? Untuk kita, kewajiban membela Negara adalah yang utama!" Mendengar itu, Ang Seng Hay lantas tidak banyak omong lagi. Itu hari sampailah mereka di Ie-shia, dimana mereka cari hotel. Tjeng Tjeng tidak betah berdiam saja, seorang diri ia pergi pesiar di sekeliling kota. Tidak demikian Sin Tjie, yang insyaf entah berapa banyak mata yang incar harta-karunnya itu, dari itu bersama-sama A Pa, ia tak mau meninggalkan hotelnya. Berselang kira-kira satu jam, Tjeng Tjeng pulang dengan wajah berseri-seri, tangannya menenteng dua bumbung bambu kecil dalam mana masing-masing terdapat seekor jangkrik, yang masing-masing sedang mengasi dengar suara ngeringnya tak sudahnya. Yang seekor ia terus serahkan pada Sin Tjie seraya bilang: "Aku beli dua-puluh tjhie seekornya. Sebentar malam kau gantung di kelambumu, pasti suaranya enak didengarnya..." Sin Tjie tertawa, dia menyambutinya. Tapi segera ia tertawa pula. "Eh, adik Tjeng, tadi ditengah jalan kau ketemu siapa?" tanyanya. Tjeng Tjeng agaknya tercengang. "Tidak....." jawabnya. "Bebokongmu orang telah berikan tanda," Sin Tjie kasih tahu. Tidak tempo lagi, Tjeng Tjeng lari kedalam kamarnya, untuk buka bajunya, guna periksa tanda yang dihunjuki itu. Ia telah lihat satu bundaran kapur. Mungkin tanda itu diberikan selagi tadi ia membeli jangkrik, saking gembira, ia sampai tidak merasakannya. Maka itu, ia puji kelicinannya orang yang memberikan tanda itu tapi ia pun mendongkol. "Tolong kau bantu aku cekuk orang itu, untuk hajar dia!" Kata ia pada Sin Tjie setelah ia ketemui pula si anak muda. "Kemana aku mesti cari dia?" tanya Sin Tjie sambil tertawa. Tjeng Tjeng berpikir, tapi segera ia dapat jalan. "Pergilah kau pesiar sendirian, berlagaklah sebagai orang tolol," ia kata kemudian.

"Jadi aku mesti pesiar seperti kau tadi, supaya orang pun datang untuk beri tanda di bebokongku?" Sin Tjie tegaskan sambil tertawa. "Benar!" si nona pun tertawa. "Lekaslah pergi!" Anak muda ini tak tega untuk menampik, maka ia pergi setelah pesan nona ini bersama Seng Hay untuk waspada menjaga harta mereka. Ie-shia ada sebuah kota yang ramai, walaupun sudah mendekati malam, orang-orang banyak yang berdagang dan berbelanja, pelbagai kereta dan kuli-kuli masih saja berjuang untuk masing-masing kehidupannya atau pekerjaannya. Sin Tjie berjalan dengan sewajarnya sebagai seorang asing, akan tetapi dengan diam-diam, ia telah memasang mata, karenanya tak nanti orang curigai dia kendatipun ia sering celingukan. Demikian ia dapat tahu ada seorang menguntit ia sejak ia mulai keluar dari pekarangan hotel. "Bagus, kau jadi makin kurang ajar!" kata ia dalam hatinya. "Tidak saja hartaku, diriku pun kau awasi! Kau beri tanda dibelakangnya adik Tjeng, apakah artinya itu! Tidakkah dengan begitu kau seperti keprak rumput hingga ular mabur, hingga aku jadi dapat ketika untuk berjaga-jaga?" Tidak usah pemuda ini berpikir lama, untuk ambil kesimpulan. "Rupanya ada rombongan yang ingin temahai sendiri hartaku ini," pikir ia. "Mereka telah beri tanda supaya lain orang melihatnya dan lain orang tak berani mengganggu." Sin Tjie jalan terus, dengan sikapnya seperti tak ada perhatian, tapi sekarang ia telah ambil putusan akan bertindak bagaimana. Ia tetap masih dibayangi, ia menuju ke sebuah bengkel besi akan tonton tukang-tukang sedang bikin golok. Ia berdiri diam bagaikan orang kesengsam, tapi ia tahu, si penguntit dekati padanya. Mendadakan saja ia berpaling seraya tangannya menyambar tangan orang itu di bagian nadi. Orang itu kaget, apapula segera ia merasakan sebelah tangannya seperti mati, maka tempo pemuda kita tarik tangannya, untuk dituntun dengan perlahan-lahan, ia mengikuti tanpa buka suara, seperti ia sudah tak dapat kuasai diri sendiri. Ia dituntun sampai di sebuah gang kecil dan sepi. "Kau orang siapa?" tanya Sin Tjie. Orang itu ketakutan dan kesakitan, sampai ia mandi keringat. "Tolong lepaskan tanganku, tuan, nanti tanganku patah," dia memohon. "Jiaklau kau tidak mau bicara, batang lehermu pun aku nanti potes!" Sin Tjie bilang. "Aku nanti bicara, aku nanti bicara, tuan," sahut orang itu ketakutan. "Aku adalah orang sebawahan See TJeetjoe dari Ok Houw Kauw."

"Bukankah kau hendak memberi tanda bundaran di bebokongku? Apakah artinya itu?"

"See Tjeetjoe titahkan aku berbuat demikian, apa maksudnya, aku tidak tahu."

"Dimana adanya sekarang See Tjeetjoemu itu?" Orang itu celingukan, agaknya ia jeri untuk mengasih tahu. Sin Tjie gunai tenaganya, hingga orang itu meringis, ia takut bukan main. "See Tjeetjoe pesan aku untuk malam ini pergi ke kuil Sam Kong Sie di luar kota untuk menemui dia," ia buka rahasia. "Baik, hayo kau antar aku kesana." Benar-benar orang ini takut, ia mengantarinya, terus sampai di kuil. Ketika itu, di rumah berhala masih sepi, belum ada seorang lain. Itulah sebuah kuil tua sekali dan sudah rusak, tidak ada penghuninya. Sin Tjie periksa semua ruangan, juga depan dan belakang, akhirnya ia totok urat gagu dari bajingan itu tubuh siapa ia lantas lemparkan ke dalam kotak patung. Kemudian lagi ia tak usah menunggu terlalu lama, akan dengar suara banyak orang lagi mendatangi. Maka segera ia sembunyikan diri diantara patung sang Buddha yang besar. Yang datang itu ada beberapa puluh orang, mereka duduk berkerumun di ruang pendopo. Segeralah terdengar suaranya seorang perempuan: "Giam Loo-sie, Loo-ngo, pergi kamu berdua saudara membawa empat saudara, untuk menjaga di empat penjuru, di atas genteng juga!" demikian satu titah. Dua orang yang dipanggil dua saudara she Giam yang keempat dan kelima sudah lantas bertindak keluar, untuk jalankan titah itu, maka di lain saat, Sin Tjie pun dengar suara di atas genteng. "Kamu boleh cerdik tapi sekarang aku sudah ada di sini!" ia tertawa dalam hatinya. Sebentar lagi datang pula serombongan orang, suara mereka berisik ketika suara mereka saling menegur, saling berbahasa saudara satu dengan lain. Turut apa yang Sin Tjie dengar, mereka adalah dari delapan rombongan atau delapan gunung dari wilayah Shoatang, karenanya dia tak berani berlaku sembarangan. "Tentang barang-barang yang diangkut telah didapatkan penjelasan," terdengar suara perempuan yang bermula tadi. "Barang-barang itu adalah permata-permata yang tak dapat ditaksir harganya, pengiringnya ada dua anak muda yang tak tahu apa-apa tetapi pembelanya adalah Ang Seng Hay, satu anggota dari Poet Hay Pay. Dia ini tak ada kecelanya tapi sepasang tangan mana sanggup layani dua pasang? Hanya, memandang muka sesama kaum, jangan kita ganggu jiwanya."

"Untuk merampas harta itu, tak usah See Tjeetjoe pusing memikirkannya," kata satu suara. "Apa yang penting adalah cara pembagiannya. Kita perlu mengatur terlebih dahulu, supaya kita tak usah merusak persahabatan."

"Aku adalah yang pertama mengetahui harta itu," kata satu suara keras dan kasar," maka menurut aku, setelah barang itu berada di tangan kita, di dalam sepuluh, Ok Houw Kauw dapat dua bagian, Sat Pa Kong juga dapat dua bagian, lalu yang lainnya masing-masing satu bagian."

"Bagus benar!" pikir Sin Tjie. "Kamu telah pandang barangku seperti milikmu sendiri dan sekarang asyik mengatur pembagiannya, untuk dipesta-pora!" Lalu terdengar satu suara lagi: "Kenapa kau masing-masing menghendaki dua bagian? Menurut aku, baik kita bagi rata saja, seorang satu bagian." Sampai di sini, suara jadi ramai, masing-masing memberi usulnya. "Dibagi sepuluh bagian tidak adil, dibagi delapan tidak adil juga," kemudian kata satu suara tua tetapi keren. "Ok Houw Kauw terdiri dari beberapa ribu jiwa saudara, tapi Sat Pa Kong dan Loan Sek Tjay cuma terdiri dari tiga-ratus orang. Apakah mereka mesti mendapat bagian rata? Maka usulku adalah Ok Houw Kauw ambil dua bagian, yang lain-lain masing-masing satu bagian. Aku minta See Tjeetjoe yang atur cara bekerja kita." Kebanyakan orang anggap usul ini pantas, mereka suka menerimanya, karena itu, sisa yang lainnya lantas menurut saja. "Sekarang sudah ada kecocokan, maka baik ditetapkan, besok kita turun tangan," berkata orang yang dipanggil See Tjeetjoe, ketua she Tjee. "Aku memikir desa Thio-tjhung, dari itu baiklah masing-masing rombongan berkumpul di sana." Usul ini dapat persetujuan, dari itu tak ayal lagi, mereka saling pamitan dan lantas bubaran, hingga sebentar kemudian, kuil tua itu jadi sunyi senyap pula. Sin Tjie muncul dari tempat sembunyinya, tanpa perdulikan pula bandit atau orangnya See Tjeetjoe, ia langsung menuju hotelnya, kepada Tjeng Tjeng ia tuturkan hasil "pesiarnya" itu. Tjeng Tjeng bengong berpikir. "Jumlah mereka besar sekali, pasti mereka tak dapat dipukul rubuh semua, tak bisa dibunuh habis," katanya. "Bagaimana pikiranmu?"

"Jikalau nanti mereka pegat kita, kita bersikap tenang-tenang saja," Sin Tjie bilang. "Kita mesti cari tahu, siapa kepalanya di antara mereka, lantas paling dulu kita cekuk padanya. Aku percaya rombongan mereka tidak berani turun tangan terus." Tjeng Tjeng tepuk-tepuk tangan, ia tertawa. "Inilah pikiran bagus!" ia memuji. Besoknya pagi mereka berangkat pagi-pagi. Segera ternyata, mereka telah dikuntit dengan berani, seperti juga Sin Tjie semua tidak ada lagi di mata mereka. Seng Hay lihat itu, dia sangat berduka. "Kelihatannya, Wan Siangkong, hari ini tak dapat dilewatkan lagi," kata dia secara diam-diam kepada Sin Tjie. "Kau jangan kuatir," pesan si anak muda. "Tugasmu adalah jaga semua kereta, supaya keledai-keledai jangan kaget dan kabur. Untuk layani orang-orang jahat, serahkan itu kepada kita bertiga." Seng Hay menurut, ia coba menenteramkan diri. Sin Tjie lantas bicara dengan si empeh gagu, dengan gerak-gerakan tangannya. Ia pesan, kalau ia sudah turun tangan, A Pa Barulah bekerja, dan yang bakal dibekuk adalah kepalanya penjahat. A Pa manggut, tandanya ia mengerti. Di waktu lohor jam tiga atau empat, rombongan kereta keledai yang angkut harta karun sampai di desa Thio-tjhung. Di muka itu ada segumpal pepohonan lebat. Segera terdengar suara anak panah mengaung dan muncul beberapa ratus orang yang pada ikat kepala dengan pelangi hijau, pakaian mereka serbat hitam, senjata mereka pelbagai macam, semuanya mengkilap tajam. Tapi mereka tidak menerbitkan suara berisik, mereka cuma menghadang di tengah jalan. Tukang-tukang kereta lihat gelagat tidak baik, dengan lantas mereka hentikan kereta-kereta mereka, habis itu mereka berjongkok sambil tutupi kepala mereka. Inilah aturan mereka, sebab asal mereka tidak lari serabutan, orang jahat tidak bakal ganggu mereka. Adalah setelah itu lalu terdengar suara suitan beruntun-runtun, menyusul mana beberapa puluh penunggang kuda muncul dari dalam rimba, menuju ke belakang rombongan kereta, untuk menjaga jalan mundur orang. Selama di dalam kuil Sam Kong Sie, Sin Tjie tidak lihat nyata roman orang, sekarang Barulah ia melihat tegas tujuh orang yang berbaris di paling muka, orangnya tinggi dan kate, satu di antaranya, yang berumur tiga-puluh lebih, maju pula kesebelah depan sekali. Dia ini tidak menyekal senjata, dia cuma menggoyang kipas dengan secara tenang. "Wan Siangkong!" ia menegur, suaranya halus. Sin Tjie kenali suaranya See Tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, ia lihat orang itu sikapnya tenang, dan tindakan kakinya tetap, maka ia mengerti kepala berandal ini pasti seorang yang liehay. Ia pun tidak sangka, dalam kalangan Tjauw-bong, Hutan Rumput, ada orang semacam tjeetjoe ini. Ia lekas memberi hormat. "See Tjeetjoe!" katanya. Kepala berandal itu heran, inilah ternyata dari romannya. "Eh, mengapa dia kenal aku?" pikirnya. "Wan Siangkong telah bikin perjalanan jauh, banyak cape, tentu," katanya kemudian. Sin Tjie awasi muka lawan, ia tahu tjeetjoe itu heran bahwa ia ketahui namanya, maka itu ia memikir untuk bikin orang lebih heran. "Perjalanan jauh tidak melelahkan aku," demikian jawabnya, "aku hanya sebal sebab barang-barang bawaanku ini terlalu banyak, terlalu berat....." See Tjeetjoe tertawa. "Apakah siangkong hendak pergi ke ke kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat?" tanyanya. "Oh, bukan, tjeetjoe," sahut Sin TJie. "Ayahku titahkan aku pergi ke kota raja untuk menyerahkan uang, guna mendapatkan pangkat." Kembali kepala berandal itu tertawa. "Siangkong seorang jujur, tak miripnya kau dengan anak sekolahan yang kebanyakan," katanya. Sin Tjie pun tertawa. Kemudian ia kata: "Tadi malam satu sahabatku datang memberi tahu padaku, katanya hari ini satu See Tjeetjoe bakal menantikan aku di tengah jalan. Ia pesan aku untuk waspada, maka itu, aku tidak berani berlaku alpa, kuatir aku nanti tak dapat bertemu sama See Tjeetjoe. Sungguh, benar-benar disini kita bertemu! Melihat dandanan jeetjoe, apakah tjeetjoe juga hendak menuju ke kota raja? Bagaimana jikalau kita jalan sama?" See Tjeetjoe itu tertawa geli di dalam hatinya. "Kiranya dia satu pitik yang tak tahu apa-apa!" pikirnya. Ia tertawa pula. Ia kata: "Apakah tidak baik siangkong hidup senang di dalam rumah? Untuk apa siangkong melakukan satu perjalanan begini jauh? Siangkong harus ketahui, diluaran banyak kejahatan...." Dengan sikap wajar, Sin TJie menyahut: "Selama di rumah, pernah aku dengar orang-

orang tua omong tentang penipu dan bunga raya, siapa tahu sesudah aku jalan seribu lie, aku tidak menemui apa juga, dari itu aku beranggapan, omongan itu kebanyakan hanya omongan untuk mendustai orang saja." Ketujuh tjeetjoe lainnya tak sabaran mendengar bicaranya si anak muda, mereka awasi See Tjeetjoe, mereka kedip-kedipi mata, untuk menganjuri akan turun tangan dengan segera. See Tjeetjoe rupanya berpikir sama seperti sekalian rekannya itu, mendadakan lenyap wajah berseri-serinya, sebagai gantinya, dia berseru nyaring dan panjang, lantas ia kibaskan, buka kipasnya, hingga pada daun kipas itu tertampak lukisan putih dari sebuah tengkorak dengan mulutnya tengkorak lagi menggigit sebatang golok, hingga romannya jadi sangat menakuti, menggiriskan. Tjeng Tjeng yang berandalan terkejut juga dalam hatinya, malah Sin Tjie sendiri merasakan hebatnya gambaran tengkorak itu, akan tetapi pemuda ini tetap tenang. Habis itu, See Tjeetjoe perdengarkan lagi suara tertawa, yang aneh, Baru suaranya berhenti, atau tangannya yang memegang kipas digeraki atas mana, beberapa ratus berandal lantas saja bergerak, untuk maju menyerang. Sin Tjie mengerti saatnya untuk bertindak, akan tetapi di saat ia hendak berlompat, guna bekuk See Tjeetjoe, dengan tiba-tiba terdengar suara suitan yang nyaring dan tajam dari dalam rimba, hingga tjeetjoe she Tjee itu menjadi kaget, segera kibaskan pula kipasnya, melihat mana, semua berandal berhenti beraksi, semua lantas berdiri diam. Segera muncul dua penunggang kuda dari dalam rimba itu. Penunggang kuda yang pertama adalah seorang tua dengan rambut, alis dan kumis-jenggotnya telah putih semua, sedang yang belakangan adalah satu nona dengan baju hijau, tangganya menyekal suitan. Mereka ini majukan kuda mereka di antara See Tjeetjoe dan Sin TJie, Baru mereka berhenti. "Inilah perbatasan Shoatang," kata See Tjeetjoe. "Memang. Siapa yang bilang bukan?" sahut orang tua itu. "Apa yang telah diputuskan ketika dulu kita membuat pertemuan di gunung Tay San?" See Tjeetjoe tanya pula. "Itu waktu telah ditetapkan, kami dari pihak Tjeng Tiok Pay tidak akan memasuki daerah Shoatang untuk bekerja, dan kamu tidak dapat bekerja di Hoopak," si orang tua menjawab pula. "Bagus!" kata See Tjeetjoe. "Habis angin apakah sudah tiup Thia Loo-ya-tjoe datang kemari?" Orang tua itu menyahuti dengan tenang: "Aku dengar kabar suatu barang-barang bakal dibawa masuk ke Hoopak, katanya tak sedikit terdiri dari barang baik, karenanya kita datang dulu untuk melihat."

Wajahnya See Tjeetjoe berubah. "Jikalau ditunggu sampai barang sudah sampai di daerah Hoopak, Baru dilihat, toh masih belum terlambat?" dia tanya. Si orang tua tertawa berkakakan. "Bagaimana tidak terlambat?" katanya. "Jikalau barang sudah terjatuh ke dalam tangan pihakmu, gilirannya untuk melihat saja sudah tidak ada!" Sin Tjie bertiga Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay saling memandang di dalam hati mereka, mereka berpendapat bagaimana cepatnya orang-orang Hoopak dengar kabar hal angkutan harta karun itu, hingga mereka sudah lantas datang untuk mendahulukan turun tangan, atau untuk mendapati sebagian saja. Mereka pun pikir, baik mereka "tonton" sepak-terjang lebih jauh dari mereka itu. Di pihak Shoatang, orang lantas bicara dengan seru, umumnya meeka katakan si orang tua bersikap tak tahu aturan. Menurut suara mereka, orang tua ini rupanya bernama Thia Tjeng Tiok. "He, apa yang kamu bicarakan demikian berisik?" si orang tua tanya rombongan Shoatang itu. "Aku sudah tua, kupingku tak dengar nyata...." See Tjeetjoe kibas-kibaskan kipasnya, untuk cegah rombongannya. "Kita telah membuat perjanjian, Thia Loo-ya-tjoe, mengapa kau tidak hendak menepati janji?" See Tjeetjoe tanya pula. "Ia tak dapat dipercaya, apakah dia tak bakal ditertawai orang-orang gagah kaum kang-ouw?" Ditegur secara demikian, si orang tua tidak menjawab, ia hanya menoleh kepada si nona di sampingnya, akan tanya: "Eh, A Kioe, ketika masih di rumah, apakah kataku kepadamu?" Si nona jawab: "Kau bilang, mari kita pergi ke Shoatang untuk lihat barang-barang berharga. Tjeng Tjeng ada satu nona akan tetapi ia kagum mendengar suaranya nona ini. Itulah suara yang halus, jernih, sedap didengarnya. Maka ia menoleh kepada nona itu, yang ia awasi, hingga ia tampak lebih jelas wajah orang, muka yang bersemu dadu, segar dan manis. Dia adalah satu nona muda yang eilok dan menarik. "Apakah kita pernah omong bahwa kita hendak ulur tangan kita untuk ambil barang itu?" Thia Tjeng Tiok tanya pula, sambil tertawa. "Tidak," sahut si A Kioe itu. "Sekarang pun kita tidak bicara sebagai itu." Baru sekarang si orang she Thia berpaling pada See Tjeetjoe. "Lauwtee, kau dengar atau tidak?" ia tanya. "Kapan aku pernah bilang hendak bekerja dalam daerah Shoatang?"

See Tjeetjoe berubah wajahnya, ia bersenyum. "Bagus, itu Barulah namanya sahabat!" dia bilang. "Thia Loo-ya-tjoe datang dari tempat jauh, sebentar kau akan dapat satu bagian!" Orang she Thia itu tak ambil mumet akan kata-katanya tjeetjoe ini, ia hanya berpaling pula kepada si nona. "Eh, A kioe, apa saja yang kita katakan pula di rumah?" tanya ia. "Kau bilang, barang permata itu tak sedikit, jangan kita biarkan lain orang mengambilnya," sahut orang yang ditanya. "Hm!" bersuara Thia Tjeng Tiok. "Umpama orang hendak mengambilnya?" "Kalau sampai terjadi demikian, kami harus turun tangan untuk melindunginya," sahut pula si nona. Tjeng Tiok tertawa. "Bagus, ingatannya anak muda tak jelek!" serunya. "Ya, aku ingat telah mengucapkan demikian." Lalu ia menoleh kepada si See Tjeetjoe, dan kata: "Apa kau sekarang telah mengerti, lauwtee! Kami tak dapat bekerja di Shoatang, itu benar, akan tetapi kami hendak melindunginya! Tidakkah untuk ini tidak ada perjanjiannya?" Mukanya tjeetjoe she See ini menjadi pias-padam. "Sekarang kau larang kita turun tangan!" katanya dengan sengit, "akan tetapi nanti, setelah barang sampai di dalam daerah Hoopak, disana kaulah yang nanti lonjorkan tanganmu, bukan?"

"Benar," aku Thia Tjeng Tion. "Bukankah ini tidak merusak persahabatan? Bukankah ini tidak melanggar perjanjian kita di Tay San?" Semua berandal itu menjadi sangat gusar. Itulah alasan yang dipaksakan, yang dicari-cari. Dari murka, mereka jadi niat menyerang ayah dan gadisnya itu. Bukankah mereka Cuma berdua saja? Selagi orang berdiam, A KIoe bawa dua lembar daun bambu ke dalam mulutnya, untuk tiup itu. Itulah suitan istimewa, yang memberikan pertandaan rahasia. Menyusul bunyinya suitan, dari dalam rimba muncul beberapa ratus orang yang pakaiannya tak berseragam, kecuali di kopiah mereka, masing-masing mereka menyelipkan selembar daun bambu yang hijau. See Tjeetjoe terkejut dalam hati. "Ah, kiranya dia telah bikin persiapan....." pikirnya. "Nyatalah saudara-saudara kita yang ditugaskan sebagai mata-mata, buta matanya! Kenapa mereka tidak ketahui orang datang dalam jumlah begini besar?" Tidak ayal lagi, See Tjeetjoe memberikan isyaratnya, maka lantas semua tujuh tjeetjoe lainnya serta Tam Hoe Tjeetjoe, ketua muda dari Ok Houw Kauw, lantas atur barisan mereka masing-masing. Tak gentar hatinya Thia Tjeng Tiok menampak persiapan pihak delapan tjeetjoe itu, inilah disebabkan ia percaya orang-orangnya sendiri, yang ia rasa telah ia atur dengan sempurna. Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng, si nona berpaling kepadanya, keduanya lantas bersenyum. "Barang masih belum didapatkan, mereka sudah berkeras di antara kawan sendiri, sungguh lucu!" kata si nona dengan perlahan. Ia pun tidak jeri. "Biar saja!" kata Sin Tjie. "Kita jadi si nelayan yang peroleh hasil! Tak jelek, bukan?" Walaupun mereka bersiap untuk bertempur, kawanan begal Shoatang itu masih sempat pisahkan sejumlah kecil, ialah beberapa puluh orangnya, untuk jaga kereta-kereta barang, rupanya mereka kuatir, selagi mereka adu jiwa, kereta-kereta nanti kabur. Sin Tjie lambaikan Seng Hay. "Tjeng Tiok Pay itu golongan apa?" tanya ia pada pengikut itu. "Di wilayah Hoopak, Tjeng Tiok Pay berpengaruh sendiri," Seng Hay terangkan. "Orang tua itu, Thia Tjeng Tiok, adalah ketuanya. Jangan kita lihat dia dari kurus tubuhnya dan tua usianya, ilmu silatnya liehay sekali!"

"Dan itu anak kecil?" Tjeng Tjeng tanya. "Dia cucunya atau gadisnya?"

"Turut apa yang aku dengar, tabeatnya Thia Tjeng Tiok aneh sekali," sahut Seng Hay. "Seumur hidupnya, dia tidak pernah menikah, dari itu tak mungkin nona itu ada cucu atau anaknya. Mungkin dia kemenakan atau anak pungut...." Tjeng Tjeng manggut-manggut. Nona A Kioe itu bersikap tenang sekali, tak sedikit jua kentara ia berkuatir, maka Tjeng Tjeng sangka dia liehay boegeenya. Ia terus mengawasi kawanan begal itu. Di pihak Tjeng Tiok Pay, berulang-ulang terdengar suitan, lalu jumlah mereka yang terdiri dari beberapa ratus jiwa lantas pusatkan diri dalam empat pasukan, sesudah mana, Tjeng Tiok dan A Kioe tempatkan diri di muka barisannya itu. Mereka masing-masing menunggang kuda. Mereka hendak bertempur akan tetapi mereka tidak menyekal senjata. Dimana kedua pihak sudah siap, pertempuran akan meletus sembarang waktu, selagi begitu, di arah selatan, terdengar suara kelenengan nyaring, lalu tertampak tiga penunggang kuda mendatangi dengan cepat sekali, kemudian satu diantaranya, yang maju paling depan berseru: "Sama-sama sahabat sendiri, tolong kamu pandang mukaku!"

"Hei, heran!" pikir Sin Tjie. "Mengapa muncul pula satu tukang mendamaikan?...." Ia lantas mengawasi. Sebentar saja, ketiga penunggang kuda itu telah datang dekat. Orang yang pertama berumur lima-puluh lebih, roman mereka mirip dengan seorang hartawan bekas pembesar negeri, sebab ia pakai baju panjang tersulam dan tangannya menyekal sebatang hoentjwee besar. Dua yang lain, yang tubuhnya jangkung dan kate, sangat sederhana dandanannya. Begitu lekas sudah tempatkan diri diantara kedua pihak rombongan yang hendak adu tenaga itu, orang itu angkat hoentjweenya, ia tertawa, lalu dengan nyaring, ia kata: "Kita ada diantara saudara-saudara sendiri, omongan apa yang tak dapat diucapkan? Kenapa kita mesti angkat senjata? Apakah kamu tak kuatir nanti ditertawai kaum kang-ouw umumnya?"

"Thie Tjhungtjoe, bagus kau telah datang!" berkata See Tjeetjoe. "Tolong kau berikan pemandanganmu, untuk ketahui siapa benar dan siapa keliru...." Tjeetjoe ini lantas bentangkan sikapnya Thia Tjeng Tiok. Orang she Thia itu tidak perdulikan apa yang orang bilang, ia cuma tertawa saja dengan dingin. Selagi orang bicara, Ang Seng Hay kata pada Sin Tjie: "Wan Siangkong, See Tjeetjoe itu bernama See Thian Kong, gelarannya Im-yangsie, si Kipas Imyang. Bersama-sama Thie Tjhungtjoe itu, yang bernama Tie Hong Lioe, mereka menjadi dua cabang atas didalam propinsi Shoatang."

"Jadi mereka inilah yang dulu kau sebut-sebut?" kata Tjeng Tjeng. "Dan kenapa dia dipanggil tjhungtjoe?" tanya Sin Tjie.

Tjhungtjoe adalah hartawan atau pemilik sebuah kampung dimana dia berpengaruh seorang diri. ("Tjhung" dari tjhungtjoe baca mirip "tjeng" dari "cengkeram"). "Bedanya ialah," menerangkan Ang Seng Hay, "kalau See Tjeetjoe berkedudukan di atas gunung dengan pesanggrahannya, Tie Hong Lioe hidup sebagai satu wan-gwee, hartawan yang berumah-tangga dalam sebuah kampung, sebab di depan dan belakang kampung itu ditanami ribuan pohon yanglioe merah, kampungnya itu diberi nama jian-lioe-tjhung. Tapi sebenarnya dia adalah begal tunggal, dia bisa membegal atau merampas sendirian, kalau dia "bekerja", dia cuma ajak dua atau tiga pembantunya." Dalam hatinya, Tjeng Tjeng bilang: "Dia jadinya mirip dengan cara hidupnya beberapa yayaku dari Tjio Liang Pay..." Segera terdengar suaranya Tie Hong Lioe: "Thia Toako, di dalam hal ini, toakolah yang kurang tepat. Ketika dahulu dibikin rapat besar di gunung Tay San, dengan kebaikannya semua saudara, yang masih memandang mata kepadaku, aku telah diundang hadir, itu waktu telah ditetapkan bahwa kita masing-masing tak dapat bekerja di luar batas wilayah pengaruh sendiri!"

"Itulah benar, Tie Tjhungtjoe," shaut Thia Tjeng Tiok dengan tenang, "tapi sekarang aku bukannya hendak bekerja, aku hanya bermaksud baik, niat melindungi rombongan kereta barang-barang ini. Tie Lauwko, kupingmu terang sekali, di mana saja kau dengar ada 'air-minyak', lantas kesana kau sodorkan hoentjweemu!...." Orang she Tie itu tertawa terbahak-bahak, terus ia tunjuk dua orang yang iringi padanya: "Kedua tuan ini adalah Hoey-im Siang Kiat, Goe Hoa Seng dan Thio Hin. Mereka yang sengaja bergegas-gegas datang ke kampungku akan memberitahukan bahwa mereka mempunyai satu bahagian harta kegirangan untuk dipersembahkan kepadaku. Tubuhku telah jadi begini gemuk, aku malas untuk bekerja pula, akan tetapi mereka dua saudara demikian sungguh-sungguh, terpaksa aku tak dapat tampik kecintaan mereka, terpaksa aku keluar, untuk melihat, aku tidak sangka disini aku bertemu dengan saudara beramai. Sungguh, inilah ramai sekali!" Sin Tjie pandang Tjeng Tjeng, dalam hatinya, ia kata: "Bagus, sekarang tambah tiga ekor kucing!" See Thian Kong sebaliknya pikir: "Orang she Tie ini liehay, baik aku rombak aturan pembagian, aku bagi dia satu bagian, supaya kita bisa bekerja sama-sama untuk hadapkan Tjeng Tiok Pay." Karena ini, dia kata kepada tjhungtjoe itu: "Tie Tjhungtjoe adalah orang dari wilayah Shoatang, umpamanya Tie Tjhungtjoe kehendaki satu bahagian, kami tidak bisa bilang satu apa, tetapi jikalau orang dari lain wilayah masuk kemari, lalu kita mengalah, habis dari mana kita punyakan nasi untuk didahar?" Tie Hong Lioe tidak bilang suatu apa kepada orang she See itu, dia hanya pandang Thia Tjeng Tiok untuk tanya: "Nah, Thia Toako, apa katamu?"

"Urusan hari ini terang tak dapat diselesaikan secara baik," sahut orang she Thia itu. "Baiklah, mari kita bicara secara terbuka, kita cari kemenangan atau kekalahan di ujung golok dan tumbak saja!" Nyata ketua dari Tjeng Tiok Pay ini bernyali sangat besar, tidak perduli dia lagi hadapi musuh demikian banyak. "Dan kau, See Lauwtee, bagaimana dengan kau?" Tie Hong Lioe menoleh pada See Thian Kong yang menjawab dengan lantas: "Kami orang laki-laki dari Shoatang, tak dapat kami mengalah untuk diperhina orang lain daerah yang datang cari rumah kita!" Dengan jawabannya itu, terang See Thian Kong sudah tarik Tie Hong Lioe kepada pihaknya. Thia Tjeng Tiok mengulet, ia pun menguap. "Sekarang bagaimana, kita maju semua berbareng atau satu demi satu?" tanya dia dengan tantangannya. "Silahkan See Tjeetjoe mengaturnya, pihakku yang rendah bersedia untuk turut segala titahmu." See Thian Kong goyang-goyang kipas Im-yang-sienya, ia pun berulang-ulang perdengarkan suara menghina: "Hm! Hm!"

"Dan kau, Tie Toako, bagaimana pikiranmu?" dia tanya. Ketika pertama kali Tie Hong Lioe terima laporan Hoay-im Siang Kiat, sepasang jago dari Hoa-im, dia telah memikir untuk telan sendiri harta karun itu, maka ia sudah berangkat dengan cepat, ia tidak sangka, dia telah datang terlambat, dari itu, dia memikir boleh jugalah ia mendapat hanya satu bagian. Tapi ia juga insyaf di pihak Tjeng Tiok Pay ada banyak orang liehay. Thia Pangtjoe sendiri telah kesohor untuk banyak tahun, dia itu bukan orang sembarangan, tak dapat dia cari gara-gara dengan orang she Thia itu. Maka setelah berpikir sebentar, ia utarakan pikirannya. "Jikalau begini duduknya hal, sulit untuk mencari pemecahan, satu pertempuran tak dapat dielakkan lagi," katanya. "Kalau kita bertempur secara merabuh, mesti banyak orang terluka dan terbinasa. Kenapa kita mesti minta banyak korban, hingga persahabatan jadi terganggu hebat? Bagaimana jikalau aku majukan satu usul?"

"Silakan kau mengutarakannya, Tie Tjhungtjoe," kata Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong hampir berbareng. Dengan hoentjweenya, Tie Hong Lioe menunjuk kepada sepuluh buah kereta-kereta harta karun. Dia kata: "Disana ada sepuluh peti besi, maka itu, kita baik majukan saja sepuluh orang masing-masing, dengan begitu, pertempuran pun berarti sepuluh kali juga, batasnya yaitu sampai saling towel saja, jangan kita meminta jiwa. Siapa menang satu kali, dia dapat satu peti. Tidakkah ini paling adil? Anggap saja kita sedang sempat, hitung-hitung kita berlatih di sini, untuk menambah pengetahuan, siapa dapati barang permata, dia dapat hadiah kepala. Siapa tidak peroleh pahala, jangan dia berkecil hati, karena toh asalnya bukan kepunyaan kita sendiri! Bagaimana djiewie pikir?" Mendengar usul itu, Thia Tjeng Tiok paling dulu nyatakan akur. See Thian Kong juga nyatakan akur, karena ia pikir: "Biar aku antap setiap rombongan majukan orang-orangnya, umpama mereka masing-masing menang, itu pun memang hak mereka, tapi umpama mereka kalah, kekalahan mereka tidak ada ruginya untuk aku. Jikalau dari pihakku, aku sendiri yang keluar bersama Tam Loo-djie, pasti kita tidak akan kalah, tentu kita bakal dapat dua buah peti." Sampai di situ, kedua pihak lantas balik kedalam masing-masing barisannya, yang pun berbareng mereka tarik pulang, setelah mana, mereka mulai pilih orang-orang sendiri yang bakal dimajukan dalam pertandingan. Tie Hong Lioe sendiri lantas perintah orang beri tanda dengan coretan huruf-huruf kepada sepuluh peti itu, alat pencoretnya adalah tanah lempung kuning. Sin Tjie dan Tjeng Tjeng antap saja orang cumprang-compreng peti mereka. Thia Tjeng Tiok lihat dua anak muda itu tenang-tenang saja, sedikit juga tidak tertampak mereka berkuatir, ia heran, karenanya, beberapa kali ia melirik ke arah mereka itu. Kemudian kawanan berandal itu berkerumun mengurung Tie Hong Lioe, yang menjadi seperti saksi atau wasit. Mulanya pihak Shoatang majukan jagonya, disusul sama jago pihak Hoopak; mereka ini bertubuh besar dan kasar, terang mereka bertenaga besar, maka itu, perkelahian mereka seru. Pihak Hoopak kurang waspada, satu kali kakinya kena direngkas, dia jatuh, rubuh terbanting. Dia hendak bangun, untuk berkelahi pula. Tapi Tie Hong Lioe, sang wasit, goyangi tangan padanya dan tulisan huruf "Lou" (Shoatang) pada peti pertama yang bertanda huruf "Kak", itu berarti pihak Shoatang yang rebut kemenangan pertama. Pertandingan ini disambut dengan tampik-surak. Sebagai jagonya yang kedua, pihak Hoopak majukan seorang yang See Thian Kong kenal sebagai ahli tangan-pasir Tiat-see-tjiang, maka itu, ia suruh ketua mudanya, Tam Tjeetjoe, untuk layani musuh itu. Kedua jago tak berbeda banyak kepandaiannya, tapi Tam Hoe-tjeetjoe lebih terlatih, selang beberapa puluh jurus, dia berhasil hajar lengan lawan hingga lengannya jago Hoopak itu tak dapat diangkat. Maka untuk kedua kalinya, pihak Shoatang yang menang. Bukan main girangnya pihak Shoatang. Tapi di babak ketiga, keempat, kelima dan keenam, mereka kalah dengan beruntun, hati mereka juga goncang. Kapan sampai waktunya babak ketujuh, kedua jago yang maju masing-masing bekal senjata. Di pihak Shoatang maju tjeetjoe dari Sat Pa Kong, bukit Sembelih Macan Tutul, yang bergegaman golok besar Poat-hong Kioe-hoan-too. Dia ini gagah, dia berhasil membacok sebelah bahu lawannya. Melihat sampai di situ, Tie Hong Lioe berpikir. Peti tinggal tiga buah, apabila ia tidak lantas turun tangan, dia bisa kehabisan, dia bakal dapat tangan kosong, maka ia ingin majukan orangnya sendiri guna layani pihak Tjeng Tiok Pay. Dia anggap cukup asal ia dapatkan satu peti saja.... "See Lauwtee," kata dia pada See Thian Kong, sesudah dia berdehem-dehem, "pihak sana itu, makin lama jadi makin hebat, maka itu kali ini, biarlah aku yang sambut padanya." See Thian Kong mengerti, wasit ini tak boleh pulang dengan tangan kosong, ia suka mengalah. "Aku harap bantuan Tie Tjhungtjoe untuk lindungi nama baik kita," katanya. Tapi kapan telah sampai waktunya pihak Tjeng Tiok Pay majukan jagonya, tjhungtjoe dari Tjian-lioe-tjhung jadi melongo, ia berdiri tercengang. Karena yang maju itu adalah A Kioe, si nona muda, yang umurnya tidak lebih dari lima-belas atau enam-belas tahun! Dan tangannya pun tidak menyekal senjata tajam, melainkan dua batang bambu yang kecil. "Aku adalah satu jago Rimba Persilatan, mana dapat aku perhina diri dengan layani satu nona cilik?" pikir dia. Dia sudah maju beberapa tindak, atau mendadakan dia merandek, lantas dia kembali. "Lauwtee, kau majukan lain orang saja," katanya pada See Thian Kong. "Aku nanti maju di babak lainnya...." See Tjeetjoe tahu, tjhungtjoe itu tidak mau lawan satu nona, maka ia serukan orang-orangnya: "Saudara yang mana yang mempunyai kegembiraan hati akan temani nona kecil itu memain?" Segera maju satu orang yang tubuhnya tinggi dan romannya gagah, mukanya putih, senjatanya sepasang poan-koan-pit, gegaman mirip pit peranti menotok jalan darah. Dialah Tjin Tong, tjeetjoe dari Oey Sek Po, dia gemar pelesiran, dari itu dia ketarik sama sinona Thia, yang romannya cantik manis dan menggiurkan. Dia maju sambil menyahuti seruannya See Thian Kong. Melihat orang yang maju itu, See Tjeetjoe bersenyum. "Memang, di antara kita, lauwtee adalah yang paling cocok!" katanya. Tjin Tong hendak banggakan kepandaiannya, dia berlompat ke depan si nona. Dia benar-benar bertubuh enteng, gesit sekali gerakannya. Diapun telah pikir untuk bicara dengan nona itu, untuk membikin senang hati si nona. Tapi, Baru saja ia menaruh kaki, atau tangannya A Kioe telah bergerak, bambu di tangan kanannya sudah sambut ia dengan satu tusukan, yang arah dadanya. Dia satu ahli menotok jalan darah, sudah wajarnya dia gesit, akan tetapi sekarang, dipapaki secara demikian, dia terkejut sekali, tidak ayal lagi, dia menangkis dengan poankoanpit kiri. Tapi menyusul tangan kanannya itu, tangan kiri sinona menusuk secara cepat luar biasa sampai, saking sibuk, tjeetjoe ini mesti tolong diri dengan jatuhkan tubuhnya untuk terus bergulingan di tanah, hingga kepalanya penuh debu, hingga dia keluarkan keringat dingin. Semua berandal dari Shoatang terperanjat, mereka tak menyangka nona itu begitu muda tapi demikian liehay, malah Sin Tjie dan Tjeng Tjeng turut merasa heran juga, hingga kedua pemuda dan pemudi ini saling melirik. Tjin Tong sudah berlompat bangun, akan layani pula A Kioe, dengan begitu, keduanya sudah mulai bertempur, hingga tertampak lebih jauh, nona Thia telah gunakan dua batang bambunya bagaikan tumbak, gegamannya itu lemas tetapi bisa dibikin kaku. Dalam tempo yang pendek, Tjin Tong telah kena dibikin berpikir keras, sebab kadang-kadang ujung bambunya si nona juga mencari jalan darahnya. Dia pun pikirkan apabila dia tak sanggup rubuhkan si nona, bagaimana dengan nama besarnya di Shoatang sebagai seorang tjeetjoe yang kesohor? Maka dalam sibuknya, dia bikin perlawanan dengan sungguh-sungguh. A Kioe berkelahi secara luar biasa. Satu kali ia renggang dari lawan, dengan bambu kiri dia menekan tanah, lalu tubuhnya mencelat naik, berlompat ke arah musuh, bambu kanannya, dari atas, menyerang turun; kapan serangannya ini gagal, bambu kanan itu diteruskan dibikin mengenai tanah, hingga di lain saat, tubuhnya mencelat naik pula, hingga sekarang ia bisa menyerang pula dengan tangan kiri. Tak tahu Tjin Tong, bagaimana dia harus layani penyerangan macam ini, karena sibuk, dia terpaksa main menangkis saja sambil saban-saban mundur. Tetapi A Kioe terus desak dia, hingga dia jadi repot sekali dan berkuatir dia tak dapat ketika, untuk balas menyerang. Dalam repotnya, tahu-tahu ujung bambu telah mengenai bahu kirinya, di bagian jalan darah "kin-tjeng-hiat", maka tak ampun lagi, lengan kirinya jadi kaku, poankoanpitnya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah, berbareng dengan itu, mukanya jadi bersemu merah! Mau atau tidak, dia mesti mengaku kalah, dia mundur sambil tunduki kepala.... A Kioe antapkan lawan itu mundur, dia berniat undurkan diri, tapi segera ia tampak Tie Hong Lioe bertindak menghampiri padanya sambil jago dari Tjian-lioe-tjhung itu terus berkata: "Nona, tunggu dulu! Nona sungguh liehay, benar-benar, di bawahannya satu jenderal perang ternama, tidak ada serdadu yang lemah! Umpama kata nona masih belum letih, aku suka main-main denganmu beberapa jurus. Bagaimana?" A Kioe tertawa gembira. "Sebenarnya aku belum memain!" sahutnya. "Jikalau Tie Pehhoe hendak berikan pengajaran kepadaku, itulah baik sekali. Pehhoe hendak gunai senjata apa?" Tie Hong Lioe tertawa. "Orang tua layani anak kecil memain, mustahil aku mesti pakai gegaman?" katanya. "Aku akan bertangan kosong!" Hong Lioe telah saksikan orang bertempur, ia terperanjat akan dapatkan nona muda itu demikian liehay, hingga ia percaya, disebelah si nona, dipihaknya nona ini, mesti ada lain-lain orang yang tak kurang liehaynya, maka itu, dari sungkan turun tangan, dia pikir baik ia mendahului maju, akan rintangi nona ini, asal dia telah dapati sebuah peti, urusan lainnya boleh lihat belakangan....

Di pihak Tjeng Tiok Pay, tiga orang hendak majukan diri, karena mereka kuatir si nona menjadi terlalu lelah, akan tetapi A Kioe besar nyalinya, dia beri tanda kepada tiga kawan itu sambil berkata: "Aku telah beri kata-kataku kepada Tie Pehhoe!" Maka itu, tiga orang itu terpaksa mundur pula. Tie Hong Lioe bertindak dengan perlahan menghampirkan si nona di tengah-tengah kalangan, sembari bertindak, dia telah kerahkan semangatnya, tenaga khie-kang, maka di lain saat, mukanya yang tadinya putih lantas saja berubah menjadi bersemu dadu. Tjeng Tiok saksikan perubahan muka itu, dia gapekan puterinya, atas mana, sambil berlompat, A Kioe hampiri sang ayah. Segera Tjeng Tiok bisiki gadisnya, siapa manggut-manggut, sesudah itu, si nona kembali ke dalam kalangan, di depan Hong Lioe, dia membungkuk, untuk memberi hormat, habis itu, ia putar sepasang tumbak bambunya itu, untuk mengurung diri. Ia tidak segera menyerang. Dengan tindakan ayal sekali, Hong Lioe dekati si nona, lalu dengan sekonyong-konyong, ia menyerang. A Kioe menangkis dengan pentang kedua tumbaknya, apabila ia sudah menarik pulang, lantas ia mulai dengan serangannya membalas, dimulai dengan tangan kanan, disusul sama tangan kiri, kemudian kedua batang bambu itu diteruskan, dipakai menyerang saling susul tak hentinya, ia mendesak bagaikan serangan badai. Di pihak Tjeng Tiok Pay orang bertampik-surak melihat cara berkelahinya pahlawan mereka. Tie Hong Lioe berlaku tenang walaupun ia telah dicecar secara demikian, di lain bagian, mukanya jadi semakin merah dan semakin merah, hingga sinar merah itu sampai kepada batang lehernya, Ia masih main maju saja, kedua tangannya bergerak-gerak menghalau sesuatu tusukan. Ia bertubuh besar dan tangguh, hatinya mantap, disebelah ia ada satu nona muda, yang tubuhnya kecil-langsing, yang sedang hunjuk kegesitannya. Sin Tjie tonton pertempuran itu. "Dia tua-bangka tetapi dia sudi layani satu nona-remaja," kemudian ia kata kepada Tjeng Tjeng, kawannya. "Kau lihat, dia berniat turunkan tangan jahat."

"Nanti aku tolong nona itu!" sahut Tjeng Tjeng. Sin Tjie tertawa. "Dua-dua mereka hendak rampas harta kita, untuk apa tolongi dia?" ia tanya. "Tapi nona itu manis, dia sangat simpatik!" kata Tjeng Tjeng. "Baik kita tolong dia, urusan di belakang, ada lain. Toako, pergi kau yang turun tangan!" Sin Tjie tertawa pula, ia manggut-manggut. Pertempuran masih berjalan, mukanya Hong Lioe tetap merah, tapi cahaya merah itu sudah melulahan ke seluruh lengannya. "Kalau sebentar cahaya merah itu sampai di tangannya, celakalah si nona," kata Sin Tjie pada kawannya. Dia berlaku tenang, dia telah pikir bagaimana harus bertindak. A Kioe telah berhasil menotok atau menusuk Hong Lioe, sampai beberapa kali, akan tetapi ia tidak peroleh hasil sebagaimana tadi ia lawan Tjin Tong. Hong Lioe tidak perdulikan serangan itu, ia tetap berlaku tenang, ia maju dengan perlahan, Cuma setiap herakannya jadi makin berat dan makin berat. Di samping dia, pada A Kioe pun terjadi perubahan karena ia ini sibuk sendirinya melihat serangan-serangannya yang tidak memberi hasil, walaupun ia bisa menusuk dengan tepat, hingga di lain saat, kegesitannya mulai berkurang, napasnya pun mulai memburu. Thia Tjeng Tiok pun telah perhatikan jalannya pertempuran. "A Kioe, kembali!" ia teriaki gadisnya. "Tie Pehhoe telah menang!" Nona itu dengar kata, ia lantas putar tubuhnya, untuk mundur. Tetapi Tie Hong Lioe desak ia. "Setelah kau tusuk aku berulang-ulang, kau masih berniat menyingkir?" dia membentak. Dia tetap bergerak ayal akan tetapi A Kioe toh seperti kena dikurung, ia tak dapat terus mundur. Tangannya jago she Tie ini pun mulai merah sekarang. Tjeng Tiok ambil sebatang bamboo dari tangannya satu orangnya, dia serukan: "Semua berhenti!" Justeru itu, See Thian Kong yang geraki kipasnya, maju, untuk serang ketua Tjeng Tiok Pay ini, malah dia arah jalan darah, hingga mau atau tidak, Tjeng Tiok mesti tangkis serangan mendadak ini. Malah ia mesti melayani terus, hingga ia tak bisa pecah tubuh, untuk tolongi puterinya. Ia tahu, orang she See ini liehay, ia mesti waspada. Di pihak sana, A Kioe sudah mandi keringat, bertetes-tetes, air keringat jatuh dari kepalanya, sedang kedua tangannya sangat repot membela diri dari desakannya Hong Lioe. Sekonyong-konyong saja Sin Tjie menjerit-

jerit bagaikan orang edan-tolol: "Ayo! Tolong! Tolong!" Dan kudanya kabur ke tengah kalangan, kearah Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong, hingga mereka ini, mau atau tidak, mesti pisahkan diri. Sin Tjie bercokol di atas kuda dengan tubuh limbung, kedua tangannya dipakai memeluki leher kuda, agaknya ia seperti mau jatuh, akan tetapi, sesudah miring dan merosot kebawah perut kuda, ia berhasil perbaiki diri, duduk pula di atas bebokong kudanya. Kuda itu sendiri terus berlarian, seperti lagi kalap. Kemudian binatang itu lari ke arah A Kioe dan Hong Lioe, hingga sekejab saja, dia telah pisahkan kedua orang yang lagi bertempur seru itu, malah sekarang, dia mau berhenti berlari-lari, berdiri di antara kedua musuh itu. Sin Tjie lekas-lekas merosot turun dari kudanya. "Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" ia ngoceh sendirinya. "Inilah yang dibilang lolos dari kematian...Eh, binatang, apakah benar kau maui jiwanya majikanmu?" Sementara itu, dengan jengah, A Kioe telah gunai kesempatan, untuk kembali ke dalam barisannya. Dalam keadaan seperti itu, Hong Lioe tidak dapat kejar dia. Tapi Thia Tjeng Tiok sendiri tidak mau berhenti sampai di situ. "See Tjeetjoe, aku masih ingin belajar kenal dengan Im-yang Poo-sie!" ia tantang pula See Thian Kong. "Ya, ini pun untuk pertandingan peti terakhir!" sahut orang she See itu. Maka tak tempo lagi, keduanya bertempur pula. Tadi mereka bertempur sampai beberapa puluh jurus tanpa ada keputusannya, sekarang ini mereka cari keputusan itu. Maka keduanya bertarung dengan hebat sekali. Sepasang toya bamboo dari Thia Tjeng Tiok ada panjang, permainan silatnya pun liehya, ia mmembuat lawannya dengan senjata kipasnya tak mampu dekati padanya. Tatkala itu matahari yang merah sudah mulai doyong ke barat, beberapa rombongan gaok, dengan suaranya yang berisik, mulai terbang pulang ke hutan. Setelah berjalan lagi beberapa puluh jurus, See Thian Kong mulai keteter, gerak-gerakan kakinya telah menjadi kacau. Tie Hong Lioe lihat keadaan itu, ia lantas berseru: "Kedua pihak sama tangguhnya, keputusan menang dan kalah sukar diambil, maka itu peti ini baiklah dibagi dua saja dengan rata!" Justeru itu, Thia Tjeng Tiok telah perdengarkan suara tawa yang panjang membarengi sapuan senjatanya yang istimewa itu. Atas serangan ke bawah itu, See Thian Kong apungi diri untuk berlompat menyingkir, akan tetapi Tjeng Tiok berlaku sangat sebat, setelah gagal sapuan yang pertama, ia ulangi itu selagi lawannya belum sempat injak tanah, dari itu tak ampun lagi, sebelah kakinya lawan itu kena tersapu, tubuhnya menjadi limbung, lantas saja dia rubuh. Sesudah sang lawan jatuh, Thia Tjeng Tiok tidak menyerang lebih jauh, dia malah tarik pulang senjatanya. Tapi See Thian Kong telah kertak gigi saking malu dan mendongkol, sambil rebah ia tekan pesawat rahasia pada kipasnya itu, yang ia tujukan ke bebokongnya si orang she Thia, yang telah memutar tubuh, maka lima batang paku rahasia lantas menyerang ketua dari Tjeng Tiok Pay itu tanpa dia ini ketahui atau sempat berkelit, hingga semua lima-limanya paku nancap di bebokongnya itu. Tjeng Tiok kaget, apapula kapan ia rasai bebokongnya lantas ngilu dan baal, insyaf pada bahaya, ia segera menahan napas, ia tak mau bicara, kemudian dengan satu lompatan, ia dekati lawannya itu yang curang, untuk totok dia dua kali dengan ujung galanya. Ia arah perut lawan, ia telah gunai sisa tenaganya, atas mana, See Thian Kong semaput seketika itu juga. Sejumlah berandal dari Shoatang hunus senjata mereka, mereka maju untuk tolongi ketua mereka, akan tetapi belum sampai mereka datang dekat, Thian Tjeng Tiok sudah tak kuat pertahankan diri, dia rubuh celentang. Hebat adalah kesudahan dari itu, sebab lima batang paku rahasia di bebokongnya mengenai tanah, hingga dia jadi tertumblas lebih dalam. A Kioe lompat kepada ayahnya, untuk mengasih bangun. Melihat tubuhnya ketua mereka, yang tak ketahuan masih hidup atau sudah terbinasa, orang-orang Tjeng Tiok Pay jadi kalap, tidak ayal lagi, mereka maju menyerang rombongan berandak dari Shoatang itu, hingga mereka jadi bertempur secara hebat dan kalut. "Lekas suruh saudara-saudara itu berhenti bertempur!" serukan Tie Hong Lioe kepada

hoe-tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, yang lengannya ia sambar. Tam Hoo-tjeetjoe menurut, ia perdengarkan terompetnya. Titah ini ditaati kawan-kawan, sekejab saja semua berandal dari Shoatang undurkan diri. Pihak Tjeng Tiok Pay juga bunyikan pertandaan mereka, yang membikin anggauta-anggauta mereka mundur juga. Itulah A Kioe, yang berikan tandanya, karena itu waktu, ia dapatkan ayahnya sudah sadar, hingga ia anggap, satu pertarungan kacau balau tidak ada faedahnya, sedang juga pihak sana sudah bunyikan terompet. Tie Hong Lioe lantas majukan diri, akan berdiri di tengah-tengah kedua pihak.

"Baiklah kedua pihak jangan merusak perdamaian!" dia berseru. "Mari kita mulai membagi bagian! Tentang perselisihan, kita akan damaikan secara perlahan-lahan!" Tam Hoo-tjeetjoe segera perdengarkan suaranya: "Peti terakhir ini ada bagian kami!"

"Muka tebal!" berseru pihak Tjeng Tiok Pay. "Sudah kalah bertempur, masih berlaku curang! Apakah ini namanya satu enghiong?" Kedua pihak lantas saling damprat, lalu akhirnya mereka hunus pula senjata masing-masing. "Baiklah, peti itu dibuka, isinya dibagi rata!" lagi-lagi Tie Hong Lioe berseru. Ata situ, orang-orang kedua pihak hendak maju berbareng. "Tunggu dulu!" A Kioe berseru. "Peti yang kedelapan akulah yang menangkan akan tetapi aku tak inginkan itu, aku hendak hadiahkan kepada itu tuan tetamu! Aku larang siapa juga raba peti itu!"

"Eh, kenapa begitu?" tanya Tie Hong Lioe. "Apabila kudanya dia itu tidak binal, pasti aku telah rubuh di tangan kau, Tie Pehhoe," sahut si nona. "Maka hendak aku menghadiahkannya kepadanya!" Tie Hong Lioe tertawa. "Nyata kau kenal budi-kebaikan!" kata dia. "Baik, kau ambillah itu! Ingat, semua peti sudah ada tandanya, jangan salah ambil!" Selagi orang hendak angkut peti-peti, mendadak Sin Tjie berseru: "Hai, tuan-tuan, kamu hendak perbuat apa?" demikian suaranya.

A Kioe tertawa cekikikan. "Eh, kau masih belum tahu?" katanya. "Kita hendak angkut peti-peti itu!"

"Oh, begitu?" kata Sin Tjie. "Tak sanggup aku terima budi-kebaikan itu! Kamu lihat sendiri, aku telah sewa kereta yang besar untuk mengangkutnya!..."

"Tetapi kita bukannya hendak tolongi kau mengangkutnya!" kata A Kioe, yang tertawa pula. "Kita hendak mengangkut untuk kita sendiri!..."

"Hei, inilah aneh!" seru Sin Tjie. "Peti ini toh kepunyaanku?" Lalu terdengar ejekannya seorang Shoatang: "Ini anak muda bangsawan cuma kenal gegares, buat apa dia banyak omong?" Dan dia maju, untuk angkat peti yang menjadi bagiannya. "Eh, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah. "Tak dapat kau ambil ini!" Ia terus loncat naik ke atas peti itu, ketika sebelah kakinya digeraki, orang itu, yang tubuhnya besar, terpelanting rubuh! Ia pun lantas menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!" Tubuhnya sendiri limbung, seperti yang hendak terpelanting dari atas peti. A Kioe sangka orang ini semberono, dia lompat maju untuk sambar tangan orang, guna ditarik, dan cegah dia itu jatuh, separuh mengomeli, dia kata: "Ah, kau sangat semberono!...." Kawanan berandal menyangka pemuda ini benar-benar semberono, bahwa tendangannya tadi bukan disengaja, dari itu, mereka hendak maju pula, guna ambil peti bagian mereka masing-masing. "Sabar, sabar!" Sin Tjie berseru pula, seraya ia ulap-ulapkan kedua tangannya. "Tuan-tuan hendak ambil semua petiku ini, hendak diangkut kemanakah?"

"Kami hendak bawa pulang masing-masing!" jawab A Kioe. "Habis, bagaimana dengan aku?" tanya Sin Tjie pula, dengan sikapnya tolol-tololan. "Hai, mengapa kau begini bodoh?" kata si nona sambil tertawa. "Baiklah kau lekas berangkat pulang, jangan kau mencoba antari jiwamu di sini...."

"Kau benar juga," jawab Sin Tjie seraya manggut. "Baiklah, aku nanti bawa pulang sepuluh petiku ini...." Tapi sikapnya ini membuat gusar orang yang tadi ia kena tendang. "Kau pergilah!" dia membentak seraya dia tolak pundaknya si pemuda.

Tapi, belum dia tutup mulutnya, atau tahu-tahu bebokongnya telah kena dijambak Sin Tjie, dengan satu semparan saja, tubuhnya terlempar ke atas sebuah pohon, hingga dia mesti rangkul cabang-cabang pohon itu apabila ia tak ingin terjatuh. Saking ketakutan, dia lantas menjerit-jerit. Baru sekarang semua penjahat melongo, karena nyatanya, pemuda tolol itu berkepandaian tinggi. Ketika itu, Thia Tjeng Tiok telah sadar benar-benar, ia insyaf lukanya hebat, maka ia sudah pikir untuk angkat kaki dengan bawa peti-peti bahagian pihaknya sendiri, akan tetapi kapan ia saksikan liehaynya si anak muda, ia terperanjat. "Mari!" ia panggil A Kioe, gadisnya, kepada siapa ia terus berbisik. "Jangan pandang enteng pada dia itu, kau waspadalah." A Kioe manggut. Ia pun memang merasa heran. Segera setelah itu, terdengar suaranya si anak muda: "Kamu kedua pihak sudah berkelahi setengah harian! Kamu perebuti petiku, di atas itu kamu tuliskan tanda huruf-huruf, maka sekarang hendak aku hapuskan semua tanda itu!" Sambil tertawa besar, pemuda ini sambar satu orang yang berdiri paling dekat dengan dia, dia tekan jalan darah orang hingga orang itu menjadi mati kutunya, dari itu dengan gampang ia angkat melintang tubuhnya, buat dibawa jalan mengitari semua petinya, buat pakai tubuh atau bajunya untuk menghilangkan semua coretan huruf-huruf di atas peti, kemudian dengan kedua tangannya, ia lemparkan tubuh itu ke atas pohon! Kawanan dari Shoatang menjadi gusar, mereka maju, akan serang anak muda ini, akan tetapi si anak muda dengan sabar layani mereka, tidak peduli ia bertangan kosong, tujuh atau delapan penyerangnya dengan gampang kena dibikin terpelanting rubuh. Setelah ini, semua penyerang mundur sendirinya. Sebab dua-dua See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok terluka parah, mereka lantas hadapi Tie Hong Lioe. "Kiranya tuan satu ahli silat!" kata ketua dari Tjian-lioe-tjhung akhirnya. "Apakah tuan sudi beritahukan aku she dan namamu dan kau murid siapa?"

"Aku she Wan dan guruku Ong Lie Soe Ong Loo-soehoe," sahut Sin Tjie. "Guruku itu ahli urusan kitab-kitab dan ia paling faham kedua kitab Lee Kie dan Tjoe Tjioe. Ada lagi satu guruku ialah Lie Loosoehoe yang biasa ajarkan aku ilmu karang-mengarang...."

"Cukup!" memotong Tie Hong Lioe. "Sekarang ini bukan waktunya bicara tentang pelbagai kitab dan ilmu mengarang! Sekarang sebutkan saja tentang gurumu, supaya kalau kita mempunyai hubungan satu sama lain, kita mesti hormati persahabatan...."

"Itulah bagus sekali!" kata Sin Tjie dengan cepat. "Sekarang sudah tidak siang lagi, silakan, silakan! Kami hendak berangkat...." Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong tidak sabaran, mendengar ocehan si anak muda, ia ayun goloknya yang besar, dipakai menabas anak muda ini. Ia telah menyerang dengan "Hong sauw pay yap" atau "angin menyapu daun rusak". Sin Tjie berkelit untuk serangan itu, golok lewat di sampingnya dimana Tie Hong Lioe berdiri, hingga ketua dari Tjian-lioe-tjhung ini yang terbabat, akan tetapi orang she Tie ini liehay, dengan gunai dua jari tangannya, telunjuk dan tengah, dia jepit bebokong golok, dia menahan, lantas bacokan itu berhenti sendirinya. Mukanya Hauw Tjeetjoe menjadi merah, tetapi si orang she Tie ini cuma bersenyum, terus saja dia menoleh kepada Sin Tjie dan kata: "Dengan kepandaianku ini, bukankah ada harganya untuk aku mendapati salah satu petimu?"

"Apakah namanya kepandaianmu ini?" tanya Sin Tjie. "Inilah ilmu silat Kepiting Menjepit," sahut Hong Lioe. "Jikalau kau pun mengerti ilmu silat ini, Baru aku takluk kepadamu...."

"Apa sih cepit kepiting, cepit kura-kura? Belum pernah aku lihat!" ujar si anak muda. Tie Hong Lioe jadi gusar. "Bukankah aku telah jepit golok yang lagi menyambar?" tanyanya. "Apakah kau buta melek?"

"Oh, begitu?" jawab Sin Tjie dengan tenang. "Tapi kamu berdua bersekongkol, apa anehnya? Adik Tjeng, mari! Mari kita main-main sebentar!" Tjeng Tjeng tertawa geli, ia jumput sebatang golok, yang terletak di tanah, lalu ia mengancam hendak membacok si anak muda, ketika golok dikasi turun, ia sengaja turunkan ayal-ayalan, hingga secara gampang saja, Sin Tjie bisa tanggapi itu, atas mana kawan itu berpura-pura kerahkan tenaga, untuk berontak, buat loloskan golok dari jepitan, tapi walaupun sampai ia berjingkrakan, golok masih tak dapat diloloskan. A Kioe tertawa melihat dua orang itu permainkan Tie Hong Lioe, ia anggap pemandangan itu lucu. Malah kedua pihak berandal turut tertawa juga, suara mereka riuh-rendah!

Bukan kepalang mendongkolnya Tie Hong Lioe yang dua anak muda berani permainkan ia secara demikian - ia juga dibuat bahan lelucon - maka dengan tiba-tiba ia sambar golok besar di tangannya Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong, untuk angsurkan itu kepada si anak muda sambil terus menantang: "Nah, kau cobalah bacok aku, pasti kali ini aku tidak berkongkol!"

"Baik, aku nanti bacok kau!" Sin Tjie jawab. "Tapi ingat, apabila aku bunuh orang sampai mati, tak usah aku ganti jiwa!"

"Baik! Hati-hatilah, golok datang!" berseru Sin Tjie, yang terus saja putar tangannya untuk membabat dengan tiba-tiba.

Hong Lioe bertambah gusar, ia lupa segala apa. "Siapa juga yang terbinasa, dia tak usah diganti jiwanya," ia berikan perkataannya. Tie Hong Lioe kaget bukan main, ia tak mengira golok bisa dipakai menyerang secara demikian, walau ia sangat awas dan gesit dan bisa berkelit, tidak urung ia masih kalah sebat, hanya untung bagi ia, yang terbabat kutung adalah kopiahnya saja. Oleh karena anggap pemandangan itu lucu, semua berandal tertawa berkakakan. Sin Tjie pun tertawa.

"Mana cepit kura-kuramu - eh, cingkong kepiting?..." Pemuda ini tidak cuma tertawa, tapi juga menanya, hanya belum sampai dia menutup mulutnya atau dia telah menyerang pula, kali ini bacokannya dari atas turun ke bawah. Hong Lioe berkelit sambil berlompat, tapi ia masih kurang gesit, karena sesampainya dibawah, goloknya disimpangkan sedikit, hingga sebagai kesudahan, sol sepatunya kena terpapas kutung, hingga karenanya, ia kaget berbareng gusar. "Aku mengerti sekarang!" berseru Sin Tjie. "Terlalu tinggi salah, terlalu rendah salah juga, dan terlalu cepat pun kau gagal! Baiklah, aku akan menyerang di sama tengah, dengan perlahan...." Dan benar-benar ia membacok pula, dengan perlahan, seperti Tjeng Tjeng tadi. Hong Lioe sodorkan tangannya yang kiri, untuk jepit golok itu, selagi berbuat demikian, dia memikir akan gunai tangan kanannya, untuk membarengi menyerang dengan cepat, supaya ia bisa ajar adat kepada anak muda ini. Akan tetapi dia berpikir demikian, orang lain juga berpikir lain. Di saat goloknya hampir dijepit, dengan mendadak saja Sin Tjie balik goloknya bagian yang tajam lalu ia menarik, maka tidak ampun lagi, dua jari tangannya orang she Tie ini kena tergurat, darahnya lantas mengucur, coba dia tidak cepat menarik pulang, dua jarinya itu tentulah bakal sapat kutung! "Bagus!" A Kioe berseru sambil tepuk tangan. "Tikus!" membentak Hong Lioe saking gusar. "Kau berani main-main denganku!" Sin Tjie tidak menjawab, hanya dia lemparkan golok di tangannya itu. Tapi dia melempar kea rah pohon dimana tadi dia lemparkan orang, orang itu lagi pegangi satu cabang, untuk meroyot turun, tepat sekali, golok itu mengenai cabang tersebut, hingga cabang itu kutung, hingga karenanya, orang itu jadi jatuh terguling! Semua orang kaget dan kagum, suara mereka berisik. Selagi begitu, Sin Tjie hampirkan petinya, untuk dilemparkan, satu persatu dan disusun, maka di lain saat, semua peti telah merupakan satu tumpukan tinggi beberapa tumbak. "Aku suka main-main denganmu tetapi hatiku tidak tenteram," katanya kepada Tie Hong Lioe. "Kamu semua bangsa bangsat, aku hendak cegah kamu selagi aku berkelahi, nanti kamu rampas peti ini!" Lantas saja ia lompat naik ke atas susunan peti itu, dari mana sambil memandang ke bawah, ia menantang: "Mari naik, di sini kita main-main!"

Bab 15

Tie Hong Lioe kaget disusun kaget. Mulanya ia lihat orang lempar-lemparkan peti-peti yang berat, ia heran untuk tenaga besar dari si anak muda. Habis itu ia saksikan cara berlompatnya Sin Tjie, yang demikian enteng dan pesat, ia kagum tak terkira. Dia tidak tahu anak muda itu, yang lihat dirinya menghadapi terlalu banyak lawan, sengaja pertontonkan ilmu entengkan tubuhnya yang sempurna yang ia peroleh dari Bhok Siang Toodjin. Itulah dia ilmu "Pek pian kwie eng" atau "bajangan iblis berubah seratus macam". "Jikalau kau berani, kau turunlah!" Hong Lioe tantang pemuda itu. Ia berbuat begini karena ia insyaf ia tak sanggup lawan ilmu entengkan tubuh orang yang sempurna itu. "Jikalau kau berani, kau naiklah!" Sin Tjie balas menantang. Hong Lioe bertindak menghampirkan peti-peti besi itu, ia lantas memeluk, untuk goyang, dengan pengharapan peti-peti itu bergoyang-goyang, supaya si anak muda limbung dan jatuh karenanya.

Benar-benar tubuhnya anak muda itu menjadi limbung, lantas saja dia terjatuh, akan tetapi begitu lekas kakinya injak tanah, ia menyambar Hong Lioe dengan gerakan "Tjhong eng kim touw" atau "Garuda terkam kelinci". Ia gunai tangannya yang kiri. Hong Lioe tangkis serangan itu, dia pakai tangan kanan. Tapi justeru tangan kanannya diulur, Sin Tjie sambar itu, dicekal di bagian nadinya, lalu sebelum dia tahu apa-apa, tubuhnya telah terangkat naik, dari mulut si anak muda pun terdengar seruan: "Bangun!" Dia sebenarnya bertubuh besar, tubuhnya itu berat sekali, akan tetapi dia jadi seperti dengar kata, tubuhnya terangkat naik, terlempar ke atas susunan peti-peti di atas mana lantas saja ia berdiri dengan limbung, sebab peti pun bergoyang-goyang.... Kawanan penjahat kaget berbareng merasa lucu, hingga akhirnya mereka pada tertawa, sedang si orang she Tie sendiri nampaknya sangat bingung dan kuatir, dengan susah payah dia mencoba akan mengatasi diri, supaya ia bisa berdiri tetap. "Jikalau kau berani, kau turunlah!" Tjeng Tjeng menggoda. A Kioe ingat, itu adalah kata-katanya Hong Lioe tadi. Ia bersenyum. Melihat semua itu, See Thian Kong lantas berseru: "Tam Hiantee, kurunglah itu bocah! - lebih dahulu, singkirkan dia!" Hoe-tjeetjoe itu kena disadarkan seruan orang she See ini, tidak lambat lagi, ia tiup terompetnya, maka semua berandal dari Shoatang hunus senjata mereka masing-masing, semua maju ke arah Sin Tjie, untuk kepung anak muda ini. Menampak ancaman itu, A Pa bersama-sama Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dekati si anak muda, maka itu ketika kawanan berandal mulai menyerang, mereka bisa lantas menangkis. Seng Hay bersenjatakan golok, Tjeng Tjeng bergegaman pedang, tetapi A Pa, si empeh gagu, bertangan kosong, dan yang belakangan ini main cekuk sesuatu penyerangnya,

untuk lempar-lemparkan tubuh mereka satu demi satu, hingga semua berandal jadi heran, hingga mereka jeri untuk mendekatinya. Mereka pun takut serang Sin Tjie, yang berkelahi seperti si empeh gagu itu - dengan tangan kosong juga!

Sambil berkelahi, Sin Tjie berlompat, hingga ia dapati See Thian Kong, siapa sedang rebah di tanah dengan dua orang jagai padanya. Dua orang ini lihat musuh datang, yang satu menyambut dengan goloknya, yang satu lagi segera gendong ketuanya, untuk diajak menyingkir. Atas serangan golok, Sin Tjie berkelit sambil mendak, kakinya bertindak terus, setelah molos dari serangan, ia sampai kepada penjahat yang satunya, yang gendong Thian Kong, begitu lekas ia jambret pundak orang, penjahat itu menjerit kesakitan, hingga lantas saja dia lepaskan ketuanya, maka dengan leluasa, pemuda kita tanggapi si orang she See, tubuh siapa ia kempit, untuk dibawa lari ke kereta besar, ke atas mana dia lompat bersama. "Hai, kamu sayangi atau tidak jiwanya dia ini?" dia berseru pada semua berandal. Semua berandal itu menjadi melongo, tidak ada satu juga yang berani bergerak. Sin Tjie memberi tanda kepada A Pa, lantas si empeh gagu menyerbu ke kalangan Tjeng Tiok Pay.

Orang-orang Tjeng Tiok Pay berdiam sedari tadi, menampak datangnya orang ini, mereka angkat senjata mereka, untuk meirntangi, akan tetapi A Pa telah dapatkan pelajarannya Bok Djin Tjeng, dia tak takuti alat-senjata orang banyak itu, dia maju terus hingga ia dapat dekati Thia Tjeng Tiok. Dari tempatnya yang tinggi, Sin Tjie awasi A Pa, yang segera bakal berhasil, ia merasa girang, akan tetapi tiba-tiba, ia tampak A Kioe, yang peluki tubuh ayahnya, numprah di tanah sambil menangis menggerung-gerung, hingga ia berbalik menjadi kaget. Ia insyaf, apabila si ketua menutup mata, sulit untuk ia urus anggauta-anggauta Tjeng Tiok Pay itu. Maka ia lantas berseru: "Seng Hay! Lekas panggil pulang saudara A Pa!"

Seng Hay menurut, segera ia tinggalkan musuh-musuhnya, akan hampirkan si empeh gagu, di depannya dia ini, dia pun buat main kedua tangannya, atas maa A Pa segera menoleh kepada si anak muda. Sin Tjie geraki tangannya dengan cepat. Melihat tanda itu, A Pa lantas kembali, akan hampirkan si anak muda. "Pegang dia ini!" kata Sin Tjie, yang serahkan See Thian Kong yang keadaannya seperti setengah hidup dan setengah mati. A Pa sambuti itu orang tawanan. Sin Tjie terus lari kepada A Kioe. "Bagaimana?" tanyanya. "Soehoe mati!...." jawab si nona sambil menangis. Sin Tjie periksa hidung orang, yang telah tidak bernapas, akan tetapi kapan ia pegang dadanya ia rasai jantung yang masih memukul perlahan-lahan. "Jangan kuatir, aku nanti tolong dia!" ia bilang. Sin Tjie baliki tubuhnya Thia Tjeng Tiok, hingga ia bisa lihat lima batang paku yang nancap di bebokongnya, ialah sebab utama dari kecelakaannya jago itu tak perduli dia sebenarnya liehay dan tangguh. Untungnya darah sudah tidak keluar lagi. Tidak ayal lagi Sin Tjie totok jalan darah thian-hoe-hiat dan yong-tjoan-hiat orang, menyusul mana darahnya jago itu lantas mulai jalan pula, maka selang sedikit lama, ia mulai sadar, kedua matanya bisa dibuka. Bukan kepalang girangnya A Kioe. "Soehoe! Soehoe!" ia memanggil, berulang-ulang. Tjeng Tiok dengar itu, ia ingat akan dirinya, ia manggut-manggut. "Jadi dialah gurumu?" tanya Sin Tjie. "Aku sangka dia adalah ayahmu." Si nona manggut. "Terima kasih untuk pertolongan kau," ia mengucapkan. Sementara itu, A Pa dengan diikuti Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dengan pondong tubuhnya See Thian Kong, sudah campuri diri dalam rombongan Tjeng Tiok Pay. Kawanan berandal Shoatang yang lihat pemimpinnya kena ditawan, sudah lantas maju untuk menolongi, akan tetapi percobaan mereka dirintangi oleh pihak Tjeng Tiok Pay, hingga karenanya, mereka kedua pihak jadi bertempur dengan hebat, hingga dalam tempo pendek telah ada korban-korban jiwa dan terluka. "Jikalau pertempuran ini berlanjut lagi sekian lama, mesti rubuh lebih banyak korban," kata Tjeng Tjeng kepada Sin Tjie. Si anak muda tidak menyahuti, dia Cuma bersenyum. Sedang asyiknya pertempuran berlangsung, Tie Hong Lioe yang masih berada di atas susunan peti besi telah terdengar seruannya: "Celaka! Tentara negeri mendatangi! Ribuan jumlah mereka! Lekas mundur! Oh, puluhan ribu jumlah mereka! Mundur, lekas mundur! Lekas!" Tjhungtjoe dari Tjian-lioe-tjhung ini berada di tempat tinggi, tidak heran apabila dialah yang dapat melihat paling dulu. Semua orang kaget, dengan sendirinya berhentilah mereka berkelahi, semua mengawasi dengan bengong ke arah dari mana katanya tentara negeri mendatangi. Dari jurusan tersebut segera tertampak mendatangnya tiga penunggang kuda, kemudian ternyata, mereka ini terdiri dua dari pihak berandal Shoatang, yang satu dari Tjeng Tiok Pay. Hampir berbareng, bertiga mereka perdengarkan seruan: "Tentara negeri mendatangi!" Tie Hong Lioe jadi nekat, dengan beranikan diri, dia lompat turun dari susunan peti besi, sesampainya ia di tanah, ia rubuh hingga ia bergulingan tiga kali, Baru ia dapat bangkit berdiri, dengan merasai sakit sekali kepada kedua kakinya, tetapi tanpa perdulikan itu, ia sambar seekor kuda untuk dinaiki, untuk segera ajak kawan-kawannya angkat kaki dari situ. Sin Tjie sambar tubuhnya See Thian Kong, untuk dilemparkan kepada kawan-kawannya, maka kawanan berandal itu tolongi pemimpinnya, untuk dikasih naik di atas bebokong kuda, buat segera dibawa kabur ke dalam rimba. Pihak Tjeng Tiok Pay juga perdengarkan suitan berulang-ulang, habis itu mereka tolongi kawan-kawan mereka yang terluka, lalu tetap dalam empat barisan, mereka undurkan diri dengan lekas. Maka di lain saat, sunyi-senyaplah medan pertempuran itu dimana ketinggalan saja Sin Tjie serta rombongannya. Lantas si anak muda berlaku sebat. Ia lompat naik ke atas susunan peti, untuk lempar itu turun satu demi satu, di bawah, A Pa menyambutinya, untuk dimuatkan ke kereta mereka. Tjeng Tjeng tertawa atas kesudahannya kekalutan itu. "Banyak orang telah menjadi korban, tetapi uang kita, satu tjhie pun tidak lenyap!" katanya dengan gembira dan puas. Tidak antara lama terdengarlah suara terompet disusul berisiknya banyak kuda, kemudian terlihat satu pasukan tentara lagi mendatangi. "Di sana ada tentara negeri, kawanan berandal tentu tak berani muncul pula," kata Sin Tjie. "Mari kita lanjuti perjalanan kita!" Walaupun ia mengucapkan demikian, pemuda ini toh mesti periksa dulu rombongannya, yang tidak kurang suatu apa, dari itu sebelum mereka sempat berangkat, pasukan negeri mendahului sampai di antara mereka. "Kamu bikin apa?" tanya satu perwira yang bersenjatakan golok panjang. Dia ini pimpin dua ratus serdadu, yang terpecah dalam dua barisan. "Kami penduduk baik-baik yang sedang bikin perjalanan," sahut Sin Tjie. "Kenapa di sini ada tanda-tanda darah, dan pelbagai alat-senjata?" tanya pula perwira itu. "Barusan ada penjahat pegat kita, lantaran datangnya tentara negeri, mereka kabur sendirinya," sahut Sin Tjie pula. Sementara itu, muncul satu pasukan tentara lain, yang lantas menyerbu ke dalam rimba, untuk kejar kawanan berandal. Perwira tadi melirik kedalam kereta dimana mereka lihat peti-peti besar. "Barang-barang apakah itu?" tanyanya dengan tawar. "Itulah barang-barang keperluan kami sehari-hari."

"Coba buka, aku hendak lihat!"

"Semuanya pakaian, tidak ada lainnya."

"Aku perintah buka, kau mesti buka! Perlu apa banyak mulut?"

"Kami tak bawa barang-barang haram, untuk apa dilihat?" Tjeng Tjeng campur bicara. "Hei, bocah, kau kurang ajar!" bentak perwira itu. Dan cambuknya melayang. Tjeng Tjeng berkelit untuk sabetan itu. Perwira itu percaya, isinya peti mesti barang-barang berharga, dalam sedetik itu muncullah hatinya yang temaha. "Hei, bocah, kau berani melawan?" dia bentak pula, untuk gunai ketikanya. "Hayo, saudara-saudara, sita barang-barang itu!" Untuk rampas milik rakyat jelata, tentara itu biasanya tidak berayal, maka itu begitu dengar titah "mensita", segera mereka meluruk ke arah kereta. Si perwira tak berhenti sampai di situ, karena ia tahu, ada kemungkinan Sin Tjie beramai nanti majukan pengaduan kepada pembesar terlebih atas, maka kembali dia berseru: "Kawanan berandal ini berani lawan tentara negeri, bunuh mereka semua!" Lalu ia mendahului angkat goloknya, untuk dipakai menyerang. Sin Tjie jadi gusar. "Coba kita bangsa lemah, apa kita tidak bercelaka?" dia pikir sambil kelit dari bacokan, setelah mana ia membarengi lompat untuk hajar bebokong orang. Perwira itu hanya satu orang peperangan biasa saja, dalam kesebatan ia kalah jauh dari sianak muda, maka itu, dengan gampang ia kena dihajar, hingga tubuhnya lantas rubuh terjungkal dari atas kudanya, malah jiwanya pun melayang dalam sekejab!

Menampak itu, semua serdadu menjadi kaget, lantas mereka berteriak-teriak: "Penyamun merampas angkutan! Penyamun rampas angkutan!" Sementara itu Tjeng Tjeng bersama A Pa dan Seng Hay telah labrak buyar barisan serdadu itu, yang lari serabutan ke empat penjuru, akan tetapi di belakang mereka itu ada lagi satu pasukan besar, maka Sin Tjie, yang rampas goloknya si perwira, maju untuk mencoba menahan, sedang Tjeng Tjeng bertiga ia perintah lindungi kereta-kereta mereka untuk berlindung masuk ke dalam rimba. Di dalam rimba sendiri, sementara itu, telah terjadi pertempuran di antara tentara negeri dan kawanan penyamun dari Shoatang yang bersatu dengan rombongan Tjeng Tiok Pay, akan tetapi belum terlalu lama, pihak negeri bisa mendesak, hingga musuh-musuhnya terpaksa mundur. Sambil bereskan kereta-keretanya Sin Tjie saksikan pihaknya See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok lagi terancam bahaya, terutama disebabkan kedua pemimpin itu sendiri tidak berdaya. "Bagaimana?" tanya Tjeng Tjeng. "Kita bantu berandal! Kita basmi tentara negeri!" Sin Tjie menjawab dengan cepat. "Benar!" berseru si nona dalam penyamaran. "Tetapi kau berdiam di sini, untuk lindungi harta kita," Sin Tjie bilang. Tjeng Tjeng menjadi dengar kata. "Baik!" ia manggut. Maka bertiga bersama A Pa dan Ang Seng Hay, ia kitari kereta-kereta mereka, untuk dilindungi, tatkala tentara negeri datang menyerbu, mereka pukul mundur, hingga kesudahannya, tentara negeri itu jadi jeri, mereka tak berani merangsek pula. Sin Tjie panjat pohon, akan mengawasi ke arah kawanan berandal, dengan begitu ia bisa saksikan A Kioe serta beberapa tauwbak dari Tjeng Tiok Pay sedang terkurung hebat oleh tentara negeri, maka untuk tolong mereka, ia loncat turun dari pohon, ia menyerbu ke dalam medan pergulatan, sampai ia berhasil mendekati si nona, malah ia datang disaat yang tepat, selagi dua batang tumbak menikam nona itu, dari itu dengan sebat ia menalangi menangkis. "Lekas mundur ke bukit sebelah barat!" ia teriaki. A Kioe melengak atas datangnya bantuan ini, hingga ia tak tahu satu perwira bacok ia secara hebat. Kembali Sin Tjie tolong si nona. Dia rampas golok musuh, untuk dipatahkan, si perwira sendiri ia tonjok dadanya hingga dia muntah darah, tubuhnya rubuh seketika. A Kioe sadar, segera ia tiup suitannya, kemudian ia beri tanda untuk kawan-kawannya mundur ke arah barat, seperti ditunjuki Sin Tjie. Si anak muda sendiri mondar-mandir dengan bengis, untuk tahan tentara negeri yang mencoba mendesak. Kawanan penyamun dari Shoatang juga turut mundur ke barat, setiap kali ada diantaranya yang dirintangi tentara negeri, Sin Tjie maju menolongi, dengan begitu, mereka bertempur sambil mundur, hingga mereka sanggup mendaki bukit. Kemudian, dibantu oleh sejumlah berandal, Sin Tjie pergi sambut Tjeng Tjeng bertiga serta kereta mereka, untuk menyingkir ke bukit barat itu, hingga mereka ketiga pihak, jadi bersatu. Tentara negeri cuma bisa kurung mereka dari bawah bukit, mengurung sambil berteriak-teriak saja. Sin Tjie mengatur terlebih jauh. Ia pasang barisan panah di sebelah depan. Kawanan berandal, dengan sendirinya, suka taati segala titahnya. Maka itu, ketika tentara negeri mencoba mendaki gunung, mereka dipukul mundur dengan hujan anak panah, hingga selanjutnya mereka tidak berani mencoba naik pula. Dengan titahnya Sin Tjie, Hoe-tjeetjoe Tam Boen Lie bersama-sama Tie Hong Lioe dan A Kioe pergi bantui Seng Hay beramai membikin penjagaan. Semua berandal telah dipecah dalam dua rombongan, hingga ada sebagian yang dapat beristirahat, untuk sekalian tolongi mereka yang terluka. Sin Tjie lantas tolongi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong, dengan bergantian, ia uruti mereka itu hingga mereka tertolong dari ancaman bahaya maut, darah mereka jalan pula seperti biasa begitupun napas mereka, yang tadinya sudah sesak. Karena ini, berdua mereka dapat rebahkan diri dan tidur dengan nyenyak. Kedua pihak berandal jadi bersyukur kepada anak muda ini, yang tolongi pemimpin-pemimpin mereka. "Jumlah tentara negeri terlalu besar untuk kita, tak dapat mereka dilayani dengan tenaga, mesti dengan daya-upaya," kemudian Sin Tjie bilang kepada Tjeng Tjeng. "Benar!" sahut si nona. "Habis kau hendak gunai daya apa?" Sin Tjie tidak menyahuti, dia hanya berpikir, akan akhirnya dia panggil satu penyamun yang kenal baik keletakan tempat mereka ini; sembari tanya ini dan itu, iapun senantiasa mengawasi ke arah tentara negeri. Maka kesudahannya ia dapat lihat, di arah belakang dari tentara negeri itu, ada sejumlah besar kereta-kereta yang rupanya bermuatan berat. Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa, lantas ia lompat kepada Tjeng Tjeng.

"Bukankah tadi tentara negeri itu sebut-sebut angkutan?" ia tanya. Sebelum si nona menjawab, Tie Hong Lioe sudah mendahului. Dia ini Baru saja datang untuk beristirahat. "Itulah artinya angkutan uang untuk ke Pakkhia," demikian jawabannya. "Sungguh tidak beruntung bagi kita, di sini kita bertemu mereka itu..." "Mengapa angkutan uang Negara memerlukan tentara pengiring demikian besar?" tanya Sin Tjie. Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu, di pelbagai gunung ada saja penyamunnya, maka itu, untuk angkutan yang selamat, iring-iringannya mesti besar," Hong Lioe terangkan lebih jauh. "Sekarang pemerintah sangat memerlukan uang dan rangsum dari Kanglam, terutama sebab Kaisar Tjong Tjeng mesti hadapi musuh bangsa Boan di Liauw-tong dan pemberontakannya Giam Ong dan lainnya. Maka juga angkutan uang ini adalah jiwanya...."

"Jikalau begini, barisan serdadu iring-iringan ini terlalu usil," Sin Tjie bilang. "Tugas mereka berat, mengapa mereka masih ambil kesempatan untuk ganggu kita?...."

"Mestinya mereka anggap kita gampang dikalahkan," Hong Lioe bilang. "Jikalau mereka bisa labrak kita atau menawan beberapa di antara kita, bukankah itu artinya jasa besar?" Sin Tjie manggut-manggut. "Di barat-utara sana ada satu mulut selat," kata ia kemudian, "mari kita nerobos keluar dari sana." Tie Hong Lioe bersedia untuk turut usul itu. "Silahkan Wan Siangkong menitahkannya," katanya. Sin Tjie mencorat-coret di tanah, ia berpikir, habis itu, ia lantas berikan titah-titahnya buat bersiap untuk sebentar malam. Tepat pada jam yang telah ditetapkan, dibarengi teriakan mereka riuh-rendah, kawanan berandal bergerak untuk turun bukit, buat menerjang turun. Sebagai pembuka jalan adalah Sin Tjie berdua A Pa, si empeh gagu. Tentara negeri sudah lelah, kapan mereka lihat serbuan, mereka coba merintangi, tetapi sebentar saja, barisan mereka sudah dapat ditobloskan, dengan begitu, rombongannya Sin Tjie semua bisa molos. Masih mereka mencoba mengejar, atau segera mereka dilawan oleh barisan belakang penyamun. Nyata ini adalah siasat saja, untuk mencegah tentara negeri itu, sebab apabila semua rombongan sudah memasuki selat, sejumlah penyamun itu lari kabur, akan susul rombongan mereka. Tentara negeri menguber sampai di mulut selat, lantas mereka tidak berani mengejar terus akan masuk terlebih dalam, sebab orang yang menjadi pemimpinnya dapatkan, kedua belah selat tinggi dan berbahaya, hingga mereka jadi kuatirkan tentara sembunyi musuh. Selagi tentara negeri berkumpul dan mengawasi ke dalam selat, tiba-tiba sebuah peti besar jatuh dari sisi lamping bukit, jatuhnya dengan terbuka tutupnya, maka isinya lantas saja terlempar berantakan. Yang membuat kaget dan herannya tentara negeri adalah isi itu yang banyak sekali barang permata, yang berkilauan di antara cahaya obor. Pemimpin tentara negeri itu adalah satu tjongpeng atau brigade-jenderal, dia pun kaget tetapi kaget berbareng girang. "Lekas maju!" ia titahkan. "Rampas semua peti itu!" Perwira ini timbul keserakahannya hingga ia lupakan bahaya. Tentara negeri itu lantas maju, bukan untuk mengejar, hanya untuk berebutan memunguti pelbagai barang permata dan uang, hingga barisan mereka menjadi kalut tanpa pemimpinnya dapat kendalikan pula mereka. Sin Tjie sendiri, yang ambil jalan di atas lamping, telah menuju ke arah belakang pasukan Negara, hingga ia bisa datang dekat kepada rombongan kereta-kereta angkutan yang berlerot. Semua kereta dikerudungi tutup kain kuning tebal, samara-samar kelihatan tulisan huruf-huruf yang menandakan itu adalah angkutan barang pemerintah dari Kanglam. Mengawasi lerotan kereta itu, Sin Tjie girang berbareng ragu-ragu. Ia girang sebab jumlah yang besar itu, yang pasti akan berguna besar untuk pergerakan Giam Ong. Ia ragu-ragu kapan ia ingat jumlah besar dari tentara negeri yang menjadi barisan pengiring angkutan itu. Dengan hati-hati pemuda ini maju lebih jauh. Karena ia sembunyikan diri di antara pepohonan, tidak satu serdadu juga yang dapat pergoki padanya. Ia datang begitu dekat hingga kecuali bisa melihat tegas, ia juga bisa dengar pembicaraan mereka. Kemudian ia dengar suara lebih jelas dari kereta-kereta terbelakang, maka ia percaya, muatan kereta-

kereta itu bukannya uang seperti kereta-kereta terdepan. Kapan ia telah perhatikan lebih jauh, ia dapat kenyataan itulah kereta orang-orang tawanan, dan si orang-orang tawanan sendiri, dengan kedua tangan mereka masing-masing tertelikung ke belakang, lagi duduk di dalam kereta kerangkeng mereka. Di atas setiap kereta nampak selembar bendera putih yang muat tulisan yang menyebutkan nama-nama si orang perantaian, yang telah dapat hukuman mati. Pun dibelakang setiap nama dijelaskan perantaian itu penyamun atau pemberontak atau pengkhianat. "Mereka harus ditolongi...." Pikir Sin Tjie. "Bagaimana aku dapat menolonginya?" Selagi ia berpikir, ia lihat sebuah kereta kerangkeng di mana pada benderanya ada tulisan yang memuat nama Tjouw Tiong Sioe, hingga Sin Tjie jadi kaget tidak terkira. Ia pun lantas lihat orang yang bernama Tjouw Tiong Sioe itu ialah seorang umur lima-puluh lebih, dandanannya sebagai sasterawan, rambutnya telah ubanan. Dia itu adalah bekas ponggawa ayahnya almarhum, yang telah bergerak dan berkedudukan di Lauw Ya San. Di belakang dia ini, di dalam beberapa kereta lainnya, ia tampak Nie Ho, Tjoe An Kok dan Lo Tay Kan bertiga. Eng Siong tidak ada di antara mereka itu. Selagi Sin Tjie mengawasi, kereta-kereta pesakitan itu sudah lewati dia, maka sebagai orang Baru sadar dengan tiba-tiba, dia lari mengejar, hingga sekarang ia terlihat oleh serdadu-serdadu pengiring. Di antara sedadu-serdadu itu sudah lantas ada yang memanah. Dengan kesebatannya, Sin Tjie selamatkan diri dari pelbagai anak panah itu, ia maju terus,

sampai ia dekati satu perwira yang bersenjatakan golok, yang berjalan paling belakang. "Baik aku bekuk perwira ini untuk bikin kacau barisannya," pikir anak muda kita. "Dengan menawan dia aku akan bisa tolongi Tjouw Siokhoe beramai..."

Belum sempat Sin Tjie bertindak, atau ia lihat debu mengepul di sebelah belakangnya dan kupingnya dengar suara berisik dari berlari-larinya beberapa ekor kuda, karena mana, ia lantas mengawasi, hingga ia tampak lima penunggang kuda sedang mendatangi. "Kiranya barisan ini ada barisan penolongnya...." Pikir ia. Dari lima penunggang kuda itu, yang kabur di muka adalah seorang perempuan. Karena mereka datang dengan cepat, selagi dia itu lewat di sampingnya, Sin Tjie kenali  oei-thian-mo-lie Soen Tiong Koen serta Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng. Ia jadi girang. "Djie-soeko!" ia memanggil sambil lompat ke depan kudanya suami-isteri itu. Kwie djie-nio lihat si anak muda, ia tertawa dingin. "Oh, kau?" katanya. "Kau bikin apa di sini?" Soen Tiong Koen dengar soebonya bicara, ia tahan kudanya dan menoleh ke belakang. "Ada urusan penting untuk mana aku hendak mohon bantuan soeko dan soeso," sahut Sin Tjie tanpa perhatikan sikap mengejek dari si ipar perempuan itu. "Kami juga mempunyai urusan sangat penting, kami tak sempat!" kata nyonya Kwie seraya terus keprak kudanya, untuk dikasih lari pula, melewati si anak muda. "Soe-siok!" memanggil Bwee Kiam Hoo sambil beri hormat kepada paman-guru yang muda itu, lantas ia ikuti itu guru lelaki dan perempuan. Beda dari Kiam Hoo, Pwee Seng loncat turun dari kudanya. "Soehoe dan soebo lagi hadapi urusan sangat penting," ia memberi tahu. "Soesiok ada urusan apa? Baik tunggu sampai soehoe dan soebo sudah selesai, nanti aku bantui soesiok..." "Kalau begitu, tidak apa," jawab Sin Tjie. "Aku ingin pinjam saja kudamu, Lauw Toako."

"Silakan, soesiok," menyahut Pwee Seng dengan hormat, sambil tarik kudanya. Ia terus berdiri di pinggiran. "Kita naik berdua, untuk susul tentara negeri itu," Sin Tjie bilang seraya terus lompat naik ke punggung kuda, diturut oleh Pwee Seng. Maka sebentar saja, mereka sudah kabur ke depan. "Ada urusan apa soesiok kejar tentara negeri?" Pwee Seng tanya.

"Untuk tolong orang!" Sin Tjie jawab. "Bagus! Kami juga hendak hajar tentara itu!" berkata Pwee Seng. Sin Tjie kaburkan kudanya sampai ia dapat candak dan lombai Soen Tiong Koen dan lihat tentara negeri yang iringi kereta-kereta kerangkeng, masih ia jepit perut kudanya, untuk menyusul tentara itu. Perwira yang pimpin barisannya dengar tindakan kaki kuda di arah belakang, dia lantas menoleh. Akan tetapi dia menoleh sesudah terlambat, karena tahu-tahu satu bajangan menyambar ke arahnya. Dalam gugupnya, dia membabat dengan goloknya yang besar, harapannya adalah bisa menabas kutung tubuh orang, siapa tahu Sin Tjie telah ulur tangan kanannya, akan sambut gagang golok bagian ujung, tubuhnya sendiri mencelat naik di bebokong kudanya si opsir, siapa ia totok dengan tangan kirinya sambil ia pun membentak: "Kau sayangi jiwamu atau tidak?"

Opsir itu rasai ia kehabisan tenaga dalam sekejab, hingga tak dapat ia membikin perlawanan lebih jauh. "Kau mau hidup atau mati?" Sin Tjie ulangi bentakannya. "Ampun, tay-ong...." Memohon si opsir. "Kalau begitu, lekas titahkan supaya semua kereta pesakitan itu berhenti!" Sin Tjie titahkan. Opsir itu menurut, selagi ia berikan titahnya, rombongannya Kwie Sin Sie pun sampai, malah mereka ini berlima sudah lantas serang tentara negeri, hingga barisannya menjadi kalut. Kejadian ini membuat Sin Tjie menyesal, sebab tadinya ia tidak niat gunai kekerasan terhadap pasukan tentara itu. Sekarang terpaksa ia rampas dua buah kampak besar, dengan bawa itu, ia memburu ke kereta kerangkeng dari Tjouw Tiong Sioe, untuk kampaki pintunya hingga menjeblak. "Tjouw Siokhoe, aku Sin Tjie!" pemuda ini perkenalkan diri. Tiong Sioe seperti sedang bermimpi, hingga ia berdiam diri. Sin Tjie lantas tolongi juga Tjoe An Kok dan Nie Hoo, hingga mereka ini dapat tolongi yang lain-lain, dan yang lain-lain lagi berebut tolongi semua perantaian lainnya, yang berjumlah seratus orang lebih, diantara siapa lebih dari tiga-puluh orang ada anggauta-anggauta golongan San Tjong, bekas orang-orang sebawahannya almarhum Wan Tjong Hoan. Mereka ini girang bukan main kapan mereka dapat tahu orang yang tolongi mereka adalah putera pemimpin mereka, maka dengan sengit mereka labrak tentara negeri, yang tadinya iringi mereka. Maka kesudahannya, tentara negeri itu kena dipukul buyar. Di sebelah depan, jalanan telah dirintangi dengan batu-batu besar, sukar untuk tentara negeri lolos dari sana. Sin Tjie ketahui ini. Ia juga tahu, biar bagaimana, jumlah tentara negeri lebih besar daripada jumlah rombongan mereka sendiri, seandai-kata tentara itu nekat, dia orang bisa berkelahi mati-matian dan ini berarti ancaman hebat bagi mereka sendiri, dari itu ia lantas pikir jalan pemecahan. Sin Tjie lemparkan kampaknya, ia loncat ke atas lerotan kereta, ia berlari-lari di atasnya, untuk maju ke depan. Ia telah lari sekira satu lie ketika ia lihat satu ponggawa, ialah tjongpeng yang tadi, di atas kudanya sedang pimpin perlawanan. Ia cepat maju ke arah pembesar militer itu. Dua serdadu rintangi ia tapi ia cekuk mereka, yang ia terus lemparkan ke jurang. Kemudian, dengan kegesitannya, ia loncat ke bokong kudanya tjongpeng itu. Ponggawa itu tampak orang menyerbu, ia membacok, tapi sambil berkelit, anak muda kita coba rampas goloknya. Tjongpeng ini liehay, ia jatuhkan dirinya ke tanah, dengan begitu, goloknya tidak kena dirampas. "Aku tidak sangka dia liehay," kata Sintjie dalam hati. Tapi untuk tidak perlambat tempo, ia segera menyerang dengan tiga butir biji caturnya. Tjongpeng itu benar-benar liehay, dengan goloknya ia berhasil menyampok jatuh tiga biji catur itu, hingga ia terlolos dari ancaman bahaya. "Kau benar liehay! Mari coba lagi!" pikir Sin Tjie. Dan sekali ini ia menyerang pula, dengan dua tangannya saling-susul. Kedua tangannya menggenggam tiga kali sembilan biji, hingga tjongpeng itu diserang terus-terusan dengan dua-puluh tujuh biji. Pasti sekali ia menjadi sibuk, mulanya ia masih bisa menangkis, lantas goloknya terlepas, segera pahanya, pinggangnya, bebokongnya, sambungan kakinya, kena tertimpuk, hingga kesudahannya, ia rubuh dengan lutut tertekuk! "Tak usah pakai banyak adapt-peradatan!" Sin Tjie menggoda sambil tertawa. Ia maju, untuk sambar bahu kiri orang, tapi dengan kepalan kanannya, tjongpeng itu menyerang kea rah dada. "Biarlah kau hajar aku satu kali, untuk puasi hatimu!" tertawa si anak muda. Dan ia antapkan dadanya ditoyor. Serangan itu tepat, akan tetapi tjongpeng itu merasakan ia lagi toyor kapas, dan ketika Sin Tjie empos semangatnya, tenaga berbaliknya membikin tubuhnya terpental sendirinya, terapung tinggi! Banyak serdadu menjerit melihat keadaannya pembesar itu. Sang tjongpeng sendiri anggap dia bakal terbinasa sendirinya, ia sudah lantas tutup rapat kedua matanya, akan tetapi segera ia merasa ada orang cekal kedua belah bahunya, apabila ia buka matanya, ia lihat lawannya adalah satu mahasiswa muda. Ia lantas insyaf bahwa ia telah rubuh di tangannya seorang liehay. Ia jadi putus asa. "Kau perintahkan semua serdadu letaki senjata, kau akan dikasih ampun!" kata Sin Tjie. Tjongpeng ini tahu, dengan angkutannya lenyap, hukuman mati ada bagiannya, karena ini, ia jadi nekat. Ia berseru: "Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah aku, tak usah kau banyak omong!" Sin Tjie tertawa, ia kerahkan pula tenaganya. Lagi satu kali, tubuhnya tjongpeng itu terpental tinggi, di waktu jatuh, si anak muda tanggapi seperti tadi. Dan ia ulangi sampai tiga kali melempar tubuh opsir itu, hingga kesudahannya, opsir ini pusing kepalanya, berkunang-kunang matanya, sampai tak tahu ia, dirinya berada di mana....

"Jikalau kau tidak berikan titahmu, kau bakal mampus!" Sin Tjie beri ingat. "Dengan begitu, tentaramu juga tidak bakal turut hidup! Maka baiklah kau menakluk kepada kami!" Dalam keadaan sulit seperti itu, tjongpeng ini menyerah. Ia manggut.

"Ini dia yang dibilang orang yang kenal selatan!" bilang Sin Tjie. Tjongpeng itu lantas teriaki tiga sebawahannya, untuk beritahukan mereka niatnya untuk menakluk. Tiga sebawahan itu kaget, muka mereka pucat. "Kau makan gaji Negara, kau poet-tiong, poet-hauw!" satu di antaranya berseru saking gusar. Tapi ia tak sempat bicara banyak, Sin Tjie sambar lengannya, terus dia dibanting hingga dia rebah dengan pingsan! Melihat demikian, dua sebawahan itu menyatakan suka menurut. "Nah, perintahkanlah hentikan pertempuran!" si tjongpeng memerintahkan. Sin Tjie juga lantas kasih tanda supaya kawanan penyamun berhenti berkelahi. "Titahkan mereka letaki senjata mereka!" kemudian Sin Tjie perintah si tjongpeng.

Dengan terpaksa, tjongpeng itu menurut, maka itu, selainnya pertempuran berakhir, semua serdadu juga letaki senjata mereka. Menyusul itu, lima orang menerjang kalang-kabutan, mereka serbu pelbagai peti, untuk dibuka dengan paksa, apabila mereka dapati isinya uang belaka, mereka lemparkan itu ke samping, mereka menggeratak terus. Tidak ada satu serdadu juga yang berani rintangi mereka. Lima orang itu adalah Kwie Sin Sie suami-isteri serta tiga muridnya. "Djie-soeheng, kau cari apa?" Sin Tjie tanya selahi orang dekati dia. "Nanti aku perintah mereka kasi keluar!" Kwie Sin Sie angkat kepalanya, ia lantas tampak tiga opsir berdiri di antara Sin Tjie, ia lompat ke arah mereka, dengan tiga loncatan, ia sudah datang dekat, lalu dengan tiba-tiba, ia jambak si tjongpeng. Pembesar militer ini kaget, apapula kapan ternyata, tak sanggup ia lepaskan diri dari jambakan itu, hingga ia mengerti, kembali ia hadapi seorang liehay. "Dimana adanya upeti hok-leng dan hoo-sioe-ouw dari Ma Tok-boe?" tanya Kwie Sin Sie dengan bengis. "Karena anggap jalan kita ayal, Ma Tok-boe telah perintah lain orang bawa itu terlebih dahulu ke kota raja," sahut tjongpeng itu. "Apakah kau tidak mendusta?" tanya Kwie Sin Sie. "Jiwaku ada di tangan kau, untuk apa aku mendusta?" sang tjongpeng menjawab. Sin Sie percaya orang omong benar, tapi toh ia masih banting tjongpeng itu. "Jikalau kemudian ternyata kau main gila, aku nanti kembali untuk ambil jiwamu!" dia mengancam. Kemudian ia berpaling kepada isterinya: "Mari lekas kita susul!" Habis mengucapkan demikian, Sin Sie segeral berlari pergi. Nyonya Kwie empo anaknya, dia susul suaminya, selagi berlari, dia hajar beberapa sedadu yang melintang di depannya. Soen Tiong Koen bertiga pun segera susul gurunya itu. Sin Tjie tahu orang sedang berpikiran kalut, ia antapkan saja soeko itu beramai berlalu. Kemudian Baru ia tanya si tjongpeng tentang obat yang dicari soehengnya yang kedua itu. "Itulah hok-leng dan hoo-sioe-ouw," sahut perwira itu. "Hok-leng itu besar sekali dan didapatinya belum lama ini di dalam sebuah gunung di propinsi An-hoei diduga usianya telah dua-ribu tahun. Dan hoo-sioe-ouw itu, yang telah berpeta manusia, yang umurnya pun tua sekali, dapat digali di suatu tempat di Tjiatkang timur. Maka itu adalah dua macam obat yang dipandang sebagai mustika. Ketika Tjongtok Ma Soe Eng dari Hong-yang dengar hal kedua obat itu, dia perintah wakilnya pergi beli secara separuh paksa, kemudian ia perintahkan satu ahli obat bikin itu menjadi dua-puluh butir obat pulung, katanya campuran obat lainnya adalah jinsom, mutiara dan lainnya obat mahal, hingga ongkos pembuatannya sama sekali tiga-puluh ribu tail perak. Tentang obat ini sudah menggemparkan seluruh wilayah Kanglam, hingga banyak orang yang mengetahuinya. "Untuk penyakit apa obat itu?" Sin Tjie tanya pula. "Aku sendiri tidak ketahui jelas, melainkan orang bilang mustajab sekali hingga bisa hidupkan kembali orang yang sudah mati. Juga dikatakan, siapa bertubuh lemah, asal makan sebutir saja dari obat itu, tubuhnya akan lantas jadi sehat dan kuat."

"Inilah dia!" pikir Sin Tjie. "Anaknya djie-soeko sakit sudah lama dan belum dapat obat yang manjur, pantaslah dia ingin dapatkan obat ini....." Lalu ia tanya pula: "Jadi obat itu hendak dijadikan upeti oleh Ma Tjongtok?"

"Benar. Mulanya akulah yang ditugaskan bawa itu, tetapi kemudian karena aku jalan lambat dan aku mesti antar banyak pesakitan, dia titahkan lain orang ialah Tang Piauwsoe dari Eng Seng Piauw Kiok dari Kimleng. Itulah upeti untuk Sri Baginda." Mendengar itu, Sin Tjie harap-harap soekonya berhasil mendapati obat itu untuk obati puteranya yang sakitan itu. "Sudah berapa hari sejak berangkatnya piauwsoe itu?"

"Kita berangkat bersamaan, tapi rombongan mereka Cuma belasan, mereka bisa jalan jauh terlebih cepat. Mungkin mereka telah dului kita delapan atau sembilan hari." Itu waktu Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan serta orang-orang mereka telah datang berkumpul, girang mereka bukan kepalang, apapula akan saksikan ahli warisnya Wan Tjong Hoan demikian cakap dan gagah. Sin Tjie lantas tanyakan mereka itu tentang tertawannya mereka. Menurut Tiong Sioe, ketika mereka dibokong di Lauw Ya San, sudah banyak orang mereka yang bubaran, mereka sendiri bisa lolos, kecuali Eng Siong, yang mendapat kebinasaan. Kemudian mereka berkumpul pula, untuk lanjuti usaha mereka. Tapi rahasia bocor dan Ma

Soe Eng liehay sekali, selagi berapat, mereka disergap hingga mereka kena ditawan. Mereka hendak dikirim ke Pakkhia dimana mereka bakal jalankan hukuman mati. Maka beruntung sekali, di sini mereka bertemu dengan Sin Tjie dan dapat ditolongi. Setelah itu Sin Tjie tuturkan hal perkenalannya dengan Giam Ong. "Ini bagus, Wan Kongtjoe," berkata Tiong Sioe. "Disini ada kawanan penyamun dan sejumlah tentara taklukan, maka baik kau tunda dulu perjalananmu ke Pakkhia, untuk pernahkan mereka ini. Sin Tjie nyatakan setuju, malah ia sarankan untuk cari tempat untuk satu pertemuan besar. "Tay San bagaimana?" Tiong Sioe usulkan. "Tay San ada yang utama di antara lima gunung, kita pilih Tay San, tepat!" Sin Tjie nyatakan akur. Pemuda ini lantas perintah kumpulkan isinya peti yang ia titahkan "obral", sedang dari uang angkatan Negara, ia pisahkan sejumlah dua-puluh laksa tail perak, yang ia bagi rata di antara rombongan Tjeng Tiok Pay dan kawanan berandal dari Shoatang itu. Untuk Tie Hong Lioe, ia pisahkan lagi lima-ribu tail. Dan untuk tentara negeri yang menakluk itu, ia kasikan dua-puluh laksa tail. Maka selat itu bergemuruh dengan tampik-surak pelbagai rombongan yang merasa sangat girang dengan tindakannya si anak muda. Habis itu Sin Tjie titahkan sejumlah orang dari kaum San Tjong, Tjeng Tiok Pay dan berandal Shoatang, untuk mereka pergi ke berbagai tempat, guna menyampaikan undangan supaya nanti orang berkumpul di atas gunung Tay San untuk berapat, tanggal-bulannya ialah pehgwee Tiong Tjioe. Untuk pernahkan Tjouw Tiong Sioe beramai bersama tentara negeri taklukan itu, Sin Tjie minta orang she Tjouw itu pergi cari suatu gunung, untuk dirikan pesanggrahan, buat mereka tempatkan diri sampai datang saatnya untuk bergerak menyambut Giam Ong. Tentang lenyapnya uang Negara itu, yang berjumlah lebih dari dua juta tail perak, dan menakluknya tentara pengiringnya, telah menggemparkan wilayah Shoatang dan kota raja, dan kapan kemudian Tjongtok Ma Soe Eng datang bersama satu pasukan perang besar, untuk mencari dan membasmi, di selat itu mereka tidak dapatkan satu penyamun juga, hingga mereka mesti pulang kembali dengan tangan kosong. Sementara itu, sang hari lewat dengan cepat, selagi mendekati harian tanggal lima-belas bulan delapan, ke gunung Tay San telah datang orang-orang, dengan bersendirian dan berombongan, hingga mereka telah memenuhi pelbagai kelenteng di atas gunung yang suci itu, sebab jumlah mereka adalah beberapa ratus orang. Pada malaman tanggal lima-belas, cuaca terang, rembulan indah-permai, dan pada paginya tanggal yang dipilih itu, hawa pagi sangat nyaman. Semua orang berkumpul di lembah Sek Keng Kok dimana ada sebuah tegalan yang luas beberapa bauw, yang terdiri dari batu yang bersih dan mengkilap, katanya itu dahulu adalah tempat peranti berkotbah dari suatu pendeta yang berilmu tinggi, sedang di atas gunungnya ada ukiran sebagian kitab Kim Kong Keng dengan huruf-hurufnya sebesar gantang dan bagus. Pada waktu itu di antara hadirin, kecuali Wan Sin Tjie bersama Oen Tjeng Tjeng, si empeh gagu A Pa dan Ang Seng Hay, pun terdapat rombongan dari Tjouw Tiong Sioe seperti Tjoe An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan. Dari pihaknya Kim Liong Pay di Kangsouw datang Tjiauw Kong Lee bersama gadisnya, Tjiauw Wan Djie, Lo Lip Djie dan lainnya. Dari Tjeng Tiok Pay datang Thia Tjeng Tiok beramai. Dari kawanan berandal Shoatang hadir See Thian Kong bersama Tam Boen Lie dan rombongannya. Dari Liong Yoe Pang di Tjiatkang, Eng Tjay telah ajak semua kawan-kawannya. Dari pihak Siauw Lim Sie dari Hokkian, Sip Lek Taysoe, perlukan datang sendiri. The Kie In dari Tjit-tjap-djie- Too, tujuh-puluh dua pulau-pula pun datang bersama kawan-kawannya. Dari antara pesakitan, yang Sin Tjie tolong merdekakan, ada Tjeetjoe Liap Thian Kong dari lembah Hoei Houw Kok dari Hoay lam dan Pangtjoe Nio Gin Liong dari Po Yang Pang dari Kangsee utara. Begitupun sejumlah orang kang-ouw lainnya. Dari pihak tentara negeri yang menakluk hadir Tjongpeng Soei Tjee Boe serta perwira-perwira sebawahannya. Maka itu, jumlah mereka sangat besar, ramailah selat gunung Tay San itu. Di waktu fajar, orang telah berkumpul untuk menghadap ke timur, untuk saksikan munculnya Tay Yang Seng-koen atau Batara Surya, di waktu mana, cuaca indah luar biasa, langit di arah timur itu merupakan aneka-warna yang permai, hingga orang menyambutnya dengan tampik-surak ramai. Selagi orang ramai duduk, Im-yang-sie See Thian Kong, yang lukanya telah sembuh, berbangkit untuk beri hormat kepada semua hadirin, guna angkat bicara. Ia memberi tahu bahwa penyambutannya tidak sempurna, maka itu, ia mohon diberi maaf. Lalu sekali lagi, ia menjura kepada semua tetamu. Dengan hampir berbareng, semua hadirin mengucapkan terima kasih. "Aku adalah seorang kasar, aku tak tahu apa-apa, maka sekarang aku persilahkan tjianpwee dari Tjeng Tiok Pay yang bicara lebih jauh," kemudian kata pula orang she See ini. Thia Tjeng Tiok merendahkan diri, dia menampik, hingga keduanya saling tolak. Demikian mereka ramah-tamah, beda daripada waktu mereka adu jiwa secara mati-matian untuk perebuti hartanya Sin Tjie. Hal ini membuat girang dan kagum semua hadirin lainnya, karena, dari musuh, mereka kini jadi sahabat kekal. Akhir-akhirnya Thia Tjeng Tiok, dengan sebatang bamboo di tangannya, berbangkit sambil tertawa. "Kita kaum rimba persilatan, sebenarnya dahulu pun pernah satu kali berkumpul di atas gunung Tay San ini," berkata dia, memulai. "Cuma itu waktu, jumlah kita tak ada  sebanyak kali ini. Dan itu waktu, aku tidak malu akan mengatakannya, apakah maksud rapat kita itu? Tak lain tak lebih, melulu untuk membagi daerah bekerja, guna memecah uang rampasan...." Mendengar itu, semua orang tertawa. "Sekarang ini telah hadir banyak enghiong, maka tak dapat kita berlaku lagi tak tahu malu seperti dulu itu!" melanjuti ketua Tjeng Tiok Pay itu. "Sekarang ini dunia sedang kacau, sekarang adalah saatnya untuk orang-orang yang bersemangat mendirikan usaha yang berarti, untuk angkat nama! Kaisar sedang gelap pikiran, kusut segala aturannya! Di dalam pemerintahan hanya terdapat segala pembesar rakus dan busuk! Dan di luar tapal batas, kacung-kacung Boan di Kwan-gwa sering-sering menyerbu perbatasan kita, hingga karenanya, rakyat bercelaka, mereka mengeluh sampai suaranya terdengar di langit. Kita sendiri, siapakah di antara kita yang tidak pernah terdesak sampai kita berada di pojokan seperti sekarang ini? Maka sekarang haruslah kita berempuk, untuk membangun suatu usaha besar!" Kembali orang bersurak-riuh, semua menyatakan setuju. "Yang hadir hari ini semuanya sahabat-sahabat karib," menambahkan Thia Tjeng Tiok, "maka dari kita bersumpah dengan darah kita, untuk dimana ada kesusahan saling membantu, guna bekerja sama-sama. Dan andaikata, ada yang rakus, yang silau dengan harta dan kemuliaan hingga dia jual sahabatnya, atau dia takut mati saking kouw-ka-tie, mari kita ramai-ramai habiskan dia!"

"Bagus! Akur!" demikian kembali sambutan orang banyak. "Di dalam satu pertemuan besar sebagai ini, tak dapat tidak ada beng-tjoe, ketuanya, maka itu, mari kita angkat satu pemimpin, satu saudara enghiong yang disegani semua orang," berkata pula See Thian Kong. "Terdapat beng-tjoe itu, kita semua mesti mendengar kata! Bagiku, tak perduli saudara mana yang diangkat, aku nanti selalu ikuti dia!" Sampai di situ, Sip Lek Taysoe berbangkit. "Memangnya, kawanan naga tidak ada kepalanya, tak nanti mereka bisa bangunkan usaha besar," kata pendeta ini. "Loo-lap setuju untuk kita pilih satu beng-tjoe, asal beng-tjoe itu mesti pintar dan gagah berbareng, welas-asih dan budiman, supaya ia bisa menakluki semua orang."

"Itu benar!" The Kie In menyambut. "Menurut aku, Tay-soe setimpal untuk jadi pemimpin kita." Sip Lek Taysoe tertawa.

"Jangan main-main, tootjoe! Loolap adalah sebagai lilin diantara angina, loolap sedang tungkuli sisa umurku....Mana loolap sanggup terima tugas penting itu?" Orang ramai lantas kasak-kusuk, berbisik satu dengan lain, untuk damaikan siapa harus dipilih dan diangkat menjadi beng-tjoe mereka. Pemilihan ini perlu, untuk persatukan golongan mereka, yang terpencar di pelbagai tempat, agar mereka semua ada yang pimpin dan bersatu. Hal ini perlu, untuk cegah bentrokan di dalam kalangan sendiri, guna bikin jeri pembesar negeri. Thia Tjeng Tiok tunggu orang saling berdamai sekian lama, lalu ia tepuk tangannya beberapa kali, setelah semua orang sirap, dia tanya apa mereka itu sudah dapat pikir orang yang cocok, yang bakal dipilih. Seorang, yang tubuhnya besar dan tingginya tujuh kaki, berbangkit. Suaranya pun nyaring ketika ia buka mulutnya. Ia kata: "Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei adalah orang yang dihormati oleh kaum Rimba Persilatan, benar dia hari ini tidak turut hadir, akan tetapi kedudukan beng-tjoe ini harus diberikan kepadanya. Maka itu aku anggap baik kita jangan pilih lain orang lagi." Usul ini segera dapat kesetujuannya beberapa orang. "Siapakah itu Beng Pek Hoei?" tanya Sin Tjie pada Seng Hay, yang duduk di sebelahnya. Orang yang ditanya agaknya heran. "Apakah Wan Siangkong tidak kenal orang she Beng itu? Dia balik tanya. "Ada sedikit sekali sahabatku dalam rimba persilatan," sahut si anak muda. "Beng Loo-ya-tjoe itu ada orang juluki Kay Beng Siang, jadi dia dibandingi dengan Beng Siang Koen," terangkan Seng Hay. "Dia adalah seorang yang mulia hatinya, giat menderma, gemar bergaul. Dalam kalangan ilmu silat, dia telah ciptakan ilmu silat 'Sin Koen'. Banyak orang gagah yang menjadi muridnya. Untuk di utara, tidak ada yang tidak kenal nama Kay Beng Siang. Orang yang bicara barusan adalah Teng-kah-sin Teng Yoe, si Malaikat Teng Kah, yang jadi murid kepalanya."

"Begitu," kata Sin Tjie kemudian. "Kalau begitu, baik juga dia dipilih jadi beng-tjoe...." Itu waktu, Tjit tjap djie too Tootjoe The Kie In berkata pula: "Namanya Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei terkenal hingga di tempat jauh, sampai aku yang tinggal jauh dari daratan, telah pernah mendengarnya, aku turut kagumi dia. Dia bijaksana, kepandaiannya pun sempurna, memang pantas dia dipilih. Tapi aku memikir satu hal, boleh atau tidak apabila aku utarakan itu?"

"Tidak ada halangannya, The Tootjoe," bilang Teng Yoe. "Beng Loo-ya-tjoe telah tinggal di Po-teng untuk banyak tahun," menyatakan tootjoe ini, "harta-benda dan kedudukannya, besar bukan main. Kita sebaliknya, apakah yang kita kerjalan? Kita berkumpul, untuk melakukan usaha pemberontakan! Apabila Beng Loo-ya-tjoe menjadi pemimpin kita, kemudian dia kena terembet-rembet, apakah bisa senang hati kita?" Kata-kata ini beralasan, maka itu semua orang berdiam. "Aku hendak pujikan satu orang lain," berkata Tjiauw Kong Lee, ketua dari Kim Liong Pay dari Kim-leng. "Dia ini satu enghiong, dia tidak saja pandai ilmu silat, sifatnya pun welas-asih dan budiman. Melainkan dia masih berusia sangat muda dan banyak sahabat-sahabat Rimba Persilatan yang belum mengenalnya. Walaupun demikian, aku suka pujikan dia. Dan asal dia suka menerima keangkatan, dia pasti bakal pegang pimpinan dengan adil, dia pasti bakal angkat nama kita hingga pihak pembesar negeri niscaya tak nanti pandang ringan kepada kita." Sebelum orang banyak tegaskan Kong Lee, siapa pilihannya itu, See Thian Kong sudah turut berkata pula. Dia punyakan suara kecil akan tetapi dia coba keluarkan dengan keras, hingga terdengarnya menyolok di kuping. "Di dalam hatiku, aku juga memikir satu orang, satu enghiong yang usianya masih sangat muda," katanya. "Aku percaya dia tidak bakal beda jauh dengan enghiong yang dipujikan Tjiauw Pangtjoe." "Aku tidak berani menyebutkan usiaku yang tinggi," berkata pula Tjiauw Kong Lee, seperti ia menyambung See Thian Kong, "akan tetapi usiaku sekarang ini sudah lebih dari lima-puluh tahun, dan tak berani aku membilang, pengetahuan dan pengalamanku telah luas, akan tetapi pernah aku menemui tak sedikit orang-orang gagah, walaupun itu semua, sahabat muda yang aku sebutkan itu telah membuat aku takluk setakluk-takluknya, seumurku, belum pernah aku menemui orang yang melebihkan dia." Sampai di situ, Thia Tjeng Tiok turut bicara. Tapi ia bicara dengan tawar. "Aku kenal tabeatnya Tjeetjoe See Thian Kong," demikian katanya, "dan kipas Im-yang-sie-nya yang bisa dipakai menotok jalan darah, walaupun bukan tak ada keduanya, sudah sempurna sekali, maka seorang yang membuat dia kagum, pastilah bukan orang sembarang. Maka itu aku dari Tjeng Tiok Pay, aku setuju dengannya." Mendengar ini, mukanya Tjiauw Kong Lee menjadi merah. "Habis bagaimana caranya beng-tjoe hendak dipilih?" tegaskan ketua Kim Liong Pang ini. "Orang-orang Kim Liong Pang memang tak punya guna, akan tetapi jumlah kami terlebih banyak daripada jumlah orang-orang Tjeng Tiok Pay...." Suasana lantas saja menjadi hangat. Menampak demikian, Sip Lek Taysoe lantas mendahului. "Sabar, Tjiauw Pangtjoe," berkata dia. "Siapa itu sahabat yang pangtjoe hendak pujikan? Menurut aku, dalam sembilan bagian, dugaanku tidak bakal meleset. Aku pun minta supaya See Tjeetjoe menyebutkannya orang yang dia hendak pujikan itu, supaya semua hadirin bisa berikan pertimbangannya yang sama tengah. Ada kemungkinan yang orang banyak tak menyetujui mereka itu...." See Thian Kong lantas saja tunjuk Wan Sin Tjie. "Orang yang aku maksudkan adalah Wan Siangkong!" sahutnya. "Jangan saudara-saudara lihat saja usianya yang masih sangat muda, sebenarnya kepandaiannya terlebih tinggi daripada orang yang kebanyakan. Baik aku jelaskan, dengan Wan Siangkong ini aku Baru saja berkenalan, dengannya aku bukan pernah saudara seperguruan, bukan juga sahabat karib, bahwa aku pujikan dia, itulah disebabkan melulu karena aku kagumi kepandaiannya." Baru saja See Tjeetjoe tutup mulutnya atau rombongan berandal dari Shoatang serta orang-orang Tjeng Tiok Pay bertampik-surak semua hingga suara mereka jadi bergemuruh. Hal ini di luar dugaan Sin Tjie, maka lekas-lekas ia berbangkit, ia lantas ulap-ulapkan kedua tangannya. "Jangan! Jangan!" katanya gugup.

Orang-orangnya Tjiauw Kong Lee tunggu sampai tampik-surak sudah reda, lalu mereka semua tertawa berkakakan, bergelak-gelak, kepala mereka ditegaki, kembali terdengar suara bergemuruh riuh. See Thian Kong menjadi tidak senang.

"Tjiauw Pangtjoe, tolong kamu jelaskan, adakah kamu tertawai aku?" tanya dia. Kong Lee rangkap kedua tangannya, akan beri hormat kepada tjeetjoe ini. "Mana berani aku tertawai kau, See Tjeetjoe?" katanya. "Ketahuikah Tjeetjoe, siapa orang yang aku hendak pujikan?" Thian Kong menggeleng kepala. "Aku tidak tahu," jawabnya. Kong Lee bersenyum "Lain daripada Wan Siangkong ini, siapa lagi?" katanya. Tanpa merasa, orang semua tertawa besar. Sebab sekian lama orang adu urat syaraf, tidak tahunya, jago yang mereka pujikan adalah satu orang! Sin Tjie menjadi sangat sibuk, kembali ia bangkit berdiri. "Aku masih terlalu muda, pengetahuanku pun sangat cetek," katanya. "Sebenarnya dengan dapat turut hadir di sini saja aku sudah bukan main bersyukurnya. Di sini aku mengharap semua loocianpwee nanti sudi pimpin aku, supaya aku bisa membantu sedikit, maka itu mana aku sanggup terima pujian kamu! Tak sanggup aku terima tugas berat ini, maka aku harap loocianpwee beramai pilih lain orang saja." Tapi Tjouw Tiong Sioe turut bicara. "Wan Kongtjoe adalah putera Wan Tayswee," katanya, "oleh karena kami kaum San Tjong tidak memilih kasih, dengan kongtjoe yang terpilih, inilah paling tepat!"

"Siapa dimaksudkan dengan Wan Tayswee itu?" tanya The Kie In. "Ialah Tayswee Wan Tjong Hoan, panglima gagah yang di Liauwtong telah lawan angkatan perang Boan, yang belakangan tanpa sebab tanpa dosa telah dibikin celaka hingga dia menemui kebinasaannya," Tiong Sioe terangkan. Semua orang tahu Wan Tjong Hoan gagah dan setia, bagaimana sebagai pahlawan dia bela negaranya, tapi dia terbinasa teraniaya, hingga orang rata-rata penasaran, maka sekarang, setelah dengar keterangannya Tjouw Tiong Sioe, tidak saja The Kie In, pemimpin dari tujuh-puluh-dua pulau, juga yang lain-lain jadi tergerak hatinya, berbareng berduka mereka atas nasibnya Wan Tayswee itu, mereka girang menemui puteranya. Maka seperti satu suara, semua orang menyatakan setuju atas pilihan itu. Sin Tjie masih mencoba menampik, ia tidak berhasil. Malah Soei Tjongpeng, perwira taklukan itu, dan Nio Gin Liong dan Liap Thian Hong serta lainnya yang ditolongi dari kerangkeng perantaian, turut berikan suara menunjang, hingga tak dapat tidak, pemilihan lantas ditetapkan. Ketua dari Liong Yoe Pang, Eng Tjay, sebenarnya mempunyai sangkutan dengan Sin Tjie, disebabkan kejadian di perahu waktu dia bentrok dengan Oen Tjeng Tjeng, akan tetapi dia ingat pertolongannya pemuda ini, yang berikan dia papan yang membuat dia tak sampai tercebur ke sungai, maka dia pun berikan tunjangannya. Sambil berbangkit, dia berkata: "Wan Siangkong mempunyai boegee yang liehay, pasti banyak saudara hadirin disini mengetahuinya. Aku sendiri, pernah rubuh di tangannya...." Mendengar ini, sejumlah orang menjadi tercengang. "Walaupun aku telah dirubuhkan, aku toh ditolongi," Eng Tjay menyambungi, "karena itu sekarang aku setuju dia dipilih menjadi bengtjoe, aku tunjang pemilihannya ini." Orang bersorak untuk sikap laki-laki dari ketua Liong Yoe Pang itu. Teng-kah-sin Teng Yoe dekati Sin Tjie, untuk diawasi, hingga ia tampak tegas romannya Sin Tjie yang cakap, sikap halus, tak ada tanda-tandanya dari seorang dengan dengan boegee yang liehay, karenanya, ia menjadi heran. Ia tidak puas karena namanya orang ini melewati nama gurunya. "Kionghie, Wan Siangkong," kata dia, memberi hormat, tapi berbareng ia ulur tangannya, untuk jabat pemuda ini. "Dengan sebenarnya, tak sanggup aku terima tugas berat ini," berkata Sin Tjie. Belum lagi anak muda ini tutup mulutnya, atau ia rasai cekalan yang keras sekali. Tetapi, dengan diam-diam, Teng Yoe sudah kerahkan tenaga "Pa Ong Kong Teng" atau "Tjouw Pa Ong angkat perapian kaki tiga," semacam ilmu tenaga besar warisan dari gurunya. Dengan jalan ini, ia niat angkat tubuhnya Sin Tjie, untuk lalu dilepaskan, supaya pemuda ini rubuh setengah binasa, agar bengtjoe ini mendapat malu. Sin Tjie segera insyaf bahwa orang lagi mencoba dia, dia diam saja, tapi dengan diam-diam, dia kerahkan tenaga "Tjian kin tjoei", atau "rubuhnya seribu kati", hingga dia bisa tancap kaki dengan tubuhnya dibikin berat, karena mana, sampai tiga kali Teng Yoe kumpul tenaganya, untuk angkat ia masih tidak berhasil, tubuhnya seperti nancap ditanah. Dia pun lantas berkata: "Mana aku sanggup terima tugas begini berat? Gurumu terkenal di kolong langit, saudara Teng, gurumu itu jauh terlebih cocok daripada aku untuk dipilih!" Masih Teng Yoe kerahkan tenaganya, tetap ia tidak memperoleh hasil, malah pada lengan kanannya itu terdengar suara urat-uratnya, maka akhirnya terpaksa ia lepaskan cekalannya, karena ia tahu, ia telah gunai tenaga melebihi batas. Masih Sin Tjie berpura-pura seperti tak ada kejadian suatu apa, begitu orang lepaskan cekalannya, ia lantas tarik pulang tangannya.

Teng Yoe sembrono tetapi ia jujur dan polos, Ia tahu orang telah berbuat baik terhadapnya, karena apabila si anak muda melakukan pembalasan, lengannya bisa patah atau tangannya remuk. Karena ini, ia jadi berterima kasih. "Baik, kau pantas menjadi bengtjoe!" dia lantas serukan. Lalu ia memberi hormat sambil menjura. Sin Tjie lekas-lekas membalas hormat, hatinya girang karena orang berhati polos. Ia jadi sangat suka pada orang sembrono ini. Ketika itu orang lantas siapkan lilin dan hio, untuk menjalankan kehormatan kepada langit dan bumi, yang menyaksikan pemilihan dan keangkatan bengtjoe itu. "Kita telah adakan perserikatan, kita sudah mempunyai bengtjoe, karenanya tak boleh kita tidak punyakan undang-undang," berkata Thia Tjeng Tiok. "Maka sekarang aku mohon bengtjoe maklumkan undang-undang itu, untuk kita rundingkan dan tetapkan." Sebenarnya Sin Tjie masih hendak menolak, tapi Tiong Sioe bisiki dia, katanya: "Kongtjoe, jangan kau tampik lagi. Apabila kedudukan bengtjoe ini terjatuh kepada satu manusia licik, besar sekali bencananya di belakang hari. Umpama kau bisa pegang kendali, besar faedahnya untuk melampiaskan sakit hatinya Tayswee!" Tertarik hatinya Sin Tjie mendengar nasehat ini. Lantas ia berbangkit, akan menjura kepada orang banyak. "Karena saudara-saudara demikian menyinta aku, baiklah, terpaksa aku turut titah kalian," katanya. "Karena pengetahuanku cetek, aku mohon supaya semua cianpwee dan kanda sudi bantui aku, aku senantiasa bersedia untuk terima pelbagai pengajaran." Tampik surak riuh-rendah menyambut pengutaraan itu. "Untuk undang-undang, aku minta Tjouw Siokhoe saja yang mengarangnya," kemudian Sin Tjie minta Tiong Sioe. Tjouw Tiong Sioe tidak menolak, ia malah lantas kembali ke kuil, untuk tugasnya itu. Ia tahu semua orang sederhana, ia pun mengatur rencana secara ringkas. Maka belum terlalu lama, ia sudah siap dengan undang-undangnya, yang ia terus serahkan pada Sin Tjie, untuk diumumkan kepada orang banyak itu, habis mana mereka mengadakan sumpah, minum arak tercampur darah, untuk janji bekerja sama-sama tidak ada yang boleh undurkan diri atau melanggar sumpah. Secara demikian selesailah pertemuan besar di Tay San itu. Belum berselang setengah tahun sejak Sin Tjie muncul karena ilmu silatnya yang liehay, sebabnya ramah tamah dan kepintaran, ia telah membuat kemajuan ini, hingga ia sekarang menjadi bengtjoe dari Titlee, Shoatang, Kangouw, Tjiatkang, Hokkian, Kangsee dan Anhoei, dari orang-orang gagah dari tujuh propinsi itu. Tiga hari lamanya orang berkumpul di Tay San, berunding dan berpesta, lalu dengan bergantian mereka turun gunung, akan pulang ke masing-masing wilayahnya. Selama itu, kecuali sebagai pemimpin, Sin Tjie juga telah ikat persahabatan kekal dengan orang-orang yang tadinya ia tak kenal. Di waktu orang berpisahan, ia bekali mereka uang, yang ia ambil dari harta karunnya itu, tak sayang ia memberikan masing-masing sejumlah besar. Secara begini, ia pun menambah menarik simpati orang banyak itu. Setelah semua sudah bubar, Sin Tjie bersama Tjeng Tjeng, A Pa dan Seng Hay melanjuti mengangkut harta mereka menuju ke Pakkhia. Adalah Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong, yang tidak lantas pisahkan diri, karena mereka ini ingin mengantar sampai di kota raja, katanya untuk sekalian pesiar. Sin Tjie terima baik kehendak dua sahabat ini, terutama karena ia tahu, dua sahabat itu mempunyai ilmu silat yang sempurna. Sementara itu Ang Seng Hay terbukti berlaku jujur dan setia, dia rajin dan waspada dalam mengantar harta itu, hingga Sin Tjie percaya dia tak nanti berontak atau berkhianat terhadapnya, maka ia lantas sembuhkan luka dalam tubuhnya. Pertolongan ini justru membikin orang she Ang itu menjadi bersyukur sekali, hatinya lega sebab ia tak usah dukai lagi lukanya itu. Melakoni perjalanan di tanah dataran Shoatang, rombongan ini merasa aman sekali. Shoatang adalah daerah pengaruhnya See Thian Kong, orang-orangnya pemimpin ini telah atur segala apa untuk memudahkan mereka. Dan kapan mereka memasuki daerah Hoopak,

di sana pun mereka mendapat pelayanan tak kurang sempurnanya dari orang-orangnya Thia Tjeng Tiok. Oen Tjeng Tjeng puas sekali melihat amannya perjalanan itu, mendapati segala apa leluasa bagi mereka, maka akhirnya ia kagumi si anak muda, orang yang ia puja itu. Karena ini, kalau tadinya ia gemar "ngadat", dengan sendirinya ia bisa bawa diri, hingga iapun menjadi jinak.... Pada suatu hari sampailah rombongan ini di Hoo-kan, disana ketua setempat dari Tjeng Tiok Pay menyambut dengan mengadakan satu perjamuan, di antara hadirin ada orang-orang Rimba persilatan yang kenamaan dari kota itu, kecuali menemani, mereka ini memberi selamat kepada bengtjoe mereka. Selagi bersantap dan minum, orang pun pasang omong mengenai kaum kang-ouw. "Thia Pangtjoe," berkata satu orang selagi perjamuan berjalan, "lagi sebelas hari adalah hari ulang tahun ke-enam-puluh dari Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei, pasti kau tak dapat pergi untuk menghadiri pestanya itu, bukan?"

"Aku mesti turut bengtjoe ke kota raja, pasti aku tak dapat pergi," sahut Thia Tjeng Tiok, "walaupun demikian, sumbangan tak dapat aku lupakan, aku telah perintah orang untuk menyampaikannya."

"Aku juga sudah kirimkan barang antaranku," See Thian Kong turut bicara. "Beng Loo-ya-tjoe ada satu sahabat baik, melihat kita tidak datang, tentu ia ketahui kita punyakan urusan penting, pasti ia tidak bakal jadi tidak senang." Sin Tjie dengar pembicaraan itu, hatinya tergerak. "Kay Beng Siang tersohor di lima propinsi Utara, selagi sekarang dia hendak rayakan hari ulang tahunnya, kenapa aku tidak mau ikat persahabatan dengannya?" dia berpikir. Maka ia turut bicara. Ia kata: "Aku pun telah dengar namanya Beng Loo-ya-tjoe, kebetulan sekarang dia hendak rayakan shedjitnya yang ke enam-puluh, aku ingin pergi memberi selamat padanya. Bagaimana pikiran saudara-saudara?" Mendengar ini, semua orang akur, sampai mereka tepuk-tepuk tangan. "Bengtjoe niat berikan dia muka terang, pasti dia bakal jadi sangat girang!" berkata orang banyak itu. Sin Tjie lantas pastikan untuk kunjungi Beng Pek Hoei. Sembari bicara, ia menanyakan terlebih jauh tentang jago tua dari Utara itu. Ia dapat kenyataan, Kay Beng Siang itu seorang budiman dan gemar bergaul. "Dengan jalan mutar sedikit ke Poo-teng, aku anggap kita tidak sampai mensia-siakan banyak tempo untuk sampai di Pakkhia," kata Sin Tjie kemudian. "Kita cuma akan terlambat beberapa hari saja." Banyak hadirin menyatakan, memang mereka tak terlalu mensia-siakan tempo. Karena ini urusan baru, ketika besoknya perjalanan dilanjuti, tujuan diubah ke Barat. Kapan mereka telah sampai di Kho-yang, dari mana untuk sampai ke Poo-teng tinggal perjalanan satu hari lagi, Seng Hay lantas ambil tempat di hotel Hoat Lay. Sesudah taruh rapi peti-peti besi dan buntalan mereka, mereka pergi duduk berkumpul di ruang besar, untuk bersantap. Ketika itu di satu meja sebelah timur berduduk satu tauwtoo atau imam yang tubuhnya besar dan gemuk, kepalanya, atau rambutnya, dilibat dengan sebuah gelang kepala yang terbuat dari tembaga. Dia beroman keren. Di atas meja di depannya sudah menggeletak tujuh atau delapan poci arak yang kosong. Ketika satu jongos menambahi air kata-kata, ia mencegluknya dari satu mangkok besar. Dia pun dahar daging dengan main cabak dengan kedua tangannya. Dan dia dahar dengan cepat, hingga piringnya jadi kosong, mangkoknya jadi kering. "Tambah lagi arak dan daging! Lekasan!" demikian ia perdengarkan suaranya yang nyaring, sampai berulang-ulang. Jongos sedang melayani rombongan Sin Tjie, ia jadi tak sempat. "Kurang ajar!" menjerit tauwtoo itu, sambil keprak meja dengan keras, sampai poci arak dan mangkoknya berlompatan. Karena meja bergerak keras, cawan arak dari lain tetamu, yang duduk di ujung dari meja itu, telah terbalik, hingga araknya tumpah dan mengalir di atas meja. "Aya!" berseru si tetamu sambil berjingkrak. Dia ini adalah seorang dengan tubuh kecil dan kurus, kumisnya dua baris, apa yang dinamakan kumis tikus saking jarangnya akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan berpengaruh. "Soehoe," katanya, "kau ingin minum arak, orang lain juga!" Tauwtoo itu sedang gusar, teguran itu menambah kegusarannya. Ia gebrak meja. "Aku panggil jongos, apa sangkutannya denganmu?" dia balik menegur. "Belum pernah aku menemui orang suci sekasar kau!" kata orang kurus itu. "Dan hari ini aku bikin kau menemuinya!" sahut si imam. Tjeng Tjeng pun tidak puas. "Nanti aku ajar adat padanya!" katanya pada Sin Tjie. "Ah, kau nonton saja," jawab si anak muda. "Jangan pandang ringan orang kecil dan kate itu, dia tak dapat dibuat permainan."

Tjeng Tjeng dengar kata, tapi keras keinginannya untuk saksikan pertempuran. Tapi si orang kurus seperti jeri terhadap si imam. "Baik, baik, aku mengaku salah. Tak apa, bukan?" katanya. Melihat orang ngaku salah, justru waktu itu jongos datang dengan arak, si imam tidak menarik panjang, ia minum pula sendirian saja. Si kurus berlalu, tapi tak lama ia sudah kembali. Sin Tjie dan kawan-kawannya, yang tidak jadi saksikan "keramaian", minum pula sendirinya. Tiba-tiba saja ada angin menyambar, membawa bau keras yang menyampok hidung, hingga Tjeng Tjeng lekas sembat keluar saputangannya, untuk tekapi hidungnya. Sin Tjie menoleh, atau segera ia tampak di mejanya si imam, di depannya, ada satu pispot, hingga Sin Tjie tertawa dengan tak tertahan. Dia menoleh pada Tjeng Tjeng, akan bersenyum, lalu melirik ke arah si imam. Tjeng Tjeng pun lihat pispot itu, tapi si imam seperti tak melihatnya, maka nona ini tertawa sendirinya. Juga lain-lain tetamu tidak lihat pot tempat kotoran itu. "Bau! Bau!" kata beberapa orang kemudian. "Wangi! Wangi!" sebaliknya si kurus kering, dengan suaranya yang nyaring. "Itu pasti perbuatannya si kurus ini," Tjeng Tjeng bilang sambil bersenyum. "Dia sungguh sangat sebat! Kenapa aku tak lihat perbuatannya itu?" Baru sekarang hidung si imam mencium bau busuk, tapi tanpa melihat lagi, ia ulur tangannya, akan jumput poci arak, akan tetapi kapan ia melihatnya, ia terperanjat. Ia bukan angkat poci arak hanya pispot dimana bertumpuk najis. Dengan tiba-tiba saja ia menjadi gusar, tangannya menyampok ke samping. "Aduh!" menjerit si jongos, yang tubuhnya terpelanting rubuh, jauhnya setumbak lebih. "Arak yang bagus, arak yang bagus! Wangi! Wangi!" kembali si kurus perdengarkan suaranya yang nyaring. Sekarang si imam duga siapa yang main gila terhadapnya, dengan satu kali ayun saja, pispot itu menyambar kearah si kurus. Tapi dia ini agaknya telah siap, dia berkelit dengan lincah, dengan nyelusup ke kolong meja, ketika ia muncul pula, tahu-tahu ia sudah berada di belakang si imam. Pispot mengenai meja dan hancur, kotorannya muncrat berhamburan, baunya berkesiur keras keempat penjuru, hingga lain-lainnya tetamu lantas saja lekas-lekas menyingkir!

Bab 16

Murkanya si imam bukan kepalang, terutama kapan ia ketahui si kurus berada di belakangnya, sambil putar tubuh, ia menyambar dengan sebelah tangannya. Si kurus awas dan licin, dia berkelit sambil nyelusup pula ke kolong meja. Dalam murkanya, imam itu dupak meja hingga terbalik. Sedetik saja, ruang makan itu jadi kacau. Semua tetamu lainnya pada berdiri di kedua pinggiran. Lincah luar biasa ada si kurus, ketika si imam serang pula padanya, dia berkelit, lalu dia loncat sana dan lompat sini, hingga tidak ada kepalan atau dupakan yang mengenai tubuhnya. Meja-meja lainnya, berikut kursinya, turut terbalik-balik, karena disempar dan dibentur, poci arak, cawan dan sumpit, jatuh berhamburan. Si kurus membalas menyerang, tetapi dengan poci arak dan lainnya, yang ia jumput dari lantai. Si imam menjerit-jerit, ia berkelit, ia menanggapi, untuk balas menimpuk. Dengan begitu terlihatlah kepandaian mereka berdua. Karena meja dan kursi pun disempar pergi datang, ruang itu lantas menjadi ruang kosong, hingga si kurus tak dapat jalan untuk main berkelit atau berlari lagi, maka ia terpaksa mesti layani si imam yang serang ia tak hentinya. Ia melayani sambil perlihatkan kesebatannya, kegesitan tubuhnya. Si imam bertenaga besar. Segera kelihatan dia bersilat dengan ilmu silat "Tay Ang Koen" berasal dari Tjhong-tjioe, atau Tjhong Tjioe Pay. Sesuatu serangannya menerbitkan sambaran angin yang keras. Si kurus sendiri bersilat tetap sebagai bermulanya, tubuhnya gesit, gerakannya sebat. Dia lebih banyak berkelit, dengan buang diri atau berlompat, atau kadang-kadang ia terhuyung-huyung, nampaknya lucu, hingga Tjeng Tjeng, yang menyaksikan dengan penuh perhatian, tak tahan untuk tidak tertawa geli. "Inilah tak enak dilihat!" katanya. "Macam apa ilmu silat ini?" Sin Tjie juga tidak kenal ilmu silat itu, yang ia belum pernah lihat, ia melainkan saksikan kelincahan dan gerak-gerakan yang aneh. Rupanya itu ada ilmu kepandaian suatu golongan tersendiri. "Inilah Ap Heng Koen," kata Thia Tjeng Tiok, yang luas pengetahuannya. "Dalam kalangan kaum kang-ouw, tidak banyak orang yang mengerti ilmu silat ini." Tjeng Tjeng tertawa pula. Nama ilmu silat itu, yang berarti "Koentauw Bebek", sungguh luar biasa. Tapi sekarang ia bisa lihat tegas, gerakan kaki dan tangan benar-benar seperti gerak-geriknya bebek gemuk.... Si imam, yang tak bisa rubuhkan si kurus, lalu menjadi sibuk sendirinya. Sia -sia saja pelbagai toyoran dan tendangannya. Maka akhir-akhirnya, tubuhnya jadi terhuyung-huyung, sempoyongan, bagaikan orang bertubuh limbung dan tak kuat berdiri. Tapi ini adalah ilmu silat "Lou Tie Tjim Tjoei Pa San-boen" atau "Lou Tie Tjim sedang mabuk arak pukul pintu kuil". Tubunya terumbang-ambing tidak keruan, kaki tangannya sambar sana-sini, ada kalanya dia rubuh terbanting sendirinya, lalu bergulingan, tapi serangannya ada hebat, terutama sehabis jatuh, apabila musuh hampirkan dia, dia bisa berlompat bangun dengan cepat sekali. Kali ini, Baru dia jalankan separuh dari ilmu silatnya itu, atau si kurus-kecil sudah repot sendirinya. Oleh karena itu, ia sering jatuh dan bergulingan, tubuh si iman telah berlepotan nasi dan kuah sayuran, malah juga kotoran dari pispot, tapi ia tak perdulikan itu, untuk bisa kalahkan musuhnya, ia masih suka bergulingan. Rupa-rupanya imam ini lihat ketikanya yang baik sudah datang, dengan sekonyong-konyong dia lompat mendesak, selagi kakinya sebelah maju, tangan kirinya menggertak, tangan kanannya menyerang dada, dengan tipu-pukulannya "Pay san to hay", atau "menggempur gunung untuk menguruk lautan". Ini adalah satu serangan liehay. Si kurus juga insyaf itu, maka dia lekas-lekas empos semangatnya, kedua tangannya ditaruh di depan dada, selagi serangan datang, ia berseru keras: "Bagus!" Tidak tempo lagi, kedua tangan serta satu kepalan bentrok satu dengan lain. Kepalannya si imam besar dan antap, kedua tangannya si kurus kecil dan kurus, tapi kedua tangan itu tepat menyambuti, sesudah mana, keduanya saling dorong. Si imam menyerang dengan kepalan kanan, karena itu, kepalan kirinya merdeka, akan tetapi karena dia kumpul tenaga di tangan kanan, tangan kiri itu tak dapat dipakai membantu. Dia bertenaga besar, dia kerahkan semua tenaganya, tapi tak dapat ia tolak tubuh musuh, yang pertahankan diri dengan kokoh-teguh, hingga keduanya jadi berkutetan, tak ada yang dapat maju, tak ada yang bisa mundur. Sebab siapa berani mundur, celakalah dia. Keduanya, si imam dan si kurus, menjadi menyesal sendirinya. Mereka tidak bermusuhan satu dengan lain, tidak keruan, mereka bertarung secara hebat itu, mereka seperti adu jiwa. Tidak lama kemudian, mereka masing-masing menjadi mandi keringat, air keringat sebesar kacang kedele mengetel dari jidat mereka... "Thia Lauw-hia," kata See Thian Kong, setelah mereka menyaksikan sampai sebegitu jauh, "coba kau pakai tongkatnya si pengemis untuk pisahkan mereka, kalau tidak, lagi sedikit lama, mereka dua-dua bakal celaka..."

"Aku sendirian tidak sanggup, mari kita berdua," mengajak Tjeng Tiok. "Baik, marilah," jawab Thian Kong. "Jikalau kita tolak mereka mungkin mereka sama-sama terluka di dalam, cumalah tak sampai membahayakan jiwa..." Belum sampai dua orang itu maju, Sin Tjie sudah campur bicara. "Mari aku yang mencoba!" katanya sambil berbangkit. Lalu, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan dua jago itu, yang sudah mandi keringat. Ia berdiri di tengah, di samping mereka, lantas pentang kedua tangannya, akan buka kedua orang itu terpisah masing-masing tangannya, hanya karena mereka dipisahkan secara tiba-tiba, tubuh mereka maju ngusruk, tangan mereka maju ke depan tepat mengenai dada Sin Tjie. "Celaka!" berseru Tjeng Tiok dan Thian Kong, sambil mereka lompat, dengan niat tolongi si anak muda. Tapi kapan mereka sudah datang dekat, mereka dapati si anak muda tidak terluka, romannya tenang seperti biasa. Mereka tahu, Sin Tjie sudah bersiap mengerahkan tenaga di dalam tubuhnya, untuk sambuti serangan yang tidak disengaja itu, hingga ia jadi tak kurang suatu apa. Tidak demikian adalah si kurus dan si tauwtoo. Mereka telah kehabisan tenaga, setelah mereka dapat dipisahkan, saking lemasnya, dua-dua rubuh, mendeprok di lantai di tengah-tengah ruang itu. Dengan seorang menolongi satu, Tjeng Tiok dan Thian Kong pimpin bangun kedua jago itu, sedang jongos lantas diperintah untuk segera bebenah. Sin Tjie rogoh sakunya, akan serahkan dua-puluh tail perak pada kuasa hotel. "Ini ada untuk ganti semua kerusakan," katanya. "Semua tetamu itu belum dahar cukup, silakan sajikan makanan untuk mereka, pembayarannya dimasuki atas namaku." Tuan rumah menjadi girang, ia terima uang seraya mengucap terima kasih, kemudian ia perintah sekalian jongos bersihkan segala apa dan bebenah, untuk lekas sajikan barang hidangan baru untuk semua tetamunya. Belum terlalu lama, dua-dua si imam dan si kurus telah dapat pulang tenaga mereka, maka keduanya hampirkan Sin Tjie, untuk menghaturkan terima kasih, sebab si anak muda telah tolongi mereka. Sin Tjie tertawa. "Tak usah, djiewie," katanya. "Aku mohon tanya she dan nama djiewie. Dengan kepandaian yang liehay, djiewie mesti ada orang-orang ternama."

"Aku adalah Gie Seng tetapi orang umumnya panggil aku Thie Lo Han," sahut si tauwtoo. "Aku ada Ouw Koei Lam," jawab si kurus. "Aku mohon tanya she dan nama kau tuan, begitupun nama djiewie." Ia maksudkan Thian Kong dan Tjeng Tiok. Belum keburu Sin Tjie perkenalkan diri, atau See Thian Kong dului ia. "Kiranya tuan ada Seng-tjhioe Sin-touw Ouw Toako!" katanya. Ia tahu julukan orang itu dan menyebutkannya. Seng-tjhioe Sin-touw berarti "Malaikat Copet". Nampaknya Ouw Koei Lam puas orang kenal dia, tapi ia lekas-lekas merendahkan diri. Lantas ia ulangi tanya nama See Thian Kong. Thia Tjeng Tiok jemput kipasnya orang she See itu dan sambil dibuka ia tunjuki kepada Koei Lam, hingga dia ini lihat lukisan tengkorak yang menyeramkan. "Oh, kiranya Im-yang-sie See Tjeetjoe!" kata Koei Lam. "Memang sudah lama aku dengar nama tjeetjoe. Girang aku dengan pertemuan ini." Sementara itu dengan matanya yang membelalak Koei Lam telah lihat juga tjeng-tiok atau tongkat bambu orang yang disenderkan di samping meja, sebagai orang yang luas pengalamannya, ia tahu artinya senjata itu, malah ia kenal baik ruas atau bukunya tongkat itu, yang ada tiga-belas, tanda kedudukan paling tinggi. Maka lekas-lekas ia menjura kepada Tjeng Tiok. "Maafkan aku untuk mataku yang kurang terang," katanya. "Tuan toh Thia Loo-pangtjoe?" Thia Tjeng Tiok tertawa. "Benar-benar liehay matanya Seng-tjhioe Sin-touw!" katanya. "Djiewie tidak kenal satu sama lain apabila djiewie tidak bentrok, maka sekarang, mari kita minum bersama-sama!" Semua orang lantas duduk. Gie Seng dan Koei Lam lantas saling memberi selamat dengan arak, satu sama lain mereka akui kesemberonoan mereka.

Gie Seng kemudian tertawa ketika ia kata: "Sungguh aneh, entah dari mana dia curinya pispot itu!" Mendengar ini, semua orang tertawa. Koei Lam berlaku sopan-santun, tidak saja ia tahu ia berhadapan sama dua jago dari Hoopak dan Shoatang, di situ pun Sin Tjie yang agaknya dipandang tinggi kedua jago itu, hingga ia menduga, pemuda ini bukan orang sembarangan. Ia pun telah saksikan keliehayannya selagi si anak muda pisahkan mereka. "Untuk maksud apa djiewie sampai di sini?" Tjeng Tiok tanya kemudian. "Kau sendiri, Ouw Lauwtee, apakah kau lihat dan penujui salah satu hartawan di sini hingga kau berniat perlihatkan ilmu kepandaianmu?"

"Di dalam wilayah Thia lootjianpwee mana berani aku main gila?" sahut Koei Lam sambil tertawa. "Aku hendak pergi memberi selamat kepada Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei."

"Hei, mengapa kau tak menyebutkannya maksudmu itu siang-siang?" menegur Gie Seng sambil tepuk meja. "Aku juga berniat pergi memberi selamat! Coba aku ketahui maksudmu, mana kita bentrok..."

"Tapi inilah bagus!" tertawa Tjeng Tiok. "Kita sama-sama hendak memberi selamat pada Beng Loo-yatjoe, mari besok kita berangkat bersama-sama. Rupanya djiewie kenal baik Beng Looyatjoe itu?"

"Beng Toako itu adalah sahabatku sejak dua-puluh tahun yang lampau!" jawab Thie Lo Han. "Selama yang belakangan ini aku lebih banyak berdiam di Kwietang Hokkian, jarang aku pergi ke utara. Sudah kira-kira delapan atau sembilan tahun kami tak pernah bertemu satu dengan lain."

"Kalau demikian Lo Han Toako, tolong kau perkenalkan aku dengannya," kata Ouw Koei Lam. Tauwtoo itu menjadi heran. "Apa?" katanya. "Apakah kau tak kenal Beng Toako? Habis kenapa kau hendak pergi kasih selamat padanya?"

"Aku adalah seorang yang sejak lama kagumi Beng Toako, sayang belum ada jodonya aku bertemu dengannya," Koei Lam akui. "Belum lama ini aku telah dapatkan serupa barang berharga, aku pikir, untuk berkenalan sama orang kang-ouw kenamaan ini, aku boleh berikan bendaku itu."

"Begitu!" kata si tauwtoo. "Mengenai Beng Toako, jangan kata orang yang membekal barang antaran, sekalipun yang tidak, dia bakal sambut dengan manis-budi. Beng Toako sangat ramah-tamah. Kalau tidak, mengapa orang bandingi dia dengan Beng Siang Koen?" Mendengar orang menyebut dapat benda berharga, hatinya Thia Tjeng Tiok tertarik. "Ouw Lauwtee, benda apa itu yang kau dapatkan?" tanyanya. Apa boleh kau bantu membuka pandanganku dengan kau perlihatkan benda itu?"

"Seng-tjhioe Sin-touw telah curi banyak barang yang tidak berharga mana dia pandang mata?" kata See Thian Kong sambil tertawa. "Pasti itu adalah barang yang harganya sama besarnya dengan sebuah kota...." Nampaknya Ouw Koei Lam girang sekali. "Barang itu sekarang berada padaku," ia beritahukan. Ia lantas merogo ke dalam sakunya, akan keluarkan sebuah lopa-lopa terbuat dari emas yang indah dan tertabur batu pualam dan mutiara. "Di sini ada banyak mata, mari kita pergi ke dalam kamar," kata dia kemudian. Semua orang ingin lihat isinya lopa-lopa indah itu, semua lantas bertindak ke dalam kamar. Begitu lekas ia telah rapatkan pintu, Ouw Koei Lam buka lopa-lopanya di dalam mana terdapat dua ekor kodok pek-tjiam-sie yang sudah menjadi bangkai, tubuhnya putih bagaikan salju seluruhnya, biji matanya merah bagaikan darah hidup. Memang, nampaknya dua ekor kodok itu menarik hati untuk dipandang, akan tetapi semua orang tidak lihat faedahnya.

Tjeng Tiok dan Thian Kong sendiri, yang berpengalaman luas, masih tak mengerti juga. Ouw Koei Lam awasi Gie Seng, ia tertawa. "Tadi berdua kita adu tenaga," katanya, "umpama kata kita terbinasa karenanya, itu dia yang dinamakan takdir, tidak ada pertolongan lagi, akan tetapi andaikata kita cuma terluka parah, aku mempunyai daya-upaya untuk tolong mengobatinya hingga kita terbebas dari ancaman malapetaka." Dia lantas tunjuk sepasang kodok putih itu: "Inilah kodok Tjoe-tjeng peng-tjiam yang hidupnya di Soat San, Gunung Salju di See-hek, perbatasan barat. Tidak perduli luka bagaimana hebat, di luar, atau terkena racun, asal orang tidak mati seketika, dia dapat ditolong setelah dia makan kodok ini, kodok es. Kemujarabannya obat ini tidak ada tandingannya."

"Dari mana kau dapatkannya ini?" Tjeng Tiok tanya. "Dari satu imam tua," sahut Koei Lam. "Pada bulan yang lalu aku berada di Hoolam, selagi singgah di hotel aku bertemu sama imam itu yang sedang sakit berat sampai hampir mati. Aku kasihan terhadapnya, aku berikan ia uang sepuluh tail, untuk ia panggil tabib dan berobat, aku sendiri layani dia selama sakitnya itu. Dasar umurnya sudah sampai, obat dan rawatanku tidak menolong, akhirnya tak dapat ia hidup lebih lama pula. Imam itu ingat budi, di saat hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, dia kasikan kodoknya ini kepadaku, untuk membalas kebaikanku."

"Mengapa lopa-lopanya demikian indah?" Thie Lo Han tanya. "Pada mulanya, si imam tempatkan ini dalam sebuah lopa-lopa kaleng," menerangkan Koei Lam. "Sekarang aku hendak haturkan kodok es ini kepada Beng Looyatjoe, maka aku tukar tempatnya, supaya setimpal dilihatnya." See Thian Kong tertawa. "Maka lantas kau, dengan tangan kosong, kunjungi suatu hartawan, untuk dapatkan lopa-lopa emas dan indah ini?" katanya. "See Tjeetjoe pandai menerka," tertawa Koei Lam. "Lopa-lopa emas ini kepunyaan nona besar dari satu hartawan she Lauw di kota Kay-hong..." Semua orang tertawa. Koei Lam tak malu ditertawai, ia pun tertawa juga. "Tadi," katanya, melanjuti, "jikalau tidak tuan ini menolongi, kita berdua mesti rubuh dengan luka-luka parah, andaikata aku terluput dari kematian, pasti aku akan makan satu kodok es ini dan berikan dia yang lainnya. Kita berdua tidak bermusuhan, mustahil aku mesti bikin dia celaka?"

"Dengan begitu aku jadi bakal terima budimu!" tertawa Thie Lo Han. Maka lagi-lagi semua orang tertawa. "Dan sekarang, kedua kodok ini tetap bukanlah kepunyaanku," kata pula Koei Lam. Lalu dengan kedua tangannya, dia angsurkan kodok itu kepada Sin Tjie. "Tak berani aku menyebut membalas budi tetapi ini melainkan ada tanda hati dari aku." Sin Tjie heran hingga ia melengak. "Mana dapat!" katanya kemudian. "Kodok ini kau toh kau hendak berikan kepada Beng Loo-yatjoe..."

"Jikalau siangkong tidak berkorban untuk tolongi kami, pasti aku sudah mati," kata Koei Lam, "maka itu, nyata sepasang kodok es ini bukan jodonya Beng Loo-yatjoe. Untuk hadiah, bukannya aku tekebur, sembarang waktu aku bisa dapatkan gantinya, maka tak usah siangkong buat pikiran." Masih Sin Tjie menampik, karena mana, Koei Lam agaknya kurang puas.

"Siangkong tidak mau perkenalkan she dan nama, sekarang siangkong juga tidak sudi terima barangku, apa mungkin siangkong sangka kodok es ini aku dapatinya dari mencuri?" katanya. "Apa mungkin siangkong anggap ini barang kotor?" Maaf, saudara Ouw," kata Sin Tjie dengan cepat. "Tak sempat tadi aku perkenalkan diriku. Aku ada Wan Sin Tjie."

"Aha!" berseru Thie Lo Han dan Koei Lam juga. "Jadinya siangkong ada Wan Toaya yang menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi! Pantas toaya liehay sekali." Keduanya lantas unjuk sikap sangat menghormati. "Ouw Toako memaksa hendak memberikannya, jelek untuk aku menampik, baik aku terima," kata Sin Tjie kemudian. "Banyak-banyak terima kasih!" Ia sambuti kodok es itu, untuk disimpan dalam sakunya. Bukan main girangnya Koei Lam, wajahnya berseri-seri. Sin Tjie pergi ke kamarnya akan kembali bersama sepohon batu bunga-karang merah-dadu yang terang bercahaya, indah dan tak ada cacatnya, tak ada sebutir jua pasir tercampur di dalamnya, kapan ia letaki itu di atas meja, ruangan jadi tambah terang luar biasa. Jadi itu adalah mustika bunga-karang. Koei Lam tercengang, walaupun ia pernah lihat banyak barang permata. "Belum pernah aku lihat mustika ini," katanya. "Mungkin dalam istana kaisar Baru kedapatan ini macam mustika. Apakah ini pusaka turunan, Wan Toaya? Dengan ini mataku telah terbuka." Sin Tjie tertawa."Ini melainkan suatu benda permainan," bilangnya. "Meskipun barang ini indah, kefaedahannya masih kalah dengan kodok es itu, yang bisa menolongi jiwa orang. Secara kebetulan saja aku peroleh ini. Aku harap saudara Ouw suka menerimanya, untuk ganti barang antaranmu."

"Tapi ini terlalu berharga," Koei Lam kata. "Tidak apa, saudara Ouw. Kau terimalah." Karena terdesak, Koei Lam terima juga. Ia mengucap terima kasih. Tjeng Tiok semua kagum untuk sifat Sin Tjie ini. Sampai di situ, mereka beristirahat, untuk besoknya pagi, mereka melanjuti perjalanan, maka sorenya, sampailah mereka di Po-teng. Mereka singgah dulu di hotel, lalu besokannya pagi-pagi, mereka sudah bikin kunjungan kepada Beng Pek Hoei, jago Utara itu. Kapan tuan rumah lihat tiga nama - Wan Sin Tjie, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong - ia sendiri yang keluar menyambut, akan tetapi kapan ia telah saksikan Sin Tjie hanya seorang muda, ia menjadi sedikit melengak. Inilah ia tak sangka, dengan sendirinya ia menjadi tak puas. "Kenapa orang-orang gagah dari tujuh propinsi jadi begini angot," pikirnya, "Kenapa mereka pilih bocah semacam ini menjadi bengtjoe?" Sebagai seorang yang gemar bergaul, biar bagaimana, Beng Pek Hoei layani juga tetamu-tetamunya itu; ia dibantu oleh kedua anaknya, Beng Tjeng dan Beng Sioe. Ia menghaturkan terima kasih, ia utarakan penghargaannya kepada semua tetamu itu, lantas ia undang mereka masuk, untuk duduk. Sin Tjie lihat tuan rumah bertubuh kekar, rambut dan kumis-jenggotnya telah putih semua, tindakannya masih tetap, suatu tanda bahwa dia mengerti baik ilmu silat, sementara kedua puteranya sedang mudanya dan romannya gagah. Kapan kemudian kedua pihak telah bicara lama juga, segera ternyata Beng Pek Hoei kurang setuju dengan rapat besar di Tay San, selagi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong omongkan itu, dia seperti tak memperhatikan, dia tidak campur bicara atau menanyakannya. Selang tidak lama, datang lain tetamu, dengan memohon maaf, Pek Hoei tinggalkan rombongan Sin Tjie, untuk sambut tetamu Baru itu. "Dia dijuluki Kay Beng Siang, mengapa dia layani tetamunya begini adem?" pikir Tjeng Tjeng. "Mestinya dia kesohor namanya saja...." Habis minum teh, Beng Sioe temani rombongan Sin Tjie ini pergi ke ruang belakang, untuk saksikan pelbagai barang antaran atau tanda mata dari sekalian tetamu. Di sana mengitari sebuah meja berada Pek Hoei bersama sejumlah tetamu lainnya. Rata-rata tetamu itu memberikan pujiannya. Melihat pada Sin Tjie beramai, Pek Hoei lekas-lekas menghampirkan. "Saudara Wan, tak sanggup aku terima budi kebaikanmu ini!" katanya. "Sumbangan saudara berharga sangat besar..." "Untuk hari ulang tahun lootjianpwee, barang itu tidak berharga," sahut Sin Tjie. Thian Kong beramai dekati meja, hingga mereka bisa lihat banyaknya barang tanda mata, yang indah-indah, sedang tanda mata dari Sin Tjie ada dua-puluh empat butir mutiara serta kuda-kudaan kumala, dan sumbangan Tjeng Tjeng ada semangka-semangkaan dari batu hoeitjoei. Mencolok adalah tanda mata dari Ouw Koei Lam, itu batu bunga-karang. Beng Pek Hoei tidak puas Sin Tjie yang muda diangkat sebagai bengtjoe, tapi sekarang menyaksikan sikap sopan santun dan manis budi pemuda itu, dia dipanggil dengan sebutan lootjianpwee serta barang sumbangannya demikian indah dan mahal, berubahlah perasaannya, dia mulai menjadi suka. Dia pun heran untuk kelakuan hormat dan halus dari anak muda ini. Kapan kemudian telah selesai orang memberi selamat kepada tuan rumah, pada malamnya tuan rumah undang semua tetamu untuk dijamu. Itulah suatu pesta besar sekali. Telah hadir lebih daripada tiga-ribu tetamu, sebab Pek Hoei adalah orang paling kenamaan di Po-teng, dia kaya raya dan sangat gemar bergaul. Di dalam pesta, tuan rumah ini berlaku sangat ramah-tamah, ia saban-saban menghaturkan terima kasih. Di thia telah diatur kira-kira delapan-puluh meja, untuk semua tetamu yang ternama, dan untuk tetamu lainnya, mereka berpesta di ruang belakang. Sin Tjie bertiga Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong diundang duduk di meja pertama, Beng Pek Hoei sendiri yang menemani. Di sini ada duduk juga - malah di kursi pertama -Wan-yho-tan Thio Djiak Kok, seorang umur tujuh-puluh-delapan tahun, yang tersohor gagah. Pek Hoei perkenalkan dia ini pada Sin Tjie bertiga. Thio Djiak Kok juga heran mengapa rapat di Tay San pilih satu bengtjoe seorang muda dan tak beroman luar biasa sebagai pemuda ini, dari heran, ia merasa lucu, tetapi ia tidak bilang suatu apa. Duduk bersama di meja pertama itu ada satu orang she Phang bekas tjongpeng, yang masih dipanggil Phang Tjongpeng, begitupun Tang Kay San, piauwsoe kepala dari Eng Seng Piauw Kiok, serta beberapa orang kenamaan lain.

Habis beri selamat pula dengan secawan arak pada tuan rumah, sekalian tetamu ini lantas dahar dan minum dengan gembira, dengan main bade-badean tangan juga. Selagi pesta berjalan, satu tjhungteng datang masuk dengan tangannya membawa satu barang hadiah, dia dekati Beng Tjeng, untuk bicara di kupingnya majikan muda ini dengan pelahan, atas mana dia ini berbangkit, akan hampirkan ayahnya. "Ayah, sungguh terang muka ayah," katanya. "Sin-koen Boe-tek Kwie Sin Sie suami-isteri serta murid-muridnya telah datang untuk memberi selamat!" Tapi Pek Hoei heran, hingga ia melengak. "Sebenarnya aku tak punya hubungan dengan mereka," katanya. Kapan dos barang antaran dibuka, di situ kedapatan selembar kertas merah yang memuat huruf-huruf besar menyebutkan nama Kwie Sin Sie suami isteri serta murid-muridnya, yang memberi selamat, serta di bawahan itu, dengan huruf kecil, ada tambahan mohon suka diterima sumbangan uang emas sepuluh tail, uang emas mana, dalam rupa sepotong goanpo kecil, terletak di dalam dos itu. "Lekas menyambut!" kata tuan rumah, yang lantas bilang pada Thio Djiak Kok beramai, "Maaf." Bersama dua anaknya, segera ia pergi keluar. Tapi lekas juga ia telah kembali, dengan air muka riang-gembira, bersama dia ada Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee Kiam Hoo, Lauw Pwee Seng dan Soen Tiong Koen. Sin Tjie sudah lantas berbangkit untuk berdiri di pinggiran, terus ia menjura seraya berkata: "Djie soeko, djie-soeso, baik?" Kwie Sin Sie manggut. "Oh, kau pun ada di sini...." sahut soeko yang kedua itu. "Ehm," terdengar Kwie Djie-nio, yang tak perdulikan soetee itu. "Silakan duduk di atas, soeko," kata Sin Tjie pula. "Aku nanti duduk bersama Kiam Hoo beramai." Mendengar bahwa mereka adalah soeheng dan soetee, Beng Pek Hoei tertawa. "Bagus, bagus!" katanya. "Ada soeko yang begini terkenal yang menjadi tulang punggung, jangan kata Baru menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi, walaupun dari empat-belas propinsi masih tepat!" Dengan kata-katanya itu, Pek Hoei beranggapan Sin Tjie menjadi bengtjoe karena andalan soehengnya itu. Sin Tjie dengar itu, ia melainkan bersenyum, ia tak bilang suatu apa. "Kau omong tentang bengtjoe, apa itu?" tanya Sin Sie dengan heran. "Ah, aku bicara seenaknya saja, harap Kwie Djieko tak buat pikiran," sahut tuan rumah, yang terus silakan tetamunya ini duduk bersama Thio Djiak Kok beramai, karena mana, Sin Tjie pindah akan duduk bersama Kiam Hoo. Di dalam pesta ini, wanita dan pria duduk bersama, tidak ada pemisahan. Kwie Sin Sie dan nyonya bersama tuan rumah lantas saling memberi selamat, yang satu untuk selamat panjang umur, yang lain untuk kedatangannya tetamu, kepada siapa pun dihaturkan terima kasih buat antaran barang tanda matanya. Habis minum tiga edaran, Tang Kay San berbangkit, untuk mohon undurkan diri, katanya tak kuat ia minum banyak, ingin ia beristirahat. Beng Pek Hoei tidak mencegah, malah ia suruh satu tjhungteng untuk antar tetamu ini ke balai istirahat. Tiba-tiba Kwie Sin Sie kata dengan tawar: "Kami telah pergi kemana-mana untuk cari Tang Piauwsoe, kami tidak berhasil, maka kami sangka, piauwtauw mesti ada di sini, buktinya sekarang benar dugaan kami itu!" Tang Kay San berubah wajahnya, dia likat agaknya.

"Aku dengan Kwie djie-ya tidak punya dendaman atau permusuhan, dahulu tidak, sekarang pun tidak," katanya. "Maka kenapa Kwie Djie-ya bergitu mendesak mencari aku?" Orang banyak heran, hingga mereka menunda cawan arak mereka. Semua orang mengawasi kedua tetamu ini. Beng Pek Hoei tertawa. "Di antara djiewie ada sangkutan apa?" tanyanya. "Aku minta djiewie suka memandang aku, biarlah aku dapat mendamaikannya."

"Sudah lama aku kagumi nama Kwie Djie-ya," berkata Tang Kay San. "Dengan dia aku belum pernah berkenalan, maka aku pun tidak mengerti kenapa Kwie Djie-ya cari aku kemana-mana...." Mendengar ini, Pek Hoei lantas saja mengerti. Di dalam hatinya, ia kata: "Bagus benar! Kamu berdua jadi bukan dengan setulus-tulusnya hati datang untuk memberi selamat kepada aku! Yang satu adalah untuk menyingkirkan diri, yang lain untuk menyusul! Si orang she Tang ini menghargai aku, dia telah memasuki rumahku, biar bagaimana, tak dapat aku ijinkan dia mendapat susah." Karena memikir begini, ia terus kata kepada tetamunya yang baru: "Kwie Djie-ya, apabila kau ada punya urusan, baik kita bicarakan itu selewatnya hari ini. Kita semua ada sahabat-sahabat baik, urusan apa juga dapat didamaikan." Kwie Sin Sie tak pandai bicara, maka isterinya yang wakilkan dia. "Ini adalah anak tunggal dari Djie-ya," berkata nyonya ini sambil ia tunjuk puteranya, yang senantiasa berada dalam empoannya. "Anak ini telah mendapat sakit berat, dia tinggal matinya saja, karena itu kami hendak mohon Tang Piauwtauw berbuat kebaikan kepada kami dengan berikan beberapa butir obat pulungnya kepada kami, untuk tolongi jiwanya anak kami ini. Tentu saja itu ada satu budi yang besar sekali."

"Itu adalah hal yang selayaknya," kata Beng Pek Hoei, yang terus berpaling kepada piauwsoe she Tang itu, akan kata: "Tuan Tang, menolongi satu jiwa manusia ada lebih berjasa daripada mendirikan sebuah menara tujuh tingkat, maka itu, tolong kau berikan obat kepada anak ini. Inilah permintaan dari Kwie Djie-ya, satu enghiong yang kenamaan."

"Coba hok-leng dan ho-sioe-ouw itu ada kepunyaanku sendiri, tidak usah Kwie Djie-ya capaikan hati akan cari aku, pasti siang-siang aku sudah menghaturkannya dengan kedua tanganku," sahut Tang Kay San. "Akan tetapi obat itu ada kepunyaan Ma Taydjin, tjongtok dari Hongyang - itu ada upeti untuk kotaraja, maka itu, bagaimana dapat aku menyerahkannya? Barang telah diserahkan dalam pertanggungan-jawab dari Eng Seng Piauw Kiok, apabila aku membuat gagal, di belakang hari, cara bagaimana kami dapat hidup di dalam kalangan kang-ouw ini?" Tang Piauwsoe telah memberikan alasan kuat, orang menjadi serba salah. Phang Tjongpeng dengar halnya barang upeti, lantas saja dia campur bicara. "Barang upeti berarti barangnya Sri Baginda, siapa bernyali besar berani ganggu itu?" katanya dengan nyaring. "Hm!" Kwie Djie-nio menyambuti. "Walaupun itu ada barangnya Giok Hong Tay Tee, mesti aku mengambilnya!" Phang Tjongpeng jadi gusar, hingga dia keluarkan lagak pembesarnya. "Bagus!" serunya. "Orang perempuan, kau hendak berontak?" Kwie Djie-nio jadi tambah murka. Dengan sumpitnya dia jemput sepotong bakso, selagi si tjongpeng belum sempat tutup rapat mulutnya, dia menimpuk, tepat masuk ke dalam mulut, sedangkan si tjongpeng lagi kaget, lain-lain potongan bakso beruntun menyambar mulutnya jadi penuh, hingga dia jadi kelabakan. Jago tua Thio Djiak Kok menjadi tidak senang. "Ini hari ada hari ulang tahun Beng Toaya, mengapa kau mengacau?" pikirnya. Lantas dia jumput para-para sumpit mirip goanpo, ia menepuk dengan keras, hingga para-para itu nancap di atas meja. "Kau pertontonkan tenaga lweekang, siapa jeri padamu?" kata Sin Sie dalam hatinya. Lantas dia letaki tangannya di atas menja, diam-diam ia kerahkan tenaganya, di mata orang kebanyakan, dia tidak berbuat suatu apa, akan tetapi tahu-tahu para-para sumpit itu meletik sendirinya, seperti tercabut dengan ilmu dewa. Mukanya Thio Djiak Kok menjadi merah, dia jengah sendirinya. Lagi dia keprak meja, lantas dia menoleh kepada tuan rumah, akan kata: "Beng Lauwtee, saudaramu telah mendapat malu di rumahmu ini...." Lantas dia bertindak keluar, tindakannya lebar. "Jangan kesusu, Thio Looyatjoe," kata dua pelayan, sambil menyusul. "Silakan looyatjoe minum teh di ruang belakang...." Djiak Kok tidak perdulikan cegahan itu, malah dengan buka kedua tangannya, ia bikin kedua pelayan sempoyongan dan jatuh terpental. Ia jalan terus. Beng Pek Hoei menjadi tidak senang. Ia anggap pestanya yang berjalan dengan gembira itu telah dikacau oleh Kwie Sin Sie suami-isteri. Tapi, belum sampai dia bicara, Phang Tjongpeng sudah berteriak kelabakan. Dia ini bisa keluarkan semua bakso dari mulutnya, kecuali sepotong yang pertama, yang nyerobot terus lewat tenggorokannya, masuk ke dalam perutnya! "Berontak! Berontak!" Demikian suaranya yang nyaring. "Apakah masih ada undang-undang raja? Mari!" Dia memanggil orangnya. Lantas dua pengikutnya muncul. Mereka ini menantikan di luar, mereka tidak tahu apa-apa, mereka masuk sambil berlari-lari. "Lekas gotong Tay-Kwan-too-ku!" kata Phang Tjongpeng itu, yang bersenjatakan Tay-kwan-too itu - golok Kwan Kong. Ketika ia peroleh pangkat, Phang Tjongpeng dapati itu karena andalkan pengaruh isterinya, boegeenya masih rendah, akan tetapi dia aksi, dia perintah tukang besi bikin golok Kwan Kong yang besar tapi di dalamnya, besinya dikosongkan. Kalau dia tunggang kuda, dia cekal goloknya itu, sengaja dia perlihatkan sebagai dia lagi pegang senjata berat, hingga orang kagumi dia karena tenaganya yang besar. Goloknya itu pun mesti selalu digotong dua pengiringnya. Sekarang dia gusar dengan mendadak, kumat penyakit tekeburnya, sampai dia lupa dirinya lagi berada di tempat apa, dia beraksi. Tentu saja dua pengiringnya jadi melengak. Mereka datang ke pesta, mereka tak bawa-bawa gegaman berat itu. Karena itu, satu pengiring loloskan saja golok di pinggangnya, dan angsurkan itu kepada majikannya. Beng Pek Hoei kenal bekas tjongpeng ini, menampak aksinya dia geli berbareng mendelu. "Jangan!" tuan rumah ini segera menyela. Tapi Phang tjongpeng biasa anggap jiwa manusia bagaikan rumput saja, goloknya telah menyambar ke arah Kwie Djie-nio! Nyonya Kwie Sin Sie empo anaknya, dengan tangan kanan, maka itu, atas serangan, dia ulur tangannya yang kiri; dengan dua jari telunjuk dan tengahnya, ia sambuti, menjapit golok yang dipakai membacok dia. "Toalooya, kau hendak apa?" dia menegur. Tjongpeng pensiunan itu tarik goloknya, ia tidak berhasil. Bagaikan dijepit dengan sepit besi, demikian golok itu diam di antara jepitan kedua jarinya si nyonya, tak sanggup ia untuk membuat bergeming saja, hingga ia jadi penasaran. Lantas ia cekal gagang golok dengan kedua tangannya, ia menarik dengan sekuat tenaganya! Dengan tiba-tiba saja Kwie Djie-nio lepaskan jepitannya, maka tidak ampun lagi, bekas tjongpeng itu rubuh terjengkang ke belakang tanpa dia bisa pertahankan tubuhnya, dia rubuh terbanting, belakang golok jatuh menimpa jidatnya, hingga bengkak-benjutlah jidat itu sebesar telur ayam! Kedua pengiring lekas menghampirkan majikannya, untuk dibangunkan. Malu bekas tjongpeng ini, tanpa bilang suatu apa lagi, bersama dua pengiringnya itu dia ngeloyor pergi, meninggalkan ruang pesta, selagi lewati pintu, dia damprat dua pengiring itu, yang dikatakan sudah tak gotong golok besarnya.... Dalam waktu kalut itu, Tang Kay San memikir untuk menyingkir, tapi Kwie Sin Sie bisa terka maksudnya. "Tang Piauwsoe, tinggalkan obatmu!" kata jago ini. "Aku tidak akan bikin susah padamu...." Kay San jadi sangat terdesak, maka ia berdiri diam di tengah ruangan. "Aku tahu aku Tang Kay San bukan tandingan kau, Sin-koen Boe-tek," kata dia. "Jiwaku ada di sini, jikalau kau hendak ambil, nah, ambillah!"

"Siapa inginkan jiwamu?" kata Kwie Djie-nio. "Kau keluarkan obatmu!" Beng Tjeng, putera sulung dari Beng Pek Hoei, menjadi habis sabar. Ia maju ke depan Tang Piauwsoe. "Orang she Kwie," berkata dia, "hari ini ada hari ulang tahun ayahku, jikalau ada urusan diantara kamu, silakan urus itu di luar!"

"Baik!" sahut Kwie Sin Sie. "Tang Piauwtauw, mari kita pergi keluar!" Tapi piauwsoe itu tak sudi ikuti orang. Kwie Sin Sie menjadi habis sabar, ia ulur sebelah tangannya, untuk menjambak. Tang Kay San mundur setindak untuk tidak mengenai tangan itu. Sin Sie telah ulur tangannya, tak pernah itu ditarik pualng dengan tangan kosong. Tang Kay San ada piauwsoe kepala dari satu piauw-kiok kesohor. Boegeenya pun bukan boegee sembarangan, akan tetapi tangan Sin Sie cepat luar biasa, tak perduli dia undurkan diri, bajunya kena juga terjambak hingga robek! Kembali Beng Tjeng menghalangi diri. "Tang Piauwsoe ada tetamu, yang sengaja datang untuk memberi selamat kepada ayahku, kami tidak dapat ijinkan dia diperhina orang di tempat kami," katanya. "Habis apa kau kehendaki?" tanya Kwie Djie-nio. "Kau dengan sendiri bukankah suamiku

telah perintah dia pergi keluar?"

"Kamu mempunyai urusan penting dengan Tang Piauwsoe, apakah tak dapat kamu pergi cari dia di Eng Seng Piauwkiok?" tanya Beng Tjeng. "Kenapa kamu justeru datang mengacau di sini?" Dalam sengitnya, anak muda ini jadi tak sungkan-sungkan lagi bicaranya. "Kami mengacau, habis bagaimana?" berseru Kwie Djie-nio. Mukanya Beng Pek Hoei jadi guram-suram. Dia lantas berbangkit. "Baiklah!" katanya. "Jikalau Kwie Djie-ya memandang aku, aku si orang tua suka terima pengajaran daripadamu."

Saking habis sabar, jago tua ini terpaksa menantang. "Ayah, hari ini ada hari ulang tahunmu, biarkan anakmu saja," Beng Tjeng bilang. Tuan rumah yang muda ini lantas panggil orang-orangnya untuk mereka singkirkan kursi-meja, untuk memberi satu ruangan terbuka, hingga karenanya, pesta jadi terganggu. "Jikalau benar kau hendak mengacau, mari maju!" kemudian Beng Tjeng menantang. "Jikalau benar kau hendak turun tangan terhadap suamiku, baik kau belajar silat lagi dua puluh tahun!" peringati Kwie Djie-nio dengan tekebur. "Sekalipun begitu, aku sangsikan kau bakal berhasil!..." Beng Tjeng telah dapat warisan banyak dari ilmu silat ayahnya, dia pun sedang muda dan gagahnya, sampai sebegitu jauh, belum pernah ia menemui tandingan, maka meskipun ia pernah dengar nama kesohor dari Kwie Sin Sie suami-isteri, dalam kejadian seperti ini, tak dapat ia menahan sabar lebih jauh. "Kwie Loo-djie, kau mahluk apa maka kau berani mengacau di sini?" ia berseru. "Jikalau Beng Siauwya kalah daripadamu, nanti aku antap apa kau suka perbuat terhadap Tang Piauwtauw, selanjutnya kami keluarga Beng tak akan campur tahu pula. Umpama kata aku yang menang, bagaimana denganmu?" Kwie Sin Sie tak suka omong banyak, maka dengan pelahan, dia jawab: "Asal kau sanggup sambut tiga jurus dari aku, aku nanti menjura terhadapmu!"

Orang banyak tidak dapat dengar suara itu, mereka saling tanya satu pada lain. Beng Tjeng tertawa besar. "Tuan-tuan dengar, dia jumawa atau tidak?" kata dia kepada sekalian tetamunya. "Dia bilang, asal aku sanggup sambut tiga jurus serangannya, dia bakal menjura kepadaku! Benarkah begitu, Kwie Loo-djie?"

"Tidak salah!" sahut Kwie Sin Sie. "Kau sambutlah!" Dengan sekonyong-konyong saja kepalan kanan jago ini menyambar, dengan gerakannya "Tay San ap teng" atau "Gunung Tay San menindih batok kepala". "Lihat, soekomu telah menelad contohmu!" kata Tjeng Tjeng pada Sin Tjie. "Kau maksudkan apa?" Sin Tjie tegasi. "Ketika kau layani murid soekomu itu, bukankah kau pun menyebutkan seranganmu berapa jurus?" si nona balik tanya. "Orang she Beng ini tidak tahu selatan, dia mana tahu liehaynya soeko," kata Sin Tjie, yang tidak jawab si nona. Beng Tjeng lihat serangan datang, ia hendak lawan keras dengan keras, ia menangkis dengan tangan kanan, tangan kirinya dibarengi dipakai menyerang. Maka kedua lengannya bergerak dengan berbareng. "Dia jumawa, dia rupanya punya kepandaian yang berarti," pikir Sin Sie, yang lihat sikap pemuda itu dan merasakan juga bentroknya kedua tangan. Tapi ia tidak mau memberi hati. Justeru ia diserang dengan tangan kiri, tangan kirinya mendahului, menyambar lengan atas orang, diteruskan disampok. Beng Tjeng telah wariskan ilmu "Koay wah Sam-sip-tjiang" dari ayahnya, ilmu silat itu sangat utamakan beh-sie, atau kuda-kuda maka kedudukannya jadi kuat sekali, dia tak kena disempar lawannya. "Celaka!" kata Sin Tjie dengan pelahan. "Pukulan pertama ini tak membuat dia bergeming..." Kwie Sin Sie sudah lantas ulangi serangannya. Beng Tjeng dapat ketika, karena ia tahu lawannya tangguh, ia menyambut dengan dua-dua tangannya, tapi tanpa ia menduga suatu apa, tahu-tahu ia rasakan dorongan keras sekali, otaknya menjadi butek, pusing sekejab saja dia rubuh terjengkang, dengan tak sadar akan dirinya. Semua orang menjadi kaget. Beng Pek Hoei dan Beng Sioe lompat, akan kasi bangun itu anak atau saudara. Beng Tjeng cepat sadar, walaupun dengan pelahan-lahan, akan tetapi begitu ia buka mulutnya, ia semburkan darah yang telah berwarna hitam, sebab ternyata ia telah terluka di dalam. Kwie Sin Sie tak dapat sampok orang hingga terpelanting, ia mau percaya, pemuda ini benar-benar liehay, maka kapan ia menyerang pula, ia gunai tenaga penuh. Kali ini Beng Tjeng tak dapat pertahankan diri, ia rubuh dengan segera. Melihat demikian, Sin Sie jadi menyesal, ia kuatir orang nanti mati karena lukanya itu. Teng-kah-sin Teng Yoe dan Beng Sioe menjadi meluap hawa amarahnya, tanpa berdamai lagi, keduanya loncat maju, untuk menyerang. Beng Pek Hoei sendiri lantas uruti puteranya, sambil menolongi, ia lihat tarikan napas pelahan sekali dari puteranya itu, tanpa merasa, air matanya berlinang dan turun mengucur. Tiba-tiba saja dia berbangkit untuk menyerang tetamunya yang dianggap pengacau pesta itu. Itu waktu Kwie Sin Sie lihat Tang Kay San hendak menyingkir, maka tempo Teng Yoe dan Beng Tjeng serang dia, dia berkelit dengan nyelundup di bawah, berbareng dengan mana, ia berhasil dekati si piauwsoe, iga siapa terus ia totok. Piauwsoe itu tak berdaya, hingga dia lantas jadi berdiri diam, hanya lucunya, justeru dengan sikap sebelah kaki di depan,

sebelah kaki di belakang seperti orang lagi berlari... Beng Pek Hoei sendiri sudah bertempur dengan Kwie Djie-nio sebab nyonya ini telah majukan diri, akan lindungi suaminya dari bokongan. Jago tua itu seperti kalap, di sebelah itu, Kwie Djie-nio sedang empo anaknya, maka ini nyonya lekas juga kena terdesak, beberapa kali dia terancam bahaya. Soen Tiong Koen bersama Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng juga turun tangan, telah bentrok dengan beberapa murid-muridnya Beng Pek Hoei, hingga medan pesta menjadi ramai dengan pelbagai rombongan pertempuran. Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong menjadi sibuk sendirinya. "Wan Siangkong, mari kita lekas memisahkan!" mereka mengajak. "Aku kuatir perkara bisa menjadi terlebih hebat!"

"Soeko dan soeso mendendam terhadapku, apabila aku turun tangan, perkara justeru bakal menjadi lebih hebat lagi," kata Sin Tjie. "Coba kita lihat dulu sebentar..." Ketika itu Kwie Sin Sie telah bantui isterinya, maka Kwie Djie-nio jadi bisa bernapas lega, sedang sebaliknya, Beng Pek Hoei segera kena terdesak, sebab orang she Kwie ini terlalu liehay untuknya. Malah lagi sesaat, jago tua itu telah kena ditotok hingga dia tidak berdaya lagi. Habis itu, bagaikan kupu-kupu di antara bunga-bunga, Kwie Sin Sie nyerbu di antara murid-murid atau orang-orangnya Pek Hoei, setiap ia lonjorkan tangannya, tentu ada orang-orang yang berhenti berkelahi dengan sikapnya masing-masing sendiri, ada yang lagi menjotos, ada yang lagi menendang, ada yang lagi berkelit atau berpaling, semua tubuh mereka tak bergeming, melainkan mata mereka yang bercilakan. Di antara hadirin ada banyak orang-orang gagah akan tetapi menyaksikan liehaynya Kwie Sin Sie, tidak ada satu diantaranya yang berani majukan diri, untuk memisahkan, hingga karenanya, pertempuran berhenti sendirinya sesudah Sin Sie rubuhkan semua lawannya. "Geledah si orang she Tang!" Kwie Djie-nio titahkan Kiam Hoo. Murid itu buka bungkusan yang tergendol di bebokong Tang Kay San, akan tetapi di situ tidak kedapatan pel hok-leng dan ho-sioe-ouw yang dicari. Kwie Sin Sie lantas totok piauwsoe itu, untuk hidupkan jalan darahnya. "Mana itu obat pulung?" dia tanya. "Hm, kau ingin dapatkan obat itu?" Kay San bilang. "Kenapa kau ikuti aku sampai di sini? Kecewa kau menjadi orang kangouw yang ulung, sampai kau tidak menginsafi akal tonggeret meloloskan sarung-raganya!..." Gusar Kwie Djie-nio mendengar jengekan itu.

"Apa?" tegaskan nyonya yang keras perangainya ini. "Obat itu sudah dikirim langsung ke kota raja dan mungkin sudah sampai sekian lama!" jawab Kay San.

"Apakah benar?" tegaskan nyonya Kwie. Dia kaget berbareng mendongkol sekali. "Aku sangat hargakan Beng loo-ya-tjoe sebagai sahabat baik, karenanya sengaja aku datang kemari untuk memberi selamat padanya," Tang Piauwsoe terangkan. "Mustahil, karena tahu kamu inginkan obat itu, lantas aku bawa kemari hingga karenanya aku bisa rembet-rembet looyatjoe?"

Mendengar keterangan itu, Ouw Koei Lam si Malaikat Copet, dekati Sin Tjie untuk berbisik. "Wan Siangkong, piauwsoe ini bermuka tebal, dia mendusta." Katanya. Sin Tjie heran. "Kenapa begitu?" Sin Tjie tegaskan. "Sebab aku tahu di mana dia sembunyikan obat itu," jawab Koei Lam. Dan ia terus menunjuk ke arah sioe-toh, ialah kue yang merupakan buah toh, tanda dari panjang umur, yang terbuat dari tepung beras. Sioe-toh itu terletak di bawah tiok huruf "Sioe" yang besar.

"Mengapa kau bisa ketahui itu?" tanya ia pula. "Akal biasa di kalangan kaum kangouw ini tak bisa lolos dari mataku!" jawab Koei Lam sambil tertawa. Tjeng Tjeng berada di samping mereka, ia dengar pembicaraan itu lantas saja ia tertawa.

"Ouw Toaya toh ada satu ahli!" ia turut bicara. "Orang she Tang ini sangat licin," kata Koei Lam, sambil tertawa. "Dia rupanya telah duga Kwie Djie-ya bakal susul padanya, dia umpetkan obat itu, supaya kalau sebentar Kwie Djie-ya pergi, dia bisa ambil pula." Sin Tjie manggut, lantas ia muncul ke tengah ruangan, akan hampirkan Beng Pek Hoei. Dengan hanyak sekali tepak dan totok pada kedua jalan darah "soan-kie" dan "sin-teng", ia telah bikin sadar tuan rumah itu. "Apa?" berseru Kwie Djie-nio, yang lihat perbuatannya soetee itu. "Apakah kembali kau usilan?" Dalam panasnya hati, ia serahkan anaknya kepada Soen Tiong Koen, kemudian ia ulur tangannya terhadap Sin Tjie. Ia tahu soetee ini liehay, untuk tidak membahayakan anaknya itu, untuk bikin ia leluasa bergerak, ia singkirkan anaknya lebih dahulu. Sin Tjie berkelit ke kiri.

"Soeso, dengar dahulu aku!" kata dia. Ketika itu Beng Pek Hoei sudah gerak-geraki kedua tangannya, kedua kaki dan tubuhnya juga, dengan begitu dengan lekas ia dapat pulang kesegarannya. Rupanya ia penasaran, maka dengan berbareng ia serang Kwie Djie-nio dengan tangannya kiri dan kanan, masing-masing dengan tipu-silat "Seng siok hoet sie" dan "Hoei tim tjeng tan," atau "Di musim panas mengebut kipas" dan "Mengebut debu untuk pasang omong." Inilah dua tipu-silat dari ilmu silat "Koay-wah Sam-sip-tjiang" yang menjadi keahliannya. Jago tua dari Utara ini sebanding dengan Kwie Djie-nio, maka itu, seperti bermula, mereka berkutat dalam keadaan berimbang, sampai belasan jurus, tidak ada yang menang atau kalah, hingga Kwie Sin Sie jadi hilang sabar. "Kau mundur!" kata ia kepada isterinya. Nyonya itu menurut, ia lantas mundur, sedang suaminya pegat Beng Pek Hoei, untuk diserang, maka seperti tadi Baru beberapa jurus, tuan rumah itu sudah kena tertotok pula hingga kembali ia berdiri diam saja. Selama orang bertempur, terpaksa Sin Tjie berdiam diri, ia serba salah. Begitu lekas pertempuran berhenti, Kwie Djie-nio lantas perdengarkan suaranya yang keras dan keren. Dia sangat gelisah karena penyakit anaknya itu, yang hari demi hari jadi bertambah lemah, hingga ia kuatir, apabila terlambat lagi sekian hari, anak itu bakal tidak ketolongan lagi. Memangnya dia beradat aseran. "Orang she Tang, apabila kau tidak keluarkan obatmu itu, aku nanti patahkan kedua lenganmu!" demikian suaranya, yang sangat mengancam. Dengan tangan kiri ia jambret sebelah tangannya si piauwsoe, tangan kanannya diangkat naik. Asal tangan itu dikasi turun, pasti bercacatlah piauwsoe kepala dari Eng Seng Piauw Kiok. Tang Kay San kertak giginya atas dan bawah, yang ia bikin rapat. "Obat tidak ada di sini, sia-sia saja kau patahkan lenganku!" kata dia dengan nekat. Di antara hadirin, ada dua orang yang tak bisa lihati saja kejadian hebat itu, mereka maju untuk memisahkan, akan tetapi mereka dipegat Kiam Hoo dan Pwee Seng, hingga dia orang jadi bentrok. Sin Tjie lihat onar jadi hebat sekali, maka ia anggap, perlu ia mesti turun tangan juga, kalau tidak, tidak ada orang yang dapat mencegah huru-hara di medan pesta ini. Dengan sekonyong-konyong saja dia mencelat kepada Soen Tiong Koen, dengan ulur kedua jari tangannya, dalam gerakan "Siang liong tjhio tjoe" atau "Sepasang naga perebuti mutiara", ia ancam kedua matanya murid perempuan dari soekonya itu. Nona Soen menjadi kaget, ia angkat tangan kanannya, untuk menangkis. Tapi ia tidak bisa kenai jeriji tangannya soesiok atau paman-cilik itu karena Sin Tjie pun menggunai tipu-daya. Selagi si nona sibuk, tahu-tahu tangan kanannya telah menolak dengan pelahan pundak si nona, sampai dia ini mesti mundur tiga tindak. Justru itu, sebat luar biasa, puteranya Kwie Djie-nio telah pindah ke dalam pelukannya pemuda ini, yang ancam Tiong Koen melulu untuk rampas bocah itu. "Soehoe! Soenio!" Soen Tiong Koen menjerit-jerit, bahna kaget dan takutnya. "Lekas! Lekas!...." Selagi Sin Sie dan isterinya berpaling, Sin Tjie sudah lompat naik atas sebuah meja. "Adik Tjeng, pedang!" berseru si anak muda. Cepat sekali, Tjeng Tjeng lemparkan pedang kepada kawannya itu. Sin Tjie sambuti pedang dan terus saja berseru: "Kalian berhenti bertempur! Mari dengar aku dahulu." Merah kedua matanya Kwie Djie-nio, sinarnya berapi. "Anak gila, kau berani ganggu anakku?" dia mendamprat. "Nanti aku adu jiwaku dengan jiwamu!"

Nyonya ini menjejak lantai, dengan niat lompat maju. "Sabar," Sin Sie membujuk seraya ia tarik tangan isterinya itu. "Ingat, anak kita ada ditangan dia...." Djie-nio dapat dibujuk, dia diam, tapi terus dia awasi pemuda itu. "Djie-soeko, tolong kau merdekakan dulu jalan darahnya Beng Looyatjoe!" Sin Tjie lantas minta kepada kandanya seperguruan. "Hm...." bersuara Sin Sie, yang luluskan permintaan itu, maka di lain saat, Beng Looyatjoe sudah dapat pulang kemerdekaannya.

"Semua tjianpwee, sekalian sahabat, sukalah kalian dengar aku sebentar," berkata Sin Tjie seraya pandang semua hadirin. "Anaknya soeko dan soeso ini mendapat sakit berat, untuk tolong anaknya itu, mereka hendak pinjam obat pel yang menjadi barang upeti dari Tjongtok Ma Soe Eng yang kemaruk dan merkis, obat mana diserahkan ke dalam tanggung-jawabnya ini Tang Piauwsoe, Piauwsoe ini telah kesudian menjual jiwanya kepada tjongtok busuk itu, maka itu soeko dan soeso jadi cari dan saterukan dia! Sementara itu Beng Looyatjoe adalah sahabat yang baik, tidak seharusnya, di saat pesta hari ulang tahunnya ini, kita ganggu padanya." Semua hadirin heran mendengar suaranya anak muda ini. Bukankah soeheng dan soetee ini berada dalam kedudukan bermusuh? Kenapa sekarang sang soetee bicara untuk kebaikannya sang soeheng? Kwie Sin Sie sendiri dan isterinya turut merasa aneh juga. Maka itu, semua orang mengawasi, menantikan. Sin Tjie tidak perdulikan sikap orang banyak itu, dia berpaling kepada tuan rumah. "Beng Looyatjoe, tolong kau buka kue sioe-toh itu," katanya kemudian kepada jago dari utara itu. "Ada apa-apa yang luar biasa di dalam kue panjang umur itu." Mendengar ini, mukanya Tang Kay San menjadi pucat. Beng Pek Hoei tidak mengerti, tetapi walaupun dia bingung, dia iringi kehendaknya si anak muda. Dia hampirkan sioe-toh, untuk buka belah kue itu, hingga di dalamnya, ia tampak beberapa biji lah-wan putih. Masih ia tidak mengerti, karenanya, ia jadi berdiri tercengang. Sin Tjie lihat lah-wan itu, lalu ia berkata pula: "Coba Tang Piauwsoe ini mempunyai kepandaian berarti, tidak apa ia jual jiwanya kepada pemerintah, akan tetapi nyata dia berhati rendah dan busuk, dia telah mencoba untuk adu-dombakan kita, supaya kita kaum kang-ouw bentrok satu dengan lain! Beng Looyatjoe, adakah sioe-toh itu dan lainnya antaran Tang Piauwsoe ini?" Beng Pek Hoei manggut. "Sengaja piauwsoe she Tang ini umpetkan lah-wan itu di dalam sioe-toh," Sin Tjie beber orang punya rahasia. "Dia ketahui dengan baik, sioe-toh tidak bakal dimakan, maka obat itu dia sembunyikan di dalamnya. Dia sudah pikir, kalau nanti pesta telah ditutup, dengan diam-diam dia bisa ambil pulang obat itu. Dalam hal ini, dia tidak perdulikan Kwie Soeko nanti bentrok dengan Beng Looyatjoe! Dengan dia berhasil dengan tipunya yang keji ini, tidakkah ia bakal berjasa terhadap pemerintah?" Sin Tjie lantas turun dari meja, untuk hampirkan sioe-toh. Tjeng Tjeng segera maju, untuk bantui kawannya itu. Maka sedetik saja, lah-wan itu telah dikasi keluar. Baru sekarang Kwie Sin Sie dan Beng Pek Hoei sadar bahwa mereka telah kena orang pedayakan. Sin Tjie belah sebiji lah-wan, lantas bau obat yang harum menyerang hidungnya. Di dalam lilin bundar itu ada sebutir obat pulung sebesar lengkeng, warnanya merah dadu. "Coba tolong ambilkan air dingin," Sin Tjie minta pada Tjeng Tjeng. Nona ini menurut, malah obat pulung itu segera ia aduk rata dengan air itu, sesudah mana, itu obat lantas dicekoki kedalam mulutnya si bocah, yang keadaannya sudah jadi lemah sekali, napasnya jalan dengan pelahan, dia tidak menangis. Dengan pelahan-lahan anak itu telan air obat. Kwie Djie-nio mengawasi saja, air matanya berlinang-linang, saking terharu dan bersyukur. Berbareng ia pun malu sendirinya. Didalam hatinya, dia kata: "Coba tidak ada soetee cilik ini, yang membuka rahasia, onar hari ini mestinya hebat tak terkira. Sudah anakku tidak bakal ketolongan, aku pun telah berdosa terhadap kaum kang-ouw, sehingga juga kehormatan suamiku jadi ternoda..." Setelah anak itu habis makan obat, dengan kedua tangannya, Sin Tjie mengangsurkannya kepada Kwie Djie-nio, siapa menyambuti sambil kata dengan pelahan: "Wan Soetee, tak habisnya syukur kami suami-isteri...." Sin Sie, yang tak pandai bicara, cuma kata: "Soetee, kau baik, kau baik...." Tjeng Tjeng jumput semua obat, untuk serahkan itu pada si nyonya aseran. Kwie Djie-nio sedang sangat girang dan bersyukur, dia sambuti obat itu tanpa bilang suatu apa. Kwie Sin Sie sendiri segera totok sadar semua kurbannya. Beng Pek Hoei diam saja, di dalam hatinya, dia kata: "Anakmu telah ketolongan, adalah anakku telah dapatkan kebinasaannya.... Aku tak dapat membalas sakit hati... Biarlah, lain kali saja aku mohon bantuan orang pandai akan mencari balas...." Sin Tjie lihat orang gotong Beng Tjeng, hendak dibawa ke dalam. Dia lihat orang terluka parah, hampir mati. "Tunggu dulu!" ia segera memanggil. "Kandaku tinggal matinya, apakah kau mau?" bentak Beng Sioe. Pikirannya sedang gelap, dia menyangka jelek terhadap tetamunya yang muda itu. "Sabar," Sin Tjie bilang. Ia tidak gusar. "Soekoku hargai Beng Looyatjoe, untuk bersahabat dia masih belum dapat ketikanya, bagaimana dia bisa bikin celaka Beng Toako? Memang benar dia telah serang Beng Toako sedikit hebat akan tetapi itu tak akan membahayakan jiwa, kalian baik jangan berkuatir." "Siapakah yang kamu hendak dustakan?" pikir mereka. Mereka juga sudah tidak mempunyai harapan untuk Beng Tjeng. Sin Tjie bisa duga orang kurang percaya dia, maka dia berkata pula: "Tidak ada niat dari soekoku akan bikin celaka Beng Toako, maka asal Beng Toako dikasi obat dan dapat beristirahat, dia bakal tak kurang suatu apa." Tidak tunggu apa nanti orang bilang, Sin Tjie rogoh sakunya akan kasi keluar sebuah lopa-lopa, ialah tempat dimana kodok esnya disimpan. Dia jumput satu di antaranya, terus ia pencet hancur, untuk diaduk rata dengan arak, kemudian ia sendiri yang cekoki Beng Tjeng. Ruangan yang luas itu, dimana tadi keadaan ada sangat kacau, terbenam dalam kesunyian. Semua mata mengawasi tindak-tanduknya Sin Tjie, semua pandang Beng Tjeng, untuk ketahui bagaimana kesudahannya. Belum berselang lama, mukanya Beng Tjeng telah mulai berubah, dari pucat-pias menjadi bersemu dadu, sesudah mana, menyusul suara rintihan, teraduh-aduh yang pelahan. Menampak itu, bukan kepalang girangnya Beng Pek Hoei, hingga dia lantas menjura kepada bengtjoe dari tujuh propinsi itu. "Wan Siangkong, Wan Bengtjoe, kau benar-benar ada penolong puteraku!" katanya selagi ia menjura dalam. Sin Tjie repot membalas hormat. "Tidak apa," kata dia, yang merendahkan diri. Kemudian ia suruh Beng Sioe gotong kakaknya ke dalam, untuk dirawat dengan baik. Segera juga, Beng Pek Hoei kerahkan orang-orangnya, untuk atur pula kursi-meja, guna sajikan barang hidangan baru, untuk mulai pula pesta yang yang terhalang itu, hingga di lain saat, suasana riang-gembira telah pulih. "Beng Looyatjoe, kami sangat sembrono, harap kau memaafkannya," Kwie Djie-nio kata pada tuan rumah kepada siapa ia menjura. Iapun tarik tangan suaminya dan ketiga muridnya, untuk mereka juga beri hormat pada jago tua itu. Beng Pek Hoei bisa tertawa sekarang, ia tertawa besar. "Anakku menghadapi kematian, siapa tak gelisah?" katanya. "Tidak, aku tidak persalahkan kamu suami-isteri." Djie-nio mengucapkan terima kasih, kemudian ia dan rombongannya turut duduk berpesta.

Beng Pek Hoei masih berhati kurang tenang, satu kali ia ambil ketika akan masuk ke dalam akan tengok puteranya. Sesampainya di dalam, hatinya jadi bertambah lega. Beng Tjeng sedang tidur nyenyak, napasnya berjalan dengan rapi, wajahnya nampak tenang dan wajar. Itulah tanda-tanda dari kesembuhan. Sekeluarnya kembali, tuan rumah segera layani dengan ramah-tamah pada semua tetamunya. Ia telah minta dua cawan yang besar, ia isi penuh dua-duanya, kemudian ia bawa itu ke depan Sin Tjie. "Wan Bengtjoe," katanya, "ketika dalam rapat di Tay San orang pilih kau, bilang terus-terang, aku kurang puas, akan tetapi sekarang, melihat sepak-terjangmu ini, aku bukan melainkan sangat berterima kasih, aku pun kagum dan takluk padamu. Mari, bengtjoe, tolong kau keringi cawan ini, tanda hormat dari aku!" Dia angkat cawan yang satunya, ia lantas cegluk itu hingga habis. Sin Tjie tak pandai minum arak, akan tetapi melihat kesungguhan hati orang, ia pun minum kering cawannya, atas mana, semua hadirin bertepuk tangan dan berseru: "Bagus!"

"Wan Bengtjoe," kata pula Beng Pek Hoei kemudian, "sejak hari ini dan selanjutnya, apabila ada urusan sesuatu, aku bersedia untuk mengabdi kepada kau! Kau membutuhkan uang? Buat delapan atau sepuluh laksa tail perak, rasanya aku sanggup menyediakannya! Kau perlu orang? Kecuali kami ayah dan anak, yang tak nanti menampik untuk serbu api, sanggup aku mengumpulkan tiga atau empat ratus orang untuk membantu padamu! Aku rasa masih aku mempunyai muka terang akan mengumpulkan jumlah itu...." Sin Tjie bersenyum. Ia merasa sangat puas dengan kesudahannya urusan, terutama karena itu, ganjelan soeko dan soesonya itu terhadapnya, jadi dapat dibikin hilang. Tapi malam itu, di waktunya orang bubaran setelah puas berpesta, Tang Piauwsoe lenyap dari antara mereka, entah kemana sembunyinya dia. Di lain harinya, selagi tetamu-tetamu bergantian pamitan pulang, Beng Pek Hoei tahan rombongannya Sin Tjie. Beberapa kali si anak muda niat pergi, ia saban-saban mesti urungkan itu sampai di hari ketujuh, Baru tuan rumah tak dapat menahan terlebih lama lagi. Pek Hoei segera siapkan meja perjamuan, untuk memberi selamat jalan. Itu waktu, Sin Sie serta isteri dan murid-muridnya pun masih belum berangkat, mereka dijamu bersama. "Beng Lauwko," berkata Thia Tjeng Tiok, "si orang she Tang dari Eng Seng Piauw Kiok bukannya satu mahluk baik, dia kehilangan upeti berharga itu, tak nanti dia mau sudah saja, andaikata dia tak berhasil mencari Kwie Djie-ko, mesti dia bakal cari lauwko, dari itu, baik kau waspada."

"Terima kasih, saudara Thia," mengucap Pek Hoei. "Umpama kata benar-benar mahluk itu berani main gila terhadapku, aku tidak akan berlaku sungkan lagi terhadapnya!"

"Beng Lauwko, adalah kami yang menyebabkan onar ini," kata Kwie Djie-nio, "maka itu, apabila kau benar menghadapi kesulitan, kami minta segeralah kau memberi kabar kepada kami!"

"Baik, Djie-nio!" jawab tuan rumah. "Sebenarnya aku sendiri tak takut!"

"Kita harus jaga kalau-kalau dia bersekongkol sama pembesar negeri," See Thian Kong turut memberi ingat. Beng Pek Hoei tertawa besar. "Apabila itu sampai terjadi," katanya, "Thia Lauwtee, aku nanti mencontoh teladanmu, aku akan duduki bukit untuk menjadi raja!" Semua orang tertawa mendengar pengutaraan itu. Sampai di situ, orang pada naik kuda, untuk berpisahan. Djie-nio empo anaknya, dan bersama suaminya dan tiga orang muridnya, ia menuju pulang ke selatan, sedang rombongan Sin Tjie berikut Thie Lo Han dan Ouw Koei Lam, melanjuti perjalanan mereka mengangkut harta besar menuju ke utara. Pada suatu hari sampailah Sin Tjie beramai di Kho-pay-tiam, karena hari sudah magrib dan barang bawaan mereka banyak dan berat, mereka singgah di hotel "Yan Tiauw Kie" di sebelah barat dusun itu. Habis bersantap, mereka lantas masuk tidur, untuk beristirahat. Tapi belum lagi mereka pulas, mereka telah terganggu suara berisik di luar hotel, antaranya riuh suara orang bicara. Cuma A Pa si empeh gagu, yang tak dengar suatu apa. Suara bicara berisik terdengar semakin nyata apabila ternyata diaorang itu telah memasuki hotel, suara mereka pun tak dimengerti, karena bahasa mereka ada luar biasa. Sin Tjie keluar dari kamarnya, maka itu ia bisa lihat beberapa puluh serdadu asing, yang duduk atau berdiri, masing-masing menyekal senapan. Merekalah yang menerbitkan suara berisik itu. Ia heran sebab belum pernah ia tampak orang-orang dengan mata kelabu dan hidung mancung-mancung itu, hingga ia mengawasi. Segera terdengar suara seorang bicara dengan keras dengan kuasa hotel, dia minta segera disediakan beberapa kamar. "Maaf, taydjin, kamar di sini cuma ada beberapa buah dan semua sudah penuh," kata kuasa hotel, yang memohon dengan sangat. Orang yang dipanggil taydjin itu rupanya gusar, sebab segera dia tampar si kuasa hotel, hingga banyak mata diarahkan kepada mereka. "Kau.... kau...." kata kuasa hotel itu, yang menjadi gusar. "Jikalau kau tidak sediakan kamar, aku nanti bakar hotelmu ini!" seru si taydjin itu. Kuasa hotel itu menjadi ketakutan, terpaksa ia pergi pada Seng Hay, sambil menjura berulang-ulang ia mohon tetamu-tetamunya ini suka mengalah. "Bagus betul!" seru See Thian Kong. "Orang toh ada yang datang terlebih dulu dan

belakangan! Dia itu mahluk apa?" Kuasa itu ketakutan, mukanya pucat. "Aku minta, tuan, supaya kau tidak berpandangan sebagai dia itu yang makan nasi asing," kata dia, yang maksudkan si taydjin. "Hebat kesudahannya kalau kita berbuat salah

terhadapnya..."

"Dia gegares nasi asing apa?" tanya Thian Kong. "Apakah makan nasi asing lantas mesti bertingkah?" Masih kuasa hotel itu ketakutan. "Mereka ini, tuan, adalah tentara asing yang datang ke kota raja untuk angkut meriam besar," menerangkan dia, dengan suara sangat pelahan. "Dan dia itu, yang bisa omong bahasa asing, dijadikan juru-bahasanya." Baru sekarang Sin Tjie beramai ketahui. Jadinya si taydjin itu adalah kacung asing yang banyak lagaknya. "Nanti aku ajar adat pada bocah itu!" kata See Thian Kong, yang hatinya panas. "Sabar," Sin Tjie mencegah. Dan ia ajak semua kawannya masuk ke dalam kamar. "Ketika dulu marhum ayahku belai Liauw-tong, di waktu ia peroleh kemenangan besar dalam peperangan di Leng-wan, ia peroleh bantuan besar dari meriam-meriam buatan asing semacam ini. Begitulah Nuerhacha, leluhur kaisar Boan, telah terbinasa karena tembakan meriam. Sekarang ini bangsa Boan sedang garangnya, dan ini tentara asing lagi angkut meriamnya untuk membantu padanya, baiklah kita mengalah."

"Habis kita mesti antapkan binatang itu banyak tingkah?" tanya Thian Kong. "Kenapa kita mesti bersatu pandangan dengan manusia rendah itu?" Sin Tjie baliki. Melihat bengtjoe ini bersikap demikian, orang lantas mengalah, maka kesudahannya mereka serahkan dua kamar. Si jurubahasa itu, yang kemudian ketahuan bernama Tjian Tong Soe, masih mendumal saja, akan tetapi setelah ia dapat dua buah kamar, tidak lagi ia persulit lebih jauh kepada kuasa hotel. Dia pergi untuk sementara, kapan ia kembali lagi, ia ada bersama dua opsir asing. Satu opsir berumur empat-puluh lebih, yang lainnya Baru dua-puluh lebih. Dua-dua mereka ini beroman cakap dan gagah. Yang tuaan itu pergi sebentar, baliknya ia ajak satu wanita asing yang cantik, yang umurnya kurang lebih dua-puluh tahun, rambutnya hitam, kulitnya putih, barang perhiasannya adalah mutiara-mutiara yang bergemerlapan di antara cahaya api, pakaiannya reboh. Belum pernah Sin Tjie melihat orang asing, makanya ia awasi nona itu. Menampak sikapnya si anak muda, Tjeng Tjeng tidak puas. "Engko, apakah orang itu manis dipandangnya?" dia tanya. "Beginilah memang dandanannya orang asing," Sin Tjie jawab. "Hm!" bersuara Tjeng Tjeng, yang terus bungkam. Besoknya pagi, orang dahar dan duduk berkumpul di ruang besar, kedua opsir asing itu duduk bersama si nona asing. Tjian Tong Soe melayani dengan telaten sekali, nyata sekali sikapnya menjilat-jilat, sebab kapan dia butuhkan apa-apa, terhadap kuasa hotel dan jongos, segera dia main sentak, tangannya pun enteng. Sangat tak puas Thia Tjeng Tiok menyaksikan orang punya lagak tengik itu. "Saudara See, coba lihat siauwtee main sulap!" kata dia, ketika ia putar tubuhnya. Lalu tanpa memutar lagi, dia ayun sebelah tangannya ke belakang, hingga sepasang sumpitnya menyambar ke arah mulutnya Tjian Tong Soe, mengenai dua baris giginya atas dan bawah. Juru bahasa itu berteriak kesakitan, dia gelagapan menutup mulutnya, masih dia berkaok-kaok, teraduh-aduh! Inilah kepandaian mainkan senjata rahasia dari Thia Tjeng Tiok, kalau lain orang gunai piauw atau panah-tangan, dialah potongan-potongan bambu pendek dan halus bagaikan lidi, tapi kali ini, dia pakai sumpit saja. Dengan lidi itu dia bisa timpuk jalan darah. Dia masih taati pesan Sin Tjie, maka ia tidak arah kedua mata orang itu. Tak tahu Tong Soe dari mana datangnya serangan , kedua opsir itu pun heran. Si nona manis, yang pun merasa aneh, sebaliknya tertawa, mungkin dia anggap kejadian itu lucu.... Kedua opsir itu melirik kepada rombongan Sin Tjie, rupanya dia mau menyangka, Tong Soe telah jadi korban mereka ini. Opsir yang lebih tua letaki dua buah pistol di atas meja, lalu ia lemparkan dua buah cangkir ke tinggi, habis itu dengan sebat dia menembak dengan kedua tangannya, hingga cangkir-cangkir itu kena tertembak dan hancur. Heran dan kagum Sin Tjie beramai untuk kepandaiannya orang itu, dan hebatnya senjata api itu. Opsir yang lebih tua itu nampaknya puas dan bangga, ia lantas isikan pula pistolnya. "Peter, kau hendak coba-coba?" kata dia kepada kawannya. "Kepandaianku menembak mana bisa menangi tukang tembak nomor satu dari negara kami Portugal!" kata opsir yang muda itu. Si manis tertawa. "Ah, kalau begitu Raymond ada tukang tembak nomor satu?" katanya. "Jikalau bukan nomor satu untuk dunia, sedikitnya untuk Eropa," kata si Peter ini.

"Nomor satu untuk Eropa apa bukan sama artinya dengan dunia?" tegaskan Raymond. "Inilah tak berani aku bilang," sahut Peter. "Orang-orang timur ada bangsa aneh, di antara mereka ada yang punya kepandaian jauh lebih berbahaya daripada kita. Tidakkah demikian, Catherine?"

"Aku rasa kau benar," sahut si cantik sambil bersenyum. Tak puas Raymond melihat Catherine nampaknya lebih manis kepada Peter. "Orang-orang Timur aneh?" katanya. Dan tiba-tiba saja ia menembak pula, satu kali, segera disusul dengan yang kedua. Ketika pistol itu memperlihatkan sinar api, tahu-tahu Tjeng Tjeng terkejut bukan main. Di luar tahunya, kopiahnya kena ketembak hingga terjatuh ke atas meja hingga karenanya, kelihatanlah rambutnya yang hitam dan gompiok, rambutnya seorang perempuan. Sin Tjie dan yang lainnya turut kaget dan heran. Raymond serta beberapa serdadu asing lainnya tertawa berkakakan, rupanya mereka anggap pemandangan itu lucu. Tjeng Tjeng murka, di alompat bangun pedangnya segera dihunus.

"Jangan!" Sin Tjie mencegah. Pemuda ini insyaf bahayanya kalau mereka layani orang-orang asing itu. Ia pun mengerti, pemerintah Beng bakal pakai tenaga asing itu untuk memerangi bangsa Boan. Maka ia anggap, lebih baik bersabar. "Sudah, adik Tjeng," kata ia seraya ambil pedang orang. Tjeng Tjeng mendelik mengawasi tiga orang asing itu, ia dengar kata terhadap Sin Tjie. "Kiranya dia satu nona, pantas dia eilok," kata Catheirne sambil tertawa. "Bagus, ya," kata Raymond, "kiranya kau perhatikan keeilokan orang...."

"Dia menyekal pedang, agaknya dia hendak menantang kita," kata Peter. "Kalau dia benar menantang, siapa yang sambuti, Peter?" tanya Raymond. "Di anatra kita berdua, siapa lebih tangguh?"

"Aku harap tak ada yang tahu untuk selamanya," Peter jawab. "Eh, kenapa begitu?"

"Ah, sudah jangan ribut!" Catherine menyela. Ia bersenyum. "Orang Timur aneh, aku kuatir, dua-dua kamu tak nanti bisa lawan nona itu..."

"Tong Soe, mari!" sekonyong-konyong Raymond panggil juru-bahasanya. Orang she Tjian itu menghampirkan dengan cepat.

"Ada apa, kolonel?" tanyanya. "Coba tanya nona itu, apa dia mau adu pedang denganku. Lekas!"

"Baik, baik, kolonel!" Raymond rogoh sakunya, akan kasih keluar belasan uang logam asing, yang ia lemparkan ke atas meja. Sambil tertawa, dia kata: "Jikalau dia benar hendak adu kepandaian, suruh dia kemari, asal dia menang, dia boleh ambil ini semua uang emas, tapi kalau dia kalah, aku mesti cium dia satu kali! Nah, lekas kasi tahu, lekas!" Dengan tindakan berlenggang, Tong Soe hampirkan Tjeng Tjeng, untuk sampaikan permintaan Raymond, si nona mau duel atau tidak, tapi di saat ia ulangi kata-kata "cium satu kali", mendadak tangan si nona melayang, mampir di pipi juru-bahasa ini hingga dia berkaok dan berjengit, pipi kanannya bertapak tangan berwarna merah. Celakanya, empat buah giginya copot, darahnya mengucur pula, hingga dia mesti tekapi mulutnya. Raymond tertawa berkakakan. "Nona itu benar kuat!" katanya. Ia lantas cabut pedangnya, ia bertindak ke tengah ruangan, pedangnya itu disabatkan ke atas hingga menerbitkan suara angin. "Mari, mari, mari!" katanya. Tjeng Tjeng tidak mengerti omongan orang, akan tetapi melihat dari sikapnya, dia tahu dia ditantang, maka ia pun hunus pula pedangnya, ia bertindak menghampiri. "Ini orang kurang ajar, boleh juga dia diajar adat, asal jangan dilukai," pikir Sin Tjie, yang lantas panggil kawannya: "Adik Tjeng, mari!"

"Tidak!" sahut Tjeng Tjeng yang cuma berpaling. Ia menyangka sahabat itu hendak cegah padanya. "Mari, aku hendak ajari kau bagaimana mengalahkan dia," kata Sin Tjie. Tjeng Tjeng menghampiri, ia girang. Ia memang belum tahu ilmu silat pedang bangsa asing. "Kita belum tahu ilmu pedang orang asing, tapi melihat caranya barusan dia hunus pedangnya dan kibaskan itu, terang dia gesit sekali," bilang Sin Tjie. "Kau mesti waspada untuk tikamannya, jangan kuatirkan tabasan!"

"Kalau begitu aku boleh berdaya akan gempur pedangnya itu?" tanya si nona. "Benar!" sahut Sin Tjie. "Tapi ingat, jangan lukai dia." Raymond lihat orang bicara saja, dia tidak sabaran. "Mari, mari lekas!" dia menantang pula. Tjeng Tjeng sambut tantangan itu, kali ini dia tidak bertindak dengan pelahan sebagai tadi, hanya dengan mendadak dia berlompat, hingga tahu-tahu ia sudah berada dekat si orang asing. Terus saja ia membabat ke arah pundak. Raymond kaget, inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak nyana, si nona demikian gesit. Tapi ia masih sempat berkelit seraya jatuhkan diri dan pedangnya dipakai menangkis, hingga kedua senjata beradu keras dan nyaring, lelatu apinya muncrat. Ketika ia bangun pula, ia keluarkan keringat dingin. "Bagus!" Catherine bertepuk tangan. Segera setelah orang bangkit pula, Tjeng Tjeng menyerang lagi, maka sekarang mereka mulai bertempur. Keduanya bergerak sama gesitnya, bergantian mereka saling tikam dan tangkis. Sin Tjie memasang mata, ia mesti akui kesebatan orang asing itu. Kapan Tjeng Tjeng merasa ia tak bisa lantas rebut kemenangan, ia ubah caranya berkelahi. Sekarang ia lebih banyak menggertak, habis mengancam, lekas-lekas ia tarik

pulang pedangnya. Ia bersilat dengan ilmu pedang Tjio Liang Pay "Loei Tjin Kiam-hoat" atau "Gempuran Geledek", yang punyakan tiga-puluh enam gertakan. Repot juga Ryamond melayani cara berkelahi itu, matanya lantas saja mulai kabur, sebab

ia cuma lihat pelbagai ujung pedang hendak menikam padanya, tapi saban kali ia menangkis, ia tangkis angin. Dia tahu, ilmu pedangnya pun mengenal gertakan, tapi cuma beberapa kali, tidak banyak seperti ilmu si nona ini. Tadinya ia niat tegur si nona, atau mendadak nona itu sampok pedangnya, begitu keras, sampai ia rasakan tangannya menggetar dan sesemutan, tak dapat dicegah lagi, pedang itu terlepas dan terpental. Menyusul itu, Tjeng Tjeng menyusuli dengan tudingannya ke arah dada lawan! Di pihak lain, See Thian Kong berlompat akan sambar pedangnya opsir asing itu, lalu dengan dibantu tangan kiri, ia tekuk itu pedang hingga jadi patah dua! Dan kedua batang itu ia lempar ke tanah! Tjeng Tjeng tertawa, dia tarik pulang pedangnya, untuk dia kembali ke kursinya. Raymond malu bukan kepalang, mukanya merah-padam. Tidak ia sangka, sebagai ahli pedang di Eropa, sekarang di Tiongkok dia dipecundangi satu nona. Catherine tertawa riang, dia jumput uang di atas meja, ia bawa itu kepada Tjeng Tjeng, untuk diserahkan. Nona kita menampik, ia memang tak harapi uang taruhan itu, tapi nona asing itu mendesak, mulutnya mengatakan apa-apa yang tak dimengerti nona Hee. Akhirnya Tjeng Tjeng menyambut, ia kepal uang itu dengan kedua tangannya, lantas ia menggenggam dengan keras sekali, kemudian uang itu ia sodorkan pula pada si nona asing. Catherine heran, ia menyanggapi, setelah mana, dia tercengang. Semua uang itu nempel menjadi satu, ia coba pisahkan, tetapi tidak berhasil, maka dengan mata dipentang lebar, ia awasi nona kita, mulutnya mengucap: "Benar-benar, orang Timur aneh!...." Lekas-lekas ia kembali pada Ryamond dan Peter, akan tunjuki uang itu. "Dia punyakan ilmu sihir!" katanya. "Jangan kita layani dia! Mari kita pergi!" mengajak Peter. Dua opsir itu berbangkit, Catherine mengikuti. Peter lantas memberi titah. Sebentar saja semua serdadu lari keluar, akan berkumpul sama kawan-kawannya, menyusul mana, lantas mereka berangkat bersama-sama meriam-meriam mereka. Raymond dan Peter berbareng bertindak keluar dari hotel. Ketika Catherine lewat di samping Tjeng Tjeng, dia mengawasi sambil tertawa, hingga angin wangi berkesiur daripadanya. Sedetik saja, ruang hotel itu jadi sunyi. "Bagaimana macamnya meriam asing itu, belum pernah aku lihat," kata Thie Lo Han. "Mari kita lihat!" Ouw Koei Lam mengajak. Tiba-tiba See Thian Kong tertawa. "Saudara Ouw," katanya kepada malaikat copet itu, "andai kata kau bisa unjuk kepandaianmu, dengan curi sebuah meriam, aku bakal kagumi kau tak habisnya...."

"Sebenarnya belum pernah aku curi meriam besar, yang demikian berat," kata Koei Lam, yang pun tertawa. "Kita bertaruh atau tidak?"

"Meriam itu ada untuk menghajar bangsa Boan, jadi tak tepat untuk dicuri," Thian Kong bilang, "kalau tidak, aku suka bertaruh." Sambil tertawa, mereka bertindak keluar, malah dengan jalan cepat, mereka bisa lewati lerotan meriam dan barisan serdadunya itu. Semua meriam ada sepuluh buah, saking beratnya, setiap meriam diseret delapan ekor kuda, sudah begitu, di belakangnya masih ada orang-orang yang bantu mendorongnya. Bekas-bekas roda-roda menggelinding meninggalkan lobang yang dalam bagaikan selokan. "Jikalau ada ini sepuluh jendral perang menjaga San-hay-kwan, tak perduli bagaimana garangnya pula tentara Boan, pasti mereka tak dapat menerjang dengan berhasil," kata Sin Tjie sambil tertawa. Orang telah berjalan terus, sampai selang dua-puluh lie lebih, rombongan Sin Tjie dengar berisiknya suara kelenengan di sebelah depan, lalu tertampak belasan penunggang kuda sedang mendatangi, kapan mereka itu sudah datang lebih dektam kelihatan sesuatu penunggang kuda bekal senjata dan panah di bebokong, di atas kudanya tergendol kelinci dan lainnya binatang hutan, suatu tanda mereka adalah serombongan pemburu. Semua mereka mengenakan dandanan perlente, sepatunya pun terbuat dari kulit, sedang yang diiring adalah satu nona. Kapan si nona telah datang dekat sekali pada rombongannya Sin Tjie, lantas dia keprak kudanya untuk menghampirkan sambil berseru-seru: "Soehoe! Soehoe!" Thia Tjeng Tiok , orang yang dipanggil soehoe (guru), lantas tertawa. "Bagus, kau telah datang!" dia pun berseru dengan sambutannya. Nona itu adalah sang murid, Nona A Kioe, hanya sekarang dia dandan dengan reboh, pada kedua kupingnya nempel mutiara sebesar jempol tangan, pada ujung bajunya tertabur batu permata merah. Melihat Sin Tjie, nona itu tertawa. "Oh, kau ada bersama soehoe!" dia menegor. Sin Tjie bersenyum, dia manggut. A Kioe kemudian pandang See Thian Kong, kembali dia tertawa dan kata: "Tanpa bertempur, kita tak akan bersahabat!" Tjeng Tiok panggil muridnya itu, untuk diajar kenal terutama dengan Thie Lo Han dan Ouw Koei Lam. "Kau hendak pergi kemana?" kemudian sang guru tanya. "Aku pergi berburu," jawab si nona. "Kami lagi menuju ke Pakkhia, baik kau turut kami," Tjeng Tiok kata. "Baik, soehoe," jawab A Kioe, yang terus dampingi gurunya itu.

Sin Tjie dan Tjeng Tjeng heran juga menampak Nona A Kioe, sebab meskipun begitu muda nona ini punyakan sikap yang beda daripada nona-nona sepantarannya. Di waktu tengah hari, selagi singgah untuk beristirahat, orang duduk dahar menghadapi

dua buah meja, dan A Kioe serta gurunya duduk bersama Sin Tjie beramai. Pada mulanya, Sin Tjie duga nona itu ada cucu perempuan dari Thia Tjeng Tiok, tidak tahunya dia itu adalah muridnya. Ia percaya si nona adalah gadisnya satu hartawan yang telah dimanja-manjai, jikalau tidak, dandanannya, gerak-geriknya, tidak sedemikian rupa, malah untuk berburu, si nona bawa demikian banyak pengiring. Ia tidak mengerti, bagaimana caranya maka si nona berguru kepada ketua Tjeng Tiok Pay itu dan bisa bergaul di dalam golongan. Habis bersantap, perjalanan dilanjuti, sorenya, mereka singgah di sebuah hotel di Im-ma-tjip. Selama itu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng senantiasa perhatikan dengan diam-diam kepada A Kioe dan sekalian pengiringnya itu. Mereka mau percaya, sekalian pengiring itu bukan cuma kacung atau bujang belaka, mungkin mereka ada pegawai-pegawai negeri, karenanya, mereka jadi semakin heran.

Bab 17

Sore itu, selagi duduk berkumpul dan pasang omong, Tjeng Tjeng tanya A Kioe: "Adik Kioe, ketika itu hari kami hajar tentara negeri, hingga kami merasa sangat puas, kemudian ternyata kau menghilang. Sebenarnya kemana kau pergi?"

"Ah!...." bersuara si nona, yang mukanya menjadi merah dengan tiba-tiba. Kemudian, dengan menyimpang, dia bilang: "Entjie Tjeng, coba kau dandan, kau pasti baru ternyata eilok benar!" Tjeng Tjeng heran, kapan ia lihat nona muda ini suka tengok kiri dan kanan. Tadinya ia hendak menanyakan lebih jauh tapi ia batal kapan ia tampak Tjeng Tiok, yang duduk di depannya, kedipi mata. Maka akhirnya, sambil tertawa, ia jawab nona itu: "Kita sedang bikin perjalanan, kepala dan muka kita biasa penuh debu, habis kita berdandan, kepada siapa hendak dikasi lihatnya?" A Kioe bersenyum. Tidak lama setelah itu, orang bubaran, untuk masuk tidur. Selagi Sin Tjie hendak naik ke pembaringannya, Thia Tjeng Tiok datang padanya. "Wan Siangkong, aku hendak bicara denganmu untuk satu urusan," kata ketua Tjeng Tiok Pay, yang datangnya secara tiba-tiba.

Sin Tjie menyambut dengan gembira. "Baik!" sahutnya. "Silakan duduk."

"Lebih baik kita pergi keluar, ke tempat terbuka dan sepi," Tjeng Tiok bilang hampir berbisik. Sin Tjie merasa pasti, urusan ada penting, maka ia pakai pula bajunya, lalu keduanya keluar, akan terus berlari-lari ke bukit malah mendaki puncak, akan duduk atas sebuah batu besar. Ketua Tjeng Tiok Pay melihat ke sekitarnya, yang sunyi. "Wan Siangkong," kata dia kemudian, "aku hendak omong tentang A Kioe, muridku itu. Dia ada satu anak dengan asal-usul istimewa. Ketika dia mulai angkat aku sebagai guru, aku pernah berjanji untuk tidak buka rahasia tentang dirinya."

"Aku pun lihat dia bukannya orang sembarangan," Sin Tjie bilang. "Karena kau telah beri janjimu, tak usah kau menerangkannya kepadaku."

"Sekalian pengiringnya ada orang-orang negeri, maka itu, tentang maksud bekerja kita ini, mereka tak boleh mendapat tahu," kata pula Tjeng Tiok. Mau atau tidak, Sin Tjie toh tercengang. "Jadi benar mereka ada hamba-hamba negeri?" tegaskannya. Tjeng Tiok manggut-manggut. "Aku mau percaya, muridku ini tidak bakal jual kita," kata ia kemudian, "akan tetapi dia masih berusia sangat muda, tak dapat diduga yang pikirannya bisa tidak berubah."

"Kalau begitu, di depan A Kioe baik kita waspada," Sin Tjie bilang. Tjeng Tiok manggut. Sampai di situ, urusan telah selesai, maka keduanya segera berangkat pulang. Sesampainya di muka hotel, Sin Tjie lihat seorang lewat di jalan besar, datangnya dari arah timur, dia itu menenteng sebuah lentera, dalam sekelebatan saja, dia itu terus masuk ke dalam hotel. Dengan matanya yang tajam, Sin Tjie rasa kenali orang itu, melainkan tak segera ia ingat dimana mereka pernah bertemu. Maka selagi rebah di atas pembaringannya, pemuda kita terus mengingat-ingat hingga ia mengingat mundur sampai rapat di gunung Tay San, pelbagai kejadian di Lamkhia dan Tjio-liang. Juga di dalam barisan Giam Ong, tak ingat dia pernah bertemu sama orang itu. Tetapi ia tak bisa lupa romannya orang itu. "Di mana aku pernah lihat atau bertemu dengannya?" tanya ia berulang-ulang di dalam hatinya. Tiba-tiba ia dengar ketokan perlahan pada pintu kamarnya. Segera ia pakai bajunya dan

turun dari pembaringan, akan nyalakan api. "Apakah kau tidak niat dahar sesuatu?" begitu pertanyaan dari luar, disusul dengan suara tertawa dari Tjeng Tjeng, si juita nakal. Dengan lekas pemuda kita membukakan pintu. Tjeng Tjeng membawa sebuah nenampan di atas mana ada dua mangkok, dalam setiap mangkoknya ada tiga butir telur ayam. Rupanya Baru saja dia habis dari dapur dimana dia matangi telur itu. "Terima kasih," kata Sin Tjie. "Kenapa kau masih belum tidur?"

"Aku pikirkan si A Kioe, dia aneh, dia membuat aku tak dapat tidur," sahut si nona. "Aku kira kau pun sedang memikirkan dia itu hingga kau pun belum tidur...." Ia bicara dengan pelahan sekali. "Aku pikirkan dia? Untuk apa?" Sin Tjie tanya.

"Memikirkan dia karena dia sangat cantik! Coba bilang, bukankah dia cantik sekali?" Kembali si nona tertawa. Sin Tjie tahu baik perangai nona Hee ini. Apabila ia menjawab A Kioe cantik, Tjeng Tjeng tentu tak puas; kalau ia menyangkal, itulah jawaban yang tak tepat dengan bukti-kenyataannya. Maka ia jumput sendoknya, akan sendok sebutir telur, untuk dimasuki ke dalam mulutnya. Baru ia menggigit sekali atau dengan sekonyong-konyong ia lemparkan sendoknya. "Ya dia! Ya dia!" ia pun berseru tertahan. Tjeng Tjeng terperanjat. "Apa dia- dia?" tanyanya kemudian. "Apakah telur itu busuk?"

Sin Tjie tertawa. "Kita jangan dahar dulu! Mari kau turut aku!" kata si anak muda. Tak puas Tjeng Tjeng melihat orang tak dahar telurnya. Tidakkah ia telah sengaja rebus itu untuk kawan ini? "Kita pergi kemana?" ia tanya. Masih Sin Tjie tidak menjawab, sebaliknya, dari sampingnya Ang Seng Hay, ia jumput pedangnya orang itu. "Kau pegang ini!" katanya. Tjeng Tjeng menyambuti. Baru sekarang ia mengerti, orang hendak menghadapi musuh rupanya. Selagi Sin Tjie menggigit telur, dengan tiba-tiba saja ia ingat suatu kejadian dimana ia masih kecil, ketika ia menumpang di rumah An Toa-nio, di waktu ada orang jahat mencoba culik Siauw Hoei, hingga dengan nekat ia bela nona itu, sukur tepatlah datangnya An Toa-nio, yang menolongi terlebih jauh. Dengan tiga butir telur, nyonya An itu sudah serang Ouw Loo Sam, si culik, hingga Loo Sam kabur. Dan tadi, orang yang ia lihat, yang ia rasa kenali tapi tak ingat benar, adalah si Ouw Loo Sam itu! Dia coba ingat, apakah yang dikehendaki dan dikerjakan oleh Ouw Loo Sam. Sekarang, setelah ingat, pemuda ini hendak mencari tahu. Maka dia ajak Tjeng Tjeng pergi bersama. Dengan berindap-indap, dengan hati-hati, keduanya pergi keluar, akan hampirkan sesuatu kamar, di setiap jendela, mereka mendekam, untuk pasang kuping, akan dengari suara orang bicara, guna cari Ouw Loo Sam. Lalu di sebuah kamar yang besar, mereka dengar pembicaraan dari tujuh atau delapan orang, yang bicara dengan lagu-suaranya orang kang-ouw. "Bagaimana dapat kita berlalu dari sini?" kata satu orang. "Apabila ada terjadi onar, apakah kita masih punyakan jiwa kita?"

"Di pihaknya An Taydjin, inilah urusan penting sekali," kata satu suara lain. "Orang yang dikirim dari kota raja itu, mana dia keburu sampai? Di depan kita telah menantikan satu jasa istimewa, apabila kita lewatkan itu, tidakkah sangat sayang?" Orang itu berdiam sekian lama. "Begini saja!" terdengar satu suara yang berat. "Kita pecah dua rombongan kita ini, ialah yang separuh berdiam di sini, yang separuh lagi pergi pada An Taydjin, untuk terima titahnya. Jikalau nanti kita berhasil jasanya kita cicipi bersama-sama!" Orang yang pertama rupanya telah tepuk pahanya, karena telah terdengar satu suara nyaring, disusul sama suaranya yang keras. "Bagus! Memang, suka dan duka, kita mesti terima bersama! Umpama terjadi onar, kita sama-sama menanggungnya!"

"Marilah kita mengadakan undian!" seorang usulkan. "Undianlah yang menetapkan, siapa pergi dan siapa berdiam, supaya jangan ada yang mengiri."

"Akur!" menyatakan banyak suara. "Urusan besar apakah itu yang menyebabkan mereka tak dapat pergi dari sini?" Sin Tjie tanya dirinya sendiri. "Apa soalnya An Taydjin itu dan itu jasa istimewa? Aneh juga...." Selagi mendengari lebih jauh, dari dalam terdengar golok dan pedang saling beradu, suatu tanda bahwa orang telah selesai mengadakan undian, dan mereka telah bersiap untuk keluar. Segera si anak muda bisiki Tjeng Tjeng: "Pergi bisiki See Thian Kong beramai untuk siap-

sedia untuk sesuatu, aku sendiri hendak kuntit mereka, untuk lihat apa yang mereka hendak lakukan." Si nona manggut.

"Tapi kau harus waspada," ia pesan. Itu waktu terdengar suara pintu dibuka, cahaya api lilin lantas menyorot keluar. Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah mendahului umpetkan diri di tempat yang gelap. Orang yang pertama muncul adalah Ouw Loo Sam, di belakang ia turut delapan orang lainnya dengan gegaman mereka masing-masing di tangan. Karena terangnya api lilin, mereka itu ternyata ada orang-orang atau pengiring-pengiringnya A Kioe. Setelah mereka keluar dan sudah meloncati tembok pekarangan, pintu kamar ditutup pula. "Itulah orang-orangnya!" kata Tjeng Tjeng, dengan pelahan. "Memang aku sangsikan nona itu bukannya orang sembarangan...." Sin Tjie pun merasa heran sekali. Sampai di situ, pemuda dan pemudi ini berpisahan, si pemuda segera susul sembilan orang itu, untuk dikuntit. Sin Tjie dapat kemerdekaan untuk membayangi itu sembilan orang karena ilmu entengi tubuh warisan gurunya telah sempurna, sedang ajaran Bhok Siang Toodjin ialah "Pek pian

kwie eng" atau "Seratus kali berubah bajangan iblis" dia telah yakinkan tujuh atau delapan bahagian sempurna. Ia mengintil terus hingga keluar dari dusun, masih mereka itu berjalan satu lie jauhnya, akan akhirnya menuju ke sebuah rumah besar. Ouw Loo Sam adalah yang mengetok daun pintu yang dicat hitam, apabila daun pintu telah dipentang, kesembilan orang itu diijinkan masuk. Sin Tjie lekas-lekas jalan mutar kebelakang, untuk meloncati tembok, untuk bisa masuk ke dalam, sesampainya di dalam, ia cari tempat di mana ada cahaya api, ialah dari sebuah jendela, sesudah itu, ia lompat naik ke atas genteng. Di sini ia mendekam, dengan hati-hati ia buka selembar genteng, untuk melongok ke bawah, ke dalam kamar. Di tengah-tengah kamar kelihatan duduk seorang umur hampir lima-puluh tahun, yang tubuhnya kekar sekali. Ouw Loo Sam serta delapan pengiringnya A Kioe masuk ke dalam kamar ini, mereka semua memberi hormat, agaknya orang ini ada pembesar mereka. "Tadi di dalam dusun hamba dapat lihat Ong Hoe-tjiehoei," berkata Ouw Loo Sam. "Hamba dapat kenyataan mereka sedang singgah, maka itu hamba segera ajak ini sejumlah kawan pembantu."

"Bagus, bagus!" kata orang itu. "Apakah katanya Ong Hoe-tjiehoei?"

"Ong Hoe-tjiehoei bilang, apabila An Taydjin ada urusan, dia bersedia membantu," jawab Loo Sam. "Terang pangkatnya ida ini tidak kecil," pikir Sin Tjie. "Apakah dia hendak perbuat diwaktu malam buta-rata ini?"

"Jikalau kita berhasil, jasa kita bukan main besarnya!" terdengar pula suara si An Taydjin itu, terus dia tertawa: "Ha-ha-ha-haha!"

"Kami semua mengandalkan atas bantuan taydjin!" kata Loo Sam beramai. "Kita beramai bakal terpecah menjadi lwee-teng sie-wie dan kim-ie-wie," kata An Taydjin itu. "Kita semua akan keluarkan tenaga untuk Sri Baginda!"

"Benar, Taydjin!" menyambut sembilan orang itu. "Kami bersedia akan dengar sesuatu titah dari Taydjin!"

"Bagus! Sekarang berangkatlah!" Kaget Sin Tjie akan ketahui rombongan itu ada pahlawan-pahlawan dari istana kaisar, apapula mengenai rombongan pahlawan kim-ie-wie, yang ia dengar biasa pergi kemana-mana untuk celakai orang, siapa kena ditawan katanya bisa kejadian "Kakinya dikutungi, kulitnya dikeset," kejamnya bukan main. "Entah mereka hendak pergi kemana untuk siksa orang lagi?" pikir pemuda ini. "Dia bertemu denganku, tak dapat tidak aku harus campur-tahu!" Sebentar kemudian An Taydjin itu keluar bersama orang-orangnya, Sin Tjie hitung jumlahnya ada enam-belas dan di antara mereka ada enam orangnya si taydjin sendiri. Ia tunggu sampai orang sudah jalan jauh juga, lantas ia kuntit mereka itu. Jalanan yang diambil adalah tempat tegalan, yang makin lama makin sunyi, sekira tujuh atau delapan lie, mereka itu lantas bicara kasak-kusuk, setelah mana, mereka pencarkan diri, akan tetapi tujuan mereka adalah sebuah rumah yang mencil sendirian di tempat itu. Mereka ambil sikap mengurung, di depan dan belakang, di kiri dan kanan. Mereka maju dengan hati-hati, sambil berindap-indap, tanpa menerbitkan suara apa juga. Sin Tjie melad contoh, akan terus bayangi mereka itu, hingga ia pun turut datang dekat kepada rumah yang lagi diarah itu. Mungkin ada orang lihat padanya sebagai bajangan tetapi mungkin juga ia dianggap kawan, hingga ia tidak dicurigai. Taydjin itu lantas dapat kenyataan, pengurungannya sudah selesai, dengan satu tanda ulapan tangan, ia titahkan semua orangnya mendekam, sesudah itu, ia hampirkan pintu, untuk mengetok.

"Siapa?" demikian pertanyaan dari dalam, dari suaranya seorang perempuan. An Taydjin tidak segera menjawab, ia diam sebentar. "Kau siapa?" ia balik tanya. "Oh, kau! Tengah malam buta." Demikian suaranya si orang perempuan pula. An Taydjin tertawa berkakakan. "Ini dia yang dibilang, bukannya musuh akan berkumpul pula!" sahutnya. "Kiranya kau ada di sini. Lekas kau buka pintu!"

"Aku sudah bilang, tak sudi aku menemui pula padamu!" kata wanita itu. "Kenapa kau datang pula?" An Taydjin kembali tertawa. "Kau tidak sudi menemui aku, aku justeru kangen dengan nyonyaku!" jawabnya. "Siapakah nyonyamu?" bentak si wanita, agaknya dia murka. "Satu bacokan golok toh telah membelah kami menjadi dua? Jikalau kau tak bisa lepaskan aku, pergi kau lepas api bakar rumahku ini! Aku lebih suka terbinasa daripada melihat pula kau, orang yang kalap karena sakit jiwa! Kau temahai harta dan pangkat hingga ludas rasa pri-kemanusiaanmu!" Perhatian Sin Tjie luar biasa tertarik mendengar suaranya wanita itu, hingga akhirnya ia terperanjat sendirinya. "Itu toh An Toa-nio!" katanya di dalam hati. "Jadi An Taydjin ini ada suaminya - ayah Siauw Hoei?" An Taydjin cekikikan. "Bagaimana sengsara aku mencari kau..." katanya. "Bagaimana aku tega membakarmu? Marilah kita hidupkan pula kasih kita yang lama!..." Walaupun dia mengucap demikian, tapi dengan kakinya An Taydjin mendupak pintu, sampai dua kali. Dari suara dupakan itu, Sin Tjie bisa duga-duga liehaynya ini taydjin. Karena dupakan yang keras, daun pintu terbuka terpentang, menyusul mana An Toa-nio lompat keluar dengan pedangnya berkelebat menyambar! An Taydjin lompat mundur. "Bagus, kau hendak bunuh suamimu!" ia berseru. Dia kuatir di dalam rumah masih ada orang lain, tak mau ia menerjang masuk, hanya di situ, dengan tangan kosong, ia melayani

si nyonya. Sin Tjie merayap maju, untuk bisa menyaksikan dari dekat. An Taydjin itu benar liehay, dengan tangan kosong, ia bisa berkelahi dengan tenang, malah sambil kadang-kadang tertawa. Senantiasa ia berkelit dari sesuatu bacokan atau tikaman, tubuhnya gesit dan lincah, hingga dia membuat An Toa-nio, dalam murkanya, jadi bertambah sengit, hingga sambil menyerang terus berulang-ulang, nyonya ini pun mencaci, mendamprat. An Taydjin tetap tidak perdulikan kemurkaan orang yang ia sebut isterinya itu. "Setan alas!" menjerit si nyonya, yang membarengi membacok dengan hebat. An Taydjin berkelit sambil majukan sebelah kakinya, dengan begitu, ia jadi dekati si nyonya, tangan siapa dia lantas sambar, untuk dicekal dan ditekuk, maka di lain saat pedangnya nyonya itu terlepas jatuh, kedua tangannya kena ditelikung, sedang kedua kakinya pun dijepit oleh kedua kakinya si taydjin ini. Secara demikian, matilah kutunya si nyonya. "Kelihatannya tidak nanti orang she An ini lantas celakai An Toa-nio," Sin Tjie berpikir. "Baik aku melihat terlebih jauh sebelumnya aku turun tangan akan menolongi!..." An Taydjin tertawa bergelak-gelak karena kemenangannya itu, sampai ia meleng beberapa kali, sedang An Toa-nio, dalam murkanya, memaki kalang-kabutan. Justru itu, sebat luar biasa, Sin Tjie menyusup ke pojok pintu, dengan tempel tubuh kepada tembok, terus saja ia gunai gerakannya "Pek-houw yoe-tjhong," atau "Cecak memain di tembok", akan melesat naik ke atas, hingga ia bisa sampaikan penglari dimana ia tempatkan dirinya. "Ouw Loo Sam, nyalakan api!" teriak An Taydjin. Rupanya lilin di dalam kamar padam sendirinya selagi si nyonya berkutatan. Ouw Loo Sam dengar titah itu, dengan api di tangan, ia hampirkan pintu, selagi melongok ke dalam, ia letaki goloknya di depannya, untuk lindungi diri, kemudian ia jumput sepotong batu, untuk menimpuk ke dalam, habis itu ia diam, ia pasang kuping, akan dengar gerak-gerik dari dalam. Sekian lama, kamar menjadi sunyi saja. Maka sekarang orang she Ouw ini berani bertindak masuk. Paling dulu ia nyalakan lilin di atas meja. An Taydjin monyongi mulutnya ke arah Loo Sam, atas mana dia ini keluarkan tambang, yang terus dipakai membelenggu tangan dan kaki An Toa-nio. Kembali An Taydjin tertawa. "Kau bilang tak sudi kau menemui aku pula!" katanya. "Kau lihat, apakah sekarang aku tidak bertemu pula denganmu? Kau lihat, dengan berapa lembar uban rambutku bertambah!" An Toa-nio tutup rapat kedua matanya, ia tutup juga mulutnya. Dari atas penglari, Sin Tjie mengawasi An Taydjin itu, hingga ia dapati seorang dengan usia pertengahan tetapi wajahnya tetap cakap dan keren. Rupanya di waktu muda dia cakap sekali sembabat dengan An Toa-nio yang eilok. An Taydjin usap-usap mukanya An Toa-nio. "Bagus!" katanya sambil tertawa. "Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, mukamu masih putih bagaikan salju dan halus...."

Tiba-tiba pembesar ini berpaling kepada Ouw Loo Sam. "Pergi kau!" dia mengusir. Loo Sam tertawa, ia ulurkan lidahnya, lantas ia berlalu, dengan rapati pintu di belakangnya. Taydjin itu berdiam sekian lama, lalu ia menghela napas. "Mana Siauw Hoei?" katanya. "Selama tahun-tahun yang belakangan ini, setiap hari aku pikirkan saja padanya...." Tetap An Toa-nio tidak perdulikan orang ini. "Dahulu kita masih sama-sama muda, kita menikah dan suka berselisih saja menuruti perangai masing-masing," kata An Taydjin kemudian, "sekarang sesudah ada umur, setelah berpisahan banyak tahun, selayaknya kita ubah adat kita dan hidup pula dengan rukun seperti sediakala...." Dengan tiba-tiba An Toa-nio membentak: "Kau tahu bagaimana binasanya ayah dan kandaku!" Taydjin itu menghela napas. "Ayah dan kandamu dibinasakan oleh kim-ie-wie, itulah benar," saut dia, "akan tetapi tak dapat dengan sebatang gala kejen kau sapu habis orang-orang dalam satu perahu. Di dalam kim-ie-wie juga ada orang-orang yang baik dan busuk. Aku berkerja untuk Sri Baginda Raja, untuk kemuliaan leluhur kita..."

"Foei! Foei! Foei!" An Toa-nio meludah berulang-ulang sebelum orang sempat tutup mulutnya. An Taydjin berdiam, sampai sekian lama, Baru ia bicara pula. "Aku selalu ingat Siauw Hoei," katanya. "Aku telah kirim orang untuk sambut dia, mengapa kau menyingkir sana dan menyingkir sini, terus kau tidak ijinkan dia bertemu denganku?" An Toa-nio sangat jemu tapi ia menjawab juga. "Aku telah beritahukan kepadanya bahwa ayahnya sudah lama menutup mata," jawabnya. "Aku bilang bahwa ayahnya ada gagah sekali dan bersemangat tetapi sayang dia pendek umurnya, mati muda-muda!"

"Ah, mengapa kau dustakan dia?" tanya An Taydjin, suaranya duka. "Mengapa kau sumpahi aku?"

"Ayahnya dahulu adalah satu pemuda yang bersemangat dan baik," kata An Toa-nio. "Keluargaku larang aku menikah dengannya, akan tetapi atas mauku sendiri, dengan diam-diam aku ikuti padanya, siapa tahu...." Nyonya ini tak dapat bicara terus, ia menangis sesenggukan. An Taydjin keluarkan sapu tangannya, akan susuti air mata isterinya, sembari menghiburi, ia dekati mukanya kepada muka si nyonya, atau mendadak dia menjerit seraya berjingkrak, mukanya mengucurkan darah, sebab An Toa-nio telah gigit padanya! Sin Tjie menyaksikan, diam-diam ia tertawa dalam hatinya. An Taydjin susut mukanya, ia menjadi gusar. "Kenapa kau gigit aku?" dia menegur. "Kau telah binasakan suamiku yang baik, kenapa aku tidak boleh gigit padamu?" jawab si nyonya, yang masih sengit. "Aku menyesal aku tak dapat bunuh padamu!"

"Ah, heran!...." kata An Taydjin. "Akulah suamimu, cara bagaimana aku bisa bikin celaka suamimu itu?"

"Suamiku adalah satu laki-laki yang bersemangat!" kata An Toa-nio tetap sengit. "Entah kenapa kemudian dia kena kepincuk oleh harta-dunia dan kebesaran, dia tak kehendaki pula isterinya, dia tak perdulikan pula puterinya, dia cuma ingin pegang pangkat besar, ingin punya harta bertumpuk!... Suamiku dulu itu, yang baik hatinya, sudah mati, sudah mati, tak dapat aku lihat pula kepadanya...." Sin Tjie jadi sangat terharu. Beginilah kiranya lelakon hidup dari nyonya janda yang baik hati itu. Ia pun mau percaya, hati An Taydjin ini tentu tergerak. An Toa-nio melanjuti kata-katanya. "Suamiku itu bernama An Kiam Tjeng. Bukankah ia telah dibinasakan oleh kau, An Taydjin? Suamiku itu mempunyai guru silat yang berbudi,

ialah Lookoensoe Tjiok Toa Too, akan tetapi ia kena dibinasakan oleh An Taydjin yang telah terpincuk pangkat dan harta. Dan isteri dan anak perempuan Tjiok Lookoensoe itu juga mati karena dipaksa oleh An Taydjin..."

"Berhenti!" An Taydjin membentak. "Aku larang kau sebut-sebut itu pula!"

"tapi manusia berhati serigala, berpeparu anjing, kau pikir saja sendiri!" An Toa-nio pun membentak. "Pembesar negeri panggil Tjiok Toa Too untuk ditanyai keterangannya," berkata An Taydjin ini, "belum pasti dia bakal dibikin celaka, maka kenapa ia gunai goloknya hendak membinasakan aku? Kalau isteri dan anak daranya bunuh diri sendiri, siapa yang mesti dipersalahkan?"

"Memang, memang Tjiok Toa Too matanya buta!" seru An Toa-nio. "Kenapa dia didik satu murid yang demikian jempol? Murid itu telah kedinginan, ia kelaparan, ia tinggal mampusnya saja, akan tetapi Tjiok Toa Too dengan sungguh-sungguh telah ajarkan ia ilmu silat, telah rawat ia hingga umur dewasa, malah kemudian ia telah dinikahkan..."  An Toa-nio jadi semakin sengit, hingga An Taydjin keprak meja. "Hari ini kita suami-isteri bisa bertemu pula, mengapa kau timbulkan soal-soal lama?" tegurnya. "Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah!" An Toa-nio menantang. "Aku hendak sebut-sebut pula semua kejadian dulu itu, habis apa kau mau?" Sin Tjie berpikir. Menurut An Toa-nio ini, jadinya An Kiam Tjeng telah ditolong gurunya dari bahaya kedinginan dan kelaparan, lalu dididik, tapi setelah ia dapat berdiri sendiri, ia kemaruk harta dunia dan gila pangkat, hingga untuk itu, dia sampai binasakan gurunya sendiri, sampai keluarganya sang guru turut binasa semua karenanya. Maka itu, pantas An Toa-nio jadi gusar dan putuskan perhubungan suami-isteri dengannya. Dahulu An Toa-nio tinggal menyendiri, sampai Ouw Loo Sam mencoba culik Siauw Hoei, lantas dia menyingkir sana dan menyingkir sini, rupanya dia mau menyingkir dari suaminya ini, satu manusia buruk. "Dia ini harus menjadi bagian mati..." pikir Sin Tjie terlebih jauh. "Ketika dahulu dia celakai gurunya sekeluarga, keadaan pasti sangat menyedihkan. Sayang tak dapat aku segera hajar dia mampus sekarang juga. Entah bagaimana pikiran yang sebenarnya dari An Toa-nio, maka tak dapat aku berlaku semberono...." Karena ini, ia berdiam terus di atas penglari, akan pasang mata dan kupingnya lebih jauh. Untuk sementara, suami-isteri itu berdiam masing-masing. Selagi kamar ada sunyi, tiba-tiba samar-samar terdengar suara tindakan kaki kuda, atas itu An Kiam Tjeng geser tjiaktay ke jendela, terus dia cabut goloknya, kemudian dengan pelahan dia mengancam: "Kalau sebentar orang datang, kau berani bersuara memberi tanda, untuk minta pertolongan, aku bakal tak perdulikan lagi perhubungan kita sebagai suami-isteri!" An Toa-nio tidak jawab suaminya itu. An Taydjin ketahui baik tabeat isterinya ini, maka ia potong sejuir kelambu, dengan itu ia sumpel mulut orang. Ketika suara tindakan kuda datang semakin dekat, Kiam Tjeng angkat tubuh isterinya, untuk dipindahkan ke pembaringan, habis itu, kelambunya dia turunkan. Ia sendiri lantas saja sembunyikan diri di belakang pembaringan. Sin Tjie saksikan semua kejadian di depan matanya itu. Ia tahun An Kiam Tjeng bersedia untuk bokong orang yang bakal datang ke dalam rumahnya An Toa-nio ini. Belum tahu siapa orang itu, tetapi pemuda kita menduga, dia mesti ada penolong si nyonya. Maka ia pun siap sedia akan tolongi An Toa-nio serta penolongnya nyonya ini. Anak muda kita lantas kumpuli debu di penglari, lalu ia ludahi itu dan aduk-aduk hingga rata, hingga debu itu merupakan sepotong tanah lempung, kemudian tanpa bersangsi lagi, ia menimpuk ke arah lilin, hingga apinya padam seketika, hingga kamar jadi gelap-petang. Di dalam hatinya, An Taydjin mengutuk Dalam gelap-gulita itu, Sin Tjie loncat turun dari atas penglari. Tak mau ia tunggu sampai si taydjin menyulut api pula. Ia bertindak ke pintu, untuk pergi ke luar, tanpa ada orang yang lihat padanya. Dengan mutar sedikit, ia sampai di ujung rumah dimana ada satu pahlawan kim-ie-wie sedang mendekam dengan golok di tangan, matanya terus-menerus diarahkan ke pintu rumah. Dengan hati-hati, Sin Tjie merayap mendekati. "Ada orang!" kata ia dengan pelahan. "Oh!..." pahlawan itu gugup. "Mendekam!" ia peringati kawan-kawannya. Sementara itu, Sin Tjie telah ulur tangannya, untuk menotok, maka di lain saat, pahlawan itu tak mampu bergerak lagi. Dengan cepat pemuda ini buka baju seragamnya orang itu, untuk ia pakai. Guna menutupi mukanya, ia robek bajunya orang itu. Ia menutup muka dengan kedua mata dibikin bisa melihat. Kemudian, dengan pondong tubuh si pahlawan, ia merayap ke samping pintu. Di dalam gelap-gulita, suara derapnya kuda terdengar semakin nyata. Sebentar kemudian, lima ekor kuda telah sampai di depan rumah, lalu tujuh orang berlompat turun. Segera terdengar tepukan tangan tiga kali, suaranya pelahan, datangnya dari luar rumah. Dari dalam, An Taydjin menyambut dengan tiga kali tepukan tangan juga. Habis itu, dia nyalakan lilin, ia sendiri segera sembunyi di belakang pintu. Dibarengi dengan suara menjeblak daun pintu lantas terpentang sedikit, menyusul mana, satu kepala orang melongok ke dalam rumah. Dengan sebat An Taydjin membacok, kepala orang itu kutung, darahnya menyembur dari lehernya, tapi kapan di antara cahaya api si taydjin mengawasi, ia terkejut bukan main. Ternyata orang yang ia bunuh ada orangnya sendiri, satu pahlawan kim-ie-wie. Karena ini, ia hendak menjerit, akan kaoki sekalian kawannya. Tiba-tiba, sebelum An Taydjin keburu buka mulut, satu orang berlompat masuk. Dia tutup mukanya dengan topeng. Cepat luar biasa, dia ulur tangannya ke tubuh si taydjin, hingga taydjin ini kena tertotok tanpa berdaya. Menyusul itu, dengan satu sampokan dengan tangannya yang lain, Sin Tjie totok jalan darah "tay-twie-hiat" hingga An Taydjin berdiri tanpa bergeming. Lalu, bekerja lebih jauh dengan tidak kurang sebatnya, pemuda ini sambuti golok orang itu, untuk diletaki di lantai. An Kiam Tjeng pandai boegee, ia terima pendidikan untuk belasan tahun dari Tjiok Toa Too, guru silat yang kesohor, kemudian setelah pangku jabatan, belum pernah ia alpa akan terus melatih diri, karena ia memikir untuk naik pangkat dan naik pangkat, ambekannya besar. Tapi, menghadapi Sin Tjie, justru ia lagi kaget, ia tak dapat berdaya sama sekali, maka dengan gampang ia rubuh sebagai korban. Setelah itu, Sin Tjie lompat ke pembaringan, untuk kasi bangun pada An Toa-nio. Dengan mengeluarkan sedikit tenaga, pemuda ini putuskan tambang belengguan di kaki dan tangan. "Encim An, aku datang menolongi kau!" ia kata dengan pelahan kepada si nyonya, supaya nyonya itu ketahui dan tak kaget atau curiga. An Toa-nio kaget berbareng girang. Ia kenali suaranya anak muda itu. Hanya ia terkejut akan saksikan orang punya seragam kim-ie-wie, sedang mukanya ditutupi topeng. "Kau siapa, tuan?" tanyanya, ragu-ragu. Baru nyonya itu menanya demikian, mendadakan ada dua bajangan yang melompat menerjang masuk ke dalam, bajangan itu masing-masing mempunyai dua tangan yang berbulu, sedang mulutnya perdengarkan pekik. Terus saja mereka tubruk Sin Tjie. Anak muda ini terkejut, ia berbalik, untuk menangkis, akan tetapi kapan ia tampak kedua banjangan itu adalah orang-orang hutan, ia menjejak dengan kedua kakinya, akan mencelat naik ke penglari. Di belakang kedua orang hutan itu menyusul lima orang, satu di antaranya, yang masuk paling dulu, sudah panggil An Toa-nio. Si nyonya menyahuti. Tapi orang itu lantas juga berdiri tercengang. Sin Tjie sendiri segera kenali, kedua binatang liar itu adalah dua orang hutannya yang ia pelihara di atas gunung Hoa San, hingga ia jadi sangat girang. "Tay Wie! Siauw Koay!" ia segera memanggil. Kedua binatang itu telah dapat cium bau majikannya, maka itu keduanya mendahului menerjang masuk ke dalam, mereka tubruk si anak muda, bukan untuk diserang, tapi majikannya lompat naik ke penglari, atas panggilan itu, mereka pun turut menyusul ke atas penglari, keduanya peluki majikan itu. Orang-orang yang menyerbu masuk itu heran melihat ada mayat pahlawan di dalam rumah itu, mereka juga tak mengerti sikapnya kedua orang hutan itu, maka juga, mereka tercengang.

Di luar, kawanan pahlawan kim-ie-wie lihat orang datang, mereka kuatirkan keselamatan An Taydjin, yang berada sendirian di dalam, maka itu, dua diantaranya lari ke pintu, untuk menerjang masuk. "Hajar!" berseru Sin Tjie. Ini ada seruan yang biasa si anak muda perdengarkan di waktu dia latih dua binatang piaraannya itu. Sudah lama kedua orang hutan itu tidak pernah dengar suara majikannya ini, toh mereka masih ingat dengan baik, maka keduanya lantas loncat turun, tepat di

atasannya dua pahlawan, kedua kakinya merangkul, kedua tangannya menyambar ke lehernya masing-masing pahlawan itu. Maka itu, kapan terdengar suara meretek, patahlah leher hamba-hamba istana itu, tubuhnya dilepaskan dan jatuh. Menyusul kedua pahlawan itu, menerobos masuk kawan-kawan mereka. Sekarang Sin Tjie sudah lompat turun, dia sambar sesuatu orang untuk dilemparkan kembali ke luar. Ada beberapa pahlawan, yang bisa melawan beberapa jurus, mereka pun akhirnya kena dilemparkan, ada yang kena ditoyor, ada yang kena ditendang. Maka di lain saat, semua pahlawan itu menjadi pusing kepala dan mata kabur, terpaksa mereka berbangkit bangun, untuk kabur. Selama kejadian itu, lima orang yang tadi nerobos masuk diam saja menyaksikan juga kedua orang hutan. Sin Tjie robek bajunya satu pahlawan, ia pakai itu untuk belenggu An Kiam Tjeng, untuk tutup mata dan kupingnya, agar dia tak melihat suatu apa, tak dengar apa juga, kemudian Baru ia singkirkan topengnya dan baju seragam, akan hadapi lima orang itu sambil bersenyum. "Lie Tjiangkoen, banyak baik?" menegur dia sambil tertawa kepada salah satu orang. "Apakah Giam Ong pun ada banyak baik?" Orang yang ditanya itu tercengang, ia mengawasi, akhirnya dia tertawa berkakakan, tangannya menyambar tangan si anak muda, untuk digoyang-goyang. Lie Tjiangkoen itu ada Lie Gam, orang sebawahannya Giam Ong. Maka pertemuan itu sangat menggirangkan mereka semua. "Encim An, apakah encim masih kenali aku?" tanya Sin Tjie kemudian sambil berbalik, akan pandang nyonya An. Sebelas tahun telah berselang sejak Sin Tjie menumpang pada An Toa-nio, maka sekarang, setelah ia jadi satu pemuda yang cakap dan gagah, Toa-nio tidak bisa lantas kenali dia, hingga ia mesti asah otaknya. Sin Tjie rogoh sakunya, akan keluarkan gelang emas pemberian nyonya itu, sambil tunjuki itu kepada si nyonya, ia kata: "Setiap hari aku bawa-bawa ini di tubuhku, maka untuk

selama-lamanya tak aku lupakan encim!" Baru sekarang nyonya itu ingat betul, ia tarik tangan orang itu akan bawa muka si anak muda ke dekat lilin, hingga ia tampak samar-samar luka bekas golok di ujung alis sebelah kiri dari si anak muda.

"Ah, anak!" seru dia, kaget dan girang. "Kau telah jadi begini besar, ilmu silatmu liehay sekali?..."

"Aku pernah ketemu adik Siauw!" Sin Tjie bilang. "Ya, tanpa merasa, anak-anak telah jadi besar," kata si nyonya, seperti pada dirinya sendiri. "Sungguh cepat lewatnya sang waktu!...." Kemudian nyonya ini pandang suaminya, yang rebah di lantai, ia menghela napas. "Tidak kusangka, anak, kaulah yang tolongi aku," kata dia pula. Lie Gam tak tahu hubungan di antara si nyonya dan si anak muda, mendengar nyonya itu berulang-ulang menyebut "anak, anak", dia sangka mereka ada sanak dekat satu dengan lain. "Kejadian ini sungguh berbahaya!" kata dia kemudian sambil tertawa. Lalu dia tambahkan pada Sin Tjie: "Atas titahnya Giam Ong, aku datang ke Hoopak untuk bikin pertemuan dengan beberapa kawan. Entah bagaimana, liehay kupingnya kawanan kim-ie-wie, mereka dengar tentang kami, lantas mereka siap-sedia di sini untuk bokong kami."

"Apakah sahabat-sahabat itu telah pada datang?" Sin Tjie tanya. Itu waktu, sebelum Lie Gam menjawab, terdengar suara berlari-larinya beberapa ekor kuda. "Nah, itulah mereka!" kata jendral ini. Beberapa pengiring Lie Tjiangkoen pergi keluar, tidak lama mereka bersama tiga orang, yang masing-masing ada orang she Lee, Hoan dan Hauw, semua jago dari Hoopak, dan dengan mereka itu, Sin Tjie pernah bertemu di rumah Beng Pek Hoei. Sesudah beri hormat pada Lie Gam, ketiga orang itu hampirkan Sin Tjie, secara menghormat sekali, mereka menjalankan kehormatan kepada pemuda ini. "Bengtjoe! Adakah bengtjoe banyak baik?" kata mereka. Heran Lie Gam menyaksikan itu. "Kamu telah kenal satu pada lain?" tanya dia.

"Wan Bengtjoe adalah ketua pusat dari tujuh propinsi, kami semua mendengar titah-titahnya," sahut si orang she Hauw.

"Oh, begitu?" kata jendral itu. "Untuk membantu Giam Ong, aku senantiasa sangat repot di Shoasay, sampai segala kabaran dari Timur seperti terputus bagiku. Aku tidak sangka telah terjadi musyawarah besar itu. Inilah menggirangkan, kamu harus diberi selamat!"

"Itu adalah kejadian Baru satu bulan yang lampau," terangkan Sin Tjie. "Sekalian sahabat baik telah memandang mata padaku, mereka telah berikan aku itu macam panggilan. Sebenarnya aku masih terlalu muda, tak sanggup aku menerimanya...."

"Ilmu silat Wan Bengtjoe liehay dan ia cerdik dan cerdas juga," berkata si orang she Hoan. "Umpama kita tidak menyebutkannya tiga sifat itu, kemurahan hati dan pribudi tinggi bengtjoe siapakah di dalam dunia Rimba Persilatan yang tidak menghargainya?"

"Itulah bagus, bagus!" kata Lie Gam dengan girang. Kemudian dia utarakan titahnya Giam Ong. Nyata Giam Ong telah melihat suasana, ia percaya bahwa telah datang saatnya untuk maju ke kota raja, maka ia merencanakan tanggal-bulannya untuk menyerang Tongkwan, dari itu, ia utus Lie Gam memasuki Hoopak secara rahasia, untuk menghubungi pelbagai kawan seperjuangan, supaya mereka itu nanti membarengi menyambut di waktu ia mulai angkat senjata. "Nah, bagaimana bengtjoe niat bertindak?" tanya si orang she Lee. "Gerakan Giam Ong ada gerakan mulia, orang-orang gagah di seluruh negeri harus

menyambutnya," sahut Sin Tjie. "Aku akan segera menyampaikan pelbagai berita ke segala penjuru. Ini adalah saatnya untuk semua enghiong di tujuh propinsi mendirikan jasa!" Mereka menjadi girang sekali, begitupun Lie Gam, maka itu, mereka lantas pasang omong lebih jauh dengan gembira. "Tentara Beng telah jadi buruk sekali," menyatakan Lie Gam. "Aku percaya begitu lekas tentara kemerdekaan sampai, mereka bakal jadi seperti rumput-rumput kering yang dicabuti, usaha kita akan sama gampangnya seperti membelah bambu. Cuma sekarang muncul satu soal Baru, yang sulit...."

"Apakah itu, Tjiangkoen?" tanya Sin Tjie. "Baru saja aku terima laporan penting," jawab Lie Gam, "Aku dengar bahwa sepuluh buah meriam besar buatan asing hendak diangkat ke Tong-kwan, untuk diberikan kepada Soen Toan Teng. Orang she Soen itu memang pandai mengatur bala tentara, tapi dia masih kalah terhadap Giam Ong, yang berbahaya adalah itu sepuluh buah meriam yang hebat sekali..." Terkejut Sin Tjie mendengar keterangan itu. "Siauwtee sendiri pernah lihat itu sepuluh buah meriam besar di tengah perjalanan," berkata dia. "Memang, dilihat dari macamnya, meriam-meriam itu mesti liehay sekali. Jadi itu bukan untuk dikirim ke Sanhay-kwan buat hajar bangsa Boan?" Dari tempat jauh ribuan lie, meriam-meriam itu diangkut kemari, memang tujuan asalnya adalah Sanhay-kwan," sahut Lie Gam. "Akan tetapi tentang pergerakan Giam Ong, Kaisar Tjong Tjeng telah mendengar kabar, bahwa mereka rupanya telah ubah haluan. Menurut warta yang aku Baru terima, semua meriam itu hendak dibawa ke Tongkwan." Sin Tjie kerutkan alis. "Memang adalah kebiasaan raja-raja Beng, mereka menjaga gerakan rakyatnya lebih hebat daripada mereka menjaga serangan-serangan bangsa asing," ia kata. "Kalau tidak

demikian, tidak nanti ayahku terbinasa karenanya. Lie Tjiangkoen, bagaimana sekarang kau hendak bertindak?"

"Jikalau kita tunggu sampai meriam-meriam itu telah diangkut sampai di Tongkwan," mengutarakan Lie Gam, "penyerangan kita di sana adalah sama dengan darah-daging dipakai menggempur besi-baja, meski umpama kata kita tidak bakal kalah, sudah terang pengorbanan mesti besar sekali...."

"Kalau begitu, perlu kita mendahului, untuk merebutnya di tengah jalan!" Sin Tjie bilang. Lie Gam tepuk tangan saking girang. "Saudara Wan," katanya, "dalam hal ini aku mengandal kepadamu untuk kau dirikan jasa istimewa!" Tapi Sin Tjie berdiam, ia berpikir keras. "Senjata api dari bangsa asing itu sangat liehay, untuk rampas meriam-meriam besar itu,

perlu kita menggunakan tipu-daya," katanya. "Sulit juga untuk ditetapkan dari sekarang apa ikhtiar kita bakal berhasil atau tidak.... Tapi ini adalah urusan sangat penting, aku nanti mencoba sebisa-bisanya. Semoga dengan mengandali rejeki Giam Ong, aku akan berhasil. Itu pun ada untuk kebahagiaan rakyat!" Sampai di situ, mereka lalu bicara tentang gerakan tentara mereka, akan kemudian Lie Gam suruh salah satu pengiringnya keluarkan sebilah pedang dari dalam pauwhok mereka.  Itulah Kim-tjoa-kiam. Dengan kedua tangannya sendiri, Lie Gam serahkan pedang itu kepada Sin Tjie. "Saudara Wan," berkata dia, "sejak pertemuan kita di Siamsay, walaupun kita tak berkesempatan untuk bicara banyak, aku toh telah ketahui, kau adalah satu pemuda yang berarti, maka ketika kau titipkan pedangmu ini kepadaku, tidak pernah aku pisahkan diri dari senjata ini. Sebenarnya ketika itu aku rada-rada sangsi, aku berkuatir untuk usiamu yang masih muda sekali, sebab kau kurang pengalaman. Jikalau kau berkelana dengan bawa-bawa pedang yang luar biasa ini serta dua binatang piaraanmu, aku kuatir kau menjadi terlalu menyolok mata, kau bisa diperdayakan atau dicelakai orang. Akan tetapi sekarang buktinya lain. Kau masih muda sekali tapi toh kau telah berhasil secara luar biasa! Maka sekarang pedang ini dan kedua orang-hutan aku kembalikan kepada tuannya!" Dengan hormat, Sin Tjie sambuti pedangnya itu, ia pun mengucap terima kasih. "Isteriku telah dengar tentang kau, saudara Wan, ia menyesal tak dapat menemui kau," Lie Gam kata pula kemudian. "Ketika itu isteriku tidak berada di Siamsay, akulah yang memberitahukan dia."

"Satu kali pasti aku akan membuat kunjungan," Sin Tjie bilang. "Isteri dari Lie Tjiangkoen adalah orang gagah dalam kalangan wanita," An Toa-nio campur bicara. "Orang kangouw beri ia julukan Ang Nio Tjoe. Dia tidak melainkan cantik,

ilmu silatnya pun sempurna. Eh, anak, sudahkan ada orang yang menjadi cita-cita kawan hidupmu?" Tiba-tiba saja Sin Tjie ingat Tjeng Tjeng, wajahnya menjadi berubah merah. Ia tidak menjawab, ia cuma bersenyum. "Entah nona siapa yang mempunyai rejeki untuk mendampingimu, anak," kata pula si nyonya sambil menghela napas. "Kau begini cakap dan gagah. Ah...."

Toa-nio lantas ingat gadisnya, hingga ia berpikir: "Siauw Hoei dan dia hidup sama-sama semasa kecil, berdua mereka pun telah sama-sama mengalami ancaman bencana, coba dia menjadi baba-mantuku, pasti hidupnya Siauw Hoei telah ada jaminannya. Sayang Siauw Hoei, dia justru mencintai Tjoei Hie Bin yang tolol-tololan! Dasar peruntungan masing-masing....." Melihat orang bicara urusan pribadi, Hoan, Lee dan Hauw tak ingin campur omong, maka mereka lantas berbangkit, untuk pamitan.

"Wan Bengtjoe," kata si Hoan, "besok pagi kami bertiga akan siapkan saudara-saudara kami untuk menantikan segala titahmu."

"Baik, samwie!" sahut Sin Tjie. Seberlalunya tiga orang itu, Sin Tjie melanjuti pasang omong dengan Lie Gam, mengenai

usaha mereka, mengenai sesama orang gagah, hingga persahabatan mereka jadi tambah kekal, hingga agaknya mereka menyesal tak bertemu terlebih siang daripada itu. Mereka bicara dengan asyik, sampai sang fajar datang, hingga ayam-ayam jago telah berkokok saling-sahutan. Satu kali kedua orang ini menoleh kepada An Toa-nio, kelihatan nyonya itu, sambil bertopang dagu, lagi mengawasi dengan bengong kepada suaminya.... "An Toa-nio!" Lie Gam lalu memanggil, dengan pelahan.

Nyonya itu angkat kepalanya. "Bagaimana hendak diperbuat terhadap orang ini?" Lie Gam tanya. Nyonya itu masih kacau pikirannya, ia menggeleng kepala, tak dapat ia menjawab. Lie Gam tahu orang sedang bingung, ia tidak mendesak menanya.

"Saudara Wan, sudah waktunya kita berpisah," kata ia kepada Sin Tjie. "Aku nanti antarkan tjiangkoen," Sin Tjie bilang.

Mereka manggut kepada An Toa-nio, lalu dengan bergandengan tangan, sambil berendeng, mereka bertindak keluar. Pengiring-pengiringnya Lie Gam, serta kedua orang hutan, lantas mengikuti. Di sepanjang jalan, masih saja kedua orang ini pasang omong, hingga mereka telah melalui tujuh atau delapan lie. "Mengantar sampai seribu lie juga, akhirnya orang toh mesti berpisah," kata Lie Gam, "maka, saudara, silakan kau kembali." Wan Sin Tjie bersangsi, agak berat rasanya untuk ia pisahkan diri. Mendadak, Lie Gam berkata: "Kita ada sahabat-sahabat Baru tetapi mirip dengan sahabat-sahabat kekal, maka jikalau kau tidak menampik, sukakah kau untuk kita angkat saudara?" Sin Tjie setuju, ia malah girang sekali. "Akur!" ia menyatakan. Di situ juga, di tepi jalan, mereka berdua lantas menjalankan upacara angkat saudara, sebagai gantinya hio, mereka memakai tanah lempung. Sin Tjie panggil koko atau kanda kepada jendral itu. Habis itu, masih mereka bicara seketika lama sebelum mereka berpisahan, keduanya sangat terharu hingga mata mereka mengembeng air mata... Sin Tjie awasi saudara itu dan pengiring-pengiringnya naik kuda, dan pergi, Baru ia ajak Tau Wie dan Siauw Koay berjalan pulang ke hotel, begitu ia sampai, di sana Hoan, Lee dan Hauw telah menantikan dia, bersama mereka bertiga ada beberapa puluh kawannya yang semua kelihatannya bersemangat. Karena itu, ruang besar dan perkarang hotel jadi seperti penuh dengan mereka itu. Sebaliknya Tjeng Tjeng, A Pa, Ang Seng Hay dan lainnya, tak tertampak di dalam hotel itu. Berbareng dengan itu Sin Tjie dapat kenyataan semua pengiringnya A Kioe berkumpul di dalam kamar mereka, mereka tidak kasi kentara apa-apa, tidak pernah ada yang keluar dari kamar. Rupanya mereka ambil sikap ini karena mereka tampak demikian banyak orang. Sin Tjie tahu, orang-orangnya si nona adalah pelbagai sie-wie atau pahlawan istana, ia pun tak perdulikan mereka.

"Hoan toako," kemudian ia kata kepada si orang she Hoan, yang bernama Hoei Boen, "tolong kau ajak beberapa saudara pergi ke selatan akan cari tahu, orang-orang asing itu serta semua meriamnya menuju ke utara atau ke selatan. Harap kau lekas pergi dan lekas kembali!" Hoan Hoei Boen terima tugas itu, ia lantas pilih tiga kawan, yang ia ajak pergi keluar, lalu

dengan menunggang kuda, mereka pergi menjalankan tugasnya. Baru Hoei Boen pergi, atau See Thian Kong muncul bersama Thia Tjeng Tiok. Girang mereka lihat si anak muda, yang tak kurang suatu apa. "Oh, Wan Siangkong, kau telah kembali!" kata mereka. Belum lagi Sin Tjie sempat menyahuti, atau di situ muncul Tjeng Tjeng bersama A Pa, rambutnya si nona kusut bekas tertiup angin, mukanya bersemu merah. Nona itu tampaknya girang, akan tetapi lekas juga, dia kerutkan alisnya. "Kenapa kau Baru kembali?" tanya dia, agaknya menyesali. Sekarang Sin Tjie tahu kemana perginya kawan-kawan itu, nyata mereka kuatiri ia dan pergi mencari. Ia terharu untuk Tjeng Tjeng, yang romannya kusut. Maka ia lantas ajak nona itu ke kamarnya dimana ia tuturkan pengalamannya tadi malam. Tjeng Tjeng tunduk, tak sepatah kata ia ucapkan. Si anak muda lihat sikap orang itu. "Aku telah membuat kau berkuatir," katanya dengan pelahan. Masih Tjeng Tjeng diam, dia malah melengos. Sin Tjie tahu orang marah tapi ia tak tahu sebabnya. "Baru saja aku angkat saudara sama satu enghiong besar," katanya kemudian. "Adik Tjeng, kau dapat tambah satu koko...." Karena kebiasaan, masih Sin Tjie memanggil "adik" - adik lelaki - kepada si nona Hee. Panggilan ini agaknya menyukai Tjeng Tjeng. "Satu koko sudah tidak punya liangsim, buat apa tambah koko lagi...." katanya. "Aku bikin kau berkuatir, adik Tjeng, baiklah, aku janji, lain kali aku tidak akan membuatnya pula," Sin Tjie bilang. "Lain kali adalah lain orang yang akan kuatirkan dirimu!" kata si nona. "Kenapa aku mesti kuatirkan kau?...."

"Eh, siapakah dia itu?" Sin Tjie tanya. Tjeng Tjeng tidak menyahut. "Itu wanita asing!" sahut Tjeng Tjeng dan bangkit untuk banting kakinya, terus ia pergi ke kamarnya sendiri. Sampai tengah-hari, dia tidak keluar lagi, malah dia tidak dahar juga. Sin Tjie perintah jongos bawakan barang makanan. Ia menduga-duga, kenapa nona itu agaknya gusar, ia mau menemui pula, untuk minta maaf kalau perlu. Ia percaya, si nona bermaksud baik sudah berkuatir atas dirinya. Tapi jongos kembali dengan barang makanan masih utuh. "Si nona tidak ada di dalam kamarnya," kata jongos itu. Sin Tjie terkejut.

"Inilah hebat," pikirnya. Maka ia letaki sumpitnya, ia lair ke kamar Tjeng Tjeng. Benar-benar ia dapati sebuah kamar kosong, kosong juga dari pauwhok dan senjatanya si nona. "Ha, kemana dia pergi?" Dalam bingungnya, anak muda ini berpikir keras. "Dia ngambek. Kemana dia pergi? Dia pandai silat, tetapi dia gampang menghadapi bahaya.... Aku lagi bertugas, bagaimana aku bisa susul dia?" Akhirnya terpaksa pemuda ini keluar, akan minta tolong Ang Seng Hay pergi mencari. Dia pesan pengikut ini untuk Baru kembali setelah mengetahui jelas di mana adanya si nona. Seng Hay terima tugasnya, dia lantas berlalu. Mendekati magrib, Hoan Hoei Boen pulang. Begitu memasuki pintu, dia kata dengan kesusu: "Benar-benar barisan meriam asing itu memutar ke selatan! Mari kita susul mereka!" Sin Tjie lompat bangun. "Mari!" katanya. Ia cuma tinggalkan A Pa dan kedua orang-hutan, akan menunggui kamar, lantas ia ajak semua kawannya pergi menyusul. Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, Ouw Koei Lam dan Thie Lo Han turut bersama. Mereka kaburkan kuda mereka di malam yang gelap, terus-terusan. Mereka percaya, karena lerotan meriam jalannya ayal, mereka bakal dapat menyandak. Kemudian seterusnya di waktu malam, mereka singgah, untuk bersantap dan tidur, atau pagi-pagi sekali, mereka sudah berangkat pula. Di hari ketiga, pagi-pagi, setelah lewati sebuah dusun kecil, Sin Tjie beramai lihat sepuluh buah meriam besar sedang ditunda di depannya satu rumah makan, setiap meriamnya dijaga oleh enam serdadu dengan senapan di tangan. "Sudah lapar, aku sudah lapar!" kata Thie Lo Han berulang-ulang. "Baiklah, sebentar saja kita ketemukan dua opsir asing itu," jawab Sin Tjie.

Berdelapan mereka hampirkan rumah makan, untuk terus naik ke loteng. Thie Lo Han adalah yang jalan di muka, tetapi begitu lekas dia muncul di atas loteng itu, dia keluarkan seruan tertahan. Tjeng Tjeng berada di situ, beberapa serdadu asing sedang ancam dia dengan senapan mereka, jeriji tangan mereka mengenakan pelatuk, yang tinggal ditarik saja. Duduk di kursi ada Peter dan Raymond serta si juwita asing, Catherine. Menampak datangnya beberapa orang itu, Raymond mengucapkan kata-kata yang tak dimengerti Sin Tjie beramai, atas mana beberapa serdadu lain yang tujukan senapan mereka kepada orang-orang yang Baru datang ini. "Angkat tangan!" demikian kira-kira titah serdadu-serdadu itu, yang berseru. Sin Tjie sudah lantas bertindak, ia sambar sebuah meja, dengan apa ia terjang serdadu-serdadu itu, lalu ia menyusuli dengan meja yang kedua, setelah mana, ia lompat kepada Tjeng Tjeng, sambil tekan kepala si nona, ia mendek jongkok. Perbuatannya ini diturut si nona demikianjuga kawan lainnya. Tembakan segera terdengar dar-der-dor, tetapi peluru semua lewat di atasan kepala,asapnya mengepul, antaranya ada juga yang mengenai meja. "Turun!" teriak Sin Tjie, sambil ia sendiri tarik Tjeng Tjeng, untuk diajak lompat ke tangga, untuk segera loncat turun, perbuatan mana diturut kawan-kawannya, yang pada loncat

keluar dari jendela. Raymond gusar, dia keluarkan pistolnya dengan apa dia menembak. "Aduh!" teriak Thie Lo Han, yang tertembak kempolannya. Saking sakit, dia rubuh. Tapi See Thian Kong sambar ini kawan, untuk dibawa lari terus keluar, akan dilain saat mereka sudah kabur bersama kuda mereka. Pada masa itu, senapan masih senapan model kuno, setelah dipakai menembak satu kali, tak bisa diulangi dengan cepat, selama serdadu-serdadu itu mengisi pula orang telah lari jauh, benar mereka bisa menembak pula tetapi tidak ada hasilnya. Sin Tjie duduk di atas seekor kuda bersama Tjeng Tjeng. "Kenapa kau bentrok dengan mereka itu?" tanya pemuda ini. "Siapa tahu....?" sahut si pemudi, yang romannya jengah. Sin Tjie bisa duga orang malu, dia bersenyum, dia tidak menanya lagi, hanya dia larikan kudanya keras-keras, diikuti oleh semua kawan-kawannya. Sesudah lari jauhnya dua-puluh lie lebih, semua orang tahan kuda mereka, untuk berhenti, akan beristirahat. Ouw Koei Lam segera gunai pisau kecil, untuk tolong Thie Lo Han keluarkan peluru yang masuk ke dalam daging kempolannya, hingga dia ini berkaok-kaok dan mengumpat-caci kalang-kabutan, saking menahan sakit. Terharu Tjeng Tjeng menampak "tersiksanya" kawan itu. Sebab ialah yang menjadikan gara-gara. Ia tarik Sin Tjie ke samping, untuk kata dengan pelahan sekali kepada anak muda ini: "Siapa suruh dia dandan bagaikan siluman, bahunya dipertontonkan sekalian! Tak tahu malu...." Sin Tjie heran, tak mengerti dia. "Kau maksudkan siapa?" tanyanya. "Itu wanita asing!" sahut Tjeng Tjeng. "Oh!" si anak muda heran. "Apakah halangannya dia denganmu?"

"Tak sedap aku pandang dia! Maka dengan dua potong uang, aku hajar rusak anting-antingnya!" jawab si nona. Sin Tjie tertawa geli. "Ah, kau benar-benar jail!" katanya. "Habis?" Tjeng Tjeng tertawa. "Opsir asing pecundangku itu segera kenali aku, dia lantas titahkan serdadu-serdadunya ancam aku dengan senapan mereka. Tak mengerti aku apa katanya opsir itu, aku menyangka dia hendak tantang aku untuk adu pedang pula. Tentu saja, aku bersedia untuk sambut tantangan itu. Adalah waktu itu, kamu semua muncul!"

"Apa sebabnya kau keluar sendirian?" Sin Tjie tanya. Wajah nona Hee bersenyum, atau sedetik kemudian, wajah itu berubah menjadi keren. "Hm, kau masih tanya aku?" baliki dia. "Apakah kau tak insyaf perbuatanmu sendiri?" Tentu saja pemuda ini tak mengerti. "Aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang aku telah perbuat?" Tjeng Tjeng melengos, ia tak menjawab. Sin Tjie kenal tabeat orang, percuma ia menanya terus, tidak nanti nona ini ladeni dia. Ia anggap baiklah ia bersikap tak memperdulikannya terlebih jauh. Ia percaya, lama-lama si nona bakal timbulkan itu sendirinya. Maka ia menukar lain soal.

"Adik Tjeng, senjata api asing itu demikian liehay, coba kau pikir, cara apa kita harus gunai untuk rampas meriam-meriam besar mereka itu?"

"Siapa bicara tentang ini?" tanya si nona, agaknya mendongkol. "Baiklah, kalau begitu, aku nanti bicara sama See Thian Kong beramai saja," kata Sin Tjie, yang terus putar tubuhnya. Tjeng Tjeng tarik ujung baju orang. "Aku larang kau pergi!" katanya. "Kita belum bicara habis...." Sin Tjie tertawa, ia duduk. Tjeng Tjeng berdiam sekian lama, Baru ia buka mulutnya. "Bagaimana dengan adik Siauw Hoeimu?" tanya dia. "Sejak itu hari kita berpisah, aku tak bertemu lagi dengannya," jawab Sin Tjie. "Siapa tahu dia berada di mana sekarang?"

"Kau berdiam bersama ibunya, satu malam kamu bicara asyik sekali, seperti tak hendak berpisahan, tentu kamu bicarakan tentang dia...." kata nona dengan tabeat koekoay ini. Mendengar ini, Baru sekarang Sin Tjie sadar. Jadi nona Hee ini curigai dia. "Ah, adik Tjeng," katanya dengan sungguh-sungguh. "Apa mungkin kau masih belum mengerti sikapku kepadamu?" Mukanya si nona bersemu merah, ia melengos pula. "Sejak sekarang dan selanjutnya, tak nanti aku berpisah dari kau! Apakah sekarang hatimu tenang?" kata si pemuda. "Habis, kenapa sih kau baik sekali dengan Siauw Hoei itu?" si pemudi tegasi, dengan pelahan sekali. "Kenapa tidak?" jawab si pemuda. "Di waktu kecil, kita tinggal bersama. Selama itu, ibunya perlakukan aku baik sekali, ia pandang aku bagaikan puteranya sendiri. Tentu sekali, aku berterima kasih sangat kepada itu ibu dan anaknya. Lain dari itu, tidakkah kau lihat bagaimana rapatnya perhubungan di antara Siauw Hoei dengan murid- keponakanku?" "Pemuda itu?" kata Tjeng Tjeng, yang memainkan bibirnya. "Orang demikian tolol dan tak ada kepandaiannya! Kenapa sih dia sukai ia itu?...." Sin Tjie tertawa. "Tidakkah kwatjay dan lobak disukai sesuatu orang?" kata dia. "Aku sendiri begini tolol dan tak punya guna, mengapa kau suka sekali kepadaku?" Dengan tiba-tiba Tjeng Tjeng tertawa geli.

"Foei! Cis!" katanya. "Tak tahu malu! Siapa sih sukai kau?" Sin Tjie tidak menjawab, dia hanya bersenyum. Habis itu, siraplah gelombang kecil, lalu keduanya jadi akur pula. Malah kali ini, makin rapatlah perasaan mereka satu pada lain.

Sin Tjie kemudian tarik tangannya Tjeng Tjeng. "Mari kita dahar!" ia mengajak. "Tunggu dulu," Tjeng Tjeng menahan. "Masih ada satu pertanyaan. Coba bilang, Nona A Kioe itu, cantik atau tidak?"

"Eh, apa sih hubungannya dia dengan aku?" si pemuda baliki. "Di mataku, dia ada seorang dengan kelakuan aneh. Aku pikir baiklah kita berhati-hati terhadapnya." Tjeng Tjeng agaknya puas dengan jawaban ini, ia manggut-manggut. Segera mereka kembali ke hotel, untuk berdamai sama See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok beramai soal merampas meriam asing. "Biar sebentar malam aku pergi membuat penyelidikan," Ouw Koei Lam mengusulkan. "Kalau ada ketikanya, aku nanti curi beberapa buah senapannya. Atau dengan pelahan-lahan, aku nanti mencurinya semuanya, supaya selanjutnya tak usah kami jeri lagi terhadap mereka."

"Usul ini baik," Sin Tjie menyatakan akur. "Sebentar malam aku nanti temani kau."

"Buat apa kau keluar sendiri, bengtjoe?" kata See Thian Kong. "Baik siauwtee saja yang temani saudara Koei Lam."

"Aku berniat menyelidiki cara digunainya alat-alat asing itu," Sin Tjie bilang. "Ini ada baiknya untuk kita, supaya setelah kita curi semua senapan mereka, kita lantas dapat menggunakannya. Tidakkah dengan demikian kita jadi bisa balik pakai senjata itu terhadap mereka sendiri?" Semua orang setuju dengan pikirannya ketua ini. Tjeng Tjeng tertawa, ketika ia kata: "Dia hendak lihat pula itu wanita asing yang cantik!" Mendengar itu, semua orang tertawa. Sin Tjie bersenyum, dia antapkan orang goda padanya. Lohor itu, Sin Tjie berdua Ouw Koei Lam naik kuda mereka, untuk kuntit barisan meriam asing itu dari kejauhan, sampai mereka itu singgah di sebuah hotel. Lalu malamnya, kira-kira jam tiga, mereka datangi hotel, untuk segera loncat naik ke atas genteng. Ouw Koei Lam kalah dari Sin Tjie dalam hal ilmu entengkan tubuh akan tetapi ia pun punyakan tubuh enteng bagaikan burung walet, tubuhnya lincah, gerakannya sebat. Segera juga mereka dengar suara bentroknya senjata tajam, yang keluar dari sebuah kamar. Maka segera mereka hampirkan jendelanya kamar itu, untuk mengintai ke dalamnya. Hingga mereka dapat saksikan kedua opsir asing, Peter dan Raymond, sedang bertempur dengan hebat sekali. Sin Tjie heran akan dapatkan dua kawan itu bertempur satu pada lain. Ia pun berbareng perhatikan jalannya pertempuran. Raymond hebat, desakannya keras sekali. Di sebelah dia, Peter sangat tenang, benar dia ini lebih banyak mundur, akan tetapi satu kali dia balas menyerang, tusukannya berbahaya sekali. Maka dengan lantas pemuda kita bisa duga, lagi sedikit waktu, Raymond bakal kena dikalahkan. Pertarungan berjalan terus, sampai di saat sangat serunya, mendadak ujung pedang Peter menusuk ke kiri, selagi Raymond berkelit, pedang diteruskan ke arah tengah. Sibuk Raymond, sambil menarik pulang pedangnya, ia egos tubuhnya sambil miring. Tapi Peter gunai ketika ini, akan menyampok pedang lawan sampai pedang itu terlepas dari cekalan dan jatuh ke lantai, untuk dia injak dengan kakinya, sedang ujung pedangnya sendiri diancamkan ke dada lawan. Dia pun lantas ucapkan beberapa kata-kata, yang tak dimengerti Sin Tjie dan Koei Lam.

Tubuhnya Raymond menggetar, terang dia sangat panas hati hingga dia keluarkan kutukan. Karena orang diam saja, Peter jumput pedang lawannya, untuk diletaki di atas meja, lalu ia memutar tubuh, akan membuka pintu, buat pergi keluar.

Raymond masih sangat mendongkol, ketika ia sambar pedangnya, ia bulang-balingkan itu di dalam kamarnya. Tapi tidak lama, mendadak ia berhenti bermurang-maring. Rupanya dengan tiba-tiba saja ia dapat akal. Ia segera pergi keluar, akan kembali bersama sebatang sekop dengan apa ia lantas menggali satu lobang di lantai. Sin Tjie dan Ouw Koei Lam berniat undurkan diri ketika mereka saksikan perbuatan aneh itu, hingga mereka lantas berdiam terus, untuk mengawasi terlebih jauh. Mereka menduga-duga, barang apa yang di simpan di dalam tanah itu. Raymond menggali terus, tanah galian dikumpulkan di kolong pembaringan. Dia membuat lobang dua kaki persegi, dalamnya kira-kira dua kaki juga. Kemudian dia ampar selimut tebal di atas lobang, untuk tutup lobang itu, di atas selimut, dia menguruki dengan tanah tipis-tipis, untuk selimutkan lobang rahasia itu. Di akhirnya, setelah tertawa mengejek beberapa kali, dia buka pintu, akan pergi keluar. Sin Tjie dan Koei  Lam heran, tak dapat mereka lantas menduga maksud orang. Tidak lama, Raymond telah kembali, di belakang ia, Peter mengikuti. Segera Raymond mengucapkan kata-kata nyaring, atas mana, Peter main menggeleng kepala. Sekonyong-konyong sebelah tangan Raymond melayang, menyambar ke samping muka Peter hingga menerbitkan suara keras. Barulah karena ini penghinaan, Peter menjadi gusar, hingga ia cabut pedangnya. Tidak tempo lagi, keduanya kembali bertarung. Beda daripada tadi, kali ini Raymond tidak berlaku ganas, sebaliknya, dia main mundur-mundur ke arah lobang yang ia gali. Baru sekarang Sin Tjie insyaf kelicikan orang, untuk berlaku curang. Jadinya Peter hendak dijebak. Sebenarnya ia tidak benci dua opsir asing itu, akan tetapi kelicinan Raymond membangkitkan sifat kejantanannya, maka ia lantas bersiap-sedia. Selama itu, beberapa kali Raymond mencoba mendesak, tapi habis mendesak, ia lekas mundur, ada kalanya sampai dua tindak. Tak pernah ia berhasil dengan tikamannya. Peter selalu bisa menangkis, habis menangkis, segera ia membalas. Tidak pernah Peter menduga atas kecurangan lawan, ia maju setiap kali orang mundur, sampai mendadak, kaki depannya kena injak lobang jebakan, hingga tak dapat dicegah lagi, dia kejeblos, tubuhnya ngusruk ke depan. Dan membarengi itu, Raymond, yang lompat ke samping, segera tikam bebokongnya! Berbareng dengan itu juga Sin Tjie telah berlompat masuk sambil menolak jendela, ujung pedang Kim Tjoa Kiam dipakai menggaet pedang Raymond, untuk terus ditarik, hingga opsir ini gagal dengan bokongannya itu, tubuhnya turut tertarik juga sedikit! Peter lolos dari bahaya, dia lantas berlompat. Oleh karena usahanya dibikin gagal, Raymond jadi sangat gusar, tanpa bilang suatu apa, ia tusuk Sin Tjie. "Hm!" pemud akita kasih dengar suaranya, seraya menangkis, hingga ujung pedang opsir itu kena dipapas kutung, apabila ia melakukan pembalasan, dengan menyabet bolak-balik, hingga Raymond sibuk menangkis, saban-saban ujung pedangnya opsir ini kena dibikin putus pula, hingga akhirnya, pedangnya yang panjang telah menjadi pendek! Baru sekarang Raymond berhenti beraksi, dia berdiri bengong Sin Tjie tidak berhenti sampai disitu, selagi orang tercengang, ia maju sambar sebelah lengannya opsir curang itu, untuk angkat tubuhnya, buat dilemparkannya ke dalam lobang buatannya sendiri, kepalanya di bawah, kakinya di atas, menyusul mana, dia lompat keluar jendela, untuk angkat kaki.'Ouw Koei Lam sambut kawannya itu, ia tertawa. Ia terus mengikuti. "Wan Siangkong, kau lihat!" kata dia. Sin Tjie dapatkan sang kawan menyekal tiga buah pistol. "Dari mana kau peroleh ini?" tanyanya. Si malaikat pencuri menunjuk ke arah jendela. Nyatalah tadi, selagi si anak muda lompat masuk, dia mengikuti, dengan sebat dia sambar senjata-senjata api itu. "Tidak kecewa julukan Seng-tjhioe Sin-tauw!" Sin Tjie memuji. Tidak ayal lagi, mereka lari pulang. Di rumah penginapan, See Thian Kong semua asyik menunggui, mereka girang melihat pulangnya dua orang ini, kemudian semua orang bergirang mendengar keterangan mereka berdua. Tjeng Tjeng sambuti sebuah pistol, nampaknya ia sangat ketarik, ia lihat itu sambil dibulak-balik, sampai di luar tahunya, dia kena tarik pelatuknya. "Dar!" demikian satu suara nyaring, disusul sama mengepulnya asap. See Thian Kong duduk di depan nona ini, dia terkejut, cepat-cepat dia berkelit, tetapi tidak urung, ikat kepalanya kena juga kesambar peluru hingga berlobang dan hangus. Tjeng Tjeng kaget tak terkira. "Maaf!" ia memohon. See Thian Kong ulur lidahnya. "Sungguh liehay!" katanya. Karena ini, orang periksa dua batang pistol lainnya, yang masih terisi patronnya. "Obat pasang adalah bangsa kita yang mendapatkannya," berkata Sin Tjie. "Kita pakai itu untuk membuat petasan atau memburu binatang liar, akan tetapi bangsa asing gunai untuk membunuh sesamanya! Barisan asing itu terdiri dari seratus serdadu, itu artinya seratus buah senapan mereka tidak boleh dipandang enteng." Karena ini, semua orang lantas berpikir. "Wan Siangkong, aku mempunyai satu pikiran, etah dapat dipakai atau tidak," berkata Ouw Koei Lam. "Inilah ada semacam akal iblis...."

"Memang kau tak dapat pikirkan hal yang wajar!" tertawa Thie Lo Han."Coba utarakan itu, Ouw Toako, nanti kita pikir bersama," kata Sin Tjie. Ouw Koei Lam tidak berayal untuk beber tipunya, mendengar mana Tjeng Tjeng adalah yang paling dulu bertepuk tangan dan memujinya. "Benar-benar bagus!" puji Thian Kong dan yang lainnya juga. Sin Tjie pikirkan daya yang diusulkan itu, akhirnya ia nyatakan setuju. Akal itu berbahaya tetapi ada harganya. Maka itu, ia lantas mengatur orang, untuk mewujudkannya. Ketika itu di hotel dimana tertara asing singgah, permusuhan di anatara Raymond dan Peter telah dihentikan. Gara-gara adalah disebabkan kedua opsir itu perebuti Catherine. Sebenarnya Peter dan Catherine menyinta satu pada lain, lalu Raymond menyelak. Karena Raymond ada sepnya, Peter mengalah, selanjutnya dia jaga diri baik-baik  saja. Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, sampai di dusun Ban-kong-tjoen dimana penduduknya terdiri dari dua sampai tiga-ratus rumah. Mereka mondok di rumah abu keluarga Ban. Karena mereka singgah sesudah magrib, tidak lama kemudian, semua lantas masuk tidur. Tepat pada tengah malam, mendadak terdengar suara berisik, lalu serdadu jaga melaporkan bahwa ada bencana api di dalam kampung. Peter dan Raymond segera bangun, mereka lantas lihat, api berkobar, mendatangi dekat ke arah pondok mereka. "Lekas!" kedua opsir itu menitah, untuk serdadu-serdadunya angkut mesiu keluar rumah abu, buat dikumpulkan di tanah kosong. Banyak orang kampung datang bersama tahang air dan lainnya, untuk padamkan api, sedang beberapa puluh di antaranya lantas membanjuri rumah abu itu. Raymond membentak, untuk mencegah. Dia tanya, kenapa orang sirami rumah abu itu. Beberapa puluh orang itu memberi keterangan kepada Tjia Thong Soe, si juru bahasa, atas mana, dia ini kata kepada opsir itu: "Rumah ini ada rumah abu keluarga mereka, katanya perlu rumah ini dibanjur guna mencegah api nanti merembet kemari." Alasan itu pantas. Raymond tidak melarang lebih jauh. Akan tetapi orang kampung yang menyiram itu tidak teratur, mereka siram sana dan siram sini, mereka siram juga mesiu. "Jangan!" berseru beberapa serdadu asing, yang mencegah, malah sampai mereka gunai gagang senapan, untuk kemplang orang-orang kampung itu, akan tetapi, pergi yang satu,

datang yang lain, saban-saban mesiu disiram, malah ada serdadu asing juga yang disiram sehingga keadaan jadi kalut sekali. Tidak antara lama, tidak melainkan mesiu, juga semua senapan dan meriam kebasahan anteronya, sebab cara menolong itu, dan api pun dapat dibikin padam. Sampai terang tanah, setelah kekacauan itu, Raymond dan Peter jadi tidak tenteram hatinya. Mereka merasa, tempat itu tak aman untuk mereka, sehingga mereka memikir lebih baik mereka lekas berlalu dari situ. Di saat mereka hendak memberi titah, datanglah laporan oleh satu opsir sebawahan bahwa binatang penarik kereta, entah kenapa, telah kabur semuanya, mungkin kaburnya sejak tadi malam. "Celaka!" menjerit Raymond, yang dalam murkanya, telah cambuki orang sebawahannya itu, yang pun ia caci. "Coba cari dan kumpuli," kemudian Raymond titahkan Tjian Thong Soe, si jurubahasa. Thong Soe ajak beberapa serdadu asing masuk ke kampung, untuk mencari, maksudnya ini sia-sia belaka, bukan saja binatang mereka sendiri, kuda dan keledai orang kampung pun tak ada barang seekor jua. Rupanya binatang piaraan orang kampung itu telah diumpetkan. Dalam mendongkol dan habis akal, Raymond titahkan Peter bersama Thong Soe dan empat serdadu pergi ke kota, untuk beli binatang penarik meriam itu. Peter pergi dengan ajak Catherine, sehingga ia membuat sepnya itu tambah mendongkol. Seberlalunya Peter, Raymond perintah serdadu-serdadunya bekerja, untuk keluarkan semua mesiu, untuk dijemur di tegalan, dengan diampar di atas tikar. Matahari hari itu bagus, setelah sore, semua mesiu sudah kering. Semua meriam dan senapan pun telah disusuti habis airnya. Maka itu, datang saatnya untuk simpan rapi pula semua mesiu itu. Benar di saat semua serdadu hendak bekerja, mendadak datang menyambar beberapa puluh batang panah api, yang datangnya dari rumah-rumah penduduk yang berdekatan. Kalau mesiu bertemu api, gampang diramalkan apa kesudahannya.

Sekejab saja, nyalalah mesiu itu, sehingga di antara suara berisik, asap pun mengepul-ngepul, sehingga semua serdadu jadi kaget. Tapi di bawah pimpinan keras dari Raymond, mereka mencoba menolong sebisa-bisanya. Raymond juga perintahkan menembak ke arah rumah-rumah penduduk itu, dari mana lantas kabur beberapa puluh orang, yang menghilang di antara pepohonan lebat. Kapan kemudian Raymond bikin pemeriksaan, delapan bahagian mesiunya telah musnah terbakar, sehingga ia jadi sangat mendongkol dan bersusah hati. Karena ini, ia atur penjagaan kuat. Selang tiga hari, Peter dan Tjian Thong Soe balik bersama beberapa puluh ekor keledai dan kuda, yang mereka dapati di kota, lantas dengan itu, Raymond lanjuti perjalanannya. Kepada Peter sep ini tuturkan serbuan panah api oleh orang-orang yang tidak dikenal, sehingga mereka nampak kerugian besar. Perjalanan dilakukan terus menerus untuk empat atau lima hari, sampai mereka mesti melalui satu jalanan sukar, jalanan pegunungan yang sempit dan sangat tak rata. Jalanan pun menurun. Raymond dan Peter mesti bekerja keras. Setiap meriam diikat keras, sepuluh serdadu diperintah pegangi ujung dadung, untuk dipakai menahan, supaya meriam-meriam menggelinding turun dengan pelahan-lahan. Kalau tidak, semua meriam bakal langsir kebawah dan ringsek. Selagi semua serdadu asing itu bekerja keras, tiba-tiba datanglah serbuan anak panah, yang datangnya dari kiri dan kanan, dari tempat-tempat sembunyi. Sebentar saja, beberapa serdadu rubuh sebagai korban. Yang hebat adalah waktu anak-anak panah mengenai keledai dan kuda, saking kesakitan, semua binatang itu kabur, mereka menarik dengan kaget semua meriam, tanpa serdadu-serdadu yang menahan dapat mencegahnya. Maka di lain saat, semua meriam jatuh ke lembah, bertumpuk dan rusak, bercampur sama bangkai sejumlah keledai dan kuda, berikut mayatnya sejumlah serdadu juga. Maka dalam sekejab, habislah semua sepuluh buah meriam besar itu. Raymond dan Peter kaget bukan kepalang. Saking kaget dan takut, Catherine jatuh pingsan. Tapi masih kedua opsir ini bisa memberi perintah untuk sisa serdadunya bikin perlawanan. Musuh tidak dikenal itu sembunyi rapi, tidak ada peluru yang bisa mengenai mereka, tidak demikian semua serdadu, yang cuma pada mendekam atau tengkurap, sehingga mereka merupakan sasaran dari anak-anak panah musuh. Selama dua jam, masih tak dapat tentara asing itu melepaskan diri dari kepungan. "Mesiu kita tinggal sedikit, kita mesti menerjang!" akhirnya Raymond kata. "Baik, suruh Tjian Thong Soe tanyakan, apa maunya orang-orang jahat itu," Peter usulkan. "Bikin pembicaraan sama bandit?" Raymond membentak. "Apakah artinya itu? Jikalau kau tidak berani, nanti aku yang maju!"

"Bandit menggunai panah, buat apa unjuk kegagahan tak ada perlunya?" kata Peter. Raymond mendelu bukan main. Ia menoleh pada Catherine, lalu ia berludah. "Cis! Pengecut, pengecut!" katanya. Mukanya Peter menjadi pucat-pias. "Baik, sekarang aku tak sudi layani kau," katanya dengan pelahan. "Kalau nanti bandit-bandit sudah dipukul mundur, kau lihat apa adanya pembayaranku untuk hinaan ini!...." Raymond lantas lompat maju. "Siapa yang berani, hayo turut aku!" ia berseru. "Hai, kolonel, apakah kau cari mampusmu?" Peter berseru. Ia kaget, ia ingin mencegah. Tidak ada satu serdadu juga, yang hendak telad pemimpin itu, yang telah jadi nekat. Raymond maju sambil cekal pistolnya, ia jalan Baru beberapa tindak, lantas ia rubuh, jiwanya putus, karena sebatang anak panah tepat mengenai dadanya, nancap dalam. Peter dan tentaranya melakukan perlawanan sambil umpetkan diri, mereka bisa cegah pihak penyerang datang dekat kepada mereka. Sudah satu hari dan satu malam mereka bertempur, dari pihak negeri, tidak ada datang bala-bantuan. Di waktu itu memang ada sangat sukar untuk minta bantuan dari pemerintah Beng, yang sudah buruk keadaannya. Untuk surat-menyurat saja, dibutuhkan tempo berhari-hari. Maka di hari kedua, magrib, setelah semua serdadu kelaparan, kepala mereka pusing, mata mereka berkunang-kunang, dengan terpaksa mereka kerek naik bendera putih, untuk menyerah. "Kami menyerah! Menyerah!" Thong Soe berteriak berulang-ulang. "Letaki senjata api semua!" ada syaratnya penyerbu. "Kami tak dapat lakukan itu!" sahut Peter.

Pihak penyerang lantas berdiam, mereka juga tidak menyerang lagi. Setelah sirap sekian lama, di waktu angin mendesir, angin itu ada membawa bau makanan wangi dan lezat menyerang hidungnya semua serdadu asing itu, selagi mereka ini sangat lelah, ngantuk dan lapar. Tanpa perkenan dari Peter lagi, semua serdadu lemparkan senapan mereka, semua lari keluar dari tempat sembunyi. Peter jadi habis daya, terpaksa ia keluarkan perintah penyerahan. Semua serdadu tumpuk senapan mereka, habis itu mereka berteriak-teriak minta makanan. Menyusul itu terdengar suara terompet nyaring dari pihak penyerbu, dari kedua lamping bukit muncul beberapa ratus orang yang romannya keren, dengan panah siap untuk dilepaskan, semua panah diarahkan kepada tentara asing itu. Delapan atau sembilan pemimpin mereka ini, dengan pelahan, bertindak ke arah musuh.

Peter lihat orang yang pertama maju adalah seorang dengan baju panjang, siapa ia kenali adalah orang yang di dalam hotel tolongi ia dari bokongannya Raymond. Di samping pemuda ini ada satu pemuda lain, ialah si nona yang menyamar sebagai seorang pria, yang kopiahnya pernah ditembak Raymond. "Hai, itu kawanan tukang sulap!" Catherine berseru. Peter lantas cabut pedangnya, ia maju beberapa tindak, dengan kedua tangannya, ia lintangi pedangnya itu. Itu adalah tanda menyerah. Dan tak malu ia akan menyerah terhadap seorang sebagai Sin Tjie - demikian si anak muda. Mulanya Sin Tjie tercengang, tapi segera ia insyaf tanda menyerah orang. Lantas ia goyangi tangan, ia kata pada Tjian Thong Soe: "Bilang padanya, jikalau pihak asing datang dengan meriam-meriam untuk bantu Tiongkok membela tanah-daerah, untuk lawan penyerangan pihak asing, kami akan bersyukur, kami akan pandang mereka sebagai sahabat. Thong Soe salin pengutaraan itu kepada Peter. Opsir asing ini angguk-angguk kepala, kemudian ia ulur tangannya, untuk jabat tangannya Sin Tjie. "Tetapi jikalau kamu pergi ke Tong-kwan, untuk bantu kaisar membunuh rakyat, pasti aku tidak mengijinkannya!" Sin Tjie kata pula. Thong Soe salin pula kata-kata ini. "Apakah kami hendak dipakai untuk serang rakyat Tiongkok? Inilah aku tidak ketahui," Peter bilang. Sin Tjie lihat orang beroman sungguh-sungguh, maka ia percaya keterangan itu dan ia menambahkan: "Sekarang ini rakyat Tiongkok bersengsara sampai mereka tidak punya nasi untuk didahar, mereka mengharap-harap ada orang yang pimpin mereka, untuk merubuhkan raja, untuk menyingkir dari kesengsaraan ini. Raja ketahui ini, dia ketakutan, dari itu, dia telah perintah kamu gunai meriam-meriammu untuk labrak rakyat." Kelihatannya Peter tertarik simpatinya. "Aku juga asal orang melarat, aku tahu apa artinya kemiskinan," ia bilang. "Sekarang aku telah mengerti duduknya hal, aku akan segera berangkat pulang ke negeriku."

"Bagus! Sekarang pergi bawa tentaramu!" Sin Tjie bilang. Peter lantas keluarkan perintah, akan kumpul tentaranya. Sin Tjie pun titahkan pihaknya menghidangkan barang makanan dan arak untuk tentara asing itu, sampai mereka telah dahar puas.

Peter angkat tangannya, untuk kasih hormat pada Sin Tjie, habis itu, ia beri titah untuk tentaranya mulai berangkat. "Kenapa kamu tidak bawa senjatamu?" Sin Tjie tanya. Thong Soe salin kata-kata itu. Peter menjawab: "Itulah hasil kemenanganmu. Kamu telah merdekakan kami, untuk itu kamu tidak minta uang tebusan, itu saja telah membuat kami bersyukur untuk kebaikan hatimu." Sin Tjie tertawa. "Kamu telah kehilangan meriam, apabila kamu pulang tanpa senapan, mungkin kamu ditegur seatasanmu," katanya. "Pergilah kamu bawa!"

"Apakah kamu tidak takut kami nanti pakai senapan itu untuk tembak kamu?" Peter tanya. Sin Tjie tertawa berkakakan.

"Kalau satu laki-laki telah mengucapkan suatu kata-kata itu tidak dapat dicandak empat ekor kuda!" ia bilang. "Kami putera-putera Tiongkok ada bangsa laki-laki, maka setelah kami percaya kamu, mustahil kami balik mencurigai?" Peter jadi kagum dan terharu. "Baiklah," kata ia, yang terus perintah barisannya ambil senapan mereka, sesudah mana, ia ajak mereka berlalu. Di sepanjang jalan mendaki, Peter terus kagumi anak muda kita. Jalan belum jauh, tiba-tiba ia perintah barisannya berhenti, ia sendiri ajak Thong Soe kembali pada Sin Tjie. Ia keluarkan satu bungkusan dari sakunya. "Kau ada baik sekali, aku mempunyai serupa barang untuk dihaturkan kepadamu!" kata dia, untuk mana, dia minta Thong Soe salin kata-katanya. Sin Tjie sambuti bungkusan itu, untuk dibuka. Itu adalah selembar kertas tebal. Ia buka itu, untuk dibeber, hingga ia tampak peta bumi, peta dari sebuah pulau. Karena di sana-sini ada tanda-tanda dalam huruf asing, ia tak mengerti. "Inilah satu pulau besar di laut selatan," Peter bilang, "terpisahnya seribu lie lebih dari darat. Hawa udara di atas pulau hangat, polowijonya subur. Aku sendiri pernah pergi ke sana."

"Apakah maksudmu memberikan peta ini kepadaku?" Sin Tjie tanya. "Daripada kamu berperang di sini dengan bersusah-payah, lebih baik kau ajak rakyat yang bersengsara, yang tak punya makanan, pergi ke pulau itu," Peter jawab. Mendengar ini, Sin Tjie tertawa dalam hatinya. "Sebagai orang asing, hatimu baik," pikir dia, "tetapi kau tidak tahu, negara kita berapa luasnya, rakyat kita berapa juta banyaknya, maka tidak perduli berapa besarnya pulau itu, tidaklah itu cukup besar untuk tampung kami semua!" Tapi ia tanya: "Apakah pulau itu tidak ada penduduknya?"

"Ada waktunya bajak-bajak bangsa Spanyol berdiam di sana, ada waktunya kosong sama sekali, "Peter terangkan. "Aku percaya kamu tidak akan jeri terhadap bajak-bajak Spanyol itu." Melihat orang benar bermaksud baik, Sin Tjie haturkan terima kasihnya. Ia terima peta itu, untuk disimpan. Kemudian dia ambil selamat berpisah dari Peter. Tjian Thong Soe hendak ikut opsir asing itu, selagi ia putar tubuhnya, Tjeng Tjeng sambar kuping orang itu; nona ini kata: "Jikalau lain kali aku ketemukan kau banyak tingkah dan berani menghina pula sesama bangsa kita, hati-hatilah jiwa anjingmu!" Thong Soe menahan sakit. "Lain kali aku tidak berani pula...." jawabnya. Sin Tjie lantas ajak kawannya pergi turun ke lembah, untuk periksa meriam-meriam besar itu, yang rusak tak keruan, maka sekalian ia suruh pendam itu. Kemenangan ini menggirangkan Sin Tjie semua, maka itu hari bersama Hoan Hoei Boen beramai, ia mengadakan pesta besar, kemudian, besoknya, Baru ia berkumpul bersama A Pa, Ang Seng Hay, untuk lanjuti perjalanan mereka ke Utara, ke Pakkhia. Kali ini Ouw Koei Lam adalah yang berjasa, karena semua itu ada atas buah pikirannya, hingga orang puji dia dan tak lagi ada yang pandang enteng kepadanya, yang asal pencuri...

Bab 18

Selama dalam perjalanan orang tidak nampak rintangan sesuatu, apabila rombongan Sin Tjie pada suatu hari sampai di kota raja, waktu itu sudah di akhir musim rontok dan musim dingin telah datang menggantikannya. Segera Sin Tjie bekali sejumlah uang kepada Ang Seng Hay, akan minta pengikut ini pegri beli rumah besar di gang Tjeng-tiauw-tjoe yang berada dekat dengan Tjie Kim Shia, Kota Terlarang. Rumah-tangga yang besar dan mewah dibutuhkan untuk bisa bergaul sama orang-orang ternama atau berpangkat besar di kota raja itu. Adalah harapan mereka agar dapat dipakai oleh Giam Ong. Tjeng Tjeng repot bukan main ketika itu hari ia kepalai orang membersihkan dan mengatur gedung mereka, supaya bisa terkapur bersih dan terhias menyenangkan mata. Sin Tjie sendiri gunai tempo akan pesiar di dalam kota, di jalan-jalan utama, untuk saksikan keadaan dan suasana. Demikian ia tampak penjagaan yang keras, terutama barisan dari Hoe-pouw, kementerian keuangan dan penduduk. Kemudian ia dengar orang omong, penjagaan itu berhubungan dengan kedatangannya angkutan uang negara dari Selatan. Karena ini, ia menaruh perhatian lebih jauh, ia berdiri di tempat kejauhan, untuk memasang mata. Sekonyong-konyong terlihat dua bajangan loncat dari genteng Gudang Negara, cepat sekali gerakannya, keduanya berlari-lari ke ujung timur-utara gedung itu, lalu lenyap. Pemuda ini heran mengapa di siang hari bolong orang berani manjat Gedung Negara. Segera ia menerka kepada orang jahat. Ia lantas ingin ketahui, siapa adanya dua bajangan itu. Ia menduga kepada orang-orang kosen. Tapi ketika ia menyusul ke ujung timur-utara itu, ia tidak lihat siapa juga kecuali sebuah jalanan dan jalanan ini sepi. Ia lantas lari, untuk coba menyusul. Malah ia lari keras menggunai ilmu entengkan tubuh pengajarannya Bhok Siang Toodjin. Berlari-lari belum lama, Sin Tjie lihat dua orang berlari-lari di sebelah depan. Karena ini, ia entengi tindakannya, supaya orang tidak dapat dengar dan nanti menoleh, untuk curigai dia. Selagi datang mendekati, Sin Tjie dapatkan dua orang itu bertubuh kecil dan kate, pakaiannya serba merah, kepala mereka masing-masing berkuncir. Dilihat dari belakang, mestinya mereka ada bocah-bocah umur tiga-atau empat belas tahun. Pundak mereka itu masing-masing menggendol sebuah bungkusan yang nampaknya berat, sebab tindakan kaki mereka yang antap. "Mesti mereka telah curi uang negara," menyangka Sin Tjie. Ia kagumi keberanian dan kegesitan luar biasa dua anak-anak itu. Di pihak lain, ia tertawa untuk ketololannya beberapa serdadu penjaga pintu kota itu. Tujuh atau delapan lie dari pintu kota, adalah sawah dan tegalan belaka. Di sini kedua bajangan itu menghampirkan sebuah rumah besar, begitu sampai, mereka melompati tembok dan lenyap di sebelah dalam gedung. Sin Tjie mendekati, untuk lihat tembok pekarangan yang hitam gelap, tingginya kira-kira dua tumbak, tidak ada pintunya. Ia coba jalan mutar tapi masih ia tidak lihat pintu, untuk masuk atau keluar. Aneh! Gedung apa itu? Didorong perasaanya ingin tahu, Sin Tjie loncat naik ke tembok. Tidak sembarang orang bisa lompat naik atas tembok itu. Di dalam pekarangan ada lagi selapis tembok, yang temboknya putih terang. Tapi kembali, tembok ini tidak mempunyai pintu. Oleh karena penasaran, Sin Tjie lompat, untuk lintasi tembok putih ini. Tembok ini ada lebih tinggi kira-kira tiga kaki. Tak sembarang orang dapat melompatinya. Sesampainya di dalam, keheranan Sin Tjie bertambah. Nyata di hadapannya ada sebuah tembok lagi, yang terlebih tinggi pula, yang warnanya biru. Kemudian keheranannya memuncak apabila lagi-lagi ia dapatkan dua lapis tembok, masing-masing kuning dan merah, setiap kalinya, tembok ada lebih tinggi tiga kaki. Maka sama sekali, lima lapis tembok itu sudah jadi tiga tumbak lima kaki tingginya. Maka, untuk bisa panjat tembok yang kelima ini, Sin Tjie mesti gunai ilmunya "Pek-houw yoe tjhong kong" atau "Cicak merayap di tembok", tubuhnya nempel di tembok, kedua kaki dan tangannya bekerja. "Pasti kedua bocah itu tidak punyakan kepandaian melompati tembok ini apapula dengan bawa buntalan berat," pikir pemuda ini. "Mesti ada pintu rahasia di sini. Aku tidak kenal tuan rumah, tidak leluasa untuk aku masuk terus. Baik aku cari saja pintu rahasia itu...." Maka itu, ia bercokol di atas tembok, akan memasang mata. Di dalam pekarangan terdalam itu ada sebuah rumah besar dengan tingkat tiga, yang depan terbagi dalam lima ruang. Walau rumah ada besar, kesunyian berkuasa di situ. Setelah berdiam sekian lama, Sin Tjie perdengarkan suaranya: "Aku yang muda telah lancang masuk kemari, niatku adalah untuk berkunjung kepada tuan rumah yang bijaksana. Sukakah aku ditemuinya?" Tidak ada jawaban kecuali kumandang. Sin Tjie tunggu sampai sekian lama, ia lantas berkata-kata pula. Kali ini dijawab oleh gonggongan riuh dari belasan ekor anjing yang tinggi dan besar, yang berlari-lari keluar dari rumah tingkat ketiga, agaknya galak sekali semua anjing itu, yang meronjang-ronjang ke tembok, mulutnya dipentang lebar, kukunya diulur semua. Melihat kawanan anjing itu, Sin Tjie percaya orang tak sudi menemui ia, atau tuan rumah membenci tetamu, maka ia tak buang tempo lagi akan berlompatan keluar dari gedung berlapis-lapis tembok itu, untuk terus pulang ke rumahnya yang baru. Masih saja Tjeng Tjeng repot mengatur dan menghias rumahnya, antaranya ia tukar lantai papan, ia beli kembang segar, melihat mana, girang Sin Tjie, sebab dia telah dapatkan satu "pembantu dalam" yang pandai... Dulu di atas perahu di Tjiatkang, Tjeng Tjeng merupakan satu "pemuda" yang ganas, tapi sekarang, belum cukup setengah tahun, ia telah ubah diri menjadi satu pemudi yang lain sekali sifatnya. Oleh karena rumah besar dan banyak kamarnya, setiap orang mendapati sebuah kamar sendiri-sendiri, malah Tay Wie dan Siauw Koay juga peroleh kamar di dalam taman. Habis bersantap malam, Sin Tjie duduk berkumpul bersama semua kawannya, ia lantas tuturkan mereka tentang sesuatu yang ia tampak, terutama mengenai itu dua bocah serba merah serta gedung besarnya yang luar biasa. "Benar-benar heran!" menyatakan beberapa suara. Mereka semua tak sanggup menerka, gedung apa adanya itu. Setelah pasang omong, semua orang pergi beristirahat. Sin Tjie tidak lantas tidur, ia pikirkan rencana untuk bekerja di kota raja ini. Tugasnya yang pertama adalah bantu Giam Ong membikin terjungkal kerajaan Beng, untuk bebaskan rakyat dari penderitaan, supaya mereka merdeka. Tugas yang kedua adalah membunuh kaisar Tjong Tjeng sendiri, untuk mewujudkan pembalasan sakit hati ayahnya. Ia percaya, dengan kepandaian yang ia punyakan, tidak terlalu sulit untuk menyerbu ke istana, ke dalam keraton. Tapi ia ingat kata-kata gurunya, bahwa satu kali raja terbinasa, kawanan dorna bakal menggantikan menguasai pemerintahan, bahwa bangsa asing bakal gunai ketika baik itu untuk datang menyerbu. Maka itu ia perlu bersabar sampai Giam Ong dan angkatan perangnya sudah datang ke kota raja, Baru ia turun tangan. Maka ia anggap usahanya yang utama adalah lihat bahagian dalam dari pemerintah, untuk membuka jalan guna serbuannya Giam Ong nanti. Setelah dapat ketetapan, Baru Sin Tjie bisa tidur. Malah untuk sesaat itu, ia bisa lupai itu dua bocah serba merah pencuri harta negara serta gedungnya yang bertembok  berlapis-lapis yang aneh. Di hari kedua, orang bangun pagi-pagi, lantas mereka berkumpul di ruang hoa-thia, untuk bersantap. Di paseban, di latar, salju melulahan tebal. Tadi tengah malam, salju itu turun secara lebat sekali. Sebaliknya dua pohon bunga bwee telah menyiarkan baunya yang harum-halus. Selagi orang berkumpul, satu kee-teng, atau bukang pelayan, datang masuk dari luar dengan tindakan cepat. "Siocia, ada orang datang mengantar barang!" katanya kepada Tjeng Tjeng. Satu kee-teng lagi membawa barang antaran ialah sebuah tok-pan, pot bunga, dari porselen, dan sebuah pin-hong atau sekosol mungil dengan lukisan gambar oleh Sim Sek Thian. "Inilah barang kuno," kata Sin Tjie. "Siapakah yang mengantarnya?" Pada sumbangan itu tidak berikuti karcis nama si pengirim. Tjeng Tjeng bungkusi tiga tail perak.

"Ini presen untuk si pembawa barang," kata ia pada bujangnya. "Kau tanya tegas, siapa yang kirim sumbangan ini." Kee-teng itu berlalu akan sebentar kemudian balik lagi. "Orang itu sudah pergi, aku susul tidak kesusul," katanya. Semua orang tertawa. "Aneh," menyatakan mereka. Tak keruan-ruan menerima hadiah! "Nama Wan siangkong kesohor, ini tentu ada tanda mata dari salah satu orang yang mengaguminya," kata Seng Hay kemudian. Dugaan ini dapat kesetujuan semua orang.

Pada tengah-hari, selagi orang hendak duduk berkumpul untuk bersantap, datang pula antaran barang-barang hidangan buatan rumah makan "Tjoan Tjip Hin" yang paling kesohor di kota raja. Ketika koki, yang mengantari ditanya, hidangan itu kiriman siapa, dia cuma bilang seorang yang tidak dikenal yang memesannya yang menyuruh antarkan ke gedung ini. Mau atau tidak, orang jadi curiga. Semua barang makanan itu dipisahkan, dikasih pada anjing, akan tetapi anjing yang memakannya selamat, tidak kurang suatu apa. Lalu lohornya bergantianlah datang orang-orang dengan barang-barang hadiah lainnya, seperti kursi-meja, para-para bunga dan lainnya, yang surup untuk gedung mereka, tapi kapan ditanya, semua pengangkut barang itu tak bisa menyebutkan, siapa pengirimnya. "Coba kalau ada sebuah lampu besar!" kata Tjeng Tjeng sambil memain. Memang orang heran tetapi berbareng pun lucu... Belum selang setengah jam dari kepergiannya kuli-kuli, datang yang lain bersama sebuah lampu gantung yang besar dan indah, yang kemudian disusul sama antaran sutera, kain wol, sepatu, kopiah dan saputangan beraneka warna, sedang untuk nona Hee ada pupur dan yantjie pilihan! Untuk Thie Lo Han Gie Seng seperangkat jubah suci kah-see! Saking heran, hingga tak dapat ia mengatasi diri lagi, Thie Lo Han cekuk satu kuli. "Kenapa kau tahu di sini ada satu tauwtoo?" tegurnya. "Kenapa kau kirimkan aku baju suci?" Kuli itu, seorang pegawai toko, jadi kaget. "Tak tahu aku," sahutnya. "Tadi pagi datang satu pembelanja ke toko kami, dia beli ini semua, dia minta semua dikerjakan lekas, untuk sekarang dibawa kemari...." Semua orang tak habis heran, mereka pusing menduga-duga. Tjeng Tjeng cerdik, lalu ia kata seorang diri: "Jikalau pengirim itu benar ketahui isi hatiku, dia tentu bakal kirimkan aku serenceng mutiara...." Kemudian, selagi orang ngeloyor pergi, ia minta Seng Hay pergi menguntit, akan lihat orang pergi kemana. Setelah berselang sekian lama, kuli tadi balik kembali. Seng Hay sebaliknya kembali sesudah lewat kira-kira satu jam sedatangnya kuli ini. Boleh dibilang Baru saja Seng Hay melangkah di pintu atau orangnya toko barang-barang permata telah datang bersama dua renceng mutiara yang besar-besar. Tjeng Tjeng sambuti mutiara itu, terus ia masuk ke dalam. Sin Tjie ikuti si nona demikian juga Seng Hay. Sesampainya di dalam, pengikut she Ang ini berikan laporannya. "Kuli tadi telah ketemui satu pengemis yang telah lanjut usianya, ia bicara sebentar, lantas dia kembali," demikian Seng Hay. "Aku sendiri lantas kuntit pengemis tua itu." Sepasang alisnya Tjeng Tjeng bangun. "Pengemis itu dan kuli ini bukan orang baik-baik!" katanya dengan gusar. "Sebentar aku nanti kasih rasa kepada mereka!"

"Nona menduga benar," Seng Hay bilang. "Orang tua itu jalan melalui beberapa jalan umum, lantas ia disambut oleh satu opas kuku garuda, sesudah berdua mereka bicara sebentar, pengemis itu lantas jalan kembali."

"Apakah kau kuntit itu kuku garuda?" Tjeng Tjeng tanya. Seng Hay manggut. "Kuku garuda itu tidak kembali ke kantor, dia hanya pergi ke sebuah gang dimana ada satu rumah besar," ia melanjuti. "Di luar gedung ini, keadaannya sunyi, sebab aku tidak bisa masuk dari pintu, aku naik ke genteng. Di dalam ada belasan opas serta seorang tua yang matanya picak sebelah. Orang panggil dia Sian Loosoe, rupanya dia jadi kepala. Aku kuatir aku nanti kepergok, maka itu, aku lantas keluar pula dan pulang."

"Luar biasa! Bagaimana tajam mata mereka, bagaimana terang kuping mereka!" kata Tjeng Tjeng. "Baru kita datang ke Pakkhia ini, lantas mereka sudah dapat tahu! Aku kuatir sulit juga untuk nanti kita turun tangan...."

"Yang aneh adalah kiriman barang-barang mereka," Sin Tjie bilang. Pemuda ini tetap tenang. "Bukankah itu ada perbuatan disengaja supaya kita dapat tahu bahwa kita telah dipergoki? Rombongan kuku garuda di kota raja mestinya cerdik semua, tidak nanti mereka lakukan tindakan gelo. Apa maksud mereka yang sebenarnya?" Lantas pemuda ini perintah Seng Hay panggil Tjeng Tiok, Thian Kong, Koei Lam dan yang lain-lain, untuk mereka berunding. Sebentar saja, orang telah berkumpul dan berunding, Tjeng Tjeng lantas terangkan keterangannya si kuli dan laporan Seng Hay. Lalu orang berbicara. Akan tetapi,

kesudahannya, tidak ada seorang jua yang dapat menduga pasti apa artinya semua barang antaran itu. "Semua ini ada barang tidak halal, aku tak menginginkannya!" kata Tjeng Tjeng akhirnya. Maka malam itu si nona, dengan dibantu A Pa, Thie Lo Han, Ouw Koei Lam dan Ang Seng Hay, angkut semua barang ke rumah itu yang ditunjuki Seng Hay. Rupanya penghuni rumah itu dengar suara berisik, mungkin mereka dapat menerka-nerka, akan tetapi mereka tidak nampakkan diri. Paginya Tjeng Tjeng lepaskan si kuli, yang kemarinnya ia tahan, sama sekali ia tidak ganggu kuli ini. Si kuli sendiri terima uang upah dengan cara hormat, ia manggut beberapa kali, ketika ia berlalu, tidak kelihatan ia berkuatir atau tak senang hati.

Habis itu, Sin Tjie beramai berlaku waspada, untuk saksikan apa akan terjadi lebih jauh sebagai akibat putusannya itu. Hari itu tidak terjadi suatu apa, terus sampai malam. Malam itu salju turun pula dengan lebat. Besoknya pagi Seng Hay beramai masuk menemui Tjeng Tjeng beramai, romannya terbenam dalam keheranan. Ia lantas kata: "Semalam turun salju, mestinya salju bertumpuk di pekarangan muka rumah kita, akan tetapi entah siapa yang menyapui, sekarang salju itu telah bersih semua. Tidakkah ini aneh?"

"Terang sudah, kawanan kuku garuda itu lagi ambil hati kita," nyatakan Sin Tjie. "Sengaja rupanya mereka bekerja secara diam-diam." Tjeng Tjeng tertawa. "Aku tahu sekarang!" katanya. "Apakah itu?" tanya beberapa suara. Kembali si nona tertawa. "Mereka itu kuatir kita nanti bekerja secara besar-besaran di kota raja ini, hal itu pasti membuat mereka celaka, maka itu sengaja mereka mendahului mengambil-ambil hati kita, untuk ikat persahabatan...."

"Dugaan ini cocok juga," Thian Kong bilang. Ia tertawa. "Tetapi, bukan sedikit tahun aku telah bekerja, belum pernah aku nampak kejadian serupa ini...."

"Ah, aku ingat sekarang!" tiba-tiba Tjeng Tiok ikut bicara. "Itu kuku garuda yang matanya sebelah ada Tok-gan Sin-liong Siang Tiat Seng si Naga Sakti Mata Satu, cuma sebab sudah lama ia undurkan diri, aku sampai tak ingat padanya." Sampai di situ pembicaraan mereka, mereka tetap tidak ambil tindakan apa kecuali berlaku waspada. Beberapa hari telah lewat, terus tidak ada orang yang mengantar barang lagi, tidak ada kejadian apa juga, maka pelahan-lahan rombongannya Sin Tjie ini  mulai tak memperhatikannya pula. Kemudian datanglah satu hari, sedangnya orang berkumpul di dalam rumah menghadapi arak, Ketika itu ada di musim dingin, arak adalah penghangat tubuh. Satu bujang masuk dengan selembar karcis nama yang lebar dimana tertulis kata-kata: "Hormatnya Boan-seng Sian Tiat Seng". Bersama itu diberikuti delapan rupa barang antaran.

Semua orang antap orang tua itu pergi. Itu hari, di waktu lohor, turun hujan salju yang halus sekali, maka Sin Tjie ajaki Tjeng Tjeng menunggang kuda pesiar ke luar kota, ke telaga, untuk minum arak sambil "menggadangi" hujan salju itu yang meriangkan mata. Sudah sekian lama tak pernah mereka pesiar berduaan saja, inilah ketikanya yang baik akan mengicipi lagi suasana yang riang-gembira. Sekitarnya telaga penuh dengan pepohonan gelagah dan alang-alang. Tjeng Tjeng bekal sebuah naya dengan isi arak dan sayuran, maka itu leluasalah mereka duduk dahar dan minum sambil pentang mata ke sekitar mereka, memandang panorama yang menarik hati mereka. Mereka minum dan dahar dengan pelahan-lahan, sambil seling itu dengan omongan. Yang lebih memuaskan pasangan ini adalah, selagi salju turun semakin membesar, di telaga itu tidak ada lain orang lagi, sehingga mengecap lagi suasana yang riang-gembira. Sin Tjie lantas gunai ketikanya, akan tanya, bungkusan apa itu yang si nona kembalikan pada Sian Tiat Seng. Tadi pagi, bungkusan itu tak sempat dibuka, dibeber di muka orang banyak. "Aku telah main-main dengan dia," kata Tjeng Tjeng, yang sembari tertawa tuturkan apa yang ia kerjakan tadi malam, sehingga tidaklah heran kalau kepala opas itu menjadi kelabakan. Sin Tjie tertawa. "Sungguh kau cerdik!" ia memuji. "Sebenarnya Baru saja aku puji kau sebab kau telah merobah tabiatmu, siapa tahu, kau masih tetap nakal!...."

"Eh, kapan kau puji aku?" Tjeng Tjeng tanya. "Aku puji kau di dalam hatiku saja," jawab si anak muda. "Tentu saja, kau tak ketahui itu...." Tjeng Tjeng tertawa, nyata sekali ia gembira. "Habis siapa suruh dia tak mau perlihatkan diri, dia berlaku bagaikan iblis saja?" katanya. ia maksudkan Sian Tiat Seng. "Entah dalam urusan apa dia hendak mohon bantuan kita," kemudian Sin Tjie ubah pembicaraannya. Lebih dahulu daripada itu, ia pun bersenyum. "Orang semacam dia!" kata si pemudi. "Aku pikir, tidak perduli apa permintaannya, lebih baik kita jangan meladeninya!" Sin Tjie tidak bilang suatu apa. Mereka minum terus, sampai mereka timbulkan kenang-kenangan sewaktu di Kie-tjioe, di Tjio-liang, dimana mereka minum arak di waktu malam sambil menontoni bunga-bunga yang indah dan harum. Tjeng Tjeng teringat kepada ibunya, tanpa merasa, ia menjadi berduka, hampir ia menangis. "Sudahlah," kata Sin Tjie, yang kembali ubah pembicaraan, maka di lain saat, dapat pula mereka kegembiraan mereka. Kapan terlihat sang magrib sudah mendatangi, Tjeng Tjeng benahkan nayanya, bersama-

sama mereka meninggalkan tepian telaga, untuk berjalan pulang. Selagi mereka lewati sebuah paseban di tepian telaga itu, di dalam paseban itu mereka lihat satu pengemis tua sedang rebah di atas selembar tikar, tubuhnya cuma terbungkus sepotong celana. "Kasihan!" kata Tjeng Tjeng. Ia rogoh sepotong perak dari sakunya, ia hampirkan pengemis itu, akan letaki uangnya di atas tikar. "Pergi kau beli pakaian, supaya kau tidak sampai kedinginan," katanya. Sin Tjie ikuti si nona masuk ke dalam paseban itu. Ketika mereka Baru melangkah keluar dari paseban, mereka dengar suara seperti gerutuan dari si pengemis, yang ngoceh seorang diri: "Untuk apa memberikan uang kepadaku? Biar hawa lebih dingin daripada ini, aku si tua tidak nanti mampus beku! Kau punya arak tetapi tidak ajaki orang turut minum, itulah tandanya bukan sahabat!" Tjeng Tjeng jadi tidak senang, hendak ia menoleh, untuk mendamprat, akan tetapi Sin Tjie segera tarik tangannya. "Orang ini aneh, mari kita intai!" si pemuda berbisik. Sin Tjie heran melihat orang seperti telanjang bulat sedang hawa udara dingin, salju masih terus turun, maka gerutuan itu membuat ia lebih heran, hingga bercurigalah ia.Kemudian ia menoleh, akan sahuti gerutuan itu: "Arak masih ada, cuma tinggal arak dan sayur sisa, yang sudah dingin. Aku anggap adalah tidak hormat akan undang kau minum dan dahar barang bekas, itu sebabnya kenapa kita tidak undang padamu...." Orang itu geraki tubuhnya, untuk duduk numprah. "Aku adalah si pengemis bangkotan, untukku arak dingin ada paling tepat!" Sin Tjie lantas keluarkan poci arak dari dalam naya, ia serahkan itu. Pengemis itu menyambutinya, terus ia bawa mulut poci ke dalam mulutnya, hingga segeralah terdengar suara geruyukan di dalam tenggorokannya, karena dengan rakus dia tenggak sisa air kata-kata itu. Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie lihat pengemis itu berumur kurang lebih empat-puluh tahun, mukanya berewokan, kedua lengannya seperti belang dengan cacat bekas luka-luka. "Arak yang sedap!" memuji si pengemis, sesudah dia minum. "Ini ada arak Lie-djie Ang-tin-siauw simpanan dua-puluh tahun!..." Tjeng Tjeng terkejut. "Kiranya pengemis ini kenal barang baik," pikirnya. Lantas dia kata: "Kau benar, sekali minum saja, kau tahu arak jempolan."

"Sayang araknya sedikit, tak cukup untukku...." kata si pengemis, yang tak gubris pujian orang. "Besok aku nanti datang pula membawa arak untukmu," Sin Tjie bilang. "Bagaimana jikalau aku undang tuan minum sampai sinting?"

"Bagus!" seru si pengemis. "Siangkong, kau baik sekali! Satu mahasiswa mempunyai tabeat begini mulia, sungguh jarang didapati!" Sin Tjie dan Tjeng Tjeng tertawa. Mereka anggap si pengemis bukannya sembarang pengemis. Lantas mereka keluar dari paseban dan berlalu. Baru beberapa tindak, Tjeng Tjeng telah menoleh. Dengan tiba-tiba, ia merandak, karena ia saksikan satu pemandangan yang mengherankan padanya. Ia dapatkan si pengemis sedang membungkuk, mengawasi ke sebelah kirinya dimana entah ada barang apa. "Lihat, dia sedang awasi apa?" kata dia pada kawannya, tangan siapa ia tarik.

Sin Tjie pun berdiam dan menoleh. "Entah kutu apa," sahutnya. Pengemis itu, yang diawasi terlebih jauh, mengunjuki sikap sangat tegang, ia agaknya hendak lompat menubruk. Karena ingin tahu, pemuda dan pemudi ini berbalik, untuk mendekati.

Si pengemis lihat orang kembali, berulang0ulang ia menggoyangi tangan, parasnya pun bertambah-tambah tegang. Menampak demikian, dua anak muda ini merandak, tetapi mata mereka menjurus ke arah benda yang diawasi si pengemis. Maka sekarang mereka bisa lihat, benda itu adalah seekor ular kecil panjang cuma setengah kaki, tubuhnya berwarna kuning emas, di antara salju yang putih meletak, warna itu jadi mencorong bercahaya. Dengan pelahan sekali, ular kecil itu jalan berlerot di atas salju, dan si pengemis, dengan pelahan juga, mengikuti dia. Dengan tiba-tiba saja Tjeng Tjeng menunjuk ke satu arah belasan tumbak dari tempat ular itu. "Lihat, itulah aneh!" katanya separuh berbisik kepada Sin Tjie. Anak muda ini berpaling, akan memandang ke arah yang ditunjuk itu. Di situ, di antara salju, ada lobang sebesar mulut jambangan kecil, lobang itu tidak ada saljunya walaupun di sekitarnya, salju bertumpuk seperti di seputar situ, dan kapan kembang salju jatuh di betulan lobang, segera salju itu lumer menjadi hawa yang naik ke udara, seperti juga di dalam lobang itu ada hawa panas dari api. Ular kecil itu menggeleser terus ke arah lobang itu, setelah sampai, dia tidak masuk ke dalamnya, dia hanya jalan memutar sampai beberapa putaran. Si pengemis, yang masih saja mengikuti ular itu, menggoyang-goyang tangan kepada Sin Tjie dan Tjeng Tjeng, untuk mencegah orang datang dekat kepada lobang atau ular itu. Rupa tegang dari si pengemis masih belum juga lenyap. Maka dua anak muda ini berdiri di samping dari mana mereka terus mengawasi, untuk mengetahui, bagaimana kesudahannya pemandangan yang luar biasa ini. Sekarang ular kecil itu berhenti berputaran, dia menghadapi ke arah lobang, dia seperti menghembuskan napas. Tiba-tiba terdengar satu suara pelahan dari lobang dalam salju itu, atas mana, ular kecil itu mundur dengan tiba-tiba, sebaliknya dari dalam lobang lantas muncul seekor ular besar. Terkejut Tjeng Tjeng menampak ular itu, sampai ia keluarkan seruan tertahan. Pengemis itu memandang dengan mata melotot, tandanya ia gusar, mungkin jika keadaannya sendiri tak sedang tegang atau bergelisah, tentu ia telah tegur nona kita. Ular besar itu panjang setumbak lebih, tubuhnya besar bagaikan lengan, kulitnya berwarna lima macam, kepalanya berpesegi tiga, besarnya sedikit melebihkan kepalan tangan. Sin Tjie pernah dengar Bhok Siang Toodjin omong, kalau imam itu sedang mencari bahan obat-obatan di gunung, sering dia menemui ular-ular berbisa, katanya ular dengan kepala segi tiga adalah yang paling liehay racunnya. Maka itu, ular ini pastilah ada ular berbisa, yang jarang ada. Pun biasanya, selama musim dingin, ular semacam ini lebih suka mengeram di dalam liangnya, sangat jarang keluarnya. Kali ini, rupanya, ular besar itu muncul karena terpengaruh si ular kecil itu. Nyata sekali roman menakuti dari ular besar itu, sebab ketika dia pentang mulutnya, dari situ keluar lidah yang besar panjangnya setengah kaki, warnaya merah darah, lalu lidah itu dikeluar-masukkan berulang-ulang. Ular kecil itu lantas lari, akan tetapi dia lari berputaran saja. Di belakang dia, mengikuti si ular besar, yang besarnya berlipat tiga puluh kali. Ular besar ini pun turut berputaran melulu, matanya terus mengawasi dengan tajam. Entah kenapa, dia agaknya jeri untuk segera menerkam si ular kecil, walaupun dia sudah angkat tinggi kepalanya. Dia mengikuti dengan tubuh melingkar. Ular kecil itu lari semakin keras, si ular besar mengikuti semakin cepat. Tjeng Tjeng mengawasi terus, sekarang ia tak jeri lagi seperti tadi. Sebaliknya, ia sangat ketarik hati, ia ingin ketahui bagaimana akhirnya. Si pengemis, yang terus mengawasi kedua binatang merayap itu, sekarang nampaknya menjadi repot, sebagaimana dia selalu geraki kedua kaki dan kedua tangannya, tak hentinya ia keluarkan dari dalam kantongnya serupa barang berwarna kuning, dikeluarkannya sepotong dengan sepotong, tiap sepotongnya ia kasih masuk ke dalam mulutnya, untuk digayem, dimamah, dan setiap habis memamah, ia keluarkan itu, untuk dipulung mnejadi seperti benang, terus diletaki di tanah, di atas salju, dengan dilingkari hingga menjadi lingkaran kuning. "Eh, dia bikin apakah itu?" tanya Tjeng Tjeng pada kawannya. "Mungkin pengemis ini hendak tangkap ular itu," sahut Sin Tjie. Itu waktu mendadak sang ular kecil berhenti berlari, untuk hadapi si ular besar, lalu dengan gesit dia berlompat, menubruk ke arah si ular besar itu. Ular besar itu tidak lari atau berkelit, sambil tetap diam melingkar, dengan kepalanya tetap diangkat, dia semburkan uap merah ke arah penyerangnya, atas mana ular kecil itu jumpalitan, jatuh ke tanah, untuk terus merayap. Rupanya uap merah dari si ular besar itu, hebat bisanya, dan si ular kecil tak sanggup melawannya. Dengan tiba-tiba saja Sin Tjie ingat kitab "Kim Tjoa Pit Kipnya" warisan dari Kim Tjoa Long-koen, di situ antaranya ada satu ilmu silat seperti "Pat Kwa Yoe-sin-tjiang" atau "Tangan Pat kwa" tetapi gerak-gerakannya lebih sulit. Ia telah yakinkan ilmu silat itu tetapi belum sempurna, karena kurang perhatiannya. Sekarang, ia saksikan pertempurannya kedua ular itu, mendadak ia ingat ilmu silat itu, yang mirip gerak-gerakannya. "Apa mungkin Kim Tjoa Long-koen ciptakan ilmu silatnya itu dengan dia menelad gerak-geriknya ular-ular berkelahi?" pikir dia. Karena ini, ia mengawasi dengan perhatian penuh. Ia dapat kenyataan, lukisan gerakan Kim Tjoa Long-koen masih kalah gesit dengan gerakan si ular kecil ini. Si ular besar sebaliknya tetap tenang, dia bersiaga saja, hingga daya pembelaannya menjadi tangguh sekali. "Dia mirip sebagai bocah," pikir Sin Tjie mengenai sikapnya si ular besar. Si pengemis masih belum berhenti mengunyah benda kuning itu, saban-saban ia tambah kurungannya, yang jadi berlapis, jaraknya lapisan satu dengan lain sekira satu kaki. Adalah setelah merasa cukup membuat kurungan istimewa itu, Baru ia bersenyum berseri-seri. Sekarang ia mengawasi kedua ular sambil ia membungkuk tubuhnya. Beberapa kali ular kecil tubruk lawannya, setiap kalinya ia dipukul mundur teratur oleh semburannya uap merah dari si ular besar, ular mana sebegitu jauh tidak melakukan serangan membalas. Sin Tjie terus memasang mata, selalu ia dapatkan, cara menubruknya si ular kecil berbedaan, sedang semburan uap merah dari si ular besar, makin lama makin tipis. "Jikalau terus mereka berkelahi sebagai ini, ular besar bakal kalah," pemuda ini pikir. Adalah itu waktu, Baru si ular besar lakukan penyerangan pembalasannya, hebat adalah sikapnya dan cara menerkam - mulutnya dibuka lebar-lebar, di situ kelihatan giginya yang kasar-kasar. Setiap kali disantok, si ular kecil melejit, sambil berlompat atau berkelit, tak mau dia kasih dirinya kena disambar, beberapa kali dia mengalami saat-saat bahaya, ketika tubuhnya terpisah hanya sedikit jauh dari mulut lebar dari lawannya. Sesudah menerkam beberapa kali tanpa hasil, si ular besar seperti telah menginsyafi siasat berkelahi lawannya, lantas ia pun menggunai siasat. Satu kali ia mengancam ke arah kiri, selagi si ular kecil berlompat, ia teursi berlompat juga, akan sambar ekornya. Liehay adalah si ular kecil, sambil egos ekornya itu, ia tekuk tubuhnya, kepalanya menyambar ke bawah, menubruk mata kiri si ular besar! "Bagus!" berseru Sin Tjie, bahna kagum. Itulah pemandangan yang ia belum pernah nampak. Ular besar itu rupanya telah terluka, ia geraki tubuhnya dengan cepat, bukan untuk balas menyerang dengan sengit, hanya untuk menggeleser lari ke dalam liangnya, hingga sekejab saja, tubuhnya lenyap tak kelihatan lagi. Si ular kecil memburu sampai di mulut lobang, di situ ia berhenti, agaknya tak sudi ia masuk ke dalamnya, hanya di mulut liang, ia menghembus napas dan menyedotnya berulang-ulang.

Mendadak Tjeng Tjeng rasai kepalanya pusing. "Eh, eh!" serunya, lekas-lekas ia sambar lengannya Sin Tjie, untuk pegangan.

Sin Tjie terperanjat, tapi segera ia mengerti, si nona tentulah telah terkena uap ular berbisa itu, sebba tadi dia berdiri terlaku dekat. Ingat ia kepada Tjoe-tjeng Peng-siam, kodok es pemberian Ouw Koei Lam, yang ia selalu bawa dalam sakunya, maka lekas-lekas ia keluarkan itu, untuk dekati itu ke mulut si nona. "Sedot ini!" katanya. Tjeng Tjeng menyedot napas berulang-ulang, setelah mana dengan lekas ia merasai hawa yang nyaman, terus sampai ke dalam dadanya, maka sebentar kemudian, lenyaplah rasa pusingnya. Pengemis itu lihat kodok es, ia mengawasi dengan mendelong, wajahnya menjadi terang, nampaknya ia mengilar sekali. Sin Tjie sambuti mustikanya, untuk disimpan, kemudian ia tarik tangan si nona, untuk diajak mundur beberapa tindak. Ia lihat lagaknya si pengemis, di dalam hatinya, ia kata: "Aku tidak sangka kau, tukang tangkap ular, matamu tajam sekali, kau kenali mustika ini. Setiap hari kau berdekatan dengan binatang berbisa, memang mestika ini sangat berharga untuk lindungi dirimu dari bahaya." Ketika itu dari dalam liang mengepul uap merah. Rupanya ular besar itu tak sanggup menangkis saja serangan uap musuhnya, mau dia keluar pula untuk bikin perlawanan lebih jauh. Tatkala satu kali semburkan uapnya yang tebal, mendadak ia nongol di mulut liang, terus dia menerjang. Tapi ia sekarang bermata satu, ia tak gesit seperti tadi. Ular kecil membuat perlawanan seperti tadi, ia unjuk kegesitan dan kelincahannya, sampai ia kena hajar mata kanan si ular besar yang terus jadi buta seperti mata kiri tadi. Mungkin karena kesakitan, ular besar lari kembali ke liangnya, mulutnya dipentang. Ular kecil menjaga lobang, ia tidak mau menyingkir, sampai tiba-tiba disambar musuhnya, sampai dicaplok, terus ditelan! Sin Tjie dan Tjeng Tjeng kaget. Mereka sayangi, sesudah menang, sekarang si ular kecil kena dikalahkan, malah dia kena dicaplok! Habis menelan, mendadak ular besar itu gelisah, ia bergulingan, agaknya ia kesakitan, satu kali dia banting diri dengan keras, berbareng dengan mana si ular kecil lompat keluar dari perutnya si ular besar, yang telah berlobang. Maka nyatalah, selagi ditelan, musuh cilik ini gigit perutnya, hingga musuh jadi kesakitan, dia menggigit terus, sampai perut itu tembus dan ia molos keluar dengan tak kurang suatu apa. Sekarang ular kecil itu angkat tubuhnya, untuk berdiri sebatas buntutnya, lalu tak berhentinya ia menarik, menyedot napas, hingga ia sedot sisa uap merah yang berada di sekitarnya, kemudian dia menyerang si ular besar, akan akhirnya catok lidahnya musuh yang sudah jadi bangkai itu, untuk ditarik, dibawa masuk ke dalam lobang. Dia bertubuh sangat kecil tetapi dia kuat seret tubuh yang besar luar biasa itu, entah dari mana datangnya tenaga raksasa. Berdua Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berdiri bengong saking heran dan kagum. Sebentar kemudian, ular kecil itu merayap keluar dari lobang. Menyusul ini, sikapnya si pengemis jadi tegang pula, ia terus pasang mata terhadap si merayap yang liehay itu. Kapan ular kecil itu telah menggeleser sampai di dekat kurungan kuning, mendadak dia jumpalitan, lalu ia merayap balik ke tengah-tengah kalangan. "Apakah adanya benda kuning itu?" tanya Tjeng Tjeng. Ia heran. "Mungkin, obat itu ada sebangsa hiong-hong, obat-obatan untuk menaklukkan ular berbisa," sahut Sin Tjie. Ular kecil itu melingkar di tengah kalangan, lantas ia jalan berputaran, akan dengan sekonyong-konyong dia berlompat, ekornya menolak keras, hingga ia berhasil melompati lingkungan kuning yang pertama, hingga ia jadi berada dalam lingkungan yang kedua. Nampaknya si pengemis kaget, ia menjadi gelisah. Di dalam lingkaran yang kedua ini, ular kecil berwarna kuning emas itu berjalan pula dengan keras, mengitari kurungan, sesudah mana, kembali ia berlompat, hingga ia berada di dalam lingkaran yang ketiga. Dalam gelisahnya, si pengemis lantas saja berkelemak-kelemik, agaknya ia membaca mantera, setelah mana, ia taruh kedua tangannya, dengan telapakannya, di tanah, lalu ia angkat naik tubuhnya, kedua kakinya di atas. Dan begitu lekas si ular kecil jalan mutari kurungan itu, ia pun berjalan dengan kedua tangannya itu sebagai kaki, untuk mengikuti. Dengan matanya, ia terus awasi binatang merayap itu. Pemandangan itu sangat lucu hingga Tjeng Tjeng tertawa sendirinya. Tidak lama setelah berjalan dengan tangan, si pengemis mulai mengucurkan keringat, yang turun mengetel ke atas salju, setetes dengan setetes. Melihat ini, tanpa ia merasa, si nona berhenti tertawa, ia menjadi tercengang. "Kenapa si tua-bangka ini menelad saja si ular kecil?" demikian pikirnya. "Pengemis ini mempunyai ilmu silat yang sempurna," Sin Tjie berbisik di kuping kawannya. "Sedikitnya dia berimbang dengan See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok."

"Aku lihat tidak ada yang luar biasa dalam gerak-gerakannya...." kata si nona. "Kau lihat dadanya," Sin Tjie kata. "Dada itu tidak bergerak sama sekali, napasnya seperti tidak berjalan, toh dia dapat bertahan begini lama...."

"Aku tahu kenapa dia berbuat demikian," Tjeng Tjeng bilang. "Dia jeri untuk bisa yang berbahaya dari si ular, maka sebisa-bisa ia menahan napas." Ular dan orang merayap dan berjalan dengan semakin cepat, akhirnya dengan mendadak saja, ular itu mencelat, untuk melompati lingkaran yang mengurung dia. Justru itu, si pengemis meniup dengan keras ke arah binatang itu, menyusul mana, dengan menerbitkan suara, sang ular jatuh ke tanah, gagal dia lompat menyeberang. Sesudah gagal dengan percobaannya yang pertama, ular kuning itu kembali jalan berputaran, dari pelahan menjadi cepat seperti bermula, akan selanjutnya melesat pula. Tapi untuk kedua kalinya, ia digagalkan si pengemis, yang meniup pula kepadanya.

Lalu, sampai tiga kali, masih ular ini gagal dengan percobaan-percobaannya, tiupan sipengemis terlalu liehay baginya.

Benar-benar ular itu cerdik, untuk mencoba terlebih jauh, ia jalan berputaran bergantian, sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Secara begini ia membuat si pengemis selalu ikuti ia, ia bikin orang jadi repot dan sibuk. Lalu di akhirnya, ia lompat pula! Dan kali ini, ia berhasil! "Hebat!" seru Sin Tjie dan Tjeng Tjeng. Pemuda itu kagum untuk kecerdikannya.

Sampai di situ, si pengemis turunkan kedua kakinya, ia angkat kedua tangannya, dengan begitu ia jadi berdiri seperti biasa, berdiri menghadapi binatang itu. Sang ular pun bersikap aneh, sesudah lolos dari lingkaran, bukannya dia terus kabur, dia justru berdiam dia angkat kepalanya, dia berdiri menghadapi si pengemis. Nyata dia bersikap hendak melakukan penyerangan! Si pengemis jadi sangat tegang, dia jadi bergelisah, nyata dia berkuatir. Agaknya, menyingkir ia tidak mau, menyerang ia tak ungkulan. Sin Tjie segera siapkan tiga butir biji caturnya, ia hendak menolongi di saat pengemis itu menghadapi bencana. Segera juga penyerangan dimulai, ular cilik itu berlompat, mulutnya menyantok. Pengemis itu, dalam gelisahnya, berkelit menyingkir. Ular itu membalik diri, tak mau ia lari, kembali ia menyerang. Lagi-lagi, pengemis itu geser kakinya, egos tubuhnya. Ia cukup gesit untuk halau diri dari sesuatu penyerangan. Masih si ular ulangi serangannya, sampai beberapa kali, senantiasa ia gagal. Sin Tjie lantas siap, ia kuatir si pengemis lelah dan kena ditubruk dan digigit binatang jahat itu. Justru itu, si pengemis pun dapat pikiran. Benar ketika ia diserang pula, ia tidak menyingkir, dia justru sodorkan jempolnya yang kiri hingga sekejab saja, jempol itu kena dicatok sang ular! Tapi berbareng dengan itu, ia geraki tangannya yang kanan, dengan dua jarinya, ia jepit batang leher ular itu yang lagi gigit jarinya itu, ketika ia menjepit dengan keras, binatang itu buka mulutnya, rupanya disebabkan kesakitan, maka terlepaslah catokannya. Cepat luar biasa, pengemis itu keluarkan sebuah bumbung besi dari sakunya, ia masuki ular itu ke dalam bumbung, yang tutupnya ia segera tutup rapat, sesudah mana, ia lempar bumbung itu ke tanah, lantas ia hadapi pemuda kita. "Lekas keluarkan kodok es itu, tolongi aku!" mintanya. Tjeng Tjeng mendongkol untuk sikap kasar orang itu. "Buat apa tolongi kau?" katanya. Sin Tjie berpandangan lain dari kawan wanitanya ini. Ia suka pada si pengemis, yang pasti mempunyai ilmu silat sempurna. Ia pun merasa kasihan, karena jempol kirinya pengemis itu lantas saja menjadi matang-biru dan bengkak, suatu tanda racunnya sang ular sudah lantas bekerja. Pasti sekali, racun itu bakal lekas merajalela, ke bahu, ke tubuh seluruhnya. Maka tak ayal lagi, ia keluarkan mustikanya, akan diserahkan pada si pengemis. Bukan main girangnya pengemis itu, dia sambar mustika itu, terus dia tempeli pada lukanya. Dalam sesaat saja, darah hitam lantas mengalir keluar dari luka itu, tetes demi tetes, jatuh ke salju yang putih, hingga salju menjadi hitam, kemudian bengkaknya mulai kempes. Lagi sesaat kemudian, habislah darah hitam, jempol itu jadi merah dadu seperti biasa lagi. Si pengemis lantas tertawa berkakakan. Dia robek ujung celananya, akan pakai robekan itu untuk membalut lukanya, sedang mustika kodok es itu bukan ia kembalikan kepada pemiliknya, sebaliknya, dia masuki ke dalam kantongnya! "Mari mustikaku!" Tjeng Tjeng minta sambil membentak. Sepasang alisnya si pengemis berdiri dengan tiba-tiba, wajahnya menjadi bengis dengan tiba-tiba juga. "Apa?" katanya. Dia pun membentak. Untuk sedetik, Tjeng Tjeng melengak, matanya mendelong ke depan. Lalu ia menunjuk ke belakang pengemis itu. "Hai, ada lagi ular kecil!" dia berseru, romannya kaget. Pengemis itu terperanjat, dia lantas menoleh ke belakang. Membarengi itu, Tjeng Tjeng geraki tubuhnya, sambil membungkuk, dia sambar bumbung besi yang berisikan ular berbisa itu, dengan cepat dia menodong ke bebokongnya. "Aku akan cabut sumpelnya bumbung ini!" katanya dengan nyaring. Pengemis itu kaget, ia menjadi lesu. Ia tidak lihat ular di belakangnya, mengertilah ia bahwa ia telah kena diperdayakan. Ia insyaf, asal sumpel dibuka, bebokongnya bakal kena dipagut ular berbisa itu dan itu berarti, dia bakal mampus keracunan. Tubunya bagian ataspun sedang telanjang. Tapi ia bernyali besar, lantas ia tertawa berkakakan, terus ia rogoh keluar kodok es dari kantongnya, akan sodorkan itu kepada Sin Tjie. "Aku main-main saja dengan kamu!" katanya sambil tertawa pula, "Ini nona sangat cerdik!" Tjeng Tjeng tunggu sampai Sin Tjie sudah sambuti mustikanya, Baru ia kembalikan bumbung orang. Tadi Sin Tjie sayangi si pengemis, keras niatnya untuk ikat tali persahabatan dengan dia itu, akan tetapi pengalamannya barusan membikin hatinya beurbah. Nyata pengemis ini bermartabat rendah. Sudah ditolong, orang hendak mentung! "Sampai ketemu pula!" katanya. Ia memberi hormat, lantas ia tarik Tjeng Tjeng, untuk diajak pergi. Pengemis itu mengawasi, kedua matanya bersinar jahat. "Hai, tunggu dulu!" dia membentak. "Kau mau apa?" tanya Tjeng Tjeng, yang kembali jadi mendongkol. "Tinggalkan kodok es itu di sini, Baru aku kasih kamu pergi!" kata si pengemis, yang jadi garang luar biasa. "Apakah kamu sangka aku dapat dibuat permainan?" Belum pernah Tjeng Tjeng menemui orang demikian tak berbudi dan kurang ajar. Ia mau menyahuti, tapi Sin Tjie telah dului ia. "Kau siapa, tuan?" tanya ini anak muda, yang mempunyai kesabaran luar biasa. Masih matanya si pengemis bersorot bengis, bukannya ia jawab pertanyaan yang halus itu, dia justru geraki kedua tangannya, agaknya ia hendak menerjang. "Pengemis ini hendak cari penyakit sendiri," pikir pemuda kita. Benar di saat pengemis ini hendak menyerang, atau tak jauh dari situ, kuping mereka dengar senjata beradu keras, disusul bentakan saling susul, kemudian di antara tanah yang bersalju kelihatan dua bocah berbaju merah semua sedang berlari-lari mendatangi, pundak mereka menggendol bungkusan, di belakang mereka mengejar lima opas, di antara siapa ada Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng si Naga Sakti mata satu, yang tangannya menyekal tietjio, ruyung besi pendek yang gagangnya bercagak pelindung tangan. Sembari berlari-lari, mereka itu sembari bertempur. Sampai di situ, kedua bocah itu lari ke arah si pengemis. "Tjee Soe-siok! Tjee Soe-siok!" kedua bocah itu berteriak-teriak. Terang mereka memanggil si pengemis ini, yang mereka bahasakan soe-siok (paman). Kemudian, setelah datang lebih dekat, bungkusan mereka masing-masing mereka lemparkan ke arah pengemis ini. Sang pengemis tanggapi kedua bungkusan itu, lantas dia letaki di tanah. Setelah bebas dari gendolan bungkusannya, kedua bocah serba merah itu jadi lincah pula gerak-gerakannya, hingga mereka sanggup layani Sian Tiat Seng dan sebawahannya itu. Sulitnya bagi itu kepala opas, kawan-kawannya tidak punya ilmu silat yang berarti. Pengemis itu awasi orang-orang yang berkelahi cuma sebentaran saja, kembali ia menoleh kepada Sin Tjie, terus ia lompat menubruk anak muda kita, pundak siapa ia sambar dengan kedua tangannya. Sin Tjie masih tetap sabar, dia pun tidak niat sembarang tonjolkan ilmu silatnya, ketika orang berlompat, ia pun berlompat mundur, terus ia lari ke sebelah belakang Sian Tiat Seng. Tiat Seng telah lantas lihat Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berdiri bersama si pengemis, mulanya ia heran, akan tetapi setelah tampak si anak muda diserang pengemis itu dan anak muda itu lari, semangatnya bangkit, segera ia perhebat serangannya. "Aduh!" tiba-tiba bocah yang satu menjerit, karena pundaknya kena ditotok thietjio kiri dari kepala opas itu. Dia rubuh. Bocah yang lain terkejut mendengar jeritan itu. Justru itu, kakinya Tiat Seng terangkat, maka ia lantas saja terdupak rubuh terpental. Si pengemis tidak kejar Sin Tjie, dia hanya berdiri dengan tegak menghadapi Sian Tiat Seng. "Aku sangka siapa, kiranya Sian Loosoe!" kata dia dengan suaranya yang keras dan kaku. "Tuan, apakah she dan namamu yang besar?" Sian Tiat Seng balik menanya, suaranya tenang. "Dengan besarkan nyali aku mohon sukalah kau berikan kami sesuap nasi kami!"

"Aku satu pengemis, mana aku punyakan she dan nama?" sahut pengemis itu. Dia lantas hampirkan bocah yang rubuh, yang kena ditotok jalan darahnya, untuk ditotok pula, hingga di lain saat, bocah itu dapat bergerak pula seperti biasa. Itu waktu dua opas maju, untuk pungut kedua bungkusan. Itu pengemis lihat perbuatan itu, ia perdengarkan suara suitan, menyusul mana kedua bocah serba merah lompat kepada kedua opas itu, dengan berbareng mereka menyerang, hingga itu dua opas rubuh terguling, sesudah mana, mereka ini sambar dua bungkusan itu masing-masing, untuk terus dibawa lari! Sian Tiat Seng kaget, ia lompat menguber. "Bandit-bandit cilik bernyali besar, lepaskan bungkusan itu!" dia membentak. Kedua bocah itu tidak memperdulikannya, mereka kabur terus. Sian Tiat Seng mengejar hampir kena, ia lantas serang bocah yang berada paling dekat dengannya. Berbareng dengan itu, ia rasakan sambaran angin di sampingnya. Nyatalah si pengemis telah susul ia dan ulur tangan untuk sambar thietjionya itu. Ia punyakan mata satu tetapi ia awas luar biasa, maka itu, ia batal serang si bocah, ia putar tubuhnya, dengan senjatanya, ia hajar lengan orang di betulan buku tangan. Pengemis itu tarik pulang tangannya, untuk terus dipakai menyerang ke bebokong kepala opas itu, siapa pun terus berbalik, untuk menangkis. Sengaja ia gunai tenaganya, untuk ukur tenaga dengan si tukang minta-minta itu. Dengan mendadak, dengan sebat, pengemis itu tarik pulang tangannya, setelah berbuat begitu, ia lompat jumpalitan untuk jauhkan diri, sampai setumbak lebih, kemudian ia susul kedua bocah baju merah itu, untuk angkat kaki.... Sian Tiat Seng heran untuk kegesitan luar biasa itu, ia tidak mengejar, karena berbareng ia insyaf, sendirian saja, ia tidak bakal mampu berbuat banyak. Orang-orangnya tak dapat bantu dia, sedang Sin Tjie beruda juga diam saja. Maka ia lantas hampirkan Sin Tjie dan Tjeng Tjeng, untuk memberi hormat sambil menjura dalam. "Maafkan aku, maafkan aku," kata dia. Dua anak muda itu membalas hormat, akan tetapi mereka heran atas sikapnya kepala opas itu. "Jangan seedjie, Sian Loosoe," kata Sin Tjie. "Pengemis itu ada dari kalangan apa?"

"Mari kita pergi ke paseban sana, djiewie, sambil duduk nanti aku berikan keteranganku," kata orang tua itu. Sin Tjie ingin tahu hal si pengemis, ia terima baik undangan itu, ia ajak kawannya kembali ke paseban. Setelah kedua anak muda itu duduk, Sian Tiat Seng lantas mulai dengan keterangannya. Sejak bulan yang lalu, gudang negara telah tiga kali kecurian, jumlahnya semua beberapa ribu tail perak. Untuk negara, jumlah itu tidak seberapa, tetapi yang penting itu adalah uang negara, hartanya kaisar, dan itu kejahatan diperbuat di "kakinya kaisar". Maka pencurian itu dengan sendirinya telah menggemparkan kota raja. Apa yang hebat, kuping kaisar pun terang, Baru lewat dua hari sejak pencurian pertama, junjungan itu telah mendapat tahu. Hok Siangsie, menteri yang bertanggung jawab atas isi gudang ngeara, dan Tjioe Tjiangkoen, Kioe-boen Teetok atau pembesar militer yang menjamin keamanan kota raja, tentu saja telah dapat teguran keras. Malah kaisar bilang, apabila dalam tempo satu bulan, pencurian itu belum dapat dibikin terang, semua pembesar yang bertanggung jawab itu bakal dipecat dan perkaranya akan diperiksa. Hebat ada nasib kawanan opas, yang tidak berdaya untuk tangkap si pencuri, lebih dahulu merekalah yang dimestikan bertanggung jawab, sampai anak-isteri mereka, semua anggauta keluarga ditangkap dan ditahan. Dalm putus asa, semua hamba wet itu, mereka dapat satu pikiran, lalu dengan memohon kepada seatasannya, mereka berhasil mengundang Sian Tiat Seng, bekas kepala opas yang telah lama undurkan diri. Begitulah telah terjadi, Tok-gan Sin-lion si Naga Sakti Mata Satu itu telah turun tangan pula. Juga Sian Tiat Seng telah menghadapi kesulitan. Menurut penyelidikannya, pencuri bukannya pencuri biasa, mestinya itu ada perbuatan satu atau lebih orang dari kalangan Rimba Persilatan, hanya sampai sebegitu jauh, belum pernah ia berhasil memergoki si penjahat. Ia kenal baik keadaan di kota raja, tak ada orang yang ia dapat curigai, tapi juga ia tidak berani menuduh. "Hm, jadi kamu sangka kami!" kata Tjeng Tjeng, yang hatinya panas. Ia potong keterangan orang. "Maaf, memang demikianlah dugaanku semula," Tiat Seng akui. "Kemudian aku membuat penyelidikan lebih jauh, hingga aku dapat tahu Wan Siangkong selama di Kim-leng sudah menolongi Tiat-pwee Kim-go Tjiauw Kong Lee dan di Shoatang telah bersahabat sama See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok, sampai akhirnya siangkong dipilih dan diangkat menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi. Nyata siangkong ada seorang gagah yang dipuja..." Senang juga Tjeng Tjeng mendengar Sin Tjie dipuji, wajahnya lantas berubah menjadi lebih sabar. "Walaupun aku telah ketahui tentang Wan Siangkong, apa mau mataku seperti buta, aku tak dapat lantas sambut siangkong," Sian Tiat Seng lanjuti keterangannya itu. "Sebenarnya aku tak tahu bagaimana harus berkenalan sama siangkong...." Tjeng Tjeng tertawa sendirinya. Ia awasi hamba wet tua itu, yang matanya tinggal sebelah, mata yang lebih banyak putihnya daripada hitamnya. "Karena itu setiap hari aku perlukan datang mengunjuk hormat pada siangkong," Tiat Seng tambahkan kemudian. Tjeng Tjeng tertawa. "Kau tidak menjelaskannya, siapa tahu isi hatimu?" katanya. "Justru sulit untuk menerangkannya," kata Sian Tiat Seng. "Aku hanya harap Wan Siangkong tidak gusar, aku harap-harap siangkong sudi kembalikan semua uang yang dicuri, untuk bisa tolong jiwanya semua opas dan keluarganya. Di luar dugaanku, siangkong telah kembalikan semua barang antaran kita, malah siangkong dapat tahu nama dan gelaranku, hingga kesudahannya siangkong ganggu aku dengan sebarkan karcis namaku. Siangkong telah tegur aku, aku terima itu...." Tjeng Tjeng berdiam, ia seperti tak dengar perkataan orang tua ini, parasnya pun tidak berubah. "Dalam putus asa, tadi aku telah atur penjagaan," Sian Tiat Seng melanjuti. "Aku tak tahu mesti bersikap bagaimana, aku cuma pikir, biar aku lawan keras. Sama sekali di luar sangkaanku, yang muncul tadi adalah dua bocah serba merah barusan, mereka sangat licin, sia-sia saja kami kepung dia sampai di sini. Kembali di luar sangkaanku, di sini aku bertemu sama pengemis yang liehay itu. Aku pun tidak sangka, siangkong, disini aku bisa bertemu sama siangkong berdua. Sekarang, Wan Siangkong, aku mohon dengan sangat, sukalah kau beri petunjuk kepadaku...." Orang tua itu bicara dengan sungguh-sungguh, terus ia berlutut dan manggut-manggut. Sin Tjie repot, untuk memimpin bangun, sedang hatinya terus berpikir. "Pengemis itu dan kedua bocah terang bukan orang baik-baik," demikian  pikirnya. "Karena mereka itu seterukan pembesar negeri. Buat apa aku campur tahu urusan mereka ini? Tidak ada perlunya buat aku bantui segala opas kotor?..." "Kami pun tidak kenal pengemis itu," Sin Tjie lalu terangkan. Ia ceritakan sedang ia dan Tjeng Tjeng pesiar, di situ mereka bertemu sama si pengemis penangkap ular berbisa, bagaimana ia telah tolong si pengemis tapi mustikanya hendak dirampas. "Walaupun demikian, siangkong, aku mohon kau suka bantu aku," Sian Tiat Seng ulangi permintaannya. Sin Tjie tertawa. "Sulit, loosoe," katanya. "Menawan penjahat adalah pekerjaan hamba-hamba wet. Aku tidak punya guna, aku pun tidak bisa lakukan pekerjaan polisi sebagai kamu!" Mendengar lagu-bicara orang, Sian Tiat Seng tidak berani banyak omong pula, ia menjura, lantas ia ajak orang-orangnya ngeloyor pulang. "Mari kita pulang," Sin Tjie pun mengajak kawannya. Sepanjang jalan, Tjeng Tjeng caci si pengemis tidak berbudi. "Kalau lain kali dia bertemu pula denganku, aku nanti kasi rasa!" katanya dengan sengit. Tidak jauh, mereka berpapasan sama sejumlah serdadu dari kantor Kim-ie-wie, mereka itu sedang giring serombongan orang tawanan, di antara siapa ada kakek-kakek yang ubanan rambut dan kumisnya, ada ibu-ibu yang sedang empo bayi, tapi yang kebanyakan adalah orang-orang tua dan perempuan lemah. Serdadu-serdadu itu berlaku bengis, saban-saban terdengar dampratannya. "Kasihani kita tjongya," begitu Tjeng Tjeng dengar satu nenek-nenek. "Biar bagaimana, kita toh sama-sama makan gaji negara dan bekerja untuk umum.... Kita sama sekali tidak bersalah-dosa, cuma karena di kota raja ini muncul penjahat besar, kita jadi terembet-rembet mengalami kecelakaan ini...." Satu serdadu pegang si nenek. "Tidak karena penjahat itu, mana kita berjodo bisa bertemu seperti sekarang ini?" katanya. ia tertawa. Panas hatinya Sin Tjie dan Tjeng Tjeng akan dengar omongan itu, buat saksikan keceriwisan orang. Mereka tahu, orang-orang tawanan itu adalah keluarganya hamba-hamba wet. Opas-opas suka ganggu rakyat jelata, pantas kalau sekarang mereka merasai kesengsaraan sebab gangguan penjahat liehay itu, akan tetapi anak-istri mereka, orang tua mereka mesti menderita begini, dua anak muda ini toh tak tega juga. Sembari jalan terus, serdadu-serdadu itu lantas berteriak-teriak: "Penjahat-penjahat telah ditangkap! Penjahat-penjahat telah ditangkap!" demikian suara mereka, sambil mereka gusur orang-orang tawanan itu, yang mereka rantai dan gandeng. Banyak penduduk menyaksikan di pinggiran, rata-rata mereka menggeleng kepala dan menghela napas. Mereka tahu kawanan serdadu itu mendusta, mereka tahu orang-orang tawanan itu ada penduduk biasa, yang ditangkap untuk menambal tugas mereka, yang tak dapat mereka jalankan, maka rakyat mesti jadi korban. Menyaksikan itu semua, hati Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi panas. Kapan di akhirnya kedua anak muda ini sampai di rumah mereka, mereka lihat Ang Seng Hay sedang langak-longok, romannya gelisah, kapan dia lihat mereka, lantas dia jadi sangat girang. "Bagus, sudah pulang!" seru dia. Sin Tjie heran. "Ada kejadian apakah?" ia tanya. "Thia Loo-hoetjoe telah kena orang lukai, siangkong sedang diharap-harap untuk tolongi padanya!" sahut pengiring itu. Ia girang akan tetapi kegelisahannya tak lantas lenyap semua. Sin Tjie kaget. Ia tahu Thia Tjeng Tiok liehay, maka cara bagaimana jago tua itu dapat orang bikin terluka? Lekas-lekas ia turut pengikutnya itu masuk ke dalam, Tjeng Tjeng ikuti dia. Di dalam kamar, Tjeng Tiok nampak sedang rebah di atas pembaringan, mukanya berdebu dan hitam. See Thian Kong bersama Ouw Koei Lam dan Thie Lo Han semua duduk mendampingi jago tua itu, roman mereka kucel, tandanya bersusah hati dan berkuatir. Tetapi setelah mereka tampak Sin Tjie, wajah mereka bersinar sebentar, tandanya mereka peroleh pengharapan. Sin Tjie lihat Tjeng Tiok rapati kedua mata, napasnya jalan dengan pelahan. "Dimana lukanya Thia Loo-hoetjoe?" tanyanya. See Thian Kong angkat tubuh Tjeng Tiok pelahan-lahan, ia singkap bajunya, untuk kasi lihat bagian yang luka. Menampak luka itu, Sin Tjie kaget bukan main. Luka itu, di pundak kanan, telah bengkak dan matang biru, warna hitamnya mulai merembet ke muka, sedang ke bawah, warna hitam itu sudah sampai di pinggang. Di tempat yang warnanya paling hitam di pundak, ada bertapak lima jari. "Inilah luka bisa!" kata Sin Tjie. "Bisa apakah?" "Thia Loo-hoetjoe pulang dengan sudah terluka, agaknya ia dapat pulang dengan paksakan diri," sahut Thian Kong. "Sesampainya ia di rumah, ia sudah tidak bisa bicara lagi, dari itu tak tahu kita luka itu disebabkan racun apa...." "Syukur kita ada punya mustika kodok es," kata Sin Tjie kemudian. Lekas-lekas ia keluarkan mustikanya itu, untuk ditempel di tempat yang luka. Mustika itu benar liehay, dia lantas mulai sedot warna hitam itu. Hanya kali ini, badannya yang putih meletak bagai salju lantas berubah menjadi abu-abu, menjadi hitam. "Rendam dia di arak hangat, racunnya akan keluar," berkata Ouw Koei Lam. Sin Tjie lekas tuang arak ke dalam cawan, ia angkat mustika itu, untuk direndam. Benar seperti katanya Ouw Koei Lam, racun dalam tubuh mustika itu lantas keluar, hingga arak pun menjadi berubah hitam, sepetelah tubuh mustika menjadi putih pula, kembali lantas ditempelkan di lukanya Tjeng Tiok. Pengobatan cara begini dilakukan sampai belasan kali, Barulah darah hitam dari tubuhnya Tjeng Tiok dapat disedot keluar semuanya, setelah itu Barulah Sin Tjie uruti tubuhnya jago tua itu, untuk bikin darahnya jalan pula seperti sediakala. Pertolongan ini memberi hasil baik, muka Tjeng Tiok lekas jadi bersemu dadu pula. Karena ini, hati semua orang menjadi lega. Malam itu Tjeng Tiok bisa tidur dengan nyenyak, kapan besoknya pagi-pagi Sin Tjie tengok dia, dia telah bisa bangkit dari pembaringan dan duduk. Ia lantas mengucap terima kasih. Jangan bicara dulu," Sin Tjie mencegah seraya ulapkan tangan. Ia menyuruh orang bernapas dengan beraturan, untuk perbaiki jalan darahnya. Kemudian ia perintah orang untuk pergi panggil tabib yang pandai, untuk berikan obat guna bersihkan sisa-sisa racun. Maka itu, di hari keempat, Tjeng Tiok sudah sembuh betul, hingga ia bisa menuturkan sebab-musababnya ia mendapati luka yang berbahaya itu. "Magrib itu aku lewat di depan pintu kota Tjie-kim-shia, tiba-tiba aku dengar suara berisik, seperti orang lagi berkelahi," demikian ketua Tjeng Tiok Pay mulai dengan penuturannya. "Aku pergi mendekati, untuk melihat. Aku dapatkan kembang tauwhoe berserakan di tanah dan seorang, yang tubuhnya besar, sedang jambak satu anak tanggung, siapa dipukuli berulang-ulang. Atas pertanyaanku pada seorang, yang turut menyaksikan, dapat aku ketahui, bocah itu adalah si tukang tauwhoe. Di luar kehendaknya, dia kena bentur orang itu hingga bajunya orang itu menjadi kotor, maka ia dihajar. Kasihan aku melihat itu bocah, aku lantas mendekati, untuk memisahkan. Aku bicara dengan sabar, aku memberi alasan yang pantas tapi orang itu tidak mau mengerti, ia memaksa minta dikasih penggantian uang kerugian. Aku tanya, berapa ia minta ganti, ia sebutkan satu tail perak. Aku suka tolongi bocah itu, aku lantas rogoh sakuku, untuk ambil uang. Siapa tahu, karena aku iseng, aku telah kena diperdayakan, aku terjebak ke dalam tipu-daya orang jahat. Aku merogoh dengan tangan kanan, Baru tanganku masuk ke dalam saku, mendadak dua orang itu, ialah si kacung dan orang yang aniaya dia menyamber lenganku, untuk ditarik ke kiri dan kanan..." Mendengar sampai di situ, Tjeng Tjeng berseru dengan tak dapat ia mengatasi dirinya. "Segera aku insyaf bahwa orang sedang permainkan aku," Tjeng Tiok melanjuti. "Aku lantas geraki kedua tanganku, untuk loloskan diri. Masih aku hendak tanyakan sebabnya kenapa mereka perlakukan aku demikian rupa, tetapi sebelum aku sempat berontak, tahu-tahu aku merasakan sakit sekali di pundakku yang kanan, sakitnya sampai meresap ke tulang-tulang. Itulah serangan yang aku tak sangka-sangka. Masih dapat aku berontak, aku terus sambar lengannya orang yang bertubuh besar itu, aku mundur satu tindak. Ada aku pakai dia untuk hajar si bocah. Berbareng dengan itu, aku lompat ke depan, untuk segera menoleh ke belakang. Maka sekarang aku dapat lihat, orang yang membokong aku adalah pengemis wanita tua yang berbaju hitam. Belum pernah seumurku melihat wanita sejelek dia. Seluruh mukanya penuh dengan lobang-lobang dan daging munjul, tapak-tapak luka, sepasang matanya menjuling naik. Ia awasi aku sambil tertawa secara dingin, kemudian dia angkat kedua tangannya, yang jeriji-jerijinya berkuku tajam, untuk menerkam aku...." Di waktu mengucap demikian, wajahnya Tjeng Tiok sedikit berubah, nyata ia merasa ngerti atau gelisah, rupanya ia berbayang dengan pengalamannya yang hebat itu. Tjeng Tjeng kembali perdengarkan seruan, seruan tertahan, tak terkecuali See Thian Kong, Ouw Koei Lam dan yang lainnya. Mereka ini seperti juga merasakan hebatnya bokongan dan serangan kuku-kuku tajam itu.

Thia Tjeng Tiok teruskan keterangannya: "Ketika itu aku kaget berbareng gusar. Atas terjangan itu, aku terus angkat tubuhnya, adalah keinginanku, untuk balas menyerang. Apa mau, tangan kananku tak dapat digeraki, tangan itu seperti membantah kehendakku. Wanita tua itu tertawa aneh, terdengarnya seram, terus ia mendesak. Dalam keadaan seperti itu, aku dapat akal. Mendadak aku membungkuk, dengan tangan kiri aku sambar tahang kembang tauwhoe, dengan itu aku menimpuk ke arah muka wanita itu, sampai dia kelabakan, dengan kedua tangannya, dia susuti mukanya. Aku gunai ketika itu akan keluarkan dua batang tjeng-tiok-piauw, aku hajar dadanya. Dengan begitu, aku bikin dia dapat pengajaran. Tapi itu waktu, aku merasakan sakit tak terikira, rasanya aku tak sanggup bertahan lagi, maka aku lantas saja lari pulang sekeras mungkin, sesampainya di rumah, lantas aku tak tahu apa-apa lagi. "Apakah kau mempunyai sangkutan dengan wanita tua itu?" See Thian Kong tanya. "Belum pernah aku bertemu atau lihat dia," sahut Thia Tjeng Tiok. "Kami dari pihak Tjeng Tiok Pay tidak punya hubungan suatu apa dengan rombongan pengemis dari Kanglam dan Kangpak, kita ada seperti air sungai yang tidak saling ganggu dengan air sumur."

"Apa mungkin dia salah lihat?" Tjeng Tjeng pun tanya. "Aku rasa inilah bukan kekeliruan," sahut Tjeng Tiok pula. "Setelah dia bohongi aku, aku telah menoleh ke arah dia, waktu itu dia telah melihat tegas padaku, tetapi dia masih terus menyerang secara bengis."

"Entah racun apa yang ada pada kukunya itu maka akibatnya ada berbahaya sekali," nyatakan Ouw Koei Lam. "Mestinya dia pakai sarung jari tangan," kata See Thian Kong. "Kalau dia rendam kukunya dengan bisa, tak nanti dia sendiri sanggup bertahan." Tidak ada orang yang dapat duga duduknya hal, orang pun heran atas hebatnya bisa itu, dan orang juga tak tahu asal-usulnya pengemis wanita tua itu. Thia Tjeng Tiok masih mendongkol, sampai ia tak dapat atasi dirinya tanpa ia mencaci musuh curang dan gelap itu. "Saudara Thia, kau sabari diri, baik kau beristirahat," kemudian kata See Thian Kong.

"Nanti aku keluar, untuk mencoba melakukan penyelidikan. Aku harap aku nanti berhasil, agar di lain hari kau bisa lampiaskan kemendongkolanmu ini." Tjeng Tiok suka terima nasehat itu. Maka itu, mulai hari itu, See Thian Kong bersama Ouw Koei Lam, Thie Lo Han dan Ang Seng Hay, pergi keluar, sambil pesiar mereka melakukan penyelidikan. Mereka telah putari empat penjuru kota Pakkhia. Akan tetapi, selama tiga hari beruntun, mereka tidak peroleh suatu apa, malah bajangan si pengemis nenek-nenek juga tak pernah mereka lihat. Di lain harinya, pagi-pagi, Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng datang berkunjung. Sin Tjie tak sudi menemui tetamu itu, maka itu, yang keluar untuk melayani bicara adalah See Thian Kong.

Kepala polisi ini memperlihatkan wajah bermuram-durja, dia sangat bersusah hati. Dia memberitahukan bahwa kas negara kembali kecurian tiga-ribu tail perak, hingga ia jadi tidak berdaya. Dia tanya, bagaimana baiknya dia bertindak... Urusan itu bukan urusan yang mengenai pihaknya, dari itu See Thian Kong menyahuti dengan sembarangan saja, kemudian tuan rumah itu belokkan pembicaraan mengenai si wanita tua, pengemis yang jelek dan aneh itu. Sian Tiat Seng tidak omong banyak tentang ini pengemis wanita, akan tetapi dia agaknya sangat memperhatikan. Begitulah di hari besoknya, kembali pagi-pagi, dia datang secara tersipu-sipu. "Tuan See, tentang pengemis wanita titu, ttelah aku dapatkan endusannya," berkata dia pada Thian Kong, yang muncul untuk layani pula orang polisi ini. "Aku anggap baiklah Wan Siangkong diundang keluar agar kita bisa mendamaikannya bersama." See Thian Kong setuju, ia masuk ke dalam. "Hm, pasti dia hendak jual lagak, dia hendak baiki kita, supaya dia bisa menggencet kita!" kata Tjeng Tjeng, yang sudah lantas menduga jelek. "Mungkin dua-duanya dugaan benar," bilang Sin Tjie. "Tidak apa, aku nanti ketemui dia." Karena ini, semua orang keluar berbareng, akan ketemui Tok-gan Sin-liong, si Naga Sakti mata Satu. "Karena aku dengar wanita tua itu terkena senjata rahasia Tjeng-tiok-piauw dari Tuan See," berkata si tetamu," lantas aku duga pasti dia membutuhkan bahan-bahan obat seperti tee-koet-pie, tjoan-ouw-gan, tjoa-tjhong-tjoe dan leng-hie-kah, untuk obati lukanya itu. Karena ini aku segera kirim orang-orangku ke pelbagai rumah obat, untuk melakukan penjagaan kepada setiap pembeli obat. Aku pesan, siapa saja yang beli obat-obatan semacam itu, dia mesti dikuntit. Nyata aku berhasil memperoleh endusan. Ya, urusan benar-benar aneh!"

"Aneh bagaimana?" tanya See Thian Kong. "Tahu saudara-saudara, dimana bersembunyinya perempuan tua itu?" tanya Tok-gan Sin-liong. "Dia telah ambil tempat di balai istirahat Pangeran Seng Ong! Seng Ong adalah saudara Sri Baginda Raja. Kenapa dia boleh punyakan hubungan sama wanita kang-ouw? Inilah yang mengherankan aku!..." Itu hal benar aneh, maka benar-benar, semua orang merasa heran. "Sekarang mari antar aku ke balai istirahat itu, untuk melihat-lihat!" kata Sin Tjie, yang perhatiannya pun tertarik. "Mari," Sian Tiat Seng mengajak. Karena yang lain-lain juga ingin pergi melihatnya, mereka pergi dalam satu rombongan. Si kepala opas jalan di sebelah depan. Balai istirahat dari Pangeran Seng Ong berada di luar kota jauhnya tujuh atau delapan lie, dari jauh-jauh sudah nampak nyata temboknya yang hitam, yang mengurung balai istirahat itu. "Nah, itu dianya!" kata Sian Tiat Seng. Sin Tjie menjadi heran. "Itu toh gedung kemana kedua bocah serba merah telah pergi sehabis mereka curi uang negara?" kata pemuda ini dalam hatinya. "Apakah tidak bisa jadi Sian Tiat Seng sengaja ajak aku datang kemari supaya kita terpaksa bantu dia mencari pencuri-pencuri uang negara itu? Jikalau ini ada balai istirahat dari satu pangeran, kenapa dia buatnya satu gedung secara begini luar biasa?" Pemuda ini tarik lengannya Thia Tjeng Tiok, ia sengaja perlahankan tindakannya, hingga mereka berdua jadi ketinggalan di belakang beberapa tindak. "Kalau sebentar kita bertemu sama si wanita tua, jangan kau bergusar," Sin Tjie berbisik kepada ketua Tjeng Tiok Pay itu. "Didalam segala hal, kau mesti bertindak dengan melihat isyarat dari aku." Nampak wajah Tjeng Tiok tak tenang. Ia tidak bilang suatu apa atas pesan itu, hanya mendadak, dia kata: "Wan Siangkong, aku...aku...rasai tubuhku kurang sehat, aku ingin lantas pulang untuk beristirahat...." Heran Sin Tjie mendapati sikapnya kawan ini. "Dia toh ketua dari Tjeng Tiok Pay," pikirnya. "Dia toh orang Rimba Persilatan kenamaan untuk di utara? Kenapa sekarang dia jadi kecil hatinya? Kenapa dia jadi jeri?" Walaupun dia menduga demikian, pemuda ini tidak bilang suatu apa. "Baiklah," katanya, yang terus suruh Seng Hay mengantari pulang. Sin Tjie jadi berpikir untuk berhati-hati, sebab selama beberapa hari ini, beruntun ia saksikan kejadian-kejadian langka. See Thian Kong juga lantas ingat keterangan Sin Tjie perihal sebuah gedung besar di luar kota, gedung yang tak ada pintunya. "Gedung ini tidak ada pintunya, habis bagaimana orang bisa masuk ke dalamnya?" dia tanya Sian Tiat Seng. "Mesti ada pintu rahasianya," jawab orang polisi itu. "Oleh karena ini ada balai istirahat dari Pangeran Seng Ong, tidak ada orang yang berani menanyakannya." Sin Tjie telah ambil sikap untuk menunggu, dari itu, ia tidak campur bicara. Dia ingin saksikan tingkah-polahnya Sian Tiat Seng. Dia malah dongak, akan awasi mega putih di atas langit. Belum lama mereka berdiam di situ, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok kelabakan, terdengar juga suara berisik dari sayapnya, yang dipakai terbang, habis itu tertampak dua ekor ayam jago terbang keluar dari gedung hitam yang luar biasa itu, di belakangnya menyusul berlompat keluar dua kacung dengan pakaian biru, gerakan mereka sangat gesit, cuma dengan beberapa kali tubrukan, mereka berhasil menangkap kedua ayam jago itu. Mereka ini pandang Sin Tjie beramai, lalu mereka lompat pula, masuk ke dalam gedung. "Jarang untuk menemui ayam-ayam jago sebesar itu," kata Tjeng Tjeng, yang kagumi kedua ayam itu. "Sedikitnya setiap ekor beratnya delapan atau sembilan kati...." "Dan dua bocah itu, ilmu silatnya ada dasarnya," bilang See Thian Kong, yang perhatiannya tertarik ke lain jurusan. "Aku anggap gedung ini bukan gedung sembarangan...." Thian Kong belum tutup mulutnya, atau mereka dengar satu suara menjeblak yang nyaring, lalu segera  nampak di antara tembok gedung terbukanya suatu pintu rahasia mirip lobang gua, dari situ lantas muncul satu orang yang pakaiannya aneh... Pakaian itu terbuat dari sutra biru yang mentereng, akan tetapi pada bajunya sengaja ditambalkan beberapa tambalan dari cita-cita yang berlainan warnanya, hingga mirip dengan pakaian pengemis di atas panggung sandiwara. Ketika orang itu telah datang dekat kepada rombongan Sin Tjie, Sin Tjie bersama Tjeng Tjeng dan Sian Tiat Seng terperanjat sendirinya. Orang dengan dandanan aneh itu adalah si pengemis tak berbudi yang mereka ketemui baru-baru ini! Itu pengemis tukang tangkap ular berbisa! Orang itu menjulang matanya, ia menghadapi pemuda kita. "Itu hari siangkong berikan aku arak jempolan," katanya, "sekarang kebetulan siangkong berkunjung kemari, mari silakan masuk! Bagaimana jikalau aku jadi tuan rumah?"

"Bagus, bagus!" sahut Sin Tjie. "Baiklah, asal kami tidak mengganggu pada kau!" Hampir tanpa berpikir lagi, Sin Tjie terima baik undangan itu. "Silahkan!" kata si pengemis, yang mempersilahkan dengan tangan kirinya. Sin Tjie jalan di muka, untuk masuk ke dalam pintu istimewa itu. Ia dapat kenyataan temboknya tebal sekali, batunya batu-batu hijau, sedang pintunya, yang terbuat dari besi, beberapa dim tebalnya. Tembok di dalam ditabur hitam seperti di luar, semua rata, pantas pintunya sampai sukar dikenali. Setiap kali mereka melewati satu tembok, yang merupakan kurungan, di belakang mereka, daun pintu besi menggabruk dengan keras. Sebab semua pintu adalah serupa. Sesudah orang memasuki pintu dari tembok merah, pengemis tukang tangkap ular itu undang semua tetamunya duduk di hoa-thia, ruang tetamu, habis itu dia menepuk tangan dengan pelahan ,beberapa kali, lantas muncul bujang dengan barang makanan dan arak. Orang semua lihat, barang-barang makanan agaknya istimewa, cuma mereka tidak dapat duga, dari daging apa itu terbuatnya, nampaknya seperti ada sebangsa ular dan kalajengking, warnanya merah dan hijau, tegas sekali. Tidak ada orang yang berani geraki sumpitnya. Tuan rumah itu lihat tingkah-laku para tetamunya, ia tertawa terbahak-bahak. "Silahkan, silahkan!" mengundangnya. Lantas saja ia kerahkan sumpitnya, untuk jepit sepotong barang hidangan, kapan ia telah angkat itu, orang lihat itu adalah seekor binatang dengan kepala merah dan tubuh hitam. Itulah seekor kelabang!

Bab 19

Semua orang terperanjat, akan tetapi sedangnya begitu, pengemis itu bawa sumpitnya ke mulutnya, atau tahu-tahu kelabang itu telah tercaplok masuk ke dalam mulutnya, terus saja dikunyah, dimakan secara sangat bernapsu, hingga semua orang jadi celangap, melainkan Tjeng Tjeng yang merasa enek, hampir saja dia muntah! Dia melengos ke samping, tak sudi dia melihatnya. Tentu saja, karena pemandangan itu, semakin tidak ada orang yang berani gunai sumpitnya. Tuan rumah lihat orang jeri, nampaknya dia sangat puas. Lantas saja dia hadapi Sian Tiat Seng, yang ia awasi dengan tajam. "Kau adalah kuku garuda dari kantor negeri!" berkata dia dengan tidak sungkan-sungkan lagi. "Rupanya kau datang kemari untuk mendapatkan uang kas negara! Hm! Kau tahu, siapa aku ini?" Sian Tiat Seng berlaku sabar, ia merendah. "Maaf, aku tak dapat kenali kau, tuan," sahutnya. "Aku mohon tanya tuan punya she yang mulia dan nama yang besar...." Ornag itu kembali tertawa, berkakakan. Ia tenggak araknya, ia jepit pula sepotong daging, entah binatang apa, yang ia caplok dan kunyah dengan bernapsu seperti tadi. Kemudian ia tertawa pula. "Aku yang rendah adalah orang she Tjee nama In Go," katanya kemudian. "Aku adalah satu boe-beng siauw-tjoe, orang yang tidak ternama, maka juga, saudara, mana kau kenal aku!" Tapi Sian Tiat Seng terkejut, lekas-lekas ia berbangkit. "Oh, tuan jadinya ada Kim-ie Tok Kya!" katanya. "Sudah lama aku yang rendah telah dengar nama besarmu itu...." Sin Tjie sendiri belum pernah dengar nama julukan Kim-ie Tok Kay itu, atau "Pengemis Berbisa Berbaju Sulam", akan tetapi melihat sikapnya Sian Tiat Seng, mungkin dia seorang kenamaan, hanya ketika kemarin ini ia saksikan orang tempur ular berbisa, ia tidak lihat si pengemis punyakan kepandaian luar biasa. Maka ia heran kenapa kepala opas ini nampaknya jeri sekali. Kembali Sian Tiat Seng berkata: "Agama tuan biasa disebarkan hanya di dua propinsi Kwiesay dan Kwietang serta juga Inlam dan Kwie-tjioe, itulah karenanya maka aku tak dapat ketika untuk mengunjunginya...." "Memang!" jawabnya Tjee In Go itu. "Kami datang ke kota raja ini pun Baru beberapa bulan."

"Sebenarnya sudah lama aku tidak dahar lagi nasi negara," berkata pula Sian Tiat Seng, "karena itu aku jadi tidak dapat tahu, Tjee Enghiong, tentang kunjungan rombonganmu ini, hingga karenanya, pihak kami sudah tak sempurna melakukan penyambutan terhadap kamu, hingga kami telah lakukan hal yang tidak selayaknya. Maka itu sekarang, Tjee enghiong, aku datang untuk haturkan maaf kita." Kata ini disusul dengan pemberian hormat menjura yang dalam dan berulang-ulang. Tjee In Go terlalu repot dengan arak dan barang hidangannya yang "lezat" sekali itu, ia tidak balas pemberian hormat itu, tidak perduli itu adalah cara menghormat yang sangat hormat sekali. Tjeng Tjeng saksikan kelakuan Sian Tiat Seng, di dalam hatinya, dia berkata: "Biasanya kalau orang-orang polisi berurusan dengan rakyat jelata, mereka bengis dan garang bagaikan srigala dan harimau, sebaliknya apabila mereka berhadapan sama pihak tangguh, mereka jadi lemah dan rendah sekali, sekarang aku dapatkan buktinya. Aku hendak lihat, bagaimana lanjutnya urusan ini...."

"Saudara-saudaraku semua tolol sekali," demikian Sian Tiat Seng berkata-kata pula, "tanpa merasa mereka sudah lakukan kesalahan terhadap Tjee Enghiong beramai. Sekarang ini, Tjee Enghiong, apa pun yang kau titahkan kami lakukan, asal itu ada dalam kesanggupan kami, kami bersedia untuk melakukannya." Baru sekarang pengemis she Tjee itu berhenti makan. "Sampai pada batas hari ini," katanya dengan tetap secara tekebur," sama sekali kita telah ambil uang negara sejumlah sembilan-ribu lima-ratus tail perak! Itu jumlah sangat kecil, sangat kecil. Aku pikir kalau nanti kita sudah ambil cukup!" Nyata sekali Tiat Seng terperanjat akan dengar jumlah itu, akan tetapi tetap dia bawa sikap merendah. Katanya: "Jikalau Hok Taydjin dari Kas Negara serta Tjioe Taytjiangkoen yang menjabat Kioe-boen Teetok ketahui tentang Tjee Enghiong beramai, pasti sekali mereka bakal menghadap Pangeran Seng Ong untuk menghaturkan maaf, dari itu mengenai kami, yang menjadi orang sebawahan, kami cuma hendak mohon supaya Tjee Enghiong sudilah memberi kita sesuap nasi..." Kim-ie Tok Kay tidak bilang suatu apa atas pengutaraan kepala opas iti, hanya dengan mata terputar, dia kata dengan keras: "Kau sekarang telah ketahui, semua uang negara itu telah berada di dalam balai istirahat Pangeran Seng Ong ini, maka apakah kau masih memikir untuk keluar dari gedung ini dengan masih berjiwa?" Sikap itu, suara itu, bengis sekali. Maka ruang perjamuan itu menjadi sangat tegang, dengan sendirinya rata-rata tetamu bergelisah. Tjeng Tjeng tidak mengerti, ia pun panas hatinya, tetapi di saat ia hendak membuka mulut, mendadak terdengar satu suara tajam dan luar biasa, yang datang dari lain bagian gedung itu. Suara itu menggiriskan dan berulang kali, beruntun, hingga tanpa merasa, sesuatu orang menjadi bergidik sendirinya. "Apakah itu?" tanya Tjeng Tjeng, yang pun terkejut, hingga ia cekal keras tangan Sin Tjie.

Si anak muda berbalik memegang keras juga tangan si nona, ia tidak bilang suatu apa. Tjee In Go sendiri sudah lantas berbangkit. "Kauw-tjoe mulai bersidang!" katanya dengan nyaring. "Kamu semua boleh pergi mendengarkan putusan! Tentang nasib kamu, lihat saja peruntungan kamu masing-masing!" Sian Tiat Seng kaget tidak kepalang. "Jadi Kauw-tjoe pun telah datang ke Pakkhia?" tanyanya. "Kauw-tjoe" ada kepala atau raja agama. Tjee In Go tidak menjawab, dia cuma tertawa menyengir, sikapnya jumawa dan dingin. Lantas saja ia bertindak ke dalam. "Suasana hebat sekali, mari lekas kita berlalu!" kata Sian Tiat Seng, uang ketakutan tak terhingga. "Jikalau benar raja agama dari Ngo Tok Kauw telah datang sendiri, jikalau kita mati, tulang-tulang kita pun tidak bakal ketinggalan sepotong jua!" Ngo Tok Kauw adalah Agama Lima Racun. Sin Tjie ingin lihat perkembangan terlebih jauh, akan tetapi ia merasakan tangan Tjeng Tjeng gemetar, sedang suasana benar-benar tegang sekali, dari itu, ia urungkan niatnya. "Baik, marilah kita keluar dahulu!" katanya. "Nanti diluar Baru kita pikir pula...." Baru orang banyak itu putar tubuh mereka, untuk berlalu, mendadak ruang kamar menjadi gelap-petang, sampai lima jari mereka tidak dapat mereka lihat. Suara menggabruk yang nyaring hebat pun segera terdengar di sebeblah belakang mereka, entah itu suara jatuhnya lempengan besi atau batu besar. Mau tidak mau, semua orang menjadi kaget, apapula kapan suara hebat itu disusul sama suara yang seram aneh seperti bermula tadi. Itulah suara yang mirip dengan riuhnya burung-burung hantu atau pekiknya pelbagai kutu berbisa. Selagi orang berada dalam kekuatiran dan terbenam dalam kegelapan itu, sekonyong-konyong bekelebat cahaya terang sekali, yang menyilaukan mata, lalu di antara sinar terang itu nampak dua kacung yang mengenakan pakaian serba hitam. Mereka ini menghampirkan, lantas mereka menjura. "Kauw-tjoe memanggil kamu untuk menghadap si singgasana!" katanya. "Entah mahluk aneh macam apa adanya Kauwtjoe itu..." pikir Sin Tjie. "Baik aku pergi ke istana, untuk tengok cecongornya...." Maka ia tarik tangan Tjeng Tjeng, untuk diajak pergi ke singgasana, Semua kawannya ikuti ia. Maka mereka semua jadi mengintil di belakangnya dua kacung serba hitam itu. Dari ruang makan itu, mereka melalui satu lorong yang panjang, lalu membelok, beberapa kali, akhirnya sampailah mereka di sebuah pendopo, yang si kacung sebutkan istana atau singgasana. Di tengah-tengah ruangan itu ada sebuah kursi besar, yang dikerebongi sutra sulam warna merah, di kedua samping kursi itu berdiri masing-masing dua tongtjoe atau kacung. Kedua kacung serba hitam itu ajak sekalian tetamunya sampai di singgasana ini, lantas mereka sendiri memisahkan diri ke kedua sisi dimana pada setiap sisinya, lima kacung dengan pakaiannya masing-masing serba merah, kuning, biru, putih dan hitam. Dan yang serba merah itu Sin Tjie kenali adalah dua kacung pencuri uang negara yang kemarin ini dikepung-kepung Sian Tiat Seng. Hanya sekarang ini, mereka berdua berdiri dengan tegak dengan kepala dikasih tunduk, sama sekali mereka tidak perdulikan tetamu-tetamu yang dipimpin masuk dalam ruangan itu. Segera juga terdengar suara lonceng berulang-ulang dari arah belakang singgasana itu, suara mana disusul sama munculnya sambil berlerot rapi sejumlah orang, lelaki dan perempuan, yang tubuhnya tinggi dan kate tidak ketentuan. Sesampai di dekat kursi kebesaran itu, mereka ini memecah diri dalam dua rombongan kiri dan kanan, di setiap sisinya, delapan orang, maka itu ketahuanlah mereka semua berjumlah enam-belas orang. Kim-ie Tok Kay Tjee In Go ada di dalam rombongan ini, dia berdiri di barisan kiri, sebagai yang nomor lima. Di barisan kanan, sebagai yang nomor dua, ada seorang perempuan dengan hidung bengkung dan mata celong, kulit mukanya pucat-pias bagaikan kulit mayat, daging pada mukanya itu tidak rata, ada yang muncul, ada yang ceglok. Melihat dandanannya, dia adalah satu pengemis wanita tua-bangkotan. "Dia pasti ada si pengemis yang telah melukai Thia  Loo-hoetjoe," Sin Tjie menduga setelah ia pandang pengemis wanita itu yang romannya jelek dan menyeramkan. "Apa yang mereka lagi bikin?" Sin Tjie kemudian berbisik pada Sian Tiat Seng. Mukanya kepala opas ini sangat pucat. "Mereka ini adalah rombongan Ngo Tok Kauw asal dari propinsi Inlam," ia menjawab, suaranya pelahan dan menggetar. "Kali ini matilah kita semua!...." "Ngo Tok Kauw itu sebenarnya apa?" tanya Sin Tjie. "Oh, Wan Siangkong...." kata kepala opas itu, suaranya masih tak tenang. "Ngo Tok Kauw adalah semacam kumpulan agama yang sesat, yang tak jeri membunuh sesama manusia secara sangat telengas dan kejam. Yang menjadi kauwtjoe, kepala agamanya, ada Ho Tiat Tjhio. Apakah siangkong tidak kenal mereka?" Sin Tjie goyang kepala. "Justru kepala agamanya belum keluar, mari kita berdaya untuk menyingkir dari sini....." Sian Tiat Seng berbisik. "Kita lihat dulu!" kata Sin Tjie, yang tetap tenang. Tapi nampaknya Tok-gan Sin-liong takut bukan kepalang, rupanya telah bulat tekadnya untuk angkat kaki. "Kalau begitu, maafkan aku!" katanya. Belum sempat dia tutup rapat mulutnya, tubuhnya sudah bergerak, dia lari ke arah tembok. Teranglah sudah, dia berniat melompati tembok itu, untuk menyingkirkan diri. Menyusul bergeraknya kepala polisi ini, dari barisan kiri dari rombongan Ngo Tok Kauw itu, orang yang nomor dua telah lompat maju, gerakannya sangat gesit, sambil berlompat, dia sambar kaki kiri dari Sian Tiat Seng, yang tercengkeram sebatas mata kaki. Sian Tiat Seng juga bukan sembarang orang, dia mengerti ilmus ilat dengan baik, walaupun dia sedang ketakutan, pikirannya tidak kacau, maka itu selagi kakinya disambar, ia geraki tubuhnya, untuk membungkuk, berbareng dengan mana, ia ayun tangannya yang kanan, akan hajar kepalanya si penyerang. Orang nomor dua itu, yang tubuhnya tinggi besar, gunai sebelah tangannya, akan tangkis serangan kepada batok kepalanya itu, hingga kedua tangan jadi bentrok, menyusul mana, berdua mereka jatuh ke tanah. Sebab selagi mereka saling serang, tubuh mereka sedang berlompat ke arah tembok. Habis itu, orang nomor dua itu tidak bertindak lebih jauh, hanya sambil tertawa dingin, dia kembali ke dalam barisannya. Keadaan ada lain lagi dengan Sian Tiat Seng. Si Naga Sakti Mata Satu ini telah terluka pada kaki kirinya, pada telapakan tangannya yang kanan, yang tadi dipakai menyerang musuh. Luka-luka itu seperti luka terkena senjata tajam, sakitnya bukan main, terasa sampai di hati. Ketika ia angkat tangannya, untuk diperiksa, ia tampak lima luka lobang kecil dari mana mengucur keluar darah hitam, yang masih terus mengucur saja, hingga ia kaget tidak terkira. Dan ketika ia periksa kakinya, kagetnya bertambah-tambah, sebab luka di kakinya itu pun berupa lima lobang kecil yang sama rupanya. Kepala opas ini demikian kaget dan takut, hingga lantas saja dia rubuh terguling di tanah. Nyatalah orang nomor dua itu, pada sepuluh jari dari kedua tangannya, ada kuku-kuku yang memakai sarung yang lancip-tajam, yang semua ada bisanya, tidak heran kalau Sian Tiat Seng telah terluka dan luka itu lantas mengeluarkan darah hitam, sebab racun bekerja dengan segera. Pantas kalau si kepala opas jadi ketakutan bukan main, hingga ia jadi putus asa. Sin Tjie segera hampiri Tok-gan Sin-liong, untuk dipimpin bangun. Selagi ia berbuat begitu, sepuluh kacung keluarkan dari masing-masing kantongnya sebuah suitan yang luar biasa macamnya, yang mereka lantas tiup nyaring beberapa kali, menyusul mana, semua dua-puluh lebih orang Ngo Tok Kauw di dalam ruangan itu pada jatuhkan diri untuk mendekam! Segera setelah itu, dari belakang singgasana bertindak keluar dua orang perempuan yang cantik. Dalam anggapan Sin Tjie dan rombongannya, karena orang-orang Ngo Tok Kauw itu semua beroman tidak keruan dan aneh, kauwtjoe mereka atau kepala agama pun mestinya lebih-lebih tak keruan lagi, maka itu, tercenganglah mereka kapan mereka saksikan dua wanita yang eilok ini. Setelah mendekati kursi, di samping mana mereka berdiri, dua nona ini lantas berseru dengan suaranya yang nyaring tapi halus: "Kauwtjoe naik di singgasana!" Segeralah terhembus bau yang harum, yang keluar dari belakang singgasana itu, bau harum mana diiringi satu wanita dengan pakaiannya serba dadu dan mentereng. Dia ini mempunyai sepasang mata yang bagus, yang dikatakan "mata burung hong", yang sinarnya menakjubkan, sepasang alisnya panjang, wajahnya tersungging senyuman manis dan menggairahkan. Dia berumur kurang lebih tiga puluh tahun, dan parasnya cantik sekali. Tapi, walaupun cantik dan pakaiannya indah, dan dari tubuhnya tersiar bau harum, kedua kakinya telanjang, dia tidak memakai sepatu, dan pada setiap kakinya, dan kedua tangannya juga, ada terselubung masing-masing dua buah gelang emas, hingga berbareng sama tindakannya, gelang-gelang itu perdengarkan suara beradu berkontrangan.... Kulitnya pun putih dan halus, seperti kumala saja, sedang rambutnya yang bagus, terurai turun ke pundaknya, bongkotnya tergelung dengan satu gelang emas juga. Nona manis ini menghampiri kursi kebesaran, untuk duduk di atasnya. Di belakang nona ini mengikuti dua nona lain, yang masih muda sekali, yang membawa kipas dari bulu burung. Nona ini tertawa sebelumnya dia buka mulutnya. "Aha, ada begini banyak tetamu!" katanya. "Lekas siapkan kursi. Silahkan duduk!" Beberapa kacung segera lari ke dalam, untuk balik lagi bersama beberapa buah kursi, yang mereka bawa kepada Sin Tjie beramai, yang mereka undang duduk. Sin Tjie beramai telah terbenam dalam teka-teki, hingga mereka memikir tak sudahnya. Apakah si cantik ini yang disebutkan Ho Tiat Tjhioe, kepala dari Ngo Tok Kauw, yang Sian Tiat Seng jerikan bagaikan serigala atau harimau? Apa mungkin kepala agama ini masih begini muda dan cantik sekali rupanya? "Aku mohon tanya she dan nama besar dari sekalian tetamuku," kemudian berkata si juwita itu, dengan suaranya yang halus dan merdu, sedang matanya mengawasi dengan tajam. "Aku adalah she Wan dan ini semua adalah sahabat-sahabatku," Sin Tjie menjawab. "Apa aku boleh tanya she nona yang mulia?"

"Aku she Ho," sahut si nona. Bercekat hatinya pemuda kita. "Benarlah dia kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw," pikirnya. Kemudian si nona menanya: "Apakah tuan datang untuk urusan uang negara?"

"Untuk aku sendiri, bukan," jawab Sin Tjie. Ia terus tunjuk Sian Tiat Seng, sambil menambahkan: "Ini sahabatku she Sian makan gaji negara, kami sebagai rakyat jelata, kami Baru saja berkenalan dengannya. Mengenai urusan negara, kami tidak berani campur tahu...."

"Bagus!" kata si nona. "Tapi kamu telah datang kemari, apa kehendakmu?"

"Aku ada punya satu sahabat she Thia," sahut Sin Tjie. "Aku tidak tahu, dalam hal apa dia telah berbuat salah kepada pihakmu, dia telah mendapat luka yang hebat. Karena itu aku datang kemari, untuk minta keterangan. Andai kata ini ada urusan salah mengerti dengan satu dua patah kata saja, urusan bisa dibikin habis."

"Oh, kiranya kamu ada sahabat-sahabatnya Loo-hoetjoe Thia Tjeng Tiok!" kata si nona. "Inilah lain. Tadinya aku menyangka Wan Siangkong termasuk dalam rombongan kuku-kuku garuda! Mana orang-orang. Suguhkan air teh!" Beberapa kacung bergerak pula, untuk gotong meja kecil, buat menyediakan teh. Sin Tjie beramai lihat air teh bersemu hijau guram, entah teh apa itu, walaupun baunya wangi, mereka tidak berani lancang meminumnya. "Menurut katanya Tjee Soeheng," si nona berkata pula. "Wan Siangkong ada seorang yang manis budi dan gemar bersahabat, dan siangkong pun mempunyai mustika kodok es, maka dari bermula aku telah menduga, siangkong pasti bukannya bangsa kuku garuda..." Heran juga Sin Tjie. Nona ini menjadi kauwtjoe, kenapa dia bahasakan soeheng, kakak seperguruan kepada Tjee In Go? Bukankah, melihat kenyataan, orang she Tjee ini adalah anggota, orang sebawahan? "Mustika kodok dari Wan Siangkong mukjizat sekali," kata pula si nona. "Apakah siangkong sudi akan perlihatkan itu kepadaku agar mataku jadi terbuka?" Tak sudi Sin Tjie serahkan mustikanya itu kepada nona ini, ia kuatir orang tidak nanti mengembalikan, seperti perbuatannya Tjee In Go, maka itu, ketika ia keluarkan itu, lantas saja ia tempelkan di lukanya Sian Tiat Seng, siapa memang membutuhkan pertolongannya. Semua orang Ngo Tok Kauw itu segera saksikan bekerjanya mustika, darah beracun dari lukanya si kepala opas sudah lantas disedot keluar, maka itu, semua mereka nampaknya sangat ketarik hati. "Sungguh dahsyat!" seru si nona. "Aku cuma kuatir, kalau bisa yang paling beracun, dia tak dapat memunahkannya..." Sin Tjie heran juga. Kenapa si nona masih sangsikan mustikanya itu? Tapi ia cerdik. "Itulah mungkin," katanya. "Di kolong langit ini, benda atau mahluk yang berbisa ada sangat banyak macamnya. Mustika sekecil ini, mana dia dapat berbuat demikian banyak?" Akan tetapi Tjeng Tjeng berpikir lain, ia tak puas. Maka ia campur bicara. "Itulah tidak bisa jadi!" demikian katanya. Si nona puas dan girang mendengar perkataannya Sin Tjie, tetapi kapan ia dengar suaranya Tjeng Tjeng, ia perdengarkan suara di hidung: "Hm!" Lalu ia tambahkan: "Ambil Ngo-seng!"

"Ngo-seng" itu berarti "lima nabi". Lima kacung segera keluar dari barisannya, untuk pergi ke dalam, kemudian mereka keluar pula dengan membawa lima peti besi, sedang lima kacung lainnya menggotong sebuah meja, yang mereka letaki di tengah-tengah singgasana. Habis itu, semua sepuluh kacung itu berdiri mengitari meja. Menarik perhatian adalah kelima bocah itu, mereka masing-masing memegang peti besi yang warna catnya sama dengan warna pakaian mereka: merah-merah, kuning-kuning, demikian seterusnya. "Nampaknya gerak-gerik mereka ini mirip dengan cara siluman," pikir Sin Tjie, "tetapi

mereka mengatur diri menurut ngoheng, mereka tak bertindak sembarangan..." Setelah itu muncullah satu orang dari barisan kiri, yang nomor dua, yang dandan sebagai suku bangsa Ie. Dia bertubuh kekar. Dia menghampiri meja, untuk berdiri di pinggiran, kemudian dari sakunya, dia keluarkan sehelai bendera hijau. Dengan pelahan, dia kibarkan itu. Atas ini, kelima bocah buka tutupnya masing-masing peti besi mereka. Kapan Tjeng Tjeng telah lihat apa isinya semua itu, tanpa merasa, dia keluarkan seruan tertahan. Dari dalam sesuatu peti itu mencelat keluar masing-masing seekor binatang berbisa, ialah ular hijau, kelabang, kalajengking, kawa-kawa dan kodok dingdang. Kembali si orang she Ie kibaskan benderanya. Menyusul ini, semua sepuluh kacung undurkan diri dari samping meja. Sebaliknya, sebagai gantinya, dari dalam kedua barisan, keluar empat orang, yang hampirkan meja, untuk berdiri di sekitarnya, untuk lantas beraksi sendiri-sendiri, ada yang membaca mantera, ada yang jalan dengan tangan sebagai kaki. Sin Tjie menyaksikan sambil pikirannya bekerja. "Jikalau pertempuran sampai mesti terjadi, mungkin pihakku tidak bakal kalah, akan tetapi tindak-tanduk mereka ini luar biasa, maka tak dapat aku berlaku semberono. Tak dapat mereka dipandang enteng..." Di atas meja, ular hijau panjangnya satu kaki lebih, tidak ada bagiannya yang istimewa, sedang empat binatang lainnya, semua biasa saja, cuma sedikit lebih panjang atau besar dari umumnya. Lima macam binatang itu lantas bergerak-gerak, jalan memutari muka meja; lantas mereka  perlihatkan sikap seperti hendak saling serang, untuk terkam, terutama hawa-hawa beracun itu, tak henti-hentinya dia muntahkan jaringnya, untuk ia membuat bentengan di satu pojokan. Sang kala adalah yang paling tak tahan sabar, dialah yang paling dulu serang bentengnya sang kawa-kawa. Satu kali saja dia menerjang, dia telah putuskan beberapa tali jaring, lantas dia mundur pula. Sang kawa-kawa awasi sang kala, lalu ia muntahkan pula galagasinya, untuk perbaiki jaringnya yang dirusak itu. Kembali sang kalajengking menerjang, lalu itu diulangi sampai beberapa kali, karena itu, tubuhnya lantas ketempelan galagasi, hingga dengan sendirinya, gerakannya menjadi lebih lambat. Ada beberapa kakinya yang terlibat sampai tak dapat dibebaskan. Adalah setelah itu, sang kawa-kawa mulai dengan serangan pembalasannya, saban kali dia menerjang, dia muntah, hingga kesudahannya, tubuh sang kala terlibat jaringnya itu. Baru setelah itu, sang kawa-kawa merayap ke depan musuhnya ini, untuk diawasi dengan tajam. Satu kali sang kawa-kawa ulur sebuah kakinya kepada musuh, sang kala geraki ekornya, untuk mengantup, tetapi begitu dia menyambar, penyerangnya segera tarik pulang kakinya, sambil mundur pula. Sang kala gesit, sang kawa-kawa lebih gesit pula. Serangan sang kawa-kawa itu, yang merupakan gangguan, diulang beberapa kali, hingga sang kala jadi sangat gusar, satu kali dia kerahkan antero tenaganya, dia lompat menerkam. Sang kawa-kawa berkelit, dia luput dari bahaya. Tapi sang kala, dia telah berlompat keras, tak dapat dia pertahankan diri lagi, dia terjatuh ke dalam jaring musuh dimana dia ngamuk kelabakan, untuk loloskan diri. Sang kawa-kawa lihat jaringnya ada yang putus, lekas-lekas ia menambalnya, untuk memperbaiki, hingga sang musuh tetap masih terkurung. Sesudah berontak-rontak sekian lama, sang kala jadi kendor dengan perlawanannya, rupanya mulai habislah tenaganya. Maka menggunai ketikanya yang baik, sang kawa-kawa menubruk, terus dia menggigit. Sedang sang kawa-kawa hendak binasakan korbannya, mendadak sang kodok datang menerjang. Binatang ini semburkan bisanya, dia dobolkan jaring musuh, lantas dia ulur lidahnya, untuk sambar tubuh sang kala, untuk ditarik keluar dari jaring. Cuma dengan satu kali caplok, dia telah telan sang kala masuk ke dalam perutnya! Sang kawa-kawa menjadi gusar, dia terjang musuh baru ini. Sang kodok bersiap-sedia, begitu serangan datang, dia ulur lidahnya, akan sambar kawa-kawa itu, untuk dibetot masuk ke dalam perutnya. Tapi sang kawa-kawa pentang mulutnya, dia sambar dan gigit lidah musuh. Sang kodok pun liehay, cepat-cepat dia tarik pulang lidahnya. Setelah itu, sang kawa-kawa merayap ke kirinya sang kodok, tidak perduli sang kodok ini waspada, dia muntahkan benangnya, terus dia berlompat ke atas bebokong sang kodok, untuk melewatinya, benangnya diulur sekalian, sembari lompat lewat, dia gigit bebokong musuh. "Binatang ini cerdik," kata Tjeng Tjeng, yang menjadi kagum. Ketika sang kodok egos tubuhnya, sang kawa-kawa sudah lompat lewati dia, di lain pihak, bisanya sang kawa-kawa sudah lantas bekerja, maka di lain saat, tergulinglah sang kodok ini, dia rebah celentang, terus dia mati! Di pihak lain, sang ular hijau sedang dikejar oleh sang kelabang, agaknya dia ketakutan sekali, hingga dia lari di samping tubuh sang kodok, sembari lewat, mendadak dia pentang mulutnya, dia sambar sang kawa-kawa, untuk dicaplok masuk ke dalam perutnya! Kemudian dengan satu caplokan lain, dia sambar juga tubuh sang kodok. Melihat demikian, sang kelabang lalu sambar bangkai kodok itu, hingga sekarang mereka jadi berkutatan, saling tarik. Rupanya sang kelabang tahu, apabila berhasil sang ular makan tiga kurbannya, musuh ini bakal jadi terlalu tangguh untuknya, sebab tiga macam racun, empat dengan kepunyaannya sendiri, sang ular pasti sukar untuk dikalahkan. Dalam pertempuran tenaga itu, sang ular kalah ulet, dengan pelahan, dia kena terbetot sang kelabang, dan sang kelabang sudah mulai gigit tubuhnya sang kodok. Bingung sang ular, ingin dia lepaskan tubuh sang kodok, untuk pergi lari, agaknya dia sangsi. Pun sulit untuk dia muntahkan tubuh sang kodok itu, karena biasanya dia punya gigi, bagaikan gaetan, menyantel barang, dan biasanya dia cuma menelan, tak bisa melepehkan. Benar saja, sebentar kemudian sang ular telah jadi kurbannya sang kelabang. Setelah menjadi juara, dengan perut pun kenyang, kelabang itu jalan putari meja, dia angkat kepalanya, agaknya dia sangat puas dan bangga. Sin Tjie lihat kelabang itu, dengan perutnya gendut, tidak kendor gerak-geriknya, ia menjadi heran. "Binatang ini kuat makannya," kata dia pada Tjeng Tjeng. "Dia telah makan empat macam bisa, dia sekarang menjadi Tay-seng, nabi terbesar," Ho Tiat Tjhioe, kepala dari Ngo Tok Kauw, nyeletuk terhadap Sin Tjie. "Dia sekarang jadi bertambah tangguh, hingga dia sanggup telan lagi beberapa ekor lainnya!" Sin Tjie agaknya tidak percaya keterangan itu, melihat demikian, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw perintah kacungnya: "Pergi ambil Tjeng-djie!"

Seorang kacung pergi ke dalam, untuk muncul bersama tujuh ekor ular hijau, ialah yang si kepala agama namakan  "Tjeng-djie", si "hijau". Semua ular itu dilepas di atas meja, yang kelung itu. Melihat ada musuh baru, sang kelabang lantas lompat maju, untuk menerkam. Tujuh ekor ular itu kumpulkan diri menjadi satu lingkaran, masing-masing keluarkan kepalanya, untuk tangkis serbuan. Dengan begitu, pertempuran sudah lantas berlangsung. Beberapa kali sang kelabang menerjang, akhirnya dia dapat gigit lehernya seekor musuh, yang terus dia betot keluar dari dalam rombongannya. Setelah berhasil, sang kelabang tidak lantas makan daging musuh, ia hanya letaki itu di belakang, ia sendiri mulai lagi dengan penyerangannya terlebih jauh kepada musuh-musuhnya, hingga pertarungan jadi berlangsung pula. Dalam saat itu, mendadak Kim-ie Tok Kay keluar dari dalam barisannya, dia hampirkan Ho Tiat Tjhioe di depan siapa ia berlutut dengan kaki sebelah. "Kauw-tjoe, Kim-djie bergerak tak hentinya," katanya. "Kelihatannya tak dapat tidak, dia mesti dikasih keluar..." Wanita cantik itu kerutkan alisnya. "Ah, dia usil!" katanya. "Baiklah!" Tjee In Go rogoh sakunya, untuk keluarkan satu bumbung atau pipa besi, terus ia buka sumpelnya, untuk keluarkan isinya, ialah itu ular kecil warna kuning emas yang ia tangkap beberapa hari yang lalu sehabisnya si ular kecil tempur si ular besar. Begitu keluar dari lobang bumbung, ular kuning itu lantas saja unjuk kegagahannya. Dia berlompat ke atas meja, dia segera maju ke depan enam ekor ular hijau, untuk menghalang. Melihat ular kuning ini, sang kelabang mundur dengan segera. Enam ular hijau berkumpul jadi satu, mereka ringkaskan tubuh mereka. Mereka berlaku begini begitu lekas tampak ular kuning emas itu, yang dipanggil si "Kim-djie", si "emas". Ular kuning itu, tak perduli tubuhnya kecil sekali, sudah lantas serang sang kelabang. Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah saksikan kegagahannya, mereka tahu pasti, sang kelabang tidak punya pengharapan. Benar saja, belum lama, sang kelabang kena digigit hingga dia mati seketika. Lantas keenam ular hijau rubungi ular kuning emas itu, ada yang menjilat-jilat dengan lidahnya, rupanya untuk hunjuki rasa syukur. "Tidak disangka, dalam kalangan ular pun ada pendekarnya!" kata Sin Tjie sambil tertawa. Dengan tiba-tiba saja timbul keinginannya si Nona Hee, rupanya dia ingat suatu apa. "Aku inginkan ular kuning emas itu!" katanya. Ia berbisik di kuping pemuda kita. "Omongan bocah cilik!" Sin Tjie bilang. "Mana orang sudi memberikannya?" "Kau ingat tidak?" Tjeng Tjeng berbisik pula. "Apakah julukannya ayahku?"

Sin Tjie tergetar hatinya. "Apa mungkin Kim Tjoa Long-koen ada hubungannya sama ular kuning emas ini?" katanya. Ular kuning emas adalah "Kim-tjoa". Sementara itu si uwah awasi Tjeng Tjeng tak hentinya, rupanya dia dengar perkataannya Sin Tjie, mendadak dia berlompat dari dalam rombongannya, dia berlompat kepada si Nona Hee seraya ulur kedua tangannya ke arah pundak nona itu. "Kau pernah apa dengan Kim Tjoa Long-koen?" tanya dia. Aneh luar biasa! Begitu jelek romannya uwah ini, suaranya nyaring-halus bagaikan suara burung kenari, sedap didengarnya. Tjeng Tjeng kaget, dia lompat mundur. "Apa kau mau?" dia menegur. Hampir berbareng dengan itu, dua orang yang mendampingi kiri dan kanannya Ho Kauw-tjoe telah berlompat ke kedua sampingnya si uwah. Dengan berbareng mereka pun menegur: "Dimana adanya sekarang si orang she Hee itu?" Sin Tjie telah saksikan cara berlompat musuh yang gesit sekali, dia mengerti kedua orang itu bukannya orang-orang sembarangan, maka ia mengawasi dengan waspada. Ia tampak mereka bertubuh tinggi kurus dan sedang, dan yang tubuhnya sedang itu bermuka hitam, romannya sebagai petani. Rata-rata mereka berumur kurang-lebih lima-puluh tahun. Dulu Tjeng Tjeng belum tahu asal-usul dirinya, dia merasa malu sendirinya, akan tetapi setelah dia dengar keterangan ibunya, dia jadi beruba sikap, dia malah sangat bangga terhadap ayahnya, kebanggaan itu tak pernah kunjung padam. Maka itu, atas teguran kedua orang ini, dia angkat kepalanya. "Kim Tjoa Long-koen itu ayahku," dia jawab. "Apa perlunya kau tanya tentang ayahku itu?" Si wanita tua tertawa dengan sekonyong-konyong, suara tertawanya panjang, lagunya membuat orang jadi gentar hati. "Jadinya dia belum mampus dan dia telah tinggalkan kau sebagai turunan celaka!" bentaknya. "Ada dimana dia sekarang?" si jangkung-kurus menegur. Tjeng Tjeng angkat kepalanya. "Perlu apa aku jawab kamu?" katanya secara menantang.

Sepasang alisnya si uwah terbangun, kedua tangannya menyambar muka Tjeng Tjeng. Inilah hebat untuk nona Hee, yang tak keburu berkelit, sedang sepuluh jarinya wanita tua itu berkuku tajam semua. Coba kuku beracun itu mengenai muka yang  putih-bersih dan halus itu? Sin Tjie ada di dekat Tjeng Tjeng, segera ia ayun tangan kanannya, yang ujung bajunya

panjang, ia sampok kedua lengannya si penyerang, ia teruskan putar naik tangannya, untuk libat kedua lengan orang,  setelah mana, dia mendorong. Tidak ampun lagi, uwah itu terpelanting, dia jumpalitan, maka ketika tubuhnya mengenai tanah, dia jadi duduk numprah. Kejadian itu membuat kaget semua anggauta Ngo Tok Kauw, sebab si wanita tua itu, Ho Ang Yo namanya, si Bunga Merah, adalah salah satu jago mereka, malah derajatnya lebih tinggi setingkat daripada kauwtjoe mereka. Apa tidak aneh sekarang, jago itu rubuh di tangannya seorang anak muda yang tidak dikenal? Dan jatuhnya pun secara demikian gampang? Segera si jangkung-kurus, yang bernama Phoa Sioe Tat, dan si orang tani, yang bernama Thia Kie Soe, yang dalam rombongannya berkedudukan sebagai Tjo-yoe Hoe-hoat, atau pelindung kiri dan kanan dari ketua Ngo Tok Kauw, saling berpaling dan manggut, kemudian Sioe Tat kata secara menantang: "Biarkan aku yang terima pengajaran!" Dan ia terus maju. "Wan Siangkong, biar aku yang sambut dia," kata See Thian Kong pada Sin Tjie. Anak muda kita percaya, orang she See ini tentu bukan tandingan musuh itu, akan tetapi tidak leluasa untuk ia mencegah, maka ia pesan: "Saudara See, gunai kipasmu! Jeriji tangan bersarung lancip, itulah senjata dia!" See Thian Kong menurut, ia lantas keluarkan kipasnya, kipas Im-yang-sie, maka di lain saat, ia sudah bertempur sama musuh itu. Di sebelah ini, seperti yang berjanji, Thia Kie Soe majukan diri dan disambut A Pa, si empeh gagah, malah berdua mereka lantas saja bertempur dengan seru sekali. Pertempuran kalut menyusul dua rombongan yang pertama ini. Orang-orang Ngo Tok Kauw mulai lebih dahulu, maka itu Ouw Koei Lam bersama Thie Lo Han dan Tjeng Tjeng terpaksa hunus senjata, untuk layani mereka, jikalau tidak, pasti See Thian Kong dan A Pa akan kena dikeroyok. Adalah si uwah jelek, Ho Ang Yo, yang sebagai orang kalap lompat ke arah Tjeng Tjeng, agaknya dia sangat musuhkan si Nona Hee. Sin Tjie percaya pengemis wanita tua itu mengandung kebencian hebat terhadap Tjeng Tjeng, entah ada dendaman apa, ia cuma duga, mestinya itu ada hubungannya dengan Kim Tjoa Long-koen, jikalau tidak, tidak nanti karena dengar disebutnya nama jago she Hee itu, uwah ini segera unjuk kemurkaan luar biasa. Ia pun insyaf, tidak dapat uwah itu diijinkan turun tangan jahat terhadap Tjeng Tjeng, yang pasti bukan tandingannya. Maka itu, begitu lekas orang telah datang dekat, selagi si uwah hendak serang Nona Hee, dengan sebat dia lompat ke sampingnya, akan jambak bebokong orang itu, akan terus diangkat tubuhnya dan dilemparkan! Ho Thiat Tjhioe saksikan kejadian itu, air mukanya lantas berubah menjadi padam, segera ia bawa telunjuk kanannya ke mulutnya, untuk perdengarkan suitan, beberapa kali beruntun.

Kalau tadi orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan cepat sekali, untuk terjang musuh, maka sekarang, atas bunyinya suitan itu, mereka mundur dengan tak kurang sebatnya, semua lantas berkumpul di sebelah belakang kauwtjoe mereka, berdiri rapi dalam dua barisan. Setelah itu, ratu agama itu perlihatkan senyumannya. "Wan Siangkong," katanya dengan sabar dan manis, "nampaknya kau begini lemah-lembut, tidak disangka-sangka, ilmu kepandaianmu liehay sekali. Wan Siangkong, biarlah aku yang main-main barang beberapa jurus denganmu..." Sin Tjie tidak lantas terima tantangan itu. "Satu hal membuat aku tidak mengerti," katanya. "Sahabat-sahabatku ini semua tidak kenal-mengenal dengan rombonganmu, tak tahu kami, di bahagian mana kami telah bersalah terhadap kamu. Walaupun demikian, aku yang rendah bersedia untuk menghaturkan maaf." Wajahnya Ho Tiat Tjhioe merah karena pertanyaan itu yang berupa teguran. "Sebenarnya, kami cuma berurusan dengan pihak pembesar negeri," kata dia dengan pelahan, suaranya halus. "Pasti sekali Wan Siangkong tidak mengerti duduknya hal. Tapi ini biarlah. Barusan ada disebut-sebut nama Kim Tjoa Long-koen, hal menjadi lain. Sekarang siauw-moay mohon tanya, Kim Tjoa Long-koen itu ada di mana?" Sin Tjie berlaku hormat dan merendah, ratu agama itu pun bersikap manis, hingga ia membahasakan diri siauw-moay, adik yang kecil. Tjeng Tjeng tarik tangannya Sin Tjie. "Jangan beri tahu," dia kisiki itu pemuda. "Apakah kauw-tjoe memang kenal Kim Tjoa Long-koen?" Sin Tjie balik menanya. "Dengan kaumku, dia punya hubungan yang sangat erat," sahut kepala agama dari Ngo Tok Kauw itu. "Ayahku telah meninggal dunia karena dia. Karenanya, dari dua puluh ribu anggauta Ngo Tok Kauw kami, tidak ada satu anggauta yang tidak berniat mencari padanya!" Diam-diam Sin Tjie terperanjat, juga Tjeng Tjeng. Itulah hebat! Apakah urusan itu? Sayang mereka belum pernah ketemu sama Kim Tjoa Long-koen, hingga mereka tidak dapat tanyakan sebabnya urusan itu. Mereka heran, kenapa Kim Tjoa Long-koen telah tanam permusuhan dengan rombongan agama yang memuja bisa ini? Terang sekali kebencian sangat dari pihak Ngo Tok Kauw itu. "Kim Tjoa Long-koen berada di satu tempat yang terpisah laksaan lie dari sini," sahut Sin Tjie. "Aku kuatir tuan-tuan tak akan dapat cari dia sekalipun untuk selama-lamanya...."

"Jikalau begitu, tinggalkanlah puteranya ini di sini, untuk kami pakai dia sebagai kurban sembahyang roh ayahku!" kata Ho Tiat Tjhioe. Kauw-tjoe ini percaya Nona Hee ada satu putera, sebab Tjeng Tjeng dandan sebagai satu pemuda. Ia pun mempunyai gerak-gerik yang luar biasa sekali. Ia gampang bersenyum, lagaknya mirip dengan nona-nona remaja yang kebanyakan, suaranya pun lembut, akan tetapi satu waktu, dia bisa unjuk keangkaran dan suaranya jadi keren. Demikian kali ini. Sin Tjie tetap berlaku tenang dan sabar. "Adalah pembilangan sejak jaman purbakala, siapa melakukan sesuatu, dia sendiri yang harus bertanggung-jawab," katanya. "Kamu mempunyai sangkutan dengan Kim Tjoa Long-koen, baiklah kamu pergi cari dia itu sendiri." Ho Tiat Tjhioe pun menjadi sabar pula ketika ia berkata lagi. "Ketika dahulu ayahku almarhum menutup mata, siauw-moay Baru berusia tiga tahun," katanya. "Sudah dua-puluh tahun kami cari lootjianpwee she Hee itu, tidak juga siauw-moay berhasil. Itulah sebabnya kenapa siauw-moay ingin tahan puteranya ini. Kalau lootjianpwee itu ketahui puteranya berada di sini, pasti dia bakal datang mencari. Asal dia datang kemari maka urusan kita yang telah tertangguh lama itu segera akan menajdi beres." Tjeng Tjeng jadi sangat gusar. Dia hendak ditahan, untuk dijadikan "manusia tanggungan". Itulah hebat. Maka tak dapat dia kendalikan diri lagi. "Hm, bagus pikiranmu!" dia menjengeki. "Aku nanti beritahu ayahku tentang tingkah tengik kamu ini, supaya dia bunuh mampus kamu semua!" Ho Tiat Tjhioe tidak ladeni nona ini. Dia menoleh pada Ho Ang Yo. "Adakah dia ini mirip dengan ayahnya?" tanya dia. "Romannya mirip benar satu dengan lain, dan tabeatnya pun hampir sama!" jawab si uwah. Kauwtjoe itu segera hadapi Sin Tjie. "Wan Siangkong, aku persilakan kamu semua pergi pulang," kata dia. "Kami cuma hendak menahan ini satu Hee Kongtjoe." Dan ia geraki tangannya, sebagai tanda untuk mempersilahkan tetamu-tetamunya berangkat pergi. Sin Tjie berpikir dengan cepat. "Dia cuma inginkan Tjeng Tjeng satu orang, karena keadaan di sini berbahaya, baik aku dului antar dia keluar. Yang lain-lain umpama kata mereka tidak dapat lolos, mereka tentu tidak terancam bahaya hebat..." Maka lantas saja dia menjura kepada kepala agama itu.

"Nah, sampai ketemu pula!" katanya. Berbareng dengan ucapannya itu, Sin Tjie sambar pinggang Tjeng Tjeng dengan tangan kiri, sambil pondong si nona, ia lompat ke arah tembok yang tinggi, tetapi ia tidak perdulikan itu. Lagi sekali dia lompat, untuk enjot kedua kaki, pondongannya diangkat ke tinggi, untuk dilemparkan ke atas, untuk mana, tangan kanannya membantu menolak dengan keras. "Hati-hati, adik Tjeng!" dia pesan. Orang-orang Ngo Tok Kauw saksikan kejadian itu, mereka jadi sangat murka, untuk merintangi, beberapa di antaranya segera menyerang dengan senjata rahasianya masing-masing. Sin Tjie kibaskan pulang-pergi tangannya, yang bertangan baju panjang, dengan itu ia halau sesuatu senjata rahasia musuh itu, yang pada jatuh ke tanah. Tjeng Tjeng telah membarengi berlompat ketika ia diapungi Sin Tjie, ia jambret tembok, untuk naik keatasnya. Justru itu, Ho Tiat Tjhioe lompat dari kursinya, dia serang Sin Tjie dengan tangan kirinya. Anak muda ini terkesiap karena penyerangan kauw-tjoe itu. Tangan yang menyerang belum sampai, anginnya sudah menyambar hidungnya. Sejak dia turun gunung, belum pernah dia ketemu musuh yang liehay sekali, kecuali dia punya Djie-soeko Kwie Sin Sie. Makanya, di sebelah terkejut, dia pun kagumi kepala agama Ngo Tok Kauw ini. "Bagus!" dia berseru seraya egos tubuhnya, sambil berbuat mana, matanya segera tampak, tangan yang dipakai menyerang dia merupakan gaetan lancip dan tajam, warnanya hitam, hingga kembali ia jadi kaget. Selagi menyerang Sin Tjie, tangan kanannya Ho Tiat Tjhioe terayun ke tinggi, ke arah Tjeng Tjeng, menyusul mana sebelah gelang emasnya melesat naik ke tembok. "Kau turun!" dia berseru, suaranya nyaring tapi tetap halus. Tjeng Tjeng merasakan sangat sakit pada kaki kirinya, tak dapat ia pertahankan itu, kedua tangannya pada tembok terlepas, ia rubuh ke kaki tembok. Ho Ang Yo perdengarkan suara tertawanya yang panjang dan menyeramkan, dia berlompat kepada puterinya Kim Tjoa Long-koen, sepuluh jarinya yang tajam dan liehay, yang beracun, diarahkan kepada nona dalam penyamaran itu. Sementara itu, Sin Tjie telah mesti layani Ho Tiat Tjhioe, yang habis serang Tjeng Tjeng dengan senjata rahasianya terus terjang pula anak muda ini, Tadi tidak sangka nona ini bisa membarengi menyerang Tjeng Tjeng, kalau tidak, tentu ia sudah menghalanginya. Sekarang ia mesti layani serangan sangat hebat dari ini kepala agama. Meski begitu, ia masih sempat perhatikan Tjeng Tjeng, maka tempo ia tampak serangan berbahaya dari Ho Ang Yo, dengan sebat ia serang uwah itu dengan beberapa butir biji caturnya, hingga semua sepuluh sarung kukunya si wanita tua jadi copot dari  jeriji-jerijinya dan jatuh ke tanah, hingga Tjeng Tjeng jadi lolos dari ancaman malapetaka. "Bagus!" Ho Tiat Tjhioe puji lawannya, yang ia kagumkan kepandaiannya menggunai senjata rahasia itu, berbareng dengan mana, tangan kirinya tetap mendesak dua kali beruntun, karena tak pernah ia hambat serangannya. Sin Tjie pun heran akan saksikan kedua tangannya lwan wanita ini, kedua tangan yang ia telah lihat dengan tegas. Tangan kanan si nona putih dan halus, bagaikan es atau salju, lima jarinya lurus dan lentik, kelima kukunya dipakaikan cat kuku terbuat dari sarinya bunga hongsian, kapan tangan kanan itu dipakai menyerang, berbareng sama keliehayannya, pun ada menyiarkan bau harum. Akan tetapi tangan kirinya, entah kenapa, seperti telah dikutungi sebatas telapakan tangan, sebagai gantinya dipasangi gaetan terbuat dari besi yang tajam sekali, gaetan mana bisa dikasi bekerja sama liehaynya dengan tangan biasa. "Saudara See, lekas kamu cari jalan keluar!" seru Sin Tjie sambil terus layani si nona. See Thian Kong beramai sebaliknya sudah dikurung rapat oleh orang-orang Ngo Tok Kauw itu, mereka berjumlah jauh lebih kecil, sulit untuk mereka menoblos kurungan. Dalam melayani musuh, Sin Tjie pergunakan "Hok-houw-tjiang", ilmu silat "Menaklukkan Harimau". Ia sebenarnya harus berlaku telengas, akan tetapi ia dapati lawannya desak ia dengan hebat tapi tanpa serangan-serangan yang membahayakan, orang seperti memandang-mandang kepadanya, ia pun jadi berlaku tenang. Rupanya, kalau bisa, si nona hendak dapat rabah tubuh si anak muda, untuk ditangkap tanpa berdaya... Selama pertempuran berlangsung itu, Tjeng Tjeng numprah saja di tanah, tak dapat ia bangun berdiri. Sin Tjie lihat keadaan kawannya itu, ia niat menolong, maka ia lantas desa Ho Tiat Tjhioe, lalu selagi si nona mundur, mendadak dia lompat pada Nona Hee, untuk dikasi bangun. Hampir berbareng dengan itu, Sin Tjie dengar suara beradu keras. Itulah Thie Lo Han, yang bentrok hebat dengan Thia Kie Soe. Atas bentrokan itu, tauwtoo ini berseru,  lalu ia menyerang lagi, dengan hebat, hanya kali ini, Baru beberapa jurus, ia telah rasai tangannya sakit dan berat. Sebab tangan itu menjadi bengkak dengan lekas sekali, hingga berbareng sangat mendongkol, dia pun sibuk. "Tangan musuh ada racunnya semua, awas!" dia teriaki kawan-kawannya, untuk diberi peringatan. Mendengar seruan dari kawan itu, mendadak Sin Tjie ingat, semua musuh dari Ngo Tok Kauw itu telah pahamkan Tok-see-tjiang, ilmu "Tangan Pasir Beracun" yang liehay, asal orang kena terserang, mesti dia jadi kurbannya racun. Karena ini ia anggap, benar-benar pihaknya sedang terancam bahaya hebat, bila tidak lekas-lekas mereka loloskan diri, mereka akan hadapi malapetaka, semua bakal terkubur di sarang penjahat itu. Ho Tiat Tjhioe berlaku gesit, menampak lawannya tolongi puterinya Kim Tjoa Long-koen, dia mendesak pula. "Ho Kauw-tjoe!" Sin Tjie berkata, "kita berdua tidak kenal satu dengan lain, kita tidak pernah bermusuhan, kenapa kau desak kami begini rupa? Jikalau kau tidak ijinkan kami berlalu dari sini, jangan nanti kau sesalkan aku keterlaluan!" Nona she Ho itu, kepala dari Ngo Tok Kauw, tertawa manis, hingga kelihatanlah sepasang sujennya. "Kami cuma menghendaki supaya Hee Kongtjoe ditinggal di sini," katanya. "Untuk yang lain-lain, silahkan pergi!" Tentu saja tak sudi Sin Tjie tinggal Tjeng Tjeng. Maka ia sambut jawaban itu dengan sapuan kaki kiri sambil berbareng tangan kanannya menyambar ke muka si nona. Ho Tiat Tjhioe tolong diri sambil berlompat seraya tangannya yang sebelah dipakai menangkis, untuk papaki tangan kanan lawannya itu. Akan tetapi sebelum kedua tangan bentrok, cepat-cepat dia egos tangannya itu, ia baliki untuk pakai jarinya menotok lawan punya jalan darah kiok-tie-hiat. Sebat luar biasa perubahan gerakan tangannya ini. "Bagus!" Sin Tjie memuji dengan suaranya pelahan seraya ia elakkan tangannya itu dari totokan, sedang dengan tangan kirinya, ia membabat batang leher lawan itu. Ia telah dapat kenyataan, walaupun si nona bertangan beracun, dia toh jeri untuk serangan-serangannya. Habis ini, ia mengubah serangan dengan "Poh-giok-koen", ilmu silat "Memecahkan batu kumala", ilmu pukulan mana Lauw Pwee Seng tidak sanggup melayaninya selama lima jurus meskipun Pwee Seng dijuluki "Sin-koen Thay-Po", "pahlawan kepala". Ho Tiat Tjhioe liehay, akan tetapi didesak dengan ini ilmu pukulan yang Baru, dia repot juga, tidak berani dia sembarang menangkis, kalau tadinya ia sering bersenyum, sekarang romannya jadi sungguh-sungguh, tandanya ia tidak berani memandang enteng lagi. Ia segera perlihatkan keentengan tubuhnya, kelincahannya, untuk bisa melayani terus. Tapi, selagi ia berlaku cepat, gerakannya Sin Tjie lebih gesit pula. Kemudian, sedangnya si nona mundur karena terdesak, hingga mereka datang dekat kepada Kim-ie Tok Kay Tjee In Go, dengan mendadak pemuda kita serang si pengemis tak berbudi itu - dengan kepalan tangan. "Bagus!" berseru Tjee In Go, yang lihat serangan itu sambil menangkis dengan tangannya yang kiri, untuk bentur tangan lawan. Sin Tjie mendak, tangan kanannya ditarik pulang, sebaliknya, tangan kirinya dipakai menyambar ujung baju lawannya itu, untuk dipegang, berbareng dengan mana, kaki kanannya dimajukan, untuk dipakai menggaet kedua kaki lawan itu, sedang kaki kirinya, sebat sekali, ia pakai menjejak dengkul kanan lawan tepat bahagian batok dengkul itu. Tjee In Go tidak berdaya untuk pelbagai serangan berbareng itu, tak sempat ia singkirkan kakinya itu, malah tak bisa ia berbuat demikian, karena kaki kanan musuhnya sudah mendahului melibat. Dengan hebat ia kena terjejak, sampai batok dengkulnya seperti mau copot, hingga ia merasakan sakit bukan kepalang. Tidak ampun lagi, ia rubuh mendeprok!

Ouw Koei Lam adalah yang lawan Kim-ie Tok Kay, melihat sang lawan rubuh, dia lantas meninggalkannya, untuk pergi hampirkan tiga musuh yang sedang kerubuti See Thian Kong. "Mundur ke tembok!" teriak Sin Tjie. "Aku nanti yang menolongi!" Mendengar itu, Koei Lam batal membantui Thian Kong, sebaliknya ia dekati Tjeng Tjeng, untuk bawa dia ini ke tepi tembok, kemudian ia pun kumpuli Thie Lo Han dan Sian Tiat Seng yang pada terluka. Sin Tjie sendiri segera perhatikan lain-lain kawannya. Ia lihat bagaimana See Thian Kong dan A Pa masing-masing melayani tiga musuh yang sedang kepung mereka itu. Tidak tempo lagi, ia bergerak untuk berikan pertolongannya. Untuk ini, ia tendang bergantian dua orang Ngo Tok Kauw, yang menerjang kepadanya, setelah mereka ini rubuh, ia lompat kearah See Thian Kong. Tiga penyerangnya orang she See itu pun telah mendapatkan luka-luka tak berarti, masih mereka mengepung terus. Sin Tjie lantas serang mereka itu, tapi ia tidak ingin mencelakai terlalu banyak orang, iapun segar bentur tangan-tangan Tok-see-tjiang, maka ia berkelahi dengan ilmu silatnya "Hoen-kin Tjo-koet-tjhioe", saban-saban ia bikin orang rubuh pingsan atau tak mampu bergerak lagi.

Sebentar saja, See Thian Kong telah dapat dibebaskan dari kepungan, maka itu, pemuda ini lantas hampirkan A Pa, si empeh gagu. Dia ini dikepung bertiga, tidak bisa dia kalahkan musuh-musuhnya tetapi ia sendiri masih cukup gagah, leluasa ia melayaninya, sebab ia telah wariskan cukup baik ilmu silat Hoa San Pay. Ho Tiat Tjhioe tampak keadaan merugikan pihaknya, ia perdengarkan pula suitannya, maka sekarang orang-orang Ngo Tok Kauw meluruk pada Sin Tjie dan si empeh gagu. Melihat demikian, Sin Tjie unjuk kegesitannya, dengan cepat ia rubuhkan satu lawan dan lukai lengannya yang lain, sedang A Pa dapat kesempatan toyor musuhnya yang ketiga selagi dia ini terkesiap mendapatkan dua kawannya kena dikalahkan. A Pa telah jadi sangat sengit, ingin ia susuli musuhnya yang telah mengeluarkan kecap dari hidungnya, akan tetapi Sin Tjie tarik ia kekaki tembok dimana kawan-kawan mereka sudah berkumpul menjadi satu, sedang dilain pihak, orang-orang Ngo Tok Kauw pun sudah berkumpul, untuk taati titah kepala agamanya, akan serbu musuh. Rombongan Ngo Tok Kauw ini menjagoi diwilayah Inlam, sesuatu orang kang-ouw, atau Sungai Telaga, mendengar nama mereka saja sudah kerutkan alis dan menggeleng kepala, semua jeri, karena tidak saja mereka liehay ilmu silatnya, yang sangat dimalui adalah kuku-kuku mereka yang berbisa, siapa terkena kuku itu, asal lecet saja, tentu bakal terbinasa. Akan tetapi, siapa nyana, di Utara ini, Baru mereka datang, mereka telah menghadapi musuh yang liehay, maka disebelahnya kaget dan heran, mereka pun mendongkol dan gusar sekali. Begitu Ho Tiat Tjhioe, dengan suitannya, ia telah beri tanda untuk orang-orangnya meluruk kepada musuh mereka.

"Kamu semua lekas menyingkir, aku nanti pegat mereka!" seru Sin Tjie pada kawannya. Ouw Koei Lam, yang kepandaiannya entengi tubuh cukup liehay, taati seruannya pemuda itu, yang berbareng jadi beng-tjoe, ketua ikatan, dari tujuh propinsi. Dengan kepandaiannya "Pek-houw yoe tjhong kong," atau "Cecak memain ditembok," dia merayap ditembok, untuk naik keatasnya, lalu dengan dibantu A Pa dan Thian Kong, ia sambut kawannya yang terluka. Si empeh gagu dan Thian Kong adalah yang naik paling belakang. Sin Tjie sementara itu sudah tangkis serbuan musuh-musuhnya, dengan cepat ia telah rubuhkan belasan orang, sesudah mana, dengan angkat kedua tangannya, ia beri hormat pada kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw. "Nona Kauw-tjoe, sampai ketemu pula, sampai ketemu pula!" katanya, kemudian dengan bebokongnya ditempel pada tembok, hingga dilain saat, ia sudah nyerosot naik ditembok itu. Sebentar saja, ia pasti akan sudah sampai diatas. Ho Ang Yo si wanita tua menjerit melihat orang hendak kabur, ia enjot kedua kakinya, untuk apungi diri, akan sambar musuh itu, sedang lima jari tangannya mendahului, menyerang ke jurusan tubuh sang lawan. Ia percaya, selagi nyerosot naik, musuh itu tidak bakal sanggup menangkis atau mengelakkan serangannya itu. Sin Tjie memang berada dalam keadaan keponggok, tak bisa ia berkelit, akan tetapi kedua tangannya ada merdeka, begitu diserang, ia kibaskan tangan kirinya, yang ujung bajunya panjang, hingga tangannya si uwah jelek jadi kena tersampok, sampai tangan dengan kuku-kuku yang liehay itu berbalik menyerang ke arah dirinya sendiri. Kaget sekali wanita tua-bangkotan ini. "Apakah kau ada muridnya Kim Tjoa Long-koen?" tegur dia. Heran Sin Tjie mendengar ini. "Mesti ada hubungannya di antara dia dan Kim Tjoa Long-koen," pikirnya. Karena uwah ini kenali diapunya ilmu pukulan menghalau serangan kuku yang berbahaya itu. Walaupun ia heran, Sin Tjie toh tidak berhentikan gerakan tubuhnya, malah belum sempat dia menjawab, dia sudah sampai di atas tembok, akan terus lompat kesebelah luar, untuk susul kawan-kawannya. A Pa beramai telah lindungi Tjeng Tjeng sampai ditembok yang keempat, justru itu, mereka dengar satu suara berkeresek yang nyaring menyusul mana pada tembok terbukalah satu lowongan beberapa kaki lebarnya.

Sin Tjie tahu, itulah pintu rahasia, maka untuk lindungi A Pa semua, ia lompat melesat kearah pintu rahasia itu, tanpa berayal lagi ia menyerang dengan kedua tangannya dengan tipu-silatnya "Pay san to hay" atau "Mendorong gunung untuk menguruk lautan." Berbareng sama terpentangnya pintu rahasia, serombongan orang Ngo Tok Kauw tertampak meluruk datang, untuk keluar dari situ, tetapi dua yang maju paling depan telah jadi kurban serangannya anak muda kita, tanpa ampun mereka rubuh jumpalitan beberapa kali, kembali kesebelah dalam, karena mana kawan-kawannya jadi merandak, tak berani mereka lancang maju. Phoa Sioe Tat licik, dia lantas berikan tanda titahnya, atas mana empat anggauta Ngo Tok Kauw segera angkat bumbung mereka, yang merupakan sumpitan, untuk menyemburkan barang cair kearah Sin Tjie. Itu adalah air racun mereka. Sin Tjie kaget sekali, belum ia sampai kena tersemprot, hawa busuk telah bikin kepalanya rada pusing, syukur ia dapat berlompat mundur dengan cepat, ia jadi lolos dari bahaya. Dengan menyingkir jauh-jauh, semprotan air racun tidak sampai kepadanya, air racun itu jadi menyiram melulahan disebelah depan dia. Air racun itu bersemu hitam dan baunya keras. Tembok di belakang Sin Tjie ada tembok kuning, yang jauh lebih kate daripada tembok-tembok lainnya disebelah dalam, maka itu di sini ia tidak gunai ilmu merayapnya "Cecak main ditembok," ia hanya enjot tubuhnya, untuk berlompat, hingga dilain saat, ia sudah sampai kebahagian atas tembok. Dari sini ia lompat keluar dengan tidak memutar tubuh lagi, hanya sambil lompat jumpalitan, secara begini ia jadi tidak mensiasiakan tempo. Ho Tiat Tjhioe dapat lihat cara berlompat itu. "Bagus!" serunya tanpa dia merasa. Sin Tjie susul kawannya terus sampai ditembok terakhir, yang warnanya hitam. Ia tidak lihat orang mengejar akan tetapi tak mau ia membuang-buang tempo. Malah untuk bisa lari lebih cepat lagi, ia sambar Tjeng Tjeng, untuk dipanggul dibelakangnya, bersama semua kawannya itu, ia kabur terus. Benar disaat mereka mendatangi dekat rumah mereka, Sin Tjie merasakan gatal-gatal pada pundaknya, ada hawa panas yang menghembusnya, apabila ia menoleh ke belakang, Tjeng Tjeng tertawai ia, si nona cekikikan pelahan. Maka legalah hatinya, sebab itu ada suatu tanda kawan ini tidak terluka parah. Segera setelah sampai didalam rumah, Sin Tjie lantas keluarkan mustikanya, untuk tolongi Thie Lo Han dan Sian Tiat Seng, kemudian Baru ia periksa lukanya Tjeng Tjeng, yang menjadi kurban senjata rahasia yang berupa gelang dari kepala agama Ngo Tok Kauw. Kakinya si nona, yang terkena gelang, yang tadinya putih-bersih, sekarang telah menjadi berwarna hitam dan bengkak juga, suatu tanda liehaynya serangan dari Ho Tiat Tjhioe. Sin Tjie lantas mengobatinya. Adalah kemudian, selagi semua orang beristirahat, Sin Tjie minta keterangan pada Sian Tiat Seng tentang Ngo Tok Kauw, itu pengemis yang memuja ular berbisa. "Ngo Tok Kauw itu biasanya tidak pernah melintas keluar dari wilayah mereka, keempat propinsi Inlam, Kwietjioo, Kwiesay dan Kwietang, sama sekali belum pernah mereka datang ke Utara," sahut Tokgan Sin-Liong dengan keterangannya, "meskipun demikian, umum ketahui baik keliehayan mereka. Sekalipun dalam kalangan Rimba Persilatan, asal orang omong tentang Ngo Tok Kauw, wajah muka orang pasti berubah karena gelisah sendirinya. Sebegitu jauh yang aku ketahui, tak pernah ada orang yang berani main gila terhadap rombongan pengemis itu." Thia Tjeng Tiok diam saja sedari tadi, ia telah kerutkan alis ketika ia dengar hal pertempuran di gedung Pangeran Seng Ong itu, akan tetapi, seperti orang yang ingat suatu apa, sehabis katanya Sian Tiat Seng, ia campur bicara. "Wan Siangkong," katanya, "orang bilang Oey Bok Toodjin dari Boe Tong Pay telah terbinasa ditangannya kawanan Ngo Tok Kauw itu..." "Bagaimana cara kematiannya itu? Siapakah yang telah menyaksikannja?" Sin Tjie tanya. "Jikalau ada yang telah menyaksikan, mestinya saksi itu sendiri tidak akan luput dari tangannya orang-orang Ngo Tok Kauw," sahut Tjeng Tiok. "Menurut kalangan orang kang-ouw, kebinasaannya Oey Bok Toodjin itu ada dalam cara sangat hebat dan menyedihkan. Pernah orang-orang Boe Tong Pay meluruk ke Inlam, untuk mencari balas, akan tetapi tidak ada hasilnya. Ngo Tok Kauw itu adalah satu rahasia untuk umum..." Tiba-tiba See Thian Kong perdengarkan suara tak nyata, kemudian dia tegasi Tjeng Tiok: "Saudara, Thia, apa benar-benar kau tidak kenal pengemis wanita tua itu?" Ditanya begitu, Thia Tjeng Tiok perlihatkan roman duka. "Aku percaya saudara-saudara merasa heran, sebenarnya aku mempunyai kesulitan, yang sukar untuk aku menjelaskannya," kata dia kemudian. See Thian Kong tertawa. "Aku pernah tempur kau, aku tahu, makin tua kau makin gagah!" katanya. "Siapa juga tidak nanti bilang bahwa kau takut mati!"_ "Aku telah terima pesan orang, untuk itu aku telah beri kata-kataku dengan sumpah berat," kata pula Thia Tjeng Tiok, "maka itu, tak dapat aku bicara. Itu juga sebabnya kenapa aku tak ingin datang kebalai istirahat dari Pangeran Seng Ong itu." Orang tahu, sebagai ketua dari Tjeng Tiok Pay, Tjeng Tiok tidak nanti bicara dusta, karenanya, orang tidak desak dia untuk menjelaskan kesulitannya itu. Tapi karena itu, untuk sesaat, semua orang berdiam, mereka pada tunduk kepala, hingga gedung menjadi sunyi-senyap. Dalam suasana terbenam itu, mendadak satu bujang datang masuk. "Ada satu Nona Tjiauw mohon ketemu sama Wan Siangkong l" katanya. Tjeng Tjeng kerutkan alis dengan tiba-tiba. "Dia datang, apakah dia mau?" katanya. "Undang dia masuk !" Sin Tjie perintah bujangnja. Bujang itu menyahuti, lantas ia keluar. Tidak lama ia sudah kembali bersama Tjiauw Wan Djie. Begitu lekas ia berhadapan sama Sin Tjie, Nona Tjiauw segera berlutut, ia memberi hormat sambil menangis menggerung-serung. Sin Tjie lihat orang pakai pakaian berkabung, hatinya sudah bercekat, tetapi karena si nona berlutut, ia lekas-lekas berlutut juga untuk membalas hormat.

"Silahkan bangun, Nona Tjiauw," katanya kemudian, mempersilahkan. "Apakah ayahmu baik?" Masih nona itu menangis. "Ayah, ayah telah dibunuh si orang she Bin..." katanya dengan tak lancar. Sin Tjie terperanjat, sampai ia berjingkrak. "Bagaimanakah duduknya hal?" tanya dia dengan bernapsu. Wan Djie sudah berbangkit, ia lolosi satu bungkusannya, untuk diletaki diatas meja, terus ia buka. Isinya itu sebatang pisau belati yang tajam mengkilap dimana antaranya ada sisa tanda-tanda darah terotolan. Sin Tjie jumput senjata itu, untuk diperiksa. Maka melihatlah ia ukiran huruf-huruf pada gagangnya, yang dikelam dengan emas, bunyinya "Bin Tjoe Hoa, murid Boe Tong Pay golongan huruf Tjoe". Itu adalah senjata warisan atau tanda mata kepada setiap murid Boe Tong Pay, yang biasa diberikan kepada setiap murid yang telah rampungkan pelajarannja dan diijinkan turun gunung, keluar dari rumah perguruan. "Ketika itu hari ayah pulang habis menghadirkan rapat besar di gunung Tay San," Tjiauw Wan Djie segera menerangkan, "kami telah mampir di Tjietjioe untuk bermalam didalam sebuah rumah penginapan. Dihari besoknya, sampai siang ayah masih belum keluar dari kamar, maka aku pergi kekamarnya, untuk mengasi bangun. Akan tetapi ayah kedapatan sedang rebah dengan sudah tidak bernapas, didadanya tertancap sebatang pisau belati ini... Wan Siangkong, aku mohon sukalah kau pikirkan jalan untuk aku..."  Kembali Wan Djie menangis menggerung-gerung. Mulanya Tjeng Tjeng heran atas kedatangan Nona Tjiauw itu, timbullah kecurigaannya, akan tetapi sekarang, melihat kesulitan orang itu dan menyaksikan keadaannya yang menyedihkan, timbullah rasa simpati dan kasihannya, lantas saja ia menghampirinya, untuk pegang tangannya Nona Tjiauw, akan susuti air matanya nona yang bernasib malang itu. "Toako," kata Tjeng Tjeng dilain pihak kepada Sin Tjie, "orang she Bin itu sudah berjanji untuk bikin habis persengketaan, kenapa sekarang dia lakukan perbuatan hina-dina ini, membunuh secara menggelap? Tak dapat kita sudahi perkaranya ini!" Sin Tjie tidak lantas menyahuti, hanya dia berdiam. Dia berpikir. "Nona Tjiauw," tanyanja kemudian, "apakah setelah itu kau pernah bertemu sama orang she Bin ini?"

"Dua kali aku pernah bertemu padanya," sahut Wan Djie dengan masih menangis sesenggukan, "maka kami telah susul dia. Baru kemarin kami sampai di sini..."

"Bagus!" seru Tjeng Tjeng. "Dia ada di Pakkhia, mari kita cari padanya! Adikku, kau sabar, kau tenangkan diri, pasti aku nanti membalas dendam untukmu!" Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan yang lain-lain berdiam saja. Tjeng Tjeng tahu, itulah tentu disebabkan mereka tak ketahui duduknya hal. Maka nona Hee lantas ceritakan pengalamannya Sin Tjie di Kim-leng dimana pemuda itu telah pecahkan ilmu silat "Liang Gie Kiam-hoat" untuk mengakurkan perselisihan diantara Tjiauw Kong Lee dan Bin Tjoe Hoa. Mendengar ini, Tjeng Tiok semua menjadi tidak puas. Teranglah Bin Tjoe Hoa sudah langgar kehormatan kaum kang-ouw, perbuatannya itu ada sangat busuk. "Mahluk apa Bin Tjoe Hoa itu?" tanya See Thian Kong dalam sengitnya. "Ingin aku si tua-bangka she See mencoba menempur dia!" Tjiauw Wan Djie lantas menjura kepada Thian Kong beramai. "Aku mohon semua paman untuk membelakan pri-keadilan," minta dia. Thia Tjeng Tiok pun sengit sekali, hingga dia keprak meja.

"Dimana adanya Bin Tjoe Hoa sekarang?" dia tanya. "Tidak perduli Boe Tong Pay banyak anggautanya dan berpengaruh, aku si orang she Thia tak gentar terhadap mereka!"

"Setelah kebinasaan ayah," kemudian Tjiauw Wan Djie menerangkan lebih jauh, "bersama beberapa soeko aku rawat jenasahnya, tetapi sekarang ini jenasah itu masih dititipkan dirumahnja In Piauwsoe dari Kong Boe Piauw Kiok di Tjietjioe. Segera setelah itu, aku mencoba mengundang sejumlah sesama orang kang-ouw, untuk mereka tolong cari tahu dimana beradanya Bin Tjoe Hoa. Aku bersyukur kepada roh ayahku, selang beberapa hari telah datang kabar dari sahabat-sahabat di Hoolam, ada diantara mereka yang dapat lihat orang she Bin itu sedang dalam perjalanan dari Hoolam ke Pakkhia. Atas warta itu, pihak kami sudah lantas bekerja. Pelbagai hiotjoe dalam dan luar dari Kim Liong Pang bersama semua totjoe dari semua pelabuhan darat dan air telah berpencar diri, untuk mencari dan memegat, dua kali telah dilakukan pertempuran, saban-saban dia bisa loloskan dirinya. Tidak beruntung adalah aku, karena aku tidak punya guna, pernah satu kali,aku kena dilukai dia..." Sin Tjie lihat, pundak kiri dari si nona masih dibalut. Ia merasa kasihan berbareng kagum. Pasti nona ini, meskipun kalah tangguh dari Bin Tjoe Hoa, untuk membalas sakit hati ayahnya, sudah berlaku nekat, dia tempur mati-matian musuh besarnya itu. Tentu sekali dia ini bukannya tandingan Bin Tjoe Hoa. "Sampai kemarin kami terus kuntit orang she Bin itu," Wan Djie melanjuti keterangannya. "Sekarang kami telah ketahui dimana dia telah pernahkan diri."

"Dimana?" tanya Tjeng Tjeng dengan bernapsu. "Mari lekas kita satroni dia, supaya dia jangan keburu mabur lagi!"

"Dia bertempat di gang Hoe Kee Hootong di dalam sebuah rumah," sahut Wan Djie. "Seratus lebih orangku sudah memasang mata disekitar rumah itu." Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut. "Meskipun nona ini masih muda tapi ia cerdik dan pandai bekerja," memuji ia dalam hatinya. "Kaum Kim Liong Pang telah keluar dalam rombongan seluruhnya, pasti sekali sebelum mereka dapat binasakan Bin Tjoe Hoa, belum mereka mau sudah..."

"Barusan saja ditengah jalan aku telah bertemu sama satu sahabat yang juga Baru kembali dari rapat di Tay San," menambahkan Nona Tjiauw itu, "dari dia itu aku dapat tahu bahwa kau justru berada di sini, Wan Siangkong..." See Thian Kong tunjuki jempolnja, dia bersenyum puas. "Nona Tjiauw, sempurna sekali tindakan kau ini!" dia memuji. "Menurut kau, sudah terang Bin Tjoe Hoa itu telah berada didalam genggamanmu, tetapi kau toh masih datang kemari untuk minta keadilan dari bengtjoe kita, supaja kaum kang-ouw nanti mengutuk Bin Tjoe Hoa yang harus dibikin binasa itu! Bagus, bagus!"

"Kapan kamu hendak turun tangan?" kemudian Sin Tjie tanya. "Sebentar malam jam dua," jawab Wan Djie, yang terus bungkus rapi pula pisau belati yang meminta jiwa ayahnja itu. "Ya, simpan senjata ini, adik," kata Tjeng Tjeng. "Sebentar kau gunakan ini untuk tikam mampus musuhmu itu !" Nona Hee pun sengit seperti yang lain-lainnya, hingga lenyap kecurigaan atau cemburuannya..... Wan Djie manggut terhadap nona ini. Diam-diam Sin Tjie menghela napas. Ia berkasihan terhadap Tjiauw Kong Lee, ia sayangi ketua Kim Liong Pang itu. Ia tahu jago ini berbudi, siapa sangka dia mesti binasa ditangan jahat. Di sebelah itu, ia menyesal sekali, iapun berkuatir. Permusuhan ini akan menghebat dendaman diantara Boe Tong Pay dan Kim Liong Pang. Apabila orang saling dendam tak putusnya, sampai kapan itu dihabiskannya? Untuk selanjutnja, pasti bahaya akan saling menimpa satu pada lain... Pemuda kita lantas tahan Wan Djie bersama, untuk si nona beristirahat, untuk diajak bersantap sama-sama kapan sang sore telah sampai, sesudah mana, ia bersiap. Tjeng Tjeng dan Thie Lo Han tak dapat turut karena mereka sedang terluka. Juga Sian Tiat Seng tidak ikut, karena kepala opas itu telah diantar pulang ke rumahnya. Maka itu cuma Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, A Pa, Ouw Koei Lam dan Ang Seng Hay yang bisa memberikan bantuannya. Begitu sang malam sampai, berenam mereka berangkat dengan Tjiauw Wan Djie jalan di muka untuk jadi petunjuk jalan ke gang Hoe Kee Hootong. Tjeng Tjeng menyesal yang ia tidak dapat turut, saking masgul dan mendongkol, ia lantas kutuki Ho Tiat Tjhioe yang telah lukai padanya. Kapan Sin Tjie beramai sampai didekat gang, beberapa muridnya Kong Lee, yang sedang memasang mata, papak mereka. Lantas saja mereka kisiki bahwa Bin Tjoe Hoa masih ada di dalam rumah bersama Tong Hian Toodjin, soehengnya dia itu. Mereka pun girang sekali menampak Sin Tjie telah dapat diundang. Semua orang telah ketahui baik keliehayannya anak muda ini.  "Wan Siangkong, apa boleh kita turun tangan sekarang juga?" Wan Djie tanya pemuda kita. Nona ini cerdik dan bisa memikir panjang, tak mau ia mendahului beng-tjoe itu. "Sabar dulu," Sin Tjie bilang. ..Sekarang minta semua orang berjaga-jaga seperti biasa, mari kita sendiri pergi mengintai dulu." "Baik," jawab nona itu, yang terus kisiki kawan-kawannya. Maka mereka itu lantas undurkan diri. Sin Tjie ajak semua kawannya mendekati rumah, lantas mereka saling susul lompati tembok, untuk masuk kedalam. Seng Hay masih belum sempurna ilmunya entengkan tubuh, diwaktu ia lompat turun ketanah, ia menerbitkan suara, benar suaranya enteng sekali, akan tetapi didalam rumah, didalam kamar, api padam seketika. Sampai waktu itu Tjiauw Wan Djie tak dapat kendalikan lagi hatinya. Ia pun rupanja kuatir musuh nanti lolos pula. Maka ia lantas perdengarkan suara suitannya. Suara itu pelahan, akan tetapi menyambut itu, di empat penjuru rumah, di pojok tembok, segera muncul pelbagai kepala orang - ialah orangnya yang mengurung rumah itu.

Habis itu, Wan Djie perdengarkan suaranya yang keren: "Orang she Bin, lekas kau keluar! Kau lihat, siapa telah datang kemaril" Sunyi rumah itu, tidak ada suara jawaban. "Nyalakan api!" Wan Djie berseru. "Semua nyerbu kedalam!" Orang-orang Kim Liong Pang, dan sahabat-sahabat mereka, yang datang membantu, taati seruan itu. Mereka memang telah siapkan obor. Maka sebentar saja, teranglah cahaya api. Empat anggauta, yang memegang obor, maju di depan, golok mereka dipakai  melindungi diri. Dengan tiba-tiba saja terdengar beberapa kali suara beruntun, menyusul itu, tiga batang obor padam apinya, hingga tinggal yang satu, kemudian menyusul itu, dua bajangan kelihatan lompat mencelat lari arah rumah itu. Dengan serentak, orang-orang Kim Liong Pang lompat menerjang, hingga selanjutnja, riuhlah suara pelbagai senjata beradu satu pada lain. Kembali terdengar suara suitan, kali ini itu disusul sama merangsaknya orang-orang di empat penjuru, sedang api obor pun jadi bertambah, sehingga pekarangan disitu jadi terang sekali, bagaikan siang saja. Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa telah lakukan perlawanan dengan membaliki belakang satu sama lain, dengan jalan ini mereka hendak cegah mereka nanti terbokong. Mereka perlihatkan ilmu pedang mereka, sebab rupanya mereka insyaf, saat ini adalah saat mati atau hidup mereka. Tidak heran, karena cara berkelahi mereka, sebentar saja sudah ada tujuh atau delapan orang Kim Liong Pang yang kena dilukai. Akan tetapi, delapan orang mundur, serombongan yang lain maju menggantikannya, sebab diaorang ini sangat gusar, mereka setia kepada kawan, sehingga mereka tak takut mati. Repot juga Bin Tjoe Hoa dan soehengnya itu menghadapi demikian banyak musuh, yang nekat semua. Benar mereka bisa lukai beberapa orang lagi, tetapi mereka sendiri pun tak bebas dari serangan-serangan musuh-musuh yang seperti kalap itu. Begitulah Tong Hian terluka pada bahu kirinya, sehingga ia mesti geser pedangnya ke tangan kanan. Kedua orang Boe Tong Pay ini berkelahi menurut ilmu silat Liang Gie Kiam-hoat, Tong Hian mencekal pedang ditangan kiri, Bin Tjoe Hoa ditangan kanan, dengan itu, mereka bisa bergerak dengan leluasa. Sekarang dua-dua pedang berada ditangan kanan, perlawanan mereka menjadi kipa, gerakan mereka jadi kendor  sendirinya. Lagi beberapa saat, Tong Hian terluka pula dan Tjoe Hoa pun tak terluput, dalam keadaan seperti itu, mereka juga tidak sempat menyingkirkan diri, saking hebat dan rapatnya kepungan. Tidak semua musuh liehay tapi mereka nekat, mereka tak dapat dipandang ringan. Sin Tjie lihat kedua orang sudah dapat beberapa luka, ia anggap tak boleh ia menonton lebih lama pula. Ia juga beranggapan, satu jiwa mesti diganti dengan satu jiwa, cukuplah kalau Bin Tjoe Hoa sendiri yang dibikin binasa, tak usah Tong Hian Toodjin kawani soeteenya itu pergi menghadap Raja Akherat. Maka itu, disaat dua jago Boe Tong itu tinggal rubuh binasa, mendadak ia loncat keantara mereka, pedang Kim Tjoa Kiam ia babatkan ditengah-tengah.

Sekejab saja, kedua pedangnya Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa sapat terkutung, begitu juga beberapa ujung pedangnya orang-orang Kim Liong Pang yang sedang mengepung hebat. "Tahan!" Sin Tjie berseru. Gerakan ini membuat kedua pihak tercengang, tapi ia sendiri pun melengak sesaat, saking kagum sendirinya. Ini adalah untuk pertama kali ia gunai pedang Ular Emas itu, diluar dugaannya, pedang itu sangat tajam. Sebenarnja dia hendak halau semua senjata tidak tahunya, semua senjata yang bentur Kim Tjoa Kiam telah kutung sendirinya. Bin Tjoe Hoa telah mandi darah, kaget ia menampak Sin Tjie. Dalam saat itu juga, habislah pengharapannya. Melayani musuh-musuh Kim Liong Pang saja sudah berat, bagaimana dapat ia tempur jago muda itu, yang sekarang malah bersenjatakan pedang mustika? Tong Hian Toodjin juga putus asa, sehingga ia lantas lemparkan pedangnya yang sudah buntung Tapi ia tertawa menyengir. "Tak tahu aku, dalam hal apa kami dua saudara, telah berbuat salah terhadap kau, tuan, maka kau telah desak kami begini rupa?" tanya imam itu. Dimulutnya, Tong Hian mengucap demikian, diam-diam ia rogo keluar pisau belati dipinggangnya, pisau mana ia terus pakai menikam dadanya. Rupanya dalam berputus asa, ia jadi berpikiran pendek juga. Sin Tjie lihat kenekatan itu, ia ulur kedua tangannya, secara sangat sebat. Dengan tangan kiri ia menolak dada orang itu, dengan tangan kanan ia menyambar ke lengan si imam, maka dilain saat, ia telah dapat rampas pisau belati itu yang tajam berkilauan. Malah dalam sekelebatan itu, Sin Tjie bisa lihat huruf-huruf ukiran pada gagangnya belati yang berbunyi: "Tong Hian Toodjin murid Boe Tong Pay golongan huruf Tjoe," Dan pisau belati itu mirip benar macamnya dengan pisau belati Bin Tjoe Hoa yang dipakai membunuh Tjiauw Kong Lee.

Mukanya Tong Hian Toodjin jadi merah-padam, lalu pucat-pias. "Satu laki-laki boleh dibunuh tetapi tak dapat diperhina!" dia berseru. "Aku tahu ilmu silatku belum sempurna, aku bukannya tandingan kau. Maka biarlah aku binasa dengan kau tonton! Lekas kembalikan pisauku itu kepadaku!" Imam ini nyata bernyali besar, keras hatinya. Sin Tjie kuatir orang bunuh diri, tidak saja ia tidak kembalikan pisau itu, ia malah selipkan dipinggangnya. "Mari kita bicara dulu sampai terang, Baru nanti aku kembalikan kepadamu." katanya, dengan sungguh-sungguh. Tapi Tong Hian Toodjin sedang gusar, dia jadi bertambah murka. "Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah!" menjerit dia." Tak dapat kau terlalu menghina!" Jeritan ini disusul sama satu sampokan tangan ke muka si anak muda. Sin Tjie kelit dengan mundur satu tindak. "Kapannya aku hinakan kau?" dia tanya. Benar-benar ia heran. Tong Hian masih sengit, dia hunjuk roman bengis. "Pisauku itu ada pisau hadiah dari Tjouwsoe kami dari Boe Tong Pay!" kata dia dengan nyaring. "Maka pisau itu biarnya aku mesti hilang jiwa, tak dapat dibiarkan jatuh ditangan lain orang l" Kembali Sin Tjie heran hingga is tercengang. Berbareng dengan itu kecurigaannya jadi semakin besar. "Kalau pisau ini dipandang begini suci, kenapa Bin Tjoe Hoa tinggalkan ditubuh Tjiauw Kong Lee sehabis dia bokong ketua Kim Liong Pang itu?" demikian dia berpikir. Ia keluarkan pisau itu, untuk dikasi pulang kepada pemiliknya. "Tootiang, ada satu hal untuk mana aku mohon keterangan kau," kata ia, dengan sikapnya yang sabar. Imam dari Boe Tong Pay itu sambuti pisaunya, karena ia dengar orang punya suara menghormat, iapun tidak bersikap keras lagi. "Silahkan," sahut dia dengan ringkas. Sin Tjie berpaling kepada Tjiauw Wan Djie. "Nona Tjiauw, mari bungkusan kau, kasikan padaku!" dia minta Wan Djie menghampirkan, akan serahkan bungkusannya yang berisikan pisau belati Bin Tjoe Hoa. Ia belum tahu tindakan Sin Tjie. Lebih jauh, ia pun tak hendak menanyakannja, akan tetapi ia cekal keras sepasang goloknya. Ia awasi dengan bengis pada Bin Tjoe Hoa, siapa sebaliknya berdiri diam didampingnya Tong Hian Toodjin. Dengan sabar Sin Tjie buka bungkusan itu, hingga kelihatanlah isinya, menampak mana, Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa perdengarkan seruan tertahan dari mereka, lebih-lebih Bin Tjoe Hoa sendiri yang kenali pisaunya itu. Dipihak lain, orang-orang Kim Liong Pang yang melihat bukti senjata pembunuhan ketua mereka, lantas ingat kebinasaan hebat dan  menyedihkan dari ketua mereka itu, berbareng sedih, kemurkaan mereka pun timbul pula secara tiba-tiba, hingga dengan roman sangat bengis, mereka bertindak maju. "Ini... ini... adalah senjataku!" seru Bin Tjoe Hoa. "Darimana kamu dapatkan ini?" tanya dia, sambil ulur tangannya, untuk ambil pulang pisau belati itu. Sin Tjie tarik pulang tangannya, tetapi disebelah dia, Tjiauw Wan Djie membacok dengan goloknya, kepada lengan orang, hingga Bin Tjoe Hoa mesti dengan sebat tarik pulang tangannya. Panas Wan Djie, maka ia maju, untuk membacok pula. "Sabar," kata Sin Tjie, yang lintangi tangannya, untuk mencegah. "Mari kita tanya jelas dulu." Karena tak dapat ia menyerang lebih jauh, Wan Djie menangis, air matanya bercucuran dengan deras. Bin Tjoe Hoa agaknya tidak mengerti, dia berseru : "Ketika dulu kita bikin pertemuan di Lamkhia, urusan telah dibereskan, persengketaan kedua pihak telah didamaikan dan dibikin habis, kenapa orang-orang Kim Liong Pang tidak pegang kepercayaan dan kehormatannya? Kenapa kamu berulang-ulang kali dengan cara gelap hendak bikin celaka padaku? Sekarang kamu suruhlah Tjiauw Kong Lee keluar, mari kita berpadu diri, untuk bicara biar jelas! Jikalau benar aku siorang she Bin yang bersalah, dihadapan kamu aku nanti bereskan diriku sendiri, tidak nanti aku menyangkal!"

Belum sempat Bin Tjoe Hoa tutup mulutnya, beberapa orang Kim Liong Pang telah bentak dia: "Ketua kami telah kau bunuh, sekarang kau masih berpura-pura, kau hendak mencoba bersihkan dirimu, manusia hina-dina dan busuk!" Bin Tjoe Hoa, begitu juga Tong Hian Toodjin, melengak. Mereka kaget dan heran bukan main. "Apa?" tanya mereka. "Tjiauw Kong Lee telah  terbinasa?" Sin Tjie tampak wajah orang itu sungguh-sungguh, ia mau percaya mereka itu bukannya sedang bersandiwara. "Ah, benar-benar mesti ada halnya dalam urusan ini," pikir ia. Maka ia lantas tegasi: "Apakah benar-benar kamu tidak ketahui  bahwa ketua Kim Liong Pang telah terbinasa?"

"Tidak!" sahut Bin Tjoe Hoa. "Sejak itu hari aku kalah dan aku serahkan rumahku, aku tak punya muka lagi akan hidup dalam dunia kangouw, aku lantas pergi ke Kayhong kepada toa-soehengku Tjoei In Tootiang yang mewariskan guru kami menjadi ketua, untuk memberi penjelasan kepadanya, untuk kami berdamai, sayang itu waktu aku tak dapat bertemu sama soehengku itu. Adalah sekembalinya dari Kayhong, dengan tak aku ketahui apa sebab musababnya ditengah jalan, dua kali aku dipegat orang-orang Kim Liong Pang hingga kita mesti bertempur hebat. Aku tidak mengerti kenapa Tjiauw Kong Lee terbinasa?" Tjiauw Wan Djie ada seorang yang pintar, mendengar perkataannya orang she Bin ini, melihat wajah orang itu, dia mulai bercuriga. Tiba-tiba saja ia menangis pula, dengan sesenggukan. "Ayahku.... ada....ada orang bunuh secara menggelap dengan pisau belati ini!" katanya dengan susah-payah. "Umpama kata benar bukannya kau yang lakukan pembunuhan itu, mestinya dia adalah sahabatmu!" Bin Tjoe Hoa terkejut. "Ah, ah, inilah..."

"Inilah apa?" bentak Tjiauw Wan Djie. Bin Tjoe Hoa bungkam, agaknya ia hendak bicara tetapi batal, nampaknya ia merasakan suatu kesulitan. Orang-orang Kim Liong Pang menjadi panas pula, sedang tadinya mereka pun sudah melengak, mereka mau percaya, benar-benar musuh ini berdusta, maka lantas mereka maju pula. Tong Hian Toodjin ambil pedang buntung dari tangannya Bin Tjoe Hoa, dia lempar itu ke tanah sebagaimana pedangnya sendiri tadi, kemudian ia angkat dadanya.

"Jikalau tuan-tuan lebih suka sakit hatinya Tjiauw Loopangtjoe tak terbalas untuk selamanya-lamanya dan kamu kehendaki supaya si penjahat diam-diam tertawai kamu dari samping, baiklah, kami berdua saudara suka serahkan jiwa kami! Sama sekali kami tidak takut mati!" demikian katanya. "Menampak keberanian orang itu, orang-orang Kim Liong Pang merandek, sangsi mereka untuk serbu imam itu. Sin I'jie lantas berkata pula: "Jikalau begini, kelihatannya Tjiauw Loopangtjoe bukanlah kau yang bunuh, saudara Bin?" tanya dia. "Aku mengaku aku si orang she Bin tidak punyakan kepandaian cukup," jawab Bin Tjoe Hoa, "akan tetapi aku mengerti benar hidupnya seorang didalam dunia mengandali kepercayaan, kehormatannya! Aku telah kalah di tangan kamu, selagi sekarang ada orang jahat yang mainkan perannya secara diam-diam, bagaimana aku bisa datang pula ke Lamkhia untuk melanjuti permusuhan?"

"Tetapi Tjiauw Loopangtjoe bukannya terbunuh di Lamkhia," Sin Tjie terangkan. Bin Tjoe Hoa heran. "Dimanakah itu terjadinya?" dia tanya. "Di Tjie-tjioe."

"Inilah terlebih aneh pula!" kata Tong Hian Toodjin. "Kami dua saudara, sudah lebih daripada sepuluh tahun belum pernah injak pula kota Tjie-tjioe! Kecuali kami mempunyai pedang-terbang, tidak nanti kami bisa rampas jiwa orang di tempat jauhnya ribuan lie!"

"Apakah ini benar?" Sin Tjie tegaskan. Tong Hian tepuk batang lehernya. "Kepalaku ada di sini!" ia jawab. "Habis, dari mana datangnya pisau belati ini?" tanya Wan Djie. "Jikalau sekarang aku berikan keteranganku, aku kuatir kamu tidak dapat mempercayai aku!" sahut Tong Hian. "Sekarang mari aku ajak kamu beramai kesuatu tempat, di sana kamu nanti Baru ketahui duduknya hal."

"Soeheng, jangan!" mencegah Bin Tjoe Hoa, yang agaknya jadi sangat gelisah. "Wan Siangkong dan Nona Tjiauw ada sahabat-sahabat baik, sama sekali tidak ada halangannya", bilang Tong Hian. Bin Tjoe Hoa bungkam. "Kemana kita pergi?" Wan Djie tanya. Tong Hian Toodjin tidak segera menjawab, hanya ia kata "Aku cuma hendak ajak Wan Siangkong berdua dengan kau saja, Nona Wan. Lebih banyak lagi, tak dapat!"

Bersambung ke Bab 20