Jilid 25
"BESAR kecil dan penyakit apapun yang ku idap biasanya akan sembuh kembali bila sudah minum arak."
"Ooooh....."
"Sekarang, apakah kau juga minum arak barang dua cawan?"
"Tidak!"
"Kenapa? Bukankah barusan kau tela... telah membunuh orang?"
"Siapa bilang aku telah membunuh orang?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun. "Kau tidak membunuh?"
"Tidak!"
"Tapi barusan kau telah membunuh."
"Dia bukan orang!"
"Dia bukan orang? Lantas manusia macam apakah baru bisa dianggap sebagai orang?" Kwik Tay-lok semakin tercengang. "Orang yang ada di dunia ini jarang sekali." Kembali Kwik Tay-lok tertawa. "Bagaimana dengan aku? Apakah akupun bisa dianggap sebagai orang?"
"Kau menyuruh aku membunuhmu?" Berkilat sepasang mata Kwik Tay-lok. "Bila kau tidak membunuhku, bagaimana mungkin bisa mendapatkan harta kekayaan dari Cui-mia-hu?"
"Di tempat ini tiada harta karunnya, di sini tak ada apa-apanya!"
"Kau tahu?"
"Lantas mengapa kau datang kemari?"
"Aku hanya ingin menumpang semalam saja?"
"Apakah kau bertujuan untuk membunuh manusia yang kau anggap bukan manusia itu?"
"Bukan karena soal ini!"
"Kalau begitu kau membunuhnya demi kami?"
"Juga bukan!"
"Lantas karena apa?" Tiba-tiba ini orang berbaju hitam itu menukas dengan ketus: "Aku ingin tidur, bila aku sedang tidur, aku paling tak suka diganggu orang." Betul juga, pelan-pelan dia memejamkan matanya dan tidak berbicara lagi. Kwik Tay-lok memandang wajahnya, lalu memandang pedang di atas bahunya, tiba-tiba saja ia merasa bahwa dirinya amat beruntung.
Keesokan harinya, orang berbaju hitam itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas. Dia tidak meninggalkan apa-apa, juga tidak membawa apa-apa, yang tertinggal hanya sebuah lubang di atas tonggak kayu. Kwik Tay-lok memperhatikan lubang diatas tonggak kayu tersebut, kemudian katanya sambil tertawa: "Tahukah kau apa yang sedang kupikirkan?" Yan Jit menggeleng. "Aku merasa diriku benar-benar mujur" seru pemuda itu. "Mujur? Kenapa?"
"Sebab orang berbaju hitam yang kujumpai tempo hari bukan orang ini." Yan Jit termenung sebentar, kemudian katanya: "Tapi kali ini kau toh telah berjumpa dengannya."
"Kali ini akupun tidak lagi sial, dia bukan tidak menaruh niat jahat kepada kita, malah kedatangannya seperti sengaja hendak membantu kita"
"Apakah dia adalah temanmu?"
"Bukan!"
"Anakmu?" Kwik Tay-lok segera tertawa lebar. "Bila aku mempunyai seorang anak semacam ini, sekalipun belum edan, paling tidak juga sudah hampir."
"Kau anggap dia benar-benar datang kemari karena tanpa sengaja, kemudian setelah membantu kita maka tanpa menimbulkan suara atau mengucapkan sepatah katapun lantas pergi meninggalkan tempat ini, bukan saja tidak menghendaki ucapan rasa terima kasih kita, bahkan arak yang kita suguhkanpun tidak di minumnya barang setegukanpun." Sambil menggeleng dan tertawa dingin tiada hentinya, ia melanjutkan lebih jauh: "Kau anggap di dalam dunia ini benar-benar terdapat orang yang begitu baiknya sehingga bersedia membantu kita tanpa mengharapkan balas jasa apa pun dari kita?"
"Maksudmu, dia datang kemari dan berbuat segala sesuatunya itu karena ia masih mempunyai tujuan lain?"
"Benar!"
"Tapi apakah tujuannya itu? Apakah kau bisa menerangkannya kepada diriku?"
"Aku juga tak tahu"
"Oleh karena kau tidak tahu, maka kau baru beranggapan bahwa dia pasti akan membawa banyak kesulitan untuk kita?"
"Benar!"
"Menurut pendapatmu, kapankah kesulitan-kesulitan tersebut baru akan berdatangan?" Yan Jit segera mengalihkan sinar matanya, memandang ke tempat kejauhan sana, lalu sahutnya: "Justru karena kau tidak tahu kesulitan tersebut akan datang dalam bentuk apa dan kapan baru akan terjadi, maka hal itu justru merupakan kesulitan dan kerepotan yang sesungguhnya,
kalau tidak, bukankah kita tak perlu berkuatir secemas ini?" Tiada sesuatu persoalan yang "pasti" dalam dunia ini. Pada suatu persoalan yang sama, bila kau memandang dari sudut pandangan yang berbeda, kadangkala akan timbul kesimpulan yang berbeda pula. Bila anda seorang pesiar yang tersesat di tengah gunung suatu malam, kemudian ia datang mengetuk pintu dan memohon untuk menumpang semalam saja, asal kau mempunyai rasa belas kasihan, "sudah pasti" kau akan menerimanya. Tapi seandainya yang datang adalah seorang manusia baju hitam yang berkerudung, apakah kau akan menerimanya, hal ini masih merupakan tanda tanya besar. Sekalipun kau akan menerimanya, sudah "pasti" kau akan menaruh perasaan was-was kepadanya, sedikit banyak juga akan berjaga terhadap segala kemungkinan yang tak diinginkan. Tapi, bila orang berbaju hitam itu baru saja menyumbangkan tenaganya bagi kepentinganmu semalam, maka akan berbedalah keadaannya pada waktu itu? Dengan berbedanya keadaan, otomatis cara kerjanyapun akan mengalami banyak perubahan. Hanya tujuannya saja yang tak berbeda. Ada sementara orang, walaupun apa saja dia lakukan, bagaimana cara melakukannya, dia pasti mempunyai suatu tujuan tertentu. Bagaimana pula dengan Kwik Tay-lok sekalian? Mereka adalah orang yang dengan mudah melupakan dendam sakit hati orang lain, tapi sukar untuk melupakan budi kebaikan yang diterimanya dari orang lain. Asal kau telah melakukan kebaikan bagi mereka, maka walau berbeda dalam keadaan bagaimanapun juga, mereka pasti akan berusaha keras untuk membalas jasa baikmu itu. Asal persoalan telah mereka janjikan, maka walau berada dalam keadaan bagaimanapun juga, mereka pasti akan berusaha untuk melaksanakan secara baik. Sekalipun kepala pecah, badan bakal hancur, mereka tetap akan melakukannya. Mereka pasti tak akan mencari alasan lain untuk mengesampingkan kewajiban tersebut, apalagi menebalkan muka untuk mengingkarinya. Walaupun persoalan macam apapun yang dihadapinya, mereka sudah pasti tak akan menghindarkan diri. Tengah malam telah tiba, kembali ada yang datang mengetuk pintu. Suara ketukan itu amat cepat dan gencar. Orang pertama yang mendengar suara ketukan pintu itu mungkin Yan Jit, mungkin Ong Tiong, tapi orang yang pertama-tama menyahut sambil membukakan pintu sudah pasti Kwik Tay-lok. Ternyata yang datang masih saja si manusia baju hitam yang misterius itu. Dia masih berdiri juga di situ bagaikan sesosok sukma gentayangan, pelan-pelan katanya: "Aku tersesat di jalanan dan tak ada tempat berdiam, apakah aku boleh menumpang semalam saja?" Kwik Tay-lok segera tertawa. "Boleh, tentu saja boleh, jangankan baru semalam, sekalipun ingin berdiam selama setahun juga tak menjadi soal"
"Benar-benar tak menjadi soal?"
"Sama sekali tak menjadi soal, entah kau benar-benar tersesat atau tidak, setiap kali kau ingin datang, setiap saat pula kami akan menyambut kedatangan dengan hati gembira"
"Walaupun kau bersikap demikian, tapi yang lain...."
"Yang lain pun begitu juga" tukas Kwik Tay-lok cepat, "setelah kau datang kemari, berarti kau adalah tamu kami semua"
"Tamu macam apa?"
"Bagi kami, hanya ada semacam tamu."
"Tapi tuan rumah beraneka ragam banyaknya."
"Oya?"
"Ada semacam tuan rumah yang suka mengusir tamunya setiap saat." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Jangan kuatir, ditempat ini pasti tak akan kau jumpai tuan rumah semacam itu, asal kau sudah memasuki pintu gerbang bangunan rumah ini, kecuali kau bersedia untuk keluar sendiri, kalau tidak jangan harap ada orang lain yang akan menyuruhmu pergi dari sini." Tiba-tiba orang berbaju hitam itu menghela napas panjang. "Aaai.... tampaknya aku benar-benar tidak salah mengetuk pintu," gumamnya. Pelan-pelan dia berjalan masuk ke dalam melewati halaman dan naik ke atas serambi. Gayanya sewaktu berjalan sama sekali tidak berubah, wajahnya juga tidak berubah, tapi paling tidak ada satu hal yang telah berubah.... lebih banyak perkataan yang ia utarakan. Dalam waktu singkat, ia sudah dua tiga kali lipat berbicara lebih banyak daripada tuan rumah sendiri. Walaupun malam sudah semakin kelam, namun masih ada cahaya lampu memancar keluar dari balik dua, tiga buah ruangan kamar. Agaknya Lim Tay-peng sedang membaca buku. Bagaimana dengan Yan Jit? Apa yang sedang ia lakukan dalam kamarnya, tak pernah diketahui orang lain, sebab dia selalu suka menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat.
Orang berbaju hitam itu memandang sekejap cahaya lampu yang memancar keluar dari balik jendela, tiba-tiba dia berkata:
"Apakah sahabatmu tinggal di depan sana?" Kwik Tay-lok manggut-manggut, sahutnya sambil tertawa: "Aku tinggal di kamar yang paling belakang, letaknya paling dekat dengan tempat untuk bersantap." Kamar yang paling belakang itu bukan cuma lampunya belum dipadamkan, pintu kamarpun berada dalam keadaan terbuka lebar. Orang berbaju hitam itu berjalan masuk ke dalam, lalu berdiri di depan pintu, sampai lama sekali ia baru berkata: "Ada semacam persoalan, walaupun tidak diucapkan kepadamu, tentunya kau sudah tahu bukan."
"Persoalan yang mana?"
"Tiada orang yang benar-benar dapat tidur dalam posisi berdiri." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Jangankan berdiri, untuk tidur sambil dudukpun sukarnya bukan kepalang." Sahutnya. Menengok dari celah-celah pintu, dapat diketahui dalam ruangan itu terdapat sebuah pembaringan yang amat besar. Memandang pembaringan tersebut, tiba-tiba orang berbaju hitam itu menghela napas panjang lagi, gumamnya: "Tapi ada sementara persoalan yang mungkin belum kau ketahui."
"Oya?"
"Sudah pasti kau tak akan tahu, sudah lama sekali aku belum pernah tidur dipembaringan sebesar ini, dan belum pernah aku tidur nyenyak barang satu malam saja." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Tentang soal ini aku memang benar-benar tidak tahu, tapi aku tahu akan suatu persoalan yang lain," katanya. "Oya?"
"Aku tahu, malam ini kau pasti dapat tidur di atas pembaringan tersebut, lagi pula bisa tidur dengan aman tenteram semalam suntuk."
"Sungguh?" mendadak orang berbaju hitam itu berpaling. "Tentu saja sungguh."
"Kau memperbolehkan aku untuk tidur terus sampai fajar menyingsing besok pagi?" Kwik Tay-lok tersenyum. "Sekalipun hendak tidur sampai tengah hari juga tak menjadi soal, kujamin pasti tak akan ada orang yang akan datang mengganggu tidurmu itu...." Orang berbaju hitam itu memandang ke arahnya, mencorong sinar tajam dari balik matanya, mendadak ia menjura dalam-dalam, lalu tanpa banyak berbicara lagi dia berjalan maju dengan langkah lebar, bahkan segera menutup pintu kamar.
Kemudian lampu lentera yang menerangi dalam ruangan itu pun dipadamkan pula. Lama sekali setelah cahaya lentera itu dipadamkan, pelan-pelan Kwik Tay-lok baru membalikkan badannya dan duduk di atas undak-undakan batu di luar pintu ruangan sana. Dalam perkampungan Hok-kui-san-ceng ini bukannya sudah tak ada kamar kosong yang lain atau pembaringan kosong lainnya lagi. Tapi ia justru akan duduk di sana, seakan-akan telah bersiap sedia untuk menjagakan ketenangan orang berbaju hitam itu semalaman suntuk. Malam sudah kelam, udara terasa dingin, undak-undakan batu itu turut menjadi dingin.
Tapi dia tak ambil perduli, sebab hatinya penuh dengan kehangatan. Suara langkah kaki manusia yang lembut berkumandang dari balik serambi sana, seseorang pelan-pelan berjalan mendekat. Ia tidak berpaling, sebab dia sudah tahu siapakah orang itu. Yang datang sudah pasti adalah Yan Jit. Ia mengenakan sebuah jubah panjang yang mencapai tanah, diapun turut duduk di atas undak-undakan batu itu. Bintang bertaburan di angkasa cahaya yang redup seakan-akan bersinar terang, seakan-akan
juga membawa dua titik mutiara yang mempertemukan Gou-long dan Ci-li. Di angkasa terdapat bintang yang lebih terang daripada mereka, namun tiada yang lebih indah daripada mereka. Sebab mereka tiada yang tanpa perasaan seperti bintang yang lain. Sebab mereka dewa, bukan malaikat, mereka seperti manusia, pernah merasakan dan cinta kasih. Walaupun kesusahan yang mereka alami amat banyak, walaupun jaraknya amat jauh namun cinta kasih mereka tetap terjalin sepanjang masa. Tiba-tiba Yan Jit menghela panjang, lalu berkata: "Sekarang, tentunya kau sudah tahu bukan?"
"Tahu apa?"
"Kesulitan.... kemarin malam kau masih tak habis mengerti, sekarang kesulitan itu telah datang kembali." Kwik Tay-lok segera tertawa lebar. "Memberikan pembaringan sendiri untuk ditiduri tamu semalaman suntuk bukanlah suatu hal yang termasuk kesulitan."
"Apakah persoalan ini termasuk suatu kesulitan atau tidak, tergantung pula pada macam apakah tamumu itu."
"Dia adalah seorang manusia macam apa?"
"Seorang yang mempunyai kesulitan, lagi pula tak sedikit kesulitan yang dimilikinya."
"Oya?"
"Justru karena dia sudah tahu kalau dirinya mempunyai banyak kesulitan, maka ia baru menyembunyikan diri di tempat ini."
"Oya?"
"Justru karena pada malam ini dia hendak menyembunyikan diri di sini, maka kemarin malam ia baru membantu kita untuk melakukan semua perbuatan tersebut, seakan-akan orang yang hendak menyewa kamar, kemarin ia datang untuk memberi uang mukanya lebih dulu. Kau tak usah berlagak bodoh, padahal teori semacam ini sudah kau ketahui pula."
"Apa yang kuketahui?"
"Kau tahu malam ini pasti ada orang yang hendak datang mencarinya, maka kau baru berjaga-jaga di sini, kau bersiap sedia untuk membantunya menahan serangan tersebut." Kwik Tay-lok termenung beberapa saat lamanya, setelah itu dia baru berkata pelan: "Semalam, ketika ada orang datang kemari untuk mencari kesulitan buat kita, siapa yang telah menghadapinya?"
"Dia!"
"Maka seandainya pada malam ini benar-benar ada orang yang akan datang mencari gara-gara dengannya, kenapa bukan kita juga yang mewakilinya untuk menahan kesulitan tersebut?"
"Itu mah tergantung pada kesulitan macam apakah yang bakal kita hadapi..."
"Perduli kesulitan macam apapun toh semuanya sama saja, setelah kita menerima uang muka, sudah sewajarnya bila rumah itu kita sewakan kepadanya." Yan Jit termenung lagi beberapa saat lamanya, kemudian dia baru berkata: "Menurut pendapatmu, bagaimanakah ilmu silatnya, apabila dibandingkan dengan kepandaian silatmu?"
"Agaknya seperti jauh lebih hebat dari pada diriku."
"Sekarang, diantara sekian banyak orang yang berada di sini, hanya kita berdua saja yang bisa turun tangan, kesulitan yang tak sanggup dia hadapi mana mungkin bisa kita hadapi?!"
"Paling tidak kita toh dapat mencobanya." Arti daripada "mencoba" baginya berarti ia sudah bersiap-siap untuk beradu jiwa. "Seandainya dia adalah seorang penyamun, atau seorang pembunuh kejam yang berhati buas, apakah kau juga, akan membantunya untuk menghadapi kesulitan tersebut"
"Soal itu, mah merupakan dua persoalan yang berbeda."
"Dua persoalan yang berbeda bagaimana maksudmu?"
"Mengapa orang lain datang mencarinya adalah satu persoalan, sedangkan apa sebabnya aku membantunya, untuk menghadapi kesulitan tersebut adalah persoalan yang lain pula."
"Apa sih tujuanmu yang sebenarnya?"
"Oleh karena pada malam ini dia adalah tamuku, karena aku telah meluluskan permintaannya, maka aku akan membiarkan ia tidur dengan nyenyak semalam suntuk."
"Urusan lain kau tak akan mengurusinya?"
"Bagai manapun juga, pokoknya urusan ini saja yang akan ku urusi pada malam ini." Yan Jit segera mendelik ke arahnya, kemudian sambil menggigit bibirnya kencang-kencang dia berseru: "Kau.... kau sebenarnya kau ini manusia macam apa?"
"Aku adalah manusia macam begini, seharusnya sudah kau ketahui hal ini semenjak dulu" Sekali lagi Yan Jin melotot besar ke arahnya, mendadak sambil mendepak-depakkan kakinya ke tanah dia beranjak dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Tapi baru dua langkah ia telah berhenti melepaskan jubah panjang yang dikenakan itu dan menyelimutkan ke atas tubuhnya. Sambil tertawa Kwik Tay-lok segera berkata: "Bila kau takut aku kedinginan, lebih baik lagi jika kau carikan sebotol arak untukku" Yan Jit menggigit bibirnya menahan diri kemudian berseru dengan gemas: "Aku takut kau kedinginan? Aku hanya kuatir jika kau tidak mampus karena kedinginan." Jubah itu mana lebar juga besar, entah milik siapa. Dalam kamar Yan Jit yang selalu tertutup rapat itu, seakan-akan selalu dapat bermunculan barang-barang yang beraneka ragam. Dulu, setiap beberapa waktu dia pasti akan melenyapkan dirinya selama beberapa hari tapi penyakit tersebut belakangan ini tampaknya sudah banyak berubah, namun Kwik Tay-lok selalu merasakan adanya kemisteriusan di jarak dari Yan Jit, dia merasa orang itu selalu menjaga suatu jarak tertentu dengan setiap orang. Padahal untuk sahabat karib seperti mereka ini, jarak semacam itu seharusnya tak boleh dibiarkan ada. Jubah itu sudah kuno, lagi pula sangat kotor, dimana-mana penuh dengan tambalan cuma anehnya sedikitpun tidak bau. Hal inipun merupakan salah satu hal yang selalu diherankan oleh Kwik Tay-lok.
Yan Jit seperti tak pernah mandi, walau hanya sekalipun, tapi anehnya, ia sama sekali tidak bau. Dan lagi walaupun badannya kotor lagi dekil, namun kamarnya selalu diatur dengan rapi dan bersih. Kwik Tay-lok segera mengambil keputusan, besok dia pasti akan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Sebenarnya kau ini adalah manusia seperti apa?" Sekarang, cahaya lentera didalam kamar Yan Jit telah padam, tapi Kwik Tay-lok tahu, sudah pasti dia tak akan benar-benar pergi tidur. Kwik Tay-lok merapatkan jubahnya dengan tubuhnya, dalam hatinya segera timbul suatu perasaan yang amat hangat, sebab diapun tahu, bagaimanapun ketusnya setiap perkataan dari Yan Jit, tapi asal urusan itu menyangkut dirinya, Yan Jit pasti menaruh perhatian khusus kepadanya, dia pasti merasa amat menguatirkan keselamatannya. Malam semakin hening, angin berhembus lewat menggoyangkan bubungan di sisi halaman sana. Kwik Tay-lok ingin sekali pergi mencari sedikit arak untuk diminum, tapi pada saat itulah mendadak ia mendengar serentetan suara irama musik yang sangat aneh berkumandang datang. Suara irama musik itu mengalun tiba seperti mengambang, pada mulanya suara itu seakan-akan berasal dari sebelah timur, mendadak beralih pula ke sebelah barat. Menyusul kemudian dari empat arah delapan penjuru seakan-akan bermunculan suara irama musik yang sangat aneh itu. "Aaaah, sudah datang, orang yang hendak mencari gara-gara telah datang....." Kwik Tay-lok merasa seluruh badannya menjadi panas, bahkan denyutan jantung turut berubah menjadi dua tiga kali lipat lebih cepat daripada keadaan biasa. Manusia macam apakah yang bakal datang? Tentu saja ia tak dapat menduganya. Tapi ia tahu dengan pasti bahwa orang itu pasti seorang yang lihay sekali, kalau tidak mengapa orang berbaju hitam itu bisa demikian ketakutannya sehingga menyembunyikan diri. Semakin lihay orang yang akan menampakkan diri itu, semakin merangsang pula masalahnya. Kwik Tay-lok membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, jubah yang dikenakanpun tanpa terasa turut terlepas.
Tiba-tiba.... "Blaaammm....." Pintu gerbang diterjang orang sampai ambrol. Dua orang suku asing bercambang lebar, berambut keriting, bermata hijau dan berhidung betet tiba-tiba menampakkan diri di depan pintu, badannya yang setengah telanjang penuh bertato, kakinya telanjang dan di atas telinga sebelah kirinya tergantung sebuah anting-anting emas yang amat besar. Ditangan mereka membawa sebuah permadani berwarna merah yang segera disusun dari arah pintu depan sampai ke dalam halaman, kemudian sambil berjumpalitan di udara mereka mengundurkan diri dari situ. Selama ini mereka tidak memandang ke arah Kwik Tay-lok, mengerlingpun tidak, seakan-akan dalam halaman tersebut sama sekali tiada orang lain. Walaupun Kwik Tay-lok sudah dibikin amat gembira sehingga keringatpun turut bercucuran, namun ia tetap berusaha untuk menahan diri. Sebab dia tahu, pertunjukan menarik pasti masih berada di belakang. Walaupun kemunculan dari dua orang suku asing itu amat tiba-tiba dan serba misterius, namun kedua orang itu tak lebih cuma budak-budak belian belaka, sang pemegang peranan sudah pasti belum lagi menampilkan diri. Betul juga, dari luar pintu segera muncul dua orang manusia lain yang berjalan masuk. Dua orang itupun merupakan perempuan asing yang berdandan aneh sekali, rambutnya yang berwarna hitam dibuat tujuh delapan puluh buah kuncir kecil, timur segumpal, barat segumpal, mengikuti bergemanya irama musik, bergoyang kesana kemari tiada hentinya. Kedua orang gadis itu membawa keranjang besar yang penuh dengan bunga, waktu itu
mereka sedang menggerakkan lengannya dan menebarkan berkuntum-kuntum bunga aneka warna itu di atas permadani berwarna merah itu. Kedua orang gadis asing itu berwajah amat cantik, di bawah gaunnya yang pendek kelihatan sepasang kakinya yang putih bersih. Di atas kakinya itu mengenakan sesusun gelang emas, mengikuti gerak tarian yang mereka bawakan, berbunyi "ting tang ting tang" tiada hentinya.... Sepasang mata Kwik Tay-lok terbelalak semakin besar lagi. Sayang mereka tak pernah mengerling barang sekejappun ke arah pemuda itu, selesai menaburkan bunga, merekapun melejit ke udara, berjumpalitan beberapa kali dan mengundurkan diri. "Tampak peristiwa ini selain makin lama merangsang, lagi pula makin lama makin menarik hati." Persoalan apapun juga, bila diantaranya hadir gadis cantik yang turut ambil bagian, selamanya
memang merangsang dan menawan hati. Apalagi kalau gadis cantik yang turut mengambil bagian makin lama semakin banyak saja
jumlahnya. Empat orang gadis bergaun panjang, bersanggul tinggi dan berdandan seperti gadis keraton, muncul di situ membawa empat buah lentera yang antik dan indah. Ke empat orang gadis itu rata-rata berwajah cantik jelita bagaikan bidadari dari kahyangan, baru saja mereka menghentikan langkahnya, dua orang lelaki suku asing yang berkaki panjang dan bertato di tubuhnya telah melangkah masuk ke dalam halaman dengan menggotong sebuah tandu beralas tidur. Di atas tandu beralas tidur itu berbaring seorang perempuan anggun berbaju merah, ditangannya membawa sebuah pipa tembakau yang terbuat dari perak, waktu itu ia sedang menyedot asap tembakau dalam-dalam, kemudian menyemburkan asapnya yang tebal ke udara,
wajahnya segera tertutup dibalik asap yang tebal itu. Di tangannya mengempit sebuah toya berkepala naga yang panjang sekali, disamping tandu tampak seorang gadis cebol yang sedang memijit-kakinya. Diam-diam Kwik Tay-lok menghela napas panjang. Walaupun ia tak sempat melihat jelas muka perempuan anggun berbaju merah itu, namun kalau dilihat dari toya berkepala naga serta si gadis cebol yang sedang memijit kakinya, siapapun akan menduga kalau usianya pasti telah lanjut.
Inilah satunya hal yang amat tidak berkenan di hatinya. Kini persoalan telah berkembang menjadi begini, semuanya terjadi dalam keadaan yang menarik hati, seandainya si pemegang peranan utama juga seorang gadis yang cantik jelita, bukankah hal ini akan menjadi sempurna....? Untung saja Kwik Tay-lok selalu pandai menghibur diri, pikirnya: "Bagaimanapun juga, nenek tua ini pastilah seorang pemegang peranan utama yang luar biasa, cukup dilihat dari gayanya, mungkin tidak banyak orang yang dapat memandanginya" Oleh karena itu, masalah tersebut masih tetap menarik hatinya.. Sedangkan mengenai siapakah nenek tua ini? Kenapa dapat mengikat tali permusuhan dengan orang berbaju hitam itu? Sesungguhnya berapa dalamkah dendam kesumat itu? Apakah Kwik Tay-lok dapat menahannya? Agaknya beberapa hal itu tak pernah ia memikirkan. Setelah semua persoalan merupakan tanggung jawabnya, sekalipun tak sanggup ditahan juga harus ditahan, lantas apa gunanya mesti dipikirkan lagi? Oleh sebab itu ia tetap menahan sabar, menunggu terus, bila orang lain tidak membuka suara, diapun tidak akan membuka suara. Lewat lama kemudian, mendadak perempuan anggun berbaju merah itu menyemburkan segulung asap tebal dari mulutnya, gulungan asap itu persis menyembur di atas wajah Kwik Tay-lok. Benar-benar asap yang amat tebal. Walaupun Kwik Tay-lok minum arak, ia tidak menghisap tembakau, kontan saja ia dibuat sesak napas sampai hampir saja air matanya jatuh bercucuran, hampir saja dia hendak mencaci maki. Tapi, bila seseorang dapat menyemburkan asap tembakaunya selurus ini dan sejauh ini, lebih baik jika kau bersikap lebih sungkan lagi kepadanya. Belum lagi asap tebal itu membuyar, terdengar seseorang telah berkata. "Siapakah kau? Kenapa ditengah malam buta begini duduk seorang diri di sini?" Suara itu nyaring lagi lembut, kedengarannya bukan suara seorang nenek, tapi juga tidak terhitung merdu, nadanya buas, galak seperti seorang opas yang sedang memeriksa seorang pencuri. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, lalu tertawa getir. "Agaknya rumah ini adalah rumahku, bukan rumahmu, kalau aku suka duduk dirumah sendiri, apa salahnya dengan dirimu?" Belum habis ia berkata, kembali ada semburan asap tebal yang menyambar wajahnya. Semburan kali ini lebih tebal, membuat Kwik Tay-lok menjadi terbatuk-batuk, lagi pula wajahnya terasa bagaikan ditusuk-tusuk dengan jarum tajam.... Kedengaran orang itu berkata lagi: "Aku bertanya sepatah kata kepadamu, kau harus menjawab dengan sepatah kata juga, lebih baik jangan mencoba untuk bermain setan, mengerti?" Kwik Tay-lok meraba wajahnya dan tertawa getir. "Tampaknya, sekalipun aku tidak mengerti juga tak bisa."
"Lamkiong Cho ada dimana? Cepat suruh dia menggelinding keluar!" bentak nyonya anggun berbaju merah itu lagi dengan suara keras. Ternyata orang berbaju hitam itu betul-betul adalah Lamkiong Cho. Sekali lagi Kwik Tay-lok menghela napas panjang.
"Maaf seribu kali maaf, aku tak dapat menyuruh dia menggelinding keluar."
"Kenapa?"
"Pertama, sebab dia bukan bola, tak mungkin bisa menggelinding, kedua karena ia sudah tertidur, siapapun tak akan bisa membangunkan dirinya, sebab bila ingin berbuat demikian maka terlebih dahulu dia harus melakukan suatu hal."
"Melakukan apa!"
"Robohkan aku lebih dahulu."
"Huuuh, itu mah gampang!" seru nyonya anggun berbaju merah itu sambil tertawa dingin. Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak sesosok bayangan manusia telah melayang keluar dari balik kabut tebal, cahaya tajam berkilauan dan tahu-tahu sudah mengancam tenggorokan Kwi Tay lok. Gerakan yang dilakukan orang itu cepat sekali, untung saja reaksi yang dilakukan Kwik Tay-lok juga tidak terhitung lambat. Tapi, baru saja dia menghindarkan diri dari serangan yang pertama, serangan kedua telah meluncur datang kemari, bahkan serangan yang satu jauh lebih cepat dan lebih ganas daripada serangan selanjutnya. Menanti Kwik Tay-lok sudah menghindarkan diri dari serangan yang ke empat, dia baru melihat jelas kalau orang yang melancarkan serangan itu ternyata si gadis cebol yang memijit kaki nyonya itu tadi. Jangan dilihat badannya cuma tiga depa dan pedang yang dipakai cuma satu depa enam tujuh inci, namun ilmu pedang yang dipergunakannya sangat ganas dan lihaynya bukan kepalang, kepandaian silatnya boleh dibilang merupakan jago kelas satu dalam dunia persilatan. Sayang sekali badannya benar-benar terlampau kecil dan pedangnya juga terlampau pendek. Mendadak Kwik Tay-lok menyambar jubah panjangnya itu kemudian melemparkannya kedepan. Jubah itu mana panjang juga besar, seperti selapis awan hitam yang menyambar tiba-tiba saja, bila orang sekecil itu dapat meloloskan diri dari ancaman semacam ini, sesungguhnya hal mana bukan terhitung sesuatu yang gampang. Gadis itu menjerit keras, lalu serunya dengan gemas: "Orang dewasa menganiaya anak kecil, tak tahu malu, tak tahu malu!" Selesai berkata, dia telah mengundurkan diri kembali ke tempat semula.... Kwik Tay-lok segera tertawa getir, ujarnya: "Lebih baik tak punya malu daripada tak punya nyawa."
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh... kau berani mencampuri urusanku, tampaknya sudah bosan hidup?" seru nyonya anggun berbaju merah itu sambil tertawa dingin.. Di tengah suara tertawa dinginnya yang tak sedap didengar, dua orang lelaki suku asing bercambang dan berambut keriting itu sudah munculkan diri di depan mata, mereka berdua kelihatan bagaikan dua buah pagoda besi yang tampaknya mengerikan sekali. Kembali Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya: "Yang kecil betul-betul terlampau kecil, yang besar benar-benar kelewat besar, bagai mana baiknya kini?" Tidak menunggu kedua orang itu turun tangan, tiba-tiba tubuhnya menerjang maju ke depan, lalu seperti seekor ikan leihi, tahu-tahu melejit kesamping dan menyusup ke depan tandu tersebut. "Lebih baik kau saja yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil." katanya sambil tertawa, "coba kalau kau tidak kelewat tua, persis sekali bila dijodohkan kepadaku."
"Apakah kau bilang aku terlampau tua?" ucap nyonya anggun berbaju merah itu sambil tertawa dingin. Waktu itu, asap tebal yang menyelimuti depan wajahnya telah semakin membuyar, akhirnya Kwik Tay-lok dapat melihat paras mukanya. Tak tahan ia lantas menjerit kaget, bagaikan bertemu dengan setan saja, selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang. Mimpipun ia tak menyangka akan berjumpa dengan raut wajah seperti ini. Selembar wajah yang cantik, mana muda lagi, meski ditutupi oleh selapis bedak yang tebal dan berusaha untuk berdandan sebagai orang dewasa, namun tak dapat menutupi sifat kekanak-
kanakan yang terpancar di atas wajahnya, seperti seorang nenek yang tak akan dapat menutupi keriput di atas wajahnya walaupun sudah menggunakan bedak yang bagaimana tebalnya. Ternyata "si nenek" yang lagaknya sok, mana menghisap tembakau, suruh orang memijit kakinya lagi itu tak lain adalah seorang nona cilik yang baru berusia enam-tujuh belas tahunan. Kwik Tay-lok betul-betul merasa terkejut sekali. Sementara itu, nona berbaju merah itu sudah melompat bangun dari atas tandunya, lalu dengan sepasang matanya yang melotot besar mendelik ke arahnya. Selangkah demi selangkah anak muda itu turut mundur ke belakang. Nona berbaju merah itupun selangkah demi selangkah mendesak maju ke depan, ditangannya masih memegang tongkat berkepala naga itu. Nona cilik itu sebenarnya masih muda, cantik lagi, mengapa ia justru suka berdandan sebagai seorang nenek? Sepintas lalu dapat dilihat kalau usianya paling banter baru enam-tujuh belas tahunan. Mengapa ia bisa memiliki tenaga dalam sedemikian sempurna, bahkan seorang dayang ciliknya pun memiliki ilmu pedang yang begitu tingginya? Tentu saja dua orang lelaki suku asing itupun tak mungkin adalah seorang manusia yang gampang dihadapi. Apa yang diandalkan nona cilik ini untuk mengendalikan orang-orang tersebut? Mengapa ia dapat mengikat tali permusuhan dengan Lamkiong Cho yang sudah termasyhur namanya sejak dua puluh tahun berselang? Dengan nama besar, serta ilmu pedang yang dimiliki Lamkiong Cho, mengapa ia bisa begitu ketakutan menghadapi si nona cilik itu? Kwik Tay-lok benar-benar tidak habis mengerti, tapi sekarang diapun tak punya waktu untuk memikirkan persoalan itu. Meskipun sepasang mata nona berbaju merah itu indah, ketika mendelik ternyata jauh lebih mirip daripada seekor harimau yang siap menerkam mangsanya. "Aku tahu tidak?" tegurnya dingin. "Tidak tahu, sama sekali tidak tahu."
"Apakah kau ingin mengawini aku?"
"Tii..... tidak ingin" Jawaban tersebut memang jujur, siapa yang tahan untuk mengawini seorang gadis semacam ini walaupun dia bagaimana cantiknya. "Kau masih menginginkan selembar nyawamu tidak?" kembali gadis berbaju merah itu mendesak. "Masih menginginkan."
"Kalau masih menginginkan nyawamu, cepat suruhlah Lamkiong Cho menggelinding ke luar."
"Ada urusan apa kau menyuruhnya menggelinding keluar?"
"Aku menginginkan selembar jiwanya!"
"Apakah kau bertekad akan membunuhnya pada malam ini juga?"
"Benar"
"Kenapa?"
"Sebab sudah kukatakan kepadanya, bila sebelum fajar menyingsing nanti aku tak dapat membunuhnya, maka akan kuampuni selembar jiwanya."
"Jika ucapanmu harus dipegang teguh, apakah perkataan orang lain tak bisa dimasukkan hitungan pula?"
"Apa yang telah kau diucapkan?"
"Aku telah berjanji kepadanya, malam ini dia dapat tidur dengan nyenyak sampai besok pagi oleh sebab itu....."
"Oleh sebab itu kenapa?"
"Oleh sebab itu bila ingin membunuhnya maka kau harus membunuh diriku lebih dahulu!"
"Kau adalah temannya?"
"Bukan"
"Tahukah kau berapa perbuatan jahat yang dia lakukan?"
"Aku tidak tahu"
"Tapi kau bersikeras hendak beradu jiwa deminya?"
"Benar." Nona berbaju merah itu segera tertawa dingin. "Hmmm.... kau anggap aku tak berani membunuh orang?" Kwik Tay-lok ikut tertawa paksa, sahutnya: "Kau memang tampaknya belum pernah membunuh orang."
"Hmm, sejak berusia sembilan tahun aku telah mulai membunuh orang." kata nona berbaju merah itu dingin, "setiap bulan paling tidak membunuh seorang, coba hitunglah sendiri sudah berapa banyak orang yang telah ku bunuh?"
"Agaknya seperti sudah ada tujuh delapan puluh orang lebih." ucap Kwik Tay-lok sambil menghembuskan napas dingin. "Oleh sebab itu, sekalipun bertambah dengan kau seorangpun, bagiku tak menjadi soal." Kwik Tay-lok menghela napas panjang, sebelum ia sempat menjawab, mendadak terdengar seseorang telah menimbrung dengan suara yang dingin: "Bila kau hendak membunuhnya, lebih baik bunuhlah aku terlebih dahulu...." Suara itu bukan suaranya Yan Jit, melainkan Lim Tay-peng. Malam amat hening, entah sedari kapan Lim Tay-peng telah munculkan diri dari kamarnya, paras pemuda itu kelihatan masih pucat pias seperti mayat. "Siapa kau?" bentak nona berbaju merah itu dengan sepasang mata melotot besar. "Kau tak usah mengurusi siapakah aku, kalau toh sudah tujuh delapan puluh orang yang telah kau bunuh, bertambah aku seorang toh tak menjadi soal....." Gadis berbaju merah itu segera tertawa dingin. "Tidak kusangka kalau di sini terdapat banyak sekali orang yang tidak takut mati." serunya. "Yaa, memang tidak sedikit"
"Kalau memang begitu, baiklah kupenuhi keinginanmu itu!" Sambil membalikkan badannya, tongkat berkepala naga yang berada di tangannya itu menusuk ke dalam Lim Tay-peng dengan jurus Hu-hoa-hud-liu (memisah bunga menyambar pohon liu). Yang dipergunakan untuk menyerang ternyata adalah gerakan jurus ilmu pedang. Bukan saja merupakan ilmu pedang, lagi pula merupakan semacam ilmu pedang yang paling enteng. Tongkat yang begitu panjang dan begitu berat, dalam permainan sepasang tangannya yang kecil dan putih itu ternyata berubah seakan-akan sedikitpun tidak berat. Kwik Tay-lok segera membentak keras: "Penyakitmu belum sembuh, biar aku saja yang menghadapinya!" Tapi sayang sekalipun dia ingin turun tangan menggantikan Lim Tay-peng, namun keadaan sudah terlambat. Gadis berbaju merah sudah melancarkan tujuh buah serangan berantai ke arah Lim Tay-peng, semua serangan dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, mana gerakannya enteng, arahnya juga tak menentu. Seluruh tubuh Lim Tay-peng segera terkurung dibalik ilmu lapisan pedang lawan yang amat
dahsyat itu. Tampaknya kondisi badannya belum pulih kembali seperti sedia kala, maka ia tak punya kekuatan untuk melancarkan serangan balasan. Namun, ilmu pedang si nona berbaju merah yang demikian ketat dan dahsyatnya itu justru tak sanggup untuk menempel di tubuhnya, bahkan menjawil ujung bajunya pun tak dapat. Mendadak terdengar suara pekikan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, tongkat panjang sembilan depa sudah menancap di atas tanah, sementara gadis berbaju merah itu bagaikan baling-baling cepatnya berputar di ujung tongkat itu dan menggulung ke tubuh Lim Tay-peng dengan hebatnya. Dengan tindakannya ini, ternyata ia telah mempergunakan tongkat tersebut sebagai pangkal dari kekuatannya, sedangkan tubuhnya di gunakan sebagai senjata, jurus-jurus serangannya dilancarkan dengan penuh perubahan yang aneh dan sakti, semuanya jauh di luar dugaan. Lim Tay-peng bergerak ke sana ke mari dengan lincahnya, secara beruntun ia sudah mundur sejauh sembilan langkah lebih. Mendadak gadis berbaju merah itu berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah udara
tongkatnya masih menancap di tanah, tapi di tangannya telah bertambah dengan sebilah pedang pendek yang memancarkan sinar tajam. Pedang itu sebenarnya memang disembunyikan di dalam tongkat tersebut, begitu berada ditangan, tubuh dan pedangnya segera melebur menjadi satu, kemudian orang berikut pedangnya secepat kilat menyambar ke tubuh Lim Tay-peng. Serangannya kali ini dilakukan amat ganas, lihay dan berbahaya sekali... Keringat dingin telah jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuh Kwik Tay lok, bila dia yang menghadapi ancaman semacam itu, maka harapannya itu untuk meloloskan diri tidaklah besar. Tapi Lim Tay-peng seakan-akan sudah hapal sekali macam perubahan dari jurus serangannya itu. Walaupun pedang nona itu menyambar-nyambar dengan lihaynya, namun setiap kali tiba dihadapan Lim Tay-peng, tiba-tiba tubuh anak muda itu sudah berputar ke samping untuk menghindar. Suatu ketika, mendadak Lim Tay-peng melejit ke depan lalu mencabut tongkat yang menancap di atas tanah itu. Si nona berbaju merah itu segera berpekik nyaring, badannya melejit ke udara, kemudian setelah berjumpalitan di udara, dia membalikkan pedangnya sambil melepaskan tusukan. Lim Tay-peng sama sekali tidak berpaling, toyanya diputar sedemikian rupa menyongsong datangnya ancaman itu. "Cringgg....!" letupan bunga api berhamburan, ternyata pedang pendek itu sudah terbenam sama sekali didalam tongkat tersebut. Nona berbaju merah segera melejit kembali ke udara, badannya berjumpalitan berulang kali, kemudian baru melayang turun ke atas tanah dan tepat di depan tandunya itu. Dengan pandangan tertegun dan melongo dia awasi wajah Lim Tay-peng tanpa berkedip. Kwik Tay-lok juga memandang kesemuanya itu dengan pandangan tertegun.
*********************************
Halaman 53 hilang
*********************************
Dia seakan-akan berubah menjadi amat emosi, bahkan kaki dan tangannya turut gemetar keras. Lim Tay-peng ragu-ragu sebentar, akhirnya pelan-pelan dia membalikkan badannya sambil bertanya: "Kau ingin bagaimana?"
"Aku.... aku.... aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan saja."
"Kalau begitu, tanya saja !" Nona berbaju merah itu mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, lalu berkata: "Kau adalah....!"
"Benar!" tukas Lim Tay-peng tiba-tiba. Nona berbaju merah itu segera mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah, kemudian
serunya: "Baik, kalau begitu aku ingin bertanya lagi, kenapa kau kabur pada waktu itu?"
"Aku senang." Nona berbaju merah itu mengepal tinjunya semakin kencang, bibirnya turut memucat saking emosinya, dengan gemetar dia berseru: "Bagian mana dari tubuhku yang tidak mencocoki hatimu? Kenapa kau harus membuatku malu?"
"Aku yang tak pantas mendapatkan kau, yang mendapat malu juga aku, bukan kau." tukas Lim Tay-peng ketus. "Kini, kau telah kutemukan kembali, apa yang hendak kau lakukan sekarang?"
"Aku tak akan berbuat apa-apa."
"Kau tidak bersedia untuk pulang ke rumah?"
"Kecuali kau membunuhku, dan menggotong mayatku pulang, kalau tidak, jangan harap" Sepasang mata nona berbaju merah itu menjadi merah padam, bibirnya berdarah karena digigit terlalu keras, serunya dengan gemas: "Baik, kau tak usah kuatir, aku tak akan menyuruh orang untuk memaksamu pulang, tapi suatu hari, aku akan menyuruhmu berlutut di depanku sambil memohon kepadaku, ingat saja pokoknya ada suatu hari seperti itu...." Ucapannya terakhir menjadi sesenggukan, ia seperti sudah lupa kalau kedatangan untuk mencari Lamkiong Cho, mendadak setelah mendepak-depakkan kakinya di tanah, ia melejit keudara dan melayang keluar dari halaman tersebut. Semua pengikutnya juga turut pergi dari sana, sekejap mata kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata. Yang tertinggal hanya permadani berwarna merah penuh bertaburkan bunga indah. Malam semakin kelam, cahaya lentera semakin redup, dalam kegelapan sulit untuk menyaksikan bagaimanakah perubahan mimik wajah Lim Tay-peng. Ada sementara persoalan memang tak leluasa untuk ditanyakan, lebih-lebih tak perlu untuk ditanyakan. Lewat lama kemudian, Lim Tay-peng baru berpaling dan tertawa paksa kepada Kwik Tay lok, kemudian bisiknya: "Terima kasih."
"Seharusnya akulah yang berterima kasih kepadamu, mengapa malah kau yang berterima kasih kepadaku?"
"Sebab kau tidak bertanya kepadaku siapakah dia, juga tidak bertanya kepadaku mengapa bisa kenal dengannya." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Bila kau bersedia untuk mengatakannya, sekalipun tidak kutanyakan kau juga akan berkata sendiri, sebaliknya bila kau tak bersedia untuk mengatakannya, mengapa pula aku mesti banyak bertanya?" Lim Tay-peng menghela napas panjang. "Ada sementara persoalan memang paling baik kalau tidak dibicarakan lagi....." bisiknya. Pelan-pelan dia membalikkan badannya dan berjalan kembali ke dalam kamarnya. Memandang bayangan punggungnya yang kurus kering itu, timbul perasaan menyesal dalam hati kecil Kwik Tay-lok. Ia tidak bertanya, karena ia telah menduga siapakah gadis berbaju merah itu, apa yang dia ketahui, sesungguhnya jauh lebih banyak daripada apa yang diduga Lim Tay-peng. Ada sementara persoalan, sesungguhnya dialah yang mengelabuhi Lim Tay-peng, bukan Lim Tay-peng yang mengelabuhinya. Misalnya saja dengan peristiwa yang dialaminya bersama Yan Jit tempo hari, dimana mereka telah berjumpa dengan ibunya Lim Tay-peng, sampai sekarang Lim Tay-peng masih belum tahu apa-apa. Walaupun mereka berbuat demikian dengan maksud baik, namun dalam hati kecil Kwik Tay-
lok selalu merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal dan amat tak enak rasanya. Selama ini, belum pernah dia merahasiakan sesuatu apapun di hadapan temannya, walau disebabkan oleh alasan apapun juga. Angin berhembus lewat, menghamburkan hancuran bunga yang berserakan di atas tanah. Kemudian dia mendengar suara dari Yan Jit: "Sekarang, tentu kau sudah tahu bukan, siapa gerangan gadis berbaju merah itu?" tanyanya. Kwik Tay-lok mengangguk. Tentu saja ia dapat menduga kalau nona itu adalah calon istrinya Lim Tay-peng. Justru karena Lim Tay-peng enggan mendapatkan seorang istri macam begini, maka ia baru kabur dari rumahnya. Yan Jit menghela napas panjang, ujarnya: "Sampai sekarang, aku baru mengerti jelas, apa sebabnya dia kabur dari rumahnya" Kwik Tay-lok tertawa getir. "Aku saja tak tahan menghadapi gadis semacam itu, apalagi Siau-lim....?" katanya. "Ooooh.... rupanya kaupun tak tahan juga menghadapi gadis macam begitu..?"
"Tentu saja!"
"Cantikkah wajahnya?"
"Sekalipun cantik, apa gunanya? Syarat utama bagi seorang lelaki untuk mencintai seorang gadis bukan atas dasar selembar wajahnya belaka."
"Lalu syarat-syarat apa pula yang menjadi dasar bagi seorang lelaki untuk memilih perempuan?" tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya berulang kali. "Harus dinilai dulu apakah dia halus berbudi, lemah lembut dan pintar, lalu dinilai juga apakah dia pandai melayani suaminya. Kalau tidak, sekalipun wajahnya cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, apa pula gunanya?" Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, lalu berkata: "Bagaimana dengan kau? Kalau kau menyukai seorang gadis macam apa?" Kwik Tay-lok segera tertawa. "Gadis yang kucintai sama sekali berbeda dengan pilihan lelaki lain " katanya. "Oya?"
"Bila ada seorang gadis benar-benar bisa memahami diriku, menaruh perhatian kepadaku, sekalipun tampangnya sedikit rada jelek, atau sedikit rada galak, aku masih tetap akan mencintainya dengan sepenuh hati" Yan Jit tertawa manis, dengan kepala tertunduk dia berjalan lewat sisinya dan menuju kedepan pot bunga di sudut pekarangan sana. Udara yang dingin, seakan-akan berubah menjadi lebih hangat. Bunga mawar di ujung dinding sana sedang mekar dengan indahnya, dengan lembut ia membelai bunga tersebut, sampai lama kemudian ia baru berpaling kembali. Tiba-tiba dia menyaksikan Kwik Tay-lok masih mengawasinya dengan sorot mata tak berkedip. Keningnya segera berkerut, lalu serunya: "Aku toh bukan perempuan, apanya yang bagus dilihat? Kenapa kau menatapku terus menerus?"
"Aku.... aku merasa caramu berjalan pada hari ini sedikit agak berbeda dengan keadaan dihari-hari biasa"
"Bagaimana bedanya?"
"Caramu melangkah hari ini seperti istimewa bagusnya, bahkan jauh lebih indah dari pada lenggangnya seorang anak gadis"
Paras muka Yan Jit seperti berubah agak memerah, tapi sengaja dia menarik muka, lalu berkata dengan dingin: "Belakangan ini aku lihat kau seperti banyak mengalami perubahan."
"Oya?"
"Aku lihat kau seperti mengidap suatu penyakit yang sangat aneh sekali, sebab kau selalu melakukan tingkah laku yang membingungkan pikiran orang saja, ucapan juga selalu membingungkan pikiran orang, agaknya aku harus mencarikan seorang tabib untuk memeriksakan keadaanmu itu." Kwik Tay-lok menjadi tertegun, sorot matanya segera memancarkan kemurungan dan
perasaan takut, seperti ia merasa dirinya telah kejangkitan suatu penyakit menular. Sambil tertawa, kembali Yan Jit berkata: "Tapi kau tak usah kuatir, sebab sedikit atau banyak, setiap manusia pasti pernah kejangkitan penyakit semacam itu."
"Oya?"
"Tahukah kau, penyakit siapa yang paling besar?"
"Tidak."
"Nona Giok itulah orang yang paling besar kejangkitan penyakit aneh."
"Nona Giok yang mana?"
"Nona Giok adalah gadis yang barusan datang kemari itu, dia she Giok bernama Giok Ling-long"
"Giok Ling long?"
"Dulu, apakah kau belum pernah mendengar namanya?"
"Belum." Yan Jit menghela napas panjang dan segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
Jilid 26
TAMPAKNYA pengetahuanmu benar-benar amat cetek, sedikit keterangan tentang soal ini tidak dimiliki"
"Aku juga tahu kalau penyakitnya tidak kecil, tapi mengapa aku harus pernah mendengar tentang dirinya?"
"Sebab sejak berumur sembilan tahun, dia sudah merupakan orang yang ternama di dalam dunia persilatan"
"Umur sembilan kau maksudkan berumur sembilan?" Yan Jit mengangguk. "Dia berasal dari suatu keluarga persilatan kenamaan, lagi pula semenjak kecil sudah termasyhur sebagai seorang bocah perempuan ajaib. Konon ketika umurnya belum mencapai dua
tahun, dia sudah mulai belajar ilmu pedang, umur lima tahun telah berhasil mempelajari ilmu pedang Hui-hong-hu-liu-kiam (ilmu pedang angin puyuh menggoyangkan pohon Liu) yang terdiri dari empat puluh sembilan jurus dan merupakan ilmu pedang yang paling sulit untuk dipelajari itu."
"Dia bilang sejak berumur sembilan tahun telah membunuh orang, kedengarannya apa yang dia ucapkan itu bukan cuma bualan belaka?"
"Yaa, memang bukan hanya bualan belaka, bukan saja ia benar-benar telah membunuh orang sejak berumur sembilan tahun, bahkan orang yang dibunuhpun merupakan seorang jago pedang yang amat ternama dalam dunia persilatan pada waktu itu."
"Sejak saat itu, apakah setiap bulan dia tentu membunuh orang?"
"Yaa, benar, diapun tidak membual." Kwik Tay-lok tak tahan untuk tertawa tergelak. "Aaah, masa di dunia ini terdapat begitu banyak orang yang menghantarkan diri untuk menerima kematian di tangannya?"
"Bukan orang lain yang datang menghantarkan diri, adalah dia sendiri yang pergi mencari mereka."
"Pergi kemana untuk mencarinya?"
"Kemanapun dia pergi, asal dia dengar di suatu tempat terdapat seorang yang telah melakukan perbuatan yang pantas dibunuh, maka dia segera berangkat kesana untuk membuat perhitungan dengan orang tersebut."
"Apakah setiap kali turun tangan, dia selalu berhasil merobohkan musuhnya....?" tanya Kwik Tay-lok lagi. "Sampai dimanakah kelihaian ilmu silat yang dimilikinya, aku rasa kau telah membuktikannya sendiri barusan, apalagi dia dibantu oleh dua orang lelaki suku asing dan dua orang perempuan suku asing yang semuanya merupakan jago-jago kelas satu dalam dunia persilatan, malah keempat orang dayang pembawa lenterapun konon berilmu silat amat tinggi, bayangkan saja andaikata dia telah mendatangi rumah seseorang, apakah masih ada orang yang dapat meloloskan diri dari cengkeraman mautnya?"
"Apakah tak ada orang yang mengurusinya...."
"Ayahnya telah meninggal dunia cukup lama, sedangkan ibunya merupakan seorang harimau betina yang paling sukar dilayani dalam dunia persilatan dewasa ini, rasa sayangnya terhadap putri tunggalnya ini boleh dibilang melebihi apapun jua, apa saja yang dia inginkan segera dipenuhi dengan segera, sekalipun orang lain berani mengusiknya, belum tentu berani mengusik ibunya." Setelah menghela napas panjang, kembali dia melanjutkan: "Apalagi orang yang dibunuhnya memang merupakan orang-orang yang pantas di bunuh, maka orang-orang dunia persilatan dari angkatan tua bukan saja tak seorangpun yang menegurnya malahan mereka memuji dirinya setinggi langit"
"Maka dari itu, penyakit yang diidapnya juga makin lama semakin besar?" sambung Kwik Tay-lok. "Itulah sebabnya pada usia yang ke tiga empat belas tahunan, ia sudah merupakan manusia yang paling besar lagaknya dalam dunia persilatan, juga merupakan gadis yang berilmu paling tinggi.... orang yang dibunuhnya makin lama semakin banyak, ilmu silat yang dimilikinya juga secara otomatis makin lama semakin tinggi"
"Justru karena begitu, maka sampai-sampai manusia macam Lamkiong Cho pun tahu, bila ia sudah mulai datang mencari gara-gara maka jalan terbaik adalah menyembunyikan diri dan jangan sampai menjumpai dirinya...?"
"Tepat sekali jawabanmu itu."
"Tentunya Lamkiong Cho juga tahu kalau dia mempunyai hubungan yang akrab dengan siau-Lim, maka dia baru kabur ke tempat kita ini untuk menyembunyikan diri?"
"Kembali jawabanmu tepat sekali."
"Tapi jika Lamkiong Cho bukan seseorang yang seharusnya pantas dibunuh, diapun tak akan datang untuk mencarinya?"
"Benar, dahulu ia tak pernah salah mencari orang." Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Oleh sebab itu yang salah, bukanlah dia melainkan aku."
"Kau juga tidak salah," jawab Yan Jit. Dengan lembut dia melanjutkan: "Ada budi harus dibalas, ucapan seorang lelaki harus dipegang teguh, itulah prinsip dari seorang pria sejati, oleh sebab itu apa yang kau lakukan itu tepat sekali, tak seorangpun yang akan menyalahkan dirimu."
"Tapi ada seorang yang akan menyalahkan diriku."
"Siapa?"
"Aku sendiri." Fajar sudah hampir menyingsing. Sambil mengenakan jubah panjang itu, Kwik Tay-lok masih duduk seorang diri di sana, memandang fajar di ufuk timur pelan-pelan terbit, mendengarkan kokokan ayam di kejauhan sana. Kemudian diapun mendengar suara pintu kamar yang dibuka orang. Ia tidak berpaling, wajahnya pun tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Suara langkah kaki manusia yang enteng, pelan berkumandang datang, ketika tiba di belakang tubuhnya, ia berhenti. Ia masih belum juga berpaling, hanya tanyanya dengan hambar: "Nyenyakkah tidurmu...." Orang berbaju hitam itu berdiri tepat di belakang tubuhnya, mengawasi tengkuknya dan menyahut: "Selama sepuluh tahun belakangan ini, belum pernah aku tidur senyenyak dan setenang malam ini."
"Kenapa?"
"Sebab belum pernah kujumpai seorang manusia seperti kau, menjagakan pintu kamarku semalam suntuk." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Apakah kau tak dapat tidur bila tiada orang yang menjagakan pintu kamarmu?"
"Sekalipun ada orang yang menjaga pintu kamarku, juga belum tentu aku bisa tidur."
"Mengapa?"
"Sebab aku tak pernah mempercayai siapapun."
"Tapi kau tampaknya seperti amat mempercayai diriku." Tiba-tiba orang berbaju hitam tertawa. "Agaknya kaupun seperti amat mempercayai diriku?" katanya. "Dari mana kau bisa berpendapat demikian?"
"Sebab kecuali kau, belum pernah ada orang yang membiarkan aku berdiri di belakang tubuhnya." ujar orang berbaju hitam itu pelan. "Oya?"
"Aku bukanlah seorang Kuncu, aku seringkali membunuh orang dari belakang punggungnya." Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengangguk. "Yaa, membunuh orang dari belakang memang merupakan sebuah cara yang paling sederhana dan gampang"
"Apalagi jika orang itu sedang mengangguk"
"Kenapa harus sewaktu mengangguk?"
"Di belakang tengkuk setiap orang pasti terdapat suatu bagian yang paling ideal untuk umpan golok, asal kau berhasil menemukan tempat itu dan membacoknya, niscaya batok kepala korbanmu akan terkena, teori ini pasti akan dipahami oleh para algojo yang berpengalaman" Sekali lagi Kwik Tay-lok manggut-manggut. "Ehmm, teori ini memang bagus, teori ini memang sangat bagus" Kembali orang berbaju hitam itu termenung beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan ia baru bertanya lagi: "Apakah selama ini tidak tidur?"
"Bila aku sudah tertidur, apakah kau dapat tidur?" Kembali orang berbaju hitam itu tertawa. Suara tertawanya tajam, lengking lagi pula pendek, seakan-akan mata pisau yang sedang diasah. Mendadak ia berjalan ke hadapan Kwik Tay-lok.
"Mengapa kau membiarkan aku berdiri di belakangmu?" anak muda itu segera menegur. "Sebab aku tak ingin menerima pancinganmu."
"Pancingan?"
"Bila aku berdiri di belakangmu dan menyaksikan kau menganggukkan kepalamu, tanganku akan terasa menjadi gatal sekali."
"Apakah kau akan membunuh orang setiap kali tanganmu terasa menjadi gatal?"
"Hanya satu kali tidak."
"Kapan?"
"Barusan." Selesai mengucapkan perkataan itu, mendadak tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Kwik Tay-lok memandang bayangan tubuhnya, hingga dia berjalan ke luar dari pintu gerbang, kemudian secara tiba-tiba berseru: "Tunggu sebentar!"
"Perkataan apa lagi yang hendak kau bicarakan? Apa yang seharusnya diucapkan toh telah habis kau utarakan semua."
"Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan lagi kepadamu."
"Tanyalah!" Pelan-pelan Kwik Tay-lok bangkit berdiri lalu sepatah demi sepatah dia menegur: "Benarkah kau adanya Lamkiong Cho?" Orang berbaju hitam itu tidak menjawab juga tidak berpaling, tapi Kwik Tay-lok dapat melihat kulit di atas bahunya seakan-akan menjadi kaku secara tiba-tiba. Anginpun serasa ikut berhenti secara tiba-tiba, mendadak suasana dalam halaman itu berubah menjadi hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun. Lewat lama sekali, Kwik Tay-Iok baru berkata: "Bila kau tidak bersedia untuk berbicara manggutkan saja kepalamu, tapi kau tak usah kuatir, aku tidak mempunyai pengalaman untuk memenggal batok kepala orang, juga tak akan membunuh orang dari belakang tubuh orang lain." Belum juga ada suara, tak kedengaran ada jawaban. Kembali lewat lama sekali, orang berbaju hitam itu, baru berkata : "Sepuluh tahun belakangan
ini, kau adalah orang ke tujuh yang mengajukan pertanyaan semacam itu kepadaku."
"Apakah enam orang sebelumnya telah tewas semua?"
"Benar."
"Apakah mereka mati karena mengajukan pertanyaan itu?"
"Setiap orang, yang berani mengajukan pertanyaan seperti ini, dia harus membayar pertanyaan itu dengan suatu pengorbanan yang amat besar, oleh karena itu, pertimbangkanlah baik-baik sebelum kau ajukan pertanyaan tersebut....!" Kwik Tay-lok menghela napas panjang. "Aai.... sebenarnya aku memang ingin mempertimbang-kannya lebih dahulu, sayang sekali, aku telah mengajukan pertanyaan itu sekarang." Mendadak orang berbaju hitam itu membalikkan tubuhnya, lalu dengan sorot mata setajam sembilu mengawasinya tak berkedip, bentaknya dengan suara keras: "Andaikata aku adalah Lamkiong Cho mau apa kau?"
"Semalam aku telah mengabulkan permintaanmu, asal kau telah melangkah masuk ke dalam pintu gerbang rumah ini, maka kau adalah tamuku, aku tak akan mencelakaimu, aku pun tak akan mengusirmu." kata Kwik Tay lok. "Dan sekarang?"
"Sekarang, perkataanku itupun masih tetap berlaku, aku hanya ingin menahanmu beberapa saat lagi."
"Menunggu sampai kapan?"
"Tinggal di sini sampai kau menyadari bahwa apa yang telah kau lakukan dimasa lalu adalah perbuatan yang tidak benar, tinggal di sini sampai kau merasa malu, menyesal dan bertobat, nah saat itulah kau baru boleh pergi meninggalkan tempat ini." Kelopak mata orang berbaju hitam itu seakan-akan sedang berkerut kencang, tiba-tiba dia membentak lagi: "Bila aku tak bersedia untuk mengabulkan permintaanmu itu, pula akibatnya?"
"Ooooh..... itu mah sederhana sekali" jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa lebar. Pelan-pelan dia berjalan mendekatinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata: "Bukan di belakang tengkukku terdapat suatu bagian yang paling gampang untuk di penggal?"
"Setiap orang tentu memilikinya.."
"Bila kau dapat menemukan bagian tersebut di atas tengkukku, silahkan kau penggal dahulu batok kepalaku sebelum pergi meninggalkan tempat ini.." Orang yang berbaju hitam itu segera tertawa dingin, jengeknya: "Bagiku mah tak usah dicari lagi"
"Oooh, jadi sendiri kau telah berhasil menemukannya?"
"Tapi aku tidak turun tangan karena aku hendak membalas budi kebaikanmu semalam, tapi sekarang .." Mendadak tubuhnya melesat mundur ke belakang dan meluncur keluar dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Kwik Tay-lok ikut melesat pula ke depan. Berada ditengah udara, orang berbaju hitam itu telah meloloskan pedangnya, sebilah pedang panjang tujuh depa yang memancarkan cahaya gemerlapan. Mendadak.... "Criiiing!" di atas pedang yang gemerlapan itu telah bertambah dengan sebuah sarung pedang. Sarung pedang itu diambil keluar dari bawah jubah panjang dari Kwik Tay-lok.
Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur ke belakang, tapi dia turut mengejar ke depan, begitu orang berbaju hitam itu meloloskan pedangnya maka diapun mengeluarkan sarung pedang dari bawah jubahnya, kemudian ditusukkan ke depan persis menyongsong datangnya tusukan dari musuhnya. Panjang pedang tujuh depa, sarung pedang itu hanya tiga depa tujuh inci persis. Tapi, begitu pedang si orang berbaju hitam itu kena disarungkan kembali, kontan saja ia tak sanggup mengembangkan permainan pedangnya lebih jauh.... Tubuhnya masih mundur terus ke belakang, sebab ia sudah tiada cara lain untuk menghadapi situasi semacam itu selain mundur.... Sepasang tangan Kwik Tay-lok mencekal sarung itu erat-erat dan mendorongnya ke muka kuat-kuat, bila ia tidak melepaskan pedangnya, maka hanya mundur terus mengikuti gerakan dorongan tersebut. Sebaliknya jika dia melepaskan pedangnya, berarti gagang pedang sendiri akan menghajar diatas dadanya. Tubuhnya mundur terus ke belakang, dia berusaha untuk berganti arah sedikit ke samping kemudian mendorong ke depan, sayang hal itu tak mungkin lagi, maka pada saat ini ia telah terjepit, gerak-geriknya sudah tidak bebas lagi. Bila Kwik Tay-lok mendesaknya maju se depa, terpaksa dia harus mundur sedepa pula. "Blaaaamm....!" tubuhnya telah terdorong sehingga menumbuk di atas dinding pekarangan. Kwik Tay-lok masih menggenggam sarung pedang itu dengan sepasang tangannya, kemudian
menekan tubuh musuhnya itu keras-keras di atas dinding. Dalam keadaan begini, ia sudah tak mungkin mundur lagi, pedangnya juga tak mungkin dilepaskan lagi, asal dia lepas tangan, gagang pedang itu akan segera menghantam dadanya keras-keras.
Situasi ketika itu begitu luar biasanya sehingga bila tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, belum tentu orang akan mempercayainya.... Kwik Tay-lok segera tertawa, tegurnya: "Keadaan seperti ini tentunya tak pernah kau sangka bukan?"
"Kepandaian silat macam apaan ini?" seru orang berbaju hitam itu sambil menggigit bibirnya menahan diri. "Tindakan semacam ini sama sekali tak bisa dianggap sebagai suatu kepandaian" jawab Kwik Tay-lok tertawa, "sebab kecuali dipakai untuk menghadapi dirimu, cara semacam ini sama sekali tak ada manfaatnya apa-apa." Dia seperti kuatir kau orang berbaju hitam itu tidak mengerti, maka sambungnya lebih jauh. "Sebab di dunia ini, kecuali kau seorang, tiada orang lain yang akan mencabut pedangnya dengan cara seperti ini."
"Jadi kau secara khusus menciptakan cara tersebut untuk digunakan menghadapi diriku?" seru orang berbaju hitam itu dengan suara yang dingin seperti es. "Benar sekali."
"Padahal kau memang berniat untuk menahan diriku di tempat ini?"
"Sesungguhnya tinggal di sinipun tak ada yang jelek, paling tidak setiap hari kau dapat tidur dengan hati yang tenteram" sambung Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Hmmm.....!"
"Asal kau bersedia untuk tinggal di sini, aku segera akan lepas tangan dan memberikan kebebasan untukmu."
"Hmmm...!"
"Hmmm itu apa artinya?" Orang berbaju hitam itu tertawa dingin. "Sekarang, sekalipun aku tak dapat membunuhmu, tapi kaupun tak bisa berbuat apa-apa terhadap diriku, asal kau mengendorkan tanganmu, aku masih mampu untuk menggerakkan pedangku guna membunuh kau."
"Ehmmm.... memang keadaan semacam itu bisa saja terjadi setiap saat.." Kwik Tay-lok manggut-manggut. "Oleh sebab itu jangan harap kau bisa mengancamku dengan cara seperti ini, sekalipun aku bersedia mengabulkan permintaanmu itu, hal mana juga akan kulakukan setelah kau lepas tangan nanti." Kwik Tay-lok memandangnya beberapa saat, mendadak ia berkata sambil tertawa: "Baik, boleh saja aku mempercayai dirimu untuk kali ini saja, asalkan saja kau...." Belum habis perkataan itu diucapkan, dan belum lagi dia lepas tangan, mendadak ia saksikan ada semacam benda yang menerobos keluar dari dada orang berbaju hitam itu. Itulah sebilah ujung pedang yang tajam. Di ujung pedang itu masih ada darah yang menetes keluar. Ketika orang berbaju hitam itu memandang ujung pedang yang menembusi dadanya, sorot mata yang terpancar keluar persis seperti sorot mata yang diperlihatkan Kui kongcu menjelang kematiannya. Kwik Tay-lok menjadi tertegun menyaksikan kejadian itu. Terdengar orang berbaju hitam itu memperdengarkan suara "Grook" yang aneh sekali dari tenggorokannya, dia seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, namun sudah tak sanggup diutarakan lagi. Tiba-tiba Kwik Tay-lok membentak keras, dia melejit ke tengah udara dan melompat keluar dari dinding pekarangan tersebut. Betul juga, pedang itu ditusuk masuk dari balik dinding pekarangan sebelah luar, pedang tersebut menembusi dinding dan menembusi dada orang berbaju hitam itu, hingga kini gagang pedang itu masih berada di luar dinding. Tapi hanya ada gagang pedangnya belaka, tak nampak sesosok bayangan manusiapun. Angin berhembus lewat, rumput di atas tanah perbukitan itu bergoyang kesana kemari, namun tak nampak sesosok bayangan manusiapun. Di atas gagang pedang itu terdapat secarik kain putih, kain itu sedang berkibar pula terhembus angin. Kwik Tay-lok ingin mencabut keluar pedang tersebut, tapi segera menemukan tulisan yang tertera di atas kain putih itu. Ketika diambil kain tadi, maka terbacalah tulisan itu berbunyi demikian: "Mati untuk yang mencatut nama!
tertanda : Lamkiong Cho." Noda darah di ujung pedang itu telah mengering, orang berbaju hitam itu seakan-akan sedang
menundukkan kepalanya memperhatikan ujung pedang yang menembusi dadanya, seperti juga sedang termenung. Keadaannya itu seperti keadaan Kui kongcu setelah menemui ajalnya tertembus pedang. Yan Jit, Ong Tiong, Lim Tay-peng masih berdiri di serambi jauh di belakang sana, berdiri sambil mengawasi jenasahnya. Ia datang secara tiba-tiba, kini mati secara tiba-tiba pula. Tapi yang lebih aneh lagi adalah ternyata ia bukan Lamkiong Cho. Kwik Tay-lok berdiri disampingnya, memperhatikan ujung pedang yang menembusi dadanya, seakan-akan sedang termenung pula. Pelan-pelan Yan Jit menghampirinya, lalu menegur: "Hei, apa yang sedang kau pikirkan?" Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya: "Aku sedang berpikir, kalau toh dia bukan Lamkiong Cho, mengapa harus menerima semua hangus dari Lamkiong Cho?"
"Hangus apa maksudmu?"
"Bila ia bukan Lamkiong Cho yang sebenarnya, Giok Ling-long tak akan membunuh dan ia tak usah menyembunyikan diri ditempat ini, sekarang, tentu saja diapun tak usah mati di sini?"
"Apakah kau sedang merasa sedih atas kematiannya?"
"Ya, sedikit."
"Tapi aku justru merasa sedih untuk Lamkiong Cho."
"Mengapa?"
"Dengan mencatut nama Lamkiong Cho, entah berapa banyak orang yang telah dibunuhnya dalam dunia persilatan, entah berapa banyak kejahatan pula yang telah dia kerjakan?, mungkin Lamkiong Cho sendiri sama sekali tidak tahu menahu akan hal ini, kau seharusnya berkata bahwa Lamkiong Cho lah yang telah menerima akibatnya dari ulah orang ini, bukan dia yang mendapat
hangus dari Lamkiong Cho." Kwik Tay-lok termenung dan berpikir sebentar, akhirnya dia manggut-manggut, sahutnya setelah menghela napas panjang: "Tapi, bagaimanapun juga dia toh masih terhitung juga tamu kita, aku tak ingin melihat tamuku mati di dalam halaman rumah kita."
"Oleh sebab itu kau masih bersedih hati bagi kematiannya?"
"Yaa, sedikit."
"Bila kau lepas tangan tadi, entah pada saat ini masih akan bersedih hati untuknya atau tidak?"
"Bila aku lepas tangan tadi, apakah dia berkesempatan itu untuk membunuhku?"
"Kau anggap dia tak dapat berbuat demikian" Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya: "Bagaimanapun kau berbicara, aku tetap merasa bahwa manusia tetap manusia, sedikit banyak manusia itu masih mempunyai rasa perikemanusiaan, walaupun kau tak melihatnya, atau dapat merabanya, tapi mau tak mau harus kau akui akan kehadirannya, kalau tidak, apalah artinya
hidup sebagai manusia?" Yan Jit menatapnya lekat-lekat, mendadak diapun turut menghela napas panjang, katanya dengan lembut: "Padahal akupun berharap sekali agar pandanganmu itu jauh lebih tepat daripada pandanganku..." Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya memandang awan yang melayang jauh diangkasa sana, lama sekali dia termenung, lalu berkata lagi secara tiba-tiba: "Sekarang, akupun berharap bisa mengetahui akan satu hal."
"Kau berharap apa?"
"Aku hanya berharap, suatu ketika aku dapat bertemu dengan Lamkiong Cho yang sesungguhnya, melihat bagaimanakah bentuk wajah orang itu..." Dengan mata mencorongkan sinar tajam, pelan-pelan dia melanjutkan: "Aku rasa, ia pasti jauh lebih misterius, jauh lebih menakutkan daripada orang-orang yang pernah kujumpai sebelumnya." Tapi apakah di dunia ini benar-benar terdapat seorang manusia yang bernama Lamkiong Cho? Siapapun tidak tahu, siapapun tak pernah melihatnya. Sampai sekarang ada atau tidaknya Lamkiong Cho si manusia misterius itu dalam dunia masih tetap merupakan suatu tanda tanya besar, suatu teka-teki besar yang hingga kini belum terpecahkan.... Yaa, siapa yang tahu dia itu ada atau tidak?
Tiada seorang manusiapun yang tahu akan kabar berita Lamkiong Cho, seperti juga tak ada orang yang tahu ke mana perginya musim semi. Tapi, musim semi akan datang kembali, sebaliknya Lamkiong Cho sama sekali tiada beritanya. Sekarang, musim sudah hampir berlalu. Walaupun aneka bunga dalam halaman telah mekar dengan indahnya, namun bagaimanapun indahnya bunga, tak akan bisa menahan musim semi itu untuk berlangsung lebih lama. Lambat laun udara mulai menjadi panas. Sekalipun luka yang diderita Ong Tiong telah sembuh, namun orangnya berubah makin malas, sepanjang hari dia hanya berbaring saja, hampir sama sekali tak bergerak. Kecuali ketika mereka mengubur jenasah orang berbaju hitam tempo hari.... Waktu itu, walaupun sudah mendekati Ceng-beng, namun tiada hujan yang turun sepanjang hari. Udara cerah dan sangat baik, pulang dari kuburan, seperti biasanya Ong Tiong berjalan dipaling belakang.. Ang Nio-cu tidak datang. Walaupun luka yang dideritanya telah hampir sembuh, namun sepanjang hari dia mengurung diri dalam kamarnya.... sekarang bukan Ong Tiong yang menghindarinya, justru agaknya dialah yang berusaha menghindari Ong Tiong. Hati perempuan memang selamanya sukar diraba ke arah mana tujuannya.... Ini masih tak aneh, yang aneh adalah belakangan ini Kwik Tay-lok juga seakan-akan selalu menghindari Yan Jit. Yan Jit dan Lim Tay-peng berjalan di muka, sedang dia dan Ong Tiong mengikuti di belakang dengan kemalas-malasan.
Di tengah jalan, Ong Tiong mencari sebuah tempat yang rindang dan duduk, kemudian menggeliat dan menguap berulang kali.
Maka diapun turut duduk, menggeliat dan menguap berulang kali. Ong Tiong segera tertawa, sambil memandang wajahnya, ia berkata sambil tersenyum: "Belakangan ini tampaknya kaupun berubah menjadi lebih malas daripada diriku?"
"Siapa yang membuat peraturan kalau hanya kau seorang yang boleh menjadi malas? Dapatkah aku lebih malas sedikit dari pada dirimu?"
"Tidak dapat."
"Kenapa tidak dapat?"
"Sebab belakangan ini kau seharusnya lebih bersemangat daripada siapapun juga."
"Mengapa?"
"Masih ingatkah kau dengan ucapan Yan Jit yang disampaikan kepadamu tempo hari?"
"Tidak ingat, tidak ingat lagi, mengapa aku harus mengingat selalu perkataannya?" Seakan-akan baru saja menelan tiga butir obat peledak, kata-katanya membara seperti bahan peledak yang setiap saat bakal meledak. Ong Tiong sama sekali tidak menggubris akan hal itu, sambil tersenyum kembali dia berkata: "Dia bilang, diantara kita berempat, sebenarnya ia mengira kepandaian silatmu paling rendah."
"Kalian semua mempunyai guru yang baik sedang aku tidak, tentu saja kepandaianku lebih rendah."
"Tapi, semenjak kau bertarung melawan orang berbaju hitam itu, dia baru menemukan kalaupun ilmu silat yang kami miliki jauh lebih hebat daripada kepandaianmu, namun bila sungguh-sungguh sampai terjadi pertarungan, mungkin semuanya bukan tandinganmu."
"Apa yang dia katakan, mungkin dia sendiripun tak akan mempercayainya....." ucap Kwik Tay lok dingin. "Tapi aku percaya seratus persen, sebab pandanganku pun sama persis seperti pandangannya itu."
"Oya..."
"Sekalipun ilmu silatmu tak bisa menandingi kami, namun bila sedang bertarung melawan orang, kau bisa menghadapinya menurut situasi yang ada di depan, menaklukkan musuh terlebih dahulu dan menguasahi posisi strategis, jika di umpamakan dengan kata-kata kuno, maka kau adalah seorang manusia yang pintar dan berbakat bagus untuk melatih ilmu silat, oleh sebab itu...."
"Oleh sebab itu kita harus bertarung untuk mencobanya bukan?" Katanya semakin meledak-ledak, seperti ada tiga ton bahan peledak yang tertanam dalam perutnya. Namun Ong Tiong masih juga tidak ambil perduli, katanya lebih jauh sambil tersenyum: "Oleh sebab itu kau harus menggantikan semangatmu dan melatih kepandaian silat yang kau miliki semakin giat, bila dapat menemukan guru yang baik, mungkin saja di kemudian hari akan menjadi seorang tokoh silat disegani dalam dunia persilatan" Tiba-tiba Kwik Tay-lok menghela napas panjang katanya: "Sekarang aku tak ingin mencari guru yang paling baik, aku hanya ingin mencari seorang lebih yang baik"
"Mengapa?" Kwik Tay-lok menggigit kuku jari tangannya keras-keras, lalu jawabnya lirih: "Sebab... sebab aku punya penyakit"
"Kau punya penyakit? Penyakit apa?" Tanya Ong Tiong dengan wajah agak berubah: "Semacam penyakit yang aneh sekali"
"Tampaknya kau tak pernah membicarakan soal-soal ini denganku?"
"Sebab.... sebab aku.... aku tak dapat mengatakannya" Wajah pemuda ini memang tampak sangat menderita sekali, sama sekali tidak mirip orang yang sedang bergurau. Ternyata Ong Tiong juga tidak bertanya lebih lanjut. Sebab dia tahu, semakin cepat dia mengajukan pertanyaan, semakin enggan Kwik Tay-lok membicarakannya. Begitu ia tidak bertanya, ternyata Kwik Tay-lok malah mendesak terus, kembali dia bertanya: "Apakah kau tidak merasakan bahwa belakangan ini aku telah berubah sama sekali?" Ong Tiong berkerut kening lalu termenung beberapa saat lamanya, setelah itu dia baru mengangguk. "Ehmm, agaknya memang sedikit berubah."
"Aaai.... hal itu disebabkan aku berpenyakit" kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas panjang. Dengan nada menyelidik Ong Tiong bertanya lagi: "Tahukah kau dimana terletak penyakit yang kau derita itu"
"Disini!" kata Kwik Tay-lok sambil menuding ke hati sendiri. "Oooh.... kalau begitu kau terkena penyakit hati?" seru Ong Tiong sambil berkerut kening. Mimik wajah Kwik Tay lok semakin menunjukkan penderitaan yang lebih menghebat. "Penyakit hatipun terdiri dari beraneka macam, menurut apa yang kuketahui, yang paling hebat adalah penyakit rindu.... apakah kau terkena penyakit rindu ?" Kwik Tay-lok tidak menjawab, dia hanya menghela napas berulang kali. Sambil tertawa kembali Ong Tiong berkata: "Penyakit rindu bukan suatu penyakit yang memalukan, mengapa kau enggan untuk mengutarakannya? Siapa tahu aku masih bisa membantumu untuk menjadi mak comblang?" Sekuat tenaga Kwik Tay-lok menggigit bibirnya kencang-kencang, lewat sekian lama kemudian tiba-tiba ia cengkeram bahu Ong Tiong dan berseru keras: "Benarkah kau adalah teman baikku?"
"Tentu saja benar"
"Sebagai sahabat karib, apakah harus saling menutup rahasia...?"
"Aku mempunyai suatu rahasia, sudah lama rahasia ini ku simpan didalam hati, tapi bila tidak ku utarakan lagi, bisa jadi aku akan menjadi gila, tapi.... tapi bila ku utarakan keluar, aku pun takut kau mentertawakan diriku"
"Kau.... kau... jangan-jangan kau kena penyakit sypilis?" bisik Ong Tiang ragu-ragu. "Tidak!" Ong Tiong segera menghembuskan napas lega, ujarnya: "Asal tidak kena penyakit Sypilis saja, tak menjadi soal, katakan saja berterus terang, aku tak akan mentertawakan dirimu" Kembali Kwik Tay-lok ragu-ragu setengah harian lamanya, setelah itu dengan wajah yang murung dia berkata: "Penyakit rindu pun tidak terdiri dari semacam saja, justru yang ku alami adalah suatu macam penyakit yang paling memalukan"
"Kenapa memalukan sekali? Perempuan suka lelaki, lelaki suka perempuan, hal ini sudah lumrah dan semua orang juga mengalaminya, sekalipun gagal didalam bercinta juga bukan suatu kejadian yang terlalu memalukan...."
"Tapi.... tapi penyakit rindu yang ku alami ini bukan terhadap kaum perempuan" Ong Tiong tertegun, sampai lama kemudian dia baru bertanya lagi dengan nada menyelidik: "Apakah kau jatuh hati kepada seorang lelaki?" Kwik Tay-lok manggut-manggut, wajahnya meringis seperti setiap saat akan menangis: Agaknya Ong Tiong juga merasa takut sekali, sengaja dia merendahkan suaranya sambil berbisik: "Bukan aku bukan?" Kwik Tay-lok memandang wajahnya lekat-lekat, dia tak tahu ingin menangis ataukah ingin tertawa, terpaksa sambil menarik wajahnya ia menjawab cepat: "Penyakitku belum sampai separah ini." Agaknya Ong Tiong segera menghembuskan napas lega, katanya kemudian sambil tertawa: "Asal bukan aku, itu mah tak menjadi soal." Mendadak dia merendahkan lagi suaranya sambil bertanya: "Apakah Siau-lim?"
"Sudah bertemu setan tampaknya kau ini" Ong Tiong kembali berkerut kening dan berpikir beberapa saat lamanya, tapi tak lama kemudian katanya sambil tertawa: "Aaaah... mengerti aku sekarang, bukankah kau mencintai Yan Jit....?" Kali ini Kwik Tay-lok tidak berbicara lagi, ia membungkam dalam seribu bahasa. Dengan senyuman dikulum kembali Ong Tiong berkata: "Padahal sudah lama aku mengetahui akan hal ini, kau selalu suka berkumpul dengannya." Sambil bermuram durja Kwik Tay-lok berkata lagi: "Dulu aku masih belum merasakan sesuatu yang tak beres, aku masih mengira hal mana mungkin disebabkan kami adalah sahabat karib tapi kemudian.... kemudian...."
"Kemudian bagaimana?" tanya Ong Tiong sambil mengerdipkan matanya berulang kali. "Kemudian.... kemudian aku merasakan sesuatu yang tak beres."
"Dimana ketidak beresannya?"
"Aku tak dapat menerangkan dimanakah letak ketidak beresan tersebut, pokoknya asal aku berada bersamanya, perasaanku akan menjadi lain daripada yang lain."
"Bagaimana lain daripada yang lain itu?" Tampaknya ia betul-betul hendak mengorek semua persoalan sampai sejelas-jelasnya sama sekali, tak mau mengendor dengan begitu saja. "Lain daripada yang lain, yaa lain dari pada yang lain, pokoknya.... pokoknya tidak sama seperti keadaan biasa." Sekalipun sudah dikatakan namun kenyataannya sama juga seperti tidak berkata apa-apa. Tampaknya Ong Tiong seperti mau meledak rasa gelinya, tapi untung saja ia masih dapat menahan diri, ujarnya kemudian dengan wajah serius: "Padahal kejadian seperti inipun bukan termasuk suatu kejadian yang memalukan."
"Tidak memalukan?" teriak Kwik Tay-lok, "kalau lelaki semacam aku ternyata menyukai lelaki juga, apa namanya? itu namanya Homoseks, mengerti? Apakah Homoseks tidak memalukan....."
"Toh di dunia ini bukan kau seorang yang mengidap penyakit seperti ini? Bahkan sang Kaisar pun, ada kalanya merasakan juga tubuh lelaki, apa salahnya kalau rakyatpun mengikuti jejaknya? Aku lihat, lebih baik lanjutkan saja hubunganmu dengannya...." Kwik Tay-lok segera mencak-mencak seperti orang yang kebakaran jenggot, dengan mata melotot teriaknya amat gusar: "Ternyata kau bukan sahabatku, aku telah salah menilai dirimu." Sambil membalikkan badannya ia siap berlalu dari situ. Tapi Ong Tiong segera menariknya kembali seraya berkata: "Eeeh.... jangan marah dulu, jangan marah dulu, aku tak lebih hanya ingin mencoba dirimu saja, sesungguhnya akupun sudah melihatnya bahwa Yan Jit manusia tersebut sedikit kurang
beres"
"Bagaimana kurang beresnya?" tanya Kwik Tay-lok tertegun. Ong Tiong harus bersusah payah menahan diri agar jangan sampai meledak rasa gelinya, sambil menarik muka dia berkata: "Apakah kau tidak melihat orang ini rada sedikit berhawa sesat."
"Hawa sesat? Hawa sesat apa?"
"Walaupun kita sudah sekian lama menjadi sahabat karib, namun dia selalu waspada seperti terhadap maling saja, bila mendadak tidur, ia selalu menutup semua pintu, semua jendela yang ada rapat-rapat, bukan begitu?"
"Betul!"
"Setiap kali dia keluar rumah, kepergiannya selalu dilakukan secara diam-diam, seakan-akan kuatir bila kita akan menguntilnya, begitu....?"
"Betul."
"Dia selalu tak pernah mandi, tapi tubuhnya tak pernah berbau busuk, walaupun pakaian yang dikenakan dekil dan penuh berlubang, namun kamarnya jauh lebih bersih daripada kamar siapapun.... coba kau bilang, berdasarkan beberapa masalah ini bukankah dia tampak amat sesat rasanya...?" Paras muka Kwik Tay-Iok segera berubah menjadi pucat pias, dengan agak ragu-ragu katanya: "Maksudmu, apakah dia...."
"Aku tidak berkata apa-apa, juga tidak mengatakan kalau dia adalah anggota Mo-kau" Mendadak dia berbatuk-batuk keras, sebab kalau tidak dibatukkan lagi, bisa jadi suara tertawanya akan meledak-ledak. Paras muka Kwik Tay-lok berubah semakin pucat pias lagi, bibirnya menjadi gemetar keras, terdengar ia bergumam tiada hentinya: "Orang Mo-kau.... orang Mo-kau?"
Ong Tiong harus berbatuk sekian lama sebelum akhirnya berhasil meredakan rasa geli dalam hatinya, kembali dia berkata.
"Aku hanya pernah mendengar orang bercerita, katanya dalam Mo-kau terdapat beberapa pasang suami istri yang sangat aneh."
"Bagaimana anehnya?"
"Beberapa pasang suami istri itu, sang suami adalah laki-laki, sang istripun laki-laki." Bagaikan terkena bidikan panah yang telak mengenai ulu hatinya, Kwik Tay-Iok segera melompat bangun dari atas tanahnya, kemudian sambil memegang bahu Ong Tiong kencang-kencang, pintanya dengan wajah hampir menangis: "Kau.... kau harus... membantuku.... kau.... kau harus membantuku."
"Bagaimana membantunya?"
"Kau harus membantuku untuk bercekcok hebat dengan diriku."
"Bercekcok? Bagaimana cekcoknya"
"Terserah bagaimanapun cekcoknya, pokoknya aku minta kita bercekcok hebat, semakin hebat semakin baik."
"Kenapa harus bercekcok?"
"Sebab setelah bercekcok aku bisa kabur lari sini untuk mengambil langkah seribu!" Paras muka Ong Tiang agak berubah, tampaknya dia merasa gurauannya sudah terlampau berlebihan, maka setelah lewat sesaat lamanya dia baru berkata sambil tertawa paksa: "Sesungguhnya kau tak perlu pergi, sebab sebenarnya dia...." Dia seperti hendak mengungkapkan rahasia tersebut, tapi Kwik Tay-lok segera menukas kata-katanya: "Padahal akupun bukan benar-benar akan minggat, aku hanya akan meninggalkan tempat ini untuk sementara waktu saja"
"Kemudian?"
"Kemudian akan menunggunya di bawah bukit sana, asal dia sudah pergi maka secara diam-diam aku akan menguntilnya, akan kulihat dia pergi kemana dan berjumpa dengan siapa saja" Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan: "Bagaimanapun juga, aku harus menyelidiki dirinya sampai jelas, aku ingin tahu sebenarnya ia mempunyai rahasia apa?" Ong Tiong termenung sebentar, kemudian katanya: "Mengapa kau tidak menunggu saja di rumah?"
"Sebab bila aku akan menguntilnya dengan begitu saja, niscaya jejakku akan diketahui olehnya"
"Apakah kau hendak merubah wajahmu setibanya di bawah bukit sana?"
"Kau mengerti ilmu menyaru muka?"
"Tidak, tapi aku mempunyai cara sendiri." Sambil miringkan kepalanya Ong Tiong mempertimbang-kan hal tersebut beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan ia berkata: "Kalau toh kau telah bertekad untuk berbuat demikian, baiklah kau lakukan saja, cuma...."
"Cuma bagaimana?"
"Bila kita hendak bercekcok, maka cekcok itu harus dilangsungkan seperti yang sesungguhnya, kalau tidak, tentu dia tak akan percaya."
"Betul."
"Oleh karena itu kita harus menunggu kesempatan, kita tak boleh bercekcok tanpa sebab musabab yang kuat."
"Tapi, kita harus menunggu sampai kapan?" Ong Tiong segera tertawa, katanya: "Walaupun aku tidak terlalu suka bercekcok dengan orang, namun bukan suatu pekerjaan yang sulit untuk mencari kesempatan guna bercekcok."
"Kenapa?"
"Sebab kau memang seringkali mengucapkan kata-kata yang tak bisa diterima oleh manusia biasa." Kwik Tay-lok turut tertawa, katanya: "Bila Yan Jit berada di sini, sekarang juga aku dapat bercekcok dengan dirimu."
"Kini, aku hanya menguatirkan satu persoalan."
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Aku hanya kuatir bila ia membantumu untuk bercekcok denganku, kemudian sehabis bercekcok pergi bersamamu." Kwik Tay-lok mengerdipkan matanya berulang kali, katanya kemudian: "Kau tak usah menguatirkan tentang persoalan ini."
"Oya?"
"Kalau toh aku dapat bercekcok dengan dirimu, apakah tidak bisa bercekcok pula dengan dirinya?"
"Tentu saja dapat" jawab Ong Tiong sambil tertawa, "ada kalanya, perkataanmu bisa menggemaskan orang sekota, siapapun yang bercekcok denganmu, aku pasti tak akan merasa keheranan" Belum habis berkata dari Kwik Tay-lok itu, mendadak terdengar jeritan kaget berkumandang dari balik hutan di sebelah depan sana. Seorang gadis sedang berteriak-teriak dengan suara yang lantang: "Tolong.... tolong...." Bila seorang lelaki mendengar seorang gadis meneriakkan kata "tolong", kebanyakan mereka segera akan memburu ke tempat kejadian dan memberikan pertolongannya. Sekalipun ia tidak berniat sungguh-sungguh untuk memberi pertolongan, paling tidak juga akan mendekatinya mengetahui apa gerangan yang telah terjadi. Dalam kehidupan seorang pria, sedikit banyak ia tentu akan mengkhayalkan untuk menjadi seorang pahlawan yang menolong gadis cantik, hanya sayangnya kesempatan itu jarang terjadi. Kini, kesempatan itu sudah tiba, sudah barang tentu Kwik Tay-lok takkan melepaskannya dengan begitu saja. Tidak menanti Ong Tiong melakukan suatu gerakan, Kwik Tay-lok telah
melompat bangun dan menyerbu ke arah mana berasalnya suara teriakan tersebut.... Sayang dia seakan-akan datang terlambat selangkah. Baru saja dia melompat bangun, tampaklah sesosok bayangan manusia telah menerjang masuk ke dalam hutan. Gadis yang meneriakkan minta tolong, kebanyakan tak akan berparas jelek, tapi gadis secantik orang yang berteriak minta tolong sekarang, tidak banyak jumlahnya. Gadis itu tidak begitu tua, paling banter usianya baru tujuh delapan belas tahunan, rambutnya dikepang dua dan kelihatan lincah serta polos.... Di tangannya membawa sebuah keranjang bunga, wajah yang berbentuk kwaci telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, ia sedang berlarian mengitari sebuah pohon. Seorang lelaki berkumis yang bertubuh kekar, dengan membawa senyuman menyeringai mengejarnya dari belakang. Ia tidak mengejar terlalu cepat, sebab ia tahu gadis itu sudah merupakan hidangan lezat di depan mata, jangan harap dara tersebut dapat meloloskan diri lagi dari cengkeramannya. Tentu saja mimpipun ia tak menyangka kalau dari tengah jalan bisa muncul seorang Thia Kau-kim. Untung saja Thia Kau-kim yang munculkan diri tak lebih hanya seorang pemuda yang masih ingusan paling banter umurnya sebaya dengan nona tersebut. Maka sebelum Lim Tay-peng buka suara, ia telah membentak lebih dahulu dengan suara menggelegar: "Kau si anakan kelinci, siapa yang suruh kau datang kemari? Bila sampai menggagalkan urusan baik locu, hati-hati kupenggal batok kepala anjingmu itu."
"Urusan baik apa ?" tegur Lim Tay-peng dengan wajah dingin. "Apa yang hendak locu lakukan, memangnya kau si bangsat cilik tak dapat melihatnya sendiri?" Sementara itu si nona telah menyembunyikan diri di belakang Lim Tay-peng, dengan napas
tersengkal-sengkal dan suara gemetar katanya: "Dia bukan orang baik, dia.... dia hendak menganiaya aku."
"Tak usah kuatir," ucap Lim Tay-peng hambar, "sekarang, tak ada orang yang berani menganiaya dirimu lagi."
"Hmmm.... anak monyet, tampaknya kau hendak mencampuri urusanku?" bentak lelaki itu dengan gusar. "Agaknya memang begitu!" Dengan gusar lelaki itu membentak keras, bagaikan harimau lapar yang siap menerkam domba, dengan garangnya ia terjang diri Lim Tay-peng. Sayang sekali musuh yang dihadapinya Lim Tay-peng telah berhasil menghajarnya sampai menggelinding ke tanah, kemudian ditendangnya tubuh lelaki itu seperti lagi menyepak anjing saja. Kejut dan gusar lelaki itu dibuatnya, kontan saja dia mencaci maki kalang kabut, tampaknya ia sedang bersiap-siap untuk merangkak bangun dan menerkam lagi dengan garang. Siapa tahu seseorang telah mencengkeram bajunya dari belakang, kemudian mengangkat tubuhnya ke udara. Bukan saja orang itu mempunyai tenaga yang besar, perawakan tubuhnya juga tidak lebih pendek daripada dirinya sekalipun hanya dicengkeram dengan tangan sebelah, ternyata ia tak sanggup untuk memberikan perlawanan lagi... Kedatangan Kwik Tay-lok tepat pada waktunya, sambil mencengkeram orang itu menuju kedepan Lim Tay-peng, katanya sambil tersenyum: "Menurut pendapatmu, bagaimana kita harus memberi pelajaran kepada bangsat ini?" ia membentak. "Lebih baik kita menanyakan pendapat dari nona ini saja," kata Lim Tay-peng cepat-cepat. Waktu itu, belum hilang rasa kaget si nona, tubuhnya malah masih gemetar keras. Kwik Tay-lok segera menghampiri nona itu, kemudian setelah mengerdipkan matanya ia
berkata: "Orang ini berani menganiaya dirimu, bagaimana kalau kita jagal dia, kemudian diberikan kepada anjing?" Nona cilik itu menjerit kaget, hampir saja ia jatuh pingsan, tubuhnya segera roboh ke dalam pelukan Lim Tay-peng. Kwik Tay lok tertawa terbahak-bahak: "Haaahh.... haaahhh.... haaahhh jangan takut nona manis, aku hanya bergurau saja, manusia busuk macam dia jangan toh manusia, anjing liarpun enggan mengendus badannya yang busuk itu." Kemudian sambil mengulapkan tangannya: "Enyah kau dari sini, lebih cepat lebih baik, lebih jauh lebih baik, jangan sampai kena kami bekuk lagi!"
Sekalipun tak usah diperingatkan, lelaki itu sudah melarikan diri terbirit-birit, diam-diam ia menyumpahi orang tua sendiri, kenapa dilahirkan dengan dua kaki saja. Sepeninggal lelaki tadi, si nona kecil itu baru menghembuskan napas lega, dengan wajah merah karena jengah ia bangkit berdiri, lalu sambil menjura katanya: "Terima kasih atas bantuan siangkong, kalau tidak.... kalau tidak....." Matanya kembali menjadi merah, kata-kata selanjutnya tak sanggup dilanjutkan lagi, seakan-akan kalau bisa dia ingin memeluk sepasang kaki Lim Tay-peng dan menyatakan betapa meluapnya rasa terima kasih yang berkobar didalam dadanya. Paras muka Lim Tay peng juga berubah menjadi merah padam. Melihat itu, Kwik Tay lok segera berseru sambil tertawa: "Yang menolong kau toh bukan cuma kongcu ini seorang, aku juga turut ambil bagian, mengapa kau tidak berterima kasih kepadaku?" Paras muka nona cilik itu berubah semakin merah padam ia semakin tak tahu apa yang harus dilakukan. Untung saja Yan Jit datang tepat pada waktunya, sambil melotot ke arah Kwik Tay-lok tegurnya: "Orang sudah menderita, kau hendak menganiaya dirinya lagi...." Ia segera menarik bangun nona cilik itu, kemudian katanya lagi:
"Orang inipun tadi punya penyakit, kau tak usah menggubris dirinya...."
"Te... terima kasih." nona cilik itu menundukkan kepalanya semakin rendah. "Kau seorang anak dara, mengapa mendatangi tempat yang tak ada orangnya seperti tempat ini?" Nona cilik itu menundukkan kepalanya semakin rendah, sahutnya agak tergagap: "Aku adalah seorang penjual bunga, ia bilang di suatu tempat ada orang yang hendak memborong semua bunga yang kumiliki, maka.... maka akupun mengikutinya datang ke mari."
"Yan Jit menghela napas panjang, katanya kemudian: "Lelaki di dunia ini lebih banyak yang jahat daripada yang baik, lain kali kau mesti bersikap lebih berhati-hati lagi." Mendadak Lim Tay-peng bertanya: "Berapa sih harganya sekeranjang bunga?"
"Tiga.... tiga....."
"Baik, kuberi kau tiga tahil perak, kuborong semua sekeranjang bungamu itu." Nona menjual bunga itu mendongakkan kepalanya menatap wajahnya, dibalik sinar matanya yang lembut terpencar rasa terima kasih yang meluap. Dengan wajah merah padam karena jengah, buru-buru Lim Tay-peng melengos ke arah lain, seakan-akan ia tak berani bertatapan mata dengan dara tersebut. Kwik Tay-lok memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, lalu memandang pula ke arah sidara penjual bunga itu, tiba-tiba ia bertanya: "Nona cilik, siapa namamu?" Dara penjual bunga itu seperti merasa takut sekali, begitu ia membuka suara, nona itu mundur dua langkah dengan ketakutan. "Apakah kau tinggal di bawah bukit sana? Apakah barusan pindah ke mari? Dulu mengapa aku tak pernah melihat dirimu?" tanya Kwik Tay-lok lebih lanjut. Dengan wajah merah padam jengah, dara penjual bunga itu menundukkan kepalanya rendah-rendah, sambil menggigit bibir, ia membungkam diri dalam seribu bahasa.
"Hei, kenapa hanya membungkam saja? Apakah kau mendadak menjadi bisu?" Kwik Tay-lok tertawa terkekeh. Dara penjual bunga itu seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian diurungkan, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlalu dari sana. Tampak sepasang kepangnya bergoyang-goyang di belakang punggungnya, setelah berlari agak jauh, tiba-tiba ia berpaling dan mengerling sekejap ke arah Lim Tay-peng, kemudian mengambil keluar semua bunga dari keranjangnya dan diletakkan di atas tanah. "Bunga ini semuanya untukmu" dia berkata.
Jilid 27
BELUM lagi ucapannya selesai diucapkan, wajahnya semakin memerah, larinya semakin cepat, seakan-akan takut kalau sampai dikejar orang. "Kecil amat nyali nona cilik ini," kata Kwik Tay-lok kemudian sambil tertawa. "Melihat tampangmu yang buas dan seram, gadis yang bernyali besarpun akan ketakutan juga dibuatnya," sela Yan Jit dingin. "Aku toh tak lebih hanya bertanya beberapa patah kata kepadanya, apa salahnya kalau bertanya melulu?"
"Apa pula urusannya nama orang, tinggal dimana dengan urusanmu? Kenapa kau mesti banyak bertanya?"
"Aku toh bukan bertanya untuk diriku sendiri," jawab Kwik Tay-lok tertawa. "Lantas kau bertanya untuk siapa?" Kwik Tay-lok menunjuk ke arah Lim Tay-peng dengan ujung bibirnya, lalu berkata sambil tertawa: "Apakah kau belum melihat bagaimanakah tampang dari kongcu kita yang romantis itu?" Lim Tay-peng seakan-akan tidak mendengar apa yang dia katakan, sepasang matanya masih menatap ke arah mana bayangan tubuh nona cilik itu melenyapkan diri, ia tampak seperti agak terpesona dibuatnya. Musim semi belum pergi jauh, angin yang berhembus di pagi hari itu masih membawa udara yang segar.
Kwik Tay-lok membuka pintu dan menarik napas panjang-panjang, angin sejukpun segera berhembus lewat menerpa tubuhnya. Setiap hari pasti dialah yang bangun paling awal, sebab dia merasa bertiduran di atas ranjang dalam udara segar seperti itu hanyalah suatu pekerjaan yang menghambur-hamburkan waktu. Tapi hari ini, ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar halaman, tiba-tiba dijumpainya Lim Tay-peng sudah berdiri di tengah halaman. Ia sedang berdiri termangu-mangu di tengah halaman. Kwik Tay-lok segera mendehem pelan, tapi ia tidak mendengar, Kwik Tay-lok mengetuk tiang pagar, diapun tidak mendengar. Sepasang matanya hanya menatap bunga mawar di sudut halaman saja, entah apa yang sedang dipikirkan? Pelan-pelan Kwik Tay-lok berjalan menghampirinya, kemudian secara tiba-tiba berseru keras: "Selamat pagi!" Akhirnya Lim Tay-peng mendengar juga, tapi iapun tampak seperti amat terperanjat, ketika berpaling dan melihat orang itu adalah Kwik Tay-lok, ia baru tertawa paksa. "Selamat pagi!" sahutnya. Kwik Tay-lok menatap wajahnya lekat-lekat, kemudian berkata:
"Kalau kulihat matamu yang merah, tampaknya semalam tidak nyenyak tidurmu?"
"Ehhmmm....."
"Tampaknya kau seperti mempunyai rahasia hati, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir.... agaknya musim semi telah berlalu."
"Yaa betul, musim semi telah berlalu, agaknya baru kemarin berlalunya" sahut Kwik Tay-lok sambil manggut-manggut. "Baru kemarin berlalunya?" Kwik Tay-lok segera tersenyum. "Masa kau tidak tahu?" serunya, "ketika si nona cilik lari pergi kemarin, musim semi telah lari pula mengikutinya" Kontan saja paras muka Lim Tay-peng berubah menjadi merah padam. Sengaja Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya: "Heran, kemana perginya musim semi? Siapa yang tahu....? Bila ada orang yang tahu kemana perginya musim semi, apa salahnya kalau dicari kembali?"
"Dapatkah kau kurangi beberapa patah katamu yang tak beraturan itu?" pinta Lim Tay-peng dengan paras muka merah padam. Kembali Kwik Tay-lok tertawa. "Masa aku telah salah berbicara? Apakah kau tak ingin menahan musim semi itu beberapa waktu lamanya?"
"Aku...." Mendadak ia membungkam, sebab pada saat itulah tiba-tiba berkumandang suara nyanyian dari kejauhan sana: "Nona cilik bangun di pagi hari. Membawa keranjang bunga, menuju ke pekan. Melewati jalan besar, menelusuri lorong kecil. Bunga, bunga, teriaknya. Meski bunga indah, meski bunga harum. Bagaimana bila tak ada yang beli, Menenteng keranjang, berkantung kosong. Pulang bertemu ayah dan bunda." Nyanyian itu manis, indah dan agak bernada pedih, bukan cuma Lim Tay-peng yang dibikin terperana, Kwik Tay-lok pun ikut terpesona dibuatnya. Lewat lama kemudian ia baru menghela napas panjang, gumamnya: "Tampaknya musim semi belum pergi jauh, buktinya sekarang ia telah balik kembali." Tiba-tiba di dorongnya Lim Tay-peng ke teras, kemudian ujarnya sambil tertawa: "Kenapa belum beranjak keluar? Buat apa berdiri termangu-mangu saja di situ?"
"Keluar mau apa?" tanya Lim Tay-peng dengan wajah memerah karena amat jengah. Kwik Tay-lok segera mengerdipkan matanya berulang kali: "Kemarin, orang toh sudah menghadiahkan begitu banyak bunga untukmu, paling tidak hari ini kau harus merasakan terima kasih itu." Lim Tay-peng masih ragu-ragu, tapi akhirnya di bawah dorongan Kwik Tay-lok, ia keluar juga
dari pintu. Kabut telah buyar, sang surya memancarkan cahayanya menerangi seluruh jagad. Seorang nona cilik yang membawa keranjang bunga sedang pelan-pelan berjalan mendekat, cahaya matahari telah memancarkan sinarnya menerangi seluruh angkasa. Ketika ia mendongakkan kepalanya dan tiba-tiba melihat wajah Lim Tay-peng, sinar matahari seakan-akan memancar semua di atas wajahnya. Mungkin juga masih ada separuhnya menyinari wajah Lim Tay-peng. Kwik Tay lok memandang sekejap ke arahnya lalu memandang pula ke arah nona cilik itu, diam-diam ia mengundurkan diri dari situ, menutup pintu dan membiarkan mereka tetap berada diluar pintu. Hembusan angin musim semi yang lembut, seakan-akan kerlingan mata sang kekasih. Kwik Tay-lok tersenyum, ia merasa girang sekali, sambil bergendong tangan pelan-pelan ia berjalan mundar mandir ditengah halaman. Sebenarnya ia tidak bermaksud mencari Yan Jit, tapi mendongakkan kepalanya, tiba-tiba dijumpainya ia telah berada di depan kamarnya Yan Jit. Cahaya musim semi begitu indah, mengapa tidak membiarkan teman yang lainpun ikut
merasakannya? Akhirnya Kwik Tay-lok mengulurkan tangan dan pelan-pelan mengetuk pintu. Tiada jawaban dari dalam ruangan.
Ia mengetuk lebih keras lagi, namun belum juga ada suara sahutnya. Masa tidur Yan Jit bagaikan mayat saja? Kwik Tay-lok segera berteriak keras-keras: "Hei, matahari sudah berada ditengah kepala kita, masa kau belum juga bangun?" Suasana dibalik pintu masih tetap hening, tak ada suara barang sedikitpun juga. Tiba-tiba dari belakang tubuhnya kedengaran suara orang berbicara, itulah suara Ong Tiong. "Dia tidak ada di halaman belakang, juga tidak berada di dapur" demikian ucapnya. Paras muka Kwik Tay-lok agak berubah, tak tahan lagi ia segera mendorong pintu keras-keras. Pintu itu memang tidak dikunci, begitu didorong pintupun terbuka lebar.... Tapi bersama dengan terbukanya pintu, cahaya musim semi di halaman tadipun seakan-akan turut terdorong keluar. Dalam kamar itu tak ada orang. Pembaringan masih teratur rapi, seperti bersih dan licin, jelas semalam tidak diguna-kan, kecuali itu di sana nampak barang apapun jua. Bukan saja Yan Jit tak ada dalam kamar segala sesuatu benda miliknya juga ikut lenyap tak berbekas. Kwik Tay-lok berdiri tertegun di sana, kaki dan tangannya segera berubah menjadi dingin seperti es. Ong Tiong mengerutkan pula dahinya, lalu bergumam:
"Tampaknya dia sudah pergi sejak kemarin malam!"
"Ehem...."
"Kali ini, mengapa dia pergi dengan membawa serta segenap benda miliknya? Kenapa ia pergi tanpa pamit atau meninggalkan pesan barang sepatah katapun juga?" Tiba-tiba Kwik Tay-lok membalikkan badannya dan mencengkeram bahu Ong Tiong kencang-
kencang, serunya: "Semalam, kau tidak mengatakan apa-apa kepadanya bukan?"
"Menurut pendapatmu apa yang kuberitahukan kepadanya?"
"Maksudku semua perkataan yang kuucapkan kepadamu itu!"
"Kau anggap aku adalah manusia macam apa?"
"Kau benar-benar tidak mengucapkan apa-apa" Ong Tiong menghela napas panjang, lanjutnya: "Sekarang, kitapun tak usah cekcok lagi, kalau tidak, cukup dengan perkataan itupun aku bisa mengajakmu cekcok hebat." Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, kemudian dia menghela napas panjang dan pelan-pelan melepaskan cengkeramannya. Sambil tertawa paksa Ong Tiong berkata lagi: "Padahal kau tak usah cemas, dulu ia pernah kabur selama banyak waktu, tapi kemudian bukankah dia telah balik kembali?" Kwik Tay-lok segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa getir: "Bukankah barusan kau juga berkata, kali ini berbeda?"
"Tapi dia sama sekali tak punya alasan untuk pergi tanpa pamit." Kwik Tay-lok menundukkan kepalanya rendah-rendah, katanya kemudian: "Mungkin.... mungkin dia seperti aku juga merasa gelagat semakin tidak beres maka.... maka dia merasa lebih baik angkat kaki dari sini..."
"Padahal kalian seharusnya tidak melakukan suatu kesalahan apa-apa," ucap Ong Tiong agak sangsi. "Masih belum?" kata Kwik Tay- Iok sambil tertawa getir. "Padahal dia.... dia...."
"Dia kenapa?" Ong Tiong memandangnya dengan ragu, lewat beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya berulang kali.. "Aahhh, tidak apa-apa...." Tidak menanti ucapan tersebut diselesaikan, ia telah membalikkan badan dan berlalu dari sana. "Kau hendak ke mana?" tegur Kwik Tay-lok. "Mencari barang secawan arak." Sesungguhnya Ong Tiong juga merupakan seseorang yang tak dapat menyimpan rahasia dalam hatinya, dia hanya merasa, ada sementara persoalan yang lebih baik jangan dibicarakan saja. Karena ia merasa, ada sementara persoalan lebih baik tidak diketahui oleh Kwik Tay-lok,
sebab bila ia mengetahui terlalu banyak, hal mana justru akan mendatangkan kemurungan baginya. Sayang dia tak tahu kalau hal itu sama saja mendatangkan kemurungan baginya. Sekarang musim semi baru benar-benar telah pergi jauh. Ke mana perginya musim semi? Tak pernah ada orang yang tahu. Nona cilik bangun di pagi hari... Membawa keranjang bunga, menuju ke pekan. Melewati jalan besar, menelurusi lorong kecil... Nyanyian yang merdu itu hampir dapat di dengar setiap hari bila fajar baru menyingsing. Asal mendengar suara nyanyian tersebut, Lim Tay-peng segera merasa musim seminya telah tiba. Tapi, musim semi bagi Kwik Tay-lok tak pernah kembali lagi. Yan Jit seakan-akan pergi bersama berlalunya angin sepoi, pergi untuk tak kembali lagi, tiada kabar beritanya, tidak nampak pula bayangan tubuhnya. "Dia telah kemana? Mengapa sepatah katapun tidak ditinggalkan?" Kwik Tay-lok bertekat hendak menemukan alasannya. Maka diapun berangkat meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, dia hanya meninggalkan sepatah kata: "Sebelum menemukan dirinya, aku tak akan pulang kembali!"
Gelak tertawa dalam perkampungan Hok-kui-san-ceng semakin berkurang, walaupun udara makin hari semakin panas, namun dalam perasaan Ong Tiong, tempat itu hari bertambah hari semakin dingin. Tiada kabar berita dari Kwik Tay-lok, tiada kabar berita dari Yan Jit, juga tiada kabar berita dari musim semi. Yang ada hanya suara nyanyian merdu yang tiap fajar dapat terdengar dengan indahnya. Selain itu, satu-satunya yang membuat hati orang menjadi girang dan lega adalah makin sembuhnya luka yang diderita Ang Nio cu. Suatu hari, dia dan Lim Tay-peng menemani Ong Tiong berdiri di bawah wuwungan rumah. Langit sebenarnya bersih dan cerah, tapi secara tiba-tiba awan hitam menyelimuti seluruh angkasa. Menyusul kemudian, petir menyambar-nyambar dan geledek menggelegar membelah angkasa, hujan turun dengan derasnya. Air hujan turun membasahi seluruh jagad, bunga di sudut halaman sana berguguran tertimpa air, entah mengalir sampai ke sana. Memandang air hujan yang membasahi atap rumah, tiba-tiba Ong Tiong menghela napas panjang, gumamnya: "Musim semi benar-benar telah pergi.... aaaai, entah sampai kapan ia akan kembali lagi?" Ang Nio-cu segera menghibur dengan suara lembut: "Walaupun sekarang ia telah pergi, tapi dengan cepatnya dia pasti akan kembali lagi."
"Benar," sambung Lim Tay-peng, "bagaimanapun jauhnya musim semi itu berlalu, suatu ketika dia pasti akan kembali lagi."
"Pasti?"
"Ya, pasti." Lim Tay-peng mengangguk. Ong Tiong menatap wajahnya pelan-pelan memandang-nya lama sekali, kemudian ia
menggelengkan kepalanya dam menghela napas panjang, untuk beberapa saat lamanya menjadi hening. Tiada orang yang berbicara lagi, tiada orang yang memecahkan keheningan di sana. Yang terdengar hanya suara hujan yang membasahi jagad. Petir menyambar-nyambar, geledek membelah bumi, hujan turun dengan amat derasnya. Seluruh tubuh Kwik Tay-lok telah basah kuyup tertimpa air hujan, akhirnya ia mendusin. Ketika ia mendusin, baru diketahui kalau tubuhnya sedang berbaring disudut dinding rumah diatas tanah berlumpur, sedang mengenai apa sebabnya ia bisa tertidur di sini, berapa lama ia telah
berada di situ, pemuda itu sama sekali tidak tahu. Dia masih ingat, semalam dia mengikuti saudara-saudara dari kota timur bermain judi di rumah perjudian milik lotoa di kota barat, berjudi sampai ludes seluruh uang milik bandar. Kemudian lotoa dari kota timur pun menyelenggarakan pesta kemenangan dirumah pelacuran milik Siau Tang-kwe, dua tiga puluh orang saudara secara bergilir menghormatinya dengan secawan arak. Bahkan di hadapan orang banyak, lotoa dari kota timur telah menepuk dada sambil menyatakan asal dia dapat menghajar remuk perkumpulan di kota barat itu, untuk selanjutnya daerah sebelah barat kota itu akan menjadi miliknya, kemudian kedua orang itupun agaknya menyembah di depan meja sembahyang dan mengangkat saudara. Kejadian selanjutnya sudah tidak diingat lagi olehnya dengan jelas, agaknya Siau mi-tho adik perempuan Siau tang-kwe membimbingnya pulang, baru saja akan melepaskan sepatunya dan melepaskan pakaiannya, tiba-tiba ia menolak, kemudian dia hendak pergi, pergi mencari Yan Jit. Siau mi-tho ingin menariknya, malahan perempuan itu kena ditampar olehnya. Kemudian diapun menemukan dirinya berbaring di sana, diantara kejadian terakhir sampai apa yang dialaminya sekarang, sama sekali sudah tidak teringat lagi. Atau tegasnya saja, selama setengah bulan lebih ini, dia sendiripun tidak jelas penghidupan macam apakah yang dialaminya. Sebenarnya dia keluar rumah hendak mencari Yan Jit, tapi dunia begini luas, dia harus pergi kemana untuk menemukannya? Maka diapun tinggal di situ setibanya di kota ini, setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan.... Suatu hari setelah mabuk hebat, ia telah bentrok dengan lotoa dari kota timur, tapi akibat dari pertarungan itu, ternyata mereka malah menjadi bersahabat. Waktu itu lotoa dari kota timur sedang ditekan terus oleh perkumpulan di kota barat sehingga tak dapat bernapas, Kwik Tay-lok segera menepuk dada sambil memberi jaminan bahwa ia sanggup membalaskan dendam. Maka diapun bergaul dengan saudara dari kota timur, setiap hari kerjanya hanya minum arak, berjudi, berkelahi, mencari perempuan, tiap hari berteriak sambil tertawa tergelak, kehidupannya tiap hari dilewatkan dengan riang gembira. Tapi mengapa setiap kali setelah mabuk, ia selalu pergi seorang diri, bila sadar kembali keesokan harinya, kalau bukan terkapar di tengah jalan, tentu berbaring dalam pecomberan. Bila seseorang ingin menyiksa orang lain, mungkin hal ini agak susah, tapi bila ingin menyiksa diri, hal mana gampangnya bukan kepalang. Apakah ia memang sengaja sedang menyiksa diri? Hujan yang turun hari ini deras sekali, ketika air hujan menimpa di atas tubuhnya, terasa bagaikan ditimpuk oleh batu. Kwik Tay-lok meronta dan berusaha keras untuk bangun berdiri, kepalanya terasa sakit sekali bagaikan mau merekah, lidahnya kaku bagaikan sudah tumbuh cendawannya. Penghidupan semacam ini benarkah suatu penghidupan yang berarti....? Ia enggan untuk memikirkannya. Persoalan apapun enggan dia pikirkan, paling baik lagi bila segera ada arak dan minum lagi, paling baik lagi bila setiap hari tak pernah ada saat yang sadar. Sambil menengadah dia membuka mulutnya menghirup air hujan, walaupun air hujan banyak dan rapat, berapa banyakkah yang dapat masuk ke dalam mulutnya? Bukankah banyak kejadian di dunia inipun sama halnya dengan kejadian tersebut? Sesuatu yang dengan jelas dapat diperoleh, justru kenyataannya tak bisa didapat. Kau ingin marah, menderita, menumbukkan kepala sendiri ke atas dinding, tapi apalah artinya penyiksaan terhadap diri sendiri? Kwik Tay-lok berusaha membusungkan dadanya, dalam dadanya, ulu hatinya seakan-akan terdapat jarum yang sedang menembusinya. Persoalan yang jelas tak ingin dipikirkan mengapa justru selalu muncul didalam benaknya? Petir menyambar membelah angkasa, kemudian terdengarlah suara gemuruh yang menggelegar. Sambil menggigit bibir dia berjalan dengan langkah lebar, belum lagi dua langkah, tiba-tiba ia menyaksikan sebuah pintu kecil di hadapannya sana dibuka orang. Seorang dayang cilik berbaju hijau berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah payung, ia sedang memandang ke arahnya sambil tertawa, ketika tertawa, tampak sepasang lesung pipinya yang dalam. Bila ada seorang nona cilik yang begitu manis tertawa kepadamu, bagaimana pun juga, setiap lelaki pasti akan manfaatkan kesempatan ini untuk mendekatinya. Tapi sekarang Kwik Tay-lok sudah tidak mempunyai gairah untuk berbuat demikian, gairahnya sekarang boleh dibilang sudah hancur musnah tak karuan tujuannya lagi.
Siapa tahu nona cilik itu segera maju menyongsong kedatangannya, kemudian sambil tertawa manis katanya: "Aku bernama Sim-Sim!" Belum lagi orang lain berbicara, kata pertama yang diucapkan ternyata adalah memperkenalkan nama sendiri, kejadian seperti ini jarang sekali dijumpai. Kwik Tay-lok memandangnya beberapa kejap, kemudian pelan-pelan mengangguk.
"Sim-sim, bagus.... bagus sekali namamu," katanya. Tidak sampai habis ucapan tersebut diutarakan, dia hendak melanjutkan kembali perjalanannya. Siapa tahu Sim-sim lama sekali tidak bermaksud untuk melepaskan dirinya dengan begitu saja, kembali ujarnya sambil tertawa: "Aku kenal dengan dirimu!" Sekarang Kwik Tay-lok baru merasa agak keheranan, sambil membalikkan badannya dia menegur: "Kau kenal dengan aku?"
"Bukankah kau adalah toa-sauya dari keluarga Kwik?" ucap Sim-sim sambil mengedipkan matanya. Kwik Tay-lok bertambah heran lagi, tak tahan dia lantas bertanya: "Dulu kau pernah berjumpa denganku di mana?"
"Belum pernah"
"Lantas darimana kau bisa kenal diriku?" Sim-sim segera tertawa. "Asal kau tanyakan persoalan ini kepada siocia kami, maka segala sesuatunya akan menjadi terang"
"Siapa pula nona kalian?"
"Setelah bertemu dengannya nanti, kau akan segera tahu"
"Sekarang dia berada dimana?" Sim-sim segera tertawa. "Ikuti saja aku, segala persoalan kau akan mengetahui dengan sendirinya...." Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan masuk lewat pintu kecil itu, kemudian sambil berpaling kembali dan menggape ke arah Kwik Tay-lok, katanya: "Marilah!" Kwik Tay-lok tidak berkata apa-apa lagi, dengan langkah lebar dia segera berjalan masuk kedalam, kini rasa ingin tahunya telah terpancing keluar, sekalipun kau suruh dia tidak masukpun, belum tentu permintaanmu itu akan dikabulkan. Dibalik pintu terdapat sebuah halaman kecil, bunga aneka warna yang ditimpa air hujan tampak amat mengenaskan sekali. Di bawah atap rumah tergantung tiga buah sangkar burung, si burung nuri sedang berkicau dengan merdunya, seakan-akan sedang menegur majikannya yang tidak terlalu memperhatikan dirinya, sebaliknya membawa orang lain masuk ke dalam rumah. Sim-sim berjalan melewati serambi rumah, kemudian dengan jari tangannya yang kecil dia menyentil sangkar itu pelan, serunya dengan mata mendelik: "Setan cilik, ribut amat kau, hari ini siocia ada tamu, bila kalian ribut lagi, jangan salahkan kalau dia tak akan menggubris kalian lagi." Kemudian sambil berpaling ke arah Kwik Tay-lok, ujarnya lebih lanjut sambil tertawa: "Coba kau lihat, belum lagi kau masuk, mereka telah cemburu lebih dulu....." Terpaksa Kwik Tay-lok ikut tertawa. Sekarang, selain rasa ingin tahunya yang berkobar, ia mempunyai pula suatu perasaan aneh yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, seakan-akan suatu perasaan manis yang mempesonakan hati. Tapi apa gerangan yang telah terjadi? Ia masih berada dalam keadaan tanda tanya besar, sedikit bayanganpun tak dapat meraba: "Jangan-jangan aku ketimpa rejeki?" Cuma, walaupun dayangnya cakep, bukan berarti nonanya pasti cantik jelita. Bila nonanya jelek bagai kuntilanak, lantas bagaimana? Di atas pintu terdapat sebuah tirai bambu yang tipis, tentu saja tirai tersebut baru diganti setelah musim panas tiba. Tak seorang manusiapun yang berada dibalik pintu, Sim-sim menyingkap tirai itu dan berkata sambil tersenyum: "Silahkan duduk didalam, aku akan segera mengundang kedatangan siocia kami." Dibalik tirai bambu sana adalah sebuah ruang tamu yang mungil tapi indah, di atas lantai tampak permadani indah dari Persia. Melihat keindahan permadani tersebut, tanpa terasa Kwik Tay-lok membersihkan lumpur pada alas sepatunya lebih dulu sebelum melangkah masuk ke dalam. "Tuan rumah semacam ini, mengapa mengundang kedatangan seorang tamu macam diriku?" Tentu saja hal ini disebabkan ada maksud-maksud tertentu. Tapi apakah maksud-maksud tertentunya itu? Kwik Tay-lok memperhatikan diri sendiri dari atas sampai ke bawah, lima tahil perakpun tak laku rasanya.... Sambil tertawa getir akhirnya dia mencari sebuah kursi yang paling nyaman dan paling bersih untuk duduk. Di atas meja terdapat poci teh, air tehnya baru saja dibuat. Di atas beberapa buah piring kecil terdapat makanan kecil teman milik teh. Kwik Tay-lok memenuhi secawan air teh dan sambil minum sambil makan hidangan kecil yang tersedia, seakan-akan dia adalah tamu lama dari tempat itu, sama sekali tak perlu sungkan-sungkan. Kemudian, iapun mendengar suara "Ting tang, ting tang" yang nyaring, Sim-sim telah muncul kembali sambil membimbing nonanya. Kwik Tay-lok hanya mendongakkan kepalanya memandang sekejap, sepasang matanya segera terbelalak lebar. Kwik sianseng bukan seorang bocah muda yang belum pernah bertemu perempuan, tapi gadis secantik itu betul-betul amat jarang di jumpai dalam dunia saat ini. Yaa, kalau bukan perempuan secantik itu, mana pantas berdiam ditempat semegah ini? Dalam mulut Kwik Tay-lok masih menggigit sepotong kueh, ia lupa menelannya dan lupa menariknya keluar, sehingga tampang wajahnya itu kelihatan lucu sekali. Entah sedari kapan, nona itupun telah duduk, tepat duduk di hadapan mukanya, selembar wajahnya yang cantik kelihatan bersemu merah, entah bedak entah malu, sepasang biji matanya yang jeli sedang memandang ke arahnya dengan sorot mata yang lembut. Kwik Tay-lok mulai merasa duduknya menjadi tak tenang, dia ingin buka suara untuk berbicara, siapa tahu karena kurang berhati-hati, makanan yang ada di mulutnya menyumbat tenggorokan.... Sim-sim segera tertawa cekikikan karena geli, begitu tertawanya dimulai, ia tertawa terpingkal-pingkal tiada hentinya sampai harus memegangi perutnya yang sakit. Si nona itu segera melotot ke arahnya, seolah-olah menegurnya mengapa harus tertawa, namun dia sendiripun tak tahan turut tertawa terpingkal-pingkal. Kwik Tay-lok memandang mereka berdua dengan termangu, tapi secara tiba-tiba dia ikut tertawa pula.
Suara tertawanya jauh lebih keras daripada siapapun juga, asal kau mendengar suara tertawa itu, maka akan kau rasakan sesungguhnya kalau dialah Kwik Tay-lok yang sebetulnya. Bagaimana seriusnya suasana, bagaimanapun rikuhnya keadaan, asal Kwik Tay-lok sudah tertawa, maka suasananya segera akan mengendor kembali... Si nona yang tersipu kemalu-maluan itu akhirnya buka suara juga, suaranya amat lembut dan halus, selembut wajahnya: "Walaupun tempat ini tak bagus, tapi setelah Kwik toaya sampai di sini, rasanya kau pun tak perlu sungkan-sungkan lagi....." katanya. "Menurut pendapatmu, apakah aku mirip orang yang sungkan-sungkan?" tukas Kwik Tay lok sambil tertawa. "Tidak mirip!" nona itu tersenyum. Sim-sim juga tertawa, tambahnya: "Air teh itu baru saja nona pesan dari bukit Bu-oh-san di propinsi Im-lam, silahkan Kwik toaya meneguk beberapa cawan, agar pengaruh arak tubuhnya toaya pun bisa berkurang"
"Air tehnya sih lumayan, tapi kaulah yang keliru"
"Dimana letak kesalahanku?" tanya Sim-sim tertegun. "Bagaimanapun baiknya mutu air teh, tak ada yang bisa dipakai untuk menghilangkan pengaruh arak."
"Lantas apa yang bisa dipakai untuk menghilangkan pengaruh arak?"
"Arak!"
"Kalau minum arak lagi, bukankah kau akan bertambah mabuk?" seru Sim-sim sambil tertawa. "Lagi-lagi kau keliru, hanya arak yang dapat dipakai untuk menghilangkan pengaruh arak,
itulah yang dinamakan Huan-bun-ciu (arak pengembali pengaruh sukma)."
"Sungguh?" seru Sim-sim sambil mengerdipkan matanya berulang kali. "Cara ini telah kupelajari selama puluhan tahun lamanya, aku rasa tak bakal salah lagi." Si nona turut tertawa katanya: "Kalau memang begitu, mengapa tidak kau siapkan arak untuk Kwik Toaya..?" Arak telah dihidangkan, araknya arak wangi. Tentu saja sayur yang dihidangkanpun merupakan sayur yang lezat dan mewah. Kwik Tay-lok mulai minum dengan lahapnya, ia benar-benar menganggap nona itu seperti teman lamanya saja. Ternyata si nona pun bisa meneguk dua cawan arak, sepasang pipinya telah memerah karena pengaruh arak, tapi hal mana justru menambah kecantikan wajahnya. Kwik Tay-lok memperhatikannya, dengan sorot mata yang tajam, bahkan sampai arakpun lupa untuk diteguk. Si nona cepat-cepat menundukkan kepalanya kemudian berbisik dengan lirih: "Kwik toaya, silahkan meneguk tiga cawan lagi, aku akan menemanimu meneguk secawan lagi." Tiga cawan arak dalam waktu singkat telah masuk ke perut, tiba-tiba Kwik Tay-lok berkata: "Ada beberapa persoalan ingin kuberitahukan kepadamu."
"Katakan."
"Pertama, aku tidak bernama Kwik Toaya, teman-temanku menyebut diriku sebagai Siau-Kwik tapi lambat laun aku makin menua, maka sekarang aku telah menjadi lo-kwik (kwik tua)!"
"Ada sementara orang yang selamanya seperti tak pernah menjadi tua," ucap si nona sambil tersenyum. "Ada pula sementara orang yang selamanya tak bisa menjadi toaya." Setelah meneguk dua cawan arak, ia baru melanjutkan: "Aku tak lebih hanya seorang yang miskin, tak punya apa-apa, lagi pula dekil dan bau, sebaliknya kau adalah nona yang anggun, lagi pula tidak kenal dengan diriku, mengapa kau mengundang diriku untuk minum arak bersama?" Si nona mengerlingkan matanya yang jeli, lalu menjawab: "Kita sama-sama orang perantauan, bila berjodoh, mengapa harus berkenalan lebih dulu?"
"Nona kami she Sui bernama Loan-kim, sekarang kalian telah saling mengenal bukan," timbrung Sim-sim dari samping. "Sui Loan-kim, suatu nama yang amat bagus, pantas untuk menghabiskan tiga cawan arak" Kwik Tay-lok bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih" sahut Sui Loan-kim sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah. Kwik Tay-lok meneguk habis isi cawannya, lalu menatapnya lekat-lekat, lewat lama kemudian ia baru berkata lagi: "Ususku berbentuk lurus, apa yang hendak kuucapkan tak pernah kusimpan didalam hati, aku harap kau suka memakluminya."
"Aku telah melihatnya, kau memang seorang lelaki sejati yang polos, dan jujur."
"Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, apakah ada orang yang telah menganiaya dirimu, sehingga kau berharap aku bisa melampiaskan rasa mangkelmu?"
"Nona kami tak pernah keluar rumah, mana mungkin ada orang yang menganiaya dirinya?" Sela Sim-sim. "Apakah kau telah menjumpai suatu masalah yang pelik sehingga meminta bantuanku untuk pergi menyelesaikannya?"
"Juga tidak."
"Kini aku telah datang, akupun telah minum arak kalian, persoalan apapun asal kalian mengutarakannya, aku pasti akan berusaha keras untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya"
"Asal kau mempunyai maksud sebaik itu, akupun sudah merasa puas sekali...." kata Sui Loan-kim lembut. "Kau benar-benar tiada persoalan hendak memohon bantuanku?" seru Kwik Tay-lok kemudian dengan mata melotot. "Benar-benar tak ada!"
"Lantas apa sebabnya kau bersikap begitu baik terhadap seorang telur busuk rudin yang kotor mana bau lagi ini?" Sui Loan-kim mendongakkan kepalanya memandang pemuda itu, sorot matanya amat lembut dan halus.. Berapa orangkah yang tak akan terkesima oleh tatapan matanya yang begitu lembut dan mempesona hati? Sim-sim memandang ke arah Kwik Tay-lok, lalu memandang nonanya, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa: "Ada sepatah kata entah Kwik toaya pernah mendengarnya atau tidak...?"
"Katakanlah!"
"Kaisar orang gagah, gadis cantikpun menyukai lelaki sejati!" Paras muka Sui Loan-kim semakin merah, karena jengah, serunya dengan merdu: "Setan cilik, berani mengaco belo lagi, jangan salahkan kalau kurobek bibirmu itu,"
"Akupun seorang manusia yang berusus lurus, apa yang berada dalam hatiku tak pernah kurahasiakan terus." ucap Sim-sim tertawa. Dengan wajah memerah Sui Loan-kim bangkit berdiri, seakan-akan siap mencubitnya. Sambil tertawa cekikikan Sim-sim lari ke luar dari ruangan, ketika sampai di luar sana, ia tak lupa untuk menutupkan pintu untuk mereka. Sui Loan-kim berdiri di situ dengan kepala tertunduk, tak tahan lagi ia melirik beberapa kejap ke arah Kwik Tay-lok. Kwik Tay-lok masih menatapnya lekat-lekat. Paras muka gadis itu semakin memerah, merah seperti matahari senja yang hampir tenggelam dibalik bukit. Mabuk, dalam keadaan seperti ini dan suasana seperti ini, orang yang tidak mabukpun akan menjadi mabuk. Tiba-tiba Kwik Tay-lok menggenggam tangan Sui Loan kim erat-erat. Tangannya dingin seperti es, tapi wajahnya panas menyengat bagaikan bara api. Kwik Tay-lok baru akan menariknya, belum lagi ditarik ia sudah menjatuhkan diri ke dalam
pelukannya. Musim panas ada di luar jendela, tapi suasana hangat menyelimuti dalam ruangan. Suasana nyaman begitu tebal menyelimuti ruangan, sehingga sukar rasanya untuk dicairkan. Walaupun ada sementara orang tidak saling mengenal, tapi asal berjumpa ibaratnya besi sembrani yang bertemu besi, dengan cepat mereka akan menempel satu sama lainnya. Sui Loan-kim menempel lekat-lekat di atas tubuh Kwik Tay-lok, kulit tubuhnya halus, lembut, putih dan hangat. Pinggangnya begitu ramping sehingga sekali rangkul dapat mencapai seluruhnya. Sambil merangkul pinggangnya Kwik Tay-lok menghela napas panjang, tiba-tiba gumamnya: "Aku tidak mengerti, aku benar-benar tidak mengerti"
"Ada sementara persoalan memang sukar dijelaskan, sukar dipahami orang lain" sahut Sui Loan-kim lembut. "Dahulu kau tak pernah bersua denganku, juga tak tahu manusia macam apakah diriku ini, mengapa kau bersikap demikian kepadaku"
"Walaupun aku belum pernah bersua denganmu, tapi sudah lama kuketahui manusia macam apakah dirimu itu."
"Oooh....?" Sui Loan-kim menempelkan tubuhnya makin rapat di atas badannya, kemudian melanjutkan: "Beberapa hari terakhir ini, setiap orang dalam kota ini telah tahu kalau dari tempat jauh sana telah datang seorang hohan yang tidak takut langit tidak takut bumi."
"Hohan?" Kwik Tay-lok tertawa getir, "kau tahu, apa artinya sebenarnya dari Hohan?"
"Aku siap mendengarkan penjelasanmu."
"Kadangkala Hohan artinya seorang gelandangan yang tak punya pekerjaan dan tiap hari kerjanya hanya berkelahi dan bersenang-senang." Sui Loan-kim segera tersenyum. "Aku tak ambil perduli" serunya, "bagiku, pokoknya hohan tetap Hohan.."
Kwik Tay-lok segera tertawa lebar, dibelainya pinggang yang ramping itu dengan lemah lembut, kemudian bisiknya sambil tertawa: "Kau benar-benar seorang perempuan yang aneh"
"Itulah sebabnya aku menyukai lelaki aneh semacam kau!" Belum habis perkataan itu diutarakan, pipinya sudah menjadi merah padam lebih dulu. Kwik Tay-lok menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata: "Dulu, aku tak pernah menyangka bakal bertemu dengan seorang perempuan seperti kau, lebih-lebih tak kusangka kalau bisa berada bersama samamu!" Paras muka Sui Loan-kim berubah semakin merah, bisiknya lembut: "Asal kau bersedia, akupun bersedia menemanimu sepanjang masa...." Kembali Kwik Tay-lok menatapnya lama sekali, mendadak ia menghela napas panjang, sambil membalikkan tubuhnya ia membelalakkan matanya lebar-lebar dan menatap atap rumah dengan termangu. "Kau sedang menghela napas?" tegur Sui Loan-kim. "Tidak."
"Kau sedang memikirkan rahasia hatimu?"
"Juga tidak." Sui Loan-kim turut membalikkan tubuhnya dan menindih di atas dadanya, kemudian sambil membelai wajahnya dengan lembut, ia berkata halus: "Aku hanya ingin bertanya kepadamu, bersediakah kau berada bersamaku sepanjang masa?"
Kwik Tay-lok termenung, termenung sampai lama sekali, lalu sepatah demi sepatah sahutnya: "Tidak bersedia!" Tangan Sui Loan-kim yang lembut tiba-tiba menjadi kaku, serunya perlahan: "Kau tidak bersedia?"
"Bukannya tidak bersedia, tapi tak dapat."
"Tak dapat? Mengapa tak dapat?" Pelan-pelan Kwik Tay-lok menggelengkan kepalanya. "Apa maksudmu menggelengkan kepala? Tidak suka kepadaku?" seru Sui Loan kim lagi. Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, katanya: "Bila ada lelaki yang tidak menyukai perempuan cantik semacam kau, sudah pasti orang itu berpenyakit, tapi..."
"Tapi apa?" Kwik Tay-lok tertawa getir. "Tapi sayang aku memang berpenyakit!" sahutnya. Sui Loan-kim menatapnya, dibalik sorot matanya yang jeli penuh pancaran sinar kaget dan tercengang. "Aku adalah seorang lelaki, sudah lama tak pernah mendekati perempuan, sedang kau adalah seorang perempuan yang sangat cantik, lagi pula sangat baik kepadaku, tempat ini hangat dan syahdu, mana ada arak, ada hidangan lezat, ada perempuan cantik yang menemani, dalam keadaan seperti ini siapa bilang hatiku tidak tertarik? Oleh sebab itu...."
"Oleh sebab itu kau menghendaki aku?" kata Sui Loan-kim sambil menggigit bibir. Kwik Tay-lok menghela napas panjang:
"Tapi diantara kita tak pernah terlintas perasaan cinta yang sesungguhnya." ia berkata aku....aku...."
"Kenapa kau? Apakah dalam hatimu hanya memikirkan orang lain?" tanya Sui Loan-kim. Kwik Tay-lok manggut-manggut. "Kau benar-benar mempunyai perasaan cinta kepadanya?" gadis itu kembali bertanya. Kwik Tay-lok manggut-manggut, mendadak ia menggelengkan kepalanya pula. "Hei, sebenarnya kau sungguh-sungguh mempunyai perasaan kepadanya atau tidak?" seru sang nona. Kembali Kwik Tay-lok menghela napas panjang. "Aku sendiripun tak tahu perasaan macam apakah itu, aku benar-benar tidak tahu." katanya. "Setiap kali aku tak berjumpa dengannya, tiap saat tiap detik aku selalu membayangkan dirinya. Meski kau cantik, lemah lembut dan penuh gairah hidup, walaupun aku juga sangat menyukaimu, tapi hatiku, rasanya tak mungkin bisa diisi oleh siapapun selain dia seorang...."
"Oleh sebab itu kau masih akan pergi mencarinya?" sambung Sui Loan-kim cepat. "Ya, harus mencari sampai ketemu."
"Oleh karena itu kau hendak pergi?" Kwik Tay-lok memejamkan matanya dan manggut-manggut. Sui Loan-kim menatapnya lekat-lekat, tiada perasaan menggerutu, tiada perasaan benci atau penasaran, malah sebaliknya ia seperti merasa terharu oleh ketulusan cinta pemuda itu. Lewat lama kemudian ia baru menghela napas panjang, katanya dengan sedih. "Bila di dunia ini terdapat seorang pria yang dapat bersikap baik kepadaku macam kau, aku.... sekalipun aku harus mati juga rela rasanya..."
"Cepat lambat kau pasti akan menemukan orang semacam itu" hibur Kwik Tay-lok dengan lembut. Tapi Sui Loan-kim segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aaai... tak akan kutemukan selamanya!"
"Mengapa?" Sui Loam-kim termenung pula beberapa saat lamanya, mendadak ia berkata lagi: "Kau seorang yang amat baik, belum pernah kujumpai orang sebaik kau, oleh sebab itu akupun bersedia untuk berbicara terus terang dengan dirimu." Kwik Tay-lok tidak memberi komentar apa-apa, dia hanya mendengarkan saja. "Tahukah kau perempuan macam apakah diriku?" ujar Sui Loan-kim lagi. "Kau she Sui bernama Sui Loan-kim, seorang nona yang anggun dan kaya raya, lagi pula cantik jelita bak bidadari dari kahyangan dan lemah lembut amat mempesona hati."
"Kau keliru besar, aku bukan seorang nona anggun yang kaya raya, aku tak lebih hanya seorang.... hanya seorang...." Ia menggigit bibirnya kencang-kencang, lalu menghela napas panjang, lanjutnya: "Aku tak lebih hanya seorang pelacur."
"Seorang pelacur?" hampir saja Kwik Tay-lok melompat bangun dari atas pembaringan, teriaknya keras-keras, "tidak mungkin, kau tidak mungkin seorang pelacur!" Sui Loan-kim tertawa pedih, katanya: "Aku memang seorang perempuan penghibur. Bukan saja begitu, lagi pula aku adalah seorang pelacur kenamaan yang paling mahal harganya di kota ini, kalau bukan pangeran muda atau anak hartawan, jangan harap bisa menjadi tamuku." Kwik Tay-lok menjadi tertegun, tertegun sampai lama sekali, kemudian gumamnya: "Tapi aku bukan seorang pangeran, bukan pula anak hartawan yang kaya raya, lagi pula sepeser uangpun tidak punya." Tiba-tiba Sui Loan-kim melompat bangun, membuka rak dari toaletnya dan mengambil ke luar sebutir mutiara kemudian ia berkata: "Walaupun kau tidak memiliki uang sepeserpun namun sudah ada orang yang membayarkan ongkos tersebut bagimu."
"Siapa?" Kwik Tay-lok terkejut. "Mungkin dia adalah seorang temanmu."
"Apakah dia adalah lotoa dari kota timur?"
"Ia masih belum pantas untuk berkunjung ke rumahku." kata Sui Loan kim hambar. "Lantas siapa orang itu?"
"Seorang yang belum pernah kujumpai sebelumnya."
"Macam apakah orang itu ?"
"Seorang yang berwajah bopeng!"
"Berwajah bopeng?" seru Kwik Tay-lok dengan wajah tertegun, "diantara teman-temanku tak seorangpun yang berwajah bopeng."
"Tapi mutiara ini benar-benar diberikan kepadaku untuk membayar ongkos-ongkosmu." Saking terkejutnya Kwik Tay-lok sampai tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. "Ia suruh aku baik-baik melayani dirimu, apa saja yang kau minta harus kuberikan kepadamu." kata Sui Loan-kim lagi. "Oleh sebab itu, kau....." Tidak membiarkan dia berkata lebih jauh kembali Sui Loan kim menukas: "Tapi diapun telah menduga, kemungkinan besar kau enggan untuk tinggal di sini."
"Oooohh...."
"Menanti kau enggan untuk tinggal di sini dia baru menyuruh aku memberitahukan satu hal kepadamu!"
"Soal apa?"
"Suatu persoalan yang aneh sekali." Setelah berhenti sebentar, pelan-pelan dia melanjutkan: "Beberapa bulan berselang, mendadak di tempat ini kedatangan seorang tamu yang aneh sekali, seperti kau, ia memakai baju yang kotor dan penuh berlubang, sebenarnya aku ingin mengusirnya pergi?"
"Kemudian?"
"Tapi begitu masuk kemari, dia lantas meletakkan seratus tahil emas di atas meja."
"Maka kaupun mengijinkan dia untuk tinggal di sini?" Pancaran sinar mata murung dan sedih memancar keluar dari balik sorot mata Sui Loan-kim, katanya hambar: "Aku memang seorang perempuan yang melakukan pekerjaan seperti ini, bagiku hanya emas yang kukenal, orangnya tidak."
"Aku mengerti," kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas, "tapi.... tapi kau tidak mirip perempuan semacam itu." Mendadak Sui Loan-kim mengalihkan sorot matanya ke arah lain, seakan-akan tak ingin menyaksikan mimik wajah dari Kwik Tay-lok lagi. Lewat lama kemudian pelan-pelan dia baru melanjutkan: "Sebenarnya di dunia ini memang banyak terdapat anak orang kaya yang gemar menyaru seperti tampang tersebut, tujuannya hanya ingin mencari kesenangan belaka, kejadian semacam itu bukan suatu yang aneh lagi..."
"Lantas bagaimana anehnya?"
"Anehnya walaupun sudah mengeluarkan uang sebesar seratus tahil emas, ternyata ia sama sekali tidak menyentuhku, ia tak lebih hanya mandi di sini kemudian mengganti dengan sebuah pakaianku dan pergi."
"Mengganti bajunya dengan bajumu...." Sui Loan-kim manggut-manggut. "Sebenarnya dia itu laki atau perempuan?" seru Kwik Tay-lok lebih lanjut. "Ketika datang, sebenarnya dia adalah seorang laki-laki, tapi setelah mengenakan bajuku, pada hakekatnya dia jauh lebih cantik daripada diriku sendiri" Setelah tertawa getir, dia melanjutkan: "Terus terang saja, walaupun aku pernah menyaksikan bermacam-macam manusia aneh, bahkan ada diantaranya yang suka menyuruh aku mencambuknya dengan pecut, atau menginjak tubuhnya dengan kaki, namun manusia semacam itu benar-benar belum pernah kujumpai, malah
sampai akhirnya aku tak dapat membedakan sebenarnya dia itu seorang laki-laki ataukah seorang perempuan." Sekali lagi Kwik Tay-lok tertegun, namun sinar matanya tiba-tiba menjadi terang. Agaknya secara lamat-lamat dia telah menduga siapa gerangan orang yang dimaksudkan. "Semua persoalan itu baru kubicarakan sampai sekarang, sebab si bopeng itu berulang kali
memberi pesan kepadaku agar tidak menceritakan kejadian ini bila kau bersedia menetap disini...."
"Tahukah kau siapakah nama dari manusia aneh tersebut?" tanya Kwik Tay-lok kemudian. Agaknya dia merasa tegang sekali sehingga tangannya sampai turut gemetar keras. "Dia sama sekali tidak menyebutkan namanya, dia hanya memberitahu kepadaku bahwa dia she Yan, Yan dari tulisan Yan cu (burung walet)" Mendadak Kwik Tay-lok melompat bangun kemudian mencengkeram bahunya kencang-kencang, serunya keras-keras. "Tahukan kau sekarang dia berada dimana?"
"Tidak!" Kwik Tay-lok mundur dua langkah ke belakang, agaknya untuk berdiripun sudah tak mampu, akhirnya dia jatuh terduduk ke atas pembaringan. "Tapi belakangan ini, dia telah datang kemari sekali lagi." kata Sui Loan-kim. Bagaikan terkena anak panah, sekali lagi Kwik Tay-lok bangkit berdiri, teriaknya keras-keras: "Belakangan ini? Kapan maksudmu?"
"Belasan hari berselang." Setelah berhenti sejenak dia melanjutkan lebih jauh: "Ketika datang kemari kali ini, tampangnya kelihatan seperti diliputi banyak persoalan, dia minum arak banyak sekali ditempat ini tapi keesokan harinya dia telah pergi lagi setelah mengenakan sebuah pakaian milikku." Sikap Kwik Tay-lok semakin tegang, serunya lagi: "Tahukah kau dia telah pergi ke mana?"
"Tidak!" Tampaknya Kwik Tay-lok segera akan roboh kembali ke atas lantai... untung saja Sui Loan-kim menyambung kembali kata-katanya dengan cepat. "Tapi ketika sedang mabuk, dia telah mengucapkan banyak sekali persoalan, katanya setelah
kembali ke rumah kali ini, dia tak bisa keluar rumah lagi untuk selamanya, akupun selamanya tak akan bertemu lagi dengannya."
"Apakah kau... kau tidak bertanya kepadanya, dia tinggal dimana?" Sui Loan-kim tertawa, sahutnya: "Sebenarnya akupun hanya bertanya sekenanya saja, sama sekali tak kusangka ternyata dia telah memberitahukannya kepadaku." Dari balik sorot mata Kwik Tay-lok segera terpancar keluar pengharapan yang amat tebal, cepat-cepat serunya: "Tapi dia telah memberitahukan kepadamu bukan?" Sui Loan-kim manggut-manggut. "Dia bilang dia berdiam di kota Ki-lam-hu, malah katanya pemandangan alam dari telaga Tay-beng-ou amat indah, bahkan telaga See-ou pun kalah indahnya, dia suruh aku berpesiar kesana bila ada kesempatan." Tiba-tiba Kwik Tay-lok roboh kembali, seakan-akan orang yang telah beberapa hari beberapa
malam melakukan perjalanan jauh dengan susah payah tapi akhirnya tujuan tersebut dapat dicapai. Sekalipun dia roboh kembali, namun hatinya merasa girang dan amat berbahagia. Sui Loan-kim memandang ke arahnya, dengan sorot mata kasihan dan sayang, katanya pelan: "Diakah yang kau cari?" Kwik Tay-lok segera manggut. "Tahukah dia kalau kau sangat mencintai dirinya?" kembali perempuan itu bertanya. Kwik Tay-lok manggut-manggut, tapi kemudian kembali menggelengkan kepalanya berulang kali, hati perempuan siapa yang tahu? Sekali lagi Sui Loan-kim menghela napas panjang, katanya dengan sedih: "Kenapa dia pergi meninggalkan dirimu? Coba kalau aku, sekalipun diusir dengan menggunakan cambukpun belum tentu aku akan pergi."
"Dia bukan kau..... diapun seorang yang sangat aneh," gumam Kwik Tay-lok, "selama ini, aku sendiripun belum dapat memahami perasaannya....."
"Dia bukan aku, maka dia baru pergi.", ucap Sui Loan-kim dengan nada yang sedih, "hanya perempuan semacam aku inilah baru akan mengerti bahwa di dunia ini tidak terdapat benda lain yang jauh lebih berharga dari pada cinta yang tulus dan murni." Setelah menghela napas, kembali dia melanjutkan: "Bila seorang perempuan tidak mengerti bagaimana caranya menyayangi cinta yang murni, maka dia pasti akan menyesal sepanjang masa." Sekali lagi Kwik Tay-lok termenung beberapa saat lamanya, mendadak dia bertanya: "Menurut penglihatanmu sebenarnya dia itu seorang perempuan atau bukan?"
"Masa sampai saat inipun kau masih belum tahu." Sambil membaringkan diri di atas pembaringan, Kwik Tay-lok menghembuskan napas panjang gumamnya: "Untung saja sekarang aku baru tahu akan suatu hal."
"Soal apa?" Sambil tersenyum pelan-pelan Kwik Tay-lok menjawab: "Aku ternyata tidak berpenyakit, aku sama sekali tidak berpenyakit, aku tidak lebih hanya seorang buta belaka."
***
Senja telah menjelang tiba.
Sang surya di sore hari itu masih memancarkan sinarnya menembusi jendela, menyoroti pakaian yang baru saja dikenakan Kwik Tay-lok, dia seakan-akan seperti berubah menjadi seorang yang lain, berubah menjadi lebih keren, lebih gagah dan lebih sadar. Memandang wajahnya yang tampan, sambil menggigit bibir Sui Loan kim berkata: "Sekarang juga kau akan berangkatnya?" Kwik Tay lok segera tertawa. "Terus terang saja, pada hakekatnya aku ingin punya sayap dan segera terbang kesana" Sui Loan kim menundukkan kepalanya, kembali sorot matanya memancarkan rasa sedih dan murung. Kwik Tay-lok menatap wajahnya, lambat laun senyumnya menjadi makin hambar, sorot matanya pun memancarkan perasaan kasihan, iba, tak tahan dia menepuk bahunya sambil berkata dengan lembut: "Kau seorang anak perempuan yang sangat baik, suatu hari kelak...."
"Suatu hari kelak akupun pasti akan menemukan seorang lelaki macam dirimu bukan?" tukas Sui Loan-kim sambil tertawa pedih. "Tepat sekali jawabanmu." jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa paksa. Sui Loan-kim juga tertawa paksa, katanya: "Bila telah bersua dengan nona Yan nanti, jangan lupa sampaikan salamku kepadanya"
"Aku pasti akan mengingatnya selalu."
"Beritahu kepadanya, bila kemudian hari ada kesempatan, aku pasti akan pergi ke telaga Tay-beng-ou untuk menengok kalian."
"Siapa tahu kami akan datang menengok dirimu lebih dulu." seru Kwik Tay-lok sambil tertawa. Sekalipun dia sedang tertawa, tapi entah mengapa hatinya terasa amat pedih. Ia benar-benar merasa tak tega untuk tinggal di sana lebih jauh, dia tak tega menyaksikan sepasang matanya itu, mendadak dia berpaling dan memandang sorot mata-hari sore di luar jendela, gumamnya: "Sekarang langit belum menjadi gelap, aku masih sempat untuk melanjutkan perjalanan."
Jilid 28
"BETUL," sahut Sui Loan-kim sambil menundukkan kepala. "lebih baik kau cepat-cepat berangkat, siapa tahu diapun sedang menantikan kedatanganmu...?" Kwik Tay-lok menatapnya lekat-lekat, seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat tersebut diurungkan. Diapun berlalu dari sana dengan begitu saja. Kalau tidak pergi, dia bisa apa? Jauh lebih baik kalau cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mendadak Sui Loan-kim berseru: "Tunggu sebentar!" Pelan-pelan Kwik Tay-lok membalikan badannya. "Kau....." Sui Loan-kim tidak membiarkan dia menyelesaikan perkataannya itu, dari dalam sakunya dia
mengeluarkan sebuah kocek yang terbuat dari kain merah dan dia diangsurkan kepadanya. "Kuberikan benda ini untukmu" katanya lembut, "harap kau sampaikan kepada nona Yan, katakan.... katakan kalau benda ini merupakan hadiahku untuk perkawinan kalian."
"Benda apakah ini?" Dia menerimanya dan dilihat dan pertanyaan tersebutpun tidak dilanjutkan lebih jauh. la dapat merasakan mutiara dalam kocek yang bulat dan bersinar terang itu. Sui Loan-kim telah membalikkan badannya memandang matahari keluar jendela, katanya kemudian dengan hambar: "Sekarang, kau sudah boleh pergi dari sini." Kwik Tay-lok memegang kocek itu kencang, apakah hatinya seperti juga mutiara dalam kocek itu, telah berada didalam genggamannya.... Ia tidak berpaling lagi. Pemuda itupun tidak berkata sepatah katapun. Ada sementara perkataan memang tidak seharusnya diutarakan secara terus terang. Sama-sama orang perantauan, sekalipun bersua mengapa harus saling berkenalan? Atau mungkin hanya orang yang sama-sama perantauan saja yang dapat memahami perasaan tersebut dan suasana seperti itu? Walaupun suasana seperti itu terasa mengenaskan dan memedihkan hati, namun berapa banyak keindahan yang sebenarnya tercakup didalamnya? Menelusuri tepi telaga, pelan-pelan Kwik Tay-lok berjalan ke depan, bagaikan gelandangan saja, dia berjalan kesana-kemari tanpa suatu tujuan tertentu. Setelah mendengar kabar tentang Yan Jit, dia ingin bisa cepat-cepat terbang ke kota Kilam, seakan-akan asal tiba di kota tersebut, Yan Jit akan segera ditemukan. Setelah tiba di kota Ki-lam, ia baru tahu kalau jalan pikirannya terlalu kekanak-kanakan. Kota Ki-lam-hu tak kecil seperti dalam bayangannya, paling tidak ada beribu-ribu buah keluarga yang tinggal di sana dengan jumlah penduduk mencapai beberapa ribu laksa jiwa.
Untuk mencari Yan Jit ditempat sebesar ini dan orang sebanyak itu, hakekatnya keadaan tersebut ibaratnya mencari jarum di dasar samudra. Terpaksa tiap hari dia hanya luntang-lantung kesana-kemari tanpa tujuan, dia hanya berharap suatu ketika nasibnya bisa mujur dan berjumpa dengan Yan Jit. Tapi, dia sendiripun tahu, harapan tersebut meski terlalu tipis, tapi dari sekian harapan yang tipis, harapan inilah yang rasanya paling bisa diandalkan. Sekarang, sampai beberapa banyak jumlah pepohonan di tepi telagapun hampir bisa disebutkan olehnya di luar kepala. Di bawah pohon liu di depan sana, bersandar sebuah perahu kecil, nona cilik pendayung perahu itu sudah ia kenal cukup lama, dari kejauhan sana ia telah memberikan sekulum senyuman kepadanya, senyuman yang cerah bagaikan sinar sang surya. Demi memperoleh sekulum senyuman yang manis ini, mau tak mau Kwik Tay-lok harus membeli beberapa buah biji teratainya. Biji teratai rasanya getir, persis seperti perasaan Kwik Tay-lok saat itu. Kalau orang lain dengan uang dua rence hanya bisa mendapat enam biji, maka Kwik Tay lok bisa memperoleh tujuh delapan biji. Si nona cilik yang menggunakan topi lebar dan bertelanjang kaki itu seakan-akan menaruh maksud tertentu terhadap Kwik Tay-lok, asal pemuda itu datang ia pasti memberi dua biji lebih banyak, bahkan kadang kala memberikan pula sebatang ubi manis untuknya. Bila kejadian ini berlangsung di masa lalu besar kemungkinan Kwik Tay-lok sudah naik ke atas perahunya, mendayung perahu itu ke tengah telaga dan menciumi pipinya yang mungil serta meraba kakinya yang putih dan halus itu.... Tapi sekarang, Kwik Tay-lok betul-betul tidak mempunyai gairah untuk berbuat demikian. Sudah cukup banyak kemurungan dan persoalan yang membebani benaknya. Karena itu, setelah menerima biji teratai ia telah bersiap-siap untuk pergi, siapa tahu nona cilik kembali menggape ke arahnya sambil berbisik lirih:
"Kemarilah, aku hendak berbicara sesuatu denganmu." Kwik Tay-lok benar-benar tak ingin mencari kesulitan lagi bagi diri sendiri, tapi dia pun tak tega untuk menampik maksud baik si nona cilik tersebut. Diam-diam ia menghela napas panjang dan siap sedia menunjukkan tampang seorang engkoh besar, bila nona cilik itu bermaksud untuk mengajaknya mengadakan pertemuan, dia pasti akan baik-baik memberi pelajaran kepadanya dan memberitahukan kepadanya kalau lelaki yang ada di
dunia ini tak ada yang baik. Untung saja bertemu dengannya, kalau tidak niscaya dia akan tertipu. Berpikir sampai disitu, merasa dirinya bagaikan seorang Nabi yang suci. Sayang Thian justru tidak memberi kesempatan semacam itu kepadanya, tidak membiarkan dia menjadi seorang Nabi yang suci. Sambil menginjak perahu si nona, dia sengaja menarik wajahnya sambil menegur: "Ada perkataan apakah yang hendak kau sampaikan padaku?" Mencorong sinar tajam dari balik mata si nona kecil itu, bisiknya dengan suara lirih: "Apakah kau adalah seorang pembesar besar yang sedang menyamar untuk menyaksikan
kehidupan anak kecil?" Kwik Tay lok tertegun, beberapa saat kemudian ia tertawa geli karena tak tahan, sahutnya: "Dari kepala sampai ke kaki, bagian manakah dari tubuhku yang mirip tampang seorang pembesar?"
"Jadi bukan?"
"Bukan saja tidak, bahkan bila bertemu dengan pembesar badanku lantas menjadi gemetar" ucap Kwik Tay-lok sambil tertawa.
Nona itu tampak lebih gembira dan bersemangat, sambil merendahkan suaranya kembali ia berkata: "Kalau begitu, kau pastilah seorang perampok ulung."
"Juga bukan," sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa getir. "untuk modal menjadi seorang perampok saja aku tak punya."
"Kau benar-benar bukan?" nona itu melotot semakin besar. "Mengapa aku mesti membohongimu?" Nona cilik itu menghela napas panjang, jelas merasa kecewa sekali, sehingga untuk mengucapkan sepatah katapun menjadi enggan. Ternyata ia tertarik kepada Kwik Tay-lok tak lain karena mengira Kwik Tay-lok adalah seorang perampok. Dalam pandangan kaum dara, perampok adakalanya mendatangkan suatu daya tarik yang sangat besar. Sekarang Kwik Tay-lok baru tahu, rupanya nona cilik ini bukan sungguh-sungguh ada minat dengannya. Dengan demikian maka diapun tak usah kuatir menemui banyak kesulitan lagi, malah
seharusnya mereka bergembira. Tapi entah mengapa, dia malahan justru merasa agak kecewa, juga tidak terima, tidak tahan
segera tanyanya: "Dari hal manakah kau mengatakan aku mirip seorang perampok?" Sikap nona cilik itu menjadi dingin dan sangat hambar, sahutnya ogah-ogahan: "Sebab selama dua hari belakangan ini, aku selalu menyaksikan ada seseorang menguntil dibelakangmu"
"Oooh.... macam apakah orang itu?"
"Adakalanya orang itu menyaru sebagai penjual makanan, ada kalanya menyaru sebagai pengemis, tapi dia mau menyaru menjadi apapun jangan harap bisa mengelabui diriku."
"Mengapa?" Nona cilik itu segera menunjukkan sikapnya yang amat bangga sekali, sahutnya sambil tertawa: "Sebab dalam sekilas pandangan saja aku dapat mengenali tampang wajahnya itu."
"Apakah wajahnya mempunyai suatu ciri atau keistimewaan yang berbeda dengan orang lain?" Nona cilik itu manggut-manggut.
"Ya, dia adalah seorang lelaki bermuka bopeng." Hampir saja Kwik Tay-lok hendak melompat ke udara saking kagetnya, bahkan darah yang mengalir didalam tubuhnyapun turut mengalir dengan lebih cepat. Nona cilik itu memandang ke arahnya, kemudian dengan sinar mata penuh pengharapan katanya: "Apakah dia memang lagi menguntilmu? Apakah kau kenal dengan dirinya....?"
Kwik Tay-lok segera mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian sambil sengaja merendahkan suaranya ia berbisik: "Aku boleh saja berkata jujur kepadamu, tapi kau tak boleh memberitahukannya kepada orang lain."
"Aku bersumpah tak akan berkata kepada orang lain." ucap nona cilik itu dengan cepat, "Kalau tidak, biar di kemudian hari akupun menjadi seorang perempuan berwajah bopeng."
"Baik, aku akan memberitahukan kepadamu," bisik Kwik Tay-lok. "lelaki bopeng itu adalah seorang opas kenamaan, dia memang benar-benar sedang menguntil diriku." Nona cilik itu kembali bergairah, serunya dengan wajah berseri: "Mengapa dia... dia menguntilmu?"
"Sebab aku memang seorang perampok ulung." bisik Kwik Tay-lok lirih. "orang lain menyebutku sebagai perampok yang terbang di angkasa, baru saja kulakukan tujuh puluh delapan macam kasus perampokan di ibukota, itulah sebabnya aku kabur kemari untuk menghindarkan diri." Saking gembiranya sekujur badan nona itu gemetar keras, sambil menggigit bibir serunya: "Apakah kau..... kau juga seorang Jay-hoa-cat (Penjahat pemetik bunga?" Tak tahan Kwik Tay-lok segera tertawa geli, sambil mengedipkan matanya berulang kali, ia balik bertanya: "Menurut dugaanmu, aku mirip tidak?" Paras muka nona cilik itu segera berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus, sambil menggigit bibir katanya: "Sekalipun kau seorang Jay-hoa-cat, aku juga tidak takut, aku tidak takut diperkosa." Sepasang kakinya seperti menjadi lemas sehingga untuk berdiripun tak sanggup, hampir saja dia akan tercebur ke dalam air telaga bila Kwik Tay-lok tidak cepat-cepat menyambar tubuhnya. Kwik Tay-lok segera tertawa terbahak-bahak, sambil meraba pipinya yang putih dan halus itu katanya: "Kau tak usah kuatir, sekalipun aku hendak mencarimu, hal inipun baru akan kulakukan dua tiga tahun lagi, bila kau sudah lebih menanjak dewasa, sekarang kau tak lebih hanya.... aku... aku seorang bocah cilik belaka, haaahh... haaah..... aaaahh....." Diiringi gelak tertawa yang amat keras, ia lantas melangkah pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Nona cilik itu memandang ke arahnya dengan wajah tertegun, sampai lama sekali ia ber diri termangu-mangu.... Entah disengaja atau tidak, tangannya pelan-pelan meraba dada sendiri yang masih datar bagaikan lapangan itu, tanpa terasa wajahnya berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus. Dia hanya bisa berdiri melongo saja menyaksikan pemuda itu berlalu dari sana, makin lama semakin menjauh dan akhirnya lenyap di ujung tikungan jalan sana. Diam-diam Kwik Tay-lok tertawa geli di dalam hati, ia tahu malam nanti nona cilik itu pasti tak dapat tidur nyenyak. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk mencelakainya, Ia tak lebih hanya ingin menambah bumbu atau kejadian aneka warna lainnya dalam kehidupan si nona cilik itu, agar setelah menikah dan mempunyai anak besok, dalam hatinya masih mempunyai kesan lama yang setiap kali bila teringat maka jantungnya kembali akan terasa berdebar. Berapa banyaknya gadis di dunia ini yang dapat bertemu dengan mata kepala sendiri dengan seorang Jay-hoa-cat. Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon liu, mengakibatkan buih dan gelombang kecil di batas permukaan telaga. Kwik Tay-lok masih berjalan ke depan dengan langkah yang amat lamban, sambil mengunyah biji teratai, ia membawakan sebuah lagu bersenandung. Setelah melalui suatu jarak perjalanan yang cukup jauh, secara tiba-tiba ia baru berpaling. Dengan cepat ia menemukan seorang pengemis yang membawa sebuah mangkuk gumpil, lagi pula wajahnya betul-betul bopeng. Begitu ia berpaling, si bopeng itu segera menyembunyikan diri di belakang pohon.
Taktik penguntilan yang dimiliki orang bermuka bopeng itu tidak terhitung sangat lihay, andaikata sikap Kwik Tay-lok dalam dua hari belakangan ini acuh tak acuh dan pikirannya memikirkan yang bukan-bukan, seharusnya hal mana sudah dirasakan olehnya. Benarkah manusia bermuka bopeng ini adalah orang bopeng yang dimaksudkan oleh Sui Loan-kim itu? Seperti tidak disengaja saja Kwik Tay-lok membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju ke arah manusia berwajah bopeng itu, pelan sekali langkahnya.... Ia berniat melompat ke depan dan menangkapnya jika sudah berada dekat dengan orang itu.
Siapa tahu manusia bopeng itu cukup waspada, dengan cepat dia membalikkan badan dan melarikan diri. Tatkala Kwik Tay-lok mempercepat langkahnya, ternyata dia kabur semakin cepat lagi. Di tengah hari bolong seperti ini, apalagi begitu banyak orang kurang leluasa baginya untuk mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya guna melakukan pengejaran tersebut. Terpaksa Kwik Tay-lok harus memperbesar langkahnya mengejar dari belakang. Sebenarnya dia yang menguntil Kwik Tay-lok, tapi sekarang justru sebaliknya Kwik Tay-lok yang menguntil di belakangnya. Ketika si nona cilik di atas perahu melihat mereka saling kejar-mengejar dengan langkah cepat, dengan wajah terkejut dan keheranan ia memandangi mereka berdua tanpa berkedip. Ia benar-benar tidak habis mengerti, kenapa bukan si opas yang menangkap penyamun sebaliknya penyamun yang mengejar sang opas? Baginya, persoalan yang ada di dunia ini masih banyak persoalan yang tak dipahami olehnya, maka dia selalu merasa amat kesal. Menanti usianya sudah meningkat dan lebih banyak persoalan yang dipahami olehnya, ia baru
mengerti ternyata lebih enak dulu sewaktu belum tahu urusan daripada sekarang. Permulaan musim panas merupakan saat yang paling ideal untuk berpesiar di tepi telaga. Tempat yang banyak pelancongnya biasanya pasti banyak pula pengemis.... sebab biasanya orang yang sedang berpesiar lebih bermurah hati, terutama bila disampingnya didampingi seorang gadis yang cantik jelita. Oleh sebab itu di sekeliling tempat itu banyak terdapat pengemis, di timur ada pengemis, dibarat ada pengemis, bahkan di sela-sela manusia yang berpesiarpun banyak pengemis. Orang bermuka bopeng itu menerobos kesana-kemari diantara kerumunan orang banyak, beberapa kali hampir saja Kwik Tay-lok ketinggalan sampai jauh sekali. Untung saja Kwik Tay-lok mempunyai nasib yang cukup mujur, setiap kali bila keadaan sudah mencapai pada saat yang kritis, dia selalu secara kebetulan dapat menemukan wajah yang bopeng itu. Orang dengan wajah yang istimewa biasanya memang lebih gampang dikuntil daripada tidak. Sampai akhirnya, orang bermuka bopeng itu merasa ia makin terdesak hebat sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan wilayah telaga sana menuju ke tempat yang makin sedikit orangnya. Agaknya dia ingin memancing Kwik Tay lok menuju ke tempat sepi, kemudian baik-baik memberi pelajaran kepadanya. Kwik Tay-lok sama sekali tidak gentar, bukan saja tak ambil perduli, malahan dia mengejar semakin getol lagi. Dia memang berniat untuk mencari suatu tempat yang tiada orangnya untuk menangkap orang itu dan ditanyai sampai jelas apakah dia kenal dengan Yan Jit, serta apakah dia tahu tentang jejak Yan Jit. Dari si tongkat, Kwik Tay-lok memang telah mempelajari beberapa kepandaian yang memaksa orang untuk berbicara jujur. Sebenarnya dia mengira dengan cepat orang bermuka bopeng itu akan berhasil disusulnya. Siapa tahu bukan saja orang berwajah bopeng itu dapat berlari cepat, kekuatan tubuhnya juga bagus sekali, seakan-akan dia tidak pernah merasa lelah, malah semakin lama larinya semakin cepat. Kwik Tay-lok merasa mulai tak tahan lagi, apalagi kehidupannya selama beberapa hari belakangan ini amat memeras kekuatannya dia merasa bagaikan orang yang telah lanjut usianya. Tak tahan dia lantas berteriak keras: "Hei, jangan lari, aku sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kesulitanmu, aku hanya ingin menanyakan beberapa persoalan saja" Sebenarnya si bopeng itu tidak lari secara sungguhan, namun setelah mendengar perkataan itu, dia malahan lari semakin cepat lagi. Pengemis memang biasa lari di jalan karena dikejar orang atau dikejar anjing, sehingga peristiwa semacam itu sesungguhnya bukan suatu kejadian yang aneh. Tapi seorang yang memakai pakaian yang perlente ternyata berlarian di jalanan gara-gara mengejar seorang pengemis, adegan semacam ini terasa aneh sekali. Dia tahu sudah ada orang yang mulai memperhatikan dirinya, malah diantaranya seperti terdapat dua orang opas. Mereka memang sesungguhnya bertugas untuk memeriksa dan menjaga keamanan di situ,
diantaranya tampak sedang melangkah maju siap menghalangi Kwik Tay-lok untuk ditanya. Asal jalan pergi Kwik Tay-lok terhadang maka si bopeng itu pasti akan melenyapkan diri. Padahal orang itu adalah satu-satunya titik terang yang dijumpainya, ia tak dapat melepaskannya dengan begitu saja. Sepasang biji matanya segera diputar, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya, sambil menuding ke arah si bopeng yang berlarian di depan, teriaknya keras-keras: "Pengemis itu adalah seorang pencuri, siapa yang dapat membantuku untuk membekuknya, kuberi hadiah dua puluh tahil perak." Teriakannya yang terakhir itu sungguh manjur sekali, tidak menunggu ucapan selesai diutarakan, dua orang opas itu telah membalikkan badan dan mengejar si bopeng tersebut. Malah banyak pula diantara para pelancong yang turut berteriak-teriak sambil melakukan pengejaran. Tampak si bopeng itu amat gelisah, mendadak ia melompat ke udara melewati atas kepala lima enam orang dan melompat naik ke atas wuwungan rumah di depan sana. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sempurna sekali, boleh dibilang merupakan jago kelas satu di dunia persilatan. Peristiwa ini semakin menggemparkan suasana, teriakan-teriakan berkumandang dari sana sini. "Tampaknya orang ini selain seorang pencuri, diapun seorang perampok ulung, jangan biarkan ia kabur.... tangkap sampai dapat tangkap sampai dapat!" Walaupun yang berteriak banyak, namun yang bisa menyusul ke atas atap rumah tak seorangpun. Dua orang opas itupun hanya bisa berdiri di bawah rumah sambil mengawasi dengan gelisah. Bagaimanapun ilmu meringankan tubuh memang tak dapat dipelajari oleh setiap orang, apalagi ilmu meringankan tubuh seperti apa yang dimiliki si bopeng, diantara sepuluh laksa orang paling banter hanya ada satu dua orang saja yang memilikinya. Untung saja Kwik Tay-lok adalah satu diantara dua orang yang menguasahi kepandaian itu. Dia telah melompat naik ke atas atap rumah, sambil melanjutkan pengejarannya dengan suara lantang dia berseru: "Aku adalah seorang petugas keamanan dari ibu kota yang khusus datang kemari untuk membekuk penjahat ini, harap enghiong hohan yang ada di tempat ini sudi membantu usahaku ini." Diapun tahu bagaimanapun gagah seorang enghiong hohan yang berada di sana, mustahil sudi mencampuri urusan yang tidak diketahui ujung pangkalnya ini. la berteriak demikian tak lebih hanya ingin membuat pikiran dan perasaan orang bermuka bopeng ini semakin kalut. Sebab dia benar-benar tidak memiliki keyakinan untuk bisa menyusul si bopeng itu, betul ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya luar biasa, namun kesempatan untuk melatihnya tidak banyak, baik soal taktik maupun soal pengalaman, dia masih kalah setingkat dibandingkan dengan manusia bermuka bopeng itu. Betul juga, oleh teriakan-teriakan yang lantang itu, manusia bermuka bopeng tersebut makin bingung dan cemas.
Bagaimanapun juga, berlarian di atas atap rumah orang di bawah sinar matahari yang cerah merupakan suatu kejadian yang amat menyolok, maka akhirnya kembali ia dipaksa melompat turun ke bawah. Dibawah sana terbentang sebuah lorong yang tidak terhitung luas, dalam lorong itu paling banter hanya terdapat enam tujuh keluarga. Ketika Kwik Tay-lok mengejar sampai di situ, kebetulan sekali ia menyaksikan ada sesosok bayangan manusia yang menyelinap masuk ke dalam pintu gerbang sebuah gedung rumah. Pintu gerbang gedung itu dibuka lebar-lebar. Tidak banyak rumah rakyat pada jaman itu dalam keadaan terbuka lebar sepanjang hari. Tampaknya gedung itu memang mempunyai hubungan yang erat dengan manusia berwajah bopeng itu, atau si bopeng itu mungkin memang berdiam.... Kwik Tay-lok sama sekali tidak ambil perduli akan hal tersebut, dengan cepat dia turut menyerbu masuk ke dalam. Di halaman rumah tiada orang, tapi ruang tamu di depan sana terdengar ada orang sedang
berkata sambil tertawa: "Tak heran kalau orang lain selalu berkata, diantara sepuluh orang manusia bopeng sembilan
diantaranya berwatak aneh kau betul-betul seorang siluman yang aneh" Kwik Tay-lok merasa girang sekali setelah mendengar perkataan itu, dengan cepat dia memburu ke depan sambil berpikir: "Kali ini kau tak bakal bisa kabur lagi..." Siapa tahu dalam ruang tamu itu tidak terdapat seorang manusia bopengpun, yang ada hanya seorang lelaki dan seorang perempuan yang tampaknya merupakan seorang suami-isteri, yang perempuan putih dan gemuk, wajahnya cantik, sebaliknya yang lelaki bermuka kuning, pinggangnyapun tidak lurus. Bila seorang lelaki jelek bisa mendapatkan seorang isteri yang cantik, ada kalanya hal itu bukan terhitung suatu kemujuran. Ketika secara tiba-tiba menyaksikan ada seorang lelaki asing menyerbu masuk ke dalam ruangan mereka, suami isteri berdua itu kelihatannya amat terperanjat. Tampaknya sang suami bernyali jauh lebih kecil daripada nyali istrinya, karena ketakutan hampir saja dia terjatuh ke atas tubuh istrinya, dengan tergagap dia berseru: "Si......siapa kau? Mau.... mau apa kau datang kemari?"
"Aku datang untuk mencari orang" jawab Kwik Tay-lok. "Sii.... siapa yang kau cari?"
"Aku mencari si bopeng, dimanakah si bopeng yang barusan kau sebutkan itu?" Sepasang biji mata si istri yang jeli, semenjak tadi memang sudah mengerling terus kearahnya, mendadak ia bangkit berdiri, kemudian sahutnya dengan cepat: "Akulah si bopeng yang ia maksudkan tadi, apakah kau datang untuk mencari diriku?" Betul juga, di ujung hidungnya memang terdapat beberapa titik burik yang berwarna putih. Kwik Tay-lok menjadi tertegun. Sang istri masih mengerling ke arahnya dengan ekor matanya yang jeli, kemudian dengan senyum tak senyum dia berkata lagi: "Apakah kau datang mencari diriku karena mengagumi namaku? Sayang kau sudah datang terlambat, kini aku telah menikah dengan orang dan tidak menerima tamu lagi." Bukan saja Kwik Tay-lok dibuat tertegun, bahkan sedikit dibuat menangis tak bisa tertawapun sungkan. Padahal seharusnya hal ini sudah dapat diketahuinya sedari tadi, mana ada perempuan dari keluarga baik-baik yang memperhatikan lelaki lain dengan cara semacam ini? Yang menjadi suami segera unjuk gigi, sambil melompat ke depan teriaknya keras-keras. "Sudah kau dengar belum? Sekarang ia sudah menjadi biniku, siapapun jangan harap bisa mengusiknya lagi. Hmm, kenapa kau tidak segera enyah dari sini?" Ternyata Kwik Tay-lok harus tertawa getir, tapi tak tahan kembali dia bertanya:
"Apakah tiada orang lain yang masuk ke mari tadi?" Sekali lagi sang isteri mengerling sekejap ke arahnya dan berkata sambil tertawa: "Sekalipun di kota ini masih terdapat setan segagah seperti kau, juga tak ada yang bernyali besar seperti kau. Siapa yang berani mendatangi rumah orang lain untuk mencari bini orang?" Ternyata ia telah menuduh Kwik Tay-lok sebagai manusia yang berusaha untuk merampas isteri orang. Yang menjadi suaminya bertambah naik darah, sambil menuding hidung Kwik Tay-lok teriaknya keras-keras: "Kenapa belum juga keluar dari sini?"
"Apalagi yang sedang kau rencanakan ditempat ini? Hati-hati kalau kepalanku menghancurkan batok kepalamu." Mendengar perkataan tersebut, Kwik Tay lok segera tertawa geli. Tangannya kelihatan seperti cakar ayam, untuk membunuh lalatpun belum tentu bisa, ternyata dia ingin memukul orang. Kwik Tay-lok segera menepuk bahunya dan berkata sambil tertawa. "Jangan kuatir, tiada orang yang bakal merampas dirimu, tapi tubuhmu sendiri juga bukan didapat dari mencuri, lebih baik jagalah diri baik-baik, dalam melakukan pekerjaan apapun lebih baik jangan terlalu memeras tenaga." Ia tidak membiarkan orang itu buka suara lagi, sambil membalikkan badan pemuda itu segera beranjak pergi. Padahal dia sendiripun tahu kelak pekerjaan ini sedikit agak kurang cocok untuk di utarakan sebab dihari biasa dia tak mengutarakan perkataan semacam itu.
Tapi, bila dalam hati sendiripun sedang mangkel, kadangkala timbul pula ingatan untuk membuat orang lainpun turut menjadi sengsara. Dengan jelas ia menyaksikan si bopeng itu masuk kesana, mengapa secara tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas? Apakah begitu masuk ke rumah dia lantas menerobos masuk ke dalam tanah? Tentu saja sepasang suami istri ini telah bersekongkol dengan si bopeng, mereka sengaja bermain sandiwara untuk mengoceh dirinya. Sayang walaupun ia mengetahui hal itu dengan jelas, namun tak dapat membongkarnya dengan begitu saja, apalagi berada di rumah orang lain disiang hari bolong seperti ini, bagaimana juga dia yang rugi sendiri. Bila mengharuskan memaksa orang lain untuk mengajaknya melakukan penggeledahan dalam rumah, rasanya ini tak mungkin bisa dia lakukan. Apakah si bopeng itu pasti telah menggunakan kesempatan tersebut untuk melarikan diri, sekalipun dicari belum tentu bisa menemukannya. Pikir punya pikir Kwik Tay-lok merasa makin lama hatinya makin risau dan pusing. "Coba kalau berganti Ong Tiong, tak nanti si bopeng itu bisa kabur dari cengkeramannya pada hari ini" Ia bertekad akan mencari tempat dulu untuk bersantap sampai kenyang guna menghibur hati sendiri, kemudian setelah malam menjelang tiba nanti baru akan melakukan penyelidikan disekitar tempat itu hingga persoalan menjadi tuntas. Matahari sudah hampir tenggelam dibalik gunung, sekalipun minum arak mulai sekarang
rasanya juga tak bisa dianggap terlampau awal. Rumah makan terbesar di kota itu di sebut Hwee-peng-lo, bebek panggang dan ikan leihi masak saos buatan mereka merupakan hidangan yang paling termasyhur, apalagi untuk teman minum arak. Kwik Tay-lok mencari sebuah meja dekat jendela dan memesan semeja sayur... Sebelum berangkat tempo hari, lotoa dari kota timur telah memberi sejumlah ongkos jalan yang terhitung cukup besar jumlahnya. Memang orang gagah dari dunia persilatan selamanya setia kawan, royal terhadap teman. Biasanya bila ada beberapa cawan arak sudah masuk ke perut, perasaan Kwik Tay-lok akan mulai cerah kembali. Tapi dua hari belakangan ini, arak yang masuk ke dalam perutnya merasa getir, lagi pula
gampang memabukkan. Apalagi bila malam masih ada urusan, ia tak berani minum banyak, sebaliknya memperbanyak makan sayur.
Makin jelek perasaannya makin banyak yang dimakan, mungkin bila Yan Jit belum juga ditemukan, bisa jadi dia akan menjadi gemuk seperti seekor babi. Setelah matahari turun gunung, tamu dalam rumah makan makin banyak. Pelbagai ragam manusia berduyun-duyun mendatangi rumah makan itu, diantaranya terdapat pula para perantara rumah pelacuran yang menjajakan dagangannya kepada para tamu. Maka dari balik penyekat di samping ruangan utama rumah makan itupun berkumandang suara tetabuhan, suara nyanyian merdu, suara gurauan, suara cawan saling beradu diiringi teriakan girang, gelak tertawa nyaring, ramai sekali suasananya. Namun bagi Kwik Tay-lok, dia seolah-olah duduk dalam dunia yang lain, walaupun perbuatan semacam itu sesungguhnya merupakan perbuatan yang paling menarik perhatiannya, tapi sekarang, kesemuanya itu terasa sama sekali tak ada artinya lagi. Tanpa Yan Jit di sini, ibarat sayur tanpa garam, sama sekali hambar rasanya. Ia menghela napas dan pelan-pelan memenuhi cawan arak sendiri, mendadak ia saksikan ada lima-enam orang nona cilik yang cantik-cantik sedang mengerumuni seorang lelaki berbaju perlente yang naik ke atas loteng sambil tertawa terbahak-bahak.
Jangankan pelayan rumah makan itu, bahkan Kwik Tay-lok sendiripun dapat menduga kalau lelaki perlente yang besar lagaknya ini pastilah seorang yang royal dan kaya raya. Tak tahan ia memandangnya beberapa kejap lebih lama, tapi begitu memandang orang itu, hampir saja teko arak yang berada di tangannya terjatuh ke tanah. Ternyata tamu perlente yang kaya raya itu adalah seorang berwajah bopeng, malahan dia tak lain adalah yang dijumpainya sebagai peminta-minta di tepi telaga tadi.
Sore tadi masih seorang peminta-minta, malamnya telah menjadi seorang cukong, perubahan ini benar-benar sangat menyolok sekali. Tapi, bagaimanapun ia berubah sendiri, sekalipun ia berubah menjadi abu, dalam sekilas pandangan saja Kwik Tay-lok dapat mengenalinya kembali.... Ya, siapa yang suruh mukanya terdapat begitu banyak bopeng yang menyolok. Kwik Tay lok hanya memandang dua kejap lalu segera melengos untuk memandang papan nama di luar jendela sana. Kali ini dia bertekad untuk menahan diri dan tidak melakukan segala sesuatu tindakan secara gegabah. Sekarang, bila dia menghampirinya, mencengkeram si bopeng itu dan bertanya apa sebabnya dia menghadiahkan mutiara kepada Sui Loan-kim, kemudian bertanya apakah ia tahu akan jejak Yan Jit, orang lain pasti akan menyangka dia adalah seorang yang sinting.
Tentu saja si bopeng itu dapat menjawab tidak tahu, bahkan bisa jadi akan mencuci tangannya bersih-bersih. Kini si bopeng sudah masuk ke ruang utama. Nona-nona kecil yang datang bersamanyapun jelas bukan gadis dari keluarga baik, belum lama mereka duduk, dari balik ruang sana sudah bergema panggilan-panggilan yang mesrah dan mendirikan bulu roma. Anehnya, justru di dunia ini seolah-olah terdapat banyak sekali lelaki yang suka akan panggilan-panggilan seperti itu. Berbicara terus terang, sesungguhnya Kwik Tay-lok juga senang sekali dengan gaya kehidupan seperti itu, tapi entah mengapa, bulu kuduknya pada bangun berdiri setelah mendengar perkataan itu kini. Seseorang apakah akan terjadi perubahan lantaran cinta, kunci salahnya bukan terletak pada dia itu laki-laki, atau perempuan, sebaliknya lantaran tulus atau tidakkah cinta mereka, dalam atau tidak cinta mereka berdua. Suasana di atas loteng rumah makan itu ramai sekali. Kembali Kwik Tay-lok memesan sepoci arak, menambah beberapa macam sayur dan menyiapkan diri untuk melangsungkan pertarungan jarak panjang, sekalipun si bopeng akan berada di situ sampai pagi, diapun akan menunggu sampai pagi pula. Siapa tahu, dengan cepat si bopeng telah berjalan keluar dalam keadaan mabuk hebat, dibimbing oleh seorang gadis berusia tujuh delapan belas tahunan, ia bertanya kepada, sang pelayan dimana tempat untuk cuci tangan.... Ternyata ia terlalu banyak minum arak, sekarang lagi mencari sebuah jalan keluar. Kwik Tay-lok masih tetap bersabar untuk menyaksikan dia turun lagi dari loteng, namun setelah di tunggu-tunggu setengah harian lamanya belum nampak juga ia naik lagi ke atas loteng. "Jangan-jangan dia telah mengetahui kalau aku berada di sini, maka menggunakan alasan hendak membuang air kecil, ia telah meloloskan diri dari sini?" Akhirnya Kwik Tay-lok tak kuasa menahan diri lagi, ia bersiap untuk melakukan pengejaran. Tapi pada saat itulah, mendadak ekor matanya menangkap seseorang sedang berjalan di seberang jalan sana dengan kepala tertunduk, ternyata dia adalah si bopeng. Betul juga, rupanya dia hendak memanfaatkan kesempatan baik itu untuk melarikan diri. Kwik Tay-lok menjadi sangat gelisah, tanpa berpikir panjang lagi, ia melompat keluar lewat daun jendela. Para tamu yang berada dalam ruangan rumah makan itu menjadi gempar, mereka mengira ada orang hendak bunuh diri dengan menceburkan diri dari atas loteng. Si bopeng itu berpaling dan mengerling sekejap ke arahnya, kemudian tubuhnya menyelinap ke depan dan tiba-tiba menerobos masuk ke dalam sebuah warung penjual bahan makanan yang berada di depan sana. Di depan pintu warung tadi tertumpuk berkarung-karung gandum, berkeranjang-keranjang beras serta bahan makanan lainnya, selain itu tampak juga seorang bocah nakal yang masih ingusan bermain "Cian-cu" di depan pintu warung. Menanti Kwik Tay-lok menyusul kesana, bayangan tubuh dari si bopeng itu sudah lenyap tak berbekas. Waktu itu para pelayan warung dan sang kasir sedang bermain catur dengan asyiknya. Kalau dilihat dari sikap mereka yang begitu santai, mustahil orang-orang itu menyaksikan ada orang yang baru saja memasuki warung mereka. Jangan kedua orang inipun telah bersekongkol dengan si bopeng dan sengaja bermain sandiwara untuk diperlihatkan kepada Kwik Tay-lok? Tapi kali ini Kwik Tay-lok lebih waspada lagi, ia sama sekali tidak masuk untuk bertanya kepada orang itu, sebaliknya bersembunyi di samping warung dan menggape ke arah bocah yang masih ingusan itu. Sambil mengeluarkan beberapa biji mata uang, katanya sambil tertawa: "Aku ingin bertanya kepadamu, asal kau bersedia menjawab dengan jujur, uang ini kuberikan semua kepadamu untuk membeli gula-gula." Bocah cilik itu dengan tangan sebelah memegang mainan, tangan lain menyeka ingus, sepasang matanya memperhatikan uang ditangan pemuda itu tanpa berkedip. Baik itu orang dewasa maupun anak kecil tidak ada berapa orang yang tidak menyukai uang. "Sudah kau dengar dengan jelas?" ucap Kwik Tay-lok, "asal kau bersedia untuk bicara dengan jujur, maka uang ini menjadi milikmu semua." Dengan cepat bocah itu menganggukkan kepalanya berulang kali. "Aku selalu berbicara dengan jujur" katanya, "Ayah memberitahukan kepadaku, bila anak kecil suka berbohong, nanti lidahnya akan menjadi busuk dan bau." Kwik Tay-lok segera menepuk-nepuk kepalanya sambil tertawa, sahutnya dengan cepat: "Betul, anak yang berterus terang barulah anak baik. Apakah warung penjual bahan makanan ini adalah milikmu?" Bocah itu segera mengangguk: "Betul, kami menyimpan beras yang sangat banyak, sekalipun dimakan selama seratus tahun
pun tak akan habis."
"Bukankah di rumahmu juga terdapat seorang bopeng?" Bocah itu mengerdipkan matanya berulang kali seperti merasa amat keheranan, lalu serunya. "Dari mana kau bisa tahu?" Kwik Tay-lok segera tertawa, untuk membohongi seorang bocah yang jujur tampaknya memang bukan suatu pekerjaan yang sulit. Tapi menyuruh seorang dewasa membohongi seorang anak, bagaimanapun juga merupakan suatu perbuatan yang memalukan. Oleh karena itu dia merasa amat rikuh sendiri, maka setelah menyerahkan uang tadi ke tangan si bocah, dia baru berkata sambil tertawa: "Aku belum pernah menyaksikan seorang yang berwajah bopeng, bersediakah kau untuk mengajakku pergi untuk menjumpainya?" Bocah itupun tertawa, katanya: "Tentu saja dapat, belum lama berselang dia masuk ke mari, tak lama kemudian dia pasti akan keluar."
"Ia pasti akan keluar?" Bocah itu manggut-manggut, sambil memutar biji matanya tiba-tiba ia tertawa, katanya: "Sekarang dia sudah keluar." Tangannya memegang uang itu kencang-kencang, sebaliknya melemparkan mainannya ketanah, setelah itu ia maju ke depan dan menarik tangan seorang bopeng yang baru ke luar dari ruangan. Dia tak lebih hanya seorang bocah berusia tujuh delapan tahun yang bermuka bopeng. Sekali lagi Kwik Tay-lok tertegun, tampaknya ia dibuat menangis tak bisa tertawapun tak dapat. Bocah itu tertawa amat girang, katanya: "Dia bernama Siau-sam-cu, yang masih terhitung adikku, sejak kecil mukanya sudah bopeng, dalam keluarga kami hanya terdapat seorang manusia bermuka bopeng saja." Kwik Tay-lok menjadi tertegun, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membalikkan badan dan berlalu dari sana. Terdengar bocah itu sedang berbisik sambil tertawa: "Siau-sam-cu, bila setiap orang yang ingin menyaksikan wajahmu pada memberi uang
kepadaku, dengan segera kita akan menjadi kaya, lain kali kaupun tak usah kuatir tidak memperoleh istri yang cantik lagi, asal kita sudah mempunyai banyak uang, sekalipun mukamu bopeng juga sama saja ada orang yang akan mengawini dirimu?" Kwik Tay-lok merasa yaa mendongkol yaa geli, sekalipun ingin tertawa namun tiada suara yang bisa keluar dari dalam mulutnya.
Dia tahu, bocah-bocah itu pasti telah menganggap sebagai telur busuk yang paling tolol. Sebab jalan pikirannya tidak selisih jauh bila dibandingkan dengan jalan pikiran bocah itu. Ketika dia berpaling, tampaknya si pelayan dari rumah makan Hwee-peng-koan tersebut dengan senyum tak senyum sedang memperhatikan dirinya. "Rekening Kek-koan tadi adalah tiga tahil enam hun, bisa itik panggang yang belum habis dimakan boleh dibungkus dan dibawa pulang," katanya cepat. Sudah barang tentu, sikap seorang pelayan rumah makan terhadap tamu yang kabur lewat jendela tak mungkin akan baik. Waktu itu, Kwik Tay-lok sama sekali sudah tak punya kemarahan lagi, sambil menyerahkan uang tersebut kepadanya, tiba-tiba ia bertanya lagi: "Kenalkah kau dengan si manusia bermuka bopeng yang besar lagaknya itu....?" Setelah pelayan itu menerima uangnya dan menimang-nimang sebentar, sambil tertawa segera sahutnya: "Walaupun hamba tidak kenal dengan si bopeng itu, tapi beberapa orang nona yang menemaninya hamba kenal, sekarang juga hamba bisa pesankan orang-orang itu untuk menghibur toaya"
"Aku hendak mencari si bopeng itu, apakah sebelum ini kau belum pernah melihatnya!" Pelayan itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali, jelas dia merasa sangat keheranan. "Jangan-jangan orang ini mengidap penyakit aneh." demikian pikirnya. "Nona cakep dia tidak mau, sebaliknya si bopeng yang dicari." Waktu itu, Kwik Tay-lok sama sekali sudah tak bersemangat lagi untuk banyak berbicara dengannya, dia tahu sekalipun mencari keterangan dari nona-nona penghibur itupun belum tentu ia dapat memperoleh keterangan yang diinginkan. Tampaknya si manusia bopeng itu benar-benar adalah seorang manusia aneh. Sudah jelas dia sedang berusaha untuk menghindarkan diri dari Kwik Tay-lok, tapi justru dia selalu munculkan diri pula di hadapan Kwik Tay-lok, kalau dibilang ia bukan sengaja berbuat demikian, mungkinkah di dunia ini benar-benar terdapat kejadian yang begini kebetulan? Bukti menunjukkan bahwa pemilik toko penjual bahan makan dengan suami isteri berdua tadi mempunyai hubungan yang erat dengan dirinya, dari sini dapat diketahui bahwa ia sudah cukup lama tinggal dalam kota ini. Tapi herannya, mengapa orang lain tak pernah berjumpa dengan dirinya? Tanpa sebab tanpa musabab dia telah membayar sebutir mutiara kepada Sui Loan-kim demi Kwik Tay-lok, sudah barang tentu mustahil kalau dia sama sekali tidak mempunyai tujuan tertentu. Tapi apakah tujuannya yang sesungguhnya? Kenapa dia harus melakukan perbuatan-
perbuatan yang mencengang-kan? Sekalipun kau menghancurkan kepala Kwik Tay-lok, belum tentu ia bisa menemukan sebab
musababnya.. Hampir saja ia putus asa dan bermaksud untuk melepaskan perhatiannya terhadap orang ini. Siapa tahu, pada saat itulah si nona cilik yang memayang si bopeng turun dari loteng tadi telah membalikkan badannya dan berjalan menghampiri Kwik Tay-lok, lalu dengan genit melemparkan beberapa kerlingan mata ke arahnya. Pelayan rumah makan memandang sekejap ke arahnya, kemudian memandang pula ke arah Kwik Tay-lok, setelah itu dia membuat muka setan dan segera kabur dari sana. Orang yang melakukan pekerjaan semacam ini memang jarang yang tak tahu diri, mereka selalu pandai melihat gelagat serta menyesuaikan diri. Dalam pada itu, si nona cilik itu telah berjalan ke hadapan Kwik Tay lok, kemudian setelah tertawa manis katanya: "Aku pikir, kau pastilah toa sauya dari keluarga Kwik bukan?" Kwik Tay-lok manggut-manggut, sambil memandang ke arahnya dengan mata melotot, dia berseru: "Apakah si bopeng itu yang memberitahukan namaku kepadamu?" Nona cilik itupun segera manggut-manggut, sahutnya sambil tersenyum: "Aku bernama Bwe Lan, tinggal dalam rumah pelacuran Liu-cun-wan, di kemudian hari masih berharap Kwik sauya suka memperhatikan diriku."
"Asal kau bisa membantuku untuk menemukan si bopeng tersebut, setiap hari aku akan berkunjung ke kamarku."
"Sungguh?" seru Bwe Lan sambil mengerdipkan matanya. "Hanya telur busuk anak kura-kura saja yang tidak memegang teguh perkataannya." Kembali Bwe Lan tertawa, tertawanya semakin manis. "Aku datang mencari Kwik sauya, karena si toaya bopeng memang ada pesan yang menyuruhku untuk menyampaikan kepada sauya"
"Apa yang dia katakan?"
"Ia bilang kentongan ketiga malam nanti dia akan menantikan kedatanganmu di kui Liong-ong-bio di sebelah timur telaga Tay-beng ou, dia bilang pula..."
"Dia masih bilang apa lagi?" tanya Kwik Tay-lok dengan cemas. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Bwe Lan berkata: "Ia masih bilang, bila kau tak-punya keberanian untuk pergi kesanapun tak jadi soal" Tiba-tiba ia tersenyum, sahutnya:
"Sekarang Kwik sauya sudah dapat menemukan dirinya, tapi ingat apa yang Kwik sauya katakan harus dipegang teguh.... kalau seorang lelaki menjadi telur busuk, oh, pasti tak sedap rasanya." Akhirnya perempuan yang berdandan sebagai siluman cilik itu telah pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi dia tak lupa meninggalkan alamat rumah pelacuran Liu-cun-kwan kepada Kwik Tay-lok. Sekarang Kwik Tay-lok baru sadar, lagi-lagi dia telah salah berbicara.... kenapa ia tak dapat menahan diri beberapa waktu lagi, menunggu siluman itu menyampaikan pesan dulu dari sibopeng? Kenapa dia selalu mendatangkan pelbagai kesulitan bagi diri sendiri tanpa disadari sama sekali? Tapi si orang bermuka bopeng itu jauh lebih membingungkan lagi.. Sudah jelas dia sedang berusaha untuk menghindari Kwik Tay-lok, tapi sekarang ia justru mengajak Kwik Tay-lok untuk bertemu. Apakah hal inipun merupakan suatu rencana busuk untuk menjebaknya? Apakah dia telah mempersiapkan jebakan disekitar kuil Liong-ong-bio dan menunggu Kwik Tay-lok masuk jebakan? Walaupun dia seperti banyak mengetahui persoalan tentang Kwik Tay-lok, namun sebelum itu Kwik Tay-lok hampir tak pernah bertemu dengan orang ini, sudah barang tentu diantara merekapun tak bisa dibilang ada dendam atau budi. Ia telah membuang banyak pikiran, banyak tenaga dan menghamburkan begitu banyak uang sebenarnya apakah maksud serta tujuannya? Sambil menghela napas panjang, Kwik Tay-lok bergumam: "Diantara sepuluh orang manusia bermuka bopeng, sembilan diantaranya berwatak aneh, tampaknya ucapan ini sedikitpun tak salah"
Kuil raja naga.
Tampaknya, di setiap tempat yang ada airnya pasti terdapat sebuah kuil raja naga. Liong ong bio memang seperti kuil dewa tanah, ibaratnya telinga bagi orang tuli, hanya suatu tempat tujuan belaka, di sana tiada tempat untuk pasang hio, juga tiada tosu atau hwesio. Demikian pula dengan Liong-ong bio. Kwik Tay-lok datang dengan menunggang kereta keledai, sebab dia tidak kenal jalan, lagi pula ingin mengirit tenaga sehingga bisa memiliki kekuatan yang tangguh untuk menghadapi si orang bermuka bopeng itu. Si kakek kusir kereta adalah seorang kakek yang rambutnya telah beruban semua. Sebenarnya Kwik Tay lok tidak ingin naik kereta, apa mau dikata setelah malam tiba kereta yang lain enggan mendatangi kuil Liong ong bio yang letaknya terpencil. Jalannya menuju ke tempat itu memang bukan suatu jalanan yang baik untuk dilewati apalagi bila malam tiba, tiada lampu yang menerangi tempat itu, keadaan gelap gulita dan sangat mengerikan. Kakek si kusir kereta itu mengantuk sepanjang jalan, tiba di sana mendadak ia menarik tali les keledainya dan berkata seraya berpaling. "Bila berjalan lebih ke depan, kau akan tiba di kuil Liong-ong-bio, lebih baik berjalanlah sendiri kesana." Tak tahan Kwik Tay-lok segera bertanya: "Kenapa kau tidak mengantar aku sampai ke depan pintu?" Tiba-tiba kakek bungkuk itu tertawa:
"Sebab aku masih ingin hidup barang dua tahun lagi." Malam amat hening, senyumannya itu kelihatan agak menyeramkan bagi orang yang memandangnya. Dengan kening berkerut Kwik Tay-lok segera menegur: "Memangnya setelah kau mengantar aku sampai di sini, maka kau tak bisa hidup lebih lanjut?" Kakek bungkuk itu tertawa semakin misterius, katanya hambar: "Setiap orang yang tiba di sini malam ini mungkin akan sulit untuk pulang dalam keadaan hidup, kuanjurkan kepadamu lebih baik jangan kesana..."
"Setiap orang boleh berkunjung ke kuil liong-ong-bio, kenapa aku tak boleh kesana?"
"Sebab malam ini jauh berbeda dengan malam-malam sebelumnya." jawab kakek bungkuk itu sambil tertawa seram. "Bagaimana bedanya?" Tiba-tiba kakek bungkuk itu tidak berbicara lagi, sepasang matanya dengan melotot besar sedang memandang ke belakang punggung Kwik Tay-lok, seakan-akan ia melihat ada setan yang muncul secara tiba-tiba. Tanpa terasa Kwik Tay-lok merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, tidak tahan diapun turut berpaling ke belakang. Malam itu sangat hening dan tak tampak seorang manusiapun, pohon liu yang bergoyang terhembus angin, dalam kegelapan malam mirip sesosok iblis yang sedang mementangkan cakarnya. Sekalipun demikian, bukan berarti bayangan itu benar benar-mirip dengan iblis yang
mementangkan cakar, sehingga tidak banyak yang dibuat ketakutan. Kwik Tay-lok segera tertawa geli, katanya: "Kau boleh menghantar aku ke situ dengan hati tenang, asal kau mati, aku...." Mendadak ia menghentikan ucapannya secara tiba-tiba.
Sebab ketika dia memalingkan kepalanya, ternyata si kakek bungkuk itu sudah lenyap tak berbekas. Di kejauhan sanapun hanya kegelapan yang nampak, bukan saja tidak nampak bayangan manusia, sekalipun benar-benar ada setan juga sama saja tak terlihat. Kenapa kakek bungkuk itu lenyap secara tiba-tiba? Apakah dia telah dilarikan oleh setan bengis yang bersembunyi di balik kegelapan? Segulung angin berhembus lewat, tak tahan Kwik Tay-lok bergidik dan bersin berulang kali gumamnya kemudian: "Baik, kau tak mau pergi, biar aku sendiri yang menjalankan kereta ini ke sana." Bila seseorang berada dalam kegelapan seorang diri, sekalipun hanya mendengar perkataan sendiri, paling tidak nyalinya akan lebih besar sedikit. Dia melompat naik ke atas tempat duduk kusir, mengambil cambuk dan melarikan keledai itu. Siapa tahu seakan-akan ke empat buah kaki keledai itu sudah memantek di atas tanah saja, sampai matipun ia tak mau maju barang selangkahpun jua. Apakah keledai itu sudah menduga firasat jelek, yang menunjukkan kalau di depan sana benar-benar terdapat iblis buas yang siap menerkam mangsanya. Di tempat seperti ini, dalam suasana seperti ini, jangankan setan bengis bisa makan orang, orangpun bisa makan orang. Padahal Kwik Tay-lok adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di sana, sekali pun dilahap orang sampai habispun tiada tempat untuk mengadukan peristiwa itu, malah jenasahpun entah dikubur dimana. Bila orang lain yang harus menghadapi keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah membalikkan badan dan mengambil langkah seribu, kalau bukan mencari tempat untuk minum barang dua cawan arak tentulah mencari pembaringan dan tidur yang nyenyak. Sayang sekali, justru Kwik Tay lok memiliki watak seperti keledai, bila kau menginginkan dia mundur maka dia justru maju kedepan. Sekalipun di depan sana terdapat sarang naga gua harimau, diapun akan mencoba untuk menembusinya. "Kalau toh kau enggan berjalan ke muka, aku juga punya kaki, memangnya aku tak bisa berjalan sendiri?" Dengan cepat dia melompat turun dari atas kereta dan maju ke muka dengan langkah lebar. "Benarkah kuil Liong-ong-bio terletak di depan sana?" Pertanyaan itu masih merupakan sebuah tanda tanya besar, ia tidak tahu juga tidak melihat bayangan rumah. Di depan sana hanya tanah luas kosong tiada sesuatu yang terlihat, bila orang hendak melakukan pertemuan, sudah pasti mereka tak akan melakukannya ditempat seperti ini. Kecuali dia memang memiliki rencana busuk yang takut diketahui orang lain. Sambil membungkukkan dada dan tertawa dingin Kwik Tay-lok maju ke depan, tiba-tiba ia mendengar serentetan suara yang sedang mengeluh sedih. Baru saja dia membalikkan kepalanya, tampak keledai itu sedang meringkik keras, seakan-akan bertemu dengan setan saja, entah sejak kapan dia telah membalikkan tubuhnya dan kabur menuju ke arah dimana ia datang tadi. Kwik Tay lok segera tertawa dingin, gumamnya: "Aku toh bukan keledai, kau bisa membuatnya takut, bukan berarti kau bisa membuat akupun menjadi takut." Tapi, menunggu dia berpaling, toh hatinya dibuat terperanjat juga. Dari balik kegelapan sana, entah sejak kapan telah bertambah dengan sebuah lentera ditambah bayangan sesosok manusia. Ternyata lentera itu berwarna hijau, cahaya lampu yang berwarna hijau menyoroti tubuh dan kaki orang itu namun tidak berhasil menyoroti wajahnya. Di atas kepalanya mengenakan sebuah topi lebar yang besar dan luas, topi itu dikenakan rendah-rendah sehingga hampir saja menutupi seluruh wajahnya. Tapi sekarang, Kwik Tay-lok sudah melihat kalau orang itu bukan si orang berwajah bopeng. Sebab orang ini hanya punya sebuah kaki.... kaki kirinya terpapas kutung sebatas lutut dan diganti dengan sebuah kaki kayu. Walaupun demikian, ketika datang tadi ternyata sama sekali tidak menimbulkan suara apa-apa. Dia berdiri dikejauhan sana, tangan yang satu memegang lentera sedangkan tangan yang lain membawa sebuah tongkat berwarna hitam, entah terbuat dari kayu ataukah terbuat dari besi. Walaupun dia hanya mempunyai sebuah kaki, tapi berdiri di situ dengan tenang dan tegap bagaikan sebuah bukit Thay-san. Di tengah malam buta yang sepi dan tiada sesosok bayangan manusiapun, tiba-tiba muncul seorang manusia seperti itu, siapapun pasti akan merasa terkejut sekali setelah melihatnya. Tapi bukan saja Kwik Tay-lok dapat menenangkan hatinya dengan cepat, malahan dia bisa manggut-manggut pula ke arah orang itu sambil tersenyum lebar. Asal orang lain belum sempat mencelakai kepada siapapun, dia akan tetap bersikap bersahabat. Ternyata si orang berkaki tunggal itupun manggut-manggut kepadanya. Kwik Tay lok segera memperkenalkan diri, katanya: "Aku she Kwik bernama Kwik Tay-lok, Tay yang berarti besar, lok yang berarti jalan artinya siorang she Kwik yang berjalan besar."
"Aku toh tak ingin mengetahui siapa namamu" ucap si orang berkaki tunggal dingin. Kwik Tay-lok segera tertawa. "Tapi kita dapat bersua muka ditempat seperti ini, berarti kita masih mempunyai jodoh" ucapnya. "Darimana kau bisa tahu kalau aku bertemu denganmu hanya karena kebetulan saja?"
"Memangnya bukan?"
Jilid 29
"BUKAN!"
"Memangnya kau khusus datang kemari untuk mencari aku?"
"Benar."
"Ada urusan apa mencari aku?"
"Suruh kau pulang."
"Pulang? Pulang ke mana?"
"Dari mana kau datang, kesana pula kau pergi!" Kwik Tay-lok segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya: "Apakah kau tidak menginginkan aku pergi ke kuil Liong-ong-bio?"
"Benar!"
"Kenapa?"
"Sebab tempat itu bukan tempat yang baik, barang siapa berani kesana pasti akan tertimpa bencana." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Terima kasih banyak atas petunjukmu, cuma saja kita tak pernah saling kenal, kenapa kau menaruh perhatian yang begitu serius kepadaku?"
"Jadi kau bersikap keras hendak pergi?"
"Benar!"
"Baik, robohkan aku lebih dulu, kemudian melangkahlah dari atas badanku...." Kwik Tay-lok menghela napas panjang setelah mendengar perkataan itu, serunya kemudian: "Oh.... rupanya kau memang sengaja mencari aku untuk diajak berkelahi...."
Orang berkaki tunggal itu tidak berbicara lagi, mendadak dia mengayunkan tangannya, lampu lentera yang berada di tangannya itu segera meluncur ke tengah udara dan persis menancap diatas sebatang pohon itu yang berada di tepi jalan.
Kwik Tay-lok segera berseru tertahan, katanya: "Benar-benar suatu kepandaian yang sangat lihay, dengan mengandalkan kepandaian tersebut, belum tentu aku dapat mengalahkan dirimu"
"Bila kau ingin kembali sekarang, masih belum terlambat." Kembali Kwik Tay-lok tertawa, katanya: "Justru karena aku belum tentu bisa merobohkan kau maka aku baru akan menghajarmu, bila aku sudah mempunyai keyakinan untuk menang, apa menariknya suatu pertarungan?" Pelan-pelan orang berkaki tunggal itu mengangguk, katanya: "Baik, kau memang punya keberanian, aku tak pernah membunuh orang yang mempunyai keberanian, paling banter cuma sepasang kakinya saja yang akan ku penggal."
"Akupun paling banter hanya bisa mengutungi sebuah kakimu saja, karena kau hanya memiliki sebuah kaki belaka" jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa. Sebenarnya dia bukan seorang yang menyindir orang, sebetulnya dia tak ingin mengucapkan kata-kata yang mencemooh orang lain. Tapi sekarang ia telah menemukan si bopeng, si bungkuk dan si orang berkaki tunggal ini sebetulnya merupakan suatu komplotan yang telah mempersiapkan jebakan untuk memancingnya masuk perangkap. Sekarang dia sudah hampir terjatuh, tapi perangkap apakah itu, hingga kini masih belum diketahui. Dalam pertarungan ini, musuh berada dalam kegelapan sedang ia berada ditempat yang terang, musuh lebih banyak jumlahnya dari pada ia seorang, bagaimanapun juga, sebenarnya hal yang mana merupakan sesuatu yang sama sekali tak adil. Kesempatan buat Kwik Tay-lok memang tidak banyak, sekalipun ia sengaja mengucapkan beberapa kata untuk mencemooh dan membangkitkan kemarahan lawan hal tersebut sebenarnya patut dimaafkan. Paling tidak ia telah memaafkan dirinya sendiri. Betul juga orang berkaki tunggal itu menjadi naik pitam, sambil membentak keras tongkat pendek di tangannya diayunkan ke tubuh Kwik Tay-lok dengan membawa desingan angin tajam. Tongkat pendek itu paling banter tiga empat depa panjangnya, jaraknya dengan Kwik Tay-lok pun paling banter hanya dua-tiga kaki. Tapi begitu tangannya diayunkan, tahu-tahu tongkat pendek itu telah tiba di hadapan Kwik Tay-lok.
Serangan toyanya itu benar-benar dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Waktu itu Kwik Tay-lok sama sekali tak bersenjata, pada hakekatnya tak mungkin baginya untuk menangkis atau menahan serangan tersebut, terpaksa ia berkelit ke samping. Tapi orang berkaki tunggal itu telah melancarkan serangkaian serangan berantai yang bertubi-tubi, jurus yang satu lebih cepat dari yang lain, sekalipun Kwik Tay-lok tidak melihat asal dari ilmu toyanya itu, namun dia tahu ilmu toya yang dipergunakan oleh musuhnya ini pasti mempunyai asal usul yang besar. Diantara sekian banyak jago lihay dalam dunia persilatan, hanya dua macam orang yang menggunakan toya pendek, pertama adalah pengemis sedangkan yang lain adalah hwesio. Kalau pengemis kebanyakan tergabung dalam perkumpulan Kay-pang, toya pendek yang mereka pergunakan biasanya dinamakan toya Ta-kau-pang, konon nama ini mulanya berasal dari seorang pangcu she Cia, tapi bagaimanakah cerita yang sebenarnya, mungkin tiada seorang yang pernah melakukan penyelidikan secara serius. Itulah sebabnya ilmu toya yang mereka pergunakan disebut ilmu Ta-kau-pang-hoat atau ilmu toya penggebuk anjing, selain hebat perubahannya juga rumit jurus serangannya, tidak banyak orang di dunia ini yang benar-benar bisa mempelajari ilmu toya seperti ini.. Jurus serangan yang digunakan orang berkaki tunggal itu bersifat keras dan ganas, diantara perubahan jurusnya tidak terdapat perubahan yang terlalu bagus. Betul Kwik Tay-lok kurang berpengalaman dalam dunia persilatan, namun soal ilmu Ta kau pang hoat sedikit banyak pernah juga mendengar orang lain membicarakannya. Sekarang, ia telah melihat bahwa ilmu toya yang dipergunakan orang berkaki tunggal itu bukan ilmu Ta-kau-pang-hoat, kalau toh bukan ilmu Ta-kau-pang-hoat, berarti pula dia bukan anggota Kay-pang. Kwik Tay-lok memutar biji matanya berulang kali, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa: "Aku sudah tahu siapakah dirimu, kau jangan harap bisa mengelabuhi diriku." Mendadak permainan toya pendek orang berkaki tunggal itu makin melamban, sementara kulit badannya seakan-akan berubah menjadi kaku. Kenapa dia nampak terkejut setelah mendengar ucapan itu? Apakah dia sendiripun mempunyai suatu rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain? Atau kuatir bila diketahui jejaknya oleh orang lain....? Begitu gerakan tangan dari orang berkaki tunggal itu melambat, gerak serangan dari Kwik Tay-lok menjadi bertambah cepat. Sepasang kepalannya dilancarkan menderu-deru bagaikan deruan angin kencang, dia menerobos ke dalam titik kelemahan orang itu membuat permainan toyanya sama sekali tak dapat dikembangkan lagi. Pertarungan antara jago-jago lihay ibaratnya dua orang ahli catur yang sedang berhadapan, asal selangkah membuat kesalahan bisa jadi seluruh permainannya akan buyar. Tiba-tiba saja Kwik Tay-lok melancarkan tiga buah serangan berantai yang ditujukan ke dada dan lambung orang berkaki tunggal itu, namun menanti orang berkaki tunggal itu menangkis jurus
serangannya, tiba-tiba dia berganti gerakan dengan mengayunkan tangannya menghantam topi lebar yang dikenakan orang berkaki tunggal itu. Bila dia ingin menghantam kepala orang berkaki tunggal itu, sudah barang tentu hal mana sukar untuk dilakukan. Tapi topi anyaman bambu itu lebar dan besar, apalagi dikala pertarungan sedang berlangsung, siapapun tak akan berpikir untuk melindungi topi lebar yang dikenakannya itu. Begitu topi lebar tersebut terjatuh, maka tampaklah selembar wajah orang berkaki tunggal itu, dia berwajah pucat dengan kepala yang gundul bersih, di atas keningnya terdapat dua belas buah bekas tusukan dupa yang menandakan dirinya sebagai seorang pendeta. Dengan cepat Kwik Tay-lok berjumpalitan dan mundur sejauh tujuh depa lebih, kemudian serunya dengan suara lantang: "Dugaanku ternyata tidak meleset, kau memang benar-benar seorang hwesio gundul!" Paras muka orang berkaki tunggal itu berubah makin mengenaskan, tiba-tiba ia mendepakkan kakinya berulang kali, toya pendeknya segera melesat ke depan dan menghantam lampu lentera yang berada diatas ranting pohon liu itu. Seketika itu juga suasana di sekeliling tempat itu berubah menjadi gelap gulita. Bayangan tubuh orang berkaki tunggal itu berkelebat lewat, tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan sana. Kwik Tay lok yang menyaksikan kejadian itu menjadi agak keheranan, pikirnya: "Heran, menjadi seorang pendeta toh bukan suatu perbuatan yang takut diketahui orang lain, sekalipun diketahui orang juga bukan suatu hal yang luar biasa, mengapa ia justru tampak kaget bercampur gugup, bahkan jauh lebih tegang daripada buronan yang berhasil dikenali kembali oleh opas?" Kwik Tay-lok benar-benar tidak habis mengerti. Tapi sekarang kesulitan yang dihadapinya sudah cukup banyak, tentu saja ia sudah tidak
mempunyai kesempatan dan hasrat untuk memikirkan persoalan orang lain lagi. Sesudah tiada orang yang menghalangi jalan perginya, maka diapun melanjutkan perjalanannya ke depan. Jalan, jalan terus ke depan, mendadak ia saksikan di depan sana terdapat suatu tempat yang memancarkan cahaya lentera. Di bawah sorotan cahaya lentera, tampaklah sebuah kuil yang amat kecil sekali bentuknya. Ia sampai juga akhirnya di kuil Liong- ong-bio. Walaupun sudah sampai di kuil Liong-ong bio, tapi siapakah yang memasang lampu dalam kuil itu? Kenapa secara tiba-tiba ia menyulut begitu banyak lampu dalam ruang kuil itu? Si kakek bungkuk, si hwesio berkaki tunggal ditambah si manusia muka bopeng, bukan saja cara kerja ketiga orang ini amat misterius, asal-usulnya juga sukar ditebak. Kalau dilihat ilmu silat yang mereka miliki, sudah pasti orang itu merupakan jago kelas satu didunia persilatan. Tapi justru ia belum pernah mendengar tentang mereka, seakan-akan ke tiga orang itu sama sekali tak punya nama. Dalam kuil itu di sulut tujuh buah lentera, namun tak nampak sesosok bayangan manusiapun. Kalau toh orang itu menyulut lampu, kalau toh meminta Kwik Tay-lok mencarinya kesana, kenapa ia sendiri pergi meninggalkan tempat itu..... Kwik Tay-lok celingukan kesana kemari seperti seorang pelancong saja, santai sekali gerak
geriknya. Padahal rasa tegang yang menyelimuti hatinya benar-benar tak terlukiskan dengan kata. Manusia bermuka bopeng itu dapat berbuat demikian kepadanya, sudah barang tentu bukan lantaran cuma bermain-main saja. Siapapun tak akan membuang banyak pikiran dan menghamburkan banyak uang hanya bermaksud untuk bergurau saja. Sekarang Kwik Tay-lok tinggal menunggu dia menampakkan diri dan menyebutkan asal-usulnya dan mengutarakan maksud serta tujuannya. Sudah pasti detik-detik itu merupakan saat yang paling berbahaya dan paling mengerikan. Siapa tahu kalau pada saat itulah merupakan detik-detik yang akan menentukan mati hidup Kwik Tay-Lok? Menanti memang merupakan suatu kejadian yang paling menyiksa, apalagi ia tidak tahu apa yang sedang dinantikan olehnya. Baru saja Kwik Tay-lok menghela napas panjang, lentera di atas meja telah padam. Padahal di sana tak ada angin, tapi anehnya kenapa lentera yang sedang bersinar terang bisa padam dengan sendirinya? Kwik-Tay-lok mengerutkan dahinya rapat-rapat dan berjalan menghampirinya untuk memeriksa dengan seksama, dengan cepat ia menemukan kalau sebab padamnya lentera itu tak lain karena minyak dalam lentera itu telah mengering.. Walaupun lentera itu padam sendiri, tapi di bawah meja seakan-akan ada semacam benda yang sedang bergerak tiada hentinya dan gemetar tiada hentinya, Kwik Tay-lok segera mundur tiga langkah ke belakang, kemudian, dengan suara dalam, bentaknya. "Siapa di situ?" Tiada jawaban, namun benda yang ada di bawah meja itu gemetar semakin keras, sehingga
tirai di belakang meja pun turut bergelombang keras. Tiba-tiba Kwik Tay lok menerjang ke muka dan menyingkap kain tirai tersebut. Tapi dengan cepat ia menjadi tertegun. Ditempat yang begini gelap, ditempat sepi dan terpencil seperti ini... ternyata di bawah meja sembahyang yang sudah kuno dari kuil Liong-ong-bio yang misterius, terdapat seorang nona yang
berusia enam atau tujuh belas tahun yang cantik jelita. Gara-gara untuk sampai di situ, entah berapa banyak manusia aneh dan kejadian aneh yang telah dijumpai Kwik Tay-lok, bahkan hampir saja dia pertaruhkan selembar jiwanya. Andaikata dibawah meja itu tersembunyi suatu jebakan yang bagaimanapun bahaya dan mengerikannya, dia pasti tak akan merasa keheranan. Tapi, mimpipun dia tak mengira kalau orang yang dijumpainya ternyata adalah seorang nona cilik. Nona itu tampak begitu kecil dan ramping, begitu mengenaskan, pakaian yang dikenakan amat tipis dan minim. Sekujur tubuhnya gemetar keras, entah karena kedinginan atau karena ketakutan. Menyaksikan kemunculan Kwik Tay-lok dia gemetar makin keras lagi, sepasang tangannya melindungi dada sendiri dan menyusutkan tubuhnya menjadi satu, sepasang matanya yang jeli
memancarkan sinar kaget, takut dan mohon kasihan, dengan susah payah dia mengucapkan beberapa patah kata: "Kumohon kepadamu, ampunilah aku...?" Kwik Tay-lok masih berdiri tertegun di sana, entah lewat berapa lama kemudian dia baru bisa
berbicara lagi. "Siapa kau? Kenapa datang ke tempat ini?" Nona cilik itu pucat pias seperti mayat karena ketakutan, katanya dengan suara gemetar: "Kumohon kepadamu.... ampunilah aku..." Jelas nona itu dibikin ketakutan setengah mati sehingga sukmapun serasa melayang meninggalkan raganya, kecuali dua kata tadi, dia sudah tak dapat mengucapkan kata-kata lain. Kwik Tay-lok menghela napas panjang: "Kau tak usah memohon kepadaku, aku bukan datang kemari bukan untuk mencelakai dirimu." Nona cilik itu segera melotot ke arahnya, lewat lama kemudian pelan-pelan dia baru sadar kembali, ujarnya: "Apakah kau... kau bukan orang itu?"
"Siapa maksudmu?"
"Orang yang membelenggu aku di sini?"
"Tentu saja bukan." jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa getir. "Masa siapa yang membelenggu dirimu ditempat inipun tidak kau ketahui?"
"Aku.... aku sama sekali tidak melihat wajahnya." sahut nona kecil itu sambil menggigit bibir. "Lantas, bagaimana kau bisa sampai di sini?" Sepasang mata nona kecil itu berubah menjadi merah, seakan-akan tiap saat kemungkinan besar akan menangis. Buru-buru Kwik Tay-lok berkata lagi: "Aku toh sudah bilang, tak nanti akan kuusik dirimu, maka sekarang kaupun tidak usah takut lagi, ada persoalan, dibicarakan pelan-pelan juga tak menjadi soal." Kalau dia tidak berusaha untuk menghibur masih mendingan, begitu ucapan tersebut diutarakan, kontan saja nona cilik itu menutup wajahnya dan menangis tersedu- sedu. Kwik Tay-lok menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bila ingin membuat nona cilik yang berusia enam atau tujuh belas tahun menangis tersedu-sedu, setiap apapun bisa melakukannya dengan segera. Tapi bila menyuruh dia jangan menangis, maka hal ini hanya bisa dilakukan oleh lelaki yang berpengalaman saja. Dalam bidang ini, pengalaman dari Kwik Tay-lok tidak termasuk matang. Oleh sebab itu dia hanya bisa mengawasinya dari samping dengan wajah termangu-mangu. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya nona itu menghentikan juga isak tangisnya. Kwik Tay lok segera menghembuskan napas lega, katanya dengan suara yang lembut: "Masa kau sendiripun tak tahu bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?" Nona cilik itu mash menutupi wajahnya rapat-rapat, katanya kemudian dengan lirih: "Aku telah tertidur nyenyak, ketika mendusin, secara tiba-tiba tahu-tahu aku telah berada disini!"
"Setelah kau sadar kembali, apakah di tempat ini tiada orang lain?"
"Bukan saja tak ada orang, bahkan setitik cahaya lenterapun tak ada...."
"Jadi kau yang telah memasang semua lampu di sini?"
"Tempat ini mana gelap, dinginnya setengah mati, aku benar-benar sangat takut, untung saja di atas meja kutemukan batu api...." Di atas meja dekat lentera, memang benar-benar terdapat batu api. "Oleh karena itu, kaupun menyulut semua lampu yang berada di sini?" tanya Kwik Tay-lok. Nona cilik itu manggut-manggut. Akhirnya Kwik Tay-lok berhasil juga memahami akan satu hal, tapi tak tahan dia bertanya lagi: "Tadi, di sini kan tak ada seorang manusia pun, kenapa kau tidak menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri?" Sebenarnya aku memang ingin melarikan diri, tapi baru melangkah keluar dari pintu kulihat suasana di luar sana gelap dan dingin, aku.. aku... selangkah pun aku tak berani melangkah keluar!"
Sampai kini, tubuhnya masih gemetar keras, namun ucapannya toh bisa juga didengar dengan jelas. Seorang gadis pingitan yang belum pernah keluar rumah, tiba-tiba menemukan tubuhnya berada dalam sebuah kuil bobrok setelah sadar dari tidurnya, belum menjadi gila pun karena ketakutan sudah termasuk suatu kejadian yang aneh. Kwik Tay-lok memperhatikan wajahnya dengan sorot mata yang penuh kasih sayang. Walaupun tangannya masih menutupi wajahnya, namun matanya sedang diam-diam mengintip wajah Kwik Tay-lok lewat celah-celah jari tangannya. Tampaknya Kwik Tay-lok tidak mirip dengan tampang seorang manusia yang jahat.... bukan cuma tidak mirip, dia memang bukan. Sebenarnya dia ingin membimbing gadis itu bangun dari kolong meja, tapi baru saja tangannya dijulurkan, dengan cepat dia telah menariknya kembali. Sekalipun wajahnya tampak lemah lembut namun kematangan tubuhnya ternyata cukup menggiurkan hati orang. Pakaian yang dikenakan sebenarnya memang amat minim sekali hingga tampaknya mengenaskan. Apalagi tangannya digunakan untuk menutupi wajah sendiri, sudah barang tentu dia tak dapat menutupi bagian tubuh lainnya lagi. Cahaya lampu masih bersinar dengan amat jelas. Bukan saja Kwik Tay-lok tak berani mengulurkan tangannya, memandang sekejap kearahnyapun tak berani. Pada saat itulah, lentera yang lain tiba-tiba menjadi padam. Lentera yang ketiga padam lebih cepat lagi, agaknya minyak yang ada dalam lentera tersebut sudah habis semua. Dalam waktu singkat, tujuh buah lentera sudah padam semua. Nona cilik itu menjerit kaget, kemudian menubruk ke dalam pelukan Kwik Tay-lok. Dalam kegelapan, tiba-tiba si nona cantik yang berbaju minim itu menubruk ke dalam pelukan
Kwik Tay-lok, kejadian ini segera membuat deburan jantungnya dua kali lipat lebih cepat. Dengan cepat dia memperingatkan kepada diri sendiri: "Kau adalah manusia, bukan binatang, jangan sekali kau memancing dalam air keruh, jangan sekali-kali kau lakukan perbuatan itu...."
"Bukan cuma tak boleh dilakukan, untuk dipikirkan saja tak boleh, kalau tidak bukan saja kau akan malu terhadap diri sendiri, juga malu terhadap Yan Jit!" Dalam hatinya dia berusaha keras untuk memperingatkan diri sendiri, sambil selalu pula mengendalikan diri, tapi banyak bagian tubuh seorang manusia yang tak mungkin bisa dikendalikan semua dengan sebaik-baiknya. Salah satu diantaranya adalah hidung. Bau harum gadis perawan yang aneh dan khas serta bau harum rambut yang terhembus lewat, mengikuti dengusan napasnya menerobos masuk ke dalam hatinya. Ini ditambah pula dengan tubuh yang lembut, halus dan hangat yang berada dalam pelukannya apa lagi di ruangan yang gelap gulita seperti itu, betul-betul mendatangkan suatu perasaan yang aneh sekali. Jangan manfaatkan kesempatan di kamar gelap, ucapan ini kedengarannya memang amat sederhana, namun dalam kenyataannya hanya orang yang pernah mengalami keadaan seperti itu saja yang mengetahui bahwa keadaan tersebut sebetulnya tidak mudah. Kwik Tay-lok bukan seorang nabi, bukan seorang dewa, kalau dibilang dia sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan ini boleh dibilang bohong. Tapi ada suatu ada kekuatan yang jauh lebih besar lagi yang membuat dia mampu untuk mengendalikan diri. Kekuatan tersebut bukan ajaran agama adat atau kesopanan, juga bukan lain-lainnya, melainkan rasa cintanya yang tebal dan mendalam terhadap Yan-Jit.. Dia sama sekali tidak mendorong tubuh nona cilik itu. Dia tidak tega berbuat demikian. Nona cilik itu melingkar didalam pelukannya, seperti seekor burung dara yang baru saja mendapat kekagetan yang hebat, kemudian menemukan suatu tempat yang aman. Dengan halus Kwik Tay-lok merangkul bahunya, lalu berkata dengan suara lembut: "Kau tak usah takut, mari ku antar kau pulang ke rumah."
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh, bahkan sekarang juga aku mau mengantar kau pulang."
"Tapi... ditengah malam buta begini kau datang kemari sudah pasti ada urusan penting yang hendak dikerjakan, mana boleh kau kesampingkan persoalanmu dan malahan hendak mengantarku pulang!" Diam-diam Kwik Tay-lok menghela napas panjang. Bukan suatu yang gampang baginya untuk mencapai tempat tersebut, bila ia disuruh berlalu dengan begitu saja, sebetulnya dia merasa sangat tidak rela. Siapa tahu kalau si orang bermuka bopeng itu akan datang, setiap waktu, siapa tahu kalau setiap saat dia bakal memperoleh kabar berita dari Yan Jit. Tapi sekarang, tampaknya dia sudah tidak mempunyai pilihan lain lagi. Ditepuknya bahu nona cilik itu, kemudian ujarnya: "Sekarang fajar sudah hampir menyingsing bila orang tuamu mengetahui kalau kau lenyap, hati mereka sudah pasti akan sangat cemas. Bila orang lain tahu kalau semalaman kau tidak
pulang, entah berapa banyak kata iseng yang bakal mereka lontarkan, sekarang usiamu masih kecil, mungkin belum kau ketahui sampai dimanakah mengerikannya kata-kata iseng tersebut, tapi aku tahu dengan jelas." Kata-kata iseng macam begitu selain dapat merusak nama baik seseorang, bahkan akan menghancurkan pula seluruh kehidupannya. Berpikir sampai di sini, Kwik Tay-lok semakin bulatkan tekadnya, dengan cepat dia berseru: "Oleh sebab itu, sekarang juga aku harus menghantarkanmu pulang ke rumah...." Mendadak nona cilik itu memeluknya erat-erat, sampai lewat lama kemudian, dia baru berbisik lembut: "Kau sungguh baik sekali, belum pernah kujumpai orang sebaik dirimu itu!"
"Rumahku berada didalam gang kecil di depan sana, belok ke kanan rumah ketiga, di depan pintu yang tumbuh pohon liunya itu." Gang itu amat tenang dan sepi... Sinar terang baru saja muncul di ufuk sebelah timur dan menyinari embun yang berada di atas ubin hijau. Kwik Tay-lok berbisik lembut: "Mereka pasti belum tahu kalau kau telah lenyap, dapatkah kau menyusup masuk ke dalam tanpa sepengetahuan mereka?" Nona cilik itu manggut-manggut. "Aku bisa masuk lewat pintu belakang, kamarku beradu di sebelah sana...." katanya. "Lebih baik kau tidur di kamar lain saja, lebih baik lagi jika mencari seorang pembantu setengah umur untuk menemani kau tidur." Setelah berpikir sebentar, dia menambahkan: "Dua malam berikutnya bisa saja aku menengokmu dari sekitar tempat ini, siapa tahu akupun bisa membantumu untuk menyelidiki siapa gerangan orang yang telah melarikan dirimu itu." Sinar mata hari fajar yang memancar dari ufuk timur, sudah menyinari butiran keringat-keringat di atas wajahnya, butiran keringat itu berkilat seperti butiran mutiara. Di atas wajahnyapun seakan-akan tampak cahaya berkilauan. Nona cilik itu mendongakkan kepalanya memperhatikan wajahnya, tiba-tiba ia berkata:
"Kenapa kau tidak bertanya siapa namaku? Apakah kau sudah tak akan datang lagi untuk menengok diriku?" Kwik Tay-lok tertawa paksa, sahutnya dengan lembut: "Aku hanya seorang gelandangan, lagi pula seorang yang sangat berbahaya, bila kau sampai melakukan hubungan denganku, sudah pasti banyak orang yang akan membicarakan kita berdua."
"Aku tidak takut" seru nona cilik itu cepat. "Tapi aku takut."
"Apa yang ditakuti?" seru si nona sambil mengedipkan matanya berulang kali. Kwik Tay-lok tidak menjawab, kembali dia menepuk bahunya sembari berkata: "Selanjutnya kau bakal tahu apa yang sesungguhnya kutakuti, sekarang cepat-cepatlah
kembali ke kamarmu dan tidur baik-baik, paling baik lagi bila kau dapat melupakan kejadian yang kau alami pada hari ini."
Nona cilik itu menundukkan kepalanya rendah-rendah, lewat lama kemudian dia baru berkata lembut: "Setelah keluar dari gang ini, paling baik kalau kau berbelok ke kanan saja."
"Mengapa!" Nona cilik itu tidak menjawab pertanyaannya, mendadak ia mendongakkan kepalanya dan berkata sambil tersenyum.
"Kau benar-benar seorang yang baik, orang baik selamanya tak pernah kesepian."
Fajar telah menyingsing. Fajar dipermulaan musim panas terasa amat segar, tapi ketika angin berhembus lewat, maka terasa hawa dingin yang mencekam. Tapi perasaan Kwik Tay-lok terasa hangat dan nyaman. Sebab dia tahu bahwa dirinya sama sekali tidak merugikan orang lain, tidak merugikan sahabat-sahabat yang baik kepadanya, juga tidak merugikan diri sendiri.
Siapapun itu orangnya, bila ia dapat berbuat demikian pula, maka hal tersebut boleh dibilang tidak gampang. Dia mendongakkan kepalanya sambil melemaskan pinggang, kemudian menghembuskan napas panjang. "Hari ini benar-benar hari yang panjang" Setiap kejadian yang dialaminya hari ini, hampir boleh dibilang semuanya merupakan peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Si manusia bermuka bopeng yang misterius, si kakek bungkuk yang tiba-tiba lenyap dibalik kegelapan, si hwesio berkaki tunggal yang berilmu tinggi dan mempunyai asal usul yang misterius, serta si nona kecil yang menyenangkan tapi mengenaskan itu. Kehadiran serta kemunculan orang-orang itu, boleh dibilang semuanya jauh di luar dugaannya. Diapun telah mengalami banyak mara bahaya, menerima banyak kemangkelan dan rasa mendongkol, namun tak setitik beritapun tentang Yan Jit yang berhasil diperolehnya. Namun dia sudah mendapatkan suatu hasil yang lumayan. Sekalipun dia tidak mengharapkan balas jasa dari orang lain terhadap perbuatannya yang telah dilakukannya, namun hatinya terasa begitu hangat dan gembira. Orang baik selamanya tak akan kesepian, orang yang berbuat kebajikan akan selalu memperoleh rejeki. "Setelah keluar dari gang ini, lebih baik kau belok ke kanan." Kwik Tay-lok tidak mengerti kenapa dia diminta untuk berbuat demikian, tapi dia toh belok juga ke sebelah kanan. Dengan cepat dia menemukan sebuah kejadian yang aneh sekali.
Fajar telah menyingsing.
Kabut pagi baru saja menguap dan menyelimuti sebuah jalanan yang berbatu. Jalan itu amat sempit. Kwik Tay-Iok berjalan maju menuju ke lorong itu dan belok ke kanan, dengan cepat ia menemukan sebuah gedung yang terasa amat dikenal olehnya.
Artinya dia pernah berkunjung ke gedung itu. Tapi dalam kota tersebut hampir boleh dibilang tidak seorang manusiapun yang dikenal, apalagi gedung rumah kediaman yang pernah dikenal olehnya.. Tapi, dengan cepat ia menjadi teringat kembali, rupanya gedung itu tak lain adalah gedung yang diterobosinya ketika sedang mengejar si manusia muka bopeng pagi tadi. Sekarang, didalam gedung itu sudah tidak nampak cahaya lentera lagi. Sang suami yang kurus berwajah kuning itu apakah sedang melakukan pekerjaan yang membuatnya menjadi kurus dan berwajah kekuning-kuningan itu? Sebenarnya Kwik Tay-lok memang berniat untuk melakukan penggeledahan dalam gedung itu bila malam telah tiba dan mencoba untuk memeriksa apakah si bopeng akan muncul di situ. Tapi sekarang niat tersebut harus diurungkan. Dia maju lagi ke depan, kemudian berbelok kesana. Jalanan dalam lorong itu beralaskan batu hijau yang diatur sangat rapi, kelihatannya jauh lebih bersih dan rapi daripada gang-gang yang lainnya. Sekarang fajar telah menyingsing, ternyata dalam gang tersebut masih ada beberapa buah lampu yang dipasang. Ketika ia membaca tulisan yang berada diantara dua buah lentera, sepasang matanya segera bersinar terang. "Liu-hiang-wan." Ternyata tempat tinggal nona Bwe Lan letaknya juga berada didalam lorong tersebut. Cuma sayang saat ini bukan saat yang paling tepat untuk mencari kesenangan, mungkin saja lengan nona Bwe Lan yang halus masih menjadi alas kepala orang lain. Sekalipun Kwik Tay-lok adalah seorang lelaki yang suka bermain perempuan, tentu saja dia enggan merusak suasana kegembiraan orang lain dalam keadaan seperti ini. Tapi dalam hati kecilnya seakan-akan telah timbul suatu perasaan yang istimewa, seakan-akan seorang penyair yang tiba-tiba tertarik oleh sepatah kata dalam syairnya. Dia berjalan lebih cepat lagi, lalu berbelok pula ke sebelah kanan. Tempat itu berada di tepi jalan raya, setelah menelusuri jalanan itu sejauh beberapa puluh langkah, dia telah tiba di toko penjual bahan makanan tersebut, juga menyaksikan papan nama Hwee-peng-to yang berada di seberang jalannya. Di tepi jalan terdapat beberapa buah bangku yang terbuat dari batu, Kwik Tay-lok duduk diatasnya dan termenung. Seandainya tempat tinggal dari nona kecil itu disebut sebagai deretan pertama. Kemudian tempat tinggal sepasang suami istri itu dianggap deretan yang kedua. Deretan rumah dari sarang pelacuran Liu-hiang-wan disebut deretan ke tiga. Selanjutnya warung penjual bahan makanan itu sudah pasti merupakan deretan ke empat. Ke empat deret rumah itu sudah pasti semuanya mempunyai hubungan yang erat dengan si manusia bermuka bopeng itu. Seandainya si manusia yang bermuka bopeng itu tidak menyuruhnya ke kuil Liong-ong bio, mana mungkin bisa berjumpa dengan nona cilik itu? Peristiwa ini sebetulnya hanya satu kebetulan? Ataukah memang sengaja diatur demikian?
Kenapa nona cilik itu meminta kepadanya lebih baik belok ke kanan setelah keluar dari gang tersebut? Mungkin karena dia mengetahui suatu rahasia yang tidak leluasa untuk diutarakan maka dia baru memberi petunjuk kepadanya? Benarkah ia sengaja bersembunyi di bawah meja, sengaja berbuat sesuatu agar jejak diketahui oleh Kwik Tay-lok? Apakah semua ini peristiwa ini merupakan suatu rencana yang sengaja diatur oleh si bopeng... Dia berbuat kesemuanya itu Sebetulnya karena apa dan apa pula tujuannya? Kwik Tay-lok segera bangkit berdiri dan sekali lagi berjalan menelusuri semua jalanan yang
baru saja dilewatinya. Ternyata ke empat baris rumah itu tak lebih membentuk suatu posisi segi empat. Di jalanan kota manapun juga, rumah yang berada pada deretan depan pasti akan saling menempel dan bertolak belakang dengan deretan rumah yang ada di belakangnya. Tapi kenyataannya sekarang, deretan rumah pertama dengan rumah deretan ketiga sama sekali tidak saling bersinggungan, malahan diantara kedua deret bangunan itu terdapat suatu jarak yang cukup lebar. Demikian pula keadaannya dengan deretan rumah kedua dengan ke empat, diantaranya terdapat suatu jarak yang amat lebar. Atau dengan perkataan lain, ditengah-tengah lingkaran rumah yang dikelilingi ke empat deret rumah itu pasti terdapat sebuah tanah kosong yang cukup luas. Mendadak Kwik Tay-lok merasakan jantungnya berdebar amat keras. "Ke empat deret rumah itu sengaja dibangun macam ini, apakah dibalik kesemuanya itu tidak terdapat sesuatu alasan yang tertentu?" Untuk memperoleh jawaban, hanya ada satu macam cara yang bisa dilakukan. Kwik Tay-lok segera melejit ke udara dan melayang naik ke atas atap rumah toko penjual bahan makanan itu.. Bagian depan gedung penjual bahan makanan itu merupakan toko, di belakangnya terdapat
sebuah halaman. Di kedua belah sisi halaman merupakan deretan kamar, agaknya tempat tidur pemilik toko itu, sedang dibagian belakang adalah gudang tempat menimbun barang. Ke belakang lagi sana, sebenarnya tidak seharusnya ada rumah lainnya, sebab menurut keadaan pada umumnya, tempat itu merupakan bagian dari bangunan rumah pendeta lain. Kini Kwik Tay-lok sudah berada di atas rumah bangunan terakhir dari toko penjual bahan makanan itu, benar juga, dia segera menemukan ditengah+tengah antara ke empat deret bangunan rumah yang berbentuk segi empat itu, betul-betul masih terdapat gedung lain. Ke empat deret bangunan rumah yang berada di empat penjurunya seakan-akan merupakan dinding pekarangan yang di empat penjuru serta mengelilingi gedung tadi, itulah sebabnya gedung itu tidak mempunyai jalan lewat juga tidak memiliki pintu gerbang. Dikolong langit, mana ada orang yang membangun rumahnya dalam keadaan seperti ini? Bila gedung ditengah tersebut dilewati maka kita akan sampai ditempat tinggal sepasang suami istri itu, yakni bangunan rumah yang berada pada deretan kedua. Bilamana tidak diperhatikan dengan seksama, siapapun akan mengira kalau rumah tersebut
berhubungan langsung dengan rumah lain, sekalipun ada orang yang berjalan malam lewat disana, merekapun tak akan menemukan keanehan dari rumah ini. Tapi sekarang, Kwik Tay -lok telah menemukannya. Jangan-jangan pemilik rumah itu adalah si burik? Untuk membangun rumahnya ditempat semacam ini, tentu saja banyak tenaga yang dibutuhkan dan banyak uang yang dihamburkan, tapi apakah tujuannya? Jangan-jangan dia seperti juga si hwesio berkaki tunggal, mempunyai rahasia yang tak boleh diketahui orang lain? Ataukah karena dia lagi menghindarkan diri dari pengejaran musuh-musuhnya yang tangguh, maka terpaksa ia membangun sebuah rumah yang tersembunyi sekali letaknya.." Gedung itu memang terletak paling tersembunyi, belum pernah ia jumpai bangunan yang tersembunyi seperti ini, akan tetapi... mengapa pula mereka biarkan Kwik Tay-lok menemukan rahasia ini tanpa sengaja? Kalau ia tidak membocorkan sendiri jejaknya, sudah pasti Kwik Tay-lok tak akan menemukan tempat ini. Berpikir pulang pergi, Kwik Tay-lok merasa makin dipikir persoalan ini bukan saja semakin
aneh dan penuh kemisteriusan, lagi pula ruwet sekali... Hanya ada satu cara saja untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yakni melompat turun ke bawah. Diantara gudang bahan makanan dan gudang tersebut dipisahkan oleh sebuah dinding pekarangan yang tinggi, dibalik pekarangan terdapat sebuah kebun bunga yang sempit dan
memanjang. Sekarang bunga-bunga mekar, akan tetapi di fajar itu menyiarkan bau harum yang semerbak. Setelah melewati kebun sempit yang memanjang, sampailah dia di sebuah serambi yang panjang, cahaya sang surya di fajar itu menyoroti lantai rumah yang bersih tanpa debu. Suasana di sekeliling tempat itu amat sepi, tak kedengaran sedikit suarapun. Bahkan angin pun tak dapat berhembus sampai ke situ. Semua kemurungan, budi dendam, kegembiraan, kesedihan, kemarahan dalam alam dunia seakan-akan sama sekali terpisah dari tempat itu. Hanya manusia yang berperasaan tenang bagaikan air saja yang dapat berdiam di sini, baru pantas untuk mendiami tempat ini. Manusia burik itu bukan manusia semacam itu, jangan-jangan Kwik Tay-lok salah melihat? Salah berpikir? Hampir saja dia tak tahan untuk mundur kembali dari sana. Tapi pada saat itulah, dia menyaksikan seseorang berjalan keluar dari ujung serambi itu. Dia adalah seorang gadis yang cantik jelita, mengenakan baju berwarna putih, tidak memakai bedak, kakinya hanya berkaos putih tanpa sepatu, seakan-akan kuatir kalau langkah kakinya akan mengganggu keheningan ditempat itu. Dia membawa sebuah bokor porselen dan berjalan menelusuri serambi panjang itu tanpa menimbulkan sedikit suarapun. Seandainya ia tidak-berpaling secara tiba-tiba dan mengerling sekejap ke arah Kwik Tay lok, hampir saja Kwik Tay-lok tidak mengenalinya kembali. Ternyata gadis yang halus, berdandan sederhana dan lemah lembut ini tak lain adalah nona Bwee Lan yang dijumpainya dengan dandanan seperti siluman beberapa waktu berselang. Dia hanya berpaling dan memandang sekejap ke arahnya, walaupun dengan jelas menjumpai kehadiran Kwik Tay-lok di sana, tapi seakan-akan pula tidak melihatnya, kembali kepalanya tertunduk, pula dengan tenangnya melanjutkan perjalanan ke depan. Hampir saja Kwik Tay-lok berteriak hendak memanggilnya. Tapi untung saja hal ini segera diurungkan, sebab ia tak berani berteriak-teriak di tempat ini, kuatir kalau sampai mengganggu ketenangan di sana. Dia hanya berdiri tertegun di situ sambil mengawasi tak berkedip. Bwee Lan telah mendorong sebuah pintu dan berjalan masuk, ia tidak berbicara ataupun menimbulkan suara apa-apa. Gedung itu masih tetap sepi, tidak kedengaran suara, tiada pula sesuatu gerakan apa-apa. Tempat ini sudah jelas merupakan tempat terlarang yang tidak memperkenankan orang lain untuk memasukinya, dengan jelas Kwik Tay-lok berdiri tegak di sana, tapi justru tak ada orang yang memperdulikannya, seakan-akan di tempat ia sedang berdiri itu tiada kehadiran dirinya, atau seakan-akan dirinya bukan dianggap sebagai manusia. Sesungguhnya siapakah yang berdiam dalam gedung itu? Apa pula maksud dan tujuan mereka terhadap dirinya? Kwik Tay-lok termangu-mangu untuk beberapa saat lamanya, mendadak ia maju ke depan lalu menelusuri serambi tersebut dengan langkah lebar. Perduli manusia kek, setan kek yang menghuni dalam gedung itu, pokoknya dia harus memeriksanya sendiri. Tapi baru selangkah dia maju, cepat-cepat kakinya ditarik kembali. Ia telah melihat lumpur diatas kakinya. Permukaan lantai pada serambi ruangan itu bersih dan berkilat seperti cermin, bila harus diinjak dengan kaki berlumpur seperti itu bukan saja ia merasa tak tega, bahkan merasa agak rikuh. Cepat-cepat sepatunya yang penuh lumpur itu dilepas, kaos kakinya masih bersih, meski agak bau, ia tidak memperdulikan persoalan-persoalan semacam itu. Maka diapun melanjutkan
perjalanan ke depan, mendorong pintu ruangan tersebut. Ternyata ruangan itu kosong melompong apapun tak ada di sana, tiada pembaringan, tiada meja kursi, tiada perabotan yang lain, juga tak ada debu barang sedikitpun. Di atas tanah tampak rumput kering yang amat tebal, di atas rumput kering itu diberi sebuah seprai berwarna putih, seorang sedang berbaring di sana. Ruang itu penuh dengan bau obat, rupanya orang itu sudah mendapat penyakit yang parah.. Kwik Tay-lok sama sekali tidak melihat paras mukanya, sebab nampak seorang gadis berbaju putih yang berambut panjang sedang berlutut di sisinya dan pelan-pelan menyeduh obat ditangan Bwee Lan dan menyuapi orang itu. Kwik Tay-lok juga tak berhasil melihat wajah gadis itu, sebab dia berada dalam posisi membelakanginya. Hanya Bwee Lan yang sedang berdiri menghadap ke arahnya, bahkan walaupun dengan jelas ia menyaksikan pemuda itu mendorong pintu dan berjalan masuk, tapi mimik wajahnya justru tidak
menampilkan perubahan apa-apa, seolah-olah dia tidak menganggap dirinya sebagai manusia hidup. Kwik Tay-lok merasakan jantungnya berdebar keras, kalau boleh dia ingin menyerbu ke dalam, menarik rambutnya dan bertanya kepadanya apakah matanya berada di atas kepala? Tapi suasana dalam gedung itu benar-benar teramat hening, sedemikian heningnya seperti
berada di kuil yang suci saja membuat orang tak berani sembarangan bertingkah di sana. Hampir saja Kwik Tay-lok tidak tahan untuk mengundurkan diri kembali dari sana. Orang yang hendak dicarinya tidak berada di sana apalagi suasana semacam itu paling mendatangkan perasaan tak enak baginya. Siapa tahu, pada saat itulah si nona berbaju putih yang berambut panjang itu telah berseru dengan suara dalam: "Cepat masuk, tutup pintu rapat-rapat, jangan biarkan angin berhembus ke dalam." Kalau didengar dari nada ucapan tersebut seakan-akan ia sudah tahu akan kehadiran Kwik Tay-lok sebagai keluarganya sendiri, dia pun seakan-akan telah menganggap Kwik Tay-lok sebagai keluarganya sendiri. Hampir saja Kwik Tay-lok merasakan jantungnya berhenti berdetak.. Bagaimana tidak? Sudah jelas suara itu adalah suara dari Yan Jit. Tak ada orang yang bisa membayangkan betapa besarnya keinginan pemuda itu untuk memandang wajahnya. Mungkinkah gadis berbaju putih berambut panjang yang berada di hadapannya sekarang adalah Yan Jit? Pintu telah ditutup rapat-rapat. Tapi Kwik Tay-lok masih berdiri mematung di sana, matanya terbelalak lebar-lebar, ia sedang mengawasi gadis berbaju putih itu tanpa berkedip. Apa yang bisa dilihat olehnya hanya bayangan punggungnya. Bayangan punggungnya langsing dan kurus, rambutnya hitam pekat dan terurai di sepanjang bahunya. Kwik Tay-lok menggenggam tangannya kencang-kencang, mulutnya terasa mengering, jantungnya melompat-lompat seperti akan melompat keluar dari rongga dadanya. Dia ingin sekali menerjang ke depan, menarik bahunya agar dia memalingkan kepalanya. Namun ia tak dapat berbuat apa-apa, dia hanya bisa berdiri mematung di situ. Sebab dia tak berani, tak berani mengganggu ketenangan tempat itu, tak berani menodai kesucian tempat tersebut, lebih-lebih lagi tak berani mengusik dia. Akhirnya sisakit itu telah menghabiskan obat dalam mangkuk dan berbaring kembali. Sekarang Kwik Tay-lok sudah dapat menyaksikan rambutnya yang telah memutih itu, namun belum sempat menyaksikan raut wajahnya. Dia masih berlutut di sisinya, pelan-pelan meletakkan mangkuk ke tanah, menarikkan selimut
dan menutupi badannya, jelas terlihat betapa kasih sayang dan hormatnya gadis tersebut terhadap si sakit. Seandainya Kwik Tay-lok tidak melihat kalau rambutnya telah memutih semua, sudah pasti dia akan merasa cemburu sekali. Siapakah kakek itu? Mengapa gadis itu begitu sayang dan penuh perhatian kepadanya? Terdengar kakek itu terbatuk-batuk, setelah itu tiba-tiba bertanya: "Apakah dia telah datang?" Gadis berbaju putih itu manggut-manggut. "Suruh dia kemari" kata kakek itu lagi. Walaupun suaranya parau dan lemah akan tetapi membawa kewibawaan yang besar sekali, membuat orang terasa tak berani membantahnya. Pelan-pelan akhirnya gadis berbaju putih itu berpaling juga. Akhirnya Kwik Tay-lok dapat melihat raut wajahnya. Pada detik itu juga, dia merasa semua benda yang berada didalam jagad ini seakan-akan telah terhenti dan musnah. Pada detik itu juga, dia merasa di alam semesta yang lebar ini seolah-olah hanya terdapat mereka berdua, dua pasang mata. "Yan Jit.... Yan Jit...." Kwik Tay-lok berpekik dalam hatinya, sementara air matanya jatuh bercucuran dengan amat derasnya. Teriakan itu tanpa suara, tapi gadis itu seakan-akan dapat mendengarnya dan hanya dia pula yang dapat mendengarnya. Butiran air mata telah membasahi pula sepasang mata dara itu. Setelah melalui suatu penderitaan yang berat, akhirnya ia berhasil menemukan kembali gadis itu. Dalam keadaan demikian, bagaimana mungkin air matanya tidak bercucuran? Darimana kau bisa tahu air mata kesedihan? Ataukah air mata kegembiraan? Tapi akhirnya dia menahan lelehan air matanya.
Kecuali gadis itu, dia tak ingin orang lain turut menyaksikan air matanya bercucuran. Tapi ia tak tahan untuk tidak melihat wajahnya lagi. Wajah gadis itu sudah bukan wajah yang tiga bagian membawa kelincahan, serta tiga bagian membawa kebinalan lagi. Raut wajahnya sekarang hanya tinggal pancaran rasa cinta yang sejati. Wajahnya sekarang sudah bukan wajah yang meski kotor namun gagah, segar dan penuh dengan kegembiraan lagi. Wajahnya sekarang adalah wajah yang pucat, lesu dan begitu cantiknya hingga membuat hati orang hancur luluh. Jelas dia sendiripun telah mengalami banyak percobaan, banyak siksaan dan penderitaan. Satu-satunya yang tidak berubah adalah sepasang matanya. Sepasang matanya masih nampak begitu jeli, begitu keras dan teguh. Tapi, apa sebabnya ia menundukkan kepala? Apakah air matanya sudah tak tahan untuk
meleleh keluar? Kakek itu kembali berbatuk-batuk pelan. Akhirnya ia menyeka air matanya secara diam-diam, mengangkat kepalanya dan menggape ke arah Kwik Tay-lok. "Kau kemarilah!" dia berbisik. Sepasang mata Kwik Tay-lok masih menatap wajahnya tak berkedip, seakan-akan kena dihipnotis saja, selangkah demi selangkah dia berjalan maju ke depan. Untuk kesekian kalinya gadis itu menundukkan kepalanya, pipinya seakan-akan berubah menjadi merah padam, masih seperti orang yang sedang mabuk oleh arak. Dulu, paras mukanya seringkali berubah pula menjadi merah padam, tapi Kwik Tay-lok belum
pernah menaruh perhatian ke sana. Ada kalanya paras muka lelaki pun dapat berubah menjadi merah padam... Sekarang Kwik Tay-lok baru sadar, ia membenci kepada diri sendiri, dia ingin menampar pipi sendiri sebanyak delapan- sembilan puluh kali. Dia benar-benar tidak habis mengerti, mengapa dirinya begitu tolol, mengapa dia tak dapat melihat kalau dirinya adalah seorang perempuan. Tiba-tiba kakek itu menghela napas dan berkata lagi. "Suruh dia lebih mendekat agar aku dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas!" Kwik Tay-lok tidak mendengar apa-apa. Sekarang, kecuali memandang ke arah gadis itu dia sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Yan Jit menggigit bibirnya kencang-kencang, kemudian berseru: "Sudah kau dengar belum perkataan dari ayahku?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun, kemudian serunya: "Dia.... dia orang tua adalah ayahmu?"
Yan Jit mengangguk. Kwik Tay-lok segera maju lebih mendekat, dia boleh saja tidak menghormati orang lain, boleh saja tidak menuruti perkataan orang lain, tapi ayah Yan Jit tentu saja merupakan suatu pengecualian. Kakek itu dapat melihatnya, diapun dapat melihat kakek itu. Lagi-lagi ia menjadi tertegun. Di dunia ini terdapat banyak macam manusia, karena itu terdapat pula banyak ragam raut wajah. Ada yang berwajah lonjong, ada yang berwajah bundar, ada yang berwajah tampan, ada yang berwajah jelek, ada yang berwajah cerah dan segar, ada pula yang berwajah cemberut seakan-akan setiap orang di dunia ini hutang tiga laksa tahil perak kepadanya dan tidak bayar. Kwik Tay-lok sudah pernah melihat banyak orang, juga lihat banyak ragam raut wajah manusia. Tapi belum pernah dia menyaksikan raut wajah semacam ini. Atau lebih tegasnya lagi, wajah orang ini sudah tak dapat dibilang wajah manusia lagi, tapi lebih mirip sebagai sesosok tengkorak hidup. Di atas wajahnya yang persegi lonjong, kini tinggal kulit pembungkus tulang belaka, seolah-olah sama sekali tak berdarah daging lagi. Tapi dikedua belah sisi sebuah codet golok yang memanjang, justru tumbuh daging yang merekah. Yang paling menakutkan justru adalah bekas bacokan goloknya itu. Dua buah bacokan golok tersebut membentuk tanda salib di atas wajahnya, yang di sebelah kiri mulai dari ujung mata melewati hidung sampai ke bibirnya. Sedangkan yang di sebelah kanan
dari jidat kanan memapas tulang hidung dan mencapai ke telinga. Oleh karena itu, dari lembaran wajah tersebut sukar sekali untuk menemukan bekas hidungnya lagi, yang tersisa hanya sebuah matanya saja. Sebuah mata yang setengah terpejam.
Bekas bacokan golok itu sudah merapat, entah bekas yang ditinggalkan berapa tahun berselang, namun daging yang merekah dikedua belah sisi bekas bacokan itu justru berwarna merah merekah. Codet yang berbentuk salib, menghiasi wajah yang kurus kering berwarna putih pucat hal ini membuat tanda itu semakin menyala, seperti lagi terbakar saja, bagaikan tanda dari setan iblis di neraka. Pada hakekatnya kakek itu seperti lagi hidup didalam neraka. Kwik Tay-lok merasakan napasnya seakan-akan hendak berhenti. Dia tak tega, dia tak berani memandang wajah itu lagi, tapi diapun tak dapat menghindarkan
diri. Bahkan wajahnya tidak menunjukkan perasaan muak atau takut barang sedikitpun jua karena kakek ini adalah ayah kandung Yan Jit. Kakek itupun sedang memandang ke arahnya dengan mempergunakan matanya yang setengah terpejam itu, lewat lama kemudian dia baru menegur dengan suara lemah: "Kaukah yang bernama Kwik Tay-lok?"
"Benar."
"Kau adalah sobat karib putriku?"
"Benar"
"Apakah kau merasa wajahku ini tak sedap dipandang, lagi pula sangat menakutkan?" Kwik Tay-lok termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya diapun mengangguk. "Benar!" Kakek itupun termenung beberapa saat lamanya, kemudian dari tenggorokannya, berkumandang suara mirip suara orang tertawa: "Tak heran kalau putriku mengatakan kalau kau ini adalah seorang yang jujur, tampaknya kau memang jujur." Kwik Tay-lok mengerling sekejap ke arah Yan Jit, sedangkan Yan Jit masih menundukkan kepalanya rendah-rendah. Sebaliknya di atas wajah Bwee Lan justru terlintas sekulum senyuman. Kwik Tay-lok turut menundukkan kepalanya rendah-rendah, lalu berkata: "Ada kalanya akupun tidak terlalu jujur!" Ucapan ini kembali merupakan suatu pengakuan yang jujur. Tiba-tiba dia merasa bahwa berbicara sejujurnya di hadapan kakek ini merupakan suatu cara yang paling baik. Benar juga, kakek itu segera manggut-manggut. "Betul orang yang tidak jujur jangan harap bisa di sini.... orang yang terlampau jujurpun jangan harap bisa menemukan tempat ini." Tiba-tiba dia menghela napas panjang, kemudian melanjutkan: "Kau bisa sampai di sini, boleh dibilang suatu perjuangan yang tidak mudah.... benar.... benar tidak mudah!" Ucapan tersebut terasa amat menusuk pendengaran Kwik Tay-lok, secara tiba-tiba saja dia merasakan hatinya menjadi kecut. Mengapa Yan Jit harus memberikan banyak siksaan dan percobaan kepadanya? Mengapa dia menghendaki agar dia mencarinya dengan bersusah payah? Walaupun kakek itu separuh memejamkan matanya, namun agaknya dia dapat meraba suara hatinya, tiba-tiba dia berkata: "Suruh mereka pun masuk kemari!"
"Baik!" jawab Bwee Lan. Dengan langkah yang tenang dia berjalan ke depan, lalu membuka sebuah pintu yang lain. Di luar pintu telah berdiri tiga orang manusia, dengan langkahnya yang tenang mereka masuk ke dalam. Orang pertama adalah siBurik. Kali ini dia sudah berganti dengan satu stel jubah berwarna putih, begitu masuk ke dalam ruangan dengan tangan terjulur ke bawah ia berdiri di sudut ruangan, sikapnya nampak amat hormat dan takut, seperti seorang budak berjumpa dengan majikannya. Orang yang mengikuti di belakangnya tentu saja si bungkuk itu. Orang ketiga barulah si hwesio berkaki tunggal itu. Ketiga orang itu mengenakan jubah putih yang sama, sikap mereka terhadap kakek itupun amat menaruh hormat.
Mereka bertiga sama-sama menundukkan kepalanya, tak sekejap matapun mereka memandang ke arah Kwik Tay-lok. "Aku rasa kalian pasti sudah kenal bukan," kata kakek itu kemudian.
Jilid 30
K E T I G A orang itu bersama-sama mengangguk. Sebaliknya Kwik Tay-lok tidak tahan segera bertanya: "Walaupun mereka kenal aku, tapi aku tidak kenal dengan mereka, siapakah orang-orang itu?"
"Orang muda jaman sekarang memang sudah tidak banyak yang kenal dengan mereka, tapi kau mungkin saja pernah mendengar tentang nama mereka."
"Oh...!"
"Kau pernah bertarung melawan Lan Kun apakah belum dapat kau tebak sumber dari ilmu silatnya?"
"Lan Kun?"
"Lan Kun adalah nama premannya, sejak ia masuk ke dalam kuil Siaulimsi dan menjadi pendeta, orang lain hanya tahu kalau dia bernama Thi-siong..." Ternyata hwesio berkaki tunggal ini adalah seorang anggauta Siaulimpay, tapi memang cuma ilmu toya Hong- lui-ciang-mo-ciang (ilmu toya angin geledek penakluk iblis) dari Siaulimpay yang bisa memiliki daya kekuatan yang begitu mengejutkan. Dengan paras muka agak berubah Kwik Tay-lok segera berseru: "Jangan-jangan dia adalah Kim-lo-han Thi-song taysu yang tempo hari pernah menyapu rata partai Seng-sut-hay dengan mengandalkan ilmu toya saktinya?"
"Betul, memang dia." sahut si kakek. Kwik Tay-lok tak sanggup berkata apa-apa lagi. Kim-lo-han ini merupakan salah seorang manusia yang paling dikagumi olehnya sewaktu masih muda dulu, sejak dia berusia tujuh atau delapan tahun, nama ini sudah pernah di dengar olehnya, tapi kemudian ia dengar pendeta itu sudah kembali ke alam baka, sungguh tak disangka
ternyata dia berdiam di sini. "Thian-gwa-yu-siu-toucu (Naga sakti dari luar angkasa, si bungkuk sakti), bukankah pernah
kau dengar nama ini disebut orang?" kata si kakek kemudian. Untuk kesekian kalinya Kwik Tay-lok tertegun. Ternyata si bungkuk ini adalah jago yang paling termasyhur dalam dunia persilatan karena ilmu meringankan tubuhnya yang amat lihay, tak heran kalau dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas dari pandangan mata. "Si bungkuk sakti dari luar angkasa dan Jian-pian-ban-hua-ci-tong-seng (Beribu perubahan berjuta pergantian, akal banyak bagaikan binatang) merupakan dua orang manusia yang mengangkat nama bersama." ucap kakek itu lagi. Dengan wajah terkejut Kwik Tay-lok memandang ke arah si burik, lalu serunya tertahan: "Apakah dia adalah si akal banyak bagaikan binatang Wan-toa-sianseng?"
"Oh... rupanya kau juga tahu tentang dia." Kwik Tay-lok berdiri tertegun di sana, sampai lama sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Pada dua puluh tahun berselang, ketiga orang ini semuanya merupakan jago-jago dunia persilatan kelas satu yang termasyhur dan disegani oleh setiap umat persilatan. Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, ketiga orang ini sudah mati semua. Tak nyana ternyata mereka bertiga bersembunyi di sini, bahkan tampaknya sudah menjadi pelayannya si kakek yang penyakitan itu. Berpikir sampai di sini, tiba-tiba saja Kwik Tay-lok merasakan hatinya amat terperanjat. Kalau manusia-manusia tersohor macam Kim-lo-han, Sin Toucu bersedia menjadi pelayan sikakek ini, bahkan bersikap begitu hormat, segan dan tunduk terhadapnya, lalu manusia macam apakah si kakek yang penyakitan itu sendiri? Kwik Tay-lok benar-benar merasa tidak habis mengerti. Sekalipun hongtiang dari kuil Siauwlimsi yang lalu hidup kembali, belum tentu Kim lo han akan bersikap begitu hormat kepadanya, sekalipun seorang pendekar besar kenamaan di masa lalu hidup kembali, si bungkuk sakti dan si akal banyak seperti binatang belum tentu bersedia menjadi pelayannya. Tapi, siapakah kakek itu? Kekuatan apakah yang dimilikinya sehingga dapat membuat ke tiga orang ini begitu menaruh hormat kepadanya. "Hari ini mereka telah banyak memberi penderitaan dan percobaan kepadamu, apakah dalam hatimu masih merasa tidak puas terhadap mereka?" tanya kakek itu kemudian. Kwik Tay lok ingin menggeleng, tapi tak menggeleng, sambil tertawa getir katanya: "Ya, ada sedikit!"
"Apakah kau merasa sangat keheranan mengapa mereka sampai berbuat demikian?"
"Yaa, ada sedikit.... aaah, tidak, bukan cuma sedikit saja...!"
"Dengan bersusah payah dan menempuh perjuangan yang sangat besar, ada urusan apa kau datang kemari?" Kwik Tay-lok agak tergagap, tapi kemudian setelah mengerling sekejap ke arah Yan Jit, sahutnya: "Datang mencarinya!"
"Mengapa kau datang mencarinya?" Perkataan yang diucapkan olehnya seakan-akan selalu berupa pertanyaan, bahkan pertanyaan tersebut amat mendesak orang, membuat orang lain sama sekali tak mampu untuk menghindarkan diri. Kwik Tay-lok menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia seperti merasa agak kuatir tapi tak tenang. Tapi saat itulah tiba-tiba Yan Jit mengangkat kepalanya dan menatap ke arahnya dengan menggunakan sepasang matanya yang jeli dan bening bagaikan air itu. Kwik Tay-lok segera merasakan timbulnya keberanian dan keteguhan dalam hati, dia segera mengangkat kepalanya dan menjawab dengan suara lantang: "Karena aku suka kepadanya, aku ingin selalu berada didampinginya!" Sesungguhnya persoalan ini adalah suatu persoalan yang terus terang, dan sekarang dia mengutarakannya keluar dengan menggunakan sikap yang berterus terang pula, hal ini memperhatikan akan kejujuran serta ketulusan hatinya. Suara dari kakek itu berubah menjadi makin serius, sepatah demi sepatah dia bertanya: "Apakah kau ingin mempersunting dirinya menjadi istrimu?"
"Benar!" jawab Kwik Tay-lok tanpa berpikir panjang lagi. "Tak akan menyesal untuk selamanya?"
"Ya, tak akan menyesal untuk selamanya." Mata si kakek yang setengah terpejam itu tiba-tiba melotot besar, dari balik mata tunggalnya ini mencorong keluar sinar tajam yang menggidikkan hati. Belum pernah Kwik Tay lok menjumpai manusia semacam ini, belum pernah bertemu dengan manusia dengan mata yang begitu menakutkan, tapi dia tidak bermaksud untuk menghindarinya. Sebab dia tahu yang paling penting pada saat ini adalah dia berbicara dengan jujur dan sama sekali tidak mengandung maksud-maksud tertentu yang kuatir diketahui orang lain...." Kakek itu menatapnya lekat-lekat, lalu membentak keras: "Tapi, tahukah kau siapakah diriku ini?" Kwik Tay-lok segera menggelengkan kepalanya berulang kali, pertanyaan ini memang sudah lama berada dalam benaknya, namun dia tak berani untuk mengutarakannya keluar. "Coba kau lihat bekas bacokan pedang berbentuk salib di atas wajahku ini, masa kau masih belum tahu siapakah diriku ini?" kata si kakek. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Kwik Tay-lok, dia merasa terkejut sekali, hampir saja seluruh badannya melompat ke udara saking kagetnya. Bekas bacokan pedang berbentuk salib, ilmu pedang sepuluh huruf yang menggila... Satu-satunya manusia yang dapat meloloskan diri dari serangan Sip-ci-kiam yang menggila itu hanya Lamkiong Cho. Jangan-jangan kakek yang sedang sakit parah ini tak lain adalah Lamkiong Cho yang asli? Kwik Tay-lok hanya merasakan kepalanya pusing tujuh keliling dan tidak tahu bagaimana mesti menjawab. Mimpipun dia tak menyangka kalau Lamkiong Cho, seorang manusia buas yang termasyhur dalam dunia persilatan karena kebusukan namanya, ternyata tak lain adalah ayah kandung Yan Jit. Tak heran kalau Yan Jit dapat memastikan kalau orang berbaju hitam itu pasti bukan Lamkiong Cho. Rupanya Yan Jit lah yang turun tangan menusuk ulu hati orang berbaju hitam itu lewat dinding belakang. Dia berbuat demikian jelas, karena dia merasa benci terhadap orang-orang yang telah mencatut nama ayahnya, oleh karena itu dia tak segan untuk turun tangan membunuhnya, dia turun tangan karena ingin melindungi nama baik ayahnya. Tak heran pula dia enggan menyebutkan asal usul sendiri, dan sikapnya seakan-akan mempunyai banyak rahasia yang tak bisa diutarakan kepada orang lain. Selamanya diapun enggan memberi tahukan kepada Kwik Tay-lok kalau dia adalah seorang anak gadis, sebab dia merasa malu terhadap asal usulnya sendiri, dia kuatir setelah Kwik Tay-lok mengetahui asal usulnya akan berubah sikapnya. Oleh karena itu dia selalu menunggu sampai menjelang saat kematiannya baru bersedia untuk mengutarakan hal itu kepadanya, maka dia minggat dan selalu menghindar. Persoalan itu seakan-akan merupakan suatu peristiwa yang sukar untuk dijelaskan, tapi sekarang, akhirnya toh ada jawabannya juga, Tapi Kwik Tay-lok hampir saja tak dapat mempercayainya. Suasana dalam ruangan itu sangat hening. Sorot mata setiap orang telah dialihkan ke wajah Kwik Tay-lok, hanya Yan Jit seorang yang masih menundukkan kepalanya, dia seperti tak berani lagi memandang ke arah Kwik Tay-lok. Dia kuatir dengan jawaban dari Kwik Tay-lok, dia takut jawaban dari pemuda itu akan melukai hatinya. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya pelan-pelan kakek itu berkata lagi: "Sekarang, tentunya sudah tahu bukan, siapakah aku?"
"Benar."
"Sekarang, bila kau masih ingin merubah keputusanmu, masih ada kesempatan yang cukup bagimu untuk mengutarakannya keluar."
"Sekarang sudah tak sempat lagi"
"Mengapa?"
"Karena di dunia ini sudah tiada persoalan apapun yang dapat merubah perasaan cintaku kepadanya, bahkan aku sendiripun tak dapat." Jawaban tersebut diutarakan dengan begitu tegas, begitu tulus dan jujur. Ketika ia membalikkan badan memandang ke arah Yan Jit, kebetulan Yan Jit juga sedang mengangkat kepalanya memandang ke arah wajahnya. Sorot matanya berkaca-kaca, tapi itulah airmata kegirangan, air mata terharu dan terima kasih. Bahkan sepasang mata Bwee Lan pun ikut berkaca-kaca menyaksikan adegan tersebut. Kakek itu masih memandang wajah Kwik Tay-lok dengan sorot matanya yang tajam itu, kemudian menanyakan sekali lagi: "Kau masih bersedia untuk mempersunting dirinya untuk menjadi istrimu?"
"Kau bersedia menjadi suaminya anak gadis Lamkiong Cho?"
"Bersedia!" Tiba-tiba sorot mata kakek itu bagaikan bekunya salju yang mulai mencair di musim semi, pelan-pelan dia bergumam seorang diri: "Bagus, bagus sekali, ternyata kau memang seorang anak baik, Yan-ji benar-benar tidak salah
memilih kau." Kemudian pelan-pelan dia memejamkan kembali matanya, lalu sepatah demi sepatah katanya: "Sekarang aku dapat menyerahkan dirinya kepadamu dengan perasaan hati yang lega, sekarang dia sudah menjadi istrimu." Kwik Tay-lok segera berpaling kembali ke arah Yan Jit, dan Yan Jit pun memandang kearahnya, ketika sepasang mata mereka saling bertemu, semua pancaran rasa cinta segera dilampiaskan keluar semuanya. Pipi Yan Jit berubah menjadi merah, dia bahagia, dia senang dan dia merasa gembira tak terlukiskan. Demikian pula dengan Kwik Tay lok, dia merasa amat bahagia, dia tahu perjuangan dan
pengorbanannya selama ini tidak sia-sia belaka, sebab dia berhasil menemukan gadis pujaannya bahkan berhasil mempersunting dianya menjadi istrinya. Kamar pengantin. Di dunia ini banyak terdapat kaum pemuda yang belum menikah mengkhayalkan malam pengantinnya, bagaimana suasana dalam kamar pengantin dan apa pula yang akan terjadi. Ada pula banyak kakek-kakek yang membayangkan kembali kenangan masa lalunya mengenang kembali dan kehangatan dan kemesraan yang dialaminya di dalam malam pengantin, malam yang penuh kebahagiaan itu. Khayalan dan kenangan memang selamanya indah menawan. Dalam kenyataan, suasana dalam kamar pengantin pada malam pertama setelah perkawinan tidaklah sehangat dan semesra apa yang seringkali dikhayalkan orang, suasanapun belum tentu selalu cerah dan indah seperti apa yang sering kali dilamunkan oleh kaum perjaka. Ada sementara orang yang sok pintar, seringkali suka mengibaratkan malam pengantin bagaikan sebuah kuburan, bahkan suara yang dari kamar pengantin ada kalanya dianggap bagaikan jeritan binatang yang hendak disembelih. Tentu saja kamar pengantin bukan kuburan, bukan pula tempat penjagalan binatang. Lalu, kamarnya macam apakah kamar pengantin itu? Biasanya kamar pengantin adalah sebuah kamar yang tidak terlalu hangat, di sana sini penuh dengan warna merah dan hijau, dimana-mana penuh berbau minyak, ditambah lagi bau arak yang ditinggalkan para tamu, bila dalam satu dua jam orang tidak mual bila berada dalam kamar terus, sudah pasti dia memiliki perut dan hidung yang sangat istimewa sekali... Tentu saja didalam kamar pengantin terdapat seorang lelaki dan seorang perempuan, kedua orang ini biasanya tidak begitu kenal, oleh karena itu tidak banyak pula yang mereka bicarakan. Oleh karena itu, meski suasana di luar sana hiruk pikuk dan ramai sekali, biasanya suasana didalam kamar pengantin amat sepi dan hening. Walaupun para tamu biasanya makan dan minum dengan sepuas-puasnya, kuatir kalau modalnya tidak kembali tapi pengantin lelaki dan pengantin perempuan biasanya justru merasa amat lapar. Sebenarnya malam pengantin adalah malam buat mereka berdua, tapi hari itu justru seakan-akan dilewatkan orang lain dengan penuh kebahagiaan. Kain merah yang menutupi wajah Yan Jit sudah dilepas, dia sedang menundukkan kepalanya duduk di tepi pembaringan sambil mengawasi sepatunya yang berwarna merah pula. Kwik Tay-lok jauh-jauh duduk dikursi dekat sebuah meja, agaknya dia sedang termangu-mangu. Yan Jit tak berani memandang ke arahnya, dan diapun tak berani memandang ke arah Yan Jit. Seandainya minum sedikit arak, mungkin suasana akan lebih santai, sayangnya justru pada hari ini tak ada arak yang dihidangkan. Seakan-akan asal pengantin lelaki minta arak untuk
minum, segera akan muncul "orang yang berbaik hati" untuk menghalanginya dan merebut kembali cawan araknya. Sebenarnya mereka adalah sahabat yang sangat akrab, dihari-hari biasa mereka selalu berbicara tiada hentinya. Tapi setelah menjadi sahabat karib, mereka seakan-akan sudah bukan sahabat lagi. Ternyata kedua orang itu merasakan hubungan mereka berdua berubah menjadi begitu jauh, begitu asing, dan rikuh. Oleh karena itu masing-masing pihak merasa agak jengah untuk mulai dengan suatu pembicaraan. Kwik Tay-lok sendiripun semula mengira dirinya masih bisa menghadapi suasana tersebut dengan baik, tapi setelah masuk ke dalam kamar pengantin, tiba-tiba saja dia menemukan dirinya seakan-akan berubah menjadi seorang manusia bodoh. Suasana semacam ini benar-benar terasa sangat tidak terbiasa olehnya.... Sebenarnya dia ingin berjalan ke depan sana, duduk disamping Yan Jit, tapi entah mengapa, sepasang kakinya justru terasa menjadi lemas, bahkan untuk berdiripun tak sanggup. Entah berapa lama Kwik Tay-lok hanya merasa tengkuknya sudah mulai menjadi kaku... Tiba tiba Yan Jit berbisik lirih: "Aku mau tidur!" Ternyata begitu menyatakan akan tidur, dia lantas pergi tidur bahkan satu katapun tak sempat dilepas lagi, ia segera menjatuhkan diri ke atas pembaringan, menarik selimut dan menutupi tubuhnya rapat-rapat. Dia tidur dengan muka menghadap ke dinding, badannya melengkung bagaikan seekor udang. Kwik Tay-lok menggigit bibirnya kencang-kencang, setelah mengawasi istrinya beberapa saat, tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya, ia berkata: "Hari ini, mengapa kau tidak suruh aku keluar dari kamarmu?" Yan Jit tidak menggubris, dia seperti sudah tidur nyenyak. Sambil tertawa kembali Kwik Tay-lok berkata: "Bukankah kau mempunyai kebiasaan tak bisa tidur bila ada orang lain berada dalam kamarmu?" Sebenarnya Yan Jit masih tak ingin menggubrisnya, tapi sekarang justru dia tak tahan, maka serunya: "Kurangilah perkataanmu, aku ingin tidur" Kwik Tay-lok kembali mengerdipkan matanya beberapa kali, kemudian sambil tertawa dia berkata lagi: "Masa kau masih bisa tidur walaupun aku berada di sini?"
"Kau.... kau bukan orang lain." bisik Yan Jit kemudian sambil menggigit bibirnya kencang-kencang. "Kalau bukan orang lain, lantas siapa?" Tiba-tiba Yan Jit tertawa cekikikan, "Kau adalah si setan berkepala besar!" Tiba-tiba Kwik Tay-lok menghela napas panjang, kembali katanya: "Heran, heran, kenapa kau bisa kawin dengan seorang setan kepala besar seperti aku?"
"Aku masih ingat, dahulu agaknya kau pernah bilang, sekalipun semua lelaki yang ada di dunia ini sudah pada mampuspun, kau tak akan kawin denganku." Tiba-tiba Yan Jit membalikkan badannya menyambar bantal, kemudian menimpuk ke arahnya
keras-keras. Wajahnya telah berubah menjadi merah padam seperti buah masak yang baru saja di petik. Bantal itu melayang balik kembali, tapi kali ini balik disertai dengan tubuh Kwik Tay lok. Dengan wajah memerah Yan Jit segera berseru:
"Kau... kau... mau apa kau?"
"Aku ingin menggigitmu!" Kain kelambu yang berwarna merah, entah sedari kapan telah diturunkan ke bawah. Bila ada orang bersikeras mengatakan kalau suasana dalam kamar pengantin bagaikan sebuah tempat penjagalan, maka tempat penjagalan tersebut sudah pasti tempat untuk menjagal nyamuk. Suara pembicaraan mereka berduapun sangat lirih seperti suara nyamuk.
Kwik Tay-lok seperti sedang berbisik lirih: "Heran, heran, sungguh mengherankan."
"Apanya yang mengherankan?"
"Mengapa tubuhmu sedikitpun tidak bau?"
"Plak....!" terdengar suara orang seperti memukul nyamuk, makin memukul semakin pelan, makin memukul semakin pelan....
Fajar sudah menyingsing.
Suasana di dalam pembaringan dibalik kelambu baru saja menjadi tenang, lewat setengah harian, kemudian terdengar suara Kwik Tay-lok sedang bertanya dengan pelan: "Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"
"Ehmm...." Suaranya lebih lirih dari suara burung walet, siapapun tak tahu jelas apa yang sedang ia katakan. "Sekarang aku teringat sudah banyak persoalan yang aneh, tapi yang paling kuinginkan adalah daging yang di masak sampai merah dan empuk" Yan Jit segera tertawa cekikikan. "Dapatkah kau mengatakan kalau kau sedang merindukan aku?" katanya. "Tidak dapat."
"Tidak dapat?"
"Ya, karena aku takut kau akan menelanku bulat-bulat." Setelah menghela napas panjang, gumamnya: "Isteri macam kau berhasil kudapatkan dengan tidak mudah, bila sampai tertelan bukankah sukar untuk mencari gantinya?"
"Kalau sudah tak ada, bukankah kau bisa pergi mencari seorang lagi?"
"Mencari siapa ?"
"Misalnya.... Swan Bwee-tong...."
"Tidak bisa." jawab Kwik Tay-lok pelan. "Dia terlalu kecut, lagi pula yang dia sukai adalah kau." Setelah tertawa, lanjutnya: "Sekarang aku baru tahu, hari itu kau tidak mau dengan dia, kenapa dia tidak menjadi marah. Waktu itu kau pasti memberitahukan kepadanya bahwa kaupun seperti dia, seorang perempuan."
"Bila aku seorang lelaki, aku pasti sudah mengawini dirinya.."
"Mengapa kau selalu tak mau memberitahukan kepadaku kalau kau adalah seorang perempuan?"
"Siapa suruh kau seorang yang buta? Orang lain saja dapat melihatnya, tapi justru hanya kau seorang yang tak pernah mengerti."
"Apakah rahasia ini yang hendak kau beritahukan kepadaku?"
"Ehmm...."
"Mengapa kau harus menunggu sampai aku hampir mau mati baru bersedia untuk memberitahukan kepadaku?"
"Karena... karena aku takut kau tidak maui aku...." Perkataannya itu belum habis diutarakan, mulutnya seakan-akan disumbat oleh sesuatu secara tiba-tiba. Lewat lama kemudian, Yan Jit baru berkata lagi dengan napas agak tersengal-sengal. "Kita kan sedang berbincang-bincang secara baik, kau tak boleh sembarangan berkutik"
"Baik, tidak berkutik ya tidak berkutik. Tapi mengapa kau takut aku tak maui dirimu? Apakah kau tidak tahu, sekalipun menggunakan semua perempuan yang ada di dunia ini untuk ditukar dengan kau seorang, akupun tak akan menukarnya."
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh."
"Andaikata ditukar dengan perempuan yang bernama Sui Loan-kim?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang: "Aaai.... dia memang seorang anak perempuan yang sangat baik, dan lagi patut di kasihani, cuma sayang hatiku sudah diisi oleh kau seorang, tak mungkin lagi bagiku untuk menerima kehadiran orang lain didalam hatiku" Yan Jit merintih lirih. Tiba-tiba suasana dibalik kelambu kembali menjadi hening, seakan-akan mulut kedua orang itu kembali tersumbat oleh sesuatu. Setelah lewat cukup lama, Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya lagi: "Aku tahu, kau sengaja berbuat demikian karena ingin mencoba diriku, kau ingin tahu apakah aku setia kepadamu atau tidak." Yan Jit menggigit bibirnya kencang-kencang, kemudian berkata: "Bila kau bersedia untuk tinggal di sana maka selama hidup jangan harap kau dapat berjumpa lagi dengan aku."
"Tapi, setelah aku sampai di sini, mengapa kau masih tidak membiarkan aku datang menjumpaimu?"
"Karena masih ada orang lain yang ingin mencoba pula dirimu, ingin mengetahui apakah kau cukup pintar, cukup bernyali, ingin mengetahui apakah hatimu cukup baik, pantaskah untuk menjadi menantunya ayahku."
"Oleh karena itu, kalian ingin melihat apakah aku cukup pintar untuk menemukan rahasia rumah ini, apakah aku cukup bernyali untuk mendatangi kuil Liong ong-bio tersebut"
"Sewaktu berada dalam kuil Liong-ong-bio, bila kau berani mempunyai pikiran jahat terhadap adik misanku itu, atau enggan menghantar dia pulang kemari, sekalipun kau berhasil menemukan tempat ini, juga takkan berjumpa denganku." Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya: "Untung saja aku selain pintar, juga bernyali dan orang baik-baik...." Yan Jit tertawa, selanya: "Kalau tidak begitu, mana mungkin kau bisa memperistri seorang nona sebaik aku?" Kembali Kwik Tay-lok menghela napas panjang. "Hingga sekarang aku baru menemukan bahwa kita sesungguhnya adalah sepasang sejoli yang paling cocok."
"Sekarang kau baru mengetahuinya?"
"Benar" jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa, "sebab sekarang aku baru menemukan kulit muka kita berdua tampaknya memang cukup tebal." Sekarang didalam kamar itu baru benar-benar terdapat kamar pengantin, bahkan jauh lebih indah, lebih mesra dan hangat dari apa yang di bayangkan semula. Mereka memang berhak untuk memperoleh kebahagiaan tersebut. Sebab perasaan Cinta mereka sudah memperoleh pelbagai percobaan yang berat, mereka bisa mendapatkan kebahagiaan seperti hari ini, boleh dibilang hal mana diperolehnya secara tidak mudah. Berlian pun harus diasah lebih dulu sebelum menjadi berkilat. Cinta dan persahabatan yang tidak pernah mengalami percobaan, ibaratnya bunga yang terbuat dari kertas, selain tidak segar dan tidak menyiarkan bau harum, selamanya juga tak akan memberikan buah. Buah sudah mulai matang di atas pohon, meski musim semi sudah lewat, namun musim panen sudah hampir tiba. Yan Jit duduk di bawah pohon, melepaskan topi dari kepalanya dan dipakai sebagai kipas, kemudian gumamnya: "Panas benar udara hari ini, Ong lotoa sudah pasti semakin malas untuk bergerak." Kwik Tay-lok mengalihkan sorot matanya ke tempat kejauhan, kemudian berguman pula: "Entah bagaimana dengan Siau-lim? Apa saja yang dilakukan?"
"Kau tak usah kuatir, mereka pasti tak akan kesepian, terutama dengan Siau-lim."
"Mengapa?" Yan Jit segera tertawa. "Apakah kau lupa dengan si nona kecil penjual bunga itu?" serunya cepat. Kwik Tay-lok turut tertawa, ia segera mendengar suara nyanyian merdu berkumandang diangkasa. "Nona kecil bangun pagi. Membawa keranjang bunga menuju ke pekan. Melewati jalan raya, menembusi lorong sempit. Bunga, bunga, dia berseru..... Tentu saja nyanyian itu bukan berasal dari si nona kecil penjual bunga, yang membawa nyanyian itu sekarang adalah Yan Jit. Sambil menggoyangkan topinya untuk menyejukkan badan, dia mengalunkan suaranya yang merdu, membuat para pejalan kaki sama-sama berpaling dan memandang ke arahnya dengan mata melotot besar. Sambil tertawa Kwik Tay-lok segera berseru: "Hei, jangan lupa pakaian apa yang sekarang kau kenakan?" Sekarang, dia menggunakan pakaian lelaki tapi suara nyanyiannya justru merdu merayu bagaikan burung nuri yang sedang berkicau. "Tak menjadi soal" jawab Yan Jit sambil tertawa, "sekalipun aku tidak menyanyi, orang lain juga dapat melihat kalau aku adalah seorang perempuan, sebab bila seorang perempuan ingin merayu seorang lelaki, hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu gampang".
"Bagaimana dengan kau dulu?"
"Dulu berbeda"
"Bagaimana bedanya?"
"Dulu aku lebih dekil.... dekil sekali, semua orang selalu beranggapan bahwa perempuan selalu lebih bersih daripada lelaki"
"Padahal?" Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya lalu sahutnya: "Padahal perempuan yang kenyataannya lebih bersih daripada orang lelaki..." Jalan ini adalah jalanan menuju ke perkampungan Hok-kui-san-ceng. Mereka sama sekali tidak melupakan teman-teman mereka, mereka pun ingin membagikan kebahagiaan mereka kepada teman-temannya. "Seandainya Ong lotoa dan Siau-lim tahu kalau kita.... kita sudah menikah menjadi suami istri, sudah pasti dia akan merasa gembira sekali, Entah Siau-lim akan merasa cemburu atau tidak?" Seusai mengucapkan perkataan itu, dia mulai lari sedang Yan Jit mengejar dari belakangnya. Mereka tidak menunggang kereta, juga tidak naik kuda, sepanjang perjalanan mereka, hanya tertawa, lari, saling mengejar dan bergurau bagaikan dua orang anak kecil saja. Kegembiraan memang membuat orang dapat membuat orang menjadi lebih awet muda dan segar selalu. Bila sudah lelah berlari, mereka duduk dia bawah pohon yang rindang dan membeli sebiji kueh untuk menangsal perut yang lapar. Sekalipun kueh keras itu tawar, dan tak enak, namun dalam mulut mereka akan terasa manis dan nikmat. Ternyata Kwik Tay-lok sudah beberapa hari tidak minum arak, kecuali sehari menjelang keberangkatan mereka, Lamkiong Co telah menyediakan perjamuan perpisahan untuk puteri menantunya, bukan saja dia sendiri minum setengah cawan, bahkan mengharuskan semua orang minum sampai puas, maka mereka semuapun mabuk hebat. Sambil tertawa Yan Jit berkata: "Walaupun sekarang ayahku sudah tak dapat minum arak lagi, akan tetapi dia paling suka melihat orang lain minum arak."
"Dahulu takaran minum araknya pasti lumayan sekali." kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Bukan cuma lumayan lagi, sepuluh orang Kwik Tay-lok belum tentu bisa melawan dia seorang."
"Haaaah."
"Apa artinya hah?"
"Hah, artinya bukan saja aku tidak puas lagi pula akupun tidak percaya dengan perkataanmu itu."
"Sayang saat ini dia sudah tua, lagi pula luka lamanya kambuh kembali, sudah banyak tahun dia hanya berbaring belaka tanpa bergerak, kalau tidak dia pasti akan melolohmu sampai kau bergulingan di atas tanah sambil muntah-muntah."
Menyinggung kembali soal penyakit yang diderita ayahnya, tanpa terasa rasa sedih dan murung menyelimuti kembali wajahnya.
Kwik Tay-lok juga menghela napas panjang, katanya: "Dia memang seorang manusia yang luar biasa, aku tidak menyangka kalau dia dapat mengijinkan kepada kita untuk pergi."
"Mengapa?"
"Sebab.... sebab dia benar-benar merasa terlampau kesepian, bila berganti orang lain, dia pasti akan menyuruh kita berdua untuk menemaninya."
"Tapi dia berbeda, dia selalu tak ingin menyaksikan orang lain menderita karena dia, bagaimanapun juga, dia lebih suka merasakan sendiri penderitaan dan siksaan tersebut daripada membiarkan orang lainpun ikut merasakan." Sepasang matanya memancarkan kembali cahaya berkilauan, jelas dia merasa bangga karena mempunyai seorang ayah seperti ini. Kwik Tay-lok menghela napas, katanya lagi: "Berbicara terus terang, aku sendiripun sama sekali tidak mengira kalau dia adalah seorang
manusia seperti ini?"
"Dulu kau mengira dia adalah seorang manusia macam apa?" Kwik Tay-lok agak sangsi, tapi ujarnya kemudian agak tergagap:
"Kau tahu, berita yang tersiar dalam dunia persilatan selalu melukiskan dia sebagai seorang manusia yang menakutkan."
"Dan sekarang?" Untuk kesekian kalinya Kwik Tay lok menghela napas panjang. "Aaai...! Sekarang aku baru tahu, berita-berita yang tersiar dalam dunia persilatan itulah baru benar-benar menakutkan. Ternyata dia sanggup untuk menahan derita selama banyak tahun, hanya cukup berbicara dari hal ini saja, orang lain sudah tak mungkin bisa menandinginya lagi..."
"Mungkin hal ini dikarenakan dia sudah tak sanggup untuk tidak bersabar dan menerima segala sesuatunya belaka," kata Yan Jit sedih. "Untung saja dia masih mempunyai teman, aku dapat menyaksikan kesetiaan serta persahabatan dari si Bungkuk sakti sekalian, mereka selalu berusaha untuk membuat gembira hatinya." Yan Jit termenung untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berkata: "Kau tahu, dulu mereka ingin berbuat bagaimana untuk menghadapinya?" Kwik Tay-lok menggeleng.
"Dahulu merekapun selalu berusaha untuk membunuhnya" kata Yan Jit, "tapi kemudian, setelah melangsungkan beberapa kali pertarungan sengit antara hidup dan mati, mereka baru menjumpai bahwa dia tidak seperti apa yang tersiar dalam dunia persilatan, akhirnya mereka dibuat terharu oleh perangainya yang gagah, itulah sebabnya dari musuh mereka menjadi bersahabat." Kemudian ia tertawa, tertawanya agak pedih, juga agak bangga, lanjutnya: "Demi dia, bahkan Kim Lo-han bersedia untuk menghianati Siau-lim-pay, bersedia menjadi seorang murid murtad yang tak mungkin bisa diampuni oleh perguruannya."
"Bahkan manusia justru memiliki perasaan hati yang agung, maka mereka berbeda dengan hewan."
"Perasaan semacam ini biasanya hanya akan muncul bila ada seseorang berada dalam kesulitan atau ancaman jiwa, hanya perasaan yang muncul dalam keadaan semacam inilah merupakan ungkapan perasaan yang sangat...." Apa yang mereka ucapan memang benar. Seseorang hanya bisa memperhatikan keagungan jiwanya bila berada dalam kesulitan atau ancaman jiwa. Lamkiong Cho memang berhasil mendapat uluran tangan persahabatan dari Sin Toucu sekalian, tapi beberapa besarkah pengorbanan yang dibayar untuk itu? Mungkin orang lain tak pernah akan membayangkan. Seandainya didalam keadaan yang kritis, ia rela berkorban demi menyelamatkan jiwa orang lain, dari mana orang lain bisa tahu kalau wataknya sangat agung? Darimana pula mereka dapat bersedia untuk mengorbankan segala-galanya? Dibalik kesemuanya ini tentu saja masih terdapat cerita lain yang penuh dengan suka duka serta keadaan-keadaan yang menyedihkan. Dan cerita inipun tak perlu disinggung kembali.
Senja sudah menjelang tiba.
Walaupun matahari telah tenggelam di langit barat, namun jalanan yang beralas batu masih terasa panas dan menyengat badan. Di bawah pohon yang rindang di depan sana, berdiri seorang perempuan kurus yang berpakaian kumal menggandeng seorang anak di tangan kiri dan menggendong anak yang lain dipunggungnya. Dia berdiri di situ dengan kepala tertunduk dan tangan sebelah dijulurkan ke muka, dia sedang meminta-minta kepada setiap orang yang melewati tempat itu. Kwik Tay-lok segera berjalan mendekat dan memberikan beberapa potong hancuran uang perak ke tangannya. Selama dia punya uang, tak pernah ia menyia-nyiakan setiap pengemis yang dijumpainya, sekalipun uangnya masih sisa berapa keping uang perak saja, pemuda itu selalu memberikan kepada orang lain tanpa mempertimbangkan lagi. Yan Jit sedang memandang ke arahnya, dibalik sorot matanya yang lembut terpancar perasaan kagum dan memuji. Jelas dia merasa bangga karena memiliki seorang suami yang besar sekali jiwa sosialnya. Perempuan pengemis itu segera berkemak-kemik mengucapkan kata-kata terima-kasih, baru saja ia akan masukkan uangnya ke saku, tanpa sengaja dia mengangkat kepalanya dan memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok.
Tiba-tiba paras mukanya yang pucat pias itu mengalami perubahan yang sangat hebat, berubah menjadi menakutkan sekali.
Sepasang matanya yang cerah dan sama sekali tak bersinar itu telah melotot keluar bagaikan mata ikan, seakan-akan ada sebilah pisau yang secara tiba-tiba dihujamkan ke ulu hatinya. Sebenarnya Kwik Tay lok sedang tersenyum, tapi lambat laun senyumannya itu membeku, wajahnya juga menunjukkan perasaan terkejut bercampur terkesiap, serunya tertahan. "Aaah, kau?"
Perempuan pengemis itu segera menutupi wajahnya dengan sepasang tangannya, lalu jeritnya keras-keras: "Kau pergi dari sini, aku tidak kenal denganmu." Dari perasaan kaget, wajah Kwik Tay-lok berubah menjadi iba dan penuh rasa kasihan,
setelah menghela napas panjang katanya: "Mengapa kau dapat berubah menjadi begini rupa?"
"Itu urusanku, dengan kau sama sekali tak ada sangkut pautnya." Walaupun perempuan itu berusaha untuk mengendalikan perasaan sendiri, toh sekujur tubuhnya gemetar juga bagaikan cahaya lilin yang terhembus angin kencang. Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengalihkan sorot matanya ke wajah dua orang bocah yang ingusan dan perkembangan badannya tidak baik itu, kemudian bertanya lagi dengan sedih: "Mereka adalah hasil hubunganmu dengannya? Dimana orangnya sekarang?" Sekujur badan perempuan itu gemetar keras, akhirnya dia tak kuasa menahan diri dan menangis tersedu-sedu, sambil menutupi wajahnya sambil terisak ia menjawab: "Dia telah membohongi aku, membohongi harta bendaku, kemudian kabur lagi dengan perempuan lain, yang dia tinggalkan kepadaku hanyalah dua orang bocah ini, mengapa nasibku begini buruk.... mengapa?" Tiada orang yang memberi jawaban kepadanya, sebab hanya dia sendiri yang mengetahui jawabannya. Penderitaan dan tragedi yang menimpa dirinya sekarang, bukankah merupakan akibat dari perbuatan yang dia lakukan sendiri? Kwik Tay-lok menghela napas panjang, dia sendiripun tak tahu apa yang mesti diutarakan. Pelan-pelan Yan Jit berjalan lagi ke depan, menghampirinya dan menggenggam tangannya, dia ingin memberi dukungan kepadanya, bahwa dalam menghadapi persoalan macam apapun, ia selalu berada di pihaknya dan dia tetap mempercayainya. Yaa, apa yang bisa diberikan oleh seorang perempuan kepada suaminya hanyalah dukungan moril, rasa percaya serta simpatiknya, sebab hanya hal-hal semacam itulah akan memberikan dukungan moril yang besar bagi si suami untuk menentukan langkah-langkah berikutnya. Kwik Tay-lok ragu sejenak, kemudian bertanya:
"Kau sudah tahu siapakah dia?" Yan Jit manggut-manggut. Terhadap lelaki yang dicintainya, kaum wanita seakan-akan memiliki indera ke enam yang amat tajam. Ia sudah mengetahui bahwa antara perempuan pengemis itu dengan suaminya pasti
mempunyai suatu hubungan yang luar biasa, apalagi setelah mendengar pembicaraan mereka, keraguannya seketika hilang lenyap tak berbekas. Sudah dapat dipastikan sekarang, perempuan ini tak lain adalah perempuan yang dahulu telah menipu Kwik Tay-lok dan meninggalkan dirinya dengan begitu saja itu. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, kembali ia berkata: "Aku benar-benar tidak menyangka akan berjumpa dengan kau di sini, lebih tak kuduga kalau dia akan berubah menjadi begini rupa."
"Kalau toh dia adalah temanmu sudah seharusnya kau membantunya dengan sepenuh tenaga" kata Yan Jit lembut. Mendadak perempuan itu berhenti menangis, mengangkat kepalanya dan melotot ke arahnya. "Siapakah kau?" tegurnya. Sorot mata Yan Jit masih tetap lembut dan tenang, sahutnya: "Aku adalah istrinya." Pelbagai perubahan segera berkecamuk di atas wajahnya, mendadak perempuan itu melotot ke arah Kwik Tay-lok dan berseru dengan nada tercengang: "Kau sudah menikah?"
"Benar" Perempuan itu memandang ke arahnya, kemudian memandang pula ke arah Yan Jit, tiba-tiba saja sorot matanya memancarkan semacam rasa cemburu dan dengki yang amat tebal. Mendadak ia mencengkeram baju Kwik Tay-lok, kemudian teriaknya keras-keras: "Bukankah kau berjanji akan mengawini aku? Mengapa kau kawin dengan orang lain?" Kwik Tay-lok sama sekali tidak bergerak, wajahnya pucat pias seperti kertas, dalam keadaan ini dia benar-benar tak tahu bagaimana harus menghadapinya. Yan Jit mengenggam tangannya kencang-kencang, lalu sambil mengawasi perempuan itu dia berkata:
"Engkaulah yang meninggalkan dia lebih dulu, bukan dia tidak maui dirimu, apa yang telah terjadi dimasa lalu, tentunya kau masih mengingatnya dengan jelas bukan?" Sorot mata perempuan itu memancarkan cahaya penuh kebencian, sama menyeringai seram katanya lagi: "Apa yang kuingat? Aku hanya ingat dia pernah memberi tahukan kepadaku, selama hidup dia hanya mencintaiku seorang, kecuali aku, dia tak akan mengawini perempuan lain" Kemudian sambil memperlihatkan wajah ingin menangis, dia berteriak semakin keras: "Tapi dia telah membohongi aku, membohongi aku perempuan yang bernasib malang coba, kalian berikan pertimbangan kepadaku." Banyak orang telah berkerumun, sebagian besar diantara mereka melotot ke arah Kwik Tay-lok dengan pandangan menghina dan penuh rasa muak dan benci. Paras muka Kwik Tay-lok yang memucat kini berubah lagi menjadi merah padam butiran keringat sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran dengan derasnya. Tapi paras muka Yan Jit masih tetap tenang seperti sedia kala, pelan-pelan dia berkata: "Dia sama sekali tidak membohongi dirimu, dia pun tak pernah membohongi dirimu, cuma sayang kau sudah bukan orang yang dahulu lagi, aku rasa kau pasti memahami perkataanku ini." Perempuan itu semakin menggila, sambil mencak-mencak seperti orang gila dia berteriak keras: "Aku tidak memahami apa-apa, aku tak ingin hidup.... sekalipun harus mati, aku akan mati bersama dengan lelaki yang berhati keji ini...." Seraya berkata dia lantas membenturkan kepalanya ke atas perut Kwik Tay-lok, kemudian sambil menjatuhkan diri ke tanah, dia berguling-guling ke atas tanah. Menghadapi perempuan yang pandai membulak-balikkan keadaan, cara apapun memang tak bisa dipergunakan lagi. Dalam keadaan begini, pada hakekatnya Kwik Tay-lok tidak tahu bagaimana harus bertindak,
dia hanya ingin kalau bisa menerobos ke dalam tanah dan menyembunyikan diri. Yan Jit tenang, setelah termenung sebentar, tiba-tiba dia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan seuntai kalung, kemudian sambil disodorkan ke hadapan perempuan itu, katanya: "Kau kenal, benda apakah ini?" Perempuan itu melototkan matanya besar-besar, setelah tertegun beberapa saat lamanya dia baru berteriak keras: "Tentu saja aku kenal, benda ini sebenarnya adalah milikku."
"Oleh karena itu sekarang kukembalikan kepadamu, aku hanya berharap kau mengerti untuk menyimpan rantai emas tersebut, dia rela dimaki, diejek dan dicemooh teman, bahkan ia rela menderita dan menyiksa diri, apa sebabnya ia sampai begitu, tentunya kau bisa membayangkan sendiri bukan...?" Ketika melihat rantai emas itu, sorot mata si perempuan yang semula kebencian, kini berubah menjadi malu dan menyesal. "Bagaimana juga, dia adalah manusia." Sebagai seorang manusia, sedikit banyak dia tentu mempunyai sifat kemanusiaan. "Dengan seuntai rantai emas tersebut, kau bisa memakainya sebagai modal untuk berdagang kecil-kecilan, baik-baiklah merawat anak anakmu," kata Yan Jit, "di kemudian hari kau masih-bisa bertemu dengan lelaki baik, asal kau tidak lagi menipu orang lain, orang lainpun tak akan menipu dirimu lagi." Sekujur badan perempuan itu mulai gemetar keras, membalikkan badannya memandang anak-anaknya. Anak-anak itu berdiri dengan wajah kaget bercampur ketakutan, bibirnya sudah ingin menangis, tapi saking takutnya untuk menangis pun mereka tak berani. Dengan suara lembut kembali Yan Jit berkata: "Jangan kau lupakan, dirimu sudah menjadi seorang ibu, sudah sepantasnya kalau
memikirkan tentang kebutuhan anak-anakmu, di kemudian hari merekapun akan tumbuh menjadi dewasa, kau seharusnya memberi kesempatan kepada mereka agar merasa bahwa mereka masih memiliki seorang ibu yang gagah dan patut dibanggakan." Sekujur badan perempuan itu gemetar semakin keras, mendadak ia mendekap di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu. "Thian.... oh, Thian, mengapa kau membiarkan aku bertemu lagi dengannya, mengapa?" Pertanyaan inipun tiada orang yang bisa membantunya untuk memberi jawaban, sebab hanya dia sendirilah yang mengetahui jawabannya. Benih macam apakah yang kau tanam, maka buah apa pula yang bakal kau petik. Bila kau menanam batu, maka selama hidup jangan berharap bisa tumbuh sekuntum bunga yang indah. Senja telah menjelang tiba. Matahari sore memancarkan sinar yang lembut dan hangat. Pelan-pelan Kwik Tay-lok berjalan menelusuri jalan raya, jelas perasaan maupun pikirannya sama-sama tercekam dalam suasana yang amat berat. Yan Jit tidak berbicara, diapun tidak mengusik dirinya. Ia tahu, bila seseorang membutuhkan suatu ketika untuk berada dalam ketenangan inilah saat yang harus dipahami oleh seorang perempuan sebagai istri yang tahu diri. Entah beberapa lama sudah lewat, Kwik Tay-lok baru berkata dengan suara yang dalam: "Kapan sih kau menebus kembali rantai emas tersebut? Mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku?"
"Sebab aku sama sekali tidak menebusnya keluar" jawab Yan Jit sambil tertawa. "Tidak kau tebus?"
"Yaa rantai emas yang kuberikan kepadanya tadi, sesungguhnya bukan rantai milikmu itu."
"Bukan?" Kwik Tay-lok semakin tertegun. Kembali Yan Jit tersenyum. "Yaa, rantai emas itu adalah pemberian dari enci Bwee Lan, sebagai hadiah perkawinan kita."
"Kalau memang begitu, mengapa kau keluarkan rantai emas itu, mengapa kau harus berbuat demikian?"
"Karena akupun seorang perempuan, bagaimanapun juga aku jauh lebih memahami watak perempuan daripada dirimu"
"Kalau begitu, setelah ia saksikan rantai emas tersebut, maka ia baru akan teringat akan kebaikan dulu kepadanya, maka ia baru bersedia melepaskan aku?"
"Rantai emas itu sepintas lalu memang mirip satu sama lainnya, bahkan kau sendiripun tak dapat membedakan, apalagi dia," sahut Yan Jit sambil tertawa lagi. Ia tertawa riang. Sebab rantai emas itu hanya merupakan suatu perlambang belaka, melambangkan kejadian yang sudah lampau. Sekarang, kalau toh mereka tak bisa membedakan lagi keaslian rantai emas tersebut, jelas semua perasaan cinta maupun benci yang pernah berlangsung dulu, kini turut dilupakan pula. Bagaimanapun besarnya jiwa seorang perempuan, dia pasti enggan membiarkan suaminya memikirkan kenangan masa lalunya. "Tapi ketika ia melihat diriku tadi, sudah seharusnya dia membayangkan bahwa dahulu...."
"Ia berbuat demikian kepadamu bukan lantaran kejadian dulu, melainkan karena dengki dan cemburu" tukas Yan Jit. "Dengki dan cemburu?"
"Bukan cemburu kepadamu, melainkan kepadaku, melihat kehidupannya yang sengsara kemudian melihat pula keadaan kita berdua sekarang, ia semakin menyesal terhadap apa yang telah dilakukan dimasa lalu" Setelah menghela napas panjang lanjutnya:
"Bila seorang sedang merasa menyesal, seringkali dia menaruh perasaan benci yang tak dipahaminya kepada orang lain, seakan-akan ia merasa kalau bisa setiap orang di dunia ini sama-sama merasakan penderitaan seperti apa yang dialaminya"
"Oleh karena itu diapun ingin merusak hubungan kita?" kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas. "Tapi setelah ia melihat rantai emas tersebut, mengapa pula secara tiba-tiba berubah pikiran?"
"Karena rantai emas itu berbeda dengan dirimu." Setelah tersenyum manis, ia melanjutkan: "Bukan saja rantai emas jauh lebih menarik daripada dirimu, lagi pula ia tahu kalau dirinya sudah pasti akan dapat memperolehnya kembali."
"Apakah hal ini dikarenakan rantai emas tersebut sudah berada di tangannya kembali?"
"Tepat sekali perkataanmu itu" Di dunia ini memang hanya perempuan baru bisa memahami perasaan seorang perempuan. Perempuan selalu hanya percaya dengan benda yang telah berada di tangannya, sekalipun dia tahu dengan jelas masih ada seratus untai rantai emas lagi yang bisa diambil, diapun tak akan menukar apa yang telah diperolehnya itu dengan benda yang lain. Selain itu, juga tiada berapa orang perempuan yang bersedia menghadiahkan rantai emas miliknya untuk kekasih dari bekas pujaan hatinya. Hanya perempuan paling cerdik saja yang akan berbuat demikian. Dia hanya mempergunakan seuntai rantai emas untuk mendapatkan rasa percaya dan terima kasih suaminya, serta kebahagiaan hidup bagi dirinya sendiri.
Jilid 31
KWIK TAY-LOK mengawasi istrinya lekat-lekat, tanpa terasa ia menggenggam tangan istrinya erat-erat dan berkata dengan suara lembut: "Terima-kasih banyak atas bantuanmu."
"Berterima kasih kepadaku?" Yan Jit mengerdipkan matanya dan tertawa. "Atau mungkin kau berterima kasih kepada rantai emasku itu?" Kwik Tay-lok menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tentunya kau tahu aku berterima-kasih kepada siapa"
Yan Jit memang mengetahui akan hal itu.. Tentu saja yang membuatnya berterima kasih, bukan rantai emasnya saja, melainkan
pengertian serta penyesuaiannya terhadap keadaan. Apa yang diberikan itu, sesungguhnya jauh lebih berharga daripada rantai emas ditambah dengan benda berharga lainnya sekali pun. Seorang isteri yang bisa memberikan pengertian dan penyesuaian terhadap suaminya, hal itu akan merupakan kebahagiaan serta kekayaan yang paling besar bagi seorang lelaki.
Dan hanya seorang lelaki yang paling bahagia hidupnya baru bisa mendapatkan keadaan seperti ini. Tapi benarkah dalam dunia yang begini luas ini benar-benar terdapat seorang yang bernasib begitu mujur? Benarkah di dunia ini terdapat lelaki yang benar-benar menemui kebahagiaan hidupnya? Mungkin saja ada, tapi paling tidak belum pernah kujumpai seseorang semacam ini. Tentu saja aku pernah melihat orang yang hidup bahagia, tapi kebahagiaan mereka berhasil diraih dengan kecerdasan, keuletan, keberanian serta tekad yang besar. Kebahagiaan ibaratnya sebiji kue, harus dicampur dengan rata, harus di panggang, harus dibumbui sebelum akhirnya menjadi hidangan yang amat lezat. Tak mungkin bukan, kueh itu secara tiba-tiba jatuh dari atas langit dengan begitu saja. Orang yang berbahagia ibaratnya seorang pengantin perempuan, entah kemanapun kau pergi, orang pasti akan memandangnya beberapa kejap. Entah bagaimanapun sederhana dan biasanya seseorang, bila menjadi seorang pengantin perempuan, secara tiba-tiba saja dia seperti berubah menjadi istimewa sekali. Ong Tiong, Lim Tay-peng dan Ang Niocu berdiri berjajar sambil mengawasi Yan Jit, dari kepala memandang sampai ke kaki, kemudian dari kaki memandang lagi sampai ke atas kepala. Paras muka Yan Jit telah berubah menjadi merah padam bagaikan kepiting rebus, tak tahan lagi dia menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Kalian toh bukannya tidak kenal dengan aku, mau apa mengawasi diriku terus-menerus?" tegurnya kemudian. "Sebab kau tampak tiga ratus enam puluh kali lipat lebih cantik daripada dulu." jawab Ang Nio-cu sambil tersenyum. Paras muka Yan Jit berubah semakin merah. "Tapi aku masih tetap aku, sedikitpun tiada perubahan apa-apa." katanya cepat. "Kau berubah" kata Ong Tiong pula. "Dimana letak perubahan itu?"
"Dulu kau adalah sahabat kami," kata Lim Tay-peng cepat. "tapi sekarang kau telah menjadi ensoku, dulu kau adalah Yan Jit, sekarang kau telah berubah menjadi nyonya Kwik. Bukankah perubahan ini cukup banyak?" Yan Jit menggigit bibirnya kencang-kencang, kemudian katanya: "Aku masih tetap Yan Jit seperti dulu, aku masih tetap merupakan sahabat kalian."
Ang Nio-cu segera tertawa cekikikan. "Tetapi Yan Jit yang sekarang ini paling tidak jauh lebih bersih daripada dulu." seru Ang Nio-cu sambil tertawa cekikikan. "Jawaban yang amat tepat," tak tahan Kwik Tay-lok ikut menimbrung. "sekarang, tiap hari dia mesti mandi." Baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, Ang Nio-cu sudah tertawa terpingkal-pingkal. Dengan gemas Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, lalu dengan wajah memerah serunya: "Hei, bisakah kau kurangi beberapa patah katamu? Toh tak ada orang yang menganggap dirimu sebagai seorang yang bisu!" Sambil tertawa terpingkal Ang Niocu segera menimbrung kembali: "Kalau bisa mengurangi kata-katanya, dia bukan Kwik Tay-lok namanya..." Kwik Tay-lok mendehem beberapa kali, kemudian sambil membusungkan dada katanya: "Padahal sekarangpun aku turut berubah, mengapa kalian tidak memperhatikan aku?" Dengan kening berkerut Ong Tiong berseru: "Bagian manamu sih yang berubah? Mengapa aku tak dapat melihatnya?"
"Masa aku tidak berubah menjadi lebih bagus dan menarik?" Ong Tiong memperhatikannya dari atas hingga ke bawah, kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku tidak dapat menemukannya perubahan itu."
"Paling tidak aku toh jauh lebih bersih dari pada dulu" seru Kwik Tay-lok cepat. Ang Nio-cu kembali tak dapat menahan rasa gelinya, dia tertawa terpingkal-pingkal. "Apakah sekarang, kaupun tiap hari mandi?"
"Tentu saja, aku....." Kali ini belum habis ucapan tersebut diutarakan, Ang Nio-cu sudah terbungkuk-bungkuk karena terpingkal kegelian. Buru-buru Yan Jit menukas, serunya dengan suara lantang: "Agaknya ditempat ini seperti kekurangan seseorang...!"
"Siapa ?" Lim Tay-peng cepat berseru. Sambil mengerdipkan matanya dan tertawa, Yan Jit menjawab: "Tentu saja si nona kecil yang pagi-pagi bangun, membawa bunga menuju ke pekan."
"Tentu saja orang itu tak akan ketinggalan" kata Ang Nio-cu sambil tertawa. "Tapi mana orangnya?"
"Lagi ke pekan, tapi kali ini tidak membawa keranjang berisi bunga, melainkan keranjang berisi sayur.... karena Lim toa-sau kita secara tiba-tiba ingin makan tahu masak sawi hijau yang segar." Tak tahan Yan Jit tertawa cekikikan, kemudian sambil menghela napas katanya: "Sungguh tak kusangka begitu muda usianya, namun ia sudah begitu pandai bermesrahan dan menyayangi kekasihnya." Kemudian setelah mengerlingkan sekejap ke arah Lim Tay-peng, katanya lebih lanjut: "Keadaan itu bagaikan orang yang memang ditakdirkan bernasib mujur saja, benar bukan?" Paras muka Lim Tay-peng turut berubah menjadi merah padam, tiba-tiba teriaknya keras-keras: "Bisakah kalian mengurangi, kata-kata semacam itu? Aku kan tak akan menganggap kalian sebagai orang bisu"
"Tidak bisa" sahut Kwik Tay lok, "kalau mereka bisa mengurangi beberapa patah kata saja, maka bukan perempuan namanya"
"Tepat sekali jawaban itu" sahut Ong Tiong.... Senja telah menyelimuti seluruh angkasa. Diantara hembusan angin yang sepoi-sepoi, lamat-lamat terdengar suara nyanyian merdu berkumandang datang dari kejauhan sana. "Nona kecil, bangun pagi.
Membawa keranjang bunga pergi ke pekan" Yan Jit dan Ang Nio-cu segera saling berpandangan sekejap, kemudian tak tahan katanya sambil tertawa: "Si nona kecil telah kembali dari pekan"
"Yaa, sudah pasti dalam keranjang bunganya berisi penuh dengan tahu dan sawi hijau", sambung Ang Nio-cu sambil tertawa.
"Bukan cuma tahu dan sawi hijau saja, masih ada pula arak" terdengar suara merdu lain menyambung sambil tertawa. Si nona kecil itu benar-benar telah kembali, ditangan kirinya membawa keranjang bambu, ditangan kanannya membawa sebuah guci arak, ia berdiri tegak di depan pintu rumah. Sekarang, dia seperti tidak merasa malu lagi seperti dulu, cuma paras mukanya masih dihiasi warna semu merah. "Arak! Arak!" Ong Tiong segera berseru. "Tentu saja arak kegirangan" jawab si nona cilik sambil tersenyum, "ketika berada di bawah bukit tadi, kusaksikan mereka berdua amat mesrah, maka aku pun tahu harus membeli arak kegirangan sebagai persiapan."
"Arak kegirangan siapa?" tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya, "arak kegirangan kami? Ataukah kalian?" Nona cilik itu segera mendesis lirih, kemudian dengan wajah merah padam dia lari masuk keruang belakang. Yan Jit dan Ang Nio-cu yang menyaksikan kejadian itu segera tertawa terpingkal-pingkal kegelian. Tiba-tiba Lim Tay-peng menghela napas panjang, gumamnya: "Aku benar-benar tidak habis mengerti, mengapa kalian selalu suka menggoda orang jujur?"
"Karena orang jujur makin lama semakin sedikit, kalau tidak menggoda sekarang, di kemudian hari pasti tak ada kesempatan lagi." Inilah kesimpulannya. Kalau perkawinan tanpa arak, ibaratnya dalam sayur tidak diberi garam. Tentu saja perkataan
ini hanya diucapkan oleh orang pintar, cuma sayang dia lupa melanjutkan kata-kata berikutnya. Bila dalam perut sudah ada arak, kepala bisa menjadi pusing. Keesokan harinya, ketika bangun tidur, Kwik Tay-lok merasakan kepalanya pusing tujuh
keliling. Tentu saja dia sudah bukan orang pertama yang bangun lebih dulu... belum lama berselang dia baru menemukan kalau tidurpun ada kalanya tidak bisa dianggap sebagai hal yang membuang-buang waktu. Ketika ia bangun tidur, Lim Tay-peng dan si nona kecil itu sudah berada dalam halaman entah apa saja yang dibicarakan. Tapi yang pasti, entah perkataan apapun yang mereka katakan, kedua orang itu tentu akan merasa tertarik dan gembira. Walaupun musim semi sudah lewat, bunga-bunga di musim panas pun sudah mulai mekar kembali. Mereka berdiri di depan kerumunan bunga, sang surya yang baru terbit memancarkan sinarnya menerangi wajah mereka yang bahagia dan gembira. Keadaan merekapun bagaikan matahari yang baru terbit, penuh dengan pancaran sinar kehidupan serta harapan. Memandang ke arah mereka berdua, Kwik Tay-lok merasakan kepalanya yang sedang pening seolah-olah telah membaik. Pelan-pelan Yan Jit berjalan ke sisinya bersandar di tubuhnya, tangan yang satu mempermainkan rambut sendiri, sementara tangan yang lain merangkul lengannya, pancaran sinar gembira dan kebahagiaan terpancar keluar dari balik matanya. Seluruh jagad serasa menjadi tenang dan penuh kedamaian, kehidupan seperti ini benar-benar pantas untuk diresapi. Lewat lama kemudian, Yan Jit baru berkata pelan: "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang memikirkan dua orang yang lain."
"Siapa? Ong Tiong dan ......" Kwik Tay-lok manggut-manggut dan menghela napas. "Aku sedang berpikir, entah sampai kapankah mereka baru dapat bermesrahan seperti itu", katanya. Yan Jit memperhatikan suaminya lekat-lekat, lama kemudian ia baru berkata dengan lembut: "Tahukah kau mengapa aku menyukai dirimu?" Kwik Tay-lok tidak berbicara, dia sedang menunggu dan mendengarkan dengan seksama. la suka mendengarkan perkataannya. Dengan lembut Yan Jit berkata: "Karena dikala kau sendiri sedang berbahagia, kau masih memikirkan pula kebahagiaan temanmu, karena kapan saja dan dimana saja, kau tak pernah bisa melupakan temanmu."
"Kau keliru," ucap Kwik Tay-lok sambil mengerdipkan matanya. "Ada kalanya akupun bisa melupakan mereka,"
"Kapan?"
"Kemarin malam....." bisik pemuda itu. Belum habis ucapan tersebut diutarakan, paras muka Yan Jit telah berubah menjadi merah padam, ia segera menyambar tangannya dan menggigit dengan gemas. Tiba-tiba terdengar Lim Tay-pang berseru sambil tertawa: "Sungguh tak kusangka Kwik toa-so kita pandai pula menggigit orang...?" Entah sejak kapan mereka berdua telah membalikkan badannya dan sedang memandang kearah mereka berdua sambil tersenyum. Kwik Tay-lok turut tertawa, katanya:
"Kalau soal ini kau takkan memahami, lelaki yang belum pernah digigit perempuan, pada hakekatnya tak bisa dianggap sebagai seorang lelaki sungguhan."
"Waah.... teori dari negara mana itu?"
"Negaraku sendiri, tapi siapa tahu kalau dengan cepat kaupun akan tiba pula di situ?" Selembar wajah si nona kecil itu segera berubah menjadi merah padam, katanya sambil menundukkan kepala: "Aku akan pergi menyiapkan sarapan...."
"Yaa, kalau menyiapkan sarapan, harap yang banyakan sedikit, dengan begitu mulut kami baru bisa tersumbat." seru Kwik Tay-lok sambil tertawa terbahak-bahak. Sekarang adalah waktunya untuk sarapan. Di bawah langit nan biru, tampak asap putih membubung tinggi ke angkasa... Sambil mendongakkan kepalanya Kwik Tay-lok bergumam: "Heran, mengapa tempat ini secara tiba-tiba menjadi ramai sekali? Apakah ada banyak penduduk yang pindah ke sekitar tempat ini"
"Tidak ada." jawab Lim Tay peng. Kwik Tay-lok memandang lagi ke arah asap putih yang membumbung tinggi di atas puncak
bukit itu, kemudian katanya lagi: "Jika tak ada penduduk, dari mana datangnya asap putih?" Lim Tay-peng berpaling dan memandang sekejap, kemudian wajahnya diliputi pula oleh perasaan kaget bercampur keheranan. "Jika ada penduduk di situ, sudah pasti kemarin malam sudah pindah kesana....."
"Kemarin belum ada?" Lim Tay-peng mengamati tempat berasalnya asap putih itu, kemudian sahutnya: "Kemarin sore aku masih berjalan-jalan disekitar tempat itu, sebuah rumahpun tidak ada.." Yan Jit termenung pula beberapa saat lamanya, kemudian katanya: "Sekalipun kemarin malam ada orang pindah kesana, toh tidak mungkin secara tiba-tiba ada begitu banyak orang yang pindah kesana."
"Yaa, apa lagi di sekitar tempat ini memang tiada tempat untuk ditinggali orang."
"Tapi aku rasa di alam terbukapun orang bisa memasang api."
"Tapi mengapa secara tiba-tiba ada begitu banyak orang yang datang ke situ untuk membuat api? Apakah mereka sudah iseng dan tak ada pekerjaan lagi?" Terdengar seseorang berkata dengan perlahan: "Kalau kalian hanya menduga saja dari sini, sampai tahun depanpun tak akan ada hasil yang bisa diperoleh, mengapa kalian tidak pergi sendiri kesana dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi?" Ong Tiong berjalan keluar dari balik pintu dengan langkah lebar, wajahnya masih tidak
menunjukkan perubahan apa-apa. Kwik Tay-lok yang pertama-tama menyongsong kedatangannya, dengan cepat ia bertanya: "Kau sudah keluar dan memeriksa sendiri"
"Ehmm."
"Darimana datangnya asap itu?"
"Dari api."
"Siapa yang melepaskan api?"
"Manusia!"
"Manusia macam apa?"
"Manusia yang mempunyai sepasang kaki" Kwik Tay-Iok segera menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Tampaknya bila aku bertanya terus dengan cara begini, sampai tahun depanpun tak akan menghasilkan apa-apa, lebih baik aku pergi melakukan pemeriksaan sendiri."
"Haa, kau memang seharusnya pergi melihat-lihat sendiri.." Bagian belakang dari perkampungan Hok-kui-san-ceng adalah sebuah tanah perbukitan, pada hakekatnya tiada jalan tembus, tapi di atas bukit dibagian depan, hanya dalam waktu semalam
suntuk saja telah didirikan delapan buah tenda besar. Bentuk tenda-tenda itu istimewa sekali, ada beberapa bagian mirip dengan tenda orang Mongolia sewaktu mengembala ternak, tapi mirip pula tenda-tenda dari pasukan tentara. Di depan tiap tenda terdapat seonggokan api unggun. Di atas api tampak seekor kambing gemuk yang sedang di panggang, sebagai alat sunduknya adalah sebatang besi yang dapat diputar pelan-pelan. Seorang lelaki bertelanjang dada sedang memoleskan bumbu yang telah tersedia di atas badan kambing itu, gerak-geriknya amat lembut tapi seksama, seolah-olah seorang ibu sedang
memandikan bayinya. Bau harum yang tersiar dari daging panggang itu pada hakekatnya jauh lebih harum daripada harumnya bunga. Di atas meja sarapan juga tersedia daging kambing. Baru saja mereka berkeliling ditempat luaran, sekarang seharusnya merasa amat lapar. Tapi kecuali Kwik Tay-lok, orang lain seakan-akan tidak mempunyai napsu lagi untuk bersantap. Dalam hati mereka semua mengetahui dengan jelas, tentu saja tenda-tenda itu bukan tak mungkin didirikan tanpa alasan. Kalau dilihat dari kemampuan orang-orang itu untuk mendirikan delapan buah tenda sebesar itu dalam semalam saja, dapat ditarik kesimpulan kalau di dunia ini tiada persoalan yang tak mungkin bisa mereka kerjakan. Akhirnya Yan Jit menghela napas panjang, katanya: "Aaai.... tampaknya lagi-lagi ada kesulitan yang datang!"
"Yaa, bahkan kesulitan yang datang kali ini cukup besar" sambung Ang Nio-cu dengan wajah murung. "Entah siapa yang membawa datangnya kesulitan kali ini?"
"Yang pasti bukan aku" Kwik Tay-lok segera menjawab. "Sebab aku tak berani mendatangkan kesulitan sebesar ini" Setelah berhenti sebentar, katanya lebih jauh sambil tertawa: "Aku selalu hanya mencari kesulitan-kesulitan yang kecil saja, kesulitan besar tak pernah ada"
"Darimana kau bisa tahu kalau kesulitan yang datang kali ini besar atau kecil?" seru Yan Jit. "Bila bukan disebabkan suatu persoalan yang sangat besar, siapa yang kesudian mendirikan
delapan buah tenda besar di depan pintu rumah orang...."
"Tapi hingga saat ini, kita belum melihat datangnya kesulitan apa-apa!"
"Kau tak dapat melihatnya?"
"Orang lain toh hanya mendirikan beberapa buah tenda saja di tanah kosong depan rumah kita, yang di panggang pun daging kambing mereka sendiri, selama tidak mengusik kita, apakah hal ini dinamakan suatu kesulitan buat kita?"
"Jadi kau anggap tak akan ada kesulitan apa-apa?"
"Ehmmm!" Yan Jit mengangguk. "Tadi, siapa yang mengatakan kalau ada kesulitan yang datang?"
"Aku?"
"Mengapa pula secara tiba-tiba kau merubah jalan pemikiranmu itu?" Yan Jit segera tersenyum. "Sebab tempat ini amat menyesakkan napas, aku ingin mengajak kau untuk bergurau saja."
"Jika aku mengatakan tak akan ada kesulitan?"
"Akupun mengatakan ada." Kwik Tay-lok menghela napas panjang, setelah tertawa getir katanya: "Agaknya sekalipun aku tak ingin berbeda pendapat denganmu pun tak mungkin bisa."
"Tepat sekali jawabanmu itu" Yan Jit tertawa. Bila seorang perempuan ingin mengganggu suaminya, maka dalam setiap detik dia akan menemukan delapan ribu kali kesempatan yang baik. Tapi mengganggupun ada kalanya bukan suatu perbuatan yang salah, paling tidak bisa mengendorkan ketegangan syaraf orang lain. Oleh karena itu, ucapan mereka tadi segera menimbulkan gelak tertawa orang lain. "Benar" kata Ang Nio-cu kemudian sambil tertawa, "bagaimanapun juga, paling tidak orang toh belum datang mencari kita, sekarang buat apa kita mesti menyusahkan diri sendiri?" Sayang sekali, sekarang mereka tak usah pergi mencari lagi, karena kesulitan sudah memasuki pintu gerbang rumah mereka. Tampak seseorang pelan-pelan berjalan masuk ke dalam rumah. Orang itu berperawakan tinggi, lagi kurus, pakaian yang dikenakan adalah sebuah jubah panjang yang berwarna istimewa sekali, yakni berwarna hijau pucat. Paras mukanya sesuram pakaian yang di kenakan olehnya, sorot matanya redup seperti tak bersinar, lebih mirip dengan sepasang lubang hitam yang tak nampak dasarnya, bahkan mana biji matanya dan mata bola matanya sukar dibedakan, ternyata dia adalah seorang buta. Namun langkah kakinya enteng sekali, seakan-akan di atas kakinya tumbuh sepasang mata, tak mungkin dia akan terpeleset atau terbentur batu, dia pun tak akan terjatuh ke dalam selokan. Sambil bergendong tangan pelan-pelan dia berjalan masuk ke dalam, walaupun wajahnya suram dan menyeramkan, namun sikapnya amat ringan dan santai. Kwik Tay-lok yang pertama-tama tak kuasa menahan diri, segera tegurnya dengan lantang: "Apakah kalian datang mencari orang? Siapa yang dicari?" Orang berbaju hijau itu seakan-akan tidak mendengar sama sekali suara teguran tersebut. Dengan kening berkerut Kwik Tay-lok segera berkata lagi: "Waaah.... jangan-jangan selain buta, orang inipun seorang yang tuli?" Di ujung dinding pekarangan sana adalah kebun bunga, aneka bunga sedang mekar dengan indahnya. Orang berbaju hijau itu berjalan memasuki kebun bunga itu, kemudian berjalan kembali lagi, setelah itu dia menarik napas dalam-dalam. Walaupun dia tak dapat menikmati keindahan bunga dengan menggunakan sepasang matanya, namun dia masih dapat mempergunakan hidungnya untuk mengendus bau harumnya bunga. Mungkin dia dapat meresapi keindahan di sana, sebaliknya orang yang punya mata justru tak dapat meresapinya. Dengan menelusuri jalan kecil di kebun bunga itu, dia berjalan bolak balik dua kali, tak sepatah katapun yang diucapkan, kemudian pelan-pelan berjalan keluar lagi dari situ. Sambil menghembuskan napas lega Kwik Tay-lok lantas berkata: "Tampaknya orang itu sama sekali tidak bermaksud untuk mencari gara-gara dengan kita, dia tak lebih hanya datang kemari untuk mengendus bau harumnya bunga."
"Darimana dia bisa tahu kalau di sini ada bunga?" tanya Yan Jit kemudian dengan cepat. "Tentu saja hidungnya jauh lebih tajam dari pada hidung kita."
"Tapi, dia datang dari mana?" Kwik Tay-lok segera tertawa. "Aku toh tidak kenal dia, darimana aku bisa tahu?" sahutnya.
"Aku tahu!" tiba-tiba Ong Tiong menyela. "Kau tahu?" Kembali Ong Tiong manggut-manggut. "Menurut pendapatmu dia datang dari mana?"
"Dari dalam tenda"
"Darimana kau bisa tahu?" Paras muka Ong Tiong sepertinya berubah menjadi berat dan serius, pelan-pelan sahutnya: "Karena orang lain kini tak mungkin bisa sampai ditempat ini lagi, sedangkan kita pun tak mungkin bisa pergi ke tempat lain"
"Mengapa?"
"Sebab semua jalan tembus yang berada di sini telah ditutup mati oleh ke delapan buah tenda tersebut" Paras muka Kwik Tay-lok agak berubah, serunya kemudian: "Maksudmu tujuan mereka mendirikan ke delapan buah tenda tersebut di luar adalah tidak membiarkan orang lain mendatangi tempat ini, dan tidak membiarkan orang-orang yang berada di sini keluar?" Ong Tiong tidak berbicara lagi, sepasang matanya mengawasi kebun bunga di luar dengan mata tak berkedip, paras mukanya berubah makin berat dan serius. Tak tahan Kwik Tay-lok juga ikut berpaling dan memandang sekejap ke arah kebun, mendadak
paras mukanya turut berubah hebat. Bunga yang sebenarnya sedang mekar dengan indahnya itu, dalam waktu singkat telah
berubah menjadi layu semua. Putik bunga yang berwarna merah kini berubah menjadi hitam pekat, ketika angin berhembus
lewat, putik itu satu demi satu berguguran ke atas tanah. "Hei, apa yang terjadi?" Kwik Tay-lok menjerit tertahan. "Apakah orang tadi telah melepaskan racun?"
"Hmm!" Ong Tiong hanya mendengus. "Masa orang ini adalah seekor ular beracun, asal tempat yang telah dilalui olehnya, maka bunga dan rumput akan menjadi layu?"
"Mungkin dibandingkan dengan ular beracunpun dia lebih beracun lagi...."
"Betul !" kata Yan Jit. "Sebenarnya aku mengira si ular merah yang tanpa lubangpun bisa menerobos masuk sudah merupakan tokoh paling lihay didalam mempergunakan racun, tapi kalau dibandingkan dengan orang ini, agaknya dia masih selisih banyak sekali."
"Selisih berapa banyak?" tanya Kwik Tay-lok. Pertanyaan itu bukan ditujukan kepada Yan Jit, melainkan kepada Ang Nio-cu.
Dengan cepat Ang Nio cu menghela napas panjang, ujarnya: "Bila si ular merah ingin melepaskan racun dia masih membutuhkan bantuan benda lain, racun itu mesti dicampurkan ke dalam air, arak atau makanan, mungkin juga di atas senjata tajam atau
senjata rahasia, sebaliknya orang ini bisa melepaskan racun tanpa berwujud, seakan-akan melalui pernapasanpun dia sanggup untuk meracuni orang sampai mati....." Kwik Tay-lok tidak bertanya lagi. Kalau Ang Nio-cu pun mengatakan kalau cara orang ini melepaskan racun jauh lebih hebat dari si ular merah, hal ini berarti persoalan tersebut tak bisa diragukan lagi. Persoalannya sekarang adalah siapakah orang ini? Mengapa dia datang ke situ untuk meracuni bunga mereka? Pertanyaan pertama belum sempat terjawab, pertanyaan kedua telah muncul kembali. Dari luar pintu kembali nampak ada seseorang berjalan masuk ke dalam halaman. Orang itu pendek dan gemuk, dia mengenakan pakaian berwarna merah menyala, mukanya yang bulat bercahaya merah, seperti juga warna merah pakaian yang dipakainya. Diapun sedang bergendong tangan sambil berjalan mondar mandir kesana kemari, kalau dilihat gerak-geriknya, ia nampak amat santai. Kali ini tak ada orang yang bertanya lagi apa maksud kedatangannya, tapi semua orang membelalakkan matanya lebar-lebar dan mengawasinya tanpa berkedip. Bagaimanapun juga semua bunga yang berada didalam halaman telah mati diracuni, mereka ingin tahu, permainan apa lagi yang hendak dilakukan oleh orang ini. Orang berbaju merah itupun seakan-akan tak pernah melihat ke arah mereka, dia berjalan
mengitari halaman itu satu lingkaran, kemudian berlalu pula dari sana, bukan saja tak mengucapkan sepatah katapun, melakukan permainan apapun tidak pula dilakukan. Tapi di atas tanah telah bertambah dengan bekas telapak kaki sebanyak satu lingkaran, setiap bekas telapak kaki itu tertera dalam-dalam di atas tanah, seakan-akan diukir dengan pisau. Sambil menghela napas Kwik Tay-lok berpaling dan memandang sekejap ke arah Yan Jit, kemudian tanyanya: "Aku lebih suka diinjak-injak oleh gajah daripada diinjak satu kali oleh orang ini, bagaimana dengan kau?"
"Kalau aku kedua-duanya tak mau." Tak tahan Kwik Tay-lok segera tertawa. "Tampaknya kau memang jauh lebih cerdik daripada aku." serunya. Dia tertawa tidak terlalu lama, karena pada saat itulah dari luar pintu kembali muncul seseorang. Yang datang kali ini adalah seorang manusia berbaju putih, seluruh badannya mengenakan pakaian berwarna putih salju, paras mukanya juga dingin bagaikan salju. Kalau orang lain selalu berjalan masuk dengan langkah yang pelan, berbeda dengan orang ini. Tubuhnya enteng bagaikan hembusan angin, ketika segulung angin berhembus lewat, tahu-tahu orangnya sudah muncul didalam halaman. Pada saat itulah, mendadak dari luar pintu berkelebat lewat serentetan cahaya pedang berwarna hijau, begitu membubung ke angkasa dan menyambar ranting pohon, tahu-tahu cahaya tadi lenyap kembali tak berbekas. Seketika itu juga, semua dedaunan yang berada di atas pohon jatuh berguguran bagaikan bunga salju. Orang berbaju putih itu mendongakkan kepalanya memandang sekejap ke angkasa, kemudian ujung bajunya digetarkan dan menggape ke arah atas. Daun yang berguguran memenuhi angkasa itu seketika lenyap tak berbekas. Berbareng itu juga, orangnya juga turut lenyap tak berbekas, seakan-akan terbawa oleh hembusan angin saja. Pada saat itulah dari luar pintu kembali terdengar seseorang berseru dengan suara dalam: "Ong Tiong, Ong-cengcu apakah berada di sini?" Di bawah pohon Pek-yang lebih kurang dua kaki di depan sana, berdiri seorang kakek berambut putih yang memakai baju coklat, di tangannya menggenggam sebuah kartu undangan besar dan sedang mengawasi mereka dengan sorot mata tajam. Mereka berenam berdiri berjajar di depan pintu, seakan-akan secara khusus berjalan keluar agar terlihat lawan. Sorot mata kakek berbaju coklat itu perlahan-lahan bergerak memandangi wajah mereka satu persatu, kemudian baru ujarnya dengan suara dalam: "Siapakah yang bernama Ong cengcu?"
"Aku!" sahut Ong Tiong. "Di sini ada selembar surat undangan yang khusus mengundang Ong-cengcu..."
"Ada orang mengundangku untuk bersantap?"
"Benar!"
"Kapan?"
"Malam ini!"
"Dimana?"
"Di sini!"
"Ooo, itu mah tak usah repot-repot."
"Benar, memang tak usah repot-repot, asal Ong cengcu keluar pintu maka akan tiba di tempat tujuan."
"Siapakah tuan rumahnya?"
"Malam nanti tuan rumah pasti akan menantikan kedatanganmu, sampai waktunya Ong cengcu akan mengetahuinya sendiri."
"Kalau memang begitu, buat apa secara khusus mengirimkan kartu undangan ini?"
"Tata krama tak boleh dilupakan, undangan toh masih penting artinya, maka silahkan Ong cengcu untuk menerimanya." Dia lantas mengangkat tangannya, kartu undangan yang berada di tangannyapun pelan-pelan melayang ke hadapan Ong Tiong, kartu itu melayang dengan mantap dan pelan, seolah-olah dibawahnya ada tangan tak berwujud yang menyunggingnya. Kembali Ong Tiong tertawa, katanya hambar: "Oooh.... rupanya secara khusus kau datang mengirimkan kartu undangan ini dengan tujuan
untuk memamerkan ilmu khikang yang sangat hebat ini...?"
"Ong cengcu jangan mentertawakan" kata si kakek berbaju coklat itu dengan suara dingin. Ong Tiong juga menarik wajahnya sambil berseru: "Barusan masih ada beberapa orang lagi, juga telah mendemontrasikan ilmu silat yang bagus sekali, apakah kau kenal dengan mereka?"
"Kenal"
"Siapakah mereka?"
"Mengapa Ong cengcu mesti bertanya kepada siapa?"
"Bukan bertanya kepadamu, lantas harus bertanya kepada siapa?" Tiba-tiba kakek berbaju coklat itupun tertawa, sorot matanya seperti sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah Lim Tay-peng. Kwik Tay-lok sendiripun tanpa terasa memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, sekarang dia baru menjumpai kalau, paras muka Lim Tay-peng pucat pias seperti mayat, keadaannya tak jauh berbeda seperti keadaan Ong Tiong ketika menyaksikan layang-layang tempo hari. "Mungkin orang-orang itu sengaja datang untuk mencari Lim Tay-peng....?" Kakek berbaju coklat itu telah pergi. Ketika dia pergi, Ong Tiong tidak menghalangi, juga tidak bertanya lagi. Setiap orang dapat melihat sekarang, kedatangan orang-orang tak dikenal pada hari ini jelas ada hubungannya dengan Lim Tay-peng. Tapi tiada orang yang bertanya kepadanya, bahkan semua orang berusaha untuk menghindarkan diri untuk menyulitkan dirinya... Bahkan Kwik Tay-lok sengaja bertanya kepada Ong Tong: "Kau bilang kepandaian yang didemonstrasikan olehnya tadi adalah ilmu Khikang, ilmu macam apakah itu?"
"Khikang yaa Khikang, Khikang hanya ada semacam?"
"Hanya ada semacam."
"Mengapa hanya ada semacam?"
"Karena Li- ji-ang sudah merupakan arak paling baik, lagi kalau setiap macam barang hanya ada semacam saja."
"Kalau toh kau sudah memahami teori ini, mengapa masih bertanya lagi kepadaku?" Kwik Tay-lok memutar biji matanya, kemudian menjawab: "Menurut pendapatku, yang paling menakutkan masih terhitung serangan pedang tadi, pada hakekatnya kemampuannya mirip dengan cerita dongeng yang mengatakan bahwa dengan pedang terbang bisa memotong kepala orang yang berada di suatu tempat sejauh seribu li."
"Aaah, masih selisih jauh sekali!"
"Kau pernah melihat ilmu pedang terbang?"
"Belum pernah."
"Lantas darimana kau bisa tahu kalau selisihnya banyak sekali?"
"Pokoknya aku tahu." Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, ujarnya sambil tertawa getir. "Mengapa secara tiba-tiba kau berubah menjadi orang yang tak pakai aturan?"
"Kapan kau pernah menyaksikan aku memakai aturan?"
"Jarang sekali" Tentu saja apa yang mereka bicarakan hanya kata-kata kosong yang sama sekali tak ada gunanya, sebab tujuan dari pembicaraan tersebut tak lain hanyalah ingin membuat pikiran Lim Tay-peng lebih santai dan ringan. Namun wajah Lim Tay-peng masih tetap pucat pias seperti mayat, bahkan sepasang tangannya digenggam menjadi satu dengan wajah tegang, seorang diri ia berjalan berputar-putar didalam halaman, mendadak ia berhenti lalu teriaknya keras-keras: "Aku mengetahui siapa mereka." Tiada orang yang memberi komentar, tapi setiap orang mendengarkan dengan seksama. Lim Tay-peng memandang sekejap ke arah bekas telapak kaki di atas tanah, kemudian berkata: "Orang ini bernama Jiang Liong, dia adalah seorang manusia paling hebat ilmu gwakangnya diantara delapan naga dari luar angkasa"
"Delapan naga dari luar angkasa!" Ong Tiong mengerutkan kening. "Apakah tiga orang yang menampakkan diri tadi adalah orang-orang dari Thian-gwa-pat-liong (delapan naga dari angkasa)?"
"Betul."
"Apakah kau maksudkan Thian-liong-pat-ciang (delapan panglima naga langit) di bawah pimpinan Lok-sang-liong-ong (raja naga dari daratan)?"
"Thian-gwa-pat-liong hanya ada sejenis."
"Dari mana kau bisa tahu?" Ong Tiong memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok, kedua orang itu segera tertawa tergelak. "Inilah yang dinamakan satu pukulan dibalas dengan satu pukulan, bahkan cepat benar datangnya pembalasan ini." seru Kwik Tay-lok. Sebaliknya dari balik mata Lim Tay-peng memancarkan sinar kepedihan, ia menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian berjalan bolak-balik lagi beberapa saat, mendadak ia berhenti lalu berteriak dengan suara yang amat keras: "Merekapun tahu siapakah aku!"
"Kalau soal itu mah tak usah mereka memberitahukan lagi kepadaku, aku juga tahu." seru Kwik Tay-lok sambil tak tahan tertawa lagi. Lim Tay-peng menatapnya lekat-lekat, sorot matanya seperti nampak aneh sekali, serunya cepat: "Kau benar-benar tahu?"
"Tentu saja"
"Siapakah aku?" Sebenarnya pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan yang sederhana sekali, tetapi Kwik Tay-lok justru dibikin tertegun sampai tak mampu menjawab. Tiba-tiba Lim Tay-peng menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan penderitaan yang lebih hebat, pelan-pelan katanya: "Tiada orang yang mengetahui siapakah aku, bahkan aku sendiripun tak ingin tahu."
"Mengapa?" tak tahan Kwik Tay-lok bertanya: Lim Tay-peng memandang tangan sendiri yang menggenggam kencang itu, kemudian
jawabnya: "Karena aku adalah putra kandung dari Lok-sang-liong-ong si raja naga di atas daratan tersebut." Begitu ucapan tersebut diutarakan, bahkan Ong Tiong pun ikut memperlihatkan rasa kaget dan tercengang yang luar biasa. Kwik Tay-lok ikut tertegun, rasa kagetnya bagaikan ketika ia mendengar Yan Jit adalah puteri dari Lamkiong Cho. Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu katanya: "Ayahmu menjagoi seluruh kolong langit, pengaruhnya meluas sampai dimana-mana, siapakah orang persilatan yang tidak menaruh hormat kepadanya....?"
"Aku!" tukas Lim Tay-peng secara tiba-tiba dengan suara keras bagaikan geledek. "Kau?" Ang Nio-cu tertegun. Lim Tay-peng menggigit bibirnya kencang-kencang, katanya lebih lanjut: "Aku hanya berharap tidak mempunyai seorang ayah semacam dia!"
"Sekalipun kau merasa tidak puas dengan ikatan perkawinan yang dilakukan olehnya, tidak seharusnya...."
"Bukan dia yang meminangkan bagiku." tukas Lim Tay-peng dengan secara tiba-tiba. "Bukan?" Kwik Tay-lok tertegun... Sepasang mata Lim Tay-peng berkaca-kaca, dengan kepala tertunduk ujarnya pelan. "Ketika aku berusia lima tahun, ia telah meninggalkan kami, sejak itu aku tak pernah bersua lagi dengannya."
"Jadi kau... kau selalu mengikuti ibumu?" Lim Tay-peng mengangguk, air matanya telah jatuh berlinang membasahi pipinya.
Kwik Tay-lok tak bisa bertanya lagi, diapun tak perlu untuk bertanya lagi. Ia memandang sekejap ke arah Yan Jit, kedua orang itu merasa segala sesuatunya menjadi jelas, lelaki seperti Lok-sang-liong-ong memang bukan suatu kejadian yang aneh bila ia sampai meninggalkan seorang perempuan. Tapi jika perempuan yang ditinggalkan adalah ibunya sendiri, sedikit banyak yang menjadi anaknya akan timbul pula suatu perasaan yang tak sedap. Setiap orang merasa simpatik terhadap Lim Tay-peng, namun perasaan tersebut tak berani diungkapkan keluar, rasa simpatik dan kasihan ada kalanya hanya akan melukai perasaan saja. Sekarang, satu-satunya orang yang dapat menghibur Lim Tay-peng hanyalah si nona kecil itu. Semua orang ingin memberi tanda kepadanya, agar tetap tinggal di sana menemani Lim Tay-peng, tapi secara tiba-tiba mereka menjumpai paras muka nona kecil itupun tidak jauh berbeda dengan keadaan dari Lim Tay-peng. Paras mukanya juga pucat pias menakutkan, kepalanya tertunduk rendah-rendah, bibirnya digigit kencang, bahkan bibirnya kelihatan pecah-pecah karena digigit terlampau keras. Mungkinkah si nona kecil yang polos dan berhati baik inipun mempunyai suatu rahasia yang tak boleh diketahui orang? Tiba-tiba Lim Tay-peng bergumam seorang diri: "Kali ini, dia datang kemari tentu ingin memaksa aku pulang.... karena kuatir aku kabur, maka semua jalan lewat ditutup rapat"
"Apa yang hendak kau lakukan?" tidak tahan Kwik Tay-lok bertanya. Lim Tay-peng menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, kemudian menjawab: "Aku bertekad tak akan pulang bersamanya, sejak dia meninggalkan kami dulu, aku sudah tak mempunyai ayah lagi." Ia menyeka air matanya dan mendongakkan kepala, wajahnya memperlihatkan kebulatan tekadnya, setelah memandang sekejap ke arah Ong Tiong sekalian, sepatah demi sepatah dia berkata: "Entah bagaimanapun juga, persoalan ini tiada hubungannya dengan kalian, oleh karena itu, malam nanti kalianpun tak usah pergi menjumpainya, aku...."
"Kau juga tak usah pergi." tiba-tiba nona cilik itu berseru. Lim Tay-peng tertegun, ia tertegun sampai lama sekali, kemudian baru tak tahan bertanya: "Mengapa akupun tak usah pergi?"
"Karena yang mereka cari juga bukan kau."
"Kalau bukan aku lantas siapa?"
"Aku!" Begitu ucapan tersebut diutarakan, semua orang merasa semakin terperanjat lagi. Lok-sang liong-ong yang menjagoi seantero jagad, mengapa secara khusus datang kesana untuk mencari seorang nona cilik penjual bunga? Siapa yang akan mempercayai perkataannya ini? Tapi, melihat paras muka nona cilik itu, mau tak mau semua orang harus mempercayainya juga.
Dia seakan-akan sudah berubah menjadi orang lain, tidak malu-malu kucing lagi, sorot matanya tertuju ke depan mengawasi Lim Tay-peng tanpa berkedip. "Tahukah kau, siapakah aku?" Sebenarnya pertanyaan inipun mudah untuk dijawab, tapi Lim Tay-peng justru dibuat tertegun oleh pertanyaan itu... Si nona cilik memandang sekejap ke arahnya, sekulum senyuman sedih segera tersungging di ujung bibirnya, pelan-pelan dia melanjutkan: "Tiada orang yang tahu siapakah aku, bahkan aku sendiripun tak ingin tahu..." Perkataan inipun serupa dengan yang baru saja dikatakan Lim Tay-peng, tapi sekarang dia telah mengulanginya kembali, seharusnya semua orang merasa geli. Tapi setelah menyaksikan paras mukanya sekarang, siapapun merasa tak sanggup untuk tertawa geli. Seandainya tiada Yan Jit di situ, hampir saja Kwik Tay-lok akan maju untuk menggenggam tangannya dan bertanya mengapa ia begitu sedih, merasa begitu susah. Dia masih muda, kehidupannya begitu panjang, persoalan apakah yang tak dapat diselesaikan olehnya? Lim Tay-peng telah maju ke depan dan menggenggam tangannya erat-erat, lalu dengan lembut berkata: "Perduli siapakah dirimu yang sebenarnya, hal itu bukan masalah bagiku, sebab aku hanya tahu kau adalah kau." Nona cilik itu membiarkan tangannya yang dingin digenggam olehnya, setelah itu katanya: "Aku tahu apa yang kau ucapkan adalah kata-kata sejujurnya, cuma saja.... kau sepantasnya bertanya dulu dengan jelas, siapakah aku ini yang sebenarnya." Lim Tay-peng tertawa paksa. "Baiklah," ia berkata. "aku ingin bertanya kepadamu, sebenarnya siapakah kau!" Nona cilik itu segera memejamkan matanya rapat-rapat, kemudian menjawab pelan: "Aku adalah calon istrimu, bakal menantu ibumu, tapi ayahmu adalah musuh besarku" Tiba-tiba Lim Tay-peng merasakan sekujur badannya dingin, kaku, tangannya yang menggenggam tangan nona itupun pelan-pelan dilepaskan, terjulai lemas. Perasaannya ikut tenggelam, seakan-akan tenggelam ke kolam dingin yang menusuk badan, ia merasa perasaannya amat kalut. Giok Ling-long! Ternyata gadis itu adalah Giok Ling-long. Tak ada orang yang percaya kalau hal ini merupakan suatu kenyataan, tak ada orang yang sudi mempercayainya. Nona cilik, yang lemah lembut dan berbudi luhur ini ternyata adalah si iblis perempuan yang binal, angkuh, buas dan kejam. Sorot mata semua orang bersama-sama ditujukan ke atas wajahnya. Ia menundukkan kepalanya rendah-rendah, rambutnya kusut, hatinya serasa hancur lebur tak karuan. Tiba-tiba muncul perasaan iba dalam hati Kwik Tay-lok, sambil menghela napas dan tertawa getir, katanya: "Kau adalah menantu pilihan ibunya, tapi merupakan musuh besar dari ayahnya, mana mungkin di dunia ini terdapat hubungan yang begitu kacau balau tak karuan? Kau.... kau sudah pasti sedang bergurau." Tentu saja diapun tahu kalau hal ini bukan gurauan belaka, tapi dia lebih rela untuk mempercayai kalau hal ini bukan sesuatu yang benar-benar telah terjadi. Tertawa Giok Ling-long semakin mengenaskan, katanya lagi dengan wajah sedih: "Aku memahami maksud baikmu, sayang banyak persoalan di dunia ini justru demikian keadaannya."
"Aku masih tetap tidak percaya." Giok Ling long menundukkan kepalanya rendah-rendah, kemudian katanya: "Dendam kesumat antara Lok sang liong ong dengan keluarga Giok kami telah berlangsung banyak tahun, dua puluh tahun berselang dia pernah bersumpah, akan menyaksikan orang terakhir dari keluarga Giok punah dari muka bumi."
"Aaah, kalau begitu ayahmu telah..." Kwik Tay-lok tak berani melanjutkan pertanyaannya, karena seandainya ayah Giok Ling long benar-benar telah tewas ditangan Lok sang liong ong, maka dendam kesumat karena pembunuhan terhadap ayahnya ini tidak mungkin bisa diselesaikan oleh orang lain. Giok Ling long segera menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya dengan cepat: "Ayahku tidak mati di tangannya." Sorot matanya kembali memancarkan sinar kebencian dan rasa dendam, sambungnya lebih jauh dengan suara dingin: "Sebab sekalipun dia mempunyai kepandaian yang luar biasa, mustahil ia dapat membunuh seseorang yang telah mati." Kwik Tay-lok menghembuskan napas lega, tapi tak tahan serunya lagi dengan kening berkerut: "Ibumu...."
"Ibuku bukan she Giok, dia she Wi."
"She Wi? Apakah kakak beradik dengan Lim-hujin?" Giok Ling-long segera mengangguk. "Justru karena hubungan ini, maka dia baru melepaskan ibuku, tapi dia sama sekali tak tahu kalau pada waktu itu dalam rahim ibuku sudah terdapat aku, aku masih tetap she Giok!" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Aaai... di kemudian hari tentunya dia sudah tahu kalau ada manusia semacam kau, bukan?"
"Untuk menyembunyikan diri darinya, kalau dia berada di utara, maka aku tak akan pergi keutara, jika dia di selatan, akupun tak akan pergi ke selatan, nama besarnya jauh lebih termasyhur daripada aku, maka bila aku berusaha menghindarkan diri dari kejarannya, hal ini lebih mudah kulakukan." Sambil tertawa getir Kwik Tay-lok bergumam: "Aku sudah lama berkata, bila seseorang terlalu tenar, hal itupun bukan merupakan sesuatu perbuatan yang terlalu baik."
"Tapi juga tidak terlalu jelek."
"Sebenarnya keliru bila ibumu membiarkan kau turut menjadi tenar di dalam dunia persilatan, andaikata kau benar-benar hanya seorang nona kecil yang biasa dan tiada sesuatu yang aneh, mungkin selama hidup dia tak akan berhasil menemukan dirimu."
"Kalau aku harus hidup dalam keadaan seperti ini, maka apa bedanya dengan kematian?" sahutnya keras-keras menahan emosi.
"Banyak sekali manusia di dunia ini yang hidup dalam keadaan dan suasana seperti ini, toh mereka dapat hidup dengan senang dan baik."
"Tapi keluarga Giok kami tak pernah terdapat manusia semacam ini, nama besar keluarga Giok juga tak boleh punah dengan begitu saja di tanganku...."
"Dimanakah ibumu sekarang?"
"Tahun berselang telah meninggal dunia" sahut Giok Ling-long dengan wajah murung. Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut sambil menggigit bibirnya kencang-kencang. "Sesaat sebelum meninggal, dia masih kuatir kalau Lok-sang-liong-ong tak akan melepaskan aku, maka sengaja dia datang mencari adik perempuannya."
"Jadi dia yang pergi mencari Lim hujin?" Giok Ling-long mengangguk. "Dia berharap Lim-hujin dapat menghapuskan permusuhan diantara kami dua keluarga, sayang sekali Lim-hujin sendiripun tidak mampu berbuat apa-apa, maka...."
"Maka dia baru menjodohkan kau kepada putra tunggalnya, agar dengan ikatan perkawinan ini maka permusuhan antara dua keluarga dapat diakhiri."
"Aku tahu begitulah maksudnya." Kwik Tay-lok segera melirik sekejap ke arah Lim Tay-peng dengan ekor matanya, kemudian
setelah menghela napas panjang katanya: "Sayang sekali putranya justru tak dapat memahami maksud baik dari ibunya..." "Ya, generasi yang muda memang mustahil bisa memahami maksud baik angkatan tuanya, begitu pula dengan diriku, sebenarnya akupun enggan untuk menjadi menantunya keluarga Lim mereka." Dia tak berani memandang langsung ke arah Lim Tay-peng, tapi ujung matanya, toh tanpa terasa mengerling juga ke arah pemuda itu. Sekujur badan Lim Tay-peng segera merasa dingin dan kaku bagaikan diceburkan ke dalam salju, tiba-tiba serunya: "Kalau memang begitu, mengapa kau datang kemari untuk mencari aku? Mengapa?" Suara tertawa Giok Ling long semakin sedih dan rawan, dan hanya dengan hati yang pilu: "Masa kau tidak mengerti?"
"Tentu saja aku tidak mengerti" Giok Ling long menggigit bibirnya kencang-kencang untuk menahan agar air matanya jangan
meleleh keluar, kemudian tanyanya lagi: "Kau benar-benar tidak mengerti?"
"Tidak mengerti!" Sekujur badan Giok Ling long gemetar keras jeritnya kemudian: "Baik, kuberitahukan kepadamu, aku berbuat demikian karena aku pernah berkata kepadamu, suatu hari kau pasti akan memohon kepadaku agar mau kawin denganmu."
Lim Tay-peng segera merasakan dadanya seperti dihantam orang keras-keras, untuk berdiri tegakpun tak sanggup. Giok Ling long sendiripun hampir roboh ke tanah. Entah berapa saat kemudian, Lim Tay-peng baru berseru lagi sambil menggertak gigi: "Aku mengerti sekarang... aku sudah mengerti." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, mendadak membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar sendiri. "Blaaam!" pintu ditutup keras-keras. Giok Ling long tidak memanggilnya, juga tidak memandang ke arahnya, tapi air matanya telah jatuh bercucuran....
Jilid 32
MENGAPA sebelum angin badai dan hujan deras akan menjelang tiba, suasana selalu diliputi oleh keheningan yang mencekam?
Udara amat bersih, suasana amat cerah. Tiada badai, tiada hujan deras. Hujan badai hanya ada didalam hati manusia. Hanya bencana yang timbul akibat hujan badai semacam inilah baru merupakan keadaan yang benar-benar menakutkan. Sedemikian heningnya suasana di serambi itu hingga suara dengusan napas Ong Tiong yang berada dalam kamarpun dapat terdengar jelas.
Dengus napasnya amat berat, agaknya ia sudah tertidur pulas. Orang yang bisa tidur dalam suasana semacam ini memang benar-benar merupakan seorang manusia yang punya kepandaian. Kwik Tay-lok dan Yan Jit entah telah pergi kemana, gerak gerik pengantin baru memang selalu tampak agak misterius dan penuh diliputi kerahasiaan di hadapan orang lain. Hanya Ang Nio-cu yang menemani Giok Ling-long, dua orang yang kesepian dengan dua hati yang hancur lebur. Dengan termangu-mangu Giok Ling-liong, memandang ke tempat kejauhan sana, dikejauhan situ tak ada apa-apa, matanya juga tidak berhasil menyaksikan apa-apa. Seluruh tubuhnya seakan-akan telah berubah menjadi kosong melompong. Tiba-tiba Ang Nio-cu menghela napas panjang, kemudian katanya: "Aku tahu, tadi kau telah berbohong."
"Berbohong?" Giok Ling-long agak keheranan. "Kali ini kau datang lagi mencarinya bukan lantaran hendak membalas dendam, kaupun bukan berbuat demikian demi memaksanya untuk berlutut dan memohon kepadamu."
"Aku bukan?"
"Dulu, mungkin saja kau enggan menjadi menantunya keluarga Lim, tapi sekarang kau bersedia menjadi istrinya Lim Tay-peng, aku dapat menyaksikan kesemuanya itu." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Tapi aku benar-benar merasa tidak habis mengerti, mengapa kau tidak bersedia memberitahukan kepadanya?" Giok Ling-long menggigit bibirnya kencang-kencang, kemudian sahutnya cepat: "Kalau toh kau saja dapat melihatnya, dia pasti dapat melihatnya pula...."
"Aaai.... kau masih belum dapat memahami perasaan orang lelaki," kata Ang Nio cu sambil menghela napas. "terutama sekali lelaki macam dia, walaupun ia nampaknya lemah-lembut, sesungguhnya berhati keras melebihi siapapun."
"Ooh....."
"Tapi orang yang berhati keras, seringkali merupakan pula orang yang paling lemah, asal orang lain melukai dirinya sedikit saja, maka hatinya akan hancur luluh."
"Kau menganggap aku telah melukai hatinya..?"
"Kau tidak seharusnya berkata demikian kepadanya, sepantasnya jika kau katakan apa adanya, utarakan pula rasa cintamu kepadanya, agar dia tahu kalau kau bersungguh-sungguh, dengan begitu dia baru akan bersungguh-sungguh pula menghadapi dirimu." Giok Ling-long tertawa rawan. "Aku cukup memahami ucapanmu itu, sebenarnya akupun ingin berbuat demikian, tapi...." Ia menundukkan kepalanya rendah-rendah, rendah sekali, kemudian menyambung dengan suara lirih: "Sekarang, entah apapun yang harus kulakukan, kesemuanya sudah terlalu lambat.." Ang Nio-cu menatap ke arahnya, dari balik sorot matanya terpancar perasaan kasihan, simpatik dan iba, seakan dari tubuh si nona yang keras kepala ini, dia menyaksikan pula bayangan tubuh dari dirinya sendiri. Benar, sekarang segala sesuatunya memang sudah terlampau lambat. Kesempatan baik hanya tersedia dalam waktu singkat, bila kesempatan tersebut telah disia-siakan maka selamanya tak akan datang kembali.
Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu katanya: "Mungkin sekarang masih belum terlambat, mungkin juga kau harus menggunakan sedikit tindakan untuk menghadapinya. Menghadapi seorang lelaki, ada kalanya memang perlu menggunakan suatu tindakan yang tegas, asal ia bersedia mengawinimu, maka kau adalah menantunya keluarga Lim, dan aku rasa Lok-sang-liong-ong juga tak akan...." Tiba-tiba Giok Ling-long mengangkat kepalanya dan menukas kata-katanya yang belum selesai itu: "Kau tak usah banyak berbicara lagi, aku sudah mempunyai perhitunganku sendiri, entah bagaimanapun juga, Lok-sang-liong-ong toh tetap seorang manusia, mengapa aku harus merasa takut kepadanya?" Walaupun wajahnya masih diliputi rasa sedih dan pilu, akan tetapi sorot matanya telah memancarkan kekerasan hati serta keangkuhannya menghadapi kenyataan. Dia sesungguhnya adalah seorang perempuan keras hati yang enggan tunduk kepada siapapun. Ang Nio-cu menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia tahu dirinya memang tak perlu untuk berkata lebih jauh, dia pun tak dapat berkata lebih lanjut. Tiba-tiba Giok Ling Long menggenggam tangannya erat-erat, lalu ujarnya dengan suara lembut: "Entah apapun yang kau katakan, aku masih tetap merasa berterima kasih sekali atas maksud baikmu itu."
"Akupun tahu."
"Tapi ada satu hal yang tidak akan kau pahami."
"Katakanlah." Giok Ling Long memandang sekejap ke arah jendela kamar Ong Tiong, kemudian pelan-pelan bertanya: "Kau memang seorang yang pandai sekali menyelami perasaan orang lain, tapi mengapa justru seperti tak dapat menyelami perasaannya." Ang Nio-cu tertawa, diapun tertawa rawan, lewat lama kemudian baru menghela napas sedih: "Mungkin hal ini disebabkan dia memang bukan manusia, kalau tidak, mengapa dalam keadaan beginipun dia dapat tertidur?"
"Benarkah Ong Tiong sudah tertidur?" Mengapa secara tiba-tiba tidak terdengar lagi suara dengusan napas yang muncul dari dalam kamarnya? Lok-sang-liong-ong bersandar di atas pembaringan berlapiskan kulit harimau, dia sedang menatap Ong Tiong lekat-lekat, seakan-akan ingin membuat dua buah lubang besar di atas wajahnya. Bahkan Ong Tiong sendiripun merasa wajahnya seakan-akan telah muncul dua buah lubang besar. Belum pernah ia saksikan sepasang mata manusia yang begitu tajam, ia pun belum pernah menjumpai seorang manusia seperti ini. Lok sang liong ong yang berada dalam bayangannya, bukanlah seorang manusia seperti ini. Lantas, Lok sang liong ong seharusnya manusia macam apa? Tentu saja tinggi besar, amat berwibawa, amat gagah, keren, bermuka merah berjenggot panjang, berhidung besar dan bermulut lebar, mungkin rambutnya sudah berubah semua, tapi pinggangnya sudah pasti masih tegap dan lurus, seakan-akan malaikat yang berada dalam
lukisan. Suara pembicaraannya pasti amat keras seperti genta yang dibunyikan bertalu-talu, bisa menggetarkan hati dan memekikkan telinga, bila dia sedang gusar maka lebih baik berusahalah untuk menyingkir dari hadapannya sejauh mungkin. Bahkan Ong Tiong telah bersiap untuk mendengarkan suara pekikannya yang penuh dengan nada amarah itu. Tapi apa yang diduga olehnya ternyata sama sekali keliru besar. Begitu berjumpa dengan Lok-sang-liong-ong, dia segera tahu, entah siapa saja yang ingin membangkitkan amarahnya, jelas hal itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hanya manusia yang jarang marah baru terhitung benar-benar menakutkan. Paras mukanya pucat pias seperti mayat, rambutnya amat jarang, jenggotnya juga tidak panjang, rambut serta jenggotnya di sisir dan diatur amat rapi, sepasang tangannya juga di rawat amat baik, membuat orang sukar percaya kalau sepasang tangan itu pernah digunakan untuk membunuh manusia. Pakaian yang dikenakan amat sederhana, karena dia tahu sudah tak perlu untuk mempergunakan pakaian yang mewah lagi, diapun tak perlu mengenakan barang-barang berharga untuk memamerkan kedudukan serta kekayaannya. Sewaktu Ong Tiong datang, ia tidak berdiri untuk menyambut. Entah siapapun yang datang, dia tak mungkin akan bangkit berdiri. Sekalipun demikian, siapapun tak akan menyalahkan ketidak hormatannya itu. Sebab dia hanya mempunyai sebelah kaki. Tokoh silat yang malang melintang dalam kolong langit dan tiada tandingannya di dunia ini ternyata hanya memiliki sebuah kaki yang cacad, kenyataan ini sungguh berada di luar dugaan siapapun. Dalam tenda yang sangat besar, suasana sepi dan hening, kecuali mereka berdua, tidak dijumpai orang ketiga. Ong Tiong sudah masuk cukup lama, tapi dia hanya mengucapkan empat patah kata saja: "Aku adalah Ong Tiong!" Tapi Lok-sang-liong-ong justru tak mengucapkan sepatah katapun, bila berganti orang lain, dia pasti akan mengira orang itu tidak mendengar apa yang diucapkan. Tapi Ong Tiong tidak berpendapat demikian. Ong Tiong tahu, dia pasti sedang menyusun suatu rencana sebelum berbicara. Ada semacam orang yang selamanya enggan mengucapkan perkataan yang salah, walau hanya sepatah katapun, jelas dia adalah manusia macam itu. Anehnya, manusia semacam ini justru seringkali mengucapkan selaksa kata keliru... Ong Tiong masih menunggu, menunggu sambil berdiri. Akhirnya Lok-sang-liong ong menggerakkan tangannya menunjuk ke sebuah bangku berkulit serigala di hadapannya seraya berkata: "Duduk!" Ong Tiong segera duduk. Kembali Lok-sang-liong-ong menuding sebuah cawan emas yang terletak di atas meja, lalu katanya lagi: "Arak!" Ong Tiong menggeleng. "Kau hanya minum arak dengan teman?" mencorong sinar tajam dari balik mata Lok-sang-liong ong. "Ada kalanya juga terkecuali."
"Kapan?"
"Bila aku bermaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan dengan orang lain. Tapi aku tidak bermaksud berbuat demikian kepadamu."
"Mengapa?"
"Sebab aku pernah berbuat demikian terhadap orang yang pantas kuhormati." Lok-sang-liong-ong menatapnya lekat-lekat, lewat lama kemudian ia baru berseru sambil tertawa: "Kedatanganmu terlampau awal."
"Aku memang bukan datang untuk minum arak." Lok-sang-liong-ong pelan-pelan mengangguk, katanya: "Tentu saja kau bukan.."
Dia mengambil cawan kembali yang berada di hadapannya dan pelan-pelan minum seteguk, kemudian dengan sorot mata setajam sembilu ia menatap wajah Ong Tiong lekat-lekat. "Kau sedang memperhatikan kakiku?" serunya. "Yaa, benar."
"Kau tentu merasa heran bukan, siapa yang telah membacok kakiku?"
"Benar."
"Inginkah kau untuk mengetahuinya?"
"Tidak ingin."
"Mengapa?"
"Sebab entah siapakah orangnya, sudah pasti saat ini orangnya sudah mati...." Tiba-tiba Lok-sang-liong-ong tertawa.
"Tampaknya kau bukan seorang manusia yang suka banyak bicara."
"Ya, aku memang bukan."
"Aku suka dengan orang yang jarang berbicara, sebab orang yang jarang berbicara biasanya apa yang dikatakan lebih dapat dipercaya..."
"Biasanya memang demikian."
"Bagus, sekarang kau boleh mengutarakan secara berterus terang, apa maksud kedatanganmu saat ini?" Tidak menunggu Ong Tiong buka suara, dengan dingin dia melanjutkan kembali: "Paling baik kalau diutarakan hanya dengan sepatah kata saja."
"Kau tak boleh membunuh Giok Ling-long!"
"Mengapa tidak boleh?" Lok-sang-liong ong menarik muka. "Jika kau masih menginginkan Lim Tay-peng hidup, maka kau tak boleh membunuh Giok Ling-long."
"Maksudmu bila kubunuh Giok Ling-long, maka Lam Tay-peng akan mati lantaran dia?"
"Kau tidak percaya?"
"Kau percaya?"
"Bila aku tidak percaya, aku tak datang kemari."
"Kau percaya di dunia ini terdapat orang lain yang bersedia mati demi orang lain?"
"Bukan saja ada, lagi pula banyak sekali."
"Katakan dua orang diantaranya."
"Lim Tay-peng, aku !" Tiba-tiba Lok-sang-liong-ong tertawa lebar. "Kau tidak percaya?" seru Ong Tiong. "Dan kau percaya?"
"Kalau memang begitu, bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Bertaruh apa?"
"Menggunakan selembar nyawaku untuk dipertaruhkan dengan selembar nyawa Giok Ling-long."
"Bagaimana caranya bertaruh?"
"Andaikata Lim Tay-peng tidak bersedia mati demi Giok Ling-long, setiap saat kau boleh membunuh aku."
"Kalau sebaliknya?"
"Kau boleh segera angkat kaki dari sini, maka menang atau kalah, kau tak akan menderita kerugian apa-apa."
"Tidak menderita kerugian apa-apa?" seru Lok-sang-liong-ong sambil tertawa dingin. "Orang yang bisa berpikir demikian, sudah pasti mempunyai dua buah kaki."
"Sekalipun ada orang memenggal sebuah kakiku, aku hanya akan pergi mencari orangnya, tak akan pergi mencari puterinya."
Sorot mata Lok-sang-liong-ong berubah semakin tajam lagi, lama sekali ia menatap wajahnya tanpa berkedip, kemudian pelan-pelan baru berkata: "Dapatkah kau buktikan kalau Lim Tay-peng bersedia mati baginya?"
"Aku tak dapat, tapi kau dapat." Pelan-pelan dia melanjutkan: "Tapi aku percaya, dengan cepat dia pasti akan datang pula ke tempat ini" Benar juga, ada orang yang datang ke situ, tapi yang datang bukan Lim Tay-peng, melainkan Ang Nio-cu, Kwik Tay-lok dan Yan Jit. Sewaktu mereka masuk ke dalam, Ong Tiong sudah tidak berada didalam tenda lagi. Melihat mimik wajahnya itu, jelas mereka pun terkejut seperti apa yang dialami Ong Tiong tadi... Siapapun tidak menduga kalau Lok-sang-liong-ong adalah manusia semacam ini. Tujuan dari kedatangan mereka kesana seperti juga Ong Tiong, karena terhadap teman merekapun menaruh suatu perasaan yang erat dan rasa percaya yang kuat. Kepercayaan memang suatu hal yang sangat aneh, seakan-akan tak pernah akan membuat orang kecewa..... demikian pula persahabatan.
Lim Tay-peng memang tidak membuat mereka merasa kecewa. Sambil bersandar di atas pembaringannya yang berlapiskan kulit harimau, Lok-sang-liong long mengawasi Lim Tay-peng. Dia adalah putra kandungnya, putra tunggalnya, sudah hampir lima belas tahun dia tak pernah berjumpa dengannya. Tapi ketika ia memandang ke arahnya, tidak jauh berbeda sikapnya seperti ketika berjumpa dengan Ong Tiong. Setelah lewat lama kemudian, dia baru mengulurkan tangannya sambil menuding ke arah bangku berlapiskan kulit serigala yang barusan ditempati Ong Tiong itu. "Duduk!" Tapi Lim Tay-peng tidak duduk. Tubuhnya sudah menjadi kaku, wajahnya turut menjadi kaku, hanya sepasang matanya saja yang berkaca-kaca. Sekarang dia telah berhadapan dengan ayah kandungnya, ayah kandung yang belum pernah dijumpai selama lima belas tahun lamanya. Airmatanya tidak dibiarkan meleleh. Keluarpun sudah terhitung suatu yang tidak mudah. Paras muka Lok-sang-liong-ong masih tetap kaku tanpa emosi, namun di bawah kelopak matanya tiba-tiba muncul beberapa buah kerutan, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aai.... kau sudah menginjak menjadi dewasa, tampaknya kau sudah mempunyai pendapatmu sendiri." Bibir Lim Tay-peng masih tertutup rapat-rapat tanpa mengucapkan sepatah katapun jua. "Bila kau enggan berbicara, mengapa harus datang kemari?" kembali Lok-sang- liong-ong menegur. Lim Tay-peng termenung lagi beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan baru berkata: "Aku tahu, selamanya kau enggan mendengarkan kata-kata yang tak ada gunanya."
"Benar."
"Apakah kau bertekad hendak membunuh habis semua anggauta keluarga Giok yang ada didunia ini?"
"Benar."
"Sekarang keluarga Giok tinggal seorang"
"Benar." Lim Tay peng menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian sepatah demi sepatah katanya: "Bila kau membunuhnya, akupun pasti akan membunuh seorang anggauta keluarga Lim."
"Kau hendak membunuh siapa?" seru Lok sang liong ong sambil menarik muka. "Diriku sendiri!" Lok sang liong ong menatapnya tajam-tajam, kerutan pada ujung matanya nampak semakin dalam. Dia adalah putra kandungnya, darah dagingnya, darah yang mengalir didalam tubuh pemuda itu sama seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya, ia sama keras kepalanya, sama angkuhnya. Siapapun tak dapat merubah kenyataan ini, termasuk dirinya sendiri. Lok-sang-liong-ong menghela napas panjang, kemudian katanya: "Kau harus tahu apa yang telah diucapkan keluarga Lim, selamanya tak akan berubah lagi."
"Aku tahu, itulah sebabnya aku baru berkata demikian." Tiba-tiba dia melanjutkan: "Aku juga tahu kalau antara dia dengan kau sama sekali tiada ikatan dendam, bahkan berjumpapun tak pernah."
"Apa hubungan perempuan itu denganmu? Mengapa kau menginginkan dia tetap hidup?"
"Karena selama dia masih hidup, aku baru dapat hidup."
"Sudah sedemikian dalamkah cinta kasih kalian?" Lim Tay-peng menggigit bibirnya kencang-kencang. "Sebenarnya akupun tidak tahu...."
"Sejak kapan kau baru tahu ?" tukas Lok sang-liong-ong cepat. "Sejak kau hendak membunuhnya.... benarkah kau akan merasa gembira bila ia telah kau bunuh?" Lok-sang-liong-ong tidak bicara apa-apa lagi, dia membungkam dalam seribu bahasa. "Kau sendiripun tak dapat memutuskannya bukan?" jengek Lim Tay-peng. "Tapi aku berani menjamin, bila kau telah membunuhnya, maka penderitaan yang bakal kau alami justru akan jauh lebih berat daripada sewaktu kau belum membunuhnya."
"Kau benar-benar bersedia untuk mati baginya?" seru Lok-sang-liong-ong sambil menarik muka. "Mati bukan sesuatu yang gampang, tapi juga bukan sesuatu pekerjaan yang terlalu menyulitkan."
"Bagaimana dengan dia? Apakah diapun bersedia melakukan hal yang sama?" Lim Tay-peng tak sanggup menjawab, dia segera terbungkam dalam seribu bahasa. "Kaupun tak dapat memastikan bukan?" seru Lok-sang-liong-ong kemudian. "Mungkin hal ini dikarenakan keluarga mereka tiada bermaksud untuk membunuhku, tidak membawa dendam kesumat dari dua generasi yang lalu ke dalam generasi kami berikutnya." kata Lim Tay-peng pelan. Mencorong sinar tajam dari balik mata Lok-sang-liong-ong, tiba-tiba katanya: "Baik! kululuskan permintaanmu itu, tapi akupun mempunyai syarat."
"Apa syaratmu?"
"Bila diapun bersedia mengorbankan diri bagimu, hal ini membuktikan kalau hubungan cinta kasih kalian memang benar-benar sudah mendalam, maka akupun akan melepaskan dirinya."
"Kalau tidak?"
"Kalau tidak kaupun harus mengerti, pada hakekatnya dia tak pantas untuk kau bela dengan mempertaruhkan selembar jiwamu!"
Lim Tay-peng menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian katanya: "Apakah kau mengajak aku bertaruh? Menggunakan selembar jiwanya sebagai barang taruhan?"
"Paling tidak taruhan ini cukup adil, karena entah menang atau kalah dia sendirilah yang menentukan hal ini."
"Dari mana kau bisa tahu kalau hal ini adil?"
"Kujamin kau pasti dapat melihatnya, tapi kaupun harus mengabulkan sebuah permintaanku pula." Lim Tay-peng tidak berkata apa-apa, dia hanya mendengarkan belaka. "Sebelum menang kalah ditentukan, kau tak boleh mencampuri urusan ini.... siapa pun tak boleh mencampuri hal ini." Dengan sorot mata setajam sembilu, sepatah demi sepatah kata dia melanjutkan: "Kalau tidak, maka kalianlah yang akan dianggap sebagai pihak yang kalah dalam pertaruhan ini!" Dibalik tenda tampak sebuah tirai yang amat tebal, suasana amat gelap sehingga dari luar orang tak dapat melihat keadaan yang berlangsung di dalam.
Tapi orang yang berada di balik tirai tersebut justru dapat melihat semua kejadian yang berlangsung di depan mata. Ong Tiong, Ang Nio-cu, Kwik Tay-lok dan Yan Jit berada di sana semua, juga mendengar setiap patah kata dan setiap ucapan yang diutarakan Lim Tay-peng. Mereka merasa amat terhibur, karena Lim Tay-peng tidak membuat mereka merasa kecewa. Tapi bagaimana dengan Giok Ling-long? Sekarang, bukan hanya selembar nyawa sendiri saja yang berada di tangannya, bahkan selembar nyawa Lim Tay-peng pun berada pula di tangannya.... Tapi hal inipun merupakan keputusan yang diambil sendiri oleh Lim Tay-peng, jelas dia sudah menaruh perasaan percaya terhadap gadis itu. Mungkinkah gadis itu akan membuatnya kecewa? Mereka dengar Lok-sang-liong-ong sedang bertanya lagi: "Tahukah kau, dulu dia adalah seorang perempuan macam apa?" Jawaban dari Lim Tay-peng ternyata sederhana sekali: "Itu mah sudah kejadian lampau, sekalipun aku mengetahuinya, sekarang juga telah lupa."
"Ia menggunakan cara apa sih hingga membuat kau begitu percaya kepadanya?"
"Dia telah mempergunakan banyak cara, tapi yang paling manjur hanya satu."
"Cara apa?"
"la telah berbicara sejujurnya." Kemudian sepatah demi sepatah dia melanjutkan: "Sebenarnya dia tak perlu menyatakan kepadaku, juga tak ada orang yang memaksanya, tapi dia telah berbicara sejujurnya." Entah mengapa, setelah mendengar perkataan itu, tiba-tiba Ang Nio-cu menundukkan kepalanya rendah-rendah. Kemudian Lim Tay-peng juga berjalan masuk ke dalam, memandang ke arah mereka, sorot matanya segera memancarkan perasaan berterima-kasih. Teman-temannya juga tidak membuatnya menjadi kecewa. Delapan orang berdiri tenang di depan tenda, sedemikian tenangnya ibarat delapan buah patung.
Mereka adalah Thian-liong-pat-ciang di bawah pimpinan Lok-sang-liong-ong, salah seorang saja diantara mereka sudah cukup untuk menggetarkan suatu daerah. Tapi sorot mata Giok Ling-long justru seakan-akan tidak melihat kehadiran mereka. Pakaian yang dikenakan masih tetap baju berwarna hijau yang dipakainya sebagai seorang penjual bunga, sambil mengangkat kepala, dia berjalan melalui orang-orang itu dan masuk kedalam tenda. Wajahnya masih amat tenang, tapi sorot matanya memancarkan kebulatan tekadnya. Kemudian diapun melihat Lok-sang-liong ong. Lok-sang-liong-ong tidak mempersilakan dia duduk, tapi sewaktu memandang ke arahnya, sorot mata itu justru tajam bagaikan pisau. Giok Ling-long juga tidak menunggu dia buka suara, dengan suara lantang segera serunya: "Kau tahu siapakah aku?" Lok sang liong ong mengangguk. "Aku adalah keturunan terakhir dari keluarga Giok." ujar gadis itu. "Asal kau dapat membunuhku, maka apa yang kau cita-citakan akan terpenuhi pula." Lok sang liong ong termenung lama sekali kemudian pelan-pelan baru berkata: "Hal itu bukan merupakan cita-citaku"
"Bukan?"
"Yaa, apa yang kau katakan, tak lebih hanya merupakan sepatah kata yang pernah kuucapkan saja." kata Lok sang liong ong dengan suara hambar. "Setiap patah kata yang kau ucapkan telah terpenuhi semua?"
"Hanya satu hal yang belum sempat aku lakukan"
"Mungkin saat ini kau akan berhasil dengan cepat."
"Mungkin?"
"Mungkin artinya belum tentu!"
"Masa kau berani bertarung melawan diriku?" Giok Ling-long segera tertawa dingin. "Mengapa tidak berani? Apakah kau anggap dirimu sudah paling luar biasa sendiri" Tidak memberi kesempatan kepada Lok-sang-liong-ong buka suara, dengan cepat dia menyambung lebih jauh: "Bila hidup sebagai seorang manusia, dan tak mengurusi anak istri saja tak sanggup,
sekalipun luar biasa juga ada batas-batasnya." Ternyata Lok-sang-liong-ong tidak menjadi gusar oleh perkataan itu, katanya dengan hambar: "Mereka toh bisa merawat diri sendiri."
"Itu urusan mereka, bagaimana dengan kau?" Giok ling-long tertawa dingin. "Apakah kau telah melaksanakan tugasmu dengan sebaik-baiknya?. Bila setiap orang yang menjadi ayah dan suami menirukan cara seperti kau, mungkin semua perempuan dan kanak-kanak sudah mati gemas." Akhirnya wajah Lok-sang-liong-ong berubah menjadi berat juga, sambil menarik muka katanya:
"Apakah kau datang kemari hanya untuk mengucapkan perkataan seperti itu?"
"Aku hanya memperingatkan kepadamu saja, bahwa kau masih mempunyai seorang isteri dan seorang anak, lebih baik kau jangan sampai melupakan mereka, karena merekapun tidak pernah melupakan dirimu."
"Sekarang kau telah memperingatkan diriku." kata Lok-sang-liong-ong dingin. Giok Ling-long menghembuskan napas panjang, katanya: "Benar, apa yang harus kukatakan memang sudah habis kusampaikan semua...." Tiba-tiba ia membusungkan dada dan merangkap tangannya menjura, serunya kemudian: "Silakan!" Walaupun dengan jelas dia tahu kalau sedang berhadapan muka dengan Lok-sang-liong-ong yang tiada tandingannya di kolong langit, walaupun tahu kalau di luar tenda masih ada Thian-liong-pat-ciang yang menggetarkan dunia persilatan, tapi ia sama sekali tidak menunjukkan perasaan takut barang sedikitpun. Walaupun tubuhnya ramping dan lemah-lembut, namun kebulatan tekad serta keberaniannya benar-benar mengagumkan, apalagi sewaktu menjura sambil membusungkan dada sekarang, lamat-lamat ia memperlihatkan tekadnya untuk melawan kekuatan Lok-sang-liong ong. Tiba-tiba Lok sang liong ong tertawa, kemudian tanyanya: "Tahun ini kau sudah berumur berapa?" Walaupun Giok Ling long tidak memahami apa sebabnya dia bertanya demikian, toh ia menjawab juga: "Tujuh belas."
"Sejak berusia berapa tahun kau belajar silat?"
"Empat tahun." Sambil tertawa dingin Lok sang liong segera berseru: "Kau tidak lebih baru melatih diri selama tiga belas tahun, masih berani bertarung melawan diriku?" Giok Ling-long juga tertawa dingin. "Sekalipun aku baru berlatih silat selama satu hari, aku akan tetap datang kemari untuk beradu kepandaian denganmu, sekalipun berbicara soal ilmu silat keluarga Giok masih belum dapat menandingi dirimu, kami bukan manusia berjiwa tempe!" Tiba-tiba Lok-sang liong-ong mendongakkan kepalanya dan tertawa bergelak. "Haaah.... haaaah.... haaaah.... bagus sekali, kau memang bersemangat, kau memang bernyali!" Ditengah gelak tertawanya yang amat nyaring, tiba-tiba tubuhnya melambung dari atas pembaringan, seakan-akan dari bawah tubuhnya terdapat sepasang tangan tak berwujud yang menyungging. Tanpa terasa Giok Ling Long mundur setengah ke belakang. Ia kenal jurus serangan ini mirip sekali dengan jurus Kian liong-sang-thian (naga sakti
mengapung ke angkasa) dari ilmu Thian-liong-pat-si yang pernah didengarnya. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau di dunia ini benar-benar terdapat manusia yang memiliki ilmu meringankan tubuh sesempurna ini. Siapa tahu meski berada ditengah udara ternyata Lok-sang-liong-ong masih sanggup untuk bersuara, katanya dengan suara dalam: "Hati-hati dengan jalan darah Cing-tong-hiat di sebelah kiri dan kanan tubuhmu." Jalan darah Cing-tong-hiat terletak di bawah iga bagian bawah, bilamana kena tertotok maka sepasang lengannya akan lumpuh dan tak bisa digunakan lagi. Tapi bila kau tidak mengangkat kedua belah tanganmu maka sulit buat orang lain untuk menotok kedua buah jalan darah itu. Sambil tertawa dingin Giok Ling long segera berpikir: "Sekalipun aku bukan tandinganmu, tapi bila kau ingin menotok kedua buah jalan darah Cing leng hiat ku, hal ini masih bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang." Dia bertekad, walau berada dalam keadaan apapun, dia tak akan mengangkat kedua belah tangannya. Dengan kedudukan Lok sang liong ong setelah dia mengatakan hendak menotok jalan darah Cing leng hiat nya, tentu saja bukan tempat lain yang akan diserangnya lagi. Pada saat itulah tubuh Lok sang liong ong secara tiba-tiba menyambar ke hadapannya, segulung angin pukulan yang amat keras menggetarkan ujung bajunya.. Dia membalikkan badannya, baru saja hendak menggunakan kesempatan itu untuk memunahkan tenaga yang menggulung tiba itu, mendadak.... "Plookk, Plookk !" kedua buah jalan darah Cing-keng-hiat di atas bahunya tahu-tahu sudah kena terhajar telak sehingga kedua belah tangannya tak sanggup diangkat lagi. Ketika memandang lagi ke arah Lok sang liong ong, tampak orang itu sudah berbaring kembali di atas pembaringannya dengan sikap yang amat santai, siapapun tak akan melihat kalau dia baru saja melancarkan serangan dahsyat. Saking gelisahnya paras muka Giok Ling long sampai berubah menjadi merah padam, teriaknya keras-keras: "Jalan darah yang kau totok adalah jalan darah ceng keng hiat, bukan jalan darah cing leng hiat!"
"Tak usah kau peringatkan, jalan darah cian-keng hiat dan jalan darah cing-leng-hiat masih bisa kubedakan dengan jelas."
"Hmmm, tak kusangka ucapan seorang dewasa ternyata tak bisa dipercaya dengan begitu saja."
"Kapan aku bilang kalau jalan darah cing leng hiat mu akan kutotok?"
"Tadi kau jelas berkata demikian."
"Aku toh hanya suruh kau memperhatikannya saja, bila sedang bertarung melawan orang, setiap jalan darah yang terdapat di atas tubuhmu harus diperhatikan semua." Setelah berhenti sejenak, dengan suara hambar dia melanjutkan: "Apalagi dalam soal ilmu silat, yang menjadi pangkal utama adalah caranya menghadapi lawan, kecerdasan maupun kesigapannya merupakan pokok utama yang harus diperhatikan, karena susah menotok jalan darah cing leng hiat di tubuhmu tentu saja aku harus menotok jalan darah cian keng-hiat mu, toh kedua-duanya sama saja kegunaannya yakni membuat lenganmu menjadi lumpuh, buat apa aku mesti bersusah payah mengancam jalan darah yang susah dicapai? Bila teori semacam inipun tidak kau pahami, sekalipun harus berlatih seratus tiga puluh tahun lagipun kau tak akan pernah berhasil menjadi seorang jago yang tangguh." Caranya berbicara, bagaikan seorang guru sedang mengajari muridnya, seperti juga seorang ayah sedang memberi pelajaran kepada anaknya. Saking gusarnya paras muka Giok Ling-long yang memerah kini berubah menjadi pucat pias, sambil menggigit bibir serunya: "Baik, bunuhlah aku"
"Kau merasa tidak puas?"
"Sampai matipun tidak puas."
"Baik!" Begitu ucapan tersebut diutarakan, "Sreet!" entah benda apa yang disambit ke arahnya, tahu-tahu jalan darah sin-bong- hiat di tubuhnya sudah kena dihajar. Begitu serangan tersebut menghajar di atas jalan darah tersebut, Giok Ling long segera merasakan tenaganya pulih kembali dan sepasang lengannya dapat bergerak bebas. Menotok jalan darah lewat udara kosong merupakan suatu kepandaian silat yang sudah langka dalam dunia persilatan, sungguh tak disangka Lok-sang-liong ong pandai pula mempergunakan kepandaian tersebut. Giok Ling-long menggertak giginya kencang-kencang, sekalipun dia tahu kalau kepandaian silatnya masih bukan tandingan lawan, tapi dia telah bersiap sedia untuk melakukan perlawanan mati-matian. Siapa tahu belum lagi tubuhnya melambung ke udara dan jurus serangan dilancarkan, mendadak terasa ada segulung tenaga serangan berkelebat lewat, tahu-tahu jalan darah cing-leng hiat di kiri kanan tubuhnya menjadi kaku, kembali tubuhnya melayang jatuh ke tanah dan sepasang lengannya tak sanggup diangkat kembali. Sedangkan Lok-sang liong ong masih tetap berbaring di atas pembaringannya dengan sikap yang amat santai, seakan dia tak pernah bergeser dari posisinya. Paras muka Giok Ling long berubah menjadi pucat keabu-abuan. Sekalipun dia tinggi hati, sekarang juga sudah tahu jika Lok sang liong ong ingin merenggut selembar jiwanya, maka hal ini bisa di lakukan dengan suatu cara yang gampang sekali. Kepandaian silat yang dimiliki dan pernah menggetarkan hati orang banyak itu berada dihadapan Lok sang liong ong ibaratnya telur bertemu dengan batu, kesempatan untuk melancarkan serangan pun tidak dimiliki lagi.... Lok-sang liong-ong memandang sekejap ke arahnya, kemudian tegurnya dengan suara hambar: "Sekarang, kau sudah takluk belum?"
"Sudah!" jawab Giok Ling-long sambil menarik napas panjang-panjang, kemudian setelah tertawa dingin, dengan cepat sambungnya lebih jauh: "Tapi aku hanya takluk kepada ilmu silatmu, bukan kepada orangnya...."
"Ooooh......"
"Sekalipun ilmu silatmu sudah tiada tandingannya di dunia ini, tapi kau justru berjiwa sempit dan berpikiran picik, sekalipun kau berhasil memusnahkan semua anggota keluarga Giok, tak akan ada orang lain yang bisa tunduk kepadamu."
"Nona cilik, tajam benar selembar mulutmu?" seru Lok sang liong ong sambil menarik muka. "Begitu berani kau bersikap kurang ajar di hadapanku." Giok Ling long, tertawa dingin. "Mengapa aku tidak berani? Untuk mati saja aku tidak takut, apa lagi yang musti aku takuti?" Berkilat sepasang mata Lok-sang liong-ong setelah mendengar perkataan itu gumamnya: "Benar, bila seseorang sudah tahu kalau dirinya pasti akan mati, perbuatan apa lagi yang tak berani dilakukan? Perkataan apa lagi yang tak berani diucapkan?" Tiba-tiba sekulum senyuman aneh tersungging kembali di ujung bibirnya, dia melanjutkan: "Tapi bagaimana bila aku bersedia tidak membunuh kau?"
"Apa.... apa kau bilang?" Giok Ling-long tertegun. "Bukan saja aku tak akan membunuh dirimu, lagi pula tak akan mengganggu seujung rambutmu, budi dendam antara kita dua keluarga pun akan kuhapuskan mulai detik ini."
"Sung.... sungguh?"
"Tak pernah perkataan yang telah aku ucapkan kupungkiri kembali." Tiba-tiba Giok Ling long merasakan seluruh badannya menjadi lemas, hampir saja berdiripun tak sanggup lagi. Tadi, ketika harus berhadapan dengan musuh tangguh yang belum pernah dijumpai selama ini, meski tahu bakal mati, namun hatinya sama sekali tidak merasa gentar. Tapi sekarang, setelah orang lain menyanggupi untuk tidak membunuhnya, sepasang kakinya malah terasa lemas, hingga sekarang dia baru menyadari, kalau dia sebenarnya belum ingin mati. Bila seseorang sudah tahu kalau dirinya masih sanggup untuk hidup lebih lanjut, siapa pula yang masih ingin mati? Sorot mata Lok sang long ong yang tajam seakan-akan telah berhasil menembusi hatinya,
pelan-pelan dia melanjutkan: "Asal kaupun bersedia meluluskan sebuah permintaanku, sekarang juga aku akan melepaskan
dirimu dan tak akan mencari dirimu lagi."
"Apa permintaanmu itu?" tak tahan Giok Ling-long bertanya. "Asal mulai sekarang kau jangan menyinggung kembali soal perkawinanmu dengan putraku dan mulai sekarang tak akan berjumpa lagi dengan dirinya..." Paras muka Giok Ling-long segera berubah hebat, serunya dengan suara gemetar: "Kau.... kau menyuruh aku mulai sekarang tak akan berjumpa lagi dengannya?"
"Ya, mulai sekarang kau harus menganggap di dunia ini tak pernah ada seorang manusia seperti itu, anggap saja kau belum pernah berjumpa dengannya, maka kau tetap bisa hidup terus dengan amat tenteram.." Setelah tertawa, kembali lanjutnya:
"Lelaki yang ada di dunia ini banyak sekali jumlahnya, siapa tahu dengan cepat kau akan bisa melupakan dirinya." Paras muka Giok Ling long pucat pias, tubuhnya kembali gemetar keras, serunya: "Bila aku tidak mengabulkan permintaanmu?"
"Mengapa tidak? Setelah mati, bukankah kau tetap tak akan bisa berjumpa dengan dirinya?" Pelan-pelan Giok Ling-long menggelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya: "Tidak sama.... jelas tidak sama."
"Bagaimana tidak samanya?"
"Kau tak akan mengerti!" kata Giok Ling-long sambil tertawa sedih. "Manusia macam kau tak akan pernah paham untuk selamanya.." Walaupun tertawanya sangat rawan, namun sorot matanya memancarkan sinar kebahagiaan yang amat misterius.
Sebab dia telah jatuh cinta. Perasaan semacam ini tak mungkin bisa digantikan dengan keadaan macam apapun, juga tak akan bisa dilarikan oleh siapapun. Entah cintanya itu manis atau getir, paling tidak ia jauh lebih berbahagia daripada orang yang belum pernah merasakan cinta. Lok sang-liong-ong memandang mimik wajahnya, agak berubah juga paras muka sendiri,
mendadak dari dalam sebuah poci kemala dia menuang secawan arak berwarna hijau, lalu katanya dengan suara hambar: "Bila kau benar-benar tidak bersedia minumlah arak itu, mulai sekarang kau tak akan merasakan kesulitan apa-apa." Giok Ling-long menatap arak beracun itu lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah katanya: "Aku hanya dapat meluluskan sebuah permintaanmu."
"Permintaan apa?" Sorot mata Giok Liong long ditujukan ke tempat kejauhan, lalu sepatah demi sepatah katanya: "Aku tak akan melupakan dia, juga tak mungkin melupakan dia, entah aku dalam keadaan hidup atau mati, dalam hatiku selalu hanya ada dia seorang, entah bagaimanapun lihaynya kau, jangan harap bisa merampas dia dari dalam hatiku." Tiba-tiba ia menerjang maju ke depan dan meneguk habis arak beracun dalam cawan itu. Kemudian diapun segera roboh terjengkang ke atas tanah. Tapi sekulum senyuman bahagia, senyuman yang misterius tersungging di ujung bibirnya. Karena dia tahu, mulai sekarang entah ada di langit atau di bumi, tak ada orang yang bisa memaksanya untuk melupakan dirinya lagi... Agaknya Lok-sang-liong-ong tertegun. Ternyata di dunia ini terdapat juga manusia semacam ini, perasaan semacam ini memang selamanya tak akan bisa dipahami olehnya. Lim Tay-peng telah menyerbu maju ke muka, menubruk di atas badan Giok Ling-long. Lok sang liong ong tak tega untuk memandang lagi ke arahnya, dia tak berani memandang lagi ke arahnya. Entah berapa saat kemudian, Lim Tay-peng baru bangkit berdiri, wajahnya pucat tanpa darah, sepasang matanya merah membara, sambil melotot ke arahnya dia berseru: "Kau telah meluluskan permintaanku, kau berjanji kepadaku...." Lok sang liong ong hanya menghela napas panjang, agaknya diapun tak tahu apa yang harus diucapkan. "Kau telah meluluskan permintaanku." seru Lim Tay-peng. "Semuanya akan kau lakukan dengan adil, tapi sekarang...."
"Ah tahu hal ini bukan sesuatu yang adil." tukas Lok sang liong-ong. "Tapi di dunia ini banyak terdapat persoalan-persoalan yang tidak adil, jika seseorang ingin hidup lebih lanjut, dia sudah seharusnya belajar untuk menahan diri terhadap kejadian semacam ini."
"Aku tak akan bisa mempelajarinya, selamanya tak akan bisa mempelajarinya secara baik...." Mimik wajahnya mendadak berubah pula menjadi misterius dan sangat aneh, sekulum senyuman seperti apa yang telah diperlihatkan Giok Ling-long tadi tersungging pula di ujung bibirnya, pelan-pelan dia berkata: "Aku tahu di dunia ini tak pernah ada orang yang bisa menyuruh dia melupakan aku, juga tak akan ada orang yang bisa menyuruh aku melupakan dirinya...." Berbicara sampai di sini, mimik wajahnya berubah aneh sekali. Kwik Tay-lok yang menyaksikan kejadian tersebut, merasakan air matanya jatuh bercucuran tanpa terasa. Ia dapat memahami manusia seperti ini, diapun dapat memahami perasaan seperti ini. Dia tahu Lim Tay-peng juga tak ingin hidup, tak tahan dia ingin melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan menerjang ke muka.
Tapi entah apa sebabnya, ternyata Ong Tiong mencegah perbuatannya itu seraya berseru dengan suara dalam: "Tunggu sebentar!"
"Sekarang, apalagi yang harus kita tunggu?"
"Asal kau tunggu sebentar lagi, segala sesuatunya akan menjadi jelas...." jawab Ong Tiong sambil mencorong sinar terang dari balik sinar matanya. Tapi pada saat itulah Lim Tay-peng telah menyambar arak beracun ini di meja dan meneguknya sampai habis. "Akupun telah meluluskan permintaanmu, bila kau membunuhnya, maka akupun akan membunuh seorang anggauta keluarga Lim." Dia telah menghabisi nyawa sendiri. Ketika badannya roboh ke tanah, ia roboh disamping tubuh Giok Ling-long. Ujung bibir mereka berdua sama-sama tersungging sekulum senyuman, senyuman yang aneh dan penuh kebahagiaan.
Sepasang mata Kwik Tay-lok telah berubah menjadi merah, dia ingin mencengkeram tubuh Ong Tiong sambil bertanya mengapa ia disuruh menunggu. Tapi pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang amat menawan bergema memecahkan keheningan: "Kau kalah!" Tiba-tiba seseorang munculkan diri dari balik tenda, tubuhnya tinggi semampai dan cantik jelita, ternyata dia adalah Wi hujin ibu kandung Lim Tay-peng. Sekulum senyuman malah tersungging di ujung bibirnya. Kwik Tay-lok lagi-lagi dibikin tertegun. Menyaksikan putranya tewas di hadapan matanya, mengapa dia malah masih bisa tertawa? Mimik wajah Lok-sang-liong-ong juga istimewa sekali, entah gembira atau menderita bangga atau kecewa? Lewat lama kemudian pelan-pelan ia baru mengangguk, sahutnya setelah menghela napas panjang: "Benar, aku kalah!"
"Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan? Bukan seperti manusia macam kau hanya hidup untuk kepentingan diri sendiri, sekarang kau juga harus tahu, banyak persoalan di dunia ini yang sesungguhnya jauh lebih penting daripada nyawa sendiri."
Lok-sang liong-ong menundukkan kepalanya lalu tertawa: "Untung saja aku mengetahui hal ini belum terlalu lambat."
"Belum terlalu lambat?" Wi hujin menatapnya lekat-lekat, suaranya jauh lebih lembut. Lok-sang liong ong mengangkat kepalanya dan memandangnya pula, kemudian menyahut: "Yaa, belum terlambat!" Dibalik sorot mata mereka berdua sama-sama terpancar keluar semacam perasaan yang sangat aneh, tiba-tiba saja mereka saling berpandangan sekejap.. Kesalahpahaman dan perselisihan yang berlangsung banyak tahun diantara mereka berdua, seakan-akan telah punah tak berbekas dalam sekulum senyuman mereka itu. Sesungguhnya mereka adalah orang yang sudah membekas dihati dan tak akan terlupakan, persoalan apakah yang tak dapat dimaafkan olehnya, dan persoalan apa pula yang tak bisa dipahami olehnya? Tapi putranya....? Lok-sang-liong-ong masih menatapnya lekat-lekat, kemudian sambil tersenyum katanya: "Mereka telah meneguk secawan arak paling getir dalam sepanjang hidup mereka, sekarang berilah arak yang manis untuk mereka berdua."
"Yaa, semua orang sudah sepantasnya ikut mencicipi pula arak yang manis itu..." ujar Wi hujin lembut. Tiba-tiba ia berpaling kearah Kwik Tay-lok sekalian yang berada dibalik tirai, kemudian sambil tertawa katanya: "Sekarang, tentunya kalian sudah mengetahui bukan, apa yang sebenarnya telah terjadi, mengapa tidak segera munculkan diri untuk meneguk pula secawan arak manis?" Kwik Tay-lok masih tidak mengerti, tapi Yan Jit telah memahaminya. "Orang pertama yang bertaruh dengan Lok-sang-liong-ong bukan Ong lotoa, melainkan Wi hujin." Yan Jit menerangkan. "Demi kebahagiaan hidup putranya, dia memang seharusnya pergi mencari Lok-sang-liong-ong untuk menantangnya bertaruh." sambung Ong Tiong. "Tampak caranya bertaruh seperti juga cara kita semua, dia tahu di dunia ini terdapat banyak orang yang dapat mengorbankan diri demi orang lain, oleh karena itu dia menang." Dia memandang ke arah Kwik Tay-lok, sorot matanya memancarkan kelembutan yang amat sangat. Kwik Tay-lok menggenggam tangannya pelan, lalu berkata lembut: "Benar, orang yang bisa memahami teori ini, selamanya dia tak akan pernah menderita kekalahan."
"Arak yang diberikan Lok-sang-liong-ong kepada mereka, sudah pasti bukan arak beracun." kata Ong Tiong pula. Tentu saja bukan. Karena Lim Tay-peng dan Giok Ling-long telah bangkit berdiri sekarang, mereka sedang berpelukan dengan mesra.
Sekarang, tiada orang di dunia ini yang sanggup memisahkan mereka lagi, karena mereka mempunyai keberanian untuk meneguk arak yang paling getir dalam hidup mereka itu. Arak getir, bukan arak beracun. Tahukah kau di dunia ini terdapat semacam arak yang misterius, yang bisa membuat kau menghindarkan diri sebentar dari dunia ini, kemudian bangkit dan hidup kembali? Tahukah kau di dunia ini sebenarnya terdapat banyak kejadian yang aneh yang khusus ditujukan untuk mereka yang saling mencintai dengan hati yang tulus? Kwik Tay-lok membalikkan badannya berpaling ke arah Ong Tiong, kemudian ujarnya:
"Tadi kau menahan aku untuk keluar dari tempat persembunyiannya, apakah kau sudah tahu kalau arak itu bukan arak beracun?"
"Aku tidak tahu.... tapi aku tahu, tiada seorang ayah yang tega untuk meracuni putra sendiri, aku percaya asal dia adalah manusia, sudah pasti dia memiliki sifat manusia"
"Kau mempercayainya?"
"Benar!" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Aaaai.... tak heran kalau kaupun tak pernah menderita kalah." Dibalik tirai tinggal Ang Nio-cu dan Ong Tiong. Sambil menundukkan kepalanya Ang Nio-cu berkata: "Mereka sedang menantimu di luar, mengapa kau tidak keluar?"
"Dan kau?"
"Aku.... aku merasa tidak pantas untuk berada bersama mereka."
"Mengapa?" Sepasang mata Ang Nio cu berkaca-kaca, katanya dengan kepala tertunduk rendah-rendah: "Karena akupun seperti Lok sang liong ong, tak pernah kuketahui kalau cinta yang sejati bukan bisa didapat dengan suatu tindakan, bila kau ingin memperoleh cinta suci orang lain, hanya dengan cinta murnimu saja yang bisa mendapatkannya, tak mungkin ada cara yang kedua lagi."
"Tapi sekarang kau sudah tahu bukan?" Ang Nio cu manggut-manggut. "Sekarang bisa tahu pun belum terhitung terlambat" kata Ong Tiong kemudian. Tiba-tiba Ang Nio cu mengangkat kepalanya memandang wajahnya, dengan sorot mata memancarkan pengharapan katanya: "Apakah sekarang belum terlalu lambat?" Ong Tiong juga memandang ke arahnya, tapi suaranya telah berubah menjadi halus dan lembut: "Belum terlambat, asal kau benar-benar memahami teori ini, selamanya tak pernah akan
terlambat." Digenggamnya tangan perempuan, itu, lalu ujarnya lagi dengan lembut: "Oleh karena itu kitapun harus ikut bersama mereka untuk meneguk secawan arak manis, arak getir yang kita minum pun sudah terlalu banyak." Arak itu manis, selain manis juga harum. Hanya orang yang tahan menghadapi percobaan, tahan menghadapi pelbagai rintangan saja yang pantas merasakan arak ini. Dan hanya mereka pula yang berhak mencicipinya. Sambil memegang cawan emasnya, Lok-sang-liong-ong memandang sekejap ke arah putranya dan menantunya, lalu berkata: "Aku telah menyiksa kalian, maka aku harus membayar kerugian, apa saja yang kalian kehendaki pasti akan kuberi."
"Kami tidak menghendaki apa-apa." jawab Lim Tay-peng. "Mengapa tidak mau?"
"Sebab yang kami inginkan tak mungkin bisa diberi oleh orang lain, termasuk juga dirimu sendiri."
"Akupun tak dapat memberikan kepada kalian? Lantas siapa yang dapat?" Mencorong sinar terang dari balik mata Lim Tay-peng, sahutnya pelan. "Hanya kami sendiri yang dapat memberikan apa yang kami inginkan."
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan?"
"Apa yang kami inginkan, sekarang telah kami dapatkan." Dia menggenggam tangan istrinya dengan penuh kebahagiaan dan kepuasan. Karena yang mereka inginkan adalah kebebasan, kasih sayang dan kegembiraan. Dan kini semua telah mereka dapatkan. Kesemuanya itu tak mungkin bisa diperoleh dari orang lain, juga tiada orang yang dapat memberikan kepada mereka.. Bila kaupun ingin kebebasan, cinta kasih dan kegembiraan, maka carilah dengan ketekadanmu, kepercayaan pada diri sendiri serta rasa cinta, sebab kecuali itu tak mungkin ada cara lain yang bisa mendapatkannya. Ya, tak mungkin ada. Justru karena mereka memahami teori ini maka mereka baru memperolehnya. Maka mereka baru mendapatkan kebahagiaan untuk selamanya. Siapa bilang seorang enghiong itu kesepian? Bukankah enghiong-enghiong kita selalu riang gembira dan berbahagia dalam kehidupannya?. Dengan begitu, berakhir pula cerita "PENDEKAR RIANG" ini sampai di sini, semoga pembaca
sekalian dapat menarik banyak pelajaran dari pengalaman Kwik Tay-lok sekalian dalam kehidupannya.
TAMAT