Bab 1

Di saat matahari sedang turun dan rombongan gowak terbang pulang, di satu jalanan dari pegunungan Tjin Nia di Siamsay, seorang anak muda lagi kasi kudanya jalan pelahan-lahan, karena ia sedang menikmati pemandangan alam mendekati magrib yang indah permai. Mengikuti pemuda ini ada seorang kacung umur belasan tahun,kudanya pun kurus, dibelakang kudanya itu, kecuali bungkusan pakaian pun ada sebuntal pelbagai kitab. Dia ini nampaknya                           sibuk, sebab mulai remang-remang, majikannya masih tidak percepat perjalanan mereka. "Kongtjoe, jalanan disini tidak aman," ia lalu mendesak. "Nanti kita tidak dapatkan rumah penginapan. Kalau kita ketemu begal di tengah jalan......"

Si mahasiswa tidak menyawab, dia cuma tertawa, lantas ia keprak lari kudanya.

Pemuda itu ada Hauw Tiauw Tjong alias Hong Hek, asal Siang Kioe di propinsi Hoolam,turunan sasterawan. Ketika itu ada di jaman kerajaan Beng, tahun kelima dari Kaisar Tjong Tjeng. Dengan perkenan ayah-bundanya, dia pergi pesiar. Pada waktu itu, pengkhianat

Goei Hian Tiong, thaykam yang berpengaruh, sudah dihukum mati karena

pemberontakannya, akan tetapi Negara belum seluruhnya aman-sentausa, malah disana-sini muncul segala begal dan berandal. Sebenarnya orang-tua itu tidak mufakat puteranya pesiar tetapi si anak memaksa, katanya, satu laki-laki mesti "dapat baca berlaksa kitab, dapat merantau berlaksa lie". Dia pun ada satu anak pintar dan berani.

Tiauw Tjong berangkat dengan cuma ajak seorang kacungnya itu, Hauw Kong namanya. Ia menuju ke arah Barat. Di sepanyang jalan, ia mengicipi kepermaian gunung-gunung, sungai dan kali. Kapan ia sampai dikaki gunung Tjiong Lam San, yang ia ketemui adalah

penduduk bermuka pucat-kuning yang kurus-kering, malah kadang-kadang mayat-mayat kelaparan, di antara siapa pada mulutnya masih termamah sisa rumput hijau, keadaannya sangat menyedihkan dan merisaukan hati. Mulanya, ia masih bisa menderma sejumlah uang, tapi lama-lama, ia kewalahan sendirinya. Terlalu banyak yang mesti ditolong, dilain pihak, uang bekalannya sangat terbatas. Tapi semua itu menginsafi ia bagaimana

kemelaratan merajalela, kesengsaraan rakyat jelata hampir merata. Walaupun semua itu, apabila ia tampak panorama indah, hatinya lega juga.

Baru setelah ditegur kacungnya, Hauw Kongtjoe sibuk juga. Ia sudah larikan kudanya, ia belum ketemu pondokan, sedang cuaca berubah makin remang- remang, makin gelap.

Belasan lie sudah ia kaburkan kudanya, baru ia sampai di sebuah kampung. Menampak kampung ia dan kacungnya girang bukan main, tapi kemudian, hati mereka cemas. Kampung itu sangat sunyi.

"Mari kita cari rumah penginapan," kata si kongtjoe.

Akhirnya Hauw Kong turun di depan sebuah pondokan, yang pakai merek Hotel Tjiang Lam, terus saja ia kaoki tuan rumah, pemilik hotel. Ia tidak dapat jawaban, melainkan teriakannya berkumandang dibelakang hotel, yang letaknya berdampingan sama gunung.

Itulah sambutan dari dalam lembah.....

Kembali kacung ini memanggil berulang- ulang, saban-saban ia disambuti kumandangnya. Hotel tetap sunyi, tidak ada penyahutan, tidak ada yang keluar.

Tiba-tiba berkesiur angin yang dingin. Keduanya, majikan dan kacungnya, bergidik sendirinya.

Tiauw Tjong habis sabar, ia bertindak masuk kedalam hotel. Untuk kagetnya, ia tampak dua tubuh mayat menggeletak dan darah hitam mengumpiang, bau amis engas

menyambar-nyambar hidung, kawanan laler terbang pergi-datang. Itulah  mayat- mayat sejak beberapa hari.

Hauw Kong, yang ikuti majikannya masuk, menjerit dan lari keluar.

Tiauw Tjong melihat kesekitarnya. Peti2 terbuka berhamburan, pintu dan jendela pecah-rusak. Teranglah sudah, hotel itu ada korbannya berandal.

Hauw Kong lihat majikannya belum juga keluar, ia masuk pula, memanggil.

"Mari kita lihat tempat lain," kata Tiauw Tjong.

Nyata di lain-lain tempat, hasilnya sama. Rumah-rumah kosong, ada juga mayat, malah ada mayat wanita dengan tubuh telanyang bulat, ialah korban perbuatan binatang.

Jadi itu adalah kampung kosong, merupakan sebagai noraka.....

Walaupun ia bernyali besar, akhirnya, Tiauw Tjong lekas-lekas berlalu dari kampung itu. Tanpa bicara satu sama lain, majikan dan kacungnya kaburkan kuda mereka terus kearah Barat, sampai lagi belasan lie. Mereka sibuk sekali. Sekarang mereka merasa lapar.

Dimana mesti mondok? Kemana mesti cari barang makanan? Akhir-akhirnya, si kacung berseru: "Kongtjoe, lihat!" Dan ia menunjuk. Majikan itu memandang ketempat yang ditunjuk, ia lihat satu sinar terang, di tempat jauh. "Mari kita mondok disana!" kata majikan ini, yang kembali kaburkan kudanya.

Hauw Kong, dengan kudanya seperti tulang melulu, susul majikannya itu.

Jalanan itu, makin jauh, makin sukar.

"Kalau itu ada sarang berandal, apa kita bukan cari mati sendiri?" akhirnya Tiauw Tjong bersangsi. Sang kacung terkejut. "Kalau begitu, jangan kita pergi kesana!" katanya.

Tiauw Tjong dongak, ia tampak awan gelap disekitarnya. Itulah mendung, tanda bakal turun hujan.

"Kita lihat dulu," kata ia, yang segera turun dari kudanya, yang ia tambat pada sebuah pohon. Kemudian, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan cahaya terang itu. Hauw Kong ikuti majikan itu.

Segera setelah datang dekat, pemuda ini dapati sebuah rumah dengan dua pintu, ia punya hati menjadi tetap. Selagi ia mengintip dipintu pekarangan, seekor anjing besar lompat keluar, terus menggonggong, agaknya dia hendak menerjang. Dengan bulang-balingkan cambuknya, Tiauw Tjong bikin anjing itu mundur, tapi binatang ini masih terus perdengarkan suaranya yang berisik, hingga akhirnya daun pintu terbuka,

seorang perempuan tua muncul, sebelah tangannya mencekal pelita.

"Siapa?" tanya nyonya itu.

"Kami, orang pelancongan," sahut Tiauw Tjong. "Kami kemalaman, kami ingin minta numpang bermalam."

"Mari masuk!" mengundang nyonya itu.

Tiauw Tjong masuk, akan dapati sebuah rumah buruk, kecuali kong, jaitu pembaringan tanah, tak ada perabot lainnya lagi. Satu penghuni lainnya ada seorang tua yang batuk-batuk saja.

Tiauw Tjong suruh kacungnya ambil kuda mereka, tapi kacung ini takut - ia ingat mayat-mayat tadi didalam hotel.

"Mari ikut aku," kata si empeh yang turun dari pembaringannya.

Dengan begitu kuda mereka dapat dibawa kedalam pekarangan.Si nyonya tua lantas suguhkan beberapa biji kue mo-mo dan masaki satu tehkoan air panas, tapi Tiauw Tjong tidak pernah makan santapan itu, baru beberapa gigitan saja, ia

sudah letaki pula. Ia lantas tanya, berandal siapa yang telah bunuh beberapa korban manusia di tempat yang ia lewati.

"Berandal? Mustahil berandal demikian kejam?" sahut si empeh, yang menghela napas. "Itulah perbuatan bagus dari tentara negeri!" Tiauw Tjong melengak.

"Tentara negeri? Tentara negeri demikian kejam?" ia tanya. "Apa pembesarnya antap mereka mengganas?"

Orang tua itu tertawa tawar.

"Rupanya siangkong Baru ini kali pernah merantau!" berkata dia. "Segala apa, siangkong tak tahu! Pembesar tentara? Dia justeru ambil apa yang paling bagus! Si cantik-manis mesti lebih dahulu diperlihatkan!"

"Kenapa rakyat tak mengadu ke kantor negeri?" tanya Tiauw Tjong.

"Apa gunanya? Itu artinya cari penyakit! Sekali kau mengadu, dalam sepuluh, delapan, atau sembilan bagian, jiwamu bakal hilang!..........."

"Eh, bagaimana bisa jadi demikian?"

Tiauw Tjong benar-benar tidak mengerti.

"Bukankah hamba negeri itu saling melindungi? Siapa mengadu, pengaduannya ditolak, orangnya dirangket, lalu ditahan! Siapa tidak mempersembahkan uang, dia jangan harap keluar dari penjara!"

Pemuda itu menggeleng kepala.

"Tak nyana aku, pangrepraja di Siamsay ini demikian buruk," menyatakan ia. Ia lantas tanya pula: "Apa perlunya tentara negeri pergi ke pegunungan?"

"Maksudnya untuk menindas berandal! Tapi sebenarnya, kebanyakan berandal jadi berandal karena desakannya tentara juga! Kalau tentara tak berhasil membekuk berandal, dia orang bunuh sejumlah penduduk, kepala mereka ini dihaturkan kepada seatasan mereka, untuk minta jasa. Mereka serbu rakyat, mereka merampok dan membunuh, dan

pulangnya, bisa naik pangkat juga!"

Orang tua itu bicara makin lama makin sengit, sampai si uwah ulapi tangan berulang-ulang, untuk cegah dia. Uwah ini kuatir Tiauw Tjong ada hamba negeri, itulah berbahaya. Tiauw Tjong sendiri menghela napas, pikirannya pepat sekali. Engkongnya ada satu Thay-

siang, ayahnya adalah Soe-touw, semuanya berpangkat tinggi, ayahnya sudah letaki jabatan, tapi semua terkenal jujur, siapa sangka, sekarang ada pembesar2 demikian jahat. Kabarnya tentara Boan-tjioe sering mengancam perbatasan, tentara negeri bukan tangkis musuh, akan bela Negara, mereka justeru celakai rakyat! Akhirnya, saking lelah dan pusing memikirkan kejahatan tentara itu, Tiauw Tjong rebahkan diri niat tidur, tapi Baru dia

layap-layap, dia terperanjat dengar suara berisik dari gonggongan anjing dan berbengernya kuda, disusul sama seruan-seruan dari kemurkaan, lantas gedoran hebat pada pintu! Si nyonya tua hendak buka pintu, si orang tua cegah ia. "Siangkong, pergi kebelakang untuk umpatkan diri," kata orang tua itu.

Tiauw Tjong menurut, bersama Hauw Kong, ia menyingkir ke belakang dimana mereka

dapat cium baunya batang-batang kaoliang, lalu mereka dapati tumpukan rumput. Baru mereka sembunyi, atau mereka dengar suara pintu kena didobrak rubuh. "Kenapa tidak lekas buka pintu?" demikian teguran bengis. Teguran ini disusul sama hajaran kepada kuping, suaranya nyata sekali.

"Oh, looya, kita.....kita ada suami- isteri sudah tua, kuping kita tuli, kita tidak dapat dengar......" terdengar jawaban si nyonya tua.

Tapi kembali suaranya hajaran kepada kuping. "Jikalau tidak kedengaran, kau mesti dihajar!" demikian teguran lagi. "Lekas sembelih ayam, lekas siapkan nasi untuk empat orang!"

"Kita sendiri bakal mati kelaparan, dari mana kita dapat ayam?" demikian suara ratapan. Segera terdengar suara rubuh terbanting, rupanya si orang tua telah dijoroki hingga rubuh, menyusul mana terdengarlah tangisannya si perempuan tua.

"Sudahlah, Ong!" lalu terdengar satu suara lain." Ini hari kita sudah idar2an satu harian, kita melainkan terima cukai dua-puluh tail lebih, memang sebenarnya kita orang tidak

puas, tetapi percuma andai-kata kau hendak lampiaskan itu....."

"Tetapi orang ini, tanpa dipaksa, mana bisa jadi?" terdengar penyahutan, rupanya dari si orang she Ong itu. "Mengenai dua-puluh tail itu, jikalau aku tidak kemplang patah kakinya

si tua-bangka, mana dia sudi keluarkan uangnya?"

"Penduduk di sini sebenarnya melarat," kata orang yang ketiga," hanya kalau kita tidak paksa mereka, kita sendiri bakal dicaci maki oleh Toa-looya......"

Selagi orang ini berkata-kata, kudanya Tiauw Tjong berbenger, beberapa hamba wet itu heran, lantas mereka pergi keluar, untuk melihat, hingga mereka dapati dua ekor kudanya si kongtjoe dan kacungnya.

"Si penunggang kuda tentu menginap di sini, inilah berarti hasil....." demikian kawanan opas itu bicara satu sama lain, kemudian mereka semua kembali ke dalam, dengan kegirangan.

Tiauw Tjong kaget, ia insaf ancaman bahaya, maka itu, ia tarik Hauw Kong, akan ajak kacung itu molos dari pintu belakang, akan menyingkir lebih jauh di jalanan ceglak-ceglok dan banyak batunya. Hati mereka lega melihat tak ada orang kejar mereka, sedang uang

bekalan mereka berada di bebokongnya Hauw Kong. Mereka mendekam dalam pepohonan yang lebat, terus selama satu malam itu, besoknya terang tanah, mereka keluar, akan cari jalan besar, untuk lanjuti perjalanan.

Di tengah jalan, selagi melakoni perjalanan sepuluh lie lebih, majikan dan kacung itu rundingkan soal membeli lagi kuda, untuk perjalanan mereka itu. Sementara itu, Hauw Kong senantiasa mendumal, mencaci maki kawanan hamba2 negeri yang jahat dan kejam, yang sudah siksa dan peras rakyat, hingga kejadiannya, kuda mereka pun turut lenyap. Mereka sedang jalan terus ketika tiba-tiba, dari jalan kecil, muncul empat orang polisi, yang bersenjatakan thie-tjio, yang membekal borgolan, dan dua diantaranya sambil tuntun dua ekor kuda. Berdua mereka saling mengawasi, dengan melongo. Sebab itulah kuda mereka! Jadi empat oppas itu adalah hamba2 negeri yang semalam mengganas si empeh dan uwah rakyat jelata yang melarat.

Di pihak lain, empat oppas itu juga mengawasi majikan dan bujang itu, yang sudah tidak keburu menyingkir, terpaksa keduanya mencoba jalan terus sambil bawa sikap sewajarnya.

"Eh, sahabat, kau orang kerja apa?" akhirnya satu oppas menegor.

Itulah, Tiauw Tjong ingat, ada orang yang aniaja si empeh tadi malam.

"Bersama aku punya kongtjoe aku hendak pesiar ke Tjiong Lam San," Hauw Kong

wakilkan kongtjoenya menjawab. Ia pun maju kedepan majikannya itu.

Dengan tiba-tiba oppas, yang dipanggil si Ong itu, sambar Hauw Kong untuk dicekal, lalu dengan sebat, dia sambar bungkusan dibelakang orang, yang mana dia segera buka, hingga kelihatanlah isinya uang emas dan perak. Dengan tiba-tiba juga dia jadi mata merah, romannya jadi bengis.

"Kongtjoe? Kongtjoe apa?" dia berseru. "Kamu orang tentunya bukan orang baik2. Dari mana harta ini? Tentu hasil pencurian! Bagus, kita dapat bekuk pencuri berikut barang buktinya! Hayo ikut kita menghadap toa-looya!"

Terang oppas ini menghina pemuda dan bocah itu, yang dia hendak gertak, supaya uangnya itu bisa dikantongi.

Tapi Hauw Kong cerdik, ia tidak jeri.

"Bagus!" ia bilang. "Kongtjoe ada puteranya Taydjin Hauw Soe-touw, pergi kepada looyamu, itulah paling bagus!"

Si Ong melengak, hingga ia mundur. Mendadakan, ia tertawa.

"Aku main2 saja!" kata ia, yang romannya jadi ramah-tamah. "Boleh toh kita main-tiba sedikit?"

Menampak orang jadi manis-budi, hatinya Hauw Kong jadi besar.

"Mari pulangi kuda kita," kata ia. "Atau sebentar, menghadap kepada toalooyamu, nanti aku mintakan presen seorang seratus rotan kepada kamu semuanya." Semua orang terkejut.

Semua oppas itu jadi terkejut, satu antaranya yang berusia pertengahan lantas kerutkan alis.

"Inilah bahaya," ia pikir kemudian. "Sudah terlanjur, baik aku binasakan dua pitik ini, uangnya kita rampas."

Ia telah lantas ambil putusan, mendadakan ia cabut goloknya dan bacok si bocah. Hauw Kong kaget, ia berkelit tidak urung, pundaknya kena kebacok, darahnya lantas ngucur.

"Kongtjoe, lekas lari," berseru kacung ini, yang kecil tetapi hatinya tabah dan setia. Tiauw Tjong pun kaget, lantas saja ia lari. Oppas itu penasaran, ia membacok pula, tetapi sekali ini Hauw Kong bisa kelit, sesudah mana, ia putar tubuh, akan lari juga, akan susul kongtjoenya.

"Kejar mereka!" berseru oppas ganas itu, yang lalu bersama si Ong bertiga, kejar itu majikan dan kacung.

Bukan main kuatirnya Hauw Tiauw Tjong, ia pun tidak bisa lari keras sekali. Disaat ia hampir kecandak, tiba-tiba dari arah depannya datang satu penunggang kuda, yang kudanya dikasi lari dengan keras. Empat oppas itu lihat si penunggang kuda, yang satu segera berteriak: "Kurang ajar!

Kurang ajar! Bangsat besar, kau berani lawan kita?"

"Bekuk dia! Bekuk dia!" satu oppas yang lain berteriak-teriak. "Bekuk itu penjahat!"

Kawanan oppas ini secara kedji tuduh Hauw Kongtjoe berdua sebagai penjahat. Secara begini pun mereka mencari alasan untuk keganasan mereka.

Si penunggang kuda di depan datang semakin dekat, tidak saja ia telah lihat dua orang lagi lari dan empat oppas lagi mengejar, ia pun dengar teriakan-teriakannya si oppas,

maka ia larikan kudanya kearah dua orang itu, setelah datang dekat, ia membungkukkan tubuh, ia ulur kedua tangannya, nampaknya gampang sekali, ia cekal Tiauw Tjong dan Hauw Kong, untuk diangkat naik ke belakang kudanya.

Empat oppas itu, dengan napas sengal- sengal, sudah lantas sampai kepada si

penunggang kuda, yang telah tahan kudanya, dan dia ini sudah lantas turunkan dua orang itu sambil berkata: "Inilah mereka, sudah ditangkap!" Habis itu, ia pun loncat turun.

Penunggang kuda ini bertubuh besar, suaranya nyaring, mukanya berewokan, umurnya kira-kira tiga puluh tahun.

"Terima kasih," kata keempat oppas, yang berlaku ramah-tamah. Mereka jerih terhadap orang beroman gagah. Kemudian mereka angkat bangun Tiauw Tjong dan Hauw Kong, yang jatuh ke tanah.

Penunggang kuda itu awasi Hauw Kongtjoe, yang muda dan sebagai mahasiswa, serta kacungnya, yang melongo saja sebagai majikannya. Sama sekali mereka berdua tidak mirip- miripnya dengan orang jahat.

Sekonyong-konyong Hauw Kong buka mulutnya: "Enghiong, tolong! Mereka ini hendak merampas dan membunuh!"

"Kamu siapa?" tanya si penunggang kuda.

"Inilah kongtjoeku, Hauw Soe-touw punya......"

Hauw Kong belum sempat bicara terus atau satu oppas telah bekap mulutnya.

"Saudara, kau baik ambil jalanmu sendiri, jangan kau campur urusan kami orang kantor negeri," oppas yang usia pertengahan mengasih nasihat.

Tapi si penunggang kuda bersikap lain.

"Lepaskan tanganmu itu, biarkan dia bicara!" ia kata pada oppas yang tekap si bocah.

"Aku yang rendah ada satu anak sekolah, aku tidak bertenaga besar, mana mungkin aku jadi penjahat....." berkata Tiauw Tjong.

"Eh, kau berani banyak bacot?" satu oppas lain menegur. Dan ia ayun sebelah tangannya, akan gaplok mukanya si anak muda.

Penunggang kuda itu gusar, ia ayun cambuknya dengan apa ia lilit lengannya si oppas galak, hingga gaplokannya batal. Sebaliknya, kapan si penunggang kuda betot tangannya, dia terpelanting dan jatuh mencium bumi, hingga dua buah giginya gempur, mulutnya mengucurkan darah! "Bagaimana sebenarnya duduknya perkara?" tegaskan si penunggang kuda.

"Kongtjoeku sedang pesiar," Hauw Kong gantikan tuannya," lantas kami bertemu sama ini empat orang, mereka lihat uang kami, lantas mereka hendak binasakan dan rampas uang kami itu!" Ia lantas berlutut. "Enghiong, tolong kami....." ia memohon.

"Apakah ini benar?" si penunggang kuda tanya oppas di depannya.

Oppas itu belum menjawab atau si Ong, yang berada di belakangnya, membacok dengan goloknya! Penunggang kuda itu dengar sambaran angin, tanpa menoleh lagi, ia berkelit kekiri, segera ia putarkan tubuhnya, sambil mendekam sedikit, ia kirimkan dupakannya

kepada pahanya si Ong, hingga dia ini terpental dan rubuh.

"Inilah penyamun tulen!" berseru tiga oppas lainnya, sambil mereka maju menyerang. Tiauw Tjong berkuatir, ia lihat orang tak bersenjata, akan tetapi si penunggang kuda tak jeri dikerubuti, dengan kelit sini dan egos sana, ia hindarkan sabetan atau kemplangan

thietjio dan sabetan rantai borgolan yang digunai tiga pengepungnya.

Si Ong berbangkit, ia maju pula, ia membacok. "Kurang ajar!" berseru penunggang kuda itu, yang kelit bacokan tapi tangannya melayang, hingga dengan keluarkan jeritan kesakitan, hidungnya si Ong muncratkan darah, goloknya

pun terlepas, sebab segera ia tutupi mukanya dengan kedua tangannya.

Penunggang kuda itu jumput golok orang, malah terus ia pakai menyerang, atas mana, satu oppas terluka pundaknya, kemudian menyusul terbacok kaki kirinya oppas yang menggunai rantai, hingga dia rubuh. Melihat demikian, oppas yang satunya lantas saja lari, disusul oleh si Ong, yang pun turut angkat kaki, sama sekali mereka lupa dua kawan mereka..... Penunggang kuda itu tertawa berkakakan, ia lempar golok di tangannya, ia hampirkan kudanya untuk dinaiki.

"Tunggu dulu, inkong," mencegah Tiauw Tjong pada tuan penulungnya itu, yang ia hampirkan. Ia mengucap terima kasih, ia tanya she dan namanya orang itu.

Orang itu awasi kedua oppas yang terluka, yang rebah di tanah sambil merintih kesakitan, dengan mata bersorot kegusaran, mereka mengawasi.

"Disini bukan tempat bicara, mari kita pergi kesana," kata si penunggang kuda. "Kita naik kuda."

Ia lompat naik atas kudanya, perbuatannya ditelad oleh Tiauw Tjong dan Hauw Kong, yang pun naik atas kudanya masing-masing.Dengan berendeng, mereka pergi dari tempat kejadian itu, sembari jalan, Tiauw Tjong perkenalkan diri. "Kau jadinya ada Hauw Kongtjoe," kata penunggang kuda itu. "Aku ada Yo Peng Kie yang dalam kalangan kang-ouw dikenal sebagai Mo-In Kim-tjie, Sayap emas beterbangan, aku bekerja sebagai piauwsoe kepala dari Boe Hwee Piauw- kiok." Tiauw Tjong mengucap terima kasih. 'Coba tidak ada piauwtauw yang tolongi kami berdua, hari ini tentulah kami terbinasa ditangan orang jahat." ia kata. "Sekarang, baiklah kongtjoe lekas pulang," Peng Kie anjurkan. "Kau mesti beritahukan kejadian ini kepada ayahmu, supaya ayahmu urus lebih jauh, kalau tidak, tentu kawanan oppas itu bakal putar duduknya perkara. Terang sudah mereka ada jahat dan licik. Mereka tidak kenal aku, tentu mereka bakal berati kongtjoe seorang."

Mendengar nasihat itu, lenyap kegembiraannya kongtjoe ini. "Kau benar, saudara Yo," kata ia. "Terima kasih untuk keterangan kau ini. Mari kita lakukan perjalanan ber-sama2."

Peng Kie setuju. "Mari," sahut ia.

Hatinya Tiauw Tjong lega. Dengan dikawani itu piauwsoe, ia tak kuatir lagi. Dua-puluh lie mereka sudah lalui, tidak juga mereka dapat pondokan. Sukur Peng Kie ada bawa rangsum kering, ia keluarkan itu, untuk didahar bersama. Mereka singgah sebentar, Hauw Kong cari kwali pecah, untuk masak air, supaya mereka bisa minum. Ia kumpuli kayu kering, untuk nyalakan api.

"Si penjahat ada di sini!" tiba-tiba kacung ini dengar suara nyaring dibelakangnya. Ia terkejut, hingga ia berjingkrak, karena mana, airnya tumpah, menyiram kayunya.

Peng Kie segera berpaling, hingga ia tampak, oppas tadi, yang kabur, telah balik bersama belasan serdadu, dia itu sendiri kaburkan kudanya paling depan.

"Lekas naik kuda!" piauwsoe ini serukan kawan2nya. Kemudian ia kasi majikan dan

bujang itu lari didepan, ia sendiri dengan hunus golok tantoo, larikan kudanya disebelah belakang, untuk melindungi. "Bekuk si penjahat!" beberapa serdadu ber-teriak2.

Semua serdadu itu mengejar dengan keras. Peng Kie telah lari jauh juga, tetapi ia dapat kenyataan, ia terpisah semakin dekat dengan rombongan pengejarnya itu.

"Ambil jalan kecil!" ia teriaki dua kawannya. Tiauw Tjong membiluk kejalan kecil, dibelakang ia, Hauw Kong menyusul bersama si piauwsoe.

"Kejar terus! Siapa dapat membekuk, ia akan dapat upah besar!" si oppas berteriak-teriak, akan anjurkan belasan serdadu itu. Melihat orang menyusul semakin dekat, terpaksa Peng Kie tahan kudanya, untuk diputar balik, guna tunggui barisan pengejar itu, kemudian ia maju memapaki, akan menyerang.

Si oppas kaget, ia lantas mundur, tetapi belasan serdadu maju menyerang. Mereka bersenjatakan tumbak, yang panjang, dengan lekas Peng Kie jadi repot, belum sempat ia membacok salah satu musuh, karena goloknya pendek, pahanya telah kena tertusuk, hingga ia merasakan sakit walaupun lukanya tidak parah. Karena ini, ia jadi kecil hati. Ia keprak kudanya, ia berlompat kedepan, satu serdadu yang berada paling dekat, ia bacok pundak kirinya.

Hal ini membikin serdadu-serdadu yang lain kaget, mereka merandek, justeru itu, si piauwsoe kaburkan kudanya, untuk lari terus.

"Kejar!" berseru si oppas, yang maju pula, diikuti oleh kawan-kawannya.

Peng Kie sudah lantas dapat candak Tiauw Tjong dan Hauw Kong.

Jalanan di depan mulai jadi sempit, tapi sukar, serdadu-serdadu itu jeri terhadap sipiauwsoe, mereka tak berani maju mendekati, mereka cuma mengejar saja. Peng Kie dapat hati, ia ajak dua kawannya lari dengan keras.

Mereka jalan di tempat banyak tikungan, ini menolong mereka, sebab tidak lama lagi, mereka lenyap dari pemandangan matanya sekalian pengejar, yang cuma suara teriak-teriakannya saja yang masih terdengar dengan nyata.

Segera mereka menghadapi jalan cagak tiga. "Kita turun disini!" Peng Kie kata. Ia mendahului loncat turun dari kudanya. Tiauw Tjong dan kacungnya menuruti, mereka pun turun.

"Mari!" mengajak piauwsoe itu.

Mereka tuntun kuda mereka, masuk kedalam pepohonan yang lebat, untuk sembunyi. Tidak terlalu lama, muncullah rombongan tentara bersama si Ong. Mereka ini agak bersangsi melihat jalan cagak itu. Akhirnya, si Ong pilih satu diantaranya. "Mereka tidak akan susul kita jauh-jauh, mereka bakal kembali," kata Peng Kie. "Mari lekas!"

Ia robek ujung bajunya, buat dipakai membungkus lukanya, habis itu mereka keluar dari tempat sembunyi, naik atas kuda masing-masing, lantas mereka ambil jalan yang lain yang diambil pengejar mereka. Mereka sudah lari jauh juga ketika Peng Kie dengar suara  berlari- larinya banyak kuda. Ia mengerti, orang tentu sedang susul mereka. Biar bagaimana, ia sibuk juga. Tidak jauh dari mereka, mereka lihat tiga buah rumah gubuk, di depannya, ada penghuninya orang tani sedang bekerja. Peng Kie hampirkan orang tani itu, sembari menjura, ia kata : "Saudara, dibelakang kami ada tentara sedang mengejar yang hendak celakai kami, tolong kau carikan tempat  sembunyi....." Orang tani itu tetap memacul, ia seperti tidak dengar permintaan itu. Tiauw Tjong turun dari kudanya, ia hampirkan orang tani itu, akan ulangi permintaannya Peng Kie. Sekali ini, mendadakan orang tani itu mengawasi, dengan kedua matanya yang

bersinar. Ia mengawasi dari atas kebawah pada tiga orang itu.

Berbareng dengan itu dari antara pepohonan lebat terdengar suara suling merayu-rayu, lantas tertampak satu bocah bercokol dibelakang seekor kerbau. Dia berumur delapan atau sembilan tahun, kuncirnya kecil pendek nyungcung di batok kepalanya.

Dia beroman manis dan cakap, membuat orang segera sukai dia. Melihat bocah itu, si orang tani kata padanya," Sin Tjie, bawa kuda kedalam gunung, kasi

makan rumput sepuasnya! Tunggu sampai sudah gelap, Baru kau bawa kembali."

Bocah itu pandang Tiauw Tjong bertiga.

"Baik!" ia menyahuti, terus ia hampirkan ketiga kuda orang-orang itu.

Peng Kie tidak mengerti maksud orang, ia berikan kuda mereka. Sementara itu, suara pengejar datang semakin dekat, Tiauw Tjong sibuk. "Mereka mendatangi...." kata ia. "Bagaimana?"

"Mari turut aku," mengajak si orang tani. Tiauw Tjong bertiga ikut diajak masuk kedalam rumah, yang bersih keadaannya walaupun perabotan kebanyakan ada alat2 pertanian. Mereka dibawa terus kepedalaman, sampai

disebuah kamar tidur, ketika si orang tani singkap kelambu, dibelakang itu ada tembok. Dia menekan dua kali kepada tembok atas mana tembok itu berbunyi dan terbukalah sebuah lobang, sehingga mereka terkejut.

"Masuklah!" kata si orang tani.

Peng Kie bertiga masuk. Mereka dapati sebuah gua yang cukup lebar. Nyata gua itu ada gua gunung, yang sengaja dibuka. Tanpa menggempur rumah, tidak

nanti diketahui, dibelakang rumah ada lobang gua. Orang tani itu tekan pula tembok, setelah mana, pintu gua tertutup pula. Ia terus pergi keluar, untuk bekerja pula dengan cangkulnya seperti tadi. Belum terlalu lama, muncullah si Ong serta belasan serdadunya. "Eh, apa tadi ada tiga penunggang kuda lewat di sini?" Ong tanya dengan kasar. "Baru saja dia lewat, kesana!" sahut si petani seraja menunjuk kesebuah jalan kecil.

Ong beramai larikan kudanya ketempat yang ditunjuk itu, disini mereka melalui tujuh atau delapan lie tanpa ada hasilnya, lantas mereka kembali. Mereka hampirkan pula si petani, utk. ditanyakan, tapi dia ini menyahuti tidak jelas, dia mirip dengan seorang budek. "Sudah, jangan layani si tolol!" kata beberapa serdadu. "Mari!"

Mereka larikan kuda mereka kesebuah jalan kecil lainnya. Tiauw Tjong bertiga, dari tempatnya sembunyi, dengar suara kaburnya banyak kuda,

suaranya nyata dan lenyap, nyata pula, lenyap lagi. Selama itu, mereka tetap sibuk, terutama sebab tuan rumah belum datang untuk membukai pintu. Peng Kie coba tolak pintu gua, tidak ada hasilnya, sebab ia tak tahu rahasianya. Daun pintu pun tak tergerak sedikit jua. Gua ada gelap. Terpaksa mereka duduk diam, kecuali Peng Kie, yang beberapa kali merintih karena lukanya, hingga ia kutuki pengejar-pengejarnya.

Entah berapa waktu telah lewat, mendadakan pintu gua terbuka sendirinya dengan menerbitkan suara, lebih dahulu muncul cahaya api kuning, lalu muncul si orang tani dengan tangannya menyekal tjiaktay yang lilinnya menyala.

"Marilah kita dahar!" ia mengundang.

Peng Kie berlompat bangun, akan mendahului keluar, Tiauw Tjong dan kacungnya susul dia. Mereka pergi ke thia dimana ada sebuah meja yang sudah siap dengan nasi dan temannya, yang masih mengepul-ngepul,kecuali tauwhoe dan sayur, pun ada dua ekor ayam yang gemuk. Didalam ruangan itu, kecuali si orang tani dan si bocah angon, ada lagi tiga petani lainnya, yang menantikan tetamu-tetamunya sambil berdiri.

Tiauw Tjong bertiga memberi hormat, mereka lantas perkenalkan diri.

Mendengar namanya Peng Kie sebagai piauwsoe, nampaknya orang-orang itu tak

memperdulikannya, akan tetapi mengetahui si anak muda ada puteranya Hauw Soe-touw, semua saling memandang, lantas ada yang tanyakan halnya Hauw Soe-touw selama yang belakangan ini.

Tiauw Tjong berikan jawaban yang sebenarnya, sesudah mana, ia minta tanya namanya sekalian petani itu.

"Aku yang rendah she Eng," jawab seorang umur lima-puluh lebih. "Dia ini she Tjoe," dia perkenalkan petani yang pertama. "Dan dia ini she Nie." Dia tunjuk seorang bertubuh jangkung tetapi kurus. "Dan dia ini she Lo," ia tambahkan kepada seorang yang kate

dampak. "Aku kira tuan-tuan dari satu keluarga, tak tahunya semua berlainan she," kata Tiauw Tjong.

"Kita semua ada sahabat-sahabat baik," terangkan si orang she Eng.

Segera Tiauw Tjong dapat kenyataan, semua tuan rumah tak gemar bicara tapi gerak-gerik mereka tak mirip dengan petani sejati; si orang she Tjoe dan Nie nampaknya keren, si orang she Eng agung-agungan, seperti satu sasterawan. Dia coba bicara sama si orang she Eng itu, untuk cari kepastian, tapi ia ini tidak menjawab jelas, agaknya ia seperti mengerti dan tidak mengerti.

Habis berdahar, Baru si orang she Eng tanyakan bagaimana halnya tetamu-tetamu itu dikejar polisi dan serdadu.

Tiauw Tjong berikan keterangan dengan jelas, karena ia terpelajar, kata- katanya teratur sempurna dan menarik hati, apapula ketika ia menutur halnya rakyat jelata yang bersengsara dan mati terlantar, binasa teraniaya, hingga nyata sekali kekejamannya tentara negeri tukang rampok dan bunuh.

Semua pendengar membuka mata lebar2, si orang she Nie sampai keprak meja, alis dan kumisnya seperti bangun berdiri, ia tentu telah membuka mulut dan mendamprat jikalau tidak si orang she Eng lirik dia, terus ia bungkam.

Tiauw Tjong juga ceritakan halnya Yo Peng Kie tolongi ia, dengan itu ia hunjuk syukurnya dan pujian kepada itu piauwsoe, mendengar mana, piauwsoe ini nampaknya puas sekali.

"Itulah tidak berarti apa-apa," kata Peng Kie. "Yang berbahaya adalah dulu ketika di Shoasay, seorang diri aku bunuh Tjhin-pak Sam Hiong."

Lalu dengan bangga ia jelaskan bagaimana, dalam keteter, ia berbalik menang lawan Tjhin-pak Sam Hiong, tiga penjahat besar dari propinsi Shoasay sebelah utara, kemudian itu ditambah sama pelbagai pengalamannya selama sepuluh tahun, hingga katanya, banyak penjahat tidak berani pandang enteng kepadanya. Sedangnya piauwsoe ini menutur dengan gembira, hingga ia seperti lupa daratan, tiba-tiba

si bocah angon tertawa cekikikan.

Peng Kie pandang itu bocah, yang terus berdiam, maka ia lanjuti penuturannya, sekarang perihal pelbagai kejadian didalam kalangan kang-ouw.

Tiauw Tjong asing dengan kaum kang-ouw, ia jadi ketarik hati. Hauw Kong pun belum tahu apa-apa, ia puji piauwsoe itu. Peng Kie kemudian bicara tentang ilmu silat, ia sampai gerak-geraki tangan dan kakinya, nampaknya ia membuat gembira kepada si orang-orang tani, sampai akhirnya si orang she

Lo menguap dan kata: "Sudah tak siang lagi, marilah kita semua masuk tidur!"

Secara demikian, perjamuan ditutup, malah si bocah angon segera tutup pintu, sedang si orang she Tjoe angkat sepotong batu besar, yang ditaruh ditempat gelap, untuk dipakai

mengganjal pintu. Melihat batu besar itu, diam-diam Peng Kie ulur lidah.

"Ah, orang ini bertenaga besar sekali....," pikir ia. "Batu ini sedikitnya empat ratus kati beratnya...." Si orang she Eng rupanya lihat keheranannya si tetamu. "Ditanah pegunungan ada banyak harimau," kata dia. "Bisa kejadian ditengah malam,

binatang buas itu datang dan menggempur pintu, maka pintu perlu diganjel..."

Belum berhenti suaranya si Eng ini atau mendadakan terdengar sampokan angin dahsyat di luar gubuk, diantara pepohonan, sampai daun-daun dan cabangnya perdengarkan suara menderu- deru, daun pintu dan jendela bagaikan tergetar, kemudian itu disusul sama

gerungan panjang dan hebat, akan akhirnya terdengar juga suaranya kuda dan kerbau.

"Lihat, binatang itu datang pula untuk berkurang ajar!" kata si Eng.

Si Nie berbangkit, dari belakang pintu, ia ambil sepotong kongtjee, cagak seperti tumbak.

"Sekali ini dia tak dapat dikasi lolos lagi!" kata ia bagaikan berseru. "Sin Tjie, kau pun turut!"

Si bocah angon menyahuti, ia lari kedalam kamar sebelah kanan, dari mana ia keluar pula dengan tangan mencekal sebatang tumbak pendek dan dipinggan tergendol kantong kulit.

Si Tjoe sudah lantas geser batu besar, ia terus buka pintu, hingga berbareng dengan terpentangnya pintu itu, angin keras menghembus masuk, membawa juga daun-daun kering, hingga lilin lantas padam. Hauw Kong kaget hingga ia menjerit. Si Nie loncat keluar, diturut oleh si bocah angon, yang bernama Sin Tjie.

"Aku turut!" kata Peng Kie seraja ia djumput goloknya. Tapi Baru ia bertindak selangkah atau mendadakan lengannya ada yang cekal,ketika ia coba tarik tangannya, ia rasai cekalan keras sekali, lima jari si pencekal bagaikan jari-jari besi saja.

"Jangan keluar, binatang buas itu ganas sekali!" demikian satu cegahan dengan suara serak.

Lagi sekali Peng Kie geraki tangannya, untuk loloskan cekalan, apamau, ia tidak berhasil, maka akhirnya, terpaksa ia duduk pula. Baru setelah itu, cekalan kendor sendirinya.

Di luar, segera terdengar seruannya si Nie beberapa kali, bercampur sama gerungannya sang harimau, diantara mana, ada pula suaranya kongtjee, sedang angin masih menderu-deru. Juga ada terdengar seruan kecil tapi nyaring dari si bocah angon. Itu semua menandakan bahwa pertempuran sedang berlangsung antara si raja hutan dan

dua petani. Adalah kemudian, suara berisik mulai berkurang, terdengarnya semakin jauh, makin jauh, rupanya binatang liar itu kabur dan dikejar lawannya. Si Lo segera nyalakan batu tekesan, untuk sulut lilin, hingga kelihatan, ruangan tersebarkan banyak daun kering. Hauw Kong duduk diam, mukanya sangat pucat, sedang Tiauw Tjong nampaknya jeri. Malah Peng Kie, si piauwsoe yang tadi omong besar, sekarang nampak hatinya gentar,

hingga ia diam saja. Orang berada dalam kesunyian sekian lama, kemudian terdengar tindakan kaki cepat, yang segera disusul dengan masuknya si bocah angon, yang terus - sambil tertawa,

wajahnya gembira - berkata separuh berseru : "Kita makan daging harimau! Kita makan daging harimau!"

Tiauw Tjong lihat tumbak pendek orang berlepotan darah.

"Dia begini kecil, dia berani dan kosen," pikir Hauw Kongtjoe, "tapi aku, aku tidak punya tenaga untuk sembelih ayam saja....Sungguh malu!...."

Selagi pemuda ini berpikir, si Nie bertindak masuk dengan tindakan lebar, sebelah tangan mencekal kongtjee, sebelah yang lain menyeret harimau yang terus ia lemparkan ketengah thia.

Tiauw Tjong kaget sampai ia dapati binatang itu tidak bergerak, tanda sudah mati.

"Sin Tjie, tadi kau menyerang setjara keliru, kau tahu tidak?" tiba-tiba si Nie kata pada sibocah angon, yang ia awasi dengan tayam. Bocah itu tunduk.

"Ya, tidak selajaknya aku menyerang dengan piauw depan-berdepan," ia akui.

Mendengar itu, wajahnya si Nie jadi sabar pula.

"Menyerang dari depan bukannya tak boleh," kata dia." Hanya jikalau kau hendak lepas sepasang piauw dengan berbareng, kau mesti arah dua-dua matanya, setelah piauw dilepaskan, kau sendiri mesti segera loncat kesamping, tetapi tadi kau gunai sebatang piauw saja, hingga saking kesakitan, harimau itu lompat menerjang padamu, coba aku

tidak mencegah, apa jiwamu masih dapat ditolong?"

Bocah itu berdiam. "Tapi piauwmu itu jitu sekali," kata si Nie kemudian, sebagai pujian, "apa yang kurang

adalah tenagamu. Inilah tidak heran, kalau nanti kau telah jadi besar, tenagamu akan tambah sendirinya."

Ia angkat tubuhnya harimau, untuk dibalik, hingga kelihatan sebatang piauw lain nancap dilobang kotoran.

"Piauw ini," katanya," apabila digunakannya dengan tenaga besar,akan nembus sampai kedalam perut dan akan menyebabkan kematian."

"Mulai besok aku nanti berlatih dengan sungguh-sungguh," kata Sin Tjie.

Si Nie manggut, lantas ia seret bangkai harimau itu kebelakang. Hatinya Peng Kie jadi tidak tenteram. Tadinya ia sangka mereka itu ada orang-orang tani

biasa, tidak tahunya dua diantaranya, malah yang satu adalah satu bocah cilik, dalam sekejab saja bisa binasakan seekor harimau. Ia jadi curiga, mereka itu adalah penyamun-

penyamun dalam penyamaran rakyat jelata. "Jikalau mereka turun tangan, mana sanggup aku lawan mereka?" pikir ia. Sebaliknya dari si piauwsoe, Tiauw Tjong tidak curiga apa-apa, ia malah puji si bocah, yang tangannya ia cekal dan usap2. Ia pun tanya she dan namanya. Bocah itu melainkan tertawa, ia tak menjawab. Malam itu, Tiauw Tjong tidur bertiga bersama Peng Kie dan Hauw Kong. Si kacung pulas dengan cepat. Tiauw Tjong sukar tidur, maka selang tak lama, ia dengar suara orang baca

buku. Ia lantas kenali suaranya si bocah angon. Bocah itu membaca dalam dialek Kwietang, ia heran. Lebih2 ia heran akan dapati, buku yang dibaca adalah buku yang ia tidak kenal. Mungkin itu ada kitab ilmu perang. Maka akhirnya ia berbangkit, ia turun dari

pembaringan akan bertindak ke thia.

Duduk menghadapi api lilin, si bocah terus baca bukunya, disampingnya duduk si Eng, yang saban2 mengajari padanya.

Si Eng manggut melihat Hauw Kongtjoe.

Tiauw Tjong mendekati, ia lihat beberapa jilid buku diatas meja, kemudian ia djumput satu, yang berkalimat "Kie Kauw Sin Sie" ialah kitab ilmu perang karangannya jenderal Tjek Kee Kong.

"Saudara," kata ia kemudian, saudara semua bukannya orang-orang biasa, kenapa saudara beramai hidup menyendiri disini? Maukah saudara kasi keterangan padaku?"

"Kita adalah petani biasa saja," sahut si Eng. "Kita hidup bertani sambil memburu, kalau kita pun baca buku. Itu biasa saja, bukan? Kenapa kongtjoe heran?"

Tiauw Tjong tak enak sendirinya.

"Maafkan aku, aku telah mengganggu," kata ia, yang terus manggut, untuk kembali kekamarnya.

Sekali ini, rebahkan diri, Tiauw Tjong dapat tidur, tapi, sedang ia  layap- layap, ia sedar pula, sebab Peng Kie goyang tubuhnya dengan piauwsoe itu terus berbisik: "Mari kita pergi,

inilah sarang penjahat!....."

Pemuda itu kaget. "Bagaimana kau ketahui?" ia tanya "Mari lihat!" Peng Kie berbisik pula. Ia nyalakan api,

akan suluhi sebuah peti kayu, yang ia buka tutupnya. "Lihat, kongtjoe!"

Kembali Tiauw Tjong kaget. Ia lihat peti itu muat banyak sekali emas dan perak dan barang permata. Ia sampai tergugu. Peng Kie serahkan api pada si anak muda, ia sendiri angkat minggir peti itu, dibawah mana ada sebuah peti lain, yang dikunci, akan tetapi selagi ia berkutetan, Tiauw Tjong mencegah.

"Sudahlah, jangan bongkar lebih jauh rahasia orang," kata pemuda ini. "Kita bisa terbitkan onar....."

"Tetapi didalam sini ada bau luar biasa," Peng Kie bilang. "Bau apakah itu?"

"Bau bacin amis!"

Tiauw Tjong berdiam. Peng Kie patahkan rantai kuntji, lalu ia pasang kuping, apabila ia tidak dengar suara apa-

apa dari luar, ia buka tutup peti itu, ia sambuti api, untuk menyuluhi.

Kesudahannya ini, keduanya berdiri tercengang, mukanya Hauw Kongtjoe pucat. Didalam peti itu ada dua kepala manusia, yang satu rupanya sudah sekian lama dikutungi batas lehernya, sebab darahnya sudah hitam, yang satunya pula, masih Baru, tapi dua-duanya seperti telah dipakaikan obat, karena masih belum rusak. Peng Kie ada orang kang-ouw, ia toh lemas kaki dan tangannya. "Mari kita pergi!" kata pula si piauwsoe, sesudah ia dapat pulang ketabahannya dan kedua peti ia susun rapi seperti tadinya. Habis itu, ia pun kasi bangun pada Hauw Kong, untuk

ajak si kacung singkirkan diri.

Api telah dikasi padam, dengan raba sana-sini, bertiga mereka pergi ke thia, terus kepintu. Disini Peng Kie dapat raba batu besar, memegang mana, ia mengeluh di dalam hati. Ia coba gunai antero tenaganya, ia masih tak dapat geraki bergeming batu besar itu.

Sekonyong-konyong, menyalalah api di dalam thia itu! Dengan tiba-tiba, si Tjoe muncul dengan tjiaktay di tangan, tjiaktay yang lilinnya menyala.

Dalam kagetnya, Peng Kie hunus goloknya. Ia niat bikin perlawanan meskipun hatinya keder.

Tapi si Tjoe bersikap tenang.

"Kauorang hendak berlalu?" tanya dia, yang lantas hampirkan batu besar, untuk diangkat kesamping, lalu ia buka pintu." Persilakan!"

Dengan kepala tunduk, Peng Kie bertiga keluar dari pintu, mereka hampirkan kuda mereka, akan buka tambatannya, lalu dengan menunggang binatang tunggangan itu, malam2 mereka kabur, kearah timur. Tidak satu diantara mereka, yang buka mulut. Mereka

laratkan kuda mereka, sampai belasan lie jauhnya, Baru mereka mulai merasa legaan. Tiba-tiba terdengar berketoprakannya kaki kuda disebelah belakang mereka, segera terdengar suara nyaring dari satu orang: "Hei, berhenti! Berhenti!"

Mereka kaget, mereka jadi takut pula, mereka kabur terus, kuda mereka dikepraki. Sekonyong-konyong satu orang melesat disampingnya tiga orang ini, untuk mendahului mereka. Kudanya Peng Kie kaget, sampai binatang itu berjingkrak sendiri. Peng Kie ayun goloknya, akan serang orang itu. Dia ini bertangan kosong, dia kelit, lantas

dia membalas menyerang. Mereka bertempur dengan seru. Sebelah tangan siorang tak dikenal menyambar tempilingan kanan dari Peng Kie, dia ini angkat goloknya, akan dipakai membabat, tapi orang nyata menggertak saja, serangannya ditarik setengah jalan, dikembalikan, buat dipakai mencekal lengan yang bersenjatakan

golok itu.

"Turun!" demikian orang itu berseru sambil ia menarik dengan keras.

Peng Kie sedang membacok, tak keburu dia menarik pulang tangannya atau kelitkan itu, ia tercekal, ia tertarik, tidak ampun lagi, dia rubuh dari atas kudanya, sedang goloknya, tahu2

sudah kena dirampas lawannya. Tapi si lawan tidak gunai senjata itu untuk balas membacok, dia lepaskan cekalannya kepada lengan si piauwsoe, dia pakai tangannya itu pegang golok dengan kedua tangannya, atau dilain saat, golok itu kena dipatahkan dua!

Diantara sinar guram dari bintang- bintang dilangit Peng Kie, yang dapat berdiri pula setelah ia rubuh dari kudanya, dapat kenali lawannya adalah si Tjoe, tuan rumahnya.

"Mari turut aku kembali!" kata si Tjoe dengan tenang. Lalu, tanpa perduli apa juga, ia kasih kudanya jalan kembali.

Peng Kie mati daya, ia naik atas kudanya, kemudian dengan satu tanda, ia ajak Tiauw Tjong dan Hauw Kong balik. Dua kawan ini, yang telah tahan kuda mereka selagi orang bertempur, juga tidak berdaya lagi, mereka turut tanpa bilang suatu apa. Kapan Tiauw Tjong bertiga sampai di- rumah si petani, kemana mereka lantas masuk, mereka lihat ruangan tengah terang sekali dengan api lilin. Si bocah angon bertjokol ditengah-tengah, dikiri dan kanan, duduk empat orang lainnya ialah si Lo, si Eng, si Tjoe dan si Nie. Semua mereka berdiam, roman mereka sungguh-sungguh, hingga nampaknya jadi

keren. Peng Kie percaya dia ada bakalan mati, maka ia jadi berani.

"Hari ini Yo Thayya terjatuh di tangan kamu, hayo jangan banyak omong lagi, hendak kamu bunuh, bunuh!" kata ia dengan gagah.

"Eng Toako, bagaimana?" tanya si Tjoe.

Orang yang ditanya itu diam saja, cuma romannya tetap keren.

"Merdekakan Hauw Kongtjoe dan acungnya, bunuh orang she Yo ini!" si Nie gantikan menjawab.

"Orang she Yo ini menjadi piauwsoe, dengan begitu ia jadi anjingnya segala hartawan," kata si Eng akhirnya, "pantas saja jikalau dia dibikin mampus. Tapi sekarang ini dia telah

hunjuk perbuatan mulia dan gagah dengan membantu Hauw Kongtjoe, dia pun berani, baik kasi dia ampun. Saudara Lo, silakan kau bikin bercacat dua anggauta penggapeannya." Si Lo lantas saja berbangkit. Mukanya Peng Kie jadi pucat, saking kaget. Tiauw Tjong tidak mengerti bahasa rahasia orang Kang-ouw, ia tak tahu, dengan "anggauta penggape" diartikan sepasang mata, yang mesti dikorek buta. Ia cuma duga, orang hendak bikin celaka piauwsoe penolongnya itu. Maka itu, ia ingin buka mulut, untuk mohonkan keampunan.

Tiba-tiba si bocah angon kata : "Entjek Eng, kasihan aku melihat dia, kasi ampun saja padanya!"

Si Eng dan tiga kawannya saling memandang, semua berdiam, tapi akhir- nya, dia kata pada Yo Peng Kie, si piauwsoe: "Sekarang telah ada orang yang mohonkan keampunan bagimu,

bisa atau tidak kau bersumpah akan tak bocorkan apa yang kau alami disini malam ini?"

"Sebenarnya tak niat aku menyelidiki segala apa disini, hanya kebetulan saja aku menemuinya," sahut Yo Peng Kie. "Aku harus sesalkan diriku, yang seperti tidak punya mata, hingga tak dapat aku kenali siapa adanya enghiong semua. Aku janji, sejak ini aku tidak nanti melangkah ke Siamsay ini sekalipun setengah tindak. Mengenai urusan saudara-saudara disini, aku sumpah akan tutup mulut seperti rapat- nya botol. Dibelakang hari, apabila aku langgar sumpahku ini, Langit dan Bumi bakal binasakan aku!"

"Bagus!" berseru si Eng. "Aku percaya kau ada satu laki2 sejati! Pergilah!"

Peng Kie angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat, lalu ia memutar tubuh.

Mendadakan, si Nie berbangkit dari kursinya. "Apakah kau hendak pergi secara begini saja?" dia menegur.

Peng Kie melengak, tapi segera ia mengerti maksud orang. Ia lantas tertawa meringis. "Baiklah," kata ia. "Kasi aku pinjam golok!"

Si Tjoe keluarkan sebatang golok dari kolong meja, dengan dilintangi, dia lemparkan kepada piauwsoe itu.

Peng Kie sambuti golok itu, ia maju mendekati meja, diatas mana, ia letaki tangan kanannya dengan semua jarinya dibeber, kemudian cepat luar biasa, ia membacok dengan tangan kiri, hingga sapatlah empat buah djarinya.

"Seorang yang berbuat, seorang yang tanggung jawab!" kata dia sambil tertawa. "Semua pekerjaanku tidak ada sangkutannya dengan si orang she Hauw!"

Semua orang kagum melihat etangguhannya piauwsoe ini.

"Bagus!" berseru si Nie, yang perlihatkan jempolnya. "Beginilah selesainya urusan malam ini!"

Terus ia bertindak kedalam, akan keluar pula dengan cepat bersama obat luka dan kain putih untuk obati dan bungkus tangannya piauwsoe she Yo itu.

Peng Kie tidak mau berdiam lama, setelah selesai pengobatan, ia kata pada Hauw Kongtjoe," Mari kita berangkat!"

Tiauw Tjong lihat muka orang pucat, ia mengerti penolongnya ini menahan sakit yang hebat, ia berniat mengajak menanti dahulu, tetapi ia tak bisa buka mulutnya untuk mengutarakan itu.

Si Eng lihat segala apa didepannya, ia kata: "Hauw Kongtjoe, kalau dibicarakan, kau dan kita sebenarnya ada hubungan satu sama lain. Sahabat she Yo inipun ada satu laki-laki,

maka baiklah, aku nanti berikan barang ini kepadamu!"

Dari sakunya, si Eng keluarkan serupa barang, yang dia terus serahkan pada si anak muda. Kapan Tiauw Tjong sudah sambuti, dia lihat itu adalah sepotong tek-pay atau surat bambu dengan huruf-bakaran "San Tjong", sedang bagian belakangnya, pun dibakar hangus

merupakan tali air. Ia tidak tahu, apa artinya tek-pay itu. "Sekarang ini Negara sedang kacau," berkata si Eng pula, "kau ada satu mahasiswa lemah, tak selayaknya kau berkelana, dari itu, aku kasi nasihat padamu, baik kau lekas

pulang. Umpama kau hadapi bahaya ditengah jalan, kau keluarkan tek-pay ini, nanti ancaman bencana akan berubah menjadi keselamatan."

Tiauw Tjong periksa tek-pay itu, masih ia tak dapatkan keanehan atau kemujizatannya, maka itu, ia mau percaya, itu adalah benda yang cuma membawa alamat baik.....

"Terima kasih," kata ia akhirnya seraya serahkan tekpay itu kepada Hauw Kong, untuk disimpan dalam buntalan.

Habis itu, tiga orang itu pamitan, mereka berlalu dengan naik kuda mereka. Sekarang mereka jalan malam2, dengan pelahan-lahan, terus sampai terang tanah diwaktu mana mereka sampaikan sebuah kampung.

"Kita singgah disini," mengajak Tiauw Tjong. Mereka cari pondokan, untuk beristirahat satu hari dan satu malam, akan besoknya pagi, mereka lanjuti perjalanan mereka. Kembali mereka lewati dusun dimana tentara negeri

pernah rampok dan bunuh-bunuhi penduduk, tak tega melihat bekas-bekas kekejaman itu, Tiauw Tjong ajak dua kawannya jalan ngidar. Diwaktu tengah hari, mereka singgah ditengah jalan, lalu kemudian berangkat lebih jauh melalui dua-puluh lie lebih.

Adalah diitu waktu, dari arah depan, ada mendatangi satu penunggang kuda, yang lewati mereka disamping mereka, selagi berpapasan, dia itu mengawasi Tiauw Tjong bertiga. Debu mengepul selagi dia lewat. Tiauw Tjong bertiga jalankan kuda mereka seperti biasa, tapi Baru lima atau enam lie, mereka dengar pula tindakan kaki kuda dibelakang mereka, makin lama datangnya makin dekat, akhirnya penunggang kuda itu lewati mereka, hingga mereka tampak orang ada bungkus kepala dengan cita hijau, romannya gagah.

"Ini orang aneh kelakuannya," kata Tiauw Tjong. "kenapa dia balik pula?"

Memang, itulah ada penunggang kuda yang tadi papaki mereka. Peng Kie tidak menjawab, hanya ia bilang: "Sebentar lagi, Hauw Kongtjoe, kau lari sendiri

saja!" Pemuda itu terperanjat.

"Apa? Kembali ada penyamun?" tanya dia.

"Kita jalan tak usah sampai lima lie, bakal terbit lelakon," kata Peng Kie. "Kita tak dapat mundur, dari itu, kita mesti menerjang dan lolos!"

Hatinya Tiauw Tjong, juga kacungnya, jadi tidak tetap. Peng Kie sendiri tegang sendirinya. Tapi masih mereka jalankan kuda mereka dengan pelahan.

Mereka Baru lewat kira-kira tiga lie, tiba-tiba terdengarlah mengaungnya anak panah, yang melayang di udara, kemudian menyusul itu, tiga penunggang kuda,  yang melintang ditengah jalan.

Peng Kie maju didepan dua kawannya, ia rangkap kedua tangannya.

"Aku ada si orang she Yo dari Boe Hwee Piauw Kiok," ia perkenalkan diri," tetapi aku bukannya sedang antar piauw, kita sedang bikin perjalanan saja, itulah sebabnya kenapa aku tidak kirim karcis nama untuk mengunjungi jiongwie. Ini ada Hauw Siangkong, yang sedang pesiar, dia adalah satu anak sekolah. Aku harap kebaikan tjiongwie supaja kami diberi jalan lewat."

Peng Kie berpengalaman, namanya cukup terkenal, tapi karena tangannya terluka, dan menyangka rombongan didepannya ada punya hubungan sama rombongannya si Tjoe beramai ia sengaja berlaku merendah. Satu diantara tiga pemegat itu, yang tangannya tak bersenjata, tertawa sendirinya.

"Kami kekurangan uang, kami mau minta pinjam seratus tail," kata dia. Dia omong dengan lidah Amoy, Hokkian.

Peng Kie dan Tiauw Tjong saling mengawasi dengan melengak, tak mengerti mereka akan kata-katanya orang itu.

"Kami hendak pinjam uang seratus tail, kamu mengerti atau tidak?" tegaskan si

penunggang kuda dengan ikat kepala hijau, yang tadi mundar-mandir dengan kudanya. Menampak orang ganas, Peng Kie jadi gusar.

"Sudah belasan tahun aku si orang she Yo berkelana, belum pernah aku menemui orang-orang begini kurang ajar!" ia berseru.

"Tapi hari ini aku akan bikin kauorang lihat!" kata orang yang pertama buka suara, yang lantas turunkan gandewa dan peluruh dari bebokongnya, lalu dengan beruntun, ia lepaskan tiga biji pelurunya keudara, menjusul mana, ia memanah pula, terhadap tiga peluru yang pertama, hingga semuanya mengenai dengan jitu, hingga kesudahannya,

enam peluru runtuh sendirinya.

Peng Kie melongo menyaksikan keliehayan orang itu, tapi djusteru itu, mendadakan ia rasakan sakit pada lengannya kiri, hingga goloknya terlepas dan jatuh tanpa ia merasa.

Nyata ia telah dipanah peluru dengan ia tidak diketahui! Orang yang ketiga segera maju dengan djoan-pian ditangan, dengan "Kouw teng bek sie", atau "Rotan tua melilit pohon", segera saja ia sambar pinggangnya piauwsoe dari Boe Hwee Piauw Kiok. Peng Kie majukan kudanya, akan menyingkir dari serangan itu. Penjerang itu menyabat ketanah, untuk sambar dan lilit goloknya si piauwsoe, untuk ia ambil, selagi berbuat demikian, sembari tertawa, ia majukan kudanya melewati Hauw Kong, terhadap siapa, ia membacok, maka sekejab saja, buntalan dibelakangnya kacung itu terputus dan jatuh. Habis membacok, dia kasi kudanya kabur terus.

Sementara itu, si tukang panah larikan kudanya, akan susul dia punya kawan, ia berlaku begitu cepat hingga dia dapat tanggapi buntalan yang lagi jatuh hingga buntalan itu tak sampai jatuh ketanah, cuma untuk itu, ia perlu cenderungkan tubuhnya. "Terima kasih!" kata ia sembari tertawa, sebab ia rasakan buntalan itu antap.

Orang yang ketiga menyusul pergi, maka dilain saat, ketiganya sudah menghilang. Peng Kie jadi sangat lesu, ia sangat berduka, karena mendongkol pun sia-sia saja, tak sanggup ia berbuat suatu apa menghadapi tiga orang liehay itu. Hauw Kong bingung tidak kepalang. "Mana bisa kita pulang?" katanya. "Uang itu semua ada didalam buntalan itu...."

"Mari kita jalan," mengajak Peng Kie, yang tetap lesu. "Masih untung yang jiwa kita tidak turut lenyap!"

Tiauw Tjong tunduk, ia ikuti piauwsoe itu. Ia lihat, memang mereka tak berdaya. Kira setengah jam mereka sudah berjalan, lantas mereka dengar tindakan kaki kuda dibelakang mereka, berketoprakan sangat berisik, hingga mereka menoleh, dan mereka jadi sangat kaget. Mereka tampak, tiga penyamun tadi balik kembali, debu mengepul naik

tinggi. Peng Kie bergidik sendirinya. Entah apa maunya mereka itu.

Tiga orang itu dapat menyandak dengan cepat, selagi tiga korban mereka mengawasi dengan bengong, ketiganya loncat turun dari kuda mereka, lalu menghadapi diaorang itu, mereka memberi hormat. "Nyata kita ada orang-orang sendiri!" kata satu diantaranya. "Maaf, maafkan kami. Kami tak kenali djiewie, kami telah berbuat keliru, harap djiewie tidak buat kecil hati."

Lantas seorang diantaranya sodorkan bungkusan yang dirampasnya pada Hauw Kong. Ia menyerahkan dengan kedua tangannya. Hauw Kong tidak berani lantas menyambuti, ia awasi dulu kongtjoenya. Tanpa bersangsi, Hauw Kongtjoe manggut, atas mana, kacungnya sambuti bungkusan itu.

"Aku minta tanya she dan nama djiewie?" lalu menanya orang yang bersenjatakan djoan-pian, rujung lemas.

Tiauw Tjong sebutkan nama mereka, mendengar mana, orang itu mengawasi dua

kawannya, sebab heran mereka dengar, dua orang itu ada satu piauwsoe dan satu mahasiswa putera seorang berpangkat.

"Aku sendiri she Thio dan ini dua saudara ada persaudaraan Lauw," kemudian ia perkenalkan diri. "Hauw Kongtjoe, coba setelah bertemu, kau perlihatkan tek-pay, tak nanti

jadi terjadi salah mengerti ini. Beruntung kami tak sampai melukai kamu."

Mendengar itu, Baru Tiauw Tjong mengerti khasiatnya tek-pay itu, karena mana, ia tertawa sendirinya. Ia tetap tidak bilang suatu apa.

"Tentunya djiewie hendak pergi ke gunung Lauw Ya San," kata pula si orang she Thio itu. "Mari kita berjalan ber-sama2. Dua saudara Lauw ini ada asal Hokkian, mereka tak bisa

bicara dialek utara, tetapi mereka dapat mengerti omongan kita."

Dua saudara Lauw itu manggut, untuk benarkan si Thio. Tiauw Tjong dan Peng Kie percaya mereka ini ada penyamun- penyamun besar, tetap hati mereka tidak tenteram.

"Bersama saudara Yo ini, aku hendak pulang ke Hoolam, kami tak pergi ke Lauw Ya San," akhirnya Hauw Kongtjoe bilang. Mendengar jawaban ini, nampaknya si Thio gusar.

"Lagi tiga hari adalah Pee-gwee Tjap-lak," kata dia. "Dari tempat ribuan lie kami sengadja datang ke Siamsay ini, maka kenapa kamu, yang sudah sampai, tidak mau naik gunung?"

Bingung juga Tiauw Tjong dan kawannya. Mereka tak tahu, apa perlunya mesti panjat gunung Lauw Ya San. Mereka tak ketahui juga, apa bakal dilakukan Pee-gwee Tjap-lak - tanggal enambelas bulan delapan itu. Tapi mereka tak sudi akui bahwa mereka tak tahu itu semua.

"Di rumahku ada urusan sangat penting hingga aku mesti segera pulang," Tiauw Tjong kata pula.

"Dengan panjat gunung, tempomu cuma terganggu dua hari!" kata pula si Thio, romannya tetap gusar. Dengan melewati gunung, kamu tidakhendak hunjuk hormatmu, apa dan artinya sahabat- sahabat dari San Tjong?"

Kembali Hauw Kongtjoe bingung. Apakah itu "San Tjong"? Benda apakah itu? Peng Kie berpengalaman, ia mengerti, tak dapat mereka tak pergi ke Lauw Ya San. Laginya, ia insaf, bencana lebih besar bagaimana juga, mereka mesti berani hadapi, sebab itu nampaknya mesti dihadapi. Disebelah itu, nampaknya orang tidak bermaksud buruk.

"Kita orang Baru saja bertemu, samwie ada begini baik hati, baiklah, bersama- sama Hauw Kongtjoe, aku nanti turut samwie," akhirnya dia kata.

Dengan segera si Thio perlihatkan roman girang, dia tertawa. "Mestinya telah aku duga, tak mestinya djiewie tak hargai persaudaraan," kata ia.

Sampai disitu, berenam mereka jalan sama-sama. Selama itu, si Thio jadi seperti pemimpin. Dimana mereka sampai cuma dengan gerak-gerakan tangan, dengan kata-kata yang Tiauw Tjong tak mengerti, mereka lewat tanpa rintangan, semua rumah penginapan, semua rumah makan, tak sudi terima pembayaran penginapan dan makanan, sebaliknya,

pelayanan ada perlu dan manis sekali.

Selang dua hari, mereka ini sudah mendekati kaki gunung Lauw Ya San, gunung Gaok Tua. Disitu mereka lantas lihat banyak orang lain, yang berlerot seperti tak putusnya, dandanan mereka berlain-lainan, potongan orangnya pun berbeda, ada yang gemuk, ada yang kurus, yang jangkung dan kate, hanya yang sama, mereka semua seperti mengerti ilmu silat. Dan kebanyakan dari mereka itu kenal dengan si Thio dan dua saudara she Lauw itu, mereka saling tegur. Peng Kie dan Tiauw Tjong bersikap tak hendak cari tahu rahasia orang, maka itu, selagi orang bicara, mereka sengaja berdiri jauh-jauh, tapi mereka bisa dengar pembicaraan mereka, yang berlidah Selatan dan utara, Timur dan Barat, tidak ketentuan. Mereka pun

tahu pasti, diaorang datang dari tempat yang jauh. Buat apa mereka datang kemari? Ini ada hal yang gelap untuk Tiauw Tjong berdua. Malam itu, Tiauw Tjong berenam mondok disebuah penginapan dikaki gunung, untuk siap

akan besok pagi-pagi mandjat gunung Lauw Ya San. Benar sedangnya orang bersantap sore, mendadakan ada datang satu orang yang terus memberi kabar: "Tjouw Siangkong sampai!" Ata situ, delapan atau sembilan bagian orang

segera berbangkit dan merubul keluar dari penginapan.

"Mari kita pun melihat," mengajak Yo Peng Kie kepada Tiauw Tjong, ujung baju siapa ia tarik.

Tiauw Tjong menurut, keduanya turut keluar. Diluar hotel, semua orang berdiri dengan rapi dan tenang, mereka seperti lagi menantikan orang, entah siapa. Tidak terlalu lama, terdengarlah tindakan kaki kuda diarah barat gunung, maka semua mata ditujukan kesana.

Segera juga tertampak datangnya seorang anak muda umur dua-puluh tujuh atau delapan tahun, yang kudanya dikasi jalan pelahan-lahan, tapi setelah dia lihat banyak orang menyambut, dia larikan kudanya, untuk menghampirkan, setelah sampai, dia loncat turun

cepat sekali. Dari antara orang banyak segera maju seorang bertubuh besar, akan sambuti kudanya si anak muda, siapa sendirinya bertindak, akan manggut kepada semua penyambutnya.

Ketika ia tampak seorang dengan dandanan sebagai mahasiswa, ia memberi hormat.

"Siapa tuan ini?" tanya dia.

"Aku yang rendah she Hauw," sahut Tiauw Tjong. "Bolehkah aku mengetahui she dan

nama besar dari tuan?"

"Aku ada Tjouw Tiong Sioe," jawab si anak muda, dengan lakunya hormat.

Tiauw Tjong memberi hormat sambil memuji. Tiong Sioe bersenyum, terus ia bertindak kedalam rumah penginapan.

Peng Kie tarik sahabatnya kepinggiran.

"Nampaknya mahasiswa she Tjouw ini ada berpengaruh," berbisik dia. "Pergi kau bicara dengannya, supaja dia ijinkan kita lanjuti perjalanan kita. Sama-sama orang sekolahan, tentu leluasa untuk kamu berbicara...."

Tiauw Tjong anggap pikiran sahabat ini benar, ia lantas bertindak kedalam, ke pintu kamar sianak muda, yang sudah lantas masuk kedalam sebuah kamar, Ia sengaja batuk-batuk, sesudah mana, ia mengetok dengan pelahan. Ia pun dengar suaranya orang membaca buku didalam kamar, yang segera berhenti setelah ia mengetok beberapa kali, segera

disusul sama terbukanya daun pintu.

"Didalam rumah penginapan ada sepi, saudara Hauw datang untuk bicara, inilah bagus!" kata si orang she Tjouw, yang sambut tetamunya.

Tiauw Tjong masuk, segera ia tampak sejilid buku diatas meja dimana ada tulisan, rupanya ada rencana kerajaan.

Kuatir orang curiga, Tiauw Tjong tidak mengawasi lama2, terus saja ia duduk.

Mulai bicara, Tjouw Tiong Sioe tanya asal-usul orang, atas mana Tiauw Tjong tidak umpatkan dirinya.

"Oh!...." Tiong Sioe keluarkan seruan tertahan, apabila ia ketahui, tetamunya ada puteranya Houw-pou Siang-sie Hauw Soen. "Ayahmu itu ada satu menteri yang putih-bersih, kami semua ada hargai dia."

"Tak berani aku terima pujian ini," Tiauw Tjong merendahkan diri. Kemudian ia ceritakan bagaimana, sedang pesiar, ia bertemu sama oppas dan  serdadu- serdadu yang jahat, bagaimana Peng Kie tolongi dia, sampai ia ketemui orang- orang yang berikan mereka tekpay. Ia tidak tuturkan bahwa itu malam mereka pergoki banyak emas-perak dan kepala

orang dalam peti kayu. Tjouw Tiong Sioe tertawa. "Inilah djodoh yang kita bertemu disini," kata dia. "Besok saudara boleh ikut aku naik kegunung, untuk belajar kenal dengan banyak orang gagah, pasti kau akan bergembira. Asal saudara tidak uwarkan pengalamanmu disini, aku tanggung kau tidak bakal hadapi ancaman malapetaka."

Lega juga hatinya Tiauw Tjong mendengar kata-kata itu, karena itu, ia suka pasang omong, terutama mengenai ilmu sastera, tetapi justeru karena ini, ia dapat kenyataan, orang she Touw itu tidak terlalu terpelajar, sebaliknya dilain pihak, Tjouw Siangkong ini

kagumi dia. Pasang omong sampai jam dua, Baru Tiauw Tjong kembali kekamarnya dimana Peng Kie sibuk menanti-nanti dia, piauwsoe ini sampai jalan mundar-mandir saja, dia lega hatinya melihat si anak muda berwajah terang.

Bab 2

Besoknya ada Ting Tjioe, harian tanggal lima-belas bulan delapan yang indah, Tiauw Tjong bertiga turut Tjouw Tiong Sioe panjat gunung Lauw Ya San. Mereka berangkat pagi-pagi, diwaktu tengah hari, sampailah mereka ditengah gunung

dimana sudah menantikan belasan orang dengan barang hidangan, untuk semua orang berhenti sebentar, akan bersantap dan minum, untuk sekalian beristirahat, kemudian Baru mereka mendekati terlebih jauh. Adalah sejak ini, seterusnya, saban-saban ada orang-orang yang menjaga, yang menanya dan memeriksai sesuatu pengunjung. Ketika gilirannya Tiauw Tjong bertiga dimintai keterangan, Tiong Sioe cuma manggut pada si petugas, lantas mereka dikasi lewat tanpa pertanyaan apa jua.

"Sungguh berbahaya!" kata si kongtjoe dalam hatinya. Ia makin insaf pengaruhnya orang she Tjouw ini. Ia girang semalam ia telah pasang omong dengan orang ini yang berpengaruh. Ia hanya belum tahu, apa akan terjadi terlebih jauh. Diwaktu magrib sampailah semua orang diatas gunung dimana ada beberapa ratus orang yang berbaris rapih, untuk menyambut, mereka itu jangkung dan kate, kurus dan gemuk,

tidak rata, semua beroman keren. Satu diantaranya, rupanya yang jadi kepala, maju untuk sambut Tiong Sioe,sesudah mana, sambil bergandengan tangan, mereka sama-sama masuk kedalam sebuah rumah yang besar. Diatas gunung itu ada terdapat beberapa puluh rumah, yang letaknya berpencaran, yang paling besar adalah rumah tadi, yang mirip dengan sebuah kuil. Tidak ada panggung atau

pagar-pagar seperti benteng, hingga keadaan itu tak mirip-miripnya dengan sarang berandal. Peng Kie tidak sangka bahwa rumah-rumah itu ada demikian sederhana. Ini ada pengalaman Baru bagi ia, yang sudah belasan tahun berkelana. Ia pun tidak mengerti mengenai wajahnya semua orang itu, yang datang dari pelbagai penjuru. Mereka ada sahabat kekal satu dengan lain, pertemuan mestinya menggirangkan mereka, tapi

buktinya, orang rata-rata ada berduka dan tak puas.....

Tiauw Tjong bertiga diantar kesebuah kamar kecil, untuk mereka sendiri, sebentar kemudian, ada orang mengantari barang hidangan, ialah nasi serta empat macam sayur dan dua-puluh lebih bahpauw. “Entah apa yang mereka bakal bicarakan...."begitu Tiauw Tjong dan Peng Kie saling tanya malam itu. Mereka tidak tahu juga, mereka itu bakal lakukan apa. Besoknya ada Peegwee Tjaplak - tanggal enam-belas bulan delapan, Tiauw Tjong dan Peng Kie bangun pagi-pagi, setelah bersihkan diri dan sarapan, mereka keluar akan jalan-jalan ditepi gunung. Ini kali mereka lihat juga orang-orang dengan kepala atau muka bercacat, kurang tangan atau kaki, suatu tanda dari medan pertempuran. Mereka tidak

ingin terbitkan gara-gara, maka lekas-lekas mereka kembali kekamar mereka, terus mereka tak keluar lagi.

Siang itu, sampai sore, barang makanan tetap sama seperti paginya, sayur melulu, hingga Peng Kie mendumel dalam hatinya : "Celaka, orang desak aku dengan ini macam hidangan yang tawar melulu!...."

Mendekati malam, seorang datang kekamarnya Tiauw Tjong. "Tjouw Siangkong undang kamu ke pendopo untuk saksikan upacara," kata dia, yang

menyampaikan undangan. Tiauw Tjong dan Peng Kie, yang sudah dandan, lantas ikut keluar. Hauw Kong hendak turut majikannya, tapi si pengundang tolak dia. "Saudara cilik, kau tidur saja siang-siang," katanya.

Tiauw Tjong lewati beberapa rumah batu, Baru mereka sampai di kuil, yang pakai nama Tiong Liat Soe, tulisannya bagus dan keren.

"Entah kuil siapa ini," pikir Tiauw Tjong, menduga-duga. Bersama Tiong Sioe ia ikut masuk terus kedalam. Diserambi, dikiri dan kanan, ada banyak para-para senjata dengan pelbagai macam senjatanya, delapan-belas rupa, yang semua terawat baik, bersinar bergemirlapan. Di pendopo sudah berkerumun banyak sekali orang, barangkali dua atau tiga-ribu, yang

memenuhi ruangan yang luas. Tiauw Tjong dan kawannya heran kenapa digunung itu bisa berkumpul demikian banyak orang.

Di tengah ruangan, Tiauw Tjong lihat satu patung yang beroman sebagai satu panglima perang, kopiahnya kopiah perang emas, jubahnya jubah perang berlapis baja, tangan kirinya mencekal pedang kebesaran, Siang-hong Poo-kiam, dan tangan kanannya memegang leng-kie, bendera titah. Patung itu punyakan muka yang kecil dan bersih tapi keren romannya, kumis-jenggotnya tiga aliran,matanya memandang kedepan, sinarnya rada guram, seperti orang berduka. Dikedua sampingnya ada masing-masing sebaris sin-wie.

Karena ia berdiri jauh, Tiauw Tjong tidak dapat baca tulisan namanya patung itu. Diempat penjuru ruangan dikibarkan banyak bendera, disitu pun kedapatan banyak kopiah perang, pelbagai alat senjata dan pakaian kuda, dan benderanya beraneka-warna, ada yang bertuliskan huruf-huruf. Disini pun semua roman ada berduka, hingga Hauw

Kongtjoe jadi sangat bingung.

Akhir-akhirnya, berbangkitlah satu orang jangkung-kurus, yang duduk disamping patung, ia sulut lilin, ia pasang hio, lalu ia serukan : "Mulai sembahyang!"

Semua orang berlutut serentak, maka Tiauw Tjong dan Peng Kie pun turut tekuk lutut. Tjouw Tiong Sioe maju kemuka, untuk angkat tjee-boen, untuk dibacakan.

Peng Kie tidak mengerti bunjinya tjee-boen itu, tidak demikian dengan Tiauw Tjong, yang heran dan kaget, hingga ia keluarkan keringat dingin. Disitu pemerintah Boan dicaci habis,

dan kaisar Tjong Tjeng pun tidak dikasi hati, kaisar ini dkatakan tolol dan tak dapat membedakan kansin dari tiongsin, antara dorna dan menteri setia, merusak Negara, melulu menjadi orang berdosa antara cucu-cucunya Oey Tee. Lebih jauh, Beng Thay-houw sendiri turut dicela sebab sudah membunuh Tjie Tat, Na Giok dan Lauw Kie, menteri2 berjasa. Yan Ong pun dimaki sebagai penyiksa rakyat dan Hie Tjong sebagai pekakas

orang kebiri, karena banyak menteri besar sebagai Him Teng Pek kena dihukum mati. Tjong Tjeng dikatakan sewenang- wenang, sudah celakai "jendral" mereka, jendral (Goan-swee) yang gagah dan berjasa besar.

Sampai disitu mengertilah Tiauw Tjong, patung itu ada patung sang jendral, ialah Tok-boe Wan Tjong Hoan dari Liauwtong yang sudah berjasa berulang- ulang melabrak angkatan perang Boan, membinasakan Tjeng Thay-tjouw Nuerhacha, hingga bangsa Boan sangat

takut terhadapnya.

Setelah mendengar tjee-boen itu, Tiauw Tjong awasi patung, lalu ia merasakan melihat patung itu bagaikan hidup bersemangat. Akhirnya tjee-boen, yang membuat Tiauw Tjong kembali kaget, adalah sumpah para hadirin untuk membasmi musuh Boan, guna melenyapkan penasaran jendral mereka supaja rohnya si jendral puas ditanah baka.

"Hormatilah Goanswee kita serta panglima yang turut dia berkorban!" Tjouw Tiong Sioe akhirkan pembacaannya.

Semua orang lantas menjura, atas mana satu bocah yang berpakaian berkabung, yang telah maju kedepan, akan balas hormatnya orang banyak itu. Melihat itu anak kecil, buat kesekian kalinya, Tiauw Tjong dan Peng Kie kaget, hatinya

berdebaran. Mereka kenali, bocah itu adalah si kacung yang berani lawan harimau, yang dipanggil Sin Tjie! Habis pemberian hormat, semua orang ber- bangkit, muka mereka berlinangkan air mata. "Saudara Hauw," kata Tiong Sioe kemudian pada Tiauw Tjong, "saudara terpelajar tinggi, bagaimana saudara lihat tjee-boen ini? Kalau ada yang tidak sempurna, tolong kau ubah!"

"Aku tak berani, saudara Tjouw," jawab Hauw Kongtjoe. Tapi Tiong Sioe titahkan orang sediakan perabot tulis.

"Aku ajak saudara mendaki gunung ini justeru untuk mohon kau menulis suatu apa untuk tambah kegemilangan dari Wan Tay-goanswee!" ketua ini.

Tiauw Tjong jadi serba salah. Ia ketahui baik penasarannya Wan Tjong Hoan, yang terbinasa sebagai korban dari tipu-muslihat merenggangkan dan mengadu-domba dari kaisar Boan, tapi karena goanswee itu dihukum mati kaisar, apabila dia dikatakan

penasaran, itu berarti mencela kaisar, hukuman untuk ini perbuatan adalah leher kutung! Tapi Tiong Sioe telah memohon, bagaimana itu dapat ditolak? Dasar ia pintar, ia cuma berpikir sebentar, lantas ia angkat pit dan menulis: "Naga kuning belum sempat dihajar, Boe Bok sudah mengandung penasaran. Kerajaan Han sedang menantikan kebangunan, atau bintangnya Tjoe-kat telah guram padam.

Bagaimana menyedihkan!"

Dengan "Naga Kuning", (Oey Liong) diartikan bangsa Tartar (Liauw), sedang Boe Bok ada gelaran suci untuk Gak Hoei, dan dengan Tjoe-kat dimaksud Tjoe-kat Liang. Setjara begini,

Tiauw Tjong bisa egos diri umpama tjee-boen itu terjatuh kedalam tangan kaisar. Tjong Sioe senang sekali dengan tulisan itu, yang huruf-hurufnya bagus, sedang dengan begitu, Wan Tjong Hoan dibandingkan dengan Gak Hoei dan Tjoe-kat Liang. Ia lantas bacakan itu dan terangkan artinya pada semua hadirin, hingga mereka pun puas, semua

menghaturkan terima kasih pada  mahasiswa ini. Dengan begitu, Tiauw Tjong dan Peng Kie tidak lagi dipandang sebagai orang luar.

"Surat dan pujian saudara ini sempurna sekali," kata Tiong Sioe kemudian. "Aku nanti perintah untuk ukir ini diatas batu disamping kuil ini."

Tiauw Tjong menjura, untuk merendahkan diri. Habis itu, semua orang duduk kembali, lalu seorang berdiri, untuk membacakan laporan, maka Tiauw Tjong jadi ketahui, kebanyakan hadirin ada bekas sebawahan Wan Tjong Hoan, setelah terbinasanya Goanswee ini, mereka bubar-mencar tapi gunung Lauw Ya San

dijadikan tempat berkumpul, untuk hormati kepala perang itu. Hal yang belum jelas bagi Hauw Kongtjoe adalah maksud terlebih dalam dari ini macam

pertempuran, rupa-rupanya mereka masih kandung maksud apa-apa. Setelah laporan itu, pembaca acara memanggil : "Hoe Tjongpeng Tjoe Kok An dari Kee-tin!"

Satu orang lantas berbangkit, tetapi melihat orang itu, Tiauw Tjong dan Peng Kie terkejut. Orang itu ada si petani she Tjoe, yang ajak ia masuk kedalam rumah gubuknya, ke gua rahasia di dalam gunung. "Kiranya dia ada satu panglima ternama yang menentang bangsa Liauw," pikir piauwsoe itu. "Masih berharga bagiku yang aku kalah ditangannya...."

Tjoe Kok An berdiri buat terus berkata : "Ilmu silat pemimpin muda kita selama satu tahun  ini telah peroleh kemajuan pesat dan surat pun ia mengenal tambah banyak. Ilmu silatku, ilmu silatnya saudara-saudara Nie dan Lo, semua telah diwariskan kepadanya, maka itu

sekarang aku hendak minta  saudara- saudara pujikan lain guru untuk didik ia terlebih jauh."

"Bagus!" jawab Tjouw Tiong Sioe. "Tentang itu, sebentar kita damaikan pula. Bagaimana urusan menyingkirkan orang jahat?"

Si Nie, si pembunuh harimau, berbangkit, menggantikan si Tjoe, yang telah berduduk pula. Kata ia : "Si pengkhianat she Oen telah dibinasakan Lo Tjham-tjiang di propinsi Tjiatkang

dalam bulan yang lalu, dan pengkhianat Doe akulah yang bunuh pada sepuluh hari yang lalu ketika aku susul dia di Tiang-an. Kepala mereka berdua ada disini." Habis berkata, si Nie jumput satu kantong yang diletaki dilantai, ia buka itu, untuk keluarkan dua kepala orang. "Bagus, bagus!" banyak orang berseru, kemudian pun terdengar cacian dan kutukan terhadap dua pengkhianat itu. Tiong Sioe sambuti dua kepala orang itu, untuk diletaki diatas meja sembahyang, setelah mana, ia berlutut menjalankan kehormatan.

Tiauw Tjong kenali dua kepala itu, ialah yang Peng Kie pergoki didalam peti kayu. Baru sekarang ia mengerti, itulah dua musuhnya Wan Tok-boe.

Setelah itu beberapa orang lain, dengan bergiliran, keluarkan masing-masing satu kepala orang, yang juga diletaki diatas meja sembahyang, hingga disitu semua ada belasan kepala tanpa tubuh.

Sesuatu dari orang-orang itu berikan laporannya seperti si Nie, dari situ jadi dapat diketahui, salah satu kepala adalah kepalanya satu giesoe yang Tiauw Tjong dengar dari ayahnya dulu pernah dakwa Wan Tjong Hoan, yang dituduh bersekongkol hendak menjual Negara, pantas sekarang dia dibinasakan.

"Sekarang tinggallah satu musuh besar kita terhadap siapa kita belum mencari balas!" kata Tiong Sioe setelah pelbagai laporan itu. "Raja Tartar dan kaisar Tjong Tjeng masih bercokol atas tahtanya! Bagaimana kita mesti menuntut balas? Coba saudara-saudara utarakan pikiranmu masing-masing."

Seorang kate berbangkit. "Tjouw Siangkong!" berkata ia dengan suaranya yang nyaring luar biasa, hingga Tiauw

Tjong dan Peng Kie jadi heran, sebab itulah suara tak dinyana dari soerang kate sebagai dia.

"Tio Tjongpeng hendak bicara apa?" tanya Tiong Sioe. "Silakan!"

"Menurut aku," berkata si kate itu. Tapi dia belum sempat meneruskannya ketika dari luar muncul satu orang, sikapnya ter-gesa2, terus saja ia kata : "Tjiangkoen Lie Tjoe Seng ada kirim utusan!...."

Mendengar ini, banyak orang perdengar- kan suara tak nyata. "Tio tjongpeng, mari kita sambut dulu utusannya Lie Tjiangkoen," Tiong Sioe mengajak.

"Baik," jawab tjhamtjiang itu, malah dialah yang mendahului bertindak keluar. Sekalian hadirin berbangkit, untuk pergi keluar. Pintu besar sudah lantas dipentang, dua orang, dengan obor-obor besar ditangan, berdiri

dikiri dan kanan, kemudian tertampak tiga orang bertindak masuk. Selama ia berada di Siamsay, Peng Kie telah dengar nama besar dari Lie Tjoe Seng yang berani bunuh pembesar negeri dan berontak, maka sekarang ia ingin ketahui utusannya pemberontakan itu.

Dari tiga orang itu, yang jalan terdepan, ada seorang umur empat-puluh lebih, romannya bengis, tetapi dandanannya seperti rakyat jelata saja, sebab rambutnya kusut, kakinya bersepatu rumput saja, tanpa kaos, dan bajunya, yang kapas hitamnya molos keluar, tangan bajunya sudah pada pecah. Itulah roman umum dari petani di Siamsay. Dari dua yang lain, yang satu berumur tiga-puluh lebih, kulitnya putih, romannya cakap, tak miripnya dia dengan petani, dan kawannya, yang berusia dua-puluh lebih, bertubuh

besar-kekar, kulit mukanya rada hitam, tapi dia mirip dengan petani.' Sampai di thia, orang yang pertama masih mengucap apa-apa, dimuka meja, ia berhenti untuk berdiri diam. Adalah si muka putih, yang menggendol buntalan dibelakangnya, keluarkan lilin dan hio,

untuk disulut dan dipasang, sesudah mana, bertiga mereka menjalankan kehormatan sambil berlutut dan manggut- manggut, atas mana si bocah pengangon kerbau turut tekuk kaki, untuk membalas hormat itu. Setelah upacara ini, si rambut kusut kata dengan nyaring : "Tjiangkoen kami Lie Tjoe Seng ketahui halnya Wan Taytjiangkoen telah labrak bangsa Tartar di Liauwtong, dia telah

membuat jasa besar, tjiangkoen kami sangat kagum, maka sayang kemudian Wan

tjiangkoen telah dihukum mati oleh raja, hingga rakyat menjadi gusar dan berontak karenanya. Kami, untuk dapat makan, sudah rampas rangsum Negara, kami bunuh pembesar negeri, untuk ini, kami mohon perlindungan roh suci Wan Tjiangkoen. Mari kita menerjang ke Pakkhia, buat bekuk raja dan menteri- menteri dorna, untuk bunuh mereka

satu demi satu, supaja dengan demikian, bisa kita balas sakit hati Taygoanswee serta semua rakyat!"

Semua hadirin ketarik mengetahui Lie Tjoe Seng hargai jendral besar mereka

(taygoanswee). Mereka pun dapat kenyataan, walaupun suaranya kaku, utusan ini bicara dengan sungguh- sungguh. Tiong Sioe menjura, untuk beri hormat pada utusan itu. "Terima kasih, terima kasih," kata ia, yang terus tanya she dan nama si utusan. "Aku ada Lauw It Houw," jawab si utusan. "Lie Tjiangkoen ketahui saudara-saudara

hendak rayakan peringatannya Wan Taygoanswee, ia telah utus kami datang kemari."

Kembali Tiong Sioe menghaturkan terima kasih, kemudian ia perkenalkan dirinya.

"Saudara jadinya ada saudara muda dari tjiangkoen Tjouw Tay Sioe," kata si utusan. "Kami ketahui nama besar dari Tjouw Tjiangkoen, kami semua kagumi dia...."

Selagi Tiong Sioe hendak pasang omong sama tetamunya ini, yang bermuka hitam si tetamu, kawannya yang telah awasi para hadirin, mendadakan berlompat kepintu besar dimuka mana segera ia berhenti, berdiri dengan membalik tubuh. Semua orang heran, semua awasi tetamu ini. Dengan tiba-tiba utusannya Lie Tjoe Seng itu tunjuk dua orang usia pertengahan diantara para hadirin, terus ia tanya: "Kamu adalah orang- orang sebawahan Tjo Thaykam, apa kamu hendak perbuat disini?"

Kata-kata ini membuat kaget semua orang. Kaisar Tjong Tjeng sudah binasakan Goei Tiong Hian dan keluarga Keh dan singkirkan kambratnya mereka ini, tetapi ia tetap curigai semua menteri besar, ia terus pakai orang-

orang kebiri sebagai orang-orang kepercayaannya, maka juga, ia andalkan Thaykam Tjo Hoa Soen siapa telah pimpin semua pahlawan rahasia dari kaisar, tugasnya melulu untuk selidiki berbagai menteri. Inilah sebabnya kenapa semua hadirin heran. Dua orang yang dituding itu, yang satu berumur kira-kira empat- puluh tahun, mukanya berewokan kuning, dan yang kedua, rupanya putih tak ber- kumis, tubuhnya kate-dampak. Si kate- dampak ini terkejut tapi segera ia tenang pula. "Kau maksudkan aku?" tanya dia sembari tertawa. "Ah, jangan main- main...."

"Hm, main-main?" sahut si muka hitam. "Aku tahu bagaimana kau kasak-kusuk di rumah penginapan, lalu kamu menyelusup masuk ke San-tjong ini. Tentu, kemudian kamu akan beri laporan kepada Tjo Thaykam, hingga akhirnya, balatentara akan dikirim untuk menyerbu kesini. Itulah buahnya kasak-kusuk kamu itu!"

Mendengar itu, si berewokan kuning hunus goloknya, dia hendak segera menyerang tapi si muka putih cegah dia. Si muka putih ini bersikap tenang.

"Lie Tjoe Seng hendak bereskan sahabat- sahabat dari San-tjong, siapa pun ketahui ini!" kata dia. "kau berniat merenggangkan kami, itulah tak mungkin terjadi!"

Suara ini halus tetapi tajam, itulah terang suaranya seorang kebiri, tetapi walaupun demikian, suara ini memberi pengaruh, hingga banyak hadirin mengawasi si penuduh itu. Lauw It Houw dandan sebagai petani, akan tetapi dia adalah seorang peperangan ulung, dia cerdik, dia lantas bisa lihat orang curigai pihaknya. "Kau siapa, tuan? Adakah sahabat dari San-tjong?" ia tanya dengan tenang. Ditanya demikian, orang muka putih itu tergugu, dia berdiam. Tiong Sioe lantas mendekati, untuk tanya: "Sahabat, adakah kau bekas sebawahan dari Wan Taygoanswee? Kenapa mataku yang lamur tak kenali kau? Kau sebenarnya ada sebawahan dari tjongpeng mana, dari kota mana?"

Si muka putih lihat tak dapat berpura- pura pilon lebih lama, ia lirik kawan- nya, ia kedipi mata, lantas ia loncat kepintu. Perbuatannya ini segera disusul sahabatnya itu, malah dia ini segera membacok pada si muka hitam, penuduhnya. Si muka putih mirip orang banci tetapi gerakannya pesat sekali, dengan cepat telah keluarkan senjata- nya, sepasang poan-koanp-pit, yang mirip alat tulis, dengan itu, iapun

serang si muka hitam, yang ia arah dadanya. Senjata ini pun bisa dipakai menotok jalan darah. Utusannya Lie Tjoe Seng datang untuk hunjuk hormat, ia tidak siapkan senjata, menampak dia diserang, semua hadirin kaget dan berkuatir. Dua rupa senjata serang ia dengan berbareng. Maka itu, beberapa orang lantas bersiap, untuk bantu padanya. Akan tetapi segera ternyata, dia liehay. Dengan kesebatan luar biasa, dengan tangan kirinya, utusan Lie Tjoe Seng ini mendahului sambar lengannya si berewokan kuning, tubuhnya cuma mendak sedikit, berbareng dengan itu, tangan kanannya, dengan dua jari, menyambar kearah sepasang matanya si

penyerang dengan poan-koan-pit. Karena ia telah mendak sambil mengegos sedikit, ia tidak kuatir senjata musuh mengenai sasarannya. Utusan ini diserang terlebih dahulu, akan tetapi karena kegesitannya, kedua tangannya

dapat melayani kedua musuh. Dua-dua musuh lantas mundur sambil tarik pulang tangan mereka, si berewokan sambil

lebih dahulu loloskan tangannya dari cekalan. Semua hadirin berubah menjadi girang melihat utusan itu demikian liehay, mereka yang hendak membantu pun urungkan niatnya masing-masing. Semua lantas menonton saja. Selagi pertempur- an berjalan, dua mata-matanya Tjo Thaykam sibuk sendirinya. Mereka insyaf, walaupun mereka mengepung ber- dua, sebenarnya mereka sendiri berada didalam sarang harimau, mereka dengan sendirinya terancam bahaya. Karena ini, mereka main mundur dengan  pelahan- lahan, akan kemudian mendadakan merangsak, untuk mendesak.

Utusannya Lie Tjoe Seng berkelahi dengan hati-hati, tapi daripada membela diri, ia lebih banyak menyerang, tidak peduli ia bertangan kosong. Dengan begini, ia pun bisa merintangi kedua musuh, yang berniat menghampirkan pintu, untuk loncat keluar, untuk

lari.....

Dalam sibuknya, si muka putih mainkan poan-koan pit secara hebat, ia ingin bisa totok jalan darah lawan, untuk dibikin rubuh, sedang si berewokan kuning mendesak dengan ilmu goloknya Boe-Seng-Boen asal Shoasay, satu kali ia mendak dengan tiba-tiba tetapi

goloknya membacok kebawah. Ini kalipun desakan ada sangat berbahaya. Akan tetapi, orang semua lihat, utusan itu tetap tenang saja, benar ia mundur tapi dengan teratur. Pertempuran berlanjut. Sebab pihak Tjo Thaykam ingin bisa angkat kaki, mereka coba merangsak terus. Tapi mendadakan, si berewokan kuning terdengar menjerit, menjerit

kesakitan, goloknya terpental diantara hadirin. Melihat demikian, Tjoe An Kok maju, akan tanggapi gegaman itu.

Berbareng sama terlemparnya golok, utusan Lie Tjoe Seng kirim tendangan terhadap lawannya yang berewokan kuning itu, tidak ampun lagi, lawan itu terjungkal rubuh. Tapi utusan itu tidak berhenti sampai disitu, Baru kaki kiri turun atau kaki kanannya menggantikan melayang akan tendang juga lawannya yang kedua, si muka putih.

Lawan yang kedua ini liehay, ia bisa loloskan diri dari ancaman kaki itu, dilain pihak, ia terus maju, akan balas menyerang. Lagi-lagi ia menotok kedada musuh, sepasang poan-koan-pit sengaja dimajukan silih-ganti.

Utusannya Lie Tjoe Seng berlaku gesit, ketika poan-koan-pit yang pertama, tangan kiri, hampir mengenai dadanya, dengan tiba-tiba ia miringkan tubuh dan tangannya dipakai menyambar ujung senjata musuh itu, begitu ia dapat mencekal, begitu ia membetot dengan dikageti, hingga dalam sekejab saja, ia telah rampas senjata itu. Poan-koan-pit tangan kanan, yang dipakai menyusul, telah menyusul dengan tak dapat dibatalkan lagi, segera senjata ini diketok lawannya, yang gunakan poan- koan-pit kirinya itu, maka kedua senjata beradu keras, nyaring suaranya, muncrat lelatu apinya. Celaka untuk si muka putih, selagi tangannya sesemutan dan sakit karena bentrokan yang

hebat itu, ia juga tak dapat cekal lebih jauh sisa senjatanya itu, yang terlepas dan terpental! Si muka hitam lantas saja tertawa pandang, sembari tertawa, tangan kanannya menyambar dada musuh, untuk segera diangkat, lalu menyusul tangan kirinya, menyambar celana musuh itu, sesudah mana, kedua tangannya, yang masing-masing masih mencekal, dipentang dengan keras, hingga belum orang tahu apa-apa, terdengarlah suara memberebet yang nyaring. Ternyata celana si muka putih kena terbeset pecah dan tertarik hingga copot, hingga orangnya Tjo Thaykam itu menjadi telanjang sebatas pinggang kebawah, hingga dilain pihak, semua hadirin mengawasi dengan melongo.

Si muka hitam bicara.

"Kau ada orang kebiri atau bukan, biarlah orang banyak persaksikan!" berkata dia. Baru sekarang semua orang seperti tersadar. Memang benar, si muka putih adalah seorang kebiri, hingga - saking lucu - semua orang tertawa lebar, semua bertindak mendekati, mengurung thaykam itu, muka siapa pucat, bahna jengah. Dilain pihak lagi, semua orang kagumi utusannya Lie Tjoe Seng itu untuk kegagahannya.

Sementara itu, dua-dua mata-matanya Tjo Thaykam telah ditelikung. "Untuk apa Tjo Thaykam kirim kamu kemari?" Tiong Sioe segera memeriksa. "Kamu ada

punya berapa kawan? Tjara bagaimana kamu bisa nyelundup masuk kesini?"

Dua orang itu bungkam. Melihat orang membandel, Tiong Sioe kedipi Lo Tjhamtjiang, siapa sudah lantas datang

mendekati, dengan goloknya, ia bacok bergantian dua mata-mata itu, hingga kepala mereka kutung, sesudah mana, kedua kepala diletaki diatas meja sembahyang. "Jikalau tidak ada sam-wie, tentu sekali kami bakal alami bencana," kata Tiong Sioe kemudian kepada utusan- nya Lie Tjoe Seng bertiga. Ia memberi hormat seraya terus mengucap terima kasih. "Tapi ini pun terjadi karena kebetulan saja," berkata Lauw It Houw. "Selama ditengah jalan, kami lihat dua orang ini, yang sikapnya mencurigai, yang gerak-gerakannya gesit, karena

itu, selagi mondok, kami intai mereka, kesudahannya kami ketahui siapa adanya mereka. Mereka rupanya tak sangka ada orang yang intai mereka, hingga mereka kasak-kusuk dengan leluasa."

Sampai disitu, Tiong Sioe tanya dua kawannya orang she Lauw ini. Orang yang beroman cakap itu mengaku she Thian, dan kawannya yang mukanya hitam, she Tjoei. Tjoe An Kok kagumi utusan yang gagah itu, sampai ia jabat orang punya tangan dan puji padanya. Kemudian Lauw It Houw bersama-sama Tjouw Tiong Sioe dan beberapa orang lagi, pergi kebelakang, kekamar rahasia, untuk bicara. Utusan ini sampaikan amanatnya Lie Tjoe Seng, yang suka bekerja sama- sama untuk gulingkan pemerintah.

Atas usul perserikatan itu, pihak Tjouw Tiong Sioe ragu-ragu, maka kemudian, Tiong Sioe bilang : "Menurut aku, baiklah kitaorang bekerja sama-sama. Tjo Thaykam sudah ketahui gerakan kita, kita harus perbesar djumlah kita. Dimana tujuannya Lie Tjiang-koen ada

sama dengan cita-cita kami, kita bisa bekerja sama-sama untuk lawan pemerintah dengan berbareng kita sendiri bisa balaskan sakit hatinya Wan Thaygoanswee. Apa yang aku buat

kuatir adalah Tjo Thaykam nanti mendahului menyerang kita."

Pikiran ini dapat kesetujuan, maka putusan segera diambil. Selagi didalam orang rundingkan cara-cara untuk bekerja sama-sama, diluar, Tjoe An Kok,

bersama si Nie, yang bernama Hoo, tarik tangannya si anak muda muka hitam she Tjoei, yang bernama Tjioe San, untuk diajak ke tempat yang sepi. "Tjoei Toako", kata An Kok, "Walaupun kita Baru pernah bertemu hari ini, hari pertama, aku percaya kita sudah seperti sahabat kekal, maka itu harap kau tidak pandang kita sebagai orang luar."

"Djiewie toako, dulu kamu telah hajar bangsa Tartar, kamu telah lindungi rakyat negeri" berkata Tjioe San, "perbuatan itu ada perbuatan yang membikin aku kagum, sekarang aku bisa bertemu sama sahabat-sahabat dari San- tjong, aku girang bukan main!"

"Aku ingin berlaku lancang aku ingin ketahui, guru toako itu siapa adanya?" tanya Nie Hoo.

Ditanya tentang gurunya, matanya Tjioe San mendadakan menjadi merah. "Guruku itu ada It-seng-loei Thio Pek Ya, sudah banyak tahun ia menutup mata," ia jawab. Tjoe An Kok dan Nie Hoo saling mengawasi, terang mereka heran.

Nie Hoo ada polos, ia segera berkata pula: "Aku tahu It-seng-loei Thio Tjianpwee, namanya yang besar kita kagumi, akan tetapi, Tjoei Toako, harap kau tidak gusar, sekalipun Thio

Tjianpwee berkepandaian tinggi, ia nampaknya masih beda jauh dengan kau."

Tjoei Tjioe San berdiam, ia tidak menyahuti. "Memang benar, hijau asalnya dari biru," An Kok turut bicara, "memang sering terjadi, murid suka melebihkan gurunya, akan tetapi barusan, melihat caranya toako kalahkan

kedua mata-matanya Tjo Thaykam, pasti toako ada punya kepandaian lain...."

Tjioe San bersangsi, tapi kemudian ia menyahuti juga. "Djiewie ada kedua sahabat baik, tidak selayaknya aku sembunyikan apa-apa terhadapmu," demikian katanya. "Memang, setelah soehoe menutup mata, aku telah

ketemu jodoh lain, seorang aneh. Dia ini merasa kasihan melihat aku, dia ajarkan aku beberapa rupa ilmu pukulan yang menjadi kebiasaannya, tetapi ia telah suruh aku bersumpah untuk tidak sebutkan nama atau gelarannya. Maka itu, djiewie toako, harap kau

maafkan aku."

Kedua orang she Tjoe dan Nie itu lihat orang bicara sungguh-sungguh. "Jangan omong tentang maaf, toako," berkata An Kok. "Kalau aku sampai menanyakan

jelas kepadamu, itu disebabkan ada satu urusan yang penting."

"Apakah itu, djiewie?" Tjioe San tanya. "Segala apa yang aku sanggup kerjakan, aku tentu suka lakukan untuk kamu. Diantara orang sendiri harap djiewie toako tidak sungkan2." An Kok manggut.

"Harap tunggu sebentar, Tjoei Toako, kita hendak cari dua orang untuk bicara sebentar," kata ia.

Tjioe San lihat orang berlaku sesungguhnya, ia manggut. An Kok lantas pergi, bersama-sama si Nie. Mereka cari si Eng dan si Lo, yang diajak kesam- ping. "Ada apa?" si Eng tanya.

"Aku mau bicara perihal utusan she  Tjoei itu," jawab An Kok. "Tak satu dari kita sanggup lawan boegeenya, sedang menurut caranya ia bicara, dia ada seorang jujur...."

"Melainkan mengenai gurunya, dia ragu- ragu bicara terus terang," Nie Hoo timpalkan. Tjoe An Kok lantas tuturkan hal pembicaraan mereka sama si Tjoei itu. Ia pun kasi tahu ia dan maksudnya si Nie. Si Eng, ketika pembuatan tembok kota di Leng-wan, itu adalah buah rencananya, pada itu, dia keluarkan tenaga tidak sedikit. Sedang si Lo , yang bernama Tay Kan, ada satu tukang

tembak meriam jempolan, selama pepe- rangan di Leng-wan, dialah yang sulut meriam besar Ang-ie Toa Pauw, hingga bukan sedikit tentara Boan yang terbinasa. Karena jasanya, ia telah diangkat jadi Tjham-tjiang, letnan kolonel. "Tak ada halangannya kita omong terus-terang dengannya." Kata Eng Siong kemudian. "Setelah kita minta, kita lihat bagaimana sikapnya."

"Aku pikir baik kita tanya dulu pikirannya Tjouw Siangkong," Tjoe An Kok mengusulkan. Usul ini dapat persetujuan, maka mereka lantas pergi kebelakang dimana Tjouw Tiong Sioe sedang bicara dengan asik sekali sama Lauw It Hauw. Ketua itu dipanggil sebentar, untuk diajak berdamai.

"Eng Soeya," berkata si siangkong," urusan ini mengenai kepentingan seumur hidup dari tuan muda kita, sebelum kita ambil putusan, baiklah kau tanyakan dulu pikiran si orang she Tjoei itu."

Eng Siong setuju, maka ia lantas ajak Tjoe An Kok, Nie Hoo, dan Lo Tay Kan pergi pada Tjioe San.

"Tjoei toako, kami ada punya satu  urusan untuk mana kami harap benar bantuanmu," berkata Eng Siong. "Maka itu....."

Tjoei San lihat orang ragu-ragu, ia jadi tidak sabar. "Aku ada seorang kasar, jikalau ada apa-apa, titahkanlah aku," kata ia. "Asal apa yang aku

bisa, tidak nanti aku tidak menurut."

"Saudara Tjoei jujur, baiklah, kita juga hendak bicara terus terang," kata Eng Siong. "Ketika Wan Taygoanswee teraniaya, ia ada meninggalkan satu putera, waktu itu, sang putera Baru berumur tujuh tahun. Untuk tolongi putera itu, kita telah lakukan perampasan,karena mana, tiga kali kami lakukan pertempuran, hingga dua saudara kami terbinasa. Syukur untuk kami, kami berhasil menolongi putera itu."

Tjioe San tidak bilang suatu apa, ia cuma perdengarkan suara tak nyata.

"Putera itu, yang menjadi tuan muda kita, bernama Wan Sin Tjie," kata Eng Siong terangkan lebih jauh. "Kami berempat adalah yang didik ia dalam ilmu surat dan ilmu silat. Dia ada berotak sangat terang, bahannya baik sekali, apa yang diajari dia lantas bisa, Baru dua tahun, hampir habis semua kebisaan kami diturunkan kepada- nya. Dia masih sangat muda, ada bebera- pa rupa pelajaran yang ia masih belum menginsafinya, maka itu kami pikir, apabila ia tetap berada dibawah pimpin- an kami, sukar untuk dia peroleh kema- juan terlebih jauh."

Mendengar sampai disitu Tjioe San segera mengerti maksud orang. "Jadi saudara ingin aku yang teruskan mendidik dia?" ia tegasi. Tjoe An Kok manggut. "Tadi kami saksikan toako layani itu dua mata-mata dorna, kami dapat kenyataan toako ada sepuluh kali lebih pandai daripada kami," berkata dia," maka jikalau toako sudi terima

dia sebagai murid, untuk didik padanya, kami percaya rohnya Wan Thayswee di- dunia baka pasti akan sangat berterima kasih kepadamu...."

Lantas saja empat saudara itu menjura kepada sahabat baru ini. Dengan cepat- cepat, Tjoei Tjioe San membalas hormat. Segera ia berdiam. "Saudara-saudara sangat menghargai aku, turut pantas, tak dapat aku menampiknya," kata ia kemudian. "Hanya sayang sekarang ini aku mesti berdiam didalam tangsinya Lie

Tjiangkoen, siang dan malam, tidak ada ketentuannya waktu, saban-saban aku mesti keluar untuk lakukan tugas, malah satu waktu, kami mesti bertempur dengan tentara negeri, hingga tak dapat dipas- tikan, berapa hari lagi ada umurku. Maka itu, jikalau Wan Kongtjoe mesti tinggal bersamaku didalam tangsi, aku sangat kuatir kegagalannya, Tidak ada tempo senggang untuk aku mendidik dia, dilain pihak, keselamatannya berada dalam ancaman bencana."

Alasan itu ada beralasan, mendengar itu, Eng Siong berempat jadi putus asa.

Tjioe San lihat orang berputus asa.

"Ada satu orang boegee siapa dapat menangkan aku berlipat-lipat," kata dia kemudian," jikalau dia suka terima Wan Kongtjoe, sungguh itu ada keberuntungan besar bagi kongtjoe itu..." Tapi mendadakan ia goyang-goyang kepala, lalu ia ngoceh seorang diri: "Tidak,

tidak, inilah tak bisa menjadi...."

Eng Siong beramai heran. "Siapa orang itu?" tanya dia begitupun Tjoe An Kok.

"Itulah si orang aneh yang aku sebutkan tadi," jawab Tjioe San. "Kepandaiannya tidak ada batasnya. Dia ajari aku Baru enam bulan, aku telah punyakan kebisa- anku seperti sekarang ini, toh itu Baru kulitnya saja....."

"Siapa sebenarnya orang aneh itu?" tegaskan An Kok, yang girang tak kepalang. "Dia ada seorang yang tabiatnya aneh," terangkan Tjioe San. "Dia telah ajarkan ilmu silat padaku tetapi dia larang aku panggil guru kepadanya dan dia pun larang aku beritahukan namanya kepada lain orang, maka itu, aku kuatir taklah bisa berhasil apabila Wan Kongtjoe disuruh pergi belajar padanya."

"Dimana tinggalnya orang aneh itu?" Nie Hoo tanya. "Dia juga tidak punya tempat kediaman yang pasti. Dia biasa pergi kesegala tempat, setiap kali dia pergi, dia tidak mau beritahukan kemana perginya." Eng Siong berempat kewalahan, tapi si Eng ini terus panggil Wan Sin Tjie untuk bocah ini

diperkenalkan kepada utusannya Lie Tjoe Seng itu. Tjoei Tjioe San senang melihat ini anak, yang romannya cakap, yang tubuhnya sehat sekali, kapan ia tanyakan pelajarannya Sin Tjie, Sin Tjie menyahuti dengan rapi. "Eh, entjek Tjoei," tiba-tiba bocah ini tanya," ketika tadi entjek rubuhkan kedua mata-mata, ilmu pukulan apakah yang entjek gunai?" Tjioe San tertawa.

"Itu ada pukulan Hok Houw Tjiang, Harimau mendekam, salah satu petjahan dari Shatjap-lak Lou Kim-na-hoat."

"Demikian cepat gerakan entjek, sampai aku tak melihat tegas!" bocah itu kata.

"Apakah kau ingin pelajarkan itu?" tanya Tjioe San. Sin Tjie sangat cerdik. "Ja, entjek Tjoei, ajarkanlah aku!" ia lantas minta. Tjioe San menoleh pada Eng Siong. "Pada Lie Tjiangkoen aku telah bicara akan berdiam disini beberapa hari, biar aku gunai ketikaku akan ajarkan ini anak," ia bilang. Tentu sekali, Eng Siong girang, sedang Sin Tjie sudah lantas menghaturkan terima kasih. Pada waktu itu, Lauw It Hauw dan Tjouw Tiong Sioe telah mencapai permufakatan untuk

perserikatan, maka juga dihari kedua, dihadapan patung Wan Tjong Hoan, kedua pihak resmikan itu dengan angkat sumpah, untuk mati dan hidup bersama.

Pun pagi-pagi, Tiong Sioe telah kasi selamat jalan pada Tiauw Tjong dan Peng Kie bertiga, selagi berpisahan , ia bilang pada mereka berdua: "Kita telah bertemu secara kebetulan, inilah jodoh. Tentang kami disini, asal ada yang bocor, kesudahannya dua saudara harus

ketahui sendiri, tak dapat aku jelaskan lagi!"

"Itulah pasti, kami sudah mengerti," sahut Tiauw Tjong berdua. Tiong Sioe bekali lima puluh tail perak dan perintah dua orang antar mereka ini turun gunung.

Sejak itu, sesampainya mereka dirumah masing-masing, selagi Tiauw Tjong rajin belajar surat dengan tak suka pesiar lagi, hingga kemudian ia jadi  terpelajar tinggi. Yo Peng Kie tutup Piauw-kioknya, akan hidup menyendiri, sebab ia insyaf, kepandaian tak ada ujung-pangkalnya, orang pandai ada yang lebih pandai, maka ia anggap lebih baik ia bertani, bercocok-tanam saja. Lauw It Houw pulang berdua saja sama kawannya, si orang she Thian. Dengan pertemuan telah sampai diakhirnya, kaum San-tjong pun bubaran, akan masing-

masing pulang, tetapi diantaranya, ada yang kemudian pergi hubungi diri pada Lie Tjoe Seng. Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hood an Eng Siong beramai masih terus berdiam diatas gunung. Mereka masih mesti urus Wan Sin Tjie. Sebaliknya, Sin Tjie sendiri

seperti tak perdulikan hal-ikhwalnya sendiri saking kegirangan lantaran janjinya Tjoei Tjioe San akan ajarkan dia ilmu silat Hok-houw-tjiang.

Malam itu Sin Tjie tak dapat tidur nyenyak, sedang dihari besoknya, dia sibuk sendiri, karena belum sempat orang perhatikan dia. Habis rapat, orang semua sibuk menjelesaikan

ini dan itu, akan antar mereka yang berangkat pulang. Mereka ini pun pada pamitan dari pemimpin muda ini.

Adalah setelah sore, Baru Tiong Sioe perintah siapkan sebuah meja serta satu kursinya, begitupun lilin dan hio. Tjoei Tjioe San diminta duduk dikursi itu, untuk terima hormatnya Sin Tjie. Disitu hendak diadakan upacara sederhana pengangkatan guru atau penerimaan murid. “Saudara Wan kecil ini, sekali aku lihat, aku lantas suka padanya," kata Tjioe San. "Dia suka Hok-houw-tjiang, aku nanti pakai tempoku beberapa hari untuk ajarkan dia

sekedarnya. Tentu saja, tempo hanya beberapa hari, tidak cukup, hingga harus disangsikan ia bisa gunakan itu atau tidak apabila ia sudah bisa melatihnya sendiri. Semua-semua ada bergantung dengan bakat, kerajinan, dan keuletannya. Biarlah kita menjadi sahabat-sahabat saja bukannya guru dan murid, suatu hal yang tak dapat

dibicarakan."

"Asal dia diajari, walaupun cuma satu- dua gebrak, dia sudah berarti murid dan saudara adalah guru," Eng Siong bilang. "Harap Tjoei Toako tidak terlalu merendah."

Tapi putusannya Tjioe San tak dapat diubah, hingga akhirnya orang mengalah.

Sama-sama ahli silat, Eng Siong semua ketahui baik aturan orang memberi pelajaran, apapula mengenai Tjioe San dan Sin Tjie, guru dan murid istimewa. Tentu sekali, orang luar tak dapat tonton mereka. Maka itu, semua lantas undurkan diri. Tjioe San tunggu sampai semua orang sudah pergi, ia duduk dikursi yang disediakan tadi, untuk bicara sama ahli warisnya mendiang Wan Tjong Hoan. "Sin Tjie," katanya dengan sungguh-sungguh. "Ini ilmu silat Hok-houw-tjiang aku peroleh dari seorang berilmu yang telah berusia lanjut, aku sendiri masih belum meya- kinkannya sampai sempurna, akan tetapi, apabila dipakai melayani lawan yang umum, sudah cukup. Ketika aku diwaris- kan ilmu pukulan ini, orang berilmu itu wajibkan aku angkat sumpah, ialah tak boleh aku gunakan untuk menghina orang baik-baik atau mencelakai tanpa

alasan...." Sin Tjie ada sangat cerdik, segera ia mengerti maksud gurunya ini, lantas ia bertekuk lutut seraya katanya : "Murid Wan Sin Tjie, apabila telah berhasil mempelajari Hok-houw-tjiang,

tak akan gunakan itu untuk menghina orang baik-baik dan mencelakai tanpa alasan, Baru ia meneruskan : ".....biarlah soehoe nanti pukul mati padaku!" Mendengar sumpah itu, Tjioe San tertawa. "Bagus!" berkata dia, yang tubuhnya mencelat dengan mendadakan.

Sin Tjie angkat kepala dengan heran, karena sang guru lenyap dari hadapan- nya, kapan ia menoleh, guru itu kembali telah berada dibelakangnya dan pundak- nya lantas ditepuk. "Kau tangkap aku!" mengandjurkan guru ini. Sin Tjie telah peroleh ajaran dari Tjoe An Kok dan Nie Hoo, kecuali dasarnya baik, dia pun

cerdik, maka atas anjuran gurunya ini, ia tidak lantas memutar diri, hanya ia mendak dulu, sembari berbuat demikian, tangan kirinya digeraki, tangan kanan- nya menyusul - ia pun sembari dengari anginnya gerakan tubuh sang guru - lalu dengan tiba-tiba,ia menyambar kearah kaki. "Inilah cara yang tidak bercela!" terdengar sang guru, kaki siapa tapinya tidak kena disambar. Dilain pihak, pundaknya si murid kembali kena itepuk. Murid ini memutar tubuh dengan siasia, ia tak lihat gurunya itu. Kembali Sin Tjie perlihatkan kecerdikannya, ia ingat baik-baik, ajarannya Nie Hoo.

Ia tidak membalik tubuh, ia tidak menyambar lagi, hanya ia jalan setindak demi setindak kearah tembok, begitu lekas sudah sampai, mendadakan ia putar tubuhnya seraja berseru: "Entjek Tjoei, aku dapat lihat padamu!"

Dengan sebenarnya, diakui cara demi- kian, Tjioe San tak lagi bisa singkir- kan diri. "Bagus, bagus!" kata Tjioe San sambil tertawa. "Kau cerdik, kau ada punya bakat, kau pasti bakal bisa jakinkan Hok-houw-tjiang!"

Lantas saja guru istimewa ini mulai berikan pelajarannya, sejurus dengan sejurus, sampai diakhirnya, yang semua terdiri dari seratus delapan gerakan, dan saban gerakan mempunyai lagi tiga perubahan, untuk mengelakkan diri dan menyerang saling ganti, hingga semuanya jadi jumlah tiga-ratus dua-puluh empat jurus. Sin Tjie gunakan otaknya, ketika ia Baru diajari tiga kali, ia sudah lantas ingat semua, dengan pelahan- lahan, ia bisa jalankan Hok-houw-tjiang itu, maka dilain saat, sang guru mulai pecahkan artinya, keperluannya sesuatu jurus. Sin Tjie ingat dengan baik semuanya itu, ia terus berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia ketarik hati, guru- nya pun suka terhadapnya, yang demikian rajin dan ulet, guru ini tungkuli terus padanya, hingga malam pertama itu mere- ka berlatih terus sampai jauh malam, Baru berhenti. Besoknya pagi-pagi, Tjioe San pergi keluar, untuk cari hawa fajar yang segar. Betapa keheranannya, ia dapatkan Sin Tjie asyik berlatih seorang diri ditanah lapangan, dan untuk kekagumannya, murid itu bisa jalankan semua jurus dengan baik. Ia jadi sangat girang. Dengan diam-diam, ia mendekati murid itu, akan akhirnya lompat melesat, untuk dupak bebokong orang. Sin Tjie sedang madap kelain jurusan, ia tidak lihat gurunya, akan tetapi ia dengar angin menyambar, segera ia egos tubuh kesamping, sembari berbalik, ia ulur tangan kanannya, untuk sambar kaki yang menendang ia, tapi kapan ia kenali gurunya, ia tarik pulang tangannya.

"Entjek Tjoei!" ia berseru. Tjioe San tertawa. "Jangan berhenti, hayo menyerang terus!" kata guru ini sambil dia menyerang muka orang.

Sin Tjie kelitkan kepalanya, kakinya dimajukan satu tindak, sedikit kesamping, dari situ ia kirim kepalan- nya yang kecil kepada pinggangnya sang guru. Inilah pukulan ke-89 dari Hok- houw-tjiang, yang dinamakan "Tjim djip houw hiat", atau "Masuk jauh dalam guha

harimau". "Bagus, begini memang maunya!" Tjioe San memuji sambil ia berkelit. Kemudian, kembali ia serang murid itu. Sin Tjie layani guru itu, sampai sekian lama. Beberapa kali ia berbuat keliru, sang guru lantas ajar- kan, untuk dibenarkan, hingga ia jadi sangat gembira. Terus-terusan ia layani

gurunya, hingga habislah semua tiga- ratus dua-puluh empat jurus. Malah itu diulangi dan diulangi. Bocah ini girang bagaikan ia peroleh azimat atau mustika, ia dapat kenyataan, Hok-houw-

tjiang menggenggam banyak rupa rahasia pukulan. "Mari beristirahat," Kata Tjioe San, sesudah lihat muridnya mandi keringat. Tapi sambil berduduk, ia pun berikan pelbagai penjelasan. Kemudian, habis mengaso, latihan diulangi.

Guru dan murid ini berhenti untuk ber- santap pagi, sekian lama habis itu, mereka berlatih pula. Hingga itu hari, dari pagi sampai jauh malam, mereka cuma berhenti untuk berdahar dan beristirahat saja. Sin Tjie lanjuti cara belajarnya ini terus menerus sampai tujuh hari, selama itu, sang guru juga terus layani dia, kemudian dimalam kedelapan, Baru Tjio San kata pada muridnya: "Aku telah ajarkan semua kepada kau, bagaimana nanti jadinya, segala itu terserah kepada peryakinanmu sendiri. Diwaktu menghadapi lawan, orang mengandal tujuh bagian pada

latihannya, tiga bagian pada  kecerda- sannya, apabila orang andalkan melulu latihan, kemenangan sukar didapat."

Sin Tjie terima baik pesanan berarti ini. "Besok aku hendak kembali kepada Lie Tjiangkoen," Tjioe San terangkan kemudian. “Maka itu dibelakang hari, kau mesti berlatih sendiri saja."

Merah matanya Sin Tjie mendengar perkataan guru itu, air matanya berlinang. Benar mereka berkumpul Baru beberapa hari tapi ia telah sangat sukai guru itu, yang manis-budi, yang mengajar ia dengan sungguh-sungguh.

Tjioe San ada seorang peperangan ulung, tapi melihat sikapnya murid ini, ia terharu, maka ia lantas usap-usap kepala orang. "Jarang aku menemui orang berbakat dan cerdik sebagai kau," kata guru ini, "maka sayang sekali kita berdua tidak berjodoh untuk berkumpul lama-lama..."

"Bagaimana kalau aku ikut pergi pada Lie Tjiangkoen, entjek Tjoei?" Sin Tjie tanya. "Kau masih begini kecil, mana bisa?" sahut sang guru. Sin Tjie hendak jawab guru itu atau mendadakan mereka dengar suara binatang buas diluar rumah. "Binatang apa itu?" tanya si bocah. "Itu bukan suaranya harimau atau serigala...."

"Itulah suara harimau tutul," Tjioe San terangkan. Mendadakan, ia tambahkan : "Mari kita tangkap binatang liar itu. Ada perlunya...."

"Perlu apa itu, soehoe?" tanya Sin Tjie, yang merasa heran. Tjioe San tidak menjawab, dia melainkan tertawa, segera ia bertindak keluar. Murid ini terpaksa lantas menyusul. "Entjek Tjoei, senjata apa kau pakai untuk lawan macan tutul itu?" ia tanya kapan ia ingat gurunya tidak bekal senjata.

Tjioe San tidak menyahuti, dia cuma bersenjum. Ia juga tidak ambil pintu depan hanya bertindak kesamping, diluar kamarnya Tjouw Tiong Sioe, ia memanggil : "Tjoe Toako! Nie Toako!"

Dua orang yang dipanggil itu berada di dalam kamar, mereka lantas buka pintu.

"Tolong toako bantu aku," kata Tjioe San sambil tertawa," di luar ada seekor macan tutul, harap toako beramai usir dia masuk kedalam rumah, aku membutuh- kan dia."

"Baik, baik," jawab Nie Hoo, si tukang memburu harimau. Malah dia segera sambar cagaknya, untuk mendahului keluar. "Nie Toako, jangan lukai binatang itu!" Tjioe San pesan.

Nie Hoo tidak menyahuti, ia keluar terus. Tjioe San menyusul bersama-sama Tjoe An Kok dan Lo Tay Kan. Sin Tjie bekal tumbak pendek, ia hendak turut.

"Sin Tjie, jangan kau ikut, tunggu disini saja gurunya mencegah.

Bocah ini terpaksa menurut, maka itu, ia berdiam bersama Tiong Sioe dan Eng Siong. Mereka mengawasi dari jendela.

Tjioe San bertiga membawa obor, masing- masing berdiam ditiga penjuru. Nie Hoo

sendirian saja, ditepi gunung, lagi tempur sang binatang liar, tapi ia taat kepada pesannya si Tjoei, ia tidak mau lukai binatang itu, ia cuma menyerang mengancam sambil bela diri. Begitu lekas lihat api obor, macan tutul itu kaget, berniat melarikan diri, tetapi ketika dia mundur untuk lari, Tjoe An Kok bertiga pegat dia di tiga jurusan, hingga dia jadi makin bingung. Diantara tiga orang itu, Tjioe San tidak pegang senjata, dia lantas terjang gurunya Sin Tjie ini. Tjioe San tidak takut, ia tidak kaget mendengar gerungan, ketika ia ditubruk, ia egos tubuh sambil menyerang kepalanya binatang itu, atas mana si macan tutul rubuh bergulingan,

saking kerasnya pukulan. Tapi dia lekas bangun pula, untuk terus lari, kearah selatan, yang tak ada yang jaga. Ini ada jalanan untuk masuk kedalam rumah, itulah pintu muka. Dia cerdik, dia urung memasuki pintu itu. Tapi ia telah dikurung dari segala penjuru, cahaya api bikin dia bingung. Tjioe San maju dengan berani, selagi berada dibela- kangnya si macan tutul, ia lompat

untuk menendang, hingga saking kaget dan kesakitan, binatang itu loncat kedepan. Maka sekali ini, mau atau tidak, ia masuk juga kedalam rumah.

Eng Siong didalam rumah sudah siap, ia telah tutup semua pintu kecuali pintu barat, maka kesitu, macan itu lari. Binatang ini menyingkir tanpa pilih jalanan lagi. Begitulah dia memasuki pendopo barat, sesudah mana, Lo Tay Kan kuncikan dia pintu. Setelah berkumpul, semua orang, yang bergembira, awasi Tjioe San. Mereka masih belum tahu maksud utusan dari Lie Tjoe Seng itu.

Tjioe San tertawa, ia kata pada muridnya : "Sin Tjie, pergi masuk kedalam, kau hajar macan tutul itu!" ia menitah. Semua orang tercengang. "Aku kuatir ini tak sempurna...." Kata Tiong Sioe, yang berkuatir. "Aku nanti mengawasi dari samping, tidak ada bahayanya," Tjioe San bilang, sikapnya

tenang. "Baik!" jawab Sin Tjie, yang terus bertindak kepintu, sambil bawa tumbaknya. Bocah itu tercengang, tapi segera ia mengerti, gurunya rupanya ingin dia gunai Hok-houw-tjiang. Tentu saja ia bersangsi. "Kau takut?" sang guru tanya. Sin Tjie tidak menjawab, hanya ia cabut palangan pintu, terus ia buka daun pintu, akan nyeplos kedalam.

Segera juga terdengar suara menggeram, lalu satu bajangan berlompat nubruk.

Sin Tjie berkelit kesamping, sebelah tangannya dipakai menyerang, mengenai kuping simacan tutul, tetapi ia bertenaga kecil, binatang itu seperti tidak merasai sakit, tapi dia membalik tubuh, untuk menerjang pula. Dengan gesit Sin Tjie lompat, kebelakang macan itu, akan betot ekornya. Sementara itu, Tjoei Tjioe San juga sudah njeplos masuk, ia terus berdiri dipinggiran

seraja pasang mata. Sin Tjie tendang macan itu, atas mana, binatang ini tarik ekornya, hingga si bocah mesti

lepaskan cekalannya. Setelah memutar tubuh, harimau itu menubruk pula.

Dengan berkelit sambil mendekam, Sin Tjie selamatkan diri, karena ia berada disamping, kembali ia kirim kepalannya, hanya seperti tadi, binatang buas itu tidak bergeming karenanya. Itu waktu Tjouw Tiong Sioe beramai turut menonton, biar bagaimana, mereka kuatirkan itu pemimpin cilik, yang masih terlalu muda usianya. Mereka bantu menjaga, diantaranya ada yang terus pegangi obor, sedang An Kok dan Nie Hoo siapkan senjata rahasia mereka.

Segera juga mereka menyaksikan dengan kekaguman, mlihat bagaimana bocah she Wan itu bergerak gesit sekali. Mulanya tertampak Sin Tjie masih ragu-ragu atau sedikit jeri, tetapi setelah pertarungan ganjil ini berjalan sekian lama, hatinya jadi mantap. Nyata ia bisa gunai dengan sempurna Hok-houw- tjiang, itu ilmu pukulan "Menakluki Harimau". Ia pun insaf, percuma ia main

kelit, sia-sia saja ia mengajar dengan kepalannya, macan itu ada terlalu tangkas untuk dia, maka diakhirnya, ia pakai akal. Ialah saban-saban ia loncat kebelakang macan tutul itu, ia membe- tot, habis itu, ia jambak bulunya, untuk dibetot copot. Dicabuti bulunya, yang mana sering kejadiannya, lama-lama macan tutul itu berasa juga sakit,maka saban-saban dia menderum, berbareng diapun jadi semakin gusar, tubrukan-

tubrukannya jadi semakin sengit dan hebat. Tapi tetap saja, tidak pernah dia mampu terkam itu bocah, yang tubuh- nya sangat gesit dan licin. Maka diakhirnya, dari kewalahan, dia mulai jeri juga, hingga dia lalu tukar siasat, dari saban-saban menerkam, dia main mundur, dia pentang mulutnya akan mengancam dengan giginya yang besar dan tayam. Sin Tjie cerdik, ia ganggu macan itu, sampai dia saban-saban diterkam pula, saban diterkam, dia loncat kesamping, atau kebelakang, selalu dia cabut bulunya! Tjouw Tiong Sioe beramai, dari berkuatir, jadi tertawa melihat lagak-lagunya bocah ini, kelin- cahan siapa mereka sangat kagumi.

Biar bagaimana, macan tutul itu tidak dapat dirubuhkan cuma karena bulunya dicabuti, pun sia-sia saja pukulan kepalan dan tendangannya Sin Tjie, dari itu, juga ini bocah lalu menukar siasat. Sekonyong-konyong Sin Tjie mendekam, ia loncat kedepan macan tutul itu. Gerakan ini membuat heran itu binatang buas, yang jadi melengak, tapi meski demikian, dia lantas ingat untuk lompat menerkam. Gerakannya ada sangat gesit, sedang itu waktu, Sin Tjie

sampai didepan binatang itu, hingga ia jadi berada dibawah perutnya si raja hutan. Nie Hoo terkejut, tidak ayal lagi, ia menyerang dengan sepasang piauw. Macan itu tidak kena terserang senjata rahasia itu, kaki depannya dapat menyampoknya hingga jatuh.

Berbareng itu, Sin Tjie lenyap dari kolong harimau, sebaliknya tubuhnya nempel sama perutnya binatang itu. Entah bagaimana, kedua kakinya telah menyangkul keras kebebokong macan tutul, kepalanya sendiri menyundul janggutnya, hingga ia tidak bisa

digigit binatang itu. Kedua tangannya juga turut memeluk. Macan tutul itu jadi kewalahan, untuk bikin orang terpelas, dia jatuhkan diri, berguli- ngan dilantai. Sin Tjie tetap menjepit dan merangkul dengan keras, ia tidak kasih tubuhnya terpisah dari tubuh lawannya yang luar biasa itu. Tapi ia insaf, lama-lama ia bisa habis tenaga, apabila ia pisahkan diri, ia bisa celaka diterkam binatang itu.

"Entjek Tjoei, mari lekas," akhirnya ia memanggil. "Matanya!" adalah jawaban Tjoei Tjioe San. Ini pemberian ingat menyadarkan bocah itu, tidak ajal lagi, ia ulur tangan kanannya, beberapa jarinya mencari sebelah matanya yang terus ia korek dan betot keluar! Binatang itu kaget dan kesakitan, dia berjingkrakan sambil menderum-derum, darah mengucur keluar dari matanya itu.

Menampak demikian, Tjioe San lompat maju, ia dekati macan tutul itu tanpa si binatang buas dapat lihat padanya, segera ia menyerang dengan keras dengan kedua tangannya kearah kepala, atas mana, macan itu jadi pusing, segera dia rubuh terguling. Selagi si raja hutan rubuh, Tjioe San sambar Sin Tjie, untuk diangkat. "Bagus,bagus!" ia puji murid itu. Kapan si Tjoei menoleh pada kawan- kawannya, Tiong Sioe semua berkuatir hingga mereka mandi keringat! Tjioe San pentang pintu, ia dekati macan itu pada belakangnya, lalu ia mendupak.

"Pergilah, aku merdekakan padamu!" kata ia. Tendangan itu keras, sang harimau, yang mulai merangkak bangun, terjerunuk kedepan, sesudah mana, dia terus loncat, untuk kabur, Menyusul itu, di luar terdengar riuh jeritan kaget dari banyak orang. Menyangka bahwa macan tutul itu menerbitkan kecelakaan, Tiong Sioe semua berlari keluar, untuk meli- hat, tapi begitu lekas mereka berada diluar, mereka juga kaget tidak terkira. Seluruh gunung terang dengan api, yang mendatangi dari arah bawah, diantara itu, tertampak pelbagai senjata yang berkilatan. Itulah tentara kerajaan Beng, yang mengurung Lauw Ya San dengan tiba-tiba! Orang-orang

Lauw Ya San Baru saja bubar, yang masih ada tinggal sedikit, ini menyulitkan mereka. Mereka pun tidak dapat kabar lebih siang, karena mereka disergap dan penjaga-penjaga di saban pos telah terbunuh mati, sampai mereka ini tidak bisa memberi tanda bahaya. Tjouw Tiong Sioe ada seorang peperangan ulung, walaupun ia kaget, hatinya tidak gentar. Tadinya, dia pun adalah orang yang pangkatnya paling tinggi. "Lo Tjiangkoen," ia segera beri titah pada Lo Tay Kan, "pergi kau pimpin saudara- saudara tukang masak, tukang sapu dan penjaga-penjaga kuil, lepaslah api digunung sebelah timur seraya berteriak-teriak, untuk menyesatkan musuh!"

Lo Tay Kan terima titah, ia berlalu dengan cepat. "Tjoe Tjiangkoe, Nie Tjiangkoen!" Tjouw Tiong Sioe panggil Nie Hoo dan Tjoe An Kok. "Pergilah kedepan, masing-masing memanah belasan kali, untuk cegah tentara musuh terlalu mendesak, habis itu, lekas kembali!"

Dua punggawa itu berlalu dengan titah tersebut. "Tjoei Toako, ada satu tugas penting aku mohon kau yang pegang!" kata Tiong Sioe pada Tjioe San.

"Kau ingin aku yang lindungi Sin Tjie?" Tjioe San tegaskan. "Benar," jawab pemimpin itu. Lalu bersama-sama Eng Siong, dia menjura terhadap utusan

Lie Tjoe Seng ini. Tjioe San kaget, dengan tersipu-sipu, ia membalas hormat. "Bicaralah, djiewie, tapi jangan berbuat begini!" ia mencegah.

Suara gemuruh diluar bertambah besar, malah terdengar juga suara tambur dan gembreng tentara yang riuh, tapi itu datangnya dari atas gunung, maka Tiong Sioe menduga kepada perbuatannya Lo Tay Kan, ialah siasat akan mengelabui musuh. "Inilah satu-satunya darah daging dari Wan Tayswee, tolong Tjoei Toako antar dia turun gunung!" Tiong Sioe minta kepada Tjioe San. "Aku nanti lakukan itu!" Tjioe San berikan janji- nya. Itu waktu, Tjoe An Kok dan Nie Hoo kembali habis melepas panah. "Aku akan ambil jalan bersama Tjoe Tjaingkoen," Tiong Sioe mengatur diri, "kami nanti

gabungkan diri sama Lo Tjiangkoen, akan menerjang turun disebelah timur. Eng Sinshe bersama Nie Tjiangkoen boleh menerjang dari barat. Kita akan menerjang lebih dulu, buat tarik perhatiannya tentara musuh, supaja mereka tercegah, setelah itu, Tjoei Toako bersama Sin Tjie boleh nerobos turun dari gunung belakang. Biarlah kitaorang berkumpul ditempat Lie Tjiangkoen!"

Semua orang kagum, disaat segenting itu, Tjouw Tiong Sioe masih bisa mengatur diri demikian sebat dan tepat, coba mereka punyakan tentara, tentu keadaan mereka ada lain sifatnya.

Sin Tjie sedih bukan main, sebab telah begitu lama ikuti Eng Siong semua, yang pun telah didik dia, sekarang mereka mesti berpisahan secara demikian mendadakan dan dalam ancaman malapetaka hebat juga. Ia paykoei berulang-ulang terhadap mereka. "Tjouw Siokhoe, Eng Siokhoe, Tjoe Siokhoe, Nie Siokhoe," kata ia, "aku, aku...."

Ia tak dapat bicara lebih jauh, tenggorokannya seperti terkancing.

"Kau ikuti Tjoei Siokhoe, kau dengar perkataannya," kata Tiong Sioe. Masih Sin Tjie tak dapat bicara, ia cuma bisa manggut. Suara berisik makin hebat, itulah tandanya tentara negeri sudah mulai mendaki tinggi. "Marilah!" mengajak Eng Siong. "Tjoei Toako, kau berangkat sebentar lagi sedikit..."

Lantas mereka itu bertindak keluar.

Nie Hoo lihat Tjoe Tjio San tidak punya senjata, ia lemparkan kongtjee  kepadanya. "Tjoei Toako, sambut ini!" ia kata. "Aku tak butuhkan itu," sahut Tjioe San, yang menyambuti tapi terus hendak kembalikan, hanya Nie Hoo sudah lari jauh, ia jadi batalkan niatnya.

"Mari!" katanya, yang terus tarik tangannya Sin Tjie, sedang tangannya yang lain tetap pegangi tumbak cagak itu. Berdua mereka pergi kebelakang dimanapun ada terang cahaya api, hingga kelihatan berlapis-lapis tentara, entah berapa djumlahnya. Anak panah pun dipanahkan naik bagaikan hudjan. Maka terpaksa Tjioe San lari balik kekuil, kedapur, akan cari dua buah kwali, yang satu besar, yang lain kecil yang kecil ia serahkan pada muridnya. "Inilah tameng!" kata ia. "Mari!"

Dengan berlompatan secara enteng, mereka lari kearah tempat gelap.

"Kejar, kejar!" begitu tentara kerajaan Beng berteriak-teriak, ketika mereka lihat dua orang berlari-lari. Dan mere- ka segera mengejar seraya terus memanah juga. Tjioe San lari dibelakang Sin Tjie, dengan kongtjee, dan tameng kwali, ia tangkis pelbagai gandewa, hingga kwalinya menerbitkan suara berisik berulang-ulang. Disebelah depan mereka, ada beberapa serdadu, yang merayap naik, yang memegat, tapi

berdua, guru dan murid itu, serang mereka, hingga belasan serdadu rubuh.

Sin Tjie bersenjatakan tumbak pendek, diwaktu demikian, senjata itu tidak leluasa dipakainya, karena itu, ia lebih banyak lindungi diri. Tidak lama, mereka telah sampai ditengah gunung, Baru mereka bernapas lega sedikit,

lantas terdengar suara riuh, disusul sama munculnya sebarisan serdadu Beng Tiauw dengan yang maju dimuka ada satu tjian-boe atau kapten, yang  bersenja- takan sebatang golok besar, malah terus saja dia bacok Tjioe San. Tjoe Tjioe San tangkis bacokan itu, ia merasakan tenaga musuh yang besar, maka dengan sebat, ia balas menyerang. Kapten itu menangkis seraya ia serukan barisannya: "Saudara-saudara, maju!"

Tjioe San tidak mau melayani lama-lama, dengan tamengnya, ia ancam kapten itu, dengan cagaknya, ia membarengi menikam, berbareng dengan mana, ia pun membentak. Celaka adalah kapten itu, iganya kena tertusuk. Selagi Tjioe San cabut senjatanya, ia menoleh, ia tidak lihat Sin Tjie, bukan main terkejutnya ia. Disebelah kiri ada suara berisik, ia lihat serdadu-serdadu berkerumun, ia

lari kesana. Beberapa serdadu mundur sendirinya melihat ia merangsak.

Nyata disitu Sin Tjie sedang dikepung tiga serdadu, tumbak pendeknya sudah terlepas jatuh, maka dia melawan dengan gunai Hok-houw-tjiang, dengan tangan kosong. Kelihatan nyata ia sedang terdesak. Tanpa bersuara lagi, Tjioe San berlompat kepada musuh, terus ia menyerang. Satu serdadu rubuh, menyusul yang lain, dengan begitu, Sin Tjie dapat ditolong. "Mari!" mengajak sang guru. "Kejar!" berseru serdadu yang ketiga. Tidak jauh dari situ masih ada kawan mereka, dua diantaranya lantas maju. Dengan satu loh-bee, gerakan berbalik, Tjioe San rubuhkan dua serda- du, kemudian ia terjang yang ketiga, yang coba merangsak. Serdadu yang ketiga itu kena dilemparkan hingga dia rubuh terbanting sambil perdengarkan jeritan hebat. Menampak demikian, serdadu-serdadu yang lainnya merandek, tak berani mereka mendesak.

Tjioe San sambar Sin Tjie, untuk dipondong, buat dibawa kabur dengan gunai ilmunya entengi tubuh. Ia tunggu sampai ia sudah terpisah jauh dari tentara negeri, Baru ia lepas turun muridnya itu. "Apakah kau terluka?" dia tanya. Sin Tjie usap mukanya, ia kena raba barang bergenjik, waktu ia lihat tangannya antara cahaya rembulan, ia lihat barang cair merah, ialah darah. Ia terkejut. Ia pun kaget, akan

lihat muka gurunya berlepotan darah juga. "Entjek Tjoei, darah, darah....." ia berseru. "Tidak apa, inilah darahnya lain orang," sahut Tjioe San. "Kau terluka atau tidak?"

"Tidak," jawab sang murid. "Bagus! Mari kita pergi!" guru itu mengajak. Mereka lantas nyelusup antara pepohonan, akan pergi dari tempat berbahaya itu. Mereka

sudah jalan kira-kira setengah jam, sampai tidak ada pepohonan lagi, ketika Tiong Sioe melongok kebawah, ia tampak cahaya terang, ada beberapa ratus serdadu menjaga disitu. "Kita tak dapat turun, mari mundur...." Ia bilang.

Mereka jalan beberapa ratus tindak, sampai mereka lihat sebuah gua cetek yang tertutup pepohonan. Keduanya masuk, untuk umpatkan diri. Sin Tjie merasa sangat lelah, dasar anak kecil, ketika ia rebahkan diri, cepat sekali, ia jatuh pulas. Tjioe San angkat tubuh orang, buat dipeluki, supaya murid itu tidur dipangkuannya, sembari berbuat begitu, ia pasang kuping, hingga ia dengar, suara riuh masih belum

berhenti. Kemudian ia dengar suara merotok keras, disusul sama naik tingginya cahaya api. Teranglah sudah, kuilnya Wan Tjong Hoan telah dibakar tentara Beng. Masih berselang sekian lama, Baru terdengar suara terompet tentara, tandanya mereka dititahkan berkumpul, untuk turun gunung, buat angkat kaki. Tjioe San terus pasang kuping ketika kemudian ia mengeluh sendirinya. Ia dengar tindakan kaki yang ramai, yang makin lama makin nyata. Rupanya barisan serdadu

mendatangi kearah guha yang mesti dilalui mereka. Jikalau dia dipergoki.....

Bab 3

Tiba-tiba terdengar suara orang duduk diluar gua, yang teraling pepohonan bala-bergombolan. Dengan tangan kanan cekal senjatanya, dengan tangan kiri Tjioe San tekap mulutnya Sin Tjie. Ia kuatir bocah ini mendusin dan menjadi kaget karenanya, dengan begitu dia bisa berteriak. Untuk sesaat kesunyian berkuasa ditempat sunyi itu. Lalu tiba- tiba: "Pemberontak she Wan itu ada tinggalkan satu anak, kemana perginya bocah itu?" demikian satu suara yang

keras. Benar-benar Sin Tjie tersadar karena suara itu, tapi Tjioe San telah siap, ia bisa cegah bocah ini buka mulutnya. "Diam...." Dia kisiki. "Kau mau omong atau tidak?" kembali terde- ngar suara keras tadi. Itulah satu pertanyaan bengis. "Jikalau tetap kau tutup mulut, lebih dahulu aku akan bacok kutung sebelah kakimu!"

"Jikalau kau hendak bacok, bacoklah!" terdengar satu suara lain, ialah suaranya orang yang diancam itu. "Selama diperbatasan, dengan tumbak dan golok, aku biasa hajar bangsa Tartar, mustahil aku jeri terhadapmu, dorna!"

Itulah suaranya Eng Siong. Sin Tjie terkejut. "Eng Siokhoe..."kata ia, tapi suaranya pelahan. "Eh, apa benar kau tidak mau bicara?" teguran diulangi.

"Cis!" terdengar suaranya Eng Siong, yang ludahi orang yang ancam dia. "Aduh!..." Jeritan itu menyusuli suatu suara keras, rupanya benar-benar kaki- nya Eng Siong dibacok kutung! Tak bisa Sin Tjie bersabar lagi, ia berontak dari cekalannya Tjioe San. "Eng Siokhoe!" ia menjerit sambil ia loncat keluar gua. Maka ia bisa lihat, antara cahaya api, seorang yang bersenjatakan golok, lagi ayunkan senjatanya kearah tanah dimana ada seorang menggeletak. Ia berlompat, ia menyerang dengan ilmu pukulan "Tjo Kie yo kim," atau "kiri menyerang, kanan menangkap," salah satu jurus dari Hok-houw-tjiang. Orang dengan golok ditangan itu, yang kejam, menjerit bahna kesakitan, sebab  tahu- tahu matanya kena toyoran, sedang selagi ia menjerit dan kesakitan itu, lengannya pun dirasai sakit, lantas goloknya kena dirampas! Sin Tjie tidak bekerja sampai disitu saja, menyusuli

dengan sebat, ia bacok pundak orang, benar tenaganya tidak cukup besar, pundak itu tidak sampai terbacok kutung, toh orang telah jadi pusing kepala dan matanya kabur saking sakitnya. Disitu ada sejumlah serdadu lain, mereka kaget tapi mereka tidak berdaya untuk mencegah, setelah mereka dapati, penyerang gelap ini ada bocah, mereka lantas maju untuk menyerang.

Dalam saat Sin Tjie terancam bahaya, dari dalam gua loncat keluar satu orang lain dengan kongtjee ditangan, dia cuma berkelebat, lantas senjatanya itu  menangkis berbagai senjata yang meng- ancam si bocah cilik, hingga sekalian penyerang itu terperanjat, tangannya

kesakitan, ada antaranya, yang senjata- nya terpental dan terlepas. Selagi serdadu-serdadu itu kaget, Tjioe San sambar Sin Tjie untuk terus dibawa lari turun gunung, ketika kemudian mereka dihujani anak-panah, mereka keburu lari jauh. Diantara serdadu-serdadu itu, yang atas titahnya Thaykam Tjo Hoa Soen, ada empat yang pandai silat, kapan mereka ini tampak Tjioe San mereka segera lompat mengejar, satu

antaranya malah keluarkan tiga batang panah-tangan, sebab terdapat kenyataan,

walaupun sedang kempit orang, Tjioe San bisa berlari-lari dan berlompatan dengan keras. Tjioe San masih dengar sambaran angin, lekas-lekas ia mendak, dengan begitu, tiga batang anak panah lewat diatasan kepalanya. Selagi Tjioe San mendak, karena mana ia mesti berhenti lari, satu musuh lain serang ia dengan tiga batang kong-piauw, yang dilepasnya dengan beruntun. Ia lepaskan Sin Tjie, ia gunai tangannya itu menanggapi dua buah piauw, disaat ia hendak balas menyerang dengan piauw itu, datanglah panah-tangan dan batu hoei, hong tjio saling susul, hingga ia

jadi repot, batal menyerang dengan piauw, ia menangkis dengan kongtjee.

"Mari!" ia teriaki Sin Tjie, untuk ajak bocah itu lari lebih jauh. Terpisahlah mereka ini dari tentara Beng adalah jauh, tidak demikian dari itu empat

pengejar yang masih saja bayangi mereka. "Sahabat baik, letaki senjatamu!" demikian salah satu pengejar berteriak, dengan lagu

suaranya mengejek. "Marilah baik-baik turut kita pulang, nanti kita bikin kamu kurangan menderita...."

Tjioe San paling sebal terhadap orang yang mulutnya enteng, dari itu, ia jadi mendongkol sekali. Sembari lari, ia geser kongtjee ketangan kiri dan piauw ke tangan kanan, ia tunggu sampai orang telah datang lebih dekat, mendadakan ia menyambit, keatas dan kebawah.

Tukang menjengeki itu menjerit, pahanya tertancap sebatang piauw, tidak tempo lagi, ia rubuh. Tetapi tiga kawannya tidak perdulikan ancaman, mereka menge- jar terus. Melihat orang datang semakin dekat, Tjioe San kata pada Sin Tjie: "Siangtoo dari orang itu ada bagus, nanti aku rampas untuk diberikan kepadamu!" Habis mengucap, Tjioe San tancap kongtjee ditanah, lantas ia berlompat maju, akan hampirkan musuh yang bergegaman siangtoo, golok sepasang. Dia ini sambut musuh, malah dengan pukulan beruntun "In Ling sam hian", atau "Naga tiga kali perlihatkan diri dalam awan", dia mendahului menyerang berulang-ulang, karena mana, Tjioe San tidak lantas dapat mencapai maksudnya. Dipihak lain, musuh yang kedua, yang bersenjatakan tiat-pian atau thie-phie, rujung besi, telah berlompat kepada Wan Sin Tjie. Bocah ini bertangan kosong, segera ia menghadapi ancaman bahaya. Tjioe San mendongkol, karena tak dapat ia segera rampas siangtoo lawan, dilain pihak, ia

lihat muridnya terancam, maka juga sambil putar tubuh, ia berlompat kepada musuh dengan tiatpian ditangan itu, dengan ulur tangannya dengan "Kim liong tam djiauw" atau "Naga emas  mencengke- ram" ia sambar bebokongnya. Musuh ini sedang hendak babat pinggangnya Sin Tjie, kapan ia dengar sambaran angin, ia lantas putar tubuhnya, berbalik, akan lihat si penyerang. Tapi sambaran- nya Tjioe San sudah sampai, tidak sempat dia menangkis, terpaksa dia tolong diri dengan bertindak mundur. Justru itu Sin Tjie dibelakangnya telah ayun kakinya, maka kenalah ia terdupak

kempolannya. Ia tidak rubuh, ia jadi gusar, ia menyabat kebelakang dengan tiatpian. Tapi ia terlambat, Tjioe San telah sambar ruyungnya itu, untuk dicekal keras, buat dirampas. Dalam saat kedua pihak bergujengan, orang yang bersenjatakan siangtoo telah datang, untuk menyerang lebih jauh, bersama ia ada kawannya yang ketiga, yang bergegaman golok kwie-tauw-too, ber-sama-sama, mereka berdua menyerang dari belakang. Juga orang yang pertama, yang tadi rubuh terkena piauw, bisa bangun pula, dia memegang tumbak, dia maju untuk tikam Sin Tjie. Itulah saat berbahaya untuk Tjioe San dan muridnya. Walaupun demikian, orang she Tjoei

ini tidak menjadi bingung atau putus asa. Sambil berseru, dengan pukulannya "Hang liong hok houw" atau "Menakluki naga dan menundukkan harimau" , dia hajar dadanya orang yang pegang ruyung, sampai dia ini rubuh terjengkang, malah dia kena tubruk kawannya yang bergegam- an tumbak, yang hendak tikam si bocah, hingga dia ini turut terguling. Syukur untuk kawan ini dengan ruyung, dia  tidak sampai tertikam tumbak teman.

Tjioe San berlompat, akan rampas tiatpian orang dengan itu ia tangkis serangan siangtoo dan kwietauwtoo, lalu ia tarik lengannya Sin Tjie, buat di- ajak lari lebih jauh. Ia tidak punya

ingatan akan layani terus empat musuh itu. Baru sekarang empat lawan itu berhenti mengejar, mereka rupanya insyaf liehaynya satu musuh itu, sebagai gantinya, mereka keluarkan senjata rahasia masing-masing dengan

apa mereka menyerang dari jauh. Tjioe San sibuk sekali ketika ia dengar sambaran angin saling susul, ia tarik Sin Tjie kepada dadanya, untuk dipeluk, dengan ruyungnya, ia bikin penangkisan. Ia pun saban-saban lompat berkelit, akan menyingkir dari perbagai serangan saling susul itu. Karena adanya si bocah, gerakannya jadi terhambat. Tiga biji pou-tee-tjoe datang menyambar, dua bisa dielakkan tapi yang satu mengenai

paha kirinya Tjioe San. Dia terkejut, sebab mulanya sakit sedikit, lukanya itu lantas jadi gatal. Ia insyaf, pou-tee-tjoe itu telah dikenai racun. Karena ini, dengan sekuat tenaganya,

ia lari terus. Tetapi ini justru melekaskan bekerjanya racun, kaki kirinya lantas saja jadi kaku, hingga tidak saja ia tak mampu lari lebih jauh, ia malah rubuh terguling.

"Tjoie Siokhoe!" memanggil Sin Tjie, yang kaget bukan main. Ia sendiri hampir turut terguling. Empat penyerang, dengan samar-samar, lihat orang rubuh, kapan mereka dengar

suaranya Sin Tjie, mereka mengejar pula. "Sin Tjie! Sin Tjie!" berseru sang guru. "Lekas lari! Aku nanti tahan mereka!" Sin Tjie masih bocah tapi ia cerdas, daripada lari, dia justru lompat kesampingnya guru itu, ia hendak bersiap melawan musuh-musuhnya. "Dengan kepandaianmu ini, mana sanggup kau belai aku?" kata Tjioe San, yang terharu bukan main. Murid ini sangat berani dan bakti. Empat musuh sudah lantas datang dekat, apapula yang bersenjatakan siangtoo dan kwietauwtoo. Yang pegang kwietauwtoo ini hendak menawan hidup-hidup, ia serang Sin

Tjie dengan belakang goloknya. Ia sengaja sambar bawah betisnya Sin Tjie.

Sin Tjie lihat serangan itu, ia berkelit sambil berlompat. Tjioe San lihat serangan itu, ia paksa bangkit, untuk berdeku dengan sebelah kaki. Dia

masih pegang dia punya ruyung, dengan itu, ia timpuk orang yang pegang siangtoo. Dia ini kaget, sampai tak sempat dia berkelit, maka kepalanya kena tiatpian, syukur tidak hebat. Sedangnya dia melengak, Tjioe San enjot tubuh sekuat tenaga, akan tubruk musuh

ini. Beruntung untuk dia, dia bisa sambar tenggorokan orang. Musuh kaget, dia membacok, tapi bacokan ditangkis dengan lengan oleh Tjioe San, siapa

kerjakan tenaganya kepada semua jerijinya, maka dilain saat, musuhnya tecekek keras, tubuhnya rubuh, napasnya berhenti jalan tanpa berkaok lagi....

Inilah hebat, menampak itu, musuh dengan kwietauwtoo ditangan jadi jeri, lantas ia putar tubuh untuk lari. Melihat ini, dua kawannya, yang menyusul belakangan, yang memang ntelah terluka, turut dia dan lari juga.....

Tjioe San sendiri mengeluarkan darah tak putusnya dari lukanya itu, kaki kanannya sudah lenyap rasa sakitnya, beku tanpa rasa apa juga. Tapi ia kertak gigi, ia kumpul tenaga, dengan bantuan golok, yang ditandalkan ketanah, ia coba berbangkit. Ia insyaf, musuh lari tentu akan sebentar kembali bersama pasukan tentaranya, jadi ia tak punya tempo untuk disia-siakan.

"Mari!" ia ajak muridnya. Ia jalan dengan separuh merangkak, karena sebe- lah tangannya dipakai sebagai gantinya kaki. Ia separuh menyeret tubuh. Sin Tjie jalan disebelah kanan gurunya itu, ia pasang pundaknya untuk gurunya cekal dengan tangan kanan, akan kasi dirinya digelendoti. Jadi, separuh dipepayang, Tjioe San paksa jalan, setindak demi setindak. Jalan sekian lama, keadaannya Tjioe San tambah hebat. Mulai dari kaki, bekunya naik ketangan, hingga pelahan dengan pelahan, habislah tenaga tangannya itu - tangan kiri. Sekarang ia mengandal pada tangan kanan saja.

Sin Tjie merasai bandulan makin berat pada pundaknya, ia lawan itu, ia diam saja. Ia telah mandi keringat. Mereka jalan terus, sampai si bocah pun lelah sekali. "Tjoei Siokhoe, didepan ada rumah orang, mari kita pergi kesana," kata sang murid, apabila ia tampak sebuah rumah. "Kita beristirahat disana sambil umpatkan diri...."

Tjioe San manggut, ia paksa kumpul tenaganya. Adalah setelah sampai didepan pintu, tenaganya habis, terle- paslah cekalannya, hingga ia rubuh tanpa muridnya dapat mencegah. "Tjoei Siokhoe!" Sin Tjie menjerit, sambil ia lekas membungkuk. "Tjoei Siokhoe!"

Hampir itu waktu, daun pintu rumah terpentang, seorang perempuan usia pertengahan muncul diambang pintu.

"Toa-nio," berkata Sin Tjie, "kami bertemu tentara negeri, pamanku ini terluka, tolong kau ijinkan kami menum- pang bermalam, satu malam saja...."

Perempuan tani itu murah hati, ia manggut, lalu ia teriaki satu anak tanggung, umur delapan atau sembilan- belas tahun, untuk bantui si bocah angkat tubuhnya Tjioe San, buat diang- kat kedalam, direbahkan atas kong.

Karena ia ada tangguh dan kuat sema- ngatnya, walaupun kaki dan tangannya beku sebelah, Tjioe San tidak pingsan atau kalut pikirannya, sebaliknya, ia sadar benar-benar. Ia lantas suruh Sin Tjie geser pelita, untuk ia periksa lukanya. Kaget semua orang, akan tampak luka dikaki itu. Sebab kaki kiri itu bengkak besar, yang sepotong sudah matang-biru, dilihatnya mengerikan.

"Tolong bungkus luka dipundakku," Tjioe San minta si tuan rumah muda. Kemudian, ia minta dibungkus keras juga pahanya, guna cegah racun naik dan menyerang ke

jantungnya. Habis itu, ia cabut senjata yang melukai padanya. Segera keluar  darah hitam. Tjioe San coba tunduk, ia niat isap darah dari lukanya, supaja racunnya tersedot, tapi bengkaknya demikian besar, mulutnya tak dapat sampaikan luka itu. Melihat demikian, tanpa bersuara apa-apa, Sin Tjie gantikan gurunya sedot darah itu, ia

menyedot berulang-ulang, saban-saban ia muntahkan darah hitam itu. Setelah menyedot kira empat-puluh kali, Baru ia kena hisap darah bersemu merah. Akhir- akhirnya djago itu menghela napas.

"Syukur ini bukannya racun yang sangat berbahaya," kata ia. "Sin Tjie, lekas kau kekumur!" Nyonya rumah, yang mengawasi sedari tadi, lalu berdoa.

Besoknya, lohor, tuan rumah muda, yang dimintai pertolongannya, pulang dengan laporan bahwa tentara negeri sudah mundur dari gunung Lauw Ya San. Disatu pihak, kabar itu melegakan hati. Akan tetapi, dilain pihak, keadaannya Tjoei Tjioe San menguatirkan sekali. Bengkaknya mulai kempes, tapi disebelah itu, tubuhnya menjadi panas, dia mulai

mengaco-belo. Sin Tjie ada satu bocah, walaupun ia cerdik, ia toh bingung, ia tidak bisa berbuat suatu apa.

"Tuan kecil," berkata nyonya rumah," aku lihat racun dalam kakinya pamanmu ini belum habis semua, perlu kau pergi kekota kepada tabib guna periksai luka- nya itu." Sin Tjie anggap usul itu baik. "Aku nanti pergi," kata ia.

Nyonya rumah, yang baik hati, pergi pinjam gerobak kerbau dari tetangganya, dengan naik itu, Sin Tjie pergi dengan diantar si anak tanggung. Tjioe San direbahkan diatas gerobak. Anak tanggung itu mengantari sampai dikota, sampai Sin Tjie telah dapati sebuah rumah penginapan, lantas ia berangkat pulang. Sekarang, setelah berada di- kota, Sin Tjie kembali bingung. Mereka tidak punya uang. Ia bengong mengawasi saja gurunya, hingga ketika jongos tanya, ia hendak dahar apa, ia tidak dapat menyahuti. "Aku tidak lapar," kemudian ia kasi alasan. Tapi, sepergi- nya si jongos, ia nangis seorang diri.

Selama itu, Tjioe San rebah tak ingat dirinya, adalah sesudah lewat sekian lama, ia mendusin juga. "Bagaimana, siokhoe?" Sin Tjie tanya. "Apa siokhoe merasa baikan?" Guru itu manggut.

"Apakah kau ada bawa barang berharga apa-apa?" tanya dia kemudian. Tiba-tiba Sin Tjie ingat suatu apa, lantas dia menjadi girang. "Ada ini!" kata ia, yang terus keluarkan sarungnya. Itu ada kalung emas tertabur delapan buah batu permata, dan dirantainya ada ukiran

beberapa huruf, kapan Tjioe San baca itu, bunyinya ada empat huruf "Hoei Koan Hoan Tjiang" yang berarti "Kejaya- an makmur". Dibawah itu ada lagi dua baris huruf-huruf kecil, yang berbunyi: "Selamat bahagia ulang bulan Wan kongtjoe" dan "Selamat dari Tjouw Tay

Sioe". Jadi itu ada tanda-mata dari Tjouw Tay Sioe, panglima nomor satu dari Wan Tjong Hoan, untuk peringatan usia sebulan dari Wan Sin Tjie. Tjouw Tay Sioe ini, diwaktu mudanya, ada gagah dan berandalan, kemudian ia kena

ditawan Tok-boe Soen Sin Tjong dari Kie-liauw, diwaktu ia hendak dihukum mati, Wan Tjong Hoan mintakan keampu- nan, dengan begitu, ia jadi sangat berterima kasih, keduanya jadi bersa- habat bagaikan saudara, maka dikemudian hari, waktu Wan Tjong Hoan binasa

teraniaya, Tjouw Tay Sioe jadi sangat gusar, dia bawa kabur tentaranya, dia tinggalkan kota raja tanpa pedulikan titah kaisar Beng. Dikota raja, semua orang berkuatir, kuatirkan panglima ini, yang berkuasa atas tentara, nanti berontak, sukur ibu dan isterinya Tay Sioe ada orang-orang bijaksana, mereka bisa bujuk Tay Sioe jangan berkhianat, hingga kesudahannya, Tay Sioe ajak barisannya menentang desakan tentara Boan. Pikirannya Tjioe San sedang kusut, ia tidak perhatikan bunyinya kata-kata pada kalung itu. "Pergi ajak jongos gadai kalung ini." Ia kata pada muridnya. "Dibelakang hari, kita boleh

datang pula kemari untuk menebusnya."

Sin Tjie juga tidak pikirkan huruf- huruf ukiran itu. "Baik," sahut ia, yang terus ajak satu jongos, untuk menggadai. Pengurus pegadaian terkejut ketika ia periksa kalung yang hendak digadaikan itu. "Sahabat cilik, tunggu sebentar , ya?" kata ia. Pengurus ini masuk kedalam, sampai lama, hingga Sin Tjie dan si jongos tidak sabaran,

baiknya kemudian, dia muncul juga.

"Sahabat cilik, kami terima gadai untuk dua-puluh tail." Kata ia. Sin Tjie tidak tahu apa-apa, ia mau terima, tapi jongos mintakan tambahan lagi lima tail, kalung itu jadi digadai buat dua-puluh lima tail. Sambil bawa uang dan surat gadai, Sin Tjie ajak jongos mampir sekalian pada tabib. Diluar

tahu mereka, mereka sudah lantas dikuntit dua orang polisi, terus sampai dihotel. Tjioe San sedang tidur, kepalanya panas seperti api. Karena thabib, yang menyusul belakangan, belum juga sampai, Sin Tjie menjadi kuatir pula, hingga ia pergi keluar, akan

melihat, mengharap-harap kedatangan sang tabib. Belum lama, mendadakan datanglah delapan orang polisi ke hotel, mereka itu bekal thie-tjio dan rantai belengguan. "Ini dia si bocah," kata satu oppas seraya tunjuk Sin Tjie.

"Eh, anak, apa kau she Wan?" tanya oppas yang jadi kepala. Sin Tjie kaget, tak tahu ia mesti menjawab apa.

"Bukan," jawab ia akhirnya, dalam bingungnya. Oppas itu tertawa, dari sakunya, ia keluarkan kalung emas tadi.

"Habis, kalung ini kau curi dari mana?" tanya dia. "Itu bukan barang curian, itu ada barangku sendiri," sahut Sin Tjie, yang dengan tidak langsung toh mengaku. Kembali oppas itu tertawa.

"Wan Tjong Hoan itu pernah apa denganmu?" tanya dia. Sin Tjie kaget, ia tidak berani menyahuti, hanya ia lari kedalam, ke kamarnya, akan segera

gebrak bangun pada Tjioe San. Diluar segera terdengar teriakannnya kawanan oppas tadi : "Berandalan dari Lauw Ya San bersembunyi dalam hotel ini! Jangan kasi mereka lolos!"

Sementara itu, Tjioe San mendusin dengan kaget, ia berbangkit, akan duduk, akan turunkan kakinya kelantai, tapi ia tidak dapat bergerak dengan leluasa, begitu kakinya diturunkan, bukannya ia berdiri, ia justru rubuh terguling. Disaat itu, rombongan oppas telah nerobos kedalam hotel. Dalam bingungnya, hingga ia tak keburu kasi bangun gurunya, Sin Tjie lompat  kepintu, disini ia berdiri untuk merintang. Hotel sendiri lantas jadi berisik, tetamu-tetamu lainnya jadi berkumpul di pekarangan, akan saksi- kan hamba-hamba negeri melakukan penangkapan pada penjahat pemburon. Mereka jadi heran kapan mereka lihat, kawanan oppas itu justru menghadapi satu bocah cilik. Satu orang polisi segera lemparkan rantai kelehernya Sin Tjie. Bocah ini mundur, akan berkelit, tetapi ia masih berdiri diluar pintu, untuk cegah orang masuk. Oppas itu jadi jengah, sebab ia, yang telah punyai pengalaman belasan tahun, tidak mampu bekuk seorang kacung, dari jengah, ia jadi gusar, maka ia ulur tangannya, akan sambar kuncirnya bocah itu.

Sin Tjie takut melihat rombongan oppas- oppas itu, ia sudah mau menangis, tapi melihat orang demikian garang, dan sekali ini ia hendak dijambak rambut- nya, ia jadi gusar, ia sambar tangan orang untuk dibetot dengan kaget. Ia gunai Hok-houw-tjiang punya jurus

"Heng ho tan pian" atau "tarik me- lintang satu cambuk". Si oppas sem- poyongan, ia jadi gusar, maka ia putar tubuhnya, akan tendang bocah itu. Ia pun mendamprat : "Anak haram, kau lihat tuanmu!" Tubuhnya Sin Tjie kecil dan kate, dengan mendak sedikit, ia kasi lewat tendangan itu, dengan kedua tangannya, ia tanggapi kaki dan kem- polan orang, terus ia angkat dan men- dorong dengan keras. Tidak tempo lagi, tubuh besar dari oppas itu terlempar, jatuh terbanting dengan keras! Sebenarnya Sin Tjie tidak punya tenaga demikian besar, ia sanggup berbuat demikian sebab ia berbareng pinjam tenaga tendangan dari si oppas

sendiri. Banyak orang bersorak. Mereka memang sebal melihat oppas-oppas itu, orang-orang dewasa dan tua, perhina satu bocah, tapi sekarang si bocah yang menang, mereka puas dan gembira, tanpa merasa lagi, mereka berikan pujian mereka! Oppas-oppas lainnya melengak, mereka heran hingga mereka hendak sangka bocah itu punya ilmu gaib. Tapi

segera mereka saling melirik, lantas semuanya maju, dengan golok dan thietjio ditangan. Menampak demikian, semua tetamu kaget dan takut, mereka pada mundur. Biar bagaimana, Sin Tjie masih terlalu muda, saking bingung, ia repot, tapi dalam saat yang berbahaya itu, sekonyong-konyong dari kamar samping lompat keluar satu orang,

yang tubuhnya besar, mencelat kedepannya si bocah, terus ia geraki kaki-tangannya, entah bagaimana, dengan gampang ia dapat rampas senjatanya sekalian hamba wet itu, selagi oppas- oppas itu mundur dengan kekuatiran, ia mendesak, ia menyerang dengan kepalan- nya sampai orang babak belur. Habis itu, orang ini perdengarkan suara keras yang luar biasa. "Siapa kau?" akhirnya satu oppas menegor. "Kami hendak tang- kap orang jahat, lekas mundur!"

Seperti juga orang yang tidak dengar pertanyaan, tubuhnya orang itu melesat kedepan oppas ini, tahu-tahu tangannya sudah menjambret dada, apabila ia mengangkat, tubuh si oppas dilemparkan, hingga tubuh itu melayang, bagaikan lajangan melewati tembok, ketika dia rubuh, dia terbanting keras, dia ping- san! Melihat demikian, semua oppas lainnya lari sipat-kuping keluar.

Orang kuat itu lalu hadapi Sin Tjie, ia bicara, tangannya digerak-geraki, tapi suaranya "ah- ah oeh-oeh," maka sekarang ternyata dia adalah seorang gagu. Rupanya dia tanya si bocah, bagaimana duduknya hal. Bingung Sin Tjie, sebab ia tidak tahu bagaimana harus berikan keterangan. Selagi ia

mengawasi dengan melongo, orang itu lantas saja angkat tangannya keatas, lalu kebawah, segera menyusul gerakan kakinya, maka tahu-tahu, dia sudah jalankan Hok-houw-tjiang, sampai jurus kesepuluh, "Pek pok kie hie" jaitu "Egos serangan, tubruk kosong," ia lantas berhenti. Baru sekarang Sin Tjie mengerti. Sebagai jawaban, ia melanjuti jurus kesebelas. "Tek touw kwie," atau "menendang betis". Ia bersilat sampai empat jurus. Si gagu menonton, lalu ia tertawa, ia manggut-manggut, kemudian ia ulur tangannya, akan tarik bocah itu, yang terus ia pondong. Sin Tjie ingat gurunya, walaupun ia girang, ia menunjuk kedalam kamarnya. Ia mau tunjuki bahwa dalam kamar itu ada orang. Si gagu manggut, ia bertindak masuk kedalam kamar dengan masih empo bocah itu. Ketika ia lihat Tjioe San numprah ditanah, mukanya pucat bagaikan mayat, ia kaget. Lekas-lekas ia turun- kan Sin Tjie, ia hampirkan orang she Tjoei itu. Tjioe San sadar, ia kenali si gagu ini, ia geraki kedua tangannya, ia tunjuk pahanya juga. Si gagu itu mengerti, tidak tempo lagi, ia bekerja. Dengan tangan kiri, ia tarik Sin Tjie,

dengan tangan kanan, ia pondong Tjioe San. Dengan tindakan lebar, ia lantas keluar dari kamar, dari hotel, akan lari sangat cepat, tidak peduli tubuh- nya Tjioe San ada seratus kati lebih beratnya. Tuan rumah atau jongos tidak berani rintangi si gagu ini. Si gagu ini berlalu bukan tanpa ada yang  kuntit. Dua oppas, yang umpatkan diri diluar hotel, telah memasang mata, lalu mereka mengikuti dari jauh-jauh, pikir mereka akan cari tahu, dimana si gagu nanti taruh kaki, mereka akan cari bala bantuan untuk melakukan penangkapan terlebih jauh. Tjioe San masih tak sadar akan dirinya, ia tak tahu suatu apa bahwa si gagu bawa dia kabur. Si gagu sendiri tak tahu ada orang bayangi dia, ia tidak dengar suara apa-apa di- arah belakangnya, karena kedua oppas terpisah jauh dari padanya. Akan tetapi Sin Tjie, yang cerdik, lihat ada dua orang mengikuti saja, diam-diam ia tarik-tarik tangannya si gagu dan monjongi mulutnya, untuk mengasi tanda. Atas ini si gagu berpaling, ia lantas lihat kedua oppas itu, tapi ia tak bikin gerakan apa-apa, ia bertindak terus dengan cepat. Mereka melalui tempat yang berupa tegalan yang sepi, makin lama makin sunyi, selang dua- tiga lie, tiba-tiba si gagu letaki tubuhnya Tjioe San ditanah. Nampaknya dia ingin berhenti, untuk menghilangi lelah, tidak tahunya, dengan sekonyong- konyong ia membalik tubuh, untuk ber- lompat, begitu pesat, hingga dalam dua- tiga enjotan saja, ia sudah sampai di- depan kedua oppas itu tanpa mereka ini menduga suatu apa. Tentu saja kedua hamba wet itu menjadi kaget dan takut, tidak tempo lagi, mereka berhenti

jalan, mereka putar tubuh, dengan niat mengangkat kaki. Tapi sudah kasep! Si gagu ada terlalu sebat untuk mereka, sebelum mereka bisa angkat kaki, dia ini sudah sampai, kedua tangannya diulur, hingga tak ampun lagi, mereka kena terjambak masing-masing! Si gagu

tidak melainkan mencekuk kedua oppas itu, tanpa pikir pandang lagi, ia angkat kedua tangannya, ia ayun itu kesampingnya, dimana ada jurang, apa- bila ia telah lepaskan jambakannya, kedua tubuh terlempar melayang kedalam jurang. "Aduh!...." adalah jeritan hebat, yang tertahan, lantas sunyi- senyap. Sebab kedua oppas telah ter- banting hebat didalam lembah, kepala mereka pecah, otak mereka hancur

berantakan! Habis tamatkan lelakon hidupnya kedua oppas itu, si gagu kembali kepada Tjioe San, tubuh siapa ia angkat pula, untuk dibawa pergi lagi, tetap dengan tindakannya yang lebar, cepatnya bagaikan terbang.

Sekali ini sibuk juga Sin Tjie, ia coba berlari-lari keras, tak dapat dia mengikuti dengan saksama, ia paksakan kedua kakinya lari sekeras bisa, tetapi Baru satu lie, sudah tak sanggup dia, napasnya lantas memburu sengal- sengal..... Si gagu menoleh, dia lihat orang sudah kehabisan tenaga, ia ber- senyum, lalu ia menyambar dengan tangannya yang sebelah lagi, akan kempit bocah itu, akan lari terus.

Malah sekarang dia bisa lari dengan terlebih keras lagi, sebab tak usah ia menantikan pula. Setelah berlari-lari sekian lama, si gagu, yang tidak kenal lelah, membiluk kekiri, maka sekali ini, dia lari kearah gunung. Ia menda- ki. Ia sudah sampaikan dua undakan, masih ia berlari-lari terus, hingga di depannya terlihat satu rumah gubuk dengan tiga ruangan. Selagi mendekati rumah itu, seorang yang berada diambang pintu lantas lari keluar, untuk meng- hampirkan. Dia ini ada seorang perem- puan umur dua-puluh lebih. Dia manggut

terhadap si gagu, si gagu pun manggut terhadapnya, tetapi ia heran tampak si gagu mengempit dua orang. Segera ia mengajak masuk. "Siauw Hoei, lekas ambil tehkoan teh dan cangkirnya!" demikian si perempuan muda. Dari kamar sebelah terdengar satu jawaban anak kecil, cepat sekali dia muncul, dengan

membawa tempat air teh dan cangkirnya. Ia nampaknya heran, hingga setelah memandang si gagu, dia pun awasi Tjioe San dan Sin Tjie. Nyata dia ada punya sepasang mata yang celi. Si perempuan muda, walaupun pakaiannya terdiri dari bahan cita kasar, ada punya kulit muka yang putih-bersih dan halus, sebagaima- na si bocah sendiri nampaknya manis.

"Eh, anak, apa namamu?" tanya perempuan muda itu kepada Sin Tjie, yang sudah

diturunkan dari kempitan si gagu. "Bagaimana kau bisa bertemu sama dia ini?" Sin Tjie percaya orang perempuan ini ada sahabatnya si gagu, lalu ia berikan jawabannya dengan jelas.

Perempuan muda itu lantas saja masuk kedalam, untuk kembali dengan teromol obat-obatan, ia keluarkan dua rupa obat bubuk putih dan merah, ia ambil sedi- kit, untuk diaduk dengan air, setelah mana, Tjioe San dicekoki. Habis itu, dia ambil satu pisau kecil dengan

apa dia iris lukanya si Tjoei, sesudah mana, luka itu diborehkan obat bubuk kuning, lantas ditunggu sebentar, lalu dicuci dengan air, akan akhirnya dibo- rehkan lagi. Tiga kali luka itu dira- wat secara demikian. Selama itu, Tjioe San buka mulutnya, akan perdengarkan suara tidak jelas. "Dia ketolongan!" kata si perempuan muda kepada Sin Tjie, ia bicara sambil tersenyum. Lantas ia gerak-geraki tangannya terhadap si gagu, maksudnya supaja si gagu ini

pondong orang yang luka kedalam, untuk antap dia beristirahat. Selagi si gagu memondong kedalam, perempuan itu benah- kan teromol obatnya. "Aku ada orang she An, panggillah aku Encim An," kata dia pada Sin Tjie. "Ini ada anakku, namanya Siauw Hoei. Sekarang tinggallah kau sama kami disini." Sin Tjie manggut.

An Toa-nio lalu masuk kebelakang, untuk membuat mie, malah ia pun sembelih ayam, guna santapan kedua tetamunya. Sin Tjie dahar lebih dahulu, habis itu, saking lelah dan ngantuk, dia tidur dengan kepala diletaki diatas meja. Dia tak ingin apa-apa lagi....

Besoknya pagi, Baru saja orang bangun, Siauw Hoei sudah tarik tangannya Sin Tjie. "Mari cuci muka!" kata si nona cilik. "Aku hendak lihat dulu Tjoei Siokhoe, bagaimana lukanya..." kata si bocah. "Empeh gagu telah bawa dia pergi sejak pagi," Siauw Hoei kasih tahu.

Sin Tjie terperanjat. "Dibawa pergi? Apa benar?" tanya dia, hatinya men- celos. Nona itu manggut. Lantas Sin Tjie lari kedalam kamar, yang kosong. Tidak ada Tjioe San dan si gagu disitu.

Tiba-tiba saja ia menjerit, nangis.

"Ibu, ibu, lekas!" Siauw Hoei teriaki ibunya berulang-ulang. An toa-nio datang dengan cepat. "Ibu, dia lihat entjek Tjoei semua pergi, dia mena- ngis," si anak memberitahukan. "Jangan sibuk, anak yang baik," nyonya An lantas menghibur. "Pamanmu terluka, lukanya parah, bukan?" Sin Tjie manggut. "Aku cuma bisa berikan dia pertolongan pertama," nyonya itu terangkan. "Dia sudah terserang racunnya senjata rahasia, kalau dia tidak cepat dapat perobatan yang sempurna, sebelah kakinya itu bisa mati seterusnya, maka itu empeh gagu bawa dia pergi kepada satu orang lain, yang sanggup mengobatinya. Kau tunggu saja, kalau nanti dia sudah sembuh, pamanmu itu bakal datang pula kemari melihat kau..." Sin Tjie dapat dikasih menger- ti, dengan pelahan, ia berhenti mena- ngis. "Pasti pamanmu akan sembuh," Toa-nio kata pula. "Sekarang pergi cuci muka, habis cuci muka, kita dahar."

Sin Tjie menurut, maka sebentar kemu- dian, ia sudah duduk bersantap bersama itu ibu dan anak. Setelah dahar, An Toa-nio tanya lebih jelas tentang bocah ini. Sin Tjie tuturkan segala apa, yang ia tahu mengenai dirinya. Mendengar itu, nyonya rumah menghela napas. "Sekarang tinggallah kau sama kami, jangan kuatir apa-apa," ia menghibur. "Kau tunggu saja, tak lama pamanmu sembuh dan akan kembali." Sin Tjie cuma  bisa menurut. Sejak masih kecil sekali, Sin Tjie sudah berpisah dari ibunya, selama itu, ia berada dibawah asuhannya Eng Siong dan Tjoe An Kok beramai, wa- laupun mereka merawatnya dengan sungguh-sungguh, sekarang, dibanding sama perawatannya An Toa-nio, ia

merasakan perbedaannya. Nyonya An me- rupakan sebagai ibu sejati, sedang di- sebelah si nyonya, ada Siauw Hoei yang manis, yang jelita, yang senantiasa menjadi kawannya. Baru beberapa hari, Sin Tjie sudah betah. An Toa-nio satu kali suruh Sin Tjie jalankan semua ilmu silat yang pernah dipelajarkannya. Sin Tjie menurut, setelah lihat itu, nyonya ini memuji, ia agaknya insaf sempurna- nya pelajaran itu. Berselang sepuluh hari, An Toa-nio anjurkan Sin Tjie berlatih silat setiap hari, akan tetapi, diwaktu melakukan itu benar atau salah, ia antap saja, tidak pernah ia bilang suatu apa, malah selagi si bocah berlatih, jarang sekali ia me- nyaksikannya. Siauw Hoei senantiasa temani Sin Tjie, tapi disaat si bocah berlatih silat, ia dipanggil ibunya.

Pada suatu hari, An Toa-nio pergi kepasar, untuk belanja. Ia pun niat beli cita, guna bikinkan baju dan celana untuk Sin Tjie, pakaian siapa sudah korat-karit, pecah disana-sini

bekas dipakai buron dari Lauw Ya San.

"Kamu memain didalam rumah saja, jangan keluar, nanti ada srigala," pesan si nyonya ketika ia hendak pergi. Siauw Hoei dan Sin Tjie terima pesan itu, seperginya si nyonya mereka main masak-masakan. Siauw Hoei keluarkan mangkok dan sumpit kecil. "Kau potong ayam disini, aku hendak beli daging," kata si nona cilik. Yang dinamakan "ayam" adalah sepotong lobak, yang di-potong-potong, dan "daging" adalah semacam ubi hutan, yang ada di pekara- ngan depan, untuk mana, Siauw Hoei pergi keluar. Tapi dia pergi sekian lama, hingga Sin Tjie tidak sabaran.

"Siauw Hoei! Siauw Hoei!" bocah ini memanggil-manggil akhirnya. Panggilan ini tidak dapat jawaban, hingga akhir- nya si bocah ingat serigala, sebagai- mana pesannya An Toa-nio. Ia lantas ambil korekan barah didapur, dengan bawa itu, ia lari keluar. Bukan main kagetnya Sin Tjie begitu lekas ia muncul diambang pintu, karena ia tampak

Siauw Hoei dikempit seorang lelaki bertubuh besar, yang sedang memutar tubuh untuk lari pergi. "Hei, hei!" berteriak bocah ini sambil mengubar. "Kemana kau hendak pergi?"

Tapi Sin Tjie tidak mengubar saja, ia pun menyerang dengan korekan barah.

Culik itu tidak menyangka, ia kena ditikam Sin Tjie. Sukur untuk dia, dia jangkung dan Sin Tjie kate, lukanya tidak dibelakang hanya dikempolan. Dia kaget, dia merasa sakit, karenanya dia jadi gusar. "Kurang ajar!" dia berseru. Dia turunkan Siauw Hoei, lalu dia hunus goloknya, untuk dipakai menyerang. Sin Tjie tidak takut, dia menangkis dengan korekan barahnya itu. Ia keluarkan pe- lajaran silat ajarannya Nie Hoo, ialah Gak Kee Sin-tjhio, ilmu silat tombak keluarga Gak (Gak Hoei). Malah dengan ini, ia pun bisa balas menyerang.

Heran orang bertubuh besar itu, terpak- sa ia melayani, hingga disitu terjadi- lah pertempuran kipa - seorang dewasa dan tubuh besar melayani satu bocah cilik. Dia ini pun mainkan Lo-han-too, ilmu golok dari Siauw Lim Pay. Dia ada bertenaga besar, goloknya sampai menderu-derukan angin keras. Sin Tjie berkelahi sambil hunjuk kegesitannya, ia menyingkir dari bentrokan senjata, ia main kelit saja, dilain saat, ia menikam berulang-ulang. Selang belasan jurus, orang dewasa itu sibuk  sendiri- nya. Ia heran, ia penasaran, kenapa ia

tidak sanggup rubuhkan satu bocah cilik! Karena ini, ia jadi berkelahi dengan sengit, ia ubah cara penyera- ngannya. Sekarang ia lebih banyak membabat kaki. Untuk menyerang kaki, penyerangan mesti dilakukan dengan "Tee-tong-too", ialah permainan golok sambil bergulingan ditanah, tapi si culik tidak bertindak sampai begitu

jauh, ia main jongkok atau mendak saja.

Perubahannya lawan itu membuat Sin Tjie sibuk, dilain saat, ia mesti main mundur. Ia terancam bahaya.

Siauw Hoei, yang dilepaskan dari cekal- an, tidak diam menonton, dia lari keda- lam rumah, darimana ia kembali dengan pedang panjang ditangannya, dengan senjata ini ia serang culik itu, akan bantui kawannya. Ia menyerang dengan tusukan "Sian-djin tjie lou" atau

"Dewa menunjuki jalanan". "Foei, perem- puan cilik, kau pun hendak cari mati!" berseru culik itu. Ia berbalik, ia ba- cok si nona, Ia tidak gunai tenaga ke- ras, ia tidak inginkan jiwa orang, ia cuma hendak sampok terlepas pedangnya nona itu. Tapi si nona cerdik, gerakan- nya pun gesit. Dia berkelit dari sera- ngan itu, dia menyingkir kebelakang, dari mana dia menyerang pula, dengan tikamannya "Sam-poo lian-tay" atau

"panggung teratai mestika". Berbareng dengan itu, Sin Tjie menyerang dengan "Tok liong tjoet tong" atau "Naga jahat

keluar dari kedung". Repot culik itu diserang dari dua pihak, ia mesti berlaku sebat sekali. Tadinya Sin Tjie berkuatir menampak majunya si nona cilik, tapi setelah lihat penyerangan

orang beberapa kali, ia jadi girang. Nona itu bersilat dengan "Tat Mo Kiam-hoat", ilmu silat dari guru besar Tat Mo. Untuk tidak kalah pengaruh, ia menyerang dengan lebih seru. Mengetahui orang desak ia, culik itu menjadi girang. Ia tahu bocah-bocah tidak ulet, tidak perduli ilmu silat mereka ada cukup untuk menjelamatkan dirinya dari pelbagai serangan. Benar dugaan culik ini, selang sedikit lama, dua-dua Sin Tjie dan Siauw Hoei mulai jadi lemah, maka sekarang adalah giliran dia untuk mendesak. Siauw Hoei menikam, culik itu menangkis, demikian sebat, si nona sam- pai tidak keburu menarik pulang senja- tanya untuk hindarkan bentrokan, maka begitu kedua senjata beradu, pedangnya terlepas, terlempar. Sin Tjie lihat kawannya terancam, ia menikam, tapi culik itu, sembari menangkis, angkat

sebelah kakinya, akan tendang si nona, hingga dia ini terguling karena dia tak sempat egos tubuh. Dalam kaget dan kuatirnya, Sin Tjie lupa segala apa, waktu ia menikam pula, ia berlaku

sembrono sekali. Melihat sikap orang itu, culik itu tertawa menyengir. Ia berkelit dari tikaman, lalu ia merang- sang goloknya diayun. Sin Tjie angkat korekan barahnya, untuk menangkis, tapi

selagi kedua senjata hendak beradu, si culik sambar ujung korekan, untuk ditarik sambil diputar. Sin Tjie kesa- kitan pada tangannya, karena bentrokan kedua senjata, karena putaran itu, tak lagi ia bisa mencekal terus senjatanya itu, yang terlepas dengan segera.

Melihat orang telah tidak berdaya, culik itu lemparkan korekan barah,ia loncat pada Siauw Hoei, tubuh siapa ia sambar, untuk dikempit, buat lantas di- bawa lari! Walaupun dia sedang kesakit- an, melihat Siauw Hoei kena dibawa lari, Sin Tjie lupai sakitnya itu. Ia jumput korekan barahnya, ia lari, akan mengejar. "He, setan cilik, apakah kau tidak sayang dengan jiwamu?" membentak si culik , yang lihat bocah itu demiki- an bandel. Ia kempit Siauw Hoei dengan tangan kiri, dengan tangan kanan cekal goloknya, ia balik tubuh, akan layani pula bocah itu. Setelah bertempur lima- enam jurus, Sin Tjie kena terbacok pada pundaknya, sia-sia ia berkelit, bajunya robek, pundaknya terkena sedikit, hing- ga darahnya mengucur keluar. "Setan cilik, apa kau masih berani?" mengejek culik itu. Sin Tjie benar-benar besar nyalinya. "Lepaskan Siauw Hoei, aku tidak akan susul pula padamu!" ia jawab sambil ia menahan sakit. Ia jumput ko- rekannya, kembali ia mengejar musuh, yang sudah lantas kabur pula. Akhirnya culik itu habis sabar. "Jikalau aku tidak bunuh dia, dia terang bakal gang- gu aku," pikir dia. Maka ia berhenti lari, ia sambut serangannya Sin Tjie.

Baru beberapa gebrak, korekan Sin Tjie kena disampok, dia terus ditendang hingga rubuh berguling, sesudah mana, tidak berayal lagi, culik itu lompat maju seraya kirim bacokannya. Siauw Hoei dalam kempitan lihat bahaya mengancam Sin Tjie, ia geraki kedua tangannya, akan jambret lengannya culik itu, terus ia gigit lengan itu. Culik itu kaget, dia kesakitan, karena mana, bacokannya jadi salah. Sin Tjie sendiri berkelit dengan buang diri, akan bergu- lingan di tanah. Dalam sengitnya, culik itu sentil kupingnya Siauw Hoei,kemudi- an ia maju pula, lagi sekali, ia serang Sin Tjie. Bocah itu, yang belum sempat berbangkit, berguling lagi, tapi ujung golok mengenai jidatnya, hingga dijidat itu, diatasan alis sedikit, terluka dan mengeluarkan darah. Percaya bahwa orang akan mati kutunya, culik itu hendak kabur pula bersama korbannya. Sin Tjie benar berani dan bandel, ia berlompat, akan tubruk orang punya kaki kiri, yang ia peluki dengan keras, lalu dengan tipu silat "To tioe kim tjiang" atau "merubuhkan lonceng emas", ia tekuk kaki itu menurut sekuat tenaganya.

Sengit culik itu, walaupun ia tidak rubuh, ia toh merasakan sakit pada kaki kirinya itu, maka ia angkat kaki ka- nannya, untuk injak si bocah, atas ma- na, Sin Tjie terpental terguling. Ia lantas maju pula seraja membacok. Be- lum sampai golok turun, atau culik itu terkejut dan merasakan sakit pada kepa- lanya, karena batok kepalanya mener- bitkan satu suara membeletuk, apabila ia menoleh, ia tampak An Toa-nio sedang ayun kedua tangannya. Ia jadi jeri, ia tinggalkan Sin Tjie, lantas ia lari. Tapi Siauw Hoei ia kempit terus. An Toa-nio ayun tangan kanannya beruntun tiga kali, tiga butir telur menyambar culik itu, dia bisa kelit dua serangan tapi yang ketiga mengenai batang hi- dungnya, hingga disebelah merasa sakit, mukanya mandi putih dan merah telur.

Masih nyonya An menimpuk dengan sebutir telur yang lain, yang kali ini mengenai mata kiri si culik, hingga dia gelagap- an. Walaupun hanya telur, toh timpukan ini ada cukup keras. Dalam gusarnya, culik ini lepaskan Siauw Hoei, dengan tangan kirinya, ia usap mukanya,kemudi- an ia maju, akan serang si nyonya. An Toa-nio tidak bersenjata, ia melayani sambil senantiasa berkelit. Sin Tjie sudah bangun, ia telah pungut korekan barahnya, dengan tidak pedulikan luka- nya, ia maju, akan serang culik itu, guna bantu nyonya penolongnya. Ia jadi tambah semangat, berulang-ulang ia me- nikam dengan ilmu tumbaknya Gak Hoei.

Karena didesak Sin Tjie, culik itu tak bisa desak An Toa-nio seperti bermula, hingga nyonya ini dapat sedikit waktu senggang, sebab mana, ia jadi ingat cita yang Baru saja ia beli untuk Sin Tjie. Segera ia keluarkan cita itu dari dalam rantangnya, terus ia lempar

kekali kecil didekatnya untuk dibasah- kan. Ia pun gunai kesempatan menjumput tiga buah batu, yang dipakai menimpuk, hingga culik itu jadi repot juga, karena mana, Sin Tjie tidak sampai kena terlalu terdesak. Selagi si culik ter- paksa mundur, An Toa-nio sudah angkat citanya, untuk dibuka hingga mirip dengan angkin atau sabuk, lalu ia maju lagi, akan dekati orang itu. "Ouw Loo Sam!" berseru nyonya ini. "Selagi aku tidak ada dirumah, kau datang menyan- troni, kau perhina segala bocah cilik! Adakah kau satu laki-laki?"

Teguran itu ditutup berbareng dengan serangan dengan sepotong cita itu, yang digunakan sebagai djoan-pian atau cam- buk lemas. Setelah basah, cita itu da- pat digunakan bagaikan toya juga.

Culik itu, yang dipanggil Ouw Loo Sam, nampaknya sibuk. Ia tendang rubuh pada Sin Tjie, lantas ia layani sungguh- sungguh pada si nyonya. An Toa-nio sedang gusar, ia berkelahi dengan hebat, setelah mendesak, dua kali berhasil ia menyerang dengan toya atau cambuknya yang istimewa itu. Ouw Loo Sam tidak sampai terluka, tetapi ia merasakan sakit pada bebokongnya, yang kena terpukul. Karena ini, gerakannya jadi lambat sendirinya. Masih An Toa- nio mendesak, akan akhirnya, ia dapat libat golok lawan, maka lantas saja ia

menarik dengan kaget dan keras! Ouw Loo Sam terkejut, tak dapat ia mencekal keras, goloknya terlepas dan terbetot oleh si nyonya, tapi ia tertawa dingin. Ia telah lompat dua tindak, lalu ia kata sambil bersenyum iblis: "Aku adalah orang yang terima pesan dari

suamimu! Selama alusku belum buyar, maka ada satu hari yang aku nanti cari pula padamu...!"

Alisnya si nyonya berdiri, ia sahuti ancaman itu dengan sabatan cambuk istimewanya. Loo Sam telah bersedia agaknya, sebelum serangan sampai, ia sudah putar tubuh dan lari, lari turun gunung dengan lekas. Melihat orang angkat kaki, An Toa-nio tidak mengejar, hanya ia balik, untuk lekas-lekas li- hat Siauw Hoei dan Sin Tjie. Siauw Hoei tidak terluka, dia melainkan kaget, ia tubruk ibunya lantas ia me- nangis. Dasar bocah cilik! Sin Tjie berlumuran darah, ia diajak pulang untuk lantas dipetali darahnya, sesudah bersih, lukanya diobati, dibungkus dengan rapi. Dia peroleh dua luka, syukur tidak berbahaya; benar ia keluarkan banyak darah tetapi itu tidak sampai membaha- yakan jiwanya. Ia dipondong, untuk direbahkan di pembaringan. Sampai disitu, Siauw Hoei cerita pada ibunya bagaimana, selagi keluar sebentar, ia ketemu Ouw Loo Sam, yang terus tawan ia, buat dibawa lari, bagaimana Sin Tjie pergoki mereka, lantas bocah itu lawan Loo Sam, untuk tolongi padanya.

"Aku tidak sangka, begini muda usianya, dia berhati mulia, dia gagah sekali," berkata An Toa-nio. "Tak dapat kita berayal pula, aku mesti tolong ia supaya jadi seorang sempurna." Kemu- dian nyonya ini lanjuti pada puterinya. "Kau pun pergi tidur, sebentar malam kita berangkat." Siauw Hoei tidak heran atas kata-kata ibunya itu, ia lantas beristirahat. An Toa-nio lantas ber- kemas, ia siapkan dua buntalan, ke- mudian ia tunggu datangnya sang sore. Habis bersantap, bertiga mereka duduk menghadapi pelita. Nyonya ini tidak kunci pintu, ia tidak jeri. Benar kira-kira jam dua, diluar terdengar tindakan kaki, yang terus masuk ke- dalam. Itulah si gagu, yang telah kembali. Ia bertubuh besar dan keren tapi tindakannya enteng, suatu bukti bahwa kepandaian entengi tubuhnya telah sempurna. An Toa-nio menyambut sambil berbangkit, ia bicara sama si gagu itu dengan mainkan kedua belah tangannya, dengan mainkan juga mulutnya. Si gagu rupanya mengerti, dia manggut-manggut.

"Mana Tjoei Siokhoe?" Sin Tjie tanya. "Apa dia baik?"

"Dia baik, kau jangan kuatir," An Toa-nio menghibur. "Mari, aku hendak omong sama kau."

Nyonya itu masuk kedalam kamar dimana ia duduk atas pembaringan. Sin Tjie mengikuti, si nyonya lantas tarik tangannya. "Sin Tjie!" katanya dengan manis-budi, "begitu lihat kau, aku suka padamu, dari itu, aku pandang kau se- bagai anak sendiri. Tadi kau telah berkorban untuk Siauw Hoei, itulah

budimu yang aku tidak nanti lupakan. Malam ini kami hendak pergi kesuatu tempat jauh, maka itu, pergilah kau ikut empeh gagu." "Tidak, aku ingin ikut kau bersama," kata Sin Tjie.

"Aku pun tidak tega berpisah dari kau," terangkan An Toa-nio. "Aku ingin empeh gagu bawa kau kepada satu orang, dia adalah guru Baru namanya saja dari Tjoei Soesiokmu. Baru beberapa bulan Tjoei Soesiok belajar silat pada orang itu, ilmu silatnya sudah liehay sekali. Lootjianpwee itu ada punya ilmu silat yang tidak ada tandingannya, dari itu aku ingin kau berguru kepadanya."

Mendengar itu Sin Tjie berdiam, agaknya dia ketarik. "Seumur hidupnya, lootjianpwee itu cuma terima dua murid," An Toa-nio terangkan lebih

jauh. "Itu adalah kejadian pada belasan tahun yang lampau. Meskipun demikian, masih belum tentu dia suka menerima murid pula. Tapi aku ada berbakat baik, hatimu pun mulia, aku percaya dia pasti akan suka padamu. Empeh gagu ada bujangnya lootjianpwee itu, aku ingin dia ajak kau untuk minta lootjianpwee terima padamu. Maka pergilah kau dengan

baik-baik. Umpama kejadian lootjianpwee tidak suka terima kau, empeh gagu nanti bawa kau kembali padaku."

Sampai disitu, Sin Tjie telah ambil putusannya. Dia manggut. "Bagus!" kata nyonya An. "Sekarang baik kau ketahui tabiatnya lootjianpwee itu. Dia adalah seorang aneh. Umpama kau tidak suka dengar perkataannya, lantas dia tidak sukai padamu. Umpama kau terlalu dengar kata, dia juga akan cela kau terlalu tolol dan tidak punya semangat! Maka segala-galanya tinggal terserah kepada peruntunganmu sendiri!"

Dari lengannya, nyonya itu loloskan sepotong gelang emas, ia masuki itu kelengannya bocah ini, apabila ia lengkuk sedikit, gelang itu menjadi kecil dan tidak akan lolos lagi. "Jika- lau nanti kau sudah rampungkan pelajar- an ilmu silatmu, apabila kau telah men- jadi satu bocah besar, jangan kau lupa- kan encim Anmu ini dan Siauw Hoei!" kata nyonya yang baik budi itu sambil tertawa. "Andaikata lootjianpwee sudi terima aku," berkata Sin Tjie," apabila ada ketika senggang, aku minta encim suka ajak Siauw Hoei datang melongok aku!" Matanya nyonya itu menjadi merah, saking hatinya terharu. "Baik, aku akan senantiasa ingat kau," ia jawab. Lantas An Toa-nio menulis sepucuk surat, yang ia serahkan pada si gagu. "Sekarang kita berangkat," kata ia sambil ia bawa dua buntalannya. Berempat mereka keluar dari rumah, sesampainya diluar, mereka berpisah dalam dua rombongan, masing- masing dengan tujuannya sendiri. Sin Tjie berkumpul Baru beberapa hari de- ngan An Toa-nio dan Siauw Hoei, akan tetapi perpisahan itu membuat ia merasa sangat berat. Ia senantiasa ingat itu bibi dan puterinya.Si gagu tahu bocah ini telah keluarkan banyak darah karena luka-lukanya, dari itu, ia angkat tubuh orang untuk dipondong, sesudah mana, segeralah ia buka tindakannya yang

lebar, ia jalan cepat sekali tak peduli jalanan ada jalanan pegunungan yang sukar. Ia lakukan perjalanan siang, setiap malam mereka mondok ditempat dimana mereka sampai sorenya, tetapi bukannya dihotel atau rumah orang, hanya didalam gua-gua atau rumah

berhala. Kalau toh mereka singgah di hotel, melulu untuk beristirahatnya si bocah, untuk beli barang makanan.

Dalam halnya sendiri, si gagu dahar secara sembarangan, melainkan sekali tangsel perut, sedikitnya mesti dua kati mie! Sering Sin Tjie tanya, mereka telah sampai ditempat apa, jawabannya adalah menunjuk jari tangannya kearah depan. Lagi tiga hari telah dilewatkan, jalanan jadi bertambah sukar, makin sukar, hingga lebih benar disebut, sudah tidak ada jalanan lagi, untuk maju terus, si gagu gunai kedua

tangannya, akan merayap naik atau merambat antara pepohonan oyot. Sebab mereka sedang mendaki gunung.

Selama itu, lukanya Sin Tjie telah jadi sembuh, cuma diatasan alisnya ada ketinggalan tanda cacat kecil. Dia menggemblok di bebokongnya empeh gagu itu, kedua tangannya merangkul leher orang dengan keras. Ia jeri kapan ia lihat tempat yang curam. Kalau mereka terpeleset dan jatuh, habislah.......

Satu hari lamanya si gagu mesti manjat, sampailah ia diatas puncaknya gunung yang tinggi dimana tepinya ada sebidang tanah yang lebar dimanapun ada tumbuh banyak pohon cemara yang tinggi-tinggi, yang merupakan rimba saja. Disini si gagu jalan melewati lima atau enam rumah batu, melihat mana, ia bersenyum sendirinya, hingga dia mirip seorang perantauan lama yang Baru kembali ke kampung asalnya sendiri. Didepan sebuah rumah batu, si gagu tuntun Sin Tjie untuk masuk kedalamnya, Galagasi

malang melintang, sebagai tanda rumah itu sudah lama tidak diisi, tetapi dengan bantuannya sesapu, si gagu bersihkan itu, malah ia terus sapui semua, dalam dan luar, sesudah mana, ia nyalakan api untuk masak air dan nasi.

Gunung ada demikian tinggi, entah bagaimana caranya si gagu sediakan beras dan lainnya itu. Ada sulit untuk Sin Tjie bicara sama empehnya ini, tetapi ia tidak banyak cerewet, ada

selang tiga hari, ia sibuk juga. Dengan gerakan tangan, ia tanya si gagu, mana dia si lootjianpwee yang katanya dia bakal angkat jadi gurunya. Si gagu mengerti pertanyaan itu, dia menunjuk kebawah gunung. "Mari kita turun," Sin Tjie mengajak. Ia memberi tanda-tanda pula. Si gagu menggeleng-geleng kepala, ia tak mau meluluskannya. Dengan ter- paksa, Sin Tjie diam saja. Ia jadi sangat masgul. Ia pun kesepian. Tidak dapat ia pasang omong dengan si empeh itu. Pada suatu malam, selagi Sin Tjie sedang tidur, ia mendusin dengan tiba- tiba. Didepan matanya berkelebat cahaya terang, yang membuat ia terperanjat. Ia geraki tubuhnya, untuk berbangkit, du- duk diatas pembaringan, sebelah tangan- nya mencekal lilin yang apinya menyala. Orang tua itu perlihatkan roman berseri-seri, tandanya ia girang.

Dasar otaknya cerdas, Sin Tjie lekas- lekas turun dari pembaringan, lantas saja ia paykoei empat kali. "Soehoe!" berkata dia. "Akhirnya soehoe datang juga!" Orang tua itu tertawa terbahak- bahak. "Eh, anak, siapa suruh kau panggil soehoe padaku?" tanya dia. "Cara bagaimana kau ketahui bahwa pasti aku akan terima kau sebagai murid?"

Sin Tjie girang bukan kepalang. Dari kata-katanya orang tua itu, benar-benar dia bakal diterima sebagai murid. Sege- ralah ia berikan jawabannya : "Inilah encim An yang ajari aku!"

"Artinya itu dia telah menambah kesu- litan untukku!" kata si orang tua, sambil bersenyum. "Baiklah, memandang kepada mendiang ayahmu, aku terima kau sebagai murid!"

Lantas saja Sin Tjie hendak paykoei pula, tetapi si orang tua cegah.

"Sudah cukup, sudah cukup!" katanya. "Sampai besok saja."

Besoknya pagi, sebelum terang tanah, Sin Tjie sudah bangun dari tidurnya, lantas ia pergi pada si empeh gagu diluar, dia ini rupanya sudah dapat tahu juga yang orang tua itu suka

terima bocah ini sebagai murid, dalam kegirangannya yang meluap-luap, dia angkat tubuhnya si bocah, dia lemparkan ke atas, lalu dia tanggapi dengan ta- ngannya. Hingga empat-lima kali tubuh Sin Tjie terapung-apung, sehingga bocah itu, yang pun girang sekali, tertawa dengan berisik. Si orang tua di dalam kamarnya dengar suara riuh diluar, ia bertindak menghampirkan, hingga ia saksikan laga-lagunya si gagu dan bocah itu. "Bagus!" berkata ia. "Kau masih begini muda, kau mengerti perbuatan- perbuatan mulia dan gagah, kau telah tolongi seorang perempuan. Hayo, kepandaian apa kau punyai, pertunjuki semua itu, kasi aku lihat!"

Sin Tjie jengah, hingga wajahnya men- jadi merah. "Jikalau kau tidak perli- hatkan semua kepandaianmu, cara bagai- mana aku bisa ajarkan kau silat?" kata si orang tua sambil tertawa. Sekarang Barulah si bocah tahu, orang tua itu

tidak main-main dengannya. "Baiklah, soehoe," kata ia kemudian, sesudah mana, ia mulai bersilat. Ia jalankan Hok-houw-tjiang ajaran Tjoei Tjioe San dari permulaan sampai diakhirnya.

Orang tua itu mengawasi dengan air muka berseri-seri, ia tunggu sampai si bocah

selesaikan jurus terakhir, ia tertawa.

"Tak habisnya Tjioe San puji kecer- dasanmu, mulanya aku tidak percaya," kata dia. "Dia ajarkan kau ilmu silat ini Baru beberapa hari saja, sekarang kau bisa jalankan itu begini rupa, dia benar." Mendengar disebutnya nama gurunya, Sin Tjie sangat tertarik, tergerak hatinya, akan tetapi orang tua itu masih bicara, ia tidak berani memutuskannya. "Tjoei Siokhoe dimana?" begitu ia tanya, begitu lekas si orang tua berhenti bicara. "Apa ia baik?"

Terang sudah ia sangat perhatikan keselamatan orang she Tjoei itu.

"Ia tak kurang suatu apa, ia sudah kembali kepada Lie Tjiangkoen," jawab si orang tua. Sin Tjie girang sekali, walaupun ia ada sedikit menyesal yang ia tak sampai bertemu pula dengan guru Hok-houw-tjiang itu. Si gagu sendiri sudah lantas siapkan meja sembahyang.

Si orang tua keluarkan selembar gambar dimana ada lukisannya satu sasterawan, yang romannya alim dan agung. Ia sulut lilin, ia pasang hio, lantas ia memberi hormat sambil menjura. Kemudian Barulah ia kata pada Sin Tjie : "Inilah gam- barnya Tjie Tjouw-soeya, pendiri dari kaum kita Hoa San Pay. Hayo kau ja- lankan kehormatan!"

Sin Tjie menurut, ia lantas paykoei , tapi ia tak tahu, berapa kali ia mesti manggut-manggut, ia terus paykoei tak hentinya, hingga si orang tua tertawai padanya. "Sudah cukup!" kata si orang tua itu. Masih saja orang tua itu keta- wa ketika tahu-tahu si bocah paykoei terhadapnya. "Soehoe!" memanggil murid cilik ini, yang sangat cerdik. Sambil bersenyum orang tua itu terima pembe- rian hormat ini. "Mulai hari ini, kau adalah murid yang sah dari Hoa San Pay kita," kata si orang tua kemudian. "Lebih dahulu daripada kau, aku telah punyakan dua murid, sejak itu, karena

tidak ada orang yang berbakat, aku belum pernah terima murid lainnya lagi, belasan tahun telah lewat, baru seka- rang kau datang. Kau ada murid yang ketiga,kau juga ada murid penutup, maka itu, kau mesti belajar dengan sungguh- sungguh, supaya tidak sampai kau me- nerbitkan malu untuk kaum kita!"

Sin Tjie manggut berulang-ulang. "Aku janji, soehoe," ia berikan perkataannya. "Aku adalah orang she Bok," sang guru berkata pula." Dalam kalangan kang-ouw, sahabat-sahabatku panggil aku Pat Tjhioe Sian-wan. Kau harus ingat baik-baik, kau harus

jaga supaja lain kali, apabila ada orang tanya kau tentang nama gurumu, nanti kau menyahuti, "Oh, oh, aku tak tahu....." Mendengar itu, tak dapat ditahan lagi, Sin Tjie tertawa. Tapi segera ia berhenti. Ia ingat pesannya An Toa-nio bahwa si orang tua bertabiat koe-koay; ingat itu, hatinya kecil, ia jeri, akan tetapi sekarang ternyata, guru ini bukannya seorang aneh, dia hanya satu tukang guyon! Pat Tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng, si Lutung Sakti Tangan Delapan, sudah malang- melintang dua-puluh tahun lebih dalam dunia kang-ouw, belum pernah dia kete- mukan tandingannya, karena ia tidak suka jual lagak, namanya tidak terlalu tersohor. Memang benar ia mempunyai sifat yang luar biasa, ialah suka menyendiri. Tapi terhadap Sin Tjie, segera timbul perasaan kasihannya. Bocah ini, yang yatim-piatu, harus

dikasihani, sedang disebelah itu, Djin Tjeng hargakan sangat Wan Tjong Hoan sebagai panglima perang yang gagah, sebagai jenderal yang setia, terutama disayangi kebinasaannya secara menye- dihkan. Sin Tjie sendiri ada berbakat baik, cerdas, kelakuannya sangat menyu- kai orang. Maka itu, lenyap keanehan- nya, Djin Tjeng suka terima bocah ini, malah ia telah berguyon dengannya.

"Kedua soehengmu ada jauh lebih tua daripadamu, dua atau tiga-puluh tahun lebih," berkata sang guru kepada murid- nya. "Murid-murid mereka juga ada jauh terlebih tua daripada kau. Maka bisa kejadian, mereka akan sesalkan aku, yang aku telah terima kau, satu murid begini muda! Dan umpama kata kau be- lajar tidak berhasil, apabila nanti kau

dipadu dengan murid-murid mereka dan kau kalah, ada alasan untuk mereka itu cela aku..."

"Pasti aku belajar sungguh-sungguh, soehoe," Sin Tjie pastikan. Lalu ia tanya: "Tjoei Siokhoe itu ada murid soehoe juga?"

"Ia hendak turut Lie Tjiangkoen berperang, ia tidak punya tempo akan belajar dengan tetap padaku," sahut Bok Djin Tjeng. "Aku cuma ajarkan ia ilmu pukulan Hok-houw-tjiang, tak dapat ia dipandang sebagai muridku." Lalu ia tunjuk si gagu dan melanjuti : "Lihat ia! Setiap hari ia saksikan kita berlatih, dengan sendirinya ia dapatkan bukan sedikit kepandaian, akan tetapi apabila ia dipadu dengan dua muridku, bedanya bagaikan langit dan bumi saja!"

Sin Tjie kagum, hingga ia melengak. Ia telah saksikan kekuatan dan liehaynya si empeh gagu, toh ia ini cuma satu pelajan dan kepandaiannya didapat, katanya, "boleh mencuri lihat saja." Tjioe San pun gagah sekali, toh ia cuma peroleh satu Hok-houw-tjiang. Semua

itu adalah bukti-bukti yang menunjuki liehaynya guru ini. "Maka jikalau aku belajar sungguh-sungguh, walaupun aku tak dapat susul kedua soeheng, tentu sedikitnya aku bisa dapat kepandaian sebagai si gagu ini." Pikir ia. Dan

pikiran ini membikin ia girang sekali.

"Kami kaum Hoa San Pay mempunyai bebe- rapa aturan," Bok Djin Tjeng berkata lebih jauh. "Itu mengenai pantangan berbuat cabul, melakukan pekerjaan sebagai piauwsoe dan lain-lain, seka- rang belum dapat aku jelaskan kepada kau, karena kau tentunya tidak mengerti. Melainkan kau hendak pesan dua rupa kepada kau, yaitu kau mesti dengan kata guru, kau mesti jangan lakukan apa-apa yang buruk! Kau mengerti?"

"Pasti aku akan dengar perkataan soehoe, tidak nanti aku berbuat buruk," jawab sang murid. "Bagus!" berkata guru itu. "Sekarang mari kita mulai berla- tih. Karena temponya sangat mendesak, Tjoei Siokhoemu ajarkan kau Hok-houw- tjiang secara sekelebatan saja.

Sebenarnya, ilmu pukulan itu mempunyai kefaedahan yang utama, usiamu masih terlalu muda, apabila kau terus yakinkan itu, kau tak akan dapatkan kesempurnaan. Maka sekarang aku nanti mulai kau dengan Tiang-koen Sip-toan- kim."

"Dulu pernah Nie Siokhoe ajarkan aku pukulan itu," Sin Tjie terangkan.

"Ya, tetapi itu belum berarti!" kata sang guru. "Apa kau rasa kau sudah pandai gunai itu?

Kau keliru jauh! Jikalau kau telah sempurnakan Tiang-koen Sip-toan-kim, didalam kalangan kang-ouw, tentulah tak banyak orang lagi yang sanggup kalahkan padamu!......."

Sin Tjie melengak pula. "Ya, ya, soehoe," kata ia, yang tak berani banyak omong lagi. "Sekarang kau lihat, habis itu, kau turuti," kata sang guru.

Bok Djin Tjeng lantas jalankan Tiang-koen Sip-toan-kim, muridnya mengawasi. Sin Tjie heran, ilmu silat yang guru ini jalankan, semua mirip dengan yang ia peroleh dari Nie Hoo. Ia jadi tidak mengerti, apakah kefaedah- annya ilmu pukulan itu........

Sedang bocah ini berpikir keras, sang guru tegur padanya. "Apakah kau sangka gurumu perdayakan kau? "tanya Bok Djin Tjeng. "Mari, mari, kau coba serang aku, asal kau bisa jambret saja baju atau langgar ujung bajuku, anggaplah

kau benar sudah pandai!"

Bocah itu tidak berani serang gurunya, ia cuma bersenyum saja, tak bergerak ia dari tempatnya berdiri. "Hayo maju, aku sedang ajarkan kau ilmu silat!" guru itu mendesak. Mendengar bahwa ia hendak diberi pelajaran, Sin Tjie lantas maju, dengan satu lompatan, ia sambar baju gurunya, yang memakai tungsha, baju panjang. Ia rasa ia bakal berhasil

menjambret, tidak tahunya, Baru ia hampir mengenai atau ujung baju itu seperti mundur sendirinya. Ia maju pula, atau lantas, ia kehilangan gurunya itu. "Aku disini!" kata si guru sambil tertawa, dengan tangannya ia tekan pundak orang. Ia ada dibelakang si murid. Sin Tjie berdiam, tetapi dia geraki tubuhnya dengan gerakan "Auw tjoe hoan sin" atau burung elang jumpalitan". Ia bergerak dengan gesit sekali, kedua tangannya dipentang,

untuk merangkul. Tapi ia merangkul tempat kosong, ia tak lihat gurunya. Apabila ia berpaling, ia tampak gurunya itu berdiri dari dia jauhnya kira-kira tiga tumbak! "Aku mesti bisa jambak padamu!" pikirnya, yang jadi sangat penasaran. Ia lompat pula, secara sa- ngat gesit, tangannya diulur. Tangan bajunya Bok Djin Tjeng dikibaskan, tu- buhnya ikut mencelat, dengan begitu, ia

hindarkan dari terkaman, hingga kembali sang murid tangkap angin. Sin Tjie tidak jadi putus asa, dia malah tidak mendongkol, sebaliknya, ia tertawa hi-hi-hi, menandakan kegembiraannya. Ia mengejar, ia membiluk kemana si guru putar tubuh. Tiba-tiba ia lihat si gagu gerak-gerakan tangannya sebagai tanda untuknya. Diam-diam ia menaruh perha- tian, mendadakan hatinya tergerak.

"Benar-benar soehoe gunakan Tiang-koen Sip-toan-kim",ia memikir. "Kenapa soehoe ada begini gesit?"

Ia masih mengubar terus, tapi sekarang dengan perhatikan gerak-gerik gurunya itu. Ia sudah paham benar sekali semua gerakannya. Ia terus menaruh perhatian, akan setelah itu, ia pun menelad gerak- an gurunya, hingga lantaslah terlihat, dia pun jadi gesit beberapa lipat.

Bok Djin Tjeng senantiasa awasi sang murid, diam-diam dia manggut-manggut.

"Anak ini benar-benar bisa terima pela- jaran," pikir dia. Sin Tjie perhebat pengejarannya, karena ia bisa bergerak terlebih sebat pula, akan tetapi dide- pan dia, gurunya pun bertambah-tambah gesit, hingga sia-sia saja pengejaran- nya. Hingga berdua mereka seperti me- rupakan bajangan saja. Lagi sekian lama, mendadakan Bok Djin Tjeng ber- lompat, akan tubruk muridnya, tubuh

siapa ia angkat tinggi-tinggi.

"Murid yang baik, anak yang manis!" berkata dia sambil tertawa berkakakan.

"Soehoe!" kata sang murid, yang girang luar biasa, karena sekarang ia insaf kemujijatan Tiang-koen Sip-toan-kim.

"Bagus, anak, sebegini sudah cukup untuk latihanmu!" kata sang guru. Ia turunkan tubuh Sin Tjie, ia lepaskan cekalannya. "Sekarang kau ulangilah sendiri!"

Sin Tjie menurut, ia lantas jalankan Tiang-koen Sip-toan-kim. Setelah mengawasi beberapa ulangan, Bok Djin Tjeng masuk kedalam. Sin Tjie tidak turut gurunya beristirahat, ia masih berlatih terus, sampai belasan kali,

hingga ia tambah mengerti kefaedahannya ilmu silat itu, yang berpokok pada kegesitan. Ia ada demikian kegirangan, hingga malam itu tak dapat ia tidur dengan nyenyak, terus ia bayangi itu ilmu pukulan, sampai mimpi pun ia masih berlatih....

Besoknya pagi, Baru saja fajar, bocah ini sudah bangun, untuk berlatih, karena ia kuatir pengajarannya kemarin nanti terlupa. Ia belajar seorang diri, dengan sungguh-sungguh. Berselang belum lama, selagi bocah ini sangat bersema- ngat, ia dengar suara batuk-batuk dibe- lakangnya, apabila ia berpaling, ia lihat gurunya. Bok Djin Tjeng berada dibelakang muridnya, sambil tertawa.

"Soehoe!" ia memanggil, terus ia berdiri diam, kedua tangannya dikasih turun. "Kau telah mengerti dengan cepat, inilah bagus," berkata sang guru. "Tapi kau Baru mengerti bagian atas, bagian bawahnya belum, dibagian bawah, kau masih kosong, apabila kau hadapi lawan liehay, kau bakal celaka. Kau mesti bersikap begini...."

Guru itu lantas mengasi contoh.

"Sekarang hayo kau turut!"

Sin Tjie menelad gurunya, ia mengerti dengan cepat, setelah mana, terus ia jakinkan ini ajaran baru, hingga ia kembali dapat tambah pengertian.

Selanjutnya, tidak pernah Sin Tjie abaikan ajaran-ajaran gurunya. Sang tempo lewat dengan cepat, selang tiga tahun, bocah ini telah masuk usia dua-belas tahun. Ia berlatih dari kecil, sekarang tubuhnya jadi kuat sekali, pasek dan gesit. Seperti biasanya, Bok Djin Tjeng suka turun gunung, untuk pesiar, kalau ia pergi, ia pergi untuk dua atau tiga bulan. Setiap kali ia pergi, ia ajarkan muridnya pelbagai ilmu, apabila ia

pulang, ia lantas menilik, untuk mengajarkan terlebih jauh. Ia puas mendapati muridnya belajar rajin sekali dan pesat kemajuannya. Pada suatu harian Toan-ngo-tjiat, sehabisnya minum arak Hiong-hong-tjioe, dengan tiba-

tiba saja Bok Djin Tjeng keluarkan gambarnya Tjouwsoe-ya, ia memberi hormat sambil paykoei, ia perintah Sin Tjie turut menghormatinya sebagai dia. Kemudian dia kata pada muridnya: "Sin Tjie, tahukah kau, apa sebabnya hari ini aku suruh kau menghormati

Tjouwsoe-ya?"

Murid ini goyang kepala. Bok Djin Tjeng masuk kedalam kamarnya, akan keluar  pula dengan satu peti kayu kecil tetapi pandang, yang ia letaki diatas meja, apabila ia telah buka tutup peti itu, nyata didalamnya terletak sebilah pedang yang sinarnya bergemirlapan menyilaukan mata. Pedang itu pandangnya tiga kaki. Sin Tjie terkaget! "Apa soehoe hendak ajarkan pedang padaku?" tanya dia. Sang guru manggut, ia jumput keluar pedang tajam itu. "Kau berlutut, dengar perkataanku," tiba-tiba kata dia, suaranya keras, sikapnya keren

dengan mendadakan. Tanpa banyak omong, murid itu tekuk kedua lututnya. "Pedang adalah rajanya ratusan macam alat-sen- jata," berkata Bok Djin Tjeng,"pedang ada gegaman paling sukar untuk dipe- lajarkan. Tapi kau ada berotak terang, kau pun berhati keras, aku percaya kau akan sanggup mempelajarinya. Ilmu pe- dang kaum kita, Hoa San Pay, yang di- wariskan berulang-ulang, mengandal kepada si ahliwaris, tetapi buktinya

sampai sebegitu jauh, senantiasa tambah saja kemajuannya. Dikalangan lain, ada umum sang guru tinggalkan satu ilmu pukulan yang dirahasiakan, karena ini, satu angkatan dengan satu angkatan, murid-muridnya tambah kurang kepandai- annya, tetapi kita, kita tidak berbuat demikian. Benar kita memilih murid dengan keras, tetapi setelah dipilih, kita berikan dia semua pelajaran, malah dibagian ilmu pedang, setiap achliwaris menambah kepandaiannya. Ilmu pedang kita sulit untuk dipelajarkan, hanya setekah mengerti, orang akan insaf itu dengan sempurna, dan asal orang bisa wariskan, dia sudah seperti tidak ada

tandingannya. Sekarang aku hendak ajarkan kau ilmu pedang tapi kau mesti sumpah dahulu bahwa kau tidak nanti bunuh sekalipun satu orang yang tidak bersalah-dosa!"

Sin Tjie jawab gurunya itu, ia kata : "Ini hari soehoe ajarkan teetjoe ilmu pedang, apabila dibelakang hari aku binasakan seorang yang tidak bersalah, maka pasti aku pun bakal binasa terbu- nuh orang!"

"Bagus! Hayo bangun!"

Sin Tjie berbangkit, untuk berdiri.

"Aku tahu kau berhati mulia, tidak nanti kau bunuh orang tanpa alasan," kata guru ini," akan tetapi saat ada berlainan, ada saatnya untuk silat membedakan kebenaran dari kepalsuan, inilah yang harus dijaga. Asal kau senantiasa berpokok pada kejujuran dan

belas-kasihan, aku percaya tidak nanti kau membunuh secara keliru. Maka hal ini mesti kau ingat baik-baik."

Sin Tjie manggut, ia beri pula jan- jinya. "Sekarang kau lihat," berkata sang guru akhirnya. Ia cekal pedang dengan tangan kanan, tangan kirinya diletaki diatas itu, habis itu ia mulai bersilat, hingga sinar pedang memain,

menyambar bagaikan naga dan ular, cahayanya seperti bianglala.

Bab 4

Sin Tjie sudah ikuti Bok Djin Tjeng tiga tahun, pandangan matanya telah jadi beda sekali, sekalipun demikian, sekarang tak bisa ia ikuti gerak tangan dan kakinya sang guru, sedangnya ia kagum, tiba-tiba guru itu berseru, pedangnya melesat kedepan, nancap

dibongkotnya satu pohon besar.

Itulah tenaga yang besar luar biasa, karena mana, Sin Tjie menjadi bengong dan nganga saja! "Bagus!" demikian satu suara pujian, yang datangnya dari arah belakang si bocah. Selama tiga tahun berdiam diatas gunung, belum pernah Sin Tjie dengar suara lain orang kecuali gurunya, atau hanya suara ah-ah-uh-uh dari si empeh gagu, sekarang mendadakan

ia dengar satu suara asing - memangnya ia sedang tercengang - ia jadi heran sekali. Cepat luar biasa, ia menoleh kebelakang, hingga didepan matanya, ia tampak satu toodjin atau imam yang bersenyum berseri-seri seraja usut-usut kumis dan jenggotnya. Imam itu berjubah kuning, mukanya bersemu merah, rambut- nya sudah putih semua. Habis memuji, ia berkata : "Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak lihat kau gunai pedangmu, tidak disangka kau telah peroleh kemajuan begini rupa!"

Bok Djin Tjeng telah menoleh pada tetamunya itu, ia tertawa berkakakan.

"Bhok Siang Tooyoe, angin apa sudah tiup kau sampai disini?" tanya dia.  "Sin Tjie, hayo kau kasi hormat pada too-tiang!"

Sin Tjie menurut, ia hampirkan itu imam akan berlutut dan manggut didepannya.

"Jangan, jangan!" tertawa si imam, seraya ia membungkuk, untuk angkat bangun bocah itu. Sin Tjie tidak mau diangkat, dan, sebagai biasanya orang yang mengerti silat, ia gunai tenaga- nya, maka itu, tidak gampang untuk si imam cegah pemberian hormat itu. Dia juga memang cuma mau mencoba saja.

"Lauw Bok!" berkata ia kemudian, "selama beberapa tahun ini, jarang sekali aku bertemu dengan kau, tidak tahunya kau keram diri disini untuk mendidik muridmu ini. Sungguh, perun- tunganmu tidak buruk, di saat-saat dari hari akhirmu, kau masih mendapatkan satu bahan yang baik sekali!"

Bok Djin Tjeng girang atas pujian sahabat itu dengan siapa ia biasa berguyon. "Aya!" Bhok Siang Toodjin berseru sendirinya. "Hari ini aku tidak bawa uang, jadi dengan cuma-cuma saja aku terima hormatmu ini, anak! Bagaimana sekarang?......."

Mendengar kata-katanya si imam, hatinya Bok Djin Tjeng tergerak, mendadakan, ia ingat suatu apa. Ia berpikir: "Imam setan tua ini ada punya kepandaian luar biasa, karenanya, kaum kang-ouw djuluki ia Kwi-eng-tjoe si Bajangan Iblis. Coba dia suka wariskan salah satu pelajaran- nya kepada Sin Tjie, alangkah baiknya! Hanya ia biasanya tak suka terima murid, maka perlu aku cari akal untuk ia keluarkan kepandaiannya itu...."

Segera juga guru ini kata pada muridnya : "Sin Tjie, tootiang telah berikan janji hadiah bagimu, lekas kau memberi hormat dan haturkan terima kasihmu!"

Sin Tjie benar-benar cerdik, dengan lantas ia dapat mengerti maksud guru- nya, maka segera ia paykoei pula, ia ucapkan terima kasihnya. Bhok Siang Toodjin tertawa terbahak-bahak. "Ya, bagus, bagus, bagus!" kata ia. "He, bocah cilik, kau dengar aku, untuk jadi manusia, orang mesti jujur dan polos, maka jangan kau telad gurumu ini yang kulit mukanya sangat tebal! Masa, begitu dengar orang hendak memberikan barang, dia lantas ketok besi panas! Mustahil aku si tua-bangka nanti

perdayakan kau satu bocah? Mustahil, bukan? Nah, begini saja, justru sekarang aku si tua-bangka lagi ber- gembira, aku berikan kau ini saja!"

Dari bebokongnya, dimana ada tergendol satu kantong, imam ini rogoh keluar segumpal barang, apabila Sin Tjie buka itu, itu adalah baju kaos hitam, mela- inkan ia tak tahu, bahannya terbuat daripada sutera atau kulit. Tentu saja, ia terima hadiah barang itu dengan tergugu. "Eh, tooheng, jangan kau main-main!" Bok Djin Tjeng kata pada sahabatnya itu, gangguan siapa tadi ia tak gubris. "Bagaimana kau dapat beri- kan dia mustika ini?"

Mendengar kata-kata gurunya itu, karena itu baju kaos katanya ada mustika, Sin Tjie ulur kedua tangannya, akan angsur- kan itu kepada si imam. Tapi si imam menolak. "Aku tak demikian kikir se- bagai gurumu!" kata dia. "Tidak biasa- nya aku, sudah memberi barang, barang itu diminta pulang! Kau ambillah!"

Masih Sin Tjie tidak berani menerima, ia awasi gurunya. "Jikalau begitu, kau terimalah," kata sang guru. "Lekas kau bilang terima kasih."

Sin Tjie menurut, ia mengucap terima kasih sambil paykoei pula. Lalu, dengan roman sungguh-sungguh, Bok Djin Tjeng kata pada muridnya: "Ini adalah sepo- tong baju mustika! Untuk mendapatkan ini, dahulu tootiang sudah keluarkan banyak keringat-daki, ia telah membaha- yakan jiwanya sendiri! Nah, kau  pakai- lah!" Sin Tjie turut perkataan gurunya, ia lantas pakai baju kaos itu.

Bok Djin Tjeng bertindak kepohon, untuk cabut pedangnya, ia cuma gunai dua je- rijinya, nampaknya ia dapat menyabut dengan gampang sekali. "Baju kaos ini terbuat dari sutera emas putih, rambut dan bulunya kera-kuning, yang disulam menjadi satu, senjata tajam bagaimana juga tak dapat merusaknya," menjelaskan

ia, menyusul mana, ia bacok pundak mu- ridnya. Sin Tjie kaget, ia hendak ber- kelit tapi sudah kasep, ia kalah sebat dengan gurunya itu, selagi ia berlom- pat, pundaknya sudah jadi sasaran. Akan tetapi, buat keheranannya, ia tidak terluka, bacokan terasa enteng sekali, pedang itu terpental balik. Ia jadi sangat girang, hingga lagi-lagi ia paykoei didepan si imam! Bhok Siang Toodjin tertawa; katanya pada si bocah: "Kau lihat barang ini hitam-legam, je- lek dipandangnya. Ketika pertama kali

kau paykoei, mestinya kau belum punya kepercayaan, kau tidak puas, tetapi sekali ini kau paykoei, tentu kau sudah puas benar!"

Mukanya Sin Tjie jadi merah karena godaan itu, hingga ia diam saja. Bhol Siang toodjin tidak perdulikan orang jengah atau tidak, ia melanjutkan : "Dahulu pernah beberapa kali baju kaos ini tolong jiwaku," katanya, "tetapi sekarang, asal saja gurumu tidak ganggu aku, mungkin sekalipun tak memakai baju ini, dikolong langit tidak ada lagi orang yang mampu celakai aku!"

Habis mengucap demikian, imam itu tertawa berkakakan, nampaknya ia sangat puas dan jumawa. Bok Djin Tjeng pun tertawa, dan berkata: "Eh, imam bangkotan jangan tjampur aduk, kau

mengebul didepannya satu bocah! Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku lawan kau, tetapi dikolong langit ini, ada banyak sekali orang pandai!"

Bhok Siang Toodjin tersenyum. "Sudah, sudah, kita berdua tak boleh gunai golok dan pedang!" berkata dia. "Mari, mari, lebih baik kita......."

"Kita adu kepandaian diatas papan catur!" tertawa Bok Djin Tjeng.

"Benar!" Bhok Siang Toodjin pun ter- tawa. "Kau memangnya adalah cacing kamcekan dalam perutku!"

"Ya!" kembali tertawa Bok Djin Tjeng, "kau juga, jikalau ketagihan main caturmu, tidak kumat, tidak nanti kau datang cari aku diatas gunung sebagai ini! Apakah kau bawa alat peranti makan nasi?"

Bhok Siang Toodjin tertawa sembari tertawa ia meraba bebokongnya, akan kasih turun papan caturnya (tio-kie) beserta dua bungkus biji tiokienya, sedang si gagu, tanpa diperintah lagi, sudah lantas gotong keluar meja dan kursi untuk dua orang itu adu otak.

Maka kedua orang tua itu lantas duduk dibawahnya sebuah pohon, akan mulai atur biji, untuk segera jalankan itu sambil saban-saban berpikir.

Wan Sin Tjie berdiri disamping, ia tidak mengerti permainan itu, maka, sambil ia jalankan biji-bijinya, Bhok Siang Toodjin ajari dia aturan bertin- daknya sesuatu biji. Imam ini pun ke- bulkan tentang kepandaiannya main tiokie itu, bahwa Bok Djin Tjeng bu- kanlah tandingannya.

Bok Djin Tjeng cuma bersenyum saja, ia terus pikirkan biji-bijinya sendiri ia antapkan orang sombongi diri.

Catur ada permainan yang gampang dipe- lajari tetapi sulit untuk menjadi ahli, tetapi lain dengan Sin Tjie, dengan lekas ia mengerti aturan mainnya, malah berkat kecerdasannya, ia mulai mengerti tipu-tipunya. Dalam babak pertama, Bhok Siang Toodjin adalah yang mendapat kemenangan, demikian juga pada babak kedua, setelah itu, pertarungan dilan- jutkan, terus sampai cuaca mulai gelap. Mereka mainkan tiga babak, dibabak ketiga, Bok Djin Tjeng menang. "Mari kita main terus!" mengajak si imam, yang tidak kenal lelah. "Aku tidak mempunyai kegembiraan untuk layani kau terus-menerus!" kata Bok Djin Tjeng.

Karena ini, terpaksa Bhok Siang Toodjin pergi beristirahat. Untuk ia, si gagu telah siapkan pembaringannya.

Sejak itu, beruntun tiga hari, tuan rumah dan tetamunya terus terusan main catur, karena si tetamu tidak mau me- ngerti jikalau ia tidak dilayani. Maka dihari keempat, tuan rumah kata: "Hari ini kita mengasoh satu hari, aku mesti ajarkan ilmu pedang dulu kepada murid- ku." Alasan itu ada kuat, Bhok Siang Toodjin tidak menghalangi. Tapi sangat sulit untuk ia tungkuli diri hari itu, maka juga, begitu lekas Bok Djin Tjeng sudah selesai mengajari muridnya, dia lantas tarik tangannya sahabat itu.

"Mari, mari, kita bertempur lagi sampai tiga jurus!" kata ia dengan bernapsu.

Bok Djin Tjeng merasa lelah, karena setengah-harian lamanya ia layani Sin Tjie, tapi sahabatnya sedang ketagihan, apabila ia tidak tungkuli, satu malam itu tentu sahabat ini tidak bisa tidur, terpaksa ia duduk juga menghadapi papan catur berhadapan dengan tetamu yang sedang keranjingan itu. Sebab ia sedang lelah dan tidak bernapsu, hampir saja salah satu bijinya kena dirampas. De- ngan susah payah ia perbaiki diri, tidak urung, ia masih kalah angin.

Sin Tjie dampingi gurunya, ia tak sam- pai hati menampak guru itu terdesak.

"Soehoe, menyerang kemari," kata ia akhirnya, hingga ia tak ingat bahwa ia telah mentjampuri urusan orang tua-tua. "Habis itu, soehoe jalan disini, tentu soehoe bisa lolos dari kepungan..."

Anak luar biasa ini dengan cepat telah mengerti baik tipu-tipunya permainan catur, penunjukannya itu memang ada jalan untuk hindarkan diri dari an- caman. Bok Djin Tjeng juga tidak beradat mau menang melulu sebagai Bhok Siang Toodjin, ia tidak keberatan akan turuti pengundjukan muridnya itu. Benar saja, setelah ia jalankan biji-bijinya

menuruti sang murid, segera ia terlepas dari pengurungan, malah dilain pihak, ia dapat makan satu biji hitam. Ia sendiri pegang biji putih. Habis itu, Bhok Siang Toodjin berbalik kena ter- desak, malah akhirnya, dia cuma bisa menangi tiga biji. "Dia benar cerdik," kata Bhok Siang Toodjin, yang puji bocah itu. "Coba biarkan dia lawan

aku, ganda enam biji!"

Bok Djin Tjeng lulusi permintaan itu, ia ijinkan muridnya lawan sang soepeh.

Sin Tjie belum pandai betul tapi kecer- dasannya membantu banyak sekali. Ia masih muda sekali, tapi otaknya kuat.

Dalam kalangan tiokie ada pepatah, "Didalam usia dua-puluh tidak menjadi kampiun, hilanglah harapan". Ini menan- dakan, tiokie mesti dipelajari sejak masih anak-anak. Souw Tong Po ada sasterawan termashur tetapi main tiokie, melawan seorang biasa, ia tak

peroleh kemenangan. Hal itu membuat ia menyesal, hingga dia tulis sairnya : "Menang girang, kalah pun gembira".

Bok Djin Tjeng sabar dan sederhana, tidak demikian dengan Bhok Siang Toodjin, yang gemar akan kemenangan. Ia tidak lihat mata pada si bocah cilik, tetapi, sesudah biji-biji dijalankan, ia lantas merasai satu tandingan bukan sembarangan. Dasar anak kecil, Sin

Tjie ingin menangkan soepehnya itu, ia bermain dengan sungguh-sungguh. diakhirnya, Bhok Siang Toodjin menang tetapi bukan tak dengan susah-payah.

Besoknya, pagi-pagi, Bhok Siang Toodjin telah cari Sin Tjie, buat ditarik ta- ngannya, untuk diajak bertanding pula, tanpa bocah ini bisa menampik. Kali ini, dua kali Sin Tjie menang dengan beruntun, maka ganda diubah, dari enam biji, jadi lima. Dapat ganti si bocah cilik, Bhok Siang abaikan tuan rumah- nya, terus setiap hari, ia ajak Sin Tjie "bertempur", hingga tahu-tahu, sudah hampir sepuluh hari mereka main terus, hingga selanjutnya, dari diganda, keduanya main seperti biasa. Sin Tjie peroleh kemajuan sangat pesat, hingga dia berani melayani tanpa diganda lagi. Malah sekarang, sering

mereka kalah dan menang bergantian! Begitu lekas Sin Tjie utamakan tiokie, ilmu silatnya kena diterlantarkan juga. Bok Djin Tjeng ketahui ini, tapi dia antap saja. Baru belakangan, melihat si tua bangka dan si bocah seperti lupa tidur dan makan - mereka bertempur tanpa batas tempo - ia jadi kuatir juga. Diam-diam ia kisiki muridnya ini supaja selanjutnya dia ini layani soepehnya satu hari satu kali saja, sebab dia tidak boleh alpai ilmu silatnya. Atas kisikan itu, Sin Tjie malu sendirinya. Memang benar, hampir sepuluh hari, ia sudah siasiakan pela- jarannya. Maka besoknya, waktu Bhok Siang Toodjin ajaki dia main catur,

dia menolak dengan manis, katanya ia mesti berlatih. Dihari kedua juga dia kembali menampik. "Kau temani aku main, habis main, aku nanti ajarkan kau semacam ilmu silat, dengan itu, pasti gurumu girang," kata Bhok Siang mem- bujuk. "Nanti aku tanya soehoe dulu," kata Sin Tjie, yang tidak berani lan- cang. "Baik, pergilah tanya!" si imam menganjurkan. Sin Tjie lari mencari gurunya. Ia beritahukan janjinya Bhok Siang. Bok Djin Tjeng girang. Ia memang tahu, imam itu liehay, melainkan adat- nya aneh, dia tak suka menerima murid, tapi sekali ini dia kasih janjinya, itu tentu disebabkan pengaruh ketagihannya main catur. Lantas ia tarik tangan muridnya untuk dibawa kepada si imam, kepada siapa lantas saja ia menjura : "Kau hendak sempurnakan muridku ini, disini kuhaturkan terima kasih pada- mu!" Lantas ia suruh muridnya paykoei.

Sin Tjie menurut, ia paykoei dengan segera. "Jangan, jangan!" ia menolak, tangannya digoyang berulang-ulang. "Aku tidak terima murid! Jikalau dia hendak minta pelajaran dari aku, dia mesti dapatkan itu dengan menangkan aku dengan kepandaiannya!"

"Apakah caranya itu?" tanya Bok Djin Tjeng. "Dalam hal ilmu pedang dan ilmu kepalan, Lo Bok, dikolong dunia ini kau tidak ada lawannya, aku si imam tua takluk kepadamu," berkata imam itu, "maka bocah ini, asal dia sanggup wariskan dua atau tiga bagian dari kepandaianmu, sukar dicari tandingannya

dalam kalangan kang-ouw. Tetapi bicara tentang senjata rahasia, aku kira aku si imam tua mempunyakan dua kemung- kinan!"

"Memang siapa tak tahu kau si Bajangan Iblis mempunyai kepandaianmu yang istimewa itu, jangan kau coba mengebul!"

"Ya, kau memang utamakan kaummu, segala apa kau hendak main terus-terang, hingga segala senjata rahasia kau tidak hendak dijakinkan dengan sungguh- sungguh," kata siimam. "Mengenai Sin Tjie, aku hendak atur begini. Kau antap dia lajani aku main tiokie, dua dalam satu hari, jikalau aku yang menang, kau mesti biarkan dia kawani aku melewatkan waktu yang senggang. Asal dia menangkan aku satu babak saja, aku nanti ajarkan dia semacam ilmu entengi tubuh, tapi kapan dia bisa menang beruntun dua kali, disebelah ilmu entengi tubuh itu, aku ajarkan lagi serupa senjata raha- sia. Coba timbang, pertaruhanku ini adil atau tidak?"

"Imam tua ini benar licik dan lucu," pikir Bok Djin Tjeng. "Tapi dia ada satu laki-laki sejati, sekali dia berkata, dia tidak pernah tarik pulang lagi". Maka ia lantas jawab : "Baik, baiklah diatur begini. Aku memangnya kuatirkan Sin Tjie sia-siakan waktunya yang berharga, sekarang ada ini ketika yang baik, aku terima baik  permintaan- mu. Sekarang kau boleh main, sesukanya, setiap hari delapan kali, sepuluh kali, masa bodo!"

Bhok Siang jadi sangat girang, demikian juga Sin Tjie. Tidak tempo lagi, keduanya lantas duduk berhadapan, untuk mulai dengan pertempurannya.....

Hari itu juga mereka main dua kali juga. Habis main, dia menetapi janji, dia kata pada bocah she Wan itu : "Sekarang aku ajarkan kau satu jurus ilmu entengi tubuh. Ya, cuma satu jurus saja, tapi jikalau kau yakinkan dengan sungguh-sungguh, faedahnya kau akan

dapatkan seumur hidupmu. Nah, kau lihatlah dengan waspada." Baru habis dia mengucapkan, tak tertampak lagi gerakan kakinya, tahu-tahu tubuh imam

itu sudah mencelat keatas sebuah pohon didekat mereka, ketika ia lompat dengan

jumpalitan, tahu-tahu ia sudah kembali berada didepannya si bocah. Sin Tjie kagum hingga ia melengak, setelah sadar ia tepuk-tepuk tangan, ia bersorak.

"Sekarang hayo kau mulai pelajarkan," Bhok Siang kata. Dan ia terus ajarkan ilmu entengi tubuh itu yang dinamakan "Poan in seng liong" atau "Naga naik merayap dimega". Untuk itu, Sin Tjie mesti berlompatan dengan enjot tubuh.

Dihari kedua, Sin Tjie kalah dua kali berturut-turut, maka pada hari itu seperti bunyinya perjanjian, ia tidak peroleh pengajaran apa juga. Tapi di hari ketiga, ia main bagus sekali.

Ia lepaskan kedua sayap, ia menyerang di tengah dan ia menang dua-dua kalinya. Tak puas Bhok Siang Toodjin.

"Mari lagi!" ia mengajak. Mereka main pula dua kali, dengan kesudahan seri, satu kalah, satu menang. Turut jumlah,

si imam kalah tiga. Atas ini, imam itu ajarkan si bocah dua rupa ilmu entengi tubuh. Sin Tjie turut ajaran itu, ia terus berlatih, sampai ia pandai jalankan. "Kau tahu, apabila aku meng- hadapi lawan, aku gunai senjata apa?" tiba-tiba tanya guru istimewa ini.

Sin Tjie tidak tahu, ia menggeleng- gelengkan kepala. Bhok Siang Toodjin jumput papan caturnya, untuk diangkat.

"Inilah senjatanya! Menerangkan dia.

Anak itu heran, walaupun ia tahu, papan catur itu terbuat dari baja. Ia menyangka, karena sangat gemar main tiokie, imam ini sengaja bikin papan catur luar biasa itu, dan papan catur ini terus dibawa-bawa, mungkin dikua- tirkan rusak, dibuatnya dari logam kuat itu. Siapa sangka, itu adalah alat- senjata. Bhok Siang jumput seraupan biji catur. "Dan ini adalah senjata rahasiaku!" ia tunjuki si bocah. Ia tertawa. Belum sempat Sin Tjie menanya atau si imam telah lemparkan biji-biji catur itu, belasan biji, kemudian ia angkat papannya, untuk dipakai menang- gapi. Aneh sekali, dengan menerbitkan suara nyaring, semua biji catur itu jatuh kedalam papan catur itu. Lebih aneh pula, jatuhnya tidak beruntun, hanya berbareng semua, tanpa meletik

lagi. Si imam tertawa, lalu ia kata : "Buat bisa menggunai senjata rahasia, paling dulu orang mesti melatih tenaga, lalu belajar menyerang dengan tepat, supaya penyerangan tentu cepat dan pelahannya, berat dan entengnya. Sekarang mari kau mulai!"

Bhok Siang benar-benar ajarkan Sin Tjie bagaimana mesti menimpuk, bagaimana tenaga mesti dikumpul ditangan, bagai- mana harus mengincar sasaran. Bukan main girang Sin Tjie, ia belajar dengan rajin. Tanpa terasa, setengah tahun Bhok Siang Toodjin menenamu di atas gunung-gunung Hoa San - selama itu setiap hari dia main tiokie dengan Sin Tjie, berbareng dia ajari bocah itu menggunai senjata rahasianya - biji- biji catur serta ilmu entengi tubuh. Ia seperti lupa pulang. Ia pun mengajari dengan sungguh-sungguh. Selama Bhok Siang Toodjin berdiam di Hoa San, kebetulan musim panas, maka itu telah

diatur, pagi sampai siang, Sin Tjie belajar silat, tengah-hari sampai lohor, mereka berdua bertempur atas papan tiokie. Dan selama itu, permainan catur Sin Tjie jadi liehay sekali,

hingga ia telah melebihi gurunya ini. Tapi dasar si imam "suka menang", dia selalu suruh Sin Tjie pegang biji putih dan jalan terlebih dahulu, tapi ini justru mengakibatkan, ia lebih

banyak kalah daripada menang....

Sin Tjie gunai biji jalan bukan untuk serang serampangan saja, hanya Bhok Siang Toodjin didik ia untuk serang jalan darah, sekali timpuk, dengan belasan biji, dia mesti bisa mengenai sasaran dengan jitu. Ilmu senjata rahasia jang aneh itu dipanggil "Boan thian hoa ie", atau "Hujan bunga di- seluruh langit". Ini ada pelajaran sangat sulit. Ia mulai dari satu biji, lalu ditambah, ia sudah belajar empat bulan, Baru ia bisa gunai tiga atau empat biji, dan yang kena, Baru satu atau dua. Sebagai sasaran ada selembar papan dimana dilukiskan tubuh manusia dengan tanda-tanda jalan darah, diwaktu diserang, papan itu tidak dipancar hanya dipegangi oleh si empeh gagu, untuk dilarikan, setiap sang guru

serukan jalan darah mana yang musti diserang. Pada suatu hari, sedang Sin Tjie berlatih, si gagu berlari-larian dengan papannya, dan si guru sedang berseru dengan pengunjukan- pengunjukannya; ketika Sin Tjie sudah

menimpuk jitu tiga biji, dan hendak menimpuk terus, sekonyong-konyong ia terkejut, hingga ia serukan jeritan tertahan. Ia lari kepada si gagu, untuk tarik dia ini! Si gagu kaget, segera ia menoleh. Tidak tahunya, dibelakangnya, tahu-tahu berdiri orang hutan, yang

bersikap hendak menerkam dia. Ia men- jadi tidak senang, ia ayun papan jang dipegangnya, untuk dipakai menyerang.

Cepat luar biasa, Bhok Siang Toodjin mencelat kepada si gagu ini, tubuh siapa ia tarik mundur, berbareng dengan mana, ia serukan muridnya : "Sin Tjie, kau jang layani dia!"

Anak ini tahu, guru itu hendak uji dia, dia tidak menolak, malah segera dia lompat kedepan orang hutan itu.

Entah kenapa, berhadapan dengan orang, orang-hutan itu putar tubuhnya, untuk ngeloyor pergi, maka melihat demikian, Sin Tjie gerakan sebelah tangannya, akan tepuk bebokongnya, hingga saking kesakitan, binatang liar itu perdengar- kan pekiknya berulang-ulang. Dia men- jadi gusar, dia berbalik, lalu tangan- nya jang panjang dan berbulu, menyam- bar! Sin Tjie berkelit, dengan lompat kesamping, dari mana ia berniat menye- rang, tetapi mendadakan, dibelakangnya ada menyambar angin. Ia tahu, tentu ada lain musuh yang bokong padanya. Tak keburu ia memutar tubuh, maka itu, ia menjejak tanah, untuk berlompat tinggi sambil jumpalitan, dengan begitu, apa- bila ia sudah berbalik, ia dapati si

pembokong adalah satu orang-hutan lain, yang sama besarnya. Sebenarnya, sejak belajar silat, belum pernah ia berke- lahi dengan lain orang, namun demikian, tak jeri ia menghadapi dua binatang buas itu. Segera ia menyerang, dengan mainkan tipu-tipu dari Hok-houw-tjiang, Tangan harimau. Suara berisik membuat Bok Djin Tjeng muncul. Ia saksikan pertempuran itu, ia lihat bagaimana beberapa kali orang-orang hutan itu kena dihajar, saban-saban keduanya

perdengarkan pekikan-pekikan dari kesakitan. "Bocah ini tidak mensia- siakan cape-lelahku," pikir guru ini, jang merasa puas. Setelah berulang- ulang merasai pukulan-pukulan jang me- nyakiti tubuh, kedua orang-hutan itu tidak berani berkelahi rapat, keduanya main lompat-lompatan, kadang-kadang saja mereka menubruk. Sesudah mengawasi sekian lama, Bok Djin Tjeng dapat ke- nyataan, walaupun ilmu silatnya telah digunai dengan baik, tenaganya Sin Tjie kurang sekali, semua pukulannya mela- inkan menerbitkan rasa sakit, tidak bisa melukai, maka itu, ia masuk keda- lam, untuk ambil pedang. "Sambut ini!" kata ia ketika ia keluar pula, seraya lemparkan pedang kepada muridnya.

Sin Tjie berlompat, akan papaki pedang, untuk disambar dengan tangannya, sete- lah mana, ia bisa berkelahi dengan ter- lebih gesit pula. Saban-saban ia memba- cok atau menikam, untuk mana, kedua binatang hutan itu pun berlaku gesit, senantiasa mereka lompat menyingkir.

"Jangan binasakan mereka!" Bhok Siang serukan anak muda itu. Sin Tjie menya- huti, lalu ia mendesak hebat. Kali ini, asal ia mau, ia bisa tikam sesuatu dari

binatang itu, akan tetapi sekarang ia melainkan mengancam, cuma ia lukai sedikit lengan, pundak dan kepala orang hutan itu. Kelihatannya kedua binatang itu mempunyai perasaan. Mereka mengerti orang tidak hendak binasakan mereka. Ini terbukti, kapan mereka lompat jauh, Sin Tjie tidak mengejar, anak itu malah berhenti bersilat, dia mengawasi saja mereka. Mereka insyaf bahwa orang me- ngasihani kepada mereka, maka kemudian mereka berpekik, lalu keduanya rubuhkan

diri, sepasang tangan mereka dipakai menutup kepala mereka masing-masing, cuma mata mereka mengawasi si anak muda, dengan sinar mohon diberi ampun.... Sin Tjie berhenti menyerang, ia mengerti orang sudah menyerah.

Si gagu girang, ia lari kedalam, untuk ambil dadung, buat belenggu kedua bina- tang itu. Mulanya kedua orang-hutan coba berontak, mereka berpikir dan pertontonkan gigi mereka, tapi tenaga- nya si gagu kuat sekali, diakhirnya, mereka menyerah, mereka tidak berani melawan lebih jauh. Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin puji Sin Tjie, jang lantas dianjurkan untuk

belajar lebih jauh dengan sungguh- sungguh. Bukan kepalang girang Sin Tjie. Ia pun merasakan bagaimana hasilnya latihan kerasnya. Disebelah itu, girang ia mendapati dua orang hutan itu, ia sendiri mencarikan buah-

buahan, untuk piara mereka. Selang tujuh atau delapan hari, kedua orang- hutan itu jadi jinak sekali, keduanya mengerti kesajangan si anak muda terha- dap mereka, maka itu, walaupun tidak lagi dicangcang, mereka tidak mau kabur. Sin Tjie lantas beri nama "Tay Wie" kepada yang lelaki dan "Siauw Koay" kepada yang perempuan, ia biasakan memanggil mereka hingga keduanya tahu namanya masing-

masing. Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin tertawa melihat kedua binatang itu jadi demikian jinak dan mengerti maksud orang. Setelah binatang itu tahu rumah, jinak dan mendengar kata, Sin Tjie lepaskan mereka hingga mereka merdeka untuk pergi cari makan sendiri, mencari bebuahan diatas gunung. Pada suatu hari terjadilah suatu hal kebetulan. Tay Wie dan Siauw Koay pergi mendaki gunung, untuk cari makanan. Dengan berani Siauw Koay merambat ditembok gunung, atau mendadakan kakinya terpeleset, tiada ampun lagi, pegangannya terlepas, dia jatuh.

Tembok gunung itu adalah jurang dalamnya empat puluh tumbak lebih.

Tay Wie kaget, tapi kapan dia mengawasi lebih jauh, dia lihat kawannya tidak jatuh terus ke jurang hanya nyangkut pada suatu cabang pohon dimana kebetul- an ada sebuah gua kosong, jang mulut guanya sudah lumutan. Disini Siauw Koay berpegangan pada mulut gua, naik tidak bisa, turun juga tidak bisa. Dalam sibuknya, Tay Wie lari pulang, untuk cari Sin Tjie, buat beri kabar. Ketika itu, sang majikan lagi berlatih dengan pedang. Binatang ini tidak bisa bicara, maka juga ia berpekik tak hentinya. Sin Tjie heran, apabila ia lihat tubuhnya orang hutan itu lecet disana-sini, ber- darah bekas kena tusukan duri pepohon- an, sedang romannya seperti ketakutan. Tidak tempo lagi, ia cari A Pa, si gagu, untuk diajak bersama, mengikuti binatang piaraan itu pergi kejurang.

Sesampainya di tepi jurang, Tay Wie menunjuk-nunjuk kearah Siauw Koay, ia berpekik tak sudahnya, kaki tangannya digeraki berulang-ulang. Karena ini, Sin Tjie dan A Pa segera dapat lihat si orang-hutan betina dalam bahaya itu. Tidak tempo lagi, Sin Tjie lari pulang

untuk ambil dadung, yang ia lemparkan kearah binatang piaraannya itu, ia sendiri lalu memegangi ujungnya bersama A Pa. Siauw Koay sudah lelah sangat, ketika ia lihat dadung, ia jambret, ia pegangi dengan keras, dengan begitu, sebentar kemudian ia dapat ditarik naik. Ia terluka dibeberapa tempat, syukur tidak hebat. Kemudian, dengan perdengarkan pekikan berulang-ulang, ia

tunjuki tangannya kepada Sin Tjie.

Sin Tjie heran apabila ia dapati ditelapakan tangan kedua orang hutan itu nancap dua rupa benda luar biasa, ketika ia coba cabut, benda itu nancap keras, Siauw Koay sendiri menjerit- jerit keras, rupanya sangat kesakitan. Benda itu susah dicabut. "Apa mungkin ada musuh disini?" Sin Tjie tanya diri- nya sendiri. Ia menjadi curiga dengan tiba-tiba. Lalu, dengan tanda- tanda tangan, ia tanya Siauw Koay, siapa yang sudah serang padanya. Dengan menggerak- gerakkan kedua tangannya, Siauw Koay beritahu bahwa ketika ia ulur tangannya kearah dalam gua, ia kena sambar atau tertusuk benda itu. Bukan main herannya ini anak muda. Bagaimana dalam gua itu ada senjata rahasia? Sebab benda luar biasa itu tak lain tak bukan, mesti senjata rahasia adanya. Tidakkah gua itu jauh dari sana-sini? Dengan masih terus merasa aneh, Sin Tjie ajak A Pa dan dua binatang piaraannya itu untuk cabut benda aneh itu, yang pun ia kasih lihat. Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang turut merasa aneh. "Aku gemari senjata rahasia, pernah aku lihat pelbagai bentuk senjata rahasia dari lain-lain orang, tetapi yang seperti ini, mirip ular, inilah yang pertama kali," menyatakan Bhok Siang. "Lao Bok, kali ini runtuhlah aku dari ujian..."

"Coba keluarkan dulu," usulkan Bok Djin Tjeng. Bhok Siang masuk kekamarnya, untuk ambil pisau kecil, dengan itu ia potong daging telapakan tangannya Siauw Koay, untuk keluarkan benda aneh itu.

Siauw Koay tahu orang hendak tolong dia, dia tidak berontak. Setelah benda dicabut, lukanya diobati dan dibungkus. Ia nampaknya merasa puas, sedang Tay Wie lantas usap-usap dia dan carikan dia kutu.....

Dua potong senjata rahasia itu panjang- nya masing-masing dua tjoen delapan hoen, berbentuk kepala ular dengan lidah diulur keluar, lidahnya bercagak tiga, setiap cagaknya tajam. Seluruh tubuh ular berwarna hitam gelap, kotor dengan lumut, tapi kapan Bhok Siang telah keriki lumutnya, tertampaklah sepotong benda mengkilap - emas! "Pantas timbangannya berat, kiranya terbuat dari emas," kata imam ini. "Sungguh berbahagia orang yang menjadi pemilik senjata rahasia ini! Sekali menggunai, dia buang emas beberapa tail..."

Sekonyong-konyong Bok Djin Tjeng ter- peranjat sendirinya, lalu ia berseru: "Inilah senjata rahasia Kim Coa Long- koen!"

"Kim Coa Long-koen?" menegaskan Bhok Siang sambil melengak. Ia berdiam sebentar, akan melanjuti sesaat kemudi- an: "Kau maksudkan Hee Soat Gie? Bukankah, kabarnya, dia telah meninggal dunia sejak belasan tahun jang lampau?" Dia Baru mengucap demikian, atau dengan roman kaget, dia berseru: "Tidak salah, benar dia!"

Imam ini lantas bulak-balik senjata rahasia model ular itu, lalu dibagian perutnya ia tampak satu ukiran huruf "Soat". Huruf ini kedapatan pada sen- jata rahasia yang kedua. "Soehoe, siapa itu Kim Coa Long-koen?" tanya Sin Tjie pada gurunya, yang masih tercengang, hingga sejak tadi, guru ini diam saja.

"Nanti saja aku beri keterangan kepada- mu," sahut sang guru kemudian. "Tootiang, coba bilang, kenapa senjata rahasianya bisa berada dalam gua itu?"

Bhok Siang Toodjin tidak menjawab, dia hanya berdiam berpikir. Disebelahnya merasa aneh, dua sahabat itu nampaknya jadi tegang sendirinya. Karena ini,

Sin Tjie tidak berani menanyakan terle- bih jauh. Malam itu, habis bersantap, Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang duduk pasang omong. Sin Tjie mendengari de- ngan diam saja, karena ia tak mengerti apa yang diomongi itu. Ia melainkan

perhatikan kata-kata "pembunuhan karena permusuhan" dan "pembalasan dendaman".

Pun ada kata-kata rahasia lainnya, yang gelap untuknya. "Jadinya," kemudian kata si imam tiba-tiba," Kim Coa Long-koen telah datang kemari untuk menyingkir dari musuh-musuhnya?"

Jawaban Bok Djin Tjeng ada menyimpang. "Melihat kepandaiannya, sebenarnya tak ada perlunya dia jauh-jauh dari Kanglam menyingkir dan sembunyikan diri ketem- pat sunyi ini."

"Apa mungkin dia masih belum mati?" Bhok Siang tanya pula. "Dia adalah seorang luar biasa," sahut Bok Djin Tjeng. "Selama ini kita cuma dengar

namanya belum pernah kita menemui sendiri kepadanya. Orang bilang dia telah meninggal dunia tetapi siapa juga tidak tahu kenapa dan cara bagaimana dia meninggalnya."

"Dia memang aneh sepak terjangnya...." Sang imam menghela napas. "Ada kalanya dia telengas sekali, ada kalanya dia mulia dan berbudi, sehingga apa dia jahat, apa dia baik, orang melainkan bisa menduga-duga saja. Beberapa kali pernah aku mencoba cari dia, tetapi senantiasa gagal..."

"Sudah, tak perlu kita main duga-duga saja," memutus Bok Djin Tjeng. "Besok kita pergi ke guanya untuk melihat- lihat!" Dan besok paginya Bok Djin Tjeng ajak Bhok Siang Toodjin, Sin Tjie dan A Pa, dengan membekal senjata dan dadung, pergi kejurang yang kemarin. Sin Tjie hunjuki dimana letaknya gua.

"Hati-hati," pesan Bok Djin Tjeng, ketika Bhok Siang nyatakan dia suka turun untuk memasuki gua itu. Kemudian si imam libat pinggangnya dengan dadung dan kawannya, bersama si gagu, kerek dia turun secara pelahan-lahan. Didepan mulut gua, Bhok Siang berhenti, segera ia mengawasi kedalamnya. Ia tampak

kabut, hingga sekalipun tanah tak ter- lihat tegas. Diam-diam hatinya bercekat walaupun dia ada satu jago, jang telah luas pengalamannya. Ia mengawasi terus. Biasanya, di tempat gelap, lamaan mata orang menjadi biasa, tetapi disini, imam itu rasai malah semakin guram. Ia hanya merasa, gua ini mestinya dalam sekali. Ia pun menduga-duga apa tubuh- nya muat apabila ia coba memasuki gua itu....

Bhok Siang tak mau mundur dengan begitu saja. Ia lantas bungkus sebelah tangan- nya, lalu ia ulur itu kedalam gua. Ia memasukinya dengan pelahan-lahan. Sege- ra ia merasakan tangannya membentur suatu benda tajam dimulut gua - benda yang nancap dimulut gua itu. Ia duga itu adalah Kim-Coa-tjoei -"bor ular emas". Ia mencabut semuanya, jang ber- jumlah empat belas biji. Ia ulur tangannya lebih jauh, sampai pipinya mengenai mulut gua, ia tidak meraba lain benda. Sampai disitu Barulah ia kuatir, orang-orang diatas, yang

menahani tubuhnya, nanti lelah. "Tarik aku!" ia perdengarkan suara seraya ia mengedut. Bok Djin Tjeng dengar suara itu, ia menarik dengan pelahan-lahan.

Lagi kira dua tumbak sampai diatas, setelah kakinya dapat injak batu dilamping jurang itu, Bhok Siang menjejak, dengan begitu, cepat sekali ia telah sampai diantara kawan-kawan- nya. "Lihat ini!" berseru ia kepada Bok Djin Tjeng, sambil ia perlihatkan ta- ngannya dalam mana tergenggam empat- belas benda tajam, dan aneh jang seperti didapati Siauw Koay. "Lauw

Bok, kita dapat harta karun! Emas begini banyak!..." ia tertawa.

Sebaliknya dari sahabat itu, Bok Djin Tjeng perlihatkan wajah sungguh2.

"Ini hantu simpan bendanya di dalam gua, apakah maksudnya?" kata dia kemudian. "Ada benda apa lagi didalam gua itu? Nanti aku pergi lihat...."

"Percuma kau pergi melihat," kata Bhok Siang. "Mulut gua ada terlalu kecil, tubuhmu tak muat dalam itu!"

Bok Djin Tjeng berpikir, ia diam saja. Ia tunduk. "Soepeh, apakah bisa aku yang pergi?" tiba-tiba Sin Tjie tanya.

"Mungkin kau bisa," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Jurang ada begini dalam, apa kau berani?"

"Aku berani, soepeh," jawab bocah itu. "Soehoe, aku yang pergi boleh tidak?"

Bok Djin Tjeng masih asyik berpikir dalam hatinya ia bilang : "Orang kang-ouw gaib itu simpan senjata rahasianya didalam gua sini, mesti ada maksudnya, maka jikalau gua itu tidak dicari tahu terlebih jauh, sungguh sayang...Akan tetapi siapa tahu, ada tersembunyi ancaman bencana apa dida- lamnya? Kalau bocah ini diantap pergi seorang diri, tidakkah itu ada menguatirkan?...." Kemudian ia jawab muridnya : "Aku kuatirkan bencana dalam

gua..."

"Aku bisa waspada, soehoe," sang murid mendesak. Melihat murid itu demikian berani dan bernapsu, akhirnya sang guru manggut. "Baiklah," ia beri ijin akhir- nya. "Tapi kau mesti coba dulu. Kau nyalakan api, umpama api itu mati, jangan kau paksa masuk!"

"Aku mengerti, soehoe," kata sang murid, yang segera persiapkan sebatang obor, sedang pedangnya ia tidak lupa- kan. Ia cekal pedang ditangan kanan dan obor ditangan kiri. Lebih dahulu dari- pada itu, ia ikat pinggangnya dengan dadung. Kapan dadung telah diulur tu- run, cepat sekali Sin Tjie telah sam- pai dimulut gua. Ia turut pesan guru- nya, paling dulu ia sodorkan obor keda- lam gua. Ia dapatkan obornya tidak

padam, hal ini membuat ia girang. Maka lantas, dengan hati-hati, ia merayap masuk kedalam gua itu. Dadung diping- gangnya ia tidak loloskan. Ia mesti jalan sambil merayap, setelah kira sepuluh tumbak lebih, terowongan mulai mendaki. Ia maju terus, kira setumbak lebih, Baru ia sampai ditempat terbuka dimana ia bisa bangkit berdiri. Ia tidak takut, ia maju terus. Sebentar saja, anak ini lihat jalan menikung. Ia semakin waspada, ia maju sambil cekal

keras pedangnya. Ketika ia telah lalui tiga tumbak, ia menghadapi sebuah kamar batu. Ia hampirkan mulut pintu, ia me- nyuluhi dengan obornya. Tiba-tiba ia terperanjat, sampai ia keluarkan keri- ngat dingin. Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar, ada satu rerong- kong manusia, lengkap dengan kepala dan tangannya, dan kedua tangannya rebah diatas pangkuan. Dengan hati memukul, Sin Tjie awasi tulang-ulang manusia itu, setelah itu baru ia memandang kesekitar kamar. Syukur untuk ia, disitu tidak ada lagi lain pemandangan

yang mengerikan. Malang-melintang ditanah didepan rerongkong itu ada belasan kim-coa-tjoei. Disamping

rerongkong ada terletak sebuah pedang. Ditembok kamar ada sederetan gambar ukiran dari tubuh manusia lengkap, cuma sikapnya berlainan, kakinya dipakai menendang, mirip dengan orang yang lagi berlatih silat. Ia awasi semua gambar itu, ia perhatikan, tak mengertilah ia. Entah apa maksudnya gambar-gambar itu.

Di ujung dari gambar ukiran yang peng- habisan, dengan diukir juga, ada bebe- rapa baris dari enambelas huruf. Sin Tjie dekati, lalu ia membaca. Begini bunyinya: "Mustika berharga, ilmu rahasia, diberikan kepada yang berjo- doh. Siapa masuk dalam pintuku, menemui bencana jangan penasaran."

Sin Tjie masih hendak perhatikan kamar itu ketika ia dengar samar-samar suara orang memanggil, lantas ia bertindak keluar, tempo ia sampai ditikungan, ia kenali suaranya Bhok Siang Toodjin, yang masih memanggil-manggil namanya. Lantas ia menyahuti, terus ia merayap keluar. Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang, diatas jurang, menantikan sekian lama, selama itu, mereka pun ulur dadung makin lama makin panjang, karena itu, setelah menantikan pula sekian lama, sang murid masih belum kembali, ke- duanya berkuatir. "Nanti aku lihat," kata Bhok Siang, yang lantas saja merayap turun. Ia tidak bisa masuki

terowongan, maka dari mulut itu, ia teriaki muridnya berulang-ulang. Ia merasa hatinya lega kapan ia dengar jawaban muridnya, yang pun lantas keluar. Dengan satu tanda, Bok Djin Tjeng dan A Pa tarik dadung, maka dilain saat, dua-dua Bhok Siang dan Sin Tjie kembali diantara mereka, tetapi Sin Tjie dengan pakaiannya kotor dan

mukanya berlepotan debu dan lumut. Bocah ini pun perlihatkan roman tegang.

Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang duga anak ini menghadapi suatu apa yang luar biasa, dari itu mereka antap orang tetapkan hati. Lagi sesaat Barulah Sin Tjie bisa tuturkan apa yang ia tampak dalam kamar batu gua itu. "Tidak salah lagi, rerongkong itu mesti ada rerong- kong Hee Soat Gie," berkata Bok Djin

Tjeng. "Aku tidak sangka, seorang kosen luar biasa bisa akhirkan penghidupannya

ditempat ini. Sungguh sayang...."

"Apakah artinya pesanannya enam-belas huruf itu?" tanya Bhok Siang. Bok Djin Tjeng berdiam sesaat, Baru ia menjawab.

"Kelihatannya Kim Coa Long-koen mesti simpan benda berharga, entah mustika apa," berkata dia. "Dia mempunyai ilmu silat yang liehay sekali, mestinya ia tinggalkan itu dalam guanya, setahu dengan cara apa. Mungkin dia nantikan orang jang berjodoh dengannya untuk hadiahkan warisannya itu. Dia ada se- orang dengan tabiat koekoay sekali, rupanya dia anggap, siapa nanti peroleh warisannya itu, ialah jang dianggap sebagai muridnya. Dengan kata pintuku', tentu dia maksudkan golongannya. Tapi mungkin juga, didalam kamarnya itu ada suatu ancaman malapetaka...."

"Melihat bunyinya pesan, itu mungkin benar," kata Bhok Siang. "Hanya entah keanehan apa adanya itu..."

Bok Djin Tjeng menghela napas, lalu ia kata: "Kita tak harap warisan ilmu silat dan mustikanya itu, tetapi, Sin Tjie, besok pergilah kau memasuki pula gua ini, kau mesti galikan lobang, untuk kubur rerongkong Kim Coa Long- koen, yang kita hormati sebagai

tjianpwee, orang yang tertua. Kau mesti nyalakan lilin dan pasang hio dan hunjuk hormatmu sambil berlutut. Secara begini kita jadi hormati dia."

Sin Tjie manggut, ia suka dengar perka- taan gurunya itu. Bhok Siang Toodjin pun setuju pikiran sahabatnya itu.

Besoknya pagi Sin Tjie pergi pula kejurang dengan bekal juga pacul. Ia pergi berdua saja sama A Pa, si gagu. Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang tidak turut, karena mereka anggap, gua itu tidak ada bahayanya. Sin Tjie bekal tiga batang obor, karena ia tahu ia bakal berdiam lama didalam gua. A Pa kerek turun anak ini. Dengan cepat Sin Tjie dapat merayap ke tikungan dimana ia bisa bangun untuk berdiri, terus saja ia hampirkan kamar. Paling dulu ia gali lobang didekat pintu, untuk pendam

obornya, supaya ia tak usah pegangi terus obornya itu, dengan begitu, ia bisa bergerak dengan leluasa. Habis itu Barulah ia hadapi rerongkong Kim Coa Long-koen. "Soehoe bilang dia ada seorang kosen luar biasa, entah kenapa dia menutup mata disini," ia berpikir. "Setelah dia meninggal dunia, tak ada orang kubur mayatnya, sungguh kasihan...."

Bocah ini lantas jatuhkan diri didepan rerongkong itu, untuk paykoei.

"Teetjoe ada Wan Sin Tjie," berkata ia dalam hatinya, setelah ia manggut beberapa kali, "dengan kebetulan saja, teetjoe dapat menemui jenasah tayhiap ini. Hari ini ingin teetjoe kubur jenasah tayhiap, harap tayhiap nanti beristirahat dengan tenang dan kekal disini..."

Baru habis Sin Tjie hunjuk hormat itu, dari arah luar gua telah mengembus angin dingin, yang rupanya meniup dari dalam jurang, sampai hawa dinginnya membuat ia bergidik, bulu romanya pada bangun berdiri. Habis itu, Sin Tjie lantas mulai menggali lobang. Ia tadi- nya duga, tanah didalam kamar itu mes- tinya keras, siapa tahu, begitu ujung pacul mengenai tanah, hatinya menjadi lega. Tanah itu empuk. Karena ini, ia bisa bekerja dengan cepat. Tiba-tiba terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda udjung pacul mengenai

barang keras, mungkin besi. Untuk dapat kepastian, Sin Tjie ambil obor, untuk dipakai menyuluhi dekat-dekat. Segera ia dapatkan selembar papan besi. Ia memacul terus tanah disekitar besi lembaran itu, kemudian ia angkat besinya. Dibawah lembaran besi itu ada sebuah peti besar dua kaki persegi.

Dengan dorongan perasaan ingin tahu, Sin Tjie angkat peti besi itu, yang tingginya kira-kira satu kaki. Beratnya peti itu tidak luar biasa, maka itu bisa diduga, isinya mesti tak banyak.

Oleh karena tutup peti tidak dikunci, dengan gampang Sin Tjie dapat buka itu. Peti itu cetek sekali, hingga Sin Tjie menjadi heran. "Heran," pikir si anak muda. "Peti besar dan tinggi, kenapa dalamnya cetek?"

Didalam peti terletak selembar sampul diatas mana ada tulisan delapan huruf besar, yang berbunyi : "Siapa dapati petiku, boleh buka surat ini."

Melihat demikian, Sin Tjie jumput sampul itu, untuk dibuka dan keluarkan suratnya, yang warnanya sudah berubah menjadi kuning-dekil. Ia beber surat itu, lantas ia baca: "Barang dalam peti ini, diwariskan kepada yang berjodoh. Hanya siapa dapatkan peti, mesti lebih

dahulu kubur tulang-tulangku."

Bersama surat itu, didalam sampul, ada dua sampul lain, sampul-sampul yang lebih kecil. Diatas sampul yang satu tertulis: "Aturan membuka peti". Diatas sampul yang kedua ada tulisan : "Cara- cara mengubur tulang- tulangku". Setelah membaca ini Baru Sin Tjie tahu, peti itu ada lapisannya. Lantas ia angkat peti itu untuk digoyang-goyang. Sekali ini, ia dengar suara apa-apa dari dalam peti. Didalam hatinya, bocah ini kata : "Aku melainkan berkasihan rerongkongnya terlantar, maka aku kubur padanya, sama sekali aku tidak ingin temahai barang- barangnya." Lantas Sin Tjie buka sampul jang bertulisan "Cara- cara mengubur tulang- tulangku". Didalam situ ada selembar kertas putih dengan tulisannya : "Djikalau kamu bersungguh-sungguh hati hendak mengubur tulang-tulangku, setelah menggali lobang, tolong gali lebih jauh tiga kaki dalamnya, disitu Barulah pendam aku. Dengan aku berdiam lebih dalam ditanah, dapatlah aku bebas dari gangguannya segala kutu dan semut."

Setelah membaca, Sin Tjie berkata dalam hatinya: "Aku hendak jadi orang baik, tak boleh aku kepalang tanggung, baik aku turuti pesannya."

Dan ia angkat pula paculnya, untuk menggali lebih jauh. Kali ini tanah itu kecampuran batu, tidak gampang untuk memacul leluasa seperti tadi, maka tak perduli dia telah berlatih, bocah ini toh mandi keringat. Ketika ia menggali dalam hampir tiga kaki, mendadakan ujung paculnya membentur pula suatu benda keras, hingga terdengarlah suara nyaring. Karena tadi telah dapati pe- ngalaman, walaupun ia merasa heran, Sin Tjie gali terus tanah itu. Kembali ia dapati sebuah peti besi, jang terlebih kecil, cuma satu kaki persegi. "Orang gagah luar biasa ini benar-benar koekoay," pikir dia. "Entah apa lagi dia simpan dalam peti ini." Ia angkat peti, yang ia bisa buka dengan gampang. Kembali ia lihat selembar kertas jang

ada tulisannya. Apabila ia sudah baca bunyinya, ia kaget hingga ia mandi keringat dingin. Surat dari peti yang kecilan berbunyi sebagai berikut: "Kau benar-benar ada seorang baik hati dan jujur. Karena kau urus penguburanku, sudah selayaknya aku balas kebaikanmu

dengan barang mustika dan ilmu kepanda- ian rahasia. Jikalau peti jang besar dibuka, dari dalamnya bakal menyambar keluar anak-anak panah beracun. Surat dan peta yang berada didalam peti itu pun palsu semuanya, malah ada racunnya juga. Itu semua ialah untuk ajar adat kepada orang-orang jahat. Barang yang tulen berada dalam peti kecil ini."

Sin Tjie insyaf, ia tidak mau sia- siakan tempo lagi. Ia letaki kedua peti dipinggiran, ia rapikan lobang galian- nya itu, lalu dengan sikap menghormat, ia pindahkan tulang-tulangnya Kim Coa Long-koen, akan diletaki dengan hati- hati, sesudah mana, ia uruki dengan tanah, atasnya ia bikin rata, setelah ini, ia kembali soja-koei beberapa kali. Sampai disitu, selesailah sudah ia dengan kewajibannya sebagai "ahli waris", maka dengan pondong kedua peti, Sin Tjie bertindak keluar kamar, terus sampai ditikungan. Disini sekarang ia bisa lihat segala apa dengan nyata, karena hatinya lega bukan main. Ia

dapatkan mulut gua tersusun batu, rupanya sengaja Kim Coa Long Koen atur demikian, untuk mencegah orang masuk kedalam guanya ini. Ia lantas singkir- kan semua batu itu, hingga disitu jadi terbuka satu terowongan yang cukup lega. Ia buka gua ini supaya besok

lusa ia bisa ajak kedua gurunya masuk kesitu untuk memeriksa. Sesampainya dimulut terowongan, Sin Tjie memanggil A Pa sambil tarik dadung, maka dilain saat ia sudah dikerek naik oleh sigagu. Lekas-lekas ia lari pulang, untuk menemui kedua gurunya. Ketika itu Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin sedang main catur, mereka tunda perma- inannya, akan dengari penuturannya murid mereka. Sin Tjie menuturkan segala apa dengan jelas. Bhok Siang lihat surat-surat itu, diam-diam dia terperanjat dalam hatinya. Bok Djin Tjeng pun dapat perasaan sebagai dia. Kemudian ia buka sampul yang bertulis- kan "Aturan membuka peti", ia ambil suratnya, untuk dibaca, begini: "Dikiri dan kanan peti ini ada pesawat rahasia- nya, maka itu, untuk membukanya, peti mesti dipegang dengan kedua tangan dan dibukanya dengan keras dan berbareng, Baru tutupnya akan terbuka."

Bhok Siang Toodjin dan Bok Djin Tjeng mengulurkan lidah mereka saking kagum. Itulah hebat. "Jiwanya Sin Tjie seperti telah dihidupkan pula!" berkata imam itu. "Coba dia temaha sedikit saja, dia tidak kubur dulu jenasah dan lantas mendahului membuka peti, tentu anak- anak panah beracun tidak akan beri dia ampun!...."

Ia lantas suruh si gagu ambil sebuah tong besar, dikiri dan kanan itu, kira sebatas peti besi, dia bikin dua lobang, kemudian peti itu diletaki dalam tong itu, terus atasnya tong

ditutup dengan papan tutupannya.

"Mari," Bhok Siang mengajak Sin Tjie.

Berdua mereka masuki sebelah tangan mereka masing-masing kedalam lobang tong, untuk pegangi peti dibagian pentolannya, lalu dengan beri tanda, keduanya menarik dengan berbareng, dengan dikageti. Menyusul itu terde- ngarlah satu suara menjeblak. Itulah rupanya, ada tanda dari terbukanya lapisan yang kedua. Lalu menyusul itu

terdengar dua rupa suara beruntun, berbunyi seperti barang nancap dan nyaring "dung,dung", hingga tong itu sedikit menggetar. Sin Tjie tunggu sampai suara sudah berhenti, ia hendak buka tutup tong itu. "Tunggu!" Bok Djin Tjeng mencegah sambil tarik lengan muridnya. Baru guru ini tutup mulutnya atau segera terdengar suara susulan seperti barusan. Masih Bok Djin Tjeng menunggu sekian lama, Baru ia buka tutup tong, untuk dibalik, maka untuk keheranan mereka, mereka dapati tutup tong itu tertancap banyak anak panah,

sampai beberapa puluh batang. Pat Tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng ambil jepitan, untuk jepit dan cabut bergan- tian semua gandewa itu, yang ia letaki dipinggiran. Ia takut untuk cekal semua senjata itu. Melihat semua itu, Bhok Siang Toodjin menghela napas. "Ini orang pandai memikir dalam sekali," memuji dia. "Rupanya dia kuatir, dengan

penyerangan pertama saja, penyerangan- nya itu nanti gagal, maka ia atur serangan susulannya yang kedua kali...."

Lantas imam ini, Kwie-Eng-Tjoe si Bajangan Iblis, jumput keluar peti besi dari dalam tong itu, maka dapatlah mereka lihat, setelah lapis yang kedua terbuka, didalam situ ada kawat-

kawat malang-melintang. Terang itu ada kawat-kawat yang merupakan pesawat, yang membikin anak-anak panah bisa melesat menyambar sendirinya sebagai kesudahan dari ditariknya per rahasia.

Dengan gunai jepitan, Kwie-Eng-Tjoe Bhok Siang Toodjin singkirkan semua kawat itu, disebelah bawah itu ia tampak sejilid buku dengan kalimatnya "Kim Coa Pit Kip", atau "Kitab Rahasia Kim Coa". Dengan "Kim Coa", Ular emas, pasti dimaksudkan Kim Coa Long-koen.

Dengan terus gunai jepitan itu, Bhok Siang balik beberapa halaman dari kitab rahasia itu, didalamnya kedapatan tuli- san huruf-huruf kecil berikut rupa- rupa gambar atau peta, juga peta bumi. Sejumlah gambar orang memperlihatkan pelbagai sikap latihan silat. Gambar-

gambar lainnya adalah contoh rupa-rupa alat senjata. Semua orang tonton kitab itu dengan kekaguman. Habis itu, Bhok Siang buka peti besi yang kecil, yang tidak pakai pesawat rahasia lagi, isi- nya adalah sebuah kitab serupa seperti kitab yang pertama itu, sama ukuran dan

romannya, sama kalimatnya, akan tetapi kapan telah dibalik-balik lembarannya, isinya beda dari kitab yang pertama itu: beda tulisannya, gambarnya, peta- nya. Yang belakangan ini adalah kitab yang sejati. "Benar-benar Kim Coa Long- koen sangat luar biasa," memudji Bok Djin Tjeng, si Lutung Sakti Tangan Delapan. "Untuk menghadapi orang jang tak sudi kubur rerongkongnya, dia

telah asah otaknya membuat ini kitab palsu serta panah rahasianya yang beracun. Bukankah ia telah menutup mata? Kenapa ia bersiaga begini rupa terhadap orang yang masih belum diketahui bermaksud buruk atau baik?"

"Dia adalah seorang, yang bisa dianggap cupat pandangannya," menyatakan Bhok Siang Toodjin, "maka juga ia telah dapatkan hari akhirnya begini rupa."

Bok Djin Tjeng manggut-manggut, ia menghela napas pula. "Sin Tjie, pergi simpan kedua peti besi ini berikut semua isinya," kemudian kata sang guru

kepada muridnya. "Kim Coa Longkoen berpemandangan sempit, kitabnya ini tidak ada faedahnya untuk dibaca."

Sin Tjie turut kata gurunya, ia benakan kedua buku, ia tutup kedua peti, lalu ia bawa pergi untuk disimpan. Sejak itu bocah ini lanjuti latihan silatnya dengan ber-tambah-tambah rajin, Bhok Siang sangat sayangi dia hingga dia diwariskan kepandaian ilmu entengkan tubuh dan senjata rahasia, tak ada yang guru kedua ini sembunyikan. Karena habis itu, selang beberapa bulan, imam ini pamitan untuk turun gunung, buat kembali hidup berkelana. Sin Tjie merasa berat untuk berpisahan tapi tak dapat ia mentjegah guru ini. Maka

selanjutnya, ia belajar terus dibawah pimpinan tunggal dari gurunya. Bok Djin Tjeng juga telah wariskan kepandaiannya kepada muridnya ini yang berbakat dan rajin dan ulet, hingga beberapa tahun telah lewat seperti tanpa dirasai. Maka akhirnya, ketika sampai ditahun keenam- belas dari Kaisar Tjong Tjeng dari ahala Beng, Sin Tjie telah masuk usia

dua-puluh tahun. Setelah sepuluh tahun lebih terlatih, sekarang Sin Tjie telah punyakan kepandaian yang berarti. Dari Bok Djin Tjeng ia peroleh terutama ilmu silat pedang Hoa San Pay, sedang dari Bhok Siang Toodjin, ia dapatkan ilmu entengkan tubuh dan senjata rahasia biji catur (wie-kie-tjoe). Ia jadi telah gabung-warisan ilmu kedua kaum. Tapi sementara itu, sudah belasan tahun ia tak pernah turun gunung, maka menge- nai urusan dunia, ia ada gelap sekali, kecuali jang ia dapat dari penuturan- penuturan kedua gurunya, sedang seba- liknya, dunia kang-ouw juga tak tahu yang kaum Hoa San Pay telah punyakan satu murid-penutup seperti anak muda ini. Pada suatu pagi dari permulaan musim semi, selagi Sin Tjie berlatih silat dengan Tay Wie dan Siauw Koay temani dia, tiba-tiba A Pa muntjul dari dalam seraya terus gerak-gerakkan ta- ngannya. Ia mengerti, tentulah gurunya panggil padanya, tidak ayal lagi, ia berhenti berlatih, dengan cepat ia bertindak masuk kedalam kamar gurunya. Untuk keheranannya, ia dapati dua orang asing, yang tubuhnya besar, berdiri disamping gurunya itu. Ia heran kare- na ia tahu, kecuali Bhok Siang Toodjin, lain orang belum pernah mendaki puncak

tertinggi dari gunung Hoa San ini. Ia pun tidak kenal dua orang itu. "Sin Tjie, inilah Ong Toako dan ini Kho Toako," berkata sang guru begitu ia tampak munculnya murid itu. "Mari kamu bikin pertemuan." Karena disebutnya panggilan "toako", Sin Tjie duga dua orang itu adalah sahabat-sahabat guru- nya, ia lantas maju mendekati untuk memberi hormat sambil bersoja-koei seraya memanggil : "soesiok!"

Tapi dua orang itu lekas-lekas paykoei, untuk balas kehormatan itu, seraya ber-ulang-ulang mereka kata: "Tak berani aku terima hormat ini, Wan Soesiok, silakan bangun!"

Sin Tjie melengak. Dia panggil mereka soesiok (paman guru), sekarang mereka panggil dia soesiok juga! Tidakkah itu aneh? Bok Djin Tjeng tertawa berkakak- an. "Kamu semua bangun!" berkata dia.

Anak muda itu lantas berbangkit, untuk pandang dua tetamu itu, hingga sekarang ia bisa melihat lebih tegas: Mereka dandan sebagai orang tani, nampaknya mereka gesit, melainkan wajahnya tegang atau likat. Pat Tjhioe Sian-wan tertawa pula, tapi sekarang sambil terus ber- kata kepada muridnya itu: "Belum pernah kau turut aku turun gunung, karena itu kau tidak tahu berapa tinggi tingkat- derajatmu. Kamu bertiga tak usah seedjie dan main soja-koei terhadap satu dengan lain, tak usah juga kamu saling memanggil soesiok. Baiklah kamu memanggil saudara satu sama lain menuruti usia kamu masing-masing."

Nyata kedua orang she Ong dan she Kho itu ada saudara-saudara seperguruan, Bok Djin Tjeng itu ada soesiok, paman guru mereka, meski benar mereka ter- lebih tua sedikit daripada Sin Tjie; dalam hal derajat, Sin Tjie ada lebih tinggi setingkat. "Kedua toakomu ini datang dari Shoasay atas titahnya Tjiangkoen Lie Tjoe Seng," sang

guru menerangkan pula. "Di Shoasay ada urusan penting yang mesti dirundingkan, maka itu besok aku mesti turun gunung."

Sin Tjie heran tapi ia tidak mencegah.

"Soehoe, aku toh boleh turut, supaya aku bisa lihat Tjoei Siokhoe?" mohon dia, yang tidak bisa lupai paman-angkat itu. Pernah beberapa kali ia minta turun gunung akan sambangi sang paman, saban-saban gurunya ini mentjegah.

Mendengar permintaan muridnya itu, Bok Djin Tjeng tertawa. Kedua pemuda she Ong dan Kho itu duga guru dan murid itu hendak bicara, mereka minta perkenan, lantas mereka pergi keluar. Segera juga sang guru berkata pada muridnya: "Sekarang ini tentara rakyat sedang maju, kedua propinsi Siamsay dan Shoasay bakal lekas dirampas pihak kita, maka itu sekarang ada ketikanya untuk kau turun gunung, buat sekalian menuntut balas kepada musuh ayahmu. Kau telah minta perkenan buat kau pergi bunuh kaisar Tjong Tjeng, aku selalu

menolaknya, kau tahu apa sebabnya?"

"Mungkin, karena kepandaianku belum cukup," sahut sang murid. "Itu ada salah satu sebab," jawab sang guru. "Masih ada satu sebab lain, jang ter- lebih penting. Kau duduk, mari kita bicara pelahan-lahan." Sin Tjie menurut, ia duduk didepan gurunya.

"Selama beberapa tahun ini, suasana di tapal batas ada tegang sekali," mene- rangkan Bok Djin Tjeng. "Bangsa Boan kandung maksud jang tak dapat kita duga-duga, tidak ada satu hari yang mereka lewatkan tanpa niat menerjang masuk ke Tionggoan. Kaisar Tjong Tjeng

memang senantiasa bersangsi, akan tetapi dibanding dengan kaisar-kaisar yang telah marhum, Kee Tjeng atau Thian Kee, dia masih terlebih baik. Umpama karena dendaman pribadi, kau nerobos kedalam istana, kau bunuh dia, maka penggantinya tentu puteranya yang belum dewasa. Dengan putera mahkota belum tahu apa-apa, pemerintahan pasti bakal terjatuh kedalam tangannya menteri kebiri. Apabila ini sampai terjadi, aku kuatir Negara kita bakal terampas lain bangsa. Dengan begitu, tidakkah kau bakal jadi rakyat yang paling berdosa? Marhum ayahmu berkorban selagi menang- kis serangan bangsa Boan, cita-citanya adalah merampas Liauw-tong, sekarang didunia baka, apabila dia ketahui perbuatanmu, pasti dia akan murka dan akan kutuk kau sebagai anak poet-tiong

poet-hauw!" (tak setia dan tak berbakti). Sin Tjie terkejut, hingga ia mandi keringat dingin. "Urusan Negara adalah urusan besar, urusan pribadi adalah urusan kecil," menjelaskan pula sang guru. "inilah sebabnya kenapa aku cegah kau pergi bunuh kaisar Tjong Tjeng. Akan tetapi keadaan sekarang ada lain. Giam Ong bakal segera rampas Siamsay dan Shoasay, mungkin dalam satu atau dua tahun dia akan duduki ibu kota Pakkhia. Apabila cita-cita ini tercapai, Giam Ong yang bakal pegang pimpinan. Setelah rakyat semua bersatu padu, kenapa kita mesti kuatirkan lagi bangsa Boan di Liauw Tong nanti terjang

kita?" Bergolak darah Sin Tjie mende- ngar kata-kata yang bersemangat dari gurunya itu. "Sekarang ilmu silatmu telah ada dasarnya," berkata pula sang guru. "Memang ilmu silat tidak ada batasnya, akan tetapi semua kepandaian- ku, aku telah wariskan kepadamu, maka

mengandal kepada dirimu sendiri, aku percaya kau akan bisa berbuat banyak. Kau tinggal membutuhkan latihan lebih jauh dan pengalaman, kau sudah boleh turun gunung. Besok aku akan berangkat, tak dapat kau turut langsung bersama, kau harus tunggu sampai satu bulan, lantas kau boleh berangkat sendiri, kau menuju langsung kedalam angkatan perang

Giam Ong di Shoasay untuk cari aku."

Sin Tjie girang, ia terima baik pesan guru itu. "Baik soehoe, aku menurut," kata dia. Bok Djin Tjeng telah beritahu banyak kepada muridnya ini tentang segala-galanya kaum kang-ouw, tapi sekarang, ia telah ulangi itu agar murid ini ingat poma-poma, kemudian ia

tambahkan: "Kau jujur dan berhati-hati, aku percaya kepadamu, tetapi kau masih muda, semangatmu sedang berkobar-kobar, maka pesanku sekarang adalah mengenai paras elok, kau mesti waspada luar biasa. Sudah banyak buktinya bagaimana orang gagah-perkasa rubuh ditangan orang perempuan, hingga tubuhnya berce- laka dan namanya rusak! Kau ingat ini baik-baik!" Sin Tjie terima pesan pen- ting dari gurunya ini. Besoknya pagi, belum terang tanah, Sin Tjie sudah bangun dari tidurnya, ia minta A Pa

nyalakan api dan masak nasi, sesudah barang makanan siap, ia pergi kekamar gurunya, untuk undang guru itu dahar, akan tetapi kapan ia sampai didalam kamar, ia dapatkan sebuah kamar kosong. Diluar tahunya, tadi tengah malam, guru itu sudah berangkat bersama-sama si Ong dan Kho, kedua soeheng itu. Bengong ia mengawasi pembaringan tak ada isinya dari gurunya. Tapi kapan ia ingat, segera juga ia bakal turun gunung, ia lari ke dapur, untuk beritahukan itu kepada A Pa, si empeh gagu. Ia ada sangat gembira, siapa tahu, A Pa sebaliknya berduka, dia putar tubuhnya dan ngeloyor keluar, meninggalkan

kawan ini. Menampak demikian, Sin Tjie jadi terharu. Si gagu ini ada kawannya sepuluh tahun lebih, mereka hidup rukun bagaikan saudara kandung, sekarang tiba-tiba mereka bakal berpisah, tidak heran A Pa lesu dan berduka. Ia pun, dengan memikir sekelebatan saja, tak ingin berpisah dari kawan ini....

Dengan cepat, delapan hari telah berselang, selama itu tetap Sin Tjie berlatih dengan rajin, hanya sekarang, kapan ia memandang sekitarnya, ia mera- sa berat akan tinggalkan gunungnya itu.

Malam itu, habis bersantap, ia duduk seorang diri menghadapi api. Ia pilih sejilid kitab gurunya, ia baca itu. Kira-kira satu jam kemudian, selagi ia hendak padamkan api, untuk tidur, A Pa bertindak masuk kedalam kamarnya, terus si gagu bicara dengan gerakan tangan kaki. Itu artinya, ada orang asing jang telah datangi tempat mereka. "Nanti aku lihat," kata Sin Tjie jang berniat ke- luar, tetapi A Pa cegah ia seraya beri tanda bahwa dia sudah memeriksa tapi orang asing itu tidak kelihatan bekas- bekasnya. Ia masih kuatir, ia keluar juga dengan ajak dua orang-hutannya. Ia meronda tanpa hasil, sekembalinya, ia lantas masuk tidur. Kira tengah malam, anak muda ini mendusin dengan kaget. Ia dengar suara berpekiknya Tay Wie dan Siauw Koay. Ia lantas berbangkit, akan duduk untuk pasang kuping. Mendadakan ia cium bau hio wangi, hingga ia ter- kejut dan dalam hatinya, berteriak:

"Celaka." Segera ia menahan napas, ia berloncat turun. Apamau, kedua kakinya hilang tenaganya, ia injak tanah dengan tubuh terhuyung-huyung, hampir saja ia rubuh. Berbareng dengan itu, pintu kamar tertembrak dari luar, terpentang karena satu dupakan keras, lalu satu bajangan lompat masuk, menyusul mana, sebuah golok menyambar kearah si anak muda. Sin Tjie rasai kepalanya pusing sekali, akan tetapi ia masih sadar, ia mencoba kuati diri, maka itu, ia dapat berkelit, akan egos bacokan, berbareng dengan mana, ia balas menyerang dengan tangan kanannya. Bajangan itu putar tangannya, untuk balik babat lengan lawan. Menghadapi musuh gesit itu, Sin Tjie tidak mau memberi ketika, ia nyamping dan menyerang pula dengan tangan kiri, hingga mengenai pundak orang itu. Dia telah gunai tenaga besar. Penyerang itu merasa kesakitan, tubuhnya limbung. Nampaknya ia heran, musuh jang telah terkena asap hio pulas, masih demikian gagah. Ia tentu telah rubuh jikalau tidak satu kawannya, yang menyusul masuk, tahan tubuhnya. "Dia gagah?" kawan ini tanya.

Sin Tjie tidak perdulikan musuh ada berdua, ia hendak menyerang terus, tetapi sekonyong-konyong kepalanya jadi sangat pusing, tidak ampun lagi, ia rubuh pingsan. Entah berapa waktu telah lewat, waktu ia mendusin, ia rasai seluruh tubuhnya lemas dan ngilu, keti- ka ia coba geraki tangan dan kakinya, ia kaget tidak terkira. Ia telah terbelenggu seluruh tubuhnya? Api dalam kamarnya terang, ia lihat dua musuhnya asyik geledah kamarnya, peti pakaiannya dibongkar. "Celaka," pikir ia, yang jadi mendongkol, berbareng masgul dan menyesal. Ia sesalkan diri tidak punya guna. Baru beberapa hari gurunya meninggalkan dia, dia sudah kena orang

serbu, dia kena dirubuhkan....Bagaimana nanti dia mampu menuntut balas untuk

ayahnya? Tapi ia sadar, maka ia lantas tutup kedua matanya, untuk berpura-pura belum mendusin dari gangguan hio pulas, untuk mengawasi gerak-gerik orang, ia buka sedikit matanya. Orang yang satu kurus kering, usianya lima-puluh lebih, kulit mukanya kering. Orang yang kedua ada satu pendeta yang tubuhnya besar dan gemuk. Melihat potongan tubuh dia ini, ia percaya dia adalah yang barusan bertempur dengannya. "Di gunungku ini ada barang berharga apa maka mereka datangi untuk dirampok?" pikir dia. "Ada juga uang lima-puluh perak  peni- nggalan soehoe, buat bekal aku dijalan?

Jangan-jangan mereka bukannya penjahat biasa....Pendeta ini kosen, si kurus juga tidak lemah, mungkin mereka hendak mencari balas, tetapi kenapa mereka tak lantas binasakan aku? Apa perlunya mereka menggeledah?"

Sembari berpikir, Sin Tjie coba kerah- kan tenaganya, untuk bikin putus pengi- kat tubuhnya. Ia tahu, dalam keadaan biasa, dadung itu tidak bisa rampas kemerdekaannya untuk selamanya. Baru ia mencoba atau ia mundur sendirinya, hatinya mendongkol dan kecewa. Dua orang tidak dikenal itu ada bangsa ahli, mereka tahu lawan liehay, diwaktu

membelenggu, mereka seling itu dengan sepotong bambu diantara kedua tangan, jikalau si korban berontak, sebelum dadung putus, bambu itu akan pecah terlebih dahulu, suaranya pasti meletak dan berisik, hingga orang akan ketahui percobaannya itu. Maka ia lantas berdi- am, untuk cari daya lain. Sekonyong- konyong si hweeshio jadi kegirangan.

"Disini!" ia berseru. Sin Tjie lihat, dari kolong pembaringan, pendeta itu seret keluar peti besi yang besar, peti

besi warisan Kim Coa Long-koen. Si kurus-kering menoleh, ia pun nampaknya jadi sangat girang. Berdua mereka lantas duduk disamping meja, mereka buka tutup peti, untuk keluarkan isinya, itu jilid kitab jang berkalimat "Kim Coa Pit Kip". Membaca kalimat itu, si gundul tertawa terbahak-bahak: "Benar-benar disini!" kata dia dengan nyaring. "Soeko, tak kecewalah usaha kita selama lima-belas tahun mencari ini!" Lantas dia balik lembarannya kitab itu, dia dapati banyak gambar lukisan serta huruf-huruf halus yang merupakan keterangannya, saking girang, kepalanya digoyang-goyang, dia garuk- garuk belakang kupingnya. Mendadak si kurus berseru: "Eh, dia mau lari?" Dia menunjuk kepada Sin Tjie. Anak muda ini terkejut, ia menduga orang pergoki ia telah sadar. Si hweeshio agaknya kaget, ia menoleh dengan segera. Sekonyong- konyong si kurus geraki sebelah tangan- nya, lalu sejenak saja, bebokongnya si

kepala gundul tertuncap pisau belati, yang masuk dalam sampai dibatas gagang- nya, sesudah mana, dia loncat minggir, untuk segera hunus pedangnya. Ia bersi- kap untuk bela diri, terutama mukanya, yang dialingi pedangnya itu. Si pendeta kaget, dia menoleh, dia tertawa meri- ngis. "Kita berdua saudara telah mencari lamanya lima-belas tahun, sekarang kita berhasil, lantas kau hendak kangkangi sendiri, kau turunkan tangan jahat....Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha!"

Itulah suara tertawa hebat dan seram sekali, sampai pun Sin Tjie bergidik.

Hweeshio itu ulur tangannya kebelakang, dia berniat mencabut pisau belati itu, akan tetapi tangannya itu tak dapat menyampaikannya. Mendadak dia menjerit, lantas dia rubuh terguling, dia berke- lejatan, lalu seluruh tubuhnya diam....

Si kurus kuatir kepada gundul ini belum mati, ia maju untuk menikam dua kali.

Sin Tjie kaget, hatinya mencelos, me- nampak orang demikian telengas terhadap saudara seperguruan sendiri. "Jikalau aku tidak bunuh kau, apa mungkin kau tak nanti bunuh aku? Hm!" demikian si

kurus perdengarkan suaranya. Rupanya ia curigai kawan itu, makanya ia turun tangan lebih dulu. Habis itu ia dupak dua kali tubuh gemuk dari si hweeshio..

Bab 5

Si kurus ini tidak lihat Sin Tjie sudah sadar, dua kali dia perdengarkan terta- wanya yang seram, lantas dia sentil sumbu lilin, untuk dibuang ujungnya, hingga apinya menjadi menyala terang sekali. Dia hampirkan meja, untuk balik lembarannya kitab "Kim Coa Pit Kip", lantas ia membaca. Suara bacaannya menyatakan ia ada sangat gembira dan puas, tubuhnya pun bergerak-gerak sedikit. Beberapa lembaran pula di- balik, antaranya ada halaman yang seperti nempel, lantas ia tempelkan jari tangannya di lidahnya, untuk dengan jari yang basah, bisa ia buka lembaran itu. Ia menyolet ludah di lidahnya sampai beberapa kali. Sin Tjie tetap mengintai, sampai tiba-tiba ia ingat, kitab itu ada racunnya. Dia duga, si kurus ini tentu bakal kera- cunan. Tanpa merasa, saking kaget, ia perdengarkan seruan tertahan.

Si kurus dengar suara orang, ia menoleh dengan segera justru Sin Tjie sedang buka kedua matanya, maka dapatlah ia lihat sinar mata yang seperti ketakutan dari si anak muda. Ia lantas berbang- kit, dengan tindakan pelahan, ia ham- pirkan tubuhnya si kepala gundul,

untuk cabut pisau belati dari bebokong- nya korban itu. Habis ini, dia dekati dua tindak pada Sin Tjie. "Kita berdua tidak bermusuhan akan tetapi hari ini tak dapat aku beri ampun padamu!"

kata dia dengan suara bengis, kedua matanya pun bersinar mengancam, kemu- dian sembari angkat pisau belatinya, ia tertawa secara iblis, sampai dua kali.

"Jikalau aku lantas bunuh kepadamu, sampai di akhirat, kau nanti belum tahu sebab-musababnya," berkata dia, yang sikapnya sangat mengancam. "Aku ada Thio Tjoen Kioe dari Tjio Liang Pay dari Kie-tjioe, Tjiatkang. Pihak kami Tjio Liang Pay dengan Kim Coa Long- koen ada musuh mati-hidup. Dia telah perkosa satu adik perguruan kita jang

perempuan, dia kabur kemari, untuk belasan tahun kami cari dia ubak- ubakan, siapa tahu, warisannya telah terjatuh kedalam tanganmu, bocah! Entah ada hubungan apa kau dengan Kim Coa Long-koen, yang terang kau pasti bukan orang baik-baik, maka itu, jikalau aku

binasakan kau, tak nanti kau penasaran, tapi umpama kau hendak menuntut balas setelah kau jadi hantu, kau boleh cari aku di Kie-tjioe! Ha-ha-ha-ha!..."

Si kurus ini belum tutup mulutnya atau sekonyong-konyong dia limbung, tubuhnya

sempoyongan kearah si anak muda. Sin Tjie kaget, ia tahu ini adalah saat mati atau hidupnya, dalam saat bahaya itu, ia kerahkan tenaganya, ia beron- tak, hingga belengguannya pada putus, bambunya menerbitkan suara nyaring, setelah mana dia berlompat maju, untuk mendahului menyerang. Tiba-tiba orang itu terjengkang, terus tubuhnya rubuh sendirinya. Sin Tjie heran, walaupun ia batal menyerang, ia toh lantas bersiap. Ia cekal sisa tambang, untuk digunakan sebagai senjata. Ia bertindak mendeka- ti, untuk melihat tegas. Si kurus- kering itu kejutkan dua kakinya, lantas seluruh tubuhnya diam, tak berkutik lagi, menyusul mana dari kedua matanya, dari hidungnya, dan kupingnya, terutama dari mulutnya, lantas mengalir keluar darah hidup yang hitam. Maka sekarang teranglah dia telah mati keracunan, racun yang berbisa dari halaman-halaman kitab Kim Coa Long-koen, yang tadi dikenakan jari tangannya si kurus sendiri. Segera Sin Tjie loloskan semua libatan tambangnya, lantas ia lari keluar kamarnya, kekamar luar dimana ia dapatkan A Pa sedang terbelenggu, kedua matanya terbuka lebar, tubuhnya tak bergeming. Maka ia lantas tolong si gagu itu. Juga disitu Tay Wie dan Siauw Koay pada menggeletak, melihat mana, Sin Tjie berkuatir sekali, ia kuatir kedua binatang piaraannya itu telah terbinasa karena tangan jahat musuh.

Ia lantas cari air, dengan itu ia banjur dua orang hutan itu. Tidak antara lama, kedua binatang itu mulai berkutik kaki tangannya, tandanya keduanya sudah sadar, hingga hati majikannya jadi lega. "Apa jang telah terjadi?" tanya Sin Tjie kepada A Pa.

Si empeh gagu, dengan tanda-tanda tangannya, tuturkan bahwa ia kena dibokong hingga ia jadi tertawan tanpa berdaya. Sin Tjie mengerti, ia tidak bilang suatu apa. Besoknya, setelah terang tanah, kedua mayat dibawa keluar, untuk dikubur, sesudah mana, Sin Tjie pun lempar peti besi yang besar itu kedalam lobang kuburan itu. Ia anggap itu adalah peti pembawa bencana. Malamnya, sedang beristirahat, Sin Tjie bergidik sendirinya apabila ia bayangi pengalamannya yang sangat ber- bahaya itu. Tatkala peti besi didapat- kan, bocah ini baru berumur dua-belas tahun, berselang delapan tahun, hingga sekarang ia jadi satu pemuda, ia telah lupakan peti besi itu, akan tetapi

sekarang, melihat si pendeta dan si kurus demikian inginkan peti besi itu, hatinya jadi bercekat. “Mestinya Kim Coa Pit Kip ada berharga sekali," ia menduga-duga. "Kenapa mereka mencari terus-terusan sampai lima-belas tahun? Kenapa mereka jadi adu jiwa karenanya?

Apakah itu yang tertulis dalam kitab tersebut?"

Lama Sin Tjie terganggu oleh semua itu, akhirnya ia seret keluar peti besi yang kecil, jang ia letaki dikolong  pemba- ringan, disebelah dalaman peti jang besar. Sebab ditaruh disebelah dalaman, peti ini kealingan dan jadi tak terlihat si pendeta, perhatian siapa

sebaliknya telah ditumplak semua kepada peti yang besar itu terutama isinya. Peti ini telah bergala gasi dan ber- debu. Dari dalam peti ini, ia keluarkan kitab yang tulen. Ia balik-balik hala- mannya, untuk memperhatikan semuanya dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ilmu

pukulan dan mainkan senjata rahasia, buku itu beda dari pelajarannya Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin, beda dalam hal "kelicinannya". "Hampir saja aku bercelaka ditangan manusia jahat," pikir dia sambil terus perhatikan isi

kitab itu. "Kalau nanti aku berkelana, bagaimana aku mesti layani orang-orang semacam sikurus dan si gundul ini? Kenapa aku tak mau yakinkan ini, sedikitnya untuk pembelaan diri? Sebagai tambahan pengetahuan, ini pun pasti ada berharga sekali?..."

Karena memikir begini, Sin Tjie segera membaca dengan teliti, ia perhatikan gerak geriknya peta. Tiga hari ia membaca terus menerus, ia dapat kenya- taan bagaimana bedanya itu dengan pengajaran gurunya, malah tak pernah ia dengar gurunya menuturkan tentang ini macam ilmu silat yang asing baginya. Tapi ia cerdik, otaknya cerdas, walaupun tanpa guru dengan membaca saja, kemudian ia dapat jalankan pelba- gai ilmu pukulan menurut kitab tersebut. Hanya ketika ia menyakini sampai dihari kelima, ia hadapi kesukaran, ialah dibagian pelajaran tanpa peta. "Baik aku menunda dulu," pikir Sin Tjie. Dan ia baca bagian ilmu silat pedang "Kim Coa Kiam-hoat", terus ia melatih diri. Mulanya ia dapatkan jalan dengan baik, hanya lama-lama,

ia tidak ketemu jalan. Mendadakan ia ingat ukiran gambar-gambar ditembok kamar Kim Coa Long Koen, si Ular Emas. Tidakkah semua gambar itu ada hubung- annya sama ini? Ingat ini, tak peduli waktu lagi, Sin Tjie cari A Pa. Ia bekal tambang dan obor, ia ajak kawan

itu pergi ke jurang, hingga dilain saat, ia sudah berada di dalam gua Kim Coa Long-koen. Karena mulut terowongan telah dibesarkan, dengan gampang ia bisa masuki tubuhnya. Sampai didalam gua, Sin Tjie suluhi tembok, terus ia awasi, ia perhatikan sesuatu gerakan

tangan dan kaki. Dasar ia berotak terang, lantas ia dapat kenyataan, itulah ada gambar penjelasan untuk bunyinya kitab bagian yang ia tidak mengerti. Maka bukan main girangnya ia.

Tak tempo lagi, pemuda ini berlatih didalam kamar itu sambil ia ikuti sesuatu petunjuk dari setiap ukiran. Kesudahannya ia jadi sangat girang. Satu kali ia dapat menjalankannya,

terus ia ulangi dan ulangi lagi, sampai ia ingat betul. "Terima kasih!" kata ia kepada Kim Coa Long-koen, dimuka kuburan siapa ia bersoja koei

dua kali. Pemuda ini hendak berlalu ketika ia tampak pedang aneh dari Kim Coa Long-koen, jang masih menggeletak dipinggiran, yang tadinya ia tidak perhatikan. Pedang itu rada bengkung bagaikan ular melilit diri, ekornya adalah yang merupakan gagangnya, sedang

ujungnya, jang tajam, bercagak dua seperti lidah ular. Cagak ini bisa dipakai menikam berbareng menggaet senjata lawan. "Tentu A Pa pikiri aku," pikir Sin Tjie, jang terus jumput pedang itu, untuk dibawa keluar,

begitu juga sejumlah Kim Coa Tjoei, senjata rahasia jang merupakan sebagai bor istimewa. Dimuka terowongan masih ada melintang sepotong batu, yang agak menyulitkan untuk orang merayap keluar, iseng-iseng Sin Tjie gunai pedangnya akan bacok batu itu. Untuk keheranan- nya, untuk kegirangannya, begitu ditabas, batu itu sapat! "Aha!" berseru

pemuda ini. Itulah sebatang pedang mustika! Ketika ia coba menusuk, batu pun dapat ditikam bagaikan kayu saja! Bukan main girangnya pemuda ini, maka itu, ketika ia telah kembali kerumah, tidak buang tempo lagi, ia terus berlatih pula dilapangan peranti dia

belajar silat. Mulanya ia jalankan ilmu pedang Hoa San Pay ajaran gurunya, nyata pedang aneh itu cocok untuk dipakai, akan tetapi kapan ia telah mencoba Kim Coa Kiam-hoat, kegirang- annya meluap. Selanjutnya, untuk belasan hari, tak ada bosannya, Sin Tjie yakinkan semua pengajaran dalam kitab dari Kim Coa Long-koen, pelajaran senjata rahasia Kim-Coa-tjoei pun tak

dilupakan, yang tak kalah liehaynya dengan ajaran Bhok Siang Toodjin.

"Mungkin Kim Coa Long-koen tersesat tapi ia harus dikagumi," pikir Sin Tjie, jang jadi menaruh harga kepada jago yang telah marhum itu. Mempelajari kitab terlebih jauh, tiga halaman yang terakhir membuat Sin Tjie pusing kepala. Ia membaca, ia melatih, tidak juga ia ketemu jalan. Ia memahami, ia tidak berhasil. Toh ia merasa, ia tak salah mengertikannya. Begitu beda itu dengan pelajaran gurunya...

Malamnya, selagi rebahkan diri diatas pembaringannya, Sin Tjie pikirkan kitab rahasia itu. Ia lihat sinar rembulan yang indah masuk dari jendela. Ia menghitung-hitung. Duapuluh delapan hari telah lewat dengan lekas sejak pergi gurunya. "Lagi dua hari, aku mesti susul soehoe," ia pikir. Tiba-tiba ia ingat sikap Thio Tjoen Kioe yang telengas. "Kitab ini sangat luar biasa, apabila ini terjatuh dalam tangan orang jahat, bahayanya untuk umum besar sekali. Kenapa aku tidak bakar saja?" Sin Tjie tidak berpikir lama dan segera ia ambil putusan. Ia turun dari pembaringan, akan sulut lampu, lalu ia ambil Kim Coa Pit-kip, tidak sangsi lagi, ia bakar itu.

Sekian lama, api menyala, membakar kitab, akan tetapi aneh, selagi semua lembaran habis hangus menjadi abu, adalah halaman kulitnya utuh, cuma hitam saja. "Aneh," pikir pemuda ini, apapula ketika ia coba beset, ia tak berhasil, sedang kedua tangannya kuat. Karena ini, ia perhatikan lebih jauh kulit buku itu, dipencet-pencet,

disentil-sentil. Segera ternyata, kulit buku itu terbuat dari tembaga campur emas dan dilapis entah dengan bulu apa dan juga lapis dua, mirip dengan baju kaos pelindung diri dari Bhok Siang Toodjin, hanya ini ada terlebih tipis.

Dengan gunai pisau, Sin Tjie coba korek akan buka kedua lapisan kulit buku itu. Untuk keheranannya, didalam situ ia dapatkan dua lembar kertas, yang ia lantas tarik keluar. Dihalaman depan, ia lihat tulisan bunyinya : "Gambar dari barang berharga." Dipinggiran

itu ada peta-bumi serta banyak tanda-tanda. Dibelakang peta itu terdapat tulisan yang sebagai berikut bunyinya : "Siapa dapatkan harta, diminta dia pergi ke Tjio-liang di Kie-

tjioe, Tjiatkang, untuk cari Oen Gie, untuk dihadiahkan uang sepuluh ribu tail." "Sungguh jumawa!" pikir Sin Tjie, karena jumlah itu besar sekali.

Sekarang pemuda ini periksa kertas yang kedua, yang memuat gambar ilmu pukulan,

apabila ia telah periksa dengan hati- hati, ia sadar. Ini adalah gambar penjelasan untuk bagian ilmu silat didalam "Kim Coa Pit Kip", yang sampai sebegitu jauh masih kurang jelas untuknya, hingga tak dapat ia melatih diri dengan itu. Maka sekarang kegira- ngannya jadi meluap, hingga ia akhirnya menghela napas saking kagumi silat yang terrahasia itu. Terang telah disengaja, penjelasan didalam kitab dibikin kurang jelas dan itu Barulah terang apabila ini penjelasan dalam lipatan kulit halaman sudah diketemukan. Bagaimana

hebat! "Coba peta bumi ini tak didapatkan, atau didapatkannya oleh orang tolol, bukankah harta besar itu bakal terus tak kedapatan?" pikir Sin Tjie. Dua lembar kertas itu diselipkan pula kedalam kulit kitab dan disimpan.

Masih Sin Tjie radjin berlatih, sampai lewat lagi dua hari, sesudah mana, ia siapkan satu buntalan sederhana, untuk ia berangkat susul gurunya. Ia ambil selamat berpisah dari A Pa, siapa antar ia sampai ditengah gunung. Si empeh gagu ajak kedua orang hutan. Berat Sin Tjie merasa akan, setelah sepuluh tahun, mesti berpisah dari A Pa, dari kedua binatang piaraannya juga. A Pa sendiri ada masgul. Tapi juga kedua orang-hutan itu mengerti, keduanya pegangi tangannya si anak muda, kedua- nya berpekik. Mereka ini menahan orang berangkat. Sin Tjie terharu.

"Aku mesti bawa mereka!" pikir dia, setelah mana, ia bicara dengan tangan pada A Pa. A Pa merasa berat tetapi ia kasih kedua binatang itu dibawa, maka itu, ketika ia turun gunung, Sin Tjie diiring oleh dua binatang liar itu.

Inilah untuk pertama kali Sin Tjie turun gunung, tidak heran apabila ia merasa asing dan lihat segala apa seperti baru baginya. Ketika pada suatu hari ia sampai di Shoasay, ia lihat

gerakan tentara disana-sini dan diseti- ap tempat penting ada penjagaan tentara sukarela, yang melakukan pemeriksaan keras kepada orang-orang yang berlalu- lintas. Di sebuah pos, apabila tentara yang menjaga dapat tahu, pemuda ini hendak menghadap Giam Ong, tak ayal lagi, satu serdadu diperintah mengan- tarnya ke markas besar dari Lie

Tjoe Seng, sang jenderal. Sebab Sin Tjie sebut dia muridnya Bok Djin Tjeng, Lie Tjoe Seng keluar sendiri untuk

menyambut, walaupun ia sedang repot.

Sin Tjie kagum akan lihat pemimpin tentara ini mengenakan pakaian sederhana tetapi romannya gagah. Ia pun puas akan penyambutan manis dari pemimpin ini. Rupanya Bok Djin Tjeng telah pujikan muridnya ini kepada kepala perang itu, hingga dia ini tidak berani mengabaikannya. "Sayang gurumu sedang pergi ke Kanglam," Giam Ong terangkan kapan tetamunya tanya ten- tang Bok Djin Tjeng. Sin Tjie menyesal, lantas hilang kegembiraannya, apalagi sesudah ia tanyakan Tjoei Tjioe San, sahabat atau gurunya yang pertama itu, ia diberi keterangan, Tjioe San pun ikut Djin Tjeng ke Kanglam, untuk kumpul rangsum tentara. "Hendak aku susul soehoe," Sin Tjie nyatakan. "Nanti, setelah bertemu sama soehoe, aku akan kembali kemari untuk memban- tu." Lie Tjoe Seng lihat orang berniat tetap, ia tidak mencegah. "Kau temani dia bersantap," kepala perang ini kata pada Lie Gam, sebawahannya yang berpangkat Tie-tjiangkoen. Ia pun bekalkan uang sepuluh tail, uang mana Sin Tjie tak berdaya menampiknya maka ia haturkan terima kasih. Lie Gam ada ramah-tamah, melihat orang bawa-bawa orang-hutan dan pedangnya pun luar

biasa, pedang mana bisa menarik perhatian orang, sedang cara dandannya si anak muda pun tak seperti orang kebanyakan, ia kasih pedang itu dititipkan didalam tangsi, sementara dilain pihak, ia lantas siapkan dua perangkat pakaian peranti mahasiswa.

Sin Tjie anggap pikiran itu baik, ia suka menurut, maka demikian ia tukar dandanan dalam perjalanannya ke selatan. Pada suatu hari sampailah pemuda kita di Giok San sebelah timur dari Kangsay, habis bersantap, ia pergi kepelabuhan, akan sewa perahu untuk melanjutkan perjalanan kearah timur. Ia dapati sebuah perahu besar, yang tukang perahunya doyan persenan, sedang penyewanya, saudagar Liong Tek Lin asal Siang-djiauw, Tjiatkang, untuk beli barang, tak keberatan, karena dia lihat, pemuda itu ada satu sioetjay.

Disaat tukang perahu hendak jalankan perahunya, ditepian berlari-lari seorang anak muda sambil dia berkaok- kaok minta dikasi menumpang untuk ke Kie-tjioe, katanya dia ada urusan sangat penting dikota itu. Sin Tjie ketarik mendengar suara nyaring orang tetapi halus. Iapun heran akan tampak

wajah orang itu. "Apa benar ada satu pemuda begini ganteng romannya?" memikir dia. Pemuda itu berumur delapan atau sembilan-belas tahun, kulitnya putih halus, mukanya bersemu dadu, buntalannya tergendol dibelakangnya.

Liong Tek Lin merasa suka kepada anak muda itu, ia berikan perkenannya, maka tukang perahu lantas pasang papan tang- ga, untuk orang naik kedalam perahunya. Begitu lekas orang menaruh kedua kaki- nya diatas perahu, Sin Tjie terkejut. Ia merasakan bagaimana perahu mendada- kan seperti melesak kedalam air. Ia heran sebab si pemuda itu kurus dan berat tubuhnya tak ada seratus kati. Kenapa dia ada begitu berat? Buntalannya juga tak besar.

Sesampainya didalam perahu, pemuda itu beri hormat pada Tek Lin dan Sin Tjie, ia menghaturkan terima kasih. Ia bilang she-nya Oen dan namanya Tjeng, bahwa ibunya dikabarkan sakit, ia hendak lekas-lekas pulang untuk menyambangi- nya. Nampaknya pemuda ini menaruh perhatian kepada Sin Tjie. "Mendengar suaramu, saudara Wan, kau mestinya bukan penduduk sini?" tanyanya kemu- dian. "Aku asal Kwietang, tetapi dibe- sarkan di Siamsay," sahuti pemuda kita. "Inilah untuk pertama kali aku pergi ke Kanglam." "Ada urusan apa saudara datang ke Tjiatkang?" tanyanya pula.

"Untuk menyambangi sanak saja," terang Sin Tjie. Selama itu perahu mereka asyik berlayar. Tiba-tiba dua buah perahu kecil, jang dikayuh cepat, lewat melesat dikedua samping. Oen Tjeng awasi kedua perahu itu, yang lenyap

disebelah depan diantara tikungan, lalu kealingan bukit. Disaatnya bersantap tengah hari, saudagar Liong baik budi, ia undang kedua anak muda itu dahar bersama, Sin Tjie makan tiga mangkok, Oen Tjeng cuma satu. Selama itu, gerak-

gerik pemuda she Oen ini ada halus.

Boleh dibilang Baru mereka habis bersantap, terdengarlah suara air dikayuh, lalu terlihat dua buah perahu lewat disamping, dari sebuah diantara- nya, seorang yang bertubuh besar,

yang berdiri dikepala perahu, melirik beberapa kali. Menampak sikapnya orang diperahu kecil itu, alisnya Oen Tjeng berdiri dengan tiba-tiba, matanya bersinar, wajahnya berubah menjadi padam. Heran Sin Tjie akan lihat wajah orang itu. "Dia begini muda dan cakap, mengapa romannya berubah sengit begi- ni?" pikirnya. Oen Tjeng dapat lihat keheranannya ini kenalan Baru, ia bersenyum, lantas wajahnya pulang asal, sikapnya tetap lemah-lembut. Sebentar kemudian, tukang perahu datang menyu- guhi air teh. Oen Tjeng minum secegluk, mungkin ia anggap teh itu kasar, ia kerutkan alis, lalu cawan teh diletaki- nya diatas meja. Sin Tjie keluar meran- tau untuk pertama kalinya, kecuali segala pengetahuan yang didengar dari penuturan kedua gurunya, serta nasehat- nasehatnya mereka ini, begitupun sedi- kit pengalaman diwaktu belum berusia sepuluh tahun, ia belum punyakan penga- laman lainnya, akan tetapi disebelah itu, ia cerdik, otaknya hidup. Maka itu, ia duga, mungkin ada hubungan apa- apa diantara pemuda itu serta keempat buah perahu kecil, entah urusan apa itu. Kedua perahu kecil itu lewat terus. Mendekati sore, perahu besar berlabuh disebuah dusun. Sin Tjie ingin mendarat, untuk pesiar. Tek Lin meno- lak, katanya tak dapat dia tinggalkan barang-barangnya. "Ditempat tegalan sebagai ini, apa yang bisa dilihat?" nyatakan Oen Tjeng seraya ia mainkan bibirnya secara memandang enteng, agaknya ia hendak menyindir. Sin Tjie jujur, ia anggap orang jumawa, ia tidak memperdulikannya, malah ia bersenyum,

lalu ia mendarat seorang diri. Ia jalan-jalan sebentar, ia minum beberapa cawan arak, setelah beli sedikit bebu- ahan, ia pulang keperahu, niatnya me- ngundang Tek Lin dan Oen Tjeng, tapi dua orang itu sudah masuk tidur, maka iapun lantas rebahkan diri. Pada tengah malam, dari kejauhan terdengar suara suitan samara-samar. Sin Tjie getap, ia

lantas mendusin. Diam-diam ia rapikan pakaiannya. Tidak lama dari arah hilir terdengar suara pengayuh mengenai air, terang ada perahu lagi mendatangi.Tiba- tiba Oen Tjeng mendusin, ia berbangkit akan duduk dengan mendadak. Nyata ia tidur tanpa buka pakaian. Dari bawah selimut, dia hunus sebatang pedang jang

panjang. Dengan membawa itu, ia memburu ke kepala perahu. Sin Tjie terkejut dan heran. "Apa mungkin dia pengintai bajak?" menduga dia. "Mungkin orang hendak kerjakan saudagar she Liong ini? Aku tidak boleh peluk tangan saja...."

Sin Tjie titip pedangnya kepada Lie Gam, dia cuma bekal pisau belati dan biji-biji caturnya, maka itu ia turun dari pembaringan dengan bawa pisaunya itu. Segera ternyata, perahu yang mendatangi sudah datang dekat. Dari perahu itu lantas terdengar satu suara kasar : "Orang she Oen, apa benar kau tidak hargakan persahabatan kang-ouw?"

"Kalau hargakan bagaimana? Kalau tidak, bagaimana?" tanya si anak muda. "Dengan susah payah kami menguntitnya dari Boe- han, kau sendiri enak-enakan memegat

ditengah jalan dan memakannya sendiri!" jawab orang itu. Liong Tek Lin mendusin karena suara berisik itu, ia mengintip keluar, untuk kagetnya, sampai tubuhnya bergemetar, ia tampak empat buah perahu kecil, yang obornya dipasang terang- terang. Ia tampak orang-orang dengan pelbagai alat-senjata terhunus.

"Jangan takut, inilah bukan urusanmu," Sin Tjie menghibur. Ia lantas menduga kepada duduknya perselisihan itu.

"Apa...apa mereka bukannya bajak?" tegasi Tek Lin. Ia tidak dapat jawaban hanya ia dengar suara nyaring dari Oen Tjeng: "Harta dikolong langit ada kepunyaan umum! Mungkin emas ini kepunyaanmu sendiri?" demikian pemuda ini. "Kau keluarkan itu dua ribu tail emas, kita bagi dua, perkara habis," bilang orang didalam perahu kecil. "Kami suka berbuat baik kepadamu..."

"Foei!" Oen Tjeng menghina. "Kau mengharap demikian? Hm!" Dua orang lain, yang romannya pun gusar, berkata pada orang yang pertama bicara: "See

Toako, buat apa adu mulut dengan anak biadab itu?" Lalu keduanya loncat naik ke perahu besar. Tek Lin sedang keta- kutan, melihat orang bersenjata naik keperahunya, ia kaget tak terkira.

"Wan...Wan Siangkong, mereka turun tangan!..." menjerit dia. Sin Tjie tarik mundur saudagar itu. "Jangan takut, ada aku," ia menghibur.

Justru itu Oen Tjeng telah bergerak untuk papaki kedua orang itu, kaki kirinya menendang seorang, sehingga dia itu terlempar kecebur kedalam sungai, sedang pedangnya menyambar orang yang kedua. Dia ini menangkis dengan golok- nya, tapi pedang ada tajam luar biasa, golok terbacok kutung, menyambar terus kearah pundak, maka penyerang itu tak ampun lagi rubuh mandi darah diatas perahu. "See Loo Toa, jangan perton- tonkan ini segala gentong kosong!" Oen Tjeng mengejek sambil tertawa dingin.

"Hm!" bersuara si orang she See. "Gotong Lauw Lie kemari!"

Dari sebuah perahu kecil, dua orang naik keperahu besar, akan gotong si orang yang dikatakan she Lie itu, jang luka hebat lengan kanannya. Orang yang ditendang kecebur pun sudah berenang naik perahunya. Segera terdengar suara nyaring dari si orang she See: "Kami dari pihak Liong Yoe Pang tak pernah bentrok dengan kamu dari Tjio Liang Pay, pemimpin kami menghargai Ngo-

tjouwmu, tak ingin kami ganggu padamu, maka itu, jangan kau anggap kami dapat dibuat permainan!"

Sin Tjie bercekat akan dengar disebut- nya Tjio Liang Pay. Ia ingat: "Itu Thio Tjoen Kioe yang datang mencuri kitab dipuncak Hoa San bukankah menyebut dirinya dari Tjio Liang Pay?" Sebagai jawaban, terdengarlah suaranya Oen Tjeng: "Jangan kau baiki aku! Kamu tak

menang, apa kamu hendak mengambil-ambil hati?" See Loo Toa itu jadi gusar sekali. "Kau bilang, kau hargakan aturan kang-ouw atau tidak?" dia tegaskan. "Aku lakukan apa yang aku suka, aku tak memusingkan kamu!" ada jawaban si pemuda. "Ingin aku omong jelas lebih dahulu," kata orang she See itu. "Kami gunai lebih dahulu adat sopan-santun, habis itu Barulah senjata! Tak sudi aku nanti dikatai Ngo-tjouwmu bahwa yang banyak menghina yang sedikit, yang tua mempermainkan yang muda!" Kata-kata ini menunjuki pihak Liong Yoe Pang itu menghargai jang dikatakan Ngo-tjouw, Lima tertua, dari pihak Oen Tjeng si anak muda bernyali besar itu. Oen Tjeng tertawa dingin. "Dengan kepandaian macam kepunyaanmu ini kau anggap dapat menghina aku?" dia mengejek pula.

Mendengar sampai disitu, Sin Tjie percaya, senjatalah yang akan bicara terlebih jauh. Ia mengerti sekarang : Liong Yoe Pang hendak membegal harta, Oen Tjeng mendahului, Liong Yoe Pang jadi tidak senang, dia menyusul, tapi masih minta sebagian saja. Tubuhnya Oen Tjeng kecil tapi berat, harta itu pasti berada dalam buntalannya. "Kelihatannya mereka berdua sama-sama bukan orang baik-baik, baiklah aku berpura-pura

tak mengerti ilmu silat, aku tak bantu pihak mana saja..." pikir Sin Tjie.

Selagi Sin Tjie memikir demikian, pertempuran sudah lantas dimulai.

See Loo Toa berseru, lantas kira-kira sepuluh orangnya loncat naik ke perahu besar. Iapun turut naik dengan tangan- nya menyekal sebatang golok besar, ia berdiri didepan mereka ini, terus ia angkat tangan, untuk memberi hormat.

"Saudara-saudaraku ini bukan tandingan kau," kata dia dengan merendah tapi sifatnya menantang," maka itu biarlah aku See Loo Toa yang menggantikan mereka menyambut pedangmu, pedang Ngo-hong-kiam dari Tjio Liang Pay yang menjagoi di Kanglam!" "Hm!" Oen Tjeng bersuara. "Kau hendak maju sendiri atau berbareng beramai-ramai?" See Loo Toa melengak, ia tertawa terbahak-bahak.

"Kau terlalu tak melihat mata!" katanya. "Masih ada sahabat siapa lagi dalam perahumu ini? Undang dia keluar, untuk minta dia menjadi saksi. Tak suka aku apabila kemudian kaum kang-ouw yang mengatakan See Loo Toa tak punya muka!" Lantas ia menambahkan: "Sahabat dalam perahu, silakan kau keluar!"

Dua orang bertindak kedalam perahu, akan kata pada Tek Lin dan Sin Tjie : "Toako kami undang djiewie!" Tek Lin bergemetaran, tak dapat ia menjawab.

"Mereka melainkan inginkan kita sebagai saksi, tidak apa, mari kita keluar," kata Sin Tjie. Dan ia tarik tangannya saudagar itu. Oen Tjeng menjadi tak sabaran. "Kau hendak pertontonkan kejelekanmu sendiri, jangan katai aku keterlaluan," kata dia. "Mari mulai!"

Lantas dia mulai menyerang, membabat ke iga kiri lawan. See Loo Toa bertubuh besar tetapi gesit, dengan goloknya, dia menangkis, lalu dengan belakang golok, dia teruskan balas menyerang. Ini adalah serangan cepat sekali.

Oen Tjeng tidak sudi terima kebaikan hati lawan, yang serang ia hanya dengan belakang golok. "Jikalau kau mempunyai kepandaian, keluarkan semua itu!" dia berteriak. "Aku tak sudi terima keba- ikan hatimu!" Ucapan congkak dan menantang ini diikuti dengan serangan pula, demikian sebat sampai See Loo Toa, yang tidak menyangka dan karenanya jadi kurang waspada kaget tak terkira

ketika ujung pedang merobek baju di pundaknya sebab hampir ia tak keburu berkelit. Dia tergetar hatinya meng- ingat ancaman bencana itu, tapi segera dia balas menyerang dengan sengit.

Si anak muda sangat gesit, pesat gerak- geriknya, sambil menyingkir dari sesua- tu bacokan, berbareng ia seperti kurung lawannya dengan pedangnya senantiasa

berkelebatan disekitar tubuh lawan itu.

Setelah menyaksikan beberapa jurus, Sin Tjie segera dapat kenyataan, ilmu silat Oen Tjeng terlebih tinggi daripada ilmu See Loo Toa, tak perduli orang ini men- coba pertunjuki keulungannya, tanda dari banyak pengalaman, tak perduli goloknya berat dan pedang enteng, dia kewalahan melayani kegesitan si anak muda. Selang sekian lama, dia mulai

bernapas mengorong dan keringatnya pun mulai membasahkan jidatnya, menyusul mana, gerakannya juga tak lagi sepesat mulanya. Di sebelah dia, sianak muda perhebat desakannya. Sekonyong-konyong, berbareng dengan seruan Oen Tjeng, See Loo Toa merasai pahanya tertusuk pe- dang, sehingga dengan muka pucat, dia lompat mundur, sembari lompat, sebelah tangannya diayun, hingga tiga buah senjata rahasia berupa paku Touw-koet- tjiam menyambar kearah lawan. Si anak muda bulang-baling pedangnya dua kali, untuk sampok jatuh dua potong paku

berbahaya itu, sedang paku yang ketiga ia halau dengan egos diri. Dua potong paku yang disampok terbang ke jurusan Sin Tjie, kearah dadanya. Melihat demi- kian, Oen Tjeng menjerit. "Celaka," pikir dia, jang menyangka dia akan celakai anak muda itu. Tadinya dia me- nyangka Sin Tjie mengerti silat, akan tetapi ketika dua paku menyambar, pemu- da itu tidak berkelit dan juga tidak menangkis. Ia kuatir sekali menampak paku menjuju dada. Dia Baru berteriak, dia hendak loncat untuk menolongi, atau kedua paku itu, setelah mengenai dada si pemuda, runtuh sendirinya, jatuh tanpa menerbitkan bencana. Si pemuda sendiri berdiam saja, seperti ia tak lagi diancam marah-bahaya. Orang- orangnya See Loo Toa memasang banyak obor terang-terang, mereka semua

saksikan senjata rahasia menyambar kearah si pemuda, akan tetapi, melihat

kesudahannya, mereka melengak, saling mengawasi. Mereka anggap si pemuda liehay walaupun romannya mirip satu sioetjay lemah tak berdaya... Tentu sekali orang tidak tahu yang didadanya Sin Tjie dipasang baju kaos pemberian Bhok Siang Toodjin mustika Kim-sie Pwee-sim, yang tak mempan senjata tajam. See Loo Toa heran melihat si pemuda tak rubuh karena pakunya itu, ia pun lihat si anak muda lawannya tercengang; menggunai waktu yang baik itu, ia menimpuk pula dengan lagi tiga batang pakunya. Oen Tjeng menjerit bahna kaget karena bokongan tiga batang paku itu, dengan hati terkesiap, ia mendak, untuk menyingkir dari paku yang arah kepalanya akan tetapi dua yang menyambar kebawah, membuat ia bingung. Tak sempat dia berkelit, tak keburu dia

menangkis. Justru itu terdengarlah suara nyaring dua kali, seperti barang keras bentrok barang keras, lalu kedua batang paku itu jatuh sendirinya ke lantai perahu sebelum mengenai sasa- rannya. Anak muda ini bermata celi, ia dapat tahu, orang yang runtuhkan dua batang paku itu adalah si pemuda yang ia sangka satu anak sekolah belaka. Sebab Sin Tjie tak puas See Loo Toa berlaku curang, dengan diam-diam tetapi dengan cepat sekali, dia telah jumput

dua batang paku yang jatuh didepannya dan gunai itu untuk punahkan dua serangan yang terakhir dari orang tua itu. Oen Tjeng manggut, untuk haturkan terima kasihnya kepada pemuda ini, setelah mana, ia berlompat untuk menye- rang lawannya. Ia menjadi sengit karena si orang tua bokong padanya. Walaupun dia heran atas gagalnya serangannya, See Loo Toa toh tidak alpa, maka itu,

begitu diserang, dia sudah siap, malah dengan satu bacokan yang hebat, ia mendahului. Si anak muda jadi sangat mendelu karena melihat lawan demikian telengas, ia batal menyerang, ia ber- kelit, Baru ia menyerang pula, dengan dahsyat sekali. Begitulah satu tikam- annya mengenai iga kanan See Loo Toa, hingga, bahna sakitnya, orang tua ini tak dapat cekal lebih lama goloknya yang besar. Golok itu terlepas jatuh kelantai perahu. Masih Oen Tjeng tidak puas dengan serangan yang kedua yang berhasil ini, justru senjata lawan jatuh, dia lompat mendesak, untuk mem- bacok kaki kanan orang. "Aduh!" menje- rit See Loo Toa, yang segera rubuh dengan pingsan. Orang-orangnya orang she See itu menjadi kaget berbareng gusar, mereka lompat maju untuk meno- longi ketua itu, sekalian serang si anak muda. Dalam sengitnya, anak muda itu tangkis semua penyerang, ia balas menikam dan membabat, hingga lagi tujuh atau delapan orang rubuh karenanya.

Sin Tjie jadi tidak tega hati. "Sudahlah, Oen Toako!" ia berseru. "Kasihlah mereka ampun."

Tapi Oen Tjeng lagi sengit, ia masih melukai dua orang lagi, hingga sisanya yang lain-lain lompat keperahu mereka masing-masing, untuk tolong diri. Tak sanggup mereka melayani si anak muda, yang seperti sudah kalap. Oleh karena sudah tak ada musuh lagi, tiba-tiba Oen Tjeng tabaskan pedangnya kebatang

leher See Loo Toa, hingga kepala dan tubuh menjadi terpisah, menyusul mana kaki kirinya mendupak, membikin tubuh- nya Loo Toa terpental kedalam sungai! Kepala dia ini pun dilempar bersama keair! Tak puas hati Sin Tjie akan tampak ketelengasan itu. Dia anggap

si anak muda keterlaluan, sebab setelah peroleh kemenangan, tak perlu ia ini berlaku menuruti panasnya hati.

Sementara itu, ketika ia menoleh kepada Liong Tek Lin, Sin Tjie dapati saudagar besar ini sedang mendelepok dilantai perahu saking kaget dan takut. Itu ada pemandangan hebat dan mengerikan yang belum pernah ia tampak. Sisa-sisa orang Liong Yoe Pang, yang kabur keperahu mereka, kabur terus bersama masing- masing kendaraannya dengan tinggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban pedangnya si anak muda. "Mereka hendak rampas uangmu, mereka gagal, sudah saja," kata Sin Tjie kepada si anak

muda. "Kenapa kau mesti kurbankan demikian banyak jiwa?"

Oen Tjeng mendelik kepada pemuda kita.

"Apakah kau tidak lihat bagaimana hinanya sikap mereka barusan?" anak muda ini menjawab. "Mereka bokong aku, mereka mengepung, jikalau aku terjatuh dalam tangan mereka, entah kekejaman bagaimana yang berlebih-lebihan mereka bakal limpahkan atas diriku? Jangan kau anggap, karena kau telah tolongi aku, kau dapat sembarang memberi nasihat kepadaku!" Sin Tjie ketemu batunya, dia bungkam. Melainkan dalam hatinya, dia kata : "Ini anak tidak kenal cenglie dan budi..." Oen Tjeng sendiri lantas susut bersih pedangnya, untuk dimasuki dalam sarungnya, setelah mana ia men- jura kepada si pemuda. Tiba-tiba dia tertawa manis sekali dan kata :

"Wan Toako, kau telah tolong aku, aku berterima kasih kepadamu!"

Sin Tjie jengah, toh dia balas hormat itu. Ia manggut dengan tak dapat buka mulutnya. Ia heran orang demikian muda dan lemah lembut sikapnya tapi demikian telengas hatinya, bagaikan serigala atau harimau; tetapi sekarang dia jadi begini manis budi, sejenak saja lenyap kebengisannya itu. Oen Tjeng panggil tukang-tukang perahu, jang ia perintah cuci bersih lantai perahu, untuk

singkirkan tanda-tanda darah. Semua tubuh musuh telah terjatuh kedalam air, hanyut atau tenggelam. "Tolong sediakan aku barang makanan," Oen Tjeng menitah lebih jauh kepada anak-buah perahu, sesudah mana, dia undang Sin Tjie dahar dan minum bersama diatas perahu itu

sambil gadangi si Puteri Malam jang permai. Sembari bersantap, dia tidak omong tentang pertempuran barusan, dia tidak timbulkan juga soal ilmu silat.

Beberapa cawan air kata-kata telah turun lewat di tenggorokan mereka.

"Besok hari entah jam berapa saja, menghadapi arak menanyakan langit baru, aku kuatir langit biru tak akan memper- dulikannya!" kata anak muda ini selagi minum. Sin Tjie heran mendengar orang mendadakan menggunakan kata-kata bentuk sajak, ia menyahuti tetapi dengan "ya, ya" saja dan manggut- manggut. Dimasa kecil, pemuda ini ikuti Eng Siong bela- jar surat beberapa tahun, lalu setelah terdidik lebih jauh oleh Bok Djin tjeng, walaupun ia masih gemar membaca, ia tak berkesempatan belajar lebih jauh dengan mendalam, dari itu, ada sangat berbatas pengetahuannya tentang ilmu surat. Saudara Wan," berkata pula si anak muda, "rembulan indah, angin sejuk, malam ada begini permai, apakah tak baik kita bersyair saling sambut?" "Aku tidak mengerti ilmu sajak," sahut Sin Tjie dengan cepat. Oen Tjeng bersenyum, dia berdiam. "Mari minum!" demikian undangnya kemudian. Kendaraan air jalan terus, kedua anak muda itu belum berhenti minum dan makan. Tiba-tiba terlihat mendatangi sebuah perahu kecil, yang melawan air, akan tetapi pesat lajunya. Oen Tjeng lihat perahu itu, tiba-tiba wajahnya berubah, lalu ia perdengarkan tertawa dingin beberapa kali, kemudian ia keringi pula cawan- nya. Perahunya Liong Tek Lin besar dan memakai layar, jalannya menuruti aliran, lajunya sangat pesat, maka itu, selagi perahu kecil pun mendatangi cepat, sebentar kemudian, keduanya sudah saling mendekati. Sekonyong- konyong Oen Tjeng lemparkan cawan arak- nya, tubuhnya turut mencelat, hingga dilain saat, ia sudah sampai dibelakang pada jurumudi. Tanpa kata apa-apa, ia rampas pengayuh kemudi, ia uwit itu, hingga kepala perahu lantas bergeser kearah kiri,

menghadapi tepat perahu kecil yang lagi mendatangi itu. Sia-sia saja anak buah perahu kecil egos diri, perahunya sudah ketabrak, hingga terdengarlah satu suara berisik, kepala perahu dongak keatas. "Celaka!" Sin Tjie berseru, bahna kaget. Tiga bajangan mencelat dari perahu kecil itu, naik keperahu saudagar yang besar. Gerakan tubuh mereka menandakan mereka mengerti ilmu silat baik sekali. Didalam perahu kecil ada lima orang, kecuali ini tiga, yang berhasil tolong diri, masih ada si jurumudi dan satu anak buahnya, yang mengayuh perahu. Mereka ini tak dapat loncat seperti itu tiga orang, mereka kecebur air sambil menjerit: "Tolong!"

Air dibahagian sungai itu deras sekali, karena kecebur, dua tukang perahu itu lebih banyak menghadapi bencana dari- pada keselamatan. "Anak muda ini kejam," pikir Sin Tjie, yang terus bekerja. Ia masih sempat lihat kedua

tukang perahu timbul pula, mendadak ia putuskan dadung lajar, ia gigit ujungnya, lantas ia menjejak keras, tubuhnya melayang kedalam sungai, tergantung oleh dadung layar itu. Ia

gunai kedua tangannya, akan sambar masing-masing satu orang. Sang dadung bawa ia terayun kembali keperahu, bersama dua tukang perahu itu.

"Bagus!" berseru empat orang dengan pujiannya. Mereka ini ada Oen Tjeng si anak muda dan itu tiga orang yang Baru loncat naik dari perahu kecil, yang menjadi sangat kagum. Sin Tjie letaki kedua orang diatas perahu, lantas ia hampirkan kursinya, akan duduk pula

dengan tenang, hingga dengan demikian, ia dapat ketika akan awasi tiga orang asing itu. Yang pertama ada seorang tua diatas usia lima-puluh tahun, tubuhnya kurus kering, kumisnya jarang. Yang kedua, umur empat-puluh lebih, bertubuh besar dan kasar. Yang ketiga ada seo- rang perempuan umur kurang lebih tiga- puluh tahun. Sambil tertawa suram, si orang tua kata pada pemuda kita: "Tuan, kau liehay sekali, bolehkah aku tanya she dan namamu yang mulia dan siapa gurumu?" Sin Tjie berbangkit, ia manggut dengan halus. "Boanseng adalah she Wan," ia menyahut dengan manis. "Kedua tuan ini terancam bahaya, tak tega aku melihatnya, maka itu boanseng telah angkat mereka dari permukaan

air. Sama sekali tak berani boanseng sengaja banggakan kepandaian dihadapan

lootjianpwee, maka mohon lootjianpwee maafkan." Orang tua ini heran menampak pemuda ini demikian halus gerak-gerik nya, lalu ia hadapi Oen Tjeng dan tertawa dingin. "Tak heran kau, bocah cilik, makin menjadi-jadi nyali besar- mu, kiranya kau punyakan pembantu yang begini liehay!" berkata dia, suaranya tajam. "Adakah dia ini sahabatmu yang baik?" Wadjahnya Oen Tjeng menjadi merah. "Aku pandang kau sebagai orang tertua jang dihormati, aku minta suka- lah kau hargai sedikit dirimu!" ia menegur. Hatinya Sin Tjie tak enak.

"Nampaknya mereka bukan orang-orang baik-baik, tak dapat aku antap diriku terseret kedalam arus mereka," ia berpikir. Karena ini, ia lantas kata pada si orang tua: "Aku dan saudara she Oen ini tak kenal satu dengan lain, secara kebetulan saja kami bertemu disini, jadi tak ada bicara hal persahabatan diantara kami berdua. Ingin aku mengucapkan sepatah dua patah kata, jikalau ada urusan diantara kamu berdua pihak, baiklah itu didamaikan agar kerukunan tak sampai terusak..."

Belum sempat si orang tua menyahuti, atau Oen Tjeng, dengan matanya men- delik, berkata pada pemuda kita : "Jikalau kau takut, pergilah kau naik kedarat!" Sin Tjie berdiam, tetapi didalam hatinya, dia kata : "Belum pernah aku menemui orang kasar semacam dia ini!" Si orang tua sementara itu dapat duga pemuda ini bukanlah kawannya si anak muda, karena mana, ia menjadi girang sendirinya. "Sahabat Wan," berkata dia "kau tidak punyakan hubungan dengan si orang she Oen ini,

itulah bagus! Harap kau tunggu sampai aku sudah beres berurusan dengannya ini, nanti kita pasang omong, bolehlah kita ikat tali persahabatan!"

Sin Tjie tidak menjawab, dia cuma manggut, lantas ia mundur kebelakang Oen Tjeng. Lantas si orang tua hadapi Oen Tjeng dan kata : "Kau masih berusia sangat muda, perbuatan kau telengas sekali. See Loo Toa bukan tandinganmu, itu pun sudah cukup, kenapa dan kau kehendaki jiwanya?"

"Tapi aku bersendirian saja, kamu ada orang-orang lelaki bertubuh besar dan berjumlah banyak, kamu maju dengan berbareng, tanpa aku berlaku bengis, apa mungkin terjadi?" balas si anak muda. "Kau masih menegur aku, apakah kau tak takut orang nanti katakan

kamu si tua menghina si kecil, yang banyak kepung yang sedikit? Jikalau kamu punya kepandaian, pungutlah emas orang, kenapa mesti tunggu aku? Apakah kamu hendak serakahi yang sudah sedia saja? Apakah itu bukannya tak tahu malu?" Sin Tjie dengar suaranya terang dan halus, kata-kata yang tajam  sehingga si orang tua bungkam karena- nya. Tiba-tiba si orang perempuan, yang alisnya berdiri dengan mendadakan, turut bicara: "Kacung cilik, orang tuamu manjai kau hingga kau makin tak tahu aturan!" dia membentak. "Sungguh ingin aku tanya yayamu, ibumu juga, siapa sudah ajar kau hingga dimatamu ini tak lagi ada orang yang terlebih lanjut usianya!"

"Orang tua yang ingin dihormati juga mesti ada sertanya!" kata Oen Tjeng. "Orang tua yang hendak menang sendiri, dia tak berharga untuk dihormati!"

Orang tua itu menjadi sangat mendongkol hingga dia keprak meja dikepala perahu dan meja itu menjadi melesak, apabila dia telah angkat tangannya, tangan itu menjumput potongan-potongan kayu meja, yang menjadi hancur bekas tercengkeram.

Nyata tangan orang tua ini kuat bagai- kan besi. "Eng Loo-ya-tjoe!" berkata Oen Tjeng, "tentang kepandaianmu yang liehay, aku sudah tahu, maka tak usahlah kau jual lagak didepan yang mudaan! Jikalau kau hendak pertontonkan kepandaianmu itu, pergi kau pertonton- kan kepada sekalian yayaku!" Kembali orang tua itu gusar. "Jangan kau coba gertak aku dengan sebut-sebut beberapa yayamu itu!" ia membentak. "Siapa yaya- mu itu? Jikalau mereka punyakan kepan- daian, tak nanti mereka antap anak- gadisnya diperkosa orang, sehingga tak nanti anak-gadisnya itu lahirkan bocah haram seperti kau ini!" Meluap hawa amarahnya Oen Tjeng, yang berba- reng pun jadi sangat berduka, hingga wajah- nya menjadi merah padam, gusar, malu dan bersedih. Sekelebatan, cahaya mata- nya menyala bagaikan api. Si orang ber- tubuh besar dan si orang perempuan lihat itu, mereka tertawa berkakakan. Sin Tjie awasi si anak muda, kedua matanya dia ini mengalirkan air mata. Ia heran dan terharu dengan berbareng.

"Nampaknya dia jauh lebih berpengalaman daripadaku, mengapa sekarang dia mena- ngis?" dia berpikir. Biar bagaimana, anak muda ini kena diperhina - dia bersendirian, dia diperhina juga.

Karena ini, semangatnya Sin Tjie jadi terbangun, berniat ia membantu anak muda ini, apabila saatnya sudah sampai.

"Apakah faedahnya untuk menangis?" kata si orang tua, dengan tajam, lagu- suaranya mengejek. "Kau lekas keluarkan emas itu. Kami juga tidak serakahi, dari uang itu, kami nanti pisahkan sejumlah untuk tunjang jandanya See Loo Toa..." Tubuhnya Oen Tjeng bergemetar.

"Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah!" ia menantang, sambil menangis. "Aku tidak hendak menyerahkannya!"

"Hm!" berseru si orang tua, yang semen- tara itu lihat perahu besar itu laju terus dengan cepat, maka ia lantas jumput jangkar besar yang terikat rantai, ia lempar itu jauh ketepian,

hingga dilain saat, perahu berhenti dengan tiba-tiba. Berat jangkar kira- kira dua ratus kati maka bisalah diduga besarnya tenaga orang tua ini, siapa lantas tegaskan Oen Tjeng : "Kau hendak serahkan atau tidak?" Anak muda itu angkat tangan kirinya, akan susuti air matanya. "Baiklah, aku nanti serahkan!" katanya, yang segera lari kedalam pera- hu, akan sedetik kemudian keluar pula, sambil kedua tangannya membawa satu bungkusan, yang mestinya berat. Si orang tua ulur tangannya, untuk sambuti bungkusan itu. "Foei! Begini gampang!" mendadak si anak muda berseru. Dengan sekonyong-konyong ia menimpuk dengan bungkusan itu, kearah sungai, hingga dilain saat terdengarlah suara tercebur jang nyaring. Lantas dia menantang : "Jikalau kau berani, bunuhlah aku! Jikalau kau menghendaki emas, jangan harap!" Tidak terkira kemurkaannya si orang tubuh besar, ia menjerit, ia angkat goloknya membacok anak muda jang licik itu, yang berbareng pun memperma- inkan kepadanya. Habis membuang bungkusan, Oen Tjeng pun segera hunus pedangnya, maka itu, setelah diserang dan berkelit, dia balas menerjang, beruntun sampai dua kali. "Tahan ! Tahan!" berseru si orang tua. Si orang bertubuh besar, kawannya orang tua ini, lompat mundur dua tindak, Si orang tua

sendiri terus awasi anak muda itu.

"Benar-benar, naga melahirkan naga, burung hong menetaskan burung hong!" kata dia. "Ada orang semacam ayahnya, ada anaknya semacam dia ini! Kalau hari ini aku antap terus kau main gila dihadapanku si orang tua, bocah cilik, aku bukan si orang she Eng lagi!"

Hampir tak kelihatan lagi, orang tua ini tutup kata-katanya dengan tahu-tahu tubuhnya sudah berada didepannya si anak muda. Oen Tjeng rupanya telah siap, ia menyambut dengan satu tusukan hebat. Tapi si orang tua benar-benar liehay. Dia bertangan kosong, dia berkelit dari tikaman itu, lantas dia

merangsak. Mau atau tidak, anak muda itu mundur. Malah ia mesti mundur terus, karena desakannya si orang tua, jang gerakannya membuat si anak muda tak sempat menyerang dia. Sia-sia saja Oen Tjeng menyekal pedang panjang, tak mampu ia gunai itu. Sedetik saja, Sin Tjie telah dapat lihat bahwa Oen Tjeng bukan tandingan orang tua itu, yang sangat gesit. Dengan ini pun telah dibuktikan dengan segera. Baru bisa luputkan diri dari sepuluh gebrak lebih, atau lengan kanan si anak muda sudah kena ditotok, atas mana dia rasai tangannya kesemutan dan kaku, hingga pedangnya lantas terlepas dari cekalan

dan jatuh dilantai perahu. Begitu pedang jatuh, si orang tua menyontek dengan kakinya yang kiri, hingga pedang

terangkat mumbul, hingga gampang saja dia menanggapinya dengan tangannya yang kiri, lalu dengan menyekal ujungnya pedang itu, dengan tangan kanan dengan  satu gerakan saja, dia bikin senjata itu patah dua! Oen Tjeng kaget hingga mukanya pucat. Si orang tua masih berkata : "Jikalau aku tidak tinggalkan suatu tanda dalam tubuhmu, aku kuatir kau nanti melupakan liehaynya aku si orang tua!" Dan lalu, dengan ujung

pedang yang patah itu, dia menggurat kemukanya si anak muda! Oen Tjeng kaget dan ketakutan, mukanya pucat, cepat- cepat dia mundur, untuk menyingkir dari serangan itu, atas mana, si orang tua desak padanya, hingga dilain saat, ujung pedang, yang dipegang dengan tangan kiri, hampir mampir dimuka orang. "Celaka dia...." pikir Sin Tjie, yang merasa sayang muka demikian cakap dan putih nanti meninggalkan cacat.

Oen Tjeng sendiri, dalam takutnya, telah keluarkan jeritan. Dengan sebat Sin Tjie rogo sebutir biji caturnya dengan apa ia lantas menimpuk kearah

pedang si orang tua. "Trang!" demikian satu suara nyaring. Si orang tua ter- kejut, justru waktu itu ia sedang kegirangan karena segera ia bakal dapat

coret muka orang yang cakap-ganteng, sedang tangannya pun tergetar, sesemutan sakit, hingga tak sanggup dia cekal lebih lama pedangnya itu, yang lantas terlepas dan jatuh. Melihat demikian, dari ketakutan, Oen Tjeng menjadi girang sekali, hatinya lega dengan tiba-tiba. Tidak buang tempo lagi, ia loncat kearah Sin Tjie, untuk berlindung dibelakang dia ini, lengan siapa ia pegangi dengan keras, agaknya ia hendak memohon perlindungan. Orang tua itu, orang she Eng seperti dia telah perkenalkan diri, bernama Tjay. Dia adalah pangtjoe, atau ketua, dari Liong Yoe Pang, satu kawanan di Tjiat- kang Selatan dimana, kecuali Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay, dia adalah orang tertangguh satu-satunya. Adalah biasa- nya bagi dia, apabila dia bertempur dia tak suka gunai senjata. Inilah disebab- kan dia telah yakin ilmu silat Eng- djiauw-kang, Kuku Garuda, sehingga tangannya jadi kuat melebihi golok atau pedang yang biasa. Maka itu, ia tak kepalang kagetnya apabila ia dapatkan, pedangnya dilepaskan orang hanya dengan timpukan sebutir biji catur. Ia kaget

berbareng malu, hingga mukanya menjadi merah. Seumur hidupnya, ini adalah malu besar pertama yang ia pernah alami.

"Kenapa bocah ini besar sekali tenaga- nya?" pikir dia, jang masih tercengang.

Si orang tubuh besar dan wanita pun segera lihat liehaynya Sin Tjie, mereka merasa bahwa dilanjutinya pertempuran tidak akan membawa bahagia untuk mereka, maka justru emas telah dibuang ke sungai, mereka anggap baiklah sudahi urusan sebelum perkara berlanjut hebat.

"Loo-ya-tjoe, marilah!" si nyonya segera mengajak. "Dengan memandang mata kepada sahabat she Wan ini, hari ini kita kasih ampun pada bocah ini..."

"Hm!" Oen Tjeng menghina, selagi si orang tua belum sempat buka mulutnya. "Melihat orang liehay, lantas hendak angkat kaki! Jadi tukang menghina si lemah tapi jeri kepada si kuat - tak malu?" Sin Tjie kerutkan alis.

"Anak licik," memikir ia " diri sendiri Baru lolos dari bahaya besar, sekarang kembali sudah mengeluarkan kata-kata tajam, sedikit juga tidak mau memandang orang...."

Benar-benar wanita itu menjadi sangat mendelu karena perkataan si orang muda ini, tapi ia pun berdiam, karena ia insyaf, melayani salah, tidak melayani salah juga... Sampai disitu, si orang tua buka mulutnya. Dasar ia berpengala- man. "Lauwtee, kau liehay," berkata dia kepada Sin Tjie. "Rembulan permai, cuaca indah, angin pun sejuk, bagaimana jikalau kita berdua main-main seben- tar?" Pangtjoe dari Liong Yoe Pang menantang. Dia ingin coba-coba Eng- djiauw-kangnya yang telah dia yakinkan lebih dari dua-puluh tahun lamanya. Dia mau percaya, melihat usia muda orang, jikalau bertanding, tidak nanti dia kalah dari si anak muda. Sin Tjie ber- sangsi. Ia telah pikir: "Jikalau aku layani dia, walaupun belum pasti aku kalah, tapi setelah bergebrak, itu artinya aku bantu Oen Tjeng. Dia ini tua, nampaknya dia berpandangan cupat, dia pun licin, pertempuran tentu tidak ada faedahnya. Kenapa aku mesti tanam bibit permusuhan?"

Maka itu lekas-lekas ia memberi hormat.

"Aku yang muda Baru pertama kali ini menginjak dunia kang-ouw, belum tahu aku tingginya langit dan tebalnya bumi," berkata ia, "maka itu, dengan kebisaanku ini yang tidak berarti, cara bagaimana aku berani melayani lootjianpwee?" Eng Tjay bersenyum.

"Aku tidak sangka, dia begini muda tapi bisa sekali dia bawa diri," pikirnya. Ia gunai ketika ini, untuk undurkan diri. Maka ia kata saja : "Sahabat Wan, kau sungkan sekali..."

Tiba-tiba matanya mendelik, mendekati Oen Tjeng. Dia kata: "Dibelakang hari mesti ada satu waktu yang aku si orang tua kasih rasa liehaynya kepadamu, bocah nakal!" Terus ia menoleh kepada kawannya, yang bertubuh besar. "Mari kita pergi!" ia mengajak. "Berapa besar juga liehaymu, aku sudah tahu!" mendadak Oen Tjeng buka mulut pula.

"Kau lihat orang liehay, terang kau tidak berani melayaninya!" Anak muda ini sengaja mengejek, untuk menghina, buat puaskan kemendongkolannya. Ia

pun sangat ingin saksikan pertempuran diantara mereka berdua. Ia percaya si anak muda liehay dan si orang tua bukan tandingannya, toh ia hendak memaksakan.

Eng Tjay jadi serba salah. Dan Sin Tjie jadi tidak senang untuk sikap orang itu. Dalam murkanya, ketua Liong Yoe Pang kendalikan diri. "Saudara Wan, walaupun kau masih muda sekali tetapi kau kenal persahabatan," berkata dia. Lebih dahulu daripada itu kembali dia mendekati kepada si anak muda yang mulutnya liehay itu. "Sahabat, mari kita main-main segebrak saja, supaja itu bocah tidak tahu diri tidak katakan aku tak punya nyali!"

"Oh, lootjianpwee, mengapa kau bersatu pandangan sebagai dia?" kata Sin Tjie sambil bersenyum. "Dia omong main-main saja..."

"Kau jangan kuatir, aku pun tidak sungguh-sungguh," Eng Tjay mendesak.

Kembali Oen Tjeng perdengarkan kata- katanya yang dingin dan tajam : "Bilangnya tidak takut tapi masih tidak mau turun tangan! Masih omong tentang persahabatan saja! Ah, lebih baik jangan bertempur, dah! Sampai umurku begini besar, belum pernah aku tampak

kejadian semacam ini! Maka aku bilang, lebih baik jangan bertempur!..."

Luber hawa-murka Eng Tjay, hingga dengan tiba-tiba dia sampok muka Sin Tjie, akan tetapi belum sampai serangan itu pada sasarannya, dia sudah tarik pulang kembali tangannya. Lantas dia kata: "Sahabat Wan, mari, mari, aku ingin belajar kenal dengan kepandaian- mu!" Melihat demikian, Sin Tjie tidak bisa mundur pula. Tanpa loloskan bajunya, jang panjang, dia lompat ketengah kalangan. "Aku harap lootjianpwee berkasihan terhadapku..." memohon dia. "Kau baik sekali, sahabat Wan. Silakan!" sahut Eng Tjay tapi sambil menantang. Sin Tjie tahu, apabila ia terus merendahkan diri, itu berarti penghinaan kepada si orang

tua, dari itu, tanpa bilang suatu apa, ia segera kirim kepalannya jang pertama. Ia bersilat dengan ilmu pukulan "Ngo-heng-koen" atau "Koentauw Panca logam".Ia serang dada sebagai sasaran. Eng Tjay bertiga kawannya sangka si anak muda liehay sekali, maka itu, melihat orang datang-datang menye- rang dengan Ngo-heng-koen, mereka lantas saja memandang enteng.

Oen Tjeng sendiri kecele bukan main, mukanya sampai pucat. Ketua Liong Yoe Pang menjadi girang, lantas dia balas menyerang, dengan seru, hingga setiap pukulannya mengeluarkan sambaran angin menderu-deru. Ia percaya, sebagai jago

Eng-djiauw-kong, dengan tiga jurus saja, ia akan dapat rubuhkan pemuda ini atau sedikitnya ia bakal dapat pukul pecah Ngo-heng-koen. Diluar dugaan dengan sederhana, melainkan dengan andali keentengan tubuh, Sin Tjie

luputkan diri dari pelbagai serangan yang berbahaya, hingga karenanya, sekarang ia membuat terkejut dan heran kepada lawan yang tua itu. Ia merasa aneh, ilmu silat umum sebagai Ngo-heng- koen itu bisa diubah menjadi kegesitan tubuh demikian rupa. Biasanya Ngo-heng- koen dipakai secara keras, untuk menye- rang hebat. Lantas pertempuran berlanjut, sebagai kesudahan dari mana, ketua Liong Yoe Pang itu jadi semakin heran. Tak dapat dia desak, untuk men- dekati tubuh pemuda itu, hingga akhir- nya, dia menjadi sibuk sendirinya.

"Teranglah orang ini mengalah terha- dapku..." pikir dia. "Kalau terus berlangsung begini, tentu Oen Tjeng bakal perhina kembali padaku..."

Inilah yang membuat ia sibuk dan kuatir. Maka kembali ia mencoba me- nyerang, ia berlaku sungguh-sungguh ketika ia keluarkan jurus Eng-djiauw- kong. Ia berlaku cepat, semua sasaran- nya ada tempat-tempat berbahaya. "Eng- djiauw-kangnya ada begini rupa, inilah bukannya hasil dari satu hari satu malam," pikir dia. "Aku harus berikan muka padanya, jikalau aku tidak menga- lah, Oen Tjeng tentu bakal buka pula bacotnya..."

Oleh karena memikir begini satu kali Sin Tjie sengaja berlaku ayal.

Eng Tjay girang sebab ia bakal dapat lowongan, tetapi ia juga tidak berniat mencelakai pemuda itu, ia ingin robek saja baju orang, karena ini juga sudah berarti kemenangan. Demikian ia telah jambak pundak lawan. Ia telah mengenai sasarannya, akan tetapi segera ia men- jadi heran luar biasa. Ia kena pegang sepotong daging yang menjadi keras dan licin dengan tiba-tiba, hingga ia mirip dengan nelayan yang menangkap ikan tapi lolos pula saking licinnya sang ikan. Hal ini membuat ia heran dan terkejut.

Sin Tjie berkelit untuk segera lompat mundur dua tindak. "Aku menyerah," kata dia. "Kau sengaja mengalah!" kata Eng Tjay sambil memberi hormat. Tapi Oen Tjeng segera nyelah, katanya : "Dia benar-benar mengalah kepadamu, kau tahu

tidak? Jikalau kau tahu, ja sudah!"

Padam wajahnya jago Liong Yoe Pang itu. Ia merasa tersinggung. Disaat ia hendak buka mulut, mendadak ada terlihat cahaya obor terang-terang didarat, beberapa puluh orang nampak sedang mendatangi, diantaranya ada yang ber- teriak-teriak: "Eng Loo-ya-tjoe, apa

bocah itu sudah kena dibekuk? Kami hendak iris-iris dia, untuk balaskan sakit hati See Loo Toa!"

Oen Tjeng lihat orang datang dalam jumlah besar sekali, mau atau tidak, hatinya ciut juga. "Saudara-saudara Lauw, kamu berdua kemari!" ada jawaban pangtjoe dari Liong Yoe Pang. Segera rombongan itu telah sampai ditepian, akan tetapi perahu berlabuh jauh dari

mereka, maka dua diantaranya segera terjun keair, akan selulup dan berenang

menghampirkan perahu, cepatnya seperti ikan berenang. Begitu lekas mereka raba tepi kendaraan air, keduanya sudah loncat naik. "Bungkusan berharga itu sudah dibuang bocah ini kedalam sungai, pergi kamu engko dan adik selulup dan cari!" Eng Tjay kasi keterangan. Ia menunjuk kearah mana tadi Oen Tjeng

lemparkan bungkusannya. Dua saudara Lauw itu lantas terjun pula kesungai, dalam sejenak, mereka sudah lenyap

dari permukaan air. Oen Tjeng masih ada dibelakang Sin Tjie, ia betot tangan baju orang. "Tolong aku, mereka hendak bunuh padaku..." ia memohon sambil berbisik. Pemuda kita menoleh, ia lihat roman yang berduka, hingga ia jadi merasa kasihan, tanpa berayal, ia manggut. "Kau tarik jangkar," Oen Tjeng minta pula. Belum Sin Tjie menyahuti atau ia telah merasai lemasnya tangan Oen Tjeng, tangan yang halus dan lemah seperti tak ada tulang-tulangnya....

Eng Tjay lihat anak muda itu berbisik kepada si orang she Wan, ia lantas memasang mata, akan tetapi, dia masih kalah sebat. Dengan sekonyong-konyong Oen Tjeng sambar meja, dengan itu ia menimpuk kepada ketiga musuhnya.

Si orang tubuh besar dan nyonya tidak menyangka, tak ampun lagi, keduanya rubuh kecebur ke air. Eng Tjay masih sempat sambuti meja, ia telah menyam- barnya sambil lompat berkelit. Ia menyekal meja demikian keras, hingga kaki meja itu perdengarkan suara patah berkerekekan. Ia luput dari bahaya tetapi ia bingung terhadap dua kawannya

yang kecebur itu, karena ia tahu, mereka tak bisa berenang, sedang dua saudara Lauw - itu waktu - sudah berenang ketengah untuk selulupi bungkusan emas. Ia lempar meja kesungai, supaya dua kawannya pakai untuk pepegangan. Tapi ia gusar sekali, lantas saja ia serang si anak muda.

Oen Tjeng masih cekali dua potong kaki meja, ia tangkis serangan dengan gunai sepasang kaki meja itu sebagai senjata. Ia terutama lindungi mukanya. "Lekas!" ia teriaki Sin Tjie. Cepat luar biasa, pemuda kita sambar rantai jangkar, ia menarik dengan kaget dan keras, hingga dilain saat, jangkar itu terangkat dari gili-gili, melayang pulang keperahu.

Melihat demikian, Eng Tjay kaget, tapi segera ia lompat menyingkir. Oen Tjeng pun kaget dan turut menyingkir juga dari sambaran jangkar itu, dengan begini, ia jadi terpisah dari jago tua itu. Akan tetapi Sin Tjie sendiri berlaku tenang, ia sambuti jangkar, untuk diletaki perlahan-lahan dikepala perahu. Justru karena jangkar diangkat, perahu itu segera saja hanyut dibawa air deras, dengan lekas orang-orang didarat ditinggalkan kendaraan air ini.

Selagi ia kagumi si pemuda, Eng Tjay pun kaget melihat jalannya perahu, tanpa berani banyak omong pula, ia menjejak perahu, untuk loncat kearah darat. Sin Tjie tahu maksudnya, ia tahu juga, tak nanti orang tua itu sampai ditepi, lekas-lekas ia angkat papan jembatan perahu, ia lempar itu ke air disebelah depan si djago tua. Eng Tjay sedang bingung, dia merasa pasti yang dia bakal kecebur keair, maka bagaimana

lega hatinya, akan tampak selembar papan jatuh didepannya, ngambang dimuka air, maka segera dia injak itu, untuk dipakai menjejak pula, akan berlompat terus, dengan begitu, bisalah ia sampai dipinggiran sungai, kakinya menginjak daratan. Berbareng berhati lega dan girang, ia pun jadi bersyukur kepada si pemuda, yang telah menunjukkan kebaikan

hati kepadanya. Ia juga kagumi liehaynya pemuda ini. "Ah!" Oen Tjeng berseru, dengan lesu. "Kembali kau berbuat baik terhadap dia!.... Sebenar- nya kau bantui aku atau dia itu? Apakah bukan lebih baik akan antap dia

kecebur? Dia toh tidak bakal kelelap mampus..." Sin Tjie tahu orang beradat aneh, ia tidak mau melayani bicara, ia hanya bertindak kedalam perahu, akan rebahkan diri, buat tidur. Oen Tjeng kecele, dengan masgul, ia pun masuk.

Perahunya sendiri hanyut terus... Dihari kedua, tengah hari, perahu sampai di Kie-tjioe. Sin Tjie mengha- turkan terima kasih pada Liong Tek Lin, ia kasih persen sepotong perak pada

tukang perahu. "Jangan, biar aku yang berikan sekalian," Tek Lin mencegah. Saudagar ini insyaf, si pemuda adalah yang hindarkan bahaya, karenanya, ia berterima kasih kepadanya. Sin Tjie tidak hendak memaksa, ia membilang terima kasih pula, lalu ia pamitan.

"Aku tahu, kau juga tak nanti ijinkan aku bayar uang sewa perahu tapi aku tak sudi kau yang bayarkan," berkata Oen Tjeng, yang lantas rogoh buntalannya, akan keluarkan sepotong perak beratnya kira-kira sepuluh tail. "Ini untuk kau!" katanya pada tukang perahu kepada siapa ia lempar uang perak itu. Tukang perahu itu tercengang. "Aku tak punya uang kecil...."katanya. "Siapa ingin kau mengembalikannya?" jawab si anak muda. "Itu semua untukmu!" Tukang perahu itu sangsi. "Tak usah demikian banyak...."katanya. "He, banyak bacot!" bentak Oen Tjeng. "Berapa aku suka kasih, aku kasih, buat apa kau ngoceh saja! Nanti aku bolongi perahumu sehingga tenggelam, Baru kau tahu!"

"Terima kasih, terima kasih, tuan," kata tukang perahu itu kemudian. Ia tahu orang telengas, ia tak berani membantah pula. Ia jumput uang itu.

Oen Tjeng lantas buka bungkusannya, sehingga berkilauan cahaya kuning-emas dari kira-kira tiga-ratus potong emas yang tiap potong terdiri dari kira-kira sepuluh tail. Dengan tangan kanannya, si anak muda pecah uang itu jadi dua tumpukan, yang setumpuk diantap diatas meja, yang setumpuk lagi, ia bungkus pula, bungkusannya terus ia gendol dibelakangnya. Dengan kedua tangan, ia tolak tumpukan yang satu itu kedepan

Sin Tjie. "Untuk kau!" katanya. "Apa?" tanya Sin Tjie. Ia tidak mengerti. Oen Tjeng tertawa dengan manis. "Apakah kau sangka benar-benar aku buang harta ini kedalam kali?" tanyanya. "Itulah tolol! Biar mereka selulup timbul, untuk men- carinya, jikalau mereka berhasil, tentu mereka akan pungut sebungkusan batu saja!" Lalu ia tertawa geli sekali.

Sin Tjie menghela napas. Anak muda ini lebih muda daripada ia, toh satu tua- bangka sebagai Eng Tjay masih kena diperdayakan! "Aku tidak membutuhkan ini, kau ambil sendiri," ia menampik. "Aku bantui kau bukan karena uang."

"Tetapi inilah pemberianku kepadamu," si anak muda mendesak. "Uang ini bukan- nya kau yang ambil sendiri! Kenapa berpura-pura jadi koentjoe palsu?"

Sin Tjie menggeleng kepala. Tek Lin ada satu saudagar yang banyak hartanya, tetapi menghadapi dua orang itu, ia

heran sekali. "Yang satu tak menghargai uang, yang lain tak memandangnya. Yang satu mendesak mengasih, yang lain keras menolak."

"Tidak peduli kau suka atau tidak, aku mesti berikan padamu!" kata si anak muda akhirnya, suaranya keras, tandanya ia gusar. Lalu dengan sekonyong-konyong ia lompat kedarat! Sin Tjie tercengang, tapi segera ia mendusin, ia pun lompat, untuk menyusul. Oen Tjeng bisa lari keras, akan tetapi sejenak saja, ia dapat didahului. "Tunggu!" Sin Tjie kata sambil ia pentang kedua tangannya, untuk menghalangi. "Kau bawa emasmu itu!" Anak muda itu coba nerobos, kekiri dan kanan, sia-sia saja, tak mampu ia lewati si pemuda, dalam sengitnya, mendadakan ia serang mukanya pemuda itu. Sin Tjie tangkis serangan itu, ia menolak dengan tangan kiri. Sebenarnya ia tidak gunai tenaga, akan tetapi si anak muda mundur tiga tindak.

Menampak bahwa ia tak sanggup tobloskan cegatan, mendadak Oen Tjeng jatuhkan diri, untuk duduk ditanah, dengan tiba- tiba juga ia menangis sesenggukan. "Kau sakit?" tanya Sin Tjie, jang heran dan kuatir. Ia sangka tangkisannya membuat anak muda itu merasai sakit pd lengan- nya. "Foei!" berseru Oen Tjeng, yang lompat bangun dengan tiba-tiba, terus ia loncat lagi, untuk menyingkir.

Sin Tjie melongo ia awasi Oen Tjeng lenyap dari pandangan matanya.

Bab 6

"Benar-benar koekoay!" kata ia sambil ngeloyor balik ke perahu. Ia kagumi kepandaian anak muda itu, tetapi ia heran tabeat yang mendelukan tapi juga menggelikan. Terpaksa ia bungkus tumpukan uang itu, untuk dibawa pergi, dari Tek Lin, ia ambil selamat berpisah. Ia pergi kekota, akan cari sebuah hotel. "Tak lega hatiku jikalau uang ini aku tidak dapat kembalikan kepada si anak muda," ia berpikir selagi ia duduk terpekur dalam kamar- nya. "Aku kasihan padanya, sebab itu aku bantu dia, maka jikalau aku terima pemberiannya itu, tidakkah namaku jadi jelek? Dia bilang dia ada orang Tjioliang, kenapa aku tidak susul dia dirumahnya? Jikalau dia tetap

menolak, aku nanti letaki uang di rumahnya itu dan tinggal pergi!...."

Karena ini besokannya, setelah cari keterangan tentang jalanan ke Tjio- liang, Sin Tjie gendol bungkusannya, ia menuju ketempat itu, jang terpisahnya dari kota Kietjioe cuma dua-puluh lie, hingga tak ada setengah jam, ia sudah sampai. Tjio-liang ada satu dusun kecil, yang berdampingan sama bukit Lan Ko San. Nama dusun itu, dan bukitnya juga, mempunyai cerita dongeng sebagai berikut : Di jaman purbakala ada satu tukang kayu yang pergi ke bukit itu mencari kayu bakar. Dia ketemu dua dewa

asyik main catur. Dia menonton. Ketika satu babak berakhir dan ia menoleh pada

kampaknya, kampak itu "bonyok" sendiri- nya. Dan ketika ia pulang, rumahnya, orangnya semua, sudah berubah, karena ternyata, dia telah pergi untuk lamanya beberapa puluh tahun. "Lan Ko" berarti "kampak bonyok", demikianlah, gunung itu ada dua puncak yang tersambung satu pada lain dengan satu batu besar dan panjang, yang merupakan penglari. Itu pasti bukan batu buatan manusia dan terpalangnya disitu bukan pekerjaan

manusia juga, maka orang-orang tua anggap itu ada buah-kesaktian dewa. Maka itu, tempat itu dipanggil "Tjio- liang" yang berarti "penglari". Selagi berjalan untuk cari rumah orang she Oen, Sin Tjie berpapasan dengan seorang tani perempuan. "Enso, numpang tanya, disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" tanyanya. Orang perempuan itu terkejut nampaknya. "Tidak tahu!" sahutnya. Dan air mukanya berubah tak senang, dia pun lantas berjalan pergi dengan cepat.

Sin Tjie heran, akan tetapi ia jalan terus. Ia sampai pada sebuah toko.

"Numpang tanya disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" ia tanya pemilik toko.

"Ada apa saudara tanya keluarga Oen?" balik tanya si tuan toko dengan tawar.

"Aku hendak kembalikan serupa barang," Sin Tjie terangkan. "Kalau begitu, kau ada sahabatnya si orang she Oen! Habis, untuk apa kau menanyakannya kepadaku?" kata tuan toko itu. Sin Tjie heran berbareng jengah. "Kenapa seorang dagang begini kasar kelakuannya?" tanya ia kepada diri sendiri. Ia ngeloyor, lalu ia hampirkan dua bocah yang lagi memain diujung jalanan. Ia keluarkan

sepuluh uang tangtjhie, ia sesapkan itu dalam tangannya satu bocah. "Saudara kecil, mari antar aku kerumah keluarga Oen!" minta dia. Bocah itu sudah genggam uang yang diberikan padanya, atau ia segera kembalikan. "Rumah keluarga Oen? Itu dia yang besar!" jawabnya. "Aku tak sudi pergi kerumah itu!" Kembali Sin Tjie menjadi heran, akan tetapi segera ia mengerti, rupanya keluarga Oen itu tak disukai sesama penduduk sehingga tak ada orang yang ingin bergaul dengannya. Ia hanya tidak tahu, apa yang menyebabkan kesungkanan itu. Ia segera bertindak kearah rumah besar yang ditunjuk si bocah. Dari jauh-jauh sudah terdengar suara riuh dari banyak orang, yang datang dari arah rumah keluarga Oen itu, dimana pun berkerumun puluhan orang tani yang pada bawa pacul dan garu. Selagi mendekati, Sin Tjie dengar nyata teriakan mereka : "Kamu telah aniaya tiga orang, apa boleh dengan begitu saja? Orang she Oen, lekas keluar, ganti jiwa!"

Diantara mereka itu ada tujuh atau delapan orang perempuan dengan rambut riap-riapan yang sambil duduk ditanah, menangis menggerung-gerung, dan menjerit-jerit. "Saudara, kau sedang bikin apa?" tanya Sin Tjie pada satu orang. "Siangkong ada orang asing, kau tentu tidak tahu kejadian ini," sahut orang yang ditanya itu. "Keluarga Oen ini ada cabang atas disini, mereka menjagoi. Kemarin mereka pergi

menagih sewa tanah kekampung. Empeh Thia minta tempo, buat beberapa hari saja, tapi si empeh dijoroki, dia rubuh, kepalanya, kena batu, terus dia binasa. Anak dan keponakan empeh Thia gusar, mereka membelai, tetapi mereka kena dilabrak hingga luka-luka. Coba

pikir, siangkong, apa tuan tanah begitu tidak kejam?" Selagi petani itu memberi keterangan kepada pemuda kita, suara riuh bertambah-tambah, ada orang tani yang gunai garunya menyerang pintu, ada yang jumput batu-batu untuk dipakai menimpuk kedalam pekarangan. Sekonyong- konyong pintu pekarangan terbuka lebar, satu bajangan melesat keluar, sebelum orang melihat tegas, sudah ada tujuh atau delapan petani yang terpelanting,

rubuh jauhnya dua-tiga tumbak, sehingga kepala mereka mengeluarkan darah! "Dia gesit sekali," pikir Sin Tjie. Ia lantas mengawasi. Bajangan itu ada seorang dengan tubuh kurus dan jangkung, kulit mukanya semu kuning

tetapi sepasang alisnya berdiri. Kelihatan nyata, dia mestinya pandai silat. "Hai, kamu, mahluk-mahluk seperti anjing dan babi!" membentak orang itu. "Kenapa kamu datang mengacau kemari?" Orang ini menanya demikian, akan tetapi, belum sempat orang jawab dia, dia sudah menyerang pula, hingga lagi beberapa orang terjatuh sungsang- sumbal. Sin Tjie lihat orang bertenaga besar, dia melempar-lempari orang seperti sedang melempar-lemparkan ikatan-ikatan jerami. "Entah terkena apa dia dengan Oen Tjeng?..." pikirnya. "Coba itu malam dia ada beserta Oen Tjeng, tentu leluasalah mereka melayani Eng Tjay, sehingga tak perlu aku beri- kan bantuanku..." Itu waktu seorang tani dari usia pertengahan dan dua orang muda majukan diri. "Kamu telah bunuh orang, apa itu dapat disudahi secara begini saja?" tanya mereka. "Memang benar kami ada orang-orang melarat akan tetapi sekali- pun melarat, kami mempunyai jiwa!"

Si jangkung-kurus itu tertawa dingin.

"Hm! Hm! Jikalau belum aku mampusi lagi beberapa jiwa, tentu kamu belum tahu rasa!" berseru dia. Mendadak tubuhnya mencelat maju, lantas si orang usia pertengahan kena dicekuk pada bebokong- nya, kapan tubuhnya telah diangkat, tubuh itu segera terlempar ke ujung tembok timur! Kedua petani muda menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka

menyerang dengan pacul mereka.

Si kurus menangkis dengan tangannya yang kiri, sekejab saja kedua batang pacul kena tersampok lepas dan terpental, menyusul mana, tubuhnya dua petani itu disambar seorang dengan sebelah tangan, lantas diangkat untuk dilemparkan keatas batu besar yang menjadi tunggul tiang bendera dimuka pintu pekarangan. Sebegitu jauh dia menyaksikan, hati Sin Tjie panas, tetapi ia masih dapat berlaku sabar. Ia

pikir tak boleh ia lancang mencampuri urusan yang ia belum tahu duduknya.

"Baik aku tunggu sebentar, nati aku minta bertemu dengan Oen Tjeng, untuk kembalikan uangnya, lantas aku pergi pula," pikirnya. Siapa tahu setelah lihat nasibnya si orang usia pertengahan, ia pun tampak bencana yang mengancam kedua pemuda tani itu, dengan

mendadak saja ia ubah pikirannya. Lupa ia segala apa. Mendadak ia berlompat, dengan sangat sebat ia sambuti tubuhnya kedua petani muda itu hingga tak usah- lah mereka jatuh terbanting! Kemudian dengan pelahan-lahan, ia turunkan tubuh mereka itu. Gerak sebat dan luar biasa itu ada "Gak Ong Sin Tjiang", atau "Panah gaib dari Gak Hoei", ialah salah satu pelajaran yang Sin Tjie peroleh dari Bhok Siang Toodjin. Sebenarnya dia

tak pikir untuk pertontonkan kepandaian yang istimewa itu, tetapi untuk tolong kedua pemuda tani, ia tak dapat berbuat lain. Ia pun sudah pikir setelah ketahui rumah si orang she Oeng, baik sebentar malam saja ia datang pula, untuk kembalikan emasnya Oen Tjeng. Ia pun tahu, si jangkung-kurus akan jadi tidak senang, maka untuk singkirkan

kerewelan, lantas ia memutar tubuh, akan bertindak pergi. Kedua petani muda, yang ketolongan, berdiri bengong bahna kaget dan heran. Si jangkung kurus tak terkecuali, ia heran dan kagumi kegesitan dan tenaga besar dari

pemuda tak dikenal ini. Tapi kapan ia lihat orang hendak pergi, ia memburu.

"Sahabat, tunggu dulu!" menegur dia sambil tepuk pundaknya pemuda kita. Ia menepak bukan menepak belaka, berbareng ia telah gunai ilmu mengerahkan tenaga "Tjian kin lat" - "Tenaga seribu kati".

Sin Tjie tidak berkelit, cuma dengan turunkan sedikit pundaknya, ia sudah bebas dari tepakan yang akan merupakan bandulan seribu kati itu. Iapun tidak lakukan serangan membalas, Ia cuma memutar tubuh. Kembali si jangkung- kurus terkejut. "Apakah tuan ada undangan mereka itu untuk mempersulit aku?" tanya dia. Ditanya begitu, Sin Tjie lekas memberi hormat. "Maafkan aku," ia mohon. "Aku kuatir nanti terbit perkara jiwa, yang bisa membuat banyak berabe, maka dengan lancang aku tolongi mereka. Lauwhia mempunyai kepandaian begini rupa, kenapa kau berpandangan sama seperti orang-orang dusun ini?" Melihat sikap menghormat dan perkataan itu halus, sedang kepandaian orang pun ia puji, si jangkung-kurus ini surut separuh hawa- amarahnya. "Kau she apa , tuan? Ada urusan apa kau datang ketempat kami ini?" ia tanya. "Aku she Wan," Sin Tjie sahuti. "Ada satu sahabatku yang she Oen, apa dia tinggal disini?"

"Aku pun orang she Oen. Siapa itu yang tuan cari?" "Sahabat itu berumur delapan atau sembilan belas tahun, romannya cakap sekali, ia dandan sebagai mahasiswa," Sin Tjie terangkan.

Si jangkung-kurus manggut-manggut. Lantas ia hadapi beberapa puluh orang tani itu, yang masih belum bubaran.

"Apakah kamu cari mampus? Buat apa kamu masih berdiam disini?" ia tanya mereka,

suaranya, sikapnya, bengis sekali.

Melihat orang asing itu bicara bagaikan sahabat dengan si orang she Oen itu, sedang keduanya mereka ini berilmu silat tinggi, orang banyak itu lantas saja ngeloyor pergi. "Silakan masuk, tuan. Mari minum teh!" si jangkung- kurus lantas undang tetamu asing itu.

Sin Tjie terima baik undangan itu, ia turut masuk, maka ia dapati sebuah rumah jang besar, dengan thia jang lebar, dibagian tengah ia lihat pian dengan empat huruf besar : "Sie Tek

Bian Tiang". Itu adalah pujian untuk kebijaksanaan kekal-abadi bagi keluarga itu. Perabotan lainnya menunjukkan bahwa keluarga Oen ada satu keluarga besar dan berharta. Tuan rumah undang tetamunya duduk dan orangnya segera suguhi mereka air teh, kemudian ia tanya siapa gurunya tetamu ini, menanya secara berulang-ulang. Sin Tjie merasa, walau sikapnya ramah-tamah, tuan rumah itu masih kandung perasaan tak puas terhadapnya, dari itu, ia berlaku hati-hati. "Tolong minta Oen Tjeng Siangkong keluar, aku hendak serahkan serupa barang kepadanya," ia minta tanpa jawab pertanyaan orang.

"Oen Tjeng itu ada adikku," sahut si jangkung-kurus. "Aku sendiri ada Oen Tjheng. Adikku sedang pergi keluar, baik saudara tunggu sebentar."

Sebenarnya tak ingin Sin Tjie bergaul dengan tuan rumah ini, yang ia duga ada bangsa cabang atas yang galak dan jahat, tetapi karena Oen Tjeng tidak ada, terpaksa ia menunggu juga.

Sampai tengah-hari, Oen Tjeng masih belum kembali. Tak suka Sin Tjie serahkan emas ditangan orang lain, terpaksa ia menunggu terus. Selama itu, Oen Tjheng telah perintah siapkan barang hidangan yang lezat, terdiri dari masakan daging, ayam, ikan dan sayur, hingga mau atau tidak, tetamu ini mesti turut dahar. Sampai mulai lohor, selagi matahari mulai doyong ke Barat, masih Oen Tjeng belum pulang. Sampai itu waktu, habis sudah kesabaran Sin Tjie. Ia lantas letaki bungkusannya

diatas meja. Sekarang ia pikir, karena itu ada rumahnya Oen Tjeng, tak perlu ia bersangsi pula. "Inilah barang adikmu itu, tolong saudara sampaikan kepadanya," ia bilang. "Ijinkan aku

pamitan...." Justru itu, dari luar rumah terdengar suara tertawa riuh, suaranya orang-orang perempuan. Sin Tjie kenali, diantaranya ada suara tertawanya Oen Tjeng. "Nah, itu adikku pulang!" berkata Oen Tjheng, yang segera berbangkit, untuk pergi keluar.

Sin Tjie putar tubuhja, untuk turut, tetapi tuan rumah mencegah. "Harap saudara Wan duduk saja dulu," ia minta.

Sin Tjie heran, akan tetapi ia batal ikut keluar. Aneh, ia menunggu sekian lama, tidak juga Oen Tjeng muncul. Oen Tjheng adalah yang kembali sendirian.

"Adikku hendak salin pakaian, sebentar ia keluar," kata tuan rumah ini.

Masih pemuda ini menantikan sekian lama, Baru kelihatan Oen Tjeng muncul, dengan wajah berseri-seri.

"Saudara Wan, aku sangat bersyukur dengan kunjunganmu ini!" katanya.

"Kau lupai barang ini, saudara Oen, aku bawakan," bilang Sin Tjie. Ia tunjuk bungkusan emas diatas meja. "Kau tak lihat mata padaku, bukan?" Oen Tjeng tanya, tampangnya berubah. "Tidak, itulah aku tak berani," sahut Sin Tjie. "Aku hendak pergi sekarang." Ia memberi hormat kepada dua saudara itu. Oen Tjeng tidak membalas hormat, ia hanya cekal tangan baju orang. "Aku larang kau pergi!" katanya. Pemuda itu me- lengak. Oen Tjheng nampaknya heran, wajahnya pun berubah. "Ada satu hal aku hendak tanyakan kepada kau, Wan Toako," Oen Tjeng, menambahkan. "Maka aku harap hari ini kau berdiam sama kami disini."

"Aku mempunyai urusan penting di kota Kie-tjioe, lain hari saja aku mampir pula kemari," Sin Tjie menampik.

"Ah, tidak," Oen Tjeng mencegah, dengan memaksa. "Kalau Wan toako mempunyai urusan penting, tak dapat kita halangi dia," Oen Tjheng turut bicara. "Jangan kita menghambat dia." "Baik!" kata Oen Tjeng akhirnya. "Jikalau kau tetap hendak pergi, bawalah ini bungkusan

bersamamu! Kau tak sudi berdiam di rumahku, terang kau tak pandang mata kepadaku!" Sin Tjie berdiam.

"Kau baik sekali, saudara Oen,baiklah," sahut ia akhir-akhirnya. Dengan tiba- tiba, Oen Tjeng jadi sangat girang.

"Lekas siapkan kue!" ia menitah kepada bujang. Oen Tjheng nampaknya tak senang, tetapi ia tidak meninggalkan mereka, ia terus duduk menemani, hanya selama itu, ia bicara kadang-kadang saja. Oen Tjeng ajak tetamunya bicara tentang pelbagai kitab. Mengenai ilmu syair, Sin Tjie merasa asing, tapi mengenai ilmu perang, itu adalah keyakinannya sejak masih kecil. Tuan

rumah bisa imbangi kegemaran tetamunya, ia lantas omong banyak tentang peperangan. "Heran," pikir Sin Tjie. "Dia bertabeat aneh akan tetapi pembacaannya luas." Dipihak lain, Oen Tjheng beda dari adiknya itu. Dia mengerti ilmu silat dengan baik akan

tetapi budek atau buta mengenai ilmu surat. Nampaknya ia sebal mendengari orang bicara hal sastera tetapi toh ia tidak hendak undurkan diri... Karena merasa tak enak hati sendirinya, Sin Tjie ajak si jangkung-kurus itu bicara tentang ilmu silat, suka dia melayani,

akan tetapi belum mereka bicara banyak, Oen Tjeng sudah lantas menyelak dan geser pembicaraan ke lain soal.

Dimata Sin Tjie, dua saudara itu beda satu dari lain. Dan juga, walaupun Oen Tjheng ada sang kakak, nampaknya dia jeri terhadap adiknya, sama sekali dia sungkan bentrok. Malah kalau kena disenggapi, kakak ini tertawa....

Sementara itu juga kelihatan nyata, Oen Tjeng bermaksud baik, kecuali sangat ramah-tamah, dia senantiasa berseri- seri, dia gembira sekali. Kapan sang sore tiba, orang menghadapi pula barang hidangan, kali ini, semua-semua ada

lebih hebat daripada yang disuguhkan tadi tengah hari. "Aku merasa lelah, ingin aku tidur siang-siang," kata Sin Tjie sehabis bersantap. "Tempat kediamanku ini ada satu tempat kecil, maka adalah sukar untuk mendapat

kunjungan tetamu sebagai kau ini, saudara Wan," berkata Oen Tjeng. "Sebenarnya aku ingin sekali kita menghadapi lampu untuk pasang omong tentang pelbagai soal, tetapi sebab kau lelah dan ngantuk, baiklah, besok saja kita bicara lebih jauh."

"Saudara Wan, mari tidur dikamarku," berkata Oen Tjheng. "Dikamarmu mana bisa ketempatan tetamu?" kata Oen Tjeng. "Tentu saja kamarku!"

Wajah Oen Tjheng, sang kanda, berubah.

"Apa?" tegasi dia.

"Ada apa sih jeleknya?" Oen Tjeng tanya. "Aku sendiri akan tidur sama ibu!" Bukan kepalang tak senangnya Oen Tjheng, tetapi tanpa bilang suatu apa, malah tanpa permisi lagi dari Sin Tjie, dia ngeloyor pergi. "Hm, tak tahu aturan!" Oen Tjeng , sang adik, ngoceh sendirian. "Dia tak kuatir orang nanti

tertawai!"

Tak enak hatinya Sin Tjie karena engko dan adik itu bentrok karena urusannya.

"Sudah biasa bagi aku akan tinggal ditempat sunyi, untukku tak usah saudara terlalu memusinginya," kata dia. Oen Tjeng lantas saja bersenyum.

"Baik, aku tak akan terlalu memusingi!" katanya. Tapi toh ia sembat tjiaktay, ia bawa itu : "Mari turut aku!"

Sin Tjie mengikuti. Mereka melewati dua pekarangan dalam, sampai diruangan ketiga dimana dari arah timur mereka mendaki tangga lauwteng. Dimuka kamar, tuan rumah menolak daun pintunya.

Sekelebatan, mata Sin Tjie kesilauan. Hidungnya pun segera terserang serupa bau harum. Kamar itu diterangi sebatang lilin besar, yang apinya terang. kelambu terbuat dari kain mahal, sedang sprei tersulam burung hong warna kuning. Ditembok ada gambar seorang

wanita lukisannya Tong In. Didepan pembaringan ada satu meja yang lengkap dengan bakhie, kertas dan lainnya perabot-tulis, malah pitnya sampai enam-tujuh batang. Diujung meja sebelah barat ada satu pot bunga soei-sian, sedang diatas para-para ada seekor

burung nuri putih. Dia datang dari gunung, tak heran Sin Tjie kagum dengan kamar ini, hingga ia tercengang. "Inilah kamarku," Oen Tjeng beritahu. Ia tertawa. "Baik saudara beristirahat disini satu malam ini." Tanpa tunggu tetamunya menyahuti, Oen Tjeng singkap moeilie, akan berlalu pergi. Sin Tjie periksa seluruh ruangan, sampai ia tak dapatkan sesuatu apa jang mencurigai,

Baru ia tutup pintu. Selagi ia hendak buka baju, untuk naik tidur, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu, ketokan yang pelahan sekali. "Siapa?" tanya ia.

Pertanyaan itu dijawab sama tertolaknya daun pintu dan muncullah satu bujang

perempuan umur enam atau tujuh belas tahun, romannya cantik dan cerdik, ditangannya ada sebuah nampan.

"Wan siauwya, silakan dahar tiat-sim," ia mengundang. Ia letaki nampan diatas meja. Itu adalah semangkok yan-oh.

Pemuda ini ada puteranya satu kepala perang, akan tetapi sejak masih kecil sekali, ia telah tinggal didalam desa, diatas gunung jang sunyi, maka itu, belum pernah ia tampak minuman istimewa itu, tidak heran, ia tak tahu apa itu yan-oh. Ia pun Baru pernah kali ini

bicara dengan orang perempuan remaja, ia likat sendirinya, wajahnya menjadi bersemu dadu. "Namaku Goat Hoa, Wan Siauwya," kata si kacung sembari ter- tawa manis. "Siauwya yang tugaskan aku melayani kepadamu. Jika Siauwya perlu apa-apa, perintah saja aku, nanti

aku kerjakan." "Tidak apa-apa lagi," bilang Sin Tjie dengan ringkas. Ia pun memang tak tahu apa lagi yang ia butuhkan. Goat Hoa undurkan diri pelahan-lahan. "Itulah buatan siauwya sendiri istimewa untuk Wan Siauwya!" kata dia. Sin Tjie melengak, tak tahu apa ia mesti bilang. Goat Hoa bertindak keluar sembari tertawa, dengan pelahan ia tarik rapat daun pintu. Sin Tjie buka bajunya, ia singkap selimut dan naik keatas pembaringan. Itu adalah satu pembaringan yang harum sekali sehingga bisa bikin orang tak sadar akan dirinya.... Tanpa curiga, Sin Tjie jatuh pulas. Akan tetapi tengah malam, ia sadar karena ia dengar suara tertawa pelahan diarah jendela - tertawa cekikikan. Ia memang waspada dan getap.

Tiba-tiba terdengar ketokan pelahan pada jendela, dua kali, yang segera disusul dengan suara tertawa empuk dan kata-kata: "Rembulan bercahaya, angin sejuk, malam indah....Saudara Wan, tak kuatirkah kau akan mensia-siakan waktu yang begitu bagus?"

Sin Tjie kenali suaranya Oen Tjeng. Ia menoleh kearah jendela. Diantara kelambu, ia tampak sinar rembulan yang permai. Ia pun lihat bajangan orang bergelantungan didepan jendela, kaki diatas kepala dibawah. Orang itu sedang mengintai kedalam kamar. "Baik, aku nanti pakai baju dan keluar," pemuda ini menyahuti. Tertarik rasa heran Sin Tjie, ia jadi sangat ingin tahu kelaku- annya tuan rumah yang luar biasa itu. Hendak ia ketahui, sebenarnya tuan rumah itu ada orang macam apa. Setelah

pakai baju, ia selipkan pisau belati di pinggangnya. Begitu pentang daun jende- la, bau wangi menyerang hidungnya.

Nyatalah kamar itu mempunyai jendela yang menghadap taman bunga. Oen Tjeng sendiri sudah mendahului loncat turun dari payon rumah dimana ia barusan

bergelantungan. "Mari turut aku!" ia mengundang sambil terus bertindak lebih dahulu. Ditangannya, ia menenteng sebuah naya. Tanpa bilang suatu apa, Sin Tjie mengikuti. Tuan rumah itu keluar dari dalam taman dengan jalan loncati tembok pekarangan, sesampainya diluar, ia berlari-lari dengan cepat menuju kebukit dan lalu mendakinya.

Sin Tjie terus mengikuti sambil berlari-lari juga. Hampir sampai dipuncak, Oen Tjeng menikung, sampai dua kali, lantas mereka sampai

disatu tempat dimana angin halus mendesir-desir, bau harum datang dari empat penjuru dimana terdapat pohon- pohon bunga. Sinar rembulan ada indah sekali, mirip dengan salju putih, hingga tertampak nyata bunga-bunga mawar putih dan kuning. "Mirip dengan tempat pertapaan!" Sin Tjie memuji saking kagum. "Semua pohon bunga ini adalah hasil tanamanku sendiri," Oen Tjeng kasi keterangan. "Kecuali ibu dan bujang-bujang perempuan, lain orang, siapapun dilarang datang kemari!"

Dengan tenteng terus nayanya, Oen Tjeng jalan didepan, pelahan-lahan. Sin Tjie mengikuti terus, dengan perasaan seperti melayang-layang. Tanpa merasa,

sekarang hilanglah sikap berhati- hatinya. Mereka sampai disebuah paseban kecil mungil. "Silakan duduk," Oen Tjeng mempersilakan seraya ia turunkan nayanya, untuk buka itu, akan keluarkan satu poci arak berikut dua cangkirnya, cangkir-cangkir mana terus ia tuangi penuh arak dari potji tersebut. "Disini orang dilarang dahar barang berjiwa," kata pemuda she Oen ini. Dan ia keluarkan beberapa rupa sayur.

Sin Tjie dapatkan semua itu adalah terbuat dari jamur, bokdjie dan lain- nya. Masih Oen Tjeng keluarkan serupa barang dari dalam nayanya itu, ialah sebatang seruling kuningan. "Aku nanti tiup serupa lagu untuk kau dengar," kata dia. Sin Tjie manggut. Segera anak muda itu tiup alat musiknya itu, suara- nya pelahan. Sin Tjie asing dengan alat-alat tetabuhan akan tetapi waktu itu ia rasai dirinya bagaikan terapung- apung diawang-awang, ia seperti merasa berada diwilayah dewa-dewa, bukan lagi didalam dunia... Oen Tjeng meniup habis satu lagu, ia tertawa. "Kau gemar lagu apa?" tanyanya. "Nanti aku mainkan untukmu..."

"Ah, kau tahu banyak sekali?" kata Sin Tjie. "Mengapa kau begini cerdas?"

Pemuda itu angkat dahinya, ia tertawa.

"Apa benar?" katanya. Ia angkat pula serulingnya, ia tiup lagi sebuah lagu, yang tekukannya terlebih halus dan

merdu. Sejak dia dilahirkan, belum pernah Sin Tjie mengalami suasana sebagai ini. "Apakah lagu ini enak didengarnya?" tanya pula Oen Tjeng sehabis meniup. "Didalam dunia ada lagu begini merdu, mimpi pun aku tak pernah," sahut pemuda she Wan ini.

Kedua mata Oen Tjeng memain, ia bersenyum. Mereka duduk dekat satu dengan lain, hidungnya Sin Tjie dapat tangkap bau harum, kecuali harumnya bunga mawar juga sedikit wangi yantjie dan pupur, hingga kembali ia merasa, anak muda disampingnya ini benar-benar tak punyakan sifat keperwiraan... "Kau

suka dengar atau tidak aku meniup seruling?" Oen Tjeng tanya selagi orang berpikir. Sin Tjie manggut. Kembali Oen Tjeng bawa seruling kepinggir mulutnya, akan mulai meniup pula. Kembali Sin Tjie mendengari dengan pikiran turut melayang-layang pula. Sedangnya

begitu, mendadak suara seruling berhenti, disusul sama suara patahnya alat musik tiup itu. Pemuda kita terkejut. "Eh, eh, kenapa? Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kau...kau meniupnya dengan baik-baik." Oen Tjeng tunduk.

"Biasanya tak pernah aku tiup seruling untuk lain orang dengari..." sahutnya dengan pelahan. "Mereka semua cuma gemar geraki golok, mainkan pedang. Mereka tak suka dengar lagu..."

"Tapi aku tidak dustakan kau, sesung- guhnya aku suka mendengari," Sin Tjie bilang. "Toh besok kau bakal pergi! Begitu kau pergi, kau tidak bakal kembali. Untuk apa aku tiup pula serulingku?" Dalam herannya, Sin Tjie mengawasi. Oen Tjeng berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Aku insyaf tabeatku buruk, akan tetapi tak dapat aku atasi diriku... Aku tahu kau sebal terhadapku, didalam hatimu, kau tak

melihat mata padaku..." Heran dan bingung adalah si anak muda, hingga ia diam saja. "Itulah sebabnya mengapa kau selanjutnya tak bakal datang pula," kata lagi Oen Tjeng. "Ini adalah untuk pertama kali aku berkelana," berkata Sin Tjie kemudian. "Tak bisa aku

mendusta. Kau bilang, didalam hatiku, aku tak memandang mata kepadamu, bahwa aku sebal terhadapmu. Bicara hal yang benar, tadinya benar aku beranggapan demikian, akan tetapi sekarang adalah lain." "Apa?" tanya Oen Tjeng, dengan pelahan. "Ya. Aku lihat, tentu ada apa-apa yang mendukakanmu, maka juga tabeatmu jadi luar biasa begini. Apakah itu? Apa bisa kau tuturkan itu  kepadaku?" Sahabat itu berdiam, sampai sekian lama, sampai mendadak ia angkat kepalanya. "Suka aku memberitahukan kepadamu, namun aku kuatir kau nanti tak memandang mata kepadaku," kata dia.

"Itulah tak akan terjadi!" Sin Tjie memastikannya. Oen Tjeng kertak gigi- nya. "Baiklah!" katanya kemudian. "Aku nanti beri keterangan padamu!" Sin Tjie mengawasi, ia mendengari. "Ketika dahulu ibuku masih muda remaja, ia telah kena diperhina oleh satu manusia

busuk, karenanya, terlahirlah aku," demikian pemuda itu menerangkan. "Celakanya, engkong luarku, yang hendak labrak orang busuk itu, sudah tidak sanggup lakukan itu, karena ia tak dapat memenangkannya. Baru belakangan engkong dapat kumpul lebih dari

sepuluh kawan yang liehay, bersama-sama mereka barulah manusia busuk itu dapat

dibikin kabur. Begitulah maka aku tidak punyakan ayah...." Bicara sampai disitu, Oen Tjeng berhenti, air matanya lantas mengalir. "Kalau begitu, tak dapat kau dipersalahkan, tak dapat juga ibumu disesalkan," kata Sin Tjie, yang menghibur. "Jang salah adalah manusia busuk itu." "Akan tetapi lain orang tak sependapat sebagai kau," kata Oen Tjeng. "Di depan, mereka tak berani bilang suatu apa, dibelakang, diam-diam mereka caci aku, mereka pun caci ibu..."

"Hm, siapa si manusianya yang demikian hina-dina?" seru Sin Tjie. "Baik, aku janji padamu, aku nanti bantu kau menghajar manusia jahil mulut itu! Sekarang tak lagi aku jemu terhadapmu, umpama kau suka anggap aku sebagai sahabat, pasti aku akan datang pula kepadamu!" Oen Tjeng girang hingga ia loncat berjingkrak. Melihat tingkah orang itu, Sin Tjie tertawa. "Aku janji untuk kembali, kau girang bukan?" tanyanya, tertawa. "Kau toh bilang, kau bakal datang kembali." "Memang tidak nanti aku memperdayakan kau."

Sekonyong-konyong ada suara berkeresek dibelakang mereka. Sin Tjie menduga ada

orang, ia segera berbangkit sambil putar tubuh. Ia pun segera dengar suara yang dingin sekali. Katanya : "Tengah malam buta-rata kasak-kusuk disini, kamu bikin apa, he?" Orang itu jangkung dan kurus. Dia adalah Oen Tjheng. Wajahnya suram-guram karena hawa amarah yang meluap-luap. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dipinggang.

Oen Tjeng pun kaget, akan tetapi kapan ia kenali Oen Tjheng, sang kakak, ia gusar. "Perlu apa kau datang kemari?" dia menegur. "Tanyalah dirimu sendiri!" Oen Tjheng membalas. "Aku sedang gadangi rembulan bersama saudara Wan ini! Siapa undang kau?" sang adik

menegur pula. "Siapa juga dilarang datang kemari, kecuali ibuku! Samyaya bilang ini! Kau berani melanggarnya?"

Oen Tjheng tunjuk Sin Tjie. "Dia ini? Kenapa dia datang kemari?" ia balik tanya. "Aku undang dia! Kau tak berhak mencampurinya!" Tak enak hatinya Sin Tjie karena engko dan adik itu bentrok karena dia. "Sudah cukup kita gadangi rembulan, mari kita pulang," katanya.

"Aku tidak sudi pulang!" kata Oen Tjeng. "Kau duduk!" Sin Tjie duduk pula. Oen Tjheng berdiri diam, tapi hatinya terang tak tenteram. "Semua bunga ini adalah tanaman tanganku sendiri, aku larang kau melihatnya!" kata Oen Tjeng dengan gusar kepada kandanya itu. "Aku telah lihat semuanya, sekarang aku hendak cium baunya," Oen Tjheng jawab. Benar-benar ia dekati beberapa tangkai bunga, untuk dicium berulang-ulang. Meluap hawa- amarahnya Oen Tjeng, dia berloncat bangun, dia sambar pohon bunga, dia

cabuti itu dengan kedua tangannya, setiap kali ia mencabut, ia terus lemparkan. Ia berbuat itu sambil menangis. "Baik, baik, kau menghina aku, kau menghina aku!" dia berteriak- terial. "Sekarang aku cabut pohon-pohon mawar ini, siapa pun tak bisa melihat- nya lagi! Sekarang tentu Barulah

kau puas!" Lebih daripada dua-puluh pohon mawar telah menjadi korban.

Oen Tjheng tetap sangat gusar, akan tetapi dia bungkam, ia putar tubuhnya dan bertindak dengan mengarungi penasaran. Baru beberapa tindak, ia toh menoleh dan berkata : "Aku berlaku baik terhadapmu, begini rupa kau perlakukan aku. Coba pikir sendiri olehmu, kau

punyai liangsim atau tidak?"

Oen Tjeng menangis. "Siapa kesudian kau berlaku baik kepadaku?" kata dia. "Jikalau kau tidak suka lihat padaku, pergi kau minta semua yaya usir aku dari sini! Aku akan berdiam disini bersama saudara Wan ini! Pergi kau mengadu kepada yaya semua, aku tak takut!" Oen Tjheng menghela napas, lantas ia ngeloyor pergi. Ia tunduk, nampaknya ia berduka sekali.

Oen Tjeng kembali kedalam paseban dan duduk. "Kenapa kau bersikap begini kepada kandamu?" tanya Sin Tjie.

"Dia bukannya engko kandungku!" sahut Oen Tjeng. "Ibuku ada dari keluarga Oen, dan disini ada rumahnya engkong luarku. Dia adalah anaknya engko tjintong ibu. Maka benarnya dia adalah kakak misanku. Coba aku punyakan ayah, pasti kami punyakan rumah sendiri, tak usah kami tinggal dirumah lain orang dimana kita jadi terima penghinaan."

Ia menangis pula. Sin Tjie tetap heran, terutama atas perangainya yang aneh ini. "Aku lihat dia bersikap baik terhadapmu, adalah kau, kau yang berlaku galak terhadapnya..." katanya.

Oen Tjeng angkat kepalanya, tiba-tiba ia tertawa. "Jikalau aku tidak galaki dia, dia bakal lakukan segala apa yang bukan-bukan!" jawabnya. Walaupun ia merasa aneh atas kelakuan lucu tapi aneh ini, sebentar nangis, sebentar

tertawa, kapan Sin Tjie ingat dirinya, yang juga sebatang kara, ia jadi bersimpati terhadap pemuda ini. "Juga ayahku orang telah aniaya hingga binasa," katanya. "Ketika itu aku Baru berumur tujuh tahun. Ibuku pun meninggal dalam tahun itu..."

"Apakah kau telah menuntut balas?" tanya Oen Tjeng. "Malu aku menerangkan, aku tak beruntung..."

"Jikalau kau hendak menuntut balas, aku nanti bantu padamu!" menyatakan Oen Tjeng. "Tidak perduli musuhmu itu bagaimana liehay, aku pasti bantu kau!"

Sin Tjie sangat bersyukur, hingga ia cekal keras tangan orang. "Terima kasih," kata dia. Oen Tjeng tarik tangannya akan tetapi toh kena dicekal juga. Ia antapkan. "Dalam hal boegee kau terlebih pandai sepuluh lipat daripadaku," kata pemuda she Oen. "Akan tetapi mengenai penghidupan dalam kalangan sungai telaga, kau rupanya masih asing sekali, maka itu dibelakang hari, aku nanti bantu kau dengan pikiran."

"Kau baik sekali. Aku tak punya kawan yang usianya berimbang, Baru sekarang aku menemui kau..."

"Melainkan adatku jelek," mengakui Oen Tjeng sambil tunduk. "Aku kuatir nanti datang suatu hari yang aku berbuat salah terhadapmu..."

"Aku pandang kau sebagai sahabat, aku tahu tabeatmu ini, umpama kau kejadian berbuat salah, aku tak akan buat perhatian," Sin Tjie bilang. Oen Tjeng jadi sangat girang, ia menghela napas lega. "Adalah didalam hal ini yang hatiku tak tenang," ia bilang.

Sin Tjie lihat perubahan sikap orang. Sekarang Oen Tjeng jadi sangat lemah- lembut, lenyap ketelengasannya waktu ditengah sungai. "Aku hendak bicara sama kau, saudara Oen, entah kau suka dengar atau tidak..." katanya.

"Didalam dunia ini, cuma tiga orang jang aku dengar perkataannya," sahut anak muda itu. "Yang pertama adalah yayaku, yang kedua ibuku, dan yang ketiga...kau!" Hatinya Sin Tjie tergerak. "Nyata kau hargai aku," katanya. "Sebenarnya, perkataan siapa juga, asal yang pantas, harus kita dengar." "Hm, tak mau aku sembarang dengar! Siapa perlakukan baik padaku, asal aku...aku suka padanya, tidak perduli kata-katanya pantas atau tidak, aku suka dengar dia. Jikalau manusia yang aku jemu, biar dia omong pantas, tidak nanti aku dengar!" Sin Tjie tertawa. "Kau bertabeat bocah! Berapa usiamu sekarang?"

"Delapan belas tahun. Kau?"

"Aku lebih tua dua tahun."

Oen Tjeng tunduk, mendadak wajahnya berubah merah. "Aku tidak punya engko, apa tidak baik jikalau kita angkat saudara?" ia bicara dengan pelahan, masih ia tunduk. Sin Tjie ada terlalu teliti untuk segera terima baik tawaran itu. Ia masih belum ketahui jelas pemu- da ini sekalipun orang sendirinya telah mempercayainya. Oen Tjeng tidak dapat jawaban, ia bangun berdiri, mendadak ia lari. Sin Tjie terkejut, ia memburu. Ia lihat orang lari keatas puncak.

"Ia beradat keras sekali. Tak dapat dia disinggung, tak boleh dia tak terkabul

keinginannya..." Ia jadi kuatir pemuda itu nampak bencana, maka ia memburu dengan cepat, kali ini ia gunai ilmu entengi tubuh, atau ilmu lari keras, ajaran Bhok Siang Toodjin. Maka dalam

beberapa rintasan saja, sudah dapat ia menyandak, malah ia segera mendahului, akan menghalang disebelah depan.

"Adik Oen, kau gusar kepadaku?" tanyanya. Mendengar ia dipanggil "adik", Oen Tjeng girang dengan tiba-tiba. Ia berhenti lari, lantas ia

duduk. "Kau tidak lihat mata padaku, kenapa kau panggil aku adik?" tanya dia. "Kapan aku tak lihat mata padamu?" balas tanya Sin Tjie. "Mari, mari, mari, disini saja kita angkat saudara!"

Benar-benar keduanya berdiri berendeng, lalu mereka paykoei dengan berbareng,

menghadap si Puteri Malam, akan angkat sumpah sebagai saudara, untuk hidup senang dan susah ber-sama-sama. Kemudian mereka berbangkit. Lantas kepada Sin Tjie, Oen Tjeng memberi hormat sambil menjura seraya memanggil: "Toako!" Suaranya pelahan. Sin Tjie balas hormat itu. "Baik aku panggil kau djie-tee," ia bilang. Djie-tee adalah adik. "Sekarang sudah jauh malam, mari kita pulang dan tidur." Oen Tjeng menurut lantas mereka balik ke paseban, untuk benahkan naya, lalu dengan bergandengan tangan, mereka lari pulang. "Jangan kau banguni ibu, kita tidur disini saja," kata Sin Tjie sesampainya mereka didalam kamar.

Mukanya Oen Tjeng merah mendadak, tangannya menolak. "Kau....kau...." katanya yang terus tertawa. "Sampai besok..." Dia lari keluar kamar, hingga anak muda kita menjadi melengak. Aneh!" pikirnya. Besoknya pagi-pagi, Sin Tjie sudah bangun seperti biasa, terus ia bercokol diatas pembaringan, untuk bersamedi, tapi ketika Goat Hoa muncul dengan tiamsim dan air, ia loncat turun. "Terima kasih," kata ia kepada kacung itu. Kemudian, selagi anak muda ini dahar tiamsim, Oen Tjeng muncul didalam kamarnya. "Toako, di luar ada datang satu nona, "katanya sambil tertawa. "Katanya dia datang untuk

menagih emas. Mari kita lihat."

"Baik," sahut Sin Tjie.

Maka keduanya lantas pergi keluar, ke thia besar. Disini mereka saksikan satu

pertempuran dahsyat : Oen Tjheng sedang layani satu nona. Dikedua pinggiran dua orang tua asyik menonton sambil duduk. Orang tua yang satu menyekal sebatang tongkat, yang lain bertangan kosong.

Oen Tjeng hampirkan orang tua yang memegang tongkat dikuping siapa ia terus berbisik, atas mana orang tua itu menoleh kepada Sin Tjie, untuk dipandang dengan perhatian, sesudah mana, dia manggut-manggut. Sin Tjie lihat wanita yang lagi bertanding itu, yang ia taksir umurnya delapan atau

sembilan-belas tahun, kedua belah pipinya bersemu merah, parasnya cantik sekali. Ia menduga-duga, siapa nona itu. Pertempuran itu berlangsung sepuluh jurus lebih, dua-dua tetap tangguh nampaknya. Sekonyong-konyong hati Sin Tjie tergerak, ia bersangsi.

Nona itu tiba-tiba merangsek, ujung pedangnya menyambar kearah pundak Oen Tjheng. Mereka memang berkelahi dengan gunai senjata tajam. Gegaman Oen Tjheng adalah tan-too, golok sebatang. Tusukan itu hebat sekali, tapi yang ditusuk segera menangkis. Jikalau pedang kena tertangkis, mestinya terpental. Tapi si nona gesit dan liehay, tak tunggu pedangnya disampok, dia telah putar itu, untuk dikelitkan akan diteruskan

menusuk leher! Oen Tjheng kaget, ia mencelat mundur tiga tindak.

Masih si nona tak mau berhenti, dia juga loncat akan menyusul, akan menusuk pula, buat menabas beberapa kali ketika tusukannya lolos dan beberapa tabasannya tidak memberi hasil. Desakannya itu ada sangat membahayakan.

Sekarang Sin Tjie sudah lihat nyata gerak-gerakan tubuh orang, kaki dan tangan. Nona itu bukan murid dari Hoa San Pay akan tetapi sedikitnya dia mesti pernah terima didikan dari

salah satu murid Hoa San Pay itu, kalau tidak, tidak nanti dia sanggup layani terus pada Oen Tjheng. Tidak perduli dia garang, pedangnya liehay, akan tetapi didalam hal latihan dan ketenangan, dia bukan tandingannya pemuda she Oen ini, yang hatinya mantap. Oen Tjeng pun lihat si nona bukan lawannya itu kakak misan, maka sambil bersenyum tawar, dia kata seorang diri : "Hm, dengan kepandaian seperti ini berani datang untuk mena- gih emas!..." Memang, setelah gagalnya desakannya itu, si nona mulai kendor gerakannya, tetapi didepan ia, Oen Tjheng tetap seperti biasa, malah sekarang, pemuda ini mulai mendesak,

satu bacokan demi satu bacokan yang mengancam sekali. Sin Tjie lihat keadaan telah sampai disaat paling genting, mendadakan ia lompat maju

kedalam kalangan, menyelak diantara kedua orang yang lagi bertempur itu. Ia menempuh bahaya, karena justru itu, pedang dan golok lagi saling sambar, hingga dia mesti menjadi talenan.

Oen Tjeng kaget hingga ia menjerit.

Kedua orang tua juga loncat bangun dari kursi mereka, akan tetapi mereka masih tak sempat memburu untuk mencegah perbuatan berbahaya itu. Akan tetapi Sin Tjie tak tampak bencana walaupun golok dan pedang sambar ia. Dengan

tangan kanan, dengan pelahan, ia tolak lengannya Oen Tjheng. Dengan tangan kiri, dengan pelahan juga, ia sambuti lengannya si nona. Ia bebas dari serangan sebab segera ia mendak diantara mereka, cuma kedua tangannya membujur keatas. Dengan tangkisan semacam ini, tidak ampun lagi, kedua tangan dari dua-dua penyerang kena tertolak mundur, dengan begitu, dengan sendirinya juga, pedang dan golok mereka tak dapat meminta korban.

Coba ia inginkan itu, dengan leluasa Sin Tjie bisa teruskan merampas pedang dan golok orang itu, tapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia kuatir Oen Tjheng mendapat malu dan menjadi tak senang. Juga dengan cara ini, ia telah membuat kaget dua orang yang adu jiwa itu, sebab tidak saja tangan mereka tertolak, tubuh mereka juga mesti mundur beberapa tindak, supaja mereka tak usah rubuh terbalik. Tanpa merasa, tangkisan Sin Tjie telah menggempur juga kuda-kuda mereka itu. Maka mereka menjadi kaget dan heran, mereka menjadi gusar juga. Oen Tjheng gusar berhubung dengan kejadian semalam dipuncak dimana ia tak dapat muka dari adik misannya ia malu sendirinya terhadap pemuda tetamu- nya itu. Si nona tak dikenal menjadi gusar karena ia menyangka Sin Tjie, yang keluar dari dalam, adalah konconya lawan itu. Akan tetapi ia insyaf kegagahan orang itu, ia tahu ia tak bakal berhasil, dari itu bukannya ia menegur atau menyerang, ia hanya loncat pula, mundur, untuk angkat kaki.

"Nona, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah apabila ia lihat sikap orang. "Aku hendak bicara!" "Tak dapat aku lawan kamu!" berseru nona itu dalam murkanya. "Bakal ada lain orang yang terlebih pandai dariku, yang akan datang pula akan menagih emas! Kau ingin apa?"

Sin Tjie menjura kepada nona itu.

"Jangan gusar, nona," berkata dia. "Aku ingin ketahui she dan namamu yang terhormat..." "Foei!" si nona berludah. "Siapa sudi ngobrol denganmu!"

Dengan satu loncatan, nona ini mencelat keluar pintu. Sin Tjie menjejak dengan kaki kirinya, tubuhnya mencelat hingga ia dapat lewati nona itu, didepan siapa ia menghalang. "Jangan pergi dulu!" kata dia. "Aku bantu padamu!"

Nona itu melengak, ia mengawasi.

"Kau siapa?" tanya dia. "Aku orang she Wan," jawab Sin Tjie. Nona itu berdiam, ia mengawasi dengan matanya mencilak.

"Apakah kau kenal An Toa-nio?" tanya si nona. Sin Tjie rasai tubuhnya seperti menggigil, telapakan tangannya panas.

"Aku Sin Tjie!" ia memperkenalkan diri. "Kau toh Siauw Hoei?" Mendadak si nona kegirangan hingga ia lupa akan dirinya. Ia sambar tangannya si anak muda dan tarik itu. "Benar, benar!" serunya. "Kau benar-benar Wan Toako!" Tapi segera si nona lepas pula cekalannya, mukanya menjadi merah. Ia jengah.

Oen Tjeng saksikan itu semua, ia menjadi tak leluasa sendirinya.

Oen Tjheng sebaliknya lantas berseru : "Aku kira kau siapa, saudara Wan, kau kiranya ada mata-matanya Lie Tjoe Seng yang dikirim kepada kami disini!"

Sin Tjie tertjengang. Ia benar-benar tak mengerti. "Aku kenal Giam Ong, itulah benar," kata dia. "Tapi itu tak dapat diartikan aku adalah mata-mata dia. Nona ini ada sahabat lamaku, sudah lebih dari sepuluh tahun kami berpisah dan tak pernah bertemu satu dengan lain. Kenapa kamu berdua bentrok?

Bagaimana jikalau aku beranikan diri untuk damaikan kamu kedua pihak."

"Jikalau dia keluarkan emas yang aku minta, baru urusan dapat diselesaikan," kata Siauw Hoei. "Apakah demikian gampang?" kata Oen Tjheng dengan me- ngejek. "Saudara, mari aku ajar kenal," berkata Sin Tjie. "Nona ini ada nona An Siauw Hoei. Ketika kami masih kecil, kami tinggal bersama. Sampai sekarang ini, sudah sepuluh tahun kami tak pernah saling bertemu." Dengan dingin Oen Tjheng awasi si nona, ia tidak memberi hormat, ia pun diam saja.

Tak enak hatinya Sin Tjie karena sikap orang itu. "Bagaimana kau kenali aku?" pemuda ini lalu tanya si nona An.

"Itulah tanda diatas jidatmu!" jawab Siauw Hoei. "Bagaimana aku bisa lupakan itu? Ketika kita masih kecil, ada datang orang hendak culik aku, dengan mati-matian kau tolong padaku dan kau kena dilukai. Apakah kau telah lupa?"

Memang dijidatnya Sin Tjie ada sedikit tanda luka. Anak muda ini tertawa, dia kata: "Pada hari itu kita sedang main masak-masakan dengan pakai mangkok dan kwali kecil!"

Wajahnya Oen Tjeng menjadi berubah. "Pergilah kamu pasang omong, aku hendak masuk kedalam..." kata dia. Terang dia tidak puas. "Tunggu sebentar!" Sin Tjie mencegah. Ia kaget untuk sikapnya pemuda itu. "Siauw Hoei, bagaimana duduknya maka kau jadi bentrok dengan Oen Toako ini?"

"Aku bersama...bersama Tjoei soeheng... " kata Siauw Hoei. Tapi segera ia dipegat. "Tjoei Soeheng?" demikian Sin Tjie. "Apa bukannya Siokhoe Tjoei Tjioe San?"

"Dia ada cucu keponakannya Siokhoe Tjoei Tjioe San," Siauw Hoei terangkan. "Kami mengantari sejumlah uangnya Giam Ong untuk propinsi Tjiatkang. Dia ini orang busuk, ditengah jalan dia merampasnya!..." Dia tuding Oen Tjeng.

Baru sekarang Sin Tjie ketahui, emasnya Oen Tjeng itu ada hartanya Giam Ong. Jangan kata Giam Ong pernah sambut ia secara terhormat, dan gurunya - Tjoei Tjioe San - sedang bantui Giam Ong itu, walaupun hanya karena Tjoei Tjio San, An Toa-nio dan Siauw Hoei bertiga saja, pasti dia bantui pihaknya Siauw Hoei ini. Lain dari itu, emas itu Giam Ong

kirim jauh dari Siamsay ke Tjiatkang, mestinya itu ada penting sekali. Bukankah Giam Ong lagi bergerak untuk tolong rakyat? Bagaimana ia bisa tak berikan bantuannya? Maka lantas ia ambil putusannya, ia kata kepada Oen Tjeng : "Saudara, tolong kau lihat aku, baik kau kembalikan emasnya itu."

"Hm!" Oen Tjeng jawab. "Kau ketemui dulu kedua yayaku ini, Baru kita bicara." Mendengar kedua orang tua itu adalah yayanya Oen Tjeng (engkong), Sin Tjie pikir, harus ia beri hormatnya, sebab ia toh telah angkat saudara dengan cucu mereka itu. Tidak ayal

lagi, ia hampirkan mereka didepan siapa ia paykoei. Si orang tua, yang memegang tongkat, berseru : "Ah, mana aku sanggup terima kehormatan ini? Saudara Wan, silakan bangun!" Dimulut orang tua ini mengucap demikian, akan tetapi dengan kedua tangannya - setelah ia senderkan tongkatnya dipinggiran kursi - ia pegang kedua ujung bahu si anak muda, untuk dikasih bangun, untuk mana ia telah kerahkan tenaga khie-kangnya.

Sin tjie terkejut kapan ia rasai cekalan yang keras, yang membikin tubuhnya seperti hendak terangkat, apabila ia diam saja, tentu tubuhnya bakal terapung tinggi. Maka untuk

mencegah, ia lekas-lekas kerahkan juga tenaganya. Secara begini, tanpa terganggu, ia bisa manggut terus sampai empat kali. Oran tua itu kaget dalam hatinya. "Liehay khiekangnya anak ini," berpikir ia. "Dengan latihanku dari puluhan tahun masih aku tidak sanggup angkat tubuhnya..." Maka ia lantas saja tertawa berkakakan dan terus kata: "Tjeng-djie bilang saudara Wan  mempunyai boegee liehay, itulah benar!" Artinya Tjeng-djie adalah "anak Tjeng" atau "si Tjeng". "Inilah sam-yaya, "Oen Tjeng terangkan. Kemudian ia menunjuk kepada orang tua yang bertangan kosong. "Ini adalah Ngo-yaya," ia tambahkan.

"Rupanya mereka ini adalah dua diantara Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay," pikir Sin Tjie. "Tjouw" berarti ketua atau leluhur kaum. Maka itu, ia pun memanggil : "Yaya". Sam-yaya itu, "engkong" ketiga, ada Oen Beng San, dan Ngo-yaya, ada Oen Beng Go. Mereka tidak senang dipanggil "yaya", maka itu mereka diam saja. Sin Tjie heran atas kelakuan itu, ia pun jadi tak senang.

"Ayahku ialah panglima pahlawan penentang musuh, jenderal di Liauwtong, dengan aku angkat saudara dengan cucu kamu, itu toh tak merendahkan  derajatmu?" kata dia dalam hatinya. Tapi segera ia menoleh kepada Oen Tjeng: "Aku minta saudaraku, kau

kembalikanlah emasnya nona ini."

"Kau senantiasa menyebut nona, nona saja, tetapi lain orang, tak kau perhatikan!" membalas Oen Tjeng.

"Saudara, kita yang meyakinkan ilmu silat, kita harus hargakan kehormatan," berkata pula Sin Tjie. "Emas itu ada kepunyaan Giam Ong, waktu kau rampas, kau tidak ketahui, karenanya, itu tak menjadi soal. Sekarang kita telah mengetahuinya, apabila kita tidak

mengembalikannya, itu artinya kita tak memandang-mandang." Oen Beng San dan Oen Beng Go juga tidak tahu suatu apa mengenai emas itu, mereka sangka itu ada satu kepunyaan suatu saudagar besar, Baru sekarang mereka ketahui dari keterangan Siauw Hoei dan Sin Tjie, dengan sendirinya mereka pun merasa tak enak.Memang mereka tahu pengaruhnya Giam Ong, yang ditunjang oleh banyak sekali orang-orang kang-ouw kenamaan. Mereka mengerti, apabila mereka tetap tidak mengembalikannya, dibelakang hari mesti tak henti-henti- nya datang orang-orang yang akan menagihnya. Dan inilah berbahaya untuk keselamatan mereka. Oen Beng San lantas tertawa. Dia berkata kepada Sin Tjie : "Dengan memandang kepada saudara Wan, pulangilah!" Kata-kata ini ditujukan kepada Oen Tjeng. "Tidak, Sam-yaya, itu tak bisa jadi!" kata cucu ini.

"Kau telah berikan separuh kepadaku, yang separuh itu aku akan kembalikan lebih dahulu, kata Sin Tjie pada adik angkat ini. "Jikalau kau sendiri yang inginkan itu, aku punya yang separuh lagi pun aku akan serahkan padamu," jawab Oen Tjeng. "Siapa sih yang sudi berpandangan cupat? Siapa sudi anggap emas beberapa ribu tail itu sebagai mustika? Tapi kalau dia yang inginkan,

tak suka aku menyerahkannya!" Dan dia tunjuk Siauw Hoei. Nona An maju setindak. Ia jadi sangat gusar. "Habis kau ingin bagaimana untuk kembalikan itu?" tanya dia dengan bengis. "Kau

sebutkan saja!" Oen Tjeng tidak jawab nona itu, ia hanya pandang Sin Tjie.

"Sebenarnya, kau hendak bantu dia atau aku?" dia tegaskan toako itu. Sin Tjie bersangsi tapi ia menjawab : "Aku tidak bantu siapa juga, aku cuma hendak turut

perkataan guruku..." "Gurumu? Siapa itu gurumu?" Oen Tjeng tanya. "Guruku ada orang penting dalam angkatan perangnya Giam Ong." "Hm!" Oen Tjeng perdengarkan ejekannya. "Pulang pergi, kau toh bantui dia! Baik emas itu ada disini! Dengan akal aku telah curi itu, maka juga, kau pun mesti gunai akal untuk

mencuri kembali! Aku kasi tempo tiga hari! Jikalau kau mempunyai kepandaian, kau ambillah! Jikalau lewat tiga hari, aku tak akan sungkan-sungkan lagi!"

Sin Tjie segera tarik tangan baju Oen Tjeng. "Adikku, mari!" berkata dia, jang terus mengajak orang ke satu pojok. "Tadi malam kau bilang kau dengar perkataanku, kenapa sekarang, belum selang setengah harian, kau

sudah berubah?" "Jikalau kau perlakukan aku baik, aku pasti dengar kata-kata- mu," sahut Oen Tjeng. "Kenapa aku tak perlakukan baik padamu?" tanya Sin Tjie. "Apa benar tak dapat aku ambil

emas itu?" Kedua matanya pemuda Oen itu menjadi merah. "Kau bertemu sama sahabat lama, lantas kau tidak pandang orang lagi," dia kata." Bisa apa jikalau aku kangkangi harta Giam Ong? Paling juga orang bunuh aku! Ya, memang

dalam hidupku ini, tak ada orang mengasihani aku..." Hampir airmatanya pemuda ini keluar meleleh. Sin Tjie berkasihan tapi ia tidak puas. "Kau adalah saudara angkatku, dia adalah anaknya sahabatku," kata dia dengan

penjelasannya. "Dua-dua aku pandang sama, tidak ada yang aku bedakan lebih tebal atau lebih tipis, kenapa kau jadi begini rupa?"

"Sudahlah, jangan banyak omong, dalam tempo tiga hari, kau datanglah curi emas itu!" Oen Tjeng pegat. Masih Sin Tjie hendak tarik tangan orang akan tetapi kali ini Oen Tjeng halau tangannya dan lantas lari kedalam.

Oleh karena perdamaian gagal, terpaksa Sin Tjie ajak Siauw Hoei berlalu dari rumah keluarga Oen itu, bersama-sama mereka pergi kerumahnya seorang tani untuk menumpang nginap. Disini Sin Tjie tanya duduknya emas itu. Siauw Hoei ceritakan dia antar bertiga, entah bagaimana, ditengah jalan mereka terpisah, hingga akhirnya emas

didapati Oen Tjeng. Siauw Hoei cerita tidak terlalu jelas, agaknya dia ragu- ragu maka Sin Tjie tidak tanya melit-

melit. Pada malam hari itu, kira-kira jam dua, Sin Tjie ajak nona An pergi kerumah keluarga Oen. Begitu ia lompat naik keatas genteng, ia dapatkan api dipasang terang-terang diseluruh

thia yang lebar. Oen Beng San dan Oen Beng Go, dua saudara, duduk makan-minum

bersama, Oen Tjheng dan Oen Tjeng dampingi mereka. Ia tidak tahu emas disimpan dimana, ia mencoba pasang kuping, supaya ia bisa peroleh sedikit penghunjukkan. Tiba-tiba Oen Tjeng, dengan tertawa dingin, kata seorang diri : "Emas ada disini! Siapa

punyakan kepandaian, dia boleh ambil!"

Siauw Hoei betot Sin Tjie yang berada disebelah depannya. "Rupanya dia tahu kita sudah berada disini," ia berbisik.

Sin Tjie manggut akan tetapi matanya terus mengawasi kearah thia. Maka ia bisa lihat Oen Tjeng keluarkan dua bungkusan, untuk diletaki diatas meja, buat segera dibuka, dibeber, hingga diantara sinar api bergemirlapanlah cahaya emas berkilau-kilau. Sesudah beber emas itu, Oen Tjeng duduk, dituruti oleh Oen Tjheng, kakaknya. Mereka juga letaki golok dan pedang mereka, untuk gantikan itu dengan cawan arak, buat mereka turut minum dan

makan. "Begini rupa mereka bikin penjagaan, tanpa kekerasan, cara bagaimana emas itu bisa dapat dirampas?" pikir Sin Tjie. Siauw Hoei pun terdiam. Lebih dari setengah jam mereka sudah menantikan, orang-orang dibawah itu masih tidak hendak berlalu, maka akhirnya Sin Tjie tarik tangannya Siauw Hoei , untuk diajak pulang

kerumah penginapan mereka. Ia tahu, malam itu mereka tidak berdaya... Dihari kedua, paginya, Siauw Hoei pasang omong dengan Sin Tjie. Ia beritahukan bahwa ibunya ada sehat walafiat dan ibu itu sering ingat si anak muda. Sin Tjie rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong gelang emas yang kecil. "Inilah pemberian ibumu kepada- ku," kata dia. "Kau lihat, dulu lenganku ada sebesar gelang ini tetapi sekarang?...." Siauw Hoei tertawa. Ia awasi lengan orang. "Engko Sin Tjie, selama ini kau kerjakan apa saja?" tanya dia. "Setiap hari aku belajar silat, lain kerjaan tak ada," Sin Tjie sahuti. "Pantas ilmu silatmu liehay sekali!" si nona memuji. "Ketika kemarin kau tolak aku, kuda-kudaku turut gempur..." "Tapi, kenapa kau pun gunai ilmu pedang Hoa San Pay?" Sin Tjie tanya. "Siapa ajarkan itu

padamu?" Matanya si nona merah dengan tiba-tiba, ia berpaling kelain arah.

"Tjoei Soeko yang ajari..."sahut ia selang sesaat. "Dia ada dari Hoa San Pay." "Apakah dia mendapat luka?" Sin Tjie tanya. "Mengapa kau berduka?"

"Mana dia mendapat luka?" balik si nona. "Dia tidak perdulikan orang, dia pisahkan diri ditengah jalan..."

Malamnya, kedua anak muda ini berangkat pula kerumah keluarga Oen. Di thia besar tetap ada menanti empat orang, melainkan si orang-orang tua telah bertukar orang-orangnya. Mestinya mereka ini berdua ada yang lain-lainnya dari Ngo-tjouw, kelima tetuanya

keluarga itu. Dan tentunya, tiga yang lain lagi sembunyi. "Ada orang-orang liehay bersembunyi disini, kita mesti waspada," Sin Tjie kisiki Siauw

Hoei. Si nona manggut, alisnya mengkerut. Tiba-tiba ia dapat pikir sesuatu, lantas saja ia loncat turun.

Sin Tjie berkuatir untuk nona ini, ia segera menyusul, mengikuti. Siauw Hoei pergi kebelakang dapur. Disini ia nyalakan api, lantas ia sulut setumpuk kayu bakar, maka tak berselang lama, api itu lantas berkobar-kobar, menjilat- jilat keatas. Sekejab saja keluarga Oen menjadi kacau. Sejumlah tjhungteng, dengan membawa air dan

gala, lari kearah dapur, untuk padamkan api. Siauw Hoei lari balik kedepan, Sin Tjie bersama dia. Pemuda ini ketahui akalnya si pemudi. Di dalam thia, api lilin terus menyala terang, tetapi empat penjaganya telah tidak ada. Siauw Hoei girang tak kepalang. "Mereka pergi padamkan api!" berseru dia. Dengan bergelantungan dipayon, nona ini loncat turun kebawah, dari antara jendela, ia

loncat masuk kedalam thia. Sin Tjie telad contohnya nona ini. Sebentar saja mereka berdua sudah sampai dipinggir meja. Siauw Hoei maju lagi setindak,

tangannya berbareng diulur, untuk jumput emas. Sin Tjie kaget ketika ia menaruh kakinya, ia rasai menginjak tempat yang tak berdasar kuat. Segera ia insyaf kepada lobang jebakan. Ia menyambar dengan tangan kanannya,

untuk tolong Siauw Hoei, sembari menyambar, ia pun berloncat. Tapi ia sudah terlambat, sambarannya gagal. Ia sendiri telah sampai di tiang tengah, dengan tangan kiri, ia sambar tiang itu, kaki kirinya diletaki didasarnya tiang. Sedetik saja, papan jebakan telah membalik diri, dengan Siauw Hoei telah kejeblos kedalam, lenyap dari muka lantai. Kaget dan berkuatir, Sin Tjie loncat ke jendela. Adalah niatan dia untuk cari pesawat rahasianya jebakan itu, untuk tolongi Siauw Hoei. Ia Baru sampai diluar jendela atau ada

angin sambar ia. Ia mengerti, ada orang bokong padanya. Dengan sebat ia  menangkis dengan tangan kanan, hingga tangannya itu bentrok dengan tangan si penyerang, yang belum dikenal siapa. Penyerang itu agaknya mencoba membetot tapi, penyerangnya itu, yang tersempar, rubuh tubuhnya, hanya saking gesit, dia ini bisa berlompat bangun dengan cepat, malah dia segera lompat naik ke genteng juga, untuk menyusul. Begitu lekas ia ada diatas genteng dan memandang kesekitarnya, Sin Tjie bergidik tanpa

kedinginan. Nyata ia telah dikurung oleh sejumlah orang, yang tubuhnya kate dan jangkung tidak merata. Iapun lihat, orang yang barusan ia kena sempar rubuh Oen Tjheng adanya. Ia insyaf bahwa ia sedang terancam melainkan ia belum tahu, bagaimana sikap keluarga Oen itu. Maka dengan berdiam diri, ia awasi mereka itu - ia berlaku tenang dan

waspada. Dari lima tertua pemuda kita sudah kenal dua, ialah Sam-tjouw Oen Beng San dan Ngo-tjouw Oen Beng Go. Dari tiga yang lian, ia lihat satu yang bertubuh kekar luar biasa, siapa

sekarang berdiri ditengah-tengah. Dia ini jauh lebih tinggi-besar dari empat lainnya. Ketika dia tertawa dengan mendadak, suaranya pun nyaring sekali.

"Kami berlima saudara tinggal didusun yang sepi tetapi sekarang ada orang sebawahan yang liehay dari Giam Ong berkunjung kepada kami, inilah ada satu kehormatan yang besar sekali!" demikian suaranya, yang tak kalah nyaringnya, bagaikan suara lonceng saja. Segera Sin Tjie maju setindak, untuk beri hormat sambil menjura kepada orang tua itu.

"Aku yang muda menghadap tjianpwee," kata dia. Ia tidak mau berlutut, karena ia kuatir nanti ada yang bokong. Ia memberi hormat supaya orang tidak katakan dia tidak kenal adat sopan- santun. Oen Tjeng berada diantara pihak pengurung, ia majukan diri. "Ini Toa-yaya!" kata dia, dengan suaranya yang cempreng. "Ini djie-yaya. Dan ini Soe-yaya." Sin Tjie menjura kepada sesuatu yaya yang disebutkan. Yang tertua dari Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay ialah Oen Beng Tat, yang kedua Oen Beng Gie, dan yang keempat Oen Beng Sie. Mereka ini, bersama Sam-yaya dan Ngo-yaya balas hormat itu. Walaupun begitu, mereka mengawasi dengan tajam.

Diantara kelima Ngo-tjouw, Oen Beng Gie yang kedua, adalah yang paling keras

perangainya. Begitulah dia ini menegur: "Kau masih muda sekali tapi nyalimu nyata tak kecil, kau berani melepas api membakar rumahku!" "Itulah perbuatan sembrono dari kawanku," mengaku Sin Tjie dengan sikapnya yang menghormat. "Aku merasa sangat menyesal. Syukur api tak membahayakan hebat. Biarlah besok aku yang muda datang pula kemari untuk minta maaf. "Dengan sebenarnya, api

telah lantas dapat dibikin padam, tak menjalar lebih jauh. Oen Beng Sie, tertua yang keempat, bertubuh jangkung dan kurus, dia adalah engkongnya

Oen Tjheng, potongan tubuhnya romannya, mirip benar dengan cucunya itu. Dia ini

menyambungi saudaranya bicara. "Kami tinggal disini sudah beberapa puluh tahun," demikian katanya. "Selama sekian lama itu, cuma ada orang-orang yang datang kemari untuk menghunjuk hormat, belum pernah ada satu bocah yang berani berlaku kurang ajar! Siapa itu gurumu? Kenapa kau begini tak

tahu aturan?" "Guruku sekarang berada dalam pasukan perangnya Giam Ong," Sin Tjie jawab, tetap dengan hormat, tak perduli orang tegur ia secara bengis. "Aku mohon tjianpwee beramai sudi kembalikan emasnya Giam Ong itu. Aku janji lain hari akan minta guruku menulis surat kepada tjianpwee untuk haturkan terima kasihnya." Pemuda ini tidak hendak sebutkan nama gurunya.

"Siapa itu gurumu?" tanya Oen Beng Tat, tertua yang pertama. "Guruku itu jarang sekali berkelana dalam dunia Kang-ouw, karena itu tak berani aku yang muda menyebutkan namanya," Sin Tjie jawab dengan hormatnya tak pernah ketinggalan. "Hm!" berseru Oen Beng Gie, tertua yang kedua. "Dengan kau tidak sudi menyebutkannya, mustahil kami tak mendapat tahu? Lam Yang, coba kau main-main dengan bocah ini!"

Dari antara rombongan itu keluar satu orang umur empat-puluh lebih, mukanya

berewokan. Dia adalah putera kedua dari Djie-yaya Oen Beng Gie ini. Dalam angkatan kedua dari Tjio Liang Pay, dia ternama. Dia sudah lantas lompat kedepan Sin Tjie, untuk terus kirim tonjokannya kearah muka. Sin Tjie berkelit, atas mana menyusullah kepalan kiri orang she Oen itu. Pemuda kita lantas berpikir: "Mereka berjumlah banyak, jikalau mereka maju satu persatu, aku bisa celaka karena lelah. Jikalau aku tidak berlaku cepat, sulit untuk aku loloskan diri." Maka itu, ketika kepalan kiri lawan sampai, mendadak Sin Tjie angkat tangan kanannya, untuk menangkis sambil teruskan menyekal kepalan itu, setelah mana, ia menyempar kebelakang sambil tubuhnya sendiri menyamping. Lam Yang tidak sempat lepaskan kepalannya itu, belum sampai ia menancap kaki, tubuhnya sudah terbetot kedepan, nyelonong, ketika kakinya injak genteng, genteng itu pecah dan ia terjeblos dan rubuh. Sukur untuk dia, Beng Go, sang paman yang kelima, masih keburu lompat untuk menarik dia, kalau tidak, tidak ampun lagi, dia pasti ngusruk kebawah genteng. Mukanya menjadi merah bahna malu dan gusar, tidak ayal lagi, ia maju menyerang pula. Ia menjadi sangat penasaran. Sin Tjie sudah bersiap. Tak bergeming dia ketika lawan mengancam. Hanya ketika serangan datang, ia putar tubuhnya, ia melengak, sambil berbuat mana, kakinya yang kiri berbareng terangkat! Segera, Oen Lam Yang rubuh tengkurap! Menyusul sontekan kaki

kirinya itu, Sin Tjie pun ulur tangan kanannya, selagi kaki kirinya ditarik pulang, tangan kanannya sudah sambar baju dibelakang penyerangnya itu, ia menjambak, ia mengangkat. Maka tak sampailah mukanya Lam Yang beradu dengan genteng, malah dia terangkat

hingga dia dapat berdiri pula.

Bukan main mendongkolnya orang she Oen ini, tetapi tak dapat ia berkelahi lebih jauh, maka setelah awasi si anak muda dengan mata melotot, ia mundur sendirinya. "Ha, bocah ini benar-benar liehay!" berseru Beng Gie dalam gusar- nya. "Biarlah loohoe mencoba-coba main-main dengan muridnya seorang liehay!" Djie-yaya ini segera juga geraki kedua tangannya, untuk mulai maju. Dengan tiba-tiba, Oen Tjeng lompat kesamping orang tua itu, untuk berbisik : "Djie-yaya, dia telah angkat saudara denganku, jangan kau lukai dia...." "Setan cilik!" orang tua itu kata dengan sengit. Masih Oen Tjeng cekal tangannya Beng Gie. "Kau toh mengabulkan, Djie-yaya?" katanya.

"Kau lihat saja!" kata si orang tua dengan keras seraya tangannya menyempar, atas mana pemuda itu terpelanting beberapa tindak, hampir saja dia rubuh tegruling. Oen Beng Gie maju dua tindak kearah pemuda kita.

"Kau maju!" ia membentak. "Aku tak berani," sahut Sin Tjie seraya ia rangkap kedua tangannya. "Kau tak hendak menyebutkan nama gurumu, maka kau seranglah aku tiga jurus," Beng

Gie kata. "Nanti aku lihat, bisa atau tidak aku kenali siapa gurumu itu."

Panas juga hatinya Sin Tjie melihat kejumawaan orang tua ini. "Jikalau begitu, biarlah aku berlaku kurang ajar," kata dia akhirnya. "Apa jang aku bisa ada sangat berbatas, karena itu, aku minta tjianpwee menaruh belas kasihan terhadapku..." "Lekas mulai!" membentak pula Oen Beng Gie. "Siapa kesudian ngobrol denganmu!"

Sin Tjie segera menjura hingga dalam, sampai tangan bajunya mengenai genteng,

kemudian setelah ia mulai berbangkit, dengan tiba-tiba tangan bajunya itu menyambar kearah si orang tua agung- agungan itu. Serangan itu mendatangkan siuran angin keras. Beng Gie terperanjat. Inilah ia tidak sangka. Segera ia ulur tangannya, akan sambar tangan baju itu. Sin Tjie menyambar dengan tangan kiri, ketika ia disambar, ia berjingkrak, tangan kirinya itu ditarik pulang, akan tetapi sebagai gantinya, tangan bajunya yang kanan menyambar pula dengan tak kalah sebatnya, mengarah kemuka! Kembali Beng Gie terperanjat. Kembali satu serangan sebat diluar dugaan. Tak sempat dia menangkis. Sedang dia mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, selama separuh umurnya, ia hidup diantara

"gunung golok dan rimba tumbak," pengalamannya ada banyak sekali. Terpaksa ia ngelengak kebelakang untuk luputkan diri dari sambaran itu.

Sin Tjie tidak mau kasih ketika untuk orang balas serang dia, segera dia memutar tubuh. Oen Beng Gie sudah berdiri pula dengan tetap, ia lihat gerakan orang ia duga anak muda

ini hendak angkat langkah panjang, maka ia memikir untuk menghajar supaya pemuda itu tak dapat lolos. Belum sampai tangan kanannya dikeluarkan, mendadak ia rasai pula sambaran angin, kali ini ia tampak, kedua tangan Sin Tjie bergerak dengan berbareng,

mirip dengan sambaran ular, kedua tangan itu nyelusup kearah dua iganya! "Itulah tangan baju belaka, apa artinya umpama kena terserang?" pikir jago tua ini. Maka ia ulur kedua tangannya, dengan niat sambar tangan baju orang itu, untuk digentak. Cepat luar biasa, kedua ujung tangan baju dari Sin Tjie sudah sampai pada sasarannya, mengenai dengan jitu kepada atasan pinggang Djie-yaya dari Oen Tjeng. Dua kali telah terdengar suara nyaring karena sambaran jitu itu. Berbareng dengan kaget, Oen Beng Gie rasai ia sesemutan. Dilain pihak, lawannya sudah loncat mundur. Setelah putar tubuhnya, anak muda ini mengawasi sambil berdiri tegak. Oen Tjeng telah saksikan gerakan tubuh yang sangat gesit dan luar biasa itu, ia heran hingga hampir ia berseru.

Oen Beng Gie malu dan mendongkol sekali. Tidak perduli ia adalah seorang dengan banyak pengalaman, ia masih tidak bisa kenali, ilmu silat apa itu yang digunai si anak muda, yang main ujung baju... Sebenarnya, pada pertama kali, Sin Tjie sudah gunai ilmu silat Hok-houw-tjiang dari Bok Djin Tjeng, yang kedua kali , itulah ilmu mengentengkan tubuh pengajaran Bhok Siang Toodjin, dan yang ketiga kali adalah buah-hasil peryakinan dari "Kim Coa Pit Kip" peninggalan Kim Coa Long-koen. Ini ada ilmu pukulan "Siang Coa Coan ek" atau "Sepasang ular nyelusup ke ketiak", sedang kedua tangannya sengaja diumpati didalam ujung tangan baju. Tentu sekali Oen Beng Gie bingung karenanya, sedang pertempuran mereka ada seperti sejurus demi sejurus dan tak ambil tempo lama.

Juga Oen Beng Tat dan tiga saudara lainnya berdiri bengong, mereka saling mengawasi, hati mereka penuh dengan keheranan. Dalam murkanya, Oen Beng Gie menyerang pula secara sangat mendadak. Wajah masih merah-padam, alis dan kumisnya bagaikan bangun berdiri. Tangannya menyambar seraya

perdengarkan angin berkesiur.

Dibawah sinar si Puteri Malam, Sin Tjie lihat kepala musuh seperti mengebulkan uap, suatu tanda jago tua itu dikrumuni hawa-amarah meluap-luap, dan gerakan kakinya ayal akan tetapi mantap, menunjuki lweekang yang telah mentjapai puncak kesempurnaan. Melihat demikian, tak berani ia untuk permainkan pula orang tua itu. Atas serangan hebat itu, pemuda ini berkelit sambil mendak kate. Dua kali ia bebaskan diri secara demikian ketika serangan lain menyusul dengan tangan yang sebelahnya. Ia pun

secara diam-diam sudah lantas gulung tangan bajunya. Selanjutnya ia melayani dengan Hok-houw-tjiang, ilmu pukulan "Menakluki harimau". Setelah penyera- ngannya yang pertama dan kedua itu, serangan-serangan Oen Beng Gie tak lagi sesebat sebagai semula, akan tetapi setiap pukulannya hebat, berat, saban- saban ada angin yang mengikutinya atau mendahului. Sin Tjie terperanjat apabila satu kali ia tampak tegas telapakan tangannya. Tangan itu

bersinarkan cahaya merah bagaikan darah. "Ha, kiranya dia ahli tangan jahat!..." katanya dalam hati. Itulah "Tjoe-see-tjiang" (tangan Tjoe-see) atau "Ang-see tjhioe" (tangan Pasir Merah). Ia ingat keterangan gurunya perihal liehaynya ilmu pukulan itu, yang tak boleh mengenai sasaran atau orang akan bercelaka. Karena ini, lantas ia ubah sikapnya. Ia berkelahi dengan kedua tangannya digeraki pergi

dan pulang dengan pesat sekali, dengan tak ada putusnya, untuk cegah desakan

berulang-ulang lawannya. Selagi pertempuran berjalan sangat seru, mendadak Oen Beng Gie rasai sakit pada lengan kanannya, tidak tempo lagi ia mencelat jauh, akan pisahkan diri, setelah mana, ia lihat bagian tangannya yang sakit itu. Lengan itu merah dan bengkak! Ia mengerti bahwa ia telah kena dibentur, tapi ia pun segera mengerti, orang telah berlaku baik kepadanya, kalau tidak, tangan itu bisa bercelaka. Walaupun begini, ia men- dongkol, cuma sekarang tak lagi ia hendak lanjuti pertempuran itu.

Selagi pertempuran tertunda itu, Oen Beng San, Sam-yaya, maju hampirkan anak muda kita. "Wan Lian-hia," katanya dengan tenang, "begini muda usia kaum boegeemu liehay sekali. Marilah, loohoe ingin sekali belajar kenal dengan menggunai alat-senjata!" Lekas-lekas Sin Tjie berikan jawabannya. "Tak berani aku yang muda datang kesini dengan membekal senjata," ia menampik.

Sam-yaya itu tertawa besar. "Kau kenal baik adat istiadat," katanya. "Tentang kau bisalah dibilang, karena boegee

liehay, nyalimu jadi besar. Tidak apa. Mari kita pergi ke lian-boe-thia!"

Lain-boe-thia itu adalah thia atau ruangan untuk belajar silat. Sembari mengundang, Oen Beng San loncat turun kebawah genteng. Tindakan ini diturut

oleh semua rombongannya. Sin Tjie loncat turun , ia ikut masuk kedalam rumah. Selagi mereka itu berjalan, Oen Tjeng dekati si anak muda, akan kisiki dia : "Didalam tongkat ada senjata rahasianya!" Bercekat hatinya Sin Tjie.

Tidak lama sampailah mereka diLian-boe- thia. Sin Tjie tampak tiga thia yang besar ditengah-tengah mana ada satu pekarangan yang lebar. Kesitu pun lantas berkumpul lain-lain anggauta dari keluarga Oen yang besar itu, karena keluarga ini punyakan anggota-

anggota, lelaki dan perempuan, yang semua gemar ilmu silat. Semua mereka hendak nonton pertandingan. Malah diantara mereka kedapatan bocah-bocah umur tujuh atau delapan tahun.

Orang-orang yang muncul paling belakang ada satu nyonya umur kurang-lebih empat-puluh tahun, dia didampingi Goat Hoa, itu kacung perempuan yang ditugaskan melayani si tetamu anak muda. "Ibu!" Oen Tjeng memanggil seraya maju menghampirkan apabila ia lihat nyonya itu. Njonya itu mempunyai wajah yang eilok tetapi ia nampaknya berduka, ia tidak sahuti Oen Tjeng, ia cuma melirik, kelihatannya ia tidak gembira.

"Kau hendak gunai senjata apa, kau boleh pilih sendiri!" berkata Oen Beng San setelah mereka sudah berkumpul. Ia menunjuk kesekitarnya dimana ada ter- dapat para-para serta pelbagai gegaman.

Sin Tjie mengerti, urusan ada sangat sulit untuk diselesaikan, tetapi disebelah itu, tak ingin ia melukai orang. Ini adalah pengalamannya yang pertama, baru mulai berkelana sudah menghadapi kesulitan. Ia berpikir bagaimana ia harus ambil putusan.

Oen Tjeng lihat kesangsian Sin Tjie, ia kata : "Sam yayaku ini paling suka anak-anak muda, tidak nanti dia lukai padamu..." Tapi dia disenggapi ibunya : "Tjeng Tjeng, jangan banyak mulut!"

Kelihatan ibu itu gusar. Oen Beng San menoleh kepada Oen Tjeng, dia kata : "Kita lihat saja masing-masing punya

untung!" Lalu ia tambahan pada Sin Tjie : "Saudara Wan, kau gunai pedang atau golok?" Sin Tjie terdesak, ia mesti berikan jawabannya. Ia melihat ke sekitarnya. Tiba-tiba ia tampak satu bocah lelaki umur enam atau tujuh tahun, yang sedang dituntun oleh Goat

Hoa. Mestinya bocah itu ada anggauta keluarga yang termuda. Anak itu lagi pegangi sebatang pedang kayu jang dicat beraneka warna. Pasti itu ada pedang yang menjadi alat permainan bocah itu. Lantas saja ia hampirkan bocah itu.

"Saudara cilik, mari kasi aku pinjam pakai pedangmu, sebentar saja," ia minta. Bocah itu berani, ia tertawa, ia serahkan pedang-pedangannya itu. Setelah sambuti itu pedang kayu, Sin Tjie hampirkan Oen Beng San.

"Tidak berani aku yang muda menghadapi lootjianpwee dengan golok atau tumbak tulen, dari itu aku pinjam pakai ini pedang kayu, untuk kita berlatih beberapa jurus saja." Berkata dia.

Pemuda ini bicara merendah dan halus, tetapi ia nampaknya sabar dan tenang.

Bab 7

Oen Beng San murka sampai hampir dia tak sanggup kendalikan diri lagi, maka sebagai pelabi, dia tertawa terbahak- bahak. "Sudah beberapa puluh tahun loohoe berkelana didunia kang-ouw, belum pernah loohoe ketemui siapa juga yang berani memandang enteng tongkatku Liong-tauw Koay-thung!" kata dia. "Baiklah! Apabila kau benar punyakan kepandaian, hayo dengan pedang kau, kau

tabas kutung tongkatku ini!" Liong-tauw Koay-thung ada tongkat berkepala naga- nagaan. Berbareng dengan berhentinya kata-kata jumawa itu, tongkat tersebut dipakai membabat kepinggang Sin Tjie.

Sambaran itu diiringi dengan sambaran- nya angin juga, yang bersuara nyaring.

Oen Tjeng menjerit ketika ia lihat serangan yaya-nya itu. Ia tampak tubuh Sin Tjie seperti terbawa tongkat yang liehay itu. Akan tetapi belum sampai tubuhnya anak muda ini terlempar, atau tahu-tahu pedang kayunya sudah menyam- bar lempang kemuka sipenyerang.

Oen Beng San mundur seraya tarik pulang tongkatnya, tetapi ia tidak cuma menarik saja, sebaliknya, ia segera dapat juga maju pula, untuk totok ulu-hati orang! "Ha, kiranya tongkat ini dapat juga dipakai sebagai alat penotok jalan darah!" pikir Sin Tjie sambil ia berkelit. "Aku mesti waspada!" Sambil berkelit, pemuda ini lantas membabat dengan  pedang- pedangannya itu. Kalau itu ada pedang benar dan mengenai dengan tepat, tangan lawan yang menyekal tongkat mesti sapat semua jarinya. Akan tetapi Oen Beng San bukannya lawan lemah. Dia tahu baik sekali, sekalipun hanya pedang-pedang- an, kalau ia terbacok, ia bakal terluka

juga. Maka segera ia lepaskan tangannya yang kanan, hingga ujung tongkat jatuh ketanah dan tinggal pangkalnya yang lain jang tercekal di tangan kiri, lalu dengan dibantu lagi tangan kanan, ia ulangi serangan susulannya yang tidak kalah berbahayanya. Ditangan orang liehay, tongkat itu jadi seperti bertambah-tambah beratnya, maka siapa

lacur kena terserang, celakalah dia.

Sin Tjie kagum melihat kegesitan dan keliehayan lawan itu, karenanya, ia jadi bertanding dengan terlebih hati- hati. Setiap serangan Oen Beng San menerbitkan sambaran angin keras, malah kalau kebetulan ia mengemplang tempat kosong, batu lantai hancur terlabrak dan muncrat meletik berhamburan. Coba itu mengenai tubuh manusia, bagaimana hebatnya. Sin Tjie tidak perdulikan liehaynya tongkat, dia melayani dengan tubuhnya yang enteng, dengan gerakannya yang cepat dan pesat, sehingga ia bagaikan kupu-kupu yang terbang molos sana molos sini. Disebelah itu, pedang- nya pun saban-saban mencari bagian- bagian yang lowong dari anggauta- anggauta lawannya, untuk membalas.

Tanpa merasa, saking cepatnya, pertem- purn telah melalui banyak jurus, sesudah mana, Oen Beng San menjadi kelabakan sendirinya. Ia sudah buka mulut besar tetapi buktinya, belum dapat ia rubuhkan lawan ini. Ia jadi ingat bagaimana tongkatnya ini yang dia buat andalan, sudah angkat namanya di Kanglam, belum pernah dia menemui tandingan, tetapi sekarang, ia seperti dilece-lece bocah cilik. Apakah nama baiknya tak akan runtuh karenanya? Oleh karena memikir begini, dalam penasaran- nya, Beng San ubah caranya berkelahi. Ia jadi berlaku sangat gesit, hingga ia seperti libat lawannya ini dengan

tongkatnya itu. Semua penonton mundur sedikit, mereka merasai sambaran angin tak hentinya. Ada diantaranya yang nyender pada tembok thia, supaya tidak sampai kena kelanggar.... Setelah perubahan sikapnya jago tua itu, Sin Tjie merasa inilah musuh pertama yang

paling tangguh yang ia pernah ketemu- kan. Tak dapat ia dekati lawan, sedang dengan pedang kayunya, tak bisa ia tabas tongkat itu. "Tidak bisa lain, mesti aku gunai ajaran soehoe," pikir dia akhirnya. Dan lantas ia mulai

dengan perubahannya, hingga sekarang ia tampaknya bergerak lambat atau ayal.

Sebagai ahli, Oen Beng San bisa lihat kelambatan bergerak dari lawannya yang muda ini. Ia jadi sangat girang. Ia tidak hendak mensia-siakan ketika lagi. Begitu terbuka ketikanya, ia menyapu dengan hebat. Nampaknya Sin Tjie sudah lelah, ayal segala gerak-geriknya, akan tetapi ketika pinggangnya disapu, mendadak ia sambar ujung tongkat. Ia menggunai tangan kiri, ia menyekal dengan keras, ia menarik dengan kaget sambil menekan, berbareng dengan

mana tangannya yang kanan, yang menyekal pedang-pedangan, menyambar langsung kedepan. "Bret!" demikian satu suara nyaring, dari pecahnya cita.

Dan bajunya Oen Beng San, tertua ketiga dari Tjio Liang Pay, robek karenanya! Masih Sin Tjie berlaku murah hati, jikalau tidak, ujung pedang pasti sudah menyambar terus kedada! Oen Beng San kaget berbareng ia rasai telapakan tangannya sakit disebabkan gentakan

Sin Tjie, karena ia berbelit, ia terpaksa lepaskan tongkatnya jang tercekal keras lawannya itu.

Sin Tjie ada berhati mulia, tak mau ia bikin malu jago tua itu, selagi menarik pulang pedangnya, ia sodorkan tangan kirinya, berikut tongkat ditangannya, akan kembalikan tongkat itu. Kejadian ini dilakukan dengan cepat luar biasa, kecuali ahli silat, jarang ada yang bisa lihat pertukaran tongkat itu.

Sam-yaya itu mendongkol sangat, begitu ia sambuti tongkatnya, begitu ia menyerang pula! Sin Tjie terkejut, ia heran. Orang sudah kalah, kenapa orang masih berlaku begini tidak berkepantas- an? Tetapi tidak sempat ia berpikir. Dengan sebat ia egos tubuh kebelakang,

dengan lompat mundur sedikit untuk bebeaskan diri dari serangan seumpama bokongan itu. Masih jago tua itu tidak mau mengerti, ia tarik tongkatnya untuk lagi sekali dipakai menyerang pula. Tapi sekarang berbareng terdengar suara "Ser!" tiga kali, dari mulut naga2an dari tongkat itu melesatlah tiga batang paku baja, menherang kearah tiga

penjuru: atas, tengah dan bawah! Djarak diantara kedua orang itu ada dekat, karena serangan senjata rahasia itu membarengi totokan tongkat. Oen Tjeng kaget, sampai ia berseru diluar keinginannya, hampir ia berlompat kalau tidak ibunya tarik tangannya. Sin Tjie terkejut, inilah ia tidak sangka. Tapi ia tidak menjadi gugup. Ia lantas menyampok, beruntun tiga kali. Ia telah menggunai tipu silat "Kong tjiak kay

peng" atau "Burung merak buka sajap". Dengan tangkisannya ini semua tiga paku jatuh ketanah. Inilah salah satu kepandaian istimewa dari Hoa San Pay. Setelah itu, ia tidak diam saja, sambil maju setindak, ia tekan ujung tongkat dengan pedang-pedangannya. Dengan tiba-tiba Oen Beng San merasai tenaga menekan yang berat sekali, sedang itu

waktu, ia belum sempat tarik pulang tongkatnya. Rupanya tadi ia percaya ia pasti akan berhasil dengan serangan senjata rahasia itu. Ia mundur, akan tancap kaki, untuk pasang kuda-kuda, guna pertahankan diri. Sin Tjie menekan terus, sampai ujung tongkat mengenai tanah, sesudah mana, mendadak ia angkat sebelah kakinya yang kiri, akan injak ujung tongkat. Jago tua itu kerahkan tenaganya, untuk tarik pulang tongkat- nya. Sin Tjie tidak menginjak lama, dengan sekonyong-konyong ia angkat kakinya, sambil terus mencelat mundur, maka itu, dengan gampang sekarang Beng San bisa angkat dan tarik tongkatnya itu. Akan tetapi pada lantai, yang terbuat dari batu hijau, ada lobang bekas kepala tongkat itu! Semua hadirin terperanjat; mereka saling mengawasi dengan tercengang. Oen Beng San kena dipecundangi, ia mendongkol bukan buatan. Dengan kedua tangannya, ia lemparkan tongkatnya keatas wuwungan dari thia itu, hingga dilain saat

terdengarlah satu suara nyaring yang dahsyat, sebab tongkat itu membuat satu lobang dan nembus keluar wuwungan! "Alat ini kena dikalahkan pedang kayumu, buat apa dipakai lagi!" kata jago tua itu. Sin Tjie tampak orang murka besar, didalam hatinya dia berkata: "Sebenarnya kau yang kalah dari aku, bukannya tongkatmu yang kalah dari pedang-pedanganku!" Memang tak ada faedahnya akan jago tua itu ngambul secara demikian. Diantara Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, yang paling liehay dengan senjata rahasianya adalah Soe-yaya Oen Beng Sie. Jago tua jang keempat ini mempunyai dua puluh empat

batang hoei-too, golok terbang, dalam hal menggunai senjata mana, tak pernah ia gagal. "Seratus kali lepas, seratus kali kena." Demikian istilahnya. Setiap hoei-too itu beratnya setengah kati saja, semuanya disimpan dalam satu kantong kulit yang digendol dibelakang. Lain orang gunai senjata rahasia secara menggelap atau diam-diam, tetapi hoei- too dari Soe-yaya ini menyambar sambil berusara mengaung, mirip dengan rayuan seruling. Jadi suara itu seperti meru- pakan pemberian ingat terdahulu untuk lawan, sedang sebenarnya, suara itu justru untuk membikin lawan menjadi bingung dan gugup. Oen Beng Sie lihat kakaknya itu gagal, tanpa bicara lagi, ia lompat kedalam kalangan. "Saudara Wan, permainan senjatamu untuk memunahkan senjata rahasia bagus sekali," berkata dia. "Bagaimana kalau sekarang kau sambut juga golok terbang- ku?" Habis mengucap demikian, jago tua ini lolosi kantong kulitnya, jang dicantel dipinggangnya, untuk dipindahkan kebebokongnya. Sin Tjie mengerti bahwa akan percuma saja ia mengalah, dari itu, ia manggut.

"Harap saja lootjianpwee berlaku murah hati," jawabnya. Lantas ia hampirkan bocah tadi, untuk kembalikan pedang kayu, setelah mana, ia kembali ketengah lian-boe-thia. Semua penonton undurkan diri, antaranya ada yang menyingkir ke pintu. Suasana ada tegang. Orang menginsafi liehaynya golok dari Soe-yaya itu, yang tak pernah gagal.

Umpama kata Sin Tjie sanggup menangga- pinya, soal ada lain, akan tetapi apa- bila dia mencoba berkelit selalu, dia mesti terancam malapetaka... "Lihat golok!" mendadak terdengar seruan Oen Beng Sie. Karena dua pihak sudah lantas siap, jago tua ini tak sia-siakan ketika lagi. Golok menyambar sambil berkelebatan dan bersuara juga: "Swing!" selama itu Sin Tjie sudah pikir , golok terbang dari jago tua itu mestinya istimewa. "Jikalau aku tanggapi, tak akan terlihat kepandaianku," demikian ia pikir. "Dengan jalan itu, tak bisa aku takluki dia. Dia mesti dibikin menyerah dengan begitu rupa Barulah dia nanti suka lepaskan Siauw Hoei dan kembalikan emas itu." Karena ini, diam-diam ia telah keluarkan dua butir biji caturnya. Ketika golok menyambar, ia kagumi ketangkasannya si jago tua. Ia tak berayal, untuk gunai biji caturnya. Tangan kirinya lantas menimpuk, disusul dengan tangan kanan. Segera sebutir biji catur tangan kiri itu mengenai golok dengan terbitkan suara pelahan,

berhentilah suara mengaung nyaring tadi dari golok tersebut. Sebab biji ini tepat nancap dilobang kecil diujung golok. Segera setelah itu, terdengar suara nyaring lain. Ini kali ada

suara dihajarnya golok dengan biji catur dari tangan kanan, menyusul mana, hoei-too itu terhalang menyambarnya dan terus jatuh kelantai. Golok terbang berat setengah kati dan biji catur kecil dan enteng sekali, toh golok itu

kalah tenaga, maka ini telah menyatakan, bentrokan diantara dua senjata itu berbareng juga membuktikan tenaga dari kedua orang yang lagi adu kepandaian itu. Tenaga Sin Tjie

ternyata berlipat lebih besar daripada tenaga Oen Beng Sie. Wajah Soe-yaya dari Oen Tjeng ini berubah dengan sekejab, tetapi berbareng dengan ini,

dua batang goloknya sudah melayang pula, dengan berbareng. Sin Tjie sudah siap pula dengan biji-biji caturnya, karena ia telah duga sikap lawan, maka

ketika ia diserang lagi, dengan dua golok, dengan cepat ia menimpuk dengan empat biji catur, dengan berturut- turut. Maka dengan saling-susul, kedua golok pun jatuh seperti yang pertama.

"Hm!" berseru Beng Sie. "Liehay! Liehay!" Dimulut Soe-yaya itu perdengarkan pujiannya, tangannya sebaliknya dikerjakan terus,

malah kali ini enam batang golok dikasih menyambar. Dia pun sengaja sebar golok-golok terbangnya itu kesegala penjuru. Ia insyaf, disatu arah saja, akan sia-sia penyerangannya

itu. Selagi menyerang, didalam hatinya, ia kata: "Apa mungkin kau sanggup pukul jatuh pula sesuatu dari golokku ini?"

Oleh karena enam batang hoei-too yang terbang berhamburan, suara swingnya pun ramai sekali. Akan tetapi suara itu berhenti dalam sekejab. Karena dua belas biji catur dari Sin Tjie sudah bekerja pula, untuk memukul rubuh.

"Bagus!" Oen Beng Sie berseru pula, tapi dengan hati mendongkol sangat, dengan penasaran. Dan kedua tangannya digeraki dengan hampir berbareng, menyambarkan enam batang golok pula masing-masing. Maka itu, Baru enam hoei-too serang si anak muda, atau enam yang lain sudah menyusul dengan segera. Serangan ini juga dilakukan dengan tenaga penuh dan semangat bernyala- nyala. Oen Beng Tat ada seorang yang berpengalaman, ia segera dapay kenyataan, anak muda didepan mereka itu mesti ada muridnya seorang yang liehay sekali, maka itu ia kaget tak terkira apabila ia saksikan saudaranya yang keempat menyerang secara demikian.

"Soetee, jangan celakai dia!" dia berseru, untuk mencegah. Tapi cegahan ini sia-sia saja, karena hoeitoo sudah saling susul menyerang si anak muda.

Sin Tjie tidak menjadi bingung karena serangan hoeitoo yang seperti berantai itu, ia berlompat sambil kerahkan kedua tangannya secara sangat cepat, ia bukannya menangkis dan berkelit, ia hanya tanggapi setiap golok. Maka dilain saat, dua-belas batang golok

terbang itu telah bersarang diantara kedua tangannya kiri dan kanan, enam buah disetiap tangan! Akan tetapi anak muda ini tidak cuma tangkap semua golok yang menyerang dia, dia tidak pegang itu lama-lama, dengan lantas dia melempar-lemparkannya, dengan kedua

tangannya, hingga dalam beberapa kali saja, kedua tangannya sudah kosong pula. Dilain pihak, semua hadirin menjerit bahna heran dan lalu melengak karenanya. Sebab keduabelas golok itu menyambar kearah para-para senjata dan disana sejumlah tumbak-tumbak biasa dan tumbak cagak - pada terputus ujungnya terkena sambaran hoeitoo-hoeitoo itu! Menyusul ini, semua lima Ngo Tjouw matanya bernyala-nyala, saking

mendongkolnya. "Apakah kau dikirim oleh si Kim Coa Kan-tjat?" berseru mereka dengan suara jang sangat bengis.

"Kim Coa Kan-tjat" berarti "Kim Coa si bangsat". Lima jago itu menegur secara demikian karena mereka saksikan caranya Sin Tjie menanggapi golok-golok terbang itu. Dengan sebenarnya, Sin Tjie sudah lakukan perlawanan dengan keluarkan ilmu silat yang ia peroleh dari Kim Coa Pit Kip, kitab warisan Kim Coa Long- koen. Tatkala dulu Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie layani jago-jago Tjio Liang Pay itu, selagi Oen Beng Sie serang dia dengan dua belas Hoeitoo, dia telah menyambuti semua golok

dengan tangan kosong, gerakannya mirip dengan gerakan Sin Tjie ini. Maka itu, mereka ini jadi ingat kepada Kim Coa Long-koen itu, si Ular Emas. Sin Tjie masih belum tahu, ada sangkutan apa diantara Kim Coa Long-koen dan jago- jago Tjio Liang Pay ini, dari itu, ia tidak lantas keluarkan kepandaiannya menurut ajaran si Ular Emas, adalah barusan, karena terancam bahaya, ia gunai itu diluar keinginannya. Itu

adalah ilmu silat yang dinamai "Tjian Tjhioe Koan Im Sioe-Ban po", atau "Koan Im Tangan Seribu Menyambut selaksa Mustika". Sebenarnya, atas pertanyaan itu, pemuda ini hendak berikan jawaban, akan tetapi sebelum ia buka mulut, ia lihat dari luar paseban bertindak masuk tiga orang, diantara siapa ada Siauw Hoei, yang ternyata telah ditelikung oleh dua orangnya Tjio Liang Pay. Teranglah sinona Baru saja dikeluarkan dari lobang jebakan, untuk dihadapi kepada ketua mereka. Melihat nona itu, tidak ayal lagi, Sin Tjie lompat jauh, akan pergi keluar paseban, guna papaki nona itu. Ia berlompat dengan gerakan "It hong tjiong thian", atau "Burung hoo terjang langit". Menampak demikian, dengan masing-masing hunus senjatanya, Oen Beng Tat dan Oen Beng Gie lari mengejar. Sin Tjie tidak perdulikan orang susul ia, ia memburu terus kearah Siauw Hoei, Baru ia datang dekat, ia sudah lantas disambut oleh dua orang yang iringi si nona, mereka ini

masing-masing gunai golok dan pedang- nya. Segeralah terdengar suara nyaring dua kali beruntun, golok dan pedangnya dua penyerang itu terlepas dari cekalan mereka, terpental keras, sehingga mere- ka jadi tercengang dan kaget. Sebab senjata mereka sudah bentrok dengan senjata toalooya dan djilooya mereka! "Tolol!" kedua ketua itu mendamprat.

Sin Tjie sudah berlaku cerdik, ketika ia dipapaki serangan, ia bukan tangkis serangan itu, ia hanya nelusup kebawah, justru itu Beng Tat dan Beng Gie sampai, mereka ini sudah lantas serang si anak muda, hingga tak dapat dicegah lagi, senjata mereka berempat bentrok satu dengan lain. Lolos dari serangan, Sin Tjie sudah lantas sambar Siauw Hoei, akan bikin putus tambang

belenggu nona ini. "Engko Sin Tjie!" Nona An berseru saking girang.

"Sambut ini!" kata Sin Tjie, yang lemparkan pedang si nona yang pun terikat tambang, yang ia sudah lantas loloskan. Siauw Hoei ulur tangannya, akan sambuti senjata itu. Baru si nona pegang senjatanya, atau dua tumbak pendek dari Oen Beng Tat telah sambar

dia, hingga ia jadi kaget. "Aduh!Aduh!...." demikian dua teriakan menyusul, teriakan dari kehebatan.

Dalam ancaman bahaya itu, mendadak didepannya Siauw Hoei menghalang dua tubuh manusia, hingga tidak ampun lagi, mereka ini kena disapu Beng Gie, hingga keduanya rubuh dengan berteriak kesakitan. Mereka nyata ada dua orang yang barusan iringi Siauw Hoei, mereka melintang karena dijoroki Sin Tjie. Beruntung mereka, ketuanya keburu urungi serangan tumbaknya dan

cuma dupak mereka. Dua-dua Siauw Hoei dan Sin Tjie mundur, akan tetapi Beng Tat tidak mau sudah. Toa looya

ini melanjuti menyerang lebih jauh dengan tumbaknya. Tiba-tiba tumbaknya kena terlibat tambang, hingga ia terkejut. Untuk melepaskan diri, terutama untuk cegah orang tarik dia,

ia barengi maju,akan menikam terus! Sin Tjie masih belum lepaskan tambang bekas

membelenggu Siauw Hoei ketika si nona terancam bahaya, ia gunai itu untuk sambar dan lilit senjata Toa-yaya. Sebenarnya ia niat membetot tapi ia telah didahului Beng Tat, maka meng- gunai ketikanya itu, ia kendorkan cekalannya hingga tambang jadi terlepas dari tangannya, karena mana, Beng Tat ngusruk sendirinya, sukur setelah dua tindak, jago tua ini bisa pertahankan diri. Selagi orang terjerunuk, Sin Tjie tarik tangan Siauw Hoei, untuk ajak si nona lari kedalam paseban dimana, bukannya ia menyerang atau menyingkir lebih jauh, ia hanya berdiri diam.

Oen Beng Tat telah jadi sangat gusar, karena ia merasa sudah dipermainkan orang, ia memburu kedalam paseban dengan diturut saudaranya. Semua orang keluarga Oen juga telah berkumpul jadi satu. Mereka berdiri dibelakang Ngo

Tjouw mereka. Beng Tat dan Beng Gie persatukan diri kepada tiga saudara mereka apabila mereka lihat si anak muda tidak lari menjingkir.

"Dimana adanya Kim Coa Kan-tjat?" Beng Tat tanya sambil menuding dengan tangan

kanan, karena tangan kirinya dipakai memegang tumbak pendeknya. "Lekas bilang!" "Jikalau ada bicara, lootjianpwee, mari kita omong secara baik, tak usah kau bergusar." Sahut Sin Tjie dengan sabar. "Pernah apa kau dengan Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie?" tanya Beng Gie, dengan suara menyatakan kemurkaannya. "Dia ada dimana sekarang? Apakah dia yang perintah kau datang kemari?" "Seumurku, belum pernah aku lihat mukanya Kim Coa Long-koen," jawab Sin Tjie, dengan tetap tenang, "maka cara bagaimana dia bisa perintah- perintah aku?" "Apakah katamu ini?" Beng San, sam-yaya , tegaskan.

"Apa gunanya aku dustakan kamu?" sahut anak muda itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu sama ini saudara Oen Tjeng diatas sebuah perahu, berterima kasih atas kebaikannya, kita berdua lantas ikat tali persahabatan. Ada hubungan apa kamu dengan Kim Coa Long-koen?"

Ngo Tjouw nampaknya jadi lebih tenang, akan tetapi kecurigaannya masih belum lenyap. "Apabila kau tidak sebutkan tempat sembunyinya Kim Coa Long-koen, hari ini jangan kau harap bisa keluar dari Tjio-liang!" Beng Tat mengancam. Ia tidak jawab pertanyaan orang.

"Dengan andali kepandaian kamu ini kamu hendak menahan aku?" si anak muda tegasi. "Aku kuatir kau tak nanti mampu berbuat demikian..." Masih Sin Tjie berlaku sabar sekali, sikapnya menghormat. Lalu ia menambahkan : "Dengan Kim Coa Long-koen itu, aku tidak bersanak tidak berkadang, sama sekali kita berdua belum pernah bertemu muka. Cuma, untuk bicara terus-terang, dimana adanya dia sekarang, aku tahu, melainkan aku kuatir disini tak ada seorangpun yang berani pergi menemukan dia...?" Dengan mendadak, kumat pula kemurkaan Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay itu. "Siapa bilang kami tidak berani?" seru Beng Tat, si Toa-yaya. "Selama sepuluh tahun ini, tidak ada satu hari yang kami tidak cari dia! Kami berlima saudara, satu persatu jiwa kami, suka kami antarkan ketangannya dia itu! Biar dia ada diujung langit, pasti kami akan cari padanya! Dimana dia ada?"

Sin Tjie tertawa dengan tawar. "Apa benar-benar kamu hendak pergi ketemui dia?" ia tanya. Beng Tat maju setindak.

"Tidak salah!" jawabnya. "Ada apa faedahnya akan bertemu dengannya?" tanyanya. "He, sahabat kecil, siapa hendak main-main denganmu?" Beng Tat menegur. "Lekas kau omong!"

Anak muda itu bersemu. "Lootjianpwee semua ada bertubuh sehat wal'afiat," katanya, "masih mesti ditunggu lagi

banyak tahun untuk lootjianpwee menemui dia itu. Dia telah menutup mata!"

Mendengar jawaban ini, semua orang tertjengang, hingga mereka pada berdiri menjublak, hanya adalah Oen Tjeng yang terdengar menjerit dan terus memanggil-manggil : "Ibu! Ibu!

Ibu, bangun!" Sin Tjie heran, ia segan menoleh, maka terlihatlah olehnya, si nyonya usia pertengahan sudah rubuh pingsan, tubuhnya berada dalam pangkuan si anak muda Oen Tjeng. Nyonya itu tutup rapat mulutnya, mukanya pucat sekali. Ngo Tjouw pun terkejut.

"Dosa!" kata Oen Beng San berulang- ulang. Beng Gie segera kata pada Oen Tjeng : "Tjeng Tjeng, lekas pondong ibumu kedalam! Jangan kau mendatangkan malu, hingga orang nanti menertawai- nya!" Oen Tjeng menangis dengan tiba-tiba, tapi ia menjawab dengan sengit. "Malu apa? Ibu dengar ayah menutup mata, tentu saja ia kaget dan jadi bersusah hati karenanya!..."

"Nyonya eilok itu jadi ada isterinya Kim Coa Long-koen?" tanyanya dalam hatinya. "Dan Oen Tjeng ini puteranya..." Beng Gie gusar bukan main mendengar perkataan Oen Tjeng hingga ia kertak giginya berulang-ulang.

"Toako, jikalau masih kau sayangi bocah ini, nanti aku yang ajar padanya!" kata ia dengan keras pada Beng Tat, sang kanda. "Siapa itu ayahmu?" Beng Tat bentak sang cucu. "Kau tidak mau lekas masuk?" Oen Tjeng lantas pepayang si nyonya eilok, untuk diajak masuk kedalam. Nyonya itu sudah sadar tapi ia masih sangat lemah. "Kau minta Wan Siangkong menemui aku besok malam," ibu ini kata dengan pelahan. "Aku hendak tanyakan dia." Oen Tjeng manggut, terus ia menoleh pada Sin Tjie. "Masih ada satu hari!" katanya. "Besok malam kau boleh datang pula untuk curi emas, aku

ingin lihat kau mampu atau tidak!"

Dengan roman sengit, ia lirik Siauw Hoei, habis itu ia pepayang ibunya dan bertindak masuk. "Mari kita pergi!" Sin Tjie ajak Siauw Hoei. Lantas keduanya bertindak keluar. "Pelahan dulu!" tiba-tiba Ngo-yaya Oen Beng Go mencegah sambil kedua tangannya dipakai menghalangi. "Aku masih ingin tanya kau." Sin Tjie rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat. "Sekarang sudah jauh malam, lain hari saja aku kunjungi lootjianpwee," katanya. "Kim Coa Kan-tjat itu dimana matinya? "Beng Go tanya. "Ketika dia mati, siapa yang lihat padanya?" Ditanya begitu, berpetalah dimatanya Sin Tjie kejadian itu malam didalam gua diatas puncak gunung Hoa San ketika Thio Tjoen Kioe serang si pendeta. "Terang sudah, kamu sedang cari warisan Kim Coa Long-koen," pikir dia. "Tidak, aku tidak bisa kasi keterangan!" Maka ia jawab: "Aku ketahui itu dari pendengaran satu sahabat. Jikalau tidak keliru, Kim

Coa Long-koen meninggal dunia disebuah pulau diluar propinsi Kwietang." Ngo Tjouw saling mengawasi, nampaknya mereka heran. "Maka itu pergilah kamu kepulau itu dilaut Kwietang!" Sin Tjie kata. Terus ia memberi hormat pula,dan tambahkan : "Aku yang muda tak dapat menemani lebih lama pula...." "Jangan kesusu!" Oen Beng Go mencegah pula. Dia masih mau menanya melit-melit, kembali dia lintangi kedua tangannya. Sin Tjie keluarkan tangannya, untuk tolak lengan orang, tapi Beng Go segera tekuk

lengannya itu, untuk dipakai menggaet. Ia gunai tipu "Kim-na-hoat" akan cekal tangan si anak muda. Sin Tjie tidak niat bertempur pula, selagi kedua tangan mereka beradu, ia tarik Siauw Hoei dengan tangan kiri, ia ajak si nona loncat akan lewati jago tua ini yang kelima. Si nona adalah yang loncat lebih dahulu, akan lewat disamping jago tua itu, baju siapa pun tidak sampai terlanggar. Oen Beng jadi panas, hingga selagi tarik pulang tangan kanannya, ia bawa itu kepinggangnya, maka dilain saat ia sudah tarik keluar sepotong cambuk lemas terbuat dari kulit kerbau, senjatanya yang istimewa. Dengan itu, ia lantas serang bebokong si anak

muda dengan tipu pukulannya "Tjoen Ma toat kiang" atau "Kuda jempol melolos- kan pelana". Jikalau lain orang bergegaman cambuk dari baja atau lain logam, Beng Go gunai bahan kulit, yang lemas tapi ulet, yang ia biasa gunai sama hebatnya seperti logam. Sin Tjie dengar suara angin dibelakangnya, sambil masih tarik tangan si nona An, ia mendak seraya terus berlompat, dengan begitu, serangan cambuk jadi mengenai sasaran kosong. Habis itu ia berlompat kearah tembok. Oen Beng Go jadi sangat penasaran. Ia punyakan latihan dari beberapa puluh tahun

dengan cambuknya itu, siapa tahu, dengan gampang saja si anak muda lolos dari serangannya. Maka tak mau ia berhenti dengan begitu saja. Meneruskan gerakan tangannya, yang ia tarik pulang, ia rabih kaki Siauw Hoei.

Jago tua ini tahu, kepandaian si nona masih sangat berbatas, ia percaya ia akan berhasil merubuhkan nona itu. Ia tidak pikir bahwa si anak muda ada bersama si nona. Sin Tjie dengar suara anginnya cambuk lemas itu, sambil menoleh ia ulur tangan kirinya, untuk menanggapi, guna lindungi Nona An. Ia berhasil dengan dayanya ini. Justru ia

sudah injak tembok, ia segera kerahkan tenaganya, akan tarik cambuk itu.

Beng Go menyerang sambil berlompat maju, tentang gerakannya si anak muda, ia tidak pernah sangka, maka itu, ia kaget tidak terkira ketika cambuknya kena ditangkap dan terus ditarik, percuma ia mencoba akan pertahankan diri, tubuhnya kena tertarik hingga

terangkat, hingga kedua kakinya tak menginjak tanah. Maka dengan tergantung

sedemikian rupa, tak mampu lagi ia kerahkan tenaganya. Ngo-yaya ini ingin bikin terang mukanya, ia pasti akan berhasil jika ia sanggup bikin Siauw

Hoei rubuh, siapa nyana, ia justru jadi bertambah malu karena si anak muda pecundangi padanya. Malah dengan tergelantung demikian rupa, ia sekarang terancam bahaya. Oen Beng Sie kuatirkan saudaranya itu, ia ayun tangannya akan terbangkan dua buah goloknya, hingga dengan perdengarkan suara "Swing! Swing!" kedua hoeitoo menyambar

kearah bebokongnya si anak muda. Sie-yaya ini hendak tolongi adiknya, tidak niat ia mencelakai orang.

Melihat ada serangan golok, Sin Tjie lepaskan cekalannya kepada cambuk lemas, ia tarik Siauw Hoei, buat diajak terus lompat turun keluar tembok. Akan tetapi sebuah golok sudah mendekati kakinya, dengan gesit ia jejak itu, hingga golok jadi berbalik, membentur golok yang kedua, hingga dua-duanya lantas jatuh kebawah. Sementara itu Beng Go ada di kaki tembok, kemana ia jatuh tanpa bahaya ketika Sin Tjie

lepaskan cekalan cambuk. Kapan ia lihat turunnya golok, ia sambar dengan cambuknya, dengan niat dililit. Apamau, selagi ia menyabet, cambuknya itu putus sendirinya, hingga ia jadi kaget. Maka untuk luputkan diri dari sambaran golok, ia rubuhkan diri untuk berguli- ngan dengan gerakannya "Lay louw ta koen" atau "keledai malas bergulingan". Ia sudah berlaku cepat sekali tetapi tidak urung ujung golok mengenai ujung bajunya hingga baju itu robek. Maka itu, waktu ia bangkit bangun, ia keluarkan keringat dingin, mulutnya

ternganga. Tidak pernah ia sangka, dalam keadaaan seperti itu Sin Tjie telah bisa bikin cambuknya tertekuk patah hingga jadi hilang kekuatannya.

Oen Beng Tat saksikan itu semua, ia menggeleng-geleng kepala. Lain-lain saudaranya pun heran dan kagum.

"Bocah itu Baru berumur kurang-lebih dua-puluh tahun, umpama kata ia belajar silat sejak dalam kandungan, temponya toh tak lebih dari dua-puluh tahun, maka heran sekali, kenapa dia ada begini liehay?" kata Oen Beng Gie si Djie-yaya. Akan tetapi Oen Beng San sangat penasaran. "Si bangsat Kim Tjoa ada sangat liehay, dia toh rubuh ditangan kita!" katanya. "Besok

malam bocah itu bakal datang pula, besok nanti kita layani dia pula!"

Sampai disitu, keluarga Oen itu bubaran, sedang Sin Tjie dan Siauw Hoei dengan tidak kurang suatu apa sudah kembali kepondok mereka dirumahnya si orang tani. Nona An sangat kagumi ini sahabat sejak kecil, ia memuji tidak putusnya. "Tjoei Soeko biasa puji tinggi gurunya," katanya "tapi aku percaya gurunya itu tak nanti

sanggup tandingi kau!" "Apa sih namanya Tjoei Soekomu itu?" Sin Tjie tanya. "Dan siapakah gurunya?"

"Gurunya itu adalah murid dari Bok Loo-tjouwsoe dari Hoa San Pay, katanya gelarannya ada  Tong-pit-Thie-shoei- phoa. Mendengar gelaran itu, yang berarti pit kuningan dan shoeiphoa besi, pada mula kalinya aku tertawa tak hentinya. Tak ingat aku akan tanyakan

soeko tentang nama gurunya itu."

Sin Tjie manggut, didalam hatinya, ia kata: "Kiranya Tjoei Soeko itu ada muridnya Toa-soeheng, maka dia mesti panggil soesiok padaku..."

Ia tidak beritahukan Siauw Hoei tentang hubungannya ini dengan Hie Bin atau Tong-pit-Thie-shoei-phoa. Kemudian keduanya masuk tidur. Dimalam kedua, Sin Tjie minta Siauw Hoei menanti saja di pondokan. Siauw Hoei insaf, kepandaiannya masih belum berarti, malah tadi malam, ia seperti bantu

merintangi kawan ini, maka ia menurut akan berdiam di rumah meski sebenarnya sangat ingin ia turut. Sin Tjie tunggu sampai sudah tengah malam, Baru ia berangkat. Ia ambil jalan seperti

kemarinnya untuk pergi kerumah keluarga Oen itu. Ketika ia sampai diluar tembok, ia lihat dimana-mana gelap, tidak ada cahaya api seperti kemarinnya. Tadinya ia mau terus

masuk ketika dengan tiba-tiba ia dengar seruling merayu tiga kali, berhenti sedetik setiap rintasan. "Itulah Oen Tjeng memanggil aku," pikir anak muda ini yang otaknya tajam. "Ngo Tjouw

ada licin tapi Oen Tjeng masih ingat persahabatan." Maka ia, urung lompat naik keatas tembok, anak muda ini memutar tubuh, akan bertindak

kearah dari mana suara seruling datang. Ialah dari Bwee Koei San, bukit yang bertaman bunga mawar. Selagi ia mendaki, dari jauh-jauh ia sudah tampak dua orang sedang duduk didalam paseban, ketika ia mendekati, ia lihat mereka itu adalah orang-orang perempuan.

Diantara sinarnya si Puteri Malam, kelihatan juga, satu diantaranya lagi tempeli seruling kepada bibirnya, hingga segera terdengar irama merayu- rayu. "Itu toh suara serulingnya Oen Tjeng?..." pikir pemuda ini, yang menjadi heran dan curiga. Karena ini, selagi mendekati, ia bertindak dengan pelahan-lahan. Orang perempuan yang meniup seruling itu bertindak keluar paseban, untuk papaki si anak muda.

"Toako!..." katanya dengan pelahan.

Sin Tjie terkejut, hingga ia berdiri melongo. Nona itu Oen Tjeng adanya, anak muda yang ia anggap sebagai sahabatnya! Ia masih berdiam sekian lama, Baru ia tanya : "Kau....kau...."

katanya tak lancar. Oen Tjeng tertawa geli, suaranya pelahan. "Sebenarnya aku adalah seorang perempuan," ia kasi keterangan. "Sampai sebegitu jauh

aku telah abui kau, toako, harap kau jangan buat kecil hati." Lantas ia memberi hormat sambil menjura.

Sin Tjie balas hormat itu. Sekarang Barulah lenyap kecurigaannya sekian lama mengenai perangainya Oen Tjeng, tentang sifat-sifat kewanitaannya.

"Namaku adalah Oen Tjeng," berkata pula si nona. Ia rupanya dapat mengerti keheranan si anak muda. "Sebegitu jauh aku perkenalkan diri Tjeng, sebenarnya masih kurang satu huruf Tjeng lagi..."

Dan ia tertawa dengan manis. Dengan dandan sebagai satu nona, Oen Tjeng Tjneg benar elok dan manis sekali, alisnya bagus, matanya jernih, pipinya dadu, bibirnya seperti buah engtoh.

"Dasar aku yang tolol, orang perempuan tak aku kenali..." pikir Sin Tjie.

"Disana ibu; ibu ingin bicara denganmu," kemudian berkata pula si nona. "Mari!" Sin Tjie bertindak kedalam paseban, terus ia memberi hormat. "Pehbo," ia memanggil sambil ia perkenalkan diri. Nyonya itu berbangkit untuk membalas hormat. "Jangan pakai adat-peradatan," katanya. Sin Tjie lihat kedua matanya nyonya itu merah dan bengul, romannya sangat lesu, tanda

dari kedukaan hati yang hebat. "Menurut Tjeng Tjeng, ibunya ini telah diganggu orang jahat hingga terlahirlah dia," pikir anak muda kita. "Orang jahat itu tentu Kim Tjoa Long-koen adanya. Keli- hatan nyata sekali, lima ketua dari keluarga Oen sangat benci pada Kim Tjoa Long-koen, sebab ketika Tjeng Tjeng sebut dia itu sebagai ayah, ia ditegur oleh Djie-yaya. Sebaliknya ibunya mendengar hal kematiannya Kim Tjoa Long-koen, telah pingsan karenanya, tanda kedukaan yang hebat. Bukankah disini mesti ada terselip suatu rahasia? Apakah adanya itu? Baik aku

hiburkan dia..." Nyonya itu berdiam sekian lama, Baru ia bicara pula.

"Dia.....apakah benar dia telah menutup mata?" tanyanya. "Wan Siangkong, apakah kau lihat sendiri dia meninggal?"

Anak muda itu manggut. "Wan Siangkong baik terhadap Tjeng Tjeng, inilah aku tahu," kata pula si nyonya yang elok tetapi laju itu. "Maka itu pasti aku tidak akan berlaku sebagai sekalian yayanya itu, yang anggap kau sebagai musuh. Aku minta sukalah kau tuturkan aku tentang meninggalnya dia..."

Mengenai sifatnya Kim Tjoa Long-koen, Sin Tjie masih gelap dan ragu-ragu. Gurunya sendiri, yang bicara dengan Bhok Siang Toodjin, mengatakan si ular emas ada seorang berperangai luar biasa, cara hidupnya ada diantara sesat dan tak sesat. Akan tetapi, sejak

ia dapatkan "Kim Tjoa Pit Kip" dan peroleh ilmu silat dari kitab pusaka itu, diam-diam ia kagumi orang luar biasa itu, yang otaknya sangat cerdas, dan diam-diam juga ia pandang si orang aneh sebagai gurunya. Biar tidak langsung dia toh dappat pelajaran berharga dari Kim Tjoa Long-koen. Maka itu, mendengar Ngo Tjoue mendamprat Kim Tjoa Long-koen sebagai "kan-tjat", bangsat yang hina dan licik, ia jadi gusar sekali, cuma karena ia belum

tahu duduknya hal, tak bisa ia bilang suatu apa. Sekarang ia dengar suaranya ibu dari Tjeng Tjeng, ia kembali dapat pemandangan lain. "Belum pernah aku bertemu dengan Kim Tjoa Long-koen," ia jawab pertanyaan si nyonya, akan tetapi walaupun demikian, dia dan aku ada sebagai guru dan murid, karena sebagian dari ilmu silatku aku dapat pelajarkan dari beliau. Aku pikir tidak leluasa untuk tuturkan jelas hal Kim Tjoa Long-koen setelah ia menutup mata, aku kuatir orang jahat nanti pergi menyatroni dan merusak kuburannya itu...." Baru si nyonya mendengar kata terakhir dari si anak muda, ia lantas saja tergeletak rubuh, sehingga Tjeng Tjeng mesti sambar tubuhnya,untuk ditolongi. "Ibu, Ibu!" memanggil si nona. "Keraskan hatimu, ibu...."

Tidak lama pingsannya nyonya ini, lalu ia sadar pula. Ia lantas menangis.

"Delapan-belas tahun lamanya aku nantikan dia, aku harap dengan sangat dia datang untuk sambut kami ibu dan anak, supaya kami bisa berlalu dari sini, siapa sangka justru dialah sendiri yang sudah pergi lebih dahulu..." mengeluh nyonya Kim Tjoa Long-koen ini. "Dan Tjeng Tjeng sama sekali belum pernah lihat muka ayahnya..." "Jangan berduka, pehbo," Sin Tjie menghibur. "Sekarang ini Hee lootjianpwee sedang tidur dengan senang dialam baka. Tulang-tulangnya semua akulah yang kubur dengan baik-baik."

"Oh, kau yang menguburnya, Wan Siangkong?" kata si nyonya. "Budimu ini ada sangat besar, aku tidak tahu bagaimana nanti aku membalasnya."

Ia segera berbangkit, untuk memberi hormat. Sin Tjie sibuk, untuk mencegah.

"Tjeng Tjeng, hayo kau paykoei kepada Wan Toako!" nyonya ini titahkan gadisnya. Tanpa bilang suatu apa, Tjeng Tjeng lantas jatuhkan diri berlutut didepan si anak muda, sehingga dia ini repot berlutut juga untuk membalas hormat, buat sekalian mengasih

bangun kepada nona itu. "Apakah dia meninggalkan surat untuk kami?" kemudian nyonya itu tanya pula.

Ditanya begitu, Sin Tjie ingat pesan dari Kim Tjoa Long-koen bahwa siapa "dapatkan warisannya, dia mesti pergi ke Tjio-liang di Kie-tjioe, Tjiatkang untuk cari Oen Gie, untukserahkan emas banyaknya sepuluh laksa tail." Pesan itu membikin ia bingung, lalu ia tak

perhatikan lebih jauh. Ia sendiri pun tidak tergiur hatinya oleh itu harta besar, malah ia bayangi, jangan-jangan Kim Tjoa Long-koen bercelaka karena harta besar itu. Ia juga ingat baik- baik kata-kata gurunya bahwa harta besar bisa mendatangkan malapetaka. Karena ini, ia rada jemu dengan petanya Kim Tjoa Long-koen itu. Sampai sekarang nyonya ini menanyakannya. "Maaf, pehbo," katanya, "aku memberanikan diri untuk tanya apa pehbo bernama Gie?"

Ibunya Tjeng Tjeng nampaknya terperanjat. "Benar," jawabnya. "Bagaimana kau ketahui itu?" Belum sampai si anak muda sahuti ia, ia

sudah tambahkan : "Tentu kau ketahui itu dari surat peninggalannya! Apakah Wan Siangkong bawa suratnya itu sekarang?" Tegang sekali sikapnya si nyonya selagi ia menanyakan demikian.

Disaat Sin Tjie hendak jawab nyonya itu, mendadak ia menjejak dengan kaki kanannya, segera tubuhnya lompat mencelat melewati lankan, menyambar kesuatu gerombolan pohon mawar.

Oen Gie dan Tjeng Tjeng, ibu dan anak, kaget dan heran, keduanya segera mengawasi anak muda itu. Tiba-tiba terdengar satu jeritan "Aduh!" kemudian tertampak Sin Tjie gusur keluar satu

orang, tubuh siapa diam saja, karena rupanya dia telah ditotok jalan darahnya. Dengan jambak bebokongnya, pemuda ini bawa orang itu kedalam paseban dimana dia itu digabruki kelantai. "Eh, inilah tjit-pehhoe!" Tjeng Tjeng bersuara tertahan.

Oen Gie pun mengenalinya, ia lantas menghela napas panjang. "Wan Siangkong, tolong kau merdekakan dia," mintanya. "Didalam rumah keluarga Oen ini, kecuali kita berdua ibu dan anak, tidak ada orang lain lagi yang pandang kami sebagai orang dalam..." Sin Tjie lihat sikap lesu nyonya itu, ia dengar suara yang lemah bersedih. Lantas saja ia

tepuk jalan darahnya orang tawanannya itu, atas mana dia ini keluarkan jeritan perlahan, lalu mendusin.

Nyatalah orang ini ada Oen Lam Yang dengan siapa Sin Tjie pernah bertempur. Dia adalah anak Oen Beng Gie dan turut runtunan, dia ada anak ketujuh dalam keluarga Oen itu. "Tjit-pehhoe!" Oen Tjeng tegur mamaknya itu., "kami sedang bicara di sini,mengapa kau mencuri mendengari? Sama sekali kau tidak hargai derajatmu sebagai orang yang terlebih tua!" Kedua matanya Oen Lam Yang bersinar, rupanya ia mendongkol, tapi sebentar saja, lantas ia ngeloyor pergi dengan tak bilang suatu apa. Rupanya ia jeri atas keliehayan si anak

muda, yang barusan cekuk ia dengan gampang, sedang kemarinnya, ia pun gagal layani anak muda itu. Akan tetapi, setelah beberapa tindak diluar paseban, dia menoleh dan kata dengan sengit : "Perempuan tidak tahu malu pasti bisa melahirkan satu anak perempuan tidak tahu malu juga! Sudah sendiri mencuri lelaki, sekarang pun anak sendiri diajari curi lelaki juga!"

Tapi Tjeng Tjeng tidak bisa antap hinaan itu, sambil hunus pedangnya ia loncat keluar paseban, untuk menyusul.

"Eh, tjit-pehhoe, mulutmu kotor sekali!" ia berseru. "Apa kau bilang?"

Oen Lam Yang putar tubuhnya lalu ia berdiri tegak. "Eh, kacung hina, kau hendak berontak?" tanyanya. "Yaya semua yang perintah aku datang kemari! Habis kau mau apa?" "Jikalau kau hendak bicara dengan kita, kau boleh bicara terus-terang!" Tjeng Tjeng tegur.

"Kenapa kau curi dengar pembicaraan kita?" "Kita? Hm!" Oen Lam Yang menghina, sambil tertawa dingin. "Entah orang hutan dari mana datang kemari yang lantas dimasuki dalam lingkungan kita! Muka terang delapan-belas turunan dari keluarga Oen telah kau bikin malu!" Mukanya Tjeng Tjeng menjadi merah saking malu. Ia menoleh pada ibunya. "Ibu, dengarlah kata-katanya itu!" katanya. "Tjit-ko, mari, aku hendak bicara denganmu," kata Oen Gie dengan pelahan. Oen Lam Yang kasih dengar suara :" Hm!" lantas ia bertindak menghampiri, sikapnya

jumawa sekali. "Kita ibu dan anak hidup menderita," berkata si nyonya kemudian. "Kita berterima kasih kepada lima yaya dan semua saudara, yang masih mengi- jinkan kita tinggal belasan tahun

dalam rumah keluarga Oen ini. Tentang urusan si orang she Hee, belum pernah aku omong suatu apa terhadap Tjeng Tjeng, tetapi sekarang setelah dia menutup mata, selagi tjitko ketahui semua dengan baik, tolong kau tuturkan itu kepada Wan Siangkong dan Tjeng Tjeng...." "Kenapa aku yang mesti menuturkan?" tanya Oen Lam Yang dengan mendongkol. "Inilah urusan kamu, kamu sendiri yang harus menceritakan asal jangan kamu tahu malu!" Nyonya itu menghela napas. "Baiklah," sahut dia. "Aku tahu, dia pernah tolongi jiwamu, aku percaya, sedikitnya kau masih bersukur terhadapnya, siapa tahu kau sama saja dengan semua anggauta keluarga Oen ini, semuanya bong in pwee gie - semua tidak kenal budi-kebaikan!"

Oen Lam Yang jadi sangat gusar. "Dia pernah tolong jiwaku, itu benar!" katanya dengan sengit. "Tapi kenapa dia tolongi aku? Baiklah, aku nanti tutur- kan semua, supaya kalau kau yang mence- ritakannya, tak bisa kau menambahi bumbu hingga aku akan jadi orang macam apa tahu!" Ini mamak yang ketujuh lantas duduk. "Orang she Wan, Tjeng Tjeng," katanya, mulai, "nanti aku tuturkan bagaimana duduknya hingga kami kenal Kim Tjoa Kan-tjat, aku nanti jelaskan semua dengan terang supaya

kamu ketahui bagaimana jahatnya kantjat itu!" "Jikalau kau omong jelek tentang dia, tak suka aku mendengari!" memotong Tjeng Tjeng.Dan ia tutupi kupingnya.

"Tjeng Tjeng, kau dengarilah!" berkata sang ibu. "Ayahmu yang telah meninggal dunia ini, walaupun dia tak dapat dikatakan orang baik seluruhnya, akan tetapi apabila dia dipadu dengan keluarga Oen, dia masih terlebih baik beratus lipat!" "Hm, kau lupa bahwa kau pun she Oen!" mengejek Oen Lam Yang sambil tertawa dingin. Oen Gie tidak perdulikan ejekan kakak itu. Maka Oen Lam Yang segera mulai dengan penuturannya : "Itu adalah kejadian pada dua-puluh tahun yang telah lampau. Ketika itu aku baru berumur dua puluh satu tahum. Ayah telah utus aku ke Yang-tjioe untuk bantui liok-siokhoe.."

"Kiranya," pikir Sin Tjie," Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay bukan cuma berlima saudara hanya berenam..." Liok-siokhoe adalah paman yang keenam. "Ketika aku sampai di Yang-tjioe, aku tak dapat menemui Liok-siokhoe," Lam Yang

melanjuti. "Pada suatu malam aku pergi keluar, untuk bekerja, apa celaka, karena kurang waspada, aku gagal..."

"Kau tidak jelaskan, kerjaan apa itu yang kau lakukan," kata Oen Gie dengan dingin. Lam Yang mendongkol, ia gusar.

"Aku toh satu laki-laki, aku berani berbuat, mustahil aku takut menyebut- kannya?" katanya dengan sengit. "Aku telah dapat lihat satu nona yang cantik sekali, aku lompat masuk kedalam pekarangannya , untuk memetik bunga. Nona itu tolak aku, maka aku lantas

bunuh dia. Nona itu masih dapat ketika untuk menjerit dan jeritannya itu terdengar orang. Ada beberapa guru silat yang menjadi tjinteng rumah itu, mereka itu keluar mengepung aku. Aku tidak sanggup layani begitu banyak orang, akhirnya aku kena ditangkap...."

Sin Tjie bergidik sendirinya mendengar orang cerita tentang kekedjian dan kekejamannya sendiri tanpa merasa jengah atau malu. Istilah "petik bunga" itu adalah perkosaan terhadap orang perempuan. Ia pikir, kenapa Oen Lam Yang sedemikian jahat. "Orang lantas kirim aku kepenjara," mamaknya Oen Tjeng Tjeng itu melanjuti. "Aku tidak

takut. Aku ingat, liok-siokhoe toh ada di kota Yang-tjioe. Untuk seluruh Kanglam, boegeenya paman itu tidak ada tandingannya. Aku percaya, asal paman ketahui kegagalanku, pasti dia bakal datang menolongi aku. Akan tetapi sepuluh hari sudah aku menanti-nanti, tidak juga paman muncul. Sementara itu surat keputusan telah datang dari

pembesar lebih atas, aku telah diputuskan hukuman mati, yang mesti dijalankan didalam kota Yangtjioe juga. Satu pegawai penjara beritahukan aku keputusan itu. Sampai itu waktu Barulah aku ketakutan..."

"Hm! Aku menyangka kau tak kenal takut!..." Tjeng Tjeng mengejek. Lam Yang tidak gubris keponakannya ini.

"Selang tiga hari, sipir bui datang dengan arak secawan besar dan sepiring daging," demikian ia meneruskan ceritanya. "Aku tahu artinya makan besar ini, ialah besok aku bakal jalankan hukumanku. Aku pikir, semua orang memang satu kali mesti mati, hanya aku, aku merasa sayang atas diriku sendiri. Aku masih muda dan belum cukup merasai kesenangan....Tapi aku keraskan hati, aku dahar, aku minum, aku habiskan daging dan arak itu, sesudah mana, aku pergi tidur. Tepat pada tengah malam, aku tersedar karena ada orang tepuk-tepuk pundakku dengan pelahan. Aku segera geraki tubuh, untuk bangun. Lantas aku dengar kisikan di kupingku : "Jangan bersuara! Aku akan tolong padamu!" Orang itu lantas gunai senjatanya, akan tabas kutung pesawat borgolan di tangan dan kakiku. Itulah senjata yang tajam luar biasa, karena borgolan besi terpapas

dengan beberapa bacokan saja. Habis itu dia tarik tanganku, dia ajak aku menyingkir dari penjara. Kita kabur sampai diluar kota, disebuah kuil tua. Selama diajak lari, aku turut saja.

Memang aku tak dapat berbuat lain. Dia itu larinya pesat sekali, tenaganya pun besar luar biasa, tak bisa aku lepaskan diri dari cekalannya. Karena separuh ditarik, aku jadi tidak terlalu cape. Setelah dia nyalakan lilin diatas meja suci, Baru aku dapat lihat tegas

romannya, ialah satu pemuda yang cakap- ganteng, usianya lebih muda beberapa tahun daripadaku, mukanya putih-bersih. Hm!" Lantas saja ia berpaling kepada Oen Gie dan Tjeng Tjeng bergantian, akan lirik itu ibu dan anak.

"Aku lantas kasih hormat pada pemuda itu seraya menghaturkan terima kasih." Lam Yang cerita lebih jauh setelah ia mengejek ibu dan anak itu dengan lirikannya. "Dia sangat jumawa, dia tak balas hormatku itu. Dia kata : "aku seorang she Hee, apa kau ada orang

she Oen dari Tjio Liang Pay?" Aku manggut. Sementara itu aku lihat dia masih cekal senjata tajamnya yang tadi dipakai menabas kutung rantai borgolan- ku. Itu adalah pedang warna hitam, anehnya adalah ujung pedang terpecah dua sebagai cagak." Didalam hatinya, Sin Tjie kata : "Itulah dia pedang Kim Tjoa Kiam yang aku dapatkan." Ia diam saja, ia mendengari terus. "Habis itu aku tanya namanya," Oen Lan Yang bercerita terus. "Tak usah kau ketahui

namaku!" jawabnya. "Biar bagaimana, dibelakang hari, tidak nanti kau berterima kasih kepadaku!" Aku jadi sangat heran. Pikirku, dia telah tolongi jiwaku, tentu saja aku mesti

senantiasa ingat budinya itu, ingat seumur hidupku. "Aku tolong kau untuk kepentingan pamanmu yang keenam," ia menambahkan. "Mari turut aku!"

"Dengan keheran-heranan, aku ikuti dia. Kita pergi ketepi sungai Oen Hoo, kita naik atas sebuah perahu dan masuk kedalamnya. Dengan ringkas dia suruh tukang perahu berangkat, keselatan. Sesudah menyingkir dari Yangtjioe lebih dari sepuluh lie, Baru hatiku mulai lega. Itu artinya, pembesar negeri tidak akan mampu susul pula padaku."

"Dari sakunya, anak muda itu keluarkan sepasang ngo-bie-tjie, ialah semacam senjata mirip dengan tempuling. Aku kenali itu sebagai gegaman liok-siokhoe. Biasanya tidak pernah liok-siokhoe terpisah dari gegamannya itu, maka aku heran, kenapa ngo-bie-tjie itu berada ditangannya penolongku yang tidak dikenal itu.

"Liok-siokhoemu itu adalah sahabat karibku!" kata dia sambil tertawa. Ia tertawa beberapa kali, lalu dengan tiba-tiba mukanya jadi berperongos bengis. Tanpa merasa, aku menggigil

saking heran, kaget dan jeri.

"Disini ada sebuah peti," katanya kemudian. "Aku ingin kau bawa pulang itu kerumah. Dan ini surat kau serahkan pada ayahmu, pada mamak dan pamanmu semua!" Dia menunjuk pada sebuah peti didalam perahu itu. Itulah peti yang besar sekali yang ditutup dan dipaku

keras, lalu dilibat dengan dadung.

"Kau mesti pulang dengan lekas, jangan kau singgah ditengah jalan," dia pesan. "Peti ini mesti dibuka dengan tangan sendiri oleh mamakmu yang pertama!"

Aku terima baik pesan itu. "Dalam satu bulan ini, aku akan datang berkunjung kerumahmu," dia berkata pula. "Kasih

tahu pada semua tertua dirumahmu supaya mereka sambut aku secara baik-baik!"

"Itulah kata-kata tidak keruan juntrungannya, akan tetapi aku toh terima juga. Setelah memesan dan aku menerimanya, sekonyong-konyong dia sambar jangkar rantai dari atas

perahu, hingga rantainya berbunyi berisik. Segera ia lemparkan itu, malah beruntun semua empat-empatnya jangkar."

"Bagus!" berseru Tjeng Tjeng tanpa ia merasa. "Cis!" meludah Lam Yang, hingga ludahnya itu menodai lantai paseban, yang sangat bersih. Sekitar paseban ditanami pohon kembang mawar, Tjeng Tjeng tanam itu dengan tangannya sendiri. Paseban itu, terutama lantainya, sangat bersih karena si nona sangat resik. Sekarang ia lihat paseban diludahi, ia jadi berduka. Sin Tjie tampak roman menyesal sahabatnya, ia ulur sebelah kakinya, akan gusak-gusak

ludah itu. Melihat kelakuan itu, si nona menoleh pada pemuda ini, agaknya ia sangat berterima kasih. Oen Gie lihat kelakuan dua anak muda itu, ia manggut dengan pelahan. Nyata ia puas

dengan tingkah-laku pemuda itu.

"Terang dia telah perlihatkan tenaga besarnya padaku, tetapi aku tidak dapat terka apa artinya itu," Oen Lam Yang melanjutkan untuk kesekian kalinya. "Dengan kekuatannya itu, dia telah bikin putus rantai-rantai jangkar. Kemudian Baru dia kata padaku: "Jikalau kau tidak lakukan pesanku ini, contoh- nya adalah ini jangkar!" "Setelah itu, dia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong goan-po kelantai perahu sambil

berkata : "Inilah ongkos jalanmu!" Tanpa tunggu jawabanku, dia sambar dua potong gala, sepotong ditiap tangan. Ketika dengan tangan kiri ia tancapkan gala kedalam sungai, tubuhnya segera turut terangkat naik dan melayang ketengah air. Menyusul itu ia

tancapkan gala yang kanan, tubuhnya turut melayang juga, sedang gala kiri, ia cabut, ia angkat, untuk ditancapkan pula kearah depan. Secara demikian, dalam beberapa gerakan saja, ia sudah sampai ditepian dimana ia letaki kaki seraya memutar tubuh. "Kau sambut

ini!" ia berseru, menyusul mana dua batang gala ditimpuki kearah perahu. Aku tidak berani sambuti kedua gala itu, yang jadi nancap digubuk perahu. Selagi aku kaget dan kagum, dari tepian aku dengar seruannya yang panjang, lantas tubuhnya lenyap ditempat gelap."

"Sungguh gagah Kim Tjoa Long-koen," pikir Sin Tjie. Pemuda ini cuma memikir didalam hati, tidak demikian dengan si pemudi. "Dia ada satu enghiong, satu hoo-kiat!" Tjeng Tjeng berseru dengan pujiannya. Enghiong atau hookiat adalah satu pahlawan atau orang gagah.

"Satu Enghiong ? Cis!" Oen Lam Yang mengejek. Ketika itu aku pandang dia sebagai tuan penolong. Melihat sinar matanya, yang tajam dan bengis, dia rupanya sangat benci aku, akan tetapi aku mau percaya itulah tabeatnya yang koekoay, maka aku tidak memperdulikan- nya lebih jauh. Setelah itu aku lanjuti perjalanan pulang. Semua kuli, yang

aku suruh gotong peti bilang, peti itu berat sekali. Aku duga, tentunya liok-siokhoe peroleh untung besar, bahwa peti itu terisi emas dan perak dan mustika lainnya. Aku pun percaya,

setelah dengan susah payah aku bawa pulang itu, semua paman dan mamak akan

hadiahkan aku sedikitnya satu bagian dari harta itu. Maka juga, aku sangat bergembira. Ketika akhirnya aku sampai dirumah, yah, mamak dan paman, semua puji aku, mereka katakan, Baru pertama kali aku pergi bekerja, aku telah peroleh hasil yang tidak dapat

dicela..."

"Memang tidak dapat dicela!" Tjeng Tjeng menyelak dengan ejekannya.

"Sudah kau bunuh satu nona remaja, kau juga pulang dengan gondola sebuah peti besar!" "Tjeng Tjeng, diam!" Oen Gie melarang. "Kau dengarkan cerita pehhoe." Oen Lam Yang tidak ladeni keponakannya itu. "Malam itu kami berkumpul," demikian lanjutan penutur- annya. "Lilin dinyalakan terang-

terang di seluruh thia. Empat bujang gotong peti besar. Ayah beserta keempat  mamak duduk ditengah ruangan. Aku sendiri adalah yang loloskan semua dadung, kemudian aku cabut setiap pakunya. Aku masih ingat benar ketika toapehhoe sambil tertawa berkata : "Entah lauwliok kepincuk oleh si cantik siapa, ia sampai lupa daratan dan tak mau pulang, dia cuma suruh ini bocah

bawa pulang petinya ini! Mari! Mari kita lihat mustika apa yang dia antar pulang!" Aku lantas buka tutup peti, diatas mana ada sepotong sampul surat yang ada tulisannya, yang berbunyi : 'Lima saudara Oen harus buka bersama' Itulah huruf-huruf yang indah, yang

bukan buah-kalam liok-siokhoe. Aku serahkan surat itu pada toa pehhoe.

"Toa pehhoe sambuti surat tetapi ia tidak lantas buka untuk dibaca. "Coba lihat dulu, apa isinya bungkusan!" kata dia. Peti besar itu memang berisikan sebuah bungkusan besar sekali, yang atasnya diampar kertas. Bungkusan itu dijahit rapat. "Liok-teehoe, coba ambil gunting, guntingi benang itu," toa pehhoe kata pada encim yang keenam. "Aku heran, liok-tee boleh menjadi begini terliti..."

"Encim lantas ambil gunting, akan putuskan semua benang, sesudah mana, ia buka bungkusan itu. Dengan tiba-tiba dari dalam bungkusan menyambar tujuh atau delapan batang anak panah beracun..." Tjeng Tjeng menjerit sendiri saking kaget. "Itulah kepandai- an yang umum dari Kim Tjoa Long-koen," kata Sin Tjie dalam hatinya. Ia tidak jadi heran dan kagum seperti si nona.

"Mengingat kejadian itu, aku bersuku kepada Thian," Oen Lam Yang kata dengan

pujiannya. "Coba aku keburu napsu, aku yang buka bungkusan itu, mana jiwaku masih dapat hidup sampai sekarang ini? Semua gandewa itu mengenai dengan telak kepada tubuh encim keenam. Semua ada gandewa beracun yang liehay sekali, yang mengenai darah lantas menutup tenggorokan. Hampir tidak berseru lagi, encim keenam rubuh, anggauta tubuhnya semua berubah menjadi hitam. Dan ia mati tak berampun lagi!..." Berkata demikian, Lam Yang menoleh pada Tjeng Tjeng. "Itulah perbuatan bagus dari ayahmu!" kata dia dengan ejekannya. "Karena kejadian itu, seluruh thia menjadi gempar. Ngo-siok lantas me- nyangka jelek padaku, dia suruh aku

yang buka bungkusan besar itu. Dengan terpaksa, aku menurut. Aku berdiri jauh-jauh, aku buka bungkusan dengan pakai gala untuk menggaet dan meng- gower. Sukur tidak ada gandewa lainnya yang menyambar. Kau tahu, apa isinya bungkusan itu?" ia tanya si nona.

"Apakah itu?" Tjeng Tjeng balik tanya.

Oen Lam Yang kasi dengar suara nyaring ketika ia menjawab : "Itulah mayat entjek keenam!" Tjeng Tjeng kaget hingga parasnya menjadi pucat. Oen Gie rangkul puterinya itu, untuk dipeluki, untuk tetapkan hatinya. Untuk sesaat, keempat orang berdiam semua. "Coba bilang, dia kejam atau tidak?" kemudian Oen Lam Yang mulai lagi, dengan perta- nyaannya. "Sebenarnya sudah cukup dia bunuh lioksiokhoe, maka apa perlunya dia bungkus mayatnya dan dikirim pulang secara demikian?"

"Kau tidak hendak sebutkan sebabnya kenapa dia berbuat demikian!" Oen Gie sahuti kakak itu. "Hm, kau tentunya anggap harus demikian," Lam Yang balas.

Oen Gie memandang kelangit yang luas akan lihat bintang-bintang, agaknya ia tersemsem. Kemudian, sembari memandang puterinya, ia kata dengan pelahan : "Ketika itu, Tjeng Tjeng, aku berusia lebih tua satu tahun daripadamu sekarang ini. Akan tetapi aku masih

bersifat seperti kanak-kanak, apa juga aku tak mengerti. Dirumah ini, semua mamak dan paman, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Aku tidak sukai mereka itu. Melihat mayat liok-siokhoe, aku tidak berduka. Inilah aku bicara terus-terang. Aku melainkan

heran, dia yang ilmu silatnya liehay, cara bagaimana dia kena dibinasakan! Aku umpatkan diri dibelakang ibu, aku tidak berani mengucap apa-apa. Kemudian adalah toapehhoe yang membuka surat, untuk dibacakan dengan nyaring. Dua- puluh tahun sudah lewat tetapi aku

masih dapat bayangi kejadian malam itu, toapehhoe gusar hingga mukanya pucat, hingga suaranya menggetar. Aku ingat, beginilah dia membaca : "Kepada yang terhormat, Tujuh saudara Oen dari Tjio Liang Pay! Aku kirimkan bersama ini satu mayat lengkap, harap kamu suka terima dengan gembira. Orang ini sudah perkosa encie kandungku, habis itu dia bunuh encieku itu, kemudian lagi, dia juga binasakan ayah, ibu dan dua saudara tuaku, hingga semua lima anggauta dari keluargaku mati terbunuh ditangannya! Melainkan aku sebatang kara yang bisa kabur meloloskan diri dari ancaman malapetaka hebat itu, untuk terus berkelana. Baru sekarang

aku pulang, untuk menuntut balas! Hutang darah itu mesti ditebus sepuluh lipat, dengan cara demikian Barulah aku bisa puaskan hatiku. Aku mesti bisa bunuh lima-puluh jiwa anggauta keluargamu yang lelaki dan perkosa sepuluh anggauta perempuan ! Jikalau

jumlah ini tak dapat aku penuhkan, aku sumpah tak mau aku menjadi manusia! Hormatnya Kim Tjoa Long-koen Hee Soat Gie." Habis membaca, Oen Gie menghela napas lega. "Engko Lam Yang, benar atau tidak liok-siokhoe, telah bunuh semua anggauta keluarganya?" dia tanya Lam Yang. Orang yang ditanya manggut.

"Kami ada bangsa laki-laki, kami sudah masuk Jalan Hitam," jawabnya dengan bangga," maka untuk kami, merampas harta-benda, membunuh orang dan mem- bakar rumah adalah pekerjaan biasa! Liok-siokhoe lihat wanita cantik, dengan jalan perkosa dia masih tak

dapatkan maksudnya, kalau karenanya dia cabut golok dan membunuhnya, itu mungkin terjadi." Oen Gie menarik napas panjang. "Kamu orang-orang lagi, diluaran kamu sudah lakukan kedosaan besar, kita orang-orang perempuan didalam rumah, mana kita dapat tahu? ...." "Sesudah baca surat itu, toapehhoe tertawa berkakakan," demikian Oen Lam Yang mulai pula dengan cerita- nya. "Dia kata :" Dia hendak datang kemari, itulah bagus! Kalau tidak,

kita mesti pergi cari dia! Kalau dia umpatkan diri, kemana kita mencarinya?"

"Walaupun toapehhoe bilang demikian, ia tapinya berlaku teliti. Sejak malam itu, penjagaan diperkeras. Malah dua orang segera diutus ke Kim-hoa dan Giam-tjioe untuk panggil pulang tjit-siokhoe dan pat-siokhoe." Sin Tjie heran. "He, kenapa mereka bersaudara sedemikian banyak?" pikirnya. "Ibu," Tjeng Tjeng juga tanya," kiranya kami masih punyakan Tjit-yaya dan Pat-yaya?

Kenapa aku tidak tahu?..."

"Mereka adalah saudara tjintong dari yayamu," terangkan Oen Gie. "Memang, mereka itu tidak tinggal disini."

"Tjit-siokhoe tinggal di Kim-hoa, pat-siokhoe di Giamtjioe," kata Lam Yang. "Mereka ada keluarga kita tetapi orang luar jarang yang ketahui. Akan tetapi Kim Tjoa Long-koen benar

liehay. Begitu lekas tjit-siokhoe dan pat-siokhoe berangkat menudju kemari, ditengah jalan mereka dipegat dan dibinasakan oleh dia. Dia sungguh seperti malaikat muncul dan hantu

selam, entah kapan terjadinya, pada suatu malam dia telah masuk kedalam rumah kita, dia telah curi lima-puluh batang tjiam yang kita biasa pakai diwaktu pungut panen. Setiap kali

dia bunuh satu orang kita, ditubuh korbannya itu dia tancap sebatang tjiam. Rupanya dia hendak wujudkan sumpahnya, sebelum dia binasakan lima- puluh orang kita, dia tidak mau ber- henti ...."

"Dirumah kita ini sama sekali ada seratus orang lebih, cara bagaimana tak mampu kita melawan dia?" tanya Tjeng Tjeng. "Dia berjumlah berapa banyak orang?"

"Dia bersendirian saja," sahut Oen Lam Yang. "Kantjat itu belum pernah berani perlihatkan diri, kita juga tidak tahu dimana dia sembunyikan diri. Terang dia menantikan,asal ada orang kita yang mencil sendirian, lantas dia bunuh mati. Ayah jadi gusar berbareng sibuk,

sampai ayah undang belasan orang Kang- ouw datang ke Tjio-liang ini, untuk setiap hari atau malam berpesta besar disini, guna tunggui kantjat itu. Diluaran juga kita sudah tempelkan surat-surat pengumuman, akan tantang dia secara berterang, untuk satu

pertempuran yang memutuskan. Akan tetapi tak mau dia terima tantangan kita itu. Melihat kita berjumlah ba- nyak, dia tidak pernah datang-datang pula. Maka itu, selang setengah tahun, sahabat-sahabat kang-ouw itu pada pamitan pulang satu demi satu. Tapi, begitu lekas rumah kita sepi, engkoh yang ketiga dari kamar kedua dan adik lelaki kesembilan dari kamar kelima telah kedapatan mati tenggelam didalam empang, pada tubuh mereka tertancap masing-masing sebatang tjiam. Nyata sekali, kantjat itu pandai sekali mengatasi diri, ia bisa menanti dengan sabar sampai berbulan-bulan, akan datang pula disaat pilihannya. Sejak itu beruntun selama sepuluh hari, setiap harinya ada saja orang kita

yang binasa sebagai korbannya, sampai di Tjio-liang ini, tukang-tukang peti- mati kehabisan peti untuk merawat korban-korban itu, hingga kita mesti pergi beli peti dikota Kie-tjioe. Tentu saja, terhadap orang luar, kita siarkan berita bahwa kita terganggu iblis jahat dan penyakit hebat. Adik Gie, kau tentu-nya masih ingat baik-baik itu hari-hari yang menggiriskan?"

"Ketika itu, seluruh desa pun gempar saking ketal," Oen Gie jawab. "Rumah kita telah dijaga dan dirondai setiap siang dan malam, malah ayah bersama semua yaya meronda juga dengan bergi- liran, sedang semua orang perempuan dan anak-anak pada sembunyikan diri didalam rumah, tidak ada yang berani keluar dari pintu hek sekalipun satu tindak."

"Walaupun demikian," menyambung Lam Yang dengan gigi bertjatrukan," kedua enso dari kamar keempat, pada suatu malam lenyap dua-duanya, diculik diluar tahu kita. Kita sudah menduga, mereka itu tentu bakal terbinasa ditangan si kantjat, siapa tahu selang satu

bulan lebih, kedua enso itu telah berkirim surat dari Yangtjioe dalam mana mereka memberi tahu bahwa oleh si kantjat mereka sudah dijual dirumah hina dimana mereka dipaksa mesti melayani tetamu-tetamu lelaki selama satu bulan. Soe-yaya menjadi demikian mendongkol, sehingga ia rubuh pingsan. Tidak bisa lain, terpaksa kita kirim

orang dan uang ke Yangtjioe untuk tebus kedua enso itu..." Sin Tjie bergidik sendirinya. "Hebat pembalasannya Kim Tjoa Long-koen," pikir ia. "Memang ia harus balaskan sakit hati ayah, ibu, encie dan kedua engkohnya, akan tetapi setelah musuh besarnya sudah terbinasa, sikap selanjutnya ini rada keterlaluan"

Pemuda ini goyang-goyang kepala. "Yang paling hebat," menyambung pula Oen Lam Yang," setiap perajaan Toan-ngo, Tiong

Tjioe dan penutup tahun, dia tentu- tentu kirimkan kami sepucuk surat beri- kut sepotong surat perhitungan dalam mana dia peringati bahwa kami masih berhutang beberapa jiwa lelaki dan be- berapa orang perempuan. Tjio Liang Pay telah malang-melintang di Kanglam bebe- rapa puluh tahun lamanya, sekarang me- reka dipermainkan secara begini rupa oleh dia satu orang, bagaimana kami tidak berduka dan lelah? Mau kita menuntut balas, akan tetapi musuh sangat licin dan gagah. Ayah dan bebe- rapa paman pernah tempur dia secara

perseorangan, semuanya bukan tandingan dia itu. Maka juga pihak kami jadi putus asa, kita cuma bisa ambil putusan akan bela diri secara beramai-ramai. Asal kita menjaga dengan keras, dia tidak pernah muncul, sampai bulanan pun tidak. Kalau kita alpa, lantas dia muncul dan bekerja. Demikian selama dua tahun, besar dan kecil, sama sekali dia telah binasakan tigapuluh delapan jiwa. Tjeng Tjeng, hayo bilang, pantas atau tidak kita benci dia?"

"Kemudian bagaimana?" tanya si nona, yang tidak jawab pertanyaan mamak itu.

"Baik ibumu saja yang melanjuti," sahut sang mamak dengan lesu. Sampai disitu, Oen Gie awasi Sin Tjie, wajahnya berdu- ka. "Wan siangkong," katanya dengan pelahan," kau telah rawat jenasah dia, maka sekarang, apa jua boleh aku tak usah sembunyikan kepadamu. Hanya aku minta sebentar, tolong kau tuturkan aku perihal meninggalnya dia itu, supaya kita ibu dan anak mendapat tahu, dengan begitu...." Nyonya ini tidak bisa bica- ra terus, ia menangis sesenggukan, se- hingga ia mesti menunda beberapa detik untuk legakan hati. "Ketika itu aku tidak tahu kenapa dia demikian kejam, malah aku tidak ingin mengetahuinya," kemudian nyonya Hee ini mulai dengan keterangannya. "Ayah larang aku keluar dari pekarangan rumah walaupun setindak juga, aku jadi sangat masgul. Maka itu

setiap hari aku cuma bisa memain  dida- lam taman. Malah ayah bilang, tanpa ada beberapa engko yang temani, siang pun orang perempuan dilarang berkeliaran didalam pekarangan."

"Dalam bulan ketiga, selagi bunga-bunga mekar indah dan harum baunya, ingin aku pergi kebukit untuk tengok pohon-pohon bungaku, apamau disebabkan sepak terjangnya Kim Tjoa Long-koen itu, tak dapat aku puasi hatiku, aku mesti dike- ram didalam rumah. Pernah aku memikir untuk membolos sendirian akan tetapi aku tidak berani karena bengisnya ayah."

"Pada suatu hari aku pergi memain didalam taman, bersama encie ketiga dari kamar kedua serta enso dari kamar kelima. Bersama kita ada engko Lam Yang serta kaupunya engko Liam Tjoe. Jadi kita ada berlima. Dengan gembira kita main ayunan, yang diayun makin lama makin tinggi, hingga kita bisa melihat keluar tembok pekarangan dimana tertam- pak pohon-pohon yanglioe yang hijau- segar serta bunga-bunga toh yang gompiok-indah."

"Disaat kita sedang bergembira, seko- nyong-konyong engko Liam Tjoe menjerit sekali, Begitu lekas kita memeriksa, nyata dadanya engko Liam Tjoe itu telah tertikam sebatang bor Kim-tjoa-tjoie, hingga ia habis nyawa- nya seketika juga. Engko Lam Yang! Aku ingat betul, kau sudah lantas lari masuk kedalam rumah, kau tinggalkan kita bertiga berada didalam taman!"

Mukanya Lam Yang menjadi merah. "Seo- rang diri aku tidak dapat lawan dia, apa itu bukan berarti aku akan antari jiwa secara kecewa?" katanya, untuk bela diri: "Aku lari ke dalam untuk minta bantuan..." Oen Gie tidak gubris bantahan saudara itu, ia lanjuti ceri- tanya: "Selagi aku bingung karena belum tahu duduknya perkara, tiba-tiba seo- rang berkelebat diatas tembok, dia lompat turun kebawah, tepat kepadaku, yang masih berdiri diatas ayunan. Dengan sekuat tenaga, ia ayun ayunan itu, lalu ia peluk pinggangku. Aku rasakan seperti aku terbang melayang

ditengah udara, aku percaya kita berdua bakal jatuh mati. Kakiku tidak injak lagi papan ayunan."

"Orang itu cekal aku dengan tangan kiri, ketika ia turun diluar tembok, tangan kanannya sambar secabang pohon yanglioe, habis mana, dengan turuti cabang yang meroyot turun, ia turun ketanah, dengan begitu, aku terhindar dari bahaya. Dalam bingung, aku pukuli dia pada mukanya. Ketika ia tekan pun- dakku, lantas seluruh tubuhku jadi le- mas, akan kemudian lenyaplah tenagaku. Tapi aku dengar suara berisik dibela- kangku. Itulah orang-orang yang susul aku. "Tidak antara lama, siraplah sua- ranya sekalian pengejar itu. Terang mereka telah ketinggalan jauh. Masih aku dibawa lari terus, sampai akhirnya kita berhenti disebuah gua dilamping jurang yang nampaknya seperti jurang tergantung. Sampai disitu, dia totok pula padaku, hingga aku jadi dapat pulang tenagaku. Ia awasi aku sambil bersenyum menyengir."

"Tiba-tiba aku ingat kedua enso yang bernasib malang. Maka aku pikir, dari- pada terhina, lebih baik aku binasa. Begitulah aku loncat, akan benturkan kepalaku kebatu gunung. Dia lihat si- kapku itu, dia kaget, dia lantas jam- bret bebokongku. Cegahan ini membikin gagal kenekatanku itu. Tapi aku telah kena bentur juga batu, tidak keras, karena mana, aku jadi dapat ini tanda."

Oen Gie tunjuki jidatnya, dibagian ujung, yang ketutupan rambut, dimana ada satu cacat, melihat mana, waktu itu lukanya itu tentu bukan enteng. Ia menghela napas. "Coba itu waktu dia tidak jambret aku, coba dia antap aku benturkan diri, hingga aku terbinasa, urusan tidak bakal jadi berlarut-larut. Untuk dia sendiri, mungkin itu ada ba- nyak baiknya. Tapi karena dia berhasil mencegah aku, dia justru jadi terancam, Karena lukaku itu, aku pingsan, ketika kemudian aku sadar, aku dapati aku sedang rebah diatas sepotong permadani didalam gua itu. Aku kaget hingga ham- pir aku pingsan pula, Baru hatiku lega

apabila aku dapati kenyataan, pakai- annya rapi seperti tadinya. Mungkin karena melihat aku nekat, jangkitlah yang jernih, dia tidak ganggu aku," kata nyonya ini.

Bersambung ke Bab 8 ...