Bagian 21
Mendengar suara bimbang, Go Eng-him seperti mendapat sedikit harapan, Hatinya senang sekali.
"Biar bagaimana, Pi cit mengharapkan bantua kongkong," katanya, "Ya, Pi cit hanya mengandalkan kongkong seorang!"
"Kau bangunlah!" kata Siau Po.
"Mari kita bicara sembari berdiri!" Eng Him menurut, dia bangkit.
"Benarkah para penyerbu itu bukan orang orang suruhanmu?"
"Pasti bukan!" sahut Go Eng-him tegas.
"Mana berani Pi cit melakukan perbuatan durhaka dan memberontak seperti itu? Bukankah itu merupaka dosa tidak terampunkan?"
"Baik," kata Siau Po.
"Aku senang bersahabat dengan mu. Aku percaya padamu, Tapi ingat, kalau mereka memang orang-orangmu, selain menjerumuskan dirimu sendiri, kau juga menyeret aku!"
"Aku tahu, kongkong. Mereka pasti bukan orang-orangku!" kembali Eng Him memberikan kepastiannya.
"Siapa kira-kira orang yang ingin memfitnah kalian ayah dan anak?" tanya Siau Po.
"Sulit bagiku untuk menunjuknya, Kami mempunyai banyak musuh!" sahut Go Eng-him bingung
"Untuk memberikan penjelasan kepada Sri Baginda, kau harus menyebut nama salah seorang musuhmu," kata si kongkong, "Dengan begitu Baginda baru bisa menaruh kepercayaan atas apa yang kukatakan."
"Iya, kongkong memang benar. Ayah Pi cit telah bekerja banyak demi kerajaan Ceng, tidak sedikit lawan yang telah ia robohkan, Karena itu bisa di mengerti kalau sisa-sisa lawannya masih membencinya sampai sekarang, Tentu saja mereka juga berusaha mengadakan pembalasan, Umpamanya sisa orang-orangnya Lie Cong, pangeran Tong Ong, Kui ong, Juga keluarga Bhok dari Inlam, Mereka-mereka itu pasti bisa melakukan hal apa saja." Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Sekarang coba kau terangkan kepadaku tentang sisa-sisanya Lie Cong dan keluarga Bhok itu, Bagaimana tentang ilmu silat mereka? Dapatkah kau memperlihatkan beberapa jurus di antaranya agar aku dapat tuturkan di depan Sri Baginda nanti? Aku akan mengatakan kepada Sri Baginda bahwa itulah ilmu silat para penyerbu yang kau lihat tadi malam. Dengan demikian kata-kataku disertai bukti." Eng Him senang sekali mendengar ucapan Siau Po. Dia yakin cara itu memang bagus sekali.
"Pemikiran kongkong ini baik sekali!" pujinya, "Mengenai ilmu silat, kepandaian aku yang rendah masih terbatas, Karena itu, biarlah Pi cit tanyakan dulu kepada orang-orangku, silahkan kongkong duduk menunggu, sebentar Pi cit akan kembali lagi!"
Go Eng-him memberi hormat kemudian masuk ke dalam, Tidak lama kemudian, dia sudah muncul kembali bersama salah satu orangnya, yakni Yo Ek-ci, orang yang kemarin dibantu Siau Po untuk memenangkan perjudian sebanyak seribu enam ratus tail.
Ek Ci mengenali thay-kam cilik ini. Cepat-cepat dia memberi hormat. wajahnya tampak kelam. Mungkin Eng Him sudah memberitahukan maksud kedatangan si thay-kam cilik sebagai utusan raja ini. Siau Po tertawa dan berkata.
"Yo toako, jangan khawatir! Tadi malam kau berjudi di istana Kong Cin ong, tidak sedikit orang yang melihatmu Tidak mungkin kau disangka sebagai penyerbu gelap di istana!"
"Itu memang benar! Tapi aku takut ada orang jahat yang ingin memfitnahku," kata Ek Ci. Di adalah kepala pengawal Go Eng-him, karenanya dia juga bertanggung jawab atas para bawahannya, "Aku khawatir ada orang yang mengatur cerita burung bahwa sengaja Go sicu mengajak aku ke istana Kong Cin ong, tetapi di belakangnya aku justru telah mengatur penyerbuan ke istana raja...."
"Iya.... Kekhawatiranmu memang beralasan juga." kata Siau Po.
"Kongkong, kaulah yang dapat menolong kami." kata Ek ci kemudian, "Menurut Go sicu, kongkong sudah memberi penjelasan kepada Sri Baginda tentang bebasnya kami dari sangkaan, Kami benar-benar berterima kasih atas kebaikan kongkong, Musuh Peng Si ong banyak sekali, Pihak-pihak itu juga mempunyai aneka ragam ilmu silat yang berlainan namun ilmu keluarga Bhok istimewa serta mudah dikenali..."
"Aih! Sayang sekali!" kata Siau Po yang cerdik, Sayang di sini tidak ada orang keluarga Bhok, kalau tidak, kita dapat memintanya menjalankan beberapa jurus ilmu keluarga itu!"
"Ilmu tangan kosong dan ilmu pedang keluarga Bhok sangat terkenal dan sudah tersiar luas di wilayah Inlam," kata Ek Ci. "Karena itu, hamba ingat beberapa jurus di antaranya, kalau kongkong suka, hamba akan berusaha menjalankannya, kawanan penyerbu itu datang membawa golok serta pedang, Bagaimana kalau hamba tunjukkan beberapa jurus ilmu pedang Keng Hong kiam?"
Siau Po memperlihatkan mimik gembira.
"Bagus sekali kalau Yo toako mengenal ilmu silat keluarga Bhok, Aku tidak mengerti ilmu pedang dan untuk mempelajarinya juga memerlukan waktu yang cukup lama, sebaiknya kau mainkan jurus tangan kosong saja, nanti aku akan mencobanya."
"Kongkong telah berhasil membekuk Go Pay, nama kongkong terkenal di empat penjuru dunia!" kata Ek Ci.
"Aku yakin ilmu silat kongkong pasti lihay sekali, Kongkong, mana yang aku tidak paham, harap Kongkong sudi memberikan petunjuk!" Yo Ek-ci segera menuju tengah ruangan dan mulai bersilat dengan perlahan. Maksudnya agar si thay-kam cilik dapat melihat dengan jelas. Ilmu silat keluarga Bhok memang terkenal sejak dua ratus tahun yang lalu, itulah sebabnya, meskipun belum lancar sekali, tapi Yo Ek-ci mengenalnya dan dapat menjalankan nya dengan baik, Pada dasarnya dia memang lihay, Banyak sudah dia mendengar dan mengalami sendiri, pengetahuan nya pun luas sekali.
"Sungguh bagus!" kata Siau Po memuji ketika melihat Ek Ci menjalankan jurus "Heng-sau cian kun" Begitu pun ketika orang itu menjalankan juru Kao-san Liu Sui.
"Bagus sekali!" pujinya sekali lagi ketika Ek Ci berhenti menunjukkan permainannya.
"Dalam waktu yang sesingkat ini, aku tidak dapat mempelajari semuanya sekaligus. Karena itu, di depan Sri Baginda nanti, aku akan menunjukkan dua jurus itu saja, Dengan demikian Sri Baginda bisa menanyakan kepada para siwi, apakah mereka mengenal jurus tersebut. Coba kau katakan, apakah kau tahu asal-usul kedua jurus tadi?" Selesai berkata, Siau Po pun segera menjalankan kembali kedua jurus Heng-sau Ciang kun dan Kao-san Liu Sui tersebut.
"Bagus! Kongkong bagus sekali!" seru Ek memuji "Kongkong dapat menjalankan kedua jurus tadi dengan baik sekali! Setiap ahli silat tentu akan mengenalnya, Kongkong memang cerdas sekali, Dengan sekali lihat saja kongkong dapat mengikutinya. Kongkong, dengan demikian keluarga Go pasti luput dari ancaman bahaya!" Go Eng-him berulang kali menjura kepada Siau Po seraya berkata.
"Kongkong, keluarga Go yang terdiri dari seratus jiwa lebih semuanya mengandalkan pertolongan kongkong untuk menyelamatkannya!" Mendengar ucapan Go Eng-him, Siau Po berpikir dalam hati.
"Keluarga Go ibarat mempunyai gunung emas dan bukit permata, Dengannya aku tidak perlu membicarakan harga!" Dia pun menganggukkan kepalanya dan berkata, "Bukankah kita adalah sahabat sejati? Siau ongya, jangan bicara soal budi pertolongan Dengan berkata demikian, kau menganggap aku seperti orang luar saja, Lagipula, Siau ongya, aku memang berusaha menolongmu, tapi berhasil atau tidaknya toh masih belum ketahuan!"
"Baiklah, kongkong, Aku mengerti..." kata Eng Him. Siau Po berdiri, dia mengambil bungkusan berisi senjata dan pakaian dalam tadi, Diam-diam dia berpikir.
"Barang-barang ini untuk sementara tidak boleh aku serahkan kepadanya." Kemudian dia pun bertanya, "Sri Baginda, juga berpesan agar aku bertanya kepadamu, bukankah dari sekian pembesar Inlam ada seorang yang bernama Yo It-kong?" Go Eng-him tertegun saking herannya.
"Yo It-kong adalah seorang pembesar yang pangkatnya masih rendah," pikirnya dalam hati. Di memang datang ke kotaraja, tapi belum sempat menghadap Sri Baginda, mengapa Sri Baginda bisa mengetahui tentang dirinya?"
Tapi secepatnya di menjawab: "Yo It-kong adalah seorang camat yang baru diangkat untuk kecamatan Kiokceng di Inlam sekarang dia memang ada di kotaraja menunggu kesempatan untuk bertemu dengan Sri Baginda."
"Sri Baginda menyuruh aku menanyakan Sia ongya tentang orang itu," kata Siau Po.
"Beberapa hari yang lalu Yo It-kong telah berbuat sewenang-wenang dalam sebuah rumah makan di kotaraja ini, dia membiarkan para pengikutnya menghajar orang. Sri Baginda ingin tahu apakah tabiatnya sekarang sudah berubah atau belum?" Mendengar pertanyaan itu, Go Eng-him terkejut setengah mati. Yo It-kong mendapat pangkat camat karena menyogok uang sebanyak empat laksa tail kepada Go Sam-kui. Dari jumlah itu, Go En him sendiri menarik sebanyak tiga ribu tail. Ini yang membuatnya terperanjat, cepat-cepat menjawab.
"Nanti Pi cit memberikan pelajaran kepadanya!" kemudian dia menoleh kepada Yo Ek-ci dan berkata, "Kau segera perintahkan orang memanggil Yo It-kong. Pertama-tama, hajar dia dengan rotan sebanyak lima puluh kali!" Setelah itu dia berkata lagi kepada Siau Po. "Kongkong, tolong laporkan kepada Sri Baginda bahwa Go Sam-kui kurang teliti dalam memilih pejabat. Karena itu Go Sam-kui minta maaf dan bersedia diturunkan pangkatnya! Tentang Yo It-kong dia akan segera dipecat dan untuk selama-lamanya tidak akan terpilih kembali. Sebagai penggantinya akan diminta Lie Pou tayjin memilih orang yang cakap!"
Siau Po tertawa. "Ah, dia tidak perlu dihukum demikian berat!"
"Tapi Yo It-kong sungguh lancang dan nyalinya besar sekali, perbuatannya ini sampai diketahui Sri Baginda," kata Go Eng-him. "Sebenarnya hukuman itu malah terlalu ringan, seharusnya dia mendapatkan hukuman kematian. Nah, Yo Ek-ci, hajar lah dia yang keras!"
"Baik, Siau ongya!" sahut Yo Ek-ci. Siau Po tertawa.
"Aku rasa jiwa orang she Yo itu bisa tidak ketolongan," pikirnya dalam hati, Kemudian dia berkata kepada Go Eng-him: "Baiklah, Siau ongya, sekarang juga aku hendak kembali ke istana untuk memberikan laporan kepada Sri Baginda, Terutama aku harus melatih dulu kedua jurus Heng-sau ciang kun dan Kao-san Liu Sui itu!" Selesai berkata, thay-kam cilik itu memberi hormat kemudian membalikkan tubuhnya untuk berjalan pergi. Go Eng-him mengiakan dan membalas penghormatannya, Kemudian dengan sigap dia mengeluarkan sebuah bungkusan besar dari balik pakaiannya dan dengan kedua tangannya dia angsurkan kepada Siau Po seraya berkata.
"Kui kongkong, budimu yang besar sulit Pi cit balas, Begitu pula kebaikan congkoan, So tayjin beserta beberapa siWi Tayjin. Karena itu, Pi cit harap kongkong sudi membantu bicara dengan mereka dan sekalian tolong sampaikan bingkisan Pi cit yang tidak berharga ini. Kalau nanti Sri Baginda menanyakan apa-apa kepada kongkong, harap mereka sudi membantu kongkong bicara sehingga dapat mencuci rasa penasaran ayah Pi cit!" Siau Po menyambut bungkusan itu yang berupa uang, Sembari tertawa dia berkata.
"Siau ongya hendak meminta bantuanku, boleh saja!" Sudah satu tahun lebih Siau Po berdiam dalam istana, Meskipun usianya masih muda, tapi dia sudah mengerti banyak cara bicaranya seorang thay-kam dan dia dapat bersikap baik dalam hal ini. Eng Him beserta Ek Ci mengantarkan Siau Po keluar Sikap mereka menghormat sekali.
Ketika Siau Po sudah berada di dalam joli, di mengeluarkan bungkusan yang diberikan Go Eng him. Ketika dia membukanya, ternyata isinya uang kertas senilai sepuluh laksa tail.
"Hm!" pikirnya dalam haii, "Dari jumlah ini, lohu harus mengambil setengahnya!" Benar saja, Dia segera menyisihkan lima laksa tail dan disusupkannya ke dalam saku pakaian, sedangkan isinya yang lima laksa tail lagi disusun rapi kemudian dibungkus kembali. Setibanya di istana, mula-mula dia menemui raja di kamar tulis Gi Si pong, Dia memberi laporan tentang Go Eng-him yang menurutnya sangat menghormati dan memuji kebijaksanaan junjungannya itu dan pangeran itu merasa bersyukur sekali. Kaisar Kong Hi tertawa. "Hal ini pasti membuatnya terkejut sekali!"
"Ya, dia memang kaget dan ketakutan!" sahut Siau Po ikut tertawa, "Setelah itu hamba bicara tentang para penyerbu yang ilmu silatnya telah Sri Baginda ketahui berasal dari keluarga Bhok. Mendengar itu, Go Eng-him heran sekaligus gembira." Raja tertawa lagi, Siau Po segera mengeluarkan bungkusan berisi uangnya sambil berkata.
"Ya, Go Eng-him sangat bersyukur Dia memberikan sejumlah uang kertas yang katanya satu laksa buat hamba sendiri, sedangkan sisanya untuk dihadiahkan kepada para siwi yang telah berjasa menghadang dan menumpas para penyerbu, Nah, Sri Baginda, Dengan demikian, bukankah kami telah memperoleh untung besar?" Siau Po memperlihatkan uang kertas itu, semuanya berjumlah seratus lembar dan nilai masing-masingnya lima ratus tail. Kaisar Kong Hi tertawa dan berkata: "Kau masih sangat muda, selaksa tail pasti tidak habis kau pakai seumur hidup, sisanya boleh kau bagi rata kepada para siwi itu!" Senang hati Siau Po mendengar keputusan junjungannya itu, tapi dia masih berpikir: "Sri Baginda memang cerdas sekali, tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau aku Wi Siau-po telah mempunyai uang sebanyak berpuluh laksa tail." Kemudian dia berkata kepada Raja: "Sri Baginda, perkenankanlah hamba mengatakan sesuatu, Bagi hamba, apa yang tidak tersedia? Asal hamba setia kepada Sri Baginda dan melayani dengan baik, Sri Baginda dapat memberi kehidupan mewah kepada hamba. Karena itu, biarlah uang sebanyak lima laksa tail ini, semuanya dibagikan saja kepada para siwi dan kepada mereka nanti hamba akan mengatakan bahwa semua ini adalah persenan dari Sri Baginda sendiri Mengapa kita harus memberi muka kepada orang seperti Go Eng-him?" Sebenarnya tidak ada niat raja menghapus jasa orang. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kebaikan Go Eng-him. Tapi setelah mendengar kata-kata Siau Po yang mengatakan "memberi muka" kepada Go Eng-him," hatinya tercekat. Meman benar, bila dikatakan uang sebanyak itu adala hadiah dari Go Eng-him, para siwi pasti senantia mengingat kebaikan pembesar dari Inlam itu. Melihat Raja diam saja, Siau Po dapat menebak isi hatinya, Tanpa menanti rajanya berbicara, Siau Po segera berkata lagi.
"Sri Baginda, ketika Go Sam-kui menyuruh putranya datang ke kotaraja ini, dia pasti membekal uang dalam jumlah yang banyak sekali, Dan setiap bertemu orang, putranya itu pasti memberikan persenan, Karena itu, bukan tidak mungkin dia sengaja menanam kebaikan untuk mengambil hati. Bukanlah dalam satu negara, meskipun seseorang itu uangnya banyak sekali, tetapi sebetulnya merupakan milik Sri Baginda? Maka itu, hamba pikir Go Sam-kui itu rada aneh, Dia seperti menganggap Inlam sebagai miliknya sendiri..." Kaisar Kong hi mengangguk mendengar kata-kata Siau Po.
"Baiklah!" katanya kemudian "Kau boleh katakan bahwa uang itu merupakan persenan dariku!" Siau Po merasa puas, Dia memohon diri terus keluar dari kamar tulis raja dan menuju tempat para siwi di mana di sana dia juga bertemu dengan To Lung.
"To Congkoan, Sri Baginda menitahkan agar para siwi yang tadi malam telah berjasa dibagikan uang sebanyak lima laksa tail ini!" katanya sambil menyerahkan uang itu. To Lung senang sekali, Dia menerima uang itu dengan berlutut dan mengucapkan terima kasih. Siau Po tertawa.
"Sekarang Sri Baginda sedang gembira hatinya, Karena itu, sebaiknya kau menghadap sendiri dan ucapkan terima kasih secara langsung!" To Lung menurut Bersama Siau Po, dia menuju kamar tulis raja, ia berlutut di hadapan kaisar Kong Hi sambil berkata.
"Sri Baginda telah menghadiahkan uang, karenanya hamba beserta para siwi menghaturkan banyak terima kasih!" Kong Hi menganggukkan kepalanya sembari tertawa. Siau Po segera mewakili rajanya bicara.
"To congkoan, Sri Baginda menitahkan supaya semua uang yang jumlahnya lima laksa tail harus kau bagikan kepada para siwi yang telah berjasa tadi malam, Bahkan siwi yang terluka karena tugasnya diberi lebih banyak dari yang lainnya!"
"Baik! Hamba menurut perintah!" sahut To Lung. Melihat sikap Siau Po yang demikian cerdas, kaisar Kong Hi berpikir dalam hatinya.
"Siau Kui cu sangat setia dan pandai bekerja, otaknya cerdas sekali, Dia juga tidak tamak oleh harta. Diberikannya semua uang yang berjumlah lima laksa tail itu kepada para siwi, sedangkan dia tidak memungut satu ci pun!" Sementara itu, Siau Po dan To Lung segera mengundurkan diri. To congkoan menyisihkan uang sejumlah selaksa tail dan diserahkannya kepada Siau Po sambil berkata.
"Kui kongkong, sudilah kiranya kongkong menerima uang ini untuk dihadiahkan kepada para kongkong sebagai tanda bukti kami para siwi terhadap kongkong!" Siau Po tertawa.
"Oh, To congkoan, kata-katamu menandakan kau kurang bersahabat Aku Siau Kui cu, seumur hidup paling menghormati sahabat-sahabat yang berkepandaian tinggi, Kalau saja uang yang lima laksa tail tersebut dihadiahkan Sri Baginda kepada para
pembesar sipil, biar bagaimana aku pasti akan mengambil barang satu atau dua laksa tail. Tapi uang itu diberikan kepadamu, To congkoan, karena itu, biar kau memberikan setengahnya pun kepadaku, aku tidak akan menerimanya!" To Lung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa.
"Para siwi mengatakan di antara para kongkong, hanya Kui kongkong yang paling muda juga paling bersahabat Ternyata kata-kata mereka bukan bualan belaka!" Siau Po tersenyum.
"To congkoan," katanya seperti tiba-tiba teringat akan suatu hal, "Dapatkah kau memberitahukan kepadaku, apakah di antara para penyerbu yang tertawan itu ada seseorang yang bernama Lau It-cou atau tidak? Kalau ada, kita dapat mengorek keterangan darinya!"
"Aku belum tahu, kongkong," sahut To Lung, "Baiklah nanti aku akan menyelidikinya."
"Baiklah!" kata Siau Po yang terus mengundurkan diri. Baru saja dia sampai di depan pintu kamarnya, seorang thay-kam datang
memberikan laporan kepadanya.
"Kui kongkong, orang she Cian datang lagi membawa seekor babi yang diberi nama Te Hong jinsom ti. Katanya sebagai hadiah untuk kongkong, Sekarang dia ada di dapur menunggu kedatangan kongkong." Siau Po mengernyitkan alisnya, pikirnya diam-diam:
"Babi yang dulu, hoa tiau hokleng ti masih belum selesai urusannya, sekarang dia mengantarkan seekor lagi, Huh! Apa kau kira istana ini tempat penyimpanan babi-babi? Tapi dia toh sudah datang, bagaimana aku harus menolaknya?" Sembari berpikir demikian, Siau Po segera pergi ke dapur Di sana ia melihat wajah orang she Lian yang ramai dengan senyuman itu. Malah ketika melihat Siau Po, dia langsung berkata: "Kui kongkong, babi hoa tiau hokleng ti itu benar-benar daging babi yang berkhasiat Lihatlah, setelah kongkong makan daging babi itu, wajah kongkong jadi bercahaya menandakan kesehatannya yang baik, Kongkong, aku bersyukur kongkong sudi membeli daging babi dariku, Karena itu sekarang aku membawakan lagi seekor babi yang diberi nama Te hong jinsom ti, ini dia babinya!" katanya sambil menunjuk ke samping. Kali ini babi hidup yang dibawanya, Bulunya putih mulus dan bersih sekali di dalam kurungan-nya, babi itu jalan berputar-putar. Siau Po menganggukkan kepalanya, Dia tahu orang itu sedang memberikan kisikan kepadanya, Sebab kedatangan Cian ini tidak mungkin tanpa maksud apa-apa. Orang she Cian itu segera menghampiri Siau Po sambil mencekal tangannya, Sembari tertawa dia berkata: "Benar hebat pengaruh daging babi yang hamba antarkan tempo hari, Lihat, tenaga kongkong jadi besar dan nadinya berdenyut kencang!" Begitu kedua tangan mereka saling menyentuh, Siau Po dapat merasakan ada kertas yang dipindahkan ke tangannya, Dia segera menyambut kertas yang dirasa ada maknanya itu, namun dia masih buta apa kira-kira persoalannya, sedangkan di muka umum dia juga tidak ingin menanyakan apa-apa.
"Babi Te hong Jinsom ini lain lagi cara memakannya," kata Si Cian, "Tolong kongkong pesankan kepada perawat babi agar binatang itu diberi makan ampas arak selama sepuluh hari berturut-turut, Sampai waktunya aku akan datang lagi untuk menyembelih dan memasaknya buat kongkong!" Siau Po menjungkitkan sepasang alisnya.
"Babi hoa tiau hokleng saja sudah membuat seluruh tubuhku panas tidak karuan," sahutnya "Bagaimana lagi dengan jinsom ti ini? Nanti kau bawakan aku lagi Yan Oh ti! Saudara Cian, biar kau sendiri saja yang memakan nya, aku tidak mau!" Orang she Cian itu tertawa.
"Oh, kongkong, inilah tanda buktiku terhadap kongkong," katanya, "Lain kali aku tidak berani memusingkan kongkong lagi!" Dia lantas memberi hormat kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi. Siau Po membiarkan orang itu berlalu, Dia berpikir keras.
"Pasti kertas ini ada tulisannya, Tapi, sekalipun hurufnya sebesar semangka, aku juga tidak mengenalnya, Bagaimana baiknya sekarang?" Siau Po tidak putus asa, Setelah memesan bawahannya untuk memelihara babi itu baik-baik, dia kembali ke kamarnya, Dia berkata lagi dalam hati "Si Cian ini sangat cerdik, pertama kali dia mengantar babi, di dalam babi itu dia menyembunyikan Siau kuncu, sekarang dia membawa babi hidup. Hanya saja suratnya ini.... Mau tidak mau aku harus minta bantuan Siau kuncu, Dasar celaka orang si Cian itu? Memangnya dia tidak bisa bicara langsung? Mengapa harus tulis surat segala?" Setelah membuka pintu, Siau Po masuk dalam kamarnya.
"Kui toako," kata Kiam Peng begitu melihat thaykam cilik, "Tadi ada orang membawakan barang hidangan, Tapi rupanya dia melihat pintu kamar yang terkunci jadi dia pergi lagi tanpa mengetuk pintu."
"Mengapa kau bisa tahu kalau dia datang mengantarkan barang hidangan?" tanya Siau Po sembari tertawa, "Ah! Tentu hidungmu mencium bau masakan yang lezat bukan? sekarang tentunya kau sudah lapar? Kenapa kau tidak makan kue saja?" Bhok Kiam Peng tertawa.
"Aku tidak malu-malu!" sahutnya, "Tadi aku sudah makan kue itu!" Siau Po tersenyum.
"Kui... Kui toako..." panggil Pui Ie. "Apakah kau...?" Tiba-tiba si nona menghentikan kata-katanya. Dia menjadi jengah.
"Tentang Lau sukomu itu, aku belum berhasil memperoleh keterangan apa pun," sahut Siau Po yang mengerti arah pertanyaan si nona.
"Kata para siwi dalam istana, mereka tidak menangkap orang she Lau...."
"Terima kasih!" kata Pui Ie.
"Syukurlah kalau dia memang tidak sampai tertawan!"
"Meskipun demikian, ada baiknya bagi kalian," sahut Siau Po.
"Dia ada di luar istana walaupun mungkin dia memikirkan dirimu, Sebaliknya, kau merindukan dia, tapi kau ada di dalam istana, Sepasang kekasih untuk selamanya tidak dapat bertemu, bukankah hal itu mengecewakan sekali?" Wajah nona Pui jadi merah padam.
"Aku toh tidak mungkin berada dalam istana ini seumur hidup?" katanya.
"Seorang nona, begitu dia masuk ke dalam istana, mana ada kesempatan untuk keluar lagi?" sahut Siau Po. Dia memang iseng dan suka menggoda, "Apalagi nona secantik dan semanis dirimu ini, Aku Siau kui cu, begitu melihat kau saja, hatiku sudah kepincut, Timbul keinginan dalam hatiku untuk mengambil kau sebagai istri, Demikian pula Sri Baginda, Kalau beliau melihatmu, pasti dia aka memilihmu menjadi ratu! Karena itu, nona Pui, aku ingin memberi nasehat kepadamu, Ada baiknya kau menjadi ratu saja!" Hati si nona merasa mendongkol dan tidak puas.
"Tidak sudi aku bicara panjang lebar denganmu!" katanya, "Setiap ucapanmu hanya membuat aku jengkel dan membuat habis kesabaranku!" Siau Po tidak menggubrisnya, dia hanya te tawa, Kemudian dia serahkan kertas di tangann kepada si nona cilik,
"Siau kuncu, tolong kau bacakan surat ini" katanya. Kiam Peng menyambut kertas itu kemudi membacanya.
"Di kedai kopi Kho Seng ada nyanyian dan cerita dengan judul Eng Liat-toan."
"Eh, apa artinya ini?" tanya si nona bingung. Mendengar bunyi surat itu, Siau Po lantas mengerti.
"Pihak Tian-te hwe ada urusan ingin bertemu denganku Aku diundang ke kedai kopi untuk mendengar cerita tentang kisah kaisar Beng thaycou dulunya, Kecewa kau menjadi keluarga Bhok kalau kisah Eng Liat-toan saja kau tidak tahu."
"Sudah tentu aku tahu kisah Eng Liat-toan itu," kata Bhok Kiam-peng. "Itu kan cerita bagaimana mula-mulanya kaisar Beng thayou membangun kerajaan Beng!"
"Bagus!" kata Siau Po. "Sekarang aku akan menanyakan kepadamu, tahukah kau kisah Bhok ongya dengan tiga kali memanah mengukuhkan kedudukannya di Inlam serta Kui kongkong dengan sepasang tangannya memeluk si nona cantik?"
"Fui!" ejek si nona dengan keras, "Ketika kakekku mengukuhkan kedudukannya di Inlam, tentu saja dalam kisah Eng Liat-toan ada disebut juga, Tapi tentang Kui kongkong dengan sepasang... tangannya... tangannya...." Siau Po memperhatikan si nona cilik lekat-lekat Lalu dia berkata dengan serius.
"Coba kau katakan! Ada tidak kisah tentang Kui kongkong yang dengan sepasang tangannya memeluk sepasang nona cantik?"
"Sudah tentu tidak ada!" sahut Kiam Peng.
"Itu kan hanya karanganmu sendiri!"
"Bagaimana kalau kita bertaruh?" tanya Sia Po.
"Bagaimana kalau ada? Dan bagaimana kalau tidak ada?"
"Kisah Eng Liat-toan itu, aku sudah hapal luar kepala!" sahut Kiam Peng.
"Aku juga sudah mendengar cerita itu berulang kali, Bertaruh apa pun aku berani! Cici Pui, bukankah tidak ada cerita tentang Kui kongkong seperti yang dikatakannya?" Belum sempat Pui Ie memberikan jawaban, Siau Po sudah melompat naik ke atas tempat tidur. Tanpa membuka sepatu lagi, dia menyusup ke dalam selimut dan berbaring di tengah-tengah kedua nona itu. Sepasang tangannya merangkul nona Pu dan nona Bhok! Saking kagetnya, kedua nona itu sampai menjerit tertahan, namun tidak sempat menyingkirkan diri. Hanya Kiam Peng yang masih berusaha memberontak.
Siau Po menggunakan kesempatan itu untuk memiringkan tubuhnya ke arah Pui Ie. Dengan demikian bibirnya segera menyentuh pipi si gadis yang halus, Dia juga menciumnya satu kali.
"Sungguh harum..." kata si bocah ceriwis. Nona Pui terkejut setengah mati, Dia ingin meronta, namun dia hanya mengeluarkan jeritan tertahan saking nyerinya. Lukanya memang masih belum sembuh dan tidak boleh sembarangan bergerak, Meskipun demikian, tangan kirinya masih melayang juga ke pipi si bocah. Plok! Terdengar suara gaplokan yang keras.
"Ah! Kau hendak membunuh suamimu? Kau tidak takut menjadi janda?" goda Siau Po sambil membalikkan tubuhnya dan terus mencium pipi Kiam Peng yang putih dan halus, "Hm! Sama harumnya! Setelah itu si thay-kam cilik melompat turun dari tempat tidur Terus dia berlari keluar dari kamarnya dan mengunci pintunya dari luar. Kamar Siau Po terletak disisi ruang makan Raja, di sebelah selatan gudang, Karena itu dia berjalan menuju utara untuk mengitari pendopo Yang Sim-tian, kemudian belok ke kiri melintasi tiga ruangan kemudian melewati pintu Yang Hoa mui. Pintu Sin An mui dan maju terus melalui keraton Siu an kiong yang terletak di sisi pendopo Eng Hoa tian, Lantas memutar lagi lewat pintu Si Tiat mui dan akhirnya keluar dari Sin Bu mui di sebelah utara. Pintu adanya di bagian belakang Ci Kiam sia, kota terlarang, sekeluarnya dari istana dia langsung menuju kedai Kho Seng. Begitu Siau Po duduk, seorang pelayan segera menghampirinya dan menyuguhkan teh hangat, setelah itu, Kho Gan-tiau berjalan perlahan mendekatinya dan melewatinya. Namun ketika lewat dia mengedipkan matanya, Siau Po mengangguk. Dibiarkannya orang itu berlalu.
"Kau pasti menunggu aku," pikirnya dalam hati, Dia meneguk tehnya beberapa kali, terus dilemparkannya uang di atas meja sembari berkata.
"Hari ini tidak ada tukang cerita..." ia pun bangkit dan berjalan dengan tenang seperti Kho Gan-tiau tadi. Di jalan raya, di sebelah ujungnya tampak Kho Gan-tiau berdiri menunggu. Siau Po berjalan terus menghampiri Di samping ada dua buah joli,
"Silahkan naik!" kata Go Tiau kepada Siau Po Kemudian dia naik ke atas joli lainnya, Dia berbuat demikian setelah menoleh ke sekitarnya dan yakin tidak ada seorang pun yang melihatnya. Gerakan kaki si tukang gotong joli cepat sekali, mereka seperti dibawa terbang, Dalam sekejap mata mereka sudah sampai di tempat tujuan. Siau Po melihat tempat itu merupakan halaman sebuah rumah, Di sini Gan Tiau masuk terlebih dahulu, dan dia pun mengikuti dari belakang, Begitu melintasi dinding berbentuk rembulan, di sana tampak berkumpul sejumlah anggota perkumpula Tian-te hwe, semuanya segera memberi hormat dengan menjura, Di antaranya terdapat, Hoan Kon Hong Ci-tiong, Hian Ceng tojin serta orang she Cian yang mengantarkan babi ke istana.
"Eh, Cian laopan!" sapa Siau Po sambil tertawa "Sebenarnya siapakah she dan nama besarmu?" Orang ditanya ikut tertawa.
"Sesungguhnya sebawahanmu ini memang she Cian, sedangkan nama belakangnya Lao Pun (ua pokok)." Siau Po tertawa tergelak.
"Kenyataannya kau memang cerdas dan pandai bekerja," puji Siau Po.
"Kalau berdagang, kau pasti untung terus!"
"Ah.... Wi hiocu hanya memuji saja..." kata si Cian tersenyum para anggota yang lainnya segera mengundang Siau Po masuk ke ruang tengah dan semuanya langsung duduk berkumpul.
"Wi hiocu, silahkan lihat!" kata Hoan Kong yang tidak sabaran. Dia segera memperlihatkan sehelai kartu nama berwarna merah yang lebar.
"Tulisan itu.,." Siau Po berkata terus terang, tapi sikapnya memang jenaka," Mereka semua bisa melihat aku, tapi aku tidak mengenal mereka sama sekali Bahkan inilah pertemuan kita yang pertama!"
"Hiocu, kartu itu merupakan sehelai surat undangan." kata Cian laopan menjelaskan "Kita diundang untuk menghadiri sebuah pesta perjamuan.
"Bagus!" sahut Siau Po.
"Pihak mana yang memberi muka terang kepada Tian-te hwe dengan undangannya itu?"
"Menurut huruf-huruf yang tertera di atas surat undangan ini, orang yang mengundang kami adalah Bhok Kiam-seng!" kata Cian Lao Pun memberikan keterangan. Siau Po langsung tertegun.
"Bhok Kiam-seng?" dia mengulangi nama itu sekali lagi.
"Iya," sahut si Cian, "Dia adalah Siau ongya atau pangeran muda dari Bhok onghu." Sekarang Siau Po baru menganggukkan kepalanya.
"Oh, jadi dia itu kakaknya si babi hoa tiau hokleng itu?"
"Benar!" kata si Cian.
"Dia mengundang kita semua?" tanya Siau Po kembali.
"Dalam surat undangan dia menulis dengan sungkan, Dia mengundang hiocu dari Ceng bo tong dan sekalian orang-orang gagah dari Tian Te Hwe untuk menghadiri perjamuannya, Waktunya malam ini, sedangkan tempatnya di lorong Si Kang cu ho tong."
"Coba kau katakan, apa maksud undangannya ini?" tanya Siau Po kepada si Cian, "Mungkinkah dia mencampurkan obat bius dalam barang hidangannya nanti?"
"Menurut tata krama, tidak mungkin dia melakukan perbuatan serendah itu," kata si Cian "Nama Bhok onghu dalam dunia kangouw sangat terkenal sedangkan Bhok Kiam-seng juga seorang pangeran muda, Boleh bilang derajatnya sama dengan Tan Cong tocu kita, Meskipun demikian, ada pepatah yang mengatakan, rapat tiada yang sempurna, pesta tidak ada yang baik akhirnya, Karena itu, hiocu, apa yang hiocu khawatirkan, mau tidak mau kita harus menjaganya!"
"Jadi kita pergi ke sana tanpa menyentuh makanannya sama sekali?" tanya Siau Po.
"Di sana toh ada masakan yang terkenal di Inlam dan kita harus mencicipinya!" Para hadirin saling menatap sekilas, Siau Po menjadi heran, Tidak ada seorang pun yang membuka suara sampai sekian lama.
"Kami semua mohon petunjuk dari Wi hiocu," kata Hian Ceng tojin akhirnya. Siau Po tertawa.
"Ada arak yang harus, ada hidang yang lezat Malam ini kita harus mencicipinya, Untuk berjaga-jaga, sebaiknya kalian mengangkat aku sebagai ketua, Setelah kenyang bersantap, kita bisa berjudi dan berpelesiran dengan nona-nona manis! Aku yang menanggung seluruh biayanya! Tapi, kalau kalian ingin membantu aku berhemat, mari kita semua penuhi undangan keluarga Bhok itu!" Lucu sekali cara bicara Siau Po, tapi dengan demikian ucapannya jadi tidak jelas, Dia tidak memberikan keputusan apakah mereka harus memenuhi undangan keluarga Bhok atau tidak.
"Hiocu," kata Hoan Kong, "Menggembirakan sekali hiocu bersedia mengajak kami menghadiri pesta perjamuan undangan keluarga Bhok ini memang harus kita terima baik, Sebab kalau kita menolak, pasti akan mempengaruhi nama baik Tian-te hwe. Bisa timbul anggapan kita ini pengecut dan nama baik perkumpulan kita akan runtuh...."
"Jadi kau setuju kita pergi?" tanya Siau Po menegaskan. Kemudian dia menoleh kepada Hian Cen tojin, Hong Ci-tiong, si Cian dan Kho Gan-tiau, Semua rekannya itu menganggukkan kepalanya, "Kalau semua sudah menyatakan persetujuan nya, nah... marilah kita makan barang hidangan, ada meneguk arak yang mereka sajikan nanti!" kata Sia Po akhirnya, "lni yang dinamakan, musuh datang kita hadang, air datang kita bendung, teh datang kita teguk! Dan nasi datang, kita lahap semuanya Kalau racun yang datang, ya terpaksa kita telan juga! Kita adalah orang-orang gagah yang tidak takut mati. Siapa takut mati, tidak pantas disebut seorang laki-laki sejati!"
"Yang penting kita semua meningkatkan kewaspadaan," kata Hian Ceng tojin kemudian, "Kita akan tahu bagaimana kenyataannya nanti, Di antara kita, ada yang minum teh, ada pula yang tidak, Juga tidak semuanya minum arak, Ada juga di antara kita yang tidak makan daging maupun ikan. Dengan demikian, biarpun mereka menaruh racun, toh tidak mungkin pada semua makanan dan minuman Kita juga tidak akan mati semua! Kalau kita datang tapi menolak makan dan minum, kita pasti jadi bahan tertawaan...." Dengan demikian, keputusan sudah diambil, untuk menghadiri perjamuan Bhok Kiam-sen Siau Po melepaskan seragam thay-kamnya, Dia berdandan sebagai seorang pemuda gagah, Untuknya, Kho Gan-tiau telah menyediakan seperangkat pakaian lengkap dengan kopiahnya, Dia juga pergi dengan naik joli, anggota Tian-te hwe yang lainnya hanya berjalan kaki. Demikianlah mereka menuju lorong Si kongcu ho tong. Di tengah jalan Siau Po berpikir. Di dalam istana, siang dan malam aku selalu khawatir memikirkan si nenek sihir yang jahat itu. Aku takut dia akan mencari kesempatan untuk membunuhku Tapi sekarang, keadaannya berbeda sekali, Di dalam istana mana mungkin aku sebebas dan sesenang ini? Namun aku harus ingat pesan Suhu, Aku berdiam di dalam istana untuk menyelidiki situasi kerajaan Ceng, Kalau aku lancang mengundurkan diri, bukan saja aku tidak berhasil mendapatkan informasi apa-apa. Mungkin nyawaku sendiri tidak terjamin. Biarlah, sebaiknya aku lihat dulu perkembangannya. Lorong Si kongcu jaraknya dua li 1ebih. setibanya rombongan, Siau Po langsung keluar dari jolinya. Mereka segera mendengar suara tetabuhan yang riuh rendah.
"Apakah ada pesta pernikahan sehingga suasananya demikian meriah?" tanya Siau Po dalam hati. Di depan mereka tampak sebuah rumah besar dengan halaman yang luas, Di situ terlihat belasan orang, dandanan mereka rapi, mereka maju untuk melakukan penyambutan di depan pintu gerbang Yang berdiri paling depan adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun, Tubuhn kurus tinggi, tampangnya tampan dan gagah, Dia segera memperkenalkan diri.
"Aku yang rendah bernama Bhok Kiam-sen Dengan segala kehormatan menyambut kedatang Wi hiocu yang terhormat beserta rombongannya!" Pergaulan Siau Po dengan para pembesar negeri sudah luas sekali. Karena itu dia menganggap penyambutan yang dilakukan tuan rumah wajar saja, Dengan mudah dia dapat membawa diri. Kalau perlu dia dapat menunjukkan tampang anggun. Bhok Kiam-seng ini memang pangeran muda, tapi kalau dibandingkan dengan Kong Cin ong, dia masih kalah satu tingkat, pangeran Kong, baik raja sendiri sangat akrab dengannya. Meskipun demikian, dengan sopan dia membalas penghormatan orang itu sambil berkata.
"Siau ongya terlalu banyak peradatan, tak sanggup aku menerimanya!" Sementara itu, secara diam-diam Siau Po memperhatikan pangeran muda ini. Dan dia melihat kenyataan bahwa wajahnya memang mirip dengan Kiam Peng, Tidak salah lagi mereka memang kak beradik. Bhok Kiam-seng sudah tahu bahwa hiocu Ceng-bok tong dari Tian-te Hwe yang berkedudukan di kota Peking usianya masih muda, dan dari Pek Han hong dia juga mendengar kepandaian bocah ini masih rendah sekali, namun mulutnya si hiocu lihay
sekali. Dia pandai memojokkan orang dengan kata-katanya, Tampangnya seperti orang kasar dan kemungkinan dia diangkat sebagai hiocu hanya memandang muka gurunya yang menjadi ketua pusat Tian-te hwe. Sekarang, melihat ketenangan dan kewibawaan Siau Po, dia menjadi heran, Diam-diam dia berpikir.
"Mungkin bocah ini mempunyai keistimewaan tersendiri..." Dia segera mengundang tamu-tamunya masuk ke dalam di mana setiap kursi diberi alas merah yang tebal. Para tamu itu pun mengambil tempat duduk dan begitu pun tuan rumahnya. Di sampingnya berdiri Sinjiu kisu Sou Kong. Pek Han-hong dan belasan orang lainnya, Mereka berdiri tegak dengan tangan di luruskan kebawah. Setelah semuanya duduk, Kedua belah saling berkenalan Sampai di situ, diam-diam Hoan Kong berpikir dalam hati.
"Pangeran Bhok itu sikapnya tidak dibuat-buat dan tidak angkuh. Dia mengenal sekali aturan dunia kangouw!" Para pelayan pun menyuguhkan teh, Pemainan musik memperdengarkan lagu sebagai penyambutan atas tamu-tamunya, Kemudian barang hidangan pun disajikan Bhok Kiam-seng memberikan isyarat dengan tangan sebagai tanda perjamuan dimulai Dia juga mengajak para tamunya menuju meja makan.
"Silahkan Wi hiocu mengambil tempat duduk." katanya mempersilahkan. Nadanya ramah sekali. Siau Po menerima undangan itu dengan sikap hormat. Dia pun mengucapkan terima kasih. Setelah dia duduk, Bhok Kiam Seng memilih tempat di sebelahnya. "Undang suhu!" kata tuan rumah setelah semua orang duduk, Sou kong dan Pek Han-hong pergi ke dalam, tidak lama kemudian mereka keluar lagi dengan mengiringi seorang tua. Kiam Seng segera menyambutnya sambil berkata.
"Suhu, hari ini hiocu Ceng-bok tong, Wi hiocu dari Tian-te hwe telah sudi berkunjung ke tempat kita, Dengan demikian beliau telah memberikan muka terang kepada kami!" kemudian dia berpaling kepada Siau Po dan berkata kembali "Wi hiocu inilah Liu suhu, guru aku yang rendah!" Siau Po segera memberi hormat seraya memuji orang itu yang menurutnya sudah lama dia mendengar nama besarnya. Orang tua itu bertubuh tinggi besar, wajahnya kemerah-merahan, kumis dan janggutnya sudah memutih. sedangkan kepalanya botak, Usianya kira-kira tujuh puluh tahun namun tampaknya masih sehat dan sepasang matanya menyorotkan sinar yang
tajam. Justru dia sedang menatap tamunya yang masih muda lekat-lekat Kemudian sambil tertawa dia berkata.
"Belakangan ini nama Tian-te hwe semakin terkenal saja!" Suara si orang tua juga lebih keras dari orang kebanyakan Setelah itu dia menambahkan "Usia Wi hiocu masih muda sekali, Benar-benar orang yang sulit ditemukan keduanya dalam dunia persilatan!" Siau Po tertawa dan menyahut.
"Aku bukan orang pandai, justru tolol sekali, Baru-baru ini tanganku telah tercekal oleh Pek suhu sehingga tidak dapat berkutik Hampir saja aku berkaok-kaok kesakitan ilmu silatku benar-benar rendah sekali!" Selesai berkata, si hiocu muda malah tertawa terbahak-bahak Dia tidak merasa malu atau jengah sedikit pun sehingga semua orang menatapnya dengan heran, Malah Pek Han-hong sendiri yang merasa malu. Si orang tua sebaliknya ikut tertawa lebar.
"Wi hiocu orangnya benar-benar polos!" katanya memuji.
"Hm, demikianlah sikap seorang laki-laki sejati, Hiocu, lohu kagum tiga bagian terhadapmu." Kembali Siau Po tertawa.
"Kagum tiga bagian, itu sudah terlalu banyak, Syukur aku yang rendah tidak dipandang sebagai pengemis cilik yang tidak punya kebisaan apa-apa." Mendengar kata-katanya, orang tua itu tertawa lagi.
"Oh, hiocu sungguh pandai bergurau!" katanya. Sampai di situ, Hian Ceng tojin turut bicara, "Locianpwe, apakah locianpwe ini Tiat Pwe-cong liong Si naga berpunggung besi Liu loeng-hiong yang namanya sudah sangat terkenal di dalam dunia kangouw, khususnya wilayah selatan?"
"Tidak salah!" sahut si orang tua. bibirnya menyunggingkan senyuman, "Syukur Hian Ceng tojin masih mengingat nama hina aku si orang tua." Di dalam hatinya Hian Ceng tojin terkejut sekali.
"Belum lagi aku memperkenalkan diri, dia sudah tahu siapa aku. Dari sini dapat dibuktikan bahwa persiapan Bhok Kiam-seng ini sempurna sekali. Dengan hadirnya orang tua ini, pangeran muda ini tidak perlu menggunakan racun. Dengan mengandalkan ilmu silatnya saja, mungkin kami bukan tandingannya!" Meskipun dia berpikir demikian, tapi imam itu tetap menjura dan berkata.
"Liu loenghiong, ketika tempo dulu Liu Loenghiong menghajar tiga penjahat di sungai Nou kang serta melabrak tentara Boan, nama besar loenghiong langsung menggetarkan dunia kangouw, setiap orang muda dari dunia persilatan memuji tinggi dan sangat menghormati Liu Loenghiong!"
"Itu kan urusan lama, untuk apa diungkit kembali?" kata Lio Loenghiong sambil tertawa, tapi nada suaranya menandakan dia senang mendengar pujian itu. Jago tua itu bernama Liu Tay-hong. Namanya sudah terkenal sekali, Dan dulunya dia sangat dihargai oleh keluarga Bhok, yakni semasa Bhok Tian-po masih hidup, Ketika pasukan Boanciu menggempur wilayah Inlam, dialah yang berjasa menyelamatkan keluarga Bhok. sedangkan Bhok Kiam-seng diangkatnya sebagai murid. Karena itu, di dalam keluarga tersebut, kecuali, sang pangeran, dialah orang yang paling dihormati.
"Suhu," kata Bhok Kiam-seng.
"Tolong Suhu temani Wi hiocu!"
"Baik!" sahut Tay Hong yang terus duduk di sisi Wi Siau-po, hiocu dari Ceng-bok tong itu. Meja itu berbentuk astakona atau segi delapan, ada juga yang menyebutnya Patkua, Di kursi pertama duduk Siau Po dan Liu Tay-hong. Di sisinya duduk Sou Kong dan Hong Ci-tiong, sedangkan di sebelah kanan, duduk Bhok Kiam-seng, Di situ masih ada sebuah kursi yang kosong. Sejak semula pihak Tian-te hwe sudah melihat kursi yang kosong itu, Mereka pun menerka-nerka dalam hati.
"Entah tokoh lihay mana lagi yang diundang oleh pihak keluarga Bhok ini?" Sebab di meja itu seharusnya ditempati orang-orang yang terhormat. Mereka tidak perlu menanti terlalu lama, karena segera terdengar suara tuan rumah yang memerintahkan.
"Harap bimbing Ci suhu keluar untuk duduk bersama-sama di sini!" demikianlah kata si tuan rumah, "Biar para tetamu kita menemuinya dan semoga hati mereka menjadi tenang karenanya!"
"Ya!" sahut Sou Kong yang terus pergi ke dalam. Sejenak kemudian dia muncul kembali sambil membimbing seseorang yang disebut sebagai Ci suhu itu. Melihat orang yang dibawa keluar oleh Sou Kong, Hoan Kong dan yang lainnya menjadi terkejut dan girang bukan main.
"Ci toako!" tanpa dapat menahan diri mereka semuanya berseru.
"Orang she Ci itu tubuhnya bungkuk, bukan lain dari Patjiu Wan kau Ci Tian-coan yang belum lama ini diculik orang, wajahnya kuning dan pucat, menandakan kesehatannya belum pulih sekali. Yang penting dia sudah bebas dari ancaman maut. Semua orang Tian-te hwe langsung mengerumuninya untuk memberi hormat dan menanyakan keadaannya.
"Ci suhu, mari duduk sini!" ajak Kiam Seng sambil menunjuk kursi yang masih kosong tadi, Ci Tian-coan menghampiri Wi Siau-po dan menjura dalam-dalam kepadanya, "Apakah Wi hiocu baik-baik saja?" Siau Po membalas hormat.
"Ci samko, semoga kau juga baik-baik saja!" katanya, "Bagaimana dengan usaha obat koyomu? Apakah banyak kemajuan?" Ci Tian-coan menarik nafas panjang.
"Aku tidak berdagang lagi," sahutnya gundah, "Sebawahanmu ini telah diculik oleh begundalnya Go Sam-kui. Hampir saja nyawa ini melayang. untung ada Bhok Siau ongya dan Liu Loenghiong yang datang memberikan pertolonganku. Mendengar keterangannya, orang-orang Tian-te hwe langsung tertegun, "Oh, Ci samko, rupanya hari itu kau diserbu orangnya pengkhianat bangsa Go Sam-kui itu..." seru Hoan Kong.
"Benar! Rombongan pengkhianat itu menyerbu toko obatku dan menawan aku," kata Tian Coan memberikan keterangan lebih jauh, "Yo It-hong si anjing buduk itu mencaci maki aku dengan serabutan dan mulutku juga ditempel dengan koyo, katanya biar aku si kunyuk tua mati kelaparan!" Mendengar disebutnya nama Yo It-kong, Hoan Kong dan yang lainnya tidak sangsi lagi bahwa perbuatan itu dilakukan oleh begundalnya Go Sam-kui. Mereka langsung menghadap Sou Kong dan Pek Han-hong untuk menyatakan maaf.
"Kami mohon maaf atas kelancangan kami yang sembarang menuduh kemarin ini! Kenyataannya kalian demikian baik hati. Kami pihak Tian-te hwe sangat bersyukur karenanya!"
"Tidak apa-apa," sahut Sou Kong, "Kami tidak berani menerima pernyataan maaf kalian, Kami hanya bekerja atas perintah Siau ongya dan kami tidak berani menyebut diri kami telah berjasa dalam hal ini." Suara Han Hong terdengar tawar, Hal ini membuktikan dia sendiri tidak puas menolong Ci Tian-coan, Rupanya dia masih ingat kematian saudaranya, Pek Han-siong.
"Siau ongya cerdas sekali," pikir Siau Po dalam hatinya, Dia sudah mengerti duduknya persoalan Ci Tian-coan yang menyebabkan kesalahpahaman dengan pihak Bhok ongya, "Aku telah menahan adik perempuannya, sekarang dia menolong Ci samko. Apakah dia mempunyai maksud tertentu agar aku melepaskan adiknya? sementara ini, biarlah aku pura-pura tidak tahu, biar aku lihat dulu perkembangannya..!" Karena itu, dia hanya berdiam diri, Ketika itu para pelayan, mulai menyuguhkan arak dan hidangan, Kiam Seng mempersilahkan para tamu untuk mulai bersantap. Pihak Tian-te hwe menerima baik serta mengucapkan terima kasih. Mereka langsung minum dan bersantap tanpa ragu-ragu lagi, Apalagi di sana ada Tian Coan dan Liu Tay-hong, tidak mungkin mereka berniat buruk. Setelah minum tiga cawan, Liu Tay-hong mengelus kumis dan janggutnya, Kemudian terdengar dia bertanya.
"Para laote sekalian, siapakah yang menjadi pemimpin kalian di kotaraja ini?"
"Di kotaraja ini," sahut Hoan Kong.
"Orang kami yang paling tinggi kedudukannya ialah Wi hiocu!"
"Bagus!" kata Liu Tay-hong. Dia meneguk araknya kembali "Sekarang aku ingin tahu, apakah Wi hiocu dapat bertanggung jawab dalam urusan perselisihan yang terjadi antara pihak Tian-te hwe dengan kami?" Siau Po belum paham apa maksud pihak Bhok ong-ya, karena itu dia segera mendahului menjawab.
"Lopek, kalau kau hendak membicarakan sesuatu, utarakanlah langsung! Aku, Wi Siau-po, bahkan masih kecil, kalau urusan kecil aku bisa bertanggung jawab, tapi kalau urusan besar, aku tidak sanggup memikulnya!" Mendengar kata-kata Siau Po, kedua pihak sama-sama terkejut Mereka mengerutkan alisnya sambil berpikir.
"Cara omong bocah ini benar-benar serampangan! Sudah tentu dia ingin mengingkari kebaikan orang, ucapannya tidak seperti orang gagah!" Terdengar Liu Tay-hong berkata lagi.
"Kalau kau tidak bisa bertanggung jawab, urusan ini tidak dapat diselesaikan Oleh karena itu, laote, harap kau sampaikan kata-kataku kepada gurumu, Tan congtocu, Supaya gurumu itu yang datang sendiri untuk membereskannya!"
"Untuk urusan apakah Lopek ingin bicara dengan guruku?" tanya Siau Po.
"Tapi, baiklah, Lopek tulis saja sepucuk surat, nanti kami menyuruh orang menyampaikannya." Orang tua she Liu itu tertawa datar.
"Kau ingin tahu apa urusannya?" tanyanya menegaskan, "Urusan kematian saudara Pek Han-siong di tangan Ci samya! Bagaimana urusan ini harus diselesaikan? Dalam hal ini, kami ingin meminta pendapat Tan congtocu, itulah maksud kami mengundangnya!"
Mendengar sampai disini, Ci Tian Coan langsung berdiri.
"Bhok siau ongya dan Liu Loenghiong," katanya dengan suara gagah. "Kalian telah menolong aku dari tangannya si pengkhianat bangsa. Dengan demikian aku terbebas dari siksaan, Bagiku, hal ini membuat aku bersyukur dan berterima kasih sebanyak-banyaknya, Mengenai urusannya Pek taihiap, dia terbinasa di tanganku, Dalam hal ini, aku bersedia mengganti satu jiwa dengan satu jiwa pula. Aku bersedia menyerahkan jiwa tuaku ini, karena itu, aku minta Siau ongya dan Liu loenghiong jangan menyulitkan Wi hiocu dan Tan cong-tocu kami. Saudara Hoan, pinjamkanlah golokmu padaku!" dia mengulurkan tangannya untuk menyambut golok Hong Kong. Rupanya Ci Tian-coan ingin membunuh diri untuk menyelesaikan urusan ini.
"Tahan!" cegah Wi Siau-po.
"Ci samko, sabarlah! Kau duduklah dulu! jangan samko emosi, Kau toh sudah berusia lanjut, mengapa pikiranmu begitu pendek? Aku menjadi hiocu Ceng-bok tong dari perkumpulan Tian-te hwe, bukan? Kalau kau tidak mendengar kata-kataku, berarti kau melanggar perintah dan kau tidak menghormati aku sebagai ketuamu!" Orang-orang Tian-te hwe paling takut mendengar kata "tidak mendengar perintah!" Tidak terkecuali Ci Tian-coan yang sudah berusia lanjut itu, Bergegas dia menjura kepada Siau Po dan berkata, "Ci Tian-coan sadar atas dosanya, sekarang Tian Coan akan mendengar perintah hiocu!" Siau Po merasa puas. Terdengar dia berkata.
"Pek tayhiap sudah menutup mata, seandainya Ci samko mengganti dengan selembar jiwanya, Pek tayhiap tetap tidak akan hidup kembali. Karena itu, kalau kita bicara soal ganti mengganti urusan ini tetap saja tidak dapat diselesaikan!"
Pandangan semua orang segera beralih kepada Siau Po. Kata-katanya sungguh luar biasa, Mereka ingin tahu apa lagi yang akan dikatakannya,
"Mungkinkah nanti dia mengoceh tidak karuan?" Tentu saja pihak Tian-te hwe yang paling mengkhawatirkan hal ini, Malah ada seseorang yang berkata dengan suara lirih: "Nama Tian-te he dalam dunia kangouw sudah terkenal sekali. Tidak sepantasnya hancur di tangan hiocu cilik yang belum tahu apa-apa ini. Kalau dia mengoceh sembarangan, kelak di kemudian hari, kita tentu tidak mempunyai muka lagi untuk bertemu dengan orang lain!" Siau Po seakan tidak memperdulikan sikap para hadirin ataupun rekan-rekannya yang menatap kepadanya dengan pandangan cemas, Dia melanjutkan kata-katanya, kali ini kepada Bhok Kiam Seng.
"Siau ongya," demikian katanya, "Kali ini Sia ongya datang ke kotaraja dari Inlam yang jauh berapa orangkah yang Siau ong-ya bawa? Apakah semuanya sudah hadir di sini? Bukankah masih ada kurang beberapa orang?" Kiam Seng merasa heran mendengar kata-kata si bocah.
"Hm!" Dia mendengus dingin, "Wi hiocu, apa maksud kata-katamu barusan?"
"Tidak banyak artinya, Siau ong-ya," sahut bocah cilik seenaknya. "Jiwa Siau ongya sanngat berharga, lain dengan jiwaku, Wi Siau-po yang tidak ada artinya ini, Karena jiwa Siau ongya sangat berharga, berbahaya sekali kalau Siau ongya membawa orang yang terlalu sedikit untuk melindungimu. Bagaimana kalau kurang waspada, Siau ongya ditawan oleh penjahat bangsa Tatcu? Bukankah hal ini akan menjadi kerugian besar dan sama sekali tidak boleh terjadi?"
Bagian 22
Bhok Kiam-Seng menatap bocah di depannya dengan pandangan tajam, Alisnya menjungkit ke atas,
"Kawanan anjing bangsa Tatcu hendak menawan aku?" tanyanya dengan nada sinis. Tidak semudah apa yang kau katakan, Wi hiocu!"
Siau Po tertawa.
"Memang ilmu silat Siau ongya tinggi sekali," katanya, "Di seluruh negeri ini, mungkin sulit lagi dicari tandingannya, jarang sekali ada orang yang sanggup melawan Siau ongya. Mungkin bangsa Tatcu tidak sanggup menawan Siau ongya, tapi bagaimana dengan orang lainnya? Anggota lain dari Bhok onghu maupun sahabat-sahabat Siau ongya belum tentu selihay Siau ongya sendiri Nah, bagaimana kalau di antara mereka ada yang terjatuh ke tangan bangsa Tatcu? Bukankah kejadian itu akan membawa kesusahan dalam hati Siau ong-ya?" Wajah si pangeran muda itu langsung berubah hebat. Dia pasti tidak merasa puas.
"Wi hiocu!" bentaknya dengan suara keras "Apakah hiocu sedang menyindiri aku?"
"Tidak, Siau ongya, Sekali-sekali tidak!" sahu Siau Po tenang, "Bukan begitu maksudku, seumurku ini, aku sudah sering dihina orang, tetap aku sendiri tidak pernah menghina siapa pun Orang telah mencekal lenganku Nah, lihatlah sendiri buktinya, Ketika itu aku benar-benar kesakitan sehingga seperti mengalami kematian lalu hidup kembali, itulah akibat perbuatan Pek jihiap yang tenaga dalamnya tidak ada tandingannya. Lebih-lebih dua jurus Heng-sau Ciang kun da Kao-san Liu Sui yang hebat luar biasa! Kala kedua jurus ini dipakai untuk menolong sahabat kalian, tentu sangat tepat dan akan berhasil dengan baik. Apalagi kalau dipakai untuk menyambar sesuatu, misalnya kambing atau kerbau, tentu lebih berhasil lagi!" Wajah Pek Han-hong menjadi merah padam. Dia merasa malu sekaligus mendongkol. Hampir saja dia mengumbar hawa amarahnya, tetapi untunglah dia masih bisa mengendalikan diri. Bhok Kiam-seng segera menolehkan kepalanya dan melirik sekilas kepada Liu Tay-hong. Dia merasa ucapan hiocu dari Tian-te hwe ini mengandung makna yang dalam.
"Saudara kecil," Liu Tay-hong segera berkata "perkataanmu itu mempunyai maksud yang dalam sekali sehingga sukar bagi kami untuk menjajaki-nya. Saudara kecil, maafkan kami yang masih kurang mengerti!" Sebaliknya, Wi Siau-po tetap tertawa, "Liu loyacu terlalu sungkan!" sahutnya, "Tidak sanggup aku menerima penghargaan yang terlalu tinggi, sebetulnya ucapanku dangkal sekali dan tidak berarti apa-apa!"
"Saudara kecil," kata Liu Tay-ong kembali "Kalau tidak salah, kau bermaksud mengatakan bahwa ada orang kami yang telah ditawan oleh bangsa Tatcu, bukankah begitu? Atau, kau mempunyai maksud yang lain?"
"Tidak ada maksud lainnya sama sekali," sahut Siau Po.
"Bhok siau ongya, Liu loenghiong, anggap saja aku sudah minum arak terlalu banyak sehingga mabuk dan ucapanku jadi ngelantur yang bukan-bukan!"
"Hm!" terdengar lagi Bhok Kiam-seng mendengus dingin, "Wi hiocu, kedatanganmu kemari ternyata hanya untuk bergurau dan menyakiti orang? Atau kau sedang mencari hiburan?"
"Oh, Siau ongya," sahut Siau Po.
"Rupanya Siau ongya hendak mencari hiburan? Apakah di kotaraja ini Siau ongya belum pernah berpelesiran kemana-mana?" Kiam Seng semakin heran.
"Bagaimana? Apa yang kau maksudkan?" tanya-nya.
"Kotaraja ini luas sekali," kata Siau Po.
"Di kota Kun Beng di propinsi Inlam kalian tidak seluas kotaraja ini, bukan?" Hati pangeran muda ini semakin panas.
"Memangnya kenapa?" tanyanya dengan nada jengkel. Hoan Kong juga bingung mendengar kata-kata ketuanya yang tidak karuan, Karena itu dia membuka suara.
"Memang kota Peking ini merupakan kota yang besar dan indah sekali, sayangnya telah diduduki oleh bangsa Tatcu! Kita adalah orang-orang yang berdarah panas, tidak ada seorang pun di antara kita yang tidak menjadi marah karenanya!" Siau Po telah mengundang kami menghadiri perjamuan ini, kebaikan ini tidak dapat kami membalasnya. Karena itu, kami ingin melakukan suatu, Kapankah kiranya Siau ongya mempunyai waktu luang? Aku ingin mengajakmu berpesiar. Kalau ada orang yang kenal baik wilayah ini, tentu Siau ongya tidak akan kesasar, sebaliknya kalau Siau ongya pergi sendiri berjalan-jalan, lalu tak sengaja salah masuk ke dalam istana raja, oh walaupun Siau ongya berkepandaian tinggi, urusannya bisa gawat sekali...."
"Saudara kecil, di dalam kata-katamu tersembunyi maksud lainnya!" tukas Liu Tay-ong.
"Saudara kecil, kita adalah orang-orang sendiri. Ada apa-apa, silahkan kau katakan terus-terang saja!" Orang tua yang lihay ini menerka ada sesuatu yang penting, karena itu dia bersikap sabar.
"Tidak ada yang lebih jelas lagi dari kata-kataku ini!" sahut Siau Po.
"Para sahabat dari Bhok Siau ongya sangat lihay kepandaiannya, terlebih-lebih kedua jurus Heng-Sau Ciang Kun dan Kao-San Liu Sui, Tidak ada yang sanggup menandinginya, Tapi, di kotaraja, kalau orang pergi berpesiar tapi tidak tahu jalan, mungkin dia bisa keliru masuk Ci-kim Sia, kota terlarang itu!" Liu Tay-hong dan Bhok Kiam-seng saling menatap sekilas. Mereka mengganggap tamunya ini agak aneh.
"Lalu bagaimana baiknya?" tanya Tay Hong.
"Menurut apa yang kudengar," sahut Siau Po.
"Kota terlarang mempunyai banyak pintu, Satu per satu seperti jumlah pendopo-pendopo di dalamnya. Siapa yang jalan di dalam Kota Terlarang, apabila tanpa Raja atau permaisuri yang menunjukkan jalan, mudah sekali orang tersesat Bahkan ada kemungkinan kesasar dan tidak bisa keluar lagi untuk seumur hidup! Aku adalah seorang bocah yang tidak berpengalaman karena
itu aku juga tidak tahu, ada atau tidak kemungkinan Raja ataupun permaisuri menjadi penunjuk jalan di malam gelap gulita.... Bisa jadi, dengan nama besar Bhok siauong-ya, si raja cilik atau si nenek sihir menjadi ketakutan dan bersedia menjadi petunjuk jalan, Hal ini sukar dikatakan!" Siau Po sudah biasa memaki ibu suri sebagai nenek sihir atau perempuan jalang, tapi baru kali ini dia mengatakannya di depan umum, Hal ini justru membuat hatinya menjadi senang. Sedangkan para hadirin yang lain justru merasa heran mendengar Siau Po menyebut ibu suri sebagai si nenek sihir. Baru kali ini mereka mendengar ada orang yang menyebut kata-kata itu terhadap ibu suri. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, Hoan Kong dan anggota Tian-te hwe lainnya jadi tertawa geli. Terdengar Liu Tay-hong berkata, "Orang-orang sebawahannya Siau ongya biasa bekerja dengan teliti, Tidak mungkin mereka nyasar masuk ke dalam kota Terlarang. Menurut kabar yang kami dapatkan, Go Sam-kui mengutus putranya datang ke kotaraja, bisa jadi ia memerintah orang-orangnya membuat kekacauan, Kemungkinan seperti ini ada saja bukan?" Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Apa yang Liu loyacu katakan memang tidak salah, Aku mempunyai seorang teman berjudi yang menjadi pengawal dalam istana, Dia mengatakan tadi malam terjadi penyerbuan di istana oleh sekelompok penjahat." Dia menghentikan kata-kata-nya sejenak,
"kemudian mereka mengenali orang-orang itu sebagai bawahan Bhok siau ongya..." Bhok Kiam-seng mengeluarkan seruan tertahan. Terang dia terkejut sekali. "Apa?" tangan kanannya bergetar, sehingga cawan araknya terlepas dan jatuh pecah di atas lantai.
"Tadinya aku juga tidak percaya, tapi aku berpikir lagi, Keluarga Bhok terdiri dari para patriot pecinta bangsa, Mereka memgirim orang untuk membunuh raja Tatcu, hal itu perlu dikagumi sekarang mendengar ucapan Liu loyacu, ternyata mereka adalah orang-orang kiriman Go Sam-kui, kalau begitu, orang-orang itu tidak boleh diampuni. Nanti aku harus mengatakan kepada temanku itu, agar para penyerbu itu diberi hukuman berat, Coba bayangkan saja, orang-orang Go Sam-kui pasti bukan terdiri dari manusia baik-baik! Karena itu, mereka harus disiksa biar kapok!"
"Saudara kecil," tanya Liu Tay-hong, "Siapakah nama sahabatmu itu? Apa pangkatnya dalam istana?" Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Dia hanya seorang siwi yang pangkatnya rendah sekali, malah dia merupakan orang baru dan belum diberikan kepercayaan penuh, Tugasnya kebanyakan melayani para siwi yang sudah senior, Dia tidak mempunyai she atau pun nama, Kami biasa memanggilnya Lay Li-tau siau Samcu atau si Kepala Kurapan! Menurutnya, para tawanan itu dibelenggu Tadinya aku berpikir untuk menyuruh Siau Samcu memberi makan kepada mereka, tapi sekarang Liu loenghiong mengatakan bahwa mereka adalah kaki tangan bangsa pengkhianat, Nanti aku minta sahabatku itu membacok kaki mereka agar tidak dapat melarikan diri!"
"Aku cuma menerka," kata Liu Tay-hong cepat, "Tidak berani aku memastikannya, Karena mereka itu berani menyerbu istana, boleh dibilang mereka juga terdiri dari orang-orang yang bernyali besar! Karena itu, Wi hiocu, ada baiknya kau minta sahabatmu itu memperlakukan mereka secara baik-baik saja."
"Sahabatku itu baik sekali kepadaku," kata Siau Po.
"Sering dia mengajak aku bermain judi, Kalau kehabisan uang, aku suka meminjamkan barang delapan atau sepuluh tail Dan aku tidak pernah memintanya kembali Karena itu, apa pun permintaanku dia tidak pernah menolaknya!"
"Baguslah kalau begitu," sahut Liu Tay-hong.
"Sebenarnya berapa jumlah orang yang ditawan dan siapa saja nama mereka itu? Mereka bernyali besar sehingga kami merasa kagum. Bagaimana perlakuan yang mereka terima sekarang ini? Baik atau buruk? Wi hiocu, kami bersyukur sekali andaikata kau dapat menolong kami mencari keterangan tersebut. Siau Po menepuk dadanya.
"Gampang! Tidak ada urusan yang lebih gampang lagi daripada itu!" kata Siau Po mengagulkan diri, "Sayang mereka bukan orang-orangnya Siau ongya, Kalau tidak, aku pasti mencari jalan membebaskan mereka, Dengan demikian kita bisa menukar satu jiwa dengan satu jiwa pula, Dan urusan Ci samko pun bisa diselesaikan." Liu Tay-hong menoleh kepada Bhok Kiam-seng, sembari menatap, dia menganggukkan kepalanya sedikit.
"Iya, Kami tidak tahu siapa para penyerbu itu," kata si pangeran muda. Tetapi karena mereka berusaha membunuh raja bangsa Tatcu, pasti mereka juga terdiri dari orang-orang gagah pecinta negara, Mereka bisa dihitung sebagai rekan kami yang ingin menjatuhkan kerajaan Ceng dan membangun kembali kerajaan Beng, Karena itu, Wi hiocu, kalau bisa mencari jalan untuk membebaskan mereka, tidak perduli berhasil atau tidak, Untuk selamanya Bhok Kiam-seng merasa bersyukur dan urusan Ci samya tidak akan diperpanjang lagi..." Siau Po menoleh ke arah Pek Han-hong, namun mulutnya menjawab ucapan sang pangeran.
"Kalau tidak mendengar Siau ongya mengatakannya sendiri, kemungkinan Pek jihiap tidak mau mengerti," katanya, "Apabila lain kali Pek jihiap mencekal tanganku kembali dan meremasnya keras-keras, aku bisa menangis berkaok-kaok saking sakitnya, Hebat
sekali penderitaan itu, mungkin aku tidak sanggup menahannya..." Mendengar ucapan tamunya itu, Pek Han-hong berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan nada serius: "Andaikata Wi hiocu dapat menolong orang kami, eh, menolong orang-orang gagah yang tertawan bangsa Tatcu itu, aku si orang she Pek tanganku yang telah bersalah ini, bersedia dikutungkan sebagai pernyataan maafku!"
"Tidak perlu, tidak perlu kata Siau Po.
"Meskipun kau mengutungkan sebelah tanganmu untukku, tapi apa gunanya bagiku? Lagipula, apakah sahabatku itu bisa menolong mereka atau tidak sekarang masih sulit dipastikan Kawanan penyerbu itu ingin membunuh raja. Dosa mereka tidak palang tanggung beratnya, sedangkan mereka kemungkinan dibelenggu dengan beberapa rantai yang tebal dan dijaga ketat oleh banyak pengawal Kalau aku tadi bicara soal menolong orang, sebetulnya aku hanya membual saja untuk membanggak diriku sendiri..."
"Menolong orang yang tertawan di dalam istana memang merupakan hal yang sulit sekali," Bhok Kiam-seng. "Kami juga tidak berani yakin akan hasilnya, Meskipun dengan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, berhasil atau tidak, kami tetap berterima kasih kepadamu." Dia menghentikan kata-katanya sejenak, seakan ada sesuatu yang dipertimbangkannya, Kemudian baru dia melanjutkan kata-katanya kembali: "Ada satu persoalan lagi, Aku mempunyai seorang adik perempuan yang ikut datang ke kotaraja, tetapi beberapa hari yang lalu tiba-tiba saja dia menghilang, Kami tahu pergaulan Wi hiocu dan anggota Tian-te hwe yang lainnya sangat luas di kotaraja ini. Kami harap saudara sekalian bersedia menolong kami mencari keterangan tentang adikku itu."
"Oh, urusan itu mudah sekali, Kami akan membantu sekuat tenaga, Baiklah, sekarang kami sudah cukup makan dan minum. sekarang juga aku akan menemui sahabatku Siau Samcu untuk merundingkan hal ini, Neneknya! Paling tidak aku harus mengajaknya berjudi dan membuatnya kalah habis-habisan!" selesai berkata, Siau Po segera bangkit untuk memohon diri, "Terima kasih sekali lagi atas perjamuan ini. sekarang aku ingin mengajak Ci samko pulang bersama kami, bolehkah?" Bhok Kiam-seng tidak melarang, Dia sendiri mengantarkan Siau Po dan rombongan anggota Tian-te hwe sampai depan pintu gerbang.
"Wi hiocu, jangan sungkan-sungkan, Terima kasih atas kedatangan Wi hiocu dan para saudara Tian-te hwe yang lainnya," katanya, Mereka kembali ke tempat semula, Hoan Kong yang tidak sabaran langsung bertanya.
"Hiocu, apakah benar tadi malam istana di datangi penyerbu? Kalau dilihat dari gerak-gerik Bhok siau ongya tadi, kemungkinan para penyerbu memang orang-orang mereka!"
"Memang benar ada kawanan pemberontak yang menyerbu istana tadi malam, tapi urusan dirahasiakan. Tidak boleh ada yang menyiarkan karena itu tidak ada orang yang tahu kecuali orang yang bersangkutan dan petugas dalam istana, Kalau menilik dari
sikap mereka tadi, sudah terang kawanan penyerbu itu memang orang-orang Bhok onghu!"
"Mereka berani menyerbu istana untuk membunuh Raja, nyali mereka memang besar sekali." kata Hian Ceng tojin ikut memberikan pendapatnya.
"Mereka harus dihormati dan dikagumi, apakah mereka bisa ditolong? Bukankah sebenarnya urusan ini sukar sekali dilaksanakan?" Sebenarnya ketika perjamuan sedang berlangsung di tempat Bhok Kiam-seng, Siau Po sudah menyadari bahwa tentunya sulit menolong penyerbu itu. Akan tetapi dia ingat bahwa di dalam kamarnya tersembunyi dua orang nona keluarga Bhok, Nona Bhok sebetulnya adalah tawanan orang Tian-te hwe yang diselundupkan ke dalam istana mana mereka anggap sebagai tempat penyekapan yang aman. Tidak demikian halnya dengan Pui Ie. Dia termasuk salah seorang penyerbu dan tidak begitu sulit meloloskannya dari istana, itulah sebabnya dia tertawa mendengar pertanyaan Hian Ceng tojin.
"Menolong orang banyak tentu saja sulit, tapi kalau seorang saja bisa lolos, itu kan sudah cukup? Bukankah Ci samko hanya membunuh seorang Pek Han-Siong? Tidak ada salahnya kalau kita juga cuma membebaskan satu orang saja. Bukankah satu jiwa ditukar dengan satu jiwa? Dengan demikian, kita sama-sama tidak rugi, Sebaliknya, modal kita beranak, Bahkan kita juga bisa mengembalikan si nona yang dibawa Cian laopan sekalian Apa yang akan mereka katakan setelah mendapatkan Siau Kuncu kembali? Nah, Cian laopan, besok pagi kau boleh mengantar seekor babi, tidak. dua ekor babi ke dalam kamarku, Di dapur nanti aku akan marah-marah padamu dengan mengatakan babi yang kau bawa itu jelek sekali dan kau terpaksa membawanya pulang lagi!" Cian Laopan tertawa sambil tertepuk tangan.
"Bagus! Akal Wi hiocu memang selalu jitu. Babi mati untuk memasukkan si nona cilik sudah ada. Tinggal cari lagi seekor babi yang ukurannya super!" Wi Siau-po menghibur Ci Tian-coan beberapa patah kata.
"Ci samko, jangan banyak pikiran Semuanya pasti beres, Mengenai Yo It-hong yang telah menyusahkan Ci samko, aku akan meminta Go En him mematahkan kakinya biar Ci samko senang!"
"Iya, iya. Terima kasih atas perhatian Wi hiocu" sahut Ci Tian-coan, tapi dalam hatinya dia berkat "Bocah ini pembual juga! Go Eng-him adalah putera Peng Si-ong, mana mungkin dia mendengarkan kata-katamu?" Wi Siau-po berjanji akan menyelesaikan masalah terbunuhnya Pek Han siong tanpa sengaja tangannya, Meskipun hatinya merasa berterima kasih, tapi Ci Tian-goan tidak percaya sepenuhnya bahwa bocah cilik tersebut mempunyai kepandai demikian lihay.
Baru saja Siau Po sampai di dalam istana, dua orang thay-kam segera menyambutnya.
"Kui kongkong, cepat! Sri Baginda mencarimu." kata mereka.
"Apakah ada urusan yang penting?" tanya Si Po.
"Entahlah! Tapi Sri Baginda telah memanggil mu beberapa kali, Kemungkinan memang ada urusan yang penting. sekarang Sri Baginda ada di kamar tulisnya," sahut salah seorang thay-kam itu. Siau Po mengiakan. Dia langsung pergi ke pong, Di dalam kamar tulisnya, tampak Sri Baginda sedang berjalan mondar-mandir dengan kepala tundukkannya, Begitu melihat Siau Po, dia sangat senang, Dia langsung menegur dengan cepat. "Aih, celaka! Kau pergi kemana saja?" Siau Po merasa kaisar Kong Hi berbicara dengan gayanya sendiri seperti biasa bila berduaan dengannya, Hatinya menjadi lega.
"Sri Baginda, hamba baru saja kembali dari luar, Hamba memikirkan urusan penyerbuan tadi malam, Kawanan penyerbu itu benar-benar bernyali besar, Kalau tidak ditumpas, mereka bisa menjadi ancaman bahaya! Terutama kita harus mencari biang keladinya! Karena itulah hamba mengganti pakaian seperti orang biasa lalu keluar mengadakan penyelidikan Hamba putar-putar dalam kota, setiap gang dan jalan besar hamba masuki Hamba ingin tahu siapa pemimpin para pemberontak itu dan apakah mereka masih ada di kota raja...."
"Bagus!" puji kaisar Kong Hi. Dia merasa puas sekali, "Lalu, bagaimana hasilnya?" Siau Po berpikir dengan cepat.
"Kalau aku bilang berhasil, rasanya terlalu cepat!" karena itu dia menjawab: "Hamba belum berhasil, Sri Baginda, karena itu besok pagi hamba akan melakukan penyelidikan kembali!"
"Kalau kau menyelidiki dengan caramu itu, belum tentu akan ada hasilnya," kata kaisar Kong Hi.
"Kau seperti mengukur jalanan saja, Nah, aku mempunyai sebuah akal!" Siau Po menunjukkan mimik kegirangan.
"Apa itu, Sri Baginda?" tanyanya, "Tentunya sebuah akal yang bagus, bukan?" Kaisar Kong Hi tertawa.
"Barusan To Lung datang memberikan laporan," katanya, "Menurutnya, para tawanan itu menutup mulutnya rapat-rapat, Mereka tidak mempan bujukan maupun siksaan, Satu-satunya keterangan yang mereka berikan hanya menyatakan bahwa mereka adalah orang-orangnya Go Sam-kui. karena itu, aku rasa, percuma saja mereka dijatuhi hukuman mati. sekarang aku justru menganggap ada baiknya, mereka dibebaskan saja..."
"Di bebaskan saja?" tanya Siau Po seakan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Bukankah terlalu enak bagi mereka?" Kaisar Kong Hi tersenyum.
"Kita melepaskan anak srigala," katanya, "Dan anak srigala pasti pulang mencari induknya!" Mendengar keterangan itu, Siau Po senang sekali, Dia bersorak sambil bertepuk tangan.
"Bagus! Bagus sekali!" serunya, "Itu artinya lepas para penyerbu itu secara diam-diam kita mengikuti mereka, Bukankah dengan demikian kau akan bertemu dengan pemimpinnya? Sri Baginda akal Sri Baginda ini bagus sekali, Kecerdasan Baginda masih memang tiga kali lipat dari pada Cukat Liang!" Raja tertawa.
"Apanya yang menang tiga kali lipat daripada Cukat Liang? Oh, kau sedang menepuk punggung ku, tapi sayangnya kelebihan. Kau tahu, masih kesulitan lainnya? Setelah kita membebaskan para penyerbu itu, kita masih harus berusaha mengikuti mereka tanpa disadari orang-orang itu Siau Kui cu, aku ingin memberikan sebuah tugas kepadamu, pergilah kau ke penjara dan pura-pura jadi orang baik yang berniat menolong mereka membebaskan diri, Setelah itu, kau pasti dianggap sebagai dewa penolong dan kemungkinan kau akan diajak ke sarang mereka...." Siau Po pura-pura bimbang.
"Ini... ini.,." katanya gugup.
"Memang siasat ini berbahaya sekali dijalankan," kata Sri Baginda. Dia mengira Siau Po mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, "Asal mereka tahu siapa dirimu, pasti jiwamu akan melayang, Sayang aku adalah seorang raja, kalau tidak, aku pasti akan melakukannya sendiri, Aku yakin tugas seperti ini pasti menarik sekali..."
"Sri Baginda," kata Siau Po, "Kalau Sri Baginda menitahkan, hamba pasti menjalankannya, Tugas yang jauh lebih berbahayapun akan hamba laksanakan!" Senang sekali hati raja mendengar kata-kata Siau Po. Dia menepuk-nepuk pundak bocah itu.
"Memang aku tahu kau cerdas dan bernyali besar!" katanya, "Aku juga tahu kau akan melakukan apa pun untukku, Kau seorang bocah, para penyerbu itu pasti tidak mencurigaimu Tadinya aku berpikir untuk mengirim dua orang pahlawan yang lihay, tapi aku khawatir rahasia mereka akan terbongkar sebab para penyerbu itu pasti bukan orang-orang tolol yang bisa menaruh kepercayaan begitu saja. Mereka pasti curiga. Sekali gagal, siasat ini tidak terpakai lagi, Siau Kui cu, kau saja yang melakukan tugas ini, anggaplah kau sebagai pengganti diriku!" Semenjak belajar ilmu silat, Kaisar Kong ingin sekali menjajal kepandaiannya sendiri, sayangnya kedudukannya terlalu tinggi. Dia tidak bisa melakukan keinginan hatinya seenaknya, Apalagi melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya. Karena itu pula, sekarang terpaksa dia menyerahkan tugas ini kepada thay-kam cilik kepercayaan ini.
"Kau harus pandai-pandai membawa diri," pesan raja itu kepada hambanya, "sikapmu harus wajar mungkin, Ada baiknya kalau di depan mereka kau membunuh satu dua orang siwi, Dengan demikian mereka tidak akan sangsi kepadamu, Akan kupesan To Lung agar memperlunak penjaga sehingga kau dapat mengajak mereka meloloskan diri!"
"Baiklah!" sahut Siau Po.
"Tapi para siwi jauh lebih gagah daripada hamba, Hamba khawatir untuk melawan mereka saja tidak ada kesanggupan, apalagi hendak membunuh satu dua orang diantaranya!"
"Tentang itu tidak perlu kau cemaskan," kata kaisar Kong Hi. "Kau harus bekerja dengan melihat situasinya, terutama kau harus berhati-hati, jangan sampai kau yang terbunuh dulu di tangan para siwi itu!" Siau Po menjulurkan lidahnya.
"Kalau hamba sampai terbunuh lebih dulu, sungguh hamba akan mati kecewa!" katanya, "Pasti hamba akan dituduh sebagai antek-anteknya para penyerbu itu!" Kaisar Kong Hi mengibaskan tangannya dengan maksud mencegah Siau Po berkata lebih jauh.
"Siau Kui cu, seandainya kau bisa melakukan tugas itu dengan baik, Hadiah apakah yang kau inginkan dariku?" Nada suara raja menunjukkan hatinya sedang gembira.
"Kalau tugas itu dapat hamba selesaikan dengan baik, pastilah Sri Baginda akan senang," sahutnya, "Asal Sri Baginda senang, hal itu jauh lebih besar artinya dari apa pun di dunia ini, kegembiraan Sri Baginda tidak dapat dibandingkan dengan hadiah apa pun. Sri Baginda, kalau nanti ada tugas lain yang lebih menarik dan penuh bahaya, harap Sri Baginda menugaskan hamba yang menyelesaikannya. itulah hadiah yang hamba minta pada Sri Baginda!" Hati kaisar Kong Hi semakin senang mendengar ucapan Siau Po.
"Pasti! Pasti!" katanya berulang-ulang.
"Siau Kui cu, sayang kau seorang thay-kam kalau tidak, aku akan memberi pangkat kepadamu!" Hati Siau Po tercekat, ada sesuatu yang melintas dalam benaknya.
"Banyak-banyak terima kasih, Sri Baginda!" Tapi dalam hatinya dia justru berpikir: "Suatu hari nanti kau pasti tahu aku seorang thay-kam gadungan mungkin waktu itu kau akan marah sekali terhadapku!" Karena itu, dia menambahkan: "Sri Baginda, hamba ada sedikit permohonan!" Raja tertawa.
"Kau ingin mendapat pangkat?" tanyanya.
"Bukan!" sahut Siau Po.
"Hamba sudah lama bekerja pada Sri Baginda, Selama ini hamba setia dan bersedia melakukan tugas apa saja, Karena itu hamba mohon, bila kelak hamba melakukan suatu yang menimbulkan bencana, Hamba mohon, sudilah kiranya Sri Baginda mengampuni jiwa hamba supaya hamba jangan sampai mendapat hukuman penggal kepala."
"Asal kau tetap setia padaku, asal kau bekerja dengan kesungguhan hati, maka kepalamu akan tetap kokoh di atas batang lehermu!" kata Kaisar Kong Hi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Terima kasih, Sri Baginda!" kata Siau Po kembali, Setelah itu dia memberi hormat dan memohon diri dari hadapan raja. Sekeluarnya dari Gi-Si pong, dia melangkah dengan perlahan, otaknya bekerja.
"Aku bermaksud menolong Pui Ie dan Siau kuncu keluar dari istana ini, siapa sangka sekarang aku justru mendapat perintah untuk membebaskan para penyerbu itu. Kalau demikian, aku tidak perlu terburu-buru melepaskan kedua nona itu. Lebih baik aku
menunaikan dulu tugasku ini, Aneh bukan? Barusan aku berkumpul dan berpesta dengan pemimpin para penyerbu itu, Hm! Apakah aku harus melaporkan pada Sri Baginda perihal si kura-kura cilik Bhok Kian-seng dan si kura-kura tua Liy Tay-hong? Tapi, kalau aku melakukan hal itu, pasti kesudahannya suhu tidak akan mengampuni aku. sebetulnya aku masih ingin menjadi hiocu Tian-te hwe atau tidak?" Siau Po sadar kedudukannya dalam istana, Semua orang sangat menghormatinya, Bahkan Sri Baginda pun sangat menyayanginya, Malah pernah dia berpikir untuk menjadi thay-kam saja untuk selamanya, alangkah senangnya hidup seperti ini! Tapi sekarang, ada satu hal yang merisaukannya, Mengenai masalah thayhou, Setiap kali dia ingat si nenek sihir itu, hatinya langsung terguncang!
"Perempuan tua jalang itu sangat membenciku Setiap saat ada kemungkinan dia ingin merenggut nyawaku," pikirnya kemudian "Karena itulah aku tidak bisa berdiam lama-lama dalam istana!" Demikianlah sambil berjalan otak Siau Po terus berputar Ketika dia tiba di depan siwi pong, yaitu kamar para siwi yang letaknya di sebelah barat keraton Kian-ceng kiong, seorang siwi langsung menghambur ke depannya untuk menyambut. Orang itu memamerkan tertawa yang ramah.
"Oh, Kui kongkong! Angin apa yang membawa kongkong berkunjung kemari?" Siau Po segera mengenali siwi itu sebagai pemimpin di tempat itu. Dia tidak lain dan tidak bukan dari Tio Ci-hian yang mendapat uang dari Siau Po dan mendapat persenan dari To Lung. Dia tahu semua ini karena Kui kongkong sudah mengatakan hal yang baik-baik tentang mereka di depan Baginda. Setelah berhadapan dengan siwi itu, Siau Po segera tertawa lebar.
"Aku datang untuk melihat beberapa penyerbu yang tertawan itu," sahutnya. "Mereka adalah para pemberontak yang bernyali besar." Setelah berkata demikian dia segera berbisik kepada orang itu: "Baginda menitahkan aku untuk memeriksa mereka. Aku
harus mendapatkan pengakuan mereka tentang orang yang mendalangi perbuatan mereka itu," Ci Hian menganggukkan kepalanya.
"Baiklah," sahutnya sebagai tanda mengerti. Dia menjawab dengan nada berbisik juga, "Mulut ketiga pemberontak itu benar-benar tertutup rapat. mereka telah dihajar dengan empat batang rotan yang menjadi patah, tapi mereka tetap tidak bersedia memberikan keterangan apa-apa, Mereka hanya mengaku sebagai orang-orang yang dikirim oleh Go Sam-kui!" Siau Po mengangguk.
"Biarlah aku coba menanyakan lagi para tawanan itu," katanya, Tio Ci-hian mengantarkan Siau Po ke tempat para tahanan. Letak ruangannya di sebelah barat Di dalamnya ada tiga orang yang terpancang pada tiang kayu, Tubuh bagian atas mereka telanjang dan penuh dengan bekas pecutan rotan sehingga menimbulkan noda yang mengerikan. Kulit dan daging mereka terkelupas dan darah
pun, memenuhi seluruh tubuh. Yang seorang bertubuh besar serta berewokan, Dua orang lainnya adalah pemuda-pemuda berusia kurang lebih dua puluhan tahun, Pemuda yang satu berkulit putih bersih, wajahnya juga tampan sedangkan seorang lainnya lagi lebih angker tampangnya.. Dadanya ditato dengan gambar seekor harimau yang tampak ganas.
"Di antara kedua pemuda ini, entah mana yang namanya Lau It-cou?" tanya Siau Po dalam hati, Dia memperhatikan mereka lekat-lekat Dia tidak langsung menanyakan apa-apa kepada para tawanan itu, tapi malah menoleh kepada Tio Ci-hian sambil berkata.
"Tio toako, mungkin kau keliru menawan orang! Coba toako mundur sebentar!" Ci Hian segera mengiakan Dia segera mengundurkan diri dan menutup pintu tempat tahanan ini rapat-rapat. Siau Po langsung menghampiri ketiga tawan itu, "Tuan-tuan sekalian, siapakah nama dan she tuan bertiga yang mulia?" tanyanya dengan nada ramah. Orang yang bertubuh besar dan berewok langsung mendelikkan matanya lebar-lebar.
"Thay-kam anjing!" dampratnya, "Kau kira dengan derajatmu ini, kau pantas menanyakan nama dari she-ku yang mulia? Kata-katanya itu merupakan penghinaan dan hal ini membuat Siau Po menjadi kurang senang, tapi dia mengerti bahwa hal ini terjadi karena orang gagah itu telah disiksa sedemikian rupa dan merasakan penderitaan sehingga menjadi gusar.
"Kedatanganku ini atas permintaan seseorang. katanya, "Aku datang untuk menolong seorang sahabat yang bernama Lau It-cou!"
Begitu kata-katanya diucapkan, ketiga orang itu langsung tampak terkejut saking herannya, untuk sesaat mereka saling mengawasi lalu ketiga menoleh kepada si thay-kam cilik.
"Kau menerima permintaan dari siapa?" tanya bewok.
"Apakah di antara kalian ada yang bernama Lau It-cou?" Siau Po malah menanya lagi tanpa menghiraukan si bewok, "Kalau ada, aku ingin bicara dengannya, Kalau tidak ada, ya sudah!" Kembali ketiga orang itu saling melirik sekilas. Terbukti mereka ragu-ragu karena curiga, tampaknya mereka tidak ingin tertipu oleh siasat lawan.
"Siapa kau?" kembali si bewok yang bertanya. Siau Po tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya berkata.
"Orang-orang yang meminta pertolonganku itu, satu she Bhok, sedangkan yang satunya lagi she Liu. Kenalkah kalian pada orang yang berjuluk Tiat Pwe-cong Liong?" Si Bewok menjawab dengan suara lantang.
"Tiat-Pwe cong Liong Liu Tay-hong terkenal di tiga propinsi Inlam, Kui Cui dan Sucoan, Siapa yang tidak tahu atau mendengar namanya? Dan orang she Bhok itu pasti Bhok Kiam-seng, putera Bhok Tian-po yang namanya sudah tersohor Namun saat ini Bhok Kiam-seng sedang merantau di dunia kangouw, entah sudah mati atau masih hidup..." Kembali Siau Po mengangguk.
"Kalau tuan-tuan bertiga tidak kenal Siau ongya dari keluarga Bhok serta Liu loyacu maka terbukti kalian bukan sahabat-sahabatnya, Dengan demikian kalian juga tidak mengenal dua jurus ilmu ini...." Tanpa menunggu sahutan dari ketiga orang itu, Siau Po langsung menjalankan kedua jurus Heng-Sau Ciang Kun dan Kao-San Liu Sui, Kedua jurus itu adalah ilmu keluarga Bhok, Di saat dia masih mempertunjukkan kedua jurus tersebut, si pemuda dengan tato harimau di dadanya mengeluarkan seruan tertahan. "Aih...!" Mendengar suara itu, Siau Po menghentikan gerakannya.
"Eh, kenapa?" tanyanya.
"Ah... tidak apa-apa," sahut orang itu jengah.
"Siapa yang mengajarkan kedua jurus itu?" tany si bewok. Siau Po tertawa.
"Istriku!" sahut Siau Po.
"Cis!" si bewok meludah.
"Bagaimana mungkin seorang thay-kam bisa punya istri?" Hampir dia mengejek Siau Po dengan kata-kata "thay-kam anjing" lagi. sedangkan Siau Po hanya tersenyum.
"Memangnya kenapa thay-kam tidak boleh punya istri?" tanyanya, "Kalau orang suka menikah denganku, kenapa kau yang usil? istriku itu she Pui dengan nama tunggal Ie!" Belum berhenti gema suara si thay-kam cilik, pemuda yang berkulit putih langsung membentak.
"Ngaco kau!" Siau Po menatap pemuda itu, urat-urat di dahinya menonjol sehingga tampak berwarna biru kehijauan dan matanya mendelik dengan cahaya merah membara. Hal ini membuktikan bahwa dia gusar sekali mendengar ucapan Siau Po. Dengan demikian Siau Po segera bisa menduga bahwa dialah yang bernama Lau It cou. Dia melihat pemuda tampan dan gagah. Di saat marah, tampangnya berwibawa dan garang.
"Ngaco apanya?" dia balik bertanya, Dia tidak merasa takut sama sekali meskipun orang itu tampak angker "Kau tahu, istriku itu adalah keturunan dari salah satu ke-ciang keluarga Bhok yang tersohor yakni salah satu dari keluarga Pek, Pui, Sou dan Lau! Ketika kami menikah, salah satu saksinya ialah seseorang yang bernama Sou Kong, dia berjuluk Sin Jiu kisu. Ada seorang lagi yang bernama Pek Han-hong, yakni saudara Pek Han-siong yang belum lama ini mati dihajar orang, Kalian tahu, Pek Han-hong ini miskin sekali, sehingga untuk memakamkan saudaranya dia terpaksa menjadi comblang demi mendapatkan sedikit uang!" Mendengar ucapannya, si anak muda itu semakin gusar.
"Kau... kau!" saking kesalnya dia tidak sanggup mengatakan apa-apa.
"Saudara, bersabarlah," kata si bewok menenangkan rekannya, Kemudian dia menoleh kepada Siau Po.
"Sahabat, tampaknya kau banyak tahu tentang keluarga Bhok?"
"Aku toh termasuk menantu dari keluarga Bhok," sahut Siau Po.
"Sebagai seorang menantu, mana mungkin aku tidak tahu segala sesuatu yang menyangkut keluarga mertuaku? Nona Pui Ie itu tadinya tidak sudi menikah denganku, Katanya dia sudah berjanji akan menikah dengan kakak seperguruannya, Lau It cou. sekarang pikirannya berubah karena dia mendengar kekasihnya itu manusia yang tidak berguna sebab dia datang ke Go Sam-kui si pengkhianat bangsa itu dan sudi menjadi bawahannya, bahkan mau saja disuruh menyerbu istana untuk membunuh kaisar Kong Hi. Nah, coba kau pikir, setiap bangsa Han toh benci sekali kepada Go Sam-kui yang telah menjual negaranya sendiri..." Bicara sampai di situ, Siau Po merendahkan suaranya, Kemudian dia melanjutkan kembali: "Go Sam-kui sudah berpihak pada orang Tatcu, bangsa yang menjadi musuh negara kita, Dia takluk dan bersedia bekerja bagi musuh kita itu. Go Sam-kui berpihak pada Tatcu dengan mempersembahkan negara kita yang indah dan permai, Siapa saja orang Han, membenci Go Sam-kui sehingga ingin sekali membeset kulitnya dan makan dagingnya, sedangkan It Cou, si bocah busuk itu, dia boleh menghamba pada siapa saja, tapi mengapa dia justru memilih Go Sam-kui sebagai tuannya? Tentu saja karena hal ini nona Pui marah sekali, di mana dia harus menaruh mukanya bila bertemu dengan orang-orang gagah se tanah air? itulah sebabnya dia mengambil keputusan untuk tidak menikah dengan kakak seperguruannya itu!" Mendengar sampai di sini, tiba-tiba anak muda itu berteriak.
"Aku... aku... aku...!" tapi lagi-lagi dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya karena emosinya yang berlebihan.
"Sabar!" seru si bewok, Dia menatap Siau Po lekat-lekat lalu berkata: "Tuan, setiap orang mempunyai cita-cita tersendiri. Kau telah menjadi thay-kam dalam istana Ceng, bukankah itu suatu pekerjaan yang merendahkan dirimu sendiri?"
"Tepat! Tepat!" sahut Siau Po tanpa merasa malu sedikit pun. "Memang pekerjaan ini membuat pamorku jatuh. Tapi sekarang, mari kita bicarakan saja urusan ini. istriku teringat akan bekas kekasihnya, dia meminta aku mencari tahu tentangnya, Dia ingin mendapat kepastian apakah kekasihnya itu sudah mati atau belum, Dia berkata begini, kalau benar Lau It-cou itu sudah mati, maka dia dapat menikah denganku tanpa merasakan susah, Nah, sahabat bertiga, benarkah di antara kalian tidak ada yang
bernama Lau It-cou? Kalau benar, aku akan pergi sekarang, Nanti malam kami akan mengadakan upacara pernikahan dengan bersembahyang pada langit dan bumi!" Begitu selesai berkata, Siau Po segera membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, "Aku...lah!" kata si anak muda berkulit bersih dengan penuh semangat.
"Sabar!" lagi-lagi si bewok mencegah rekannya berbicara lebih jauh, "Jangan sampai kena terpedaya!" Si anak muda itu meronta-ronta.
"Dia... dia.,.!" serunya tersendat-sendat, kemudian dia meludahi Siau Po. Si bocah cilik sempat melihat hal itu, dia segera mengelakkan diri, Dia juga melihat para tawananya itu diikat dengan tali yang terbuat dari urat kerbau, Meskipun meronta dengan sekuat tenaga tidak mungkin mereka sanggup meloloskan diri. Diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Sudah pasti dialah Lau It-cou. Dia sudah mau mengaku, tapi sayangnya selalu dicegah oleh temannya, si bewok, Bagaimana baiknya sekarang?" Setelah berpikir sejenak, bocah yang cerdik ini segera menemukan akal yang bagus.
"Kalian di sini dulu untuk sementara, aku aka pulang dan meminta keterangan dari istriku!" Memang luar biasa watak bocah yang satu ini. Dia menyebut Pui Ie sebagai istri. Dia juga mengatakan akan mengadakan upacara pernikahan dengan bersembahyang pada langit dan bumi, Kali ini dia benar-benar meninggalkan tempat para tahanan itu, sesampainya di pelataran depan, dia berbisik kepada Ci Hian yang sedang menunggunya.
"Aku telah mendapat suatu keterangan. Mulai sekarang, jangan kau siksa lagi mereka. Sebentar aku akan kembali lagi!" Tio Ci-hian mengangguk dan Siau Po pun segera melangkah pergi. Ketika Siau Po kembali ke kamarnya, hari sudah gelap, Dia ingat kedua nona yang tersekap dalam kamarnya, Pasti mereka sudah lapar, Karena itu dia tidak langsung masuk ke dalam kamarnya tapi berjalan menuju Siang-sian tong untuk memesan barang hidangan, Dia mengatakan ingin menjamu para siwi yang malam sebelumnya telah berjasa meringkus para penyerbu, Dia juga berpesan bahwa perjamuannya nanti tidak perlu dilayani para thay-kam, karena sembari bersantap, dia ingin membicarakan urusan rahasia. Ketika kembali ke kamarnya, Siau Po disambut oleh Kiam Peng, "Kenapa kau baru pulang?"
"Kau tentunya kebingungan setengah mati menantikan aku, bukan?" sahut Siau Po sambil tertawa "Kau tahu, aku telah menyelidiki dan aku memperoleh kabar gembira!" Pui Ie yang berbaring di atas tempat tidur segera mengangkat kepalanya.
"Kabar apa?" tanyanya cepat. Siau Po menyalakan lilin agar kamar menjadi terang dan dia dapat melihat wajah si nona yang bersemu dadu, matanya membengkak sebagai tanda bahwa dia baru saja menangis. Pasti hatinya sedih sekali memikirkan kekasihnya, Lau It-cou. Siau Po menarik nafas panjang.
"Kabar yang aku bawa itu pasti membuat hatimu gembira namun sayangnya merupakan malapetaka untukku!" sahutnya, "Karena istri yang baru aku dapatkan akan melayang lagi! Benar, budak Lau It-cou itu memang belum mati!"
"Ah!" Pui Ie mengeluarkan seruan tertahan. Untuk sesaat dia tidak dapat menahan keguncang" hatinya yang gembira sekali mendengar berita d Siau Po. Kiam Peng juga senang sekali.
"Oh!" serunya, "Jadi, Lau suko selamat dia tidak kurang apa pun?"
"Mati sih belum," sahut Siau Po.
"Tapi untuk hidup terus, sukarnya bukan main. Dia sudah tertawan oleh para siwi dan sekarang sedang diperiksa. Dia kukuh mengaku sebagai orangnya Go Sam-kui dan mengatakan bahwa ia mendapat perintah untuk membunuh kaisar Kong Hi. Begitulah, dia masih hidup sekarang, tapi sedang menantikan hukum kematiannya! Kalau perbuatannya ini tersiar diluaran, pasti namanya akan busuk dan dicela oleh para orang gagah karena dikenal sebagai anjing pengkhianat Go Sam-kui. Apalagi setelah dia menjalankan hukuman mati, Namanya akan semakin bau!" Pui Ie berusaha bergerak bangun Saat ini dia sudah dapat mengendalikan perasaannya.
"Sebelum datang menyerbu ke istana ini, kami sudah mempertimbangkan bahwa kami bisa ditahan dan dihukum mati, Kami tidak memperdulikan hal itu, asal dapat merobohkan Go Sam-kui, pengkhianat bangsa! Cita-cita kami hanya membalaskan sakit hati raja kami!" Siau Po mengacungkan jempolnya.
"Bagus! Penuh semangat!" katanya memuji, "Aku si Kui kongkong merasa kagum sekali! Sekarang, nona Pui, ada satu urusan penting yang harus kita rundingkan Mari aku tanya dulu, seandainya aku bisa membebaskan kakak seperguruanmu itu, apa yang akan kau lakukan? Bagaimana dengan engkau sendiri?" Mata Pui Ie menyorotkan sinar berkilauan wajahnya merah padam.
"Apakah kau benar-benar sanggup menolong kakak seperguruanku itu?" tanyanya menegaskan "Kalau benar, bi...arlah a...ku menjadi budakmu seumur hidup! Dengan kata lain, pekerjaan apa pun dan sesulit apa pun, asal kau perintahkan aku Pui Ie, akan
melakukannya tanpa mengerutkan sepasang alisku!"
"Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?" tanya Siau Po. "Bisa? Dalam hal ini, biar Siau kuncu menjadi saksinya! Kalau aku berhasil menolong Lau sukomu itu, akan kuserahkan dia kepada Siau ongya Bhok Kiam seng dan Tiat Pwe-cong Liong Liu loyacu...."
"Eh, kau tahu tentang kokoku dan Liu suhu?" tukas Kiam Peng keheranan.
"Siau ongya dari Bhok onghu serta Tiat Pwe-cong Liong Liu Tay-hong merupakan orang-orang yang sudah terkenal sekali, Siapa yang tidak pernah mendengar nama mereka?"
"Kau memang orang baik. Setelah kau berhasil membebaskan Lau suko, kami semua pasti berterima kasih dan bersyukur atas jasa-jasamu itu! kata Kiam Peng. Siau Po menggelengkan kepalanya, "Aku bukan orang baik," sahuthya.
"Sekarang aku sedang mengadakan transaksi jual-beli dengan kalian, Lau It-cau merupakan orang yang luar biasa. Dia telah melanggar undang-undang negara sehingga dosanya berat sekali, Kalau aku hendak menolongnya, aku juga harus berani mengorbankan diri, Aku bisa menghadapi bencana besar. Kalau perbuatanku itu sampai ketahuan, seluruh keluagaku, termasuk nenek, kakek, paman tua, paman muda, bibi tua, bibi muda, kakak adikku yang jumlahnya sepuluh orang bisa terancam hukuman penggal kepala, Setelah itu, rumahku, harta benda berupa emas, perak, tembaga, uang, barang-bara antik semuanya akan disita
oleh negara, Nah, coba kau bayangkan beratnya tanggung jawab yang harus kupikul!" Setiap kali Siau Po berkata sampai pada bagi tertentu, Kiam Peng selalu menganggukkan kepalanya. Ucapan Siau Po memang berlebihan, tapi bukan berarti tidak mengandung kebenaran Perbuatannya mengandung resiko yang besar Kata-katanya memang harus dibenarkan, meskipun Siau Po sampai membawa nama kakek dan neneknya. Pui Ie juga membenarkan kata-kata Siau Po.
"Memang benar! perbuatan ini memerlukan tanggungjawab yang tidak kepalang besarnya, Baiklah, aku tidak jadi meminta bantuanmu! Bagiku, kalau Lau suko diancam hukuman mati, aku juga tidak sudi hidup lebih lama lagi. Terpaksa kita menyerah pada suratan nasib saja...." Selesai berkata, Pui Ie langsung menangis. Air matanya mengucur deras.
"Jangan mudah bersedih, jangan asal mengalirkan air mata saja!" kata Siau Po.
"Kau begitu cantik dan manis, Begitu indahnya sehingga mirip batu kumala dan bunga bermekaran, Melihat air matamu mengalir, hatiku pun ikut hancur luluh. Nona Pui, demi engkau, aku akan melakukan apa saja, Aku akan menolong kakak seperguruannya Dan
aku pasti akan berhasil! Nona Pui, mari kita mengadakan perjanjian Kalau aku gagal menolong Lau sukomu itu, biarlah seumur hidupku aku menjadi budakmu, Sebaliknya, andaikata aku berhasil menolong Lau sukomu keluar dengan selamat dari istana ini,
maka untuk seumur hidup, kau harus menjadi istriku, Seorang laki-laki sejati, asal kata-katanya sudah tercetus keluar, entah empat kuda apa pun sukar mengejarnya! Nah, demikianlah janji kita!" Pui Ie memandangi Siau Po dengan pandangan tertegun wajahnya sebentar merah sebentar pucat, Kemudian dengan perlahan dia berkata.
"Kui toako, demi... keselamatan Lau suko, a... ku akan melakukan apa saja, seandainya kau... berhasil membebas...kannya, apabila kau ingin aku melayanimu, se... umur hidup, sebetul.,.nya bukan tidak bi... sa, tapi...." Tiba-tiba Pui Ie menghentikan kata, karena di saat itu juga terdengar suara dari luar kamar.
"Kui kongkong, barang hidangan sudah siap!"
"Bagus!" sahut Siau Po yang langsung membuka pintu kamarnya dan merapatkannya kembali Dia membiarkan empat orang thay-kam mengantarkan barang hidangan ke dalam ruang tamu, semuanya diatur dengan rapi di atas meja.
"Sekarang pergilah kalian, kalian tidak perlu melayani aku," kata Siau Po kemudian.
"Baiklah, kongkong!" sahut salah satu thay-kam, "Apakah masih ada yang kurang?"
"Sudah cukup!" kata Siau Po. Dia melihat barang hidangan itu cukup untuk delapan orang.
"Ingat! Kalau aku tidak panggil, jangan ada yang datang kemari!" Dia memberi persen kepada mereka itu masing masing lima tail perak, Tentu saja para thay-kam itu kegirangan menerimanya. Begitu para thay-kam itu berlalu, Siau Po mengunci pintu kembali Setelah itu dia menggeser meja yang penuh hidangan itu ke dalam kamar. Dia mengisi tiga mangkok nasi dan juga menuangkan tiga cawan arak.
"Nona Pui," panggilnya seraya tertawa, Hidangan semua sudah tersedia dan tinggal menyantapnya saja, Tadi nona mengatakan tapi, apa maksudnya?" Saat itu Pui Ie sedang dibantu bangun oleh Kiam Peng, Mendengar pertanyaan Siau Po, wajahnya jadi merah jengah sehingga cepat-cepat dia menundukkan kepalanya, Untuk sekian lama dia berdiam diri.
"Sebetulnya, aku ingin mengatakan," akhirnya dia menyahut juga, "Kau bekerja sebagai thay-kam di istana, mana... mungkin kau bi...sa mempunyai istri? Tapi, tak perduli bagaimana caranya, asal kau bisa menolong Lau suko meloloskan diri dari tempat tahanan, untuk seumur hidup, aku akan melayanimu...." Sinar lilin menerangi wajah si nona, kecantikannya semakin kentara ketika tersipu-sipu. Siau Po masih anak bau kencur, tapi dia juga merasa tertarik dengan kecantikan gadis itu.
"Oh, rupanya karena kau mengetahui aku seorang thay-kam?" kata si bocah sembari tertawa, "Karena aku orang kebiri, jadi aku tidak bisa mempunyai istri! Ah... itu urusanku sendiri, tidak perlu kau khawatirkan. Sekarang aku tanya dulu, bersediakah kau menjadi istriku?" Sepasang alis Pui Ie mengernyit, wajahnya merah kembali, Namun sekarang emosinya meluap Dia merasa gusar, tapi beberapa saat kemudian pikirannya jernih kembali.
"Jangan kata hanya menjadi istrimu, meskipun kau jual aku ke rumah pelesiran menjadi perempuan penghibur atau pun perempuan jalang, aku rela!" Ucapan itu hebat sekali, Apabila orang lain yang mendengarnya, pasti akan marah karena tersinggung, Tidak demikian halnya dengan Siau Po. Sejak kecil dia dibesarkan dalam rumah pelesiran Baginya kata-kata itu biasa-biasa saja.
"Baiklah!" sahutnya.
"Dengan demikian kita sudah mengadakan perjanjian Nah, istri dan adikku yang manis, mari kita keringkan cawan kita!" Sejak melihat gerak-geriknya Siau Po dua hari ini, Pui Ie tidak menganggapnya sebagai thay-kam lagi, Dalam pandangannya, Siau Po sangat cekatan dan cerdik, Dengan mudah dia berhasil membunuh Sui Tong dan membuat tubuhnya lumer tinggal cairan. Dia juga mendapat kenyataan bahwa para thay-kam lainnya di istana ini sangat menghormati bocah, dia masih sangat muda, dan mulai timbul kesan baik dalam hatinya. Diam-diam Pui Ie juga mengaguminya. Di lain pihak, Pui Ie juga ingat akan Lau It-cou kakak seperguruan yang dikenalnya sejak kecil. Mereka berlatih silat bersama-sama, Hubungan mereka sudah erat sekali, Meskipun keduanya tidak pernah mengatakan apa-apa, namun jauh di dasar lubuk hati, mereka telah sepakat untuk menikah kelak. Malam itu mereka bekerja sama menyerbu istana kerajaan Ceng ini, Bahkan dia menyaksikan Lau It-cou tertawan Dia ingin memberikan bantuan tetapi kondisinya tidak memungkinkan, sebab dia sendiri sudah terluka. Dia menduga, karena tertawan oleh pihak musuh, nyawa Lau It-cou tidak mungkin dipertahankan lagi. Di luar dugaannya, si thay-kam cilik ini mengatakan kekasih hatinya belum mati, Bahkan Siau Po juga berjanji untuk menolongnya meloloskan diri. Karena itu pula, benaknya segera berputar.
"Biarlah Lau suko bebas dan selamat," demikian pikirnya dalam hati, Tidak apa-apa kalau hidupku selanjutnya akan menderita, malah aku bersyukur kepada Thian yang maha kuasa, Apakah thay-kam cilik ini mempunyai maksud tertentu? Ah! Mungkin dia hanya mengoceh sembarangan Mustahil seorang thay-kam bisa beristri! Ya, dia tentu bicara seenaknya untuk menggoda aku! Biarlah, aku menerima baik saja permintaannya...!" Demikianlah dia mengambil keputusannya. Karena itu dia langsung mengembangkan seulas senyuman Dia mengangkat cawan araknya dan dibawa ke bibirnya.
"Sekarang aku minum arak bersamamu, tapi kau harus ingat baik-baik. Kalau kau tidak mampu menolongi Lau suko, maka kau tidak akan lolos dari golokku!" Siau Po tersenyum, senang hatinya meliha wajah si nona berseri-seri, wajahnya tampak semakin manis kalau tersenyum. Dia mengangka cawannya dan berkata: "Janji kita merupakan kepastian yang tidak dapat diingkari lagi. Karena itu aku juga ingin bertanya, seandainya aku sudah berhasil menolong Lau sukomu, lalu kau merasa menyesal, bagaimana? Mungkin saja kau mengingkari kata-katamu sendiri dan tetap ingin menikah dengannya, Kalau kalia bekerja sama mengepung aku seorang diri, lalu di menbacok aku satu kali dan kau pun menebas aku satu kali, bukankah tubuh aku, si Kui kongkong akan terbelah menjadi dua bagian? Nah, inilah yan harus aku jaga!" Pui Ie memperlihatkan tampang serius.
"Raja langit di atas, Ratu bumi di bawah, seandainya Kui kongkong benar-benar berhasil menolong Lau suko meloloskan diri dengan selamat maka Siauli (sebutan untuk diri sendiri bagi anak perempuan) Pui Ie bersedia menikah dengan Kui kongkong dan menjadi istrinya serta melayaninya seumur hidup, Siauli akan setia dan tidak nanti berhati dua. Apabila Siauli mengingkarinya, biarlah siauli tersiksa di alam baka nanti dan tidak akan menjelma lagi untuk selama-lamanya!" Selesai berkata dia menunjuk kepada Siau kuncu, "Nah, Siau kuncu menjadi saksinya!" Bukan main senangnya hati Siau Po mendengar nona itu bersumpah berat, Dia segera menoleh kepada Kiam Peng dan bertanya.
"Adikku yang baik, apakah kau mempunyai kekasih hati yang harus kutolong?"
"Tidak!" sahut nona Bhok.
"Sayang! Sayang!" kata Siau Po.
"Kalau kau juga mempunyai kekasih hati, aku akan menolongnya sekalian. Dengan demikian, kau juga akan bersumpah menikah denganku, bukan?"
"Fui!" Kiam Peng pura-pura meludah.
"Sudah mendapatkan seorang istri, masih belum merasa puas! Rupanya dikasih hati, kau malah minta ampela!" Siau Po tertawa.
"Jangan heran!" katanya, "Bukankah ada pepatah yang mengatakan "si katak buduk berkhayal ingin makan daging angsa khayangan! Eh, iya, istriku... bersama-sama dengan Lau sukomu itu, ada tertawan dua orang lainnya, Yang satunya berewokan, siapakah dia?"
"Itu Gouw susiok!" sahut Kiam Peng, Susiok artinya paman guru, "Siapakah yang lainnya?" tanya Siau Po kembali "Di dadanya ada tato harimau yang buas."
"Dia berjuluk Chi Mo houw (Si harimau hijau) Go piu," sahut Bhok Kiam-peng kembali "Di murid Gouw susiok!"
"Siapa nama lengkap Gouw susiok itu?" tany Siau Po.
"Nama lengkap Gouw susiok ialah Gouw Lip sin," sahut Kiam Peng, "Julukannya Yau Tau Say (Singa menggoyangkan kepala)." Siau Po tertawa.
"Julukannya bagus sekali," kata Siau Po.
"Apa pun yang dikatakan orang, dia pasti selalu menggelengkan kepalanya."
"Kui toako," kata Bhok Kiam-peng sambil tersenyum, Dia merasa thay-kam cilik ini jenaka sekali "Kau toh ingin menolong Lau suko, sekalian saja kau tolong Gouw susiok dan Go Piu meloloskan diri dari tempat tahanan!"
"Gouw susiok dan Go Piu itu apakah mempunyai puteri atau kenalan gadis-gadis cantik?" tanya Siau Po.
"Aku tidak tahu," sahut Kiam Peng.
"Untuk apa kau menanyakan hal itu?"
Bagian 23
"Aku ingin menanyakan dulu tentang kenal gadis mereka yang manis-manis itu. ingin kutegaskan, apabila aku menolong Gouw susiok dan Piu, apakah mereka juga bersedia menjadi istriku. Coba bayangkan saja, aku akan menghadapi bahaya besar untuk menolong orang, masa aku harus kerja bakti tanpa pamrih apa-apa?" Selesai Siau Po berbicara, sebuah benda dengan bayangan kehitaman melayang ke arah kepalanya, Siau Po sempat melihat dan berusaha menghindarkan diri, tapi dia kalah cepat. Begitu dia menundukkan kepalanya, benda itu dengan telak menghajar dahinya.
"Aduh!" jerit Siau Po. Disusut dengan sebuah cawan yang jatuh di atas tanah dan hancur dengan menerbitkan suara nyaring, sedangkan dahinya mengucurkan darah yang terus mengalir sampai matanya dan membuat pandangannya menjadi samar.
"Pergi kau, bunuh saja Lau It-cou!" Terdengar suara teriakan Pui Ie. "Nonamu juga tidak mau memikirkannya lagi, Tidak nanti aku sudi dihina sedemikian rupa selamanya olehmu!" Ternyata Pui Ie yang menyambit cawan arak ke kepala Siau Po. Dia kehilangan sabarnya mendengar ocehan si bocah, hatinya panas sekali, Untung saja luka Pui Ie belum sembuh sehingga tenaganya jauh berkurang dibandingkan biasanya, Kalau tidak, serangannya itu pasti luar biasa dan Siau Po bisa celaka karenanya.
Mula-mula Kiam Peng juga ikut terkejut, namun akhirnya perasaannya lebih tenang setelah tahu apa yang terjadi.
"Kui toako!" katanya, "Ke sini! Aku periksa lukamu, jangan sampai ada pecahan beling yang menancap di dalam dagingmu!"
"Aku tidak mau mendekatimu!" teriak Siau Po.
"Istriku saja sudah berusaha membunuh suaminya sendiri!"
"Siapa suruh kau mengoceh yang bukan-bukan?" kata Kiam Peng.
"Kenapa kau ingin mengganggu anak istri orang? Aku sendiri merasa panas mendengar kata-katamu tadi!" Siau Po tertawa.
"Oh, aku mengerti sekarang!" katanya, "Rupanya kalian cemburu dan iri. Iya, baru mendengar aku akan mencari perempuan lain saja, istriku yang tua dan istri yang muda sudah lantas cemburu!" Kiam Peng menyambar lagi sebuah cawan arak.
"Kau panggil aku apa?" bentaknya dengan nada keras, "Awas kalau kuhajar sekali lagi kau dengan cangkir ini!" Siau Po mengusap darah yang mengalir di matanya. Dia dapat melihat wajah si nona yang sedang marah. wajahnya semakin manis dan cantik, Karena itu dia malah tersenyum, Setelah itu, dia melirik ke arah Pui Ie. Nona itu tampak menyesal Siau Po merasa lukanya perih, tapi dia toh merasa senang.
"Istri tuaku telah menimpuk aku dengan cawan arak, karena itu, kalau istriku yang muda tidak diijinkan menyambit juga, namanya tidak adil." Diapun berjalan mendekati Kiam Peng kemudian melanjutkan kembali.
"Nah, istri mudaku, kau juga boleh menyambit aku sekarang!"
"Baik!" seru Kiam Peng. ia segera menyiram arak di cawannya yang masih sisa setengah ke arah Siau Po! Si bocah berusaha mengelak, tapi wajahnya basah juga tersembur air arak yang disiramkan itu, Namun dasar bocah nakal, dia malah mengulurkan lidahnya mencicipi arak yang manis itu.
"Sedap. Sedap!" katanya berulang kali, "Istri tua menghajar aku sehingga dahiku mengucurkan darah. sekarang istri mudaku malah menyiram arak ke wajahku, Darah dan arak bercampur menjadi satu, aih! Lama-lama aku bisa mati juga!" Mendengar kata-katanya lucu, Kiam Peng dan Pui Ie jadi tertawa juga.
"Dasar manusia tidak punya guna!" maki Pui Ie sembari mengeluarkan sapu tangan yang kemudian diangsurkan kepada Kiam Peng. "Kau bersihkan darahnya!" Kiam Peng tertawa.
"Kau yang menghajarnya sehingga terluka, mengapa aku yang harus membersihkan darahnya?" tanyanya. Pui Ie membekap mulut Kiam Peng.
"Kau toh istri mudanya?" katanya menggoda. Sekali lagi Kiam Peng tertawa.
"Cis! Barusan kaulah yang menerima baik syarat yang diajukannya, Bukan aku!"
"Siapa bilang kau tidak menerima?" kata Pui Ie tidak mau kalah, "Bukankah dia menantang istri mudanya menyambit juga? Dan kau telah menyiram wajahnya dengan arak! Hal ini kan berarti kau bersedia menjadi istri mudanya?" Sekarang giliran Siau Po yang tertawa.
"Tepat! Tepat!" katanya lantang, "istri tuaku sungguh cinta dan sayang sekali kepadaku, Baiklah Kalian berdua boleh menenteramkan hati. Tidak mungkin aku main gila dengan perempuan lain!" Diam-diam Pui Ie berpikir dalam hatinya.
"Dia seorang thay-kam, tidak mungkin bisa menjadi suami yang sebenarnya, Tentunya dia hanya bergurau, Lidahnya memang tajam!" Pui Ie sudah mempunyai kesan baik terhada Siau Po. Mengenai ucapannya tentang istri tua dan istri muda, tentunya dia hanya iseng, Bukankah thay-kam cilik itu jenaka sekali? Demikianlah mereka bertiga terus bersenda gurau, sampai akhirnya Pui Ie berkata: "Kemari kau!" dia memeriksa luka di dahi Si Po. Dia khawatir masih ada sisa beling yang menancap di dalam dagingnya, sementara itu dia juga membersihkan darahnya dan ditaburi obat agar darahnya tidak mengalir terus. Ketiga-tiganya tidak suka minum arak, Karena itu sampai selesai makan, arak yang disajikan masih utuh, Tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Habis bersantap, Siau Po menguap.
"Bagaimana malam ini? Apakah aku tidur dengan istri tuaku atau istri mudaku?" tanyanya. Pui Ie memperlihatkan mimik serius,
"Kalau bergurau, kau harus tahu batasnya" katanya garang, "Apabila kau naik lagi ke atas tempat tidur, awas! Aku akan membunuhmu dengan bacokan golok ini!" Siau Po tertawa, Dia meleletkan lidahnya.
"Hebat!" serunya, "Pada suatu hari nanti, mungkin nyawaku bisa melayang di tanganmu!" Kedua gadis itu jadi tertawa lagi mendengar perkataannya, Siau Po segera menelan sebutir pil yang dihadiahkan ibu suri, Setelah itu dia membuka pintu kamarnya untuk mengeluarkan meja hidangan Selesai bekerja dia menggelar tikar di atas lantai lalu tanpa mengganti pakaiannya lagi, dia berbaring di sana. Rupanya dia sudah letih sekali, Dalam sekejap mata dia sudah tertidur dengan pulas. Ketika keesokan paginya dia terbangun dari tidur, Dia merasa tubuhnya hangat Di saat dia membuka matanya, ternyata tubuhnya telah ditutupi sehelai selimut. Kepalanya juga beralas bantal Kemudian dia bangkit duduk dan mengawasi tempat tidurnya.
Di balik kelambu yang tipis, tampak secara samar-samar Pui Ie dan Kiam Peng tidur berdampingan Siau Po berdiri, dengan mengendap-endap dia menghampiri tempat tidur itu. Dengan perlahan dan hati-hati dia menyingkapkan kelambunya kemudian melongok ke dalamnya. Tampak olehnya Pui Ie dan Kiam Peng sama-sama ayu dan anggun Kedua gadis cantik itu tidur dengan hampir berdempetan Sungguh mempesona pemandangan yang ada di hadapannya, Tanpa sadar dia mendekati wajahnya untuk mencium kedua nona itu, tapi tiba-tiba saja timbul perasaan khawatir mereka akan terjaga karenanya.
"Oh!" serunya dalam hati, "Seandainya kedua gadis cantik ini bisa menjadi istriku, tentu hidupku akan menyenangkan sekali, Di rumah pelesiran seperti Li Cun-wan, mana ada gadis-gadis yang secantik dan seayu mereka?" Perlahan-lahan Siau Po berjalan mendekat pintu, tapi baru saja dia membukanya, suara gerakan pintu itu ternyata membangunkan Pui Ie Gadis itu langsung membuka matanya dan memperhatikan Siau Po. Bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Kui... Kui... Oh, kau sudah bangun?" sapanya dengan suara halus.
"Kui... Kui apa?" sahut Siau Po sembari tertawa "Apa kau keberatan memanggilku suami yang baik?"
"Ingat!" sahut Pui Ie, "Kau toh belum menolong orang yang kau janjikan itu!"
"Jangan khawatir!" kata Siau Po.
"Sekarang juga aku akan membebaskan mereka!" Tepat pada saat itu terdengar suara bersin Kiam Peng.
"Hei, pagi-pagi begini apa yang kalian bicarakan?" tanyanya.
"Kami berdua tidak tidur sepanjang malam" sahut Siau Po. Banyak sekali yang kami bicarakan." Kemudian dia menguap dan menambahkan "Oh, aku mengantuk sekali... aku ingin tidur...!" Wajah Pui Ie jadi merah padam.
"Orang memang tidak bisa bicara baik-baik denganmu," katanya, "kenapa kau mengatakan kita tidak tidur sepanjang malam?" Siau Po tidak memberikan komentar, dia hanya tertawa.
"Nah, istriku yang baik," katanya kemudian "Sekarang mari kita bicara serius, Kau tulislah sepucuk surat, nanti aku bawa kepada Lau sukomu itu agar dia percaya kepadaku dan bersedia mengikut aku keluar dari istana ini. Tanpa surat darimu, aku khawatir dia akan curiga dan takut dirinya ditipu, Kemungkinan dia berkeras mengatakan bahwa dirinya adalah orangnya Go Sam-kui!"
"Kau benar," kata Pui Ie.
"Tapi, apa yang harus kutulis?"
"Kau boleh tulis apa saja!" sahut Siau Po.
"Umpamanya kau bisa mengatakan bahwa aku adalah suamimu, suami yang paling baik di kolong langit ini! Ada baiknya kau juga menyebut kebaikanku karena menikahi dirimu, aku bersedia menolongnya membebaskan diri dari tempat tahanan!" Sembari berbicara, Siau Po mengambil alat tulis milik Hay kongkong. semuanya dipindahkan ke depan tempat tidur, kemudian dia juga menggosok bak tinta nya agar menjadi kental. Tidak kepalang tanggung, dia juga mengambil sehelai kertas lalu dibeberkannya di atas meja, dan pitnya disediakan.
Pui Ie bergerak bangun untuk duduk, Ketika menerima pit dari tangan Siau Po, tiba-tiba dia menangis terisak-isak. Air matanya mengucur dengan deras.
"Apa yang harus kutulis?" tanyanya dengan tersengguk-sengguk.
"Apa pun boleh," kata Siau Po.
Dia merasa kasihan juga melihat kesedihan gadis itu. "Aku toh buta huruf, apa pun yang kau tulis, aku tidak bisa membacanya. Karena itu kau tidak perlu khawatir Tapi sebaiknya jangan kau katakan bahwa kau telah menikah denganku, nanti Lau sukomu menjadi gusar dan tidak sudi ditolong olehku!"
"Kau buta huruf?" tanya Pui Ie menegaskan "Kau tidak membohongi aku?"
"Kalau aku mengerti membaca, biarlah aku menjadi si anak kura-kura!" sahut Siau Po.
"Aku bukan suamimu, akulah anakmu, akulah cucumu!" Pui Ie dapat melihat kesungguhan Siau Po dan dia mempercayainya. Sembari mengangkat pit, dia terus berpikir Tapi sampai sekian lama dia masih tidak tahu apa yang harus ditulisnya.
"Sudah, sudah!" seru Siau Po yang mulai kehabisan sabar, "Baik, nanti kalau aku sudah berhasil membebaskan Lau It-cou, kau boleh menikah dengannya, Aku tidak akan merebutmu! Lagipula, kau tidak bersungguh hati ingin menikah denganku dengan demikian kelak di kemudian hari aku juga tidak perlu merasakan dikhianati. Lebih baik sejak sekarang aku mengalah, Biar kau senang dapat menikah dengan Lau It-cou! Apa pun yang ingin kau tulis, tulislah! jangan khawatir, aku tidak takut!"
Pui Ie memperhatikan Siau Po lekat-lekat. Air matanya masih mengambang, kemudian dia menundukkan kepalanya, Kali ini tampaknya dia bersyukur dan senang, dia juga langsung menggerakkan pit nya. Beberapa kali dia menambahkan air di bak tintanya, akhirnya selesai juga pekerjaannya.
"Nah, ini!" katanya, Dia menyodorkan surat itu kepada Siau Po. "Tolong kau sampaikan kepadanya!"
"Hm! Kau...!" maki Siau Po dalam hati. "Mengapa kau tidak memanggil aku toako, tapi membahasakan kau saja?" Hatinya memang mendongkol juga, tapi dia ingin bersikap sebagai seorang laki-laki sejati, Karenanya dia menahan kekesalan hatinya dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengulurkan tangannya untuk menyambut surat yang disodorkan si nona kemudian ia masukkan ke dalam sakunya, namun dalam hatinya dia masih berkata juga. "Istri yang cantik dan baik malah diserahkan kepada orang lain..." Setelah menutup pintu kamarnya, Siau Po berjalan menuju tempat para siwi, Kali ini yang mendapat bagian meronda adalah Tio Kong-lian. Dia sudah mendapat kisikan dari To Lung, atasannya untuk membantu Kui kongkong membebaskan ke tiga orang tahanan, namun dia juga mendapat pesan untuk berhati-hati agar ketiga tawanan itu tidak menjadi curiga atau mempunyai dugaan bahwa mereka dilepaskan dengan sengaja. Begitu melihat Siau Po, Kong Lian segera menghampiri untuk menyambutnya.
Sembari tertawa dia mengedipkan matanya, setelah itu dia mengajak thay-kam cilik itu ke samping gunung buatan. Siau Po mengikuti.
"Kui kongkong, dengan cara bagaimana kongkong akan menolong mereka?" tanya Kong Lian, Siau Po jadi berpikir setelah melihat keramahan siwi ini.
"Sri Baginda berpesan agar aku membunuh satu dua orang siwi yang menjaga, agar aku dapat membebaskan para tahanan" pikirnya, "Tapi orang she Tio ini begini baik, tegakah aku membunuhnya?"
"Nanti aku periksa lagi ketiga tahanan itu, katanya setelah berpikir sejenak. "Aku akan kerja dengan melihat situasinya."
"Terima kasih, kongkong," sahut Kong Lian, "Untuk apa kau mengucapkan terima kasih kepadaku?" tanya Siau Po heran.
"Hamba ingin bekerja dengan Kui kongkong." sahut Kong Lian, "Hamba harap untuk selanjutnya hamba akan mendapat bantuan dari kongkong agar dapat memperoleh kedudukan yang lebih tinggi!" Siau Po tersenyum mendengar ucapan siwi itu.
"Kau bekerja dengan setia kepada Sri Baginda, hanya satu hal yang aku khawatirkan..." Kong Lian terkejut mendengar kata-kata Siau Po.
"Apa itu, kongkong?" tanyanya khawatir.
"Aku takut kalau kau terus memperoleh kemajuan, gudang uangmu tidak akan muat lagi karena hartamu sudah berlebihan..." sahut Siau Po. Pertama-tama Kong Lian bingung, namun akhirnya dia tertawa, Kemudian, setelah tawanya berhenti, dia berkata dengan suara perlahan.
"Kongkong, hamba sudah berunding dengan para siwi lainnya yang berjaga di sini bahwa kami semua akan bekerja dengan segenap kemampuan untuk membantu kongkong, Kami yakin kelak kongkong akan menjadi kepala atau pemimpin para thay-kam di sini!"
"Bagus!" kata Siau Po.
"Hal itu mungkin harus menunggu beberapa tahun lagi kalau usiaku sudah agak dewasa." Siau Po segera berjalan ke dalam tempat tahanan, Baru satu malam saja tampak jelas Lou It-cou bertiga sudah jauh lebih lesu. Memang mereka tidak disiksa lagi, tapi karena perasaannya yang sumpek dan rasa nyeri masih nyut-nyutan, mereka tidak ada selera mengisi perut. Sudah dua hari dua malam mereka tidak makan apa-apa. Di dalam kamar tahanan, terdapat delapan siwi yang menjaga, Melihat kedatangan Siau Po, merek segera memberi hormat dengan menjura. Siau Po sudah mempertimbangkan apa yang harus diperbuatnya, Dia segera berkata dengan suara lantang.
"Sri Baginda sudah mengeluarkan firman! Ke tiga pemberontak ini besar sekali dosanya, Mereka harus segera dihukum mati di hadapan khalayak ramai. Karena itu lekas kalian siapkan hidangan biar mereka bisa makan sampai kenyang, Dengan demikian, setelah mati mereka tidak akan menjadi setan kelaparan!" Serentak para siwi itu menyahut. "Baik!"
Gouw Lip-sin, tahanan yang bertubuh besar serta berewokan langsung berteriak: "Kami mati demi Peng Si-ong, nama kami akan harum untuk selamanya, Kami lebih hebat berkali-kali lipat daripada kalian segala anjing buduk yang menjadi budak bangsa Tatcu!"
"Kurang ajar!" damprat salah seorang siwi yang menjadi gusar, ia menyabet satu kali dengan cambuknya, "Gouw Sam-kui adalah si pemberontak. Dia juga akan dihukum mati berikut seluruh anggota keluarganya!" Sebaliknya, Lau It-cou tidak mengatakan apa-apa. Dia mendongakkan kepalanya ke atas seperti sedang memikirkan sesuatu, Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak jelas apa
yang dikatakannya, sedangkan kawannya yang satu lagi juga membungkam saja. Dengan cepat barang hidangan sudah dibawa datang, jumlahnya cukup untuk tiga orang lengkap dengan araknya pula.
"Ketiga pemberontak ini mendengar kepala mereka akan dipenggal sebentar lagi, mungkin karena terkejut setengah mati sehingga tubuh mereka gemetar Aku khawatir mereka tidak berselera untuk makan, Oleh karena itu, saudara sekalian, sukalah kiranya kalian melelahkan diri untuk menyuapi mereka dan bantu mereka minum arak barang dua tiga cawan. Tapi ingat, jangan lolohi terlalu banyak. Kalau mereka sampai mabuk, tentu mereka tidak akan merasa enaknya kepala dipenggal. Mereka tidak akan merasa sakit dan ini pasti terlalu enak bagi mereka yang dosanya demikian besar Lagi-pula, sesampainya di alam baka, Giam lo-ong akan berhadapan dengan tiga setan pemabukan dan Giam Lo-ong akan marah lalu mencambuki mereka dengan rotan sebanyak tiga kali Bukankah hal ini menambah penderitaan mereka?" Para siwi tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Siau Po. Mereka merasa thay-kam cilik ini lucu sekali, mereka menghampiri ketiga tawanan itu untuk menyuapi mereka. Gouw Lip-sin tidak sungkan-sungkan lagi, Dia segera meneguk arak yang disodorkan dan menikmati hidangan yang disuapkan. Go Piu juga makan, tapi setiap kali disuapi, dia selalu memaki, "Budak anjing!" Lau It-cou tampak pucat sekali wajahnya. Baru makan satu sendok, dia tidak sanggup lagi membuka mulutnya, Kepalanya digeleng-gelengkan.
"Baiklah!" kata Siau Po yang memperhatikan ketiga tahanan itu diberi makan, "Sekarang kalia semua boleh keluar dulu, Aku ingin memeriksa mereka lagi! Masih ada beberapa hal yang ingin diketahui oleh Sri Baginda, Setelah diperiksa, baru mereka dibawa untuk menjalani hukuman mati!" Tio Kong-lian segera mengiakan. Dia segera mengajak rekan-rekannya meninggalkan kamar tahanan itu. Setelah keluar mereka pun merapatkan pintunya. Siau Po menunggu sampai para siwi itu sudah keluar semua, Dia segera menghampiri Gouw Li sin bertiga, Dia memperhatikan mereka dengan senyumnya yang aneh. Thay-kam anjing, apa yang lucu sehingga kau tersenyum-senyum?" bentak Gouw Lip-sin. Siau Po tertawa.
"Aku tersenyum sendiri!" sahutnya tenang.
"Apa hubungannya denganmu?" Tepat pada saat itulah, Lau It-cou berkata.
"Kongkong, a...ku... akulah Lau It-cou." Siau Po heran sehingga dia tertegun, Dia tidak menyangka Lau It-cou akan mengaku. Belum lagi dia sempat memberikan jawaban, Gouw Lip-sin dan Go Piu sudah membentak kawannya.
"Apa yang kau ocehkan?"
"Kongkong.,." kata Lau It-cou tanpa memperdulikan kedua rekannya, "Kau...tolonglah a...ku, tolonglah ka...mi!"
"Hei, manusia pengecut!" bentak Gouw Lip-sin.
"Kau tamak kehidupan, kau takut mampus, apakah itu perbuatan seorang enghiong? Mengapa kau mementang bacot memohon pertolongan orang?"
"Tapi..." kata It Cou gugup, "Dia bilang bahwa Siau ongya dan guruku... yang meminta dia menolong kita...."
"Apakah kau percaya ocehannya yang hanya kebohongan belaka?" tanya Lip Sin garang. Siau Po tersenyum melihat orang yang adatnya keras kepala itu.
"Yau Ta'u Saycu Gouw loyacu," panggilnya, "Dengan memandang mukaku ini, bolehkah kau kurangi gelengan kepalamu itu?" Gouw Lip-sin terkejut setengah mati.
"Kau.. kau...?" matanya menatap Siau Po dengan pandangan keheranan. Siau Po kembali tertawa.
"Aku kenal baik dengan kalian bertiga," sahutnya. "Saudara ini bernama Go Piu dan julukannya Chi Mo houw, Go toako ini adalah murid kesayanganmu Seorang guru yang tersohor pasti mempunyai murid yang lihay, aku merasa kagum sekali!" Gouw Lip-sin terdiam. Matanya menatap thaykam cilik itu lekat-lekat Dia merasa terkejut dan heran. Bagaimana bocah ini bisa mengetahui namanya dan julukannya? Dengan demikian, bukankah rahasia mereka sudah terbongkar? Hal ini pula yang membuatnya jadi sangsi. Ketika orang itu sedang berdiam diri, Siau Po merogoh ke dalam sakunya, Dia mengeluarkan surat Pui Ie, kemudian membukanya dan merentangkannya di hadapan pemuda She Lau.
"Kau lihat surat ini, siapa yang menulisnya? tanyanya. It Cou memperhatikan tulisan dalam surat dan membacanya, tiba-tiba dia memperlihatkan kegirangan yang luar biasa.
"Ini tulisan Pui sumoay!" serunya, suaranya terdengar gemetar "Gouw susiok, adik seperguruanku mengatakan bahwa Kui kongkong ini dapat untuk menolong kita, Kita diharapkan menurut apa pun katanya!" Gouw Lip-sin merasa heran.
"Mari aku lihat!" katanya. Tanpa mengatakan apa-apa, Siau Po membawa surat itu kepada si bewok, Dia harus memberikan bantuannya karena kedua tangan It Cou terik sehingga tidak dapat menyodorkannya sendiri, Bahkan untuk membaca pun, harus Siau Po yang memegangi surat itu. Diam-diam si bocah berpikir dalam hati.
"Entah apa yang ditulis nona Pui dalam suratnya ? Mungkinkah urusan asmara, Kalau benar, sungguh istriku itu tidak tahu malu!" Ketika itu Gouw Lip-sin sudah membaca surat Pui Ie. isinya sebagai berikut: "Lau suko, Kui kongkong ini adalah orang sendiri, Dia baik hati, Ditempuhnya bahaya untuk menolongi kalian, Kau harus dengar apa yang dikatakan oleh Kui kongkong agar kalian semua bisa terbebas dari bahaya!"
"Adikmu, Pui Ie."
"Ah!" seru Lip Sin. Dia merasa heran sekali, "Surat ini memakai kode rahasia Bhok onghu kita, Jadi surat ini tentu bukan surat palsu!" Siau Po senang mendengar bunyi surat itu.Ternyata tidak ada kata-kata mesra yang ditulis Pui Ie.
"Tentu saja, Mana ada surat yang palsu?" katanya.
"Kongkong," kata It Cou.
"Dimana sumoayku sekarang?"
"Dia ada di atas tempat tidurku," kata Siau Po, tentu saja hanya dalam hati, "Dia sekarang sedang bersembunyi di tempat yang aman," sahutnya, "Setelah berhasil menolongi kalian, baru aku menolongnya, Dengan demikian kalian bisa berkumpul bersama lagi!" It cou merasa terharu mendengar kata-kata Siau Po. Air matanya sampai mengucur.
"Kongkong, budi besarmu ini, entah kapan dan bagaimana baru aku dapat membalasnya..." Sebenarnya It Cou gagah berani, tapi barusan ketika Siau Po mengatakan mereka akan dihukum penggal kepala setelah mereka selesai bersantap tiba-tiba saja hatinya
menjadi goyah karena terguncang. Tanpa berpikir panjang lagi dia mengaku dirinya sebagai Lau It-cou. Karena hal itu pula di dibentak oleh Gouw Lip-sin. sekarang bukan main girang perasaannya, sebab Pui Ie sudah mengatakan dalam surat bahwa thay-kam di hadapannya ini akan menolongi mereka. Gouw Lip-sin tetap berani dan tenang. Kecurigaannya tidak langsung terhapus.
"Tuan, aku mohon tanya she dan namamu ya mulia?" tanyanya kepada Siau Po.
"Mengapa tuan mau menolong kami?"
"Baiklah! Aku akan berkata terus-terang!" sahut Siau Po.
"Di mata sahabat-sahabatku, aku bernama Lay Lie-tau Siau samcu. Kalian tidak usah heran, Dulu kepalaku memang kurapan, tetapi sekarang tidak lagi, Aku mempunyai seorang sahabat Dia seorang hiocu bagian Ceng-bok tong dari perkumpulan Tian-te hwe Namanya Wi Siau-po... mengatakan bahwa dalam perkumpulan Tian-te hwe terjadi kesalah pahaman karena salah seorang anggotanya membunuh Pek Han-siong dari Bhok onghu kalian, Hal ini membuat Bhok siau ongya tidak mau mengerti. Bukankah sulit sekali, karena orang yang sudah mati kan tidak bisa hidup kembali? Apa yang harus dilakukan? itulah sebabnya Wi Siau-po datang kepadaku dan meminta tolong agar aku membebaskan kalian bertiga, Dengan demikian, pihak Tian-te hwe tidak berhutang nyawa kepada kalian dan hubungan antara Bhok onghu dan Tian-te hwe pun dapat berlangsung terus!" Gouw Lip-sin tahu benar urusan kematian Pek Han-siong. sekarang ia percaya penuh terhadap Siau Po, Dia menganggukkan kepalanya dan berkata.
"Aku tahu urusan itu! Dan aku minta maaf atas kelakuan kasarku barusan!" Siau Po tertawa.
"Tidak apa, tidak apa!" katanya, "sekarang urusan kita, Bagaimana cara yang baik agar kalian dapat membebaskan diri dari tempat ini?"
"Tentunya Kongkong sudah mendapatkan cara yang bagus!" kata Lau It-cou. "Kami hanya menurut saja, silahkan kongkong katakan apa yang harus kami lakukan!"
"Aku belum mendapat akal apa-apa," sahut Siau Po.
"Bagaimana dengan kau, Gouw loyacu?" tanyanya kepada Lip Sin kemudian.
"Di dalam istana ada banyak siwi anjing Tatcu!" kata si bewok, "Oleh karena itu, rasanya kita tidak dapat meloloskan diri di siang hari. Menurutku, lebih baik, kita tunggu sampai hari sudah gelap saja!" Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Nanti tolong kongkong lepaskan ikatan kami. Dengan demikian kita bisa menerobos keluar kata Lip Sin selanjutnya. Sekali Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Cara ini cukup baik," sahutnya, "Tapi belum seratus persen aman dan selamat!" Siau Po berjalan mondar-mandir dengan kepala ditundukkan.
"Iya, lebih baik kita menerobos keluar saja" kata Go Piu ikut memberikan pendapatnya.
"Syukurlah kalau kita berhasil, kalau sampai gagal paling-paling mati!"
"Go suko," tegur Lau It-cou.
"Jangan kau mengganggu kongkong yang sedang mencari akal!" Go Piu menoleh, Dia menatap rekannya dengan pandangan sinis, Diam-diam dia berpikir dalam hati. Sementara itu, otak Siau Po juga sedang be putar.
"Paling bagus kalau aku mempunyai obat bius dengan demikian aku bisa membuat para siwi tidak sadarkan diri dan tidak perlu jatuh korban!" Dengan membawa pikiran demikian, dia segera keluar dari tempat tahanan untuk mencari Ko Lian. Tio toako, aku memerlukan obat Bong ho yok. Dapatkah kau mencarinya segera?"
"Bisa, bisa!" sahut Tio Kong-lian, "Saudara ini selalu menyediakan obat itu. Nanti aku akan mengambilnya!"
"Tio toako mempunyai obat bius itu?" tanyanya ke orang yang keheranan "Buat apa kau selalu menyediakannya?"
"Sebenarnya begini," sahut Tio Kong-lian.
"Kemarin ini Sui hu congkoan menyuruh kami menawan dua orang yang berkepandaian tinggi Kalau kami menggunakan kekerasan pasti ada korban jatuh, Dan lagipula kita tidak bisa menawan orang yang hendak ditangkap itu hidup-hidup, Karena itu saudara Cio segera mencari obat itu untuk kami gunakan!" Mendengar penjelasan itu, diam-diam Siau Po berpikir dalam hati.
"Apanya yang jatuh korban dan tidak dapat menawan orang-orang itu hidup-hidup? Yang jelas pasti kalian tidak sanggup melawan mereka!" Lalu dia bertanya: "Bagaimana kesudahannya?" Tio Kong-lian tertawa.
"Kami berhasil, orang-orang itu telah tertawan!" katanya. Nada suaranya menunjukkan kebanggaan dan kegembiraan Karena hal itu menyangkut Sui Tong, maka Siau Po bertanya lagi.
"Siapa orang-orang yang ditangkap itu? Dan apa kesalahan mereka?"
"Mereka adalah dua orang Tong-nia dari Cong jinhu. Katanya mereka bersalah terhadap thayhou, Setelah mereka ditawan, Sui hu congkoan memaksa mereka mengeluarkan satu perangkat kitab, Kemudian hidung dan mulut mereka ditempel dengan kertas perekat agar mereka tidak dapat bernafas sama sekali kemudian akhirnya mati konyol..." Disebut tentang seperangkat kitab, suatu ingatan segera melintas di benak Siau Po.
"Oh, rupanya si nenek sihir itu berusaha mendapatkan sejilid kitab Si Cap Ji cin-keng yang lain, tapi mengapa setelah mendapatkannya, Sui To tidak segera menyerahkannya kepada ibu suri. Kenapa kitab itu disimpan dalam tubuhnya? Mungkinkah dia ingin mengangkanginya sendiri?" Kemudian dia bertanya lagi: "kitab apakah itu? Mengapa kitab itu demikian penting?"
"Aku tidak tahu kitab apa," sahut Kong Lian "Baiklah, sekarang juga aku akan mengambilkan obat bius itu."
"Oh ya, sekalian saja kau minta orang di Sian sian tong menyediakan hidangan untuk dua meja kata Siau Po menitahkan. "Aku ingin menjamu para siwi!"
"0h. Lagi-lagi kongkong akan menjamu kami." sahut Kong Lian dengan nada riang, pendek kata asal mengikuti Kui kongkong, kami tidak akan kekurangan makan dan minum!" Tidak lama setelah berlalunya, Tio Kong-li sudah kembali lagi dengan membawa satu bungkus besar obat bius Bong hoan-yok, beratnya mungkin ada satu kati, Dia menyerahkannya kepada Siau Po sembari tersenyum dan berkata dengan perlahan.
"Obat ini cukup untuk merobohkan seribu orang, Kalau sasarannya hanya satu orang, cukup seujung kuku saja dimasukkan ke dalam teh atau arak!" Selesai berkata, Kong Lian menemui rekan-rekannya untuk meminta mereka menyiapkan meja dan kursi untuk bersantap seraya memberitahukan.
"Kui kongkong akan menjamu kita semua!" Para siwi itu senang sekali, Mereka segera bekerja dengan perasaan gembira.
"Meja harus diatur dalam kamar tahanan," kata Siau Po. "kita berpesta pora, biar para tahanan itu melihatnya sehingga mata mereka menjadi merah dan air liur mereka bercucuran!" Dalam waktu yang singkat, meja telah diatur rapi, Menyusul datangnya barang-barang hidangan yang langsung disajikan di atas meja oleh beberapa thay-kam yang bertugas di dapur Cara kerja mereka cekatan sekali.
"Lihat!" kata Siau Po kepada Gouw Lip-sin bertiga, "Kalian adalah para pemberontak yang bekerja dengan Go Sam-kui. Sampai detik menjelang kematian, kalian masih besar kepala, sekarang kalian boleh menyaksikan bagaimana kami akan berpesta pora.
Andaikata kalian tidak dapat menahan keinginan kalian, kalian boleh menggonggong seperti anjing, nanti kami akan melemparkan sepotong tulang untuk kalian!" Para siwi mendengar ucapan si thay-kam yang jenaka, Gouw Lip-sin segera mendamprat.
"Siwi anjing! Thay-kam bau! kalian semua waspadalah! Akan datang harinya Peng Sin-ong membalaskan sakit hati kami, Kelak dia akan bergerak dari Inlam untuk menyerang kota Peking ini dan meringkus kalian semua, Waktu itu kalian akan diceburkan ke dalam sungai dan dijadikan umpan ikan dan buaya!" Ketika Gouw Lip-sin memaki-maki dan para siwi memperhatikannya, secara diam-diam Siau Po sudah mengeluarkan obat biusnya, Kemudian sembari membawa poci arak di tangan kiri, dia menghampirkan tawanan yang bengis itu.
"Eh, Pemberontak! Apakah kau ingin minum arak?" tanyanya sembari mengangkat poci ara tinggi, dia tertawa terbahak-bahak, Lagaknya se akan sedang mengejek, Gouw Lip-sin tidak tahu apa maksud Siau Po Sahutannya semakin keras: "Minum atau tidak, sama saja! Kalau angkatan perang Peng Si-ong sampai di sini, kau si thay-kam cilik yang pertama-tama akan menerima kematian."
"Ah! Belum tahu!" sahut Siau Po sambil tertawa, Pocinya yang diangkat tinggi lalu ditunggin kan sedikit sehingga araknya mengucur turun dalam mulutnya yang menganga.
"Sedap!" pujinya seakan ingin membuat para tahanan itu ngiler, Sembari berkata, dia menurunkan pocinya ke bagian dada, tangannya yang sebelah diangkat ke atas untuk menyingkapkan tutup poci lalu jari tangannya yang lain memasukkan obat bius yang telah disediakan sebelumnya, Setelah itu dia mengangkat pocinya lagi dan digoyang-goyangkannya agar obat bius itu larut, Kemudian sambil tertawa dia berkata.
"Pemberontak, kematianmu sudah dekat, kau masih berani mengoceh yang tidak-tidak!" Ketika dia memasukkan Bong hoan-yok ke dalam poci, tidak ada orang lain yang melihatnya kecuali Gouw Lip-sin. Laki-laki brewokan itu segera sadar. Diam-diam dia merasa senang, tetapi dengan berpura-pura dia membentak.
"Seorang laki-laki kalau harus mati, ya mati! Apa kami harus meratap memohon pengampunan? Orang yang demikian tidak patut disebut orang gagah! Mari arakmu, biar aku minum!" Siau Po tertawa.
"Kau mau minum arak?" ejek Siau Po, "Oh, tidak nanti kuberikan kepadamu! Ha...ha... ha... ha.,." Thay-kam cilik ini lalu memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke meja, Kemudian dia sendiri yang menuangkan arak ke dalam cawan para siwi. Kong Lian bangkit berdiri Demikian pula siwi-siwi lainnya.
"Terima kasih!" katanya, "Mana berani kami menerima penghormatan seperti ini? Kenapa harus kongkong sendiri yang menuangkan arak bagi kami?"
"Jangan sungkan!" kata Siau Po tertawa, "Tidak ada halangannya, Kita semua sudah seperti saudara antara satu dengan yang lainnya!" kemudian dia mengangkat cawannya sendiri, "Silahkan! Mari kita minum!" Tepat di saat para siwi mengangkat cawannya masing-masing, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara lantang.
"Firman Hong thayhou memanggil Siau Kui cu! Apakah Siau Kui cu berada di sini?" Siau Po terkejut setengah mati. Dia tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini.
"Ya, di sini!" sahutnya cepat Dia meletakkan cawannya sambil berpikir "Mau apa si nenek sihir itu mencariku?" Terus dia berjalan ke depan untuk menyambut utusan ibu suri itu. semuanya terdiri dari empat orang thay-kam sedangkan yang satu nya, yakni yang menjadi pemimpin segera maju sambil membusungkan dadanya. Siau Po menjatuhkan dirinya berlutut seraya berkata.
"Hamba Siau Kui cu menerima firman thayhou!" Thay-kam yang menjadi utusan ibu suri segera menyahut.
"Hong thayhou mempunyai urusan yang penting sekali. Kau diperintahkan datang secepatnya ke keraton Cu-Leng kiong!"
"Ya, ya!" sahut Siau Po yang terus berdiri. Dalam hatinya diam-diam dia berkata. "Boan Hoa yok sudah dicampur ke dalam arak, kalau aku berlalu dari sini, tentu para siwi akan meminumnya.... Benar-benar sial! Rencanaku bisa berantakan!" Pikirannya bekerja dengan cepat Dia langsung tertawa dan berkata.
"Kongkong, apakah she kalian yang mulia? Kenapa dulu-dulunya kita belum pernah bertemu?"
"Hm!" suara thay-kam itu tawar sekali "Aku Tang Kim-kwe! Mari kita jalan, Thayhou sudah menunggu! Kau tahu, sudah setengah harian ini aku berputaran mencarimu!" Siau Po tidak menjawab, Dia justru menarik tangan thay-kam itu.
"Tang kongkong, mari aku ajak kau melihat sesuatu yang menarik!" Tang Kim-kwe berjalan mengikuti Siau Po yang menariknya. Dia ingin tahu apa yang akan ditunjukkan bocah tanggung itu. Di dalam ruangan, dia segera melihat dua meja penuh hidangan langsung saja dia berseru.
"Bagus! Oh, Siau Kui cu, kau sungguh beruntung! Thayhou menugaskan kau mengurus Siang-sian tong, Siapa tahu, di balik maksud baikmu, kau malah menghamburkan uang negara untuk berfoya-foya!" Siau Po tertawa.
"Para saudara siwi ini sudah berjasa mengusir dan meringkus pemberontak yang menyerbu istana," katanya, "Karena itu Sri Baginda menyuruh aku menjamu mereka. Mari Tang kongkong! Mari kau juga minum bersama, Juga ketiga kongkong itu!"
"Aku tidak bisa minum!" sahut Tang Kim-ko sembari menggelengkan kepalanya, "Thayhou memanggilmu, mari kita pergi!" Siau Po tidak segera pergi, dia tertawa lagi.
"Semua siwi Tayjin adalah sahabat-sahabat kami. katanya pula, "Kalau satu cawan arak saja kau tidak sudi minum, berarti kau benar-benar tidak memandang muka para saudara ini!"
"Aku tidak bisa minum!" kata Kim Kwe dengan suara keras. Siau Po mengedipkan matanya kepada Tio Ko lian.
"Nah, Tio toako, kau lihat! Kongkong ini terlalu angkuh, dia tidak mau minum bersama kita!" Kong Lian mengerti maksud Siau Po. Dia segera mengangkat cawannya dan mengambil sebuah cawan lagi untuk disodorkan kepada Tang Ki kwe, utusan ibu suri itu. Sembari tertawa ramah berkata: "Kongkong, mari kita minum! Untuk kebahagiaan kalian juga kita semua!" Kim Kwe didesak sedemikian rupa sehinga tidak enak hati, Terpaksa dia menerima cawan berisi arak yang disodorkan kemudian diteguk sekaligus sampai kering.
"Nah, ini baru namanya sahabat!" puji Siau Po. "Nah, ketiga kongkong, kalian juga harus ikut minum!" Ketiga thay-kam yang lainnya disodori tiga cawan arak oleh para siwi, mereka segera menyambutnya dan meneguknya sampai kering.
"Bagus!" seru Siau Po.
"Ayo, semua minum!" Cepat-cepat dia mengisi lagi keempat cawan yang sudah kosong, Para siwi juga ikut minum, Siau Po juga, Tapi dia memang cerdik. Dia mengangkat cawannya tinggi-tinggi, Dengan demikian wajahnya jadi terhalang dan dengan mudah dia menuangkan araknya ke dalam lengan baju.
"Mari kita minum lagi!" katanya menawarkan Dia khawatir satu cawan arak masih belum cukup untuk membius para thay-kam dan para siwi itu. Seorang siwi segera mendahului Siau Po mengangkat cawan arak.
"Kongkong, biar aku yang mengisinya!" Tang kongkong mengerutkan sepasang alisnya.
"Kui kongkong, aturan dalam istana sangat ketat. Sekali thayhou memanggil, orang harus langsung menghadap, Malah kalau bisa lari secepatnya, Tapi kau, sekarang kau malah merepotkan diri dengan minum arak, perbuatanmu sungguh tidak menghormati thayhou!" Siau Po tertawa.
"Sebetulnya hal ini ada sebabnya..." katanya sengaja mengulur waktu, "Mari! Mari kita minum satu cawan lagi, nanti aku akan menjelaskannya kepada kalian!" Dia langsung mengangkat cawannya. Tio Kong-lian juga ikut mengangkat cawannya.
"Tang kongkong, mari kita minum lagi!" ajaknya.
"Aih! Aku tidak boleh minum lagi!" sahutnya sambil memutar tubuh untuk berlalu, Tapi tiba-tiba saja gerakannya jadi limbung.
Siau Po tahu thay-kam itu sudah jadi korban obat biusnya, tiba-tiba saja ia meringkukkan tubuhnya dan pura-pura memegangi perutnya.
"Aduh! 0h... Aduh! Perutku sakit!" serunya berulang-ulang, Para siwi yang lainnya juga terkejut Apalagi secara tiba-tiba, mereka merasa kepala mereka pusing sekali.
"Ah, celaka!" seru mereka, "Arak ini tidak beres!"
"Tang kongkong!" kata Siau Po dengan suara lantang, "Apakah kau sedang menjalakan perintah thayhou untuk meracuni kami semua? Benarkah?"
"Kenapa kau mencampurkan racun ke dalam arak?" Tang Kim kwe terkejut setengah mati. Tuduhan Siau Po merupakan fitnah yang keji sekali!
"Ma...na... mana mungkin?" teriaknya gugup.
"Ah! Kau tentu ingin membalas sakit hati ke-empat thay-kam yang mati kemarin, bukan?" desak Siau Po.
"Betul Dan sekarang kau memasukkan racun dalam arak kami! Ayo, para siwi! Bekuk mereka!" Para siwi itu menjadi bingung, sementara itu, mereka merasakan kepala mereka semakin pusing. Dua orang thay-kam tidak dapat mempertahankan diri lagi, Mereka segera terkulai di atas tanah. Disusul dengan robohnya Tang Kim-hwe, kemudian Tio Kong-lian. Thay-kam yang terakhir semakin takut Dia roboh bertepatan dengan para siwi lainnya. situasi dalam ruangan itu jadi berantakan. Meja dan kursi terbalik di sana-sini karena tertimpa tubuh para siwi. Menyaksikan keadaan itu, Siau Po segera menghambur ke depan Tang Kim hwe kemudian mendepak pantat thay-kam itu keras-keras, tapi Tang Kim-hwe tidak berkutik sama sekali, Matanya juga terpejam.
Siau Po senang sekali melihat kenyataan ini. Dia berani dan gesit sama sekali tidak takut, meskipun dia sudah mencelakai keempat thay-kamnya ibu suri. Cepat-cepat dia lari ke pintu dan menutupnya. Setelah itu dia menghunus pisau belatinya dan menikam Tang Kim-hwe serta ketiga thay-kam lainnya masing-masing satu kali. Gouw Lip Sin dan yang lainnya heran menyaksikan perbuatannya, Bahkan Lau It-cou sampai mengeluarkan seruan tertahan. Mereka merasa perbuatan thay-kam cilik ini sungguh luar biasa. Siau Po bekerja dengan cekatan Dia membaw pisau belatinya yang tajam kemudian ditebasnya urat kerbau yang mengikat tangan Gouw Lip-sin bertiga, Dengan demikian mereka jadi bebas.
"Kongkong," kata Lau It-cou.
"Bagaimana caranya kami menyingkir dari sini?"
"Gouw loya cu, Go suheng," kata Siau Po ke pada kedua orang itu.
"Cepat kalian pilih pakaian seragam siwi yang cocok dengan bentuk tubuh kalian Dan kau, Lau suheng, kau tidak mempunyai kumis, sebaiknya kau menyamar menjadi thay-kam saja, Pakailah seragamnya Tang kongkong itu!"
"Biar aku menyamar jadi siwi saja!" sahut La It-cou.
"Tidak bisa," kata Siau Po.
"Kau harus menjadi thay-kam!" Terpaksa It Cou menurut Dia menganggukkan kepalanya, Segera ketiga orang itu bekerja, Dalam waktu yang singkat mereka sudah menyamar menjadi siwi dan thay-kam.
"Mari kalian ikut aku!" kata Siau Po.
"Kalau kita bertemu dengan siapa pun dan ada yang menegur kalian, jangan memberikan jawaban, kalian harus pura-pura bisu!"
Selesai berkata, Siau Po mengeluarkan obat mukjijatnya. Dia mengguyurnya di atas luka Tang Kim-hwe dan menambahkan beberapa tikaman lagi agar daging dan tulang di tubuh thay-kam itu semakin cepat lumernya.
"Mari!" ajaknya kepada Gouw Lip-sin bertiga. Sekeluarnya dari kamar tahanan, Siau Po mendorong ketiga orang itu menuju dapur
kemudian pintunya ditutup kembali. Jarak antara siwi pong dengan Siang-sian tong berdekatan. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah sampai di tempat di mana Cian laopan dan beberapa kawannya sudah menunggu. Mereka membawa dua ekor babi yang sudah disembelih dan dibersihkan Sikap mereka tampak menghormati sekali.
"Hai, Lao Cian, kau berani main gila!" bentak Siau Po tiba-tiba. "Aku memesan babi yang besar, gemuk dan masih muda, sekarang kau membawakan babi yang kurus dan tua pula! Kau.... Apakah kau masih mau makan nasi?" Cian laopan tampak ketakutan. Tubuhnya membungkuk dalam-dalam.
"I... ya... iya..." sahutnya gugup, Beberapa thay-kam di Siang-sian tong melihat kedua ekor babi itu besar dan gemuk, tapi merupakan kebiasaan bagi mereka bila tidak ada uang pelicin, apapun dicela, Melihat pemimpin mereka membentak dengan suara keras, mereka pun segera meniru.
"Lekas bawa pergi!" bentak mereka. Siau Po tampak semakin gusar, Dia menoleh kepada Gouw Lip-sin bertiga dan memerintahkan
"Kedua siwi toako dan kau juga kongko kalian gusur orang itu dari tempat ini! Lain kali jangan biarkan dia masuk ke dalam istana lagi!" Cian laopan mengerutkan sepasang alisnya.
"Kongkong, maaf... maaf.,." katanya, "Baik! Hamba akan tukar babi ini dengan yang lebih gemuk dan besar Aku akan membawakan yang lain lagi, Ha...rap... kongkong su..ka memaafkan aku kali ini."
"Kalau aku membutuhkan babi, nanti aku akan suruh orangmu membawakannya! Sekarang cepat kau pergi dari sini!" Cian laopan segera menjura dalam-dalam.
"Iya, iya..." sahutnya kemudian sambil memutar tubuhnya untuk pergi. Lip sin bertiga mengikuti Tubuh Cian lao didorongnya berkali-kali, Siau Po juga ikut, setibanya di lorong, dia tidak ada seorang pun di sana, Siau Po berkata dengan suara perlahan.
"Cian toako, ketiga tuan-tuan ini adalah jago-jago dari Bhok onghu, Yang menjadi pemimpin adalah saudara Gouw Lip-sin ini yang bergelar Yaou Tau Saycu!" Cian Lao pan langsung mengeluarkan seruan heran.
"Oh! Sudah lama aku mendengar nama besar itu! Tuan-tuan, maaf kalau aku yang rendah tidak segera menyapa!" Pertama-tama Lip Sin juga bingung, namun kemudian dia merasa gembira setelah mengetahui bahwa orang ini ternyata sahabatnya si thay-kam cilik.
"Tidak apa," sahutnya.
"Kita berada di tempat yang berbahaya, sudah seharusnya kita bersikap demikian!"
"Cian toako," kata Siau Po pada Laopan, "Nanti kau tolong sampaikan pada Wi hiocu dari perkumpulanmu yang merupakan sahabat baikku, katakan bahwa Lay Lie-tau Siau samcu sudah menyelesaikan tugasnya, sedangkan ketiga tuan ini, harap kau antarkan pada Bhok Siau ongya dan Liu loyacu, Seberlalunya kalian, tentu akan muncul para siwi yang mencari penjahat yang telah membunuh. Oleh karena itu, kau sendiri, sebaiknya jangan datang kemari lagi!"
"Ya, ya!" sahut Cian laopan dengan sikap menghormat "Kami semua berterima kasih atas budi kongkong!" Lip Sin menoleh kepada Cian laopan, "Tuan, rupanya kau dari pihak Tian-te hwe?"
"Betul, Gouw loyacu," sahut Cian laopan, "Nah, mari kita pergi sekarang!" Mereka kembali berjalan lagi. Siau Po masih mengikuti sebentar saja mereka sudah sampai di Sin-bu mui. Di sana ada beberapa siwi yang menjaga. Begitu melihat Siau Po, mereka langsung menyambut dengan hormat.
"Oh, Kui kongkong, Semoga baik-baik saja!" sapa mereka ramah. Siau Po tertawa.
"Terima kasih!" sahutnya.
"Semoga kalian pun demikian!" para siwi itu memperhatikan Lip Sin bertiga Mereka merasa tidak kenal Tetapi karena Siau Po menggapit lengan Gouw Lip-sin, mereka tidak berani mencegah ataupun menanyakan apa-apa. Karena itu, Siau Po berlima pun jalan terus. Sekeluarnya dari pintu Sin-bu mui, mereka sudah berada di luar batas pekarangan istana, Sia Po masih mengiringi mereka berjalan beberapa puluh tindak jauhnya, kemudian baru dia berkata: "Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Kalian tidak usah banyak peradatan pula!" Tapi Gouw Lip-sin tetap menjura dan berkata "Untuk budi pertolongan ini, kami yakin kongkong tentulah tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Karena itu, kelak di kemudian hari, apabila pihak Tian-te hwe memerlukan tenaga kami, aku dan muridku ini tidak akan menoleh meskip harus terjun ke dalam lautan api!"
"Terima kasih! Tidak berani aku menerima penghormatan demikian tinggi!" kata Siau Po, "silahkan berangkat!" It Cou tidak mengatakan apa-apa. Dia memang berjalan mendahului yang lainnya, Berulang kali dia menolehkan kepalanya melihat ke arah Siau Po. Dia merasa heran mengapa Gouw Lip-sin masih belum menyusulnya juga, Dia merasa tidak tenang. Soalnya mereka belum jauh dari istana, Sesaat kemudian setelah rekannya berpisahan dengan si thay-kam, hatinya baru lega. Siau Po kembali ke Sin-bu mui, Terhadap para siwi yang sedang menjaga dia tertawa dan berkata.
"Kongkong tadi adalah orang kepercayaannya Thayhou, Menurutnya mereka bertiga sedang menjalankan titah, aku dimintanya mengantarkan sampai ke depan, Tapi aku tidak tahu tugas apa yang sedang mereka laksanakan!" Biarpun seorang Cin ong atau Pwe lek juga tidak pantas menyuruh kongkong yang mengantar!" kata seorang siwi dengan perasaan tidak puas.
"Betul! Sungguh bertingkah kongkong itu, seenaknya saja meminta Kui kongkong mengantarkan!" sahut seorang siwi lainnya yang juga merasa kurang senang.
"Aih, sudahlah!" kata Siau Po dengan menggelengkan kepalanya. "Itu toh titahnya Hong thayhou, Apa yang bisa kita lakukan? Mereka membawa firman yang ditulis thayhou sendiri, Meskipun kita curiga, kita harus tutup mulut! Benar tidak?"
"Ya, ya. kita memang tidak bisa berbuat apa-apa!" sahut siwi lainnya. Bergegas Siau Po kembali ke tempat tahanan. Di sana para siwi masih tidak sadarkan diri, Cepat cepat dia mengambil seember air yang kemudia diguyurkan ke kepala Tio Kong-lian.
Siwi itu perlahan-lahan tersadar Begitu ingata nya kembali, dia tersenyum dan berkata.
"Aih, kongkong, Bagaimana aku bisa jadi lupa daratan..." dia terus bangkit untuk duduk, tapi tiba-tiba dia menjadi terkejut sekali ketika melihat keadaan dalam ruangan itu. Para siwi masih terbaring semaput dan di sana juga ada mayat beberapa thay-kam.
"Ba...gaimana... dengan para penyerbu itu?" tanyanya gugup, "Apakah... mereka sudah kabur?" Siau Po memperlihatkan sikap tidak kalah penasarannya.
"Thayhou telah menyuruh thay-kam she Tang itu membius kita, lalu melarikan ketiga penjahat itu" katanya geram. Tio Kong-lian merasa bingung, Bong hoan-yok toh ada di tangannya si thay-kam cilik ini. Namun karena baru sadar, pikirannya masih lemah. ia tidak dapat mengingat dengan baik, Dia jadi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Siau Po berkata kembali.
"Tio toako, bukankah To congkoan secara diam-diam menyuruh kau membebaskan para tawanan itu?" Kong Lian menganggukkan kepalanya.
"Ya, To congkoan mengatakan bahwa itulah perintah rahasia dari Sri Baginda untuk membebaskan para penyerbu itu," sahutnya, "Maksudnya agar pihak kita dapat menguntitnya secara diam-diam dan dengan demikian kita bisa tahu siapa pemimpin mereka yang sebenarnya!"
"Ya, memang benar," kata Siau Po sembari tertawa, "Tapi sekarang aku ingin bertanya lagi, kalau orang tawanan kabur dari penjagaan, orang yang menjaga itu bersalah atau tidak?" Kong Lian merasa tercekat hatinya, Untuk sesaat dia jadi tertegun.
"Tentu saja bersalah!" katanya kemudian Tapi ini kan perintah To congkoan, kami... yang menjadi bawahan hanya menjalankan perintah saja!"
"Apakah To congkoan memperlihatkan surat perintah?" Kong Lian bertambah terkejut.
"Tidak... tidak!" sahutnya bingung, "kata To congkoan, tidak perlu membawa surat perintah, karena ini merupakan perintah lisan dari Sri Baginda...."
"Kalau begitu, mestinya To congkoan juga memperlihatkan suatu barang sebagai tanda bukti Sri Baginda?" tanya Siau Po kembali.
"Ti... dak," sahut Kong Lian semakin gugup. Tapi, mungkinkah To congkoan akan berdusta? Tubuhnya bergetar dan suaranya menjadi kurang jelas.
"Palsu sih tidak," sahut Siau Po.
"Aku hanya khawatir kalau nanti dia akan menyangkal hal ini apabila keadaan membahayakan Siapa tahu ia akan menimpakan kesalahan pada dirimu? Bukankah in akan menjadi bencana bagimu? Tio toako, tahukah kau mengapa Sri Baginda membiarkan para tawanan itu bebas?"
"Menurut To congkoan, agar kita bisa menguntitnya dan dapat mengetahui siapa pemimpinnya? sahut Kong Lian, "Memang persoalannya demikian, tapi... bukan kah hal ini agak aneh?" kata Siau Po kembali "Bagaimana mungkin para penjahat dibiarkan lolos dan urusan pun tidak diperpanjang lagi? Sekalipun si penjahat sendiri, bila mendengar urusan ini, pasti tidak akan mempercayainya. Lagipula tidak mudah menemukan pemimpin para penjahat itu, Mungkin bisa terjadi nantinya Sri Baginda akan menghukum mati dulu beberapa orang dan apabila berita ini sudah tersiar, para penjahat itu baru tidak curiga lagi...."
Kata-kata Siau Po ini bukan berarti menuduh Raja akan berbuat demikian. Kenyataannya Sri Baginda memang menyuruh dia membunuh satu dua orang siwi agar penyerbu itu tidak menjadi curiga. Sementara itu, wajah Tio Kong-lian semakin pucat, memang ada kemungkinan dia akan dihukum mati, Saking takutnya, dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Siau Po.
"Kongkong, tolonglah aku...!" dia memohon sambil menyembah berkali-kali.
"Jangan memakai terlalu banyak peradatan, Tio toako," katanya. Dia mengulurkan tangannya untuk membangunkan siwi itu, Bibirnya menyunggingkan senyuman ramah.
"Jangan khawatir sekarang ada cara untuk menghindarkan dirimu dari hukuman mati, Lihat, di sana ada beberapa thay-kam, mereka dapat menggantikannya. Kita timpakan saja kesalahan pada diri mereka. Kita bilang mereka membawa obat bius untuk membuat kita tidak sadarkan diri, setelah itu mereka membebaskan para tahanan. Dengan demikian, bukankah namamu menjadi bersih? Apabila Sri Baginda mendengar ke-empat orang thay-kam itu adalah orang ibu suri, tentu urusan ini tidak akan diperpanjang. Raja juga tidak akan menghukum mati dirimu apabila ada alasan yang masuk akal. Mungkin kau malah akan mendapat hadiah!"
Bagian 24
Mendengar ucapan Siau Po, hati Kong Lian jadi lega. Dari khawatir, dia malah jadi girang sekali.
"Bagus, bagus!" serunya, "Kongkong, terima kasih banyak atas pertolongan kongkong ini!" Peruntungan Kong Lian memang sedang mujur. Kalau saja tadi Siau Po jadi membunuhnya, tentu dia tidak bisa memerankan sandiwara ini!
"Sekarang cepat kita sadarkan para siwi lainnya," kata Siau Po. "Mereka harus dijelaskan dulu urusan ini, supaya mereka serempak mengaku bahwa telah dibius oleh keempat thay-kam ini!"
"Ya, ya," sahut Kong Lian, Dia segera mencari air dingin, Biar bagaimana, hatinya masih kurang tenang karena belum tahu bagaimana reaksi Sri Baginda. Dalam waktu yang singkat, para siwi itu sudah siuman kembali. Kepada mereka dijelaskan bahwa semua orang telah dibuat tidak sadar dengan Bong hoan-yok oleh Tang Kim-hwe berempat, kemudian Tang Kim-hwe membinasakan ketiga orang rekannya dan lalu dia kabur bersama para tahanan.
"Hah! Kurang ajar benar orang itu!" caci para siwi itu. walaupun dalam hati mereka terdapat keraguan "mengapa thayhou harus membebaskan ketiga tawanan itu? Mungkinkah mereka justru orang-orang suruhan thayhou?" pikir mereka dalam hati. Tapi karena urusan ini menyangkut diri ibu suri, meskipun curiga, mereka memilih menutup mulut rapat-rapat. Siau Po sendiri langsung kembali ke kamarnya. Begitu masuk, dia segera disambut oleh Kiam Peng.
"Kui toako, apa kabarnya?" tanya nona cilik itu.
"Kui toako tidak mempunyai kabar apa-apa, goda Siau Po. "Ada juga suami yang membawa berita...." Kiam Peng tersenyum.
"Aku tidak takut soal beritanya, Yang dikhawatirkan ada orang lain lagi yang menyebutmu kakak yang baik...." Wajah Pui Ie merah padam, Dia tahu Siau Kuncu sedang menggodanya, Tapi dia harus bicara, dia memang ingin tahu berita apa yang dibawa Siau Po.
"Saudara yang baik..." katanya, "Kau lebih muda daripadaku bagaimana kalau aku panggil kau saudara yang baik saja? Kau tidak keberatan, bukan?" Siau Po menarik nafas panjang.
"Aih!" katanya, "Dari suami yang baik tiba-tiba saja berubah menjadi saudara yang baik, bukankah ini sama dengan induk ayam yang mendadak berubah menjadi bebek...? Tapi, sudahlah! Yang penting dia sudah berhasil ditolong!" Tiba-tiba Pui Ie bangkit dan duduk, Ketika dia berbicara, suaranya terdengar bergetar....
"Apa kau bermaksud mengatakan bahwa Lau suko sudah berhasil meloloskan diri?" tanyanya penuh minat.
"Sekali seorang laki-laki mengeluarkan kata-katanya, entah empat ekor kuda apa pun tidak dapat mengejarnya!" sahut Siau Po serius.
"Aku sudah menerima baik permintaanmu bagaimana pun aku harus menolongnya!" Ucapan Siau Po dari dulu masih belum berubah.
Dia tidak tahu bunyi pepatah yang dikatakannya, karenanya dia selalu mengucapkan "Entah empat ekor kuda apa pun tidak dapat mengejarnya."
"Ba.,.gaimana caramu menolongnya?" tanya Pui le kembali Dia penasaran sekali, Siau Po tertawa, "Dalam hal ini, aku si orang gunung tentu mempunyai muslihat!" sahutnya, "Tunggu saja setelah kau bertemu dengan Lau sukomu, dia pasti akan menceritakannya!"
"Ah!" Si nona menghela nafas lega, Kemudian dia mendongakkan kepalanya sambil mengucap: "Terima kasih kepada langit dan bumi, dia benar benar dilindungi sang Pousat!" Melihat kegembiraan dan rasa bersyukurnya si nona manis itu, hati Siau Po otomatis jadi kurang enak. Tapi, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya terdengar suara dehemannya yang lirih.
"Eh, eh, Suci," tegur Kiam Peng, "Kau mengucapkan terima kasih kepada Langit dan Bumi kenapa kau malah tidak mengatakan apa-apa ke pada saudara yang baik ini?" Pui Ie menolehkan kepalanya.
"Budi besar dari saudara yang baik ini tidak dapat dibalas hanya dengan ucapan terima kasi saja!" sahutnya, Mendengar ucapan si nona, hati Siau Po jadi gembira, Bibirnya tersenyum.
"Tidak perlu kau membalasnya," sahutnya.
"Saudara yang baik, apa yang dikatakan Lau suko?" tanya Pui Ie.
"Dia tidak mengatakan apa-apa," sahut Siau Po.
"Dia hanya minta aku menolongnya!"
"Ah.,.!" seri Pui le kecewa, "Apakah dia menanyakan tentang kami?" Siau Po berpikir sejenak, kemudian baru menjawab.
"Tidak, Aku yang mengatakan bahwa kau berada di tempat yang aman, karena itu dia tidak perlu mengkhawatirkanmu, Dan tidak lama lagi aku akan mengantarkanmu agar dapat bertemu dengannya!" Pui Ie menganggukkan kepalanya.
"Perbuatanmu benar," sahutnya.
"Tapi tiba-tiba saja air matanya, mengalir dengan deras.
"Eh, suci!" seru Kiam Peng terkejut "Ada apa? Mengapa kau menangis?"
"A...ku gembira sekali!" sahut nona yang sedang menangis itu. Sementara itu, Siau Po berpikir dalam hati, "Sri Baginda menitahkan aku menguntit ketiga tawanan itu, agar dapat mencari tahu siapa pemimpinnya, Karena itu, aku harus keluar melewatkan waktu supaya tidak dicurigai Setelah satu dua jam, aku baru kembali lagi memberikan laporan..." Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po segera berpesan kepada kedua nona itu agar berdiam di dalam kamarnya seperti biasa, Dia segera menuju ke Tianhio, Hari itu, bagian kiri jalan terdapat banyak pedagang kelontong. Malah ada juga yang membuka panggung pertunjukan Tianki memang terkenal sebagai tempat berkumpulnya berbagai kalangan Terutama orang-orang dunia kangouw, Ke sanalah tujuan cilik kita.
Ketika mendekat, perhatian Siau Po tiba-tiba jadi tertarik, Dia melihat kurang lebih dua puluh orang polisi sedang menggiring lima pedagang kecil yang pakaiannya compang-camping. Dia berdiri sisi jalan dan memperhatikan rombongan itu.
"Benar-benar keterlaluan!" gerutu seorang tua "Sekarang ini berjualan saja sulit!" Siau Po baru saja berniat menanyakan sesuatu kepada orang tua itu, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk di dekatnya Ketika dia menolehk kepalanya, dia melihat seseorang yang rambutnya sudah penuh uban dan tubuhnya bungkuk. Setelah diperhatikan dengan seksama, dia mengenali orang itu sebagai Pat-Pi Wan Kau Ci Tian-coan, Orang ini melirik ke arahnya kemudian mengedipkan matanya dan berjalan melaluinya.
Siau Po mengerti isyarat yang ditunjukkan orang tua itu, Dia berjalan perlahan mengikuti sehingga sampai di tempat yang sepi.
"Wi hiocu," sapanya, "Ada kabar gembira!" Siau Po tersenyum Diam-diam dia berpikir.
"Aku telah menolong Gouw Lip-sin bertiga, rupanya dia sudah mendengar berita gembira it karena itu dia menyahut: "Itu tidak berarti apa-apa!"
"Tidak berarti apa-apa?" tanya Ci Tian-coan dengan pandangan heran "Kau sudah tahu tentang kedatangan Cong tocu?" Kali ini giliran Siau Po yang tertegun.
"Guruku datang?" tanyanya seakan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri Hal ini memang di luar dugaannya.
"Benar!" safiut Ci Tian-coan.
"Aku dititahkan segera memberi kabar kepadamu, Wi hiocu, kau diminta segera menemui beliau!"
"Baik, baik!" sahut Siau Po. otaknya bekerja keras, padahal saat ini, orang yang paling tidak ingin ditemuinya justru gurunya itu, Apa sebabnya? karena sejak berpisah tempo hari, dia merasa belum memperoleh hasil apa-apa dari kitab yang diberikan gurunya, Tan Kin-lam. Celaka kalau gurunya sampai menanyakan kemajuan yang telah diperolehnya selama ini. Urusan ini memang sudah cukup lama terbengkalai karena banyak yang harus diselesaikannya.
"Cong tocu memberitahukan kepadaku," kata Ci Tian-coan pula, "Waktunya di kotaraja ini tidak banyak, karena itu, biar bagaimana aku harap sudilah Wi hiocu pergi menemuinya!" Melihat keadaannya yang begitu terdesak, Siau Po merasa apa boleh buat.
"Baiklah," katanya, Dia langsung mengikuti Ci Tian-coan. sepanjang jalan dia terus memikirkan apa yang harus ia katakan kepada gurunya itu. Di menyesal tidak mengeram saja dalam istana, Kala dia berada dalam istana, tentu gurunya tidak bisa menyeretnya keluar. Belum lagi masuk ke dalam lorong, Siau Po sudah melihat sejumlah anggota Tian-te hwe yang berpencaran di sana sini. Tentunya mereka sedang memasang mata untuk melindungi ketua mereka dari serangan gelap. Di dalam rumah juga terdapat beberapa penjaga. Setibanya di ruangan belakang, Siau Po segera dapat melihat gurunya duduk di tengah-tengah dan dikelilingi oleh Hong Kong, Hian Ceng tojin dan Hong Cin-tiong serta yang lainnya. Mereka sedang berbincang-bincang, Cepat-cepat dia maju menghampiri kemudian menjatuhkan dirinya berlutut dan berkata.
"Oh, suhu! Ternyata suhu benar-benar datang. Muridmu ini sudah rindu sekali!" katanya. Tan Kin Lam tertawa.
"Bagus, bagus! Anak baik!" katanya, "Di sini para saudara kita banyak yang memujimu!" Siau Po langsung bangkit kembali. Hatinya menjadi lega melihat sikap gurunya yang demikian ramah.
"Apakah suhu baik-baik selama ini?" tanyanya. Kin Lam tersenyum.
"Baik!" sahutnya, "Bagaimana dengan pelajaranmu? Apakah ada yang kurang kau pahami?"
"Banyak sekali yang murid tidak mengerti, suhu," sahutnya, jawaban ini sudah ia pikirkan matang-matang, Dia tahu gurunya bermata tajam dan cerdas sekali, Tidak mungkin bisa dikelabui olehnya, "Karena itulah aku mengharap-harap kedatangan suhu agar murid dapat meminta petunjuk" Pada saat itu, tampaknya hati Kin Lam memang sedang gembira, Mendengar ucapan muridnya, kembali dia tersenyum.
"Baiklah" sahutnya, "Aku akan menggunakan waktu beberapa hari ini khusus untukmu!" Baru Tan Kin Lam berkata demikian, salah seorang anggota perkumpulan itu tampak mendatangi dengan cepat. Dia langsung memberi hormat seraya menyampaikan laporannya.
"Cong tocu, ada beberapa tamu yang berkunjung, Menurut penuturan salah satunya, mereka adalah Bhok Kiam-seng dari Bhok onghu serta Liu Taykong." Senang hati Kin Lam mendengar laporan itu, Dia segera bangkit dari kursinya.
"Mari kita sambut mereka!" ajaknya.
"Aku belum mengganti pakaian," kata Siau Po. "Aku tidak bisa ikut!"
"Baik," kata Kin Lam. "Kau tunggu saja di belakang!" Begitu guru dan anggota Tian-te hwe yang lainnya berlalu, Siau Po segera menyelinap ke belakang dinding ruangan itu. Di sana dia menggeser sebuah kursi kemudian duduk. Tanpa perlu menunggu lama-lama, segera terdengar suara tawa Liu Tay-hong yang nyaring, Siau Po segera mengenalinya.
"Keinginanku yang paling utama selama hidupku adalah perjumpaan dengan Tan Cong tocu yang namanya sudah terkenal di seantero dunia! Hari ini beruntung sekali dapat bertemu, Sungguh, mati pun aku yang tua sudah merasa puas!"
"Ah, Lo enghiong hanya memuji saja!" terdengar suara Tan Kin-lam.
"Aku yang rendah merasa malu dan tidak berani menerima pujian yang begitu tinggi!" Sembari bercakap-cakap, mereka berjalan menuju ruangan dalam. Kemudian kedua belah pihak mengambil tempat duduknya masing-masing.
"Di dalam partai Cong tocu ada seorang yang bernama Wi hiocu, entah beliau ada di sini atau tidak?" tanya Bhok Kiam-seng, "Aku yang rendah ingin bertemu dengannya untuk mengucapkan terima kasih atas budi pertolongannya yang besar. Kami dari Bhok
onghu semua bersyukur sekali terhadap apa yang dilakukannya!" Kin Lam bingung sekali, Dia memang tidak tahu gerak-gerik Siau Po yang telah menolong orang-orang dari Bhok onghu.
"Wi Siau Po hanya seorang bocah cilik, apa jasanya terhadap Bhok onghu? Mengapa Siau ongya begitu merendahkan diri memujinya demikian tinggi, sedangkan dia hanya seorang bocah cilik?" Belum lagi Kiam Seng dan Tay Hong menyahut, salah seorang di antara mereka sudah menyela.
"Aku yang rendah bersama murid dan keponakan muridku Lau It-Cou telah ditolong oleh Wi Hiocu, budinya yang luar biasa besarnya ibarat mega di langit, Aku juga pernah menyatakan pada Cian suhu, apabila perkumpulan tuan-tuan memerlukan bantuan,
kami siap menjalankan tugas apa saja yang diperintahkan." Orang yang berbicara bukan lain dari Yau Tau Saycu, Go-Ip-sin yang jujur dan selalu bicara apa ada nya. Cong tocu dari Tian-te hwe tetap tidak mengerti Karena itu dia segera menoleh kepada Cian Laopan dan bertanya.
"Saudara Cian, bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya?" Orang she Cian segera menceritakan apa saja yang terjadi di kotaraja akhir-akhir ini. sekeluarnya dari istana, dia langsung mengajak Gouw Lip-sin dan rekan-rekannya kembali ke tempat Bhok Kiam-seng, di mana di tempat itu juga dia dijamu. Pihak Bhok onghu telah menyatakan perasaan terima kasihnya terutama terhadap Wi hiocu, setelah itu Liu Tay-hong dan yang lain meminta dia jadi pengantar ke tempat perkumpulan Tian-te hwe. Di luar dugaan, justru pada saat itu pula Tan Kin-lam, ketua pusat perkumpulan itu datang ber-kunjung, Karena itu Bhok Kiam-seng dan Liu Tay-hong segera memohon bertemu dengan ketua umum itu. Dijelaskan bahwa Gouw Lip-sin bertiga ditolong oleh seorang thay-kam cilik yang mengaku sebagai sahabatnya Wi hiocu dari perkumpulan tersebut Dan si thay-kam melakukan hal itu karena permintaan dari Wi hiocu tersebut. Baru sekarang Tan Kin-lam mengerti duduk persoalannya dan dia menjadi senang sekali, Tentu saja thay-kam yang dimaksudkan adalah muridnya sendiri dan hal ini tidak diketahui oleh pihak Bhok onghu.
"Bhok Siau ongya, Liu loyacu dan Gouw toako, kalian bertiga terlalu sungkan," katanya sambil tertawa.
"Pihak Bhok onghu dengan perkumpula Tian-te hwe kami ibarat tangan dan kaki dari sesosok tubuh, Karenanya, kalau orang sendiri memerlukan bantuan, sudah seharusnya kami mengulurkan tangan, janganlah Siau ongya menyebut-nyebut tentang budi pertolongan Hiocu Wi Siau-Po adalah muridku yang rendah, dia masih sangat muda dan belum mengerti apa-apa, tidak pantas menerima penghargaan Siau ongya yang demikian tinggi." berkata sampai di sini. Tan Kin-lam berpikir "Siau Po bekerja dalam istana untuk mencari tahu tentang rahasia pemerintah sekarang ia telah melakukan pekerjaan ini, pasti rahasianya akan diketahui oleh orang-orang dunia kangouw, Karena itu, kalau hal ini dirahasiakan pula kepada pihak Bhok onghu, tentu kelak akan timbul kesan yang buruk." Ketika tuan rumah masih berpikir, Gouw Lip-sin berkata: "Kami ingin sekali bertemu dengan Wi hiocu agar kami dapat mengucapkan terima kasih secara langsung!" Kin Lam tertawa.
"Kita semua merupakan sahabat baik, walaupun di balik semua ini ada terselip rahasia yang maha besar dan maha penting, tapi tidak dapat aku menyembunyikannya dari kalian, Gouw toako, thay-kam dalam istana adalah muridku sendiri, Wi Siau-po.... Siau Po, lekas kau temui para cianpwe ini!" Tentu saja kata-katanya yang terakhir ditujukan kepada sang murid.
"Iya," sahut Siau Po yang mendekam di balik dinding, Dia segera muncul kembali memberi hormat kepada Bhok Kiam-seng beserta rombongannya. Kiam Seng, Liu Tay-hong dan Gouw Lip-si langsung bangkit Mereka merasa heran sekali Ketika membalas hormat, mereka menatap Siau Po lekat-lekat. Hal ini benar-benar di luar dugaan mereka, Hiocu dari Tian-te hwe menyelundup ke dalam istana kerajaan Ceng dan bekerja sebaga thay-kam. Malah usianya masih begitu muda, Bagaimana seorang bocah yang masih begitu
kecil dapat menjalankan tugas yang demikian hebat dan dapat pula yang menolong jiwa Gouw Lip-sin bertiga! Siau Po tertawa manis ketika berhadapan dengan Gouw Lip-sin.
"Gouw loyacu, harap kau sudi memaafkan. Selama di istana, boanpwe sudah mendustai loyacu sekalian, boanpwe tidak menyebutkan nama boanpwe yang sebenarnya." Gouw Lip-sin mengerti.
"Hiocu berada di tempat yang berbahaya, sudah selayaknya hiocu harus bersikap hati-hati," katanya "Mula-mula aku juga sudah berkata kepada muridku Go Piu tentang kau yang masih begitu muda. Aku heran dengan kecerdasanmu hatimu pun sangat mulia, Kami menganggap kau seorang yang luar biasa sekali. Kami penasaran mengapa dalam istana kerajaan Ceng ada seorang thay-kam seperti dirimu. Siapa sangka kau justru hiocu dari Tian-te hwe. Namun sekarang aku tidak merasa heran lagi." Gouw Lip-sin mengacungkan jempolnya memuji Siau Po. Gouw Lip-sin adalah sute atau adik seperguruan Liu Tay-hong. Dalam dunia kangouw, namanya juga cukup tersohor Karena itu pujiannya bukan pujian kosong, Hati Tan Kin-lam senang bukan main melihat Siau Po, muridnya demikian dihargai. Tapi dia tidak menunjukkannya di luar, Di mulut dia hanya berkata: "Saudara Gouw, jangan terlalu memuji muridku yang bodoh ini, nanti dia jadi besar kepala!" Liu Tay-hong pun tertawa, Dia mendongakkan kepalanya dan berkata.
"Tan Cong tocu, kau seorang diri saja sudah sanggup merebut seluruh kedudukan dalam dunia kangouw, ilmu silatmu lihay sekali Namamu pun terkenal di mana-mana, rupanya itu masih belum seberapa, Setelah berhasil membangun Tian-te hwe dengan jumlah anggota yang besar, sekarang kau juga mempunyai murid yang usianya begini muda, namun keberanian dan kecerdikannya benar-benar luar biasa, Dia membawa kecemerlangan pada wajahmu!" Kin Lam merangkapkan sepasang tangannya dan menjura kepada Liu Tay-hong.
"Liu loyacu, pujianmu padaku juga terlalu tinggi," sahutnya.
"Nanti aku bisa jadi bangga tidak karuan!"
"Tapi, Tan Cong tocu, aku si tua she Liu ini memang biasa berterus terang!" kata Liu Tay-hong.
"Orang yang pantas dihormati seperti dirimu, aku rasa jumlahnya tidak banyak, Kau benar-benar membuatku kagum!" Cong tocu, apabila kita berhasil mengusir bangsa Tatcu dan Cu Ngo taycu kita naik di atas tahta kerajaan, kauluh orang yang paling cocok menjadi perdana menterinya!" Kin Lam tersenyum.
"Aku yang rendah kurang bijaksana juga tidak mempunyai kepandaian apa-apa, mana berani aku menerima kedudukan yang begitu tinggi?" sahutnya. Tepat pada saat itu Cian laopan ikut memberikan pendapatnya.
"Liu loyacu, kalau bangsa Tatcu sudah berhasil diusir dan Cu Sam taycu sudah naik tahta untuki membangun kembali kerajaan Beng kita yang maha besar, Untuk kedudukan Jenderal besar Peng Maj taygoanswe, kami pasti akan mengangkatmu!"
Liu Tay-hong membuka matanya lebar-Iebar dan menatap Cian Laopan dengan tatapan tajam.
"A... pa yang kau katakan?" tanyanya, "Siapa itu Cu Sam taycu?" Laopan segera menjelaskan.
"Setelah Sri Baginda Liong Bu wafat dengan mengorbankan diri demi negara, yang tinggal hanya Cu Sam taycu seorang, Beliau sekarang berada di Taiwan, Kalau kelak di kemudian hari kita berhasil merampas kembali negara ini, otomatis Cu Sam tayculah
yang bakal menjadi raja!" Liu Tay-hong langsung berjingkrak bangun mendengar kata-katanya.
"Tian-te hwe sudah menolong adik seperguruanku beserta muridnya, Untuk ini kami mengucapkan terima kasih dan bersyukur Tetapi, meskipun demikian, urusan raja kita nanti, tidak dapat kita biarkan begitu saja. Cian laote, orang yang akan menjadi
junjungan kita nanti adalah Cu Ngo taycu! Sri Baginda Eng Lok adalah raja yang sah, dialah turunan sejati dari kerajaan Beng yang Maha Agung! Seluruh dunia telah mengetahuinya. Karena itu janganlah kau sembarangan bicara!" Tempo hari perselisihan yang terjadi antara kedua saudara Pek dan Ci Tian-coan juga disebabkan masalah yang sama. Memang ada dua putera mahkota keturunan kaisar dinasti Beng. Pihak The-seng kong di Taiwan dan Tian-te hwe menjunjung Tong ong, sedangkan pihak Bhok onghu memihak pada Kui ong, Memang negara sudah dirampas oleh kerajaan Ceng. seharusnya kedua belah pihak bersatu untuk merebut kembali tanah Tionggoan, tapi perselisihan sudah berlangsung sekian lama dan masih belum bisa diselesaikan juga. Tan Kin-Iam gagah dan pintar Dia memaklumi keadaan yang terbentang di depannya dan dia juga dapat mengendalikan dirinya.
Sekarang saatnya mereka harus bersatu, perselisihan harus dikesampingkan dahulu, Biarlah sang waktu yang akan memastikan apakah Tong ong atau Kui ong yang akan menjadi raja kelak, karena itu dia segera tertawa lebar dan berkata, "Liu loyacu, harap jangan marah dulu, Soal siapa keturunan yang sah dari Kerajaan Beng tentu memerlukan waktu dan sekarang belum tiba saatnya untuk membicarakan. Di detik ini, marilah kita duduk bersantap! Mana pelayan? Lekas sajikan barang hidangan! kami hendak berpesta, minum sepuasnya! Asal kita dapat bersatu hati dan bekerja sama untuk mengusir bangsa penjajah, kelak kemudian semuanya bisa dirundingkan!"
"Tan Cong tocu, aku merasa kata-kata Cong tocu itu keliru sekali." Bhok Kiam-seng ikut bicara.
"Kalau nama kurang tepat, maka kata-kata pun tidak lurus, dan kalau kata-kata tidak lurus, usaha tidak akan berhasil. Kami menunjang Cu Ngo taycu, tidak sedikit pun kami mengharapkan pangkat atau bagian Apabila Cong tocu sudah mengetahui bahwa ini adalah kehendak Thian yang Maha kuasa dan bersedia demi Cu Ngo taycu, maka kami dari keluarga Bhok, baik atasan maupun bawahan bersedia menjadi pesuruh bagi Tan Cong tocu, tugas apa pun tidak akan kami tolak!" Tan Kin-lam tersenyum. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Di langit tidak ada dua matahari, di dunia pun tidak ada dua raja yang memimpin," katanya, "Bukankah Cu Sam taycu masih sehat wal'afiat dan jumlah penduduknya terdiri dari laksaan jiwa dan siap menunjangnya apabila waktunya telah tiba nanti?"
Dalam urusan ini, Liu Tay-hong paling keras kepala, Dia tetap berkeras dengan pendiriannya.
"Tan Cong tocu menyebut-nyebut jumlah tentara yang ada laksaan jiwa, apakah dengan demikian Tan Cong tocu ingin mengatakan bahwa pihak kalian akan meraih kemenangan dengan mengandalkan orang banyak? Apakah dengan demikian Tang Cong tocu bermaksud menghina kami? Satu hal yang perlu kau ketahui, rakyat di seluruh negeri yang jumlahnya lebih dari ribuan laksa jiwa semua mengetahui perihal Sri Baginda Eng Lok yang telah mengorbankan jiwa di Birma, sedangkan beliaulah raja terakhir dinasti Beng! Karena itu, kalau kita tidak memilih anak cucunya yang memegang tampuk pemerintahan kelak, mana mungkin rakyat akan menghormatinya? Bukankah dengan demikian kalian juga seharusnya merasa iba terhadap raja kita yang wafat secara kecewa?"
Mengucapkan kata-katanya yang terakhir, suara Tay Hong jadi tidak jelas, Dia merasa terharu sekali. Sebetulnya kedatangan Tan Kin-lam di kotaraja ini justru karena mendengar perselisihan antara Tian-te hwe dan pihak Bhok onghu yang menunjang junjungan masing-masing. Bahkan hal ini telah mengakibatkan kematian Pek Han-siong. Dia bergegas datang untuk meredakan pertikaian agar urusan ini dapat didamaikan. Dia berharap dengan kesabaran dapat membujuk pihak Bhok onghu, Dia juga merasa gembira mengetahui Siau Po telah menolong Gouw Lip-sin bertiga sehingga karenanya Bhok Kiam-seng dan yang lainnya sengaja datang untuk belajar kenal dan mengucapkan terima kasih. Dia tidak menyangka sekarang bisa timbul lagi persengketaan yang sama, bahkan seperti api yang disiram minyak.
"Tentang Sri Baginda Eng Lok yang wafat di Birma, semua orang memang sudah mengetahuinya," kata Tan Kin-Iam kemudian Nadanya sabar sekali dan dia juga terharu melihat Liu Tay-hong sampai menangis karena teringat pengorbanan rajanya itu.
"Kejadian itu membuat seluruh rakyat murka. Hal ini dapat dimengerti Namun Bhok Siau ongya dan Liu loyacu, semasa sakit hati kita belum terbalaskan, mana boleh kita bertikai? sekarang merupakan waktunya kita semua harus kompak dalam bekerja sama untuk membinasakan dan memusnahkan musuh kita, terutama Go Sam-kui yang telah berkhianat. Hal ini juga demi membalaskan kematian Sri Baginda Eng Lok. Demi semua ini, kita tidak boleh tercerai berai! Kita juga harus membalaskan sakit hati Bhok Lo ongya!" Yang dimaksud dengan Bhok Lo ongya adalah ayah Bhok Kiam-seng. Mendengar ucapan terakhir Tan Kin-lam, Bhok Kiam-seng dan Liu Tay-hong langsung melonjak bangun.
"Benar! Benar!" teriak mereka serentak "Tepat sekali!" Malah beberapa di antara mereka ada yang mengucurkan air mata dan tubuhnya gemetar.
"Lebih baik sekarang kita jangan masalahkan siapa yang akan menjadi raja kelak," kata Tan Kin-lam kembali, "Bhok ongya, Liu loyacu dan seluruh rakyat di negeri ini, tidak ada satu pun yang tidak merasa benci kepada Go Sam-kui. Baiklah kita mengambil keputusan, siapa saja yang berhasil membunuh Go Sam-kui, maka pihaknyalah yang akan kita angkat menjadi raja!"
"Benar!" sambut Bhok Kiam-seng, Dialah yang paling keras keinginannya untuk membunuh Go Sam-kui Musuh besar pembunuh ayahnya, "Benar, Siapa yang dapat membinasakan Go Sam-kui, dialah yang kita junjung!"
"Bhok ongya," kata Tan Kin-lam, kali ini khusus ditujukan kepada pangeran muda dari Inlam itu.
"Sekarang marilah kita buat perjanjian janji antara perkumpulan Tian-te hwe kami dengan pihak Bhok onghu kalian, Kalau pihak Bhok onghu yang berhasil membunuh Go Sam-kui, maka seluruh anggota Tian-te hwe bersedia menerima segala titah Bhok onghu!"
"Kalau pihak Tian-te hwe yang berhasil membunuh Go Sam-kui," sahut Bhok Kiam-seng cepat Maka seluruh anggota keluarga Bhong ongha, mulai dari Bhok kiam-seng semua akan tunduk kepada perintahnya Tan Cong tocu dari Tian-te hwe!" Sebagai penutup dari janji itu, kedua pihak mengulurkan tangannya dan saling tepuk sebanyak tiga kali, Tapi baru saja mereka saling menepuk satu kali, tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring dari wuwungan rumah yang tinggi kemudian disusul dengan seseorang yang berkata.
"Bagaimana kalau aku yang berhasil membunuh Go Sam-kui?" Mendengar suara tawa dan pertanyaan itu, beberapa orang langsung menegur.
"Siapa itu?" Yang menegur adalah beberapa mata-mata Tian-te hwe yang bersembunyi di atas genteng. Setelah itu terdengar pula suara nyaring lainnya disusul dengan melompat turunnya sesosok bayangan yang terus berkelebat dan masuk lewat jendela tanpa menimbulkan suara sedikit-pun, Hal ini membuktikan bahwa orang yang datang menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Hong Ci-tiong dan Ci Tian-coan berada di sebelah timur, sedangkan Liu Tay-hong dan Gouw Lip-sin berada di sebelah barat, Serempak mereka menghambur menyerang ke arah sosok bayangan tadi. Tetapi rupanya orang itu gesit sekali, dia melompat tinggi dan mencelat melewati keempat orang yang sedang menyerang ke arahnya dan tahu-tahu dia sudah sampai di hadapan Tan Kin-lam dan Bhok Siau ongya.
Keempat penyerangnya terdiri dari jago-jago kelas satu di dunia kangouw pada saat itu, Tetapi mereka tidak sanggup berbuat apa-apa. Hal ini membuktikan betapa hebatnya tamu yang tidak diundang itu, Dalam waktu yang lain, mereka segera membalikkan tubuh dan menyerang kembali Ci Tiong mencekal bahu kanan orang itu, Tian Coan mencekal iga kanan, Liu Tay-hong mencekal bahu kiri dan Lip Sin memeluk pinggang orang itu dengan kedua tangannya. Diperlakukan sedemikian rupa, orang itu tidak mengadakan perlawanan sama sekali, Sembari tertawa dia bertanya.
"Beginikah caranya sahabat-sahabat Tian-te hwe memperlakukan tamunya?" sekarang ini semua orang dapat melihat tegas tampang tamu yang tenang dan periang itu. Dia adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga atau empat tahun, dia memakai jubah hijau yang panjang, tubuhnya tinggi kurus, roman-nya seperti seorang sastrawan. Tan Kin-lam segera merangkapkan sepasang tangannya untuk menjura.
"Ciok Hi (panggilan seperti tuan, tapi dengan maksud merendahkan diri) siapakah she dan namamu yang mulia?" tanyanya, "Apakah kau sahabat dari pihak kami?" Sastrawan itu tertawa.
"Kalau bukan sahabat, tentu aku tidak akan datang kemari!" Ucapan itu disusul dengan tubuhnya yang menciut seperti segumpal daging sehingga cekalan ke-empat penyerangnya jadi terlepas. Hong Ci-tiong benar-benar keheranan dibuatnya, Setelah itu, tamu yang tidak diundang tersebut tertawa lagi, Tapi saat ini tubuhnya mencelat lagi ke atas dan berubah menjadi bayangan yang berkelebat seperti sebelumnya. Sekarang Tan Kin-lam sendiri yang turun tangan Sembari tertawa panjang, ketua pusat Tian-te hwe bergerak bangun sekaligus meluncurkan tangan kanannya, Apabila tamu tak diundang itu berhasil melepaskan diri dari serangan Ci Tiong, maka kali ini dia tidak dapat mengelakkan cekalan Tan Kin-lam pada kakinya. Dia merasa kakinya tercengkeram kuat seperti dililit oleh rantai besi. Tapi dia tidak takut, dia malah tertawa panjang sambil mengirimkan sebuah tendangan ke arah orang yang mencekal kakinya itu. Hebat sekali tendangan itu, arahnya pun ke muka orang! Tapi Tan Kin-lam bisa menyelamatkan dirinya, Tangan kirinya dengan gerakan cepat menyambar sebuah meja kecil yang kemudian digunakan untuk menangkis, Brakkkk! Rusaklah meja kecil itu yang mana kemudian menjadi potongan-potongan kecil. Setelah itu, tangan kanan ketua pusat Tian-te hwe itu, yang tetap memegang kaki orang, digerakkan ke kanan kemudian dihentakkan ke belakang sehingga orang itu menjadi limbung lalu terbanting di atas lantai. Tapi, ilmu orang itu ternyata lihay sekali, Tidak menunggu sampai tubuhnya menyentuh tanah, tiba-tiba dia mencelat bangun dan terus melesat dengan kecepatan seperti terbang untuk melayang terus ke belakang dan akhirnya berdiri tegak dengan punggung menyandar pada tembok. Untuk sesaat, Hong Ci-tiong dan tiga orang lainnya langsung tertegun Tangan mereka masing-masing menggenggam secarik kecil dari pakaian tamu tak diundang itu! Menyaksikan kejadian itu, para hadirin yang lain segera bersorak memuji, bahkan Liu Tay-hong pun tidak mau ketinggalan Gouw Lip-sin berdiri dengan perasaan jengah sekaligus kagum. Kin Lam tertawa dan berkata.
"Tuan, kalau kau menganggap dirimu seorang sahabat, mengapa kau tidak duduk dan minum teh bersama?" Pemuda itu merangkapkan sepasang tangannya dan menjura dalam-dalam.
"Kebetulan aku memang ingin sekali minum teh!" katanya sambil berjalan menghampiri Dia memberi hormat sekali lagi kepada para hadirin, kemudian duduk di kursi paling bawah. Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu masih memperhatikannya lekat-lekat. Apabila mereka tidak menyaksikan kepandaian pemuda itu dengan mata kepala sendiri, sudah pasti mereka akan menduganya sebagai seorang pelajar yang lemah, Kin Lam tertawa.
"Harap Tuan jangan terlalu merendah," katanya.
"Jangan bersikap sungkan, silahkan duduk di kursi utama!" Sastrawan itu mengibaskan tangannya.
"Cayhe (aku yang rendah) tidak berani," sahutnya, "Dapat duduk bersama para orang-orang gagah dari dunia kangouw saja, sudah merupakan sebuah kebanggaan bagiku, Untuk apa aku duduk di atas? Tan Cong tocu, barusan Cong tocu menanyakan nama dan sheku dan aku belum menjawab nya, maafkan kelakuanku yang kurang sopan. aku yang rendah she Lie sedangkan namaku Si Hoa."
Baik Tan Kin-lam ataupun Liu Tay-hong belum pernah mendengar nama itu. Apalagi hadirin yan usianya lebih muda. Karena itu, mereka menyangka jangan-jangan yang dikatakannya nama palsu.
"Maaf, aku merasa malu, Pendengaranku berkurang sekali sehingga aku belum pernah mendengar she dan nama tuan yang mulia!" Anak muda itu tertawa.
"Orang bilang, ketua pusat Tian-te hwe pandai bergaul dan memperlakukan siapa pun dengan baik, ternyata berita itu bukan cerita bohong, Misalnya setelah mendengar namaku barusan, Cong tocu memberikan pujian setinggi langit, pasti aku akan memandang rendah dirimu meskipun aku tidak akan mengatakannya secara terus terang, Aku adalah orang yang baru menginjakkan kaki keluar gubuk, aku sendiri tidak menghargai diri ini, bagaimana aku dapat mengharapkannya dari orang lain?" Selesai berkata, dia pun tertawa terbahak-bahak. Kin Lam tersenyum.
"Saudara Lie, pertemuan ini membuat hatiku senang sekali," katanya, "Kau tahu, pertemuan ini juga bisa membuat namamu terangkat ke atas, karena itu, nanti kau bisa buktikan sendiri, setiap bertemu dengan orang, mereka akan menyatakan kekagumannya!" Memang benar apa yang dikatakan Tan Kin-lam. Sebab sudah pasti orang-orang dari Bhok onghu dan anggota Tian-te hwe akan memujinya, Orang yang tergolong jago kelas satu sebanyak empat orang saja tidak dapat menandinginya, jangan kata meringkusnya. sedangkan Tan Kin-lam hanya sanggup mencekal kakinya. Si Hoa mengibaskan tangannya.
"Tidak, tidak mungkin," sahutnya, "llmu yang kugunakan tadi hanya tipuan belaka, bahkan mengandung sedikit gerak sembarangan Barusan Liu loyacu mencekal bahuku dengan menggunakan jurus "Dalam mega memperlihatkan kuku", hampir saja lenganku patah. sedangkan sahabat yang berewokan itu telah merangkul pinggangku dengan hebat sekali, Bukankah dia memainkan jurus tipuan "menerkam kelinci"? dia membuat aku tidak bisa tertawa maupun menangis, Dan kakek yang berkumis dan berjanggut putih ini meraba tulang igaku dengan ilmu "Kera putih memetik buah To", tulang igaku hampir seperti buah itu. cekalannya demikian keras seakan tidak akan dilepaskan lagi. Dan terakhir, sahabat yang satunya... aih! Bukankan jurus yang digunakannya dipetik
dari ilmu "Seta Cilik Seng Hong?" Hong Ci-tiong adalah orang yang terakhir yang dimaksudkannya, Dia segera menganggukkan kepalanya. Dia tidak membantah, meskipun sebenarnya ilmu yang digunakannya bernama "Setan cilik menarik malaikat kota"
"Saudara Lie, ilmu silatmu hebat sekali!" puji Liu Tay-hong- Hal ini karena orang itu dapat meloloskan diri walaupun diserang sedemikian rupa "Matamu juga sangat tajam!"
"Liu loyacu berlebihan memujiku!" kata Si Ho sembari menggoyangkan tangannya berkali-kali "Serangan yang dilancarkan loyacu berempat tadi sebenarnya bisa mencabut nyawa orang, tetapi kalian tidak bersungguh-sungguh sehingga aku yang rendah tidak terluka sama sekali, Terima kasih atas rasa kasihan cianpwe berempat!" Hong Ci-tiong senang mendengar kata-kata orang itu, Memang serangan yang dilancarkan mereka berempat tadi lihay sekali, namun keterangan orang she Lie itu juga tidak salah, Mereka tidak melakukan penyerangan secara serius.
"Saudara Lie," kata Tan Kin-Iam kemudian "Dapatkah saudara mengatakan tujuan kunjungan saudara yang sebenarnya, bagi kami hal ini benar-benar merupakan suatu kehormatan besar?"
"Dalam hal ini, sebelumnya aku mohon pengampunan." sahut Lie Si-hoa, "Sudah lama aku yang rendah mengagumi Tan Cong tocu, karena itu, ketika aku mendapat berita tentang kedatangan Tan Cong tocu ini, aku ingin mewujudkan keinginanku untuk bertemu, sayangnya aku tidak mempunyai teman yang dapat dijadikan perantara, itulah sebabnya aku yang rendah berbuat lancang dengan menjadi tamu yang tak diundang, Bahkan untuk beberapa saat aku sempat bersembunyi di atas wuwungan mencuri dengar pembicaraan Cong tocu sekalian, Aku juga benci sekali terhadap Go Sam-kui, menyesal sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk mencincang tubuhnya sampai hancur Cong tocu sekalian, sekali lagi harap kalian maafkan kelancanganku ini!" Lie Si-hoa bangun dan menjura ke sekelilingnya. Para hadirin juga segera berdiri dan membalas penghormatan itu.
"Tuan," kata Bhok Kiam-seng, "Karena tuan juga sangat membenci Go Sam-kui, berarti kita bertujuan sama. Kita adalah orang-orang sego1ongan. Sudah selayaknya apabila kita bekerja sama dalam hal ini, Entah tuan mempunyai niat seperti ini atau tidak?"
"Tentu saja ada!" sahut Si Hoa cepat "Tadi ketika Tan Cong tocu sedang membuat perjanjian dengan Siau ongya, aku telah mengganggu. Dan aku merasa menyesal sekali, Bagaimana kalau perjanjian yang tertunda itu dilanjutkan kembali, setelah itu kita rundingkan kembali perjanjian denganku?" Liu Tay-hong memperhatikan orang itu lekat-lekat.
"Apakah tuan bermaksud mengatakan, apabila tuan yang berhasil membunuh Go Sam-kui, maka kami orang-orang dari Bhok onghu dan Tian-te hwe harus menurut perintahmu?" tanyanya.
"Bukan! Aku tidak sanggup menerima hal itu," sahut Si Hoa.
"Aku masih muda, sudah cukup bagiku apabila dapat mengikuti kalian seterusnya!" Tay Hong menganggukkan kepalanya, tapi dia masih ingin mendapatkan kepastian.
"Baiklah," katanya, sekarang aku mohon penjelasan dalam pandangan tuan, di antara dua maha-raja Liong Bu dan Eng Liok, manakah yang merupakan turunan langsung dari dinasti Beng?" Liu Tay-hong ikut bersama kaisar Liong Bu dan Bhok Tian-po berperang ke barat daya, dari propinsi Inlam memasuki wilayah Birma, setelah menderita dan sengsara sekian lama, akhirnya kaisar Liong Bu terbunuh juga di tangan Go Sam-kui. Itulah sebabnya dia bersumpah, biar bagaimana pun juga, dia akan mengangkat keturunan junjungannya menjadi kaisar. Tan Kin-lam insyaf akan masalah yang pelik ini. Dia ingin menghindarkan perselisihan yang terjadi, Tetapi jago tua she Liu itu tetap kukuh pada cita-citanya sehingga mengajukan pertanyaan itu kepada Lie Si-hoa. Mendengar pertanyaan orang tua itu, Lie Si-hoa segera berkata, "Aku yang rendah mungkin mengucapkan kata yang tidak enak didengar, tapi, meskipun demikian, aku minta tuan-tuan untuk memakluminya!" Tay Hong tetap tidak sabaran, wajahnya langsung menjadi merah, "Apakah tuan ini bekas bawahannya Lau Ong?" tanyanya. Setelah wafat nya kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng, di berbagai tempat bangkit pangeran-pangeran yang ingin mengangkat diri masing-masing menjadi raja, Mereka adalah Lau ong, Kui ong, dan Tong ong. Begitu kata-katanya terucapkan, Liu Tay-hong segera menyadari kekeliruannya, Lie Si-hoa masih terlalu muda, Tidak mungkin dia itu bekas bawahannya Lau ong. Karena itu, sebelum si anak muda menjawab, dia segera membetulkan pertanyaannya tadi. "Apakah leluhur tuan pernah menjadi bawahannya Lau ong?" Lie Si-hoa tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya berkata.
"Lebih baik kita tunggu sampai bangsa Tatcu berhasil diusir dari negeri kita ini. Pada saat itu, baik anak cucu Cong Ceng, Tong ong, Kui ong, semuanya berhak menjadi raja, Pada hakekatnya, setiap orang bangsa Han, siapa yang tidak boleh menjadi raja? Umpamanya Bhok Siau ongya dan Liu loyacu dan The ongya dari Taiwan, serta Tan Cong tocu sendiri, mereka juga boleh menjadi raja, ingatkah kalian ketika dahulu leluhur kerajaan Beng mengusir bangsa Mongolia, bukankah beliau juga tidak memilih keturunan kerajaan Song atau keluarga Tio untuk diangkat menjadi kaisar? Bukankah Sri Baginda Beng thaycou Cu Goan-ciang mengangkat dirinya sendiri menjadi raja? Dan rata-rata rakyat menyambutnya dengan gembira!" Ucapan seperti ini belum pernah didengar oleh para hadirin. Semua orang menjadi heran serta terkejut. Meskipun demikian, tidak ada orang yang berani membuka mulut menentangnya, karena kata-kata itu mempunyai dasar yang kuat. Hanya Liu Tay-hong seorang yang masih kukuh dengan pendiriannya, Dia menggebrak meja dan berkata dengan keras.
"Ucapan mu barusan merupakan rangkaian kata-kata yang bernada memberontak bahkan durhaka, Bukankah kita semua rakyatnya kerajaan Beng yang maha besar? Bukankah kita merupakan anak cucunya menteri-menteri dinasti itu? Bukankah sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk membangun kembali kerajaan Beng? Mengapa sekarang kita harus memikirkan hal yang justru bertentangan?" Si Hoa tidak menjadi gusar meskipun dibentak oleh Liu Tay-hong, Malah bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Liu loyacu," katanya dengan nada sabar "Ada satu hal yang boanpwe tidak mengerti dan mohon penjelasan itulah soal yang sedang kita perbincangkan sekarang. Pada akhir kerajaan Song, bangsa Mongolia terus menerus menyerang negara bangsa Han kita, setelah banyak waktu barulah kaisar Hong Bu dari dinasti Beng kita bangkit di Hongyang dan mengusir bangsa asing itu. Setelah berhasil, seperti yang cayhe katakan tadi, mengapa Beng thaycou tidak mengangkat keturunan keluarga Tio dari kerajaan Song untuk menjadi raja, tapi malah mengangkat dirinya sendiri? Mengapa dia tidak tetap menggunakan nama kerajaan Song, tetapi menggunakan nama kerajaan Beng?"
"Hm!" seru Liu Tay-hong.
"Ketika itu keturunan keluarga Tio sudah habis, karenanya Beng thaycou yang telah bersusah payah lalu mengangkat dirinya sendiri. Kalau tidak, kepada siapa dia harus menyerahkan tampuk kerajaan? Tatkala itu, tidak ada satu pun keturunan keluarga Tio yang berjasa mengusir bangsa Mongolia, Taruh kata Beng thaycou sendiri bersedia mengalah dan mundur teratur, belum tentu rakyat dan tentara yang ikut berjuang mau mengerti!"
"Nah, ini merupakan suatu persoalan pula, kata Lie Si-hoa yang tetap tenang, "Kelak di kemudian hari, masih belum diketahui apakah keturunan keluarga Cu yang berjasa atau tidak, Seandainya dia berjasa, sudah tentu rakyat akan mendukungnya. Dapat dipastikan tidak ada orang yang berani merebut kedudukan itu. Tapi kalau dia tidak berjasa sama sekali, meskipun dia berhasil naik tahta, belum tentu kedudukannya itu bisa kuat apalagi abadi, Liu loyacu, urusan merobohkan kerajaan Ceng adalah hal yang pelik sekali. Mungkin hal itu dapat dilakukan kapan waktu saja dengan cepat, namun mungkin juga harus memakan waktu yang cukup lama. Yang paling penting bagi kita sekarang ini adalah menumpas Go Sam-kui. Masalah pengangkatan raja dapat dirundingkan kembali secara perlahan-lahan!" Tay Hong langsung membungkam mendengar alasan pemuda itu.
"Mengapa harus perlahan-Iahan?" katanya kemudian.
"Aku justru menganggapnya sebagai hal yang paling penting dan merasa menyesal tidak dapat dilakukan sekarang juga!"
"Membinasakan Go Sam-kui adalah urusan yang harus diselesaikan secepatnya kata Si Ho kembali "Sekarang saja usianya sudah cukup tua, Kalau tidak selekasnya dibunuh, tentu dia akan mati dengan tenang disebabkan usia tua. Bukankah hal itu akan menjadi penyesalan bagi kita semua? Masalah mengangkat raja yang baru harus kita tunda dulu, setidaknya sampai bangsa Tatcu terusir dari negara kita yang tercinta ini. Dan masalah ini juga akan membawa kesulitan bagi kita semua!" Kin Lam kagum sekali terhadap anak muda itu. Bicaranya jelas dan alasannya kuat.
"Saudara Lie benar sekali," katanya ikut memberikan pendapat "Sekarang aku mohon tanya, jalan bagaimanakah yang harus kita tempuh untuk membinasakan Go Sam-kui?"
"Maaf, Tan Cong tocu," sahut Lie Si-hoa "Aku yang rendah justru ingin mendengar pendapat dari para orang-orang gagah yang berkumpul di sini!"
"Bagaimana dengan Tan Cong tocu sendiri?" tanya Bhok Kiam-seng. "Apakah Tan Cong tocu sudah mempunyai akal yang baik?"
"Pengkhianat Go Sam-kui itu terlalu jahat dan banyak antek-anteknya, terlalu enak kalau hanya dia seorang yang dihukum mati," kata Tan Kin-lam.
"Dan kematiannya sendiri tidak cukup untuk menebus dosa-dosanya terhadap rakyat bangsa Han. seharusnya namanya dirusak dan seluruh keluarganya, baik tua maupun yang muda, jangan ada satu pun yang dibiarkan lolos! Begitu pula seluruh antek-anteknya! Dengan cara demikian, baru puas hati seluruh rakyat bangsa Han!"
"Bagus! Bagus!" seru Liu Tay-hong sambil menepuk meja, "Apa yang Tan Cong tocu katakan memang tepat sekali! Benar-benar meresap dalam hati yang tua ini. Nah, Laote...." dia menambahkan sambil menyambar tangan Kin Lam. "Apa akalmu untuk membinasakan seluruh keluarga Peng Si-ong beserta antek-anteknya? Lekas katakan!" Tan Kin-Iam tersenyum.
"Sebaiknya kita pikirkan caranya bersama-sama!" katanya, "Kalau hanya aku seorang diri, mana mungkin menemukan akal yang sempurna?"
"Ah!" seru Tay Hong tertahan Dia melepaskan cekalan tangannya, Tampaknya dia agak kecewa mendengar jawaban Tan Kin-lam. Kin Lam mengulurkan tangannya ke arah Bhok Kiam-seng.
"Siau ongya, kita masih harus bertepuk tangan dua kali lagi!" katanya mengingatkan.
"Benar!" sahut pangeran dari Inlam itu. Dia juga mengulurkan tangannya dan mereka pun melanjutkan dua kali tepukan tangan yang tertunda tadi. Si Hoa bangkit dengan sikap menghormat Tan Cong tocu ingin membasmi Go Sam-kui, aku si orang she Lie bersedia menerima segala titahmu, Tan Cong tocu, seandainya aku yang rendah beruntung bisa membunuh pengkhianat itu, tidak ada hal lain yang kuharapkan kecuali dapat mengangkat saudara denganmu dan diijinkan saling memanggil dengan kakak dan adik!" Kin Lam tertawa.
"Lie hiante kau terlalu memandang tinggi kepadaku!" katanya yang langsung memanggil "hiante" atau tidak, "Baiklah! Ucapan seorang laki-laki sejati sekali dikeluarkan, empat ekor kuda pun sukar mengejarnya!" Siau Po menyaksikan gerak-gerik kedua orang itu, hatinya tertarik sekali semangatnya seperti terbangun Dia menyesalkan dirinya yang masih terlalu kecil, Coba kalau usianya sedikit lebih tua dan ilmu silatnya setinggi Lie Si-hoa, tentu dia akan membawa sikap yang sama gagahnya.
Sementara itu, Kin Lam menitahkan agar barang hidangan lekas disajikan Dia ingin menjamu para tamunya, Ketika pesta sedang berlangsung, Lie Si-hoa selalu berbicara dengan nada gembira, Ternyata pengetahuannya luas sekali Tetapi sejauh itu, dia masih tidak menjelaskan asal-usulnya. Di situ juga Hoan Kong dan Hian Ceng memperkenalkan orang-orang lainnya, Ketika berhadapan dengan Siau Po yang dikatakan merupakan salah seorang hiocu dari Tian-te hwe, Lie Si-hoa menjadi heran. Namun setelah dijelaskan bahwa bocah itu adalah muridnya Tan Kin-lam, sang ketua, dia berkata dalam hati: "Oh, rupanya demikian!"
Setelah mengeringkan beberapa cawan arak, Si Hoa yang pertama-tama mohon diri. Dia diantar oleh Tan Kin-Iam sampai di depan pintu dan ketua Tian-te hwe itu berbisik kepadanya, "Lie hiante, tadi kakakmu ini belum tahu apakah kau merupakan kawan atau lawan kami, karena itu aku telah mencekal kakimu dengan sedikit tenaga. Tanpa disengaja aku telah keliru mengenalmu. Hiante, dua jam lagi kakimu akan terasa nyeri berbahaya sekali kalau kau tidak tahu cara mengobati lukamu itu, atau kau gunakan cara lain dengan terpaksa, Hiante, kau harus menggali sebuah lubang yang dalam dan tingginya sesuai dengan bentuk tubuhmu, kemudian kau masuk ke dalamn lalu kau urug kembali dengan tanah sampai sebatas leher. Kau harus berdiam di dalam lubang itu selama empat jam dan tujuh hari berturut-turut dengan demikian lukamu akan sembuh dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi!" Si Hoa terkejut setengah mati mendengar terangan itu.
"Oh, jadi aku telah terkena pukulan "Geng-hi sin jiau" (Sambaran kuku pembeku darah)?" tanyanya.
"Jangan cemas, Tidak perlu takut, hiante," kata Tan Kin-lam. "Kalau kau ikuti cara yang kukatakan tadi, niscaya kau tidak akan mengalami kejadian apa-apa, Sekali lagi kakakmu mohon agar kau tidak berkecil hati karena kesembronoanku tadi!" Pertama-tama Lie Si-hoa memang terkejut tapi akhirnya dia menjadi tenang kembali.
"Salahku sendiri." sahutnya kemudian.
"Hari ini mataku baru terbuka, Di atas langit masih ada langit, di antara para jago masih ada lagi yang lebih jago!" Sekali lagi dia merangkapkan sepasang tangannya menjura kemudian ia membalikkan tubuhnya berlalu dari tempat itu. Liu Tay-hong yang mendengar perkataan Tan Kin-lam barusan, segera bertanya. Tan Cong tocu, jadi tadi kau menggunakan ilmu "Ceng-hiat sin Jiau" untuk menghadapi pemuda itu? Menurut apa yang pernah kudengar, siapa yang terkena serangan ilmu itu, dalam waktu tiga hari darah di seluruh tubuhnya akan membeku, dan orang itu tidak bisa bergerak sama sekali serta tidak dapat disembuhkan lagi, Benarkah?" Tan Kin-Iam menarik nafas panjang, "Pada dasarnya, sifat ilmu itu memang keji sekali," sahutnya, "Aku sebenarnya tidak berniat menggunakan ilmu itu, tapi cara kedatangannya sungguh luar biasa dan dia sudah mendengar percakapan rahasia kita, ilmunya juga lihay sekali dan kita belum tahu maksud kedatangannya, Untu menjaga diri kita semua terhadap hal yang tidak diinginkan, terpaksa aku menggunakan ilmu itu, perbuatanku tadi sama sekali tidak mirip seorang laki-laki sejati dan aku menjadi malu karenanya!"
"Tapi," Bhok Kiam-seng ikut bicara, "Perbuatanmu ada benarnya juga, seandainya dia adalah mata-mata musuh atau bawahannya Go Sam-kui dia memang berbahaya bagi kita, Kalau Cong tocu tidak memberi pelajaran kepadanya lalu dia membawa berita tentang kita kepada junjungannya, celakalah kita semua. Syukurlah Cong tocu bisa menguasainya... Tan Cong tocu, kepandaianmu tinggi sekali, kau benar-benar membuat kami kagum!" Pesta di lanjutkan kembali Akhirnya tiba juga saatnya Bhok Kiam-seng dan rombongannya berpamitan.
"Siau ongya," kata Siau Po pada pangeran itu "Sebaiknya Siau ongya pindah tempat, Sebab entah siang atau malam ini juga, ada kemungkinan ban Tatcu nanti mengirim orangnya untuk mengepung dan melakukan penangkapan atas diri Siau ongya Mungkin Siau ongya tidak takut, tapi kita harus sadar dengan kekuatan kita sekarang ini, kita masih belum sanggup melawan tentara yang jumlah laksaan jiwa...." Mendengar ucapan bocah itu, Liu Tay tertawa lebar.
"Saudara cilik, apa yang kau katakan memang benar!" katanya dengan nada gembira, "Saudara kecil, sekali lagi terima kasih, terutama untuk saran-mu ini. Baiklah, kami akan segera pindah tempat!" Kiam Seng pun turut berkata.
"Pembicaraan kita sudah selesai, Hari ini juga kami akan pergi dari kota ini. Tan Cong tocu, Wi hiocu, serta semua sahabat baik yang ada di sini, selama gunung masih menghijau dan sungai masih mengalir, tentu akan ada perjumpaan lagi bagi kita kelak!" Begitu rombongan itu berlalu, Tan Kin-lam memanggil muridnya, "Siau Po, kemari!" katanya, "Aku ingin lihat, selama beberapa bulan ini, sudah sampai di mana kemajuanmu?" Jantung Siau Po langsung berdebaran. wajahnya pun berubah seketika, urusan ini paling dikhawatirkan olehnya, Tapi pada dasarnya dia memang cerdik, dia sudah memikirkan jawaban yang masuk akal.
"Suhu, selama ini kesehatanku agak terganggu, beberapa kali aku jatuh sakit dan asal aku berlatih sebentar saja, perutku langsung terasa nyeri!" Kin Lam merasa heran sehingga dia memperhatikan muridnya dengan tajam.
"Kau sakit?" tanyanya, "Sakit apa?" Dia langsung mengajak muridnya ke kamar sebelah timur Setelah merapatkan pintu kamar itu, dia langsung mencekal tangan kanan muridnya.
"Aih!"Tan Kin-lam sampai mengeluarkan seruan tertahan setelah ia meraba denyut nadi Siau Po. Cepat-cepat dia memeriksa nadi sebelah kirinya.
"Ini... ini..." saking gugupnya, dia sampai tidak sanggup mengatakan apa-apa. pikirannya langsung bekerja.
"Selain terluka parah, kau juga keracunan. Usiamu masih begini muda, bagaimana kau bisa bermusuhan dengan tokoh-tokoh dunia kangouw yang memiliki kepandaian setinggi ini? siapakah musuhmu itu?" Di hadapan orang lain, Siau Po suka sok gagah, Tetapi di hadapan gurunya ini, dia langsung menangis terisak-isak.
"Perbuatan si nenek sihir dan kura-kura tua itulah yang mencelakai muridmu ini..." katanya. Tan Kin-lam semakin bingung, Dia menatap muridnya lekat-lekat.
"Apa yang yang kau maksud dengan kura-kura tua serta nenek sihir?" tanya gurunya.
"Siapakah mereka?" Siau Po segera menceritakan tentang Hay kongkong yang telah meracuninya dan ibu suri yang telah menepuk punggungnya sehingga dia terluka dalam. Dia juga menceritakan bagaimana ibu suri berhasil mengancamnya. Kin Lam berpikir dengan keras.
"Apakah kau membawa obat yang diberikan ibu suri kepadamu?" tanyanya penasaran.
"Ya," sahut Siau Po langsung mengeluarkan obat yang selalu dibawanya kemana-mana itu. Kin Lam memeriksa obat itu, dia mengendusnya berkali-kali. Bahkan dia memasukkan sebutir pil ke dalam mulutnya kemudian dia gigit sampai hancur dan dengan lidah dia mencicipi, tiba-tiba dia menyemburkan obat itu dengan meludah dan kemudian mengomel.
"Oh, dasar nenek sihir!" makinya, "Obat ini juga dicampur dengan racun, Dengan memberimu obat ini, dia ingin membuat kau mati secara perlahan-lahan!"
Bagian 25
Mendengar gurunya juga memaki ibu suri sebagai nenek sihir, tanpa dapat dipertahankan lagi, Siau Po tertawa geli, Ternyata sang guru juga sudah terbawa atau terpengaruh dengan kata-katanya sehingga tanpa terasa dia ikut menyebut ibu suri sebagai nenek sihir, Sebuah perkataan yang tidak selayaknya terucap dari mulut seorang ketua dari perkumpulan besar seperti Tian-te hwe. Siau Po sendiri sudah terbiasa dengan sebutannya yang kotor dan berbagai ragam karena dia benci sekali kepada wanita itu, meskipun dia adalah seorang ibu suri.
Tapi, setelah tertawa, dia menangis lagi, Dia percaya penuh dengan ucapan gurunya itu, Artinya dia sudah terluka parah dan keracunan Mungkin-kah dia tertolong? Dia menjadi kecil hati, Tadinya dia masih dapat menguatkan hatinya, namun sekarang di
depan gurunya, dia kembali lagi sebagaimana biasanya seorang bocah kecil serta tak dapat mempertahankan lagi ketabahannya yang luar biasa.
"Tahukah kau asal-usul ilmu silat Hay tayhu dan ibu suri itu?" tanya Kin Lam kepada muridnya kemudian. Siau Po segera menceritakan pembicaraan yang berlangsung antara Hay kongkong dengan ibu suri baru-baru ini di taman bunga. Tapi dia menyampingkan urusan kaisar Sun Ti yang pergi secara diam-diam menyucikan diri di gunung Ngo Tay san juga persoalan ibu suri yang mencelakakan Tang Gok-hui, ibu dan anak. Kin Lam berpikir sejenak, Kemudian dia berkata.
"Kalau begitu yang satu berasal dari partai Kong Tong pai dan satunya lagi murid Coa to (pulau ular) Dengan adanya kedua orang ini yang mendekam dalam istana, kemungkinan mereka masing-masing mengandung maksud tertentu. Malam itu kau terhajar oleh dua orang dengan ilmu yang demikian dahsyat. seharusnya kau tidak dapat hidup lebih lama lagi, malah ada kemungkinan mati seketika, Tetapi hal ini tidak terjadi padamu, Kau hanya terluka saja, apa sebabnya?"
"Pada jubah panjangku ada dua tanda bekas telapakan tangan, yakni bagian dada dan punggung, Tanda itu begitu jelas dan rapi seperti digunting dengan pola," kata Siau Po menjelaskan. Tan Kin Lam menganggukkan kepalanya, itulah bukti bahwa pukulan itu lihay sekali!" katanya, "Bagaimana kau sanggup bertahan dari hajaran itu? Mungkinkah kau menggunakan baju berlapis baja?"
"Tidak," sahut Siau Po. Tapi sebuah ingatan tiba-tiba melintas di benaknya, Ketika mengadakan pemeriksaan di rumah Go Pay, dia mendapatkan sehelai baju dalam yang tipis sekali, Mungkin So Ngo-tu tahu bahwa itulah sehelai baju mustika sehingga dia dianjurkan untuk memakainya. Malam itu, ketika dihajar oleh Hay tayhu dan ibu suri, dia juga mengenakan baju itu, Kemudian dia merasa baju itu kelonggaran sehingga dia tidak memakainya lagi, Begitu diungkit oleh gurunya barusan, dia baru teringat lagi, Karena itu cepat-cepat dia menceritakan soal baju itu.
"Itu dia!" kata Kin Lam setengah berseru, "Pasti baju itu baju mustika sehingga beberapa kali kau terhindar dari kematian sebaiknya kau pakai lagi baju itu siang ataupun malam jangan dilepaskan lagi, Soal racun Hay kongkong, untuk sementara aku masih belum tahu jenisnya, sebaiknya kau ikuti saja petunjukku dulu untuk melatih diri dengan ilmu tenaga dalam aliranku, ilmu itu berkhasiat menyembuhkan luka dalam."
"Baik," suhu," sahut Siau Po. Namun dalam hatinya dia berpikir "llmu tenaga dalam dari si kura-kura tua sudah aku pelajari sampai tujuh atau delapan bagian Syukur suhu menyangka aku keracunan dan tidak memeriksanya lebih jauh...." Tapi dia rada khawatir juga. Gurunya ini lihay sekali. Ada kemungkinan rahasianya bisa terbongkar Dia segera berkata lagi, "Suhu, Sri Baginda menitahkan aku menguntit para penyerbu yang telah dibebaskan. Karena itu, aku harus cepat-cepat pulang ke istana untuk memberikan laporan..." Dia ingin menyingkir secepatnya dari hadapan gurunya itu.
"Siapakah yang kau maksud dengan para penyerbu?" tanya Kin Lam. Ketua pusat Tian-te hwe ini hanya tahu Siau Po telah menolong ketiga orang Bhok onghu melarikan diri dari istana, Apa masalahnya, dia masih belum tahu. Siau Po segera menjelaskan tentang penyerbuan di istana dengan tujuan membunuh kaisar Kong Hi dan para penyerbu itu menggunakan baju dalam serta senjata dengan tanda Go Sam-kui, Maksudnya untuk memfitnah pengkhianatan bang-sa, tapi kaisar Kong Hi yang cerdas segera menaruh kecurigaan dan menyuruhnya menguntit kawanan para penyerbu itu supaya dapat menemukan pemimpin utamanya.
"Oh, begitu?" kata Kin Lam heran, Dia sudah banyak pengalaman dan pengetahuannya juga luas sekali, tetapi urusan Bhok onghu ini belum didengarnya, "Rombongan Bhok onghu itu sungguh berani, Tadinya aku mengira mereka menyerbu istana hanya untuk membunuh raja. Tidak disangka masih terselip maksud lainnya. Rupanya mereka hendak menjatuhkan Go Sam-kui. Kau telah menolong ketiga orang itu, apakah tidak berbahaya bila kau kembali lagi ke istana?"
"Tidak," sahut Siau Po yang tidak menjelaskan masalah pembebasan Gouw Lip-sin bertiga adalah siasatnya kaisar Kong Hi. "Untuk menutupi masalah ini, aku sudah mencari pengganti diriku, Merekalah yang akan bertanggung jawab, Aku rasa, dalam waktu yang singkat, rahasia ini tidak akan terbongkar dan aku tidak akan dicurigai. Suhu menitahkan aku mencari tahu rahasia negara, kalau hanya karena urusan keluarga Bhok ini aku tidak kembali lagi ke istana, bukankah berarti tugasku gagal? Bukankah dengan demikian aku juga menghancurkan usaha yang sedang dibina suhu?" Senang sekali hati Kin Lam mendengar kata-kata muridnya yang cerdas itu.
"Siau Po, kau betul!" dia membenarkan "Kita sudah membuat perjanjian dengan pihak Bhok onghu, Andaikata mereka berhasil mendahului kita, bukankah seluruh anggota perkumpulan Tian-te hwe harus menunduk di bawah perintahnya? Bukankah dengan demikian pamor kita akan jatuh? Menurut pantas, Bhok onghu yang jumlah orangnya jauh lebih sedikit dari kita tidak boleh mendahului kita! Kalau aku sampai mengikat perjanjian dengannya, hal ini semata-mata karena aku tidak ingin ada perselisihan di antara kita untuk saat ini, Lagi-pula, dengan bergabungnya Bhok onghu, kekuatan kita bertambah, Mereka itu berani sekali, karenanya kita tidak boleh kalah berani, Dengan demikian kita bisa berhasil terlebih dahulu!"
"Suhu benar!" sahut Siau Po.
"Sebenarnya, apa sih kehebatan Bhok Siau ongya? Dia toh hanya kebetulan saja terlahir sebagai puteranya Bhok Tian-po. Sebaliknya, orang seperti suhu mana boleh menunduk kepadanya? Kalau hal itu sampai terjadi, aku benar-benar bisa mati berdiri!" Kin Lam tertawa. Seumur hidupnya, dia sudah sering mendengar segala macam pujian, Tetapi rasa kagum seorang bocah berusia belasan tahun seperti Siau Po ini, lain sekali bagi dirinya, Dia tidak tahu di mana sang murid dilahirkan atau dibesarkan dalam lingkungan yang bagaimana, juga tidak tahu bahwa dengan kecerdikannya, pergaulannya di istana luas sekali dan banyak mendapat kepercayaan. Dia hanya mengira karena sudah lama berada dalam istana, Siau Po sudah banyak belajar apalagi dalam menghadapi Hay kongkong dan ibu suri yang banyak tipu muslihat Dia tidak menyangka muridnya akan mengelabuinya.
"Dasar anak kecil, apa yang kau tahu?" katanya sambil tersenyum "Bagaimana kau bisa tahu Bhok Siau ongya tidak mempunyai kebisaan apa-apa?"
"Sebab dia mengirim orang untuk menyerbu istana," sahut Siau Po. "Dengan demikian dia mengorbankan beberapa lembar jiwa secara sia-sia. Bagi Go Sam-kui, sepak tegangnya itu tidak mendatangkan kerugian sama sekali, Malah dia patut dikatakan sebagai manusia paling tolol di dunia ini!"
"Hush! jangan bicara sembarangan!" tegur Tan Kin-lam. "Tapi, mengapa kau bisa mengatakan bahwa Go Sam-kui tidak mengalami kerugian apa-apa?"
"Untuk menyerbu istana, Bhok Siau ongya menggunakan akal yang mentah sekali, tolol!" sahut Siau Po. "Para penyerbu mengenakan pakaian yang ada sulamannya, yakni empat huruf Peng Si onghu, Dan semua senjatanya juga ada tulisannya, Tay-beng Sanhay-kwan Cong Penghu, Bangsa Tatcu bukan bangsa dogol mereka pasti curiga. Tentu mereka dapat berpikir, kalau semua penyerbu itu benar orang-orang suruhannya Go Sam-kui, mana mungkin mereka mengenakan pakaian dalam dan senjata yang bertanda Peng Si ong?"
"Ya, benar juga!" kata Tan Kin-lam.
"Masih ada satu hal lagi!" kata Siau Po menambahkan "Sekarang ini, puteranya Go Sam-kui yang bernama Go Eng-him sedang berada di kota-raja. Dia datang dengan membawa upeti berupa uang serta batu permata yang tidak terkirakan jumlahnya, Kalau memang ingin membunuh raja, mengapa Go Sam-kui tidak memilih waktu yang lain, namun justru di saat dia mengutus puteranya itu? Lagipula, mengapa dia harus membunuh raja? Apakah dia ingin memberontak untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi raja? Tidak mungkin! Sebab apabila dia memberontak, pihak tentara Boan akan meringkus puteranya saat itu juga kemudian dihukum mati! Masa tanpa alasan yang masuk akal, dia sudi mengorbankan jiwa anaknya sendiri?" Kembali Tan Kin-Iam menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah!" katanya. sebenarnya Siau Po hanya berlagak pintar, Semua keterangan itu terlalu dalam bagi usianya yang masih muda. Kenyataannya memang kaisar Kong Hi yang mengemukakan berbagai alasan itu. sekarang setelah mengetahui dia mengutarakannya kembali di hadapan gurunya, Kin Lam percaya penuh kepada muridnya ini. Dan dia merasa heran sekali, Tidak banyak anggota Tian-te hwe yang mempunyai kecerdasan seperti muridnya yang satu ini, Kalau dulu dia memilih sang murid sebagai ketua Ceng-Bok tong, hal ini dilakukannya karena sumpah yang telah mereka ucapkan.
"Anak ini bernyali besar juga cerdik sekali," pikirnya dalam hati. "Sekarang saja dia sudah sehebat ini. Beberapa tahun lagi, dari pengalaman saja dia sudah tidak takut kalah dengan kedelapan hiocu lainnya!"
"Bagaimana dengan pihak Tatcu sendiri?" tanyanya kemudian "Apakah raja mereka sudah tahu siasat Bhok onghu ini?"
"Sekarang masih belum yakin, tapi raja sudah menaruh kecurigaan Tadi pagi raja mengumpulkan para siwi dan menyuruh mereka menjalankan beberapa jurus ilmu yang digunakan para penyerbu, Setelah itu, mereka merundingkan ilmu tersebut Aku juga ikut hadir. Karena itu aku mendengar dan melihat semuanya, Karena itulah aku ingat dua jurus di antaranya adalah Heng-sau Ciang kun dan Kao-san Liu sui." Kin Lam menarik nafas panjang.
"Benar-benar pihak Bhok onghu tidak ada orang pandai," katanya, "Kedua jurus itu justru ilmu khas dari keluarga Bhok, Di antara para siwi, tidak sedikit jago yang kosen, Mereka pasti mengenali kedua jurus itu!"
"Pernah aku menyaksikan kedua jurus itu yang ditunjukkan oleh Hong Ci-tiong toako dan Hian Ceng tojin. Karena itu aku juga mempunyai dugaan bahwa bangsa Tatcu pasti bisa mengenalinya juga, itulah sebabnya tadi aku memberi saran kepada Bhok Siau ongya agar mereka segera pindah dari tempat yang sekarang!"
"Benar! Tindakanmu benar sekali!" kata Tan Kin-lam. "Nah, sekarang kau boleh kembali ke istana, besok kau datang lagi, Aku ingin memeriksa lukamu agar aku tahu jenis racun apa yang menyerang tubuhmu dan mencari jalan untuk mengobatinya." Siau Po senang sekali melihat sang guru tidak menanyakan pelajaran ilmu silatnya lebih jauh, Cepat-cepat dia memberi hormat kemudian mohon diri. Ketika sampai di istana, Siau Po segera menuju kamar tulis Raja untuk menemuinya, Kaisar Kong Hi senang sekali melihat kemunculan si bocah.
"Hai, kabar apa yang kau peroleh?"
"Terkaan Sri Baginda benar-benar seperti ramalan para "Dewa!" sahut Siau Po setelah memberi hormat "Memang biang keladi dari penyerbuan di istana ini ialah keluarga Bhok dari Inlam!" Dengan perasaan senang, Kong Hi tertawa lebar.
"Benar? Bagus! Lihat tampangnya To Lung! Dia tidak percaya sama sekali ketika aku mengatakan dugaanku, Lekas katakan, berita apa saja yang kau peroleh?"
"Ketiga penyerbu itu memang keras kepala," sahut Siau Po.
"Mereka tetap berkeras bahwa mereka adalah orang-orang suruhannya Go Sam-kui. Meskipun To congkoan sudah menyiksa setengah mati, ibarat mereka sudah mati hidup kembali, tetap saja mereka berkeras pada pengakuannya!"
"Ilmu silat To Lung cukup tinggi, tapi dia memang orang kasar," kata kaisar Kong Hi tertawa.
"Setelah menerima perintah dari Sri Baginda," kata Siau Po memulai keterangannya, "Hamba segera bekerja. Hamba menggunakan Bong Hoan-yok untuk membius para siwi. Eh, tidak tahunya pada saat itu juga muncul empat orang thay-kamnya Hong thayhou, Mereka mengatakan akan menghukum mati ketiga penyerbu itu sekarang juga. Hamba memberanikan diri menentang mereka dengan mengatakan bahwa hamba ingin melanjutkan tugas hamba sesuai rencana Sri Baginda. Mereka marah sekali. Karena itulah, di depan para penyerbu itu, hamba segera membunuh keempat thay-kam tersebut. Setelah itu hamba membebaskan ketiga tawanan itu, Menyaksikan apa yang hamba lakukan, mereka langsung percaya penuh kepada hamba. Tidak ada sedikit pun kecurigaan!" Kaisar Kong Hi tampaknya puas sekali dengan keterangan Siau Po. ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Baru saja To Lung melaporkan bahwa salah satunya thay-kam Hong thayhoulah yang membebaskan para penyerbu itu, aku justru sedang keheranan. Rupanya itu perbuatanmu!"
"Tapi, Sri Baginda," kata Siau Po selanjutnya.
"Hamba mohon perbuatan hamba itu jangan diberitahukan kepada Hong thayhou!" Pinta Siau Po dengan tampang khawatir.
"Kalau tidak, selembar jiwa hamba yang tidak berarti ini pasti tidak dapat dipertahankan lagi, Hong thayhou pernah memaki hamba yang katanya terlalu setia terhadap Sri Baginda dan sebaliknya acuh saja terhadap beliau. Sebenarnya, mana hamba berani membeda-bedakan antara Sri Baginda dengan Hong thayhou? Lagipula, ada pepatah yang mengatakan, di langit tidak ada dua matahari, di atas bumi tidak ada dua raja, Biar bagaimana, akhirnya Sri Baginda yang harus didahulukan, sedangkan thayhou sendiri, tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada Sri Baginda, sudah langsung mengirim orangnya untuk menghukum mati ketiga orang tawanan itu, perbuatannya itu sungguh tidak layak dan tidak menghormati Sri Baginda."
"Tak usah perdulikan Thayhou," kata Raja, "Terhadap thayhou, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. sekarang ceritakan saja, bagaimana dengan ketiga penjahat yang kau bebaskan itu?"
"Kemudian hamba mengajak mereka meninggalkan istana," kata Siau Po yang mengarang ceritanya sendiri, "Ketika berpamitan, mereka menyebutkan nama masing-masing, Yang tua bernama Yau Tau Saycu Gouw Lip-sin, dua orang muda lainnya masing-masing bernama Go Piu dan Lau It-cou. Berulang kali mereka menyampaikan terima kasih kepadaku, Demikianlah mereka kena diperdaya dan mereka mengajak aku menemui pemimpinnya, Seperti dugaan Sri Baginda, pemimpin mereka adalah seorang anak muda yang dipanggil Siau ongya, sedangkan she dan nama sebenarnya ialah Bhok Kiam-seng. Sebawahannya Siau ongya itu ada seorang tua yang kepandaiannya tinggi sekali, julukannya Tiat Pwe-cong Liong Liu Tay-hong, Masih ada beberapa orang lainnya, di antara mereka ada Sin-jiu Kisu Sou Kong, Pek Han-hong, jago nomor dua dari Pek Si Siang hiap, Mereka bermarkas di dua tempat yang berlainan, yakni Yang-ciu hou tong dan Mo-ji hou tong."
"Jadi kau telah bertemu dengan mereka?" tanya sang raja menegaskan.
"Ya," sahut Siau Po. "Kata mereka, rakyat negeri ini menganggap, meskipun usia Sri Baginda masih muda sekali, tetapi kebijaksanaannya sudah kentara. Selama beberapa generasi terakhir, jarang ada raja seperti Sri Baginda, Mereka mengatakan bahwa meskipun nyali mereka sangat besar, tidak mungkin mereka berani mencelakai Sri Baginda, seandainya apa yang mereka katakan hanya pujian belaka, hamba tetap senang mendengarnya!" Kembali kaisar Kong Hi percaya penuh dengan keterangan thay-kamnya, sebetulnya Siau Po hanya meniru apa yang pernah didengarnya dari tukang cerita ketika masih di Yangciu dulu.
"Sri Baginda, mereka mengumpamakan Sri Baginda sebagai Niau-seng Hi-tong, Bukankah itu artinya burung hidup dan Sup ikan? Hampir saja hamba marah karenanya, kalau tidak memikirkan bahwa hamba sedang menjalankan perintah untuk mencari tahu siapa pemimpin mereka itu!" Sri Baginda sampai tertegun mendengar Siau Po mengatakan "Niau Seng dan Hi tong." Untuk sesaat dia menjadi bingung, tetapi setelah berpikir sejenak, dia langsung tersenyum.
"Apaan Niau Seng Hi tong?" serunya, "Yang mereka maksudkan pasti Giau Sun Ie tong!"
"Sri Baginda!" Siau Po merasa puas karena raja tampak senang, "Apakah artinya Niau Seng Hi Tong itu yang sebenarnya ?"
"Aih! kau masih mengatakan Niau Seng Hi Tong juga!" kata kaisar Kong Hi. "Kau benar-benar kurang pendidikan itulah marga keempat maharaja yang bijaksana dahulu kala dan sangat dihormati oleh rakyatnya pada jaman kejayaannya masing-masing!"
"Pantas! Pantas!" seru Siau Po.
"Tampaknya beberapa orang pemberontak itu cukup terpelajar juga!"
"Meskipun demikian, mereka tidak boleh diberi kesempatan untuk meloloskan diri," kata kaisar Kong Hi.
"Lekas panggilkan To Lung untuk menghadap!" Siau Po segera mengiakan kemudian mengundurkan diri. Dia pergi memanggil To Lung. Dalam waktu yang singkat, kepala siwi itu sudah menghadap raja di kamar tulisnya.
"Ternyata kawanan penyerbu itu memang orang-orang dari keluarga Bhok di Inlam," kata kaisar Kong Hi kepada To Lung, "Sekarang juga kau pimpin pasukan pengawal untuk meringkus mereka. Kau, Siau Kui cu, coba kau jelaskan segala sesuatu yang kau ketahui mengenai para pemberontak itu!" Siau Po menurut Dia segera menjelaskan apa yang diketahuinya, seperti yang diceritakannya kepada kaisar Kong Hi tadi, Dia juga menyebut nama Bhok Kiam seng serta para pembantunya, Ketika To Lung mendengar nama Liu Tay-hong, dia memperlihatkan mimik wajah terkejut.
"Apa?" tanyanya heran. "Tiat-pwe Cong Liong juga ada di antara mereka? Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan Nama Yau Tau Saycu Gouw Lip-sin juga pernah hamba dengar. Tidak disangka, meskipun telah ditahan satu hari satu malam, hamba masih belum berhasil mengetahui siapa nama mereka, Aih! Asal hamba teliti sedikit saja, seharusnya hamba sudah mengetahuinya begitu melihat orang tersebut sering menggelengkan kepalanya. Oh, Sri Baginda, seandainya Sri Baginda kurang bijaksana, tentu kita sudah menuduh Go Sam-kui sebagai biang keladi peristiwa ini!"
"Tapi... aku khawatir mereka sudah kabur sekarang!" kata kaisar Kong Hi. "Mungkin kita tidak akan berhasil menangkap mereka." Sri Baginda menghentikan kata-katanya sejenak, kemudian baru melanjutkan kembali: "Yang penting kita sudah tahu siapa adanya orang-orang itu. seandainya hari ini kita gagal, tidak jadi masalah kalau hari ini kita gagah Yang ditakutkan justru apabila kita buta sama sekali dan dapat dipermainkan oleh pihak musuh seenaknya! Nah, kau pergilah!" To Lung berlutut serta menganggukkan kepalanya, Kemudian dia mengundurkan diri. Saat itu juga dia mengumpulkan para bawahannya untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan.
"Sekarang, Siau Kui cu," kata kaisar Kong Hi pada thay-kamnya, "Mari kau ikut aku menjenguk Ibusuri!"
"Baik, Sri Baginda!" sahut Siau Po. Padahal dalam hati, dia justru khawatir sekali, jantungnya berdebar-debar, Hatinya takut berhadapan dengan Hong thayhou, wajahnya langsung tampak kelam.
"Eh, kenapa kau mengernyitkan alismu?" tanya kaisar Kong Hi. ia merasa heran melihat tampang si bocah, "Kau tahu... Dengan mengajakmu menghadap Hong thayhou, aku justru ingin menyelamatkan batok kepalamu agar tetap menempel di batang lehermu itu!"
"Iya... iya, Sri Baginda," sahut Siau Po yang terpaksa mengikuti raja itu. Begitu sampai di keraton Cu-leng kiong, Raja langsung memberi hormat kepada ibunya, Lalu dia memberi laporan tentang siapa orangnya yang melakukan penyerbuan ke dalam istana, Dia menceritakan bagaimana Siau Po menggunakan akal yang bagus melepaskan para tawanan itu kemudian diikuti sampai ke markasnya sehingga akhirnya dia bisa mengetahui siapa adanya sang pemimpin dari pada pemberontak itu. Thayhou tersenyum setelah kaisar Kong Hi selesai dengan ceritanya.
"Siau Kui cu, kau memang pandai sekali bekerja!" pujinya. Si thay-kam kecil segera menjatuhkan dirinya berlutut dan menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Semua ini berkat terkaan Sri Baginda yang tepat sekali semuanya telah diperhitungkan dengan seksama, Sedangkan hamba hanya menjalankan perintah raja." Lagi-lagi thayhou tersenyum.
"Biasanya kalau seorang anak kecil keluar rumah, dia senang sekali keluyuran kemana-mana," katanya.
"Apakah kau pergi ke Tiankio untuk menonton pertunjukkan sulap? Atau mungkin kau membeli kembang gula di sana?" Hati Siau Po cemas sekali mendapat pertanyaan demikian.
"Iya, memang benar," sahutnya cepat Hatinya berdebar Dia teringat akan pedagang-pedagang yang ditangkapi tentara kerajaan, Semua itu pasti atas perintah ibu suri. Wanita ini pasti takut ada orang yang akan membawa berita ke Ngo Tay san. Karena itu, setiap orang yang mencurigakan harus dibasmi sampai tuntas, Siau Po bergidik mengingat kekejaman dan kejahatan ibu suri. Kembali Hong thayhou tersenyum.
"Aku ingin tanya, apakah kau makan kembang gula hari ini?"
"Harap thayhou maklum," sahut Siau Po yang cerdik. Dia memberikan keterangan yang tidak merupakan jawaban atas pertanyaan ibu suri.
"Selama berada di luar istana, hamba telah mendengar berita tentang wilayah Tiankio yang kurang aman. Para Kiu-bun te tok sudah menitahkan orang-orangnya untuk melakukan penangkapan sebab menurut mereka, ada orang-orang jahat yang membaur di sana. Karena itu, sekarang para pedagang kembang gula, sudah menukar usahanya, Ada yang menjual kue, ada yang menjual kacang tanah dan buah-buahan, orang-orang seperti itu sudah sering hamba lihat Karena itu ada beberapa wajah yang hamba kenal. Mereka mengatakan bahwa sekarang mereka tidak menjual kembang gula lagi, Malah salah satu di antaranya lucu sekali. Dia mengatakan bahwa dia ingin pergi ke gunung Ngo Tay san atau Liok Tay san untuk menjual bakso tanpa daging bagi para pendeta!" Panas hati thayhou mendengar sindiran Siau Po.
"Kalau menilik dari ucapan bocah ini, berarti orang yang dicurigai itu telah gagal ditangkap!" Tapi wanita ini memang licik, Lagi-lagi dia tersenyum.
"Bagus! Bagus sekali!" katanya.
"Kau sangat pandai bekerja. Sri Baginda, aku ingin dia bekerja untukku saja, Bagaimana menurut pemikiranmu?" Siau Po terkejut setengah mati. sedangkan raja merasa heran dan bimbang, Dia tahu Siau Po memang pandai bekerja dan telah dianggap sebagai pembantu dekatnya, sekarang thayhou menghendaki Siau Po untuk bekerja baginya, Kaisar KongHi adalah seorang anak yang berbakti Meskipun thayhou bukan ibu kandungnya, namun dia sudah dibesarkan dan dididik semenjak kecil oleh wanita ini, Mana mungkin dia bisa menentang kehendak ibu suri? Akhirnya dia tersenyum dan berkata kepada thay-kamnya.
"Siau Kui cu, ibu suri telah memilihmu, kenapa kau tidak cepat-cepat mengucapkan terima kasih?"
"Iya,., iya!" sahut Siau Po gugup, Dia memang tercekat hatinya, Bahkan kalau ada kesempatan rasanya dia ingin sekali melarikan diri dari tempat itu, sekarang terpaksa dia menjatuhkan diri berlutut serta menyembah beberapa kali.
"Terima kasih atas budi besar Sri Baginda serta Hong thayhou!" katanya.
"Bagaimana, heh?" tanya thayhou sambil mendengus dingin, Dia dapat melihat sikap Siau Po yang mengucapkan kata-katanya dengan terpaksa sekali, "Apakah kau hanya ingin melayani Sri Baginda dan tidak sudi melayani aku?"
"Melayani Sri Baginda maupun thayhou sama saja," sahut Siau Po.
"Hamba akan sama setianya dan hamba akan menggunakan seluruh kesanggupan hamba untuk menjalankan tugas...."
"Bagus!" kata ibu suri.
"Selanjutnya, tugasmu di Gi si pong tidak usah diteruskan lagi, selebihnya kau hanya bekerja di Cu-leng Kiong ini!"
"Iya, iya, thayhou!" sahut Siau Po cepat, Tentu saja isi hatinya hanya Thian yang tahu, "Terima kasih atas budi kebaikan thayhou!" Raja merasa tidak puas melihat thay-kam kesayangannya diminta oleh ibu suri. Setelah berbincang-bincang sedikit, dia pun mohon diri dari hadapan thayhou. Siau Po segera menggerakkan kakinya untuk mengikuti kaisar Kong Hi.
"Siau Kui cu, kau diam di sini saja!" kata thay-hou.
"Biar orang lainnya yang mengantarkan Sri Baginda, Ada urusan yang akan kuperintahkan kepadamu!"
"Ya, thayhou!" sahut Siau Po. Hatinya ketakutan, namun dia berusaha untuk menenangkan diri, Sambil memperhatikan kepergian raja, otaknya bekerja.
"Sri Baginda, dengan kepergianmu ini, celakalah aku! Entah aku masih bisa bertemu lagi atau tidak dengan Sri Baginda..." Thayhou minum teh perlahan-lahan. Sepasang matanya memperhatikan Siau Po dengan tajam, Hati si bocah cilik semakin terguncang karenanya. Lewat beberapa detik kemudian, ibu suri baru berkata lagi.
"Bagaimana dengan pedagang yang menjual bakso tanpa daging di Ngo Tay san?" Siau Po berlagak pilon.
"Maksud thayhou?"
"Kapan dia akan kembali lagi ke kota Peking?" tanya ibu suri.
"Hamba tidak tahu," sahut Siau Po.
"Kapan kau akan menemui dia lagi?" tanya ibu suri lagi.
"Hamba telah berjanji dengannya untuk bertemu kembali satu bulan kemudian," sahut Siau Po. Dia sengaja menjawab seenaknya, karena otaknya sedang memikirkan jalan untuk meloloskan diri dari tangan ibu suri yang kejam sebab dia tahu dirinya tidak mungkin dibebaskan "Tapi tempat pertemuannya bukan di Tiankio."
"Lalu di mana kalian akan mengadakan pertemuan?" tanya ibu suri.
"Dia akan memberitahu apabila waktunya sudah dekat," sahut Siau Po. Dengan mengucapkan kata-kata ini, Siau Po berharap dia dapat menunda waktu kematiannya. Thayhou menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, baiknya kau berdiam saja di Cuceng kiong sampai datang kabar darinya!" kata ibu suri, Kemudian dia menepuk tangannya dan muncullah seorang dayang yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, Tubuhnya gemuk, tetapi langkah kakinya ringan sekali. Bentuk mukanya bundar dan manis pula, Dia tersenyum ramah, Begitu masuk, dia segera menjura kepada ibu suri. Thayhou menunjuk kepada Siau Po sembari berkata.
"Thay-kam cilik ini bernama Siau Kui cu. Dia bernyali besar dan suka main gila, Aku suka sekali kepadanya!"
"Iya," sahut dayang itu.
"Tampangnya memang cerdas sekali, Eh, saudara kecil, aku bernama Liu Yan, sebaiknya kau memanggil kakak saja kepada-ku."
"Celaka! Kau adalah si babi gendut!" makinya dalam hati, tapi dia segera tertawa dan berkata, "Baik, kakak Liu Yan, Nama kakak bagus sekali, Disebutnya enak dan tubuh kakak memang mirip sekali dengan batang Yang Liu, sedangkan jalanmu ringan seperti burung walet kecil!" Yan artinya burung walet sesuai dengan nama dayang itu. Di depan ibu suri, tidak ada dayang lain yang berani bicara sedemikian rupa mengenai Liu Yan, Tidak demikian halnya dengan Siau Po, si thay-kam baru di Cuceng kiong, Siau Po memang sengaja berkata demikian, sebab dia mengganggap biar bicara seperti apa pun, tidak akan merubah nasibnya dan membebaskan dirinya dari ancaman bahaya. Liu Yan tertawa.
"Ah, adik kecil, mulutmu sungguh manis sekali!" katanya.
"Selain mulutnya manis, kakinya juga gesit!" tukas ibu suri, "Liu Yan, apakah kau mempunyai jalan agar dia tidak keluyuran kesana kemari dan mengelilingi seluruh keraton ini?"
"Thayhou, serahkan saja dia padaku," sahut Liu Yan.
"Biarlah hamba mendidiknya secara baik-baik!" Ibu suri menggelengkan kepalanya.
"Kunyuk kecil ini licin sekali seperti belut," katanya.
"Aku telah menitahkan Sui Tong memanggilnya, tetapi dengan mulutnya yang manis dia justru membuat hantu bernyali kecil itu lari ketakutan Ketika aku mengirimkan empat orang thay-kam lagi, dia malah bersekongkol dengan para siwi untuk membinasakan mereka. Dan waktu aku mengirimkan empat orang yang lainnya lagi, Dia berhasil juga mencelakakan Tang Kim-kwe ber-empat!"
"Oh, oh, saudara kecil!" kata Liu Yan sambil mendecak kagum, "Kalau demikian, kau ini memang sukar diurus, Thayhou, menurut hambamu ini, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh agar dia tidak belari kesana kemari kecuali mengutungkan sepasang kakinya Bukankah dengan demikian dia akan menjadi kalem dan tenang?" Ibu suri menarik nafas panjang.
"Tampaknya memang hanya ada satu jalan itu saja!" katanya. Bukan main tercekat dan takutnya hati Siau Po, Dia langsung mencelat bangun dan lari ke pintu, Tapi baru kaki kirinya melewati pintu, dia merasa kepalanya nyeri sekali! Rupanya kuncirnya telah ditarik oleh seseorang sehingga kepalanya tersentak dan tubuhnya berjungkir balik ke belakang, Setelah itu dia juga merasa dadanya sakit sekali, sebab ada sebelah kaki yang menginjak dadanya itu. Dia melihat kaki itu besar dan gemuk serta mengenakan sepatu bersulam. Ternyata Liu Yan yang bergerak cepat meringkusnya.
"Perempuan bau! Lekas singkirkan kakimu yang bau itu!" damprat Siau Po saking putus asanya, Dia pun menjadi berani karenanya. Liu Yan tidak menjawab Dia malah menekan kakinya semakin keras sehingga Siau Po dapat mendengar suara retakan dan dia merasa nafasnya menjadi sesak.
"Ah, saudara kecil." kata Liu Yan sambil tertawa, "Kakimu justru harum sekali sampai-sampai aku ingin mengutungkannya untuk mengendusnya sepuas hati!" Siau Po berpikir keras, Thayhou sangat membencinya, Kemungkinan sepasang kakinya benar benar akan dikutungkan dan dayangnya itu yang akan menggendongnya pergi mencari Sui Tong Atau mungkin ibu suri akan mengirim orang yang
kepandaiannya tinggi sekali dengan maksud membunuh Sui Tong apabila tiba di Ngo Tay san. Hal ini sekali-sekali tidak boleh terjadi. Di kolong langit ini orang bernama Sui Tong sudah tidak ada, dia suda mati sehingga tidak mungkin bisa ditemukan lagi Dengan demikian, rahasianya pasti akan terbongkar.
"Yang paling penting sekarang adalah bagaimana menyelamatkan sepasang kakiku ini," pikirnya dalam hati, "Bagaimana sekarang? Aku tidak boleh menggertaknya, lebih baik menggunakan akal saja." Dengan membawa pikiran demikian dia segera berkata.
"Thayhou, tidak ada gunanya mengutungkan sepasang kakiku ini, Taruh kata leherku yang dipatahkan sekalipun, paling-paling tubuhku terpotong menjadi dua bagian, Apa artinya? Sebaliknya, kitab Si Cap Ji cin-keng itu harus disayangkan hm!" Mendengar disebutnya nama kitab itu, Thayhou langsung melonjak bangun.
"Apa katamu?" tanyanya ingin menegaskan.
"Yang ku maksudkan adalah beberapa jilid kitab Si Cap ji cin-keng!" sahut Siau Po mengulangi "Dan aku mengatakan bahwa kitab-kitab itu harus disayangkan...."
"Lepaskan dia!" ibu suri segera memberi perintah kepada Liu Yan. Si dayang segera mengangkat kakinya dari dada Siau Po. Dengan sigap tangan kanannya menjambret bagian belakang leher baju bocah itu kemudian menghempaskannya keras-keras ke samping. Siau Po terpaksa berdiam diri diperlakukan demikian, Dia tidak sanggup membela diri. Dayang itu terlalu tangguh baginya, Dalam keadaan seperti ini, dia juga tidak berani memakinya dengan kata-kata "Perempuan bau!" ucapan yang sudah di ujung lidah, terpaksa ditelannya kembali. Terdengar thayhou bertanya kepadanya.
"Dari siapa kau dengar tentang kitab Si Cap Ji cin-keng?"
"Karena kau akan mengutungkan kedua kakiku, aku tidak akan mengatakan apa pun!" sahut Siau Po yang mulai menjalankan siasatnya, "Biar kita sama-sama mengalami kerugian, Aku kehilangan sepasang kakiku dan kau tidak akan mendapatkan kitab Si Cap Ji cin-keng itu!"
"Aku peringatkan kepadamu sebaiknya kau jawab pertanyaan thayhou dengan baik-baik!" ancam Liu Yan. Tapi Siau Po tetap keras kepala.
"Kalau aku jawab, aku akan mati, tidak kujawab, paling-paling mati juga. Karena itu, untuk apa aku menjawab pertanyaannya? Atau, kalian ingin menyiksaku sampai mengaku? Aku tidak takut!" Liu Yan segera menyambar tangan Siau Po. Bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Saudara kecil," katanya sembari tertawa, "Jari tanganmu indah sekali. Runcing dan panjang!"
"Walaupun demikian, paling-paling kau akan mematahkannya!" sahut Siau Po yang mengerti dirinya digertak, "Apa yang harus disayangkan?" Belum lagi kata-katanya selesai, tiba-tiba terdengar suara gemerutuk yang membuatnya kesakitan. Tanpa dapat dipertahankan lagi Siau Po menjerit.
"Aduh!" Ternyata Liu Yan benar-benar menjepit telunjuk Siau Po dan menekuknya keras-keras. Wajah dayang itu memang manis dan suaranya juga merdu sekali, tapi hatinya sangat keji, sedangkan jepitan tangannya tidak kalah dengan capitan besi. Dalam keadaan demikian, Siau Po terpaksa membiarkan airmatanya mengalir jari telunjuknya terasa remuk oleh jepitan Liu Yan.
"Thayhou, cepat bunuhlah aku!" teriaknya dengan air mata tetap meleleh. "Masalah kitab itu, jangan harap aku mengatakannya! Kau akan kubunuh seperti kucing yang mengendus bau harum ikan, tetapi tidak dapat menikmatinya. Ya... Kau hanya bisa mencium baunya saja!"
"Kalau kau bicara yang sebenarnya tentang kitab itu, aku akan mengampuni jiwamu!" kata thayhou.
"Aku tidak membutuhkan pengampunanmu," kata Siau Po.
"Mengenai kitab itu, jangan harap aku akan bicara!" Ibu suri langsung mengernyitkan keningnya, Dia tahu bocah itu keras kepala dan berani, Mungkin akan sia-sia apabila dia menggunakan penyiksaan sebagai jalan keluarnya.
"Dia menyebut Si Cap Ji cin-keng, mungkin dia tahu asal-usul kitab itu," pikir thayhou dalam hatinya.
"Cara apa yang harus kugunakan agar dia mau membuka mulut? Benar-benar sulit!" Thayhou berdiam sekian lama, Akhirnya dia berkata dengan suara perlahan kepada Liu Yan.
"Karena dia tetap tidak mau bicara, kau boleh cungkil kedua biji matanya!"
"Baik, thayhou," sahut Liu Yan, "Pertama-tama aku akan mencungkil dulu sebuah biji matamu. Eh, adik kecil, bola matamu indah sekali, warnanya hitam, bundar dan jernih pula, Setelah dicungkil keluar, aku akan menyimpannya sebagai kenang-kenangan!"
Selesai berkata, jari jempol dan telunjuk kanannya segera menarik kelopak mata Siau Po. Tentu saja hal ini membuat Siau Po kesakitan.
"Jangan korek mataku, nanti aku akan bicara!" teriaknya ketakutan. Liu Yan menarik tangannya kembali Dia tertawa.
"Nah, ini baru sikap anak yang baik!" katanya, "Sekarang kau bicaralah baik-baik, Aku tahu ibu suri sangat menyayangimu!" Siau Po tidak menjawab. Dia hanya mengucek-ngucek matanya karena masih terasa nyeri. Kemudian dia menoleh kepada si dayang, kepalanya digeleng-gelengkan, "Celaka! Celaka!" teriaknya berulang-ulang.
"Apanya yang celaka?" tanya Liu Yan.
"Sudahlah, jangan kau berpura-pura lagi. Thayhou ingin mengajukan pertanyaan kepadamu, mengerti? Nah, kau jawablah secara baik-baik!"
"Kau telah melukai mataku!" kata Siau Po.
"Sekarang kalau aku melihat orang, tampangnya jadi lain, wajahnya saja sekarang lain dari sebelumnya, sekarang tubuhmu tetap seperti manusia, tetapi kepalamu besar seperti babi!" Liu Yan tidak gusar, dia malah tertawa.
"Bagus, kalau begitu akan kurusakkan juga matamu yang sebelah lagi," katanya. Siau Po mundur satu tindak.
"Sudahlah, jangan!" katanya, "Lebih baik aku ucapkan terima kasih saja!" Dasar Siau Po bandel dan cerdas, Dalam keadaan seperti itu, dia masih berlagak konyol Dia merapatkan mata kanannya, dengan mata kiri dia menatap ibu suri. Kemudian dia menggoyang-goyangkan kepalanya, Berbeda dengan Liu Yan, thayhou justru marah sekali, Diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Setan cilik ini tadi melihat Liu Yan dengan sebelah matanya, Dia mengatakan tampangnya sudah berubah, bentuk kepalanya seperti seekor babi yang gemuk, sekarang dia juga melihat padaku sedemikian rupa. Mulutnya tidak mengatakan apa-apa, tapi dalam hatinya entah apa yang diejek-kannya kepadaku!" Karena itu dengan nada dingin dia berkata.
"Liu Yan, kau cungkil saja matanya, paling baik kedua-duanya, Dengan demikian dia tidak bisa melirik kesana kemari!" katanya, "Jangan, Kalau tidak ada biji mata, Bagaimana aku bisa mencari kitab Si Cap Ji cin-keng...."
"Kau mempunyai kitab Si Cap ji cin keng?" tanya ibu suri, "Dari mana kau mendapatkannya?"
"Sui Tong yang menyerahkannya kepadaku, Dia meminta aku menyimpannya baik-baik. Kalau bisa di tempat yang aman dan tersembunyi Lalu dia berkata: "Adik kecil, di dalam istana banyak orang jahat, Kau harus berhati-hati, seandainya terjadi sesuatu pada dirimu, seandainya ada orang yang ingin mencungkil matamu, Biarkan saja. Matamu tidak bisa melihat lagi, Kau tidak bisa menemukan tempat di mana kau menyimpan kitab tersebut sedangkan orang yang mencelakaimu juga sama ruginya. Matanya bisa melihat tapi dia tidak akan menemukan tempat kau menyembunyikan kitab itu. Karena itu, perbuatannya yang ingin mencelakai orang lain sama saja mencelakakan diri sendiri!"
Thayhou tidak percaya Sui Tong akan berkata demikian, tetapi memang dia pernah menitahkan orang itu membinasakan seorang keluarganya untuk merampas kitab Si Cap Ji cin-keng. Hanya saja ketika itu, Sui Tong melaporkan bahwa dia tidak berhasil menemukan kitab itu, Siapa sangka ternyata Sui Tong mengangkangi kitab itu!
Mendengar kata-kata Siau Po, hati ibu suri mendongkol sekaligus gembira. Dia mendongkol sekali karena Sui Tong berani main gila. Dan dia merasa gembira karena ternyata kitab itu benar ada dan sekarang dia akan tahu di mana letaknya.
"Kalau demikian," kata thayhou.
"Liu Yan, pergi kau ajak hantu cilik ini mengambil kitab itu untukku! seandainya kitab itu asli, kita ampuni saja selembar nyawanya dan dia boleh dikembalikan kepada Sri Baginda, untuk selama-lamanya dia dilarang masuk ke dalam keraton Cuceng kiong lagi. Dengan demikian aku tidak perlu lagi melihat wajahnya yang menyebalkan itu!"
"Liu Yan segera menarik tangan kanan Siau Po. Dia tertawa manis.
"Adik, mari kita pergi!" ajaknya. Siau Po mengibaskan tangannya.
"Aku kan laki-laki dan kau wanita!" bentaknya, "Tapi kau justru memegang-megang tangan orang, apa-apaan?"
"Laki-laki macam apa kau ini?" tanya Liu Yan sambil tertawa pula, "Umpama kata kau seorang laki-laki sejati sekalipun, untuk menjadi anakku saja, kau masih terlalu muda!" Siau Po segera mengejeknya.
"Benar? Kau benar-benar ingin menjadi ibuku? Aku memang merasa kau sama dan persis seperti ibuku dalam segala hal!"
"Fui!" kata dayang itu dengan nada menghina.
"Kau tahu, nonamu ini seorang perawan, jangan kau mengoceh sembarangan!" Meskipun demikian, Liu Yan tidak tahu makna ucapan Siau Po. Secara tidak langsung Siau Po memakinya sebagai perempuan hina, karena ibunya bekerja sebagai pelacur di Li Cun wan. Selesai berkata, Liu Yan segera menarik tangan bocah itu untuk diajak pergi. Tiba di lorong yang panjang, rasanya hati Siau Po semakin tidak karuan, Dia bingung sekali karena belum mendapatkan akal untuk meloloskan diri dari dayang yang lihay ini, Dia ingat pisau belatinya disembunyikan dalam kaos kaki, Kalau dia menggunakan tangan kirinya untuk mengambil, mungkin bisa ketahuan. Lagipula dia merasa bimbang menggunakan senjata tajam itu. Mana sanggup dia melawan dayang itu? Mungkin dalam tiga jurus saja, dia akan kena dirobohkan, "Aih, celaka!" pikirnya dalam hati, "Dari mana sih munculnya si gendut ini? Tiba-tiba saja dia muncul! Rupanya ketika si nenek sihir melawan Hay kongkong baru-baru ini, si gendut ini tidak ada di tempat, Kalau tidak, tentu si kura-kura tua itu akan mudah dirobohkan oleh mereka berdua, Mungkin dia baru muncul dalam satu dua hari ini. Coba kalau sejak saat beberapa hari yang lalu dia ditugaskan ibu suri untuk membunuhnya, pasti saat ini jiwanya sudah melayang." Tepat di saat dia berpikir sampai di sini, tiba-tiba saja dia mendapatkan akal yang bagus. Tanpa menunda waktu lagi dia segera mengajak Liu Yan menuju ke timur mereka melewati samping kamar tulis dari keraton Kian-ceng kiong. Dia berpikir, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah memohon pertolongan Sri Baginda, Dia mempunyai dugaan bahwa si gendut ini mungkin belum kenal dengan seluk-beluk istana karena dia baru datang tidak berapa lama. Baru saja Siau Po menindakkan sebelah kaki-nya. Tiba-tiba dia merasa bagian belakang lehernya kena dicekal, kemudian terdengarlah suara tertawanya Liu Yan.
"Eh, adik manis kau mau pergi kemana?"
"Ke kamarku untuk mengambil kitab," sahut Siau Po. otaknya yang cerdik dapat mencari jawaban dengan cepat.
"Lalu kenapa kau malah mengambil arah kamar tulisnya raja?" tanya si dayang yang lihay, "Atau, mungkin kau ingin meminta pertolongannya raja?" Saat itu juga, habislah kesabaran Siau Po.
"Oh, babi kau!" makinya, "Rupanya kau kenal baik seluk-beluk istana ini?" Liu Yan tidak marah, sebaliknya dia malah tertawa.
"Bagian lainnya aku tidak kenal, Tapi Kian-ceng kiong, Cu-leng kiong dan kamarmu ini tidak mungkin salah kukenali!" Dan dia menarik tangan si bocah agar membalik dan melanjutkan kata-katanya: "Lebih baik kau ikut aku dengan baik-baik. jangan macam-
macam!" Suara si dayang terdengar manis dan merdu, tetapi cekalannya bukan main kerasnya, Apalagi ketika leher Siau Po yang dicekal, dia merasa batang lehernya seperti patah, Dua orang thay-kam dari istana ada di dekat sana. Mereka mendengar suara jeritan Siau Po. Mereka langsung berpaling dan mengawasi. Melihat keadaan itu, Liu Yan segera berkata dengan suara perlahan.
"Thayhou telah berpesan kepadaku, seandainya kau berniat kabur atau berkaok-kaok sembarangan, aku harus segera membunuhmu!"
Siau Po diam. Dia sadar bahwa sia-sia saja dia berteriak-teriak memanggil raja. Menghadapi ibu suri, raja tidak perdaya, Tidak mungkin dia menyuruh para siwi membunuhnya tanpa alasan yang kuat. Tepat di saat dia sedang berpikir tiba-tiba dia merasa pinggangnya nyeri sekali, Rupanya Liu Yan telah menyikutnya dengan keras kemudian terdengar dia berkata lagi dengan suara perlahan.
"Apakah kau sedang memikirkan akal bulus lainnya?" Saat itu, Siau Po benar-benar tidak mempunyai akal lain, Terpaksa ia melangkahkan kaki ke kamarnya sendiri, tapi dia berpikir kembali: "Di dalam kamarku, aku mempunyai dua orang kawan, tapi sayangnya Pui Ie sedang terluka, Demikian juga Siau kuncu. Kami bertiga mungkin tidak sanggup melawan si babi gendut ini. Sebaliknya, kalau dia sampai memergoki kedua gadis itu, artinya aku mengundang bencana besar." Sekejap saja mereka sudah sampai di depan pintu kamar Siau Po mengeluarkan anak kuncinya, Sengaja dia membenturkan anak kunci itu agar bunyinya nyaring, Dia sengaja berkata dengan suara keras.
"Perempuan bau! Kau begini menyiksa aku, Awas kau! Nanti pada suatu hari aku akan membuatmu mati penasaran!" Liu Yan tertawa dan menjawab, "Untuk menjaga dirimu sendiri agar mati baik-baik saja kau masih tidak mampu, Bagaimana kau masih sanggup mengurus kematian orang lain?" Siau Po tidak menjawab, Dia membuka pintu kamarnya keras-keras. Dia berkata lagi dengan suara lantang, "Kitab itu, aku berikan kepada thayhou atau tidak, sebetulnya sama saja. Kau pasti akan membunuhku juga, Kau sangka aku begitu dungu dan tetap mengharapkan kehidupan?" Sekali lagi Liu Yan tertawa.
"Thayhou sudah menjanjikan akan memberikan pengampunan terhadapmu Kemungkinan dia akan menepati janjinya itu, Paling-paling sepasang biji matamu akan dicungkil atau sepasang kakimu yang dikutungkan!"
"Hm!" Siau Po memperlihatkan sikap yang berani sekali, "Apakah kau kira thayhou akan memperlakukan kau secara baik dengan terus menerus? Kau tahu, setelah membunuh aku, thayhou juga akan membinasakan dirimu untuk membungkam mulutmu!" Liu Yan tertegun, Kata-kata itu tepat menusuk hati kecilnya, Tapi hanya sebentar saja, tiba-tiba dia mendorong tubuh Siau Po dengan keras sehingga membentur daun pintu. Selama pembicaraan di antara mereka berlangsung, Pui Ie dan Kiam Peng dapat mendengar dengan jelas, Karena itu mereka segera menduga bahwa orang yang datang dengan si bocah cilik itu pasti orang jahat. Keduanya segera menyembunyikan diri di bawah selimut Mereka bahkan menahan nafas dan tidak berani bersuara. Terdengar kembali suara tawa Liu Yan.
"Lihat hari sudah siang sekali dan aku tidak mempunyai waktu untuk menunggumu lama-lama, Cepat kau keluarkan kitab itu!" katanya sambil mendorong tubuh Siau Po sehingga bocah itu menjadi terhuyung-huyung. Justru pada saat itulah, Siau Po melihat sepasang sepatu sulam di kolong tempat tidurnya, Dalam hati dia sampai menjerit celaka, Sepatu itu bisa membahayakan jiwanya, Untung saja saat itu sudah agak siang dan lilin di dalam kamar tidak dinyalakan, Liu Yan juga tidak melihatnya. Karena itu dia sengaja menjatuhkan diri, seperti orang yang terpeleset, Sepatu itu didorongnya ke dalam lorong tempat tidur,
sekaligus dia sendiri juga menyelinap ke dalamnya.
"Akan kubunuh si babi hutan yang gemuk ini, seperti aku membunuh Sui Tong," pikirnya, justru di saat dia menekuk kakinya sedikit untuk mencabut pisau belati, tapi saat itu juga dia merasa kakinya ditarik oleh seseorang kemudian telinganya mendengar suara Liu Yan yang membentaknya.
"Hei, apa yang kau lakukan?"
"Aku mau mengambil kitab itu," sahut Siau Po yang cerdik.
"Kitab itu aku simpan di kolong tempat tidur ini!"
"Baiklah," kata Liu Yan yang langsung melepaskan cekalannya, ia pikir bocah itu toh ada di dalam kamar sehingga tidak mungkin meloloskan diri darinya. Senang sekali hati Siau Po. Dia segera menarik kaki kanannya kemudian mencabut pisau belati itu, Dia menggenggam pisau itu dengan tangan kirinya, "Mana kitabnya?" tanya Liu Yan. "Ke sinikan!"
"Ah, celaka!" teriak Siau Po dari dalam kolong, "Rupanya ada si buntut panjang yang menggigit buku ini sampai robek tidak karuan!"
"Jangan main gila di hadapanku!" bentak Liu Yan.
"Percuma! Lebih baik kau serahkan kitab itu!" karena mendongkol dia segera mengulurkan tangannya ke kolong tempat tidur Dia ingin menyambar kitab itu, tapi ia hanya mengenai tempat yang kosong. Siau Po sudah menyusup lebih dalam lagi. Dia merapatkan tubuhnya di dinding kamar. Liu Yan merasa penasaran Dia menjulurkan tangannya lebih dalam lagi Dengan demikian dia harus berjongkok terlebih dahulu, Tangannya sudah menyusup cukup jauh. Siau Po menggeser tubuhnya sehingga Liu Yan tidak bisa mencapainya, Dua kali dia lolos dari sambaran orang, tetapi yang terakhir dia bukan hanya menghindar tetapi sekalian menikam tangan orang itu. Liu Yan lihay sekali, Begitu gagal menyambar dia langsung menarik pulang tangannya sehingga dia tidak sampai tertikam, Dan rupanya gerakan dayang itu hanya siasat saja, hampir dalam waktu yang bersamaan dia mengulurkan tangannya untuk mencekal tangan Siau Po. Siau Po terkejut setengah mati, pisau belati nya langsung terlepas, Liu Yan tertawa.
"Kau ingin membunuhku bukan?" tanya nya.
"Sekarang aku akan mencungkil sebelah matamu terlebih dahulu!" Dengan gesit Liu Yan mencekik kerongkongan lalu tangan kirinya menjulur ke mata bocah itu.
"Ada ular berbisa!" teriak Siau Po tiba-tiba lalu dia menjerit. Liu Yan tercekat hatinya.
"Ada apa?" tanyanya gugup.
"0h...!" terdengar dia mengeluarkan seruan tertahan.
Cekikannya pada tenggorokan Siau Po mengendur, kemudian tubuhnya terkulai lalu menggelepar-gelepar seperti orang kena sakit ayan dan akhirnya tidak berkutik lagi. Siau Po terkejut juga senang, Dia segera merayap keluar dari kolong tempat tidur.
"Apakah kau tidak terluka?" tanya Siau kuncu. Siau Po berdiri sebelum menjawab pertanyaan itu, dia menyingkap kelambu tempat
tidurnya, Dia melihat Pui Ie sedang duduk di atas tempat tidur, kedua tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, nafasnya tersengal-sengal. Tubuh pedangnya sendiri amblas dari atas tempat tidur sampai ke kolong. Rupanya nona Pui inilah yang telah menikam Liu Yan karena dia sadar si thay-kam cilik sedang terancam bahaya, Dan hunjaman pedangnya tepat mengenai punggung wanita itu serta amblas sampai depan dadanya. Siau Po segera mendupak pinggul Liu Yan yang bulat, Setelah itu ia baru berkata.
"Bagus! Bagus! Kakak yang baik, kau telah menolong selembar nyawaku!" katanya, Siau Po segera mencabut pedang Pui Ie lalu digunakannya untuk menikam Liu Yan sebanyak dua kali, Dia khawatir perempuan itu masih belum mati."
"Siapa wanita jahat ini?" tanya Siau kuncu "Mengapa dia begitu keji? Tadi aku dengar di hendak mencungkil biji matamu!"
"Dia merupakan salah satu bawahan si nenek sihir yang paling lihay," sahut Siau Po. Kemudian dia menoleh kepada Pui Ie dan bertanya kepadanya dengan penuh perhatian "Apakah lukamu masih terasa sakit?" Pui Ie mengernyitkan keningnya, "sekarang sudah jauh berkurang," sahutnya Nona ini berbohong, Barusan dia menggunakan segenap tenaganya untuk menikam, Hal ini justru membuatnya kesakitan dan hampir saja dia jatuh pingsan, itulah sebabnya nafas gadis itu masih tersengal-sengal.
"Sebentar lagi si nenek sihir pasti akan mengirim orangnya lagi untuk menyusul Liu Yan," kata Siau Po kemudian, "Sekarang juga kita harus memikirkan jalan untuk meloloskan diri, Oh, ya... aku ingat sekarang, sebaiknya kalian berdua menyaru sebagai thay-kam saja, Lalu bersama-sama kita menyelinap keluar dari sini, Kakak Pui, apakah kau sanggup berjalan?"
"Kalau dipaksakan sih bisa saja," sahut Pui Ie.
"Baiklah kalau begitu," kata Siau Po.
"Sekarang, cepatlah kalian berdandan!" Dia segera mengeluarkan dua perangkat pakaiannya, yakni seragam para thay-kam, yang langsung diberikannya kepada kedua gadis itu. Dia sendiri segera bekerja, Mula-mula dia menarik keluar mayat Liu Yan, Lalu dengan bubuknya yang istimewa dia hancurkan seluruh tubuh wanita yang sudah mati itu sampai lumer menjadi cairan kuning.
Dia juga tidak lupa mengambil seluruh uang miliknya serta kitab rahasia serta tiga jilid kitab Si Cap Ji cin-keng, Tentu saja dia juga ingat membawa semua emas permatanya. Tiba-tiba dia teringat baju dalamnya yang menurut pesan gurunya harus dikenakan terus. Dia segera mengambil pakaian itu, tapi untuk diserahkan nya kepada Pui Ie.
"Kakak yang baik, kau pakailah baju dalam ini. Baju ini baju mustika yang tidak bisa ditembus oleh senjata tajam!"
"Lebih baik kau sendiri saja yang memakainya!" sahut Pui Ie.
"Kau lebih memerlukannya daripada aku!" kata Siau Po.
"Kau sedang terluka, kalau kita kepergok para siwi dan diserang, belum tentu kau sanggup melawannya, Dengan memakai baju ini, kau tidak perlu khawatir akan terluka, Ayo, lekas kau pakai!"
"Lebih baik Siau kuncu saja yang memakainya.,." sahut Pui Ie.
"Kau saja!" kata Kiam Peng menolak, "Kau sedang terluka dan lukamu itu cukup parah!"
"Ibu suri hendak mencelakakan kau," kata Pui le kepada Siau Po. "Lebih baik kau saja yang memakainya!" Dia langsung menyingkapkan kelambu dan masuk ke dalam tempat tidur. Siau Po tetap memaksanya.
"Kalau kau tidak mau mengenakannya, baik! Aku yang membantumu memakainya!" katanya, Dia langsung menyingkap kelambu tempat tidur itu dan ikut masuk ke dalamnya.
"Keluar! Keluar!" teriak Kiam Peng, "Kami belum selesai berpakaian!"
"Dia tidak mau memakai baju ini, aku yang memakaikannya!" kata Siau Po. Pui Ie menarik nafas panjang.
"Baiklah!" sahutnya kemudian "Berikan baju itu padaku!"
Bagian 26
Dia pun mengulurkan tangannya menyambut baju yang disodorkan oleh Siau Po. sementara kedua gadis itu masih mengganti pakaian, Siau Po menggunakan kesempatan itu untuk memeriksa barang-barang peninggalan Hay kongkong, terutama untuk mengambil beberapa macam obat. Kiam Peng yang selesai terlebih dahulu, Ketika dia turun dari tempat tidurnya, Siau Po langsung memuji.
"Benar-benar seorang thay-kam yang tampan! Mari aku bantu kau jalin rambutmu!" Sejenak kemudian, Pui Ie juga keluar dari balik kelambu. pinggangnya kecil dan tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Siau Po sehingga tampaknya singset sekali, Ketika dia bercermin, dia menjadi tertawa sendiri. Kiam Peng pun tertawa.
"Biar dia yang menjalin rambutku!" katanya, "Nanti aku bantu kau menjalin rambutmu!" Siau Po tidak memperdulikannya, Dia segera mengurai rambut panjang Kiam Peng lalu menjalinnya kembali Dia membuat kuncir secara sembarangan.
"Ah, jelek betul!" serunya, "Nanti aku perbaiki lagi!"
"Tidak usah," kata Siau Po.
"Waktunya sudah tidak ada. Hari sudah mulai gelap, Kita tidak bisa keluar dari istana, Mungkin sebentar lagi si nenek sihir akan mengirim orang lainnya karena Liu Yun masih belum kembali juga. Kita harus mencari tempat untuk menyembunyikan diri, besok pagi-pagi baru kita keluar dari istana!"
"Apakah thayhou tidak akan menyuruh orangnya menggeledah seluruh keraton?" tanya Pui Ie.
"Dia toh bisa melakukan hal itu?"
"Bisa sih bisa, tapi belum tentu dia akan me-lakukannya!" sahut Siau Po.
"Kita lihat saja nanti. sekarang kalian ikut aku!" Siau Po teringat kamar di mana dulu dia sering berlatih gulat dengan kaisar Kong Hi. Setahunya kamar itu cukup aman karena tidak pernah di-masuki orang lain. Kaki Kiam Peng tidak terlalu nyeri lagi, dia bisa berjalan, Pui Ie juga bisa jalan, tetapi setiap kali melangkahkan kakinya, dia harus menahan rasa sakit di dadanya, Karena itu, Siau Po segera membimbingnya untuk berjalan setindak demi setindak, Untung saja seluruh tempat itu sudah gelap dan sunyi Mereka tidak bertemu dengan seorang thay-kam pun. Begitu sampai di kamar tempat Siau Po dan kaisar Kong Hi berlatih, baru ketiganya dapat menghembaskan nafas lega. Tadi jantung mereka berdebaran dan hati mereka tegang sekali Siau Po segera memalang pintu kamar dan membawa Pui Ie untuk duduk di atas sebuah kursi.
"Di sini sebaiknya kita jangan berbicara kalau tidak perlu sekali," kata Siau Po.
"Kamar ini dekat sekali dengan koridor panjang dan tidak sesunyi kamarku." Pui Ie menganggukkan kepalanya, begitu juga Kiam Peng. Malam makin gelap, Ketiga orang itu sampai tidak dapat melihat wajah teman-temannya. Ketika berdiam diri, Kiam Peng segera membuka kuncirnya kemudian merapikannya kembali. Pui Ie ikut meraba kuncirnya, tetapi tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kenapa kau?" tanya Siau Po heran. Dia ter-kejut sekali
"Tidak apa-apa..." sahut Pui Ie.
"Aku hanya kehilangan tusuk kondeku...."
"Iya, aku ingat sekarang!" kata Kiam Peng. Ketika aku melepaskan tusuk kondemu, aku meletakkannya di atas meja, selesai mengepang rambutmu, aku jadi lupa memasangnya kembali Celaka betul! Tusuk konde itu kan pemberian Lau suko!"
"Sudahlah," kata Pui Ie "sebatang tusuk konde toh tidak berarti apa-apa!" Dalam telinga Siau Po, ucapan Pui Ie justru berarti banyak sekali sebatang tusuk konde memang tidak berarti apa-apa, tapi nada suara si nona lain sekali. Jelas nona itu
sangat menyayangi tusuk konde yang merupakan pemberian Lau It-cou, kakak seperguruan sekaligus kekasih hatinya itu.
"Berbuat kebaikan jangan kepalang tanggung," pikirnya dalam hati "Sebaiknya aku kembali lagi ke kamar untuk mengambilnya."
Setelah berpikir demikian, Siau Po berdiam diri sejenak, Sesaat lagi dia baru berkata.
"Aku lapar sekali, Kalau sebentar lagi fajar menyingsing, aku tidak akan kuat berjalan, Kalian tunggu di sini, aku akan pergi mencari makanan!"
"Kau harus kembali cepat-cepat!" pesan Kiam Peng.
"Iya!" sahut Siau Po. Kemudian dia membuka pintu dengan hati-hati dan melongok ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada orang lain disekitar tempat itu. Setelah yakin, dia cepat-cepat merapatkan pintu kamar kembali dan kembali ke tempatnya sendiri. Dia tidak berani lancang memasuki kamarnya, Pertama-tama dia mengambil jalan memutar dan memasang telinga, Dia khawatir ibu suri sudah mengirim orang lain ke kamarnya, Setelah mendapat kenyataan bahwa di sana sepi-sepi saja, dia baru mendorong daun jendela dan melompat ke dalam. Sinar rembulan membuat tusuk konde Pui Ie yang tergeletak di atas meja memancarkan cahaya yang berkilauan Benda itu terbuat dari perak dan harganya paling banyak dua tail. Buatannya juga kasar, tapi Siau Po mengerti bahwa tusuk konde itu berarti sekali bagi Pui Ie.
"Hm!" pikir Siau Po.
"Dasar Lai It-cou itu bocah melarat Barang sejenak ini dihadiahkannya juga kepada nona Pui!" Dia meludahi tusuk konde itu beberapa kali, Kemudian dia menyekanya dengan ujung baju dan menyimpannya dalam saku, Kemudian dia juga mengambil kue kering
yang selalu tersedia di mejanya. Ketika hendak berlalu, dia melihat bayangan berwarna merah di atas lantai, itulah sepasang sepatu yang masih lengkap dengan kakinya, Kaki-nya Liu Yan! Rupanya lantai kamarnya tidak rata dan bubuk obat yang mencairkan tubuh itu mengalir ke dalam lekukan sehingga sebagian kaki Liu Yan tidak ikut mencair Mula-mulanya Siau Po memang terkejut, namun kemudian dia sadar apa sebabnya. Setelah berdiam sejenak, dia berpikir lagi.
"Bagaimana baiknya sekarang?" dia kebingungan "Obat itu ada dalam buntalan buntalan dan dipegang oleh Pui Ie, Tanpa obat, kaki dan sepatu ini tidak dapat dimusnahkan. Dibawa juga merepotkan...." Sesaat kemudian dia sudah mendapat pikiran yang bagus, "Kali ini, begitu keluar dari istana, aku tidak akan kembali lagi, Dengan demikian aku juga tidak akan bertemu lagi dengan si nenek sihir Karena itu, ada baiknya sepasang kaki ini aku lemparkan ke dalam kamarnya agar dia kaget setengah mampus!" Membawa pikiran itu, Siau Po segera mengambil secarik kain yang digunakannya untuk membungkus kaki itu, Kemudian dia melompat keluar lewat jendela serta langsung menuju keraton Cu-leng Kiong. Begitu jaraknya dengan kamar ibu suri sudah dekat, dia tidak berani langsung meneruskan langkah kakinya, Untuk sesaat dia berputaran di taman bunga sambil memasang telinga.
"Kalau aku kurang berhati-hati sedikit saja, tentu aku bisa kepergok si nenek sihir dan kali ini aku tidak bisa menyelamatkan diri lagi," pikirnya dalam hati. Setengah khawatir, setengah mendongkol mengingat kebencian ibu suri, Siau Po
perlahan-lahan mendekati kamarnya ibu suri itu. Tangannya sampai berkeringat saking tegangnya, "Akan kuletakkan sepasang kaki ini di depan undakan tangga," kata Siau Po dalam hati.
"Nanti pagi dia pasti akan melihatnya. sedangkan bila dilempar ke dalam kamarnya, hal ini terlalu riskan bagiku!" Siau Po maju dua tindak lagi, Langkahnya ringan sekali, Tiba-tiba dia mendengar suara seorang laki-laki dalam kamar thayhou.
"Ah, aneh si A Yan, Mengapa dia belum kembali juga?" Siau Po bingung.
"Eh, kenapa di dalam kamar thayhou ada suara laki-laki?" tanyanya, "Suara itu juga tidak sama dengan suara para thay-kam, Apa mungkin nenek sihir itu mempunyai simpanan? Ha,., ha,.,.! Lohu ingin menangkap basah orang yang sedang main asmara!"
Di dalam hatinya, Siau Po mengatakan ingin menangkap basah thayhou, tapi belum tentu dia berani melakukannya, jangan kata memergoki ibu suri, melihatnya saja dia ngeri, Di lain pihak, dia juga tidak sudi melepaskan sepasang kaki Liu Yan begitu saja, Dengan mengendap-endap, Siau Po maju lagi beberapa tindak lagi. Langkah kakinya semakin ringan dan perlahan Dia harus berhati-hati agar jangan sampai menginjak ranting pohon yang mana akan menerbitkan suara. Kembali terdengar suara pria itu.
"Jangan-jangan telah terjadi sesuatu! Kau tahu sendiri, setan cilik itu sungguh licik, Kenapa kau membiarkan A Yan sendiri saja yang membawanya?"
"Ah, mereka tengah membicarakan diriku," pikir Siau Po. "Mesti aku dengarkan terus.,." karena itu dia terus memasang telinga. Kali ini dia mendengar suara sahutan seorang wanita, "llmu silatnya A Yan sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada dia. Dia juga cerdik dan selalu siap siaga, mana mungkin terjadi apa-apa pada dirinya?" Siau Po segera mengenalinya sebagai suara ibu suri dan wanita itu melanjutkan kata-katanya kembali.
"Mungkin kitab itu disimpan di tempat yang jauh sehingga A Yan harus membawa bocah itu mengambilnya!"
"Bersyukurlah kalau kitab itu masih bisa didapatkan," kata yang laki-1aki.
"Kalau tidak, hm... hm...!" Nada suara laki-laki itu keras dan berwibawa. Tampaknya dia tidak begitu menghormati ibu suri, Saking herannya, Siau Po jadi ingin lebih tahu.
"Di kolong langit ini siapa orangnya yang berani bicara begitu kurang ajar terhadap ibu suri? Mungkinkah dia si raja tua yang sudah kembali dari Ngo Tay san?" pikirnya dalam hati. Memikirkan kemungkinan kaisar Sun Ti yan sudah kembali ke istana, diam-diam hati Siau Po jadi senang, kegembiraannya muncul secara tiba tiba. Dia menganggap dirinya akan menonton suatu pertunjukan yang hebat. Kembali terdengar suaranya ibu suri.
"Kau toh tahu, aku sudah menggunakan segala macam cara, Orang dengan kedudukan seperti aku ini kan tidak mungkin menentengnya kemana mana? Mustahil aku harus mondar-mandir dengan menggiringnya. Apabila aku melangkah keluar satu tindak saja dari Cu-leng kiong ini, para thay-kam dan dayang-dayang akan mengiringiku, Karena itu mana mungkin aku berbuat demikian?"
"Tidak dapatkah kau menunggu sampai malam tiba baru membawanya?" kata si laki-laki. Nadanya mendesak sekali, "Kalau memang itu yang menjadi alasanmu, mengapa kau tidak memberitahukann kepadaku agar aku sendiri yang akan membawanya untuk mengambil kitab itu?"
"Tidak berani aku membuatmu letih," sahut thayhou, "Keberadaanmu di sini, biar bagaima tidak boleh ada orang yang mengetahuinya!" Laki-laki itu tertawa dingin.
"Urusan ini toh besar dan penting sekali," katanya tajam "Menghadapi urusan semacam inipun tidak perlu kita perdulikan lagi. Aku tahu apa sebabnya kau tidak bersedia memberitahukan kepada kita! Kau khawatir aku akan merebut jasa yang telah kau tanamkan!" Suara itu mengandung kemarahan dan penasaran.
"Apa jasaku?" tanya ibu suri, "Ada jasa, begini. Tidak ada jasa, toh begini juga." Suaranya justru mengandung penyesalan.
Coba kalau Siau Po tidak kenal baik dengan suara ibu suri, tentu dia tidak akan percaya bahwa wanita itu bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Dalam anggapannya, pasti salah seorang dayang yang mengatakannya. Kedua orang itu bicara dengan perlahan, tapi jarak Siau Po sudah dekat sekali sehingga dia dapat mendengar dengan jelas, Apalagi malam itu sunyi sekali.
Siapakah pria itu? sekarang Siau Po menyangsikan kalau itu adalah kaisar Sun Ti. Bukankah sang kaisar telah mensucikan diri di gunung Ngo Tay san? Saking kerasnya keinginan dalam hati Siau Po untuk mengetahui siapa orang itu, ia memberanikan diri mendekati jendela, Dia mengintai di sela-selanya. Dilihatnya ibu suri sedang duduk di atas tempat tidur, sedang seorang dayang sedang berjalan mondar-mandir dalam kamar itu dengan memangku sepasang tangannya di depan dada. Selain mereka berdua, tidak ada orang lainnya lagi di dalam kamar itu!
"Eh, kemana perginya laki-laki itu?" tanya Siau Po dalam hati, Dia menjadi kebingungan Matanya celingak-celinguk, hatinya terus bertanya-tanya. Tiba-tiba si dayang membalikkan tubuhnya.
"Sudah! Tidak perlu kita menunggunya lagi!" katanya. "Aku akan pergi melihatnya!" Mendengar suara orang itu, Siau Po terkejut setengah mati, Suara itu bukan lain dari suara si laki-laki tadi, tapi bentuk orangnya sendiri seperti dayang yang biasa melayani putri atau ibu suri dalam kerajaan. Rupanya dia seorang laki-laki yang menyamar sebagai dayang!
"Mari kita pergi bersama!" kata ibu suri. Dayang itu tertawa datar. "Apakah kau merasa khawatir?" tanyanya.
"Bukannya hatiku tidak tenang," kata ibu suri, "Aku bingung dan cemas telah terjadi sesuatu atas diri A Yan. Dengan berdua, kita bisa menghadapinya bersama apabila terjadi apa-apa!" Dayang itu menganggukkan kepalanya.
"Ya, apa yang kau katakan ada benarnya juga!" sahutnya, "Memang kita harus waspada, agar perahu kita tidak berbalik haluan dan tercebur atau karam Mari kita pergi bersama!" Thayhou menganggukkan kepalanya, Kemudian dia berdiri untuk menyingkapkan kasurnya, Kemudian tampak dia mengangkat sehelai papan. Diterangi oleh cahaya lilin dalam kamar, tampak tangannya telah mencekal sebatang pedang, Yang mana kemudian dimasukkannya ke balik pakaian.
"Oh, rupanya di bawah tempat tidur itu ada tempat rahasianya," kata Siau Po dalam hati, Tentunya untuk menjaga segala kemungkinan, dia menyembunyikan pedang itu di tempat tersebut Dengan demikian mudah diambilnya bila terjadi apa-apa." Ibu suri dan dayang gadungan itu segera keluar dari kamar, Lilinnya tidak dipadamkan Sembari memperhatikan otak Siau Po terus bekerja.
"Sebaiknya aku letakkan sepasang kaki Liu Yan ini di tempat rahasianya, pikirnya kemudian "Kalau sebentar dia kembali lagi dan menyimpan pedang-nya. Pasti dia akan menyentuh sepasang kaki ini dan kaget setengah mati. Karena menganggap siasat itu bagus sekali, tanpa bimbang lagi Siau Po masuk ke dalam kamar ibu suri, Dia langsung menuju tempat tidur dan menyingkapkan kasurnya, Di bawah situ ada gelang besar yang digunakan untuk menarik papannya, Dan Siau Po langsung melihat tiga jilid kitab Si Cap Ji cin-keng! Bocah itu segera mengenali ketiga kitab tersebut. Yang satu memang milik ibu suri sendiri, yang kedua didapatkannya dari rumah Go Pay, demikian pula yang ketiga.
"Entah ada manfaat busuk apa dari kitab ini?" pikir Siau Po dalam hatinya, namun hatinya senang sekali dengan penemuannya itu. "Mengapa setiap orang demikian menghargainya? Lebih baik aku ambil saja semuanya, biar si nenek sihir kelabakan setengah mati dan langsung jatuh semaput!" Di dalam kotak rahasia itu masih ada beberapa macam barang lainnya, tetapi Siau Po tidak berani membuang-buang waktu untuk memeriksanya. Hanya sekilas dia melihat ada beberapa jilid kitab lainnya. Dia hanya mengambil ketiga jilid kitab itu yang dibungkusnya dengan sobekan kain taplak meja, Sebagai gantinya, dia memasukkan sepasang kaki Liu Yan ke dalam kotak rahasia tersebut Kemudian dia menutup papannya kembali dan menurunkan kasurnya, Ketika dia membalikkan tubuhnya dan bersiap untuk pergi, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka lalu didorong.
"Celaka!" seru Siau Po dalam hatinya, Dia tidak menyangka bahwa ibu suri dan dayang palsu itu akan kembali demikian cepat, Tidak ada jalan lainnya, Dia segera menyusup ke dalam kolong tempat tidur untuk bersembunyi jantungnya berdebar-debar, hatinya ketakutan setengah mati, Kalau dia sampai kepergok.... Dalam hatinya, Siau Po berharap ibu suri kembali karena ketinggalan sesuatu, dan setelah menemukannya dia akan keluar lagi, Tentu saja dia berharap barang itu tidak disimpan dalam kotak rahasia. Pintu kamar segera terbentang lebar dan seseorang melompat masuk, Gerakannya cepat dan langkahnya ringan.
Rupanya orang itu bukan ibu suri, tetapi seorang wanita bersepatu hijau muda, celananya juga berwarna sama, Kalau dilihat dari celananya, dapat dipastikan bahwa dia seorang dayang.
"Entah Lui Cu atau bukan yang datang ini.,." Siau Po menerka-nerka dalam hati. Dia belum sempat melihat wajah orang itu. "Kalau dia tidak cepat-cepat pergi, terpaksa aku harus membunuh-nya.... Tunggu sampai dia mendekati tempat tidur ini...."
Siau Po mengeluarkan pisau belatinya yang tajam, Dia bersiap menikam perut orang itu agar tewas seketika, Siau Po memang tidak bisa melihat dengan jelas, tapi dia dapat mendengar. Dia mendengar suara lemari dibuka, Kerjanya cepat, entah apa yang
dicarinya, Dia tidak mendekati tempat tidur, Kemudian dia juga mendengar suara gerakan senjata tajam yang merusak dua buah peti kayu, "Ah, dia pasti bukan sembarangan dayang!" kata Siau Po dalam hati. Dia menjadi bertanya-tanya sendiri. Hatinya juga dilanda perasaan heran.
"Dapat dipastikan bahwa tujuannya masuk ke kamar ibu suri ini adalah untuk mencuri. Mungkinkah dia juga mencari kitab Si Cap Ji cin-keng? Dia membawa senjata tajam. Hal ini membuktikan bahwa dia mengerti ilmu silat Aku tidak boleh keluar. Bisa-bisa dia membunuhku terlebih dahulu." Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po terus mendekam di kolong tempat tidur. Dayang itu masih mengacak di sana-sini. Beberapa peti kembali dirusaknya, Siau Po menjadi khawatir sekaligus mendongkol.
"Kalau kau tidak cepat-cepat berlalu, sebentar lagi si nenek sihir itu pasti akan kembali Tidak apa kalau kau sendiri yang mampus, bagaimana kalau aku sampai terbawa-bawa dan selembar jiwa Wi Siau-po ini terpaksa harus pulang ke alam baka?" makinya dalam hati. Tampaknya wanita itu sibuk sekali Dia masih belum berhasil menemukan apa yang dicarinya, Hal ini terbukti dari tindakannya yang kembali merusak beberapa buah peti Suaranya juga bising sekali.
"Mungkin dia memang sedang mencari kitab Si Cap Ji cin-keng ini," pikir Siau Po bingung, "Apa sebaiknya aku lemparkan saja sebuah kitab ini agar dia cepat-cepat pergi?" Tapi, tepat pada saat itu juga, terdengar suara langkah kaki mendatangi.
"Aku yakin Liu Yan, si perempuan hina itu telah berhasil mendapatkan kitab tersebut dan membawanya kabur!" segera terdengar suara ibu suri. Siau Po terkejut setengah mati Dia merasa mendongkol juga bingung, Si wanita yang berdandan seperti dayang tidak mempunyai kesempatan untuk kabur lagi Dia segera menyelinap ke dalam lemari yang kemudian ditutupnya dari dalam.
"Apakah kau benar-benar mengirim Liu Yan untuk mengambil kitab itu?" Terdengar suara 1aki-laki tersebut "Bagaimana aku bisa tahu bahwa apa yang kau katakan adalah hal yang sebenarnya?"
"Apa katamu?" tanya thayhou dengan nada gusar "Aku tidak menyuruh Liu Yan mengambil kitab itu? Lalu, apa yang kusuruh ia lakukan?"
"Bagaimana aku bisa tahu peran apa yang sedang kau mainkan? Siapa tahu sebenarnya kau hanya ingin menyingkirkan Liu Yan yang menjadi duri di matamu?"
"Hm!" terdengar suara thayhou yang bukan main marahnya, "Bagus! Begini rupanya kelakuanmu sebagai seorang suheng (kakak seperguruan)? Bagaimana kau bisa berkata begitu? Liu Yan kan sumoayku! Mana mungkin aku tega mencelakakan nya?" Siau Po berpikir dalam hati.
"Dia menyebut-nyebut soal suheng dan sumoay. "Rupanya dayang palsu ini suhengnya, sedangkan Liu Yan adalah sumoaynya...."
Si dayang berkata lagi, "Nyalimu memang besar dan hatimu juga keji! Hal apa yang tidak dapat kau lakukan?"
Siau Po semakin heran, Kedua orang itu berjalan masuk ke dalam kamar, Begitu mereka melihat keadaan dalam kamar, keduanya langsung bingung serta terperanjat sehingga mengeluarkan seruan tertahan, Terutama ibu suri. Kamar itu kacau sekali, semua peti dirusak dan dibongkar, isinya berantakan kemana-mana!
"Ah ada orang mencuri kitab!" teriak ibu suri tercekat hatinya ketika teringat kitab yang disimpannya, Dia langsung menghambur ke tempat tidur untuk menyingkapkan kasurnya serta membuka kotak rahasia.
"Aduh!" jeritnya, Kitab yang disimpannya benar-benar lenyap, sebaliknya di situ, dia mendapatkan sepasang kaki yang mengenakan sepatu sulam, "Lihat ini!" Laki-laki yang menyaru sebagai dayang segera menyambuti.
"Sepasang kaki orang!" serunya heran.
"Kaki Liu Yan!" teriak ibu suri. "Oh, dia telah dibunuh oleh seseorang!"
"Nah, apa kataku?" kata si dayang yang langsung tertawa dingin, "Tidak salah, bukan?" Thayhou merasa bingung dan juga tercekat hatinya, Di samping itu, dia semakin marah.
"Apanya yang tidak salah?" tanyanya.
"Tempat penyimpanan kitabmu itu. Di kolong langit ini, hanya kau seorang yang tahu!" kata laki-laki yang menyaru sebagai dayang itu.
"Kalau bukan kau yang membunuh Liu sumoay, lalu siapa? Mengapa sepasang kakinya bisa berada di kotak rahasiamu itu?"
"Percuma kalau kita hanya berdebat saja di sini!" tukas thayhou, "Pencuri kitab itu pasti belum pergi jauh. Cepat kita kejar!"
"Benar!" kata si dayang, "Mungkin dia masih ada di sekitar Cu leng kong ini!" Meskipun berkata demikian, thayhou tidak segera keluar mengejar. Dia malah menghampiri lemarinya yang tertutup, Hal ini membuktikan bahwa dia menaruh kecurigaan.
Siau Po mengintai dari kolong tempat tidur, Hatinya berdebar-debar dan hampir saja dia menjerit saking khawatirnya. Tiba-tiba terlihat bayangan golok berkelebat Tentunya thayhou yang melakukan hal itu. Dengan tangan kiri dia membuka pintu lemari dan tangan kanan yang menggenggam golok berniat menebas ke dalamnya. Memang benar, setindak lagi thayhou akan sampai di depan lemari itu. Tapi, tiba-tiba pintu lemari itu menjublak lalu menghantam ibu suri. Thayhou terkejut setengah mati.
Dia tidak menyangka akan terjadi hal itu. Untung saja matanya awas dan gerakannya cepat Dengan lincah dia mencelat mundur Namun di saat itu juga, kepalanya tertutup beberapa potong pakaian yang dilemparkan dari dalam lemari, Dengan panik dia menyingkirkan pakaian-pakaian itu. Kembali menyusul sepotong baju yang menyambar ke arahnya, Kali ini dia langsung menjerit keras. Ternyata di balik baju itu bersembunyi seseorang. Mulanya si dayang palsu berdiam diri saja, Dia hanya berdiri memperhatikan. Begitu mendengar suara jeritan ibu suri, dia langsung menerjang ke depan, ke arah baju yang sedang menyambar itu. Siau Po yang bersembunyi di kolong tempat tidur merasa khawatir sekali, Dia sempat melihat gumpalan baju itu bergulingan di atas tanah sehingga rada tersingkap sedikit dan tampaklah pakaiannya yang berwarna hijau. Entah senjata apa yang tergenggam di tangannya, Saat ini dia menggunakannya untuk menyerang si dayang palsu. Laki-laki yang menyamar itu mengeluarkan seruan tertahan Setelah menghindarkan diri, dia balas menyerang. Dayang bercelana hijau itu juga mengelak lalu mengulangi serangannya, Tampaknya gerakan perempuan itu cukup gesit. Siau Po masih mengintai Dia tidak bisa melihat wajah mereka, hanya bagian kaki yang terlihat Si dayang palsu mengenakan celana berwarna abu-abu, sepatunya hitam, Kedua orang itu bertempur dengan sengit sebegitu jauh, tidak terdengar suara beradunya senjata tajam. Hal ini membuat Siau Po menduga bahwa si dayang palsu tidak menggunakan senjata dalam perkelahian Namun suara angin yang terpancar dari pukulannya justru terdengar jelas. Lilin di ruangan itu tinggal setengah, namun kedua orang itu masih tetap bertarung, sebetulnya jumlah lilin dalam ruangan itu ada tiga, tapi yang satu sudah padam karena terhempas angin kencang dari pukulan si dayang palsu.
"Terima kasih kepada Langit dan Bumi," Siau Po berdoa dalam hati. "Semoga kedua batang lilin lainnya juga padam sehingga kamar ini menjadi gelap gulita dan aku bisa meloloskan diri...." Baru berdoa sampai di sini, tiba-tiba lilin yang kedua pun padam. Di lain pihak, kedua dayang itu masih bertempur terus, Tiada seorang pun yang bersuara, Rupanya mereka khawatir menimbulkan kebisingan yang akan menyebabkan datangnya para pengawal thay-kam maupun dayang-dayang istana tersebut. Culeng kiong mempunyai banyak dayang dan thay-kam, Tetapi saat itu tidak ada satu pun yang muncul karena tadi thayhou sudah berpesan bahwa mereka tidak boleh mendekati kamarnya, kecuali bila ada panggilan. Di samping suara berkesiurnya angin dari pukulan dan gerakan tubuh keduanya, suara bising lainnya timbul dari kursi serta meja yang terjungkir balik.
"Ilmu silat si laki-Iaki yang menyaru sebagai dayang itu hebat sekali," pikir Siau Po. Tapi pikirannya tidak sempat berlanjut sebab dia melihat benda yang berkilauan mencelat ke atas langit-langit kamar dan menimbulkan suara keras. Siau Po menduga bahwa benda itu kemungkinan senjata si dayang bercelana hijau yang terlepas dari cekalannya, Senjata itu terlontar ke atas dan menancap di langit-langit. Kemudian, kedua pasang kaki orang-orang itu tidak terlihat lagi. Hal ini disebabkan keduanya sudah bergulingan di lantai. Mereka saling mencekal meronta dan bergumul. Sekarang Siau Po dapat melihat, kedua-duanya menggunakan ilmu Kim Na-hoat, ilmu memegang tangan lawan. ilmu itu dikenal baik olehnya karena dia pernah mempelajarinya bersama-sama kaisar Kong Hi. Pertempuran masih terus berlangsung, Siau Po tetap jadi penonton gelap, Dia hanya berharap lilin ketiga juga akan padam. Dengan demikian dia bisa pergi secara diam-diam. Akhirnya, mendadak saja lilin yang ketiga pun padam, Kamar itu jadi gelap gulita seketika, Namun pada saat itu juga, ternyata pertempuran juga sudah sampai pada tahap akhir. Dayang perempuan itu kalah ulet Dia kalah tenaga, Dengan demikian si laki-laki berhasil menguasainya, Dayang perempuan itu kena ditindihnya. Tangan dan kakinya tidak berdaya lagi. Tapi si pria juga tidak dapat melakukan hal lainnya, karena kedua tangannya sibuk mengendalikan perempuan itu. Tangan kirinya mencekik bagian leher, sedangkan tangan kanannya sibuk menangkis kedua tangan si perempuan yang terus menerus menyerangnya. Beberapa saat kemudian, habislah tenaga si dayang perempuan. Gerakan tangannya semakin lemah dan nafasnya tersengal-sengal, Hal ini disebabkan cekikan di lehernya yang membuat nafasnya jadi sesak, Kedua kakinya memang masih bisa bergerak, tapi sudah tidak ada artinya lagi.
"Kalau si dayang bercelana abu-abu berhasil membunuh si dayang bercelana hijau, celakalah aku!" pikir Siau Po dalam hatinya, "Setelah membunuh lawannya, dia pasti akan memeriksa kolong tempat tidur dan aku Wi Siau-po akan berubah menjadi mayat!"
Berpikir demikian, si thay-kam cilik gadungan ini jadi nekat. Tanpa ragu sedikit pun, dia segera merayap keluar dari kolong tempat tidur, Setelah dapat bergerak dengan bebas, mendadak dia menerjang ke arah dayang gadungan dan menghunjamkan pisaunya ke punggung orang itu. Serangan itu benar-benar di luar dugaan si celana abu-abu. Hatinya tercekat, dia menjerit dan meronta. Setelah menikam, Siau Po mencelat mundur Karena itu, si celana abu-abu dapat bangkit berdir kemudian melakukan serangan kepada pembokongnya, Gerakannya cepat sekali, sekali lompa saja dia sudah mencapai lawannya dan menceki leher si bocah, Siau Po menjadi bingung. Dia mencoba untuk melepaskan diri sehingga untuk sesaat dia lupa untuk menikamnya kembali
Sekarang wanita bercelana hijau itu sudah bebas. Dia dapat mengatur pernafasannya sekejap kemudian melihat apa yang terjadi. Tanpa membuang waktu lagi, dia menerjang ke arah musuhnya. Tangan kanannya membacok pipi kiri orang itu sedangkan tangan kirinya menjambak rambut orang itu sehingga tertarik ke belakang. Di saat itu terjadi sesuatu yang luar biasa. Rambut si dayang bercelana abu-abu copot karena tertarik keras. Rupanya dia mengenakan rambut palsu, sedangkan kepalanya sendiri gundul plontos tanpa rambut sehelai pun. Rupanya dia seorang biksu yang menyaru sebagai dayang. Hebat sekali serangan dayang bercelana hijau itu, Orang itu sampai tersungkur jatuh. Dara mengalir deras dari punggungnya kemudian dia terkulai di atas lantai. Ternyata di saat dayang bercelana hijau itu menjambak rambutnya sehingga ia tersungkur, Siau Po segera menggunakan kesempatan itu untuk bangun dan menikam punggung orang itu, Padahal dia mengerahkan sisa tenaganya yang terakhir, tapi untung saja berhasil.
"Terima kasih, kongkong kecil," kata si dayang bercelana hijau kepada Siau Po. "Kongkong telah menolong aku." Siau Po menganggukkan kepalanya, tidak sempat dia memberi jawaban, Tangan kirinya repot mengusap-usap lehernya yang dicekik dayang palsu tadi.
"Dia... dia...?" tanyanya sambil menunjuk kepada si biksu, "Dia seorang pria yang menyelundup ke dalam istana dan menyamar sebagai seorang dayang," sahut wanita itu, Belum sempat dia meneruskan kata-katanya, mendadak dari luar kamar terdengar suara teriakan.
"Mana orang? Cepat! di sini telah terjadi pembunuhan!" Nada suara orang itu bukan nada suara seorang laki-laki atau perempuan, tapi suara seorang thay-kam, (Para thay-kam adalah laki-laki yang sudah dikebiri, mereka tidak dapat berhubungan dengan perempuan sebagaimana laki-laki normal. Tingkah mereka juga jadi tidak wajar Kalau zaman sekarang, mungkin hampir sama dengan waria). Â Wanita itu terkejut, ia segera memberi isyarat kepada Siau Po, kemudian dia melompat lewat jendela. Hampir dalam waktu yang bersamaan, terdengarlah suara jeritan tertahan disusul dengan suara ambruknya tubuh seseorang, Rupanya thay-kam yang berteriak tadi sudah disambit dengan senjata rahasia sehingga mati seketika.
"Mari!" wanita itu mengajak Siau Po yang telah mengikuti perbuatannya melompati lewat jendela, Siau Po menurut saja karena tangannya memang dipegangi, Dia dibawa lari ke arah utara dengan melalui tiga halaman kemudian sampai Yang-hoa mui. Setelah itu mereka memutar lewat pendopo I-hoa kok dan pendopo Po-hoa tian dan sampai di samping keraton Hok-kian kiong yang merupakan sebuah tempat untuk mengadakan pembakaran, Sampai di sini baru tangan Siau Po dilepas. Bocah cilik itu memperhatikan si wanita lekat-lekat.
"Hebat sekali!" pujinya dalam hati, Siau Po merasa kagum sekali, Bentuk tubuh wanita itu tidak berbeda banyak dengan dirinya, tapi dengan mudah dia menenteng Siau Po dan membawanya berlari. Tempat di mana mereka berada adalah tempat untuk membakar segala macam sampah dan barang-barang yang tidak terpakai lagi. Pada malam hari, tempat ini sepi sekali.
"Kongkong kecil, siapakah nama kongkong?" tanya wanita itu.
"Aku bernama Siau Kui cu!" sahut Siau Po.
"Oh!" seru wanita itu heran, "Rupanya kaulah Siau Kui cu yang telah menawan Go Pay dan sangat sayang oleh Sri Baginda!" Siau Po tersenyum.
"Tidak berani aku menerima pujian setinggi itu!" katanya merendah, Dia memperhatikan wanita itu sekali lagi. Usianya mungkin sekitar empat puluhan tahun, Siau Po tidak mengenalnya, Lagi-pula selama di istana ia jarang memperhatikan para dayang.
"Kakak, siapakah nama kakak sendiri?" tanyanya kemudian. Dayang itu tampak ragu-ragu sejenak. Kemudian dia baru menjawab.
"Kita merupakan orang senasib. Tidak boleh aku mendustaimu, Aku she To, karena aku seorang dayang, orang-orang biasa memanggilku To kiong-go (panggilan untuk dayang) Eh, apa yang kau lakukan sehingga bersembunyi di kolong tempat tidur ibu suri?"
"Aku mendapat firman Sri Baginda untuk memergoki perbuatan ibu suri," sahut Siau Po ber-bohong, Dia tidak ingin memberikan keterangan yang sebenarnya. To kionggo terperanjat.
"Apa?" serunya, "Apakah Sri Baginda sudah mengetahui ada laki-laki yang menyamar sebagai dayang di keraton Cu-leng kiong?"
"Sri Baginda sudah mengetahuinya, hanya belum jelas saja." Dayang itu terdiam sejenak, kemudian dia berkata: "A... aku telah membunuh ibu suri, urusan ini gawat sekali, sebentar lagi pasti keluar perintah untuk menutup seluruh pintu istana dan melakukan penggeledahan Oleh karena itu aku harus berlalu dari sini secepatnya. Sahabat kecil, sampai jumpa!"
Siau Po berpikir cepat. "Kalau ibu suri sudah mati, aku aman berdiam dalam istana, Tapi berbahaya sekali kalau semua pintu ditutup dan dilakukan penggeledahan Bagaimana dengan kedua nona Bhok dan nona Pui? Aku harus mencari akal."
Cepat-cepat Siau Po berkata kepada To kionggo, "To cici, aku mempunyai akal," katanya, "Sekarang juga aku akan menghadap Sri
Baginda untuk melaporkan bahwa aku melihat sendiri ibu suri dibunuh dayang palsu itu! Bukankah ibu suri sudah mati dan di sini tidak ada saksi lainnya lagi?" To kionggo merenung sejenak.
"Akalmu bagus juga," katanya kemudian Tapi, thay-kam itu, siapa yang membunuhnya?"
"Mudah saja," sahut Siau Po. "Aku akan mengatakan kepada Sri Baginda bahwa dayang palsu itulah yang membunuhnya!"
"Saudara kecil, urusan ini berbahaya sekali," kata To kionggo, "Meskipun Sri Baginda sangat menyayangimu, tetapi aku khawatir dia akan membunuhmu untuk menutup mulut." Mendengar kata-katanya, seluruh tubuh Siau Po langsung bergetar Apa yang
dikhawatirkan memang mungkin bisa terjadi.
"Sri Baginda akan membunuh aku?" tanyanya.
"Tapi, apa sebabnya?" To kionggo tertawa dingin.
"Ibu suri berbuat serong dengan seorang laki-laki yang tidak dikenal. Kalau peristiwa ini sampai bocor keluar dan menjadi gunjingan rakyat, bagaimana raja bisa mempertahankan kewibawaannya lagi? Taruh kata kau berjanji akan menutup rahasia ini rapat-rapat, tetapi setiap kali Sri Baginda melihat wajahmu, tentu otaknya berputar. Pasti hatinya ragu lagi atau paling tidak dia merasa malu sendiri, itulah sebabnya, cepat atau lambat, dia pasti akan membunuhmu!" Siau Po tertegun.
"Be... narkah... dia begitu kejam?" tanyanya ragu, Tapi si dayang memang benar. Kekhawatiran dan dugaannya memang beralasan Jadi, dia tidak dapat membuka rahasia ibu suri kepada raja. Ketika keduanya sedang berdiam diri, tiba-tiba mereka mendengar suara tabuhan dari arah selatan, yang disusul dengan sambutan dari tiga arah lainnya Seluruh tempat itu jadi bising oleh suara tersebut itulah isyarat bahwa di dalam istana telah terjadi kebakaran atau bencana lainnya, Karena adanya tanda bahaya itu, seluruh pengawal harus bersiap sedia.
"Nah, kau dengar!" kata To kionggo.
"Sekarang tak sempat lagi kita menyingkir pergilah kau membantu mereka menangkap orang jahat, tentu saja hanya berpura-pura. Dan aku sendiri akan kembali ke kamar untuk tidur," kata wanita itu kemudian. Selesai berkata, wanita itu langsung mengulurkan tangannya untuk memeluk pinggang Siau Po kemudian dibawanya lari seperti ketika mereka keluar tadi. Mereka menuju pendopo Eng-hoa tian, Begitu sampai di sampingnya, To kionggo berbisik kepada Siau Po.
"Hati-hatilah!" Tanpa menunggu jawaban Siau Po, dia segera menyelinap ke tempat yang gelap. Siau Po memikirkan Pui Ie dan Kiam Peng. Dia segera menuju tempat persembunyian kedua gadis itu. Begitu sampai dia segera berkata: "Aku yang datang!"
Maksudnya agar mereka tahu dan mengenali suaranya. "Apa yang terjadi?" tanya Kiam Peng cemas, "Di luar berisik sekali dengan suara tabuhan, Apakah mereka akan menawan kita?"
"Bukan," sahut Siau Po, "Kita kembali dulu ke kamarku, di sana lebih aman!" Kiam Peng terkejut mendengarnya.
"Kembali ke kamarmu?" tanyanya menegaskan "Bukankah di... sana kita sudah membunuh orang?"
"Jangan takut!" hibur Siau Po. "Tidak akan ada yang tahu! Cepat!" Siau Po berjongkok untuk menggendong Pui Ie, kemudian dia menarik tangan Kiam Peng dan mengajaknya pergi dengan tergesa-gesa. Belum berapa jauh mereka berjalan, di sebuah lorong, tampak serombongan siwi yang sedang mendatangi dengan cepat, Salah satunya yang menjadi pemimpin segera mengangkat obornya tinggi-tinggi.
"Siapa?" bentaknya.
"Aku!" jawab Siau Po. Suaranya keras dan mantap.
"Cepat kalian lindungi Sri Baginda, Apakah telah terjadi kebakaran?" Siwi itu langsung mengenali Siau Po. Cepat-cepat dia menyerahkan obornya kepada salah seorang bawahannya dan berdiri tegak dengan sikap menghormat.
"Kui kongkong," katanya, "Telah terjadi sesuatu di Cu-leng ki-ong...."
"Iya, iya," kata Siau Po.
"Kalian jalanlah duluan, nanti aku susul."
"Baik!" sahut siwi itu menganggukkan kepalanya. Kemudian dia berlalu dengan mengajak orang-orangnya.
"Tampaknya mereka takut kepadamu," kata Kiam Peng.
"Barusan aku khawatir sekali kita akan tertimpa bencana...." Siau Po sebenarnya ingin mengucapkan kata-kata gurauan, tapi dia ingat mereka dalam keadaan sedemikian rupa, maka dia membatalkannya dan berkata dengan sungguh-sungguh.
"Mari!" ajaknya, dia mendahului berjalan di depan. Satu kali lagi mereka sempat bertemu dengan serombongan siwi lainnya, tapi rombongan siwi itu juga tidak berani banyak bertanya. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka telah kembali lagi ke kamar Baru semuanya sempat menarik nafa lega. Untung saja Pui Ie dan Kiam Peng berdandan sebagai thay-kam Dengan demikian tidak ada yang mencurigainya.
"Sekarang kalian diam di sini!" kata Siau Po.
"Ingat, jangan ganti dulu pakaian kalian!" Dia keluar dan mengunci pintu, setelah itu dia berjala menuju Kian-ceng kiong, kamar tidurnya raja. Kaisar Kong Hi sudah terjaga karena riuhnya suara tabuhan Dia segera turun dari tempat tidur lalu mengenakan pakaiannya, Tepat pada saat itu lah seorang siwi masuk dan melaporkan bahwa telah terjadi keonaran di Cu-Leng kiong, tapi belum jelas apa masalahnya. Raja kebingungan Saat itulah muncul Siau Po Karena itu kaisar Kong Hi langsung bertanya kepadanya.
"Apa yang terjadi? Apakah thayhou baik-baik saja?"
"Thayhou menitahkan hamba pulang dan tidur di kamar hamba sendiri," sahut Siau Po mulai mengarang-ngarang, "Katanya besok baru hamba pindah. Siapa sangka telah terjadi sesuatu di Cu-leng kiong, entah apa. sekarang juga hamba akan melihatnya!"
"Aku juga ingin melihat thayhou," kata kaisar Kong Hi.
"Ayo, kau ikut denganku!"
"Baik," sahut Siau Po. Raja sangat berbakti. Dia tidak sempat mengenakan pakaian kebesarannya. Disambarnya sehelai jubah panjang dan kemudian pergi dengan tergesa-gesa dengan diikuti oleh Siau Po. Sembari berjalan dengan cepat, dia bertanya kepada Siau Po.
"Thayhou minta kau melayaninya, mengapa kau malah kembali kepadaku?"
"Hamba mendengar suara tabuhan, tadinya hamba kira mungkin telah terjadi kebakaran atau ada penyerbu yang datang lagi," sahut Siau Po dengan cerdik, "Tanpa sadar hamba langsung datang kepada Sri Baginda yang tidak dapat hamba lupakan Ya, hamba memang bersalah...." Kaisar Kong Hi tidak mengatakan apa-apa, Dia terus berjalan, sekeluarnya dari kamar dia lantas diiringi para siwi dan beberapa orang thay-kam. Belasan lentera menerangi jalan sehingga dia melihat pakaian Siau Po yang tidak karuan dan rambutnya acak-acakan Dia menyangka thay-kam cilik itu sangat setia kepadanya sehingga begitu terjaga dari tidur langsung menemuinya. Dia tidak tahu bahwa bocah cilik itu justru baru dari berdekam di kolong tempat tidur Hong thayhou sehingga pakaiannya kusut semua. Pada saat itu, muncul dua orang siwi, "Ada orang jahat yang menyerbu Cu-leng kiong!" lapor salah satunya, "Seorang thay-kam dan seorang dayang terbunuh!"
"Apakah thayhou terkejut karena kejadian ini?" tanya kaisar Kong Hi dengan nada khawatir.
"Sekarang seluruh istana telah dikurung rapat!" sahut siwi itu.
"To congkoan sudah mengepalai barisan pengawalnya!" Hati raja menjadi agak lega mendengar keterangan itu. Tidak demikian halnya dengan Siau Po. Dalam hatinya dia berkata.
"Meskipun To congkoan memimpin seluruh pasukan berkuda pun sudah terlambat!" Jarak antara Kian-ceng kiong dengan Cu-leng kiong tidak seberapa jauh, Raja tiba di kamar ibu suri setelah melewati pendopo Yang-sim tian dan Tay-kek tian, Cu-leng kiong memang dijaga ketat Bahkan mungkin seekor lalat pun sulit menyelinap ke dalamnya. Melihat tibanya raja, para siwi segera memberi hormat dengan berlutut Raja mengibaskan tangannya kemudian dia berjalan masuk ke pendopo.
Siau Po mendahului raja untuk menyihgkapka gorden, Kaisar Kong Hi segera berjalan ke dalam kamar Dia melihat semuanya dalam keadaan kacau. Darah berceceran, dua sosok mayat tergeletak di lantai, Hatinya bingung juga melihat situasi kamar itu,
"Thayhou! Thayhou!" panggilnya berulang-ulang.
"Rajakah di sana?" Terdengar suara dari tempat tidur yang kelambunya tertutup, "Jangan khawatir, aku tidak apa-apa!" Itulah suara ibu suri, Siau Po merasa tercekat hatinya.
"Oh, rupanya si nenek sihir belum mampus juga!" katanya dalam hati. "Aih! Dasar aku yang teledor Kenapa aku tidak memeriksanya dan menikamnya sampai mati? sekarang dia masih hidup, hal ini berarti akulah yang akan mati...." Si thay-kam cilik langsung mempunyai pikiran untuk lari, Tapi ketika menoleh, dia melihat penjagaan ketat sekali, Runtuhlah keinginannya. Kepalanya menjadi pusing dan pandangan matanya menjadi kabur, hampir saja dia semaput. Kaisar Kong Hi tidak memperhatikan keadaan Siau Po. Dia langsung mendekati tempat tidur.
"Apakah thayhou kaget?" tanya kaisar Kong Hi prihatin.
"Sungguh menyesal penjagaan di sini kurang sempurna sehingga hal ini sampai terjadi, Semua siwi kantung nasi ini harus mendapat hukuman berat!" Terdengar ibu suri menarik nafas panjang.
"Tidak, aku tidak kaget Aku tidak apa-apa," sahutnya.
"Hanya seorang dayang dan seorang thay-kam yang bertengkar sehingga terjadi perkelahian dan kedua-duanya mati, otomatis dalam hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan para siwi."
"Jadi thayhou tidak apa-apa?" tanya kaisar Kong Hi menegaskan.
"Tidak. Tidak apa-apa," sahut ibu suri.
"Aku hanya merasa kesal saja, Anak, kembalilah ke kamarmu dan perintahkan para siwi agar bubar!" Raja mengiakan kemudian langsung memerintahkan.
"Lekas undang Tabib istana untuk memeriksa keadaan thayhou!" Siau Po bersembunyi di belakang kaisar Kong Hi. Dia tidak berani bersuara, Dia khawatir ibu suri akan mengenali suaranya dan memanggilnya.
"Tak usah!" kata thayhou pada kaisar Kong Hi.
"Tidak perlu memanggil tabib, Asal aku bisa tidur dan beristirahat cukup, tentu hatiku akan tenang kembali Kedua mayat itu tidak usah diangkat Hatiku sedang kacau.... Nah, kau suruh semuanya bubar!" Suara ibu suri lemah dan terputus-putus, Hal ini membuktikan bahwa dia pun terluka cukup parah, Kaisar Kong Hi merasa berat meninggalkannya, tapi dia tidak berani menentang kehendak ibunya, sebetulnya dia ingin menanyakan sebab musabab pertengkaran antara thay-kam dan dayang yang mati itu, tapi khawatir ibu suri akan sedih atau mendongkol. Karena itu dia membatalkan niatnya, padahal sudah selayaknya dia mengetahui sebab terjadinya perkelahian yang sampai mengorbankan jiwa. Lagipula keluarga kedua korban harus diberi kabar, Namun thayhou tidak mengijinkan kedua mayat itu disingkirkan Hal ini berarti dia tidak mau berita ini tersebar luas. Akhirnya dia memberi
hormat dan memohon diri. Bukan main senangnya hati Siau Po, tetapi sepasang kakinya menjadi lemas sehingga dia harus berjalan dengan menumpu pada tembok. Kaisar Kong Hi memutar otaknya, Hatinya ber-tanya-tanya, peristiwa ini hebat dan luar biasa, Sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat Siau Po masih mengikutinya.
"Eh, thayhou meminta kau melayaninya, mengapa sekarang kau kembali mengikutiku?" Siau Po sudah menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu, Tapi ia pikir bahwa ia akan meninggalkan istana secepatnya, karena itu tidak menjadi persoalan apabila dia menjawab sekenanya saja.
"Barusan hamba mendengar ucapan thayhou sedang pusing dan banyak pikiran Thayhou juga menyuruh semuanya bubar, Hal ini berarti thayhou tidak ingin melihat siapa pun itulah sebabnya hamba berpikir untuk menyingkir sementara, Besok pagi barulah hamba menemui beliau lagi...." Raja menganggukkan kepalanya, Apa yang dikatakan thay-kam cilik itu memang beralasan Dia berjalan terus menuju kamar tidurnya. Begitu sampai dia segera menyuruh seluruh pelayannya mengundurkan diri, Kemudian dia berkata kepada Siau Po.
"Siau Kui cu, kau tunggu sebentar!"
"Baik!" sahut Siau Po. Hatinya terasa kurang enak, Dia berpikir "Kalau Raja menyuruhku tidur di sini untuk menemaninya, kedua mustika hidup dikamarku bisa kebingungan setengah mati!" Kaisar Kong Hi berjalan mondar-mandir dari timur ke barat, kemudian dari barat ke timur lagi. Hal ini membuktikan otaknya sedang bekerja keras, Akhirnya dia berkata kepada Siau Po.
"Bagaimana pikiranmu? Menurut pendapatmu kira-kira apa sebabnya thay-kam dan dayang itu bisa berkelahi sampai mati bersama-sama?"
"Hamba tidak dapat menerkanya, Sri Baginda," sahut Siau Po. "Memang di dalam istana banyak thay-kam dan dayang yang tidak cocok, Sedikit persoalan saja bisa timbul pertengkaran. Tapi biasanya mereka tidak berani melakukannya di hadapan Sri Baginda ataupun thayhou." Raja mengangguk.
"Sekarang kau pergi memberitahukan semua orang agar urusan ini jangan dibicarakan lagi, Dengan demikian thayhou tidak akan kesal dan marah lagi!"
"Baik, Sri Baginda," sahut Siau Po.
"Nah, kau pergilah!" Siau Po memberi hormat, kemudian dia mengundurkan diri, Di dalam hatinya dia berkata: "Dengan kepergianku ini, untuk selama-lamanya kita tidak akan berjumpa lagi!" Dengan membawa pikiran demikian, dia menolehkan kepalanya, Dilihatnya kaisar Kong Hi sedang menatap ke arahnya dengan wajah berseri-seri.
"Kemari!" panggil kaisar Kong Hi. Siau Po memutar tubuhnya untuk menghampiri. Kaisar membuka sebuah kotak emas yang ada dekat bantal kepalanya, ia mengambil dua potong kue. Sembari tertawa dia berkata.
"Kau tentunya letih dan lapar, ambillah kue ini!" Siau Po menyambut kue-kue itu dengan kedua tangannya, Dia mengucapkan terima kasih. Dalam hati dia merasa bersyukur dan terharu, Dia merasa tidak tega meninggalkan raja itu. Dia berkata dalam hati: Thayhou sangat kejam dan jahat, Lagipula dia berani mengeram laki-laki dalam kamarnya, Mungkin suatu hari dia bisa mencelakai Sri Baginda pula.... Bukankah Sri Baginda tidak tahu apa-apa? Sri Baginda memperlakukan aku sebagai seorang sahabat baik, kalau aku menyimpan rahasia ini dan dia sampai dicelakai oleh thayhou, bukankah berarti aku tidak kenal budi dan tidak memperhatikannya sedikit pun?" Membawa pikiran demikian, tiba-tiba saja di pelupuk mata Siau Po membayangkan raja yang sudah mati. Mayatnya menggeletak di atas tanah dalam keadaan mengerikan Keadaannya sungguh mengenaskan sehingga tanpa sadar air mata Siau Po jatuh bercucuran.
"Eh, kenapa kau?" tanya raja heran melihat si thay-kam cilik menerima kue pemberiannya sambil menangis, Kemudian dia menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. Kau ingin tetap melayani aku, bukan? Soal itu mudah! Tunggu beberapa hari lagi, setelah keadaan thayhou tenang kembali, aku akan berbicara dengannya agar kau boleh tetap mengikuti ku. sebenarnya aku sendiri tidak sampai hati ber pisah denganmu!" Siau Po berpikir dengan cepat Dia ingat kata-kata To kionggo bahwa kalau sampai dia membuka rahasia, kelak Sri Baginda pasti akan membunuh nya. Hal ini demi membungkam mulutnya agar rahasia tidak sampai terbongkar.
"Tapi, biarlah!" pikirnya kemudian "Seorang laki-laki berani berbuat, berani pula bertanggun jawab, Kalau memang harus mati, biar saja mati!" Dia sudah mengambil keputusan Karena itu dia segera meletakkan kue pemberian kaisar kemudia mencekal tangan junjungannya itu seraya berka dengan suara bergetar.
"Siau hian cu. Kali ini aku memanggilmu Si hian cu, boleh bukan?" Raja tertawa meskipun merasa heran Thay-kam itu memanggil nama kecilnya dan membahasakan dirinya dengan kamu.
"Tentu saja boleh!" katanya sambil tertawa lagi, "Aku toh sudah mengatakan kepadamu, Kalau di tempat yang tidak ada orang lainnya, kau boleh memanggil aku dengan sebutan itu. Apakah kau ingin berlatih silat lagi denganku? Begitu? Mari, mari. Aku temani kau!" Raja segera memutar tangannya dan mencekal kedua lengan Siau Po.
"Jangan! jangan terburu-buru berlatih silat!" kata Siau Po menolak ajakan raja.
"Sekarang aku mempunyai urusan besar dan rahasia yang ingin kuberitahukan kepada sahabatku, Siau nian cu! Rahasia ini jangan sekali-sekali diketahui oleh Sri Baginda, junjunganku yang Mulia dan Maha Agung. Sebab, kalau raja sampai mendengarnya, dia pasti akan menghukum mati diriku dengan memenggal batang leherku ini. Siau hian cu menganggap aku sebagai sahabat sejatinya, karena itu kurasa tidak ada halangannya kalau aku bicara dengannya." Raja heran Dia tidak dapat menduga urusan apakah yang demikian penting dan harus dirahasiakan tapi hal ini justru menambah rasa ingin tahu-nya, Karena itulah dia segera menarik tangan Siau Po dan mengajaknya duduk berdampingan di atas tempat tidur.
"Cepat kau beritahukan kepadaku! Cepat!" Siau Po tidak mau langsung bercerita, sebaliknya dia menegaskan sekali lagi.
"Sekarang kau adalah Siau hian cu. Bukan raja kan?" Raja bertambah heran, tapi dia tersenyum.
"Benar!" sahutnya, "Sekarang ini aku adalah Siau hian cu, sahabat karibmu, bukan raja! Kau toh tahu, dari pagi sampai malam aku menjadi raja yang selalu disanjung-sanjung, Selama ini aku belum pernah mempunyai seorang pun sahabat sejati, sungguh tidak enak!"
"Kalau demikian, baiklah! Aku akan memberitahukan kepadamu," kata Siau Po pula, "Kalau toh akhirnya kau tetap akan memenggal batang leherku, ya,., apa boleh buat, aku toh tidak berdaya...." Raja kembali tersenyum.
"Untuk apa aku membunuhmu?" tanyanya, "Lagipula mana mungkin seorang sahabat akan membunuh teman yang sudah seperti saudara baginya?" Siau Po menarik nafas panjang.
"Baiklah! sekarang aku akan bicara!" kata nya. "Siau hian cu, aku bukanlah Siau Kui cu yang sebenarnya, aku juga bukan seorang thay-kam! Siau hian cu, Siau... Kui cu yang asli... telah mati di tanganku!" Meskipun berusaha untuk menenangkan diri, mau tidak mau Kaisar Kong Hi terkesiap juga mendengarnya.
"Apa katamu?" tanyanya heran.
"Betul, Siau hian cu. Aku bukan Siau Kui cu. Aku juga bukan seorang thaykam!" sahut Siau Po tegas, Dia lalu menceritakan bagaimana dirinya dipaksa masuk kedalam istana, Bagaimana dia mencelakai Hay kongkong dengan membutakan sepasang matanya, lalu dia menyamar sebagai Siau Kui cu yang sebelumnya telah dibunuhnya terlebih dahulu, Dia juga menceritakan bahwa Hay kongkong yang mengajarkan ilmu silat kepadanya. Mendengar semua itu, mula-mula Kaisar Kong Hi tertegun, kemudian ia malah tertawa.
"Oh, rupanya kau bukan seorang thaykam!" katanya, "Kau hanya membunuh seorang Siau Kui cu, apa artinya? itu toh bukan urusan besar! Tapi selanjutnya tidak pantas lagi kau berdiam di dalam istana, Kau bisa ku angkat menjadi congkoan dari barisan pengawal pribadiku To Lung memang gagah, tapi dalam pekerjaan dia sering sembrono dan otaknya kurang cerdas!"
Bagian 27
"Kau baik sekali, aku mengucapkan terima kasih kepadamu," kata Siau Po. "Tapi, meskipun demikian, aku tidak bisa menjadi congkoan, Siau hian cu, aku ada mendengar beberapa urusan penting yang ada kaitannya dengan diri thayhou." Kembali raja merasa heran, Dia menatap Siau Po lekat-lekat.
"Urusan yang ada kaitannya dengan thayhou?" tanyanya menegaskan "Urusan apakah itu?" Walaupun dia mengajukan pertanyaan itu dengan sabar, tapi hatinya merasa kurang tenteram, Dia seperti mendapat firasat yang kurang baik. Siau Po menggigit bibirnya keras-keras untuk menabahkan hatinya, Kali ini dia menceritakan percakapan yang terjadi antara Hay kongkong dengan thayhou di taman bunga, Dia menceritakannya dengan terperinci. Mendengar keterangan itu, kaisar Kong Hi menjadi terperanjat heran juga gembira, Jadi, ayahnya, kaisar Sun Ti masih belum wafat, Dan sekarang ayahnya itu malah menyucikan diri menjadi pendeta di gunung Ngo Tay san! Saking tegangnya, tubuh kaisar Kong Hi sampai menggigil Dia menggenggam tangan Siau Po erat-erat.
"A... pa... apakah yang kau katakan itu benar adanya?" tanyanya gugup.
"Apakah kau tidak ber-bohong? 0h.... Ayah... ayahku masih hidup...?"
"Begitulah menurut apa yang kudengar dari pembicaraan antara thayhou dan Hay kongkong berdua," sahut Siau Po memberikan kepastiannya. Raja turun dari tempat tidurnya untuk berdiri.
"Siau Kui cu... bagus! Bagus sekali!" serunya berulang kali, "Siau Kui cu, begitu fajar menyingsing, mari kita berangkat ke gunung Ngo Tay san untuk menjenguk ayahku itu, Aku akan memintanya kembali ke istana!" Kong Hi adalah seorang raja, Apa pun kehendaknya dapat terpenuhi, tapi ada sesuatu yang dirasakannya kurang, yakni dalam usia yang demikian muda, dia telah kehilangan kedua orang tuanya, Memang ada ibu suri, tapi thayhou adalah seorang ibu tiri, Meskipun demikian, dia memperlakukannya dengan penuh bakti, Dia menganggapnya sebagai ibu kandung, namun ayahnya yang telah menutup mata, tiada penggantinya, Karena memikirkan dan merindukan seorang ayah, kaisar Kong Hi pernah sampai menangis. sekarang dia mendengar berita rahasia dari Siau Po bahwa ayahandanya itu masih hidup. Benar dia merasa gembira sekali, tapi terselip juga sedikit keraguan dalam hatinya, karena itu dia ingin pergi ke gunung Ngo Tay san untuk membuktikannya.
"Tapi, masih ada satu hal lagi, Siau hian cu," kata Siau Po. "Aku khawatir thayhou tidak menyukai kepergianmu Sampai sebegitu jauh thayhou telah menyembunyikan urusan ini kepadamu, tentunya hal ini menyangkut urusan yang besar sekali." Kaisar bingung juga. Dia harus mengekang diri, supaya kegembiraannya tidak terlalu meluap.
"Urusan besar di dalam istana, apalagi yang penting-penting, semuanya tidak jelas bagiku," kata Siau Po.
"Apa yang aku tahu hanya apa yang kudengar dari pembicaraan antara thayhou dengan Hay kongkong dan semua itu dapat kuceritakan dengan jelas."
"Baik, baik," kata raja. "Nah, kau ceritakanlah." Kali ini Siau Po menceritakan tentang bagaimana kedua permaisuri Toan Keng
honghou dan Hau Kong honghou telah dibunuh oleh thayhou. Kaisar Kong Hi langsung melonjak bangun.
"Kau... kau bilang Hau Kong honghou telah... dibunuh?" Siau Po terkejut, hatinya ciut, Dia melihat wajah raja garang sekali, matanya mendelik, daging di pipinya sampai bergerak-gerak.
"Aku... ku tidak tahu.,." sahutnya bingung.
"Aku hanya mendengar percakapan antara Hay kongkong dan thayhou..."
"A... pa yang mereka katakan?" tanya raja.
"Co... ba kau ulangi sekali lagi!" Ingatan Siau Po memang kuat sekali, Dia mengulangi ceritanya sekali lagi, Kali ini dengan perlahan-lahan dan jauh lebih jelas, Diulanginya setiap patah kata dari pembicaraan antara ibu suri dengan Hay kongkong.
Kaisar Kong Hi tertegun sekian lama, Otaknya terus bekerja. Dia benar-benar bingung.
"I... bu... ibu kandungku... telah dibunuh orang..." katanya.
"A... pakah Hau Kong honghou itu ibu kandungmu?" tanya Siau Po. Raja mengangguk.
"Benar!" katanya, "Teruskanlah ceritamu, jangan sampai ada yang ketinggalan!" Suara raja terdengar bergetar, satu bukti bahwa dia sedang menahan guncangan hati sekuatnya, tapi tak urung air matanya mengalir juga. Siau Po melanjutkan ceritanya, Dia menjelaskan seperti apa yang didengarnya, yakni kedua permaisuri Toan Keng honghou dan Hau Kong honghou mati akibat pukulan "Hoa-kut bian ciang." Demikian pula dengan putera Toan keng honghou, pangeran Yong Cin ong serta selir Tang Gok ceng-hui, serta bagaimana mayat mereka diperiksa sebagaimana permintaan Hay kongkong. Setelah itu Hay kongkong berangkat ke Ngo Tay san untuk menyampaikan berita tersebut kepada kaisar Sun Ti. itulah sebabnya kaisar Sun Ti memerintahkan Hay kongkong pulang ke istana untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Kemudian Siau Po juga menjelaskan jalannya pertempuran yang berlangsung antara thayhou dan Hay kongkong, Tentu saja dia tidak sudi mengaku bahwa Hay kongkong mati di tangannya, Dia hanya mengatakan bahwa mata Hay kongkong sudah buta. Karena itu dia tidak dapat melawan ibu suri sehingga berhasil dibunuhnya. Raja berdiam diri sambil memikirkan keseluruhan cerita itu. Dia juga berusaha menenangkan hatinya agar bisa berpikir dengan kepala dingin, Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan yang semuanya dijawab dengan jelas oleh Siau Po. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa Siau Kui cu tidak mungkin membohonginya.
"Sekarang aku tanya lagi kepadamu," kata kaisar Kong Hi kemudian, "Mengapa sampai hari ini baru kau menceritakan semuanya kepadaku?"
"Urusan ini besar sekali, mana mungkin aku berani lancang mengingatkannya?" sahut Siau Po. Dia bicara seenaknya seakan menghadapi seorang teman saja.
"Lagipula besok pagi aku akan kabur meninggalkan istana ini dan untuk selamanya aku tidak akan kembali lagi!" Siau Po bicara terus terang tanpa kepalang tanggung. Raja merasa heran.
"Eh, kau ingin meninggalkan istana?" tanyanya, "Kenapa? Apakah kau takut akan dicelakai oleh thayhou?"
"Biarlah aku bicara terus terang kepadamu," Kata Siau Po yang secara tidak langsung menjawab. Pertanyaan kaisar Kong Hi itu. "Tahukah kau siapa kiongli (dayang) yang mati di Cu-leng kiong? Dia adalah seorang dayang palsu, sebenarnya dia seorang laki-laki, bahkan masih suhengnya ibu suri sendiri!" Raja tertegun Dia merasa heran sekali, Sekarang dia baru mengetahui bahwa ayahandanya kaisar Sun Ti masih belum mati, Hau Kong honghou atau ibu kandungnya sendiri justru mati di tangan thayhou, Dan sekarang dia mendengar tentang seorang dayang yang ternyata seorang laki-laki. Semua ini benar-benar aneh baginya!
"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?" tanyanya kemudian.
"Malam itu, seperti apa yang kuceritakan tadi, aku telah mendengar pembicaraan antara Hay kongkong dan ibu suri," sahut Siau Po.
"Meskipun aku berusaha menutupinya, thayhou tetap curiga, Berulang kali thayhou berusaha membunuh aku." Kemudian Siau Po menceritakan bagaimana thayhou telah menitahkan Sui Tong lalu Liu Yan dan beberapa orang thay-kam untuk menawan dan membunuhnya, Dia juga menceritakan bagaimana dia mencuri dengar pembicaraan thayhou dalam kamarnya dengan seorang pria, Bagaimana keduanya berselisih mulut dan ternyata dia adalah seorang dayang palsu atau seorang laki-laki yang menyaru sebagai dayang dan akhirnya setelah melalui suatu perkelahian yang sengit, thayhou berhasil membunuhnya, namun ibu suri sendiri pun terluka. Dalam hal ini, Siau Po bicara hal yang sebenarnya, kecuali ada beberapa bagian yang ia hilangkan. Dia tidak menceritakan perihal To kionggo. Dia juga tidak mengakui soal Liu Yan dan Sui Tong yang mati di tangannya, Apalagi persoalan kitab Si Cap Ji Cin-keng yang telah diambil alih olehnya. Untuk sesaat kaisar Kong Hi berdiam diri, otaknya terus bekerja, Dia bingung mendengar sepak terjang ibu suri yang biasanya ia hormati dan sayangi, Kalau menilik cerita Siau Po, seharusnya ibu tirinya itu kejam dan jahat sekali.
"Benarkah dayang itu suhengnya ibu suri?" tanyanya kemudian.
"Mungkinkah ada orang lain yan mendalangi perbuatan thayhou? Kalau memang ada, siapa kira-kira orang di balik layar itu?"
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu," sahutnya, "Aku benar-benar tidak dapat menerkanya."
"Sekarang pergilah kau panggilkan To Lung kemari!" kata kaisar Kong Hi memerintahkan.
"Baik!" sahut Siau Po yang langsung berlalu. Di dalam hati dia justru berpikir "Mungkin raja akan berbentrok dengan ibu suri, Dia memanggil To Lung untuk membekuk si nenek sihir dan memenggal lehernya, Bagaimana dengan aku? Sebaiknya aku cepat-cepat meninggalkan tempat ini atau menunggu lagi untuk memberikan bantuan kepada raja?" Sementara itu To Lung sedang berduka dan bingung, Di dalam istana sudah berulang kali terjadi peristiwa yang hebat dan dialah yang harus bertanggung jawab, Celaka kalau sampai jabatannya copot apalagi batang lehernya putus, Dia terkejut setengah mati ketika mengetahui raja memanggilnya, dengan perasaan kurang tenang dia datang juga menghadap junjungannya. Begitu sampai di kamar tidur raja, kaisar Kong Hi langsung berkata kepada pemimpin barisan pengawalnya itu.
"Di keraton Cu-leng kiong sudah aman. sekarang juga kau tarik seluruh penjagaan barisan siwi dari tempat itu. Thayhou merasa kesal dan pusing mendengar banyak siwi yang berkumpul di sana!"
"Baik!" sahut To lung, Diam-diam dia merasa senang, Tadinya dia mengira panggilan raja adalah akan menegurnya. Dia segera mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah Sri Baginda. Pikiran kaisar Kong Hi masih terus berputar. Dia ragu-ragu mengambil tindakan sementara itu, thay-kam gadungan kesayangannya juga sedang bimbang, apakah sebaiknya dia menetap di istana atau segera melarikan diri? Setelah sekian lama, kaisar Kong Hi merasa seluruh barisan siwi sudah ditarik dari keraton Cu-leng kiong, Dia segera berkata kepada Siau Po.
"Siau Kui cu, mari kau ikut aku ke keraton Cu-leng kiong, Malam ini kita akan mengadakan penyelidikan secara diam-diam."
"0h... Kau mau pergi sendiri?" tanya Siau Po. Hubungan kedua orang ini memang sudah seperti sahabat karib.
"Iya," sahut raja, Dia menganggap urusan ini sangat besar dan dia tidak dapat mempercayai keterangan seorang thay-kam begitu saja. walaupun thay-kam itu adalah Siau Kui cu yang sangat disayanginya. Dia masih dilanda kebimbangan, sebab selama ini dia merasa sikap thayhou terhadapnya sangat baik. Mungkinkah dia dapat melakukan semua perbuatan ini? Baginya, penyelidikan di malam hari dan secara diam-diam adalah cara yang paling tepat untuk membuktikan semuanya.
Dia juga ingin mencoba kepandaiannya, Dia ingin mencicipi bagaimana rasanya menjadi "Ya heng-jin" (Orang yang mengendap-endap di malam hari) seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang dunia kangouw.
"Tapi," tukas Siau Po.
"Thayhou sudah membunuh suhengnya itu. sekarang dia pasti sedang tidur atau mungkin sedang mengobati lukanya, Apa yang bisa kita selidiki?"
"Kalau kita tidak menyelidiki dari mana kita bisa mendapat penjelasan tentang semua ini?" kata Raja. Siau Po terdiam, Dia bersedia mengikuti junjungannya itu. Kaisar Kong Hi segera berdandan, Selain baju yang singset, dia pun memakai sepatunya yang ringan, itulah pakaian yang selalu dipakainya dulu ketika masih berlatih silat dengan Siau Po. Selesai berpakaian, mereka keluar dari pintu samping da terus menuju keraton Cu-leng kiong. Beberapa orang siwi dan thay-kam melihat kemunculan sang raja, Mereka langsung mengiringi.
"Semua diam di tempat!" kata raja dengan suara berwibawa, "Siapa pun tidak boleh sembarangan bergerak!" Ucapannya merupakan firman atau perintah seorang kaisar Para thay-kam dan siwi-siwi itu langsung berdiri tegak dan tidak ada seorang pun yang berani mengikuti lagi. Kaisar mengajak Siau Po berjalan terus sampai di taman keraton Cu-leng kiong, Suasana di tempat itu sunyi sekali. Tidak terlihat seorang pengawal atau thay-kam. Dengan mengendap-endap, raja menghampiri jendela kamar ibu suri, Di sana dia memasang telinga, Dari dalam terdengar suara batuk-batuk ibu suri. Hati kaisar Kong Hi berdebaran, itulah suara ibu tirinya, Dia merasa bingung juga. Dia penasaran mengingat kekejaman dan kejahatan thayhou, tapi dia juga sedih dan
kasihan mendengar suara batuk-batuk itu, yang menandakan penderitaannya. Dua macam perasaan yang berbeda berkecamuk dalam hati kaisar Kong hi. Antara benci dan sayang, Rasanya dia ingin masuk ke dalam kamar itu untuk memeluk dan menanyakan keadaannya, Di lain pihak, dia juga ingin menerjang ke dalam untuk menanyakan kebenaran yang didengarnya tentang segala perbuatan thayhou yang kejam dan jahat, Dia ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi atas diri ayah kandung dan ibu kandungnya? Di satu pihak, dia juga berharap apa yang dikatakan Siau Po adalah kebohongan belaka. Namun ada juga terselip perasaan bahwa ingin apa yang dikatakan Siau Po adalah hal yang sebenarnya, Demikianlah untuk sesaat dia dilanda dua macam
keinginan yang terus bertentangan. Di dalam kamar thayhou, penerangan belum dipadamkan Cahaya lilin bergoyangan Sebentar gelap, sebentar terang.
Raja tidak perlu memasang telinga terlalu dalam Dia mendengar suara seorang perempuan.
"Thayhou, hamba telah selesai menjahit...."
"Oh!" seru ibu suri, "Ma... yat.. nya dayang itu ... kau masukkan ke dalam kantung...."
"Baik, thayhou," sahut perempuan itu. Dapat dipastikan bahwa dia juga seorang dayang.
"Bagaimana dengan mayatnya thay-kam itu?"
"Kau gila!" bentak thayhou, "Aku menyuruh kau mengurus mayat dayang itu mengapa kau menyebut-nyebut soal mayatnya thay-kam?"
"Baik, baik thayhou," sahut si dayang berkali-kali, kemudian terdengar suara seperti benda berat yang digeser. Raja ingin melihat. Kalau tadinya dia hanya memasang telinga, sekarang dia mengintai. Tadinya dia tidak berani melihat ke dalam, karena sebagai seorang raja, perbuatan itu tidak pantas, Tapi ternyata dia tidak dapat melihat apa-apa. Semua sela jendela ditempel dengan kertas sehingga tertutup rapat.
"Bagaimana baiknya sekarang? Biar bagaimana, aku ingin melihatnya," katanya dalam hati. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan seperti yang biasa diambil oleh orang-orang kangouw bila ingin melakukan pengintaian yakni dengan membasahi telunjuk dengan air ludah dan kemudian ditusukkan pada kertas jendela sehingga koyak dan terbentuk lubang. Raja langsung bekerja, Tidak lama kemudian hasilnya sudah terlihat Di depan matanya terlihat sebuah sela kecil. Dari sana dia dapat mengintai ke dalam, usahanya pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Apa yang terlihat olehnya? Tempat tidur thayhou tertutup dengan kelambu sehingga tubuh thayhou tidak terlihat sebaliknya di depan tampak seorang dayang yang usianya masih muda sekali sedang berusaha memasukkan sesosok mayat ke dalam sebuah kantong besar. Mayat itu mengenakan pakaian yang sama seperti dayang tersebut, tetapi kepalanya gundul plontos tanpa sehelai rambut pun, Setelah memasukkan mayat itu ke dalam kantong, si dayang mengambil sebuah rambut palsu yang sejak tadi tergeletak di lantai, Mula-mula dia agak ragu, tapi akhirnya dia melemparkan rambut palsu itu juga ke dalam kantong berisi mayat.
"Thayhou, sudah selesai." katanya kemudian dengan suara perlahan.
"Apakah siwi di luar sudah pergi semua?" tanya thayhou, "Aku seperti mendengar suara orang...." Dayang itu menuju pintu dan melongok keluar.
"Sudah pergi semuanya," katanya melaporkan.
"Di luar tidak ada sepotong manusia pun...."
"Kau bawa kantong ini ke tepi kolam," kata thayhou menitahkan "Nanti kau masukkan empat potong batu besar ke dalamnya, kemudian kau ikat mulut kantong itu dengan tali yang kuat, lalu kau..." kembali thayhou terbatuk-batuk, "Kau dorong kantong itu agar tenggelam ke dasar kolam..."
"Baik, thayhou," sahut dayang itu, Kali ini suaranya gemetar, menandakan hatinya yang ketakutan.
"Setelah kantong itu masuk ke dalam air, kau timbun bagian atasnya dengan tanah agar tidak kelihatan!" kata thayhou lagi.
"Baik, thayhou," sahut dayang itu, ia langsung menarik kantong mayat itu menuju taman. Raja memperhatikan dalam hatinya dia berpikir.
"Siau Kui cu mengatakan bahwa dayang itu sebenarnya seorang laki-laki, ternyata dia tidak berdusta, Agaknya di balik semua ini memang benar terselip rahasia yang besar sekali, Kalau tidak, mengapa thayhou ingin menenggelamkan mayat itu agar buktinya hilang?" Siau Po berada di samping raja. Tiba-tiba kaisar Kong Hi menggenggam tangannya erat-erat. Rupanya tangan kedua-duanya sama-sama basah oleh keringat dingin saking tegangnya hati masing-masing. Hebat sekali apa yang mereka saksikan apalagi bagi seorang raja. Tidak lama kemudian terdengarlah suara ceburan air, lalu menyusul dengan kembalinya si dayang ke kamar ibu suri. Raja tidak kenal siapa adanya dayang itu. Tidak demikian dengan Siau Po. Dia tahu dayang itu Lui cu adanya.
"Sudah beres semuanya?" tanya thayhou ingin mendapatkan keyakinan.
"Ya, thayhou," sahut Lui cu.
"Di sini tadinya ada dua sosok mayat, sekarang tinggal satu," kata thayhou, "Kalau besok pagi ada yang menanyakannya kepadamu, bagaimana kau menjawabnya?"
"Ham... ba... hamba akan menjawab tidak tahu," sahut Lui cu gugup.
"Kau selalu mendampingi dan melayani aku, bagaimana kau bisa mengatakan tidak tahu?" tanya ibu suri kembali.
"Iya... iya," sahut si dayang kebingungan Tampaknya dia tidak biasa berdusta.
"Apanya yang iya... iya?" bentak ibu suri gusar. Dibentak sedemikian rupa, tiba-tiba saja kecerdasan si dayang tergugah. Dia segera menjawab.
"Hamba... melihat dayang yang sudah mati itu tiba-tiba bangun kembali, rupanya dia hanya ter-luka, Ke... mudian dengan perlahan-lahan... dia berjalan keluar kamar Saat... itu thayhou sedang tidur nyenyak, ham... ba tidak berani mengganggu, da... yang itu ke... luar dari.... Cu-leng... kiong, la... lu pergi entah... ke... mana...." Thayhou menarik nafas panjang.
"Oh, begitu.,." katanya, "Amitaba...! Kiranya di belum mati, ia menyingkir sendiri....Nah, bagus begitu!"
"Terima kasih kepada Langit dan Bumi karena dia belum mati!" kata Lui cu yang mengikuti nada bicara ibu suri. Raja dan Siau Po masih mencuri dengar pembicaraan mereka. Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri, kamar itu menjadi sunyi, Kaisar Kon Hi menduga tentunya ibu tiri itu sudah tidur, Diam diam raja melangkahkan kakinya untuk pulang ke kamarnya sendiri Dia mendapatkan para siwi dan thay-kam masih berdiri tegak di tempat semula, Di jadi tertawa melihatnya.
"Sekarang kalian bebas bergerak!" katanya. Meskipun tertawa, nada suara raja tawar sekali. Hal ini disebabkan perasaannya yang juga tawar sekali, Apa yang ia dengar dan saksikan di kamar thayhou merupakan pukulan berat bagi bathinnya. Ternyata keterangan Siau Po memang benar Sepak terjang ibu tirinya hebat sekali!
Setelah berada di dalam kamar, kaisar Kong Hi menatap kepada Siau Po yang masih terus mengikutinya, Siau Po pun tengah memperhatikan junjungannya itu dengan hati bertanya-tanya, Tindakan apakah kira-kira yang akan diambil raja setelah mengetahui rahasia ibu tirinya itu? Tiba-tiba air mata kaisar Kong Hi mengucur dengan deras.
"Thayhou... Thay... hou..." panggilnya dengan nada sedih. Siau Po diam saja, Dia tidak tahu bagaimana harus menghibur junjungannya itu. Raja masih berdiam diri sekian lama. Kemudian dia menepuk tangan satu kali. Dua orang siwi segera muncul di depan pintu, Mereka memberi hormat kepada kaisar Kong Hi lalu berdiri menunggu perintahnya.
"Ada dua urusan penting dan rahasia, kalian harus mengerjakannya," kata kaisar Kong Hi kepada kedua pengawalnya itu.
"Kalian harus ingat, rahasia ini jangan sekali-sekali sampai bocor! Di dalam taman Cu-leng kiong, di dasar kolam teratai ada sebuah kantong yang besar sekali, Kantong itu harus kalian angkat dan bawa kemari. Kalian harus bekerja dengan hati-hati, jangan menimbulkan suara berisik. Thayhou sedang tidur, jagalah jangan sampai beliau mendusin. Kalau hal itu sampai terjadi, awas batang leher kalian!" Kedua orang siwi itu menerima baik perintah tersebut Setelah memberi hormat, keduanya langsung mengundurkan diri. Kaisar Kong Hi duduk di atas tempat tidur, otaknya masih terus bekerja. Tentu hatinya masih belum tenang juga, Dia menantikan hasil kerja kedua orang siwi itu dengan berdiam diri. Tidak lama kemudian, kedua siwi itu muncul kembali. Mereka menggotong sebuah kantong yang basah kuyup dan airnya masih terus menetes. Kantong itu diletakkan di depan kamar.
"Apakah thayhou kaget atau terjaga?" tanya kaisar Kong Hi. Hal itulah yang selalu dikhawatirkan nya sejak tadi.
"Tidak! Hamba tidak berani menyebabkan hal itu terjadi!" sahut kedua pengawal itu. Kaisar Kong Hi mengangguk.
"Baik! sekarang bawalah kantong itu ke dalam!" perintah itu segera dilaksanakan.
"Sekarang kalian boleh pergi!" kata raja menitahkan, Kedua siwi itu langsung mengundurkan diri, Siau Po segera menutup pintu, Tidak lupa di menguncinya, Setelah itu dibukanya ikatan kanton tersebut dan dengan berani ia menarik keluar mayatnya.
Mayat itu berkepala licin, demikian pula wajahnya, Tidak ada sehelai rambut atau cambangpun, tetapi ada bayangan hitam dari bekas cukurannya dan di tenggorokannya juga ada tonjolan sebagaimana biasanya kaum pria, Dadanya rata, Tidak perlu diragukan lagi dia memang seorang laki-laki, bahkan tubuhnya berotot keras dan jeriji tangannya kasar-kasar. Hal ini membuktikan dia pandai ilmu silat, Kalau ditilik dari wajahnya, tampaknya belum lama dia menyaru sebagai dayang dalam istana, kalau tidak, rahasianya pasti sudah lama terbongkar. Kaisar Kong Hi sangat teliti, Dia menghunus golok di pinggangnya dan digunakannya untuk mengoyak celana orang itu. Setelah melihat dengan jelas, hawa amarahnya langsung meluap. Meskipun yang dihadapinya hanya sesosok mayat, namun dia melampiaskan kemarahannya dengan membacoknya berkali-kali. Sekejap kemudian bagian dada dan pinggang mayat itu tidak karuan lagi bentuknya.
"Thayhou.,." Siau Po ingin mengatakan sesuatu melihat kemarahan junjungannya itu.
"Thayhou apa?" kata kaisar Kong Hi dengan nada gusar "perempuan hina itu sudah mencelakai ibu kandungku sampai mati, dia juga menyebabkan ayahandaku meninggalkan istana ini. perbuatan busuknya benar-benar mengotori istana, Dia benar-benar jahat! A... ku ingin membacoknya ratusan kali, Seluruh keluarganya harus dibunuh!" Siau Po menghela nafas, Dia terdiam namun hatinya lega, Biar bagaimana, perasaan jerinya terhadap ibu suri tetap ada. sekarang lain, Dia berpikir dalam hati.
"Sekarang raja tidak mengakui thayhou sebagai ibunya lagi, Karena itu, walaupun thayhou akan mengambil tindakan yang bagaimana busuknya sekalipun asal aku mengetahuinya, tidak mungkin raja akan membunuhku untuk menutup mulutku ini...."
Saking sengitnya, raja masih membacok mayat itu beberapa kali. Bahkan hampir saja dia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memerintahkan beberapa siwi menangkap ibu suri agar dihadapkan kepadanya. Untung saja di lain saat ada suatu hal yang terlintas di benaknya.
"Ayahanda belum wafat, sekarang beliau berada di gunung Ngo Tay san untuk menyucikan diri pikirnya dalam hati, "lni merupakan urusan besar yang harus dirahasiakan Kalau rakyat sampai mengetahui hal itu, tentu akan terjadi pergolakan. Tidak, Aku tidak boleh sembrono!" Karena itu di menoleh kepada Siau kui cu sambil berkata, "Sia Kui cu, besok pagi-pagi, mari kita berangkat bersama ke Ngo Tay san untuk mencari keterangan dan bukti di sana!"
"Baik, Sri Baginda!" sahut Siau Po. Hatinya senang sekali. Baginya perjalanan itu seperti pesiar saja. Lagipula, keselamatannya di luar lebih terjamin daripada berada dalam istana. Raja berkata demikian hanya mengikuti suara hatinya saja. Sesaat kemudian, dia berpikir lain, Ketelitiannya dapat membuatnya berpikir jauh, Dia sadar bahwa dia tidak bisa pergi berdua saja dengan Siau Po. Kalau dia pergi secara terang-terangan, tentu banyak hal yang harus dipersiapkan Para menteri dan pembesar di setiap kota harus mengetahuinya, dengan demikian mereka bisa mengatur penyambutan terutama demi menjaga keselamatannya.
Tapi, yang terpenting adalah masalah di kota-raja sendiri. Dia masih muda sekali, Tidak semua menteri setia kepadanya, Bagaimana kalau di saat dirinya sedang melakukan perjalanan lalu thayhou menggunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukannya dan mahkotanya dicopot? Lalu, bagaimana seandainya ia tidak berhasil menemukan ayahandanya di Ngo Tay san? Apakah ayahnya itu benar-benar masih hidup atau sudah mati? Kalau dia sampai gagal menemukan ayahnya, sedangkan hal ini sudah terbuka, bukankah dia akan menjadi bahan tertawaan? Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Siau kui cu!" katanya yang masih memanggil "Siau Kui cu pada sahabatnya itu, "Aku tidak bisa meninggalkan kotaraja, sebaiknya kau pergi saja sendiri!" Siau Po heran, hatinya agak kecewa.
"Aku sendirian?" tanyanya.
"Iya, kau sendiri saja," kata kaisar Kong Hi tegas, "Kau lakukan penyelidikan untuk mendapatkan kepastian bahwa ayahku benar-benar masih hidup dan sedang menyucikan diri di gunung Ng Tay san, Aku harus di sini untuk memperkokoh kedudukanku. Aku harus bersiap menghadapi perempuan hina yang jahat itu! Setelah kau mendapatkan hasil dan kedudukanku di sini sudah cukup aman dan kuat, barulah kita pergi bersama!" Siau Po berpikir cepat. Usul raja itu memang cukup bagus, Tampaknya raja sudah bertekad untuk menentang ibu suri.
"Ada baiknya kita bekerja masing-masing," pikirnya, Karena itu dia segera menganggukkan kepalanya, "Baik! Aku akan pergi ke Ngo Tay san!"
"Ada sebuah aturan dalam kerajaan Ceng, seorang thay-kam tidak bisa meninggalkan istana seorang diri, kecuali secara resmi atau ikut bersamaku. Tapi, Siau kui cu, sekarang kau berbeda, karena kau bukan thay-kam, Kau boleh pergi, asal bukan sebagai seorang thay-kam, sebaiknya kau berdandan sebagai siwi saja, Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan orang-orang dalam istana, Karena selama ini kau dikenal mereka sebagai thay-kam, Bagaimana baiknya sekarang?" Raja termenung sejenak, kemudian baru di berkata lagi: "Begini saja, Siau kui cu, akan kujelaskan pada orang-orang bahwa demi membunuh Go Pay, aku menugaskanmu agar menyamar sebagai thay-kam, sekarang tugasmu sudah selesai, kau tidak perlu menjadi thay-kam lagi, Siau kui cu, sebaiknya setelah ini kau rajin belajar ilmu surat agar kelak aku bisa menghadiahkan kau pangkat yang tinggi!"
Siau Po tertawa.
"Baik!" serunya, "Bagus sih bagus! Tapi setiap kali melihat buku, kepalaku langsung jadi pusing!" Raja pun tersenyum, Dia segera duduk di meja dan mengeluarkan kertas serta alat tulisnya untuk membuat surat pada ayahnya, Dia ingin menjelaskan bahwa bukan dirinya tidak berbakti (put hau), tapi sampai sekarang ia baru mengetahui bahwa ayahnya masih hidup dan menetap di gunung Ngo Tay san. Keterangan itu membuat hatinya senang sekali, karenanya dia berjanji akan mengatur persiapan untuk menyambut kepulangan ayahnya ke kotaraja, Dengan demikian mereka ayah dan anak dapat berkumpul bersama-sama lagi."
"Siau kui cu, kau harus berhati-hati," pesan kaisar Kong Hi ketika menyerahkan surat itu kepada Siau Po.
"Kalau surat ini sampai terjatuh ke tangan orang, kemungkinan kau akan diringkus dan dibunuh...."
"Aku mengerti!" sahut Siau Po. Raja mengambil sehelai kertas lagi kemudian menulis kembali, Bunyinya begini: "Diperintahkan kepada Wi Siau-po, Gi-cian siwi hu congkoan yang dihadiahkan baju Ma kwa kuning untuk pergi ke gunung Ngo Tay san dan sekitarnya untuk melakukan tugas kenegaraan, Semua pembesar setempat sipil dan militer harus bersedia menerima segala titahnya. Firman atas nama kaisar Kong Hi. Selesai menulis, raja menyerahkan surat pengangkatannya pada Siau Po dan berkata sambil tertawa: "Aku memberimu sebuah pangkat. Nah, kau lihat sendiri, pangkat apa itu?" Siau Po menyambuti kertas itu dan membelalakkan matanya untuk membaca surat itu. Tidak, di hanya melihat, bukan membaca! Sebab yang dikenalnya hanya beberapa huruf seperti Ng (lima), san (gunung), It (satu) dan Bun (sipil lainnya tidak, Karena itu dia menggelengkan kepalanya sambil menyahut.
"Aku tidak tahu pangkat apa. Tapi karena kau yang menganugerahkan, tentunya pangkat ini tidak rendah, bukan?" Raja tertawa, kemudian dia membacakan firmannya, Mendengar apa yang tertulis di dalam kertas itu. Siau Po menjulurkan lidahnya.
"Oh! pangkat Gi-cian siwi hu congkoan?" katanya. "Sungguh hebat! Sungguh hebat! Malah aku mengenakan baju Ma kwa kuning!"
Pangkat yang diberikan raja adalah Pemimpin muda dari pasukan pengawal pribadi kaisar. Raja tersenyum dan berkata.
"Walaupun To Lung menjadi congkoan, tapi dia tidak dianugerahkan baju Ma kwa kuning, sedangkan kau, bila kau berhasil menjalankan tugasmu dengan baik, sekembalinya nanti, pangkatmu akan kunaikkan lagi, Sayang sekali usiamu masih terlalu muda, karena itu rasanya tidak pantas kau menjadi menteri Tapi biarlah urusan itu kita bicarakan lagi perlahan-lahan bila kau sudah kembali nanti!"
"Bagiku sendiri, pangkat tinggi atau rendah sama saja," sahut Siau Po. Dia memang pandai bicara dan berotak encer "Bagiku sudah lebih dari cukup kalau aku bisa senantiasa mengikutimu." Di dalam hatinya kaisar Kong Hi senang sekali mendengar ucapan hambanya itu.
"Kau harus berhati-hati dengan kepergianmu ini," kata kaisar Kong Hi.
"Semua gerak-gerikmu harus dirahasiakan. Mengenai firmanku ini bila tidak dalam keadaan terpaksa, jangan kau perlihatkan pada siapa pun! Nah, kau pergilah!" Siau Po mengucapkan terima kasih, dia memberikan janjinya, Setelah itu dia memberi hormat dan memohon diri. Ketika kembali ke kamarnya di mana kedua nona Bhok dan nona Pui bersembunyi dia berpikir.
"Tentu mereka memikirkan aku sampai bingung dan khawatir...." Tatkala itu fajar sudah mulai menyingsing. sampai di kamarnya, Siau Po mendorong pintu perlahan-lahan. Dia segera melihat kedua nona itu sedang duduk berdampingan dengan punggung menyandar tembok, Pui Ie tidak tidur.
"Oh, kau sudah kembali!" sapanya.
"Bagus sekali, selamat!" kata Siau Po tanpa menjawab kata-kata gadis itu. "Mari kita keluar dari tempat ini sekarang juga!"
Berbeda dengan Pui Ie, Kiam Peng sedang tertidur pulas. Mendengar suara orang, dia membuka matanya sambil berkata.
"Kau tahu, suci merasa khawatir sekali, dia takut kau menghadapi ancaman bahaya..."
"Tidak apa-apa, tak ada bahaya apa-apa," sahut Siau Po. Pada saat itu terdengar suara bunyi genta sebagai tanda pintu istana telah dibuka dan ratusan pembesar sipil maupun menteri-menteri hadir seperti biasanya untuk memberi hormat dan mengikuti rapat umum bersama Sri Baginda setiap paginya. Siau Po mendengar suara itu, tapi dia tidak memperdulikannya, Dia malah menyalakan lilin sehingga keadaan kamar menjadi terang dan dia dapat melihat wajah kedua nona itu, Dandanan mereka, benar-benar sempurna.
"Kalian berdua terlalu cantik," katanya, "Sebaiknya wajah kalian diolesi tanah sedikit agar tidak terlalu putih!" Kiam Peng kurang setuju dengan saran Siau Po, tapi Pui Ie langsung mencoret tanah dan mengolesi wajahnya sendiri, terpaksa Kiam Peng pun mengikuti kelakuannya, Dengah demikian rona wajah mereka jadi agak gelap. Siau Po membungkus ketiga kitab Si Cap Ji cin-keng menjadi satu kemudian dia mengeluarkan tusuk konde perak dan menyerahkannya kepada Pui Ie.
"Bukankah ini tusuk konde yang kau maksudkan?" Pui Ie jadi terharu sehingga wajahnya menjadi merah, cepat-cepat ia berpaling ke arah lain. Siau Po tersenyum.
"Sebenarnya tidak ada bahayanya sama sekali," katanya, sedangkan dalam hatinya dia berkata, ini yang dinamakan, berbuat baik mendapat pembalasan yang baik pula, Kalau aku tidak pergi mengambil tusuk konde ini, mana mungkin aku mendapat hadiah baju Ma kwa kuning seperti sekarang?" Siau Po segera mengajak kedua kawannya meninggalkan istana, Mereka keluar Sin-bu mui, yakni pintu belakang kota terlarang, Ci-kiam sia. Tatkala itu hari baru mulai terang, cuaca masih suram, penjaga kota melihat yang
keluar adalah Siau kui cu bersama dua orang thay-kam lainnya. Dia tidak berani mencegah, bahkan bertanya pun tidak, Malah dia bersikap mengambil hati Siau Po yang dia tahu merupakan thay-kam kesayangan raja, Dengan demikian, tanpa menemui kesulitan sedikitpun mereka berhasil keluar dari Ci-kiam sia. Setelah berjalan belasan tombak, Pui Ie menoleh ke belakang, kemudian dia menarik nafas lega. Banyak yang dipikirkannya, sejak menyerbu ke dalam istana, dia telah mengalami berbagai peristiwa, Dia seperti sudah mati dan menjelma kembali... Setibanya di jalan raya, Siau Po segera menyewa tiga joli kecil untuk membawa mereka bertiga, Masing-masing naik ke dalam sebuah joli, Dia menyuruh tukang joli membawanya ke jalan Tiang An barat Di sana mereka turun dan berganti dengan joli lainnya, sekarang mereka baru menuju ke tempat cabang kantor Tian-te hwe
Setelah sampai dan turun dari joIi. Siau Po berkata kepada kedua nona itu. "Rekan-rekan kalian dari Bhok onghu sejak kemarin sudah keluar dari kota ini. Karena itu, aku harus berunding dulu dengan kawan-kawanku untuk mengambil keputusan kemana kalian harus diantar." Pada saat ini, sikap Siau Po sudah berubah, sekarang dia sudah menjadi Gi-cian siwi hu cong koan (Pemimpin muda dari pengawal pribadi raja). Mendadak dia merasa seperti orang dewasa, Apa lagi sekarang dia sedang menerima tugas penting dari raja, Dia harus menyelidiki suatu urusan besar karena itu dia tidak bersikap sembarangan, sedangkan saat itu gurunya masih ada di sana sehingga dia tidak berani banyak tingkah.
"Aku tidak berani berdiam di kotaraja ini lama-lama," kata Siau Po terus terang.
"Bagiku, mungkin pergi semakin jauh semakin baik, Aku harus menunggu sampai thayhou mati dan keadaan aman, baru aku kembali lagi ke sini!"
"Kami mempunyai sahabat yang tinggal di dusun Cioki cung, wilayah Ho Pak," kata Pui Ie.
"Kalau kau tidak keberatan, seba... iknya kau ikut kami pergi ke sana untuk menyingkirkan diri sementara, Bukankah ini merupakan jalan yang baik?"
"Baik, sih baik!" kata Kiam Peng sebelum orang memberikan jawabannya, "Kau adalah penolong kami, jadi kau adalah orang sendiri, Bahkan dengan mengadakan perjalanan bersama-sama, kita bisa bergembira!" Kedua nona itu menatap Siau Po dengan sorot mata berharap, Kiam Peng tampaknya bernafsu sekali, tapi sikap Pui Ie agak malu-malu. Bukan main senangnya hati Siau Po dapat berjalan bersama kedua gadis cantik itu, apalagi perjalanan yang jauh. Tetapi dia ingat akan tugasnya, Dia harus menanti perintah raja dan terpaksa menolak ajakan kedua nona itu, Karena itu dia menjawab dengan menggunakan alasan yang masuk akal.
"Aku telah berjanji kepada seorang sahabatku untuk melakukan sesuatu, Karena itu aku tidak pergi bersama kalian ke dusun Cioki cung. Kalian sedang menyembuhkan luka dan tidak dapat melakukan perjalanan jauh, karena itu, aku berpikir untuk meminta pertolongan sahabatku yang dapat dipercaya untuk melindungi kalian sepanjang perjalanan, sekarang mari kita singgah dulu di suatu tempat untuk bersantap dan beristirahat. Kalau perlu nanti kita rundingkan kembali." Kedua nona itu menyatakan persetujuannya. Siau Po langsung mengajak mereka ke cabang markas Tian-te hwe. Anggota Tian-te hwe yang berjaga di ujung lorong segera mengenali Siau Po dan mengajaknya masuk, Di dalam, mereka disambut oleh Kho Ga tiau yang heran melihat hiocunya membawa dua orang thay-kam bersamanya. Siau Po mengerti perasaan rekannya itu. dia segera membisikkan.
"Kedua nona ini.... Yang satu ialah Putri dari Bhok onghu, sedangkan yang satu ini adalah kakak seperguruannya, Aku baru saja menolong mereka meloloskan diri dari istana." Gan Tiau segera mempersilahkan kedua nona itu duduk dan menyuguhkan air teh. Kemudian dia menarik Siau Po ke samping dan berkata kepadan dengan nada berbisik: "Tadi malam Cong tocu sudah meninggalkan kotaraja." Mendengar berita itu, bukan main senangnya hati Siau Po. Hal ini berarti untuk waktu agak lama dia tidak akan bertemu dengan gurunya, Dia paling takut bertemu dengan Tan Kin-Iam, sang guru, dia juga tidak tahu, apabila bertemu dengan gurunya itu, haruskah dia menceritakan tugas yang diberikan kaisar Kong Hi kepadanya. Sekarang dia bebas, hatinya lega sekali, Tapi, di hadapan Gan Tiau sengaja dia memperlihatkan sikap lain, Dia seakan kecewa dan menyesalkan hal itu, Dia membanting-banting kakinya seraya berkata.
"Ah! Kenapa suhu begitu cepat meninggalkan kotaraja?"
"Cong tocu telah berpesan kepada sebawahanmu ini untuk memberitahukan hiocu," kata Gan Tiau, "Katanya Cong tocu telah menerima berita kilat dari Taiwan, karena itu, mau tidak mau dia harus kembali kesana untuk mengurusnya, Cong tocu berharap,
dalam segala hal hiocu harus bertindak seksama dan pandai melihat situasi Cong tocu juga mengatakan, seandainya hiocu tidak leluasa berdiam lagi di kotaraja, sebaiknya hiocu pergi untuk sementara, Pesan lainnya ialah agar hiocu rajin berlatih silat, sedangkan mengenai racun yang mengendap dalam tubuh hiocu, seandainya bertambah parah, harap hiocu segera mengabarkan pada Cong tocu."
"Ya, aku mengerti," sahut Siau Po. "Suhu memang sangat prihatin terhadap ilmu silat dan racun yang mengendap dalam tubuhku, Syukurlah aku mendapatkan seorang suhu yang begitu baik." Ucapan Siau Po yang terakhir adalah kata-kata yang keluar dari hatinya yang paling tulus, Bukankah dalam keadaan yang demikian genting, Ta Kin-lam juga masih demikian memperhatikannya?
"Sebenarnya apa yang terjadi di Taiwan?" tany Siau Po kemudian.
"Katanya dalam keluarga The, terjadi perselisihan antara ibu dan anak, Malah menyebabka terbunuhnya seorang menteri," kata Gan Tiau.
"Rupanya di sana terjadi kekacauan di dalam, Cong tocu sangat dihormati, karena itu, dengan kembalinya beliau, mudah-mudahan urusan bisa dijernihkan Hiocu tidak perlu khawatir Hoan toako, Ho toako dan Hian Ceng tojin ikut dengan Cong tocu ke sana. sedangkan Ci samko dan sebawahanmu ini disuruh menetap dulu di kotaraja untuk menerima titah dari hiocu." Siau Po mengangguk.
"Baiklah," katanya, "Sekarang tolong kau panggilkan Cisamko!" Di dalam hatinya, diam-diam Siau Po berpikir.
"Kepandaian Ci samko tinggi sekali dan otaknya pun cerdas. Lagipula usianya sudah lanjut dan banyak pengalamannya, Kalau dia disuruh mengantarkan kedua nona ini ke dusun Cioki cung, pasti tepat sekali..." Sedangkan mengenai urusan di Taiwan, dia berpikir juga, "Di Taiwan juga terjadi perselisihan antara ibu dan anak, tidak berbeda keadaannya dengan thayhou serta kaisar Kong Hi, namun entahlah kalau masalahnya...." Seberlalunya Gan Tiau, Siau Po mengajak Kiam Peng dan Pui Ie makan mi. Baru bersantap setengah mangkok, Bhok Kiam-peng tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk bertanya pada Siau Po.
"Benarkah kau tidak bisa ikut kami ke dusun Cioki cung?" Siau Po tidak langsung menjawab. Matanya memperhatikan Pui Ie yang sedang asyik makan mi. Meskipun sedang makan, gadis itu mengangkat wajahnya sehingga pandangan mata mereka bertemu satu dengan lainnya, Siau Po dapat melihat bahwa mata itu juga menyorotkan sinar berharap sebagaimana halnya mata Kiam Peng.
"Aih!" keluhnya dalam hati, "Mereka berharap aku dapat menemani, tapi bagaimana mungkin? Tugasku ini penting sekali. Aku juga tidak dapat mengajak mereka, Keduanya sedang terluka, bukankah akhirnya malah akan merepotkan aku? Lain kalau mereka dalam keadaan sehat, Kecuali dapat membela diri apabila ada apa-apa, mereka juga dapat memberikan bantuan kepadaku, sekarang justru aku yang harus melindungi mereka berdua, Dan perjalanan bersama mereka pasti menarik perhatian umum!" Karena itu, akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Begini saja, setelah tugasku selesai, aku akan pergi ke dusun Cioki Cung untuk menjenguk kalian. siapakah she dan nama kawanmu itu dan apa nama kampungnya?" Pui Ie menundukkan kepalanya, Tangannya menyumpit mi, tapi dia tidak langsung membawa ke mulutnya, dia hanya berkata dengan suara perlahan. "Sahabat kami itu tinggal di dusun Cioki cung, di sebelah barat pasar. Dia membuka sebuah perusahaan pengangkutan dengan keledai dan kuda, Dia mendapat julukan Koay Ma Ti-sam atau si Kuda Cepat!"
"Koay Ma Ti-sam!" Siau Po mengulangi nama itu sekali lagi. "Baiklah, Nanti aku akan menjenguk kalian." Dia memperlihatkan tampangnya yang berseri-seri dan bergurau lagi sebagaimana biasanya, "Mana bisa aku meninggalkan sepasang istri tua dan muda
yang demikian cantik cantik bagai batu kumala yang indah?" Kiam Peng tertawa.
"Belum apa-apa, kau sudah mempermainkan lagi lidahmu yang tajam itu," katanya, Dia tahu Siau Po hanya bergurau sehingga dia tidak merasa jengah atau malu. Pui Ie juga tidak merasa jengah, malah dia berkata.
"Kalau kau benar-benar menganggap kami sahabat karib, setiap hari kami akan mengharapkan kedatanganmu.... Sebaliknya, bila kau tidak memandang sebelah mata kepada kami, lebih baik kau tidak usah datang." Siau Po tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Dia menjadi tidak enak sendiri lekas-lekas dia berkata.
"Baiklah! Baik! Kalian tidak suka bercanda, lain kali aku akan bersikap serius!" Pui Ie senang mendengar janji itu.
"Bicara main-main tentu boleh saja, tapi harus ada batasnya," katanya sambil tertawa manis, "Untuk bercanda, orang harus tahu waktu dan tempat yang tepat. Kau... kau... apakah kau marah?" Hati Siau Po senang sekali, Dia berkata dengan penuh semangat.
"Tidak! Sebaliknya, aku justru berharap kau tidak marah...." Pui Ie tertawa.
"Menghadapi orang sepertimu, siapa pun tidak bisa marah!" Dengan demikian, suasana dalam ruangan itu menjadi ceria. Hubungan mereka pun semakin akrab.
Di wilayah utara, meskipun pagi hari, udara sudah dingin sekali, Begitu pula yang dirasakan ketiga orang muda itu. Siau Po menghirup kuah mi di mangkuknya, Dia seperti tidak sempat mengatakan apa-apa lagi, Tepat pada saat itu, dari halaman luar terdengar suara langkah kaki berat yang mendatangi Siau Po segera menoleh dan tampaklah Pat-pi Wan kau (Si kera bertangan delapan) Ci Tian-coan masuk ke dalam ruangan. Begitu sampai di depan Siau Po yang usianya jauh lebih muda, Tian Coan segera menjura dalam-dalam memberi hormat, wajahnya berseri-seri dan dia menyapa dengan ramah.
"Apakah Nilo (tuan yang terhormat) dalam keadaan baik-baik saja?" Tian Coan sudah tua dan banyak pengalaman Dia juga orang yang berhati-hati, Melihat sang hiocu datang bersama dua orang yang tidak dikenal, ia tidak menyebutnya sebagai ketua, tetapi menyapanya dengan panggilan Tuan yang terhormat. Siau Po merangkapkan tangannya membalas hormat dan berkata sambil tertawa manis.
"Ci toako, mari aku kenalkan kau dengan dua orang sahabatku, Yang ini nona Pui, dan yang ini nona Bhok, Siau kuncu dari Bhok onghu. Mereka adalah murid-murid berbakat dari Tiat-pwe cong liong Liu Tay-hong!" kemudian dia menoleh kepada kedua nona itu, "Nona-nona, inilah Ci toako yang sudah kenal baik dengan guru kalian serta Siau ongya.,." Dia khawatir kedua nona itu masih memendam atau penasaran, karenanya dia segera menambahkan "Dulu memang terjadi kesalah-pahaman, tetapi sekarang semuanya sudah beres." Kedua belah pihak saling memberi hormat. Setelah itu Siau Po berkata kepada Ci Tian-coan.
"Ci toako, kali ini aku hendak memohon bantuanmu...." Sekarang Tian Coan percaya kedua nona itu sudah mengetahui siapa adanya Wi Siau Po, karena itu dia langsung berkata, "Wi hiocu, sebawahanmu akan mentaati apa pun perintahmu!" Terkaan Tian Coan keliru, sebenarnya Kiam Peng dan Pui Ie belum tahu bahwa thay-kam yang menolong mereka adalah hiocu dari Tian-te hwe. Karena itu mereka merasa heran mendengar orang tua yang sudah mempunyai nama itu memanggil Siau Po dengan sebutan hiocu. Mereka segera menoleh dan memperhatikan Siau Po lekat-lekat saking herannya. Siau Po mengerti kebingungan kedua nona itu, dia langsung tersenyum dan menjelaskan.
"Nona-nona, perlu kalian ketahui bahwa Gouw Lip-sin loyacu dan muridnya serta Lau It-cou telah berkumpul kembali bersama Bhok siau ongya dan sudah meninggalkan kotaraja ini. Kamilah yang mengatur semua itu."
"Iya, betul," kata Ci Tian-coan menambahkan, "Bhok ongya kemarin sudah meninggalkan kotaraja dan keadaannya baik-baik saja."
"Jadi kakak Lau It-cou juga bersama dengan toako sekarang?" tanya Kiam Peng mewakili nona Pui yang kemalu-maluan.
"Benar," sahut Tian Coan. "Aku sendiri yang mengantarkan mereka keluar pintu kota, tapi mereka berpencar menjadi dua kelompok Lau It-co berjalan bersama dengan Liu loyacu." Pui Ie menundukkan kepalanya. Wajahnya merah padam. Melihat sikap nona itu, Siau Po berkata dalam hatinya.
"Kau mendengar kabar tentang pacarmu yang berhasil meloloskan diri dengan selamat, tentu saja kau kesenangan setengah mati.." Tetapi, sebenarnya dugaan Siau Po keliru, Pu Ie justru merasa sedih dan bingung, Dia berpikir dalam hati.
"Aku sudah berjanji dengannya, bila dia berhasil menyelamatkan Lau suko, maka aku bersedia menikah dengannya, Meskipun aku rela, tapi dia kan seorang thay-kam, mana mungkin aku menikah dengannya? Dia juga masih terlalu muda, meskipun tingkahnya berlebihan sekarang dia malah menjadi Wi hiocu entah apa." Siau Po tidak memperdulikan pikiran nona itu, dia berkata lagi dengan cepat.
"Kedua nona itu sempat berhadapan dengan para siwi istana sehingga kedua-duanya terluka, sekarang mereka ingin pergi ke dusun Cioki cung di mana tinggal salah seorang sahabat mereka, Aku berpikir untuk memohon bantuan Ci toako agar sudi mengantarkan sampai tujuan dengan selamat."
"Urusan itu mudah!" sahut Tian Coan, "Malah aku merasa senang sekali hiocu memilih aku yang menjalankan tugas ini. sebawahanmu ini merasa menyesal terhadap apa yang pernah terjadi antara sebawahanmu dengan keluarga Bhok, Bukankah Siau ongya telah menolong aku? Aku merasa bersyukur sekaligus malu, karena itu aku senang sekali menerima tugas ini. Aku harap aku dapat mengantar kedua nona ini sampai di tujuan tanpa kurang sesuatu apa pun. Dengan demikian perasaanku menjadi agak lega...." Bhok Kiam-peng memperhatikan Ci Tian-coan. Dia melihat orangnya sudah tua dan tubuhnya juga kecil kurus, punggungnya agak membungkuk. Dia jadi mempunyai dugaan bahwa orang ini pasti roboh tertiup angin yang rada kencang saja, mengapa orang tua semacam ini diberi tugas mengantarkan mereka berdua? Bisa jadi nanti bukan mereka berdua yang dilindungi malah mereka berdualah yang harus melindungi si tua bangka itu." Justru karena Siau Po mengatakan bahwa dia tidak dapat turut serta, Kiam Peng menjadi tidak puas, Hal ini tersirat jelas pada wajahnya. Sebaliknya Pui Ie tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Dia hanya berkata. "Ci toako, kami benar-benar tidak berani merepotkan dirimu," katanya merendah "Bagi kami, sudah lebih dari cukup apabila disediakan sebuah kereta yang besar agar dapat melanjutkan perjalanan. Luka kami sudah tidak terlalu mengkhawatirkan..." Ci Tian-coan tertawa.
"Nona Pui, tak usah nona sungkan-sungkan!" katanya, "Hiocu sudah menitahkan aku dan aku harus menjalankan tugasku sebaik-baiknya, Nona berdua sangat gagah, sebetulnya kalian tidak memerlukan pelayanan kami yang mungkin menjemukan Lagipula aku sudah tua, tidak pantas dikatakan mengantarkan, tapi setidaknya aku cukup berguna untuk disuruh-suruh. Aku bisa mencarikan penginapan untuk beristirahat, menyewakan kereta, membelikan barang-barang yang dibutuhkan Aku senang dalam melakukan semua itu. Dengan ikutnya aku si orang tua, nona berdua tidak perlu capekkan diri melakukan sendiri pekerjaan kasar apa pun." Mendengar ucapan si orang tua yang ramah itu, Pui dan Kiam Peng sadar mereka tidak enak untuk menolak terus, Akhirnya Pui Ie berkata. "Ci loyacu sangat baik hati, entah bagaimana kami dapat membalasnya kelak?" Kembali Tian Coan tertawa.
"Apanya yang harus dibalas?" sahutnya ramah, "Bicara terus terang, nona berdua, kekaguman aku si orang tua terhadap hiocu kami yang satu ini tidak pernah habis-habisnya, jangan nona-nona memandang remeh terhadap usianya yang masih muda, kenyataannya banyak yang dapat dilakukannya, Kemarin hiocu telah membantu aku melegakan dadaku yang sesak ini, dan di saat aku sedang berpikir bagaimana caranya untuk membalas budi, tahu-tahu begitu kebetulan aku mendapat tugas ini."
"Nona berdua, meskipun kalian tidak sudi diantar olehku, aku bisa tahu diri. Nanti aku akan berangkat terlebih dahulu agar dapat berjalan di depan kalian dan si orang tua ini bisa mengatur segalanya, seandainya bertemu gunung, aku akan membuat jalannya, bertemu sungai, aku akan membangun jembatannya, dengan demikian tanpa kesulitan nona-nona berdua bisa tiba di dusun Cioki cung, jangan kata mengantar nona berdua sampai dusun itu, yang hanya makan waktu beberapa hari, sekalipun harus mengantarkan sampai ke Inlam, aku juga akan menjalankannya dan baru berhenti apabila kaitan sudah sampai di tujuan" Kiam Peng tertarik juga mendengar kata-kata Tian Coan wajahnya memang tidak enak dilihat, tapi orang tua ini berani dan bicaranya polos, Kiam Peng jadi suka berbicara dengan nya.
"Dalam urusan apakah kemarin dia membuat dada loyacu jadi lega?" tanyanya, "Ke... marin kan dia ada dalam istana?"
"Persoalannya begini..." sahut Tian Coan sambil tertawa, "Di bawah pemerintahan Go Sam-kui dari propinsi Inlam ada seorang pembesar anjing bernama Yo It-hong. Dia telah menangkap aku si orang tua. Di tempat tahanannya aku dimaki-maki seenak perutnya dan disiksa secara bergantian. Hampir saja selembar jiwaku yang tua ini melayang, Untung kakakmu, Bhok siau ongya telah mengirim orang untuk menolong aku. Pada waktu itu Wi hiocu berjanji akan menyuruh orang menghajar kaki pembesar anjing itu sampai patah..." Kebetulan putra Go Sam-kui datang ke kota-raja dengan membawa banyak pengikutnya, Ter-masuk Yo It-hong. sebelumnya dia pernah makan hantamanku, karena itu dia menjadi tidak puas, tapi dia tidak dapat menemukan aku karena tidak tahu di mana aku berada, Beberapa hari yang lalu, ternyata datanglah bintang gelap yang menimpaku. Ketika aku berada di toko obat di sebelah barat kota, dia menculikku, Tentu saja dengan mengandalkan orang-orangnya yang banyak dan saat itu aku masih
dalam keadaan terluka. Setelah ditolong oleh Bhok siau ongya, aku terus mencari jalan untuk membalaskan sakit hatiku, Sampai sekian jauh belum datang juga kesempatan itu. Eh, tida tahunya kemarin aku bertemu dengan seorang sahabat yang menjadi tabib
khusus patah tulang. Dialah yang memberitahukan padaku bahwa orang-orang Peng Si ong menggotong seorang pembesar negeri yang terluka, Dia seperti diarak ke setiap tabib di kota, Anehnya, meskipun telah mendatangi tiga puluhan tabib, tidak ada seorang pun yang bersedia mengobatinya. Dia dibiarkan kesakitan orang-orang yang menggotongnya menjelaskan bahwa pembesar anjing yang luka itu bernama Yo It-hong dan lukanya itu didapatkan karena baru saja dihajar oleh puteranya pengkhianat Go Sam-kui, yakni Go Eng-him dengan toya, Katanya pembesar anjing itu dibiarkan menderita selama tujuh hari tujuh malam baru akan diobati!"
Bagian 28
Kiam Peng dan Pui Ie merasa heran. Hal itu benar-benar aneh bagi mereka, Untuk apa pembesar itu diarak ke setiap tabib kalau bukan untuk diobati?
"Apa arti perbuatan orang-orang yang menggotongnya itu?" tanya kedua nona itu kepada Siau Po. Orang yang ditanya tertawa,
"Yo It-hong, pembesar anjing itu telah bersalah kepada Ci toako," sahutnya, "Perbuatannya sungguh keterlaluan sekarang dia harus diberi pelajaran agar tahu rasa dan menderita!"
"Lalu, mengapa dia digotong kesana kemari oleh anjing Peng Si ong? Apakah sengaja dilakukan agar dilihat oleh orang banyak?" Siau Po tertawa.
"Go Eng-him, si bocah busuk itu melakukan hal tersebut supaya aku mendengarnya," sahutnya, "Aku yang menyuruh dia menghajar kaki pembesar anjing itu dan ternyata dia telah melakukannya dengan baik." Kiam Peng semakin heran.
"Lalu, mengapa Go Eng-him harus mendengar kata-katamu?" tanyanya kembali. Kembali Siau Po tertawa.
"Aku hanya mengoceh sembarangan di hadapannya untuk mengelabuinya," sahutnya, "Rupanya dia percaya dengan ocehanku."
"Tadinya aku ingin membunuh pembesar anjing itu, tapi setelah dipikir-pikir, aku membatalkannya. Dia toh sudah diarak kesana kemari dalam keadaan terluka, Kakinya yang patah itu tidak boleh diobati dulu. Kalau dia langsung dibunuh begitu saja, tentu
terlalu enak baginya. Karena itulah aku membiarkannya, Kemarin sore aku melihatnya sendiri. Menurut pandanganku meskipun masih hidup, tapi nyawanya tinggal satu dua bagian saja, Kedua kaki celananya digulung ke atas sampai ke paha, Kakinya yang
terluka pun sudah membengkak dan biru matang. Aku yakin paling-paling dia bisa bertahan beberapa hari lagi Nah, nona-nona berdua, coba kalian pikir, apakah aku tidak merasa puas melihat kenyataan itu?" Kedua nona itu tersenyum, Demikian pula dengan Siau Po. Tidak lama kemudian muncul Kho Gan-tiau yang melaporkan bahwa dia sudah mencarikan dua buah kereta besar dan sekarang sudah menunggu di depan pintu, Dia termasuk seorang anggota penting dalam perkumpulan Tian-te hwe, tetapi menurut peraturan partai itu, dia tidak boleh sembarangan diperkenalkan dengan orang, itulah sebabnya dia tidak diajak kenal dengan kedua nona itu, Tian-te hwe bertujuan menentang pemerintahan Boan, karena itu anggota-anggotanya dianggap tidak perlu terlalu menonjolkan diri. Menerima laporan itu, Siau Po berpikir dalam hati. "Dalam buntalanku sudah terkumpul enam jilid kitab Si Cap ji cin-keng. Apa faedahnya kitab-kitab itu? Aku sama sekali tidak tahu, Mengapa orang lain selalu menginginkannya, sampai-sampai menempuh jalan mencuri bahkan mengorbankan jiwa orang lain? Di balik semua ini, pasti ada sebabnya, Karena itu, aku harus menjaga baik-baik agar kitab ini jangan sampai hilang." Hanya sejenak Siau Po berpikir Kemudian dia mendapat akal, Dia menggapaikan tangannya kepada Kho Gan-tiau.
"Kho toako," bisiknya, "Selama di istana aku mempunyai seorang sahabat yang telah dibunuh oleh para siwi. Karena dia merupakan sahabat karibku, maka aku menyimpan tulang belulangnya, Ada niatku untuk menguburnya baik-baik. Karena itu, tolong kau beli sebuah peti mati yang bagus untuk menempatkan abunya." Orang she Kho itu menerima perintah itu dengan mengangguk Ketika mengundurkan diri, dia berpikir.
"Sahabat hiocu itu pasti seorang gisu yang menentang kerajaan Boan, karena itu aku harus mencari peti mati dengan kayu pilihan dari Liu Ciu." Gan Tiau cerdas juga pandai bekerja, Dia diberikan uang sebesar lima ratus tail perak, tapi masih bersisa tiga puluh tail lebih. Kecuali peti mati, dia juga membeli pakaian, guci, semen, kertas, lengpay dan lain-lainnya. Menuruti pesan sang hiocu dia juga membeli pakaian serta sepatu untuk Pui Ie dan Kiam Peng, Tidak lupa pula ia membeli ransum kering untuk perbekalan dalam perjalanan. Sampai sekembalinya Kho Gan-tiau, Siau Po, Kiam Peng dan Pui Ie mendapat kesempatan tidur selama kurang lebih dua jam. Siau Po yang pertama-tama mengganti pakaian, dia tidak berdandan sebagai seorang thay-kam lagi. Dia sendiri yang mengurus penyimpanan kitab-kitabnya, Mula-mula dia membungkus keenam kitab itu dengan kertas yang berlapis-lapis, kemudian dimasukkannya ke dalam guci lalu dipenuhi dengan abu gosok. Paling bagus kalau peti mati ini aku isi dengan kerangka manusia," pikirnya dalam hati.
"Seandainya ada orang yang curiga, dan membuka tutup pe mati ini, mereka tidak akan ragu lagi. Tapi, dalam waktu yang singkat, kemana aku harus mencar kerangka manusia atau mayat yang utuh? Di mana aku harus mencari orang jahat yang patut dibunuh? Ketika akan keluar dari kamarnya dengan membawa guci, Siau Po membasahi matanya dengan air. Dia muncul dengan tampang sedih, Peti mati diletakkan di ruangan belakang dan memang tempat itulah tujuannya, Dia memasukkan guci berisi "abu
jenasah. Setelah selesai, dia menjatuhkan dirinya berlutut untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada "sahabat'nya itu. Dia melakukannya sambil menangis pilu. Di ruang itu telah berkumpul Ci Tian-coan, Kho Gan-tiau juga kedua nona dari keluarga Bhok, Tidak ada seorang pun dari mereka yang menaruh kecurigaan Bahkan semuanya ikut memberikan penghormatan terakhir. Siau Po pernah melihat upacara sembahyang di rumah keluarga Pek, maka dia pun menirunya, Dia berlutut di depan keempat orang itu dan menghaturkan terima kasih.
"Hiocu, siapakah nama sahabatmu itu?" tanya Kho Gan-Tiau. "Nama dan she dia harus ditulis dengan jelas."
"Dia... dia.,." kata Siau Po pura-pura menangis, padahal dia bingung karena belum memikirkan nama sahabatnya itu. Dia... she Hay bernama Kui Tong." Siau Po memang cerdas sekali, Dalam waktu yang singkat dia bisa memikirkan sebuah nama yang diambilnya dari nama Hay thayhu, Siau Kui cu, dan Sui Tong, Dia berpikir dalam hati.
"Aku telah membunuh kalian bertiga dan sekarang aku bersembahyang untuk arwah kalian. Uang ini boleh kalian gunakan di dalam alam baka, Tapi arwah kalian tidak boleh mengganggu aku, ya!" Kiam Peng melihat Siau Po menangis dengan sedih. Dia segera menghibur.
"Bangsa Tatcu telah membunuh para gisu dan sahabat kita, Suatu hari pasti akan tiba saatnya kita membalaskan sakit hati mereka, Dan sakit hati gisu ini pun akan terbalaskan!" Abu jenasah palsu itu disebut "gisu" panggilan yang luar biasa hormatnya, Karena "gisu" berarti "Patriot pecinta negara"
"Memang bangsa Tatcu harus dibasmi!" kata Siau Po dengan nada sengit "Kalau tidak, arwah para gisu tidak akan tenang dan sakit hatinya tidak terlampiaskan!" Selesai upacara sembahyang, semua orang berdiam untuk beristirahat. Kemudian mereka mengucapkan selamat berpisah kepada Kho Gan-tiau untuk melanjutkan perjalanan.
"Biar aku antar kalian barang selintasan," kata Siau Po kepada kedua nona dari keluarga Bhok itu." Tentu saja Kiam Peng dan Pui Ie menjadi gembira mendengarnya. Kedua nona itu duduk dalam satu kereta, sedangkan Ci Tian-coan dan Siau Po duduk dalam keretanya masing-masing, Kereta itu keluar dari pintu timur dan menuju arah timur juga, Setelah lewat beberapa li, baru mereka mengambil arah selatan. Kurang lebih menempuh perjalanan sejauh delapan li, Tian Coan menyuruh kereta-kereta itu dihentikan Kemudian dia berkata kepada Siau Po: "Ada pepatah yang mengatakan mengantar sahabat sejauh seribu li". Tapi meskipun demikian, akhirnya toh harus berpisah juga, Begitu pula dengan kita. sekarang hari sudah siang, Mari kita singgah untuk minum teh, setelah itu kita melanjutkan perjalanan masing-masing." Siau Po setuju, mereka mampir di sebuah kedai teh yang letaknya di pinggir jalan. Ketiga sais kereta juga diajak serta, mereka duduk bertiga di meja lain.
Ci Tian-coan tahu diri. Dia menerka kedua nona itu tentu ada apa-apanya dengan hiocu perkumpulan mereka. Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan. Dengan mencari alasan, dia mengundurkan diri, Dia berdiri memangku tangan dan menyaksikan pemandangan alam di luar kedai.
"Kui.. Kui.,." kata Kiam Peng membuka mulut, tapi dia segera mengganti kata-katanya, "Oh, bukan, bukan. sebenarnya kau she Wi bukan? Dan kau juga seorang... entah hiocu apa?" Siau Po tertawa.
"Aku she Wi dan namaku Siau Po," katanya terus terang, "Di tempat ini aku adalah seorang hiocu dari Ceng-bok tong yang merupakan bagian dari Tian-te hwe. sekarang aku tidak dapat berbohong lebih lama lagi."
"Oh!" seru nona Bhok heran. Kemudian dia menarik nafas panjang.
"Mengapa kau menarik nafas?" tanya Siau Po.
"Kau adalah seorang hiocu bagian Ceng-bok tong dari Tian-te hwe," kata si nona, "Tetapi... mengapa kau menjadi thay-kam dalam istana Boan? Bukankah hal itu...." Pui Ie menduga Kiam Peng akan mengatakan bukankah hal itu sayang sekali?" Untuk mence-gahnya, dia segera menukas, Dia tidak ingin Siau Po menjadi tidak enak hati.
"Kalau seorang yang berjiwa gagah dan bersemangat patriot sudi bekerja untuk negaranya," katanya, "Dia tidak akan memperdulikan jalan apa pun. walaupun hal itu menentang sanubarinya sendiri, dia tetap akan menjalankannya. Kita justru harus menghormati orang seperti itu!" Nona Pui menduga Siau Po mendapat tugas dari perkumpulannya untuk menyelinap ke dalam istana kerajaan Ceng untuk menjadi mata-mata. Demi keberhasilannya, dia rela menjadi thay-kam, pengorbanan semacam itu baginya besar sekali! Siau Po dapat menerka isi hati kedua nona itu. Dia tersenyum. Dalam hatinya dia bertanya pada dirinya sendiri.
"Apakah sebaiknya aku menjelaskan bahwa aku bukan seorang thay-kam asli?" Tepat pada saat hiocu ini sedang berpikir keras, tiba-tiba dia dikejutkan suara bentakan Ci Tian-coan.
"Hm! Sahabat yang baik! Apakah sampai detik ini kau masih tidak mau memperlihatkan dirimu?" Teguran itu ditujukan pada salah seorang sais kereta yang duduk di sampingnya. Tangannya segera meluncur untuk menepuk bahu orang itu. Tapi tepukannya itu gagal, karena si sais berhasil memiringkan bahunya dengan gesit sekali. Tangan kiri Tian Coan segera meluncur lagi untuk menghajar pinggang kiri orang itu. Ternyata sais atau kusir itu memang lihay sekali Dia menangkis sambil menggeser tubuhnya sehingga terbebas dari serangan itu. Tian Coan merasa penasaran, sikut kanannya menyusul ke arah belakang leher si kusir.
Tukang kereta itu memang hebat Dia mengelakkan bagian belakang lehernya sambil membalas dengan meluncurkan tangan kanannya ke wajah penyerangnya. Menyaksikan hal itu, Tian Coan mencelat mundur Dia merasa heran sekaligus kagum. Kelihayan orang itu benar-benar di luar dugaannya, Apalagi selama mengelakkan diri maupun menyerang. Kusir itu tetap duduk di atas kereta, Bukankah kepandaiannya sendiri cukup tinggi dan serangannya selalu membahayakan? Dari tiga jurus yang sudah berlangsung, kentara jelas Ci Tian-coan yang keteter, dia menjadi tercekat hatinya sekaligus gusar, Bukankah dia mendapat tugas untuk mengantar kedua nona dari keluarga Bhok dan keselamatan mereka harus terjamin? Tapi sekarang, baru menempuh perjalanan sebentar saja, dia telah menemui rintangan hebat!. Untung saja dia keburu mencurigai kusir itu. jangan kata tiba di dusun Cioki cung, mereka sekarang baru terpisah dari kotaraja sejauh belasan li.
"Tentunya dia jago dari istana!" pikir Ci Tian-coan dalam hati. Tentunya dia mendapat tugas melakukan penangkapan...." Mengingat demikian, lekas-lekas Ci Tian-coan memberi isyarat kepada Siau Po bertiga yang perhatiannya sudah tertarik, Dia ingin mereka bertiga menyingkir terlebih dahulu agar dia bisa leluasa menghadapi kusir itu. Siau Po bertiga terdiri dari orang-orang gagah. Meskipun Pui Ie sedang terluka dan tidak dapat berkelahi, namun ketiganya sudah menghunus senjata masing-masing serta menerjang ke depan untuk mengepung kusir itu. Sang kusir meloncat turun dari kereta dan duduk di atas tanah. sekarang dia menoleh ke arah Ci Tian-coan dan sembari tertawa manis dia berkata: "Sungguh tajam mata Pat-pi Wan Kau!" suaranya kecil, tapi agak melengking. Siau Po berempat memperhatikan kusir itu, Mereka melihat wajahnya agak tembem seperti bengkak, kulitnya kuning, pipi dan dahinya kotor, pakaiannya juga dekil Sulit menaksir berapa kira-kira usianya.
Tian Coan heran mendengar orang itu bisa menyebut julukannya, Dia segera merangkapkan sepasang tangannya menjura, "Tuan, siapa Anda?" tanyanya, "Mengapa tuan menyamar menjadi kusir kereta dan mempermainkan aku si orang tua?" Sampai waktu itu, barulah si kusir berdiri kembali Dia bangun perlahan-lahan dan sambil tertawa dia berkata.
"Mempermainkan? Aku yang rendah benar-benar tidak berani! Aku yang rendah adalah sahabatnya Wi hiocu! Aku mendengar kabar Wi hiocu sudah meninggalkan kotaraja, karena itu aku datang untuk mengantarkan." Siau Po mengawasi orang itu, Kemudian dia menggelengkan kepalanya.
"Maafkan..." katanya, "Kenyataannya... aku tidak kenal dengan tuan." Kusir itu kembali tertawa.
"Kita berdua telah menghadapi musuh tangguh tadi malam," katanya, "Hiocu yang baik, masa kau begitu pelupa?" Siau Po terkejut.
"Oh!" serunya, "Rupanya kau To...." Siau Po segera menyimpan pisau belatinya, Dia menghambur ke depan untuk meraih tangan kusir itu. Rupanya kusir itu merupakan samaran dari To kionggo, Dia memoles wajahnya sedemikian rupa sehingga tidak mudah dikenali.
"Aku khawatir hiocu mendapat rintangan di tengah jalan dari bangsa Tatcu, dan aku menyamar dengan niat mengantarkan kau barang selintasan!" kata orang she To itu menjelaskan. Kemudian tampak dia menarik nafas panjang, "Di luar dugaanku, mata Ci loyacu begitu tajam sehingga tidak dapat aku mengelabuinya!" Ci Tian-coan memperhatikan kedua orang itu. Hatinya menjadi lega dan sekaligus malu, Rupanya kusir itu adalah penyamaran sahabatnya sang hiocu, Dia juga menjadi jengah mengetahui kepandaian orang begitu tinggi, bahkan sepuluh kali lipat dari dirinya sendiri.
"Aih! Kalau dia benar-benar seorang musuh, pasti kami berempat sulit meloloskan diri dari maut," pikirnya dengan hati jeri.
Membawa pikiran demikian, Ci Tian-coan segera memberi hormat Sambil tertawa dia berkata. "Tuan, sungguh aku merasa kagum dengan kelihayanmu! Dan kau, Wi hiocu, rejeki dan jodohmu sungguh bagus, di mana-mana kau mendapatkan kawan yang hebat!" To kionggo tertawa.
"Ci toako hanya memuji," katanya, "Tidak sanggup aku menerimanya, tapi aku mohon tanya, kelemahan apakah yang Ci toako lihat sehingga samaranku ini bisa ketahuan?"
"Dalam hal dandanan, aku tidak menemukan kelemahan apa pun," sahut Ci Tian-coan.
"Tetapi kecurigaanku timbul sejak keberangkatan tadi. Aku heran menyaksikan gerakan tanganmu ketika mengendalikan kuda dan menggunakan cambuk, Gerakan tanganmu tidak mirip dengan kusir lainnya, Aku lihat cambukmu meluncur lurus, tapi lenganmu tidak bergetar sebagaimana biasanya orang sedang mengayunkan cambuk. Ketika cambuk itu ditarik kembali, tanganmu juga tidak menekuk sebagaimana umumnya, Kalau aku tidak keliru, gerakan lengan itu dinamakan Kim-liong Ciong ho (Naga emas menerobos sungai) suatu ilmu tenaga dalam yang istimewa, Setahuku, di antara para kusir di kotaraja, tidak banyak yang menguasai ilmu tenaga dalam semacam itu." Mendengar kata-katanya, Siau Po dan kedua nona dari keluarga Bhok tertawa, Demikian pula To kionggo dan Ci Tian-coan sendiri Mereka merasa orang she Ci ini benar-benar teliti juga cerdas, Sampai gerakan tangan orang mengayunkan cambuk pun dia perhatikan, sehingga dapat terlihat perbedaannya dari kusir-kusir lain. Setelah tertawa, Tian Coan berkata.
"Aku yang rendah benar-benar tidak mempunyai mata, seharusnya aku tidak boleh sembarangan turun tangan sehingga perbuatanku menjadi kurang hormat, sayangnya aku si tua bangka ini sungguh tidak tahu diri dan sudah berlaku lancang."
"Jangan berkata demikian, Ci toako," kata To kionggo, "Tidak berani aku menerimanya, Sebaliknya, aku sangat mengagumimu karena kau berani bertanggung jawab melindungi Wi hiocu sekalian."
"Terima kasih, tuan. Pujian mu terlalu tinggi, Tuan, bolehkah aku tahu she dan namamu yang mulia?"
"Sahabatku ini she To," Siau Po mendahului memberi jawaban "Dengan aku sudah seperti saudara sehidup semati!"
"Tidak salah," kata To kionggo membenarkan "Kamilah sahabat sehidup semati! Wi hiocu telah menolong selembar nyawaku!"
"Oh, cianpwe! janganlah cianpwe berkata demikian," ujar Siau Po cepat, "Yang benar, kita berdua telah bekerja sama dengan baik bertarung dan membunuh seorang telur busuk yang maha besar." To kionggo tersenyum.
"Saudara Wi, Ci toako, nona Pui dan nona Bhok, sampai di sini saja kita berpisah!" Habis berkata, dia memberi hormat dan lompat naik ke keretanya, "To... To toako!" panggil Siau Po gugup, To toako kau hendak kemana. To toako tersenyum.
"Dari mana aku datang, kesanalah aku akan pergi!" sahutnya. Siau Po mengangguk "Baik!" katanya, "Sampai jumpa!" To kionggo hanya tersenyum. Dia langsung melarikan keretanya. Siau Po dan rekan-rekannya hanya mengawasi kepergian orang itu. Hati mereka merasa kagum sekali.
"Ci loyacu, benarkah kepandaian orang itu tinggi sekali?" tanya Kiam Peng yang masih penasaran.
"Kepandaiannya lebih hebat sepuluh kali lipat daripadaku," sahut Tian Coan, Terang-terangan dia mengakui kehebatan lawannya tadi.
"Apalagi sebagai seorang wanita, lebih-lebih luar biasa!"
"Apa?" tanya Kiam Peng yang saking herannya sampai tertegun untuk sesaat, "Dia wanita?"
"Iya," sahut Ci Tian-coan. "Ketika dia melompat naik ke atas kereta, gerakan tubuhnya begitu gesit dan lincah serta menarik untuk dilihat!"
"Sebenarnya, aku juga mendengar suaranya tajam, tidak mirip dengan suara laki-laki," kata Kiam Peng pula, "Wi toako, dia... apakah wajahnya yang asli... cantik?"
"Empat puluh tahun yang lalu, kemungkinan dia cantik dan lucu," sahut Siau Po. Tapi kalau di bandingkan dengan engkau, empat puluh tahun kemudian kau akan tetap cantik seperti sekarang. Bukannya cemburu atau malu, Kiam Peng malah tertawa geli.
"Ah!" serunya, "Mengapa kau membanding bandingkan aku dengannya? Rupanya dia sudah tua!"
"Memang betul, mestinya usia wanita ini tidak muda lagi," kata Tian Coan ikut memberikan komentar, "ilmu Kim-liong ciong ho yang dimilikinya pasti sudah dilatih lebih dari tiga puluh tahun, kala tidak, mana mungkin begitu lihay?" Sementara itu, hati Siau Po sedih sekali, baru saja dia berpisah dengan To kionggo, sekarang di harus berpisah lagi dengan Kiam Peng dan Pui Ie. Dua orang nona yang cantik dan manis, Selanjutnya dia akan sendirian. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia menjadi takut. Di istana, meskipun thayhou sangat membencinya, tapi dia sudah terbiasa dengan tempat itu, lagipula banyak orang yang di kenalnya, Dibantu dengan kecerdasannya, dia selalu bisa terhindar dari marabahaya, Tapi sekarang Dia harus pergi ke gunung Ngo Tay san yang masih asing baginya, sedangkan tugasnya penting serta berat, Seumur hidupnya, dia juga belum pernah menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri. Pada dasarnya dia memang masih seorang bocah cilik. Ci Tian-coan mengira sang hiocu akan kembali ke istana, karena itu dia berkata: "Wi hiocu, hari sudah senja, Cepat kau pulang, Nanti sebentar lagi pintu kota akan ditutup!"
"Iya," sahut Siau Po. Pui Ie menyerahkan sebuah buntalan kepada si thay-kam cilik.
"lni bajumu, kau saja yang memakainya!" katanya.
"Tidak!" tolak Siau Po, "Lebih baik kau yang memakai!"
"Kami diantar oleh Ci loyacu," kata Pui Ie.
"Tentu tidak ada apa pun yang terjadi pada diri kami, mengapa kau masih merasa berat dan khawatir?" Terpaksa Siau Po mengulurkan tangannya menyambut buntalan itu, Dia tidak mengatakan apa-apa, hatinya bingung sekali. Tian Coan segera mempersilahkan kedua nona itu naik ke atas kereta. Kemudian dia duduk di samping pak kusir, Begitu dia memberi isyarat, kereta itu langsung dijalankan menuju selatan. Siau Po berdiri terpaku di pinggir jalan, matanya menatap ke arah kereta yang
sedang melaju tanpa berkedip sedikit pun. Dia melihat kedua nona itu melongokkan kepalanya dan melambaikan tangannya, Tidak lama kemudian, kereta itu pun lenyap dari pandangan Setelah melaju kurang lebih tiga puluh tombak, jalan di sana membelok dan pemandangan pun terhalang oleh pohon Yang Liu yang rimbun. Akhirnya, Siau Po pun naik ke atas keretanya sendiri Dia menyuruh kusir itu menjalankan keretanya menuju barat, bukan kembali ke kota Peking. Kusir itu bingung sehingga dia memandang Siau Po dengan tertegun, Siau Po mengeluarkan uang sebanyak sepuluh tail dan disodorkannya kepada kusir kereta itu.
"Ini uang sebanyak sepuluh tail. Cukup untuk sewa kereta selama tiga hari bukan?" Bukan main senangnya hati kusir itu.
"Sepuluh tail cukup untuk menyewa kereta ini selama satu bulan. Baiklah, kongcu ya, aku yang rendah akan melayanimu. Kongcu mau berjalan atau minta berhenti, harap diperintahkan saja." Berbeda dengan semula, kusir itu memanggil Siau Po dengan sebutan kongcu ya, yakni tuan muda dari kalangan atas. Siau Po tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tersenyum.
Malam itu dia singgah di sebuah dusun yang letaknya kurang lebih dua puluh li dari kota Peking, Dia memilih sebuah penginapan kecil, Di dalam kamar, dengan bantuan cahaya lilin, dia membuka, buntalan yang diberikan oleh Pui Ie. Dikeluarkannya baju mustika berwarna hitam itu, kemudian dikenakannya sebagai pakaian dalam lalu ia berangkat tidur.
Besok paginya, Siau Po terjaga dari tidur, dia terkejut setengah mati. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dan matanya berat sekali. Untuk sekian lama dia tidak sanggup membuka matanya, Yang lebih celaka, seluruh tubuhnya justru terasa lemas seakan tidak mempunyai tenaga sedikit pun. Dia merasa dirinya seperti sedang bermimpi buruk, Dia ingin membuka mulutnya untuk berteriak, tetapi tidak ada sedikit pun suara yang keluar Akhirnya, ketika dia mulai bisa membuka matanya, hatinya langsung tercekat Dia melihat ada tiga sosok mayat menggeletak di depan tempat tidurnya. Saking kagetnya, Siau Po diam terpaku, Setelah agak sadar, dia mencoba menenangkan diri. Dipaksakannya otaknya untuk berpikir. Dia berusaha bergerak dan bangun, sekarang dia melihat di dalam kamarnya sudah bertambah satu orang lainnya. Orang hidup, Dan saat itu sedang duduk memperhatikannya sambil tersenyum simpul!
"Oh!" serunya terkejut sekaligus gembira, "Kau rupanya!" Orang itu tertawa.
"Iya!" sahutnya, "Kau baru terjaga?" Rupanya orang itu bukan lain dari To kionggo! Dalam sekejap saja, hati Siau Po jauh lebih lega.
"To cici!" katanya, "To... ie ie... apa sebetulnya yang telah terjadi?" To kionggo tidak langsung menjawab, Dia menunjuk ke arah tiga mayat yang menggeletak di atas lantai, "Coba kau lihat! Siapa mereka?" Siau Po mencoba turun dari tempat tidur, tapi baru saja dia menginjakkan kaki ke lantai, kedua lututnya terasa lemas dan dia jatuh terduduk. Dengan berusaha sekuat tenaga akhirnya dia bisa berdiri juga, punggungnya bersandar pada tiang tempat tidur, Dia memperhatikan ketiga orang yang sudah menjadi mayat itu. Tidak ada satu pun yang dikenalinya.
"Bibi To, kau telah menolong jiwaku?" tanyanya sambil mengawasi wanita itu. To kionggo balas menatapnya lekat-lekat
"Sebenarnya kau memanggil aku kakak atau bibi?" tanyanya tertawa, "Ayo, jangan memanggil tidak menentu!" Siau Po ikut tertawa.
"Kau... kau adalah bibi To!" sahutnya kemudian. To kionggo tertawa lagi. Lalu dia berkata:
"Kau melakukan perjalanan seorang diri, lain kali kalau makan atau minum, kau harus hati-hati. Coba kau jalan bersama-sama Pat-pi Wan Kau, tentu tidak ada yang perlu kau khawatirkan."
"Jadi tadi malam aku telah diracuni orang dengan Bong Hoan-yok?" tanya Siau Po.
"Kurang lebih begitulah!" sahut To kionggo tertawa.
"Mungkin obat itu dicampur ke dalam air teh," sahut Siau Po. Ketika aku minum, memang aku rasa ada sedikit beda, ada sari asam dan manisnya." Sembari berkata, bocah itu mengangkat teko teh. Dia ingat, tadi malam isi teko itu masih setengah, tapi sekarang sudah kosong, tidak ada isinya setetes pun.
"Oh? jadi ini sebuah penginapan gelap?" tanyanya.
"Tadinya sih penginapan bersih, sejak kau datang kemari, langsung saja berubah menjadi penginapan gelap!" kata To kionggo menjelaskan. Siau Po meraba kepalanya yang masih terasa nyeri.
"Aku benar-benar tidak mengerti!" katanya.
"Tidak lama setelah kau masuk ke dalam penginapan ini," kata To kionggo kembali, "Segera ada orang yang menyusul kemari dan membekuk pemilik penginapan ini. Mereka terdiri dari sepasang suami istri dan seorang pelayan Salah seorang penjahat itu langsung menyamar sebagai pelayan dengan mengganti pakaiannya lalu menyeduh teh dan membawakannya untukmu. Aku melihat kau berganti pakaian, tapi sampai lama kau hanya berdiam diri, entah apa yang sedang kau pikirkan Aku berlalu sebentar dengan pikiran sesaat lagi aku akan kembali, Tidak tahunya kau sudah minum teh yang mengandung obat bius itu, Untung saja yang dicampurkannya bukan racun." Wajah Siau Po jadi merah padam Dia merasa malu dan jengah, Dia menyesal bertindak kurang hati-hati dan ceroboh sehingga berhasil dikerjai orang, Tadi malam, ketika'mengenakan baju mustikanya, dia ingat baju itu pernah dikenakan nona Pui yang cantik dan manis. Dulu nona itu sangat membencinya, tapi sekarang sikapnya baik sekali. Mengingat dia mengenakan pakaian yang baru dikenakan gadis itu, dia menjadi tidak enak, Dia juga malu mengetahui To kionggo melihatnya berganti pakaian tadi malam. Memang usianya sudah lanjut, tapi To kionggo masih seorang nona, sebab dia belum menikah. To kionggo melanjutkan keterangannya, "Setelah kita berpisah kemarin, aku langsung kembali ke istana, Aku heran sekali mendapatkan keadaan di istana sunyi senyap dan tidak ada perkabungan bagi thayhou, Cepat-cepat aku mengganti pakaian
kemudian pergi ke Cu-leng kiong, Sejak dari luar keraton, keadaan biasa-biasa saja. Segera aku memperoleh kepastian bahwa thayhou belum mati, itu suatu hal yang buruk bagi kita. Mulanya aku pikir, asal thayhou mati, kita berdua bisa berdiam terus di istana. Sekarang ternyata dia masih hidup, hal ini berarti mau atau tidak kita harus meninggalkan istana, Terutama aku harus memperingatkan kepadamu, agar kau jangan kembali ke istana, karena perbuatan itu berarti kau mengantar nyawamu sendiri!" Siau Po yang cerdik pura-pura terkejut "Oh!" serunya, "Ternyata si nenek sihir belum mati? Wah! Berbahaya sekali!" Dalam hati sebetulnya dia tidak enak karena mendustai wanita ini. Dia berkata dalam hati, Aku meninggalkan istana dengan tergesa-gesa, karena itu aku lupa memberitahukan urusan itu!"
"Setelah mendapat keterangan bahwa thayhou belum mati, aku segera membalikkan tubuh untuk pergi, Tapi, tiba-tiba aku melihat tiga orang siwi keluar dari Cu-leng kiong. Tindak-tanduk mereka mencurigakan sekali. Aku menduga thayhou mengirim mereka untuk menangkap aku, Namun setelah aku ikuti, ternyata mereka tidak menuju ke kamarku, sayangnya aku tidak sempat mengikuti lebih jauh. Cepat-cepat aku kembali ke kamar untuk berkemas dan meloloskan diri dari samping dapur Gisian pong!"
"Rupanya bibi menyamar sebagai petugas dapur," kata Siau Po. Di sana memang banyak sekali pekerjaan Seperti membelah kayu, menggotong arak, memotong ayam, mencuci sayur-mayur dan sebagainya, semuanya dilakukan oleh pegawai rendahan, sehingga tidak banyak orang yang memperhatikan mereka. To kionggo melanjutkan kata-katanya.
"Begitu aku keluar dari istana, aku segera melihat ketiga orang siwi itu, mereka sudah mengganti pakaian dan pergi dengan menunggang kuda, Hal ini membuktikan bahwa mereka akan menempuh perjalanan jauh...."
"Oh!" seru Siau Po sambil menendang salah satu mayat tersebut "Jadi mereka inilah ketiga saudara baik hati yang membuka penginapan gelap ini?" To kionggo tertawa.
"Karena itu kau harus mengucapkan terima kasih kepada mereka," katanya, "Kalau bukan mereka yang memimpin jalan, bagaimana mungkin aku bisa menemukanmu? Siapa yang menyangka kau akan memutar arah ke barat? Mereka ini justru menuju ke barat sepanjang perjalanan mereka selalu menanyakan tentang seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih lima atau enam belas tahunan yang melakukan perjalanan seorang diri. Karena itulah aku menduga mereka mendapat tugas untu menangkapmu Mereka tiba di sini ketika magrib dan aku berhasil mengejar mereka tepat waktunya." Siau Po merasa terharu sekali.
"Kalau bibi tidak datang menolongiku, kemungkinan sampai di alam baka pun aku tidak bisa menjawab pertanyaan Raja akherat mengenai kematianku," sahutnya bersyukur "Kalau aku ditanya kan tentang cara kematianku, aku sendiri akan terbingung-bingung!" To kionggo tersenyum, Senang hatinya berbicara dengan bocah ini. Sudah berapa puluh tahun dia mengeram di dalam istana, jarang dia berbicara secara akrab dengan orang lain. Bocah ini sungguh menarik, Mendengar kata-katanya, To kionggo sampai tertawa geli.
"Pasti Raja akherat akan berkata: "Bawa dia pergi dan hajar lagi!" Siau Po juga tertawa.
"Memangnya tidak?" katanya, "Pasti raja akherat akan marah, Pasti dia tidak sudi di dalam nerakanya ada setan yang asal-usulnya tidak jelas, Dia juga tidak mau mengurus hantu yang kematiannya tidak karuan!" Lagi-lagi To kionggo dan Siau Po tertawa.
"Bibi To, apa yang terjadi kemudian?" tanya Siau Po.
"Aku mencuri dengar pembicaraan mereka di dapur di mana mereka berkumpul. Tentu saja setelah membuat pemilik rumah penginapan dan pelayannya tidak berdaya, Menurut mereka, thayhou menitahkan kau hidup atau mati, sebaiknya ditangkap hidup-hidup, tapi kalau terpaksa bunuh saja. Kalau kau sudah mati, semua barang milikmu harus dibawa pulang dan diserahkan kepada thayhou, Tidak boleh ada yang kurang! Katanya kau mencuri kitab suci milik thayhou, kitab yang biasa digunakan untuk
membaca doa bagi Sang Buddha, Nah, adikku, benarkah kau mencuri kitab suci milik thayhou? Apakah Cong tocu yang menitahkan kepadamu?" Sembari bertanya, To kionggo menatap Siau Po lekat-lekat.
"Aih! Tidak salah lagi!" pikirnya, "Dayang ini pernah menggeledah kamar thayhou, tentu dia mencari kitab Si Cap Ji cing-keng.,." Siau Po sadar dia tidak boleh membiarkan To kionggo menunggu lama untuk jawabannya, Dia memperlihatkan tampang terkejut dan balik bertanya, "Apa? Kitab Buddha apa? Cong tocu kami tidak memuja dewi Pousat dan kami tidak pernah melihatnya membaca doa!" To kionggo percaya dengan keterangannya, Wanita itu memang gagah, tapi dia kalah cerdas dengan Siau Po. Di dalam istana kenalannya cukup banyak, tapi sahabatnya hampir tidak ada. Dia hanya kenal baik dua dayang tua lainnya, Dia juga mendapat kenyataan bahwa thay-kam ini cerdas dan polos. Diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Aku telah menolongnya dan tentu saja dia bersyukur sekali kepadaku, Mustahil dia berbohong, LagipuIa, aku telah memeriksa buntalan nya.." Karena itu dia menganggukkan kepalanya dan berkata, "Aku melihat mereka membuka buntalanmu dan memeriksa isinya, mereka mendapatkan dua jilid kitab ilmu silat, tampaknya mereka merasa bimbang dan tidak bisa memastikan apakah itu kitab yang dimaksudkan ibu suri!"
"Oh!" teriak Siau Po. Dia memang terkejut, tapi terus menjalankan sandiwaranya, "Kitab ilmu silat itu merupakan tulisan guruku, celakalah kalau sampai diambil oleh mereka." To kionggo tersenyum.
"Jangan khawatir!" katanya, "Kitab itu masih ada dalam buntalanmu Sebaliknya, mereka justru keblinger melihat uangmu yang begitu banyak, Bahkan mereka sudah berdamai untuk membagi hasil dan menyembunyikannya. Aku jadi marah sekali, saat itu juga aku langsung masuk dan membereskan mereka, sekarang soal kitab agama Buddha itu, Aku yakin kitab itu penting sekali artinya, Aku juga tidak percaya kalau kau menyerahkannya kepada Ci loyacu atau kedua nona yang pergi ke dusun Cioki cung, Karena ketiga musuh itu sudah mati dan kau tidak kurang suatu apa pun, menggunakan waktu saat kau beristirahat aku langsung menyusul Ci loyacu, Aku pergi dengan menunggang kuda. untung saja aku berhasil menyusul mereka yang sedang beristirahat dalam sebuah penginapan. Mula-mula aku berpikir untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam Tapi nyatanya Pat pi Wan Kau memang lihay sekali. Baru saja aku naik ke atas genteng, dia sudah tahu, terpaksa sekali lagi kita bertempur...."
"Dia kan bukan tandinganmu!" kata Siau Po.
"Sebenarnya aku tidak berminat melakukan kesalahan terhadap pihak Tian-te hwe, tapi kali ini aku benar-benar terpaksa," sahut To kionggo dengan nada penuh penyesalan "Setelah bertarung beberapa saat, aku berhasil merobohkannya, kemudian baru aku beri penjelasan dan memohon agar dia tidak salah mengerti atas apa yang kulakukan serta sudi memberi maaf. Karena itu pula, aku harap kalau kau bertemu dengannya, tolong kau jelaskan sekali lagi dan minta agar dia jangan mendendam terhadapku Aku berbuat begitu saking terpaksa, Aku telah memeriksa buntalan mereka bertiga, aku juga menggeledah seluruh kamar, tapi aku tidak berhasil mendapatkan apa pun. Dan ketika aku akan meninggalkan penginapan tersebut, aku melihat seorang dari dunia kangouw yang gerak-geriknya mencurigakan. Dia sedang mendekam di wuwungan atap kamar Ci loyacu, Dari gerak-geriknya itu pula, aku mempunyai keyakinan kepandaiannya tidak seberapa tinggi dan Ci loyacu bertiga tentu sanggup menghadapinya, Maka dari itu, aku segera meninggalkan mereka dan kembali ke sini." Siau Po memperlihatkan tampang sedih dan menyesal.
"Kalau demikian, akulah yang benar-benar tolol!" katanya, "Kau telah melakukan banyak hal untukku, tapi aku tetap tidak tahu!" To kionggo berdiam diri sekian lama. Tampaknya dia sedang merenung.
"Adik," katanya kemudian "Kau sudah cukup lama tinggal di dalam istana, apakah kau pernah mendengar soal kitab Si Cap Ji cin-keng?"
"Kalau aku tidak salah, ibu suri dan Sri Baginda sangat menghargai kitab agama Buddha itu, Tapi dalam pandanganku, apa gunanya? Buktinya thayhou begitu kejam dan jahat, Biarpun dia membaca kitab suci laksaan kali, tidak mungkin Dewi pousat akan melindunginya!" Tanpa memberi kesempatan kepada Siau Po untuk melanjutkan kata-katanya, To kionggo segera menukas.
"Ibu suri dan Sri Baginda sangat memperhatikan kitab itu? Apa saja yang pernah mereka katakan?"
"Sri Baginda pernah menitahkan aku ikut dengan So tayjin untuk menggeledah tempat tinggal Go Pay. Aku dipesan mencari dua buah kitab entah Si... Keng... apa. Kalau tidak salah memang ada huruf Cap dan Ji...." Mendengar keterangan itu, To kionggo semakin bersemangat.
"Benar!" serunya, "Itulah kitab Si Cap Ji Cin-keng, Lalu, apakah kau berhasil mendapatkannya?" Dalam hal berbohong, Siau Po memang jagonya. walaupun usianya masih muda, tetapi ketika di Yangciu, pengalamannya sudah banyak, karena dia dibesarkan di
tempat pelesiran yang setiap hari penuh dengan kepura-puraan dan kebohongan. Dia tahu, kalau dia bohong secara keseluruhan, orang bisa curiga, Karena itu, kebohongannya harus dicampur dengan sedikit kebenaran Dengan demikian orang tidak akan ragu atau bimbang mengambil keputusan. Karena itu dia langsung menjawab.
"Sayang aku buta huruf, sehingga tidak tahu kitab itu Si Cap Ji cin-keng atau Ngo Cap cin-keng. Akhirnya kitab itu memang berhasil ditemukan oleh So tayjin, kemudian aku membawa dan menyerahkannya kepada ibu suri. Bukan main senangnya hati perempuan hina itu! Aku dihadiahkan kue-kue dan kembang gula, juga manisan. Oh! Dasar nenek sihir! Dianggapnya aku seorang bocah cilik sehingga tidak perlu diperseni uang, Kalau tahu dia sepelit itu, dari semula saja kubuang kitab itu ke dalam perapian di dapur Gisian pong!"
"Oh, tidak! Tidak! Kitab itu jangan dibakar!" seru To kionggo saking tegangnya sehingga lupa apa yang diceritakan Siau Po sudah lama berlalunya.
"Aku tahu!" sahut Siau Po.
"Ketika Sri Baginda menanyakan kitab itu pada So tayjin, aku langsung mengerti bahwa kitab itu penting sekali!" To kionggo merenung sejenak.
"Kalau begitu," katanya kemudian.
"Paling sedikit thayhou mempunyai tiga jilid kitab yang sama...."
"Empat!" sahut Siau Po.
"Apa? Empat?" tanya To kionggo terkejut "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Sebenarnya thayhou sendiri sudah memiliki satu," kata Siau Po menjelaskan "Ketika aku membawakan dua jilid yang didapatkan dari gedung Go Pay, dia meletakkannya di atas meja dan berdampingan dengan yang satu itu, jadi saat itu jumlahnya ada tiga,
Kemarin malam, ketika aku bersembunyi di kolong tempat tidur, aku mendengar pembicaraannya dengan si dayang palsu, Kitab yang keempat ada di rumah salah seorang pangeran dan thayhou sedang menitahkan Sui Tong, congkoan dari barisan pengawalnya untuk mengambilnya."
"Kalau begitu, benar saja thayhou memiliki empat jilid kitab tersebut," kata To kionggo, "Bisa jadi... lima atau enam jilid... dia berdiri dan berjalan beberapa tindak, Matanya menatap Siau Po lekat-lekat "Adik, malam itu kau bersembunyi di kolong tempat tidur thayhou, apa sebetulnya yang sedang kau lakukan?"
"Bibi To, biar aku katakan terus terang ke-padamu!" sahut sang bocah.
"Tapi aku harap jangan kau katakan lagi kepada orang lain, kalau rahasia ini sampai bocor, aku akan terancam bahaya, Tentu kau maklum, aku bisa dibunuh oleh guruku!"
Bagian 29
"Kalau urusan itu menyangkut rahasia Tian-te hwe, lebih baik tidak perlu kau katakan!" kata To kionggo.
"Tapi.,." sahut Siau Po.
"Kau orang baik-baik, aku rasa tidak ada halangannya memberitahukan kepadamu, Thian-te hwe kami sudah membuat perjanjian dengan pihak Bhok onghu, kami akan bekerja sama tapi untuk itu kami harus berlomba, Siapa yang lebih dulu berhasil menumpas Go Sam-kui, maka pihak yang satu harus tunduk pada perintah pihak yang berhasil itu. Karena itulah Suhu menyuruh aku menyelundup dalam istana untuk mencari berita rahasia yang bisa menjatuhkan Go Sam-kui. Dengan demikian Bhok onghu akan tunduk pada Tian-te hwe. Karena itulah aku selalu mencuri dengar pembicaraan ibu suri!"
"Oh, begitu!" kata si dayang. "Bagiku sendiri, tidak perduli pihak mana pun yang berhasil menjatuhkan Go Sam-kui, tetap merupakan hal yang menggembirakan!" Tapi, bibi To," kata Siau Po dengan suara memohon. "Kau harus membantu kami, jangan kau membantu pihak Bhok onghu!" To kionggo ragu-ragu, tapi akhirnya dia berkata.
"Sebetulnya aku tidak bermaksud berpihak kepada siapa pun, tapi, baiklah, kalau ada kesempatan aku membantu pihakmu!"
"Terima kasih, bibi! Terima kasih!" kata Siau Po gembira sekali. To kionggo menarik nafas panjang, "Sayang sekali kita tidak dapat kembali ke istana lagi, Kalau tidak, tentu kita bisa bekerja sama dan saling membantu!" katanya.
"Tapi," tukas Siau Po. "Sri Baginda sangat menyayangi aku. Kalau aku kembali secara diam-diam, aku percaya beliau tidak akan memberitahukan kepada thayhou, LagipuIa, seranganmu terhadap thayhou cukup berat, meskipun sekarang belum mati, entah bagaimana keadaannya, belum tentu lukanya bisa disembuhkan..." Sepasang alis To kionggo langsung berkerut mendengar ucapan Siau Po.
"Benar, adik. Apa yang kau katakan memang benar!" katanya, "Sekarang, adikku, ada sesuatu yang ingin kubicarakan.... Aku harap kau bersedia membantu aku mencuri beberapa jilid kitab Si Cap Ji cin-keng itu!" Siau Po pura-pura berpikir.
"Seandainya umur thayhou tidak panjang, tentu kitab-kitab itu akan dimasukkan ke dalam peti matinya apabila beliau wafat!" katanya setelah lewat sejenak.
"Tidak, tidak mungkin!" kata To kionggo yakin, "Aku hanya khawatir didahului oleh Sin Liong kaucu yang cerdik itu. Kalau hal ini sampai terjadi, celaka!" Siau Po heran mendengar disebutnya nama Sin Liong kaucu yang berarti ketua atau pemimpin dari sebuah perkumpulan bernama Naga sakti, Baru pertama kali ini dia mendengarnya.
"Siapa dia?" tanya Siau Po. To kionggo tidak menjawab, dia hanya berjalan mondar-mandir di dalam kamar Ketika dia melihat fajar mulai menyingsing di luar jendela, dia segera membalikkan tubuhnya dan menatap Siau Po.
"Kita tidak dapat bicara terlalu banyak di sini, mungkin saja dinding di sini ada telinganya, Mari kita pergi!" Selesai berkata, To kionggo segera membungkukkan tubuhnya dan memondong dua sosok mayat yang tergeletak di atas lantai untuk dinaikkan ke atas kereta yang ada di depan penginapan tersebut. Siau Po mengikuti perbuatannya, Dia menggotong mayat yang ketiga, Untung saja ketiga siwi itu mati karena totokan, jadi ditubuh mereka tidak terdapat bekas luka dan tidak ada setetes noda darah pun yang ketinggalan. Di luar penginapan, To kionggo berkata.
"Pemilik penginapan beserta pelayannya ditotok oleh ketiga siwi ini. Sampai waktunya jalan darah mereka akan bebas sendiri, mari kita pergi!" Siau Po setuju, Dia menganggukkan kepalanya, Keduanya melompat naik ke atas kereta. Mereka duduk berdampingan di depan Si dayang yang mengendalikan tali kuda, Kereta segera dilarikan ke arah barat. Setelah lewat tujuh delapan li, hari sudah terang sekali, Di sisi jalan terdapat banyak kuburan tua. To kionggo melemparkan ketiga sosok mayat siwi itu, kemudian dia menindihnya dengan batu-batu besar dan naik lagi ke atas kereta serta menjalankannya kembali.
"Sekarang, sembari menjalankan kereta, kita dapat berbicara dengan tenang," katanya kemudian "Kita tidak perlu khawatir ada orang yang mendengarnya." Siau Po tertawa.
"Bagaimana kalau ada orang yang bersembunyi di kolong kereta?" tanyanya. To kionggo terkejut
"Kau benar!" katanya kagum "Ternyata kau lebih teliti daripada aku!" Dia langsung mengayunkan cambuknya berkali-kali ke bawah kereta sehingga terdengar suaranya yang nyaring dan berisik, tetapi tidak ada reaksi apa pun dari bawah kereta, Hal ini membuktikan bahwa tidak ada orang yang bersembunyi di sana. Jalanan yang mereka lalui adalah jalan raya, tapi keadaannya sunyi sekali.
"Kau pernah menolong jiwaku dan aku juga pernah menolong jiwamu," kata To kionggo kemudian "Dengan demikian kita telah menjadi sahabat sehidup semati, Hari depan kita masih panjang, masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling membantu, Adik kecil, usiamu masih muda sekali, sebenarnya pantas bagi aku untuk menjadi ibumu, Aku bersyukur kau mau memanggilku bibi, Tapi aku mempunyai usul, entah kau setuju tidak, Bagaimana kalau aku menjadi bibimu yang sah? Aku akan mengakui kau sebagai keponakanku!"
"Bagus!" sahut Siau Po. Dia berpikir dalam hati. "Tidak ada salahnya menjadi keponakan perempuan ini, aku toh sudah memanggilnya bibi!" kemudian dia menambahkan "Tapi ada satu hal yang menjadi masalah. Kalau kau sudah tahu, mungkin kau tidak sudi lagi menganggap aku sebagai keponakan mu...." To kionggo menatapnya lekat-lekat Dia merasa agak heran,
"Apa itu?" tanyanya.
"Aku tidak mempunyai ayah," sahut Siau Po terus terang, "Lebih dari itu, ibuku tinggal di rumah pelesiran menjadi perempuan penghibur." To kionggo tertegun saking herannya, Tetapi sesaat kemudian dia tertawa, wajahnya berseri-seri.
"Keponakanku yang baik, hal itu bukan persoalan!" katanya. "Seorang enghiong tidak perlu mengkhawatirkan asal-usulnya yang rendah. Bukankah Beng thaycou, leluhur kerajaan Beng kita tadinya juga seorang bikhu, bahkan pernah menjadi gelandangan? Anak, urusan seperti ini pun tidak kau sembunyikan dari ku. Hal ini menandakan kejujuran hatimu, Baiklah! Aku juga tidak akan merahasiakan siapa diriku.." Mendengar ucapan wanita itu, Siau Po berpikir dalam hati.
"Ibuku memang seorang pelacur Mau Sip-pat toako juga sudah tahu, tapi dia pun tidak mengatakan apa-apa. Bukankah urusan ini tidak mungkin disembunyikan untuk selamanya? Untuk apa aku menutupinya? Lebih baik aku bersikap terus terang!" Membawa pikiran demikian, segera dia melompat turun dari kereta, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan To kionggo sambil menjura dan menganggukkan kepalanya.
"Bibi, harap bibi sudi menerima hormat Wi Siau-po, keponakanmu ini!" Menyaksikan hal itu, bukan main terharunya hati To kionggo Sudah berapa puluh tahun dia mengeram dalam istana tanpa sanak atau orang yang dekat dengannya sehingga dia merasa kesepian. Hatinya langsung tergerak mendapat perlakuan sedemikian rupa dari si bocah. Dia langsung melompat turun dari kereta dan membangunkan Siau Po.
"Oh, keponakanku yang baik! Anak, mulai detik ini, aku mempunyai seseorang yang dekat denganku!" Tak sanggup To kionggo melanjutkan kata-katanya, air matanya langsung mengucur dengan deras. Lewat sesaat, dia baru tertawa, Hatinya senang sekali.
"Anak, kau lihat sendiri, benar-benar memalukan Tanpa karu-karuan bibimu menangis." Setelah itu keduanya melompat ke atas kereta lagi, To kionggo duduk dengan tangan kanan memegang tali kendati kereta dan tangan kirinya menggenggam tangan Siau Po
erat-erat. Perlahan-lahan, kereta itu pun dijalankan.
"Anak," setelah sekian lama, terdengar dayang itu berkata kembali "Aku she To, nama lengkapku Hong Eng. Aku masuk ke dalam istana sejak berusia dua belas tahun dan di tahun kedua aku mulai melayani Tiang kongcu...."
"Tiang kongcu?" tanya Siau Po menegaskan "Benar!" sahut To kionggo, "Pada waktu Sri Baginda Cong Ceng meninggalkan istana, dengan satu tebasan dia mengutungkan lengan Tiang kong-cu. Ketika itu aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri Aku langsung menghambur ke arah tuan putri untuk menolongnya, justru pada saat itulah Sri Baginda mengayunkan goloknya kembali dan tepat mengenai punggungku Aku pun roboh dan pingsan, Ketika akhirnya aku tersadar kembali, aku tidak melihat Tiang kongcu lagi, Keadaan di istana sudah kacau balau, Tidak ada orang yang memperdulikan diriku, Tidak lama kemudian muncullah pengkhianat yang menyerbu istana, Setelah itu datang bangsa Tatcu yang mengusir pengkhianat itu dan akhirnya bangsa Boan yang memerintah negara ini, Yah... urusan itu sudah terjadi lama sekali...."
"Oh, rupanya bibi masuk ke dalam istana semenjak Sri Baginda Cong Ceng dari dinasti Beng masih memegang tampuk pemerintahan!" kata Sia Po dengan pandangan kagum.
"Benar, anak!" sahut To kionggo.
"Tapi.,." kata Siau Po.
"Bukahkah Tiang kongcu itu puteri Sri Baginda Cong Ceng? Mengapa raja membacok anaknya sendiri?" To kionggo menarik nafas panjang.
"Memang Tiang kongcu putrinya sendiri, bahkan raja sangat menyayanginya," sahut To kionggo, "Tapi karena kotaraja sudah terjatuh ke tangan musuh dan sudah menduduki istana, Sri Baginda Cong Ceng ingin mengorbankan dirinya, Dia tidak sanggup membela diri lagi, namun tidak rela putrinya terjatuh ke tangan musuh, Karena itulah, beliau mengambil jalan pendek dengan maksud membunuh Tiang kongcu!"
"Oh, begitu.,." kata Siau Po.
"Bukankah belakangan Sri Baginda Cong Ceng mati menggantung diri di bukit Bwe San?"
"Di kemudian hari, memang berita itulah yang kudengar Bangsa Tatcu bisa masuk ke Tionggoan karena ada Go Sam-kui yang membukakan pintu setelah pengkhianat penyerbu berhasil diusir Setelah bangsa Boan menduduki istana, di antara para dayang dan thay-kam yang masih ada hanya tinggal beberapa orang saja, Yang lainnya dipecat karena diragukan kesetiaannya, sedangkan aku sendiri masih kecil, juga terluka, Aku dibiarkan berbaring dalam sebuah kamar yang remang-remang, Singkat-nya, tiga tahun kemudian aku baru bertemu dengan guruku."
"Bibi, ilmu silat bibi tinggi sekali, tentunya guru bibi luar biasa lihaynya!" kata Siau Po.
"Tentang kepandaian, tidak bisa dipastikan Di dalam negeri kita ini, entah ada berapa banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi. Guruku itu juga menerima perintah dari gurunya lagi untuk menyelundup ke dalam istana dan menyamar sebagai dayang!" Sembari berkata, To kionggo mengayunkan cambuknya lebih keras agar kereta berjalan lebih cepat. Tujuan guruku masuk ke dalam istana adalah untuk mencari ke delapan perangkat kitab Si Cap Ji cin-keng," katanya menjelaskan lebih jauh.
"Jadi... kitab itu terdiri dari delapan perangkat?"
"Benar, Bangsa Boan Ciu terdiri dari Pat ki (delapan bendera), Warna kuning, putih, merah dan biru disebut Suki (empat bendera) dan ada ia Siang suki (Empat bendera bersulam), Setiap Ki Ciu (Pemimpin bendera) mengepalai satu bagian atau kelompok, semuanya terdiri dari delapan kelompok dan otomatis kitabnya juga ada delapan."
"Aku mengerti sekarang," kata Siau Po, "Aku pernah melihat kitab milik thayhou serta dua jilid lainnya yang disita dari rumah Go Pay, Semua kita itu berlainan warnanya. Ada yang bertali putih, ada pula yang bersulam tepian merah."
"Tentang tali atau sulamannya yang warnanya berbeda-beda, aku tidak tahu," kata To kionggo, "Aku sendiri belum pernah melihatnya." Sementara itu, Siau Po berpikir.
"Aku telah memiliki enam jilid kitab itu, berarti masih kurang dua jilid Iagi, Entah apa keistimewaan kitab itu? Tentunya bibi To mengetahui rahasia itu. Aku harus mencari akal untuk menanyakannya, Tapi harus tanpa dicurigai atau diketahui maksudku yang sebenarnya...." Karena itu dia segera berlagak pilon dan berkata: "Oh, rupanya nenek guru memuja pousat dan Sang Buddha! Kitab dari istana itu tentu luar biasa sekali, kemungkinan hurufnya ditulis dengan air emas!"
"Bukan!" sahut To kionggo, "Keponakanku yang baik, biarlah aku memberitahukan kepadamu, Tapi ini merupakan sebuah rahasia besar jangan sekali-sekali kau membocorkannya... Ada baiknya kita mengangkat sumpah." Siau Po menurut Dia segera mengucapkan sumpah. Baginya bersumpah merupakan makanan sehari-hari, Sekarang bersumpah, besok dia sudah melupakannya, Dia juga tidak sudi memberitahukan bahwa dia sudah mempunyai enam jilid kitab Si Cap Ji cin-keng, Terpaksa dia berbohong, sekalipun terhadap bibi yang menyayanginya itu. Beginilah bunyi sumpahnya: "Raja Langit dan Ratu Bumi, kalau tecu, Wi Siau-po, membocorkan rahasia kitab Si Cap Ji cin-keng, biarlah tecu disambar geledek atau ditikam ribuan kali dan mati tersiksa seperti kakak seperguruannya si kura-kura thayhou, malah lebih menderita sepuluh kali lipat!" To kionggo tertawa.
"Sumpah ini cara yang baru dan aneh!" katanya, "Nah! Ketika bangsa Tatcu menyerbu masuk wilayah perbatasan, dia mengakui secara terang-terangan bahwa dia akan menyerbu lebih dalam sehingga berhasil merampas kerajaan Beng yang maha besar, sebenarnya jumlah mereka kecil dan mulanya mereka sudah merasa puas dapat menduduki tanah perbatasan, itulah sebabnya mula-mula mereka hanya main rampas dan merampok harta benda untuk dibawa ke Kwan gwa. (Luar perbatasan), Tatkala itu, yang berkuasa dalam pemerintahan Ceng adalah pangeran Sit Cin ong, pamannya kaisar Sun Ti. Dialah yang mengatur tempat persembunyian harta rampasan itu. Tempat penyimpanannya sangat rahasia sekali dan dia membuat petanya yang terbagi menjadi delapan bagian, Setiap Ki cu (pemimpin bendera) dari Pat ki (delapan bendera) masing-masing menyimpan satu helai."
"Oh! Aku mengerti sekarang!" seru Siau Po yang tiba-tiba berdiri namun terjungkal jatuh kembali karena dia lupa kalau kereta sedang bergerak "Tentunya gambar peta itu disimpan dalam delapa jilid kitab Si Cap Ji cin-keng."
"Rasanya memang demikian, tapi hal yang sebenarnya hanya diketahui oleh setiap Ki cu dari Pat ki," kata To kionggo, "Jangan kata kita bangsa Han, mungkin pangeran-pangeran dan menteri-menteri bangsa Boanciu sendiri jarang yang mengetahuinya, Menurut penuturan guruku, gunung di mana harta karun itu disimpan disebut Liong meh (nadi naga)-nya bangsa itu, Menurutnya pula, bangsa Tatcu berhasil menduduki Tionggoan karena mengandalkan "nadi naga" itu...."
"Sebenarnya, apa artinya Liong meh?" tanya Siau Po.
"Liong meh itu artinya hampir sama dengan Hongsui, atau kedudukan tanah yang bagus, untuk membangun rumah, pemakaman dan sebagainya," kata To kionggo menjelaskan "Leluhur bangsa Tatcu dimakamkan di gunung itu, dan menurut orang pandai, anak cucunya akan bangkit, makmur dan berhasil menduduki Tionggoan, Guruku mengatakan apabila kita bisa memutuskan nadi naga itu, kemudian kita gali dan bongkar kuburan leluhur bangsa Tatcu itu, bukan saja raja bangsa itu tidak bisa memegang kekuasaan lagi, bahkan seluruhnya akan terbinasa di tangan kita, Demikian pentingnya gunung itu sehingga nenek guru serta guruku sudah berusaha mencarinya selama puluhan tahun. Katanya, rahasia gunung itu ada dalam kitab Si Cap Ji cin-keng."
"Bibi," Siau Po masih kurang mengerti "Kalau memang hal itu merupakan rahasia besar bangsa Tatcu, bagaimana nenek guru serta guru bibi bisa mengetahuinya?"
"Terlalu panjang untuk menceritakannya," kata To kionggo, "Perlu diketahui bahwa nenek guruku adalah seorang bocah perempuan bangsa Han yang diculik seorang Ki cu dari bendera biru sulam bangsa Boan. Mereka merasa bingung karena mereka mendapatkan kenyataan Tionggoan begitu luas, rakyatnya banyak dan tanahnya indah. Mereka senang sekaligus khawatir Banyak hari-hari yang mereka lewati dengan mengadakan rapat untuk membicarakan tindakan mereka selanjutnya, dalam rapat itu tidak jarang mereka bertengkar karena berselisih pendapat."
"Mengapa?"
"Di antara mereka ada beberapa yang mengajukan usul untuk merebut Tionggoan, tapi ada sebagian yang bimbang dan cemas, Hal ini disebabkan saking banyaknya penduduk bangsa Han. Apabila bangsa Han memberontak ibarat seratus orang melawan satu. Mana mungkin orang-orang dari Bendera itu dapat melawannya? Dalam rapat, ada pula yang mengusulkan melakukan perampokan habis-habisan dan membawa hasilnya ke asal mereka. Akhirnya Sit Ceng ong yang mengambil keputusan Dia menyatakan untuk menggunakan cara "Sambil menyelam minum air", yakni merampas sekaligus menduduki Tionggoan, seandainya rakyat Han memberontak, mereka bisa mundur keluar dari Sanhay kwan, tanah mereka sendiri."
"Kalau begitu," kata Siau Po. "Sejak dulu kala bangsa Tatcu sudah agak takut menghadapi bangsa Han kita!" Yang dimaksud dengan bangsa Tatcu ialah bangsa Boanciu (Mancu), Dan Boan Ceng merupakan panggilan untuk kerajaan Ceng. sedangkan bangsa Han adalah bangsa Cina asli, penduduk yang dilahirkan di Tionggoan, Bangsa Cina terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Mongolia, Suku Mongolia tinggal di Mongol, sebab pada saat itu Mongol luar sudah terpisah dari daratan Cina (Kalau zaman sekarang kita katakan sudah merdeka dan membangun negara sendiri). Meskipun suku Mongol dan Boanciu pernah menyerbu serta merampas negara Tionggoan dan bahkan mendudukinya, tapi akhirnya mereka sendiri terpengaruh oleh budaya Han dan semua menjadi bangsa Cina pada akhirnya. To kionggo melanjutkan ceritanya.
"Bagaimana tidak takut? Bahkan sampai sekarang mereka masih juga merasa takut, Kecacatan kita justru karena kita tidak bersatu padu, kita terpecah belah, Nah, keponakanku, raja Tatcu sangat menyayangimu dan menyukaimu. Kau harus mencari jalan untuk mendapatkan kitab Si Cap Ji cin-keng itu. Kalau kau berhasil, kita bisa mencari harta karun itu dan digunakan untuk biaya perbekalan pasukan perang dan merobohkan kerajaan Ceng, Dengan demikian kita bisa membangun kembali kerajaan Beng kita." Â Siau Po mengangguk walaupun perhatiannya tidak tertarik sama sekali tentang memutuskan nadi naga atau memberontak melawan pemerintah Ceng, Yang membuat perhatiannya tertarik, justru harta karun yang disimpan dalam gunung itu. Semangatnya
jadi terbangun membayangkan hal itu.
"Bibi," tanya Siau Po.
"Benarkah rahasia letak gunung Liong meh itu ada dalam kitab Si Cap Ji cin-keng?"
"Mengenai pertanyaanmu itu, aku hanya dapat memberi penjelasan begini," kata To kionggo, "Menurut keterangan nenek guruku, setelah mengadakan rapat selama beberapa hari berturut-turut, Sit Ceng-ing pulang ke istananya dengan membawa sebuah buntalan yang disimpannya dengan hati-hati sekali, Pada suatu hari, setelah minum arak sampai mabuk, Sit Ceng ong berkata kepada istri mudanya, apabila dia wafat nanti, buntalan itu harus diserahkan kepada putera istri mudanya itu dan jangan sekali-sekali diserahkan kepada putra Toa hokcin (istri tua). Tentu saja istri mudanya itu menjadi tidak senang. Apa gunanya beberapa jilid kitab agama Buddha? Demikian pikirnya, Tapi Sit Ceng ong menjelaskan bahwa beberapa kitab itu justru merupakan titik penting dalam kehidupan Pat ki mereka, itulah sebabnya kitab-kitab itu lebih berharga dari apa pun. Secara ringkas pangeran itu menjelaskan lebih jauh tentang riwayat kitab itu, pada saat itulah nenek guruku mencuri dengar pembicaraan mereka dari luar jendela sehingga dia mengetahui betapa pentingnya kitab itu. Ketika itu ilmu silat nenekku sudah tinggi sekali dan guruku juga sudah beberapa tahun belajar dengannya, Karena itulah nenek guruku menyuruh guruku masuk ke dalam istana dan menyamar sebagai dayang, Tidak lama setelah guruku masuk ke dalam istana, keluarlah peraturan baru yang melarang keras para thay-kam dan para dayang sembarangan keluar masuk istana. Dengan demikian, guruku itu bahkan belum  pernah melihat wajah, itulah sebabnya beliau mendapat kesulitan untuk mencari kitab tersebut. Mula-mula guruku senang kepadaku ketika aku menceritakan pengalamanku bersama Tiang kongcu, akhirnya beliau menerima aku sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat kepadaku."
"Pantaslah thayhou bertekad mendapatkan kitab-kitab itu," kata Siau Po.
"Dia orang Boanciu, jadi tidak mungkin dia memutuskan nadi naga itu, Tentu dia hanya berminat pada harta karun yang tersimpan di dalamnya, Yang aneh, dia kan ibu suri! Apa yang diinginkannya pasti dapat dimilikinya Mengapa dia masih menginginkan harta itu?"
"Mungkin di dalam gunung itu ada sesuatu yang aneh," kata To kionggo, Tentang hal itu, nenekku juga tidak tahu apa-apa. Kemudian nenek guruku itu berusaha mencuri kitab dari tangan Sit Ceng ong, sungguh malang ia kepergok dan terkepung. Dalam pertempuran dia kehabisan tenaga dan dibunuh oleh musuh. Tidak lama kemudian, guruku di istana juga jatuh sakit dan menutup mata, sebelum menghembuskan nafas terakhir, guruku berpesan bahwa bila aku bekerja seorang diri, tentu sulit bagi diriku,
sebaiknya aku mengambil seorang murid yang dapat kuandalkan Dengan demikian, turun temurun kitab itu jangan dilupakan, dan harus berusaha terus sampai mendapatkannya!"
"Benar!" Siau Po jadi semakin bersemangat "Kalau rahasia itu lenyap, lenyap pula harta yang demikian banyaknya! Sungguh harus disayangkan!" To Hong-eng tersenyum.
"Hilang harta tidak menjadi masalah," katanya, "Yang penting, ialah jangan sampai bangsa Tatcu menduduki negara kita untuk selama-lamanya. inilah yang membuat kami bangsa Han jadi penasaran!"
"Kata-kata bibi memang benar!" sahut Siau Po, tapi dalam hatinya dia justru berpikir "Katanya harta itu jumlahnya besar sekali. Kalau harta itu tidak ditemukan dan digunakan, barulah merupakan penyesalan!" Siau Po masih muda sekati, dia juga buta huruf, Jadi pandangan hidupnya lain dengan orang banyak Sekian lama dia tinggal di istana, dia banyak melihat dan mendengar Tentang keganasan bangsa Boanciu yang membunuh rakyat Han dan merampas wilayah Tionggoan, Dia hanya mendengarnya dari cerita, semua itu tidak dialaminya sendiri. Sebaliknya, selama berada dalam istana kerajaan Ceng, kecuali thayhou yang sangat membencinya, semua orang memperlakukannya dengan baik dan hormat Bahkan kaisar Kong Hi sendiri memandangnya bagai saudara, Dengan kata lain, dia tidak melihat atau merasakan kejahatan bangsa Boanciu. Para pembesar tinggi dan menteri-menteri mungkin memandang padanya karena dia adalah orang kesayangan raja, tapi biar bagaimana dia merasakan keramahan mereka, Soal permusuhan dan dendam negara, merupakan urusan yang tidak menarik baginya. To kionggo tidak tahu apa yang dipikirkan Siau Po, atau apa yang akan ia lakukan.
"Selama tinggal di dalam istana bertahun-tahun, aku tidak pernah mempunyai murid. Banyak dayang muda yang aku lihat, tapi biasanya mereka bodoh, tidak cerdas dan genit Apa yang mereka harapkan hanya disuka dan disayang oleh raja, malah ada yang berkhayal akan diangkat menjadi selir itulah sebabnya pernah timbul rasa khawatir dalam hati ini bahwa sampai akhir hidup aku tidak akan mendapat seorang murid pun. Dengan demikian, bila aku mati, rahasia ini akan ikut masuk dalam kuburanku dan bangsa Tatcu akan kekal menguasai Tionggoan, Kalau hal ini sampai terjadi, bagi nenek guru dan guruku di alam baka, aku merupakan orang yang paling berdosa, Arwah mereka tidak akan tenang untuk selamanya! Keponakanku, di luar dugaan, kita dapat bertemu, Hal inilah yang membuat hatiku lega dan gembira!"
"Aku juga gembira, bibi! Meskipun aku tidak begitu tertarik dengan urusan kitab itu," sahut Siau Po.
"Kenapa kau merasa gembira?"
"Karena aku pun tidak mempunyai orang yang dekat denganku," sahut Siau Po.
"Memang ibuku masih hidup, tapi sifat kami berlainan dan jarak antara kami juga jauh sekali, Masih ada guruku, tapi beliau sangat sibuk sehingga sukar menemuinya, Tapi, sekarang aku mempunyai orang yang dekat denganku, yaitu bibi, Tentu saja aku merasa gembira sekali." Senang sekali hati To kionggo mendengar ucapan keponakannya yang pandai bicara ini. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman.
"Sejak kecil aku tinggal di istana, meskipun aku mempunyai guru yang mengajarkan aku ilmu silat tapi mengenai urusan dunia kangouw, boleh bilang pengetahuanku sedikit sekali," katanya, "Tadi aku melihat ada dua buah kitab dalam bungkusanmu isinya ilmu silat, tapi alirannya berbeda dan agak bertentangan Apakah itu ajaran dari gurumu?" Siau Po menggelengkan kepalanya. "Bukan dua-duanya," sahutnya, "Yang satu memang kitab yang diberikan oleh guruku, tapi yang satu lagi milik Hay kongkong, si
kura-kura tua!"
"Siapakah gurumu?" tanya To Hong-eng.
"Guruku merupakan Cong tocu dari Tian-te hwe," sahut Siau Po terus terang.
"Beliau she Tan dan namanya Kin Lam." Nama Tan Kin-lam sudah terkenal sekali, tapi bagi To Hong-eng yang separuh hidupnya dilewatkan dalam istana, baru pertama kali inilah dia mendengarnya.
"Kalau gurumu adalah seorang ketua dari perkumpulan Tian-te hwe, ilmunya pasti tinggi sekali!"
"Memang! Tapi, sayangnya aku belum lama mengikutinya," sahut Siau Po.
"Masih banyak pelajarannya yang belum aku pahami dan setiap kali kami bertemu, waktunya selalu terlalu singkat Bagaimana kalau bibi To mengajarkan aku beberapa jurus ilmu?" To Hong-eng tampak bimbang.
"Kalau asalnya kau belum pernah belajar ilmu silat, tentu aku akan mengajarkannya," kata To kionggo, "Bahkan aku bisa mengangkat kau sebagai murid. Tapi kau sudah mempunyai guru, aku khawatir aliran ilmu kami berbeda, hal itu malah akan membahayakan kesehatanmu. Coba kau bilang, bagaimana ilmu silat gurumu kalau dibandingkan dengan kepandaianku? Siapa yang lebih hebat?" Siau Po hanya berpura-pura saja meminta To Hong-eng mengajarinya ilmu silat, dia hanya ingin membuat hati wanita itu menjadi senang, Coba kalau sang bibi mau mengajarkannya, tentu dia akan mencari berbagai alasan untuk menolaknya. Karena dia sadar, dengan mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan bibinya itu, pasti gagallah dia berangkat ke Ngo Tay san.
Siau Po memang senang sekali berpesiar kemana-mana. Dengan demikian berkuranglah minatnya pada ilmu silat, waktunya juga tidak terbagi.
"Bibi," katanya kemudian.
"Di hadapan bibi, aku tidak berani berbohong...."
"Anak kecil memang tidak boleh berbohong," sahut To kionggo.
"Urusannya begini," kata Siau Po.
"Pernah aku menyaksikan guruku bertarung melawan seseoran yang kepandaiannya tinggi sekali, Dalam tiga jurus saja, lawannya
itu sudah tidak berkutik, Karena itu aku... rasa bibi bukan tandingannya... guruku itu... To Hong-eng tersenyum.
"Benar!" katanya, "Aku percaya bahwa aku masih kalah jauh. Ketika melawan laki-laki yang menyamar sebagai dayang dalam kamar thayhou tempo hari, kalau kau tidak membantu aku menyerangnya dari belakang, mungkin sekarang sudah tamat wayat hidupku! Gurumu itu, tidak mungkin begitu tidak berguna seperti diriku!"
"Tapi, dayang palsu itu memang lihay sekali" kata Siau Po.
"Setiap kali mengingat dia, sampai sekarang aku masih takut...." To kionggo menatap Siau Po dalam-dalam, kemudian dia menarik nafas panjang.
"Anak, ilmu silatmu sekarang masih rendah sekali, Kau harus banyak berlatih Dengan kepandaianmu ini, untuk menjadi thay-kam memang sudah cukup, malah mungkin berlebihan Tapi bila kau melakukan perjalanan di dunia kangouw, masih jauh dari kurang, Kau tidak ada bedanya dengan orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali..." Wajah Siau Po jadi merah padam mendengar ucapan bibinya yang hebat itu.
"Iya.,." sahutnya lirih, Dalam hatinya dia justru menggerutu "Memang kepandaianku belum berarti, tapi aku tidak mengerti mengapa dikatakan sama dengan orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali?"
"Kalau kau tidak mengerti ilmu silat sama sekali, mungkin malah lebih baik daripada kepalang tanggung seperti sekarang ini," kata To kionggo.
"Sebab musuh tidak akan sembarangan membunuh orang yang tidak berdaya, Tapi kalau kau mengerti, pasti musuh akan berjaga-jaga terhadap dirimu. Sekali mereka turun tangan, pasti tidak akan bermurah hati, Nah, kalau begitu bukankah kau menghadapi ancaman bahaya yang lebih besar?"
"Andaikata kita singgah di penginapan gelap dan bertemu dengan penjahat kelas teri, bagaimana?" tanya Siau Po. Hong Eng terdiam. Dia tidak langsung menjawab, Setelah merenung sejenak, dia baru menganggukkan kepalanya.
"Kau benar! Di dalam dunia kangouw, memang lebih banyak orang yang kepandaiannya tidak berarti ketimbang yang benar-benar lihay!" To Hong-eng tampaknya gelisah terus, Kemudian dia menunjuk ke arah sebuah pohon besar di sebelah depan.
"Mari kita istirahat di sana! Nanti kita baru melanjutkan perjalanan kembali," katanya.
"Kuda kita juga perlu makan rumput!" Dia menjalankan keretanya ke bawah pohon itu kemudian dihentikan di sana. Keduanya melompat turun dari kereta dan duduk berdampingan, kembali Hong Eng berdiam diri, tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
Siau Po juga diam saja, Dia heran melihat sikap bibinya sehingga ia bertanya-tanya dalam hati, apa kiranya yang menyebabkan wanita itu gelisah terus. Lewat beberapa saat, tiba-tiba dia bertanya.
"Apakah dia berbicara?" Siau Po semakin bingung. Dia tidak mengerti apa maksud pertanyaan itu sehingga dia menoleh kepada bibinya, Untuk sesaat mereka jadi saling pandang, sedangkan yang mengajukan pertanyaan juga tidak memberikan penjelasan apa-apa.
"Apakah kau mendengar dia berbicara?" tanya To Hong-eng kembali setelah mereka tertegun sesaat, "Apakah kau melihat gerakan bibirnya?" Mata Siau Po masih memandang terpaku, Dari heran, hatinya mulai merasa takut. Sikap bibinya aneh sekali Mungkinkah dia terpengaruh roh jahat?
"Bibi kok jadi aneh?" pikirnya kemudian "Apakah dia terkena pengaruh jahat atau melihat hantu?" Saking bingungnya, dia langsung bertanya.
"Bibi, apakah kau melihat seseorang?"
"Siapa?" sang bibi malah balik bertanya, "Itu... si dayang palsu... laki-laki yang menyamar sebagai perempuan...." Tanpa dapat ditahan lagi, rasa takut melanda hati Siau Po.
"Apakah kau melihat dayang palsu itu?" tanyanya dengan suara bergetar Matanya celingak-celinguk kesana kemari, kemudian kembali menatap bibinya, "Di mana dia?" Mendapat pertanyaan itu, To Hong-eng seperti tersentak sadar sikapnya mirip orang yang baru terbangun dari mimpi. Dia langsung tersenyum.
"Aku menanyakan engkau tentang kejadian malam itu ketika berada di kamar tidur thayhou," katanya menjelaskan "Ketika aku bertarung dengannya, apakah kau pernah melihatnya membuka mulut atau berbicara?" Siau Po menarik nafas lega.
"Oh! Rupanya bibi menanyakan peristiwa malam itu?" sahutnya, "Bibi menanyakan apakah dia bersuara atau tidak? Aku tidak mendengarnya." Hong Eng berdiam diri kembali, Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "llmu silatku terpaut jauh dengannya, Untuk menghadapi aku, tidak perlu dia menggunakan ilmu gaib," katanya. Siau Po semakin bingung.
"Sudahlah, bibi, Tidak usah bibi pikirkan lagi tentang dia.,." kata Siau Po.
"Bukankah kita sudah berhasil membunuhnya? Dia tidak akan hidup kembali!"
"Ya... orang itu sudah kita bunuh dan tidak bisa hidup kembali!" kata To kionggo mengulangi Tampaknya dia ingin membuat hatinya lega, tapi kenyataannya gagal. Dia tetap terlihat gelisah dan khawatir walaupun dia berusaha menutupinya.
"Oh, bibi To..." kata Siau Po dalam hatinya, "Kau begitu gagah, tapi takut setan, Baru bunuh satu orang saja, kau sudah gelisah tidak karuan, Kenapa sejak tadi kau terus termangu-mangu? Lagipula, aku yang membunuh dayang palsu itu, bukan kau! Kau memang berusaha membunuh thayhou, tapi nyatanya kau gagal, Sampai sekarang dia masih hidup!"
"Kalau seseorang sudah mati, dia sudah tidak berarti lagi, bukan?" tiba-tiba To Hong-eng bertanya kembali.
"Betul!" sahut Siau Po.
"Meskipun dia sudah jadi setan, kita juga tidak perlu takut!"
"Apa sih setan?" kata Hong Eng.
"Aku hanya mengkhawatirkan muridnya Sin-Liong kaucu itu. Dia... bukankah thayhou menyebutnya suheng? Tidak! Kalau melihat gerak-geriknya, dia tidak mirip dengan orang yang sedang bersilat. Ya, bukan! Apakah benar ketika bertarung denganku, mulutnya tidak bergerak-gerak? Benar atau tidak?" Pertanyaan Hong Eng seakan diajukan pada dirinya sendiri suaranya bergetar
Tampaknya dia ingin mendapat kepastian dari Siau Po agar dugaannya tidak keliru. Sebaliknya dengan Siau Po, kepandaiannya memang masih rendah, dia tidak mengetahui ilmu apakah yang digunakan dayang palsu itu ketika menghadapi bibinya ini. Ketika memberi jawaban, suaranya sengaja diperkeras.
"Jangan khawatir, bibi," katanya, "Mengenai pertanyaan bibi, aku bisa membenarkan. Memang cara berkelahi orang itu aneh sekali, Ketika bertarung dengan bibi, gerak-geriknya tidak mirip orang yang mengerahkan ilmu silat. Dia juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bibi, sebetulnya benda apakah Sin Liong kaucu itu?" Bocah ini memang luar biasa sekali, Kalau bicara, dia tidak pernah memikirkan kata-kata yang baik atau tidak, tidak perduli apakah ucapannya aneh atau tidak bagi orang yang mendengarnya, Tapi kadang-kadang, dia bisa juga bicara sopan dan penuh hormat.
"Anak, kau belum tahu siapa itu Sin Liong kaucu!" kata To kionggo, "Kepandaiannya tinggi dan bermacam ragam. Baik ilmu silat maupun ilmu gaib semua dikuasainya dengan baik, Oh, anak... sekalipun di belakangnya, kau tidak boleh sembarangan bicara! Dengan kata lain, jangan sekali-sekali berbuat kesalahan terhadapnya, Kaucu ini mempunyai banyak murid dan juga cucu murid. Sumber beritanya luas dan gosip apa pun cepat sampai ke telinganya, Kalau dia sampai mendengar kata-katamu tadi, hidupmu akan segera menjadi kenangan masa lalu!" Siau Po merasa heran, Mengapa wanita segagah ini bisa demikian takut terhadap seorang kepala sekte agama yang diberi nama Naga Sakti? Mengapa selain bicara, matanya juga melirik kesana kemari? Dia seakan khawatir kaucu itu ada di belakangnya.
"Benarkah Sin Liong kaucu itu demikian lihay?" tanya Siau Po saking penasarannya, "Mungkinkan kekuasaannya melebihi seorang raja?"
"Kekuasaannya sih tidak melebihi seorang raja," sahut To kionggo, "Tetapi pengaruhnya lebih luas dan selalu tepat. Bersalah terhadap raja, orang masih bisa melarikan diri jauh-jauh atau bersembunyi. Dengan demikian belum tentu kena dibekuk tapi kalau bersalah terhadap Sin Liong kaucu, meskipun kau lari sampai ke ujung dunia, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari maut!"
"Kalau demikian, sudah tentu Sin-liong kaucu lebih banyak anggota dan kekuasaannya lebih besar dari Tian-te hwe kami!"
"Secara keseluruhannya bukan begitu, anak," kata To kionggo, "Tujuan Sin-liong kau juga berbeda dengan cita-cita Tian-te hwe. Tian-te hwe ingin menghancurkan kerajaan Boan untuk membangun kembali kerajaan Beng, Cita-cita itu luhur dan suci serta
dihargai oleh orang banyak, jauh sekali bedanya dengan Sin-Liong kau!"
"Bukankah bibi tadi bermaksud mengatakan bahwa setiap orang dunia kangouw pasti merasa takut terhadap Sin-Liong kau?" tanya Siau Po setengah memaksa. To Hong-eng merenung sejenak sebelum menjawab.
"Sebenarnya mengenai urusan dunia kangouw, pengetahuanku terlalu sedikit," sahutnya kemudian "Apa yang aku ketahui, kebanyakan hanya mendengar dari guruku saja. Dan setahuku, nenek guruku yang demikian lihay saja, terpaksa menelan pil pahit dengan dikalahkan oleh Sin-Liong kaucu!"
"Kurang ajar!" teriak Siau Po emosi, "Kalau begitu, Sin Liong kaucu adalah musuh kita, mengapa kita harus takut kepadanya?" To Hong-eng menggelengkan kepalanya.
"Menurut keterangan guruku," katanya dengan perlahan dan sabar "Kepandaian Sin Liong kaucu itu memang luar biasa sekali, di dalamnya terkandung banyak perubahan yang tidak terduga. Apalagi dia juga lihay dalam ilmu gaib, Mereka pandai membaca mantra dan bila hal itu dilakukan ketika berhadapan dengan musuh, maka lawannya itu akan terpengaruh dan hatinya terguncang serta takut Sebaliknya, mereka sendiri akan semakin kuat dan gagah, Ketika nenek guru berusaha mencuri kitab Si Cap Ji cin-keng, beliau tertangkap basah dan bertarung melawan salah satu murid Sin Liong kaucu, Mula-mula nenek guru sudah menang di atas angin, namun tiba-tiba mulut orang itu berkomat kamit membaca mantra dan serangan-serangan nenek guru pun jadi semakin mengendur. Dalam satu kesempatan, perutnya sempat terhajar oleh musuh yang mana mengakibatkan kematiannya. sebenarnya pada saat itu guruku mendampingi nenek guru sehingga dia dapat menyaksikan segalanya dengan jelas. Guruku gusar sekali melihat kenyataan tersebut Tanpa berpikir panjang lagi dia menerjang ke depan dengan niat membalaskan sakit hati nenek guruku itu, Tapi tiba-tiba saja lututnya menjadi lemas dan pikirannya berubah, beliau malah menyembah dan menyerah kalah, Setiap kali memikirkan hal itu, guru merasa malu sekali dan juga takut Karena itulah beliau berpesan, jangan sekali-sekali aku bertarung dengan orang-orang dari Sin Liong kaucu sebab berbahaya sekali!" Siau Po masih penasaran, Diam-diam dia ber pikir dalam hati.
"Gurumu seorang wanita, tentu saja nyalinya kecil sekali, Dasar perempuan! Mudah merasa takut lalu tunduk dan menyerah kalah! --- Kemudian dia bertanya. "Bibi, apa yang dijampi oleh musuh nenek guru itu? Apakah guru bibi mendengarnya?"
"Beliau tidak mendengarnya," sahut To Hong-eng.
"Mengenai dayang palsu itu, aku curiga dia adalah murid Sin Liong kaucu. itulah aku bertanya kepadamu, apakah mulutnya bergerak-gerak ketika bertarung melawan aku?"
"Oh, begitu rupanya!" kata Siau Po yang kemudian segera mengingat kejadian malam itu. sesaat dia merenung, akhirnya dia menjawab, "Tidak, bibi, Aku tidak melihat atau mendengar apa-apa. Apakah bibi mendengarnya?"
"Kepandaian dayang palsu itu jauh lebih tinggi daripadaku," sahut To Hong-eng.
"Aku kesibukan melayaninya sehingga tidak memperhatikan apakah mulutnya bergerak-gerak atau tidak, Beberapa kali aku menyerangnya dengan jurus mematikan, tetapi baru dimulai hatiku sudah merasa sangsi dan takut Aku merasa kepandaian lawan terlalu tinggi dan aku tidak sebanding dengannya, Rasanya ingin sekali menekuk lutut dan menyerah saja. Mendapat pikiran seperti itu, gerak-gerikku jadi lamban dan otomatis seranganku selalu gagal di tengah jalan. Belakangan aku menduga bahwa dayang palsu itu pandai membaca mantera mempengaruhi lawan, Tapi aneh! ilmunya toh lebih tinggi daripada aku, mengapa dia harus menggunakan ilmu gaib?" Siau Po mengangguk.
"Bibi," katanya, "Bolehkah bibi memberitahukan kepadaku, sejak mempelajari ilmu silat, seringkah bibi menghadapi lawan? Apakah bibi pernah membunuh orang? Kalau pernah, berapa orang lawan yang pernah bibi bunuh sebelumnya?" To Hong-eng menggelengkan kepalanya.
"Selama ini aku belum pernah bertarung dengan siapa pun, apalagi membunuh orang?" sahutnya. "Sedangkan waktu itu saja aku melakukannya saking terpaksa, karena harus membela diri!"
"Kalau begitu, inilah sebab kegelisahan bibi!" kata Siau Po. "Sebaiknya lain kali bibi bunuh lagi beberapa orang jahat agar bibi terbiasa dan tidak perlu khawatir dan was-was seperti sekarang ini!"
Bagian 30
"Mungkin ucapanmu benar, nak," sahut To kionggo, "Tapi, kalau keadaan tidak terpaksa lagi, sebetulnya aku tidak suka berkelahi dengan orang, apalagi membunuhnya. Aku hanya ingin hidup dalam ketenangan serta kedamaian. Cita-citaku sekarang hanya ingin mendapatkan kitab Si Cap Ji cin-keng agar dapat merusak nadi naga bangsa Boan agar tidak menjajah kita terus menerus, Hanya itu saja, hatiku sudah merasa puas!" Di dalam hatinya, Siau Po justru menertawakannya.
"Oh, bibiku yang baik, enak saja kau bicara!, Gara-gara mencari kitab itu, entah sudah berapa nyawa yang dikorbankan. Kau kira kitab itu bisa didapatkan dengan mudah?" Pada saat itu To Hong-eng sedang menyamar wajahnya dipoles sedemikian rupa sehingga tidak terlihat mimik perubahan apa-apa, hanya sinar matanya yang menyorotkan sinar kekhawatiran.
"Bibi, ada baiknya bibi masuk saja menjadi anggota Tian-te hwe?" kata Siau Po kemudian. Dalam hatinya dia berpikir, jumlah anggota Tian-te hwe banyak sekali, sehingga bibinya tidak perlu merasa takut. Hong Eng merasa heran dan menatap Siau Po lekat-lekat.
"Mengapa kau menyuruh aku masuk menjadi anggota perkumpulanmu?" tanyanya.
"Tujuan Tian-te hwe ialah hendak menumbangkan pemerintah Boanciu serta membangun kembali kerajaan Beng," katanya, "Jadi sejalan dengan cita-cita bibi sendiri"
"Iya, tujuan itu memang baik sekali, tapi sebaiknya urusan ini kita bicarakan kelak saja, sekarang aku akan pulang ke kotaraja, Bagaimana dengan kau sendiri? Kau akan kemana?" Siau Po merasa heran mendengar ucapan wanita itu.
"Bibi akan kembali ke kotaraja?" tanyanya, "Apakah bibi tidak takut terhadap ibu suri?" To kionggo menarik nafas panjang.
"Sejak kecil aku sudah tinggal di istana dan terus sampai sekarang ini," sahutnya, "Karena itu, setelah kupikirkan bolak-balik, sebaiknya aku tetap di sana saja, Dengan berdiam di dalam istana, aku tidak pernah merasa takut, sedangkan di luar aku tidak mempunyai kenalan dan buta sama sekali dengan seluk-beluknya, istana sangat besar, banyak tempat bagiku untuk bersembunyi ibu suri tidak mungkin menemukan aku."
"Baiklah," kata Siau Po.
"Bibi kembali saja ke istana, kalau ada kesempatan, aku akan menjenguk bibi di sana. sekarang aku sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh guruku!" Karena urusan yang dikatakan Siau Po menyangkut perkumpulan Tian-te hwe, To kionggo merasa tidak enak untuk menanyakannya.
"Kelak bila kau datang ke istana, bagaimana kau akan menemui aku?" tanyanya. Siau Po memberikan jawaban tanpa berpikir lagi.
"Kalau aku kembali ke istana, aku akan menancapkan sebatang kayu di dekat tumpukan batu tempat pembakaran sampah, kayu itu berukir seekor burung kecil. Kalau bibi melihatnya, tentu bibi akan tahu kalau aku sudah pulang, Malam harinya aku akan datang ke tempat itu menunggu bibi!" To Hong-eng menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Demikianlah perjanjian kita!" serunya, "Anak yang baik, dunia kangouw penuh dengan marabahaya, kau harus berhati-hati dalam melakukan hal apa pun!" Siau Po menganggukkan kepalanya dengan perasaan terharu.
"Terima kasih, bibi To," katanya, "Pesan bibi akan senantiasa aku perhatikan Demikian pula dengan bibi sendiri, Bibi harus berhati-hati, Si perempuan hina itu kejam dan jahat sekali, Hatinya beracun Berjaga-jagalah agar bibi jangan sampai terjatuh ke tangannya!" Kembali To kionggo mengangguk Dia bersyukur sekali mendapatkan seorang keponakan yang begitu baik dan menyayanginya. Sampai di situ, mereka naik kembali ke atas kereta untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menempuh beberapa li, kereta dihentikan dan Siau Po pun melompat turun Dia menyewa kereta sendiri untuk meneruskan misi yang diembannya. Tujuannya ke arah barat, sedangkan Hong Eng ke sebelah timur. Beberapa kali Siau Po menolehkan kepalanya menatap kepergian wanita itu. Dalam hatinya dia berkata: "Dia bukan bibi asliku, tapi dia baik sekali kepadaku!" Dalam perjalanan, Siau Po berusaha tidur sebentar Ketika dia tersadar, dia mendapatkan hari sudah senja. Tepat pada saat itu, dia mendengar derap kaki kuda. Dia melongokkan kepalanya dan melihat seorang penunggang kuda sedang berusaha mengejar keretanya, Tiba-tiba terdengar suara sapaannya.
"Hai kusir! Apakah penumpangmu seorang bocah cilik?" Hampir saja Siau Po melonjak bangun saking terkejutnya, Untung saja dia segera mengenali suara Lau It-cou. Tanpa memberi kesempatan kepada si kusir untuk menjawab, dia langsung berteriak.
"Lau toako! Apakah Lau toako mencari aku?" Ketika itu, seluruh tubuh Lau It-cou bermandi keringat wajahnya kotor oleh debu.
Ketika mengenali si bocah, dia berteriak dengan suara nyaring.
"Bagus! Akhirnya aku berhasil juga menemukan engkau!" kemudian dia melarikan kudanya lebih cepat lagi dan akhirnya menghadang ke depan kereta, Sekali lagi terdengar suara teriakannya, "Cepat kau menggelinding dari keretamu itu!" Hati Siau Po tercekat Dia melihat sikap Lau It-cou lain dengan biasanya, Caranya itu tidak bersahabat sama sekali bahkan terselip rasa permusuhan.
"Eh, Lau toako!" tanya Siau Po.
"Apa salahku? Mengapa kau marah-marah?" It Cou tidak menjawab, cambuknya mengayunkan ke depan dan mengenai kepala kuda yang menarik kereta itu, Binatang tersebut kesakitan dan meringkik nyaring kemudian menghentak-hentakkan sepasang kaki depannya sehingga kereta itu terjungkir ke belakang serta membuat si kusir terjengkang! Bukan main mendongkolnya hati si kusir,
"Hai! teriaknya, "Tengah hari bolong bertemu setan? Kenapa tidak juntrungan menyerang kereta orang?" Tampaknya It Cou sedang marah sekali, "Memang aku kejam! Memang aku jahat! Kau mau apa?" teriaknya berulang-ulang. Kusir kereta itu mati kutu, Dia tengkurap terus di atas tanah agar tidak menjadi sasaran cambuk Lau It-cou, tapi pemuda itu sedang kesal dan penasaran Dan mencaci maki kalang kabut, Cambuk di tangannya terus diayunkan sehingga akhirnya tubuh kusir kereta itu terlilit dan dihentakkan keras-keras, serangannya ini hebat sekali, Bukan hanya pakaian kusir itu saja yang koyak, bahkan dagingnya juga pecah dan darah pun bercucuran. Siau Po heran sekali sampai-sampai dia jadi tertegun.
"Sudah pasti dia mencari aku!" katanya dalam hati. "Aku bukan tandingannya, Setelah menghajar kusir kereta itu, dia pasti akan mencari aku. Oh! Kalau hal itu sampai terjadi, bahaya sekali!" Berkat kecerdikannya, dia segera mengeluarkan pisau belatinya yang tajam.. Diam-diam dia menusuk pantat kuda itu sehingga kesakitan dan lari sekencang-kencangnya. Melihat kereta itu kabur, Lau It-cou segera meninggalkan si kusir yang membuatnya kesal dan lari menyusul kereta sambil berulangkali mengayunkan cambuk ke bagian belakang kuda tunggangannya.
"Bocah!" teriak Lau It-cou.
"Kalau kau laki-laki, jangan lari!" Kereta masih terus melaju, Siau Po melongokkan kepalanya.
"Bocah yang baik!" sahutnya menggoda, dia meniru logat suara Lau It-cou. "Kalau kau seorang laki-laki, jangan mengejar aku!"
Bocah ini memang jenaka, Orang menyuruhnya jangan lari, dia malah meneriaki agar orang jangan mengejarnya! It Cou gusar sekali, Dia mencambuki kudanya keras-keras sehingga binatang itu kesakitan dan semakin cepat larinya, Gerakan kereta sudah terhitung cepat, tapi tentu kalah dengan kuda tunggangan Lau It-cou. Dalam sekejap mata kereta yang ditumpangi Siau Po sudah tersusul. Siau Po bingung juga. Dia ingin menyambit orang dengan pisau belatinya, tapi tidak yakin akan berhasil. Hatinya juga menjadi berat mengingat Pui Ie. Bukankah si nona cantik itu pacarnya Lau It-cou? Mana mungkin dia sampai hati mencelakai kekasih hati gadis pujaannya? Sebaliknya, kalau sampai gagal, dia menyayangkan pisau mustikanya itu.... Tidak ada jalan lain bagi Siau Po. Dia meng-hentakkan tali laso kudanya agar kereta di jalankan lebih kencang lagi. Tiba-tiba Siau Po merasakan sambaran angin dan tahu-tahu dia kesakitan. Ujung cambuk Lau It-cou mengibas pipinya. Rupanya jarak Lau It-cou sudah dekat sekali Begitu cambuknya digerakkan, luncurannya tepat mengenai sasaran, meskipun hanya pipi lawannya! Walaupun sudah berusaha mengelakkan diri, Siau Po tetap merasakan pipinya nyeri dan panas, Dia menahan rasa sakitnya, Sambil menunduk matanya melirik keluar. Kuda Lau It-cou sudah hampir menempel dengan keretanya, Tentu dengan mudah pemuda itu bisa meloncat ke atas keretanya dan hal itu berbahaya sekali, Dia harus mencegahnya. Bocah kita memang cerdas sekali, Dia segera merogo sakunya dan mengeluarkan uang perak sebanyak tujuh delapan potong, Mendadak dia menundukkan kepalanya dan menyambitkan potongan-potongan uang perak itu ke arah kepala kuda Lau It-cou. sebetulnya Siau Po tidak pernah belajar ilmu menyambitkan senjata rahasia, tetapi karena dia sekaligus menimpuk beberapa potong uang perak, jadi kebetulan salah satunya mengenai mata kiri kuda yang ditunggangi Lau It-cou. Kuda itu tersentak kaget saking nyerinya, Binatang itu langsung kabur tanpa dapat dikendalikan lagi. Malah arah yang diambilnya ialah tepi jalan yang ada tanjakannya, Lau It-cou khawatir kudanya akan terjungkal dan dirinya pasti akan luka-luka terbanting dari atas kuda. Karena itu dia segera melompat turun dari kudanya dan membiarkan binatang itu lari terus.
"Kurang ajar!" teriak pemuda itu dengan hati mendongkol. Sebaliknya Siau Po masih kabur terus dengan keretanya, Dia melongokkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak, tangannya melambai-lambai kepada Lau It-cou.
"Lau toako! Kau belum pandai menunggangi kuda, Biar aku nasihati, sebaiknya kau tangkap seekor kura-kura kemudian kau tunggangi untuk mengejar aku!" Meskipun hatinya panas sekali, Lau It-cou tidak memperdulikan Siau Po. Dia menggunakan segenap tenaganya untuk mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya guna mengejar kereta Siau Po. Si bocah khawatir juga, Kembali dia menghentakkan tali laso kudanya, Beberapa kali di menoleh ke belakang dan mendapatkan lawannya masih mengejar terus, Tampaknya lari It Cou cepat sekali. jarak di antara keduanya tinggal dua tiga puluh tombak, dia malah mempercepat langkah kakinya.
"Celaka kalau sampai tersusul olehnya!" pikir Siau Po.
"Rasanya sulit bagiku untuk meloloskan diri!" Kembali Siau Po mengasah otaknya. Kemudian dia mengeluarkan pisaunya sekali lagi untuk menusuk pantat kuda itu. Maksudnya agar larinya lebih cepat lagi, Ternyata dugaan keliru, Kuda itu panik sekali karena kesakitan Binatang itu memutar tubuhnya dan malah lari ke arah Lau It-cou!
"Celaka! Celaka!" teriak Siau Po dalam hati, Dia segera menarik tali laso kereta itu kuat-kuat, maksudnya agar kereta itu tertahan dan berputar ke arah semula, Tapi tenaganya kalah kuat, kereta masih meluncur terus.
"Benar-benar celaka!" lagi-lagi Siau Po berteriak dalam hati, Â Melihat gelagat yang kurang baik itu, Siau Po jadi nekad, Dia melepaskan tali laso kuda itu kemudian melompat turun dari keretanya, Setelah itu dia lari ke tepi jalan untuk menyelusup ke dalam hutan, Dia bermaksud menyembunyikan diri di balik pepohonan yang rimbun. Karena kereta itu kaburnya ke arah Lau It-cou, jarak antara kuda dan kereta semakin dekat. Begitu Siau Po melompat turun, Lau It-cou pun menyusulnya! Sekarang jarak mereka semakin dekat, hanya tinggal beberapa tindak saja, Dengan sekali lompatan saja, tangan Lau It-cou sudah menjulur ke depan untuk mencengkeram bagian belakang leher baju Siau Po. Si bocah cilik tercekat hatinya, Dia merasa takut, tapi berpikir untuk membela diri, Dia harus melakukan perlawanan. Dengan pisau belatinya ia menikam ke belakang. Lau It-cou adalah murid pertama dari Tiat-pwe Cong Liong Liu Tay-hong yang merupakan jago nomor satu di antara keempat ke-ciang atau pelindung keluarga Bhok. Dapat dibayangkan kehebatan ilmu silatnya dan tentu jauh diatas Siau Po. Dengan satu gerakan tangan kanan yang menggunakan jurus "Heng-in Liu-sui (Awan berarak, sungai "mengalir) secara mudah dia berhasil mencekal lengan Siau Po yang kemudian langsung ditelikungnya. Dengan demikian, otomatis pisau yang tadinya mengincar Lau It-cou sekarang malah mengancam dirinya sendiri.
"Bangsat kecil! Kau masih berani melawan?" bentak pemuda itu. Siau Po terkejut juga takut, Lengannya terasi nyeri dan lehernya juga terancam pisau belatinya sendiri Dia maklum sekali ketajaman pisau itu Apabila Lau It-cou menekan tangannya sedikit lagi tenggorokannya pasti bolong oleh pisau belatinyi sendiri Tapi dasar anak bengal dan otaknya cemerlang, bukannya memohon pengampunan dia malah tertawa.
"Lau toako!" katanya, "Mari kita bicara baik-baik! Kita kan orang sendiri Mengapa kau memperlakukan aku seperti ini?"
"Fuh!" Lau It-cou membuang ludah ke atas tanah, "Masih berani kau mengatakan orang sendiri? Ketika di dalam istana, berani sekali kau mengelabui Pui sumoay! Mengapa kau berani tidur di atas tempat tidur dengannya? Tidak bisa tidak, kau harus kubunuh!" Ketika berbicara, urat-urat hijau di pelipisnya bertonjolan, Matanya menyorotkan sinar kemarahan Tampangnya sungguh menyeramkan! Sekarang Siau Po baru mengerti apa sebab kemarahan Lau It-cou. Dia hanya merasa heran bagaimana Lau It-cou bisa tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan Pui Ie. Dia juga sadar dirinya tengah menghadapi ancaman maut. Tangannya tercekal erat, sedangkan pisau belati mengancam lehernya, Dia tidak berkutik sama sekali, tapi masih saja Siau Po tertawa.
"Lau toako, nona Pui adalah jantung hatimu," katanya, "Bagaimana aku berani bersikap kurang ajar terhadapnya? Di dalam hati nona Pui hanya ada kau seorang, Kau tahu? Siang malam hanya engkau yang dipikirkannya!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya It-Cou. Dia jadi suka bicara dan hawa amarahnya agak mereda.
"Karena dia memohon padaku agar membebaskan kau dari penjara," sahut Siau Po.
"Seperti kau ketahui, kau toh benar-benar bebas sekarang, Aku tidak bisa melukiskan, betapa senangnya nona Pui ketika mengetahui kau sudah selamat!" Mendadak hati It Cou jadi panas kembali Dia menggertakkan giginya erat-erat.
"Kau si telur anjing! Lohu tidak sudi menerima budimu!" teriaknya garang, "Kau tolong aku, syukur. Tidak kau tolong juga tidak apa-apa. Tapi, mengapa kau harus menipu adik seperguruanku agar sudi menikah denganmu, menjadi istrimu?"
"Ah, toako!" seru Siau Po yang cerdik, "Mana ada kejadian seperti itu? Siapa yang mengatakannya ? Nona cantik dan manis laksana bunga seperti nona Pui Ie hanya pantas bersanding dengan Lau toako yang gagah dan tampan!" Kembali hawa amarah dalam dada Lau It-cou reda tiga bagian. Hatinya senang mendengar pujian bagi dirinya serta kekasihnya.
"Masih kau menyangkal tanyanya pula, "Benar atau tidak kalau adik Pui-ku itu sudah menyatakan kesediaannya untuk menikah denganmu?" Siau Po bukannya menjawab, malah tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" bentak It Cou heran, matanya menatap si bocah dengan tajam.
"Eh, Lau toako, ke sini dulu, Aku ingin bertanya kepadamu," sabut Siau Po.
"Apakah seorang thay-kam atau orang yang sudah dikebiri bisa menikah?" Lau It-cou langsung berdiri terpaku mendengar pertanyaan bocah itu. Dia menatap Siau Po lekat-lekat, pikirannya kacau, Dia mengasah otaknya dan akhirnya dia tertawa terbahak-bahak, Memang benar, mana mungkin seorang thay-kam bisa menikah? Meskipun tertawa, It Cou tidak segera melepaskan cekalannya pada tangan Siau Po.
"Sekarang giliran aku yang bertanya," katanya. "Mengapa kau membohongi adik Pui sehingga dia menyatakan kesediaannya menikah denganmu? Mengapa kau mengatakan padanya bahwa kau ingin menikahinya?" Kembali Siau Po tertawa.
"Lau toako, bolehkah aku bertanya kepadamu?" kata Siau Po. "Dari mana kau mendengar hal ini?"
"Aku mendengar sendiri ketika adik Pui berbicara dengan Siau kun cun!" sahut It Cou.
"Kau pikir aku berbohong?"
"Toako, mereka sedang berbicara berdua atau kakak Pui sendiri yang mengatakannya kepadamu?" tanya Siau Po ingin mendapat kepastian. It Cou diam. Hatinya ragu-ragu.
"Mereka berdua sedang berbicara," sahutnya selang sejenak. Sebetulnya duduk persoalannya begini: Ketika Ci Tian-coan mengantarkan nona Pui dan nona Bhok menuju dusun Cioki cung, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Gouw Lip-sin dan Go Piu. Ketika ditahan dalam istana, Gouw Lip-sin mengalami berbagai siksaan. Tubuhnya terluka di sana-sini. Untung saja ototnya tidak ada yang putus, Karena itu dia naik kereta dan bermaksud mencari tabib di dusun Cioki cung, Tentu saja pertemuan itu menggembirakan kedua belah pihak, Cuma, tampak perbedaan pada diri It Cou serta Pui Ie. Sikap mereka tawar sekali, Tidak akrab dan ramah sebagaimana biasanya. It Cou justru merasa heran. Dia merasa penasaran dan kurang puas, Dia ingin mengetahui apa yang menyebabkan perubahan si nona. Beberapa kali dia mengajak Pui Ie memisahkan diri dengan yang lainnya agar mereka bisa bicara berdua, tapi Pui Ie selalu mencari alasan dan selalu berada di samping Kiam Peng seakan tidak sudi berpisah sedetik pun dengan Siau kuncu itu. Lama-lama It Cou semakin bingung. Dia tidak tahu apa sebabnya dan tidak dapat menerkanya, Saking penasaran, satu kali dia mencoba mendesak Tidak disangka-sangka Pui Ie justru berkata terus terang bahwa hubungan mereka selanjutnya hanya antara kakak dan adik seperguruan saja, lain tidak. Pui Ie juga meminta dia jangan mengungkit yang telah lalu dan menyuruh It Cou melupakannya! Pada saat itu hati It Cou tercekat Dia juga merasa bingung.
"Sumoay, ada apa sebenarnya?" tanyanya penasaran.
"Tidak apa-apa," sahut Pui Ie dingin dan singkat. It Cou menarik tangan gadis itu dan menggenggamnya, "Su... moay..." katanya, "Kau...?" Pui Ie mengibaskan tangan sukonya itu, "Berlakulah sopan sedikit, Lau suko!" katanya ketus. It Cou tertegun Dia merasa kecewa dan malu.
Malam itu, di dalam kamarnya Lau It-cou sulit pulas, Dia bergolek kesana kemari. pikirannya ruwet. Ada apa dengan kekasihnya? Akhirnya dia turun dari tempat tidur dan berjalan keluar, Kemudian dia menuju kamar Pui Ie dan Kiam Peng, Di dekat jendela, dia memasang telinga. Kebetulan sekali, kedua nona itu sedang berbincang-bincang.
"Cici, kau perlakukan dia demikian tawar, apakah kau tidak khawatir hatinya menjadi sedih?" terdengar suara Kiam Peng bertanya.
"Habis, apa lagi yang dapat kulakukan?" sahut Pui Ie.
"Biarlah sekarang hatinya sedih. Lama-lama dia akan biasa kembali. Waktu akan menyembuhkan segala macam duka..."
"Apakah... cici... sudah yakin akan menikah dengan si bocah Wi Siau-po?" tanya Kiam Peng kembali, "Dia masih begitu muda, mana mungkin cici menjadi istrinya?" Ditanya seperti itu, Pui Ie menatap Kiam Peng lekat-lekat.
"Kau sendiri ingin menikah dengan kunyuk kecil itu sehingga kau menganjurkan aku kembali kepada Lau suko, benar bukan?"
"Bukan! Bukan!" sangkal Kiam Peng cepat "Kau saja yang menikah dengan kunyuk kecil itu!" Pui Ie menarik nafas panjang.
"Aku sudah berjanji, bahkan bersumpah!" katanya.
"Mana mungkin aku melupakannya? Pada saat itu, aku bilang begini: Raja Langit di atas dan Ratu Bumi di bawah, kalau Kui kongkong berhasil menolong Lau suko sehingga dapat meloloskan diri dengan selamat, aku Pui Ie bersedia menikah dengannya dan menjadi istrinya untuk seumur hidupnya! Andaikata aku mengingkari janjiku ini, biarlah aku merasakan berlaksa penderitaan terlebih dahulu sebelum menjelang kematian Bahkan aku juga menambahkan, "Siau kuncu menjadi saksinya!" Bukan? Nah, aku tidak melupakan apa yang pernah kuucapkan, dan tentunya kau juga tidak melupakannya, bukan?"
"Memang kau telah mengucapkan sumpah itu," kata Kiam Peng, "Tapi aku rasa si kunyuk kecil itu hanya bergurau, bukan serius!"
"Main-main atau serius, sama saja bagiku!" kata Pui Ie tegas.
"Kita kaum perempuan, sekali kita sudah berjanji akan menyerahkan diri, tidak dapat kita tarik pulang kembali! Sudah selayaknya kita mengikuti seorang laki-laki untuk selama-lamanya. Lagipula... lagipula...."
"Lagipula apa?" tanya Kiam Peng.
"Aku telah memikirkannya matang-matang," sahut Pui Ie. "Seandainya dia tidak serius dan janjiku itu dapat ditarik kembali, tapi... kita sudah pernah berbaring di atas satu tempat tidur dengannya dan sama-sama mengenakan sehelai selimut...."
Tiba-tiba saja Kiam Peng tertawa geli.
"Kunyuk itu memang luar biasa nakalnya," katanya. "Malah dia membawa-bawa cerita Eng Liat-toan yang katanya sama dengan apa yang kita alami. Saat itu dia mengatakan: Bhok ongya mengamankan propinsi Inlam dengan tiga batang anak panahnya, Kui kongkong merangkul sepasang nona cantik dengan kedua belah lengannya, Suci, waktu itu dia benar-benar memelukmu, bukan?"
Pui Ie menghela nafas agar dadanya tidak begitu sesak. Sementara itu, bukan main bingungnya perasaan It Cou mendengar pembicaraan kedua gadis itu. Hatinya menjadi panas sekaligus sedih, Urusan ini terasa sulit baginya, Pui Ie bersedia menyerahkan diri pada Siau Po atau Kui kongkong karena telah menolong dirinya bebas dari tempat musuh. Tanpa pertolongan bocah itu, kemungkinan sekarang kepalanya sudah terpisah dari batang lehernya dan jadi setan gentayangan Kepalanya menjadi pusing dan kedua lututnya terasa lemas dan tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Dia berusaha menekan hawa amarah dalam dadanya. Kemudian dia mendengar lagi suara Pui Ie yang berkata: "Memang dia masih muda sekali, tapi dia pandai bicara, Tidak kalah dengan orang dewasa, Yang terutama, dia memperlakukan kita dengan baik sekali, Budinya terhadap kita besar sekali, bukankah dia yang menolong kita melarikan diri dari istana? Bahkan di dalam istana, dia tidak memperdulikan segala ancaman maut untuk melindungi kita, sekarang kita telah berpisah dengannya, Entah kapan kita baru bisa berjumpa kembali..?" Kembali Kiam Peng tertawa.
"Suci, rupanya kau sedang memikirkannya?" tanyanya, "Apakah kau merasa rindu padanya?"
"Lalu, kalau aku memang memikirkannya dan rindu kepadanya, bagaimana?" Pui Ie balik bertanya.
"Sebenarnya, suci," kata Kiam Peng, "Aku juga tengah memikirkannya, Beberapa kali sudah aku mengajaknya datang bersama-sama ke dusun Cioki ji cung ini, tapi dia selalu menolak, Katanya dia mempunyai tugas yang penting sekali, Cici, coba kau terka,
apakah dia berbicara yang sebenarnya atau hanya ingin mengelabui kita?"
"Ketika singgah di rumah makan, aku pernah mendengar dia berbicara dengan kusir kereta," kata Pui Ie, "Dia menanyakan jalanan menuju Shoa Say, Mungkin dia akan pergi ke sana..."
"Dia masih muda sekali dan sekarang melakukan perjalanan seorang diri, Bukankah berbahaya sekali ?" kata Kiam Peng, "Bagaimana kalau dia bertemu dengan penjahat?" Pui Ie menarik nafas panjang.
"Pernah terpikir olehku untuk berbicara dengan Ci loyacu agar dia tidak usah mengantarkan kita, ingin aku meminta orang tua itu untuk melindungi dia, tapi Ci loyacu pasti tidak akan menerimanya...."
"Cici...."
"Apa, moaymoay?"
"Ah, tidak apa-apa.,,." Tampaknya Kiam Peng membatalkan apa yang ingin dikatakannya.
"Sayangnya kita berdua masih sama-sama terluka..." kata Pui Ie, Kalau tidak, pasti kita bisa pergi bersamanya ke Shoa Say..." Â Mendengar pembicaraan kedua nona itu, kepala Lau It-cou semakin berat, mendadak tubuhnya limbung dan kepalanya membentur jendela, Kakinya tidak dapat berdiri tegak.
"Siapa?" bentak Kiam Peng dan Pui Ie yang merasa terkejut sekali. It Cou tidak sampai jatuh, Rasa sakit di kepalanya yang terbentur menyadarkannya. Hatinya panas sekali sehingga tidak mendengar suara bentakan kedua nona itu, Dia malah berteriak dalam hati.
"Aku akan membunuh bocah itu! Aku harus membunuhnya!" Lau It-cou segera lari keluar rumah untuk mencari kudanya dan terus melarikannya, Dia mengambil arah barat karena menurut pembicaraan Pui le tadi, bocah kurang ajar itu berangkat ke Shoa Say.
Sampai terang tanah, Lau It-cou masih melarikan kudanya, tapi sekarang dia sering bertanya kepada orang-orang mana jalan menuju ke Shoa say. Setiap kali bertemu kereta yang sedang bergerak, dia selalu bertanya pada kusirnya: "Apakah penumpangmu seorang bocah cilik?" Demikianlah Lau It-cou memberikan keterangannya ketika Siau Po meminta penjelasan sekarang Siau Po tahu bahwa Lau It-cou hanya mendengar sebagian saja dari pembicaraan antara Pui Ie serta Kiam Peng. Karena itu, dia segera tertawa dan berkata, "Lau toako, ternyata kau sudah ditipu oleh adik seperguruanmu itu!"
"Aku ditipu Pui Ie?" tanya Lau It-cou bingung, "Bagaimana caranya?"
"Duduk persoalan yang sebenarnya begini, Lau toako," kata Siau Po dengan nada sabar "Ketika terkurung di dalam istana, nona Pui pernah berkata kepadaku, bahwa dia sungguh-sungguh berniat menolongmu tapi sebaliknya selama ini kau selalu bersikap acuh tak acuh kepadanya, Menurutnya kau kurang perhatian." It Cou heran sekali.
"Mana ada kejadian seperti itu?" katanya.
"Mana mungkin aku bersikap acuh tak acuh kepadanya?"
"Bukankah kau pernah menghadiahkan sebuah tusuk konde kepadanya?" tanya Siau Po.
"Tusuk konde itu berbentuk bunga Bwe?"
"Benar!" sahut It Cou penuh semangat "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Ketika bertempur di istana, tusuk konde itu terjatuh," kata Siau Po.
"Nona Pui kebingungan setengah mati, karena tusuk konde itu merupakan hadiah dari kekasihnya, Menurutnya, tusuk konde itu tidak boleh hilang, Biar bagaimana dia harus mendapatkannya kembali Demi tusuk konde itu, dia bersedia mengadu jiwa!" It Cou terdiam, pandangannya termangu-mangu.
"Oh, dia begitu baik kepadaku?" tanyanya kemudian.
"Pasti!" sahut Siau Po.
"Masa dia berbohong dalam keadaan seperti itu?"
"Lalu, bagaimana?" tanya It Cou yang jadi tertarik.
"Kau mencekal aku begini keras, aku kesakitan setengah mati!" kata thay-kam palsu yang cerdik ini.
"Mana mungkin aku berbicara dengan leluasa?"
"Baik!" kata Lau It-cou yang kemarahannya sudah reda setengah bagian. Dia juga yakin bocah itu tidak sanggup meloloskan diri dari tangannya. Setelah melepaskan cekalannya dia bertanya, "Apa yang terjadi kemudian?" Perlahan-Iahan Siau Po menyimpan pisau belati di dalam kaos kakinya, Kemudian dia juga menggunakan kesempatan itu untuk mengurut tangannya yang biru matang serta bengkak karena cekalan Lau It-cou yang keras. Setelah itu dia berkata.
"Orang-orangnya Bhok onghu paling pintar dan gemar memencet tangan lawan," katanya, "Kau begitu, Pek Han-hong juga begitu! Iya, memang benar Mengapa aku sampai lupa! ilmu Ku-jiau jiu dari keluar Bhok memang sudah terkenal sekali!" Kata-kata Siau Po itu merupakan sindiran tajam. Karena Ku-jiau jiu artinya "llmu cakar kura-kura." Lau It-cou tidak menaruh perhatian pada ucapan Siau Po itu. Dia juga tidak dapat menangkap makna yang terselip di dalamnya.
"Bagaimana sikap Pui sumoay setelah kehilangan tusuk konde pemberianku itu?"
"Dengan ilmu Ku-jiau jiu, kau telah membuat tanganku bengkak dan sakit Aku harus mengatur pernafasan dulu baru bisa bicara dengan lancar." Kata Siau Po yang masih juga mempermainkan si pemuda keblinger itu. Dia sengaja memperpanjang waktu agar otaknya bisa bekerja mencari akal, pokoknya dia harus bisa meloloskan diri tanpa kurang apa-apa.
"Biarkan aku beristirahat sebentar Urusan ini penting sekali dan menyangkut apakah kau akan mendapatkan istrimu atau tidak!"
Dia terus mengurut-urut tangannya yang biru matang, sementara itu, Lau It-cou sekarang sudah mengerti apa artinya kata Ku-jiau jiu yang diucapkan Siau Po, tapi dia tidak memperdulikannya, perhatiannya sedang terpusat pada hal lainnya, Apalagi Siau Po mengatakan "ada sangkutannya apakah kau akan mendapatkan istrimu atau tidak?"
"Cepat kau ceritakan!" desak It Cou, "Sudah, jangan bertele-tele lagi!"
"Mari duduk dulu.,." ajak Siau Po dengan sabar lalu kita istirahat sejenak. Setelah pernafasanku lurus, tentu aku bisa bercerita dengan lancar, Kau pasti mendapatkan keterangan yang kau inginkan?" Mau tidak mau, It Cou terpaksa menuruti ajakan si bocah tersebut. Siaupo berjalan ke bawah sebatang pohon yang rimbun dan duduk di sana, It Cou menghampiri dan duduk di sisinya, Dia tidak mau jauh-jauh dengan Siau Po karena khawatir bocah yang licin itu akan kabur darinya. Siau Po menarik nafas panjang beberapa kali, "Sayang... sayang,.," katanya berulang kali.
"Apanya yang sayang?" tanya It Cou sambil mengawasi wajah bocah itu.
"Sayang sekali nona Pui tidak ada di sini..." sahut Siau Po sambil memperlihatkan tampang muram, "Coba kalau dia ada di sini dan duduk berdampingan denganmu, tentu bahagia sekali bila kalian dapat berbicara berduaan dengan mesra!" Senang sekali hati It Cou mendengar ucapan bocah itu. Tanpa sadar ia tersenyum.
"Bagaimana kau mempunyai pikiran seperti itu?" tanyanya.
"Karena aku pernah mendengar perkataan nona Pui," sahut Siau Po, "Hari itu, ketika tusuk kondenya hilang, nona Pui langsung nekat Dia menerjang tiga pos dalam istana yang dijaga para siwi, Meskipun dia sendiri terluka, tapi dia juga merobohkan tiga orang pengawal Akhirnya dia berhasil mendapatkan tusuk kondenya kembali, Tahukah kau apa bagaimana pikirannya saat itu?"
It Cou menggelengkan kepalanya, Dia masih menunggu kata-kata Siau Po. "Saat itu aku berkata kepadanya: "Nona, mengapa kau begitu bodoh? Berapa sih harganya sebuah tusuk konde sampai kau harus menempuh bahaya sebesar ini? Nanti aku akan memberimu uang sebanyak seribu tail dan kau bisa memesan tusuk konde seperti itu sampai empat ribuan batang. Biarpun nona memakainya secara bergantian siang dan malam, berarti dalam satu tahun setiap hari kau akan memakai tusuk konde baru, Nah, tahukah kau apa jawaban nona Pui?" Sekali lagi It Cou menggelengkan kepalanya.
"Nona itu langsung berkata begini kepadaku: "Kau anak kecil tahu apa? ini hadiah dari Lau suko yang baik hati dan sangat mencintaiku! Meskipun kau menghadiahkan seribu batang atau selaksa batang tusuk konde yang dibuat dari emas murni dan bertaburan mutiara, tetap saja tidak bisa menyamai tusuk konde pemberian Lau sukoku ini! Bagiku, yang penting hadiah ini dari Lau suko, tidak perduli bahannya dari perak, tembaga atau besi rongsokan sekalipun Nah, Lau toako, coba kau pikir, bukankah nona Pui itu tolol sekali?" Bukannya mendongkol atau marah, Lau It-cou malah tertawa lebar ia merasa kata-kata bocah di sampingnya itu lucu sekali.
"Aku ingin bertanya kepadamu," kata It Cou. "Apakah sepanjang malam itu sumoay hanya membicarakan soal tusuk konde saja?"
"Lau suko, Siau Po tidak menjawab, dia malah bertanya, "Lau toako, kau mencuri dengan pembicaraan mereka hampir sepanjang malam?" Wajah It Cou jadi merah padam, Dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Siau Po.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud mencuri dengar pembicaraan mereka," katanya dengan maksud membersihkan diri, "Malam itu aku terbangun karena ingin membuang air kecil, Ketika lewat di sisi kamar mereka, aku mendengar suara pembicaraan mereka...."
"Nah, Lau toako! perbuatanmu itu tidak dapat dibenarkan!" kata Siau Po.
"Masa kau tidak bisa membuang air kecil di tempat lain? Kenapa kau justru memilih bawah jendela kamar kedua nona itu? Apakah kau tidak khawatir air senimu itu akan memancarkan bau harum semerbak sehingga nona pujaan hatimu itu jadi mabuk kepayang karenanya, sedangkan kedua nona itu begitu cantik dan rupawan?" It Cou semakin jengah.
"Iya, iya. Kau benar!" sahutnya, "Kemudian, apalagi yang dikatakan adik seperguruanku itu?" Rupanya pemuda ini tertarik sekali dengan cerita Siau Po sehingga dia tidak jemu-jemunya mengajukan pertanyaan.
"Perutku kosong, aku lapar sekali," kata Siau Po. "Aku kehabisan tenaga untuk bercerita. Sudilah kiranya kau pergi membelikan makanan agar aku bisa mengisi perut Setelah perutku kenyang, aku bisa bercerita panjang lebar dan hatimu pasti akan tergetar mendengarnya!"
"Apanya yang menggetarkan hati?" tanya It Cou.
"Pui sumoay adalah seorang gadis yang polos dan tulus, Belum pernah dia mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh...."
"Betul!" kata Siau Po.
"Dia memang tulus dan polos. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, tapi aku ingat dia pernah mengatakan "Lau sukoku yang baik hati, Lau sukoku yang gagah dan tampan!" Nah, kata-kata itu manis sekali bukan? Entahlah bagaimana perasaanmu, menurutku kata-katanya itu enak sekali kedengarannya." Hati It Cou benar-benar senang mendengar keterangan Siau Po. Tapi dia masih belum yakin.
"Benar?" tanyanya, "Benarkah Pui sumoay pernah berkata demikian?"
"Benar atau tidak, terserah dirimu sendiri, Lau toako!" kata Siau Po.
"Aku hanya mengatakan apa yang menjadi kenyataan! Nah, sudahlah, aku akan pergi mencari makanan, Maafkan aku, toako!" Selesai berkata Siau Po langsung berdiri, It Cou sedang penasaran mendengar cerita bocah itu, mana mau dia melepaskannya begitu saja? Dia segera menekan bahu bocah itu.
"Sabar saudara Wi," katanya, "Jangan terburu-buru pergi. Aku membekal ransum kering, silahkan makan! Nanti, kalau kau sudah selesai bercerita, aku akan mengajakmu ke kota di depan sana, Kita cari sebuah rumah makan, Aku ingin mengundangmu makan dan minum sebagai permintaan maaf atas kesalahan pahaman ini," Lau It-cou segera mengeluarkan sebuah bungkusan yang berisi kue kering, Lalu disodorkannya ke hadapan bocah itu. Siau Po mengambil satu potong kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Setelah dikunyah, dia merasa kue itu tidak ada sari manisnya, Rasanya tawar sekali.
"Kue apa ini?" tanyanya sembari mengambil sepotong lagi dan diserahkannya kepada Lau It-cou. Lau It-cou menyambut kue itu dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Kue ini memang keras, tidak enak, Tapi lumayanlah untuk mengganjal perut," katanya, Siau Po memeriksa kue lainnya, semuanya terdiri dari beberapa jenis.
"Bagaimana dengan yang ini?" Dia mengambil beberapa potong kemudian dibolak-balikkannya satu per satu, "Ah! Ada-ada saja!" Aku mau buang air kecil," katanya sambari berjalan menuju belakang pohon dan membuka celananya. It Cou membiarkan Siau Po pergi, tapi dia tetap mengawasinya, sebentar saja Siau Po sudah kembali lagi dan duduk di samping Lau It-cou. Dia membolak-balik lagi sepotong kue kemudian memasukkannya ke dalam mulut untuk dicicipi. It Cou sendiri sudah merasa letih karena mengejar bocah itu sepanjang malam, Dia menjemput sepotong kue dan memakannya, Perutnya juga sudah lapar, tapi dia masih ingin tahu kelanjutan cerita Siau Po.
"Apa benar Pui sumoay berkata begitu di hadapan Siau kuncu? Mungkinkah dia hanya mempermainkan perasaanku?"
"Aku toh bukannya belatung dalam perut sumoaymu itu, mana aku tahu apa yang dipikirnya?" sahut Siau Po, "Kan kau kakak seperguruannya yang paling baik dan dekat. Mengapa kau tidak tahu sifatnya? Kok, kau malah tanya kepadaku?"
"Sudahlah, adik," kata It Cou.
"Tadi aku salah paham kepadamu. Aku harap kau suka memaklumi perasaanku Saudaraku, aku minta kau mau menceritakan semuanya
kepadaku."
"Kalau begitu, baiklah aku bicara terus terang," kata Siau Po.
"Nona Pui, adik seperguruanmu itu memang manis dan cantik sekali seandainya aku bukan seorang thay-kam, tentu aku suka sekali bisa menikah dengannya, tapi ada satu hal yang perlu aku jelaskan, Meskipun aku tidak bisa menikah dengannya,.. aku khawatir kau juga tidak mempunyai kesempatanmu." It Cou merasa heran, Dia menatap Siau Po lekat-lekat.
"Kenapa?" desaknya.
"Jangan terburu nafsu, sobat!" katanya sabar "Nanti perlahan-lahan aku akan menjelaskan sebabnya...."
"Ah! Kau sengaja main gila! Caramu ini benar-benar membuat nafsu makanku hilang!!" bentak It Cou. Baru saja selesai berkata, tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung.
"Eh, kenapa kau?" tanya Siau Po dengan tampang keheranan "Apakah kau tiba-tiba jadi sakit? Atau kuemu itu kurang bersih?"
"Apa katamu?" tanya It Cou. Dia berusaha untuk bangun, tapi mendadak dia merasakan tubuhnya lemas, tenaganya tidak ada sehingga dia menggeletak di atas tanah dekat bawah pohon. Tiba-tiba saja Siau Po tertawa terbahak-bahak Dengan sebelah kakinya, dia menendang pantat Lau It Cou.
"Eh, mengapa di kuemu ada obat biusnya? Aneh bukan?" It Cou roboh dengan mengeluarkan seruan tertanam Ketika Siau Po menendangnya, dia tidak merasakan apa-apa lagi.
TAMAT (Bagian Pertama)
Apa sebenarnya yang terjadi pada diri Lau it-cou? Apakah dia pun kena diperdayai oleh Wi Siau Po, si bocah nakal? Bagaimana ke lanjutan kisah asmara antara Pui Ie, Lau It-cou dan Wi Siau Poyang terlibat cinta segi tiga itu? ikutilah bagian ke II dari kisah Kaki Tiga Manjangan ini!