Bagian 1
Musim dingin belum menyingkir dari daerah utara Gunung Tiang Pek San masih mengenakan mantel salju yang putih bersih. Saat itu fajar mulai menyingsing dan timbunan salju memantulkan kembali cahaya matahari dalam beribu-ribu warna, seakan-akan beribu-ribu permata tersebar di situ.
Suasana tenang-tenteram, damai dan suci seakan-akan hendak mengesankan bahwa dunia ini sungguh indah, bila saja tidak dinodakan perbuatan manusia yang penuh angkara. Tetapi, di sini pun tiba-tiba terdengar mendesisnya sebatang anak panah yang telah dilepaskan dari balik gunung di sebelah timur dan melayang ke tengah angkasa. Dari bunyi mendesisnya anak panah yang tiba-tiba memecahkan kesunyian dengan cepat lagi nyaring itu, dapat diketahui betapa kuat tenaga orang yang melepaskannya.
Anak panah tersebut dengan sangat tepat menembusi seekor belibis yang sedang terbang bebas. Terbawa anak panah yang menancap di lehernya, belibis itu terjungkal jatuh di atas salju.
Pada saat itu, dari jurusan barat, beberapa belas tombak dari tempat belibis itu jatuh, empat penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Ketika mendadak terdengar mendesisnya panah tersebut, keempat orang itu serentak menahan kuda mereka yang segera terhenti semua Menampak betapa tepatnya belibis itu dipanah jatuh, tanpa kecuali mereka merasa kagum dan
di dalam hati mereka timbul keinginan untuk mengetahui siapakah gerangan pemanah yang tangkas itu. Akan tetapi, setelah sekian lama menanti dan dari balik gunung itu belum juga muncul orang yang dinantikan, mereka mendengar derap kaki kuda yang lari pesat. Ternyata orang yang ditunggu itu sudah pergi dengan mengambil jurusannya sendiri. Seorang di antara rombongan penunggang kuda itu bertubuh kurus-jangkung, wajahnya mencerminkan kecerdasan, usianya sudah agak tua. Ia mengerutkan kening demi mendengar pemanah tadi kabur. Segera ia mengeperak kudanya dan menuju ke lereng gunung di sebelah timur, diikuti tiga kawannya Setelah melewati suatu tikungan, mereka melihat lima penunggang kuda yang sudah agak jauh, mungkin sudah satu li dari tempat mereka. Dari bekas-bekas kaki kuda yang jelas ditinggalkan di permukaan salju dapat dikira-kira betapa cepat lari kuda mereka itu. Teranglah sudah, bahwa mereka tidak mungkin dikejar lagi.
"In suheng, agak aneh juga kejadian ini," kata orang tua tadi sambil mengisyaratkan agar kawan-kawannya menghampiri ia.
Yang dipanggil In suheng ini juga sudah agak tua, tubuhnya agak gemuk, dua belah kumis tebal menghiasi bibirnya dan tubuhnya diselubungi mantel dari kulit tiauw (suatu jenis binatang yang mirip dengan tikus dan kulitnya berharga mahal sekali), lagaknya sebagai saudagar kayaraya. Setelah menyaksikan apa yang dilihat si kurus-jangkung tadi, ia menganggukkan persetujuannya atas pendapat kawan itu. Kemudian ia membilukkan kudanya untuk segera dilarikan kembali ke dekat bangkai belibis tadi. Ia mengayunkan cambuknya dan dengan menerbitkan bunyi "taimil" yang nyaring, ia telah mementalkan belibis itu ke atas. Ketika kemudian ia menyabet pula, ujung pecut itu sudah segera melilit bangkai belibis tersebut. Dengan tangannya yang sebelah lagi ia menyambut bangkai belibis serta anak panah itu yang segera diperiksanya "Hai!" serunya, sebagai terperanjat. Mendengar seruan tiba-tiba itu, ketiga kawannya segera mengeperak kuda mereka dan menghampiri si orang she In.
"Whi suheng, coba periksa ini?" seru yang disebut "In suheng" sambil melemparkan belibis serta anak panah itu kepada si kurus-jangkung. Dengan mudah saja ia ini menyambuti burung yang dilemparkan kepadanya dan memeriksa batang panah itu. Segera terdengar ia berseru juga. "Eeeh, benar dia, lekas-lekas kita kejari" teriaknya bernapsu. Dengan tergesa-gesa ia membilukkan kudanya dan mendahului mengejar ke jurusan depan. Lereng gunung itu seluruhnya berlapiskan salju putih bersih, di sekeliling sudah tidak ada orang lain lagi, maka mengikuti jejak orang yang mereka kejar itu bukannya soal sulit. Kecuali dua orang tua tadi, dua orang yang lain masih muda dan sedang kuat-kuatnya, seorang bertubuh tinggi-tegap dan kelihatan lebih gagah lagi duduk di atas kudanya yang juga tinggi besar. Yang seorang lagi berbadan sedang, wajahnya putih kehijau-hijauan dan sungguh menyolok, hidungnya bahkan merah mencorong, mungkin telah menjadi beku kedinginan. Ketiga orang yang masih tertinggal ini bersiul sekali dan segera memacu kuda untuk menyusul dengan cepat.
Hari itu adalah tanggal 15, bulan 3, tahun ke-empat puluh lima masa pemerintahan Kaisar Kian Liong dari dinasti Ceng. Di daerah Kanglam bunga-bunga sudah mekar meriangkan suasana musim semi, tetapi di daerah utara di sekitar gunung Tiang Pek San yang terpencil ini, timbunan salju justeru baru akan mulai lumer, belum ada gejala-gejala dekat tibanya musim semi. Dalam pada itu, sang surya baru saja mengintip dari belakang gunung di sebelah timur. Sinarnya yang kuning keemas-emasan menyorot terang, tetapi tidak membawakan hawa hangat sedikit juga. Meski hawa di daerah pegunungan itu sangat dinginnya, tetapi karena empat penunggang kuda tadi memiliki kepandaian yang tinggi semua, tiada seorang di antara mereka yang terganggu karenanya dan mereka terus melarikan kuda mereka secepat terbang. Sebelum berselang lama, dari kepala mereka sudah keluar uap dan pemuda yang bertubuh tinggi tegap itu melepaskan mantelnya. Ia mengenakan baju kulit dilapis dengan sutera hijau, di pinggangnya digantungkan sebatang pedang, alisnya dikerutkan hingga hampir bersambung dan matanya berapi-api, tiada hentinya
ia memacu kudanya agar berlari lebih cepat. Pemuda ini bernama Co Hun Ki, kalangan Kang Ouw mengenalnya sebagai "Teng Liong Kiam". Ia adalah Ciang Bun Jin partai Thian Liong Bun cabang utara yang berkedudukan di Liau Tang. Ciang hoat (ilmu silat tangan kosong) dan kiam hoat (ilmu silat pedang) yang merupakan dua pelajaran utama partai Thian Liong Bun, kedua-duanya sudah cukup dalam diselaminya. Yang bermuka putih itu adalah suteenya (adik seperguruannya), namanya Ciu Hun Jang dan ia bergelar "Hwi Liong Kiam". Dalam hal kiam hoat partainya, kepandaiannya sudah cukup sempurna. Si orang tua tinggi-kurus adalah susiok (paman guru) mereka, yakni "Cit Seng Ciu" Whi Su Tiong, tokoh tertua dalam partai Thian Liong Bun. Orang tua yang berlagak sebagai saudagar kaya adalah Ketua Thian Liong Bun cabang selatan, In Kiat namanya dengan gelar "Wi Cin Thian Lam" (Kekuasaan yang Menggoncangkan Daerah Selatan). Kali ini, untuk memenuhi permintaan cabang utara, jauh-jauh dari tempat kedudukannya, ia telah datang ke utara untuk bantu menghadapi musuh tangguh. Tunggangan mereka adalah kuda pilihan semua dari daerah luar Dinding Besar. Maka sesudah mereka mengejar hingga tujuh-delapan li, lima penunggang kuda yang sedang dikejar, sudah mulai kelihatan. Lewat berapa saat lagi mereka sudah menyusul cukup dekat.
"Hai, sahabat berhentilah!" teriak Co Hun Ki dengan nyaring sambil melampaui kawan-kawannya.
Lima orang yang di depan itu tidak menggubris seruannya, mereka bahkan membedal kuda mereka semakin kencang.
"Jika kalian tidak mau lekas berhenti, janganlah kalian kelak menyalahkan kami karena tidak berlaku sopan!" berkumandang pula teriakan Hun Ki dengan suara garang. Sebagai jawaban terdengarlah seorang di antara rombongan itu mengatakan sesuatu. Orang itu mendadak menahan kudanya untuk menunggu, sedang empat kawannya tetap memacu kuda mereka tanpa menengok sama sekali. Seorang diri Co Hun Ki maju ke depan mendahului rombongannya, ia melihat orang itu sudah menantikan kedatangannya dengan bidikan busur dan anak panah yang dijujukan tepat ke dadanya. Akan tetapi, Hun Ki yang sudah tinggi kepandaiannya dan besar nyalinya, tak dapat digentarkan sikap mengancam orang itu.
"Apakah To suheng yang berada di depan?" teriaknya menyapa.
Wajah orang itu tampan, alisnya tegak memanjang, usianya antara duapuluh tiga-duapuluh empat tahun, pakaiannya serba ringkas. Seruan Hun Ki yang terakhir dijawabnya dengan gelak tertawa.
"Awas, panah!" serunya sebagai peringatan.
Dengan mengeluarkan bunyi mendesis tiga kali, tiga batang anak panah susul-menyusul sudah meluncur menuju ke tiga bagian tubuh Co Hun Ki, atas, tengah dan bawah Co Hun Ki tidak menyangka bahwa tiga batang panah itu dapat dilepaskan beruntun secepat itu, maka di saat itu ia terperanjat juga. Lekas-lekas ia mengayunkan cambuknya Dua batang anak panah yang masing-masing menyerang sebelah atas dan tengah segera dapat dipukul jatuh, menyusul mana ia menggentak kendali kudanya hingga hewan itu berjingkrak ke atas dan anak panah ketiga itu lewat di bawah selangkangan kudanya. Pemuda she To itu bergelak ketawa sekali lagi dan sesaat kemudian membilukkan kudanya yang segera dikaburkan pula ke depan. Karena kelakuan orang yang sungguh menantang itu, saking gemasnya, maka Co Hun Ki menjadi merah padam. Ia memacu kudanya segera hendak mengudak lagi, tetapi "Cit Seng Ciu" Whi Su Tiong sudah keburu mencegahnya.
"Sabar Hun Ki, tidak nanti ia bisa kabur ke langit, janganlah kuatir," susiok itu menasehatkan. Sesudah itu ia turun dari kudanya dan mengangkat tiga batang panah yang berserakan di atas salju. Tiga batang panah itu ternyata benar-benar serupa dengan panah yang menancap di leher belibis. Karena bukti ini yang sudah tidak usah disangsikan lagi, muka In Kiat sudah segera berubah. "Benar, memang bocah itu!" katanya dengan suara di hidung.
"Coba tunggu sumoay dulu, lihat apa yang bisa dikatakannya lagi," demikian pendapat Co Hun Ki.
Semua setuju dan mereka lantas berdiam. Tetapi setelah menunggu agak lama dan masih saja belum terdengar sumoay itu mendatangi, Co Hun Ki menjadi habis sabar.
"Coba kutengok di mana ia!" katanya. Ia segera menjalankan kudanya berbalik kembali ke jurusan dari mana mereka datang.
"Ia memang tak dapat disalahkan!" kata Whi Su Tiong sambil mengikuti bayangan si pemuda dengan kedua matanya dan menghela napas.
"Apakah arti kata-katamu, Whi suheng?" tanya In Kiat yang belum mengerti.
Whi Su Tiong tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu, setelah melalui lebih-kurang satu li, Co Hun Ki melihat seekor kuda kelabu tanpa penunggang serta tidak jauh dari hewan itu seorang gadis dengan pakaian putih seluruhnya, setengah berlutut seakan-akan sedang mencari sesuatu di salju.
"Apakah yang kau cari, sumoay?" tanya Hun Ki.
Gadis itu tidak menjawab, hanya sesaat kemudian ia mendadak berbangkit dan tangannya menggenggam sesuatu yang kuning-kuning berkilau menyilaukan disoroti cahaya matahari. Co Hun Ki turun dari kudanya dan mendekati sang sumoay untuk melihat benda berkilau itu yang ternyata adalah sebatang pit (alat tulis Tionghoa) kecil dari emas mumi. Panjangnya tidak cukup tiga dim, tetapi ujungnya tajam sekali, pada batangnya diukirkan sebuah huruf 'An". Hun Ki mengerutkan alisnya, mukanya segera berubah setelah melihat huruf itu. "Dari mana kau dapat benda ini?" tanyanya.
"Setelah kalian berangkat, tidak lama lagi aku berangkat menyusul, di tempat ini mendadak aku mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakang, dalam sekejap saja kuda itu sudah dapat menyusul bahkan melampaui aku. Pada saat itu penunggangnya sekonyong-konyong mengayun tangannya menimpukkan sebatang senjata rahasia kepadaku, sehingga aku ... aku..." Sumoay ini tidak dapat meneruskan ceritanya dan wajahnya segera menjadi merah. Co Hun Ki menjadi agak bercuriga dan ia menatap wajah si gadis yang agaknya sedang kemalu-maluan. Kulit gadis itu putih-bersih lagi halus dengan suatu sinar dadu yang seakan-akan menerobos keluar dari bawah kulit wajahnya. Matanya, sebagai juga mukanya, ditujukan ke bawah dan dalam malunya gadis itu kelihatan semakin cantik "Tahukah kau, kita sedang mengejar siapa?" tanya Hun Ki.
"Entahlah," jawab si gadis.
"Hm, benarkah kau tidak tahu?" tanya Hun Ki dengan suara dingin.
"Mengapa aku harus tahu?" berbalik si gadis menanya.
"Karena orang itu adalah kekasihmu!" jawab Hun Ki.
"To Cu An ... ?" teriak gadis itu dengan hati cemas.
Entah bagaimana perasaan Hun Ki pada waktu itu, hanya yang nyata adalah, bahwa mukanya seketika itu berubah seakan-akan tertutup awan.
"Aku tidak menyebut lain daripada "jantung hatimu" dan kau lantas saja menyebut nama To Cu An" teriaknya dengan gusar.
Muka si gadis kembali menjadi merah dan matanya menjadi basah karena air-mata yang segera juga sudah turun berketel-ketel.
"Ia ... ia ... I" ia berteriak-teriak tanpa bisa menyelesaikan kalimat yang akan diucapkan itu. Dalam gusarnya ia tak dapat menguasai diri lagi dan membanting-banting kaki. "Ia ... ia ... mengapa ia?" tanya Hun Ki dengan bernapsu.
"Ia adalah bakal suamiku, bukan hanya jantung hatiku!" teriak gadis ini yang tak dapat menahan amarahnya lagi.
Co Hun Ki juga menjadi gusar kini, mendadak ia melolos pedangnya dengan sikap mengancam. Tetapi gadis yang berada di depannya itu tidak menjadi gentar, dengan sikap menantang ia ini bahkan melangkah maju.
"Jika berani, bunuhlah aku!" gadis itu menjerit dengan kalap. Karena kenekatan gadis itu, Hun Ki merandek, dengan mengertak gigi ia menatap wajah si nona, sesaat kemudian perasaan halusnya timbul dan hatinya menjadi lemah.
"Sudahlah, apa boleh buat!" ia berteriak dan senjatanya segera dijujukan ke ulu-hatinya sendiri. Tetapi sebelum maksudnya tercapai, gadis itu dengan cepat sudah melolos pedangnya dan menyampok pedang Hun Ki, hingga perbuatan nekat pemuda ini tidak sampai terlaksana.
"Di dalam hatimu sudah tidak ada tempat untuk diriku, guna apa kau mau menyiksa aku lebih lama pula?" kata Hun Ki dengan sedih dan penasaran. Tanpa menjawab, gadis itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam selongsongnya. "Sebagaimana kau juga tahu, ayah merangkap jodohku dengan ia, dalam hal ini apakah yang dapat kubuat? Kenapa kau hendak juga mempersalahkan aku?" kata si gadis dengan lemah lembut. Jawaban ini seakan-akan memberikan sedikit sinar terang kepada Hun Ki.
"Aku rela untuk mengikuti kau pergi ke mana saja asal dapat terus berdampingan dengan kau, biarpun harus mengasingkan diri di puncak gunung yang sunyi ataupun di pulau yang jauh dari pergaulan manusia," kata Hun Ki selanjutnya.
"suheng, aku sudah mengetahui perasaan hatimu, aku tidak tolol dan aku mengingat semua kebaikanmu. Tetapi kau adalah Ketua Thian Liong Bun cabang utara, maka jika sampai terjadi sebagai yang kau katakan tadi, nama partai kita akan hancur berantakan dan kita akan kehilangan muka semua," kata si gadis sebagai jawaban.
"Meskipun harus hancur-lebur, asal untuk kau aku masih rela juga!" teriak Hun Ki yang sudah tak dapat menguasai diri lagi. "Langit ambruk pun aku tak perduli, apalagi segala Ciang Bun Jin ...!" Sikap pemuda ini membikin si gadis bersenyum.
"Justeru sifatmu yang keras dan nekat-nekatan tanpa menghiraukan segala apa ini yang tak kusukai," kata sang sumoay sambil menjabat tangan suhengnya dengan halus. Ditunjukkan kelemahannya, Hun Ki tak dapat mengumbar napsunya yang berapi-api lagi, ia hanya dapat menghela napas panjang-panjang. Tetapi agaknya ia masih kurang puas, tanyanya, "Mengapa kau diam-diam menganggap pemberiannya sebagai mestika saja?"
"Pemberiannya? Kapan aku berjumpa dengan ia!" bantah sumoay ini.
"Hm! Namanya jelas-jelas diukirkan di batang pit emas ini," Hun Ki menuduh, sehingga si gadis jadi bersungut-sungut.
"Dasar kau suka menuduh secara ngawur, lebih baik jangan bicara lagi dengan aku!" si gadis membalas berteriak. Ia berlari-lari menghampiri kudanya dan dengan sekali berlompat ia sudah berada di atas pelana. Segera juga kudanya yang berwarna kelabu itu, sudah dilarikan kencang. Buru-buru Hun Ki menyempelak kudanya dan mengejar sumoaynya, ia memacu tunggangannya terus-menerus dan sebelum berselang lama ia sudah dapat menyusul sumoay itu, kuda siapa segera ditahannya dengan sebelah tangan, sambil berseru, "Sumoay, dengarlah perkataanku dulu!" Nona itu tidak menggubris dan segera juga mengangkat cambuknya, memukul tangan Hun Ki.
"Lepas! Pantaskah kelakuanmu ini jika dilihat orang!" ia membentak.
Mungkin karena pukulan pertama tadi tidak terlalu keras, maka Hun Ki belum mau melepaskan pegangannya pada kendali kuda si nona. Ia ini menjadi gusar benar-benar dan segera mengulangi mencambuk, tetapi kali ini dengan keras. Seketika itu suatu jalur merah keungu-unguan lantas saja kelihatan pada tangan Hun Ki. Tetapi, agaknya pemudi itu menyesal dan merasa kasihan, demi melihat tanda merah bekas pukulannya tadi. Dengan suara yang berubah lunak kembali, ia mengatakan, "Mengapa kau terus menggoda?"
"Baik, aku menerima salah. Coba pukul sekali lagi," kata si pemuda.
Dengan disertai senyum manis, gadis itu menjawab, "Tanganku sudah lelah dan tak kuat mengangkat cambuk lagi."
"Kalau begitu, mari kuurut tanganmu yang letih itu." Sambil mengucapkan kata-kata ini, Hun Ki sudah lantas saja hendak menarik tangan si gadis. Di luar dugaannya, sumoay itu menyambut tangannya dengan mencambuk sekali lagi Tetapi kali ini Hun Ki sudah berwaspada, dan dengan sedikit mengegos ia dapat menghindari pukulan tersebut. Kemudian, dengan tertawa ia menegur, "Tanganmu sudah tidak lelah lagi?"
"Kularang kau menyentuh aku!" jawab si gadis dengan muka memberengut.
"Baiklah, sekarang coba terangkan dari siapa kau dapat pit emas itu!"
"Dari jantung hatiku, namanya jelas-jelas diukirkan pada batang pit emas ini, bukan?" Demikian dengan tertawa si gadis mengulangi kata-kata Hun Ki tadi. Mendengar kata-kata ini hati Hun Ki kembali dirasakan pilu, sesaat kemudian tabiatnya yang
keras aseran timbul lagi. Tetapi demi melihat si gadis tertawa, sehingga wajahnya sebagai juga bunga sedang mekar, melihat betapa indahnya bibir si gadis yang berwarna merah mengelilingi sebaris gigi laksana mutiara, segera juga hatinya lumer sebagai salju terkena sinar matahari yang hangat.
"suheng, sedari kecil kau merawat aku dengan penuh kecintaan melebihi saudara kandung, aku bukan tidak berterima kasih dan sedapat mungkin aku akan membalas budimu itu, tetapi ... sekarang ini kedudukanku serba salah. Kau selalu memperhatikan aku, selalu menyayang, tetapi pada saat ini kita semua sedang menghadapi ujian yang maha berat, ayah telah meninggal secara mengenaskan dan Thian Liong Bun kita menghadapi bahaya keruntuhan. Bukankah soal-soal ini lebih penting dari pada soal-soal pribadi? Mengapa kau masih belum dapat memahami perasaanku?"
Hun Ki termangu-mangu mendengarkan uraian sumoaynya itu, tak dapat ia membantah segala kenyataan ini.
"Yah, memang kau selalu berada di pihak yang benar dan aku selalu bersalah. Marilah kita lekas-lekas berangkat," katanya dengan lesu. Sumoay itu menjadi tertawa sendiri melihat sikap suheng ini. "Jangan terburu-buru!" katanya menahan. Ia mengeluarkan sapu-tangan dan tanpa ragu-ragu menyusut keringat yang membasahi muka Hun Ki.
"Di atas padang salju ini, jika keringatmu tidak lekas-lekas disusut, kau bisa masuk angin atau mendapat penyakit lain yang lebih berbahaya," ujarnya.
Mendapat perlakuan ini tentu saja amarah Hun Ki menjadi buyar seakan-akan asap ketiup angin. Dengan muka mencerminkan kegirangan ia mengangkat cambuknya dan memukul kuda si nona dengan perlahan. Dalam suasana baik mereka mengaburkan tunggangan mereka dengan berendeng. Nama gadis ini adalah Tian Ceng Bun, puteri Tian Kui Long, Ciang Bun Jin (Ketua) Thian Liong Bun yang baru meninggal belum lama berselang. Oleh sebab itu ia mengenakan pakaian berkabung. Usianya masih sangat muda, tetapi di daerah Kwan Gwa (di luar Dinding Besar) namanya sudah agak tersohor juga Disamping berparas cantik, ia pun mempunyai otak yang cerdik dan banyak akalnya, maka oleh orang-orang Kang Ouw ia diberi julukan "Giok Bin Ho" (Rase dengan Paras Kumala). Berkat lari kuda mereka yang cepat, tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat kawan-kawan mereka sedang menunggu.
"Lama juga kau pergi, apakah kau menemukan sesuatu?" tanya Whi Su Tiong sambil melirik keponakan muridnya ini.
Muka Hun Ki menjadi merah. Untuk seketika ia tak dapat menjawab, tetapi akhirnya keluar juga dari mulutnya, "Tidak, aku tidak menemukan apa-apa." Setelah ini mereka tidak berayal pula dan tanpa banyak bercakap-cakap mereka mengaburkan masing-masing tunggangannya dengan kencang. Beberapa li sudah mereka lalui, keadaan lereng gunung di depan mereka sudah mulai curam dan berbahaya. Kadang-kadang kuda mereka terpeleset di atas salju yang membeku, maka selanjutnya mereka tak berani membedal kuda mereka. Perjalanan kini dilanjutkan dengan perlahan-lahan.
Sesudah melalui dua lereng gunung lagi, jalan bahkan menjadi semakin berbahaya. Tiba-tiba terdengar kuda meringkik dengan nyaring di sebelah kiri mereka. Dengan gesit dan tangkas Hun Ki meloncat dari atas pelana ke belakang sebuah pohon siong yang besar. Dari tempat bersembunyinya ini ia mengintip ke arah suara kuda tadi. Ia melihat lima ekor kuda ditambatkan pada berapa batang pohon di lereng bukit sebelah sana, di permukaan salju terdapat bekas-bekas kaki manusia yang lurus menuju ke atas bukit.
"Jiwi susiok, agaknya penjahat kecil itu kini berada di atas bukit itu. Mari kita susul cepatcepat!" kata Hun Ki dengan suara tegang. Dari empat orang itu In Kiat adalah yang paling berhati-hati. "Mungkin mereka telah sengaja memancing kita kemari dan mungkin juga di atas gunung ini telah diatur jebakan." Demikian pendapatnya.
"Tidak perduli sarang naga atau guha macan, hari ini kita hanya boleh mengenal maju tak boleh mundur!" kata Hun Ki bernapsu.
Melihat sifat pemuda ini yang sangat ceroboh, In Kiat merasa kurang senang. "Whi suheng, bagaimana menurut pikiranmu?" tanyanya kepada Whi Su Tiong. Tetapi Whi Su Tiong sudah didahului Tian Ceng Bun yang mengatakan, 'Ada 'Wi Cin Thian Lam'
In susiok di antara kita, kita tidak usah takut kepada jebakan mereka meskipun bagaimana lihay juga." In Kiat agaknya senang mendengar umpakan ini, ia bersenyum puas. "Melihat cara-cara mereka yang begitu terburu-buru agaknya mereka tidak berniat menjebak kita. Tetapi ada baiknya jika kita berhati-hati, kita naik ke atas dengan jalan memutar dan menyerang dari jurusan yang tak mereka duga sama sekali," katanya. Hun Ki mengatakan persetujuannya, disusul yang lain-lain. Mereka turun dan lantas menambat kuda mereka pada pohon-pohon siong (cemara) yang banyak terdapat di situ. Setelah meringkaskan pakaian, mereka berjalan memutar dan mendaki bukit itu dari jurusan lain. Seluruh lereng bukit itu ditumbuhi pohon dan batu cadas yang besar-besar menonjol di sana-sini. Tetapi, berkat ilmu mengentengkan tubuh mereka yang tinggi, segala aral itu tidak menjadikan rintangan, bahkan merupakan alingan yang baik sekali sehingga kedatangan mereka tidak mudah diketahui musuh.
Mula-mula mereka masih merupakan iring-iringan yang tidak terputus, tetapi setelah berselang berapa waktu, disebabkan kepandaian mereka masing-masing tidak sama, maka In Kiat dan Whi Su Tiong sudah meninggalkan Co Hun Ki lebih setombak di belakang mereka. Tian Ceng Bun dan Ciu Hun Jang ketinggalan lebih jauh lagi, kira-kira tiga-empat tombak di belakang suheng
mereka.
"In susiok adalah Ketua cabang kita di selatan, entah bagaimana tingkat kepandaian cabang selatan itu jika dibandingkan dengan kita dari cabang utara. Sebentar lagi dapat dilihat kepastiannya," pikir Hun Ki sembari mengikuti kedua susioknya itu. Sesaat kemudian seakan-akan hendak memamerkan kepandaiannya -- ia mempercepat tindakannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya, ia menyerobot ke depan melewati dua-dua susiok itu. "Bagus sekali kepandaianmu, Co sutit. Enghiong benar-benar munculnya di antara kaum muda," puji ln Kiat. Co Hun Ki puas, tetapi karena kuatir kesusul, ia tak berani menoleh. Jawabnya hanya, "Aku masih mengharapkan banyak petunjuk susiok." Kata-kata ini diucapkannya tanpa memperlambat
gerakan kakinya. Sesaat kemudian ia tidak mendengar pula tindakan kaki di belakangnya, ia menoleh dan seketika itu ia terperanjat bukan main. Ternyata In Kiat maupun Whi Su Tiong masih tetap sangat dekat di belakangnya, hanya terpisah kira-kira setindak dari punggungnya. Kembali ia mengerahkan ilmu mengentengkan tubuhnya untuk mempercepat pula larinya. Dalam sekejap ia sudah melalui berapa tombak lagi. In Kiat bersenyum melihat kelakuan sutitnya ini. Ia terus mengikuti Hun Ki dari belakang tanpa mempercepat atau memperlambat tindakannya. Tidak lama kemudian Hun Ki sudah agak lelah dan larinya pun mulai lambat. Mendaki gunung memang jauh lebih berat daripada berjalan di tanah datar dan memang kepandaian Hun Ki belum mencapai tingkat tertinggi. Pada suatu saat sekonyong-konyong ia merasakan tengkuknya seakan-akan ditiup orang dan ketika ia hendak menengok, pundak kanannya ditepuk seseorang. "Hayo, anak muda, bergiatlah!" terdengar anjuran In Kiat dengan ketawa Tentu saja Hun Ki menjadi sangat terkejut berbareng mendongkol. Dengan nekat ia mengerahkan seluruh tenaganya dan melesat ke depan. Ia dapat meninggalkan kedua susioknya agak jauh di belakang, tetapi napasnya kini sudah tersengal-sengal dan keringat sudah berketel-ketel membasahi badannya. Dengan lengan bajunya ia menyusut keringat di mukanya dan ia segera teringat bagaimana Tian Ceng Bun telah melakukannya untuk ia tadi. Dengan timbulnya bayangan ini, tanpa terasa mukanya jadi berseri-seri. Sedang ia asyik melamun, mendadak di belakangnya terdengar lagi tindakan kaki orang. Ternyata dua susioknya sudah menyusul dekat di belakangnya pula. Melihat lari Hun Ki yang mula-mula begitu cepat untuk tidak lama kemudian menjadi lambat dan napasnya sudah tersengal-sengal, In Kiat mengetahui bahwa dalam hal ilmu mengentengkan tubuh, sutitnya ini masih jauh daripada dapat menandingi ia. Hanya Whi Su Tiong yang masih tetap berlari sejajar dengan ia, tanpa bersuara. Jika In Kiat memperlambat larinya, Whi Su Tiong pun melambatkan gerakan kakinya dan saban kali ia berlari cepat saudara seperguruan ini juga turut berlari cepat. Agaknya ilmu mengentengkan tubuh Whi Su Tiong adalah setara dengan ia. In Kiat menyadari, bahwa dua orang susiok-sutit itu ingin menguji kepandaiannya, maka segera ia mengerahkan tenaganya dan dengan ilmu mengentengkan tubuhnya "Teng Peng Touw Sui" atau menginjak kapu-kapu menyeberang sungai, ia melesat ke depan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah lagi.
Thian Liong Bun didirikan di awal dinasti Ceng. Mula-mula hanya terdapat satu cabang, tetapi pada masa Kaisar Khong Hi telah terjadi persengketaan antara dua orang murid tertua dari partai tersebut, maka sebegitu lekas Ciang Bun Jin pada masa itu meninggal dunia, Thian Liong Bun terpecah menjadi dua cabang, satu di selatan yang lain di utara. Cabang selatan itu terkenal dalam hal kegesitan dan ketangkasan, sebaliknya cabang utara mengutamakan kekuatan dan ketenangan. Pada hakekatnya ilmu silat kedua cabang itu tidak berbeda, hanya penggunaannya dalam pertempuran yang agak berbeda. Walaupun bertubuh gemuk, sesuai dengan keistimewaan cabang selatan, In Kiat dapat mendaki bukit itu dengan kecepatan luar biasa, melebihi kegesitan kera. Sebelum berselang lama Hun Ki sudah ketinggalan jauh di belakangnya. Tetapi, dalam pada itu, Whi Su Tiong masih tetap
mendampingi ia, seakan-akan ingin menjadi bayangannya. Berkali-kali In Kiat berusaha meninggalkan kawan ini, tetapi senantiasa ia menampak kegagalan. Saban kali ia dapat meninggalkan rekan ini, segera juga ia sudah disusul lagi. Demikian, dengan berendeng, mereka telah tiba pada suatu tempat yang terpisah hanya duatiga li dari puncak. Mendadak In Kiat berkata, "Whi suheng, mari kita berlomba mulai dari sini sampai ke puncak, coba siapa yang akan tiba terdahulu." Meskipun kata-katanya diucapkan sambil tertawa, sebenarnya ucapannya itu mengandung tantangan yang agak terang-terangan. "Mana aku dapat menandingi In suheng," kata Whi Su Tiong, merendah.
"Ah, janganlah terlalu merendah," jawab In Kiat, yang sudah segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Badannya meluncur cepat sekali ke depan laksana anak panah yang baru terlepas dari busurnya. Belum sampai berselang lama ia sudah tinggal hanya terpisah berapa tombak saja dari puncak bukit. Ia menoleh, dan melihat bahwa Whi Su Tiong hanya terpisah setindak-dua tindak dari ia. Ketika ia sedang mengumpulkan tenaganya untuk menambah kecepatannya, Whi Su Tiong sudah meloncat maju dan tiba di sampingnya.
"Kudengar suara orang di sana," kata Whi Su Tiong sambil menunjuk ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri.
Melihat kegesitan kawan ini, In Kiat mau ataupun tidak, harus mengakui juga keunggulan kawannya dalam hal ilmu mengentengkan tubuh. Sementara itu Whi Su Tiong sudah bergerak maju dengan membongkokkan badan dan berindap-indap. Dengan hati-hati sekali ia menghampiri gerombolan pohon tersebut. In Kiat mengikuti di belakangnya dan setiba mereka di ujung gerombolan tersebut, mereka bersembunyi di belakang sebuah batu besar. Dari tempat pengintaian ini mereka melihat lima orang di dalam lembah di sebelah bawah. Tiga orang di antara mereka sedang menjaga tiga buah jalan yang menuju ke tempat mereka dengan senjata terhunus. Agaknya mereka hendak mencegah orang lain datang ke tempat itu. Dua kawan mereka sedang menggali tanah di bawah sebuah pohon besar, seorang memegang sekop, yang lain menggunakan pacul. Agaknya mereka mengetahui, bahwa saban saat dapat terjadi kedatangan musuh-musuh tangguh yang telah menguntit di sepanjang jalan. Maka kedua orang yang menggali itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka secepat mungkin. Setelah mengamat-amati dengan seksama beberapa saat, In Kiat berkata, "Tidak salah, memang bapak dan anak she To dari Eng Ma Coan, tetapi siapakah tiga kawan mereka itu?"
"Tiga ceecu dari Eng Ma Coan juga, kelima-limanya lawan keras semua," Whi Su Tiong menerangkan.
"Sungguh kebetulan, lima melawan lima," In Kiat berpendapat.
"Kau, aku dan Hun Ki memang tidak usah kuatir, tetapi Hun Jang dan Ceng Bun merupakan kelemahan fihak kita. Lebih baik kita menyerang mereka secara mendadak sebelum mereka dapat bersiap dan lebih dahulu membinasakan seorang-dua orang di antara mereka. Sisanya akan lebih mudah dilayani," kata Whi Su Tiong. In Kiat mengerutkan alisnya, ia agak sungkan menurut usul
itu. Katanya, "Jika perbuatan kita ini teruar di luaran dan kalangan Kang Ouw mengetahui bahwa kita telah membokong orang, Thian Liong Bun akan menjadi bulan-bulanan ejekan orang."
Whi Su Tiong tidak memperdulikan keberatan kawannya. Ia berpendapat lain, yang segera juga dinyatakannya, "Dalam hal ini kita harus mengingat sakit hati Tian suheng. Kita harus membasmi rumput sampai ke akar-akarnya, seorang jua tidak boleh dibiarkan hidup. Maka jika kita semua menutup mulut, orang luar tidak akan mengetahui apa yang telah terjadi."
"Benarkah, mereka itu sukar dilayani secara terang-terangan?" tanya In Kiat yang masih ragu-ragu.
Sebagai jawaban Whi Su Tiong hanya mengangguk. Sesaat kemudian baru ia membuka suara pula, "Bertempur satu lawan satu, siauwtee tidak mungkin menang."
Mendengar pengakuan ini, In Kiat baru mau percaya. Sebagai tokoh utama dalam Thian Liong Bun cabang utara, Whi Su Tiong biasanya agak sombong dan sungkan mengakui keunggulan orang lain, bahkan di masa hidupnya, Tian Kui Long sendiri, menyegani suteenya ini. Hampir dapat dipastikan, bahwa kepandaian Whi Su Tiong masih berada di atas kepandaian Gn Kiat sendiri, maka selanjutnya In Kiat tidak membantah lagi dan menyerahkan kepada Whi Su Tiong untuk mengambil keputusan.
Sikapnya yang semula ragu-ragu itu, tak terluput dari perhatian Whi Su Tiong. Di dalam hatinya Whi Su Tiong mengejek, "Hm, kau ingin menjadi enghiong, biarlah aku yang menjadi pengecutnya." Tetapi ejekan ini hanya dikandung di dalam hatinya, mulutnya tidak mengeluarkan sepatah kata. Sementara itu Co Hun Ki sudah tiba di tempat mereka dan tak lama lagi Ciu Hun Jang dan Tian Ceng Bun juga telah sampai pula.
Setelah semua berkumpul, Whi Su Tiong membentangkan siasatnya "In suheng, kau, aku dan Hun Ki terlebih dahulu menyerang dan membereskan tiga orang yang meronda itu dengan tok cui (bor beracun), setelah itu kita bertiga maju dengan serentak mengerubuti dua orang she To -- ayah dan anak -- itu. Hun Jang dan Ceng Bun baru boleh bergerak, kalau kita sudah dapat "mengikat" kedua orang itu."
Segera juga mereka bergerak maju dengan sangat hati-hati. Mendadak Tian Ceng Bun yang berada di belakang Whi Su Tiong berbisik, "Whi susiok, hendaknya ayah dan anak she To itu ditangkap hidup-hidup."
Whi Su Tiong menjadi gusar sekali. Ia menoleh dan dengan melotot ia membentak dengan suara tertahan, "Kau masih coba membela bangsat kecil To Cu An itu?"
"Kurasa ia tidak bersalah," bantah si nona.
Bantahan ini menyebabkan muka Whi Su Tiong menjadi merah-padam, kegusarannya meluap. Ia mencabut anak panah yang diselipkan di ikat-pinggangnya untuk diangsurkan kepada Ceng Bun.
"Coba kau bandingkan sendiri, inilah yang digunakan si penjahat kecil untuk memanah belibis tadi."
Tian Ceng Bun menyambuti panah itu, seketika itu juga tangannya bergemetar. Co Hun Ki yang sejak tadi memandang wajah si gadis -- sebaliknya daripada mengincar musuh -- melihat berubahnya sikap ini. Ia merasa girang, karena ia berpendapat bahwa sebentar lagi To Cu An sudah pasti akan kehilangan jiwanya. Tetapi di samping itu ia juga mendongkol, melihat betapa besarnya kecintaan Ceng Bun kepada To Cu An. Co Hun Ki memang bertabiat berangasan, maka makin lama berpikir ia menjadi semakin jengkel, sehingga akhirnya -- saking gemasnya -- ia sudah mengeluarkan kata-kata menyindir. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, pundaknya sudah ditepuk oleh Whi Su Tiong. Orang tua itu menunjuk seorang musuh yang meronda di sebelah timur. Ketika itu Ceng Bun dan Hun Jang berdua sudah bersembunyi di belakang sebuah batu besar. Whi Su Tiong segera mengajak In Kiat dan Hun Ki maju bersama-sama sambil menyiapkan tiga buah tok cui di tangan masing-masing. Secara perlahan dan hati-hati sekali mereka merayap maju menghampiri musuh, masing-masing mengincar seorang. Bor beracun adalah senjata rahasia istimewa yang telah turun-menurun merupakan senjata andalan Thian Liong Bun. Racun yang dipoleskan pada ujungnya bekerjanya begitu ganas, sehingga, sesuatu korban, begitu terkena, akan segera terkancing tenggorokannya dengan akibat napasnya akan menjadi sesak dan ia akan tewas dalam jangka waktu satu jam. Karena lihaynya dan ganasnya, senjata rahasia ini diberi julukan "Tui Beng Tok Liong Cui" (Bor Naga Beracun Pengejar Jiwa). Walaupun tidak diutarakan dengan kata-kata, tetapi di dalam hatinya, Co Hun Ki mempunyai perhitungan lain daripada pendapat susioknya. "Biarlah, akan aku mampuskan dulu To Cu An si bangsat kecil, untuk membalaskan sakit hati suhu sekalian menyingkirkan duri di mataku. Jika ia ditangkap hidup-hidup, entah gara-gara apa lagi yang akan dibuat sumoay." Dengan keputusan ini, ia maju lebih jauh Lewat berapa waktu lagi mereka sudah berada tak jauh dari musuh. Mereka kini mendekam bersembunyi di antara semak-semak. Tanpa berkesip Hun Ki mengincar To Cu An yang sedang asyik sekali menggali. Dengan tak sabar ia menantikan isyarat Whi Su Tiong untuk menyerang. Mendadak terdengar bunyi beradunya dua benda keras yang nyaring. Ternyata cangkul To Cu An telah membentur sesuatu yang keras di dalam tanah. Saat itu Whi Su Tiong mengangkat tangannya, tetapi ketika ia akan memberikan isyarat untuk menyerang, dari lain jurusan mendadak terdengar mendesirnya sekian banyak senjata rahasia yang seakan-akan dimuntahkan bukit salju di seberang mereka dengan beruntun-runtun, ditujukan kepada To Cu An berlima.
Ilmu silat ayah dan anak she To itu sudah sangat tinggi, maka walaupun senjata-senjata rahasia itu dilepaskan dari jarak dekat, berkat ketangkasan mereka, semua senjata rahasia yang mengancam itu sudah dapat disampok jatuh dengan cangkul masing-masing. Tiga kawan mereka tidak begitu beruntung, seorang di antara mereka masih sempat menggulingkan tubuhnya di atas salju sehingga nyaris mengalami kecelakaan akibat dua batang panah kecil, yang sebuah menyerempet kepalanya dan sebuah lagi lewat dekat sekali di sisi lehernya. Dua peronda yang lain mengalami nasib terlebih buruk lagi, dengan telak sekali dua batang senjata rahasia menancap di punggung mereka dan tanpa bersuara kedua-duanya roboh untuk tidak berkutik lagi.
Kejadian ini benar-benar sangat mendadak dan di luar dugaan, sehingga bukan saja To Cu An dan bapaknya, tetapi juga Whi Su Tiong dan kawan-kawan menjadi sangat terperanjat.
"Kawanan tikus, berani benar kamu membokong!" terdengar cacian dari bawah. Yang mencaci adalah ayah To Cu An, yakni "Tin Kwan Tang" (Penindas dari Sebelah Timur Tembok Besar) To Pek Swee.
Suaranya bergemuruh laksana geledek, sesuai dengan perangainya dan julukannya. Segera setelah itu, empat orang dengan senjata terhunus dan berkilau-kilau meloncat keluar dari antara tumpukan salju di bukit seberang itu.
Agaknya empat orang itu sudah mengetahui, bahwa bapak dan anak keluarga To itu akan datang di tempat tersebut dan sudah menunggu mereka, sambil bersembunyi di dalam suatu lobang yang telah mereka gali di bawah salju. Mulut lobang itu ditutup dengan batang-batang kayu yang kemudian tertutup pula oleh salju, sehingga pekerjaan mereka itu sudah tiada bekas-bekasnya lagi. Hanya berapa lobang kecil mereka tinggalkan untuk bernapas dan mengintip keluar.
"To Si Hu Cu" sementara itu sudah meletakkan cangkul dan sekop mereka dan mencabut senjata masing-masing. Senjata To Pek Swee adalah kang pian (cambuk baja) yang beratnya ada enam belas kati. To Cu An menggunakan sebilah golok Ma ceecu yang tadi telah menjatuhkan diri ke dalam tanah legok, telah berguling berapa kali karena kuatir musuh melanjutkan serangan dengan senjata rahasia, seperti tadi. Setelah itu baru ia melompat bangun. Senjata yang berada di tangannya adalah lian cu tui, yakni sepasang martil yang dihubungkan satu pada yang lain dengan rantai. Dari empat penyerang gelap itu, yang paling depan adalah seorang tinggi-kurus berkulit hitam. Orang ini adalah Cong Piauw Thauw (Kepala Perusahaan Pengawalan) "Peng Thong Piauw Kiok" di Pakkhia (Peking), namanya Him Goan Hian. Ia terkenal karena ilmu goloknya "Tee Tong To" dan ia menjagoi di wilayah "Hoo Siok" (daerah di sekitar sungai Huang Ho). Berapa tahun sebelumnya, kawanan Eng Ma Coan itu pernah merampas suatu kiriman barang-barang berharga yang berada di bawah pengawalan piauw kiok tersebut Him Goan Hian telah berusaha sebisa-bisanya, tetapi ia tidak berhasil meminta kembali barang-barang itu. Gara-gara peristiwa itu mereka telah jadi bermusuh.
Orang kedua -- yang berjalan di belakang Him Goan Hian -- adalah seorang wanita. Usianya kira-kira tigapuluh dua-tiga tahun. Ma ceecu juga kenal siapa dia itu, ialah "Siang To" The Sam Nio, sepasang golok andalannya telah menyebabkan ia mendapat julukannya itu. Mendiang suaminya adalah seorang anggauta-pegawai "Peng Thong Piauw Kiok" yang telah tewas ketika terjadi peristiwa perampasan tersebut. Dua orang kawan mereka yang lain adalah seorang hweeshio gemuk, bersenjatakan kai to (golok suci paderi Buddhis) dan seorang laki-laki dengan wajah hitam keungu-unguan. Senjatanya adalah sepasang thi koay (gaitan besi yang tajam ujungnya). Di antara fihak Eng Ma Coan tiada seorang yang mengenal dua orang ini. Mungkin mereka adalah jago-jago undangan "Peng Thong Piauw Kiok" untuk membantu mereka menuntut balas.
"Kusangka siapa, tak tahunya pecundang-pecundangku dahulu. Kecuali kawanan tikus di bawah pimpinan tikus besar she Him, memang rasanya sudah tiada lagi yang dapat melakukan perbuatan serendah itu," bentak To Pek Swee demi melihat keluarnya empat musuh itu. Dengan suara lemah-lembut Him Goan Hian menjawab bentakan orang tua itu, katanya, "To ceecu, mari kuperkenalkan kau dengan Ceng Ti Hweeshio dari "Pek Hwee Si" di Shoatang dan ini adalah suhengku Lauw Goan Ho, Lauw Tayjin, "Tay To Si Wi" (Pengawal Istana Kelas Satu) dari kota-raja."
Bentakan To Pek Swee tadi sebenar-benarnya hanya ditujukan kepada rombongan Him Goan Hian yang telah membokongnya tadi. Tetapi bagi In Kiat, kata-kata itu dirasakan sebagai juga ditujukan kepada fihaknya, mukanya dirasakan panas dan ia coba melirik kepada Whi Su Tiong. Sebaliknya kawan ini menganggap sepi saja kata-kata To Pek Swee, seakan-akan ia tidak mendengarnya sama sekali. Matanya tetap mengawasi orang-orang yang berada di lembah sebelah bawah itu dan yang pada saat itu sudah berhadap-hadapan. Sebagai juga memang sedari dilahirkan sudah ditakdirkan harus bertentangan, To Pek Swee dan Him Goan Hian berbeda dalam segala-galanya. Si orang tua bertubuh kuat-kekar dan suaranya nyaring menggetarkan. Sebaliknya Him Goan Hian bertubuh kurus lemah sesuai dengan suaranya yang lemah lembut.
"Bagus, majulah beramai-ramai, kita berbicara dengan senjata," suara To Pek Swee kembali menggetarkan seluruh lembah dan sebelum lenyap kumandang suaranya, ia mengayun-ayun cambuk bajanya yang mengeluarkan angin menderu-deru, membuktikan betapa besar tenaganya.
Meski adanya pameran kekuatan yang sungguh menantang ini, Him Goan Hian masih tetap berlaku tenang. Dengan suara tidak meninggalkan nada lemah-lembutnya ia menjawab, "Cayhee (aku yang rendah) adalah pecundang To ceecu, maka tak berani aku melawan ceecu lagi. Aku hanya mengharap agar kau suka berlaku murah dan sudi menghadiahkan suatu barang kepadaku."
'Apakah maksudmu?" teriak To Pek Swee yang menjadi agak heran, walaupun kegusarannya tidak menjadi reda karenanya Sebelum menjawab, Him Goan Hian lebih dulu menuding ke dalam lobang galian To Pek Swee dan anaknya. Menyusul itu ia baru menjawab, "Itu, itulah barang yang kumaksudkan" To Pek Swee tidak mau membuang kata-kata lagi, setelah mengerti maksud si Piauw Thauw.
Dengan cambuknya ia segera menyerang orang she Him itu. "Tahan dulu!" teriak yang diserang ini sambil mengelakkan serangan lawan.
"Kau hendak mengatakan apa lagi!" menggelegar pula suara To Pek Swee.
"Cayhee sudah sengaja menunggu kedatangan ceecu beramai selama tiga hari di dalam guha salju itu. Jika bukan karena memandang muka kalian, barang ini tentu telah kuambil siang-siang. Barang ini asalnya pun pengawasan kaum Thian Liong Bun, kini -- setelah ketelanjur berada di sini -- jika benda itu pindah ke lain tangan pun tidak mengapa. Harap ceecu suka memahami kata-kataku ini."
"Jangan mengaco, salju beku tebal-tebal menutupi pegunungan ini seluas ribuan li. Jika benar-benar kamu sudah mengetahui di mana barang ini disimpan, mustahil sekali kamu tidak mengangkatnya siang-siang."
The Sam Nio tidak dapat bersabar lagi, memang maksud sertanya dalam rombongan Him Goan Hian, adalah semata-mata untuk membalas sakit hati suaminya. Sambilmenghamburkan tiga batang hui to (golok terbang) ke arah Ma ceecu ia berseru, "Apa gunanya membuang kata-kata, labrak saja, habis perkara!"
Dengan martilnya, Ma ceecu menyampok jatuh dua buah golok terbang Sam Nio dan dengan rantai penghubung kedua martil itu ia menahan golok yang ketiga. Segera setelah menghalau ketiga-tiga senjata rahasia itu, ia menyerang muka si nyonya dengan sebelah martilnya.
The Sam Nio ternyata juga cukup gesit, dengan membongkokkan badannya ia dapat mengelakkan sambaran martil lawannya. Berbareng dengan itu dua-dua goloknya dengan gerakan "Soan Hong Sit" (Angin Puyuh) telah melayang ke arah perut Ma ceecu, yang segera menggerakkan sebelah martilnya lagi untuk menghalaukan serangan si nyonya. Hweeshio gemuk itu juga tidak mau tinggal diam menonton saja. Goloknya segera melayang ke arah kepala To Pek Swee. Jago tua ini tidak berusaha mengelakkan serangan musuh, bahkan ia sengaja memapaki senjata lawan dengan cambuknya, untuk mengadu tenaga. Kedua senjata itu beradu dengan menerbitkan bunyi nyaring dan si hweeshio merasakan tangannya panas tergetar, goloknya yang telah menjadi gumpil, hampir-hampir terlepas dari genggemannya.
Saat itu To Cu An juga sudah tidak dapat berdiri menonton saja. Ia lantas saja memilih Him Goan Hian sebagai sasaran goloknya yang diputar kencang. Enam orang itu, terbagi dalam tiga pasang musuh bertempur dengan sengit sekali di atas padang salju itu. Tinggal Lauw Goan Ho yang saat itu belum mendapat lawan, maka dengan menggenggam sepasang gaitannya ia Bersiap-siap di sisi kalangan pertempuran. Tetapi sesaat kemudian ia juga sudah tidak dapat menahan napsunya lagi. "Taysu, silakan mundur, berikanlah aku ketika untuk berkenalan dengan Tin Kwan Tang," serunya ketika ia melihat, bahwa si hweeshio sudah agak kewalahan Tetapi agaknya hweeshio itu masih penasaran, ia tidak mau mundur. Lauw Goan Ho yang sudah melangkah maju, tiba-tiba membentur sebelah pundaknya. Karena tak menyangka, bahwa ia akan dibentur kawan sendiri, maka ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir jatuh celentang. Sedang ia berusaha bertahan sebisa-bisanya, sekonyong-konyong ia merasakan sambaran angin dingin di belakangnya. Dengan hati bercekat, buru-buru ia menundukkan kepalanya dan sebilah golok melayang beberapa jari saja di atas kepalanya. Itulah golok To Cu An yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengelu-elukannya dengan bacokan golok. Ceng Ti Hweeshio bermandikan keringat dingin karena terkejutnya, tetapi sesaat kemudian timbul pula kegusarannya. Setelah dapat menenangkan hatinya, ia segera membantu Him Goan Hian mengerojok To Cu An.
Lauw Goan Ho, yang sedang terlibat dalam pertempuran dahsyat melawan To Pek Swee, ternyata jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada sutee-nya. Ketika pada sesuatu saat cambuk baja To Pek Swee yang berat, datang menyambar ia tidak berkelit, hanya gaitannya digerakkannya untuk menangkis, keras lawan keras. Terbukti betapa kuat Lauw Goan Ho ini. Sedikitpun ia tidak berkisar dari tempatnya. Ia benar-benar dapat menandingi kekuatan si jago tua, bahkan pada saat itu juga ia dapat menekan cambuk lawan itu dengan gaitannya yang kanan, sedang gaitan kirinya segera meluncur ke arah kepala musuh. Sebaliknya To Pek Swee juga bukan anak kemarin dan ia tak tinggal diam saja. Ia tahu, bahwa hari itu ia menemukan lawan yang tidak lemah. Semangatnya dipusatkan dan seluruh tenaganya dikerahkan untuk melayani musuh itu dengan ilmu silat cambuknya "Liok Hap Pian Hoat".
Tetapi usianya yang sudah tinggi itu bukannya tidak meninggalkan bekas. Sedang di sebelah sana Ma ceecu sudah mulai berada di atas angin, To Pek Swee justeru sudah mulai terdesak. Ia lebih banyak menangkis, daripada melancarkan serangan-serangan. Juga keadaan To Cu An -- yang seorang diri harus melayani dua musuh -- sudah agak menguatirkan. Harapan satu-satunya adalah agar Ma ceecu dapat cepat-cepat merobohkan The Sam Nio untuk kemudian lekas-lekas memaksa Him Goan Hian meninggalkan Cu An dan melayani ia. Jika satu lawan satu, rasanya Cu An tidak akan menampak kesukaran untuk menjatuhkan si hweeshio. Sungguh malang, agaknya The Sam Nio telah mengerti, bahwa, jika ia bertahan lebih lama, "To Si Hu Cu" pasti akan roboh binasa berturut-turut. Maka ia segera berganti siasat, pembelaan diri sekarang diutamakannya dan sepasang goloknya diputarkan untuk melindungi tubuhnya rapat-rapat, sehingga betapa hebat juga serangan-serangan Ma ceecu, ia ini belum dapat menyentuh apalagi melukakan The Sam Nio.
Setelah lewat beberapa puluh jurus, biar bagaimana juga The Sam Nio mulai merasakan beratnya tekanan musuh. Berkali-kali ia harus mundur dan napasnya sudah mulai tersengal-sengal. Tentu saja Ma ceecu tidak mau memberikan ketika untuk bernapas kepadanya, ia bahkan menyerang dengan lebih ganas pula. Pada suatu saat ia melihat gerakan golok The Sam Nio agak terlambat dan di antara penjagaannya terdapat suatu lowongan. Ia tak mau mengabaikan kesempatan baik ini dan dengan girang ia segera maju menyerbu dengan sepasang martilnya untuk menyelesaikan si nyonya. Tetapi, sungguh di luar dugaan, mendadak ia merasakan kakinya kehilangan landasan -- ternyata ia telah menginjak lobang persembunyian Him Goan Hian dan kawan-kawan yang sebelah
atasnya masih tertutup salju, sehingga seketika itu juga ia jatuh terperosok ke dalamnya. Inilah hasil siasat The Sam Nio yang cerdik, dalam keadaannya yang terdesak ia telah sengaja memancing Ma ceecu ke jurusan lobang tersebut dan dalam kegirangannya Ma ceecu telah berlaku lengah dengan akibat terperosoknya ke dalam guha bikinan itu. Di dalam lobang itu Ma ceecu mengeluh, "Celaka!" Dengan hati penasaran ia berusaha meloncat keluar. The Sam Nio telah berjaga-jaga di tepi lobang dan ketika badan Ma ceecu terapung, ia segera membacok. Tanpa dapat dicegah lagi, lengan Ma ceecu telah dipisahkan dari tubuhnya. Dengan memperdengarkan jeritan yang mengerikan, ia jatuh lagi dalam keadaan pingsan. The Sam Nio tidak berhenti sampai di situ saja, ia segera menyusul turun ke dalam lobang dan dengan membacok sekali lagi ia menghabiskan riwayat Ma ceecu. Demi mendengar jeritan Ma ceecu, To Cu An lantas saja mengerti betapa buruknya keadaan bagi fihaknya pada saat itu. Tetapi, apa yang dapat dibuatnya? Dikerubuti Him Goan Hian dan Ceng Ti, ia sudah hampir kehabisan daya. Setelah membinasakan musuhnya, The Sam Nio mengaso sebentar sambil membereskan rambutnya. Kemudian, setelah selesai mengikat kepalanya dengan sehelai saputangan putih ia maju pula ke medan pertempuran untuk membantu Lauw Goan Ho mengerojok To Pek Swee. Tak usah dikatakan lagi bagaimana buruknya keadaan kedua orang, bapak dan anak itu. Kalau saja To Pek Swee masih duapuluh tahun lebih muda, dalam pertempuran satu lawan satu tadi, Lauw Goan Ho sekali-kali bukan tandingannya. Di masa yang lampau jago tua itu terkenal karena tenaganya dan daya serangannya yang benar-benar dahsyat sekali. Tetapi pada saat itu, dalam usianya yang sudah lanjut, melawan Lauw Goan Ho seorang saja sudah dirasakannya berat sekali. Ditambah dengan turut sertanya The Sam Nio yang saban-saban melancarkan serangan demi ada ketikanya, keadaannya benar-benar sangat berbahaya. Mendadak Lauw Goan Ho membentak, "Kena!" Ketika itu, dengan gerakan "Liong Siang Hong Bu" (Naga Melingkar Burung Hong Menari), dua-dua gaitannya telah menyerang bersama-sama. Buru-buru To Pek Swee menangkis, tetapi dalam pada itu The Sam Nio juga menyerang dari samping. To Pek Swee tentu saja tak dapat menangkis empat batang senjata yang datangnya berbareng itu. Karena memang sudah tidak ada jalan lain lagi, maka ia terpaksa harus melakukan suatu tindakan yang sangat berbahaya. Sambil membentak nyaring ia mengangkat kaki kirinya dan menendang The Sam Nio. Nyonya ini sama sekali tidak menduga bahwa orang tua ini akan menjadi demikian nekat. Ia kurang waspada dan kini harus menjadi korban tendangan jago tua ini. Tetapi, di lain fihak To Pek Swee juga tidak dapat menghindarkan pundak kirinya daripada bahaya terluka lagi, luka yang agak lebar itu segera sudah mengeluarkan darah. Salju di bawahnya sudah segera juga berwarna merah. Ternyata orang tua ini memiliki daya tahan yang menakjubkan, walaupun sudah terluka, ia masih dapat mengayun cambuknya dengan tangkas dan ia tidak mau mundur sama sekali.
To Cu An mengerti, bahwa fihaknya sudah tiada harapan menang lagi. Buru-buru ia menghalau Ceng Ti dengan tiga serangan beruntun. Bersama dengan mundurnya Ceng Ti, tiba-tiba ia juga meloncat ke belakang sambil berseru, "Baiklah, kami ayah dan anak menyerah kalah. Kamu menghendaki jiwa atau harta kami?"
Walaupun musuh terang-terang sudah menyerah kalah, tetapi The Sam Nio masih belum mau sudah, dengan hati penasaran ia masih menyerang To Pek Swee terus-menerus. Dalam kalapnya, ia membalas berteriak, "Hartamu, jiwamu, dua-dua kuinginkan!" Him Goan Hian tidak sependapat dengan nyonya ini. Ia mempunyai perhitungan lain. Tahun yang lalu, karena hilangnya barang-barang yang dikawalnya, ia harus mengganti penuh seluruh harga barang-barang tersebut. Peristiwa itu telah menyebabkan ia bangkrut. Maka pada saat itu ia ingin menyuruh musuh-musuh yang sudah menyerah itu, menyerahkan seluruh harta kekayaan mereka untuk menebus jiwa mereka.
"Baik, berhentilah dulu. Dengarlah kata-kataku!" serunya. Lauw Goan Ho bukannya orang tolol dan The Sam Nio memang sudah biasa menurut kepada pemimpinnya ini. Kedua orang ini segera juga menghentikan desakannya kepada To Pek Swee. Sebaliknya Ceng Ti adalah seorang hweeshio yang beradat kasar. Ketika itu keadaan fihaknya sedang menguntungkan. Maka, mana mungkin ia mau berhenti begitu saja? Sambil memutar-mutarkan goloknya kencang-kencang ia sudah segera menyerbu pula ke arah To Cu An.
"Ceng Ti taysu! Ceng Ti taysu!" teriak Him Goan Hian dengan gugup. Akan tetapi Ceng Ti seakan-akan tidak mendengar seruannya itu. Melihat sikap hweeshio yang sangat kasar ini, To Cu An akhirnya menjadi jengkel juga dan membuang senjatanya ke atas salju.
"Beranikah kau membunuh aku?" tantangnya sambil membusungkan dada.
Di waktu Cu An berteriak tadi Ceng Ti sebenarnya sudah mengangkat goloknya, tetapi setelah melihat sikap lawannya itu, ia menjadi tertegun dan ragu-ragu, goloknya tidak jadi diturunkan. "Keparat gundul! Anjing!" caci Cu An saking gemasnya melihat sikap si hweeshio, yang dianggapnya sangat keterlaluan. Menyusul kata-katanya, tinjunya melayang dan telak sekali menghajar hidung si hweeshio. Ceng Ti sama sekali tidak menduga, bahwa ia akan diserang dengan begitu mendadak. Maka dapat dimengerti, jika ia jadi gelagapan dan jatuh terduduk seketika itu juga. Hidungnya juga berdarah berketel-ketel. Setelah hilang kagetnya, hawa amarahnya serentak meluap-luap lagi. Dengan kalap ia merayap bangun dan lantas saja menerjang Cu An sambil memperdengarkan geraman yang seram. Akan tetapi Him Goan Hian masih keburu menarik dan menahan ia. "Sabar dulu, taysu, sabar," ujarnya.
Ketika Him Goan Hian sedang coba menyabarkan Ceng Ti, Cu An sudah melompat ke dalam lobang galiannya. Setelah mencangkul berapa kali lagi ia melemparkan alat ini dan mengangkat sebuah kotak besi yang kira-kira empat kaki panjangnya. Kotak besi ini dibawanya ke atas. Melihat kotak besi itu, wajah Lauw Goan Ho dan kawan-kawannya berseri kegirangan. Beramai-ramai mereka maju berapa langkah mendekati To Cu An. Dalam pada itu Whi Su Tiong telah memikirkan suatu siasat lain. "In suheng, kau dan Hun Ki menghajar mereka dengan tok cui, aku akan coba merebut pusaka itu," bisiknya kepada In Kiat dan Hun Ki.
"Siapa yang harus kita serang?" tanya In Kiat dengan berbisik juga.
Sebagai jawaban, Whi Su Tiong hanya menunjuk ke-enam orang di bawah itu, dengan kata-kata, jelaslah bahwa maksudnya adalah semua, enam orang itu, tanpa kecuali.
"Alangkah kejamnya," pikir In Kiat diam-diam. Tetapi kemudian ia menganggukan kepalanya tanda kesetujuannya dan tok-cui di kedua tangannya sudah siap untuk dilepaskan. Kemudian ia melirik ke arah Hun Ki. Ia melihat, bahwa pemuda ini tidak pernah mengalihkan pandangan matanya dari To Cu An. Agaknya ia tidak memperdulikan lima orang yang lain.
"Hari ini, kami telah terjebak akal licik, pusaka idam-idaman kalangan Bulim ini, tentu saja akan kami serahkan dengan kedua tangan, hanya masih ada suatu hal yang aku masih belum mengerti dan mohon diterangkan," kata Cu An dengan suara lantang.
"Apa lagi yang hendak ditanyakan siauw ceecu?" tanya Him Goan Hian sambil melirik.
"Bagaimana kamu dapat mengetahui, bahwa kotak besi ini disimpan di sini dan apakah sebabnya kamu mengetahui, bahwa dalam berapa hari ini kami tentu akan datang menggalinya?"
"Pada upacara pengunduran diri Ketua Thian Liong Bun hari itu, banyak sekali yang datang menghadiri perjamuannya. Sebagai menantu keluarga Tian, siauw ceecu tentu hadir juga bukan?" kata Him Goan Hian.
Setelah To Cu An menganggukkan kepalanya ia meneruskan, "suhengku ini adalah seorang di antara sekian banyak tamu hari itu, hanya saja siauw ceecu usianya masih muda ketika itu, dan dengan kedudukanmu yang mulia, tentu saja kau tidak melihat kehadiran Lauw suheng."
"Mertuaku mengadakan perjamuan untuk sahabat-sahabat, tidak tahunya telah keliru mengundang juga mata-mata musuh," jawab To Cu An dengan senyuman mengejek. Kata-kata To Cu An yang menusuk ini tidak membuat Him Goan Hian menjadi naik darah, ia ini bahkan masih melanjutkan pula pembicaraannya dengan suara lemah lembut. Katanya, "Sekali-kali bukan begitu. Lauw suheng telah mendengar nama siauw ceecu yang sangat tersohor, tentu saja ia menjadi ketarik dan pada hari itu kedua mata Lauw suheng selalu mengikuti gerak-gerik siauw ceecu. Ini semua adalah berkat nama Eng Ma Coan yang sudah tersiar ke mana-mana."
"Baik! Baik! Memang sudah sepantasnya kotak ini dipersembahkan kepada Lauw Tayjin," kata Cu An lagi dan ia mengangkat tinggi-tinggi kotak tersebut untuk diangsurkan kepada Lauw Goan Ho.
Tanpa curiga, Lauw Goan Ho sudah hendak menerima kotak itu, ketika secara tak terduga Cu An mendadak telah menjebelakkan tutup kotak itu. Tiga batang anak panah melesat keluar laksana kilat dan menyamber dada Lauw Goan Ho. Agaknya, dalam jarak sedekat itu, serangan anak panah tersebut sudah tidak dapat dilakkan lagi. Akan tetapi Lauw Goan Ho ternyata lihay sekali, dalam keadaan terancam ini ia masih sempat menarik Ceng Ti Hweeshio ke depannya untuk dijadikan tameng hidup. Kasihan Ceng Ti ini, dengan mengeluarkan teriakan serak jiwanya melayang seketika itu juga. Dua daripada tiga batang anak panah itu menancap di tenggorokannya. Panah ketiga yang jurusannya agak ke samping sedikit lewat di samping tubuh hweeshio sial ini dan tepat sekali mengenai pundak kiri Him Goan Hian. Anak panah itu menancap dalam sekali--lebih separuh -- ke dalam tubuhnya, dapat dimengerti, bahwa lukanya ini tidak enteng. Kejadian ini lebih-lebih tidak terduga daripada pembokongan atas rombongan Eng Ma Coan oleh Him Goan Hian dan kawan-kawannya tadi. Rombongan Whi Su Tiong juga tidak kurang kagetnya, bahkan Tian Ceng Bun sampai berteriak. Begitu mendengar teriakan itu, Lauw Goan Ho yang licik tidak menghiraukan lagi dua musuh she To itu maupun kawan-kawannya, buru-buru ia meloncat ke belakang sebuah batu besar untuk berlindung dan dari tempatnya ini ia menantikan perkembangan selanjutnya.
"Turun tangani" terdengar teriakan Whi Su Tiong kepada rombongannya sambil mendahului melompat maju. Co Hun Ki segera mengayun tangannya dan tiga batang tok cui menyamber ke arah To ju An yang memang sedari tadi telah diincarnya terus-menerus.
Mungkin sekali Tian Ceng Hun memang sudah dapat menyelami pikiran si pemuda Maka ketika ia ini mengayunkan tangannya, Ceng Bun telah menyenggol pundaknya. Karena ini tubuh Hun Ki jadi tergoncang dan tiga senjata rahasianya menyeleweng arahnya, sehingga jatuh di atas salju tanpa menemui sasarannya.
"Barang kembali kepada pemiliknya! Kembali kepada pemiliknya!" seru Whi Su Tiong berulang-ulang dan dengan jarinya yang bagaikan ceker garuda ia coba mengorek kedua mata To Cu An, sementara itu tangannya yang sebelah lagi sudah memegang tepi kotak yang diperebutkan. Pada saat itu In Kiat juga sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan Lauw Goan Ho. Mereka sudah pernah berjumpa dalam perjamuan Thian Liong Bun yang disebut-sebut Him Goan Hian tadi. Mereka sama-sama mengetahui, bahwa lawannya adalah tokoh kenamaan dalam kalangan Kangouw. Setelah bertempur berapa jurus mereka mengetahui bahwa nama itu bukan hanya nama kosong dan mereka jadi saling mengagumi. Dengan pedang terhunus Ciu Hun Jang menyambut Him Goan Hian yang sudah maju juga menghampiri kalangan pertempuran. Tian Ceng Bun memilih lawan sejenis, yakni The Sam Nio. Co Hun Ki yang sudah sampai juga bukannya melayani To Pek Swee yang masih menganggur, tetapi justeru menyerang To Cu An dengan pukulan "Pek Hong Koan Jit" (Pelangi Putih Menembus Matahari). Serangan ini adalah serangan yang sangat hebat dan ganas. Karena ketika itu tidak memegang senjata, maka To Cu An terpaksa harus melepaskan kotak besi itu dan meloncat ke belakang. Kemudian ia memungut goloknya dan segera hendak merebut kembali kotak yang sudah terjatuh ke dalam tangan musuh itu.
"Anak durjana, karena temaha akan barang pusaka Thian Liong Bun, kau telah membunuh mertuamu sendiri secara pengecut, secara membokong!" Demikian, sambil memegang kotak besi itu, Whi Su Tiong memaki dengan sengit Tuduhan ini tak dapat diterima To Cu An. Dengan suara yang tidak kalah sengitnya ia membantah, "Siapa mengatakan, bahwa aku membunuh gakhu (mertua laki-laki)!" Selama itu goloknya tidak pernah mengaso, ia merangsak terus dengan maksud supaya bisa lekas-lekas merebut kembali kotak itu.
Dengan terjatuhnya kotak besi itu ke dalam tangan Whi Su Tiong, sebenarnya To Cu An sudah harus mengerti, bahwa baginya sudah tidak ada pengharapan lagi untuk dapat merebutnya kembali. Biarpun Whi Su Tiong tidak bersenjata, tetapi dengan tangan kosong juga ia sudah bukan tandingan To Cu An. Apa lagi pada saat itu Co Hun Ki membantu susioknya dari samping dan saban-saban melancarkan serangan bila saja ada lowongan. Mendengar tuduhan kepada anaknya itu, To Pek Swee berteriak, "Hai, orang she Whi, Tian cinkee (besan laki-laki) telah menyerahkan kotak ini dengan tangan sendiri kepada anakku. Mungkinkah kau tidak menerima atau mempunyai maksud lain?"
Kata-katanya ini ditutup dengan mengayunkan cambuk bajanya ke arah kepala Whi Su Tiong Dengan sangat mudah Whi Su Tiong dapat mengelakkan serangan ini. Ia melompat pergi dan sampai di samping Tian Ceng Bun. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia terus saja hendak mengempelang kepala The Sam Nio dengan kotak besi itu. The Sam Nio telah menyaksikan sendiri, bagaimana anak panah-anak panah tadi melesat keluar dari dalam kotak itu. Ia takut jika kotak itu akan menyemburkan anak panah lagi, maka ia buru-buru berkelit sambil membongkokkan badan. Di luar dugaannya, serangan itu hanyalah akal Whi Su Tiong saja, supaya Tian Ceng Bun menjadi bebas dan dapat diserahi tugas memegang dan menjaga kotak itu. "Jaga kotak ini baik-baik, biarlah aku yang melayani musuh," pesannya kepada si gadis. Kemudian ia menghampiri lagi To Pek Swee untuk melanjutkan pertempuran yang tertunda tadi. Kepandaian jago Thian Liong Bun ini ternyata masih lebih tinggi daripada yang lain-lain.
Dengan cambuknya yang berat dan dengan tenaganya yang kuat, To Pek Swee tidak dapat berbuat banyak terhadap lawan yang bertangan kosong ini, sehingga terus-menerus ia terdesak mundur.
Juga Ciu Hun Jang sudah berada di atas angin. Karena Him Goan Hian selama ini belum mendapat kesempatan untuk mencabut panah yang menancap di pundaknya, maka saban kali ia menggunakan tenaga, pundaknya yang terluka ini dirasakan sakit sekali dan ia tak leluasa melawan Hun Jang yang tidak lemah kepandaiannya. Di antara lawan-lawan kaum Thian Liong Bun ini hanya Lauw Goan Ho saja yang masih dapat melayani lawannya tanpa terdesak. Agaknya ia memang tandingan yang setimpal dengan In Kiat.
Sedang mereka sengit sekali bertempur, Tian Ceng Bun sudah lari ke jurusan barat laut sambil membawa kotak besi itu.
Melihat Ceng Bun kabur, To Cu An segera menggertak Co Hun Ki dengan suatu bacokan dahsyat dan ketika lawan ini hendak menangkis, ia menarik kembali serangannya. Sesaat kemudian ia sudah mengejar si gadis dengan mengerahkan seantero tenaganya. Tindakan To Cu An ini telah membangkitkan amarah Co Hun Ki. Maka pemuda ini pun segera membalikkan tubuh dan mengubar dengan kencang. Akan tetapi, ketika ia baru mengejar berapa langkah ia telah disambut dengan bacokan golok oleh The Sam Nio yang telah mencegatnya. Tentu saja Hun Ki jadi sangat mendongkol, apalagi karena melihat Cu An sudah kabur semakin jauh. Segera ia menyerang dengan serangan-serangan yang lihay dan ganas. Meski kepandaian The Sam Nio masih belum seberapa, tetapi ia telah meyakinkan suatu ilmu yang khusus untuk membela diri terhadap musuh yang lebih tangguh, yakni "Tiat Bun Coan" (Palang Pintu Besi) yang mempunyai tiga puluh enam macam gerakan. Oleh sebab ini, maka Co Hun Ki tidak dapat mengalahkannya cepat-cepat, meskipun dengan tipu-tipu serangan yang sangat lihay.
Dalam pada itu Ceng Bun sudah kabur lebih dari satu li, ia menengok dan melihat To Cu An sudah tidak berapa jauh di belakangnya. Inilah memang yang diinginkannya, dan setelah melewati sebuah bukit, ia berhenti menunggu.
"Untuk apa kau mengejar aku?" tanyanya seakan-akan kurang senang, tetapi wajahnya mencerminkan kegirangan hatinya.
"Ceng moay, lebih baik kita bersatu melawan kawanan penjahat itu, persoalan kita sendiri, nanti saja kita selesaikan dengan baik-baik."
"Siapakah adikmu, mengapa kau membunuh ayahku?" Demi mendengar teguran ini, To Cu An lantas saja berlutut.
"Thian yang di atas, jika benar aku, To Cu An, telah mencelakakan Tian loocianpwee Ciang Bun Jin Thian Liong Bun, biarlah aku kelak mati ditembusi berpuluh ribu batang anak panah dan mayatku dicincang berantakan!" ia bersumpah sambil menunjuk ke atas.
Melihat Cu An berani mengangkat sumpah, Ceng Bun jadi tidak bersangsi lagi dan ia segera mengulurkan tangannya.
"Baik, ternyata memang bukan kau, sudah sejak semula aku tidak percaya, bahwa kau adalah pembunuhnya, tetapi mereka ... mereka ..."
Sebelum si gadis dapat menyelesaikan ucapannya, To Cu An sudah melompat bangun dan menggenggam tangannya sambil berkata,
"Ceng moay ..."
Mendadak Cu An menghentikan perkataannya, ia melihat wajah nona itu mendadak berubah, ia mengerti, bahwa tentu ada orang datang ke jurusan mereka. Buru-buru ia membalikkan badan dan seketika itu ia mendengar bentakan, "Mengapa kamu berdua bersembunyi di sini?"
Bentakan itu sangat menusuk hati Ceng Bun, sehingga ia ini menjadi sangat gusar dan membalas mendamperat, "Bersembunyi, katamu? Benar? Mulutmu harus dicuci bersih!"
Sementara itu To Cu An juga sudah mengetahui siapa pendatang baru itu, ialah Co Hun Ki. Lekas-lekas ia coba memberikan keterangan. "Co suheng, janganlah kau salah mengerti," katanya.
Bersabar memang bukan pembawaan Co Hun Ki. Ia, yang berkepala batu, mana mau mendengarkan keterangan orang yang dianggapnya sebagai musuh itu. Dengan mata melotot ia membentak pula, "Salah mengerti apa!" Bersama dengan diucapkannya perkataan ini ia
melancarkan serangan, sehingga To Cu An juga tidak dapat berbuat lain daripada segera mengangkat goloknya untuk menangkis pedang saingannya.
Baru berapa jurus mereka bertempur, ketika mendadak -- di antara gemerincing senjata beradu -- terdengar tindakan kaki dan sesaat kemudian kelihatan The Sam Nio berlari secepat angin menghampiri mereka.
"Perempuan bangsat, anjing, keparat, kau selalu hendak merintangi saja!" terdengar serentetan caci Hun Ki yang sudah tak dapat menguasai napsunya lagi. Ia benar-benar sebal melihat perempuan itu yang selalu membuntuti dan menghalang-halangi segala gerak-geriknya. Tanpa membuang-buang tempo lagi, ia menyerang si nyonya. The Sam Nio tidak tinggal berpeluk tangan, ia menangkis dan goloknya yang sebelah lagi segera membalas serangan lawan. Pada saat itu, dari jurusan lain golok To Cu An juga sudah melayang ke arahnya dengan gerak tipu "Ciu Liang Hoan Cu".
Meskipun ia kini harus melawan dua musuh, Hun Ki tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia menganggap ini sebagai ketika yang baik sekali untuk mempamerkan ketangkasannya di hadapan gadis pujaannya, maka ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bertempur dengan mati-matian Ketangkasannya menimbulkan kekaguman di hati To Cu An. "Kiam hoat bagus!" pujinya.
Tetapi pada saat yang sama juga ia menyerang selangkang Co Hun Ki dengan gerakan "Siang Po Liauw Im" sambil setengah berjongkok.
Menurut dugaan The Sam Nio, Co Hun Ki tentu akan mengangkat senjatanya ke atas untuk menangkis dan penjagaannya di sebelah bawah akan terluang. Sungkan menyia-nyiakan ketika yang baik ini, ia segera membacok dengan kedua-dua goloknya. Tak pernah ia menyangka, bahwa To Cu An akan berganti siasat secara tiba-tiba sekali. Dengan gerak tipu "Twe Po Cam Ma To" dan gerakan pergelangan tangan, goloknya bukan mengenai Co Hun Ki, tetapi sebaliknya melukakan paha The Sam Nio. "Roboh!" bentak Cu An berbareng dengan itu.
Sungguh keji tipu ini dan benar-benar di luar dugaan datangnya serangan ini, sehingga seorang ahli yang berkepandaian jauh lebih tinggi daripada The Sam Nio, juga tak akan dapat mengelakkan serangan Cu An ini. Maka dapat dimengerti jika The Sam Nio roboh seketika itu juga.
Belum puas dengan hasil ini, To Cu An masih memburu maju lagi dan sudah akan menabas leher nyonya celaka ini. Tetapi pada detik yang sangat berbahaya bagi The Sam Nio itu, mendadak Co Hun Ki menyelak dan menangkis golok Cu An.
"Kau tidak takut kehilangan muka?" tanya Hun Ki mengejek.
"Dalam pertempuran tidak ada soal tipu-menipu, dalam hal ini aku hanya ingin membantu kau!" jawab Cu An dengan tertawa.
Sebelum Hun Ki dapat menjawab pula, Lauw Goan Ho, In Kiat, To Pek Swee, Whi Su Tiong dan yang lain-lain telah datang semua.
Agaknya mereka semua mempunyai pikiran yang sama. Setelah melihat Tian Ceng Bun kabur sambil menggondol kotak besi itu, mereka serentak kehilangan napsu bertempur dan segera menyusul beramai-ramai.
"Ayah, Thian Liong Bun adalah sahabat kita, janganlah bertempur lagi dengan Whi susiok!" teriak To Cu An kepada ayahnya.
Sebelum To Pek Swee menjawab seruan anaknya itu, Co Hun Ki sudah keburu menyelak dan mengatakan, "Kau telah mencelakakan suhu, tak sudi aku menjadi sahabatmu!" Tanpa menunggu kata-katanya habis diucapkan, ia sudah melancarkan lagi serangan-serangan bertubi-tubi. To Cu An belum berjaga-jaga dan ia dibuat kelabakan karenanya. Dua serangan yang pertama telah ditangkisnya, tetapi serangan yang ketiga hampir-hampir tak dapat dihindarkannya. Meski ia buru-buru mengegos ke kiri, pedang lawan itu masih juga lewat dekat sekali di sisi kanan kepalanya. Sedetik saja terlambat, kepalanya tentu akan tertembus dan otaknya berarakan. Walaupun ia sudah terluput dari bahaya, tetapi saking terkejutnya ia jadi bermandikan keringat dingin dan mukanya menjadi pucat Ketika ia hendak membuka suara, mendadak Tian Ceng Bun berteriak, "Ai!" Bersama dengan terdengarnya teriakan Ceng Bun ini, Cu An melihat sebuah senjata rahasia lewat di samping kepalanya dan sesaat kemudian ia merasakan punggungnya terkena senjata tajam. Ternyata semua ini adalah gara-gara The Sam Nio. Setelah ia roboh dengan menderita luka, diam-diam ia menunggu kesempatan untuk membalas pembokongan itu. Maka pada saat Cu An mundur dengan gugup karena serangan Hun Ki yang tak diduganya, The Sam Nio telah segera menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia meloncat maju sambil membacok kepala si pemuda. Untungnya Tian Ceng Bun, yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik Cu An, telah melihat datangnya serangan nyonya itu. Dengan kecepatan bagaikan kilat ia menimpukkan sebatang bor beracunnya yang segera menancap di dada kiri The Sam Nio. Karena ini, maka daya serangan goloknya menjadi hilang, sehingga To Cu An jadi terhindar dari bahaya maut.
"Perempuan hina yang busuk!" teriak To Cu An dengan kalap sambil memutarkan tubuh.
Setelah mana sebilah goloknya di timpukkan ke arah dada atau leher pembokongnya barusan. Karena dekatnya jarak antara kedua orang itu, agaknya The Sam Nio sudah tidak akan dapat terhindar lagi dari kebinasaan tanpa ada seorang yang dapat menolongnya. Tetapi pada saat semua orang sedang menantikan terpanteknya tubuh nyonya itu dengan golok di atas salju, dengan mata membelalak kesima, mendadak terdengar bunyi seakan-akan siulan panjang dan sesaat kemudian sebutir senjata rahasia yang sangat kecil telah membentur golok Cu An dengan menerbitkan bunyi nyaring. Benturan ini menyebabkan golok itu berubah arah dan menancap di salju dekat pada badan The Sam Nio.
Demi melihat betapa tepatnya senjata rahasia itu mengenai golok pembawa maut itu, meskipun agaknya telah dilepaskan dari tempat yang agak jauh, semua orang tanpa kecuali menjadi terkejut serta kagum. Tahulah mereka, bahwa kepandaian orang yang melepaskannya sudah sukar diukur lagi.
Serentak mereka menengok ke jurusan, darimana datangnya senjata rahasia itu. Mereka melihat seorang hweeshio yang kumis maupun jenggotnya sudah putih semua, mendatangi dengan perlahan sambil menenteng tasbih dan berulang-ulang bersabda, "Siancay, siancay."
Setibanya di tempat itu, si hweeshio lantas saja berjongkok memungut sesuatu yang langsung dirangkaikan pada tasbihnya. Ternyata, senjata rahasia tadi adalah sebutir biji tasbih. Serenceng biji-biji tasbih itu agaknya dibuat dari kayu atau bambu. Bahwa barang itu bukan barang berat, sudah ternyata karena angin pagi yang tidak kencang itu dapat menyebabkannya terayun. Maka dapat dibayangkan betapa kuat tenaga jari hweeshio itu yang sudah dapat menyentil sebutir biji tasbih kecil dari jarak berapa puluh tombak untuk membentur golok baja yang berat sehingga terpental.
Sesaat kemudian, dari tercengang, semua orang-orang itu menjadi gentar dan sudah segera berhenti bertempur. Tanpa mengedipkan mata mereka semua mengawasi si hweeshio tua. Ia ini telah menghampiri The Sam Nio untuk diangkat bangun dan setelah mana ia mencabut bor beracun yang menancap di dada nyonya itu. Seketika itu, dari luka si nyonya, mengalir darah kehitam-hitaman dan rasa sakit yang sangat hebat nyonya ini menyebabkan segera jatuh pingsan.
Dari sakunya, si hweeshio segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah, yang lantas dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio. Kemudian ia menatap wajah semua orang yang berada di sekitarnya dan berkata, "Obat ini hanya dapat menghilangkan rasa sakit Tok Liong Cui adalah senjata rahasia istimewa dari Thian Liong Bun, maka loolap (sebutan diri seorang hweeshio) tak berdaya terhadapnya." Kemudian, sambil menatap wajah Whi Su Tiong, ia melanjutkan, "Tuan adalah tokoh utama Thian Liong Bun. Melihat muka hweeshio, atau kalau tidak, melihat muka sang Buddha, harap Tuan suka berlaku murah hati." Ucapannya ini ditutup dengan mengangkat tangannya, memberi hormat kepada orang she Whi itu.
Whi Su Tiong dan The Sam Nio belum saling mengenal, di antara mereka juga tidak ada ganjelan atau dendaman sakit hati, lagi pula yang meminta adalah si hweeshio tua yang kepandaiannya telah disaksikannya sendiri. Jika ia tidak bersedia memberikan obatnya, perkembangan selanjutnya mungkin sekali akan tidak menguntungkan dirinya. Ia berpengalaman luas dan dapat melihat gelagat, maka seketika hweeshio itu memberi hormat ia juga tidak berayal pula membalasnya.
"Jika taysu yang memerintahkan, tentu saja aku menurut," katanya. Ia segera merogoh sakunya dan mengeluarkan dua botol kecil. Dari salah sebuah botol itu, ia lalu mengeluarkan sepuluh butir pil berwarna hitam, yang lantas saja dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio. Botol yang lain diangsurkannya kepada Tian Ceng Bun sambil berkata, "Oleskan obat ini pada lukanya."
Tian Ceng Bun menurut, kotak besi itu diserahkannya kepada susioknya dan ia menerima botol itu untuk kemudian dibubuhkan pada luka The Sam Nio.
"Syukur, syukur, sicu (tuan yang berbudi) berbelas kasihan," katanya sambil memberi hormat sekali lagi. Kemudian ia bertanya, "Sebab apakah Tuan-Tuan saling melabrak di sini? Sebenarnya tidak ada soal yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka loolap memberanikan diri untuk memberikan jasa baik dan mendamaikan Tuan-Tuan."
Mendengar kata-kata si hweeshio ini semua orang jadi saling memandang. Sebagian dari antara mereka tetap berlaku tenang, tetapi sebagian pula -- terutama Co Hun Ki -- sudah segera menunjukkan kegusaran.
"Bangsat kecil ini telah membunuh guruku dan mencuri pusaka partai kami, taysu, coba pikirkan pantas tidaknya, jika ia diharuskan mengganti dengan jiwanya?" teriak Hun Ki sambil menuding To Cu An. Selama berbicara ia mengayun-ayunkan pedangnya, sehingga senjata ini menggetar.
"Siapakah gurumu?" tanya si hweeshio.
"Mendiang guruku she Tian dan di masa hidupnya ia menjadi Ketua partai kami cabang utara."
"Ah! Kui Long telah mangkat? Sayang, sungguh sayang!" seru hweeshio tua itu terperanjat Agaknya ia mengenal Tian Kui Long, bahkan ia seakan-akan menganggap dirinya dari tingkatan lebih tua.
Ketika Tian Ceng Bun, yang baru saja selesai mengobati luka The Sam Nio, mendengar ucapan si hweeshio, ia segera tampil ke muka sambil menjura dan menangis terisak-isak.
"Aku mohon pertolongan Taysu untuk mencarikan pembunuhnya dan membalaskan sakit hati ayahku," katanya dengan sedih.
Sebelum hweeshio itu dapat menjawab, Co Hun Ki sudah berteriak, "Pembunuh yang mana lagi? Dengan adanya bukti-bukti yang cukup ini, bukankah sudah ternyata, bahwa bangsat kecil ini benar-benar pembunuhnya?"
To Cu An menjawab tuduhan ini dengan hanya tertawa dingin. Tetapi, sebaliknya To Pek Swee tak dapat bersabar pula. Dengan hati mendidih ia membentak, "Berpuluh-puluh tahun aku bersahabat rapat sekali dengan Tian cinkee, dan antara kami ada hubungan keluarga, mengapa kami harus mencelakakan beliau!"
"Mengapa? Tentu saja untuk mencuri pusaka kami!" bentak Hun Ki lagi.
Tuduhan berat yang terus-menerus dilontarkan Hun Ki ini makin membangkitkan amarah To Pek Swee. Dengan dada serasa mau meledak ia melompat ke arah pemuda kepala batu itu dan terus saja menyerangnya.
Sedang Co Hun Ki hendak menangkis serangan cambuk itu, si hweeshio sudah menggerakkan tasbihnya, yang segera melibat cambuk To Pek Swee. Gerakan cambuk itu segera terhenti dan ketika, sesaat kemudian, si hweeshio menggerakkan tasbihnya dengan perlahan ke atas, senjata jago Eng Ma Coan ini terpental kembali dan terlepas dari tangannya. Agaknya hweeshio itu tidak
menggunakan banyak tenaga, tetapi gerakannya itu ternyata mengandung tenaga yang dahsyat sekali, sehingga To Pek Swee merasakan tangannya kesemutan dan kesakitan. Mau tak mau ia harus melepaskan pegangannya sambil melompat ke samping dan cambuknya itu jatuh melesak di salju.
Tadinya semua orang itu berdiri dekat di sekitar si hweeshio, tetapi demi melihat cambuk baja itu melayang kembali dan terlepas dari tangan pemiliknya, serta merta mereka meloncat mundur dan mengawasi hweeshio itu dengan sikap tertegun. Pada saat itu mereka semua berpikir sama "Tin Kwan Tang sudah lama terkenal karena tenaganya yang besar sekali, tetapi kini dengan suatu gerakan tasbih yang perlahan, senjatanya telah dibentur terlepas oleh hweeshio ini."
Tak usah ditanyakan lagi betapa malunya To Pek Swee, mukanya menjadi merah seketika itu juga dan tak lama pula rasa malunya berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap.
"Bagus, hweeshio. Tak tahunya kau adalah pembantu undangan Thian Liong BunI" teriaknya dengan suara bergetar karena marah.
Walaupun dicaci dan dituduh terang-terangan di hadapan orang banyak, si hweeshio tetap tenang-tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah lenyap dari mulutnya.
"Sicu sudah berusia lanjut, mengapa masih saja berdarah panas. Tidak salah, jika sicu mengatakan loolap datang di Tiang Pek San ini atas undangan orang, hanya, yang mengundang bukannya Thian Liong Bun."
Mendengar ucapan si hweeshio yang terakhir ini, kedua-dua rombongan Thian Liong Bun maupun "To Si Hu Cu" menjadi terkejut sekali.
"Pantas ia menolong The Sam Nio tadi. Agaknya dia adalah undangan fihak 'Peng Thong Piauw Kiok', rasanya kotak pusaka itu sudah sukar dipertahankan lagi," pikir mereka Karena itu, Whi Su Tiong jadi berjaga-jaga Ia mundur setindak dan Co Hun Ki serta In Kiat segera meloncat ke samping kiri-kanannya untuk bantu melindungi pusaka itu.
Hweeshio itu tidak menghiraukan tindakan mereka, ia seakan-akan tidak melihat apa-apa. "Di sini tidak ada kayu untuk menyalakan api, juga tidak ada makanan dan minuman, ditambah lagi dengan hawa dingin yang menusuk ini. Yang mengundang loolap, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Tuan-tuan sekalian adalah sahabat-sahabat loolap, maka lebih baik kita bersama-sama menuju tempatnya untuk mengaso. Tuan rumah pasti akan menerima kita dengan segala senang hati. Bagaimana pendapat Tuan-Tuan?" kata-katanya ini diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak, sebagai juga ia tidak memikirkan lagi pertempuran sengit antara orang-orang itu tadi.
Karena ini maka kekuatiran orang-orang itu menjadi reda Mereka melihat, bahwa roman hweeshio itu mencerminkan welas-asih dan sikap maupun lagu suaranya ramah-tamah selalu.
"Cianpwee siapakah tuan rumah, yang Taysu sebutkan tadi?" tanya In Kiat.
"Tuan rumah itu tidak mengijinkan loolap menyebutkan namanya, harap sicu sudi memaafkan. Loolap memang biasa suka mengundang tamu. Siapa saja yang telah diundang, tetapi tidak mau hadir, loolap menganggapnya sebagai sengaja tidak mau memberikan muka."
Di antara sekian orang itu, agaknya Lauw Goan Ho mempunyai pendapat lain. Ia melihat tingkah-laku hweeshio tua itu agak aneh dan hatinya lantas saja menjadi sangsi.
"Maaf Taysu, heekoan (pegawai negeri yang rendah) mohon diri," katanya Setelah memberi hormat ia membalikkan tubuh dan segera hendak berlalu.
"Sungguh beruntung, di tempat pegunungan yang sangat sepi ini masih juga aku dapat berjumpa dengan pembesar negeri, benar-benar beruntung," kata hweeshio itu dengan tertawa.
Ia menunggu sampai Lauw Goan Ho sudah berlari berapa lama Kemudian sekonyong-konyong ia meloncat, mengejar si pembesar.
Jubah pertapaannya yang berwarna kelabu, melambai-lambai di atas salju yang putih itu. Larinya kelihatan tidak berapa cepat, walaupun demikian dalam sekejap saja ia sudah dapat mendahului Lauw Goan Ho.
"Loolap mengharap agar Tayjin suka memberi muka," katanya dengan tertawa setelah berhadapan muka dengan Lauw Goan Ho ini. Tanpa menunggu jawaban lagi ia mengulurkan tangannya dan memegang tangan kanan Lauw Goan Ho. Jago pembesar ini merasakan separoh tubuhnya mendadak linu dan tidak bertenaga karena telah kena dipencet urat nadinya. Seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mengalami kejadian serupa itu. Dalam gugupnya, tanpa berpikir lagi, ia segera mengayun tinju kirinya, menjotos muka si hweeshio. Sungguh tidak diduganya, bahwa dengan serangannya ini, ia seakan-akan mencari penyakit sendiri. Tadi hweeshio itu memegang tangan Lauw Goan Ho dengan jempol dan telunjuknya. Melihat datangnya serangan, ia segera menggerakkan tangannya itu ke atas berikut tangan Lauw Goan Ho. Dengan tiga jarinya yang lain ia menyambut tangan Lauw Goan Ho yang datang menyerang itu untuk terus dijepit juga. Dua-dua tangan Lauw Goan Ho sudah terjepit di dalam genggamannya kini, tangan kanannya masih tetap memainkan rencengan tasbih itu dan dengan perlahan serta berseri-seri ia kembali ke tempat tadi.
Melihat, bagaimana Lauw Goan Ho dipermainkan dan diseret kembali, tentu saja fihak Thian Liong Bun dan "To Si Hu Cu" menjadi girang sekali.
Tetapi di samping kegirangan itu karena kini ternyata, bahwa hweeshio itu bukan pembantu undangan "Peng Thong Piauw Kiok", mereka juga terkejut, karena kepandaian sebagai yang dimiliki si hweeshio belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Ketika itu, dengan masih tetap menyeret Lauw Goan Ho, si hweeshio sudah tiba kembali di antara mereka.
"Lauw Tayjin kini sudah menyanggupi akan memberi muka kepadaku, kurasa demikian juga dengan kalian," katanya sembari memandang mereka semua.
Dengan peristiwa barusan ini sebagai contoh, meskipun semua orang itu bercuriga dan tak rela turut, tak ada seorang yang berani menolak, mereka semua menginsyafi, bahwa penolakan akan berarti kerugian bagi mereka sendiri, sebagai dengan halnya Lauw Goan Ho.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi dan tetap saja menyeret Lauw Goan Ho, hweeshio tua itu sudah segera mendahului berjalan dengan perlahan-lahan. Tetapi sesaat kemudian, setelah berjalan berapa tindak, ia menoleh dan mengatakan, "Suara apakah itu?"
Ternyata, jika didengarkan dengan penuh perhatian, lapat-lapat dari jurusan lembah tadi, terdengar suara bentakan-bentakan yang terputus-putus. Agaknya di sana masih berlangsung pertempuran mati-matian.
Mendadak Whi Su Tiong teringat akan Ciu Hun Jang. "Hun Ki lekas pergi membantu Hun Jang," katanya dengan tergesa-gesa.
"Ah, aku juga telah melupakannya," jawab Hun Ki yang lantas saja membalikkan tubuhnya dan menuju ke tempat itu, diikuti si hweeshio yang masih tetap belum mau melepaskan Lauw Goan Ho.
Tak usah ditunggu lama-lama, ketika ternyata betapa besarnya perbedaan antara kepandaian Lauw Goan Ho dan hweeshio itu. Walaupun pembesar jagoan ini mengerahkan Seantero tenaganya, tak urung ia tak dapat menandingi lari si hweeshio dan ia terus-menerus harus manda diseret. Percuma saja ia coba melepaskan pegangan hweeshio itu yang laksana belenggu baja. Makin ia meronta genggaman si hweeshio jadi semakin keras. Lewat lagi berapa saat, Lauw Goan Ho sudah kehabisan tenaga, sebaliknya si hweeshio mempercepat lagi larinya Karena itu pembesar celaka ini jatuh, tetapi tangannya masih tetap dipegang erat-erat oleh hweeshio itu. Seakan-akan sekerat balok tubuhnya kini diseret di sepanjang jalan bersalju itu. Tentu saja Lauw Goan Ho menjadi sangat mendongkol serta malu. Ingin sekali ia mengangkat kakinya dan menendang penyiksanya, tetapi maksudnya ini tetap merupakan angan-angan saja. Tambah lama si hweeshio berlari semakin cepat, sehingga Lauw Goan Ho tak dapat mewujudkan maksudnya itu. Sementara itu semua orang itu sudah juga mengikuti jejak mereka, maka sebelum berselang lama mereka sudah beramai-ramai tiba kembali di tempat itu. Suatu pemandangan yang menggelikan segera terlihat mereka, di samping lobang galian To Cu An tadi kelihatan Ciu Hun Jang dan Him Goan Hian sedang bergumul di atas salju. Senjata mereka sudah sama-sama terlepas dan kini mereka menggunakan apa saja yang diberikannya dari alam, yakni tangan, kaki, siku, lutut, kepala dan gigi. Pertempuran mereka ini sudah tidak ada miripnya lagi dengan pertempuran antara ahli-ahli silat. Mereka saling menyodok, menggigit, menjambak dan menumbuk secara sekena-kenanya saja. Menuruti adatnya, Co Hun Ki sudah segera hendak maju dan menusukkan pedangnya ke dalam tubuh Him Goan Hian, tetapi pada saat itu mereka masih terus berguling-guling tidak keruan.
Karena ini, Hun Ki menjadi ragu-ragu. Ia kuatir melukakan suteenya sendiri. Sebaliknya si hweeshio tanpa ragu-ragu melangkah maju dan menjamberet tengkuk Ciu Hun Jang. Him Goan Hian yang seakan-akan melekat pada tubuh lawannya turut terangkat.
Pemandangan yang dapat dilihat sekarang benar-benar merupakan puncak kelucuan. Seorang hweeshio tua, dengan tangan kiri masih mengikat kedua tangan Lauw Goan Ho yang masih terduduk di atas salju di sampingnya, mengangkat tinggi-tinggi seorang lain (Ciu Hun Jang) pada tubuh siapa melekat seorang lagi (Him Goan Hian) dan kedua orang ini saling menggigit, menumbuk, menjambak dan saling menyodok, meskipun sudah tidak berada di atas tanah lagi. Tak mengherankan, jika si hweeshio jadi tertawa terbahak-bahak. Mungkin juga yang lain-lain akan turut tertawa, jika mereka bukan sedang cemas dan bimbang.
Sesaat kemudian tanpa berhenti tertawa, si hweeshio menggoncangkan badan kedua orang yang masih bergulat terus. Seketika itu juga, mereka merasakan kaki tangan mereka kesemutan dan pegangan mereka pada tubuh masing-masing jadi terlepas. Him Goan Hian terpental pergi sejauh beberapa tombak dan jatuh dengan menerbitkan bunyi bergedebuk yang nyaring. Setelah ini si hweeshio melepaskan Ciu Hun Jang dan Lauw Goan Ho. Karena sudah terlalu lama tergencet, maka tangan Lauw Goan Ho menjadi kaku dan tak dapat digerakkan. Di pergelangan tangannya kelihatan bekas yang legok ke dalam dan berwarna merah.
Setelah pengalamannya tadi dan melihat bekas jari yang mengerikan ini, nyalinya menjadi ciut. Sementara itu si hweeshio sudah berkata, "Mari kita lekas berangkat, mungkin masih keburu turut makan pagi dengan tuan rumah."
Lagi-lagi semua orang itu saling memandang dengan hati penuh keraguan, tetapi mereka menurut juga.
Sebagai kepala rombongannya dan tanpa memperdulikan lagi adat istiadat antara wanita dan pria, Him Goan Hian segera menggendong The Sam Nio yang sudah menjadi sangat lemah karena terluka parah tadi.
Kecuali mereka, juga "To Si Hu Cu" dan Ciu Hun Jang telah terluka dan sampai saat itu luka-luka mereka masih mengeluarkan darah, maka di atas salju di sepanjang jalan yang mereka lalui, kelihatan bintik-bintik merah. Berjalan belum berapa li, mereka yang terluka sudah merasa payah sekali, bahkan ada yang sudah tak kuat bertahan lagi.
Agaknya Tian Ceng Bun merasa kasihan melihat penderitaan orang-orang itu, ia mengeluarkan sepotong baju dari buntalannya untuk kemudian dirobek dijadikan berapa potong kain pembalut, yang lalu diberikannya kepada Ciu Hun Jang dan "To Si Hu Cu".
Tindakan Ceng Bun ini merupakan duri di mata Co Hun Ki, tetapi sebelum ia dapat mengutarakan kedongkolannya, Ceng Bun sudah mengedip kepadanya. Biarpun tidak mengerti maksud si gadis, Hun Ki mengurungkan juga maksudnya melontarkan kata-kata yang kurang enak didengarnya, ia hanya mengeluarkan suara mengejek dari lobang hidungnya.
Lewat berapa li pula mereka harus mendaki sebuah bukit. Lapisan salju di tempat ini lebih tebal dan kaki mereka ambelas di dalamnya sebatas lutut. Perjalanan menjadi luar biasa beratnya, meskipun mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang tidak rendah. Mereka jadi mengeluh dan berpikir, "Entah masih berapa jauh kita harus berjalan." Sebagai juga dapat menebak pikiran mereka, mendadak si hweeshio menunjuk ke puncak gunung yang menjulang tinggi di sebelah depan. "Sudah dekat, di puncak sana," katanya.
Semua orang-orang itu menjadi putus asa, karena gunung itu berdiri hampir tegak lurus di permukaan bumi. Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi melihat curamnya yang luar biasa itu, agaknya bukit tersebut tak mungkin dipanjat biar oleh seekor kera juga, apa lagi manusia "Seorang yang berkepandaian tinggi sekali mungkin masih akan dapat mendakinya perlahan-lahan dengan mengerahkan seantero tenaganya, tetapi agak mustahil kedengarannya jika ada orang yang mau tinggal di atas puncak itu," kata mereka di dalam hati yang penuh kesangsian.
Si hweeshio tidak menghiraukan sikap mereka ini dan mendahului berjalan di depan. Ia pun tidak berhenti bersenyum. Setelah melalui dua buah bukit lagi, mereka tiba di tepi rimba pohon cemara. Pohon-pohon siong (cemara) itu rata-rata sudah tua sekali, yang termuda juga sudah berusia ratusan tahun. Cabang-cabangnya yang lebat dan malang-melintang telah menampung sebagian salju yang turun dari langit dan di bawahnya hanya terdapat sedikit salju. Maka perjalanan di dalam rimba itu menjadi lebih mudah. Rimba itu luas juga, setelah berjalan setengah jam baru mereka tiba di ujungnya yang sebelah sana dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah tiba di kaki bukit yang dituju itu. Dipandang dari dekat puncak tersebut lebih-lebih lagi mematahkan semangat. Biarpun di musim panas, bukit itu tampaknya hampir tak dapat dipanjat, apa lagi di musim dingin itu, sedang salju beku seluruh bagian bukit tersebut. Siapa berani coba mendaki, pasti akan terpeleset dan jatuh dengan badan hancur.
Sementara itu angin pegunungan masih juga meniup dengan menerbitkan bunyi-bunyian gemerisik di antara daun-daun dan tangkai-tangkai pohon. Mereka menggigil, kesatu karena dinginnya dan kedua karena merasa seram. Biarpun mereka semua sudah kenyang berkelana dan sudah pula mengalami aneka ragam bahaya besar, tetapi suasana ili bawah puncak gunung itu tak dapat tidak menerbitkan rasa seram di hati mereka. Sedang mereka berdiri bengong, si hweeshio sudah mengeluarkan sebuah bumbung untuk melepaskan panah api (serupa mercon areng yang waktu itu lazim dipergunakan sebagai pertandaan di Tiongkok). Sesaat kemudian, setelah dinyalakan, panah api itu meluncur ke atas dan mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang lama setelah itu baru buyar. Rombongan orang yang mengikutinya menjadi heran melihat panah api itu dapat naik begitu tinggi dan mengeluarkan asap yang tidak segera menjadi buyar tertiup angin yang saat itu agak santar juga.
Mereka semua mendongak untuk melihat panah api itu mempunyai makna apa. Tak lama kemudian mereka melihat di puncak, jauh di atas, telah muncul suatu titik hitam, yang segera sudah meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa. Setelah titik hitam itu mencapai tengah lereng, semua orang itu lantas melihat, bahwa titik itu sebenarnya adalah sebuah keranjang bambu yang diikatkan pada ujung seutas tambang bambu yang kuat. Mengertilah mereka sudah bahwa keranjang itu telah diturunkan untuk menyambut tamu.
Setelah keranjang tersebut turun sampai di depan mereka, hweeshio itu berkata, "Keranjang ini dapat memuat tiga orang, maka silakan dua tamu wanita ini naik dahulu serta seorang tamu lakilaki."
Tanpa ragu-ragu Tian Ceng Bun maju dan The Sam Nio dipayangnya masuk ke dalam keranjang. Sambil melakukan ini ia menimbang-nimbang siapa yang akan dimintanya menyertai mereka naik lebih dulu. Pikirnya, "Jika aku tidak mengajak Hun Ki atau Cu An turut naik, tentu Hun Ki akan mencari gara-gara lagi dan mereka akan bertempur. Jika Cu An yang kupinta naik bersama-sama, susiok tentu akan merasa kurang senang." Maka akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Co Hun Ki saja. "suheng, mari ikut naik lebih dulu," katanya.
Co Hun Ki tidak pernah menduga, bahwa sumoaynya akan minta ia menyertai mereka Sesaat ia seakan-akan kesima, tetapi segera mukanya sudah berubah menjadi berseri-seri dan dengan bangga serta agak mengejek ia memandang Cu An, saingannya Dengan langkah lebar ia menghampiri keranjang tersebut dan masuk ke dalamnya. Ia duduk di samping Tian Ceng Bun, segera setelah itu ia menggoyangkan tambang pengerek alat pengangkutan istimewa ini.
Sesaat kemudian sudah terasa, bahwa keranjang itu sudah mulai dikerek ke atas, menuju ke puncak. Ketiga orang itu segera sudah mendapat suatu perasaan tidak enak. Setiap goncangan dirasakan mereka sebagai juga saban saat mereka akan jatuh. Hati mereka dirasakan ngeri dan telapak kaki mereka berasa kesemutan dan agak geli. Ketika mereka sudah mencapai tinggi setengah lereng, Tian Ceng Bun coba melongok ke bawah dan ia menjadi tercengang sekali.
Ternyata orang-orang yang masih ketinggalan di bawah itu tinggal kelihatan seakan-akan boneka-boneka yang belum satu kaki tingginya. Dipandang dari jauh puncak itu kelihatannya tidak terlalu tinggi, tetapi pada saat itu ia mengerti bahwa sebenar-benarnya bukit itu tinggi sekali, bahkan mungkin sampai ribuan kaki. Karena melongok barusan, Tian Ceng Bun merasakan sebagai juga ia akan jatuh setiap saat dan kepalanya menjadi pusing. Maka setelah itu ia tidak berani melongok lagi dan berduduk diam saja di dalam keranjang.
Akhirnya tibalah mereka di atas puncak. Co Hun Ki mendahului keluar dari keranjang itu kemudian ia membantu Ceng Bun memayang The Sam Nio. Ketika kemudian mereka memandang ke sekeliling mereka, tahulah mereka bagaimana keranjang itu telah dikerek tadi. Ternyata di dekat mereka itu terdapat sebuah roda kerekan yang sangat besar dan sepuluh laki-laki tegap kekar melayani alat tersebut. Sementara itu keranjang tersebut sudah diturunkan pula. Dengan cara ini tak lama kemudian semua orang-orang itu berikut si hweeshio sudah tiba di atas puncak.
Sedang tadi, ketika Co Hun Ki bertiga tiba di situ, dua laki-laki berbaju kelabu yang agaknya menjadi pemimpin sepuluh pekerja itu, bersikap acuh tak acuh, kini setibanya hweeshio tua itu mereka segera maju sambil menjura dalam-dalam.
"Maaf, meski belum mendapat ijin tuan rumah, loolap telah lancang mengundang beberapa tamu lain kemari, harap supaya diteruskan kepadanya," kata si hweeshio.
"Semua sahabat Po Si Taysu tentu akan disambut dengan gembira oleh majikan kami," jawab salah seorang dari dua penyambut itu, yang setengah tua dan berleher panjang, sambil membongkok memberi hormat lagi.
Semua orang yang telah turut naik itu, baru mengerti, bahwa sebutan si hweeshio adalah Po Si Taysu.
Setelah mengucapkan kata-katanya barusan, laki-laki berleher panjang itu segera memberi hormat juga kepada sekalian tamu itu.
"Berhubung dengan suatu hal yang penting, majikan kami harus pergi mendadak dan tak dapat menyambut sendiri Tuan-Tuan tamu sekalian, maka atas namanya aku kini mohon agar Tuan-Tuan suka memaafkannya"
Sambil membalas pemberian hormat itu semua orang menjadi agak heran. Penyambut ini hanya mengenakan sepotong baju tipis, meskipun tinggal di puncak bersalju yang terpencil dan sangat dinginnya Agaknya ia tidak merasa kedinginan, maka tahulah mereka, bahwa orang itu tentu mempunyai Iweekang yang sangat tinggi. Melihat kenyataan ini mereka jadi mengerti bahwa tuan rumah yang menjadi majikan orang itu, tentu memiliki kepandaian yang sudah sangat sukar diukur lagi.
"Majikanmu tidak di rumah? Dalam saat begini ia masih juga keluar?'" tanya Po Si dengan nada heran dan kecewa.
"Sudah sejak tujuh hari majikan pergi ke Leng Ko Tha."
"Leng Ko Tha?" tanya Po Si pula. "Untuk apa?"
Pegawai itu kelihatan agak ragu-ragu, ia tidak lantas menjawab dan melirik ke arah Whi Su Tiong dan kawan-kawannya.
"Katakan saja, jangan kuatir," kata Po Si.
"Yah, menurut majikan, musuh yang akan datang itu terlalu lihay, mungkin sekali ia sendiri tak akan bisa menandinginya, maka ia ingin sekali mohon bantuan 'Kim Bian Hud'," terdengar penjelasan pegawai itu.
Mendengar nama 'Kim Bian Hud' di sebut, orang-orang Thian Liong Bun, "To Si Hu Cu" dan Him Goan Hian serta kawan-kawan terperanjat semua. Mereka mengetahui, bahwa 'Kim Bian Hud' (Buddha Bermuka Emas) itu adalah seorang "Bulim Cianpwee" Angkatan Tua dari Kalangan Jago-jago Silat) dan juga bahwa kalangan Kang Ouw sering menyebutkan ia sebagai "Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu" (Menjelajah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan) selama dua puluh tahun terakhir itu.
Karena julukan yang kedengarannya temberang ini, entah berapa banyak lawan tangguh yang telah sengaja datang untuk mencoba-coba kepandaiannya Tetapi kepandaiannya memang sudah sempurna benar-benar. Sampai pada saat itu, tidak perduli dari partai atau golongan apa saja, belum ada yang terluput daripada kekalahan jika berani coba-coba menguji kepandaiannya.
Sudah sepuluh tahun 'Kim Bian Hud' hidup menyendiri dengan sembunyi dan selama itu tidak pernah terdengar berita-berita tentang dirinya, bahkan ada yang mengatakan, bahwa ia telah meninggal, tetapi benar tidaknya berita itu tak ada yang dapat memastikannya. Maka tidak mengherankan, jika orang-orang itu menyangsikan ucapan si pelayan. Di samping sangsi, mereka juga terkejut bukan main dan nyali mereka menjadi ciut seketika itu juga Semua orang mengetahui bahwa 'Kim Bian Hud sudah terlalu tangguh untuk dilawan, selain itu mereka pun sudah tahu, bahwa ia itu sangat membenci kejahatan, meskipun yang kecil juga Siapa saja yang melakukan sesuatu yang tidak pantas, asal berita tentang perbuatannya sampai di telinga 'Kim Bian Hud, yang berbuat itu tidak akan terhindar dari bencana. Masih terbilang beruntung, jika penyeleweng itu hanya dipatahkan sebelah tangannya atau kakinya.
Justeru semua orang yang mengikut Po Si naik ke puncak itu, sedikit maupun banyak, telah berbuat dosa. Karena semua itu, mereka menganggap 'Kim Bian Hud' sebagai malaikat elmaut saja dan hati mereka berdebar-debar keras. Sebaliknya, Po Si bersenyum demi mendengar cerita pelayan itu.
"Majikanmu berhati-hatinya agak berlebih-lebihan saja. Berapa lihaynya "Soat San Hui Ho" (Rase Terbang di Gunung Salju) itu, sehingga ia menganggap perlu minta bantuan seorang jago yang tiada bandingannya?"
"Memang sebenarnya, dengan adanya Taysu membantu kami, kami sudah pasti berada di fihak yang lebih unggul, tetapi mengingat betapa lihaynya dan cerdiknya si Rase Terbang itu, menurut majikan tiada jeleknya, jika kita tambah seorang pembantu lagi," jawab si pegawai.
Setelah ini ia menghantarkan tamu-tamu itu ke sebuah gedung yang besar dan di kiri-kanannya terdapat paviljun terdiri dari lima kamar berderet-deret. Genteng maupun seluruh halaman rumah itu, tertutup salju, memberikan pemandangan yang khas.
Mereka semua dibawanya ke sebuah ruangan duduk yang luas (thia), yang dihiasi sepasang tui lian (syair berpasangan) ukiran di atas papan. Arti tulisan itu lebih-kurang sebagai berikut, Bila menghadapi bahaya maut, berjuang dengan pedang yang panjangnya tiga kaki. Ribuan tahil emas didatangkan dengan hanya sekali membentak.
Nada maupun gaya tulisan syair itu dengan jelas sekali membawakan sifat-sifat gagah seorang pendekar. Di muka syair tersebut, dengan huruf-huruf yang lebih kecil, telah diukirkan juga kata-kata, "Untuk mengabadikan Sat Kauw Jin Heng". Di belakang kata terakhir syair tersebut terdapat huruf-huruf, "Corat-coret Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Bian Hud'" di waktu mabuk.
Semua huruf-huruf itu diukirkan dengan tandas dan agak kasar, terang sekali dikerjakan dengan sebilah pedang atau golok.
Seluruh rombongan tamu-tamu itu sangat tercengang membaca sepasang syair itu. Mereka tak mengerti, mengapa tuan rumah itu disebut "Sat Kauw Jin Heng" (Saudara yang Berbudi, si Jagal Anjing) dan mengapa 'Kim Bian Hud' berani berlaku begitu kurang ajar.
Dengan masih tetap diliputi keheranan tamu-tamu itu kemudian disilakan duduk dan minum teh dengan dilayani kedua pegawai tadi. Agaknya Po Si Taysu kurang senang terhadap tulisan 'Kim Bian Hud' itu dan sesaat kemudian ia berkata, "Tui Lian itu memang sesuai dengan kedudukan majikanmu, tetapi dengan embel-embel tambahan gelarnya itu, 'Kim Bian Hud' agaknya terlalu temberang dan hendak menonjolkan diri di atas tuan rumah."
"Taysu keliru, majikanku sangat menghormati dan mengagumi 'Kim Bian Hud' dan ia justeru merasa sayang, bahwa karena sempitnya papan itu, tak dapat ditambahkan lagi empat huruf, "Sedari dulu sehingga sekarang" di atas gelar 'Kim Bian Hud' itu."
Mendengar penjelasan pegawai berleher panjang ini, agaknya Po Si Taysu bahkan semakin penasaran dan dengan nada mengejek ia berkata, "Jadi kalau lengkap seharusnya, 'Sedari dulu sehingga sekarang menjelajah seluruh dunia tanpa menemukan tandingan'. Di negeri sang Buddha (India) kebetulan terdapat seorang iblis dari agama liar yang menyebutkan dirinya, 'Di atas langit maupun di bumi, akulah rajanya'. Ia dan 'Kim Bian Hud' benar-benar merupakan pasangan yang setimpal."
Ucapan Po Si yang mengandung sindiran ini sangat menggelikan Co Hun Ki yang lantas saja tertawa terbahak-bahak. Melihat kelakuannya, ini, kawan si leher panjang menjadi kurang senang.
Dengan mata melotot ia memandang Co Hun Ki. "Harap tuan tamu ini suka berlaku lebih sopan sedikit!" katanya dengan suara gusar.
'Apa?" tanya Hun Ki yang menjadi bingung karena teguran itu.
"Mungkin tuan sendiri yang akan rugi, jika 'Kim Bian Hud mengetahui, bahwa tuan telah mentertawakan dirinya," kata kawan si leher panjang lagi.
Kata-kata ini bukannya membikin Hun Ki takut dan mundur teratur, sebaliknya ia bahkan menjadi semakin kepala batu.
"Ilmu silat belum pernah ada batasnya, di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai lagi. Meski bagaimana 'Kim Bian Hud' juga hanya seorang manusia yang jadinya dari darah dan daging, maka biarpun ia masih sepuluh kali lebih pandai lagi, tak dapat ia disebut tiada tandingannya," bantahnya.
Si pegawai masih tetap pada pendiriannya, katanya, "Mungkin aku yang rendah dan berpengetahuan sempit memang keliru, tetapi jika majikanku mengatakan demikian tentunya sudah tidak salah lagi."
Walaupun kata-katanya selalu merendah dan menghormat, tetapi dari sikapnya sudah ternyata bahwa ia tidak menghormati Hun Ki. Tentu saja pemuda yang aseran ini menjadi mendongkol dan di dalam hatinya ia berkata, "Jelek-jelek aku juga seorang Ketua partai yang kenamaan, tak mungkin aku manda dikurangajari seorang hamba yang rendah."
Dalam penasarannya ia berkata pula, "Kalau begitu, di dunia ini, kecuali 'Kim Bian Hud', majikanmu sudah tiada tandingannya juga."
"Mana berani kami mengatakan demikian," jawab si pegawai sambil menepuk sandaran kursi Hun Ki dengan perlahan.
Meski tepukan itu perlahan, Hun Ki merasakan kursinya tergoncang dan seketika itu tubuhnya terpental ke atas. Pada saat itu Hun Ki justeru sedang memegang secangkir air teh, karena terpentalnya cangkir itu jadi terlepas. Agaknya cangkir itu akan segera jatuh hancur di lantai, tetapi dengan gerakan secepat kilat, pegawai itu masih keburu menangkapnya disaat cangkir tersebut hampir menyentuh lantai. Berbareng dengan gerakannya ini, mulutnya mengeluarkan kata-kata, "Harap tuan tamu berhati-hati."
Karena malu dan gusarnya, muka Hun Ki segera berubah menjadi merah padam dan tanpa memperdulikan sindiran pegawai itu ia berpaling ke jurusan lain, sedang si pegawai dengan tenang meletakkan cangkir itu di atas meja.
Po Si Taysu bersikap seakan-akan ia tidak melihat apa yang telah terjadi di depan matanya itu. Ia melanjutkan percakapannya dengan si leher panjang dan bertanya, "Kecuali tiga saudara seperguruannya, 'Kim Bian Hud' dan loolap, majikanmu minta bantuan siapa lagi?"
"Sebelum berangkat, majikan telah berpesan, bahwa Hian Bengcu dari Ceng Cong Pay, Leng Ceng Ki Su dari Kun Lun San dan Chio lookunsu dari Hoo Lam Thay Kek Bun akan datang dalam berapa hari ini dan kami di sini harus menyambut mereka dengan baik. Sekarang ternyata bahwa Taysu telah datang paling dahulu, yang menandakan betapa besar setia-kawan Taysu. Majikan pasti akan sangat berterima-kasih karenanya"
Po Si agak kecewa mendengar penjelasan si leher panjang ini. Tadinya ia mengira, bahwa dengan kedatangannya, segala urusan -- betapa sulit juga -- akan dapat diselesaikan. Sama sekali ia tidak menduga, bahwa tuan rumah akan mengundang juga sekian banyak tokoh-tokoh kenamaan, yang -- meskipun tidak semuanya telah bertemu dengan ia -- nama-namanya telah dikenalnya semua. Agaknya tuan rumah itu kurang percaya akan kesanggupannya, ditambah pula dengan kenyataan, bahwa kedatangannya tidak disambut sendiri oleh si tuan rumah atau salah seorang saudara seperguruannya. Karena tidak ada yang ditinggalkan untuk menyambut, maka di dalam hatinya ia mengatakan, bahwa, jika tahu akan begini jadinya, ia lebih baik tidak datang saja. Jauh-jauh ia sudah memerlukan datang untuk membantu, tidak tahunya ia kini harus mengalami perlakuan yang kurang hormat ini.
'Kim Bian Hud' bersahabat rapat dengan majikanmu. Untuk mengundangnya, sudah cukup jika ia pergi sendiri saja, mengapa Ma dan Li dua saudara seperguruannya harus ikut juga?" tanyanya lebih lanjut.
"Bukan begitu, Taysu, kedua Tuan Ma dan Li itu justeru pergi ke Pakkhia untuk menyambut Hoan Pangcu dari Hin Han Kay Pang."
"Hoan Pangcu juga diundang?" tanya Po Si yang menjadi agak terkejut, mendengar disebutkannya nama itu. "Sebenarnya, berapa banyak kawan-kawan si Rase Terbang yang akan datang menyateroni?"
"Kabarnya ia hanya seorang diri, tidak berkawan."
Tanya-jawab itu telah menarik perhatian Whi Su Tiong, In Kiat, To Pek Swee dan yang lain-lain. Pengalaman mereka sudah cukup banyak. Mengingat, bagaimana tuan rumah itu mengumpulkan begitu banyak tokoh-tokoh ternama, sedang si Rase Terbang hanya seorang diri saja, mereka jadi beranggapan, bahwa tuan rumah itu sengaja hendak mengadakan keramaian, atau mungkin juga mempunyai maksud lain lagi. Betapa lihay juga lawan itu, umpama Hian Bengcu dan Leng Ceng Ki Su berdua masih belum dapat menandinginya, jika mendapat bantuan tenaga seorang lagi saja, tentu sudah akan cukup untuk menjatuhkan lawan itu. Mengapa tuan rumah itu sampai harus mengundang 'Kim Bian Hud' dan Hoan Pangcu? Bukankah itu agak terlalu berlebih-lebihan saja? Berbeda dengan mereka semua, Lauw Goan Ho menjadi terkejut, ketika mendengar disebutkannya nama Hoan Pangcu. Kay Pang (Partai Pengemis) selalu memusuhi pemerintah Boan dan sebulan sebelumnya Kaisar Kian Liong telah memerintahkan delapan belas jago-jago utama dari keraton menangkap pemimpin pengemis itu. Akhirnya dengan suatu tipu muslihat yang licin, Hoan Pangcu itu telah dapat ditangkap dan dijebeluskan ke dalam penjara. Lauw Goan Ho adalah salah seorang dari delapan belas jago keraton itu.
Karena peristiwa itu sangat dirahasiakan, maka orang luar hampir tiada yang mengetahuinya Pikir Lauw Goan Ho, "Mengapa orang she Li dan orang she Ma itu tidak langsung menuju ke markas Partai Pengemis di Taytong, di propinsi Shoasay? Mereka justeru pergi ke Pakkhia (Peking). Mungkinkah mereka sudah mengetahui ditangkapnya? Tetapi, jika sudah tahu, mengapa mereka masih mau mengundangnya lagi untuk turut membantu menghadapi si Rase Terbang?"
Sementara berpikir begitu, mukanya lantas saja turut berubah. Po Si Taysu melihat perubahan mukanya itu dan lantas menegurnya, 'Apakah Lauw Tayjin mengenal orang itu?"
"Tidak, boanseng (yang muda) hanya pernah mendengar nama Hoan Pangcu yang terkenal sebagai jago terkemuka di daerah utara dan pernah memukul mati seekor harimau dengan tangannya"
Agaknya Po Si Taysu kurang percaya kepada keterangan berpura-pura itu, tetapi ia hanya bersenyum sedikit dan selanjutnya tidak mengguberis lagi orang she Lauw itu, sebaliknya ia berpaling kepada si pegawai berleher panjang dan menanya lagi, "Bagaimanakah si Rase Terbang itu dan apakah sebenarnya yang menjadi sebab permusuhannya dengan majikanmu?"
"Hamba tidak tahu. Majikan tidak pernah menceritakannya dan hamba tidak berani menanya."
Sementara itu pelayan-pelayan sebawahan si leher panjang telah menyediakan makanan dan arak. Meski tempat itu berada di puncak gunung yang begitu sukar dicapai, tetapi ternyata mereka dapat menyediakan makanan yang enak dan arak yang baik untuk para tamu itu, yang sama sekali tidak menduga akan dapat menikmati hidangan sedemikian.
"Karena merasa berterima kasih kepada Tuan-Tuan yang sudah memerlukan datang berkunjung, maka nyonya telah menyuruh kami mempersilakan Tuan-Tuan minum berapa cawan lebih banyak," ujar si leher panjang Walaupun berada di sekitar meja perjamuan, tetapi Co Hun Ki dan To Cu An masih saja saling memandang dengan mata membelalak dan Ciu Hun Jang maupun Him Goan Hian juga masih saling memandang sambil menggosok-gosok kepalan. To Pek Swee yang duduk berhadapan dengan The Sam Nio pun ingin sekali melabrak nyonya itu dan sebaliknya si nyonya pun memandangnya dengan mata melotot.
Dari antara tamu-tamu itu hanya Po Si Taysu yang terus berbicara dan tertawa-tawa, sambil terus pula makan minum sepuas-puasnya. Agaknya ia tidak pantang makan daging, meskipun ia seorang hweeshio.
Tak lama kemudian datanglah seorang pelayan yang menyuguhkan manthauw (semacam bakpauw tetapi tidak ada isinya) yang masih panas. Karena memang sudah merasa lapar sedari tadinya, maka semua tamu-tamu itu menyambutnya dengan gembira. Ketika mereka mengulurkan tangan hendak mengambil makanan itu, mendadak terdengar bunyi seakan-akan peluit bercampur dengan bunyi mendesis dan segera terlihat sebatang panah api membubung tinggi di angkasa. Di antara asapnya yang tertinggal di belakangnya, sama-sama dapat dilihat sesuatu yang seakan-akan melukiskan seekor rase terbang.
"Soat San Hui Ho!" teriak Po Si Taysu sambil melonjak bangun demi melihat lukisan di antara asap tadi. Mendengar teriakan ini yang lain-lain semua menjadi pucat.
Dalam pada itu si leher panjang segera menghampiri hweeshio itu dan sambil memberi hormat ia berkata, "Majikan belum pulang, sebaliknya musuh sudah datang, maka terpaksa harus Taysu yang memegang pimpinan di sini, harap Taysu jangan menolak."
"Jangan takut, ada aku di sini, biarlah ia naik kemari," jawab Po Si tanpa berpikir.
Agaknya si leher panjang masih ragu-ragu. Sesaat kemudian, sambil menjura lagi, ia berkata, "Ada sesuatu yang hamba tak berani mengutarakannya kepada Taysu."
Dengan suara lantang Po Si menjawab, "Katakan saja!"
"Karena curamnya lereng puncak ini, si Rase tak akan mampu naik kemari. Maka harap Taysu suka turun ke bawah dan memberitahukan kepadanya, bahwa majikan belum pulang."
"Kerek saja ia naik kemari. Biar aku yang menghadapinya."
"Justeru yang hamba kuatirkan adalah jika ia naik kemari, sehingga nyonya majikan akan menjadi terkejut karenanya. Jika sampai kejadian demikian hamba tak ada muka lagi untuk berjumpa dengan majikan."
Sikap ragu-ragu si pegawai ini tentu saja membangkitkan kemendongkolan Po Si. Ia mendapat kesan bahwa kesanggupannya disangsikan orang dan perasaannya jadi tersinggung.
"Kau kuatir, jika aku akan tak sanggup melayani si Rase Terbang?" tanyanya.
"Mana hamba berani." Sambil mengucapkan kata-kata ini si leher panjang memberi hormat sekali lagi.
"Nah, maka biarkan dia datang kemari."
Karena terpaksa, maka si leher panjang menurut, tetapi secara diam-diam ia memberi kisikan kepada kawannya. Mungkin ia berpesan agar dilakukan sesuatu untuk melindungi nyonya majikan mereka.
Melihat kelakuan orang itu, Po Si bersenyum dingin tetapi ia tinggal diam saja Sesaat kemudian ia memerintahkan agar meja perjamuan tersebut disingkirkan dan para tamu itu diaturnya duduk di sepanjang dinding ruangan tersebut.
Tak lama kemudian -- sebelum mereka selesai minum -- terdengar teriakan seseorang melaporkan, "Tamu sudah datang!" dan berbareng dengan itu, kedua belah daun pintu depan segera terpentang.
Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, berhenti minum dan memandang keluar, segera juga mereka jadi kecewa, karena yang masuk hanya dua anak tanggung yang berjalan berjajar.
Kedua kacung itu sama tingginya, usia mereka lebih-kurang dua belas atau tiga belas tahun. Kedua-duanya mengenakan pakaian dari kulit tiauw yang putih. Dua kuncir kecil yang diikat dengan pita merah berdiri tegak di atas kepala mereka dan di punggung masing-masing terdapat sebatang pedang.
Dua-dua, mereka beroman sangat cakap dan alis maupun mata mereka seakan-akan lukisan saja. Selain segala itu, wajah mereka seakan-akan pinang dibelah dua saja, sedikitpun tiada perbedaannya. Hanya, jika yang di sebelah kanan menggendong pedangnya agak ke kanan sedikit, sebaliknya yang di sebelah kiri membawa pedangnya pada pundak kirinya, sedang tangannya menggenggam sebuah kotak.
Pemandangan agak ganjil ini yang benar-benar di luar dugaan mereka semua, tak dapat tidak membangkitkan keheranan mereka. Ketika dua anak itu sudah datang cukup dekat, mereka melihat, bahwa di ujung kuncir masing-masing terdapat sebutir mutiara yang kecil tetapi putih bersih dan berkeredep.
Him Goan Hian adalah seorang PiauwThauw (Pemimpin) suatu piauw kiok ternama sedang To Pek Swee adalah orang yang telah kenyang makan asam garam dalam kalangan rimba hijau (perampok). Maka tak mengherankan, jika mereka lebih mengenal benda mustika daripada kawan-kawan mereka. Segera mereka mengetahui, bahwa dua butir mutiara di ujung kuncir dua kacung itu adalah barang yang sangat langkah dan hati mereka serentak tergoncang.
"Dua butir mutiara itu saja sudah tak terkira harganya, ditambah pula dengan baju kulit tiauw mereka yang putih seluruhnya tanpa ada sedikit juga cacadnya, sungguh-sungguh bukan pakaian yang umum. Bahkan anak-anak orang kaya atau anak-anak orang berpangkat sekalipun belum tentu dapat berpakaian seperti mereka," pikir orang ini.
Dalam pada itu, dua anak itu sudah segera menghampiri Po Si Taysu yang duduk di tengah dan memberi hormat kepadanya. Setelah selesai melakukan peradatan ini, si anak yang di sebelah kiri segera mengangsurkan kotaknya.
Si leher panjang menggantikan tuan rumah menyambut kotak tersebut, untuk segera dibawa menghadap kepada Po Si. Setelah dibuka, ternyata kotak itu tidak berisi apa-apa lagi kecuali secarik surat yang artinya lebih-kurang sedemikian, "Boanseng, Ouw Hui yang akan menerima pengajaran sesuatu, menetapkan agar pertandingan di puncak yang bersalju ini diadakan tepat tengah hari ini."
Tulisan surat itu sungguh bagus dan dari gayanya dapat dilihat, bahwa penulisnya sudah terlatih sekali menggunakan gaya lio (salah satu model tulisan Tionghoa).
"Ah, ternyata julukannya 'HUI HO" adalah hanya kebalikan namanya "OUW HUI" saja, (jika dieja dalam bahasa Kuo Yu)," pikir Po Si setelah membaca tulisan itu.
Kepada kedua kacung itu ia bertanya, "Apakah majikanmu sudah datang?"
"Majikan muda pasti akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan, hanya karena kuatir, jika majikan rumah ini akan menunggu-nunggu terlalu lama, maka kami telah diperintahkan membawa kabar kemari," jawab si kacung yang di sebelah kanan dengan suaranya yang masih kekanak-kanakan.
"Apakah kamu saudara kembar?" tanya Po Si pula. Agaknya ia tertarik pada kedua anak itu.
"Benar," kata kacung itu dan ia segera memberi hormat pula untuk kemudian berbalik, berdua dengan saudaranya hendak meninggalkan ruangan itu. Tetapi sebelum mereka melangkah keluar, si leher panjang telah coba menahan mereka.
"Saudara-saudara kecil, silahkan makan dulu berapa potong kuwe, kemudian baru berangkat," katanya dengan maksud baik.
"Banyak-banyak terima kasih, toako, sebelum mendapat perkenan majikan, kami tak berani tinggal lama-lama di sini," jawab si bocah pula.
Tian Ceng Bun juga sangat ketarik kepada dua bocah itu, ia meraup segenggaman buah-buahan dan mengangsurkannya kepada mereka. "Makanlah sedikit buah-buahan segar ini," katanya.
Sekali ini mereka tidak menolak, bocah yang di sebelah kiri menyambuti pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih dengan tertawa.
Sebaliknya kejadian ini telah membangkitkan rasa kurang senang Co Hun Ki. Ia memang suka cemburu dan adatnya memang pemarah. Sikap mengasih yang diperlihatkan Tian Ceng Bun tadi, walaupun terhadap dua anak kecil, telah menyebabkan ia naik darah. Segera ia mencari gara-gara. Katanya, "Hm, anak sekecil itu menggendong-gendong pedang. Apakah kamu mengerti kiam sut (Ilmu silat dengan pedang)?"
Mendengar kata-katanya yang mengejek, kedua kacung itu menjadi heran. Dengan sikap bingung mereka memandang Co Hun Ki. Kemudian dengan berbareng mereka menjawab, "Kami tidak bisa."
"Kalau tidak bisa, mengapa berlagak membawa-bawa pedang! Tinggalkan pedangmu!" bentak Co Hun Ki. Tanpa menunggu jawaban pula ia mengulurkan tangannya dan membetot dua pedang itu dari punggung bocah-bocah itu.
Tindakan Hun Ki ini sangat cepat dan sama sekali tidak diduga. Maka sebelum dua anak itu mengetahui apa yang sedang tejadi, mata semua orang di sekitar situ telah disilaukan dua kelebatan sinar yang keluar dari pedang kedua bocah itu. Dua batang pedang itu telah berada di tangan Tio Hun Ki.
Karena hasil yang sangat mudah ini. Hun Ki menjadi kegirangan dan tertawa-tawa. Berbareng dengan tertawanya ia mengoceh. "Haha. kamu hanya.."
Tetapi sebelum ia dapat mengucapkan lebih daripada tiga kata ini, kedua anak itu telah melompat ke depannya dan segera mencekek leher Hun Ki, yang selalu berada di sebelah kiri menggunakan tangan kirinya, sedang saudaranya menggunakan tangan kanannya. Co Hun Ki sudah berdaya sedapat-dapatnya untuk meloloskan diri, tetapi sebelum ia menyadari apa yang akan diperbuat kedua bocah itu, kedua kakinya telah terangkat naik, disapu dari kiri-kanan oleh dua bocah itu dengan berbareng. Tubuhnya yang besar-berat segera terpelanting di lantai dengan menerbitkan bunyi yang nyaring juga.
Gerakan Hun Ki merebut pedang itu sudah sangat cepat, tetapi robohnya dibanting ini terlebih cepat pula. Semua yang berada di situ jadi melongo dan sebelum keheranan mereka hilang, dua bocah itu sudah menubruk lagi untuk merebut kembali pedang mereka.
Hun Ki tentu saja tak mau menyerah mentah-mentah. Tadi ia dapat dirobohkan dengan mudah saja, karena ia sama sekali belum bersiap-sedia. Tetapi setelah terpelanting ia segera menekankan tangannya pada lantai dan dengan cara itu ia meloncat bangun. Kedua tangannya yang masih belum mau melepaskan dua bilah pedang itu diacungkannya tegak ke atas agar dua anak itu tidak merebut kembali senjata-senjata itu.
Sangkanya ia akan dapat mengingusi anak-anak itu dengan cara ini. Tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa ia kembali salah menghitung. Sekali lagi, entah bagaimana, kedua kacung itu lelah dapat mencekek lehernya dan setelah tubuhnya ditarik serta kakinya disapu dari kiri-kanan, sekali lagi ia terpelanting, bahkan sekali ini lebih keras daripada vang pertama. Ketika ia
pertama kali dirobohkan, masih boleh dianggap, bahwa robohnya hanya karena belum bersiap-sedia, tetapi setelah dirobohkan untuk kedua kalinya, bahkan secara lebih cepat dan keras, tak dapat disangkal pula bahwa robohnya benar-benar karena serangan anak-anak itu yang sangat aneh dan cepat bagaikan kilat.
Meski bagaimana, Co Hun Ki adalah Pemimpin Thian Liong Bun, di samping itu usianya masih muda dan tenaganya sedang kuat-kuatnya. Jika ia berdiri tegak dua-dua bocah itu tak akan lebih tinggi dadanya. Bahwa ia telah dirobohkan mereka sehingga dua kali berturut-turut, adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya, apa lagi terjadinya justeru di muka orang banyak. Mengingat segala ini, ia menjadi gusar dan memang sesuai dengan adatnya, napsu membunuhnya segera berkobar. Sedang badannya masih menempel pada lantai, ia sudah menggerakkan pedang yang di tangan kirinya miring ke bawah sedang tangan kanannya mengayunkan pedang ke arah bocah-bocah itu. Nyata sekali, bahwa maksudnya adalah membunuh kedua anak itu yang sebenarnya tidak berdosa.
Melihat serangannya ini, Tian Ceng Bun terperanjat sekali. Ia ini tahu bahwa dalam kalapnya, Co Hun Ki telah menggunakan salah satu serangan yang terlihay dari ilmu pedang Thian Liong Bun. Kiranya serangan "Ji Long Than Shoa" (Ji Long Memikul Gunung) ini sudah pasti tak akan dapat dihindarkan kedua anak itu. Karena menyangka demikian maka, terdorong rasa kasihan kepada anak-anak itu, ia berteriak, "suheng, janganlah berlaku kejam!"
Ketika terdengar teriakan Tian Ceng Bun, Co Hun Ki sudah tak dapat menarik kembali serangannya. Meskipun biasanya ia suka menurut kata sumoaynya, tetapi sekali ini ia hanya dapat membelokkan arah serangannya, apalagi karena ia juga bermaksud memberikan sedikit tanda di dada kedua anak itu.
Tetapi di luar dugaan semua orang, bocah yang berada di sebelah kiri itu sudah menyelusup ke bawah ketiak kanannya dan kacung yang berada di sebelah kanan menyerobot ke sebelah kirinya.
Setelah serangannya ini gagal, Co Hun Ki berniat mengulangi serangannya, tetapi apa mau dikata, sebelum ia sempat menarik kembali pedangnya, dua sosok bayangan mendadak telah berkelebat di sampingnya. Agaknya dua bocah itu sudah menyerangnya lagi. Terpaksa dan dengan terburu-buru Co Hun Ki melontarkan dua batang pedang itu dan kedua tangannya, di dorongnya di depan untuk menolak dua anak itu sambil membentak, "Pergi!" Dua kali ia telah diselomoti anak-anak itu, maka kali ini ia tidak mau mengambil risiko lagi. Dorongannya ini telah dilakukannya dengan mengerahkan Seantero tenaganya. Jika dua anak itu terkena, sedikitnya mereka akan terluka.
Ternyata perhitungan Co Hun Ki meleset lagi. Mendadak, entah dengan cara apa dua bocah itu lenyap dari depannya. Sesaat kemudian di belakangnya terdengar tertawa cekikikan. Buru-buru Hun Ki berbalik tetapi hanya untuk ... melihat, bagaimana dua anak itu secepat kilat menyelusup lagi di bawah kedua ketiaknya. Sebelum Hun Ki sempat melakukan sesuatu, tengkuknya sudah kena diketok dua kali, masing-masing anak itu sekali. Kemudian dua-dua anak itu merangkul lehernya.
Ia mengenal bahaya sekarang. Sebisa-bisanya ia berusaha menyelamatkan diri. Ia coba mengelakkan bahaya dengan melengakkan badannya ke belakang agar anak-anak itu terpental dilontarkan tenaga gerakannya itu.
Lagi-lagi ia kecele. Baru saja ia mulai bergerak atau dua anak itu sudah segera melepaskan rangkulan pada lehernya. Ia jadi sangat terperanjat, karena ia tahu, bahwa bahaya yang dihadapinya menjadi semakin besar. Sedapat mungkin ia menahan badannya yang sudah digerakkan ke belakang itu. Pada saat itu, dua-dua kacung itu telah menggerakkan kaki mereka lagi untuk menyapu kaki Hun Ki, yang segera jadi terangkat naik ke depan. Sambil berteriak-teriak mencaci dua anak itu, Co Hun Ki roboh untuk ketiga kalinya. Kali ini lebih keras pula dibandingkan dengan yang terdulu, karena memang bagian tubuh atasnya sedang digentakkannya sendiri ke belakang sedang kakinya di saat itu juga disepak ke depan oleh dua bocah itu.
Demikian keras jatuhnya kali ini, sehingga tulang-tulangnya seakan-akan terlepas berantakan rasanya. Seketika itu ia berdaya untuk bangun kembali, tetapi ia sudah tak punya tenaga lagi, dengan merintih kesakitan ia terlentang kembali di atas lantai. Melihat keadaan suhengnya yang demikian menyedihkan itu, Ciu Hun Jang buru-buru menghampirinya dan memayangnya bangun, hingga Co Hun Ki tidak usah terlentang lama-lama di lantai, menjadi tontonan yang sangat memalukan Thian Liong Bun.
Kesempatan ini telah digunakan kedua bocah itu untuk memungut pedang mereka. Peristiwa ini ternyata belum akan berakhir sampai di situ saja, dalam malu dan gusarnya Hun Ki menjadi nekat. Dengan wajah muram-menyeramkan, dengan mata merah-melotot, ia mencabut pedangnya sendiri dan tanpa mengucapkan "ba" atau "bu," dengan tipu silat "Pek Hong Koan Jit", ia menikam bocah yang di sebelah kiri. Pada saat itu Ciu Hun Jang juga menghunus pedangnya. Ia telah melihat, bagaimana berulang-ulang suhengnya telah dipermainkan kedua bocah itu, sehingga tubuhnya penuh tanda-tanda matang biru. Ia sudah mengerti bahwa dua bocah itu, meski masih kanak-kanak, memang sangat lihay dan sukar dilawan. Apalagi seperti tadi mereka berdua mengerubuti Hun Ki seorang. Maka jika ia kini turut maju untuk membantu suhengnya melayani mereka, rasanya ia tidak melanggar aturan.
Segera, setelah menghunus pedangnya, Hun Jang menyerang bocah yang kanan. Melihat datangnya lawan baru ini, si bocah yang kiri mengisyaratkan sesuatu kepada saudaranya dan dengan bersama-sama mereka menangkis serangan dua orang lawan mereka.
Setelah menghalau serangan-serangan lawan itu, mereka melompat mundur berapa tindak dan berteriaklah si bocah sebelah kiri, "Taysu, kami hanya diperintah menyampaikan surat oleh majikan kami, apakah dosa kami terhadap dua Tuan itu, sehingga mereka mendesak kami dengan semau-maunya saja?"
"Mereka hanya ingin meng-uji-uji kepandaian kamu berdua, sama sekali tiada maksud jahat mereka. Coba-coba kamu menemani mereka berlatih," kata Po Si dengan bersenyum.
"Kalau begitu, silakan Tuan-Tuan memberi petunjuk," kata si bocah sebelah kiri.
Sesaat kemudian mereka sudah bertempur dengan serunya. Semua pegawai dalam rumah itu telah datang semua. Mereka telah mendengar, bahwa dua bocah pembawa surat itu telah bergeberak dengan salah seorang tamu dan mereka jadi kepingin tahu. Beramai-ramai mereka telah datang ke ruangan tamu dan berkerumun di bawah cim che untuk menonton keramaian itu. Si bocah yang sebelah kiri memegang pedangnya di tangan kiri, sedang saudaranya memegang pedangnya ditangan kanan. Mereka menyerang atau mengelakkan serangan lawan dengan berbareng dengan gerakan-gerakan seakan-akan mereka adalah dua raga yang sejiwa saja.
Serangan mereka selalu berantai dan datangnya bertubi-tubi, agaknya seperti juga mereka telah berlatih menggunakan pedang sedari masih bayi. Kerja sama antara mereka sedemikian rapinya, sehingga kelihatannya mereka itu adalah "dwi-tunggal" yang tak dapat dipisahkan-satu dari yang lain.
Sebaliknya dua suheng-tee murid Thian Liong Bun itu juga melayani mereka dengan penuh semangat. Benar-benar seruh mereka bertempur. Setelah sekian lama masih juga belum berhasil, Co Hun Ki maupun Ciu Hun Jang menjadi gemas dan menyerang dengan lebih ganas pula. Sebentar saja mereka bertempur beberapa puluh jurus, tetapi Hun Ki dan Hun Jang masih belum juga bisa menarik keuntungan. Whi Su Tiong tidak sabar. Di samping itu ia pun menjadi kuatir. Ia melihat, bahwa ilmu dua anak itu adalah ilmu pedang Tat Mo kiam hoat pelajaran Siauw Lim Pay yang tiada keanehannya. Hanya dua anak itu yang memainkannya secara aneh sekali. Jika yang satu menyerang yang lain menjaganya. Dengan demikian yang menyerang itu tidak usah kuatir akan dibokong, sedang saudaranya yang menjaga tidak perlu buru-buru menyerang. Karena itu perhatian mereka jadi tidak usah dibagi-bagi dan sesuatu gerakan mereka jadi sangat leluasa.
Whi Su Tiong menaksir, bahwa ia masih dapat merebut senjata kedua anak itu. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa dua sutitnya sudah tidak berdaya, sehingga mungkin sekali tidak lama lagi, nama partai Thian Liong Kun akan runtuh. Dua soal itu telah mendorongnya untuk segera bertindak. Sambil membentak, ia memerintahkan kepada Hun Ki dan Hun Jang supaya lekas mundur dan ia sendiri yang akan melayani dua anak itu. Dua orang muda itu, yang memang sedang kewalahan, tentu saja menjadi sangat girang, mendengar teriakan susiok mereka dan sambil mengiakan, mereka sudah akan melompat mundur.
Tetapi maksud mereka ini tak dapat dilaksanakan, karena tepat pada saat itu, dua lawan kecil itu sudah datang menyerang pula, bahkan dengan gerakan-gerakan yang lebih cepat dari sebelumnya. Bertubi-tubi datangnya serangan-serangan anak-anak itu, silih-berganti mereka menyerang, deras bagaikan hujan lebat. Dengan sendirinya Hun Ki dan Hun Jang harus mengangkat senjata pula untuk membela diri. Dengan demikian mereka jadi terlibat lagi dalam pertempuran yang tidak menguntungkan mereka. Makin lama, keadaan kedua murid Thian Liong Bun ini menjadi semakin mengenaskan. Terengah-engah mereka dipaksa bertempur terus oleh serangan-serangan dua bocah itu, yang tiada sudah-sudahnya Tian Ceng Bun juga turut menjadi kuatir melihat keadaan kedua suhengnya. Pikirnya, "Biarlah, aku yang akan membebaskan kedua suheng agar kemudian Whi susiok yang melayani dua anak itu. Whi susiok lebih berpengalaman dan tidak seceroboh Co suheng Kurasa ia tentu akan berhasil."
Ia segera mencabut pedangnya dan maju ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru, "Jiwi suheng, silakan mundur."
Ia tiba di antara mereka, tepat pada saat Hun Ki sedang didesak dengan hebat sekali oleh kacung yang serba kiri itu. Tanpa berpikir panjang-panjang ia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan si anak. Tak pernah diduganya, bahwa serangan bocah itu dapat berubah arah dengan sangat cepatnya. Serangan terhadap Hun Ki tadi, setelah ditangkis olehnya, justeru jadi berbalik mengarah pundak kirinya. Mau tak mau ia harus menangkis pula dan sesaat kemudian sudah ternyata, bahwa bukannya ia berhasil membebaskan dua suhengnya, bahkan dia sendiri jadi terlihat dalam pertempuran itu tanpa mampu menyingkir lagi.
Setelah lewat berapa waktu lagi, Hun Ki jadi semakin penasaran. Ia tak mengerti, mengapa mereka sebagai murid-murid Thian Liong Bun yang sangat kenamaan, bertiga masih tidak mampu menundukkan dua anak kecil. Ia menganggap soal ini sebagai hal yang akan menghapus pamor Thian Liong Bun, jika sampai tersiar di luar. Dengan adanya anggapan ini, darahnya semakin mendidih dalam tidak berdayanya. Sementara itu si bocah yang serba kanan melihat saudaranya harus melayani dua orang lawan dan keadaannya sudah tidak seleluasa tadi. Serentak ia membelokkan senjatanya dan menyerang Hun Ki. Tepat pada saat Hun Ki berputar untuk menghadapi anak ini si bocah yang serba kiri sudah meloncat ke arah Ciu Hun Jang dan menyerangnya tanpa membuang-buang waktu. Gerakan mereka yang sangat lincah dan sedap dipandang itu sudah mendatangkan pujian orang banyak disertai tepuk tangan riuh. Dua anak itu kini sudah bertukar siasat dan menghadapi tiga lawan itu dengan bersatu. Sesaat kemudian sudah kelihatan, bahwa mereka sudah berada di atas angin lagi.
Agaknya In Kiat juga sudah mengerti, bahwa soal ini saban saat dapat menjadi sebab kehancuran nama partainya, maka ia segera menganjurkan kepada Whi Su Tiong supaya segera maju sendiri. Whi Su Tiong pun sepaham dengan In Kiat. Ia mengangguk dan setelah meringkaskan pakaiannya ia segera lompat ke dalam gelanggang pergumulan itu. "Biarlah aku melayani mereka bermain-main!" serunya dengan maksud supaya tiga-tiga keponakan-murid itu akan segera mengundurkan diri.
Pertama-tama ia menyerang jalan darah "Ki Kut Hiat" si anak serba kanan dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya berusaha merebut pedang anak itu.
Para penonton yang menyaksikan betapa cepat gerakan Whi Su Tiong itu, jadi berkuatir untuk keselamatan anak itu Akan tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa kekuatiran mereka tidak berdasar sama sekali. Dengan mengeluarkan sinar berkilau-kilau, pedang si bocah, sekonyong-konyong sudah berada di dekat punggung Whi Su Tiong.
Inilah suatu kejadian yang sama sekali tidak diduganya. Bocah yang serba kiri ini terang-terang sedang melayani Hun lang dengan asyik sekali, maka ia tidak menyangka, jika bocah itu akan dapat berbalik menyerang dirinya dengan sangat tiba-tiba sedemikian. Ia baru sadar setelah mendengar teriakan Ceng Bun, "Awas, susiok, awas!"
Untung bagi Whi Su liong, bahwa peringatan ini datang tidak terlambat, sehingga ia masih sempat menyingkir dari bahaya. Tetapi tidak urung leher bajunya masih terbeset robek dengan mengeluarkan bunyi memberebet.
"Harap Tuan suka berhati-hati," kata si bocah serba kiri sebagai memberi nasehat. Agaknya ia telah sengaja tidak mau melukakan orang tua itu.
Pengalaman ini tentu saja menyebabkan wajah Su Tiong menjadi merah seketika dan selanjutnya ia berlaku lebih tenang serta lebih berwaspada. Berdasarkan pengalamannya yang luas ia melayani lawan kecil itu dengan tenang dan hati-hati. Tak berani ia sembarang menyerang lagi. Dengan "Toa Kim Na Ciu" (ilmu menangkap dengan tangan kosong) ia menantikan kesempatan untuk merampas pedang si bocah. Kepandaian Whi Su Tiong tidak sama dengan anggauta-anggauta Thian Liong Bun yang lain. Ilmu silatnya dengan tangan kosong sudah dilatih puluhan tahun dan sangat dimalui orang. Maka benar-benar sukar dipercaya, jika, meski ditambah tenaganya seorang lagi, mereka berempat masih belum dapat mengatasi dua anak kecil. Kesempatan yang dinanti-nantikannya tidak kunjung tiba. Karena melihat kenyataan ini, In Kiat jadi mulai menimbang-nimbang untuk turun tangan juga. Pikirnya, "Cabang selatan dan cabang utara berasal satu juga, maka selalu harus saling bantu-membantu dalam menghadapi kesulitan. Runtuhnya pamor cabang utara berarti juga runtuhnya nama cabang selatan, maka biarpun kelak dikatakan orang bahwa kita merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlah yang lebih besar, mau tak mau, aku harus membantu mereka mempertahankan pamor Thian Liong Bun sebagai keseluruhan."
Segera juga ia sudah maju, menyerang si bocah sebelah kiri dengan tipu serangan "Hui Seng Kiong Gwat" (Bintang Sapu Menerjang Bulan) yang ditujukan ke arah dada si anak.
Demi pedang In Kiat berkelebat mengancam saudaranya, si bocah yang sebelah kanan berseru, "Aha, bagus, bagus, kau juga turuti" Bersama dengan seruannya ia segera berbalik menyerang pergelangan tangan In Kiat dengan pedangnya.
Serangan bocah itu membuat In Kiat berpikir, "Cara kerja sama dua bocah ini benar-benar sempurna dan tak ada bandingannya."
Untuk mengelakkan tusukan anak itu, In Kiat menurunkan tangannya sedikit, tetapi karena gerakannya ini, serangannya terhadap si bocah di sebelah kiri juga menjadi gagal. Ruangan tamu itu, kini sudah menjadi gelanggang pertempuran yang seru antara dua batang pedang melawan empat batang pedang dan sepasang tangan kosong yang menerbitkan angin menderu-deru. Sudah sekian puluh jurus mereka bertempur, tetapi keadaan tetap tidak berubah, keseimbangan kekuatan antara kedua belah fihak masih tetap sebagai semula. Agaknya tangan To Cu An menjadi gatal juga, lebih-lebih ketika melihat, bahwa muka Tian Ceng Bun sudah berwarna merah dan penuh keringat yang berulang-ulang sudah harus disusutnya. Nyata sekali, bahwa ia sudah sangat lelah.
Tak dapat To Cu An menahan sabar lagi. "Ceng moay, mengasolah dulu, biar aku yang menggantikan kau!" serunya sambil menerjunkan diri ke dalam medan pertempuran.
Turut sertanya ini membangkitkan amarah Co Hun Ki, yang meski berada dalam bahaya, tak dapat menyingkirkan rasa cemburunya. Dengan mata melotot ia ini membentak, "Tak usah kau bermuka-muka!" Pada saat itu juga ia mengangkat pedangnya, untuk menangkis serangan bocah yang di sebelah kanan, tetapi berbareng dengan itu pula, tinjunya melayang ke arah hidung To Cu An.
Melihat sikap saingannya yang sangat dogol ini, To Cu An jadi tertawa geli dan ia menyingkir ke samping untuk kemudian memutar ke belakang bocah yang serba kiri. Meski sudah terluka, tetapi berkat ilmu goloknya yang bagus, ia dapat juga bertempur dengan tidak kurang tangkasnya.
Tetapi, sebaliknya, ilmu pedang kedua bocah itu juga luar biasa sekali, semakin banyak musuh yang datang mengeroyok, semakin hebat pula daya tempur mereka, seakan-akan mereka mempunyai tenaga simpanan yang tak kunjung habis dan keluarnya sedikit demi sedikit mengimbangi tambahan tenaga fihak lawan.
Keadaan To Cu An, setelah menerjunkan diri dalam pertempuran itu, sangat tidak menggirangkan. Di samping harus menahan serangan dahsyat dari kedua lawan kecil itu, ia masih harus pula memperhatikan Co Hun Ki yang saban-saban mendadak menyerang, bila saja ada kesempatan. Demi untuk menjaga keselamatan puteranya, To Pek Swee bertindak maju, mendekati kalangan pertempuran. Cambuk bajanya disiapkan untuk turun tangan setiap saat. Sesaat kemudian, di antara hujan senjata itu, Co Hun Ki menyerang To Cu An lagi. To Pek Swee yang memang sudah berjaga-jaga, tentu saja terus turun tangan. Cambuknya sudah segera melayang, menangkis serangan Hun Ki kepada puteranya itu dan sesaat kemudian ia melancarkan serangan pembalasan terhadap Co Hun Ki. Para penonton yang tidak mengerti persoalan mereka, menjadi bingung. Mereka tak mengerti mengapa yang sedang bertempur telah menyerang orang yang datang membantu pihaknya untuk kemudian berbalik diserang oleh seorang lain lagi, yang maju paling akhir ini. Tak dapat mereka membedakan siapa -- di dalam pertempuran gaduh itu -- akan menyerang siapa atau siapa berkawan dengan siapa.
Tetapi di antara para penonton itu terdapat seorang yang perhatiannya bukan dipusatkan pada pertunjukan gaduh itu. Orang itu adalah Him Goan Hian yang matanya selalu masih mengincar kotak besi yang diperebutkan di lembah tadi. Ia telah melihat jelas bagaimana, ketika akan menyeburkan diri ke dalam pertarungan itu, Whi Su Tiong telah menyesapkan kotak tersebut ke dalam bajunya. Melihat keadaan pertempuran yang sudah menjadi kacau itu, ia segera memperoleh suatu akal licik. Menurut perhitungannya ia akan dapat mengail di air keruh, menarik keuntungan daripada kekacauan pertempuran itu. Rencananya adalah untuk segera turut serta dalam pertempuran itu dan mencari kesempatan untuk merebut kotak besi yang diincarnya sekalian membalas dendam kepada ayah dan anak she To itu. Sambil meloncat maju ia berteriak kepada suhengnya, "Lauw suheng, mari kita mengambil bagian dalam keramaian ini!"
Sedari kecil Lauw Goan Ho sudah bergaul dengan suteenya ini, maka maksud tersembunyi dalam teriakan suteenya, segera dimengertinya. Tanpa menunggu sampai dianjurkan untuk kedua kalinya, ia segera mengangkat senjata dan menyerbu ke tengah pergumulan itu. Dua orang suheng dan sutee ini sedikit demi sedikit berkisar ke dekat Whi Su Tiong. Berbeda dengan lawan-lawannya yang masing-masing mengandung maksud licik sendirisendiri, dua bocah itu berhati tulus dan tak bersyakwasangka sama sekali. Sangka mereka, dua orang itu memang ingin turut mengerubuti mereka. Maka demi melihat dua orang itu masuk, mereka mendahului menyerang dengan serentak. Di antara orang-orang Thian Liong Bun, Tian Ceng Bun berotak paling cerdas, ia melihat bahwa Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian terus menerus mengincar susioknya, meskipun mereka sedang sibuk sekali melayani serangan dua bocah itu. Seketika itu juga ia sudah dapat menebak tujuan mereka. Tanpa ayal lagi ia memperingatkan susioknya, "Whi susiok, awas kotak besimu!"
Dalam pada itu Whi Su Tiong memang sedang was-was. Seantero kepandaiannya sudah dikeluarkannya semua, tetapi ia tetap tidak berhasil. Dua bocali itu tetap tidak dapat ditundukkan Pada saat itu mendadak in mendengar teriakan Tian Ceng Bun. Hatinya jadi semakin tidak tenteram dan ia berpikir, "Hari ini, kami sembilan orang tak dapat mengalahkan dua orang anak kecil. Terang kita sudah kehilangan muka. Jika harus pula kehilangan kotak besi ini, benar-benar kita bernasib malang."
Dalam sedetik ia berpikir demikian itu, ia telah berlaku lengah dan sesaat kemudian ia merasakan datangnya sambaran angin tajam. Ternyata pada saat itu, setelah menghalau pedang Co Hun Ki dan Ciu Hun jang berdua, si bocah yang selalu berada di sebelah kiri itu, telah membelokkan pedangnya untuk memmbacok ke arah mukanya. Karena mendongkol dan penasaran ditambah lagi hatinya sudah si makin gelisah, maka ia akhirnya menjadi kalap dan hati kejamnya sudah segera menguasai alam pikirannya lagi! Sambil mengegos, ia menghunus pedangnya dan di dalam hatinya ia berkata, 'Apa boleh buat, sudah ketelanjur harus kehilangan muka!"
Di antara sembilan orang itu, kepandaian Su Tiong adalah yang tertinggi setelah ia mencabut senjatanya, maka segera terdengar bunyi nyaring karena beradunya beberapa senjata dan senjata-senjata To Si Hu Cu, Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian sudah dibenturnya terpental semua. Dalam saat yang sama, In Kiat mundur ke belakang sedikit sambil menjaga diri rapat-rapat.
Dengan mundurnya yang lain-lain, maka Whi Su Tiong jadi dapat bergerak dengan leluasa dan semangatnya terbangun seketika. Dengan suatu gerakan yang sangat tangkas ia segera menyerang kepala si bocah yang di sebelah kanan. Serangan ini datangnya sangat cepat lagi mendadak dan justeru pada saat itu si bocah sedang menahan gaitan Lauw Goan Ho, sehingga agaknya tak mungkin ia akan dapat membalikkan pedangnya untuk menangkis serangan Whi Su Tiong. Ternyata si bocah juga menginsyafi hal ini dan ia segera menurunkan tubuhnya sedikit untuk mengelit serangan dari samping itu. Agaknya gerakannya itu agak terlambat, meskipun ia tidak sampai terlukakan tetapi mutiara yang menghiasi kuncirnya telah terbelah menjadi dua. Seketika itu muka dua bocah kembar itu telah berubah, dan bocah yang di sebelah kanan itu berteriak, "Koko!" Hampir-hampir ia menangis.
Tian Ceng Bun tak dapat menyetujui perbuatan susioknya ini. Menurut anggapannya, tiada gunanya susiok itu menghina seorang anak kecil sebagai bocah itu.
Tetapi sebelum ia dapat berpikir lebih lanjut, mendadak kelihatan sepasang sinar putih menyilaukan telah menyambar pergi-datang disertai dengan bunyi-bunyi nyaring karena beradunya beberapa senjata. Ternyata senjata-senjata Him Goan Hian dan Lauw Goan Ho sudah kutung ditabas kedua bocah itu, yang kini melancarkan serangan-serangan secepat kilat dari kiri-kanan.
Kedua orang itu tak kepalang kagetnya dan segera meloncat mundur. Pada saat itu semua orang itu melihat, bahwa masing-masing bocah itu sudah bertambah memegang sebilah belati yang mengeluarkan sinar berkeredep menyilaukan. "Selesaikan perhitunganmu dengan ia!" teriak bocah yang serba kiri itu kepada adiknya. Sementara itu ia tidak menghentikan gerakannya dan segera sudah terdengar lagi berapa bunyi nyaring karena patahnya senjata. Dua bilah belati (atau lebih tepat dua bilah pedang pendek) kedua bocah itu, ternyata adalah senjata-senjata mestika yang dapat memotong aneka macam logam sebagai juga memotong tanah liat.
Dalam gerakan mundurnya Co Hun Ki telah bergerak agak lambat dan iga kirinya masih tergores pedang pendek anak yang serba kiri itu. Juga ikat pinggangnya turut terpotong dan sarung pedangnya jatuh di lantai dengan menerbitkan bunyi nyaring. Di sebelah sana, si bocah yang serba kiri sedang menerjang Whi Su Tiong dengan pedang panjangnya di tangan kanan dan pedang pendeknya di tangan kiri. Dengan menggunakan dua macam senjata, serangan-serangan masing-masing tangan itu juga berbeda dan ditambah lagi dengan kegusarannya, dapat dimengerti jika anak itu telah membuat Whi Su Tiong sibuk sekali. Dengan hati terkejut lagi gusar Whi Su Tiong mendapat kenyataan, bahwa, dengan pengalamannya yang luas, ia masih tidak dapat mengenali ilmu silat si anak. Selain itu ia pun tidak berani mengadu pedangnya dengan pedang pendek lawannya, maka ia terus-menerus terdesak mundur. Sebaliknya anak itu sudah tidak memperhatikan lagi musuh-musuh lain dan segala daya upayanya dipusatkan kepada keinginannya merobohkan Whi Su Tiong semata-mata. Kakaknya -- si bocah yang serba kiri -- menjaga dari belakang, mereka melayani musuh-musuh mereka dengan saling menempel punggung. Sesaat kemudian, juga cambuk baja To Pek Swee sudah tertabas kutung sebagian. Segera musuh-musuh itu sudah tidak berani datang lagi terlalu dekat kepada mereka, beberapa orang itu hanya berani berputar-putar di sekeliling kalangan pertempuran sambil kadang-kadang menyerang dari jauh saja.
Yang paling cemas hatinya adalah In Kiat, Hun Ki, Hun lang dan Ceng Bun berempat. Tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menolong Whi Su Tiong, mereka harus menyaksikan, bagaimana tokoh Thian Liong Hun itu terdesak sedemikian ruipa, sehingga benar-benar mati kutunya. Pada saat itu ia sudah tak dapat mundur lagi, punggungnya sudah menempel di tembok, sedang kawan-kawan separtainya tak dapat menembusi rintangan si kacung yang kiri. Diam-diam Po Si Taysu juga sangat terheran-heran melihat permainan pedang dua anak itu. Di awal pertempuran, ketika hanya melayani Hun Ki seorang, kepandaian dua anak itu kelihatan biasa saja, tidak ada keistimewaannya. Tetapi saban kali fihak musuh mendapat tambahan tenaga seorang, daya tempur kedua bocah itu pun bertambah sesuai dengan jumlah musuh mereka. Pada saat itu dengan ditambah sebilah pedang pendek di masing-masing tangan mereka, keadaan sudah segera berubah secara menyolok sekali. Agaknya sembilan orang dewasa itu sudah tidak dapat mengimbangi lagi ketangkasan mereka.
Pada suatu saat, secara tiba-tiba si bocah yang kiri memperhebat serangannya dan demi pedangnya berkelebat dengan gerakan-gerakan secepat kilat, segera senjata-senjata Lauw Goan Ho dan To Cu An sudah menjadi semakin pendek, terpapas kutung sebagian lagi. Antara delapan orang yang sedang dihadapi anak yang kiri itu, hanya Tian Ceng Bun yang masih memegang senjata utuh. Terang sekali, bahwa bocah-bocah itu tidak mau membuat ia malu, karena mereka berterima kasih kepadanya untuk kebaikannya tadi.
Sebaliknya keadaan Whi Su Tiong sudah semakin menyedihkan. Dengan punggung menempel pada dinding dan dengan susah-payah ia coba bertahan sekuat tenaganya. Pada suatu saat ketika pedang lawannya datang mengancam lagi ia menangkis dengan gerak tipu "Hoay Tiong Pau Goat" (Memeluk Sang Bulan di Dalam Pangkuan). Dengan gerakan ini ia mencoba menyampok dan menekan pedang lawan ke bawah, sesuai dengan ajaran ilmu silat pada umumnya, yakni bila serangan musuh datang dari atas tangkisan juga harus dilakukan dengan gerakan dari atas ke bawah untuk menindih senjata lawan. Tetapi pada saat itu, di luar sangkaannya, mendadak ia merasakan seakan-akan pedangnya bertambah berat berpuluh-puluh kali. Ternyata justeru pedangnya yang seketika itu telah tertindih senjata si anak. Walaupun keadaan ini seharusnya sangat mengejutkan, tetapi Whi Su Tiong telah menjadi gembira karenanya. Ia beranggapan, bahwa betapa bagus juga ilmu pedang si bocah, tak nanti anak sekecil itu akan dapat menandinginya dalam hal adu tenaga. Serentak ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menggempur tenaga lawan kecil itu. Lagi-lagi perhitungannya meleset, berbeda dengan sangkaannya, si bocah mendadak saja menarik kembali pedangnya dan menabas dengan pedang pendeknya. Sesaat itu Whi Su Tiong merasakan pedangnya mendadak menjadi enteng dan ternyata senjata itu hanya tinggal sepotong. Pada saat itu ia benar-benar terkejut dan tanpa berpikir panjang ia segera menimpukkan sisa senjatanya itu ke muka musuhnya. Dengan mudah saja anak itu dapat mengelakkan timpukannya, bahkan secepat kilat, si anak sudah melancarkan serangan lagi dengan pedang panjangnya dari kiri-kanan, sehingga Whi Su Tiong jadi terkurung rapat di antara sinar pedang yang tiada hentinya menyambar-nyambar dari segala penjuru. Whi Su Tiong menjadi ketakutan setengah mati, mukanya pucat-lesi dan keringatnya berketel-ketel turun membasahi badannya. Melihat keadaan Whi Su Tiong yang sungguh berbahaya itu, serentak In Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang menghamburkan senjata-senjata rahasia. Tetapi si bocah yang kiri, yang melindungi adiknya, meloncat secepat angin dan dengan menggerakkan tangannya berapa kali, ia sudah menangkap semua bor beracun, senjata rahasia istimewa Thian Liong Bun, yang sangat dibanggakan orang-orang partai tersebut. Ternyata di bawah pegangan pedang pendeknya terdapat sebuah jaring kecil untuk menampung senjata rahasia yang datang menyerang. Meskipun sudah tidak bersenjata lagi tetapi Whi Su Tiong masih cukup tangkas dan untuk sementara ia masih dapat mengelit serangan-serangan yang datangnya bertubi-tubi dan deras laksana hujan itu. Tetapi untuk melakukan serangan pembalasan ia sudah tak mampu lagi.
Pula, mengetahui betapa tajamnya senjata lawan kecil itu, ia jadi tidak berani berlaku semberono. Di antara angin senjatanya yang menderu-deru terdengar si bocah berteriak, "Gantikan mutiaraku.. Gantikan mutiaraku!"
Dapat dimengerti bahwa Whi Su Tiong seratus, bahkan seribu kali lebih suka menggantikan mutiara bocah itu. Tetapi apa mau dikata, mutiara ia tak punya lagi pula ia sudah telanjur kehilangan muka karena kekalahannya ini Pada saat itu Po Si Taysu mengerti, bahwa jika pertempuran itu tidak dihentikan, tidak lama lagi akan tiba saatnya Whi Su Tiong akan jatuh sebagai kurban belati si anak. Di luar kemauannya, hweeshio tua itu menjadi bingung juga. Whi Su Tiong adalah tamu yang telah diundangnya naik ke atas gunung itu, maka tak dapat ia membiarkannya dihina seorang budak musuh. Dinilai dari ilmu silat yang sampai saat itu diperlihatkan kedua bocah itu, ia mengetahui, bahwa ia sendiri masih dapat mengatasi keadaan. Tetapi sebaliknya, ia telah menyaksikan, bagaimana dua anak itu setiap kali kekuatan lawan mereka bertambah, juga turut bertambah tenaga sesuai dengan kebutuhan. Maka ia menjadi ragu-ragu dan tak berani segera turun tangan. Ia kuatir, jika ia akan tak mampu menandingi anak-anak itu, yang batas-batas kepandaiannya tak dapat ditaksir. Andaikata ia maju dan menderita kekalahan, di mana ia harus menempatkan mukanya?
Sementara Po Si memikirkan persoalan itu, tanpa dapat mengambil keputusan, keadaan Whi Su Tiong sudah jadi semakin payah. Bajunya sudah robat-rabit, mukanya penuh darah dan keringat, dada dan lengannya sudah penuh dengan luka-luka bekas tergores senjata si anak. Dalam putus asanya, sudah berapa kali Whi Su Tiong hampir meratap mohon diampuni, tetapi selalu ia masih mengingat kedudukannya sebagai tokoh terutama dalam partainya dan terus menahan penderitaannya. Sebaliknya si bocah pun tiada hentinya berteriak minta mutiaranya diganti.
Agaknya si leher panjang sudah tak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung terus. Katanya kepada Po Si, "Taysu, lebih baik kau segera turun tangan untuk membereskan dua bocah itu."
Po Si masih tetap ragu-ragu dan hanya menjawab dengan berapa kata yang tidak tegas. Pada saat yang sangat genting itu, mendadak terdengar suatu bunyi mendesir yang nyaring dari angkasa di sebelah luar. Ternyata bunyi itu diterbitkan sesuatu benda yang melayang di angkasa dengan mengeluarkan sinar api berwarna biru. Wajah si leher panjang segera kelihatan
gembira, ia tahu, bahwa panah api itu adalah tanda kedatangan seorang tamu lagi yang diundang majikannya. Sesaat sebelumnya ia sudah menjadi sangat jengkel, karena melihat bagaimana si hweeshio -- salah seorang undangan majikannya -- agaknya ketakutan menghadapi dua anak kecil itu, berbeda dengan ucapannya sendiri yang semula sangat terkebur itu. Tanpa ayal, si leher panjang berlari-lari menghampiri alat kerekan itu untuk memimpin kawannya mengerek naik dan menyambut tamu itu. Si leher panjang ini adalah pengurus rumahtangga di rumah itu dan ia bertanggung-jawab atas keselamatan rumah-tangga majikannya
selama si majikan pergi. Ia she Ie, asalnya juga seorang tokoh yang ternama juga dalam kalangan Kang Ouw dan ia juga cerdik serta tangkas. Sementara itu keranjang yang memuat para tamu sudah dikerek sampai di lamping gunung, dalam tidak sabarnya untuk mengetahui siapa yang datang, maka Ie koankee melongok ke bawah. Ketika itu yang dilihatnya adalah sesusun benda hitam yang agaknya bukan berbentuk manusia. Sesaat kemudian, setelah keranjang itu dikerek lebih dekat ia melihat, bahwa benda-benda itu adalah berapa buah koper, berapa pot kembang dan suatu benda yang mirip dengan hiolo. Selain itu masih terdapat pula beberapa macam benda yang semuanya membangkitkan keheranan Ie koankee. Di dalam hatinya timbul pertanyaan, apakah sekian banyak barang itu dibawa si tamu sebagai sumbangan untuk majikannya? Setelah keranjang itu tiba di puncak, ia buru-buru membongkar isinya dan segera menyuruh sebawahannya menurunkannya kembali keranjang itu ke bawah. Kali ini yang berada dalam keranjang adalah tiga orang wanita, dua orang berusia kira-kira empat puluh tahun dengan muka serta dandanan seperti pelayan, yang seorang lagi adalah seorang gadis yang berusia lebih-kurang enam belas tahun. Ia ini berwajah bulat dan pada kedua pipinya terdapat sujen, dandanannya seperti seorang dayang. Begitu lekas ia melangkah keluar dari keranjang tersebut ia memandang Ie koankee sejenak ia lalu segera berkata, "Kau adalah Ie toako, bukan? Aku sudah mendengar, bahwa lehermu panjang." Kata-katanya ini disertai dengan suara tertawa riang yang enak kedengarannya. Biasanya Ie koankee paling mangkel, jika orang menyebutkan cacadnya ini, tetapi menghadapi ketawa manis si dayang, ia tak dapat berbuat lain daripada bersenyum juga, sambil mengangguk mengiakan.
"Namaku Khim Ji. Yang itu adalah Ciu Nai Ma (Babu Susu she Ciu) yang telah membesarkan siocia dengan air susunya. Yang satu lagi adalah encim Han dan siocia paling suka makan sayur masakannya. Siocia sendiri masih berada di bawah, maka lekas kau menurunkan kembali keranjang ini untuk menyambutnya." Demikian tanpa kikuk-kikuk si dayang menyerocos terus. Pada saat itu Ie koankee sebenarnya ingin menanyakan, siapakah nona yang datang itu, tetapi ia tak mendapat ketika sama sekali, karena Khim Ji terus mengoceh sambil menurunkan barang-barang bawaannya yang makin mengherankan si leher panjang. Yang dikeluarkan dari keranjang tersebut adalah, sangkar burung, kucing, burung kakatua, berapa pot kembang lagi dan aneka ragam barang tetek-bengek yang aneh-aneh. Agaknya Khim Ji sibuk sekali menurunkan barang-barang itu, tetapi selama itu juga mulutnya tidak pernah menganggur. "Aih, puncak ini benar-benar tinggi, di sini juga tidak ada rumput maupun bunganya, rasa-rasanya nona tidak akan betah tinggal di sini. Ie toako, kau terus tinggal di sini, apakah kau tidak merasa jemu?" terdengar pula dari mulutnya yang bawel.
Sebenarnya Ie koankee sudah sangat mendongkol melihat tingkah laku si bawel, pikirnya, "Sedang majikan sibuk sekali bersiap-siap untuk menghadapi musuh tangguh, mengapa mendadak sontak datang sanak yang membawa orang bawel seperti dia ini."
Berbeda dengan yang dipikirnya, mulutnya justeru menanyakan, "She apakah nonamu? Apakah ia masih terhitung sanak majikanku?"
Sambil tertawa, Khim Ji menjawabnya, "Coba kau tebak. Sekali melihat aku terus tahu siapa kau ini, sebaliknya, she nonaku saja kau tidak tahu. Tadi, jika bukannya aku terus menyebutkan namaku, kutanggung kau juga tidak tahu. Eh ... eeh jangan lari, awas nona nanti marah."
Kata-katanya yang terakhir ini membuat Ia koankee menganga kebingungan Tetapi sesaat kemudian ia mengetahui bahwa kata-kata Khim Ji itu ditujukan kepada si kucing kecil yang barusan hendak lari, tetapi telah dapat dipegang dan diangkat si bawel.
Melihat betapa repotnya dayang itu mengeluarkan barang-barang dari dalam keranjang, Ie koankee hendak membantunya. Tetapi, ternyata ia telah berbuat salah lagi.
"Hai, jangan dikacaukan. Di dalam peti itu terdapat buku-buku bacaan siocia, jika kau mengangkatnya terbalik begitu, buku-buku itu tentu akan berantakan ... eeh, eh ... jangan, jangan ... bunga lanhoa itu tak boleh disentuh seorang laki. Menurut siocia, bunga lanhoa itu paling suci dan jika kesentuh orang laki, malamnya akan segera menjadi layu," le koankee tertegun dan buru-buru meletakkan kembali pot kembang itu. Baru saja ia berbuat demikian, atau kembali ia harus mengalami kekagetan tak terkira. Mendadak ia mendengar orang bersajak di sampingnya. Buru-buru ia menoleh, tetapi yang dilihatnya adalah kakatua, yang masih terus mengucapkan sajak tersebut.
Dalam jengkelnya tetapi berbareng geli, ia memerintahkan orang-orangnya menurunkan keranjang untuk mengerek si siocia naik. Lagi-lagi ia agaknya telah keliru, sekali ini adalah si Babu Susu yang mengatakan, bahwa ia harus mengambil mantel dari koper itu dulu, untuk mengganjal tempat duduk dalam keranjang tersebut, yang dikatakannya sangat keras dan tak enak untuk duduk.
Ie koankee tak dapat bersabar lagi, melihat, bagaimana si Babu Susu itu mengambil kunci, membuka koper dan kemudian berunding dulu dengan rekannya untuk menetapkan mantel apa yang harus digunakan untuk keperluan itu, yang terbuat dari bulu rase atau yang terbuat dari bulu tiauw. Pikiran Ie koankee tak dapat melupakan pertempuran di ruangan tamu itu. Ia ingin segera mengetahui, bagaimana kesudahannya dengan Whi Su Tiong, maka sambil meninggalkan pesan sesuatu kepada salah seorang bawahannya, ia berlari-lari kembali ke ruangan tamu tersebut. Begitu melangkah masuk ia mendapat kenyataan, bahwa selama itu tidak terjadi perubahan dalam pertempuran itu. Whi Su Tiong masih tetap terempas-empis terdesak mepet pada dinding, hanya keadaannya sudah semakin payah. Bajunya sudah semakin compang-camping, sepatu kirinya sudah terlepas dan kuncirnya sudah tertabas, sehingga rambutnya berserakan di lantai. In Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang, yang telah dapat meminjam senjata dari para pegawai rumah itu, berusaha sekuat-kuatnya untuk mendobrak rintangan si bocah yang kiri untuk menolong Whi Su Tiong, tetapi sampai sedemikian jauh mereka tetap tidak berhasil, bahkan lambat laun, karena desakan si bocah, mereka jadi terpisah semakin jauh dari Whi Su Tiong. Di fihak lain, Lauw Goan Ho sudah berulang-kali hendak mempergunakan kesempatan itu untuk merebut kotak besi itu. Tetapi si bocah yang kiri itu selalu dapat menghalang-halanginya mendekati Whi Su Tiong. Semakin keras ia menerjang, semakin keras pula ia terdampar kembali oleh ancaman senjata si anak, hampir-hampir ia sendiri kena dilukakan. Karena pengalaman ini, akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya dan mundur, keluar dari kalangan pertempuran.
Melihat segala itu, Ie koankee jadi berpikir, "Ketika berangkat, majikan telah menyerahkan segala-gala kepadaku, jika sekarang tamu-tamu itu harus mengalami malu besar ini, muka majikan juga seakan-akan mendapat tamparan. Biarpun harus binasa, aku tak dapat mengantapkan orang she Whi itu dihina terus-menerus."
Setelah mengambil ketetapan ini, ia segera menuju ke kamarnya untuk mengambil goloknya "Ci Kim Pat Kwa To". Dengan membekal senjatanya ia kembali ke ruangan tamu dan segera berteriak, "Saudara-saudara kecil, jika kamu tidak mau berhenti dengan segera, janganlah mengatakan, bahwa kami, fihak Soat Hong San Chung, berlaku kurang sopan!"
Dua bocah kecil itu tidak menghiraukan seruannya, mereka meneruskan serangan-serangan mereka, tetapi si bocah yang kanan menjawab, "Majikan muda kami hanya menyuruh kami membawa surat, bukannya untuk berkelahi. Maka, asal dia mengganti mutiaraku, aku akan segera mengampuninya!" Sambil mengucapkan kata-kata ini ia melangkah maju dan segera berhasil melukakan pundak Whi Su Tiong sekali lagi. Ie koankee sudah akan membuka suara lagi, ketika mendadak terdengar suara wanita yang merdu, sudah mendahuluinya. "Ah, jangan berkelahi, jangan berkelahi. Aku paling tidak suka melihat orang mengangkat senjata dan menggerakkan kaki-tangan untuk saling menghantam."
Terpesona oleh nada suara yang empuk berirama itu, semua orang menengok ke belakang. Seorang gadis yang mengenakan baju kuning berdiri di ambang pintu. Putih bersih laksana salju yang baru turun warna kulitnya, matanya yang jernih menatap wajah semua hadirin di situ dan mulutnya senantiasa bersenyum menggiurkan.
Kecantikan gadis jelita ini bukannya terlalu luar biasa, tetapi murni dan bersinar suci, mempesona dan menarik, laksana batu permata yang tiada cacadnya. Mereka yang berada dalam ruangan itu adalah orang-orang Kang Ouw yang sudah menjelayah ke mana-mana dan kenyang mengalami rupa-rupa kejadian. Tetapi berhadapan dengan gadis jelita itu, mereka merasa seakan-akan memasuki dunia lain. Tanpa kecuali, mereka jatuh di bawah pengaruh matanya yang suci dan agung itu dan merasa diri sendiri rendah serta kotor. Yang paling usil mulut pun tak berani berlaku kurang ajar terhadapnya. Berbeda dengan yang lain-lain, dua anak itu tidak menghiraukan kedatangan si nona. Karena usia mereka yang masih terlalu muda, maka pikiran mereka pun masih sangat sederhana. Menggunakan kesempatan, ketika semua orang itu masih ternganga, dua bocah itu telah bergerak secepat kilat dan berturut-turut senjata-senjata orang-orang itu yang masih utuh sudah terbabat kutung semua.
"Sudahlah, sudahlah, saudara kecil, jangan membikin onar lagi. Lihat, bagaimana kau telah melukakan orang itu. Iiih, benar mengerikan," kata nona itu sambil bertindak maju untuk memisahkan.
"Dia belum mau mengganti mutiaraku!" jawab bocah yang kanan itu setengah menangis.
"Mutiara apa?"
Si bocah mengacungkan pedangnya ke dada Su Tiong dan segera berjongkok untuk memungut belahan mutiaranya yang berada di dekatnya.
"Lihatlah, ia yang merusakkan dan aku menuntut supaya ia menggantinya," kata si bocah.
Saking menyesalnya, hampir-hampir ia menangis.
Gadis itu mendekatinya untuk memeriksa pecahan mutiara itu. "Ah, memang bagus sekali mutiara ini, aku pun tak dapat menggantinya ... tetapi, tunggulah sebentar. Khim Ji, ambillah sepasang kuda batu giok itu dan berikan kepada dua saudara kecil ini."
Si dayang tidak segera menurut, agaknya ia merasa sayang untuk memberikan dua barang bagus itu dengan cuma-cuma. Ia sudah akan membantah, tetapi sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, si gadis -- yang agaknya sudah dapat menebak pikirannya -- bersenyum dan berkata, "Dasar kau terlalu pelit. Coba lihat dua saudara kecil ini yang begini tampan. Bukankah sesuai benar, jika sepasang kuda-kudaan itu dipakai mereka?"
Dua anak itu menjadi bingung dan mereka saling memandang. Ketika itu Khim Ji tak berani membantah pula dan segera membuka koper yang dimaksudkan dan mengambil dua barang berharga itu, yang berada dalam sebuah kantong sutera. Setelah dikeluarkan, si gadis segera menggantungkan kuda-kudaan itu pada pinggang dua anak itu. Ternyata mulut setiap kuda-kudaan diikat dengan benang sutera, sehingga dapat digantungkan, sebagai yang dilakukan si nona barusan.
Si bocah yang kiri menyambut pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih. Tetapi agaknya ia masih ragu-ragu. Ia melihat betapa bagusnya kuda-kudaan itu yang terbuat dari batu giok putih yang diukir dengan seksama dan indah. Walaupun tak tahu berapa harganya, tetapi ia mengerti, bahwa barang itu sangat berharga dan karena itu ia justeru menjadi sangsi. Lagi pula ia tidak mengetahui asal-usul gadis itu.
Ketika itu si bocah yang kanan sudah memungut juga belahan mutiaranya yang satu lagi. Sambil memperlihatkan kepingan mutiara itu kepada si gadis, ia menerangkan, "Mutiaraku ini adalah mutiara mestika yang dapat mengeluarkan sinar di waktu malam. Mutiara kakakku adalah pasangannya. Maka sekalipun sekarang sudah ada kuda giok ini, keadaan kami masih ganjil juga."
Setelah dua anak itu berdiri berendeng, si nona melihat persamaan antara mereka yang sangat menyolok dan mengerti, bahwa mereka adalah saudara kembar. Ia tahu, bahwa rusaknya mutiara itu tidak begitu berarti, tetapi kepincangan dalam keadaan mereka itu, akibat perbuatan si orang yang di saat itu sudah bermandikan darah, telah membikin mereka kalap. Ia mengambil kuda-kudaan itu dari tangan si anak dan mengusulkan agar dua belahan mutiara itu dimasukkan ke dalam mata kuda-kudaan "Bukankah menjadi bagus sekali?" tanyanya kemudian.
Si bocah yang kiri menjadi girang sekali. Segera ia juga mencabut mutiaranya dari kuncirnya dan membelah permata itu dengan pedang pendeknya.
"Adik, sekarang kuda-kudaan maupun mutiara kita sudah serupa lagi," katanya dengan suara riang.
Si bocah yang kanan juga menjadi gembira dan segera menghaturkan terima kasih kepada si gadis. Kemudian ia juga menjura kepada Whi Su Tiong sambil berkata, "Sekarang kau, orang tua, jangan marah."
Whi Su Tiong mendongkol sekali, ia ingin mengetuk kepala anak itu, tetapi keberaniannya sudah lenyap, sampai pun memaki ia sudah tak berani. Dengan terpaksa ia harus mandah dihina, sedang badannya berlumuran darah Sesaat kemudian, dengan bergandengan tangan, dua bocah itu sudah akan bertindak pergi, akan tetapi sebelum meninggalkan tempat itu, si bocah yang kiri menoleh kepada nona itu dan bertanya, "Bolehkah kami mengetahui nama nona agar kami dapat melaporkannya kepada majikan kami dan juga, kami sangat berterima kasih atas budi nona."
"Siapakah majikanmu?" si nona berbalik menanya.
"Majikan kami she Ouw," jawab si bocah.
Seketika itu juga, wajah si gadis berubah. "Ah, jadi kamu adalah pesuruh-pesuruh Soat San Hui Ho," tanyanya.
"Benar."
"Aku she Biauw dan jika majikanmu menanyakan, katakanlah bahwa pemberi dua kuda giok itu adalah puteri Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Kian Hud', Biauw Jin Hong."
Mendengar ucapan si gadis yang terakhir, semua orang terkejut bukan main. Mereka hanya mengenal 'Kim Bian Hud' sebagai jago yang tak terkalahkan, tetapi tak ada yang menduga, bahwa ia punya seorang puteri yang lemah-lembut serta cantik-agung sebagai gadis itu.
Berdasarkan sikap dan tindak-tanduknya, semula semua hadirin mengira, bahwa ia itu puteri seorang pembesar tinggi yang berasal dari keluarga terpelajar, tak pernah mereka menyangka, bahwa gadis itu adalah puteri si-orang pendekar dari kalangan Kang Ouw yang sangat disegani orang.
Ketika mendengar keterangannya, dua bocah itu jadi saling memandang dan bersama-sama meletakkan kuda-kudaan pemberian si nona ke atas meja. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka berlalu dengan berendeng. Melihat kelakuan dua anak itu, si gadis tertawa, tetapi ia pun tidak mengatakan suatu apa. Yang pada saat itu paling girang adalah Khim Ji, ia segera sudah menyimpan lagi sepasang kuda giok itu.
"Siocia, dua bocah itu benar tidak mengenal adat. Hadiah yang begini bagus mereka kembalikan, jika aku yang diberi ... "
Tetapi sebelum Khim Ji dapat menyelesaikan kata-katanya, Biauw siocia sudah memotong pembicaraannya, "Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Apakah kau tak kuatir dikatakan terlalu pelit?"
Sementara itu, demi mendengar siapa nona yang baru datang itu, Po Si segera tampil ke muka dan dengan nyaring ia bertanya, "Ah, tak tahunya nona adalah puteri Biauw Tayhiap. Apakah ayahmu baik?"
"Bukankah gelar Taysu terdiri dari dua huruf, Po di atas dan Si di bawah? Ayah telah memesan untuk menyampaikan salam kepada Taysu."
"Terima kasih, tak pernah kusangka, bahwa Biauw Tayhiap juga mengenal namaku yang rendah." Po Si tertawa, agaknya ia puas sekali. Kemudian ia menanya pula, "Bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?"
"Boanpwee bernama Yok Lan. Silakan kalian duduk saja, aku harus segera masuk ke belakang untuk menemui pehbo dulu."
Sebagai penutup kata-katanya ia memberi hormat kepada sekalian hadirin, yang segera juga membalas penghormatannya.
"Nona ini benar-benar boleh dipuji. Sebagai puteri seorang pendekar yang tiada tandingannya, sedikit pun ia tidak jumawa atau berlagak," pikir mereka semua.
Biauw Yok Lan bahkan tidak segera meninggalkan mereka, la masih menunggu lagi sampai semua orang itu sudah duduk, baru ia bertindak masuk.
Sesaat kemudian, di sebelah luar, sudah terlihat pula kedatangan delapan orang pelayan lakilaki dan perempuan. Dandanan mereka semua juga bagus-bagus. Mereka menggotong macam-macam koper, kasur bantal, sangkar burung, pot kembang dan lain-lain lagi. Agaknya mereka telah sengaja dibawa untuk melayani si nona. Melihat barang bawaan yang sangat banyak serta berharga itu, To Pek Swee dan To Cu An ayah dan anak jadi saling memandang. Mereka memang mencari sesuap nasi dengan melakukan pekerjaan membegal dan mereka bersyukur, bahwa mereka bukan berjumpa dengan rombongan itu di tengah jalan, sehingga tak dapat tidak mereka tentu akan berusaha merampasnya. Andaikata sampai kejadian begitu, mencari bencana sendiri? Sementara itu Whi Su Tiong sedang membersihkan darah yang berlepotan di mukanya dan di seluruh tubuhnya. Untungnya si kacung tadi tidak mempunyai niatan untuk mencelakainya. Semua luka-lukanya hanya luka yang enteng.
Tian Ceng Bun segera menghampirinya dan membubuhkan obat pada luka-lukanya. Karena tidak ada pembalut yang lebih baik, maka Whi Su Tiong lalu merobek bajunya untuk digunakan sebagai gantinya.
Pada saat itu, secara tiba-tiba, terdengar bunyi bergedubrak yang nyaring. Seakan-akan sudah berjanji, semua orang meloncat ke arah itu, karena yang jatuh itu adalah peti besi yang tadi disembunyikan di dalam baju Whi Su Tiong. Tetapi Whi Su Tiong, yang memang berdiri paling dekat dari peti itu, sudah segera berjongkok untuk memungutnya kembali. Sambil melakukan itu, ia mengayunkan sebelah tangannya yang lain untuk menghalau para penyerbu. Pada detik tangannya sudah menyentuh tutup kotak itu,
tiba-tiba pundaknya terasa ditubruk suatu tenaga yang sangat kuat dan tanpa dapat dicegah pula ia terhujung dan jatuh di atas lantai. Seketika itu juga ia melompat bangun, hanya untuk mendapat kenyataan, bahwa kotak tersebut sudah berada di tangan Po Si Taysu.
Karena tak seorang di antara mereka yang tidak gentar terhadap kegagahan si hweeshio, maka mereka semua mundur kembali dan hanya mengawasi gerakannya tanpa mengucapkan si patah kata.
Setelah lewat sekian lama, baru Co Hun Ki memecahkan kesunyian. "Taysu, kotak itu adalah pusaka Thian Liong Bun, maka kumohon kau suka mengembalikannya," katanya.
Jawab Po Si hanyalah tertawa yang nyaring dan bernada agak mengejek. "Kau menganggap barang ini sebagai pusaka partaimu. Baiklah, jika memang benar demikian, tentu kau tahu apa yang terdapat di dalamnya, bukan? Sekarang, coba katakan apakah isinya?
Jika kau dapat menebaknya dengan jitu, kata-katamu boleh dianggap benar dan kau boleh mengambilnya sebagai hakmu yang sah," katanya dengan nyaring. Pada penutup kata-katanya ia mengangsurkan kotak itu ke depan, ke arah Co Hun Ki.
Seluruh muka Hun Ki menjadi merah, sepatah pun ia tak dapat menjawab, tangannya yang tadi sudah diangsurkan untuk menyambut, segera ingin ditariknya kembali, tetapi karena malu, ia membatalkan niatnya dan menurunkannya dengan perlahan-perlahan.
Hun Ki memang tidak tahu apa yang berada di dalam peti itu. Pengetahuannya hanya terbatas pada ujar gurunya yang mengatakan bahwa barang itu adalah milik partainya dan tak boleh diperlihatkan kepada sembarang orang. Selama hidupnya, gurunya selalu menyimpan dan menjaga barang itu dengan teliti. Belum pernah ia melihat kotak itu dibuka dan belum sekali gurunya menceriterakan apa dan dari mana asal-usul kotak itu. Bukan saja Hun Ki, bahkan In Kiat dan Whi Su Tiong yang tergolong tokoh-tokoh tertua dalam lingkungan Thian Liong Bun, hanya dapat saling memandang dengan terlongong-longong.
Sedang mereka membungkam dalam seribu bahasa, mendadak Ciu Hun Jang menyeletuk, "Tentu saja kita mengetahui isinya, yaitu golok mustika!"
Dalam lingkungan Thian Liong Bun kepandaian Ciu Hun Jang hanya termasuk golongan kedua. Gurunya juga tidak terlalu menyayang padanya, sedang otaknya juga tidak seberapa cerdas. Oleh karena itu, tak heran jika Whi Su Tiong dan rekan-rekan separtainya semua terkejut.
"Kau tahu apa? Lebih baik kau diam saja!" bentak mereka di dalam hati.
Sungguh mereka tidak menyangka, bahwa justeru mereka yang keliru. Sesaat kemudian Po Si sudah membenarkan kata-kata Hun Jang.
"Benar, memang isinya bukan lain daripada golok mustika. Tetapi tahukah kau siapa pemiliknya yang sah dan bagaimana barang itu bisa terjatuh ke dalam tangan Thian Liong Bun?"
Keheranan Whi Su Tiong dan rekan-rekannya tak dapat dilukiskan, terkaan Hun Jang yang jitu itu benar-benar di luar dugaan mereka. Maka menghadapi pertanyaan Po Si yang terakhir ini, dengan penuh pengharapan mereka menantikan jawaban Hun Jang. Tetapi sekali ini, Hun Jang sendiri melongo tanpa dapat menjawab sepatah saja.
"Barang itu adalah pusaka Thian Liong Bun, sudah berapa turunan menjadi peraturan partai kami, bahwa siapa yang mendapatkan golok itu akan diangkat menjadi Ciang Bun Jin," akhirnya tercetus juga dari mulutnya secara dipaksakan.
"Salah, salah besar! Memang sudah kuduga, bahwa kau tak akan dapat menerkanya," kata Po Si sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sebaliknya, kau sendiri tahu apa?" tanya Hun Jang dengan penasaran.
"Lima puluh tahun yang lalu, aku mendengar cerita ini dari chungcu tempat ini. Justeru gara-gara ini, ia harus berselisih dengan Soat San Hui Ho. Jika bukan karena kalian sedikit maupun banyak masih ada sangkut-pautnya dengan soal ini, guna apa loolap mengajak kalian naik kemari," demikian Po Si mulai menerangkan.
Demi mendengar kata-katanya, tanpa kecuali, semua hadirin jadi sangat terkejut. Menurut anggapan mereka, hari itu mereka telah terjebak semua dalam perangkap si hweeshio yang ingin mengangkangi pusaka itu, dan setelah berada di situ, agaknya sukar untuk mereka dapat berlalu dalam keadaan hidup.
Seakan-akan sudah dijanjikan lebih dahulu, dengan serentak mereka menghunus senjata dan bertindak maju, mengurung Po Si di tengah-tengah. Juga mereka, yang sebagai Whi Su Tiong, sudah kehilangan senjata karena dikutungi dua bocah tadi, memungut sisa atau lebih benar meruntuk senjata mereka untuk turut mengepung.
Po Si tak menjadi gentar karenanya. Sambil bersenyum ia berjalan mengelilingi garis kepungan itu, laksana seorang jenderal yang sedang memeriksa barisan.
"Kalian hendak mengeroyok loolap?" tanyanya dengan lantang.
Walaupun mereka semua mendengar pertanyaannya yang diucapkan dengan nyaring, tetapi seorang jua tiada yang berani menjawab atau segera membuka serangan Mereka hanya memandangnya dengan beringas.
Sekian lama keadaan ini berlangsung tanpa terjadi perubahan. Tiba-tiba terdengar Lauw Goan Ho berteriak, "Marilah kita maju beramai-ramai. Bunuh saja hweeshio ini, mustahil kita tidak dapat merobohkannya. Urusan kita sendiri boleh diselesaikan kemudian!"
Memang sedari tadi semua orang itu sudah mengandung niatan demikian, maka demi mendengar anjuran Lauw Goan Ho barusan, dengan serentak mereka sudah hendak maju menyerang.
Tetapi sebelum mereka dapat melakukan sesuatu, di angkasa sebelah luar telah terdengar suatu letusan yang dahsyat.
Dalam kekagetan mereka, orang-orang itu jadi saling memandang dengan diliputi kebingungan. Berselang berapa saat dari luar sudah kelihatan seorang berlari-lari mendatangi. Orang itu ternyata adalah Ie koankee.
"Celaka, tuan-tuan!" jauh-jauh sudah terdengar seruannya.
Semua mata sekarang ditujukan kepadanya. Wajah Ie koankee tampak muram dan sikapnya gugup.
"Apakah Soat San Hui Ho sudah datang?" tanya Hun Ki sebagai yang pertama-tama membuka suara.
"Bukan! Tetapi tambang dan roda pengerek untuk naik-turun gunung ini telah dihancurkan orang!"
"Hah!" seru mereka dengan berbareng. Wajah mereka pucat seketika. "Tak mungkin!"
"Apakah di sini tidak ada tambang lain?"
"Mustahil tiada cara lain untuk naik-turun!"
Seruan-seruan itu terdengar bercampur-aduk. Tak dapat dikenali apa yang diucapkan siapa. "Celakanya, justeru di atas puncak ini hanya terdapat seutas tambang itu saja, dan karena lengah sebentar, alat-alat itu sudah dihancurkan dua bocah tadi!" Ie koankee menerangkan.
"Mengapa sampai dapat dihancurkan?" tanya Po Si dan wajahnya sudah menjadi pucat juga.
"Setelah menurunkan dua bocah itu, kawan-kawanku semua masuk untuk mengaso. Sesaat kemudian terdengar letusan tadi. Ketika aku memburu untuk melihat apa yang terjadi, kulihat bahwa alat-alat pengerek itu sudah hancur. Tentunya, dua bocah itu telah memasang bahan peledak di bawah roda itu dengan diberi sumbu panjang yang sampai di bawah, di mana kemudian mereka menyalakannya." Demikian Ie koankee melanjutkan ceritanya dengan ditambah tafsirnya sendiri tentang bagaimana dua-dua tambang dan roda itu diledakkan.
Pada saat itu tidak ada seorang yang tidak merasa cemas. Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke depan untuk melihat sendiri. Benar saja alat-alat pengerek itu sudah hancur berarakan dan tak berguna lagi. Satu-satunya keuntungan adalah bahwa pada saat terjadinya ledakan itu, tidak ada orang di dekatnya, jika ada, tak usah disangsikan lagi betapa akan akibatnya.
"Taysu, dapatkan kau menerka maksud si Rase Terbang dengan perbuatannya ini?" tanya In Kiat, wajahnya mencerminkan penasarannya.
"Mudah saja. Ia menghendaki, supaya kita semua mati kelaparan di atas puncak ini," jawab Po Si.
"Mengapa ia menghendaki kematian kita semua, sedang kita tidak bermusuh dengan ia."
"Memang dengan kita, ia tidak mempunyai ganjalan apa-apa. Tetapi permusuhannya dengan tuan-rumah kita sedalam lautan. Lagipula kotak besi itu berada di tanganmu, hal ini sama saja artinya dengan menerbitkan permusuhan."
Karena penjelasan Po Si yang terakhir ini, mereka jadi semakin cemas. Mereka menggigil dan dalam putus-asa, mereka bungkam dengan wajah muram. Ungan tindakan lesu, mereka mengikuti Po Si kembali keruangan tamu.
Sementara itu Biauw Yok Lan juga sudah keluar. Agaknya ia lelah dikejutkan letusan tadi dan kini ia ingin tahu apa sebenarnya telah terjadi. Setelah mendapat penjelasan, ia bertanya, "Taysu, apakah dengan muslihat ini si Rase Terbang memang sengaja hendak membikin kita mati kelaparan di sini?"
"Hal ini tak usah diragukan pula, maka paling baik sekarang kita bekerja sama untuk mencari jalan turun dari gunung ini." Kemudian kepada yang lain-lain ia menambahkan, "Permusuhan pribadi baik dikesampingkan dulu, demi untuk keselamatan kita bersama."
"Kurasakan kita tidak usah terlalu kuatir. Dalam sedikit hari lagi ayahku akan datang dan pasti sekali ia akan dapat menolong kita pergi dari sini," kata Yok Lan dengan penuh keyakinan.
Karena kata-kata dan sikap Yok Lan ini, semua orang itu menjadi terhibur juga. Memang benar, dengan adanya gadis itu di situ, tak mungkin 'Kim Bian Hud' berpeluk tangan saja. Hampir bersama mereka menarik napas lega.
Sungguh berbeda dengan mereka, Po Si justeru menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap tidak percaya.
"Meskipun dalam hal ilmu silat, Biauw Tayhiap tiada tandingannya, tetapi kusangsikan apakah ia dapat mendaki lamping gunung yang sangat curam ini," pendapatnya.
"Jika orang lain dapat naik ke sini, bahkan mendirikan perkampungan ini, mengapa ayahku tak dapat mencapai puncak ini?" Yok Lan membantahnya.
"Dimusim panas, memang tidak terlalu sukar untuk mendaki sampai di sini. Tetapi sekarang, dalam musim dingin, salju yang menutupi seluruh lereng, membuatnya terlalu licin untuk dipanjat.
Jika harus menunggu sampai tibanya musim panas dan salju-salju itu lumer, sedikitnya kita harus menunggu tiga bulan lagi. koankee, berapa banyakkah persediaan bahan makanan di sini?"
"Justeru kami sedang mengirim orang untuk membeli persediaan baru, dan mungkin sekali besok ia akan sudah tiba kembali. Persediaan yang masih ada kurang-lebih hanya cukup untuk dua puluh hari, tetapi karena kedatangan kalian maka seharinya kita membutuhkan lebih banyak lagi, sehingga kutaksir persediaan itu hanya akan cukup untuk sepuluh hari lagi."
Sedikit sinar terang yang tadi dilihat orang-orang itu, sudah dihapuskan seanteronya oleh kata-kata Po Si dan Ie koankee barusan. Sekarang mereka benar-benar putus-asa dan di dalam hati, mereka mencaci si Rase Terbang, yang menurut anggapan mereka luar biasa kejamnya.
"Jika akhirnya kita harus mati juga, setidaknya kita harus mengetahui persoalan yang menyebabkan kejadian ini," kata Yok Lan. "Taysu, sebenarnya karena apa kita jadi dianggap musuh oleh si Rase Terbang? Berapa tinggikah kepandaiannya sehingga tuan rumah kita begitu ketakutan kepadanya? Lagipula apakah hubungannya dengan kotak besi itu?"
Pertanyaan gadis ini sama juga dengan pencetusan isi hati semua hadirin. Tanpa kecuali, mereka semua ingin mengetahui soal itu sejelas-jelasnya. Walaupun tadi mereka bertempur mati-matian berebut kotak itu, sampai ada yang tewas karenanya, tetapi di antara mereka itu, tidak ada yang mengetahui pusaka atau mustika apa dan apa kegunaannya, hingga harus diperebutkan nekat-nekatan begitu. Mereka hanya tahu, bahwa isinya benda mustika, lain tidak.
"Baiklah. Setelah kita seakan-akan terjepit di sini, buru-buru juga tiada gunanya. Mari kita membicarakannya dengan jelas dan berterus terang dan sesudah itu kita harus bersatu-padu. Mungkin kita masih dapat mencari jalan keluar. Sebaliknya, jika kita masih saja ingin saling membunuh, tak usah disangsikan lagi, bahwa dengan demikian kita akan celaka semua dan agaknya inilah yang diinginkan si Rase Terbang," kata Po Si.
Orang-orang itu menyetujui pendapatnya dan segera duduk mengelilinginya. Pada saat itu, hawa di atas gunung sudah jadi semakin dingin dan Ie koankee menyuruh sebawahannya menyalakan api. Dengan tenang semua orang itu kini duduk menantikan Po Si mulai dengan ceritanya.
Si hweeshio, sebaliknya, tidak segera mulai. Lebih dulu ia mengangkat cangkirnya dan minum dengan perlahan-lahan.
"Benar harum teh ini," pujinya dan sesaat kemudian ia mulai, "Kisah ini agak terlalu panjang jika harus diceritakan seluruhnya. Apakah kalian ingin melihat dulu golok mestika yang disimpan di dalam kotak ini?"
Semua orang menyetujui usulnya. "Saudara, kau adalah Ciang Bun Jin Thian Liong Bun cabang utara, silakan membukanya untuk diperlihatkan kepada yang lain," kata Po Si sambil menyodorkan kotak itu kepada Hun Ki.
Hun Ki menerimanya, tetapi mendadak ia ingat, bagaimana tadi, ketika To Cu An membuka tutup kotak, telah menyambar anak-anak panah dari dalamnya, untuk melukakan musuh. Seketika itu ia tak berani membukanya, kuatir jika di dalam kotak itu dipasang alat-alat dan senjata rahasia yang dapat mencelakakannya, tetapi ia hanya bersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Jika orang memperhatikan kotak itu, ia akan mendapat kenyataan, bahwa peti itu sudah tua dan berkarat. Saking tuanya, dinding-dindingnya juga sudah legok di sini dan menonjol di bagian sana. Teranglah, bahwa barang itu, barang kuno yang sedikitnya sudah berusia ratusan tahun, tetapi selain itu tidak ada tanda-tanda lain yang istimewa. Tampaknya hanya seperti kotak biasa saja.
Lewat beberapa saat, Hun Ki mengambil keputusan untuk membuka juga tutup peti besi itu. Pikirnya, "Jika aku tak berani membukanya, aku tentu akan ditertawakan si bangsat kecil To Cu An." Sambil menggertak gigi dan menahan napas, ia segera memegang tutup peti itu. Ia mengerahkan tenaganya, tetapi walaupun ia sudah berusaha sekuat-kuatnya, tutup peti tersebut
tak bergeming sedikit jua. Ia menghentikan usahanya untuk memeriksa, mengapa barang itu tidak dapat dibuka. Untuk keheranannya, ia tak mendapatkan lubang kunci atau alat lain. Ia menjadi penasaran, dengan kedua-dua tangannya dan sambil mengeluarkan Seantero tenaganya ia menarik lagi, tetapi lagi-lagi segala daya-upayanya hanya sia-sia belaka.
Melihat, bagaimana suhengnya sudah mengerahkan seluruh tenaganya tanpa memperoleh hasil, Ceng Bun segera mengerti, bahwa kotak tersebut tentu mempunyai suatu alat rahasia. Jika orang hendak membukanya secara paksa, bukan saja ia tak akan berhasil, bahkan mungkin sekali ia akan mendapat celaka karenanya. Oleh karena itu, ia segera menoleh kepada Hun Jang dan mengusulkan supaya ia saja yang coba membukanya. Hun Jang tak pernah menduga, bahwa ia akan diminta melakukan itu, ia menjadi ragu-ragu dan menjawab, "A ... aku tidak bisa."
Walaupun ia sudah terang-terang menolak, tetapi Tian Ceng Bun tetap mengambil kotak itu dan menyodorkannya kepadanya.
"Aku yakin, bahwa kau bisa membukanya," ujarnya dengan halus dan disertai senyuman.
Dengan terpaksa Hun Jang mengambil dan menempatkan kotak itu di atas meja. Ia tidak segera mencoba membukanya selaku Hun Ki tadi, sebaliknya ia hanya meraba-raba seluruh tutupnya, kemudian jari tangannya bergerak mengelilingi tepi kotak itu. Tiga kali ia mengulangi gerakan itu dan akhirnya ia menekankan jempolnya ke tengah dasar peti itu dari bawah.
Hampir pada saat itu juga dengan mengeluarkan bunyi menjebelak, tutup peti itu seakan-akan meloncat. Segenap anggauta Thian Liong Bun yang berada di situ, menjadi heran. Mereka melirik ke arah Hun Jang dan dengan terheran-heran mereka menanya di dalam hati, "Siapa yang mengajarkannya, bagaimana ia harus membuka peti itu?"
Tetapi mereka tidak memikirkannya lama-lama. Segera juga mereka sudah mendekati peti itu dan menjenguk ke dalamnya Isi peti itu, benar-benar sebilah golok yang masih berada dalam sarungnya.
Po Si mengangkat golok itu dan menunjuk ke tepi sarungnya, di mana terdapat dua baris huruf-huruf kecil. "Coba periksalah," katanya.
Sarung golok itu sudah berkarat dan penuh dengan lumut. Goloknya sendiri juga sebilah golok kuno biasa yang tidak ada tanda-tanda keistimewaanya, hanya arti huruf-huruf itu yang agak aneh, "Membunuh seorang kusamakan dengan membunuh ayahku, memperkosa seorang wanita kuanggap sama dengan memperkosa ibuku."
Maksud tulisan itu sudah terang. Maksudnya adalah, melarang orang melakukan perbuatan tersesat, tetapi mengapa harus diukirkan kepada sarung golok itu? "Tahukah kalian, bagaimana asal-usul dua baris perkataan ini?" tanya Po Si.
"Entahlah," jawab semua hadirin berbareng.
"Inilah hukum militer Cwan Ong Li Cu Seng, sedang golok ini adalah golok Cwan Ong, ketika dengan tentaranya yang berjumlah jutaan ia berusaha menegakkan kerajaannya untuk menolong negara dari kemusnaan."
Semua hadirin memandang wajah Po Si dengan sikap heran. Agaknya mereka masih belum percaya akan kebenaran ceritanya.
Ketika itu, Cwan Ong sudah meninggal ratusan tahun sebelumnya, tetapi sepak-terjangnya dan kewibawaannya masih diingat dan dikagumi semua orang gagah dan penyinta tanah air.
"Jika kalian masih tidak percaya, lihatlah di sebelah sini," kata Po Si sambil membalikkan golok itu. Di sebelah itu, diukirkan tiga huruf yang agak besar, "Cwan Ong Li". Melihat tiga huruf itu, mau tak mau mereka harus percaya juga.
"Dahulu, ketika para pahlawan dan puluhan ceecu (kepala perampok) berserikat untuk bergerak, Li Cu Seng telah diangkat menjadi pemimpin besar dan diberi gelar "Cwan Ong".
Belasan tahun ia berjoang dengan susah-payah, akhirnya ia dapat merebut Pakkhia dan dinasti Beng berakhir dengan bunuh diri Kaisar Cong Ceng. Setelah itu ia dinobatkan sebagai raja baru dan nama kerajaannya adalah "Tay Sun". Jika bukan karena si penghianat Gouw Sam Kwi menjual negara dan membiarkan bahkan mengundang tentara Boan melewati Dinding Besar, memasuki tanah air kita, sampai hari ini pasti keturunannya masih berkuasa sebagai raja dan kita tidak harus menelan hinaan bangsa asing seperti sekarang. Sedari jaman purba, belum pernah ada yang dapat mengadakan gerakan besar-besaran seperti yang diselenggarakannya."
Po Si berhenti sebentar dan menghela napas. "Sungguh sayang, bahwa ia menjadi kaisar hanya beberapa hari itu saja, belum sampai sebulan. Tahun Cong Ceng ke-tujuh belas tanggal 19 bulan tiga ia memasuki Pakkhia. Pada tanggal 12 bulan empat ia harus meninggalkan istananya untuk membendung serbuan tentara Boan di sebelah utara. Akhir bulan itu ia mengalami kekalahan besar dan ia harus mengundurkan diri ke sebelah barat daya. Sejak itu negeri kita dikuasai dan diilas-ilas bangsa asing dan bangsa kita terpaksa menelan saja hinaan penjayah yang semena-mena itu." (Kisah Cwan Ong merebut Pakkhia, bacalah buku "PEDANG ULAR EMAS atau KIM COA KIAM".
Cerita Po Si ini sangat menusuk bagi Lauw Goan Ho, si gundal bangsa Boan. Dengan sikap gusar ia menatap wajah hweeshio itu. Di dalam hatinya ia berkata, "Besar benar nyalinya, ia berani mengucapkan kata-kata yang sukar diampuni."
Ketika itu Po Si sudah mengembalikan golok itu ke dalam peti. Setelah berhenti sebentar ia melanjutkan ceritanya, "Si penghianat Gouw Sam Kwi masih mengejar terus dan pada suatu hari, dalam suatu pertempuran yang sengit, Cwan Ong terluka parah. Setelah menderita kekalahan ini, ia sudah tak punya pengharapan lagi untuk merebut kemenangan. Dari Hoolam ia mundur ke Ouwpak. Sementara itu dalam keadaan putus-asa, banyak panglima dan perwiranya yang jadi bertengkar antara kawan sendiri, malah sampai ada yang saling membunuh. Dengan demikian tenaga angkatan perangnya jadi terpecah-belah dan banyak berkurang. Ia mundur terus, sehingga akhirnya ia terkepung rapat di bukit Kiu Kiong San di keresidenan Bu Ciang Hu. Dengan sisa tentaranya, yang terdiri daripada pengikut-pengikutnya yang paling setia, ia berulang-ulang berusaha menembusi kepungan musuh, tetapi karena tentaranya yang berjumlah kecil itu sudah letih sekali, segala daya-upayanya sia-sia saja."
Po Si berhenti lagi sebentar. Biauw Yok Lan memandang golok itu dan ia membayangkan kepahlawanan dan kegagahan Cwan Ong, ia sangat ketarik dan pada saat ia mengingat kemusnaan tentara pahlawan itu dan tewasnya si pahlawan sendiri, ia sangat berduka dan wajahnya juga segera berubah menjadi guram.
"Dalam menghadapi bahaya kemusnaan itu, Cwan Ong ? selalu didampingi empat pengawalnya yang paling setia. Keempat-empatnya mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Empat orang itu masing-masing she Ouw, Biauw, Hoan dan Tian.
Dalam melindungi keselamatan Cwan Ong mereka selalu bekerja sama dengan erat, maka dalam tentara Cwan Ong mereka biasa disebut dengan Ouw Biauw Hoan Tian, gabungan she mereka."
Di antara para hadirin, yang berotak cerdas sudah segera mengerti, bahwa empat orang itu tentu mempunyai hubungan vnng erat dengan peristiwa yang mereka alami. Tian Ceng Bun melirik ke arah Biauw Yok Lan, yang pada saat itu sedang mengorek-ngorek api dalam perapian. Agaknya ia sedang melayangkan pikirannya ke jaman yang lampau itu di bawah pengaruh kisah yang baru didengarnya dari mulut Po Si.
Sebelum meneruskan pula ceritanya, Po Si lebih dulu menatap wajah Lauw Goan Ho. Kemudian dengan suara nyaring yang bernada angker ia mulai berbicara lagi. "Entah sudah berapa banyak kesulitan dan bahaya yang telah dihadapi empat pahlawan itu, dan entah berapa kali mereka sudah menyelamatkan jiwa Cwan Ong. Karena jasa-jasa mereka yang dibuat dengan kesetiaan dan kejujuran tak tergoyangkan, tentu saja Cwan Ong jadi sangat mempercayai mereka. Dari empat orang yang gagah berani ini, si orang she Ouw berkepandaian paling tinggi, selain itu ia juga berotak cerdas sekali, la terkenal sebagai 'Hui Thian Ho Li' (Rase Terbang)." Kata-kata terakhir ini sangat mengejutkan bagi semua hadirin. Mereka mengeluarkan teriakan tertahan. Po Si sama sekali tidak menghiraukan seruan mereka itu. Ia terus mengisahkan riwayat itu tanpa menengok. "Sementara itu, keadaan Cwan Ong di atas Kiu Kiong San, sudah jadi sedemikian gentingnya. Berulang kali Cwan Ong mengirim orang untuk minta bala bantuan. Tetapi setiap kali sampai di kaki gunung, utusan itu sudah harus mengalami bencana. Pada saat-saat terakhir, karena keadaan sudah hampir tak tertahankan lagi, terpaksa ia mengirim tiga orang dari empat pengawal utamanya, yang she Biauw, she Hoan dan she Tian untuk mencari bala bantuan.
Pengawal she Ouw itu ditinggalkan untuk mengawani dan melindungi keselamatan Cwan Ong seorang diri. Tiga orang itu berhasil menembusi kurungan musuh dan dapat pula kembali membawa bala bantuan. Berapa terkejutnya mereka, ketika setiba mereka ternyata Cwan Ong sudah mengalami nasib malang dan menurut kabar yang tersiar, sudah tewas terbunuh. Mereka menangis tersedu-sedu, bahkan dalam kedudukannya, pahlawan she Tian itu sudah hendak membunuh diri sebagai pernyataan setia kepada junjungannya. Untungnya ia keburu dicegah oleh dua kawannya. Mereka membujuknya dengan mengatakan, bahwa sakit hati yang sedalam laut itu harus dibalas dulu. Kemudian mereka menyelidiki tentang bencana yang telah menimpa Cwan Ong dan bagaimana ia telah tewas. Dari keterangan yang mereka kumpulkan dari sana-sini, mereka mendapat kesan, bahwa rekan mereka she Ouw itu masih hidup. Mengingat, bahwa kepandaian orang itu tiada taranya dan kecerdasannya juga sangat luar biasa, mereka berpendapat, bahwa dengan bimbingan rekan tersebut, mereka akan dapat juga melaksanakan pembalasan sakit hati itu. Dengan keyakinan ini, mereka lantas berichtiar mencari jejak rekan she Ouw itu."
Po Si berhenti sebentar untuk menghirup tehnya. "Menurut cerita yang tersiar di antara kaum tua di kalangan Bulim (kalangan ahli-ahli silat) hasil usaha ketiga orang itu, yang mencari rekan mereka, telah berekor panjang, bahkan turun-menurun pesan mereka itu diturunkan kepada anak-cucu mereka, supaya peristiwa itu tidak dilupakan."
Bercerita sampai di sini, Po Si menoleh kepada Biauw Yok Lan dan berkata, "Loolap adalah orang luar yang hanya mengetahui sedikit sekali tentang hal ini. Nona Biauw tentu mengetahui segala sesuatu yang mengenal kejadian itu dan jika ia yang bercerita, kisah ini tentu akan menjadi lebih menarik dan lebih lengkap."
Yok Lan tidak menolak dan segera sudah mulai menggantikan si hweeshio bercerita tanpa mengangkat kepala.
"Ketika aku genap berusia tujuh tahun, aku melihat pada suatu malam ayahku membersihkan dan mengasah pedang. Aku mengatakan, bahwa aku takut melihat senjata dan aku minta kepadanya supaya menyimpan dan tidak bermain lagi dengan senjatanya. Tetapi ayah mengatakan, bahwa ia masih membutuhkan pedang itu untuk membunuh seorang lagi dan jika ia sudah menyelesaikan itu, baru ia akan menyimpan pedangnya untuk selama-lamanya. Mendengar perkataannya itu, aku jadi semakin ketakutan. Karena berulang-ulang aku mendesak, supaya ia tidak membunuh orang, maka kemudian ia menceritakan kisah ini."
"Ia menceritakan, bahwa pada suatu waktu, di masa dahulu, pernah terjadi, bahwa saking miskinnya, rakyat sampai tak dapat makan apalagi berpakaian. Ketika itu, kulit pohon sampai pun rumput dimakan oleh rakyat yang sangat kelaparan itu. Beribu-ribu orang harus mati kelaparan, tidak terkecuali bayi-bayi yang ibunya telah kekeringan air tetek. Akan tetapi, di tengah-tengah penderitaan rakyat jelata yang demikian hebatnya itu para pembesar negeri masih saja memeras rakyat dan memungut pajak yang berat-berat dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil bumi yang sudah ingat sedikit itu. Di samping mereka, kaum hartawan juga turut memberatkan beban si orang kecil dengan memungut uang tewa tanah yang sangat tinggi. Sungguh kasihan, mereka yang tak dapat memenuhi segala kemauan pembesar korup dan hartawan kejam itu, ditangkap-tangkapi dan disiksa untuk kemudian dibunuh. Jiwa rakyat kecil dianggap remeh sebagai juga jiwa semut. Ayah telah mengajarkan aku menyanyikan sebuah lagu yang menurut, katanya, adalah gubahan seorang "bun bu siang coan" (seorang ahli sastera yang juga mahir dalam hal silat). Perlukah aku mengulangi lagu itu?"
Po Si sudah dapat menebak siapa yang dimaksudkan dengan "bun bu siang coan" itu, yakni Li Giam, salah seorang perwira Li Cu Seng yang sangat terkenal. Tetapi hadirin yang lain agaknya belum tahu siapa yang dimaksudkan itu dan mereka segera mengatakan, "Silakan, nona."
Lagu Li Giam itu melukiskan keadaan pada masa itu, membawakan amanat penderitaan rakjat, terutama kaum petani yang tertindas paling hebat. Dengan sedikit kata-kata yang sangat tepat, diceriterakannya, bagaimana panen gagal, harga-harga barang keperluan sehari-hari membubung tinggi, sehingga rakyat harus memakan rumput atau akar-akar tanaman. Dilukiskannya, dengan cara yang sangat mengharukan, bagaimana, di tengah-tengah kesengsaraan yang memuncak itu, pembesar-pembesar korup masih hidup mewah bahkan berlaku sangat sewenang-wenang, teladan mana segera sudah diikuti para hartawan. Masa itu tiada salahnya disebutkan "Jaman banjir airmata dan darah."
Dengan penuh perhatian para hadirin mendengarkan uraian Yok Lan mengenai syair lagu tersebut yang kemudian dinyanyikannya juga. Ketika itu adalah di pertengahan masa pemerintahan Kaisar Kian Liong dan keamanan dalam negeri sedang baiknya. Tetapi terhadap bencana alam sebagai banjir dan paceklik semua orang tak dapat melakukan sesuatu. Maka di daerah-daerah tertentu, yang setiap tahun harus mengalami malapetaka, penghidupan rakyat masih tiada bedanya dengan di masa yang dikisahkan dalam lagu itu. Banyak antara mereka yang sudah pernah melihat sendiri kejadian seperti itu. Lagi pula Yok Lan telah menguraikan dan membawakan lagu itu dengan cara dan suara yang sangat tepatnya, maka, segera juga semua hadirin seakan-akan merasakan sendiri apa yang dikisahkan. Mereka terpesona dan hati mereka jadi turut berduka karenanya.
Beberapa saat kemudian Yok Lan sudah meneruskan lagi ceritanya. "Karena penderitaan itu yang berlarut-larut tanpa ada akhirnya, bahkan semakin lama kian hebat, maka akhirnya rakyat tak dapat bersabar lagi, apalagi setelah kemudian muncul seorang pahlawan yang berjiwa besar. Di bawah pimpinannya, tentara rakyat itu kemudian dapat menguasai Pakkhia (Peking) dan mengakhiri riwayat pemerintah kerajaan yang sangat lalim itu. Sungguh malang, bahwa tidak lama kemudian pemimpin yang sangat mulia itu dibunuh orang jahat. Sebagai tadi diceritakan Taysu, tiga pengawalnya kemudian mencari rekan mereka yang agaknya tidak turut tewas. Mereka berkeyakinan penuh, bahwa dengan pimpinannya, mereka akan dapat melaksanakan pembalasan sakit hati Cwan Ong."
Dalam pada itu, bangsa Boan sudah berhasil menjajah seluruh tanah air kita. Di mana-mana semua simpatisan Cwan Ong dan patriot lain dikejar dan, bila saja ketangkap tentu disiksa sehingga tewas. Karena ancaman bahaya itu, maka untuk keselamatan mereka harus melaksanakan maksud mereka itu dengan menyamar. Seorang menyamar sebagai tabib keliling, seorang lagi sebagai pengemis dan yang ketiga sebagai kuli. Tiga orang ini dan rekan mereka yang sedang dicari itu adalah saudara-saudara angkat, dalam perhubungan mereka selama bertahun-tahun, keempat orang ini sudah menjadi sangat akrabnya, bahkan sampai melebihi hubungan antara saudara kandung. Selama delapan tahun mereka mencarinya tanpa mengenal lelah, tanpa dapat menemukan jejaknya. Akhirnya mereka berpendapat, bahwa rekan itu yang sekalian menjadi saudara angkat tertua mereka, tentu sudah tewas dalam pertempuran. Tak usah dijelaskan, betapa sedihnya mereka pada saat itu."
Kata-kata Yok Lan diucapkan, sebagai juga ia sedang bercerita kepada anak kecil. Agaknya ia meniru gaya ayahnya krtika bercerita dahulu. Nada suaranya sangat sabar lagi halus, sebagai juga dengan itu ia hendak mengutarakan kasih sayangnya. Semua hadirin mendapat perasaan yang aneh dan mereka jadi mengerti bahwa 'Kim Bian Hud' bukan saja seorang pendekar yang berjiwa besar, tetapi juga seorang ayah yang sangat baik.
"Setelah lewat pula berapa tahun tanpa mendapat hasil sedikit jua, mereka menghentikan usaha mereka dan memutuskan untuk coba melaksanakan pembalasan sakit hati itu dengan bertiga saja. Sementara itu mereka sudah mengetahui, bahwa si penghianat, Gouw Sam Kwi, sudah diangkat menjadi raja muda di Inlam. Mereka bertekad bulat untuk membinasakannya dan mereka segera juga berangkat ke Inlam."
Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian saling memandang. Yang seorang seakan-akan hendak mengecam sang kawan yang telah menyeretnya ke dalam peristiwa itu, sehingga ia harus mengalami atau mendengar kata-kata yang menusuk berulang-ulang. Sang sutee sebaliknya ingin mengetahui, bagaimana sikap suhengnya terhadap kata-kata itu.
"Setelah mereka tiba di Kun Beng, ibu kota Inlam, mereka segera mencari keterangan tentang istana persemayaman penghianat keji itu dengan seksama. Maksud mereka adalah supaya dengan sekali bergerak saja mereka akan berhasil. Tak mau mereka mengeprak ular di antara rumput"
"Pada tanggal 5 bulan tiga mereka sudah merasa cukup mengetahui hal istana itu dan dengan senjata lengkap mereka menyateroni istana si penghianat."
"Penjagaan di sekitar tempat kediaman itu, ternyata sangat rapat, mungkin karena si penghianat memang sudah mengetahui, bahwa lambat dan lekas tentu juga akan ada yang mencoba membunuhnya. Karena penjagaan yang luar biasa kerasnya itu, maka ketiga saudara tadi hanya dapat mencapai halaman yang berdekatan dengan kamar tidur si penjual tanah air. Sebelum mereka dapat masuk ke dalam, mereka sudah kepergok dan harus bertempur melawan lebih duapuluh orang pengawal istana itu. Karena kepandaian mereka yang sudah jarang ada tandingannya, mereka dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan sangat cepatnya, setelah berapa orang di antara para pengawal itu sudah tewas atau terluka yang lain segera kabur serabutan. Tanpa membuang-buang waktu, mereka menyerbu ke dalam. Tetapi, agaknya memang belum ditakdirkan harus mati, pada saat penghianat itu sudah tak mungkin terlolos dari tangan mereka, mendadak dari suatu ruangan samping keluar seorang yang meloncat ke depan
penghianat itu dan menghalang-halangi mereka turun tangan. Tak dapat dilukiskan betapa kagetnya tiga saudara itu, ketiga mereka mendapat kenyataan bahwa penghalang itu adalah kakak angkat mereka yang telah dicari siang-malam selama bertahun-tahun itu. Dengan kepandaiannya yang memang jauh lebih tinggi daripada mereka bertiga, kakak angkat itu dapat menghindarkan si penghianat dari kematian."
"Dalam kekalapan mereka, tanpa memperdulikan segala apa, mereka segera menerjang si kakak. Dalam pada itu, para pengawal istana itu sudah datang membanjiri halaman di sekitar ruangan itu. Karena yakin, bahwa mereka tak akan dapat melawan begitu banyak orang, mereka menerjang keluar dengan membuka jalan darah. Tetapi dalam peristiwa itu, yang menyamar sebagai kuli itu telah tertawan. Gouw Sam Kwi memeriksa sendiri perkaranya. Karena ia tidak mau mengaku dan tetap membungkam terhadap segala pertanyaan, maka atas perintah si penghianat ia dihajar habis-habisan dan kedua tulang kakinya dipatahkan, kemudian ia dimasukkan ke dalam penjara."
"Mungkin karena menyesal atas perbuatannya sendiri, secara diam-diam kakak angkat mereka itu kemudian menolongnya secara diam-diam. Setibanya kembali di antara saudara-saudaranya, si kuli dan kedua saudara itu saling merangkul dengan mengucurkan entah berapa banyak air-mata.
Di samping kegirangan mereka, karena dapat berkumpul lagi, mereka juga merasa sangat sedih, karena ternyata, bahwa kakak angkat yang sangat dipuja itu, telah menakluk kepada musuh dan menggagalkan usaha mereka yang telah disiapkan sekian lama dengan memeras sekian banyak keringat. Mengingat perubahan jiwa si kakak itu -- dari seorang pahlawan menjadi seorang budak
musuh -- hati mereka dirasakan pedih sekali. Sebagai juga semua pengalaman ini belum cukup menyiksa mereka, tak lama kemudian mereka bahkan mendapat tahu terang halnya si kakak angkat bahwa kakak angkat itu telah membinasakan sendiri junjungan mereka, ketika sudah sekian lama, sia-sia menantikan kedatangan mereka kembali dengan bala bantuan. Kemudian ia telah menakluk kepada musuh dan karena dianggap berjasa, ia telah diberi pangkat yang tinggi dan sampai pada hari itu, pangkatnya sudah menanjak menjadi tootok (penguasa perang di suatu daerah tertentu). Kemudian, setelah mendapat kepastian akan kebenaran berita ini, mereka memutuskan untuk pertama-tama membuat perhitungan dengan bekas rekan ini dan baru setelah
itu berusaha membunuh si penghianat lagi."
Pada saat itu semua hadirin agak terkejut. Sepanjang pendengaran mereka, memang benar, bahwa Cwan Ong telah tewas karena penghianatan salah seorang sebawahannya, tetapi mereka sama-sekali tidak pernah menyangka, bahwa yang berhianat itu adalah "Hui Thian Ho Li", pengawal Cwan Ong yang sangat dipercaya.
Setelah menghela napas panjang-panjang, Biauw Yok Lan melanjutkan pula kisah itu. "Karena memang sedari semula mereka sudah bukan tandingan si Rase terbang," tentu saja, setelah salah seorang di antara mereka bercacad, mereka tak dapat melawan bekas rekan itu.
Tetapi ketika mereka sedang memikirkan akal untuk melaksanakan maksud mereka, si Rase Terbang telah mengirimkan surat undangan kepada mereka untuk datang di telaga Tinti pada tanggal 15 bulan tiga, untuk bersama-sama meminum arak.
"Mereka beranggapan, bahwa undangan itu hanya tipu muslihat si kakak, tetapi mengingat, bahwa daerah itu berada di bawah kekuasaannya, sehingga tidak mungkin mereka dapat menghindari kejarannya. Maka, apa boleh buat, walaupun harus menghadapi bahaya yang bagaimana besar juga, mereka berangkat menjumpainya. Tetapi, diam-diam mereka membekal senjata. Ternyata si Rase Terbang sudah menantikan mereka. Agaknya ia hanya datang seorang diri tanpa membawa kawan, pakaian yang dikenakannya juga terbuat dari kain kasar, sebagai dahulu, ketika mereka masih bersama-sama menunaikan tugas dalam tentara rakyat. Segera setelah berkumpul, mereka membeli makanan dan minuman untuk bekal bertamasya di telaga di bawah sinar bulan purnama. Dilihat sepintas lalu, mereka sebagai juga sudah berbaik kembali seperti di masa bersama-sama berjuang."
"Sambil menikmati arak dan makanan bekal mereka dan juga menikmati hawa sejuk di bawah sinar bulan purnama, mereka mengobrol, mengenangkan kembali segala sesuatu yang menggembirakan di masa yang lampau. Si kakak angkat sama sekali tidak menyebut-nyebut hal junjungan mereka. Ketiga saudara itu pun tidak berani menanyakan hal itu dan mereka juga hanya membicarakan hal-hal yang menyenangkan saja. Semangkuk demi semangkuk, si Rase terbang minum terus dan setelah lama sekali, setelah sang bulan naik tinggi, ia mendadak mendongak dan berseru, "Saudara-saudara, sepuluh tahun kita berpisah dan baru sekarang kita dapat berkumpul lagi. Hari ini, aku merasa sangat berbahagia!"
"Saudaranya yang menyamar sebagai tabib keliling tak dapat bersabar pula. Dengan tertawa mengejek ia menjawab, "Hm! Dengan pangkatmu yang tinggi dan kehidupanmu yang mewah, tentu saja kau menjadi berbahagia! Hanya, entah bagaimana perasaan Goanswee pada saat ini."
Walaupun Cwan Ong akhirnya sudah naik takhta sebagai kaisar, tetapi karena sudah biasa sedari awal perjuangan, mereka menyebutnya sebagai Goanswee (Jenderal Besar), mereka tak dapat mengubah panggilan itu."
"Dalam pada itu, demi mendengar kata-kata si tabib, si Rase Terbang menghela napas panjang-panjang dan mengatakan, bahwa beliau tentu merasa kesepian dan setelah urusan di tempat itu beres, ia akan menunjukkan jalan, agar mereka dapat menjumpainya. Seketika mendengar kata-katanya, ketiga saudaranya menjadi sangat gusar, karena mereka beranggapan, bahwa mereka akan ditunjukkan jalan ke akherat untuk menjumpai arwah Cwan Ong. Yang menyamar sebagai kuli sudah hendak mencabut senjatanya, tetapi keburu dicegah saudaranya -- yang menyamar sebagai tabib -- dengan kerlingan mata. Yang tersebut belakangan ini segera mengangkat botol dan menambahkan arak ke dalam cangkir toako mereka. Bersama dengan itu, ia menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Goanswee mereka, setelah tiga saudara angkat itu meninggalkan Kiu Kiong San. Si toako mengerutkan alisnya dan menjawab, bahwa undangannya hari itu memang dimaksudkan untuk membicarakan hal ini. Pada saat itu, mendadak yang menyaru sebagai pengemis menunjuk ke belakang si toako dan mengeluarkan seruan tertahan seakan-akan ia melihat seseorang mendatangi secara tak terduga."
"Ketika sang kakak menoleh, dengan serentak si tabib dan si pengemis menyerangnya, dari belakang. Bokongan mereka ini menyebabkan toako itu kehilangan lengan kanannya dan punggungnya terluka berat. Dengan berseru kaget, kesakitan dan marah, si Rase Terbang menoleh dan mengulurkan sebelah tangannya. Dengan sekali bergerak saja ia sudah dapat merampas golok kedua penyerangnya yang segera dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika kemudian tangannya itu berkelebat sekali lagi, si tabib telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi."
"Segera setelah itu ia berteriak, 'Kita berempat telah bersumpah sebagai saudara, mengapa kamu sekarang hendak mencabut nyawaku?' Seruan si Rase terbang ini dijawab saudaranya yang menyamar sebagai kuli. Katanya, 'Kau telah mencelakakan Goanswee, menjualnya kepada musuh untuk mendapat kemewahan, mengapa kau masih tidak malu menyebut-nyebut hal sumpah setia?' Menutup kata-katanya, ia segera menyerang juga, tetapi sang toako dapat mementalkan goloknya dengan tendangan dan senjatanya itu segera menyusul senjata-senjata dua saudaranya yang telah tenggelam ke dasar telaga lebih dahulu. Sebagai jawaban atas caci adik angkatnya ia tertawa dan mengatakan, 'Bagus, kamu setia, sangat setia!' Ketiga adik angkat itu tertegun lagi ketakutan, walaupun sudah terluka parah ditambah lagi sebelah tangannya sudah kutung, ia masih sangat gagah dan dapat mengalahkan mereka dalam serintasan saja. Sementara itu, si toako sudah menghentikan tertawanya dan kini justeru berbalik menangis, di antara tangisnya terdengar penyesalannya, bahwa karena perbuatan tiga saudaranya, rencana pekerjaan besarnya menjadi hancur berantakan."
"Setelah mengucapkan kata-katanya itu, ia segera melepaskan si tabib. Karena menyangka, bahwa ia tentu tidak akan mau sudah begitu saja, maka pada saat yang sama, si pengemis menghantam dadanya. Serangan ini, yang sangat mendadak dilancarkannya dengan Seantero tenaganya dan tak dapat dielakkan lagi oleh si Rase Terbang, toako ini segera memuntahkan darah, tetapi berbareng dengan itu, ia mengangkat sebelah tangannya. Ketiga saudaranya terperanjat, tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa ia tidak bermaksud mencelakakan mereka. Ia menghajar dinding perahu yang lantas saja sompelak sebagian, sedang perahu itu jadi tergetar seluruhnya 'Meskipun aku sekarang sudah terluka berat, tetapi, jika aku mau, dengan mudah saja aku dapat mencabut tiga nyawa kalian, yang bagiku sama mudahnya dengan membalikkan sebelah tanganku,' ujarnya dengan ketawa getir.
"Tiga orang itu takut bukan main. Mereka berkeyakinan, bahwa jiwa mereka tak akan dapat ditolong lagi. Maka, dengan tekad untuk menjual jiwa semahal-mahalnya, mereka mundur ke suatu sudut, di mana kemudian ketiga-tiganya berdiri bejajar, bersiaga, menantikan perkembangan selanjutnya. Akan tetapi untuk keheranan mereka, ia sama sekali tidak berusaha untuk melanjutkan serangannya, bahkan menarik napas panjang-panjang sambil menunduk dan berkata, 'Jagalah, jangan sampai kejadian malam ini tersiar di luar. Jika puteraku mendengar hal ini, ia tentu akan mencari kalian untuk balas, dan kupastikan, bahwa kalian bertiga bergabung, masih juga bukan tandingannya. Maka, untuk menghindarkan kalian daripada tuduhan membunuh kakak angkat sendiri, lebih baik aku membunuh diri saja" dengan selesainya kata-kata ini, ia menghunus goloknya sendiri dan tanpa dapat dicegah oleh siapa juga ia sudah menggorok lehernya sendiri"
'Agaknya si kuli tidak tega melihat kakak itu akan menemui ajalnya secara begitu mengenaskan. Ia segera meloncat ke sampingnya dan hendak menolongnya. Tetapi ia terlambat tetapi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, kakak itu masih dapat berpesan, "Saudara yang baik, aku sudah akan berpulang. Golok kebesaran Goanswee banyak kegunaannya. Ia... Ia, orang tua, di Ciok Mui Kiap ...' Pada saat itu, sebelum dapat menyelesaikan pesannya, ia sudah keburu mangkat. Tiga adik angkatnya tak dapat mengucapkan sepatah kata dan untuk berapa saat mereka hanya memandang jenazahnya dengan terlongong-longong. Pelbagai macam perasaan mengaduk dalam alam pikiran mereka. Sedih, menyesal, kasihan tapi juga puas silih berganti menguasai perasaan mereka Sesaat kemudian mereka mendapatkan kembali kesadaran mereka dan mereka segera melihat, bahwa golok yang barusan digunakan menggorok lehernya sendiri oleh kakak mereka itu, adalah golok kebesaran Cwan Ong dahulu."
Tanpa terasa semua mata beralih memandang golok yang berada di dalam peti itu. Entah apa yang terkilas dalam alam pikiran mereka, pada saat itu. Sedang yang lain masih diam dengan pikiran masing-masing, mendadak saja Lauw Goan Ho berteriak, "Aku tidak percaya!"
To Pek Swee menjadi gusar. "Kau tahu apa!" bentaknya.
"Aku tidak mau percaya, bahwa Li Cu Seng -- yang telah membuat banjir darah di suatu daerah yang ribuan li luasnya -- dapat mengadakan hukum militer sedemikian, sebagai empat belas huruf itu," katanya dengan menggelengkan kepalanya.
Atas bantahannya ini tak ada yang dapat menjawab, setelah lewat beberapa lama, baru Ie koankee yang menjawabnya. Katanya, "Kau mengatakan, bahwa Cwan Ong telah membunuh orang bagaikan membabat rumput saja Kaukah, atau siapa yang telah melihat kejadian itu?"
"Semua orang berkata begitu. Tak mungkin mereka semua bohong," bantah si gundal pemerintah Boan.
"Kamu, golongan pembesar, memang selalu mengatakan, bahwa Cwan Ong sangat kejam. Tetapi, sebaliknya, Cwan Ong justeru telah berjuang untuk rakyat, bersama dengan rakyat dan dipilih serta didukung oleh rakjat. Memang banyak yang telah dibunuhnya Tetapi semua itu, adalah pembesar negeri atau hartawan lalim, penindas rakyat kecil. Maksud undang-undang empat belas huruf itu, ialah untuk melarang sebawahannya bertindak sewenang-wenang lebih-lebih membunuh orang yang tidak berdosa Sependengaranku, segala perintahnya telah diturut dengan taat"
Sebenarnya Lauw Goan Ho masih akan membantah lagi, tetapi ketika melihat, bahwa sebagian besar para hadirin menentang pendiriannya, bahkan ada yang bersikap agak keras, ia menjadi kuncup sendiri dan segera menelan kembali kata-katanya yang sudah akan diucapkan barusan.
Untuk mengalihkan perhatian orang banyak, demi keselamatan suhengnya, Him Goan Hian segera meminta Yok Lan melanjutkan ceritanya Segera Yok Lan telah melanjutkan kisah itu.
"Setelah dapat menguasai perasaannya, si kuli berkata, Ia mengatakan, bahwa Goanswee berada di Ciok Mui Kiap, apakah maksudnya?' Si tabib mengutarakan pendapatnya, bahwa mungkin sekali kakak itu hendak mengatakan, bahwa Goanswee mereka dikubur di tempat tersebut. Sebaliknya, si pengemis mempunyai pandangan lain lagi. Menurut ia, si Rase Terbang mungkin hanya menjusta, mengingat, bahwa ia itu mempunyai banyak akal. Bahwa ia tak percaya akan kejujuran kakak angkat mereka itu memang dapat dimengerti. Bukankah, setelah meninggalnya Cwan Ong, si penghianat Gouw Sam Kwi mengirimkan jenazahnya ke kota-raja untuk mendapat hadiah besar. Bukankah kepala pahlawan itu kemudian digantung di atas pintu gerbang kota-raja untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai dan bukankah setelah menempuh beribu macam bahaya, mereka bertiga akhirnya berhasil juga merampasnya kembali untuk kemudian dikubur di suatu tebing belukar yang sangat curam dan belum pernah diinjak orang?
Tak mungkin mereka percaya kata kakak itu, yang agaknya hendak memberi kesan, bahwa beliau itu berada di Ciok Mui Kiap.
"Setelah mereka berhasil menyingkirkan kakak angkat mereka, bertiga mereka segera coba membunuh si penghianat. Tetapi kali ini, penjagaan di istana itu sudah diperkuat, sehingga sukar sekali ditembusi. Beberapa kali mereka mencoba. Tetapi setiap kali mereka menampak kegagalan.
Hal meninggalnya kakak angkat mereka segera tersiar di luar dan para orang gagah, memuji mereka - yang menurut pendapat umum sudah membunuh kakak angkat yang berdosa itu, tanpa ragu-ragu -- demi untuk menegakkan kewibawaan kaum Kang Ouw. Ketika berita itu akhirnya sampaijuga di kuping anak si kakak angkat yang malang, pemuda ini menjadi sangat sedih dan segera berangkat ke Kun Beng untuk menuntuk balas."
"Putera itu telah membuat kesalahan besar. Walaupun -- sebagai anak, ia wajib menuntut balas bagi ayahnya -- tetapi ia harus mengingat, bahwa kejahatan dan dosa ayahnya itu sangat besarnya. Tidak selayaknya ia harus bertindak demikian," kata Po Si, memotong cerita Yok Lan.
"Ayahku pun berpendapat demikian. Tetapi sebaliknya jalan pemikiran pemuda itu pun punya alasan-alasannya sendiri hingga sebenarnya sukar untuk kita menetapkan salah-benarnya Setibanya di Kun Beng ia segera mencari jejak ketiga paman angkat itu, yang tak lama kemudian dijumpainya di suatu kuil rusak. Melihat kedatangan pemuda itu, tiga orang itu terkejut bukan main. Segera juga mereka sudah bertempur dengan sengit. Tak usah ditunggu terlalu lama, ketika sudah ternyata, bahwa pemuda itu benar-benar sudah mewarisi seluruh kepandaian ayahnya. Bertiga mereka masih tak mampu menandinginya. Tidak sampai setengah jam, ketiga paman itu sudah digulingkan seorang demi seorang. Ketiga-tiganya sudah tidak mengharap akan dapat meninggalkan tempat itu dalam keadaan masih bernyawa. Tetapi dugaan mereka meleset jauh. Setelah mereka jatuh tidak berdaya, si pemuda bukan lantas membinasakan mereka. Sebaliknya ia berujar, 'Pamanku, ayahku telah rela menerima hinaan dan ejekan sekian lamanya Ia dituduh sebagai penjual majikan. Ia dimaki sebagai penghianat rendah yang tamak kemewahan. Tetapi, tahukah kalian bahwa ia mempunyai suatu tujuan lain yang sangat penting dan tak dapat diceritakan kepada segala orang? Suatu rahasia yang besar sekali artinya. Biarlah, mengingat, bahwa kalian adalah saudara-saudara angkat ayahku, aku tidak akan mencabut jiwa kalian. Lekas-lekaslah kalian pulang dan tunggulah kedatanganku pada tanggal 15 bulan tiga, tahun depan.'
Menutup kata-katanya, ia segera merebut kembali golok kebesaran Cwan Ong yang sudah berada di tangan mereka itu dan segera berlalu.
"Kejadian itu adalah di awal musim semi. Tanpa ayal lagi ketiga-tiganya segera berangkat pulang ke utara. Setelah tiba di rumah masing-masing, mereka segera mengumpulkan seluruh keluarga mereka dan kemudian menceritakan pengalaman mereka yang sangat hebat itu. Semua anggauta keluarga mereka menyatakan, bahwa mereka tidak bersalah, karena sebagai penjual majikan dan sebagai pelindung musuh besar mereka, si penghianat Gouw Sam Kwi, sudah sepantasnya mereka bertindak untuk menyingkirkannya. Rata-rata para anggauta keluarga itu tidak percaya, bahwa dengan segala kenyataan itu, si Rase Terbang masih mempunyai maksud tertentu yang sangat penting. Mereka beranggapan, bahwa putera Si Rase Terbang hanya pandai memutar lidah. Lambat laun berita itu telah tersiar luas di antara sahabat-sahabat mereka. Pada tanggal yang telah dijanjikan, sahabat-sahabat itu beramai-ramai datang di tempat mereka untuk membantu menghadapi putera si Rase Terbang. Tepat sebagai janjinya, ia telah datang.
"Hari ini juga tanggal 15 bulan tiga!" teriak Tian Ceng Bun tertahan. Seketika itu, semua orang menjadi kaget dan mereka juga ingat, bahwa si Rase Terbang yang harus dihadapi mereka, menurut Ie koankee, juga akan datang seorang diri untuk menuntut balas. Agaknya antara kisah yang diceritakan Yok Lan dan kejadian yang mereka alami hari itu -- walaupun berbeda waktu lebih seratus tahun -- ada hubungannya.
Karena sangat ingin tahu, dengan tak sabar mereka memandang Yok Lan, menantikan ia melanjutkan pula ceritanya. Tetapi pada saat itu Khim Ji telah datang dengan kantong sutera dan segera diletakkannya di atas pangkuan Yok Lan.
"Nyalakan lagi sedikit dupa?" perintahnya kepada pelayan itu. Khim Ji segera melakukan perintah itu. Ia membawa sebuah hiolo kecil dari batu giok putih dan meletakkannya di atas meja di samping Yok Lan. Segera juga segulung asap yang harum sudah memenuhi seluruh ruangan, melegakan dada semua hadirin.
"Jika aku berada seorang diri dalam ruangan ini, kau boleh menyalakan dupa ini. Tetapi sekarang begini banyak orang, mengapa kau menyalakan yang ini?" Yok Lan mencomel.
"Benar bodoh, aku," kata Khim Ji sambil tertawa dan segera masuk untuk menggantikan dupa itu.
Sedang para pendengarnya sudah tak sabar menantikannya, Yok Lan justeru melanjutkan memberi petunjuk kepada Khim Ji. Kali ini ia menyuruh Khim Ji melihat apakah hiolo itu sudah betul letaknya. Khim Ji bersenyum lagi dan segera memindahkan hiolo itu dengan melihat jurusan angin. Setelah itu ia menambahkan teh di cangkir nonanya dan kemudian baru pergi.
Karena agak mendongkol, maka semua hadirin berkata di dalam hati, "Percuma 'Kim Bian Hud' disebut jago yang tiada tandingannya, sedang puterinya dimanjakannya sehingga menjadi begini aleman."
Sesaat kemudian, Yok Lan mengangkat cangkirnya, memeriksa tehnya sebentar dan meletakkannya kembali, setelah minum sedikit. Para hadirin menduga, bahwa ia akan segera melanjutkan ceritanya, tetapi ia justeru berkata, "Kepalaku rasanya agak pening dan aku akan mengaso sebentar. Harap paman dan saudara sekalian memaafkan."
Semua orang di situ jadi sangat mendongkol, tetapi mereka semua tak berani mengutarakan perasaan masing-masing dan hanya saling memandang tanpa mengucapkan sesuatu. Agaknya, setelah tercengangnya hilang, Co Hun Ki sudah hendak mengumbar marahnya tetapi Tian Ceng Bun masih keburu mencegahnya dan kata-kata yang sudah berada di ambang mulutnya tak jadi keluar.
Tak lama, sedari Yok Lan meminta diri, ia sudah keluar pula. Ternyata ia sudah berganti pakaian dan pupur serta yancinya sudah dicuci hilang. Dalam kesederhanaan itu, ia bahkan kelihatan semakin cantik.
Khim Ji berjalan di belakangnya dengan membawa sebuah bantal tersalut kulit rase putih, yang segera diletakannya di atas kursi nonanya. Yok Lan duduk dengan hati-hati dan kemudian baru bersiap-siap untuk melanjutkan ceritanya.
"Malam itu, di rumah si tabib diadakan perjamuan besar yang dihadiri ratusan orang gagah dari seluruh kalangan Kang-ouw. Dengan tenang mereka menantikan kedatangan putera si Rase Terbang. Sekian lama mereka sia-sia menantikan kedatangannya dan banyak yang sudah menduga, bahwa ia tak berani datang karena banyaknya orang gagah yang hadir di situ. Tetapi, secara mendadak, dengan terdengarnya suatu bunyi yang sangat perlahan, menjelang tengah malam, di antara mereka itu sudah bertambah seorang yang berdiri di atas meja utama dan tak ketahuan dari mana datangnya. Di antara ratusan hadirin, yang hampir semua terdiri dari tokoh-tokoh kenamaan, tak seorang mengetahui bagaimana dan sejak kapan ia sudah tiba. Orang itu masih sangat muda, dilihat dari mukanya, agaknya ia baru berusia duapuluh tahun lebih sedikit. Ia mengenakan pakaian berkabung dan di punggungnya diselipkan sebilah golok. Tanpa memperdulikan ratusan orang itu, ia segera menghampiri ketiga paman angkatnya. 'Paman bertiga, dapatkah aku berbicara dengan kalian di suatu tempat tersendiri?' pintanya. Sebelum ketiga orang itu dapat mengucapkan jawaban mereka, seorang tokoh Ngo Bi Pay sudah mendahului berteriak, 'Laki-laki sejati, tak suka bersembunyi. Segala apa dibicarakannya dengan terus terang dan ia tak takut didengar orang banyak. Sebagai juga ayahmu, yang menjual majikan untuk keuntungannya sendiri, kulihat kau pun bukan orang baik-baik. Samwi jangan sampai terperangkap akal-bulusnya.' Begitu ia selesai mengucapkan kata-katanya ini, segera terdengar beberapa bunyi menggapelok yang nyaring. Ternyata jago Ngo Bi Pay itu sudah ditampar enam kali, mulutnya berdarah dan sekian banyak giginya sudah rontok karenanya."
"Peristiwa ini tentu saja sangat mengejutkan para hadirin. Mereka tak mengerti mengapa anak muda itu dapat memiliki kepandaian setinggi itu dan mengapa gerak-geriknya demikian cepat. Dalam ketakutan mereka tak berani mengucapkan sepatah kata dan begitu juga dengan tokoh Ngo Bi Pay yang jumawa tadi. Kecuali tiga adik angkat si Rase Terbang itu, tak ada yang mengetahui, bahwa kepandaian pemuda itu didapat dari ayahnya dan kecepatannya bergerak -- yang tak dapat dilihat ratusan orang itu -- adalah kepandaiannya yang istimewa dan dinamakan 'Pek Pian Kwi Eng' (Bayangan Setan yang Berubah Ratusan Kali), bahkan agaknya si anak sudah melebihi ayahnya dalam kepandaian itu."
"Sementara itu putera si Rase Terbang sudah berbicara lagi kepada ketiga saudara angkat ayahnya. Ia mengatakan, bahwa jika ia berniat membinasakan mereka, tak usah ia melepaskan mereka di kuil kuno itu dan menunggu sehingga hari itu. Ia menambahkan bahwa soal yang akan dibicarakannya, tak boleh dibicarakan di hadapan orang banyak. Karena alasannya itu sangat masuk di akal, maka si tabib memutuskan untuk menuruti permintaannya. Berempat, mereka pergi ke suatu tempat yang sunyi. Para tamu yang ditinggalkan dalam ruangan perjamuan itu, berhenti makan-minum dan hanya saling memandang dengan membungkam."
"Kira-kira setengah jam kemudian, keempat orang itu sudah keluar kembali. Sedang para tamu itu menunggu perkembangan selanjutnya secara tak diduga, si tabib sudah menjura kepada mereka dan mengucapkan terima kasihnya atas setia kawan mereka yang harus dipuji.
Kemudian, sebelum mereka dapat membalas penghormatan itu, ia dan kedua saudara angkatnya sudah mengangkat golok masing-masing dan menggorok leher mereka sendiri. Para hadirin benar-benar terperanjat melihat perbuatan nekat itu. Mereka beramai-ramai meloncat untuk mencegah, tetapi sudah terlambat."
"Putera si Rase Terbang berlutut di hadapan jenazah tiga paman angkatnya sebagai lazimnya seorang muda menghormati arwah sanak yang lebih tua. Setelah itu, ia segera memungut tiga buah golok paman angkatnya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninggalkan ruangan tersebut. Peristiwa ini terjadinya terlalu cepat dan ketika mereka dapat menetapkan hati mereka,
anak muda itu sudah berlalu jauh sekali."
"Berbondong-bondong mereka memburu keluar untuk mengejar dan mereka saling menganjurkan supaya jangan membiarkan 'penjahat' itu lolos. Tetapi, mana dapat mereka menyusulnya. Sementara itu, di dalam ruangan tadi, putera-puteri ketiga orang yang malang itu sudah merangkul mayat ayah masing-masing sambil menangis memilukan. Ketika para tamu itu kembali mereka menanyakan kepada seluruh keluarga tiga orang itu, bahkan menanya juga para pelayan rumah itu, apa yang telah dibicarakan anak si Rase Terbang tadi sehingga berakibat demikian hebat. Tetapi tak seorang dapat memberikan keterangan. Semua orang gagah yang berkumpul di situ merasa sangat kasihan melihat putera-puteri tiga orang itu dan mereka ramai-ramai mengambil ketetapan untuk memberikan bantuan agar keturunan tiga keluarga tersebut dapat melaksanakan pembalasan sakit hati. Kegusaran di kalangan Kang Ouw yang diterbitkan karena peristiwa itu sungguh hebat. Tetapi, seperginya dari rumah si tabib, putera si Rase Terbang telah menghilang, entah kemana. Untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan bersama pada malam itu, maka para orang gagah kemudian mendidik putera-puteri ketiga saudara itu. Berkat didikan sekian banyak orang pandai, akhirnya para keturunan itu jadi memiliki kepandaiannya yang sangat tinggi, dan kepandaian mereka bukan terbatas pada satu macam kepandaian saja."
Berbicara sampai di sini, Yok Lan berhenti sebentar untuk menghela napas panjang-panjang dan memandang ke sekitarnya, memandang wajah para pendengarnya. Kemudian ia melanjutkan pula, "Semakin tinggi kepandaian mereka, bertambah kuat pula keinginan mereka untuk menuntut balas. Benar-benar harus disesalkan, ilmu silat, sebagai juga semua ilmu, dapat mendatangkan
bahagia tetapi juga dapat menerbitkan bencana." Yok Lan mengucapkan kata-katanya yang terakhir itu dengan penyesalan.
Untuk berapa lama ia tak dapat meneruskan ceritanya, ia hanya memandang api di anglo dengan sikap seakan-akan terpesona ceritanya sendiri.
Karena melihat, bahwa yang lain semua menantikan lanjutan cerita itu dengan sikap tak sabar, maka Po Si menggantikan Yok Lan meneruskan kisah itu.
"Cara nona Biauw menceritakan kisah itu benar-benar menarik. Walaupun ia tidak menyebutkan nama-nama, tetapi kuyakin bahwa kalian tentu sudah mengerti, bahwa tiga adik angkat si Rase Terbang adalah, yang menyaru sebagai tabib she Biauw, si pengemis she Hoan dan si kuli she Tian. Sebagai tadi sudah diceritakan, kemudian keturunan tiga saudara itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan masing-masing mendirikan partai sendiri. Kepandaian keluarga Biauw yang khas, kemudian terkenal sebagai "Biauw Kee Kiam Hoat" sedang keluarga Hoan meneruskan tradisi penyamaran leluhurnya dan mendirikan "Hin Han Kay Pang" (partai pengemis) dan keluarga Tian mendirikan "Thian Liong Bun" yang sejak itu sehingga sekarang masih dikenal sebagai kusebutkan barusan."
Whi Su Tiong dan In Kiat, dua tokoh utama Thian Liong Bun pada dewasa itu, dua-dua merasa sangat malu, karena dalam kedudukan mereka itu, mereka juga tidak mengetahui asal-usul partai mereka sendiri.
Dalam pada itu, Po Si sudah melanjutkan pula, "Ketika berapa puluh tahun kemudian keturunan orang-orang she Biauw, Hoan dan Tian itu dapat menemukan putera si Rase terbang, ia ini ternyata sudah sangat tua. Kepandaiannya sudah sangat mundur dan tenaganya sudah tidak ada lagi. Karena itu, ia tak dapat menandingi mereka dan dapat didesak, sehingga harus bunuh diri juga. Demikianlah, selanjutnya, keturunan empat keluarga itu balas-membalas bergiliran selama lebih seratus tahun terakhir ini dan sepanjang masa itu, turun-menurun setiap putera keluarga itu tak dapat hidup tenteram dan hampir selalu harus menemukan kematian tidak wajar. Dengan mata-kepalaku sendiri, aku telah menyaksikan pertempuran hebat antara mereka, yang sampai pada detik ini adalah pertempuran yang terakhir."
Yok Lan mendadak mengangkat kepalanya dan memandang Po Si. "Taysu, kisah ini sudah kudengar dari orang lain. Tak usah kau menceritakannya lagi," katanya.
"Tetapi sahabat-sahabat ini belum pernah mendengarnya, maka silakan kau menceritakannya kepada mereka," jawab Po Si.
"Ah, ketika itu, setelah selesai menceritakan kisah empat pengawal Cwan Ong itu, ayahku menceritakan suatu kejadian yang sangat memilukan dan sampai sekarang, setiap kali teringat kembali, hatiku menjadi sedih. Kata ayahku, karena kejadian itu, ia masih membutuhkan pedangnya, yang juga harus dipelihara ketajamannya, terutama untuk membunuh seorang lagi."
Yok Lan berhenti sebentar untuk mengatasi perasaannya. Lewat berapa lama baru ia dapat meneruskan ceritanya.
"Yang akan kuceritakan ini, telah terjadi sepuluh tahun sebelum aku dilahirkan. Entah bagaimana nasib anak yang harus dikasihani itu, selalu aku berdoa agar ia masih hidup dan keadaannya baik senantiasa."
Para pendengarnya menjadi bingung, mereka tak mengerti, siapa sebenarnya "anak yang harus dikasihani" itu. Juga, apa hubungannya dengan soal mereka itu, masih merupakan suatu teka-teki sulit bagi mereka. Dengan penuh pengharapan mereka sebentar memandang Yok Lan dan sebentar pula memandang Po Si dengan sikap seperti minta penjelasan. Mendadak saja, terdengar seorang hamba -- yang berdiri di samping -- berkata dengan suara serak, "Nona, karena hatimu begitu mulia, tentu doamu akan terkabul, kupercaya, bahwa 'anak yang harus dikasihani' itu masih hidup dan keadaannya juga baik."
Semua hadirin menengok ke arah suara itu. Mereka melihat seorang yang sudah berusia lanjut, berambut jarang tanpa lengan kanan sedang menyanggah sebuah penampan dengan tangan kirinya. Mukanya mengerikan karena bekas luka yang panjang, menjalur dari alis kanannya sampai di sisi kiri mulutnya.
Melihat wajahnya, semua orang merasa heran. Pikir mereka; "Setelah terluka begitu hebat, sungguh luar-biasa, bahwa ia masih dapat hidup terus sampai hari ini. Ketika mereka masih terheran-heran memandang wajah orang itu, Yok Lan sudah mulai bercerita lagi.
"Di samping mendoa, agar ia selamat selalu, aku juga mengharapkan, supaya ia tidak belajar ilmu silat. Aku berdoa, supaya ia sebagai aku ini, sekelumit ilmu silat pun tidak mengerti. Aku yakin, bahwa ini paling baik bagi dirinya."
Kata-kata Yok Lan yang terakhir ini sungguh di luar dugaan para hadirin. Mereka jadi tercengang dan dalam kurang percaya mereka berpikir, bahwa sebagai puteri kesayangan Biauw Jin Hong, tak mungkin ia tak mengerti ilmu silat, tetapi jika melihat tindak-tanduknya yang sangat lemah-lembut, memang agaknya ia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat. Yok Lan agaknya dapat menerka keragu-raguan mereka. Maka untuk menghilangkan kesangsian orang-orang itu ia menerangkan, "Menurut ayahku , empat keluarga, Ouw, Biauw, Hoan dan Tian telah dapat balas-membalas selama berapa keturunan, justeru karena mereka
semua pandai silat. Betapa tinggi juga kepandaian seorang anggauta keluarga itu, akhirnya ia mesti mengalami kematian yang tidak wajar. Jika sefihak harus pusing memikirkan usaha membalas sakit hati orang tuanya, fihak yang lain harus selalu berjaga-jaga dengan hati kebatkebit, karena lambat atau lekas, tentu akan ada yang datang mencarinya, untuk menuntut balas.
Tak pernah ada keturunan keluarga itu yang dapat hidup tenang sampai datang saatnya dipanggil pulang oleh Yang Kuasa. Jika, karena kepandaiannya yang sangat tinggi, ia dapat terhindar dari kebinasaan di waktu mudanya, tentu di hari-hari terakhirnya, jika usianya sudah melampaui tujuhpuluhan, akan datang seorang mencari balas. Jelaslah, bahwa karena ilmu silat, empat keluarga itu harus menderita terus-menerus sampai entah berapa turunan. Karena itu, maka ayah telah menetapkan, bahwa setelah ia, seluruh keturunan keluarga Biauw tidak boleh belajar silat pula. Biarlah, ia akan menjadi orang she Biauw terakhir yang pandai silat Kurasa kata-katanya itu sangat benar dan aku juga yakin bahwa ilmu silat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi keluarga kami."
"Ayahku telah berpikir sempurna. Jika kelak ia harus mati terbunuh keturunan keluarga Ouw, dengan aku sebagai puteri tunggalnya tak mengerti ilmu silat, permusuhan itu dapat berakhir sampai di situ saja dan walaupun kami tidak dapat membalas sakit hati itu, kami akan dapat melanjutkan hidup kami dengan tenteram."
"Siancay, siancay," sabda Po Si sambil merangkap kedua tangannya. "Biauw Tayhiap benar-benar sangat bijaksana. Kesediaannya, membiarkan Biauw Kee Kiam Hoat yang tersohor tiada taranya, menjadi musna dan lenyap setelah ia pulang ke alam baka, membuktikan, betapa luhur budinya. Ia benar-benar tiada tandingannya dalam dunia ini."
Secara kebetulan Yok Lan menengok ke arah pelayan yang tadi telah turut mengemukakan pendapatnya itu. Di dalam matanya, Yok Lan melihat suatu sinar yang luar biasa dan ia menjadi heran. Ketika itu, sebenarnya para hadirin sedang menantikan lanjutan ceritanya dengan sikap tidak sabar. Tetapi bukannya ia segera meneruskan bercerita, sebaliknya ia bahkan memberi hormat kepada semua orang itu, meminta diri dan segera bertindak masuk meninggalkan mereka dalam ketidakpuasan.
Tetapi, sesaat kemudian Po Si sudah mengambil-alih tugas nona itu dan ia mulai bercerita dengan menerangkan, bahwa, karena berperasaan halus, Yok Lan tentu tak dapat mengatasi perasaannya, jika ia harus menceritakan kejadian yang memilukan itu. "Maka, biarlah loolap yang melanjutkan cerita ini," katanya.
"Sejak awal permusuhan itu, karena orang she Ouw itu dikutuk kalangan Kang Ouw, sebagai penjual majikan karena tamak kemewahan, maka turunannya selalu harus menempati kedudukan terpencil yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tak pernah mendapat simpati kalangan Kang Ouw, bahkan selalu mereka dianggap sebagai sampah. Betapa tinggi juga kepandaian mereka, karena dalam pertempuran sengit selalu tidak ada yang berfihak kepada mereka, dengan sendirinya mereka jadi sudah kalah angin."
"Hanya berkat kepandaian mereka yang benar-benar tiada taranya, mereka selalu masih dapat mewujudkan cita-cita mereka. Pula hampir setiap tingkat keturunan mereka tentu mempunyai seorang yang luar biasa. Di waktu tiba saatnya ia bertindak untuk memenuhkan pesan orang tuanya, tak perduli menang-kalahnya, tentu akan terjadi banjir darah."
"Meskipun ketiga keluarga Biauw, Hoan dan Tian berjumlah lebih banyak dan dapat menghimpun tenaga lebih besar, lagi pula mendapat dukungan seluruh kalangan Kang Ouw, walaupun mereka selalu berjaga-jaga dengan sangat telitinya, tetapi dengan kecerdikan dan kepandaian serta kesabaran mereka, anak-cucu keluarga Ouw selalu dapat membobolkan penjagaan mereka dan melaksanakan pembalasan sakit hati turun-menurun itu."
"Setiap kali salah-satu fihak berhasil membinasakan musuhnya, golok kebesaran Cwan Ong berpindah tangan. Begitulah semasa pemerintahan Khong Hi, empat keluarga itu terus-menerus berebut golok pusaka tersebut, juga antara keluarga Biauw, Hoan dan Tian sendiri kemudian terbit percekcokan karenanya. Di masa itu, justeru di fihak keluarga Ouw muncul dua orang yang berkepandaian luar biasa tingginya. Dalam suatu pertempuran sengit, dua saudara itu telah berhasil membunuh dan melukakan dua puluh tiga orang dari fihak lawannya. Tentu saja tiga keluarga yang asalnya berdiri sefihak dan kemudian bercekcok sendiri itu menjadi sangat cemas.
Adalah keluarga Tian yang kemudian berhasil mengumpulkan sokongan dari banyak sekali orang-orang Kang Ouw. Berkat bantuan mereka itu, dengan beramai-ramai mengeroyok dua saudara Ouw itu, akhirnya dapat juga dua saudara itu dibinasakan. Setelah itu, semua orang gagah dari seluruh negeri berkumpul di Lokyang untuk membentuk perserikatan dan dalam pertemuan itu pula diputuskan, bahwa selanjutnya golok pusaka tersebut akan berada di bawah penilikan keluarga Tian. Selain itu, juga ditetapkan, bahwa bila saja keluarga Ouw berani datang untuk coba merebut kembali golok tersebut, maka keluarga Tian akan mengangkat golok tersebut sebagai pertanda untuk kalangan Kang Ouw, supaya berbondong-bondong datang membantu menghadapi musuh itu, tidak perduli mereka sedang menghadapi urusan pribadi yang betapa penting juga."
"Pertemuan itu terjadi lebih kurang seratus tahun yang lalu, dan sedikit demi sedikit, sudah mulai terlupa sehingga sekarang sudah hampir tiada yang mengetahui lagi hal ini, hanya Ciang Bun Jin dari Thian Liong Bun yang masih menganggap golok itu penting sekali. Tetapi kemudian Thian Liong Bun sendiri terpecah menjadi cabang selatan dan utara. Kabarnya, setiap sepuluh tahun sekali kedua cabang tersebut saling menggantikan menyimpan golok tersebut. Whi heng dan In heng, benarkah kabar yang loolap dengar itu?"
"Benar," jawab Whi Su Tiong dan In Kiat hampir bersama.
Po Si tertawa. Ia senang sekali, mendapat kenyataan, bahwa perkataannya benar sesuai dengan kenyataan.
"Sebagai tadi telah kukatakan, lambat-laun orang sudah lupa akan soal sebenarnya dan karena tidak tahu, anak-murid Thian Liong Bun kemudian menganggap golok tersebut sebagai pusaka partai mereka, tanpa mengetahui asal-usulnya. Tetapi dalam suatu hal, loolap masih berada dalam kegelapan, mengenai hal ini rasanya hanya Co heng yang dapat menerangkan."
"Soal apa?" tanya Hun Ki dengan lantang.
"Sependengaran loolap, saban kali terjadi penggantian Ciang Bun Jin, Ciang Bun Jin yang lama selalu menceritakan asal-usul golok tersebut kepada penggantinya, tetapi mengapa Co heng yang sekarang menjadi Ciang Bun Jin tak dapat menjawab pertanyaan loolap mengenai golok itu, tadi? Apakah Tian Kui Long telah melupakan kebiasaan ini?"
Tak tahu Hun Ki, bagaimana ia harus menjawab. Seluruh mukanya menjadi merah padam dan ia sudah hampir melontarkan kata-kata keras sekena-kenanya, untuk menutup malunya Tetapi dalam pada itu Tian Ceng Bun sudah keburu menyelak.
"Kejadian ini telah disebabkan kemalangan keluarga kami. Sebelum bisa menjelaskan hal itu kepada Co suheng, ayahku mendadak sudah keburu dicelakakan orang," katanya.
"Pantas, pantas. Kali ini adalah untuk kedua kalinya aku melihat golok ini. Yang pertama kali adalah duapuluh tujuh tahun yang lalu."
Mendengar ini, Ceng Bun menarik kesimpulan, bahwa kata-kata Po Si itu tepat dengan cerita Yok Lan. Pikirnya, "Tadi nona Biauw mengatakan, bahwa kejadian yang menyedihkan itu telah terjadi sepuluh tahun sebelum ia dilahirkan, sedang usianya sekarang kira-kira tujuh belas tahun.
Tentunya hweeshio ini telah melihat golok itu untuk pertama kalinya ketika terjadinya peristiwa yang dimaksudkan nona Biauw."
Sementara itu, Po Si sudah meneruskan ceritanya. "Ketika itu, loolap belum memeluk agama dan sedang menjalankan pekerjaan tabib di desa dekat kota Congciu. Penduduk Congciu rata-rata menyukai ilmu silat, tua-muda, hampir semua laki-laki di situ tentu sudah pernah mempelajari sejurus-dua jurus ilmu silat dan ketika itu, pekerjaan loolap adalah menyembuhkan luka-luka atau keseleo terkena pukulan atau karena jatuh. Juga loolap mengerti sedikit ilmu silat ajaran guruku dahulu."
"Karena desa itu agak terpencil letaknya dan penduduknya hanya bilang ratus orang saja, maka penghasilan loolap sebagai tabib tentu tak mencukupi untuk dapat mendirikan rumah tangga. Pada suatu malam di akhir tahun itu, loolap sedang enak tidur sendiri, ketika mendadak saja loolap dikejutkan gedoran pada pintu rumah loolap. Di luar angin sedang bertiup dengan kencangnya, perapian dalam rumah sudah lama padam, maka dapat dimengerti, jika loolap jadi segan bangun menempuh hawa sedingin waktu itu. Akan tetapi, yang menggedor pintu itu, agaknya jadi kalap dan memukul semakin keras sambil berteriak-teriak, 'Hai! Tabib, tabib! Bangun!' Kian lama gedorannya juga teriakannya semakin keras. Dari suaranya loolap tahu, bahwa orang itu tentu bukan orang setempat, lagu suaranya sebagai lagu suara Kwansay (daerah perbatasan barat). Karena kuatir, jika pintu rumahku akan hancur, maka loolap lekas-lekas mengenakan baju dan hendak membuka pintu. Tetapi sedang tanganku baru mengangkat palangnya, pintu itu sudah menjebelak karena didorong entah dihajar dengan kerasnya dari sebelah luar. Jika bukannya aku masih keburu berkelit, tentu kepalaku sudah menjadi korban dan sedikitnya sudah akan menjadi benjol."
"Orang yang menerjang masuk itu membawa obor. Di bawah penerangan apinya, loolap melihat wajahnya yang sangat gugup. Dan ketika itu ia masih saja berteriak, 'Tabib! Tabib!'
Loolap segera menanyakan, mengapa ia begitu gugup dan membangunkan diriku tengah malam butarata."
"Walaupun terang-terang ia sudah melihat, bahwa loolap sudah berdiri di hadapannya, masih saja ia menjawab dengan berteriak sekuat suaranya. Katanya ada yang sakit keras dan loolap harus berangkat seketika itu juga. Kata-katanya ditutup dengan melemparkan sepotong uang perak di atas meja. Yang dilontarkannya itu berjumlah tidak kurang daripada duapuluh tahil. Selama mengobati orang-orang sedesaku, paling banyak loolap menerima upah berapa ratus bun (sen) dan seumur hidupku aku belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Loolap tentu saja menjadi sangat terperanjat tetapi juga girang. Tanpa ayal pula kubereskan uang itu dan segera berangkat mengikutinya. Selama tanya-jawab tadi aku telah memperhatikan mukanya. Di wajahnya kelihatan sifat-sifat kesatria, sikapnya agak kasar dan agaknya ia beruang, tetapi tingkah-lakunya pada saat itu mencerminkan kekuatirannya yang sangat besar. Agaknya ia sangat tergesa-gesa, karena sebelum loolap selesai merapikan pakaian, ia sudah mengulurkan tangannya dan menyeret loolap sambil menyambar peti obatku dengan sebelah tangannya lagi. Loolap minta perkenan untuk menutup pintu dulu, tetapi ia segera menekankan agar loolap jangan kuatir, karena apa saja yang tercuri selama kepergianku akan digantinya semua. Ternyata ia membawa loolap ke penginapan "Peng An Khek Tiam," satu-satunya penginapan di desa itu. Meskipun penginapan itu tidak terlalu kecil, tetapi keadaannya sangat kotor lagi gelap. Loolap menjadi agak heran. Pikirku, mengapa orang beruang sebagai ia, mau menginap di tempat seburuk itu. Loolap tak sempat berpikir panjang-panjang, ia sudah segera menyeret loolap ke sebuah ruangan yang terang karena banyaknya lilin yang dinyalakan di situ. Loolap melihat empatlima orang laki-laki berdiri di situ, agaknya sedang menantikan kembalinya. Seketika melihat kembalinya dengan membawa loolap, mereka tampak girang dan segera, beramai-ramai, menghantar diriku ke sebuah ruangan di sebelah timur."
"Begitu melangkah masuk, loolap menjadi sangat terkejut. Di atas bale-bale, loolap melihat empat orang berbaring berjajar dengan badan penuh luka-luka berdarah. Di bawah penerangan sebatang lilin yang dibawakan salah seorang itu, loolap memeriksa mereka dengan teliti dan mendapat kenyataan, bahwa mereka semua telah terluka parah. Loolap menanyakan, mengapa bisa sampai kejadian begitu, tetapi yang membawa loolap ke situ membentak dengan bengisnya, supaya loolap segera mengobati mereka tanpa banyak rewel-rewel menanyakan urusan orang lain.
Alangkah galaknya orang itu. Karena kuatir membangkitkan amarah mereka yang semua juga tampak bengis, loolap segera melakukan yang diminta atau, lebih benar, yang diperintahkannya.
Baru loolap selesai membalut dan mengobati mereka, orang itu sudah membentak pula, mengatakan, bahwa di kamar sebelah masih ada lagi yang harus ditolong. Juga di kamar itu terdapat orang-orang yang terluka parah, salah-seorang di antara mereka bahkan seorang wanita.
Agaknya mereka telah dilukakan dengan senjata tajam. Loolap bekerja sebaik-baiknya dan tak lama kemudian sudah berhasil menghentikan darah yang mengucur keluar dari luka-luka itu. Berkat obat untuk meringankan sakit, mereka sudah segera tidur nyenyak."
"Melihat hasil pekerjaanku, orang-orang itu rupa-rupanya menjadi gembira dan sikap mereka jadi berubah, mereka memperlakukanku dengan lemah-lembut. Selain itu mereka memerintah pelayan untuk menyediakan sebuah bale-bale darurat yang dibuat dengan daun pintu, agar dengan demikian loolap dapat berada di situ dan dapat pula diminta pertolonganku setiap waktu."
"Ketika ayam berkokok, mendadak kembali loolap dikejutkan dari tidur nyenyak. Kali ini terdengar derap kaki kuda yang ramai sekali, orang yang tadi menyambut loolap segera keluar menyambut pendatang-pendatang baru itu. Aku pura-pura tidur terus, tetapi sesaat kemudian terdengar mereka sudah bertindak masuk kembali. Aku mengintip dari belakang selimut. Agaknya, yang disambut itu adalah dua orang yang kini berjalan di depan. Dua orang itu tentu berkedudukan tinggi, karena para penyambut itu berlaku sangat hormat terhadap mereka. Hanya, anehnya, dari dua orang itu, seorang berdandan sebagai pengemis tetapi pandangan matanya sangat tajam, sedang kawannya adalah seorang yang berwajah sangat cakap dan usianya juga belum seberapa."
"Kedua orang itu lantas saja mendekati bale-bale untuk memeriksa penderita-penderita itu. Begitu melihat kedatangan mereka, semua penderita itu segera berbangkit dengan menahan sakit. Terang sekali bahwa mereka sangat menghormati dua orang itu. Kudengar mereka menyebutkan si pengemis dengan Hoan Pangcu dan si anak muda dengan Tian siangkong."
Po Si berhenti sebentar untuk menoleh kepada Tian Ceng Bun dan berkata, "Ketika itu, pertama kali aku bertemu dengan ayahmu, nona belum dilahirkan. Ayahmu berotak cerdas dan sikapnya tegas serta kecakapannya mengambil keputusan dengan cepat, benar-benar sangat mengagumkan dan sampai hari ini masih kukagumi."
Teringat ayahnya, Ceng Bun jadi sangat sedih. Sementara itu Po Si sudah melanjutkan lagi ceritanya.
"Dari antara orang-orang yang tidak terluka, seorang segera menerangkan kepada dua pendatang baru itu, bahwa seorang sahabat dari keluarga Thio telah mengikuti suami-isteri yang mereka inginkan, sedari masih berada di luar Dinding Besar dan mereka sudah berani memastikannya bahwa sebuah kotak besi -- yang agaknya menjadi pusat perhatian -- benar-benar berada pada suami-isteri tersebut."
Mendengar kata-kata "kotak besi" itu, para pendengarnya lantas saja mengerti, bahwa yang dimaksudkan, tentu bukan lain daripada kotak yang diperebutkan mereka juga. "Aku melihat Hoan Pangcu menganggukkan kepalanya, orang yang memberikan keterangan itu lalu melanjutkan keterangannya. Ia mengatakan, bahwa ia dan rombongannya sudah menantikan suami-isteri itu di Tong Koan Tun dan di samping itu juga mengirim seorang untuk memberitahukan hal itu kepada mereka dan Biauw Tayhiap. Selanjutnya ia menceritakan, bagaimana orang yang diincar itu, sudah mencium bau lebih dahulu dan pada suatu saat, sudah
menegur para penguntitnya. Ia menanyakan, untuk apa orang-orang itu terus-menerus menguntit ia dan isterinya dan apakah mereka itu orang-orang suruan Biauw Hoan Tian tiga keluarga Agaknya si orang she Thio telah menjawab membenarkan, karena orang yang diincar itu sudah segera berubah wajahnya, dan dengan sekali bertindak, sudah merampas golok si Thio toako itu.
Kemudian ia mematahkan golok itu dan membuangnya sebagai sampah. Segala itu telah terjadi dalam berapa detik saja. Sebelum si Thio toako itu hilang kagetnya orang yang dikuntit itu sudah membentak, Aku tidak mau mencelakakan banyak jiwa manusia, maka enyahlah dari sini!'
Melihat betapa lihaynya orang itu, kawan-kawan si Thio toako segera maju beramai-ramai sedang si orang she Thio sendiri lalu coba menendang perut isteri orang itu, yang sedang mengandung. Karena perbuatan si Thio yang sangat kelewatan, sang suami menjadi sangat gusar dan sambil mendamperat ia merebut sebilah golok pula dari tangan salah seorang penguntitnya. Dalam serintasan saja ia sudah melukakan tujuh orang. Jika tadinya ia mengatakan, bahwa ia tidak mau mencelakakan orang, pada saat itu ia berlaku sangat ganas, saking gemasnya."
"Tian siangkong menanyakan apa lagi yang dikatakan musuh itu. Si juru bicara menerangkan, bahwa musuh itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya dalam amarahnya ia sudah hendak melukakan lebih banyak orang, tetapi isterinya telah mencegah dengan mengatakan, bahwa demi keselamatan anaknya yang belum lahir, ia harus berlaku sedikit murah. Teriakan sang isteri telah menolong sisa rombongan penguntit itu. Sang suami segera menghentikan pertempuran itu dan mematahkan golok rampasannya."
"Mendengar cerita itu, Tian siangkong agaknya jadi ketarik. Ia berpaling kepada Hoan Pangcu, seakan-akan hendak mengetahui pendapatnya, kemudian menanyakan pula, Benarkah ia mematahkan golok itu dengan tangannya saja?' Jawab si juru bicara, 'Benar, ketika itu aku berada di sampingnya dan aku telah melihat gerakannya dengan jelas sekali.' Karena jawaban yang memastikan itu, agaknya Tian siangkong menjadi bimbang. Hoan Pangcu segera menghiburnya. Ia mengatakan, bahwa Biauw Tayhiap tentu akan dapat menandinginya."
"Ketika itu, juru bicara tadi sudah berbicara pula. Menurut pendapatnya, dalam perjalanannya ke Kanglam, musuh mereka itu tentu akan lewat di situ dan jika Tian siangkong dan Hoan Pangcu berdua mencegatnya, musuh itu tentu tak akan terlolos. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab. Wajah mereka muram dan diliputi ketegangan, dengan suara tertekan mereka berunding sambil bertindak keluar."
"Loolap menunggu sampai mereka sudah keluar, baru loolap pura-pura mendusin dan buru-buru menggantikan obat tujuh orang itu. Di dalam hati loolap terdapat pertanyaan, siapakah orang yang disebut musuh itu. Agaknya dalam keganasannya ia berhati murah, karena, walaupun luka-luka korbannya tidak enteng, tetapi tiada seorang yang terluka di tempat berbahaya."
"Besok harinya, di waktu senja, sedang seluruh rombongan itu menghadapi makan malam, tiba-tiba datang seorang sambil berlari-lari dan berteriak, 'Sudah datang!' Seketika itu, wajah segenap anggauta rombongan menjadi tegang. Mereka segera meletakkan sumpit masing-masing dan berlari keluar sambil melolos senjata. Diam-diam loolap juga turut keluar untuk melihat keramaian yang agaknya akan segera terjadi, meskipun hatiku berdebar-debar sangat keras. Rasa ingin tahuku telah menekan perasaan takut."
"Tiba di luar, loolap melihat sebuah kereta besar tengah mendatangi dengan meninggalkan segulung debu yang mengepul tinggi. Hoan pangcu dan Tian siangkong segera memimpin orang-orang mereka maju memapaki dengan senjata terhunus. Loolap juga mengikuti mereka dari kejauhan."
"Setelah berhadapan dengan pencegatnya, kereta itu segera berhenti. Hoan Pangcu berseru, 'Orang she Ouw, keluarlah!' Dari dalam kereta itu terdengar jawaban seseorang, 'Kamu hendak minta sedekah bukan? Baiklah, setiap pengemis kuberi satu bun!' Belum habis kumandang kata-kata itu, ketika segera terlihat sekian banyak sinar kuning berkelebat disusul dengan terdengarnya teriakan kesakitan ramai. Berturut-turut, dari antara pencegat-pencegat itu sudah roboh sekian banyaknya. Juga Hoan Pangcu dan Tian siangkong yang berkepandaian sangat tinggi tidak terluput dari timpukan musuh mereka itu. Pergelangan tangan mereka kena dihajar dan senjata mereka, sebatang tongkat dan sebilah pedang, lantas saja jatuh di tanah."
"Tian siangkong segera mengajak Hoan Pangcu mundur. Tetapi Pangcu itu yang berkepandaian sangat tinggi, tidak menghiraukan teriakannya. Ia mengangkat tongkat bajanya dan menghampiri kawan-kawan yang telah dirobohkan lawan itu. Ia coba membuka kembali jalan darah mereka yang tertutup karena timpukan yang sangat lihay itu. Loolap sendiri ketika itu juga sedikit banyak mengetahui hal 36 jalan darah pada tubuh manusia dan melihat gerakan Hoan Pangcu itu, loolap yakin, bahwa Ketua partai pengemis itu akan dapat membebaskan kawan-kawannya dari totokan. Sungguh di luar dugaan, bahwa segala daya-upaya itu tidak menghasilkan apa-apa. Walaupun ia sudah memijat, mengurut dan menyentil dengan asjiknya, seorang jua tak dapat ditolongnya."
"Orang yang di dalam kereta itu agaknya melihat, bahwa Hoan Pangcu sudah kehabisan akal. Gelak tertawanya menggema lagi disertai kata-katanya mengejek, 'Dasar pengemis, satu bun masih tidak terima. Baiklah kutambahkan satu bun masing-masing lagi.' Kata-kata itu ditutup dengan datangnya timpukan segenggam uang bun lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa, sekian banyak mata uang itu menyentuh jalan darah sekian banyak korbannya tadi, yang masih menggeletak malang-melintang di tanah. 'Mati kau!' pikir loolap. Tetapi dugaanku itu meleset jauh.
Benar-benar luar biasa, begitu kesentuh, serentak mereka dapat berdiri lagi dan segera, tanpa menengok, melarikan diri secepat mungkin."
"Karena tahu, bahwa fihaknya tak akan dapat menandingi musuh itu, Tian siangkong berseru kepada orang itu, 'Orang she Ouw, hari ini kami menyerah kalah, tetapi, jika kau benar laki-laki, janganlah kabur cepat-cepat!' Seruan itu tidak dijawab dengan kata-kata oleh musuhnya, hanya dengan sebuah mata uang pula yang tepat sekali menghajar ujung pedangnya. Tenaga orang she Ouw itu benar-benar luar biasa, dengan timpukan mata uang sekecil itu ia telah dapat mementalkan pedang Tian siangkong yang lalu melayang pergi untuk kemudian menancap di tanah. Ketika Tian siangkong mengangkat tangannya, loolap melihat, bahwa tangannya berdarah."
"Tian siangkong sendiri juga menginsyafi, bahwa lawan itu terlalu tangguh dan bersama dengan Hoan Pangcu, ia melarikan diri menyusul kawan-kawannya yang sudah lari lebih dahulu Mereka lari ke penginapan itu, kemudian mereka keluar lagi dengan menggendong kawan-kawan yang terluka. Tanpa menoleh lagi mereka mengaburkan kuda masing-masing ke selatan."
"Tian siangkong memang pemurah, sebelum pergi ia telah menghadiahkan dua puluh tahil perak kepadaku, dan wajahnya yang tampan meninggalkan kesan baik dalam pikiranku. Kupikir, bahwa orang yang berada di dalam kereta itu tentu juga seorang jahat yang berhati kejam bagaikan serigala. Bila tidak, mengapa seorang yang begitu baik seperti Tian siangkong bisa bermusuh dengannya? Sementara itu, kereta tersebut sudah tiba di depan penginapan. Rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan rasa takutku. Ingin sekali aku mengetahui rupa orang jahat itu. Aku berdiam di belakang meja pengurus hotel dan menantikan ia melangkah masuk."
"Tampak tirai kereta disingkap. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap-kokoh menampakkan diri. Sungguh bengis lagi menakutkan wajah orang itu. Kulit mukanya hitam. Janggut dan kumis tebal memenuhi mukanya, kaku, berdiri tegak-tegak. Rambutnya terurai kusutnya. Dalam keseluruhannya, roman orang itu membangunkan bulu-roma."
'Ah, betapa terkejut hatiku pada saat itu. Dalam benak-pikiranku terkilas, 'Dari manakah datangnya setan jahat ini?' Dalam ketakutanku, aku sudah hendak buru-buru lari pulang, tetapi, sungguh aneh, tertatap matanya yang berpengaruh, aku tak dapat berkisar dari tempatku, terpesona, termangu-mangu."
"Di dalam hatiku, aku sudah mencaci diriku, yang tak mau siang-siang pergi. Saat itu aku sudah tak bisa menghindarinya lagi. Kakiku lemas, bagaikan terkena ilmu siluman. Sementara itu, si orang berwajah menyeramkan bertanya, 'Saudara, adakah seorang tabib di sini?' Jawab pengurus penginapan, 'Dialah tabib desa ini,' Tangannya menunjuk kepadaku."
"Dapatkah saudara-saudara mengerti, betapa gugup aku karenanya? Buru-buru aku menggoyangkan tanganku. 'Bukan, bukan,' sangkalku terputus-putus, dan tubuhku menggigil. Orang itu tertawa. 'Jangan takut, aku tak akan menelanmu,' katanya di antara tertawanya."
"Aku semakin ketakutan, dan coba menyangkal semakin keras, tetapi semua itu tidak menghasilkan apa-apa. 'Jika aku mau, mudah saja bagiku untuk menelan kau hidup-hidup" katanya dengan nada kurang senang."
"Tentu saja aku semakin ketakutan, tetapi ia hanya tertawa terbahak-bahak melihat sikapku. Tahulah aku, bahwa kata-katanya tadi hanya diucapkan untuk bergurau. Dengan gusar aku menggumam, 'Kurang-ajar, apakah kau mengira, bahwa aku dilahirkan untuk dijadikan bulan-bulan kelakarmu yang tidak menyenangkan?' Tetapi, tentu saja kujaga supaya ia tak mendengar kata-kataku itu."
"Orang itu kini berpaling kepada pengurus penginapan. Ia minta disediakan kamar kelas satu dan yang terbersih. Selain itu ia minta dicarikan dukun beranak, karena menurut katanya, isterinya akan melahirkan. Kemudian ia mengatakan kepadaku, supaya aku tetap di situ, karena mungkin sekali tenagaku akan dibutuhkan. Ia kuatir, jika isterinya telah terperanjat karena kejadian tadi, sehingga mungkin akan sukar melahirkan."
'Aku mendapat kesan, bahwa pengurus penginapan sebenarnya berkeberatan, jika isteri orang itu melahirkan di penginapannya, tetapi, agaknya sebagai juga aku, ia jeri melihat wajah orang itu yang demikian bengis. Ia tak menolak, tetapi ia lekas-lekas memberitahukan, bahwa dukun beranak di desa itu telah meninggal dunia berapa hari sebelumnya."
"Semakin menyeramkan wajah orang itu, demi mendengar keterangan si pengurus rumah penginapan. Ia mengeluarkan sepotong uang perak. Diletakkannya uang itu di atas meja dan ia menyuruh si pengurus penginapan mencarikannya dukun beranak di tempat lain, lebih cepat lebih baik."
'Aku membelalakan mataku, dan berpikir keheran-heranan, mengapa dalam sehari itu aku bisa berjumpa dengan demikian banyak orang-orang royal yang bagaikan menganggap uang tiada harganya. Melihat uangnya, dalam hatiku aku sudah mengambil ketetapan akan menyediakan tenagaku untuknya."
"Uangnya memang sangat membangkitkan selera. Juga pengurus serta para pelayan penginapan segera melakukan segala perintahnya dengan suka hati. Sebentar saja, kamar yang dipesannya sudah selesai disiapkan, dan laki-laki yang berwajah seperti setan jahat itu segera menurunkan isterinya dari kereta tersebut. Seluruh tubuh wanita itu terbungkus rapat-rapat dengan sehelai selimut kulit, tetapi wajahnya yang cantik tampak jelas, menyolok sekali di samping wajah suaminya yang sangat menyeramkan, ibarat Thio Hui beristerikan Tiauw Sian."
"Besar sekali keherananku. Dalam hatiku aku berkata, bahwa wanita itu tentu telah dipaksa kawin dengan laki-laki ini. Jika bukannya karena dipaksa, menurut anggapanku tak mungkin ia mau menikah dengan suami yang begitu buruk tampangnya. Aku membandingkannya dengan Tian siangkong, dan kesimpulanku adalah, bahwa wanita itu lebih sesuai menjadi isteri orang she Tian itu."
"Tiba-tiba terkilas dalam pikiranku, bahwa wanita itu tentu yang menjadi sebab permusuhan antara Tian siangkong dengan orang menakutkan ini. Mungkin sekali si pria buruk telah merebutnya dari tangan Tian siangkong, mungkin sekali wanita itu asalnya memang isteri Tian siangkong."
"Tengah hari lewat sedikit, kulit wanita itu berkeringat karena menahan sakit, dan mulutnya tiada hentinya merintih. Pelayan yang disuruh mencari dukun beranak belum juga kembali. Si setan jahat tampak semakin gelisah. Ia menjadi sibuk sendiri. Ia sudah hendak pergi mencari dukun sendiri, tetapi isterinya tak mau ditinggalkannya seorang diri."
"Lama sekali mereka menunggu, tetapi pelayan yang pergi mencari dukun itu tak juga muncul. Penderitaan wanita itu sudah semakin hebat. Agaknya, bayinya sudah tak bisa bersabar lagi. Maka si setan jahat tampak semakin menyeramkan dalam puncak kerisauannya, ia segera menyuruh aku yang menolong isterinya melahirkan. Saudara-saudara, coba kalian pikir, pantaskah permintaannya itu? Pantaskah aku melakukan, pekerjaan dukun beranak? Oleh sebab itu, tentu saja aku menolak keras-keras, karena aku yakin, bahwa aku akan bernasib malang sepanjang sisa hidupku, jika pekerjaan itu kulakukan juga."
"Si setan tak mau menerima penolakanku. Ia segera mengeluarkan dua ratus tahil perak dari sakunya dan menjanjikannya sebagai hadiahku, jika aku mau menurut perintahnya. Selain memancing diriku dengan uang, ia juga memperlihatkan nasib apa yang akan kualami, jika aku tetap menolak. Perlahan-lahan ia. menepuk sudut meja, yang seketika itu juga sudah somplak sebagian. Dua contoh itu tentu saja hanya dapat memberikan ilham semacam kepadaku, yakni menurut perintahnya. Bagiku sudah tak ada jalan tengah, aku harus kehilangan jiwa serta uang sebanyak itu, atau aku bisa hidup terus dengan memiliki harta sebanyak belum pernah kupegang selama hidupku. Saudara-saudara tentu juga mengerti, bahwa aku segera mengambil keputusan, betapa pun takutku akan menjadi sial untuk selama-lamanya."
"Demikianlah, aku telah melakukan pekerjaan dukun beranak dan menolong nyonya itu melahirkan seorang bayi yang montok-sehat. Walaupun baru dilahirkan, tangis bayi itu sangat nyaringnya. Seluruh wajahnya berbulu, dan matanya juga membelalak lebar-lebar. Romannya benar-benar mirip dengan roman ayahnya, sehingga aku berkeyakinan, bahwa setelah dewasa anak itu tentu juga akan sejahat ayahnya."
"Sedang aku memikirkan segala itu, si setan jahat tampak kegirangan. Dengan wajah berseri-seri diberikannya kepadaku dua ratus tahil perak bagaikan uang itu tidak ada harganya. Juga isterinya memberikan hadiah kepadaku, serenceng uang emas yang harganya tak di bawah harga pemberian suaminya. Agaknya, mereka benar-benar merasa berbahagia, bahwa mereka telah memperoleh seorang putera yang sehat. Si setan bahkan segera melangkah keluar dengan membawa penampan yang berisikan uang perak untuk membagi-bagikan hadiah kepada semua pegawai penginapan."
"Bagaikan semua itu dirasakannya belum cukup untuk merayakan kelahiran puteranya, si setan jahat kemudian mengajak semua orang makan-minum sepuasnya. Tanpa memilih bulu, semua orang yang kebetulan berada di situ, diajaknya serta dalam pesta itu, kuasa penginapan, orang yang kebetulan lewat dan semua kacung dan tukang sapu diundangnya hadir."
"Semua orang menjadi girang sekali, tak ada yang tidak menghormatinya sekarang. Setelah mengetahui, bahwa ia she Ouw, semua orang memanggilnya 'Ouw toaya' (tuan besar Ouw.)
Tetapi ia segera berkata, 'Benar aku she Ouw, dan sepanjang masa hidupku, jika aku menemukan suatu kejadian tak adil, aku segera turun tangan membereskan ketidakadilan itu dengan bacokan golokku. Setiap kali, satu bacokan sudah cukup, maka orang menyebutkan aku dengan 'It To' (Sekali Tabas). Aku juga asalnya orang miskin. Uang yang kumiliki sekarang juga kudapatkan dengan jalan mengambil alih sebagian dari kekayaan kaum kaya yang jahat. Sebagai perampok aku tentu tak pantas disebut toaya, maka sebutlah saja 'Ouw toako'. Sebagai telah kuceritakan, sedari saat pertama aku sudah yakin, bahwa ia bukannya seorang baik-baik. Dengan perkataannya sudah terbuktilah sangkaku itu."
"Meskipun ia sendiri yang telah memintanya, tak seorang berani menyebutnya dengan Ouw toako. Baru setelah ia mendesak berulang-ulang, dan setelah keberanian para hadirin dibangkitkan oleh berapa cawan arak, semua menyebutnya dengan Ouw toako, sesuai dengan pintanya Semakin lama semakin riang suasana pesta itu."
"Malam itu aku tak diijinkan pulang, dan harus menemaninya minum arak terus. Yang lain, semua sudah rebah, hanya aku yang masih bisa melayaninya minum semangkok demi semangkok. Sungguh menakjubkan kekuatannya minum arak. Semakin lama, ia bahkan semakin gembira, sehingga akhirnya ia membawa puteranya yang baru dilahirkan itu keluar."
"Ia kembali ke tempat duduknya dan mencelupkan pada bibir bayi itu. Aku membelalakkan mataku, karena bayi itu segera menghisap jari ayahnya dengan nikmat sekali. Sungguh mengherankan, bahwa bayi yang baru berusia sehari sudah suka minum arak. Si setan jahat sebaliknya tambah semakin gembira dan segera mengulangi perbuatannya, sedang si bayi juga semakin asjik menghisap setiap kali jari ayahnya tiba di bibirnya. Benar-benar anak setan arak yang kelak akan menjadi setan arak juga."
"Tiba-tiba dari arah selatan terdengar derap kaki kuda yang riuh. Agaknya, tak kurang dari duatiga puluh penunggang kuda yang datang ke arah mereka. Tak lama pula, tindakan-tindakan kuda itu berhenti di muka penginapan tersebut. Segera juga pintu penginapan sudah digedor keras-keras. Kuasa penginapan sudah mulai agak sadar kembali. Ia lekas-lekas berbangkit dan berjalan terhuyung-huyung membukakan pintu."
"Berapa puluh laki-laki bersenjata lengkap serentak muncul di ambang pintu. Mereka tak segera masuk dan berdiam diri saja. Salah seorang di antara mereka kemudian melangkah masuk dan duduk di sebuah meja di dekat pintu. Sebuah bungkusan kuning diturunkan dari punggungnya ke atas meja Bungkusan itu bertuliskan tujuh buah huruf yang terbaca, 'Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu'."
Demi mendengar Po Si menyebutkan bungkusan pendatang baru dalam ceritanya itu, semua pendengarnya serentak mengalihkan pandangan mata masing-masing ke arah papan yang digantungkan dalam ruang itu. Tetapi segera juga Po Si sudah melanjutkan ceritanya.
"Kesukaan Biauw Tayhiap memakai gelar temberang itu, sekarang kuanggap sebagai kebiasaan memandang rendah kepada orang lain, tetapi malam itu aku terkejut bukan main. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tubuhnya tinggi kurus, kulit mukanya kuning-pucat, mirip dengan warna kulit seorang yang berpenyakitan. Sepasang tangannya lebar tetapi kurus, ibarat sepasang kipas rusak yang tinggal tulang-tulangnya saja. Ketika itu, aku belum tahu siapa namanya, tetapi gelarnya yang dituliskan pada bungkusannya sudah cukup mengecutkan."
"Jika aku terperanjat dan memperhatikan kejadian itu, Ouw It To tampak sebagai juga tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menghiraukan kedatangan sekian banyak orang itu. Di fihak lain, juga Biauw Tayhiap tak mengucapkan sepatah kata, tetapi semua pengikutnya memperlihatkan pandangan penuh amarah kepada Ouw It To, yang masih terus memberikan arak kepada puteranya dengan asyiknya Setiap kali bayi itu sudah mengeringkan arak yang melekat pada jarinya, ia sendiri minum secawan. Tanpa memperhatikan, orang tak akan tahu, bahwa suasana dalam ruangan itu sudah tegang sekali, tetapi aku telah melihat segala apa, dan hatiku berdebar-debar dengan kerasnya. Kesunyian itu menambah ketegangan. Setiap saat salah seorang bisa mulai menyerang dan jika sudah demikian, pertempuran tentu sudah tak dapat dielakkan lagi."
"Demikianlah sekian lama kedua orang itu hanya duduk diam di tempat masing-masing. Semakin lama kesunyian itu semakin menekan perasaan orang, dan sudah berulang kali, dalam khayalku, aku membayangkan, bagaimana salah seorang meloncat ke arah lawannya bagaikan seekor harimau menerkam mangsanya. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan panggilan wanita itu dari dalam. Bayi itu seketika memperdengarkan tangisnya yang nyaring."
"Seketika mendengar dua suara itu, tangan Ouw It To tampak bergetar mangkuk arak di tangannya jatuh, pecah berentakan di lantai. Wajahnya juga berubah. la segera berbangkit dengan memeluk bayinya. Biauw Tayhiap tertawa mengejek dan segera melangkah keluar tanpa mengucapkan sepatah kata. Orang-orangnya juga turut meninggalkan ruangan itu. Sesaat terdengar derap kaki kuda mereka yang riuh, dan kemudian semua sunyi kembali."
"Semula kuduga, bahwa suatu pertempuran sengit tentu sudah tak akan dapat dihindarkan lagi, tetapi ternyata hanya karena tangis bayi itu, mereka jadi berpisah dengan begitu saja. Juga semua orang benar-benar tidak mengerti."
"Sementara itu, Ouw It To telah masuk ke dalam kamar dengan puteranya. Kudengar isterinya menanyakan siapa yang baru berbicara dengannya. Ouw It To mengatakan, bahwa mereka hanya berapa penjahat kecil saja, yang sedikit pun tak usah ditakuti, dan ia menganjurkan supaya isterinya tidur saja dengan tenang. Sang isteri menghela napas dan berkata, bahwa ia sudah tahu, jika yang datang itu adalah Biauw Tayhiap. Kudengar pula, bagaimana Ouw It To coba membantah, dan bagaimana kemudian isterinya mengutarakan pendapatnya, bahwa jika bukan 'Kim Bian Hud' yang datang, sungguh mustahil, bahwa suara Ouw It To akan bergetar dan wajahnya tampak kuatir."
"Ouw It To agaknya tak dapat menjawab atau menyangkal lebih jauh. Katanya kemudian sambil menghela napas, bahwa jika isterinya itu sudah tahu, tak dapat ia mengatakan suatu apa lagi dan selanjutnya ia berkata, bahwa ia juga tak takut kepada jago yang tiada tandingannya itu. Isterinya ternyata juga sangat berani, dan menganjurkan sang suami supaya menetapkan hatinya, karena, bila saja--karena mengingat isteri dan anaknya -- Ouw It To menjadi ragu-ragu, kedudukannya akan tidak menguntungkan jika kelak berhadapan dengan Biauw Jin Hong, bahkan mungkin sekali ia akan kalah."
"Kudengar Ouw It To menghela napas lagi dan berkata, bahwa selamanya ia tak pernah takut kepada siapa juga, tetapi sungguh mengecewakan, bahwa malam itu ia menjadi agak jeri juga, entah karena apa. Ia mengakui pula, bahwa tadi, ketika 'Kim Bian Hud' meletakkan bungkusannya di atas meja dan melirik ke arah puteranya, ia jadi ketakutan dan sekujur badannya menjadi basah berkeringat. Ia membenarkan pendapat isterinya, bahwa ia memang telah menjadi takut kepada 'Kim Bian Hud'."
"Isterinya coba menghiburnya dengan mengatakan, bahwa ketakutan Ouw It To itu bukannya ketakutan wajar, tetapi karena kuatir, jika puteranya akan dicelakakan lawannya. Terdengar jawab Ouw It To dengan suara ragu-ragu, bahwa ia tidak percaya, jika 'Kim Bian Hud' -- yang tersohor sebagai pendekar -- akan berlaku demikian keji, mencelakakan seorang wanita atau anak orok. Dari nada suaranya dapat diketahui, bahwa ia kurang yakin akan dapat menandingi lawannya. Tiba-tiba di dalam hatiku timbul rasa kasihan. Beda dengan rupa wajahnya, ternyata hati Ouw It To agak lemah."
"Dalam pada itu, isterinya menganjurkan supaya Ouw It To membawa lari putera mereka itu ke utara, sedang dia sendiri kelak, bila sudah kuat, akan menyusul. Nada suaranya mengesankan kasih sayangnya yang besar sekali. Ouw It To tentu saja tak mau menyetujui saran isterinya. Ia berkata, bahwa daripada harus meninggalkan isterinya menghadapi bahaya seorang diri saja, lebih baik mereka sama-sama berdiam di situ, dan jika harus mati, mati juga bersama."
"Isterinya menyesal sekali, bahwa tadinya ia telah merintangi maksud sang suami untuk pergi ke Kanglam, menantang 'Kim Bian Hud'. Jika tahu, akan terjadi demikian, lebih baik ia membiarkannya mencari 'Kim Bian Hud' ketika itu, ketika ia masih bebas."
"Menurut Ouw It To, hari itu juga ia belum tentu kalah, hanya suaranya kurang meyakinkan. Agaknya, di dalam hatinya ia sendiri kurang percaya kepada perkataannya. Walaupun teraling dinding yang agak tebal, kudengar jelas-jelas, bahwa suaranya tergetar."
"Tiba-tiba kudengar isterinya minta Ouw It To berjanji sesuatu kepadanya, dan ketika sang suami menanyakan apa yang harus dijanjinya, ia segera membentangkan maksud-nya, supaya menerangkan kedudukannya di waktu itu kepada 'Kim Bian Hud' secara terus-terang dan minta ia itu berlaku murah"
"Ouw It To mengatakan, bahwa ia juga sudah berpikir begitu ketika melihat 'Kim Bian Hud' tadi, tetapi ia merasa, bahwa jika ia sendiri yang berbicara, agaknya sukar sekali berhasil, maka ia menyarankan untuk mengutus seorang lain saja. Sang isteri menyarankan aku, si tabib, yang dikatakannya cukup pintar dan menurut pendapatnya tentu bisa disuruh melakukan tugas itu."
"Ouw It To kurang setuju, karena menurut pendapatnya, aku terlalu tamak, sehingga tak bisa dipercaya. Menurut isterinya, justeru karena sifat itu, jika dijanjikan hadiah yang besar, aku tentu akan berusaha melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Sungguh tepat kata mereka. Ketika itu, aku memang sangat tamak. Untuk memperoleh hadiah besar, tentu saja aku bersedia melakukan apa saja. Memang demikian sifatku di masa muda."
"Demikian kemudian terjadinya. Setelah mereka berunding lagi sebentar, keluarlah Ouw It To untuk memanggil aku. Ia menyuruh aku besoknya pagi-pagi datang untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Biauw Tayhiap. Tanpa sangsi aku segera memberikan kesanggupan untuk melakukan tugas, yang menurut pendapatku, sama-sekali tak ada kesukarannya."
"Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tibalah seorang pembawa surat Biauw Tayhiap untuk Ouw It To. Kudengar nyonya Ouw membacakan isinya, yakni tantangan untuk bertempur dan Biauw Tayhiap menyilakan Ouw It To memilih saatnya. Ouw It To segera menulis balasannya dan menyuruh aku turut pada pembawa surat Biauw Tayhiap untuk menyampaikannya."
"Aku meminjam seekor kuda dan segera mengikuti pembawa surat itu. Tiga puluh li lebih kami berjalan ke arah selatan. Di sebuah rumah besar aku berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Juga Hoan Pangcu dan Tian siangkong berada di situ. Di samping mereka, kulihat banyak orang, laki perempuan, toosu, hweeshio, nikouw dan lain-lain lagi."
"Setelah surat itu dibaca, berkatalah Tian siangkong, bahwa mereka tak usah menantikan Ouw It To memilih hari lagi, dan sebaiknya mereka semua berangkat besoknya. Kepadaku ia berpesan, supaya Ouw It To siang-siang menyediakan tiga buah peti mati. Katanya, agar mereka tak usah berabe lagi nantinya."
"Semua pengalamanku itu kusampaikan kepada Ouw It To suami-isteri. Tadinya kusangka, bahwa mereka tentu akan mencaci lawan-lawan itu sebagai orang-orang yang tak berprikemanusiaan. Ternyata tak demikian jadinya, mereka hanya saling memandang tanpa mengucapkan sepatah kata. Kemudian, keduanya hanya memperhatikan anak mereka dengan cinta yang berlimpa-limpa, mungkin karena sudah yakin, bahwa ajal mereka sudah di depan mata, dan dalam berapa waktu sisa hidup mereka itu, mereka hendak memberikan semua yang dapat diberikan."
"Sepanjang malam itu aku tak dapat tidur tenang. Rupa-rupa mimpi buruk selalu datang mengganggu. Sebentar aku bermimpi, bagaimana Ouw It To membunuh Biauw Tayhiap. Sesaat pula, dalam mimpiku aku melihat, bagaimana Biauw Tayhiap membunuh orang she Ouw itu, atau tiba-tiba aku bermimpi, bahwa mereka berbalik hendak membunuhku. Lewat tengah malam, mungkin juga sudah menjelang pagi, tiba-tiba aku terjaga. Aku mendengar tangis seseorang dari balik dinding. Setelah kuperhatikan, aku mendapat kenyataan, bahwa yang kudengar itu adalah tangis Ouw It To. Sungguh tak kuduga, bahwa seorang yang berwajah begitu menyeramkan, lagi gagah perkasa juga bisa menangis, bahkan menangis begitu memilukan."
'Aku menganggap, bahwa ia takut mati, dan seketika itu pandanganku terhadapnya merosot. Kuanggap ia tak punya guna. Tetapi sesaat kemudian tahulah aku, bahwa ia menangisi nasib anaknya, yang dikatakannya sungguh malang, bahwa sekecil itu, ia sudah akan kehilangan ayahnya. Di antara tangisnya, aku mendengar ia berkata, 'Siapakah yang akan menyayangmu kelak?' Meskipun tadinya aku telah memakinya sebagai pengecut, lama-lama aku merasa kasihan juga, bahkan akhirnya aku mengagumi cintanya kepada anaknya. Sungguh tak kusangka, bahwa seorang kasar sebagainya bisa menyinta begitu mesra."
"Terdengar isterinya menghiburnya, bahwa jika Ouw It To tewas di bawah senjata Biauw Tayhiap, ia yakin, bahwa ia sendiri tidak akan turut tewas, sehingga anak mereka tak akan terlantar. Sungguh besar makna kata-kata isterinya itu. Ouw It To menjadi girang dan semangatnya bangkit kembali. Suaranya sudah tidak bergetar lagi, ketika ia berkata, bahwa hatinya menjadi lega, karena ia tak usah kuatir, jika anaknya akan tanpa pelindung. Dengan nada tetap, dikatakannya, bahwa ia akan bisa bertempur dengan hati tenang, bahkan dengan gembira, mengingat bahwa lawan yang harus dihadapinya adalah seorang jago yang tiada tandingannya di dunia."
"Saat itu aku sudah heran, tetapi lebih heran pula aku ketika kemudian aku mendengar ia tertawa terbahak-bahak, dan berkata, 'Moay Cu, mati tak sukar, bahkan membebaskan seseorang dari segala kesulitan. Tetapi kau yang akan hidup terus, tentu akan menemukan tak sedikit kesukaran dan kesengsaraan. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan kau seorang diri.' Njonya Ouw menjawab, bahwa dengan mengasuh anak mereka, ia tentu akan terhibur. Ia berjanji untuk mendidik anak itu supaya menjadi seorang pahlawan, seorang pahlawan sebagai juga bapaknya, yang selalu berusaha untuk membebaskan rakyat dari tindakan segala pembesar korup, hartawan jahat dan para buaya darat."
"Aku semakin heran mendengar percakapan mereka itu. Kudengar Ouw It To bertanya, apakah isterinya tak menyesalkan semua perbuatannya selama itu. Isterinya bukan hanya tidak menyesal, bahkan membenarkan semua perbuatan itu. Agaknya Ouw It To semakin gembira, dan ia berpesan, supaya, bila kelak ia jadi tewas, kotak besi pusaka yang dimilikinya, diberikan kepada puteranya pada ulang-tahun keenam belasnya."
'Aku ketarik sekali kepada kotak besi pusaka itu. Diam-diam aku mengintip dari cela pintu. Ketika itu, nyonya Ouw sudah bisa bangun dan sedang mendukung anaknya. Ouw It To sendiri tengah memegang sebuah kotak besi, kotak besi yang kalian lihat di sini sekarang, yang berisikan golok kebesaran Cwan Ong."
"Tentu saja, ketika itu aku juga belum tahu apa yang terdapat di dalamnya. Besar sekali minatku untuk melihat isinya, tetapi Ouw It To menyimpan lagi kotak itu tanpa membukanya sebentar saja. Setelah itu Ouw It To merebahkan diri dan segera tidur lelap sekali. Suara mendengkurnya memenuhkan kamarnya, bahkan terdengar di seluruh penginapan itu."
'Aku juga kembali ke tempat tidurku, tetapi sia-sia saja aku memejamkan mataku. Aku tak bisa pulas. Suaranya mendengkur terus mengganggu telingaku. Aku jadi berpikir, memikirkan mereka.
Sudah cukup mengherankan, bahwa seorang cantik seperti nyonya Ouw rela kawin dengan seorang yang berwajah demikian buruk. Lebih mengherankan pula adalah, bahwa agaknya, ia telah menikah dengan pilihannya sendiri. Jika ditilik dari cintanya kepada suaminya, tak mungkin ia menikah bukan atas maunya sendiri."
"Pada hari ketiga, sebelum terang tanah, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya dan menyuruh pelayan berbelanja, membeli daging babi, daging kambing, ayam, itik dan rupa-rupa sayur-mayur, sedang ia sendiri kemudian mengolah semua itu. Aku menjadi agak heran, tak dapat kuterka guna apa ia menyediakan sekian banyak makanan yang istimewa. Aku coba menasihatkannya, supaya ia tidak terlalu berat bekerja, mengingat, bahwa ia baru saja melahirkan,"
'Atas segala nasihatku, ia hanya tertawa saja. Setelah mendusin dan keluar dari kamarnya, Ouw It To sendiri juga coba mencegahnya bercapai-lelah terlalu banyak, tetapi juga ia tak berhasil. Kata Ouw It To kemudian, sambil tertawa, bahwa ia akan merasa berbahagia, bila merasakan masakan isterinya sekali lagi sebelum menutup mata."
'Aku baru mengerti, bahwa nyonya Ouw hendak mengadakan pesta selamat berpisah untuk suaminya, dan ia tak mau membiarkan orang lain yang menyiapkan hidangannya."
"Menjelang tengah hari nyonya itu baru selesai, karena ia telah membuat hampir empat puluh macam hidangan. Ouw It To kemudian menyuruh pelayan membawakan berapa puluh kati arak. Dengan dilayani isterinya, kemudian Ouw It To duduk makan seorang diri. Kedua-duanya tampak berseri-seri, bagaikan tak merasa kuatir atau tegang sedikit jua. Aku membuka mataku lebar-lebar, sungguh mentakjubkan kekuatan perut orang she Ouw itu. Segera juga ia sudah menghabiskan tak sedikit hidangan itu dan berapa puluh mangkuk arak."
"Sebelum ia selesai, dari jauh terdengarlah derap kaki kuda yang kian mendekat. Sekali ini, Ouw It To bahkan tertawa mendengar kedatangan musuhnya. Ia hanya berpesan, supaya isterinya kelak menyampaikan kepada puteranya, bahwa ia mengharapkan, agar dalam segala tindakannya, putera itu dapat berlaku lebih keras dan bisa pula turun-tangan secara lebih kejam dari ia sendiri."
"Njonya Ouw memberikan janjinya Kemudian ia bersenyum dan berkata, bahwa ia juga sangat berminat melihat macam jago yang tak ada tandingannya itu, Biauw Tayhiap."
"Ia tak usah menunggu terlalu lama, karena sebentar pula Biauw Tayhiap sudah muncul dengan diapit Hoan Pangcu dan Tian siangkong dan diikuti berpuluh penunggang kuda. Tanpa menoleh, Ouw It To menyilakan mereka makan bersama Undangannya disambut tanpa ragu-ragu oleh Biauw Tayhiap, yang tanpa sungkan-sungkan lantas duduk berhadapan dengannya dan segera mengangkat semangkuk arak. Agaknya, Tian siangkong terperanjat melihat perbuatan Biauw Tayhiap itu."
"Dengan gugup ia coba mencegah. Dikatakannya, bahwa mereka (Ouw It To suami-isteri) mungkin telah mencampurkan racun ke dalam semua hidangan dan arak itu. Biauw Tayhiap tak menghiraukan nasihatnya, dan berkata bahwa Ouw It To, menurut pendapatnya, tak mungkin berbuat demikian rendah. Segera juga ia sudah makan-minum dengan lahapnya, sebagai juga tuan rumahnya, hanya caranya lebih halus."
"Njonya Ouw telah memperhatikan Biauw Tayhiap dengan seksama. Tiba-tiba ia berkata, 'toako, memang selain Biauw Tayhiap, tak ada lagi yang bisa menandingi kau, dan begitu pun sebaliknya. Kepercayaan, keteguhan hati dan keberanian yang barusan kalian perlihatkan benar-benar tak dapat ditiru orang lain.' Tertawalah Ouw It To sebagai sambutan atas pujian isterinya, dan ia juga membalasnya dengan pujian, bahwa di antara semua wanita, nyonya Ouw tiada tandingannya."
"Kemudian, nyonya Ouw berpaling kepada Biauw Tayhiap dan mengatakan, bahwa ia akan puas bila suaminya kelak tewas di bawah senjata Biauw Tayhiap. Menurut pendapatnya, mati terbunuh Biauw Tayhiap bukannya kematian yang mengecewakan. Ia juga mengharapkan, agar Biauw Tayhiap juga akan berperasaan demikian. Pada akhirnya kata-katanya, ia mengajak Biauw Tayhiap sama-sama mengeringkan secawan arak."
"Agaknya, Biauw Tayhiap bukannya seorang yang suka membuang banyak kata-kata. Dengan singkat ia menjawab, 'BAIK,' dan segera juga sudah akan mengeringkan arak yang disuguhkan kepadanya oleh nyonya itu. Kali ini Hoan Pangculah yang buru-buru menyelak, mencegahnya meminum arak itu dengan berkata, bahwa ia sebaiknya berhati-hati, karena biasanya, wanitalah yang paling kejam."
"Wajah Biauw Tayhiap agak berubah, jelaslah, bahwa ia kurang senang akan cegahan kawannya. Tanpa mengatakan suatu apa, ia segera menghabiskan arak itu."
"Kemudian nyonya itu berbangkit, dan sambil menimang anaknya ia berkata lagi, 'Biauw Tayhiap adakah urusan yang masih belum terselesaikan olehmu? Bila ada, agaknya, bila kau kelak tewas katakanlah kepadaku, karena di bawah golok suamiku, kawan-kawanmu itu belum tentu mau menguruskannya.' Selama berapa saat, Biauw Tayhiap tampak bimbang, tetapi akhirnya ia bercerita, bahwa empat tahun sebelumnya, untuk mengurus suatu keperluan ia telah pergi ke Leng Lam. Sedang ia tak berada di rumah, datanglah seorang yang mengaku bernama Siang Kiam Beng dari Bu Teng Koan di Shoatang."
"Agaknya si nyonya mengenal orang itu, dan menanyakan, apakah orang itu bukan tokoh utama dari Pat Kwa Bun yang terkenal lihay dengan Pat Kwa To-nya. 'Kim Bian Hud' mengiakan, dan segera melanjutkan ceritanya. Katanya, karena mendengar gelarnya 'Menjelajah Kemana-mana Tidak Ada Tandingannya' orang itu datang untuk coba-coba bertanding dengannya. Agaknya ia tak puas, karena tidak dapat berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Orang iiu berlaku kasar dan kemudian bercekcok dengan saudara Biauw Tayhiap. Dalam pertempuran yang kemudian terjadi, orang itu lelah menggunakan suatu tipu, dan berhasil membunuh kedua saudara Biauw Tayhiap. Tak puas dengan itu saja, ia juga membunuh adik perempuan Biauw Tayhiap sekalian."
"Biauw Tayhiap menghela napas. Ia mengatakan, bahwa-- meskipun kepandaian kedua adiknya itu belum sempurna -- tetapi kepandaian mereka sudah tak dapat dikatakan lemah. Bahwa Siang Kiam Beng dapat membunuh kedua-duanya sekaligus, menandakan betapa hebat kepandaiannya. Lagi pula, karena adanya permusuhan turun-menurun antara keluarga Biauw dan keluarga Ouw, selama empat tahun itu, Biauw Tayhiap tak sempat mencari musuhnya untuk menuntut balas."
"Setelah ia berhenti bercerita, Ouw Hujin menghiburnya dengan kata bahwa Biauw Tayhiap tak usah kuatir. Bila sampai kejadian Biauw Tayhiap tak dapat melaksanakan sendiri pembalasan sakit hati tersebut, ia dan suaminya tentu tak akan tinggal diam saja. Pada wajah Biauw Tayhiap terbayang rasa terima kasihnya, tetapi bersama dengan itu ia segera berbangkit dan sambil
menghunus pedangnya ia menantang Ouw It To bertanding seketika itu juga."
"Ouw It To tak menghiraukan tantangannya. Dengan tenang dan dengan sama lahapnya pula, ia terus makan dan minum tanpa menjawab. Kata Ouw Hujin, 'Biauw Tayhiap, meskipun kepandaian suamiku sangat tinggi, tetapi belum tentu ia bisa menang.' 'Kim Bian Hud' sadar. 'Ah, aku lupa,' katanya, dan ia segera menanyakan pesan Ouw It To, yang kelak mungkin harus diwakilkannya melaksanakan."
"Ouw It To segera berbangkit dan berkata, 'Bila aku sampai terbunuh olehmu, kelak anakku tentu akan menuntut balas. Tetapi, pintaku hanya supaya kau merawatnya baik-baik' Di dalam hatiku aku sudah membayangkan jawab 'Kim Bian Hud'. Aku yakin, bahwa ia tentu akan menolak, karena siapakah yang sudi merawat seorang anak yang kelak akan merupakan bahaya bagi dirinya sendiri. Maka betapa terperanjat aku, dapatlah kalian membayangkannya sendiri, ketika mendengar jawab Biauw Tayhiap dengan nada meyakinkan, 'Baik, bila kau yang tak beruntung, anakmu akan kurawat sebagai juga anakku sendiri.' Dengan mataku dibuka lebar-lebar aku memandang dua orang itu."
"Sesungguhnya aku tak mengerti, mengapa dua orang itu, yang sebentar lagi sudah akan bertempur mati-matian, tanpa berhenti sebelum salah seorang jatuh sebagai kurban, dapat bercakap-cakap dengan asyik bagaikan dua sahabat karib yang saling mengagumi. Kulihat, bahwa Hoan Pangcu dan Tian siangkong agak kecewa melihat kelakuan Biauw Tayhiap. Mungkin mereka sedang kuatir, jika pertempuran itu tak jadi berlangsung, sedang pada saat itu mereka hanya masih bisa mengandalkan tenaga 'Kim Bian Hud' seorang."
"Kembali terjadi hal tiba-tiba yang tak terduga. Ouw It To berbangkit, dan selagi orang-orang coba menerka apa yang dikehendakinya, ia mencabut goloknya dan menyilakan Biauw Tayhiap segera mulai. Biauw Tayhiap memberi hormat dengan pedangnya, sesuai dengan peraturan adat, tetapi Tian siangkong justeru menjadi tak sabar karenanya dan menyerukan, supaya 'Kim Bian Hud' tak segan-segan pula."
"Beda jauh dengan harapannya tentu, ternyata Biauw Tayhiap bukan saja tak menghiraukan seruannya, bahkan sebaliknya membentak supaya ia dan yang lain-lain segera keluar. Sungguh kasar 'Kim Bian Hud' memperlakukan kawannya sendiri. Wajah Tian siangkong menjadi merah seluruhnya, entah karena malu, entah karena marah. Tetapi nada suara Biauw Tayhiap yang agaknya tak suka dibantah, membuatnya melangkah keluar bagaikan anjing terpukul, diikuti Hoan Pangcu dan yang lain."
"Ketika itu dua harimau itu sudah saling berhadapan, hanya pertempuran belum juga dimulai, karena keduanya sedang saling mengalah dan saling menyilakan menyerang lebih dulu.
Akhirnya Ouw It To menurut. Ia melangkah maju dan membuka serangan dengan suatu bacokan dari atas, menuju ke kepala 'Kim Bian Hud'."
"Itulah permulaan dari pertempuran, yang -- berani kupastikan -- tentu belum pernah ada taranya. Dengan menyenderungkan tubuhnya sedikit, Biauw Tayhiap sudah dapat menghindari serangan itu."
"Dengan suatu gerakan yang indah, Biauw Tayhiap menggerakkan pedangnya ke lambung kanan lawannya. Ouw It To menangkis sambil memperingatkan, bahwa goloknya adalah golok mustika. 'Kim Bian Hud' mengaturkan terima kasihnya sambil membebaskan pedangnya dari benturan golok lawan. Sebelum dan sesudah itu berpuluh, bahkan beratus kali, aku sudah melihat orang pibu, tetapi tak pernah aku melihat pertempuran sedahsyat itu, apalagi yang saban-saban saling memperingatkan selaku mereka. Sebelum pertandingan itu berlangsung lama, kedua tanganku sudah terasa dingin dan hatiku berdebar keras-keras."
"Pada suatu saat terdengar bunyi senjata beradu disusul gemerincing benda logam yang jatuh di lantai. Ternyata pedang 'Kim Bian Hud' telah patah, tetapi ia tak menjadi jera karenanya. Ia melanjutkan perlawanannya dengan tangan kosong, tetapi seketika itu Ouw It To meloncat keluar dari kalangan dan menganjurkan supaya Biauw Tayhiap berganti senjata dulu."
"Jawab Biauw Tayhiap, 'Tak usah.' Tetapi Tian siangkong sudah mengangsurkan pedangnya sendiri. Setelah bersangsi sebentar, 'Kim Bian Hud' menerima juga pedang itu dan pertempuran sudah dilanjutkan lagi dengan dahsyat."
"Di dalam hatiku aku memuji Ouw It To, tetapi juga mengatakannya tolol, bukankah pada umumnya, dalam pertempuran demikian, setiap orang akan mendesak lebih keras, bila ia sudah berhasil merusakkan senjata lawannya. Juga sikap Biauw Tayhiap menimbulkan kekagumanku, meskipun tanpa senjata, belum tentu ia akan mengalami kekalahan, tetapi ketika menjawab Ouw It To ia sudah mengaku kalah setingkat, karena senjatanya dapat dirusakkan. Belakangan baru aku mengerti, bahwa -- setelah bertempur sekian lama dan semakin mengenal ketangkasan masing-masing -- keduanya jadi saling mengagumi. Benar-benar sifat kesatria yang tiada keduanya."
"Semakin seru pertempuran itu. Kadang-kadang terlihat, bagaimana mereka berpencar saling menjauhkan, tetapi sebentar pula keduanya sama-sama melompat maju dan saling menyerang pula dengan gerak-gerak yang lincah lagi mendebarkan hati. Berpuluh-puluh jurus sudah lewat, tetapi keduanya masih sama tangkasnya. Pada suatu saat, tiba-tiba 'Kim Bian Hud' melancarkan suatu serangan istimewa. Agaknya, Ouw It To sudah tak mungkin bisa menghindarkan tenggorokannya dari ujung pedang lawannya. Tetapi selagi kubuka mataku lebar-lebar dengan hati berdebar keras sekali, dan sedang Tian siangkong dan kawan-kawan sudah berseru kegirangan, tiba-tiba Ouw It To menjatuhkan diri ke belakang bersama dengan gerakan goloknya yang sekali lagi menghajar pedang 'Kim Bian Hud' dan mematahkannya untuk kedua kalinya."
"Pada detik selanjutnya Ouw It To sudah berbangkit dan minta maaf. Ia menyatakan, bahwa ia sebenarnya tak bermaksud mengandalkan ketajaman goloknya, tetapi karena serangan 'Kim Bian Hud' barusan itu terlalu hebat, tak dapat tidak ia harus menangkis juga dengan kesudahan sebagai itu. Biauw Tayhiap menjawab dengan singkat saja, dan kemudian meminjam sebilah pedang pula dari Tian siangkong. Tiba-tiba Ouw It To juga minta diberi pinjaman sebilah golok, katanya, supaya dengan demikian mereka dapat mengeluarkan kepandaian masing-masing dengan sebaik-baiknya."
"Permintaan Ouw It To itu tentu saja sangat menggirangkan bagi Tian siangkong dan kawan-kawan, karena tadinya mereka sudah kuatir, bila andalan mereka akhirnya akan menampak kegagalan juga. Dengan segala senang hati ia segera mengambil sebilah golok dari tangan seorang kawannya dan mengangsurkannya kepada Ouw It To."
"Sesaat Ouw It To menimbang-nimbang golok pinjaman itu di tangannya. Biauw Tayhiap menanyakan apakah senjata itu terlalu enteng baginya, dan sembari berkata begitu ia mengangkat pedangnya. Dengan ujung dua jari tangan kirinya ia memegang ujung pedang tersebut, entah dengan cara apa, tiba-tiba patahlah sudah ujung pedang itu. Aku membelalakan mataku, takjub melihat tenaga jari orang itu."
"Beda dengan aku dan banyak orang lain, Ouw It To justeru jadi tertawa. 'Biauw Jin Hong, bahwa kau tak mau menerima belas kasihan orang lain, benar-benar merupakan suatu bukti, bahwa namamu sebagai Tayhiap (pahlawan besar) bukannya nama kosong belaka.' Biauw Tayhiap menolak pujian itu dengan berapa kata merendah, kemudian ia berkata, bahwa masih ada sesuatu yang hendak diterangkannya kepada Ouw It To."
"Setelah Ouw It To menyilakannya bicara, berkatalah ia. Sebenarnya aku sudah lama mendengar dan insyaf bahwa kepandaianku belum tentu bisa dibandingkan dengan kepandaianmu. Gelar "Menjelajah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan" bukannya untuk
menyombongkan kebisaanku, tetapi guna Sebelum ia dapat menyelesaikan perkataannya, Ouw It To sudah menyelak lebih dulu. Aku juga sudah lama mengerti guna apa kau memakai gelar itu, yakni untuk memancing aku turun ke Kanglam, dan kau yakin, bahwa, bila saja kau berhasil mengalahkan aku, kau akan berhak penuh untuk memegang gelar tersebut. Sekarang, lebih baik kita melanjutkan pertandingan ini.' Serentak dua harimau itu sudah saling menerkam lagi."
"Sekali ini mereka sama-sama menggunakan senjata biasa. Keduanya benar-benar bertempur dengan mengandalkan kepandaian masing-masing. Alangkah seruhnya pertempuran itu, yang berlangsung sehingga ratusan jurus tanpa adanya tanda akan berakhir lekas-lekas. Lama-lama, tampak sebagai juga Ouw It To mulai terdesak. Agaknya ia sudah lebih banyak bertahan daripada menyerang. Tian siangkong dan Hoan Pangcu sudah memperlihatkan kegembiraan mereka. Tetapi, ternyata kemenangan yang mereka bayangkan masih jauh sekali. Serangan-serangan Biauw Tayhiap yang bagaimana lihay juga, selalu terbentur pada pembelaan Ouw It To yang sangat rapatnya."
"Tiba-tiba datanglah suatu saat, dalam mana Ouw It To bertukar siasat. Ia tidak hanya membela diri lagi. Bertubi-tubi datanglah serangan-serangannya yang dahsyat lagi sangat membahayakan. Semakin mengagumkan pertempuran selanjutnya itu. Biauw Tayhiap terus melayani lawannya dengan tenang tetapi lincah sekali. Ruangan yang agak luas itu bagaikan menjadi penuh dengan bayangan tubuh dan senjata mereka. Tampaknya, bagaikan bukan hanya dua orang yang bertempur, tetapi puluhan Biauw Jin Hong dan puluhan Ouw It To."
"Ketika itu, meskipun belum terhitung ahli, aku juga sudah pernah belajar bersilat dengan golok, maka setelah sekian lama memperhatikan permainan golok Ouw It To, aku menjadi heran sekali. Belum pernah aku mendengar atau melihat, bahwa pelindung tangan dan gagang yang menonjol di belakang tangan pemegangnya, juga bisa digunakan untuk menyerang atau menangkis. Beda dengan umumnya, agaknya tak ada bagian golok yang tak berguna baginya."
"Sungguh sukar diraba permainan goloknya. Mengenai silat dengan pedang, aku tak dapat turut berbicara. Tetapi melihat kenyataan, bahwa terhadap Ouw It To yang demikian hebat, 'Kim Bian Hud' masih bisa melayaninya dengan seimbang, dapatlah dipastikan, bahwa kepandaian orang itu juga tak mudah dicarikan keduanya. Menurut para ahli, pedang dapat disamakan dengan burung hong yang lincah lagi indah dipandang setiap gerakannya Tentang golok telah dikatakan, bahwa senjata itu dapat diibaratkan seekor harimau yang ganas. Masing-masing di antara kedua senjata itu mempunyai faedahnya dan kelemahannya sendiri. Tetapi di tangan dua orang itu, yang tampak hanyalah faedahnya, lihaynya, tanpa kelemahan yang sekecil ujung kuku."
"Mula-mula aku masih bisa mengikuti setiap perkembangan pertempuran, tetapi lama kelamaan, kepalaku terasa berputar dan mataku berkunang-kunang. Jika aku masih berani terus memandang pertempuran itu, tentu aku akan jatuh, maka buru-buru aku berpaling ke arah lain. Kini hanya angin kedua senjata mereka, yang menderu-deru, kudengar dengan kerapkali diseling gemerincing beradunya kedua senjata itu. Aku coba melihat wajah nyonya Ouw. Tadinya kusangka, bahwa wajahnya tentu tegang bila bukannya ketakutan, tetapi dugaanku ternyata keliru. Sedikit saja tak tampak sifat ketakutan pada wajahnya, ia bahkan masih bisa bersenyum"
"Aku berpaling ke arah pertempuran lagi. Kulihat, bahwa Ouw It To pun bersenyum, bersenyum bagaikan ia sudah yakin akan kemenangan. Kutatap wajah Biauw Tayhiap, tetapi aku tak melihat apa-apa pada mukanya. Ketika aku tujukan pandanganku ke arah lain, ke arah Tian siangkong dan Hoan Pangcu, kulihat, bahwa wajah keduanya sudah menjadi tegang sekali. Sebentar-sebentar kulihat mereka terperanjat, teranglah sudah, bahwa mereka kuatir, jika Biauw Tayhiap -- pengharapan mereka satu-satunya -- akan kalah."
"Segala sesuatu yang kulihat itu, membingungkan pikiranku. Aku tak tahu, siapa yang akan kalah dan siapa yang akan menang. Sekonyong-konyong telingaku menangkap bunyi gendewa menjeperet. Buru-buru aku menoleh. Ternyata Tian siangkong yang menggunakan gendewa itu untuk melepaskan pelurunya, menyerang Ouw It To, yang tengah mencurahkan perhatiannya kepada Biauw Tayhiap. Sungguh mengagumkan, bahwa Ouw It To bisa membebaskan diri dari semua pelurunya. Kemudian, sambil tertawa terbahak-bahak, Ouw It To melontarkan goloknya ke atas lantai dan berseru, 'Biauw Jin Hong, aku menyerah kalah!' Kulihat, bahwa muka Biauw Tayhiap berubah seketika. Sungguh menyeramkan wajahnya, bila ia marah."
"Tanpa mengucapkan sepatah kata ia meloncat ke arah Tian siangkong dan merebut gendewanya. Kemudian dengan sekali mengerahkan tenaganya, ia sudah mematahkan gendewa itu. Sambil membuang sisa senjata itu, dengan suara bagaikan guntur ia mengusir Tian siangkong, yang "meloyor" pergi bagaikan anjing terpukul. Kelakuan Biauw Tayhiap menimbulkan keherananku lagi. Mengapa sedang kawannya kuatir jika ia kalah dan mendapat cedera, bahkan mungkin akan tewas, pertolongan kawan itu justeru membangkitkan amarahnya. Benar-benar aku tak bisa mengikuti jalan pikirannya."
"Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Biauw Tayhiap kemudian mengangkat golok di lantai itu dan melemparkannya kepada Ouw It To. Setelah golok itu berada dalam tangan Ouw It To lagi, ia segera melancarkan serangannya. Pertempuran itu berlangsung terus sampai jauh lewat lohor. Akhirnya, sambil menangkis serangan Biauw Tayhiap, Ouw It To berseru, 'Perutku sudah lapar, maukah kau menyertai aku makan?' Saran itu mendapat sambutan baik dari fihak Biauw Jin Hong."
"Bagaikan sahabat-sahabat yang akrab, bahkan sebagai dua saudara, mereka kemudian duduk menghadapi hidangan itu lagi. Ouw It To makan dengan lahap sekali, sebaliknya Biauw Jin Hong hanya makan sedikit-sedikit."
"Karena melihat lawannya itu makan demikian sedikit, maka Ouw It To menanyakan, apakah makanannya kurang enak. Biauw Tayhiap menjawab dengan pujian dan mengambil sepotong paha ayam lagi. Demikianlah mereka makan minum, bagaikan di antara mereka tidak terdapat apa-apa, tetapi begitu mereka sudah merasa kenyang, segera juga mereka bergeberak pula.
Keduanya telah mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing, tetapi sama-sama tak memperoleh hasil. Walaupun tubuh Ouw It To begitu tegap-kekar, tetapi ternyata, bahwa segala gerakannya lincah sekali. Ia bergerak secepat angin, seimbang dengan kegesitan lawannya yang berbadan lebih menguntungkan. Semakin lama semakin cepat pula mereka bergerak pergi-datang di seluruh ruangan. Kembali mataku kabur. Tiba-tiba aku dikejutkan teriakan seseorang. Ternyata Ouw It To yang berpekik, karena pada saat itu ia terpeleset dan jatuh di atas kedua lututnya."
"Amat baiknya kesempatan ini bagi Biauw Jin Hong. Dengan maju selangkah ia akan dapat menamatkan riwayat lawannya dengan mudah sekali. Tetapi, seakan-akan sengaja untuk memperbesar keherananku, seketika itu juga 'Kim Bian Hud' meloncat ke belakang, memisahkan diri dari lawannya dan menyia-nyiakan kesempatan yang tak mudah didapatnya untuk keduakalinya. Sambil berbuat demikian, ia bahkan masih berkata, Ah, kau telah menginjak peluru. Lain kali hati-hatilah.' Dalam pada itu Ouw U To sudah berdiri dengan tegaknya pula, dan ia mengucapkan terima kasihnya dengan bersenyum, tetapi bukannya terima kasih atas keseganan lawannya menggunakan ketika yang baik itu, hanya terima kasih atas nasihat yang baru diberikan."
"Kemudian dipungutnya semua peluru itu dari lantai dan disentilkan keluar lewat jendela. 'Kim Bian Hud' maju pula, dan mereka sudah lekas terlibat dalam pertempuran mati-matian lagi. Sampai lewat senja, mereka belum memperoleh keputusan tentang siapa yang kalah dan siapa yang menang. Cuaca sudah semakin gelap, dan pada suatu saat Biauw Tayhiap meloncat keluar
dari kalangan. Dengan nada sungguh-sungguh ia berkata, 'Ouw heng, kepandaianmu benar-benar sangat tinggi, dan aku sangat kagum dibuatnya. Perlukah kita minta obor untuk melanjutkan pertempuran ini?' Ouw It To menolak pujian lawannya dengan tertawa. Kemudian dikatakannya, 'Ampunilah jiwaku untuk sehari lagi.' Sambil berkata, 'Jangan merendah,' Biauw Tayhiap segera memberi hormat dan membalikkan tubuhnya untuk berlalu tanpa banyak bercakap pula."
"Sekejap sunyilah sudah suasana di sekitar penginapan itu. Pikiranku masih kacau. Bingung sekali aku memikirkan kedua orang gagah itu. Sehari mereka bertempur mati-matian, tetapi akhirnya bukannya mereka jadi saling membenci semakin hebat, sebaliknya mereka bahkan jadi saling mengagumi. Aneh, benar-benar aneh."
"Setelah semua musuhnya berlalu, Ouw It To segera menghabiskan sisa hidangan yang masih berada di meja. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata, ia meloncat ke punggung kudanya dan melarikannya secepat kilat. Aku yakin, bahwa ia tentu akan pergi ke rumah besar di selatan desa itu untuk menyelidiki keadaan musuhnya. Mula-mula, aku hendak memberikan kabar kepada
Tian siangkong, agar ia dapat berjaga-jaga, tetapi akhirnya kubatalkan niatku, karena kuatir kepergok Ouw It To."
"Walaupun malam itu tak ada suara mendengkurnya yang mengganggu tidurku, aku tak dapat memejamkan mata. Lama sekali aku sudah menantikan pulangnya. Aku menjadi heran. Jarak antara desa dan rumah besar itu tak berapa jauh, mengapa sudah demikian lama ia belum juga pulang. Mungkin ia telah kepergok Biauw Tayhiap dan telah tewas dikeroyok."
"Hatiku berdebar keras, karena saat itu aku juga sudah kagum kepadanya, tetapi anehnya di kamar sebelah aku tak mendengar nyonya Ouw berkeluh-kesah, sebagai lasimnya dilakukan seorang jika ia berkuatir. Bahkan setiap kali menimang anaknya, kudengar suaranya riang, bagaikan hatinya gembira. Aneh, sungguh aneh."
"Di waktu fajar, aku baru mendengar derap kaki kuda, dan sesaat kemudian terdengar Ouw It To sudah kembali. Aku menjenguk keluar, tetapi kembalinya bukan dengan kudanya yang semula. Ia telah bertolak dengan kuda berbulu kelabu, tetapi kembalinya kini dengan kuda berbulu coklat kekuning-kuningan. Baru saja Ouw It To turun, kudanya itu terhuyung dan serentak roboh.
Benar mengejutkan, aku mendekatinya dan coba memeriksanya. Aku mendapat kenyataan, bahwa sekujur badan kuda itu penuh keringat berbusa Teranglah sudah, bahwa kuda itu roboh, mati, karena terlalu letih."
"Tentu saja semakin heran hatiku. Sudah dapat dipastikan, bahwa semalam Ouw It To telah melakukan perjalanan jauh, tetapi entah ke mana. Sungguh sukar diterka jalan pikirannya, mengapa, sedang ia menghadapi pertempuran mati-matian melawan seorang musuh yang belum tentu dapat dikalahkannya, bukannya ia mengaso, tetapi justeru melakukan perjalanan yang meletihkan dan memakan waktu semalam suntuk. Aneh, memang aneh dia."
"Isterinya ternyata sudah bangun, dan sudah pula menyediakan makanan untuk suaminya. Kulihat, bahwa Ouw It To tidak tidur lagi. Ia bermain-main dengan anaknya sambil menantikan kedatangan musuhnya. Tak usah terlalu lama ia menunggu. Segera juga musuh-musuh itu sudah datang pula Sebagai juga kemarinnya, pagi itu Ouw It To dan Biauw Tayhiap makan-minum bersama dulu untuk kemudian, tanpa berkata suatu apa, segera bertempur pula Hanya hari itu agaknya Ouw It To lebih banyak membela diri daripada menyerang. Walaupun begitu, hari itu juga tak menghasilkan keputusan."
"Di waktu senja mereka berhenti bertempur, dan ketika akan berpisah, berkatalah 'Kim Bian Hud', 'Ouw heng, hari ini tenagamu tampak mundur, mungkin sekali besok kau akan kalah.'
'Belum tentu,' jawab Ouw It To, 'hari ini aku memang agak letih, karena semalam suntuk aku tak tidur.' Jawab Ouw It To itu tentu saja mencengangkan Kim Bian Hud', dan ia pun segera menanyakan mengapa Ouw It To berbuat demikian."
"Ouw It To tertawa dan mengatakan, bahwa ia hendak menghadiahkan sesuatu kepada Biauw Tayhiap. Ia berlari masuk ke kamarnya dan kemudian kembali dengan membawa sebuah bungkusan, yang diangsurkannya kepada 'Kim Bian Hud'. Bungkusan itu ternyata berisikan sebuah kepala manusia, sedang di samping itu terdapat sebilah golok bergigi. Hoan Pangcu bercuriga. Agaknya ia menyangka, bahwa kepala itu tentu kepala salah seorang kawannya. Ia segera maju untuk turut melihat, dan serentak berseru dengan mata dibuka lebar-lebar. 'Itulah kepala Siang Kiam Beng,' katanya dengan tersengal-sengal. 'Kim Bian Hud' memeriksa golok yang dibungkus bersama dengan kepala itu. Pada gagangnya ternyata telah diukirkan empat huruf, 'Pat Kwa Bun Siang'. Kini ia tak sangsi lagi, tetapi untuk jelasnya ia bertanya apakah Ouw It To semalam itu tak tidur karena pergi ke Bu Teng Koan."
"Ouw It To mengiakan dengan tertawa, dan menceritakan, bahwa untuk itu ia bahkan telah menyebabkan tewasnya beberapa ekor kuda, karena ia pun tak mau mengingkari janjinya untuk melanjutkan pertempuran hari itu. Kurasa, bahwa semua orang yang mendengar itu harus tercengang. Yang paling jelas, adalah, bahwa keherananku tak kepalang. Jarak antara Congciu dan Bu Teng Koan tak kurang dari tiga ratus li. Benar mengherankan, bahwa ia bisa menyelesaikan perjalanan pergi-pulang itu dalam waktu semalam. Lebih mengagumkan pula, karena sebelum bisa pulang, ia harus membunuh dulu seorang jago silat yang sangat disegani di daerah utara. Entah dengan cara apa ia telah bertindak, sehingga semua itu dapat diselesaikannya demikian cepat."
"Agaknya, 'Kim Bian Hud' menganggap semua itu biasa saja. Perhatiannya ternyata lebih tertarik kepada soal lain. Tanyanya, 'Dengan bagian ilmu silatmu yang mana, kau telah membunuhnya?' Ouw It To menjawab, bahwa ia tidak menggunakan ilmu silat golok. Menurut kesannya, kepandaian Siang Kiam Beng benar-benar sudah sukar dicarikan tandingan, dan hanya dengan tipu serangan Ciong Thian Ciang So Cin Pwee Kiam' akhirnya ia bisa juga mengalahkannya."
"Baru setelah mendengar cerita ini 'Kim Bian Hud' tampak heran. 'Bukankah tipu-serangan itu salah satu bagian dari ilmu silat keluargaku?' tanyanya. Lagi-lagi Ouw It To tertawa, kemudian ia berkata, bahwa ia memang telah merobohkan Siang Kiam Beng dengan sebilah pedang.
Kulihat, bahwa wajah 'Kim Bian Hud' kini memperlihatkan rasa terima kasih yang sangat besar dan itu pun segera dinyatakannya dengan jujur. Ouw It To tak mau menerima pemberian hormat serta terima kasih 'Kim Bian Hud', karena menurut pendapatnya sendiri, ia hanya telah mewakilkan Biauw Tayhiap Lebih lanjut, ia menyatakan, bahwa yang berjasa adalah ilmu silat keluarga Biauw, yang disebutnya sebagai tiada taranya dalam dunia."
"Jelaslah semua bagiku sekarang. Sungguh kagum aku dibuat dua orang itu. Meskipun mereka bermusuh, bahkan sudah bertekad untuk bertempur terus sehingga salah satu jatuh tak bernyawa, keduanya tak menyembunyikan rasa kagum masing-masing kepada lawannya. Bahwa Ouw It To tidak menggunakan goloknya untuk mengambil kepala Siang Kiam Beng, sudah merupakan bukti, bahwa ia sangat menghormati 'Kim Bian Hud'. Bahwa sebagai musuhnya, 'Kim Bian Hud' mau menerima budi Ouw It To yang sebesar itu, juga merupakan bukti, bahwa sebaliknya ia menghormat Ouw It To tinggi-tinggi."
"Tetapi, aku masih lebih kagum kepada Ouw It To. Benar tak kusangka, bahwa dengan wajah sebengis itu, hatinya sebenarnya sangat mulia. Dengan caranya, ia telah mengangkat derajat ilmu silat keluarga Biauw. Jika ia telah membunuh Siang Kiam Beng dengan kepandaiannya sendiri, ia akan memberikan kesan, bahwa ia bukannya hendak berbuat baik, bahkan akan tampak sebagai
hendak menyombongkan ilmu silat keluarganya sendiri. Sungguh mulia hatinya, tetapi lebih mengherankan pula, bahwa dalam sehari saja ia sudah bisa memahamkan ilmu silat 'Kim Bian Hud' yang belum pernah dilihatnya, bahkan sudah bisa menggunakannya dengan sempurna. Juga tak kurang mengagumkan tindakannya dengan menyerahkan hasil pekerjaannya semalam itu,
setelah menyelesaikan pertempuran hari itu. Bila pagi itu, sebelum bertempur, ia sudah menyerahkan kepala Siang Kiam Beng, mungkin sekali orang akan menyangka, bahwa ia hendak menunda kematiannya, dan bermaksud menempatkan 'Kim Bian Hud' dalam kedudukan yang tak memungkinkannya membunuh sang lawan."
"Jalan pikiranku itu agaknya sama dengan jalan pikiran Hoan Pangcu dan Tian siangkong. Kulihat mereka saling memberi isyarat, kemudian melangkah pergi dengan bersama. Biauw Tayhiap tak mengikuti dua kawannya itu. Sesaat ia memandang putera Ouw It To. Tiba-tiba ia membuka bungkusan kuning yang tak pernah ketinggalan di punggungnya. Sedari saat pertama aku melihat bungkusan itu rasa ingin tahuku sudah timbul, maka aku segera memperhatikannya dengan dua-dua mataku dibuka lebar-lebar. Aku menjadi kecewa, karena isinya ternyata hanya berapa potong baju, baju biasa yang tak ada keistimewaannya."
"Ternyata bukannya isinya yang istimewa, justeru kain pembungkus itu sendiri yang bukannya barang biasa. Di sebelah dalamnya, kain itu bersulamkan delapan huruf gelar Biauw Tayhiap. Dengan suara kecil 'Kim Bian Hud' mengejanya satu demi satu. Kemudian ia mengulurkan sepasang tangannya, untuk menggantikan nyonya Ouw mendukung anak itu. Setelah berada dalam dukungannya, anak itu segera diselimutkannya dengan kain kuning tersebut. Kemudian ia berpaling kepada Ouw It To. 'Ouw heng, jika sampai terjadi sesuatu dengan dirimu, kau boleh berpulang dengan hati tenang karena kujamin, bahwa tak seorang akan berani menghina puteramu,' katanya. Berbalik Ouw It To yang kini menghaturkan terima kasih berulang-ulang sedang 'Kim Bian Hud' sibuk menolak dengan kata-kata merendah."
"Malam itu, Ouw It To tidur pulas benar, suara mendengkurnya lebih keras dari ketika pertama kali aku mendengarnya. Menjelang tengah-malam, sekonyong-konyong telingaku menangkap bunyi langkah berindap-indap, enteng sekali, di atas atap rumah. Menyusul itu terdengar seseorang membentak, 'Ouw It To, lekaslah keluar untuk menerima kematian!' Ouw It To tak mendengar seruan dari luar itu. Ia tetap mendengkur keras-keras. Orang-orang yang berada di atap rumah itu, agaknya menjadi semakin bernapsu. Mereka mencaci semakin keras dengan kata-kata yang semakin kotor, sedang jumlah mereka pun jadi semakin banyak. Semua itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Ouw It To masih tetap mendengkur dengan asyiknya. Menurut anggapanku, Ouw It To itu terlalu ceroboh. Meskipun kepandaiannya sempurna sekali, tetapi mengingat jumlah musuhnya yang besar, tak seharusnya ia tidur begitu lelap."
"Kemudian perhatian tertarik kepada hal lain. Aku mendengar jelas-jelas, bahwa isterinya belum pulas, karena sebentar aku mendengarnya bernyanyi sambil menimang puteranya.
Sedikit pun ia tidak memperlihatkan tanda takut. Lagi-lagi aku menjadi heran. Sementara itu, suara orang-orang di atas atap bertambah riuh, membisingkan, tetapi tak seorang jua berani menerjang masuk. Kira-kira selama setengah jam mereka sudah cuma-cuma mencaci, ketika tiba-tiba kudengar nyonya Ouw berkata, dengan suaranya yang merdu lagi halus, 'Nak, di luar ada sekawanan anjing buduk menggonggong, mungkin sekali mereka akan tetap membisingkan sampai pagi, supaya ayahmu tak bisa tidur dan menjadi letih. Bukankah anjing buduk itu sangat kurang ajar?' Anak yang baru berusia berapa hari itu tentu saja tak menjawab. Kemudian berkatalah nyonya itu lagi. 'Kau benar-benar anak baik, memang anjing-anjing itu sepantasnya diusir. Biarlah ibu keluar sebentar untuk mengusir anjing-anjing kurang-ajar itu.' Kemudian aku melihat ia keluar dengan mendukung anak itu dan membekal sehelai selendang sutera putih."
"Hatiku berhenti berdebar sekejap, mataku membelalak lebar-lebar, karena nyonya itu melayang ke atap bagaikan seekor burung hong. Sungguh tak kusangka, bahwa nyonya yang tampak lemah-gemulai itu pandai bersilat, bahkan sudah jelas, berkepandaian sangat tinggi. Buru-buru aku membuka jendela lebih lebar pula, agar bisa melihat lebih banyak serta lebih nyata."
"Di atap rumah, kelihatan berapa puluh laki-laki berdiri berjajar dengan bersenjata lengkap. Dalam keadaan setengah gelap itu, mereka tampak menyeramkan, dan dengan munculnya si nyonya, mereka berteriak semakin membisingkan. Tiba-tiba kelihatan suatu sinar putih meluncur ke arah orang-orang itu, yang segera disusul pekik salah seorang di antara mereka. Ternyata selendang nyonya Ouw telah melibat dan merebut golok orang itu, yang tubuhnya kini terpelanting ke bawah."
"Kawan-kawan orang itu terpesona sebentar, tetapi segera juga mereka sudah maju dengan serentak untuk mengerojok si nyonya seorang. Di bawah cahaya redup sang bulan, kulihat selendang sutera putih itu melayang pergi-datang bagaikan seekor naga yang sedang menari dengan hati riang. Indah sekali tampaknya, tetapi mentakjubkan akibatnya. Berturut-turut terdengar seorang berteriak disusul gemerincing senjata jatuh dan bunyi padam sebuah tubuh yang terpelanting ke tanah. Sebentar saja sudah belasan orang dirobohkan nyonya yang kelihatan lemah lunglai itu. Segera juga, aku memperoleh kawan dalam kagetku, yakni sisa tamu-tamu tak diundang itu. Berapa puluh orang yang belum roboh kini tak berani menyerang lagi. Sedetik mereka berdiri dengan mulut melompong, untuk didetik lain lari tunggang-langgang dengan meninggalkan kuda dan senjata masing-masing."
"Mataku bagaikan hendak meloncat keluar karena peristiwa itu. Kemudian kulihat, bagaimana dengan tenangnya nyonya Ouw menyapu semua senjata itu ke bawah dengan sekali menggerakkan selendangnya. Setelah itu, ia kembali ke kamarnya bagaikan tak terjadi apa-apa. Selama itu, Ouw It To tiada hentinya mendengkur, agaknya ia tak mendengar heboh yang baru terjadi itu."
"Keesokan harinya, pagi sekali, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya untuk menyiapkan makanan bagi suaminya dan menyuruh seorang pelayan mengumpulkan semua senjata yang berserakan untuk kemudian diikat menjadi satu dan digantungkan di depan pintu. Setiap kali tertiup angin pagi, senjata-senjata itu menerbitkan bunyi bergemerincing dengan nada rupa-rupa, bagaikan musik kacau yang dimainkan tanpa irama."
"Sebagai juga kemarinnya, hari itu 'Kim Bian Hud' sudah muncul di waktu seluruh desa baru mendusin. Segera juga ia tertarik kepada bunyi gemerincing itu, tetapi demi melihat dan mengenali semua senjata itu, wajahnya segera berubah. Seketika itu, ia sudah mengerti apa yang telah terjadi semalam. Ia menoleh dan memandang pengikut-pengikutnya tajam-tajam. Semua orang itu, tanpa kecuali menundukkan kepala, ketakutan, dan ketika kemudian terdengar suara 'Kim Bian Hud' mendamperat mereka, seorang jua tak berani mengangkat kepala. Beramai-ramai mereka mundur berapa langkah."
"Kim Bian Hud" berpaling kepada Ouw It To. Ia minta maaf untuk kekurang ajaran para pengecut itu, yang dikatakannya telah mengganggu tidur Ouw It To. Orang she Ouw itu menjawabnya dengan tertawa. Dikatakannya, bahwa ia tak terganggu sama sekali, karena isterinya telah mengusir anjing-anjing yang menyalak dan melolong itu. Wajah 'Kim Bian Hud' tampak keheran-heranan, tetapi dari mulutnya hanya terdengar, 'Terima kasih atas kemurahan hati nyonya, yang telah mengampunkan pengecut-pcngccut ini.' Tak lama lagi, Ouw It To dan Biauw Tayhiap sudah bertempur dengan dahsyatnya."
"Hari itu juga tak menghasilkan keputusan, betapa juga mereka berusaha untuk saling merobohkan dengan seantero kepandaian mereka. Di waktu berhenti, petang itu, 'Kim Bian Hud' menyatakan, bahwa ia hendak menemani Ouw It To minum arak dan bercakap-cakap sepuas-puasnya sepanjang malam. Ouw It To menyambut maksudnya itu dengan kegirangan. Dikatakannya, bahwa dengan demikian mereka memang bisa memperoleh faedah tak sedikit. Setelah mendapat persetujuan lawannya, Biauw Tayhiap segera berpaling kepada Tian siangkong dan menyuruhnya serta kawan-kawannya pulang, karena ia akan menginap dan tidur seranjang dengan Ouw It To."
"Jika bagiku hal itu sudah mengejutkan, dapat dibayangkan, betapa perasaan Tian siangkong dan Hoan Pangcu ketika mendengar maksud Biauw Tayhiap. Buru-buru mereka berkata, 'Hati-hatilah terhadap tipu-muslihatnya ... ' Mereka tak dapat menyelesaikan perkataan itu, karena 'Kim Bian Hud' sudah segera memotong dengan nada kurang senang, 'Tak usah kau mengurus diriku. Aku merdeka untuk melakukan sukaku.' Tian siangkong masih coba membantah. 'Tetapi, janganlah kau lupa akan sakit-hati keluargamu, janganlah menjadi seorang tak berbakti' katanya.
Kim Bian Hud' tak mengatakan suatu apa, tetapi melihat wajahnya saja, Tian siangkong dan Hoan Pangcu beramai sudah berlalu dengan wajah ketakutan."
"Malam itu, aku juga turut tak tidur siang-siang. Kulihat mereka berdua makan-minum dengan riang sambil merundingkan ilmu silat. 'Kim Bian Hud' membentangkan seluruh intisari ilmu keluarganya, dan Ouw It To juga berbuat demikian. Dengan berlalunya sang waktu, semakin asyik pula percakapan mereka. Mereka sama-sama menyesal, bahwa mereka tak dapat saling mengenal lebih siang. Kerapkali percakapan mereka itu diseling dengan gerakan-gerakan untuk menjelaskan dengan kata-kata saja. Kadang-kadang mereka bahkan berbangkit dan sama-sama memperaktekkan suatu gerakan. Gelak tertawa mereka sebentar-sebentar bergema memenuhi ruangan itu."
"Telingaku menangkap seluruh percakapan mereka, tetapi sedikit pun aku tak mengerti, apa yang dimaksudkan. Sampai jauh lewat tengah malam mereka asyik terus, tetapi akhirnya Ouw It To memesan sebuah kamar kelas satu pula. Benar-benar mereka tidur berdua seranjang malam itu. Terkilas dalam otakku, 'Di situlah mereka tidur berjajar. Entah siapa yang akan turun-tangan
lebih dulu.' Sebentar aku percaya, bahwa 'Kim Bian Hud' akan celaka, tetapi sebentar lagi aku berbalik yakin, bahwa Ouw It To -- yang beroman kasar -- tentu lebih bodoh dan akan menjadi kurban."
"Tak dapat aku mengendalikan hatiku lagi. Dengan indap-indap aku mendekati jendela kamar mereka. Sebagai pencuri, aku kemudian menempelkan telingaku ke daun jendela untuk mendengarkan. Ternyata mereka belum puas bercakap-cakap, walaupun setengah malam lebih telah dilewatkan mereka dengan demikian. Hanya, kini mereka bukannya bercakap tentang ilmu silat lagi. Ketika itu mereka sedang bercerita tentang pengalaman masing-masing yang aneh. Banyak sekali kudengar, bagaimana 'Kim Bian Hud' atau Ouw It To menolong rakyat yang menderita dari tangan pembesar atau hartawan lalim, dan banyak pula yang kudengar tentang cara-cara mereka membunuh orang-orang jahat itu."
"Semakin lama, semakin nyatalah, betapa banyak persamaan dan betapa sedikit perbedaan antara angan-angan mereka. Tiba-tiba aku mendengar 'Kim Bian Hud' menghela napas dan berkata, 'Sayang, sungguh sayang.'
Ketika Ouw It To menanyakan maksudnya, berkatalah Biauw Tayhiap, bahwa ia -- yang selalu berlaku tinggi-hati, tak suka bergaul -- malam itu benar-benar telah menemukan seorang yang berharga untuk dijadikan sahabat, bahkan orang satu-satunya dengan siapa ia suka bersahabat.
Kemudian kudengar Ouw It To minta, supaya -- bila ia yang kalah dan tewas -- 'Kim Bian Hud' suka sering-sering menjenguk isterinya. Dikatakannya, bahwa isterinya itu berjiwa kesatria, jauh lebih berharga dari kawan-kawan 'Kim Bian Hud' yang turut datang. Dengan nada mengajak Biauw Tayhiap menjawab, bahwa semua orang itu bukan kawannya dan tak berharga sedikit jua
untuk dijadikan kawan."
"Semalam suntuk mereka tak tidur, dan aku juga turut tak tidur karenanya. Hanya, karena aku berdiri di luar, di antara angin malam yang sejuk, seluruh tubuhku menjadi kaku kedinginan. Di waktu fajar, mendadak 'Kim Bian Hud' menghampiri jendela. Sebelum aku dapat menyingkir, terdengar tegurannya dengan nada dingin, 'Belum cukupkah kau mendengarkan semalam suntuk?'
Bersama dengan itu jendela terbuka dan kepalaku terhajar sesuatu yang keras. Sebelum roboh tak sadarkan diri, aku masih mendengar Ouw It To mencegah 'Kim Bian Hud' mengambil jiwaku."
"Entah berapa lama aku pingsan, aku tersadar di atas bale-baleku. Perlahan-lahan aku ingat segala kejadian itu. Aku turun dari bale-bale, dan seketika itu aku merasakan kepalaku sakit sekali.
Aku coba bercermin. Betapa terperanjat aku, ketika melihat, bahwa hampir seluruh mukaku bengkak dan berwarna keungu-unguan. Hari itu aku tak berani keluar menonton pertempuran. Aku berdiam di dalam, tetapi di dalam hatiku kumengutuk 'Kim Bian Hud'. Sebelum itu, aku berharap supaya Biauw Tayhiap yang menang, tetapi saat itu aku berbalik mengharapkan kemenangan Ouw It To. Pikirku, 'Biarlah Ouw It To menghajarnya dengan satu-dua bacokanl'
Aku sendiri tak bisa menuntut balas, maka biarlah orang she Ouw itu yang membalaskan hinaan itu."
"Petang itu, setelah bertempur sehari dengan kesudahan tetap seperti kemarinnya, kudengar 'Kim Bian Hud' minta diri. Menurut katanya, ia masih ingin bercakap-cakap lagi, tetapi ia kuatir jika nyonya Ouw menjadi marah, maka ia berjanji untuk menginap lagi besok malamnya, bila tidak terjadi suatu apa. Ouw It To menjawabnya dengan tertawa. Setelah Biauw Tayhiap berlalu,
tiba-tiba nyonya Ouw membawakan secawan arak kepada suaminya sambil menghaturkan selamat. Ouw It To tak mengerti maksud isterinya. 'Karena besok, kau tentu akan bisa mengalahkan Biauw Tayhiap,' jawab sang isteri."
"Kata-kata sang isteri itu tentu saja membingungkan Ouw It To. Sudah lebih dari seribu jurus ia bertempur melawan 'Kim Bian Hud', tetapi belum sekali jua ia melihat kelemahan 'Kim Bian Hud'.
Sungguh mustahil, jika keesokan harinya ia pasti akan menang. Dengan bersenyum ragu-ragu ia menatap wajah isterinya, yang sebaliknya sebagai juga tak menghiraukan kebimbangannya dan berkata kepada putera mereka, 'Anakku, bapakmulah yang tiada tandingannya di seluruh dunia. Suaranya mencerminkan keyakinannya akan kebenaran pendapatnya."
"Kemudian Ouw It To menanyakan, mengapa isterinya begitu yakin, dan jawab isterinya, Aku telah melihat kelemahannya!' Agaknya Ouw It To masih kurang percaya, tetapi isterinya segera berkata pula, bahwa ciri 'Kim Bian Hud' hanya kelihatan dari belakang, sehingga Ouw It To yang selalu berhadapan dengan lawannya, biarpun bertempur seratus hari lagi, tentu tak akan melihat ciri lawan itu. Sebaliknya nyonya Ouw yang melihat dari samping kerapkali melihat Biauw Tayhiap membelakanginya."
"Selanjutnya, nyonya Ouw menceritakan, bagaimana selama empat hari berturut-turut, ia telah memperhatikan setiap gerak-tipu 'Kim Bian Hud'. 'Terutama aku terperanjat, karena selama itu kulihat, bahwa penjagaannya tak memperlihatkan suatu cacad juga. Aku kuatir, jika terus-menerus demikian, kelak akan tiba saatnya kau agak lengah, dan kau menampak celaka, sedang pada
lawanmu sedikit pun tak tampak kesalahan yang memungkinkan senjata lawan menerobos masuk. Aku terus memperhatikan setiap gerik-geriknya, dan hari ini akhirnya aku berhasil juga menemukan sesuatu.' Njonya Ouw tak lekas-lekas menunjukkan kelemahan Biauw Tayhiap yang dilihatnya, sebaliknya ia menanyakan kepada suaminya, gerak-tipu atau serangan apa dari ilmu silat Biauw Tayhiap yang dianggap paling lihay oleh Ouw It To."
"Ouw It To mengatakan, bahwa hal itu sangat sukar, karena banyaknya serangan-serangan yang lihay, ia menyebutkan berapa macam dan antaranya terdapat satu yang lazim disebut 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'. Kata nyonya Ouw, 'Justeru pada gerak serangan yang kau sebutkan paling akhir itu kelemahannya.' Keterangan ini lebih mencengangkan lagi bagi Ouw It To, yang telah mengalami sendiri, betapa dahsyatnya, betapa sempurna serangan tersebut. Menurut pendapatnya, justeru gerak serangan itu yang paling tak memungkinkan musuh merebut kemenangan. Serangannya halus tetapi sangat bertenaga dan dapat berubah secepat kilat, bahkan, bila perlu, bisa segera berubah menjadi gerakan pembelaan diri yang tak mungkin ditembuskan."
"Dengan tertawa nyonya Ouw menjelaskan, 'Memang, jika tidak diperhatikan dengan sangat seksama, apalagi dilihat dari depan, tak mungkin terlihat cacadnya, karena ilmu silatnya sendiri memang tak bercacad. Tetapi aku telah melihat, bahwa setiap kali akan menggunakan gerak tipu itu, punggungnya bergerak sedikit, bagaikan ia merasa gatal, dan gerak-geriknya jadi agak terganggu, tak selincah biasanya.' Lagi-lagi Ouw It To kurang percaya. Isterinya tak menghiraukan sikap ragu itu, dan menyatakan, bahwa hari itu ia telah dua kali melihat kelemahan tersebut. Dikatakannya selanjutnya, bahwa keesokan harinya, bila saja ia melihat lagi Kim Bian Hud' memperlihatkan kelemahannya, ia akan batuk-batuk, dan ia menyuruh Ouw It To segera menggunakan kesempatan itu untuk mendesak dengan kerasnya. 'Kujamin, bahwa ia akan melontarkan pedangnya dan menyerah kalah, jika pada kesempatan demikian kau menyerangnya dengan pukulan 'Pat Hong Cong To,' kata nyonya Ouw sebagai penutup uraiannya."
"Ouw It To jadi sangat girang. 'Tipumu bagus sekali!' ia memuji. Sesudah mendengar pembicaraan itu, sebenarnya aku harus memberitahukan 'Kim Bian Hud' supaya ia bisa berjagajaga.
Tapi mukaku masih sakit, akibat ditinju olehnya. Dia memang pantas mendapat kekalahan, pikirku."
"Pertandingan yang dilakukan pada keesokan harinya adalah pertandingan hari ke-lima. Bengkak pada mukaku masih belum hilang. Hari itu pun aku menonton pertandingan dengan berdiri di pinggiran. Di waktu pagi, Ouw Hujin tidak batuk-batuk, karena pada pagi itu 'Kim Bian Hud' tidak mempergunakan pukulan tersebut. Di waktu makan tengah-hari, selagi menuang arak di cawan suaminya, nyonya itu memberi isyarat dengan kedipan mata dan aku mengerti, bahwa dengan isyarat itu, ia ingin menganjurkan suaminya memancing 'Kim Bian Hud', supaya dia mengeluarkan pukulan itu. Ouw It To menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti mau mengatakan, bahwa ia merasa tidak tega. Melihat jawaban suaminya, Ouw Hujin menunjuk putera mereka dan kemudian merobohkan kursi yang diduduki anak itu, sehingga dia jatuh dan menangis keras. Aku dapat menebak maksud nyonya itu. Ia mengunjuk kepada suaminya, bahwa jika sang suami binasa, anak itu akan tidak punya ayah lagi. Mendengar tangisan putra mereka, barulah perlahan-lahan Ouw It To mengangguk.
"Pada lohornya, mereka bertempur pula. Sesudah lewat beberapa puluh jurus, Ouw It To menyerang hebat. Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Alis Ouw It To berkerut, sebaliknya dari maju, ia mundur. Memang benar, pada detik itu, 'Kim Bian Hud' telah menggunakan pukulan 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'. Sebenarnya aku tidak mengenal pukulan itu. Tapi waktu semalam mendengari pembicaraan antara kedua suami-isteri itu, aku telah melihat Ouw Hujin menjalankan jurus tersebut beberapa kali. 'Mata nyonya itu sungguh Iihay,' pikirku. Kalau Ouw It To menyerang menurut siasat yang sudah didamaikan, dia pasti sudah memperoleh kemenangan. Tapi pada saat terakhir, ia mengurungkan niatannya. Mungkin sekali ia menghargai 'Kim Bian Hud' dan merasa tidak tega untuk mencelakainya. Juga mungkin ia merasa, bahwa dengan dibantu orang, biarpun menang, kemenangan itu tidak boleh dibuat bangga. Mendadak kuingat pesan Ouw It To kepada isterinya, supaya kalau putera mereka sudah besar, sang isteri harus mendidik agar putera itu mempunyai hati yang keras dan tidak seperti ayahnya yang pada detik terakhir, sering merasa tak tega untuk turun tangan. "Beberapa saat kemudian, anak itu sekonyong-konyong menangis keras. Kutahu, bahwa dia menangis karena dicubit lengannya oleh sang ibu. Di antara suara tangisan dan suara beradunya senjata, mendadak terdengar pula suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Hampir berbareng, Ouw It To merangsek dengan jurus Pat Hong Cong To. Dengan sekali berkelebat, goloknya sudah mengunci gerakan pedang 'Kim Bian Hud'.
"Biauw Jin Hong berada dalam kedudukan berbahaya. Pukulan 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit' baru keluar separuh. Menurut jurus itu, pedangnya yang dicekel di tangan kanan menikam miring, dengan tangan kirinya dikebaskan, seperti gerakan burung ho yang tengah mementang kedua sajapnya. Tapi Ouw It To mendahului. Sebelum kedua tangan 'Kim Bian Hud' di pentang, ia sudah membacok ke lengan kiri dan lengan kanannya. Dalam keadaan begitu, bukankah kedua lengan Kim Bian Hud' pasti akan menjadi korban golok?
"Tapi ilmu pedang 'Kim Bian Hud' sudah dilatih sampai sesempurna-sempurnanya. Pada detik yang sangat berbahaya, kedua lengannya mendadak dibengkokkan dan ujung pedang berbalik menyambar ke dadanya sendiri. Ouw It To terkesiap, karena ia menduga, bahwa 'Kim Bian Hud' mau membunuh diri sendiri sebab kalah bertanding. 'Biauw-heng!'teriaknya. Ia tak tahu, bahwa pada hari pertama, 'Kim Bian Hud' sudah mematahkan ujung pedang, sehingga menjadi tumpul. Pada waktu ujung pedang menyambar dadanya, ia mengerahkan lweekang, sehingga pedang itu terpental balik tanpa melukainya. Karena gerakan itu sangat luar biasa dan juga sebab Ouw It To justeru lagi mau membujuk supaya ia tidak membunuh diri, maka waktu pedang itu berbalik menghantam dirinya, Ouw It To sama sekali tidak bersiap sedia dan tahu-tahu ujung pedang sudah menyentuh 'Sin Cong Hiat' di dadanya.
'Sin Cong Hiat' adalah salah satu hiat yang terpenting dalam tubuh manusia. Begitu tertotok, badan Ouw It To lemas dan ia roboh terguling. Cepat-cepat 'Kim Bian Hud' membangunkannya seraya berkata, 'Maaf Ouw It To tertawa. 'Kiam hoat Biauw heng sungguh lihay dan aku merasa takluk,' katanya. 'Kalau bukan lantaran Ouw heng menyayang aku, jurus itu pasti tak akan berhasil,' kata 'Kim Bian Hud'. Mereka menghampiri meja dan minum tiga cawan arak. Sesudah itu Ouw It To tertawa terbahak-bahak. Sekonyong-konyong ia mengangkat goloknya dan menggorok lehernya dan ia mati sambil berduduk.
"Aku jadi seperti orang kesima. Aku mengawasi Ouw Hujin yang paras mukanya tenang-tenang saja. 'Biauw Tayhiap, tunggulah sebentar,' katanya. Aku ingin menyusui anakku sekali lagi.' Sehabis berkata begitu, ia masuk ke dalam kamar. Kira-kira semakanan nasi, ia keluar pula dengan mendukung puteranya yang lalu dicium keras-keras. 'Biauw Tayhiap, dia sudah kenyang,'
katanya sambil tertawa. Sambil mengangsurkan anak itu kepada 'Kim Bian Hud', ia berkata pula, 'Sebenarnya aku telah berjanji pada suamiku untuk memelihara anak ini sampai menjadi orang. Tapi selama lima hari ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap seorang kesatria yang luhur pribudinya. Sesudah kau meluluskan untuk memelihara anak ini, aku dapat membebaskan diri dari tugas yang sangat berat, dari penderitaan yang harus dipikul selama dua puluh tahun.'
"Sehabis berkata begitu, ia menyoja beberapa kali kepada 'Kim Bian Hud'. Tiba-tiba tangannya menyambar golok Ouw It To dan lalu menggorok lehernya. Ia lalu duduk di kursi di samping mayat suaminya dan mencekel tangan suami itu erat-erat. Beberapa saat kemudian, tubuhnya terkulai, bersandar pada tubuh sang suami dan tidak berkutik lagi.
"Aku tak tega untuk melihat terus pemandangan yang menyayatkan hati itu. Aku memutar kepala ke jurusan lain. Sementara itu, bagaikan patung Biauw Tayhiap mendukung putera Ouw It To yang sedang pulas nyenyak dan yang pada bibirnya tersungging senyuman."
Demikian penuturan Po Si. Seluruh ruangan sunyi senyap. Jago-jago yang hadir di situ adalah orang-orang yang berhati keras, tapi mendengar ceritera tentang kebinasaan suami-isteri Ouw It To, mereka merasa sangat terharu. Sekonyong-konyong kesunyian dipecahkan oleh suara wanita, "Po Si Taysu, mengapa ceriteramu agak berbeda dengan apa yang didengar olehku?"
Semua orang mengawasi ke arah wanita itu, yang bukan lain daripada Biauw Yok Lan. Waktu Po Si berbicara, perhatian segenap hadirin ditujukan kepadanya, sehingga masuknya si nona ke dalam ruangan itu tidak diketahui oleh siapa pun jua.
"Mungkin sekali, karena sudah lama, ada beberapa bagian yang sudah tidak begitu diingat loolap," kata Po Si. "Bagaimana ceriteranya ayah nona?"
"Sebagian besar dari penuturan ayah cocok dengan apa yang dikatakan Taysu," kata si nona. "Hanya pada bagian meninggalnya Ouw pehpeh dan Ouw Pehbo yang tidak sama."
Paras muka Po Si lantas saja berubah. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak menanya terlebih jelas.
"Biauw Kouwnio, bagaimana ceritera ayahmu?" tanya Tian Ceng Boan.
Nona Biauw tidak menjawab. Ia mengeluarkan sebuah kotak sulam dan mengambil sebatang hio wangi yang lalu disulut dan ditancap di hiolo. Sesaat kemudian semua orang mengendus bau yang sangat harum.
Dengan paras muka angker, Biauw Yok Lan berkata, "Semenjak aku kecil, saban kali bertemu dengan musim dingin, ayah selalu berduka. Biarpun aku menggunakan rupa-rupa cara untuk menggembirakan hatinya, ia tetap bersedih. Selama beberapa hari menjelang tahun baru, ayah selalu berdiam dalam sebuah kamar di mana dipuja dua buah Sin Wi (papan nama dari orang yang sudah meninggal dunia). Pada Sin Wi yang satu tertulis, "Leng Wi (tempat kedudukan yang angker) dari saudara angkatku Ouw It To Tayhiap," sedang pada Sin Wi yang lain tertulis, "Leng Wi dari giso Ouw Hujin." Di samping meja sembahyang itu bersandar sebilah golok yang sudah berkarat.
"Pada hari-hari itu, ayah selalu memerintahkan tukang masak memasak macam-macam sayur untuk sembahyangan dan waktu bersembahyang ia menuang puluhan cawan arak. Mulai tanggal dua puluh dua bulan dua belas, terus lima hari beruntun, setiap malam ia minum puluhan cawan arak itu yang diatur di samping meja sembahyang. Sehabis minum, ia sering menangis sedih.
"Aku sering menanya, siapakah Ouw pehpeh itu? Tapi ayah selalu menggelengkan kepala. Pada tahun itu, ayah mengatakan, bahwa usiaku sudah cukup dewasa dan ia lalu menceriterakan hal pibu dengan Ouw pehpeh. 'Ayah memberitahu, bahwa Ouw pehpeh telah membinasakan ayahnya Tian sioksiok. Karena dalam menghadapi orang luar, keluarga Biauw, Hoan dan Tian selalu bersatu-padu, maka, walaupun memandang rendah sepak terjangnya Tian sioksiok, tapi demi persahabatan dalam dunia Kang Ouw, ayah terpaksa mencari Ouw pehpeh untuk diajak pibu. Jalan pertandingan itu telah diceriterakan cukup terang oleh Po Si Taysu."
"Dengan beruntun-runtun ayah dan Ouw pehpeh sudah bertanding empat hari lamanya. Makin lama bertempur, mereka makin saling mengindahkan dan masing-masing pihak sungkan turunkan tangan jahat. Pada hari ke-lima, karena melihat kelemahan ayah pada punggungnya, Ouw pehbo memberi isyarat dengan batuk-batuk dan Ouw pehpeh segera mendesak dengan menggunakan jurus 'Pat Hong Cong To'. Jurus itu telah berhasil mengalahkan ayah. Menurut katanya Po Si Taysu, ayah berhasil merebut kemenangan dengan menggunakan pukulan yang luar biasa. Tapi menurut ayah, kejadiannya bukan begitu. Sepanjang keterangan ayah, begitu lekas Ouw pehpeh merangsek dengan 'Pat Hong Cong To', ia sudah tidak berdaya lagi dan segera meramkan mata untuk menunggu kebinasaan. Tapi tiba-tiba Ouw pehpeh melompat mundur. 'Biauw-heng' katanya, 'ada suatu hal yang tidak dimengerti olehku.' Ayah bersenyum dan balas menanya, Aku sudah kalah, kau mau tanya apa lagi?'
"Kata Ouw pehpeh, Aku sudah melayani kiam hoatmu dalam ribuan jurus dan sedikit pun aku tidak menemui bagian yang lemah. Tapi mengapa sebelum kau menjalankan jurus 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit', punggungmu bergerak dan agak menaik, sehingga isteriku dapat melihat kelemahanmu?' Ayah menghela napas dan menjawab, 'Waktu mengajar ilmu silat pedang kepadaku, sianhu (mendiang ayahku) berlaku sangat keras terhadapku. Waktu aku berusia sebelas tahun, selagi ayah mengajar jurus itu, tiba-tiba punggungku digigit kutu busuk. Punggungku gatal, tapi aku tidak berani menggaruknya. Jalan satu-satunya ialah menggerak-gerakkan otot-otot di punggungku untuk coba mengusir kutu itu. Tapi makin lama rasa gatal jadi makin hebat. Beberapa saat kemudian, sianhu telah melihat gerakan-gerakanku yang aneh dan ia menganggap, bahwa aku tidak bersungguh hati. Dengan bengis, ia memukul aku. Mulai waktu itu, setiap kali mau menggunakan jurus 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit', aku merasa punggungku gatal dan menggerak-gerakkannya. Mata hujin sungguh awas."'
"Ouw pehpeh tertawa. 'Dengan mendapat bantuan isteriku, tidak boleh dianggap aku memperoleh kemenangan,' katanya. 'Sambutlah!' Seraya berkata begitu, ia melontarkan goloknya kepada ayah.
'Ayah menyambuti golok itu dengan perasaan heran, karena ia tak tahu apa maksudnya Ouw pehpeh. Seraya mengambil pedang ayah, Ouw pehpeh berkata, 'Biauw heng, setelah bertempur empat hari, kau dan aku sudah saling mengenal ilmu silat masing-masing. Begini saja, kita bertanding lagi dengan aku menggunakan Biauw Kee Kiam Hoat (ilmu pedang keluarga BiauwJ dan kau menggunakan Ouw Kee To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw). Dengan demikian, tak perduli siapa yang menang, siapa kalah, nama tidak mendapat kerugian.'
"Ayah lantas saja mengerti maksudnya. Sedari seratus tahun lebih yang lalu, semenjak beberapa turunan, keluarga Biauw dan keluarga Ouw telah bermusuhan. Sebelum bertempur, ayah dan Ouw pehpeh belum pernah mengenal satu sama lain. Antara mereka pribadi sebenarnya tidak ada permusuhan apa pun jua. Kakekku telah meninggal dunia di lain tempat dan ayah Tian Kui Long sioksiok meninggal dunia dengan mendadak. Menurut desas-desus dalam kalangan Kang Ouw, mereka berdua telah dibinasakan oleh Ouw It To. Tapi ayah masih tetap tidak percaya. Kali ini, atas ajakan keluarga Hoan dan Tian, ayah pergi ke Congciu untuk mencegat dan menantang Ouw It To. Tujuan pencegatan itu adalah untuk membalas sakit hati orang tua. Tapi di samping tujuan itu, ayah juga telah mengambil keputusan untuk menanyakan benar-tidaknya desas-desus kepada Ouw pehpeh sendiri.
"Belakangan,ternyata memang benar, bahwa kakekku dan Tian kongkong telah dibinasakan oleh Ouw pehpeh. Meskipun ayah menyayang Ouw pehpeh sebagai seorang gagah yang lurus bersih, sakit hati orang tua tentu saja tidak bisa tidak dibalas. Tapi ayah pun tidak ingin permusuhan antara keempat keluarga berlarut-larut dan terus menyeret-nyeret anak-cucu. Maka itu, jika mungkin, ia ingin sekali membereskan permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad itu. Maka itulah, usul Ouw pehpeh untuk saling menukar senjata disambut dengan girang oleh ayah, karena usul itu cocok dengan keinginan hatinya. Dengan penukaran senjata itu, andaikata ayah yang menang, maka ia mengalahkan Biauw Kee Kiam Hoat dengan Ouw Kee To Hoat. Kalau Ouw pehpeh yang menang, ia mengalahkan Ouw Kee To Hoat dengan Biauw Kee Kiam Hoat. Dengan demikian, menang-kalah hanya mengenai pribadi dan tidak bersangkut dengan ilmu silat kedua keluarga.
"Sesudah saling menukar senjata, mereka lantas saja bertempur lagi. Pertandingan hari itu berbeda dengan empat hari yang lalu, sebab biarpun kedua-duanya ahli silat kelas utama, senjata mereka bukan yang biasa digunakan dan mereka pun belum dapat menyelami jurus-jurus yang harus digunakan. Sungguh tak mudah untuk mereka berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pihak lawan yang baru didapat selama berlangsungnya pertandingan dalam empat hari. Menurut katanya ayah, pertempuran itu adalah yang terhebat dalam pengalamannya. Ouw pehpeh kelihatannya seperti seorang kasar, tapi sebenarnya ia seorang yang cerdas luar biasa. Ia bersilat dengan Biauw Kee Kiam Hoat secara lincah sekali, seolah-olah ia sudah mempelajarinya selama beberapa tahun. Otak ayah tidak secerdas Ouw pehpeh. Untung juga, ia sudah mahir dalam menggunakan delapan belas rupa senjata dan di waktu kecil, ia pernah belajar ilmu silat golok. Maka itu, meskipun baru berkenalan dengan Ouw Kee To Hoat, ia masih dapat melayani Ouw pehpeh secara berimbang."
"Kira-kira tengah-hari mereka mulai menggunakan pukulan-pukulan yang berat dan gerak-gerakan jurus-jurus itu makin lama jadi makin perlahan. 'Biauw-heng,' tiba-tiba Ouw pehpeh berkata, 'Pit Bun Tiat San To masih terlalu cepat, sehingga kurang bertenaga.' Ayah bersenyum dan berkata, 'Terima kasih atas petunjuk itu.' Mereka bertempur terus dengan memusatkan seluruh perhatian dan menggunakan Seantero kepandaian. Tapi jika jurus salah sepihak ada yang kurang tepat, mereka saling memberi petunjuk dengan setulus hati."
"Ratusan jurus kembali lewat. Makin lama mereka makin paham akan ilmu silat yang asing itu dan gerak-gerakan mereka jadi makin licin. Melihat kelihayan Ouw pehpeh, ayah jadi berkuatir, karena ia merasa, bahwa jika pertandingan berlangsung terus dalam tempo lama, mungkin sekali ia akan dijatuhkan. Maka itu, ia lantas saja mengambil keputusan untuk mengubah siasat.
Beberapa saat kemudian, ia menyerang dengan jurus 'Houw In Ki Lok' (Awan Turun Naik). Menurut Ouw Kee To Hoat, dalam jurus itu, lebih dahulu golok menyabet ke bawah dan kemudian baru ke atas. Tapi ayah sengaja mengubahnya, yaitu, lebih dahulu ia menyabet ke atas dan kemudian baru ke bawah."
"Ouw pehpeh terkejut. Baru saja ia berteriak, 'Salah!' ayah sudah membentak, Awas golok!' dan goloknya menyabet ke atas. Menurut Ouw Kee To Hoat, sabetan pertama itu harus ke bawah. Kalau ayah berhadapan dengan lain lawan, lawan itu mungkin akan dapat mengelakkan serangannya. Tapi Ouw pehpeh yang memang sudah biasa menggunakan Ouw Kee To Hoat, sama-sekali tidak pernah menduga, bahwa jurus itu diubah jalannya. Ia gugup dan golok ayah sudah menggores lengan kirinya!"
"Semua penonton mengeluarkan seruan kaget. Bagaikan kilat Ouw pehpeh menendang dan ayah terguling di tanah, tak bisa bangun lagi. Ternyata, titik Keng Bun Hiat, di pinggangnya, sudah tertendang. Hoan Pangcu, Tian siangkong dan yang lain-lain memburu untuk menolong. Ouw pehpeh melemparkan pedangnya, kedua tangannya bekerja, melontarkan orang-orang itu yang mau coba mendekati ayah. Sesudah itu, ia membangunkan ayah dan membuka jalan darah yang tertotok. 'Biauw-heng,' katanya sambil tertawa, 'jurus gubahanmu sungguh lihay. Tapi dalam setiap jurus dari Ouw Kee To Hoat mengandung jurus susulan, sedang dalam jurus gubahanmu tidak terdapat pukulan susulan itu. Sesudah kau menyabet dua kali, pada pinggangmu terbuka lowongan.'"
Ayah tidak bisa menjawab, karena pinggangnya sangat sakit. 'Kalau kau tidak menaruh belas kasihan, lengan kiriku tentu sudah putus,' kata pula Ouw pehpeh. 'Hasil pertandingan pada hari ini dapat dikatakan seri. Pergilah mengaso, besok kita bertanding lagi.' Sambil menahan sakit, ayah berkata, 'Ouw-heng, memang benar dalam bacokan itu, aku sudah berlaku agak sungkan. Tapi, kau juga menaruh belas kasihan. Jika tidak, tendanganmu itu tentu sudah mengambil jiwaku. Ouw heng, dengan melihat cara-caramu, tak bisa jadi kau sudah membinasakan ayahku secara menggelap. Katakanlah dengan sesungguhnya, Cara bagaimana ayahku mati?' Pada paras muka Ouw pehpeh tiba-tiba terlukis perasaan heran. 'Bukankah aku sudah memberitahukan kau
secara terang-terangan?' katanya. 'Jika kau tidak percaya dan mau meneruskan pertempuran, aku tidak bisa berbuat lain daripada mengiring kemauanmu.'"
"Ayah terkejut. 'Kau sudah memberitahukan kepadaku?' ia menegas. 'Lagi kapan?'Sekonyong-konyong Ouw pehpeh memutar badan dan sambil menuding salah seorang, ia berkata dengan suara terputus-putus, 'Kau ... kau ...!' la hanya dapat mengeluarkan dua perkataan 'kau'. Sesudah itu, kedua lututnya lemas dan Ia roboh terguling. Hati ayah mencelos. Cepat-cepat ia membangunkannya. Muka Ouw pehpeh berubah pucat. 'Bagus .! Bagus ... kau ...,' katanya dan kepalanya terkulai, ruhnya berpulang ke alam baka."
"Bukan main kagetnya ayah. Seorang yang begitu gagah dan begitu kuat badannya, tak mungkin binasa karena luka yang begitu kecil. Sambil memeluk badan Ouw pehpeh, ayah memanggil-manggil, 'Ouw heng ...! Ouw heng!' Perlahan-lahan pada muka Ouw pehpeh muncul sinar ungu dan ayah lantas saja tahu, bahwa ia mati karena racun yang sangat hebat. Cepat-cepat ayah menggulung tangan baju Ouw pehpeh. Ternyata, luka itu sudah mengeluarkan darah hitam dan lengannya bengkak hebat. Ouw pehbo kaget dan duka. Ia melemparkan puteranya yang sedang didukung, mengambil golok yang tadi digunakan ayah dan menelitinya. Ayah tahu, bahwa pada golok itu sudah ditaruh racun."
"Melihat ayah berdiri termenung tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw pehbo berkata dengan suara perlahan, 'Biauw Tayhiap, golok itu dipinjam dari salah seorang kawanmu. Suamiku tak tahu golok ini beracun dan kau pun tentu tak tahu. Kalau tahu, kalian berdua tentu tak sudi menggunakan senjata itu. Ini memang sudah nasib, kita tak bisa menyalahkan siapapun jua. Sebenarnya aku sudah berjanji dengan suamiku untuk memelihara anak kita sampai menjadi orang. Tapi dalam lima hari ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap adalah seorang kesatria, maka sesudah kau menyanggupi untuk memelihara anak itu, aku boleh membebaskan diri dari tugasku dan boleh tak usah bercapai-lelah selama duapuluh tahun.' Sehabis berkata begitu, ia menggorok lehernya sendiri dengan golok itu dan rochnya mengikut sang suami berpulang ke alam baka."
"Itulah ceritera ayah yang telah dituturkan kepadaku. Tapi penuturan itu sangat berbeda dengan penuturan Po Si Taysu. Biarpun sudah lama dan orang tak dapat ingat seluruhnya, tapi perbedaannya tidak mungkin begitu besar. Apakah sebabnya?"
Po Si menggelengkan kepala. "Pada waktu itu ayahmu sedang bertempur dan tengah memusatkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu," katanya. "Memang mungkin, penglihatannya tidak begitu tegas seperti orang yang menonton."
Biauw Yok Lan hanya mengeluarkan suara "hm," ia segera menunduk dan tidak mengatakan suatu apa lagi.
Sekonyong-konyong terdengar suara seorang, "Ceritera kalian berdua dan tidak bersamaan sebab ada seorang yang sengaja berdusta." Semua orang kaget dan mengawasi ke arah suara itu. Ternyata, yang bicara adalah seorang pelayan yang pada mukanya terdapat tanda bekas bacokan golok. Po Si dan Biauw Yok Lan adalah tamu, maka, walaupun pelayan itu kurang ajar, mereka merasa sungkan untuk segera mengunjuk kegusaran. Di antara orang-orang itu, Co Hun Ki-lah yang paling kasar dan semberono. Dialah yang membentak, "Siapa yang berdusta?"
"Siauwjin (aku yang rendah) seorang yang sangat rendah, siauwjin tidak berani bicara," jawabnya.
"Kalau ceriteraku tidak benar, kau boleh bicara," kata nona Biauw.
"Kejadian yang tadi dituturkan oleh Taysu dan Kouwnio telah disaksikan olehku sendiri," katanya. "Kalau kalian ingin mendengar penuturanku, siauwjin bersedia untuk bicara." Tiba-tiba Po Si berbangkit. "Kau menyaksikan dengan matamu sendiri?" bentaknya.
"Siapa kau?"
"Siauwjin mengenali Taysu, tapi Taysu tidak mengenali siauwjin," jawabnya.
Paras muka Po Si berubah pucat. "Siapa kau?" bentaknya pula.
Sebaliknya daripada menjawab, pelayan itu mengawasi nona Biauw dan berkata, "Kouwnio, siauwjin kuatir, bahwa penuturan yang ingin diberikan oleh siauwjin tak bisa dituturkan seluruhnya."
"Mengapa?" tanya Yok Lan.
"Sebab, baru bicara separuh, jiwa siauwjin mungkin sudah melayang," jawabnya.
Nona Biauw berpaling ke arah Po Si. "Taysu," katanya, "dalam pertemuan kita di hari ini, kaulah yang menjadi tetuanya. Kau adalah seorang cianpwee dari Rimba Persilatan dan kau mempunyai nama serta kedudukan yang tinggi. Maka itu, sepatah kata saja dari mulutmu, sudah cukup untuk melindungi jiwa orang itu."
Po Si tertawa dingin. "Nona Kiauw, jangan kau mengangkat-angkat aku," katanya.
"Soal mati atau hidupnya siauwjin sama sekali tak menjadi soal," kata pelayan itu.
"Yang dikuatirkan siauwjin ialah penuturan ini akan tidak bisa dituturkan sampai pada akhirnya."
Biauw Yok Lan mengerutkan alis. Sesaat kemudian, sambil menunjuk papan tui lian yang kedua, ia berkata, "Coba turunkan papan itu."
Pelayan itu tidak mengerti maksud si nona, tapi ia menjalankan perintah itu dan kemudian menaruhnya di hadapan nona Biauw. "Coba kau lihat," kata Yok Lan, "di atas papan itu tertulis huruf-huruf, 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu 'Kim Bian Hud". Itulah gelar dari ayahku.
Peganglah papan itu dan kau boleh bicara dengan tak usah kuatir apa pun jua. Siapa yang menyerang kau berarti dia tidak memandang ayah."
Semua orang saling mengawasi. Mereka mengakui, bahwa dengan 'Kim Bian Hud' sebagai pelindung, tak ada orang yang akan berani mencelakai dirinya. Paras muka pelayan itu berubah girang. Ia tertawa dan dengan tertawanya itu, tanda bekas bacokan golok bergerak-gerak. Ia berdiri tegak dan sambil memeluk papan tui lian itu, kedua matanya menyapu ke seluruh ruangan.
Po Si sendiri sudah kembali ke kursinya dan sambil mengawasi pelayan itu, ia mengingat-ingat peristiwa kebinasaan Ouw It To pada dua puluh tujuh tahun berselang. Tapi sesudah mengasah otak beberapa lama, ia masih belum juga dapat menebak siapa adanya orang itu.
"Lebih baik kau bicara sambil berduduk," kata nona Biauw.
"Biar siauwjin berdiri saja," kata pelayan itu. "Bolehkah aku menanya, bagaimana dengan putera yang ditinggalkan oleh suami-isteri Ouw It To toaya?"
Biauw Yok Lan menghela napas. "Sesudah Ouw pehpeh dan Ouw pehbo meninggal dunia, thiathia (ayah) sangat berduka," katanya. "Sesudah mengawasi jenazah mereka beberapa lama, ia berlutut delapan kali dan berkata, 'Ouw heng, toaso, legakanlah hati kalian. Aku pasti akan memelihara puteramu sebagaimana mestinya.' Sehabis memberi janjinya, ia segera memutar badan untuk mengambil anak itu. Tapi anak itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi! Ayah terkejut, buru-buru ia menanyakan orang-orang yang berada di situ. Tapi mereka pun, yang menumplek Seantero perhatian kepada peristiwa kebinasaan Ouw pehpeh dan Ouw pehbo, tidak memperhatikan anak itu. Ayah segera mengajak mereka untuk mencarinya. Sekonyong-konyong di belakang rumah terdengar suara tangisan bayi yang nyaring sekali. Dengan girang ayah segera berlari-lari ke belakang. Apa mau, luka pada pinggangnya akibat tendangan Ouw pehpeh, tidak terlalu enteng. Begitu ia menggunakan tenaga, kedua lututnya lemas dan ia roboh terguling. Beberapa orang segera membangunkannya dan memapahnya ke belakang rumah. Tapi anak itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya. Apa yang dilihat mereka ialah darah, kain kuning pembungkus bayi dan topi di atas tanah."
"Di belakang rumah penginapan itu mengalir sebuah sungai dan dari belakang rumah, darah bertetesan terus sampai ke pinggir sungai. Menurut dugaan, anak itu telah dibunuh orang dan mayatnya dilemparkan ke dalam sungai. Ayah kaget tercampur gusar. Ia mengumpulkan semua orang dan menyelidiki dengan teliti, tapi tidak bisa mendapat keterangan apa pun jua. Hal ini mendukakan sangat hatinya dan sampai sekarang ayah masih selalu memikirinya. Ia bersumpah akan mencari pembunuh anak itu. Tahun itu aku lihat ia menggosok pedang dan ia memberitahukan aku, bahwa ia harus membunuh satu manusia lagi, yaitu manusia yang telah membinasakan puteranya Ouw pehpeh dan Ouw pehbo. Aku coba menghibur dengan mengatakan, bahwa mungkin sekali anak itu telah ditolong orang. Ayah tidak percaya. Ia berdoa agar dugaanku tidak meleset Hai! ... Aku mengharap ia masih hidup. Pernah ayah mengatakan begini kepadaku, 'Lan-ji, aku menyintai kau lebih daripada aku menyintai jiwa sendiri. Tapi andaikata Langit memperbolehkan aku menukar kau dengan putera Ouw pehpeh aku lebih suka kau mati, asal saja putera Ouw pehpeh bisa terus hidup.'"
Air mata pelayan itu berlinang-linang. "Kouwnio," katanya dengan suara parau, "Roh Ouw toaya cukup angker, ia tentu akan berterima kasih terhadap ayahmu dan kau sendiri"
Ie koankee semula menduga, bahwa dia adalah pelayan yang dibawa oleh Biauw Yok Lan. Tapi dilihat dari sikapnya dan didengar omongannya, orang itu kelihatannya bukan pelayan si nona. Baru saja ia mau mengajukan pertanyaan, pelayan itu sudah mulai dengan penuturannya.
"Pada duapuluh tujuh tahun berselang, aku bekerja sebagai pesuruh, sebagai tukang menyalakan api, di dapur dari sebuah rumah penginapan di kota Congciu. Pada musim dingin tahun itu, bencana menimpa keluargaku. Tiga tahun yang lalu, ayahku meminjam lima tahil perak dari seorang hartawan di kota itu. Dengan bunga berbunga lagi, selama tiga tahun, pinjaman itu yang tadinya lima tahil sudah jadi empatpuluh tahil. Hartawan itu menangkap ayah yang mau dipaksa menulis surat perjanjian untuk menjual ibuku guna dijadikan gundik. Ayahku tentu saja menolak dan ia dipukul setengah mati oleh anjing-anjingnya hartawan itu. Sepulangnya di rumah, ayah lalu berdamai dengan ibu. Mereka mengerti, bahwa jika hutang itu tidak dilunaskan sampai buntut tahun, empatpuluh tahil akan menjadi delapanpuluh dan seumur hidup, mereka tak akan mampu membayarnya. Karena tak ada jalan lain, kedua orang tuaku sebenarnya mau membunuh diri, tapi mereka tidak tega meninggalkan aku. Demikianlah, ayah, ibu dan anak hanya bisa memeras air mata sambil berpelukan. Di waktu siang, aku bekerja di rumah penginapan, saban malam aku pulang untuk menjaga ayah dan ibuku, supaya mereka tidak mengambil jalan yang pendek."
"Pada suatu malam, rumah penginapan itu menerima banyak tamu yang terluka. Kami jadi repot sekali dan majikanku tidak mempermisikan aku pulang. Pada keesokan harinya, datanglah Ouw It To toaya yang baru saja mendapat seorang putera. Untuk merawat bayi itu, Ouw toaya memerlukan banyak air panas dan pemilik rumah penginapan kembali menahan aku. Karena memikiri ayah dan ibuku, aku sudah memecahkan beberapa mangkok dan digapelok beberapa kali oleh majikanku. Sesudah masak air, aku bersembunyi di samping dapur dan menangis dengan perlahan. Kebetulan Ouw toaya pergi ke dapur dan ia mendengar tangisanku. Ia segera menanyakan sebab-musababnya. Karena paras muka Ouw toaya angker dan bengis, aku tidak berani bicara. Makin ia mendesak, makin hebat aku menangis. Belakangan, sesudah ia bicara dengan suara lemah lembut, barulah aku berani menuturkan bahaya yang tengah dihadapi."
"Ouw toaya gusar bukan main. 'Hartawan itu sungguh kejam,' katanya. 'Sebenarnya aku harus mengambil jiwanya, tapi sebab aku sendiri mempunyai urusan penting, maka aku tak sempat untuk berhitungan dengan dia. Sekarang biarlah aku memberikan seratus tahil perak kepadamu. Kau pulanglah dan menyerahkannya kepada ayahmu. Katakan kepadanya, bahwa dengan uang itu ia bisa membayar hutang dan lebihnya dapat digunakan untuk ongkos hidup. Lain kali, jangan meminjam uang lagi dari hartawan kejam.' Semula aku menduga, bahwa ia hanya berguyon. Tak dinyana, benar-benar ia mengambil lima potong goanpo dan menyerahkannya kepadaku. Tapi aku tentu tidak berani lantas menerimanya. 'Hari ini aku mendapat anak,' kata Ouw toaya. 'Aku menyintainya dan dengan mengukur perasaanku sendiri, kedua orang tuamu juga tentu sangat menyintai kau. Ambillah uang ini dan pulanglah sekarang. Aku akan memberitahukan majikanmu, bahwa akulah yang menyuruh kau pulang dan dia pasti tidak berani banyak rewel."
'Aku masih mengawasinya dengan mata membelalak dan jantungku memukul keras. Aku tak tahu apa yang harus diperbuat. Sambil bersenyum Ouw toaya mengambil selembar kain, membungkus lima potong perak itu dan kemudian mengikatnya di punggungku. Anak tolol,' katanya seraya tertawa dan menendang pinggulku perlahan-lahan, 'lekas pergi!' Bagaikan orang linglung aku pulang dengan berlari-lari dan memberitahukan kejadian itu kepada kedua orang tuaku. Kami bertiga girang setengah mati, untuk beberapa saat kami saling berpelukan seperti orang edan. Kami hampir tak mau percaya, bahwa di dalam dunia ada orang yang begitu mulia hatinya. Sama saja seperti dalam mimpi. Ayah dan ibuku buru-buru pergi ke rumah penginapan untuk menghaturkan terima kasih dengan berlutut Tapi Ouw toaya menolak penghaturan terima kasih itu. Ia menggoyang-goyangkan tangannya dan mengatakan, bahwa ia tak suka menerima pernyataan terima kasih yang begitu berat. Dengan manis budi, ia mendorong kami bertiga."
"Selagi kami mau berangkat pulang, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki kuda dan beberapa penunggang kuda tiba di rumah penginapan itu. Mereka adalah musuh-musuhnya Ouw toaya. Karena merasa kuatir, aku lalu mempersilakan kedua orang tuaku pulang lebih dahulu, sedang aku sendiri ingin menyaksikan kesudahan pertempuran itu. Kupikir, budi Ouw toaya sangat besar.
Kalau ia memerlukan bantuanku, biar diperintah masuk ke dalam air atau api, aku pasti tak akan menolak.
"Kulihat 'Kim Bian Hud' Tayhiap dan Ouw toaya minum arak sambil beromong-omong. Kecintaan Ouw toaya terhadap puteranya telah dituturkan oleh Po Si Taysu. Tapi ia sama-sekali tak tahu, bahwa perbuatan si tabib yang mendengari pembicaraan suami-isteri Ouw dari kamar sebelah, semuanya diincar oleh seorang pesuruh kecil yang bekerja di dalam dapur rumah penginapan itu."
Tiba-tiba Po Si berbangkit dari kursinya. Sambil menuding ia membentak, "Siapa kau? Siapa yang menyuruh kau datang kemari untuk bicara yang tidak-tidak?"
Dengan paras muka tenang, pelayan itu menjawab, 'Aku bernama Peng Ah Si. Aku mengenal Giam Ki, seorang tabib, tukang mengobati luka terpukul. Tapi si tabib Giam Ki tentu saja tidak mengenali Peng Ah Si, pesuruh kecil, tukang menyalakan api di dapur."
Mendengar perkataan "Giam Ki," paras muka Po Si berubah pucat. Lapat-lapat ia ingat, bahwa pada duapuluh tujuh tahun berselang, di dalam rumah penginapan, ia memang pernah bertemu dengan seorang pesuruh kecil yang pakaiannya kotor. Tapi karena tidak memperhatikan, ia sekarang sudah tak ingat lagi, bagaimana macamnya pesuruh itu. Dengan sorot mata gusar dan
membenci, ia menatap wajah Peng Ah Si. Sementara itu, Peng Ah Si sudah melanjutkan penuturannya, "Di tengah malam kudengar suara tangisan Ouw toaya. Dengan rasa berkuatir, aku pergi ke depan kamarnya. Tiba-tiba kulihat bayangan manusia di jendela kamar sebelah. Orang itu berdiri tanpa bergerak, ia rupanya sedang memasang kuping. Aku bercuriga dan lalu mengintip dari cela-cela pintu kamar. Ternyata, orang itu Giam Ki adanya dan dia sedang mendengari pembicaraan suami-isteri Ouw dengan menempelkan kupingnya di papan kamar. Baru saja kuingin memberitahukan hal itu kepada Ouw toaya, Ouw toaya sendiri sudah keluar dari kamarnya dan pergi ke kamar Giam Ki dan bicara panjang-lebar. Pembicaraan itu tidak pernah disebut-sebut oleh Po Si Taysu. Aku sendiri tak tahu apa sebabnya."
"Ouw toaya bicara panjang-lebar dan sebagian tidak dimengerti olehku. Tapi aku tahu, bahwa Ouw toaya telah minta bantuannya, supaya pada keesokan harinya ia pergi menemui Biauw Tayhiap untuk menjelaskan beberapa soal. Soal-soal itu adalah soal-soal besar yang sangat penting. Sebenarnya tak tepat untuk Ouw toaya untuk meminta bantuan seorang liar, tapi karena Ouw Hujin baru melahirkan anak dan juga karena Ouw toaya beradat berangasan, sehingga jika ia memberi penjelasan sendiri kepada pihak lawan, ia pasti akan bertengkar dengan Hoan Pangcu dan Tian siangkong dan akhirnya ia mesti bertempur juga, maka, sebab tak ada jalan lain, ia terpaksa meminta bantuan Giam Ki untuk menyampaikan perkataannya. Tadi Po Si Taysu mengatakan, bahwa Ouw toaya telah menyuruhnya untuk menyampaikan surat kepada 'Kim Bian Hud' dan akan diberi hadiah besar. Keterangan itu tidak benar. Cobalah pikir, menyampaikan surat adalah tugas yang sangat enteng. Perlu apa orang memberi hadiah besar kepada tukang bawa surat? Mungkin sekali Po Si Taysu sekarang sudah lupa perkataan Ouw toaya, tapi aku sendiri masih tetap ingat"
Mendengar sampai di situ, semua orang tahu, bahwa pada sebelum menjadi pendeta, Po Si Taysu bernama Giam Ki. Melihat sikap kedua orang itu, mereka yakin, bahwa antara Po Si dan kebinasaan Ouw It To mempunyai sangkut-paut yang sangat rapat dan dalam keterangan yang diberikan Po Si terdapat bagian-bagian yang tidak benar. Mereka ingin sekali mendengar penjelasan Peng Ah Si yang akan membuka sebuah rahasia. Akan tetapi, mereka pun berkuatir, bahwa jika Peng Ah Si benar-benar membuka rahasia besar yang membuat Po Si menjadi malu, dalam gusarnya, pendeta itu bisa turunkan tangan jahat dan di antara mereka, tak satu pun yang dapat menandinginya. Biarpun di belakang hari 'Kim Bian Hud' bisa membalas sakit hati, tapi kalau Peng Ah Si sudah binasa, rahasia yang sangat menarik itu akan turut dikubur di liang kubur. Sedang semua orang berkuatir akan keselamatannya, Peng Ah Si sendiri bersikap tenang-tenang saja. Sesudah berhenti sejenak, ia melanjutkan penuturannya, "Waktu Ouw toaya bicara dengan Giam Ki, aku berdiri di luar jendela kamar Giam Ki. Aku bukan mau mencuri dengar pembicaraan Ouw toaya. Aku sudah berbuat begitu, sebab kutahu, bahwa tabib itu, yang menjadi anjingnya si hartawan yang menghina kedua orang tuaku, bukan manusia baik-baik. Oleh karena itu, kukuatir Ouw toaya kena ditipu olehnya. Waktu itu aku masih kecil dan pengertianku sangat terbatas, sehingga apa yang dikatakan Ouw toaya tidak dapat dimengerti seluruhnya olehku. Tapi setiap perkataannya terus tercatat dalam otakku dan tidak bisa dilupakan lagi. Belakangan, sesudah besar, kumengerti maksud pembicaraan itu. Pada malam itu, Ouw toaya minta bantuan Giam Ki untuk menyampaikan tiga rupa hal. Pertama, asal-mula permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian. Kedua, sebab-musabab dari kebinasaan ayahnya 'Kim Bian Hud' dan ayah Tian siangkong. Ketiga, soal kotak besi dan golok komando dari Cwan Ong."
Hampir serentak semua orang menengok ke arah kotak besi dan golok itu yang ditaruh di atas meja. Rasa ingin tahu dalam hati mereka jadi makin besar. Peng Ah Si melanjutkan penuturannya, "Sebab-musabab dari permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian tadi sudah diceriterakan oleh Biauw Kouwnio. Tapi di dalam itu masih terselip suatu rahasia besar yang tidak diketahui oleh orang luar. Rahasia itu dimulai pada jaman Cwan Ong Engciang tahun kedua, tahun It Yu, atau menurut perhitungan pemerintah Boan, Sun Ti tahun kedua. Pada waktu itu, leluhur keluarga Ouw, Biauw, Tian dan Hoan telah berjanji,
bahwa, jika pemerintah Boan tidak menjadi roboh, rahasia itu baru boleh dibuka sesudah berselang seratus tahun, yaitu pada tahun It Yu. Tahun It Yu ialah tahun Kian Liong ke-sepuluh dan dari waktu itu sampai sekarang, sudah berselang tiga puluh tahun lebih. Maka itulah, pada dua puluh tujuh tahun berselang, waktu Ouw toaya bicara dengan Giam Ki, batas waktu seratus tahun sudah lewat dan rahasia tersebut sudah boleh dibuka."
"Rahasia itu benar-benar hebat Apa sebabnya? Sebabnya ialah, pada waktu kalah perang di Kiu Kiong San, Cwan Ong sebenarnya tidak mati!"
Bersambung ke bagian 2 ...