Bab 8

"Rupa-rupanya dia kuatir aku nanti berlaku nekat pula, selama dua hari terus-terusan dia jaga aku," Oen Gie bercerita lebih jauh. "Dia matangi sendiri bahan makanan, untuk aku dahar. Aku melainkan menangis, tidak sudi aku layani dia. Hari ketiga lewat, datang hari ke- empat. Dalam empat hari saja, aku telah jadi kurus bukan main. Ia masaki aku daging kuah, dengan sabar ia bujuki aku untuk dahar daging kuah itu. Tetap aku tidak perdulikan padanya. Tiba-tiba dia jambak aku, untuk bikin kepalaku melenggak, hidungku terus ditutup, sesudah mana, selagi mulutku terpentang, dia paksa cekoki kuah daging itu.Secara demikian, mau atau tidak, aku kena tenggak separuh dari isinya mangkok. Baru setelah itu, ia tidak jambak pula padaku. Dengan sengaja aku sembur mukaya, aku ingin bikin dia gusar, supaya dia bunuh aku, sebab tak ingin aku nan- ti diperkosa dia, tak sudi aku diperla- kukan sebagai kedua enso, yang dijual pada rumah hina. Sedikitpun ia tidak

gusar, ia tertawa saja. Dengan sabar ia susuti mukanya, ia awasi aku dengan diam saja, Baru kemudian dia menghela napas."

"Malam itu dia rebahkan diri dimulut gua. "Aku hendak nyanyikan satu lagu, apa kau suka dengar?" dia kata padaku.

"Aku tidak suka dengar," aku jawab dia.

Dengan tiba-tiba dia kegirangan hingga dia lompat berjingkrakan. "Aku sangka kau gagu, kiranya kau bisa bicara!" katanya gembira. "Diluar keinginannku, aku tertawa. Aku anggap lucu yang dia sangka aku tidak bisa bicara. Kemudi- an secara mendamprat, aku kata padanya: "Siapa yang gagu? Bertemu sama orang jahat, aku memang tidak sudi bicara!"

"Dia tidak layani aku bicara, sebalik- nya dengan suara muluk, dia nyanyikan satu lagu pegunungan. Dia nyanyi terus, sampai lanjut malam, hingga sang rembu- lan muncul dengan keindahannya. Masih saja dia bernyanyi. Seumurku, aku hidup terkurung didalam rumah, mana pernah aku dengar nyanyian semacam itu? Itulah nyanyian percintaan diantara orang- orang lelaki dan perempuan...."

"Kau tidak sudi dengarkan tapi toh kau dengari, bukan?" mendadakan Oen Lam Yang campur bicara. "Siapa mempunyai kesabaran akan dengarkan cerita burukmu ini?" Lantas dia bertindak keluar paseban, tindakannya lebar. "Tentu dia pergi untuk mengadu pada yaya semua," kata Tjeng Tjeng. "Biar saja, aku tidak takut!" sahut Oen Gie. "Kalau begitu, ibu, hayo lanjuti ceritamu," sang pute- ri minta. "Kemudian lagi, dengan lapat- lapat aku ketiduran sendiri," Oen Gie melanjuti. "Besoknya pagi aku mendusi, aku tidak lihat dia. Aku lantas memikir untuk minggat. Tapi setelah aku melo- ngok kemulut gua, aku putus asa. Gua itu berada dipuncak bukit, disebuah lamping, diempat penjurunya, tidak ada jalanan untuk turun. Cuma orang-orang sebagai dia, yang sempurna ilmu silat- nya dan bisa ilmu mengentengkan tubuh, bisa naik dan turun dengan merdeka.

"Kira-kira tengah-hari, dia pulang. Dia bawakan aku banyak barang perhiasan, yantjie dan pupur. Aku tidak inginkan itu, aku jumput, aku lemparkan kedalam jurang. Dia tidak gusar, malah dia gembira sekali."

"Kapan sang malam sampai, kembali dia bernyanyi untukku."

"Dilain harinya, dia pergi untuk kemba- li dengan bawakan aku banyak barang mainan, antaranya anak ayam yang berciap-ciap dan anak kucing yang mengeong-ngeong, juga anak burung dan anak kura-kura yang merayap pergi- datang. Tentu saja tak tega aku akan

lemparkan semua binatang itu kedalam jurang. Dia rupanya ketahui perasaanku itu. Maka hari itu, terus seantero hari, dia temani aku memain dengan keempat binatang itu, yang kita pun kasih makan. Malamnya, kembali dia nyanyi untuk aku dengari."

Melihat yang dia tidak niat ganggu aku, aku menjadi sedikit lega, hingga aku jadi suka juga dahar. Hanya sampai lebih dari satu bulan, tetap aku tidak suka bicara dengannya. Meskipun demiki- an rupa sikapku terhadapnya, tidak pernah dia hunjuk kegusarannya, terus- menerus dia bersikap lemah-lembut terhadapku. Sekalipun ayah dan ibuku belum pernah berlaku baik sebagai dia terhadap aku."

"Adalah pada suatu hari ketika dengan sekonyong-konyong datang perubahan atas

dirinya. Dengan tiba-tiba saja dia awasi aku dengan rupa bengis dan sikap mengancam, hingga aku jadi ketakutan, hingga aku menangis."

"Dia awasi aku sekian lama, lantas ia menghela napas sendirinya. "Sudah, ja- ngan nangis," dia bujuk aku akhirnya.

"Pada malam itu aku pergoki dia mena- ngis seorang diri, suaranya pelahan sekali, akan tetapi aku tahu, dia mena- ngis dengan sangat sedih. Dia menangis diluar gua. Apamau, malam itu turun hujan. Dia tidak mau masuk kendati juga hujan turun dengan lebat. Aku jadi tidak tega. "Mari masuk," aku kata pa- danya. Dia tidak perdulikan ajakanku itu. "Kenapa kau menangis?" aku tanya pula. "Secara mendadak saja dia menyahuti, dengan bengis : "Besok adalah hari ulang setahun dari matinya ayah, ibu, encie dan kedua kandaku! Dalam itu satu hari saja, seluruh

keluargaku musnah terbinasa dalam tangannya seorang dari keluargamu! Maka besok aku mesti bunuh lagi orang kelu- argamu, sedikitnya mesti satu jiwa! Sekarang ini rumahmu dijaga sangat keras dan kuat! Keluargamu sudah minta bantuannya Lie Tjwee Toodjin dari Ngo Bie Pay dan Tjeng Beng Siansoe dari Siauw Lim Pay! Tapi aku tidak takut!"

"Habis mengucap demikian, dia lantas pergi. Dia pergi sampai magrib dihari yang kedua, masih dia belum kembali. Tanpa merasa aku jadi senantiasa ingat dia. Diam-diam aku mengharap-harap pulangnya dia." Diam-diam Tjeng Tjeng lirik Sin Tjie, akan lihat orang meman- dang hina atau tidak kepada ibunya itu, akan tetapi ia dapati pemuda itu duduk dengan tetap tenang dan perhatiannya

sangat tertarik. Menampak demikian, diam-diam ia merasa girang.

Oen Gie melanjuti :

"Selagi cuaca mulai menjadi gelap, dia masih belum kembali juga. Dua-tiga kali aku telah melongok kemulut gua. Ketika untuk keempat kalinya aku melongok pula, aku tampak tubuh empat orang diatas puncak, kelihatannya bagaikan bajangan saja. Mereka itu sedang saling kejar."

"Aku coba mengawasi dengan teliti, maka akhirnya, dengan samar-samar, bisa juga aku mengenalinya. Orang yang terdepan adalah dia, lalu satu imam, disusul sama satu pendeta yang menyekal seba- tang sian-thung, tongkat yang panjang sebagai toya. Orang yang keempat ada ayah dengan senjatanya yang istimewa, tongkat berkepala naga-nagaan. Dia sendiri cekal pedang Kim Tjoa Kiam. Sendirian saja dia layani tiga lawan,

nampaknya dia terancam bahaya. Sebab sesampainya dipuncak itu, mereka lantas

bertempur."

"Sekarang aku dapat melihat terlebih tegas. Pendeta yang bersenjatakan tongkat itu liehay sekali, ia dapat mendesak, akan akhirnya mengemplang dengan tongkatnya itu. Aku kaget

hingga aku menjerit, sebab aku lihat dia telah sangat terdesak, aku kuatir dia tak dapat menghalau bahaya. Tapi dengan pedangnya, dia bisa menangkis, malah tangkisa itu membuat sapat ujungnya tongkat."

"Ayah dapat dengar jeritanku, ia menoleh kearah aku, lantas ia tidak berkelahi lebih lama, ia berlari-lari menuju aku."

"Menampak sikap ayah, dia jadi sibuk sekali. Dia desak kedua lawannya, itu imam dan pendeta, lantas dia tinggal- kan, untuk dia susul ayah. Karena ini, dia pun dikejar kedua orang beribadat itu."

"Tidak lama sampailah mereka dilembah dimana dia telah dapat mencandak ayah, untuk cegah ayah mendekati aku, dia serang ayah, hingga kembali mereka ber- dua jadi bertempur. Baru beberapa jurus, si imam dan si pendeta pun sudah datang, diaorang lalu mengepung pula padanya."

"Ayah lantas gunai ketika untuk me- nyingkir dari pertempuran itu, untuk ia ber-lari-lari pula kearah aku. Selama itu, mereka telah mendatangi aku sema- kin dekat. Aku girang sekali. "Ayah, lekas!" aku teriaki ayahku. "Sebagai orang kalap, dia desak kedua lawannya, lalu dia lari akan susul ayah. Dia

berhasil dia serang ayah dengan hebat, hingga ayah terdesak mundur. Sebentar saja, ayah jadi terancam bahaya.

"Selagi aku berpikir untuk lari kepada ayah, untuk tolongi dia, si imam dan si pendeta sudah menyusul pula, maka kem- bali mereka bertempur pula."

"Eh, Gie, bagaimana dengan kau?" ayah teriaki aku."Aku tidak kurang suatu apa, ayah, jangan kuatir," aku jawab.

"Baik!" ayah bilang. "Nanti aku beres- kan dahulu ini kantjat!"

Bertiga mereka kepung pula dia. "Kim Tjoa Long Koen," terdengar suaranya si imam dari Ngo Bie Pay," aku hendak bicara denganmu supaya kau mengerti. Kami dari Ngo Bie Pay tidak bermusuh denganmu, kita tidak punya sangkutan apa juga, tapi sekarang aku telah campur tahu urusanmu, ini melulu dise- babkan perbuatanmu keterlaluan. Aku janji akan tidak bantu siapa juga asal

kau suka hentikan permusuhan, supaya selanjutnya kau tidak satroni pula keluarga Oen. Aku ingin supaya urusan diselesaikan mulai hari ini."

"Sambil kertak gigi, aku dengar dia menjawab: "Habis, apa aku tidak boleh balas sakit hatinya ayah dan ibuku, encie dan kanda-kandaku?" demikian tanyanya. "Kau sudah binasakan banyak jiwa, aku anggap pantaslah kau merasa puas," kata si imam. "Aku minta, dengan memandang mukaku, sukalah kamu kedua pihak habiskan persengketaan ini."

"Tapi dia tidak menjawab, malah dengan tiba-tiba dia serang si pendeta. Karena ini, lagi-lagi mereka jadi bertempur."

"Senjatanya si imam ada liehay, imamnya sendiri berilmu silat tinggi. Disamping dia, tongkatnya si pendeta perdengarkan suara angina men-deru-deru. Tongkat itu masih bisa digunai dengan sempurna walaupun ujungnya sudah terkutung."

"Aku lihat dia terancam. Dia mandi keringat. Dia terdesak. Tiba-tiba aku tampak dia sempoyongan, hampir-hampir dia rubuh terguling. Justru itu, tong- katnya si pendeta menyambar. Masih dia bisa luputkan diri dari bahaya dengan berkelit miring."

"Justru karena dia berkelit, dia dapat lihat mukaku. Menurut keterangannya belakangan, hari itu dia sudah sangat letih, urat-uratnya lemas semua. Akan tetapi kapan dia dapat lihat aku, dan dia dapat perasaan aku sangat memper- hatikan padanya, tiba-tiba bangkitlah

semangatnya, tenaganya jadi kumpul pula. Maka ketika dia bikin perlawanan lebih jauh, Kim-tjoa-kiam jadi sangat berbahaya."

"Nona Oen, jangan takut!" dia serukan aku. "Kau lihat!"

"Entah bagaimana dia telah gunai sen- jatanya, mendadak terdengar si pendeta keluarkan jeritan yang menyeramkan, tu- buhnya rubuh, lalu bergelundungan keba- wah. Kemudian ternyata, batok kepalanya yang gundul telah tertancap bor kim- tjoa-tjoei."

"Ayah dan si imam jadi kaget."

"Segera datang saatnya dia serang ayah. Gunai ketika yang baik, si imam membo- kong dari belakang. Tapi dia tidak kena ditikam bebokongnya. Dalam ancaman ba- haya itu, ia mendahulukan memutar tu- buh, sambil berkelit, tangan kirinya diulur, dua jarinya menusuk kedua matanya si penyerang. Sambil berbuat demikian, dia berseru keras."

"Imam itu terkejut, lekas-lekas ia tun- duk, untuk selamatkan diri dari totokan itu kearah mata. Selagi ia tunduk, lengan kanannya telah menyambar. Itulah lengan yang menyekal pedang. Tidak am- pun lagi, tubuh si imam terbabat pe- dang, sehingga dengan satu jeritan mengerikan, dia rubuh binasa."

Tjeng Tjeng berseru mendengar cerita ibunya itu. Ia kagum. "Habis itu, dia kembali serang ayah."

"Ketika itu muka ayah telah jadi pucat hingga seperti tak ada darahnya, terang ia kaget dan jeri karena dapatkan dua kawannya yang liehay telah dibinasakan dengan cepat. Ayah menangkis secara

sembarangan. Tidak lagi ayah bisa mainkan tongkatnya dengan sempurna.

"Aku lantas lari keluar gua."

"Tahan! Tahan!" aku berseru berulang- ulang. "Mendengar teriakan aku, dia berhenti menyerang."

"Inilah ayahku," aku perkenalkan dia kepada ayah. Dia pandang ayah dengan mata bengis. "Kau pergi, aku kasi ampun padamu!" ia kata pada ayah. "Ayah ter- cengang, lalu ia putar tubuhnya, untuk pergi."

"Itu hari, seantero hari aku belum dahar, tubuhku lemas, ditambah dengan kaget karena menyaksikan pertempuran hebat itu, dan berbareng aku girang sekali karena ayah dikasih ampun, mendadak aku rubuh sendiri."

"Dia lihat aku rubuh, segera ia lompat untuk kasih bangun padaku. Aku tidak pingsan, selagi ia membungkuk, aku lihat ayah mengawasi dengan mata bersinar bengis. Tiba-tiba ayah ayun tongkatnya dipakai mengemplang bebo- kongnya. Tentu sekali dia tidak me- nyangka, karena perhatiannya ada padaku, yang dia hendak tolongi. Aku kaget, aku berseru:" Awas!"

"Dia pun kaget, segera dia putar tubuh. Akan tetapi tongkat sudah sampai, bebo- kongnya kena terhajar. Syukur untuk dia, dia telah berkelit, serangan itu tidak parah. Sambil putar tubuh, tangannya menyambar menyekal tongkat, yang dia dapat rampas, setelah mana,

tongkat itu dilempar kelembah. Dia tidak berhenti sampai disitu, sambil merangsak, dia serang ayah, dengan kedua tangannya."

"Ayah gugup. Rupanya ia menyesal karena serangannya gagal dan ia kaget tongkat- nya kena dirampas. Ketika serangan datang, ia putus asa, bukannya ia ber- kelit atau menangkis, ia justru berdiam seraya tutup kedua matanya.

"Dengan mendadak saja, dia tarik pulang serangannya. Dia menoleh kepadaku, lantas dia menghela napas. Kemudian dia pandang ayah dan kata : "Lekas kau pergi, jangan tunggu sampai pikiranku berubah, nanti kau tak dapat ampun lagi!"

"Sampai disitu, tanpa bilang apa juga, ayah putar tubuhnya, akan angkat kaki sambil berlari-lari."

"Dia awasi ayah pergi, lantas dia me- noleh kepadaku. Tiba-tiba ia muntahkan darah, darahnya menyemprot kebajuku..."

Tjeng Tjeng terkejut, hingga ia kelu- arkan seruan tertahan. Kemudian : "Sam yaya tak tahu malu!" katanya. "Depan berdepan dia tidak berani lawan musuh, dia membokong dengan tangannya yang jahat!"

Oen Gie menghela napas. "Sebenarnya dia adalah musuh kita," katanya, melanjuti. "Dia pun telah binasakan beberapa puluh orang dari keluarga kita. Akan tetapi melihat dia dibokong, tak dapat aku

diam saja, makanya aku sudah berseru. Mungkin ini yang dinamakan takdir celaka. Habis itu dengan sempoyongan, dia bertindak kedalam gua, lantas dia ambil obatnya untuk terus dimakan. Masih beberapa kali ia muntahkan darah. Aku kaget dan berkuatir, sehingga aku

menangis sendiri."

"Dia terluka akan tetapi dia gembira."

"Kenapa kau menangis?" dia tanya aku.

"Sebab kau terluka parah," jawabku.

Dia tertawa. "Jadi kau menangis untuk- ku?" tanyanya pula. "Aku berdiam aku tidak menjawab. Tetap aku berduka."

"Sebentar kemudian, dia kata padaku: "Sejak semua anggauta keluargaku dibunuh oleh pamanmu yang keenam, sejak itu sudah tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian atas diriku, yang menyayangi aku. Hari ini aku telah bunuh lagi satu kandamu tjintong, maka itu sama sekali sudah berjumlah empat- puluh orang yang aku binasakan. Sebe- narnya masih ada sepuluh orang lagi, yang mesti jadi korban pembalasanku, akan tetapi sekarang, memandang kepada airmatamu, aku janji aku akan hentikan pembunuhan terlebih jauh. Nyata masih ada kau seorang yang memperhatikan aku."

"Aku menangis saja, aku tidak jawab dia."

"Juga orang-orang perempuan keluargamu, sejak hari ini aku tidak akan ganggu pula," demikian dia kata lagi. "Kau tunggu sampai lukaku ini sudah sembuh, aku nanti antar kau pulang..."

"Masih aku berdiam, tak tahu aku apa perasaanku saat itu. Aku cuma merasa lega yang dia telah berjanji untuk hentikan pembunuhan-pembunuhan terlebih jauh."

"Sejak itu selanjutnya, beberapa hari, akulah yang masak nasi dan masak air, dengan sungguh-sungguh aku rawati dia," Oen Gie cerita lebih jauh. "Pada suatu hari, dia pingsan, terus selama satu hari, dia tak sadar akan dirinya. Aku jadi berkuatir, aku kuatir dia bakal tak ketolongan. Aku lantas menangis, menangis saja, sampai kedua mataku pada

merah dan bengul. Selagi aku menangis, sekonyong-konyong dia buka matanya, dia

tertawa."

"Tidak apa, tak nanti aku mati," kata- nya. "Selang lagi dua hari, benar-benar kesehatannya mulai pulih. Dia bisa ba- ngun dan jalan-jalan. Itu malam dia beritahukan aku, sebetulnya luka bekas bokongan ayah ada hebat sekali, akan tetapi ia tertolong obat dan kuat hati- nya. Dia bilang, asal dia mati, aku pun

bakal mati kelaparan. Seorang diri, pasti aku tidak bisa berlalu dari gua itu, dilain pihak, tidak ada orang dari rumahku yang berani datang menyatroni., kalau tidak, selama itu tentulah sudah ada datang orang, entah siapa. Aku anggap dia omong dari hal yang benar."

"Ibu," Tjeng Tjeng kata," dia berlaku baik sekali kepadamu, dia ada orang baik."

Setelah mengucap demikian, nona ini menoleh pada Sin Tjie. Anak muda ini merasakan mukanya panas, ia melengos kelain arah. "Dengan pelahan-lahan kesehatannya maju terus," Oen Gie mulai pula. "Selama itu, suka sekali dia bicara dengan aku tentang masanya kanak-kanak. Dia bilang bagaimana

ayahnya, ibunya,sangat sayang dia, bagaimana kedua engkonya, encienya, sangat menyinta dia. Katanya pernah satu kali dia jatuh sakit sampai ibunya tidak tidur tiga hari tiga malam. Akan tetapi pada suatu malam, liok-siokhoe telah bunuh ibunya itu, ayahnya,

saudara-saudaranya!"

"Diluar aku lihat dia kejam dan telengas, akan tetapi bicara tentang kekeluargaannya, nyata ia ada berbatin baik, halus martabatnya. Begitulah ia perlihatkan aku sepotong oto merah yang tersulam indah. Dia kata, itulah oto sulaman ibunya sendiri ketika dia masuk

umur satu tahun..."

Selagi mengucap demikian, Oen Gie rogo sakunya dari mana ia keluarkan oto yang ia omongi itu, yang ia letaki diatas meja. Sin Tjie lihat oto itu tersulam satu bayi montok tanpa pakaian, wajah- nya manis dan sangat menyenangi. Sulamannya sendiri benar-benar indah. Tiba-tiba ia terharu sendirinya. Ia jadi ingat, sejak masih sangat kecil, ia sudah tidak punya ayah dan ibu....

"Sering-sering dia nyanyikan lagu pegunungan untuk aku dengari," kembali Oen Gie melanjuti. "Diwaktu senggang- nya, dia ambil kayu untuk dibikin menjadi barang-barang permainan untuk- ku. Dia kata aku adalah satu bocah yang tak mengerti apa-apa..."

"Akhir-akhirnya dia sembuh seluruhnya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, aku lihat dia tidak punya kegembiraan. Aku jadi heran. Pada suatu hari, aku tanya- kan sebabnya. Jawabannya mengherankan aku. Dia bilang dia merasa tidak tega meninggalkan aku."

"Kalau begitu baiklah aku berdiam terus disini menemani kau!" kataku tanpa ber- pikir lagi. "Mendengar perkataanku itu, dia jadi girang bukan main. Dia pergi kepuncak, dia loncat naik turun dise- buah pohon kayu besar, dia berjingkra- kan, dia jumpalitan bagaikan kera.

Kemudian dia beritahukan aku, dia telah dapatkan selembar peta dari suatu tempat dimana ada disimpan banyak emas dan barang permata. Katanya ketika dulu Pangeran Yan Ong rampas tahta-kerajaan, dari Pakkhia ia menerjang ke Lamkhia, Baginda Kian Boen kabur dari kota raja, sebelum kabur, raja itu telah pendam harta besarnya disuatu tempat rahasia. Setelah naik tachta, Yan Ong coba cari harta itu diseluruh kota Lamkhia, tidak ada hasilnya. Kemudian Yan Ong utus Sam Po Thaykam beberapa kali berlayar meng- arungi samudera, ke Selatan, katanya untuk membuat penyelidikan dimana kaisar Kian Boen bersembunyi, tapi sebenarnya guna cari harta itu."

Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut sendirinya. "Jadi itulah peta yang aku dapatkan dalam kitab Kim Tjoa Pit Kip," pikirnya. "Itu jadi ada peta yang melu- kiskan tempat rahasia itu..."

"Dia ceritakan padaku bahwa seumur hidupnya Kaisar Beng Seng Tjouw tetap tak dapat cari peta itu - adalah setelah berselang beberapa ratus tahun, secara kebetulan saja, dialah yang mendapatinya. Setelah sekarang dia sudah puas menuntut balas, dia hendak mulai cari harta karun itu. Dia janji, begitu lekas dia berhasil mendapati harta besar itu, dia bakal kembali untuk sambut aku. Maka itu, katanya, sekarang dia hendak antarkan aku pulang." Nyonya ini berhenti sebentar, ketika sesaat kemudian ia melanjuti, ia ada sengit sekali. Dia kata : "Ketika aku sampai dirumah, semua orang pandang hina kepadaku. Aku jadi mendongkol dan gusar sekali. Aku sebal terhadap mere- ka. Mereka tidak punya kemampuan untuk melindungi satu gadis keluarganya, se- telah aku pulang dengan tubuh putih- bersih, mereka perhina aku. Maka itu selanjutnya aku tidak perdulikan me- reka, tak suka aku bicara dengan mereka itu!"

"Ibu, kau berbuat benar!" kata Tjeng Tjeng. "Setelah tiga bulan aku berada dirumah, selama mana aku harap-harap dia," bercerita pula Oen Gie. "Pada suatu malam aku dengar suara nyanyian lagu pegunungan diluar jendela kamarku. Aku kenali baik sekali suara nyanyian itu. Dia datang! Lekas-lekas aku buka

jendela, aku kasih dia masuk. Pertemuan ini ada sangat menggirangkan aku, dan malam itu, kami berdua lantas hidup sebagai suami-isteri, hingga kemudian, anak, terlahirlah kau....Perangkapan jodoh itu telah terjadi karena keingin- anku sendiri, sampai sekarang aku tidak menyesal karenanya. Orang bilang dia perkosa aku, itulah tidak benar! Tjeng

Tjeng, selama sekian lama itu ayahmu tetap perlakukan baik padaku, kami berdua sangat saling menyinta. Selama itu dia selalu hormati aku, belum pernah dia paksa aku." Diam-diam Sin Tjie puji keberaniannya nyonya ini. Ia pun terharu untuk dengar riwayat per- cintaan yang demikian sulit. "Rupa- rupanya, dengan kedatangannya ini, Hee lootjianpwee telah dapatkan tempat

rahasia dari harta besar itu," kata Sin Tjie. Nyonya itu manggut. "Dia bilang dia masih belum dapat cari," sahutnya. "Akan tetapi dia kata dia sudah dapat- kan endusan hingga dia merasa, segera dia akan dapat mencarinya. Maka itu kami telah berdamai untuk dihari kedua, pagi-pagi, pergi minggat. Diluar tahu kami, pembicaraan kami itu ada yang curi dengar. Besoknya fajar sebelum terang tanah, aku sudah lantas siapkan pakaianku. Aku pun telah tinggalkan sepotong surat untuk ayah. Disaat kami hendak berangkat, tiba-tiba ada orang ketok pintu kamarku. Pasti sekali aku

kaget dan takut. "Jangan kuatir," dia kata padaku," biar dalam kepungan satu pasukan perang, kita kaan dapat noblos keluar!" Lantas saja dia buka pintu.

"Yang ketok pintu itu ada ayah bersama toapeh dan djipeh bertiga. Mereka tidak bawa senjata, malah pakaiannya pun thungsha, baju panjang yang dilapis makwa, baju luar yang pendek. Kami heran memandang dandanan mereka itu.

"Urusan kamu berdua aku sudah tahu," berkata ayah." Inilah takdir celaka yang telah ditetapkan sebelum kamu terlahir. Biarlah selanjutnya kita orang menjadi satu dengan lain,

supaya tak usah lagi kita main angkat senjata."

"Dia menyangka ayah semua kuatir dia nanti melakukan pembunuhan pula, dia bilang: "Kau jangan takut, aku telah berjanji dengannya untuk tidak bunuh lagi anggota-anggota keluargamu!"

"Walaupun demikian, tak dapat kamu berlalu dengan diam-diam," ayah bilang. "Adalah pantas apabila kau melamar dengan terang dan menikah dengan upacara."

"Dia girang sekali mendengar kata-kata ayah. Tidak tahunya dia kena terjebak ayah."

"Jadi ayahmu dustakan dia, bukankah?" Sin Tjie tanya. Oen Gie manggut.

"Ayah lantas berikan dia tempat dikamar samping," nyonya ini melanjuti. "Segala apa segera diatur untuk perayaan perni- kahan. Dia ada cerdik sekali. Semua arak, barang makanan dan air, yang ayah perintah suguhkan, lebih dahulu dia kasi anjing yang cobakan, tapi meski anjing makan itu tanpa akibat, dia masih tidak minum dan dahar itu, tidak dia cobai. Dia tunggu sampai malam, semua itu dia buang keluar. Untuk tangsel perutnya sendiri, dia pergi kepasar Tjio-liang dimana dia beli barang makanan dan dahar."

"Pada suatu malam ibu datang dengan semangkok bubur biji teratai. "Suguhkan ini pada baba mantu," ibu kata padaku."

"Aku benar-benar tidak menduga suatu apa, aku sangka ibu menyayangi dia, dengan gembira aku bawa bubur teratai itu kedalam kamarnya. Dia pun girang sekali melihat aku datang dengan barang makanan, dia sambuti itu, tanpa curiga, dia makan bubur itu. Dia Baru mengirup beberapa kali, selagi dia bicara de- nganku, mendadakan air mukanya ber- ubah menjadi pucat. Segera ia berbang- kit. "Oh, A Gie, hatimu telengas!" dia tegur aku. Aku kaget tidak terkira.

"Apa?" aku tanya. "Kenapa kau racuni aku?" tanya dia. Sin Tjie dan Tjeng Tjeng bergidik sendirinya. Sekejab saja, seluruh paseban dan sekitarnya jadi sangat sunyi. Akan tetapi sekejab saja juga, atau mendadak terdengarlah suara tertawa ramai dan menyeramkan yang datangnya dari luar paseban. Kapan Sin Tjie menoleh, dia tampak lima ber- saudara Oen sedang berdiri diluar paseban. "A Gie, bagus!" Oen Beng San berseru. "Urusanmu yang busuk kau tu- turkan kepada orang luar! Apakah kau masih punyakan muka?"

Mukanya nyonya yang bernasib buruk itu menjadi pucat dan merah bergantian. Ingin dia bicara tetapi tercegah sen- dirinya. Maka ia lantas menoleh kepada Sin Tjie dan puterinya. "Sudah sembilan belas tahun, belum pernah aku omong sepatah kata jua dengan ayah," berkata dia," dan selanjutnya, aku pun tidak nanti bicara pula dengannya! Aku tidak takut terhadap mereka! Kau sendiri, kau takut atau tidak?"

"Engko Sin Tjie tidak kenal takut!" Tjeng Tjeng jawab. "Bagus! Kalau begi- tu, aku nanti bercerita terus!" kata nyonya yang tak beruntung ini, yang

sekarang tiba-tiba nyalinya jadi besar, dia tak lemah lagi sebagaimana biasa- nya. Malah dia sengaja perbesar suara- nya: "Aku lantas saja menangis. Aku tidak tahu bagaimana harus bicara, aku tidak tahu juga mesti berbuat apa. Dengan sebenarnya aku tak tahu suatu apa tentang racun itu. Aku bersusah hati karena dia menyangka jelek terha- dapku. Selagi begitu, pintu kamar ada

yang tendang dan gembrak, lantas me- nyerbu masuk banyak orang dengan pel- bagai alat-senjatanya."

"Orang-orang yang berbaris dimuka pintu itu waktu adalah mereka ini semua!" melanjuti ia. "Ditangannya itu telah tergenggam masing-masing senjata rahasia."

Ayah masih juga punya liang-sim.

"A Gie, kau keluar." Dia panggil.

"Aku tahu mereka tunggu aku keluar, Baru mereka hendak menyerang dengan senjata rahasia mereka. Kamar ada sempit, kemana dia bisa singkirkan diri? Maka aku menjawab: "Aku tidak mau keluar! Kamu baik bunuh juga aku!"

"Ketika itu, dia duduk diatas kursi dengan alis mengkeret. Dia menyangka aku bersekongkol dengan ayah semua, dia jadi sangat bersusah hati, hingga dia tak niat untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi kapan dia dengar penolak- anku untuk keluar, bahwa aku rela binasa bersama dia, sekonyong-konyong dia berlompat bangun."

"Apakah kau tahu bubur teratai ini dicampuri racun?" dia tanya aku, sua- ranya tak lagi sebengis tadi.

"Aku jumput mangkok bubur itu, aku lihat masih ada sisanya, lantas saja aku minum satu ceglukan. "Jikalau bubur ini ada racunnya, mari kita mati ber- sama!" kataku. "Dia sampok mangkok bubur itu hingga terlempar hancur, akan tetapi aku telah meminumnya. Lantas saja dia tertawa. "Bagus!" katanya. "Mari kita mati bersama!..." Segera dia berpaling kepada ayah semua, dia menegur: "Kamu gunakan cara rendah sekali, apa kamu tidak malu?"

Toapeh gusar sekali. "Siapa racuni padamu?" katanya. "Jikalau kau andali ilmu silatmu yang liehay, mari keluar,

kita bertempur!"

"Baik!" dia jawab tantangan itu. Dia tuntun tanganku untuk diajak keluar dari kamar. "Diluar telah diatur pang- gung pelatok Bwee-hoa-tjhung, diatas itu dia ditantang akan layani ayah bersama mamak dan paman semua bertem- pur. Dia tidak perdulikan yang dia

bakal dikepung. "Dia benar tidak diracuni dengan racun, tetapi kemudian aku dapat tahu, bubur teratai itu

telah dicampuri Tjoei-sian-bit yaitu madu tercampur obat pulas, yang kekuatannya kendor, yang membuat orang yang memakannya jadi ber-angsur-angsur kehilangan tenaganya, akan akhirnya orang nanti rubuh dan tidur seperti mayat, selang satu hari satu malam

Baru orang akan sadar sendirinya. Mereka itu tidak niat meracuni, mereka hendak merobohkan dengan pengaruh obat pulas itu, untuk selanjutnya mereka siksa padanya!"

Oen Gie bicara dengan sengit, menyata- kan kemarahannya yang besar yang terta- han, yang Baru sekarang dapat dilampi- askan. Ketika itu Oen Beng San berseru, "Eh, orang she Wan, kau berani atau tidak melayani berbareng kita berlima bersaudara?"

Pada dua hari yang sudah, karena ingat mereka adalah orang-orang tertua dari Tjeng Tjeng, Sin Tjie berlaku hormat terhadap mereka, akan tetapi sekarang, setelah mendengar penuturan Oen Gie dan mengetahui mereka ada orang-orang  jahat, ia tidak sudi menghormati lagi, malah dia mendongkol dan gusar. "Hm!" jawabnya. "Kamu boleh maju berbareng sepuluh saudara, aku masih tidak jeri!"

Belum sampai Sin Tjie tutup mulutnya, atau satu bajangan telah menerjang kedalam paseban. "Bocah tidak tahu adat, menggelindinglah kau keluar!" bajangan itu membentak. Sin Tjie lihat seorang dengan tubuh besar dan kekar, rambutnya yang riap-riapan dililit sepotong gelang tembaga yang berkilau- an, sedang bajunya adalah jubahnya kasee, maka dia tahu, itu adalah satu pendeta tauwtoo. Pada dua malam yang sudah, belum pernah dia lihat orang beribadat ini. Tauwtoo itu adalah Teng Seng, satu bandit besar dari Hoolam. Dia Baru datang, dia kunjungi lima saudara Oen untuk beritahu dia niat "bekerja" sama-sama jago-jago dari Tjio-liang itu. Kapan dia ketahui keluarga Oen, yang kenamaan di Selatan dan Utara Sungai Besar jeri terhadap satu bocah, dia jadi panas hati, maka dia lantas maju paling dulu. Ia ingin ajar adat pada bocah ini.... Sin Tjie lihat gerakan orang, dengan sebat ia berkelit kekanan, berbareng mana tangan kirinya menyam- bar, menjambak rambut panjang orang itu, setelah mana, ia menyempar, ia lepaskan cekalannya. Tidak ampun lagi, tubuh besar dari si pendeta terlempar ke pohon mawar, yang banyak durinya, hingga mukanya, bahunya, pahanya, kena tertusuk duri pohon bunga itu, sehingga keluar darah! Itulah bantingan atau hajaran yang si tauwtoo tidak pernah sangka. Melihat demikian, Oen Gie tertawa dingin. Dia berkata : "Pada malam itu, mereka berlima bersaudara mengepung dia satu orang. Sebenarnya dia sanggup melayani, apa celaka, dia sudah minum madu obat pulas, makin lama, dia berkelahi makin lelah. Dise- belah itu, lima saudara itu berkelahi secara mengepung yang dinamakan Oen-sie Ngo-heng-tin", maka dikepung secara demikian, sulit untuk dia meloloskan diri..."

"A Gie!" membentak Oen Beng San. "Apa- kah kau buka rahasia kepada orang luar?" Oen Gie tidak perdulikan lagi ayahnya itu, kepada Sin Tjie dia melanjuti penuturannya: "Kelihatan nyata dia ingin lekas-lekas pukul rubuh salah satu musuhnya, dengan begitu, dia akan dapat pecahkan barisan pengurung itu. Akan tetapi dia berkelahi dengan sema- kin lama semakin kendor, tubuhnya sempoyongan semakin hebat. Maka itu, aku teriaki dia:" Kau pergi lekas! Untuk selamanya, aku tidak akan tinggalkan padamu!"

Suaranya nyonya ini menyedihkan secara dahsyat, melebihkan dahsyatnya jerit- annya kemarin ini. Tjeng Tjeng kaget bukan main. "Ibu!" dia memanggil.

Sin Tjie lihat sinar mata si nyonya kabur dan napas memburu, ia tahu nyonya itu mendongkol dan berduka sangat. Terang sekali dia tak dapat bicara lebih jauh karenanya. "Sudah, pehbo, silakan kau kembali kekamar untuk beristirahat," kata anak muda ini.

"Sekarang aku hendak pasang omong dengan ayahmu beramai, besok aku nanti datang pula..."

"Tidak! Tidak!" kata Oen Gie seraya tarik ujung bajunya. Nyonya ini bisa pula bicara dengan lekas sekali. "Sudah sembilanbelas tahun aku menahan didalam hatiku, tak dapat tidak, hari ini aku mesti keluarkan semua! Wan siangkong, kau dengari aku...." Suara itu tercam- pur tangisan. Sin Tjie manggut. "Aku akan mendengari," ia jawab. Masih saja, nyonya ini pegangi ujung bajunya si anak muda. "Mereka inginkan jiwanya!" berkata ia, meneruskan. "Dan yang terlebih penting daripada itu, mereka juga mengharap harta karun! Terus dia layani mereka bertempur, lalu lagi

sejurus, dia terluka, tak dapat dia menahan diri, dia rubuh dari pelatok- pelatok itu. Mereka tahu dia punyakan peta dari tempat rahasia harta karun disembunyikan, mereka memaksa dia untuk serahkan peta itu. Tapi dia jawab: "Peta itu tidak ada padaku! Siapa berani, dia boleh ikut aku untuk mengambilnya!"

"Jawaban itu membuat mereka menghadapi kesulitan," melanjuti si nyonya. "Jika- lau dia dimerdekakan, apabila sebentar dia sadar dari pengaruhnya obat pulas, lantas tidak ada orang yang sanggup kendalikan dia lagi! Jikalau dia dibinasakan saja, lantas peta itu

untuk selama-lamanya bakal lenyap, harta karunnya tak akan ada orang yang akan dapatkan... Maka akhirnya ayahku adalah yang berikan pikirannya yang bagus! Ha,ha! Sungguh cerdik dia, bukankah?"

"Ketika itu dia mulai jatuh pulas, aku sendiri pingsan. Ketika ini digunai mereka untuk menggeledah tubuhnya. Inilah aku ketahui sebab aku sudah lantas ingat akan diriku. Mereka tidak dapatkan peta itu, yang tidak tersimpan ditubuhnya. Maka mereka jadi sengit,

mereka melakukan penganiayaan hebat dan kejam, ialah urat-urat tangan dan kaki- nya telah dipotong putus!Dengan ini me- reka hendak bikin percuma kepandaian ilmu silat liehay itu, supaya selanjut- nya ilmu silat itu tak dapat digunakan pula! Habis itu Barulah dia dilepaskan dari belengguan. Dia masih dipaksa un- tuk serahkan peta bumi yang diarah sa- ngat itu. Tidakkah itu ada cara cerdik sekali?"

Sin Tjie terkejut. Nyatalah pikirannya si nyonya menjadi waswas seketika.

"Pehbo, baiklah kembali saja, beristi- rahat," katanya. "Tidak!" jawab Oen Gie. "Asal kau pergi, mereka bisa aniaya aku sampai binasa! Aku hendak tuturkan semua, Baru aku puas! Kau tahu, mereka bawa dia pergi! Lima

bersaudara itu tidak percaya satu kepada lain! Bersama mereka ada turut dua jago dari Ngo Bie Pay. Mereka semua ingin peroleh harta karun! Entah bagai- mana, kemudian ternyata, dia bisa loloskan diri dan kabur! Mungkin dia telah berikan mereka peta itu, hingga, begitu lekas mereka kegirangan, penja- gaannya jadi kendor. Mereka semua ada

cerdik sekali, akan tetapi Kim Tjoa Long-koen bukannya seorang tolol! Bertujuh mereka telah dapatkan selembar peta, mereka saling berebut. Lima saudara itu bersekongkol, mereka cura- ngi kedua jago Ngo Bie Pay sampai dua- duanya binasa!....."

Oen Beng Gie dari luar paseban berseru dengan ancamannya: "A Gie! Jikalau kau tetap ngaco-belo, awas!"

"Untuk apa aku mesti awas?" Oen Gie balik menanya sambil tertawa. "Apa kamu sangka aku masih takut mampus?" Dia me- noleh kepada si anak muda, akan berkata : "Peta yang mereka dapati adalah yang palsu! Lima saudara itu pergi ke Lamkhia, mereka gali sana dan gali sini, sampai setengah tahun lamanya, mereka hamburkan lebih dari selaksa tail perak, tapi sepotong kecil perak jua mereka tak dapatkan! Ha-ha! Sungguh tak ada yang lebih memuaskan daripada ini!"

Siasia saja lima saudara Oen itu kertak gigi mereka diluar paseban. Mereka jeri terhadap si anak muda, tidak berani mereka lancang menerjang kedalam pase- ban itu. Habis berkata-kata demikian, Oen Gie berdiam melongo, kemudian de- ngan pelahan-lahan, Baru ia berkata pula. Suaranya pelahan : "Setelah kepergiannya itu, selanjutnya aku tak peroleh lagi kabar dari atau tentang

dia....Urat-urat tangan dan kakinya telah diputuskan, dia mirip dengan satu manusia tapadaksa....Dia beradat tinggi dan keras, karenanya, apabila dia tidak mati lantaran luka-lukanya itu, tentu mati karena mendongkol yang tak terlam- pias...." Dari luar, Oen Beng Tat menantang: "Orang she Wan!" katanya," kau telah dengar perkataan dia tentang kami keluarga Oen mempunyai Ngo-heng- tin, jikalau kau benar satu laki-laki, mari keluar, kau coba terjang!"

"Kau pergilah!" Oen Gie dului si anak muda menjawab. Nyonya ini hendak men- cegah. "Jangan kau layani mereka ber- tempur!" Sin Tjie tahu,apabila mereka bertempur satu sama satu, tidak ada seorang juga dari lima saudara itu yang nempil terhadapnya, akan tetapi apabila berlima mereka maju berbareng, sedang mereka pun punyai Ngo-heng-tin, barisan "Panca-logam", itulah lain. Menurut Oen Gie, Ngo-heng-tin itu berdasarkan Kim, Bok, Soei, Hoh dan Touw, ialah emas,

kayu, air, api dan tanah (ngo-heng), yang berhubungan satu dengan yang lain, yang saling ganti perubahannya. Maka itu, memang itu adalah "barisan" yang sulit untuk digempur. Dan lagi, ketika pertama kali mereka bertanding, mereka tidak mendendam satu dengan lain, masing-masing bisa berlaku sungkan, akan tetapi sekarang dia tekah ketahui rahasia mereka, dan mereka menyangka ia punya hubungan dengan Kim Tjoa Long- koen, pasti sekali mereka akan pandang ia sebagai musuh besar. Mereka bangsa telengas, mereka siap-sedia akan gunai segala tipu-daya, mungkin dia dibikin celaka. Satu kali dia tak berhati-hati, dia bisa tak ketolongan. Karena ini, sangsilah dia. "Apa? Kau tidak berani?" Oen Beng Gie tanya dengan ejekannya. "Kalau begitu hayo kau berlutut tiga kali dan manggut-manggut kepada kami, nanti kami ijinkan kau pergi!..."

Itulah ejekan yang hebat. Oen Beng Sie, dengan suara seram, pun berkata : "Sekarang ini walaupun kau berlutut

dan manggut-manggut, sudah kasip!"

Lantas saja Sin Tjie berkata dengan nyaring: "Katanya Ngo-heng-tin dari keluarga Oen ada liehay sekali tapi aku yang muda ingin mencoba-cobanya, untuk belajar kenal, namun saat ini aku letih sekali, maka kamu ijinkanlah aku beris- tirahat barang satu jam! Akur?" tanya- nya. "Satu jam ialah satu jam!" jawab Oen Beng Gie dengan mengejek. "Walaupun kau beristirahat sampai delapan atau sepuluh hari, toh tak nanti kau mampu lolos!"

"Jangan-jangan binatang ini hendak menggunai akal-muslihat," Beng San kata dengan pelahan. "Baik kita lantas ker- jakan dia!"

"Djie-tee telah berikan perkataan padanya, biarlah dia hidup lebih lama satu jam," Beng Tat bilang. "Biarlah dia beristirahat, supaya dia tak usah sampai mati menyesal! Melainkan kita harus jaga jangan sampai dia kabur!"

"Kasi dia beristirahat didalam thia," Oen Beng Go usulkan. "Disana kita kurung padanya."

Oen Beng Tat akur, lalu dengan suara nyaring, dia kata: "Orang she Wan, pergi kau ke Lian-boe-thia untuk beristirahat. Dengan berdiam disini, kami kuatir kau lolos...."

"Baik!" sahut Sin Tjie tak bersangsi sedikit jua. Lantas dia berbangkit.

Oen Gie dan putrinya jadi bingung sekali, mereka tidak berdaya untuk mencegah. Maka terpaksa mereka ikuti anak muda itu. Didalam Lian-boe-thia , ruang latihan silat, Oen Beng Tat si Toa-yaya sudah lantas perintahkan orang-orangnya nyalakan puluhan batang lilin, dengan begitu, seluruh ruangan jadi terang sekali. "Kapan nanti seba- tang lilin ini telah menyala habis, bukankah telah cukup waktunya untukmu beristirahat?" tanya tertua Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay. Sin Tjie tidak menjawab, dia melainkan manggut, habis itu dia lantas duduk atas sebuah

kursi yang diletaki di-tengah-tengah ruangan itu. Lima saudara Oen angkat masing-masing sebuah kursi, untuk mereka duduk sendiri. Mereka mengurung di lima penjuru dengan sikapnya Ngo- heng. Mereka juga duduk diam dan meram, untuk sekalian beristirahat juga. Akan tetapi dibelakang mereka berkumpul

enam belas orang lain diantara siapa ada Oen Lam Yang dan Oen Tjheng, semua orang angkatan terlebih muda, semuanya duduk atas masing-masing sebuah kursi kate. Sin Tjie lihat kedudukannya enam belas orang itu, ia dapati mereka ambil sikap delapan penjuru, atau Pat-kwa, maka itu lengkaplah Ngo-tjouw punya barisan Ngo-heng Pat-kwa-tin itu, yang ringkasnya disebut Ngo-heng-tin.

"Benar-benar sulit untuk memecahkan barisan ini dan lolos," pikir si anak muda, sambil duduk diam, kedua tangan- nya dikasi turun. Ia merasa, dibawah kepungan dua puluh satu orang itu, paling bisa ia membela diri, untuk lolos, sukar sekali. Ia pun insaf, jikalau lama-lama ia dikurung, tenaga-

nya bisa habis, hingga akhirnya, dia bakal dirubuhkan juga. Kim Tjoa Long- koen yang demikian liehay masih tidak sanggup pecahkan Ngo-heng-tin ini,

maka pasti tin ini ada punyakan perubahan-perubahan luar biasa. Selagi sibuk berpikir, tiba-tiba si anak muda ingat beberapa halaman terakhir dari Kim Tjoa Pit Kip. Itulah bagian-bagian yang pertama kali membingungkannya, karena ia tak dapat menginsyafi arti- nya, sampai perlu ia pergi pula kedalam gua untuk meyakinkan gambar-gambar di tembok gua, untuk diakuri dengan bunyi- nya kitab pusaka itu, sesudah mana,

Barulah ia mengerti. Melainkan itu waktu ia masih belum insaf, apa perlu- nya ilmu silat yang nampaknya kusut sekali itu. Siapa bisa dengan satu gebrakan saja menyerang keempat atau ke delapan penjuru? Toh ilmu itu ada untuk melayani serangan berbareng dari pelba- gai penjuru itu? Terus Sin Tjie memi- kir, hingga ia menduga, tentulah Kim Tjoa Long-koen, setelah lolos dari tangan musuh-musuhnya, telah sembunyi- kan diri untuk memikirkan jalan guna

pecahkan ngo-heng-tin itu dan dia akhirnya berhasil menciptakan ilmu silat istimewa ini. Tentu sekali maksud Kim Tjoa Long-koen untuk kembali ke Tjio-liang, guna menuntut balas, maka sayanglah urat-urat tangan dan kakinya telah terputus hingga dia tak dapat

bersilat terlebih jauh. Maka, untuk dijadikan warisan, ilmu silat itu dicatat rapi dalam kitabnya, dalam gambar-gambar ditembok gua. Dan sengaja dia bikin kitab yang palsu, yang diper- lengkapi dengan panah rahasia dan bera- cun, guna menjaga kalau-kalau pihak

Tjio Liang Pay mencurinya. "Syukur aku telah dapati kitab itu dan dapat mema- hamkan juga semua isinya," pikir pemu- da ini lebih jauh. "Dengan gunai ilmu silat itu, kecuali dapat lolos dari bahaya, aku juga dapat tolong lampias- kan dendaman Kim Tjoa Long-koen, maka didunia baka, pastilah dia akan berse- nyum puas, hingga tak sia-sialah capai lelahnya menciptakan ilmu silat itu..."

Sin Tjie menjadi gembira hingga ketika ia buka kedua matanya, wajahnya ada terang-riang. Ia dapatkan lilin hampir habis terbakar, tinggal hanya satu dim saja. Lima saudara Oen juga membuka ma- ta, mereka heran apabila mereka tampak roman bergembira dari anak muda itu, tak dapat mereka menerka pikiran anak muda ini. Akan tetapi mereka percaya betul ketangguannya Ngo-heng-tin, mere- ka tidak terlalu perhatikan sikap orang itu, mereka cuma membuka mata lebar- lebar, untuk bersiaga kalau-kalau

orang lompat melesat untuk kabur....

Kembali Sin Tjie rapati kedua matanya. Ia mencoba ingat diluar kepala segala

pengunjukan Kim Tjoa Long-koen. Kemudi- an ketika ia sampai dibahagian "Koay too tjhan loan ma" atau "Dengan golok cepat memotong guni awut-awutan", men- dadak ia keluarkan keringat dingin, ia terkejut sendirinya. "Celaka!" demikian ia menjerit dalam hati. "Habis ini, pertempuran membutuhkan golok atau pe- dang mustika, untuk bikin lawan tak berani datang dekat, senjata tajam itu perlu untuk membikin kalut kepungan, akan tetapi Kim Tjoa Kiam tidak ada padaku, bagaimana?"

Selama itu Tjeng Tjeng terus awasi si anak muda, hatinya lega melihat air muka terang dari pemuda itu, tapi seka- rang ia pun terperanjat mendapati orang mandi keringat, romannya berkuatir. "Belum sampai bertempur, hatinya sudah goncang, bagaimana nanti?" pikir dia. Maka ia menjadi turut bingung sendiri- nya. Sin Tjie awasi lilin, yang hampir padam, ia sendiri masih belum peroleh daya, bukan main sibuknya dia. Itu waktu satu bujang perempuan bertindak kedalam ruangan, tangannya menyekal

secawan air teh, ia hampirkan si anak muda. "Wan siangkong, silakan minum teh," katanya. Selagi kusut pikiran itu, Sin Tjie sambuti cawan teh dengan tidak ragu-ragu, malah ia terus antar cawan kemulutnya, akan tetapi disaat bibir dan cawan hampir nempel, menda- dakan terdengar suara nyaring didepan mukanya sendiri dan tangannya tergetar, untuk kagetnya, ia dapatkan cawan sudah terpukul terlepas panah-tangan, jatuh hancur dilantai. Masih anak muda ini sempat lihat Tjeng Tjeng menarik pulang tangannya, maka ia tahu, adalah si nona yang sudah serang cawan itu. Maka ber- babeng kaget, ia insaf. "Sungguh berba- haya!" kata ia dalam hatinya. "Kenapa aku jadi begini goblok? Kenapa tak

ingat aku yang mereka juga bisa kasi aku minum obat pulas?"

Justru itu waktu, bagaikan guntur, Oen Beng Go mendamprat : "Ada ibunya, ada gadisnya. Keluarga Oen telah tidak me- numpuk jasa-jasa baik maka juga telah terlahirlah anak hina-dina ini yang bersekongkol dengan orang luar!"

Tjeng Tjeng tahu, dialah yang dicaci, dia tidak mau mengalah. "Ya, leluhur keluarga Oen telah menumpuk banyak sekali jasa-jasa baik! Mereka telah

perbaiki jembatan-jembatan, jalan-jalan besar, mengamal terhadap orang-orang melarat! Segala macam perbuatan baik, mereka lakukan!" Itulah sindiran belaka terhadap Ngo Tjouw yang tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan mereka.

Oen Beng Go jadi demikian murka sehing- ga dia lompat bangun sambil berjing- krak, dia hendak hajar cucu atau cucu- keponakan itu, akan tetapi Oen Beng Tat menghalangi dia. "Sabar, ngo-tee," kata engko ini. "Jaga itu bocah saja!"

Pada waktu itu, telah lenyap roman berkuatir dari Sin Tjie, sebagai gan- tinya, anak muda ini kembali berwajah riang-gembira. Serangan Tjeng Tjeng dengan panah rahasia terhadap cawan seperti memberikan ia ilham. "Kenapa aku tidak mau gunai senjata rahasia?" demikian pikirnya. "Dalam hal senjata

rahasia, walaupun Kim Tjoa Long Koen masih tak dapat menandingi aku! Bukankah pada tubuhku juga ada baju kaos istimewa hadiah dari Bhok Siang Toodjin? Kenapa aku tidak mau antap orang hajar beberapa kali bebokongku, supaya berbareng dengan itu aku bisa

pecahkan Ngo-heng-tin ini?"

Sekejab saja, pemuda ini ambil putus- annya. Tidak lagi dia tunggu habisnya sebatang lilin, segera ia berbangkit.

"Cukup!" katanya. "Silakan kamu beri pengajaran kepadaku!"

Oen Beng Tat lantas perintah  orang- orangnya tukar semua lilin. "Ini kali, kalau ada keputusan menang atau kalah, bagaimana?" Sin Tjie tegaskan. "Jika- lau kau menang, pergi kau bawa emas itu!" jawab Oen Beng Tat. "Jikalau kau tidak berhasil, nah, tak usah omong banyak lagi!"

Sin Tjie mengerti, jikalau dia yang kalah, jiwanya tidak bakal tertolong lagi, akan tetapi apabila dia yang menang, orang masih bisa menyangkal. Maka ia kata pula: "Kalau begitu, keluarkanlah emas itu! Begitu aku menang, aku hendak segera bawa pergi!"

Lima saudara Oen itu kagum. Sudah ter- kepung, lagi menghadapi bahaya maut, anak muda ini masih berkeras kepala. Tentu sekali, mereka tidak kuatir. Mereka tahu, Kim Tjoa Long-koen yang liehay masih tak mampu dobrak ngo-heng- tin, apapula bocah ini. Setelah asah pikiran belasan tahun, Ngo Tjouw ber- hasil menciptakan Ngo-heng-tin, setelah itu, mereka melatih diri dengan sempur- na. Ngo-heng-tin ada pusaka bagi Tjio

Liang Pay. Buat layani tiga sampai empat-puluh musuh masih leluasa, apa- pula akan hadapi satu orang. Biasanya tak sembarangan Ngo Tjouw gunai baris- annya ini, ia kuatir orang lihat dan menirunya, sekarang terpaksa mereka pakai karena Sin Tjie terlalu tangguh untuk mereka, sehingga mereka tak kuatir nanti ditertawai orang banyak

berkelahi dirumah sendiri secara me- ngeroyok. "Kau keluarkan emas itu!" akhirnya Beng Tat titahkan Tjeng Tjeng.

Nona ini sangat menyesal, Jikalau ia tahu bakal jadi begini rupa, pasti dari siang-siang ia sudah kembalikan emas itu. Ia tidak berani bantah yaya itu, terpaksa ia pergi ambil bungkusan emas itu, diletaki diatas meja dalam ruang itu. "Jangan letaki secara demikian," kata Oen Beng San. "Tjheng, kau atur berdiri semua emas itu, bikin menjadi peta!"

Oen Tjheng menyahuti, ia ambil bung- kusan emas itu, akan sepotong demi sepotong dia letaki di lantai, diatur semacam gambar Thay-kek (dunia bundar), hingga diluar itu, seputarnya, merupa- kan pat-kwa. "Mari!" berseru lima sau- dara One begitu lekas sepuluh potong emas itu selesai diatur, mereka lantas bergerak, senjata mereka pun lalu dihu- nus. Sin Tjie sambut tantangan itu, akan tetapi disaat ia hendak mulai lompat maju, sekonyong-konyong terde- ngar suara tertawa ber-gelak-gelak diatas rumah, disusul dengan kata:

"Orang-orang tua dari keluarga Oen! Aku Eng Tjay datang berkunjung untuk menanggung dosa!"

Lima saudara Oen terkejut. "Silakan turun!" mereka mengundang. Menyusul undangan itu, belasan orang lompat turun dengan saling susul dari atas

genteng ruangan latihan silat itu, sesuatu orangnya tak rata tubuhnya, ada yang tinggi, ada yang kate, tetapi yang bertindak dimuka adalah Eng Tjay, pang- tjoe atau ketua dari partai Liong Yoe Pang. Justru itu Sin Tjie berpaling kepada Tjeng Tjeng. Ia tampak, biarpun si nona mencoba menenangkan diri, pada wajahnya ada ketegangan. Oen Beng Tat sudah lantas tanya tetamunya yang tak diundang itu. "Lao Eng, sahabatku, tengah malam buta-rata kau berkunjung kegubukku ini, apakah maksudmu? Lu Djie Sianseng dari Hong-gam juga turut datang bersama!"

Sembari mengucap, Toa-yaya ini rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat kepada satu orang yang berada dibela- kang Eng Tjay. Orang itu dandan sebagai seorang mahasiswa, usianya pertengahan.

Eng Tjay tidak jawab pertanyaan, atau teguran itu, hanya dia kata: "Oen Loo- ya-tjoe, kau berbahagia sekali! Kau telah dapatkan seorang cucu perempuan yang ilmu silatnya sempurna, yang otak- nya cerdas sekali, tidak saja See Loo- toa kami serta belasan saudara lainnya rubuh ditangannya, malah aku sendiri si tua-bangka turut mendapat malu juga!.."

Beng Tat heran. Memang dia dan saudara- saudaranya belum tahu hal bentrokan di- antara Tjeng Tjeng dan rombongan dari Liong Yoe Pang itu. Yang pasti adalah, diantara Tjio Liang Pay dan Liong Yoe Pang, ada pergaulan. Dimana sekarang mereka lagi menghadapi lawan tangguh, Ngo Tjouw tidak inginkan keruwetan baru. "Lao Eng, apakah yang diperbuat cucu kami terhadapmu?" Beng Tat tanya dengan sabar. "Tidak nanti kami melin- dungi pihak yang bersalah. Siapa bunuh orang, dia berhutang jiwa, siapa berhu- tang uang, dia mesti membayar dengan uang juga! Tidakkah demikian?"

Ketua dari Liong Yoe Pang itu melengak.

"Heran!" pikirnya. "Kenapa tua bangka ini yang biasa tekebur sekali hari ini jadi begini pandai omong? Mustahil dia jeri terhadap Lu Djie sianseng sampai begini macam jerinya?"

Tapi segera juga ia tampak Sin Tjie diantara rombongan tuan rumah itu, ia jadi bertambah-tambah heran. Maka ia kembali berpikir. "Tua bangka ini mempunyai pembantu yang liehay sekali, mungkin Lu Djie sianseng juga tak nanti sanggup lawan dia. Baiklah aku lihat selatan untuk menyimpan lajar...."

Maka ia lantas menyahut dengan tenang: "Kami dari Liong Yoe Pang belum pernah

bentrok dengan pihakmu, maka itu dengan memandang kepada kamu lima saudara,

sukalah aku bikin habis kematian See Loo Toa, anggap saja dia mesti sesalkan

kepandaiannya sendiri yang cetek, mela- inkan mengenai emas itu...." Dia menya- pu dengan matanya kepada sepuluh potong emas dilantai, lalu dia melanjuti: "Kami telah mengikuti jalanan jauhnya beberapa ratus lie, kami telah bercape- lelah dan bercape-hati, buang ongkos juga, malah ada orang kami yang sampai mengantari jiwanya, semua itu adalah

usaha kami untuk hidup dalam dunia kang-ouw...." Eng Tjay berhenti sampai disitu. Oen Beng Tat heran, ia mengawasi. Segera hatinya menjadi lebih tenteram. Teranglah sudah, Eng Tjay da- tang bukan untuk pembalasan hanya guna emas itu. "Semua emas itu ada disini, jikalau kau menginginkannya, pergilah ambil, tidak ada halangannya," berkata dia. Eng Tjay heran hingga ia menatap wajah tuan rumahnya. Kenapa ketua Tjio Liang Pay itu jadi demikian baik budi? Ia tadinya mau menyangka orang hendak mengejek padanya, tetapi ia dapati air muka tenang dan biasa, tidak ada baja- ngan kepalsuan. Maka ia kata: "Oen Toaya, jikalau kau sudi memberikannya separuh saja dari jumlah itu, untuk kami pakai menunjang korban-korban yang terbinasa dan terluka, bukan main ber- terima kasihnya aku...."

"Silakan kau ambil sendiri," Beng Tat berikan persetujuannya. Eng Tjay angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.

"Terima kasih!" ujarnya, terus ia mem- beri tanda kepada orangnya, maka dua orang segera maju kearah emas, mereka ini membungkuk untuk jumput potongan- potongan emas itu. Akan tetapi, Baru tangan mereka raba emas atau mereka telah rasai pundak mereka masing-masing ada yang tolak dengan pelahan, atas mana tubuh mereka jadi terdorong kebe- lakang, hingga mereka mesti mundur beberapa tindak, kalau tidak, tentu mereka rubuh. Lekas-lekas mereka angkat muka, akan memandang, maka tampaklah mereka Sin Tjie berdiri didepan mereka.

Dengan tenang, pemuda ini segera berka- ta kepada ketua Liong Yoe Pang: "Eng Loo-ya-tjoe, emas ini adalah uang be- lanja tentaranya Giam Ong, maka jika- lau kau ambil, pastilah itu kurang sempurna!"

Nama Giam Ong di utara ada menggetar- kan, adalah di Selatan, kaum kang-ouw tak terlalu memperdulikannya, maka itu, Eng Tjay lantas menoleh pada Lu Djie Sianseng. "Lihat, dia sebut-sebut nama Giam Ong untuk gertak kita!" katanya sambil tertawa. Lu Djie Sianseng itu ada menyekal sebatang hoentjwee yang besar, dia menyedot satu kali, dia kebulkan asapnya, dia ulangi dan ulangi itu, gerak-geriknya ada tenang sekali.

Sebelum jawab ketua Liong Yoe Pang itu, ia melirik pada si anak muda, ia mena- tapnya. Sin Tjie dapat kenyataan, tenang dia ada, mahasiswa itu tapinya ada angkuh atau agung-agungan, dari itu tak puaslah hatinya. Kapan ia lihat sinar matanya, dan kulit mukanya yang bersemu dadu, ia percaya dia mestinya ada seorang kang-ouw kenamaan, mungkin

dia mempunyai kepandaian istimewa kare- nanya, tak berani ia memandang enteng. Malah ia lantas saja menjura. "Apakah tjianpwee she Lu?" tanya ia. "Aku yang muda Baru kali ini mulai berkelana, dari itu maafkanlah aku tidak kenal tjianpwee..." Lu Djie Sianseng kepulkan pula asap hoentjweenya, sekali ini te- pat kearah muka si anak muda, kemudian kapan ia menyedot lagi, ia keluarkan asapnya diantara kedua lobang hidung- nya. Maka bagaikan sepasang naga meli- lit, asap itu bergulung-gulung mela- yang.... Sin Tjie tidak murka karena lagak orang itu, tidak demikian dengan Tjeng Tjeng, yang hatinya panas, hingga mau ia mene- gurnya. Tapi Oen Gie lihat sikap pute- rinya, dia tekan pundaknya. Tjeng Tjeng menoleh dengan cepat, ia lihat ibunya menggeleng-geleng kepala dengan pela- han. Ia mengerti cegah- annya sang ibu, ia terpaksa telan pula kemendongkolan- nya. Lu Djie Sianseng ketruk-ketruki hoentjweenya, akan buang bersih sisa-sisa abu dan tembakau, lalu dengan pelahan-lahan, ia mengisi pula. Juga Ngo Tjouw nampaknya tak sabaran meng-awasi tingkah-laku dibuat-buat itu, akan tetapi mereka tahu, mahasiswa ini adalah seorang kang-ouw kenamaan selama beberapa puluh tahun, sebisa- bisa mereka kendalikan diri. Mereka pernah dengar bagaimana dengan ilmu silatnya Hoo Koen, koentauw burung Hoo, Lu Djie Sianseng tidak punyakan tan- dingan di Selatan dan Utara Sungai Be- sar, sedang hoentjwee itu adalah senja- tanya yang istimewa, senjata mana sela- in bisa dipakai menotok jalan darah juga bisa dibuat menggaet senjata la- wan. Namun mereka belum pernah saksikan sendiri kegagahannya. Maka mengharap- haraplah mereka yang jago itu nanti bentrok sama Sin Tjie, sukur kalau si anak muda kena dipecundangi, dengan begitu, pekerjaan mereka akan jadi lebih ringan. Lu Djie Sianseng keluar- kan tekesan api dari sakunya, ia menekes-nekes, akan tetapi ia masih tidak hendak lantas sulut hoentjweenya itu. Selagi jago Hoo Koen itu ayal- ayalan, tiba-tiba diatas genteng muncul seorang lain, malah dia ini segera berseru: "Kembalikan emasku!" Menyusul itu seorang perempuan muda loncat turun. Tetapi dia tidak bersendirian, dia segera diikut oleh seorang muda yang sifatnya kasar, di- belakang siapa ada lagi seorang usia pertengahan, umur lima puluh tahun lebih, yang dandan sebagai seorang dagang, tangan kirinya memegang shoei- phoa, tangan kanannya menyekal sebatang pit, sedang romannya lucu.... Sin Tjie kenali Siauw Hoei, ia girang berbareng kaget, ia kuatir juga. Ia girang karena datangnya bala-bantu- an, melainkan ia belum tahu, bagaimana dengan kepandaiannya dua kawan dari nona An itu. Dilain pihak, ia berkuatir untuk Oen Gie dan Tjeng Tjeng. Dipihak

sana, ialah Tjio Liang Pay, ada pula Liong Yoe Pang, itu artinya ia mengha- dap dua lawan tangguh. Ia mesti bela diri, ia pun perlu lindungi ibu dan gadisnya. Atau kalau kawan-kawannya Siauw Hoei lemah sebagai si nona sendiri, ia pun sibuki mereka itu....

Suasana sungguh-sungguh tidak menggem- birakan pemuda ini. Itu waktu dari pihak Tjio Liang Pay sudah lantas ada yang maju untuk rintangi Siauw Hoei,

yang mereka tegur. "Lekas kembalikan emasnya tuan-tuan besarmu!" kata si anak muda yang romannya kasar itu seraya terus saja membungkuk, akan jumput emas dilantai itu. Sin Tjie kerutkan alis mengawasi kesembro- noannya. "Dia begini sembrono, tentu dia tak dapat diharap," pikirnya.

Oen Lam Yang lihat orang hendak jumput uang, ia ayun kakinya untuk tendang tangannya si anak muda. "Tjoei Soeko, awas!" Siauw Hoei berseru. Ia lihat gerakan si orang she Oen itu. Walaupun ia sembrono, pemuda itu tapinya awas dan sebat. Ia berkelit kesamping, untuk

elakkan tendangan, setelah itu sambil merangsak, ia balas menyerang, dengan dua tangan berbareng. Oen Lam Yang tidak sudi mengalah, ia keluarkan dua-dua tangannya, untuk menangkis,

hingga empat tangan bentrok, setelah mana, keduanya terdampar mundur sendirinya sampai beberapa tindak.

Si anak muda penasaran, ia maju pula.

"Hie Bin, tahan!" berseru kawannya yang mirip saudagar. Sekarang Sin Tjie ingat kepada kawannya Siauw Hoei, dengan siapa si nona sama-sama mengantar emas itu. Bukankah Siauw Hoei bilang, sebab ia berpisah dari sang kawan, emas jadi kena disambar Tjeng Tjeng? Anak muda sembrono itu jadinya ada Giok-bin Kim-

kong Tjoei Hie Bin, keponakan Tjoei Tjioe San. Karena itu, apa mungkin si orang dagang ada toasoehengnya sendiri, Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Tjin? Maka ia lantas awasi senjata ditangannya orang dagang itu. Itulah sebatang pit yang bergemirlapan, maka tak salah lagi, pit terbuat dari tembaga tulen. Karena ia tidak bersangsi pula, dengan gembira ia maju kepada si orang dagang itu, ia mendekati sambil berlompat, tanpa siasiakan tempo lagi, ia tekuk lututnya sambil manggut. "Toasoeheng, terimalah hormatnya siauwtee Wan Sin Tjie!" katanya. Saudagar itu ulur kedua tangannya untuk mengangkat bangun, ia awasi anak muda ini, lantas saja ia jadi girang sangat. "Oh, soetee!" katanya. "Kau masih begini muda? Sungguh tak disangka-sangka olehku

kita dapat bertemu disini!" Siauw Hoei maju selagi orang bicara. "Engko Sin Tjie, itulah dia Tjoei Soeko!" ia perkenalkan si anak muda sembrono. Sin Tjie menoleh pada si anak muda, ia manggut. Siauw Hoei lihat bebokongnya pemuda she Wan itu ketem- pelan rumput kering, ia ulurkan tangan- nya akan kepriki itu pelahan-lahan. Atas ini Sin Tjie bersenyum, tanda terima kasihnya. Hie Bin lihat kelakuan pemudi dan pemuda itu, ia tak puas. "Eh, Hie Bin, kenapa kau tidak tahu aturan?" tiba-tiba Oey Tjin tegur muridnya itu. "Lekas kau kasi hormat pada soesiokmu ini!" Kembali orang she Tjoei itu tak puas. Bukankah Sin Tjie lebih muda daripada- nya? Maka ia menghampirkan dengan tindakan pelahan, dengan ayal- ayalan juga ia hendak paykoei. "Jangan, jangan, tak usah!" Sin Tjie lekas-lekas mencegah, ia menghalangi dengan kedua tangannya. Hie Bin batal berlutut, ia menjura saja. "Siauw- soesiok!" ia memanggil. Ia membahasakan "Siauw- soesiok" atau paman kecil. "Apa sih siauw soesiok toa-soesiok?" Oey Tjin menegur pula. "Biarpun kau ter- lebih tua, soesiok tetap terlebih tua ting- katnya!" Sin Tjie tertawa pada soe-tit itu, atau "murid keponakan". "Panggil saja aku siok-siok!" katanya dengan manis. "Siok-siok baik.....?" kata Hie Bin. Lu Djie Sianseng mesti menonton saja orang menjalankan tata-hormat soetee dengan soeheng dan soe-tit dengan soesiok, kalau tadi dia yang membuat orang tak sabaran, sekarang dialah yang habis sabarnya sendiri. Dia anggap orang seperti tak pandang mata

sekali kepadanya. Maka juga kedua matanya lantas mencilak. "Kamu semua orang-orang apa?" tegur ia dengan jumawa. Teguran ini membuat orang kaget. Bahwa sekarang ia buka mulut, kiranya ia mempunyai suara yang nyaring sekali, seperti suara burung hantu yang menciutkan nyali. Suara itu pun tajam sekali. Akan tetapi Hie Bin tidak takut. Dia maju satu tindak. "Emas ini ada emas kami!" kata dia. "Emas ini telah kena kamu curi! Guruku telah ajak aku kemari untuk mengambilnya kembali!"

Lu Djie Sianseng tidak segera menjawab, sambil dongak kewuwungan, ia kebul- kebul-kan asap hoentjweenya. "Hm! Hm!" dia perdengarkan tertawa dingin. Hie Bin mendongkol atas lagak orang itu.

"Sebenarnya emas ini hendak kau pulang- kan atau tidak?" ia tegaskan. "Jikalau kau tidak dapat mengambil putusan, hayo titahkan maju orang yang berhaknya!"

Lu Djie Sianseng tertawa dua kali, suara tertawanya pun aneh. Kemudian ia menoleh pada Eng Tjay, untuk kata de- ngan jumawa: "Kau beritahukan bocah ini, siapa adanya aku!" Eng Tjay turut titah itu. "Inilah Lu Djie Sianseng yang termashyur namanya!" katanya. "Kau jangan kaget! Kau masih muda sekali, jangan kau tidak tahu adat!" Tentu sekali Hie Bin tidak kenal Lu Djie Sianseng ini. "Aku tidak perduli entah dia sianseng apa!" katanya dengan men- delu dan sikap memandang enteng. "Kami datang untuk ambil pulang emas kami!" Tiba-tiba maju pula Oen Lam Yang, yang hatinya masih panas. "Ambil kembali emas? Tak demikian gampang!" ia meng- ejek. "Jikalau kau ada punya kepandai- an, mari layani aku dahulu, Baru kita bicara pula!" Orang she Oen ini menan- tang, akan tetapi belum dia sampai da- pat jawaban, tangannya sudah melayang. Itulah serangan tidak di-sangka-sangka, maka pundaknya Hie Bin terhajar bogem- mentah. Dia jadi sangat gusar, dia se- gera menyerang, untuk membalas. Tangan kirinya menyambar cepat sekali. Serang- an ini mengenai perut, hingga Lam Yang merasai sakit. Buat sedetik, kedua mundur, akan saling mengawasi dengan mata mendelik, habis itu, mereka sama- sama maju pula, akan mulai bertempur.

Segera juga terdengar suara dakduk atau bakbuk beberapa kali. Itulah suara dari kepalan yang mampir dikepala atau tubuh masing-masing. Mereka berkelahi dengan sengit sekali, sampai mereka alpa de- ngan pembelaan diri, dari itu, kepalan masing-masing dapat mengenai sasaran- nya. Sin Tjie saksikan perkelahian itu, diam-diam ia menghela napas. "Kenapa muridnya Toasoeheng begini tak punya guna?" pikir dia. "Jikalau dia hadapi

musuh tangguh, dengan satu dua tonjokan saja dia tentu sudah tak tahan...Apakah

mungkin Tjoei Siokhoe juga tidak pernah berikan dia suatu pengunjukan?" Hie Bin itu djudjur, cuma adatnya keras dan sembrono, karena itu, biarnya dia bela- jar silat, perhatiannya kurang. Dua bagian saja dari kepandaiannya Oey Tjin, belum ia dapatkan. Cuma karena bertubuh kuat yang membikin ia sanggup pertahankan diri dari beberapa tonjok- an. Tetapi ia berkelahi dengan hebat.

Kemudian datanglah saatnya pertempuran berakhir. Dengan kepalan kanan, Hie Bin

mengancam. Lam Yang berkelit kekanan. Dengan cepat luar biasa, tangan kiri Hie Bin menyambar. Serangan ini tidak dapat dielakkan Lam Yang, dia kena di- hajar keras, menyusul suara tonjokan, tubuhnya yang besar rubuh terbanting, hingga dia pingsan. Kemenangan ini mem- bikin Hie Bin girang sekali, dengan bangga ia menoleh kearah gurunya, ia harap gurunya nanti puji padanya. Di- luar harapan, ia dapati sang guru merah

wajahnya karena murka, hingga ia jadi heran. "Aku menang, kenapa soehoe gu- sari aku?" pikir dia. Siauw Hoei ham- pirkan kakak seperguruan itu, muka si- apa bengap dan kuping kanannya berda- rah, dengan sapu tangannya, dia menyu- suti. "Kenapa kau tidak kelit sesuatu pukulannya?" nona ini kata dengan pe- lahan. "Kenapa kau melawan dengan keras saja?"

"Untuk apa berkelit?" Hie Bin jawab. "Dengan main berkelit, tidak nanti aku berhasil menghajar dia!"

Tiba-tiba terdengar suara hebat dari Lu Djie Sianseng. "Jangan kau berjumawa karena kau dapat rubuhkan satu lawan!" kata orang dengan dandanan mahasiswa itu. "Kau inginkan emas?"

Sekonyong-konyong dia berlompat, kedua kakinya diletaki atas dua potong emas, sedang hoentjweenya ditekankan kesepo- tong emas lainnya. "Tidak perduli kau menjotos atau mendupak," katanya," asal kau mampu geser emas ini dari kakiku, kau boleh ambil semua!"

Para hadirin melengak atas kata-kata ini, melengak karena Lu Djie sianseng terlalu jumawa. Hie Bin jadi mendongkol sekali. "Jangan kau menyesal!" katanya dengan sengit. Lu Djie Sianseng tertawa besar sambil melengak. "Kau dengar, dia kuatir aku menyesal!" katanya kepada Eng Tjay, tetap dia dengan sikapnya yang jumawa itu. Eng Tjay menjawab ha- nya dengan tertawa kering. "Baik, aku nanti coba!" berseru Hie Bin. Orang semberono ini lompat tiga tindak, hing- ga ia datang dekat pada si tekebur itu, lantas dia ayun kaki kanannya dan me- nyapu kearah potongan emas yang ditekan hoentjwee. Dimatanya Sin Tjie, tendang- an itu ada tendangan berat dua-tiga ratus kati. Ia percaya, tidak perduli bagaimana kuatnya Lu Djie Sianseng, emas itu mesti kena tergeser, kecuali

dia itu gunai ilmu gaib. Maka ingin ia menyaksikan kesudahan pertaruhan itu.

Disaat kakinya Hie Bin sampai, belum sampai potongan emas kena ditendang, tiba-tiba, dengan sebat sekali, Lu Djie Sianseng angkat hoentjweenya, dipakai memapaki kaki dengan ujung hoentjwee itu, tepat mengenai dengkul. Dengan mendadakan Hie Bin rasai kakinya itu kaku dan tak bertenaga, tidak ampun lagi, dengkulnya tertekuk, hingga dia rubuh dengan berlutut! Lu Djie sianseng segera rangkap kedua tangannya, berulang-ulang ia tertawa besar sambil ia berkata: "Ah, jangan, tak sanggup aku terima!" Dia memberi hormat untuk tampik kehor- matan. Dia anggap Hie Bin berlutut untuk beri kehormatan padanya! Itulah sebenarnya suatu penghinaan. Siauw Hoei terperanjat, dia lari pada Hie Bin, untuk kasih bangun pemuda itu, buat dipepayang sampai didepannya Oey Tjin. "Oey soepeh, dia main gila, lekas soepeh ajar adat padanya!" nona ini minta. Dalam gusarnya, Hie Bin mendam- prat: "Kau gunai akal busuk! Kau bukan- nya satu hoohan!" Oey Tjin menotok pada pinggang muridnya, lalu pada pahanya, sembari berbuat demikian, dia kata dengan pelahan : "Apa lain kali kau berani pula berlaku semberono begini?"

Murid itu berdiam, hatinya bersyukur.

Lu Djie Sianseng tercengang kapan ia saksikan korbannya dapat ditolong secara demikian cepat. Ia tidak me- ngerti kenapa ditempat begini sepi sebagai Tjio-liang ada ahli ilmu totok

yang demikian liehay. Selagi orang berdiam, Oey Tjin ketek shoeiphoanya.

"Perhitungan ini telah dimasuki buku!" kata dia. Lalu dia geraki tangan kanannya, yang menyekal pit. Terang dia hendak maju, untuk cuci malu muridnya.

Sin Tjie lihat sikap Toa-soeheng itu, dia berpikir: "Dia adalah murid kepala dari Hoa San Pay, aku adalah soeteenya maka sudah selayaknya aku mesti men- dului maju!" Maka ia lantas berseru: "Toa-soeheng, biar siauwtee yang maju lebih dulu! Jikalau aku tidak berhasil, Baru soeheng yang menggantikan!"

"Soetee, baik aku saja yang maju," jawab Oey Tjin dengan pelahan. Soeheng ini ragu-ragu untuk ijinkan adik seper- guruan itu wakilkan dia. Soetee ini masih terlalu muda, meskipun gurunya telah berikan pelajaran sempurna, ia kuatir sang soetee kurang latihan, kurang pengalaman, hingga ia kuatir, soetee ini bukan tandingan Lu Djie Sianseng yang liehay itu. Dia pun percaya, dengan terima murid terakhir itu, yang masih "kecil", tentunya sang guru sangat sayangi murid bungsu itu, apabila karena pertempuran ini Sin Tjie terluka, gurunya tentu berduka, dia bakal ditegur, dia bakal malu  sendiri- nya. Kalau tadi dia antapkan Hie Bin maju, itulah sekalian untuk beri ajaran pada murid semberono ini agar ia selan- jutnya bisa berhati-hati. Dia harap Hie Bin insyaf dan nanti belajar lebih jauh dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi Sin Tjie tidak mau mengerti. "Toasoeheng," katanya dengan pelahan juga," dipihak mereka ada banyak orang liehay, sedang lima orang tua itu mempunyai barisan Ngo-heng-tin yang berbahaya sekali,

mungkin sebentar bakal terjadi pertem- puran dahsyat. Soeheng sebagai kepala perang, maka biar siauwtee yang maju lebih dulu." Oey Tjin kagum untuk soetee ini, yang tahu aturan, yang hendak menghormati kakak seperguruan. Ia juga lihat kesungguan hati soetee itu. "Baik, soetee," kata ia akhirnya. "Harap kau hati-hati." Sin Tjie manggut pada soeheng itu, lalu ia memutar tubuh, untuk hampirkan Lu Djie Sianseng. "Aku juga hendak menendang emas ini, apa boleh?" dia tanya ahli silat Hoo Koen itu. Ia bersikap tenang sekali. Lu Djie Sianseng dan kawan- kawannya dari Liong Yoe Pang heran. Barusan si anak muda bertubuh kekar dan semberono tekah dapat ajaran getir, kenapa sekarang ada pemuda lain yang tidak tahu mampus? Melihat orang jauh terlebih muda daripada Hie Bin, Lu Djie Sianseng makin memandang rendah. "Baik," sahut dia. "Ingin aku jelaskan dahulu, jikalau nanti kau jalankan kehormatan besar kepadaku, tak berani aku terima itu!" Kata-kata yang terak- hir ini mengandung ejekan. Habis itu, jago Hoo Koen itu tekan emas dengan hoentjweenya. Sin Tjie ambil sikap sama seperti Hie Bin, dia maju tiga tindak, lantas dia angkat kakinya yang kanan, untuk menyapu. Hie Bin menonton, dia kaget, dia menjerit: "Siauw-soesiok, jangan! Dia nanti totok kakimu!"

Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay seba- liknya tak mengerti. Dia tahu pemuda ini liehay, akan tetapi cara sapuannya itu semberono. Maka mereka menduga, apa mungkin pemuda ini mengerti ilmu meng- hentikan jalan darahnya hingga dia tak jeri untuk ditotok?

Bab 9

Semua mata ditujukan kepada Sin Tjie, kearah kakinya. Malah Oey Tjin sudah bersiap, andaikata Lu Djie Sianseng kembali totok dengkul orang, dia hendak turun tangan guna bantu soetee itu, se- sudah mana, mau dia terus serang musuh jumawa itu. Selagi kakinya Sin Tjie bergerak maju, cepat luar biasa, Lu Djie Sianseng pun geraki  hoentjweenya untuk dipakai menyerang, seperti tadi dia totok dengkulnya Hie Bin. Akan

tetapi si anak muda ini cuma mengger- tak, selagi tangannya si mahasiswa bergerak, dia pun segera tarik pulang kakinya itu, dengan begitu totokan Lu Djie Sianseng mengenai sasaran kosong. Justru disaat itu pemuda kita menyapu pula dengan kaki kirinya itu, yang

tadi ia tekuk balik, maka sekejab saja, emas potongan itu kena tersempar.

Sampai disitu, Sin Tjie tidak lantas berhenti. Sebaliknya, dia bergerak terus. Kembali kaki kanannya menyambar.

Lu Djie Sianseng menjadi mendongkol sekali, dia totok bebokong orang.

Sin Tjie egos tubuh kekanan, sambil membungkuk, sembari berbuat demikian, tangan kirinya menyambar. Ia berhasil menyampok kekanan kepada emas itu disaat kakinya Lu Djie Sianseng di- angkat, karena untuk totok si anak muda, ia mesti bergerak. Bergerak terlebih jauh, Sin Tjie kerjakan kaki kirinya. Ia mendahului, akan gunai ketika selagi tubuh lawan itu digeser, kakinya diangkat. Ini kali pun ia ber- hasil karena emas tersempar, disambut oleh tangan kanannya. Dalam tempo yang pendek, tiga potong emas tersimpan dalam tangan baju yang kanan dari anak muda ini, sesudah mana ia berdiri dengan tenang. "Aku hendak ambil semua emas ini," berkata dia. "Lu Lootjianpwee toh menetapkan janji?"

Kata-kata ini ditutup dengan satu gerakan yang sebat, selagi orang tunggui jawabannya sianseng itu, sedangnya si sianseng sendiri belum sempat menjawabnya. Semua orang kagum, karena tahu-tahu Sin Tjie sudah kan- tongi semuanya sepuluh potong emas itu, malah orang-orang Liong Yoe Pang dan Tjio Liang Pay serukan pujian mereka

tanpa merasa. Mukanya Lu Djie Sianseng jadi merah-padam, tanpa bilang suatu apa tangan kirinya lantas melayang, menyambar si anak muda, menyusul mana, kaki kanannya menjejak ugal-ugalan kaki Sin Tjie. Inilah serangan istimewa menurut ilmu silat Hoo Koen. Sin Tjie berkelit dari dua-dua serangan itu, kapan ia lantas didesak, ia cepat mundur. Ia lihat lawan itu geraki kedua tangannya, kedua kakinya, tubuhnya dipasang mendak, dibangunkan berdiri. Itulah gerakannya burung hoo menyambar- nyambar. Menghadapi ilmu silat lawan yang luar biasa itu, Sin Tjie tidak berani rapatkan diri, ia main berputar- an, untuk setiap kali menyingkir. Secara begini, diam-diam ia bisa perha- tikan sesuatu serangan atau gerakan lawan itu. Makin hebat ia diserang, makin cepat ia luputkan diri. Lu Djie Sianseng lihat orang selalu menyingkir, tak berani lawan dekati dia, dia percaya, bocah itu cuma gesit tubuhnya, kepandaian silatnya tidak seberapa, dengan sendirinya, dia jadi memandang enteng, hingga sembari berkelahi, dia tertawa ter-bahak-bahak. Lupa dia bagaimana tadi emasnya telah disambar dengan kecepatan istimewa. Begitulah dia gunai kesempatan untuk sedot hoentjweenya, akan kepulkan asapnya.

Selama ber-putar-putar, Sin Tjie mulai mengerti ilmu silat lawan itu, dari itu ia girang sekali menonton kejumawaan lawan, bertempur sambil sedot hoentjwee dan kepulkan asap. Secara mendadak dia merangsak mendekati, tangan kirinya diulur kebatang hidung lawan kepala besar itu, untuk disampok. Lu Djie Sianseng terperanjat. Inilah serangan yang ia tidak sangka-sangka. Tapi ia tidak mau berlaku ayal-ayalan, sambil kelit hidungnya, ia pun menangkis dengan hoentjweenya, yang ia lekas- lekas geraki dari bawah keatas. Sin Tjie tidak singkirkan kepalannya dari serangan hoentjwee itu, ia buka kepalannya, ia sambuti senjata lawan itu dengan satu sambaran, untuk menye- kal. Oleh karena Lu Djie Sianseng sedang menyerang, tak sempat ia tarik pulang hoentjweenya itu. Ia kaget, segera ia menarik dengan keras.

Inilah apa yang Sin Tjie duga. Selagi si sianseng menarik dengan keras, untuk mana dia pakai kedua tangannya, dia bikin iga kanannya kosong. Ketika yang baik ini tidak disiasiakan lagi oleh si anak muda. Sebat luar biasa, ia menotok ke jalan darah thian-hoe-hiat. Lu Djie Sianseng terkejut sesudah kasip, tahu- tahu dia rasai tubuhnya sebelah kanan

gemetar dan habis tenaganya, hingga hoentjweenya terlepas diluar keingin- annya. Selagi begitu, Sin Tjie lihat Tjeng Tjeng tertawa hihi-hihi. Ia senang lihat si nona bergirang, lan- tas saja ia sodorkan hoentjwee kearah mulutnya lawan itu. Tapi yang ia so- dorkan bukan ujung hoentjwee piranti menyedot, hanya ujung tempat tembakau, yang apinya sedang menyala, sebab Baru saja tadi disedot pemiliknya. Lu Djie Sianseng sedang tercengang, ia kaget ketika api membakar kumisnya, sampai

mengeluarkan asap. "Soetee, jangan bersenda-gurau!" Oey Tjin teriaki adik seperguruan itu. Diam-diam ia kagumi keliehayan soetee itu. Sin Tjie tarik pulang ujung hoentjwee, untuk ditiup apinya, tapi justru karena ini, sebab ia meniup dengan keras, api meletik berhamburan, abu tembakau turut terbang juga, hingga antaranya ada api yang menyambar muka Lu Djie Sianseng.

Menampak demikian, Oey Tjin lompat kearah orang she Lu itu. Tak dapat ia tak tertawa memandang kejadian lucu itu, akan tetapi lekas-lekas ia totok jalan darahnya si lawan, yang sudah tidak berdaya disebabkan totokannya Sin Tjie. Disebelah itu, ia sambar hoentjwee dari tangan Sin Tjie, untuk dikembalikan pada pemiliknya, ia jejal- kan ditangannya dia itu. Lu Djie Sianseng masih tercengang ketika ia lihat semua orang memandang dia sambil

tertawa, tidak tempo lagi, dia lempar- kan hoentjweenya, lantas dia memutar tubuh, untuk lari pergi. Eng Tjay memburu kawan itu, yang ia sambar tangan bajunya, untuk ditarik, buat dicegah kepergiannya, akan tetapi Lu Djie Sianseng tolak dia hingga dia terpelanting terhuyung-huyung. Tak hentikan tindakannya, kawan itu lari terus sehingga dilain saat dia sudah

menghilang. Pihak Tjio Liang Pay saksikan liehaynya Sin Tjie, mereka kagum tetapi tidak kaget, memang mereka tahu pemuda ini tak dapat dibuat perma- inan, tidak demikian pandangannya pihak Liong Yoe Pang. Mereka ini pandang jagonya - Lu Djie Sianseng- bagaikan malaikat, tidak tahunya sekarang, satu bocah permainkan dia mirip sebagai anak

kecil. Oey Tjin sendiri kagumi soetee itu, akan tetapi dia bukan melainkan kagum saja, berbareng ia heran. Soetee itu menotok jalan darah. Ia tahu itu. Itulah totokan "It-tjie-sian" atau "Satu Jeriji" dari Hoa San Pay. Yang aneh adalah caranya Sin Tjie berkelit, berputar-putar, demikian juga caranya dia kower emas untuk dilemparkan masuk kedalam saku baju. Itulah pelajaran yang ia tidak pernah dapatkan dari gurunya. "Tidak mungkin soehoe sayangi ini murid bungsu dan karenanya dia diajarkan ilmu yang ber-beda-beda," pikir ia. Itu adalah gerakan yang berlainan sekali dengan semua gerakan

ilmu silat Hoa San Pay. Hie Bin adalah yang merasa paling aneh, karena ia tidak sempat lihat bergeraknya tangan

si anak muda, si paman cilik itu. Dan Tjeng Tjeng dan Siauw Hoei, mereka tertawa haha-hihi hingga mereka merasai perut mereka mulas tanpa sakit, saking lucunya pemandangan barusan itu.

Oey Tjin ketek pula shoeiphoa, terus dia kata: "Tadi telah dijanjikan, kalau tiga potong emas yang diinjak dan ditindih dapat digeser, semua emas itu akan dikembalikan kepada kami, maka itu disini aku haturkan banyak-banyak terima kasih!" Ia terus saja beri hormat, lalu ia titahkan Hie Bin : "Punguti semua emas itu!" Memang, selagi Sin Tjie hendak layani Lu Djie Sianseng, semua potongan emas telah

dikeluarkan dari dalam tangan bajunya.

Eng Tjay saksikan Hie Bin hendak pungut uang, kedua matanya bersinar diantara

berkilauannya emas itu. Mana ia rela membiarkan harta itu terjatuh kedalam tangan lain orang? Maka ia maju untuk terus tolak tubuhnya Hie Bin, hingga dia ini mundur dengan sempoyongan.

"Eh, apa kau mau?" tanya Hie Bin, de- ngan gusar. "Apa kau juga hendak coba- coba?" Menampak demikian, Oey Tjin maju. "Hie Bin, mundur!" ia serukan. Terus ia kasi hormat pada Eng Tjay, pada siapa, sambil tertawa, ia bilang : "Selamat berbahagia! Tuan, tokomu itu apa mereknya? Tuan biasanya berdagang apa? Pasti sekali kau peroleh kemajuan hingga meluas keempat penjuru lautan

dan hartamu berjumlah besar sampai memenuhi tiga sungai!"

Oey Tjin ini memang asal saudagar, dia adalah seorang jenaka, maka itu sekali- pun sedang menghadapi pertempuran, dia masih sempat ngoceh tidak keruan.

"Siapa bergurau denganmu?" Eng Tjay membentak dengan murka. "Aku adalah Eng Tjay, ketua dari Liong Yoe Pang. Aku masih belum belajar kenal dengan she dan namamu, tuan?"

"Sheku yang rendah ada Oey dan namaku melainkan satu huruf Tjin," sahut toasoeheng dari Sin Tjie. "Itulah huruf Tjin yang berarti 'tulen', tulen yang tidak ada keduanya. Harga barang- barangku adalah harga tetap tulen, hingga barang seharga satu tail tidak nanti aku jual dengan satu tail satu boen, sedang pembeli anak kecil dan tua, tidak nanti aku perdayakan! Tuan berdagang apa, sukakah kau membantu dengan berhubungan denganku?"

Eng Tjay sebal dengan ocehan itu, ia jadi semakin mendongkol dan gusar.

"Ambil senjataku!" dia berseru kepada rombongannya. Lantas salah satu orang- nya bawakan tumbaknya yang besar, ia sambuti itu, untuk segera ditarik kebe- lakang, lalu diteruskan menikam orang didepannya. Oey Tjin lompat berkelit kekiri. "Ayo!" dia berseru. "Kami orang dagang, emas itu tak suka kami tidak mendapatkannya!" Dia lantas simpan pesawat hitungnya, dia membungkuk akan punguti emas dilantai. Ngo Tjouw insaf orang ini liehay dan Eng Tjay bukan tandingannya, tetapi juga mereka tidak sudi kehilangan emas itu, maka Beng Gie dan Beng Go segera lompat maju kedalam

kalangan. "Untuk punyakan uang tak de- mikian gampang!" mereka berseru. Oey Tjin lihat rangsekan hebat, sambil mendak, ia menggeser kekanan, dari sini tangan kirinya dipakai menyerang dengan pukulannya "Keng Tek kwa pian" atau "Oet-tie Kiong menggantung ruyung". Ini adalah serangan dari samping. Serangan- nya Beng Gie dan Beng Go adalah turut runtunan Ngo-heng-tin. Mereka tampak

bahaya, tidak ajal lagi, mereka mundur sendirinya. Tapi justru mereka mundur, Beng Tat dan Beng San menggantikan maju. Dengan tangan kanan, Beng San tangkis serangannya Oey Tjin tadi, sedang Beng Tat hajar bebokong lawan.

Sejak Oey Tjin keluar dari perguruan dan berkelana, belum pernah ia menemui tandingan yang liehay, dan walaupun ia suka bergurau, ia teliti dan hati-hati. Inilah sifatnya yang membikin ia belum pernah gagal. Barulah sekarang, menyer- bu Ngo-heng-tin, ia menghadapi lawan- lawan yang tidak boleh dipandang ring- an. Ia bisa egos tubuh dari serangan Beng Tat, atau kedua lawan itu mundur, lalu Beng Sie menyusul serang ia. Begi- tu selanjutnya, lima saudara itu maju dan mundur saling ganti, sebentar ber- dua, sebentar sendiri, hingga kendati- pun mereka cuma berlima, gerakan mereka mirip dengan gerakan beberapa puluh orang. Mau atau tidak, Tong-pit Thie- shoeiphoa menjadi terkejut. Ia tidak mengerti, ilmu berkelahi cara apa itu yang lawan-lawannya gunai. Benar-benar serangan mereka, atau lebih benar pe- ngurungan mereka, merupakan sebagai tin, barisan istimewa. Kalut serangan itu tapi rapi maju dan mundurnya.

Sesudah melayani sekian lama, tanpa ia bisa serang secara berarti kepada musuh-musuhnya, atau satu diantaranya, Oey Tjin lantas ubah sikap. Ialah ia berlaku tenang, ia tempatkan diri di- tengah. Ia sambut sesuatu serangan, tidak mau ia balas merangsak. Tentu saja, dengan begini, ia jadi kena di- kurung. Eng Tjay girang sekali menda- pati orang kena dikepung, cuma bisa beladiri, tidak bisa membalas. Ia anggap ini adalah ketikanya untuk ia turun tangan terlebih jauh. Maka ia

tunggu saatnya, lalu ia menusuk dengan hebat dengan serbuan "Leng tjoa pok kie", atau "Ular menubruk", salah satu ilmu silat tumbak Yoo-kee-tjhio, ilmu tumbak keluarga Yo. Ia menikam bebo- kong. "Oey soepeh, awas!" berseru Siauw Hoei, memperingati. Nona ini kaget atas bokongan itu. Oey Tjin adalah murid kepala dari Bok Djin Tjeng, dia telah wariskan ilmu silat Hoa San Pay, coba lima saudara Oen tidak gunai Ngo-heng- tin, walaupun mereka mengepung berlima, tidak nanti mereka berhasil. Demikian- pun bokongan Eng Tjay, tak perduli dia

menjadi ketua Liong Yoe Pang. Begitu lekas serangan sampai, mendadak Oey Tjin putar tubuhnya, berbareng dengan itu, tangannya pun bergerak. Tepat sekali, tumbak kena ditangkis sambil terus dicekal. Itu adalah gerakan ilmu silat tangan kosong melawan senjata, yang sukar dijakinkannya, tapi Oey Tjin telah berlatih beberapa puluh tahun. Maka begitu lekas dapat menyekal, dia

terusi membetot tumbak itu. Berbareng membetot lawan, dia pun menoleh kesam- ping sambil dengan tangan kirinya me- nangksi serangan Beng San, sedang kaki kanannya digeser setengah tindak, guna menghindari jejakan Beng Gie, yang da- tang dari belakang. Menyusul betotannya Oey Tjin, Eng Tjay terdengar menjerit keras. Dia tak mau lepaskan tumbaknya, maka itu tubuhnya kena terangkat naik, terlempar melewati kepala orang, terus jatuh terbanting dilantai. Akan tetapi jeritannya bukan disebabkan terbanting- nya itu. Hanya selagi dia terbetot, ke- tika tubuhnya mendekati Oey Tjin, la- wannya ini lepaskan tumbak yang dice- kal, pundaknya kiri dipakai menggempur iga kanan lawan hingga ketua Liong Yoe Pang itu merasakan sakit hebat sampai kesumsumnya. Segera beberapa orang Liong Yoe Pang maju untuk tolongi ketua itu. Dalam rombongan Liong Yoe Pang itu ada ketua mudanya, Boe-pangtjoe Khoe Kak Lian, murid kepala Eng Tjay yang bernama Boen Hoa dan murid kedua ber- nama Tjhio Thong Tjouw. Mereka ini jadi sangat gusar, hingga tanpa bilang suatu apa, mereka lompat menyerang. Oey Tjin layani tiga musuh baru itu, Baru bebe- rapa jurus, ia telah berhasil memban- ting mereka satu demi satu, malah Boen Hoa patah lengan kanannya, hingga dia terluka parah. Setelah itu, tidak ada lagi orang Liong Yoe Pang yang berani maju. Maka selanjutnya, Oey Tjin terus melayani Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay.

Pertempuran seru sekali, hingga keenam orang tertampak bagaikan bajangan saja yang saling sambar. Ada kalanya Oey Tjin dapat lolos dari kepungan atau segera ia terkurung pula, saking gesit- nya kelima lawan, yang cara pengepung- annya tak pernah menjadi rancu. "Benar hebat," memikir Oey Tjin akhirnya, se- sudah lama juga ia berkelahi dengan tidak ada hasilnya. Tidak pernah ada satu diantara musuh yang dapat ia se- rang. Mau atau tidak, ia sibuk sendiri- nya. Juga lima saudara Oen menjadi he- ran dan kagum. Tidak mereka sangka la- wan ini, yang mirip dengan satu peda- gang atau orang biasa saja, demikian liehay. Sudah dikepung hebat, pembela- annya tetap rapat dan rapi. Selagi per- tempuran berlangsung makin seru, Oey Tjin lihat tegas cara penyerangan la- wan-lawannya. Ada kalanya seorang hen- dak menendang, atau mendadakan dia ber- kelit kesampung dari mana menyeranglah lain kawannya. Ada waktunya seorang mementang kedua tangan untuk rangkul dia, hingga dia mesti mundur, atau dari belakangnya, satu kaki mendupak dia!

Selagi penyerangan lawan jadi semakin hebat, macamnya serangan pun bertambah

beraneka-warna, hal ini membuat ia jadi repot, maka untuk tidak menempuh benca- na sia-sia, mendadakan ia keluarkan se- ruan panjang, kedua tangannya lantas keluarkan pit dan shoeiphoa - Tong-pit Thie-shoeiphoa. Didalam hatinya dia pi- kir: "Kamu berlima, aku sendirian, ti- dak ada halangannya akan aku gunai sen- jata." Maka itu sekarang selagi menye- rang, saban-saban ia cari jalan darah lawan-lawannya. Belum terlalu lama, lima saudara Oen telah menjadi repot, maka mereka tidak sudi mensia-siakan tempo, dengan mendadak Oen Beng Tat berseru dengan suitannya. Oen Tjheng dan Oen Lam Yang mengerti tanda dari ketua itu, dengan bergantian mereka

lempar-lemparkan gegamannya masing- masing ketua itu, yang menyambuti de- ngan baik, hingga selanjutnya mereka juga bersenjata semua. Hingga karena itu, golok kongtoo, ruyung joanpian, tongkat besi dan lainnya, saling sam- bar. Pertempuran kali ini berlanjut tidak saja lebih seru malah terlebih berbahaya, sebab semuanya menyekal senjatanya masing-masing. Dari itu, para hadirin menjadi tercengang, me- reka gembira tapi hati mereka berke- dutan. Tjoei Hie Bin sibuk bukan main melihat gurunya terancam bahaya kepung- an yang sangat kuat itu, ia tahu ia tidak punya guna akan tetapi ia sayang sekali gurunya, maka dengan melupakan segala apa, ia berseru dengan putar goloknya, ia lompat, untuk menyerbu

kedalam Ngo-heng-tin. Ia Baru loncat tiga tindak atau didepannya ada berke- lebat satu bajangan, yang tangannya segera menekan pundaknya. Ia kaget, ia ayun goloknya, untuk membacok, tapi apamau, tekanan orang itu begitu berat sehingga ia tak sanggup geraki pundak- nya. "Tjoei Toako, tak dapat kau pergi, sia-sia kau antarkan jiwamu!" demikian satu suara cegahan. Kapan pemuda she Tjoei ini mengawasi, ia kenali Sin Tjie sebagai penghalang itu. Tadi ia telah saksikan pemuda itu pecundangi Lu Djie Sianseng, masih ia kurang percaya akan

kegagahan orang, tetapi sekarang Baru lah ia menginsafi tenaganya yang besar luar biasa. Tak dapat ia tak dengar kata lagi. Sin Tjie tarik pulang ta- ngannya seraya terus berkata : "Jangan kau sibuk! Gurumu masih sanggup layani mereka!" Lantas anak muda ini awasi pula pertempuran, sedang Hie Bin ter- paksa berdiri melongo, untuk turut me- nonton terus. Sin Tjie perhatikan ja- lannya pertempuran tapi kadang-kadang ia dongak keatas genteng, diwaktu be- gitu agaknya dia berada dalam kesulitan pikiran. Segera Siauw Hoei datang men- dekati. "Engko Sin Tjie, pergi tolongi Oey Soepeh," kata nona ini. "Berlima mereka kepung satu orang, sungguh me- reka tak tahu malu!" Sin Tjie tidak menjawab, dengan satu gerakan tangan, ia suruh nona itu mundur. Siauw Hoei tidak dapat muka, ia mundur dengan lesu. Tjeng Tjeng saksikan lagaknya nona An itu, diam-diam ia bergirang.

Selama pertempuran berjalan dengan seru itu, Oey Tjin tidak pernah berhasil dengan pitnya, dengan shoeiphoanya, untuk menotok atau sambar senjatanya lawan. Malah senjata mereka tidak per- nah bentrok satu dengan lain. Lima saudara itu singkirkan bentrokan, sebagaimana Oey Tjin pun tak inginkan itu. Lagi sesaat, sekonyong-konyong Sin Tjie lompat menghampiri Siauw Hoei.

"Adik Siauw Hoei, maafkan perbuatan tadi," kata dia. "Tadi aku sedang me- mikirkan sesuatu. Sekarang aku berhasil memecahkan pikiranku itu."

"Disaat sebagai ini apa masih ada soal maaf?" jawab si nona. "Lekas kau pergi bantui Oey Soepeh!"

Sin Tjie tertawa. "Aku telah berhasil memecahkan pikiranku, aku tidak kuatir lagi!" katanya. "Kau benar aneh! Kenapa kau tidak bedakan urusan enteng dan berat, penting dan tidak penting? Kalau ada kesukaran, apa kau tidak bisa tung- gu sampai pertempuran sudah selesai Baru kau memikirkannya pula?" tanya Siauw Hoei. Kembali Sin Tjie tertawa.

"Yang aku pikirkan justru ada soal pertempuran ini!" sahutnya. "Aku pikir- kan bagaimana aku bisa pecahkan barisan Ngo-heng-tin ini. Apakah kau tidak da- pat ingat atau lihat bagaimana senjata mereka tidak pernah bentrok satu pada lain?"

"Ja, aku pun herani itu," jawab Siauw Hoei. "Pokoknya tin mereka ada kece- patan," Sin Tjie menjawab. "Sesuatu bentrok senjata berarti mensia-siakan tempo. Maka itu, untuk melawannya, guna memecahkan, kecepatan juga yang dibu- tuhkan. Kita mesti menangkan kecepatan mereka itu, Baru kita akan berhasil."

"Mereka telah terlatih sempurna, mereka sangat gesit, bagaimana dapat kita lom- bainya?" tanyanya. Sin Tjie bersenyum.

"Lihat saja, aku akan coba-coba!" sa- hutnya. Ia menoleh pada Siauw Hoei dan berkata : "Coba pinjamkan aku tusukan rambutmu!" Siauw Hoei loloskan tusukan rambutnya yang terbuat dari batu pualam dan serahkan itu. Sin Tjie menyambuti, ia dapatkan satu tusuk konde yang bagus sekali. "Aku akan gunai tusuk konde ini untuk layani mereka," katanya. Hie Bin dan Siauw Hoei tertawa. Mereka anggap orang lagi main-main. Tidakkah tusukan

batu kumala itu regas sekali, gampang patah? Bagaimana itu dapat dipakai se- bagai alat-senjata? Sin Tjie tidak am- bil mumet dua orang itu terheran-heran, ia hanya awasi pertempuran, lalu ia teriaki Toa-soehengnya itu:"Toasoeheng, soet-touw menciptakan it-bok, maka in- jaklah kian-kiong dan jalan di kam- wie!" Itulah istilah-istilah dari Pat- kwa. Oey Tjin dengar itu, ia melengak sendirinya, tak dapat ia lantas menger- ti itu. Tidak demikian dengan Oen-sie Ngo Loo, lima ketua keluarga Oen itu, mereka ini terperanjat. "He, kenapa bocah itu bisa ketahui rahasia Ngo- heng-tin?" pikir mereka. Mereka anggap

temponya terlalu singkat untuk meng- insafi itu. Sin Tjie tidak perdulikan kakak seperguruan itu mengerti atau tidak, kembali ia perdengarkan suaranya : "Toasoeheng, phia-hoh menakluki khe- kim, maka jalanlah di Tjin-kiong, kelu- ar dari lie-wie!" Selama pertempuran yang telah berjalan lama itu, Oey Tjin pun gunai pikirannya, sebab ia dapat kenyataan, secara keras, secara halus, masih ia tak dapat pecahkan Ngo-heng- tin. Ia ingat lawan-lawannya kurung ia menuruti garis-garis Pat-kwa, akan tetapi beberapa kali ia sudah coba mendobrak, saban-saban ia gagal. Tapi setelah dengar suara soeteenya yang

kedua kali, ia pikir pula. "Baik aku mencoba," ia ambil putusan. Ia lantas menunggu. Sebentar kemudian, datanglah saat yang baik. Dengan tiba-tiba ia ambil jalan tjin-kiong, untuk keluar dari lie-wie. Dan ia berhasil! Ia da- patkan satu lowongan! Segera ia hendak

nyeplos. Mendadakan Sin Tjie serukan pula : "Jalan ke kian-wie! Jalan ke kian-wie!" Dikedudukan kian-wie itu ada menjaga dua saudara Oen, Beng San dan Beng Sie. Tapi Oey Tjin percaya soeteenya itu, ia tidak mau sia-siakan waktu, tanpa berpikir lagi, ia mener- jang kearah kian-wie itu. Beng San dan Beng Sie Baru menjaga, lantas mereka mesti pecah diri, untuk lowongan mere- ka diisi oleh Beng Tat dan Beng Go. Itu adalah menurut cara-cara kepungan mere- ka. Justru mereka hendak memecah diri, disaat itulah Oey Tjin menerjang kearah mereka. Maka itu, selagi lowongan se- dang terbuka, Oey Tjin geraki pitnya dan alat penghitungnya kekiri dan kanan, untuk cegah dua saudara itu merintangi dia. Dia berlompat dengan luar biasa pesat, hingga tahu-tahu dia sudah lolos dari kurungan dan segera berdiri didamping Sin Tjie! Lima saudara Oen tercengang, lekas-lekas mereka undurkan diri, akan berdiri berbaris. Nampaknya mereka menyesal. Tapi Oen Beng Tat segera bicara. "Kau bisa lolos dari Ngo-heng-tin, kepandai- anmu bukan kepandaian sembarang," kata

ketua Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay. "Apakah tuan ada dari Hoa San Pay? Bagaimana tuan membahasakannya terhadap Lootjianpwee Bok Djin Tjeng?" Begitu lekas ia sudah merdeka, kumat pula kejenakaannya Oey Tjin. Begitulah ia tertawa geli seorang diri. "Bok Lootjianpwee itu adalah guruku yang bidjaksana," ia menyahut. "Kenapa? Apakah aku sebagai murid telah membuat malu kepada guruku itu?" Beng Tat tidak gubris orang menggoda dia. "Pantas, pantas!" katanya. "Memang aku telah lihat, ilmu silatmu ada dari Hoa San Pay." Oey Tjin tidak hiraukan penguta- raan itu. Dia kata: "Kita sudah bertem- pur! Kamu berlima telah kepung aku satu orang, aku tidak sanggup pukul rubuh kepadamu, kamu sendiri tidak mampu jambak kepadaku! Inilah dia yang dibi- lang cara berdagang yang maha adil,

atau setengah kati itu ialah delapan tail! Sekarang bagaimana hendak dia- turnya dengan emas ini?" Ia tidak tunggu jawabannya Ngo Tjouw, ia menoleh kepada Eng Tjay ketua Liong Yoe Pang dan kata : "Tuan saudagar, perhubungan dagang kita berdua sudah putus pembica- raannya, mengenai emas ini, bagianmu sudah tidak ada lagi!" Eng Tjay malu sekali, ia insaf tak dapat ia lawan dia itu, akan tetapi ia toh menyahuti:

"Orang she Oey, jangan kau tekebur! Nanti datang satu hari yang kau toh bakal terjatuh dalam tanganku!"

Oey Tjin tertawa, dia kata: "Jikalau ditoko tuan ada lain barang lagi, si- lakan berhubungan dengan tokoku, perka- ra rugi tidak menjadikan soal! Kita toh ada langganan-langganan lama! Perkara harganya barang, kita nanti boleh damaikan pula secara istimewa...."

Bukan kepalang mendongkolnya ketua Liong Yoe Pang. Berkelahi dia kalah, adu mulut pun ia tak ungkulan, maka dengan terpaksa, ia ajak rombongannya ngeloyor pergi. Rombongannya Beng Tat juga tidak perdulikan berlalunya orang- orang Liong Yoe Pang itu, Beng Tat sendiri lantas kata kepada lawannya yang tangguh itu: "Melihat kepandaian

kau, kau adalah seorang gagah dari ja- man ini, maka mengenai emas ini, dengan

memandang kepadamu aku hendak atur begini: Kami suka menyerahkannya sepa- ruh..." Jago Tjio Liang Pay ini takut juga terhadap Hoa San Pay, ia jadi tak ingin menambah musuh. Ia anggap pertim- bangannya itu pantas. Oey Tjin tertawa.

"Coba uang ini ada kepunyaanku sendiri," jawabnya. "walaupun sekarang ada masa tidak aman dan mencari uang bukannya gampang, asal sahabat membu- tuhkannya, tak halangannya untuk diam- bil semua sekalipun. Akan tetapi aku harap saudara mengetahuinya. Uang ini ada uang belanja tentaranya Giam Ong! Muridku yang tolol ini diberi tugas mengantarnya, emas itu kena diambil oleh orangmu, saudara, maka kalau

sekarang aku pulang dengan tidak ber- sama emas yang utuh, bagaimana aku dapat memberi tanggung-jawabnya?"

Belum lagi Beng Tat beri penyahutan, Beng Gie sudah tak dapat kendalikan diri. "Untuk kembalikan emas kepadamu, itu pun boleh!" serunya dengan murka. "Tapi mesti dengan dua syarat!"

"Jikalau barang ada harganya, shoeiphoa boleh dikeluarkan untuk menghitungnya," kata Oey Tjin dengan tenang. "Bukankah segala apa dapat didamaikan? Bukankah tak ada halangannya untuk kita saling tawar dengan pelahan-lahan? Karena aku hendak membayar kontan, tolong kau sebutkan harganya, nanti kami timbang pula...."

"Tidak ada tawar-menawar lagi!" kata Beng Gie dengan sengit. "Syarat yang pertama, untuk mendapati emas ini, kamu mesti mengantar barang kepada kami. Tentang barang antarannya, banyak atau sedikit tidak menjadi soal. Inilah aturan kami, satu kali kami telah

dapatkan suatu barang tak dapat itu dikembalikan secara gampang-gampang!"

Oey Tjin bersenyum. Ia tahu inilah soal muka, soal kehormatan. Tjio Liang Pay suka mengembalikan emas, itu artinya segala apa sudah beres. Maka tidak lagi ia hendak bersenda-gurau, sebaliknya, dengan sungguh-sungguh dia menyahuti: "Kalau tuan-tuan bilang demikian, dengan segala senang hati aku suka menerimanya. Besok pagi aku nanti

pergi kekota Kie-tjioe untuk membeli, mempersiapkan barang-barang persembahan itu, nanti aku sendiri yang mengantar- kannya. Aku pun masih hendak sajikan beberapa meja hidangan untuk undang tuan-tuan serta beberapa saudara pen- duduk sini untuk menemaninya."

Mendengar itu, Beng Gie nampaknya puas.

"Baik!" berkata dia. "Sekarang syarat kedua. Bocah she Wan ini mesti diting- galkan disini!" Oey Tjin terkejut.

"Kamu sudi pulangi emas, aku berikan kamu muka terang," pikirnya. "Kenapa kamu hendak timbulkan urusan lain lagi?" Toasoeheng ini masih belum tahu jelas duduknya hubungan diantara kelu- arga Oen dan soeteenya itu, perihal Kim Tjoa Long-koen dan Oen Gi. Sin Tjie tahu rahasia orang, cara bagaimana dia bisa dilepaskan secara begitu saja? Adalah keinginannya Ngo Tjouw untuk

binasakan pemuda ini, guna lampiaskan hati mereka. Terutama adalah keinginan Ngo Tjouw mendapati peta harta karunnya Kim Tjoa Long-koen, yang mereka sangka disimpan si anak muda. Dan mereka masih percaya, tidak perduli Sin Tjie gagah, Ngo-heng tin tentu bakal dapat rubuhkan padanya. Itulah syarat yang hebat, tapi mendengar itu, Oey Tjin tertawa. "Soeteeku ini ada seorang yang gembul sekali gegaresnya," berkata dia. "de- ngan kamu suka beri tempat dia disini, itulah bagus sekali, hanya saja, nasi untuk satu tahun, dia bakal gegares habis dalam tempo enam bulan, aku kuatir tuan-tuan nanti rugi!...."

Hie Bin kenal baik tabiat gurunya, mendengar perkataan gurunya yang bela- kangan ini, ia percaya pertempuran bakal diulangi lagi, maka itu ia cekal keras-keras senjatanya. Dengan mata tajam ia pandang musuh. Beng Tat tak perdulikan godaan itu, ia gusar. "Sau- dara mudamu tadi ajarkan kau bagaimana harus loloskan diri dari Ngo-heng-tin," katanya sambil tertawa dingin. "Keli- hatannya dia ketahui baik tentang tin kami ini, maka itu, baik kami undang dia untuk mencoba-coba kepandaiannya itu!" Ketua Tjio Liang Pay ini andali betul Ngo-heng-tin. Sebenarnya tin itu terdiri dari lima rintasan, tapi meng- hadapi Oey Tjin, Baru digunai sampai yang kedua, jadi masih ada tiga rinta- san lainnya. Oey Tjin telah rasai he- batnya tin, maka ia pikir, "Aku dengan pengalamanku beberapa puluh tahun, tak dapat aku menoblos keluar, bagaimana lagi dengan soeteeku ini? Benar dia dapat tunjuki jalan padaku tetapi dia hanya sebagai orang diluar kalangan, pikirannya tentu sehat, dia dapat me- lihat jalan. Kalau dia disuruh maju, aku kuatir dia gagal...." Karena ini, ia jawab: "Ngo-heng-tin ada sangat liehay, barusan aku telah mengalaminya

sendiri. Soeteeku ini berumur tak setua cucumu, tuan-tuan, kenapa kamu hendak

mempersulit dia? Umpama tuan-tuan tak puas terhadapnya, baik majukan siapa saja untuk ajar adat kepadanya!" Oey Tjin bicara mengalah tapi maksudnya justru berkeras. Ia percaya, jikalau satu lawan satu, Sin Tjie tak akan da- pat dikalahkan mereka berlima. Oen Beng San tertawa dingin. "Hoa San Pay sangat kenamaan, siapa tahu Baru lihat ngo- heng-tin yang tidak berarti, orangnya sudah ketakutan hingga dia umpatkan kepala dan sembunyikan ekor!" katanya.

"Kalau begitu, sejak hari ini, apa Hoa San Pay masih bisa angkat namanya dalam dunia kang-ouw?" Hie Bin jadi sangat gusar, ia muncul tanpa perkenan. "Si- apa bilang Hoa San Pay jeri terhadap- mu?" dia berteriak. "Kalau demikian, kau saja yang maju!" Beng San mengejek sambil tertawa. Hie Bin benar tidak tahu takut, dia hendak maju lebih jauh.

Sin Tjie tarik keponakan-murid itu.

"Tjoei Toako, kasi aku yang maju lebih dahulu," paman cilik ini kata dengan pelahan," apabila aku gagal, Baru kau membantui..." Hie Bin manggut. "Baik," jawabnya. "Begitu lekas kau membutuhkan bantuan, panggillah aku dengan namaku, aku akan lantas maju, tidak usah kau sebut-sebut Tjoei Toako atau Tjoei Djieko!" Sin Tjie bersenyum, ia mang- gut. Siauw Hoei merasa lucu, dia ter- tawa geli. "Eh, kau tertawakan apa?" Hie Bin menegur sambil melotot. "Ti- dak apa-apa, aku merasa lucu sendiri," sahut si nona. Masih Hie Bin hendak menegasi, tapi Sin Tjie sudah lompat kedepan, sebelah tangannya memegangi tusukan rambutnya Siauw Hoei. "Ngo- heng-tin dari Tjio Liang Pay begini liehay tapi seumur hidupku belum pernah aku melihatnya!" kata dia. "Pupukmu masih belum kering, kau tahu apa?" berseru Beng Gie. "Bagaimana kau bisa

kenali Ngo-heng-tin kita?" Sin Tjie berlaku tenang. "Loo-ya-tjoe semua hendak menahan aku, inilah soal yang minta pun aku tak berani," katanya pula. "Baiklah, mari kita gunai ketika baik ini supaya aku bisa belajar kenal

dengan keliehayan Ngo-heng-tin!" "Hati- hati, siauw-soesiok!" Hie Bin berteri- ak, memperingati. "Mana mereka kandung

maksud baik!" Sin Tjie menoleh pada si semberono, ia tertawa. "Mereka orang- orang tua, tidak nanti mereka perdaya- kan kita anak-anak dengan usia muda!" katanya. "Jangan kuatir, Tjoei Toako!" ia terus menoleh kepada Ngo Tjouw, akan

lanjuti: "Aku hendak maju sekarang, ha- rap looyatjoe semua menaruh belas ka- sihan..." Orang-orang Tjio Liang Pay heran. Dari kata-katanya, terang anak muda itu jeri, akan tetapi sikapnya sangat tenang, tindakannya pelahan dan tetap, tak tertampak roman kuatir atau

bingung. Mereka jadi tak dapat menerka hati orang. Ngo Tjouw tahu orang liehay, mereka tidak berani memandang enteng. Dengan satu tanda gerakan ta- ngan, mereka mulai bersiap. Beng Gie dan Beng San mencelat kekanan, ketiga

saudaranya turut, akan ambil keduduk- annya masing-masing, maka sebentar saja, si anak muda sudah dikurung. Sin Tjie bawa sikap seperti ia tidak engah, dia malah memberi hormat ketika dia tanya: "Apakah kita orang main-main dilantai datar?"

"Ya, tak usah dipanggung Bwee-hoa- tjhung lagi!" sahut Beng Tat. "Kau keluarkan senjatamu!" Sin Tjie perlihatkan tusuk kondenya. "Tuan-tuan ada dari angkatan tua, aku yang muda mana berani berbuat tidak hormat de- ngan menggunai senjata tajam?" katanya. "Dengan kumala ini saja aku mohon pe- ngajaran dari kamu semua!" Kata-kata ini membuat semua orang, sahabat dan lawan, menjadi heran. Ada yang anggap

anak muda ini sangat tekebur. Apa artinya sebatang tusuk konde? Kebentur sedikit saja tentu bakal patah! Bagai- mana itu bisa diadu dengan senjata Ngo Tjouw? Oey Tjin berdiam sedari tadi. Ia tahu, percuma saja ia turut bicara. Diam-diam ia siapkan kedua rupa senja- tanya, untuk menolong disaat sutee itu terancam bahaya. Pada Hie Bin dan Siauw Hoei ia beri kisikan: "Musuh kita ter- lalu kuat, jumlah kita juga terlalu sedikit, apabila sebentar aku beri tanda, kamu mesti loncat naik keatas genteng untuk menyingkir, aku dan Wan Soetee akan memegat dibelakang. Tidak perduli kami berdua menghadapi ancam- an hebat, jangan kamu bantu kami!"

Dua orang yang dipesan itu berikan janji mereka. Oey Tjin memesan demikian untuk lindungi dua anak muda itu, supaya mereka pun tidak merintangi ia dan soeteenya itu. Ia percaya, ia dan sang soetee pasti dapat loloskan diri

andaikata mereka menghadapi bahaya. Dia juga memikir, andaikata dia gagal men- dapat pulang emas itu, dilain hari dia akan kembali bersama lebih banyak pembantu, ialah djie-soeteenya, Poan- sek-san-long Kwie Sin Sie suami-isteri, sahabatnya, Pouw Sian Taysoe dari kuil Hoa Giam Sie di Hoopak, dan gurunya, Bok Djin Tjeng, atau Bhok Siang Toodjin. Asal seorang tandingi satu orang, lima saudara Oen itu tentu mati daya, Ngo-heng-tin akan pecah. Nampak- nya Oey Tjin lucu, sebenarnya dia bisa berpikir jauh. Dia tak pilih Sin Tjie

sebab dia kuatir soetee ini kurang latihan. Walaupun semua sudah siap sedia, Sin Tjie masih kata pada lima jago keluarga Oen itu: "Looyatjoe semua sudi beri pengajaran padaku, kenapa masih ada yang ditahan, sehingga

aku merasa tin ini belum lengkap?"

Beng Tat heran. "Apakah yang kurang lengkap?" tanya dia. "Disebelah Ngo- heng-tin, masih ada barisan pem- bantu sebelah luar yaitu Pat-kwa-tin." Sahut Sin Tjie. "Kenapa Pat-kwa-tin juga tidak diatur sekalian, supaya aku bisa menambah puas pemandangan mataku?"

Beng Gie lantas saja membentak: "Inilah kau yang mengatakannya, maka kalau sebentar kau mati jangan kau menyesal!" Terus dia berpaling pada Oen Lam Yang: "Lam Yang, mari maju semua!" Oen Lam Yang ada ketua dari angkatan kedua dari Tjio Liang Pay, dengan suatu tanda,

muncullah lima-belas kawannya yang tadi disiapkan untuk kepung Sin Tjie. Oey Tjin lihat rombongan itu terdiri dari lelaki dan perempuan, diantaranya ada dua pendeta. Mereka semua mengatur diri disebelah belakang Ngo Tjouw, mereka bergerak-gerak, ber-putar-putar, gerak- an mereka semua beres dan rapi, sehing- ga Oey Tjin yang luas pengalamannya jadi heran dan kagum. Orang berlari- lari tetapi tidak terdengar suara

tindakan mereka. "Wan Soetee tidak tahu urusan," pikir toasoeheng ini. "Dengan dia layani Ngo Tjouw saja, umpama ia terancam, aku bisa nyerbu untuk meno- longi, sekarang barisan ditambah dengan lapis yang kedua, dengan jumlah sampai enam-belas orang, mana ada lowongan

lagi untuk menerjang masuk?  jangan- jangan seekor lalat juga sukar molos.."

Soeheng ini terus berdiam, ia terbenam dalam keragu-raguan. Sin Tjie didalam kurungan tetap berlaku tenang. Ia jepit tusuk konde kumala dengan jempol dan jeriji tengah kanan, tangan kirinya diangsurkan kedepan, ia pasang kuda- kuda dengan kaki kiri didepan, setelah itu, ia geraki tubuhnya lebih jauh, akan lari berputaran, setelah empat atau lima balik, ia teruskan. Ngo Tjouw juga lantas bersiap, semua mata mereka dipakai mengawasi anak muda dlm kuru- ngan itu. Sin Tjie berputaran saja, ia tidak lantas menyerang. Ketika dahulu Kim Tjoa Long-koen lolos dari tangannya Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay ia keram diri didalam guanya, setiap saat, seti- ap waktu, ia asah otak memikiri jalan untuk pecahkan Pat-kwa Ngo-heng-tin. Ia tidak mengerti, kenapa kurungan Ngo- heng-tin tidak dapat digempur, dan asal yang satu bergerak, empat yang lainnya lantas menyusul, menyusul tak hentinya, sampai lawan sudah kena dirubuhkan. Be- berapa tahun telah dilewati, hasilnya tetap tidak ada, jalan tidak didapati.

Pada suatu pagi Kim Tjoa Long-koen men- cari hawa dipuncak Hoa San, tiba-tiba ia lihat seekor ular merayap berliku-- liku, kapan binatang itu dengar tindak- an orang, dia berhenti berjalan, dia melingkar, kepalanya diangkat. Itulah kebiasaan ular, untuk bersiap melawan

atau menyerang musuh, tanpa diserang lebih dahulu, ia tidak akan mendahului.

Tiba-tiba saja, Kim Tjoa Long-koen sadar. Inilah caranya untuk pecahkan Ngo-heng-tin! Sehingga bukan main gi- rangnya dia. Itulah gerakan : "Bergerak belakangan, menindas lawan". Ia lantas pulang, kembali ia asah otak. Ia gunai tempo satu bulan, Baru ia insyaf kele- mahan Ngo-heng-tin, dan bagaimana cara- nya harus menerjang pecah. Semua ini

lantas dicatat dalam Kim Tjoa Pit Kip, sebab walaupun ia telah dapatkan raha- sia itu, ia sendiri tak dapat menuntut balas. Dengan urat-uratnya telah di- bikin putus, ia tidak bisa bersilat lagi seperti dulu. Ia sukar percaya akan ada orang yang nanti dapatkan kitabnya ini atau umpama kata itu diketemukan seratus tahun atau seribu tahun kemudian, pasti Ngo Tjouw sudah lama mati dan tulang-tulangnya telah lebur menjadi tanah. Biar bagaimana, ia pun masih mengharap-harap. Jikalau Ngo-heng-tin tidak terpecahkan, pasti

Ngo Tjouw akan menjagoi untuk selama- lamanya, sedang mereka ada orang-orang jahat. Sekarang Sin Tjie hendak gunai daya "bergerak belakangan, menindas lawan" itu, maka itu, ia melanjuti berputaran terus, tidak henti-hentinya, sehingga semua lawannya turuti ia

berputar-putar juga akan awasi dia.

Dari bergerak pelahan pada mulanya, anak muda ini bergerak pesat, setelah sekian lama, ia mulai jadi pelahan pula, jadi kendor, selama itu tetap tidak terlihat sikapnya hendak mulai menerjang. Sebaliknya, dia lantas berhenti berputaran, dia duduk, kedua tangannya dikasih turun kedengkul, tubuhnya diam, cuma tampangnya berseri- seri. Semua orang menjadi heran. Pihak Oen tidak tahu, inilah tipu-daya, guna mengabaikan penjagaan lawan, untuk bikin lawan habis sabar. Benar saja, Oen Beng Gie tidak puas, sehingga ia geraki kedua tangannya untuk menyerang. Ia berada dibelakang Sin Tjie, ia bisa membokong si anak muda. "Djieko, jangan bikin kacau tin!" Beng Go cegah kanda- nya itu. Beng Gie dapat dicegah, maka itu, berlima mereka masih berputaran, selalu siap-sedia untuk menerjang begitu lekas lawan berge- rak. Belum lama dia duduk diam, Sin Tjie menguap, terus ia rebahkan diri, tidur celen- tang, kedua tangannya ditekuk, dipakai sebagai bantal, untuk mengalaskan kepa- lanya. Ngo Tjouw masih terus berputar- an, meskipun mereka merasa aneh. Mereka jadi bertambah waspada. Mereka mau me- nyangka, anak muda itu bakal gunai entah akal apa. Disebelah belakang, enam belas orang dibawah pimpinannya Oen Lam Yang turut bergerak-gerak terus juga, akan tetapi mereka tak seulet lima ketua mereka, sesudah lewat ba- nyak tempo beberapa diantara mereka jadi letih, keringat mereka mengucur keluar, napas mereka mengorong. "Aku hendak lihat, tua-bangka, sampai kapan kamu dapat bersabar," kata Sin Tjie da- lam hatinya, mendapati tidak ada orang yang hendak serang ia. Selagi rebah, ia curi lihat gerakan lawan. Mendadak anak muda ini membalik tubuh, sehingga ia jadi rebah tengkurap, kedua tangannya ketindihan tubuhnya. Kemudian lagi, terdengarlah suara menggerosnya, seba- gai tanda bahwa ia ketiduran, tidur pulas. Inilah kejadian aneh dalam medan pertempuran. Ini pun lucu. Hie Bin, Siauw Hoei, Tjeng Tjeng, dan Oen Gie juga, hampir tertawa, tapi juga hati mereka kebat-kebit, saking kuatir.

Umpamanya Ngo Tjouw menyerang, celaka- lah anak muda itu, yang memasang bebo- kong. Cuma Oey Tjin yang mengerti soetee itu sedang uji kesabarannya la- wan, untuk pancing lawan itu, meski begitu, ia juga berkuatir untuk nyali besar dari soetee itu. Itulah keberani- an melewati batas. Apabila serangan datang, bagaimana itu dapat dielakkan?

Benar-benar Beng Tat tidak bersabar lagi, ia hendak gunai ketikanya yang baik ini. Begitu lekas ia memberi tanda, dengan tangan kiri dikibaskan kekanan, menyambarlah empat batang hoei-too dari Beng Sie, adiknya yang ketiga. Empat hoeitoo itu terbang menyambar kebebokong Sin Tjie. Semua orang pihak si anak muda terperanjat, malah ketika empat hoeitoo mengenai

sasarannya, Oen Gie tutupi muka, hati- nya mencelos. Dipihak Oen, semua orang bergirang, ada yang bersorak, sehingga dari enam-belas anggauta Pat-kwa-tin, tujuh atau delapan antaranya berhenti berputaran. Justru disaat itu, dengan sekonyong-konyong tubuhnya Sin Tjie mencelat bangun, empat golok terbang dibelakangnya meluruk jatuh kelantai, kemudian terlihat tubuhnya melesat,

melewati sela-sela lima saudara Oen, selagi mereka ini mengawasi dengan heran kepada bekerjanya hoeitoo yang memberi akibat luar biasa itu. Tahu- tahu Sin Tjie telah sampai dibelakang Oen Lam Yang, bebokong siapa ia tepuk keras sehingga menerbitkan suara

nyaring, atas mana orang she Oen itu berteriak-teriak segera dia muntahkan darah hidup, belum sempat dia tahu apa-apa, tubuhnya disambar si anak muda, diangkat, dilempar kedalam Ngo-heng-tin! Setelah ini, Sin Tjie tidak hentikan gerakannya. Selagi lima-belas orang Pat-kwa-tin

bingung, ia serang mereka satu demi satu, dengan kepalan, dengan tendangan, dengan totokan juga, dan setiap korban- nya, tubuhnya ia sambar, ia balingkan kedalam tin. Oen Tjheng dan beberapa orang lagi mempunyai boegee cukup baik tapi Baru dua tiga gebrak, mereka pun kena dirubuhkan dan dilemparkan, se- hingga didalam tin, bukan musuh yang terkurung, tetapi orang sendiri yang rebah malang-melintang. Secara begitu,

Pat-kwa-tin telah terpukul pecah, tidak terkecuali Ngo-heng-tin sendiri. Selama keadaan katjau itu, lima saudara Oen pun repot, akan tanggapi orang-orang- nya, yang dilempar-lemparkan kearah mereka. Waktu yang baik itu digunai Sin Tjie untuk lompat maju akan totok Oen Beng Sie, siapa kecuali sedang repot juga masih terheran-heran karena golok terbangnya tidak membinasakan lawan, sehingga hatinya ciut sendirinya. Tapi sekarang ia diserang, dengan sebat ia memapaki lawan dengan empat buah golok- nya yang liehay, yang menjurus kearah dada. Sin Tjie tidak perdulikan datang- nya empat hoeitoo, ia tidak berkelit, malah ia antapkan dadanya terbuka, tangannya lurus kedepan, tiga jarinya menjuju tenggorokannya penyerang dengan hoeitoo itu, benar selagi golok-golok terbang mengenai sasaran dan jatuh sendirinya, jerijinya mengenai jalan darah soan-kie-hiat sehingga lawannya rubuh. Oen Beng San lihat saudaranya terancam bahaya, ia hendak menolongi, ia menyerang dengan tongkatnya kearah kempolan kanan. Sin Tjie lihat tongkat menyambar, ia tertawa dan berkata: "Tongkat ini sudah dibuang tetapi sekarang diambil pula!" Selagi mulut bersuara, tangannya tidak diam saja, ia maju akan sambar tubuhnya satu kawannya Lam Yang, akan pakai tubuhnya dia ini akan papaki tongkat! Beng San anggap lawannya tidak bisa menyingkir lagi, maka itu ia terperanjat melihat ia

ditangkis dengan orangnya sendiri, syukur ia masih keburu menarik pulang tongkatnya itu, serta buang dengan kaget kesamping, dimana ada Beng Tat.

"Toako, awas!" ia berseru. Beng Tat lihat sambaran tongkat adiknya, ia menangkis dengan sepasang tumbak pen- deknya, sehingga kedua senjata bentrok keras dan menerbitkan lelatu api! Selagi dua saudara itu repot sendiri- nya, Sin Tjie menerjang Beng Go, mula- nya tangannya yang kiri menyambar, lalu menyusul tangan kanannya, dengan tusuk konde kumala, ia arah kedua matanya musuh itu. Beng Go mundur, dengan cambuk kulitnya, ia lindungi diri; ia sudah mesti lantas menangkis berulang- ulang, sebab serangannya si anak muda saling susul, karena ia lantas didesak keras. Ia sibuk melihat cahaya kumala berkeredepan, Baru sekarang ia menger- ti liehaynya senjata istimewa itu, yang seperti tak hendak berpisah dari kedua

matanya. Dua kali ujung tusuk konde sudah mengenai kulit mata, untung ka- rena sebatnya dia berkelit, Oen Beng Go masih bisa hindarkan bahaya, akan teta- pi karenanya, semangatnya hampir terbang pergi. Dalam ancaman bahaya itu, ia tidak sempat menyingkir, ia terlalu repot dengan dayanya melindungi matanya itu. Maka akhir-akhirnya, tu- sukan mengenai juga matanya, tidak perduli ia coba egoskan kepala itu. Ia lepaskan cambuk kulitnya, ia tutup matanya dengan kedua tangannya. Baru sekarang ia jatuhkan diri, untuk me- nyingkir sambil bergulingan, akan tetapi jari tangannya si anak muda toh telah keburu mampir dibelakangnya, sehingga ia lantas rubuh tak berkutik lagi. Ngo Tjouw yang kelima ini ada sangat kenamaan, dengan cambuk kulit itu, diwaktu bertempur diatas loeitay di Oen-tjioe, dengan beruntun dia telah rubuhkan dua-belas orang kosen dari Tjiatkang, sehingga untuk beberapa puluh tahun, orang malui ia. Apa lacur,

sekali ini ia jatuh merek ditangannya seorang anak muda sehingga selain ia sendiri malu, para penonton pun heran dan kaget sekali. Oey Tjin tidak men- jadi kecuali, dia heran melihat liehay- nya soetee ini. Itulah gerakan tangan yang ia belum pernah lihat. Ia merasa, sekalipun disaat mudanya guru mereka,

masih guru itu tak bisa bersilat seper- ti anak muda ini. Ilmu silat apakah itu? Dari mana soetee ini dapat pelaja- rinya? Hie Bin ada begitu girang se- hingga ia bersorak sendirinya. Siauw Hoei, yang pun bergirang, cuma berse- nyum. Oen Gie dan Tjeng Tjeng bergirang dalam hati saja. Sudah terlalu lama mereka dikekang sehingga tak berani mereka sembarangan perlihatkan wajah kegirangan. Untuk Sin Tjie, inilah pertempuran pertama melayani orang- orang kenamaan, ia empos semangatnya, ia berlaku sungguh-sungguh. Ia pun tidak main pandang-pandang lagi. Maka itu dengan tangan kiri ia mainkan tipu-tipu daya dari Hok-houw-tjiang, Tangan Menakluki Harimau dari Hoa San Pay, dengan tangan kanan ia bersilat dengan gerak-gerakan "Kim-coa-ciam", "Jarum ular emas", dari Kim Tjoa Pit Kip. Yang pertama adalah pelajaran Pat-tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan, yang

belakangan adalah dari Kim Coa Long Koen Hee Soat Gie, hingga umpama kata kedua orang liehay itu hadir bersama, mereka juga cuma mengenali separuh saja. Maka tidaklah heran apabila Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay kena dibikin terbenam dalam keheranan. Sehabis meru- buhkan Oen Beng Go, Sin Tjie lantas terjang Oen Beng Gie. Ia gunai siasat- nya yang tadi, akan tetap serang satu lawan, akan bulang-balingkan tusukan rambut dimatanya lawan itu, yang saban- saban ia tusuk, sehingga Ngo Tjouw yang kedua lantas saja jadi repot seperti adiknya tadi. Oen Beng Tat saksikan ancaman bahaya itu, mendadak ia berseru nyaring, lantas ia tolak terpelanting satu muridnya yang ada didepannya, se- hingga si murid keluar dari kalangan,

sedang Oen Beng San, yang mengerti maksud kanda tua itu, gunai kakinya akan dupak dan sempar sesuatu orangnya yang bergeletakan dilantai. Dengan tindakan ini, mereka bikin lantai bersih dari segala perintang, secara begitu, hendak mereka lanjutkan kepung- annya menurut gerak-gerakan Ngo-heng- tin, tidak perduli jumlah mereka sudah

kurang dua. Sin Tjie lanjuti desakannya terhadap Oen Beng Gie, tidak pernah ia hendak memberi kelonggaran, secara be- gini tetap tidak berjalan lancarlah Ngo-heng-tin itu. Selagi Beng Tat dan dua saudaranya bingung, Beng Gie sudah kena dihajar pundak kirinya. Oen Beng San hendak tolong kakaknya itu, dengan tongkatnya, dengan serangan "Lie Kong shia tjio" atau "Lie Kong memanah batu", ia menghajar kearah bebokong. Berbareng dengan dia, Oen Beng Tat dengan sepasang siang-kek, tumbak cagaknya, menyerang kekiri dan kanan lawan. Beng Gie sendiri, dengan menahan sakit mencoba melayani terus, tak ingin dia bikin kacau gaya tinnya. Sin Tjie berkelit dari bokongan kedua lawan di- belakang dan sampingnya itu, ia masih

mendesak Beng Gie, tapi karena musuh- musuh geraki Ngo-heng-tin, ia kembali tunjuki kegesitannya, kelincahannya. Ia senantiasa mengegos tubuh, berkelebatan sana dan sini, sampai mendadak ia apungi tubuhnya itu, mencelat tinggi, tusukan rambutnya diselipkan dikepala- nya, sebelah tangannya dipakai menjam- bret penglari dimana ia bergelantungan.

Tiga jago dari Tjio Liang Pay lagi mengepung dengan seru apabila mereka dapati lawan hilang dalam sekejab, hingga mereka jadi sangat heran. Sama sekali mereka tak tampak tubuh lawan itu mencelat ketinggi. Justru itu, sekonyong-konyong ada angin menyambar

diatas kepala mereka, sehingga mereka terperanjat, sebab mereka duga, itulah bukan angin sembarangan. Mereka lantas geraki tubuh, untuk berkelit, tapi su- dah kasep, dua-dua Beng San dan Beng Gie telah terkena timpukan, keduanya rubuh rebah dilantai tanpa berkutik.

Beng Tat loncat kepada ketiga saudara- nya, terus ia membungkuk. Ia niat tolong mereka itu, yang terserang jalan darahnya. Selagi ia membungkuk serangan datang pula. Ia ada dari Tjio Liang Pay, ia liehay sekali, maka dengan putar sepasang tumbak cagaknya diatas kepalanya, ia cegah biji-biji catur mengenai tubuhnya. Begitulah belasan biji catur kena disampok jatuh, hingga menerbitkan suara tingtong-tingtong. Ia putar terus siangkeknya, sebab ia kuatir lawannya melanjuti menyerang ia dengan senjata rahasia yang istimewa itu. Selagi ketua Ngo Tjouw ini geraki siangkeknya itu, mendadak ia dengar seruan kaget pada pihaknya, lalu ia rasai tangannya tergetar, sepasang tumbaknya seperti tertahan atau ter- sangkut entah barang apa. Iapun menjadi kaget, dengan segera ia kerahkan tena- ganya, untuk menarik dengan keras. Justru ia berbuat demikian, justru siangkek itu terlepas dari cekalannya. Maka berbareng kaget, ia lompat kesam- ping hingga tiga tindak, kedua tangan- nya dipakai melindungi mukanya. Ternya- ta siangkek bukannya terlepas terlempar hanya pindah kedalam tangannya Sin jie,

yang telah lompat turun dari penglari selagi jago tua itu repot membela diri. Dengan ayun kedua siangkek dengan kedua tangannya, anak muda itu berseru : "Lihat!" Sekejab saja, kedua tumbak cagak melesat, kearah kedua tiang yang besar didalam lian-boe-thia itu, nancap melesak hampir separuhnya, hingga kedua tiang tergentar, sampai genteng-genteng diatasnya bersuara berkresekan, hingga beberapa orang yang berdiri dipintu lari keluar, mereka kuatir ruang itu rubuh ambruk... Ketika dahulu Bok Djin Tjeng ajarkan Sin Tjie ilmu pedang, dia pernah menimpuk dengan pedang sampai pedangnya masuk nancap kedalam batang pohon. Itulah ilmu pedang yang Bhok Siang Toodjin puji tak ada tandingan- nya. Dan sekarang ini, Sin Tjie perli- hatkan kepandaiannya itu, melainkan ia tak gunai pedang hanya tumbak cagak.

Oey Tjin kenal baik ilmu pedang itu, dia begitu kagum hingga dia serukan : "Wan Soetee, sungguh sempurna timpukan- mu "Sin Liong Hoan Bwee!" (Naga sakti perlihatkan ekor)." Sin Tjie menoleh, sambil tertawa. Beng Tat sendiri ber- diri tercengang, karena dihadapannya, empat saudaranya sudah rebah tidak berdaya. Sin Tjie bertindak mengham- pirkan soehengnya, ia cabut tusukan rambut dari kepalanya, untuk dikem- balikan kepada Siauw Hoei, siapa menyambutinya dengan girang sekali.

Oen Beng Tat tidak berdiam lama-lama. Tjio Liang Pay yang demikian kesohor, sekarang runtuh ditangannya satu bocah. Sekejab saja, ia niat berlaku nekat, dengan benturkan kepala ke tiang rumah, akan tetapi sekejab kemudian ia berpi- kir lain. "Aku sudah berusia lanjut, tak dapat aku membalas sakit hati ini," pikirnya," akan tetapi selama masih ada secarik napasku, pastilah aku tak mau sudah saja!...." Maka itu, ia lantas hadapi Oey Tjin. "Semua emas disana, kamu boleh ambil dan bawa pergi!" katanya. Mendengar perkataannya orang tua itu, tanpa tunggu ulangan lagi, Hie Bin maju akan jumputi semua potongan emas, untuk dimasuki kedalam kantong kulitnya, perbuatannya itu diawasi oleh beberapa puluh orang-orang Tjio Liang Pay, tak satu diantaranya berani maju mencegah. Karena Sin Tjie telah bikin mereka tunduk, semangat mereka gempur.

Oen Beng Tat hampirkan Beng Gie, dia ini rebah tanpa bisa bergerak sedikit juga, kecuali matanya yang masih bisa berjelilatan. Sebagai ahli tiam-hiat, tukang totok jalan darah, ia segera totok jalan darah "in-thay-hiat" dari adik itu, lalu ia mengurut-urut. Akan tetapi tak dapat ia sadarkan saudaranya itu, walau ia sudah ulangi percobaannya menolongi lagi. Ia jadi heran sekali.

Kemudian Beng Go, Beng San dan Beng Sie pun didekati, untuk ditolong, akan tetapi totokannya, urutannya terhadap tiga saudara itu, tidak memberikan hasil seperti terhadap Beng Gie. Maka sekarang insyaflah ia, totokannya Sin Tjie adalah dari lain golongan, yang

beda daripada kebisaannya sendiri. Ia pikir untuk minta tolong Sin Tjie teta- pi ia segan membuka mulut, dari itu dengan terpaksa, ia menoleh pada Tjeng Tjeng, ia memberi tanda dengan gerakan bibir. Tjeng Tjeng bisa duga, toa-yaya itu mohon ia mintakan pertolongannya Sin Tjie, tetapi ia berpura-pura tidak mengerti. "Toa-yaya memanggil aku?" ia tanya, ia menegasi. "Setan alas, kacung licin!" Beng Tat mendamprat dalam hati, ia mendongkol bukan kepalang. "Sampai disaat ini, kau masih main gila terha- dapku! Kau lihat, habis ini, aku nanti hukum kamu ibu dan anak!" Sambil kertak gigi, ia terpaksa kata: "Kau harus minta dia sadarkan keempat yayamu..."

Tjeng Tjeng lantas hampirkan Sin Tjie, ia memberi hormat, lalu dengan suara nyaring, ia kata pada anak muda itu : "Toayayaku mohon kau suka sadarkan empat yayaku itu!"

"Baiklah," jawab Sin Tjie tanpa berpi- kir pula. Dan lantas ia bertindak maju. Benar sedangnya ia hendak membungkuk, kupingnya dengar ketikan shoeiphoa dari

toasoehengnya yang terus kata padanya:

"Wan soetee, benar-benar kau tidak mengerti barang sedikit juga kitab ilmu dagang! Saat ini ada saatnya harga barang bisa dikasi naik, kenapa kau tidak hendak gunai ketika menaikinya? Coba kau menghitung....Jangan kuatir kau menyebutkan harga berapa juga,

orang toh bakal memakannya!" Sin Tjie tahu, toasoeheng itu sangat jemu ter- hadap Tjio Liang Pay dan sekarang sau- dara ini hendak lampiaskan hatinya, walaupun ia kurang setuju, akan tetapi dimana toasoeheng itu ada beserta, ia mesti beri kemerdekaan kepada toasoeheng itu. "Baiklah toasoeheng, aku turut kau," ia bilang. Ia batal menotok sadar empat korbannya itu.

"Keluarga Oen ini, ditempat kediamannya ini, telah menganggu sangat pada sesama

penduduknya," Oey Tjin lantas berkata, "mereka melepas hutang dengan bunga berat, mereka memeras juga. Diempat dusun dari Kie-tjioe ini, suara pena- saran memenuhi jalanan! Selama dua hari ini aku telah bikin penyelidikan dengan jelas sekali. Maka itu Wan soetee, ji- kalau kau hendak obati orang, kau mesti minta angtiap berisi. Tentu sekali,

jumlah uang itu kita sendiri tidak inginkan, aku hanya hendak gunai itu untuk tolong penduduk sini yang pernah dan sedang menderita karena keluarga Oen ini!" Sin Tjie percaya perkataannya sang toasoeheng mengenai kejahatannya keluarga Oen, ia sendiri telah membuk- tikannya disaat pertama kali ia sampai di Tjio-liang. Tidak ada orangyang sudi berikan ia keterangan waktu ia tanyakan alamatnya keluarga itu, agaknya semua

orang sangat jemu dan jeri. Ia juga telah saksikan bagaimana Oen Tjheng labrak orang-orang yang minta keadilan dari pihak mereka. "Benar, toasoeheng!" sahutnya, yang hatinya tergerak. "Me- mang penduduk sini telah menderita sangat. Bagaimana soeheng hendak ber- buat?" Oey Tjin mengetik atas biji-biji shoeiphoanya, yang dikasi turun dan naik, mulutnya pun mengoceh: "Liok siang it kie ngo tjin it, sam it sam sip it, djie it tiam tjok ngo," demikian seterusnya. Siauw Hoei rupanya telah biasa dengan lagak lagunya soepeh itu, ia melainkan bersenyum, tidak de- mikian dengan Sin Tjie yang Baru perta- ma kali ia bertemu soehengnya, walau ia merasa lucu, ia diam saja. Adalah pihak Tjio Liang Pay, yang jadi sangat men- dongkol, kemendongkolan mana tak dapat mereka lampiaskan. Tjeng Tjeng adalah satu kecuali, meski juga ia ada angga- uta asli dari keluarga Oen, ia sampai tertawa cekikikan. Oey Tjin telah habis mengitung, ia goyang kepalanya. "Wan Soetee, aku telah hitung uang pengoba- tanmu," katanya. "Menolong satu jiwa,

ongkosnya empat-ratus pikul beras putih."

"Empat ratus pikul?" Sin Tjie tegasi.

"Tidak salah! Empat ratus pikul beras putih nomor satu yang mulus, tidak boleh kecampuran kendati juga sebutir pasir dan sepotong pesak hancur, dan dacinnya, gantangnya, batoknya, tidak boleh ada yang dipalsukan!" soeheng itu beri kepastian. Ia bicara tanpa perdu- likan Beng Tat setuju atau tidak, se- nang atau tidak. "Disini ada empat orang, maka jumlah semua jadi seribu enam ratus pikul?" Sin Tjie tegaskan pula. Oey Tjin tertawa. "Wan Soetee, kau pandai menghitung didalam hati!" kata dia. "Kau menghitung tanpa pakai shoeiphoa, kau bisa lantas menjumlah- kan, seorang empat ratus pikul, empat orang jadi seribu enam ratus pikul."

Mendengar kata guru itu, Hie Bin kata dalam hatinya : "Apanya yang aneh? Aku juga bisa menjumlahkan itu tanpa pakai pesawat hitung lagi!" Si semberono ini tidak tahu gurunya lagi bergurau. Kemu- dian Oey Tjin awasi Beng Tat dan kata pada jago tua itu: "Besok pagi kau sediakan itu beras seribu enam ratus pikul, aku ingin bagi-bagikan itu kepada penduduk sekitar sini, satu orangnya satu gantang. Begitu lekas kau telah sediakan cukup seribu enam ratus

pikul maka soeteeku ini bakal bikin sadar empat adikmu itu!" Disini tidak ada perdamaian lagi dan Beng Tat cuma tahu menurut. "Dalam tempo begini pendek bagaimana bisa dikumpulkan beras demikian banyak?" berkata ketua Tjio Liang Pay itu. "Semua persediaan didalam rumahku juga tak lebih dari

tujuh - atau delapan puluh pikul."

"Ongkos pemeriksaan penyakit sudah di- tetapkan, pemotongan harga tidak dapat

diberikan," Oey Tjin bilang. "Akan te- tapi aku suka memandang kepadamu, aku suka beri keringanan ialah pembayaran dengan angsuran. Begini, asal kau sele- sai membagi empat ratus pikul, kami tolong satu orang, kau membagi sampai delapan ratus pikul, kami tolongi orang yang kedua, demikian seterusnya. Umpama kau tidak sanggup membuat per- sediaan, kami suka memberi tempo sampai sepuluh hari atau setengah bulan, atau setengah tahun sampai satu tahun. Soeteeku ini, asal dia diundang, tentu dia bakal datang untuk menolong, tidak nanti dia main beri alasan ini dan itu."

"Empat saudaraku ini, bergerak pun tidak mampu, cara bagaimana mereka dapat menanti sampai setengah bulan?" pikir Beng Tat. "Tidak bisa lain, aku mesti turuti kehendaknya." Maka ia lantas berikan jawabannya : "Baik, besok aku akan mulai membagi beras itu!" Oey Tjin tertawa. "Tuan, kau sungguh seorang dagang yang baik sekali!" ia memuji. "Sedikitpun kau tidak meminta pengurangan. Maka jikalau lain kali ada barang baik, aku minta sukalah sembarang waktu kau berhubungan denganku!" Beng Tat berdiam saja walau- pun orang terus menerus permainkan ia, tapi karena pembicaraan sudah beres, ia lantas saja ngeloyor kedalam meninggal- kan tetamu-tetamu tak diingini itu.

Sin Tjie lantas kasi hormat pada Oen Gie dan Tjeng Tjeng. "Sampai besok!" katanya. Pemuda ini tahu, Beng Tat membutuhkan pertolongannya, hatinya tenteram akan antapkan ibu dan anak itu berdiam terus dirumahnya itu. Kemudian empat orang itu, dengan gembira, dengan bawa emas, meninggalkan rumahnya Beng Tat, akan kembali kepondokan mereka dirumah si orang tani. Tatkala itu sudah fajar,mereka tidak lantas masuk tidur, hanya Siauw Hoei terus pergi

kedapur, untuk siapkan barang hidangan, kemudian sambil bersantap, mereka duduk

pasang omong tentang kemenangan mereka, semuanya gembira sekali. "Wan Soetee," berkata Oey Tjin sambil angkat mangkok mie-nya, "baru-baru ini aku dengan soehoe omong bahwa soehoe telah terima satu murid baru, yang usianya masih

sangat muda, berhubung dengan itu, aku telah bicara main-main dengan djie soehengmu Poan Sek San-long Kwie Sin Sie suami-isteri, bahwa murid-murid kami, umpama murid kepala, sudah berusia tiga-puluh lebih, sekarang dengan tiba-tiba soehoe berikan mereka

satu siauw-soesiok, paman kecil, tidak- kah mereka nanti pada merasa likat dan itu akan mengakibatkan kesulitan? Aku tak sangka soetee, kau begini liehay, jangan kata aku, toa-soehengmu, telah ketinggalan jauh, juga djie-soehengmu, yang didelapan belas propinsi belum pernah ada tandingannya, turut pengli- hatanku, masih tak dapat tandingkan kau. Maka dibelakang hari, kemajuannya Hoa San Pay kita, kebesarannya akan mengandal kepada kau seorang. Disini tidak ada arak, baik aku berikan selamat dengan kuah mie ini saja!"

Benar-benar toasoeheng yang jenaka ini bawa mangkok mie kemulutnya, akan hirup

kuahnya! Sin Tjie berbangkit dengan tergesa-gesa, diapun segera minum kuah mie-nya. "Dengan kebetulan saja hari ini aku beruntung peroleh kemenangan," berkata ia," maka toasoeheng, tidak berani aku terima pujianmu ini. Malah aku hendak minta agar selanjutnya sukalah kau berikan aku pelbagai pengunjukan."

"Sikapmu yang merendah dan berhati-hati ini, untuk dalam Rimba Persilatan, sukar didapat," berkata dia. "Lekas duduk, mari kita dahar!" Oey Tjin gunai sumpitnya beberapa kali, lalu ia berpaling kepada Hie Bin. "Asal kau peroleh satu bagian saja dari kepandai- annya pamanmu," katanya," kau akan

dapat gunai itu untuk seumur hidupmu!"

Hie Bin telah saksikan liehaynya Sin Tjie, sejak itu ia telah kagumi sangat pamannya ini, benar ia semberono, akan tetapi mendengar kata-kata gurunya, mendadakan ia dapat satu ingatan baru, lalu dengan tiba-tiba ia berlutut didepan paman cilik itu, akan manggut

beberapa kali. "Aku mohon siauw-soesiok berikan pengajaran kepadaku," ia memo- hon. Dengan tergesa-gesa, Sin Tjie berlutut juga, untuk membalas hormat.

"Jangan, jangan, tak berani aku terima hormatmu ini!" kata ia. Ia pun lantas angkat bangun soetit itu. (Dibelakang hari, karena ingat budinya Tjoei Tjioe San, yang telah ajarkan ia silat

dan tolong jiwanya, Sin Tjie ajarkan juga Hie Bin beberapa rupa ilmu kepan- daian, setelah mana, orang semberono ini selanjutnya telah jadi berubah bagaikan seorang lain). Habis bersan- tap, empat orang ini masuk juga untuk tidur, tapi mereka tak dapat beristi- rahat lama, sang pagi sudah lantas datang, Baru saja mereka bangun, diluar sudah ada suara orang mengetok pintu, kemudian masuklah satu orang yang mem- bawa karcis namanya Oen Beng Tat. Dia ini undang Oey Tjin berempat. "Kamu pandai sekali membikin penyeli- dikan," kata Tong-pit Thie-shoeiphoa sambil tertawa. "Dengan lekas sekali kamu telah dapat ketahui tempat mondok kami!" Lantas mereka dandan dan ikut utusan Beng Tat itu. Ketika sebentar kemudian mereka tiba dirumah keluarga Oen, disana sudah berkumpul banyak sekali penduduk kampung, sedang dilain pihak, dengan saling-susul, datang tukang-tukang pikul dari dalam kota

yang angkut beras. Beng Tat sudah kirim orang-orangnya kedalam kota Kie-tjioe, untuk beli beras itu. Kota Kie-tjioe ada sebuah kota besar di Tjiatkang timur, kotanya pun makmur, akan tetapi

untuk beli beras mendadak demikian banyak, sulit juga. Beras ada tapi segera orang menaiki harga, hingga Beng Tat mesti membayar lebih mahal beberapa ratus tail perak. Lebih dahulu Toayaya ini minta Oey Tjin periksa jumlah be- rasnya, habis itu, ia mulai membagi- bagikannya kepada sekalian penduduk kampung. Mereka ini belum tahu duduknya hal, mereka semua heran kenapa tidak hujan tidak angin, jago-jago yang jahat

dan kejam itu mendadak-sontak menjadi dermawan dan mengamal beras demikian

banyak. Oey Tjin saksikan Beng Tat membagi beras dengan rapi, walaupun itu dilakukan dengan sangat terpaksa, kare- na ini, tidak lagi ia menggoda jago tua itu, ia tidak mau mengejek. Begitu le- kas empat ratus pikul beras telah ter- bagi habis, tanpa ajal lagi, Sin Tjie totok Beng Gie dan urut-urut pada- nya, hingga jago she Oen yang kedua ini lan- tas saja sadar, cuma sebab ia telah di- totok sejak tadi malam dan diantapkan telalu lama, ia masih lemah, hingga ia cuma dapat menungkuli saja kemendong- kolannya. Pembagian beras dilakukan te- rus, sampai magrib, sampai habis semua- nya seribu enam ratus pikul, selama mana, setiap empat ratus pikul, dengan menetapi janji, Sin Tjie totok sadar tiap jago she Oen itu hingga akhirnya, sadarlah semuanya empat jago. Diakhir- nya anak muda ini menjura kepada Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay itu. "Harap dimaafkan, aku yang muda telah berbuat banyak kesalahan," katanya. Oey Tjin tertawa, dia kata kepada kelima tuan rumahnya: "Walaupun kamu telah hambur- kan seribu enam ratus pikul beras, hal mana tentunya membikin sedikit sakit

hatimu, akan tetapi karena itu namamu telah dapat diperbaiki tidak sedikit. Inilah satu perbuatan amal yang untuk kamu ada banyak kebaikannya. Maka ja- nganlah kamu tidak menginsyafinya!"

Habis itu, Oey Tjin hendak ajak kawan- kawannya berlalu dari rumah keluarga Oen itu tetapi justru waktu itu, dari dalam bertindak keluar sambil berlari- lari dua orang perempuan, yang didepan Oen Gie, yang dibelakang gadisnya, Tjeng Tjeng. "Wan Siangkong, apa kau hendak pergi sekarang?" Oen Gie tanya.

Anak muda itu manggut. "Benar pehbo, siauwtit hendak berangkat sekarang," jawabnya seraya terus minta pamit.

Tubuhnya Oen Gie gemetar dengan tiba- tiba. "Dimana sebenarnya kuburan dia?" nyonya ini tanya. "Wan siangkong, tolong kau ajak aku pergi melihat kuburannya itu..." Sin Tjie belum sempat menjawab atau ia dengar suara angin menyambar, hingga ia terperanjat. Segera ia menoleh dan berlompat, dan dilain saat dengan beruntun ia dapat

sanggapi empat potong hoeitoo, golok terbang. Akan tetapi menyusul itu, Oen Gie menjerit keras,lalu tubuhnya terhu- yung rubuh. Dibelakangnya kelihatan tertancap sebatang golok terbang, nan- capnya dalam sekali, karena hampir gagang golok turut terpendam! Nyonya yang naas itu rubuh tanpa berkutik pula. Tjeng Tjeng menjerit, ia tubruk ibunya itu, tangannya diulur, untuk cabut golok itu. "Jangan cabut!" Oey Tjin mencegah. "Djika dicabut, dia akan menutup mata!" Sin Tjie segera ketahui, siapa yang sudah lakukan pembokongan itu, maka tanpa bilang suatu apa, ia menimpuk dengan empat hoeitoo dita- ngannya terhadap Oen Beng Sie. Soe-yaya itu telah umbar napsu amarahnya, ia mendongkol yang Sin Tjie tidak rubuh

karena bokongannya tetapi ia puas dengan rubuhnya Oen Gie. Habis menye- rang, ia berdiri mengawasi dengan se- nyuman iblisnya, maka itu, ia bisa lihat si anak muda serang ia. Untuk luputkan diri dari hoeitoo, yang bisa makan tuan, ia berkelit sambil guling- kan tubuhnya. Ia berhasil. Habis dise- rang, dia lompat bangun.Akan tetapi berbareng dengan itu, ia rasai bebo- kongnya, juga paha kanannya, menjadi baal dengan tiba-tiba, menyusul mana ia rubuh sendirinya. Sin Tjie tahu, jago Tjio Liang Pay ini ahli golok terbang, sudah sewajarnya saja dia akan pandai menyelamatkan diri dari golok-goloknya yang liehay itu, maka itu, ia sudah lantas bertindak. Begitu lekas ia menimpuk dengan empat ia susul sera- ngannya dengan dua butir biji caturnya. Malah karena ia gusar untuk ketelengas- annya jago tua itu, ia menimpuk secara hebat. Beng Sie tidak dapat tolong di- rinya, ia rubuh seketika, napasnya berhenti.... Kapan si anak muda meman- dang Tjeng Tjeng, ia tampak si nona numprah ditanah sambil peluki tubuh ibunya, saking sedih, nona ini menangis tanpa mengeluarkan suara. Ia lantas

menghampirkannya, hingga ia lihat tegas sipatnya golok terbang itu, yang masih nancap dibelakang si nyonya. Ia insyaf nyonya itu sukar dapat ditolong pula. Maka tidak ayal lagi, ia menotok dua kali, setiap kalinya didekat iga, untuk menutup jalan darah, secara demikian, nyonya yang malang nasibnya itu jadi tak usah menderita lebih lama lagi.

Karena totokan itu, Oen Gie bisa buka kedua matanya. Ia lagi menanggung sa- kit, ia meringis karena mencoba melawan itu, akan tetapi ia bisa pandang gadis- nya sambil bersenyum. "Jangan bersusah hati, Tjeng," katanya kepada anak dara- nya itu. "Sekarang aku dapat susul ayahmu, untuk menemuinya, dengan berada didamping ayahmu itu, tidak akan ada

lagi orang yang berani menghina aku..."

Tjeng Tjeng menangis tersedu-sedu, ia manggut tetapi tak dapat ia mengucapkan kata-kata. Oen Gie memandang Sin Tjie, ia berkata pula : "Wan Siangkong, ada satu hal tentang mana mesti kau berita- hu aku dengan sebenar-benarnya, tak dapat kau menyembunyikannya sedikit juga..." "Apakah itu, pehbo?" tanya si anak muda. Ia ini mengucurkan air mata saking terharu. "Dia meninggalkan surat wasiat atau tidak?" Oen Gie tanya. "Dia pernah menyebut-nyebut aku atau tidak?"

"Hee Lootjianpwee telah meninggalkan seperangkat peta ilmu silat," Sin Tjie jawab. "Ketika kemarin aku pecahkan Ngo-heng-tin, aku telah gunakan ilmu silat yang didapatinya dari peta itu. Dengan begitu bisalah dianggap aku telah balaskan dia punya sakit hati, hingga dendamannya terlampias sudah."

"Apakah dia tidak meninggalkan surat untukku?" Oen Gie tanya pula. Sin Tjie menggelengkan kepala. "Tidak," sahutnya dengan pelahan. Nyonya itu nampaknya putus asa. "Setelah dia minum itu racun, habislah tenaganya," berkata nyonya ini dengan lemah. "Diatas langit, rohnya lootjianpwee tentu ketahui itu," Sin Tjie menghibur," tentu ia tidak akan sesalkan pehbo."

Tentu dia telah menutup mata karena sakit dan berduka," Oen Gie kata pula. "Pada mulanya, tentu sekali dia me- nyangka akulah yang racuni dia. Maka sekarang, walau duduknya perkara sudah jadi terang, toh sudah kasep..."

Sin Tjie sangat berduka, apapula kapan ia lihat kedua tangannya si nyonya telah dilonjorkan dan wajahnya berubah. Tiba-tiba ia ingat pesannya Kim Tjoa Long-koen yang termuat didalam peta dalam Kim Tjoa Pit Kip. Didalam kitab itu toh ada disebut namanya Oen Gie. Maka lekas-lekas ia rogoh sakunya.

"Pehbo, lihat ini!" berkata ia seraya perlihatkan tulisannya Kim Tjoa Long- koen. Oen Gie sudah mulai rapatkan kedua matanya ketika ia lantas membu- kanya pula. Sesaat itu, mendadak saja ia jadi segar pula. "Ya, inilah tulisan dia, tulisan dia!" katanya separuh berseru. "Aku kenali tulisan dia!"

Bukan main terharunya Sin Tjie akan tampak kegirangan si nyonya mirip dengan kegirangan satu bocah. Oen Gie baca tulisan dipinggir peta itu : "Siapa dapati mestika, dia mesti pergi ke Tjio-liang di Kie-tjioe, Tjiatkang, untuk cari Oen Gie. Kepadanya harus diserahkan uang emas sejumlah sepuluh laksa tail...." "Itulah dimaksudkan aku!" berseru pula si nyonya. Tiba-tiba saja ia tertawa, air mukanya jadi te- rang dan ramai. Ia sambar tangannya si anak muda, untuk dicekal dengan keras.

"Nyata dia tidak sesalkan aku!....Aku tak mau menerima uangnya itu.... Asal aku ketahui dia masih ingat aku, dia masih pikiri aku....Sekarang aku hendak pergi, aku hendak pergi menemui dia..."

Sin Tjie tahu tenaga si nyonya sudah hampir habis, maka ia ingin menghiburi Tjeng Tjeng. Oen Gie sudah tutup kedua matanya, atau tiba-tiba ia buka pula.

"Wan Siangkong, lagi dua hal aku hendak minta dari kau," katanya. "Dan aku ingin kau menerimanya dengan baik."

"Silahkan sebutkan itu, pehbo," Sin Tjie lantas berikan jawabannya. "Segala apa yang aku sanggup, pasti aku akan menyanggupinya."

"Yang pertama-tama aku ingin kau nanti kubur aku didampingnya," berkata nyonya yang bernasib buruk itu. "Dan kedua.... kedua...." Sekonyong-konyong ia berhenti. "Yang kedua.....apakah itu, pehbo?" Sin Tjie tegaskan. "Silahkan pehbo menyebutkannya...." "Yang kedua itu....Kamu....kamu...." ia lantas tunjuk Tjeng Tjeng. Tak dapat ia

meneruskannya, lantas kedua matanya ditutup rapat, kepalanya teklok, dan ia tidak berkutik lagi. Sin Tjie segera raba dada orang, napasnya si nyonya sudah berhenti jalan. Tjeng Tjeng men- dekam ditubuh ibunya, ia menangis meng- gerung-gerung. Tapi ia tak menangis lama, segera ia pingsan. Sin Tjie ter- kejut. "Adik Tjeng, adik Tjeng!" ia memanggil, berulang-ulang. "Tidak apa-apa," Oey Tjin bilang. "Itulah disebabkan kedukaannya yang sangat...."

Soeheng ini nyalakan api tekesan, ia sulut sepotong sumbu, dengan itu ia asapkan hidungnya si nona, maka tidak lama, setelah berbangkis, Tjeng Tjeng ingat akan dirinya. Ia buka kedua mata- nya dengan pelahan-lahan, nampaknya ia seperti hilang ingatannya. "Bagaimana rasamu, adik Tjeng?" Sin Tjie tanya, dengan pelahan. Nona itu tidak menja- wab. Oey Tjin dan Siauw Hoei merasa aneh. Mereka tidak tahu hubungan dian- tara Sin Tjie dan Oen Gie dan gadisnya nyonya ini. Dimata mereka, ibu dan anak itu mesti ada anggauta keluarga Oen akan tetapi kenapa mereka justeru dicelakakan Ngo Tjouw dari Tjio Liang

Pay? "Adik Tjeng, mari kau turut kami," kata Sin Tjie dengan air mata bercucur- an. "Tak dapat kau tinggal disini lebih lama pula..." Tjeng Tjeng masih bungkam tetapi ia dapat manggut. Tanpa bilang suatu apa, tanpa likat juga, Sin Tjie pondong tubuhnya Oen Gie, untuk terus

dibawa bertindak keluar. Diwaktu begi- tu, ia tidak ambil mumet lagi kepada keluarga Oen. Tjeng Tjeng berbangkit, ia ikuti anak muda itu. Oey Tjin, bersama-sama Siauw Hoei dan Hie Bin, pun segera bertindak akan tinggalkan

tuan rumah. Beng Tat dan tiga saudara- nya dan yang lainnya pula, berdiri melongo, hati mereka panas. Bukankah mereka telah dianggap sebagai bukan manusia lagi? Tidak satu diantara

rombongannya si anak muda gubris mereka dan mereka mesti antapkan saja orang bawa pergi dua anggauta keluarganya itu - anak perempuan, keponakan dan cucu!

Mereka menginsyafi liehaynya si anak muda dan soehengnya dia ini, mereka jeri, hingga tak berani mereka maju untuk menghalangi. Sekeluarnya dari pekarangan, Oey Tjin berikan seratus tail perak pada Hie Bin, muridnya.

"Kau bawa uang ini kepada petani yang rumahnya kita tumpangi," kata dia. "Kau berikan uang ini kepada mereka, lalu kau minta mereka pindah malam ini juga!" Hie Bin sambuti uang itu tetapi ia awasi gurunya, agaknya ia heran.

"Kenapa dia mesti pindah sekarang juga?" tanyanya. "Pihak Tjio Liang Pay tidak dapat berbuat apa jua terhadap kita, pasti sekali mereka akan tumple- ki kemendongkolannya terhadap lain orang," sang guru menerangkan. "Petani itu beri tempat menumpang kepada kita, pasti sekali dia orang bakal disatroni keluarga Oen itu." Baru sekarang sang murid mengerti. "Soehoe benar," ia memuji. Dan ia lantas lari kerumahnya si orang tani, untuk serahkan uang itu, buat minta mereka pindah lantas. Sin Tjie tunggu sampai orang she Tjoei itu kembali, Baru mereka melanjuti perja- lanan, akan tinggalkan desa Tjio Liang itu. Mereka lakoni perjalanan terus selama tigapuluh lie lebih, Baru mereka singgah disebuah kuil tua dan rusak diatas satu bukit. Tiga huruf "Leng Koan Bio" yang sudah hampir hapus ada- lah namanya kuil yang tak terawat itu. "Disini kita beristirahat," Oey Tjin bilang. Mereka memasuki ruangan rusak dan kotor disana-sini, dengan gala- gasinya juga. Mereka duduk diruang te- ngah dimana tubuhnya Oen Gie diletaki didamping mereka. "Bagaimana hendak kita urus jenazah nyonya ini?" tanya Oey Tjin. Itu adalah soal paling

penting. "Apakah kita kubur disini saja atau kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu dengan baik?" Sin Tjie tidak menjawab, ia kerutkan alisnya. "Umpama kita pergi kekota untuk merawatnya da- hulu," menyatakan Oey Tjin, "Aku kuatir

kita tidak merdeka. Pembesar negeri tentu akan menanyakannya dengan melit. Kita boleh tidak usah kuatir tapi pasti sudah kita bakal ngalami kesulitan dan berabeh." Dengan pikirannya ini, Oey Tjin menginginkan nyonya itu dikubur disitu saja. "Tidak, itu tak dapat dilakukan!" Tjeng Tjeng nyatakan tak setuju. "Ibu telah menyatakan ia ingin dikubur bersama-sama ayah..." "Dimana- kah dikuburnya ayahmu itu?" tanya Oey Tjin. Tjeng Tjeng diam. Tak dapat ia menjawabnya. Ia tidak tahu dimana letaknya kuburan ayahnya itu. Maka ia awasi Sin Tjie. "Digunung Hoa San ki- ta!" kata Sin Tjie tanpa tunggu ditanya lagi. Oey Tjin heran, tak terkecuali Tjeng Tjeng sendiri. "Ayahnya itu adalah Kim Tjoa Long-koen Hee Lootjianpwee, itu orang kang-ouw gagah

dan aneh," Sin Tjie terangkan pula.

Usianya Oey Tjin tak berjauhan dengan usianya Kim Tjoa Long-koen, ketika ia mulai dapat perkenan akan berkelana, namanya Kim Tjoa Long-koen sudah meng- getarkan dunia Rimba Persilatan, maka itu, berbareng heran ia pun menjadi kagum, hingga dengan sendirinya, ia tambah menghormati nyonya yang rebah didamping mereka. "Aku mempunyai satu usul," kata ia kemudian setelah ia berpikir sekian lama. "Aku harap

nona tidak buat kecil hati..." Tjeng Tjeng lihat Oey Tjin sudah berusia lanjut. "Silakan utarakan itu, loopeh," kata dia. Oey Tjin tunjuk Sin Tjie.

"Dia ini ada soeteeku, dari itu tak dapat aku terima kau panggil loopeh padaku," kata ia. "Kau memanggil toako saja." Hie Bin segera melirik pada Tjeng Tjeng. "Begini gayanya, apa aku bukan mesti panggil koh padamu?" pikir dia. "Kau toh cuma satu bocah perem-  puan..." Tjeng Tjeng menoleh pada Sin Tjie, Baru ia menjawab. "Apa yang toako bilang pasti aku akan dengar," sahut ia, yang lantas ubah panggilannya. "Ah, benar-benar celaka!" pikir pula Hie Bin, hatinya gentar, ia tergugu. "De- ngan tidak malu-malu lagi dia panggil toako pada soehoe!" Si tolol ini sibuk memikirkannya, sudah punya paman cilik, sekarang ia bakal punyai lagi satu bibi demikian muda-belia... Tentu sekali Oey Tjin tidak pernah sangka apa yang dipi- kirkan muridnya itu yang berdiri dengan melongo. "Ibumu ingin dikubur bersama ayahmu, pasti mesti kita wujudkan ke- inginannya itu," berkata pula Oey Tjin pada si nona, yang dalam sedetik saja menjadi adik perempuannya. "Tapi pelak- sanaannya itu sulit sekali. Jangan kita sebut-sebut dahulu halnya perjalanan

dari sini ke Hoa San yang ribuan lie jauhnya, hingga untuk angkut layon saja sudah sukar. Umpamakan saja kita bisa sampaikan gunung Hoa San. Adik tentu tidak ketahui berapa tingginya gunung itu. Dari kaki gunung saja layon tak dapat dibawa naik kepuncak..."

Tjeng Tjeng mengawasi dengan terce- ngang. "Begitu?" tanyanya. "Habis bagaimana?" "Masih ada satu jalan lain," sahut Oey Tjin. "Kita sambut tulang-tulang mendiang ayahmu itu, untuk dibawa kemari, untuk dikubur bersama jenazah ibumu. Jalan ini aku rasa ada kurang tepat. Sekarang ini ayahmu sudah berdiam dengan tenang, adalah kurang sempurna untuk ganggu ia dengan kepindahan tempat kuburannya."

Tjeng Tjeng bingung, hingga ia menangis pula. "Habis?" tanya dia. "Oleh karena semua kesulitan itu," ujar pula Oey Tjin, "aku pikir baiklah jenazah ibumu

dibakar, lantas tulang dan abunya kita antar ke Hoa San untuk dikubur bersama ayahmu..." Tjeng Tjeng tercengang. Kurang setuju ia dengan usul itu. Akan tetapi, apa daya? Maka diakhirnya, selang beberapa saat, ia manggut, tapi air matanya mengucur dengan deras.

Oey Tjin lantas ajak Sin Tjie dan Hie Bin pergi keluar, untuk kumpuli rumput dan kayu bakar sedapat-dapatnya, untuk mengumpulkan itu, mereka ambil tempo sekian lama, setelah itu, tubuhnya Oen Gie dibawa keluar, akan dilain saat, pembakaran telah dimulai. Sakit hatinya Tjeng Tjeng, ia mendekam ditanah dan menangis mengulun. Sejak dilahirkan, ia seperti hidup menyendiri disebuah rumah-tangga yang istimewa, kecuali

ibunya, tidak ada seorang lain juga yang menyayangi dia, sebaliknya, senantiasa orang tertawakan dia, sindir padanya, atau paling ringan, orang lirik ia secara dingin. Suasana keluar- ga yang luar biasa itu membuat ia mem- punyai tabeat yang luar biasa itu, ia jadi aneh dan bandel. Sekarang, setelah ibunya meninggalkan ia sebatang-kara, ia pun mesti lihat tubuh ibunya dian- tara api yang berkobar-kobar besar.

Oey Tjin semua tahu orang sangat berdu- ka, dan percuma saja untuk hiburkan atau nasihati padanya, dari itu semua berdiam, mengantapkan dia umbar keduka- annya itu. Banyak waktu dilewatkan un- tuk tunggu pembakaran mayat selesai. Sin Tjie telah cari sebuah guci, maka setelah api padam, ia kumpuli abu dan sisa tulang-tulang, untuk dimasuki ke- dalam guci itu, buat ditutup rapat. Ia menjura dua kali kepada abu itu dan kata dalam hatinya : "Pehbo, aku harap kau tenangkan hatimu, pasti sekali aku nanti antar pehbo ke Hoa San untuk di- kubur bersama dengan baik-baik, tidak nanti aku sia-siakan pesan pehbo...."

Oey Tjin lihat segala apa telah sele- sai, lalu ia kata pada Sin Tjie. "Kita hendak antar emas ini ke Kioe-kang, Kangsee. Selama ini Giam-ong sudah kirim sejumlah saudara ke Kang-souw, Tjiatkang, seluruh Kangsee dan An-hoei untuk mencari hubungan disana, untuk persiapan mereka diselatan nanti me- nyambut begitu lekas kita di Tionggoan sudah mulai angkat senjata. Kau berha- sil merampas pulang emas ini, soetee,

tak kecil jasamu ini." "Tadinya aku tak tahu bahwa emas ini demikian berharga," kata Tjeng Tjeng. "Coba tidak djiewie toako datang sendiri, pastilah aku telah membikin gagal usaha besar dari Giam Ong."

"Asal kau ketahui itu, itulah bagus," Hie Bin campur bicara. Tidak biasanya Tjeng Tjeng nyerah kalah bicara, ia tahu pemuda itu maksudkan dia, maka

wajahnya jadi berubah. Lantas dia kata pula: "Jikalau bukan Oey Toako sendiri yang antar emas ini, aku kuatir dite- ngah jalan nanti terbit onar pula!"

Inilah sindiran hebat untuk Hie Bin, yang dianggapnya tidak berguna, sudah tidak mampu lindungi emas itu. Masih Hie Bin hendak melawan bicara akan tetapi Oey Tjin deliki ia, untuk cegah ia banyak mulut. "Jikalau Wan Soetee dan Oen Kohnio tidak punya urusan penting, bagaimana andainya kita pergi bersama ke Kioe-kang?" tanya Oey Tjin kemudian. "Siauwtee memikir untuk pergi dulu ke Lamkhia untuk menemui soehoe sekalian mohon pengunjukannya," sahut Sin Tjie. "Di Lamkhia juga aku hendak menemui Tjoei Siokhoe." "Soehoe bersama saudara Tjioe San sudah kembali ke Siamsay," Oey Tjin menerangkan. "Seka- rang ini suasana sudah genting sekali, mungkin pergerakannya Giam Ong tinggal

menunggu waktunya saja." Hatinya Sin Tjie tergerak. "Dengan begitu telah sampailah saatnya sakit hati ayah di- balaskan!" pikir dia, yang kedua mata- nya lantas menjadi merah. Segera ia kata: "Jikalau begitu, siauwtee hendak lantas pergi ke Siamsay untuk menemui soehoe, tidak jadi siauwtee pergi ke Kioe-kang. Bagaimana pikiran toako?"

Soetee ini hargakan toakonya itu maka ia menanya demikian. "Giam Ong hendak bergerak, dia sedang membutuhkan banyak pembantu," sahut Oey Tjin. "Soetee mem- punyai kepandaian begini sempurna, de- ngan soetee pergi ke Siamsay, untuk bantu dia, itulah bagus sekali. Aku percaya, soetee, dibelakang hari kau akan berbuat banyak untuk rakyat."

"Dalam hal itu aku mengharap pimpinan soeheng," kata soetee ini, yang halus sekali budi pekertinya. Oey Tjin terta- wa menampak sikap yang halus itu. "Tak dapat aku telad kau," katanya. "Disini saja kita berpisah!" Soeheng ini ber- bangkit, ia angkat kedua tangannya, lantas ia memutar tubuh, untuk bertin- dak pergi. Hie Bin kasi hormat pada paman ciliknya, untuk pamitan. "Engko Sin Tjie, rawat dirimu baik-baik," Siauw Hoei pesan ketika ia pun pamitan dari itu kawan semasa kecil. Si anak muda manggut. "Tolong sampaikan hormat- ku kepada encim," ia pesan. "Tolong sampaikan pada encim bahwa aku senan- tiasa ingat dia."

"Ibu juga sering sebut kau, engko," bilang si nona. "Apabila ibu tahu kau sudah jadi begini besar, pasti ia akan jadi sangat girang. Nah, aku pergi!"

Nona ini memberi hormat, segera ia susul Oey Tjin. Mereka menuju ke selatan. Beberapa kali ini nona masih menoleh, untuk lambai-lambaikan ta- ngannya, sehingga Sin Tjie saban-

saban membalasnya, sampai tiga orang itu sudah lenyap dari pandangan mata- nya. "Hm!" tiba-tiba terdengar suaranya Tjeng Tjeng. "Kenapa kau tidak susul dia untuk lambaikan tangan pula?"

Sin Tjie melengak. Inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak tahu hatinya nona ini. "Kenapa kau tidak turut dia pergi bersama?" Tjeng Tjeng kata. "Dengan susul dia, bukankah kau tak akan merasa berat sebagai ini....?" Baru sekarang Sin Tjie insyaf sebab-musabab marahnya nona ini. Ia tidak jadi gusar, sebalik- nya, ia tertawa. "Kau belum tahu," katanya. "Ketika aku masih kecil, aku hadapi ancaman bahaya besar, itu waktu adalah ibunya nona itu yang tolong aku. Sejak masih kecil itu kami biasa ber- main berdua saja." Tjeng Tjeng jadi semakin mendongkol, ia jumput sepotong batu dan timpuki itu secara sembarangan kepada tangga batu, sehingga muncratlah lelatu api. "Itulah persahabatan rapat sekali!" katanya kemudian, dengan dingin. Sin Tjie tahu adat koekoay si nona, ia antapkan saja. Tapi ini justru membuat nona itu makin panas hatinya.

"Dengan dia kau bicara dengan gembira, sambil tertawa-tawa, tapi melihat aku, kau masgul!" katanya. "Kapannya aku masgul, tak gembira bicara denganmu?" Sin Tjie tanya. "Ya, itu orang manis- budi, selagi kau kecil, kau sangat di- sayangi, akan tetapi aku, aku tidak punya ibu...." Lantas ia menangis.

"Ah, jangan kau turuti saja adatmu," kata Sin Tjie dengan masgul. "Sekarang harus kita berdamai, bagaimana kita mesti berbuat selanjutnya." Mendengar begitu, mukanya Tjeng Tjeng berubah menjadi merah-dadu. "Apakah yang hendak didamaikan lagi?" katanya. "Pergi kau susul adikmu Siauw Hoei itu! Aku ada satu anak sengsara, biarkan aku ter- umbang-ambing diujung langit dan pojok

laut..." Bingung Sin Tjie untuk menja- wab. Iapun mesti pikirkan, bagaimana hendak diatur mengenai nona ini. Ia merasa sulit hingga ia diam saja.

Tjeng Tjeng lihat orang bungkam dan bengong saja, ia jumput guci abu dan tulang ibunya, ia lantas bertindak pergi. "Kau hendak pergi kemana?" tanya si anak muda. "Perlu apa kau perdulikan aku?" balik tanya si nona. Ia bertindak terus kearah utara. Dengan terpaksa Sin Tjie mengikuti. Nona itu tetap diam saja, Sin Tjie coba mengajaknya bicara, dia itu tidak memperdulikannya. Akhir- nya sampailah mereka dikota Kim-hoa.

Setelah ambil pondokan, Tjeng Tjeng pergi akan beli seperangkat pakaian orang lelaki, berikut sepatu dan ikat kepalanya, untuk ia menyamar sebagai satu pemuda. Sin Tjie tahu, karena berlalunya dengan kesusu, nona itu tidak bekal banyak uang, maka selagi si nona keluar, ia selipkan dua potong emas dalam saku bajunya. Tapi kapan Tjeng Tjeng kembali dan dapati uang itu, ia bawa kekamarnya si anak muda, untuk dikembalikan. Dan malam itu ia keluar seorang diri, untuk "bekerja" dirumahnya satu penduduk hartawan, hingga ia jadi mempunyai lima-ratus tail perak. Besok paginya, kota jadi gempar karena kecuriannya si hartawan itu. Segera Sin Tjie ketahui itu tentu ada perbuatan kawan wanitanya, ia jadi kerutkan alis. Ia cerdik dan gagah tapi ia seperti habis daya akan layani ini nona luar biasa. Untuk memohon, ia tak mau, ia sungkan, akan tetapi untuk tinggal pergi nona itu, ia tidak tega,

itulah tak dapat dilakukan. Ia ada satu gadis remaja dan sekarang yatim-piatu, sebatang kara. Apa bisa ia antapkan dia berkelana seorang diri? Ia jadi sangat bingung! Dihari besoknya itu, dua anak muda ini meninggalkan Kim-hoa, akan menuju ke Gie-ouw. Si nona masih men- dongkol, ia jalan didepan, hingga si pemuda mesti ikuti dia. Mereka sudah lalui tiga puluh lie lebih tatkala cuaca menjadi buruk dengan tiba-tiba, awan mendatangi secara cepat, udara jadi mendung tandanya sang hujan bakal segera turun membasahi bumi. Keduanya lantas cepatkan tindakan mereka, akan tetapi belum sampai lima lie, air la- ngit itu sudah turun juga, malah lantas dengan lebat. Sin Tjie sedia payung, ia tidak kuatirkan air hujan, tapi Tjeng Tjeng tidak, dari itu, ia lantas saja lari keras, untuk cari tempat meneduh. Apa lacur, disitu tidak ada rumah orang, tidak ada kuil atau paseban umum dimana orang bisa berlindung dari se- rangan air langit itu. Sin Tjie bisa lari lebih pesat, dengan cepat ia dapat menyusulnya, ia sengaja melewati, un- tuk dari sebelah depan, ia serahkan payungnya. "Pakai ini," katanya.

Tanpa menjawab, Tjeng Tjeng tolak payung itu. "Adik Tjeng," berkata si anak muda," kita berdua sudah angkat saudara, kita telah bersumpah untuk hidup dan mati bersama, untuk senang dan susah dipikul bersama juga, kenapa sekarang kau gusari kokomu?" Mendengar demikian, nona ini menjadi lebih sabar.

"Jikalau kau tidak ingin bikin aku gusar, kau mesti turut aku dalam satu hal," kata dia. "Sebutkan itu," bilang Sin Tjie. "Jangan kata Baru satu, sepu- luh juga dapat aku menerimanya!"

"Baik, kau dengar," kata nona itu. "Sejak hari ini kau jangan ketemui pula nona An dan ibunya! Jikalau kau terima baik permintaanku ini, aku segera akan hatur maaf terhadapmu...." Kata-kata ini ditutup dengan tertawa yang manis.

Sin Tjie menjadi sulit sekali. Ia ber- hutang budi pada An Toanio, ia mesti balas budi itu, maka kenapa sekarang, tak ada sebab tak ada lantaran, tak dapat ia menemui nyonya yang budiman itu? Sebagai seorang jujur dan kenal budi, tak dapat ia sembarang mengiakan si nona. Selagi orang terbenam dalam keragu-raguan, Tjeng Tjeng kata:

"Memang aku sudah duga tak nanti kau tega meninggalkan itu adik Siauw Hoei...." Ia lantas putar tubuhnya dan lari dengan pesat. "Adik Tjeng! Adik Tjeng !" Sin Tjie terperanjat dan me- manggil-manggil. Si nona tidak meper- dulikannya, dia lari terus. Sukur untuk mereka, sesudah beberapa pengkolan, mereka dapati sebuah paseban. Si nona lantas singgah di paseban itu, si anak muda susul dia. Pakaian Tjeng Tjeng kuyup basah semua. Itu waktu musim panas, dia memakai pakaian yang tipis, tapi setelah sekarang pakaiannya lepek, maka berpeta tegaslah potongan tubuh- nya. Ia merasa tidak enak sendirinya apabila ia tampak si anak muda turut masuk bersama, sedang anak muda itu pun likat. Lantas saja ia menangis. "Kau menghina aku, kau menghina aku...." Katanya sambil menangis terus. "Inilah aneh! Kapannya aku hinakan kau?" pikir si anak muda. Ia tidak bilang apa-apa, ia buka baju luarnya, untuk kerebongi itu pada tubuh si nona. Ia pakai pa- yung, bajunya itu tidak basah. Tjeng Tjeng ingat kebinasaan ibunya, dengan tiba-tiba saja ia menangis, ia menangis

menggerung-gerung. Sin Tjie sibuk sen- dirinya, tak tahu apa ia mesti buat untuk mendiamkan nona ini, terpaksa

ia berdiam saja. Untung berselang tidak lama, hujan mulai redah dan akhirnya berhenti. Tjeng Tjeng masih saja menangis, akan tetapi sambil menangis itu, satu kali ia melirik si anak muda. Justru itu, Sin Tjie sedang mengawasi- nya, hingga dengan sendirinya, sinar

mata mereka bentrok satu dengan lain. Ia lekas berpaling, kembali ia menangis keras. Sin Tjie jadi habis sabar.

"Aku hendak lihat, berapa banyaknya sih air matamu!" pikir dia. Dan dia mengan- tapkannya. Ketegangan itu berjalan terus sampai sekian lama, sampai menda- dak terdengar tindakan kaki, yang da- tangnya dari arah utara, apabila kedu- anya menoleh, mereka tampak satu

petani muda sedang tuntun satu nyonya muda memasuki paseban itu. Si nyonya rupanya sedang sakit, ia merintih saja.

Rupanya si petani ada suaminya nyonya itu, nampaknya ia sangat merasa kasih- an, berulang-ulang ia menghiburkannya.

Oleh karena disitu ada orang asing, Tjeng Tjeng berhenti menangis. "Baik, aku nanti mencoba," pikir Sin Tjie, yang dengan tiba-tiba dapat satu pikir- an. Tidak lama, pasangan suami-isteri muda itu meninggalkan paseban. Tjeng Tjeng lihat hujan sudah berhenti betul, ia berniat melanjutkan perjalanannya, akan tetapi disaat ia berbangkit, untuk bertindak keluar, sekonyong-konyong Sin Tjie menjerit: "Aduh! Aduh!...." Ia kaget sekali, segera ia menoleh, hingga ia tampak si anak muda, dengan terbung- kuk- bungkuk sedang pegangi perutnya, anak muda itu lantas mendeplok di lan- tai. Masih saja ia teraduh-aduh dan pegangi perutnya, mukanya meringis me- nahan sakit. Dalam kagetnya, Tjeng Tjeng lompat mendekati. Ia lihat jidat- nya Sin Tjie mandi keringat!

"Kau kenapa?" tanyanya. "Apakah perutmu sakit?" Sin Tjie tidak menyahuti, se- dang dalam hatinya, ia berpikir: "Ber- sandiwara tidak boleh kepalang- tanggung" Dan ia tahan ambekannya, hingga ketika si nona raba tangannya,

tangannya itu dingin bagaikan es.

"Kau kenapa, kenapa?" tanya pemudi ini, yang jadi sibuk bukan main. Si anak muda merintih, ia tidak menjawab. Tanpa merasa, nona itu menangis, saking bi- ngung dan berkuatir. "Adik Tjeng, sakitku ini tak dapat disembuhkan," kemudian kata Sin Tjie dengan suara

lemah. "Tidak usah kau perdulikan aku, pergilah kau berangkat...." "Tapi kena- pa, tidak keruan-keruan kau sakit?" tanya si nona. "Sejak masih kecil aku ada punya serupa penyakit," sahut Sin Tjie dengan susah," ialah tak dapat aku dibikin mendongkol atau gusar, asal orang menerbitkannya, hatiku pepat,

lantas penyakitku itu kumat, perutku sakit....Aduh!.....Aduh!....Sakit amat!..." Tjeng Tjeng jadi demikian sibuk hingga lupa dia pada adat sopan-santun, ia tubruk si anak muda untuk dirangkul, dipeluki, lalu ia urut-urut dada si anak muda. Sin Tjie merasa likat sendirinya karena orang peluki ia. "Engko Sin Tjie, dasar aku yang salah..." nona itu mengaku kemu- dian. "Sudah, engko, aku minta kau jangan bergusar lagi..." Sin Tjie pikir: "Apabila aku tidak terus ber- sandiwara, dia bisa sangka aku ada satu pemuda ceriwis..." maka ia tunduk terus, ia merintih. "Aku bakal tidak hidup lebih lama pula," ia mengeluh," kalau nanti aku menutup mata, tolong kau kubur mayatku, habis itu tolong kau beri kabar pada Oey Toako..." Ia merin- tih pula, ia mengeluh, akan tetapi da- lam hatinya, ia tertawa geli. "Tak dapat kau mati," Tjeng Tjeng menangis. "Kau tidak tahu, aku bergusar secara main-main saja, aku gusar bohong, se- ngaja aku hendak gaduh padamu, sedang hatiku, sebenarnya, aku suka, aku sangat sukai kau....Jikalau kau mesti mati, mari kita mati bersama...."

Heran Sin Tjie, kaget dia. "Ah, kiranya dia menyintai aku...." Pikirnya.  Hati- nya lantas memukul. Ia girang, Ia pun likat, dalam bimbang, ia jadi berdiam saja. Tjeng Tjeng masih saja berkuatir, ia sangka si pemuda benar-benar bakal mati, maka ia merangkul dengan keras sekali. "Engko, engko, tak dapat kau mati!...." katanya. Mereka berada demi- kian dekat, Sin Tjie membaui harum is- timewa, hatinya goncang. Tapi mendadak ia seperti sadar. "Sakit hatiku belum terbalas, cara bagaimana aku sudah main cinta?" demikian ia pikir. "Satu laki- laki mesti berlaku terus-terang! Bagai- mana aku dapat pedayakan satu anak

dara?"

"Aku bergusar bohong, jangan kau anggap sebenar-benarnya," kembali si pemuda berikan pengakuannya. Tiba-tiba saja Sin Tjie tertawa. "Sakitku juga sakit bohong, jangan kau anggap  sebenar- benarnya!..." kata dia, yang kembali tertawa berkakakan. Tjeng Tjeng terpe- ranjat, hingga ia melengak. Dengan tiba-tiba ia lepaskan rangkulannya,

dia lompat bangun, menyusul mana sebe- lah tangannya melayang kekupingnya si anak muda, hingga Sin Tjie rasai kepa- lanya pusing, matanya berkunang-kunang.

Tjeng Tjeng tutupi mukanya, terus dia lari. Sin Tjie bingung sekali. "Tadi dia bilang dia menyayangi aku, dia tak dapat hidup tanpa aku, kenapa sekarang dia gusar dan pukul aku?" pikirnya.

Dalam bingungnya, Sin Tjie lompat bangun, untuk susul si nona, akan mengikuti dibelakangnya. Tjeng Tjeng sudah umbar adatnya, habis itu hatinya lega, ketika ia menoleh, ia lihat tanda

merah bergelang dipipi kiri si anak muda, bekas gaplokannya, lantas hatinya jadi lemah. Tapi ia masih likat. Tanpa kehendaknya, ia telah beberkan rahasia hatinya, ia malu sendirinya, ia jengah sekali. Itu magrib mereka sampai di Gie-ouw, lantas mereka cari hotel.

Tjeng Tjeng lantas minta disediakan barang makanan, Sin Tjie duduk di satu meja, untuk bersantap bersama-sama.

Tiba-tiba si pemudi tertawa sendirinya.

"Mau apa ikuti orang saja, sungguh menjemukan...." Katanya. Sin Tjie raba pipinya, ia pun tertawa. "Perutku sakit, itulah sakit bohong," katanya. "Yang benar-benar sakit adalah ini...."

Ia maksudkan pipinya sasaran gaplokan itu. Tjeng Tjeng tertawa pula. Itulah tertawa yang membuat mereka berdua akur pula, hingga mereka bisa bersantap dengan bernapsu, kemudian mereka pasang omong dengan asyik. Malam itu mereka tidur dalam kamar masing-masing. Puas hatinya Tjeng Tjeng akan saksikan pemuda itu ada satu laki-laki terhor- mat. Besoknya pagi, Sin Tjie kata pada si nona : "Adik Tjeng, pekerjaan kita paling penting sekarang ini adalah antar abu ibumu ke gunung Hoa San untuk dikubur disana."

"Benar," sahut si nona. "Sebenarnya, bagaimana duduknya maka kau dapat menemui kuburan ayahku?'

"Nanti kita bicara ditengah jalan saja," jawab pemuda itu. Si pemudi menuruti, dari itu, setelah sarapan, mereka melanjuti perjalanan, menuju

keutara. Adalah selagi berjalan, Sin Tjie tuturkan kejadiannya bagaimana ia ketemukan tulang-tulangnya Kim Coa Long-koen didalam gua, bagaimana ia dapati peti besi yang berisi kitab atau peta berharga. Ia tuturkan semua dengan jelas. Tjeng Tjeng girang berbareng berduka. Sin Tjie lanjuti penuturannya tentang sepak-terjangnya Thio Tjoen Kioe dan si pendeta, yang datang dan bekerja bersama tapi akhirnya saling menjahati. Bergidik Tjeng Tjeng mendengar cerita itu. "Thio Tjoen Kioe itu ada muridnya Soe-yaya," terangkan ia kemudian. "Dia ada seorang yang jahat sekali. Dan itu hweeshio, bukan- kah pada mukanya ada tanda bekas satu luka?"

"Benar, itu benar," Sin Tjie mengasi kepastian. "Dia ada Goh In, ia muridnya djie-yaya," Tjeng Tjeng kasi keterangan lebih jauh. "Sejak ayah lenyap, yaya semua kirim belasan muridnya kesegala penjuru untuk mencari, telah ditetap- kan setiap tiga tahun mereka mesti memberi kabar berhasil-tidaknya penye- lidikan mereka. Dua binatang itu ada sangat jahat, pantas mereka terima kebinasaan mereka secara demikian rupa!" Nona ini berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Ayah telah menutup mata, setelah mati, dia masih bisa atur daya untuk binasakan musuh-musuhnya, sungguh luar biasa sekali!" ia jadi bangga sekali. "Yayamu semua tahu ada hubungan diantara aku dan ayahmu itu, aku percaya mereka bakal berdaya lebih keras untuk mencari tahu hal harta besar itu dan kuburan ayahmu," Sin Tjie utarakan kemudian. "Tapi mereka tahu juga mereka tidak sanggup lawan kau, percuma saja mereka bikin dirinya tambah sibuk saja," kata si nona. "Coba ayah masih hidup dan ia tahu kau telah

hajar mereka kucar-kacir begini rupa, entah betapa girangnya ayah!...Tapi ibu telah menyaksikannya sendiri kau labrak mereka, tentu ibu akan menyampaikannya kepada ayah.... Coba kau kasih lihat pula tulisannya ayah kepadaku." Sin Tjie perlihatkan apa yang diminta si nona. "Ini ada barang ayahmu, harus ini dipulangi kepadamu," ia bilang. Tjeng Tjeng tidak menjawab, dengan penuh perhatian ia awasi peta dan tulisan ayahnya itu, nampaknya ia berduka ber- bareng bersuka-ria juga. Sejak itu, setiap ada kesempatan, selagi singgah dipemondokan, ia suka keluarkan peta

itu, untuk diawasi, untuk dibuat main.

Pada suatu hari dua anak muda ini sam- pai di Siong-kang, tiba-tiba si pemudi kata: "Engko, begitu lekas kita sampai di Lam-khia, paling dulu kita cari itu mustika berharga!" Sin Tjie heran.

"Kau maksudkan apa?" tanyanya. "Bukan- kah dalam peta ayah ada disebutkan hal mustika berharga?" si nona baliki.

"Bukankah ayah telah menulis, siapa dapatkan mustika itu, ia mesti berikan itu sepuluh laksa tail emas? Maka teranglah sudah, mustika itu mesti berharga besar sekali." Rupanya Sin Tjie Baru ingat. "Kau benar, akan tetapi mengurus urusan kita ada lebih penting," ujarnya dengan perlahan.

Pemuda ini senantiasa ingat gurunya dan habis menemui gurunya, hendak ia menuntut balas untuk ayahnya. "Kita telah punyakan petanya, aku pikir, dengan cari mustika itu, tidak nanti kita sia-siakan banyak tempo," si nona utarakan. "Habis, buat apa kita punya harta besar itu?" Sin Tjie tanya.

"Adik Tjeng, aku harap sukalah kau menjadi orang baik-baik, jangan kau terpancing oleh harta besar...."

Tapi Tjeng Tjeng menjebikan bibir, waktu dia masih juga dinasehati, dia jadi tidak puas hingga itu malam tak mau dia dahar.... Dihari kedua, perja- lanan dilanjutkan. "Engko," kata si nona, selagi berjalan," aku cuma ambil emasnya Giam Ong dua ribu tail, mereka itu jadi sibuk luar biasa, sampai toasoehengmu turun tangan sendiri untuk

merampas pulang emas itu. Kenapa sikap- nya Giam Ong demikian cupat?" "Keliru jikalau kau anggap Giam Ong cupat pikiran," Sin Tjie kasi mengerti. "Aku pernah bertemu sendiri dengannya, dia ramah tamah dan budiman, ia tak sayang uangnya untuk menolong mereka yang membutuhkannya. Dia lagi berdaya untuk membebaskan rakyat jelata dari kesengsaraan, karenanya ia jadi sangat hemat. Dia adalah satu enghiong, satu

hookiat terbesar! Emas dua ribu tail itu ia sangat butuhkan, pasti sekali tak bisa ia antapkan lenyap." "Kalau demikian, itulah lain," Tjeng Tjeng bilang. "Sekarang umpamakan kita hadiahkan Giam Ong dengan dua-puluh laksa tail emas, sampai dua ratus laksa tail emas, bagaimana kau pikir, tidakkah itu bagus?" Sin Tjie sadar dengan tiba-tiba, hingga dia lupa akan dirinya. Dia sambar tangannya si nona dan cekal itu dengan keras. "Adik Tjeng, kenapa pikiranku jadi begini butek?" berseru dia. "Syukur kau

memperingatinya!" Tjeng Tjeng lepaskan tangannya. "Tak perlu aku dengan pujianmu," katanya. "sudah cukup bagiku asal kemudian kau kurangi teguranmu."

Pemuda itu tertawa. "Umpama berhasil kita mencari harta besar itu dan kita menghadiahkannya kepada Giam Ong, sungguh itu ada satu berkah besar untuk rakyat jelata!" katanya dengan girang.

Maka keduanya lantas numprah ditepi jalanan, mereka beber petanya Kim Tjoa Long-koen, untuk diperdatakan dengan seksama.

Bab 10

Ditengah-tengah peta itu ada satu bun- daran kecil warna merah, disamping itu diberi tanda antaranya empat huruf halus, bunyinya : "Goei Kok Kong Hoe", yang berarti "Istana Goei Kok-Kong". Goei Kok-Kong itu adalah "Pangeran (hertog) Goei". Masih saja mereka mene- litinya. "Menurut bunyinya keterangan," berkata lagi Sin Tjie kemudian, "harta besar itu disimpannya didalam tanah dari sebuah kamar yang mencil didalam pekarangan istana pangeran Goei itu, jikalau disitu kita menggali kita akan dapati suatu lapis lembaran besi diba- wah mana akan kedapatan sepuluh peti besi yang besar. Itulah dia harta besar itu."

"Maka kalu nanti kita sampai diLamkhia, baik kita lantas cari istana Goei Kok- kong itu," sarankan si pemudi. "Asal kita berhasil mendapati istana itu, selanjutnya mesti kita punyakan daya lain!"

"Goei Kok-kong itu ada gelaran kebang- sawanan dari Tay-tjiangkoen Tjie Tat," Sin Tjie terangkan pula. "Jendral itu ada salah satu menteri besar dari kerajaan Beng. Istananya mestinya luar biasa sekali, umpama kata kita dapat memasukinya, pasti sulit untuk meng- gali sana dan menggali sini untuk cari harta itu..."

"Sekarang ini tak ada gunanya kita pi- kirkan itu terlalu jauh," Tjeng Tjeng bilang. "Buat apa kita menduga-duga saja? Nanti setelah sampai di Lamkhia Barulah kita berdaya pula." Sin Tjie anggap si nona benar, ia menurut. Kem- bali mereka lakukan perjalanan mereka, sampai lewat pula beberapa hari, sam- pailah mereka di Lamkhia, kota yang dituju itu, yang dengan lain nama di- sebut Kim-leng, satu kota bertembok batu yang dipandang sebagai kota paling besar di "kolong langit", sedang disa- napun adanya Beng Hauw-leng, ialah makam raja-raja ahala Beng. Itulah ibukota pertama sejak dibangunnya kerajaan Beng oleh Beng Tha-tjouw, kaisar Beng yang pertama. Walau kota itu pernah mengalami kekalutan besar, kotanya masih tetap indah dan ramai.

Sin Tjie berdua Tjeng Tjeng ambil tem- pat di hotel dengan mengaku mereka datang ke Lamkhia untuk mencari saha- bat, dari itu dihari kedua, si anak muda panggil jongos untuk dimintai keterangan dimana pernahnya istana Goei Kok-kong. Jongos itu bingung. Ia bilang tak tahu ia perihal istana itu. Tjeng Tjeng sangka orang mendusta, ia jadi gusar. "Goei Kok-kong ada menteri nomor satu yang besar jasanya dari kerajaan kita, kenapa kau bilang tidak ada ista- na Goei Kok-kong disini?" ia bentak. "Jikalau memang benar ada istana itu silakan siangkong cari sen- diri," jawab si jongos. "Benar-benar aku tidak tahu." Tjeng Tjeng anggap jongos itu kurang ajar, ia ayun tangannya untuk memberi bogem mentah, tetapi Sin Tjie cegah dia, hingga kesudahannya si jongos ngeloyor pergi sambil menggerutu sendiri... "Mari kita cari," mengajak Sin Tjie pada kawannya. Tjeng Tjeng menurut, berdua mereka keluar dari hotel itu. Itu hari mereka mengidar

dengan sia-sia saja, tak dapat mereka peroleh keterangan perihal istana Pangeran Goei itu. Mereka ulangi mencari dihari kedua, hasilnya tetap sia-sia saja, demikianpun ketika

mereka lanjuti penyelidikan sampai tujuh atau delapan hari. Sin Tjie berniat keras mencari balas, ia ingin tunda dulu menyelidiki tentang istana itu, akan tetapi kawannya penasaran.

"Mari kita cari terus," Tjeng Tjeng bilang. Mereka kembali putar-putaran didalam kota beberapa hari lamanya, tapi hasilnya tetap tidak ada kecuali capai-lelah. Menurut keterangan yang mereka peroleh sampai sebegitu jauh, katanya turunan dari Taytjiangkoen Tjie Tat atau Goei Kok-kong itu adalah raja muda dengan kekuasaan atas bala tentara didalam kota Lamkhia, bahwa istananya Baru beberapa tahun yang lalu dibangun- kannya, sedang tentang istananya Goei Kok-kong, tak ada yang mengetahuinya.

Saking penasaran, Tjeng Tjeng usulkan untuk diwaktu malam satroni onghoe atau

istananya raja muda she Tjie itu. Sin Tjie tidak setuju, ia tentang usul itu dengan bilang, karena istana ada pendi- rian baru, tak mungkin harta karun didapatkan disana, atau umpama kata benar harta tersimpan disana, dengan berdua saja, apa mereka bisa buat? Sebaliknya apabila mereka gagal,

rahasia jadi ketahuan oleh raja muda itu, yang pastinya akan cari sendiri harta itu. Istana pasti terjaga kuat sekali. Puterinya Kim Coa Long-koen itu dapat dikasi mengerti. Dilain harinya, diwaktu sore dua orang ini pergi kesu- ngai Tjin Hoay Hoo yang kesohor, untuk menyewa perahu pelesiran, buat mencoba menghibur diri setelah buat banyak hari

mereka putar-kayun dengan siasia."Ayah- mu ada satu enghiong, setelah mendapati peta, dia sendiri masih belum berhasil

mencari tempatnya harta karun itu, ini- lah benar sulit," si pemuda nyatakan.

"Akan tetapi ayah menulis dengan jelas sekali, mustahil ia keliru," si pemudi bertahan. "Karena harta itu bukan cuma satu tail atau dua tail emas, pasti sekali tempat simpannya sulit untuk gampang-gampang dicari sembarang orang"

"Kalau begitu, mari kita cari lagi satu hari, apabila tetap kita gagal, kita berangkat dari sini," Sin Tjie bilang akhirnya. "Kita mencari sampai lagi tiga hari!" kata Tjeng-Tjeng. Di sungai itu, dari beberapa penjuru, terdengar suara seruling yang diiringi dengan

nyanyian-nyanyian. Selain itu, terde- ngar juga suaranya penggayu-penggayu dari pelbagai perahu pelesiran lainnya, sedang cahaya api memain sebagai baja- ngan di permukaan air. Tjeng Tjeng tenggak beberapa cawan arak, mukanya yang dadu jadi bersemu lebih merah,

hingga diantara sinar api, ia nampaknya jadi bertambah-tambah cantik. Sin Tjie tertawa. "Baik aku turut kau, kita mencari lagi tiga hari!" kata Sin Tjie.

Nampaknya si nona puas. Itu waktu dari perahu tetangga terdengar suara nyanyi- an bercampur tertawa dan omongan gem- bira, bukan main tertarik hatinya si nona. Pengaruh air kata-kata pun sudah mulai menarinya. "Engko," kata Tjeng Tjeng sembari tertawa, "bagaimana jikalau kita panggil dua nona untuk mereka nyanyi, akan temani kita minum?"

Mukanya Sin Tjie merah dengan tiba-tiba mendengar pertanyaan itu. Bukankah ia ada satu pemuda alim?

"Apakah kau sudah sinting?" tanyanya. "Kenapa kau ngaco?" Anak-anak perahu paling girang kalau penumpangnya berpe- lesiran dengan nona-nona tukang nyanyi, dengan itu mereka mengharapi hadiah, maka itu, mendengar perkataanpenumpang yang satunya itu, tanpa tunggu si pe- numpang lain sahuti kawannya, dia sudah nyelak. "Semua siangkong yang pelesiran di Tjin Hoay Hoo, tidak ada satu yang tidak undang nona-nona tukang nyanyi untuk menemaninya," katanya. "Jikalau siangkong kenal salah satu tukang nyanyi, nanti aku panggil dia..."

"Jangan, jangan," Sin Tjie goyangi tangan. "Disini ada berapa nona yang paling kesohor?" Tjeng Tjeng sebaliknya menanya. "Ada, ada, siangkong !" sahut tukang perahu itu. "Seperti Pian Giok Keng, Lioe Djie Sie, Tang Siauw Wan dan Lie Hiang Koen. Mereka ini pandai juga ilmu surat dan bersyair, mereka adalah sioetjay-sioetjay wanita!"

"Nah, kau coba panggil Lioe Djie Sie dan Tang Siauw Wan berdua!" Tjeng Tjeng

menyuruh. Ia tidak perdulikan kawannya.

Tukang perahu itu celangap. "Rupa-rupa nya siangkong Baru untuk pertama kali ini datang ke Lamkhia?" bilangnya.

"Habis kenapa?"

"Nona-nona yang kenamaan itu, pergaul- annya cuma dengan pemuda-pemuda bangsawan atau sedikitnya sioetjay," sahut tukang perahu itu. "Umpama orang dagang biasa saja, apabila dia hendak menemui nona-nona itu, kendati dia angkut semua hartanya, tidak nanti si nona sudi melayaninya. Jangan kata mengundang datang, melihat romannya saja tak dapat..."

"Cis, segala bunga raya saja demikian bertingkah!" kata Tjeng Tjeng. Dia dipanggil siangkong karena tetap dia dandan sebagai pria. "Disini ada nona-nona lainnya yang eilok, baik aku panggil dua saja diantaranya," kata

tukang perahu kemudian. "Sekarang kami hendak pulang, lain hari saja," Sin Tjie bilang. "Aku belum puas!" kata Tjeng Tjeng sambil tertawa. Ia meman- dang si tukang perahu dan lalu kata : "Pergi kau panggil mereka."

Selagi Sin Tjie bungkam, tukang perahu itu, yang girang tak kepalang, sudah lantas buka suara nyaring beberapa kali, untuk memanggil dua nona yang ia kenal. Sebentar saja, sebuah perahu terhias datang menghampirkan, dari situ lantas muncul dua nona, yang terus naik keperahunya Tjeng Tjeng. Mereka kasi hormat kepada kedua anak muda. Sin Tjie berbangkit, untuk memberi hormat, muka- nya merah padam bahna jengah. Tjeng Tjeng lihat perubahan air muka kawan itu dalam hatinya ia tertawa geli.

Kedua nona tukang nyanyi itu tidak cantik tetapi mereka dibikin bersinar oleh yantjie dan pupur. Segera yang satu meniup seruling dan yang lain bernyanyi. Tjeng Tjeng kerutkan alis mendengar suara seruling dan nyanyian itu, tak sedap dia mendengarnya. Sin Tjie pun kerutkan alis. "Dasar kau!" katanya, menyesali kawannya. "Makin lama kau jadi makin angot!" Tjeng Tjeng tertawa. "Sudah, sudah!" katanya. "Apa belum cukup kau tegur aku? Nanti aku meniup seruling untuk kau dengar..."

Ia ambil seruling dari tangannya si nona manis, ia celup saputangannya kedalam arak, lalu saputangan itu dipakai menyusuti seruling itu, sampai sekian lama, Barulah ia masuki kedalam mulutnya sendiri, untuk dicoba pelahan- lahan. Atau dilain saat, ia telah mulai

perdengarkan sebuah lagu. Segeralah terdengar sebuah lagu yang lain sekali dari lagunya si bunga raya barusan!

Di Tjio-liang, diatas bukit bunga mawar, Sin Tjie pernah dengar lagu yang mnearik hati ini, maka teringatlah ia dengan kejadian diatas bukit itu, sedang sekarang, suasana ada lain -

sungai ada indah, dihadapan mereka ada arak wangi, ada nona-nona manis...

Kedua nona manis itu duduk bengong apabila mereka dengar tiupan lagu itu.

Sin Tjie mendengari dengan asyik sekali, sampai ia tidak tahu sebuah perahu pelesiran yang besar yang men- dekati perahunya sendiri, tahu-tahu ada suara tertawa nyaring disusul pujian : "Sungguh merdu! Sungguh merdu!" Menyu- sul itu, tiga orang lelaki pun lantas naik keperahunya pemuda dan pemudi ini tanpa mereka itu minta perkenan lagi. Tjeng Tjeng tidak suka atas kelakuan orang itu, yang ia pandang sebagai gangguan. Ia letaki serulingnya, ia lirik mereka itu dengan mata tajam.

Dari tiga tetamu yang tidak diundang itu, yang jalan ditengah ada seorang dengan kipas ditangan, bajunya  tersu- lam, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun, alisnya kasar, matanya kecil, mukanya pun kasar. Dibelakang dia ini ada dua kee-teng atau hamba, yang mem- bawa lentera atau tengloleng yang ber- tuliskan tiga huruf : "Tjong Tok Hoe" atau artinya "Gedung Tjong Tok". Sin Tjie berbangkit, ia menyambut sambil memberi hormat. Kedua bunga raya itu memberi hormat sambil menjura. Cuma Tjeng Tjeng yang duduk tetap, tidak bergeming. Orang itu tertawa, ia ber- tindak masuk ke ruangan dalam perahu.

"Maaf, maaf!" katanya dengan gembira, lalu ia jatuhkan diri atas sebuah kur- si, untuk mana ia tidak nantikan unda- ngan lagi. "Maaf tuan, apa she dan namamu yang besar?" Sin Tjie tanya.

Pemuda ini sabar dan selalu berlaku manis-budi. Orang yang ditanya belum menyahuti, atau salah satu bunga raya dului ia dengan berkata: "Inilah Ma Kongtjoe dari Tjongtok-hoe dari Hong- yang." Kongtjoe ini tidak jawab Sin Tjie, dia hanya mengawasi Tjeng Tjeng dengan kedua matanya yang sipit.

"Kau dari rombongan wayang mana?" ia tanya nona kita, yang ia sangka ada satu pemuda. "Merdu sekali tiupan serulingmu! Kenapa kau tidak hendak layani toa-ya-mu ini? Ha-ha-ha!"

Sepasang alisnya Tjeng Tjeng bangun. Ia gusar orang anggap dia ada satu anak wayang. Sebenarnya ia hendak tegur kongtjoe itu tetapi Sin Tjie kedipi dia. "Inilah saudaraku, kami datang ke Lamkhia untuk cari sahabat," anak muda kita menjawab. "Kamu cari sahabat, si- apa itu?" tanya Ma Kongtjoe. "Ini hari kamu telah bertemu denganku, mari kita bersahabat! Dengan bersahabat dengan aku, aku tanggung kamu nanti tidak ke- kurangan makan dan pakai!" Ia tertawa pula. Sin Tjie jadi mendongkol, akan tetapi ia masih dapat mengatasi diri- nya. Ia tidak perlihatkan roman gusar.

"Taydjin Ma Soe Eng itu pernah apa dengan tuan?" tanyanya. "Ma Taydjin itu adalah pamanku!" sahut Ma Kongtjoe dengan roman sangat bangga. Itu waktu dari perahu pelesirannya si kongtjoe ini muncul pula seorang lain, pakaian- nya perlente tetapi kepalanya kecil dengan mata kecil juga, sedang kumisnya caplang. Ia lantas menjura kepada Ma Kongtjoe. "Kongtjoe-ya," katanya sambil tertawa. "saudara ini pandai sekali meniup seruling." Melihat dandanan orang, Sin Tjie merasa pasti orang ini gundalnya pemuda itu. "Keng Teng, pergi kau bicara dengan mereka," kata Ma Kongtjoe. Itulah titah yang cuma dime- ngerti orang yang dipanggil Keng Teng itu, yang sebenarnya ada orang she Yo. Dia ini lantas hadapi Sin Tjie dan Tjeng Tjeng untuk terus berkata: "Ma Kongtjoe ini adalah keponakannya Ma Taydjin, Tjongtok dari Hongyang, dan dia sangat gemar ikat persahabatan. Ma Taydjin sangat sayang keponakannya ini, hingga dia perlakukannya sebagai puteranya sendiri saja. Djiewie, baik- lah kamu pindah, untuk tinggal bersama- sama Ma Kongtjoe!"Sin Tjie tdiak enak hati mendengar kata-kata itu, terutama ia kuatir Tjeng-Tjeng gusar, akan teta- pi diluar sangkaanya, ia lihat nona itu tertawa dengan ramah-tamah. "Itulah bagus sekali," katanya Tjeng Tjeng. "Mari kita berangkat sekarang!" Ma Kongtjoe girang seperti ia mendapati mustika yang terjatuh dari langit, dia sambar tangannya Tjeng Tjeng untuk ditarik. Tapi Tjeng Tjeng mendahului tarik tangannya sendiri, untuk dipakai membetot satu bunga raya, tubuh siapa ditolak kepada Kongtjoe itu, hingga

mereka itu jadi saling tabrak! Sin Tjie heran, ia diam saja. Tjeng Tjeng segera berbangkit. "Aku lagi memberi hadiah kepada dua nona ini dan tukang perahu," katanya. "seorangnya lima tail perak.."

"Jangan, nanti akulah yang menghadiah- kannya!" berkata Ma Kongtjoe itu. Besok kamu pergi kepada tukang uangku untuk terima hadiahmu ini!" Ia tambahkan kepada bunga raya itu dan tukang perahu. "Apakah bukan lebih baik hadi- ahkan sekarang saja?" tanya Tjeng Tjeng dengan tertawa manis. "Ya, ya, sekarang pun boleh!" kata Ma Kongtjoe hampir berseru, lantas ia ulapi tangannya kepada salah satu orangnya, maka satu kee-teng lantas keluarkan uang lima- belas tail, yang dia letaki diatas me- ja. Tukang perahu dan kedua nona bunga raya itu menghaturkan terima kasih, kemudian si tukang perahu kembali pada penggayunya. Ma Kongtjoe terus menatap Tjeng Tjeng, sampai sebentar kemudian perahu sudah sampai di tepi. "Nanti aku cari joli," Keng Teng bilang. "Eh, tunggu dulu," tiba-tiba Tjeng Tjeng kata, romannya agak terperanjat. "Aku kelupaan serupa barang di tempatku, perlu aku pulang dulu untuk mengambil- nya."

"Nanti aku titahkan orangku yang pergi ambil," Ma Kongtjoe bilang. "Tak usah kau yang pulang sendiri. Saudara yang baik, dimana kau tinggal?"

"Aku mondok di kuil Hoat Hoa Sie diluar pintu kota Kim-Coan-moei," sahut Tjeng Tjeng. "Tapi barangku itu tak dapat lain orang yang mengambilnya." Yo Keng Teng sudah lantas bisiki Ma Kongtjoe.

"Awasi dia, jangan kasi dia molos!"

"Benar, benar!" kata Kongtjoe itu de- ngan mata membelalak. Terus ia pandang "pemuda" itu dan kata: "Kalau begitu, saudara yang baik, aku nanti temani kau pergi bersama!" Ma Kongtjoe ulur ta- ngannya, untuk sengklek bahu orang.

Tjeng Tjeng tertawa geli, tapi ia me- nyingkir kesamping. "Tidak, aku tidak ingin kau turut!" ia menolak. Semangat- nya Ma Kongtjoe seperti meninggalkan pergi raganya melihat kelakuan yang

menggiurkan itu. "Kau lihat, Keng Teng," katanya, "apabila saudara yang baik ini dandan sebagai satu nona, pastilah didalam kota Kimleng ini tidak ada satu gadis jua yang nempil dengan- nya!..."

"Engko, mari kita pergi," Tjeng Tjeng mengajak kawannya. Dan ia sambar ta- ngannya Sin Tjie, untuk dituntun pergi.

Ma Kongtjoe melirik kepada Keng Teng, ia lantas mengikutnya, maka gundalnya itu, bersama dua pengiringnya, turut mengikuti ia, hingga berempat mereka berjalan dibelakang dua pemuda itu. Si Kongtjoe sendiri kemudian cepati lang- kahnya, untuk susul Tjeng Tjeng, supaya berdua mereka berada berdampingan, un- tuk bicara sambil tertawa-tawa. Tjeng Tjeng melayaninya seperti acuh tak acuh. Sudah lebih dari sepuluh hari Tjeng Tjeng dan Sin Tjie putar-kayun dikota Kimleng, luar dan dalam, maka itu, mereka ingat baik letaknya tempat. Sekarang Tjeng Tjeng, yang jalan dide- pan, menuju ke tempat yang makin lama makin sepi, Sin Tjie segera bisa duga pikiran si nona. "Ma Kongtjoe ini benar ceriwis tetapi kesalahannya tak demiki- an besar hingga ia harus menemukan kematiannya," pikir anak muda she Wan ini. "Soehoe sering bilang padaku,

siapa yakinkan ilmu silat, tak dapat ia membinasakan orang yang tak selayaknya binasa. Inilah pantangan untuk kita. Bagaimana aku dapat cegah si Tjeng Tjeng?" Dengan tiba-tiba, pemuda ini hentikan tindakannya. "Saudara Tjeng, mari kita pulang!" ajak ia. Tjeng Tjeng menyambutnya sambil tertawa manis. "Pergi kau pulang sendiri," sahutnya.

Ma Kongtjoe girang bukan buatan. "Be- nar, benar!" katanya nimbrung. "Pergi kau pulang sendiri!" Kongtjoe ini demi- kian tertarik hatinya, ia tak dapat artikan ajakan "pulang" dari si anak

muda. Bukankah mereka sedang menuju kepondokannya si anak muda (Tjeng Tjeng)? Kenapa sekarang anak muda la- innya mengajak pulang lagi? Sin Tjie menggeleng kepala, ia pun menghela napas. "Dia lagi menghadapi saat mam- pusnya, dia masih belum menyadarinya.." pikirnya. Selama itu mereka telah sam- pai ditempat dimana terdapat hanya ku- buran. Ma Kongtjoe mulai berat tinda- kannya karena mereka sudah jalan jauh. Tidak biasanya keponakan tjongtok itu jalan kaki demikian lama. Napasnya pun mulai sengal-sengal. "Apa sudah dekat?" tanyanya. "Sudah sampai!" sahut Tjeng Tjeng dengan suara nyaring, yang disu- sul sama tertawanya yang panjang.

Ma Kongtjoe tercengang, dia melengak.

"Sudah sampai? Ini toh kuburan?" pi- kirnya. Yo Keng Teng si gundal menjadi curiga, hatinya jadi tidak tenteram. Akan tetapi mereka berempat, dan dua pengiringnya itu - ia tahu - ada ber- tenaga, karenanya, dapat ia hiburkan

diri juga. "Apa yang mereka berdua, anak-anak sekolah, dapat perbuat?" pi- kirnya pula. "Saudara, sudahlah!" kata- nya kemudian. "Sudah, tak usah kamu pulang lagi. Mari kita beramai pergi ke gedung kongtjoe kami, disana bisa kita duduk minum..." Tjeng Tjeng tertawa dingin. "Pergilah kamu pulang sendiri!" Sin Tjie bilang maksudnya baik. "Baik kau jangan turut kami!" Pemuda ini membuka jalan hidup. Tapi Ma Kongtjoe berempat adalah bangsa gentong kosong, otak mereka tak dapat tangkap nasihat yang diberikan secara samar-samar itu. Malah si kongtjoe bawa aksinya. "Saudara, aku sudah letih sekali," katanya, dengan tingkah dibikin-bikin. "Tolong, kau pegangi aku..." Kongtjoe ini berada didamping Tjeng Tjeng, ia bisa ulur tangannya kepundak nona kita,

untuk menggelendotkan dirinya. Seko- nyong-konyong saja, satu cahaya putih berkelebat. Sin Tjie mengeluh dalam ha- tinya, ingin ia mencegah, akan tetapi kepalanya Ma Kongtjoe sudah mendahului jatuh ketanah dan menggelinding, darah muncrat, membasahkan tubuhnya, yang lantas turut rubuh juga. Keng Teng kaget hingga ia berdiri menjublak, de- mikian juga kedua pengikutnya. Tjeng Tjeng lompat kepada gundal itu dan dua kawannya, satu kali dengan satu kali, ia babat batang leher mereka, sebelum mereka sempat sadar dari tercengangnya, hingga roh mereka pergi susul rohnya kongtjoe mereka. Sin Tjie tidak mence- gah lagi, karena ia pikir, si kongtjoe sudah binasa, perlu mereka singkirkan saksi-saksi, untuk mencegah ancaman bencana dibelakang hari. Menghapus

rumput mesti dicabut berikut akar- akarnya. Tjeng Tjeng susuti pedangnya dibajunya Ma Kongtjoe, ia bersenyum saking puas hatinya. "Orang-orang sebangsa mereka ini cukup diberi hajar- an, perbuatan kau ini rada bengis,"

kata Sin Tjie. Tapi si nona mendelik.

"Tak dapat aku terima keceriwisannya!" jawabnya. "Siapa tahu, kejahatan apa mereka sudah perbuat dan apa lagi yang akan terjadi dibelakang hari?"

Sin Tjie anggap si nona benar juga. Memang Ma Kongtjoe tentu siap sedia mencelakai orang apabila napsu-hatinya tak tercapai. Akan tetapi, ia toh kata: "Memang sesuatu telur busuk mesti dibunuh mati, tetapi aku ingin kau mengatasi diri sendiri. Bagaimana apabila keliru terbunuh satu orang baik-baik? Apakah itu tidak hebat? Bisa-bisa pergaulan kita putus..."

Tjeng Tjeng tertawa. "Itulah tak nanti aku lakukan," katanya. "Mari bantui aku." Dengan cara mendupak, Tjeng Tjeng singkirkan mayat Ma Kongtjoe kedalam gombolan, perbuatan diturut oleh Sin Tjie, hingga keempat mayat tak keliha- tan lagi. "Mari kita pulang," si nona mengajak. Tiba-tiba Sin Tjie tarik ujung baju kawannya. "Sembunyi!" katanya. Mereka lantas lompat, untuk sembunyi dibelakang sebuah kuburan.

Suara tindakan dari banyak kaki ter- dengar, datangnya dari arah timur dan barat. Cuaca yang gelap pun lantas menjadi terang, karena orang-orang yang datang - jumlahnya belasan - membawa tengloleng. Selagi rombonga itu menda- tangi dekat satu pada lain, yang di timur perdengarkan tepukan tangan tiga kali, lantas datang sambutan dua kali dari rombongan barat, disusul dengan

dua kali lagi. Setelah ini, mereka bergabung menjadi satu, tanpa sepatah kata juga, mereka lantas duduk didepan sebuah kuburan. Jarak diantara mereka ini dengan Sin Tjie berdua kira-kira sepuluh tumbak, tak dapat Tjeng Tjeng dengar suara bicara, karena ia ingin mengetahuinya, ia bertindak, untuk

mendekatinya. "Tunggu dulu..." Sin Tjie mencegah seraya ia tarik ujung baju si nona. "Tunggu apa lagi?" nona itu ta- nya. Sin Tjie ulapkan tangannya, untuk cegah kawan itu bicara. Tjeng Tjeng menanti, dengan tidak sabaran. Disaat seperti itu, detik-detik waktu dirasa- kan lambat jalannya. Tapi segera datang sambaran angin, yang cukup besar,hingga daun-daun pohon dan rumput perdengarkan suara berisik. Berbareng dengan suara berisik itu, Sin Tjie sambar lengan si nona, untuk diajak berlompat, hingga dilain saat, mereka sudah berada dibe- lakang kuburan tanpa ada seorang juga dari antara rombongan itu yang dapat lihat mereka berdua. Disini mereka

lantas mendekam, untuk pasang kuping sambil pasang mata. Tjeng Tjeng semen- tara itu kagumi kawannya itu, terutama kegesitannya dan tenaganya. Ia pun merasai sopannya ini anak muda, sebab tangannya segera dilepaskan dari cekal- annya dia itu. "Dia benar ada satu koentjoe, cuma dia rada kering..." pi- kir nona ini, yang sendirinya sangat bergembira. Segera mereka dengar satu suara sedikit serak: "Saudara-saudara perlukan datang dari tempat yang jauh, untuk membantu kepadaku, aku sangat berterima kasih." Satu suara lain jawab pengutaraan bersyukur itu : "Guruku sedang sakit, sudah kira-kira sebulan ia tak dapat bangkit dari pembaringan, dari itu dia telah minta Twie-hong-kiam

Ban Hong Ban Soesiok pimpin kami dua- belas muridnya datang kemari untuk disuruh-suruh oleh Bin Loosoe."

"Gurumu itu, Liong Ya-tjoe, sudi bantu aku, aku sangat berterima kasih kepada- nya." Kata pula si suara rada serak.

"Pedang Twie-hong-kiam Ban Soeheng telah menggetarkan wilayah selatan, sekarang soeheng telah datang sendiri ke Kimleng ini, mustahil kita nanti tak berhasil? Begitu lekas aku melihatmu, Ban Soeheng, hatiku lantas saja lega tak terkira."

"Itulah pujian belaka!" terdengar suara orang yang ketiga. "Kami dari Tiam Tjhong Pay justru kuatirkan kami nanti tak dapat berbuat suatu apa untuk mem- bantu Bin loosoe..." Suara orang ini kecil tetapi terang. Hatinya Sin Tjie tergetar juga. Ia ingat, di waktu-waktu senggang gurunya suka rundingkan ilmu pedang dari pelbagai partai, atau kaum persilatan lainnya, diantaranya empat partai terbesar ialah Boe Tong Pay, Koen Loen Pay, Hoa San Pay dan Tiam Tjhong Pay, bahwa setiap partai punya- kan ilmu-ilmu silatnya yang istimewa. Sekarang ini yang datang, si orang she Ban, ada dari Tiam Tjhong Pay. Jauh dari tempat ribuan lie, orang datang ke

Kimleng ini, apakah maksud mereka itu?

Setelah kedua saling bicara secara sungkan itu, kembali terdengar tepukan tangan dari kejauhan, suara mana disam- but oleh rombongan dimuka kuburan ini. Atas sambutan itu, lalu muncul lagi tiga rombongan lain, yang datangnya saling susul. Mendengar dari pembica- raan mereka, Sin Tjie ketahui dia ini ada dari kalangan mana. Rombongan yang pertama adalah rombongan Siauw Lim Sie dari Pouw-thian, Hokkian, yang dipimpin oleh Sip Lek Taysoe, kam-ih atau kepala dari ruang Tat Mo In dari kuil partai

Siauw Lim Pay. Rombongan yang kedua adalah kawanan bajak dari sepanjang pesisir Tjiatkang dari Hokkian, yang dipimpin sendiri oleh Pek-hay Tiat-keng The Kie In si ikan lodan, yang jadi

Tjong-bengtjoe atau ketua dari bajak- bajak dari tujuh puluh dua pulau di sepanjang propinsi-propinsi tersebut.

Dan rombongan yang ketiga adalah partai Tiang Pek Pay dari gunung Tiang Pek San di Liauw-tong dengan dipimpin sendiri oleh ketiga ketuanya, yang dikenal dengan julukannya jaitu Tiang Pek Sam Eng atau tiga jago Tiang Pek ialah Soe Peng Kong, Soe Peng Boen dan Lie Kong.

Sin Tjie jadi makin heran. Mereka itu, semuanya ada orang-orang kang-ouw kena- maan. Apa perlunya mereka berkumpul di Lamkhia? Mereka hendak bantu si orang she Bin dalam urusan apa? Orang she Bin ini hampir tak hentinya menghaturkan terima kasihnya kepada mereka itu. Te- ranglah sudah, mereka itu sengaja diun- dang datang. Tjeng Tjeng pun heran, ingin ia tanya Sin Tjie, tapi untuk berhati-hati, ia coba atasi diri sendi- ri. Ia insyaf, dimuka orang-orang liehay itu, sedikit saja ia berkelisik, mereka bakal dapat tahu, atau sedikit- nya mereka bakal bercuriga. Segera terdengar pula suaranya si orang she Bin: "Aku Bin Tjoe Hoa...."

"Inilah nama yang aku pernah dengar," berpikir Sin Tjie. "Tidak salah, aku dengarnya dari soehoe. Dia ini orang macam apa? Ah, kenapa aku bolehnya lupa?" Si orang she Bin lanjuti omong- annya: "Saudara-saudara, aku sangat bersyukur yang saudara-saudara telah datang untuk membantu aku, karena itu, harap saudara-saudara suka terima hormatku..." Sin Tjie percaya orang she Bin itu berlutut untuk hunjuk terima kasihnya itu, karena ia dengar suara- suara yang merendah dan yang memper- silakan orang berbangkit. "Jangan ber- buat begini, Bin Djieko, tak sanggup siauwtee menerimanya," demikian terde- ngar juga. Kemudian terdengar pula sua- ranya Bin Tjoe Hoa itu : "Selama bebe- rapa hari ini, Thio Sim It soeheng dari Koen Loen Pay, beberapa tootiang dari Ngo Bie Pay, dan beberapa soeheng dari Hoa San Pay juga pasti bakal datang semuanya..." "Oh, dari Hoa San Pay juga bakal ada yang datang?" tanya satu sua- ra. "Inilah bagus sekali! Murid siapa- kah dia itu?" Sin Tjie heran, tapi ia kata dalam hatinya: "Bagus pertanyaan ini! Aku memang ingin menanyakannya..."

Segera terdengar jawabannya Bin Tjoe Hoa: "Mereka adalah beberapa soeheng murid-muridnya Tjio Poan San Long...."

"Kalu begitu, mereka adalah muridnya djie-soeheng," pikir Sin Tjie. "Apakah Bin Djieko bersahabat kekal dengan Kwie Sin Sie suami isteri?" ada suara yang

menanya pula. "Inilah bagus! Dengan adanya mereka itu, tak usah kita kuatirkan lagi kepada kan-tjat she Tjiauw itu!"

"Mana dapat aku sendiri yang bersahabat dengan suami-isteri she Kwie itu?" ada

jawabannya Bin Tjoe Hoa. "Adalah murid kepalanya, Bwee Kiam Hoo, yang bersaha- bat karib denganku."

"Bwee Kiam Hoo?" tanya satu suara lain. "Dia toh Boe Eng Tjoe si Bajangan Tak Ada yang dengan sebatang pedangnya telah taklukkan tujuh jago di jalanan propinsi Shoatang, bukankah?"

"Tidak salah, benarkah dia?" Bin Tjoe Hoa berikan kepastian. Sin Tjie masih heran akan tetapi sekarang hatinya lega. "Disini turut orang dari pihakku, rupanya mereka ini berada di pihak be- nar," pikir ia. "Baik aku jangan muncul diantara mereka, apabila ada ketikanya, aku nanti bantu mereka secara diam-diam saja." Lalu kembali terdengar suaranya Bin Tjoe Hoa : "ketika dulu hari kanda- ku terbinasa teraniaya secara hebat itu, untuk lebih daripada sepuluh tahun aku telah berkelana kesegala tempat untuk cari musuhku itu, tak juga aku berhasil mengetahui, siapa sebenarnya dia. Adalah baru-baru ini, aku memper- oleh penghunjukkan dari persaudaraaan Soe dan Tiang Pek San kandaku telah terbinasa ditangannya kantjat she

Tjiauw itu! Aku sumpah, apabila tidak dapat aku balaskan sakit hati kandaku itu, tak sudi aku jadi manusia!"

Menjusul itu terdengarlah suatu suara keras. Rupanya dengan semacam senjata, Bin Tjoe Hoa perkuatkan sumpahnya de- ngan membacok atau memukul batu bongpay dari kuburan. Lantas terdengar suara seorang lain : "Tiat-pwee Kim Go Tjiauw Kong Lee si Buaya Emas Berbokong Besi adalah seorang kang-ouw yang juga ber- kenamaan, aku tidak sangka dia bisa berbuat demikian macam. Entah dari mana kedua saudara Soe itu ketahui rahasia

pembunuhan itu?" Mendengar lagu-suara- nya, orang ini menyatakan kesangsian.

Bin Tjoe Hoa tidak tunggu Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen menjawab sendiri, ia

mendahuluinya : "Kedua saudara Soe telah tuturkan jelas kepadaku duduknya

penganiayaan terhadap kandaku itu di Shoa-tang, untuk itu ada buktinya, maka haraplah Taysoe tidak usah sangsi lagi." Orang yang menyatakan keragu- raguannya itu tidak menanya lebih jauh, lalu terdengar suaranya seorang lain lagi : "Tjiauw Kong Lee itu telah ber- diam untuk puluhan tahun dikota Kimleng ini, pengaruhnya telah mendalam dan kuat, sekarang kita hendak gempur dia, harus kita ber-hati-hati...."

"Memang kita harus ber-hati-hati," jawab Bin Tjoe Hoa. "Aku tahu, dengan seorang diri saja, tak dapat aku gempur dia, maka itu aku telah besarkan hati mengundang saudara-saudara sekalian. Besok pada jam yoe-sie tepat aku undang saudara-saudara untuk menghadiri satu perjamuan sederhana dirumahku di gang Tjhia-lam diluar kota Selatan, aku ha- rap sangat kedatangan saudara-saudara."

Suara jawaban ramai menerima undangan itu; ada yang mengucap terima kasih, ada yang minta orang she Bin itu tak sungkan-sungkan. Kemudian Bin Tjoe Hoa berkata pula : "Kali ini jumlah saha- bat- sahabatku ada banyak, tak usah disangsikan lagi yang pihak musuh tak mengetahuinya, maka kalau besok saudara-saudara datang, baik kita menggunai tanda, ialah sesuatu saudara angkat tangan terhadap orang-orangku yang menyambut dimuka pintu, dengan tunjuki tiga jari tangan kanan ialah

jeriji-jeriji tengah, manis dan kelingking, yang dikasi turun sambil dengan pelahan pun mengucapkan "kang- ouw gie khie, poat too siang tjie." Dengan cara ini dapat kita cegah se- umpama musuh kirim mata-matanya."

"Itu benar!" menyatakan beberapa suara setuju. "Kita semua datang dari empat penjuru, banyak diantara kita yang belum kenal betul satu dengan lain, maka untuk selanjutnya, baik tetap kita gunai pertandaan ini." Usul ini pun telah dapat persetujuan. Kemudian, setelah ditetapkan juga, siapa mesti dikirim kerumah keluarga Tjiauw, untuk

membuat penyelidikan, menyerep-nyerepi kabar, pertemuan rahasia itu ditutup, lalu mereka bubaran. Setelah orang su- dah pergi jauh, Barulah Sin Tjie berdua berani bergerak, untuk duduk beristira- hat. Tjeng Tjeng merasa kakinya pada kaku. "Toako, besok kita pergi menonton keramaian, bukan?" si nona tanya. "Pergi menonton sih boleh, akan tetapi kau mesti dengar perkataanku," jawab Sin Tjie. "Tak dapat kau timbulkan gara-gara."

"Memangnya siapa yang hendak membikin ribut?" Tjeng Tjeng menjawab. Habis itu, mereka berlalu, untuk pulang.

Besoknya tengah-hari, seluruh kota Kimleng menjadi gempar karena perkara pembunuhan gelap atas dirinya Ma Kongtjoe serta gundal dan pengiring- pengiringnya. Sin Tjie berdua dengar kabar itu, berdua Tjeng Tjeng, ia keram diri dalam kamar. Akan tetapi kapan sang magrib datang, setelah salin pakaian, mereka pergi keluar, ke gang Tjhia-lam dimana, dengan tindakan lambat, mereka perhatikan sebuah rumah besar yang muka pintunya diterangi tengloleng, banyak tetamu yang datang saling susul. Dengan berani, tapi dengan sikap biasa, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng bertindak kepintu, kepada penjaga pintu, mereka tunjuki tiga jari mereka seraya menyebut "Kang-ouw gie khie, poat too siang tjie", dengan begitu, satu penyambut beri hormat pada mereka dan seorang lainnya lagi antar mereka kedalam dimana mereka disuguhkan teh, lantas she dan nama mereka ditanyai. Dengan enak saja mereka ngaku she Thia dan Boen. "Sudah lama kau dengar nama besar dari djiewie," kata penyambut itu dengan pujiannya, walaupun ia sebenar- nya tak kenal kedua tetamu ini. Tjeng Tjeng geli didalam hatinya, ia berpikir: "Aku sendiri Baru pertama kali dengar she-ku ini, kau sebaliknya telah dengar sejak lama..." Sementara itu, tetamu yang datang semakin banyak, maka untuk menyambut mereka, penyambut ini mohon diri, untuk layani mereka. Didalam hatinya ia anggap, mereka ini

berdua entah muridnya siapa. Sin Tjie berdua tidak usah menunggu lama, lantas orang semua diundang duduk berkumpul, karena rapat hendak dimulai. Mereka duduk di pinggiran dengan ditemani oleh

murid kelima dari Bin Tjoe Hoa. Yang lainnya juga ada anak-anak muda. Hati mereka lega karena orang tidak perhati- kan mereka. Pertemuan dibuka dengan keringkan arak tiga idaran, Bin Tjoe Hoa hampirkan sesuatu tetamunya, untuk memberi selamat datang kepada mereka dengan secawan arak. Kapan tuan rumah ini hampirkan meja mereka, Sin Tjie dapat lihat tegas tuan rumah ini, seorang umur empat puluh delapan atau sembilan tahun, lengannya berurat ka- sar, romannya cerdik, tindakannya gagah, tanda ilmu silatnya tinggi, akan tetapi kedua matanya bengul dan merah, suatu tanda ia sedang bersedih untuk kandanya, rupanya selama beberapa

hari ini, ia menangis saja. "Dia sangat mencintai saudaranya, dia harus dihor- mati," pikir Sin Tjie. "Dia bikin unda- ngan kepada begini banyak sahabatnya, mestinya si orang she Tjiauw itu, mu- suhnya, berpengaruh besar sekali."

Bin Tjoe Hoa menjura tiga kali kepada semua tetamunya, ia ber-ulang-ulang menghaturkan terima kasih, ia undang pula sekalian tetamu keringkan cawan mereka. Rombongannya Sin Tjie membalas hormat, terutama karena mereka dari golongan muda. Mendadak salah seorang muridnya Bin Tjoe Hoa muncul dengan kesusu, ia hampirkan gurunya, untuk berbisik, setelah mana, kelihatan tuan rumah itu jadi sangat girang, lekas-

lekas ia letaki cangkirnya diatas meja, lantas ia lari kearah pintu, kapan sebentar kemudian ia kembali, ia ber- serta tiga orang yang ia perlakukan hormat sekali. Ia juga undang ketiga

tetamu itu duduk dikepala meja. "Pasti mereka ini adalah orang-orang kenama- an," pikir Sin Tjie, yang awasi mereka.

Orang pertama, yang dandan sebagai satu pelajar, menggendol sebatang pedang panjang dibelakangnya, kedua matanya bersinar dan sikap-dedeknya angkuh. Orang kedua berumur tiga-puluh lebih. Dan yang ketiga, umur dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, adalah sorang perempuan yang eilok parasnya, tapi sikapnya adem. "Bwee toako datang tepat sekali, aku sangat bersukur." Terdengar suaranya Bin Tjoe Hoa. Pela- jar itu tertawa. "Urusan Bin Djieko mana dapat kami tak campur tahu?" kata dia. "Kalau begitu, dia pasti ada Bwee Kiam Hoo, muridnya Djie-soeheng kwie Sin Sie," pikir Sin Tjie. "Kenapa dia begini jumawa?" Bwee Kiam Hoo berkata pula: "Dalam urusan sebagai ini, guruku tentu tak berkeinginan untuk mencampur tahu, tetapi aku sendiri adalah lain, maka itu, aku telah undang dua orang lain untuk bantu kau, Bin Djieko. Ini adalah sam-soeteeku Lauw Pwee Seng dan ini ngo-soemoay Soen Tiong Koen."

"Sungguh aku beruntung," mengucap Bin Tjoe Hoa. "Memang sudah sejak lama aku

dengar namanya Sin-koen Thaypo dan Soen Liehiap!" Orang she Bin ini tidak bera- ni sebut gelarannya Soen Tiong Koen, maka ia memanggil "liehiap" (wanita gagah). Kaum kang-ouw djuluki si nona "Hoei Thian Mo-lie" atau "Hantu perem- puan yang terbang kelangit", atau ringkasnya, Hantu Perempuan. Sebab Soen Tiong Koen terlalu disayang gurunya, dan karena mengandali boegeenya yang liehay, ia jadi galak dan telengas juga, hingga umumnya orang jadi jeri terhadapnya. Kemudian Bin Tjoe Hoa perkenalkan Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam Eng, Pek-hay Tiang Keng dan Twie- hong kiam Ban Hong, juga yang lain- lain, kepada tiga tetamu yang terbe- lakang ini. Perjamuan dilanjuti pula, sampai satu muridnya Bin Tjoe Hoa hampirkan gurunya untuk serahkan dua lembar ang-tiap lebar, membaca surat mana, mulanya orang she Bin itu

berubah wajahnya, lalu kemudian ia tertawa kering. "Tjiauw Loodjie benar-benar liehay!" berkata dia dengan nyaring. "Pihak kami belum sempat cari dia, dia sudah mendahului datang kepada kami. Bwee toako, Baru kamu sampai, dia sudah lantas dapat tahu?" Ia serahkan angtiap itu kepada orang she Bwee ini.

Surat yang satu bertuliskan kata-kata: "Hormatnya adik yang muda, Tjiauw Kong Lee," sedang yang kedua memuat nama- namanya Bin Tjoe Hoa, Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam Eng dan yang lain-lain, tak terkecuali nama Bwee Kiam Hoo bertiga. Mereka semua diundang untuk besok sore berkunjung kerumahnya orang she Tjiauw itu, untuk hadirkan perjamu- an. "Sebagai tee-tauw-Coa, Tjiauw Loo-djie benar-benar liehay," kata orang she Bwee ini. "kita orang tak dapat menjadi kiang-liong akan tetapi boleh juga kita mencoba-coba melawan- nya!"

"Tee-tauw-Coa" berarti "ular setempat", yang dimaksudkan sebagai tuan rumah, dan "kiang-liong" adalah "naga yang tangguh", yang sebagai tetamu endonan. Tegasnya, walaupun kosen, tak dapat layani ular setempat.... Kemudian Bin Tjoe Hoa kata pada muridnya : Pergi kau undang masuk pada pembawa surat undang- an ini!" Murid yang diperintah itu lantas pergi keluar. Semua orang me- nunda cawan arak mereka, semua mata diarahkan kepintu, darimana si murid tadi kembali dengan diikuti seorang laki-laki, berumur kurang lebih tiga puluh tahun, bajunya baju panjang, tindakannya sabar, romannya tenang, sesampai didepan Bin Tjoe Hoa, ia itu memberi hormat sambil menjura, terus ia berkata: "Guruku dengar kabar para

tjianpwee telah datang ke Kimleng ini, ia undang para tjianpwee untuk besuk datang, beromong-omong dengannya, maka teetjoe ini dikirim untuk mengundang- nya." Bwee Kiam Hoo tertawa dingin.

"Tjiauw Loo-djie mengadakan pesta Hong-boen!" katanya. Lalu ia menoleh pada pembawa surat undangan itu dan kata: "Eh, apa namamu?" Meski juga ia diperlakukan tak dengan hormat, utusan itu tetap berlaku sopan santun. "Teetjoe bernama Lo Lip Djie," sahut- nya. Bwee Kiam Hoo membentak dengan pertanyaannya pula: "Tjiauw Loodjie undang kita, dia mengatur tipu daya keji macam apa? Apakah kau ketahui itu?" Tetap dengan hormat, Lip Djie menyahuti: "Guruku dengar para Tjianpwee telah datang dikota Lamkhia, ia sangat kagum dan menghargainya, ingin dia bertemu dengan tjianpwee

semua, dari itu ia tidak kandung maksud lainnya."

"Hm, bagus benar kata-katamu!" kata pula Kiam Hoo. "Aku tanya kau: Ketika dulu Tjiauw Kong Lee aniaya kandanya saudara Bin Tjoe Hoa ini, kau turut saksikan sendiri kejadian itu atau tidak?"

"Itulah urusan sangat panjang, maka guruku undang para tjianpwee," sahut Lip Djie. "Adalah maksud guruku, kesatu untuk memberi penjelasan kepada para tjianpwee, dan kedua, ingin dia meng- haturkan maaf kepada Bin Djie-ya."

"Bagus betul!" berseru Kiam Hoo. "Orang telah dibunuh mati, apa itu dapat diha- biskan dengan penghaturan maaf saja?"

"Pada waktu itu, guruku telah didesak sampai ia habis daya, karenanya ia kesalahan turun tangan," kata pula Lip Djie. "Sejak itu hari, sampai sekarang ini guruku masih tetap menyesal...."

"Kalau begitu, pada waktu kejadian kau menghadapinya sendiri!" berteriak Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong Koen. "Aku tidak saksikan itu sendiri," jawab Lip Djie, "akan tetapi guruku ada seorang baik, tidak nanti dia membunuh secara sembarangan..."

"Celaka, kau masih membantah!" berseru pula si Hantu Wanita, yang tubuhnya

mendadakan mencelat dari kursinya, kearah pembawa surat itu, selagi dia berlompat, pedangnya berkelebat, lalu dengan tangan kirinya, dia tekan da- danya utusan ini. Lo Lip Djie terkejut, dengan tangan kanan, ia tolak tangan kiri si nona. Ia gunai tipu gerakan "Tiat boen soe" atau "Palang pintu besi."

"Celaka, tangan kanannya itu bakal kutung!" kata Sin Tjie kepada Tjeng Tjeng. Ia terkejut melihat sikapnya Soen Tiong Koen dan daya pembelaan si utusan. "Apa kau bilang?" tanya Tjeng Tjeng. Belum sempat Sin Tjie menyahuti si nona, atau Lo Lip Djie sudah perde- ngarkan seruan hebat, bahu kanannya telah terbacok sapat. Semua hadirin jadi kaget, semua berbangkit. Lo Lip Djie berdiri dengan muka pucat, akan tetapi ia tidak rubuh, dengan tangan kiri ia beset ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya, kemudian ia membungkuk, akan jumput lengannya yang kutung itu, buat dibawa pergi dengan tindakannya yang lebar. Para hadirin tercengang melihat orang sedemikian tangguh, hingga mereka berdiam seraya saling mengawasi saja. Soen Tiong Koen susuti darah pada pedangnya, dengan tenang ia kembali ke kursinya, untuk duduk dengan anteng, akan minum araknya seperti biasa saja. "Orang ini bandel dan bertingkah, gurunya tentu galak dan jahat melebihkan dia," berkata Kiam Hoo. "Bagaimana besok, kita hadirkan pesta perjamuannya atau tidak?"

"Pasti kita mesti pergi!" kata Ban Hong. "Jikalau kita tidak pergi, tentu dia akan pandang sebelah mata pada kita!"

"Baiklah malam ini kita kirim orang untuk membuat penyelidikan," usulkan Pek-hay Tiang Keng The Kie In si Ikan Lodan. "Kita cari tahu secara rahasia, dia sebenarnya undang siapa-siapa untuk bantui pihak dan besok dia telah atur tipu-daya atau tidak..."

"The totjoe benar!" Bin Tjoe Hoa puji tetamunya itu., ketua umum kawanan bajak. "Turut dugaaanku, tentunya Tjiauw Kong Lee telah mengatur persi- apan kuat. Maka dari pihak kita, saudara-saudara siapa yang sudi bercape-lelah akan intai musuh kita itu?"

"Siauwtee suka pergi!" mengatakan Twie- hong-kiam Ban Hong si Pedang Angin.

Bin Tjoe Hoa berbangkit, ia isikan satu cawan arak, yang ia bawa kepada tetamu- nya itu. "Silakan minum, toako!" ia memberi selamat. Ban Hong menyambuti dan meminumnya kering sekali cegluk.

Sampai disitu, pembicaraan telah sele- sai, maka setelah perjamuan dilanjuti lagi sekian lama, orang semua bubaran.

Sin Tjie kasi tanda gerakan tangan kepada Tjeng Tjeng, terus ia ikuti Ban Hong dengan si nona mengiringi ia. Perbuatan mereka tak diketahui oleh orang Tiam Tjhong Pay itu. Itu waktu sudah kira-kira jam dua. Ban Hong pulang kehotelnya untuk salin pakaian, lantas ia keluar pula, menuju ketimur. Sin Tjie berdua terus menguntit hingga mereka dapati orang she Ban itu meni- kung dan menembusi tujuh atau delapan pengkolan jalan besar, kemudian, sete- lah mengitari sebuah rumah besar, dia lompat naik untuk memasuki pekarangan.

Sin Tjie saksikan gerakan pesat orang itu. "Tidak kecewa dia dijuluki Twie- hong-kiam," pikirnya. Mereka juga ber- lompat, untuk menguntit terus. Dari se- buah kamar tampak sinar terang. Kamar itu dilewati oleh Ban Hong. Tapi Sin Tjie ingin tahu, berdua Tjeng Tjeng, ia hampirkan jendela, dari sela-sela, ia mengintip kedalam. Didalam kamar itu kedapatan tiga orang yang sedang duduk, yang duduk madap keluar ada seorang usia lima-puluh lebih, sepasang alisnya mengkerut, wajahnya berduka. "Lip Djie bagaimana?" tanya dia setelah menghela napas. "Lo Soeko telah pingsan beberapa kali, tapi sekarang darahnya sudah ber- henti keluar," sahut orang yang duduk dibawahannya. Sin Tjie lantas menduga, orang tua itu tentulah Tjiauw Kong Lee bersama dua muridnya. Mereka pun lagi omong hal lukanya Lo Lip Djie, si utus- an pembawa surat. Terdengar orang yang ketiga berkata: "Soehoe, baik kita minta beberapa saudara untuk mengada- kan perondaan disekitar rumah kita ini, aku kuatir musuh nanti kirim orang un- tuk intai kita..." Orang tua itu meng- hela napas pula. "Dirondai atau tidak, sama saja," jawabnya. "Sekarang ini aku sudah peserah kepada takdir. Besok pagi kamu antar soebo, soemoay serta soetee- mu yang kecil kerumah keluarga Gouw di Ouw-tjioe."

"Soehoe, harap kau tidak putus asa!" berkata murid itu tanpa ia mengiakan titah gurunya itu. "Kita didalam kota Lamkhia ini toh mempunyai lebih dari- pada dua ribu saudara, jikalau kita lakukan perlawanan, apa musuh bisa berbuat terhadap kita?" Masih orang tua itu menghela napas. "Lawan kita telah undang orang-orang kang-ouw yang sangat kenamaan," katanya. "Percuma-cuma saja, kita akan buang jiwa jikalau kita lawan keras kepada mereka itu. Maka, kalau nanti aku terbinasa, aku minta sukalah kamu rawat baik-baik pada soeboe,

soemoay dan soeteemu itu. Mereka semua mengandal atas tunjangan kamu beramai."

Lantas orang tua itu mengucurkan air mata. "Soehoe, jangan soehoe mengucap- kan begitu," kata murid yang lainnya. "Ilmu silat soehoe tinggi, hingga soehoe bisa amenjagoi di kanglam, umpa- ma kata soehoe tak dapat memenangkan mereka, toh tidak nanti soehoe bakal kena dikalahkan. Kita terdiri dari dua

puluh lima soeheng-tee, kecuali Lo Soeko, masih ada dua puluh empat, mus- tahil kita tidak sanggup lawan mereka itu? Kenapa soehoe tidak mau undang sahabat-sahabat soehoe dipelbagai tempat, supaya mereka datang membantu?"

"Dulu dimasa muda, aku pun berdarah panas sebagai kamu," kata guru itu.

"kesudahannya, seperti kau lihat, onar menjadi begini rupa. Sekarang ini aku terserah, aku hendak kasi diriku dibu- nuh mereka, untuk membayar hutang jiwa, dengan begitu urusan menjadi beres...."

Terharu Sin Tjie dan Tjeng Tjeng dengar pembicaraan guru dan murid-muridnya itu. "Kelihatannya Tjiauw Kong Lee ini bukan seorang jahat," memikir pemuda kita. "Mungkin dulu dia telah berbuat salah tetapi sekarang ia sudah insaf dan menyesal...."

"Soehoe!" tiba-tiba seru seorang murid.

"Oleh karena soehoe berkeputusan tidak hendak lawan mereka," berkata murid ini dengan jawabannya, "marilah malam ini juga kita berangkat untuk menyingkirkan diri, sedikitnya untuk sementara waktu"

"Mana dapat tindakan itu diambil?" berseru seorang murid yang lainnya. "Soehoe kenamaan, apa mungkin kita jeri terhadap musuh?"

"Apa sih kenamaan atau tidak kenamaan?" kata Tjiauw Kong Lee, orang tua itu. "Sekarang ini aku tidak pikiri soal ke- namaan lagi. Menyingkir juga tak dapat kita menyingkir untuk selama-lamanya. Maka besok pagi, kamu semua berangkat, aku akan berdiam sendirian disini, untuk layani mereka!" Kedua murid itu menjadi sibuk. "Aku suka temani soehoe!" berseru mereka. "Apa?" berseru juga sang guru. "Selagi ancaman malape- taka mendatangi, kau tak suka dengar perkataanku?" Dua murid itu tunduk, mereka bungkam. "Pergilah, kamu bantui soebo berkemas-kemas," Tjiauw Kong Lee menitah. "Juga lihat, kereta sudah siap atau belum."

"Baik soehoe," sahut kedua murid, akan tetapi kaki mereka tidak bergerak. me- reka seperti terpaku disitu. Tjiauw Kong Lee awasi mereka itu, ia menghela napas pula. "Baik, kamu suruh semua berkumpul disini!" akhirnya guru ini.

Baru setelah titah ini, kedua murid itu bertindak keluar. Sin Tjie ajak Tjeng Tjeng segrea menyingkir kepojok yang gelap. Tapi justeru karena menyingkir kesitu, selagi pasang mata, mereka lihat dua tubuh sedang mendekam dipojok

tembok sebelah barat. Sin Tjie menga- wasi, hingga samar-samar ia kenali tubuh seperti tubuhnya Ban Hong, sedang yang satunya lagi adalah satu tubuh langsing dengan baju merah, hingga ia pun kenali Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong Koen. Jadi rupanya, setelah tadi menuju kebelakang, orang she Ban itu pergi sambut kawan perempuan itu. Gemas Sin Tjie apabila ia ingat ketelengasan si Hantu Wanita tadi, yang secara getas

membabat kutung sebelah lengannya Lo Lip Djie. Orang Hoa San Pay tak sela- yaknya berbuat demikian bengis dan kejam. Maka mau ia memberi ajaran. "Kau berdiam disini, aku larang kau berge- rak!" pemuda ini pesan Tjeng Tjeng, dikuping siapa ia berbisik. Nona itu geraki tubuhnya, ia bersenyum. "Aku justru ingin bergerak..."katanya.

Sin Tjie tidak menegur, ia malah bersenyum juga. Lantas ia menyelinap ditempat gelap itu, ia jalan mutar, hingga ia berada di sebelah belakangnya Ban Hong dan Soen Tiong Koen. Dua pe- ngintai itu sedang memasang mata keda- lam kamar, perhatian mereka dipusatkan,

hingga mereka tidak tahu orang membaya- ngi mereka. Rupanya mereka tak curiga sedikit juga. Sin Tjie hunjukkan kege- sitannya. Setelah datang dekat, dia lompat melesat kebelakang nona Soen itu, selagi lewat, tangannya diulur, akan menyambar pedang, sehingga pedang

itu sekejab saja berpindah tangan tanpa si nona engah! Tjeng Tjeng lihat kawan- nya kembali kepadanya, tapi kapan ia tampak kawan ini curi pedangnya Soen Tiong Koen, ia tidak puas. "Kau simpan ini!" kata Sin Tjie dengan pelahan seraya sodorkan pedang curian itu.

Melihat ini, Barulah Tjeng Tjeng gi- rang. Ia lantas sambuti pedang itu. Kemudian berdua mereka mengintai pula di jendela. Selama itu, hampir berun- tun, datang dua-puluh orang lebih. Karena mereka terlihat tegas, kenyata- an yang paling tua berusia kira-kira empat puluh dan yang termuda Baru belasan tahun. Tidak salah lagi, mereka adalah murid-muridnya Tjiauw Kong Lee ini. Sesampainya didalam kamar, semua murid itu beri hormat pada guru mereka, lantas mereka berdiam diri, tidak ada yang buka suara. Tjiauw Kong Lee awasi mereka semua, ia perlihatkan air muka guram. "Dimasa mudaku, aku hidup dalam dunia Rimba Hijau," kata guru ini. "Se- karang ini tak perlu aku umpatkan apa jua terhadap kamu semua." Sin Tjie pandang semua murid itu, mereka angkat kepala, tapi masih mereka berdiam saja.

Terang sudah, semua murid itu benar- benar tidak ketahui hal-ikhwal guru mereka itu. "Sekarang musuh telah datang, ingin aku jelaskan kamu semua duduknya permusuhan," kata pula guru itu.

Bab 11

Lagi-lagi Tjiauw Kong Lee menghela napas. "Sebagai orang rimba hijau, aku ambil kedudukan diatas bukit Siang Liong Kong," demikian ia mulai. "Pada tahun itu, pada suatu hari aku terima laporan dari beberapa saudara pengawas tentang bakal lewatnya serombongan "mi- nyak air" dibawah gunungku. Itulah rombongannya bekas tootay dari Souwtjioe dan Siongkang, yang bersama

keluarganya dalam perjalanan pulang kekampung halaman mereka. Adalah kebi- asaan kita kaum rimba hijau, kita hidup dari pembegalan atau perampasan, apapu- la hartanya pembesar-pembesar jahat, yang makin tak dapat dikasi hati. Lagi- nya, dengan membegal satu lepasan pem- besar, hasilnya berlipat seratus kali daripada kita ganggu rombongan sauda- gar, sedang harta mereka biasanya harta tidak halal dan pantaslah bila kita

merampasnya. Maka bulatlah tekadku untuk merampasnya. Turut keterangan lebih jelas, bekas tootay itu ada orang she Khoe dan rombongannya bakal lewat diwaktu lohor. Apa yang menyulitkan kita, terkabar bekas tootay itu pakai pelindung yang bukan orang sembarangan, sebab dia adalah Bin Tjoe Yap, pemimpin Hwee Yoe Piauw Kiok dari Tjeelam, Shoatang. Bin Tjoe Yap itu adalah kan- danya Bin Tjoe Hoa ini." Baru mendengar sampai disitu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng lantas saja mengerti duduknya hal.

"Beginilah kiranya," pikir pemuda kita. "Tjiauw Kong Lee hendak merampas, Bin Tjoe Yap hendak membelainya. Sebagai piauwsoe, itulah kewajibannya Bin Tjoe Yap. Rupanya mereka telah bertempur, Bin Tjoe Yap kalah, dia mati terbunuh."

Sembari pasang kuping, Sin Tjie juga tidak lepas mata terhadap Ban Hong dan Soen Tiong Koen, maka itu ia dapat me- lihat ketika nona Soen satu kali meraba bebokongnya, dia terperanjat karena pedangnya tak ada ditempatnya, hingga dia kaget dan berjingkrak karenanya, segera dia memberi tanda pada Ban Hong, lantas keduanya angkat kaki dari rumah- nya si orang she Tjiauw itu. Diam-diam Sin Tjie tertawa dalam hatinya. Ia terus mendengari: "Bin Tjoe Yap itu, dalam kalangan kang-ouw, ada kenamaan," Tjiauw Kong Lee melanjuti. "Dia ada satu ahli silat dari Boe Tong Pay...."

"Oh, persaudaraaan Bin itu ada dari Boe Tong Pay," Sin Tjie pikir. "Menurut soehoe, Boe Tong Pay adalah pusat utama dari pelajaran ilmu silat pedang dise- luruh negara dan ketuanya ada punya pergaulan luas dengan lain-lain kaum persilatan. Pantas sekarang Bin Tjoe Hoa bisa undang demikian banyak orang kosen."

"Mulanya tak berani aku segera turun tangan," Tjiauw Kong Lee bercerita pula, "malah aku segera turun gunung untuk membikin penyelidikan sendiri. Malam itu aku mengintai dirumah pengi- napan. Apa yang aku saksikan membuat perutku hendak meledak saking gusar dan mendongkol. Diluar dugaan, Bin Tjoe Yap ada seorang yang kemaruk paras eilok, dan dia telah incar puteri kedua dari Khoe-Tootay. Untuk ini, dia telah ber- sekongkol sama Thio Tjeetjoe, pemimpin Hoei Houw Tjee. Rencana mereka adalah Thio Tjeetjoe akan turun tangan didekat Hoei Houw Tjee, selagi perampasan dila- kukan, Bin Tjoe Yap nanti berpura-pura melakukan perlawanan, tapi dia akan berpura-pura kalah, supaya Thio

Tjeetjoe dapat binasakan Khoe Tootay sekeluarga kecuali gadisnya yang kedua itu, yang mesti dirampas bersama semua hartanya. Setelah itu, Bin Tjoe Yap akan berpura-pura berlaku nekat, untuk tolong nona Khoe itu. Apabila si nona sudah dapat ditolong, kata Bin Tjoe Yap, dia pasti jadi sebatang kara, tidak ada pelindungnya lagi, hingga ia percaya, nona itu akan berhutang budi padanya dan nanti suka serahkan diri untuk menjadi isterinya. Thio Tjeetjoe bersedia melakukan rencana itu, karena ia pun temahai hartanya tootay itu. Aku dengar semua itu, aku gusar, lantas aku pulang, untuk ajak sekalian saudara bersiap didekat Hoei Houw Tjee, guna rintangi rencana itu. Benarlah, pada jam yang disebutkan, rombongan Khoe Tootay sampai di jalanan gunung bagian kiri dari Hoei Houw Tjee, sarangnya Thio Tjeetjoe itu."

"Ah, inilah lain," pikir Sin Tjie. Tadinya ia menduga, begal dan piauwsoe perebuti harta saja. Ia mendengari terus: "Waktu itu tak dapat aku sabar- kan diri," kata Tjiauw Kong Lee yang melanjuti. "Aku junjung pantang kita kaum Rimba Hijau mengenai soal paras eilok. Kita boleh buntu jalan, kita boleh menjadi begal, tapi kita tetap mesti jadi satu laki-laki, tidak demikian ada Bin Tjoe Yap. Kenapa dia jadi begitu hina, sedang dia ada satu piauwsoe? Sebagai piauwsoe, dia me- nyalahi tugas, dia bikin turun derajat- nya, dan sebagai orang gagah, dia per- hina martabat sendiri! Segera sete- lah munculnya rombongan Khoe Tootay, Thio Tjeetjoe dan laskarnya pun keluar, dengan banyak berisik, mereka mengancam hendak membegal. Bin Tjoe Yap maju kemuka, dengan tingkahnya yang tengik, ia berlagak hendak melindungi keluarga Khoe itu. Aku habis sabar, tidak tunggu sampai mereka lanjuti sandiwara mereka, aku keluar dari tempat tersembunyi. Adalah maksudku untuk cegah kejadian busuk itu, akan tetapi kita kedua pihak tak mendapat kecocokan, hingga kita jadi bentrok. Dengan pedangnya, Bin Tjoe Yap benar-benar liehay, untungnya bagiku, dia sedang gusar dan kalap, dia seperti tak dapat kendalikan diri, maka kebetulan aku dapat ketika, aku telah

kena bacok dia sehingga dia binasa...."

"Soehoe, manusia keji semacam dia pan- tas dibinasakan!" berseru satu murid, yang potong omongan gurunya. "Kenapa kita mesti jeri? Kalau besok mereka datang, kita bongkar rahasianya Bin Tjoe Yap ini, umpama dia norek hendak menuntut balas juga, mustahil diantara rombongannya tidak ada orang-orang yang jujur ?"

"Kau benar," Sin Tjie kata dalam hati- nya, mendengar kata-katanya murid itu. "Umpama benar keterangannya orang she Tjiauw ini, dia pantas dihargai. Aku kuatir masih ada lain urusan lagi diantara mereka itu...." Tjiauw Kong Lee menghela napas pula sebelum ia menutur lebih jauh. "Setelah membinasa- kan Bin Tjoe Yap, aku menginsyafi baha- ya yang bakal ancam aku," demikian guru itu. "Gurunya Bin Tjoe Yap ada Oey Bok Toodjin, bersama guru ini ada banyak saudara-saudaranya seperguruan, dia- orang itu tentunya tidak mau mengerti dan bakal menuntut balas. Bagaimana aku sanggup lawan mereka semua? Beruntung untuk aku, saudara-saudaraku dapat pengaruhi Thio Tjeetjoe, lantas aku paksa dia untuk menulis surat ketera- ngan yang menuturkan persekutuan mereka, bahwa maksud Bin Tjoe Yap ada untuk ganggu nona Khoe itu. Thio Tjeetjoe telah tulis surat pengakuannya itu."

"Khoe Tootay merasa sangat bersyukur yang aku telah tolongi dia, dia sampai menulis sehelai kertas dalam mana ia juga tuturkan dengan jelas duduknya perkara itu, untuk mana dia paksa dua piauwsoe dari Hwee Yoe Piauw Kok bubuh- kan tanda-tangannya, untuk menguatkan surat keterangan itu. Kedua piauwsoe itu tidak tahu maksudnya Bin Tjoe Yap, mereka tidak mendendam sakit hati padaku, sebaliknya, mereka bersyukur,

karena kalau tidak, tentu nama mereka akan turut bercacat. Karenanya, kita menjadi sahabat-sahabat. Karena keja- dian itu, tak dapat aku terus menduduki Siang Liong Kong, terpaksa aku membu- barkan diri, kemudian dengan bawa itu dua surat bukti, aku pergi ke Boe Tong San, untuk menemui Oey Bok Toodjin, guna jelaskan duduknya hal."

"Diluar dugaanku, pihak Boe Tong Pay telah terlebih siang mendengar kabar perihal kebinasaannya Bin Tjoe Yap, mereka telah berpapasan denganku selagi aku Baru ditengah perjalanan. Mereka berniat ganggu aku, baiknya aku dapat pertolongan seorang kang-ouw yang luar biasa, siapa terus antar aku naik ke Boe Tong San hingga aku dapat menemui

Oey Bok Toodjin. Dibantu oleh penolong itu, aku ceritakan duduknya kejadian. Oey Bok Toodjin ada seorang jujur, ia suka percaya keteranganku, maka ia larang murid-muridnya musuhkan aku. Akan tetapi, untuk nama baiknya Boe Tong Pay, ia kehendaki aku jangan

uwarkan hal itu kepada umum. Aku beri- kan janjiku. Maka setelah turun gunung, terus aku tutup mulut. Inilah sebabnya kenapa hampir tidak ada orang kang-ouw yang ketahui rahasia itu. Pada waktu itu, Bin Tjoe Hoa masih kecil. Aku percaya, dia pun tidak tahu hal-

ihwalnya engko itu."

"Apakah kedua surat keterangan itu masih ada, soehoe?" tanya satu murid.

"Justru kedua surat itu yang membuat sulit padaku," sahut sang guru. "Duduk- nya begini: Pertama-tama aku mesti sesalkan mataku, yang seperti buta, hingga aku tak dapat kenali wajah manusia. Baru pada musim rontok tahun yang lalu, satu sahabat menyampaikan

berita kepadaku bahwa adiknya Bin Tjoe Yap sudah rampungkan pelajaran silat- nya, bahwa adik ini, mengetahui kanda- nya binasa ditangan aku, dia hendak cari aku untuk menuntut balas. Tentu saja, aku lantas berdaya untuk selamat- kan diriku. Turut penyelidikanku, Tiang

Pek Sam Eng bersahabat rapat dengan Bin Tjoe Hoa itu. Tiga jago dari Tiang Pek San itu ada kenalanku untuk banyak tahun, kami bersahabat rapat, cuma sudah belasan tahun, kami tak bertemu satu sama lain. Aku masih ingat bagai- mana diwaktu muda kami bekerja dan hidup bersama dalam dunia Rimba Hijau, maka itu, ingin aku minta perantara- annya. Demikian, aku telah berangkat mencari Tiang Pek Sam Eng...."

Salah satu murid menyelak: "Jadi ketika tahun lalu soehoe pergi ke Liauwtong, hingga seantero tahun Soehoe tidak ber- ada di rumah, sebenarnya soehoe lagi urus perkara ini?"

"Benar," Tjiauw Kong Lee manggut. "Aku telah pergi ke Liauwtong untuk cari Tiang Pek Sam Eng dirumahnya. Ketika itu adalah akhir tahun, hawa udara sangat dingin, aku duga dua saudara Soe mesti berada dirumahnya. Tidak kebetul- an untuk aku, aku tidak lantas dapat menemui kedua saudara itu. Turut kete- rangan orang dirumahnya, mereka kebe- tulan dipanggil oleh Kioe Ong-ya di Kian-tjioe-wie. Tapi sudah telanjur, terpaksa aku menantikan. Selang bebera- pa hari Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen Barulah pulang. Bukan main girangku bertemu sama sahabat-sahabat lama, demikian juga dua saudara itu."

"Tidak ayal lagi, aku tuturkan maksud kedatanganku. Untuk itu, perlu aku jelaskan duduknya permusuhanku dengan keluarga Bin itu. Soe Peng Kong berjan- ji suka menolong aku, malah ia bertepuk dada memastikan urusan bakal beres. Karenanya, aku serahkan dia dua surat keterangan itu. Peng Kong bilang, kedua surat itu perlu diperlihatkan kepada Bin Tjoe Hoa. Ia malah kata, pabila Tjoe Hoa sudah lihat surat-surat itu, tidak nanti dia punya muka untuk menun- tut balas lebih jauh, mungkin dia akan minta orang perantaraan untuk mengha- turkan maaf padaku, serta untuk mohon agar aku tidak siarkan cerita kebusukan

kakaknya itu. Alasannya Peng Kong itu masuk diakal, aku percaya padanya."

"Dua saudara itu layani aku dengan telaten dan gembira sekali, hingga aku suka berdiam lamaan dirumahnya. Aku pun sedang punyakan tempo terluang. Setiap hari kami pergi berburu atau pergi menonton wayang. Kemudian pada suatu hari, Peng Kong omong kepadaku bahwa bintangnya kerajaan Beng sudah guram, selagi kami mempunyai kepandaian silat, kenapa kami tidak mau mencari junjungan baru, katanya. Dia hunjuk, kami bakal peroleh pangkat besar, anak-isteri hidup mewah dan agung. Tidakkah kami

bakal jadi menteri pendiri kerajaan? Aku tercengang mendengar ajakan itu. Aku tanya apa kami bakal pergi meng- hamba kepada Giam Ong? Peng Kong ter- tawakan aku, dia bilang Giam Ong adalah berandal rumput dan tidak bakal peroleh kemajuan. Dia lalu menjebutkan kerajaan Boan, yang katanya angkatan perangnya kuat, rangsumnya banyak, bahwa bangsa asing itu bakal segera datang menyerbu. Dia kata, kalau aku suka terima ajakan- nya, dia dua saudara bakal pujikan aku kepada Kioe Ongya, supaya aku diterima

bekerja. Mendengar itu, tiba-tiba saja aku jadi gusar, hingga aku tegur mereka, mereka sebenarnya bangsa apa, kenapa sebagai cucu Oey Tee, mereka suka menjadi kacung bangsa asing! Aku katakan, apa dengan begitu kami tidak akan jadi cucu yang berdosa besar dan setelah mati, mana kami ada muka untuk bertemu dengan leluhur kita?"

Mendengar ini, Sin Tjie manggut-manggut sendirinya. "Dia seorang cerdas, dia dapat bedakan yang benar dan tidak benar," pikirnya. Maka ia kagumi orang she Tjiauw ini. "Untuk sementara itu, kami bentrok," Tjiauw Kong Lee melan- jutkan penuturannya itu. "Di hari kedua, kami baik pula seperti biasa dan mereka berdua kembali berlaku ramah- tamah dan perlu. Peng Kong akui kemarin ia sinting, tak tahu dia, dia sudah ngoceh apa, dia minta aku tidak buat pikiran. Kami adalah sahabat-sahabat dari belasan tahun, tentu saja urusan demikian dapat kami bikin habis. Lagi belasan hari aku berdiam di Liauwtong, Baru aku pulang."

"Benar-benar aku tidak sangka, dua sau- dara Soe itu adalah dua ekor srigala atau anjing! Teranglah, bukan mereka pergi pada Bin Tjoe Hoa untuk akuri kita, mereka justru ciptakan gelombang, mereka sengaja ogok orang she Bin itu, hingga Bin Tjoe Hoa bersiap sedia

untuk satroni aku. Selama setengah tahun, aku masih belum ketahui rahasi- anya dua saudara Soe itu, sampai seka- rang ini, mereka muncul dengan menda- dakan dikota Lamkhia ini, malah Bin Tjoe Hoa telah undang orang-orang liehay untuk bantu dia. Aku percaya, dua surat keterangan itu tentu masih berada pada dua saudara Soe itu. Sudah

berselang banyak tahun sejak kejadian itu, maka sekarang ini, mereka yang menjadi saksi, yang ketahui perkara, tentu sudah menutup mata atau entah dimana tinggalnya mereka sekarang apa- bila mereka masih hidup. Tanpa bukti dan saksi, bagaimana aku bisa bela

diri? Tentu sekali, Bin Tjoe Hoa tidak nanti percaya aku. Malah mungkin, dia bakal jadi semakin gusar dan akan tuduh aku mengarang cerita untuk fitnah kandanya itu. Aku heran sikapnya dua saudara Soe itu. Kami toh bersahabat kekal, umpama mereka ingat bentrokan, tapi kami sudah baik pula. Kenapa sekarang mereka datang bersama Bin Tjoe

Hoa? Aku duga mereka semua ingin tumpas pihakku." Mendengar keterangan itu, dua puluh empat muridnya Tjiau Kong Lee jadi sangat gusar, gusar terutama ter- hadap dua saudara Soe, sehingga ingin diaorang tempur mereka itu. "Sabar," Tjiauw Kong Lee bilang. "Sekarang pergi kamu undurkan diri. Ingat, apa yang aku

terangkan kepada kamu ini, jangan kamu bikin bocor. Saking terpaksa saja, aku telah buka rahasia ini kepada kamu semua. Aku sudah berjanji sama Oey Bok Toodjin, untuk tutup rahasianya Bin Tjoe Yap, aku hendak menetapkan janji. Lebih suka aku merekalah yang tak ber- kepantasan daripada aku yang menyalahi janji!" ia menghela napas. "Pergi kamu

panggil soemoay dan soeteemu!"

Dengan wajah masih gusar, murid-murid itu pergi keluar. Tapi menyusul keluar- nya mereka, moielie lantas tersingkap pula dan sekarang datangnya satu nona umur enam atau tujuh belas tahun serta satu bocah usia delapan atau sembilan tahun. Si nona bercucuran air mata, ia berseru memanggil "Ayah!" lantas ia tubruk Tjiauw Kong Lee. Ayah itu usap- usap rambut gadisnya, untuk sekian lama, ia tak dapat bicara. Si anak

sendiri telah menangis sesenggukan.

Si bocah mengawasi dengan pentang mata lebar-lebar, tak tahu ia kenapa encie- nya itu menangis. "Apakah ibumu telah siapkan segala apa?" Kong Lee tanya kemudian. Nona itu tidak menjawab, ia cuma manggut. "Jikalau nanti adikmu tambah usianya, kau baik-baik ajari dia bersekolah dan meluku," kata ayah itu pula. "Tetapi ingat, jangan perkenankan dia turut dalam ujian untuk memperoleh pangkat. Juga jangan kau ajarkan pula dia ilmu silat."

"Adik justeru perlu belajar ilmu silat, supaya dibelakang hari dia dapat menun- tut balas," kata si nona.

"Ngaco!" Kong Lee membentak. "Apakah kau hendak gaduh aku hingga aku mati gusar!" Tapi cuma sedetik saja, dia melanjuti dengan sabar: "Didalam Rimba Persilatan, saling mendendam dan saling membalas, entah sampai kapan habisnya! Maka itu tak ada lebih baik daripada menjadi rakyat jelata yang lurus dan damai selama hidup kita. Dasarnya

adikmu tidak sempurna, jikalau dia belajar silat, tidak nanti dia mendapat kepandaian yang berarti, tidak separuh dari semua kepandaianku. Lihat contoh- nya aku sendiri, aku telah terdesak begini rupa, sehingga aku tidak bakal akhirkan usiaku secara damai. ....Ah, tak dapat aku tunggu kau hingga kau berumah-tangga, ini adalah ganjalan untuk hatiku....Pergi kau beritahukan mereka semua, setelah aku mati nanti, urusan Kim Liong Pang kita baik semua- nya diserahkan kepada Kho Siokhoemu yang menjadi Hoe-pangtjoe, biar mereka semua dengar titahnya...." Sin Tjie heran. "Aku dengar Kim Liong Pang adalah satu partai besar diwilayah Kanglam ini, siapa tahu, Tjiauw Kong Lee adalah yang menjadi pangtjoe, ketua. Mereka beranggauta banyak dan

besar pengaruhnya, kenapa sekarang Tjiauw Kong lee bersikap begini lemah? Benar-benar aneh!"

"Sekarang aku pergi cari Kho Siokhoe," berkata si nona. "He, kenapa kau masih tidak ketahui sikapku?" sang ayah me- negur. "Pamanmu itu bertabeat keras, jikalau dia datang dan ketahui urusanku ini, apa kau anggap dia mau sudah saja orang perhina aku begini rupa? Satu kali dia datang, perang bakal segera

terbit, entah berapa banyak jiwa akan melayang! Diumpamakan aku ketolongan, luput dari bahaya kematian, akan tetapi karena itu, mungkin beberapa ratus saudara kita bakal terbinasa, apabila sampai terjadi demikian, mana bisa hatiku tenang? Tidak, aku tidak tega! Hayolah kau lekas pergi!" Nona itu menangis, tapi ia paykoei kepada ayah- nya dua kali, sesudah mana, ia tuntun

tangan adiknya, untuk diajak pergi. Ketika ia sampai dipintu, tiba-tiba ia berhenti dan menoleh. "Ayah!" katanya. "Apa mungkin, kecuali dari mati, tidak ada jalan yang kedua untuk menghindari- nya?"

"Tentang itu aku telah pikirkan selama beberapa hari dan malam," sahut sang ayah. "Apakah aku tidak bakal bergirang andaikata bisa aku terluput daripada kematian? Didalam dunia ini, cuma ada satu orang yang bisa tolong aku, akan tetapi orang itu kebanyakan sudah tidak berada lagi didalam dunia..."

Kong Lee menghela napas pula. Wajahnya si nona bercahaya dengan tiba-tiba, ia hampirkan ayahnya dua tindak. "Ayah, siapakah orang itu?" tanyanya." Siapa tahu kalau-kalau dia belum meninggal

dunia...."

"Dia orang she Hee," sahut ayah itu. "gelarannya ialah Kim Coa Long-koen."

Selagi gadisnya masih berdiam, Tjiauw Kong Lee menambahkan: "Dialah orang yang aku maksudkan si orang kang-ouw yang luar biasa. Dialah juga yang ketahui jelas perkaraku dengan Bin Tjoe Yap. Ketika dulu dua-belas murid kepala dari Boe Tong Pay hendak ganggu aku, dialah yang sendirian saja mundurkan jago Boe Tong San, untuk tuturkan

duduknya hal, hingga perkara jadi dapat dibikin habis. Sekarang ini Oey Bok Toodjin sudah meninggal dunia dan Kim Coa Long-koen sendiri katanya pada belasan tahun telah orang aniaya hingga sekarang dia pun tak berada dalam dunia lagi. Coba dia masih hidup....Ah, su- dahlah, pergilah kamu....." Dengan sangat berduka, si nona berlalu. Sin Tjie beri tanda pada Tjeng Tjeng, me- reka tinggalkan jendela, untuk kuntit nona Tjiauw itu, kapan mereka telah sampai ditaman bunga, dimana tidak ada lain orang, mendadakan pemuda kita berlompat, akan lombai nona itu, untuk berdiri didepannya. "Nona Tjiauw, mau atau tidak kau tolongi ayahmu?" tanya ia secara mendadakan. Nona itu terke- jut, hingga ia melengak, atau segera ia hunus pedangnya. "Siapa kau?" ia mem- bentak. "Jikalau kau hendak tolong ayahmu, mari ikut aku!" kata Sin Tjie, yang tidak jawab teguran orang. Lantas dengan satu loncatan tinggi dan jauh, dengan "It Hoo Tjiong Thian" ia mence- lat untuk lewati tembok pekarangan.

Tjeng Tjeng, yang berdiam saja, telad contoh kawannya itu. Nona Tjiauw kem- bali melengak, terutama ia tidak sangka orang itu demikian liehay ilmu enteng- kan tubuh, maka kemudian, tanpa ayal lagi, ia pergi susul mereka. Ia telah

mengubar sejurus tempo ia lihat orang masih terus lari keras, hingga ia ber- sangsi dan hentikan tindakannya, lantas ia memutar tubuh, untuk pulang. Tapi Baru ia berbalik, mendadak ia rasakan sampokan angin dipinggangnya, tali pedang dipinggangnya kendor dan terle- pas, menyusul mana, ia pun rasakan sebelah tangannya sesemutan, cekalannya

lepas sendirinya, hingga dilain saat pedangnya sudah terampas orang yang ia tak kenal itu. Sin Tjie pun sudah lan- tas berdiri didepan nona ini. Bukan main kaget dan herannya nona Tjiauw.

"Jangan takut, nona," Sin Tjie berkata. "Jikalau ada niatku mencelakai kau, aku dapat lakukan itu secara gampang seka- li. Aku ada sahabat dari keluargamu, maka kau mesti dengar perkataanku apa yang aku bilang!" Nona itu manggut, tapi Sin Tjie lihat orang masih ragu- ragu. "Ayahmu sedang terancam bahaya maut, kau berani tidak menempuh bahaya untuk tolong dia?" Sin Tjie tanya. Ia tidak perduli orang bersangsi atau curiga. "Asal ayah dapat tertolong, walaupun tubuhku hancur-lebur, aku membelainya," kata si nona kemudian.

"Ayahmu itu seorang baik," Sin Tjie bilang. "Dia lebih suka korbankan diri sendiri daripada mesti lakukan pertem- puran besar yang bakal meminta banyak korban. Orang semacam dia, langka, dari itu aku suka bantu dia. Aku pastikan ini!" Melihat sikap orang dan mendengar perkataannya, nona Tjiauw tidak ber- sangsi lagi, malah ia lantas tekuk lututnya, untuk paykoei. "Jangan nona!" Sin Tjie mencegah. "Perlu aku jelaskan padamu, walau begini, aku tidak mera- sa pasti kita bakal berhasil atau tidak." Nona Tjiauw itu tidak dapat tekuk lutut, lengannya dicekal si anak muda, ia merasai satu tenaga yang besar, hingga tubuhnya seperti terang- kat naik. Karena ini, semakin kuatlah

kepercayaannya. "Sekarang mari ajak kami ke kamar tulis," Sin Tjie minta. "Disana aku hendak menulis sepucuk surat untuk ayahmu."

"Sebenarnya siapa djiewie berdua?" tanya nona Tjiauw. "Apa tidak lebih baik djiewie bicara langsung sama ayah?"

"Kita pasti bekerja cepat," Sin Tjie bilang. "Kapan sebentar ayahmu baca suratku, tidak nanti dia berputus asa terus, tidak nanti dia hendak cari kematiannya pula! Kita tak boleh ayal- ayalan, inilah tindakan yang pertama." Entah bagaimana, Nona Tjiauw lantas saja mempercayai habis. "Kalau begitu djiewie, marilah!" ia mengundang. "Inilah rahasia," Sin Tjie peringati." Kecuali kau sendiri, lain orang tak boleh lihat kita!" Nona itu manggut. Bertiga mereka loncati tembok peka- rangan, untuk masuk kedalam. Nona rumah ajak kedua tetamunya kedalam sebuah kamar yang kecil dimana ia keluarkan kertas dan pit, ia gosoki juga baknya. Kemudian ia mundur, akan duduk disedi- kit jauh. Sin Tjie sudah lantas menu- lis. Tjeng Tjeng berada didampingnya kawan ini, melihat "surat" yang ditulis Sin Tjie ia terperanjat. Sin Tjie lipat surat itu, untuk dimasuki kedalam sampul, yang ia tutup rapat. "Besok pagi tepat jam sin-sie," ia pesan si nona, "kau pergi ke hotel Hin Liong kamar no.3 huruf Oey, disana aku nanti tunggui kau." Nona Tjiauw manggut.

Sekarang Sin Tjie serahkan suratnya.

"Sampaikan surat ini segera pada ayah- mu," ia kasi tahu. "Tapi kau mesti janji satu hal kepadaku."

"Aku nanti turut pesanmu," sahut si nona. "Tidak perduli apa yang ayahmu tanyakan, terutama jangan kau beritahu dia tentang roman dan usiaku!" pesan pemuda kita. Nona Tjiauw heran sekali.

"Kenapa begitu?" tanyanya. "Asal kau beritahu, tak dapat aku bantu kau!" ada jawaban si anak muda. Nona itu melengak tapi ia lantas manggut. "Baik, aku turut kau," jawabnya. Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng. "Sudah cukup, mari kita pergi!" Nona Tjiauw lihat orang berlompat keluar pekarangan, gesitnya bagaikan burung terbang,

hingga kembali ia jadi kagum. Tapi ia beragu-ragu ketika ia berlari-lari kekamar ayahnya, yang pintunya sudah ditutup. Ia coba menolaknya dengan sekuat tenaga, tidak ada hasilnya. Ia jadi heran dan kuatir. Ia lari ke jendela, dengan satu toyoran, ia bikin daun jendela menjeblak terbuka, terus saja ia berloncat masuk, justru ayahnya lagi bawa satu cawan kebibirnya.

"Ayah!" berseru gadis ini, yang kaget tak terkira. Ia bisa duga perbuatannya ayah itu. "Ayah, lihat ini dulu!"

Tjiauw Kong Lee menunda cawannya, ia mengawasi dengan mendelong. Nona itu buka sampul surat, ia sodorkan suratnya kepada ayahnya itu. "Baca ini, ayah!" kata dia. Kong Lee tidak lihat surat hanya lukisan serupa pedang. Dengan mendadakan saja, cawannya terlepas dari cekalannya, sehingga cawan itu jatuh kelantai dan hancur bergomprangan!

Si nona kaget sehingga ia berjingkrak. Tapi segera ia tampak perubahan air mukanya ayahnya itu, yang dari duka dan suram mendadakan jadi bercahaya kegi- rangan. "Dari mana datangnya surat ini?" ayah itu tanya, kedua tangannya bergemetar. "Siapa berikan ini padaku? Apakah dia sendiri yang datang? Ah, apakah benar-benar dia telah datang?"

Nona itu tidak lantas jawab ayahnya, ia hanya mendekati, untuk turut lihat bunyinya surat. Ia pun tidak lihat lain daripada gambarnya sebatang pedang yang panjang, yang romannya luar biasa, pedang berkepala ular-ularan, lidahnya bercabang dua bagaikan cagak. Ia tidak

mengerti, pedang itu ada punya khasiat apa hingga ayahnya mendadakan jadi demikian girang. "Ayah, apakah ini?" akhirnya dia balik tanya ayah itu.

"Asal dia datang, jiwa tua dari ayahmu akan ketolongan!" berkata ayah itu. "Apakah kau telah bertemu dengannya?"

Masih si anak dara heran. "Dia siapa, ayah?" tegasinya. "Dia yang melukiskan gambar pedang ini?" sahut ayah itu.

Baru sekarang gadis itu manggut.

"Dia pesan aku akan besok pergi cari dia ditempatnya," ia terangkan. "Apakah dia tidak bilang bahwa aku pun perlu turut bersama?"

"Dia tidak bilang itu."

"Orang gagah luar biasa itu memang aneh perangainya," Kong Lee bilang. "Siapa juga mesti dengar perkataannya. Maka pergilah besok kau seorang diri!....Ah sedetik saja kau terlambat datang ayah akan sudah tidak dapat lihat pula pada- mu..." Nona Tjiauw terkejut. Sekarang ia ingat cawan yang ayahnya bawa kemu- lutnya. Jadi itulah cawan berisikan racun. Lantas saja ia ambil sesapu, akan sapui pecahan cawan, akan kering- kan racunnya. "Sekarang baik ayah tidur," kata ia, yang terus layani orang tua itu. Sebentar kemudian nyonya Tjiauw dan semua muridnya Kong Lee dengar kabar yang melegakan hati itu, semuanya bergirang, walau mereka masih belum pasti, "tuan penolong" itu akan berhasil atau tidak menolong mereka. Tapi mengingat ketua Kim Liong Pang itu berlega hati, mereka mau percaya anca- man bahaya sudah dapat diredakan.

Karena ini batallah orang menyingkir pergi dan bubaran.... Ketika itu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah berlalu dari rumahnya Tjiauw Kong Lee. "Kau melukis pedang, apakah artinya itu?" Tjeng Tjeng tanya. "Apakah kau telah tidak dengar sendiri?" Sin Tjie baliki. "Dia sendiri bilang, didalam dunia ini, asal ayahmu datang, jiwanya bakal ketolong- an. Gambar pedang itu adalah gambarnya

Kim Coa Kiam kepunyaan ayahmu." Tjeng Tjeng manggut, tetapi ia berdiam.

"Kenapa kau hendak tolongi dia?" sesaat kemudian ia tanya. "Aku lihat Tjiauw Kong Lee itu seorang baik," jawab Sin Tjie. "Dia telah dibikin celaka oleh

sahabatnya yang busuk. Apa mungkin kita melihat kematian dan tak menolongnya?

Apalagi dia adalah sahabatnya ayahmu."

"Ah, aku menyangka kau melihat gadisnya cantik, jadi kau hendak menolong dia.." Kata si nona. "Adik Tjeng, kau pandang aku orang macam apa?" Sin Tjie gusar.

"Oh, oh, jangan gusar!" Tjeng Tjeng tertawa. "Kenapa dan kau suruh gadis orang datang kehotel kita untuk cari padamu?" Mau atau tidak, si anak muda turut tertawa. "Matamu picik, tak tahu aku bagaimana harus mengobatinya," katanya. "Hayo sudah, mari turut aku!"

"Hm!" si nona bersuara tetapi kembali dia tertawa. Ia lari keras kearah barat, untuk menyusul. Sin Tjie tahu tenaganya nona itu, ia sengaja lari sedang-sedang saja, untuk bikin mereka

lari berendeng. Mereka berlari-lari tidak seberapa lama, sampailah mereka dirumah Bin Tjoe Hoa. Sin Tjie tarik tangan si nona, untuk ajak dia lompati tembok pekarangan, buat masuk kesebe- lah dalam. Dipojok tembok, mereka umpetkan diri. "Didalam rumah ini banyak sekali orang-orang liehay, asal mereka dapat pergoki kita, gagallah usaha kita," Sin Tjie bisiki kawannya.

"Jikalau kau hendak bantui nona cantik itu, aku tidak ijinkan!" kata Tjeng Tjeng tapi sambil tertawa. "Sebaliknya, aku nanti mengacau, aku nanti berteriak-teriak, berkaok-kaok!"

Sin Tjie tertawa, dia tak memperdu- likannya. Keduanya mendekam sekian lama, apabila mereka dapati suasana tetap sunyi, mereka bertindak maju dengan pelahan-lahan. Kebetulan sekali untuk mereka, satu bujang lelaki

melintas sendirian, dengan tiba-tiba saja dia itu dibekuk seraya diancam untuk tutup mulut. "Dimana kamarnya tetamu-tetamu she Soe?" Sin Tjie tanya.

Bujang itu ketakutan, ia berikan kete- rangannya. "Baik, kau tunggu disini," Sin Tjie bilang. Ia totok urat gagu orang itu habis dia melemparkannya ketempat pepohonan yang lebat. Dengan hati-hati, mereka cari kamarnya dua saudara Soe. Langsung mereka menuju ke

jendela. Dengan pakai tenaganya tetapi pun dengan hati-hati, Sin Tjie bongkar daun jendela. Ia bisa bekerja tanpa menerbitkan suara, setelah mana, ia loncat masuk. Tjeng Tjeng pun turut masuk. Peng Kong dan Peng Boen liehay, mereka sedang tidur tapi mereka segera mendusi. Celakanya untuk mereka, mereka kalah sebat, Baru mereka hendak menegur, jari tangannya Sin Tjie sudah menotok jalan darah mereka sehingga mereka jadi mati daya. Begitulah mereka cuma bisa lihat, api dinyalakan, orang merogo kebawah bantal mereka. Sin Tjie rasai tangannya membentur benda dingin, ia tahu, itulah senjata tajam, maka itu, berdua mereka lantas geledah latji dan lemari. Mereka dapati beberapa potong pakaian dan uang, juga senjata rahasia. Masih mereka mencari terus tatkala mereka dengar tindakan kaki diluar kamar. Maka lekas-lekas Sin Tjie tiup padam apinya. Didalam gelap mereka mencari terus, malah Sin Tjie geledah saku bajunya orang itu. Untuk kegirang- annya, ia dapati segumpal kertas. Ia ambil semua itu, yang ia masukkan ke- dalam sakunya. "Sudah dapat!" ia bisiki Tjeng Tjeng. "Mari kita pergi," meng- ajak si nona. "Rupanya diluar ada orang."

"Tunggu sebentar," sahut Sin Tjie, yang lantas meraba ke meja dengan jeriji tangannya yang kanan. Nyatalah, dengan jeriji tangan, ia menulis enam huruf besar yang berarti: "Hormat dari

adikmu Tjiauw Kong Lee". Ia menekan keras, enam huruf itu melesak seperti pahatan pada batu! Dengan loncati pula jendela, dua kawan ini berlalu dari dalam kamarnya dua saudara Soe itu. Cuaca diluar ada gelap seperti tadinya.

Sekonyong-konyong ada angin berkesiur, lalu sebatang pedang menyambar kearah si pemuda. Sin Tjie tidak lompat, tanpa kelit ia ulur tangan kirinya, untuk memapaki, cekal lengannya si penyerang. Tapi penyerang itu sebat sekali, ujung pedangnya mendahului mengenai ulu hati. Sin Tjie tidak takut, karena ia pakai baju kaos mustika Bhok Siang Toodjin, ia tidak terluka sedikit juga.

Penjerang itu terperanjat apabila ia rasai ujung pedangnya mengenai barang yang empuk, ia pun kaget akan rasai lengannya tercengkeram lima jari tangan yang kuat bagaikan sepit besi, sedang dilain pihak, satu tamparan menyambar kearah mukanya. Dia lekas berontak

sambil berkelit, tapi pedangnya sudah kena terampas. Dalam kagetnya, dia loncat mundur, terus dia kabur. Penyerang gelap ini ada Twie-hong-kiam Ban Hong. Dia telah dapat tugas dari Bin Tjoe Hoa, untuk intai Tjiauw Kong Lee, ia pergi seorang diri. Tapi Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong Koen juga pergi dengan diam-diam, utk turut mengintai, maka itu, mereka jadi bekerja sama- sama. Mereka sedang memasang mata ketika tanpa ketahuan lagi, pedangnya nona Soen disambar Sin Tjie. Mereka kaget, meski mereka tahu, pihak pencuri itu tidak bermaksud jahat. Coba mereka dibokong, tentu celakalah mereka. Karena ini, keduanya lantas kabur pulang. Ban Hong mendongkol bukan main, ia malu sekali, sebab Baru saja keluar, Baru melakukan pengintaian, orang telah rubuhkan dia. Dan Soen Tiong Koen lebih- lebih mendongkolnya, nona ini gusar sekali, sebab pedangnya hilang.

Twie-hong-kiam tidak dapat tidur, maka itu, ia pergi keluar kamarnya, untuk mencari angin, guna legakan pikiran. Tiba-tiba ia lihat api berkelebat di- dalam kamarnya dua saudara Soe. Ia kenali, api apa adanya itu. Ia lantas menghampirkan, ia sembunyi diluar jen- dela, untuk serang dengan mendadakan pada orang didalam itu sebentar selagi dia keluar. Ia percaya, dengan satu gebrak saja, ia bakal berhasil. Tapi ia gagal, malah ia dapat malu, karena

pedangnya pun kena dirampas. Didalam partai Tiam Tjhong Pay, Ban Hong adalah yang paling liehay untuk ilmu pedangnya Twie-hong-kiam yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus, hingga di

Selatan, ia sangat dimalui. Didalam ilmu silat, malah dia melebihi toasoehengnya Liong Tit yang menjadi tjiang-boen-djin, ahliwaris partainya. Sekarang ia menghadapi orang yang

tidak mempan senjata, ia sampai mau menduga apa ia sedang layani hantu.

Tidak ayal lagi, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberi tanda kepada kawan-kawannya. Sin Tjei dan Tjeng Tjeng tinggalkan si penyerang yang kabur setelah anak muda itu berhasil selamatkan diri dari penyerangan gelap, mereka loncati tembok untuk menyingkir,

tapi mereka segera dengar tepukan tangan riuh di empat penjuru, tandanya orang-orang kaumnya Bin Tjoe Hoa sudah bergerak. "Mari kita sembunyi," Sin Tjie ajak kawannya. Ia tidak mau berlaku semberono ditempat dimana ada berkumpul banyak orang liehay itu. Mereka lantas mendekam dikaki tembok.

Diatas genteng segeralah terdengar suara kaki dari orang-orang yang mundar-mandir. "Eh, apakah ini?" kata Tjeng Tjeng kepada kawannya. "Coba kau raba!" Ia pegang tangannya Sin Tjie, untuk dibawa ketempat yang ia suruhnya meraba. Sin Tjie raba kaki tembok, yang sudah penuh lumut. Ia kena pegang batu yang berlobang disana-sini, seperti ukiran. Ia mengusut-usut dengan ikuti jalannya ukiran itu. "Inilah huruf Tee," pikirnya. Ia meraba lebih jauh, ia mengusut-usut pula. Ia menemui

huruf "Soe". Maka ia meraba terus. Sebagai huruf ketiga, ia dapati huruf "Kong", lalu huruf keempat huruf "Kok". Masih ia meraba terus, hingga ia menemui huruf terakhir, jaitu huruf

"Goei". Tjeng Tjeng juga turut meraba- raba terus. Sebagai kesudahan, bukan main girangnya Sin Tjie. Untuk banyak hari, mereka sudah mencari istana Goei Kok-kong, hasilnya sia-sia belaka, siapa tahu sekarang, diluar sangkaan, dengan tiba-tiba mereka menemuinya. Inilah yang dibilang : "Orang mencari

sampai sepatu besi yang dipakainya rusak, tak nampak, sekalinya ketemu, begini sedetik saja." Sebab apabila digabung, kelima huruf itu berbunyi " Goei Kok Kong Soe Tee", artinya "Istana Goei Kok-kong hadiah kaisar" Rupa- rupanya, setelah turun menurun banyak tahun, Goei Kok-kong pindah rumah, rumah yang lama telah dijualnya kepada orang lain, kemudian orang tak ingat lagi istana lama itu. Selagi Sin Tjie berdiam dengan kegirangan, ia rasai gatal atau geli pada pundaknya, hingga ia egos lehernya itu. Itulah Tjeng Tjeng, yang saking girang, sampai lupa segala apa, dia bernapas dari hidungnya di pundak si pemuda sekali. "Hus, ja- ngan nakal!" Sin Tjie bentak, tapi de- ngan pelahan. 'Lihat, musuh datang!"

Benarlah, tiga bajangan lompat lewati tembok, masuk kedalam rumahnya si orang she Bin itu. "Mari!" pemuda ini meng- ajak. 'Lekas!" Menggunai kesempatan tidak ada orang datang kearah mereka, mereka keluar dari tempat sembunyi, mereka lari dengan keras, hingga dilain saat sampailah mereka dihotel mereka

dengan tidak kurang suatu apa. Tatkala itu sudah jam empat, semua penumpang hotel lainnya sudah pada tidur, seluruh

hotel jadi sunyi-tenteram. Tjeng Tjeng lantas nyalakan lilin, dan Sin Tjie rogo keluar surat-surat yang ia rampas dari sakunya dua saudara Soe. Paling dulu ia jumput dua sampul, yang sudah kuning menandakan tuanya, suratnya dikeluarkan satu persatu. Untuk kegi- rangan mereka, benarlah itu ada surat- surat keterangannya Thio Tjeetjoe dan Khoe Tootay, ialah surat-surat yang membuat Tjiauw Kong Lee jadi putus asa dan nekat. Tjeng Tjeng tertawa.

"Sekali ini kau berhasil menolong jiwa ayahnya," katanya," entah dengan apa dia nanti balas budimu ini...."

"Dia! Dia siapa?" tanya Sin Tjie heran.

Masih Tjeng Tjeng tertawa, malah terta- wa geli. "Siapa lagi, tentunya nona puterinya Tjiauw Kong Lee!" sahutnya. Tak mau Sin Tjie meladeni orang yang bersifat ke-kanak-kanakan itu. Ia gunai ketikanya untuk membaca dua surat kete- rangan itu. "Apa yang Tjiauw Kong Lee katakan, benar semuanya." Kata dia habis membaca. "Coba dia mendusta sedi- kit saja, tidak nanti aku sudi bantu dia, supaya aku tidak usah bentrok

dengan banyak orang kang-ouw apapula dari angkatan tertua, apalagi diantara mereka termasuk murid-muridnya djie soeheng." Tjeng Tjeng tertawa pula.

"Dan itu yang dipanggil Hoe Thian Mo- lie sungguh cantik!" menggoda ia. "Dia itu telengas," Sin Tjie bilang. "Dia berbuat tak berkepantasan! Kenapa tidak keru-keruan dia tabas kutung lengan orang?" dia berdiam sebentar. "Apabila aku tidak kuatir djie-soeheng berkecil hati, pasti aku sudah ajar adat pada- nya." Kembali ia berdiam, lalu ia menambahkan: "Sebabnya aku minta nona Tjiauw datang kemari adalah untuk

sembunyikan sepak-terjang kita ini. Apabila diantara kita saudara-saudara seperguruan terbit sengketa, itu sungguh tidak bagus terhadap soehoe yang telah rawat dan didik aku."

Sekarang Sin Tjie periksa surat-surat yang lainnya, tiba-tiba saja ia jadi sangat gusar, air mukanya suram.

"Kau lihat!" katanya kepada si nona.

Belum pernah Tjeng Tjeng lihat pemuda ini demikian gusar, malah waktu mengha- dapi lawan tangguh, dia ada tenang sekali. Sekarang muka orang merah- padam, urat-uratnya seperti melingkar keluar. Hingga mau atau tidak, ia heran dan kaget sekali. Buru-buru ia menyam- buti surat yang diangsurkan dan baca itu. Itulah suratnya Kioe-Ong-ya To Djie Koen, pangeran Boan yang disebut- sebut persaudaraan Soe. Itulah surat rahasia untuk dua saudara Soe itu. Mereka ini diberi perintah, sesudah memfitnah Tjiauw Kong Lee hingga Kong Lee tumpas, mereka mesti gunai ketika untuk merampas kekuasaan dalam Kim Liong Pang, supaya anggauta-anggauta perkumpulan rahasia ini bisa dijadikan pekakas, penyambut dari dalam, bagi

penyerbuan bangsa Boan kepada Tionggoan. Peng Kong dan Peng Boen dianjurkan akan tancap kekuasaan di Kanglam, supaya sambil selidiki rahasia negara, mereka cari kawan-kawan orang- orang kang-ouw, untuk bekerja bersama. Mereka mesti sambut serbuan angkatan perang Boan agar serbuan itu pasti berhasil. Tjeng Tjeng begitu murka hingga tak dapat ia mengucapkan kata-kata. Ia muda dan besar kepala, tapi ia mencintai negerinya. Dalam murkanya, setelah sadar, ia hendak robek surat rahasia itu. Sin Tjie sambar surat penting itu. "Hei, adik Tjeng, kenapa kau begini semberono?" menegur dia. Tjeng Tjeng sadar dengan cepat. "Kau benar," katanya. "Inilah surat bukti!"

"Apakah kau tahu, kenapa dua saudara Soe tidak hapuskan surat ini?" Sin Tjie tanya. "Aku tahu," jawab si pemudi. "Dia hendak pakai ini untuk pengaruhi Bin Tjoe Hoa!"

"Begitulah pasti," Sin Tjie membenar- kan," Aku telah pikir, habis menolongi Tjiauw Kong Lee, aku hendak lepas tangan, untuk tidak campur lebih jauh urusan mengenai mereka, siapa tahu disini menyelip urusan amat besar ini. Jangan kata Baru bentrok dengan djie-

soeko, biar ada rintangan lain yang terlebih besar, aku tidak takut." Bukan main kagumnya Tjeng Tjeng terhadap pe- muda ini. "Memang kita harus campur tangan," iapun kata. "Umpama kata djie-soeheng itu mengadu kepada gurumu, aku percaya gurumu bakal benarkan pihakmu. Toako, aku bersalah...." "Apa?" Pemudi ini tunduk.

"Aku telah goda padamu...." Katanya.

Mendengar itu, Sin Tjie tertawa. "Sudah, pergilah kau tidur!" kata dia. "Sekarang aku hendak memikirkan daya upaya dengan cara bagaimana kita bisa hadapi kawanan pengkhianat itu."

Tjeng Tjeng menjadi jinak, ia menurut.

Besoknya pagi, kapan ia mendusi dari tidurnya, Sin Tjie terus bercokol diatas pembaringan, untuk bersamedhi, akan pelihara napasnya, akan bikin jalan darahnya sempurna. Diam-diam ia merasa sangat gembira karena semakin lama ia rasai kemajuannya terus ber- tambah. Kapan kemudian ia turun dari pembaringan, ia lihat diatas meja sudah disajikan dua mangkok lektauw serta sepiring yoetiauw. Ia tahu itu ada

sajiannya Tjeng Tjeng hanya ia tidak tahu, kapan itu disiapkannya. Tiba-tiba saja si nona muncul sambil terus tertawa. "Hweeshio tua, apa kau sudah selesai sembahyang?" tanyanya. "Ah, kau bangun pagi-pagi sekali!" kata Sin Tjie sambil tertawa juga. "Kau lihat ini!" kata si nona, yang tidak sahuti pemuda itu. Dari belakangnya, ia tunjuki

satu bungkusan besar, yang ia letaki dimeja, untuk terus dibuka. Itulah dua perangkat pakaian baru. Ia tambahkan: "Kita telah bunuh Ma Kongtjoe, perlu kita tukar pakaian."

"Kau memikir sempurna," Sin Tjie puji.

Berdua mereka lantas duduk, untuk bersantap. Belum lama habis dahar, satu jongos datang bersama satu orang, jongos itu lantas kata : "Apakah kau cari kedua tetamu ini? Aku tanyakan she dan namanya orang, kau tak dapat

menyebutnya...." Sin Tjie dan Tjeng Tjeng lihat nona Tjiauw. Nona itu tunggu sampai jongos sudah berlalu, ia lantas berlutut didepan pemuda kita.

Sin Tjie membalas hormat, sedang Tjeng Tjeng mengangkat bangun. Nona itu likat bukan main menampak satu "pemuda" cekal lengannya, untuk kasi ia bangun, muka- nya merah, akan tetapi karena ingat, mereka adalah penolong ayahnya, ia tidak berontak. "Nona Tjiauw, apakah namamu?" Tjeng Tjeng tanya. "Namaku Wan Djie," sahut nona itu. "Djiewie sendi- ri?" Tjeng Tjeng tunjuk kawannya, dia tertawa ketika ia menyahuti: "Kau tanya dia saja! Dia sangat galak, dia larang aku bicara!" Mengetahui orang bergurau, Wan Djie bersenyum. "Djiewie telah to- long ayahku, budi ini yang sangat be- sar, walau tubuhku hancur-lebur, masih tak dapat dibalas," katanya. "Ayahmu ada satu tjianpwee," Sin Tjie bilang, "sudah seharusnya kami dari angkatan

muda melakukan sesuatu apa untuknya. Tak usah kau pikirkan itu. Tolong sam- paikan kepada ayahmu untuk sebentar sore ia melanjuti mengadakan perjamuan- nya yang sudah ditetapkan itu. Disini ada dua bungkusan, tolong kau bawa pulang untuk diserahkan pada ayahmu itu, bilang apabila sudah sampai saat- nya yang genting, Baru dia buka untuk umumkan kepada orang banyak, tentu akan ada buah-hasilnya yang istimewa. Karena dua rupa barang ini sangat penting, jaga-lah supaya tidak ada orang yang pegat dan rampas ditengah jalan!"

Tjiauw Wan Djie lihat kepadanya dise- rahkan dua bungkusan, yang satu panjang dan romannya berat, mirip dengan alat senjata, yang lainnya kecil dan enteng sekali. Ia menyambutinya dengan kedua tangan dengan sikap menghormat sekali, lalu ia memberi hormat seraya mengha- turkan terima kasih. Habis itu Barulah ia pamitan dan bertindak keluar. "Mari kita kuntit dia, untuk melindunginya secara diam-diam," Sin Tjie kata pada kawannya. "Kita mesti jaga supaya ka- wanan telur busuk itu tak dapat meram- pasnya kembali." Tjeng Tjeng manggut.

Mereka lantas siap, setelah menutup pintu, mereka bertindak keluar. Mende- kati thia, mereka lantas umpatkan diri. Disitu masih ada si nona Tjiauw, entah kenapa, dia tidak segera pulang.

"Suruh kuasa hotel datang!" terdengar kata nona itu. "Naga emas ulur kukunya, mega hitam memenuhi langit!"

"He, apakah dia bilang?" tanya Sin Tjie pada Tjeng Tjeng. Muda ia ada, nona Hee luas pengetahuannya mengenai dunia kang-ouw. "Mungkin itu kata-kata raha- sia kaumnya," ia menyahut. Wan Djie bicara sama jongos yang tadi, yang romannya rada katak, tapi sekarang dia

berubah sikap dan menyahuti berulang- ulang," Ya, ya!" Terus saja ia undurkan diri. Tidak lama muncul kuasa hotel, dia menjura dalam kepada si nona.

"Nona hendak menitah apa?" tanyanya. "Aku akan segera melakukannya."

"Aku adalah Tjiauw Toa-kohnio" nona itu perkenalkan diri. "Pergi kau kerumahku, bilang aku ada punya urusan penting disini, kau minta semua soeko-ku datang kemari!" Kaget kuasa itu mengetahui ia berhadapan sama Tjiauw Toa-kohnio, nona besar she Tjiauw, segera saja ia lari keluar, untuk loncat naik atas kudanya, yang ia kasi lari pergi. Ia sendiri yang jalankan titah itu. Selang lama juga, kuasa hotel itu sudah balik lagi bersama dua puluh lebih orang yang

dandan seperti guru silat, yang semua- nya bekal senjata. Mereka lantas ham- pirkan nona Tjiauw. "Aku tidak sangka begini besar pengaruhnya Kim Liong Pang disini," kata Sin Tjie. "Sekarang tak usah kita turut mengantari. Sebentar saja kita hadirkan perjamuan dirumah

orang she Tjiauw itu." Berdua mereka masuk pula kedalam, sedang Tjiauw Wan Djie dan rombongannya berangkat pulang. Sesudah siang Barulah Sin Tjie ajak kawannya pergi kerumah Kong Lee dimana ternyata sudah mulai banyak orang  datang berkumpul. Mereka ikut sekalian

tetamu itu masuk ke dalam thia. Tjiauw Kong Lee sambut tetamunya dimuka pintu, ia manggut kepada dua anak muda ini,

yang ia sangka ada murid-muridnya musuh, ia tidak memperhatikannya.

Begitu lekas semua tetamu sudah datang lengkap, tuan rumah undang mereka ambil

tempat duduk, ia lantas membuka perte- muan. Caranya ini beda dengan cara

pertemuannya Bin Tjoe Hoa kemarin ini. Tuan rumah pun ada ketua Kim Liong Pang. Barang santapan sangat istimewa, kokinya pun koki yang kesohor dari kota Kimleng, sedang araknya ada arak Lie- tjeng Tin-siauw simpanan dua puluh tahun. Bin Tjoe Hoa bersama Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam Eng, Boe-eng-tjoe Bwee Kiam Hoo, Hoei-thian Mo-lie Soen Tiong Koen dan sejumlah yang lain lagi, duduk dimeja pertama. Tjiauw Kong Lee sendiri yang layani sesuatu tetamu itu, sikapnya ramah-tamah. "Silakan minum!" kata dia. Bin Tjoe Hoa angkat cawannya, dengan tiba-tiba saja ia banting itu kelantai, hingga arak berhamburan, ca- wannya pecah hancur sambil menerbitkan suara berisik!

"Orang she Tjiauw!" dia berkata dengan bengis. "Disini telah hadir sahabat- sahabat karib dari Rimba persilatan, mereka semua telah memberi mukanya, maka didepan mereka, ingin aku tanya, bagaimana hendak diatur mengenai sakit hatinya saudaraku yang kau telah bunuh? Bilanglah!" Pertanyaan dimajukan secara sangat terkonyong-konyong, dan caranya pun garang sekali, hal ini membuat sukar kepada Tjiauw Kong Lee. Justru itu berbangkitlah Gouw Peng, murid kepala ketua Kim Liong Pang ini. "Orang she Bin," berkata Gouw Peng, yang hen- dak wakilkan gurunya, "Baik kau menger- ti duduknya hal. Kandamu itu kemaruk paras eilok, dia bermaksud jahat, karenanya dia telah merusak undang- undang dari kita kaum Rimba Persilatan. Guruku..." Belum habis Gouw Peng ber- kata-kata, mendadak ada sambaran angin kearah mukanya, maka lekas ia berkelit sambil tunduk, menyusul mana, dengan memberikan suara keras, sebatang paku tiga persegi panjangnya lima dim nancap di meja! Gouw Peng segera hunus golok- nya. "Bagus betul!" muridnya Kong Lee berseru. "Kau telah bokong Lo Soetee kami, yang kau telah babat kutung sebe- lah lengannya, sekarang kau kembali membokong aku, oh, perempuan bangsat!"

Dia lantas bertindak maju, untuk tempur penyerangnya, ialah Hoei-thian Mo-lie Soen Tiong Koen, si Hantu Wanita.

"Jangan!" Tjiauw Kong Lee cegah murid- nya. Kemudian sambil tertawa, ia meno- leh kepada nona Soen itu seraya bilang: "Nona Soen ada ahli dari Hoa San Pay, mengapa kau berpadu pandangan dengan muridku?...." Bin Tjoe Hoa pun gusar, biji matanya menjadi merah, selagi tuan rumah ber-kata-kata, dia jumput sepa- sang sumpitnya, dengan itu ia timpuk sepasang mata tuan rumah. "Bangsat tua, hari ini aku akan adu jiwa denganmu!" dia mendamprat. Tjiauw Kong Lee lihat serangan itu, ia lantas sambar sumpit- nya sendiri, dengan itu ia sambut sera- ngan sumpit sambil sumpit lawan itu dijepit, untuk terus diletaki diatas meja. Sikapnya tuan rumah tenang dan sabar sekali. "Saudara Bin, mengapa kau begini murka?" tanyanya. "Disini masih ada ketika untuk kitaorang omong dengan baik-baik. Mana orang? Lekas ambilkan Bin Djie-ya sepasang sumpit baru!"

Bin Tjoe Hoa terperanjat dalam hatinya apabila ia saksikan musuh itu demikian liehay. "Pantas kandaku terbinasa di- tangannya...." Pikir dia. Bwee Kiam Hoo lihat Bin Tjoe Hoa keok dalam satu jurus, dimana dia berada dekat dengan

tuan rumah, dengan tiba-tiba ia ulur tangan kanannya, akan sambar lengannya tuan rumah itu, sembari berbuat demiki- an, dia bilang : "Tjiauw Toaya, sungguh kau liehay! Mari kita ikat persahaba- tan ..." Tjiauw Kong Lee lihat tangan orang diulur, cepat luar biasa ia egos tubuhnya, sambil berkelit, ia pun lom- pat minggir. Tangannya tetamu itu tidak ditarik pulang, atau dia tak dapat lakukan itu, tangan itu kena sambar belakang kursi, hingga diantara suara berkeresek yang nyaring, patahlah bela- kang kursi itu! Sibuk juga Tjiauw Kong Lee menampak pihak musuh demikian galak, diantaranya ada yang sudah pale kepalannya dan cabut senjatanya, sedang dipihaknya sendiri, semua murid dan beberapa sahabatnya sudah lantas siap sedia. Ia sibuk karena kuatir pertem- puran akan segera mengambil tempat sementara Kim Coa Long-koen, yang ia

harap-harap, masih juga belum muncul, untuk datang sama tengah. Ia kuatir banyak jiwa bakal dikorban dalam pesta perjamuan ini. Karenanya ia melirik kepada gadisnya, yang duduk disamping.

Tjiauw Wan Djie sedang pegangi dua bungkusan pemberiannya dua pemuda yang dia Baru kenal, ia pun tidak kurang sibuknya, kapan ia lihat tanda dari ayahnya, ia segera buka bungkusan yang panjang itu, yang ternyata ada dua batang pedang. Tidak ayal lagi, ia

bawa itu kehadapan ayahnya, untuk diletaki diatas meja. Tjiauw Kong Lee lihat kedua pedang itu, ia bingung, karena ia tidak tahu apa artinya itu.

Bukan main ia ragu-ragu. Dipihak lawan, Twie-hong-kiam Ban Hong kenali pedang- nya, dan pedangnya Soen Tiong Koen, bukan main malunya ia. Ia jumput kedua pedang itu, satu diantaranya ia lantas

serahkan pada Hoei-thian Mo-lie. Soen Tiong Koen sambuti pedangnya sambil terus menantang: "Siapa mempunyai

kepandaian, mari kita bertempur secara terus-terang! Mencuri pedang orang, apakah itu perbuatan satu hoohan?"

Tjaiuw Kong Lee diam saja, ia mengawasi si nona. Benar-benar ia tidak tahu duduknya hal. Nona Soen garang sekali, ia maju dua tindak, dengan ujung pedangnya yang tajam, ia tusuk dadanya tuan rumah. Tjiauw Kong Lee mundur dua tindak, menyusul itu murid yang kedua telah serahkan padanya goloknya, yang ia terus sambuti, akan tetapi ia tidak gunai itu untuk balas menyerang. Soen Tiong Koen penasaran yang serangannya kena dikelit, ia maju pula, sambil ia tusuk pundak kiri orang. Ketua Kim Liong Pang jadi putus asa, dengan ter- paksa ia geraki goloknya untuk membacok pedangnya si penyerang. Kalau si nona menusuk dengan terusan tipu-silat "Heng in lioe soei", atau "Mega berjalan bagaikan air mengalir", adalah dia gunai tipu bacokan "Tiang khong lok goan", atau "Dari udara jatuhlah seekor burung belibis". Jikalau bacokan ini mengenai sasarannya, tak dapat tidak, pedangnya Soen Tiong Koen mesti terle- pas dari tangannya dan terlempar jatuh, akan tetapi dia liehay, dia turunkan

pedangnya kebawah dan luputlah dia dari ancaman bencana mendapat malu. Akan tetapi ini bukan tindakan berkelit melulu, karena pedangnya turun, ia pun mendak pedang itu lantas diteruskan, untuk dipakai menikam perutnya tuan rumah. Ini ada semacam tipu silat

yang liehay sekali. Tidak perduli Tjiauw Kong Lee telah punyakan latihan beberapa puluh tahun, tak menyangka ia untuk serangan yang berbahaya itu, hingga tak sempat ia menangkisnya, maka tidak ada jalan lain, ia enjot kakinya akan berlompat tinggi, mencelat melewa- ti kepalanya si nona. Ia berhasil melu- putkan perutnya dari tikaman, akan tetapi celana disebelah pahanya kena terobek ujung pedang! "Sungguh berbaha- ya ...." Kata dia dalam hatinya, selagi ia putar tubuh dengan cepat, kuatir

lawan nanti lanjuti serangan susulan- nya. Akan tetapi Soen Tiong Koen tidak dapat desak dia, sebab dua muridnya sudah maju, akan menahan si nona. Dilain pihak, ia girang sekali kapan gadisnya telah buka dan beber bungkusan yang kedua, karena ia kenali kedua surat penting yang "lenyap" ditangannya

dua saudara Soe! Soen Tiong Koen telah tempur dua musuh, yang menbenci sangat padanya, hingga mereka ini berkelahi dengan sangat sengit. Mereka sangat ingin membalas sakit hatinya Lo Lip Djie, soeheng mereka. Si nona bertempur dengan tabah, tidak perduli dia dike- pung berdua. Dia masih bisa bersenyum ewa. Dia melayani dengan sebelah tangan - tangan kiri - dipakai menolak ping- gang. Sebab dialah yang dapat mendesak dua musuhnya itu. Tjiauw Kong Lee sambuti dua lembar surat dari tangan gadisnya. "Tahan! Tahan!" ia berseru berulang-ulang. "Aku hendak bicara!"

Mendengar perkataan gurunya, kedua muridnya, yang sedang terdesak, men- dengar kata, akan tetapi satu dianta- ranya, lambat mundurnya. "Duk!" demikian satu suara, dia kena didupak dadanya oleh Soen Tiong Koen, yang

menyerang tak perduli pertempuran sudah ditunda. Segera dia muntahkan darah hidup, mukanya menjadi pucat sekali.

Soen Tiong Koen gusar sekali yang orang telah sambar pedangnya, ia anggap itu ada satu hinaan besar bagi dirinya, maka ia jadi sengit luar biasa. Maka sekarang ia berlaku bengis sekali.

Tjiauw Kong Lee atasi diri sebisa-bisa- nya. "Sahabat-sahabat, tolong dengar dahulu padaku!" ia berseru. Suasana sudah tegang sekali, akan tetapi orang toh mulai jadi sabar pula. Tjiauw Kong Lee lihat keadaan reda, dia bicara pula : "Sahabat she Bin ini sesalkan aku yang aku telah bunuh kandanya, penye- salannya itu tepat. Memang kandanya itu, Bin Tjoe Yap, telah terbinasa di- tanganku!...." Ruangan yang sunyi senyap jadi terganggu pula dengan ta- ngisannya Bin Tjoe Hoa, yang mena- ngis dengan tiba-tiba. "Hutang uang bayar uang, hutang jiwa bayar jiwa!" berte- riak ia sambil sesenggukan. "Benar, hutang jiwa bayar jiwa!" beberapa sahabatnya tetamu ini berseru, suara mereka nyaring, hingga ruangan jadi berisik pula. "Sahabat-sahabat, sabar!" Tjiauw Kong Lee serukan. "Disini dua pucuk surat, aku minta sukalah beberapa lootjianpwee yang terhormat membacanya, habis itu, umpama mereka anggap aku benar-benar mesti mengganti jiwa, aku segera akan bunuh diriku sendiri, jikalau aku kerutkan alisku, aku bukan satu hoohan lagi!" Kata-kata ini mem- buat orang heran, hingga ingin sesu- atunya melihat surat-surat itu, hingga untuk sesaat, suara mereka jadi berge- muruh pula. "Sabar, sahabat-sahabat!" Tjiauw Kong Lee bilang. "Aku silakan Bin Djie-ya pilih tiga lootjianpwee, untuk mereka baca surat ini!" Bin Tjoe Hoa tidak tahu surat itu apa bunyinya, tanpa bersangsi lagi, ia terima baik sarannya tuan rumah. "Baik!" menyambut dia. "Aku mohon Sip Lek Taysoe, Totjoe The Kie In dan Boe-eng-tjoe Bwee Toako bertiga yang membacanya!"

Sip Lek Taysoe bertiga terima baik tu- gas itu, mereka sambuti kedua surat, lalu berdiri disamping meja, mereka sama-sama membaca, dengan pelahan.

Tiang Pek Sam Eng kasak-kusuk bertiga, muka mereka pias. Sip Lek Taysoe adalah yang pertama membaca habis, lantas saja dia berkata: "Menurut pendapat pinceng, Bin Djie-ya, baiklah permusuhan ini dibikin habis sampai disini, kamu kedua musuh harus menjadi sahabat satu dengan lain!" Pendeta ini ada Kam-ih dari ruang Tat Mo Ih dari Siauw Lim Sie, kepandaiannya dalam ilmu silat Gwa-kee, bagian luar, sudah sempurna sekali, ia pun kenamaan, maka itu,mendengar perka- taannya itu, semua orang tercengang.

Bin Tjoe Hoa heran dan penasaran dengan berbareng, maka ia majukan dirinya, untuk dapat baca juga kedua surat itu. Membaca surat pengakuan Thio Tjeetjoe, masih tidak seberapa, akan tetapi setelah baca habis surat Khoe Tootay, ia jadi melengak. Ia malu bercampur bingung, ia pun bersusah hati, hingga karenanya, ia jadi berdiam menjublek,

mulutnya bungkam. Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari Bwee Kiam Hoo: "Inilah surat-surat palsu! Siapakah

yang hendak dipedayakannya!" Menyusul itu, dengan mendadak, ia robek kedua surat! Bukan kepalang kagetnya Tjiauw Kong Lee. Ia tidak sangka, di hadapan demikian banyak orang, Bwee Kiam Hoo berani berbuat demikian rupa. Bukankah itu bagaikan surat jimat untuknya? Ia juga jadi sangat gusar, hingga tak dapat ia bersabar pula. Sambil angkat

goloknya, dia berseru: "Orang she Bwee, apa benar kau begini tidak tahu malu?"

"Entah siapalah yang tidak tahu malu!" Bwee Kiam Hoo jawab dengan dingin. "Kau telah bunuh kanda orang, sekarang kau ciptakan ini surat-surat palsu untuk membikin orang sangat penasaran! Surat-surat semacam ini, apabila aku keram diri didalam rumah, dalam satu hari aku bisa tulis banyaknya seratus pucuk!" Sip Lek Taysoe, juga The Kie In, percaya kesalahan ada di pihaknya Bin Tjoe Hoa, akan tetapi mendengar kata-katanya Bwee Kiam Hoo, mereka jadi bimbang. Apakah tak mungkin kedua surat itu palsu adanya? Untuk sesaat, ruangan jadi sunyi senyap. Gouw Peng Kong murid kepalanya Tjiauw Kong Lee jadi meluap darahnya karena gurunya diperhina demi- kiam macam, merah mukanya, kedua mata- nya hampir loncat melejit, dia berlom- pat, dengan goloknya, dia bacok orang she Bwee itu. Boe-eng-tjoe si Bajangan Tak Ada egos sedikit tubuhnya, berba- reng dengan itu, pedangnya telah ter- cekal dengan terhunus ditangannya, selagi sinar pedang berkelebat, Gouw Peng menjerit. Goloknya kena ditangkis keras hingga terlepas dan terlempar,

menyusul mana, ujung pedang mengancam tenggorokannya. Itulah menyatakan liehaynya murid Hoa San Pay ini. "Kau tekuk lutut!" Kiam Hoo berseru dengan titahnya yang bengis. "Dengan berlutut,

Bwee Toaya akan beri ampun kepada sepo- tong jiwamu!" Murid-murid lain dari Tjiauw Kong Lee tidak senang toako me- reka diperhina secara demikian, mereka hunus senjata dan maju ke tengah ruang- an. Dipihak Bin Tjoe Hoa, sejumlah guru silat dan sahabat-sahabat undangannya juga maju, maka tak dapat dicegah lagi, kedua pihak lantas bertempur. Berisik suara beradunya pelbagai alat-senjata.

Gouw Peng mundur sampai tiga tindak, tapi ujung pedang senantiasa iringi dia. Musuh itu pun mengancam: "Jikalau kau tidak tekuk lutut, aku akan tikam padamu!"

"Kau tikamlah!" Gouw Peng menantang. "Tikamlah! Buat apa bersikap sebagai orang perempuan!"

Tjiauw Kong Lee mencelat ke atas kursi.

"Semua tahan!" ia berseru dengan suara nyaring. "Lihat aku!" Ia geraki tangan- nya, yang memegang golok, maka golok itu lantas mengancam batang lehernya sendiri. "Hutang jiwa mesti dibayar dengan jiwa!" ia berteriak pula. "Maka aku nanti bayar jiwanya Bin Tjoe Yap! Murid-muridku, kamu semua mundur!" Semua murid itu taat kepada guru mere- ka, dengan menyesal mereka mundur, dengan roman sedih, mereka awasi guru mereka itu. Karena pertempuran telah berhenti, ruangan jadi tenang pula.

Tjiauw Kong Lee telah menjadi putus asa, benar-benar dia hendak habisi jiwa sendiri. Tapi mendadakan, ia dengar suara gadisnya: "Ayah!" berseru Tjiauw Wan Djie. "Ayah, mana itu surat lain- nya? Dia bilang dia bakal datang untuk tolong kau!" Kong Lee merogo keluar selembar kertas tanpa tulisan, dia beber itu, untuk ditunjuki kepada semua hadirin di pihak musuhnya, ia ulapkan itu beberapa kali, hingga semua orang dapat lihat, disitu ada terlukis gambar sebatang pedang yang luar biasa. Mereka itu tidak mengerti, mereka mengawasi seperti tercengang. Tjiauw Kong Lee lihat orang berdiam, dia berseru: "Kim Coa Tayhiap, kau datang terlambat!" Menyusul itu, dia ayun goloknya ke arah tenggorokannya! Dalam saat yang sangat genting ini, mendadakan terdengar satu suara berkontrang, seperti suatu benda membentur golok, lantas goloknya ketua Kim Liong Pang itu terlepas dari cekal- an, jatuh ke lantai hingga bersuara nyaring! Dan tahu-tahu, disampingnya Tjiauw Kong Lee berdiri seorang anak muda yang romannya cakap-ganteng, usia- nya kira-kira duapuluh tahun lebih. Semua orang pihak tetamu tidak lihat tegas munculnya pemuda ini, yang Sin Tjie adanya. Bersama-sama Tjeng Tjeng, pemuda ini diam menyaksikan jalannya pertempuran itu, yang diseling dengan pelbagai pertempuran. Ia mulanya perca- ya, dengan diperlihatkannya kedua surat keterangan itu, urusan bakal dapat di- bereskan, persengketaan akan dapat di- damaikan, hingga tak usah ia tonjolkan diri didepan orang banyak itu, terutama untuk cegah perselisihan atau bentrokan dengan muridnya djie-soehengnya. Maka adalah di luar dugaannya, justru Bwee Kiam Hoo yang telah mengacau. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia mesti muncul juga. Jiwanya Tjiauw Kong Lee terancam, untuk cegah ketua Kim Liong Pang itu dari kematian, ia timpuk golok dengan sebutir biji caturnya. Selagi orang ke- heran-heranan, Sin Tjie berkata dengan nyaring: "Kim Coa Long Koen sedang ber- halangan, tak dapat dia datang sendiri kemari, dari itu dia melainkan utus pu- teranya serta saudaranya dia ini, untuk mendamaikan kamu kedua pihak!"

Semua orang yang tertua dari pihaknya Bin Tjoe Hoa melengak sejak tadi. Mere- ka semua tahu, siapa adanya Kim Coa Long-koen yang kenamaan, yang  sepak- terjangnya tak ketahuan, tapi yang katanya sudah lama menutup mata, hingga mereka heran, kenapa mendadak dia mun- cul di sini, walau cuma wakilnya. Wan Djie sementara itu telah hampirkan ayahnya. "Ayah, inilah dia!" dia bisiki orang tua itu. Tjiauw Kong Lee juga tergugu, kapan ia telah pandang itu a- nak muda, ia mendelong, pikirannya be- kerja keras. Ia juga ragu-ragu. "Sia- pa kau?" berteriak Soen Tiong Koen dengan tegurannya. "Siapa yang perintah kau datang kemari untuk mengadu-biru?"

Didalam hatinya, Sin Tjie kata: "Benar aku berusia lebih muda daripadamu, akan tetapi derajatku lebih tinggi satu tingkat! Tunggu sebentar, apabila aku telah perkenalkan diri, aku mau lihat, apa kau tetap ada begini kurang ajar.."

Tapi ia menjawab dengan tenang. "Aku ada orang she Wan," sahutnya dengan sabar. "Kim Coa Long-koen Hee Toa-hiap

utus aku menemui soehoe Tjiauw Kong Lee ini. Aku punyakan sedikit urusan dite- ngah jalan, lantaran itu aku tertangguh beberapa hari, sehingga aku terlambat sampainya disini. Aku menyesal sekali."

Soen Tiong Koen baru berumur dua puluh lebih, tak tahu ia tentang nama besar dari Kim Coa Long Koen Hee Soat Gie, ia pun bertabeat aseran, maka ia sudah lantas berteriak: "Apakah itu Kim Coa, Tiat Coa, si ular emas, si ular besi? Lekas kau turun, jangan kau menggerecok hingga menjadi perintang!" Tjeng Tjeng perdengarkan suara di hidung, dia ulur lidahnya. Soen Tiong Koen lihat dia di- hinakan, dia jadi mendongkol. Dengan tiba-tiba saja ia lompat mencelat, de- ngan pedangnya ia tikam perutnya nona itu. Hebat sekali serangannya ini, ka- rena itu adalah tipu silat pedang Hoa San Pay "In lie tiauw toh" atau "Di dalam mega menyolok buah toh". Inilah ilmu pedang ciptaan Pat-tjhioe Sian Wan Bok Djin Tjeng, ketua dari Hoa San Pay.

Mana sanggup Tjeng Tjeng kelit tikaman itu? Sin Tjie kenal baik tipu tikaman itu, ia gusar bukan main terhadap Soen Tiong Koen. Kenapa nona ini demikian kejam, menyerang secara demikian tele- ngas kepada orang bukannya musuh? Itu- lah serangan yang akan membawa kebina- saan. "Kau terlalu!" kata ia di dalam hatinya, seraya ia berlompat ke depan Tjeng Tjeng, kaki kanannya terus ter- angkat, untuk dipakai menjejak, hingga pedang Hoei Thian Mo-lie jadi terinjak ujungnya, terinjak terus di lantai!

Sin Tjie gunai ilmu jejakan dari Kim Coa Long-koen, yang ia dapat cangkok dari kitab Kim Coa Pit Kip, hingga tak seorang juga didalam ruangan itu yang mengenalnya. Banyak orang menjadi heran, tanpa merasa ada yang berseru kagum, ada juga yang saling mengawasi satu pada lain. Soen Tiong Koen kerah- kan tenaganya, untuk tarik pulang pe- dangnya itu, akan tetapi maksud hatinya tak kesampaian. Injakan anak muda yang ia tidak kenal itu seperti nancap di lantai. Justru begitu, tangan kiri si anak muda menyambar ke arah mukanya, tak dapat ia luputkan diri dengan cuma pelengoskan muka, terpaksa ia lepaskan cekalannya, ia lompat mundur. Sin Tjie masih mendongkol, ia jumput pedang dikakinya itu, dengan satu gerakan dari

kedua tangannya, ia bikin patah senjata itu, terus ia lemparkan ke lantai!

Boe-eng-tjoe Bwee Kiam Hoo dan Sin-koen Thaypo Lauw Pwee Seng adalah dua soeheng Soen Tiong Koen, mereka ini saksikan sang soemoay dipecundangi, mereka murka. Pwee Seng hendak lantas turun tangan, akan tetapi Kiam Hoo yang licik tarik dia. "Tunggu sebentar, tunggu apa yang dia hendak bilang!" kata soeheng ini. Benar-benar Sin Tjie lantas bicara. "Kandanya Bin-ya Tjoe Hoa dahulu, kelakuannya tak dapat dibe- narkan, karena itu dia kena dibinasakan oleh Tjiauw soehoe, yang tak bisa antap saja perbuatan busuk. Kejadian itu di- ketahui jelas sekali oleh Kim Coa Long- koen, siapa juga bilang, untuk ketahui duduknya perkara, dua pucuk surat telah ditulis untuk membuktikannya. Kim Coa Long-koen juga telah ajak Tjiauw Soehoe pergi ke Boe Tong San untuk menghadap sendiri kepada Oey Bok Toodjin, ketua dari Boe Tong Pay, untuk menjelaskan duduknya perkara. Itulah pun menjadi sebab kenapa Oey Bok Toodjin telah sudahi perkara itu. Dua surat yang

dimaksudkan itu mestinya inilah adanya ....." Dia menundjuk kepada robekan kertas di lantai. "Barusan tuan ini telah robek surat-surat berharga itu, entah apa maksudnya?" Dia tambahkan seraya tunjuk juga Bwee Kiam Hoo. Puas Tjiauw Kong Lee mendengar perkataan- perkataan itu, hingga ia mau percaya, pemuda ini benarlah diutus Kim Coa Long-koen. Ia cekal tangan gadisnya, hatinya sendiri memukul keras. Bwee Kiam Hoo tapinya tertawa dingin. "Itu- lah dua pucuk surat palsu!" berkata dia. "Si orang she Tjiauw telah berpi- kir yang bukan-bukan untuk mengelabui orang! Buat apa kalau dua pucuk surat itu tidak dirobek?" Sin Tjie masih berlaku sabar. "Ketika kami berdua hendak berangkat kemari, Kim Coa Long- koen telah beritahukan kami tentang bunyinya dua surat itu," kata ia. "Dua surat yang dirobek itu, bukankah ini Taysoe dan loosoe itu telah membacanya sendiri?" tambahkan ia, seraya ia mem- beri hormat pada Sip Lek Taysoe dan The Kie In. "Mari kita bicarakan isinya surat itu, itu benar dusta atau tidak, nanti akan dapat diketahui."

"Baik, bicaralah!" berkata Sip Lek Taysoe dan The Kie In. Sin Tjie berpa- ling kepada Bin Tjoe Hoa. "Bin-ya," katanya, "jikalau aku bicara, kesudah- annya sungguh tidak akan membikin ber- cahaya muka kandamu, dari itu, apa aku mesti bicara terus atau jangan?" Urat- urat dikepalanya Tjoe Hoa pada bangun. "Kandaku bukan orang semacam yang kau hendak sebutkan!" dia berseru bahna gusar. "Pasti sekali inilah surat palsu!" Sin Tjie tidak hendak berbantah pula. Ia menoleh pada kawannya. "Adik Tjeng, silakan kau bacakan bunyinya kedua surat itu!" ia minta. Tjeng Tjeng terima perintah itu tanpa bilang suatu apa, mulanya ia mendehem beberapa kali, lantas ia mulai membacakan, diluar kepala. Ia berotak sangat terang, satu kali saja ia baca kedua surat itu sela- ma di hotel, segera ia ingat semuanya. Ia baca lebih dahulu surat pengakuannya Thio Tjeetjoe, lalu surat tanda terima kasih dari Khoe Tootay. Ia membaca de- ngan tenang, suaranya halus tetapi terang. Orang-orang dalam rombongan Bin Tjoe Hoa sudah lantas kasak-kusuk apa- bila "pemuda" ini telah membacakan beberapa puluh huruf, terang mereka itu mulai rundingkan isi surat, dan ketika baru saja pembacaan dilakukan separuh, Bin Tjoe Hoa sudah menjerit. Berhenti!" teriak dia. "Bocah, siapakah kau?"

Tjeng Tjeng belum sempat menjawab, Bwee Kiam Hoo sudah nyelah. "Bocah ini keba- nyakan ada orangnya si orang she  tjiauw!" kata Boe-eng-tjoe si Bajangan

Tak Ada. "Atau dia adalah orang yang diundang untuk membantu pihaknya. Siapa berani pastikan jikalau tidak lebih dahulu mereka bersekongkol?" Bin Tjoe Hoa seperti sadar mendengar kata-kata itu. "Kau bilang kau adalah orang su- ruhannya Kim Coa Long-koen!" dia ber- seru. "Siapa bisa buktikan kau bukannya orang palsu yang datang kemari untuk ngaco-belo saja?"

"Habis apa kau inginkan untuk bikin kau percaya betul?" Sin Tjie tanya. Bin Tjoe Hoa balingkan pedangnya yang pan- jang. "Banyak orang kang-ouw bilang Kim Coa Long-koen liehay boegeenya," berkata dia, "itu melainkan kata-kata saja dan belum pernah ada orang yang menyaksikannya, apabila kau benar ada turunan dari Kim Coa Long-koen itu, pasti kau telah mewarisi kepandaiannya

itu. Asal kau dapat menangkis pedangku ini, Baru aku mau percaya!" Orang she Bin ini memandang enteng Sin Tjie yang masih berusia demikian muda. Umpama kata benar si pemuda ada anaknya Kim Coa Long-koen, pasti dia belum dapat

wariskan semua kepandaiannya orang kang-ouw luar biasa itu. Berapa liehay- nya orang muda ini? Ia percaya, dalam beberapa gebrak saja, ia akan dapat merubuhkannya, hingga orang akan perca- ya surat-surat itu adalah surat-surat palsu belaka. Sin Tjie jatuhkan diri di atas kursi, untuk berduduk. Ia cegluk araknya, ia jumput sumpit untuk jepit sepotong daging, buat dikasi masuk kedalam mulutnya, untuk dikunyah.

"Untuk menangkan pedang di tanganmu itu, buat apa sampai mesti dapatkan warisan kepandaiannya Kim Coa Long- koen...." Katanya sambil tertawa. "Orang telah permainkan padamu, kau masih tidak insyaf, sayang, sungguh sayang....." Bin Tjoe Hoa jadi bertam- bah-tambah mendongkol. "Kapan orang permainkan aku?" dia berteriak. "Eh, bocah, apakah kau berani pieboe dengan- ku? Jikalau kau takut, pergilah kau menggelinding dari sini!" Kembali Sin Tjie cegluk araknya, sikapnya sangat tenang. "Sudah lama aku dengar ilmu pedang Boe Tong Pay adalah yang tunggal didalam dunia Kang-ouw, maka hari ini marilah aku belajar kenal dengannya," kata ia dengan tetap sabar. "Akan tetapi, sebelumnya main-main, perlu kita bicara dahulu. Jikalau aku dapat

menangkan kau, perselisihanmu ini de- ngan pihak Tjiauw Loosoe mesti dibikin habis, tidak dapat diungkat-ungkat pula, umpama kata kau tetap memusui- nya, maka semua tjianpwee yang hadir disini harus perdengarkan suaranya yang adil!"

"Itulah pasti!" berseru Bin Tjoe Hoa dengan bernapsu. "Disini ada Sip Lek Taysoe, The Tjeetjoe dan yang lain- lain, yang menjadi saksi! Tapi jikalau kau tak dapat menangkan aku?"

"Aku nanti menjura kepadamu untuk meng- haturkan maaf," jawab si anak muda dengan lantas. "Selanjutnya aku tidak akan campur tahu pula urusan ini." "Baik!" berseru Bin Tjoe Hoa. "Nah, kau majulah!" Tjoe Hoa segera putar pedang- nya, hingga anginnya berbunyi "swing, swing!" Teranglah ia ada sangat sengit hingga ia sengaja pertontonkan tenaga- nya. Didalam hatinya, ia pun pikir: "Jikalau aku tidak berikan tanda mata kepadamu, ditubuhmu, pasti kau tidak insyaf liehaynya Boe Tong Pay!" Sin Tjie masih tetap tenang seperti tadi- nya. "Kim Coa Tayhiap telah bilang padaku," ia berkata pula, "didalam Boe Tong Pay, ilmu pedangnya yang paling liehay adalah Liang Gie Kiam-hoat. Ia pesan padaku, katanya, dengan kepergi- anmu ini, apabila si orang she Bin tidak sudi mengerti, hingga pertempuran

mesti terjadi, kau mesti perhatikan ilmu pedangnya itu. Yang lain-lainnya tak usah diperdulikan. Sekarang mari aku ajarkan kau beberapa tipu pukulan- nya untuk memecahkannya." Pemuda ini belum bicara habis atau dari antara rombongan tetamu, seorang usia perte- ngahan lompat maju kearahnya sambil berseru: "Baik! Aku ingin saksikan bagaimana Kim Coa Long-koen ajari kau memecahkan Liang Gie Kiam-hoat!"

Seruan itu disusul sama tusukan pedang ke muka Sin Tjie. Anak muda ini egos mukanya ke kiri, terus ia loncat ke tengah-tengah ruangan. Sementara itu, tangan kirinya masih cekali cawan araknya, tangan kanannya, dengan sumpit, sedang menjepit sepotong paha ayam. "Aku mohon tanya gelaranmu, tootiang?" katanya. Penyerang itu memang ada satu toodjin, satu imam.

"Pintoo ada Tong Hian Toodjin," jawab imam itu. "Pintoo adalah murid Boe Tong Pay angkatan kedua puluh tiga. Bin Tjoe Hoa ini adalah soeteeku!" "Bagus, tootiang," kata pula Sin Tjie. "Dulu Kim Coa Tayhiap dan Oey Bok Tootiang telah merundingkan tentang ilmu silat pedang di atas gunung Boe Tong San, itu waktu Oey Bok Tootiang telah unjuk bahwa Liang Gie Kiam-hoat tjiptaannya itu tidak ada tandingannya didalam dunia ini, atas itu Kim Coa Tayhiap cuma tertawa saja, ia tidak membantah- nya. Maka beruntunglah hari ini kita bertemu disini, hingga kita dari angkatan muda bisa dapat ketika untuk merundingkannya dan mencoba-coba."

Tong Hian Toodjin tidak bilang apa-apa lagi, ia beri tanda pada Bin Tjoe Hoa, lantas keduanya menyerang dengan berba- reng. Sebab "Liang Gie Kiam-hoat" se- perti namanya menunjuki "liang-gie", adalah ilmu berkelahi yang selamanya mesti dilakukan oleh dua orang melawan satu atau lebih musuh. Gesit luar biasa, Sin Tjie melejit dari dua tikam- an itu yang hebat sekali, atas mana, ia

dirangsek pula. "Tahan, tahan!" Tjeng Tjeng berseru. "Dengar dulu!" Bin Tjoe Hoa dan Tong Hian hentikan serangan mereka, lantas mereka berdiri berendeng

dengan masing-masing pedangnya di depan dada. Ini dia yang dinamakan sikap "liang-gie". Mereka awasi pemuda ini.

"Wan Toako menerima baik untuk bertem- pur dengan Bin-ya satu orang, kenapa sekarang ditambah satu tooya lagi?" tanya Tjeng Tjeng. Matanya Tong Hian Toodjin mencilak. "Engko kecil, terang- lah kau ada merek palsu!" berkata imam ini dengan ejekannya. Tjeng Tjeng tetap dandan sebagai satu pemuda. "Siapa sih yang tidak ketahui Liang Gie kiam-hoat mesti dilakukan berbareng oleh dua orang? Kau tidak tahu suatu apa, apa mungkin Kim Coa Long-koen yang kenamaan juga tak tahu ini?" Disengapi secara demikian, merah muka nona kita. Sin Tjie segera datang sama tengah dengan kata-katanya: "Liang Gie kiam-hoatmu ini memang didasarkan atas Im dan Yang, yang saling menghidupkan dan saling

menaklukkan. Siapa yang latihannya masih jauh daripada kesempurnaan, me- mang digunainya itu harus dengan ber- dua, akan tetapi untuk ahli sejati, pasti cukup dengan satu orang saja!"

Tjeng Tjeng tidak kenal Liang Gie kiam- hoat, karenanya ia telah menanyakannya. Tentu saja ia tidak senang yang Sin Tjie mesti dikerubuti dua orang. Tapi ia tidak tahu, karena pertanyaannya ini yang tolol, ia jadi sudah membuka rahasia sendiri. Karena ini juga, Sin

Tjie lekas-lekas tolongi kawannya ini.

Tong Hian dan Bin Tjoe Hoa saling meng- awasi, dalam hatinya mereka pikir: "Tidak pernah soehoe omong bahwa ilmu pedang ini bisa dipakai berkelahi de- ngan satu orang saja, maka apa mungkin bocah ini cuma ngoceh tak keruan?"

Tjeng Tjeng sendiri telah lantas dapat pulang ketenangan dirinya. Ia lantas tertawa gembira sekali terhadap kedua jago Boe Tong Pay itu. Ia kata: "Oleh karena djiewie maju berdua dengan ber- bareng, aku anggap syarat taruhannya perlu ditambah berlipat!"

"Kau hendak bertaruh apa?" tanya Bin Tjoe Hoa. "Aku inginkan," sahut Tjeng Tjeng, "umpama kata pihakmu yang kalah maka kecuali dibulatkan janji kau tidak akan musuhkan pula kepada Tjiauw Loosoe ini, kau juga mesti serahkan pada Wan Toako gedung besarmu di luar pintu Kim Coan-moe. Apa kau akur?" Bin Tjoe Hoa pikir: "Sekarang ini, apa juga baiklah aku terima baik! Umpama bocah ini tidak terbinasa di ujung pedangku, sedikitnya dia bakal terluka parah." Dia merasa pasti sekali. Maka dia lantas berikan jawabannya: "Baik, aku terima pertaruh- an ini! Umpamanya kau juga hendak turut maju, hingga kita jadi dua pasang kami akur, supaya tidak usah kamu nanti ka- takan kita yang tua menghina yang muda dan yang banyak curangi yang sedikit!"

"Bagaimana kau bisa bilang yang banyak curangi yang sedikit?" tanya Tjeng Tjeng. "Sungguh kau tidak tahu tinggi- nya langit dan dalamnya bumi!" Naik darahnya Bin Tjoe Hoa karena hinaan  ini. "Orang she Wan!" ia berseru kepada Sin Tjie. "Bagaimana jikalau kau kena kami lukakan?" Tidak lantas pemuda kita berikan jawabannya, karena usul keluar dari Tjeng Tjeng tetapi dialah yang ditanya. Tapi Tjiauw Kong Lee sudah lantas menalangi dia. "Bin Djieko, gedungmu itu berapa harganya?" tanya ketua Kim Liong Pang ini. "Baru pada bulan yang lalu aku beli gedung itu," sahut Bin Tjoe Hoa. "Aku beli itu dengan harga delapan ribu tiga ratus tail."

"Kalau begitu, aku suka wakilkan Wan Toako." Bilang Kong Lee. "Kau tunggu sebentar." Tuan rumah ini lantas bicara pelahan sekali pada gadisnya. Tjiauw Wan Djie segera lari kedalam, untuk keluar pula dengan cepat dengan membawa

selembar kertas berharga dari bank.

Tjiauw Kong Lee lantas berkata pula: "Wan Toako ini hendak keluarkan tena- ganya untuk aku, aku sangat bersyukur kepadanya. Disini ada itu jumlah dela- pan ribu tiga ratus tail. Umpama Wan Toako dengan sepasang tangannya tidak sanggup layani empat tangan dari kamu, maka Bin Djie-ko boleh ambil cek ini. Dan kalau ada urusannya lain lagi, lain kali Bin Djieko boleh cari aku. Siapa berhutang, dia mesti membayar!" Ketua Kim Liong Pang ini pikir, umpama Sin Tjie tidak sanggup menangi lawan, tidak apa, asal dia jangan jadi korban untuk- nya. The Kie In, tjong-bengtjoe atau ketua pusat dari kawanan bajak dari tujuh puluh dua pulau gembira dengan macam pertaruhan itu, dia lantas turut campur bicara. "Bagus!" serunya. "Ini- lah pertaruhan yang maha adil, adil sekali! Bin-djieko, aku juga hendak turut ambil bagian!" Dia lantas rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong uang

goanpo emas, yang ia terus lemparkan ke atas meja, sambil ia tambahkan: "Mari kita bertaruh tiga lawan satu! Goanpo itu berharga tiga ribu tail! Hayo, siapa berani lawan dengan seribu tail saja?" Tantangan itu tidak ada yang jawab, walau kembali pemimpin bajak itu ulangi sampai beberapa kali. Sin Tjie masih demikian muda, mana dia sanggup lawan dua jago Boe Tong pay? Tidak ada orang yang niat korbankan uang secara cuma-cuma. Tapi Tjiauw Wan Djie muncul dengan tiba-tiba. "The toapeh, suka aku terima pertaruhanmu ini!" katanya. Malah lantas dia loloskan gelang emas yang sedang dipakai, ia letaki itu diatas meja. Itulah gelang emas yang tertabur permata, sinarnya sampai memain berkeredepan. The Kie In angkat gelang itu untuk diperiksa, kemudian ia kata: "Gelangmu ini berharga tiga ribu tail, maka itu tidak sudi aku akan akali satu bocah. Aku akan tambah uangku lagi enam ribu tail!" Memang ia janjikan tiga lawan satu. Pemimpin bajak ini lantas teriaki orangnya untuk letaki lagi dua potong goanpo emas

diatas meja. "Aku pujikan supaya kaulah yang menang!" kata pula tjong-bengtjoe ini sambil tertawa. Ia berkata-kata seraya hadapi nona Tjiauw. "Ini uang bisa dijadikan pesalinmu!" Soen Tiong Koen panas hati menyaksikan semua itu.

"Aku pertaruhkan pedangku ini!" ia berseru. Ia lemparkan pedangnya yang tinggal sepotong keatas meja.

Bab 12

"Siapa kesudian pedang patah itu!" Tjeng Tjeng bilang. Semua orang pun heran. "Aku bukan pertaruhkan pedangnya saja!" Soen Tiong Koen berteriak mem- beri keterangan. "Aku juga bertaruh tiga lawan satu! Begini: Umpama kata ini bocah yang beruntung memperoleh kemenangan, kau boleh tusuk aku tiga kali, akan tetapi sebaliknya apabila dia yang kalah, dengan pedang buntung ini, aku nanti tikam kau satu kali saja! Kau mengerti sekarang?" Kembali semua orang merasa heran, apapula dipihak tuan rumah. Itu adalah pertaruhan yang mereka belum pernah mengalami, walaupun banyak diantara mereka adalah jago-jago ulung. Antaranya ada yang sudah meleletkan lidah terlebih dahulu. Tjeng Tjeng tertawa dengan manis sekali, sikapnya wajar. "Kau begini cantik-molek, mana tega aku untuk tikam padamu?" berkata dia. Tentu saja itu hanya ejekan bela- ka. Lauw Pwee Seng jadi sengit. "Bocah kurang ajar, jangan ngaco-belo!" dia membentak. Tjeng Tjeng tidak gusar, dia tertawa terus. Soen Tiong Koen awasi Tjiauw Kong Lee serta semua orangnya.

"Tadinya aku percaya Kim Liong Pang sedikitnya mempunyai beberapa orang liehay, siapa tahu buktinya sekarang semuanya terdiri dari segala perempuan, segala bantong!" Tjiauw Wan Djie tidak dapat antap orang pentang bacot lebar.

"Kalau perempuan, bagaimana?" tanya dia. "Aku terima tantanganmu!" Empat atau lima muridnya Tjiauw Kong Lee lantas berbangkit. "Soemoay, kita juga turut bertaruh!" kata mereka. "Tidak usah, cukup aku sendiri!" Wan Djie menolak. Soen Tiong Koen tertawa mengejek. "Baik!" berseru dia. "The Totjoe, sukalah kau menjadi saksi!"

The Kie In adalah kepala bajak yang tak segan membunuh orang, akan tetapi meng- hadapi ini macam pertaruhan, hatinya toh giris. "Nona. Nona," katanya, untuk mencegah, "jikalau kamu hendak berta- ruh, baiklah kamu gunai segala yantjie atau pupur, buat apa kamu pakai cara ini?" Wan Djie mendahului menjawab: "Dia telah babat kutung sebelah ta- ngannya Lo Soekoku, maka sebentar aku hendak bikin picak kedua matanya!"

Mendengar begitu, The Kie In lantas tutup mulut. Bwee Kiam Hoo, dengan dingin turut bicara. "Nona Tjiauw, kau baik sekali terhadap muridnya Kim Coa Long Koen," ia menjindir, "sehingga kau sudi menggantikan jiwanya...."

Merah mukanya nona Tjiauw itu tapi ia dapat menahan sabar. "Kau sendiri hendak bertaruh atau tidak?" ia tanya. Ia menantang. Tjeng Tjeng pun gusar terhadap orang Hoa San Pay itu. Maka ia menyelah. "Kasihlah aku yang bertaruh dengan Boe-eng-tjoe!" katanya. "Kau hendak bertaruh apa?" tanya Kiam Hoo.

"Aku juga hendak bertaruh tiga lawan satu!" jawab nona ini. "Ya, bertaruh apa?" Kiam Hoo tegasi. "Jikalau dia kalah, disini juga dimuka umum aku nanti panggil engkong tiga kali pada- mu," jawab Tjeng Tjeng. "Jikalau dia yang menang, untukmu cukup memanggil aku satu kali saja!" Mendengar ini, semua orang, kawan dan lawan, pada tertawa. Semua orang anggap "pemuda" ini benar-benar nakal. "Siapa mau bergurau denganmu?" kata Kiam Hoo. "Mari kita nantikan saja, apabila dia

yang menang, aku nanti minta pengajaran dari kau!" Masih Tjeng Tjeng menggoda.

"Dengan begitu, sebatangmu itu menjadi terlebih liehay daripada Liang Gie Kiam-hoat dari Boe Tong Pay!....." katanya. "Aku dari Hoa San Pay," Kiam Hoo kasi keterangan. "Mereka itu benar dari Boe Tong Pay. Sesuatu kaum mem- punyai ilmu kepandaiannya sendiri, jangan kau mencoba mengadu dan mereng- gangkan kami!" Tong Hian jadi jemu mendengari orang adu mulut saja.

"Sudah, cukup!" ia berseru. "Eh, bocah, kau lihat!" Ia bicara kepada Sin Tjie, yang ia segera serang pula. Perbuatan ini diturut oleh Bin Tjoe Hoa, yang terus menikam dengan kakinya maju meng- injak apa yang dinamai pintu "hong- boen". Mereka berdua menggunai masing- masing tangan kiri dan kanan, untuk bergerak menuruti garis-garis patkwa delapan kali delapan menjadi enam puluh empat, gerakannya saling menghidupkan, saling mematikan juga, sambaran angin- nya bersiur-siur. Ketika dahulu Kim Coa Long-koen rundingkan ilmu pedang dengan Oey Bok Toodjin dari Boe Tong Pay itu, dia telah hunjuk bahwa Liang Gie Kiam- hoat masih ada bagian-bagiannya yang lemah, akan tetapi imam itu percaya benar ilmu pedang ciptaannya itu, ia

bersikap kukuh, sehingga ia kata: "Taruh kata benar masih ada kelemahan- nya pada ilmu pedangku ini akan tetapi di kolong langit ini tidak ada orang yang sanggup memecahkannya." Atas pengutaraan itu, Kim Coa Long-koen tidak bilang apa-apa. Kemudian, ketika Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay seterukan Kim Coa Long-koen, diantara orang-orang liehay yang mereka undang untuk memban- tu pihak mereka, ada juga ahli-ahli

pedang dari Boe Tong Pay, diwaktu meng- hadapi mereka ini, Kim Coa Long koen tahu pasti bagaimana mesti melayani diaorang itu. Benar saja, dalam bebe- rapa gebrak saja, ia telah berhasil pecahkan Liang Gie Kiam-hoat. Didalam Kim Coa Pit Kip, tentang Liang Gie

Kiam-hoat itu ditulis jelas, kelemah- annya, cara menyerangnya, maka itu sekarang Sin Tjie tidak berkuatir sama sekali. Demikian, atas serangan, dia berkelit, terus dia main berkelit

saja, dia gunai kegesitannya, kelicin- annya. Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa merangsek terus, satu tikaman demi satu tikaman, akan tetapi sampai bebe- rapa jurus, tidak juga mereka berhasil dapat menikam lawan yang muda belia itu, sehingga selain mereka sendiri, para penonton pun menjadi heran, rata-

rata orang mengagumi si anak muda.

"Ilmu entengkan tubuh dari anak muda ini benar-benar sempurna, boleh jadi sekali benarlah dia ada murid Kim Coa Long-koen," menyatakan Tjit-tjap-djie- to Totjoe The Kie In kepada Sip Lek Taysoe, pendeta dari Siauw Lim Sie.

Pendeta itu manggut-manggut. "Dalam angkatan muda ada orang liehay sebagai dia, sungguh jarang didapat," ia menya- takan akur. Pertempuran berjalan sema- kin seru, karena Bin Tjoe Hoa telah jadi semakin sengit. Satu kali ia injak garis tiong-kiong, ia tikam dada lawan- nya. Tong Hian Toodjin dilain pihak

menusuk kekiri, untuk disusul sama tikaman kearah kanan. Sin Tjie kena terjepit, tak ada lowongan lagi untuk ia egos tubuhnya. Akan tetapi ia tidak

gugup, ia tidak kehabisan daya. Dengan tiba-tiba saja ia mendak, sebelah kakinya dimajukan. Ia mendak demikian rendah, kepalanya pun dikasi tunduk, maka tahu-tahu kepalanya itu sudah seruduk perutnya Tjoe Hoa. Ia masih tidak gunai tenaga penuh tetapi jago Boe Tong Pay itu terpelanting mundur, terhujung-hujung, hampir dia rubuh terjengkang. Tong Hian Toodjin terperanjat, untuk cegah kawannya nanti diserbu, dia merangsek, dia menyerang beruntun-runtun hingga tiga kali, selama mana, Sin Tjie kembali main mundur atau berkelit. Bin Tjoe Hoa pertahankan diri, ia gusar tak kepalang. "Binatang," ia mendamprat.

Sin Tjie berkelahi dengan sikap damai, ia masih mengharap untuk redakan ketegangan, supaya terciptalah per- damaian, akan tetapi Tjoe Hoa damprat ia secara demikian, tiba-tiba saja hawa-amarahnya naik. "Jikalau aku tidak perlihatkan kepandaianku, akan tindih mereka ini, urusan sukar dibereskan," pikir dia. "Aku pun mesti cari ketika untuk hadapi Tiang Pek Sam Eng, jikalau

tidak, pasti orang tidak akan tunduk kepadaku....." Maka ia lantas mencelat kesamping meja, akan sambar cawannya sendiri, untuk segera cegluk isinya, sesudah mana, ia berseru  berulang- ulang: "Lekas, lekas serang aku, aku

masih belum dahar kenyang!" Kemurkaan Bin Tjoe Hoa bertambah-tambah, terang sekali orang telah sangat menghina dia. Dalam murkanya itu, ia perhebat sera- ngannya sehingga pedangnya perdengarkan

angin menderu-deru. "Bin Soetee,sabar!" Tong Hian peringati. "Dia sedang pan- cing hawa-amarahmu!" Tjoe Hoa insyaf, maka ia jadi sabar pula. Tapi berdua, mereka terus menyerang dengan keras, mereka tetap merangsek, cahaya pedang mereka berkelebatan seperti mengurung

tubuh lawan. Lagi beberapa jurus telah dikasi lewat. Dengan mendadak, dengan kelicinannya, Sin Tjie dapat loncat keluar kepungan, untuk letaki cangkir- nya diatas meja. "Adik Tjeng, tambahkan arakku!" ia teriaki kawannya. "Baik!" jawab Tjeng Tjeng. Sin Tjie sambar sebuah kursi, ia sendiri berdiri ditepi meja, dengan kursi itu, ia rintangi

pelbagai tusukan pedang, sampai si nona sudah isikan cawannya, Baru ia sambar cawan itu, lalu melepaskan kursinya, ia lompat pula ketengah ruangan. Disini ia makan ayamnya. "Memang pada dasarnya Liang Gie Kiam-hoatmu ini ada bagiannya yang lemah," berkata dia, "sudah begi- tu, tidak sempurna kamu menjalankannya, maka bagaimana dapat kamu melukai aku?" Ia hirup araknya. "Ketika kau masih kecil, guruku suruh aku membuat kara- ngan. Sekarang aku sedang bergembira, mau juga aku membuat karangan pula!"

"Bocah, lihat pedang!" Tong Hian ber- seru. Tapi ia tidak menyerang. "Utusan Kim Coa Long-koen sambil tertawa mela- yani berkelahi dua si tolol," Sin Tjie terusi godaannya, untuk membangkitkan hawa-amarah mereka. Tjeng Tjeng terta- wa. "Toako, apakah katamu?" tanyanya.

"Itulah kalimat karanganku," sahut Sin Tjie. "Baik!" kata si nona. "Hayo kau membacakannya, aku akan mengingatinya, sebentar aku nanti buat catatannya."

Nona ini tahu maksud kawannya itu, ia pun melayaninya. "Pedang mustika itu adalah senjata untuk membunuh manusia," Sin Tjie lantas menyebutkan karangan- nya. "Dan tolol adalah lain gelarannya si dungu. Satu ketololan membuat ber- ubah orang empunya wajah muka, dua ketololan bisa membikin orang tertawa terpingkal-pingkal sambil menekan perut, akan tetapi dua si tolol yang memainkan pedangnya dengan niatan mem- bunuh orang, dia membuat aku menyembur- kan arak hingga air mataku keluar hing- ga aku berseru panjang!"

"Semburkan arak, keluarkan air mata, bagian itu perlu ditandai koma dan titik," Tjeng Tjeng bilang. Sementara itu Sin Tjie telah berkelit dari tiga tusukan berbareng dari kedua lawannya,

tidak pernah ia balas menyerang, ia main egos tubuh atau melejit saja.

"Aku adalah utusan Kim Coa Long-koen," ia lanjutkan, "aku suka tempatkan diriku sebagai si pendamai Lou Tiong Lian, akan tetapi tuan berkukuh, tak mau sadar, terus-terusan mengacau saja, hingga karenanya di empat penjuru, semua tuan-tuan telah menunda cawannya, untuk menonton pertempuran. Sementara itu tiga pengkhianat bimbang dan berdu- ka hatinya, mereka memikirkan cara bagaimana mereka bisa meluputkan diri dari ancaman bencana! Mereka itu justru harus dihajar rubuh!....." Dengan tiba- tiba saja, Sin Tjie menimpuk Bin Tjoe Hoa dengan paha ayam yang tadi ia

jepit dengan sumpitnya, sumpitnya itu segera dipakai menyambut-menjepit pedangnya Tong Hian yang dipakai menikam dia. Dia menjepit dengan keras, lantas ia menyempar dengan keras juga.

"Lepaskan pedangmu!" dia pun berseru.

Berbareng dengan seruan itu, pedangnya Tong Hian kena tertarik hingga terlepas dari tangannya dan jatuh kelantai, si imam sendiri sampai jatuh terjerunuk karena ia mencoba menahannya. Karena ini, berbareng kaget dan malu, ia menyerang dengan tangan kanannya, ia menyapu dengan kaki kirinya. Ia pikir akan gunai saat itu untuk rebut

kemenangan! Sin Tjie menjejak dengan kedua kakinya, tubuhnya mencelat, akan menyingkir dari ancaman bahaya itu, berbareng dengan itu, cangkir araknya terbang melayang, karena dengan itu ia menimpuk kepada Bin Tjoe Hoa, mengenai tepat jalan darah kiok-tjie-hiat tangan kiri dari orang she Bin itu, hingga segera dia ini merasakan tangannya itu baal, hingga pedangnya terlepas dari cekalan dan terlepas seketika. Menyusul itu dengan satu sambaran "Han yap ok tjoei" atau "Gowak menyambar air", ia jumput kedua pedangnya lawan, untuk ia cekal dengan kedua tangannya, sembari pentang itu, ia berseru: "Kamu belum pernah lihat satu orang mainkan Liang Gie Kiam-hoat bukan? Nah, sekarang

saksikanlah dengan perdata!" Pemuda ini segera juga bersilat seorang diri ditengah-tengah ruangan itu, ia menyerang kekiri, ia menyerang kekanan, ia membela dikiri, sesuatu jurusnya benar-benar cocok sama ilmu pedang Liang Gie kiam-hoat yang disebutkan itu, gerakan kedua pedangnya itu

nampak kusut sekali, akan tetapi toh, sesuatunya sangat membahayakan pihak lawan. Tidaklah aneh jikalau angkatan muda yang hadir disitu menjadi terheran-heran, tetapi juga Sip Lek Taysoe, Twie-hong-kiam Ban Hong, The Kie In, Tiang Pek Sam Eng, Thio Sim It

dari Koen Loen Pay dan rombongan Bwee Kiam Hoo dari Hoa San Pay, turut mende- long juga. Inilah pemandangan yang tak pernah mereka sangka-sangka. Kedua pedang berseliweran, cahayanya yang mengkilap berkredepan, anginnya

menyambar-nyambar tidak berhentinya. Dan ketika enam puluh empat jurus telah habis dijalankan, terdengar seruannya si anak muda, kedua pedang itu melesat keatas, nancap di penglari wuwungan rumah, nancap dalam sekali! Itulah ilmu timpukan pedang Hoa San Pay warisan istimewa Pat-tjhioe Sian Wan, yang Sin

Tjie dapat pelajarkan dengan sempurna.

Sampai disitu, Barulah pemuda ini un- durkan diri. Ruang pesta atau pertem- puran itu jadi bergemuruh dengan sorak- an dan tepukan tangan riuh, karena kawan maupun lawan, semua memujinya.

Kapan gemuruh mulai reda, terdengarlah seruan gembira dari Tjeng Tjeng seorang, suaranya nyaring dan terang: "Ha-ha! Bakal ada orang memanggil engkong padaku!" Bwee Kiam Hoo, yang berdiri dengan pegangi pedangnya, bermuka merah-biru, saking mendongkol dan malu. The Kie In lantas saja tertawa. "Nona Tjiauw, kau telah menang, kau terimalah ini!" berkata dia, yang dorong emas goanpo diatas meja kepada Tjiauw Wan Djie. Nona itu memberi hormat. "The Pehhoe, aku akan wakilkan kau memberi persen," katanya. Lantas dia kata dengan suaranya yang nyaring: "Disini ada uang banyaknya sembilan ribu tail! Inilah uangnya The

Totjoe yang dibuat bertaruh secara main-main denganku! Tuan-tuan telah datang dari tempat yang jauh sekali, menyesal tak dapat kami dari Kim Liong Pang melayaninya dengan sempurna, kami malu sekali, maka itu, dengan jalan ini kami hendak 'pinjam bunga untuk meng- hormati Sang Buddha'. Kamu semua pengiring dari pelbagai tjianpwee, mamak dan paman, kanda dan kakak, kamu masing-masing, seorangnya, aku akan hadiahkan banyaknya seratus tail! Hadiah ini besok hari aku akan perintah orangku mengantarkannya kehotel kamu masing-masing!" Dipihak tetamu, orang puas dengan cara penyelesaiannya pihak Kim Liong Pang ini, akan tetapi Bin Tjoe Hoa dan Tong Hian Toodjin, yang kena dipecundangi, tampangnya lenyap

cahaya terangnya. Mereka malu dan mendongkol bukan main. Habis puterinya bicara, Tjiauw Kong Lee hadapi para tetamunya. "Dahulu hari itu, karena perangaiku keras dan perbuatanku semberono, aku telah kesalahan tangan hingga mencelakai kandanya Bin Djie- ko," berkata dia. "Kejadian itu

sesungguhnya membuat aku malu dan menyesal, maka itu sekarang dihadapan semua enghiong yang hadir disini, aku hendak menghaturkan maaf kepada Bin Djieko. Wan Djie, kau beri hormat pada Bin Siokhoe." Sembari membilang demi- kian, Kong Lee sendiri menjura pada Bin Tjoe Hoa, yang sejak tadi berdiri diam saja. Wan Djie turut titah ayahnya, malah sebagai yang termuda, ia memberi hormat sambil paykoei. Bin Tjoe Hoa balas kehormatan itu. Mereka telah membuat janji, ia kalah, ia mesti menetapi janji itu. Pun, dari bunyinya kedua surat wasiat, sudah terang kesalahan ada di pihak kandanya. Dimana untuk melanjuti permusuhan adalah sulit untuk pihaknya, ia anggap ini adalah ketika untuk penyelesaian yang terhor- mat itu. Tapi ia ingat kandanya telah binasa, air matanya turun mengucur.

"Bin Djieko, aku sangat bersyukur kepadamu," berkata pula Tjiauw Kong Lee, yang manis budi itu. "Mengenai pertaruhan rumah, mungkin ini tuan muda main-main saja, aku pikir baik itu tak usah ditimbulkan lagi. Besok dengan lantas aku nanti perintah siapkan lain

rumah untuk tuan berdua." "Itu tak dapat dilakukan," berkata Tjeng Tjeng. "Kita ada bangsa koentjoe, satu kali

perkataan kita telah dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya.  Kata- kata telah diucapkan, mengapa mesti dibuat menyesal dan hendak ditarik pulang?" Orang semua melengak, mereka heran. Tjiauw Kong Lee telah janjikan sebuah rumah yang Baru, pasti itu akan terlebih indah daripada rumah Bin Tjoe Hoa, maka heran, kenapa pemuda itu me- nampik, kenapa dia masih hendak membuat malu kepada Bin Tjoe Hoa? Tjiauw Kong Lee menjura pada "si anak muda". "Loo- teetay, budimu berdua tak nanti aku lupakan," berkata dia dengan sangat, "tapi sekarang aku minta sukalah kamu bantu lagi sedikit kepadaku. Dipintu kota Selatan, aku mempunyai satu peka- rangan yang luas,aku minta sukalah kamu terima itu sebagai gantinya. Aku perca- ya kamu akan puas dengan pekarangan itu." Tjeng Tjeng bersikap sabar, tapi ia jawab: "Barusan Bin Djieya hendak binasakan kau untuk membalas sakit hati, umpama kata kau bilang padanya supaya dia jangan bunuh padamu, kau mengatakan mana kau tanggung dia akan peroleh kepuasan, coba kau pikir,

dapatkah dia terima itu atau tidak?"

Bungkam ketua Kim Liong Pang ini dijawab secara demikian, ia likat sendirinya. Alasan si anak muda memang kuat sekali. Maka akhirnya, ia berpa- ling kepada gadisnya. "Tuan ini penujui rumah Bin Djieya itu," katanya, "maka itu sebentar pergi kau perintah antar itu uang delapan ribu tiga ratus tail kerumahnya Bin Siokhoe." "Sudah, sudah," mencegah Bin Tjoe Hoa. "Buat apa aku uang itu? Satu laki-laki telah

keluarkan kata-katanya, empat ekor kuda tak dapat candak itu! Tjiauw-ya, permusuhanku denganmu, sampai disini aku bikin habis. Besok aku hendak pulang kekampung halamanku, aku tidak punya muka untuk lebih lama pula dida- lam kalangan kang-ouw. Biarlah rumahku dipunyai oleh kedua tuan ini." Ia lantas menjura kepada semua hadirin

dan berkata: "Semua sahabatku, jauh dari tempat ribuan lie kamu telah datang kemari untuk mebantu aku, siapa tahu aku justru tidak punya guna, tak dapat aku membalas sakit hati kandaku, hingga karenanya, aku membuat kamu semua datang dengan sia-sia saja.

Sahabat-sahabatku, biar lain kali saja aku balas budimu ini." Melihat orang bisa ubah sikapnya itu, Sin Tjie lantas kata kepada jago Boe Tong Pay itu:

"Bin Djieya, walaupun kau kalah dari aku, sebenarnya kepandaianku masih kalah jauh dengan kepandaianmu, apapula kalau dipadu dengan kepandaian Tong Hian Tootiang. Aku harap djiewie tidak berkecil hati. Djiewie, terimalah hormatku yang muda." Orang semua melengak. Toh dia yang menang, dan menangnya secara cemerlang sekali.

Siapa bisa bertanding sambil minum arak dan membuat karangan sebagai dia? Siapa

dapat gampang-gampang dengan tangan kosong mengalahkan dua musuh tangguh yang bersenjatakan pedang? Toh sekarang ini anak muda suka mengalah, suka dia memberi hormat kepada pecundang- pecundangnya!

"Djiewie bukannya kalah ditanganku," Sin Tjie melanjuti. "Sebenarnya djiewie kalah ditangan Kim Coa Tayhiap. Dia telah menduga siang-siang untuk caranya djiewie bertempur, maka itu Tayhiap telah pesan aku untuk aku bersikap berandalan, guna pancing meluapnya hawa-amarah djiewie, setelah itu, dengan satu akal, aku mesti rebut

kemenangan. Kim Coa Tayhiap adalah orang pandai nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan jaman ini, kepandai- annya itu tidak dapat didjejaki. Aku sendiri bukan muridnya, secara kebe- tulan saja aku bertemu dengannya, lantas dia ajari aku ilmu silat ini, untuk dipakai menyelesaikan perseng- ketaan ini. Djiewie kalah ditangan Tayhiap, tak usah djiewie merasa malu. Ingin aku mengatakan sesuatu yang tak sedap untuk kuping, tapi harap djiewie tak buat kecil hati. Jangan kata Baru djiewie, juga pada waktu itu, Oey Bok Toodjin sendiri bukan tandingan Kim Coa Tayhiap....." Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa sangsikan kata-kata terakhir ini, akan tetapi, sementara itu mereka telah dapat dibikin tenang. Tong Hian membalas hormat sambil menjura. "Sie- tjoe telah membikin terang muka kami, pinto haturkan banyak-banyak terima kasih," kata dia. "Maukah sie-tjoe beritahukan she dan nama besar sie-tjoe kepadaku?" Sin Tjie segera tunjuk Tjeng Tjeng. "Inilah turunan langsung dari Kim Coa Tayhiap," jawab dia. "Dia she Hee. Dan aku yang muda, she Wan."

Banyak orang belum tahu shenya Kim Coa Long-koen, Baru sekarang mereka ketahui jago itu she Hee. Bin Tjoe Hoa menjura pada Tjiauw Kong Lee. "Aku telah gerecoki Tjiauw-ya," katanya. "Selamat tinggal!" Tjiauw Kong Lee balas hormat itu. "Besok aku akan kunjungi Bin Djie-ko untuk haturkan maaf," katanya.

"Tak sanggup aku terima itu," Tjoe Hoa menampik. Selagi orang hendak angkat kaki, terdengar suaranya Tjeng Tjeng.

"Eh, bagaimana dengan pertaruhan pedang buntung?" katanya. Wan Djie lihat ayah- nya Baru terlolos dari mara-bahaya besar, maka ia tak sudi menghadapi lagi lain ancaman malapetaka. Maka lekas ia perdengarkan suaranya. "Tuan Hee, mari masuk kedalam, aku akan menyuguhkan teh," katanya. "Aku harap urusan kecil itu tidak disebut-sebut pula." "Dia masih satu bocah, dia belum panggil aku engkong!" kata lagi Tjeng Tjeng. "Ini tak dapat disudahi saja!" Bwee Kiam Hoo dan Soen Tiong Koen tak dapat menahan sabar lagi, keduanya lompat maju kete- ngah kalangan. Tapi Kiam Hoo bukan hampirkan nona kita, yang ia sangka ada

satu pemuda, ia hanya tuding Sin Tjie.

"Kau sebenarnya siapa?" ia menegur. "Kau timpuki pedang ke atas penglari, itulah ilmu kepandaian menimpuk dari Hoa San Pay! Dari mana kau curi pela- jaran itu?" Lauw Pwee Seng menyusul dibelakang soehengnya, dia pun turut bicara. "Kau juga barusan gunakan Hok-houw-tjiang dari kaum kita!" dia turut menegur. "Dari mana kau curi itu? Lekas bilang!" Sin Tjie tidak sangka bakal muncul ekor ini, tapi ia tertawa.

"Mencuri?" tanyanya. "Buat apa aku mencuri?"

"Cis, bangsat cilik!" Soen Tiong Koen mendamprat sambil meludah. "Sudah men- curi, kau masih menyangkal!" Bwee Kiam Hoo tertawa secara dingin sekali.

"Habis, dari mana kau pelajarinya itu?" tanya dia. Sin Tjie menjawab dengan langsung: "Aku adalah murid Hoa San Pay," sahutnya. Murid-murid Hoa San Pay itu tercengang tetapi Soen Tiong Koen maju setindak. Dia menuding secara sengit sekali. "Hei, bocah, kau gila!" katanya. "Sudah kau temberang sambil panggul-panggul mereknya Kim Coa Long-koen, sekarang kau sebut-sebut Hoa San Pay! Apakah kau tahu, nonamu ini

dari golongan mana? Hm! Ini dia yang dibilang, Lie Koei tetiron menemui Lie Koei sejati! Baik kau ketahui, kita bertiga ada dari Hoa San Pay!" Sin Tjie tidak gusar, dia tetap sabar. "Seperti aku sudah bilang, dengan Kim Coa Long- koen itu aku tidak punya sangkutan apa-

apa," ia kasi keterangan. "Aku melain- kan bersahabat dengan puteranya Tayhiap itu. Tentang kamu, sam-wie, dari siang- siang memang aku sudah ketahui kamu ada orang-orang Hoa San Pay. Kita sebetul- nya dari satu golongan." Lauw Pwee Seng bisa sabarkan diri. "Semua muridnya Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Soepeh aku kenal, akan tetapi diantaranya tidak ada kau, lauwko," kata dia. "Soen Soemoay, adakah kau dengar kalau-kalau paling belakang ini Oey Soepeh terima murid baru?"

"Matanya Oey Soepeh bagaimana tinggi, mustahil dia sudi terima murid sebagai tukang tipu ini?" jawab Soen Tiong Koen dengan ketus. Dia masih sangat panas karena pedangnya telah dipatahkan. Dia memang aseran dan pikirannya cupat sekali. Sin Tjie tetap sabar saja.

"Memang Oey Tjin Soeheng bermata tinggi sekali, tidak nanti dia sembarang mene- rima murid," dia bilang. Semua orang heran mendengar pemuda ini panggil soeheng kepada Oey Tjin. Bwee Kiam Hoo bertiga tercengang. "Sebenarnya dari mana kau dapatkan kepandaian Hoa San Pay ini?" Lauw Pwee Seng tegasi, suaranya keras. Ia tetap sangsi. "Lekas kau bilang!" Dengan sama sabarnya seperti tadi, Sin Tjie menjawab. "Guruku she Bok, namanya di atas, Djin, di bawah Tjeng," demikian penyahutannya

dengan tenang. "Guruku itu adalah yang dunia kangouw gelarkan 'Pat-tjhioe Sian-wan' si Lutung Sakti Tangan Delapan...." Bwee Kiam Hoo saksikan boegee orang yang liehay, mendengar orang aku diri murid Hoa San Pay, ia sangsi, hingga maulah ia menduga, mungkin Oey Tjin, sang soepeh, telah

memungut satu murid baru, tetapi sekarang dia dengar pemuda ini mengaku ia adalah murid soe-tjouwnya, keragu- raguannya jadi lenyap. Benar-benar ia tidak percaya soetjouw itu, yang tidak ketentuan tempat mengembaranya, masih mau menerima murid lagi. Ia sendiri cuma pernah dua kali menemui soetjouw itu. Gurunya sendiri, Sin-koen Boe Tek

Kwie Sin Sie suami-isteri sudah berusia lima-puluh tahun, tapi pemuda ini sangat muda usianya, mana mungkin dia jadi murid soetjouwnya itu? Sekarang orang aku diri sebagai paman-guru mereka, dia anggap: pemuda ini benar- benar tidak tahu hidup atau mati!

"Menurut keterangan ini, jadinya, kaulah soesiok kita?" akhirnya dia tanya. (Soesiok ialah paman guru).

"Aku juga tidak berani aku kamu ber- tiga, enghiong-enghiong besar, hookiat- hookiat besar, sebagai soetitku," sahut Sin Tjie dengan sama tenangnya. (Enghiong dan hookiat ada orang-orang gagah. Soetit ialah keponakan murid).

Dikuping Bwee Kiam Hoo, jawaban itu berbau ejekan. "Apakah mungkin kami telah membuat malu Hoa San Pay?" ia tegaskan. "Soesiok Taydjin, tolong kau memberi nasihat kepada kami tiga soetit kecil yang harus dikasihani....Ha-ha-

ha!" Bwee Kiam Hoo sudah berusia tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun. Perkataannya ini membuat tertawa berkakakan semua orang-orang undangan Bin Tjoe Hoa. Baru sekarang Sin Tjie perlihatkan roman sungguh-sungguh.

"Jikalau Djie-soeheng Kwie Sin Sie ada disini, pasti dia akan beri nasihatnya sendiri kepadamu!" kata dia, suaranya keren. Tapi Bwee Kiam Hoo jadi sangat gusar, sekali sambar saja, pedangnya sudah lantas terhunus hingga menerbit- kan suara "Sret!"

"Anak tolol, apakah disini kau ngaco- belo?" ia membentak, mendamprat.

Tjiauw Kong Lee menjadi sibuk, karena urusan jadi ada ekornya. Lekas-lekas ia menyelah diantara mereka. "Tuan Wan ini main-main saja, Tuan Bwee, harap kau jangan gusar," ia mohon. "Mari, mari

ramai-ramai kita keringkan cawan!"

Dengan kata-katanya ini Kong Lee juga tidak percaya Sin Tjie benar ada paman guru dari Bwee Kiam Hoo bertiga. Usia mereka kedua pihak tak memungkinkan itu. Tapi Kiam Hoo masih panas hatinya.

"Anak tolol, walaupun kau paykoei di depanku dan manggut-manggut dan memang- gil aku soesiok tiga kali, masih aku Boe-eng-tjoe tak sudi aku padamu!" katanya. Tjeng Tjeng jadi panas hati, ia pun campur bicara. "Eh, Boe Eng Tjoe, kau mesti panggil engkong dulu padaku!" kata dia. Sin Tjie berpaling kepada kawannnya itu. "Adik Tjeng, jangan bergurau," ia bilang. Ia terus menoleh pada Bwee Kiam Hoo, akan

kata: "Sebetulnya aku belum pernah bertemu sama Kwie Djie-soeheng. Kamu sendiri, samwie, kamu ada terlebih tua daripadaku, turut pantas, tak tepat aku menjadi paman gurumu. Akan tetapi, perbuatan kamu bertiga, sesungguhnya tidak selayaknya." Alisnya Bwee Kiam Hoo bangun berdiri, ia tertawa berka- kakan. Ia gusar bukan kepalang. "Ah, bocah, kau jadinya hendak beri nasihat kepadaku?" katanya dengan nyaring. "Mohon aku tanya, dimanakah kesalahan- nya kami bertiga? Sahabatku ada urusan, mustahil kami tak dapat bantu padanya?"

Sin Tjie tidak lantas menjawab langsung. "Tjouwsoe kami dari Hoa San Pay telah meninggalkan dua belas macam pantangan," katanya, dengan sabar, tapi dengan sungguh-sungguh. "Kau tahu, apa bunyinya pantangan yang ketiga, kelima, keenam, dan kesebelas?" Ditanya begitu, Bwee Kiam Hoo melengak. Soen Tiong Koen tidak tunggu saudara itu menjawab, dia timpuk muka Sin Tjie dengan pedang buntungnya. "Aku hendak coba kepandaian Hoa San Paymu!" serunya. Sin Tjie tunggu sampainya pedang itu, ia angkat tangan kirinya,ia balikkan telapakannya

ke atas, lalu ia menepok, menakup dengan telapakan tangan kanan yang dibalik kebawah, maka pedang bunting itu lantas kena dibekap dengan kedua telapakan tangannya itu. Ini ada tipu silat "Heng Pay Koan Im" atau "Memuja Dewi Koan Im dengan tangan miring".

"Ini Heng Pay Koan Im, cocok atau tidak?" ia tanya. Bwee Kiam Hoo kembali melengak, juga Lauw Pwee Seng. Dalam hatinya, mereka kata: "Memang ini ada ilmu silat Hoa San Pay, melainkan dia gunainya secara sangat sempurna,

soehoe sendiri belum tentu sanggup berbuat begini...." Soen Tiong Koen juga tercengang, hingga ia diam saja.

Lauw Pwee Seng mendekati pemuda kita.

"Benar, barusan kau telah gunai tipu- silat kaum kita," katanya. "Sekarang aku yang ingin mohon pelajaran lebih dahulu daripadamu...." "Lauw Toako," sahut Sin Tjie dengan sabar. "Kau bergelar Sin-koen Thay-po, dengan

begitu pastinya kau paham benar ilmu silat kita Hok-houw-tjiang serta ilmu membelah batu dan menghancurkan kumala...." Sekarang ini Lauw Pwee Seng tidak berani memandang enteng lagi seperti mulanya. "Aku Baru meyakinkan kulit dan bulunya saja, tak berani aku membilang sudah mempelajarinya dengan sempurna," ia jawab. "Tidak usah terlalu merendah, Lauw Toako," Sin Tjie bilang. "Umpama kau sedang berlatih

tangan dengan Kwie djie-soeheng, umpama dia benar-benar gunai kepandaiannya,

seandainya dia serang kau dengan Pauw-goan-keng atau Koen-goan-kang, apakah bisa toako menyambutnya?"

"Sepuluh jurus yang pertama, masih bisa aku melayaninya, lantas sepuluh jurus yang bawah, sukar sekali," Pwee Seng jawab. "Aha," kata Sin Tjie. "Aku dengar gelaran Kwie Djie-soeheng ada Sin-koen Boe-tek, kepandaiannya menggunai kepalan pastilah sangat sempurna sekali, maka dengan Lauw

Toako sanggup melayani dia sampai sepuluh jurus, itulah sudah bagus sekali. Lauw toako, tidaklah kecewa kau dengan gelaranmu Sin-koen Thay-po itu."

"Itulah gelaran yang orang berikan aku secara main-main, yang benar adalah

kepandaianku masih beda jauh dari soehoe," Pwee Seng bilang. Ia pun jadi bisa merendahkan diri sekarang. Soen Tiong Koen tidak puas terhadap sikapnya saudara seperguruan ini. Dari suaranya ini saudara, nyatalah Pwee Seng telah jadi semakin lunak, agaknya dia suka aku Sin Tjie sebagai paman gurunya.

"Eh, Lauw Soeko, bagaimana?" dia menegur. "Apakah kau kena digertak dengan ocehan belaka?"

"Habis kau mau bagaimana Baru kau hendak percaya aku ada paman gurumu?" Sin Tjie tanya. "Aku ingin kau dan aku berlatih sebentar," Pwee Seng bilang. "Umpama kata kepandaian ilmu silatmu Hoa San Pay ada terlebih sempurna....."

"Itulah gampang," bilang Sin Tjie. "Asal kau sanggup layani aku lima jurus, kau boleh bilang aku palsu. Kau setuju?" Mendengar itu, Bwee Kiam Hoo heran berbareng lega hatinya. Dia pikir: "Tentulah dia cuma ngoceh! Mustahil dia sanggup rubuhkan Lauw Soetee dalam lima jurus saja?" Maka

ia lantas bilang: "Baiklah! Nanti aku yang menghitung!" Lauw Pwee Seng memberi hormat sambil menjura. Agaknya ia kenal aturan sekarang. Katanya: "Dimana ada kelemahanku, tolong kau menaruh belas kasihan....."

Sin Tjie lantas menghampirkan dengan tindakannya pelahan. Ia bersiap.

"Jurusku yang pertama ada 'Tjio po thian keng'," katanya, "kau sambutlah."

"Baik," sahut Pwee Seng, yang didalam hatinya sendiri lantas berkata: "Siapa sih yang hendak bertempur memberi tahu lebih dahulu kepada musuh tipu-pukulan- nya yang hendak dipakai menyerang? Tentu dia menggunai akal, dia ingin aku bersiap menjaga di atas, tahu-tahu dia serang aku dibawah." Maka ia siapkan tangan kanannya didepan mukanya, tangan kiri dibetulan perut, asal orang mulai menyerang, ia hendak membarengi menye- rang juga. Segera terdengar suaranya Sin Tjie: "Awas serangan yang pertama!" Dan serangannya dilakukan. Dengan tangan kiri dia mengancam, dengan tangan kanan ia menyerang dengan benar- benar. Dan benar-benar ia menyerang dengan tipu-silat Hoa San Pay yang ia

sebutkan, jaitu 'Tjio po thian keng' atau "Batu meledak, langit gempar."

Lauw Pwee Seng geraki tangan kanannya, untuk menangkis. Pukulannya Sin Tjie belum lagi sampai, atau ia sudah cegah itu. "Hei, kenapa kau tidak percaya aku?" tanya dia. "Sebuah tangan saja tak cukup untuk menjaga, mesti dua tangan dengan berbareng." Pwee Seng terperanjat. Ia pun insyaf, ia bakalan tak sanggup menangkis, atau sedikitnya

hidungnya bakal muncratkan darah. Maka melihat orang menunda penyerangan, ia segera geraki juga tangan kirinya, dengan kedua tangan ia geraki "pay boen twie san", atau "mengatur pintu, menolak gunung". Ia menolak seraya perdengarkan seruan. Sin Tjie lanjuti serangannya, hingga tangannya jadi bentrok dengan dua tangannya lawan,

setelah mana, ia menarik pulang lagi.

"Aku hendak menyerang pula, sekali ini dengan tiga jurus dibarengi," kata dia,

menerangkan. "Itulah Lek-pek sam koan, Pauw Coan in giok dan Kim-kong tjie bwee. Bagaimana kau akan melawannya?"

Tanpa berpikir lagi, Pwee Seng jawab: "Aku akan gunai Hong pie-tjhioe, Pek in tjoet sioe dan Pang hoa hoet lioe."

"Dua yang pertama benar, yang ketiga tidak tepat," Sin Tjie bilang. "Kau harus ketahui, Pang hoa hoet lioe adalah penjagaan di tengah berbareng menyerang. Jikalau kau adu tenaga dengan lawan, itulah baik, akan tetapi kau perlu membalik tangan, buat balas

menyerang, dengan begitu, tenaga pembelaanmu jadi berkurang separuh, dengan begitu, kau akan tak sanggup menahan aku punya Kim kong tjie bwee."

"Kalau begitu, aku akan gunai Tjian kin tjwie tee," Lauw Pwee Seng membetuli.

"Itu benar. Kau sambutlah!" Sambil mengucap demikian, Sin Tjie geraki tangan kanannya. Pwee Seng pun bersiap, untuk menangkis. Akan tetapi tangan kanan Sin Tjie cuma terangkat keatas, yang menerjang adalah tangan kirinya, kebawah. Sembari berbuat demikian, dia kata: "Dalam ilmu silat, tak boleh orang berkukuh. Gurumu ajarkan kau Lek pek sam koan dengan tangan kanan tetapi kita bisa melihat gelagat, memakai tangan kiri pun boleh." Sembari berkata, ia menyerang terus, tanpa tunggu orang menutup diri, untuk menangkis, ia mendahului menyambar lengan orang, untuk ditarik. Lauw Pwee Seng menggunai 'Pek in tjoet sioe' atau 'awan putih keluar dari sela gunung',

ia melonjorkan tangannya untuk meng- ikuti, diam-diam ia gunai tenaganya, apapula lawan tidak siap-sedia, dadanya bisa kena ditotok celaka. Tapi ia pun tidak berani balas menyerang, begitu lekas tangannya dilepaskan dari cekalan lawan, ia menahan diri, dengan perkuat- kan bahagian bawah, ia tancap kedua kakinya. Sin Tjie tidak berdiam saja begitu lekas ia lepaskan cekalannya terhadap lengan lawan, gesit luar biasa, ia mencelat kesamping, terus kebelakang musuh dari mana, tangan

kirinya segera mendorong bebokong lawan itu, sebelum Pwee Seng sempat memutar

tubuh atau berkelit, kuda-kudanya sudah gempur, hingga ia terjerunuk dua tindak

kedepan, dengan susah-payah Barulah dia bisa berbalik. "Bagus!" berkata Sin Tjie. "Sekarang ini pukulanku yang kelima. Ini ada Kie-tjhioe-sie dari

Po-giok-koen." Pwee Seng merasa heran, hingga ia berdiam saja. "Apakah kau sangka Kie-tjhioe-sie hanya untuk upacara saja, buat memberi hormat?"

tanya Sin Tjie. "Apa kau kira kie-tjhioe-sie tak ada faedahnya dipakai menghadapi musuh? Kau mesti insyaf maksud Tjouwsoe menciptakan tipu-silatnya ini. Tidak ada satu jua dari jurus-jurusnya Tjouwsoe yang tidak disiapkan untuk melumpuhkan musuh, guna merebut kemenangan. Kau lihat saja!"

Lantas Sin Tjie mendak sedikit, tubuh- nya rada melengkung bagaikan biang panah, kepalan tangannya ditekap dengan tangan kiri, menjusul mana ia membuat gerakan sebagai lagi menjura, lantas saja tubuhnya itu bergerak maju, kedua tangannya pun menyerang dengan berbareng. Selagi Pwee Seng sibuk hendak menangkis, karena serangan itu sangat diluar dugaan, paha kirinya sudah kena dijotos, hingga tubuhnya itu

menjadi limbung, terus saja ia rubuh!

Justru orang rubuh, Sin Tjie berlompat menghampirkan, untuk sambar tubuh lawan

dengan dua tangannya, buat dikasi bangun, buat direbahkan dengan hati- hati. Lauw Pwee Seng segera geraki tubuhnya, untuk berbangkit dan ber- lutut, buat lantas memberi hormat sambil paykoei. "Aku yang muda tidak kenal soesiok, barusan aku telah berlaku kurang ajar," kata ia, "maka dengan memandang kepada guruku, aku minta soesiok sudi mengasi maaf

padaku." Sin Tjie lekas-lekas membalas hormatnya. "Lauw Toako ada terlebih tua daripada aku, baik kita berbasa engko dan adik saja," kata ia. "Tak berani aku berbuat begitu, soesiok," Pwee Seng menampik. "Ilmu silat soesiok benar-

benar luar biasa. Lima jurus barusan memang ada ilmu pukulan kita kaum Hoa San Pay, dengan itu soesiok beri pengajaran padaku, aku merasa sangat berterima kasih, kelak kemudian pasti aku akan yakinkan itu dengan sungguh- sungguh." Sin Tjie tidak menjawab, ia melainkan bersenyum. Pwee Seng buktikan janjinya ini, karena dibelakang hari, ia yakinkan sungguh-sungguh hingga ia peroleh kemajuan yang berarti. Karena mana ia hormati betul paman guru cilik

ini. Sampai disitu, Bwee Kiam Hoo dan Soen Tiong Koen tidak bisa beragu-ragu lebih jauh, akan tetapi orang she Bwee ini percaya betul ketangguhan ilmu pedangnya, maka ia telah berpikir: "Dalam ilmu silat tangan kosong, kau liehay, dalam ilmu pedang, belum tentu kau nanti dapat menangi aku." Selagi ia berpikir demikian, ia dengar seruannya Tiong Koen: "Bwee Soeko, hayo coba ilmu pedangnya!"

"Baik!" jawab soeheng ini, yang terus pandang Sin Tjie dan kata: "Aku niat di ujung pedang tuan mencoba menerima pelajaran beberapa jurus." Dia omong dengan sabar dan halus, akan tetapi air mukanya tetap membayangi kejumawaannya. Ia pun memanggil tuan. Sin Tjie berpi- kir: "Rupanya dia ini telah dapatkan ilmu pelajaran sempurna dalam ilmu

pedang Hoa San Pay, pasti selama ber- kelana belum pernah dia menemui tandingan, hingga karena pujian muluk di sana-sini, ia jadi berkepala besar, tekeburnya bukan buatan, sehingga sepak terjangnya jadi berlebih-lebihan. Dia beda daripada Lauw Pwee Seng, perlu aku ajar adat padanya, supaya dibelakang hari dia tidak membuat malu kepada

Hoa San Pay. Ajaran pun akan membuat kebaikan untuk dirinya sendiri."

Maka lantas ia menyahuti: "Untuk mengadu pedang, tidak ada halangannya, akan tetapi kapan sebentar telah ada keputusan menang dan kalah, kau mesti dengar sedikit nasihatku yang tentunya tidak sedap untuk kupingmu."

"Sekarang masih belum ada keputusannya menang atau kalah, kalau kau hendak bicara, itulah masih terlalu pagi!" kata Kiam Hoo dengan kejumawaannya tidak berkurang. Malah dia segera lintangi pedangnya didepan dada, dia ambil tempat disebelah kiri, di atas.

"Bwee Soeko, baik kau berdiri disebelah bawah!" Lauw Pwee Seng teriaki soeheng itu. Kiam Hoo tidak gubris itu nasihat, ia seperti tidak mendengarnya. Adalah aturan dari Hoa San Pay, apabila ang- katan muda berlatih pedang dengan angkatan tua, yang muda mesti ambil tempat disebelah bawah. Itu ada tanda bahwa bukan si muda berani terhadap si tua, itu adalah si muda mohon penga- jaran. Tapi Bwee Kiam Hoo, dengan berdiri di kiri, jadi anggap dirinya sepantaran dengan orang yang terlebih tua derajatnya, tingkatannya, terang ia tidak sudi akui Sin Tjie sebagai paman guru. Dengan tangan kiri, dia genggam gagang pedang, sembari rangkap kedua tangan, dia menantang: "Tuan, silakan!"

Sin Tjie tidak puas terhadap sikap lawan ini, akan tetapi ia punyakan kesabaran luar biasa. Ia tidak lantas terima tantangan itu, hanya lebih dahulu ia menoleh kepada Tjiauw Kong

Lee. "Tjiauw Loopeh, tolong kau minta orangmu bawa kemari sepuluh bilah pedang," ia minta. "Ah, Wan Siangkong, jangan panggil loopeh padaku, tak berani aku menerimanya," berkata tuan rumah itu. Selagi orang-tuanya bicara, Tjiauw Wan Djie memberi tanda kepada pihaknya, maka lantas ada beberapa muridnya Kong Lee yang membawa datang sepuluh bilah pedang yang diminta. Malah mengingat orang telah menolong guru mereka, mereka sengaja pilih

pedang yang bagus, yang semua diletaki diatas meja. Semua mata ditujukan kepada Sin Tjie, ingin orang ketahui, pedang yang mana satu yang bakal ia pilih. Akan tetapi, selagi sepuluh pedang sudah siap, dia justru jumput pedang buntung dari Soen Tiong Koen.

"Aku pakai ini pedang buntung saja!" katanya sambil tertawa. Semua orang melongo. Bagaimana pedang buntung dapat dipakai mengadu silat? Sin Tjie jepit pedang buntung itu diantara jempol dan telunjuknya. "Sekarang kau boleh menyerang!" kemudian ia kata kepada Kiam Hoo. Orang she Bwee itu menjadi sangat gusar. "Kau sangat memandang enteng kepadaku, jikalau sebentar kau mampus, jangan kau sesalkan aku!" kata dia dalam hatinya. Ia lantas putar pedangnya, hingga cahayanya berkilauan dan suaranya mengaung. "Awas!" dia berseru. Segera dia tikam bahu kanan Sin Tjie. Dia pikir: "Kau cekal pedang- mu secara begini, tentulah tangan kananmu tak leluasa bergerak! Aku serang bagianmu yang lemah, aku mau lihat, bagaimana kau layani aku...."

Didalam ruangan itu hadir dua ratus orang lebih tapi semuanya bungkam, cuma mata mereka mengawasi kearah medan perang pedang, dari itu, suasana tenang sekali. Serangan Kiam Hoo cepat dan hebat, tatkala ujung pedang hampir sampai pada sasaran dengan tiba-tiba saja Sin Tjie menangkis dengan pedang- nya yang buntung. Kedua pedangnya beradu keras: "Tak! Trang!" Suara nyaring yang belakangan adalah suaranya pedang jatuh kelantai, sebab pedangnya

Kiam Hoo patah dengan mendadak, hingga ia cekal hanya gagangnya pedang! Semua orang tercengang, tak ada yang tahu, ilmu tangkisan apa itu yang membuat

pedang lawan patah secara demikian.

Selagi orang terheran-heran Sin Tjie menunjuk ke meja. "Aku telah minta disiapkan sepuluh bilah pedang, maka pergilah kau lantas menukar pedangmu!" kata ia kepada lawan itu, tenang. Baru sekarang semua hadirin mengerti apa keperluannya persiapan sepuluh bilah pedang itu. Kiam Hoo kaget berbareng gusar sekali. Ia lompat kemeja, untuk sambar sebilah pedang, setelah mana, ia menerjang dengan tiba-tiba. Dengan pedang yang baru, ia membabat kebawah.

Sin Tjie menduga orang cuma gertak ia, ia tidak menangkis atau berkelit sambil melompat. Benar saja, Kiam Hoo tidak terus babat kakinya, hanya setelah ditarik pulang, ujung pedang dipakai menikam perutnya! Dari samping, pemuda ini tangkis serangan hebat itu. "Trang!" kembali suara nyaring. Untuk kedua kalinya, pedang Kiam Hoo kena dibikin kutung. Dalam penasarannya, orang she Bwee ini sambar pedang yang kedua, dengan sama sengitnya, ia ulangi serangannya yang dahsyat. Akan tetapi untuk ketiga kalinya, tetap cuma dengan satu kali tangkisan, lagi-lagi pedang- nya kena dibikin sapat, sehingga ia jadi berdiri tak dapat dia membuka mulut. "Kau bilang ilmu pedang, kenapa kau gunai ilmu siluman?" Soen Tiong Koen menegur. Ia pun tercengang tapi ia lekas ingat pula akan dirinya. "Apakah ini namanya adu silat?" Sin Tjie lempar pedang buntungnya, ia bertindak kemeja, untuk ambil dua batang, satu diantara- nya ia sodorkan pada Kiam Hoo. Ia bersenyum. Ia terus berpaling kepada nona garang itu. "Kecewa kau namakan dirimu kaum Hoa San Pay!" katanya. "Kenapa kau tidak kenal Koen-thian- kang? Kenapa kau sebut-sebut ilmu siluman?" Sedangnya orang berpaling, dengan kecepatan bagai kilat, Bwee Kiam Hoo bokong itu anak muda, justru setelah ujung pedang hampir mengenai bebokong, Baru dia berseru: "Lihat pedang!" Sin Tjie mengegos ke samping.

"Lihat pedang!" dia pun berseru. Kiam Hoo menyerang dengan tipu tikaman "Tjhong-eng-kim-touw" atau "garuda

menyambar kelinci", tapi juga Sin Tjie gunai serupa gerakan, maka itu, lekas- lekas ia egos tubuh seperti si anak muda, ia memikir akan kasi lewat pedang lawan seperti tadi pedangnya dikelit.

Akan tetapi pedangnya Sin Tjie itu, setelah ditusukkan, segera diteruskan, diputar, dan selagi Kiam Hoo berkelit, dia ini merasakan bebokongnya kelanggar suatu apa, sehingga ia kaget sekali, sampai ia keluarkan keringat dingin, buru-buru ia buang tubuhnya kedepan, setelah menubruk tanah, ia lantas mencelat bangun. Diluar sangkaannya, ujung pedang Sin Tjie masih membayangi bebokongnya, sehingga dalam sibuknya, tak sempat ia menangkis. Ia berkelit, ia berkelit pula, tidak urung ujung pedang terus ancam dia, ujung pedang itu seperti tidak mau berpisah darinya! Ujung pedang cuma nempel dengan baju,

maka coba tikaman dilanjuti, habislah selembar jiwanya orang jumawa ini.

Kiam Hoo yang didjuluki "Boe Eng Tjoe" si Bajangan Tak Ada, artinya, ia tidak punyakan bajangan, itu menandakan liehaynya ilmu entengkan tubuh, kegesitannya, akan tetapi sekarang, pedang Sin Tjie justru menjadi bajangannya, tidak heran kalau ia terbenam dalam kaget dan takut. Tujuh atau delapan kali ia berkelit, ia tetap masih belum bisa loloskan diri dari ancaman ujung pedang lawannya itu.

Sin Tjie tampak muka orang pucat dan kepala bermandikan keringat, ia ingat lawan itu adalah soetitnya, keponakan murid, ia anggap tak boleh ia berlaku keterlaluan. Maka ia berhenti membayangi, ia tarik pulang pedangnya.

"Inilah ilmu silat pedang Hoa San Pay, apakah kau belum pernah  mempelajari- nya?" tanyanya. Setelah tidak dibayangi lebih jauh, Bwee Kiam Hoo bisa tenangi diri. Ia tunduk. "Inilah yang dibilang Hoe-koet tjie tjie," jawab ia. Sin Tjie tertawa pula. "Kau benar," ia bilang. "Nama ilmu pedang ini tak sedap dide- ngarnya akan tetapi kefaedahannya besar sekali!"

"Hoe koet tjie tjie" berarti "Lalat ikuti tulang". Dari antara hadirin segera terdengar suara nyaring dari Tjeng Tjeng: "Kau digelarkan Boe Eng Tjoe, hei, kenapa bebokongmu selalu diiringi pedang orang?" demikian suara nona djail itu. "Aku sendiri, aku lebih suka bajangan sendiri yang mengikuti belakangku!" Kiam Hoo mencoba mengatasi diri, ia tidak layani nona itu. Tapi ia tetap masih belum puas. Ia sudah yakin- kan pedangnya belasan tahun, ia heran kenapa ia tak dapat gunai itu seperti biasanya. "Marilah kita adu pedang menurut cara biasa," kata ia pula kemudian. "Kepandaianmu terlalu campur- aduk, aku tidak sanggup melayaninya..."

"Ini adalah pelajaran aseli dari Hoa San Pay, mengapa kau menyebutnya campur aduk?" Sin Tjie tanya. "Baiklah! Kau lihat!" Ia lantas menyerang, lempang didada. Kiam Hoo angkat pedangnya, untuk menangkis, habis mana, niat ia melakukan pembalasan, akan tetapi anak muda itu menekan, ketika ia hendak menarik pulang, ia tidak bisa lakukan itu, sebab entah kenapa, pedangnya bagaikan nempel sama pedang lawannya itu. Sesudah menekan, Sin Tjie lalu memutar pedangnya, sampai dua kali, sama sekali ia tidak kasi ketika untuk orang menarik pulang pedangnya itu, malah tangannya Kiam Hoo terpaksa turut berputar, setelah mana, cuma terasa satu tarikan kaget, pedangnya Boe

Eng Tjoe terlepas dari cekalannya dan terlempar! "Apakah kau masih hendak mencoba pula?" Sin Tjie tanya. Kiam Hoo menjadi nekat, tanpa menjawab, ia sambar sebatang pedang lain dari atas meja, begitu lekas ia berpaling, ia terus menyerang, kearah pundak kiri si anak muda. Ia berlaku cerdik sekarang, ketika Sin Tjie menangkis, dengan cepat ia tarik pulang pedangnya itu. Tak sudi ia membikin pedangnya terlilit pula dan terpental. Sin Tjie juga tidak putar pedangnya seperti tadi, setelah tang- kisannya kosong, ia teruskan pedangnya untuk menikam dada si orang bandel itu!

Inilah serangan hebat, tak dapat tidak, serangan ini mesti ditangkis, sebab untuk berkelit, ia tidak punyakan ketika lagi. Begitulah ia menangkis.

Begitu lekas kedua pedang bentrok, dengan menerbitkan suara nyaring, Kiam Hoo rasai lengannya menggetar dan terputar, menyusul itu, cekalannya terlepas, pedangnya mental ke udara. Ia terkejut, tapi ia masih ingat akan dirinya, masih saja ia penasaran, maka

hendak ia berlompat pula ke meja, untuk sambar sebatang pedang lain. "Apakah kau masih tidak hendak menyerah?" membentak Sin Tjie, yang bisa duga

maksud orang, karena mana, ia balingkan pedangnya dua kali kearah ponakan murid ini, untuk tidak mengasi ketika. Mau atau tidak, Kiam Hoo mesti batalkan maksudnya. Untuk luputkan diri dari ancaman pedang, ia berkelit, tubuhnya dikasi mundur dengan berlenggak. Justru ia lindungi tubuhnya, kakinya kena disambar kaki si anak muda, pelahan saja, tetapi itu cukup buat

menyebabkan dia rubuh terjengkang!

Masih Sin Tjie belum mau berhenti. Sambil maju, ia mengancam dengan ujung pedangnya pada tenggorokannya. "Apa benar kau tak hendak menyerah?" tegaskan dia. Seumurnya, Kiam Hoo belum pernah menampak hinaan semacam ini, bisa dimengerti hebatnya kemendongkolan dan gusarnya, sebab ia tidak sanggup lampiaskan itu, mendadak saja ia pingsan. Soen Tiong Koen saksikan itu kejadian, kapan ia lihat soehengnya rebah celentang tak berkutik, matanya mendelik dan lantas dirapatkan, dia jadi lupa daratan, karena ia menyang- ka, soeheng itu binasa ditangan pemuda ini. Sambil berlompat ia menyerang

dengan tangan kosong, mulutnya berteriak: "Kau bunuh juga aku!"

Sin Tjie juga terkejut melihat orang pingsan. "Jikalau dia binasa, bagaimana aku bisa menemui soehoe dan djie- soeheng?" pikir dia. Lantas ia membungkuk, akan raba dada Kiam Hoo, sehingga ia merasai memukulnya jantung, karena mana, legalah hatinya. Ia lantas tepuk orang punya batang leher dan jalan darah, buat bikin darahnya jalan benar. Ketika itu Soen Tiong Koen sudah sampai dengan lompatannya, ia lantas saja hajar bebokongnya Sin Tjie dengan kepalannya, berulang-ulang, sebab ia sudah kalap. Sin Tjie tidak perdulikan serangan itu, ia antap saja. Tjeng Tjeng dan Lauw Pwee Seng lompat maju, yang pertama berseru, untuk cegah nona

Soen turun tangan lebih jauh, yang belakangan untuk tarik saudara seperguruannya. Soen Tiong Koen jatuhkan dirinya, mendelepok dilantai, ia menangis menggerung-gerung. Tidak antara lama, Kiam Hoo sadar akan diri- nya. "Kau bunuh saja aku!" ia berseru tetapi suaranya lemah. "Soeheng," Pwee Seng kata pada saudara itu, "kita mesti dengar nasihat soesiok, jangan kau turuti adatmu....." Tjeng Tjeng awasi Tiong Koen. "Dia tidak mati, kenapa kau nangis?" katanya sambil tertawa. Gusar Tiong Koen, ia lompat bangun, kepalan- nya menyambar pada nona Hee. Ia ada satu wanita jago dari Hoa San Pay, ia pun sedang murka, tidak heran kalau serangannya itu ada luar biasa cepat.

Tjeng Tjeng tidak menyangka, siasia ia berkelit, pundak kirinya kena terjotos, sehingga ia merasai sakit, karena mana, ia jadi gusar, hendak ia melakukan pembalasan. Tapi Baru ia hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba Tiong Koen menjerit: "Aduh! Aduh!" lalu tubuhnya

nona itu terbungkuk-bungkuk. Ia heran sehingga ia melengak. "Kau yang serang aku, kenapa kau yang kesakitan?" ia tegur. Ia hendak menegur terus tetapi Sin Tjie kedipi matanya, hingga walau- pun ia heran, ia urungi niatnya itu.

Soen Tiong Koen masih menangis, ia usut-usut kedua kepalannya yang merah dan bengkak. Itulah yang membuat ia menjerit dan menangis, sebab tangan itu sakit bukan main. Dalam kalapnya, barusan ia serang Sin Tjie  kalang- kabutan, setiap kali ia memukul,

kepalannya membal balik. Ia tidak perdulikan itu, ia masih tidak merasakan sakit, adalah setelah ia jotos Tjeng Tjeng, Baru ia merasakan sakit, sakit sekali, seperti ditusuk- tusuk jarum. Sekarang pun ia lihat, kedua kepalannya bengkak dan merah, saking menahan sakit, air matanya meleleh terus. Sengaja Sin Tjie mengajar adat, sebab ia gemas sekali terhadap murid dari djie-soehengnya, karena nona ini sangat garang dan telengas, tanpa sebab ia sudah tabas

kutung lengan Lip Djie, dan saban-saban ia perlihatkan kegagahannya. Orang banyak tidak tahu duduknya perkara, maka rata-rata mereka menyangka Tjeng

Tjeng adalah yang liehay sekali. Bukan- kah pemuda ini diajar kenal sebagai puteranya Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie? Apa heran bila orang menyangka dia terlebih liehay daripada Sin Tjie, hingga Soen Tiong Koen yang menyerang, Soen Tiong Koen sendiri yang kesakitan.

Cuma Sip Lek Taysoe, The Kie In dan Ban Hong yang ketahui, nona Soen sudah jadi

korban dari tenaga membal, bahwa untuk tolong si nona, obatnya gampang, ialah

kepalannya mesti diuruti dan jalan darahnya ditotok, nanti sakitnya lenyap, bengkaknya kempes. Tapi mereka tidak berani turun tangan, untuk tolongi si nona, mereka jeri terhadap Sin Tjie, boegee siapa sekarang mereka malui. Akhir-akhirnya Bwe Kiam Hoo berbangkit, ia hadapi Sin Tjie untuk menjura tiga kali. "Wan Soesiok, menyesal aku tidak kenal padamu hingga aku berlaku kurang ajar," katanya. "Aku minta sukalah soesiok tolong Soen Soemoay." Sin Tjie tidak lantas menyahut, ia mengawasi dengan keren.

"Kau insyaf kesalahanmu atau tidak?" tanya dia. Kiam Hoo tidak berani berkeras kepala lagi, ia tunduk. "Tidak selayaknya aku yang muda robek surat- suratnya Tjiauw Toaya," ia akui, "juga tidak seharusnya aku memaksa akan membelai Bin Djieko." "Aku harap selan- jutnya Bwee Toako suka berlaku hati- hati," kata Sin Tjie kemudian, setelah orang mengaku salah. "Aku nanti dengar nasihat soesiok," Kiam Hoo bilang.

"Bin Djieya tidak ketahui duduknya yang benar perihal kandanya, dia hendak menuntut balas, tindakannya itu bukan tidak selayaknya," kata pula Sin Tjie. "Bahwa orang banyak datang untuk mem- bantu dia, itu juga adalah perbuatan yang harus dipuji. Itulah sikap

sewajarnya dari orang-orang kangouw sedjati. Sekarang duduknya perkara telah jadi terang sekali, aku harap supaya semua pihak suka membikin habis salah faham ini, biarlah lawan menjadi kawan. Kau hendak bantu Bin Djieko, aku tidak persalahkan padamu, tetapi kau pun sudah lakukan satu perbuatan yang sangat tidak selayaknya. Aku kuatir, Bwee Toako, kau masih belum meng- insyafinya." Kiam Hoo heran hingga ia tercengang. "Apakah itu, soesiok?" tanyanya, menegasi. "Kita kaum Hoa San Pay mempunyai dua belas pantangan," berkata Sin Tjie. "Apakah bunyinya pantangan yang kelima?"

"Tadi pun soesiok telah tanyakan yang keempat dan ketiga," kata Kiam Hoo. "Yang ketiga itu adalah 'lancang membunuh tanpa sebab-musabab'. Soen soemoay telah langgar pantangan itu, maka baiklah, sebentar dia harus menghaturkan maaf kepada Lo Toako,

kemudian kita nanti membayar kerugian....." "Siapa kesudian uang busukmu?" berseru satu muridnya Tjiauw Kong Lee. "Tangan orang telah ditabas kutung, apakah itu bisa diganti dengan tambalan uang?" Kiam Hoo tahu pihaknya bersalah, terpaksa ia tutup mulut.

Sin Tjie menoleh kearah murid-murid tuan rumah, kepada murid yang barusan bicara, ia kata: "Memang perbuatan soetitku ini sangat semberono, aku menyesal sekali. Tunggulah sampai lukanya Lo Soeko sudah sembuh, nanti aku dayakan terhadapnya supaya ia bisa

gunai sebelah tangannya dengan  sempurna. Itulah ilmu silat bukan kepunyaan Hoa San Pay, dari itu dapat aku menurunkannya tanpa tunggu aku peroleh perkenan lagi dari guruku."

Orang tahu anak muda ini liehay sekali, walaupun dia membilang hendak 'mendayakan', itu berarti memberi pelajaran, maka itu, janji itu diterima dengan girang. Orang pun puas yang anak muda ini suka menanggung dosanya Soen Tiong Koen. "Pantang yang keenam adalah 'Tidak menghormati yang tua'," kata pula Kiam Hoo. "Mengenai ini, teetjoe ketahui kesalahanku. Yang kesebelas jaitu, 'Tidak selidiki duduknya

perkara', dalam hal ini, teetjoe pun mengaku bersalah. Pantangan yang kelima berbunyi 'Bergaul dengan orang jahat', dalam hal ini teetjoe lihat Bin Djieko adalah satu laki-laki...." Umumnya disitu orang tidak tahu hal dua belas pantangan dari Hoa San Pay, Baru

sekarang, mendengar keterangan Bwee Kiam Hoo, orang dengar itu. Bin Tjoe Hoa terkejut, ia berjingkrak. "Apa? Apakah aku orang jahat?" serunya.

"Jangan salah mengerti, Bin Djieya, kami bukan maksudkannya," Sin Tjie terangkan. "Habis, kau maksudkan siapakah?" Tjoe Hoa tegasi. Sin Tjie hendak berikan jawabannya ketika dua muridnya Tjiauw Kong Lee muncul

diantara mereka sambil pepayang Lo Lip Djie, yang tangannya hilang sebelah, yang lukanya masih belum sembuh.

Mereka berdua sengadja lari kedalam, untuk kabarkan soeheng itu yang tetamu pemuda itu hendak tolong padanya. Lip Djie lantas saja menjura kepada Sin Tjie, untuk haturkan terima kasih.

Sin Tjie lekas-lekas balas hormat itu. Ia lihat Lip Djie bermuka pias, akan tetapi sikapnya tetap gagah. Dengan suara jelas, Lip Djie bilang: "Wan Toa-hiap sudah tolong guruku, Toa-hiap juga hendak berikan pelajaran silat padaku, aku sangat berterima kasih."

"Jangan kau ucapkan itu," Sin Tjie merendah. The Kie In menyaksikan itu sambil tertawa, ia kata: "Loa Tjiauw, muridmu ini cerdik sekali! Dia kuatir orang nanti menyesal dan menarik pulang kata-katanya, dia lantas saja mendahului menghaturkan terima kasih!"

Tjiauw Kong Lee tertawa. "Bisa saja, tootjoe, kau bisa saja!" katanya.

Habis menghaturkan terima kasih, Lip Djie undurkan diri pula. Itu waktu Soen Tiong Koen masih terus mengucurkan keringat, ia masih merasakan sakit,

sehingga bibirnya pada matang biru saking ia menahan sakit. Sin Tjie hampirkan dia, karena pemuda ini merasa, orang telah cukup menderita.

"Jangan raba aku!" Tiong Koen berseru. Nyata ia masih gusar, ia belum mau menyerah. "Biar aku mati, tak suka aku ditolong olehmu!" Mukanya Sin Tjie merah, ia jengah. Ia memikir untuk minta Tjeng Tjeng yang menolongi,

untuk itu ia hendak ajarkan caranya kepada kawan ini, akan tetapi si nona dandan sebagai satu pemuda. Tentu saja ini pun sulit. Maka itu, ia menoleh kepada Wan Djie. "Nona Tjiauw!" ia memanggil. Pada saat itu, dua kali terdengar suara pintu digedor, kemudian menyusul suara menjeblak. Nyata kedua daun pintu telah terbuka dengan paksa akibat tendangan. Semua orang terkejut, semua berpaling keluar. Dimulut pintu bertindak masuk dua orang. Orang yang jalan didepan berumur lima puluh lebih, dandannya sebagai orang tani saja. Orang yang kedua seorang perempuan berumur empat puluh lebih, ia dandan sebagai orang tani juga. Dia ini mengempo satu anak kecil. Soen Tiong Koen lantas saja berseru: "Soehoe! Soehoe!" Lantas ia lari kearah dua orang tani itu. Mendengar suaranya Tiong Koen, semua orang lantas ketahui, itulah suami-isteri Tjio-Poan-San-Long Kwie Sin Sie, si suami-isteri orang tani dari Tjio Poan San. Kwie Djie-nio lantas serahkan anak yang diemponya kepada suaminya, dengan muka merah- padam, ia lantas uruti jalan darahnya Soen Tiong Koen. Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng hampirkan guru mereka suami- isteri itu, untuk menjalankan kehormatan. Sin Tjie lihat Kwie Sin Sie beroman sederhana sekali, Kwie jie-nio, si djie-soso, atau ensonya yang kedua itu, wajahnya keren. Ia mengikuti Kiam Hoo dan Pwee Seng, habis mereka berdua, ia pun memberi hormat sambil paykoei.

Kwie Sin Sie kasi bangun pada anak muda ini, ia cuma mengucap "Tak usah", lantas ia bungkam. Kwie Djie-so terus uruti muridnya, sembari berbuat demi- kian, ia berpaling, akan awasi Sin

Tjie, sikapnya sangat tawar. Setelah ditolong gurunya, Tiong Koen merasakan tak terlalu sakit lagi, bengkak dita- ngannya pun mulai kempes. "Soe-bo," katanya, "dia itu mengaku menjadi soesiok, dia telah bikin tanganku jadi begini rupa, malah pedang yang soe-bo kasikan padaku, dia telah bikin patah!"

Terkejut Sin Tjie apabila dengar pengaduan itu. "Inilah hebat!" pikir- nya. "Coba aku tahu pedangnya itu adalah pedang pemberian djie-soeso, biar bagaimana juga, tidak nanti aku bikin patah." Maka lekas-lekas ia memberi hormat pada enso itu dan kata: "Siauwtee tidak mengetahui itu, untuk kelancanganku harap soeheng dan soeso maafkan aku....." Kwie Djie-so tidak sahuti anak muda ini, ia hanya berpa- ling kepada suaminya. "Eh, djieko, katanya soehoe telah terima satu murid yang masiih muda sekali, apakah ini

dianya?" tanya dia. "Kenapa dia begini tidak tahu aturan?"

"Aku belum pernah ketemu dengannya," sahut sang suami, yang berbareng pun menjadi djie soeheng isterinya itu, kanda seperguruan yang kedua. "Orang mesti ketahui, ilmu pelajaran tiada batas habisnya," berkata Kwie Djie-so, seperti pada dirinya sendiri. "Orang pun mesti ingat, diluar langit ada langit lainnya, di atas orang, ada orang lagi! Baru dapat pelajarkan sedikit ilmu, sudah lantas dengan sembarang saja menghina orang lain! Hm! Taruh kata muridku salah, toh ada aku yang nanti menegurnya, tidak usah ada soesioknya yang menggantikan aku me- ngajar adat!" Sin Tjie tahu, kata-kata itu ditujukan kepadanya. "Ya, ya, siauwtee insaf kesemberonoanku," ia akui. "Kau telah patahkan pedangku, apakah dimatamu masih ada orang yang lebih tinggi derajatnya?" tegur Kwie Djie-so. "Taruh kata soehoe sangat sayang padamu, mustahil terhadap soeheng sendiri kau dapat berbuat kurang ajar seperti ini?" Para hadirin jadi merasa tidak enak. Nyonya petani ini makin lama jadi makin sengit. Itulah perbuatan yang keterlaluan, sebab dia belum tahu duduknya hal.

Tapi Sin Tjie lain, ia terus bersikap sabar, ia mengalah saja. Dipihaknya Tjiauw Kong Lee, orang tidak puas dengan sikapnya Kwie Djie-so, adalah Bin Tjoe Hoa, Tong Hian, dan Ban Hong merasa puas sekali. "Soehoe, soebo," kata pula Soen Tiong Koen, "dia ini bilang ada satu Kim Coa Long-koen

yang menjadi tulang punggungnya, begitulah Bwee Soeheng dan Lauw Soeheng dia telah rubuhkan!....." Mendengar perkataan muridnya ini, tak kepalang gusarnya Kwie Djie-so. Kwie Sin Sie dan isterinya ini sedang dalam perjalanan untuk mencari obat guna tolong anak meraka. Anak itu adalah anak satu- satunya, namanya Tjin Tiong, sakitnya berat, maka juga, sebagai ayah dan ibu, mereka berkelana, untuk cari tabib yang pandai, yang sanggup mengobatinya. Menurut beberapa tabib terkenal, yang telah periksa penyakitnya anak itu, sebabnya penyakit adalah luka sejak didalam kandungan, yaitu selagi hamil,

Kwie Djie-so telah bertempur dan hamilannya dapat goncangan hebat, yang berakibat menganggu kesehatannya bayi dalam kandungan. Untuk bisa tolong anak itu, obat yang dibutuhkan adalah cam- puran dari Tay-hok-leng dan Ho-sioe-ouw yang sudah seribu tahun tuanya, kalau tidak, lagi satu atau dua tahun, anak ini bakal jadi demikian kurus-kering dan akhirnya akan mati meroyan. Tentu sekali, karenanya, ayah dan ibu itu menjadi sangat sibuk dan kuatir. Maka mereka coba cari kedua macam obat itu, sampai mereka mohon bantuan sahabat- sahabat dan kenalan dari rimba persi- latan. Tay-hok-leng saja sudah susah dicari, apalagi Ho-sioe-ouw. Kemana kedua obat mesti dicari? Mereka sudah

berkelana lebih daripada satu tahun, masih sia-sia saja usaha mereka. Disebelah itu, mereka dapati anak mereka semakin kurus, semakin kurus, maka bisalah dimengerti kekuatiran mereka. Suami-isteri itu sangat ber- duka. Kwie Sin Sie sendiri masih dapat

tenangkan diri, tapi isterinya sering- sering melepas air mata. Begitulah, dalam usaha mencari obat, mereka menuju ke Lam-khia. Kota ini kota tua dan kota raja, mereka harap didalam kota ini nanti menemui kedua rupa obat yang dibutuhkan itu. Kebetulan sekali,

mereka dengar kabar tiga murid mereka ada di Lam-khia juga, mereka memang tahu ketiga murid itu cerdik, ingin mereka minta bantuan tiga murid itu. Maka itu, langsung mereka menuju ke rumah Tjiauw Kong Lee. Apa mau, disini mereka ketemukan Soen Tiong Koen

dalam keadaan hebat itu. Kwie Djie-soe memang aseran tabiatnya, ia pun lagi bersusah hati karena anaknya itu, tidak heran kalau ia jadi mendongkol dan gusar, hingga ia umbar hawa-amarahnya. Ia pun tidak puas murid-murid itu 'diperhina' soeteenya. Begitulah, ia

cuma dengar saja satu pihak. Ia jadi bertambah gusar mendengar Soen Tiong Koen sebut Sin Tjie ada punya 'tulang punggung'. "Apakah benar Kim Coa si mahluk aneh itu masih hidup?" ia tanya suaminya seraya ia berpaling pada suami itu. "Kabarnya dia sudah menutup mata, akan tetapi siapa pun tidak dapat memastikannya," Kwie Sin Sie jawab. Suami ini masih tetap tenang, ia ada lebih berduka daripada bergusar.

Tjeng Tjeng sudah tidak puas melihat Sin Tjie ditegur pulang-pergi dan diperlakukan sekasar itu, sekarang ia dengar ayahnya dikatakan 'mahluk aneh', tak dapat ia menahan sabar lagi.

"Perempuan jahat, perempuan jahat!" ia berseru. "Kenapa kau sembarang mendam- prat orang?" Tapi juga Kwie Djieso gusar. "Kau siapa?" dia bentak. "Dialah anaknya si Kim Coa mahluk aneh itu!" Soen Tiong Koen kasih tahu guru perem- puannya. Sebelah tangannya Kwie Djie-so tiba-tiba berkelebat, lalu satu sinar menyambar, ke arah nona Hee. Sin Tjie terperanjat, hendak dia mencegah, tapi serangannya enso itu hebat sekali, tak

keburu dia berbuat apa-apa. Tjeng Tjeng menjerit, karena pundak kirinya kena terserang, walau ia mencoba untuk ber- kelit. Dalam kagetnya, Sin Tjie lompat pada kawannya untuk cekal bahu tangan- nya. Ia lihat sebatang paku shong-boen- teng nancap di pundak. Tjeng Tjeng kesakitan akan tetapi ia gusar, tak perduli mukanya pias. "Jangan bergerak!" Sin Tjie peringati. Dengan dua jari tangan telunjuk dan tengah, anak muda ini pegang ujung paku, ia

mencabut dengan pelahan tetapi tetap, setelah kira tiga-empat bagian dan dapatkan paku itu tidak bercagak, dengan mendadak ia kerahkan tenaganya, untuk mencabut terus dengan tiba-tiba, maka dilain saat, paku itu telah tercabut dan jatuh ke lantai dengan

berbunyi nyaring. Wan Djie telah menghampirkan mereka, segera ia berikan bantuannya. Ia telah lantas siapkan dua potong saputangan yang bersih dengan apa Sin Tjie susuti lukanya Tjeng

Tjeng, yang ia terus balut. "Dengar aku, adik Tjeng," Sin Tji berbisik. "Jangan layani dia."

"Kenapa?" tanya si nona dengan murka.

"Kita mesti hormati soehengku, tak dapat aku turun tangan," Sin Tjie kasi mengerti, sikapnya sungguh-sungguh.

Tjeng Tjeng manggut dengan lesu, karena ia mesti tindas penasarannya. Lega hati Sin Tjie, sebab ia tahu, kawan itu aseran dan kukuh, tapi sekarang, walau- pun dia dilukai dan dibikin marah, masih dia suka dengar nasihatnya. Ia girang sang kawan jadi lunak, ia bersenyum. Kwie Djie-nio tunggu sampai Sin Tjie sudah membalut selesai, sambil tertawa dingin, ia kata: "Namanya Kim Coa Long-koen nama kosong belaka! Jikalau dia benar liehay, kenapa pute- ranya tak dapat kelit pakuku yang aku sengaja gunai untuk mencobanya?" Sin Tjie berdiam, didalam hatinya ia kata: "Djie-soeso terbenam dalam salah faham hebat, apabila aku bantah dia, itu melulu akan menambah kemurkaannya."

Melihat orang berdiam, nyonya Sin Sie kata pula: "Disini ada terlalu banyak orang, tak dapat kami omong banyak tentang Hoa San Pay kita, maka itu besok malam, jam tiga, kami suami- isteri berdua suka menantikan kau disamping panggung Ie Hoa Tay dibukit Tjie Kim San. Kami undang kau, tuan Wan, untuk kitaorang mencoba-coba, untuk buktikan kau benar atau bukan soeteeku." Biarnya njonya ini meng- ucapkan demikian, semua hadirin tahu itulah tantangan belaka, maka juga Tjiauw Kong Lee jadi sibuk sekali, ia berkuatir. "Kwie-sie suami-isteri telah kenamaan sekali di Kanglam, terutama nama besar dari Sin-koen Boe-tek telah membuat aku sangat kagum," berkata dia, "maka itu, djiewie, bukan main girangku atas kedatangan djiewie kemari. Sebe- narnya, mengundang pun tak dapat aku lakukannya."

"Hm!" Kwie Djie-so perdengarkan suara dihidung. Kwie Sin Sie berdiam, ia masih empo anaknya, ia merasa tak enak sendirinya. "Saudara Wan ini," berkata pula Tjiauw Kong Lee, "dia ketahui aku  menghadapi kesulitan, dengan kebaikan hatinya, dia datang untuk mendamaikan. Mengenai ini, Bwee Toako, Lauw Toako dan Soen Toa-tjia bertiga telah mengetahuinya dengan jelas. Biarlah besok malam, sebagai tuan rumah, aku undang Kwie-sie berdua hadirkan perjamukanku, sekalian aku hendak memberi selamat yang sam-wie tiga saudara telah bertemu satu dengan lain....." Kwie Djie-so tidak tunggu tuan rumah bicara habis, dia berpaling kepada Sin Tjie dan tanya dengan getas: "Bagaimana? Kau pergi atau tidak?"

"Soeheng dan soeso tinggal dimana?" tanya Sin Tjie tanpa perdulikan tantangan orang. "Besok pagi aku nanti datang kepada soeheng dan soeso untuk menerima nasihat, bagaimana juga soeheng dan soeso menegur aku, tidak nanti aku berani untuk egoskan diri."

"Hm!" terdengar pula sang enso kedua. "Siapa ketahui kau tulen atau palsu? Jangan kau panggil soeheng atau soeso dulu kepada kami! Tunggu sampai besok, setelah kita mencoba-coba, Baru kita bicara pula! Tiong Koen, mari kita pergi!" Guru perempuan ini tarik tangan muridnya, untuk diajak berlalu. Selama itu Tiang pek Sam Eng, yaitu tiga jago dari Tiang Pek San - Soe Peng Kong, Soe

Peng Boen dan Lie Kong - goncang hati- nya. Diluar dugaan mereka, Sin Tjie muncul untuk menyulitkan mereka. Mereka insyaf bahwa rahasia mereka sudah bocor, sehingga mereka jadi berkuatir sekali. Sekarang mereka bisa duga  pasti, Sin Tjie adalah orang yang tadi

malam satroni mereka dan rampas surat- surat mereka, hingga mereka kuatir Sin Tjie nanti buka rahasia mereka dimuka umum itu. Maka itu mereka girang dengan munculnya Kwie Sin Sie suami-isteri, karena rewelnya nyonya yang aseran ini membuat Sin Tjie jadi "jinak". Mereka harap-harap nyonya itu membuat onar, supaya bisa datang ketikanya yang baik untuk mereka mencari keuntungan karena- nya. Tapi mereka kecele apabila mereka dengar, nyonya Kwie cuma tantang Sin Tjie akan bertanding di Tjie Kim San besok malam. Itulah berarti, mereka terancam bahaya pula, dari itu, setelah satu sama lain kedipi mata, ketiganya bertindak, untuk ngeloyor pergi dengan diam-diam dengan dului nyonya Kwie,

selagi dia ini Baru memutar tubuh. "Hei, tunggu dulu!" berseru Sin Tjie, yang lihat gerakan orang itu. Sebab walaupun ia sibuk menghadapi si enso kedua, ia tidak pernah alpa memasang mata kepada tiga jago Tiang Pek San itu. Pun, sambil berseru, dia berlompat maju, akan halangi mereka bertiga.

Kwie Djie-nio menjadi gusar, ia menyangka soetee ini hendak rintangi dia. "Anak kurang ajar! Kau berani pegat aku?" Dia membentak seraya sebelah tangannya dikasih melayang, untuk hajar kepala pemuda kita. Sin Tjie berkelit, hingga tangannya enso itu lewat diatasan pundaknya, hingga ia kena keserempet sedikit, hingga ia merasakan pedas sekali. Karena ini, ia jadi insyaf liehaynya enso ini. Memang Kwie Djie-nio belum pernah kasih lewat ketika yang senggang untuk tidak berlatih, untuk itu, ia bisa senantiasa berlatih dengan suaminya, hingga kepandaian mereka berdua tidak pernah mundur hanya malah maju terus. Akan tetapi sekarang, melihat si anak muda luput dari serangan, enso yang kedua ini jadi naik darah. Sudah belasan tahun, belum pernah ia menemui orang yang bisa lolos dari serangannya ini.

Maka tidak tempo lagi, ia ulangi serangannya dengan babat pinggang si anak muda dengan telapakan tangannya yang dikasih miring. Sin Tjie mengerti selatan, ia mendahului lompat, melewati meja, dengan begitu, tak bisa si enso itu susul ia. Sedang si enso sendiri, entah bagaimana, kembali tarik tangannya Soen Tiong Koen, untuk diajak pergi, dengan begitu suaminya, berikut Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng, lantas ikut mereka berlalu dari rumah Tjiauw Kong Lee. Tiang Pek Sam Eng lihat ketikanya, kembali mereka pergi keluar, sekali ini bukan dengan

bertindak saja hanya sambil berlari.

"Hei, tahan!" Sin Tjie berteriak pula dengan cegahannya, terus ia berlompat, mencelat bagaikan burung terbang, hingga ia dapat jambak Lie Kong, yang kabur paling belakang. Tidak ampun lagi, ia totok jago Tiang Pek San ini, tubuh siapa terus ia lemparkan ke lantai. Dua saudara Soe berlaku licik, mereka kabur terus, hingga mereka lenyap ditempat gelap. Karena itu malam, cuaca gelap sekali. Sin Tjie juga tidak mengubar terus. Ia pikir, ia sudah bekuk satu orang, orang ini pun bisa diminta keterangannya. Selagi ia memutar tubuh, untuk kembali ke dalam, tiba-tiba ia dengar suara nyaring dibelakangnya, suaranya orang tua: "Hai sahabat kecil, Baru sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu, kepandaianmu telah

maju begini bagus!" Sin Tjie goncang hatinya apabila ia dengar suara itu, yang ia kenali, sehingga dengan cepat sekali, ia berpaling, untuk melihat. Itu waktu, ia sudah berjalan melewati pintu. Bertindak dipintu ada dua orang, sebelah tangannya masing-masing mengempit Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen, kedua jago Tiang Pek San yang Baru saja lolos. Melihat tegas romannya orang yang jalan dimuka, bukan buatan girangnya anak muda ini. Sebab orang

itu adalah seorang tua dengan alis dan kumis-jenggot sudah ubanan dan dibelakangnya menggemblok selembar papan pesegi warna hitam! Sebab orang itu adalah yang pernah berikan ia pelajaran entengkan tubuh dan senjata rahasia, ialah Bhok Siang Toodjin. Benar dia bukannya gurunya yang resmi, toh Sin Tjie ingat budinya yang besar, hingga ia pandang orang tua ini bagai- kan guru sejati. Dengan kegirangan ia lompat menghampirkan orang tua itu didepan siapa segera ia jatuhkan diri untuk berlutut, untuk manggut-manggut.

Bhok Siang Toodjin tertawa bergelak- gelak. "Bangun, bangun!" katanya dengan ramah-tamah. "Kau lihat, siapa dia ini!" Dan ia berpaling, akan tunjuk orang yang kedua, yang datang bersama ia, siapa sekarang sudah berada disampingnya. Sin Tjie awasi seorang usia pertengahan, yang rambutnya sudah mulai bersemu, yang wajahnya menyatakan dia kenyang berkelana. Kembali ia jadi sangat girang, karena ia kenali gurunya dimasa ia masih kecil sekali, orang yang pernah secara mati-matian tolong

jiwanya, ialah Tjoei Tjioe San. Bhok Siang Toodjin sudah lanjut usianya, selama belasan tahun tampangnya tidak

berubah, tidak demikian dengan Tjoei Tjioe San, yang didalam tangsi tentera Giam Ong sudah keluarkan banyak tenaga.

Dalam girangnya, Sin Tjie tubruk guru ini, yang ia rangkul lehernya. "Tjoei Siokhoe, kiranya kau!" ia berseru berulang-ulang. Kemudian tanpa merasa, air matanya mengalir turun. Dengan mata berlinangan, Tjioe San pun sangat terharu dengan pertemuannya dengan

bocah itu. Mungkin guru dan murid masih sibuk sendirinya kalau tidak mendadak terdengar suara Bin Tjoe Hoa, siapa sejak tadi tercengang karena sepak- terjangnya Sin Tjie. "Hai!" serunya. "Kedua Soe Toako dan Lie Toako ini ada orang-orang undanganku, kenapa kamu tawan mereka? Kenapa?" Sin Tjie tidak lantas jawab teguran itu, dia hanya menunjuk pada gurunya tak resmi,

'sahabatnya' main catur, dia kata: "Inilah Bhok Siang Toodjin, salah satu guruku!" Kemudian ia menoleh, akan tunjuk Tjioe San, akan perkenalkan pula: "Dan ini aku punya Tjoei Siokhoe yang kesohor untuk ilmu silat Hok-houw-tjiangnya! Ini ada guruku ketika untuk pertama kali aku belajar silat!" Tidak tanggung-tanggung pemuda ini perkenalkan gurunya itu. Diantara para hadirin yang tertua tidak ada yang tidak pernah dengar nama Bhok Siang

Toodjin, cuma imam ini tak ketentuan tempat berkelananya, gerak-geriknya bagaikan iblis saja, karena mana, orang juluki dia "Kwie Eng Tjoe", si Bajangan Iblis. Kira-kira delapan bagian dari hadirin yang tertua itu pernah lihat atau bertemu sama imam itu. Begitulah Sip Lek Taysoe serta Thio Sim It dari Koen Loen Pay kenal ini imam, malah mereka masih terhitung pihak angkatan muda, maka keduanya lantas saja meng- hampirkan untuk memberi hormat.

Semua hadirin lainnya tercengang melihat pendeta dari Siauw Lim Sie itu dan jago dari Koen Loen Pay menghormati itu imam, maka dengan sendirinya, mereka juga tidak berani memandang enteng, semua turut memberi hormat.

Bhok Siang Toodjin angkat tangan kepada semua orang. "Gawenya pinto ini," katanya, "kecuali gegares nasi adalah main tiokie melulu, lainnya urusan, apapula yang menyulitkan, tak pernah pinto pusingi. Tapi sekali ini, hal adalah lain. Baru pada bulan yang lalu, pinto dengar selentingan halnya orang bangsa kita, yang sudah bersekongkol sama bangsa asing, dan orang itu katanya sudah datang ke kota Lamkhia ini untuk beraksi, melakukan usaha besar untuk menjual Negara! Pasti sekali, mengenai urusan ini, pinto tak dapat menonton saja dari samping. Maka itu,lantas pinto menyusul kemari....."

"Siapakah pengkhianat itu?" tanya Bin Tjoe Hoa. "Mustahil mereka ada Tiang Pek Sam Eng?"

"Tidak salah!" jawab Bhok Siang Toodjin. "Benar ini tiga enghiong dan hookiat yang namanya sangat kenamaan!"

"Ketiga tuan ini ada sahabat kekalku, kenapa mereka bisa lakukan perbuatan tidak tahu malu itu?" tanya pula Bin Tjoe Hoa. "Janganlah kau semprot orang dengan darah!" Bhok Siang bersikap tenang ketika ia menjawab pula:

"Pintoo adalah orang yang biasa berbuat murah hati, karena dengan mereka ini belum pernah pinto bertemu, diantara kita tidak ada dendaman atau permusuhan maka kenapa pinto mesti fitnah mereka? Tapi selagi pinto berada di Kwan Gwa, dengan mataku sendiri pinto lihat mereka kasak-kusuk dengan orang Boan-tjioe, dari itu, disepanjang jalan terus pinto ikuti mereka."

"Bukti apakah kau ada punya?" tanya pula Bin Tjoe Hoa. Ia malu apabila sampai orang fitnah tiga sahabatnya itu. Bhok Siang Toodjin tertawa berkakakan. "Bukti?" tanyanya. "Buat apakah masih belum cukup?"

"Siapa yang dapat percaya itu?" baliki Bin Tjoe Hoa. Dia tetap masih penasa- ran. Tidak senang Bhok Siang Toodjin terhadap sikap kasar itu, ia gusar.

"Walaupun Oey Bok Toodjin, gurumu, dia tidak berani mengucap sepatah kata

didepanku!" dia menegur. "Kau bocah, kau punya nyali besar berani tidak mempercayai pinto?"

"Mendengar ini, sebagian orang kurang puas, karena mereka anggap, mentang- mentang orang tua dan kesohor, imam ini hendak berlaku demikian getas. Itulah, mereka pikir, ada sikap sewenang- wenang. Bhok Siang mendongkol, hingga ia urut-urut kumisnya. Sin Tjie tidak mau lihat gurunya itu menjadi kalap, lekas-lekas ia keluarkan dua lembar

surat dari sakunya, ia lantas tunjuki itu pada Bin Tjoe Hoa. "Bin Djie-ya, tolong kau bacakan ini untuk semua hadirin mendengarnya!" kata dia. Bin Tjoe Hoa sambuti dua lembar surat itu, Baru ia baca beberapa baris, sudah ia lompat berjingkrak bahna kaget, tapi ia teruskan membaca dengan suara nyaring.

Itulah suratnya Kioe-ong-ya To Djie Koen dari Manchuria yang ditulis untuk Tiang Pek Sam Eng, buat suruh dan anjurkan tiga jago dari Tiang Pek Sam Eng itu rampas dan kangkangi partai- partai di Kanglam, buat mengadu- dombakan pelbagai jago Rimba Persi- latan, supaya diaorang ini saling bunuh, supaya berbareng mereka memelihara tenaga, guna nanti menyambut penyerbuannya tentara Boan terhadap Tionggoan. Surat itu dibubuhi capnya pangeran Boan itu serta tanda tangan huruf Boan juga. Bin Tjoe Hoa belum habis membaca, para hadirin sudah gempar saking murkanya mereka.

Tjit-tjap-djie-to Tootjoe The Kie In lompat kepada Lie Kong, untuk totok sadar orang tawanannya Sin Tjie.

"Kau mempunyai kejahatan apa lagi? Lekas aku!" ia bentak. Lie Kong melongo, tak dapat ia buka mulutnya.

Dalam sengitnya, The Kie In hajar pulang pergi kedua kuping orang, hingga jago Tiang Pek San ini merah dan bengap juga kedua belah pipinya. Sin Tjie gunai ketikanya itu akan tuturkan bagaimana ia dapatkan surat rahasia itu. Lie Kong tahu dia tidak bisa diam lebih lama, tapi dia berkukuh kepada cita-citanya, maka juga dengan berani, dengan nyaring, ia kata: "Tidak lama lagi angkatan perang Boantjioe bakal datang menyerbu, maka juga wilayah Tionggoan ini bakal segera menjadi negaranya bangsa Boan! Jikalau kamu semua menakluk dari sekarang, kamu bakal menjadi menteri-menteri berjasa yang membangunkan Negara! Jikalau...."

Kata-kata ini tidak habis diucapkan, karena kepalannya The Kie In sudah mampir didadanya Lie Kong, hingga dia rubuh dengan tak sadar akan dirinya.

Dua saudara Soe dengar perkataan Lie Kong, mereka saksikan kejadian itu, akan tetapi mereka sedang dalam totokan, tak dapat mereka membuka mulut atau bergerak. Mereka insyaf bahaya yang mengancam diri mereka, hingga mereka jadi putus asa. "Tootiang," berkata The Kie In, "Kejahatan pengkhianat-pengkhianat ini sudah terang, buat apa kasih mereka hidup lebih lama pula? Baik bikin habis saja pada mereka!"

"Biar mereka tinggal hidup, pinto masih membutuhkannya," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Sekarang sudah tidak siang lagi, lain hari saja pinto nanti undang tuan-tuan untuk kita berunding. Haruslah diketahui, pengkhianat ini mestinya mempunyai konco!" Perkataan imam ini dianggap benar, maka orang suka mendengarnya. Sampai disitu, orang lantas bubaran. Bin Tjoe Hoa menyesal bukan main, karena sekarang mengertilah ia duduknya perkara semua. Ia mengha- turkan maaf dengan sungguh-sungguh kepada Tjiauw Kong Lee, ia juga mengha- turkan terima kasih kepada Sin Tjie. Ia inysaf bencananya apabila ia kerembet-

rembet Tiang Pek Sam Eng itu. "Coba tidak Wan Siangkong yang datang men- damaikan, pastilah dosaku ada dosa tak

berampun," ia mengaku. Sin Tjie hibur- kan orang she Bin ini. Begitu lekas orang sudah bubaran, Bhok Siang Toodjin kasih turun papan hitam dibelakangnya, ia juga keluarkan biji-biji caturnya.

"Selama beberapa tahun ini senantiasa aku ingat kau," katanya pada Sin Tjie, "tidak lain kehendakku adalah supaya kau bisa temani aku main catur!" Sin Tjie bersenyum. Ia lihat gurunya itu demikian gembira, tidak mau ia menam- pik, maka begitu lekas guru itu telah ambil tempat duduk, ia duduk didepan- nya. Bhok Siang Toodjin kata pada semua orang lainnya: "Silahkan kamu semua beristirahat!" Tjiauw Kong Lee lantas ajak Tjoei Tjioe San masuk kedalam, untuk diantar kekamar yang disiapkan.

Tjeng Tjeng tidak mau undurkan diri, ia mau nonton orang main catur, maka ia tempatkan diri disamping guru dan murid itu. Wan Djie sendiri lantas repot menyuguhkan arak dan sayurannya serta bebuahan juga. Kong Lee pun pergi tidur.

Bab 13

Tjeng Tjeng tidak bisa main tiokie, setelah menonton sekian lama, ia jadi kehilangan kegembiraannya, sedang waktu itu, ia masih menderita dari lukanya, dari lesu, ia jadi ngantuk, akhirnya ia taruh kepalanya diatas meja dan pulas sendirinya. "Nona Tjiauw, pergi kau pepayang ia untuk ia tidur dikamarmu," kata Bhok Siang Toodjin pada Tjiauw Wan Djie. Mukanya Nona Tjiauw menjadi merah dengan tiba-tiba, ia berpura-pura tak dengar imam itu. Didalam hatinya, dia kata: "Kenapa tootiang ini jadi seperti orang tidak keruan omongannya?"

Bhok Siang lihat sikap orang, ia tertawa berkakakan. "Dia pun satu nona, kau malu apa?" kata dia pula. "Bagaimana, Wan Siangkong?" akhirnya Wan Djie tanya si anak muda. Sin Tjie pun tertawa, tapi ia lekas menyahuti: "Benar, dia pun satu nona. Tidak leluasa untuk ia berkelana, dari itu ia menyamar." Wan Djie percaya anak muda itu, ia tertawa, lantas ia pegangi Tjeng Tjeng, untuk diangkat bangun, buat dipepayang kedalam kamarnya.

Nona Hee mendusin. "Aku tidak ngantuk, aku masih hendak menonton," katanya. Tapi ia tidak buka matanya, ia meram terus, tandanya ia masih ngantuk.

Wan Djie terlebih muda, akan tetapi ia biasa ikuti ayahnya, ia sudah berpenga- laman. "Baik encie beristirahat dulu, sebentar nonton lagi," ia membujuk. Ia pepayang terus tetamu itu, sampai didalam kamarnya, ia buka kopiahnya Tjeng Tjeng, maka ia lihat rambut

yang panjang dan hitam mengkilap, ditengahnya ditancapi dua potong tusuk konde. Sin Tjie layani gurunya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dua kali dia jalan keliru. Ia ingat tantangannya Kwie Djie-so untuk besok malam, pikir- annya jadi tidak tenteram. Bagaimana ia harus layani enso yang aseran itu? Ia mencoba akan tenangkan diri. Tiba-

tiba ia ingat suatu apa. "Tootiang, cara bagaimana kau ketahui dia seorang wanita?" Tanya dia akhirnya. Bhok Siang Toodjin tertawa. "Bersama-sama dengan Siokhoemu itu, pada lima hari yang sudah telah aku bertemu denganmu," menyahut guru ini. "Aku ingin ketahui kemajuan boegeemu dan tingkah-lakumu juga, dari itu sengaja aku tidak mau lantas perlihatkan diri. - Kau hati- hati, aku hendak makan bijimu ini....." Ia lantas jalankan sebuah bijinya. Lalu ia menambahkan: "Kepandaianmu telah jadi apa yang dibilang, hijau itu asalnya dari biru, akan tetapi mungkin kau belum bisa lombai gurumu, hanya aku si imam tua, aku bukanlah tandinganmu."

Sin Tjie lekas berbangkit dengan sikap- nya yang sangat menghormat. "Tapi semua itu berkat pengajaran soehoe dan tootiang," kata ia. "Selama beberapa hari ini, umpama tootiang mempunyai waktu yang luang, teetjoe harap tootiang sudi ajari pula aku beberapa rupa ilmu pukulan lainnya." Imam itu tertawa. "Sampai sebegitu jauh, selama kau temani aku main tiokie, belum pernah tempo itu dilewatkan dengan cuma-cuma," kata dia. "Habis apa lagi aku mesti ajari kau? Kepandaianmu sudah menyusuli kebisaanku. Justeru kaulah yang mesti ajarkan beberapa jurus kepadaku! - Ha-ha bentengmu kena aku serbu!" Imam ini girang sekali.

"Kepandaian yang tinggi memang sukar didapatkannya," berkata ia pula. "Akan tetapi dalam halnya kau, sifatmu baik sekali, itulah terlebih sukar untuk didapatinya. Kau masih muda sekali akan tetapi hatimu lurus, terhadap kawan wanita, kau berlaku tepat dan hormat, atas itu aku dan Tjoe Siokhoemu sangat kagumi kepadamu!" Sin Tjie jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah, ia rasakan panas. Apakah tak mungkin, imam ini telah lihat bagaimana ia bergaul rapat sekali dengan Tjeng Tjeng? Ia malu sendirinya, kenapa imam itu bisa intip ia tanpa ia dapat ketahui. Itu menyatakan ilmu entengkan tubuh dari ini guru tak resmi sangat tinggi. Ketika itu keduanya berhenti bicara, ruangan jadi sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara perlahan di luar ruangan. Sin Tjie tahu sedikitnya datang tiga orang entah siapa, akan

tetapi karena Bhok Siang Toodjin diam saja, ia pun tidak ambil sesuatu tindakan, ia melanjuti jalankan biji- biji caturnya seperti si imam sendiri.

"Sepak-terjangnya Djiesoesomu barusan aku telah dapat lihat," berkata Bhok Siang kemudian. "Kau jangan kuatir, besok aku nanti bantu kau untuk meng- hadapi dia."

"Justeru tak ingin teetjoe turun tangan terhadapnya," Sin Tjie kata. "Paling baik apabila tootiang bisa damaikan kita."

"Kau takut apa?" Bhok Siang bilang. "Kau lawan, kau hajar padanya! Umpama gurumu tegur padamu, katakan saja, aku yang anjurkan kau hajar padanya!"

Menyusul kata-katanya si imam, dari atas genteng loncat turun empat orang pula yang dibarengi dengan empat buah piauw menyambar ke arah Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie berdua. Imam itu geraki kedua tangannya kebelakang, dengan gapah ia tanggapi empat batang

senjata rahasia itu, lalu dengan tidak dilihat lagi, ia letaki itu diatas meja. Tujuh orang diluar itu menjadi gusar, dengan berbareng mereka singkap sero untuk lompat masuk kedalam ruangan. Mereka semua menyekal senjata, agaknya mereka berniat menyerang. "Bisa apa tidak kau makan ini tujuh biji semuanya?" si imam tanya kawan main catur itu. "Teetjoe akan coba-coba," sahut Sin Tjie yang mengerti masuk perkataan itu. Sementara itu, dua dari tujuh orang tidak dikenal itu hampirkan Tiang Pek Sam Eng, untuk kasi bangun pada mereka itu, dan lima yang lain maju terus kepada dua orang yang asik

main catur itu, untuk serang mereka ini dengan golok dan pedang. Sebat luar biasa, Sin Tjie raup biji catur, terus ia menyambit kebelakang, hingga sambaran anginnya terdengar nyata, menyusul mana tujuh orang itu menda- dakan rubuh terjungkal, senjata mereka terlepas dan jatuh kelantai dengan terbitkan suara nyaring dan berisik.

Wan Djie Baru selesai urus Tjeng Tjeng, ia dengar suara berisik itu, ia kaget, ia lari keluar, maka ia saksikan Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie sedang asik lanjutkan permainannya, akan tetapi didalam thia itu, tujuh orang lain lagi meringkuk. Ia segera mengerti duduknya

hal, tapi ia tidak mau ganggu dua orang itu, maka ia tepuk kedua tangannya tiga kali, atas mana muncullah enam  orang- nya. Dengan suara perlahan, ia suruh mereka ambil tambang, akan ringkus tujuh orang itu berikut Tiang Pek Sam Eng juga. Selang setengah jam kemudian, Barulah dua orang itu akhirkan pertempuran mereka diatas papan catur, kesudahannya Sin Tjie kalah tiga kali.

Bukan main girangnya si imam. "Dalam beberapa tahun ini, ilmu silat caturmu mundur, tak ada kemajuannya!" katanya.

"Dasar tipu-tipu tootiang yang liehay dan teetjoe tidak sanggup melawannya," Sin Tjie aku. Bhok Siang lantas menoleh kepada Wan Djie. "Nona, coba tolong geledah mereka!" ia minta. Wan Djie menurut, akan tetapi ia tidak turun tangan sendiri, ia suruh orang-orangnya yang bekerja. Sebagai kesudahan dari penggeledahan itu, kecuali  senjata- senjata rahasia, diketemukan beberapa lembar surat serta beberapa buku kecil yang memuat pelbagai tanda rahasia.

Salah satu surat itu adalah suratnya si pangeran Boan, Kioe-ong-ya To Djie Koen, untuk Soelee Thaykam Tjo Hoa Soen di kota raja. Kepada thaykam ini, thaykam, telah diberitahukan, oleh karena penjagaan di Sanhaykwan keras sekali, utusannya ini sampai mesti jalan mutar, dengan jalan laut. Kioe- ong-ya pesan, segala urusan besar, boleh didamaikan dengan pembawa surat- nya itu, bernama Ang Seng Hay. Bhok Siang gusar apabila ia ketahui siapa mereka itu. "Semakin lama kawanan dorna ini jadi makin bernyali besar!" katanya dengan sengit. "Hm! Di hadapanku mereka berani mencoba merampas orang!" Masih imam ini sengit, hingga ia dupak  kepalanya satu orang tangkapan, hingga tidak ampun lagi, kepala itu pecah, polonya berantakan. Masih Bhok Siang hendak menendang pula tapi Sin Tjie mencegah. "Sabar, tootiang. Mungkin mereka itu ada faedahnya untuk kita. Nanti teetjoe periksa mereka."

Bhok Siang demikian mendongkol, hingga ia hendak robek-robek surat itu. "Jangan, tootiang," Sin Tjie mencegah pula. "Baik aku suka dengar kau," kata si imam kemudian. "Tapi ingat, besok kau mesti layani aku main lagi sampai tiga babakan!"

"Asal tootiang mempunyai kegembiraan, sampai sepuluh babak pun boleh," jawab Sin Tjie. Ia sukai imam ini tak perduli tabeatnya aneh. Sampai disitu, Wan Djie undang imam itu pergi beristirahat, untuk mana, satu bujang layani dia.

Sin Tjie perhatikan surat-surat dan buku itu, mendadakan ia dapat pikiran.

"Sakit hatinya ayahku belum terbalas, surat-surat ini seumpama hadiah Thian kepadaku," demikian ia pikir. "Baik aku nelusup masuk kedalam istana raja, untuk wujudkan pembalasanku."

Tidak ayal lagi, ia totok sadar satu orang. "Katakan padaku, yang mana diantara kamu yang bernama Ang Seng Hay?" Tanya dia. Orang itu menunjuk salah satu kawannya, yang berumur tiga-puluh lebih, yang romannya

cakap. Sin Tjie lantas totok sadar orang she Ang itu. "Kau beri keterangan padaku," ia kata. Ang Seng Hay berkepala batu, ia tidak suka bicara.

Anggap orang tak suka bicara karena mereka bicara didepan satu kawannya, Sin Tjie perintah orang angkat Seng Hay untuk dibawa kekamar tulis. "Kau adalah utusan Kioe-ong-ya, kau mestinya satu laki-laki sejati," kata dia. "Aku hendak minta keterangan dari kau, maka aku Tanya satu, kau mesti jawab satu. Jikalau kau tetap tidak hendak bicara, aku nanti tahan terus padamu sampai beberapa hari, supaya kau nanti mati secara perlahan-lahan!" Ang Seng Hay murka. "Imammu itu gunai ilmu siluman, walaupun binasa, aku tidak puas!" kata dia. "Rupanya kau anggap boegeemu liehay," Sin Tjie bilang. "Kau dengar aku! Kau orang Han, kau kesudian menjadi kacung Boan, itu artinya dosa untuk mana pantas kau mendapat hukuman, bagianmu adalah kematian. Kau tidak puas, baik, mari, aku nanti layani kau pieboe! Tapi ingat, satu kali kau kalah, kau mesti jawab aku dengan sebenar-benarnya, jangan ada yang kau sembunyikan! Akur?" Sin Tjie hendak uji kepandaiannya, ia harap nanti ia bisa pakai tenaganya orang ini. Ang Seng Hay girang dengan tawaran itu. Didalam hatinya, ia pun berkata: "Entah kenapa

tadi, tahu-tahu aku merasai jalan darahku tertotok, lantas aku rubuh. Mungkin itu karena si imam telah gunai ilmu gaibnya. Sekarang si imam tidak ada, anak muda ini mana dapat menjadi tandinganku? Baik aku terima tantangannya!" Lantas saja ia menjawab: "Baik! Asal kau sanggup kalahkan aku, apa juga yang kau tanyakan, aku nanti jawab!" Tanpa sangsi lagi, Sin Tjie hampirkan orang tawanannya itu, untuk bukakan tambang belengguannya. Ia membuka dengan jalan putuskan tambang itu, agaknya ia cuma pakai tenaga sedikit sekali. Seng Hay heran, hingga ia terperanjat. Ketika tadi ia Baru diikat, ia telah mencoba kerahkan tenaganya, untuk berontak, buat loloskan diri dari belengguan dengan jalan amuk putus tambang itu, tetapi ia tidak berhasil, bukan saja tambang tidak putus malah ia merasa, ikatannya jadi semakin keras, siapa tahu sekarang, secara sembarangan saja,

anak muda ini dapat bikin putus tambang itu. Tanpa merasa, ia jadi jeri sendirinya. "Kau hendak pieboe cara apa?" bertanya dia. "Mari kita pergi keluar. Kau hendak gunai senjata tajam atau kepalan saja?" Sin Tjie tertawa.

"Aku timpuk kau dengan biji catur, kau sangka si imam gunai ilmu gaib!" katanya. "Melihat caranya kau lompat masuk kedalam thia tadi, kau mungkin satu ahli lweekee." Kembali Seng Hay heran. Ia ingat, ketika tadi ia menerjang masuk ke thia, dua-dua pemuda

ini dan imam tidak menoleh untuk awasi dia, maka kenapa orang justeru bisa lihat dia dan segera kenali cara bergeraknya itu. Tapi ia manggut, untuk benarkan pernyataan itu. "Karena itu," berkata Sin Tjie, "mari disini saja kita main saling tolak."

"Baik," sahut Seng Hay tanpa ragu-ragu. "Apakah aku boleh dapat ketahui she dan nama besar tuan?" Sin Tjie tertawa.

"Kau tunggu saja sampai kau nanti sudah dapat menangkan aku, nanti aku sendiri yang memberitahukan," jawabnya. Seng Hay manggut. "Silakan!" kata dia, yang terus pasang kuda-kudanya dengan kedua tangan dibawa kedepan dada. Tubuhnya sedikit doyong kedepan. Sin Tjie tidak lantas terima tantangan itu. Ia hanya gosok bak, ia siapkan selembar kertas.

"Aku nanti menulis disini," katanya. "Kau tahu, apa yang aku akan tulis? Itulah syairnya Touw Kong-pou, syair "Peng Kie Hang"." Seng Hay heran. Orang ajak dia pieboe, habis orang hendak tulis surat dulu. Maka ia lantas saja ambil tempat duduk, niatnya untuk menantikan. "Eh, kau jangan duduk!" Sin Tjie mencegah. Ia ulur tangan kirinya. "Sekarang aku hendak menulis, selagi aku menulis, kau dorong tanganku ini. Umpama kata tangan kananku tergerak dan tulisannya jadi mengok atau tak keruan macam, aku anggap kau yang menang, segera kau boleh angkat kaki dari sini. Tapi umpama kata aku berhasil menulis

selesai syair yang panjang itu tetapi kau tetap tidak mampu tolak aku, kaulah yang kalah, maka itu, apa juga yang aku tanyakan, aku larang kau umpetkan walau sepatah kata juga!" Ang Seng Hay tertawa berkakakan. "Bocah ini masih hijau, dia Baru pernah muncul dia tak tahu langit itu tinggi dan bumi tebal, hingga dia terlalu sombongkan boegee sendiri, lalu dia pandang sebelah mata

kepadaku! Oh, mungkin ini disebabkan karena ia lihat aku beroman cakap dan bertubuh tidak kekar, hingga dia anggap aku tidak punya guna. Baik, aku nanti coba padanya." Maka ia terus jawab: "Aku lihat pieboe seperti ini sangat tidak adil...." Sin Tjie tertawa.

"Tapi inilah buah-hasilnya usulku sendiri!" ia bilang. "Sekarang aku hendak mulai menulis, kau boleh maju!"

Lantas saja ia duduk menulis, mulanya tiga huruf " Kie lin lin." Ang Seng Hay tidak bilang apa-apa lagi, ia terima baik pieboe semacam itu. Ia pasang

kuda-kudanya dengan tegak, lalu ia kumpulkan tenaganya pada kedua bahu tangannya. Habis itu, dengan gerakan "Pay san to hay" atau "Menolak gunung untuk menguruk  lautan", ia menolak dengan keras dengan dua tangannya kepada tangan kirinya si anak muda yang diulur kebelakang, kearahnya. Sebab untuk menulis di meja, pemuda ini berdiri menghadapi meja, karena ia menulis dengan tangan kanan, tangan kirinya jadi dikeluarkan kesebelah belakang. Hingga sama sekali ia membelakangi lawannya itu. Begitu lekas Seng Hay menolak dengan sekuat tenaga, Sin Tjie egoskan tangan kirinya, maka lenyaplah tenaga mendorong orang she Ang ini. Ia jadi penasaran, untuk mendorong satu kali lagi, kedua tangannya dipasang diatas dan bawah, sebagai menjepit. Dengan gerakan ini, mungkin juga tangan kiri si anak muda kena tertekuk hingga patah. Tangan kanannya Sin Tjie menulis pula, dari mulutnya keluar kata-kata: "Seranganmu ini adalah 'Seng thian djip tee' -'Naik kelangit, masuk kebumi'. Itulah, turut pendengaranku, adalah tipu silat Poet Hay Pay dari Shoatang. Maka, tuan Ang, kau mestinya dari partai Poet Hay Pay itu." Ia menulis terus, tangan kirinya digeraki bagaikan bergeraknya ekor ikan, maka kedua tangannya Seng Hay bentrok sendirinya satu pada lain sambil menerbitkan tepokan tangan yang nyaring. Mengalami ini, Seng Hay jadi panas. Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan keluarkan kepandaiannya.

Sin Tjie tetap menulis terus, disebelah itu, tangan kirinya digerak-geraki terus juga, untuk membebaskan diri dari sesuatu serangan, hingga ia tak dapat ditolak atau didorong. Sebaliknya tangan kiri itu seperti mempunyai tenaga menolak, membal balik. Dengan sengitnya Seng Hay menyerang dengan tipu silatnya "Tjan kauw koen" atau

pukulan "menyembelih naga". Baru saja ia habis menyerang, dengan kegagalan, Sin Tjie telah berkata padanya: "Tjan kauw koenmu ini masih mempunyai sembilan jurus lainnya, sedang tulisan syairku 'Peng Kie Hang' bakal lekas sampai diakhirnya. Maka sekarang aku

atur begini: Aku tunggui kau, setiap kali kau menyerang, setiap kali juga aku menulis satu huruf saja." Kembali Seng Hay menjadi heran. Kenapa orang kenali ilmu silatnya itu? Apa mungkin

pemuda ini adalah orang satu kaum dengannya? Toh ia tidak kenal pemuda ini dan gerak-gerik tangan dan tubuhnya beda dengan Poet Hay Pay. Dengan penasaran berbareng ragu-ragu itu, ia lanjuti penyerangannya, dengan terlebih hebat dan liehay. Ia tidak harap lagi bisa berkisar saja, pasti tulisannya akan kacau. Sin Tjie menulis terus, ia membacakan: "Thian im ie sip seng tjioe tjioe". Huruf tjioe yang terakhir masih belum tertulis habis, serangannya Seng Hay masih ada dua jurus lagi, ialah

dua jurus terakhir dari Tjan Kauw Koen. Karena berulang-ulang dia gagal. Seng Hay ubah pula cara menyerangnya, ialah ia mendak dan kedua tangannya dikasi melengkung, ia menubruk dengan pakai tubuh juga, agaknya ia hendak peluk tubuh anak muda itu. Ang Seng Hay sangat bernapsu, sampai ia lupai pantangan ahli silat untuk bisa kendalikan diri. Ia telah bergerak dengan ceroboh sekali. Dengan bersikap merangkul secara demikian, ia seperti lupai tangan Sin Tjie. Maka Baru ia maju atau si anak muda sudah mengenai dadanya, sehingga bukannya Sin Tjie atau kursinya yang berkisar, adalah ia

sendiri yang kena tertolak mundur, demikian keras, sehingga ia jumpalitan tiga kali, percuma ia pertahankan diri, ia rubuh juga, jatuh duduk dilantai bagaikan patung. Sehingga ia membutuhkan sekian saat untuk bisa lompat bangun. Ia pun berlompat bangun selagi ia Baru sadar bahwa ia sudah kena dirubuhkan! Adalah disaat itu, Tjiauw Wan Djie bertindak masuk kedalam kamar tulis dengan membawa tehkoan buatan Gie-hin, yang warnanya merah tua. "Wan Siangkong, inilah teh Liong- tjeng yang kesohor," katanya sambil menawarkan. "Silakan minum!" Ia pun segera tuang air teh itu kedalam sebuah cangkir, sehingga Sin Tjie lantas mencium bau wangi dari teh itu. Ia tidak sungkan-sungkan lagi, ia sambuti teh itu dan terus diminum. "Benar-benar teh bagus!" ia memuji. Ia angkat tulisannya, "Peng Kie Hang", akan tunjuki si nona seraya kata: "Nona Tjiauw, tolong lihat ini, apakah tulisan ini ada yang kacau dan kotor?"

Wan Djie periksa syair itu, lalu ia tertawa. "Siangkong benar-benar boen boe tjoan tjay!" memuji dia. "Tulisan ini baik diberikan kepadaku saja!" (Boen boe tjoan tjay berarti mengerti berbareng dua-dua ilmu surat dan

ilmu silat). "Tapi tulisanku jelek," si pemuda bilang. "Barusan aku telah bertaruh sama sahabat baik ini, maka tulisan ini Baru saja ditulis rampung. Jikalau nona inginkan ini, baik, tapi jangan nona perlihatkan kepada orang lain, agar orang tidak tertawai aku!"

Wan Djie bersenyum, ia gulung tulisan itu, lantas ia ngeloyor pergi. Setelah si nona keluar, Sin Tjie Tanya Ang Seng Hay: "Kioe-ongya utus kau kepada Tjo

Hoa Soen, untuk urusan apakah itu?"

Seng Hay ragu-ragu, sehingga berulang- ulang ia tidak bisa menyahuti, sehingga ia cuma kemak-kemik saja. "Bukankah barusan kita telah bertaruh?" Sin Tjie tegasi. "Bukankah kau tidak sanggup

tolak aku sehingga berkisar?" Ang Seng Hay jengah, ia tunduk. "Boegee Wan Siangkong sangat mengagumkan, inilah ilmu kepandaian yang belum pernah aku dengar, yang belum pernah aku saksikan," katanya dengan perlahan. "Sekarang coba kau raba tubuhmu, dibawah tetek kiri," Sin Tjie kata. "Coba periksa tulang rahang yang kedua. Apakah yang kau rasai?......"

Ang Seng Hay menurut, ia raba tempat yang ditunjuki itu. Tiba-tiba ia terkejut. Bagian tubuh itu menjadi baal, ia tak rasakan apa-apa!

"Sekarang kau raba pula, tengah-tengah pinggang bagian kanan," Sin Tjie menyuruh pula. Ang Seng Hay meraba, ia menekan, lantas ia menjerit: "Aduh!". Ia pun kaget sekali, herannya bukan buatan. Tapi segera ia kata: "Jikalau tidak diraba, aku tidak rasakan apajuga, begitu kebentur tangan, sakitnya bukan main...." Sin Tjie bersenyum. "Itulah dia!" ia bilang. Ia isikan cangkir tehnya, ia hirup air teh itu, kemudian ia membalik-balik lembarannya satu buku diatas meja, tidak lagi ia perhatikan orang didekatnya itu. Seng Hay berdiri diam dengan serba salah. Ia berniat angkat kaki akan tetapi tak berani ia pergi. Dengan begitu, ia pun terus berdiam saja. Tidak lama, anak muda kita berpaling. "Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya. Seng Hay terperanjat, tetapi ia girang sekali. "Kau perkenankan aku pergi?" tegasi ia. "Kau sendiri datang kemari, aku tidak undang kau," berkata si anak muda," maka jikalau kau hendak pergi, tak dapat aku tahan padamu."

Bukan kepalang girangnya Seng Hay, ia segera berbangkit, untuk memberi hormat sambil menjura. "Tidak nanti aku berani lupakan budimu, siangkong," kata ia.

Sin Tjie manggut, kembali ia baca bukunya. Seng Hay bertindak kepintu, ketika ia merandek di depan itu. Dengan tiba-tiba ia berkuatir orang nanti rintangi ia. Lantas ia hampirkan jendela, ia tolak kedua daunnya, tubuhnya menyusul loncat keluar. Sebelum ia angkat kaki terus, ia menoleh kebelakang, ia dapatkan

si anak muda masih saja baca buku, jadi orang tidak susul ia, hatinya menjadi lega. Sekarang Barulah ia loncat naik keatas genteng, untuk angkat kaki.

Sementara itu, walaupun sang malam sudah larut, Tjiauw Wan Djie masih belum tidur. Ia tak dapat lupakan Sin Tjie, tetamunya, penolongnya itu, budi siapa ia ingat betul. Sampai mendekati fajar, anak muda itu masih berdiam di dalam kamarnya, membaca kitab, beberapa kali ia telah mondar-mandir, akan melihat, tetap anak muda itu bercokol dikursinya. Akhirnya ia panggil bujang perempuannya, akan titahkan membuat beberapa rupa tiamsim, barang makanan, yang ia sendiri lantas bawa kekamarnya pemuda itu. Mulanya ia mengetok pintu dengan perlahan, sampai beberapa kali, Barulah ia tolak daunnya untuk masuk kedalam. Sin Tjie lagi membaca kitab "Han Sie", cerita atau riwayat kerajaan Han, agaknya dia sedang sangat tertarik hatinya, sampai ia diam saja atas datangnya nona rumah. "Wan Siangkong kau masih belum masuk tidur?" Nona Tjiauw Tanya. "Baik siangkong coba dulu tiamsim ini, habis kau masuk untuk beristirahat....." Baru sekarang anak muda kita berbangkit, untuk haturkan terima kasih. "Baik nona tidur, tidak usah kau perhatikan aku," katanya. "Aku masih menantikan satu orang....."

Baru pemuda ini mengucap demikian atau mendadak daun jendela menjeblak sehingga menerbitkan suara, menyusul itu, satu tubuh lompat masuk. Wan Djie kaget hingga ia lompat berjingkrak, akan tetapi segera ia tampak Ang Seng Hay. Orang she Ang ini manggut kepada si nona, lantas ia hampirkan Sin Tjie didepan siapa ia tekuk lutut. "Wan siangkong, siauwdjin tahu diriku bersalah," katanya. Ia membahasakan diri "siauw-djin" atau orang rendah. "Tolong siangkong, jiwaku....."

Sin Tjie ulur kedua tangannya, untuk memimpin bangun, akan tetapi Seng Hay tidak mau berbangkit. "Mulai hari ini dan selanjutnya, siauwdjin nanti ubah kelakuanku," berkata ia pula. "Aku

minta dengan sangat supaya siangkong tolongi aku." Tjiauw Wan Djie mengawasi dengan kedua mata dipentang lebar, ia tak mengerti atas apa yang ia pandang itu. Sin Tjie ulur pula kedua tangan- nya, ketika ia kerahkan tenaganya, tahu-tahu tubuhnya Seng Hay terangkat terus jumpalitan, sehingga dilain saat, pahlawan atau utusannya Kioe-ong-ya itu telah rubuh duduk di jubin, tapi ketika ia raba ketiaknya, wajahnya menjadi

terang, satu tanda bahwa hatinya lega, ia girang. Tapi waktu ia usut dadanya, ia kerutkan alis hingga kedua alisnya hampir menyambung satu pada lain.

"Mengertikah kau sekarang?" Tanya Sin Tjie. Seng Hay adalah seorang sangat cerdik dan tangkas, kalau tidak, tidak nanti Kioe-Ong-Ya To Djie Koen kirim ia selaku mata-mata, maka atas pertanyaan si anak muda, segera ia insaf. "Siangkong, apakah kau hendak tanya aku?" katanya. "Silakan, siauwdjin nanti menjawab dengan sebenar-benar- nya." Wan Djie duga orang hendak omong rahasia, ia lantas undurkan diri, keluar dari kamar tulis itu. Ketika tadi ia lari pulang ke hotelnya, Seng Hay telah buka bajunya, untuk periksa

tubuhnya. Di dadanya ada sebuah bentol merah sebesar uang tangtjhie, ketika ia raba itu, ia tidak rasakan apa-apa. Dibawah ketiaknya, ia dapatkan, ada tiga titik hitam seperti kacang, apabila ia kena langgar itu, ia merasakan sangat sakit. Ia mengerti, itulah luka yang ia dapatkan tadi selagi ia bertolak tenaga kekuatan berbalik dari Sin Tjie. Maka lekas-

lekas ia duduk bersila di atas pembaringannya, untuk menyedot dan mengeluarkan napas dengan peraturan, untuk perbaiki jalan napasnya, ia merasakan sakit. Maka ia lekas rebahkan diri, rasa sakit itu lantas lenyap sendirinya. Tiga kali ia mencoba perbaiki jalan napasnya, selalu ia gagal. Mata-mata Kioe-ong-ya ini tidak berpikir lama akan ingat ilmu silat yang dinamakan "Koen-thian-kang", ialah tenaga yang memukul berbalik siapa terluka karena serangan itu, apabila tidak dapat obat yang tepat dalam seratus hari dia bakal mati meroyan. Ingat ini, ia jadi takut sendirinya. Di situ tidak ada orang lain yang bisa tolongi ia, kecuali Sin Tjie, si anak muda. "Ah, aku mesti pergi padanya...."

Lantas dia pakai bajunya, ia keluar dari hotel, akan berlari-lari ke rumahnya Tjiauw Kong Lee, akan lompat masuk kedalam kamarnya si anak muda dengan jeblaki jendela. Sin Tjie lantas berkata pada orang she Ang ini: "Kau telah dapat dua luka di tubuhmu, yang satu tadi aku telah sembuhkan, tinggal yang satu lagi. Sekarang ini, luka itu tidak memberi rasa apa-apa, akan tetapi berselang tiga bulan, baal itu bakal bertambah luas, bisa menjalar sampai di dada, di ulu hati, maka itulah artinya sampailah batas umurmu!" Kembali Seng Hay kaget. Jadi benarlah dugaannya tentang lukanya itu. Maka ia jatuhkan

diri, ia berlutut sambil manggut berulang-ulang. Karena ia minta dengan sangat untuk ditolong. "Kau telah menjadi harimau yang mengganas, kau akui dorna sebagai ayahmu!" Sin Tjie

bilang, dengan roman yang keren. "Itulah dosamu yang tak berampun! Sekarang aku tanya kau, kau mau atau tidak untuk gunai jasamu menebus dosa?"

Seng Hay takut benar-benar, hingga ia menangis, air matanya meleleh. "Memang siauwdjin tahu, perbuatanku ini sesat," kata ia dengan pengakuannya. "Ada kalanya di waktu malam siauwdjin  pikirkan itu dan insaf sendiri, hingga siauwdjin mengerti, perbuatan itu hina dan sangat memalukan leluhurku. Inilah gara-garanya satu kejadian pada tahun yang lampau, yang membuat siauwdjin buntu jalan hingga terpaksa siauwdjin berlaku begini hina." Sin Tjie awasi wajah orang, ia mau percaya bahwa orang omong dengan sejujurnya. Ia menduga pada satu kejadian penting. Ia hendak menanya akan tetapi ia tidak lantas

lakukan itu. Ia mengerti, orang ini sangat membutuhkan pertolongannya. Orang pun masih tetap paykoei. "Mari bangun dan duduk," ia kata kemudian. "Mari kita bicara dengan perlahan- lahan. Siapa sudah paksa kau berbuat begini macam, sampai kau buntu jalan?"

"Aku telah didesak oleh Hoei thian Mo Lie Soen Tiong Koen dan Kwie Djie Nio- tjoe, keduanya dari Hoa San Pay," sahut Seng Hay. Inilah jawaban diluar sang- kaan Sin Tjie, sampai hatinya bercekat.

"Apa? Mereka yang desak kau?" ia tegasi. Wajahnya Seng Hay pun berubah, nampaknya ia berkuatir. "Apakah siangkong kenal mereka?" ia balik tanya. "Baru tadi aku bertempur dengan mereka," sahut Sin Tjie. Mendengar itu, Seng Hay girang berbareng masgul. Ia masgul karena kekuatirannya, sebab kedua musuhnya itu berada di Lamkhia ini, di satu tempat dengan ia, Seng Hay

takut nanti ketemu mereka itu di tengah jalan, itu berarti bencana untuknya. Ia girang sebab nyata anak muda ini telah bertempur dengan mereka itu, ia duga pemuda yang kosen ini adalah musuh mereka. "Dua orang itu," katanya melanjuti," walau kepandaian mereka tinggi, mereka bukannya tandingan siangkong. Cuma mereka berdua telengas sekali, apa juga mereka berani lakukan, dari itu siangkong harus waspada."

Sin Tjie perdengarkan suara yang memandang enteng. "Kenapa mereka desak kau?" ia tanya. Seng Hay berdiam sebentar, lalu ia menyahut. "Tidak berani aku dustakan kau, siangkong," katanya. "Tadinya siauwdjin berdiam di laut di Shoatang melakukan pekerjaan tidak memakai modal. Pada suatu hari, satu saudara angkat lihat Soen Tiong Koen, ia ketarik, ia lantas majukan lamaran kepada nona itu. Soen Tiong Koen tampik lamaran itu. Sebenarnya dengan penampikan saja sudah cukup, akan tetapi ia tidak berhenti sampai disitu, tanpa mengucap sepatah kata, dia hunus pedangnya, dan babat kedua kupingnya saudara angkat itu. Tentu sekali aku tidak puas dengan perbuatan galak itu, yang keterlaluan dan kejam itu, lantas aku ajak belasan kawan, untuk satroni dia. Maksudku adalah untuk culik dia, supaya dia menikah dengan saudara angkat itu. Tegasnya kita hendak paksa padanya. Celakanya untuk kita, gurunya Soen Tiong Koen, yaitu Kwie Djie Nio, sudah susul kita, dia tolongi muridnya itu. Dengan satu tabasan, dia bunuh saudara angkatku itu dengan pedangnya. Beberapa kawanku telah kena dibikin bubar, antaranya ada yang terluka. Untung bagiku, aku bisa loloskan diri, hingga jiwaku ketolongan...."

"Dalam hal itu, kaulah yang bersalah," Sin Tjie bilang. "Siauwdjin pun insyaf yang siauwdjin sudah sembrono, hingga satu bahaya besar diciptakan," Seng Hay akui, "karenanya siauwdjin tidak berani munculkan diri di muka umum. benar- benar Soen Tiong Koen tidak mau sudah, entah bagaimana jalannya, dia dapat tahu kampung halamanku, mereka susul aku. Oleh karena tak dapat ketemui aku,

mereka binasakan ibuku yang sudah tua, yang telah berumur tujuhpuluh tahun, juga isteriku serta tiga anakku, lelaki dan perempuan, tidak ada satu yang dikasih tinggal hidup...." Seng Hay mengucurkan air mata, hingga kata- katanya jadi tergetar, karenanya Sin Tjie anggap orang bicara dengan sebenarnya. Ia manggut-manggut walaupun hatinya bercekat untuk ketelengasan Soen Tiong Koen dan gurunya itu. "Tak dapat siauwdjin lawan mereka itu," Seng Hay tambahkan kemudian," akan tetapi

tanpa sakit hati terbalas lampias, tak puas hatiku.... Oleh karena putus daya, pikiranku jadi sesat, siauwdjin lantas kabur ke Liauwtong dimana siauwdjin menghamba kepada Kioe-ong-ya....."

Seng Hay bersedih berbareng gusar.

"Mereka binasakan ibumu dan anak- isterimu juga, perbuatan itu memang keterlaluan," nyatakan si anak muda kemudian. "Semuanya adalah karena salahmu sendiri. Semua itu toh ada urusan pribadi, kenapa kau menghamba kepada bangsa asing? Kenapa kau kesudian menjadi pengkhianat bangsa?"

"Itulah kesalahanku, siangkong," Seng Hay akui. "Asal siangkong bisa balaskan sakit hatiku itu, apa juga siangkong titahkan aku, aku akan lakukan...."

"Mencari balas?" Sin Tjie tegaskan. "Itulah kau jangan pikir. Kwie Djie-nio itu sangat liehay, aku bukanlah tandingannya. Yang benar adalah kau ubah kelakuanmu, supaya kau selanjutnya menjadi orang baik-baik. Aku tanya kau, Kioen-ong-ya kirim kau kepada Tjo Thaykam, untuk apa?" Seng Hay tidak berani mendusta, ia menjawab dengan membuka rahasia. Ia kata Kioe-ong-ya janjikan Tjo Hoa Soen untuk menjadi penyambut sebelah dalam kalau nanti bangsa Boan kerahkan angkatan perangnya untuk gempur kota Pakkhia, supaya thaykam itu - thaykam - pentang pintu kota. Pun telah diatur tanda-tanda rahasia supaya orang-orangnya Kioe-ong-ya nyelundup masuk kedalam kota, ke dalam istana, untuk bantu turun tangan. Diam-diam Sin Tjie girang sekali, tapi ia tak utarakan itu pada wajahnya. "Sebenarnya mau atau tidak kau ubah kelakuanmu, untuk selanjutnya kau jadi orang baik-baik?" ia tegaskan. "Atau apakah kau lebih suka menderita siksaan hingga nanti, selang tiga bulan, kau mati tanpa ampun lagi?"

"Siangkong boleh tunjuki aku satu jalan hidup, selanjutnya aku nanti pandang kau sebagai ayah dan ibuku yang telah hidup pula!" sahut Ang Seng Hay. "Baik!" kata Sin Tjie. "Bersediakah kau untuk jadi pengikutku?" Seng Hay girang bukan kepalang, lantas saja ia berlutut pula, akan paykoei tiga kali kepada tuannya yang baru ini. Ia girang karena ia berhati lega, karena selanjutnya tak usah ia berjeri lagi terhadap Kwie Djie Nio dan Soen Tiong Koen. Ia pun ercaya, kalau nanti selang tiga bulan lukanya kumat, pasti majikan ini akan tolong obati dia. Perubahan cara hidup ini membuat Seng Hay tenang melebihkan tenangnya diwaktu ia ikuti Kioe-ong-ya pangeran Boan itu. Habis itu, setelah "repot" satu malaman, Barulah Sin Tjie beristirahat. Seng Hay tidur dalam satu kamar bersama ia. Pengikut ini tidak pernah pikir untuk menuntut balas,

sebaliknya dia berterima kasih karena si anak muda percaya dia. Sin Tjie tidak kuatir, sebab ia tahu benar, untuk hidupnya Seng Hay membutuhkan pertolongannya. Maka juga ia dapat tidur nyenyak, sampai besoknya pagi, setelah matahari naik tinggi, Baru ia

mendusi. Segera juga muncul Nona Wan Djie dengan bin-tang (baskom) terisi air dan handuk untuk pemuda ini cuci muka, begitupun beberapa rupa barang makanan untuk sarapan pagi. "Terima kasih," Sin Tjie mengucapkan. Tidak lama sehabisnya pemuda ini selesai cuci muka dan rapikan pakaiannya, Bhok Siang

Toodjin muncul bersama papan caturnya. Tjeng Tjeng adalah yang bawa biji-biji catur. Berdua mereka masuk berbareng.

"Ha, begini hari baru bangun!" kata si pemudi sambil tertawa riang. "Tootiang sudah menunggui lama sekali, sampai ia tak sabaran! Hayo lekas mulai, lekas mulai!" Sin Tjie pandang si nona, akan tatap wajahnya, tiba-tiba ia tertawa. Tjeng Tjeng pun tertawa. "Kenapa kau tertawa?" tanya nona ini sambil balik mengawasi. Masih saja si pemuda tertawa. "Tootiang janjikan apa kepadamu hingga kau sekarang jadi begini rajin?" ia tanya. "Begini perlu kau carikan tootiang lawan main catur!"

Tjeng Tjeng tertawa pula. "Tootiang hunjuki aku semacam ilmu silat," ia aku. "Itulah semacam ilmu silat entengkan tubuh yang sangat luar biasa. Umpama orang toyor padamu dan dupak, kau boleh layani ia dengan main berkelit saja sebagai orang lagi main petak, mengegos ke timur, ngeles ke

barat, jangan harap dia bakal kena menyerang padamu!" Mendengar itu, pemuda ini tergerak hatinya, diam-diam ia lirik guru sampiran itu, siapa

sebaliknya dengan tenang lagi taruh dua biji putih dan dua biji hitam di keempat pojok papan caturnya, lalu sebiji putih dipegang di tangannya, dipakai mengetok-ngetok papan caturnya sehingga papan itu menerbitkan suara nyaring. Berbareng dengan itu, imam ini

pun bersenyum. Menampak sikap yang luar biasa dari Bhok Siang Toodjin, Sin Tjie ingat suatu apa. "Tootiang ajarkan ilmu silat entengkan tubuh kepada Tjeng Tjeng, itu mesti ada maksudnya," ia lantas berpikir. "Sebentar adalah malaman janjiku dengan Djie Soeko dan

Djie-Soeso, akan bertanding di panggung Ie Hoa Tay, tak dapat aku tidak pergi

menetapkan janji itu. Inilah sulit, sebab dilihat dari romannya, Djie-soeso tak puas sebelum ia layani aku. Mana dapat aku layani mereka dengan sungguh- sungguh? Djie-soeko pun sangat kesohor, melayani dia saja, belum tentu aku sanggup peroleh kemenangan, maka jikalau aku melayani dengan main-main, ada kemungkinan aku bakal terluka di tangannya, atau mungkin juga, karena alpa, aku bakal terbinasa.... Apa ini

sebabnya kenapa tootiang ajarkan ilmu entengkan tubuh itu kepada Tjeng Tjeng?" Karena memikir begini, pemuda ini lantas kata kepada si nona: "Kau inginkan aku main tiokie dengan tootiang, baiklah, akan tetapi kau mesti ajarkan ilmu silat itu kepadaku!"

"Baik!" Tjeng Tjeng jawab sambil tertawa. "Ini dia yang dibilang, barang siapa dapat melihat, dia mesti menerima bagian!" Ia tertawa pula, begitupun si anak muda. Setelah itu, Sin Tjie temani gurunya itu main tiokie. Sampai waktunya bersantap, tengah-hari, Barulah orang berhenti adu otak,  diwaktu itu, Sin Tjie ambil kesempatan akan pasang omong dengan Tjoei Tjioe San, sang paman atau guru. Pembicaraan mereka ialah mengenai persiapannya Giam Ong, yang tentunya tak lama lagi akan mulai turun tangan menggempur musuh Negara, katanya, pergerakan kemerdekaan itu memperoleh dukungan dari segenap rakyat. Di pihak lain, Tjioe San puji

anak muda ini, yang pelajaran silatnya maju dengan pesat sekali. Kedua pihak bicara secara gembira dan asik sekali, sebab dua-dua sangat bergembira.

Selama itu beberapa kali Tjeng Tjeng mengasi tanda dengan tangan kepada si anak muda, untuk anjuri dia keluar, Tjioe San lihat itu, ia tertawa.

"Sahabat cilikmu itu memanggil, pergilah lekas!" kata dia. Tampangnya si anak muda merah sendirinya, ia jengah, tapi ia tidak segera berbangkit, ia malu hati. "Kau pergilah!" kata pula Tjioe San, yang terus berbangkit, untuk mendahului pergi keluar. Tjeng Tjeng lari ke dalam begitu lekas orang she Tjioe itu sudah tidak ada. "Lekas, lekas!" katanya. "Aku nanti beritahukan kau tentang ilmu silat yang tootiang ajari aku, karena diwaktu tootiang mengajarinya, ada bagian-bagian yang aku tidak mengerti.

Tootiang melainkan kata padaku: "Kau ingat-ingat saja, nanti juga kau mengerti." Tentu saja, kalau ditinggal lama-lama, aku nanti lupa semua."

Sin Tjie iringi kehendak si nona maka di lain saat, mereka sudah berlatih, atau lebih benar, Tjeng Tjeng menyebutkan ilmu silat itu, Sin Tjie yang mendengari, habis itu, si anak muda coba menjalaninya. Itulah ilmu pukulan yang dinamakan "Pek pian kwie eng" atau "Bajangan setan yang berubah seratus kali". Kepandaian entengkan tubuh Bhok Siang Toodjin dan senjata rahasianya menjagoi di kolong langit, lebih-lebih ini "Pek pian kwie eng". Selama masih di puncak Hoa San, Bhok

Siang tidak ajari Sin Tjie, sebab anak muda ini masih dalam permulaan, sulit untuk dia punyakan ilmu itu, tapi sekarang, setelah terlatih baik dan peroleh pengalaman, itulah waktunya untuk si anak muda diajarkan. Akan tetapi Bhok Siang mempunyai maksudnya

sendiri, ia mengajari dengan peranta- raan mulutnya Tjeng Tjeng. Nona ini tidak terlalu tinggi ilmu silatnya, akan tetapi otaknya sangat terang, kuat ingatannya, ia sangat cerdas. Maka hal yang sebenarnya adalah, tidak benar Bhok Siang mengajari Tjeng Tjeng, yang

benar adalah ia mengajari Sin Tjie.

Tjeng Tjeng memberi penuturan jelas sekali, dari gerakan tubuh dan kaki, hal itu membuat si anak muda jadi sangat girang, karena ia pun berotak terang dan segera ingat dengan baik.

Benar kalau Tjeng Tjeng kata ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, maka atas desakan Sin Tjie, beberapa kali ia lari bulak-balik pada si imam, untuk minta penjelasan, hingga di lain saat, Sin Tjie telah ingat semua, hingga ketika ia mencoba menjalaninya,

lantas saja ia bisa jalani dengan baik. Maka itu, ia lantas meyakinkan terus- terusan. Mengenai ilmu silatnya djie-soeko dan djie-soeso, Sin Tjie ingat baik-baik kata-katanya sang guru dahulu: "Toasoekomu jenaka, satu waktu ia tak terluput dari kealpaan. Djie-

soekomu pendiam, dia belajar dengan sungguh-sungguh." Itu berarti, kepandaiannya djie-soeko sangat berada di atasan kepandaiannya sang toa-soeko, saudara tertua itu. "Sekarang aku peroleh ini Pek pian kwie eng, apa mungkin aku tak dapat layani djie-

soeko?" pikir dia, yang untuk sesaat bersangsi. Tapi anak muda ini berpikir terus. "Soehoe pernah ajarkan aku Sip-toan-kim, ketika itu soehoe jalankan ilmu entengkan tubuh itu, aku serang ia dengan seantero kebisaanku, tak dapat aku serang dia walaupun ujung bajunya saja," demikian ia berpikir. "Sekarang Bhok Siang Toodjin ajarkan ilmu ini, apa tidak baik aku gabung ini dengan Sip-toan-kim? Tidakkah ini berarti, kepandaiannya dua kaum aku persatukan?" Sin Tjie lantas ambil keputusan, dari itu terus ia bersamedhi di kamar tulis itu, bukan untuk mengaso, hanya tubuhnya yang beristirahat, otaknya tetap bekerja, akan pikirkan jalan untuk gabung kedua ilmu entengkan tubuh itu. Tjeng Tjeng semua ketahui pemuda ini sedang beristirahat, maka tidak ada yang berani ganggu. Sin Tjie bersamedhi sampai jam Sin-sie, pukul tiga atau empat lohor, ia berhasil, tetapi

untuk memperoleh kepastian, ia hendak coba dulu. Maka ia ajak Wan Djie pergi ke lapangan peranti belajar silat, ia minta disediakan sepuluh saudara seperguruan si nona, dengan persiapan seorangnya setahang air, mereka itu diminta berkumpul di empat penjuru, untuk nanti seblok atau siram ia dengan air selagi ia bersilat. Latihan telah dimulai dengan segera, dari pelbagai jurusan, saudara-saudara seperguruan

Nona Tjiauw Wan Djie lantas siram si anak muda dengan air, selama itu, Sin Tjie mencelat, melesat ke sana-sini, gerakannya gesit dan cepat. Ketika kemudian sepuluh tahang air telah habis, Sin Tjie cuma basah ujung tangan bajunya yang kanan dan kakinya yang kiri. Sebagai kesudahan, semua orang puji pemuda ini. Di lapangan itu orang bergembira, suaranya bergemuruh, akan tetapi Bhok Siang Toodjin sendiri lagi rebah menggeros di dalam kamarnya, ia seperti tak tahu menahu.... Sorenya, habis bersantap, Sin Tjie lantas bersiap-siap untuk pergi ke panggung Ie Hoa Tay yang kesohor. Tjiauw Kong Lee dan Tjiauw Wan Djie menyatakan suka turut, katanya untuk sebisa-bisanya mengakurkan itu kedua saudara seper- guruan. Tjeng Tjeng juga ingin turut, dengan maksud membantui sahabat ini.

Sin Tjie tampik semua kebaikan itu. Kong Lee dan puterinya dapat dikasi mengerti, tidak demikian dengan Tjeng Tjeng, yang lantas saja menjebi dan merengut. "Mereka itu adalah djiesoeko dan djiesoesoku," Sin Tjie kasi mengerti, "aku telah ambil putusan, lebih suka aku kena dihajar tapi tidak nanti aku akan balas menyerang, maka itu, apabila kau saksikan itu, pasti kau tak senang dan gusar, satu kali kau gusar, apakah kau tidak jadi bikin kacau urusanku?" "Kau boleh mengalah sampai tiga serangan, mengapa kau tidak hendak membalasnya?" tanya Tjeng Tjeng, yang penasaran. "Aku hendak coba pelajaran yang kau ajari aku, aku ingin saksikan mereka mampu atau tidak menyerang kepadaku," Sin Tjie bilang.

"Jikalau begitu, lebih-lebih aku ingin menyaksikannya!" si nona mendesak. "Aku janji padamu aku tidak akan turut bicara."

"Bagaimana kalau kau berpura-pura gagu?" tanya Sin Tjie sambil tertawa.

Nona itu manggut. "Baik, aku akan berpura-pura gagu!" katanya. Tak dapat Sin Tjie tolak nona yang biasa dimanja- kan ini, terpaksa ia mengajaknya. Waktu

ia mau pergi, ia cari Bhok Siang  Toodjin dikamarnya, untuk pamitan, akan tetapi si imam masih saja tidur, beberapa kali dia dipanggil-panggil, tidak juga dia mendusi, hingga kedua anak muda ini terpaksa tinggalkan dia.

Tjioe San juga entah telah pergi kemana. Dua-dua, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah kenal baik kota Lamkhia, tak susah mereka cari panggung Ie Hoa Tay. Mereka pun pergi dengan menunggang kudam dengan meminjam dua ekor kudanya keluarga Tjiauw. Pada kira-kira jam sebelas malam Barulah dua pemuda ini sampai di Ie Hoa Tay, di situ mereka tidak lihat seorangpun, maka mereka duga, Kwie Sin Sie masih belum sampai.

Mereka turun dari kuda, untuk duduk di tanah, akan menanti. Selang kira-kira setengah jam, dari arah timur kelihatan berkelebatan dua bajangan manusia, yang lari mendatangi, lalu mereka itu menepuk tangan dua kali. Dengan lantas Sin Tjie tepuk tangannya, untuk menyambuti. Satu bajangan, yang segera sampai, lantas menanya: "Apakah Wan Soesiok sudah sampai?"

"Aku sudah menantikan Djie-soeko dan Djie-soeso," sahut Sin Tjie, yang kenali Lauw Pwee Seng, muridnya sang kanda seperguruan yang kedua. Nyata Pwee Seng datang bersama-sama Bwee Kiam Hoo, yang belakangan ini segera mendekati. Lagi sesaat, dari kejauhan terdengar satu suara nyaring: "Dia sudah datang! Bagus!" Baru suara itu berhenti atau dua orang mencelat muncul di depan Sin Tjie berempat. Tjeng

Tjeng terperanjat, karena ia kagumi ilmu entengkan tubuh yang sempurna itu.

Pwee Seng dan Kiam Hoo minggir, untuk buka jalan bagi kedua orang yang Baru datang itu, ialah kedua guru mereka.

Masih kelihatan satu bajangan berlari- lari mendatangi, apabila dia sudah datang dekat dia ternyata adalah Soen Tiong Koen, yang tangannya mengempo satu anak kecil. Dia ketinggalan, terang itulah bedanya kepandaiannya lari keras dari kedua gurunya suami-

isteri itu. Itu bocah adalah bocah kesajangan Kwie Sin Sie suami-isteri.

"Sungguh Tuan Wan harus dipercaya!" kata Kwie Djie-nio dengan dingin. "Kita berdua mempunyai lain urusan penting, supaya tidak buang-buang tempo percuma, silakan kau mulai menyerang." Sin Tjie bukannya lantas menyerang, ia hanya angkat kedua tangannya untuk memberi

hormat. "Kedatanganku ini kemari adalah untuk haturkan maaf kepada soeko dan soeso" kata ia dengan sabar. "Siauwtee telah bikin patah pedang soeso, itu telah dilakukan karena siauwtee tak mengetahuinya terlebih dahulu, untuk kelancanganku ini, dengan memandang kepada soehoe, harap soeko dan soeso suka maafkan aku." Masih Kwie Djie-nio bersikap keras. "Kau benar soetee kita atau bukan, siapakah yang ketahui?" kata dia dengan dingin. "Baik kita bertanding dulu, Baru kita bicara pula!" Sin Tjie tetap dengan sikapnya mengalah, ia tak mau turun tangan. Kwie Djie-nio mengawasi, melihat orang mengalah terus, ia anggap orang jeri

terhadapnya, ia menyambar dengan tangannya yang kiri, dari samping. Sin Tjie lenggakkan kepala, dengan begitu tangan sang soeso lewat tepat di depan hidungnya. Ia bebas dari serangan akan tetapi ia terperanjat. "Siapa sangka, mesti dia hanya seorang perempuan, serangannya sebat sekali," pikir Sin Tjie. Kwie Djie-nio dapatkan tangan kirinya tak memberi hasil, segera ia menyusuli dengan tangan kanan. Ia gunai ilmu pukulan "Sin Koen" atau "Kepalan Malaikat" dari Hoa San Pay. Sin Tjie kenal baik ilmu pukulan ini, ia berkelit sambil kasi turun kedua tangannya, lurus sampai dipaha, dikasi rapat dengan pahanya itu. Inilah tanda bahwa ia suka mengalah, tak ingin ia balas menyerang. Kwie Djie-nio jadi sangat penasaran,maka ia ulangi serangannya, malah terus-menerus, sampai lebih dari sepuluh kali. Bisa dimengerti jikalau sesuatu gerakannya cepat sekali dan setiap pukulannya berat, hebat apabila mengenai sasarannya. Tapi semua itu Sin Tjie

dapat egoskan dengan gerakan tubuhnya yang pesat dan lincah. Tetap anak muda ini tak hendak menangkis atau balas menyerang. Kwie Sin Sie saksikan pertempuran itu, hatinya bercekat, ia pun gegetun. "Anak muda ini liehay sekali," pikir ia. Tapi yang membuat ia heran adalah gerakan si pemuda, sebagian mirip dengan ilmu silat Hoa San Pay, sebagian besar lagi berbeda.

Hingga akhirnya ia mau menduga, entah siapa dia ini yang berpura-pura jadi murid gurunya, untuk bisa mencuri pelajaran saja. Karena ini, ia memasang mata dengan tajam, untuk memperhatikan terlebih jauh, ia kuatir isterinya nanti gagal karena isteri itu berkelahi dengan sangat bernapsu. "Kau tidak mau balas menyerang, kau sangat pandang enteng kepadaku, aku nanti kasi kau kenal liehaynya Kwie Djie-nio!" kata si nyonya yang keras perangainya sesudah

berulang-ulang ia gagal dengan pelbagai serangannya. Ia lantas menyerang, kali ini dengan kedua tangan yang saling susul, makin lama makin seru. Karena ini, ia sampai lupa bagian penjagaan diri. Sin Tjie mengeluh didalam hatinya karena desakan hebat dari ini enso, yang di lain pihak ia pun kagumi, karena sang enso benar-benar liehay.

"Inilah berbahaya untukku, apabila terpaksa, aku mesti tangkis dia," akhirnya ia ambil putusan. Soen Tiong Koen saksikan pertempuran guru perempuannya dengan hati panas dan mendongkol, karena sampai sebegitu jauh ia saksikan tetap saja Sin Tjie main berkelit saja. Ia juga heran kenapa gurunya belum pernah berhasil menyerang jitu kepada anak muda itu. Selagi hatinya panas, ia tampak Tjeng Tjeng sedang menonton dengan wajah riang gembira, air mukanya ramai dengan senyuman bersero-seri. Mendadak dia menjadi naik darah. Tidak tempo lagi, ia serahkan anak kecil dalam empoannya kepada Bwee Kiam Hoo, lantas ia cabut pedangnya dengan apa ia berloncat kepada Tjeng Tjeng, yang ia serang dadanya tanpa bilang suatu apa!

Nona Oen kaget sekali, cepat-cepat ia berkelit. Ia bingung, karena ia datang - dengan penuhkan keinginannya Sin Tjie - tanpa membawa senjata tajam. Sekarang ia diserang oleh seorang aseran dan ia segera diserang berulang-ulang, hingga, mulai dari terdesak, ia jadi repot. Ia memang bukan tandingan nona Soen itu, sekarang pun ia bertangan kosong, pasti sekali ia jadi sangat sibuk. Sin Tjie, yang lagi layani ensonya, lihat Tjeng Tjeng diserang Tiong Koen, ia jadi berkuatir, karena ia tahu, Tjeng Tjeng bukan tandingan Hoei-Thian Mo Lie yang telengas. Ia ingin tolongi si nona akan tetapi ia sendiri lagi didesak Kwie Djie-nio. "Jangan kau lukai orang!" Kwie Sin Sie peringati Tiong Koen.

"Dia puteranya Kim Coa Long-koen, dialah si biang keladi!" Tiong Koen bilang. Kwie Sin Sie dengar Kim Coa Long-koen kejam, dia anggap orang bukan orang baik, maka ia lantas tutup mulut.

Soen Tiong Koen anggap gurunya itu terima baik alasannya itu, ia lantas melanjuti menyerang dengan pedangnya dengan terlebih-lebih hebat, hingga diantara berkilau-kilaunya pedang, jiwanya Tjeng Tjeng sangat terancam bahaya maut. Dalam sibuknya Sin Tjie mengerti itulah ancaman hebat bagi Tjeng Tjeng, lalu ia paksakan diri akan cari ketikanya akan menyingkir dari sang enso. Masih ia lonjorkan kedua

tangannya, tapi sekarang ia coba  tendang ensonya itu dengan kaki kiri dan kanan bergantian, begitu ada ketikanya yang baik. Beruntun ia menendang sampai enam kali, tapi setiap kali kakinya hampir mengenai sasaran, segera kaki itu ditarik pulang. Secara

begini ia berhasil akan desak mundur nyonya yang berhati panas itu. Sin Tjie gunai ketikanya dengan baik sekali, dengan tiba-tiba ia berlompat ke arah Soen Tiong Koen, guna dengan tangan kirinya totok bebokongnya si nona, maksudnya adalah untuk merampas pedangnya. Dalam saat itu Tiong Koen menghadapi bencana, tiba-tiba terdengar seruan keras dan panjang dari samping, tahu-tahu tubuhnya Kwie Sin Sie sudah mencelat ke arah soeteenya pinggang siapa ia ancam dengan satu serangan hebat. Sin Tjie ketahui datangnya serangan itu, untuk tolong diri, ia batalkan serangannya kepada Nona Soen. Ia tidak berkelit, ia hanya gunai tangan kanannya, untuk menangkis, guna sekalian gaet tangannya sang soeko. Ketika kedua tangan bentrok, tubuh Sin Tjie tertolak ke belakang, hingga ia terperanjat. Sebab sejak turun gunung, belum pernah ia ketemui lawan setangguh soeko ini. "Aku tahu djie-soeko liehay, tetapi ia bertubuh begini kurus-kering, siapa tahu tenaganya begini besar?" ia berpikir. Karena ini, soeko itu cocok sama julukannya, "Sin-koen Boe-tek," atau "Kepalan Dewa Tanpa Tandingan".

Habis itu, Sin Tjie berdiri tegak, hingga untuk kedua kalinya datanglah sambaran tangan kiri dari kanda seperguruan yang kedua itu. Sementara itu, Kwie Djie-nio sendiri sudah berdiri di pinggiran. Sekarang Sin Tjie sudah siap, ia berkelit dengan pundak kiri diegoskan, hingga serangan kedua dari sang soeko gagal pula. Ia telah coba satu jurus dari "Pek pian kwie eng". Kwie Sin Sie menyerang pundak, akan tetapi ia tidak berlaku sungguh- sungguh, ia niat lantas tarik pulang tangannya itu. Biar bagaimana, ia masih hormati gurunya, tidak mau ia lukai soetee itu. Di luar sangkaannya,  serangannya yang hebat itu dapat dikelit Sin Tjie, hingga tanpa menginsafi, ia berseru: "Kau gesit sekali!" Seruan ini disusul dengan serangan yang ketiga, gerakannya sama dengan gerakan tangannya Kwie Djienio tadi, hanya serangan ini lebih cepat lagi, lebih berat pula. "Tidak heran djie-soeko jadi sangat kesohor," pikir Sin Tjie, yang kagum tak terkira.

"Pantaslah murid-muridnya pun sangat dimalui, kiranya dia telah peroleh kesempurnaan pelajarannya soehoe."

Terus Sin Tjie gunai "Pek pian kwie eng" untuk layani saudara seperguruan ini, tapi ia masih belum punyakan latihan yang cukup. Maka kadang-kadang ia campur itu dengan "Hok houw koen" -"Kepalan Takluki harimau" dari Hoa San Pay, buat menangkis, hingga berdua mereka bisa bertempur dengan seru.

Soen Tiong Koen di lain pihak masih desak terus pada Tjeng Tjeng. Seperti juga ia telah peroleh perkenan dari gurunya, ia jadi bisa bertindak dengan merdeka. Ia girang melihat lawannya repot melayaninya. "Soemoay, jangan lancang melukai orang!" Pwee Seng dan Kiam Hoo memperingati. Baru nasihat itu diperdengarkan atau pedangnya Tiong Koen sudah sambar dadanya Tjeng Tjeng. Dia ini mati jalan, terpaksa ia buang diri dengan melenggak, dengan lompat

jumpalitan, akan terus bergulingan di tanah. Masih saja Tiong Koen menyerang, selagi orang berguling, ia membabat. Tjeng Tjeng lolos, ikat kepalanya kena ditabas, karena mana, terlepaslah rambutnya yang panjang dan hitam sampai menutupi mukanya. Menampak itu, Soen Tiong Koen tercengang. Tidak pernah ia sangka, si pemuda sebenarnya adalah satu pemudi. Tapi karena ia penasaran, ia maju pula, akan lanjuti serangannya.

Selagi Tjeng Tjeng terancam bahaya, dengan sekonyong-konyong terdengar seruan nyaring dan bengis yang datang- nya dari atas pohon di samping mereka: "Oh, nona yang kejam!" Lantas seruan itu disusul dengan melayang turunnya satu tubuh, sebelum Tiong Koen tahu apa-apa, pedangnya sudah kena ditendang hingga terlepas, dan tentu saja ia

jadi kaget sekali. Orang asing itu adalah satu imam, alis dan  kumis- jenggotnya telah putih semua, dia

berdiri melintang di depan Tjeng Tjeng.

Soen Tiong Koen mengawasi dengan tercengang, bersama-sama dengan Pwee Seng dan Kiam Hoo, ia tidak kenal imam itu. Akan tetapi Kwie Djie-nio kenali Bhok Siang Toodjin, sahabat kekal dari gurunya, ia lekas-lekas menghampirkan, untuk memberi hormat. "Jangan repot dengan cara-hormat saja, lihatlah itu soeheng dan soetee sedang berlatih!"

katanya sambil tertawa. Kwie Djie-nio lantas berpaling kepada suaminya, siapa lagi tempur Sin Tjie dengan tubuh

mereka bergerak bagaikan dua bajangan berkelebatan, anginnya menderu-deru. Sin Sie pesat tapi Sin Tjie gesit, kalau yang satu mewariskan satu guru, yang lain adalah ahli warisnya tiga guru yang liehay.... Makin lama pertempuran jadi makin seru, walau demikian, Sin Tjie berada di pihak lebih lemah. Dia berkelahi dengan gunai ilmu silat Hoa San Pay, benar ia pandai menggunainya, akan tetapi dari Sin Sie, ia kalah latihan, kalah pengalaman. Di lain pihak, ia lebih banyak menangkis, tidak berani ia keluarkan seantero kepandaiannya. Kwie Djie-nio girang melihat suaminya menang di atas angin, tetapi meski demikian, sekarang tidak lagi ia sangsikan Sin Tjie sebagai soeteenya, karena ia telah saksikan baik-baik, ilmu silat Sin Tjie tulen dari Hoa San Pay. Sin Tjie terdesak terus, untuk menyingkirkan ancaman bahaya, tiba-tiba ia ubah caranya

bersilat, maka selanjutnya, tubuhnya bergerak-gerak licin bagaikan ular air. Sebab sekarang terpaksa ia gunai ilmu silatnya Kim Coa Long-koen, ialah "Kim Tjoa Yoe-sin-tjiang" atau "Ular Emas main-main". Itulah ilmu entengkan tubuh yang dicangkok dari ular yang lagi berenang memain di muka iar. Untuk ini, Sin Tjie boleh tak usah balas

menyerang lagi. Dengan gunai "Pek pian kwie eng" tubuhnya jadi bertambah licin.... Kwie Sin Sie boleh liehay sekali, akan tetapi sekarang ia putus asa untuk berikan serangan berarti terhadap soetee itu, hingga ia pun jadi kagum berbareng heran. Pertempuran dilanjuti sampai beberapa puluh jurus lagi dengan hasilnya tetap masih tidak

ada, sekonyong-konyong Sin-koen Boe-tek berlompat keluar dari kalangan sambil

serukan: "Tahan!" Sin Tjie heran, akan tetapi ia berhenti bergerak, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tak berhasil

memukul aku, ini artinya kita seri, kedua pihak telah dapat lindungi muka mereka, pantaslah pertempuran habis sampai di sini..." Setelah berdiri di pinggiran, Kwie Sin Sie dongak sambil terus menjura kearah atas, ke arah satu pohon. "Soehoe, soehoe telah datang!" katanya. Mendengar ini, Sin Tjie terperanjat, ia heran. Ia mengawasi ke pohon, ke arah mana Sin Sie memberi hormat, dari situ ia tampak empat bajangan berlompat turun saling-susul, hingga di lain saat ia telah dapat lihat tegas empat orang itu, yang pertama ialah gurunya, Pat-tjhioe Sian wan Bok Djin Tjeng, hingga tak ayal lagi, ia lari mendekati, untuk memberi

hormat sambil paykoei. Kemudian Barulah ia berbangkit, akan awasi tiga yang lain. Ialah Tjoei Tjioe San, Toasoehengnya Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Tjin dan di paling belakang,

A Pa, si empeh gagu, sahabat karibnya di dalam guha. Dalam kegirangannya yang luar biasa itu, Sin Tjie segera bicara sama A Pa, sudah tentu dengan main gerak-gerik tangan mereka. "Dasar aku kurang pengalaman, aku layani soeko tanpa aku perhatikan segala apa di

sekelilingku," pikir pemuda ini. "Coba yang sembunyi di atas itu bukannya soehoe, hanya orang lain, apa aku tidak bakal celaka karena bokongan?" Karena ini, ia kagumi Kwie Sin Sie. Bok Djin Tjeng usap-usap kepala muridnya yang bungsu. "Toasoekomu telah tuturkan aku perihal perbuatanmu di Kie-tjioe, Tjiatkang, perbuatanmu itu tak dapat dicela," berkata guru ini sambil tertawa. Setelah itu, mendadak tampangnya jadi sungguh-sungguh ketika ia kata dengan keras: "Kau, seorang anak muda, mengapa kau tidak hormati orang yang terlebih tua? Kenapa kau lawan soekomu?" Sin Tjie terkejut, lekas-lekas ia tunduk. "Teetjoe bersalah, lain kali teetjoe tak berani pula," kata ia. Terus ia hampirkan Kwie Sin Sie dan Kwie Djie-nio, untuk menjura kepada mereka seraya berkata: "Siauwtee haturkan maaf kepada soeko dan soeso." Meskipun Kwie Djie-nio aseran akan tetapi jujur. "Soehoe, jangan soehoe tegur soetee," ia bilang. "Adalah aku dan suamiku yang paksa ia

melayani berkelahi. Yang aku sesalkan adalah soetee sudah gunai ilmu silatnya lain kaum untuk menghina kepada bebe- rapa muridku yang tidak berharga..."

Nyonya Kwie lantas tunjuk Pwee Seng tiga saudara seperguruan. "Bicara tentang pelbagai kaum persilatan, hatiku tawar," berkata Bok Djin Tjeng dengan sabar. Lalu terus ia menoleh pada Kiam Hoo. "Eh, Kiam Hoo, mari!" ia panggil cucu muridnya yang berangasan itu. "Aku hendak tanya kau. Dia ini sudah berani lawan soehengnya bertempur, dialah yang salah! Akan tetapi kamu bertiga, kenapa kamu berani

lawan soesiokmu? Didalam kalangan kita mempunyai aturan yang tertua dan yang

termuda, apakah kamus udah tidak hormati tingkatan derajat itu?" Kiam Hoo, begitu juga Pwee Seng, tidak berani mendusta terhadap soe-tjouw itu, si kakek guru, maka mereka akui kesalahan mereka, untuk itu Kiam Hoo tuturkan asal mulanya, ketika mereka bantui Bin Tjoe Hoa yang memusuhkan Tjiauw Kong Lee. Ia tuturkan semua

dengan jelas, kecuali di bagian Soen Tiong Koen tabas tangannya Lo Lip Djie, ia lewatkan itu. Tjeng Tjeng tidak puas dengan cerita tak lengkap itu. "Dengan telengas dia telah tabas kutung sebelah tangan orang!" ia campur bicara,

suaranya keras. "Wan Toako tidak puas dengan perbuatan kejam itu, karenanya ia campur tangan!" Wajahnya Bok Djin Tjeng jadi guram. "Apakah itu benar?" ia tanya. Kwie Sin Sie dan isterinya masih belum tahu hal itu, maka keduanya awasi Soen Tiong Koen, si nona yang disebut sebagai si "dia" oleh nona Oen.

Kiam Hoo jawab gurunya, dengan pelahan:

"Soen Soemoay kira dia seorang jahat, maka ia turun tangan dengan tidak mengenal ampun lagi," katanya. "Sekarang soemoay telah jadi sangat menyesal. Harap soetjouw suka mengasi ampun..."

"Pantangan paling besar dari kaum kita Hoa San Pay adalah melukai atau membunuh tanpa sebab!" berseru dia. "Sin Sie, ketika kau mulai terima murid, apakah kau tidak jelaskan pantangan kita itu kepadanya?" Belum pernah Sin Sie dapatkan gurunya gusar demikian rupa, lekas-lekas ia berlutut didepan guru itu. "Teetjoe telah keliru mendidik, harap soehoe jangan gusar," ia mohon. "Nanti teetjoe tegur padanya." Kwie Djie-nio pun lantas berlutut di depan guru itu, maka perbuatannya lantas diturut oleh Lauw Pwee Seng, Bwee Kiam Hood an Soen Tiong Koen. Ketiga murid ini berlutut

dibelakang Kwie Sin Sie. Bok Djin Tjeng masih gusar. Ia tegur Sin Tjie:

"Kau telah saksikan kejadian itu, kenapa kau sudah saja dengan cuma patahkan pedang? Kenapa kau juga tidak tabas kutung sebelah lengannya? Kita tidak jaga baik nama kita, kita tidak taat kepada pantangan sendiri, apakah kita tak bakal ditertawai, dihinai sesama sahabat kang-ouw?" Sin Tjie pun lekas-lekas berlutut, ia manggut- manggut. "Teetjoe bersalah, soehoe," ia akui. Ia tak mau omong banyak. Pat-tjhioe Sian Wan si Lutung Sakti Tangan Delapan tertawa dingin. "Mari kau!" ia panggil Soen Tiong Koen.

Nona itu takut bukan main, tidak berani ia menghampirkan kakek guru itu, ia terus mendekam di tempatnya, ia manggut berulang-ulang. "Apakah kau tidak mau menghampirkan?" tanya Bok Djin Tjeng.

Kwie Djie-nio sangat takut, ia tahu maksud gurunya itu, ialah sang guru hendak bikin Soen Tiong Koen menjadi satu manusia bercacat. Tapi Tiong Koen ada murid kesajangannya, bagaimana ia tega. Maka ia lantas manggut-manggut pada guru itu. "Soehoe, harap soehoe jangan gusar," memohon dia.  "Sepulangnya nanti teetjoe beri

ajaran keapdanya." "Kau juga kutungi sebelah tangannya, besok kau ajak dia pergi kepada keluarga Tjiauw untuk menghaturkan maaf!" kata guru itu.

Dalam takut dan kekuatirannya yang sangat, Kwie Djie-nio bungkam. Tapi Sin Tjie segera berkata: "Mengenai urusan dengan keluarga Tjiauw itu, teetjoe sudah menghaturkan maaf. Lalu dari itu teetjoe juga telah janjikan orang yang dikutungi sebelah tangannya itu pelajaran silat dengan sebelah tangan. Karena itu, pihak Tjiauw sudah terima baik perdamaian, sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi."

"Hm!" berseru guru itu. "Sekarang bangunlah semua! Sukur Bhok Siang Toodjin bukannya orang luar, apabila tidak, dia boleh tertawai kita hingga kita mati semua! Dasar Bhok Tooyoe yang cerdik, setelah dapat pengalaman buruk dari muridnya, selanjutnya tak mau ia menerima murid pula, hingga tak usah ia mendapati hal-hal yang memalukan."

Kwie Sin Die semua berbangkit. Bok Djin Tjeng melirik kepada Soen Tiong Koen, justeru itu cucu murid lagi memandang

dia, cucu murid ini kaget, lekas-lekas ia berlutut pula, karena ia jeri untuk sinar mata berpengaruh dari si kakek guru. "Mari pedangmu, serahkan padaku!" Bok Djin Tjeng kata pada cucu-murid itu. Soen Tiong Koen terima perintah dengan hati memukul keras, dengan kedua tangannya ia persembahkan pedang yang diminta, kedua tangannya diangkat sampai diatasan kepalanya. Soetjouw itu sambuti gagang golok, ketika ia menarik, Tiong Koen menjerit dengan tiba-tiba: "Aduh!" Lantas saja darah mengucur dari tangannya yang kiri, di mana jari kelingking telah tertabas kutung pedangnya sendiri, hingga ia merasakan sakit bukan main. Bok Djin Tjeng geraki pula tangannya yang memegang pedang itu, untuk mana tangan

kanannya dibantu tangan kiri, atas mana, pedang itu terpatah dua dengan menerbitkan suara nyaring. "Mulai hari ini sampai selanjutnya, aku larang kau gunai pedang!" Berkata sang kakek guru dengan suaranya yang bengis. "Teetjoe terima," sahut Tiong Koen dengan mena- han sakit. Ia malu dan kaget, air matanya sampai mengucur keluar. Kwie Djie-nio robek ujung bajunya, untuk pakai itu membungkus luka jeriji muridnya itu. "Bagus, tak nanti kau dihukum pula," ia bisiki sang murid.

Tiong Koen berdiam, ia cuma bisa menangis. Bwee Kiam Hoo saksikan caranya sang kakek guru patahkan pedang, sekarang Barulah ia percaya habis kepandaian Sin Tjie, ketika pemuda ini patahkan pedangnya Tiong Koen. Karena ini ia pun jadi insyaf, ilmu silat Hoa San Pay sangat liehay, bahwa ia Baru dapat pelajarkan kulitnya saja, hingga tidak ada alasan untuk ia menantang di luar, untuk menjagoi. Ia menyesal, ia pun kuatir nanti dihukum kakek itu, diam-diam ia kucurkan keringat dingin di bebokongnya. Bok Djin Tjeng deliki cucu murid ini tapi ia diam saja. "Kau telah janjikan orang itu pelajaran silat, kau mesti ajarkan dia baik-baik," tjouwsoe ini kata kepada Sin Tjie, kepada siapa ia berpaling. "Kau hendak ajarkan apa padanya?" Mukanya Sin Tjie menjadi merah. "Teetjoe belum dapat perkenan dari soehoe, tidak berani teetjoe sembarang turunkan pelajaran kita kepada lain orang," ia jawab. "Tadinya teetjoe memikir untuk ajari dia ilmu

golok tunggal Tok-pie-too-hoat, ialah semacam pelajaran yang teetjoe ciptakan sendiri dari hasil campur-baur."

"Pelajaran campur-baurmu terlalu sedikit kelebihan!" berkata sang guru, yang tapinya tidak gusar. "Ketika kau barusan layani djie-soekomu, kau seperti gunai ilmu silat istimewa Pek pian kwie eng dari Bhok Siang Tooyoe. Kau telah dapatkan satu sahabat-

karib tukang main tiokie, yang suka membantu kepadamu, maka itu pasti sekali djie-soekomu tidak sanggup berbuat suatu apa atas dirimu!....."

Lalu jago tua ini tertawa terbahak- bahak. Bhok Siang Toodjin juga tertawa lebar. "Eh, Sin Tjie," katanya kepada si anak muda," brani atau tidak kau mendusta didepan gurumu?"

"Teetjoe tidak berani, tootiang," Sin Tjie jawab. "Kau tidak berani, bagus!" imam itu kata. "Sekarang aku hendak tanya kau: Sejak kau meninggalkan Hoa San, pernah atau tidak aku mengajarkan pula ilmu silat kepadamu? Dengar biar tegas, aku maksudkan, benar atau tidak aku sendiri yang mengajarkan pula

padamu?" Sin Tjie bercekat. Baru sekarang ia mengerti kenapa imam itu, untuk ajarkan ia "Pek pian kwie eng" mesti pakai perantaraannya Tjeng Tjeng. Jadi inilah maksudnya, untuk cegah

Djie-soekonya Kwie Sin Sie nanti mengiri dan menegur gurunya berat sebelah. Sungguh si imam sangat licik, hingga siang-siang ia sudah sedia tameng! "Tootiang belum pernah ajarkan sendiri ilmu silat lainnya kepadaku," ia jawab imam itu. "Sejak pertemuan kita paling belakang, begitu bertemu kita berdua lantas main catur." "Nah, itulah dia!" berseru Bhok Siang Toodjin, yang tertawa pula. "Sekarang kau coba berlatih pula dengan soehengmu ini, aku larang kau gunai semua ilmu silat yang dahulu pernah aku ajarkan padamu."

"Djie-soeko tersohor dengan julukannya Sin-koen Boe-tek, itulah pujianyang sebenar-benarnya," Sin Tjie bilang, "tadi pun teetjoe sudah kewalahan, selagi teetjoe berniat minta pertandingan dihentikan saja, sukur soehoe keburu datang. Coba temponya terlambat, tentulah teetjoe habis daya...." Bok Djin Tjeng tertawa. Ia puas karena murid muda ini pandai sekali bawa dirinya. "Sudah, sudah," kata dia. "Tootiang ingin kau berlatih pula, cobalah lagi sekali kau pertontonkan keburukanmu....." Sin Tjie terdesak, tak berani ia membantah pula. Maka setelah rapikan pakaiannya, ia

hampirkan Kwie Sin Sie untuk menjura kepada djie-soeheng itu. "Djie-soeko, aku mohon kau beri pimpinan padaku," ia minta. Kembali ia unjuki sifat halus- nya, yang suka merendah. "Jangan ucapkan itu," kata Kwie Sin Sie, yang terus berpaling kepada gurunya, untuk

kata: "Jikalau ada yang salah, tolong soehoe unjuki." Begitulah kedua soeheng dan soetee ini berdiri berhadapan, untuk "berlatih" pula, dalam satu pertempuran yang beda daripada yang tadi. Sebab Kwie Sin Sie, di depan gurunya, dimuka orang-orang lainnya, tak ingin mendapat malu. Ia menyerang dengan sebat dan keras, tapi ia juga membela diri dengan waspada dan teguh.

Di hadapan Sin-koen Boe-tek, Wan Sin Tjie berkelahi dengan tenang tetapi cepat, akan imbangi sang soeheng. Sekarang ia mau menyerang, tidak lagi main menangkis atau berkelit saja seperti tadi. Ia taat kepada pesannya Bhok Siang Toodjin, ia terus gunai pelbagai tipu dari Hoa San Pay. Maka itu bisa dimengerti, bagaimana hebatnya latihan ini. Dengan cepat, seratus jurus telah dilalui, selama itu, tidak pernah salah satu pihak berbuat keliru atau keteter, hingga Kwie Sin Sie heran dan penasaran yang ia tak mampu rubuhkan atau desak saja sang soetee yang usianya masih demikian muda. Baru sekarang ia insaf benar-benar liehaynya soetee ini. Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin tonton pertandingan itu, keduanya bersenyum sambil urut-urut jenggot mereka. "Memang benar, guru terkenal menciptakan murid pandai!" Bhok Siang memuji. "Ini dia yang dibilang, di bawah pimpinan panglima perang pandai tidak ada tentara yang lemah. Melihat dua muridmu ini, aku bisa mengiri, menyesal kenapa dulu aku tidak mengajarkan beberapa muridku dengan sungguh-sungguh...." Bok Djin Tjeng Cuma bersenyum atas pengutaraan sahabatnya itu. Pertandingan berjalan lagi beberapa jurus, masih Sin Sie tak dapat menangkan soeteenya itu, ia menjadi sibuk bukan main, hingga  karenanya, ia lantas mengadakan perubahan. Sin Tjie menginsyafi desakannya soeheng itu, ia berpikir sebaliknya. "Setelah sampai disini, aku mesti mengalah terhadap soeheng," demikian pikirnya. "Tapi mengalah adalah sangat sulit, karena soeheng liehay, apabila aku berayal sedikit saja, bisa aku nampak bahaya. Bagaimana sekarang?" Sin Tjie lantas asah otaknya. "Dari ucapan soehoe tadi, nampaknya ia kurang puas kepadaku karena pelajaranku terlampau campur aduk," demikian ia ingat. "Tadi aku gunai tiga macam kepandaian untuk layani djie-soeko, aku lantas menang di atas angin, sekarang aku gunai satu kepandaian aja kita berimbang. Apakah itu bukannya alasan untuk bilang, pelajaran lain kaum menangkan kaum kita? Baik aku gunai akal...." Pikiran ini lantas diwujudkan, anak muda ini segera bersilat dengan "Kim Tjoa kim hoo koen," atau ilmu silat "Ular emas menawan burung hoo." Inilah pelajarannya Kim Tjoa Long-koen. Kwie Sin Sie terperanjat begitu lekas ia kenali lawan gunai ilmu pukulan yang asing baginya, sebab didalam Hoa San Pay tidak ada gerak-gerakan yang mirip dengan itu. Setelah empat jurus serangannya sang soetee, ia berlaku waspada, untuk lindungi diri. Sin Tjie lihat perubahan sikapnya sang soeheng, ia bernapas lega, lalu sembari berkelahi terus, ia empos tenaganya ke bebokongnya. Gerakan ini pun memperlambat gerakannya, hingga Sin Sie lantas lihat satu lowongan dibelakangnya sang soetee. Seperti biasanya satu ahli silat, tak suka ia mensia-siakan lowongan, malah tanpa sangsi lagi, ia lantas kirim serangannya. Sin Tjie sudah siap, ia antap bebokongnya kena dihajar, selagi terhuyung, hingga ia sempoyongan empat-lima tindak. "Aku kalah," kata ia selagi ia membalik tubuh. Kwie Sin Sie menyesal setelah ia serang jitu soeteenya itu, ia kuatir sang soetee terluka parah, maka ia lompat maju, dengan niat mengasi bangun, akan tetapi bukan kepalang herannya apabila ia tampak soetee itu tidak kurang suatu apa! Benar-benar ia tidak mengerti. Ia tidak tahu, disamping mengatur  tenaganya, untuk lawan serangan, Sin Tjie juga andali baju kaos suci dari Bhok Siang Toodjin. Tatkala si anak muda memutar tubuh, untuk bertindak, Baru ketahuan, bajunya di bagian

bebokong telah hancur dan beterbangan sepotong demi sepotong! Tjeng Tjeng berkuatir sekali, hingga ia lari menghampiri. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. "Jangan kuatir," sahut Sin Tjie dengan tenang. Bok Djin Tjeng sendiri sudah lantas pandang muridnya yang kedua. "Pelajaranmu telah peroleh kemajuan, akan tetapi barusan seranganmu terlalu keras, kau tahu?" tanya guru ini. "Teetjoe mengerti, soehoe," sahut sang murid. "Pelajaran Wan Soetee adalah di atasanku, aku takluk padanya."

"Selama yang belakangan ini sering aku dengar tentang kamu berdua suami dan isteri," kata pula sang guru, "aku dengar kamu berdua telah terlalu umbar murid-muridmu, hingga mereka jadi petantang-petenteng, menarik perhatian umum. Aku pikir, isterimu mungkin

seorang yang kurang sadar, akan tetapi kau bukan seperti dia. Sekarang aku lihat sikapmu terhadap soeteemu begini rupa, hm!....." Kwie Sin Sie tunduk.

"Aku menerima salah, soehoe," dia bilang. "Sudahlah," Bhok Siang menyelak. "Di dalam pieboe, siapa juga tak dapat berhati mulia. Sin Tjie toh tidak terluka, kau orang tua buat apa kau omong banyak-banyak?" Ditegur demikian rupa, Bok Djin Tjeng berdiam.

Sementara itu, Kwie Sin Sie dan isterinya jadi tidak puas terhadap Sin Tjie. Mereka sudah lama memperoleh nama, untuk di Kanglam, mereka seperti memimpin dengan diam-diam kaum Rimba Persilatan, sekarang mereka ditegur di muka umum oleh guru mereka, mereka jadi malu dan tak senang. Kemudian Bok Djin Tjeng ubah haluan. "Giam Ong akan mulai bergerak di dalam musim rontok ini," demikian katanya, "maka lekas kamu pergi ikat perhubungan dengan saudara- saudara rimba persilatan di wilayah

kanglam, untuk sambut gerakan mulia itu." Kwie Sin Sie dan isterinya, kepada siapa kata-kata itu diucapkan, menyahuti bahwa mereka bersedia akan jalankan titah itu. Lantas Bok Djin Tjeng kata pada Sin Tjie dan Tjeng Tjeng: "Pergilah kau ke Pakkhia bersama-sama sahabat mudamu ini, disana kamu musti serep-serepi gerak-geriknya pemerintah, tetapi ingat, janganlah keprak rumput hingga kau membikin ular kaget, terutama jangan sembarang bunuh menteri-menteri di istana. Jikalau

ada kabar yang penting, segera berangkat ke Siamsay untuk memberi laporan!"

"Baik, soehoe," Sin Tjie jawab.

"Sekarang aku hendak pergi menemui Tjit tjap djie to - totjoe The Kie In serta Sip Lek Taysoe dari Siauw Liem Sie," Bok Djin Tjeng kata pula. "Bhok Siang Tooheng, kau hendak pergi kemana?"

"Kami orang-orang gagah pencinta negara, yang senantiasa pikirkan Negara dan rakyat, pantas kamu repot terus- terusan seluruh hari," tertawa Bhok Siang Toodjin, "tidak demikian denganku, aku adalah seumpama si burung hoo liar yang pesiar di tengah udara.

Aku pikir akan berdiam lagi beberapa hari di sini dengan muridmu ini, kau akur atau tidak?" Bok Djin Tjeng tertawa. "Sin Tjie telah janjikan orang untuk memberi pelajaran, di Lamkhia ini ia masih mesti berdiam untuk beberapa hari," ia jawab, "maka pergi kamu main catur selama beberapa hari ini! Kau sendiri masih punyakan banyak ilmu kepandaian, bolehlah sekalian saja kau

wariskan semuanya kepadanya!" Sambil tertawa berkakakan, Bok Djin Tjeng putar tubuhnya untuk berlalu, atas mana Oey Tjin dan Tjioe San lantas mengikuti. A Pa berdiri tegak di tempatnya, ia gerak-gerikkan kedua tangannya kepada ketua dari Hoa

San Pay, melihat mana, Bok Djin Tjeng tertawa. "Baiklah," katanya. "Kau kangen dengan sahabat cilikmu, pergi kau berdiam sama dia!" Ia juga beri tanda dengan gerakan tangannya. A Pa sangat girang, ia lari pada Sin Tjie tubuh siapa ia tubruk, untuk dipeluk dan diangkat! Tjeng Tjeng kaget hingga ia mencelat, tapi kapan ia tampak wajah kegirangan orang, hatinya menjadi lega, ia menjadi tenang pula. Sin Tjie girang berbareng masgul. Baru ia bertemu gurunya, lantas mereka berpisah pula. Ia pun berat akan berpisah dari Tjioe San dan Oey Tjin, malah dengan sang toasoeheng ia sampai tak sempat pasang omong lagi. "Kau baik, tak kecewa banyak orang ajari kau," demikian terdengar suaranya Bok Djin Tjeng, yang tubuhnya lantas lenyap di tempat gelap, lenyap bersama Oey Tjin dan Tjioe San, meninggalkan si murid yang bengong mengawasi kearahnya. Kwie Sin Sie dan isterinya juga, sambil memberi hormat, awasi guru dan soehengnya itu, kemudian mereka menjura pada Bhok Siang Toodjin, akan lantas ajak tiga murid mereka berlalu. "Mereka itu mendendam terhadap kau," Bhok Siang kata pada Sin Tjie. "Mereka berkepandaian tinggi, dibelakang hari apabila kau bertemu dengan mereka, waspadalah! - Sekarang, aku pun hendak pergi!" Sin Tjie manggut berbareng terperanjat. Ia terima nasehat itu tapi ia tak sangka guru ini mau berangkat demikian lekas. Ia pun menyesal sudah bentrok dengan soehengnya suami-istri. Lebih menyesal lagi, tak dapat ia tahan Bhok Siang Toodjin, yang lantas saja berlalu. Maka ia pun ajak A Pa dan Tjeng Tjeng berlalu dan sepulangnya ke rumah Kong Lee, ia terus masuk tidur. Besoknya pagi baru pemuda ini mendusi, atau Tjeng Tjeng sudah berlari-lari masuk kedalam kamarnya sambil mulutnya berseru dengan berisik - berseru kegirangan - sebab tangannya menggenggam sebuah peti kayu yang kecil, semacam lopa-lopa.

"Terkalah, apa ini?" ia berseru dengan pertanyaannya. "Apakah ada tetamu?" Sin Tjie tanya. Tjeng Tjeng tidak menjawab, ia hanya buka peti kecil itu. Ia berbuat demikian dengan air mukanya tersungging senyuman, umpama bunga  sedang mekar. Dari dalam peti itu, ia jumput keluar selembar kertas merah, atau angtiap lebar, yang bertuliskan: "Hormat dari adikmu yang bodoh, Bin Tjoe Hoa." Terus si nona beber lembaran kertas merah itu, yang di dalamnya memuat selembar surat rumah berikut sepotong catatan lengkap dari semua barang yang berada di dalam rumah yang dimaksudkan itu. Sin Tjie jadi kurang enak hati melihat Bin Tjoe Hoa buktikan janjinya dengan serahkan rumah yang dibuat pertaruhan itu berikut segala isinya. Maka lekas-lekas ia salin pakaian, ia lantas pergi ke rumah orang she Bin itu, dengan maksud menemui, untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi kapan ia sampai di rumah itu, tuan rumah semua sudah pergi, disitu tinggal dua bujang yang asyik sapui kotoran. Atas pertanyaan anak muda ini, dua orang itu bilang bahwa Bin Tjoe Hoa serumah-tangga sudah pergi sejak tadi pagi-pagi, entah ke mana tujuannya. Terpaksa Sin Tjie terima rumah itu, yang segera ia tempatkan. Tjiauw Wan Djie telah lantas kirim beberapa orangnya berikut bujang perempuan, guna bantu mengatur lebih jauh rumah gedung itu. Kedua bujang perempuan bantui Tjeng Tjeng. Di antara beberapa orang lelaki itu juga termasuk koki, tukang kebun, pesuruh, kusir dan cinteng, untuk jaga malam. Dengan sendirinya, Ang Seng Hay diangkat jadi tjongkoan, kuasa rumah. "Nona Tjiauw masih berusia sangat muda akan tetapi untuk urus rumah-tangga, ia ingat segala apa," Sin Tjie puji Wan Djie. Tjeng Tjeng tertawa. "Maka jikalau dia bisa menjadi nyonya rumah ini, sungguh bagus!" katanya. Sin Tjie awasi nona itu, ia tidak kata suatu apa. Tjeng Tjeng baik segala-galanya, kecuali dalam hal hati-kecilnya, ia terpengaruh kejelusannya, cemburunya. Pada malam pertama di gedungnya itu, tengah malam, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berkumpul di dalam kamarnya, mereka keluarkan peta bumi dari Kim Coa Long-koen, untuk periksa peta itu, guna diakurkan dengan macamnya gedung itu. Disana-sini sudah ada beberapa perubahan akan tetapi pokoknya tetap, cocok dengan lukisan peta, dari itu keduanya jadi sangat girang. Sekarang mereka fahamkan pengunjukan tanda-tanda, yang membawa mereka keluar taman, terus ke dalam taman, sampai disamping taman di mana ada sebuah gudang kayu. Mereka masuk ke dalam gudang ini. Sin Tjie ajak A Pa, si empeh gagu, untuk dia ini bantui singkirkan semua kayu dan rumput yang memenuhkan gudang itu, sesudah mana, mereka kerjakan pacul, untuk menggali tanah. Tjeng Tjeng berdiri di luar pintu gudang, tangannya menyekal pedang, karena ia bertugas berjaga-jaga. A Pa adalah yang menggali lobang, ia telah bekerja kira setengah jam, lantas paculnya membentur suatu barang keras hingga menerbitkan suara nyaring, rupanya ada batu di dalam lobang galian itu. A Pa tuli, ia tidak dengar suatu apa, maka Sin Tjie lantas cegah ia, supaya penggalian dilakukan saja untuk gali keluar batu itu, yang merupakan sepotong batu besar bagaikan papan. Berdua mereka angkat batu itu, hingga kelihatan satu lobang di bawahnya. Sin Tjie berseru saking kegirangan, hingga Tjeng Tjeng dapat dengar suaranya, nona ini segera memburu ke dalam, hingga ia pun saksikan lobang itu. "Di sini!" Sin Tjie bilang. "Pergi kau menjaga pula di luar, sebentar Baru masuk lagi." Nona Oen menurut. Sin Tjie bikin dua batang obor, untuk itu di situ tersedia rumput keringnya, setelah ia sulut obor itu, ia lemparkan ke dalam lobang, untuk singkirkan hawa busuk, kemudian Baru ia turun ke dalam lobang dimana antara cahaya api, tertampak undakan tangga batu. Berbaris rapi, di dalam ruangan dalam tanah itu kedapatan sepuluh peti besar yang diatur rapi, setiap petinya dirantai dengan rantai yang besar. Cuma di situ tidak kedapatan anak kunci. A Pa bertenaga besar, ia coba dukung sebuah peti, untuk diangkat, ia dapatkan peti besi itu sangat berat. Sin Tjie keluarkan petanya, untuk periksa lebih jauh. Di pinggir tempat simpan harta itu, ialah di pojok kiri, ada lukisan seekor naga kecil. Menduga apa-apa, ia sambar pacul untuk dipakai memaculi tanah di tempat yang dilukiskan itu. Baru ia memacul beberapa kali, lantas ia dapatkan sebuah lopa-lopa besi, yang tidak dikunci, maka dengan gampang lopa-lopa itu dapat dibuka tutupnya. Tapi untuk buka itu, ia gunai tali, ia menariknya pelahan-lahan. Ia ingat panah rahasia dari Kim Coa Long-koen, dari itu ia bekerja dengan waspada. Peti itu terbuka dengan tidak mengakibatkan suatu apa, lalu Sin Tjie dekati obornya, untuk memandang ke dalam peti, yang isinya ada serenceng anak kunci berikut dua lembar kertas yang ada tulisannya. Surat yang pertama berbunyi: "Berhubung dengan pemberontakan pamanku, tidak ada menteri militer yang tidak menakluk kepadanya, tidak demikian dengan Goei-Kok-Kong Tjie Hoei Tjouw. Tjie Hoei Tjouw adalah menteri turunan, yang setia, yang harus dipuji. Barang-barang berharga dari istana, karena sangat kesusu, tak dapat dibawa pergi semua, dari itu Goei-Kok-Kong, tolong kau wakilkan tim menjaganya. Di belakang hari, apabila ada gerakan akan menghidupkan Negara, pakailah harta ini.

Tahun Kian-boen ke-4, bulan enam" "Jadi inilah harta peninggalannya Sri Baginda Kian Boen," kata Sin Tjie dalam hatinya.

Ketika Pangeran Yan Ong berontak, dia rampas kerajaan, Tjie Hoei Tjouw tak sudi menakluk kepada raja pemberontak itu, sampai Yan Ong ketemui sendiri padanya dan menegurnya tetapi dia tak suka bicara, tak sepatah kata keluar dari mulutnya, kata-kata menyatakan suka menunjang raja pemberontak ini, hingga karenanya, ia telah dihadapkan kepada pengadilan, yang coba paksa padanya. Ata situ, Hoei Tjouw tulis sepuluh huruf yang berarti: "Ayahku adalah menteri berjasa yang bantu mendirikan Negara, anak-cucunya luput dari kematian." Tjie Hoei Tjouw ini adalah putera Pangeran Tiong-san-ong Tjie Tat dan Tjie Tat ini adalah menteri nomor satu yang berjasa ketika permulaan dibangunkan kerajaan Beng. Ketika Tjie Tat berperang ke Timur dan Barat, ia telah wakilkan Kaisar Beng Thay Tjouw meluaskan daerah, menetapkan Negara, hingga jasanya dianggap paling besar. Tapi ia tahu Beng Thay Tjouw kejam, ia turut mengendalikan Negara dengan hati-hati dengan hati kebat-kebit, sedikit juga ia tak mau menerbitkan kesalahan. Kaisar sebaliknya tak tenteram hatinya mengadapi menteri-menterinya yang berjasa, tiap hari ia mencari jalan untuk persalahkan Tjie Tat. Sampai pada suatu hari Tjie Tat dapat sakit tumbuhan di bebokongnya. Kaisar Beng itu tahu, siapa dapat sakit tumbuhan, dia mesti pantang makan angsa tim,

atau dia segera akan binasa. Maka ia lantas perintahkan kirimkan angsa tim pada Tjie Tat. Melihat masakan itu, Tjie Tat mengucurkan air mata, dengan berdiam tetap atas pembaringannya, ia dahar habis angsa tim itu. Maka pada malam itu juga ia mati keracunan. Atas kejadian ini, semua menteri jadi ketakutan sendirinya. Setelah Yan Ong naik atas tahta, puteranya Tjie Tat, ialah Tjie Hoei Tjouw, tidak suka menakluk, hingga Yan Ong jadi gusar dan hendak binasakan padanya. Tapi Yan Ong cerdik, di waktu ia mulai bertahta ia ingin ambil hati orang, maka dengan alasan Tjie Hoei Tjouw adalah puteranya

menteri berjasa dan juga pernah kok-kioe, ipar raja, ia batalkan niatnya, cuma dia itu dipecat, diperintah pulang ke gedungnya, dikurangi gajinya. Tjie Hoei Tjouw tetap setia kepada Baginda Kian Boen, dari itu selama-lamanya dia kandung harapan untuk membangun pula junjungannya itu. Mengetahu hal ihwalnya Tjie Hoei Tjouw ini, Sin Tjie menghela napas. Habis itu, ia baca surat yang kedua, yang memuat syair karangan Baginda Kian Boen sendiri, yang menguraikan kesannya yang menyedihkan, yang ditulis sepulangnya dia pesiar di propinsi-propinsi Hokkian, Kwietang, Soetjoan dan Inlam, sekembalinya dia ke kotaraja, ibukota Kimleng (Lamkhia). Selama itu, raja ini telah berumur enam-puluh lebih, lenyap sudah harapannya untuk bisa naik kembali atas tahta, maka kemudian ia pergi tanpa tujuan. Entah bagaimana, peta dari hartanya itu telah terjatuh ke dalam tangan Kim Coa Long-koen. Dengan gunai anak kunci, Sin Tjie buka satu peti besi dan matanya lantas kesilauan, sebab peti itu penuh dengan pelbagai macam kumala dan permata lainnya, begitupun satu peti yang lainnya, hingga ia berdiri ternganga. Sebentar saja, setelah sadar, Sin Tjie pergi keluar. "Pergi kau lihat di dalam," ia kata pada Tjeng Tjeng, yang tugasnya ia gantikan. Tjeng Tjeng pun tercengang, sampai ia keluarkan seruan, kemudian ia keluar, tampangnya bercampur wajah keheranan dan kegirangan. "Harta ini ada harta peresan dari rakyat, untuk apa kita ambil?" kata Sin Tjie. Tjeng Tjeng tahu sekarang kejantanan si anak muda, ia pun tak mau unjuk ketemahaannya seperti dulu, untuk cegah dirinya dipandang enteng, ia kata: "Harta ini diambil dari rakyat, harta ini mesti dikembalikan pada rakyat juga!"

Tak kepalang girangnya Sin Tjie, hingga ia sambar tangannya si nona, untuk dicekal dengan keras. "Adik Tjeng, sungguh kau kenal aku!" katanya memuji. Tentu saja, si nona pun puas, hatinya lega bahwa ia dapat memahami pemuda itu. "Kita sekarang punyai harta besar ini, dapat kita bertingkah sebagai puteranya satu orang berpangkat besar," kata Sin Tjie kemudian. "Mari kita pergi ke kota raja, untuk suatu usaha besar. Kita nanti bantu Giam Ong dengan harta ini, guna rubuhkan kerajaan Beng. Apakah namanya usaha ini?" "Itu artinya, dengan tumbaknya sendiri, kita tusuk tamengnya!" jawab Tjeng Tjeng. "Atau dengan gayanya sendiri, kita tindih padanya!"

"Benar, benar!" Sin Tjie tertawa. "Sekarang hayo kita berkemas-kemas!" Dengan dibantui si empeh gagu, Sin Tjie bertiga angkut harta itu ke dalam kamarnya, lobang harta sendiri diuruk pula. Mereka mandi keringat karena kerja terlalu keras tapi mereka puas. Sampai fajar Barulah mereka selesai.

Bersambung ke Bab 14 ...