Bagian 2
Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan tangan Yeti. "Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih dahulu menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan meninggalkan pesan untuk.... bocah ini...." Tangan yang besar itu mengelus kepala Sim Hong Bu yang masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.
Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar. Ibunya she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia diberi hak untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang kepada cucu luar yang berbakat ini.
Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, terjadilah malapetaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri yang masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si, seorang wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu! Karena dia bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan terjadilah perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan. Dalam pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai dengan julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam Lok memiliki ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu melerai dan melihat bahwa keluarga fihak mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu menegur Ouwyang Kwan minta maaf kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.
Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!
"Aku.... aku berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas...." demikian kakek yang menyamar sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar. Semua orang mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para tokoh kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas karena dicuri dan dilarikan oleh seorang anggauta keluarga mereka sendiri!
Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Beberapa kali para anggauta keluarga Cu itu hendak menghentikan ceritanya, melihat keadaan kakek itu yang payah, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan bahwa ceritanya itu merupakan pesan terakhir!
Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih seru dan dahsyat lagi. Akan tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam, sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini, Ouwyang Kwan membuat lawannya terdesak dan akhirnya Sin-ciang Eng-hiong tidak kuat melawan terus, dan melarikan diri bersama isterinya.
Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau, lebih tepat kehebatan Koai-liong-pokiam karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat membuat lawannya repot.
Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan takkan mampu menandingi Kam Lok. Dan akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya dan bersembunyi di dalam guha batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar sebelum dia dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus mencari dan bertemulah kedua orang musuh besar ini di dalam guha! Terjadilah perkelahian mati-matian yang amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok dan pendekar itu pun tewaslah!
Akan tetapi, kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Biarpun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak berhasil menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si hanya mencinta suaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia tidak hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan timbul rasa bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya! Segala bujuk rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk menggunakan kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang begitu rendahnya untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya sehingga dia tidak tega untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si menyerahkan diri kepadanya dengan sukarela! Dan ternyata hal itu sama sekali tidak mungkin sehingga akibatnya dia sendiri yang merana dan mulailah dia menyerahkan perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama sekali tidak bersalah kepadanya itu. Betapapun juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang membuat dia makin merana. Api berahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa takutnya Loan Si melihat seekor biruang besar di luar guha, Ouwyang Kwan lalu mendapat akal. Diam-diam ia membunuh biruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu memakai kulit biruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merobah muka atau kulit muka biruang itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan. Dengan penyamaran ini, dia
hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar dalam keadaan takut itu Loan Si mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya, dan menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya!
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan setengah mati. Munculnya biruang setengah monyet setengah manusia itu amat mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh mahluk ini daripada minta tolong kepada Ouwyang Kwan!
Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si menyerahkan dirinya kepada Yeti ! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya tergila-gila, menolaknya mati-matian dan kini menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu mengerikan, menjijikkan dan menakutkan! Akan tetapi, karena yang menjadi Yeti itu adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan diri wanita yang membuatnya tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang dibiarkan membeku dalam tumpukan salju dan es di dalam guha itu! Biarpun dia masih menyamar sebagai Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya malam itu kepada Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain fihak, Loan Si juga merasa betapa dia jatuh cinta kepada mahluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa itu, saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan juga dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh wanita yang dicintanya.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri, dengan sukarela, bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi perasaan malu terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah "menonton" perbuatannya yang berjina itu, jauh lebih besar daripada rasa senangnya. Dia malu, dan dia merasa telah mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat pedang pusaka Koai-liong-pokiam menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang itu dan di lain saat pedang itu telah menembus jantungnya!
Bercerita sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. "Aku manusia berdosa. ... aku telah menjadi Yeti, mahluk buas....!" demikian keluhnya. Semua pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di dalam guha itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.
"Melihat wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku, bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang Koai-liong-pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku telah gila....!" Kembali Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah kakek itu!
Kemudian, dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak dada, Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun mendudukkan wanita yang tercinta itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es seperti keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung, apalagi ketika ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan catatan Loan Si yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya, akan tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya sebelum membunuh diri, Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku catatan itu. Makin hancur rasa hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia, lebih patut menjadi mahluk buas Yeti!
"Pedang pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam jurang yang curam." demikian katanya. "Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku merasa bahwa aku adalah Yeti, mahluk buas!" Dia berhenti dan memejamkan mata, seolah-olah merasa ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.
"Kemudian, pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku mengenal pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu menyerangku. Agaknya, selama aku lupa segalanya itu, hanya Ilmu silat yang tak pernah kulupakan, bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun itu....!
"Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek...." terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu ber kata ketika mendengar penuturan itu.
"Ya, engkaulah wanita itu. Aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini, akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai mengerti. Tubuhku telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata, namun agaknya tidak cukup kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ah, pedang yang kupakai membunuh Kam Lok dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu, kini ternyata mengantar pula nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak penasaran...."
Sampai di sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang dan akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin
melalui jual beli yang mahal, terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana. Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu menerima tugas untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat pengambilan kembali pedang ini menggegerkan dunia kang-ouw.
Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang mahluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata mahluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah Pegunungan Himalaya.
Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat. Dengan napas terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya panas sekali itu memberi isyarat kepada Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul dalam kamar itu,lalu berkata lemah sekali.
"Dia ini sudah kupilih menjadi muridku.... jadi terhitung saudara kalian sendiri.... aku ada mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini.... baru kalian boleh buka setelah aku mati.... dan kupesan agar kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai dapat menguasainya. ... dan karena ilmu ini kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam.... maka kuminta.... kelak kalau dia sudah menguasai ilmunya. ... kalian serahkan pedang itu kepadanya...." Mulut itu masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.
Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan kepada "Yeti" ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit biruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.
"Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua, engkau tidak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat. Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh Lembah Suling Emas."
Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu, disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.
"Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhumu yang akan membimbingmu."
Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai "anggauta keluarga" Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya karena terdampar ke "pulau" yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari "pulau" itu!
Biarpun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andaikata tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup suling! Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecilnya Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sin-kang dan khi-kang! Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang Suling Emas yang aseli itu!
Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.
Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang sesungguhnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan? Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.
"Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau kini belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!" Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang sedang meniup suling emasnya.
Kam Hong tersenyum. "Ah, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sin-kang dan khi-kang yang paling tinggi tingkatnya!"
"Aihhh....!" Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah melihat mata seindah itu! "Kalau begitu, kauajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!"
Kam Hong tersenyum dan mengangguk. "Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah, melainkan merupakan latihan sin-kang dan khi-kang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum engkau memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Maka, biarlah kuajarkan engkau latihan sin-kang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini."
Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sin-kang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biarpun mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapapun juga, giranglah hati Kam Hong karena biarpun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sin-kangnya sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.
Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya, ke arah suara itu dan berlarilah dia secepatnya. Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biarpun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.
Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.
"Ci Sian...." Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khi-kang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.
"Ci Sian, di mana engkau....?" Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.
Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya seperti ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!
"Ci Sian....!" Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang suram sekali itu!
Ke manakah perginya Ci Sian? Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan malapetaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat. Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing. Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian. Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu. Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan. Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan suara jerit melengking yang
terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!
Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ah, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!
Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam guha di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah guha yang lain, di mulut guha yang aneh sekali.
Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah guha, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut guha itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu! Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Seorang kakek bangsa asing melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang amat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.
Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang ageh dan asing. "Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi."
"Jatuh....? Dari atas....?" Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tidak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.
"Ya, engkau jatuh dari atas sana."
Jadi, kalau begitu bukan mimpi! Dia benar-benar telah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.
"Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?". Dia berkata, tak percaya bahwa seekor ular, betapapun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang dari tempat sedemikian tingginya.
"Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelitmu dan dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka- luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu."
Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, akan tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilat lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.
"Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!" katanya dan wajahnya berseri.
Kakek itu menggeleng kepala. "Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari samadhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja."
Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata, "Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik."
Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun. "Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana!"
"Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!"
"Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu, untuk kaumakan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya engkau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kaubunuh itu!"
Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. "Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?"
"Ah, yang suka meniup suling itu?"
"Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?"
"Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam samadhiku. Dia berkepandaian hebat!"
"Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana."
Kakek itu menggeleng kepala. "Tidak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, kalau dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun."
"Ah.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini."
"Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?"
"Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi."
"Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di guha ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita."
"Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!"
"Bukan kalah dalam ilmu silat...."
"Habis, kalah dalam hal apakah?"
"Kalah dalam menebak teka-teki."
"Eh?" Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali. "Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!" Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kong-kongnya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia lalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.
Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. "Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara."
Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa berbangsa Nepal yang bernama Nilagangga. Semenjak muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan
terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah "menjatuhkan" diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!
Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi daripada orang-orang lain! Kebanggaan diri ini telah menjadi "kebudayaan" kita manusia, semenjak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kinipun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam "paling" lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?
Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri! Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, lalu menyepi, menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa kemanapun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini!
Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.
Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, lalu kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!
"Pada suatu hari, ketika aku merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa kusengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggauta keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!" demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.
"Bagaimanakah teka-tekinya, Kek?" Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali.
Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga daripada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam guha itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan guha sebelum dapat menjawab teka-teki itu!
"Aku mengajukan teka-teki, akan tetapi sungguh hebat dia, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam guha ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini."
Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andaikata kakek itu meninggalkan guha, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!
"Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kauberitahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat menebaknya untukmu."
"Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!"
"Teruskanlah!" Ci Sian menjadi tidak sabar.
"Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?" Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban. "Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tidak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah."
Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama "buta hurufnya" dengan kakek tua renta itu.
"Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?"
Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.
"Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kauberitahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kauinginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita." Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat! Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justeru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.
"Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?"
"Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Hayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, akan tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang."
"Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi...." kakek itu mengomel, akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan tentang mereka jatuh cinta!
Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya! Betapapun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu!
Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.
Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biarpun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!
"Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!" katanya.
Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?
"Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?"
"Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh...." Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! "Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!"
Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini! "Bukan itu maksudku, Kek. Akan tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kauinginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita?"
Kakek itu mengingat-ingat. "Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, membahagiakan dia, memanjakan dia." Akhirnya dia berkata, dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!
"Nah, itulah!" Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri.
"Ketemu sekarang! Biarpun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!"
"Sudah kautemui jawaban teka-teki itu."
Ci Sian mengangguk. "Agaknya tidak akan keliru lagi."
"Bagaimana itu?" Wajah hitam itu pun berseri, penuh harap. "Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?"
"Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta seorang pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justeru menjadi kebalikannya. Dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya."
Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling. Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!
"Coa-ong, aku takut....!" katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.
"Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?"
"Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!"
"Eh, bocah bodoh. Kalau engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?"
Ci Sian menelan ludah! hatinya tertarik juga. "Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kaujadikan ular...."
"Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua telapak tanganmu!"
Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu dan mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.
"Plak! Plak!"
"Aduhhh....!" Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.
"Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian." kata kakek itu, Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing. Biarpun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan yang sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!
"Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?"
"Ihhh!" Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.
"Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!" See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.
"Ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya, kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!"
Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian memperingatkan. "Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu."
"Ha-ha, benar sekali. Karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu."
"Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong."
"Ah, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merobah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu.
Hati Ci Sian menjadi tertarik. "Wanita yang memberimu teka-teki itu?"
"Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kautemani aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu."
Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang boleh membawanya kembali kepada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya? Akan tetapi, dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, daripada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang.
"Baiklah, Coa-ong. Aku akan membantumu."
Kakek itu menjadi girang sekali, wajahnya yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu menggandeng tangan Ci Sian sambil berkata, "Kalau begitu, hayo kita berangkat sekarang. Ingin sekali aku melihat wajah Cui-beng Sian-li kalau mendengar aku menebak teka-tekinya!"
"Cui-beng Sian-li? Itulah julukan lawanmu?" tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri karena julukan itu sungguh menyeramkan. Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja orangnya mengerikan juga!
"Ya, dan dia lihai sekali. Sebetulnya dia adalah warga dari penghuni Lembah Gunung Suling Emas, akan tetapi semenjak suaminya meninggal, dia kini tinggal di Lereng Batu Merah tak jauh dari lembah itu hanya di sebelah bawahnya. Seperti juga Lembah Gunung Suling Emas, Lereng Batu Merah itu pun sukar didatangi manusia dari luar kecuali mereka yang sudah tahu jalannya."
"Dan engkau tahu jalannya, Coa-ong?"
"Tentu saja!"
Maka berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Menurut keterangan See-thian Coa-ong, tempat tinggal lawannya itu, yaitu Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak jauh dari situ, masih merupakan satu daerah gunung, akan tetapi karena terjadi longsor, terpaksa mereka harus mengambil jalan memutar yang amat jauh!
Kini See-thian Coa-ong tidak bertelanjang lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat ketika untuk pertama kali Ci Sian melihatnya, kini kakek itu telah mengambil pakaiannya yang disimpan di dalam guha. Sesungguhnya bukan pakaian, hanya kain kuning panjang yang dilibat-libatkannya di tubuhnya, sebelah pundaknya dan dari pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti pakaian para pendeta pada umumnya. Ular panjang besar yang telah menolong Ci Sian itu ditinggalkan.
"Tanggalkan saja jubahmu itu. Aku akan mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu hangat dan tahan menghadapi hawa yang bagaimana dingin pun." kata See-thian Coa-ong kepada Ci Sian. Mantel bulu itu memang sudah kotor, maka mendengar bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh itu, Ci Sian merasa girang. Dia percaya penuh karena dia sudah melihat sendiri betapa kakek itu hampir telanjang di dalam hawa udara yang sedemikian dinginnya.
Demikianlah, mereka melakukan perjalanan dan di waktu mereka beristirahat, See-thian Coa-ong memberi petunjuk kepada Ci Sian untuk mengerahkan hawa murni dan membuat tubuhnya terasa hangat biarpun berada dalam hawa udara yang amat dingin. Tentu saja ilmu ini tidak mudah karena sesungguhnya membutuhkan tenaga sin-kang yang amat kuat, akan tetapi kakek itu membantu Ci Sian dan menempelkan telapak tangannya yang panjang dan lebar ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja ini pun dapat dengan cepat menguasai hawa murni yang mengalir di tubuhnya.
Pada suatu pagi, ketika mereka sedang mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang turun dari puncak. See-thian Coa-ong cepat menarik tangan Ci Sian dan diajaknya dara itu bersembunyi di balik batu besar. Akan tetapi Ci Sian dapat mengenal wanita yang berjalan di depan bersama dua orang anak laki-laki itu. Wanita itu bukan lain adalah A-ciu, wanita baju hijau dari rombongan empat wanita bertandu yang pernah dia pukuli dengan bantuan Kam Hong! Dia tidak mungkin salah mengenalnya biarpun dari jauh, karena di belakang wanita itu terdapat orang-orang yang memikul tiga buah tandu. Tentu tiga buah tandu itu berisi tiga orang wanita lainnya, pikir Ci Sian. Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah keadaan dua orang anak laki-laki itu. Mereka itu sebaya dengan dia, dan lucunya, dua orang anak laki-laki itu serupa benar, baik pakaiannya, wajahnya maupun gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa mereka tentulah dua orang anak kembar. Akan tetapi, Ci Sian tidak merasa lucu karena dia melihat betapa dua orang anak laki-laki itu berjalan dengan kedua lengan di belakang tubuh,
tanda bahwa mereka itu tidak bebas, terbelenggu kedua lengan mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh wanita-wanita jahat itu. Teringatlah Ci Sian akan pertanyaan wanita-wanita itu di depan warung dahulu. Mereka bertanya-tanya tentang dua orang pemuda remaja kembar! Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan kini agaknya mereka telah tertangkap dan menjadi tawanan. Karena hatinya merasa amat tidak suka kepada empat orang wanita itu yang dianggapnya jahat, maka biarpun dia tidak mengenal dua orang pemuda tanggung itu, hati Ci Sian condong berpihak kepada dua orang pemuda yang menjadi tawanan itu dan dia mengambil keputusan untuk menolong mereka dari tangan wanita-wanita itu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa empat orang wanita itu lihai bukan main. Dia pernah dapat mempermainkan mereka hanya karena pertolongan Kam Hong dan kini pendekar sakti itu tidak berada di situ. Yang ada hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu menyentuh lengan kakek itu dan berkata dengan suara berbisik.
"Coa-ong, sekarang engkau harus membantuku, baru aku nanti membantu menghadapi lawanmu."
"Membantu apa, Ci Sian? Tanpa kauminta sekalipun tentu perlu aku membantumu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik yang saling membantu?"
Girang hati Ci Sian mendengar ini. "Coa-ong, wanita itu dan tiga orang temannya yang berada di dalam tandu adalah wanita-wanita jahat sekali, akan tetapi mereka juga lihai. Dan aku pernah bentrok dengan mereka, maka sekarang aku hendak membebaskan dua orang pemuda yang mereka tawan itu. Engkau mau membantuku, bukan?"
"Siapakah dua orang pemuda kembar itu? Apa kau mengenal mereka?"
"Tidak, melihat pun baru sekarang."
See-thian Coa-ong menghela napas. "Ah, Ci Sian, mengapa engkau mencari penyakit? Bukankah engkau merupakan seorang anak yang sudah lama berkecimpung di dunia, kang-ouw? Mengapa harus mencampuri urusan orang lain?"
"Coa-ong, mana kita dapat terlepas dari urusan orang lain? Engkau menyelamatkan aku, dan kini aku ikut denganmu untuk menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti bahwa engkau dan aku telah mencampuri urusan orang lain? Hayo, engkau mau membantuku atau kau ingin melihat aku mati di tangan mereka?"
"Baiklah.... baiklah.... akan tetapi aku tidak mau kalau engkau menyuruhku membunuh orang."
"Siapa mau bunuh siapa? Aku hanya ingin menolong dua orang pemuda yang tertawan itu, kata Ci Sian. Sementara itu, rombongan yang menuruni puncak telah tiba dekat dengan mereka. Memang benar dugaan Ci Sian. Wanita yang berjalan di depan itu adalah A-ciu, wanita baju hijau yang cantik dan berwajah bengis. Wanita itu membawa sebatang pedang yang tergantung di belakang pundaknya, berjalan dengan langkah gagah mendahului di depan dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan dan yang melangkah tenang berdampingan dengan kedua lengan terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti oleh tiga buah tandu yang masing-masing dipakai oleh empat orang.
Siapakah adanya dua orang anak laki-laki kembar itu? Usia mereka kurang lebih dua belas tahun, pakaian mereka sederhana dan wajah mereka tampan, sikap mereka tenang sekali. Wajah dua orang ini serupa benar, sukar membedakan satu dari yang lain, wajah yang membayangkan kegagahan dan rambut kepala mereka yang hitam gemuk itu dikuncir ke belakang punggung. Melihat sikap mereka, biarpun mereka itu masih remaja dan mereka menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan mereka, namun mereka nampak begitu tenang. Hal ini saja sudah jelas menunjukkan adanya kegagahan dalam diri mereka.
Dan memang demikianlah. Dua orang anak laki-laki kembar ini memang bukan sembarang anak. Mereka adalah putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng dan pendekar wanita yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan terkenal sebagai puteri istana, juga seorang panglima wanita yang disamakan dengan nama Hwan Lee Hwa di jaman cerita Sie Jin Kwie Ceng Tang. Wanita yang menjadi ibu mereka ini bukan lain adalah Puteri Milana, keponakan dari kaisar! Gak Bun Beng dan Puteri Milana, suami isteri yang keduanya memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu, telah lama mengundurkan diri dan hidup aman tenteram di puncak Telaga Warna, di Pegunungan Beng-san, di mana mereka hidup saling mencinta dan rukun bersama dua orang putera kembar mereka yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu dari rangkaian cerita ini, yaitu dalam kisah-kisah SEPASANG PEDANG IBLIS, SEPASANG RAJAWALI, dan JODOH SEPASANG RAJAWALI, pasangan pendekar sakti ini muncul dengan ilmu-ilmu mereka yang menggemparkan.
Bagaimanakah tahu-tahu dua orang saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yang tinggal di puncak Pegunungan Beng-san dapat berada di Pegunungan Himalaya dan menjadi tawanan Su-bi Mo-li?
Su-bi Mo-li adalah empat orang wanita cantik yang lihai sekali karena mereka itu adalah murid-murid gemblengan dari Im-kan Ngo-ok! Mereka berempat oleh guru-guru mereka sengaja diperbantukan kepada Sam-thaihouw yang diam-diam mengadakan hubungan dengan kelima Ngo-ok. Ketika mendengar dari para mata-mata yang disebarnya bahwa dua orang putera dari Puteri Milana itu meninggalkan rumah orang tua mereka untuk ikut beramai-ramai berkunjung ke Himalaya, Sam-thaihouw cepat memerintahkan Su-bi Mo-li untuk melakukan pengejaran dan berusaha menawan dua orang kakak beradik kembar itu, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap Puteri Milana! Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci Puteri Milana dan karena tidak berdaya terhadap puteri itu kini hendak melampiaskan dendamnya kepada kedua orang putera dari Puteri Milana?
Sam-thaihouw adalah satu-satunya selir yang masih hidup dari mendiang Kaisar Kiang Hsi. Sebagai selir mendiang ayahnya, maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu Kaisar Yung Ceng, tetap menghormati ibu tiri itu, satu-satunya di antara para selir ayahnya yang masih hidup, dan memberinya kedudukah sebagai Sam-thaihouw atau Ibu Suri ke Tiga dan menempati sebuah istana yang cukup mewah.
Ketika Sam-thaihouw ini masih muda, pernah terjalin cinta asmara antara selir ini dengan mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yaitu pangeran yang memberontak itu (baca KISAH SEPASANG RAJAWALI).Mereka mengadakan perjinaan di luar tahunya mendiang Kaisar KiangHsi. Maka ketika pemberontakan dari kekasihnya itu gagal dan Pangeran LiongKhi Ong bersama saudaranya, Pangeran Liong Bin Ong, tewas, diam-diam Sam-thaihouw merasa berduka sekali. Maka,ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit hatinya kepada keturunan Puteri Nirahai atau keturunan dari Pendekar Super Sakti. Terutama sekali kepada Puteri Milana yang berjasa pula memberantas pemberontakan kekasihnya itu. Kini, setelah selir kaisar ini menjadi tua, satu-satunya nafsu yang berkobar di dalam dadanya hanyalah membalas dendam dan membasmi keturunan Pendekar Super Sakti atau keturunan Milana, kalau tidak mungkin menghancurkan kehidupan puteri itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa Sam-thaihouw mengadakan kontak dengan Im-kan Ngo-ok melalui orang-orang kepercayaannya, dan ini pulalah yang menjadi sebab mengapa Su-biMo-li menjadi pembantu-pembantunya dan kini empat orang wanita cantik yang lihai itu bersusah payah pergi ke Himalaya untuk mengejar dua orang putera kembar dari Puteri Milana ketika mereka mendengar bahwa dua orang anak kembar itu ikut beramai-ramai ke Himalaya mencari pedang pusaka yang hilang dari istana.
Sungguh tak terduga oleh Su-bi Mo-li betapa di daerah Himalaya itu mereka berempat harus kehilangan muka ketika mereka bentrok dengan Kam Hong yang ternyata adalah keturunan Pendekar Suling Emas yang amat lihai! Akan tetapi,rasa penasaran dan kecewa ini terobatlah ketika mereka akhirnya dapat menemukan di mana adanya dua orang pemuda tanggung yang kembar itu! Mereka menemukan Gak Jit Kong dan Gak Goat Kongyang sedang berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam keadaan bingung dan sesat jalan! Memang dua orang anak ini dengan keberanian luar biasa telah meninggalkan rumah orang tua mereka tanpa pamit untuk "mencari pengalaman" di daerah Himalaya yang luas itu.
Su-bi Mo-li tidak perlu mempergunakan kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung oleh empat orang wanita lihai yang mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta kepada mereka berdua agar ikut untuk menghadap ke kota raja, dua orang anak muda itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka berdua bukan merasa takut. Sama sekali tidak. Sejak kecil mereka telah digembleng oleh ayah bunda mereka sehingga mereka tidak pernah mengenal takut, dan biarpun keduanya baru berusia sekitar tiga belas tahun, namun mereka telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang hebat. Akan tetapi, mereka takut kepada ayah bunda mereka yang selalu menekankan agar mereka berdua tidak mencari permusuhan didunia kang-ouw dan agar tidak menimbulkan keributan. Kini, mendengar bahwa Su-biMo-li adalah utusan Sam-thaihouw yang "memanggil" mereka, maka kedua orang anak kembar ini menyerah dan bahkan tidak membantah ketika A-ciu membelenggu kedua tangan mereka kebelakang dengan alasan agar "jangan lari".
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong bukanlah anak-anak yang bodoh, mereka menyerah bukan hanya untuk menghindarkan bentrokan dan keributan, akan tetapi juga
mereka percaya penuh bahwa kalau mereka dibawa ke kotaraja, apa lagi ke istana, mereka akan selamat dan
tidak akan ada yang berani mengganggunya! Bukankah Kaisar masih terhitung paman mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu mereka? Dan siapakah yang tidak mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa yang akan berani mengganggu mereka, putera dari Puteri Milana yang terkenal? Mereka tidak tahu tentang Sam-thaihouw!
Ketika rombongan ini tiba di tempat Ci Sian dan See-thian Coa-ong bersembunyi, tiba-tiba Ci Sian meloncat keluar dari balik batu besar, mengembangkan kedua lengannya dan dengan suara yang lantang dia membentak.
"Su-bi Mo-li! Kalian masih berani melakukan kejahatan dan menawan dua orang bocah itu? Hayo kalian bebaskan mereka!"
A-ciu tentu saja segera mengenal dara remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berobah pucat. Cepat dia menoleh ke arah dua orang pemuda tanggung itU. Akan tetapi dua orang pemuda kembar itu hanya saling lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal dara cilik yang menghadang itu. A-ciu juga menoleh kekanan kiri, merasa ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu muncul bersama dengan Suling Emas, sastrawan muda yang membuat dia dan tiga orang sucinya tak berdaya.
Melihat A-ciu hanya bengong dan memandang ke kanan kiri,Ci Sian membentak lagi dengan marah. "Heii,apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo kau bebaskan dua orang bocah itu! Apa engkau ingin kugampar lagi mukamu sampai bengkak-bengkak?"
Ucapan itu mengingatkan kepada A-ciu akan penghinaan yang diterimanya dari dara remaja ini. Sepasang mata wanita cantik itu berkilat seperti mengeluarkan api dan dengan menahan rasa marah karena dia masih takut pada Kam Hong, dia berkata, suaranya nyaring, "Bocah setan! Hayo suruh Pendekar Suling Emas keluar bicara dengan kami, jangan engkau mengacau di sini! Aku percaya bahwa Pendekar Suling Emas tidak akan selancangmu mencampuri urusan kami yang tiada sangkut-pautnya dengan dia!"
Ci Sian juga seorang yang amat cerdik. Melihat sikap A-ciu itu, dia pun tahu bahwa wanita itu masih merasa gentar kepada Kam Hong, maka dia tersenyum. Biarpun Kam Hong tidak bersamanya, namun dia tidak merasa takut kepada wanita itu, mengingat bahwa See-thian Coa-ong berada di belakang batu besar, siap untuk melindunginya.
"Hemm, Paman Kam tidak datang bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau boleh membangkang terhadap perintahku. Hayo kaubebaskan dua orang bocah itu."
Mendengar ucapan ini, tentu saja A-ciu menjadi girang bukan main, "Bagus!Sekarang bersiaplah engkau untuk mampus, bocah setan!" teriaknya dan dia sudah mencabut pedangnya. Walaupun tanpa pedang juga dengan mudah dia akan mampu membunuh Ci Sian,
namun saking marahnya, dia menghunus pedangnya dan siap menerjang dara remaja itu.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali, sedemikian tinggi suara itu sehingga
amat halus menggetarkan jantung! A-ciu menahan gerakannya. Hatinya memang masih gentar terhadap Kam Hong dan kalau memang pendekar itu berada di situ, sampai bagaimana pun dia tidak akan berani menyentuh Ci Sian. Maka, mendengar lengking yang tidak wajar ini, wajahnya berobah dan jantungnya berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah setan itu menipu dan membohong, pikirnya dan dia menoleh ke kanan kiri.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan bermunculanlah ular-ular dari segala jurusan datang ke tempat itu.
"Ular....!Ular.... !" Para pemikul tandu berteriak-teriak ketakutan karena amat banyaklah binatang-binatang itu bermunculan dari segala tempat. Ular-ular besar kecil dan bermacam-macam warnanya.
Dan ular-ular itu seperti digerakkan atau dikendalikan oleh suara melengking tinggi itu langsung menyerang kepada A-ciu dan para anggauta rombongan itu! A-ciu mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang. Ci Sian juga tertawa dan sekali meloncat dia telah menghampiri dua orang anak laki-laki yang tertawan itu.
"Kalian jangan bergerak keluar dari sini!" katanya dan dengan telunjuk tangan kanannya dia menggurat tanah di sekeliling dua orang pemuda tanggung itu.
Sungguh ajaib, ratusan ekor ular yang berkeliaran disitu, tidak seekorpun yang berani melanggar garis bulat yang mengelilingi Si Kembar itu!
Keadaan rombongan itu menjadi kacau balau. Karena takutnya dan jijiknya, para pemikul tandu itu melepaskan tandu-tandu mereka dan berlompatanlah tiga orang wanita dari dalam tiga buah tandu yang dilepaskan itu. Su-bi Mo-li tentu saja merasa jijik dan mereka berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri dari serbuan ular-ular itu yang makin banyak berdatangan ke tempat itu! Akan tetapi, dua belas orang pemikul tandu itu kurang gesit gerakan mereka dan dalam waktu singkat mereka itu sudah tergigit ular dan mereka berteriak-teriak ketakutan.
Su-bi Mo-li tidak tahu siapa yang memanggil ular secara luar biasa ini, akan tetapi mereka maklum bahwa di belakang dara cilik yang bengal itu terdapat seorang sakti yang membantu. Tidak nampak Pendekar Suling Emas membantu, akan tetapi kini muncul seorang aneh lain yang dapat memanggil datang ular-ular sedemikian banyaknya! Apalagi melihat betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan dua orang tawanan mereka dengan menggurat tanah dengan telunjuk dan ular-ular itu sama sekali tidak berani menghampiri dua orang pemuda itu, maklumlah Su-bi Moli bahwa orang sakti pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik dengan dara cilik itu yang ternyata juga menguasai ilmu menaklukkan ular. Karena mereka berempat masih jerih dan belum hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong maka kini melihat dua belas orang pemikul tandu itu roboh semua, mereka menjadi semakin jerih
dan dengan cepat, mempergunakan gin-kang, mereka lalu berloncatan meninggalkan tempat itu!
Setelah mereka pergi, barulah See-thian Coa-ong muncul. Kakek ini memang tidak mau menanam bibit permusuhan, maka dia tadi hanya menggerakkan ular-ularnya tanpa muncul sendiri. Kini dia sudah mengusir ular-ularnya yang merubuh tubuh dua belas orang pemikul tandu, dan beberapa kali tangannya mengusap tubuh orang-orang itu yang tadi kelihatan seperti sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh, begitu kena diusap oleh tangan ka kek Raja Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak kembali lalu bangkit.
"Pergilah kalian dengan tenang." kata See-thian Coa-ong dan dua belas orang itu lalu mengangguk hormat, lalu pergi dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Sementara itu, Ci Sian sudah menghampiri Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong berdua yang masih berdiri di dalam lingkaran. Ci Sian tersenyum ramah dan berkata." Kalian sudah terbebas dari bahaya, biarlah kubukakan belenggu kedua tangan kalian."
"Jangan sentuh aku!" tiba-tiba Gak Jit Kong berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya memancarkan kemarahan.
"Engkau siluman ular!" bentak Gak Goat Kong.
Ci Sian terkejut dan melangkah mundur, matanya memandang terbelalak dan mukanya berobah merah. Dua orang bocah kembar yang telah diselamatkannya itu sekarang malah menghinanya! Akan tetapi, dia makin menjadi terkejut melihat dua orang anak laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan tangan mereka dan.... belenggu-belenggu itu putus semua, kemudian pada saat berikutnya, tubuh kedua orang anak kembar itu bergerak dan mereka sudah meloncat jauh dan tinggi melewati semua ular dan mereka lalu berlari sangat cepatnya menuju ke arah perginya Su-bi Mo-li dan dua belas orang pemikul tandu tadi!
Tentu saja Ci Sian menjadi bengong. Dia terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kiranya dua pemuda tanggung tadi bukan sembarangan, melainkan memiliki kepandaian yang cukup hebat, bahkan jauh lebih lihai daripada dia sendiri. Ketika mematahkan belenggu, ketika meloncat, jelas nampak betapa tinggi ilmu kepandaian mereka! Akan tetapi mengapa mereka tidak memberontak dan melawan ketika dijadikan tawanan? Dan mengapa mereka itu marah-marah kepadanya yang telah berusaha menolong mereka?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli di belakangnya. Ci Sian menengok dan melihat bahwa yang tertawa adalah See-thian Coa-ong.
"Kenapa kau tertawa?" Ci Sian bertanya dengan suara seperti membentak karena hatinya terasa semakin mengkal.
"Ha-ha-ha, Ci Sian. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita tidak perlu mencampuri urusan orang lain? Kaulihat, karena engkau mencampuri urusan mereka, maka engkau hanya merasa kecewa saja. Dua orang pemuda kembar itu bukan orang sembarangan, dan tentu ada sebabnya mengapa mereka mau saja ditawan oleh wanita-wanita itu. Dan empat orang wanita itu pun lihai-lihai sekali."
"Akan tetapi.... bocah-bocah tak kenal budi dan kurang ajar itu malah memaki aku siluman ular!" Ci Sian berseru dengan hati panas dan dia mengepal tinju, kini kemarahannya bukan lagi ditujukan kepada Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang pemuda tanggung kembar itu!
Memang demikianlah. Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api dalam batin yang tidak dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan kesabaran atau dengan mencoba untuk melupakan melalui hiburan-hiburan.Kalau kita marah kepada seseorang, kepada isteri atau suami umpamanya, lalu kita sabar-sabarkan dengan alasan-alasanyang kita buat sendiri, memang dapat kita menjadi sabar dan tenang. Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih bernyala di dalam batin, hanya
tidak berkobar-kobar, tidak meledak karena ditutup oleh kesabaran yang kita ciptakan melalui pertimbangan-pertimbangan dan akal budi. Seperti api dalam sekam. Kalau mendapatkan ketika, maka api kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar lagi, akan meledak lagi dalam kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu akan marah-marah kepada anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman dan sebagainya! Maka kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan, marah lagi bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah diri kita sendiri. Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara keadaan kita yang marah dan keinginan kita untuk tidak marah!
Akan terjadi hal yang sama sekali berbeda apabila di waktu kemarahan timbul kita hanya mengamatinya saja! Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan. Ini berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang mengamati, karena begitu ada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul penilaian dari si aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan menyelidiki kemarahan itu, mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang memperhatikan. Pengamatan tanpa si aku yang mengamati inilah yang akan melenyapkan atau memadamkan api kemarahan itu, tanpa ada unsur kesengajaan atau daya upaya untuk memadamkan!
Dari mana kah timbulnya kebencian? Kalau kita semua membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si aku merasa dirugikan, baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang, kedudukan nama dan sebagainya, maupun dirugikan secara batiniah, seperti dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena merasa dirugikan, maka timbullah kemarahan yang melahirkan kebencian. Kebencian ini seperti racun menggerogoti batin kita, menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita benci, menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita benci sehingga tidak jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam yang kita lakukan terhadap orang yang kita benci demi untuk memuaskan dendam!
Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan. Kadang-kadang pikiran membenarkan kebencian dengan berbagai dalih, kadang-kadang pula menyalahkan. Terjadilah konflik batin ini memboroskan enersi batin. Pemborosan enersi batin ini memupuk dan memberi kelangsungan kepada kebencian itu, karena pikiran bekerja terus mengingat-ingat dan menghidupkan segala hal yang terjadi, yang merugikan kita dan mendatangkan kebencian itu. Padahal kebencian itu adalah aku sendiri, kebencian adalah pikiran itulah! Pikiran menciptakan aku dan karena aku dirugikan, timbullah benci. Jadi benci dan aku tidaklah terpisah.
Kalau pikiran tidak bekerja untuk menilai, kalau yang ada hanya pengamatan terhadap kebencian itu, berarti pikiran menjadi hening, pengamatan tanpa penilaian terhadap kebencian, maka kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan pupuk, kehilangan kelangsungan yang dihidupkan oleh pikiran yang menilai-nilai. Dan kalau sudah begitu, maka kemarahan, kebencian akan lenyap dengan sendirinya, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Pikiran yang mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah merupakan bahaN bakar.
Baik kebencian itu merupakan kebencian perorangan, kebencian demi suku, demi bangsa, dan sebagainya, pada hakekatnya adalah sama, karena di situ tentu terkandung si aku yang merasa dirugikan. Si aku dapat berkembang menjadi sukuku, bangsaku, agamaku, keluargaku, dan selanjutnya.
Kembali See-thian Coa-ong tertawa mendengar gadis itu marah-marah. "Mengapa marah? Engkau muncul di antara ratusan ekor ular, tentu dua orang muda kembar itu mengira bahwa engkau adalah siluman ular!"
"Ah, kalau begitu, Coa-ong, aku tidak sudi belajar ilmu ular!" kata Ci Sian dan dia pun lalu menjatuhkan diri duduk diatas tanah sambil menggosok kedua matanya! Hatinya sakit sekali dimaki orang sebagai siluman ular tadi!
See-thian Coa-ong tersenyum lebar. "Aih, Ci Sian, mengapa engkau mempedulikan amat segala pendapat orang lain? Disebut Raja Ular seperti aku, atau Siluman Ular, atau sebutan apa pun, apakah artinya? Itu hanya sebutan yang diucapkan oleh bibir saja, hanya kata-kata kosong. Yang penting adalah perbuatan kita dalam hidup. Apa artinya disebut dewa kalau tindakannya lebih jahat dari pada setan? Sebaliknya, apa salahnya dimaki orang sebagai iblis kalau hidupnya melalui jalan benar?"
Seorang anak perempuan yang biasa di manja seperti Ci Sian, mana dapat menangkap ucapan seperti itu?
"Pula, kalau tidak ada sahabat-sahabat ular tadi yang membantu, apa kau kira empat orang wanita itu mau melarikan diri meninggalkan engkau?"
Ci Sian sadar kembali dan dia dapat melihat betapa pentingnya ke pandaian menguasai ular-ular itu yang sewaktu-waktu dapat dipakai membela diri dan melindungi keselamatannya dari gangguan orang-orang jahat! Maka dia berhenti menangis.
"Su-bi Mo-li itu jahat sekali. Mereka pernah mengaku kepada Paman Kam bahwa mereka adalah utusan dari Sam-thaihouw. Entah siapa Sam-thaihouw itu."
See-thian Coa-ong juga tidak mengerti dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Ci Sian tidak dapat mengingat lagi jalan yang amat sukar dan berkeliling itu. Melalui celah-celah jurang yang amat curam, menuruni tebing dan mendaki bukit-bukit. Kalau bukan orang yang sudah benar-benar hafal akan jalan disitu, tidak akan mungkin dapat mengunjungi tempat ini. Agaknya See-thian Coa-ong sudah hafal akan jalan disitu dan beberapa hari kemudian, setelah mengelilingi sebuah gunung besar, barulah mereka tiba di perbatasan tempat yang hendak dikunjungi kakek itu.
"Nah, inilah perbatasan yang berada di sebelah bawah Lembah Suling Emas. Di atas sana itulah lembah gunung itu, dan kalau tidak tahu jalan rahasia menuju ke sana, jangan harap dapat mengunjunginya. Kecuali menyeberangi jurang yang harus menggunakan jembatan tambang yang hanya dapat dipasang atas kehendak tuan rumah. Wanita yang menjadi lawanku itu tinggal di bawah sini. Hati-hati, jangan sembrono, kita sudah memasuki daerah kekuasaannya."
"Daerah kekuasaan yang kau sebut Cui-beng Sian-li?" tanya Ci Sian berbisik dan kakek itu mengangguk.
Mereka maju terus di sepanjang dinding gunung yang amat tinggi. Ketika mereka menikung, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi. Dari jauh sudah nampak bahwa yang berkelahi itu adalah seorang gadis cantik jelita melawan seorang pemuda tanggung yang berpakaian pemburu, memegang busur dengan tangan kiri dan di punggungnya tergantung tempat anak panah. Biarpun pemuda tanggung itu kelihatan kuat dan mempergunakan senjata busur di tangan kiri untuk melawan, namun ternyata dia terdesak hebat oleh pukulan-pukulan wanita cantik itu yang menggunakan kedua tangannya yang dibuka dan dimiringkan, membacok-bacok seperti dua batang pedang atau golok. Dan See-thian Coa-ong terkejut bukan main melihat betapa sambaran tangan wanita cantik itu mengeluarkan suara bercuitan, tanda bahwa sin-kangnya telah kuat sekali!
Sementara itu, setelah tiba dekat dan dapat melihat mereka dengan jelas, Ci Sian segera mengenal pemuda pemburu itu sebagai pemburu muda yang pernah menolongnya ketika dia hendak dibunuh oleh Su-bi Mo-li dahulu! Maka, tanpa diminta, dia sudah meloncat kedepan dan membentak sambil menyerang wanita cantik itu. Baru saja dia marah-marah kepada Su-bi Mo-li dan wanita itu pun cantik, usianya tentu sudah dua puluh lima tahun, biar pun jauh lebih cantik dibandingkan Su-bi Mo-li, akan tetapi ada persamaannya, yaitu seorang wanita dewasa yang cantik.
"Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabatku!" Sambil berteriak demikian Ci Sian sudah menerjang maju dan memukul wanita itu kalang-kabut. Tentu saja wanita itu menjadi terkejut, akan tetapi dia tersenyum mengejek melihat bahwa serangan Ci Sian itu biasa dan tidak berbahaya. Dengan mudahnya wanita cantikitu mengelak dan sebelum Ci Sian menyerang lagi, pemuda tanggung itu sudah berseru kepadanya sambil melompat keluar dari kalangan pertandingan.
"Eh, Nona, harap jangan salah sangka!
Kami hanya saling menguji kepandaian, bukan berkelahi!"
Mendengar ini, tentu saja Ci Sian juga tidak melanjutkan serangannya dan dia memandang dengan heran. Siapakah dua orang itu dan mengapa mereka berada di tempat sunyi itu dan mengadu ilmu silat?
Ci Sian tidak keliru mengenal orang. Memang pemuda tanggung itu adalah Sim Hong Bu, pemuda pemburu yang kini telah menjadi murid keluarga Cu di Lembah Suling Emas itu. Dan baru sekarang dia bertemu dengan wanita cantik yang mengadu ilmu silat dengan dia, dan belum dikenalnya benar sungguhpun tadi wanita itu telah memperkenalkan diri. Setelah tinggal di Lembah Suling Emas, mulailah Hong Bu berlatih ilmu silat, yaitu dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu di bawah pimpinan Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan Ji suhu dan Sam-suhu baginya, yaitu guru ke dua dan guru ke tiga. Akan tetapi pemuda tanggung ini tidak pernah melupakan kesenangan memburu binatang yang telah menjadi pekerjaannya semenjak dia kecil, maka di waktu terluang dia selalu membawa busur dan anak panah untuk memburu binatang di sekitar lembah, dan hasil buruannya lalu diserahkan pekerja di dapur untuk dimasak dan untuk hidangan sekeluarga Cu. Pada pagi hari itu, ketika dia berburu dan tiba diperbatasan lembah yang hanya dapat ditempuh melalui jalan rahasia yang hanya dikenal oleh orang-orang Lembah Suling Emas, dan yang telah diberitahukan kepadanya pula, tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu!
Keduanya terkejut. Hong Bu segera menjadi curiga karena menurut para gurunya, tidak boleh ada orang luar memasuki daerah Lembah Suling Emas. Pula, daerah itu merupakan daerah rahasia yang tidak dikenal orang luar, bagaimana tahu-tahu ada wanita cantik muncul di situ?"
"Siapa engkau?" tegurnya. "Berani benar engkau memasuki daerah Lembah Suling Emas tanpa ijin!"
Wanita cantik itu juga kelihatan terkejut dan heran, apalagi melihat sikap pemuda tanggung itu seperti seorang pemburu, maka dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pemburu yang salah jalan. Yang membuat dia terheran-heran adalah teguran pemuda itu, seolah-olah pemuda itu berhak mengatur orang lain yang berada di tempat itu! Wanita itu tersenyum mengejek. "Eh, bocah lancang. Engkaulah yang lancang berani memasuki daerah terlarang ini. Siapa engkau?"
Melihat sikap ini dan mendengar pertanyaan itu, Hong Bu menjadi ragu-ragu. Dia belum lama menjadi penghuni lembah itu dan belum mengenal betul semua anggauta keluarga majikan lembah. Siapa tahu kalau-kalau wanita cantik ini juga merupakan seorang anggauta keluarga, atau seorang murid, atau seorang pelayan! Maka dia pun bersikap halus dan cepat-cepat memperkenalkan diri. "Aku adalah murid dari majikanlembah ini."
Wanita itu tersenyum lebar dan nampak cantik sekali, akan tetapi sikapnya memandang rendah. "Aih, kiranya engkaukah yang
datang bersama Yeti itu? Subo telah bercerita tentang dirimu. Bukankah engkau yang bernama Sim Hong Bu itu?"
"Benar...." Hong Bu menjadi semakin ragu karena dia yakin bahwa wanita ini tentu keluarga atau murid dari lembah itu. "Dan....siapakah engkau, Cici?"
"Aku? Engkau harus menyebut Suci (Kakak Seperguruan) kepadaku. Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu adalah Suboku."
Hong Bu terkejut mendengarini, dan juga merasa heran. Twaso dari para gurunya itu, yang dia harus menyebut Supek-bo, adalah seorang wanita yang masih kelihatan muda dan cantik. Muridnya ini juga seorang wanita dewasa yang cantik, dan kalau Supek-bo itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun muridnya ini tentu sudah ada dua puluh lima tahun. Pantasnya mereka itu adalah kakak beradik, bukan guru dan murid! Akan tetapi dia segera memberi hormat.
"Ah, harap Suci maafkan, karena aku belum mengenal semua keluarga, maka aku tidak tahu bahwa Suci adalah murid dari Supek-bo."
Wanita itu tertawa. "Tidak apa, Sute. Aku pun belum lama menjadi murid Subo. Engkau sungguh beruntung bisa menjadi murid Lembah Suling Emas, bahkan menurut Subo, engkau akan mewarisi pedang Koai-liong-pokiam. Entah bagaimana sih lihaimu maka engkau dipilih? Sute, kita adalah orang sendiri. Aku adalah Sucimu dan namaku adalah Yu Hwi. Jangan engkau sungkan, mari kita berlatih sebentar karena aku ingin sekali mengukur sampai dimana kepandaian silatmu."
"Ah, aku belum belajar apa-apa, Suci...." Hong Bu berkata.
Akan tetapi wanita itu mendesak dengan kata-kata yang tegas. "Sute, murid Lembah Suling Emas tidak boleh bersikap lemah. Apalagi aku hanya ingin mengujimu, apa salahnya? Hayo, kausambut ini!" Dan wanita itu lalu menyerangnya. Hong Bu terkejut sekali karena gerakan wanita itu sungguh amat lihai. Maka dia cepat mengelak dan terpaksa dia melayani sucinya itu. Namun, biarpun dia menggunakan busurnya sebagai senjata, tetap saja dia terdesak hebat.
Tentu saja, karena wanita itu adalah Yu Hwi, yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Ang-siocia! Para pembaca kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu masih mengenal wanita lihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai-cuKai-ong Yu Kong Tek yang semenjak kecil diculik dan diambil murid oleh Hek-sin Touw-ong, raja maling yang luarbiasa lihainya itu.
Seperti telah diceritakan dalam kisah Sepasang Jodoh Rajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia dan suka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri dari depan kakeknya ketika dia diberitahu dan diperkenalkan kepada tunangannya sejak kecil yang bukan lain adalah Kam Hong! Dia merasa malu, dan juga cinta kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasa kecewa, sungguhpun harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dan gagah dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil. Dara yang keras hati ini melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, perbuatannya itu membuat Kam Hong, calon suaminya yang telah dijodohkan dengan dia sejak mereka
berdua masih kecil, merana dan pendekar ini mencari-carinya selama lima tahun tanpa hasil!
Dan memang dugaan dan harapan Kam Hong itu tidak kosong belaka. Ramai-ramai orang kang-ouw yang menuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorang dara murid Si Raja Maling, dan dalam hal permalingan memang dia lihai bukan main, maka mendengar bahwa ada orang mencuri pedang pusaka dari istana dan membawanya lari ke Himalaya, hatinya amat tertarik dan dia pun ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Ingin dia melihat siapa malingnya yang demikian berani dan lihai, dan ingin dia menguji sampai di mana kepandaian maling itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang
menggegerkan dunia kang-ouw dan yang telah menarik hati semua orang kang-ouw untuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.
Akhirnya, dalam perantauannya ke Himalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan orang-orang yang mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dan kakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia malah tiba di perbatasan Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja dia memasuki daerah tempat tinggal Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu di kaki gunung, di bawah lembah itu!
Di tempat inilah bertemulah Yu Hwi dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Ketika mendengar bahwa dara cilik itu adalah murid Hek-sin Touw-ong yang hendak mencari pencuri pedang pusaka, Cui-beng Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya. Yu Hwi tekejut bukan main, dan juga kagum karena ternyata kepandaian pencuri ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, bahkan masih lebih tinggi daripada ilmu kepandaian gurunya, Si Raja Maling! Maka tunduklah hati dara yang keras ini dan dia pun mengangkat guru kepada Cui beng Sian-li yang juga merasa suka kepada Yu Hwi.
Demikianlah sedikit riwayat dari YuHwi yang kini bertemu sutenya, karena keduanya adalah para murid-murid dari para tokoh Lembah Suling Emas dan dalam kesempatan itu, Yu Hwi sengaja menguji kepandaian sutenya yang dilihat oleh Ci Sian sehingga gadis cilik ini turun tangan hendak membantu Hong Bu.
Kini Yu Hwi yang berdiri di samping Hong Bu memandang kepada Ci Sian dan kepada See-thian Coa-ong dengan alis berkerut. "Sute, engkau kenal mereka?" tanyanya tanpa menoleh kepada Hong Bu.
"Aku tidak mengenal kakek itu, Suci dan Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju."
Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya dua orang yang datang ini bukan keluarga atau sahabat sutenya. Maka setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek gundul botak yang datang bersama gadis cilik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Maka dia pun menghadapi kakek Itu dan berkata dengan suara tegas.
"Kalian berdua telah memasuki daerah kami yang terlarang. Kalau hal itu kalian lakukan tanpa sengaja, harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkan tempat ini. Kalau disengaja, harap katakan apa keperluan kalian datang ke sini dan siapa adanya kalian berdua!"
See-thian Coa-ong tersenyum ramah. "Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah See-thian Coa-ong, hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu."
Terkejutlah Yu Hwi mendengar ini dan dia menjadi semakin curiga. "Sute, harap kau pulang dulu, tidak baik kalau sampai Subo melihatmu di sini."
Hong Bu mengangguk. "Baiklah, aku pergi dulu, Suci." Dan dia pun lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak mereka berpandangan. Kedua orang muda remaja ini semenjak bertemu memang merasa saling suka, bahkan begitu berjumpa mereka telah bekerja sama menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidak enak dalam hati Hong Bu bahwa mereka bertemu lagi dalam waktu sesingkat itu, tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.
"Nona, kuharap keadaanmu akan baik selalu." akhirnya Hong Bu berkata.
"Terima kasih, kuharap engkau pun begitu pula." jawab Ci Sian.
"Sute, pergilah...." desak YuHwi, mengingat akan pentingnya urusan yang dihadapinya. Kakek ini jelas bukan orang Han, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang mencari subonya, tentu ada urusan yang amat gawat. Apalagi melihat keadaan kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda seorang yang berilmu tinggi.
Hong Bu mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwa dia belum berkenalan dengan gadis cilikitu. Maka dia membalik lagi dan berkata cepat, "Namaku Sim Hong Bu."
Ci Sian tersenyum. "Dan namaku Bu Ci Sian."
Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya. "Sampai jumpa!" katanya dan dia pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, menghilang dibalik batu-batu besar. Dia harus melalui jalan rahasia untuk kembali ke daerah Lembah Suling Emas di atas sana, jalan rahasia terowongan yang hanya diketahui oleh para penghuni Lembah Suling Emas saja. Sementara itu, Yu Hwi lalu berkata kepada See-thian Coa-ong.
"Guruku tidak begitu mudah ditemui, dan dia tidak suka diganggu."
"Aih, Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu maka tidak mengenalku. Aku dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini, maka harap kauberitahukan kepada Cui-beng Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong datang untuk memenuhi janji dan untuk menebak teka-tekinya."
Tentu saja Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subonya tentang hal itu merasa heran sekali. "Menebak teka-teki....?"
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara bisikan halus terbawa angin memasuki telinga, "Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menanti di sini!"
"Baik, Subo." kata Yu Hwi dan diapun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara gurunya itu dikirim melalui ilmu mengirim suara dari jauh dan yang mendengar bisikan itu adalah dia seorang. Namun suara itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya itu berada di sampingnya dan bicara kepadanya! Demikian hebat kekuatan khi-kang dari subonya itu. Karena merasa malu bicara seperti kepada diri sendiri atau kepada bayangan yang tidak nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakek itu, "Subo minta kepada kalian untuk menghadap kepadanya di taman. Silakan!" Dan Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya tanpa menanti jawaban, lalu
melangkah pergi.
"Hebat memang Ilmu Coan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li." kata kakek itu dan kembali Yu Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapat mendengar bisikan Subonya? Agaknya tidak mungkin karena sepanjang pengetahuannya, ilmu itu kalau
dipergunakan hanya dapat didengar oleh orang yang ditujunya. Dia menoleh dan melihat kakek itu bersama gadis tanggung mengikutinya.
Yang dimaksudkan taman oleh Cui-beng Sian-li dan muridnya itu adalah sebuah tempat terbuka yang memang indah sekali. Di situ penuh dengan pohon akan tetapi karena ketika itu musim dingin sedang hebat-hebatnya, maka semua pohon kehilangan daunnya yang tinggal hanya batang dan cabang berikut rantingnya yang kini penuh dengan salju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga. Dan di sana-sini nampak batu-batu terselaput es yang aneh-aneh bentuknya. Semua itu berkilauan dan memantulkan cahaya yang beraneka warna sehingga memang benar-benar merupakan taman yang luar biasa aneh dan indahnya. Di tengah taman itu terdapat sebuah kupel, yaitu bangunan tak berdinding, di mana terdapat sebuah meja batu berikut bangku-bangkunya yang mengelilingi meja itu, juga terbuat dari batu-batu dan jumlahnya ada delapan buah, cocok dengan meja yang bentuknya segi delapan itu. Dan di atas sebuah diantara bangku-bangku itu nampak duduk seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu.
"Subo, teecu sudah mengantar tamu-tamu datang," kata Yu Hwi yang lalu berdiri di belakang subonya.
Wanita cantik itu memutar tubuh dan memandang kepada See-thian Coa-ong, lalu memandang kepada Ci Sian. Wajah yang cantik itu nampak suram seolah-olah dibayangi kedukaan atau kepahitan hidup. Akan tetapi dia tersenyum ketika bertemu pandang dengan See-thian Coa-ong.
"Duduklah, See-thian Coa-ong." katanya lembut.
"Terima kasih, Cui-beng Sian-li." jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya rumah, terhalang meja. CiSian yang tidak dipersilakan duduk tidak mau duduk dan hanya berdiri di belakang kakek itu, seperti yang dilakukan oleh Yu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya itu dengan kagum. Tak disangkanya bahwa di tempat sunyi seperti ini, tempat yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan dua orang wanita cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa yang menjadi musuh kakek itu, yang namanya begitu menyeramkan, ternyata adalah seorang wanita yang cantik jelita! Padahal tadinya dia membayangkan bahwa nama itu tentu dimiliki seorang wanita yang amat menyeramkan.
"Engkau sungguh merupakan seorang kakek yang keras hati, Coa-ong. Tak kusangka bahwa kekalahanmu dahulu itu benar-benar kau tebus dengan mengasingkan diri sampai sekarang dalam guha itu. Tiga tahun lamanya! Bukan main!"
"Hemm, Sian-li. Seandainya ketika itu engkau yang kalah, apakah engkau juga tidak akan menjalani hukuman seperti yang kita pertaruhkan bersama?"
Wanita itu tersenyum pahit. "Aku ragu-ragu apakah aku akan setekun engkau memegang janji yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya engkau kalah dan engkau baru tiga tahun bertapa di dalam guha itu. Masih kurang dua tahun lagi. Kenapa engkau sudah keluar dan mencariku?"
"Karena sekarang aku sudah mendapat jawaban teka-tekimu!"
"Ah, benarkah? Hemm.... tidak mungkin!"
"Coba dengarlah, Cui-beng Sian-li. Akan tetapi apakah janji pertaruhan itu masih berlaku?"
"Tentu saja."
"Jadi, kalau jawabanku keliru, aku harus melanjutkan bertapa di dalam guha itu dua tahun lagi, dan kalau benar engkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua tahun."
"Ya, begitulah, karena yang lima tahun itu telah lewat tiga tahun."
Kakek itu tertawa. "Ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah. Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan begini: Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita? Bukankah begitu pertanyaanmu?"
"Tepat sekali. Nah, kalau memang engkau tahu jawabannya, jawablah." Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menantang.
"Cui-beng Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanita adalah Im. Pria adalah kasar dan kuat, wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria bersifat ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memanjakan, ingin memiliki! Sebaliknya cinta wanita bersifat ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lemah menundukkan yang kuat. Bukankah begitu jawabannya?"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudian tiba-tiba saja dia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis! Melihat gurunya menangis demikian sedihnya, Yu Hwi terkejut dan marah. Cepat dia melompat dan menyerang kakek itu sambil membentak. "Kakek iblis, berani engkau membikin susah Guruku?"
Serangan Yu Hwi tentu saja hebat bukan main. Biarpun baru beberapa bulan dia menjadi murid Cui-beng Sian-li dan baru menerima sedikit petunjuk, akan tetapi oleh karena sebelumnya memang kepandaiannya sudah tinggi, maka begitu dia menggerakkan Ilmu Kiam-toSin-ciang, terdengar suara bercuitan dan angin yang amat tajam menyambar kearah kakek tinggi kurus hitam itu!
See-thian Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudah mencelat mundur dari bangkunya dan begitu Yu Hwi melancarkan pukulan maut bertubi-tubi dan ke dua lengannya itu seperti berubah menjadi pedang tajam yang menyabar-nyambar, kakek ini hanya mengelak dan kadang-kadang saja menangkis dengan lengannya yang hitam panjang.
"Hemm, beginikah sikap orang yang kalah taruhan?" See-thian Coa-ong mendengus dan tiba-tiba terdengar suara melengking keluar dari dada melalui kerongkongannya dan tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan datanglah ratusan ekor ular ke tempat itu dari segenap jurusan!
Yu Hwi merasa terkejut sekali akan tetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia turun tangan membunuh ular-ular itu, terdengar gurunya membentak. "Yu Hwi, jangan lancang kau. Mundurlah."
Yu Hwi tidak berani membangkang dan dia menghentikan gerakannya, lalu meloncat ke belakang gurunya. Cun Ciu sudah menghapus air matanya dengan saputangan sutera, kemudian berkata kepada kakek itu. "Coa-ong, maafkanlah muridku. Simpan kembai ular-ularmu yang menjijikkan itu."
See-thian Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik dan merayap pergi dari situ. Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening, tidak terdengar suara mendesis seperti tadi dan bau amis dari ular-ular beracun telah lenyap pula.
"Ha-ha, aku sudah terlalu tua untuk menggunakan kekerasan, maka terpaksa minta bantuan ular-ular yang menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti." kata kakek itu.
"Hemm, siapa takut kepada ular-ularmu, Coa-ong? Dan kalau engkau melawan dengan ilmu silatmu, mana mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu? Sudahlah, engkau datang bukan untuk mengadu ilmu silat, melainkan untuk menebak teka-teki dan ternyata
engkau menang. Jawabanmu benar, Coa-ong. Akan tetapi, engkau seorang pria yang selalu tidak pernah berhubungan dengan wanita, bagaimana engkau mampu menjawab dengan begitu tepat?" tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua matanya yang agak merah.
"Ha-ha, sungguh mati aku tadinya sama sekali tidak mampu menjawab dan jangankan harus bertapa dua tahun lagi, biar dua puluh tahun lagi aku pasti takkan mampu menjawab kalau tidak bertemu dengan muridku ini. Muridku ini, Bu Ci Sian, yang telah membantuku menjawab teka-tekimu."
Tang Cun Ciu memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnya dengan pandang mata tidak kalah tajamnya. "Hemm, Coa-ong, muridmu itu sebenarnya masih terlalu kecil untuk dapat menyelami perasaan wanita jatuh cinta. Akan tetapi dia memiliki kecerdasan hebat."
"Aku bukan murid See-thian Coa-ong!" tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring. Tang Cun Ciu memandang dengan heran sekali. Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengan sepasang mata berapi dan tiba-tiba dia seperti melihat seorang lain dalam diri gadis cilik itu.
"Kau.... kau she Bu? Ah, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!" Cui-beng Sian-li berkata lirih dan sepasang matanya terbelalak. "Engkau.... engkau tentu puteri Bu-taihiap!" Tiba-tiba dia meloncat ke depan, mukanya pucat sekali."Engkau....
serupa benar dengan Ibumu dan karena itu engkau harus mampus!"
"Wuuuuttt....!" Hebat bukan main tamparan yang dilakukan oleh Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala CiSian itu. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan agaknya nyawa gadis cilik itu takkan dapat tertolong lagi dari ancaman maut.
"Syuuuut.... dessss!" Kedua orang sakti itu terhuyung ke belakang dan See-thian Coa-ong tersenyum pahit sambil berkata. "Cui-beng Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi seperti tiga tahun yang lalu? Apakah engkau hendak menodai
nama Lembah Suling Emas dengan membunuh seorang anak-anak yang tidak berdosa apa pun kepadamu?"
Ucapan itu membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan dia pun menarik napas panjang, lengan tangannya masih tergetar hebat oleh tangkisan kakek itu tadi, "Ahhh.... aku telah lupa diri....! Ah, aku menyesal, Coa-ong, dan sebagai hukumanku, aku akan menceritakan kepadamu segala peristiwa yang menimpa diriku dan mengapa aku bersedih mendengar jawaban teka-tekimu dan mengapa aku hendak membunuh Nona cilik ini."
Tanpa mempedulikan bahwa yang mendengar ceritanya bukan hanya kakek itu seorang, melainkan juga Yu Hwi dan Ci Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lalu menceritakan riwayatnya yang seharusnya merupakan rahasia bagi seorang wanita, akan tetapi kini dia ceritakan kepada orang lain tanpa malu-malu, seolah-olah hendak membuka rahasia kebusukannya sendiri! Memang aneh-aneh watak dari orang-orang dunia persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!
Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi karena dia berguru kepada para pertapa di sepanjang perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam usia tujuh belas tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik dan lihai berjumpa dengan Cu San Bu, seorang pendekar dan tokoh besar dari keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas. Cu San Bu seketika jatuh cinta kepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka menikah. Kalau Cu San Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertarik sekali kepada Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudara tertua dari keluarga Cu. Padahal, usia mereka berselisih lima belas tahun! Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun, adalah suaminya itu telah berusia tiga puluh dua tahun! Setelah menjadi isteri Cu San Bu, Tang Cun Ciu yang amat suka mempelajari ilmu silat itu memperoleh kemajuan hebat. Suaminya yang amat mencinta itu mengajarkan ilmunya kepada isterinya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikian hebatnya sehingga tidak berselisih jauh sekali dari para kakak beradik Cu itu sehingga dia diterima sebagai
seorang tokoh Lembah Suling Emas pula.
Akan tetapi, mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karena memang watak mereka pun berbeda, Cu San Bu adalah seorang pendekar yang lebih banyak menahan nafsu-nafsunya dan lebih banyak bersamadhi, sebaliknya Tang Cun Ciu adalah seorang wanita yang berdarah panas, maka dalam pernikahan itu Tang Cun Ciu merasa kecewa dan banyak menderita tekanan batin!
Suami itu terlalu "dingin" baginya sehingga sering kali dia merasa tersiksa oleh gairah nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan karena suaminya hanya amat jarang mau menggaulinya. Dan karena ketidakserasian ini agaknya maka biar pun sudah menikah bertahun-tahun mereka berdua tidak mendapatkan keturunan.
Makin dewasa usia Tang Cun Ciu, makin tersiksalah dia karena suaminya menjadi semakin tua dan semakin dingin dalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya dan sedang panas-panasnya gejolak berahinya, suaminya yang baru berusia empat puluh dua tahun itu sudah jarang mau mendekatinya!
Keadaan seperti ini agaknya tidak akan menimbulkan apa-apa dan lambat laun Tang Cun Ciu tentu akan terbiasa dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak muncul sepasang suami isteri pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling Emas. Mereka ini adalah sepasang pendekar yang berusia sekitar tiga puluhan tahun. Pendekar itu dikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinya seorang wanita yang cantik dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal Cu San Bu, kakak tertua di antara saudara-saudara Cu itu yang memang merupakan satu-satunya orang yang sering kali keluar dari Lembah Suling Emas dan banyak merantau.
Mereka, suami isteri itu, diterima sebagai seorang sahabat, bahkan mereka ditahan untuk tinggal di lembah itu selama mereka belum menemukan tempatyang baik untuk bertapa. Memang suami isteri itu datang ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa dan mempelajari ilmu yang baru saja mereka dapatkan. Dan pada waktu itulah terjadi godaan yang amat hebat menggerogoti hati Tang Cun Ciu yang selalu kehausan cinta asmara itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan, tubuhnya yang gagah, amat menarik hatinya dan mulailah terdapat sinar-sinar cinta asmara berkilatan dari pandang mata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu! Dan Bu-taihiap biar pun dia merupakan seorang pendekar sakti yang selain berilmu tinggi juga berbatin kuat, tetap saja masih seorang manusia biasa, seorang manusia laki-laki yang masih muda dan akhirnya dia pun tidak kuat menghadapi godaan sinar-sinar cinta asmara yang dikobarkan oleh Tang Cun Ciu yang kehausan kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan lagi pun terjadilah. Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinaan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap!
Setelah menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminya yang kurang memenuhi kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan kini bertemu dengan seorang pria muda yang berdarah panas dan tidak kalah besar gelora berahinya dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun Ciu bagaikan seorang yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar. Tak puas-puasnya dia meneguk air menyegarkan itu, tak peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah air terlarang, Lupa dia bahwa dia menjadi isteri pria lain dan bahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api cinta asmara yang menggelora dan panas itu adalah suami dari seorang wanita lain!
Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semua orang di tempat itu, termasuk suami Tang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, adalah orang-orang lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu tidak mudah dikelabuhi dan akhirnya perbuatan mereka berdua itu ketahuan! Namun, sebagai seorang pendekar besar yang tidak lagi dimabok berahi dan mudah dikuasai amarah, Cu San Bu tidak menimbulkan keributan. Bu-taihiap merasa malu sendiri. Kalau seandainya suami wanita itu marah-marah dan menyerangnya, dia tidak akan merasa demikian terpukul dan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti orang tidak marah itu lebih menyakitkan hati bagi Bu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin rendah saja! Maka dia pun berpamit dan pergi meninggalkan Lembah Suling Emas bersama isterinya dan semenjak itu tidak pernah nampak lagi atau terdengar beritanya.
Bercerita sampai disini, Tang Cun Ciu memejamkan kedua matanya dan diam sampai beberapa lama. Ketika dia membuka lagi matanya, kedua mata yang jernih tajam itu agak basah. Dia menarik napas panjang. Dadanya yang masih membusung penuh itu naik turun.
"Sampai sekarang pun aku tak pernah dapat melupakan dia! Aku mencinta mendiang suamiku, hatiku mencinta suamiku yang amat baik kepadaku,akan tetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap."
Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi, menjadi merah mukanya mendengar cerita subonya dan mendengar pengakuan itu. Pengakuan yang terang-terangan dan yang menurut pendapat dan pandangan umum merupakan pengakuan tidak tahu malu dari seorang isteri!
Wanita itu melanjutkan ceritanya. Biarpun pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yang berjina dengan tamunya itu tidak melukai hatinya, namun sesungguhnya dia merasa tertikam batinnya. Dia amat mencinta isterinya, akan tetapi cintanya tidak terlalu condong kepada nafsu berahi. Dia tidak menyesal karena merasa dirugikan, hanya merasa menyesal mengapa isterinya melakukan perbuatan yang begitu rendah dan memalukan. Yang lebih memberatkan perasaan batin pendekar ini adalah sikap adik-adiknya. Cu San Bu adalah seorang anak angkat dari ayah ketiga orang saudara Cu. Biarpun dia sudah dianggap anak sendiri dan memakai she Cu, namun tiga orang adiknya itu tahu bahwa dia bukanlah darah daging keluarga Cu. Biasanya memang sikap Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu kepadanya biasa saja, tetap menganggapnya sebagai kakak sendiri, kakak terbesar yang selain paling lihai ilmunya, juga dapat mereka hormati karena sikap dan perbuatan Cu San Bu yang gagah perkasa dan baik, yang selalu menjunjung tinggi nama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah peristiwa perjinaan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap, sikap tiga orang pendekar itu berubah sama sekali!
Tiga orang kakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan twaso mereka. Menurut pendapat mereka, dosa twaso mereka itu terlampau besar dan biarpun twako mereka tidak me ganggapnya sebagai dosa, akan tetapi mereka berpendapat bahwa twaso mereka itu telah menodai nama dan kehormatan keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikap twako mereka yang mendiamkannya saja perbuatan hina dan rendah itu, membuat mereka diam-diam merasa penasaran dan membenci twako mereka!
Inilah yang membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh sakit! Penyakit yang sukar diobati karena bersumber dari batin yang tertekan. Akhirnya, pendekar ini meninggal dunia dalam usia baru empat puluh tahun lebih! Dan sebelum mati, dia sempat meninggalkan pesan atau permintaan terakhir kepada tiga orang adiknya itu agar mereka suka memaafkan Tang Cun Ciu dan agar wanita itu tetap diperlakukan sebagai twaso mereka, sebagai keluarga mereka. Permintaan yang amat berat bagi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, akan tetapi karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak tega untuk menentang atau menolaknya.
"Mereka bertiga menerima pesan suamiku, dengan syarat bahwa aku harus tinggal di luar Lembah Suling Emas, dan demikianlah, aku memilih tempat ini, dikaki gunung dan di sebelah bawah dari lembah itu." Tang Cun Ciu mengakhiri ceritanya yang amat menarik perhatian tiga orang pendengarnya.
Akan tetapi kakek berkulit hitam itu, yang biarpun selama hidupnya belum pernah terjerat oleh perangkap-perangkap cinta asmara namun pandangannya sudah sedemikian waspada sehingga cerita yang didengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena dianggapnya wajar dan tidak aneh, lalu bertanya, nadanya penasaran, "Hemm, ceritamu mungkin menyedihkan, Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa hubungannya itu dengan teka-tekimu?"
"Tiga tahun yang lalu, aku mendapat tugas untuk menghadapimu, dan karena dalam ilmu silat kita seimbang dan sukar untuk menentukan siapa kalah siapa menang, maka timbul niatku untuk membuka perasaan hatiku yang penasaran terhadap adik-adik suamiku itu melalui teka-teki ini. Nah, itulah sebabnya maka aku mengajukan teka-teki kepadamu, dengan harapan selain engkau tidak akan mampu menebaknya, juga tiga orang adik suamiku itu agar memikirkan pula tentang sifat-sifat cinta pria dan wanita. Sebagai isteri mendiang suamiku yang sungguh kucinta karena kebaikannya, sebagai seorang wanita, aku membutuhkan kasih sayang yang diperlihatkan, butuh dimanjakan, butuh dicinta dengan mesra, dengan lembut, butuh disenangkan dan dipuja. Akan tetapi sikap suamiku yang dingin itu mendatangkan perasaan kepadaku seolah-olah aku tidak dibutuhkannya lagi, tidak dicinta lagi. Seorang wanita, dari yang muda sampai yang tua sekalipun, baru percaya akan cinta kasih seorang pria kalau pria itu memperlihatkannya dengan bukti dalam sikapnya. Dan wanita yang dilimpahi kemesraan baru akan percaya bahwa dia memang di cintai, maka anehkah kalau aku menyerahkan segala-galanya. Suamiku bersikap dingin, dan sebaliknya, Bu-taihiap bersikap mesra sekali kepadaku, maka anehkah kalau aku menyerahkan diri kepadanya untuk memuaskan kehausanku?"
Makin lama makin merah dan jengah rasa hati Yu Hwi mendengarkan kata-kata gurunya itu. Sebagai seorang wanita dewasa, tentu saja dia mengerti semua yang dibicarakan. Sedangkan Ci Sian hanya mendengarkan dengan bengong, biar pun dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak begitu mengerti tentang urusan cinta-mencinta itu.
"Akan tetapi, apa hubungannya orang she Bu itu denganaku?" Tiba-tiba Ci Sian bertanya, suaranya lantang dan mengejutkan Cui-beng Sian-li yang tidak menyangka-nyangka akan datang pertanyaan dari bocah itu. Dia memandang wajah Ci Sian dan alisnya berkerut, pandangannya menjadi tajam dan tidak senang.
"Mukamu sama benar dengan isteri Bu-taihiap! Dan engkau she Bu pula,maka aku menduga bahwa engkau tentulah puteri mereka!" Ci Sian adalah seorang yang cerdik. Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin saja benar karena bukankah ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang di ceritakan oleh kakeknya, dan bahwa ayahbundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi? Akan tetapi, karena tidak ada bukti dan semua itu hanya dugaan saja, lebih baik kalau dia tidak mengakui hal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan menimbulkan permusuhan dari wanita yang lihai ini.
"Hemm, biarpun aku she Bu, akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa aku adalah puteri mereka, karena itu, jangan engkau sembarangan saja menduga-duga dan secara sewenang-wenang hendak membunuhku." kata Ci Sian, suaranya bernada teguran sehingga Tang Cun Ciu merasa terpukul dan malu.
Untuk menutupi rasa malunya ditegur oleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. "Eh, Coa-ong, engkau sekarang mempunyai seorang murid yang agaknya akan menjadi orang yang lihai, biarpun sekarang yang lihai hanya baru mulutnya saja! Pertandingan antara kita sudah selesai, maka marilah kita pertandingkan murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu she Bu ini, dan aku akan membimbing muridku Yu Hwi, dan kita pertandingkan mereka...."
"Yu Hwi....?" Tiba-tiba Ci Sian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya kepada murid Cui-beng Sian-li itu, memandang tajam karena baru sekarang dia tertarik sedangkan sejak tadi perhatiannya dicurahkan seluruhnya kepada Cui-beng Sian-li. Dia mulai melangkah maju mendekati Yu Hwi yang juga memandangnya penuh perhatian, diam-diam Ci Sian harus mengakui bahwa Yu Hwi memiliki wajah yang manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yang putih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu amat cantik menarik dan memang pantas sekali kalau menjadi isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
"Ada apakah dengan engkau?" Yu Hwi membentak ketika melihat Ci Sian memandangnya sedemikian rupa setelah tadi mengucapkan namanya.
"Yu Hwi....? Mengapa engkau meninggalkan Kam Hong.. ..?" Karena tiba-tiba timbul rasa iba kepada pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwa isteri pendekar itu yang bernama Yu Hwi telah lari meninggalkannya, maka kini Ci Sian mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara menegur dan mencela.
Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak memandang Ci Sian. Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia menekan perasaannya yang terguncang, dia berkata, suaranya terdengar seperti membentak marah. Apa.... maksudmu....?"
"Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama Kam Hong?"
Kini wajah Yu Hwi berobah merah sekali. "Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku?"
"Hemm, aku tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah Yu Hwi yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman Kam Hong menderita sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang cocok. Gurunya seorang wanita yang telah mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang telah minggat dari suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang mencintai mereka."
"Keparat!"
"Jahanam bermulut lancang!"
Guru dan murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan Ci Sian sudah menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat itu.
"Cui-beng Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari sini!" teriak kakek itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak melakukan pengejaran.
Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang kepada muridnya dan dengan pandang mata tajam dia bertanya. "Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari suamimu?"
"Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri."
"Dan pemuda itu bernama Hong?"
Yu Hwi mengangguk, lalu dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa gurunya tadi pun telah bercerita dengan terus terang tanpa menyembunyikan perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.
"Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi pendekar itu tidak membalas cinta teecu agaknya. Dan tanpa teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan dengan seorang pemuda lain. Setelah teecu memberitahu tentang pertunangan itu. Maka ketika dipertemukan dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih lamanya, dan siapa kira, pemuda itu ternyata masih mencari-cari teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi."
Hening sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian, Cun Ciu menarik napas panjang. "Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya sehingga kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan karena hal itu sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!"
"Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!" Yu Hwi berkata. "Teecu tidak menyangka bahwa dia masih terus mencari teecu. Mau apa dia? Apakah hendak memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang-orang tua kami itu? Teecu harus pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa teecu tidak suka menjadi isterinya!"
"Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri telah mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam guha. Dan setelah dia dapat menebak teka-teki sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun dan sama sekali tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja menjadi muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua tahun."
Yu Hwi tidak berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subonya kembali ke pondok kecil mungil yang dibangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk twaso mereka. Biarpun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh saja mengunjungi lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga mereka.
Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula. Marilah kita beralih ke bagian lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan Himalaya dan pergi ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan di sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan mempergunakan sebuah perahu
layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam saja orang sudah akan dapat sampai ke pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat sejenis ular yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung bisa yang mematikan.
Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan pelancong tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau yang berbahaya karena pulau itu ditinggali oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau kosong itu. Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena wanita yang hidup seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka tidak ada orang berani lancang mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan yang penting.
Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu gin-kang yang amat luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja dia merupakan lawan yang amat berbahaya. Bu-eng-kwi bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh enam tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin mau percaya bahwa wanita cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad! Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih halus tanpa keriput sedikit pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan menaksir usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!"
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka dibunuhnya suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang wanita pembenci pria, atau setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan tidak pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras dan kejam terhadap pria. Akan tetapi sebagai seorang manusia yang terbuat daripada darah daging dan memiliki hawa nafsu, maka tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini membuat dia mulai mendekati sesama kelamin dan mencari pelepasan nafsu berahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan dalam kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya sehingga mudah saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan cantik-cantik yang bertugas menemani dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu malam. Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki gairah berahi yang normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan hatinya, Ouw Yan Hui berobah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta dengan wanita lain, atau yang kita biasa namakan wanita lesbian.
Karena sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani mendekatinya, biarpun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yang Hwi adalah, seorang wanita pembenci pria yang amat berbahaya. Akan tetapi, semenjak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya. Di situ terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri seorang dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biarpun Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang wanita yang amat cantik, namun dibandingkan dengan muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena jauhnya dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!
Memang kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia dikarunia kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya gemilang, rambutnya hitam gemuk dan panjang berombak, digelung seperti model sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang berkilauan, semerbak harum oleh sari kembang. Sepasang matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah-olah dapat mengeluarkan ribuan sinar yang menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja. Sepasang alisnya yang aseli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil hitam, rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap helai bulu alis itu seperti memiliki kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai dengan mulutnya yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah aseli karena sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya meruncing menambah manis.
Luar biasa memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun, akan tetapi dia lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun! Hanya sikapnya, caranya memandang dan caranya bicara, menghadapi orang, menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita yang telah dewasa. Demikian cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung seperti seorang puteri istana! Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang puteri aseli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!
Di dalam cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI sudah diceritakan dengan jelas tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang amat mendalam dengan pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek Hoat karena pendekar ini adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es. Cinta kasih antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara mereka berdua mengalami halangan-halangan yang amat hebat sehingga sampai beberapa kali mereka berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan yang penuh bahaya dan sengsara demi kekasihnya, ketika dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh kekejaman ini seorang diri saja.
Pada pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini tertusuk oleh sikap kekasihnya yang mencurigainya, yang menuduhnya sebagai seorang anak yang hendak memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal yang melakukan perbuatan itu adalah seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk menyamar sebagai dirinya. Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara, dan dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam
cerita JODOH RAJAWALI.
Puteri Syanti Dewi melarikan diri ke tempat tinggal subonya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi melarikan diri dari pulau itu!
Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Pada waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan Ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda! Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu gin-kang yang amat tinggi dari Bueng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke dua yang memiliki gin-kang amat hebatnya, Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun dan saling menyayang di pulau itu seperti seorang ratu dan seorang puteri.
Akan tetapi, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu seringkali menerima kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu! Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan mata, wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi walaupun karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat berubah menjadi agak keras hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila! Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana kaisar!
Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan kalau Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidaksenangan hatinya dengan hiburan yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi kekasihnya!
Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai dengan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli-ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda rela untuk bertekuk lutut!
Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh Syanti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.
"Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini? Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!"
Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak ketika dia tersenyum.
"Sahabat,seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi."
Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biarpun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.
"Eh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamu-tamunya hanyalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi. Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk para penjaga itu.
Kakek itu tertawa. "Ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasihat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini kepadanya? Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas yang permukaannya terbuat daripada kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.
Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
"Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian."
Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak, "Eh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!" Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.
Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya. Semua orang memandang dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan daripada aselinya.
Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang menegurnya tadi, sambil berkata, "Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu."
Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berobah ketakutan. Memang siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata, "Harap Tuan sudi memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia...."
"Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!" kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berobah menjadi kepala seekor harimau yang bagus sekali!
Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata. "Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia."
"Dan aku akan menanti balasan di di sini." kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali.
Pada pagi hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah
semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.
"Dewi." kata Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu.
Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi. "Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah?"
"Benar, Enci Hui." Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip kakak dan adik daripada guru dan murid. "Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan berita itu."
"Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, daripada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga? Dan kurasa, paling tepatlah kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan...."
"Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!" Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut, sungguhpun wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.
Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius. "Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan kehidupanmu. Tak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan? Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri! "
"Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apabila terdapat cinta kasih di situ? Apakah kaukira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka? Ingat, di Bhutan aku adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!"
"Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar? Dewi, apa artinya cinta kasih? Apa kaukira ada cinta kasih dalam hati seorang pria? Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu berahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita, ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan...."
"Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan yang kaumaksudkan itu...."
"Hi-hi-hik, kaukira aku ini anak kecil, Dewi? Aku melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat kekaguman dan gairah berahi...."
"Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua. ..."
"Apa salahnya? Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan perbedaan usia itu akan membuat engkau lebih mudah mengatasinya."
"Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga, betapapun kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta."
"Tek Hoat itu lagi, ya? Betapa bodohnya engkau...."
"Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!"
Ouw Yan Hui tertawa lagi. "Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia berhati palsu! Oleh karena itu, aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani maupun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!"
Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.
"Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa Toanio di sini."
Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat itu.
"Ada keperluan apakah engkau datang ke sini?"
"Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia...."
"Siapa dia? Apa keperluannya?" tanya Syanti Dewi.
"Usir dia pergi!" bentak Ouw Yan Hui suaranya melengking marah sehingga mengejutkan Si Penjaga ber kumis tebal yang masih berlutut.
"Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia...." Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.
"Keparat berani kau....?"
Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat memegangi kepalanya untuk melihat apakah kepalanya tidak copot dan masih menempel di lehernya! Ternyata tadi dalam kemarahannya, Ouw Yan Hui telah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.
"Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia." kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu.
Kembang indah jelita nan cantik menarik datangnya kumbang-kumbang beterbangan membuat banyak tangan ingin memetik banyak pria berlumba bersaing!
Aku, sastrawan tua pengagum segala nan indah hanya ingin menikmati dengan pandangan mata sebelum kembang jelita dilayukan usia! Kasihan kumbang, belum kenyang madu tertusuk duri! Kalian kembang, habis madu layu sendiri!
"Di mana dia sekarang?" Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi. "Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia." jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.
"Kaupersilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya." kata Syanti Dewi dengan halus. "Nah, pergilah!"
Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh kehormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui. "Terima kasih atas pengampunan Toanio...." Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah dan yang baginya seperti neraka menakutkan itu.
"Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau menemuinya."
Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan mendengus. "Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!" Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut. Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.
"Siapa namamu?" begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.
Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk. "Namaku Pouw Toan, seorang sastrawan perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas?"
"Dengar, orang she Pouw!" kata penjaga itu dengan mata merah, dan telunjuknya menuding ke arah hidung sastrawan itu. "Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku ini!" Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu.
"Gara-gara kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!"
Sastrawan itu tersenyum, "Ah, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siociamu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siociamu."
Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu. "Kautunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi." Kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu.
Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda. Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Akan tetapi pria ini sudah setengah tua, dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.
"Pamankah yang ingin bertemu dengan aku?" Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini, sehingga menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan depannya itu sepuasnya!
"Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?"
Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan yang berlebihan, akan tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa? Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.
"Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari?"
Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona. "Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Kau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona daripada sekedar gambaran kosong belaka!"
Heran sekali, ucapan ini jelas mengandung pujian yang disertai celaan akan kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.
"Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguhpun aku pandai melihat cacat-cacat lain orang."
Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk. "Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu adalah bahwa di balik kecantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kaucoba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan sekedar gambar bidadari, melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona."
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu. "Engkau seorang ahli peramal?"
"Ha-ha-ha!" Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin. "Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari keadaan hati seseorang?"
"Paman, siapakah engkau?"
"Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau untuk menikmati keindahan alam semesta."
"Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu. Mengapa?" Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu sebetulnya adalah buatannya sendiri! "Apakah tulisan itu buruk?"
Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu. "Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!"
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran. Ah, aku menganggap tulisan itu benar dan baik, mengapa kaukatakan palsu dan buruk? Kurasa engkau bukan termasuk orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya."
"Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!" Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan suara lantang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.
"Cinta membutakan mata menulikan telinga pedih perih nyeri merobek-robek hati,akan tetapi mengapa seluruh raga dan jiwa selalu mendambakan cinta?"
Pouw Toan lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengarnya dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.
"Isi sajak ini buruk dan palsu, harus dirobah sama sekali karena hanya akan mendatangkan duka dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta kasih!" kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisannya yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik yang sumbang.
Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habis-habisan? Timbul keinginan tahunya.
"Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kaurobah sajak itu bagaimana baiknya."
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Kaukira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang itu. Merobahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!"
Syanti Dewi tersenyum. "Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya."
"Ahh....!" Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak bersifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.
"Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk membetulkan dan merobahnya, Paman."
Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar. "Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurobah tulisan ini!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu. Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak "hidup", sama sekali tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya! Kemudian, ditempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!
Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada Cinta tiada!
Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, namun huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaannya, mendatangkan kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
"Akan tetapi, Paman Pouw. Mengapa orang mencinta tidak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan? Bukankah kita mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan tertentu?"
Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.
Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab. "Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah ingin menyenangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan menyenangkan...."
"Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman...." bantah Syanti Dewi.
"Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang memandangnya. Kalau ketampanannya pudar, lalu ke mana perginya cinta? Dengan dasar kekayaan, kedudukan,
kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!"
Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras sekali.
Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berobah benci! Nampak jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya berkobar-kobar, akan tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian. Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat? Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri? Dia bergidik!
"Paman Pouw.... Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu?" Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu.
Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini. "Nona.... eh.... aku memohon padamu.... bolehkah aku melukis wajahmu....?" Dia pun berbisik.
Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu hampir sama dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!
"Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi."
"Apa dan bagaimana cinta kasih itu? Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu ? Sama dengan harus menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih? Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!"
Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja. Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta!
Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia bercakap-cakap.
Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.
"Kau tentu miskin sekali, Paman?"
Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, justeru sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di manapun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki sesuatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!"
"Eh, apa pula maksudmu, Paman?"
"Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, yang kita miliki itu akan kehilangan keindahannya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu
dia menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian?"
"Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman?"
"Ha-ha-ha, justeru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!"
Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Tiba-tiba timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.
"Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya yang bernama Puteri Milana?" Dia memancing.
"Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san."
"Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya kini semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup di tempat masing-masing, sungguhpun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar."
Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.
"Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu." tambahnya.
Syanti Deewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin, "Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut?"
Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya. "Aku belum pernah bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi gila...."
"Ehh....?" Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.
"Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut dan brewoknya tak terpelihara dan dia seringkali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heei, kenapa....?" Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi tiba-tiba menutup muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu!
Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum. Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak mengganggu, membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya.
Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguhpun kini dia merasa seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi berobah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.
"Maafkan sikapku, Paman. Akan tetapi aku ingin beristirahat dan tidak dapat menemanimu lebih lama lagi...."
"Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah ini sebagai persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku dan memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini takkan terlupakan selama hidupku." Dia menyerahkan lukisan itu kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah. Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya "telanjang" sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.
"Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau.... kalau kebetulan bertemu dengan dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu.... dapat menolongnya...." Suaranya gemetar dan makin lirih.
Tanpa disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia bangkit berdiri. "Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku sebagai seorang tamu."
"Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi."
Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata, "Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya."
Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya dengan penuh perhatian dan sinar matanya mengandung pertanyaan.
"Siociamu tentu akan memperhatikan nasibmu." kata Pouw Toan dan giranglah penjaga itu. Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tak lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan itu pun meninggalkan Kim-coa-to.
Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima tamu lagi.
"Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!" penjaga itu berkata. Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu. Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari daratan, menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.
"Biar siapapun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu." Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit- langit dan membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan. Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya.
Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguhpun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah!
Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguhpun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya, menangis
sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.
Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya?
Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir maupun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri. Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tidak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justeru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!
Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justeru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka. Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat,
membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbullah keinginan untuk mengejar bayangan itu! Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa
dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.
Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu!
Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi.
Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan terjadi di mana-mana, pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thai-houw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya. Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri. Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu "berbakti" terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya.
Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang dianggap memusuhinya. Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam hari terhadap "musuh" Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang amat berbahaya dan ditakuti.
Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat, namun ada sebatang pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinya! Peristiwa ini disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka semakin beranilah
mereka memperlihatkan sikap menentang!
Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasihati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Sam-thaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan. Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong! Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan
keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, mana Pangeran Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat.
Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan, tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguhpun pangeran itu sendiri tidak, memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.
Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya karena orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributan-keributan, yaitu di negara bagian Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi. Ada kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India.
Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya. Dara ini bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi. Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang
bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang nampak dari kejauhan.
Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima dan membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Biarpun pakaiannya terbuat daripada kain kasar saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, namun tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan aseli. Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa "gelang emas" itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular aseli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata, kecil merah dan lidah yang hitam!
Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seorang dara perkasa yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw pada waktu itu. Dugaan ini memang tidak keliru karena dara ini bukan lain adalah Bu Ci Sian!
Seperti kita ketahui, Bu Ci Sian adalah seorang dara yang sejak muda sekali telah mengalami hal-hal yang amat hebat, yaitu ketika kita mula- mula melihat dia bersama mendiang kakaknya, yang sebetulnya adalah seorang tokoh besar selatan bernama Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, melakukan perjalanan di Pegunungan Himalaya dan mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Akan tetapi, Bu Ci Sian yang pada pagi hari yang cerah itu menuruni lereng bukit sama sekali tidak dapat disamakan dengan dara cilik yang kita kenal empat puluh tahun lalu itu. Biarpun pada waktu itu Ci Sian telah merupakan seorang gadis cilik yang penuh keberanian dan memiliki dasar-dasar Ilmu silat, akan tetapi dibandingkan dengan sekarang, keadaannya sudah jauh lebih hebat. Sekarang dia merupakan seorang dara remaja yang berilmu tinggi setelah digembleng secara hebat dan tekun sekali oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong Nilagangga!
Seperti kita ketahui, dara ini terpisah dari pendekar Suling Emas Kam Hong dan setelah ditolong oleh See-thian Coa-ong, akhirnya dia menjadi murid kakek sakti perantau dari Nepal ini dan dibawa ke sebuah puncak bukit yang sunyi di mana dia menggembleng muridnya dengan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh, di antaranya juga mengajarkan ilmu menaklukkan ular-ular kepada muridnya itu. Ci Sian yang memang suka sekali akan ilmu silat, belajar dengan tekun sekali setiap hari, sungguhpun dia merasa amat kesepian di tempat sunyi itu dan hatinya selalu terkenang kepada Kam Hong dan kepada ayah bundanya yang sedang dicarinya.
Setelah belajar siang malam selama empat tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang cukup untuk dapat diandalkan dalam mencari Kam Hong atau ayah bundanya sendirian saja, Ci Sian lalu menyatakan kepada gurunya bahwa dia ingin pergi turun gunung untuk mencari Kam Hong dan mencari ayah bundanya.
"Ci Sian, engkau baru saja belajar empat tahun, dan sungguhpun hampir semua ilmuku telah kuajarkan kepadamu, akan tetapi engkau harus melatih dan mematangkan lagi selama setahun. Aku telah berjanji kepada Cui-beng Sian-li untuk mempertandingkan murid kami, yaitu engkau melawan muridnya. Maka engkau harus menanti setahun lagi."
"Suhu, yang berjanji adalah Suhu, dan aku bukanlah seekor ayam aduan. Mengapa selalu Suhu membuat janji-janji aneh seperti anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku harus turun gunung untuk mencari Paman Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa dengan kepandaian yang kupelajari dari Suhu ini sudah cukup untuk bekal perjalananku mencari mereka."
"Muridku, di dunia ini aku hanya mempunyai engkau seorang. Kalau bukan engkau yang menjaga namaku, habis siapa lagi? Kalau setahun kemudian engkau tidak mau menandingi murid Cui-beng Sian-li, bukankah nama See-thian Coa-ong akan menjadi bahan ejekan para penghuni Lembah Suling Emas dan kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh dunia kang-ouw?"
Ci Sian menarik napas panjang. "Kukira Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata masih membutuhkan nama besar! Begini saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini akan dapat kulakukan dalam perjalanan mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya perjanjian untuk mempertandingkan murid Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji bahwa aku akan datang mencari muridnya! Jadi, perjanjian itu berlaku juga untuk dia, dan muridnyalah yang harus pergi mencari aku! Nah, kalau sewaktu-waktu dia datang, Suhu katakan saja bahwa aku menanti-nantinya dan dia boleh mencariku sampai dapat!"
Menghadapi kebandelan Ci Sian, See-thian Coa-ong tak berdaya, apalagi memang dia amat sayang kepada muridnya itu dan maklum betapa tersiksanya dara remaja seperti Ci Sian untuk hidup terasing di tempat seperti itu bersama dia. Anak itu dapat bertahan hidup seperti pertapa kesepian di tempat itu selama empat tahun sudah merupakan hal yang amat mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa dasar ilmu kepandaian Ci Sian sudah lebih dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka akhirnya dia pun tidak menahan lebih lanjut dan memperbolehkan dara itu turun gunung!
Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan wajah yang cerah dan semangat yang bernyala-nyala, Ci Sian menuruni bukit dan tentu saja dia merasa seolah-olah seperti seekor burung yang baru saja terlepas dari sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu selama empat tahun dan di mana dia sering kali menahan-nahan rasa rindunya akan dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan kegembiraan mendebarkan jantungnya kalau dia teringat akan kemungkinan bertemu dengan Kam Hong! Baru sekarang dia merasa betapa rindunya dia kepada pendekar itu! Dan dia pun harus mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana dia akan dapat mencari ayah bundanya, karena dia tahu bahwa piauwsu itulah yang telah menerima pesan terakhir dari mendiang kong-kongnya tentang tempat ayah bundanya. Dan kalau dia sudah tahu tempat itu, dia akan mencari ayah
bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia dapat bertemu dengan Kam Hong dan minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti akan berhasil menemukan ayah bundanya. Dengan bayangan-bayangan ini dalam benaknya, Ci Sian menuruni bukit dengan hati riang dan penuh harapan.
Akan tetapi, setelah belasan hari dia mencari-cari di sekitar tempat di mana dia terpisah dari Kam Hong, dia tidak dapat menemukan pendekar itu. Bahkan tempat di mana dia dan Kam Hong terasing ketika terjadi longsor itu, kini telah berubah pula dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai menyusuri jalan di mana dia dan Kam Hong melalui ketika mereka berdua meninggalkan Lhagat. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mencari Lauw-piauwsu ke kota Lhagat.
Betapa kagetnya ketika dia tiba di daerah Lhagat, dia melihat banyak orang berbondong-bondong mengungsi dan meninggalkan daerah itu. Dari para pengungsi ini tahulah Ci Sian bahwa Lhagat, kota yang berada di perbatasan antara Tibet, Nepal dan India itu, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang dan orang-orang yang melakukan perjalanan dari atau ke tempat-tempat tersebut, kini telah diduduki oleh pasukan-pasukan asing yang menyerbu dari selatan!
Itu adalah pasukan-pasukan yang amat kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan bertempur dengan pasukan Tibet, memperebutkan daerah Lhagat dan akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur dan Lhagat pun diduduki oleh pasukan Nepal yang memang bermaksud untuk terus menyerbu ke utara dan timur, tentu saja hendak menundukkan Tibet untuk terus menggempur Tiongkok. Menurut cerita para pengungsi, berkali-kali pihak tentara Tibet kena digempur dan menderita kekalahan, mundur dan dikejar musuh memasuki daerah Tibet.
Ketika Ci Sian mendengar betapa banyak orang-orang Tibet dan orang dari pedalaman telah ditawan oleh pasukan Nepal, apalagi mendengar keterangan bahwa Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu mungkin saja ikut tertawan, dia lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Lhagat! Semua pengungsi memberi nasihat agar dia jangan mendekati Lhagat, apalagi seorang wanita muda cantik seperti dia. Namun, tentu saja Ci Sian tidak mempedulikan semua peringatan ini dan dengan cepat dia melakukan perjalanan menuju ke kota yang sudah diduduki musuh itu.
Setelah tiba dekat Lhagat, dia bertemu dengan serombongan pengungsi lagi yang membawa berita terakhir dari kota Lhagat. Dari mereka ini, dia mendengar berita yang lebih hangat, berita terakhir tentang apa yang terjadi di daerah itu. Kiranya, menurut penuturan para pengungsi ini yang terdiri dari orang-orang lelaki yang nampaknya kuat karena mereka adalah para pemuda Lhagat yang tadinya ikut pula mempertahankan kampung halaman mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu kedudukan pasukan Nepal semakin kuat dengan datangnya bala bantuan lagi dari Nepal. Pasukan itu bahkan telah berhasil menggagalkan bantuan pasukan Kerajaan Ceng yang kini telah terperangkap, terkepung di lembah sebelah timur Lhagat! Ketika mendengar akan penyerbuan pasukan Nepal ke daerah Tibet, Kaisar Kerajaan Ceng cepat mengirim pasukan yang terdirl dari lima ribu orang, untuk membantu pasukan Tibet yang menjadi negara taklukan Kerajaan Ceng, dan untuk mengusir pasukan Nepal itu. Akan tetapi, sungguh di luar perhitungan Pemerintah Ceng bahwa sekali ini Nepal bersungguh-sungguh dalam serbuan mereka itu sehingga belum juga pasukan itu berhasil menyerbu untuk merampas kembali Lhagat, mereka telah terkepung ketika mereka sedang beristirahat di lembah gunung. Pihak musuh yang mengepung berjumlah tiga empat kali lebih banyak, maka pasukan Ceng itu tidak berhasil membobolkan kepungan dari hanya mampu bertahan saja.
Berkali-kali pasukan Nepal yang mengurung itu menyerbu ke atas hendak menghancurkan musuh, akan tetapi ternyata dalam waktu singkat, komandan pasukan yang pandai dari barisan Ceng telah dapat menyusun benteng pertahanan yang kokoh kuat. Oleh karena itu, kini pasukan Nepal hanya mengurung ketat, hendak membiarkan pihak musuh mati kelaparan! Sudah setengah bulan pasukan yang terjebak itu dikepung, dan karena pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-waktu dapat datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu dilakukan dengan amat ketat.
Setiap orang yang lewat di daerah itu tentu digeledah dan diperiksa, kalau-kalau ada terselip mata- mata dari pihak musuh. Di mana-mana terdapat tentara Nepal dan seperti biasa yang terjadi dalam setiap huru-hara, dalam setiap peperangan, maka di daerah pegunungan itu pun terjadi pula hal-hal yang mengerikan setiap hari. Perampokan, perkosaan, pembunuhan, terjadi setiap saat. Manusia kehilangan perikemanusiaannya. Yang nampak hanyalah angkara murka dan di mana-mana manusia dicekam rasa takut yang hebat.
Biarpun dia masih belum dewasa benar, baru berusia hampir tujuh belas tahun, namun Ci Sian adalah seorang anak yang tergembleng oleh keadaan dan memang pada dasarnya dia cerdik. Dia mengenal bahaya, maka dia pun mengambil jalan-jalan melalui hutan-hutan. Dia sudah mengenal daerah ini karena ketika dia berada di Lhagat beberapa tahun yang lalu, dia sering pergi berburu ke hutan-hutan. Oleh karena itu, dalam penyelidikannya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu, dia pun menyelinap-nyelinap di antara pohon-pohon di hutan dan tidak berani sembarangan memperlihatkan dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga di mana-mana.
Ketika dia mencoba menyelidiki keadaan pasukan pemerintah Ceng yang terkurung di lembah gunung kecil itu, dia terkejut bukan main. Gunung kecil atau bukit di mana pasukan itu terkurung telah dikelilingi pasukan Nepal yang bersembunyi dan yang telah mempersiapkan segala macam jebakan dan barisan pendam dengan anak panah selalu siap di tangan. Pendeknya, kalau pasukan di lembah itu berani mencoba untuk membobolkan kurungan itu, mereka pasti akan dihancurkan! Diam-diam Ci Sian mencari akal bagaimana kiranya pasukan itu akan dapat diselamatkan. Dia teringat akan cerita kakeknya tentang kepahlawanan, tentang kegagahan para pendekar jaman dahulu, tentang perbuatan-perbuatan yang menggemparkan karena gagah perkasanya. Ingatan-ingatan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu guna menolong pasukan yang terkurung, di samping dorongan rasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menolong pasukan bangsanya yang terkurung tak berdaya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin seorang dara remaja seperti dia, seorang diri saja, akan mampu menyelamatkan lima ribu orang tentara yang sudah terkurung tak berdaya itu? Apa dayanya menghadapi puluhan ribu pasukan Nepal?
Pagi itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari lamanya dia mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat yang baik bagaimana dia akan dapat menolong pasukan pemerintah yang terkurung musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia yang makin merindukan Kam Hong karena dia percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar itu akan dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.
Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon besar. Gerakannya memang cepat bukan main seolah-olah dia pandai menghilang saja. Dia mendengar suara ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia mendatangi dari depan!
Tak lama kemudian nampaklah rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang gadis yang cantik, usianya hanya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan dia. Seorang gadis yang berbentuk tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat pakaiannya, gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya itu jelas bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!
Ci Sian bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik, telah tiba di dekat pohon di belakang mana Ci Sian bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon besar itu! Jelas bahwa kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih, seperti seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing lalu memperingatkan majikannya! Dan gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu ada seorang asing atau ada seekor binatang berbahaya.
"Keluarlah!" bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai ronce merah di gagangnya meluncur ke arah belakang batang pohon itu! Ci Sian terkejut bukan main. Kehadirannya telah dilihat orang, maka dia pun cepat mengelak dari ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon itu sambil memandang dengan sinar mata marah namun penuh ketabahan.
"Orang kejam!" dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu. "Apa salahku maka kau datang-datang menyerangku dengan senjata rahasiamu?"
Gadis cantik itu tercengang keheranan. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa yang mengejutkan kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua losin pengawalnya semua mengeluarkan seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah dapat nampak oleh penjaga? Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan. Sudah tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng mengirim seorang penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja dalam usaha untuk menolong pasukan kerajaan yang terkepung itu. Maka, setiap orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biarpun Ci Sian hanya merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han, biarpun masih muda, tak boleh dipandang ringan karena di antara mereka banyak yang merupakan aeorang ahli silat yang amat lihai.
Gadis cantik itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini terbukti dari sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang dengan penuh curiga kepada Ci Sian, walaupun mulutnya sekarang tersenyum dan dia menjawab, "Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyi-sembunyi seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang memiliki niat buruk di dalam hatinya. Kemudian dia menggerakkan cambuk kudanya ke atas sehingga terdengar suara ledakan nyaring, lalu melanjutkan. "Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk maka
engkau merasa takut dan bersembunyi!"
"Siapa takut? Apa yang perlu ditakuti?" Ci Sian mengejek.
"Aku tidak takut, dan aku bersembunyi hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya merupakan orang-orang jahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh."
Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang marah. "Siapa bilang pasukan kami begitu jahat?"
Ci Sian tersenyum pahit. "Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta, apakah telingamu tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!"
Wajah yang cantik itu berobah marah. "Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan tentu saja jatuh korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami membiarkan pasukan melakukan kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar."
"Wajar kalau yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama tentara. Akan tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu, dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa, lalu apa bedanya tentaramu dengan orang-orang biadab?"
"Bocah sombong bermulut besar!" Gadis itu memaki dengan marah sekali. "Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu di sini?"
"Mengapa tidak? Apa kaukira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing pengawalmu ini?"
Para pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan akan tetapi mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya mereka itu tidak berani mendahului gadis cantik yang mereka kawal itu.
"Hemm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang. Beranikah engkau melawanku?"
"Kau?" Ci Sian sengaja mengejek dan memandang rendah.
"Biar ada sepuluh orang seperti engkau aku tidak akan mundur selangkah pun!"
Diam-diam gadis itu di samplng kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang sedemikian tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua pengawalnya yang menambatkan kuda-kuda itu pada batang pohon lalu mereka membentuk sebuah lingkaran panjang, mengelilinginya dan agaknya para pasukan itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang. Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.
"Singgg!" Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil melintangkan pedang di dada, dia berkata, "Nah, kaukeluarkanlah senjatamu!"
Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah memegang senjata, bahkan "gelang" ular hidup tadi pun telah dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergi ketika dia keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan memandang calon lawan itu. "Aku tidak pernah membawa senjata. Akan tetapi jangan dikira aku takut kalau engkau membawa pisau dapur itu!"
Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya, melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya kepada seorang pengawal. "Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama tidak bersenjata. Nah, kausambutlah seranganku ini" Tiba-tiba gadis cantik itu menyerang dengan pukulan yang amat cepat. Diam-diam Ci Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli gin-kang yang berkepandaian cukup tinggi. Di samping itu, juga sikap gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini betapapun juga telah membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong dengan pedang di tangan! Maka dia pun cepat mengelak dan membalas. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin bahwa nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri!
Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja itu ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu terjadi amat seru dan cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara itu yang seolah-olah menjadi dua bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka mulai terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu!
"Serbuuuu....!" Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua puluh empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian. Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu merasa ragu sendiri apakah mereka harus mengeluarkan senjata kalau hanya mengeroyok seorang dara remaja saja!
Di lain pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu mempercepat gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya menampar ke arah pundak lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya sehingga biarpun lawannya dengan cepat pula mengelak, tetap saja pundaknya kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.
"Plakk!" Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.
Ci Sian menggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara melengking tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada yang bergerak saking heran dan kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus jantung! Sejenak keadaan menjadi sunyi sekali dan mendadak terdengar suara hiruk-pikuk ketika kuda-kuda mereka yang ditambat pada batang pohon-pohon itu meringkik dan meronta-ronta, kemudian memberontak dan terlepas dari ikatan lalu melarikan diri dengan panik! Semua pengawal terkejut dan bingung, akan tetapi segera terdengar suara mendesis-desis dan dari empat penjuru datanglah ratusan ekor ular menuju ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah yang tadi membuat semua kuda lari ketakutan.
Kini ular-ular itu kini telah berkumpul, ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan bermacam-macam warna, di sekeliling kaki Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang kecil kini merayap naik malalui kaki Ci Sian dan terus ke atas, Ci Sian memegangnya dan memakai ular emas itu di lengan tangan kirinya seperti gelang. Ular itu melingkar di situ, persis sebuah gelang emas yang berkilauan! Setelah itu, Ci Sian menggerakkan bibirnya, dan terdengarlah suara melengking lain dan kini ular-ular itu bergerak menyerang ke arah para pengawal! Gegerlah para pengawal itu diserang oleh ratusan ekor, ular yang sebagian besar adalah ular-ular beracun! Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan dia pun menjadi terkejut dan jijik bukan main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular yang merayap ke arahnya. Semua ular merayap ke dua puluh empat orang pengawal itu.
Terjadilah pemandangan yang lucu dan juga mengerikan. Para pengawal itu ketakutan, dan mereka berusaha untuk menghalau ular-ular itu dengan golok mereka, akan tetapi karena banyaknya ular-ular itu, mereka menjadi ngeri dan bingung. Memang ada beberapa ekor yang mati kena bacokan, akan tetapi hampir semua pengawal telah kena digigit, bahkan ada seorang pengawal gendut yang roboh karena tubuhnya dililit oleh seekor ular berwarna hitam!
Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncullah seorang wanita cantik yang dikawal oleh sedikitnya seratus orang perajurit! Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh lima tahun, wajahnya cantik, hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Dari pakaiannya saja mudah diketahui bahwa dia adalah seorang panglima wanita, dengan pakaian panglima yang dilindungi oleh lapisan baja di sana-sini, dengan wajah cantik yang bengis dan sepasang mata yang tajam penuh semangat! Wajah wanita ini pun membuktikan bahwa dia adalah seorang wanita berbangsa Nepal, namun rambutnya disanggul ke atas seperti model sanggul puteri-puteri bangsa Mancu! Rombongan ini datang berkuda dan kini dengan gerakan yang amat cekatan wanita itu meloncat turun dari atas kudanya dan dengan alis berkerut dia memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal
yang masih repot menghadapi amukan ular-ular itu, kemudian dia menoleh dan memandang kepada gadis cantik yang masih berdiri dalam keadaan kaget dan ngeri, kemudian menoleh ke arah Ci Sian dan sepasang matanya seperti mengeluarkan
sinar berapi.
Wanita itu lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan nampaklah sinar bercahaya keluar dari batu hijau yang dipegangnya itu. Kemudian, dengan tangan kirinya dia menyebar bubuk putih ke arah ular-ular itu dan.... ular-ular yang tadinya mengamuk itu seketika diam tak bergerak liar lagi, hanya menggeliat-geliat seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang kepada Ci Sian, kemudian mengangkat tangannya sambil membentak, "Bunuh siluman ular ini!"
Para perajurit yang seratus orang banyaknya itu sudah mengeluarkan busur dan anak panah, siap untuk menghujankan anak panah kepada Ci Sian.
"Tahan, Ibu....!" Tiba-tiba gadis cantik itu berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci Sian sehingga tentu saja para perajurit tidak berani melepaskan anak panah, takut kalau mengenai puteri panglima mereka itu.
"Siok Lan, siluman ular ini telah mengganggumu dan merobohkan para pengawal, apalagi yang kaulakukan ini?"
"Tidak, Ibu. Akulah yang mula-mula membuat dia terpaksa melawan. Kami berjumpa di sini dan aku menantangnya berkelahi. Aku hampir kalah dan para pengawalku, tanpa kuperintah, maju hendak mengeroyok, maka dia lalu memanggil ular-ularnya. Bukan salahnya, Ibu, maka harap kau suka ampunkan dia."
Panglima wanita yang gagah perkasa itu mengerutkan alisnya, kelihatan meragu sejenak, akan tetapi setelah lama beradu pandang mata dengan puterinya, agaknya karena sayangnya kepada puterinya, dia mengalah, "Hemm, baiklah, akan tetapi kalau dia kelak memperlihatkan sikap tidak semestinya, aku akan membunuhnya!"
Gadis yang bernama Siok Lan itu kelihatan girang sekali. Dia memegang tangan Ci Sian sambil tersenyum dan berbisik, "Lekas kauhaturkan terima kasih kepada Ibuku." dan dia mengguncang tangan Ci Sian. Melihat sikap gadis bekas lawannya ini demikian baik, dan karena melihat terbukanya kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan pasukan Nepal dan mencari Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang sebetulnya tidak mengenal takut itu lalu mengangguk ke arah panglima itu.
"Terima kasih, Bibi."
Akan tetapi panglima wanita itu bersikap tidak peduli.
"Siapa namamu?" Siok Lan berbisik.
"Namaku Ci Sian." jawab Ci Sian tanpa menyebutkan nama keturunannya karena dia tidak ingin membuka atau memperkenalkan nama orang tuanya yang dirahasiakan.
"Ci Sian, lekas kauusir ular-ularmu itu." Siok Lan berkata, nadanya penuh permintaan.
Ci Sian memandang ke arah ular-ular itu. Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah menyebar garam yang membuat ular-ularnya menjadi jinak dan lumpuh, juga amat menderlta. Maka dia lalu mengeluarkan saputangannya, dan beberapa kali dia mengebut ke arah ular-ular itu dengan pengerahan sin-kang. Bubuk putih yang mengenai tubuh ular dan yang tersebar di sekeliling ular itu terkena kebutan saputangannya lalu beterbangan ke mana-mana. Melihat ini, panglima wanita itu nampak terkejut sekali, akan tetapi dia hanya mengerutkan alis dan tidak berkata apa-apa, sungguhpun dia tahu bahwa dara penakluk ular itu sungguh-sungguh amat lihai Ilmu kepandaiannya. Ular-ular itu tidak menderita lagi setelah semua bubuk putih diterbangkan bersih dari tempat itu, dan begitu Ci Sian mengeluarkan suara melengking halus, ular-ular itu lalu bergerak pergi dari tempat itu, meninggalkan beberapa ekor ular yang telah mati dalam pertempuran tadi, seperti sekumpulan pasukan pulang dari medan perang meninggalkan mayat kawan-kawan mereka!
"Terima kasih, Ci Sian, kau baik sekali. Sekarang kauobatilah pengawal-pengawalku yang luka oleh gigitan ular-ular berbisa itu." kata pula Siok Lan. Ci Sian memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang mengerang-erang kesakitan itu dan dia pun mengangguk, lalu menghampiri.
"Tidak perlu, aku bisa mengobati mereka!" Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada suaranya tidak senang. "Siok Lan, apa sih sukarnya menolong mereka? Kaupergunakan batu bintang hijau ini untuk menyedot racun dari tubuh mereka!" kata Sang Ibu dan tangannya bergerak. Batu berkilauan itu melayang ke arah Siok Lan yang menyambut dan menerima nya dengan cekatan sekali, menggunakan tangan kanannya. Dia menoleh kepada Ci Sian sambil tersenyum.
"Adik Ci Sian, kaulihatlah betapa lihainya ibuku!" Dan dia pun menghampiri para pengawal itu, menempelkan sebentar batu hijau itu pada luka dan sungguh menakjubkan sekali, dalam waktu beberapa detik saja semua racun telah disedot oleh batu bintang hijau itu dan mereka semua tertolong, hanya menderita luka kecil bekas gigitan yang tentu saja tidak ada artinya lagi karena racunnya telah lenyap.
Tentu saja Ci Sian memandang dengan kagum dan diam-diam dia juga heran atas kelihaian wanita yang menjadi ibu Siok Lan itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu kepada ibunya, Siok Lan berkata, suaranya mengandung kemanjaan, "Ibu, aku suka bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai ini, aku akan mengajaknya menjadi tamu di tempat tinggal kita. Boleh bukan?"
Panglima itu mengerutkan alisnya, lalu mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata singkat. "Sesukamulah, akan tetapi jangan suruh dia main-main dengan ular lagi, aku tidak akan mau mengampuninya lain kali!" Setelah berkata demtkian, dengan cekatan sekali walaupun dia berpakaian perang, wanita itu meloncat ke atas punggung kudanya dan memberi tanda kepada pasukannya untuk pergi dari situ.
Siok Lan tersenyum memandang kepada Ci Sian. "Ibuku hebat, bukan?"
Ci Sian mengangguk, bukan hanya untuk menyenangkan hati sahabat barunya ini, melainkan sesungguhnya dia pun menganggap wanita tadi hebat! Dan dia merasa suka kepada Siok Lan, karena dia melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini. Pertama, Siok Lan tidak mau melawannya yang bertangan kosong dengan senjata, hal ini sudah membuktikan kegagahannya, dan ke dua, Siok Lan malah mintakan ampun baginya kepada ibunya, yang tentu saja bermaksud menyelamatkannya dari bahaya maut, sungguh pun dia sendiri tadi sama sekali tidak takut menghadapi ancaman hujan anak panah. Dan hal itu saja sudah membuat Siok Lan patut menjadi sahabatnya, di samping keuntungan baginya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu.
Setelah menyuruh para pengawalnya mengumpulkan kembali kuda yang tadi melarikan diri karena takut ular, Siok Lan lalu mengajak Ci Sian berkuda menuju ke Lhagat. Dia memberi seekor kuda kepada Ci Sian dan mengajak dara itu mendahului para pengawal menuju ke Lhagat, karena pengawal-pengawalnya selain masih luka dan kaget juga terpaksa mereka boncengan karena tidak semua kuda dapat mereka kumpulkan kembali. Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka dalam hati Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan merupakan bekas lawan yang tidak mampu menandinginya, dan kalau dia menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat
mencelakakan puteri panglima itu, apalagi kalau melakukan perjalanan berdua. Akan tetapi Siok Lan mengajak dia melakukan perjalanan bersama, berdua saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan sudah percaya sepenuhnya kepadanya!
Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki kota itu dengan mudah, bahkan ketika dia dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga cepat memberi hormat yang tentu saja ditujukan kepada puteri panglima itu.
Siok Lan membawa sahabat barunya itu ke dalam gedung besar yang tadinya menjadi tempat tinggal kepala daerah Lhagat. Kini, setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat, kota itu menjadi semacam benteng dan gedung itu dipakai oleh panglima bala tentara Nepal yang melakukan penyerbuan ke daerah Tibet, yaitu panglima wanita yang kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah ibu dari gadis cantik bersama Siok Lan.
Setelah tinggal di dalam gedung di kota Lhagat itu sebagai tamu dan sahabat Siok Lan, kemudian mereka berdua bercakap-cakap panjang lebar, barulah Ci Sian mengerti mengapa Siok Lan suka kepadanya dan bersahabat dengannya. Kiranya Siok Lan adalah seorang gadis peranakan, ibunya seorang puteri Nepal sedangkan ayahnya seorang berbangsa Han yang menurut Siok Lan adalah seorang pendekar besar yang tak pernah dilihatnya dan juga Ibunya tidak pernah menyebut siapa nama pendekar itu.
"Aku hanya diberi nama bangsamu di samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan aku sendiri tidak tahu siapa nama she (nama keturunan) Ayah kandungku itu," kata gadis itu dengan nada kesal. "Ibu amat keras hati dan tidak pernah mau bercerita tentang Ayah kandungku. Bahkan ketika Ayah tiriku masih hidup, dia pun tidak pernah mau bercerita tentang Ayahku yang sebenarnya."
"Ayah tirimu....?" Ci Sian bertanya, heran dan juga tertarik.
Siok Lan memegang tangan Ci Sian dan menarik napas panjang. "Ibu melarang aku bercerita tentang ini, dan aku pun tidak, pernah bicara kepada orang lain tentang riwayat kami ini, akan tetapi aku suka kepadamu dan kau kuanggap adik sendiri, Ci Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang wanita perkasa, akan tetapi bukan bangsawan, melainkan puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari ilmu-ilmu silat. Ibu menikah dengan seorang pangeran Nepal, dan karena ibu pandai ilmu perang, maka dia lalu menduduki pangkat dalam kemiliteran. Ketika aku terlahir dan sudah agak besar, aku hanya tahu bahwa Ibu adalah isteri pangeran Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai pakaian anak bangsa Han. Kemudian Ibu mengatakan bahwa pangeran yang menjadi suaminya itu adalah Ayah tiriku, sedangkan Ayah kandungku adalah seorang pendekar Han. Hanya itulah! Ibu tidak mengatakan siapa pendekar itu dan apakah dia masih hidup...."
Siok Lan tampak berduka, kemudian melanjutkan. "Karena wajahku adalah wajah wanita Han, juga kulitku, maka aku merasa terasing dan tidak mempunyai teman. Aku tekun belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi aku tidak pernah hidup bahagia di kalangan Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku adalah anak haram, bahwa aku adalah berdarah bangsa lain dan sebagainya. Maka, ketika Ibu memimpin tentara menyerbu Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut bertempur! Dan di sini aku bertemu dengan engkau, betapa menyenangkan hati!"
Ci Sian yang kini mengerti mengapa gadis itu suka bersahabat dengan dia, yang dianggap merupakan orang sebangsa, dan pula juga sama-sama suka ilmu silat, bahkan puteri panglima itu agaknya kagum akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu bertanya sambil lalu, "Akan tetapi mengapa tentara Nepal menyerbu ke sini?" dan dengan hati-hati ditambahnya, "Dan mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng kabarnya dikurung di lembah?"
Sepasang mata itu nampak bercahaya penuh semangat, seperti mata ibunya yang menjadi pangllma itu. "Tentu saja! Sejak dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang erat dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet merupakan daerah yang tunduk kepada Nepal. Akan tetapi semenjak Tibet diduduki dan ditaklukkan oleh Kerajaan Ceng di timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan sering memusuhi Nepal. Kedudukan Nepal agak kacau oleh seorang koksu yang ternyata seorang jahat yang hendak memberontak, maka selama itu kami diam saja. Kini, setelah kami dapat menghimpun kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami menyerbu untuk menghajar orang-orang Tibet. Eh, tahu-tahu pasukan Kerajaan Mancu di negerimu itu mencampuri, tentu saja kami tidak tinggal diam."
Mendengar ini, Ci Sian yang tidak ingin mencampuri urusan perang, juga yang tidak tahu apa-apa tentang politik, diam saja. Bahkan dia berpura-pura menaruh simpati karena dia ingin memperoleh kepercayaan agar dia mendapat kesempatan menyelidiki dan mencari Lauwpiauwsu, satu-satunya orang yang agaknya dapat menunjukkan di mana adanya ayah kandungnya.
Kota Lhagat memang sudah mulai ramai dan biasa kembali setelah kini perang tidak lagi terjadi di daerah itu. Pasukan Tibet telah didesak mundur terus sampai jauh masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan pasukan yang tidak berapa kuat itu masih menanti-nanti bantuan dari timur, dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, pasukan Ceng yang dikurung di lembah bukit juga tidak mampu menyerbu keluar, maka keadaan untuk sementara dapat dikatakan tenang, sungguhpun sewaktu-waktu diharapkan akan meledak pertempuran besar lagi, baik dari pasukan yang terkurung itu kalau menyerbu keluar kepungan maupun kalau datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, panglima wanita itu telah mendatangkan bala bantuan pula dari Nepal untuk sewaktu-waktu mengadakan pukulan terakhir, menyerbu sampai ke ibu kota Tibet.
Karena keadaan menjadi tenang kembali, kota Lhagat mulai ramai, para pedagang mulai berani berdagang, para pemburu mulai lagi bekerja dan para petani mulai lagi berladang. Juga ternyata kini oleh Ci Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak membohong, bahwa Ibu gadis itu amat keras terhadap pasukan-pasukannya dan setiap kali terdapat gangguan pasukan yang menyeleweng dan melakukan kejahatan, terutama perkosaan, tentu akan dihukum berat. Namun, tentu saja kadang-kadang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran. Maklum dalam keadaan perang di mana hawa napsu merajalela menguasai hati semua manusia.
Ketika dia ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci Sian bahwa dia pun tidak pernah melihat ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas ketika mereka mengadakan perantauan di daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia bertemu dengan Yeti dan kemudian dia berguru kepada seorang pertapa aneh yang berjuluk See-thian Coa-ong.
Mendengar disebutnya nama ini, Siok Lan berseru girang, "Ah, sudah kuduga bahwa engkau tentu murid pertapa aneh itu! Tentu Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau mengampunimu!"
"Eh, kau mengenal Guruku?"
"Siapa tidak pernah mendengar nama See-thian Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan tetapi kata Ibu, sejak muda dia merantau dan bertapa di daerah Himalaya. Ilmu kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan agaknya, Ibu mengingat dialah maka Ibu bersikap lunak terhadapmu, Ci Sian. Kalau tidak demikian, kiranya engkau tentu telah dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap musuh. Ceritakan kepadaku tentang orang aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... eh, kawin dengan ular?"
Ci Sian tertawa. "Mana ada manusia kawin dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia biasa, hanya dia suka bertapa dan mempelajari ilmu, dan.... kesukaannya yang lain adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja! Memang dia ahli menjinakkan ular, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin dengan ular!"
"Soal ilmu perularan ini di Nepal tidak asing lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri selalu takut, ngeri dan jijik terhadap
ular. Bukankah binatang itu jahat dan berbahaya sekali?"
"Tidak lebih jahat dan berbahaya daripada manusia, Enci Lian."
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Ular tidak pernah pura-pura. Sebagai sahabat dia setia dan sebagai musuh dia jujur dan tidak curang seperti manusia."
Mereka lalu bicara tentang ilmu silat dan dengan sejujurnya karena dia pun mulai merasa suka kepada Siok Lan, Ci Sian memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada teman barunya ini sehingga hubungan mereka semakin akrab.
Setelah tinggal selama beberapa hari di Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang amat menggelisahkan semua orang, terutama sekali golongan atas, para pimpinan pasukan Nepal, yaitu bahwa ada seorang tokoh besar, seorang jenderal yang berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak datang melakukan penyelidikan ke Lhagat dengan tugas untuk menolong dan membebaskan pasukan Ceng yang terkepung di lembah itu. Bahkan Siok Lan membuka rahasia siasat ibunya yang menjadi panglima bahwa pengepungan pasukan itu memang sengaja dilakukan untuk memancing datangnya tokoh-tokoh Kerajaan Ceng untuk kemudian ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa Kerajaan Ceng menarik mundur semua pasukannya dan tidak melakukan "campur tangan" terhadap gerakan Nepal untuk menyerbu dan menguasai Tibet.
Ci Sian mulai dipercaya oleh Siok Lan, bahkan panglima wanita yang bernama Puteri Nandini, ibu Siok Lan itu juga tidak begitu memperhatikan Ci Sian yang dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw yang baru turun dari perguruannya, apalagi ketika dia mendengar dari puterinya bahwa Ci Sian adalah murid See-thian Coa-ong seperti yang memang telah diduganya semula ketika dia melihat dara itu pandai menguasai ular-ular.
Begitu sukanya Siok Lan kepada sahabat barunya ini, dan begitu percayanya sehingga tidak jarang Ci Sian diajak oleh puteri panglima itu melakukan perondaan disekitar Lhagat untuk meneliti keadaan dalam tugasnya membantu pekerjaan ibunya. Pada suatu senja, dua orang dara remaja itu melakukan perondaan dan seperti biasa kalau melakukan perondaan seperti itu, mereka menggunakan ilmu kepandaian mereka, berloncatan ke atas genteng-ganteng rumah untuk melihat kalau-kalau ada penjahat beraksi, atau untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau mereka akan dapat menangkap rahasia apakah Jenderal Ceng atau tokoh pandai pihak musuh sudah ada yang menyelundup ke dalam kota Lhagat.
Selagi dia menggunakan gin-kang dengan cepat berkelebat di atas genteng-genteng rumah, tiba-tiba Ci Sian berhenti karena telinganya menangkap rintihan atau keluhan wanita yang sedang ketakutan, di antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci Sian berhenti lalu mendekati sahabatnya yang berdiri di atas genteng dan kemudian dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu keduanya berjongkok di atas sebuah kamar rumah darimana terdengar keluhan dan tangis bayi itu.
"Kalau engkau tetap keras kepala dan menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka lebih dulu!" terdengar suara bentakan tertahan, agaknya orang yang membentak itu pun tidak ingin membuat gaduh.
"Jangan.... ohh, Jangan bunuh Anakku...." terdengar suara seorang wanita sambil terisak ketakutan.
Ci Sian cepat membuka genteng dan mereka berdua mengintai ke dalam. Apa yang mereka lihat di sebelah dalam kamar itu membuat keduanya terbelalak dengan muka berubah merah dan pandang mata penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi besar bermuka bengis, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang perwira rendahan dari pasukan Nepal, sedang mencengkeram baju seorang anak
kecil berusia kurang dari setahun, mengangkat anak itu dengan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya yang memegang sebatang golok besar itu diancamkan ke leher anak itu yang seolah-olah hendak disembelihnya! Anak itu meronta-ronta lemah dan menangis. Seorang wanita muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, berwajah manis dan bertubuh montok karena masih menyusui, berlutut dengan air mata bercucuran dan kedua tangan menyembah-nyembah minta diampuni.
"Engkau masih menolak kehendakku?" bentak laki-laki itu bengis.
"Aku mau.... ah, aku mau.... lepaskan Anakku...." Wanita itu menangis sambil dengan tangan gemetar mulai menanggalkan bajunya.
Melihat ini, perwira rendahan itu tertawa, melemparkan anak itu ke atas pembaringan, menancapkan goloknya di atas meja dan dengan buas dia menubruk wanita itu lalu memeluk dan menciuminya penuh nafsu. Wanita itu, demi keselamatan anaknya, hanya merintih dan menangis, tidak berani menolak atau melawan lagi.
Tentu saja Ci Sian dan Siok Lan marah bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang dara ini mampu melakukan sesuatu, tiba-tiba jendela kamar itu jebol dan dari luar melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria berpakaian perajurit Nepal akan tetapi wajah orang ini tidak dapat nampak jelas dari atas genteng. Perwira yang sedang menciumi wanita itu dan tangannya mulai merobeki pakaian korbannya, terkejut dan kelihatan marah. Akan tetapi, sebelum dia mampu mengeluarkan suara, tangan kiri perajurit itu bergerak dan terdengar suara benda pecah ketika tangan itu menampar dan mengenai kepala perwira itu! Tubuh perwira itu terpelanting dan tewas seketika! Wanita itu terbelalak ketakutan, lalu menghamplri anaknya yang masih menangis, mendekap anaknya sambil menangis sesenggukan.
Perajurit yang tubuhnya tidak seberapa besar itu mengeluarkan sekantung uang dan menaruh kantung itu ke atas meja. Terdengar suaranya lembut, suara dalam bahasa daerah yang tidak kaku. "Jangan takut, aku akan menyingkirkan mayat. Sebaiknya engkau bawa pindah anakmu dari Lhagat, dan uang ini dapat kaupergunakan untuk biaya." Setelah berkata demikian, perajurit itu memondong tubuh yang sudah tewas itu, kemudian meloncat dengan gerakan yang amat tangkas keluar kamar melalui jendela. Akan tetapi sebelum ia melompat itu, dia menengadah ke atas, seolah-olah dapat memandang dua orang dara yang berada di atas genteng! Wajahnya tidak dapat nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut sekali melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, mengingatkan dia akan mata dari pendekar sakti Suling Emas atau Kam Hong!
"Lekas.... kita kejar dia! Dia mencurigakan sekali, aku mau tahu siapa perajurit itu!" Bisik Siok Lan dan kedua orang dara ini cepat melayang turun dari genteng dan ketika mereka melihat tubuh perajurit yang memanggul mayat itu berlari cepat, mereka segera mengejarnya.
Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa perajurit itu dapat berlari cepat sekali! Mereka berdua sudah mengerahkan seluruh gin-kang mereka, namun tetap saja dalam waktu singkat perajurit itu telah lenyap, seolah-olah dapat terbang atau pandai menghilang! Tentu saja kedua orang dara ini menjadi penasaran. Mereka adalah dua orang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi, sedangkan yang dikejar hanya seorang perajurit biasa, yang malah sedang memanggul tubuh perwira yang tewas itu, namun ternyata mereka tidak mampu mengejarnya! Dengan penasaran sekali Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari, namun hasilnya nihil. Perajurit yang memanggul mayat itu lenyap. Bahkan setelah Siok Lan memerintahkan pasukan untuk membantunya, tetap saja tidak dapat menemukan perajurit itu.
Akhirnya mereka merasa putus harapan dan duduk beristirahat dengan hati mengandung penuh penasaran. "Dia itu pasti seorang mata-mata." kata Siok Lan. "Tidak mungkin ada seorang perajurit biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti itu!"
"Memang dia lihai sekali." Ci Sian membenarkan. "Cara dia dengan sekali tampar membunuh perwira itu dan ketika dia melarikan diri. Betapapun, kita harus mengaguminya, karena dia telah menolong wanita yang sengsara itu."
Siok Lan mengerutkan alisnya. "Dia lancang! Dia telah membunuh seorang perwira pasukan kami dan dia tidak berhak!"
"Akan tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil! Bukankah perwira itu cabul dan jahat sekali? Andaikata orang itu tidak membunuhnya, aku sendiri tentu turun tangan membunuhnya!" Ci Sian yang berwatak jujur itu berkata terus terang.
"Memang aku sendiri pun sudah ingin turun tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa penjahat itu adalah seorang perwira, maka dia tunduk kepada hukum dan disiplin.
"Mengapa harus orang lain yang menghukumnya, apalagi kalau orang lain itu agaknya adalah mata-mata musuh?"
"Betapapun juga, sekarang terbukti lagi bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci Lan. Perwira itu sungguh berhati binatang, bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali dia dibunuh sampai sepuluh kali!"
Siok Lan menarik napas panjang. "Aahh, begitulah perang. Menurut ilmu perang yang kupelajari dari Ibuku, memang perang selalu mendatangkan akibat-akibat seperti itu! Pasukan yang berada dalam perang, selalu terancam nyawanya, penuh dengan dendam dan rasa takut, penuh dengan kebencian terhadap musuh. Hal ini baik sekali untuk semangat pasukan. Pula, mereka itu jauh dari keluarga, jauh dari isteri sehingga rata-rata menjadi lemah kalau melihat wanita. Nah, semua itu mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan seperti yang kita lihat, Adik Sian."
"Jadi, menurut anggapanmu, perbuatan itu tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah engkau tidak membayangkan bagaimana seandainya engkau yang menjadi wanita itu, Enci yang baik?" Biarpun nada suaranya halus, namun penuh ejekan dan kemarahan.
Siok Lan tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. "Simpan kemarahanmu, Adik Ci Sian. Aku tadi sudah bilang bahwa aku sendiri akan membunuhnya kalau tidak didahului oleh mata-mata itu! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya, bukan melindunginya atau membelanya. Oleh karena itu, Ibu mengeluarkan peraturan keras dan disiplin. Akan tetapi, sudah tentu saja kadang-kadang terjadi pelanggaran oleh orang-orang yang lemah batinnya dan dalam hal ini adalah lumrah. Kurasa di seluruh dunia pun terjadi hal-hal yang sama di waktu terjadi perang. Akan tetapi, kalau jangan ada satu dua orang tentara yang dikuasai nafsu itu melakukan pelanggaran lalu engkau memberi cap bahwa semua pasukan Nepal seperti itu! Buktinya, aku sendiri adalah puteri panglima pasukan Nepal yang berkuasa di sini, akan tetapi aku menentang keras perbuatan jahat itu."
Kini mengertilah Ci Sian dan dia pun mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kagum karena biarpun usia Siok Lan masih muda, paling banyak setahun lebih tua daripadanya, namun sudah memiliki pengetahuan yang luas.
"Sekarang, apa yang hendak kaulakukan, Enci Lan?"
"Aku akan melaporkan kepada Ibu. Perajurit itu amat mencurigakan dan melihat kelihaiannya, tentu dia seorang tokoh besar Kerajaan Ceng, atau.... siapa tahu, dia malah jenderal yang diberitakan akan datang ke sini itu...." Lalu dia menghela napas panjang dan berkata, "sayang.... kita tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas."
"Ah, kurasa tidak mungkin dia seorang tokoh besar, apalagi jenderal. Biarpun aku juga tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pria yang masih muda, atau setidaknya, belum tua benar."
Siok Lan mengangguk. "Apa anehnya seorang jenderal perkasa dan tokoh besar yang masih muda? Ibuku sendiri seorang wanita, dan belum tua benar, namun dia telah dipercaya untuk memimpin pasukan yang menyerbu ke sini dan menjadi panglima."
Tiba-tiba datang seorang perwira melapor bahwa ada seorang perajurit yang mencurigakan kelihatan di luar kota Lhagat. Mendengar ini, Siok Lan dan Ci Sian lupa akan kelelahan tubuh mereka yang semalam suntuk tidak tidur itu dan cepat mereka lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan itu.
Ketika mereka mengintai, memang benar ada seorang perajurit yang berjalan perlahan sambil menundukkan kepala. Karena mereka melihat dari jauh, dari belakang, maka mereka pun tidak tahu apakah benar perajurit itu yang mereka lihat semalam. Akan tetapi, menurut laporan penyelidik, perajurit itu baru saja mengubur mayat di lereng bukit itu, maka tidak salah lagi tentulah perajurit itu yang telah membunuh perwira dan yang mereka kejar-kejar.
"Mari kejar dia!" Siok Lan berseru dan Ci Sian sudah melompat keluar dari balik pohon dan mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Karena memang kepandaian Ci Sian lebih tinggi setingkat, maka dia yang lebih dulu lari dan Siok Lan mengejar di belakangnya. Tiba-tiba perajurit itu menoleh. Sejenak saja, dan kembali Ci Sian melihat sinar mata mencorong, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi. Itulah orang yang mereka cari-cari. Mereka berdua mengejar terus, akan tetapi kini perajurit itu pun melarikan diri, sedemikian cepat larinya sehingga sebentar saja dua orang dara perkasa itu telah kehilangan jejaknya!
"Keparat! Dia menghilang lagi!" Siok Lan memaki sambil mengepal tinju ketika mereka berdua tiba di luar sebuah hutan dan tidak tahu ke mana lenyapnya perajurit yang mereka kejar itu. "Mari kita mencari terus!"
Ci Sian juga merasa penasaran. Tentu saja dia tidak mempunyai keinginan seperti Siok Lan yaitu menangkap atau menyerang perajurit itu. Akan tetapi dia ingin sekali bertemu dan melihat wajah perajurit itu dan mengetahui apakah benar dia itu adalah mata-mata Kerajaan Ceng, terutama apakah benar dugaan Siok Lan bahwa dia itu adalah seorang tokoh besar atau jenderal yang didesas-desuskan itu. Maka mereka lalu melakukan pengejaran dan Siok Lan yang sejak kecil diajar ilmu perang dan sudah berpengalaman itu dapat mengikuti jejak orang itu dengan melihat daun-daun kering yang berserakan atau jejak-jejak yang halus di atas tanah.
Menjelang tengah hari, tibalah mereka di tepi sungai. Siok Lan yang menjadi pemburu jejak itu berlari di depan sedangkan Ci Sian mengikuti dari belakang. Di tepi sungai itu nampak sebuah perahu dan seorang pengail ikan sedang duduk di ujung perahu memegang joran pancing. Mereka cepat berlari menghampiri dan melihat bahwa pengail itu adalah seorang pemuda remaja yang sedang tekun memancing. Wajah pemuda itu sebetulnya tampan, akan tetapi ketika menoleh kepada mereka, nampak betapa sepasang matanya itu juling dan mulutnya agak menyerong, ujung kiri ke bawah dan ujung kanan ke atas. Cacat pada mata dan mulut ini tentu saja membuat wajahnya yang berkulit putih itu dan berbentuk tampan itu menjadi buruk dan menggelikan.
"Heeii, apakah engkau melihat seorang perajurit lewat di sini?" Siok Lan bertanya dengan napas agak terengah-engah karena dia tadi berlari-lari.
Pemuda itu memandang dengan mata julingnya, lalu menjawab bersungut-sungut. "Kalian ini mengganggu saja! Ikan-ikan pada lari mendengar kalian membikin bising. Sejak pagi aku tidak melihat seorang pun kecuali kalian dan sungguh sialan ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan kini beterbangan pergi lagi!"
"Kalau ikan-ikan dapat terbang, kepalamu pun dapat kubikin terbang!" Siok Lan yang merasa kecewa dan gemas itu mengomel, tangan kanannya menghantam ujung batu di tepi sungai itu. "Krakkk!" Ujung batu itu pecah berantakan terkena tamparan tangannya yang berkulit halus itu. Pengail itu melongo dan mukanya menjadi semakin buruk, apalagi kini tangan kirinya mengusap dahi dan ternyata tangannya itu kotor sehingga mukanya menjadi coreng-moreng.
"Am.... ampunkan.... saya...." katanya gemetar dan joran pancing di tangannya itu kini menggigil seperti kalau umpannya disambar ikan.
"Nah, jangan main-main sekarang. Katakan apakah engkau tidak melihat seorang laki-laki lewat di sini? Seorang yang berpakaian perajurit?"
"Ti.... tidak.... tidak ada.... tidak ada orang lain...."
"Berani sumpah!"
"Saya berani sumpah.... tidak ada orang lain di sini.... kecuali saya sendiri, Nona...."
Dengan hati mengkal Siok Lan lalu melanjutkan pengejarannya, menyusuri tepi sungai itu. Dia tidak melihat betapa Ci Sian tersenyum geli dan sekali lagi Ci Sian menoleh ke arah pengail itu yang melanjutkan pekerjaannya dengan tekun.
Setelah lewat tengah hari dan sama sekali tidak menemukan jejak perajurit itu, dengan hati kecewa dan penasaran sekali Siok Lan lalu mengajak Ci Sian pergi dari situ dan ketika mereka lewat di tepi sungai yang tadi, perahu Si Pengail itu sudah tidak nampak lagi. Agaknya Si Pengail merasa jemu karena tidak berhasil dan pindak ke tempat lain.
Siok Lan mengajak Ci Sian menemui ibunya dan melaporkan semua peristiwa tentang perajurit aneh yang membunuh perwira itu. Panglima Nandini marah sekali. Cepat dia memanggil pembantunya dan memerintahkan agar memperkeras tindakan terhadap anak buah yang melakukan kejahatan, dan juga agar lebih memperketat penjagaan dan menambah penyelidik untuk menangkap mata-mata yang menyamar sebagai perajurit itu dan untuk menangkap setiap orang mata-mata yang berani menyusup ke Lhagat.
Ci Sian diam-diam merasa kagum sekali kepada mata- mata yang menyamar sebagai perajurit itu dan dia mengambil keputusan untuk ikut menyelidiki, bukan sekali-kali untuk melaporkan atau mencelakakan mata-mata itu, melainkan untuk belajar kenal karena dia tahu bahwa mata-mata itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun sudah dapat mendengar bahwa Lauw-piauwsu kini mendekam di penjara sebagai seorang tawanan penting karena ternyata Lauw-piauwsu ikut pula menentang penyerbuan pasukan
Nepal dan malah memimpin orang-orang untuk melakukan perlawanan ketika pasukan Nepal menyerbu Lhagat. Oleh karena itulah maka dia dianggap musuh dan kini ditahan dalam penjara yang dijaga ketat sehingga sukarlah bagi Ci Sian untuk dapat menolongnya. Mengharapkan pertolongan dari Siok Lan dia belum berani, karena melihat betapa Lauw-piauwsu dianggap musuh maka jangan-jangan dia sendiri malah akan dicurigai. Maka dia menanti saat baik untuk dapat menyelamatkan piauwsu itu.
Beberapa hari telah lewat tanpa ada peristiwa penting dan mata-mata yang menyamar sebagai perajurit itu agaknya telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Karena tidak terjadi peristiwa penting, maka keadaan di Lhagat kembali menjadi tenang dan orang-orang berani melanjutkan pekerjaan sehari-hari dengan tenteram. Siok Lan dan Ci Sian setiap hari masih saja meronda, namun tidak pernah memergoki sesuatu yang mencurigakan. Pada suatu pagi, Siok Lan menyatakan kepada Ci Sian bahwa dia akan pergi menyelidiki serombongan pemburu yang kabarnya sedang melakukan perburuan di sebelah bukit yang penuh dengan hutan-hutan lebat di mana banyak terdapat binatang-binatang buruan. Mendengar ini, Ci Sian menjadi gembira. Dia membutuhkan hiburan dan pergantian keadaan, dan memang dia sendiri pun suka berburu.
Siok Lan yang sudah dipesan oleh ibunya agar berhati-hati, telah mempersiapkan sepasukan pengawal. Akan tetapi dia ingin bebas bersama Ci Sian, maka dia hanya memerintahkan para pengawal untuk menyusul ke bukit itu, sedangkan dia sendiri bersama Ci Sian telah mendahului naik kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari Lhagat menuju ke bukit itu, sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari bukit di mana terdapat lembah tempat pasukan musuh dikurung.
Siok Lan adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri, dengan ilmu silat dan ilmu perang sehingga dia memiliki keberanian yang tidak kalah oleh laki-laki yang gagah perkasa. Apalagi kini ada Ci Sian di sampingnya, yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya dan boleh diandalkan, maka tentu saja dia menjadi semakin berani. Dengan membalapkan kuda, dua orang dara itu tiba di kaki bukit dan memandang ke atas. Bukit itu memang penuh dengan hutan dan terkenal sebagai bukit yang dihuni oleh banyak binatang buas, menjadi tempat yang baik sekali bagi para pemburu, di samping, tentu saja, juga amat berbahaya karena di situ masih banyak terdapat harimau-harimau yang besar dan ganas.
"Mari, Adik Sian!" Siok Lan berkata dengan gembira dan dia sudah membedal kudanya naik ke bukit memasuki hutan lebat. Ci Sian juga menjadi gembira sekali dan dengan cepat dia mengikuti sahabatnya itu. Ternyata hutan itu selain lebat sekali, juga jalannya kecil melalui jurang-jurang yang curam. Namun, karena Siok Lan adalah seorang ahli menunggang kuda, maka dia tidak takut dan membalapkan kudanya menyusup di antara pohon-pohon, melompati semak belukar dan berlari cepat di tepi jurang yang mengerikan.
"Heii, Enci Lan, hati-hatilah! Beberapa kali Ci Sian memperingatkan sahabatnya itu yang dianggap bersikap lengah di tempatnya berbahaya seperti itu. Namun Siok Lan hanya menjawab dengan suara ketawa panjang dan terpaksa Ci Sian juga membedal kudanya untuk mengikuti karena dia tidak mau kalau sampai terpisah dari sahabatnya itu di tempat yang asing ini.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang disusul auman menggetarkan jantung dan dari balik semak-semak belukar keluarlah seekor harimau yang besar. Kuda yang ditunggangi Siok Lan terkejut dan ketakutan, meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meronta dan membedal ke depan!
"Enci Lian, lompatlah....!" Ci Sian berseru kaget dan cepat mengejar dengan membalapkan kudanya, tidak mempedulikan harimau yang masih menggeram dahsyat itu. Namun Siok Lan tidak mau melompat turun, berusaha menguasai kudanya yang kabur dan panik penuh rasa takut itu.
Seekor kuda yang sudah ketakutan amatlah berbahaya kalau ditunggangi. Kuda yang panik itu berlari dengan kacau dan tidak melihat lagi rintangan di depannya. Memang sebaiknya kalau dapat melompat turun dari atas punggung seekor kuda yang lari ketakutan seperti itu. Akan tetapi Siok Lan adalah seorang dara yang keras hati. Sejak kecil dia sudah mahir menunggang kuda, maka kini pun dia tidak mau mengalah dan dia merasa sanggup untuk menguasai kembali kudanya yang kabur ketakutan itu. Dengan menarik kendali kuda dia hendak mengekang dan memaksa kudanya untuk berhenti. Kuda itu meringkik dan berdiri di atas kedua kaki belakang, mendengus dan meringkik marah karena rasa nyeri pada mulutnya, kemudian begitu kendali itu mengendur, dan meloncat ke depan dan tentu saja tubuhnya melayang turun karena di depannya adalah jurang!
"Enci Lan....!" Ci Sian menjerit ketika melihat betapa kuda itu bersama Siok Lan terjatuh ke dalam jurang!
Akan tetapi pada saat itu, dari tepi jurang sebelah kiri menyambar sinar hitam kecil dari seuntai tali yang meluncur dengan amat cepatnya ke bawah, ke arah tubuh Siok Lan yang melayang di atas punggung kudanya dan disusul teriakan seorang laki-laki yang nyaring. "Cepat tangkap tali ini!"
Tali itu ternyata merupakan laso yang meluncur cepat sekali dan tahu-tahu sudah melaso tubuh Siok Lan dari atas. Kalau dara itu tidak cepat menangkap tali yang menjiratnya, tentu lehernya akan terjirat dan sentakan itu tentu membahayakan nyawanya. Untung baginya, dia mendengar teriakan itu dan cepat dia melepaskan kendali kuda dan menangkap tali yang menjirat tubuhnya, maka ketika luncuran tubuhnya tertahan oleh lasso itu, lehernya tidak terjerat dan dia dapat menahan dengan kekuatan kedua tangannya! Kini tubuhnya tergantung pada tali lasso itu.
Ci Sian sudah melompat turun dan berlari menghampiri pemuda yang memegang ujung tali di mana Siok Lan bergantung di bawah sana. Tanpa diminta, tanpa mengeluarkan kata-kata, dia pun membantu pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan akhirnya tubuh Siok Lan dapat ditarik keluar dari dalam jurang, sementara kudanya terus meluncur turun dan terdengar suara gedebukan mengerikan ketika akhirnya tubuh kuda itu menimpa dasar jurang tentu saja hancur dan tewas!
Siok Lan agak menggigil ketika dia dapat ditarik ke tepi jurang. Sejenak dia memandang ke dasar jurang, kemudian menoleh kepada pemuda itu. Dia tercengang karena pemuda itu ternyata adalah seorang pemuda tampan dan gagah, biarpun pakaiannya biasa dan kasar saja dan sikapnya amat sederhana. Seorang pemuda dusun atau seorang pemuda pemburu.
"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku." kata Siok Lan kepada pemuda itu yang kelihatan tersipu malu.
"Ah, hanya kebetulan saja aku dapat menyelamatkanmu, Nona. Aku girang bahwa engkau demikian cekatan dapat menangkap tali lassoku." kata pemuda itu sederhana.
"Kepandaianmu hebat sekali!" kata Ci Sian memuji.
Pemuda itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menunduk dan memandang tali lasso di tangannya, lalu menjawab dengan sikap wajar, "Tali lasso ini? Ah, Nona, aku adalah seorang pemburu dan akhir-akhir ini banyak pedagang yang membutuhkan binatang-binatang hidup, maka kami para pemburu hanya mempelajari ilmu melempar lasso untuk dapat menangkap binatang hutan hidup-hidup. Baru saja aku sedang mengintai dan membayangi seekor kijang untuk kutangkap dengan lasso ini ketika aku melihat Nona ini terjatuh dengan kudanya ke dalam jurang."
"Jadi engkau adalah seorang di antara para pemburu yang sedang memburu binatang di bukit ini?" Siok Lan bertanya sambil memandang tajam.
"Benar, Nona. Kami berkemah di puncak bukit. Aku she Liong bernama Cin.... dan sungguh amat mengherankan bertemu dengan dua orang dara remaja di tempat seperti ini. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan hendak ke mana....?"
"Enci ini adalah puteri panglima pasukan Nepal...."
Siok Lan cepat memandang kepada Ci Sian penuh teguran, akan tetapi Ci Sian sudah terlanjur bicara sehingga dia tidak dapat mencegah lagi sahabatnya itu memperkenalkan dirinya. Sementara itu, pemuda pemburu itu nampak terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan hormat.
"Ah, harap Nona sudi memaafkan, karena tidak mengerti...."
"Sudahlah, engkau telah menyelamatkan aku dan aku berterima kasih kepadamu. Sekarang antarkan kami ke perkemahan para pemburu, aku ingin melihat keadaan mereka." kata Siok Lan.
Mereka bertiga lalu menyusup-nyusup di antara pohon-pohon menuju keperkemahan itu. Kuda tunggangan Ci Sian dituntun oleh pemburu muda itu. Akhirnya tibalah mereka di perkemahan para pemburu. Ternyata di situ berkumpul tujuh belas orang pemburu yang semua terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat. Akan tetapi begitu mendengar dari Liong Cin bahwa Siok Lan adalah puteri panglima pasukan Nepal, para pemburu itu bersikap hormat. Melihat keadaan mereka yang betul-betul memburu binatang, dengan hasil-hasil buruan, mati atau hidup, dikumpulkan di perkemahan mereka. Siok Lan percaya dan tidak menaruh curiga. Setelah menerima hidangan mereka yang berupa panggang daging-daging binatang buruan, Siok Lan dan Ci Sian berpamit. Mereka diantar oleh Liong Cin dan seekor kuda diberikan oleh mereka kepada Siok Lan. Ketika hendak berpisah, Siok Lan melepaskan seuntai kalung dari lehernya, sebuah kalung dengan hiasan bunga teratai emas dihias permata, dan menyerahkan kalung itu kepada Liong Cin.
"Sebagai tanda terima kasihku atas budi pertolonganmu, terimalah kalungku ini." katanya singkat.
Liong Cin menerimanya dan Siok Lan lalu membedal kudanya meninggalkan pemuda itu, diikuti oleh Ci Sian, dan dipandang oleh Liong Cin yang masih berdiri bengong dengan kalung itu di tangannya.
"Eh, Enci Lan, dia itu gagah dan tampan, ya?" kata Ci Sian ketika dia berhasil menjajarkan kudanya di samping.
"Apa? Siapa?" Siok Lan nampak terkejut karena agaknya dia sedang melamun.
"Aih, siapa kauberi hadiah menggoda."
"Hushh! Aku memberi hadiah karena dia telah menyelamatkan nyawaku! Itu merupakan suatu kenyataan dan bukankah sudah sepatutnya kalau aku memberi hadiah kepadanya? Jangan kau mengira yang bukan-bukan!"
"Ihh, siapa yang mengira bukan-bukan? Aku pun hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukankah dia memang tampan dan dia gagah karena sudah menolongmu? Kaukira aku menyangka Enci Lan?"
Siok Lan cemberut dan membalapkan kudanya. Ci sian mengejar sambil tertawa.
"Enci Lan, jangan marah dong! hanya mau bilang bahwa dia tentu senang sekali memiliki kalung yang biasa kaupakai dilehermu."
Siok Lan menahan kudanya, lalu menoleh, memandang kepada sahabatnya itu. "Eh, apa maksudmu?"
Ci Sian tertawa. "Maksudku engkau tahu sendiri, hi-hik!"
"Eh, anak nakal! Engkau genit, ya? Kucubit bibirmu....!" Siok Lan meraih dengan tangannya untuk mencubit, Ci Sian mengelak dan melarikan kudanya, dikejar oleh Siok Lan. Dua orang dara itu berkejaran sambil bersendau-gurau, tertawa-tawa dan akhirnya mereka memasuki kota Lhagat dengan selamat. Siok Lan memberi laporan kepada ibunya tentang para pemburu yang dikatakannya adalah pemburu-pemburu tulen dan orang baik-baik. Para pengawal yang terpaksa balik kembali ketika mereka bertemu dengan dua orang dara yang berkejaran itu, tidak melihat apa-apa. Atas pesan Siok Lan, Ci Sian juga tidak mau bicara tentang pemburu muda yang telah menyelamatkan sahabatnya itu kepada orang lain, Siok Lan sendiri hanya secara singkat menceritakan kepada ibunya bahwa kudanya kaget melihat harimau dan membawanya terjun ke jurang, akan tetapi seorang di antara para pemburu itu telah menyelamatkannya dengan menggunakan tali lasso. Mendengar ini, Puteri Nandini terkejut juga, akan tetapi akhirnya dia mengangguk-angguk dengan alis berkerut.
"Lain kali engkau harus hati-hati. Dan bagaimanapun juga, kita harus menyuruh penyelidik mengamat-amati para pemburu itu. Seorang pemburu mampu menolong dengan lasso seperti itu, cukup aneh dan mencurigakan.
"Ah, Ibu terlalu curiga kepada semua orang pandai. Kalau memang dia itu berniat buruk dan kalau dia itu mata-mata musuh, tentu dia sudah mengenalku dan mana mungkin mata- mata musuh mau menyelamatkan puteri panglima musuhnya?" Ucapan ini dapat diterima oleh panglima wanita itu, maka kecurigaannya terhadap para pembantu pemburu itu pun banyak berkurang.
Sunyi sekali malam itu, namun para penjaga berjaga-jaga penuh kewaspadaan di sekeliling bukit yang terkurung itu. Baru kemarin pagi, ketika matahari baru timbul, ada penjaga-penjaga di bagian barat bukit itu melihat adanya bayangan-bayangan orang berkelebat dan seperti beterbangan saja cepatnya naik ke bukit. Mereka tidak tahu bagaimana ada orang-orang mampu menyusup melalui penjagaan mereka. Ataukah bayangan sosok tubuh itu bukan bayangan manusia? Para penjaga sudah menghujankan anak panah ke arah bayangan-bayangan itu, akan tetapi tak ada yang berhasil. Anak-anak panah itu seperti mengenai bayangan-bayangan saja! Oleh karena itu, malam ini juga diadakan penjagaan ketat setelah terjadinya peristiwa itu.
Pasukan yang bertugas menjaga dengan anak panah di tangan telah siap dan setiap beberapa jam sekali pasukan ini diganti agar mereka tidak sampai kelelahan dan kurang waspada. Menjelang tengah malam, dari atas bukit nampak ada cahaya berkedip dan cahaya ini lalu meluncur turun ke bukit. Melihat ini, para penjaga sudah siap menyambut karena tidak mungkin ada cahaya turun tanpa dibawa orang. Setelah agak dekat, dari jauh para penjaga dapat melihat bahwa cahaya itu adalah sebatang obor yang bernyala. Hal ini menimbulkan keyakinan dalam hati mereka bahwa memang ada orang yang berlari turun membawa obor itu.
"Siap....!" bisik komandan pasukan panah. Para penjaga itu sudah mencabut anak panah dan menyiapkan anak panah pada busur masing-masing.
Kini dari cahaya obor itu dapat nampak bahwa yang melarikan obor memang benar seorang manusia yang bergerak ringan dan cepat sekali. "Berhenti!" Tiba-tiba komandan jaga membentak.
Akan tetapi, pembawa obor itu malah melemparkan obornya ke arah para penjaga. Tentu saja keadaan menjadi geger.
"Serang!" Komandan memberi aba-aba dan puluhan batang anak panah meluncur ke arah tempat di mana orang tadi nampak. Setelah melemparkan obornya, tentu saja keadaan di mana orang itu berdiri menjadi gelap dan tidak nampak lagi orang itu. Kiranya orang itu, yang memiliki gerakan amat gesitnya, telah menyelinap ke dalam kegelapan malam, menjauhi penerangan yang ada di tempat penjagaan, dan dapat menyusup pergi selagi para penjaga menjadi panik.
Akan tetapi karena bayangan itu telah lenyap, para penjaga tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan penjagaan semakin ketat agar jangan ada lagi orang dari atas bukit yang terkurung itu dapat meloloskan diri. Sementara itu, bayangan tadi dengan sangat cepat telah berlari seperti terbang saja di antara pohon-pohon dan menuju ke kota Lhagat!
Dan malam itu terjadi geger di gedung yang menjadi tempat tinggal Sang Panglima, yaitu Puteri Nandini! Tanpa dilihat oleh seorang pun penjaga yang menjaga gedung itu dengan ketat, sesosok bayangan manusia menyelinap dan memasuki kamar kerja Sang Panglima wanita itu, dan setelah menggeledah sepuasnya, baru dia meloncat keluar sambil membawa beberapa buah benda yang amat penting. Kebetulan sekali pada saat itu, Puteri Nandini melakukan ronda dan telinganya yang amat tajam itu dapat menangkap suara tidak wajar ini. Dengan gesit, seperti seekor burung walet saja, panglima ini memakai pakaian biasa karena dia hanya meronda di gedung tempat tinggalnya sendiri, meloncat ke atas genteng. Sungguh kebetulan sekali, pada saat itu, maling yang memasuki kamar kerjanya itu baru saja melayang naik.
"Berhenti!" bentak Puteri Nandini. Akan tetapi bayangan itu hendak meloncat pergi dan sekali menggerakkan tangan, panglima ini sudah menyerang bayangan itu dengan lemparan senjata rahasianya yang amat berbahaya, yaitu segenggam jarum yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh batang. Jarum-jarum halus itu menyambar seperti anak-anak panah kecil, lembut sekali sehingga tidak nampak, hanya sinarnya saja berkelebat, dan seluruh tubuh maling itu telah dijadikan sasaran, dari mata sampai ke lutut kaki! Akan tetapi, betapa kaget hati Sang Panglima ketika dengan amat mudahnya, bayangan itu meloncat ke samping dan dengan kebutan lengan baju, jarum-jarumnya runtuh semua ke atas genteng!
"Mata-mata busuk, menyerahlah engkau atau mati!" bentak Puteri Nandini dan kini dia menyerang dengan tubrukan seperti seekor harimau betina. Tubuhnya meloncat ke depan, kedua lengannya terbentang dan kedua tangannya sudah bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher, yang kiri menusuk dengan totokan ke arah lambung. Sungguh serangan ini hebat bukan main dan amat berbahaya!
Akan tetapi, orang itu sungguh lihai bukan main. Biarpun menghadapi serangan yang amat berbahaya, dia bersikap tenang saja, tangan kirinya masih memegang benda-benda yang diambilnya dari dalam kamar itu, yaitu gulungan kertas dan beberapa buah buku.
"Plak! Plak." Dua kali tangannya menangkis dan akibatnya tubuh panglima itu terpental! Tentu saja Puteri Nandini terkejut. Keadaan di atas genteng demikian gelapnya sehingga dia tidak dapat melihat wajah orang itu, hanya dapat menduga bahwa lawannya ini adalah seorang pria yang perawakannya sedang dan tegap, akan tetapi dia tidak dapat mengatakan apakah pria ini tua ataukah muda. Pada saat dia terhuyung oleh tangkisan yang amat kuat itu, dari bawah melayang naik beberapa orang perwira pengawal yang berkepandaian cukup tangguh, di antara mereka ada yang membawa obor. Melihat ini, orang itu melompat jauh ke
depan dan sekali loncat saja dia telah turun ke atas tanah, jauh di samping gedung itu. Bukan main kagetnya hati Sang Panglima menyaksikan kehebatan gin-kang dari orang itu. Maka dia pun cepat meloncat turun sambil berteriak. "Cepat kejar!"
Sambil mengejar, Puteri Nandini mencabut pedangnya. Dia merasa menyesal mengapa tadi memandang rendah lawannya. Kalau dari tadi dia mencabut pedang, tentu setidaknya dia dapat mendesak dan mengurung, tidak memberi kesempatan kepada maling itu untuk dapat meloloskan diri.
Dan memang gin-kang orang itu hebat sekali.. Biarpun Sang Puteri dan para perwira pengawal mengejar mati-matian, tetap saja mereka tertinggal jauh dan sebentar saja orang itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Dan betapapun para penjaga melakukan penjagaan ketat pada pintu-pintu gerbang dan para pengawal sudah melakukan pencarian di seluruh kota Lhagat, semua itu sia-sia belaka. Bayangan yang memasuki gedung panglima itu lenyap dan bersama dia, lenyap pula beberapa buah benda yang penting dari dalam kamar kerja Puteri Nandini. Benda-benda itu adalah sebuah peta dari kota Lhagat dan sekelilingnya, termasuk peta yang amat jelas dan terperinci dari bukit di mana terdapat lembah yang menjadi tempat pasukan Ceng yang terkepung. Ada pula buku-buku, catatan Sang Panglima tentang penyerbuannya dan rencana-rencana penyerbuan ke Tibet selanjutnya. Dengan lenyapnya semua itu, tentu saja Puteri Nandini menjadi marah bukan main dan dia terpaksa akan diharuskan
merobah semua rencana penyerbuannya!
Setelah terjadi peristiwa itu, desas-desus tentang jenderal sakti dari pihak musuh menjadi semakin santer. Betapa pun Sang Panglima mencoba untuk merahasiakan kehilangan benda-benda yang amat penting itu, namun berita bahwa ada seorang mata-mata musuh menyerbu gedung dan lalu dapat lolos, padahal Sang Panglima sendiri yang mengejarnya, membuat geger semua orang dan menggetarkan hati para perwira Nepal. Desas-desus ini bukan hanya membikin gentar hati orang-orang Nepal, akan tetapi juga membesarkan hati orang-orang Tibet dan penduduk Lhagat yang mengharapkan terusirnya pasukan Nepal dari situ. Mereka yang telah dirugikan, dirampok, dibunuh sanak keluarganya, atau diperkosa isteri dan anaknya, diam-diam mengharapkan pasukan Tibet atau pasukan Ceng dapat menghancurkan pihak musuh yang mereka benci itu.
Bahkan di antara para penghuni tetap kota Lhagat itu terdapat pula orang-orang jahat yang dahulunya menjadi jagoan-jagoan di situ dan yang hidupnya dari memeras kanan kiri mengandalkan keberanian dan kelihaian mereka, dan setelah Lhagat diduduki pasukan Nepal mereka itu kehilangan pengaruh dan sumber penghasilan. Mereka ini pun menaruh dendam kepada tentara asing itu, dan kini mereka pun mulai nampak berani karena mereka percaya bahwa jenderal sakti dari Kerajaan Ceng itu agaknya muncul! Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa munculnya jenderal sakti itu seolah-olah hendak membantu dan melindungi mereka!
Betapa banyaknya kita melihat di sekitar kita keadaan seperti ini. Dengan jelas kita melihat, semenjak dahulu seperti yang kita baca dalam catatan sejarah, sampai sekarang ini pun, orang-orang yang sesungguhnya melakukan perbuatan-perbuatan sesat setiap saat harinya, memeras, menipu, mengandalkan kekuasaan dan kedudukan, mengandalkan harta kekayaan, mengandalkan kepintaran, melakukan penindasan sewenang-wenang. Yang berkedudukan tinggi menekan yang lebih rendah, yang lebih rendah menekan yang rendah lagi, dan selanjutnya. Hukum rimba berlaku di mana-mana. Siapa kuasa dia menang dan dia benar! Namun anehnya, kita semua masing-masing merasa bahwa kita benar! Kita saling memperebutkan pahala dan jasa! Kita masing-masing merasa bahwa kitalah orang terbaik, orang paling berguna, paling patriot dan sebagainya. Beginilah akibat dan hasilnya kalau kita tidak belajar mengenal diri sendiri. Segala sesuatu mengenai diri kita, yang kita ingat hanyalah segi-segi baiknya saja, sebaliknya segala sesuatu mengenai diri orang lain hanya kita ingat segi-segi buruknya belaka. Kalau saja kita masing-masing belajar mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan tidak membiarkan mata kita menilai orang-orang lain, tentu akan nampak jelas betapa buruk dan kotornya kita ini masing-masing. Dan hanya kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat inilah yang mungkin sekali dapat mengadakan perubahan dalam diri kita masing-masing. Dan kalau kita sendiri sudah berubah, barulah dapat diharapkan masyarakat, bangsa,dunia akan berubah keadaan kehidupannya, tidak seperti sekarang ini di mana kebencian, iri hati, dendam, permusuhan dan perang merajalela. Karena sesungguhnya keadaan dunia tidak dapat dipisahkan dari keadaan alam batin kita masing-masing. Kitalah yang membuat dunia seperti keadaannya pada saat ini, kita masing-masinglah yang bertanggung jawab untuk itu, oleh karena itu, harus terdapat perobahan pada diri kita, pada batin kita masing-masing.
Seorang di antara mereka yang biasa mempergunakan keberanian dan kepandaian untuk memeras orang lain adalah seorang jagoan yang bernama Su Khi. Mungkin karena dia ini masih peranakan Mancu, dan pada waktu itu bangsa Mancu dianggap sebagai bangsa besar karena berhasil menguasai seluruh Tiongkok, maka dia merasa angkuh dan lebih tinggi daripada orang lain. Hal ini ditambah lagi dengan kepandaian silatnya yang membuat dia dijuluki Toa-to Hui-houw, (Harimau Terbang Bergolok Besar), maka membuat Su Khi menjadi besar kepala dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih gagah daripada dia. Ketika pasukan Nepal menyerbu dan menguasai Lhagat, Su Khi yang selain jahat sewenang-wenang juga amat cerdik ini, hanya bersembunyi, tidak ikut melawan. Dia tahu bahwa tiada gunanya melawan pasukan yang besar sekali jumlahnya! Maka dia pun selamat dan tidak dimusuhi oleh pasukan Nepal! Akan tetapi diam-diam tentu saja dia amat benci kepada pasukan Nepal yang dianggap amat merugikannya, membuat dia tidak berani berkutik dan kehilangan nama besar dan sumber hasilnya.
Kini, semenjak munculnya penyerbuan gedung panglima dan santernya desas-desus tentang jenderal sakti, bahkan dikabarkan orang bahwa jenderal itu telah siap untuk merebut Lhagat, Su Khi mulai beraksi. Mulailah dia keluar mengganggu penduduk, minta apa saja yang dikehendakinya dengan ancaman, seperti dulu sebelum pasukan Nepal datang. Akan tetapi Su Khi tidak tahu bahwa perbuatannya itu menimbulkan keluhan penduduk yang kemudian terdengar oleh Ci Sian! Gadis ini menjadi marah sekali, apalagi ketika dia mendengar bahwa Su Khi bukan hanya ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya, akan tetapi juga karena Su Khi pandai menyogok para penjaga keamanan dan membagikan barang rampasannya kepada para penjaga sehingga dia seperti terlindung oleh para penjaga Nepal.
Pagi hari itu, ketika seperti biasa Toa-to Hui-houw Su Khi sedang menjalankan aksinya, menggoda seorang dara remaja anak seorang pemilik warung nasi dan minta dilayani untuk sarapan dengan memilih makanan yang paling enak, tiba-tiba Ci Sian muncul di depan warung itu sambil membentak, "Si Keparat yang bernama Su Khi itu di mana? Hayo keluar!"
Su Khi terkejut mendengar bentakan ini, dan terheran-heran ketika melihat bahwa yang menegurnya hanyalah seorang dara remaja yang cantik sekali. Dia belum pernah bertemu dengan Ci Sian dan tidak tahu siapa adanya dara ini. Maka tentu saja dia marah sekali dimaki keparat oleh seorang dara remaja seperti itu di depan banyak orang. Dia, seorang "patriot" yang terlindung pula oleh para penjaga Nepal, kini dihina seorang gadis, malah seorang yang masih amat muda, seperti kanak-kanak. Cepat dia keluar dari warung itu setelah melepaskan lengan perawan cilik yang tadi dia pegang, kemudian sambil menyambar golok besarnya yang selalu dibawanya, dia berjalan keluar dengan sikap mengancam dan golok besarnya diamang-amangkan untuk menakut-nakuti anak perempuan itu. Namun Ci Sian memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan bibir tersenyum mengejek.
"Engkaulah yang telah berani berlancang mulut memaki Toa-to Hui-houw Su Khi tadi?" Dia membentak setelah berhadapan dengan Ci Sian, memandang dara itu dari atas sampai ke bawah dan diam-diam dia terpesona oleh kecantikan dara itu.
"Benar!" jawab Ci Sian. "Apakah engkau yang bernama Su Khi itu?"
"Betul, akulah Toa-to Hui-houw Su Khi!" Dia membolak-balik goloknya sehingga nampak sinar berkilauan ketika cahaya matahari pagi menimpa permukaan golok.
"Tukang pukul jahanam yang suka menghina penduduk dan memeras orang-orang lemah dengan mengandalkan golok penyembelih babi itu? Kaukah itu?"
Wajah Su Khi menjadi merah sekali, matanya melotot dan alisnya yang tebal bergerak-gerak, hidungnya mendengus-dengus penuh kemarahan. "Kau.... kau.... bocah bosan hidup! Berani engkau memakiku? Hemm.... akan kubunuh kau....! Tidak, akan kutelanjangi engkau di depan umum, kemudian engkau harus melayani aku sampai engkau bertobat!"
Berkata demikian, dia menubruk maju, tangan kirinya yang besar itu mencengkeram ke arah dada Ci Sian, maksudnya untuk merenggut baju itu agar terlepas. Akan tetapi, dengan setengah langkah ke belakang, Ci Sian sudah dapat mengelaknya dan sekali tangan kiri dara itu menyambar ke depan, terdengar suara "plokkk!" dan tubuh besar itu terpelanting roboh! Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini terkejut dan bengong, akan tetapi mereka semua lalu tersenyum girang melihat betapa dara jelita itu dengan mudah mampu menghajar jagoan sombong ini.
Su Khi terbelalak dan merangkak bangun, meraba pipi kanannya yang menjadi bengkak terkena tamparan tadi. Dia tadi merasa seperti disambar petir, maka terkejutlah dia, dan dia pun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi! Pantas saja dara itu berani memakinya, kiranya mengandalkan ilmu silat pikirnya.
"Perempuan setan! Berani engkau melawan aku, ya? Benar-benar engkau bosan hidup, dan sekarang, aku tidak akan mau mengampunimu lagi!" Berkata demikian, Su Khi lalu menggerakkan goloknya dan kini dia menubruk dan membacok dengan goloknya, serangan yang dimaksudkan membunuh dara itu dengan satu kali bacok!
Hemm, manusia ini memang kejam luar biasa, pikir Ci Sian. Dia maklum bahwa tadi pun orang itu sungguh-sungguh hendak menelanjanginya, dan tentu akan melaksanakan ancamannya kalau mampu. Kini pun menyerang dengan niat membunuh. Manusia seperti ini memang tidak layak dibiarkan hidup, hanya akan membahayakan kehidupan orang lain saja. Maka begitu melihat lawan membacok, dia cepat menghindar dan dia pun maklum bahwa orang ini seperti gentong kosong, hanya nyaring suaranya saja, karena sesungguhnya hanya mengandalkan ilmu silat kasar dan tenaga besar belaka. Maka, biarpun golok itu setelah luput membacok terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, dengan mudahnya Ci Sian dapat mengelak ke kanan kiri, kadang-kadang melompat tinggi menghindarkan golok yang membabat kaki, sambil tersenyum-senyum.
Sementara itu, banyak penduduk berdatangan ke tempat itu dan melihat perkelahian yang mereka anggap mengerikan itu, karena mereka merasa ngeri membayangkan betapa golok besar tajam itu akan membabat tubuh dara remaja itu. Sekali sambar saja pinggang ramping itu tentu akan putus!
"Perempuan setan, bocah hina, mampuslah!" Su Khi membacok lagi dan ketika Ci Sian mengelak, dia melanjutkan dengan babatan pada paha dara itu, Ci Sian melompat tinggi ke atas, kaki kirinya bergerak menendang dengan kecepatan yang sukar dapat diikuti pandang mata lawan.
"Plokk!" Dagu yang kuat itu bertemu ujung sepatu. Kepala Su Khi seperti terlempar ke belakang dan tubuhnya terjengkang. "Brukkk!" Dia terbanting roboh dan di antara para penonton ada yang tertawa, akan tetapi cepat-cepat ditutupinya mulutnya dengan tangan. Su Khi bangkit dan mukanya sebentar pucat sebentar merah, dari ujung bibirnya mengalir darah karena bibirnya pecah tergigit sendiri ketika dagunya tertendang tadi, napasnya terengah-engah dan hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau gila.
"Kau.... kau.... siapa kau mengapa kau memusuhi aku?" dia akhirnya bertanya karena dia tahu bahwa anak perempuan itu sungguh bukan orang sembarangan.
Ci Sian tersenyum. "Orang macam engkau tidak patut mengenal aku, ketahuilah bahwa kalau engkau berjuluk Harimau Terbang, aku adalah seorang ahli pembunuh harimau busuk yang mengganggu ketenteraman penduduk di sini."
Pada saat itu, karena terjadi keributan, dari jauh datang sekelompok penjaga yang terdiri dari belasan orang. Melihat ini, bangkit kembali keberanian Su Khi karena dia merasa yakin akan mendapat bantuan dari para penjaga yang sudah biasa disogoknya itu, maka dia lalu membentak, dengan suara nyaring karena memang dimaksudkan agar terdengar oleh para penjaga yang berlarian mendatangi itu.
"Siluman betina! Engkau tentu mata-mata jahat!" Dan dia pun lalu menyerang kembali dengan ganas. Marahlah hati Ci Sian. Tadi dia bermaksud memberi hajaran saja, akan tetapi melihat lagak orang ini yang agaknya mengandalkan para penjaga itu, dia makin menjadi muak dan begitu golok berkelebat, dia mengelak dan tangannya menyusup masuk melalui bawah sinar golok.
"Kekk!" Tubuh tinggi besar itu terbungkuk dan roboh menelungkup, goloknya terlepas dari tangannya. Ci Sian menginjakkan kaki kanannya di atas punggung bawah tengkuk Su Khi dan jagoan itu tidak dapat berkutik lagi! Dia merasa seolah-olah punggungnya tertindih benda yang beratnya ratusan kati, membuat dia sukar dapat bernapas dan dia hanya mengeluh terengah-engah seperti babi terhimpit. Pada saat itu, belasan orang penjaga sudah datang dekat dan mereka telah mencabut golok masing-masing, dengan sikap mengancam mereka mendekati Ci Sian.
"Kalian mau apa?" bentak Ci Sian menatap para penjaga itu dengan marah.
"Kau mata-mata....?" Para penjaga membentak, "Lepaskan dia, dia adalah sahabat kami!"
"Huh, siapa tidak mendengar bahwa kalian sudah makan sogokan dari jahanam ini?" Ci Sian balas membentak.
Kepala pasukan lalu membentak marah. "Serang! Tangkap dia!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Tahan!" dan di situ telah muncul Siok Lan yang menatap para penjaga dengan muka merah dan mata marah. Wanita cantik ini berdiri dengan sikap tenang dan menyilangkan kedua lengan di atas dadanya, lalu berkata dengan lantang, "Siapa yang hendak menyerang dan menangkap sahabatku ini?"
Para penjaga terkejut ketika melihat munculnya Siok Lan. Kepala penjaga itu dengan golok di tangan menunjuk kepada Ci Sian, "Maaf, tapi dia.... dia itu.... telah menganiaya Su Khi...."
"Hemm, kalian menjadi kaki tangan penjahat ini, ya?" bentak Siok Lan dan wanita ini menyambung sambil berteriak nyaring. "Hayo berlutut, kalian manusia-manusia busuk!"
Empat belas orang penjaga itu terkejut bukan main. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut. Siok Lan mengangkat tangan kanan ke atas dan muncullah beberapa orang pengawal. "Mereka ini telah biasa makan suap dari penjahat, maka sudah sepatutnya diberi hukuman. Cambuk mereka masing-masing sepuluh kali dan komandan mereka lima belas kali!"
Tentu saja empat belas orang penjaga itu menjadi ketakutan, akan tetapi mereka tidak berani membangkang. Lima orang pengawal lalu membuka baju mereka dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi cambuk meledak-ledak ketika lima orang pengawal itu menjatuhkan hukuman itu, di tempat terbuka dan terlihat oleh semua orang. Darah mengalir dari kulit-kulit punggung yang pecah-pecah dan terdengar rintihan-rintihan kesakitan. Setelah hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata kepada Ci Sian.
"Adik Sian, kaulepaskan jahanam itu."
Ci Sian melepaskan injakan kakinya dan Su Khi merangkak bangun dengan mulut merah karena dia tadi sampai muntah darah.
"Sekarang kuserahkan jahanam itu kepada kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati kalian terhadap dia. Awas, sekali lagi kalian makan suapan, aku akan minta kepada Ibu agar kalian dihukum penggal kepala!" kata Siok Lan.
Empat belas penjaga itu menghaturkan terima kasih, kemudian seperti serigala-serigala kelaparan mereka lalu menangkap Su Khi.
"Tida k.... tidak.... jangan.... ampunkan aku....!" Orang itu berteriak-teriak dan meronta-ronta, namun empat belas orang yang telah menerima hukuman yang amat nyeri itu kini menimpakan semua dendam mereka kepada Su Khi. Tak lama kemudian, di luar kota, Su Khi ditelanjangi dan dicambuki oleh empat belas orang itu sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan dia tewas dalam keadaan mengerikan!
Semenjak terjadi peristiwa itu, nama Ci Sian dikenal. Baru sekarang mereka tahu bahwa gadis bangsa Han itu menjadi sahabat baik dari puteri panglima dan bahwa dara cantik itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Akan tetapi, para pendekar merasa bersyukur juga bahwa dara itu ternyata berani membela penduduk, bahkan puteri panglima itu pun telah memperlihatkan keadilan di depan rakyat.
Menurut pendapat Siok Lan dan ibunya, Su Khi malah dianggap sebagai kaki tangan mata-mata yang sengaja menimbulkan kekeruhan di Lhagat! Memang, semenjak terjadinya pencurian di dalam kamar kerja panglima oleh seorang maling yang berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan setiap hari para pengawal menangkapi orang-orang yang dicurigai sehingga penjara menjadi penuh menampung orang-orang tangkapan baru ini.
Puteri Nandini sebagai panglima yang paling merasa terpukul dengan adanya pencurian benda-benda penting dari kamar kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap kali ada orang tangkapan baru, dia sendiri datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia dapat menemukan maling yang telah memasuki kamar kerjanya itu.
Ketika pada suatu pagi ada laporan bahwa tertangkap pula seorang pemuda yang amat mencurigakan karena malam-malam pemuda itu berkeliaran di dekat bukit tempat tentara musuh terkurung, cepat panglima itu berpakaian, naik kuda dan datang sendiri ke tempat penangkapan itu. Begitu panglima itu tiba di tempat penjagaan, para penjaga mendorong seorang pemuda yang kedua kakinya dibelenggu, demikian pula kedua lengannya. Seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana, berwajah terang dan sama sekali tidak menunjukkan wajah seorang jahat. Akan tetapi justeru wajah demikian ini yang menimbulkan kecurigaan, karena bukankah yang dikirim oleh pihak musuh adalah orang-orang pandai dan mungkin saja orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi?
Dari atas kudanya, panglima wanita itu mengamati pemuda tawanan itu dengan penuh perhatian. Pemuda seperti ini memang pantas menjadi seorang utusan, karena biarpun nampaknya seorang yang lemah, namun sinar matanya berkilat membayangkan kekuatan dan kecerdasan. Komandan jaga maju memberi hormat kepada panglima wanita itu lalu melaporkan bahwa pemuda itu pagi-pagi sekali tadi ditangkap ketika sedang menyusup-nyusup seorang diri di dekat perkemahan para penjaga yang sedang bertugas mengurung bukit di mana pihak musuh terjebak itu.
"Alasannya adalah mencari jejak binatang buruan dan setelah kami menggeledahnya, kami tidak menemukan senjata pada dirinya, melainkan kalung ini." Komandan jaga menutup laporannya sambil menyerahkan seuntai kalung kepada panglimanya.
Puteri Nandini menerima kalung itu dan menyembunyikan kagetnya ketika dia mengenal kalung itu. Sebuah kalung dengan hiasan berbentuk sebatang bunga teratai emas terhias permata. Tentu saja dia mengenalnya karena kalungnya itu adalah kalungnya sendiri di waktu muda dan yang sudah diberikannya kepada puterinya, Siok Lan! Diam-diam dia terkejut dan marah, dan hampir saja dia berteriak membentak pemuda itu untuk bertanya dari mana pemuda itu memperoleh kalung puterinya. Akan tetapi dia masih sempat menahan diri dan tidak mau membuka rahasia puterinya sehingga kalau terdengar oleh para penjaga bahwa kalung
puterinya berada pada pemuda ini, tentu akan menimbulkan prasangka yang buruk.
"Kau seorang pemburu?" panglima itu bertanya tanpa turun dari atas punggung kudanya.
Pemuda itu mengangguk. "Benar, Li-ciangkun. Saya adalah seorang di antara para pemburu di bukit sebelah sana itu."
"Kenapa kau berkeliaran di sini?"
"Semalam kawan-kawan saya mengepung seekor harimau yang amat buas dan yang sudah lama kami coba untuk menangkapnya. Akan tetapi harimau itu dapat lolos dan saya mengikuti jejaknya sampai ke sini, tahu-tahu saya ditangkap...."
"Hemm, mengikuti jejak harimau dengan pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan seperti pakaian pemburu!"
"Maaf, karena semalam saya memang sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah memburu pada siang harinya. Akan tetapi mendengar suara ribut-ribut para kawan, saya terbangun dan ikut mengejar harimau yang lolos...."
Panglima wanita itu lalu memerintahkan untuk menahan pemuda itu di dalam kamar tahanan di tempat penjagaan itu. "Aku hendak memeriksanya sendiri," katanya dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, mengikuti para penjaga yang mendorong pemuda itu tawanan itu memasuki rumah penjagaan. Setelah menyuruh semua penjaga pergi, Puteri Nandini memandang kepada pemuda yang disuruh duduk di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian dia mengeluarkan kalung dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada pemuda itu.
"Darimana engkau memperoleh kalung itu?" tanyanya halus, akan tetapi pandang matanya seperti hendak menembus dada menjenguk isi hati.
Pemuda itu nampak tenang-tenang saja, hanya agak kemalu-maluan mendengar pertanyaan ini. "Dari.... dari seorang dara...." jawabnya.
"Hemm, mengapa dia memberikan kalung ini kepadamu?"
Pemuda itu kelihatan semakin malu. "Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Li-ciangkun. Ketika itu.... saya melihat seorang gadis menunggang kuda dan kudanya itu terkejut karena bertemu harimau, harimau keparat yang kami kejar-kejar itulah! Dan kudanya terpeleset ke dalam jurang. Kebetulan saya berada di dekat situ dan saya memang sudah siap dengan lasso untuk menangkap harimau, maka saya berhasil mencegah dia terbawa jatuh ke dalam jurang dengan lasso saya...."
Puteri Nandini tidak terkejut karena memang dia tadi sudah menduga demikian. Oleh karena dia menduga bahwa pemuda ini adalah penyelamat puterinya itulah maka dia tadi memerintahkan penjaga membawa pemuda itu ke sini untuk diajak bicara. Akan tetapi sekarang pun dia tidak memperlihatkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang nampak bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi sebelum memasuki tempat ini dia sudah diam-diam menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Siok Lan ke tempat ini.
Puteri Nandini menyuruh pemuda itu menceritakan riwayatnya dan mengapa jauh-jauh ke tempat ini untuk berburu. Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa dia dan rombongannya adalah pemburu-pemburu yang selain memiliki pekerjaan memburu dan hidup dari hasil buruan, juga suka dengan pekerjaan ini.
"Kami sudah banyak menjelajahi daerah-daerah yang terkenal memiliki binatang-binatang aneh dan buas. Kami sebetulnya tiba di sini karena tertarik oleh berita tentang binatang atau mahluk aneh yang dinamakan Yeti atau dikabarkan sebagai manusia salju di daerah Himalaya. Akan tetapi ternyata kami tidak berhasil menjumpai mahluk itu maka kami memburu harimau dan lain-lain binatang buas di bukit itu." Demikian antara lain pemuda itu bercerita. Dia mengaku she Liong bernama Cin dan sebagai seorang
pemburu yang banyak bertualang ke tempat-tempat jauh, dia menguasai bahasa Tibet, bahkan sedikit dia dapat berbahasa Nepal.
Selagi mereka bicara, terdengar suara derap kaki dua ekor kuda di luar rumah penjagaan itu dan tak lama kemudian masuklah dua orang dara ke dalam ruangan itu. Mereka ini bukan lain adalah Siok Lan dan Ci Sian. Siok Lan datang dengan cepat setelah menerima panggilan ibunya dan dia mengajak Ci Sian, apalagi ketika mendengar dari pengawal itu bahwa para penjaga menangkap seorang pemuda yang mengaku sebagai seorang pemburu dan kini sedang diperiksa oleh panglima.
Begitu mereka masuk dan melihat Liong Cin, Siok Lan segera berkata kepada Ci Sian, "Benar, dia!" Lalu dia menghampiri ibunya. "Ah, Ibu, mereka salah tangkap! Dia ini adalah pemburu yang pernah meyelamatkan aku dulu!"
Puteri Nandini mengangguk. "Aku sudah menduganya, hanya menanti kedatanganmu untuk kepastiannya." lalu Sang Puteri ini memandang kepada pemuda itu, tersenyum dan berkata. "Orang muda, kaumaafkan kesalahan para penjaga kami. Akan tetapi engkau juga bersalah mengapa mengejar buruan sampai dekat dengan perkemahan kami. Harap beritahu kawan-kawanmu agar jangan mendekati tempat ini."
Liong Cin menggeleng kepalanya dengan sedih. "Tidak mungkin mereka berani mendekat ke sini, Li-ciangkun. Setelah mendengar atau melihat saya ditangkap, saya berani memastikan bahwa mereka tentu sudah lari ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini."
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Kalau begitu engkau ditinggalkan oleh teman-temanmu?"
Liong Cin mengangguk. "Selama ini kami memang sudah khawatir melihat betapa tempat buruan kami dekat dengan medan perang dan sudah sering kali kami berunding untuk pergi saja. Akan tetapi harimau itu...."
Sudahlah, orang muda. Aku menyesal bahwa engkau terpaksa ditinggalkan teman-temanmu. Sekarang engkau boleh bebas. Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, harap kau suka melepaskan belenggu tangan dan kakimu sendiri." Panglima itu mencoba.
Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala dan mukanya menjadi merah. "Harap Li-ciangkun tidak main-main. Mana mungkin saya dapat melepaskan diri dari belenggu yang sekuat ini?"
"Tapi engkau telah mampu menyelamatkan puteriku."
"Itu lain lagi, Li-ciangkun. Saya memang mempelajari ilmu mempergunakan tali lasso, akan tetapi untuk mematahkan belenggu-belenggu ini.... sungguh saya tidak sanggup melakukannya."
Panglima itu tersenyum. Senyumnya hanya sebentar saja, seperti kilatan cahaya di hari mendung. Lalu dihampirinya pemuda itu dan dengan kedua tangannya panglima wanita itu mematah-matahkan belenggu kaki tangan itu sedemikian mudahnya, seperti mematahkan ranting-ranting kecil saja! Pemuda itu terbelalak penuh kaget dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga panglima wanita ini. Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar pemuda ini terkejut dan jerih sehingga tidak akan berani melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasukan Nepal. Biarpun dia percaya kepada pemuda ini, akan tetapi pemuda ini adalah bangsa Han, maka sudah tentu saja sedikit banyak dia masih bersikap hati-hati dan curiga.
Siok Lan menghampiri pemuda itu dan berkata dengan suara menyesal. "Harap kau suka memaafkan, Liong Cin. Karena ingin berhati-hati, para pasukan penjaga telah salah tangkap, engkau yang menjadi penolongku malah disangka mata-mata musuh."
Liong Cin juga tersenyum dan menjura. "Tidak mengapa, Nona. Ini malah merupakan penambahan pengalamanku, hanya sayang.... sahabat-sahabatku telah pergi meninggalkan aku di sini...."
"Kalau begitu, mari ikut bersama kami ke Lhagat." Siok Lan mengajak dan sebelum pemuda itu menjawab, dara ini sudah berpaling kepada ibunya. "Ibu, harap Ibu perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas budinya dan untuk minta maaf kepadanya atas perlakuan kita yang tidak semestinya terhadap seorang penolong."
Siok Lan memang pandai bicara dan ibunya tidak dapat menolak, tidak enak untuk menolak setelah puterinya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Biarpun, di dalam hatinya dia tidak setuju karena hal itu memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh, namun mana mungkin dia menolak dengan adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah menyelamatkan puterinya, kemudian malah ditangkap karena disangka mata-mata? Menolaknya sama dengan menampar muka sendiri!
Siok Lan sudah meneriaki pengawal minta seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama kemudian, Siok Lan, Ci Sian, dan Liong Cin sudah membalapkan kuda mereka menuju ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci Sian tidak pernah bicara kepada Liong Cin, akan tetapi diam-diam dia amat memperhatikan pemuda itu dan dia pun melihat betapa terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan. Dara ini kelihatan amat gembira sekali, sikapnya menjadi semakin lincah dan jenaka!
Mulai saat itu, Liong Cin diterima sebagai seorang tamu terhormat, atau juga seorang sahabat baik dari Siok Lan, dan diberi sebuah kamar tersendiri di dalam gedung tempat tinggal panglima itu. Puteri Nandini sendiri yang mengusulkan hal ini, pada lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap pemuda yang pernah menyelamatkan nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam hatinya dia menghendaki agar pemuda itu tinggal di gedung karena dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengawasi gerak-geriknya. Juga dia melihat betapa agaknya puterinya tertarik kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa pemuda itu, biarpun harus diakuinya bahwa pemuda itu tampan dan gagah, hanya seorang pemburu biasa saja, maka sudah tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin mengamat-amati hubungan antara puterinya dan pemuda itu.
Mula-mula Liong Cin menolak halus dan menyatakan bahwa dia tidak ingin mengganggu keluarga panglima itu, akan tetapi Siok Lan cepat mendesaknya. "Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari pelaporan para penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah di bukit itu telah melarikan diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya engkau beristirahat dulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman barulah engkau pergi mencari kawan-kawanmu. Setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk menyatakan terima kasih. dan membalas budimu."
Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai hari itu dia tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan memperoleh kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering menemani mereka bercakap-cakap, akan tetapi agaknya di antara dua orang muda ini, keduanya merupakan tamu dan sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat mereka agak renggang. Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan sinar mata membayangkan kecurigaan dan keraguan.
Memang sesungguhnyalah, Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang sama sekali bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu mengamati gerak-geriknya dan biarpun dia melakukan hal ini secara diam-diam, agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa tidak enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda itu dengan penuh curiga, dan sering kali dia bahkan diam-diam keluar dari dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan pengintaian!
Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti. Dia melihat bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat melakukan penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ke taman bunga dengan sikap yang mencurigakan sekali. Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan main. Biarpun Ci Sian sudah membayangi dengan amat hati-hati, mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya bergerak cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang membayanginya dan tiba-tiba pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahu-tahu telah berhadapan dengan Ci Sian yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak!
Keduanya terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang dengan alis berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian tersenyum berkata. "Terkejut? Aku tahu siapa engkau, Liong Cin!"
Pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh selidik. "Apa maksudmu? Tentu saja engkau mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona...."
"Hemm, tak perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang kami tanya tentang perajurit itu, dan engkau pula perajurit yang membunuh perwira yang hendak memperkosa wanita itu, engkau mata-mata...."
Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari tangan kirinya sudah menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu bergerak, dara itu pasti akan tewas seketika! Ci Sian sendiri terkejut bukan main karena biarpun dia sudah waspada, ternyata dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah "ditodong" seperti itu, sama sekali tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum, sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin heran dan sedemikian kaget sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.
"Jenderal, engkau salah tangkap!"
Wajah pemuda itu berobah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas, "Siapa engkau?"
Ci Sian tersenyum. "Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang kauketahui."
"Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan main-main, katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan." Ucapan itu mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia bahwa kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk turun tangan membunuhnya karena dia tentu dianggap berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.
"Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang ditahan, seorang piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curiga aku."
Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang. "Katakan, bagaimana engkau dapat mengetahui keadaanku?"
"Dari sinar matamu." jawab Ci Sian. "Engkau boleh menyamar, merobah bentuk muka dan berganti pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan sinar matamu."
"Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?"
"Sinar matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tak pernah dapat kulupakan. Sinar matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas."
"Pendekar Suling Emas? Siapa itu?"
"Dia she Kam, bernama Hong."
Pemuda itu menggeleng kepala. "Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul, Ci Sian. Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang jenderal....?"
Ci Sian tersenyum. "Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah seperti dua tambah dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer dikabarkan orang bahwa akan ada seorang jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang datang menyelidik ke sini untuk membebaskan pasukan yang terkepung. Kini, melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagl engkau kalau buka Si Jenderal yang didesas-desuskan orang itu?"
"Engkau luar biasal" pemuda itu berseru dan berbisik. "Mari kau ikut aku. Tidak leluasa bicara di sini!" Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali dari taman itu. Ci Sian terpaksa harus mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk mengejar, akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus menunggunya dan akhirnya mereka tiba di sebuah tanah kuburan di pinggir kota yang amat sunyi. Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biarpun ia seorang dara perkasa yang dapat dibilang tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, akan tetapi pada malam hari gelap itu berada di dalam tanah kuburan, benar-benar merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya.
Malam itu bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya pemandangan. Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang merupakan tubuh-tubuh manusia raksasa yang telentang, dengan perut besar dan seperti bergerak dan bernapas. Hembusan angin pada daun-daun pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati pun manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama yaitu mengoceh dan membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian merasa seolah-olah dialah yang kini menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia menggigil.
"Nah, kau mau bicara apa?" katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri.
Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak pucat juga. "Kau takut dan seram juga? Ah, tempat ini merupakan tempat paling aman bagi kami...."
"Kau dan anak buahmu?"
Pemuda itu mengangguk. "Engkau memang luar biasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian, atau.... namamu itu juga nama palsu?
"Namaku tidak palsu, perlu apa aku harus memakai nama palsu seperti engkau, Jenderal?"
"Hemm, engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?"
"Engkau seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau engkau menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata- mata."
"Kau memang cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang menjadi jenderal. Biarpun nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin Liong, Kao Cin Liong."
Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia mendengar nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut setengah mati. Pemuda ini sesungguhnya bukan orang biasa, melainkan keturunan suami isteri pendekar yang pernah menggegerkan kolong langit dengan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi. Para pembaca cerita SEPASANG RAJAWALI dan JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu dapat mengingat atau menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal Kao Liang yang sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang membiarkan dirinya tewas terbakar demi setianya terhadap kerajaan dan demi menjaga nama baik keluarga Kao (baca KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI). Ayah dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, seorang pendekar yang memiliki kepandaian luar blasa dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti lawan disegani kawan. Ibunya yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri ini tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan yang disegani.
Agaknya darah kakeknya mengalir dalam dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka akan ilmu silat dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para pahlawan. Apalagi riwayat kakeknya seperti yang dia dengar dari ayahnya amat menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti kakeknya, menjadi seorang pahlawan dan panglima di kerajaan! Melihat bakat dan semangat puteranya, setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan persetujuan isterinya lalu membawa Kao Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu Kao Kok Han yang telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan. Karena kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah cu cu mendiang Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa, maka dalam waktu pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh kedudukan tinggi. Apalagi ketika beberapa kali dia berhasil memimpin pasukan menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai dan di utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar dan dalam usia yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal! Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dan dalam melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat dan tegas, persis seperti kakeknya dahulu.
Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan memukul mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet yang telah menjadi daerah taklukan itu. Lima ribu orang pasukan dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan lain adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan ini terjebak dan terkurung di lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk membobolkan kepungan.
Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi Jenderal Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia pun minta ijin untuk diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia merasa yakin bahwa dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan dapat menyelamatkan pasukan yang terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin Liong bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan pamannya, yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu. Dia telah ditangisi oleh keluarga pamannya itu untuk menyelamatkan pamannya dan anak
buahnya.
Demikianlah, karena ingin melakukan penyelidikan secara bebas terhadap kedudukan panglima wanita yang lihai itu, maka Cin Liong dengan jalan menyelamatkan Siok Lan dan membiarkan dirinya ditangkap akhirnya dapat diterima sebagai sahabat puteri panglima itu dan memperoleh kebebasan di Lhagat sehingga dia dengan mudah dapat melakukan penyelidikan, apalagi karena dia disuruh tinggal di gedung panglima!
Mendengarkan penuturan panglima muda itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum bukan main. Pemuda ini sungguh berani dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri tidak mengenal sinar mata mencorong itu, agaknya dia pun tidak nanti akan menduga bahwa pemuda itu adalah jenderal sakti yang datang utuk menolong pasukan yang terkepung itu!
"Dan mengapa engkau begini percaya kepadaku, Ciangkun!"
"Ah, Nona, harap engkau jangan menyebutku dengan sebutan ciangkun. Ingat, aku masih menyamar sebagai Liong Cin di sini, maka jangan kau merobah sebutanmu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Engkau tentu mau membantu kami, bukan?"
Ci Sian tersenyum. Orang ini begitu percaya kepada diri sendiri! "Baiklah, Liong Cin.... aih betapa janggalnya menyebut nama palsu orang! Aku ingin sekali tahu mengapa engkau begini percaya kepadaku sehingga engkau telah membongkar rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini berbahaya sekali? Kalau aku membocorkan rahasiamu, bukan saja usahamu akan gagal, pasukan yang terkepung tidak akan dapat diselamatkan, dan engkau sendiri tentu akan tertimpa bencana."
Cin Liong menggeleng kepala. "Aku yakin bahwa engkau tidak akan melakukan hal itu."
"Bagaimana engkau dapat yakin?" Ci Sian mendesak. "Kita baru saja bertemu dan berkenalan, engkau tidak mengenalku, tidak mengenal watakku."
"Nona, di dalam ilmu perang terdapat Ilmu mengenal watak orang dari wajahnya, dari sikap dan gerak-geriknya. Engkau berkepandaian silat tinggi dan wajahmu membayangkan kegagahan, bahwa engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang rendah dan jahat. Pula, aku dapat melihat dari sinar matanya bahwa panglima wanita itu menaruh curiga kepadamu, sungguhpun Nona Siok Lan percaya penuh kepadamu. Dari semua itu saja aku sudah tahu bahwa engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi sekutuku."
"Hemm, terus terang saja, aku tidak mau terlibat dalam perang dan permusuhan. Apalagi harus memusuhi Siok Lan yang begitu baik. Aku hanya ingin mencari Lauw-piauwsu."
"Aku berjanji akan mencari piauwsu itu dan membawanya kepadamu asal engkau mau membantuku, Nona."
"Membantu bagaimana?"
"Menutupi rahasiamu."
"Ah, kalau hanya begitu, tentu saja aku tidak keberatan."
Tiba-tiba jenderal muda itu memegang lengan Ci Sian dan menariknya bersembunyi ke balik sebuah batu besar di tanah kuburan itu. Ci Sian hampir menjerit ngeri ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah ditarik dan mendekam di atas gundukan tanah kuburan! Akan tetapi melihat kesungguhan pemuda itu, dia pun memandang ke depan. Ternyata ada bayangan orang yang berjalan seenaknya ke arah mereka dan bayangan itu mengomel panjang pendek, kemudian setelah dekat, bayangan itu berkata, "Huh, tahu malu, berkencan di tanah kuburan! Berjanji simpan-simpan rahasia lagi! Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh persekutuan busuk!"
Tentu saja Ci Sian terkejut bukan main. Akan tetapi Cin Liong sudah meloncat keluar dan tanpa banyak cakap dia sudah menyerang dengan totokan ke arah pundak orang itu.
"Desss. ...!" Keduanya terdorong ke belakang dan tentu saja Cin Liong terkejut bukan main karena ternyata orang itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, atau setidaknya dapat mengimbangi tenaganya sendiri sehingga ketika orang itu menangkis, dia sampai terpental ke belakang. Sebaliknya orang itu yang juga terpental, lalu tertawa, membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tanah kuburan yang sunyi itu. Cin Liong yang merasa terkejut dan curiga, cepat melakukan pengejaran. Melihat itu, Ci Sian juga mengejar sekuatnya karena dua orang yang berkejaran itu ternyata dapat berlari secepat angin!
Bayangan yang dikejar oleh Cin Liong itu berlari terus dan melompat dinding kota tanpa mempedulikan para penjaga yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja Cin Liong tidak mau melepaskannya karena orang yang lihai itu amat mencurigakan, dan dia terus mengejar. Demikian pula Ci Sian melakukan pengejaran. Melihat berturut-turut ada tiga bayangan orang berkelebatan meloncati pagar tembok, para penjaga menjadi geger dan mencoba untuk melakukan pengejaran, namun mereka tertinggal jauh dan komandan jaga yang merasa khawatir cepat memberi laporan ke dalam.
Sementara itu, bayangan yang dikejar-kejar itu seperti hendak mempermainkan Cin Liong dan Ci Sian yang terus melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia tersusul dekat dan terdengar suaranya tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia melesat jauh sekali dan meninggalkan para pengejarnya. Setelah tiba di sebuah bukit, bayangan itu mendaki naik, akan tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba dia memutar dan turun kembali, kini bahkan lari ke arah kota Lhagat!
"Gila dia!" Cin Liong memaki dalam hatinya dan terus mengejar. Karena bulan sepotong sudah turun ke barat, maka malam yang menjadi gelap itu menyulitkan dia untuk dapat menyusul orang itu, sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat karena lelah. Mereka berkejaran sampai setengah malam, dipermainkan oleh bayangan itu dan akhirnya, ketika malam terganti pagi dan cuaca tidak gelap lagi, orang itu berhenti berlari, bahkan kini berhenti di tengah jalan menanti para pengejarnya sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Akan tetapi wajahnya yang penuh ditumbuhi jenggot itu juga mengkilap basah oleh peluh, tanda bahwa main berlari-larian itu membuatnya lelah juga!
Cin Liong sudah berhadapan dengan orang itu ketika Ci Sian datang terengah-engah dan kedua kakinya terasa lelah dan lemas. Mereka berdua menatap orang yang mempermainkan mereka itu dan diam-diam. Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya dia bertemu dengan orang yang matanya mencorong. Pertama adalah mata Kam Hong, ke dua mata Kao Cin Liong dan ke tiga adalah mata orang ini! Dan begitu melihat wajah yang menyeramkan itu, dan melihat bibir yang tersenyum menyeringai di balik jenggot dan kumis yang awut-awutan, tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia pernah bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia telah lupa lagi di mana.
"Siapakah engkau?" Dengan suara penuh wibawa. Cin Liong bertanya sambil menatap tajam. Orang itu berusia tiga puluh tahun lebih, hampir empat puluh tahun agaknya, tubuhnya sedang dan tegap, akan tetapi pakaiannya seperti pakaian pengemis, rambutnya, jenggot dan kumisnya tak terpelihara, awut-awutan, padahal dalam keadaan seperti itupun masih nampak bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah dan tampan, terutama sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya aneh, akan tetapi kadang-kadang sinar mata itu menjadi suram dan seperti lampu hampir padam diliputi kedukaan.
Mendengar pertanyaan itu, orang berpakaian jembel ini tertawa dan ketika dia tertawa, nampak deretan giginya yang kuat dan putih, sungguh berbeda dengan keadaan rambut dan pakaiannya. "Ha-ha-ha, siapa aku, siapa engkau? Siapa jenderal yang menjadi mata-mata? Siapa yang masih muda menjadi seorang perwira tinggi, mengejar kedudukan? Haha-ha!"
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang jembel dam gila lagi, dimaki sebagai pengejar kedudukan! "Siapa engkau? Kalau engkau tidiak mau mengaku, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan menyerangmu!" bentaknya mengancam.
"Kau? Menyerang aku? Ha-ha, anak kecil berhati besar. Hayo sekarang majulah, seranglah, siapa takut padamu? Ha ha!"
Ditantang seperti ini, tentu saja Cin Liong menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menguasai hatinya, karena maklum bahwa kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi keadaan. Dia menatap tajam, kemudian berkata, "Aku akan menyerangmu karena engkau mungkin membahayakan usahaku."
"Ha-ha, anak kecil, kau majulah!"
Cin Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menyerang dengan pukulan cepat dan kuat sekali ke arah lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat dia mengelak. Gerakannya aneh dan cepat sekali, juga ketika dia membalas dengan tamparan tangan kirinya, gerakannya memang hebat. Cin Liong terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Dia menduga bahwa agaknya orang ini yang menyamar seperti orang gila tentu utusan dari panglima musuh! Maka dia pun lalu menangkis dan menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan tenaganya sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan. Lawannya berseru kagum dan juga bergerak cepat, jari-jari tangannya terbuka dan ketika tangannya bergerak, jari tangannya meluncur seperti pedang dan mengeluarkan suara bercuitan pula!
Setelah saling serang dan saling megelak sampai beberapa belas kali, tiba-tiba mereka harus mengadu lengan dan mereka saling mengerahkan tenaga. "Dukkk!" Untuk ke sekian kalinya dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan keduanya terpental ke belakang!
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh, kau hebat juga....!" Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini wajahnya berseri, nampak gembira dan dalam keadaan seperti itu dia tidak kelihatan tua benar sehingga usianya tentu tidak lebih banyak dari empat puluh tahun. Dan melihat wajah yang tertawa, mata yang berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di mana dia pernah bertemu dengan jembel ini. Dahulu, di waktu dia melakukan perjalanan dengan rombongan Lauw-piauwsu! Pengemis yang mencengkeram golok sampai rompal di dalam guha itu!
"Benar dialah itu!" tiba-tiba dia berseru dan dua orang yang sedang berhadapan itu menengok dengan heran dan kaget. Ci Sian menghampiri pengemis itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu.
"Benar dia! Inilah jembel yang menolak roti dan mencengkeram golok anak buah Lauw-piauwsu itu!"
Jembel itu tertawa dan kini dia menubruk lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak dan berseru, "Ci Sian, kau mundurlah!" Karena dia tahu betapa lihainya jembel itu dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian kalau sampal diserang oleh orang itu. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah Ci Sian. Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong, dara ini telah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar dan kini dia malah ikut maju dan menyerang, begitu tangan kanannya bergerak, seekor ular belang kuning hitam telah menyambar ke arah leher jembel itu.
"Ular! Ular....!" teriak Si Jembel dan dia mencoba untuk mencengkeram ular itu dengan tangannya. Namun ular itu dapat mengelak dan dengan pergelangan tangannya, Ci Sian membuat ular itu membalik dan menggigit ke arah lengan Si Jembel. Akan tetapi jembel itu memang lihai sekali dan dia dapat mengelak sambil meloncat ke kanan dan kini kedua tangannya menyambar-nyambar, dengan jari-jari tangan terbuka menotok dan menampar ke arah Cin Liong dan Ci Sian secara hebat sekali.
Kembali Cin Liong terkejut. Pertama dia kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian, kedua kalinya dia terkejut karena benar-benar jembel itu amat lihai. Betapapun juga, dia masih mengkhawatirkan keselamatan Ci Sian, dan dia pun merasa malu kalau harus mengeroyok seorang jembel sinting, padahal dia adalah seorang jenderal muda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu akan marah kalau mendengar bahwa dia mengeroyok seorang jembel sinting.
"Ci Sian, aku belum kalah, biarkan aku menghadapinya. Tidak perlu kita mengeroyok!" katanya.
"Ha-ha-ha, he-heh! Keroyokan juga boleh! Kautambah lagi dengan barisan mata- matamu, orang muda, heh-heh!"
Tadinya Ci Sian, tidak mau menurut perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar ucapan jembel itu, dia merasa malu sendiri. Seorang jembel cacat pikirannya, orang sinting begini mana pantas dikeroyok dua? Maka dia pun meloncat mundur dan hanya menonton dan diam-diam dia menjadi kagum. Dia harus mengakui bahwa pemuda itu hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi jembel itu pun lihai dan aneh gerakan-gerakannya. Tiba-tiba jembel itu merebahkan diri ke atas tanah dan dengan menolak tanah menggunakan kedua tangan, kakinya meluncur dengan serangan aneh ke arah tubuh lawan. Hebatnya, dari kedua kakinya itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main! Cin Liong mengelak, akan tetapi masih terhuyung, dan saat itu dipergunakan oleh lawannya untuk berjungkir balik dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka sudah menghujankan tamparan bertubi-tubi.
Melihat ini, Cin Liong yang agak terdesak mundur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking nyaring dan dia merobah ilmu silatnya, kedua lengannya kadang-kadang membentuk cakar naga dan tubuhnya menggeliat-geliat seperti seekor naga. Itulah Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti) dan begitu dia mainkan ilmu ini, Si Jembel itu berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu Jembel itu mundur, Cin Liong terus mendesak dan biarpun jembel itu masih berusaha mempertahankan diri, namun serangan-serangan Cin Liong terlampau hebat membuat dia kewalahan dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang.
"Aih, putera Ceng Ceng sungguh kurang ajar sekali, berani melawan orang tua!"
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Cin Liong berhenti bergerak dan memandang dengan mata terbelalak kepada jembel itu. Dan anehnya, jembel itu yang tadinya tertawa-tawa, kini mulai menangis! "Ceng Ceng.... Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang lihai.... kau bahagia.... sungguh membuat aku mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!" Jembel itu menangis sesenggukan seperti anak kecil. Cin Liong dan Ci Sian memandang dengan penuh keheranan dan juga mulai merasa kasihan kepada orang lihai yang sinting itu.
Akan tetapi kalau Ci Sian hanya terheran-heran, sebaliknya Cin Liong terkejut sekali mendengar ucapan dalam tangis Si Jembel itu. Wajahnya yang tampan itu berobah dan dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju dan bertanya dengan suara meragu. "Apakah Paman.... eh.... Si Jari Maut....?"
Mendengar pertanyaan ini, jembel sinting itu menghentikan tangisnya, mengangkat muka memandang Cin Liong dan seketika tangisnya terganti senyum ramah "Eh, engkau.... engkau sudah mengenalku....?"
Cin Liong merasa terharu bukan main. Kiranya jembel sinting itu adalah pendekar yang terkenal itu, saudara seayah lain ibu dengan ibunya sendiri, jadi masih terhitung pamannya sendiri! Jembel sinting ini adalah Wan Tek Hoat, saudara seayah lain Ibu dari ibunya yang bernama Wan Ceng dan menurut penuturan ibunya Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar besar yang tampan dan gagah, dan bahkan telah diambil mantu oleh Raja Bhutan, juga diangkat menjadi seorang panglima di Kerajaan Bhutan! Akan tetapi mengapa kini pendekar itu menjadi seperti ini, seorang jembel yang sinting?
"Maafkan saya, Paman Wan Tek Hoat.... karena saya tidak mengenal Paman, maka saya telah bertindak kurang ajar. Akan tetapi Paman.... ah, mengapa keadaan Paman menjadi seperti ini....?" Cin Liong berkata sambil menjura dengan sikap hormat, hal yang membuat Ci Sian menjadi bengong terheran-heran.
Orang seperti jembel yang sinting itu memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan kecewa dan duka karena asmara gagal, pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang sinting, suka tertawa dan menangis, dan hidup tidak mempedulikan apa pun, bahkan tidak peduli akan keadaan dirinya yang seperti jembel itu! Kadang-kadang, kalau dia lagi sendirian di tempat sunyi, teringatlah dia akan semua kebahagiaan yang dinikmatinya, ketika dia berada di samping kekasihnya. Puteri Syanti Dewi, teringatlah dia akan cinta kasih puteri itu kepadanya yang teramat besar, lalu teringat pula dia akan semua penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti hati Sang Puteri, maka timbullah penyesalan yang amat hebat, yang menghentak-hentak di hatinya, yang menghimpit hatinya dan mendatangkan kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan yang membuat dia beberapa kali hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri saja! Hidup ini rasanya seperti dalam neraka baginya! Bertahun-tahun dia menderita, rasa rindu yang menggerogoti kalbu, penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa khawatir bahwa kekasihnya itu mungkin kini telah melupakannya, bahkan mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan batin pendekar ini makin lama makin lemah dan tertekan.
Sepintas lalu kita akan merasa kasihan kepada pendekar ini. Namun kita lupa bahwa betapa kita sendiri pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak jauh selisihnya dengan keadaan Tek Hoat. Hidup di dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa, hanya kadang-kadang, saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti cahaya kilat diantara awan mendung yang memenuhi angkasa kehidupan. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, di seluruh dunia ini penuh dengan konflik, kebencian, dendam, permusuhan yang tak kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang manusia! Bunuh-membunuh, dendam-mendendam yang terjadi di dalam dunia kita ini, dalam jaman modern dan "maju" ini, ternyata jauh lebih hebat dan mengerikan daripada yang terjadi dalam cerita silat mana pun!
Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi Ketuhanan dan Perikemanusiaan! Ketuhanan dan Perikemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong! Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga terbuka, dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri masing-masing! Benarkah kita ini berTuhan? Benarkah kita ini berperikemanusiaan? Tak perlulah untuk menilai orang lain apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperikemanusiaan, karena penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita menjadi palsu, yang membuat kita mempergunakan pengertian ber-Tuhan dan berperikemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah kita mengamati diri kita sendiri masing-masing!
Kita semua mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan semua pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah benar-benar kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat kita sadar bahwa Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut kita! Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan menderita saja kita ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan dengan sengaja karena kita haus akan kesenangan dan Tuhan kita anggap sebagai penghalang kesenangan! Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri, karena semua jawaban teori hanya kosong melompong tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan segalanya.
Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang berperikemanusiaan! Betapa menggelikan dan juga menyedihkan! Seolah-olah perikemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka! Pernahkah kita meneliti mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini berperikemanusiaan ataukah tidak! Adakah api "kasih" bernyala dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu dan asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang, kedudukan, dan pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran kesenangan memupuk dan membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta kasih dari batin.
Dan semua itu, yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan, sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya.
Kapankah kita akan sadar bahwa hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan berperikemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih! Berperikemanusiaan berarti penuh cinta kasih! Dunia penuh konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang perikemanusiaan dan sebagainya! Sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan rontok.
Mendengar pertanyaan Cin Liong, Wan Tek Hoat sejenak bengong, lalu dia menjawab dengan heran, "Aku mengapa? Keadaanku mengapa?"
Cin Liong tidak berani menyinggung lagi keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa orang sakti seperti pamannya ini kadang-kadang memang memiliki watak yang aneh, dan siapa tahu bahwa pakaian jembel itu, sikap sinting itu, adalah sesuatu yang disengaja karena memang banyak orang-orang sakti di dunia kangouw yang bersikap aneh-aneh.
"Paman, setelah Paman mengetahui tugas saya berada di sini, mengingat beratnya tugas itu dan betapa pasukan kita terkepung dan terancam bahaya, saya mohon bantuan dan petunjuk Paman," Pemuda yang cerdik ini merobah bahan percakapan dan langsung saja dia mengeluarkan isi hatinya.
"Kao Cin Liong, begitu namamu, bukan? Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu dan engkau memang hebat sekali. Apalagi yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang pandai telah membantumu, bahkan Nona muda ini pun merupakan seorang pembantu yang hebat."
Cin Liong lalu mengajak mereka bertiga untuk duduk di bawah sebatang pohon di tempat sunyi itu dan dia lalu menceritakan apa yang telah dilakukannya sebagai siasat untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung musuh. Kiranya jenderal muda ini memang amat cerdik dan lihai sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia telah berhasil menyusup ke atas bukit di mana pasukan itu dikurung dan selama beberapa hari dia mempelajari keadaan bukit itu bersama pamannya, yaitu Panglima Kao Kok Han. Ketika dia
melihat anak sungai yang mengalir menuruni lembah, dia lalu mencari sumbernya dan begitu bertemu dengan sumber air, dia lalu memerintahkan pasukan utuk membuat bendungan besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya di tempat yang tinggi. Pasukan menggali waduk besar dan membendung air dari sumber itu. Melihat besarnya air yang keluar dari sumber, Cin Liong sudah memperhitungkan berapa lama dia harus menampung air itu untuk dapat dipakai melaksanakan siasatnya. Kemudian diam-diam dia lalu mengatur pasukan Tibet, dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah berani dan kuat, kemudian sebagian besar dari pasukan itu
diselundupkannya ke Lhagat dan sekitarnya, ada pula yang bersama dia menyamar sebagai pemburu-pemburu, sebagai pedagang-pedagang atau pencari-pencari ikan.
"Kita masih harus menunggu tiga hari lagi, Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan cukup banyak untuk dipergunakan. Sementara itu, aku harus tetap berada di Lhagat untuk memimpin pasukan gerilya kalau saatnya tiba. Akan tetapi, ternyata panglima wanita itu lihai sekali dan kalau aku tidak hati-hati, tentu dia dapat mengetahui rahasiaku."
Wan Tek Hoat mengangguk-angguk. Dalam menghadapi percakapan serius itu, "gilanya" tidak kumat dan dia dapat mempergunakan pikirannya dengan baik. "Jangan khawatir, aku mendapatkan jalan untuk membantumu agar engkau tidak dicurigai lagi." Ketika Cin Liong menanyakan "jalan" itu, Tek Hoat tidak mau menerangkan, melainkan menyuruh dua orang muda itu cepat kembali ke Lhagat.
Akan tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang Cin Liong dengan pukulan-pukulan dahsyat sambil berbisik. "Cepat lawan aku!"
Cin Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun terkejut, dia sudah dapat mengetahui siasat pamannya itu, maka dia pun cepat menangkis dan balas menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang cerdik, akan tetapi sejenak dia bengong karena tidak tahu mengapa jembel sinting yang ternyata masih paman dari jenderal muda itu, tiba-tiba malah menyerang pemuda itu. Akan tetapi ketika dia mendengar derap kaki banyak kuda, mengertilah dia dan dia pun segera membantu Cin Liong menyerang jembel sinting itu!
Terkejutlah tiga orang yang sedang bertempur ini ketika melihat bahwa pasukan yang datang itu adalah pasukan Nepal yang dipimpin sendiri oleh panglima wanita, Puteri Nandini yang ditemani oleh Siok Lam "Kalian harus roboh...." bisik Wan Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya terdengar oleh dua orang muda itu, dan dia pun cepat melakukan serangan dahsyat kepada dua orang muda itu. Cin Liong dan Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka berteriak kaget dan terlempar, terpelanting dan roboh. Melihat ini, Puteri Nandini dan Siok Lan membalapkan kuda mereka dan berloncatan sambil mencabut senjata dan menyerang Wan Tek Hoat. Akan tetapi jembel sinting ini mengelak dari sambaran pedang panglima wanita itu, kemudian dengan jari tangan terbuka dia menghantam pedang di tangan Siok Lan dari samping. Dara ini menjerit kaget karena pedangnya menjadi patah-patah
ketika bertemu dengan jari-jari tangan itu! Puteri Nandini juga terkejut dan cepat dia menerjang sambil memberi aba-aba agar pasukannya bergerak.
Wan Tek Hoat tertawa bergelak melihat pasukan maju hendak mengeroyoknya itu. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, terus melompat jauh sambil tertawa terus. Puteri Nandini mencoba untuk mengejar, namun jembel sinting itu telah lenyap di balik pohon-pohon dan dia hanya dapat memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Sementara itu, Siok Lan sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan Cin Liong.
Akan tetapi pertama-tama dara ini berlutut di dekat pemuda itu dan bertanya dengan nada suara khawatir, "Kau terluka....?"
Cin Liong bangkit dan mengeluh lirih. Pangkal lengan kirinya terluka, baju di bagian itu robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci Sian menderita luka kecil pada pundaknya, berdarah sedikit.
"Tidak berapa parah, Nona. Penjahat itu lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu menangkapnya...."
"Hemm, kurasa dia itulah mata- mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu dia itulah yang dikabarkan orang jenderal dari kota raja Ceng itu!" Ci Sian menyambung dengan bersungut-sungut.
Panglima wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, kemudian mengajak mereka bicara. Dia menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan bertanding dengan jembel yang lihai itu.
Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua melihat bayangan berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung dan pula karena percaya kepada diri sendiri bahwa mereka berdua akan mampu menangkap penjahat itu, keduanya lalu mengejar. Akan tetapi ternyata penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota sampai ke tempat ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu menanti mereka dan terjadi perkelahian yang merugikan mereka berdua.
Cin Liong menarik napas panjang mengakhiri ceritanya. "Li-ciangkun, harap suka berhati-hati. Mata-mata itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya dan kalau dia menghendaki, agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya tadi. Masih untung bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah."
"Biarpun dia lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya untuk berkelahi sampai seribu jurus!" Ci Sian berseru dan kelihatan amat penasaran.
"Akan tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang melihat mata-mata itu pada saat yang sama?" Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!
"Enci Lan, Engkau menyangka apa?" Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya yang memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari pengamatan dua pasang mata yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya. "Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari kamar dan aku memang selalu waspada untuk membantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada tamu tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu, dibayangi oleh Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang di depan, maka aku pun ikut mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata dan kini engkau hendak mencurigai kami?"
"Memang benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela kamarku. Aku mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu longak-longok seperti maling. Aku sengaja tidak menegur, melainkan diam-diam aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku mengejarnya. Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar."
"Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kaupercaya lagi, Enci Lan!"
Siok Lan memegang lengan Ci Slan. "Maaf, Adik Sian. Bukan kami tidak percaya kepadamu atau kepada Saudara Liong Cin, melainkan.... eh, kami harus hati-hati dalam keadaan seperti ini...."
"Sudahlah, kami sungguh berterima kasih kepada kalian berdua, sungguhpun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat meloloskan diri."
"Lain kali, kalau kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberitahu agar kami semua dapat serentak bergerak menangkapnya." Puteri Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap panglima ini dan puterinya, mereka berdua agaknya sudah tidak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin Liong merasa lega.
Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati Ci Sian. Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya sikap Siok Lan, kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa tidak senang! Kadang-kadang dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin? Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia amat sayang kepada Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka yang berlawanan, namun terdapat perasaan suka dan sayang antara mereka, perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok. Akan tetapi setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok
Lan jatuh cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong kepada Siok Lan itu merupakan "alasan" dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk menyembunyikan diri, tentu saja.
Tiga hari semenjak terjadinya, peristiwa itu. Pagi hari itu Siok Lan mendekati Cin Liong dan mengajak pemuda ini berjalan-jalan ke atas sebuah bukit kecil di tepi kota Lhagat. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, berjalan berdampingan dan Siok Lan yang beberapa kali menengok dan memandang wajah pemuda itu bertanya, "Liong-ko (Kakak Liong), mengapa kau kelihatan termenung saja sejak tadi?"
Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya terkejut karena teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi juga terkejut mendengar sebutan Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama kalau berada di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.
"Ah, tidak apa-apa, Nona."
Mereka berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedullkan pandangan para perajurit Nepal yang menyeringai. Mereka berdua asyik bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan rahasia lagi betapa akrabnya hubungan antara puteri panglima itu dengan pemuda "pemburu" itu.
Mereka kini tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas rumput hijau, memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung tentara Nepal, bukit di mana terdapat lembah di mana tentara Ceng sedang dikepung, sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di tempat itu! Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali, penuh ketegangan. Malam nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Dia telah menghubungi semua pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan semua perintah dan siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri perlu berada di Lhagat, selain untuk mengamati gerakan panglima musuh, juga untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah pasukannya berhasil lolos darI kepungan malam nanti. Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua telah diperhitungkannya masak-masak. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air yang dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol kepungan musuh. Dan pada saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam dari arah lain untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah dibikin rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan pasukan-pasukan Tibet, pasukannya akan menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia juga mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang telah diam-diam diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!
"Liong-koko...."
Cin Liong terkejut dan sadar dari lamunannya, dengan enggan dia menarik kembali pandang matanya yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara yang duduk di sampingnya. Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli itu menatapnya dengan sayu, sepasang mata yang nampaknya seperti setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata di balik bulu-bulu mata yang lentik itu. Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat pada kecantikan dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara berdarah peranakan Han dan Nepal dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi baiknya saja dari ayah bundanya yang berbeda bangsa itu. Kulitnya putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pada kehitaman dan kelebatan rambutnya, ramping dan semampainya bentuk tubuhnya. Dan dia memiliki sepasang mata yang lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung yang agak mancung dan dagu meruncing seperti kemanisan wajah Ibunya.
Cin Liong adalah seorang pemuda yang sejak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum pernah dia melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya dengan Siok Lan hanya merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya belaka, maka selama ini dia menganggap dara ini sebagai puteri dari panglima pasukan musuhnya, sungguhpun secara pribadi dia mengagumi dara ini, juga Ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai dan dara ini memiliki watak yang amat baik. Kini, dalam keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan memanggilnya, kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah dan penuh getaran perasaan memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar aneh. Baru sekarang selama dia hidup dia merasakan suatu getaran aneh dalam hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang dia menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu!
Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya Cin Liong dapat menguasai debaran jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih. "Ada apakah, Nona?"
Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia menjadi malu sekali, cepat dia menunduk dan mukanya menjadi lebih merah daripada muka pemuda itu. "Liong-ko, sejak tadi kulihat engkau melamun saja, seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir. Ada apakah?"
Cin Liong tersenyum. "Tidak apa-apa, Nona."
Dara itu mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti tadi, melainkan bersinar tajam penuh selidik. "Sejak kita datang ke tempat ini, engkau duduk melamun dan memandang ke arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan hatimu melihat pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan...."
"Ah, tidak....!" Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali. Apakah dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat turun tangan. Terbongkarnya rahasianya akan berbahaya sekali, dapat menggagalkan siasatnya yang akan dilaksanakan malam nanti.
Akan tetapi dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit. "Aku mengerti, Liong-ko. Engkau adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan bangsamu terkepung dan menghadapi kehancuran...."
Karena masih meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan dia memancing, "Engkau tahu bahwa aku hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang...."
"Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan khawatir oleh akibat perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu seorang panglima perang, tapi aku benci perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci perang!"
"Ehh....?" Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu dengan heran.
Siok Lan mengangguk lalu menunduk, merenung. "Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah seorang puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu silat dan perang. Biarpun begitu, dia selalu mencela perang!"
"Akan tetapi mengapa dia menjadi panglima?"
"Karena.... patah hati.... gagal dalam asmara."
"Ahhh....!"
Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata, "Dengarlah, Liong-ko, aku akan menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi harap semua ini dirahasiakan." Cin Liong hanya mengangguk-angguk dan merasa heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.
"Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari seni, sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah dengan seorang pangeran Nepal, seorang pangeran tua yang menjadi Ayah tiriku."
"Ayah tirimu....?"
"Ya, aku.... Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti engkau, Liong-ko."
"Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat keadaanmu."
"Karena Ibu lebih perkasa dan pandai daripada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi perwira tinggi dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu untuk menghibur hatinya, karena.... karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia. Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biarpun dia membenci perang, terpaksa dia melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin."
"Dan.... Ayah kaNdungmu?"
Dara itu menggeleng kepala. "Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku itu. Aku tidak tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci Ayah kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena bertanya itu. Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus." Dan sampai di sini, Siok Lan dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan berduka, bahkan ada air mata menitik turun dara kedua matanya.
Diam-diam Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih terheran-heran mendengar cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang amat menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian menarik napas panjang berulang-ulang.
"Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, di waktu perang seperti ini. Ah, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini kalau tidak ada perang di situ, kalau keadaan tenteram dan damai. Akan tetapi.... betapapun juga.... karena adanya perang inilah, maka dia dapat saling bertemu."
Cin Liong diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara itu mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Liong-ko, di mana adanya Ayah Bundamu?"
Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia menjawab, "Mereka tinggal jauh di utara, Nona."
"Liong-ko, harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!"
"Akan tetapi, Nona...."
"Apakah engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?" bertanya demikian, dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang mata yang tajam berseri. Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.
"Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali."
"Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa padamu...."
"Cukuplah itu, harap jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah menerimaku di sini dengan baik sekali, aku malah yang harus malu...." Cin Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah sebagai mata-mata padahal dara ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji dan kejamnya perang!
"Akan tetapi, peristiwa itu takkan terlupakan olehku selama hidup, Liong-ko. Dan.... kalung itu.... apakah masih kau simpan?"
Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih, ke lehernya dan gerakan ini saja membuat Siok Lan merasa girang sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda ini, maka ia melanjutkan kata-katanya. "Terima kasih kalau masih kausimpan. Liong-ko, ketahuilah aku.... aku memberi kalung itu.... dengan sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku...." Tiba-tiba dia menunduk dan mukanya menjadi merah sekali.
Cin Liong juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang dikandungnya, maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu. Sejenak mereka berdua yang duduk berhadapan itu tidak mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu tersenyum canggung! Hati Cin Liong tergetar dan tertarik. Dara ini memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biarpun bergaul dengan akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali memandang wajah dan menikmati kejelitaannya, ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul mesra. Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya dan akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut bangkit dan memandang heran.
"Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak baik bagimu kalau berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini."
Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan. "Liong-ko, mengapa tidak baik bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan melarang kalau aku berdua di sini bersamamu."
Cin Liong tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik! "Syukurlah kalau begitu, Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku adalah seorang tamu yang diterima dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri panglima...."
"Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak seorang pendeta sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat daripada aku."
Kemball Cin Liong tersenyum. Banyak segi-segi baik pada diri dara ini, pikirnya. "Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita kembali." Tanpa disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh Cin Liong ini berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia cepat memegang tangan pemuda itu dan jari-jari tangan mereka saling pegang, kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu. Dua orang muda remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya, merasa betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang timbul dari hati mereka yang berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka kadang-kadang saling pandang, saling senyum tanpa kata-kata. Namun apa artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Pandang mata dan senyum ini sudah cukup mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan masing-masing, yang belum tentu dapat dilukiskan dengan kata-kata yang betapa indah sekalipun.
Tiba-tiba Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan Siok Lan juga cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.
"Eh, Enci Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya, aku mengganggu, ya?" kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguhpun ada perasaan tidak enak di dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu mengapa.
"Ah, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap dengan.... eh, Liong-ko...." Akan tetapi dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut pemuda itu dengan sebutan koko.
Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini, Ci Sian tersenyum walaupun hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga lalu kembali ke gedung di mana Puteri Nandini sudah menunggu karena memang panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan dan memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara.
Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia melihat bahwa ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan sikap mereka menunjukkan bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.
"Ibu, ada apakah?" tanyanya.
"Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh sedang direncanakan oleh fihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari pasukan-pasukan Tibet yang telah kita kalahkan. Kita tidak percaya bahwa pasukan tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu rencana tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku tidak enak. Maka, siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga keamanan gedung ini, juga untuk memata-matai dua orang tamu kita itu."
"Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?"
Mendengar puterinya menyebut koko kepada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan sepasang mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada warna kemerahan pada kedua pipi puterinya.
"Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biarpun sampai kini tidak ada gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah teman-temanmu, maka sebaiknya engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak terlalu mencolok."
Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia cepat mengangguk dan menjawab, "Baiklah, Ibu."
Mereka lalu berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk memperketat penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi pasukan yang terkepung tidak menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan digempur dan pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah!
Malam itu tidak ada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit hitam, seperti ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa bidadari bermain mata kepada manusia di atas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan putih cemerlang, membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam.
Pada malam hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut bersilir, orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar yang berluncuran dari bawah. Sinar-sinar yang seperti kembang api meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula warna merah yang lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu disusul oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam kota Lhagat! Selagi orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya siapa yang meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas puncak bukit di mana pasukan musuh terkepung, suara ledakan keras disusul gemuruhnya air membanjir!
Itulah permulaan dari gerakan yang dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong! Mula-mula saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang terkepung, yang disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula oleh para anggauta gerilya yang telah menyelundup ke dalam kota Lhagat. Kemudian, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Cin Liong, memimpin anak buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu membanjir ke bawah dengan derasnya, dan langsung menyerbu ke arah pasukan Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!
Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau-balau diserang oleh banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi maka ada air yang tiba-tiba menyerbu mereka dari atas, menyeret perkemahan mereka, membunuh banyak orang dan menyeret orang-orang itu, menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon. Mereka masih belum menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat ketika tiba-tiba terdengar
sorak-sorai dan hujan anak panah datang lari sebelah luar kepungan yang merobohkan lebih banyak orang lagi karena mereka tidak sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari atas bukit.
Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba menyerbu turun, mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung segera memusatkan kekuatan di tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan anak panah tadi, mereka mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan dengan hati takut.
Makin banyaklah pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ke tempat itu untuk membantu kawan-kawan mereka. Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini memotong-motong pasukan itu dan terjadilah pertempuran di sana-sini membuat pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau. Mereka mencoba untuk mempertahankan diri, namun akhirnya, menjelang fajar mereka semua terpaksa harus mundur dan memasuki kota Lhagat setelah mereka kehilangan lebih dari separuh jumlah pasukan yang sebagian tewas atau roboh oleh air bah, sebagian pula oleh hujan anak panah dan yang terbesar karena pertempuran yang berat sebelah itu karena kalau fihak Nepal bertempur dengan hati panik dan ketakutan, adalah fihak tentara Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan dan tentara Tibet yang ingin mengusir musuh itu bertempur dengan penuh semangat!
Panglima wanita Nandini dengan pakaian perang ternoda banyak darah musuh yang dirobohkannya dalam pertempuran tengah malam itu, dan muka serta leher basah oleh peluh terpaksa memimpin sisa pasukan itu memasuki Lhagat. Siok Lan yang bertugas menjaga kota itu menyambut bersama para pengawalnya dan terkejut melihat keadaan ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu bahwa pasukan Ibunya kalah dan kini sisa pasukan itu mundur memasuki Lhagat. Akan tetapi, baru saja pasukan yang sudah patah semangat itu memasuki kota Lhagat, nampak kebakaran terjadi di semua penjuru kota itu! Orang-orang berteriak-teriak kebakaran dan keadaan menjadi semakin panik ketika dengan marah sekali Panglima Nandini memerintahkan para pembantunya untuk memeriksa kebakaran-kebakaran itu dan memadamkannya.
"Di mana Ci Sian? Di mana Liong Cin?" Panglima itu membentak dengan muka agak pucat kepada Siok Lan.
Siok Lan memandang ibunya, wajahnya juga menjadi pucat dan dia berkata dengan hati tegang. "Tadi mereka membantuku melakukan perondaan, bahkan aku memberi tugas kepada mereka untuk menjaga di sekitar penjara agar jangan sampai tawanan memberontak dan membobol penjara dalam keadaan seperti ini, Ibu."
Panglima itu mengangguk-angguk, akan tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia merasa ragu-ragu. Dia telah memperoleh pukulan hebat dan sama sekali tidak disangkanya bahwa musuh demikian lihai menjalankan siasatnya sehingga dia benar-benar tidak dapat menyangka sama sekali bahwa pasukan yang terkepung itu akan mampu meloloskan diri. Tentu ada pengaturnya semua siasat itu, dan pengaturnya tentulah jenderal sakti yang dikabarkan orang datang dari kota raja dan yang kabarnya amat lihai itu. Kini baru dia tahu bahwa berita itu tidak berlebih-lebihan, bahwa di fihak musuh terdapat seorang ahli siasat perang yang hebat.
"Celaka, Li-ciangkun....!" Tiba-tiba seorang penjaga dengan tubuh luka-luka parah datang berlari dan langsung roboh di depan kaki panglima itu.
Biarpun orang itu sudah terluka parah, akan tetapi melihat orang itu dalam keadaan ketakutan seperti itu, Panglima Nandini membentak, "Pengecut! Bangun dan ceritakan apa yang terjadi!" Suara panglima ini penuh kemarahan.
"Penjara.... bobol dan semua tawanan.... lolos.... kami tak dapat menahan mereka...."
"Ahh! Bagaimana terjadinya? Siapa yang berkhianat?"
"Mereka.... mereka.... seorang pemuda dan gadis.... tamu Li-ciangkun...."
"Keparat!" Panglima itu membentak marah dan sekali meloncat dia telah berada di atas kudanya lalu melarikan kudanya itu ke arah penjara, diikuti oleh Siok Lan yang wajahnya menjadi pucat sekali dan ada dua butir air mata meloncat turun ke atas pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin seorang pengkhianat? Seorang mata-mata musuh yang meloloskan para tawanan bersama Ci Sian? Dan Ci Sian....? Ah, dia hampir tidak dapat mempercayai hal ini.
Akan tetapi para tawanan memang telah lolos keluar dan terjadilah pertempuran di mana-mana antara para tawanan dan para penjaga, juga di antara para tawanan itu terdapat beberapa orang yang lihai berbangsa Tibet dan Han, dan mereka ini bukanlah tawanan yang lolos, melainkan tenaga-tenaga baru yang entah muncul darimana! Puteri Nandini dengan marah lalu mengamuk dan merobohkan empat orang tawanan yang tidak dapat menahan sambaran pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar tambur tanda bahaya dari menara dan ternyata pasukan musuh telah mulai menyerang pintu-pintu gerbang kota Lhagat! Hal ini tentu saja mengejutkan Nandini dan dia terpaksa meninggalkan tempat itu untuk pergi ke menara. Penyerbuan musuh dari luar lebih penting daripada pemberontakan para tawanan itu. Siok Lan juga mengikuti ibunya karena bagaimanapun juga, dalam keadaan yang genting dan gawat itu dia harus selalu mendekati ibunya untuk membantu ibunya.
Dan memang pasukan Ceng-tiauw yang dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet telah mulai menyerbu benteng tembok Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu dimulai pagi sekali ketika cuaca masih gelap. Tentu saja pasukan-pasukan Nepal menjadi semakin panik karena mereka baru saja mengalami kekalahan dan gempuran hebat. Dalam keadaan lelah lahir batin mereka kini terpaksa dikerahkan untuk mempertahankan kota itu dari kepungan musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga terjadi serbuan-serbuan, pembakaran-pembakaran, yang amat menggelisahkan para pasukan itu. Terutama sekali Puteri Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi tentang adanya serbuan-serbuan pada gedung-gedung pemerintah, pembakaran-pembakaran, bahkan gedung tempat tinggalnya tidak terkecuali mengalami penyerbuan dan para pengawal gedung itu tewas semua. Mendengar laporan-laporan ini, maklumlah Sang Puteri yang menjadi panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata penuh dengan mata-mata yang kini dibantu oleh para tawanan yang lolos untuk mengacaukan kota. Kalau kekacauan di sebelah dalam ini tidak segera dibasmi, tentu akan membahayakan
pertahanan kota dari serbuan musuh di luar. Oleh karena itu, sambil mengajak puterinya dia lalu turun dari menara, menyerahkan pengaturan penjagaan pintu-pintu gerbang kepada komandannya dan dia bersama puterinya lalu menuju ke tempat-tempat terjadinya penyerbuan para pengacau itu.
Akan tetapi para pengacau itu bergerak secara bergerilya. Kalau fihak penjaga terlampau kuat mereka menghilang, menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan membakar atau mengacau di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya selain untuk mengacaukan penjagaan juga untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena mereka bertugas untuk membobolkan pintu itu dari sebelah dalam.
Dirongrong seperti ini dari dalam, para penjaga Nepal menjadi semakin panik dan lelah sekali dan akhirnya, pintu gerbang sebelah selatan bobol dan dengan suara hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw bersama pasukan Tibet menyerbu masuk bagaikan air bah terlepas dari bendungan yang pecah. Keadaan dalam kota Lhagat menjadi semakin kacau dan bersama dengan terbitnya matahari, pasukan Ceng dan Tibet yang terbagi-bagi menjadi beberapa pasukan itu menyerbu dari semua pintu gerbang yang akhirnya dapat dibobolkan. Terjadilah pertempuran-pertempuran di dalam kota itu dengan hebatnya. Bala tentara Nepal kehilangan kepercayaan diri, dan para pemimpin mereka tidak dapat lagi memberi komando secara langsung karena pertempuran telah pecah di mana-mana memenuhi kota itu. Penduduk yang memang banyak bersimpati kepada Tibet, kini keluar dan membantu fihak Tibet untuk menggempur pasukan Nepal yang mereka benci! Dan di dalam pasukan mata-mata yang menyelinap di dalam kota dan tadi telah melakukan pembakaran-pembakaran terdapat banyak orang-orang pandai yang mengamuk bagaikan harimau-harimau buas, membuat pasukan Nepal menjadi makin gelisah.
Di antara pertempuran-pertempuran yang pecah di mana-mana secara kacau-balau itu, pertempuran-pertempuran jarak dekat yang amat seru, nampak Panglima Nandini dan Siok Lan mengamuk bahu membahu. Dengan pedang di tangan, ibu dan puterinya ini mengamuk, bukan lagi mempertahankan kota atau demi pasukan Nepal, melainkan untuk mempertahankan diri yang dikepung dan dikeroyok!
Sementara itu, yang membongkar penjara adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci Sian. Dara itu ikut membongkar penjara karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu yang dia tahu berada di antara mereka yang menjadi tawanan. Setelah penjara bongkar dan semua tawanan menyerbu keluar, Ci Sian seorang diri memasuki penjara dan bertanya-tanya kepada para tawanan yang lolos itu di mana adanya Lauw-piauwsu. Para tawanan itu yang menjadi gembira sekali memberi tahu bahwa Lauw-piauwsu dalam keadaan sakit payah dan mendengar ini Ci Sian segera berlari-lari menuju ke kamar tahanan orang tua itu. Akhirnya dia melihat laki-laki tua itu
rebah di atas lantai beralaskan rumput kering dalam keadaan mengenaskan sekali. Biarpun selama bertahun-tahun Ci Sian tidak bertemu dengan orang ini dan keadaan Lauw-piauwsu amat menyedihkan, namun Ci Sian segera mengenalnya dan cepat dia berlutut di atas lantai dekat tubuh yang kurus kering itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka pucat dan mata sayu, napasnya tinggal satu-satu dan tubuhnya amat panas. Kiranya kakek itu diserang demam hebat. Sungguh menyedihkan sekali keadaan Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang dulunya adalah seorang kakek yang demikian gagahnya itu!
"Paman Lauw...." Ci Sian memanggil dengan hati terharu melihat keadaan orang ini.
Lauw Sek membuka matanya yang tadinya dia pejamkan seolah-olah dalam keadaan mata terbuka sayu tadi dia tidak melihat gadis itu memasuki kamarnya setelah mematahkan rantai yang mengunci daun pintu.
Sejenak mata yang sudah kelihatan tak bersemangat itu memandang akan tetapi agaknya dia tidak ingat lagi kepada Ci Sian. "Siapa.... siapa engkau....?"
"Paman Lauw, lupakah engkau kepadaku? Aku Ci Sian...."
"Ci.... Sian....?"
"Aku Ci Sian atau.... Siauw Goat, cucu dari Kakek Kun, lupakah kau, Paman?"
"Ahhh...." Sejenak mata itu bersinar dan agaknya dia teringat. "Engkau.... ah, Nona.... aku.... aku.... amat payah...."
"Paman, tolong kauberitahukan aku menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu, siapakah adanya Ayah kandungku, Ibu kandungku, dan di mana aku dapat mencari mereka?"
"Ahhh.... aku.... aku tidak kuat lagi membawamu ke sana...."
"Aku akan mencari sendiri, Paman. Harap kaukatakan saja di mana mereka dan siapa mereka itu.
Lauw Sek terengah-engah, agaknya pertemuannya dengan gadis yang sama sekali tak disangka-sangkanya ini, gadis yang disangkanya sudah tewas, mendatangkan ketegangan yang menambah berat penyakitnya.
"Paman.... Paman.... tolonglah, kuatkan dirimu, beritahu aku...." Ci Sian memegang pundak orang itu. Mata yang sudah terpejam itu terbuka lagi.
"Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar.... Ibu.... Ibumu.... telah meninggal.... kau disia-siakan dan ditinggal.... dia sudah mempunyai isteri lain lagi.... dia.... dia di.... Kakek itu terkulai lemas dan Ci Sian cepat meletakkan telapak tangannya pada dada orang tua itu untuk menyalurkan tenaga sin-kang dan membantu peredaran darahnya. Mata itu dibuka lagi, nampaknya terkejut dan heran menyaksikan kelihaian dara itu.
"Di mana dia, Paman? Di mana Ayah?"
"Di puncak.... Merak Emas.... di Kongmaa La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin eng Bu Thai Kun.... Ayahmu.... Ayahmu...."
Kakek itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik kembali tangannya. Kakek itu telah mengakhiri hidupnya, tanpa sempat memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya tahu bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap, dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri di dalam dadanya. Teringatlah dia akan sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan seorang pendekar yang disebut Bu-taihiap! Dan juga menurut penuturan mendiang Lauw Sek, ayahnya seorang petualang besar, dan Ibunya sudah meninggal dunia pula. Bahkan dia telah ditinggalkan oleh ayahnya itu, disia-siakan! Ci Sian mengepal tinjunya. Teringat
dia akan pesan kakeknya bahwa dia harus bertemu dengan ayahnya yang bertanggung jawab kepadanya. Sekarang, ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, seorang petualang besar, agaknya gila perempuan karena buktinya, bersama isterinya, entah isteri yang mana, entah ibu kandungnya atau bukan, pernah datang menemui Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang cantik dan ayah kandungnya itu berjina dengan Tang Cun Ciu. Betapa memalukan dan rendah! Ayahnya seperti itu! Apa pula perlunya dia mencari ayahnya jauh-jauh?
Dia lalu meninggalkan jenazah itu setelah menggerakkan bibir mengucapkan terima kasih kepada mendiang Lauw-piauwsu, kemudian berlari keluar dari penjara. Di mana-mana terjadi pertempuran dan malam telah terganti pagi, cuaca sudah tidak gelap lagi matahari telah terbit disambut aliran darah dan teriakan-teriakan kematian, mayat berserak-serakan dan di antara suara beradunya senjata terdengar pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit kesakitan.
Melihat keadaan ini, tahulah Ci Sian bala tentara Ceng sudah berhasil menyerbu dan memasuki kota Lhagat, dibantu oleh pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada Cin Liong, karena dia tahu bahwa pemuda itulah yang mengatur segala-galanya. Dia lalu, teringat kepada Siok Lan dan mengkhawatirkan keselamatan sahabat baiknya itu. Maka dia lalu mencari-cari, tidak mempedulikan pertempuran yang terjadi di sekelilingnya.
Akhirnya dia dapat menemukan ibu dan anak itu yang sedang mengamuk, dikeroyok oleh kurang lebah dua puluh orang tentara dan perwira yang rata-rata memiliki kepandaian silat tangguh. Puteri Nandini yang masih berpakaian perang itu telah kelihatan lelah sekali, bahkan pundaknya telah luka berdarah, sedangkan Siok Lan sudah terpincang-pincang karena kaki kirinya terluka, namun dua orang wanita itu dengan gagahnya, agaknya mengambil keputusan tidak akan sudi menyerah selama masih mampu melawan dan akan melawan sampai titik darah terakhir. Melihat ini, hati Ci Sian menjadi tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan yang amat baik kepadanya, dan tahu akan kegagahan dara itu, maka melihat sahabat itu dikeroyok, mana mungkin dia mendiamkannya saja?
"Lan-cici, jangan khawatir, aku membantumu!" bentaknya dan dia pun meloncat ke dalam kalangan pertempuran dan begitu dia maju menubruk, dia telah berhasil menampar dari samping yang mengenai leher seorang pengeroyok. Orang itu berteriak kaget dan jatuh terpelanting tak dapat bangkit kembali, pedangnya telah pindah ke tangan Ci Sian!
"Sian-moi....!" Siok Lan berteriak girang bukan main, bukan girang karena dibantu semata, melainkan girang dan lega melihat bahwa gadis yang oleh ibunya disangka memberontak dan membantu musuh, berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan kini dibuktikannya dengan membantu dia dan Ibunya! Juga Puteri Nandini terkejut, akan tetapi diam-diam girang juga bahwa ternyata dara yang menjadi sahabat puterinya itu bukanlah pengkhianat, melainkan seorang sahabat sejati. Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan merobohkan seorang pengeroyok pula.
Akan tetapi kini kepungan makin ketat dengan datangnya pasukan baru dan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang! Tentu saja tiga orang wanita itu, betapapun lihai mereka, mulai terdesak dan kepungan semakin sempit sehingga gerakan-gerakan mereka semakin tidak leluasa.
"Adik Sian, cepat panggil ular-ularmu!" Siok Lan berseru, melihat keadaan mereka terancam.
"Ah, mana mungkin, Enci Lan? Kota penuh orang yang bertempur, ular-ular itu tidak berani muncul!" jawab Ci Sian sambil memutar pedang rampasannya tadi, kini tidak lagi dapat menyerang lawan, melainkan hanya membela diri dan menangkis semua sanjata para pengeroyok yang datang menyambar bagaikan hujan demikian pula Siok Lan dan ibunya hanya mampu menangkis. Mereka bertiga kini saling membelakangi, membentuk segi tiga dan menahan serbuan senjata-senjata para pengeroyok dari luar. Namun keadaan mereka sungguh sudah amat terdesak dan mudah dibayangkan bahwa tak lama lagi akhirnya mereka tentu akan roboh juga.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan halus, namun nyaring dan penuh wibawa. "Tahan semua senjata! Hentikan pengeroyokan!"
Luar biasa sekali bentakan ini, karena selain dapat menembus semua suara kegaduhan, juga semua pengeroyok itu seketika berhenti, mundur dan berdiri dengan amat hormat, memberi jalan kepada seorang pemuda yang mengeluarkan perintah yang amat ditaati itu. Panglima Nandini dan Siok Lan memandang kepada orang itu dan mereka terbelalak, karena mereka mengenal pemuda yang berpakaian jenderal amat indah dan mentereng ini.
"Liong-ko....!" Siok Lan berseru kaget sekali karena jenderal muda yang gagah itu bukan lain adalah Liong Cin.
"Hemm, kiranya Liong Cin adalah jenderal sakti yang dikabarkan orang itu?" Puteri Nandini juga berkata dengan kaget dan penasaran.
Akan tetapi Cin Liong yang begitu masuk memandang kepada Ci Sian, berkata kepada dara itu dengan alis berkerut, "Ci Sian, engkau membantu mereka?"
Ditanya dengan suara penuh teguran itu, Ci Sian menegakkan kepalanya, sepasang matanya bersinar malah dan dia menjawab gagah, "Tentu saja! Aku diterima dengan baik di sini, Enci Siok Lan adalah sahabatku, melihat dia dan Ibunya terancam bahaya, tentu saja aku membantu dan membela mereka. Aku bukan seorang yang tak kenal budi!"
Mendengar jawaban ini, Cin Liong menahan senyumnya dan dia memandang kepada Siok Lan yang masih terbelalak. Ketika dara ini melihat betapa sahabatnya itu agaknya sama sekali tidak heran melihat keadaan Liong Cin yang muncul sebagai jenderal, dia lalu berkata, "Dia.... dia.... jenderal musuh....?"
"Ya, Enci Lan, jangan kaget. Dialah jenderal yang dikabarkan orang itu, jenderal muda sakti yang datang menyelundup dan kalian malah menerimanya sebagai tamu dan sahabat! Dan namanya bukanlah Liong Cin, melainkan Kao Cin Liong!" jawab Ci Sian yang tahu bahwa keadaan panglima muda itu tidak perlu lagi disembunyikan sekarang.
Mendengar bahwa nama yang dikenalnya itu hanya nama palsu, atau nama aseli yang dibalikkan saja, Siok Lan memandang kepada panglima muda itu dengan heran, akan tetapi ibunya, Puteri Nandini menjadi terkejut bukan main.
"She Kao?" Panglima wanita itu berseru. "Apa hubungannya dengan Jenderal Kao Liang?"
Cin Liong mengangguk kepada puteri peranakan Nepal yang gagah itu. "Mendiang Jennderal Kao Liang adalah Kakekku."
"Hemm.... Puteri Nandini mengangguk-angguk, tidak penasaran lagi bahwa dia telah dikalahkan oleh jenderal muda ini karena nama Jenderal Kao Liang telah sangat terkenal dan tentu saja cucunya ini pun mewarisi kepandaian yang hebat dari jenderal besar itu. "Jadi kalau tidak salah, Ciangkun adalah putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"
Kembali Cin Liong mengangguk tanpa menjawab karena dia memang tidak ingin memamerkan keadaan keluarganya.
"Setelah kami kalah, apa yang hendak kaulakukan dengan kami?" kini Puteri Nandini bertanya, dalam suaranya mengandung tantangan.
"Li-ciangkun, dan.... Nona Siok Lan, tepat seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, kami bukanlah orang-orang yang tidak mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai pembalasan budi, silakan kalian pergi dengan aman.
"Apa? Engkau berani membebaskan kami?" Puteri Nandini berteriak kaget dan juga heran. Dia adalah seorang panglima musuh yang telah kalah, dan kini dibebaskan begitu saja oleh panglima ini!
"Li-ciangkun hanya seorang petugas, bukan biang keladi peperangan ini. Silakan!"
"Mari, Anakku!" kata Nandini sambil menarik tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong, mukanya pucat dan sepasang matanya basah.
"Selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat saling bertemu kembali dan maafkan semua kesalahanku," kata Cin Liong sambil menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan menutupi mukanya.
"Ci Sian, engkau sahabat baik kami, apakah engkau tidak mau pergi bersama kami?" Puteri Nandini mengajak Ci Sian akan tetapi dara ini menggeleng kepala dengan sikap yang keras. Kembali ada rasa tidak enak di hatinya menyaksikan sikap Cin Liong dan Siok Lan.
"Tidak, Bibi, aku mau pergi sendiri, aku mempunyai urusan pribadi!" katanya dan tanpa banyak cakap lagi, bahkan tanpa menoleh kepada Cin Liong, dia lalu meloncat dan pergi dari tempat itu.
"Adik Sian....!" Terdengar panggilan Siok Lan dengan suara mengandung isak.
Ci Sian berhenti, menoleh dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sampai jumpa, Enci Lan!" Dan dia pun melanjutkan larinya tanpa mempedulikan lagi.
"Mari, Siok Lan!" Puteri Nandini menarik tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong. Akhirnya, dengan menahan isak, dia pun mengikuti ibunya lari pergi dari tempat itu, diikuti dan dikawal oleh pasukan pengawal atas perintah Cin Liong agar ibu dan anak itu tidak diganggu dan dibiarkan lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan sisa pasukan Nepal yang masih melakukan perlawanan. Sebagian besar pasukan Nepal sudah roboh atau melarikan diri.
Setelah Panglima Nandini dan puterinya pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak lama kemudian berhenti karena pasukan Nepal sudah kehilangan semangat dan keberanian. Sebagian dari mereka melarikan diri atau membuang senjata dan menaluk. Para talukan ini oleh Cin Liong diserahkan kepada para pimpinan pasukan Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian Cin Liong yang menduduki gedung bekas tempat tinggal Puteri Nandini mengumpulkan para pembantunya. Diantara mereka itu terdapat pula Wan Tek Hoat yang berjasa besar ketika membantu pasukan membobolkan kepungan karena pendekar sinting ini yang mengamuk sehingga membuat pasukan kocar-kacir.
"Paman, saya telah menerima perintah untuk melanjutkan gerakan ini ke Nepal, untuk menghajar pemerintah Nepal yang telah berani menyerang dan memasuki wilayah Tibet. Saya sedang minta bantuan pasukan dari kerajaan untuk memperkuat barisan. Harap Paman sudi membantu kami."
Akan tetapi Tek Hoat menggeleng kepala. "Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau perang, aku tidak bisa ikut."
Cin Liong hanya menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada pamannya yang gagah perkasa ini dan melihat keadaannya seperti jembel sinting ini dia merasa kasihan sekali.
"Kalau begitu sebaiknya Paman mengunjungi orang tua saya, Ibu tentu akan senang sekali bertemu dengan Paman."
Cin Liong lalu memberl bekal, kuda, pakaian dan uang secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tertawa bergelak melihat pemberian ini.
"Jenderal muda, kaukira aku masih membutuhkan semua itu? Bukan itu yang kubutuhkan, sama sekali bukan...." Dia masih tertawa ketika dia berlari pergi meninggalkan Cin Liong yang menjadi bengong. Jenderal muda ini lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Dia sudah banyak bertemu orang-orang pandai di dunia kang-ouw yang memang wataknya aneh-aneh, dan pamannya itu mempunyai watak yang lebih aneh lagi.
"Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!" Nandini membentak dengan marah. Di sepanjang perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak kecil, puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan belum pernah dia melihat Siok Lan menangis seperti sekarang ini, menangis demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis karena kekalahannya yang dideritanya.
"Di dalam perang, kalah menang adalah hal yang lumrah, seperti juga dalam pertempuran dunia persilatan. Harus kita akui bahwa fihak musuh mempunyai seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu sama sekali tidak pernah kusangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus ditangisi? Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!"
Siok Lan tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.
"Semula memang aku sudah menduga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah kesalahan koksu jahat itu yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada muka untuk kembali ke Nepal....! Ah, kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di Nepal, maka jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini."
"Bukan.... bukan itu, Ibu," kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai.
Nandini terkejut dan memandang penuh selidik. "Kalau bukan karena kekalahan itu, habis mengapa kau menangis dan begini berduka?"
"Ibu.. .. dia jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh...." dan kini Siok Lan menangis sesenggukan dan menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis.
Nandini terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk dan memandang kepala anaknya yang menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah paksa, merangkul dan membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya itu menangis di atas dadanya. Puteri itu memejamkan matanya dan terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia masih muda, masih sebaya dengan puterinya ini.
Nandini adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah bukit yang sunyi. Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu ketangkasan dan ilmu silat. Pada suatu hari, ketika Nandini sedang memburu binatang dalam sebuah hutan, dia melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal, Nandini menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat berterima kasih dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari tangan ayahnya. Sang pendeta tentu saja merasa terhormat dan menerima lamaran itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka karena dia tidak suka kepada pangeran itu. Biarpun kedudukannya tinggi, sebagai seorang pangeran yang tentu saja terhormat, mulia dan kaya raya, namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah kasar buruk dan kabarnya telah memiliki selir belasan orang banyaknya! Biar pun dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak ayahnya dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu! Dan pada suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar itu di dalam hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti sekali, dan di samping itu, pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah hati Nandini! Apalagi kalau dia membandingkan pendekar muda ini dengan calon suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya kepada pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka di dalam hutan, hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang dipejamkan itu.
Akan tetapi hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan menyerang pendekar itu, akan tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu dan ayahnya malah tewas dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh tangan Si Pendekar, melainkan tewas karena serangan jantung, karena kemarahannya yang meluap-luap.
Kemudian terjadilah hal yang amat menyakitkan hatinya. Pendekar itu lalu meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil dari pada pencurahan kasih dan nafsu berahi antara mereka selama hampir satu bulan di dalam hutan!
Namun, pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua hubungannya dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak mau menjamahnya sampai dia melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan! Melihat kebaikan pangeran itu, sungguhpun sebagian dari penyebabnya adalah karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan namanya sendiri, akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya. Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini sehingga dia dapat bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan ketika pangeran itu meninggal dunia karena penyakit, Nandini terus menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia mendapat kedudukan tinggi sebagai seorang panglima perang!
Dan akhirnya kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak berani kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah dia akan semua pengalamannya itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!
"Siok Lan, apa yang terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?" Akhirnya dia bertanya, setengah mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu terulang lagi pada puterinya!
Siok Lan memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun membalas dengan pandang mata bersih dan tenang. "Tidak ada terjadi apa-apa kalau itu yang kaumaksudkan, Ibu. Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang pemburu muda biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh...."
Nandini mengelus rambut kepala puterinya. "Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa antara engkau dan dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal musuh! Mana mungkin dia mau menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau...."
"Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!"
Hemm.... dia seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itupun hanya merupakan siasatnya belaka...."
"Ibu.. ..! Jangan begitu kejam.... ah, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku.... aku akan...."
"Kau mau apa?"
"Aku akan membunuhnya!"
Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi dia tahu bahwa biarpun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tak mungkin dia dapat menandingi pendekar itu. Dan puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu mendiang Jenderal Kao Liang?
"Kau takkan menang Anakku."
"Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku yang mati!"
"Hemm, itu tidak bija ksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain perbuatanmu menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul engkau tentu akan dianggap, musuh dan dikeroyok para anak buah pasukan...."
"Aku tidak takut!" kata Siok Lan yang nampak penasaran mengingat betapa cinta pemuda itu mungkin hanya siasat perang saja! "Lebih baik aku mati dikeroyok daripada tidak ada harapan berjodoh dengan dia!"
Siok Lan sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar ketika mereka saling pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui seri senyum, melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.
"Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku setuju sepenuhnya andaikata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu Jenderal Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan. Apalagi diingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir, itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak seorang Panglima Nepal yang telah kalah...."
"Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari pendekar yang sakti?"
"Ayahmu....?" Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat kembali. Dia memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin pasukan, pernah ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan. Surat itu seperti juga watak orangnya, penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar bahwa dia telah menjadi seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya, menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung rindu, dan membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama! Surat itu telah dirobek-robeknya dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke
Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek, teringatlah dia akan isi surat.
"Hemm, memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum pernah menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan puterinya! Mari kita pergi kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!"
Siok Lan merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada wajah yang cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun lari mengikuti ibunya.
******
Puncak Merak Emas merupakan satu di antara puncak-puncak Gunung Kongmaa La yang menjulang tinggi di atas awan-awan. Kongmaa La merupakan gunung yang nomor tiga tingginya dari deretan Pegunungan Himalaya, memiliki banyak puncak yang sedemikian tingginya sehingga hampir selalu tertutup es dan salju. Akan tetapi, puncak Merak Emas hanya pada musim salju saja tertutup es dan pada musim-musim lain, terutama di musim semi dan musim panas, puncak Merak Emas amat indahnya dan subur dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar. Mungkin karena banyaknya terdapat merak dengan bermacam-macam warna, maka puncak itu
dinamakan puncak Merak Emas, sungguhpun jarang sekali ada manusia yang dapat bertemu dengan seekor merak yang bulunya keemasan.
Karena tanahnya yang subur dan keadaannya yang lebih enak ditinggali, tidak seperti puncak-puncak lainnya di Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan lereng gunung ini terdapat kelompok-kelompok dusun yang penghuninya bekerja sebagai petani atau pemburu binatang hutan. Akan tetapi di puncaknya sendiri hanya terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana namun kokoh kuat dan setiap hari orang dapat mendengar suara seorang pria membaca sajak dengan suara yang lantang dan merdu dari dalam pondok itu. Di belakang pondok itu terdapat kebun yang cukup luas, penuh dengan tanaman sayur-sayuran seperti kobis, sawi, wortel,
lobak dan sebagainya lagi, di samping beberapa petak sawah yang ditanami padi gandum.
Semua penghuni dusun di sekitar puncak itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh seorang pria yang hidup menyendiri di situ, di tempat sunyi itu. Seorang pria yang berpakaian seperti petani biasa, usianya sudah empat puluh tahun lebih namun masih nampak gagah dan muda, tampan dan periang. Tubuhnya kokoh kuat biarpun gerak-geriknya halus seperti seorang sastrawan, wajahnya yang gagah dan tampan itu selalu berseri kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan jenggot serta kumisnya terpelihara rapi selalu. Biarpun pakaiannya sederhana, pakaian petani namun selalu nampak bersih dan rapi, sungguh amat berbeda dengan para petani yang biasanya selalu berlepotan lumpur.
Melihat betapa dia hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, nampaknya amat berbahagia, orang akan menganggap dia seorang petani biasa yang berbahagia, tidak butuh apa-apa lagi, hidup sehat dan penuh damai. Akan tetapi kalau malam tiba, dan orang melihat dia duduk di senjakala menikmati matahari tenggelam sambil melamun, kadang-kadang minum arak sendirian dan membaca sajak-sajak yang indah dengan suara lantang, maka, melihat wajahnya yang menjadi berduka, mendengar bunyi rangkaian sajak yang bernada sedih, maka orang akan tahu bahwa sebenarnya ada kedukaan besar tersembunyi di balik kehidupan yang nampak bahagia itu. Dan kalau sudah begitu, maka akan jelaslah bahwa dia bukanlah seorang petani biasa, baik dilihat dari caranya membaca sajak, dan gerak-geriknya. Bahkan, di waktu keadaan sunyi sekali dan dia merasa yakin tidak ada mata lain memandang, tubuhnya akan berkelebatan seperti kilat ketika dia berlatih ilmu silat yang amat hebat sehingga gerakan tangan kakinya membuat daun-daun pohon rontok dan tanah di sekeliling tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada gempa bumi!
Akan tetapi ada kalanya, agaknya untuk melarikan diri dari kesepian, orang itu nampak bercakap-cakap dengan orang-orang dusun yang tinggal di lereng. Dia sengaja turun dari puncak membawa arak buatannya sendiri, mendatangi para penghuni dusun yang diajaknya minum arak sambil bercakap-cakap, tentang tanaman atau tentang alam atau juga tentang filsafat kehidupan sederhana menurut pandangan para penghuni dusun. Ada kalanya pula dia nampak berada di sebuah kuil yang juga berada menyendiri di sebuah lembah di lereng gunung, sebuah kuil yang dihuni oleh seorang nikouw. Keadaan nikouw ini puri aneh, sama anehnya dengan petani yang suka bersajak itu, karena nikouw ini tinggal seorang diri dalam kesunyian pula. Nikouw ini masih muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, berwajah bersih dan cantik, namun jarang dia memperlihatkan wajahnya yang selalu
disembunyikan di balik kerudung putih. Nikouw ini amat ramah dan manis budi terhadap para penghuni dusun, seringkali berkeliling untuk memberi petunjuk dan pengobatan, dan seringkali menerima orang-orang bersembahyang memohon berkah dari para dewa. Biarpun tidak pernah bertanya dan tidak pernah melihat buktinya, namun semua penduduk dusun dapat merasakan bahwa baik
si petani di puncak, maupun nikouw di kuil sunyi itu tentulah bukan orang-orang sembarangan. Nikouw itu mendiami kuil lama yang dibersihkannya dan diperbaikinya sendiri, juga hidup dari bertanam sayur di belakang kuil. Tak seorang pun dapat mengatakan kapan dua orang ini muncul di tempat itu, akan tetapi seingat para kaum tua di dusun-dusun, kemunculan mereka juga dalam waktu yang sama.
Ada kalanya pula petani itu duduk seorang diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja menikmati matahari, timbul atau matahari tenggelam, sambil meniup suling bambunya. Dia pandai bermain suling, suara tiupan sulingnya mengalun halus dan lembut sekali, mendatangkan hikmat ke mana pun suara itu dapat terdengar. Melihat para petani itu membaca sajak dan meniup suling, dapat diduga bahwa dia tentu seorang ahli sastra, di samping ahli silat.
Pada senja hari itu, kembali dia meniup sulingnya sambil duduk menghadap ke barat, menikmati keindahan angkasa yang seperti terbakar oleh warna merah, kuning dan biru dari sinar matahari senja. Ketika suara sulingnya melambat dan melirih kemudian hilang ditelan keheningan, petani itu tersenyum dan biarpun dia menunduk, namun matanya mengerling ke kanan dan dia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah puncak. Dia bersikap tidak peduli, bahkan lalu bangkit berdiri dan melangkah lambat-lambat memasuki pintu pondoknya.
Bayangan yang berkelebatan cepat itu adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui telah meninggalkan Lhagat, kemudian dia melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat tinggal ayahnya seperti yang diketahuinya dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore tadi, atau lewat tengah hari, dia tiba di kuil sunyi dan melihat seorang nikouw muda dan cantik sedang mencangkul di kebun sayur belakang kuil.
Sejenak Ci Sian merasa terheran melihat seorang nikouw yang muda dan cantik sendirian saja di kuil tua yang sunyi, apalagi melihat nikouw itu melakukan pekerjaan berat mencangkul kebun. Akan tetapi nikouw itu tiba-tiba berhenti mencangkul, menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian terdengar suaranya bertanya, suaranya mengandung teguran halus namun tajam.
"Siapakah engkau dan mengapa melihat orang yang sedang bekerja?"
Ci Sian adalah seorang dara yang berwatak keras dan melihat sikap nikouw itu, terutama mendengar nada suara pertanyaannya, dia sudah merasa tidak senang. Akan tetapi karena dia datang untuk bertanya, maka dia masih bersabar dan dia cepat menghampiri.
"Nikouw yang baik, saya ingin bertanya apakah di tempat ini ada seorang pertapa she Bu?"
Sungguh mengherankan sekali, mendengar pertanyaannya itu, jelas nampak betapa nikouw itu menjadi marah. Mukanya yang putih halus, itu menjadi kemerahan, sepasang mata yang bening itu kini berapi-api.
"Mau apa engkau mencari orang she Bu?"
"Eh, apa hubungannya hal itu denganmu?" Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai marah. "Beri tahu saja di mana aku dapat bertemu dengan pertapa she Bu itu!"
Sepasang mata yang bening dari nikouw itu makin tajam dan penuh selidik. "Hemm, engkau ini perempuan masih begini muda juga sudah tergila-gila kepadanya?"
Mendengar ini, Ci Sian terkejut dan marah bukan main. Mukanya berubah merah seketika dan dia membentak. "Engkau nikouw yang seharusnya hidup suci dan bersih, kiranya mulutmu begini kotor! Hayo beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!"
"Huh, kau tidak mau memberi tahu keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi tahu. Kaucari sendiri saja!" Setelah berkata demikian, nikouw itu mengambil kembali cangkulnya dan mulai lagi mencangkul, mengayun cangkulnya kuat-kuat dan mencangkul tanah tanpa mempedulikan lagi kepada Ci Sian.
Ci Sian sudah mengepal tinju untuk memberi hajaran kepada nikouw yang dianggapnya tidak sopan dan menuduhnya yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia terbelalak melihat betapa batu-batu yang terkena hantaman cangkul itu terbelah seperti tanah lempung saja! Maklumlah dia bahwa nikouw ini adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun tidak berani bertindak lancang dan ceroboh. Dia hendak mencari ayahnya, dan tempat ini merupakan tempat sunyi di mana dia tahu banyak terdapat pertapa-pertapa yang sakti, maka tidak baik kalau dia mencari keributan dengan sembarang orang. Maka setelah memandang sekali lagi, dia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan kebun dan nikouw yang aneh itu.
Setelah meninggalkan nikouw itu, Ci Sian melanjutkan penyelidikannya dan setelah dia bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya dia mendengar tentang seorang petani aneh yang berada di puncak Merak Emas, tinggal seorang diri dalam pondok dan biar tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula yang mengenal seorang pertapa she Bu, namun hatinya tertarik untuk menyelidiki petani itu.
Dan pada senja hari itu dia mendaki ke arah puncak. Dari jauh dia telah mendengar suara suling yang amat merdu itu dan diam-diam dia sudah merasa semakin tertarik dan terheran karena bagaimana mungkin seorang petani dapat memainkan lagu-lagu klasik itu? Dia mengenal beberapa buah lagu kuno yang tentu hanya dikenal oleh pemain-pemain musik yang pandai, bukan oleh seorang petani biasa saja. Maka dia pun mempercepat gerakannya mendaki puncak dan setelah melihat pondok itu, dia mempergunakan suara suling untuk menyembunyikan bunyi gerakannya dan cepat dia meloncat naik ke atas wuwungan rumah, lalu bersembunyi di balik wuwungan sambil menanti datangnya malam untuk mengintai ke dalam.
Petani itu kini duduk di dalam pondok, minum arak seorang diri dan setelah ruangan dalam pondok itu gelap, dia menyalakan lampu minyak sehingga ruangan itu nampak remang-remang namun cukup terang bagi Ci Sian yang mengintai dari atas genteng. Dia melihat dengan jelas kini wajah seorang laki-lakl yang tampan dan gagah, wajah yang terpelihara baik-baik dan tidak pantas dengan pakaiannya yang amat sederhana itu. Perabot rumah itupun amat sederhana pula, dan pondok itupun hanya memiliki sebuah
ruangan saja, di mana terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah bangku, semua terbuat daripada kayu sederhana, dan di sudut ruangan itu terdapat sebuah dipan dari kayu yang besar. Pria itu duduk di sebuah di antara bangku-bangku itu, menghadap ke arah pintu. Dua buah daun jendela berada di kanan kirinya, sudah tertutup dan kini pria itu agaknya sudah merasa cukup minum arak. Dia meletakkan cawan araknya di atas meja, mengusap bibir dengan saputangan dan jari-jari tangannya membereskan jenggot dan kumisnya yang terpelihara baik-baik itu dan dia lalu mengambil suling yang menggeletak di atas meja.
Tak lama kemudian, terdengarlah lagi alunan suara suling yang amat merdu, terutama sekali terdengar dengan amat jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas genteng. Dia tidak berani turun memperlihatkan diri karena dia masih belum yakin apakah benar orang ini yang dicarinya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau membayangkan bahwa ada kemungkinan, inilah orangnya, inilah ayah kandungnya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuktikan bahwa dugaannya tidak keliru. Bagaimana dia bisa yakin bahwa orang ini benar-benar ayahnya?
Selagi dia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya yang tajam dapat menangkap berkelebatnya bayangan dua orang di dekat pondok itu. Dia terkejut dan terheran, hatinya merasa semakin tegang karena dia menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu, atau kalau sampai orang di bawah itu menerima tamu dan bercakap-cakap, mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban keraguannya apakah benar orang ini ayah kandungnya ataukah bukan.
Ketika Ci Sian melihat betapa dua bayangan yang berkelebat dengan gerakan ringan dan cepat itu kini mendekati pondok dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam melalui jendela di sebelah utara, hatinya semakin tegang dan dia memperhatikan. Bukan main kaget dan herannya ketika dia merasa mengenal bentuk tubuh dua orang itu. Dua orang wanita! Dan Ci Sian hampir berani memastikan bahwa mereka itu adaaah Siok Lan dan ibunya! Semakin yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang sekarang memberi tanda dengan menaruh jari di depan bibir kepada wanita kedua, tanda bahwa mereka tidak boleh membuat suara gaduh. Karena merasa amat tertarik, Ci Sian lalu mengintai lagi ke dalam dan melihat betapa pria itu masih saja enak-enak meniup sulingnya, kini dengan suara semakin merdu dan romantis, juga mengandung suara-suara keluhan duka.
Memang tidak keliru dugaan Ci Sian. Dua sosok bayangan wanita itu adalah Puteri Nandini dan anaknya, Siok Lan. Seperti kita ketahui, ibu dan anak ini telah meninggalkan Lhagat dan Puteri Nandini tidak mau kembali ke Nepal setelah kekalahan pasukannya, melainkan mengajak anaknya untuk pergi mencari ayah kandung Siok Lan untuk diajak berunding tentang niat Siok Lan berjodoh dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu terdapat seorang petani setengah tua hidup menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi dan mengajak puterinya untuk melakukan penyelidikan.
"Hati-hati, jangan kau sembarangan ikut campur kalau terjadi keributan di rumah itu. Urusan antara aku dan siapa pun di sana, jangan kau mencampurinya."
Siok Lan mengangguk, sungguhpun dia merasa heran dan tidak mengerti. Betapa pun juga, hatinya tegang sekali membayangkan betapa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selamanya tidak pernah dilihatnya itu.
Dengan jantung berdebar dan tangan terkepal membentuk tinju, perasaahnya tidak karuan, Puteri Nandini mendekati jendela dengan puterinya. Mendengar tiupan suling yang merdu sekali itu, hatinya tergetar dan dia memejamkan kedua matanya, wajahnya menjadi merah dan terbayanglah semua pengalamannya di masa lampau, pengalamanan penuh kemesraan. Dia lalu mengintai melalui jendela itu dan begitu dia melihat petani itu yang duduk meniup suling dengan wajah mengandung duka, diam-diam dia mengeluh dan tubuhnya gemetar, penuh kerinduan yang selama belasan tahun ditahan-tahannya akan tetapi di samping keindahan itu juga
terdapat perasaan duka dan penyesalan yang amat pahit. Setelah memejamkan mata sejenak, wanita ini mengintai lagi dan pada saat itu, tiupan suling yang mengalun itu berbunyi panjang dan semakin bernada penuh duka, makin lama makin lambat dan lirih sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Pria itu mengeluh, lalu melepaskan suling itu ke atas meja, lalu memejamkan mata, menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan terdengar keluhannya panjang pendek. Tidak dapat ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya, akan tetapi bekas panglima wanita Nepal itu dengan sangat jelas dapat menangkap namanya disebut-sebut. dalam keluhan itu, keluhan yang menyatakan rindu terhadap Nandini!
"Nandini.... kekasihku.... mengapa kau tidak kasihan kepadaku.... aku rindu padamu, kenapa kau tidak mau menemaniku di sini....?" Demikianlah kata-kata di antara keluhan yang dapat tertangkap oleh telinga Nandini. Tentu saja wanita ini menjadi terharu sekali dan tubuhnya terasa panas dingin mendengar suara yang amat dikenalnya dan yang pernah amat dicintanya itu! Suara yang dahulu selalu merayunya dengan kata-kata indah, dan betapapun besar perasaan marah, sakit hati dan penyesalannya mengingat betapa dia ditinggalkan begitu saja oleh pria ini, akan tetapi begitu melihat wajahnya, melihat bentuk tubuhnya,
mendengar suara tiupan sulingnya, mendengar suara keluhannya, semua kekerasan hatinya mencair dan kini dia mengintai dengan dua mata basah air mata!
Terbayanglah semua pengalamannya yang mesra bersama pria ini! Suasana romantis penuh kemesraan ketika dia dan pria ini memadu kasih, belasan tahun yang lalu di waktu mereka berdua masih sama-sama muda. Teringat dia betapa ilmu silatnya menjadi selihai sekarang karena dia menerima petunjuk oleh pria ini. Berlatih silat, bermain cinta, di antara pohon-pohon dan bunga-bunga di tempat terbuka. Betapa hidup penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan di waktu itu. Teringat akan semua ini, Nandini ingin sekali membobol daun jendela itu, ingin sekali menghampiri, mendekati, menghibur pria itu. Cintanya yang dahulu timbul kembali karena memang tidak pernah padam sama sekali. Bahkan, penyerahan dirinya sebagai isteri pangeran tua itu menambah rindu dan cintanya kepada pria ini. Akan tetapi dia teringat akan Siok Lan yang berada di situ, maka ditahan-tahannya perasaannya, hanya hatinya yang merintih menyebut nama pria yang pernah menjadi kekasihnya ini.
"Nandini.... ah, Nandini, tidak terasakah hatimu betapa aku menderita rindu. "Omitohud....! Dasar mata keranjang, hidung belang, jahanam ceriwis keparat!" dari luar jendela yang berlawanan, yaitu di sebelah selatan, terdengar suara nyaring yang menyumpah ini.
Mendengar ini, pria itu menoleh ke arah jendela sebelah selatan, tanpa bangkit berdiri, melainkan tersenyum. Dan begitu dia tersenyum, wajahnya nampak semakin menarik, tampan dan kelihatan jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Memang pria ini amat tampan, di waktu mudanya dahulu sudah tentu amat tampan dan banyak menjatuhkan hati kaum wanita, sedangkan sekarang pun masih nampak tampan menarik.
"Aihh, Bi-moi yang manis, mengapa engkau main sembunyi-sembunyi dan mengintai? Kalau memang kau merasa rindu padaku dan ingin bicara dan bercanda, masuklah, sayang!" Sungguh ucapan ini mengandung rayuan maut bagi seorang setengah tua seperti dia dan terdengar amat menggairahkan dan juga amat menarik hati.
"Omitohud, dasar gila wanita!" terdengar suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba jendela itu jebol didorong dari luar dan melayanglah sesosok tubuh ke dalam kamar itu. Melihat siapa yang masuk ini, Ci Sian terkejut sekali. Tadi dia sudah bengong terlongong ketika dia mengenal bahwa dua orang wanita itu adalah Siok Lan dan ibunya. Selagi dia kebingungan dan terheran-heran belum tahu benar siapa pria itu dan mengapa Siok Lan dan Ibunya berada di situ mengintai seperti dia, maka ketika mendengar suara wanita dari luar jendela selatan itu dia pun amat kaget. Karena dia sejak tadi mengintai, maka dia tidak melihat munculnya wanita ini di belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia mendengar suaranya. Kini, melihat siapa yang muncul di dalam kamar dengan gerakan yang demiklan ringan dan cekatan, Ci Sian hampir berseru kaget. Wanita yang masuk ini bukan lain adalah nikouw muda cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin bingung dan heranlah dia, akan tetapi dengan penuh perhatian dia terus mengintai dari atas genteng. Nikouw muda itu kini berhadapan dengan pria itu, wajahnya yang putih halus itu merah sekali, tanda bahwa dia sudah amat marah dan suaranya nyaring ketika dia berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku runcing terpelihara itu ke arah hidung pria itu.
"Dasar kerbau hidung belang kau! Katanya hendak bertapa di sini menjauhkan diri dari semua wanita, siapa tahu diam-diam engkau merindukan wanita lain! Keparat, sungguh tak tahu malu engkau!"
"Eh.... ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau sendiri yang mengambil keputusan untuk menjadi nikouw sehingga aku terpaksa kekeringan dan kesepian di sini, membuat aku teringat kepada bekas-bekas kekasih lama yang kurindukan. Mengapa kau marah? Marilah, sayang, mari kau mendekat, aihh, tak tahukah engkau betapa selama ini aku amat rindu kepadamu, dan betapa setelah engkau berpakaian nikouw dan kepalamu gundul engkau menjadi semakin cantik saja?"
"Phuhh, siapa sudi rayuanmu? Dan kepalaku sudah tidak gundul lagi!" Berkata demikian, nikouw itu membuka penutup kepalanya dan memang benar, kepala gundul itu sudah ditumbuhi rambut, walaupun baru setengah jari panjangnya.
"Aduh engkau semakin manis. Ke sinilah, mari minum arak bersamaku, Cui Bi kekasihku yang denok!"
"Brakkkkk!" Tiba-tiba daun jendela sebelah utara pecah berantakan disusul melayangnya tubuh Nandini! Wanita ini sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat betapa pria itu merayu nikouw itu sedemikian rupa. Hatinya penuh dengan cemburu yang membuat dadanya hampir meledak sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi lalu menghantam jendela itu dan meloncat masuk.
"Nandini....!" Pria itu berseru, nampaknya kaget akan tetapi mulutnya tersenyum penuh daya pikat. "Engkau baru datang, bidadariku dari Nepal?"
"Laki-laki kejam, mata keranjang dan rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah engkau meninggalkan aku?" bentak Nandini sambil menudingkan telunjuknya.
"Bu Seng Kin! Jadi engkau telah mempunyai gendak orang Nepal ini?" bentak nikouw itu dan dua orang wanita itu sejenak saling pandang penuh kebencian dan cemburu, akan tetapi kemarahan mereka itu kini tertumpah kepada pria yang disebut Bu Seng Kin itu dan mereka berdua kini menubruk maju dan menyerang pria dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan maut yang amat cepat dan ganas!
"Wah, beginikah kalian memperlihatkan rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa kalian menyerangku dengan ilmu-ilmu pukulan yang kuajarkan sendiri kepada kalian? Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir saja, Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!"
Biarpun diserang dengan ganas oleh dua orang wanita itu, namun dengan amat mudahnya pria itu menggerakkan langkah-langkah kaki sedemikian rupa sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka!
"Wah, mana bisa kita bicara baik-baik kalau kalian marah-marah begini? Sabarlah, tenanglah....!" pria itu membujuk, akan tetapi bagaikan dua ekor singa betina yang marah-marah, dua orang wanita itu terus menyerang semakin hebat. Akhirnya, entah bagaimana Siok Lan yang mengintai dari jendela dan Ci Sian, yang mengintai dari genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba saja dua orang wanita yang marah-marah itu telah kena dirangkul pinggang mereka di kanan kiri dan pria itu sambil tersenyum-senyum menarik mereka dan mengajak mereka duduk di atas bangku, di kanan kirinya! Akan tetapi Ci Sian segera dapat menduga bahwa tentu pria yang amat lihai itu telah berhasil menotok jalan darah dua orang wanita itu sehingga menjadi lemas dan tidak dapat
melawan lagi. Dugaannya memang benar karena biarpun mereka tidak melawan ketika dirangkul dan didudukkan ke atas bangku, keduanya memaki-maki kalang-kabut!
"Bu-taihiap, kalau engkau sampai mengganggu dan menghinaku, aku bersumpah akan memusuhimu sampai titik darah terakhir!" Nandini berkata akan tetapi tidak mampu melepaskan dirinya yang dipaksa duduk di samping pria itu dan pinggangnya yang masih ramping itu dirangkul!
"Bu Seng Kin, aku bersumpah akan membunuh diri kalau engkau berani mengganggu diriku!" nikouw itu juga berkata tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga dirangkul pinggangnya.
"Ha-ha-ha, manisku, sayangku, kalian adalah isteri-isteriku, kalian adalah jantung hatiku, aku sayang dan cinta kepada kalian, mana mungkin aku akan mengganggu dan menghina kalian? Akan tetapi kalian juga jangan mengecewakan hatiku lagi, dan suka temani aku makan." Sambil tersenyum girang, petani yang bernama Bu Seng Kin itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengeluarkan makanan dari sudut belakang ruangan yang merupakan dapur. Tidak banyak macamnya makanan itu, hanya beberapa macam sayur sederhana, nasi dan daging kering. Akan tetapi dengan lagak sedang pesta besar, Bu Seng Kin lalu mengatur semua itu di atas meja. Dua orang wanita itu hanya memandang saja, kadang-kadang saling lirik dan saling menyelidiki keadaan masing-masing.
"Ha-ha, mari kita makan, manis. Nandini sayangku, kau makanlah, sawi putih ini dahulu menjadi kesukaanmu, bukan?" Dan dia lalu mengambil sepotong sayur dari mangkok dengan sumpitnya dan membawa makanan itu ke mulut Nandini. Karena maklum bahwa dia tidak berdaya, juga karena terharu akan sikap yang manis dan menyayang dari pria itu, Nandini tidak dapat menolak, membuka mulut dan makan sayur itu.
"Dan kesukaanmu dahulu adalah daging dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?" Dia mengambil sepotong kecil daging dengan sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut Cui Bi yang kecil mungil itu.
"Gila! Kau tahu sebagai nikouw aku tidak makan daging!" Cui Bi berkata.
"Ah, engkau menjadi nikouw karena terpaksa dalam kemarahanmu, bukan sewajarnya. Sekarang setelah berkumpul kembali dengan aku, tidak perlu kau berpantang daging lagi. Hayolah, jangan pura-pura, manisku." Dan nikouw itu terpaksa menerima pula daging itu dan memakannya.
Demikianlah, dengan sikap gembira sekali Bu Seng Kin lalu makan minum, menyuapkan makanan secara bergantian kepada dua orang wanita di kedua sisinya itu, juga memberi mereka minum arak. Karena pandainya dia bicara dan merayu, dua orang wanita itu agaknya perlahan-lahan lenyap kemarahan mereka, bahkan mereka kadang-kadang sudah mau tersenyum oleh cerita lucu, walaupun senyum yang ditahan-tahan.
"Hayo ceritakan pengalamanmu semenjak berpisah dariku, Bu-taihiap, ceritakan semua tanpa ada yang kausembunyikan tentang wanita-wanita yang kauambil sebagai penggantiku, baru aku mau melanjutkan makan minum bersamamu." tiba-tiba Nandini berkata sambil melirik ke arah nikouw yang berada di samping kiri pendekar itu.
"Benar! Aku pun harus mendengar semua petualanganmu sebelum bertemu dengan aku yang agaknya merupakan seorang di antara banyak wanita yang kaurayu dan menjadi jatuh!" kata pula nikouw itu. "Kalau tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu lagi.
Bu Seng Kin tersenyum lebar dan berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci Sian karena dara ini merasa seolah-olah pendekar itu memandang kepadanya yang sedang mengintai. Akan tetapi pendekar itu menunduk kembali dan dia pun mencurahkan perhatiannya. Biarpun dia merasa muak menyaksikan adegan roman-romanan itu, akan tetapi dia pun ingin mendengar cerita orang yang diduganya adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah kandungnya. Hatinya sudah seperti disayat-sayat karena kecewa melihat tingkah pria di bawah itu yang jelas merupakan seorang pria tukang merayu wanita, sedang pria yang hidung belang yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.
"Ha-ha-ha, baiklah, baiklah, akan kuceritakan. Aihh, biarpun sudah lewat belasan tahun, hampir dua puluh tahun, engkau masih nampak cantik jelita saja, Nandini, betapa masih kuingat benar ketika aku terpaksa meninggalkanmu, kasihku."
"Bohong! Dan jangan sebut aku kekasihmu, kalau engkau benar cinta padaku tidak mungkin engkau meninggalkan aku!" kata Nandini dengan marah karena hatinya masih panas kalau teringat betapa dalam keadaan mengandung dia telah ditinggal pergi oleh kekasihnya ini.
"Aihh, jangan kau berkata begitu. Aku pergi meninggalkanmu dengan hati yang berdarah, luka parah oleh kedukaan. Ah, ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat kami, biarlah kuceritakan secara singkat."
Pendekar itu lalu bercerita, didengarkan oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih mengintai.
"Biarpun terus terang saja, Nandini bukan merupakan wanita pertama yang pernah menjadi kekasihku, akan tetapi baru kuakui bahwa dialah wanita pertama yang benar-benar membuat aku tergila-gila dan dengan Nandinilah untuk pertama kali aku benar-benar menaruh cinta."
"Huh, siapa percaya?" kata, Nandini, akan tetapi sepasang matanya berseri penuh kegembiraan mendengar ini, dan nikouw di sebelah itu memandang iri!
"Sungguh mati! Akan tetapi, seperti kauketahui, Ayah Nandini marah-marah melihat hubungan antara puterinya dan aku karena Nandini telah ditunangkan kepada seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan menyerangku dan berusaha membunuhku, akan tetapi dia sudah tua dan sampai meninggal karena serangan jantungnya sendiri. Aku merasa menyesal sekali, apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau Nandini tidak berpisah dariku, maka pangeran itu akan menangkap dan membunuh seluruh keluarganya. Tentu saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi, maka aku lalu pergi meninggalkan Nandini, dengan hati hancur berdarah, hanya demi menjaga keselamatan keluargamu, Nandini."
"Hemm, benarkah itu?" Nandini bertanya, nampaknya terharu.
"Aku berani bersumpah tujuh turunan...."
"Turunanmu jangan dibawa-bawa dalam hukum akibat petualanganmu!" Nandini memotong.
"Teruskan ceritamu." kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.
"Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, di antaranya adalah puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula puteri-puteri datuk kaum sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang lebih setahun semenjak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan orang wanita secara selewat saja, aku bertemu dengan seorang pendekar wanita yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami menikah."
Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup mulutnya dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika dia mendengar nama Ibunya disebut-sebut itu! Sim Loan Ci adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengarnya dari kakeknya bahwa Ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu, sama dengan she kakaknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.
"Dialah isteriku pertama yang sah, walaupun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap isteriku sendiri, dan juga engkau, Cui Bi."
"Tak perlu merayu, lanjutkan ceritamu." desak dua orang wanita itu. "Setelah menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi, berbareng dengan kebahagiaan ini, datanglah malapetaka. Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan karena memang kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan belaka, mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan di antaranya terdapat Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang puteri mereka telah membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!"
"Huh, sudah sepatutnya engkau dibunuh!" kata Nandini.
"Dasar mata keranjang!" Nikouw itu menyambung.
"Biar kulanjutkan ceritaku." kata pendekar itu setelah menarik napas panjang. "Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan hatiku, karena dalam keadaan seperti itu, mempunyai seorang bayi dan seorang isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi ancaman musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku dan Anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu, aku agak takut-takut menghadap Ayah, karena aku pernah diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis dusun tempat kami."
"Dasar hidung belang ceriwis!" Nandini kembali mencela.
"Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah sendiri!" Gu Cui Bi menyambung.
"Wah, kalian ini terus menerus mencelaku." Bu Seng Kin terkekeh. "Ayahku tidaklah segalak kalian. Dia memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan baik. Kemudian malah Ayah menganjurkan agar meninggalkan anak kami bersama Ayah, kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar Im-kan Ngo-ok tidak mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya kami berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang sakit, dan aku harus melindunginya, maka terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejaroleh Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, bersembunyi di Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah isteriku meninggal dunia...."
Pendekar itu diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan dia menahan isaknya. Jelaslah kini bahwa pria di bawah itu, pria yang mata keranjang itu, adalah ayah kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal dunia.
"Semenjak itu, kembali aku berkeliaran...."
"Dan main perempuan....!" Nandini mencela.
"Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang kucinta. Aku pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan hidup dan aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita dan aku sudah pergi lagi...."
"Mencari yang lain! Phuihh!" Nandini mencela.
"Sampai engkau berjumpa denganku." tiba-tiba nikouw itu berkata, suaranya mengandung kebanggaan.
Pendekar itu menarik napas panjang. "Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar Nandini mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan bertualang, pada suatu malam bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan muda dan.... aku jatuh cinta."
"Pada seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?" Nandini bertanya, alisnya berkerut.
"Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena. patah hati, akan dikawinkan dengan seorang kakek kaya, dia tidak sudi dan melarikan diri setelah dipaksa menjadi isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk menjadi nikouw dan bertemu dengan aku."
"Engkau mahluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke dalam jalan sesat!" Tiba-tiba nikouw itu berkata dan suaranya mengandung isak penyesalan. Bu Seng Kin cepat merangkul pundaknya.
"Aih, Cui Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian engkau melarikan diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan."
"Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu yang pernah membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga akhirnya Bibiku mati karena nelangsa. Kiranya engkaulah petualang yang telah menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan ampun atas dosanya. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk menebus dosa!"
Bu Seng Kin tersenyum lebar. "Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa bertahun-tahun aku menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama rindu sekali kepada orang-orang yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita berkumpul di sini bertiga. Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama lagi ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku cinta kalian....!" Dia lalu merangkul keduanya.
"Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!" Nandini berseru.
"Orang she Bu, jangan engkau mengotori diriku; telah dua tahun aku menyucikan diri!" Nikouw itu pun berkata.
"Aku bersumpah takkan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian, tidak mungkin aku mau menyusahkan kalian." kata pendekar itu dan tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan.... mencium mulut wanita itu dengan penuh kemesraan. Nandini terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu sedan dari dadanya, setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
"Kau.... kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!"
"Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu dan menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami mencium isterinya, apakah itu mengganggu atau menghina namanya?
"Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan suamiku!"
"Mungkin menurut umum, akan tetapi bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau pertama kali menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya orang yang saling mencinta berciuman?"
"Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!" Cui Bi memaki-maki dengan marah, akan tetapi tiba-tiba dia harus menghentikan maki-makinya karena mulutnya sudah dicium pula oleh pria itu, dengan sama mesranya seperti ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tak mampu bersuara, dan hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul leher pendekar itu!
"Kau memang tak tahu malu!" Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak menampar, akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga.
Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis. "Maafkanlah aku, Nandini dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin menikmati kehidupan di dunia ini bersama kalian orang-orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku." Pendekar itu bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia merangkul mereka dan sekali ini, ketika dia mencium mereka, dua orang wanita itu hanya dapat memejamkan mata dengan muka berobah merah sekali.
Mereka lupa segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya untuk merayu dan menundukkan wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu tak pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya.
Ci Sian yang melihat tontonan ini, disamping merasa heran dan juga malu, terutama sekali dia merasa berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, maka dia menghapus air matanya dan mengambil keputusan untuk pergi saja lagi dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti itu? Seorang petualang asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang gila perempuan!
"Brukkkk....!" Tiba-tiba saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar dan muncullah seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang selain cantik juga berpakaian mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu, melainkan mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjina dengan Bu-taihiap ketika pendekar itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia sekarang! Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya!
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu berkasih-kasihan dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan seketika dia menuding ke arah muka pria itu. "Sungguh sampai sekarang engkau masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah melupakan yang lama berganti yang baru Laki-laki tak punya jantung!"
"Eh-eh.... lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu, kekasihku yang manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda...."
"Keparat, engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah, tak tahu malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu Seng Kin!"
Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya dari atas bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang mata dan sikap marah! Diam-diam Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali. Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan tenaga, akan tetapi mengapa kini tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu? Hal ini tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang wanita itu untuk membuat mereka kehilangan tenaga sementara saja, sebentar saja. Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat "mendekatinya" tanpa harus merasa malu, karena
berada dalam keadaan "tertotok". Mengetahui rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin berani melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata bahkan mengharapkan rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak menghadapi wanita itu.
Cun Ciu adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.
"Ah, jangan marah dong, sayang!" Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu betul bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.
"Dukkk!!" Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak mengerah kan seluruh tenaga itu, maupun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut karena dari pertemuan lengan itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat semenjak berpisah darinya belasan tahun yang lalu!
"Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!" dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah menyerangnya lagi kalang kabut. Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian hebat, maka terjadilah pertandingan yang amat hebat dan membingungkan Bu Seng Kin.
"Ah, mengapa kau marah- marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?"
"Tutup mulut dan jaga serangan ini!" bentak Cun Ciu yang menyerang terus. Tingkat kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar Cun Ciu sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau bersungguh-sungguh melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan terdesak hebat. Melihat ini, Nandini membentak, "Darimana datangnya perempuan liar?" Dan dia pun maju membantu kekasihnya.
"Pinni juga tidak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!" Dan Gu Cui Bi juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok. Dua orang wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai yang sudah memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan terdesak juga. Melihat ini, Bu Seng Kin khawatir kalau-kaiau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka dia lalu membentak keras, "Tahan....!"
Tang Cun Ciu yang memang sudah terdesak itu lalu melompat ke belakang dan memandang dengan mata marah.
"Mau apa kau menghentikan pertempuran?" bentaknya. Nandini dan Gu Cui Bi memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri.
"Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara baik-baik daripada menyerang dan marah-marah seperti itu?"
"Siapa tidak marah ? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi di sana dan aku rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang kudapatkan? Bukan engkau hidup bersama isterimu, melainkan dengan dua orang wanita asing.. .."
"Ah, engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan dia merupakan isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah isteriku yang terakhir."
"He mm.... begitukah....?" Tang Cun Ciu memandang ragu.
"Dan di mana isterimu yang dahulu bersamamu mengunjungi lembah?"
"Dia sudah meninggal dunia. Mari, kaududuklah, Cun Ciu dan kita bicara baik-baik. Sungguh mati, aku akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu akan hal ini."
Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan dia pun duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang wanita saingannya.
"Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!" Gu Cui Bi menegur.
"Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu, ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan dia.... eh, kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ah, aku masih cinta kepadanya.... apalagi setelah dia menyusulku ke sini, rela meninggalkan suaminya...."
"Suamiku sudah lama meninggal dunia!" kata Cun Ciu.
"Belum ada setahun semenjak engkau pergi, suamiku meninggal dan aku tinggal menjanda sampai sekarang. Kutunggu-tunggu beritamu akan tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi kabar, sungguh engkau kejam sekali!"
"Ah, siapa tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm, mungkinkah aku membiarkan engkau kesepian sendiri?" kata Bu Seng Kin sambil memegang tangan yang halus itu di atas meja. Cun Ciu cepat menarik tangannya karena dia merasa malu, melihat tangannya dipegang-pegang di depan dua orang wanita lain.
"Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau tinggallah bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir hayat...."
"Hemm, dan esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak dapat dihitung banyaknya!" Nandini menegur ketus.
"Aih, Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia masih menjadi isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia memang bekas kekasihku, kami saling mencinta...."
"Kalau ada wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?" tanya Cun Ciu.
"Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!" kata Bu Seng Kin.
"Laki-laki macam engkau ini mana bisa dipercaya?" kata Gu Cui Bi.
"Sungguh mati...."
"Begini saja," kata Cun Ciu, "aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia. Dan mengingat bahwa kalian berdua sudah datang lebih dulu, aku pun mau menerima hidup di sini bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh wanita itu! Dan kalau perlu, membunuh juga dia ini!"
"Cun Ciu benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau kalian bertiga maju bersama, mana aku bisa menang?" kata Bu Seng Kin sambil tertawa. "Nah, isteri-isteriku yang terkasih, mari kita rayakan pertemuan ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu kepadamu!" Dan tanpa malu-malu dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang memandang sambil tersenyum masam tentunya! Cun Ciu meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita
terdahulu, dia pun tidak mampu melawan rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil makan minum mereka menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing.
Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang terjadi itu, adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi karena dia sudah menerima pesan ibunya agar tidak ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan tukang merayu wanita. Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia pun tidak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela, memasuki pondok itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa di atas genteng juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang rendah. Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela adalah seorang dara yang cantik, wajah pendekar ini berseri gembira.
"Ah, seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku, Anak manis?"
"Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anak sendiri?" Nandini marah.
"Eh, anak sendiri?"
"Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama sebulan itu mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu, engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalau-kalau kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu."
"Ahhh....!" Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan. "Anakku.... anakku....!"
"Siok Lan, inilah macamnya ayah kandungmu!" kata Nandini kepada puterinya.
Biarpun hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan berlutut di depan kaki pria itu sambil menyebut, "Ayah...."
"Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi." kata Bu Seng Kin dan mendengar kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu juga. Agaknya sikap ayahnya yang mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria ini? Dia masih meragu.
"Bu-taihiap," kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang menjadi ayah kandung puterinya itu, "sesungguhnya, kedatanganku bersama anakmu Siok Lan ini adalah untuk keperluan anak kita itu."
"Tentu saja, " jawab Bu Seng Kin. "Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau duduklah, Siok Lan." kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itupun lalu duduk di atas sebuah bangku, di dekat ibunya.
"Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru saja mengalami kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah, di dalam per istiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang membuat aku bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu."
"Tentu saja aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?"
Nandini lalu dengan singkat menceritakan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki Lhagat, di situ muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam perang. "Ketika Jenderal muda itu menyamar dan menyusup ke Lhagat, dia menjadi seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi tamu kami karena dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal Muda itu dan Siok Lan,
saling jatuh cinta...."
"Bagus sekali! Anakku pantas menjadi isteri Jenderal Muda!" pendekar itu berkata sambil tertawa girang.
"Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!"
"Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah menjadi musuhmu?"
"Bukan begitu. Kekalahan itu membuat aku enggan pulang ke Nepal dan memang.... kami hendak mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu."
"Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku, bahkan andaikata dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!"
"Engkau tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!"
"Ahhh....!" Yang mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu karena mereka terkejut bukan main mendengar nama-nama yang amat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal, termangu-mangu. Kemudian dia memandang kepada puterinya dengan penuh perhatian. Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali.
"Naga Sakti Gurun Pasir.. .. bukan main....!"
"Apakah kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani memandang rendah?" Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kahabisan akal karena terkejutnya.
"Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?" '
"Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kaubayangkan betapa kaget dan bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Butaihiap, sebagai sesama pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu."
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut. "Akan tetapi aku tidak berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?"
Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka dia membuang rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab, "Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Ketika itu, aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda,.... Ayah."
"Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?"
"Aku.... aku cinta padanya.... Ayah."
"Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?"
"Kukira begitulah."
"Eh, bagaimana ini? Cinta orang tidak anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta padamu?"
"Aku yakin."
"Lalu mengapa engkau mengira-ira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?"
Dara itu menggeleng. "Habis bagaimana?"
"Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah."
"Hemm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah diterima oleh fihak sana, karena kalau tidak, hal itu dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau fihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa fihak sana akan menerima."
"Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?" tanya Nandini dengan girang.
"Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Sejak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka sekarang aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.'"
"Lalu apa yang akan kaulakukan?"
"Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu."
"Baik, Ayah, aku setuju." kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.
"Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?" tiba-tiba orang she Bu itu berseru sambil memandang ke atas.
Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.
"Ada orang! Dan kau sudah sejak tadi, mengapa dia tidak saja?" Tang Cun Ciu berteriak dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran.
Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lain juga melakukan pengejaran.
Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka semua.
Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlumba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang mengejarnya itu. Diam-diam dia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu. Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khi-kang yang tinggi dan aneh.
Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan kini mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu!
Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan berseru heran.
"Ci Sian....!" Nandini berseru.
"Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!"
Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian berkata, "Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan kalian semua. Pergi....!"
"Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!" kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular yang seakan-akan melindungl dara itu.
"Hemm, tidak semudah itu, Nona!" Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi mengintai.
"Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!" Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Akan tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!
Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi korban ular dan
mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara ini mengeluarkan seluruh Ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia berhadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.
Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.
Tang Cun Ciu memiliki watak yang amat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali. "Budak siluman ini harus dibunuh!" Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.
"Cun Ciu, jangan....!" Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
"Dukkkk!" Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main karena tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong ke belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!
"Eh, ke mana dia....?" Bu Seng Kin berseru kaget.
"Aku hanya melihat bayangan berkelebat." kata Gu Cui Bi, nikouw itu.
Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.
"Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!" seru Bu Seng Kin dengan ada suara penuh kagum dan juga khawatir. "Mudah-mudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?"
"Ayah, dia bernama Ci Sian dan...."
"Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ah, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak melihat wajahnya, Kin-koko?" Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.
"Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya."
"Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!"
"Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?" Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap. Tiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa pendekar itu agaknya hendak melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam pondok.
Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali. "Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang amat luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?"
"Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biarpun terus terang saja aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi, bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada tenaga Raja Ular itu." kata Tang Cun Ciu.
Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia menyesal bukan main. "Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ah, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?"
"Hemm, sesal kemudian tiada gunanya? Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kautanam sendiri. Omitohud....!" Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur. Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, nikouw itu, menggandeng tangan Nandini dan berkata, "Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu
sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit."
Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu, "Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri." Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
"Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi."
"Bukan aku, melainkan Cici Nandini!" teriak nikouw itu dari luar akan tetapi yang terdengar hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!
"Sialan, laki-laki mata keranjang!" Cui Bi Nikouw Itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya bersama Nandini dan puterinya. Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar
bagaimana rindu hati mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.
Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa bagaimanapun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu!
******
Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah kandungnya, bersama seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan bersama seorang wanita, yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang, Ibunya, pikirnya. Itulah Ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan dan berlari meninggalkan Ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari mengejar sambil menjerit, "Ibu.... Ibu....!" Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
"Ibu.. ..!"
Sebuah tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.
"Ibu.. .." Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas dahinya, dia merasa nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali, sekali ini tanpa mimpi. Tak jauh dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan ternyata bahwa dara itu rebah di dalam sebuah guha yang besar, bertilamkan rumput kering dan berselimut jubah panjang. Seorang pria duduk bersila di dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan mata sambil terus bersila sampai pagi.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki guha itu dari samping, Ci Sian mengeluh panjang lalu membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar merah yang menerobos masuk dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan ketika melihat bahwa dia berada di sebuah guha yang diketahuinya karena melihat langit-langit batu itu. Kemudian dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan dan ramah, yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Ahhh.... ahhh.... aku.... aku masih mimpi...." Ci Sian mengejap-ngejapkan dan menggosok-gosok kedua matanya.
"Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi." kata pria itu dengan halus.
Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu. "Engkau.... engkau Paman Kam Hong.. ..!"
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun membesar karena hawa pagi itu amat dinginnya walaupun sinar matahari telah memasuki guha. Pria itu tentu saja dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak pernah meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berobah sama sekali setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dulu, tampan pendiam, dan tenang, begitu tenangnya!
"Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok...."
"Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat ini, Ci Sian."
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya. Tidak terdengar isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah jari kedua tangannya mengalir air mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
"Kalau engkau merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian, menangislah, tidak ada yang mendengarmu di sini." kata Kam Hong yang memandang dengan penuh iba.
Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya. "Aku tidak mau menangis! Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular itu....!" Dan kembali dia menunduk dan air matanya menetes-netes.
"Karena itu, lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan, Ci Sian. Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti anak kecil saja dan sayang membuang nyawa ular-ular yang tidak bersalah apa-apa."
Mendengar suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka yang masih basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata yang masih merah basah itu memandang tajam. "Kau salahkan aku....?"
Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi akhirnya dia menangis, kini mewek dan bersuara! "Kau.... kau marah memarahiku.... hu-huuh, ahh.... Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini...."
"Hemm, masih ada aku, Ci Sian."
"Kau.... kau malah memarahiku.... hu-huuhh!"
Diam-diam Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang dikuasai perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau terlalu duka, suka bersikap seperti kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang hebat. Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu menguasai dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus rambut kepala dara itu seperti sikap seorang paman menghibur seorang keponakannya yang masih nakal.
"Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak...."
Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut dan penuh perasaan sayang, Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada dada pendekar itu, lalu menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong perasaan marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar melalui tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan marah yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri.
Setelah menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang sekali. Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju pendekar itu menjadi basah, maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan memandang kepada baju yang basah itu.
"Maaf, Paman.... aku telah membasahi bajumu."
Kam Hong melihat bajunya dan tersenyum sabar. "Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang penting, engkau tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita bicara sekarang."
Ci Sian mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu memenuhi paru-paru sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali. Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.
"Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi lemah begitu, padahal menurut penuturan Ayah.... ah, orang itu, Ibu adalah seorang pendekar wanita. Aku belum tahu jelas mengapa sampai meninggal dunia begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang pendekar wanita mana mungkin sakit-sakitan begitu?"
"Aku tahu, Ci Sian."
"Eh? Bagaimana kau tahu?"
"Kebetulan saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu...."
"Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!"
"Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam hidup."
"Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang kaulihat dan dengar?"
"Ayahmu itu agaknya mencari-carimu, namun tanpa hasil dan diam-diam aku lalu membayanginya karena aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak dikejar orang. Dan aku membayanginya sampai ke pondoknya di mana dia bicara dengan.... eh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia menceritakan bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan semenjak dia dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang terkenal dengan nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam)."
"Siapakah itu Hek-i-mo?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka. Hek-i-mo adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang merajalela di daerah Sin-kiang, selain berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main, dipimpin oleh datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat."
"Jadi ibu berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?"
"Begitulah menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam pertempuran antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita pukulan beracun dan pada waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu pergi karena merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan suami Isteri."
"Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan kematian Ibu!"
"Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo merupakan gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar berilmu tinggi yang gagal dan bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai pun agaknya gagal."
"Aku tidak. takut gagal, aku tidak takut mati!"
Kam Hong menahan senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat mengkhawatirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan malapetaka kepada diri sendiri.
"Biarpun engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau harus memperdalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih ada hutang padamu."
"Hutang? Hutang apa?"
"Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek kuno itu? Aku masih harus mengajarkannya kepadamu karena engkau pun berhak mempelajarinya, dan kita berdualah yang menemukannya."
Ci Sian mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biarpun tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa ilmunya itu masih jauh daripada cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa pendekar ini memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana mungkin dapat melarikan dia dari tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang demikian lihainya?
"Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu."
"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah. Kemanakah engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa jalan keluar itu? Kuingat ketika bukit itu longsor dan kita terasing di lembah salju?"
"Aku sedang mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang."
"Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang yang sedemikian dalamnya?"
"Aku ditolong oleh seorang kakek yang bernama See-thian Coa-ong, Paman" Dara itu lalu menceritakan pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular itu.
"Bagus sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut, masih menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai bermain-main dengan ular."
"Paman, hal itu belum berapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan penting adalah ketika aku diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut sekali, dan tak mungkin Paman dapat menduganya siapa."
Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan tersenyum, seperti seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil saja. "Siapakah dia yang kaumaksudkan itu?"
"Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh, isteri Ayah, wanita yang paling, galak dan paling lihai yang hampir membunuhku malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi sekali."
"Hemm, sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas."
"Aku pun tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah lembah tempat keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas."
"Hemmm....!" Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
"Aku pun merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan Paman memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas, akan tetapi di Pegunungan Himalaya ada lembah yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi tempat tinggal keluarga Suling Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai sekali sehingga Suhuku sendiri hanya dapat mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar biasa adalah muridnya, Paman."
"Murid wanita itu? Bagaimana hebatnya?"
"Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!"
Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa kembali, tenang dan agak dingin. "Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?"
"Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, mengingatkan dia akan namamu, dan.... ah, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman. Mengapa dia begitu.... eh, agaknya begitu membencimu dan tidak peduli kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang engkau, akan tetapi dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si Cui-beng Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong, untuk mengadukan murid-murid mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?"
Kam Hong menarik napas panjang. "Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami telah disahkan oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi isteriku, akan tetapi menurut keputusan wali-wali kami, kami harus saling berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya."
"Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tidak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?"
"Justeru aku harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin sekali berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci Sian."
"Baik, aku akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkan lanjutan ceritaku." Ci Sian lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat tahun dari See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak mencari Kam Hong atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada piauwsu itu. Kemudian betapa dia terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang Siok Lan,
panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir dengan kekalahan di fihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas karena luka-lukanya.
"Begitulah, aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kauceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Paman."
"Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu kepadamu."
Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun, melainkan seorang dara remaja yang sudah berusia tujuh belas tahun, seorang dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum, seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar!
Diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa dia kagum sekali kepada dara ini, kagum akan kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam dia merasa amat bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan bersama kembali. Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima tahun yang lalu. Sebaliknya, setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan gembira. Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun sejak kekecewaannya menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai kepada kenyataan yang amat pahit dari keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa amat bergembira, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang dari lubuk hatinya.
Seperti juga dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, lembah-lembah yang dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan tenang, bahkan agak dingin itu, seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya daripada dia. Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak dan gembira, agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam hati Kam Hong itu!
Sambil melakukan perjalanan seenaknya, berceritalah Kam Hong tentang pengalamannya semenjak dia berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian tergelincir ke dalam jurang yang mengelilingi "pulau salju" terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka.
Dia mengira bahwa tentu dara itu telah tewas tergelincir ke dalam jurang. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biarpun dia sudah berusaha keras untuk mencari jalan turun, namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa yang tergelincir ke bawah yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya tidak mungkin dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di tepi jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis cilik itu kini telah mati! Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat dengan dugaan bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke dalam jurang. Sampai hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya dia sadar bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang tidak baik sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sin-kang yang luar biasa tingginya itu dipelajarinya dengan amat susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang Kim siauw-kiam sut yang dilakukan dengan suling.
Selama setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim, puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah dan salju menutup jurang sehingga tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu! Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak yang subur, tidak seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat ini, Kam Hong melanjutkan latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat pengasingan itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak mungkin ditemukan lagi kerangkanya.
Selama tiga tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu, walaupun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya. Akan tetapi, kini dia dapat menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan dapat menyanyikan lagu apapun juga melalui sulingnya tanpa memainkan jarinya. Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu!
Kemudian dia meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena pada waktu itu, pasukan Kerajaan Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai, sedang mulai dengan gerakan mereka. Melihat betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari puncak membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan kepungan, Kam Hong segera turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk, dan mengacaukan pasukan Nepal yang mengepung, seperti yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka berdua itu bergerak di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tidak saling jumpa. Setelah melihat betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tidak mencampuri perang tadi dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri.
Akan tetapi dia melihat panglima, wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan tergesa-gesa dan diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan Kongmaa La. "Demikianlah, tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian." Pendekar itu mengakhiri ceritanya. "Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika melihat seorang dara memanggil ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya karena dikeroyok oleh orang-orang yang sedemikian lihainya, dan baru aku
mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam guha itu."
"Dan aku merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan tetapi sekarang, setelah aku yakin bahwa kita telah berkumpul kembali, aku merasa seolah-olah perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya mimpi belaka!"
Kam Hong tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam hatinya. Dia seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian selama ini hanya sebuah mimpi saja!
******
Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya amat gesit, pukulan-pukulannya mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih kehijauan segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ.
Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang dari Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya. Dahulu pun, dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda keras seperti disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong!
Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.
Kemudian, Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa dia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa semenjak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa dia sejak kecil telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya sebagai seorang pemuda (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI). Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi lalu melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguhpun harus diakuinya bahwa tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali lagi.
Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai murid. Hatinya girang sekali, apalagi ketika dia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas. Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susioknya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subonya bahkan lebih lihai daripada subonya sendiri yang sudah amat
dikaguminya itu!
Selama beberapa hari ini, subonya nampak murung saja, akan tetapi hatinya girang karena subonya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Dahulu, dalam pertempuran mati-matian, antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tidak ada yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subonya, melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susioknya sering muncul di alam
mimpi, menggerakkan gairah dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak lambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dia dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subonya, dia tentu akan dapat mengalahkan anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu!
Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berobah kemerahan.
"Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan mentertawakan." katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam.
Pria yang tinggi besar dan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, tersenyum dan meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.
"Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat manis sekali, sungguhpun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh Subomu."
"Ah, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu.
Pria itu menarik napas panjang.
"Ahhh Toaso, Subomu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari Ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik."
Yu Hwi tersenyum. "Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar aku dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?"
"Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh, engkau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga engkau melalaikan pertahananmu sehingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan."
"Ah, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna." kata Yu Hwi dengan kaget.
"Mari kita coba. Kauseranglah aku dengan jurus ke sebelas itu."
Karena maklum betapa lihainya susioknya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subonya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subonya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru, "Awas Susiok!"
Jurus ke sebelas ini disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan kemudian kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Amat cepat dan tidak tersangka lawan, berbahaya sekali.
"Pinggang kananmu terbuka!" kata Kang Bu dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu, saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.
"Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!" Dengan jelas Kang Bu lalu memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.
"Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, oleh karena itu di samping penyerangan, kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan itu.
Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali dan Kang Bu mengangguk-angguk puas. "Nah, sekarang coba serang aku dengan jurus ke dua belas." katanya pula.
"Baik, nah, awas Susiok! Haittt....!" Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat daripada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga angin pukulannya menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!
"Aihhh....!" Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan, mukanya berobah pucat.
Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. "Bagus sekali cara engkau menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kaukira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?"
"Aku.... aku kaget, Susiok...." kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika dia bergulingan tadi.
"Nah, engkau lihat betapa berbahayanya kalau engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki gin-kang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?"
"Baik, aku mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok."
"Sekarang jurus ke sembilan belas dan dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) merupakan dua jurus terampuh darl Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Ang in) itu. Coba kauserang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu."
"Baik, Susiok."
Yu Hwi lalu menyerang, gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan pukulan sambil meloncat, kemudian dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.
"Lihat dadamu terbuka!" terdengar susioknya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh tangkisan dan tangan susioknya yag besar dan kuat itu sudah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya. Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncaat ke atas dan kedua kakinya menyerang dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, fihak lawan akan terancam bahaya.
"Bagian belakangmu kosong!" teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
"Ihhh....!" Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di tangan susioknya.
"Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu ketika engkau meloncat." Yu Hwi tidak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar, ketika dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya!
Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu "ada hati" terhadap murid keponakan yang manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan Ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar
Siluman Kecil sekalipun!
Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh, sepasang mata yang bening memandang ke arah mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, kemudian lenyap. Tiba-tiba Yu Hwi berkata, suaranya halus dan lembut, agak mengandung kemanjaan seorang wanita yang yakin bahwa dirinya dicinta.
"Sam-Susiok...."
"Eh, mengapa? Mengapa tidak kaulanjutkan bicaramu?" Kang Bu bertanya sambil memandang heran, melihat betapa dara itu memanggilnya kemudian menunduk, dan kelihatannya seperti ragu-ragu dan bimbang.
"Aku hendak bertanya sesuatu, akan tetapi takut Susiok marah."
Kang Bu tertawa, ketawanya bebas lepas. "Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi. Pernahkah aku marah kepadamu? Dan pula, kenapa aku harus marah?"
Yu Hwi mengingat-ingat dan memang belum pernah susioknya ini marah. Semenjak dia diperkenalkan kepada para penghui Lembah Suling Emas, dia merasa amat takut kepada toa-susioknya, yaitu Cu Han Bu, yang sikapnya pendiam, serius dan kelihatan galak. Juga dia tidak pernah bicara dengan ji-susioknya, yaitu Cu Seng Bu yang juga pendiam. Hanya kepada sam-susiok ini saja dia merasa suka dan cocok, dan susioknya ini selain amat ramah dan baik, juga usianya tidak banyak selisihnya dengan dia. Susioknya ini paling banyak berusia tiga puluh empat tahun. Apalagi semenjak diperkenalkan, dari sinar mata sam-susioknya ini dia tahu bahwa pendekar gagah ini tertarik dan sayang kepadanya. Naluri kewanitaannya amat tajam dan tentu saja dia dapat menangkap hal ini.
"Tapi aku khawatir kalau-kalau engkau marah mendengar pertanyaanku ini, Sam-susiok."
"Ha-ha, kalau aku marah, biarlah engkau hitung-hitung mengalami satu kali mendapat marah dariku!" Pendekar itu lalu memandang dengan matanya yang lebar dan mencorong. "Yu Hwi, katakanlah, apa yang akan kautanyakan kepadaku?"
"Sam-susiok.... aku ingin sekali tahu lebih banyak tentang keluargamu, keluarga Suling Emas yang amat sakti itu. Kulihat Toa-susiok sudah menduda, padahal dia belum tua benar, dan Pek In semenjak kecil tidak beribu. Kenapa Toa-susiok tidak pernah menikah lagi, Susiok? Dan juga Ji-susiok tidak pernah menikah...."
"Ah, engkau tidak tahu, Yu Hwi. Twako kematian isterinya yang sangat dicintainya dan dia tidak berani menikah lagi, tidak melihat adanya wanita yang dapat menggantikan isterinya, apalagi setelah melihat betapa mendiang Twako Cu San Bu suami Subomu itu menderita karena ulah isterinya. Maka dia tidak percaya lagi kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi selamanya. Adapun Ji-ko Cu Seng Bu, dia.... dia itu mempunyai penyakit sejak kecil, penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan kalau dia menikah, maka penyakit itu akan membahayakan nyawanya. Selain itu, dia melihat kehidupan yang sengsara dari mendiang Twako Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga dia merasa ngeri untuk menikah."
"Akan tetapi, keluarga Cu belum memiliki keturunan seorang laki-laki "
Cu Kang Bu menghela napas panjang. "Memang hal itu kadang-kadang menggelisahkan kami. Akan tetapi semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami terhibur.
Anak itu baik sekali, dan memiliki bakat yang amat besar. Dia telah dipilih oleh mendiang Toapek, dan ternyata dia dapat mewarisi ilmu kami dengan baik. Biarlah dia yang menjadi murid dan juga keturunan kami, siapa tahu dia kelak akan dapat menjadi suami Pek In seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh Twako Han Bu...."
"Ah, apakah di antara Sumoi dan Sute itu ada pertalian cinta....?"
Yang ditanya menggeleng kepada. "Mereka itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan tetapi hubungan di antara mereka cukup baik. Kau tahu, murid kami Hong Bu itu memang hebat sekali. Dia bahkan sudah berhasil, atau hampir berhasil melatih ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek, ilmu yang amat sukar dan mujijat itu...."
"Koai-liong Kiam-sut?"
Yang ditanya mengangguk dan sejenak mereka diam.
"Sam-susiok"
"Ya....?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku mengapa?"
"Maksudku.... eh, apakah engkau juga seperti Ji-susiok yang merasa ngeri menghadapi pernikahan dan menganggap tidak ada wanita yang patut menjadi.... eh, jodohmu?"
Pertanyaan itu membuat wajah pendekar tinggi besar itu menjadi merah. "Aku.... eh, aku tidak pernah.... aku belum memikirkan soal jodoh...." jawabnya gagap. Pendekar sakti yang menghadapi ancaman maut apapun juga akan bersikap tenang ini, menghadapi pertanyaan tentang jodoh itu menjadi gugup. Sungguh hebat!
"Ah, Sam-susiok, kenapa?"
"Aku.... eh, kurasa belum waktunya bagiku untuk memikirkan jodoh.
"Belum waktunya? Menurut dugaanku, Sam-susiok tentu sudah berusia tidak kurang dari tiga puluh tiga tahun sekarang...."
"Sudah tiga puluh lima."
"Nah, kenapa masih belum waktunya? Apakah engkau tidak hendak menikah kalau sudah berusia setengah abad?"
"Ha, bukan begitu, Yu Hwi, akan tetapi.... selama ini memang belum ada seorang gadis yang cocok untukku.... dan sekarang.... setelah ada yang cocok, hemm.... aku mungkin sudah terlalu tua untuknya."
Yu Hwi adalah seorang dara yang sudah matang, maka tentu saja dia dapat menduga kemana tujuan percakapan itu dan siapa yang dikatakannya tidak cocok itu. Dengan sikap tidak tahu dan manja dia bertanya. "Siapakah dara itu, Susiok? Mengapa mengatakan terlalu tua! Aihh, coba dengar ini kakek-kakek yang berusia seabad mengeluh...." Dia menggoda.
Kang Bu tidak pandai bicara, akan tetapi sekali ini dia bercakap-cakap sampai sedemikian banyaknya dengan Yu Hwi, sungguh membuat dia sendiri merasa terheran. Mendengar godaan itu dia tersenyum, akan tetapi segera memandang tajam kepada Yu Hwi dan memegang tangan dara itu.
Sekali ini Yu Hwi terkejut, tidak dibuat-buat karena tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu akan memegang tangannya dan dia merasa betapa jari-jari tangan yang amat kuat itu menggenggam tangannya dan ada terasa getaran olehnya, getaran hangat dan mesra yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
"Yu Hwi, katakanlah, engkau pun seorang dara yang usianya sudah cukup dewasa, kenapa sampai sekarang engkau belum juga menikah?"
"Aku.... aku sudah ditunangkan dengan orang, Susiok!"
"Ah....!" Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali tangannya seolah-olah dia telah memegang bara api, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu. "Maafkan aku.... ah, mafkan aku...." katanya gagap. "Sungguh aku lancang.... nah, habislah harapan Cu Kang Bu!"
"Susiok, aku.... aku ditunangkan di luar kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan karena itulah aku pergi minggat dari rumah Kakekku, tidak mau kembali lagi ke sana. Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan orang bukan pilihanku sendiri.
"Aku telah membebaskan diri, yang menyatakan pertunangan itu adalah orang-orang tua, sedangkan aku tidak merasa terikat jodoh dengan siapapun juga!"
Kata-kata yang tegas ini seolah-olah mengembalikan darah ke muka Kang Bu. Dia memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia memegang lagi tangan Yu Hwi, harapannya pulih kembali. "Benarkah itu, Yu Hwi?"
"Aku bersumpah bahwa apa yang kukatakan itu setulusnya dari hatiku, Susiok."
"Kalau begitu biarlah aku berterus terang. Aku.... aku telah menemukan wanita yang cocok dengan hatiku itu, Yu Hwi, dan wanita itu adalah engkau. Aku cinta padamu!"
Bukan main bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia balas memegang tangan pemuda itu dan memandang dengan wajah berseri, dan senyum malu-malu. Dari pandangan matanya saja, sudah jelas terlukislah bahwa dia menerima cinta kasih pemuda itu dan bahwa pemuda itu tidak bertepuk tangan sebelah.
"Yu Hwiii....!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan, subonya. Yu Hwi terkejut dan melepaskan tangannya.
"Sam-susiok, Subo memanggilku. Sampai jumpa nanti.... ah, aku bahagia sekali, Susiok!" Dan dara itu lalu meloncat dan berlari-lari meninggalkan Kang Bu menuju ke pondok subonya, diikuti pandangan Kang Bu yang tersenyum dengan hati penuh kebahagiaan.
Ketika ia duduk berhadapan dengan subonya, Yu Hwi dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu karena sikap subonya tidak seperti biasa. Subonya kelihatan berwajah muram, bahkan seperti orang marah ketika memandang wajahnya.
"Yu Hwi, engkau jangan main-main dengan keluarga Lembah Suling Emas." begitu dia berhadapan dengan Subonya, dia mendengar kata-kata yang aneh-aneh dan mengejutkan ini.
"Subo, apa maksud Subo dengan kata-kata itu?" tanyanya sambil memandang wajah gurunya dengan heran dan penuh selidik. Sepasang mata subonya yang biasanya jeli dan cemerlang itu kini nampak agak muram dan terbayang kemarahan.
"Engkau saling mencinta dengan Kang Bu, bukan?"
Yu Hwi tidak merasa terkejut karena dia tahu bahwa subonya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka tentu sudah dapat menduga tentang hubungannya yang mesra dengan Kang Bu. Maka dia tidak mau banyak menyangkal, melainkan mengangguk.
"Hemm, apakah engkau akan mengulangi pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh cinta, kemudian menjadi isteri Kang Bu, berarti menjadi keluarga Lembah Suling Emas dan hidup terkurung di situ, seperti seekor burung dalam sangkar, tidak boleh keluar, tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sampai engkau tua dan mati di situ!"
"Eh, Subo! Apa artinya ini? Teecu tidak mengerti...."
"Tidak ingatkah engkau kepada apa yang kualami di lembah itu? Aku menjadi isteri mendiang Cu San Bu, kakak tertua mereka, dan aku hidup seperti boneka di dalam lembah itu, tidak pernah keluar, dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan dunia luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan? Maka ketika datang tamu yang menarik dan amat ramah, aku mudah tertarik, salah siapa? Dan kau ingat lagi Ibunya Pek In! Mana mungkin dia dapat tahan hidup seperti burung dalam sangkar? Keluarga Cu itu adalah keluarga iblis! Mereka mau hidup enak sendiri, mau merahasiakan tempat mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka menganggap keluarga mereka sebagai keluarga langit, tidak boleh dikotori dengan hubungan bersama manusia lain di luar lembah. Dan engkau mau membiarkan dirimu tersesat ke dalam neraka itu?"
"Ahhh....!" Yu Hwi benar-benar terkejut bukan main mendengar ini.
"Aku sebagai Gurumu, aku sayang kepadamu, maka kuperingatkan engkau tentang hal ini, karena aku akan pergi meninggalkan tempat ini."
"Subo mau pergi....?"
"Benar, sekarang juga. Karena itulah kau kupanggil, bukan hanya untuk memperingatkanmu tentang hal tadi, akan tetapi juga untuk memberi tahu bahwa hari ini kita saling berpisah. Engkau harus tidak mengecewakan aku. Kauwakililah aku, temui See-thian Coa-ong dan kaukalahkan muridnya agar hatiku puas."
"Baik, Subo. Akan tetapi, Subo sendiri.... hendak pergi ke manakah?"
Wanita itu menoleh dan memandang keluar pondok, ke arah puncak yang jauh. "Entahlah, aku hendak pergi menurutkan kata hatiku. Aku sudah tidak tinggal dalam Lembah Suling Emas, maka aku bebas pergi ke manapun juga. Dan aku mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat ini untuk selamanya."
"Tapi.... tapi ke mana Subo pergi? Agar teecu dapat tahu dan dapat menyusul kelak."
"Mau apa kau menyusulku? Engkau kembalilah ke tempat asalmu, ke dunia ramai di timur. Aku akan merantau di pegunungan ini, Pegunungan Himalaya yang maha luas...."
"Subo akan pergi mencari Bu-taihiap?"
Tiba-tlba wanita itu bergerak dan tahu-tahu lengan tangan Yu Hwi sudah dicengkeramnya, "Bagaimana kau tahu?"
Yu Hwi tidak kaget dan juga tidak takut, melainkan tersenyum. "Subo demikian dekat dengan teecu, sudah seperti Ibu sendiri atau kakak sendiri. Subo pernah bercerita tentang Bu-taihiap, dan teecu tahu bahwa Subo masih mencintanya. Maka begitu Subo mengatakan hendak merantau ke Pegunungan Himalaya, siapa lagi yang Subo cari kecuali Bu-taihiap?"
Wanita itu mengangguk lesu, "Engkau memang cerdik sekali, muridku. Akan tetapi.... aku berhak menikmati hidupku, berhak meraih cintaku.. .."
"Demikian pula teecu, Subo."
"Aku tahu, akan tetapi engkau akan sengsara kalau menjadi keluarga di Lembah Suling Emas.... tapi kau cerdik, engkau lebih cerdik daripada aku, semoga saja kau berhasil mengatasi hal itu. Nah, kau berangkatlah mencari See-thian Coa-ong, muridku, aku pun akan pergi sekarang juga."
Dua orang wanita itu sejenak saling berpandangan, kemudian mereka saling rangkul untuk beberapa lamanya. "Hati-hatilah engkau, muridku." kata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lirih dan mereka lalu saling melepaskan rangkulan dan berpisahlah mereka.
"Akan tetapi janji itu masih kurang beberapa hari lagi, Subo." Yu Hwi berkata ketika mereka akan berpisah.
"Memang, kurang sebulan lagi. Nah, aku pergi dulu, selamat tinggal, Yu Hwi."
"Selamat jalan, Subo, harap Subo jaga baik-baik diri Subo." kata dara itu dengan hati terharu. Memang, subonya berhak menikmati hidupnya, berhak meraih cintanya. Akan tetapi, pria yang dicinta oleh subonya itu sudah beristeri! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada wanita yang menjadi gurunya itu.
Setelah tiba waktunya, kurang lebih sebulan kemudian, berangkatlah Yu Hwi mencari See-thian Coa-ong di tempat pertapaan kakek itu. Dia berangkat dengan hati besar karena selain dia percaya kepada diri sendiri dan merasa yakin akan dapat mengalahkan murid Raja Ular itu, juga dia merasa tenang karena dia tahu bahwa diam-diam kekasihnya atau juga paman gurunya, Cu Kang Bu, diam-diam membayanginya dari jauh seperti yang telah dijanjikan oleh pendekar sakti itu. Kang Bu tidak mau datang berterang membantu Yu Hwi karena hal ini amat merendahkan nama keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal, maka dia hendak melindungi kekasihnya secara diam-diam saja.
Akan tetapi betapa kecewa hati Yu Hwi ketika dia tiba di tempat pertapaan kakek itu, seperti yang diberitahukan subonya, dia hanya mendapatkan kakek itu seorang saja! See-thian Coa-ong bangkit berdiri, menyambut kedatangannya dan kakek ini berkata ramah, "Jadi engkau adalah murid Cui-beng Sian-li, Nona? Memang hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu dan aku untuk saling menguji kepandaian murid masing-masing, untuk menentukan siapa di antara kami yang lebih becus mengajar murid. Akan tetapi sayang, muridku itu telah pergi setahun yang lalu. Ah, dia masih kanak-kanak, tidak dapat bertahan menanti sampai lima tahun, Nona, dan dia telah pergi...." Kakek itu menarik napas panjang. "Oleh karena itu, biarlah aku tua bangka yang tiada gunanya ini sekarang mengaku kalah kepada Subomu, Cui-beng Sian-li karena aku tidak dapat memenuhi janji."
Yu Hwi mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan dia merasa penasaran sekali.
Dia tahu bahwa gurunya memang suka kepadanya dan suka pula mengajar kan ilmu-ilmu silat kepadanya, akan tetapi di samping itu, gurunya mengajarnya selama lima tahun juga dengan maksud agar dia dapat mengalahkan murid kakek ini. Dan sekarang, harapan dari subonya itu dikesampingkan begitu saja, dengan sedemikian mudahnya seolah-olah janji itu hanya main-main belaka. Bagaimana dia akan menjawab kalau subonya kelak bertemu dengan dia dan bertanya tentang pertandingan itu? Lalu apa buktinya terhadap subonya yang telah dengan susah payah melatihnya selama lima tahun itu?
"See-thian Coa-ong, mana mungkin engkau membatalkan janji selama lima tahun dengan demikian mudahnya? Kalau memang muridmu itu takut menghadapi aku, mengapa engkau membuat janji lima tahun yang lalu? Kalau begitu, biarlah engkau saja mewakili muridmu dan aku mewakili Guruku! Pertandingan lima tahun yang lalu kita lanjutkan sekarang.
"Ah, jangan begitu, Nona. Mana mungkin aku yang tua bangka ini melawan engkau yang masih muda? Lawanmu adalah muridku, dan karena muridku kini tidak ada...."
"Maka engkau yang menjadi wakilnya, See-thian Coa-ong. Majulah!" Yu Hwi menantang.
Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sudah tua...."
"Kalau begitu kau berlututlah menghadap ke barat dan mengaku kepada Subo bahwa engkau kalah olehnya!" kata Yu Hwi.
Kakek itu tersenyum. "Eh, mana mungkin ini? Aku mengaku kalah cara mengajar murid, bukan kalah bertanding."
"Kalau begitu sambutlah ini. Haiittt....!" Yu Hwi mengeluarkan suara melengking sebelum menyerang, kemudian dia menerjang maju mengirim serangan kepada kakek itu!
"Ehh....!" See-thian Coa-ong cepat mengelak sehingga serangan pertama itu luput akan tetapi Yu Hwi sudah menerjangnya lagi kalang-kabut sehingga kakek itu harus cepat mengelak dan menangkis karena serangan-serangan yang dilakukan oleh gadis itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kepandaian Yu Hwi pada waktu itu telah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tidak sembarang orang akan mampu bertahan terhadap serangan-serangan yang dilakukan untuk memaksakan kemenangan ini. Akan tetapi See-thian Coa-ong adalah seorang pertapa sakti yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat Cui-beng Sian-li, maka tentu saja dia mampu melindungi dirinya dari serangkaian serangan yang dilakukan oleh Yu Hwi. Akan tetapi karena kakek ini sama sekali tidak pernah membalas serangan-serangan itu, dan hanya bertahan saja, maka sudah tentu dia segera terdesak hebat dan berloncatan mundur sambil beberapa kali menangkis.
Bersambung ke bagian 3 ...