Bagian 1
Kaisar pertama yang bertahta di Kerajaan Ceng-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mancu yang menguasai Tiongkok, merupakan kaisar yang sampai puluhan tahun dapat mempertahankan kedudukannya, mengatasi banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Kaisar tua ini mulai bertahta dalam tahun 1663 dan dapat mempertahankan kedudukannya ini selama lima puluh sembilan tahun!
Pada awal tahun 1700 terjadilah pemberontakan dua orang pangeran kakak beradik, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik tiri kaisar pertama itu, ialah Kaisar Kang Hsi. Dua orang pangeran yang mencoba untuk berkhianat terhadap kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris menggulingkan kedudukan kaisar, atau sedikitnya telah menggegerkan kota raja. Akan tetapi akhirnya berkat bantuan para menteri dan panglima yang setia, apalagi karena bantuan Puteri Milana yang terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan itu dapat digagalkan, bahkan dua orang pangeran pengkhianat itu dapat ditewaskan.
Akan tetapi, pemberontakan ini dengan segala akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua itu, karena, pertama dia merasa kecewa dan terkejut melihat kenyataan betapa dua orang adik tiri yang dipercayanya itu betul-betul melakukan pemberontakan terhadapnya. Ke dua, melihat bahwa dia terpaksa membiarkan dua orang adiknya itu tewas. Dan ke tiga, perpecahan-perpecahan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu diantara ponggawa dan pembantunya.
Lima tahun telah lewat sejak pemberontakan itu dapat ditumpas. Namun, biarpun pemberontakan telah dipadamkan dan dua orang pangeran tua itu telah tewas, peristiwa yang mengakibatkan perpecahan di kalangan atas, dan mengakibatkan timbulnya sikap curiga-mencurigai di antara mereka, mempunyai pengaruh besar terhadap para pembesar atasan yang mempengaruhi pula para anak buah mereka dan terasa pula ketegangan-ketegangan yang timbul di antara kelompok satu dan kelompok lain sehingga rakyat pun merasa gelisah.
Peristiwa itu banyak mengurangi kedaulatan dan wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu tidak kuat lagi mengendalikan kemudi pemerintahannya yang dilanda gelombang perpecahan itu. Banyak raja-raja muda, gubernur-gubernur dan panglima-panglima komandan barisan di perbatasan yang menguasai daerah propinsi yang jauh letaknya dari kota raja, sedikit demi sedikit dan secara halus tidak menyolok mulai memisahkan diri dari pusat. Mereka itu masing-masing menyusun kekuatan dan berusaha mengatur daerah kekuasaan masing-masing seperti seorang raja. Semua hasil pemungutan pajak dan lain-lain mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai basa-basi mereka masih mengirimkan hasil daerah mereka ke kota raja, maka yang dikirim itu tidak ada artinya dibandingkan dengan hasil yang masuk. Tentu saja tidak semua pembesar bersikap demikian. Banyak pula yang semenjak semula berpihak kepada kaisar, masih merupakan pembesar yang setia. Oleh karena itu timbullah pertentangan diam-diam antara para pembesar dan pertentangan ini tentu saja menimbulkan keadaan yang kacau dan tidak aman. Biarpun dari pusat sendiri tidak atau belum ada tindakan apa-apa, namun antara para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang hendak memisahkan diri, terdapat pertentangan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan sehingga sering pula terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pembesar yang mempertahankan daerah kekuasaannya masing-masing hanya karena urusan perairan, urusan perdagangan dan lain-lain.
Semua bentuk permusuhan, baik dimulai dari permusuhan perorangan sampai kepada perang dunia, adalah pencetusan dari sifat mementingkan diri pribadi dan manusia. Sifat mementingkan diri pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar kesenangan, menimbulkan ambisi-ambisi pribadi dan dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi inilah terjadi kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan saling membunuh demi mencapai ambisi pribadi. Kalau hanya begitu saja kiranya masih mending, akan tetapi yang lebih celaka lagi adalah kenyataan bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi itu, dalam menghadapi saingan, mereka tidak segan-segan untuk mempergunakan tenaga orang lain, bahkan tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain yang tak terhitung banyaknya, dengan menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya yang muluk-muluk untuk menutupi dasar perbuatan mereka yang sesungguhnya, yaitu demi kepentingan diri mereka sendiri! Hal seperti ini merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia, kenyataan yang terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun lamanya, namun sampai kini pun masih ada saja manusia yang berhati srigala bermuka domba, mengorbankan banyak orang demi tercapainya cita-cita atau ambisi mereka dan menggunakan slogan-slogan muluk, dan anehnya masih banyak pula orang-orang yang begitu bodohnya, mudah saja diperalat oleh beberapa gelintir orang dengan umpan slogan muluk-muluk.
Demikianlah, daerah-daerah yang berbatasan antara propinsi, bahkan antar karesidenan atau kabupaten, sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan karena perpecahan itu. Dan siapakah yang menderita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang terlanda oleh kejamnya peperangan, dirampok dan dibakar. Di waktu damai terlanda kejamnya para pembesar atau penguasa yang korup. Demikianlah nasib rakyat kecil yang tidak berdaya. Akibat pertentangan-pertentangan antara pembesar yang memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu tentu saja melalaikan penjagaan dan muncullah segala macam orang yang biasa mempergunakan kekacauan untuk mengail di air keruh,yaitu kaum maling, rampok, bajak dan sebagainya. Hal seperti ini tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam hati para pembesar yang berjiwa pahlawan, yang berjiwa pemimpin dan yang benar-benar mementingkan kehidupan rakyat jelata.
Akan tetapi, Kaisar Kang Hsi yang sudah tua itu sama sekali tidak menyadarinya. Bahkan kematian dua orang adik tirinya itu, pemberontakan mereka itu membuat dia merasa tidak suka kepada orang-orang yang menentang dua orang adiknya yang memberontak itu, karena dianggapnya bahwa merekalah yang membuat dua orang pangeran itu tidak suka dan memberontak. Mulailah kaisar ini menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya ini, orang-orang yang dengan gigih menentang dua orang pangeran pemberontak. Sikap kaisar seperti ini tentu saja mengakibatkan terpecahnya para pembantu yang dekat dengannya, yaitu mereka yang prihatin melihat ulah kaisar, dan mereka yang menggunakan kesempatan ini untuk menjilat. Penjilatan ini pun hanya merupakan percerminan dari keinginan menyenangkan diri pribadi yang ingin mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya merupakan "cara" mereka untuk dapat mencapai ambisi mereka. Mulailah bermunculan "jari-jari maut " dan "bibir-bibir berbisa" yang tunjuk sana-sini, bisik sana-sini untuk menjatuhkan fitnah kepada orang-orang yang dibenci.
Melihat keadaan ini, para pembesar yang setia kepada negara mulai melakukan gerakan halus, diam-diam mereka mencalonkan seorang kaisar baru untuk menggantikan kaisar yang lalim itu. Mereka ini tidak rela melihat pemerintah dan rakyat dirusak oleh ulah kaisar tua yang agaknya sudah pikun.
Akan tetapi, orang yang paling merasa sengsara hatinya adalah seorang panglima besar yang merupakan orang paling tinggi pangkatnya di dalam angkatan perang Kerajaan Ceng-tiauw. Orang ini bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat menjadi panglima besar setelah pemberontakan itu dapat ditumpasnya. Akan tetapi, melihat sepak terjang kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela dan tidak dapat diam saja. Pada suatu hari, dengan terang-terangan dia menghadap kaisar dan memperingatkan kalsar akan penyelewengannya.
Akibatnya hebat! Karena marah, terutama karena suara-suara hasutan dari kanan kiri, kaisar yang tidak berani menghukum panglima terkenal ltu secara berterang, lalu menggunakan siasat halus. Jenderal Kao di "pensiun"! Jenderal Kao diberhentikan dengan hormat dan dipersilakan untuk "beristirahat" menikmati hari tua dan diberi bekal banyak harta benda oleh kaisar.
Sungguh kaisar tua itu telah linglung. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghentian Jenderal Kao ini membuat para panglima dan gubernur yang berkuasa di propinsi-propinsi yang berjauhan, yang menganggap diri sendiri sebagai raja-raja, bersorak kegirangan dan menjadi lega hati mereka. Betapa tidak? Jenderal Kao seoranglah yang mereka takuti sehingga mereka masih belum berani memisahkan diri secara berterang. Mereka merasa ngeri kalau membayangkan betapa Jenderal Kao yang galak dan pandai itu membawa pasukan menghukum mereka. Akan tetapi kini Jenderal Kao sudah dihentikan dari jabatannya, sudah dipensiun dan menjadi rakyat biasa! Jenderal Kao tanpa pasukan bukan merupakan tokoh yang menakutkan lagi.
Malam itu bulan purnama tersenyum cerah di angkasa. Tiada awan nampak menghalangi sinar bulan yang lembut dan bulan yang bundar itu seperti sebuah bola emas tergantung di langit biru. Malam hening dan sejuk sungguhpun tiada angin menggerakkan daun-daun pohon yang mengapit lorong di dalam hutan itu. Dan celah-celah daun, sinar bulan menerobos dan menerangi lorong yang ditilami daun-daun kering yang lunak dan agak lembab di malam itu.
Malam sudah agak larut, akan tetapi di lorong itu masih ada serombongan orang yang bergegas jalan tanpa berkata-kata, di tengah-tengah mereka terdapat beberapa orang yang memikul tandu-tandu. Kalau datang dari jurusan ini, lorong melalui hutan itu merupakan jalan satu-satunya yang terdekat untuk memasuki daerah Kang-lam. Melihat orang-orang yang berjalan di depan dan di belakang rombongan tandu itu berpakaian seragam, dan selalu siap memegang golok dan tombak,, mudah diduga bahwa rombongan itu tentulah rombongan pembesar dan mereka itu tentu pasukan pengawal.
Dugaan ini memang tidak keliru karena rombongan itu adalah rombongan Jenderal Kao Liang dan keluarganya. Setelah dipensiun dan dihentikan dari jabatannya, jenderal ini maklum bahwa dia tidak berdaya lagi untuk bertindak sebagai jenderal, maka dia lalu mengumpulkan semua harta miliknya, dan mengajak keluarganya untuk meninggalkan kota raja, kembali ke tempat kelahirannya atau tempat kampung halamannya, yaltu di daerah Kang-lam. Dan ingin mendinginkan hati dan pikirannya yang panas, kemudian baru hendak memutuskan apa yang dapat ia lakukan untuk negara dan bangsanya dalam keadaan seperti itu.
Tiba-tiba tirai penutup tandu yang paling depan tersingkap dan terdengarlah suara yang berat dan penuh wibawa, yang ditujukan kepada seorang bertubuh tinggi kurus yang memakai pedang di pinggangnya, yaitu kepala pengawal yang jumlahnya dua losin orang itu.
"Kepala pengawal! Kita berhenti sebentar di sini agar para pemikul tandu dapat beristirahat."
Kepala pengawal itu sambil masih berjalan mengiringkan tandu itu membungkuk dan berkata, nada suaranya sungguh-sungguh, "Yang Mulia, tidakkah lebih baik kalau kita melanjutkan perjalanan sampai kita keluar dari hutan ini baru beristirahat? Di dalam hutan begini keadaannya amat berbahaya karena bahaya dapat muncul dari mana-mana tanpa kita ketahui, tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, berbeda kalau berada di tempat terbuka di mana kita dapat menghadapi ancaman bahaya secara terbuka. Daerah ini terkenal sebagai daerah yang sering diganggu oleh penyamun-penyamun yang berkepandaian tinggi."
"Hemmm.... siapakah yang kaumaksudkan dengan penyamun-penyamun berkepandaian tinggi? Mana ada penyamun berkepandaian tinggi kalau mereka itu bukan bekas orang-orangnya Tambolon? Ataukah dari golongan lain? Bukankah kabarnya mereka semua sudah dihalau dan dibasmi oleh Pendekar Super Sakti dan kedua anak dan mantunya, Puteri Milana dan pendekar sakti Gak Bun Beng?"
"Paduka belum mengetahui perkembangan yang terjadi di dunia hitam selama satu dua tahun ini. Di daerah ini pernah terjadi bentrokan-bentrokan hebat antara dua golongan hitam, yaitu golongan perampok Gunung Cemara di sebelah selatan lembah melawan golongan bajak di timur lembah, di sepanjang Sungai Huang-ho."
"Hemmm, sungguh menarik ceritamu. Lalu bagaimana akhir pertempuran di antara mereka?" tanya orang tua bersuara berat dan berwibawa itu yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang sendiri.
Pertempuran itu hebat dan makan banyak korban di antara kedua fihak, akan tetapi setelah muncul seorang Pendekar berambut putih yang sangat lihai dan melerai di antara mereka, pertempuran segera berhenti dan berakhir."
"Pendekar rambut putih? Ho-ho, itulah Pendekar Super Sakti!" Jenderal Kao Liang berseru sambil tertawa girang.
"Bukan, Yang Mulia. Bukan beliau. Pendekar itu masih sangat muda, dan kakinya utuh, tidak buntung sebelah seperti kaki Pendekar Siluman"
"Ehhhhh? Bukan Pendekar Siluman?" Jenderal Kao makin terheran dan ingin sekali tahu.
"Benar, bukan Pendekar Siluman. Akan tetapi karena kepandaiannya juga hebat luar biasa seperti bukan manusia, apalagi rambutnya juga putih terurai bagaikan benang perak seperti rambut Pendekar Siluman, maka orang menamakan dia Pendekar Siluman Kecil."
"Hemmm.... sungguh luar biasa. Bagaimana mukanya, apakah wajahnya tampan ataukah buruk mengerikan?"
"Itulah yang aneh, Yang Mulia. Orang tidak pernah bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian dari mukanya tertutup oleh rambutnya yang terurai itu, dan gerakannya amat cepat saperti menghilang saja."
Jenderal Kao mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang seperti orang termenung. "Bukan main! Memang di dunia ini banyak orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan watak yang aneh-aneh."
"Benar, Tuanku. Bahkan putera sulung Paduka sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kabarnya tidak kalah dibandingkan dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Siluman itu sendiri."
"Hemmm.... agaknya begitulah. Akan tetapi sayang dia tidak berada di sini. Sudahlah, kau hentikan perjalanan ini,jangan takut, kita tetap beristirahat di sini. Sejak dahulu aku tidak pernah bermusuhan dengan golongan sesat secara pribadi, maka perlu apa kita mengkhawatirkan gangguan mereka?"
Kepala pengawal itu tidak berani membantah lagi dan dia pun maklum akan kelihaian jenderal tua ini, apalagi di dalam rombongan itu terdapat pula dua orang puteranya yang biarpun tidak sepandai putera sulung Jenderal itu, namun juga bukanlah orang-orang lemah. Selain itu, dia sendiri pun mempunyai dua losin anak buah yang cukup kuat, maka perlu apa mereka takut beristirahat di dalam hutan ini? Dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, mengeluarkan aba-aba yang cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua anak buahnya, "Berhentiiiii....! Kita beristirahat di sini....!"
Rombongan itu berhenti dan para pemikul tandu menjadi lega hatinya karena memang mereka sudah merasa lelah sekali, membutuhkan peristirahatan yang cukup untuk mengumpulkan kembali tenaga mereka. Para pengawal lalu bergerak memenuhi perintah kepala pengawal, ada yang mencari kayu-kayu kering dan ada yang membuat api unggun, ada pula yang mulai menyedu air dan sebagian dari mereka melakukan tugas menjaga di sekitar tempat itu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih dan semua bekerja sesuai dengan tugas mereka yang telah dibagi-bagi oleh kepala pengawal.
Jenderal Kao Liang turun dari atas tandunya yang telah diletakkan di atas tanah. Jenderal ini usianya sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi berdirinya tegak, dengan dadanya yang bidang itu menonjol ke depan, perutnya besar akan tetapi kokoh, rambutnya sudah setengah putih, dan biarpun dia kini bukan seorang panglima lagi, namun dari sikapnya jelas dapat dilihat bahwa dia adalah seorang yang biasa mengatur banyak orang, memiliki wibawa dan ketegasan. Kini jenderal itu duduk di atas sebuah batu besar. Bulan purnama yang sinarnya gemilang itu sudah berada di atas kepala, sebagian sinarnya menerobos di antara daun-daun pohon menimpa tempat yang dijadikan peristirahatan rombongan ini. Dua orang pemuda yang berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah berdiri di belakang bekas jenderal ini. Yang seorang berusia dua puluh satu tahun, bernama Kao Kok Tiong, putera ke dua dari jenderal itu, sedangkan pemuda yang ke dua berusia delapan belas tahun, bernama Kao Kok Han, putera ke tiga atau bungsu dari Jenderal Kao Liang. Agaknya dua orang putera ini maklum pula bahwa tempat itu mencurigakan dan berbahaya, maka mereka siap di dekat ayah mereka untuk sewaktu-waktu membantu apabila tenaga mereka diperlukan. Sedangkan para keluarga wanita dan anak-anak yang ikut di dalam rombongan itu tetap berada di dalam tandu-tandu yang dikumpulkan di tempat terbuka di antara pohon-pohon di tengah-tengah tempat itu dan terlindung oleh para pengawal yang melakukan penjagaan di sebelah tempat peristirahatan itu. Segera api unggun bernyala besar, menerangi dan menghangatkan
tempat itu,juga mengusir nyamuk yang mulai beterbangan menyerang mereka.
Kepala pengawal tinggi itu menghampiri Jenderal Kao, memberi hormat dan berkata, "Karena perbekalan air habis, saya mohon perkenan Paduka untuk mencari air bersih."
Jenderal Kao mengangguk. "Pergilah."
Kepala pengawal bersama lima orang anak buahnya yang membawa guci-guci tempat air, segera pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan untuk mencari air jernih dengan bantuan sinar bulan purnama yang masih terang tidak terhalang awan sedikit pun. Para pengawal lainnya, sambil berjaga-jaga, melepaskan lelah dan duduk di tempat penjagaan masing-masing mengelilingi tempat itu sambil membuat api unggun sendiri."
"Ayah, silahkan minum." Kao Kok Tiong mengeluarkan tempat airnya dan memberikan kepada ayahnya.
"Kok Han, kaulihat apakah ibumu baik-baik saja, dan beri ibumu minum dan tawarkan kalau-kalau dia lapar dan ingin makan atau ingin sesuatu," kata Jenderal Kao Liang sambil menerima tempat minum puteranya yang ke dua, minum beberapa teguk dan mengembalikannya kepada Kok Tiong. Sedangkan Kok Han lalu menghampiri tandu ibunya dan kelihatan dia bicara dengan nyonya tua di dalam tandu, kemudian pemuda ini pun memeriksa tandu-tandu lain.
Jenderal Kao Liang ditemani dua orang puteranya lalu duduk melepaskan lelah di dekat api unggun, wajah jenderal itu muram karena dia teringat akan keadaan dirinya. Negara sedang kacau, terjadi perpecahan dan pertentangan diantara para kaki tangan pemerintah, dan dia, yang sesungguhnya amat dibutuhkan di saat negara menghadapi bayangan ancaman pemberontakan, dia malah dihentikan! Dia mengerti bahwa penghentiannya itu adalah fitnah atau hasil bujukan mulut beracun kepada kaisar. Akan tetapi kaisar sendiri yang memutuskan itu, tentu saja dia tidak berdaya dan tidak berani atau lebih tepat, tidak mau membantah. Dia adalah seorang jenderal yang setia, yang rela mempertaruhkan jiwa raganya demi negara. Maka baginya, kehilangan kedudukan itu bukan apa-apa. Dia sama sekali tidak mementingkan diri pribadi, akan tetapi dia merasa prihatin melihat betapa kedudukan kerajaan amat lemah dan bahaya mengancam dari setiap penjuru. Jenderal Kao Liang mengepal tinjunya yang besar dan keras. Biarpun dia sudah bukan panglima lagi, akan tetapi dia tidak akan membiarkan para pengkhianat memberontak. Kalau terjadi hal itu, dia akan membantu negara dan akan membersihkan para pemberontak! Demikian tekad hatinya. Akan tetapi dia harus menyelamatkan keeluarganya dulu, membawa mereka ke kampung halamannya di mana mereka akan hidup tenteram. Setelah itu, dia akan bebas berbuat apa saja, dan dia akan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di kota raja.
"Ayah, sungguh mengherankan sekali, mengapa Cio-ciangkun belum juga kembali dari mencari air," tiba-tiba Kok Tiong berkata dan memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut karena pemuda ini merasa tidak enak hati. Sudah hampir setengah jam kepala pengawal she Cio itu pergi mencari air bersama lima orang anak buahnya, namun belum juga kembali.
"Mungkin sukar mencari air di sini," kata Jenderal Kao Liang.
"Akan tetapi, belum lama tadi rombongan kita melewati sebuah sumber air, dan untuk pergi mengambil air ke sana makan waktu sebentar saja," bantah Kok Tiong.
"Hemmm, kalau begitu suruh wakilnya pergi menyusul!"
Kok Tiong lalu mencari wakil kepala pengawal dan wakil ini segera mengajak dua orang anak buahnya untuk pergi menyusul atau mencari komandan Cio yang sejak tadi pergi mencari air. Kok Tiong yang sudah mulai bercuriga itu menanti dengan hati tegang. Sampai setengah jam kemudian, wakil itu pun belum juga kembali, demikian pula Cio ciangkun belum juga kembali.
"Ayah, saya khawatir terjadi sesuatu dengan mereka," Kok Tiong berkata dan kini Jenderal Kao juga mulai merasa curiga.
"Biar saya pergi membawa pasukan pengawal untuk mencari mereka."
Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Jangan! Kalau benar ada terjadi sesuatu yang tidak beres, jelas bahwa fihak sana hendak memecah belah kita. Agaknya selagi kita bersatu mereka tidak berani turun tangan, maka kalau kau pergi membawa pasukan, berarti siasat mereka untuk memecah kekuatan kita berhasil."
Kok Tiong mengangguk-angguk, diam-diam kagum akan kecepatan pikiran ayahnya dalam menghadapi keadaan yang mencurigakan itu. "Lalu bagaimana baiknya, Ayah? Ibu juga sudah menaruh curiga dan tadi sudah beberapa kali menanyakan mengapa pengawal-pengawal yang pergi mencari air belum juga kembali."
"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan saja, selain untuk keluar dari hutan ini, juga agar ibumu tidak menjadi gelisah. Siapkan semua pasukan pengawal, dan kau wakili Cio-ciangkun."
Kok Tiong, dibantu oleh Kok Han adiknya, cepat melakukan perintah ayahnya dan tak lama kemudian berangkatlah rombongan itu dikawal oleh pasukan pengawal yang kini berkurang dengan sembilan orang jumlahnya. Malam sudah agak larut, sudah hampir tengah malam, bulan sudah berada di atas kepala dan tak lama kemudian rombongan ini sudah mulai tiba di pinggir hutan karena pohon-pohon sudah mulai jarang. Cuaca makin terang karena pohon-pohon tidak sebanyak tadi, kanan kiri lorong tidak selebat tadi. Akan tetapi karena peristiwa menghilangnya sembilan orang itu membuat semua orang merasa curiga dan tegang, mereka melakukan perjalanan dengan diam-diam dan suasana menjadi sunyi bukan main, yang terdengar hanya daun-daun kering terinjak kaki dan napas pemikul tandu.
Tiba-tiba semua orang terkejut dan Jenderal Kao cepat membuka tirai tandunya dan mengulurkan tangan keluar sambli berseru, "Berhenti....!"
Tanpa komando sekalipun, semua orang memang sudah berhenti dengan kaget karena mereka semua mendengar suara hiruk-pikuk, teriakan-teriakan bising seperti suara banyak orang sedang bertempur di luar hutan itu. Jenderal Kao Liang sudah meloncat keluar dari tandunya dan memberi isyarat dengan tangan agar semua pasukan pengawal berkumpul, mengelilingi tandu-tandu yang dikumpulkan di situ dan siap siaga. Semua pengawal mencabut golok masing-masing dan berjaga-jaga dengan hati penuh ketegangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak merasa takut, karena di situ terdapat Jendera Kao Liang dan dua orang puteranya. Bagi para pengawal itu, lebih baik langsung menghadapi musuh daripada keadaan penuh rahasia seperti lenyapnya sembilan orang kawan mereka tadi.
"Ayah, biar saya pergi menyelidiki." kata Kok Tiong.
"Saya akan menemani Tiong-ko," kata pula Kok Han.
Jenderal Kao Liang menggeleng kepalanya. "Jangan, kita tunggu saja di sini. Kita sudah kehilangan sembilan orang pembantu, sebaiknya kita bersatu menghadapi musuh. Biarkan mereka menyerang, kita siap saja menyambut, akan tetapi lebih dulu biar aku yang bicara dengan pemimpin musuh."
Dua orang pemuda itu tidak membantah, akan tetapi menanti di situ sambil mendengarkan suara pertempuran yang tidak kelihatan itu menegangkan hati juga. Di dalam hati Jenderal Kao Liang sendiri, timbul berbagai pertanyaan. Dia merasa yakin bahwa pertempuran yang terjadi di luar hutan itu tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Cio-ciangkun dan delapan orang anak buahnya, akan tetapi apa yang terjadi sesungguhnya dia tidak dapat memastikan. Apakah pertempuran di luar hutan itu hanya merupakan pancingan belaka? Apakah memang ada golongan hitam yang mengincar rombongannya? Sebagai seorang bekas panglima besar yang pensiun dan kini menuju ke kampung halamannya, tentu saja rombongannya membawa harta benda yang cukup banyak. Mungkin saja ada golongan hitam yang memang mengincar dan hendak merampas harta yang dibawa rombongannya. Ataukah Cio ciangkun dan anak buahnya yang menghilang itu mungkin berkhianat dan bersekongkol dengan golongan hitam? Mereka itu telah menjadi korban dan tewas oleh golongan hitam, ataukah diam-diam bersekongkol dengan mereka? Dan siapa yang bertempur di luar hutan itu?
Tiba-tiba saja, seperti terdengar tadi, suara hiruk-pikuk pertempuran itu berhenti. Berhenti sama sekali dan tidak terdengar suara sedikit pun. Suasana kembali menjadi sunyi. Bahkan terasa jauh lebih sunyi daripada tadi sebelum ada suara pertempuran. Kini sunyi yang menyeramkan. Beberapa orang pengawal menggigil, sebagian karena dingin hawa malam itu, sebagian besar pula karena merasa seram. Memang amat menyeramkan kesunyian tiba-tiba itu setelah tadi mereka dicekam ketegangan suara pertempuran di luar hutan. Jenderal Kao menanti sejenak, khawatir kalau-kalau fihak musuh memang sengaja memancing dan hendak menjebak. Akan tetapi sampai lama tidak terdengar suara apa pun dan kini daun-daun mulai berkelisik karena mulai tengah malam itu angin menggugah daun-daun pohon yang tadinya tidur.
Setelah ternyata benar-benar tidak terdengar lagi suara, Jenderal Kao lalu memanggil Kok Han, puteranya yang bungsu, "Kok Han, kaubawa sepuluh orang perajurit pengawal dan selidiki di luar hutan depan itu. Akan tetapi jangan melibatkan diri dalam pertempuran. Kalau ada penyerangan, tarik kembali pasukanmu ke sini."
"Baik, Ayah." Kok Han lalu mengajak sepuluh orang pengawal, berindap keluar dari tempat itu menuju ke tempat dari mana tadi terdengar suara pertempuran, yaitu di sebelah depan. Jenderal Kao Liang tidak mengutus puteranya yang lebih besar karena penjagaan di situ lebih penting diperkuat daripada rombongan penyelidik itu.
Kao Kok Han membawa sepuluh orang pengawal keluar dari hutan dan tak lama kemudian tibalah dia di tempat pertempuran tadi, di luar hutan. Akan tetapi tidak kelihatan seorang pun manusia di situ. Yang ada hanya bekas-bekas pertempuran yang agaknya memang hebat dan seru. Beberapa batang pohon roboh dan darah berceceran di mana-mana, akan tetapi tidak ada sebuah pun mayat tampak di situ. Sungguh mengherankan sekali, seolah-olah yang melakukan pertempuran tadi bukan manusia, melainkan setan-setan dan siluman-siluman penghuni hutan dan yang kini semua telah menghilang kembali.
Setelah memeriksa dengan teliti, Kok Han lalu mengajak pasukan kecil itu kembali ke dalam hutan menghadap ayahnya. Jenderal Kao Liang juga merasa terheran-heran mendengar pelaporan puteranya itu.
"Tidak ada mayat sebuah pun? Jangan-jangan itu hanya pancingan dan jebakan, kata Jenderal Kao Liang sangsi.
"Akan tetapi jelas ada tanda-tanda bekas pertempuran hebat, Ayah," Kok Han berkata. "Darah berceceran di mana-mana dan senjata-senjata golok dan pedang berserakan di sekitar tempat itu, bahkan ada pohon-pohon yang tumbang. Melihat bekas-bekasnya, tentu itu merupakan hasil kerja seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat."
Suasana menjadi makin tegang, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera menghentikan dugaan-dugaan di dalam hati semua pengawal itu dengan kata-kata yang nyaring dan tegas, "Apapun yang terjadi, harap tenang dan menanti komando. Sekarang kita melanjutkan per jalanan, tidak perlu tergesa-gesa dan semua pengawal harap waspada dan siap siaga.
Rombongan bergerak lagi dan kini Jenderal Kao Liang sendiri tidak naik tandu melainkan ikut berjalan kaki, bahkan berada di bagian paling depan bersama Kao Kok Han, sedangkan Kao Kok Tiong menjaga di bagian belakang melindungi rombongan itu.
Tidak terjadi sesuatu sampai rombongan ini tiba di tempat pertempuran yang tadi telah diselidiki oleh Kok Han. Jenderal Kao Liang yang mengkhawatirkan adanya jebakan, mengangkat tangannya dan rombongan itu pun berhenti lagi. Tempat pertempuran ini sudah berada di luar hutan, di tempat terbuka sehingga dapat menampung sinar bulan sepenuhnya. Semua orang memandang ke kanan kiri ke arah batang-batang pohon dan semak-semak belukar, semua mata terbelalak mencari-cari sesuatu, semua telinga memperhatikan setiap suara yang mungkin terdengar.
Tiba-tiba semua orang menengok ke kiri karena mereka mendengar sesuatu. Juga para wanita dan anak-anak yang menyingkap tirai tandu mengintai, menengok ke kiri dan terdengarlah jerit-jerit tertahan dari para wanita dan anak-anak itu ketika mereka melihat seorang yang berlumuran darah merangkak keluar dari semak-semak!
"Dia.... Hun Kai....!" Tiba-tiba seorang di antara para pengawal berseru ketika dia mengenal wajah yang berlumuran darah itu.
Jenderal Kao yang kini juga mengenal seorang di antara para pengawal yang lenyap tadi, cepat memandang penuh selidik ke arah belakang orang itu, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri orang yang sudah terguling di atas rumput itu, lalu berjongkok dan bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
"....Yang Mulia.... hati-hatilah.... ada.... seorang akan.... membunuh seluruh.... rombongan.. .. i.... ni.... aughhh....!" Dia terkulai dan tewas di saat itu juga.
Semua orang mendengar ucapan itu dan banyak wajah menjadi pucat seketika. Para wanita menjadi panik dan memeluk anak-anak mereka, para pengawal dengan geram memutar tubuh memandang ke empat penjuru. Jenderal Kao Liang berdiri dan berkata, suaranya lantang, "Jangan takut dan panik. Tenanglah! Apapun yang terjadi, kita masih hidup dan selamat, dan tidak seekor setan pun yang akan dapat dengan mudah membunuh kita selama aku masih berdiri di sini!" Jelas bahwa jenderal tua ini menjadi marah sekali dan dia menduga bahwa semua pengawal tadi tentu tewas. Sayang bahwa pengawal yang bemama Hun Kai itu tewas sebelum dapat menceritakan dengan jelas apa yang terjadi.
"Paman.... Paman Hun Kai.... ceritakanlah, di mana adanya teman-teman yang lain?" Kok Han mengguncang-guncang tubuh pengawal itu, berusaha untuk menyadarkannya agar pengawal itu dapat menceritakan sejelasnya. Akan tetapi tubuh yang diguncang-guncang itu terkulai lemas dan tidak dapat memberi jawaban.
"Sudah, Kok Han, tidak ada gunanya lagi. Dia sudah mati," kata Jenderal Kao Liang. "Hayo cepat gali lubang kuburan untuk dia!" perintahnya dan kini para pengawal cepat menggali lubang kemudian mengubur mayat itu. Setelah itu, Jenderal Kao Liang memerintahkan agar rombongan melanjutkan perjalanan. Kini jumlah pengawal hanya tinggal enam belas orang saja, dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya.
Adapun jumlah tandu semuanya ada enam buah yang memuat isteri dari Jenderal Kao Liang, isteri dari Kao Kok Tiong, bibinya, yaitu adik perempuan Nyonya Jenderal yang sudah menjadi janda bersama dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan yang sudah remaja, kemudian dua orang anak Kok Tiong sendiri, dan dua orang inang pengasuh perempuan. Tandu bekas tempat Jenderal Kao Liang dibiarkan kosong dan masih dipikul oleh dua orang pemikul tandu. Jadi bersama dengan enam belas orang pengawal, masih ada dua puluh empat orang pemikul tandu karena tandu-tandu yang memuat orang dipikul oleh empat orang.
Setelah malam lewat dan tidak terjadi sesuatu, Jenderal Kao memerintahkan rombongannya berhenti di kaki bukit untuk beristirahat dan menggunakan kesempatan itu untuk tidur secara bergiliran. Sampai matahari naik tinggi mereka mengaso dan setelah mereka semua makan, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit yang cukup sukar. Lorong kecil pendakian itu diapit-apit tebing tinggi dan batu kapur.
Ketika rombongan membelok di atas lorong yang tertutup tebing tinggi di kedua tepinya itu, merupakan tempat yang amat berbahaya, tiba-tiba mereka berhenti lagi dan suasana mulai tegang. Lorong itu tertutup oleh sebatang balok besar sekali yang melintang di jalan! Kembali hati mereka menjadi tegang karena jelaslah bahwa balok besar itu tidak mungkin bisa berada di situ tanpa ada yang menaruhnya, dan melihat balok itu melintang menghalang jalan, jelaslah bahwa itu tentu perbuatan mereka yang hendak menentang rombongan atau setidaknya mempunyai niat buruk. Jelas bahwa gerombolan orang jahat sudah mulai memperlihatkan gerakan dan tentu sebentar lagi akan muncul. Semua orang siap siaga dan Jenderal Kao Liang sen diri sudah meraba gagang pedangnya. Bahkan Kok Tiong dan Kok Han sudah mencabut pedang masing-masing dan berdri di kanan kiri ayah mereka.
Akan tetapi, semua ketegangan urat syaraf itu temyata sia-sia belaka, karena ditunggu sampai lama sekali, tidak ada terjadi sesuatu. Sampai capai rasanya mata mereka karena jarang berkedip memandang ke kanan kiri, depan belakang dan atas bawah, namun tidak terdengar sesuatu dan tidak nampak sesuatu yang bergerak. Hati mereka menjadi kesal juga, akan tetapi diam-diam mereka bersyukur bahwa tidak ada musuh datang menyerbu. Karena kalau hal itu terjadi, sungguh amat berbahaya. Tempat itu sangat berbahaya dan tidak menguntungkan bagi mereka untuk menghadapi musuh. Berada di lorong yang diapit-apit dinding batu tinggi terjal itu, mereka amat lemah dan andaikata ada beberapa orang musuh melempar-lemparkan batu dari atas tebing, mereka akan tak berdaya dan akan terkubur hidup-hidup.
Setelah jelas ternyata bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada musuh akan menyerbu, Jenderal Kao Liang segera memerintahkan sepuluh orang pemikul joli yang bertubuh kuat-kuat untuk menyingkirkan balok besar yang melintang di tengah jalan itu. Pekerjaan itu dilakukan tanpa ada kesukaran apa-apa, dan karena tidak ada tempat untuk membuang balok itu, maka sepuluh orang tukang pikul tandu itu lalu meletakkan balok perintang itu di tepi lorong. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.
Akan tetapi belum ada sepuluh langkah mereka bergerak, tiba-tiba dua orang pemikul tandu kosong berteriak aneh dan roboh, disusul oleh teriakan-teriakan delapan orang pemikul tandu lain yang juga terguling roboh dan menyebabkan orang-orang yang naik tandu itu pun berteriak-teriak kaget dan kesakitan. Jenderal Kao Liang cepat meloncat mendekati dan dengan mata melotot dia melihat betapa sepuluh orang ini adalah sepuluh orang yang tadi menyingkirkan balok besar. Kini tangan mereka membengkak, tubuh mereka kejang dan berkelojotan, tak lama kemudian mereka itu terkulai mati dengan tubuh di jalari warna hitam dari tangan sampai ke muka mereka.
"Jangan pegang....!" Jenderal Kao membentak kepada para pengawal, pemikul tandu, dan dua orang puteranya ketika mereka ini mendekat. "Mereka keracunan!"
Keadaan menjadi makin panik dan dua orang putera jenderal itu segera menolong dua orang inang pengasuh yang tandunya terbalik. Kemudian dengan muka merah padam saking marahnya, Jenderal Kao Liang mengajak dua orang puteranya untuk naik ke atas tebing. Jenderal yang sudah tua masih gagah sekali dan dengan mudahnya dia mendaki tebing yang amat terjal itu, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han yang harus mengerahkan ginkang mereka untuk dapat mengikuti ayahnya mendaki tempat yang amat berbahaya itu. Gerakan mereka cepat dan gesit, dan mereka itu terus mendaki naik, diikuti oleh pandangan mata mereka yang merasa gelisah dan tegang dari bawah.
Setelah tiba di atas tebing di bukit itu, Jenderal Kao Liang dan putera-puteranya melihat ke kanan kiri dan tampaklah oleh mereka seorang laki-laki yang kelihatan masih muda sedang duduk di atas sebongkah batu besar, membelakangi mereka, tidak jauh dari tempat itu dan mereka mendengar betapa laki-laki yang masih muda itu sedang bersenandung, senandung yang terdengar menyedihkan seperti orang berkeluh-kesah, sambil berdongak memandang awan berarak di angkasa.
Karena di tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali orang muda yang bersenandung itu, Jenderal Kao Liang tidak merasa syak lagi bahwa tentu inilah orangnya yang mengganggu rombongannya, maka dia lalu cepat menghampiri, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han. Akan tetapi agaknya orang itu merasa atau mendengar kedatangan mereka. Dia menoleh sehingga nampak separuh mukanya, kemudian orang itu bangkit, menghentikan senandungnya dan melangkah perlahan menjauhkan diri. Tentu saja Jenderal Kao dan dua orang puteranya meloncat dan cepat melakukan pengejaran. Mereka bertiga menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar dan menangkap orang itu.
Akan tetapi, sungguh aneh bukan main! Kelihatannya saja orang itu melangkah per lahan-lahan, akan tetapi mereka bertiga tidak pernah dapat mendekatinya. Hal ini membuat Jenderal Kao menjadi penasaran sekali, penasaran dan marah. Tahulah dia bahwa pasti orang itu yang mengganggunya, atau setidaknya tentu merupakan seorang di antara gerombolan yang mengganggu rombonganya. Maka dia mempercepat larinya mengejar dengan geram. Akan tetapi, begitu jarak mereka mulai berdekatan dan mereka mulai dapat menyusul, tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan sebuah loncatan yang mentakjubkan hati Jenderal Kao dilakukan orang itu. Tubuhnya melayang seperti seekor burung terbang melayang saja dan sekali melompat sudah meninggalkan mereka, kemudian berjalan lagi dengan tenangnya.
Orang itu naik turun tebing dan akhirnya lenyap ke dalam hutan di depan. Jenderal Kao Liang terkejut bukan main, kalau dikehendaki, orang itu dengan mudah saja dapat melenyapkan diri sejak tadi, akan tetapi kenapa agaknya sengaja memancing mereka untuk mengikuti sampai jauh? Celaka, terlalu ini pancingan yang dalam ilmu perang disebut "memancing" harimau meninggalkan sarangnya". Dia dan dua orang puteranya sengaja dipancing meninggalkan rombongannya yang kini hanya dilindungi oleh para pengawal yang sudah kehilangan kepalanya.
"Cukup! Tidak perlu mengejar terus. Mari kita cepat-cepat kembali!" Jenderal Kao Liang yang merasa curiga dan khawatir itu berkata kepada dua orang puteranya. Mereka bergegas kembali ke tempat tadi, di mana rombongan mereka tadi mereka tinggalkan. Ketika mereka akhirnya dapat menuruni tebing terjal dan tiba di tempat tadi, dari atas jantung mereka sudah berdebar keras penuh kekhawatiran dan ketegangan, setelah tiba di tempat itu, mereka memandang dengan mata terbelalak dan kedua tangannya mengepal tinju, kumis dan jenggotnya seolah-olah berdiri saklng marahnya. Dua orang puteranya juga terbelalak, menoleh ke kanan kiri, kemudian memandang kepada ayah mereka dengan sinar mata bingung dan gelisah.
Betapa mereka tidak akan bingung dan gelisah? Semua tandu telah lenyap dari situ, tandu-tandu yang membuat Nyonya Kao Liang, Nyonya Kao Kok Tiong, bibi mereka, anak-anak Kok Tiong, anak-anak bibi mereka, dan dua inang pengasuh, serta harta benda mereka semua telah lenyap. Dan di tempat itu menggeletak berserakan mayat-mayat para pengawal mereka, dan para tukang pikul tandu-tandu itu. Tidak ada seorang pun diantara mereka itu yang masih hidup, semua telah tewas dalam keadaan mengerikan!
"Keparat....! Bedebah....!" Jenderal Kao Liang memaki-maki, kemudian dia menjambak rambutnya sendiri penuh penyesalan. "Bodoh kau! Tolol kau!" Dia memaki diri sendiri, kemudian menjatuhkan dirinya di atas tanah sambil bertopang dagu. Betapa dia tidak akan menyesal? Jenderal Kao Liang telah berpuluh tahun berkecimpung di dalam bidang kemiliteran, entah sudah berapa ratus kali menghadapi lawan-lawan tangguh dan lihai, sudah biasa bersiasat dan mengadu kepintaran dengan fihak lawan. Dia merupakan seorang ahli siasat yang biasa mengatur puluhan, bahkan ratusan ribu perajurit di medan perang. Dia ditakuti dan disegani oleh musuh di medan perang karena kemahirannya bersiasat. Akan tetapi kini, menghadapi perjalanan rombongan keluarganya, menghadapi gangguan seperti itu saja dia telah terkecoh dan dipermainkan orang secara habis-habisan, sampai seluruh anak buah pengawalnya tewas semua dan seluruh anggauta keluarganya diculik orang, semua harta benda yang dibawanya dicuri orang. Dan dia tidak tahu bagaimana hal itu dilakukan, tidak tahu pula siapa yang melakukannya dan kemana keluarganya dibawa pergi. Sungguh memalukan dan menggemaskan sekali!
"Ayah....!" Tiba-tiba terdengar Kok Han memanggilnya.
Jenderal Kao menoleh dan dia melihat puteranya yang bungsu itu sedang jongkok di depan sesosok di antara mayat-mayat yang berserakan di situ. Melihat sikap puteranya, dan kini Kok Tiong juga lari menghampiri adiknya, Jenderal Kao lalu bangkit dan menghampiri tempat itu.
Jenderal Kao Liang juga terheran-heran ketika dia melihat mayat yang ditunjuk oleh puteranya itu. Mayat seorang wanita! Bukan anggauta keluarganya, dan tentu saja bukan seorang diantara para pengawal. Mayat wanita yang menindih seorang laki-laki, kedua tangan wanita itu mencekik leher laki-laki itu, demikian hebatnya sampai kuku-kuku tangan wanita itu terbenam ke dalam leher! Akan tetapi, tangan laki-laki itu memegang golok kecil dan agaknya ketika wanita itu mencekiknya, laki-laki itu berhasil menghujamkan golok kecil itu ke lambung si wanita sampai masuk dalam sekali. Terang bahwa mereka tadi bertempur dan keduanya tewas dalam pertempuran ini.
"Sungguh aneh...." Jenderal Kao Liang berkata. "Aku tidak pernah melihat wanita ini.... dan entah siapa pula laki-laki di bawahnya itu." Dengan ujung sepatunya, Jenderal Kao Liang membalikkan tubuh wanita itu sehingga terpisah dari mayat laki-laki yang ditindihnya. Tampaklah kini seorang laki-laki yang berpakaian seperti seorang petani, seorang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat, sedangkan wanita itu ber wajah kejam dan usianya sudah tiga puluh tahun lebih.
"Heee! Bukankah dia ini.... seperti.... seperti Hok-ciangkun!" Tiba-tiba Kok Tiong berseru heran.
Jenderal Kao Liang mengangguk. "Sungguh aneh! Dia memang Hok-ciangkun, pengawal istana kepercayaan Kaisar. Kenapa dia sampai berada di sini? Siapa pula wanita ini? Terang bahwa dia berkelahi dengan Hok-ciangkun, akan tetapi kenapa? Dan mengapa pula Hok-ciangkun berpakaian menyamar seperti petani?"
Jenderal Kao dan dua orang puteranya menjadi bingung. Siapakah orang-orang yang telah memusuhi mereka? Kenapa mereka membunuh para pengawal dan menculik wanita-wanita dan anak-anak? Dan kenapa pula agaknya terjadi perkelahian antara mereka sendiri? Jenderal Kao dan dua orang puteranya lalu mulai memeriksa dan makin heranlah mereka bertiga ketika melihat bahwa temyata di antara mayat-mayat itu terdapat pula mayat-mayat yang tidak mereka kenal di antara tumpukan mayat-mayat pengawal mereka sendiri dan tukang-tukang pikul tandu.
"Kita harus mencari keluarga kita!" Jenderal Kao mengepal tinju. "Aku harus bisa berhadapan dengan pengecut-pengecut itu!" Dia marah sekali, akan tetapi ke mana dia harus mencari? Lorong itu berbatu sehingga sukar mencari jejak mereka yang membawa pergi tandu-tandu itu.
"Apa ini....?" Jenderal Kao Liang membungkuk dan dengan hati-hati memeriksa sebuah benda putih mangkilap yang terletak di dekat mayat si wanita tadi. Teringat akan racun hebat yang agaknya dilumurkan pada balok, Jenderal Kao Liang memeriksa dengan teliti sebelum mengambilnya. Setelah yakin bahwa benda itu tidak beracun, dia mengambil dan mengamat-amatinya. Benda itu bentuknya bulat seperti sebuah lencana. Di tengah-tengahnya terlukis seekor burung garuda berwarna hitam sedang mementang sayap dan di bawah gambaran burung itu terdapat dua buah huruf yang berbunyi "BHOK TIN" (Pasukan Kayu). Lencana itu sangat indah buatannya, dari perak murni. Milik siapakah lencana ini? Wanita itukah? Apa artinya lencana ini? Jenderal Kao tidak dapat memecahkan rahasia ini dan dia mengantongi lencana perak itu, lalu berkata kepada kedua orang puteranya yang tentu saja merasa bingung dan berduka sekali, "Mari kita berusaha mencari mereka!"
Dua orang muda itu hanya mengangguk lesu dan mereka segera berjalan cepat untuk keluar dari jalan bertebing tinggi itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di jalan tikungan dan sudah keluar dari lorong bertebing, mereka dikejutkan oleh penglihatan yang mengerikan. Di jalan itu bertebaran mayat-mayat orang yang memenuhi jalan, banyak sekali jumlahnya, kurang lebih ada seratus buah mayat! Seperti dalam perang kecil saja.
Jenderal Kao berhenti dan memandang ke sekeliling dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia tidak merasa ngeri melihat ini. Sudah biasa dia menyaksikan pemandangan seperti ini di medan perang, bahkan pernah melihat puluhan ribu mayat berserakan. Akan tetapi rasa hatinya tidak seperti sekali ini karena sekarang, keluarganya yang langsung terlibat.
Mereka lalu memeriksa mayat-mayat itu dan di antara mayat-mayat itu terdapat beberapa mayat wanita yang memakai seragam hitam dengan gambar cacahan (tatoo) berbentuk burung garuda di telapak tangan mere ka.
"Heiii! Ini seperti penjaga gardu di depan gerbang istana!" teriak Kok Tiong sambil menuding sebuah mayat yang menggeletak miring dengan kepala pecah."Dan ini juga! Itu ada pula pengawal Hok-ciangkun!"
"Jelaslah sudah bahwa ada pasukan pengawal istana bertempur di sini. Akan tetapi mengapa pasukan pengawal istana berkeliaran di sini? Apakah tugas mereka? Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak memakai pakaian seragam dan menyamar sebagai orang-orang biasa? Peristiwa apakah yang menyebabkan Kaisar mengerahkan pasukan-pasukan pengawal istana ke tempat ini?" Jenderal Kao berkata perlahan seperti bertanya-tanya kepada diri sendiri, sedangkan dua orang puteranya juga ikut memikirkan pertanyaan ayahnya itu. Sungguhpun mereka tidak dapat mencari alasan-alasan dan sebab-sebabnya, akan tetapi di dalam hati mereka timbul dugaan bahwa adanya pasukan-pasukan pengawal istana di tempat itu tentu ada hubungannya dengan berangkatnya rombongan keluarga mereka meninggalkan kota raja menuju ke kampung halaman mereka.
Suasana tempat itu sungguh mengerikan. Matahari sudah condong ke barat, beberapa saat lagi senja akan tiba. Mereka bertiga duduk kecapaian di atas batu di antara. mayat-mayat yang berserakan. Mereka merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Mereka menghadapi misteri yang tak dapat mereka pecahkan. Keanehan-keanehan yang terjadi bertubi-tubi ditambah lenyapnya keluarga mereka membuat pikiran Jenderal Kao Liang yang biasa tenang dan cerdik itu menjadi keruh. Jenderal yang gagah perkasa itu kelihatan lebih tua sepuluh tahun dari keadaan biasanya karena tekanan batin yang hebat, karena kekhawatiran akan keselamatan isteri dan keluarganya. Ingin mereka itu mengejar dan kalau perlu berkelahi mati-matian untuk melindungi keluarga mereka, akan tetapi mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Mereka tidak tahu siapa penculiknya, di mana tempatnya, bahkan tidak tahu pula mengapa keluarga mereka diculik. Kalau mereka itu menghendaki harta benda, tentu hanya harta benda saja yang dirampas, tidak perlu menculik keluarga mereka. Kalau mereka itu musuh yang mendendam, tentu keluarga mereka sudah dibunuh seperti halnya para pengawal,dan tidak diculik seperti sekarang ini.
Mungkinkah pemuda aneh yang lihai dan yang bersenandung sedih itu yang melakukan penculikan? Ah, tidak mungkin. Karena mereka bertiga cepat-cepat menghentikan pengejaran dan kembali ke tempat rombongan. Kalau bukan pemuda itu, siapa? Apakah wanita-wanita yang bertanda cacahan burung garuda di tangan mereka? Akan tetapi mereka itu agaknya bertempur mati-matian dengan rombongan Hok-ciangkun, pasukan pengawal istana yang menyamar itu. Apakah anak buah si pemuda lihai? Mungkin begitu, dan kalau begitu agaknya ada tiga rombongan bertindak pada waktu itu. Demikianlah Jenderal Kao memutar-mutar otaknya yang sudah penat. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan di benaknya yang bertubi-tubi.
Suasana menjadi sunyi sepi, dan menjadi kebalikan dari pikiran mereka yang ramai dengan pertanyaan-pertanyaan dan dugaan-dugaan yang menggelisahkan. Tiba-tiba terdengar suara suling mengalun memecah kesunyian dan menghentikan lamunan mereka yang penuh kegelisahan itu. Suara suling itu menggetar-getar halus, penuh perasaan, dan suara suling seperti itu hanya dapat ditiup oleh peniup yang mencurahkan seluruh perasaan hatinya terhadap tiupannya. Hawa yang keluar dari mulutnya agaknya langsung keluar dari hatinya sehingga ketika menyelinap di dalam tabung bambu suling itu mencipta suara yang mengalun penuh perasaan, melagukan irama lagu sedih, lagu seorang yang patah hati, gagal dalam asmara, atau seorang yang merasa kerinduan hebat terhadap seorang kekasih yang pergi meninggalkannya. Tentu saja jiwa dari lagu ini terasa oleh Jenderal Kao Liang dan kedua orang puteranya yang sedang merana ditinggalkan oleh keluarga mereka yang tidak mereka ketahui bagaimana nasibnya, ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi. Terutama sekali Kok Tiong yang teringat kepada isteri dan dua orang anaknya yang masih kecil sehingga orang muda ini cepat membuang muka membelakangi ayahnya agar Si Ayah tidak sampai melihat dua titik air mata.
Di antara pengaruh suara suling yang ditiup penuh perasaan itu, Jenderal Kao Liang segera cepat menyadari keadaan. Lagu yang ditiup suling itu adalah lagu sedih, kiranya mudah diduga siapa peniupnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang tadi pun bersenandung lagu sedih? Tentu Si Pemuda lihai tadi. Dan siapa tahu, boleh jadi pemuda itu yang menjadi biang keladi semua peristiwa ini, atau setidaknya, pemuda aneh itu tentu tahu-menahu akan peristiwa yang menimpa keluarganya ini.
Dengan muka merah dan mengepal tinjunya, Jenderal Kao Liang bangkit berdiri lalu melangkah pergi dengan cepat menuju ke arah suara suling diikuti oleh dua orang puteranya yang sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sungguh aneh, suara suling itu amat luar biasa, begitu dldekati seolah-olah berpindah tempat. Mereke bertiga terus mengejar, akan tetapi mereka berputaran dan belum juga dapat melihat pemain atau peniupnya. Setelah berputaran sampai beberapa kali, akhirnya Jenderal Kao Liang menjadi naik darah, sungguhpun dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi Kok Han yang masih muda belia itu tak dapat menahan kemarahannya dan berteriaklah dia menantang, sungguhpun dia tahu pula betapa lihai si peniup suling itu.
"Heeeiiiii....! Keluarlah engkau peniup suling sialan! Jangan main sembunyi-sembunyi kalau engkau memang jantan! Ayo, keluarlah dan lawanlah aku, engkau akan mampus kalau tidak kaukembalikan keluarga kami!"
"Sssttttt....!" Jenderal Kao mencegah puteranya akan tetapi tantangan telah dikeluarkan dan mereka kini berdiam, memperhatikan semua penjuru. Suara suling tiba-tiba berhenti keadaan menjadi makin sunyi mencekam dan menyeramkan. Lalu terdengar suara orang menguap panjang dan disusul suara langkah kaki orang tersaruk-saruk.
Selagi tiga orang ayah dan anak itu saling pandang, terdengar suara orang bergumam, "Hahhhhh perutku lapar dan kakiku capai. Sebentar lagi malam tiba dan aku belum beristirahat barang sekejap pun. Lebih baik mencari warung di depan, makan bubur hangat, mandi air sejuk lalu tidur mendengkur!"
Jenderal Kao dan dua orang puteranya cepat meloncat dan mencari ke arah datangnya suara itu. Dari jauh kelihatan berkelebatnya seorang dengan cepat. Bajunya yang putih itu tampak menyolok dengan cuaca yang sudah mulai suram karena senja telah tiba. Sebentar saja bayangan itu berkelebat dan lenyap, seperti setan menghilang saja.
"Kejar!" Jenderal Kao Liang berbisik dan ketiganya lalu mengerahkan ginkang, meloncat lalu berlari mengejar secepat mungkin. Jenderal itu merasa yakin bahwa orang di depan tadi tentu tahu akan segala peristiwa yang terjadi, maka dia tidak mau kehilangan orang itu.
Akan tetapi, bayangan itu telah lenyap dan mereka mengejar sampai malam tiba, belum juga dapat menyusul. Tentu saja ketiganya merasa mendongkol dan malam itu berbeda dengan malam tadi. Awan mendung berkumpul di langit sehingga keadaan menjadi gelap pekat, sedangkan mereka tidak mengenal jalan. Maka terpaksa mereka menghentikan pengejaran sia-sia itu dan melewatkan malam di tepi jalan di kaki bukit yang sunyi, membuat api unggun dan semalam suntuk mereka tidak dapat tidur, menanti datangnya fajar untuk melanjutkan pengejaran dan pencarian mereka.
"Orang itu agaknya sengaja menyebut tentang sebuah warung di depan. Biar dia memancing sekalipun, kita harus pergi mengejarnya dan mencari warung itu!" demikian Jenderal Kao berkata.
Ketika fajar mulai menyingsing dan cuaca tidak begitu gelap lagi, ketiganya sudah meninggalkan api unggun yang sudah tidak bernyala, tinggal berasap saja dan mereka bergegas menuju ke depan melanjutkan perjalanan semalam yang terganggu oleh kegelapan malam. Ketika mereka mulai bertemu dengan para petani yang menuju ke sawah, tiga orang ayah dan anak ini mempercepat langkah kaki mereka, tidak mempedulikan pandang mata para petani yang terheran-heran melihat mereka berjalan cepat itu. Di mana ada petani tentu ada dusun, pikir Jenderal Kao Liang dan dia melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat.
Benar saja dugaan mereka. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun. Matahari pagi dengan cerah dan riangnya menyinari sebuah warung makan di dusun itu dengan hati berdebar Jenderal Kao mengajak anak-anaknya memasuki warung. Akan tetapi, warung itu masih sunyi dan belum ada pengunjungnya, maka duduklah mereka dengan hati kecewa. Jenderal Kao memesan bubur hangat tiga mangkok yang dilayani oleh pemilik warung dengan ramahnya.
"Kami mencari seorang teman, dia masih muda dan berpakaian putih. Apakah dia sudah tiba di sini? Malam tadi atau tadi? Katanya dia ingin makan bubur panas" kata Jenderal Kao kepada pemilik warung secara sambil lalu.
Akan tetapi sungguh tidak disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung menjadi berseri. "Aih, tentu Tuan maksudkan Suma-kongcu (Tuan Muda Suma )! Memang dia sering makan di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan bubur panas. Lihat, mangkoknya juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!"
Ketiganya cepat bangkit. "Di mana dia? Kemana perginya?" Jenderal Kao bertanya, suaranya keras, mengejutkan pemilik warung.
"Eh mana saya tahu? Tadi saya lihat ke jurusan selatan sana"
Tukang warung itu menjadi bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi meninggalkan warungnya.
"Eh, ini bubur pesanan....!"
Akan tetapi Jenderal Kao dan anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya menggeleng kepala. "Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan main!"
Sementara itu, Jenderal Kao Liang sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan, berkata dengan desis terheran-heran, "Suma-kongcu!? Tidak banyak orang di dunia ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian tinggi! Siapa lagi kalau bukan keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti? Dan setahuku, ada dua orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik keluarga kita? Bukankah kita bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan mereka?" Jenderal Kao menduga-duga dengan hati penasaran.
"Itu kan dahulu, Ayah!" kata Kok Tiong dengan suaranya mengandung ke gemasan. "Dahulu ketika Ayah masih terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah seperti juga disingkirkan oleh Kaisar, sungguhpun sebagai basa-basinya Ayah disuruh istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja betapa pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang perjalanan kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan Ayah, takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya Kaisar memang berusaha untuk membasmi, keluarga kita agar aman, karena Ayah adalah seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi, demikianlah keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal menyamar sebagal petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan tetapi mereka tahu, keluarga kita bukanlah keluarga sembarangan. Apalagi ada Kok Cu koko, maka Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es, keluarga Suma. Bukankah keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga? Bukankah Pendekar Super Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?"
"Ehhhhh....?" Jenderal Kao Liang berteriak dan menghentikan langkahnya.
Kalau dalam keadaan biasa, tentu kata kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun tangan menampar mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar, menuduh yang bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan tetapi dia tidak jadi menggerakkan tangan, karena kata-kata itu membangkitkan kecurigaannya pula dan dia termenung.
Suma-kongcu, kata tukang warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu, seorang di antara dua putera Majikan Pulau Es.
Majikan Pulau Es adalah Suma Han yang terkenal sebagai Pendekar Pulau Super Sakti bagi yang memujanya dan Pendekar Siluman bagi yang membencinya, dan Suma Han ini menikah dengan Puteri Nirahai sebagai isteri pertama, Puteri Nirahai cucu kaisar! Ucapan Kok Tiong tadi biarpun agaknya tidak masuk di akal mengingat akan watak keluarga Pulau Es yang sakti dan budiman, namun beralasan juga. Jenderal ini tahu bahwa di dalam pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja terjadi. Buktinya, dua orang Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar sendiri, memberontak karena politik, karena pengejaran ambisi pribadi. Siapa tahu, kaisar benar-benar menganggap dia berbahaya dan hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu, mungkin pandangan putera Pendekar Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik juga berubah terhadap dirinya!
"Akan tetapi....!" bantahnya dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari suara hatinya, "Andaikata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara berbelit-belit? Andaikata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau memerintahkan perajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman mati. Mengapa harus memakai cara penuh rahasia ini, dengan bermacam muslihat? Aku siap untuk menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi negara!"
"Saya kira persoalannya tidak semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu terhadap Ayah, tentu beliau akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu beliau tidak ingin perbuatan beliau itu diketahui oleh umum. Rakyat jelata dan semua pembesar tahu belaka siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah terhadap negara dan bangsa. Agaknya Kaisar ingin agar kita sekeluarga seolah-olah terbasmi oleh penyamun atau, oleh golongan hitam dan hal ini pun bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah sudah banyak melakukan pembersihan terhadap mereka."
Mendengar ucapan puteranya yang ke dua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan tiba-tiba hatinya menjadi berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan bunyi berkerotan. "Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat yang hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!"
Kok Tiong menarik napas panjang. "Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu keluarga sendiri terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan."
Jenderal Kao termenung, sadar akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan keadaan keluarganya. "Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja, kuminta kepada Thian, Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu, andaikata benar demikian, mengapa keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu? Di mana adanya ibumu, isterimu, anak-anakmu?"
"Itulah yang amat membingungkan, Ayah. Menghilangnya kepala pengawal, dan mayatnya pun tidak kita lihat, lalu disusul pertempuran di luar hutan antara orang-orang yang tidak kita kenal, yang kabur semua ketika kita dekati. Kemudian bentrokan antara tiga kekuatan di dalam celah itu, antara pasukan kita, wanita-wanita berlencana dan bercacah lukisan garuda serta orang-orangnya Hok-ciangkun. Mereka itu mati semua, tiga rombongan yang saling bertempur itu, akan tetapi keluarga kita dapat melarikan diri. Agaknya tidak mungkin pula kalau dibawa oleh sisa orang-orangnya Hok-ciangkun, karena kalau benar dugaan kita, Hok-ciangkun tentu bertugas untuk membasmi dan membunuh keluarga kita. Dan kalau harus diculik dulu, tentu terlalu merepotkan. Pula, kalau dibunuh di tempat itu, malah menimbulkan kesan seolah-olah dibasmi penyamun. Lalu kemana mereka itu? Siapa yang menculik mereka, kalau memang benar diculik? Dan mengapa pula? Benar-benar saya menjadi bingung, Ayah."
"Agaknya oleh orang-orang yang bercacah lukisan garuda di tangannya itu. Kita belum tahu jumlah dan kekuatan mereka, belum mengenal pula siapa mereka," kata Kok Han.
"Kurasa tidak mungkin, Han-te. Seperti kau lihat, Suma-kongcu yang lihai itu masih ada. Kalau dia, seperti kurasa begitu, ditugaskan oleh Kaisar untuk membantu pasukan Hok-ciangkun, melihat keluarga kita dibawa oleh wanita-wanita garuda itu, tentu dia akan turun tangan, tak mungkin dia diam saja tugas Hokciangkun digagalkan oleh wanita-wanita garuda itu. Kaulihat juga, dialah satu-satunya orang yang masih hidup di tempat tadi. Agaknya rombongan para wanita garuda itu dibunuhnya pula semua."
"Tapi, kalau benar begitu ke mana perginya ibu dan lain-lain? Kenapa dia tidak membunuh kita juga setelah dia melihat kita bertiga tadi? Aihhh, bingung aku setelah mendengar dugaan-dugaanmu Koko.!"
"Sudahlah," Jenderal Kao menyela. "Tidak peduli itu semua, yang penting, kita harus dapat membekuk pemuda gila itu dan semuanya akan menjadi terang. Mari kita kejar dan cari dia!"
Kembali tiga orang yang sedang dicekam kegelisahan karena kehilangan keluarga itu melanjutkan pencarian mereka, keluar dari dusun menuju ke selatan. Mereka tiba di tepi sebatang sungai yang cukup besar yang menjadl cabang Sungai Huang-ho. Terhalang oleh sungai ini, Jenderal Kao termangu-mangu. Benarkah pengejaran mereka? Apakah Suma-kongcu lewat ke sini?
Selagi dia bingung dan tidak tahu harus melanjutkan pengejaran ke mana, tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di tengah sungai dan dengan cepatnya perahu itu meluncur ke pinggir, ke arah di mana mereka berdiri. Seorang bertubuh tinggi kurus mendayung perahu itu dan benar-benar luar biasa tenaganya karena kekuatan mendayungnya mampu melawan arus sungai yang cukup kencang di bagian yang menikung itu.
Perahu itu bercat hitam, di ujungnya berkibar sebuah bendera kecil hitam pula. Dengan tangkas, orang tinggi kurus itu melemparkan sehelai tali yang dengan tepatnya mengait akar pohon di tepi sungai, kemudian, dalam jarak yang masih ada empat tombak jauhnya, sekali menggerakkan kakinya orang tinggi kurus itu telah meloncat ke darat. Jenderal Kao Liang terkejut dan diam-diam dia memuji. Ginkang yang luar biasa!
Akan tetapi, sebelum Si Tinggi Kurus itu mengeluarkan suara, dan dia sedang memandang kepada Jenderal Kao bertiga sambil menyeringai, dari dalam perahu terdengar suara yang tinggi nyaring melengking, "Inikah ikan-ikan itu, Hoa-gu? Mana yang lain-lain? Kelihatan ikan-ikan ini sudah kehilangan sisik-sisik dan sirip-siripnya, untuk apa lagi? Tidak ada gunanya. Mungkin kita sudah didahului nelayan-nelayan lain!" Ucapan itu seolah-olah percakapan nelayan, akan tetapi Jenderal Kao Liang yang memliiki banyak pengalaman itu maklum bahwa maksudnya bukan demikian. Pembicara itu menganggap mereka bertiga seperti ikan-ikan yang sudah kehilangan sisiknya, artinya orang-orang yang sudah tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Dan sebutan terhadap Si Tinggi Kurus itu pun aneh. Hoa-gu, berarti Kerbau Belang dan Si Tinggi Kurus itu kulit muka dan lehernya belang-belang, agaknya menderita penyakit panu yang sudah menahun dan sudah tak dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi, biasanya
orang-orang yang menggunakan julukan aneh-aneh memiliki kepandaian yang aneh pula, apalagi tadi Si Tinggi Kurus sudah mendemonstrasikan ginkang yang hebat. Maka dia berhati-hati dan memberi isyarat kepada dua orang puteranya agar berhati-hati.
"Hemmm, tidak salah lagi, agaknya wanita itu yang sudah mendahului kita, Khiu-pangcu!" kata Si Tinggi Kurus sambil menoleh ke arah perahu. Jenderal Kao makin waspada. Orang di dalam perahu itu dipanggil pangcu, tentu seorang ketua dari perkumpulan golongan hitam.
"Ahhh, itu salahku sendiri, Hoa-guji! Kenapa kau tidak becus mengalahkan perempuan itu kemarin. Tapi lebih baik kautanyakan mereka, kemana larinya wanita-wanita itu, agar kita dapat mengejar dan mencegat mereka sebelum mereka kembali ke sarang mereka!"
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Jenderal Kao Liang menjadi kaget ketika tahu-tahu bayangan yang mencelat dari dalam perahu itu telah berdiri di depannya dan ternyata orangnya tidak seberapa, hanya seorang kakek tua yang bertubuh pendek kecil dan kelihatan lemah. Agaknya dengan sekali tamparan tangannya yang kuat, tubuh si kecil tua itu akan remuk! Akan tetapi tentu saja Jenderal Kao tidak setolol itu dan dia tahu bahwa si kecil ini malah lebih berbahaya daripada Si Tinggi Kurus!
Jenderal Kao pura-pura tidak mengerti akan arti percakapan mereka tadi, maka dia mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, "Harap maafkan, kami ingin sekali bertanya kepada Ji-wi, apakah Ji-wi ada melihat seorang pemuda berpakaian putih lewat di sini? Kami sedang mencarinya."
Kakek kecil itu tertawa dan melangkah maju. "He-he, kami tidak melihat orang lain di sini, dan bukankah engkau ini Jenderal Kao Liang yang sudah ditendang keluar dari kota raja? He-hehe!" Kata-kata dan sikap kakek ini menghina sekali.
Kok Han sudah melangkah maju hendak mendamprat, akan tetapi ayahnya melarangnya dan Jenderal Kao Liang dengan tenang menjawab, "Aku adalah Kao Liang, tepat seperti dugaanmu, sobat. Siapakah engkau, kudengar kau disebut pangcu. Engkau ketua dari perkumpulan apakah?"
"He-he, aku orang she Khiu hanya ketua yang ke dua, mewakili Twako (Kakak) untuk mengambil hartamu yang kau-bawa dari kota raja. He-he, jenderal bekas, lekas kaukatakan, di mana hartamu itu dan siapa yang membawanya?"
"Iblis hina dan busuk!" Kok Han tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ayahnya dihina seperti itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menusuk kakek kecil itu dengan jurus maut Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan), pedangnya langsung meluncur ke arah ulu hati kakek itu dengan kecepatan kilat sehingga nampak sinar berkelebat menyilaukan mata.
"He-he, bocah, kau boleh juga!" Kakek kecil itu terkekeh, miringkan tubuhnya dan jari tangannya menyentil.
"Tringgggg....!"
"Ahhhhh!" Kao Kok Han berseru kaget dan cepat dia meloncat ke belakang mengikuti ke mana pedangnya terpental karena pedang yang kena disentil oleh kuku jari tangan kakek itu hampir saja terlepas dari pegangannya.
"Iblis tua bangka!" teriak Kok Tiong yang menjadi marah dan orang muda ini pun telah menyerang dengan pedangnya dengan hebat. Namun dengan mudahnya kakek kecil itu mengelak, kemudian kakinya yang pendek kecil itu mengelak, hampir saja mencium lambung Kok Tiong kalau saja dari samping Jenderal Kao Liang tidak cepat menangkis dengan tangan kirinya.
"Dukkkkk!"
Jenderal Kao Liang merasa betapa lengannya yang bertemu dengan kaki itu merasa nyeri dan kesemutan, maka dia terkejut sekali, maklum bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.
"He-he-he! Kiranya bekas Jenderal Kao masih belum kehilangan kepandaiannya! Akan tetapi seorang jenderal tanpa pasukan, mau bisa apakah?" Kakek kecil itu mengejek dan kini Jenderal Kao Liang menjadi marah sekali.
"Engkau tentu seorang pangcu dari golongan perampok busuk!" teriaknya. "Biarpun aku tidak memegang jabatan apa-apa, sudah menjadi kewajibanku untuk membebaskan rakyat dari gangguanmu!"
Jenderal itu sudah meloloskan pedangnya yang panjang, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Kakek kecil ini pun tidak berani memandang rendah, cepat dia mengelak dan balas menyerang, akan tetapi dia masih saja terkekeh dan menghadapi jenderal tua ini dengan tangan kosong belaka.
Kok Tiong dan Kok Han menerjang maju, akan tetapi mereka dihadang oleh kakek tinggi kurus yang sudah memegang sebatang dayung. Melihat ini, dua orang muda itu cepat memutar pedang mereka dan menyerang. Si Tinggi Kurus memutar dayungnya pula menangkis.
"Cringgggg! Tranggggg....!" Bunga api berpijar dan dua orang muda itu maklum bahwa selain kakek tinggi kurus ini bertenaga besar, juga dayungnya itu ternyata bukan dayung kayu seperti biasa, melainkan dayung baja yang amat kuat pula.
Terjadilah pertempuran hebat dan seru di tepi sungai itu. Jenderal Kao Liang memang seorang yang memilikl tenaga besar sekali, akan tetapi ilmu silatnya biarpun cukup tinggi, masih tidak selihai ilmu perangnya. Dia memutar pedangnya dengan cepat dan kuat sampai terdengar suara berdesingan dan pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ternyata kakek kecil itu memiliki ginkang yang luar biasa, tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandang mata Jenderal Kao sehingga membuat jenderal tua ini terkejut dan juga bingung. Betapapun juga, kakek kecil yang memandang rendah dan bersikap sombong itu, yang menghadapi Jenderal Kao Liang dengan tangan kosong belaka, juga tidak mudah merobohkan Sang Jenderal yang tubuhnya terlindung oleh sinar pedangnya.
Lima puluh jurus telah lewat dan Jenderal Kao Liang masih terus menyerang lawannya dengan kemarahan yang berkobar-kobar. Dia maklum bahwa lawannya ini sedikit banyak tahu akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya, maka ingin dia merobohkan lawan ini, kalau bisa tidak sampai membunuhnya agar dia dapat memaksanya mengaku. Akan tetapi, tubuh lawan ini terlalu cepat bergerak.
"He-he-he, jenderal yang tidak terpakai! Kau masih berani melawan terus?" Kakek kecil itu mengejek dan kini dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi sungai.
Melihat ini, Jenderal Kao Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik. Lawannya sudah berada di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu mengeluarkan gereng an seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat sekali ke arah dada lawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Si kakek kecil itu lenyap. Demikian cepat gerakannya ketika menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal Kao. Tahu-tahu kakek kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao yang memegang pedang dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerak menendang. ke arah lutut Jenderal Kao. Jenderal ini berseru kaget, kedua kakinya terasa lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, kakek kecil itu telah menyentak tangannya, menariknya ke atas membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala kakek kecil itu dan terlempar ke tengah sungai!
"Byuuuuurrr....!" Tubuh yang tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan pedangnya itu mencoba untuk berenang akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya menggunakan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, terseret oleh arus sungai yang kuat.
"Ayahhhhh....!" Kok Tiong berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu mengalahkan lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar dayung yang berkelebatan. Kiranya orang yang berjuluk Kerbau Belang ini kuat sekali, dan kadang-kadang dari tenggorokannya keluar suara seperti seekor kerbau marah dan tiap kali terdengar suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat dua orang saudara Kao itu kewalahan. Namun dengan kerja sama yang rapi, mereka berdua masih dapat saling melindungi dan menahan amukan kakek tinggi kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.
"He-he-he, Hoa-gu-ji, engkau benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil saja masih belum mampu menangkapnya?" Kakek kecil yang telah berhasil melontarkan tubuh Jenderal Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, tubuhnya berkelebat dan dengan cepat sekali, menggunakan kesempatan selagi dua orang saudara Kao itu menangkis dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, Kok Tiong dan Kok Han mengeluh dan roboh lemas.
Hoa-gu-ji menggerakkan dayungnya ke arah kepala mereka.
"Wuuuuutttttt.... plakkk!" Dayung itu terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil. "Gilakah kau, Hoa-guji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kaubunuh?"
Hoa-gu-ji cemberut dan dia teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan mengikat kedua tangan Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena merasa malu bahwa dia tidak mampu merobohkan dua orang musuh itu, maka dalam kemarahannya hampir dia membunuh mereka.
"Maafkan, Pangcu, hampir saya lupa," katanya setelah mengikat mereka dan melemparkan tubuh mereka ke atas perahu.
Tak lama kemudian, perahu yang kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke tengah sungai mengikuti arus. "Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah kalian! Kalau tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan di sungai ini!" Kakek kecil itu membentak.
"Persetan dengan kamu, iblis tua bangka!" bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga tidak takut atau jerih menghadapi ancaman kakek kecil itu. Akan tetapi, Kok Tiong yang lebih cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak, mereka berdua harus hidup, apalagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap, hanyut ditelan air sungai. Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dulu dan tidak boleh mati begitu saja.
"Pangcu, engkau telah keliru menyerang orang," katanya tenang. "Ayah kami memang membawa harta benda, akan tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami ketahui siapa, keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa. Kami bertiga sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi sungai."
"Wah, celaka, benar-benar ada orang mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda, ceritakan semua dengan jelas."
Kao Kok Tiong lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa menceritakan dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek kecil itu mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang. "Celaka, siapa lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji, hayo cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!"
Perahu meluncur makin cepat karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga dibantu oleh kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara Kao yang rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu, merasa miris juga melihat perahu meluncur demikian cepatnya, apalagi karena mereka memang tidak biasa bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang tadi mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha berenang namun terseret oleh arus air.
Khiu-pangcu dan Hoa-gu-jin kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu ketika perahu itu melewati sebuah hutan yang liar dan hebat. Mendadak tampak sinar berkelebat diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah menancap di kepala perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak bergambar garuda hitam dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN (Pasukan Air). Melihat ini dari tempat ia rebah, Kok Tiong dan Kok Han teringat akan lencana yang mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena memang sama gambar dan bentuknya, hanya lencana yang mereka temukan itu memakai huruf Pasukan Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi Pasukan Air.
Khiu-pangcu terkekeh, lalu mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.
"Singgggg....!" Cepat sekali anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu, kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat daripada kalau anak panah itu meluncur dari sebatang gendewa!
Kini kakek kecil ltu bangkit berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan kedua lengannya bertolak pinggang, lalu terdengar suaranya yang tinggi melengking nyaring, bergema di dalam hutan di seberang sungai, "Haiiiii....! Kenapa hanya pimpinan Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan yang lain? Hayo keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke sini! Malam kemarin kepala Pasukan Kayu telah berani menghina seorang anggauta kami, hayo suruh dia ke luar pula kalau berani!"
Siapakah pelempar anak panah yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang memakai lencana garuda hitam itu? Mereka itu adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak Gunung Cemara. Perkumpulan ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi, dan tangan mereka semua dicacah gambar burung garuda. Di antara mereka dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Api, Pasukan Air, Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu di seberang sungai, "Kakek sombong, jangan tekebur, kau!" Dan munculiah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh tahun dari balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam dan yang memegang sepasang pedang. "Tidak perlu saudara-saudara kami maju, cukup kami saja yang akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kauserahkan tawananmu itu kepadaku, kami akan membebaskan engkau!"
"He-he-he-he, perempuan cantik suaranya nyaring!" Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu didayungnya ke pinggir. Kakek tinggi kurus mengikat perahu di tepi, kemudian bersama Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh dan tersenyum simpul.
"He-heh-heh, Nona cantik. Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja kau membahayakan kulitmu yang halus, lebih baik suruh semua pasukan maju mengeroyok aku." Wanita itu menudingkan pedang kirinya ke arah muka kakek kecil sedangkan pedang kanannya melintang di depan dada, sambil berkata, "Khiu-pangcu, jangan kau sombong. Saat ini aku Kim-hi Nio-cu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga di sini, maka cepat kauserahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku turun tangan menggunakan kekerasan."
"Ha-ha-he-heh, sungguh gagah! Mari, mari, Nona manis, mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!" Khiu-pangcu lalu meraba pinggangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika dia telah meloloskan sabuk atau ikat pinggangnya yang panjang dan ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata cambuk yang ada gagangnya dan yang ujungnya bercabang-cabang itu.
"Kau bosan hidup!" Wanita cantik yang berjuluk Nona Ikan Emas itu membentak, pedangnya berkelebatan dan dalam gebrakan pertama, sepasang pedangnya telah menyambar-nyambar dan menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan nona ini cepat sekali dan agaknya dia memiliki ginkang yang amat hebat, sehingga dia menjadi lawan yang sama cepatnya dengan kakek kecil itu. Akan tetapi, Khiu-pangcu tertawa mengejek dan begitu dia menggerakkan cambuknya, terdengar suara bersuitan menyakitkan telinga, diselingi ledakan-ledakan kecil dan setiap ledakan itu mengakibatkan mengepulnya sedikit asap putih, tanda bahwa gerakan cambuk itu memang kuat sekali.
Kim-hi Nio-cu menyerang ganas, sepasang pedangnya merupakan sepasang cengkeraman maut yang mengintai nyawa, akan tetapi dua gulungan sinar pedang itu selalu terbendung dan terpental kalau bertemu dengan lingkaran hitam dari cambuk di tangan Khiu-pangcu, bahkan sering kali terdengar ledakan-ledakan kecil di atas kepala si Nona Ikan Emas, membuat wanita itu kadang-kadang menjerit kaget dan disusul suara tertawa mengejek dari Khiu-pangcu.
Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara bersuit dan muncullah lima orang wanita anak buahnya yang semua memegang pedang di tangan. Akan tetapi, kini Hoa-gu-ji tertawa dan menghadang dengan dayungnya yang panjang, dan begitu lima orang wanita itu maju menyerbu, dayungnya diputar dan lima orang wanita itu tertahan gerakannya tidak dapat membantu Kim-hi Nio-cu yang terpaksa melayani sambaran-sambaran cambuk yang amat lihai dari Khui-pangcu itu.
Tak lama kemudian, ketika Kim-hi Nio-cu sudah terdesak hebat, demikian pula lima orang anak buahnya, terdengar suitan dari jauh dan muncullah seorang wanita lain yang usianya juga tiga puluh tahunan, yang cantik tidak kalah dengan Kim-hi Nio-cu, bahkan kulitnya lebih putih sehingga pakaian hitam itu membuat wajahnya putih halus seperti salju, wanita ini bersenjatakan sebatang golok kecil lebar yang mengeluarkan sinar gemerlapan. Inilah kepala dari Pasukan Tanah.
"Adik Liong-li, bantulah aku!" teriak kepala Pasukan Air dengan girang.
Tanpa diminta untuk kedua kalinya, wanita cantik yang disebut Liong-li itu segera menerjang maju dengan goloknya membantu Kim-hi Nio-cu mengeroyok Khiu-pangcu sambil berkata, "Kiranya Khiu-pangcu, Si tua bangka keparat!"
"He-he-he, cantik.... cantik....!" Gunung Cemara sarang bidadari, sebetulnya menjadi sumber kenikmatan dan kesenangan, sayang malah menjadi sumber kejahatan dan kekacauan! He-he-he!" Khiu-pangcu masih sempat tertawa ketika dia mengelak dari sambaran sinar kilat dari golok di tangan Liong-li.
Pertempuran menjadi makin hebat, akan tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang wanita itu masih kalah jauh dibandingkan dengan tingkat kepandaian Khiu-pangcu. Lewat lima puluh jurus, sinar hitam dari cambuknya mengurung dan menghimpit, membuat dua orang wanita itu mandi keringat dan tak lama kemudian, Khiu-pangcu berhasil merobohkan mereka dengan totokan-totokannya yang lihai. Juga Si Tinggi Kurus Hoa-gu-ji berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya yang cepat meloncat ke air, menyelam dan lenyap.
"He-he-he, percayakah kalian sekarang?" Khiu-pangcu tertawa mengejek, menyimpan sabuknya dan memandang dua orang wanita yang roboh terlentang dan tak dapat bergerak karena tubuhnya lumpuh, hanya mata mereka memandang dengan mendelik marah kepada kakek kecil itu. "Seharusnya kalian mengajak semua saudara kalian ke sini baru bisa agak seimbang melawan aku. Nah, sekarang katakan, di mana adanya harta rampokkan milik keluarga Jenderal Kao itu? Katakan sebenarnya, kalau tidak kalian akan kubunuh, kemudian akan kutantang ketua kalian biar peristiwa dua tahun yang lalu terulang kembali. Sayang, ketika itu muncul Pendekar Siluman Kecil sehingga pertempuran terhenti dan nyawa Perkumpulan Hek-eng-pang selamat."
"Bedebah tua bangka! Siapa takut mati? Mau bunuh lekas bunuh, akan ada teman-teman kami yang membalaskan kematian kami, yang akan melumatkan perkumpulanmu dan meratakan sarang kalian dengan bumi. Hayo, bunuhlah!" Kim-hi Nio-cu menantang.
"Tua bangka gila, namaku bukan Liong-li kalau aku takut mampus!" Kepala Pasukan Tanah juga menantang dengan pandang mata menghina.
Khiu-pangcu menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, wah, hebat sekali. Hoa-guji, kalau anak buah kita tidak setabah mereka ini, sungguh kita harus merasa malu."
"Ji-pangcu (Ketua Ke Dua), boleh jadi mereka tidak takut mati, akan tetapi apakah Pangcu lupa bahwa ada sesuatu yang lebih ditakuti wanita daripada maut?" Hoa-gu-ji berkata sambil tertawa menyeringai, memperlihatkan gigi yang sudah keropok dan kuning dekil.
"Hah? Ohhh.. .. Â Â Â he-he-hea. ...kau memang cerdik!" Khiu-pangcu berkata dan sambil tertawa-tawa dia lalu berjongkok mendekati tubuh Kim-hi Niocu, menggunakan kedua tangan menggerayangi tubuh wanita cantik itu sambil mulai melepas-lepaskan pakaiannya. Sedangkan Hoa-gu-ji dengan lagak menjemukan juga menggerayangi tubuh Liong-li dan melepaskan kancing-kancing baju wanita cantik itu.
Kim-hi Nio-cu dan Liong-li menjerit.
"Tua bangka! Apa yang kaulakukan ini? Lepaskan aku!" Kim-hi Nio-cu berteriak.
"Keparat tak tahu malu, lepaskan aku!" Liong-li juga menjerit-jerit, akan tetapi karena tak dapat bergerak, maka dia hanya terbelalak penuh kengerian.
"He-he-he, hendak kulihat, kau lebih suka dicemarkan atau berterus terang!" Khiu-pangcu mengejek dan sudah mulai menanggalkan pakaian luar Kim-hi Nio-cu sehingga mulai nampaklah bentuk tubuhnya yang padat membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis, dan nampak pula kulitnya yang putih halus dan menggairahkan itu.
"Jangan....! Kami.... akan berterus terang....!" Akhirnya Kim-hi Nio-cu berteriak dengan suara lemah, tanda bahwa dia tidak mempunyai semangat untuk melawan lagi. Menghadapi kematian dia masih tabah, akan tetapi kalau harus dihina lebih dulu oleh kakek yang menjijikkan ini, benar-benar hebat dan dia tidak sanggup menghadapinya. "Akan tetapi kau harus berjanji demi kedudukanmu bahwa kalau kami mengaku terus terang, kau tidak akan mencemarkan kehormatan kami."
Khiu-pangcu bangkit berdiri. "He-he-he.... siapa sih yang masih haus akan tubuh perempuan muda? Aku sudah muak!"
"Tapi.... dia.... dia ini....!" Liong-li menjerit. Hoa-gu-ji yang agaknya sudah bangkit berahinya itu mulai meraba celana dalam berwarna hitam yang amat kontras dengan paha yang putih mulus dari Liong-li.
"Hoa-gu-ji, kau benar-benar seperti kerbau! Hayo mundur!" Khiu-pangcu membentak dan kakek tinggi kurus itu tersentak kaget, lalu bangkit dan mundur dengan muka merah menarik napas menahan nafsu berahinya yang berkobar dan jelas dia amat kecewa.
"Nah, ceritakanlah!" Khiu-pangcu menghardik kepada Kim-hi Nio-cu.
"Harap.... Â Â bebaskan dulu kami.... bicara begini tidak enak...."
"Huhhh, dasar perempuan. Cerewet amat!" Khiu-pangcu mengomel, akan tetapi tetap saja tangannya bergerak dua kali dan dua orang wanita muda cantik itu dapat bergerak, lalu cepat-cepat mereka memakai kembali pakaian luar mereka yang sudah ditanggalkan oleh dua orang kakek itu. Setelah, itu, barulah Kim-hi Nio-cu bercerita dengan suara lirih, karena sesungguhnya dia terpaksa mengalah.
"Kami belum mendapatkan harta Jenderal Kao. Kami bertemu dan bentrok dengan pesukan asing yang lihai, bahkan adik kami kepala Pasukan Kayu telah tewas ketika bertanding dengan pemimpin pasukan asing itu. Karena kami belum mendapatkan harta itu, maka kami mengejar Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang kautawan itu untuk menanyakan di mana adanya harta benda mereka yang tadinya mereka bawa dalam rombongan mereka dari kota raja."
"Aih, begitukah? Kalau begitu kita semua telah dipermainkan oleh keluarga Kao itu!" Khiu-pangcu berkata marah. "Hoa-gu-ji, seret mereka keluar dari perahu dan bawa ke sini!"
Hoa-gu-ji yang masih kecewa itu kini dengan kasar menyeret tubuh Kok Tiong dan Kok Han keluar dari perahu dan melemparkan tubuh mereka yang terbelenggu itu ke atas tanah di depan kaki Khiu -pangcu. Dua orang muda itu mengguling kan tubuh agar terlentang dan dapat melihat orang-orang yang menawannya. Mereka melihat dua orang wanita cantik itu dan menduga-duga siapa adanya mereka.
"Hayo katakan yang sebenarnya, di mana kalian menyembunyikan harta Ayah kalian yang tadinya kalian bawa dalam rombongan itu! Kalau tidak, jangan mengatakan Khiu-pangcu berlaku kejam, kalian tentu akan kusiksa di sini!" Khiu-pangcu membentak marah karena dia merasa dipermainkan.
Kok Han memandang dengan mata melotot. "Sudah kukatakan padamu, terserah kamu percaya atau tidak!" Pemuda ini membentak juga. "Mau siksa, mau bunuh, siapa sih yang takut?"
Kok Tiong cepat berkata, "Pangcu, kami adalah putera-putera seorang besar dan keluarga kami semenjak puluhan tahun terkenal sebagai keluarga pahlawan yang pantang untuk membohong, apalagi memberatkan harta benda! Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu siapa yang merampas harta kami, siapa pula yang menculik keluarga kami."
"Hemmm, agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit. Bocah-bocah keras kepala, biarpun kalian putera-putera bekas Jenderal Kao Liang, akan tetapi agaknya kalian belum mengenal siapa aku, ya? Dan kalian belum mendengar tentang senjata rahasiaku Touw-kut-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Tulang)! Apakah kalian mau merasakannya?"
"Khiu-pangcu, kami kira mereka ini tidak berbohong. Perlu apa menggunakan jarum beracunmu yang mengerikan itu?" Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu mencela kakek itu.
"Ha-ha-he-he, agaknya kau sayang melihat ketampanan mereka, ya? Hoh ho, biar kalian juga melihat betapa hebatnya jarum Touw-kut-tok-ciam dari Khiu-pangcu, agar lain kali kalian bocah-bocah tidak berani kurang ajar melawan aku!"
Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tidak melanjutkan tangannya yang hendak merogoh saku mengeluarkan jarum beracunnya, karena pada saat itu terdengar suara orang bersenandung, lalu lewatlah seorang pemuda berpakaian abu-abu di tempat itu. Dua orang putera Jenderal Kao yang terlentang melihat pemuda ini dan hampir saja mereka mengira bahwa yang lewat itu adalah Suma-kongcu yang mereka cari-cari, karena suara itu hampir sama dengan suara senandung yang mereka dengar di atas tebing kemarin dulu. Akan tetapi orang ini pakaiannya abu-abu, tidak putih-putih, dan ketika mereka berdua memandang wajah itu, mereka tahu bahwa orang ini bukanlah Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu yang pernah mereka lihat dan mereka kenal.
Pemuda berpakaian abu-abu itu menghentikan senandungnya dan bahkan berhenti melangkah, lalu menghampiri mereka dengan wajah heran. "Eh, ada terjadi apakah di sini? Mengapa kalian berdua tiduran di tanah yang kotor? Eh, bukankah kalian ini putera-putera Jenderal Kao Liang?" Pemuda itu lalu menoleh dan memandang bergantian kepada dua orang wanita Garuda Hitam dan kepada Khiu-pangcu dan Hoa-gu-ji, kemudian dia mengerutkan alisnya dan menegur. "Heiii, kenapa kalian menawan dua orang putera Jenderal Kao Liang ini? Ehem, tentu kalian mengincar harta benda mereka, bukan? Tolol, mereka itu adalah keluarga yang gagah perkasa dan bersih, harta benda mereka bukanlah hasil korupsi. Sama sekali bukan, melainkan harta yang bersih, hasil dari jerih payah dan keringat mereka sendiri. Ho-ho, kalian memang tolol, karena kalian sudah terlambat semua, harta itu telah berada pada Suma-kongcu."
"Eh, bocah lancang, kau tahu apa?" Khiu-pangcu membentak marah, tangannya melayang. Dalam kemarahannya karena dia tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda ini, yang bahkan memakinya tolol, di dalam tamparan itu Khiu-pangcu mengerahkan sinkangnya sehingga tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, yang bahkan cukup kuat untuk menghancurkan batu karang, apalagi kepala pemuda yang kelihatan lemah itu.
"Wuuuuuttt.... plakkkkk.... aughhh....!"
Sungguh mengherankan sekali. Pemuda itu agaknya dengan acuh tak acuh, dengan gerakan sembarangan saja, mengangkat tangan menyambut tamparan itu sehingga dua tangan itu bertemu, dan akibatnya, Khiu-pangcu terhuyung ke belakang memegangi tangannya dan meniup-niupnya karena terasa panas seperti dibakar!
"Bangsat cilik keparat!" Kakek itu marah sekali dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya digerakkan, yang kiri menotok ke arah tengah-tengah antara mata dan yang kanan mencengkeram ke arah pusar pemuda berpakaian abu-abu itu. Jelas betapa marahnya Khiu-pangcu karena, serangan yang dilakukannya ini adalah serangan maut yang amat hebat, yang sukar dihadapi oleh yang tangguh sekalipun, apalagi oleh orang muda tidak ternama yang berpakaian sederhana seperti seorang pemuda gunung biasa itu.
"Wuuuttttt, plak-plak, desssss....!" Dan semua orang terbelalak melihat Khiu-pangcu roboh terjengkang.
"Blukkk!" Pantat yang tipis dari Khiu-pangcu terbanting ke atas tanah, debu mengebul dan kakek kecil itu meringis kesakitan, juga keheranan.
"Siuuuuuttttt....!" Sebatang dayung panjang meluncur dan menghantam ke arah kepala pemuda berpakaian abu-abu itu. Itu adalah penyerangan yang dilakukan oleh Hoa-gu-ji, yang menjadi marah melihat betapa ketuanya sampai dua kali dibikin malu oleh pemuda itu. Hantaman dayungnya itu amat kuat, mengandung tenaga ratusan kati dan akan menghancurkan batu karang kalau mengenainya. Akan tetapi, tanpa menoleh pemuda itu mengangkat tangan kirinya menangkis, gerakan tangannya jelas menunjukkan bahwa sekali ini dia mengerahkan tenaganya.
"Krakkk!" Dayung itu bertemu dengan lengan tangan pemuda itu dan patah! Hoa-gu-ji melongo, akan tetapi dia terkejut sekali karena pemuda itu sudah menyambar sepotong dayung yang patah tadi dan memukulkannya ke arah kepalanya. Pukulan sembarangan saja, seperti seorang yang memukul seekor anjing. Hoa-gu-ji cepat mengangkat sisa potongan dayung, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Bukkk!" Sungguh aneh, biarpun ditangkis, tetap saja potongan dayung itu mengenai punggungnya dan robohlah Hoagu-ji, mulutnya memuntahkan darah segar dan dia sibuk berusaha untuk mengelus punggung dengan kedua tangan, melalui atas dan bawah pundak sambil mengerang kesakitan.
Kalau saja dia tidak begitu marah, tentu Khiu-pangcu sudah dapat mengerti bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, bahkan memiliki kepandaian yang amat hebatnya. Akan tetapi kemarahannya membuat dia seolah-olah menjadi buta. Dengan teriakan nyaring tangannya bergerak dan beberapa sinar putih meluncur ke arah pemuda itu dan menyerang beberapa bagian tubuh yang berbahaya, di tenggorokan, ulu hati, dan pusar. Itulah tiga batang jarum Touw-kut-tok-ciam yang amat berbahaya, yang menyambar dari jarak dekat. Serangan tiba-tiba itu sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi oleh pemuda itu, kecuali dua, yaitu yang menyambar ke arah tenggorokan dan pusar. Kedua tangannya bergerak menangkap dua batang jarum itu dengan menjepitnya antara jari tengah dan telunjuk, sedangkan jarum yang meluncur ke arah dadanya, dia terima begitu saja.
"Cappp!" Jarum itu menancap di bajunya dan kedua orang putera Jenderal Kao sudah terbelalak ngeri, apalagi dua orang wanita Garuda Hitam yang sudah mengenal kehebatan jarum beracun itu. Tentu pemuda lihai itu akan celaka karena dadanya telah termakan oleh sebatang jarum yang amat berbahaya itu. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali. Pemuda berbaju abu-abu itu seperti tidak merasakan sama sekali, malah sambil tersenyum mengejek dia berkata, "Orang sinting! Kau makanlah sendiri jarum-jarummu!" Dan tangannya yang menjepit jarum-jarum itu meluncur ke bawah, ke arah Khiu-pangcu! Kakek itu berusaha meloncat dan mengelak, akan tetapi dia roboh kembali karena dua batang jarumnya telah menancap di kedua betis kakinya, menembus tulang! Dia terkejut sekali, tergopoh-gopoh dia mengeluarkan sebungkus obat dan cepat-cepat dia menelan empat butir pil hitam, mencabut dua batang jarum itu dan menggosokkan obat pada bekas luka tertusuk jarumnya sendiri. Dia selamat dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja dia mengaduh-aduh karena rasa yang menusuk-nusuk tulang akibat bekerjanya racun jarum itu. Pemuda itu dengan sikap tidak peduli lalu mencabut jarum yang menancap di baju dadanya, melemparkan jarum itu jauh ke tengah sungai. Kiranya yang tertembus jarum hanya bajunya dan agaknya kulitnya tidak tertembus, buktinya dia tidak merasakan apa-apa. Sungguh seorang pemuda yang berkepandaian luar biasa sekali.
"Pergilah kalian!" kata pemuda itu kepada dua orang kakek yang telah dirobohkan itu. "Cepat, kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!"
Tergopoh-gopoh Hoa-gu-ji yang punggungnya masih sakit itu memanggul Khiupangcu yang tidak dapat berdiri, lalu dengan susah payah memasuki perahu dan mendayung perahu ke tengah sungai. Mereka ketakutan dan bahkan tidak berani bertanya siapa adanya pemuda baju abu-abu yang amat lihai itu.
Pemuda berpakaian abu-abu itu lalu membungkuk, kedua tangannya bergerak dan dengan amat mudahnya seperti memutus benang-benang saja, dia telah menggunakan jari-jari tangannya untuk mematahkan belenggu kaki tangan dua orang saudara Kao. Mereka itu bangkit berdiri dan menjura untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi pemuda baju abu-abu itu menggerakkan tangan, agaknya tidak senang melihat orang menghaturkan terima kasih dan ia berkata, "Sudahlah, kalau kalian ingin mencari kembali harta yang hilang, kalian cari saja Suma-kongcu. Yang lain-lainnya aku tidak tahu."
Dua orang saudara Kao itu mengangguk, mereka masih merasa tegang dan kagum, juga terheran-heran memandang pemuda yang luar biasa ini. Akan tetapi pemuda itu tidak lagi mempedulikan mereka, malah menoleh kepada Kimhi Nio-cu dan Liong-li sambil berkata, "Kalian pun boleh pergi, jangan mengganggu dua orang pemuda ini. Laporkan kepada ketua kalian bahwa aku ingin menemuinya." Setelah berkata demikian, pemuda baju abu-abu itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ sambil bersenandung.
"Maaf, Taihiap! Bagaimana kami akan melapor ketua tanpa mengetahui nama Taihiap?" Kim-hi Nio-cu berseru dengan sikap hormat.
Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Wajahnya tampan sekali ketika tersenyum, mengusir kemuraman yang membayangi wajah itu. "Katakan saja kepada ketuamu bahwa aku biasa membunuh dengan jari-jari tanganku ini, tentu dia akan mengenalku. Nah, aku pergi!" Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap! Dua orang wanita yang lihai itu menjulurkan lidah penuh rasa kagum, dan ngeri, kemudian mereka pun pergi setelah melirik ke arah dua orang putera Jenderal Kao yang masih berdiri terlongong di tepi sungai.
"Eh, Nona, harap tunggu dulu!" Tiba-tiba Kok Tiong berseru ketika dia melihat dua orang wanita itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apa-apa.
Kim-hi Nio-cu dan Liong-li berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Dua orang pemuda putera Jenderal Kao itu gagah dan tampan, tentu saja hati mereka tertarik, akan tetapi teringat akan pesan pemuda berbaju abu-abu, mereka berdua merasa ngeri dan tidak berani mengganggu sedikit pun.
"Ada apakah, Kongcu?" Kim-hi Niocu berkata sambil tersenyum manis, matanya yang jernih memandang tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.
"Kami dapat menduga bahwa Nona berdua tentulah anggauta-anggauta perkumpulan yang amat terkenal di daerah ini. Akan tetapi kami tidak tahu, Nona berdua dari golongan apakah? Kami mendengar bahwa ada dua golongan di daerah ini, dan Nona ini dari Gunung Cemara ataukah dari seberang lembah?"
Kim-hi Nio-cu tertawa kecil. "Dua orang tua tadilah yang datang dari lembah," jawabnya dengan suara merdu. "Mereka itu adalah tokoh-tokoh Huangho Kui-liong-pang (Perkumpulan Naga Setan dari Huang-ho), sedangkan kami adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan Hek-eng-pang dari Gunung Cemara.
"Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat, Nona. Kiranya Ji-wi (Anda Berdua) adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan besar Hek-eng-pang. Akan tetapi, Nona tentu tahu ke mana perginya para wanita dan anak-anak, yaitu keluarga kami?"
Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam penuh daya tarik, kemudian sambil meremas-remas jari tangannya, sikapnya seperti seorang dara tujuh belas tahun saja, dia berkata, "Saya tidak bisa bicara banyak. Hoa-gu-ji itu bentrok dengan adik kami, kepala Pasukan Kayu di luar hutan malam kemarin untuk memperebutkan harta, keluarga kalian. Hoa-gu-ji kalah, lalu pergi. Kalian adalah bagian kami. Akan tetapi muncul pasukan asing di tebing ketika kami hendak turun tangan, terjadi perang dan kami menang, sungguhpun kepala Pasukan Kayu, adik kami itu tewas. Sayangnya, harta itu telah dirampas oleh seorang pemuda tampan yang luar biasa sekali, demikian menurut keterangan keluarga kalian, katanya pemuda yang merampas harta itu adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih."
Kok Tiong bertukar pandang dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah Suma-kongcu seperti yang disebut-sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh pemuda berpakaian abu-abu yang lihai tadi. "Kalau begitu, ke mana kah perginya keluarga kami?" tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran.
Kembali Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya tarik. "Hi-hikkk.... Jiwi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat menemukan harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama Suma-kongcu, dan menyerahkan harta itu kepada kami, hemm.... selain kami akan berterima kasih sekali, akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan dan tamu-tamu agung, juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu. Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di puncak Gunung Cemara. Sampai jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu. Marilah, Adik Liong-li!" Kim-hi Nio-cu menggandeng tangan Liong-li, kemudian sambil tertawa-tawa dan dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita cantik yang nyaris diperkosa oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera Jenderal Kao yang berdiri bengong dan bingung.
Tentu timbul pertanyaan di hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda berpakaian abu-abu yang sederhana, tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali, pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh besar cerita itu. Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda ini adalah putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi. Ibunya itu, Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In dan mengandung. Dialah anaknya dan karena dia bukan anak sah dari Wan Keng In, maka ibunya memberi she ibunya dan she itu tetap terus dipakainya. Setelah melalui perjalanan hidup yang berliku-liku, yang dituturkan secara menarik dan menegangkan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, akhirnya Ang Tek Hoat diaku sebagai seorang pahlawan di negara Bhutan dan ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, seorang puteri yang cantik jelita dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh cinta kepada Ang Tok Hoat, biarpun pemuda ini
pernah menjadi seorang yang sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya.
Mengingat bahwa ayah kandung Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau Es yang terkenal, karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan kini dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh tandingan.
Akan tetapi mengapa pemuda perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang diaku sebagai pahlawan negara Bhutan karena pembelaannya ketika negara itu diserang oleh musuh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho seorang diri? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak semenjak empat tahun yang lalu, ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan.
Seperti telah dituturkan di dalam bagian terakhir dari cerita Kisah Sepasang Rajawali, Ang Tek Hoat telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan sebagai seorang pahlawan yang diangkat menjadi panglima. Dia telah menjadi seorang panglima muda yang terhormat, bahkan terkenal sebagai calon mantu raja, tunangan Puteri Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari pernikahan mereka hanya tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih menangguhkannya mengingat bahwa Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa baru saja Puteri Syanti Dewi kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun lenyap (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).
Akan tetapi, tidak ada kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini. Di mana terdapat kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang, puas dan kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan-pasangan yang tak dapat dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati oleh Ang Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya. Terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Beberapa bulan sudah Ang Tek Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat megah dan indah, sebuah bangunan istana yang tidak jauh dari istana raja. Hampir setiap hari dia dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dan dalam beberapa bulan saja, tubuh Tek Hoat kelihatan segar, sehat dan agak gemuk. Akan tetapi diam-diam dia mulai tidak kerasan, karena kehidupan yang dialaminya sehari-hari terlalu enak, terlalu menganggur dan membuatnya malas. Dia sudah biasa hidup merantau, sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan, yang memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia tinggal di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang menghadiri sidang di dalam istana, membicarakan urusan kenegaraan yang tidak begitu dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta dan membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya, demi cintanya terhadap Syanti Dewi.
Hari masih pagi sekali dan baru saja Tek Hoat mandi pagi dan bertukar pakaian ketika seorang pengawal menghadapnya dan melapor bahwa terjadi keributan di luar pintu gerbang istana karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu dengan Panglima Ang!
"Siapakah dia?" tanya Tek Hoat dengan alis berkerut, akan tetapi hatinya berdebar girang karena baru sekarang terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat dengan aman dan mulus tanpa peristiwa berarti.
"Dia tidak mau mengaku namanya, hanya mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan Panglima Ang. Ketika di cegah, dia malah merobohkan dua orang perajurit pengawal dan karena dia mengaku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan jaga tidak berani lancang turun tangan dan menyuruh hamba datang melapor.
Tek Hoat lalu bergegas meninggalkan gedungnya danpergi ke pintu gerbang di mana para perajurit sedang menghadapi seorang wanita yang marah-marah. Jantungnya berdebar keras ketika mendengar suara wanita itu, cepat dia lari menghampiri dan menguak para perajurit, melangkah ke depan wanita itu.
"Tek Hoat     !"
"Ibu.. ..!"
Semua orang melongo ketika melihat betapa panglima baru mereka itu berpelukan dengan wanita galak tadi. Kiranya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan angkuh itu adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja mereka, ibu dari tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tanpa banyak cakap lagi karena di situ terdapat banyak orang, Tek Hoat lalu menggandeng ibunya, diajak ke istananya.
Setelah tiba di istana, kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk puteranya sambil menangis sesenggukan. "Terlalu kau.... Tek Hoat, kau sampai bertahun-tahun tiada berita, aku sampai susah payah, sengsara mencari-carimu kiranya engkau menjadi seorang besar di negara asing ini hu-hu-huuuh...."
"Sudahlah, Ibu. Harap kau suka ampunkan aku. Aku mengalami banyak liku-liku dalam hidup, bahkan sampai terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur maka aku belum sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap jangan menangis."
Setelah rasa penasaran dan keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu mendengarkan penuturan puteranya, semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huangho sampai dia menjadi panglima besar di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkannya secara singkat dan hanya garis-garis besarnya saja.
"Dan aku memperoleh kenyataan yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bukanlah Gak Bun Beng"
"Hemmm, aku juga sudah tahu!" tukas ibunya. "Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di sini sedangkan musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan dendam dan sakit hati ibumu? Anak macam apa engkau ini? Mau enak-enak saja di sini menjadi panglima?"
Tek Hoat terkejut. "Ibu! Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng bukanlah musuh Ibu? Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Paman Gak Bun Beng yang ternyata adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama sekali bukan musuh kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu telah tewas."
"Maksudmu ?"
"Wan Keng In itu.... Ayah.... kandungku.... Si keparat jahanam yang memperkosa Ibu...., ahhh, mengapa dahulu Ibu menceritakan yang bukan-bukan kepadaku? Kiranya Wan Keng In yang memperkosa Ibu, akan tetapi dia menggunakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu mengira Gak Bun Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu membohongiku dengan cerita lain agar aku membunuh.... Ayah kandungku. Sekarang, syukur bukan Paman Gak yang berdosa, dan orang yang berdosa, she Wan itu dia telah mati. Habislah sudah riwayat busuk itu, Ibu."
"Siapa bilang habis? Aku, Ibumu, tidak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam yang kutanggung selama hidupmu ini."
"Maksud Ibu?"
"Wan Keng In si keparat sudah mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kandung keparat itu masih hidup!"
"Ihhhhh....!" Tek Hoat berseru kaget dan membelalakkan matanya. "Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng In Itu?"
Ang Siok Bi mengangguk. "Dia bernama Lulu, dia adalah isteri ke dua dari Majikan Pulau Es."
"Dan Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti dan isterinya yang ke dua itu adalah Nenekku! Ibu, betapa mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak berdosa apa-apa itu!"
"Tidak peduli! Wan Keng ln sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkan manusia iblis itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus membantu Ibumu!"
"Ibu.. ..!" Tek Hoat menutupi muka dengan kedua tangannya, mukanya menjadi pucat sekali.
Ang Siok Bi meloncat berdiri, lalu menyergap anaknya, memegang pundaknya dan mengguncangnya keras-keras. "Apa? Kau.... kau takut? Kau jerih menghadapi keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu akan pergi sendiri!"
"Ibu, jangan....! Bukan begitu maksudku. Akan tetapi aku.... aku telah menerima kebaikan Sri Baginda di Bhutan ini, aku...."
"Kau sudah mabuk kemewahan? Tugas hidupmu paling utama, membalas dendam Ibumu paling perlu, setelah itu terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi."
"Bukan itu, Ibu, akan tetapi aku.... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan Puteri Syanti Dewi."
"Huh, lain kemewahan lagi!"
"Jangan Ibu berkata demikian," Tek Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa tersinggung. "Ketahuilah, Ibu. Biarpun Syanti Dewi itu puteri raja, akan tetapi aku cinta padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan dia adalah seorang gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan dia karena cinta, bukan karena dia puteri raja."
Ang Siok Bi mengangguk-angguk tak sabar. Baiklah, baiklah, kau cinta padanya, dan dia cinta padamu. Karena itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kaubawa dia pulang ke Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk membalas ibu si keparat Wan Keng In!"
"Akan tetapi tidak mungkin itu, Ibu!" Tek Hoat berkeras menolak.
"Tidak mungkin katamu? Mengapa?"
"Terlalu banyak hal-hal yang membuat aku tidak mungkin melakukan permintaanmu itu."
"Huh! Begitu? Coba katakan, apa hal-hal itu?"
"Pertama, tidak mungkin Sri Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena beliau amat mencinta puterinya. Ke dua, aku telah diangkat menjadi panglima dan tenagaku dibutuhkan di Kerajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi terpaksa harus kulakukan. Ke tiga tidak mungkin aku memusuhi keluarga Pulau Es."
"Ehhhhh? Kau.... kau takut?"
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun mereka itu amat sakti, aku tidak takut. Aku hanya segan, karena mereka itu adalah keluarga pendekar yang sakti dan budiman, dan aku.... aku bahkan bangga dapat menyebut Pendekar Super Sakti sebagai Kakek tiriku."
"Cih! Pengecut!"
"Ibu.. ..!"
"Engkau anakku, engkau harus menurut kepada Ibumu!"
"Maaf, Ibu. Akan tetapi tidak mungkin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini bersamaku, hidup tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, mengapa Ibu mendendam kepada keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu, kumohon padamu jangan...."
"Cukup!" Ang Siok Bi bangkit berdiri. Pada saat itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir dan poci teh, akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Ang Siok Bi menendang sehingga baki itu terlempar, cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhamburan, si pelayan menjerit dan lari masuk. "Aku tidak sudi minum air tehmu! Kau anak durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk! Baik, aku akan pergi dari sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati kelaparan di sana daripada hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!" Ang Siok Bi marah sekali dan dia lari ke luar.
"Ibu.. ..!" Tek Hoat berteriak akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya sehingga pemuda yang gagah perkasa ini menjatuhkan diri di atas kursi dengan muka pucat sekali. Tak disangkanya akan terjadi peristiwa seperti itu dan dia menyesal, menyesal sekali, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerima nya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang! senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apalagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk "menjatuhkan" saingannya yang dia tahu amat sakti itu.
Dan pada hari itu, tibalah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Ketika mata-matanya memberi tahu tentang munculnya seorang wanita kasar yang mengaku "ibu" dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.
Ang Siok Bi masih marah-marah ketika dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya, kemudian panglima muda itu berkata, "Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya."
"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!" Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.
"Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio"
Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, "Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apalagi engkau yang hanya sahabatnya."
"Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apabila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain karena adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apabila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat, yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja."
"Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?" Ang Siok Bi bertanya marah.
"Sri Baginda hanya memandang kepada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan."
Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, "Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!"
Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi dia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!
Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biarpun cantik dan gagah, namun kasar dan tidak hormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya!
Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, "Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?"
"Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho," jawab Ang Siok Bi.
"Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?"
Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, "Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!"
Raja makin terkejut dan makin tidak senang. Apa maksud Nyonya?"
"Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggauta luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu telah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!"
"Cukup.. ..! Pengawal, suruh dia pergi....!" Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi. Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.
Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.
"Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat persiapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberitahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!" Tek Hoat berkata, akan tetapi hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.
"Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapat keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu," Sri Baginda berkata. "Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?"
"Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya," jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.
"Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?"
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba."
"Siapakah nama Ayah kandungmu?"
Tek Hoat terkejut. Tak disangkanya akan ditanya sampai begini melit tentang keluarganya. "Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu."
"Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?"
Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andaikata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.
"Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi."
Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, "Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?"
Kalau ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk. Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, "Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapapun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya."
Raja Bhutan menggebrak meja di depannya. "Brakkk! Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau telah berjasa bagi negara ini, kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!"
Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.
"Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka kepada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?"
"Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kaubawa pulang ke negerimu!"
Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. "Sri Baginda! Ini sudah keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!" Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. "Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!"
Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apabila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu. Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tidak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Dia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.
"Syanti Dewi, selamat tinggal....!" Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar, dari negara Bhutan pada hari itu juga. Diam-diam dia merasa berduka karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.
Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya perih sekali. Kadang-kadang, kalau rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.
Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!
"Ma (Ibu).. ..!" Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.
Tidak ada jawaban. "Ibu.. ..!" Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok. Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampiri jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu. Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun berwarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja
menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tidak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar. Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Dia bergidik.
"Ibuuuuu....! Mula-mula dia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang.
"lbuuuuuu....!" Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih kuat. Teringat dia akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu. Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.
Tek Hoat memeriksa lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguhpun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin jarum yang digores-goreskan. Dia cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir Pembaringan, di mana terdapat tulisan itu.
"Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...."
Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibu-nya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa?
Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang dia dapat menangis, biarpun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Semenjak saat yang laknat itu, ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja ibunya menanggung dendam yang tak pernah terbalas itu, dan tak pernah dapat melupakan dendamnya, mula-mula kepada Gak Bun Beng karena disangka orang itulah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya dapat bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah menolaknya!
"Ibu.. .. ahhh, Ibu, ampunkan anakmu.... ini!" Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?
Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!
Dan ibunya yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Akan tetapi ke mana dia harus mencari? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.
Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari, lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya.
Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi, empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana.
******
Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.
Akan tetapi, betapapun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula, dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tidak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga mengkhawatirkan keselamatan dua orang puteranya yang harus menghadapi musuh amat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.
Nelayan ini terkejut ketika melihat orang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan dengan susah payah ke dalam perahunya. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.
Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ke tiga, jenderal itu dapat bangun, dari pembaringan dan dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu lagi jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan dan isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.
Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dahulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana! Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orang-orang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tidak pernah tahu atau tidak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan-hartawan, dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang-orang yang beradab, orang-orang yang berkebudayaan, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!
Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta. Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun pasir Go-bi! Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup lagi. Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan perajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak adahal yang tak dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!
Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main.
"Kok Tiong! Kok Han....!" Dia berteriak sambil berlari ke depan.
"Ayahhhhh....!" Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari. Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia menepuk pahanya. "Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut!"
"Siapa, Ayah?" Kok Tiong dan adiknya bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh"
"Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita," kata Kok Tiong.
"Hemm.... si keparat kalau begitu!" Jenderal Kao Liang mulai percaya dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati melakukan perbuatan yang jahat itu. Kalau hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?
"Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang amat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian."
"Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!" kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.
"Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!" Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. "Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu."
Maka berangkatlah ayah dan anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka.
Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.
Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, "Kiranya kau.... kau keparat, penjahat muda Suma!"
Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.
Suma Kian Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apalagi mereka menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.
"Eh.... eh.... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?" Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. "Tahan dulu, jangan terburu nafsu"
Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu. Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya dan lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadi terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seolah-olah menempel dan melekat di
kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata, "Kao -goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara"
"Mau bicara apa lagi, keparat keji!"
Jenderal Kao membentak dan dia lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.
"Bangsat rendah!" Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.
"Mampuslah kau, setan jahat!" Kok Han juga membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang.
"Ahhhhh....!" Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang. "Ahhhhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tidak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu."
Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan, sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang ke dua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti.
Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kia Lee juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.
Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan keponakannya, yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan di dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.
Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pu1au Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.
Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.
Dia akan mencari adiknya dan membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu telah dewasa, bukan setengah anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!
"Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau....!" Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya. Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.
Ketika dia tiba di dekat Sungai Huangho di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu. Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara tiba-tiba dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!
Diserang mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.
Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalahpahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini!
Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia lalu melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu di dalam sebuah lubang kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!
"Hemmm....!" Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakannya dan kini mengerahkan pasukannya? Kalau begitu, dia harus berkeras menuntut penjelasan mengapa jenderal itu bersikap seperti itu.
Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri.
"Apa artinya ini?" tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.
Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi kelihatan tubuhnya kokok kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia tertawa. "Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap."
"Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?"
"Ho-ho, orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!"
Kian Lee mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andaikata Jenderal Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?
"Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?"
Perwira itu membelalakkan matanya, agaknya terheran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini. "Jenderal Kao? Siapa yang kaumaksudkan." Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao. "Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
Diam-diam Kian Lee menjadi makin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.
"Su-ciangkun, maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau menuduh aku membunuh"
"Ha-ha-ha!.... Ho-ho! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?"
"Namaku adalah Suma Kian Lee."
"Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!"
Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. "Su-ciangkun, aku tidak merasa bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?"
"Jadi engkau hendak melawan?" Suciangkun membentak marah.
"Aku tidak hendak melawan dan bermusuhan dengan siapapun,Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah.
"Bagus! Engkau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!"
Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. "Lihat, apakah kepalamu lebih keras daripada ini?" Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.
"Prakkk!" Batu itu pecah berhamburan!
Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latihan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kaugertak pun aku akan menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu."
"Keparat, kau menantang?" Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.
Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memakai dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.
"Plak! Plak! Aduhhhhh....!" Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketika.
"Hayo tangkap! Bunuh!" teriaknya sambil mengaduh-aduh.
Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali!
Melihat pe muda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk meniup alat itu dengan keras.
Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang usia nya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut -awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.
"Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee? Seorang dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat.
"Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?" Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya sambil menjura.
Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, "Benar."
"Ah, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar-besaran yang terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?"
Kian Lee menggeleng kepalanya. "Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya."
"Heh-heh, bijaksana bijaksana...." Kakek yang berambut kemerahan itu berkata kepada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok. Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, maka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat.
"Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami agar setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah, selain Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk menghadari pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula."
Kian Lee berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Honan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.
"Terima kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali."
Dua orang perwira tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, "Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciulo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan) "
"Heh-heh, julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!" Kakek berambut merah itu menyela dan membalas penghormatan Kian Lee dengan anggukan Kepala acuh tak acuh. Kian Lee tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tak acuh. Mereka lalu berangkat, diiringkan oleh Su-ciangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah tersedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah.
Pada waktu itu, yang menjadi gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selatan Sungai Kuning itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya berjasa untuk kerajaan. Timbuliah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah keterlaluan. Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan saja masih mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah langka terjadi. Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiun, hatinya makin panas dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.
Memang pada waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Gubernur Kui mengadakan penyambutan besar-besaran. Jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan. Dua orang perwira tinggi yang mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Rambut Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk bertugas di dalam, sebagai pengawal pribadi gubernur.
Ditinggal seorang diri, Kian Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Dia diberi tahu tadi bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya.
Kamar itu memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar ke depan, ternyata, kamarnya itu menghadapi taman dan dari situ nampak banyak kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu diiringi yang-kim, (alat musik ber senar) dari beberapa buah kamar tamu itu, diseling suara ketawa. Kian Lee lalu masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwa-peristiwa aneh yang tadi dan kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.
Akan tetapi belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada daun pintu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah ke pintu dan dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang wanita muda yang amat, cantik, akan tetapi melihat wanita itu membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini, biarpun kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.
"Maaf, Kongcu. Saya bertugas melayani Kongcu dan mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu."
Kian Lee merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang cantik seperti itu, sungguhpun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang membawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu menurunkan mangkok piring dan masakan-masakan ke atas meja, mengatur hidangan di atas meja dengan sikap halus namun cekatan.
"Kongcu, silakan makan dan minum!" katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.
"Terima kasih," Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu. Masakan-masakan itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh. Cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apalagi karena perutnya memang sudah lapar.
Akan tetapi pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu dengan langkah-langkah yang gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutupkan daun pintu dengan perlahan, kemudian dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti!
Kian Lee menelan ludah, merasa kikuk, lalu menoleh. "Eh, kau.... kau.... tidak pergi?"
Wanita itu memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, senyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, "Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!" Kembali dia tersenyum.
Kia Lee mengangguk, kemudian dia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika dia mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah.
"Eh, mari kau duduk dan makan bersama!" katanya.
Wanita itu kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan, kelihatan dia malu sekali. "Aih, Kongcu mana saya berani? Silakan Kongcu makan "
"Ah, mengapa tidak? Tidak enak sekali makan sendiri dan kau.... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama." Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang lebih mendalam! Tentu saja pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin merah.
"Harap Kongcu tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan" katanya halus dan suaranya tiba-tiba menjadi demikian menggetar seolah-olah  mengandung kedukaan dan kegelisahan besar.
Kian Lee terkejut dan meletakkan mangkoknya. "Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku.... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak, engkau makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?"
Sejenak sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela napas panjang dan menjura. "Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu baik sekali. Terima kaslh. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggu."
Kian Lee mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanita itu kini mengambil sebuah alat musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudian menyetel senar-senarnya dan duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai makan. Biarpun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, Â melalui pendengarannya. Tadinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya.
Kian Lee tersenyum seorang diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal tidak enak, kini begini enaknya. Makan masakan yang lezat -lezat, diiringi musik yang merdu! Bukan main! Dia merasa dimanja. Di Pulau Es pun tidak seperti ini hidupnya. Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Milana, kakak tirinya, dia pun tidak dimanja seperti ini!
Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah kebelakangnya, ketika dia mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh berkentringnya senar-senar yang-kim. Nyanyian itu memang indah, suara lirih itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-kata dari nyanyian itu.
 "Tiada ayah tiada bunda
 tiada sanak keluarga
 badan sendiri nyaris binasa!
 Apa daya si dara lemah
 cintanya bertepuk tangan sebelah
 mengubur diri dalam keluh-kesah!
 Pendekar sakti penolong nyawa
 yang disanjung dan dipuja
 telah jauh meninggalkannya!"
Nyanyian itu demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu bernyanyi sambil menangis!
Kian Lee mengakhiri makannya, meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu.
"Nona....!" dia memanggil.
Gadis itu masih terus bermain yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim.
"Nona...., hentikan permainan yang-kim itu!" Kian Lee kembali menegur.
Suara yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kimnya dan menghampiri meja. "Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?" tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.
Kian Lee mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, menumpuknya di atas baki, kemudian berkata, "Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?"
Kian Lee menggeleng dan hanya memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng... keponakannya atau bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal.
Nyanyian gadis pelayan itu membangkit kan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang menderita sengsara karena cinta? Memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa.
Daun pintu terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.
"Mengapa ditutup?" Kian Lee menegur.
"Agar tidak nampak dari luar, kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka," jawabnya halus dan tanpa diperintah, gadis itu lalu membuka daun jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak se bagian.
"Nona, kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri."
Gadis itu memandang Kian Lee, kemudian menjawab sambil menunduk, "Saya bertugas melayani Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya.... saya senang di sini melayani Kongcu...."
"Hemmm.... sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?"
Gadis itu mengangkat muka memandang merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguhpun amat manis. "Tentu saja, Kongcu."
"Nah, kalau begitu, aku ingin mengajak kau omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi nyanyianmu tadi."
"Ehhh....?" Gadis itu memandang heran.
"Maksudku, aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam meninggalkannya."
Gadis itu menunduk. "Kongcu.... itu hanya.... hanya nyanyian.... dongeng...."
"Hemmm, perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi."
"Ohhhhh...." Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya.
Kian Lee mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata seperti mutiara berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak perlahan menuruni kedua pipinya.
"Nona, aku dapat menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak percaya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yang baik."
"Ahhh.... Kongcu....!" Gadis itu mengusap air matanya dan mengangkat muka memandang. "Harap maafkan saya.... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik."
"Kalau begitu, kaukatakanlah, siapa dara yang kaunyanyikan tadi?"
Gadis itu kembali menunduk. "Dia.... dia.... adalah saya sendiri, Kongcu."
"Hemmm,.... sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?"
"Dia.... dia.... adalah penolong saya...." Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk, kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan mengangkat muka, berkata "Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga orang adik-adik saya...." Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata kembali meloncat keluar. Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteramkan hatinya yang tentu saja dilanda kedukaan mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi bernyanyi "Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga," kiranya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok jahat!
"Saya sendiri lalu diculik oleh perampok-perampok itu, dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia Iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan daripada kematian sendiri, akan tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, munculiah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada dia.... ah, ngeri saya membayangkan"
"Hemmm, lalu bagaimana?" Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta kepada penolongnya itu.
"Penolong saya itu tentu saja mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi perampok yang suka mengganas itu. Dan saya.... oleh penolong saya itu saya lalu dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis.... kemudian.... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini...."
"Hemmm, dan kau lalu bekerja sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di sini?"
"Tidak, tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali.... saya menjadi seorang pelayang yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri.... sebagai seorang pelayan.... dan saya kadang-kadang harus melayani tamu-tamu...."
"Aku mengerti, Nona. Eh, bolehkah saya mengetahui namamu?"
"Nama saya Cui Lan, Phang Ghui Lan"
"Nama yang indah sekali, Cui Lan. Akan tetapi mengapa.... mengapa.... kau tadi bernyanyi mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?"
"Kamar ini, Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya yang selalu membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia.... dia pergi. Dan kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan, kalau-kalau.... dia datang kembali ke sini...., akan tetapi sekarang kamar ini dibuka karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu dipersilakan bermalam di sini...." Suaranya gemetar.
"Siapa nama pendekar penolongmu itu?"
"Itulah yang menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu namanya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan tetapi berwarna putih seperti perak, dia.... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia.
Kian Lee meraba dahinya dan mengerutkan alisnya. "Masih muda, rambutnya putih terurai, lihai sekali? Hemmm.... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?"
"Benar!" Dara itu berseru penuh harapan. "Apakah Kongcu sudah mengenalnya!?"
"Sayang sekali belum. Apalagi mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang saja...."
Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang menoleh ke dalam, seperti orang menjenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil "ehmmm...."
Wajah Kian Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu, kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu, kini sudah memasuki taman, menyeberang sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di tikungan bangunan, Kian Lee memasuki kamarnya lagi.
"Siapa dia?" tanya Kian Lee kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.
"Yang menjenguk tadi?" Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. "Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, sejak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu."
"Hemmmmm...." Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis lebat itu. Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pintu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee me mandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat salah seorang di antara mereka yang dikenalnya. Seorang wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara, sinar matanya tajam dan kerlingnya menyambar-nyambar ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing wanita yang lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Wanita ini merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang penting. Mau apa wanita tokoh sesat yang amat berhahaya itu berkeliaran di sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa penting di tempat ini pikirnya.
Cepat dia masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi seuatu yang hebat. Dia harus waspada. "Sudahlah,.... Cui Lan. Sekarang lebih baik kautinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang akan menduga jelek kepadamu"
"Tapi, Kongcu.... saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu" Kata gadis itu mulai basah dengan air mata. "Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya akan disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut...."
Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. "Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan."
"Tidak, kalau di sini saya tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu saya"
"Hemmm, baiklah.... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan."
"Mengasolah, Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?!
"Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi menyanyikan lagu yang sedih itu." Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun.
Tentu. saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya dia bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan.
Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagaian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.
"Selain sinar bulan yang belum terla1u tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah. Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masing-masing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah serem-serem, kelihatannya lihai dan angkuh gerak-geriknya.
Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apabila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu.
Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai ber cakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatarbelakangi suara musik yang meriah. Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang paling tinggi kedudukannya, dia tidak menyambut tamu sendiri, melainkan diwakili oleh pembesar-pembesar bawahannya dan dia hanya duduk sambil mengangguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan yang memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak!
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung.
Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman, dengan senyum di bibir dan mata nya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah dan melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggauta pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi. Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak.
Di belakang Gubernur Hok ini berjalan parapengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki ber mata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Mo-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok.
Akan tetapi Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada pemuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar, itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama.
Setelah tiba di ruangan itu, di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan len-ki (bendera utusan atau wakil kaisar dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.
"Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar," Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara.
Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pangeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng daripada peraturan yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan dihancurkan sampai ke akar-akarnya.
Baru saja membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui siapa orangnya yang mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi itu. Pangeran Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa, "Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?"
Tentu saja tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biarpun ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke depan.
"Hemmm, tidak ada yang mau mengaku, ya?" Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari Ho-pei dan memberi isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu.
"Baik, akan hamba tangkap dia!" Orang bermata sebelah ini mengangguk dan tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan terbang menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang, mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Dia mengangkat lengan menangkis.
"Dukkkkk!" Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka bertandinglah Si Mata Satu melawan orang ini. Kian Lee mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, laki-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari Ouwtee-tok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang bermuka hitam yang agaknya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara dia dan Si Mata Satu itu berlan seru dan dahsyat.
Biarpun di situ terdapat banyak orang, bahkan banyak orang pandai, diantaranya terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak berlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu depat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam.
Pertandingan makin seru, akan tetapi para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Dan dua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini, mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan sakti, pukulan-pukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya mendatangkan angin bersuitan itu. Mulailah Bu Ok Ti meloncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti.
Tok-gan Sin-ciang lalu menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian, dapat melihat ini semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan roboh!
Gegerlah keadaan ketika Tok-gan Sinciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sinciang adalah ketika lewat di depan Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri lalu menangkis, tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjengkang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu sedemikian hebat tenaga sinkangnya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat daripada pertempuran yang tadi. Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mau Siauw Mo-1i terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan kini dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biarpun Mauw Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya. Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat indah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan menggunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang karena maklum bahwa "selendang" hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan.
Sambil mengeluarkan suara aneh seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang. Akan tetapi ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke arah punggungnya.
"Tranggg....!" Untung dia cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu bukan hanya terdapat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana kaisar itu.
"Penjahat pemberontak!" Komandan ke dua dari Kuku Garuda yang jenggotnya lebat, sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo sehingga kini pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.
Kini keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan sudah menerima perintah lalu maju, disambut oleh pasukan pengawal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat.
Kian Lee juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan siap untuk menolong apabila pangeran itu terancam bahaya.
******
Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-diam mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan.
Pada suatu senja yang dingin. Musim dingin telah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri keluar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopyah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga.
Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja mau keluar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah, hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan api di dalam perapian. Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguhpun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa dibawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu mekar untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak sesuatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dan langit biru sampai air empang teratai di dalam taman yang tidak bergerak sedikit pun, nampaknya lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu.
Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang amat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana. Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah mengaairahkan itu membayangkan kekerasan hati.
Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apalagi setelah puteri yang tadinya dianggap telah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelita! Di dalam  cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda per kasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan yang terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu.
Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan dibagian depan cerita ini, munculiah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan. Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya keluar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya.
Demikianlah, Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi. Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang
Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biar pun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung.
Tentu saja raja dan ratu merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.
"Syanti Dewi, ingatlah bahwa engkau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur menjadi isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?" berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.
"Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?" berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan.
"Tentu dia malu!" kata Sri Baginda Raja. "Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu."
"Tidak, Ayah.... tidak.... Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. "Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!"
"Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!" Sri Baginda berkata marah.
"Aku tahu, aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu.... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?"
Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mancari kekasihnya, akan tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki istana puteri. Apalagi manusia, seekor kucing pun tidak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.
Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya.
"Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan," demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya. Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu."
"Ayah....!" Syanti Dewi hanya dapat menangis.
Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani memaksa, apalagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa kedukaan tidak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti. Betapa dia tidak akan sabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang yang paling tinggi kedudukannya di kerajaan itu?
Demikianlah, sampai empat tahun lamanya sejak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!
Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orang-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju bulu dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat pernagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang mulai memudar, terganti warna kelabu yang gelap.
"Sssttttt, lihat dia itu....!" Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang. Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan yang menjadi tanda kekaguman kalau mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang, kepala mereka menjeguk ke luar dan mata mereka terbelalak memandang menembus kesuraman senja.
"Waduh cantiknya....!" kata seorang.
"Bukan main! Manis sekali....!"
"Tubuhnya.... amboiiiii....!"
"Mati aku.... lenggangnya...."
"Wab, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!" Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.
"Dan tidak hujan tidak panas dia memakai payung!"
"Wah, wah.... sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?"
"Cantik jelita, pakai payung malam-malam tidak hujan, sedingin ini berpakaian tipis tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !"
"Hihhh....!"
Semua orang mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka, seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang tegang hatiya!
"Hemmm, mencurigakan. Anak-anak, siap!" Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.
Tidak salah penjaga yang sambat mati melihat lenggang itu. Memang bukan main! Seperti harimau lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!
Wanita itu kini makin dekat dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian tipis dari sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu dan penuh daya pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak perasaan yang menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat masak.
Seorang dara yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya, namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa kata.
Kalau saja para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak hujan, tidak panas memakai payung, ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri merupakan hal yang langka.
Kalau dara ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para perajurit penjaga yang terlatih dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan enak-enak saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.
Akan tetapi, para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apalagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka.
Si komandan gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. "Ehmmm, berhenti dulu, Nona!" katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan gerakan menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.
Wajah di bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang bergerak-gerakitu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceguk bunyinya. Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah anggur masak yang segar.
Dengan bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari timur itu menjawab, "Mengapa aku harus berhenti? Bukankah ini merupakan jalan umum?" Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk.
Komandan gendut itu kembali menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari rambut yang hitm subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil.
"Memang jalan umum, akan tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan."
Senyum manis itu melebar dan menjadi makin manis. "Eh, kauanggap aku mencurigakan?"
"Engkau seorang wanita muda berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan.... eh, Nona.... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita mengobrol heh-heh...." Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.
Dara itu tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguhpun pandang matannya tetap tersenyum dan dia berkata, "Aihh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat." Dia membujuk.
Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu luput.
"Ehemmmmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih bisa membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!"
"Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!" terdengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu.
Tidak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang aneh sinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya, akan tetapi mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu.
Kembali dara jelita itu menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong. "Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kaulihat engkau gendut bundar mirip katak!" Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan. "Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?" Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.
"Katak....?"
"Katak gendut....?"
"Katak....!
"Heiiiii! Ada katak....!"
"Dari mana datangnya katak raksasa ini?"
"Wah, jangan diserang! Lihat celananya.... eh, dia....!"
Semua penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksesa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah berkedip.
Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya terdapat seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!
"Hei....!" seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan berseru ketika melihat gadis itu. Semua orang juga menengok dan dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!
"Hei, tunggu dulu....!" Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat.
"Tangkap....!"
"Dia tentu siluman....!"
Lima belas orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi raksasa oleh dara jelita yang mereka   yakin tentu sebangsa siluman, kini lari mengejar dengan senjata di tangan.
Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas pundaknya. Kini, payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, "Kalian ini sebetulnya mau apa sih?"
Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis mereka menahan kaki mereka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semuanya menahan napas, mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau menjadi gila. Mereka adalah perajurit-perajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan serem kalau melihat wajah wanita itu? Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, seperti bidadari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu "polos", hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi saja mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka polos seperti itu!
"Hihhhhh.... hu-hu-huuhhhhh...." Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu. Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apalagi ketlka mereka melihat "katak raksasa" tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca!
Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.
"Hi-hik, orang-orang tolol....!" bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan "kedok" atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.
Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, "Eh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!" Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.
"Tapi.... tapi.... dia.... siluman"
"Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita celaka!" Si komandan membentak dan para anak buahnya sadar. Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.
"Kejar....!"
"Tangkaaapppp....!"
Berserabutan mereka lari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.
"Siluman....!" Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.
"Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!" Si komandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana.
Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapapun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir "roh" jahat atau siluman yang mengganggu istana.
Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana. Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat.
Pada saat itu, sesosok bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Kini payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis "siluman" ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan dan selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di kompleks istana yang luas itu.
"Siaalan....!" Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat.
Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.
Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi. Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata, "Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!"
Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda. melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payunng! Pendeta yang selamanya menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, "roh jahat" itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
"Wahai, roh yang keras kepala!" bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung "roh" itu. "Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!"
"Roh" cantik itu tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.
"Sliuman jahat.... pedang pusakaku akan menghukummu!" Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.
"Plakkkkk!" Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!
Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopyah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
"Eh, Losuhu, kenapa kembali lagi?" Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu ta man.
"Minggir, ada siluman di dalam taman!" kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk. Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!
Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopyah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang. Bunga teratai.... engkau jauh lebih bahagia daripada manusia, demikian keluhan hati Sang Puteri. Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.
"Tidak....!" bantah hatinya. "Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Seperti bunga teratai itu biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu"
Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasihati agar dia masuk ke kamarnya karena ada "hawa siluman" mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Akan tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat sehingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Maka, nasihat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.
"Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!"
Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela, "Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku."
Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biarpun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab, "Selamat malam, Panglima Mohinta."
Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya "panglima", dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut "kakanda" kepada tunangannya ini! Sebutan "panglima" sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!
"Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin."
"Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?"
Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu. "Saya.... saya.... hanya menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu.. .."
"Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian."
Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
"Adinda Syanti Dewi...."
"Panglima, aku ingin sendirian!"
"Aduhai, Adinda sayang. Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?"
"Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!"
"Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...."
"Sudahlah. Kalau kau mau bicara tentang itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku."
"Adinda.... aku.... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini....?"
"Sudah terlalu sering sampai membosankan!"
"Duhai, Adinda.... jangan begitu"
Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
"Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!"
"Adinda.... Syanti Dewi, kaukasihanilah aku....!" Panglima itu kini menjatuhkan diri berlutut!
Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat sembunyinya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.
"Siapa kau....?" Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya "Adinda Syanti Dewi"! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik, "Puteri, lupakah engkau padaku?"
Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan dimana.
"Aku Siang In.... eh, yang dulu pernah membantumu.... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu"
Berseri wajah Syanti Dewi. "Aihhh, Si tukang sulap itu....?" teriaknya.
"Sssttttt....!" Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih merayu arca. "Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi."
Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkah taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-olah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.
"Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?" bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!
Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab "perintah" dara itu, "Siap, Panglima!"
Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, "Eh, apa yang telah kaulakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?"
Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. "Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!" Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
"Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin daripada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?"
"Tapi.... tapi mengapa bisa begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?"
"Aihhhhh.... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga."
Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main.
"Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik, hik, dia menganggap arca tadi?"
"Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan ganteng juga, eh!"
Syanti Dewi bersungut-sungut. "Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung....!"
"Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?"
Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.
Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng, yang amat dicintanya maka dia merangkul leher Siang In.
"Engkau cantik sekali, Puteri," Siang In berkata.
Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. "Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng."
Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatangkara, karena orang tuanya telah meninggal, dan juga encinya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga mati terbunuh (baca Kisah Sepasang Rajawali), akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Selama empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya!
Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!
Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohita. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika dia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi telah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa serem dan ngeri, juga bingung. Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk-ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!
"Uhhhhh....!" Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya. Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan di dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayang-bayang di sekelilingnya, menambah serem keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah serem suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.
"Siap....!" Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman itu membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
"Heh, kalian melihat apa?" bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.
"Ah, maaf, Panglima.... eh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar"
"Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!" Panglima Mohinta membentak.
"Kami bertujuh baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan.... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan mengempit payung"
"Mengempit payung? Gilakah kalian?" Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi, mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
"Tolong.... aduhhh, tolooonggg.... si.... siluman.... ssssetannnnn....!" terdengar teriakan itu.
Ketika mereka semua tiba di tempat suara, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, juga kopyahnya hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
"Ah.... eh.... ya ampun.... ada.... setan.... wanita cantik...." dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopyahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.
"Membawa payung?" Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak dan punggungnya terasa dingin. Tidak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
"Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!" teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.
Sementara itu, di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.
"Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?" tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.
"Tentu saja mereka mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini...."
"Ihhhhh....!" Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!
"Hik-hik, kau juga ngeri!" Siang In melepaskan kedoknya dan Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari apa.
"Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik."
"Kaumaksudkan Pendeta Nalanda? Kauapakan pula dia?" Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.
"Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya." Siang In lalu menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!
"Syanti....! Buka pintu....!"
Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, "Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini."
Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok dan dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu. Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglim Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kirinya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
"Syanti, dengan siapa engkau di kamarmu ini?" Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.
"Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?" Syanti Dewi berkata engan nada suara tidak senang.
"Hemmm.... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu."
"Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi."
"Ah, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan silum...., dengan siapa?" Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
"Saya mimpi bertemu dengan.... Panglima Mohinta...."
"Ah, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?" Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.
Syanti Dewi mengangguk. "Di dalam mimpi, saya melihat.... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...."
Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
"Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?" Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!
"Kursi....? Eh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik.... "
"Memang bagus sekali, tentu enak diduduki...." Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk. Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia menggerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.
"Cusssss.... aduhhhhh....!" Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung.
"Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!" Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!
Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda lalu berkata, "Syukurlah kalau tidak ada apa apa, anakku. Tidurlah dengan tenang." Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.
Setelah Syanti Dewi menutupkan kembali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
"Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah kursi?" tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, "Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...."
"Hushhh, jangan berkata demikian, aku.... aku benci padanya!"
"Eihhhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi rayuan maut di taman...."
"Sudahlah, Siang In." Syanti Dewi menghela napas panjang. "Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?"
"Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...."
Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama pemuda itu.
"Adik yang baik." Syanti Dewi kini memandang dara itu. "Apakah yang telah kaudengar tentang Ang Tek Hoat?"
"Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?"
Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.
Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, "Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?" Dia mengangguk-angguk meyakinkan.
"Ceritakan dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri."
Karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.
"Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In" Puteri mengakhiri ceritanya.
Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar, biarpun sangkar itu terbuat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.
"Puteri...."
"In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak)."
"Baiklah Enci Syanti Dewi," jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. "Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?"
"Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?"
"Hemmm.... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi. ... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak mencintamu, Enci."
Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
"Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku."
"Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!"
"Eh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?"
"Coba saja renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?"
Syanti Dewi mengangguk.
"Nah, tindakan Ayahmu memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?"
"Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku."
"Itulah  kepalsuanya, itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua, orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, pada si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!"
"In-moi....!" Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak.
"Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat....?"
Dara itu menggeleng kepala, "Siapa pun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?"
Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ah, aku tidak tahu.... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?"
"Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...."
"Aku yakin benar akan cintanya!"
"Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit!" "Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Enci itu, daripada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?"
"Pergi....? Kaumaksudkan minggat dari istana?" Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. "Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal."
"Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?"
"Tentu saja aku mau!"
"Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?"
"Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat."
"Bagus!" Siang In berseru girang. "Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci."
Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata, "Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan "
"Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu."
"Bagus, akan tetapi betapapun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman."
Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.
Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, "Siluman jahat!, jangan lari!"
Siang In terkejut. Tak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!
Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
"Eh-eh, kalian ini mau apakah?" Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.
"Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!" bentak di sebelah kirinya.
"Berlututlah engkau!" perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.
Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, "Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!"
Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
"Ihhhhh.... ularrrrr....!"
"Hiiiiihhhhh.... aih, celaka....!"
Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi. Mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang adalah seekor ular cobra!
"Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?" Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.
"Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kauceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal."
"Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa mempergunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?" Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu. "Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan geger, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?"
Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letaknya pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan, dan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.
Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.
Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semua telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.
Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga daripada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman. Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.
Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada hentinya hilir mudik dari gardu ke gardu, untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.
Malam makin larut dan keadaan makin serem. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana, mengintai keluar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
"Bagaimana....?" Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
"Sssttttt,.... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng," bisik Siang In.
Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu
kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.
Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap keluar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
"He.... apa itu....?" terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.
Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
"Mana? Tidak ada apa-apa!" terdengar orang lain mencela.
"Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh aku berani sumpah!"
"Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan.... ihhhhh....!"
"Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada."
Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapapun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya. Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.
Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
"Heiiiii, berhenti....!"
Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.
"Srat! Srattt!" Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
"Aihhhhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!" Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang hanya beberapa detik ini cukuplah sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain. Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!
Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.
"Aih, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?" penjaga yang gendut tertawa. "Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?"
"Aih, suaranya begitu merdu...." kata penjaga yang kurus.
"Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini," kata yang ke tiga.
"Aku pun tidak...." kata yang ke empat.
"Kalau begitu.... siapa...." Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.
"Jangan-jangan dia....?"
"Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apapun adanya dia, mari kita keluar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang," kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.
Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.
"Kebakaran....!"
"Tolonggg.... kebakaran....!"
egera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apalagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu keluar kandang mereka.
Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.
"Jangan panik! Jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!" Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.
Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang amat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
"Itu dia.... siluman itu!" teriak seorang diantara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. "Lihat dia membawa payung!"
Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.
Dengan gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul. Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos,
wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.
"Hi-hi-hik!" Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.
Berhasiliah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Maka puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukanlah merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah. Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang "mengerjakan" para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lalu menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu sudah berhasil memancing mereka keluar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju keluar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!
Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau "terbang" begitu saja ke angkasa di depan mata mereka! Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia "terbang" sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini se kaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir.
Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri. "Kejar! Tangkap dia!" Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat.
Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemanapun dia lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya! Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!
Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan sapu tangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.
"Paman Jayin....!"
Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.
Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu, menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya keluar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari "siluman" itu. Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, akan tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita. Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, melainkan dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat itu yang dikejar-kejar tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!
Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manis, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. "Eh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?" kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum.
Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu dan nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. "Nona, siapakah engkau?"
"Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami pernah membantu kalian ketika dahulu mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.
Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?"
"Hi-hik, inilah yang disangka siluman!" Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.
Jayin terbelalak lalu tersenyum. "Aih, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?"
Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, "Paman Jayin, apakah engkau tidak kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?"
"Eh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?" Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.
"Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencinta Tek Hoat dan sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?"
Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, "Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?"
"Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?"
"Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?"
"Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.
"Hemmm.... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?"
"Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Akan tetapi sekarang, aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm.... terpaksa aku akan menganggap engkau sebagai musuh!" Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dla persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya.
Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya!
Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.
"Dia tadi berkelebat ke sini!" "Cari sampai dapat!"
"Geledah semua tempat, semua tempat kosong!"
Jayin dan Siang In masih saling ber pandangan. "Kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?" tiba-tiba Jayin bertanya.
"Sudah pasti!"
"Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia."
Siang In tersenyum dan menjura. "Sungguh engkau habat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman."
"Sudahlah selamat berpisah....!" kata Jayin.
"Mari selidiki di dalam sini!" terdengar suara Mohinta tiba-tiba.
"Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?" Tiba-tiba Jayin membentak marah, dengan golok terhunus dia menyerbu keluar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.
"Eh, Paman. Panglima!" Mohinta berseru.
"Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Eh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!" Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi. Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun lalu berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.
"Ini adalah pancingan!" Sambil berlari Panglima Jayin berseru. "Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!"
"Celaka....!" Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu. Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ telah lari tadi mengejar Siang In.
Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.
"Ah, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak," katanya sambil tersenyum lega.
"Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu....!" Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.
"Bongkar pintunya!" Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam Kosong!
"Celaka....! Adinda.... Adinda Syanti Dewi....!" Panglima Mohinta mencari-cari dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.
"Nah, apa kataku tadi!" Panglima Jayin marah-marah.
"Sungguh tolol kalian semua, dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri."
"Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?" Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.
"Agaknya tidak mungkin penjahat, dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kauperkuat penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!"
Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.
Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga amat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.
Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biarpun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.
Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.
Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya. Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.
Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya mengeras oleh gemblengan hidup, dan biarpun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.
Betapapun besar perbedaan watak antara mereka, namun mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In! Betapapun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biarpun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!
"Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kaunyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji"
Mereka duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendiri-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.
Dua orang dara yang sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa gembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.
"Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, akan tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi." Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.
Siang In tersenyum. "Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci."
"Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum"
"Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kaucinta. Bukankah begitu?"
Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.
"Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi, karena. aku suka mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku.... hemmm, aku pun tidak akan sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!"
Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.
"Aihhh, kalau begitu engkau juga sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!"
Siang In menggeleng kepala. "Belum, Enci. Pilihan hati.... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu.... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta."
Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. "Adikku yang manis, apakah.... apakah cintamu hanya sepihak....?"
Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum. "Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya...."
"Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!"
"Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh...." Siang In bergidik. "Lebih baik aku tidak mengenal cinta!"
Syanti Dewi memandang tajam. "Hemmm.... jangan engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kaucari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kaucari-cari?"
Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. "Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.
"Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada."
"Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu"
"Ehhh....? Dia....?" Sejenak puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang sepertli Suma Kian Bu!
"Tahukah Enci di mana adanya dia?"
Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di tempat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah mengapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan antara kalian"
Siang In menggeleng kepalanya. "Tidak ada permusuhan apa-apa "
"Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah!"
"Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tidak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap."
"Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. "Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...."
"Ah, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu." jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah.
Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. "In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau.... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...."
"Ah, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?" Siang In merangkul. "Tidak ada rahasia perbuatan itu hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku."
"Ihhh....!" Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu "bukan apa-apa"
"Kenapa kau terkejut, Enci?" Siang In memandang penuh selidik.
"Tidak apa-apa...." Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. "Hanya.... kalau sudah begitu.... berarti kalian saling mencinta."
Siang In menggeleng kepala. "Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?"
"Ya.... karena.... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kau kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya."
"Hemmm.... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti."
Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.
"Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku."
"Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu, memang, akan tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!"
Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!
"Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?"
"Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kauajarkan lagu yang kaunyanyikan kemarin itu."
"In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sambil menari."
"Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kauajarkan sekalian tariannya."
"Musiknya?"'
"Asal kauajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu."
Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andaikata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.
"Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya."
Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.
 "Kekasih telah lama pergi
 tak tahu bila akan jumpa kembali
 namun hati pantang membeku
 tak mengenal putus harapan
 selama hayat dikandung badan
 cintaku tak pernah padam
 jika tiada kesempatan jumpa di dunia
 di akhirat kita akan saling bersua
 harapan jumpa kekasih
 kubawa sampai mati."
"Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat. "
Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan. Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuhnya seolah-olah "hidup" dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!
Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.
Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu.
Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!
Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In ber kata, "Aihhh, tak kusangka monyet-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang mengepalai pasukan pengejar."
"Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!"
"Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan."
"Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...."
"Hemmm, apakah engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggu kuda di samping tunang.... eh, Panglima Mohinta itu?"
"Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?"
"Ketika lewat tadi, aku melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhu tan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum."
"Terserah kepadamu, In-moi."
Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.
Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah diantara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.
Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.
"Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi," kata Siang In, "Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan."
Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. "Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas sehingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa."
Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. "Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu"
"Hushhh, genit kau....!" Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.
Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersendau-gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke gua yang penuh dengan harimau dan naga!
Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu sudah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apalagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.
Puncak itu dinamakan puncak Hwee -liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang lakl-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.
Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apalagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Semenjak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia.
Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan, karena mereka yang masuk menjadl anggauta harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.
Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagianmana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, maupun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.
Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakuan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi, dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik! Dengan menggunakan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, atau ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, lalu dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedlkit ada sepuluh orang!
Hwa-i-kongcu sendiri biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah. Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng, kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang
tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu berahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!
Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau menjadi barang permainanhya untuk sementara saja.
Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit, maka sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu.
Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.
"Ihhhhh...." Puteri itu mengeluh. "Kelihatan dekat, kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!"
Siang In tertawa. "Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar daripada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah, mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu maka menjadi lama dan kelihatan jauh...."
Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.
Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih. "Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu."
Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.
Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Dia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis sehingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.
"Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda siapakah, dari mana dan hendak ke mana?" Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, nyanyian sumbang!
Melihat lagak orang ini, mau tidak mau Syanti Dewi merasa geli hatinya dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.
"Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!" Siang In menjawab sambil terkekeh.
"Ha-ha-ha, Nona ini lucu!"
"Lucu dan manis, heh-heh."
"Kedua-duanya cantik jelita!"
"Hussshhh, diam kalian!" Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguhpun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggauta tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat
menundukkan muka dengan alis berkerut.
"Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku terhadap kalian dua orang dara-dara muda bertindak kasar."
"Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu.
"Mengapa kalian tertawa!?" tanyanya.
"Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian" kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.
Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut dan kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.
Hati Naga berarti keberanian, dan hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, "Aih, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kami."
"Eh-eh, nanti dulu, Nona!" Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.
"Hemmm.... kalian mau apa?" Siang In tersenyum menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.
"Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu."
"Hemmm, siapa itu Kongcu?" tanya Siang In.
"Kongcu adalah majikan dan ketua kami."
"Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!"
"Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!"
Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggauta-anggauta perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.
"Kalau kami tidak mau?" tanyanya.
"Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami" jawab Jiu Koan.
Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, "Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?"
"Benar."
"Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Akan tetapi kalau aku menang kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?"
Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian dan kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis ke dua itu, yang kelihatan lemah le mbut, tentu tidak bisa silat.
"Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, blarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu."
"Baiklah, jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. "Kauajukan jagomu biar dilawan temanku ini." Dan dia menggunakan ilmunya, sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, "Enci, kaulawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah."
Syanti Dewi mengangguk. Memang dia telah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya pernah memperoleh kemajuan hebat ketika dia memperoleh petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka, untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!
Jiu Koan lalu memberi isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar, usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.
Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, "Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah."
"Tidak perlu banyak cakap, majulah!" Syanti Dewi berkata.
"Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!" Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi. Puteri ini terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Namun dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.
"Ehhh!" Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu. Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, melainkan juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tangannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.
"Kau hendak lari ke mana sekarang?" Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi. Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi dia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!
"Aihhhg....!" Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang. Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Si raksasa untuk menyerbu ke depan. Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah Si raksasa dan berseru, "Laki-laki tidak sopan jangan main curang dan kurang ajar!" Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik luar biasa sehingga Si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.
"Eh.... eh.... mana....?" Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.
"Plak! Plak!" Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah terasa panas dan dia terhuyung ke belakang.
Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia lalu melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.
"Buk-buk-bukkk!" Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang. Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?
Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha untuk menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya mengenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!
"Takkk! Aughhhhh.... aduhhhhh....!" Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut- miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.
"Dukkk....! Aduhhh....!" Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In menggerakkan tangannya dan kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.
Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum. "Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!"
Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih daripada tolol! Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu ber kata, "Kemenangan temanmu mencurigakan!"
"Eh-eh-eh, sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!" Siang In mengejek.
"Benar, akan tetapi sungguh tidak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau dia dalam keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu, yang mengganggunya"
"Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!"
Muka Jiu Koan menjadi merah sekali. "Bagus!" bentaknya marah. "Kalau begitu coba kaukalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!"
Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab, "Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!"
Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak, "Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!"
Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.
"Plakkk!" Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan cengkeraman bertubi-tubi. Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak daripada kepandaiannya, maka dengan mudah saja dia menggunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri. Menghadapi seorang lawan seperti ini saja, memang baginya tidak perlu menggunakan
kedua tangan, apalagi menggunakan sihirnya. Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan setiap kali kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang tertendang, tentu lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu mengandung kekuatan yang amat hebat.
Baru saja berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tidak mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In tadi tidak berkata berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya dia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki yang dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) dan kedua kakinya dapat
melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.
Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan raksasa tadi. Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu saja mengerti pula bagaimana untuk menggunakan kaki menendang, namun dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang In. Kini, biarpun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.
"Bukkk!" Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.
"Tangkap mereka! Bunuh....!" Jiu Koan berteriak-teriak sambil bangkit memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In.
Akan tetapi Siang In malah melangkah maju. "Kalian ini anggauta-anggauta Perkumpulan Hati Naga, apakah tidak mengenal seekor naga aseli? Lihat baik-baik siapa aku!"
Syanti Dewi memandang penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti Dewi juga
ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap, yang mengancam untuk menerkam mereka.
"Enci, kesinilah, aku tidak apa-apa," kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali.
"Aihhh, kau menakutkan aku...." katanya.
Pada saat itu terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan, "Kembalilah kalian penakut-penakut menjemukan!"
Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada seorang pemuda yang baru muncul. "Ampun, Kongcu.... ada.... ada siluman...." Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu, ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak nampak ada naga di situ. Pemuda tampan itu tidak mempedulikan Jiu Koan dan dia segera bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi.
Dua orang dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu.
Ketika pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun, melihat bahwa yang ribut-ribut di situ adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya, diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantungnya sudah bergoncang hebat karena harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia bengong dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh mereka.
Siang In memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu tampan dan wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di beri sedikit pemerah bibir, dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali, pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan biarpun pemuda itu berdiri dalam jarak empat meter darinya, dia dapat mencium bau wangi semerbak datang dari tubuh pemuda itu! Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh tahun.
"Enci, mari kita pergi," kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali dari lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda pesolek yang mengerikan itu.
"Eh-eh, harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)....!" Terdengar suara halus dan ada angin menyambar dari samping mereka. Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat juga! Kini mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin menyengat hidung kedua orang dara itu.
Siang In pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya, "Siapa engkau dan perlu apa engkau menghadang perjalanan kami?"
Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura dengan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata, "Harap Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami kalau mereka itu lancang dan membikin J iwi tidak senang hati."
"Hemmm, anak buahmukah mereka itu?"
"Benar, Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah tempat tinggal kami".
"Ah, kiranya begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri hajaran kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka...."
"Aih, tidak sama sekali, Nona! Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami yang terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini engkau!" pemuda itu membentak dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat datang menghampiri ketuanya dengan sikap takut dan hormat.
"Siap, Kongcu," katanya dengan berdiri tegak seperti perajurit.
"Aku melihat tadi engkau dan seorang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil sini!"
Jiu Koan berteriak memanggil temannya, si raksasa tadi digajul kedua tulang kering kakinya oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut.
"Mereka inikah yang telah mengganggu. Ji-wi?" Tang Hun bertanya sambil kini memandang kepada Syanti Dewi. Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang mengerikan.
"Baik, kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurangajaran mereka. Kupenggal kepala mereka!"
Syanti Dewi terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat, pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.
"Wuuuttttt.... crak-crakkk!" Dan leher dua orang itu terbabat putus, kepala mereka terpental dan darah muncrat-muncrat!
"Ihhh....!" Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi Siang In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.
"Tidak apa-apa, Enci. Lihat lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita."
Syanti Dewi terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.
"Tang-pangcu, kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu, kami dengan sulapan yang hanya pantas kaupertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi ini disembelih!" Berkata demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pemuda itu terbelalak dan meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu berubah menjadi dua ekor babi!
"Aihhhhh...., bukan main....!" Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan mengerahkan sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat dua orang pembantunya itu kembali menjadi manusia seperti biasa.
"Hebat....!" Dia berseru lagi dan kini dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura. "Engkau hebat, Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami."
Akan tetapi Siang In menggeleng kepala. "Terima kasih. Kami akan pergi saja"
"Mana bisa begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi kalau bukan hendak mengunjungi Liong-sim-pang?" Pemuda pesolek itu bertanya heran.
Siang In menggeleng kepala dan ber kata, "Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liong-sim-pang atau siapapun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah dusun atau kota, maka kami hendak mengunjunginya. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham. Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita."
Pemuda itu menjura dengan hormat. "Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orang ku telah berlaku lancang, akan tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami. Hari sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam ditempat kami ini."
Akan tetapi, bujukan ini tidak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya.
"In-moi, mari kita pergi saja," Syanti Dewi berkata.
"Pangcu, kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah."
Pada saat itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa akan tetapi tidak ada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata temannya itu. Tampak olehnya ada asap hitam yang bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung datang dari atas, kemudian setelah tiba di situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu.
"Subo.. ..!" Siang In juga cepat memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh karena itu, Siang In menyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu.
"Eh, eh, Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?" Hwa-i-kongcu bertanya dengan heran, kaget dan juga girang.
"Ho-ho, dia itu adalah murid See-thian Hoatsu," kata Si Nenek sambil tertawa sehingga mulutnya yang tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap.
"Aih, kiranya masih Sumoiku sendiri!" Tang Hun berseru girang.
"Heh, bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!" Nenek itu dengan kata-katanya yang logatnya kaku bertanya.
"Teecu (Murid) Teng Siang In...."
"Oya, Siang In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!" Durganini celingukan ke kanan kiri.
"Suhu sedang bertapa di Gua Tengkorak di Po-hai, Subo...."
"Hi-hik, dia, tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana." Tiba-tiba dia memandang ke arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar.
"Hei! Ini.... bukankah ini Puteri Bhutan itu?"
Siang In terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenal Syanti Dewi. Memang Durganini seorang yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam.
"Benar, Subo.. .."
"Wah, kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi permaisurimu. Hayo bawa dia!"
Tang Han juga terkejut dan girang. Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok untuk menjadi isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi dia bertemu dengan dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pantas menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoinya sendiri dan yang lain adalah Puteri Bhutan yang terkenal itu karena pernah nama puteri itu disebut-sebut oleh seluruh dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah menggegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti Dewi.
"Tahan....!" Siang In berseru marah.
"Ho-ho, Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suhengmu! Bawa dia Tang Hun," kata Durganini.
Tang Hun menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memondong tubuh yang padat menggairahkan itu.
"Keparat....!" Siang In menerjang maju akan tetapi tiba-tiba dia berhenti karena ada asap hitam menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-sim-pang menuju ke tempat itu.
"Hi-hik, bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?" Durganini tertawa mengejek.
Hati Siang In mendongkol sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum bahwa biarpun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian gurunya sendiri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk melindungi dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi, anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi.
"Subo, kau terlalu!" teriaknya. "Kau hanya berani mengganggu aku. Suhu berkata bahwa kalau Suhu bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai Suhu akan mengunduli kepalamu!"
Nenek itu menjerit, suaranya melengking saperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan tetapi Siang In yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan mengerahkan ginkangnya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi, seperti telah diduga oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tidak mampu menyusulnya dan dari belakang juga tidak mampu menggunakan sihirnya. Dia sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu tidak mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia tua renta pun rambutnya tetap hitam. Maka sengaja Siang In tadi mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In. Karena dia tidak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya. Dia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Gua Tengkorak. Dan memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu meninggalkan benteng Liong-sim-pang!
Malam itu, Siang In duduk dengan bingung dan termenung di bawah bukit, dalam sebuah hutan. Hatinya gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi, memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya!
Akan tetapi, hatinya agak lapang, ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya menangkap seorang penjaga di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa Hwa-i-kongcu tidak mengganggu Saang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu lagi Hwa-i-kongcu, akan merayakan pernikahannya dengan Syanti Dewi dan mengundang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.
Mendengar ini, Siang In lalu mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia mendengar bahwa di dalam benteng itu Hwa i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya. Dia harus mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau merusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tidak akan memperkosa gadis yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah!
Sekarang kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi dan marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena dua peristiwa itu sejalan dan agar jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya utusan kaisar yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang masih muda belia itu. Terjadilah keributan di dalam taman ketika terjadi penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan fihak yang anti kaisar. Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang diam-diam menentang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan
dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo li yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-jagoan Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Honan.
Seperti telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir di dalam pesta itu dan menyaksikan pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah tebing, ketika dia hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam 1agi. Betapapun juga, ayahnya adalah mantu kaisar dan dia terhitung adalah cucu kaisar. Biarpun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu harus ditolongnya, apalagi pada saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh diganggu oleh siapapun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang mengutusnya.
Pada saat itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran sambil berseru, "Pangeran, perlahan dulu....!"
"Plakkk!" Kian Lee menampar dari belakang menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!
"Keparat, kiranya engkau pun mata-mata dari Ho-pei!" terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari belakangnya. Kian Lee cepat mengelak dan ternyata yang menyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah kepalanya, akan tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang seolah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Akan tetapi, serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan cepat dapat dihindarkan oleh Kian Lee.
"Singgg....!" Sinar hijau menyambar dari arah kirinya. Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya sangat cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia membuang diri dan menggerakkan kaki untuk menendang agar si pemegang pedang tidak dapat melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan gesitnya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita cantik yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.
Kian Lee masih diserang oleh beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun dia masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun tangan hanyalah karena dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar oleh Perwira Su Kiat. Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak melerai, kemudian menarik Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia melihat Gubernur Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.
Pemuda perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak melindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai ikut celaka dalam penyergapan yang ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei itu. Dia ingin menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei.
Gubernur Hok Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh Tok-gan Sinciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pengawal lain. Belasan orang pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan Sin-ciang, bersama dua orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri, menyelinap di sebuah lorong gelap dan melihat betapa para pengawalnya terus mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya. Gubernur Hok cepat menyelinap memasuki sebuah kamar dan cepat-cepat menutupkan pintu kamar itu.
"Taijin, cepat ke sini...." Suara halus ini mengejutkannya. Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Akan tetapi ternyata kamar itu kamar tamu yang tinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang cantik, hatinya menjadi lega.
"Sssttttt.... harap kau diam dan menolongku.... aku hanya bersembunyi.... mereka mengejar untuk membunuhku," katanya, terengah-engah karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di luar kamar terdengar suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih agak jauh.
"Saya mengerti, Taijin. Biarpun saya hanya pelayan di sini, akan tetapi saya memperhatikan semua dan mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?"
"Benar, anak baik. Biarkan aku bersembunyi di sini sampai aman"
"Justeru kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat ini, pergi dari
Ho-nan dan kembali ke utara."
"Tapi.... tapi bagaimana?"
"Saya akan membantu Taijin. Taijin hrus menyamar, marilah, Taijin" Dengan tabah sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran. Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala diawut-awut dan topi kebesarannya dilepas, lalu rambutnya digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai, menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun.
"Bagaimana dengan Pangeran....?" Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali.
"Jangan khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak apa-apa"
"Eh, engkau seorang pelayan, bagaimana tahu?"
"Saya memperhatikan, Taijin, dan saya mendengarkan percakapan mereka, antara gubernur dan Ouw-teetok dan para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang akan ditawan "
"Celaka....!"
"Jangan khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar keluar" Cui Lan menggandeng tangan pembesar tua itu.
"Nanti dulu....!" Pembesar itu berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh keharuan.
"Nona.... kau seorang pelayan akan.... tetapi.... ah, berhasil atau tidak usahamu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki tidak akan melupakan pertolonganmu ini!"
Cui Lan menjadi terharu. "Sudahlah, Taijin, saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada di fihak benar. Marilah!" Dia menggandeng tangan pembesar itu, ditariknya keluar, kemudian mereka menyelinap di antara rumah-rumah, pohon-pohon dan di antara orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka. Siapa yang akan mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun di saat geger seperti itu?
"Kita harus melalui taman...."
"Tempat pertempuran itu?" Gubernur Hok terkejut.
"Benar, akan tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang kebun berada di taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan. Marilah, Taijin...."
Mereka berjalan terus memasuki taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei dan para perajurit pengawal Ho-nan yang amat banyak. Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang mata keranjang itu, Ho-nan Ciulo-mo jagoan dari Ho-nan dan banyak lagi tokoh-tokoh pengawal yang berkepandaian tinggi karena mereka melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan tetapi ternyata kini membantu fihak Ho-pei itu.
Kian Lee memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan agar mengeroyoknya sehingga dengan demikian, fihak Ho-pei akan dapat meloloskan diri. Kalau dia mau, tentu saja dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa mengirim pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang namun pemuda ini tidak bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya. Akan tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo, tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya.
Sambil menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangan untuk menangkisi senjata-jsenjata yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-cari. Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana dengan Gubernur Hop-ei? Demikian pikirnya dengan hati khawatir juga.
Tiba-tiba dia mengenal wajah Cui Lan. Terkejut dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu?. Pada saat itu, Cui Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda yang amat baik dan sopan. "Aiiiiihhh....!" Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Honan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak terpecah perhatiannya memandang Cui Lan.
"Desssss....!" Kian Lee terkejut, tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis, dan ia tidak mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam kolam.
"Byuuuuurrr....!"
"Aiiiiihhhhh....!" Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu, akan tetapi karena yang menjerit itu hanya seorang pelayan yang berdiri bersama seorang tukang kebun, maka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan cepat, menyelinap ke dalam gelap.
Tok-gan Sin-ciang dan dua orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi dan kini, Tok-gan Sin-ciang biarpun hanya bermata sebelah, namun dia mengenal "tukang kebun" yang tadi berdiri di sana bersama pelayan itu. Dia berteriak girang dan terus, mengamuk, agar fihak mnusuh tidak memperoleh kesempatan memperhatikan tukang kebun itu!
Sedangkan komandan pasukan pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang melihat betapa pemuda perkasa yang membantu fihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang membantu fihaknya itu, maka dia ingin menolong.
Akan tetapi, sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini tentu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat komandan yang perkasa itu berenang menghampirinya, Kian Lee ber kata, "Tidak apa-apa, Ciangkun!"
"Awas....!" Komandan itu berseru ketika melihat anak panah yang banyak sekali menyambar ke arah Kian Lee. Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak-anak panah itu runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main.
Akan tetapi sekarang, anak-anak panah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah mereka!
Sibuk jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biarpun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang cukup tangguh itu dapat pula menyelam untuk menghindarkan diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa naik ke darat!
"Kita harus mencari jalan keluar!" Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah. Mereka mulai berenang menjauh ke tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam dan ternyata di pinggir timur terdapat pintu air untuk membuang atau menguras air itu agaknya. Kalau airnya tidak sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian Lee.
Tiba-tiba Kian Lee terktjut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para permanah itu. Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggauta pasukan itu dengan menangkapi anak panah dan menyambitkannya ke arah mereka.
"Hentikan anak-anak panah itu kalian orang-orang tolol. Lihat, aku akan membunuh mereka dengan ini! Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee!
"Celaka....!" Kian Lee berseru. Dia mengenal benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mempunyai senjata rahasia yang amat mengerikan, yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku Garuda itu tentu akan celaka dan tewas!
Pemuda ini memang memiliki dasar watak tenang sekali. Biarpun menghadapi ancaman bahaya yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu terkandung kewaspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang bergerak lebif cepat dari apa pun juga di dunia ini. Dalam waktu beberapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras,
maka dia mengerah kan sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, kemudian begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat melontarkan benda itu ke arah pintu air di timur!
"Blaaarrrrr....!" Sinar kilat menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air kolam membanjir ke arah pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga seorang yang perkasa seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang amat kuat itu. Apalagi si komandan yang biar pun gagah namun masih jauh di bawah Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang datang dari seluruh bagian istana.
Suma Kian Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu mereka berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran sekali.
"Kita hadang mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana kalau mereka belum mampus!" teriak Wan Lok It dan bersama beberapa orang pengawal dia lalu cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di pinggir dan luar kota.
Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu melebar, maka air pun menjadi dangkal. Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di terowongan saluran air ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.
"Eh, apakah di depan itu?" Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru.
Kian Lee juga sudah melihat benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang. Akan tetapi bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini hanya terdapat di kebun-kebun dan ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapapun mereka membelalakkan mata, tetap saja mereka tidak dapat melihat benda atau binatang apakah yang berkerlapan seperti kunang-kunang itu.
"Eh, baunya....!" Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular merah di Pulau Es, yang juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang beracun. "Awas....!"
Akan tetapi terlambat karena komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi "kunang-kunang" itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular!
"Aduhhhhh....!" Dia menangkap dengan tangan ke dua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang mengigitnya adalah seekor ular, maka diremasnya ular itu sampai hancur.
"Celaka, aku digigit ular....!"
Dan memang yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan mengeroyok mereka!
"Kerahkan singkang melindungi tubuh!" Kian Lee berseru dan mulailah dia menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular yang berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyut oleh air. Kian Lee lalu memasukkan kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang bersinar-sinar. Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya.
"Celaka....!" seruannya! "Lenganku lumpuh...."
Kian Lee meraba lengan itu kemudian dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu, sambil meraba-raba dia merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot dan meludahkan sendiri darah dari luka itu.
"Biarpun bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun cukup untuk menyelamatkan nyawamu, Ciangkun," Â katanya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang, juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring, "Tutup mulut saluran itu, ha-ha-ha, biar mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!"
Kian Lee maklum apa yang terjadi.
"Cepat kita harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!" Dia berkata sambil menarik tangan komandan itu. Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun menimbulkan bau yang menyesakkan dada.
Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana itu yang terkurung di dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota. Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang kebun dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tembok kota. Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan dan menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.
"Berbahaya sekali...." Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. "Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu mereka segera kembali...."
Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu. "Habis, bagaimana baiknya, Toijin?"
"Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali."
Akan tetapi mereka tidak perlu menanti terlalu lama karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka menengok ke kanan kiri mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata, "Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm.... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!"
"Eh, Twako. Mana ada hukuman mesra?"
"Engkau tahu sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!" Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat.
"Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak tahu jalan...." kata Si Gubernur tua dengan khawatir. "Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan...."
"Aihhh, mengapa demikian, Taijin? tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya...."
"Engkau seorang wanita...."
"Hanya seorang pelayan...."
"Bagiku engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani dan berbudi. Nona, siapa namamu?"
"Phang Cui Lan...."
"Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Ho-nan. Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh melapor kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu."
Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seolah-olah sikapnya seperti seorang ayah saja baginya.
"Taijin....!" Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri.
Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.
"Eh, Cui Lan, jangan keluar!"
"Cepat, Taijin, saya mendapat akal "mari!" Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar yang cukup lebat sehingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu.
Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata, "Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apabila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu."
Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya. "Cui Lan, engkau hendak melakukan perbuatan berbahaya demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?"
"Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, akan tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!"
"Ah.... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau" Kedua pipi gadis itu menjadi merah, akan tetapi matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.
"Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!" Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yanp mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ. Yang seorang biarpun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tidak pernah melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biarpun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka dan leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking, lelahnya.
"Wah, aku tidak kuat lagi...." Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.
"Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng rumah di sana."
Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah dan ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.
"Celaka, mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!" Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi pucat sekali. "Mari, Taijin....!" Gadis itu seolah-olah memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan.
"Heiiiii! Berhenti....!" Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan dua orang pelarian ini makin mempercepat larinya.
"Auhhhhh....!" Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung tidak sampai terjerumus ke dalam jurang di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri.
"Auhhh.... kakiku...." Pembesar itu terpincang-pincang akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.
"Mari, Taijin....!" Cui Lan menariknya dan mereka berdua lari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu. Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat daripada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir hutan!
Akan tetapi karena para pengejar sudah dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja tidak memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat daripada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apalagi membuka daun pintunya.
"Bukalah.... bukalah....!" Tolonglah kami....!" Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya sampai punggung tangannya berdarah!
"Cukup, Nona. Agaknya kosong rumah ini...." Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu lalu mencium punggung tangan yang berdarah itu. "Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama...." bisiknya.
Empat belas orang pengawal itu telah mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan gubernur itu ketika dia mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus, "Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!"
Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka. Anak ini menghampiri pintu memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih, "Mari ikut dengan aku!" Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berdetak!
Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka mendorong-dorong, menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biarpun empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu.
Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-celah yang ada memasuki rumah itu, "Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!"
Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut kalau-kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata, "Anak baik, tolonglah kami.... jangan buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua....!"
Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil sambil berkata dan menepuk dada, "Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!"
Mereka yang berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di luar teanbok rumah. Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya, akan tetapi usaha mereka itu tidak ada gunanya. Air itu tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai menyerang makin hebat ke dalam!
Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanya lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang.
Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tak tertahankan lagi.
"Bukalah.... bukalah.... kalian berdua tidak layak mati untukku.... bukalah...."
"Jangan, Taijin.... Paduka akan celaka...."
"Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku"
Akan tetapi anak itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, kini datang mendekat.
"Harap kalian jangan gugup," katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. "Ini kamarku dan Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar.... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!"
Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok.
Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Anak ini teringat akan cerita seorang di antara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya. Menurut cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang amat besar cemburunya. Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara. Akhirnya ibunya tidak tahan dan setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil.
Teringat oleh cerita inilah maka bocah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun pintu kamar ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua, gembok itu dapat dipatahkan. Cui Lan girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata terbelalak karena terkejut melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri di belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah!
"Ayah....! Paman....!" Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur berlindung di belakang Cui Lan!
Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam dan dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin serem kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.
"Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau.... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumahku!" Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, akan tetapi kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!
"Sabar dulu, Saudara!" Cui Lan melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong! "Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil."
Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya berubah pucat sekali, juga dua, orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.
"Kau.... kau bilang.... Siluman Kecil....?" Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.
Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu terkejut dan ketakutan. "Benar!" katanya lantang. "Dahulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah ini!"
"Ah, maaf.... maaf.... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)...."
"Sudahlah, aku hampir tidak kuat bertahan!" Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok.
"Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari malapetaka ini."
"Mari....!" Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu. Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono. Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dahulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil!
Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tidak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri. Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang.
Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun-daun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas!
Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan. "Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami, kami ingin kalau Siocia tidak keberatan, kami ingin mengetahui mengapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?"
Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa melainkan puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga. Oleh karena itu ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguhpun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Pembesar ini harus disembunyikan keadaan dirinya, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan itu.
"Benar seperti yang kalian duga. Mereka itu adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana." Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu. "Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui."
Tiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum. "Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu...., bolehkah kami mendengarnya?"
Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apalagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya menolongnya, "Siluman Kecil.... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok...."
"Nona adalah seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?" seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran.
Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan berkata, "Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Adapun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan." Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan, "Ketika itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau." Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang "beliau" itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai "Siluman Kecil" dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai "beliau" itu tentulah seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
"Demikianlah," Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah "pamannya" sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu, "Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apabila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu."
Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut "pemburu gagah" oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!
"Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau," kata si ayah bocah itu.
"Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini...."
"Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan," sambung sang gubernur.
"Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau." Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
"Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!" Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguhpun tidak sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Adapun orang ke dua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu.
Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. "Memang munculnya nama beliau sekitar dua tahun yang lalu." Sim Kun melanjutkan ceritanya. "Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, sehingga sering kali terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Kemudian, pada suatu hari, munculiah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan kami bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!"
Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dia sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu.
"Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih," kata Cui Lan. "Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran."
"Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!" kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap nona cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
"Begini, Sim-twako," Cui Lan yang pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. "Di taman gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu."
"Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?" tanya Sim Hoat.
"Namanya Suma Kian Lee."
"Suma....?" Tiga orang kasar itu saling pandang.
"Mengapa?" Cui Lan bertanya heran.
"Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ah, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lope k suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana- mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi."
Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.
"Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun." Sim Hoat melanjutkan ceritanya.
"Aihhhhh....!" Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!
"Apakah kalian tidak dapat menolongnya?" Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat. "Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!"
"Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?" Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.
"Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran...."
"Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!" Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
"Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kaulepaskan tanda rahasia!" Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia lalu keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinar- sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi.
Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap, kasar-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata berperawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.
Akan tetapi, biarpun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat "beliau", otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biarpun sikap hormat ini kasar pula!
Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa. Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, akan tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee. Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya seperti orang
buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia- manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang daripada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya! Sekarang, terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi daripada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran daripada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung daripada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasanya menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah!
Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Kecil, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang "sahabat" Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semua merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu!
Cui Lan tentu saja serem melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguhpun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti juga seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andaikata seorang di antara mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini.
"Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan," Sim Hoat menyatakan pendapatnya.
"Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik kalau golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!" kata seorang yang matanya lebar sekali.
"Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tiada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!" sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu!
Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
"Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apalagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ."
"Bagus! Nona cerdik bukan main!"
"Akal yang baik sekali!"
"Aku setuju!"
Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
"Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas."
Pertanyaan dari seorang diantara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biarpun dia seorang gubernur, jadi seorang besar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!
"Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil. Tempat itu tertutup dan mana ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!"
"Kita paksa kepala gundul itu!"
"Kita serbu saja kuil ltu!"
Kembali Cui Lan mengangkat tangannya. "Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong ini di dalam ibu kota amatlah berbahaya dan harus menggunakan kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, biarpun lebih pandai daripada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya."
Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.
"Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja," kata pula Cui Lan.
"Kita serbu!"
"Kita bunuh hwesio-hwesionya!"
Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!
"Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak ngawur," kata Sim Kun.
"Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?" Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut "twako" pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.
"Begini," katanya. "Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, lalu...." Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya. Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!
"Aku percaya kalian tidak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apalagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu," kata Cui Lan akhirnya.
Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk bersembahyang.
Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah. Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan munculiah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpel mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar!
Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu datang bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara "hwesio-hwesio" baru itu!
Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu. Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu makin lama makin tinggi! Biarpun air dari kolam sudah habis, namun karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak daripada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!
Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu. Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan dari mana mengalir air dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang, sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar.
Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah, "Taihiap.... tidak ada gunanya lagi.... daripada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu.... lebih baik.... mari kita hadapi maut dengan, tenang...."
"Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!" Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam. "Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap."
"Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apalagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini."
Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ke tiga!
"Taihiap.... sebelum kita mati.... aku ingin mati sebagai seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An.... dan siapakah nama Taihiap?" Panglima Pasukan Kuku Garuda yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana itu, bahkan dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali.
Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan, maka dengan sejujurnya dia menjawab, "Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun."
Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguhpun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat. "Suma....? Suma Kian Lee....? Ahhh.... Keluarga Suma dari Pulau Es ?"
Kian Lee menghela napas. Tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apalagi terhadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?
"Kau benar, Ciangkun."
"Ahhh....! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ah, Suma-taihiap, kaumaafkan saya...."
"Sudahlah, Ciangkun. Dengar.... aku seperti mendengar sesuatu....!" Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Dukkk! Dukkk! Dukkk!"
Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.
Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu. "Suara orang menggali di atas kita!" teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
"Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengharapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti sudah terbuka lubang dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka."
"Baik, Suma-taihiap."
Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara orang-orang di atas, lalu lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguhpun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu fihak musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian!
Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar, "Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?"
Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang!
Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya, "Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Siluman Kecil, untuk menolongmu!"
"Suma Kian Lee berada di sini!" Kian Lee menjawab, suaranya nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada suara-suara tertawa lega.
"Kalau begitu naiklah melalui tali ini!" terdengar suara yang kasar parau itu lagi, kemudian nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
"Taihiap, biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu...."
"Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun."
"Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap dapat mengetahui dan menghindarkan jebakan itu. Biarkan aku naik dulu!"
"Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang hendak menolong, apalagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andaikata mereka itu musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri."
Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat keluar, dia melihat belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya.
Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah. "Souw-ciangkun, sekarang naiklah!"
Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Suma Kian Lee. Setelah keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souwciangkun menjura kepada belasan orang itu dan Kian Lee berkata, "Banyak terima kasih atas pertolongan Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?"
Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, "Mari kita pergi!" dan Kian Lee berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang! Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah jalan mereka meninggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini ternyata mereka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pakaian petani itu, dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat berjalan, berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti.
Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu. "Terima kasih.... terima kasih.... Cui Lan," katanya berulang-ulang.
"Jangan kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia...."
"Siluman Kecil?"
Cui Lan mengangguk dan kedua pipinya merah. "Sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku."
Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura dengan penuh hormat sambil berkata, "Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi Pangeran...." Dan komandan pengawal ini mengeluh karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
"Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!". Kian Lee lalu membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa beracun dari tubuh Souw-ciangkun, dan biarpun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun sudah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahapnya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
"Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?" tanya Kian Lee ketika melihat keadaan yang sunyi di pondok itu.
Cui Lan menggeleng kepala. "Mereka telah pergi semua, tidak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tugas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena mengingat pendekar itu." Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak dia melarikan Gubernur Hopei sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
"Bukan main Siluman Kecil itu!" Kian Lee memuji penuh kagum.
"Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap," kata Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu fihak istana menentang para jagoan Ho-nan.
"Dia hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pendekar yang perkasa!"
"Ah, Taijin bisa saja memuji orang...." Cui Lan menunduk dengan muka merah.
"Memang, saya pun mengerti, Taijin," kata Kian Lee.
"Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman Kecil, Cui Lan."
"Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaliknya sekarang dipikirkan bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau."
"Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri yang menyelidiki ke sana malam ini."
"Aihhh...., itu berbahaya sekali, Kongcu!" Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh kekhawatiran. "Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan sekarang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu!
 Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan!
"Ah, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!" kata Gubernur Hok.
"Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk Siluman Kecil itu!" kata pula Souw Kee An.
"Ahhh....!" Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil.
"Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya berkelakar. Nah, aku harus berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kaulindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah aku kembali, baru kita berunding lagi bagaimana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan membawa Pangeran Yung Hwa ke sini."
Maka berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran.
******
Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan. Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan.
Malam itu sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkangnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam. Dengan sigapnya dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di dekat taman, menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, "Kubunuh kau kalau kau berani berteriak!"
Di dalam keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee dengan jelas, dan andaikata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasukan yang dulu menghadangnya.
"Ampun, Hohan....!" penjaga itu memohon.
"Aku tidak akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung Hwa!" Kian Lee mengancam.
"Ampun.... siapa Pangeran Yung Hwa....? Saya tidak tahu, Hohan...." Kian Lee mengerutkan alisnya. "Tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari...."
"Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di taman?"
"Ya, benar. Di mana dia ditahan?"
"Ditahan? Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan."
"Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, kemudian diserang dan ditangkap?"
"Ah, sama sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat."
"Bohong! Kubunuh kau kalau membohong!"
"Saya.... saya tidak berani membohong Hohan!"
Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia berhasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukannya kepada perajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang didengarnya dari si perajurit. Sungguh mengherankan!
Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para perajurit dan perwira, itu tentu saja sudah diperintahkan untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanyalah si gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya. Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang ltulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat mengatasi mereka berdua. Yang dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin dia dapat menghadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apalagi di dalam istana yang asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah menyelundup dan diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja!
Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat penjaga-penjaga pula. Ternyata dugaannya betul. Akan tetapi hanya terdapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas genteng-genteng.
"Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar gubernur," pikir Kian Lee.
Bagaikan seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap.
"Ahhh, kenapa kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? sampai-sampai semua atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini," seorang di antara mereka mengeluh.
"Ah, siapa tahu!" bantah orang ke dua. "Semenjak utusan Kaisar itu datang dan pulang, kita harus berjaga-jaga karena sudah pasti fihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira."
Kian Lee yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, akan tetapi toh mereka menyatakan bahwa utusan kaisar sudah pulang. Bagaimana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan?
Dua orang itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan pada saat itu Kian Lee meloncat dan dua kali tangannya ber gerak, dua orang penjaga itu roboh pingsan karena tengkuk mereka kena disambar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka sendiri kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur.
Selagi dia mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat! Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, kemudian dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng lalu mengintai ke bawah. Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring. "Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!" kemudian mendengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi, "Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita."
Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan mengintai. Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya amat besar, seperti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad, sungguhpun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya mewah dengan memakai sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang mengeluarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee menarik napas panjang. Orang itu jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya.
Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang panjang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada pengawal datang.
Dengan gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan tiba-tiba kursi yang diduduki gubernur itu berikut. mejanya amblas ke dalam lantai!
"Heiiiii!" Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali!
"Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa.
Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, "Pergilah!"
Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja. Dia tidak mengenal kakek ini, sungguhpun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan setengah tenaga sinkangnya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang yang
membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan pemuda itu.
Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang didorongkan. Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari, ayahnya, yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
"Desssss....!" Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee terjengkang dan terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu!
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja! Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga sudah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka kini menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Honan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi biarpun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi mengerah kan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa bodohnya! Dengan ginkangnya yang amat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah sehingga hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanya mengenai tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya
gagal sama sekali, tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
"Brakkk!" Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee sehingga mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri. Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tidak ada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkangnya paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu.
Sambil melarikan diri, Kian Lee merasa heran dan menduga-duga siapa adanya kakek yang lihai itu. Ketika terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andaikata pada waktu itu terdapat kakek itu di pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho-pei dan Cui Lan tidak akan dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat, karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu. Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), lalu berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya.
Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Dan baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tetapi Ban-hwa Seng- jin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dia yang berilmu tinggi dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Kemudian diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri.
Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.
"Bagaimana dengan Sang Pangeran?" Gubernur Hok bertanya gelisah.
Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
"Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja," kata gubernur itu, "Kalau benar Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!"
"Sebaiknya begitu," kata Kian Lee. "Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur."
Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. "Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Akan tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!"
"Lalu bagaimana dengan Nona Phang?" tanya Souw-ciangkun yang bagaimanapun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tidak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
"Jangan Sam-wi memikirkan saya...." kata Cui Lan.
"Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau kau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau.... kalau kau.... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!" Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata. Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.
"Saya.... hanya seorang pelayan.... bagaimana mnungkin menerima penghormatan demikian besar? Menjadi puteri.... seorang gubernur....?"
"Nona Cui Lan! Cepat kau menghaturkan terima kasih kepada Gi-humu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!" kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
"Dan lagi, bukanlah engkau sendiri yang mengaku saya sebagai paman?" Gubernur itu menggoda.
Dengan air mata berlinang, Cui Lan tersenyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata, "Gi-hu...."
"Anakku! Cui Lan, kau anakku!" Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang.
Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Biarpun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula. akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.
Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan -hutan dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama daripada kalau menggunakan perjalanan biasa.
Biarpun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan kini dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air!
Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biarpun lemah tak berkepandaian silat, namun sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu.
Mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman, ketika mereka tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur. "Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan," usul Gubernur Hok. "Apalagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan."
Sebetulnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguhpun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh, dari seorang nelayan sungai.
Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Pula, karena perjalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang di belinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung!
Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biarpun perjalanan menjadi memutar, keluar timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu.
Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu.
Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
"Eh, sobat, apakah ini perahumu?" tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh perhatian.
Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, "Benar, Loya (Tuan Tua)."
"Kamu hendak berlayar ke mana?" tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
"Kami hendak ke hilir...."
"Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu dan kami akan membayar mahal."
"Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan...."
"Kami tahu! Akan tetapi perahumu cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?"
"Hemmm, Twa ko, kenapa tidak dorong saja dia ke air?" Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata marah.
"Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita bukan di daerah sendiri! " Kakek tua itu menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. "Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?"
Kian Lee memutar otaknya. Kalau dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tidak ada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan, kalau mereka melapor, bisa celaka.
"Baiklah kalau memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting," akhirnya dia berkata dan mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu.
Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain.
Si Kumis Tebal memang sejak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, "Orang tua, apakah dia ini anakmu?"
Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.
"Hah, cantik sekali!"
"Dan dia itu mantuku," kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee. Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa kalau mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal itu akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai!
Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biarpun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!
Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, "Cuihhh! Mengapa setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?" katanya. Tentu saja Hoktaijin tidak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya merah saking marahnya mendengar penghinaan yang dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee juga mendengar ini akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Melihat betapa Kian Lee tetap mengemudikan perahu dan mukanya tidak memperlihatkan suatu perasaan apa pun, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka boleh dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini.
Cui Lan lalu menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di tangan.
"Minumlah...." katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu.
Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, "Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini."
Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dah dengan langkah gagah dia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kian Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lu-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling berani.
"Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau fihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekalipun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!" Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya ini membuat Si Kumis Tebal makin berani.
"Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!"
"Sobat, harap jangan mengganggu dia!" Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.
"Siapa menggoda siapa!" Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan. Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
"Byuuuuurrrrr....!" Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, akan tetapi sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.
"He, kenapa Si Ang-kwi....?" Orang-orang berteriak.
"Keparat, kau berani pukul aku?" teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
"Siapa yang pukul?" Kian Lee bertanya, tersenyum.
"Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri bilang suamiku yang pukul. Tak tahu malu!" Cui Lan juga berkata.
Teman-teman Ang- kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, "Jangan ribut! Lihat di depan itu!"
Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu meluncur dari samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu ber sorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.
"Ha, itu perahu kita sendiri!"
"Lebih enak daripada perahu sempit ini!"
"Kita pindah saja!"
"Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!" kata Ang-kwi.
Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga!
Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermunculan wanita-wanita cantik yang menyambut mereka dengan pedang di tangan!
"Heiii...."
"Celaka....!"
"Kita terjebak!"
"Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!" teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat kesebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiamnya.
Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Nio-cu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggauta Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya!
Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kia Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dorongan-dorongan tangan pe muda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air!
Sementara itu, pertandingan berlangsung dengan seru dan ternyata bahwa para anggauta bajak itu tidak kuat menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka tidak mampu mengganggu perahu perahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan menyerang mereka. Kiranya, permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tidak kalah oleh para anggauta bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air!
Kini hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini dan biarpun tadi dia dibantu oleh empat orang anggautanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Nio-cu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
"Pangcu.... harap bantu....!" Akhirnya Kim-hi Nio-cu menjerit dan tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.
"Ehm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul!" tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik. Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan biarpun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.
"Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?"
Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. "Engkau memang berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!" katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
"Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kangouw dan liok-lim?"
"Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali baru aku mau mengampuni nyawa tikusmu!"
Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan lancang, berani mengganggu anggauta Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
"Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!" bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
"Plak-tak-tak-takkk!" Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu! Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat dan sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring dia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
"Trak-trak-desssss....!"
Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya.
"Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!" Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air!
Para anggauta Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur tujuh orang pembantu Huangho Lo-cia, kini tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang dengan susah payah karena terluka, berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
"Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,"' Kim-hi Nio-cu berkata sambil menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu. Tadi Kim hi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, akan tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Nio-cu terkejut dan jerih, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
"Ehhh....?" Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee. Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-engpang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka dia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang.
Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanya seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggauta bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
"Nelayan, apakah ini perahumu?" tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja.
"Benar," jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut minta ampun kepadanya.
"Kami bukan perampok atau bajak," kata si nenek lagi, "Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya."
Kian Lee maklum bahwa biarpun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, "Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian tidak mengganggu kami."
Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apalagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu amat merendahkan dirinya.
"Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?"
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapapun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.
Nenek itu mulai penasaran. "Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!" Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tidak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.
"Plak!" Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main. Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan ini sudah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada "isinya" juga pemuda ini, pikirnya. Akan tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanya seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.
"Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!" Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun mendorongkan tangannya memapaki.
"Desss. ...! Eihhhhh....!" Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang. Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda!
Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, "Bocah, kau sudah bosan hidup!"
Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu maklum bahwa biarpun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh, cepat mengelak. Lima kali berturut-turut sinar hijau itu menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Tiba-tiba tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia kini benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
"Desssss....!" Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.
"Sssss.... siapa engkau....?" tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran mengapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.
"Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio," katanya.
Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.
"Heh-heh-heh, orang muda yang aneh!" Hek-eng-pangcu berkata. "Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras, dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!" Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
"Tahan!" Kian Lee terpaksa berseru. Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai renang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat. juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin. "Baiklah, aku menyerah."
Bersambung ke bagian 2 ...